PERANAN MOCHTAR LUBIS
DALAM PERKEMBANGAN PERS INDONESIA
( Studi Kasus Harian Indonesia Raya Mengungkap Korupsi
Masa Awal Orde Baru 1966-1974)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum.)
Oleh
NENENG KURNIAWATI NIM: 102022024376
JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429H / 2008M
i PERANAN MOCHTAR LUBIS
DALAM PERKEMBANGAN PERS INDONESIA
( Studi Kasus Harian Indonesia Raya Mengungkap Korupsi
Masa Awal Orde Baru 1966-1974)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora
Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai
Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum.)
Oleh:
NENENG KURNIAWATI NIM: 102022024376
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing,
Drs. H. D. Sirojuddin AR, M. Ag NIP: 150 234 057
JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429H / 2008M
ii ABSTRAKSI
Skripsi ini bermaksud membahas peranan pers, khususnya upaya seorang wartawan yaitu Mochtar Lubis dalam mengungkap kasus-kasus korupsi pada masa awal Orde Baru. Skripsi ini membahas tiga permasalahan utama,
Pertama, apa pandangan Mochtar Lubis terhadap korupsi? Kedua, mengapa
Mochtar Lubis mengungkap korupsi? Ketiga, bagaimana peranan Mochatar Lubis dalam mengungkap kasus korupsi masa awal Orde Baru 1966-1974.
Perubahan situasi politik setelah tumbangnya Orde Lama dan munculnya
Orde Baru telah membawa suasana baru dalam kehidupan pers di Indonesia.
Kebebasan pers telah mendapatkan tempatnya tersendiri pada masa Awal Orde
Baru, kekangan pada periode sebelumnya telah membawa kemenangan kebebasan pers pada masa awal Orde Baru. Sehingga pers-pers baru dan pers yang pernah dibredel pada masa Orde Lama bermunculan kembali, salah satunya Harian
Indonesia Raya, yang merupakan harian terunik karena sifatnya yang khas dan gencar mengungkap kasus-kasus korupsi pada masa Awal Orde Baru. Hal ini tidak terlepas dari peranan Mochtar Lubis sebagai pemimpin redaksi harian tersebut.
iii KATA PENGANTAR
Puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat Iman dan Islam. Salawat serta Salam semoga selalu tercurah kepada nabi akhir zaman nabi Muhamad SAW, yang telah membawa umatnya dari zaman kejahiliyahan hingga zaman yang penuh ilmu dan pencerahan.
Setelah berupaya dengan segala kemampuan, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “PERANAN MOCHTAR LUBIS DALAM
PERKEMBANGAN PERS INDONESIA (Studi Kasus Harian Indonesia
Raya Mengungkap Korupsi Masa Awal Orde Baru 1966-1974)” sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora pada program studi
Sejarah Peradaban Islam.
Berbagai kesulitan dan hambatan penulis temui dalam mencari sumber pustaka, namun banyak pengalaman yang penulis dapat dari kesulitan dan hambatan tersebut. Alhamdulillah hal tersebut dapat teratasi berkat bimbingan-
Nya dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ungkapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Dr. H. Abdul Chair, MA. Dekan Fakultas Adab dan Humaniora.
2. Drs. H. Ma’ruf Misbah, MA, dan Bapak Usep Abdul Matin, S. Ag., MA.,
MA. Masing-masing sebagai Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan Sejarah
Peradaban Islam.
3. Drs. H. D. Sirojuddin AR, M. Ag. Pembimbing skripsi yang sangat baik
dan bersahabat dalam membimbing dan mengarahkan penulis hingga
karya tulis ini selesai.
iv 4. Drs. H. Azhar Saleh, MA. Selaku pembimbing akademik yang telah
membantu dalam pengajuan judul skripsi ini sehingga dapat disusun dan
diselesaikan dengan baik.
5. Bapak dan Ibu Dosen di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan bekal ilmu dan
pengetahuan yang sangat bermanfaat kepada penulis sehingga mudah-
mudahan nanti dapat diamalkan dan berguna bagi agama, nusa dan bangsa.
6. Untuk seluruh teman-teman terbaik di SPI 2002 yang selalu memberi
kesan tersendiri di hati penulis, Tim kreatif SKETSA “Berlayarlah dan
arungi samudera cita-citamu, senja itu sudah berganti awan biru, smoga,
temukanlah pelabuhan terbaikmu, kita hanya manusia biasa yang tak akan
mengerti makna sesungguhnya rasa itu.” Dan semua adik-adik di Fakultas
Adab dan Humaniora yang telah menjadi teman yang baik ketika penulis
mengejar mata kuliah yang tertinggal, terima kasih atas “spirit”nya, sukses
dan pantang mundur.!!!
7. Untuk ibu dan Bapak (alm) tercinta, terima kasih atas semua cinta yang
kau beri. Suami tersayang, kamu adalah salah satu anugerah terbaik yang
diberi Allah SWT untuk mendampingi penulis. Anak-anakku tercinta,
terkasih dan tersayang Chaliph Ramaditya Akbar dan janin 3 bulan yang
kukandung, kalian akan selalu menjadi inspirasi, sumber kekuatan dan
motivator terbaik bagi penulis untuk menjalani hidup dengan tegar.
Kakak-kakakku yang selalu percaya dan memberikan dukungan kepada
penulis untuk menyelesaikan kuliah, terima kasih yang tak terhingga
v semoga Allah senantiasa menerangi jalan hidup kita, menjadi muslim yang
dicintai Allah SWT dan selalu mengharmoniskan silaturahim kita,
InsyaAllah.!
8. Seluruh staf akademik di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pelayanan yang baik.
Kepada semua pihak, semoga bantuan dan dukungan yang telah diberikan dapat dinilai sebagai amal ibadah di hadapan Allah SWT, amien.
Ciputat, 28 Februari 2008
Penulis
vi DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAKSI...... i
KATA PENGANTAR...... ii
DAFTAR ISI ...... v
BAB I PENDAHULUAN ...... 1
A. Latar Belakang Masalah...... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...... 9
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ...... 10
D. Metode Penelitian ...... 11
E. Landasan Teoritis...... 15
F. Survei Pustaka ...... 19
G. Sistematika Penulisan ...... 20
BAB II RIWAYAT HIDUP MOCHTAR LUBIS...... 22
A...... Bio
grafi...... 22
B...... Per
jalanan Karir...... 24
1...... Akt
ivitas Dalam Harian IR Pada Masa ORLA...... 28
vii 2...... Akt
ivitas Dalam Harian IR Pada Masa ORBA...... 38
BAB III PERKEMBANGAN PERS INDONESIA DI AWAL ORDE
BARU 1966-1974 ...... 47
A...... Tin
jauan Historis...... 47
B...... Per
kembangan Pers Indonesia Di Awal Orde Baru...... 53
1...... Per
ubahan Peta Ideologis Pers...... 55
2...... Ke
bijakan Dan Kebebasan Pers Di Awal Orde Baru ...... 58
BAB IV MOCHTAR LUBIS MENGUNGKAP KASUS-KASUS
KORUPSI DI AWAL ORDE BARU ...... 63
A. Kebijakan Pemerintah Dalam Menangani Kasus Korupsi Di
Indonesi...... 63
1. Tim Pemberantasan Korupsi (TPK)...... 63
2. Tim-tim Anti Korupsi Lainnya...... 66
3. UU Anti Korupsi Dan UU Pertamina ...... 69
B. Mochtar Lubis Dalam Harian IR Mengungkap Kasus-kasus
Korupsi 1966-1974 ...... 70
1. Kasus Korupsi Coopa Dan Ciba ...... 70
viii 2. Kasus Korupsi Pertamina ...... 73
3. Kasus-kasus Korupsi Lain...... 78
C. Kekecewaan Mochtar Lubis...... 81
BAB V PENUTUP...... 85
A. Kesimpulan...... 85
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pers atau surat kabar dalam jajaran media massa modern (radio,
televisi, film) merupakan media komunikasi tertua yang dikenal dalam
sejarah. Asal usul atau tempat lahirnya mula-mula dari Eropa Barat, kemudian
berkembang pesat di belahan bumi Barat pada umumnya sejalan dengan
perkembangan ekonomi-industri, ilmu pengetahuan dan teknologi.1 Sebagai
media informasi, pers bertugas memberikan informasi untuk kepentingan
masyarakat, di samping itu fungsi dan peranan pers di dalam masyarakat
berperan sebagai alat pendidikan, alat kontrol sosial, alat penyalur dan
pembentuk pendapat umum. Bahkan dapat berperan aktif dalam peningkatan
kesadaran politik rakyat dan dalam penegakkan disiplin nasional.2 Peranan
pers dalam memberikan informasi tidak terlepas dengan kondisi sosial-politik-
ekonomi pada masa pers itu berada, di antaranya informasi yang terkait
dengan korupsi.3
1 T. Atmadi, ed., Bunga Rampai Sistem Pers Indonesia (Jakarta: PT Pantja Simpati Jakarta, 1985), h. 353. 2 Ibid., h. 354. 3 Lihat Onghokham, “Tradisi dan Korupsi”, dalam Mochtar Lubis dan James Scoot, Bunga Rampai Korupsi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988), h. 115—116. Kata korupsi berasal dari bahasa latin tua yaitu corrumpere kemudian berkembang menjadi corruptio atau corruptus, lalu berkembang ke dalam bahasa-bahasa Eropa seperti corruption (Francis). corrupt/Corruption (Inggris), corruptie/korruptie (Belanda), yang berarti kebusukan, keburukan, kejahatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata- kata/ucapan menghina. Lihat Andi Hamzah, Korupsi Di Indonesia Masalah dan Pemecahannya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), h. 7.
x Informasi awal mengenai kasus korupsi di Indonesia pasca
kemerdekaan telah muncul sejak tahun 1950-an yaitu pada masa kabinet Ali
Sastroamidjojo I (Juli 1953-Juli 1955). Menurut Herbert Feith, pada masa itu
korupsi kecil-kecilan yang dilakukan oleh pegawai rendahan yang disebabkan
oleh kecilnya gaji pegawai negeri sudah mewarnai kehidupan birokrasi.
Herbert Feith juga mengemukakan bahwa selama periode kabinet Ali
Sastroamidjojo I volume korupsi meningkat secara drastis.4 Faktor inflasi
yang tinggi dan jumlah gaji yang tidak memadai menjadi faktor dominan
penyebab terjadinya korupsi di birokrasi pemerintah.
Pada waktu itu yang terjadi bukan hanya korupsi yang berskala kecil
namun praktek-praktek korupsi yang berskala besar pun sudah marak.
Fenomena pembelian bungalow di wilayah puncak sudah menjadi fenomena
tersendiri oleh para pejabat tinggi pemerintah. Kemudian kabinet Ali
Sastroamidjojo I mengundurkan diri lalu digantikan oleh kabinet
Boerhanuddin Harahap (Agustus 1955-Maret 1956) yang merupakan tokoh
Masyumi.
Pada masa kabinet Burhanuddin Harahap telah mulai ada upaya
penyusunan undang-undang anti-korupsi dan tindakan pemberantasan
korupsi.5 Pada masa itu banyak pejabat kabinet yang ditangkap khususnya dari
Partai Nasional Indonesia (PNI) Mr.Iskaq Tjokrodisudirjo mantan Menteri
Perekonomian dan beberapa partai lainnya, seperti penahanan terhadap
4 Herbert Feith. 1962, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (Ithaca and London: Cornell University Press, 1976), h. 406. 5 Badaruzzaman Busyairi, Boerhanoeddin Harahap Pilar Demokrasi (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1989), h.55.
xi mantan Menteri Kehakiman Djody Gondokusumo dari Partai Rakyat Nasional
(PRN), yang menjabat pada masa kabinet Ali Sastroamidjojo I, tindakan
pemerintah Boerhanuddin Harahap ini adalah murni untuk memberantas
korupsi yang tidak memandang bulu, pemerintah tetap berlaku obyektif dan
penuh hati-hati, tidak asal tangkap.6
Pada masa kabinet selanjutnya yaitu kabinet Ali Sastroamidjojo II
telah muncul juga kasus korupsi yang melibatkan anggota kabinet Ali
Sastroamidjojo I, di antaranya adalah kasus korupsi Ir, Han Swie Tik dan Lie
Hok Thay yang merupakan pegawai Percetakan Negara, Lukman Wiriadinata
dari PSI dan Menteri Luar Negeri Roeslan Abdul Gani termasuk pejabat yang
ditangkap. Pada masa itu upaya untuk menyelesaikan undang-undang anti-
korupsi terus berlangsung. Upaya pemberantasan korupsi juga mendapat
dukungan dari pers di antaranya oleh dua harian terkemuka pada masa itu,
yaitu harian Indonesia Raya (IR) yang dipimpin oleh Mochtar Lubis dan
harian Pedoman yang dipimpin oleh Rosihan Anwar.7
Periode Demokrasi Terpimpin umumnya dikatakan orang sebagai
periode terburuk bagi sejarah perkembangan pers di Indonesia. Hal ini bisa
dimaklumi karena persepsi, sikap dan perlakuan penguasa terhadap pers
Indonesia telah melampui batas-batas toleransi. Penguasa Demokrasi
Terpimpin memandang pers semata-mata dari sudut kemampuannya dalam
memobilisasi massa dan opini publik, hal ini terlihat dalam sikap politik
Soekarno yang kerap kali memandang partai politik yang ada sebagai basis
6 Ibid. Sikapnya itu disampaikannya dihadapan para anggota DPR yang bersidang khusus masalah penahanan itu pada tanggal 14 Oktober 1955. 7 Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, h. 427.
xii kekuatan pendukung kebijakannya sehingga pers yang ada sebisa mungkin
harus merupakan pers yang mendukung dan mensosialisasikan kebijakan-
kebijakan politiknya untuk mendapatkan suara sebanyak-banyaknya,
sedangkan pers yang berada dalam pihak oposisi dibatasi bahkan dibredel
keberadannya agar tidak membahayakan opini publik tentang pemerintah. Pers
dianggap sebagai alat “revolusi” yang besar pengaruhnya untuk
menggerakkan atau meradikalisasi massa untuk menyelesaikan sebuah
revolusi. Pandangan ini dapat dilihat pada bagian pendahuluan dari Pedoman
Penguasa Perang Tertinggi, 12 Oktober 1960 untuk pers Indonesia.8
Oleh karena itu, rezim Demokrasi Terpimpin merasa perlu menguasai
pers, yang dalam praktek bukannya untuk memperbaiki kehidupan sosial,
ekonomi dan politik masyarakat, tetapi untuk revolusi kekuasaan rezim itu
sendiri.9 Menurut Ashadi Siregar sejak periode inilah dimulai era lisensi untuk
dunia penerbitan pers Indonesia, dengan kata lain dimulailah tradisi regulasi
atas pers Indonesia.
Pada masa Orde Lama isu korupsi hampir tenggelam seiring dengan
gelora revolusi yang disuarakan oleh Soekarno. Pada kondisi ini bukan berarti
korupsi tidak ada pada masa Orde Lama, gejala inflasi yang tinggi, dominasi
militer dalam bisnis dan ekonomi negara, serta peranan Soekarno yang sangat
mencampuri bidang ekonomi, menjadi peluang munculnya potensi korupsi.
8 Bunyi Pedoman tersebut adalah: “Sebagaimana kita semua telah memaklumi, surat kabar dan majalah adalah merupakan alat publikasi yang dapat dipergunakan untuk mempengaruhi pendapat umum. Oleh karena itu, maka surat kabar dan majalah tersebut dapat dipergunakan sebagai alat penggerak massa untuk menyelesaikan revolusi Indonesia menuju pada masyarakat adil dan makmur.” ( dalam Abdurrahman Surjomiharjo, ed., 1980:307.) Akhmad Zaini Abar, Kisah Pers Indonesia 1966-1974 ( Jakarta: LKiS, 1995), h. 60. 9 Ibid, h. 60.
xiii Selain itu, kondisi pers yang mendapat tekanan dalam menyuarakan isu
korupsi dan penyimpangan telah memburamkan gambaran mengenai korupsi
pada masa Orde Lama.10 Pernah tercatat beberapa kasus korupsi yang terjadi
pada masa Orde Lama yang sempat dibawa ke pengadilan seperti kasus
korupsi Teuku Yusuf Muda Dalam, yang merupakan Gubernur Bank Sentral
sekaligus anggota kabinet pada tahun 1963 dengan sebutan Menteri Urusan
Bank Sentral.11
Kondisi tersebut mengalami perubahan ketika munculnya masa awal
Orde Baru, pada periode awal kebangkitannya, persepsi, sikap dan perlakuan
penguasa Orde Baru terhadap pers, terutama pers non / anti komunis, telah
berubah secara berarti, penguasa memandang dan memperlakukan pers non /
anti komunis sebagai partner of power-nya untuk “mengganyang” PKI dan
simpatisan-simpatisannya dan kemudian untuk meruntuhkan kekuasaan
Soekarno. Hubungan antara penguasa Orde Baru dengan pers pada tahun-
tahun pertama ini diistilahkan sebagai “bulan madu” oleh Mochtar Lubis.12
Pada masa awal Orde Baru keinginan untuk memerangi korupsi menjadi
sebuah fenomena suatu gerakan, yaitu gerakan untuk memerangi korupsi atau
tuntutan masyarakat kepada pemerintah agar memberantas korupsi. Gerakan
ini lebih dikenal dengan istilah gerakan anti-korupsi (GAK). GAK adalah
sebuah fenomena yang terjadi pada masa awal Orde Baru, yang banyak
dimotori oleh aksi gerakan mahasiswa pada waktu itu. Aksi-aksi GAK banyak
10 M. Dawam Rahardjo, ‘Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) Kajian Konseptual dan Sosio-Kultural” dalam Edy Suandi Hamid dan Muhammad Sayuti, ed., Menyingkap Korupsi, kolusi dan Nepotisme di Indonesia (Jakarta: Aditya Media, 1999), h. 30. 11M. Dawam Rahardjo, (et.al.) Bank Indonesia dalam Kisaran Sejarah Bangsa (Jakarta: LP3ES, 1995), h. 114. 12 Abar, Kisah Pers di Indonesia 1966-1974, h. 65.
xiv dilakukan di wilayah Jakarta dan Bandung, terutama sepanjang tahun 1970.
Nama-nama aksinya di antaranya adalah Forum Kita Ingin Tahu, Mahasiswa
Menggugat (MM), Bandung Bergerak (BB), dan Komite Anti-Korupsi
(KAK).13 Selain itu, di Jogjakarta terdapat aksi serupa yang bernama Pemuda
Bergerak, di Medan ada juga aksi-aksi pelajar dan mahasiswa yang bernama
Aksi Generasi Muda 70.14
Kondisi politik pada masa awal Orde Baru, pers dikondisikan untuk
bersemi dengan mengangkat slogan “kebebasan pers”. Pers masa awal Orde
Baru memiliki model pers yang populis dan kritis.15 Pers pada masa itu
sedang mengalami “euphoria” kebebasan, sebab pada masa sebelumnya yaitu
pada masa Orde Lama, pers banyak mengalami hambatan dan pembatasan
termasuk di antaranya adalah pembredelan. Pada masa awal Orde Baru
banyak surat kabar yang sebelumnya sempat dibredel,16 diberi ijin terbit
kembali di antaranya adalah harian Nusantara (Maret 1967), Indonesia Raya
(Oktober 1968), Pedoman (November 1968) dan Abadi (Desember 1968).17
13 BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan), Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional (Jakarta: Pusat Pendidikan dan Latihan Pengawasan BPKP, 1999), h.318. 14 Harian Indonesia Raya, 22 Januari 1970. 15 Sikap populis dan kritis pers Indonesia baru muncul pada masa akhir pemerintahan Soekarno yang sedang mengalami krisis kepemimpinan, pers pada waktu itu sudah tidak lagi setia terhadap konsep-konsep politik Soekarno, pers lebih objektif dan kritis terhadap Soekarno. Populisme dan sikap kritis pers mulai meningkat pada tahun 1967, terutama terhadap hal yang terkait dengan kritik dan kecaman mengenai korupsi dan dukungan kritis terhadap pemerintah Orde Baru, Lihat Abar, Kisah Pers Indonesia 1966-1974, h. 77-88. 16 Istilah “bredel” berasal dari kata Belanda yaitu breidelen yang artinya kekangan/mengekang, lihat S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve: Jakarta, 2000), hlm. 106. Peraturan mengenai pembredelan pers mulai ada ketika Gubernur Jendral Hindia Belanda pada tanggal 7 September 1931 mengeluarkan peraturan yang disebut Persbreidel Ordonanntie, yang bertujuan untuk melarang terbitan yang dianggap mengganggu ketertiban umum. Ignatius Haryanto, Pembredelan Pers di Indonesia: Kasus Koran Indonesia Raya (Jakarta: LSPP, 1995), h. 41. 17 Abar, Kisah Pers Indonesia 1966-1974, h. 56.
xv Salah satu harian yang gencar dalam upaya mengungkap berbagai
kasus korupsi pada masa awal Orde Baru adalah IR ( Indonesia Raya ) harian
ini bisa dikatakan sebagai harian nasional yang sangat unik. Keunikannya di
antaranya adalah sering dibredelnya harian ini karena sikapnya yang sangat
kritis terhadap pemerintah. Menurut Atmakusumah,18 IR dikatakan sebagai
harian yang kontroversial, dalam arti bahwa penyajian berita IR sering
menggunakan bahasa yang populer, tidak memakai perumpamaan, juga
kritiknya yang tajam dan langsung pada permasalahan. Berbagai berita yang
dimunculkan sering mencerminkan karakter atau sikap perjuangan melawan
apa yang dipandang sebagai korupsi, penyalahgunaan kekuasaan,
ketidakadilan, membela penindasan terhadap rakyat kecil dan melawan
ketidakbenaran.
Karakter atau sikap perjuangan IR tidak terlepas dari sosok Mochtar
Lubis yang merupakan pemimpin redaksi dan pemimpin umum IR yang
sangat dominan. Maka wajar saja kalau Mochtar Lubis dijuluki sebagai
personal journalism19 yang selalu bertindak pada apa yang ia anggap benar.
Sehingga Mochtar Lubis pernah masuk penjara, pada masa pemerintahan
Soekarno maupun pemerintahan Soeharto. Peranan IR dalam upaya
mengungkap kasus korupsi yang terjadi di lembaga pemerintahan, pada masa
awal Orde Baru (1968-1974), cukup mendapat perhatian dari masyarakat luas,
18 Beliau adalah mantan Redaktur Dalam Negeri dan Redaktur Pelaksana IR pada periode kedua (1968-1974). 19 Menurut Atmakusumah personal journalism yaitu jurnalisme yang tampil secara signifikan di muka umum dengan suara dan sikap yang seirama dengan pikiran, pandangan dan idealisme pemimpin redaksinya. Lihat juga Atmakusumah, ed., “Mochtar Lubis dan Indonesia Raya” dalam Mochtar Lubis Wartawan Jihad (Jakarta: KOMPAS, 1992), h. 22.
xvi terutama terhadap kasus korupsi yang terjadi di perusahaan-perusahaan
negara. Beberapa kasus korupsi yang pernah diungkap oleh IR selama tahun
1968 sampai 1974 antara lain adalah kasus Bulog, Pertamina, Coopa,
Mantrust, Ciba, Bea Cukai (penyelundupan), LST, Al-Ichlas, PN Jiwasraya,
PN Pusri, PN Telekomunikasi dan lain-lain. Selain itu, ada beberapa kasus-
kasus swasta yang sempat menjadi sorotan Mochtar Lubis seperti kasus Hotel
Indonesia, PT Kapok, PT Bluntas,20 Mexim dan lain-lain.
Sorotan Mochtar Lubis terhadap upaya mengungkap korupsi di
lembaga pemerintah mendapat reaksi dari pemerintah, terutama dari kalangan
ABRI yang merasa dipojokkan karena banyak anggota-anggota ABRI yang
menjadi sasaran pemberitaan IR, antara lain Jenderal Ibnu Sutowo
(Pertamina), Jenderal Achmad Tirtosudiro (Bulog), Jenderal Soerjo (Coopa),
Padang Sudirdjo (Bea dan Cukai) dan lain-lain.21 Reaksi-reaksi tersebut
biasanya disalurkan melalui surat-surat kabar pembawa suara ABRI, di
antaranya adalah harian Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha.
Pemilihan judul Peranan Mochtar Lubis Dalam Perkembangan Pers
Indonesia : Studi Kasus Harian Indonesia Raya Mengungkap Kasus Korupsi
Dimasa Awal Orde Baru, menurut penulis merupakan pilihan judul yang
sesuai dengan permasalahan dalam penelitian. Istilah kata “Peranan” dapat
diartikan sebagai Kontribusi atau pengaruh Mochtar Lubis dalam Harian
Indonesia Raya sebagai pers dalam upaya memberikan informasi mengenai
20 Harian Indonesia Raya, 20 Februari 1969. Pembentukan PT Bluntas merupakan inisiatif dari Gubernur Bank Sentral Teuku Yusuf Muda Dalam, PT Bluntas terlibat dalam kasus korupsi senilai 850 juta rupiah yang melibatkan direktur utamanya. 21 Mochtar Lubis, Bangsa Indonesia Masa Lampau, Masa Kini, Masa Depan ( Jakarta: Yayasan Idayu, 1978), h. 36.
xvii kasus korupsi kepada masyarakat dan pemerintah, sedangkan kata
“mengungkap” diartikan sebagai pemberitaan yang sumber informasinya
diperoleh dari narasumber non-pemerintah. Kata “mengungkap” dipilih karena
kata-kata tersebut sering digunakan dalam redaksional IR terutama dalam
tajuk-tajuk rencana, walaupun kata “membongkar” juga sering digunakan
namun kata tersebut menurut penulis terlalu bermakna hiperbola (berlebihan).
Sedangkan istilah awal Orde Baru diambil dari konsep empat langkah strategi
Orde Baru,22 yaitu langkah awal Orde Baru tahap pertama, melakukan
sentralisasi atau konsolidasi kekuasaan antara tahun 1966-1974.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalahan
Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian skripsi ini adalah
mengenai peranan Mochtar Lubis dalam harian IR dalam mengungkap kasus
korupsi pada masa awal Orde Baru 1968-1974. Pertanyaan-pertanyaan
penelitian yang diajukan oleh penulis antara lain: Bagaimana latar belakang
kehidupan Mochtar Lubis yang meliputi: keluarga, pendidikan, kepribadian,
serta perjalanan karirnya, Apa pandangannya terhadap korupsi, serta peranan
Mochtar Lubis dalam harian IR dalam mengungkap korupsi. Ketiga
pertanyaan penelitian tersebut merupakan satu kesatuan dalam upaya
memecahkan permasalahan mengenai peranan Mochtar Lubis dalam
mengungkap kasus korupsi pada masa awal Orde Baru. Persepsi atau
22 Empat langkah proses perjalanan Orde Baru terdiri dari: pertama fase sentralisasi/konsolidasi, kedua fase otonomisasi, ketiga fase personalisasi dan keempat fase sakralisasi. Lihat Eep Saefullah Fatah, Bangsa Saya Yang Menyebalkan: Catatan Tentang Kekuasaan Yang Pongah (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1998. Juga dapat dilihat dari tulisan Francois Raillon Politik dan Idiologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukan dan Konsilidasi orde baru 1966-1974 (Jakarta: LP3ES, 1988).
xviii pandangan Mochtar Lubis terhadap korupsi perlu diketahui karena menjadi
nilai yang penting terutama mengenai latar belakang pengalaman pendidikan
dalam mengungkap kasus korupsi sehingga dapat menjawab alasan mengapa
Mochtar Lubis berkeinginan untuk mengungkap korupsi, yang merupakan
landasan dari peranan Mochtar Lubis dalam Harian IR dalam mengungkap
kasus korupsi.
Mochtar Lubis dalam harian IR dipilih sebagai objek penelitian karena
Mochtar Lubis menurut penulis dapat merepresentasikan tokoh pers dan
harian yang gencar mengungkap kasus korupsi, terutama yang pernah
dilakukan Mochtar Lubis dalam mengungkap kasus korupsi di Pertamina. Hal
inilah yang menjadi landasan pemikiran penulis untuk melihat intensitas
pemberitaan korupsi dalam harian IR yang diperankan Mochtar Lubis pada
masa awal Orde Baru. Pembatasan berita-berita pengungkapan kasus korupsi
yang dilakukan Mochtar Lubis dalam harian IR, oleh penulis hanya dibatasi
pada kasus-kasus korupsi yang terkait dengan lembaga pemerintah atau
melibatkan pihak swasta namun masih ada hubungannya dengan lembaga
pemerintah. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa lembaga-lembaga
pemerintah sangat terkait dengan kepentingan umum dan berdampak luas
terhadap masyarakat.
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan dari penulisan ini antara lain untuk memperkaya khasanah
literatur studi mengenai pers di Indonesia. Selama ini studi mengenai pers
xix lebih banyak memakai pendekatan ilmu komunikasi. Menurut penulis belum
banyak peneliti yang memakai pendekatan ilmu sejarah. Meskipun pendekatan
dua disiplin ilmu tersebut memungkinkan untuk bisa dipadukan. Maka dengan
dasar itu penelitian skripsi ini mencoba memadukan dua pendekatan disiplin
ilmu tersebut menjadi sebuah tulisan deskriptif-analisis. Agar bisa
mendapatkan pemahaman yang mendalam mengenai gambaran dan analisa
peranan Mochtar Lubis dalam harian IR terhadap upayanya melakukan
pengungkapan kasus korupsi pada masa awal Orde Baru. Penelitian skripsi ini
juga diharapkan dapat bermanfaat bagi kajian sejarah pers yang terdapat di
program Jurusan Sejarah Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora.
D. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode sejarah.23 Pertama adalah tahapan
heuristik, pada tahapan ini penulis mengumpulkan bahan atau sumber-sumber
yang menurut penulis terkait dengan topik penulisan, lalu penulis
mengembangkan pencarian dan mengumpulkan sumber-sumber lainnya. Di
antaranya adalah beberapa buku yang terkait dengan masalah topik korupsi
dan pers. Selain itu, penulis mencoba mencari dan mengumpulkan sumber-
sumber sejaman yaitu seperti harian KOMPAS, dan khususnya IR.
Sebagian besar sumber penelitian ini memakai sumber IR, terutama
terhadap berita-berita dan tajuk-tajuk rencana IR. Penulis juga menyeleksi
tajuk-tajuk rencana IR, khususnya tajuk-tajuk rencana IR yang ditulis oleh
23 Metode Sejarah adalah proses menguji secara kritis peninggalan dan rekaman masa lampau berdasarkan data yang diperoleh dengan menempuh berbagai macam proses. Lihat karya Louis Gottschalk, (terj. Nugroho Notosusanto) Mengerti Sejarah (Jakarta: UI Press, 1986), h. 32.
xx Mochtar Lubis dari tanggal 30 Oktober 1968 sampai 21 Januari 1974. Tajuk- tajuk rencana Mochtar Lubis dijadikan sumber utama karena jumlah tajuk rencana yang ditulis oleh Mochtar Lubis pada periode kedua IR sangat dominan, setidaknya selama periode kedua, dua pertiga dari sekitar 1500 tajuk rencana IR diisi oleh tulisan-tulisan Mochtar Lubis, selebihnya ditulis oleh wakil pemimpin redaksi atau redaktur pelaksana IR.
Ciri utama tajuk rencana Mochtar Lubis adalah umumnya pendek- pendek, pada kalimat-kalimat awal biasanya langsung mengarah pada permasalahan pokok. Ciri yang paling mudah dikenali adalah adanya tanda tiga asterik (.*.) di setiap ujung tajuk rencana, bahkan ia juga sering membubuhkan tanda tangannya. Sumber-sumber tersebut iuga diperkaya dengan beberapa artikel di IR, beberapa majalah di antaranya majalah Prisma,
Tempo, BIES, ASIAN SURVEY.
Pada tahapan heuristik penulis mengalami hambatan dan kesulitan terutama mengenai upaya penulis mendapatkan sumber asli yang terkait dengan dokumen-dokumen bukti kasus korupsi di Pertamina dan Bulog yang dimiliki secara pribadi oleh Mochtar Lubis karena keberadaannya sudah tidak diketahui namun penulis masih mendapatkan beberapa cetakan dokumen- dokumen tersebut yang dimuat di beberapa edisi IR. Selain itu, penulis juga tidak sempat mewawancarai Mochtar Lubis sebagai tokoh utama IR karena ia sudah meninggal pada bulan April 2004.
Kedua, pada tahapan ini penulis melakukan kritik, tahapan kritik terbagi dua proses yaitu kritik interen dan eksteren. Kritik interen dapat
xxi dilakukan dengan cara melakukan perbandingan (uji silang) dari beberapa sumber yang ditemukan penulis seperti buku dan karya-karya tulis lainnya.
Sebagai contoh buku yang berjudul Pertamina: Perusahaan Minyak Nasional karya Anderson G. Bartlett III (et.al.). Karya skripsi Fakultas Sastra
Universitas Indonesia Karya Djoko Prasetyo yang berjudul "Perkembangan
Perusahaan Tambang Minyak dan Gas Bumi (Pertamina): Isu-isu Korupsi."
Pada buku dan karya skripsi itu berisi kutipan tanggal, bulan dan tahun kemunculan harian IR periode kedua. Menurut buku Anderson G. Bartlett III
(et.al.), tanggal 29 Oktober 1968 adalah tanggal pertama terbitnya harian IR pada periode kedua. Menurut karya Djoko Prasetyo adalah tanggal 29 Oktober
1969. Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis terhadap lembaran edisi perdana periode kedua IR. ternyata penulis menemukan data lain, bahwa tanggal pertama atau edisi perdana IR pada kemunculannya yang kedua adalah tanggal 30 Oktober 1968, bukan 29 Oktober 1968 ataupun 29 Oktober 1969.
Kritik interen harus diperkuat dengan melakukan kritik ekstern. Tujuannya adalah untuk memastikan sumber tersebut asli atau tidak asli, sehingga dapat dijadikan pertimbangan sebagai sumber penelitian.
Ketiga, adalah tahapan interpretasi, pada tahapan ini penulis melakukan interpretasi dari berbagai data telah ditemukan dan sudah dikritik oleh penulis (fakta). Pada tahapan interpretasi ini penulis akan menggunakan analisis, yaitu mengurai beberapa sejumlah fakta dari sumber-sumber yang ada. Pada penelitian ini penulis menempatkan isi berita dan isi tajuk rencana sebagai sumber analisis. Analisis isi berita dan isi tajuk rencana merupakan hal penting karena dengan melakukan analisis berita-berita korupsi maka
xxii dapat terlihat kuantitas dan kualitas pemberitaan (news) harian IR terhadap
masalah kasus korupsi pada masa awal Orde Baru. Sedangkan analisis isi
tajuk rencana sangat membantu penulis dalam memahami pandangan-
pandangan (view), opini dan motivasi Mochtar Lubis terhadap masalah kasus
korupsi. Selan itu, tajuk rencana bisa dikatakan sebagai jiwa dalam sebuah
surat kabar yang merupakan karakter dan falsafah surat kabar. Falsafah sebuah
surat kabar erat dengan cita-cita, refleksi, sikap, serta pandangan para
pengasuhnya, termasuk di dalamnya pemimpin umum dan pemimpin
redaksinya (Mochtar Lubis). Memahami pandangan Mochtar Lubis terhadap
masalah korupsi penting artinya sebab biasanya pandangan pers identik
terhadap persoalan atau kondisi zaman, dalam hal ini persoalan maraknya
korupsi pada masa awal Orde Baru. Bahkan Sartono Kartodirdjo memiliki
istilah sendiri terhadap pandangan pers terhadap kondisi zamanya, yaitu
dengan istilah menti-fakta.24 Menti-fakta dapat diartikan sebagai fakta yang
lebih bersifat mental, sebab merupakan sebuah sikap, pendirian dan juga
pandangan individu atau kelompok dalam memaknai realitas sosial yang ada
pada masanya. Pengertian menti-fakta tidaklah sama dengan istilah fakta
secara umum, sebab menti-fakta merupakan konstruksi mental sedangkan
fakta adalah bukti-bukti dari realitas sosial.
Keempat, tahapan historiografi (penulisan), pada tahapan ini penulis
merangkai fakta-fakta yang dianalisis, dari berbagai sumber baik primer
maupun sekunder menjadi sebuah tulisan. Untuk merangkainya menjadi
sebuah karya tulisan sejarah yang baik maka penulis perlu memakai sistem
24 Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia Suatu Alternatif (Jakarta: PTGramedia, 1982), h. 115-116.
xxiii penulisan. Sistem penulisan dalam penelitian ini menggunakan sistem
penulisan deskriptif-analisis yaitu penulis akan mencoba menggambarkan dan
menganalisis rangkaian-rangkain peristiwa yang terkait dengan peranan
Mochtar Lubis dalam harian IR dalam mengungkap kasus korupsi pada masa
awal Orde Baru.
E. Landasan Teoritis
Mengkaji tentang pers dalam suatu negara atau tepatnya pers dan
politik terutama di Indonesia memiliki sejarah perkembangan yang sangat
panjang. Untuk melihat serta mengetahui dinamika pers di Indonesia dari
masa dahulu hingga kini dalam tingkat tertentu masih terasa pengaruhnya.
Kedudukan pers dalam satu Negara sangat penting, karena pers sebagai media
informasi sangat dibutuhkan dalam suatu masyarakat. Karena itu H. G Wells
pernah mengatakan bahwa suatu ketika kerajaan Romawi tidak lagi mampu
menahan penderitaannya karena tidak ada surat kabar, yang dapat
memberitahukan berapa biaya hidup orang-orang di pusat Kerajaan itu.25
Tidak ada lagi alat yang teruji dapat membuat suasana menjadi transparan
seperti apa yang dikehendaki rakyat yang dipimpinnya, kecuali pers.
Karena begitu pentingnya pers pers terutama dalam usaha membangun
peradaban suatu bangsa, James Russel Wiggin, seorang redaktur utama The
St. Paul Pioneer Press dan terakhir sebagai pemimpin redaksi The Washington
Post, pernah menegaskan bahwa perdaban itu tidak dapat muncul jika tidak
ada fasilitas bagi penyebaran berita. Peradaban islam di Baghdad, perdaban
25 Asep Saepul Muhtadi, Jurnalistik (Pendekatan Teori dan Praktek), Jakarta: Logos, 1999, h. 5.
xxiv Mesir kuno, peradaban Arya di sepanjang sungai Indus India dan lain sebagainya, berkembang karena didukung oleh fasilitas bagi penyebaran berita khususnya tentang ilmu dan kebudayaan yang dikembangkan.26 Tanpa berita, masyarakat akan kekurangan rasa persamaannya. Persamaan hak dan kewajiban, persamaan status, fungsi dan perannya sebagai manusia. Melalui media masyarakat dapat menikmati keterbukaan dan demokratisasi.
Lebih dari pada itu, apa yang membuat pers berkuasa sehingga memiliki kekuatan dalam membangun peradaban masyarakat, sesungguhnya terletak pada kekuatan efek informasi yang disebarkannya lewat pesan-pesan yang sangat persuasife diterima publik. McLuhan lewat teorinya yang disebut” teori perpanjangan tangan alat indera” menyatakan bahwa media merupakan perluasan dari alat indera manusia. Pers memiliki beberapa fungsi27 dii antaranya:
1. Fungsi Menyiarkan Informasi : Pers berfungsi melayani kebutuhan
masyarakat akan informasi, khalayak perlu mendapatkan kabar tentang
segala sesuatu yang berkembang, baik tentang peristiwa besar maupun
kecil, gagasan dan pemikiran orang yang sedang ramai dibicarakan.
2. Fungsi Mendidik : Media tenyata memiliki kekuatan raksasa dalam
mempengaruhi sekaligus mengubah pola pikir, perilaku dan sikap perilaku
publik.
3. Fungsi Menghibur : Dalam surat kabar biasanya dimuat cerita pendek,
cerita bersambung, teka-teki silang, karikatur, dan berita-berita bergambar.
26 Ibid. 27 Ibid., h. 28.
xxv 4. Fungsi Mempengaruhi : Pers mencoba menguasai pendapat umum melalui
rangkaian huruf-huruf yang tercetak rapi, kartun dan karikatur, serta
gambar-gambar yang sarat akan makna. Dengan pers orang dapat dengan
mudah mengatur kesan, membentuk opini, inilah fungsi yang paling
penting yang berperan dalam masyarakat. Karena kekuatan ini pula
Napoleon pernah mengatakan dalam masa jayanya bahwa ia lebih takut
kepada empat surat kabar yang terbit pada masa pemerintahannya dari
pada seratus serdadu dengan senjata terhunus.
Tiap struktur politik dalam suatu Negara besar pengaruhnya terhadap kedudukan dan kebebasan pers di Negara yang bersangkutan. Siebert,
Peterson dan Schrammdalambukunya yang terkenal Four Theories of The
Press, menyatakan bahwa kedudukan pers dalam berbagai Negara di dunia dapat dibagai dalam empat golongan28 yaitu :
1. Pers dalam Negara Otoriter : Tugasnya adalah untuk mendukung dan
membantu politik pemerintah yang berkuasa dan untuk mengabdi kepada
Negara. Kritik terhadap alat-alat Negara dan penguasa dilarang.
2. Pers dalam Negara Libertarian : Bertujuan untuk melakukan pengawasan
terhadap tindak tanduk pemerintah, namun pers dalam negara ini tidak
leluasa untuk memfitnah, menyiarkan tulisan cabul, atau untuk menghasut.
3. Pers dengan tanggung jawab sosial adalah forum untuk mendiskusikan
berbagai masalah dalam rangka tanggung jawab terhadap masyarakat.
4. Pers dalamnegara Totaliter Komunis : dimiliki oleh Negara dan
tujuannnya adalah untuk mensukseskan dan melestarikan sistem sosialis
28 Atmadi, ed., Bunga Rampai Sistem Pers Indonesia, h.106.
xxvi Soviet dan terutama kediktatoran partai. Kritik terhadap partai tidak
diperbolehkan.
Di Indonesia sejarah persurat kabaran mengalami pasang surut sesuai dengan dinamika politik dalam pemerintahan. Pada masa revolusi pers bersama-sama pemerintahan republik yang baru terbentuk, secara bersama- sama menyuarakan kemerdekaan disegala penjuru wilayah Indonesia untuk bersatu padu melawan kolonialisasi penjajah. Pada zaman Orde Lama pers dijadikan alat oleh pemerintah untuk mendukung berbagai kebijakannya- kebijakannya, meskipun Soekarno dalam pemerintahaannya menerapkan sistem Demokrasi Terpimpin, namun pers pada masa itu bisa digambarkan seperti pers dalam negara totaliter komunis, pers yang berada dalam pihak oposisi terhadap pemerintah mengalami pembredelan dan wartawannya dipenjarakan, seperti kasus yang terjadi pada Mochtar Lubis yang dipenjara selam 9 tahun dan hariannya Indonesia Raya ditutup. Pada zaman Orde Baru pers pada awal mulanya bersama-sama dengan pemerintah menumbangkan kekuasan Orde Lama yang dinilai tidak dapat mengatasi kemelut-kemelut yang terjadi dalam pemerintahan, namun dalam perkembangannya ketika pers dinilai tidak menguntungkan lagi bagi pemerintah malah condong dinilai membahayakan kekuasaan Orde Baru, pemerintah memberlakukan kebijakan- kebijakan yang dinilai lebih kejam dibanding Orde Lama terhadap pers, melalui ketentuan UU dan tindakan-tindakan penculikan oleh aparat. Sehingga pers yang ada pada saat itu adalah pers dalam negara otoriter yang bertugas mendukung segala kebijakan pemerintah dan tidak diperbolehkan melakukan kritik, maka Mochtar Lubis dan hariannya pada tahun 1974 untuk kedua kalinya mengalami pemredelan hingga dibatasinya ruang gerak Mochtar Lubis dalam dunia pers.
xxvii F. Survei Pustaka
Khasanah kepustakaan di Indonesia telah ada yang membahas
mengenai Mochtar Lubis. Berdasarkan penelusuran literatur yang dilakukan
oleh penulis, yang membahas khusus Mochtar Lubis dalam upayanya
mengungkap kasus korupsi pada masa awal Orde Baru menurut hemat penulis
belum ada. Beberapa literatur yang dimaksud antara lain adalah buku yang
berjudul Mochtar Lubis Wartawan Jihad penyunting Atmakusumah,
Pembredelan Pers Di Indonesia: Kasus Koran Indonesia Raya, karya Ignatius
Haryanto. Selain itu, ada juga karya dari Akhmad Zaini Abar, yang berjudul
Kisah Pers Indonesia 1966-1974. Buku karya yang berjudul Mochtar Lubis
Wartawan Jihad penyunting Atmakusumah merupakan buku yang berisi
Biografi Mochtar Lubis yang memuat perjalanan karir beliau, sedangkan
Ignatius haryanto merupakan studi ilmu Komunikasi yang mengangkat
masalah hubungan pers dengan pemerintah, selama kurun waktu yang pendek
yaitu 1972-1974, sedangkan buku karya Akhmad Zaini Abar lebih
menekankan pada pembahasan umum dari kondisi pers pada masa awal Orde
Baru, yang menggambarkan hubungan “bulan madu” antara pers dan
pemerintah selama kurun waktu 1966-1974.
Selain itu, ada beberapa karya lainnya seperti buku, Beberapa Segi
Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia penyunting Abdurrachman
Soerjomihardjo. Beberapa penulis asing pun pernah menulis diantaranya Henri
Chambert-Loir dengan beberapa judul, Mochtar Lubis: Line Vision de
Indonesia Contemperaine, "Indonesia Raya: Suatu Gambaran Keaktualan"
(terj. LEKNA.S LIPI). David T. Hill juga pernah menulis dalam bentuk karya
tesis doktor dengan judul Mochtar Lubis: Author, Editor and Political Actor
dan lain-lain.
xxviii G. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini berpedoman kepada buku Pedoman Penulisan
Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) Disusun oleh Idris Thaha ed., yang
diterbitkan CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
BAB I : Bab ini menjelaskan latar belakang masalah, alasan
pemilihan judul, permasalahan, ruang lingkup permasalahan, tujuan penulisan,
metode penelitian, sistematika penulisan.
BAB II : Bab ini menjelaskan riwayat hidup Mochtar Lubis, yang
mencakup biografi dan perjalanan karir beliau, khususnya dalam harian
Indonesia Raya.
BAB III: Bab ini menjelaskan mengenai sejarah pers di Indonesia
yang mencakup tinjauan historis, perkembangan pers Indonesia dimasa awal
orde baru, perubahan peta ideologi pers dan kebijakan serta kebebasan pers
diawal Orde.
BAB IV: Bab ini menjelaskan mengenai kontribusi dan bagaimana
peranan Mochtar Lubis dalam harian Indonesia Raya dalam mengungkap
kasus-kasus korupsi yang meliputi: kebijakan pemerintah dalam menangani
kasus korupsi, peran Mochtar Lubis dalam IR mengungkap korupsi dan
kekecewaan Mochtar Lubis terhadap pemerintah.
BAB V: Merupakan bab terakhir dari tulisan ini, yang membahas
mengenai kesimpulan. Kesimpulan sangat diperlukan untuk mengetahui
secara umum hasil permasalahan-permasalahan yang diangkat dan
menyatukannya, sehingga akan didapatkan benang merah terhadap
permasalahan penelitian yang diangkat. Pertama jawaban terhadap latar
xxix belakang atau riwayat hidup Mochtar Lubis, kedua pandangan Mochtar Lubis terhadap korupsi, ketiga bagaimana peranan Mochtar Lubis dalam mengungkap kasus korupsi pada harian IR.
xxx BAB II
RIWAYAT HIDUP MOCHTAR LUBIS
A. Biografi
Mochtar Lubis dilahirkan di Padang pada 7 Maret 1922, ayahnya Raja
Pandapotan Lubis, adalah bangsawan Mandailing yang menjabat asisten
demang di kota kelahiran Mochtar antara tahun 1915 dan 1929,29 ibunya
bernama Siti Madinah Nasution, juga keturunan bangsawan Mandailing yang
merupakan anak dari kepala kuria atau induk kampung di daerah Batak yang
bergelar Mangaraja Sorik Merapi. Mereka tinggal di kota kecil Sungai Penuh,
Mochtar Lubis biasa menggambarkan ayahnya sebagai seorang yang berwatak
keras, pekerja keras, dan berdisiplin, sedangkan ibunya dilukiskan sebagai
seorang wanita yang lembut dan periang. Mochtar adalah anak keenam, atau
anak lelaki ketiga dari sepuluh bersaudara.30
Di Sungai Penuh, Mochtar Lubis mengikuti pendidikan di Sekolah Rakyat
hanya selama setahun, setelah itu ia pindah ke HIS (Hollandsch Inlandsche
School), sekolah dasar berbahasa Belanda yang baru dibuka dikota kecil itu.
Selepas sekolah dasar pada tahun 1935, ayahnya menganjurkan agar
melanjutkan pendidikan ke Sekolah Ekonomi di Kayutanam, Sumatra Barat.
Sekolah ini mengembangkan semangat gerakan nasionalis dan didirikan serta
29 Gelar “raja” dimuka nama ayahnya menunjukkan bahwa ia adalah seorang kepala suku. Ia berasal dari desa Muara Soro, dekat Kotanopan, Kabupaten Tapanuli Selatan, sekitar 180 kilometer di selatan Padangsidempuan. Pada tahun 1929 ia mendapat kenaikan pangkat sebagai demang distrik Kerinci, masih di Sumatra Barat, tetapi sekarang menjadi bagian propinsi Jambi. 30 Atmakusumah ed., Mochtar Lubis Wartawan Jihad (Jakarta: PT Gramedia, 1992), h.48.
xxxi dipimpin oleh Soetan Mahmoed Latif, seorang pendidik lulusan sekolah
Tinggi Pertanian di Wageningen, Negri Belanda. Setelah menyelesaikan pendidikannya itu beliau masuk kesekolah pendidikan nasional INS
(Indonesische Nationale School).31 Di sekolah ini Mochtar Lubis banyak mendapat wawasan mengenai kesadaran perjuangan kemerdekaan, terutama peranan para gurunya dalam memberikan wawasan tersebut dan lewat beberapa surat kabar dan majalah nasionalis Indonesia. Pada masa-masa menimba ilmu di sekolah ini Mochtar Lubis juga mulai berminat pada perkembangan pers Indonesia, dengan mengamati perjuangan para wartawan nasionalis Indonesia yang harus berhadapan dengan UU kolonial yang sangat membatasi dan menjerat para wartawan dan tokoh nasionalis Indonesia yang bertentangan dengan pemerintah kolonial Belanda.
Setelah lulus dari Kayutanam, ia menjadi guru di HIS Teluk Dalam di
Pulau Nias. Disana ia mengajarkan ilmu hitung dan bahasa Belanda, tetapi tidak lama ia mengajar disekolah itu kurang dari setahun kontrolil Belanda memintanya untuk meninggalkan Pulau Nias, dengan tuduhan telah menyebarkan paham nasionalisme di sekolah itu dan mengajak murid- muridnya untuk menyanyikan lagu “Indonesia Raya” di bawah kibaran Sang
Saka Merah Putih.32
Setelah meninggalkan Pulau Nias, beliau berhijrah ke Batavia. Pada masa pendudukan militer Jepang Mochtar Lubis berkenalan dengan gadis Sunda yang bernama, Siti Halimah Kartawidjaja atau biasa dipanggil Hally, yang
31 Ibid., h.52. 32 Ibid., h.52-53.
xxxii waktu itu menjadi pegawai Asia Raya. Asia Raya adalah surat kabar
berbahasa Indonesia pertama yang boleh terbit pada masa pendudukan Jepang.
Setelah kurang lebih satu tahun saling mengenal, merekapun menikah di
Jakarta pada 1 Juli 1945, hanya sebulan menjelang proklamasi kemerdekaan.33
Pada masa kemerdekaan Mochtar Lubis menimba ilmu di Jefferson
Fellowship, East-West Center, University of Hawaii, Amerika Serikat. Sosok
Mochtar Lubis adalah orang yang memiliki segudang kegiatan dan sangat hobi
dengan kegiatan-kegiatan outdoor seperti berkelana dalam rimba, naik
gunung, berenang, tennis, perahu layar, dan sudah mencapai terbang Solo
ketika berlatih di tahun-tahun pertama setelah pengakuan kedaulatan Republik
Indonesia oleh Belanda. Gemar pada tanaman, bunga, termasuk anggrek.34
B. Perjalanan Karir
Setelah sempat menjadi guru di Pulau Nias, ia memutuskan untuk
merantau lebih jauh lagi, menyusul kakaknya yang sudah tinggal dan bekerja
di Batavia, Bachtar Lubis. Usia Mochtar Lubis pada saat itu sekitar 18 tahun.
Mula-mula ia bekerja di perusahaan farmasi, tetapi tidak lama. Kemudian
pindah ke Bank Factorij, yang berkantor didaerah Glodok, Jakarta Kota, bank
swasta terbesar di Hindia Belanda yang membiayai pabrik-pabrik gula.35
33 Ibid., h. 60. 34 Mochtar Lubis, Budaya, Masyarakat dan Manusia Indonesia: Himpunan “Catatan Kebudayaan” Mochtar Lubis di majalah HORISON (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992), h. 300. 35 Atmakusumah ed., Wartawan Jihad, h. 53.
xxxiii Hanya beberapa tahun kemudian balatentara Jepang pun masuk ke Indonesia pada 5 Maret 1942. Selama pendudukan militer Jepang itulah ia mulai mengenal dunia pers, walaupun belum memulai kariernya dibidang ini. Ia bekerja sebagai anggota staf dinas monitoring siaran radio luar negri KONIANDO, bagian dari
Komando Tinggi Militer Jepang, yang berkantor di Jalan Biliton, daerah Menteng di Jakarta Pusat. Dinas itu bertugas memantau siaran radio negara-negara Sekutu seperti yang dipancarkan oleh Voice of America (VOA), Radio Australia, dan
BBC London. Laporan dari hasil pemantauan itu kemudian dipelajari oleh staf
Jepang. Di kantor itu juga bekerja sejumlah wartawan, orang Belanda dan
Indonesia, dari kantor berita Belanda Aneta (Algemeen Nieuws-en Telegraf
Agentschap) yang sudah ditutup oleh Jepang.36
Mochtar Lubis mulai sungguh-sungguh terjun dalam profesi jurnalistik sebagai wartawan setelah Perang Dunia II berakhir. Ia menjadi wartawan harian
Merdeka, yang mulai diterbitkan oleh BM.Diah pada 1 Oktober 1945. Ia juga bekerja di Antara, terakhir sebagai redaktur hubungan luar negeri sebelum meninggalkan kantor berita nasional itu tahun 1950 karena berselisih paham dengan Djawoto yang berhaluan kiri. Dengan demikian ia dapat sepenuhnya memimpin harian Indonesia Raya yang sudah diterbitkan sejak tahun 1949. Pada waktu menjadi wartawan Antara itulah ia tidak dapat melaksanakan keinginannya yang lain, selain menjadi dokter, yaitu menjadi tentara. Ketika masih menjadi wartawan Antara itu pula ia ditangkap di rumahnya di Jalan Bonang oleh pasukan
36 Ibid., h. 52.
xxxiv Kapten Raymond (Turk) Westerling pada petang hari 18 Desember 1948.37 Selain bekerja di harian Merdeka selama beberapa bulan dan di kantor berita selama lima tahun, pada masa awal kemerdekaan itu ia juga ikut mengasuh beberapa majalah di Jakarta yang pada umumnya tidak mampu bertahan lama. Antara lain, ia bekerja di majalah mingguan Masa Indonesia yang terbit sejak tahun 1947 dan menjadi pemimpin redaksi majalah Masa pada tahun 1948.38
Meskipun sosok Mochtar Lubis tidak terlalu dikenal didalam negeri, namun
Mochtar Lubis adalah orang yang sangat disegani dan memiliki hubungan yang cukup baik dengan dunia internasional, sehingga beliau dipercaya untuk menjabat beberapa jabatan tinggi dan memiliki kegiatan yang begitu banyak setelah beliau bebas dari tahanan Orde Baru yaitu: Direktur Jenderal Press Foundation of Asia
(Manila); Associate Editor Worldpaper yang terbit di Boston untuk Asia
Tenggara; Penanggung jawab majalah sastra Horison (Jakarta); menulis kolom dalam majalah Suara Alam dan The Voice of Nature (Jakarta); dan untuk beberapa waktu menulis kolom dalam majalah Newsweek; sebelum SIT-nya dicabut, memegang jabatan penerbit dan Pemimpin Redaksi Harian Indonesia Raya; anggota Yayasan Indonesia Hijau (Mengenai Lingkungan Hidup, Jakarta), Wakil
Ketua Akademi Jakarata; anggota kelompok pemberi bantuan dana pada para pemenang Hadiah Magsaysay untuk meneruskan dan meluaskan program atau proyek mereka yang telah membuat mereka mendapat hadiah Magsaysay
(Manila), Ketua Dewan Redaksi majalah Solidarity (Manila), penasihat Redaksi bidang komunikasi majalah Impact (Manila), anggota International Press Institute
37 Edward C. Smith, Pembreidelan Pers Di Indonesia ( Jakarta: Pustaka Grafiti Pers, 1986), h. 84. 38 Atmakusumah ed., Wartawan Jihad, h. 61.
xxxv (London), anggota ISWA (International Science Writers Association), Amerika
Serikat; anggota kelompok penasihat harian Asahi Shimbun, Tokyo; anggota kelompok penggerak pertemuan sastra ASEAN tiap dua tahun (Manila); anggota kelompok studi internasional “Rethinking International Governence” (Harold E.
Stasses Center for World Peace-Hubert H.Humprey Institute of Public Affairs,
University of Minnesota); anggota UNESCO Mc Bride Commision on
Communication and Information (UNESCO, Paris); Ketua Yayasan Obor
Indonesia (penerbitan buku, Jakarta); pernah menjadi Aspen Institute Fellow.
Buku-buku yang ditulisnya (sastra dan lain-lain) telah diterbitkan dalam berbagai bahasa asing: Inggris, Belanda, Jerman, Spanol, Jepang, Korea, Hindi, Tagalog,
Itala, Rusia, Thai.39
Selama dalam tahanan Orde Lama Mochtar Lubis melatih diri sendiri memahat patung dan mengukir dengan memakai bahan kayu. Ia juga melukis memakai cat air, minyak, akrilik, dan suka membuat sketsa dengan tinta hitam, potlot, pastel. Aktif terus menerus dalam berbagai kegiatan internasional dan nasional meliputi lingkungan hidup,, hak buruh anak-anak, masa depan, budaya, masalah internasional, sastra, dan sebagainya; antara lain mengikuti pertemuan yang diselenggarakan UNESCO mengenai The Diversity of Culture as Against the University of Science and Technology (Paris, 5-10 agustus 1968), Pacificism and Violence-their uses and limitations as instrumenta of change (International
Association for Cultural Freedom, Paris, November 14-17 tahun 1969), The
Second International Conference of the Problems of Modernizations in Asia and
39 Lubis, Budaya, Masyarakat dan Manusia Indonesia: Himpunan “Catatan Kebudayaan” Mochtar Lubis di majalah HORISON, h. 300-301.
xxxvi the Pacific (East-West Center, Agustus 9-15 1970), Culture and Science
(UNESCO, Paris, September 6-10 tahun 1971), the Modernization of Asia,
University of Malaysia, Penang (September 3-8 tahun 1972), New Structures for
Economic Independence, The Aspen Institute for Humanistic Studies (Mei 15-18 tahun 1975), Common Tokyo, Konperensi Komunikasi Dunia, Tokyo (September
12-14 tahun 1983), Economic Growth, Democracy and Human Rights, are they interrelated? Diselenggarakan oleh Jan Pork, Menteri Kerja sama Pembangunan
Belanda (November, 7-8 tahun 1990), Konperensi Culture and Democracy,
UNESCO dan Presiden Havel, Praha (September tahun 1991); anggota dewan juri
“International Water Tribunal” Amsterdam (16-21 Februari tahun 1992).40
1. Aktivitas Dalam Harian IR Pada Masa Orde Lama
Harian Indonesia Raya periode pertama (1949-1958) lahir melalui edisi
tanggal 29 Desember 1949, hanya dua hari sesudah penandatanganan
pengakuan kedaulatan dan kemerdekaan RI oleh Belanda pada 27 Desember.
Indonesia Raya mula-mula terbit sore hari, tetapi sejak tahun 1955 diubah
menjadi pagi hari agar percetakan dapat mencetaknya pada malam hari. Surat
kabar ini mengibarkan motto “Dari Rakyat Oleh Rakyat Untuk Rakyat” di
bawah logonya. Pada periode terbitnya yang kedua (1968-1974), beberapa
waktu setelah mulai terbit, motto itu diperpanjang menjadi “Suara
Pembaharuan Dari Rakyat Oleh Rakyat Untuk Rakyat”.41
40 Ibid., h. 301-302. 41 Atmakusumah ed., Mochtar Lubis Wartawan Jihad, h. 61.
xxxvii Pemimpin redaksinya yang pertama adalah Hiswara Darma putra bersama- sama Mochtar Lubis, waktu itu Mochtar masih berkerja di Antara sampai kira- kira 8 bulan setelah Indonesia Raya terbit. Pemimpin Umum dijabat oleh
Jullie Effendi bersama Hiswara, setelah kedua orang tersebut mengundurkan diri Mochtar Lubis menjadi pemimpin redaksi tunggal sejak Agustus 1950, kemudian Mochtar berhenti dari Antara. Sikap surat kabar ini, yang sejauh mungkin hendak mengembangkan independensi dalam kebijaksanaan pemberitaannya, tercermin jelas dalam tajuk rencana edisi pertama, 29
Desember 1949:
“Dalam badan penerbitan ini tergabung wartawan-wartawan Indonesia yang berpendirian merdeka, wartawan-wartawan yang tidak diikat oleh pendirian partai atau suatu golongan. Yang dikejar oleh mereka hanya tujuan-tuijian jurnalistik semata-mata, yaitu mempertahankan kemerdekaan pers nasional yang kuat dan bebas dan mempertinggi mutunya jurnalistik Indonesia sejalan dengan kemajuan dilain lapangan yang kini diperjuangkan dengan hebat oleh segenap bangsa Indonesia. Oleh sebab itu maka pada dasarnya Indonesia Raya berdiri di luar segala partai- partai politik atau aliran-aliran politik. Bagi kami terutama sekali kebenaran dan obyektivitas akan terus menjadi obor dan pegangan dalam usaha. Kami akan menghindarkan diri dari politik pemberitaan yang berat sebelah, yang menguntungkan satu golongan dan merugikan golongan lain …”
Tajuk ini, seperti juga pendirian yang seterusnya dianut Indonesia Raya, mencerminkan sikap partisan dalam menghadapi “hal-hal yang merugikan kepentingan umum”. Karena itu, surat kabar ini digolongkan sebagai penganut advocacy journalism, gaya jurnalistik yang amat teguh dalam mendesakkan/memegang teguh pendiriannya untuk sesuatu “perbaikan keadaan”. Karena sikap idealisme yang diusung surat kabar ini dalam memuat berbagai pemberitaan-pemberitaannya, membuat surat kabar ini berbenturan
xxxviii dengan pihak-pihak yang merasa terancam kedudukannya karena pemberitaan
yang dimuat Mochtar Lubis dalam harian Indonesia Raya tentang berita surat-
surat pembelaan diri Letnan Zulkifli Lubis.42
ZulkifliLubis adalah seorang perwira angkatan darat yang berpangkat
wakil KSAD, namun beliau memiliki perbedaan pandangan dengan Jenderal
A.H Nasution sebagai ketua KSAD, Zulkifli Lubis terlibat dalam peristiwa 17
Oktober 1952, yaitu peristiwa demonstrasi rakyat yang menganggap bahwa
parlemen tidak bekerja dengan baik,43 dan beliau juga membentuk dewan
Banteng di Sumatra Barat bersama-sama Simbolon dan perwira lainnya yang
kecewa dengan pemerintahan Republik di Jawa, yang dinilai telah melenceng
dari cita-cita revolusi, karena banyaknya tindakan korupsi oleh pejabat namun
tidak ditindak oleh pemerintah dan didominasinya pemerintahan oleh etnis
Jawa.44 Hubungan antara Mochtar Lubis dengan Zulkifli Lubis tidak ada
hubungan kekeluargaan, hanya kebetulan satu marga, seperti yang dikatakan
sendiri oleh Zulkifli Lubis dalam buku Atmakusumah ed. Mochtar Lubis
Wartawan Jihad , bahwa mereka hanya berteman dan sangat sering berbeda
pandangan seperti pada peristiwa 17 Oktober 1952 Mochtar Lubis termasuk
orang yang kontra terhadap peristiwa tersebut sedangkan Zulkifli Lubis
sebaliknya, namun mereka satu pandangan terhadap peristiwa korupsi yang
dilakukan oleh Menteri Luar Negeri Roeslan Abdul Gani.
42 Smith, Pembreidelan Pers Di Indonesia, h. 143. 43 Atmakusumah ed., Mochtar Lubis Wartawan Jihad, h. 149. 44 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern1200-2004 ( Jakarta: PT SERAMBI ILMU SEMESTA, 2007), h. 501.
xxxix Puncaknya Mochtar Lubis dikenakan tahanan rumah sejak 5 Januari 1957
selama 4 tahun terus menerus dengan alasan demi keamanan dan tanpa pernah
diperiksa kembali. Ia tidak diizinkan menulis untuk surat kabarnya,
memberikan wawancara, mengadakan hubungan telepon, dan menerima tamu
– walaupun dalam kenyataan para tamu oleh petugas penjaganya dibiarkan
menemui Mochtar Lubis. Ia juga masih aktif menulis tajuk rencana asuhan
Mas Kluyur, Naskah-naskah itu diam-diam dibawa kerumah Hasyim Mahdan
oleh Halimah (istri), anaknya yang masih kecil, atau iparnya untuk
diterbitkan.45
Selama beberapa malam setelah penahanan Mochtar Lubis, para petugas
CPM ditempatkan dipercetakan tempat Indonesia Raya dicetak dan
menyensor naskah yang akan dimuat. Oleh redaksi kolom-kolom yang
disensor itu tetap tidak diisi, “Pemutihan” oleh redaksi seperti ini berulang
sepuluh bulan kemudian, 16 Oktober 1957, ketika penguasa militer Letnan
Kolonel E. Dachjar melarang semua media pers memberitakan penahanan
Mochtar Lubis. Bahkan anggota parlemen dilarang memberikan wawancara
tentang persoalan Mochtar Lubis.46
Tekanan politik terhadap Indonesia Raya akhirnya memuncak bulan
Agustus 1958. Mochtar Lubis masih dalam status tahanan rumah ketika surat
kabarnya terlibat dalam percekcokan intern akibat tekanan dari luar,47 ajakan
45 Lubis, Catatan Subversif , h. 27. 46 Ibid.. 47 Menteri Penerangan Sudibjo menyampaikan usul kompromi kepada Hasjim Mahdaan, seorang dari tiga pemegang saham selain Mochtar Lubis dan Sarhindi. “Ia mengatakan bahwa surat kabar ini akan dibolehkan terus terbit, bahkan akan diberi bantuan keuangan jika Mochtar
xl Hasjim Mahdan agar Indonesia Raya tidak beroposisi terhadap pemerintah
dan menerima tawaran Menteri Penerangan, ditolak oleh Mochtar Lubis.
Mochtar juga tidak bersedia bersikap netral sekalipun terhadap pemerintah,
pada 21 Agustus 1958 kelompok Hasjim Mahdan mengumumkan bahwa
Dewan Komisaris telah memberhentikan Mochtar Lubis sebagai direktur
mulai 20 Agustus.48
Ini berarti ia tidak lagi menjabat pemimpin umum harian itu. Juga
diumumkan bahwa jabatan penanggung jawab harian dan mingguan
Indonesia Raya akan diserahkan kepada seseorang dari luar harian itu.
Keputusan ini ditolak oleh seluruh staf redaksi Indonesia Raya dan masalah
intern itu mereka ungkapkan dihalaman muka edisi 1 September 1958. Mereka
juga menyatakan bahwa para anggota redaksi tetap mendukung Mochtar
Lubis.49
Karena sikap dan tekad Mochtar Lubis untuk berjuang dalam bidang pers,
dengan memberikan informasi kepada masyarakat dan konsistensi
perjuangannnya pada tanggal 10 Agustus dari Manila disiarkan berita bahwa
Mochtar Lubis terpilih sebagai salah seorang diantara dua pemenang Ramon
Magsaysay Journalism and Literature Award untuk tahun 1958. Ia menjadi
orang Indonesia pertama yang menerima penghargaan itu, penghargaan ini
merupakan pengakuan terhadap kegigihannya memperjuangkan kebebasan
pers. Tetapi penghargaan itu baru dapat diterimanya delapan tahun kemudian,
Lubis mengundurkan diri. Waktu itu Indonesia Raya baru saja mengalami pembredelan agak lama antara 26 Juli dan 14 Agustus 1958. 48 Atmakusumah ed., Mochtar Lubis Wartawan Jihad, h. 81. 49 Ibid, h. 89.
xli setelah ia bebas dari tahanan dan dapat berkunjung ke Filipina. Pada tahun
1966, ia juga memperoleh penghargaan Hadiah Pena Emas untuk
Kemerdekaan Pers dari Federasi Penerbit Surat Kabar Internasional
(Federation Internationale des Editeurs de Journaux at Publications, FIEJ) di
Paris.50
Bulan madu antara pers dan pemerintah pada waktu itu memang telah
berakhir. Permasalahan Mochtar Lubis dan Indonesia Raya hanyalah
merupakan suatu bagian saja dari keseluruhan konflik yang berkembang
antara pers dan pemerintah, lebih-lebih setelah diberlakukan SOB (Staat van
Oorlog en Beleg, keadaan darurat militer dan keadaan perang) pada 14 Maret
1957.51 Kebebasan menyatakan pendapat sangat dibatasi dan tentara
mengeluarkan berbagai macam peraturan pers. Para wartawan dapat ditahan
dengan alasan sekecil apapun dan larangan terbit tidak lagi dianggap aneh.52
Kemunculan 1R tidak terlepas dengan kondisi kehidupan pers pada masa
sebelum pengakuan kedaulatan (1949) yaitu berada dalam suasana revolusi.53
Kondisi pers pada masa revolusi sangat terbatas sarana dan prasarana dalam
mendukung proses pengelolaan pers. Pada masa revolusi persediaan jumlah
kertas koran terbatas bahkan harus memakai kertas merang yang kasar, juga
50 Smith, Pembreidelan Pers Di Indonesia, h. 84. 51 Ibid, h. 118. 52 Atmakusumah ed., Mochtar Lubis Wartawan Jihad, h. 83 53 Pers pada masa revolusi Indonesia memiliki corak 2 hal: (1) pers mampu mengekspresikan dan mengartikulasikan visi politiknya secara bebas dimana kebebasan itu sendiri merupakan manifestasi dari nilai-nilai dan semangat kemerdekaan; (2) Pers mampu memainkan perannya sebagai media koordinatif antara hasrat rakyat Indonesia yang ingin lepas dan merdeka disatu sisi, dengan visi elit politik Indonesia tentang wuju kemerdekaan yang dicta-citakan disisi lain. Dalam Arung Samudra (ed), Andi Suwirta, Pers, revolusi dan Demokratisasi: Kehidupan dan Pandangan Surat Kabar di Jawa Pada Masa Revolusi Indonesia 1945-1947,Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penlitian UI, Depok, 2001, h. 274.
xlii alat-alat cetak yang tidak memadai. Pada masa awal revolusi kurang lebih
tercatat ada 15 surat kabar nasional, namun jumlahnya secara keseluruhan
tidak dapat diketahui dengan pasti. Surat kabar yang pertama kali muncul
sesudah kemerdekaan adalah Berita Indonesia yang dipimpin oleh B.
M.Diah.54
Pers pada masa revolusi memiliki peranan penting dalam upaya
menyebarluaskan gagasan mengenai kemerdekaan, di antaranya harian
Merdeka, Masa Indonesia, Soeara Merdeka, Berita Indonesia dan lain-lain.
Hingga tahun 1948 banyak surat kabar bermunculan, terdapat kurang lebih 75
surat kabar yang terbit, mencapai oplah kurang lebih 400.000 eksemplar,
termasuk harian berbahasa Indonesia, Jawa, Sunda, Belanda dan Cina.
Lahirnya Negara RI yang baru tidak lepas dari dukungan pers yang berjiwa
“republiken”, dalam hal ini hampir di setiap kota penting di Jawa memiliki
penerbitan surat kabar.55 Suburnya kehidupan pers pada masa itu selain
didorong oleh pemerintah juga karena kesadaran para insan pers yang ingin
memberikan kontribusi kepada bangsa Indonesia. Pers Indonesia pada masa
awal setelah pengakuan kedaulatan mengalami masa kondusif karena
kebebasan pers mendapat tempat seluas-luasnya untuk menyuarakan
kebebasan. Semangat dan suasana kemerdekaan sangat mewarnai kehidupan
pers, juga dukungan pemerintah terhadap pers sangat besar dalam mendukung
kehidupan pers. Dukungan pemerintah terhadap pers dapat terlihat melalui
bantuan pemerintah, seperti impor kertas dan subsidi kertas koran bahkan
54 Smith, Sejarah Pembreidelan Pers di Indonesia , h. 87. 55 Suwirta, Pers, revolusi dan Demokratisasi: Kehidupan dan Pandangan Surat Kabar di Jawa Pada Masa Revolusi Indonesia 1945-1947, h. 276.
xliii sampai memberikan bantuan keuangan. Bantuan-bantuan pemerintah
bertujuan untuk mengajak pers sebagai mitra perjuangan dalam
mempertahankan kemerdekaan.56
Kalangan pemerintah yang memiliki upaya tersebut diantaranya dari
kalangan tentara, yang berupaya mencoba menggalang kekuatan untuk
menghalau pengaruh-pengaruh Belanda yang masih kuat terutama sesudah
masa pengakuan kedaulatan. Salah satu harian yang muncul karena peranan
tentara adalah IR57 muncul dalam kehidupan pers di Indonesia tidak terlepas
dengan kondisi politik yang terjadi pada masa beberapa bulan sebelum
pengakuan kedaulatan. Pada masa sebelum penyerahan kedaulatan
berlangsung pada 27 Desember 1949, terjadi kekhawatiran dikalangan tentara
terhadap pengaruh Belanda yang masih kuat di Indonesia, bahkan cikal bakal
ide pendirian IR sudah muncul kurang lebih tiga bulan sebelum pengakuan
kedaulatan RI. Ide kemunculan IR tidak terlepas dari usul beberapa perwira
tentara Divisi Siliwangi58 yang mencetuskan ide dan memberikan dukungan
atas berdirinya suatu surat kabar yang bertujuan untuk membangkitkan
semangat republik kepada rakyat dan tentara pada masa transisi kekuasaan
melalui media pers. Ketika pasukan TNI memasuki wilayah Jakarta, beberapa
hari menjelang pengakuan kedaulatan, para pemimpin tentara menjumpai para
56 Smith, Sejarah Pembreidelan Pers di Indonesia, h. 81. 57 Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional dan Pembangnan Pers Pancasila ( Jakarta: CV Masagung, 1988), h. 77. 58 Ignatius Haryanto, Pembredelan Pers Indonesia: Kasus Koran Indonesia Raya (Jakarta: LSPP (Lembaga Studi Pers Pembangunan), 1995), h. 71.
xliv redaktur majalah Mutiara,59 agar membentuk sebuah surat kabar yang
diharapkan menjadi pandangan kaum republik, yang kemudian dikenal dengan
nama harian Indonesia Raya.
Asal-usul nama Indonesia Raya sebagai sebuah nama harian, memiliki dua
versi pemberi nama. Pertama, versi dari Teuku Sjahril60 yang berpendapat
bahwa pemberian nama Indonesia Raya merupakan idenya. la terinspirasi dari
lagu kebangsaan Indonesia "Lagu Indonesia Raya". Pemberian nama tersebut
terjadi ketika ia sedang berkunjung kerumah Mochtar Lubis, yang merupakan
tetangga dekatnya. Kedua, versi Brentel Susilo, menurutnya nama IR berasal
dari sebuah nama partai politik yaitu Partai Indonesia Raya (Parindra), sebab
pamannya yang bernama Raden Sutomo adalah salah seorang pendiri Parindra
namun IR tidak ada kaitannya dengan Parindra.
Edisi perdana periode pertama IR terbit pada tanggal 29 Desember 1949.
IR pada awalnya terbit pada sore hari namun sejak tahun 1955 berubah
menjadi pagi hari. Pada masa periode pertama ini keterlibatan para tentara
cukup dominan, terutama terkait dengan dukungan moral dan perlindungan
tentara terhadap IR, bahkan juga mencakup dukungan keuangan.61 Dukungan
keuangan para tentara digunakan untuk membeli kertas, biaya operasi
percetakan dan lain-lain. Posisi penting dipegang oleh Hasyim Mahdan
59 Majalah Mutiara inilah yang akan menjadi cikal bakal dari redaksi harian Indonesia Raya. 60 Teuku Sjahril adalah seorang pembantu tetap Majalah umum dan sastra Mutiara, ia juga pada masa selanjutnya pernah menjabat sebagai ketua presidium Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Ketua Umum Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) dan pada masa-masa akhir hidupnya sempat menjadi Ketua Dewan Pertimbangan SPS Pusat. 61 Atmakusumah, “Mochtar Lubis dan Indonesia Raya” dalam Atmakusumah ed., Mochtar Lubis Wartawan Jihad, h. 64-65.
xlv sebagai penghubung antara tentara dengan IR, terkait dengan masalah bantuan tentara terhadap IR. Pada awalnya IR dijuluki sebagai harian tentara karena kedekatannya dengan kelompok tentara dan IR dijadikan salah satu harian langganan para tentara hingga akhir tahun 1953. Mengenai kedekatan IR dengan tentara, Mochtar Lubis tidak memungkiri kedekatan IR pada masa awal kemunculannya dengan kelompok tentara namun menurutnya hal itu hanya sebatas hubungan personal atau hubungan kedekatan sebagai seorang kawan bukan sebagai hubungan antara institusi,62 sehingga tidak berpengaruh terhadap visi atau pandangan IR, terutama yang terkait dengan pembentukan karakteristik IR.
Setiap surat kabar atau harian memiliki karakteristik, yang tentu berbeda dengan harian-harian lainnya. Karakteristik itu bisa mencakup dalam beberapa hal seperti motto, ukuran kertas, gaya penulisan, gaya bahasa, isi pemberitaan dan lain-lain. Pada masa periode pertama IR memiliki motto yaitu "Dari
Rakjat, Oleh Rakjat, Untuk Rakjat" Sedangkan ukuran IR pada periode pertama memiliki ukuran seperti pada umumnya harian pada waktu itu, yaitu berukuran besar dengan ukuran 45 cm x 59,5 cm dengan jumlah empat halaman. IR mulai mengembangkan penerbitannya, dengan membuat edisi minggu sejak tanggal 16 Oktober 1955 dengan nama yang berbeda yaitu Masa dan Dunia Pada tahun-tahun pertama kemunculannya, pemberitaan IR lebih banyak didominasi oleh berita-berita politik. Perkembangan selanjutnya yaitu sejak Agustus 1950 berita-berita mengenai budaya mulai menempati lembaran
62 Haryanto, Pembredelan Pers Indonesia: Kasus Koran Indonesia Raya, h. 72.
xlvi harian IR walaupun berita-berita mengenai budaya cenderung diarahkan
kemasalah-masalah sosial, ekonomi dan politik diantaranya masalah korupsi.
Sejak awal tahun 1952 hingga seterusnya. pemberitaan mengenai korupsi dan
penyalahgunaan wewenang di kalangan pemerintahan dan partai politik
semakin gencar.
2. Aktivitas Dalam Harian IR Pada Masa Orde Baru
Ide untuk menerbitkan IR kembali mulai muncul semenjak dikeluarkannya
Mochtar Lubis dari tahanan pada tahun 1966. Mochtar Lubis mengajukan
permohonan kepada Menteri Penerangan pada waktu Ds. W. J. Rumambi dan
juga kepada penggantinya B. M. Diah namun tidak mendapatkan hasil.
Kemudian pada tahun 1968 ketika Menteri Penerangan dipimpin oleh
Boediardjo, IR baru mendapat surat ijin terbit. Pemberian ijin terbit IR ditandai
dengan pemberian surat ijin terbit (SIT) dari Menteri Penerangan dengan
nomor 0632/SK/DIR. PDLN/SIT/1968 yang diberikan pada tanggal 24 Juli
1968, ditandatangani oleh Direktur Perkembangan Pers Anwar Loethan atas
nama Menteri Penerangan Laksamana Muda Udara Boediardjo. 63
Kemudian disusul pemberian surat ijin cetak (SIC) pada tanggal 10
Agustus 1968 yang diberikan oleh Pelaksana Khusus Panglima Komando
Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah(Laksus
Pangkopkaratibda) Jakarta Raya. Alasan mengapa Menteri Penerangan
Boediardjo memberikan SIT kepada IR adalah. “Saya menganggap perlu ada
media massa seperti Indonesia Raya. Koran semacam itu suaranya perlu
63 Atmakusumah ed., Mochtar Lubis Wartawan Jihad, h. 171.
xlvii didengar. Saya pikir hal itu wajar-wajar saja. Tidak ada sesuatu yang dramatis
ketika saya menyetujui pemberian SIT kepada harian ini.”64 Setelah
mendapatkan surat ijin terbit dan surat ijin cetak, IR mendapat bantuan
material dari kalangan swasta luar negeri khususnya bantuan yang diberikan
oleh Don Ramos Roces seorang mantan penerbit The Manila Times yang
menghadiahkan satu buah mesin cetak, juga surat kabar The Straits Times
Kuala Lumpur dan sebuah perusahaan pers Australia Mirror Group
memberikan satu mesin set untuk menyusun huruf cetak. Alamat redaksi
pertama IR bertempat di Jalan Merdeka Utara 11 Jakarta Pusat, yang juga
sebagai tempat perusahaan percetakan Sastra Kentjana. Kemudian pada
Desember 1970 pindah ke Jalan Letjen Soeprapto Cempaka Putih dengan
menempati gedung dan percetakan sendiri.
Kemunculan IR yang kedua kalinya menjadi sebuah kebangkitan baru
dalam upayanya menjalankan peranannya sebagai pers. Terutama dalam
menjalankan perjuangannya mengungkap kasus korupsi yang terjadi di
pemerintahan awal Orde Baru. Bahkan banyak harapan dari masyarakat agar
IR menjadi yang terdepan dalam upaya mengungkap kasus korupsi.65
Pada periode kedua IR, nampaknya harian ini memposisikan dirinya tidak
sebagai musuh pemerintah, seperti yang diposisikan oleh IR pada masa Orde
Lama khususnya terhadap Soekamo. Pada masa Soekarno banyak sorotan IR
yang ditujukan langsung oleh Soekarno baik dalam hal tindakan-tindakan
64 Boediardjo, “ Ia Seorang Lone Ranger” dalam Atmakusumah ed., Mochtar Lubis Wartawan Jihad, h. 171. 65 Saur Hutabarat dan Susanto Pudjamartono, “Menukik ke dalam artikel opini” dalam Ashadi Siregar dan I Made Suarjana ed., Bagaimana Mempertimbangkan Artikel Opini Untuk Media Massa (Jakarta: Kanisius, 1995).
xlviii politiknya maupun skandal-skandalnya, seperti skandal pernikahan Soekarno
dengan Ny. Hartini yang menjadi sorotan panjang IR. Posisi IR pada periode
kedua Iebih cenderung mendukung pemerintahan Soeharto dengan tidak
mengabaikan sikap kritisnya terhadap pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari
pandangan harian ini yang nampak dalam tajuk rencananya.
“Harian ini memberikan dukungannja kepada Pemerintah Suharto dan akan memberikan sumbangan sebesar mungkin mentjiptakan iklim jang sehat dan konstruktif dinegeri kita,agar program-program pembangunan ekonominja untuk kemakmuran rakjat jang merata dan adil mendapat sukses sebesar mungkin. Akan tetapi kami djuga akan memberi kritik-kritik dimana dan apabila kami anggap perlu dengan tudjuan senantiasa supaja pemerintah kita jang sekarang, pimpinan nasional kita jang baru, berhasil dalam tugas berat mereka memperbaiki kehancuran dan kerusakan disegala bidang penghidupan bangsa kita, jang telah ditimbulkan oleh bekas rezim Soekarno.”
Posisi IR dalam peranannya mengungkap korupsi pada masa awal Orde
Baru telah mendapat perhatian masyarakat luas baik di dalam negeri maupun
di luar negeri. Sehingga wajar saja kalau IR bisa dikatakan harian yang cukup
diperhitungkan oleh kalangan pers di luar negeri maupun dalam negeri. Selain
itu, presiden Soeharto selaku pucuk tertinggi dari pemerintah mencoba
memposisikan pers pada waktu itu yang sedang marak mengungkap korupsi,
termasuk diantaranya IR. Agar memposisikan untuk membantu pemerintah
dalam memberantas korupsi.66
66 “Memberantas korupsi dilakukan dengan dua cara; cara pertama yaitu dengan cara preventif, dengan cara melakukan perbaikan ekonomi dan penertiban struktur organisasi, administrasi, dan sistem kontrol yang baik. Kedua adalah cara refresif beserta tindakan hukum, sebab tanpa dengan tindakan hukum akan menimbulkan dampak negatif, yaitu timbulnya saling tuduh menuduh. Pada dasarnya pemerintah memberikan kesempatan terbuka kepada masyarakat untuk membantu pemerintah asalkan dengan melalui prosedur hukum. Pemerintah tidak membenarkan tindakan yang dilakukan oleh siapapun yang tanpa melalui jalur hukum, walaupun dengan dalih untuk melakukan pemberantasan korupsi.” Harian Indonesia Raya, 2 Januari 1969.
xlix Walaupun secara umum posisi IR memberi dukungan terhadap pemerintah awal Orde Baru namun dukungan itu diimbangi dengan kritik IR terhadap kebijakan pemerintah. Termasuk kritikan terhadap upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah. Selain itu, IR juga banyak memberikan saran dan ajakan kepada pemerintah terhadap masalah pemberantasan korupsi.
Setelah tahun 1970 jumlah pengungkapan kasus korupsi yang dilakukan oleh IR mengalami penurunan walaupun begitu berita mengenai korupsi masih cukup dominan tetapi lebih banyak membahas mengenai kinerja pemerintah dalam memberantas korupsi. Penurunan berita pengungkapan kasus korupsi sejalan dengan penurunan sirkulasi IR. Nampaknya apresiasi masyarakat terhadap IR khususnya terhadap berita-berita kasus korupsi mulai menurun.
Hal menarik terjadi ketika IR pada bulan Januari 1974 banyak memuat mengenai berita-berita modal asing Jepang dan peristiwa Malari, jumlah sirkulasi IR meningkat drastis hingga mencapai angka 41.000. Hal ini menunjukan bahwa aspek kecenderungan kebutuhan masyarakat terhadap informasi berubah. Selain itu, aspek kecenderungan kebutuhan masyarakat terhadap informasi akan lebih memberi dampak pada aspek bisnis yang menguntungkan terhadap perusahaan pers, apabila perusahaan pers tersebut mengikuti perkembangan kebutuhan informasi masyarakat. Justru hal ini yang diabaikan oleh IR (Mochtar Lubis), khususnya dalam mengemas isi pemberitaan antara tahun 1971-1973.
l Berita-berita kasus-kasus korupsi tidak selamanya menjadi prioritas bagi
masyarakat. Terutama dapat terlihat ketika IR banyak memberitakan kembali
mengenai kasus Bulog pada tahun 1972, ternyata tidak berpengaruh terhadap
jumlah sirkulasi IR. Hal ini menunjukan bahwa telah terjadi korelasi yang
tidak sejalan antara aspek bisnis dengan idealisme Mochtar Lubis sebagai
pemimpin redaksi dan pemimpin umum IR dalam menjalankan sebuah bisnis
pers. Maka tidak mengherankan apabila hingga pembredelan pada 21 Januari
1974, IR banyak memiliki hutang di bank.67
Dari tajuk rencana edisi perdana IR nampak jelas terlihat pandangan-
pandangan Mochtar Lubis mengenai sikap IR dalam menempatkan
kedudukannya dalam kehidupan pers di Indonesia. Ada beberapa hal yang
perlu dicatat dalam tajuk rencana edisi perdana IR. Pertama, cita-cita IR
terhadap sikapnya sebagai pers yaitu menginginkan kebebasan pers, yang
berlandaskan pada pers merdeka68 yang mencoba menempatkan
kedudukannya secara independen dengan berada di luar semua kepentingan
golongan-golongan serta partai-partai politik. Kedua, dengan menempatkan
diri sebagai pers yang merdeka maka upayanya dalam menjalankan peranan
sebagai pers dalam menyampaikan kebenaran dan objektivitasnya dapat
dilakukan. Ketiga, melalui pandangan dan cita-cita IR dalam upaya dan
67 Atmakusumah, “Kasus Koran Indonesia Raya” dalam Abdurrahman Surjomiharjo, redaktur , Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia (Departemen Penerangan RI Leknas LIPI, Jakarta, 1980). 68 Istilah pers merdeka dapat diartikan secara umum (di luar dan” yang dimaksud Mochtar Lubis) berasal dari konsep teori pers libertarian yang beranggapan bahwa pers bukanlah alat pemerintah namun sebagai sarana masyarakat untuk mengawasi pemerintah. Pers harus bebas dari pengawasan dan pengaruh Pemerintah, kebebasan pers menjadi ha! yang pokok karena mencerminkan kebebasan manusia. Untuk lebih jelasnya lihat karya buku DR. Krisna Harahap, S. H., M. H. Kebebasan Pers di Indonesia Dari Masa Ke Masa (Bandung: Grafiti Budi Utami, 2000).
li peranannya sebagai pembela kepentingan dan masyarakat umum, maka
Mochtar Lubis tidak segan-segan melakukan tindakan nyata dengan
memberikan peringatan atau dengan cara frontal. Termasuk dalam upayanya
mengungkap korupsi pada masa awal Orde Baru.
“Harian ini tidak mempunyai maksud lain dengan pengungkapan-pengungkapan yang dilakukannya sekitar penyelewengan-penyelewengan dan manipulasi yang dipamerkan atas kerugian negara dalam PN Pertamina, selain menarik perhatian pemerintah bahwa perusahaan negara ini harus diselamatkan dari mismanajemen dan tindak-tindak korupsi, sehingga dapat dimanfaatkan bagi kebahagiaan seluruh rakyat Indonesia.”69
“Masalah menegakan pemerintah yang bersih (a dean Government) jelas bukan masalah kita di Indonesia saja...korupsi yang merajalela merupakan masalah yang seakan tidak teratasi oleh setiap pemerintah yang berkuasa....bahwa negara-negara yang berkembang tidak mungkin mencapai sasaran-sasaran pembangunan jika aparatur pemerintah tidak bersih.”70
“... Hal ini kini tidak dapat ditangguhkan. Naikkan lah gaji pegawai negeri ketingkat yang layak menjamin hidup yang baik, dan waktu yang sama pasanglah syarat-syarat yang berat mengenai disiplin kerja dan kejujaran. Laranglah secara total pegawai negeri menerima hadiah macai.n apapun juga dari siapapun juga. Hanya dengan cara ini mungkin ditegakan sebuah pemerintahan yang yang bersih di Indonesia.”71
Visi IR yang terkait dengan berbagai upayanya dalam mengungkap kasus
korupsi dapat dipandang sebagai upaya Mochtar Lubis untuk mencapai apa
yang diharapkan dan diinginkan IR. Pertama, menginginkan pemerintahan
yang bersih (clean government), bebas dari praktek-praktek kotor (korupsi)
69 “Satu Putusan yang Tepat” Tajuk Rencana Harian Indonesia Raya, 13 Agustus 1970. 70 “Mencapai Pemerintahan Yang Bersih” Tajuk Rencana Harian Indonesia Raya, 22 Desember 1972. 71 “Pemerintah Yang Bersih” Tajuk Rencana Harian Indonesia Raya, 17 November 1972.
lii yang akan berdampak pada munculnya “Raja-raja” yang melakukan penguasaan terhadap rakyat dengan cara penghisapan dan pemerasan terhadap rakyat, kondisi ini sering disebut oleh IR dalam sebuah idiom “Republik
Pisang,”72 sehingga perekonomian didominasi oleh sekelompok orang tertentu, karena administrasi negara telah dikuasai oleh kepentingan para pemodal baik di dalam maupun di luar negeri. Sehingga menurutnya dengan kondisi seperti itu akan memberi peluang munculnya kembali komunis.
Keinginan menciptakan clean government sangat erat kaitannya dengan suksesnya upaya pembangunan, hal ini sangat penting bagi negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Sehingga diperlukan upaya untuk memperlancar pembangunan, sebab menurut pandangan IR pembangunan akan mengalami hambatan apabila korupsi dibiarkan terus.
Pada tahun 1973 harian Indonesia Raya mendapat nasib yang sama dengan harian-harian yang sangat vocal dan intens dalam melancarkan kritik-kritik yang tajam kepada pemerintah pada peristiwa Malari, Laksus
Pangkopkamtibda Jakarta Raya dan sekitarnya mengemukakan alasan-alasan mengenai pencabutan surat ijin terbit harian Indonesia Raya,73 antara lain:
1. Harian Indonesia Raya telah memuat tulisan yang dapat merusak
kewibawaan dan kepercayaan kepemimpinan nasional
2. Harian Indonesia Raya dengan tulisan-tulisannya dianggap menghasut
rakyat, sehingga membuka peluang yang dapat mematangkan
/meruncingkan situasi kearah terjadinya kekacauan-kekacauan, seperti
72 “Jangan Jadi Republik Pisang” Tajuk Rencana Harian Indonesia Raya, 5 Januari 1970. 73 Haryanto, Pembredelan Pers Indonesia: Kasus Koran Indonesia Raya, h. 217.
liii pada tanggal 15 dan 16 Januari 1974 dan dapat mengadu domba antara
pimpinan nasional yang lain
Begitu juga, Menteri Penerangan dengan surat keputusannya Nomor
20/SK/DIRJEN/K/197474 tentang pencabutan SIT harian Indonesia Raya, mengemukakan alasan-alasannya antara lain:
Surat kabar harian Indonesia Raya telah memuat sejumlah tulisan-tulisan yang
1. Pada hakikatnya menjurus kearah usaha-usaha untuk melemahkan sendi-
sendi kehidupan bernegara dan/atau ketahanan nasional, dengan jalan
mengobarkan isu-isu, seperti modal asing, korupsi, dwifungsi, keborokan-
kebobrokan aparat pemerintah, pertarungan tingkat tinggi, masalah Aspri-
Kopkamtib.
2. Merusak kepercayaan masyarakat kepada Kepemimpinan Nasional
3. Mendengungkan kepekaan-kepekaan tanpa memberikan pemecahan yang
tepat dan positif, yang dapat diartikan menghasut rakyat untuk bangkit
bergerak untuk mengambil tindakan-tindakan yang tidak bertanggung
jawabyang dapat mengakibatkan gangguan terhadap ketertiban dan
keamanan Nasional.
4. Menciptakan peluang untuk mematangkan situasi yang menjurus kepada
perbuatan maker.
Sikap dan perlakuan rezim Orde Baru ini terhadap pers, membuat kita kesulitan mencari perbedaan-perbedaan yang fundamental dengan sikap dan
74 Ibid., h. 209.
liv perlakuan rezim Orde Lama terhadap pers, kecuali dalam beberapa hal; (1).
Rezim Orde Lama melakukan penjinakan/pengebirian terhadap pers melalui
sistem regulasi yang sangat represif-progresif. Sedangkan rezim Orde Baru
lebih banyak melakukannya dengan ancaman-ancaman retoris, telepon, surat
peringatan, dan kemudian pembredelan sebagai jalan terakhir, selain dengan
sistem regulasi melalui SIT.75 (2). Rezim Orde Lama melakukan penjinakkan
atas pers, terutama untuk menjadikannya sebagai bagian internal dari
kekuasaannya sendiri, pers ingin dijadikan sebagai alat kekuasaan. Dengan
kata lain pers ingin dijadikan sebagai extension of power-nya. Sedangkan
rezim Orde Baru melakukan penjinakkan pers terutama untuk menumbuhkan
pers yang tidak kritis, tidak bebas serta tidak anti kekuasaan, kalaupun pers
harus menjadi pendukung atau pembela maka yang terutama adalah menjadi
pendukung atau pembela kebijaksanaan pembangunan yang diciptakan dari
pada menjadi pendukung atau pembela kekuasaan yang dimilikinya, walaupun
kedua hal ini sulit untuk dipisahkan dari tingkat praktek politik.
75 Akan tetapi setelah diundangkannya Undang-Undang Pokok Pers No.21 Tahun 1982, maka regulasi atas penerbitan pers menjadi cenderung bersifat kapitalistik. Oleh karena setiap penerbitan harus memiliki SIUPP ( Surat Izin Usaha Penerbitan Pers ) yang mensyaratakan modal yang sangat besar, maka hanya orang yang bermodal besar yang akan berani memasuki dunia pers.
lv BAB III
PERKEMBANGAN PERS INDONESIA DI AWAL ORDE BARU
A. Tinjauan Historis
Soal bicara dan berpendapat memang berkaitan dengan sejarah
pertumbuhan pers. Pers lahir bermula dari sejarah perjuangan manusia tentang
kebebasan berbicara dan berpendapat. Sejarah pers membuktikan begitu
besarnya peranan media itu dalam menjunjung tinggi hak dan kebebasan
berbicara setiap anggota masyarakat. Bahkan dalam perjalanan selanjutnya,
hingga saat ini pers tetap dipandang sebagai kekuatan moral yang mampu
menggerakkan semangat demokrasi. Mendukung atau menumbangkan
kekuasaan; memenangkan ataupun mengalahkan kepentingan-kepentingan,
sehingga kebebasan pers itu sendiri pada akhirnya merupakan fasilitas untuk
menunjukkan adanya keterkaitan yang kuat antara kebebasan tersebut dengan
kebebasan-kebebasan dasar lainnya: kebebasan berbicara, kebebasan
berkumpul, dan kebebasan berpendapat.76
Di Indonesia sejarah persurat kabaran sebetulnya telah berlangsung sejak
zaman penjajahan. Percobaan pertama penerbitan pers pada zaman Hindia
Belanda terjadi pada pertengahan abad ke-17. Berita-berita dari Eropa sampai
ke Batavia disusun oleh kantor Gubernur Jendral Jan Pieterzoon Coen untuk
selanjutnya dikirim dalam bentuk tulisan tangan antara lain ke Ambon. Berita
ini bertajuk Memorie de Nouvelles (sekitar 1615) dan merupakan prototipe
76 Asep Saepul Muhtadi, Jurnalistik (Pendekatan Teori dan Praktek), Jakarta: Logos, 1999, h. 14.
lvi surat kabar Belanda dinegri jajahannya ini. Namun demikian, berita yang
masih ditulis tangan ini belum bisa disebut koran pertama yang terbit di
Indonesia. Pada tahun 1712 suatu usaha dilakukan untuk menerbitkan surat
kabar di Batavia (sekarang Jakarta), untuk kabar dalam negri, berita kapal, dan
yang semacamnya, tetapi gagal. Pemerintah VOC (Vereenigde Oost- Indische
Compagnie) melarang rencana penebitan itu karena takut saingan VOC akan
memperoleh keuntungan dari berita dagang yang dimuat di koran itu,77 sebab
sekitar satu abad sesudah itu (abad ke-18), muncul pula Bataviasche Nouvelles
yang terbit dalam bentuk koran. Koran yang terbit pertama kali pada 7
Agustus 1744 ini merupakan koran resmi pemerintahan Gubernur Jendral
Gustaaf Willem Baron Von Imhoff.78
Pada abad ke-19, baik pada masa jajahan Inggris maupun Belanda, koran
terus terbit silih berganti. Ketika Inggris berhasil mencaplok kawasan Hindia
Timur pada 1811, terbit koran berbahasa Inggris Java Government Gazette
pada awal 1812. Kemudian sekembalinya Belanda menguasai kawasan
tersebut pada 1814, mereka menghentikan koran Inggris itu dan menerbitkan
lagi koran resminya sendiri, Bataviasche Courant. Disamping memuat berita-
berita harian, Koran ini juga memuat artikel-artikel ilmu pengetahuan. Lalu,
pada 1829 Bataviasche Courant diganti lagi dengan Javasche Courant yang
terbit tiga kali seminggu, dan memuat pengumuman-pengumuman resmi,
77 G.H.von Faber, A Short History Of Journalism in the Dutch East Indies, diterjenahkan oleh Leonard Arndt (Surabaya, Hindia Belanda: G.Kolff & Co, 1930), h. 13-14. 78 Edward C.Smith, Pembreidelan Pers Di Indonesia (Jakarta: Pustaka Grafiti Pers, 1986), h. 1.
lvii peraturan-peraturan serta keputusan-keputusan pemerintah.79 Pada kurun yang
sama terbit pula sejumlah koran diberbagai kota di Jawa, Sumatra, dan
Sulawesi. Satu di antaranya adalah koran yang dikenal memiliki semangat
kritis terhadap kebijaksanaaan Belanda De Locomotief. Surat kabar yang terbit
di Semarang pada 1851 ini memiliki pengaruh yang cukup besar khususnya
bagi pembaruan politik kolonial , politik etika. Salah satu wartawannya adalah
Douwes Dekker alias Dr. Danudirja Setiabudhi, salah seorang yang ikut
mendorong tumbuhnya kebangkitan nasional Indonesia.80
Perkembangan persurat kabaran ini terus tumbuh berbarengan dengan arus
kehidupan pergerakan nasional. Di antara beberapa koran Indonesia yang
bersifat nasional dan dinilai radikal yang terbit di Jawa pada saat itu, antara
lain adalah Oetoesan Hindia, terbit di Surabaya di bawah Sarekat Islam
(1914), Neratja di Batavia (1917), Boedi Oetomo di Yogya (1920), Sri
Djojobojo di Kediri (1920), dan lain sebagainya. Di luar Jawa juga muncul
semarak koran-koran yang sebagiannya membawakan citra nasionalis Islam,
seperti Tjaja Soematra di Padang (1914), Benih Merdeka di Medan (1919),
Hindia Sepakat di Sibolga (1920), Oetoesan Islam di Gorontalo (1927) dan
Oetoesan Borneo di Pontianak. Jadi pers di Indonesia pada dasarnya terus
berkembang dan digunakan sebagai alat perjuangan, Wahidin Sudirohusodo
misalnya, seorang tokoh kebangkitan nasional kita adalah juga pemimpin
majalah Guru Desa. Seiring dengan peningkatan gerakan-gerakan politik
79 Wartini Santoso ed., Katalog Surat Kabar: Catalogue of Newspaper (Jakarta: Perpusnas, 1984). 80 Muhtadi, Jurnalistik (Pendekatan Teori dan Praktek), h. 21.
lviii radikal di Indonesia, jumlah surat kabar nasional naik pesat terutama sejak
tahun 1920 dengan daerah penyebaran hingga mencapai kota-kota kecil.81
Pers yang dikelola oleh pribumi makin berkembang setelah lahir
organisasi-organisasi massa dan gerakan-gerakan kebangsaan dan keagamaan
yang turut menerbitkan media, karena media menjadi alat perjuangan mereka.
Karena itu setelah mencapai kemerdekaan kehidupan pers ikut menikmati
kemerdekaan dengan bebas dari tekanan, tetapi suasana bebas itu hanya
berlangsung selama masa Demokrasi Liberal (1945-1959). Setelah muncul
masa Demokrasi Terpimpin (1958-1965), terdapat banyak pembatasan
terhadap kehidupan pers.82 Soekarno memperlakukan tokoh-tokoh oposisi
terhadap rezimnya tidak beda dengan tindakan yang diambil oleh pemerintah
kolonial Belanda atau Jepang terhadap oposisi dan kritik serta protes rakyat
Indonesia yang menuntut keadilan, yaitu dengan menutup surat kabar dan
memenjarakan para wartawan.83
Semenjak peristiwa G30S/PKI yang menandai peralihan kekuasan Orde
Lama ke penguasa Orde Baru kehidupan politik Indonesia mengalami
ketidakstabilan politik, sehingga berdampak langsung terhadap kehidupan pers
di Indonesia. Di antaranya adalah berdampak pada kebijakan pemerintah
terhadap pers, yaitu upaya pemerintah melakukan pembersihan terhadap pers-
pers PKI. Seperti kebijakan yang dikeluarkan oleh Pangdam Jaya Mayjend
Umar Wirahadikusuma yang mengeluarkan Surat Perintah No. Ol/Drt/10/1965
81 Ibid., h. 22-23. 82 Sudirman Tebba, Jurnalistik Baru ( Ciputat: Kalam Indonesia, 2005), h. 20. 83 Mochtar Lubis, Bangsa Indonesia Masa Lampau, Nasa Kini, Masa Depan (Jakarta: Yayasan Idayu, 1978), h. 26.
lix yang berisi mengenai larangan semua penerbitan pers tanpa ijin khusus,
kecuali harian Berita Yudha dan Angkatan Bersendjata.84
Pembersihan terhadap pers PKI tidak hanya pada lembaga persnya saja
namun diikuti dengan banyak pemecatan para wartawan yang terlibat
G30S/PKI. Tindakan pemecatan ini dilakukan oleh berbagai pengurus cabang
PWI di banyak wilayah di Indonesia. Setelah pers-pers PKI dan para
wartawan yang terlibat G30S/PKI dibersihkan, pemerintah banyak melakukan
pemulihan kembali dan pemberian ijin penerbitan pers baru hal ini merupakan
sejalan dengan operasi ABRI di bidang keamanan.
Semenjak itu pemerintah berupaya membentuk dasar pers yang baru yang
berorientasi pada pancasila, yang lebih dikenal dengan istilah pers pancasila.
Landasan awal tersebut berdasarkan pada TAP MPRS No.
XXXII/MPRS/1966 yang berisi mengenai pembinaan pers. Kemudian langkah
pemerintah berkembang pada upaya pembentukan undang-undang pokok pers,
sesuai yang diamanatkan pada pasal 1 TAP MPRS No. XXXII/MPRS/196685.
Akhirnya pada tanggal 12 Desember 1966 Pemerintah bersama DPR
mengundangkan sebuah undang-undang mengenai pers yaitu Undang-Undang
No. 11 tahun 1966. Tujuan dari undang-undang ini adalah untuk memberikan
jaminan hukum terhadap fungsi, tugas, hak dan kewajiban pers nasional
Indonesia. Pada dasarnya upaya kebijakan pemerintah awal Orde Baru
84 Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila (Jakarta: CV Masagung, 1988), h.160-161. Pada saat penumpasan PKI jumlah penerbitan pers yang ada mencapai 163 dan yang dilarang terbit berjumlah 46. Pada akhir tahun 1965 Departemen Penerangan mengeluarkan 31 ijin terbit. Pada tahun 1966 berdasarkan ijin yang dikeluarkan tercatat 502 penerbitan unluk seluruh Indonesia sedangkan pada tahun 1967 terdapat 91 ijin terbit baru. 85 Tebba, Jurnalistik Baru, h. 22.
lx terhadap pers, yaitu agar pers bertugas untuk memperkuat idiologi Pancasila,
menjaga stabilitas nasional dan mensukseskan pembangunan nasional.
Termasuk diantaranya mengenai jaminan terhadap "kebebasan pers"
(bertanggug jawab) pada waktu itu.86
Konsep kebebasan pers muncul sebagai reaksi terhadap pers otoriter yang
berkembang sebelumnya, karena pers otoriter dianggap tidak demokratis dan
tidak relevan denga gagasan individu yang muncul sebagai konsekuensi dari
berkembangnya paham liberalisme dan individualisme dalam masyarakat.87
Berbicara mengenai kebebasan pers pada masa awal Orde Baru tidak hanya
terkait dengan kebijakan pemerintah awal Orde Baru terhadap pers namun
terkait juga dengan berakhirnya pengekangan pers pada masa terdahulu yaitu
pada masa Orde Lama. Sehingga kehidupan kebebasan pers pada masa awal
Orde Baru menunjukan arah yang sangat pesat secara kuantitatif, bahkan
dalam periode 1967-1968 kebebasan pers telah mengalami kegairahan yang
luar biasa bahkan bisa dikatakan mengalami “euphoria” kebebasan. Pers pada
waktu itu memposisikan sebagai pembantu pemerintah, baik polisi, kejaksaan
agung untuk membongkar penyelewengan-penyelewengan. Pers sangat
bersamangat dalam mencari informasi dan membongkar segala macam
penyelewengan yang terjadi di pemerintah. Kebebasan pers yang terjadi pada
masa awal Orde Baru tidak diimbangi dengan kecepatan para aparat penegak
hukum dalam menindak kasus korupsi yang telah diungkap pers khususnya
oleh IR. Hal itu dapat terlihat dengan banyaknya kritikan yang muncul dari
86 T.Atmadi, Bunga Rampai Sistem Pers Indonesia (Jakarta: PT Pantja Simpati Jakarta, 1985), h. 356. 87 Tebba, Jurnalistik Baru, h. 47.
lxi banyak kalangan terutama kalangan pers dan kalangan anggota DPR, yang
merupakan wujud dari kekecewaan masyarakat.
B. Perkembangan Pers Indonesia Di Awal Orde Baru
Pers pada periode awal Orde Baru, 1966-1974, dapat digambarkan secara
kuantitatif dari hasil penelitian Judith B. Agassi (1969) sebagai berikut: pada
tahun 1966 terdapat 132 harian di Indonesia dengan total tiras 2 juta
eksemplar dan mingguan sebanyak 114 buah dengan total tiras 1.542.200
eksemplar. Angka ini menunjukkan kuantitas pers mengalami kenaikan
dibandingkan dengan masa Demokrasi Terpimpin.88
Kenaikan tiras suratkabar harian maupun mingguan pada tahun 1966 ini,
terutama disebabkan oleh terbitnya kembali surat kabar-surat kabar lama yang
telah dibredel di masa Demokrasi Terpimpin, seperti harian Merdeka (terbit
kembali Juni 1966), Berita Indonesia (terbit kembali Mei 1966), Indonesian
Observer (terbit kembali September 1966) dan lain-lain. Selain itu telah terbit
surat-kabar-surat-kabar baru seperti Harian Kami (Juni 1966), Angkatan Baru
(Juni 1966), Angkatan 66 (Juni 1966), Mahasiswa Indonesia edisi Jakarta
(Maret 1966), Mingguan Mahasiswa Indonesia edisi Jawa Barat (Juni 1966) ,
Trisakti (Februari 1966), Harian Operasi ( Mei 1966), mingguan Abad
Muslimin (Oktober 1966), dan lain-lain.89
Tetapi setahun kemudian, yaitu tahun 1967, angka itu merosot drastis
dibandingkan dengan angka pada tahun 1965 dan beberapa tahun sebelumnya.
Surat kabar harian berkurang sebanyak 31 buah, sehingga jumlahnya menjadi
88 Akhmad Zaini Abar, Kisah Pers Indonesia 1966-1974 (Jakarta: LKiS, 1995), h. 45. 89 Ibid.
lxii 101 buah dengan total tiras hanya 893.500 eksemplar. Sedangkan mingguan berkurang sebanyak 20 buah, sehingga jumlahnya menjadi 94 dengan total tiras 908.950 eksemplar, yang disebabkan oleh usaha rehabilitasi dan stabilisasi ekonomi yang dilakukan oleh penguasa Orde Baru yang pada awal kebangkitannya mewarisi hiper-krisis ekonomi yang mencapai titik puncak mengkhawatirkan.
Jika secara kuantitatif perkembangan pers Indonesia pada periode awal kebangkitan Orde Baru, 1966-1974, tidak menggembirakan, maka secara kualitatif pers Indonesia sejak kebangkitan Orde Baru di tahun 1966 ( atau sejak sehari setelah peristiwa G30S/PKI) hingga paling tidak sampai pertengahan Januari 1974, telah cukup banyak mengalami perubahan, baik dari segi orientasi dan posisi pers, persepsi, sikap dan perlakuan penguasa terhadap pers.90
Pada masa Orde Baru pers Indonesia disebut sebagai pers Pancasila, cirinya adalah bebas dan bertanggung jawab. Kalau kita mengacu kepada teori-teori pers maka dapat dikatakan bahwa pers Pancasila merupakan gabungan antara teori pers bebas dan teori tenggung jawab, yang ditegaskan oleh ketetapan MPRS Nomor XXXII/MPRS/1966,91 yang secara tersirat isi dari ketetapan itumengandung makna bahwa kebebasan pers Indonesia adalah kebebasan untuk menyatakan serta menegakkan kebenaran dan keadilan dan bukanlah kebebasan dalam pengertian liberalisme.
90 Ibid., h. 50. 91 Tebba, Jurnalistik Baru, h. 22.
lxiii 1. Perubahan Peta Ideologis Pers
Pada tahun 1962-1965, “peta ideologi” pers Indonesia dapat digambarkan
sebagai berikut: pers komunis dan pers simpatisan-simpatisan biasanya pers
nasionalis sayap kiri menduduki pers dominan dalam menciptakan opini
publik dan politik serta mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah. Pers lainnya
berada dalam posisi periferal. Karena itu penciptaan opini publik dan politik
serta mempengaruhi kebijaksanaan politik pemerintahaan yang dilakukan oleh
pers komunis harus selalu mengikuti logika kepentingan dan identitas retoris
dan politis rezim Demokrasi Terpimpin terutama Soekarno, meski dibalik itu
terselip kepentingan PKI dan simpatisan-simpatisannya.92
Pers yang termasuk dalam posisi periferal tersebut adalah pers non atau
anti komunis yang dapat dikelompokkan kedalam “pers agama”, yaitu pers
yang berafiliasi dengan partai agama, pers kelompok BPS (Badan Pendukung
Soekarnoisme) yang baru terbentuk September 1964, serta “pers militer”,
yaitu pers yang dikelola sejumlah perwira Angkatan Darat yang baru terbit
setelah pers kelompok BPS dibubarkan. Pers kelompok pertama, yakni pers
agama antara lain harian Duta Masyarakat , yang berafiliasi dengan Partai
Nahdatul Ulama, harian Sinar Harapan yang berafiliasi dengan Partai Kristen
Indonesia (Parkindo) (terbit sejak 27 April 1961), serta harian Kompas yang
berafiliasi dengan Partai Katolik (terbit 28 Juni 1965), boleh dikatakan sebagai
pers yang moderat dalam menghadapi aksi-aksi politik PKI.
92 Sebagai contoh, hal ini terjadi pada kasus PKI dalam “mengganyang” (pers) BPS pada waktu itu, sebagai salah satu musuh politiknya. Pers Komunis dengan menggunakan atau mungkin memanipulasi logika, kepentingan dan identitas retoris dan politis Soekarno telah berhasil “mengganyang” kelompok BPS, sehingga kelompok ini dibubarkan oleh Soekarno dan pers pendukungnya dilarang terbit. Lihat Abar, Kisah Pers Indonesia 1966-1974, h. 51.
lxiv Sedangkan pers kelompok BPS, seperti harian Merdeka, Berita Indonesia
(simpatisan partai murba), Indonesian Observer dan Warta Berita, semuanya terbit di Jakarta, Indonesia Baru dan Waspada, di Medan, Suara Merdeka di
Semarang, Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta, harian Suara Rakyat di
Surabaya dan Pikiran Rakyat di Bandung, adalah pers yang tergolong progresif dalam menentang aksi-aksi politik PKI. Pers militer yang terpenting adalah harian Berita Yudha dan Angkatan Bersendjata, harian Berita Yudha terbit pada 9 Februari 1965, dibawah kontrol Kepala Penerangan Staf ABRI
Mayor Jenderal Sugandhi. Kedua harian ini diterbitkan sebagai reaksi dan tindakan politik Angkatan Darat atas dilarangnya sebagian besar pers BPS.93
Pelarangan surat kabar ini menyebabkan kevakuman pers yang berperan sebagai counter-opini / propaganda/ informasi bagi aksi-aksi informasi pers komunis dan pers simpatisan-simpatisannya, dalam kondisi inilah penerbitan pers militer merupakan usaha politik Angkatan Darat untuk mengisi kekosongan peran tersebut untuk menahan dan mengcounter laju aksi- aksi informasi pers komunis. Dominasi pers komunis dan simpatisan- simpatisannya dalam peta ideologi pers Indonesia kemudian berubah secara radikal setelah peristiwa berdarah G.30S/PKI, karena pada tanggal 1 Oktober
196594 seluruh pers komunis dan simpatisan-simpatisannya dilarang terbit untuk selama-lamanya oleh penguasa militer/perang, karena dituduh terlibat dan mendukung peristiwa berdarah itu.
93 Ibid., h. 52. 94 Ibid., h. 53.
lxv Sejak 1 Oktober 1965, menurut P. Swantoro dan Atmakusumah, terdapat
46 surat kabar dari 163 surat kabar secara keseluruhan yang dilarang terbit
secara permanen oleh penguasa militer/perang,95 hari-hari pertama atau bulan-
bulan pertama setelah peristiwa September berdarah itu, pers militerlah yang
mendominasi arus opini publik dan politik. Pers lainnya yang kebetulan tidak
dibredel berada dalam pengaruh penguasa militer/perang seperti
diharuskannya meminta izin khusus untuk melanjutkan penerbitannya oleh
penguasa militer, dengan alasan negara berada dalam keadaan darurat perang,
mewajibkan pemberitaan pers baik yang berhubungan dengan aktivitas militer
maupun aktivitas politik pada umumnya harus sesuai dengan versi penguasa
militer/perang.96 Dominannya posisi pers militer dalam peta ideologi pers
mencerminkan kuatnya pengaruh dan kekuatan politik militer.
Setelah suratkabar-suratkabar lama yang dibredel terbit kembali, ditambah
terbitnya surat kabar-surat kabar yang baru yang kebanyakan dikelola oleh
mahasiswa dan intelektual kampus di sekitar pertengahan 1966, maka
dominasi pers militer dalam menciptakan opini publik dan politik serta dalam
peta ideologi pers Indonesia semakin merosot. Apalagi pada tahun-tahun
berikutnya suratkabar-suratkabar yang kritis dan kharismatis diijinkan terbit
kembali, seperti harian Nusantara (Maret 1967), Indonesia Raya (Oktober
1968), Pedoman (Nopember 1968) dan Abadi (Desember 1968),97 sejak
pertengahan 1966 peta ideologi pers berada dalam keadaan seimbang, dalam
95 Angka ini telah melebihi angka pembredelan pers yang dilakukan oleh rezim sebelumnya di tahun itu juga terhadap pers BPS, yaitu sebanyak 28 buah, dan juga melampui angka pembredelan pers sejak SOB diberlakukan hingga runtuhnya Demokrasi Terpimpin. 96 Abar, Kisah Pers Indonesia 1966-1974, h. 56. 97 Ibid.
lxvi arti tidak ada pers atau kelompok pers yang mendominasi penciptaan opini
publik dan politik.
2. Kebijakan dan Kebebasan Pers di Awal Orde Baru
Pada masa Orde Lama setiap suratkabar dan majalah yang ada pada waktu
itu diwajibkan memiliki ijin terbit. Hal ini dilakukan oleh penguasa untuk
mempercepat retooling alat-alat publikasi, terutama surat kabar dan majalah,
sehingga ia dapat menjadi alat dan pendukung revolusi. Setiap penerbit pers
yang akan mengajukan surat ijin terbit diharuskan mengisi sebuah formulir
yang berisi 19 pasal98 pernyataan yang mengandung janji penanggung jawab
penerbit surat kabar dan majalah seandainya ia sudah diberi ijin terbit, yang
jika diteliti pasal per pasal memperlihatkan usaha penguasa untuk benar-benar
“menjinakkan pers”. Cara retooling ini sangat efektif untuk menjinakkan atau
memakai istilah Mochtar Lubis yaitu “mengebiri pers”.
Pada masa Orde Baru pers Indonesia disebut sebagai pers Pancasila,
cirinya adalah bebas dan bertanggung jawab. Yang ditegaskan dalam
Ketetapan MPRS Nomor XXXII/MPRS/1966, kemudian dalam Undang
Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers
disebutkan bahwa kebebasan pers sesuai dengan hak asasi warga Negara dan
didasarkan pada tanggung jawab nasional.99 Setelah PKI dan rezim Demokrasi
Terpimpin tumbang, persepsi, sikap dan perlakuan penguasa Orde Baru
terhadap pers mulai berubah. Hal ini terutama disebabkan oleh dua faktor
kritis yang saling mendukung. Pertama, kekuasaan Orde Baru semakin
98 Smith, Pembreidelan Pers Di Indonesia, h. 7. 99 Tebba, Jurnalistik Baru, h. 22.
lxvii bertambah kuat dan besar setelah rezim Demokrasi Terpimpin tumbang. Tidak ada lagi penghalang atau lawan politik Angkatan Darat atau ABRI pada umumnya untuk meratakan jalan kekuasannya. Kedua, sejak tahun 1967, pers
Indonesia mulai lebih kritis terhadap kekuasaan Orde Baru, terutama ditujukan pada fenomena korupsi dalam tubuh birokrasi Negara Orde Baru, yang mulai tumbuh dan berkembang biak. Bahkan beberapa harian secara langsung maupun tidak langsung menuduh sejumlah perwira yang dekat dengan
Presiden Soeharto terlibat korupsi seperti, Ibnu Sutowo, Alamsyah, Surjo,
Suhardiman, Sudjono Humardani dan Achmad Tirtosudiro.100
Dua faktor kritis tersebut diatas membuat Orde Baru semakin berhati-hati terhadap pers dan mulai melakukan tindakan yang bisa dikategorikan sebagai tindakan anti pers, seperti imbauan atau peringatan agar pers lebih ber-tepo seliro dalam melakukan kritiknya terhadap penguasa. Menurut Tjipta
Lesmana, perubahan itu terjadi dan dirasakan sejak tahun 1969 yang ditandai dengan berakhirnya masa “bulan madu” antara pers dan penguasa. Penguasa pada waktu itu mulai memandang pers bukan lagi sebagai partner yang selalu dapat membela kepentingan kekuasaannya. Pers bukan lagi dianggap sebagai bagian dari koalisi kekuasaan Orde Baru yang bisa mendukung konsolidasi dan perluasan kekuasaannya, namun pada periode ini pemerintah Orde Baru cenderung bersikap menahan diri untuk melakukan tindakan-tindakan yang lebih keras terhadap pers dikarenakan penguasa Orde Baru merasa masih memerlukan legitimasi etis dan politis dari masyarakat untuk mengidentifikasi dirinya sebagai penguasa yang demokratis sesuai dengan amanat yang diembannya untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 45 secara murni dan
100 Abar, Kisah Pers Indonesia 1966-1974, h. 68.
lxviii konsekuen, sehingga akan membedakan dirinya dengan penguasa atau rezim sebelumnya dan kekuatan-kekuatan politik negara yang belum siap untuk berhadapan dengan kekuatan masyarakat yang sedang dilanda demam demokratisasi.
Pada tahun 1973 adalah tahun “panas” dengan suhu politik yang sangat tinggi, penguasa mulai melakukan tindakan yang lebih keras lagi. Bahkan di awal tahun itu saja, yaitu tanggal 2 Januari 1973, Panglima Kopkamtib
Jenderal Soemitro telah mencabut surat ijin terbit (SIT) harian Sinar Harapan untuk sementara karena dituduh telah membocorkan rahasia negara, yaitu telah menyiarkan isi RAPBN 1973-1974 sebelum pemerintah mengumumkannya secara resmi,101 beberapa hari kemudian Kopkamtib memberikan peringatan kepada tiga harian yakni Pos Kota, Kami dan
Merdeka supaya tidak lagi menyiarkan intrik-intrik politik yang tidak benar.102
Seiring dengan tindakan-tindakan anti pers yang lebih keras, penguasa mulai menunjukkan “sikap aslinya” terhadap pers, suatu sikap yang selama ini ia sembunyikan. Dalam hal ini penguasa Orde Baru memang menyadari bahwa kebebasan sebagai indikator dan unsur legitimasi yang penting bagi kekuasaan demokratis, tetapi bagi penguasa Orde Baru soal ketertiban dan ketentraman politik adalah pilihan yang lebih diutamakan, apalagi dalam rangka mempercepat akselerasi pembangunan nasional, khususnya pertumbuhan ekonomi yang tertuang dalam retorika politik Presiden Soeharto pada pidatonya dalam pembukaan Sidang Umum MPR bulan Maret 1973.103
Selanjutnya pemerintah mengeluarkan Ketetapan yang tercantum dalam
101 Harian Indonesia Raya, 3 Januari 1973. 102 Harian Indonesia Raya, 5 Januari 1973. 103 Abar, Kisah Pers Indonesia 1966-1974, h. 71.
lxix GBHN (Tap MPR Nomor IV Tahun 1973 dan Tap MPR Nomor II Tahun
1983),104 yang merupakan penegasan kembali ketentuan pemerintah Orde
Baru terhadap pers.
Tiga bulan terakhir tahun 1973, sikap penguasa Orde Baru semakin
bertambah. Di bulan September 1973, Kopkamtib lewat Wakil Panglima
Laksamana Sudomo, memberikan peringatan keras pada pers dan masyarakat
agar ; (1) jangan main intrik politik, (2) jangan main hakim sendiri, (3) jangan
bertingkah laku menyinggung orang lain, (4) jangan hidup ekslusif. Lebih
lanjut Sudomo mengatakan “Kalau memang tidak dapat diperbaiki lagi, koran-
koran itu akan dicabut SIT-nya sebagai tindakan terakhir.”105 Seiring dengan
semakin meningkatnya protes-protes mahasiswa dan kritik-kritik tajam pers,
pemerintah Orde Baru melakukan pembreidelan pers secara massal pada bulan
Januari 1974106 oleh pemerintah terutama terhadap pers yang dianggap sangat
kritis terhadap kekuasaan Orde Baru.
Pada tahap inilah penguasa melihat dan memperlakukan pers sebagai
bagian dari sebuah konspirasi politik “anti Negara” yang bertujuan untuk
menumbangkan rezim dan kekuasaannya.107 Pers dilihat sebagai counter
power atau opposition of the state, hal ini tercermin dari alasan-alasan yang
104 Tebba, Jurnalistik Baru, h. 22. 105 Harian Indonesia Raya, 15 September 1973. 106 Eep Saefulloh Fatah, Pengkhianatan Demokrasi Ala Orde Baru (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2000), h. 23. 107 Kenyataan bahwa penyiksaan di tahun 1980-an oleh Negara-negara buas, merupakan suatu kejahatan yang berkembang luas dapat terlihat apabila kita memperhatikan suratkabar- suratkabar. Amnesty International dengan laporan-laporannya yang berdokumentasi telah menyadarkan kita akan keseriusan masalah itu dan bagaimana meluasnya diseluruh dunia. Dalam salah satu buletinnya 66 dari 171 negara telah dinyatakan telah melkukan penyiksaan secara sistematis dalam salah satu bentuknya tindakan itu dlakukan oleh pihak yang berwenang di pemerintahan (tentara, polisi, dan seterusnya). Lihat dalam Antonio Cassae, Hak Asasi Manusia di Dunia Yang Telah Berubah , penerjemah A.Rahman Zainudin (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 127.
lxx dikemukakan oleh penguasa untuk membredel sejumlah pers. Dari uraian
diatas kita dapat menyimpulkan bahwa persepsi, sikap dan perlakuan
penguasa terhadap pers dimasa periode awal kebangkitan Orde Baru berubah-
ubah sesuai dan tergantung pada proses serta dinamika politik pada waktu itu.
Selama tiga dasa warsa terakhir perjalanan Orde Baru, demokrasi
Pancasila masih berada dalam tahap transisional dengan watak semi
otoriter,108 kemajuan dalam semua bidang diimbangi dengan terabaikannya
hak-hak individual warga Negara. Sehingga wajah demokrasi adalah tarik
menarik antara kebebasan politik dengan pembangunan fisik yang berasaskan
stabilitas. Melalui demokrasi, bangsa ini masih mencari keseimbangan optimal
antara hak warga Negara dengan kepentingan masyarakat secara keseluruhan.
Ironisnya, hak-hak individual masyarakat terasa sangat diabaikan, bahkan
dalam banyak hal, diingkari secara tuntas seperti pencabutan SIUPP,109 dan
wewenang cekal seperti izin pengkajianm seminar atau diskusi yang berakibat
lumpuhnya situasi dialogis dalam kehidupan masyarakat.110
Demikianlah sebuah gambaran umum pers Indonesia pada awal
kebangkitan Orde Baru, dilihat dari sudut kuantitatif perkembangan pers lebih
bersifat statis. Dari sudut kualitatif, telah terjadi perubahan yang cukup
fundamental pada “peta ideologi” pers jika dibandingkan dengan periode
Demokrasi Terpimpin (1962-1965). Tetapi dalam hal persepsi, sikap dan
perlakuan penguasa terhadap pers telah terjadi perkembangan yang bersifat
anti klimaks. Sehingga boleh dikatakan bahwa perkembangan dan
perubahannya lebih bersifat artificial.
108 Elza Peldi Taher, Demokratisasi Politik, Budaya, dan Ekonomi: Pengalaman Indonesia Masa Orde Baru (Jakarta: Yayasan Paramadina, 1994), h. xvii. 109 SIUPP adalah Surat Izin Usaha Penerbitan Pers 110 Abdurrahman Wahid, Demokrasi Pancasila Masih Otoriter dalam harian KOMPAS, 18 November 1993, h. 1.
lxxi
BAB IV
MOCHTAR LUBIS MENGUNGKAP KASUS-KASUS
KORUPSI DI MASA AWAL ORDE BARU
A. Kebijakan Pemerintah Dalam Menangani Kasus Korupsi Di Indonesia
1. Tim Pemberantas Korupsi (TPK)
Upaya pemberantasan korupsi pada masa awal Orde Baru sudah
dimulai sejak dibentuknya Tim Pemberantas Korupsi (TPK) pada tanggal
5 Desember 1967, melalui Kepres No. 228 tahun 1967.111 TPK diketuai
oleh Jaksa Agung Soegih Arto, tim ini dilantik pada tanggal 17 Desember
1967 di Jakarta.112 Menurut Mayjen Sugih Arto, “TPK merupakan
lembaga yang beroperasi dibidang teknis yuridis, maka dalam
pelaksanaannya harus memakai prosedur yuridis, TPK bukanlah lembaga
politis.”113
Secara umum susunan TPK terdiri dari para pejabat tinggi militer dan
beberapa pejabat Kejaksaan Agung. Termasuk di dalamnya ada empat
orang perwakilan dari wartawan diantaranya adalah Fikri Djufri mewakili
harian Kami, Bachtiar Djamily mewakili OPERASI, Hafas mewakili
harian Nusantara dan seorang wartawan dari SELECTA.114 Susunan TPK
terdiri dari Kelompok Penasehat, yaitu Menteri Kehakiman, Panglima
Angkatan Darat, Panglima Angkatan Laut, Panglima Angkatan Udara,
111 KOMPAS, 6 Desember, 1967. 112 Akhmad Zaini Abar, Kisah Pers Indonesia 1966-1974 (Jakarta: LKiS, 1995), h.168. 113 KOMPAS, 18 Desember, 1967. 114 Ibid.
lxxii Panglima Kepolisian. Sedangkan Anggota Tim terdiri dari Mayjen Sutopo
Juwono dari AD, Laksamana Muda Sudomo dari AL, Brigjen Polisi
Soebekti, Jaksa Agung Muda Abdurrasjid, S. H. dan Kusnun, S. H. dari
Departemen Kehakiman. Selain penasehat dan anggota tim, dalam TPK terdapat beberapa satuan tugas yang memiliki tugas yang berbeda, diantaranya adalah satuan tugas A yang bertugas melakukan pengumpulan dan pengolahan informasi, satuan tugas B bertugas melakukan penyelidikan dan penuntutan dan satuan tugas C bertugas melakukan penyelesaian perdata dan tugas-tugas administrasi. Dalam TPK terdapat seorang yang berfungsi sebagai sekretaris tim, selain itu ada satuan-satuan tugas pelaksana lapangan pemberantasan korupsi yang terdiri unsur kejaksaan, unsur keempat angkatan, ahli ekonomi, ahli keuangan perbankan, unsur pers dan unsur kesatuan aksi.115
Pembentukan TPK merupakan jawaban pemerintah terhadap kritikan dan keprihatinan masyarakat terhadap yang disalurkan melalui pers dan mahasiswa, sepanjang tahun 1966 sampai 1967. Hal ini menandakan bahwa pemerintah pada waktu itu cukup tanggap dalam mendengar aspirasi masyarakat. Selain itu, posisi pers cukup berpengaruh dalam menentukan political will pemerintah dan mendapat perhatian pemerintah.116 Political will pemerintah tidak sepenuhnya dijalankan secara konsisten. Hal itu dapat terlihat dengan tindakan TPK yang hanya melakukan memproses kasus-kasus kecil yang melibatkan pejabat-pejabat
115 Ibid. 116 Abar, Kisah Pers Indonesia 1966-1974 , h.168-169.
lxxiii rendah pemerintah. Sehingga semenjak dibentuk oleh Presiden Soeharto,
TPK banyak mendapat kritikan terhadap kinerjanya, baik dari masyarakat umum maupun pers bahkan kritikan itu muncul dari beberapa anggota
TPK itu sendiri, yang berpendapat bahwa TPK tidak melakukan tindakan yang berarti dalam pemberantasan korupsi.117
Bahkan struktur dalam organisasi TPK yang ada justru memperlambat penyelesaian kasus korupsi. Kritikan pun datang dari kalangan parlemen diantaranya disampaikan oleh anggota MPRS A.P. Batubara yang mengatakan bahwa,
“TPK dibentuk untuk mengumpulkan data-data yang terkait dengan korupsi. jadi bila TPK ingin berhasil harus berani. Jika tidak maka nasibnya akan sama dengan tim-tim anti korupsi terdahulu seperti Operasi Budhi pada masa Orde lama. Bahkan apabila masalah penanganan korupsi tidak menemui jalan pemecahan maka dimungkinkars di masyarakat akan muncul suatu "Gerakan Anti- Korupsi.”118
Di luar parlemen sudah lama ada suara-suara yang menghendaki dibentuknya undang-undang anti-korupsi sebagai payung hukum yang baru bagi TPK. Diantaranya dari kalangan pers dan mahasiswa yang menghendaki agar kinerja TPK lebih ditingkatkan. IR sebagai harian yang kritis tidak luput juga melakukan kritikan terhadap kinerja TPK, terutama dalam hal kelanjutan perkara kasus-kasus korupsi yang ditangani TPK. hingga bulan April 1969 belum banyak kasus-kasus korupsi besar yang dibawa ke pengadilan. Bahkan kasus-kasus korupsi besar yang melibatkan para pejabat tinggi masih banyak yang belum diadili. Berdasarkan sumber
117 Indonesia Raya, 16 November 1968. 118 Indonesia Raya, 29 November 1968.
lxxiv IR disebutkan beberapa kasus yang belum dibawa kepengadilan antara lain
kasus korupsi Yayasan Grafika yang bernilai sebesar $ 1 juta dan Rp 90
juta dan perkara korupsi CV Waringin yang terkait dengan manipulasi
pembelian Tengkawang yang dananya adalah berasal dari pinjaman
pemerintah senilai Rp 400 juta, kasus penipuan Coopa dan lain-lain.
Menanggapi kritikan IR, TPK melalui Ketuanya Jaksa Agung Soegih
Arto mengatakan bahwa untuk sementara waktu kasus korupsi kelas kakap
belum dapat diurus secara tuntas, karena terkait dengan adanya “kesulitan
teknis.”119 Walaupun mendapat kritikan dari banyak kalangan, kinerja
TPK bisa dikatakan tidak menunjukan ke arah yang memuaskan.
Berdasarkan hasil kerja dari periode 1967 sampai awal 1969, TPK hanya
mampu menyelesaikan 172 kasus korupsi, yang mencakup kasus korupsi
di instansi pusat dan daerah.120
2. Tim-Tim Anti Korupsi Lainnya
Tim-tim anti korupsi pada masa awal Orde Baru tidak hanya bersifat
refresif yang terkait dengan hukum, namun ada juga tim yang lebih
bersifat memberikan rekomendasi dengan cara melakukan penelitian
dengan memakai tenaga akademis. Diantaranya adalah Tim Task Force UI
(TF UI), yang beranggotakan para akademis UI yang beranggotakan para
akademisi yang meliputi para pengajar dan mahasiswa, TF UI dipimpin
langsung oleh Soeharto sebagai ketua dari Presidium Kabinet Ampera dan
dibentuk pada tahun 1968. Tugas dari TF UI adalah membantu pemerintah
119 Abar, Kisah Pers Indonesia 1966-1974 , h. 169. 120 Indonesia Raya, 5 Maret 1969.
lxxv dalam melakukan penelitian dibanyak instansi Negara dan membuat
laporan sera rekomendasi yang diserahkan kepada pemerintah untuk
membantu pemerintah dalam upaya mngamankan keuangan Negara dari
praktek-praktek korupsi oleh oknum-oknum pejabat Negara.121 Namun
seperti TPK, TF UI juga mengalamii kegagalan karena rekomendasi dan
laporan yang disampaikan TF UI tidak pernah ditindak lanjuti.
Selain itu ada juga tim Pekuneg ( pengawas keuangan Negara), yang
dibentuk Presiden Soeharto pada 30 April 1966 yang pada waktu itu masih
menjabat sebagai Waperdam bidang Hankam, yang beranggotakan dari
unsure kejaksaan dan Bank Sentral. Tim ini bersifat preventif, yang tujan
dibentuknya lembaga ini yaitu untuk menyelamatkan keuangan negara,
karena pada masa Orde Lama banyak kebijakan ekonomi yang merugikan
negara.122
Ada juga tim yang berada dalam naungan lembaga Kepolisian yaitu
Tim Pemeriksaan (C) khusus (TPC) merupakan sebuah tim yang dibentuk
dalam badan Polri yang bertugas melakukan pengusutan kasus-kasus
korupsi di lembaga-lembaga perbankan milik pemerintah maupun swasta,
dibawah koordinasi Mabes Polri. Tim pemeriksaan (C) khusus diketuai
oleh Komisaris Besar Polisi Drs. Sukarjo, SH. Selama periode kerja antara
tahun 1967 sampai 1968, tim ini berhasil mengusut 85 perkara yang telah
menyelamatkan uang Negara sebesar 25 miliar rupiah yang meliputi
121 Sjahrir, “ Pengamanan Dana dan Daya Negara, Soal Pemberantasan atau Pencegahan Korupsi”, dalam Prisma, No.3. tahun 1986. 122 Harian Indonesia Raya, 21 Maret 1969.
lxxvi penanganan 17 bank-bank swasta dan 5 bank-bank pemerintah.123 Dalam perkembangannnya kinerja lembaga ini menurun sehingga peluang kerugian Negara masih sangat besar seperti dalam kasus Bank BNI, BI, kasus BE dan lain-lain.
Selain tim-tim diatas ada juga Tim Penuntut Perkara-Perkara
Penyelundupan (TP4) dibawah koordinasi langsung Bea dan Cukai, yang juga sangat mengecewakan karena jumlah penyelundupan tidak mengalami pengurangan bahkan semakin meningkat. Upaya IR menjalankan peranannya sebagai pers dalam memberikan informasi- informasi berbagai korupsi yang terjadi di pemerintah, IR telah banyak memiliki dokumen-dokumen sebagai bukti kasus-kasus korupsi terutama barang-barang bukti kasus Pertamina dan Coopa. Namun bukti-bukti tersebut tidak memiliki arti penting karena para aparat penegak hukum terutama Jaksa Agung tidak menindaknya dengan sungguh-sungguh.
Seperti kasus Coopa yang telah meyeret tersangka Arief Husni sebagai ketua perwakilan Coopa di Indonesia. Ternyata tidak memiliki hasil yang menggembirakan, walaupun sebelumnya Arief Husni sempat ditahan oleh pihak Jaksa Agung namun akhirnya dibebaskan dan kasusnya dipetieskan, dengan menyelesaikan kasus Coopa di luar persidangan.
Begitu pula yang terjadi dengan kasus Pertamina, berbagai barang bukti yang telah disampaikan oleh IR tidak direspon secara cepat. Bahkan apa yang disampaikan oleh Wilopo sebagai ketua Komisi Empat, ia memiliki pendapat yang sama dengan IR mengenai ketidakseriusan aparat
123 Harian Indonesia Raya, 19 Februari 1969.
lxxvii penegak hukum dalam menangani kasus korupsi terutama Pertamina dan
Coopa.124
Jadi bisa dikatakan upaya pers khususnya IR dalam membantu
pemerintah dalam pcmberantasan korupsi telah merasakan kekecewaan
terhadap pemerintah terutama kepada para penegak hukum yang dinilai
lamban. Kekecewan tidak hanya dirasakan oleh IR, namun tim-tim
rekomendasi korupsi seperti Komisi Empat merasakan kekecewaan yang
sama. Sebab setelah tugas Komisi Empat selesai dalam memberikan
rekomendasi kepada Presiden Soeharto tidak ada tindak lanjut dari
pemerintah yang nyata. Bahkan bisa dikatakan posisi Presiden Soeharto
sebagai pemerintah tidak menunjukan kemauan yang sungguh-sungguh
dalam upaya pemberantasan korupsi.
3. UU Anti Korupsi dan UU Pertamina
Landasan hukum yang dipakai oleh pemerintah awal Orde Baru dalam
pemberantaan korupsi, sebelum dibentuknya undang-undang antikorupsi
yang baru adalah memakail produk hukum Orde Lama yaitu UU No. 24
Prp tahun 1960 mengenai tindakan pemberantasan korupsi dan KUHP
warisan jaman kolonial Belanda, yang batasan korupsi sangat sempit yaitu
“ yang terkait dengan penggunaan uang Negara secara tidak sah dan benar-
benar merugikan uang Negara.”125 Selain itu, dalam UU tersebut diatur
mengenai perbedan pemerikasaan antara pengadilan sipil dan pengadilan
militer sehingga menyulitkan upaya pemberantasan korupsi.126
124 “Asal,Asal, Asal!” Tajuk Rencana Harian Indonesia Raya, 1 Oktober 1970. 125 Harian Indonesia Raya, 7 Agustus 1970. 126 Soeparman, SH., “Sulit Memberantas Korupsi Di Indonesia” dalam harian Indonesia Raya, 22 Agustus 1970.
lxxviii RUU anti korupsi yang dibahas di DPR-GR cukup banyak mengundang
perdebatan wacana mengenai isi RUU anti korupsi, pasal yang paling
diperdebatkan adalah pasal 35 yang berisi “Terhadap segala tindak pidana
korupsi yang telah dilakukan sebelum saat UU ini berlaku pada setiap tindak
pidana dilakukan penyelesaiannya berdasarkan legalitas hukum.”127 Akhirnya
setelah sekian lama disusun oleh pemerintah dan DPR-GR yang memakan
waktu 8 bulan, pada tanggal 12 Maret 1971 RUU anti korupsi disahkan
menjadi UU anti korupsi yang baru, kemudian dimaukkan dalam lembaran
Negara sebagai UU Nomor 3 Tahun 1971.128
Selain pembentukkan UU anti Korupsi pemerintah juga membentuk
sebuah UU Pertamina, berdasarkan laporan Komisi Empat pemerintah
membentuk panitia menteri perumusan RUU Pertamina, setelah lebih dari satu
than digulirkan maka pada tanggal 23 Agustus 1971 RUU Pertamina disahkan
menjadi UU No.8 Tahun 1971.129
B. Mochtar Lubis Dalam Harian IR Mengungkap Kasus-Kasus Korupsi
1968-1973
1. Kasus Korupsi Coopa dan Ciba
Pada masa awal Orde Baru Pemerintah mulai melakukan pembenahan
program pangan dengan melakukan peningkatan di bidang pertanian.
127 S. Tasrif, SH, “Dapatkah RUU Anti Korupsi Berlaku Surut” dalam harian Indonesia Raya, 9 September 1970. 128 Syahrul Mustofa, ed., Mencabut Akar Korupsi (Jakarta: SOMASI-NTB, The Asian Foundation dan USAID, 2003), h. 96. 129 Sutanto, S.H. ED., Undang-Undang RI Tentng Minyak dan Gas Bumi (Jakarta: Pancar Utama, 2002).
lxxix Dalam upaya program tersebut pemerintah menempuh jalan dengan cara
melakukan pembimbingan kepada para petani. Program bimbingan kepada
para petani tersebut dikenal dengan istilah Bimas.130
Untuk mendukung program tersebut pemerintah mengundang
perusahaan asing yang bergerak dibidang pertanian. Maka muncul
beberapa nama perusahaan asing, yang masing-masing bernama Coopa,
Hoechst dan Ciba. Coopa dan Ciba mendapat wewenang untuk
melaksanakan program Bimas di wilayah Jawa terutama Jawa Barat dan
Jawa Tengah. Wilayah Jawa Barat masuk daiam wilayah bimbingan
Coopa, diantaranya wilayah Serang, Pandegelang, Lebak, Tangerang,
Banjar, Sukabumi, Cianiur dan Bandung yang mencakup areal pertanian
seluas 150.000 hektar. Sedangkan wilayah Jawa Tengah masuk dalam
wilayah bimbingan Ciba.131 Selama beberapa minggu program bimas ini
berjalan nampaknya tidak ada realisasi yang nyata dari para perusahaan
asing tersebut dalam mengupayakan pembinaan kepada para petani.
Hal tersebut telah mengundang pertanyaan dari masyarakat terutama
kalangan pers. Maka pada pertengangan bulan April 1969 IR melakukan
sorotan terhadap program Bimas tersebut termasuk terhadap Coopa dan
Ciba, termasuk sorotan terhadap Departemen Pertanian. Berdasarkan
informasi yang dihimpun oleh IR, bahwa kontrak antara Coopa dan
130 Cikal bakal program bimas (bimbingan massal) sudah mulai diperkenalkan pada masa Orde Lama yang didukung oleh The College of Agriculture of the University of Indonesia (sekarang Institut Pertanian Bogor) yang mulai dirintis pada tahun 1962/1963. Lihat E. A. Roekasah dan D. H. Penny, “Bimas: A New Approach to Agricultural Extention In Indonesia” dalam BIES No. 7 bulan Juni tahun 1967. 131 Harian Indonesia Raya, 21 April 1969.
lxxx Departemen Pertanian sudah berlangsung sejak tanggal 15 Maret 1969.
Kontrak tersebut disepakati di Jakarta antara Menteri Pertanian dengan kepala perwakilan Coopa di Jakarta yang diwakili oleh Arief Husni.
Berdasarkan alasan yang dikemukan oleh Coopa bahwa belum direalisasikannya program tersebut karena adanya kendala pemindahan uang dollar dari The United Commercial Bank London di London ke
Indonesia, yang menurut IR sesuatu hal yang aneh. Berdasarkan penelusuran IR keberbagai sumber disebutkan bahwa Coopa adalah perusahaan yang tidak memiliki integritas dibidang pertanian. “... Coopa hanyalah sebagai “Broker” tidak punya tenaga ahli pertanian. Karena kedekatan hubungan dengan oknum Departemen Pertanian maka Coopa berhasil menutup kontrak dengan pemerintah.” 132
Menanggapi sorotan IR tersebut, Coopa melalui humasnya melakukan penyangkalan terhadap beberapa hal mengenai serangan terhadap Coopa.
Diantaranya mengenai realisasi program bimas yang sudah dilaksanakan dan Coopa telah mengucurkan uang untuk program Bimas, selain itu
Coopa telah menyediakan beberapa kendaraan operasional. Nampaknya IR tidak terlalu puas dengan sanggahan yang disampaikan oleh Coopa. Untuk itu IR melakukan pencarian informasi ke pihak lain. Salah satunya adalah kepada Kepala Dirjen Pertanian Departemen Pertanian Sadikin
Sumintawikarta yang mcnyangkal bahwa Coopa telah memenuhi
132 Harian Indonesia Raya, 21 April 1969.
lxxxi kewajibannya dalam menyelenggarakan program Bimas tepat waktu.133
Hal yang samapun disimpulkan oleh rapat kerja Bimas se-Jawa yang
dilaksanakan di Ciawi, telah menyimpulkan bahwa program Bimas yang
diselengarakan oleh Coopa mengalami keterlambatan.
Masalah kasus Coopa tidak hanya masalah ketidakberesan program
Bimas yang diselenggarakannya namun sudah menyangkut masalah
penipuan uang negara yang dilakukan oleh kepala perwakilan Coopa di
Indonesia yaitu Arief Husni alias Ong Keng Seng atau Ong Seng King.
Arief Husni melalui Coopa telah berhasil menutup kontrak pembelian
diazinon (insektisida) sebanyak 200 ton senilai US $ 711.000, melalui
rekomendasi Aspri bidang keuangan yaitu Jenderal Soerjo.134
Perkembangan selanjutnya uang yang telah dibayarkan oleh pemerintah
melalui BI, ternyata tidak ada hasil berupa pengiriman diazinon tersebut.
IR memberikan sorotan tajam terhadap kasus ini termasuk terhadap
pemalsuan sertifikat surveyor dan bill of lading oleh Arief Husni dan
sorotan mengenai tindakan hukum terhadap penangkapan Arief Husni
yang cukup kontroversial.
2. Kasus Korupsi Pertamina
Pengungkapan kasus korupsi pada tahun kedua semenjak terbitnya IR
ditandai dengan sorotan gencar terhadap Pertamina135 pada pertengahan
bulan November 1969. Sorotan pertama IR pada Pertamina dimulai pada
133 Harian Indonesia Raya, 24 April 1969. 134 Harian Indonesia Raya, 2 Maret 1970. 135 Perusahaan Pertamina terbentuk pada tahun 1968 yang merupakan gabungan dari tiga perusahaan antara lain Pertamin, Permina dan Permigran. Keterlibatan Ibnu Sotowo di bidang perminyakan sudah berlangsung sejak tahun 1957, ketika ia dipercaya untuk menduduki posisi Direktur Permina. Lihat Bruce Glassburner, In The Wake Of General Ibnu: Crisis In The Indonesian Oil Industry” dalam ASIAN SURYEY Vol. XVI No. 12 November 1976.
lxxxii tanggal 22 November 1969. Sorotan terhadap Pertamina menjadi berita
yang selalu ditampilkan di halaman utama bahkan sering menjadi
headline. Dalam mengungkap kasus Pertamina IR menggunakan berita
laporan bersambung yang berjudul “Menyorot Pertamina” yang ditulis
oleh nama inisial wartawan IR yang menggunakan nama inisial
“Wartawan Chas Indonesia Raya.”136
Sorotan IR terbadap Pertamina untuk pertama kalinya mengungkap
masalah pengembangan perusahaan Pertamina yang melakukan perluasan
usaha di luar bidang perminyakan yang membuka beberapa perusahaan
baru di luar negeri. Beberapa perusahaan yang sempat didirikan Pertamina
antara lain dibidang restauran, agen pariwisata, hotel di luar negeri, travel
biro, penerbangan charter dan lain-lain. Dalam pemberitaan tersebut juga
disebut nama Jenderal Ibnu Sutowo sebagai Direktur Utama Pertamina
yang paling bertanggung jawab terhadap kondisi Pertamina. Menurut IR,
pertamina merupakan perusahaan yang manajemennya susah untuk
dikontrol karena sangat tertutup, terutama dalam masalah keuangannya
sehingga tidak dapat tersentuh oleh badan-badan pemeriksa keuangan
negara seperi Pekuneg, termasuk Departemen Pertambangan yang
membawahi langsung Pertamina. Hal itu terkait dengan posisi Ibnu
Sutowo yang sangat dominan di Pertamina.137 Salah satu contoh lemahnya
kontrol pemerintah terhadap Pertamina adalah dalam hal pendataan
inventaris kekayaan Pertamina yang belum jelas. Semenjak pengambil
136 Inisial “Wartawan Khas Indonesia Raya” menurut Sri Rumiati Atmakusumah adalah tulisan khusus Mochtar Lubis yang dimuat berseri. 137 Harian Indonesia Raya, 22 November 1969.
lxxxiii alihan perusahaan-perusahaan minyak Belanda, data-data inventaris
kekayaan pertamina belum selesai dibuat secara jelas dan terperinci.138
Jadi bisa dikatakan Pertamina sebagai perusahaan yang tidak transparan
dalam hal keuangan dan penggunaan uang Pertamina yang tidak terkontrol
oleh pemerintah.
Sehingga hal-hal tersebut berdampak pada keraguan negara-negara
kreditor yang ingin membantu keuangan Indonesia. Terutama pertanyaan
pertanyaan negara-negara kreditor mengenai pengontrolan keuangan
negara, salah satunya terhadap Pertamina. Hal ini tentunya sesuatu hal
yang wajar sebab pada masa itu Indonesia banyak melakukan pinjaman
keuangan namun negara-negara kreditor sangat menilai ironis karena
Indonesia sendiri tidak mampu mengontrol keuangannya sendiri.139
Selain upaya klarifikasi dan “pembersihan” (screening) karyawan yang
telah dilakukan oleh Pertamina. Pertamina juga melakukan upaya propaganda
melalui pers, untuk melakukan pembantahan terhadap serangan-serangan IR,
bahkan berupaya melakukan serangan balik terhadap IR sekaligus mencoba
menjatuhkan tingkat kepercayaan publik terhadap IR. Hal itu dapat terlihat
dari tajuk rencana yang ditulis oleh Mochtar Lubis mengenai komentarnya
terhadap serangan yang telah memojokkan dirinya, melalui beberapa harian di
Jakarta.140
138 Harian Indonesia Raya, 24 November 1969. 139 Harian Indonesia Raya, 25 November 1969. 140 Harian-harian yang melakukan “serangan-serangan” terhadap IR antara lain harian Suluh Minggu, Harian Rakyat, Binlang Timur, Suluh Indonesia. Berita Minggu lihat “Mengulang Pola Lama” Tajuk Rencana Harian Indoneisia Raya, 22 Januari 1971. Kasus tuduhan atau “serangan” terhadap IR mengenai upaya pengungkapan kasus korupsi yang dilakukan IR
lxxxiv “...Berita palsu mengenai percakapan antara Adam Malik dan Mochtar Lubis mengenai Pertamina adalah salah satu contoh...Pemimpin Pertamina mencoba segala jalan untuk menutupi borok-borok yang mereka bikin dalam tubuh Pertamina dengan melancarkan segala fitnah dan mencoba-coba pula untuk menimbulkan keragu-raguan pada integritas harian ini. Mereka kini menyiarkan seakan Indonesia Raya menyiarkan semua ini untuk menghancurkan Pertamina demi keuntungan modal-modal asing...memakai nama pembesar guna membela diri,...sebuah keterangan yang dikatakan diucapkan oleh Menteri Penerangan Boediardjo yang disiarkan sebuah Koran di Jakarta. Dalam berita itu dilaporkan seakan Menteri Penerangan telah mengatakan, “...bahwa sampai saat ini pemerintah beranggapan bahwa apa yang dilaksanakan oleh PN Pertamina adalah benar...PN Pertamina adalah perusahaan pemerintah, oleh karenanya apa yang dilaksanakan oleh perusahaan tersebut dianggap oleh pemerintah benar.” 141
Ada hal cukup menarik terhadap segala upaya yang dilakukan oleh
Pertamina dalam melakukan sanggahan terhadap serangan-serangan yang
dilakukan oleh IR. Yaitu mengapa Pertamina tidak melakukan jalur hukum?
Hal inilah yang menjadi argumen kuat dan keyakinan IR terhadap kebobrokan
yang sedang berlangsung di Pertamina. Sebab menurut IR apabila Pertamina
menempuh jalur hukum terhadap masalah pengungkapan yang dilakukan IR,
IR memastikan Pertamina akan kalah di pengadilan sebab bukti-bukti yang
dimiliki oleh IR telah menjadi pertimbangan Pertamina untuk tidak
mengangkat masalah pengungkapan korupsi oleh IR ke meja hijau.142
khususnya di Pertamina yang sempat diperkarakan sampai ke pengadilan adalah kasus B. M. Diah yang merupakan pemimpin redaksi Harian Merdeka yang melakukan tuduhan mengenai pemerasan Mochtar Lubis terhadap Pertamina, yang dimuat di harian Merdeka pada tanggal 20 Januari 1971. Kemudian Mochtar Lubis melakukan tuntutan terhadap B.M. Diah terhadap perkara fitnahan yang ditujukan kepadanya. Perkara fitnahan B. M. Diah terhadap Mochtar Lubis baru disidangkan pada tanggal 10 Februari 1972. Setelah menjalankan 23 kali persidangan maka B. M. Diah dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan dikenakan ganti rugi sebanyak satu juta rupiah dengan kewajiban meminta maaf kepada Mochtar Lubis (IR) di harian Merdeka selama satu minggu berturut-turut. Lihat Harian Indonesia Raya, 13 April 1973. 141“Mentalitas Wartawan yang Bejat” Tajuk Rencana Harian Indonesia Raya, 29 Desember 1969. 142Perkembangan kasus Pertamina berlangsung hingga IR mengalami pembredelan penutupan pada Januari 1974. Puncaknya adalah ketika Pertamina mengaiami kebangkrutan pada
lxxxv “Jika laporan-Iaporan Indonesia Raya mengenai penyelewengan di Pertamina tidak benar, maka ini berupa fitnah dan mencemarkan nama baik Direktur Ufama Ibnu Sutowo. dan sebaiknya Indonesia Raya diadukan ke pengadilan. Kami amat senang jika Ibnu Sutowo menempuh jalan ini... Kami bersedia menjadi orang pertama yang diperiksa oleh tim peneiiti DPR ataupun pemerintah mengenai persoalan penyelewengan-penyelewengan di Pertamina ini. Kami pun paling senang untuk diperiksa oleh pengadilan, agar kami dapat menyampaikan fakta-fakta dan bukti-bukti penyelewengan- penyelewengan di Pertamina dan supaya Ibnu Sutowo cs dapat dimintai keterangan di bawah sumpah.”143
Selama dua tahun melakukan upaya pengungkapan kasus korupsi.
khususnya ketika melakukan pengungkapan kasus “mega korupsi” Pertamina.
IR telah banyak mendapi respon, baik positif maupun negatif dari banyak
kalangan. Respon negatif yang biasa diterima oleh IR tidak hanya terkait
dengan serangan-serangan oleh pers lain melainkan IR juga pernah mendapat
“teror” yang ditujukan terhadap IR (Mochtar Lubis). Seperti yang pernah
disampaikan oleh Mochtar Lubis dalam sebuah wawancara Radio UI,
mengeru tanggapannya terhadap teror yang ditujukan kepadanya
“... sebagai manusia biasa tentu saya takut....adanya orang-orang bayaran yan ditugaskan untuk “memendekan umur”. Seperti salah seorang anggota redaksi IR yan diprovokasi oleh orang yang berbadan tegap untuk “memendekan umur”...tetapi dilain pihak justru para koruptor-koruptor yang harus menjag keselamatannya... .” 144
Hal yang sama pun terjadi ketika pada akhir bulan Mei 1970. Peristiwa
teror terjadi ketika IR dalam beberapa hari berturut-turut menampilkan foto
tahun 1975. Pada awal tahun 1975 Pertamina mengalami krisis liquiditas sehingga tidak mampu membayar hutang jangka pendek sebesar 40 juta dollar AS, hingga bulan Juli 1975 hutang luar negeri Pertamina mencapai 2,3 miliar dollar AS, dengan hutang jangka pendek 1.5 miliar dollar AS dan hutang dalam negeri 120 juta dollar AS. Akhmad Zaini Abar, Kisah Pers Indonesia 1968- 1974, h. 178-179. 143 '”Mari ke Pengadilan” Tajuk Rencana Harian Indonesia Prisma, 29 Januari 1970. 144 Hasil wawancara dengan Radio UI “Mochtar Lubis Berbicara Tentang Korupsi, Tidak Benar Ibni Sutowo Manajer yang Baik yang dimuat dalam Harian Indonesia Raya, 17 Februari 1970.
lxxxvi Bruce Rappaport, yang kemudian menjadi headline beberapa hari pada akhir
Mei 1970. Bruce Rappaport adalah orang yang dianggap oleh Mochtar Lubis
sebagai cukong baru Pertamina. Berita mengenai Bruce Rappaport pertama
kali muncul pada tanggal 26 Mei 1970, dengan judul “Rappaport Tjukong
Pertamina Baru, Tjarter Kapal untuk Tjarterkan Lagi Pada Pertamina,
Kerugian Negara Puluhan Juta?”
3. Kasus Korupsi Lainnya
Selain kasus Bulog, Ciba, Pertamina dan Coopa masih ada beberapa kasus
korupsi yang diungkap selama tahun-tahun pertama kemunculan IR. Di
antaranya adalah kasus; skandal antara Yayasan Al-Ichlas145 dengan
Direktorat Urusan Haji mengenai keterlarnbatan keberangkatan haji tahun
1969. Hal ini berawal ketika beberapa oknum Direktorat Urusan Haji
melakukan pungutan di luar dari pembiayaan resmi keberangkatan haji yang
telah ditetapkan. Sehingga meyebabkan pihak yayasan Al-Ichlas merasa
keberatan terhadap hai tersebut, yang berdampak kepada terlantarnya para
jamaah haji vang akan berangkat ke tanah suci.146 Dalam kasus ini terlihat
jelas beberapa oknum direktorat urusan haji yang melakukan manipulasi
diantaranya dengan laporan pembukuan keuangan yang tidak transparan.
Berdasarkan investigasi IR setidaknya ada dua orang yang paling bertanggung
jawab dalam kasus ini yaitu Kepala Dinas Perlengkapan Dirjen Urusan Haji
145 Yayasan Al-ikhlas adalah yayasan yang bergerak dalam bidang pemberangkatan jamaah haji, yan£ bekerja sama dengan Departemen Agama khususnya dengan Direktorat Urusan Haji. 146 Harian Indonesia Raya, 22 Februari 1969
lxxxvii dan Kepala Dinas Angkutan dan Pengasramaan Dirjen Urusan Haji.147 Dari
kasus skandal haji ini maka terungkaplah praktek-praktek manajemen yang
buruk di dalam Departemen Agama, yang dapat dilihat dari kontrol yang
lemah Departemen Agama terhadap Direktorat Urusan Haji terutama dalam
hal laporan keuangan. Hal ini disebabkan karena Direktorat Urusan Haji
melakukan kebijakan keuangan tertutup (covered policy).148
Selain itu, ada kasus Mantrust yang menjadi sorotan panjang dalam
periode awal tahun 1968. Kasus Mantrust berawal ketika terjadi kesepakatan
antara pemerintah mengenai proyek pengadaan beras alternatif yang bertujuan
untuk memperkuat ketahanan pangan. dengan melakukan riset untuk
menghasilkan sebuah terobosan baru dalam pengadaan makanan pokok. Hasil
dari riset tersebut menghasil kan sebuah produk beras yang dikenal dengan
istilah “beras tekad”.149
Latar belakang program pengadaan beras tekad sudah berlangsung sejak
pemerintahan Orde lama kemudian baru direalisasikan pada masa awal Orde
Baru. Alasan mengapa pemerintah melakukan kebijakan ini adalah karena
produksi beras yang dihasilkan tidak mencukupi kebutuhan masyarakat. Juga
kesanggupan pemerintah untuk melakukan impor beras sangat lemah kerana
jumlah devisa negara yang terbatas ditambah lagi pada waktu itu harga beras
dipasar, jnteruasional cukup tinggi. Sorotan-sorotan yang diangkat oleh IR
terkait dengan Mantrust dengan proyek bertekad, antara lain masalah
147 Harian Indonesia Ray a, 1 April 1969. 148 Harian Indonesia Raya, 3 April 1969 149 Djokosaptono Siamet, “Beras Tekad, Mula-mula Disebut Beras llmiah-yang Sinis Menyebutnya Beras Nekad-Akhirnya Terbuat dari Ganja (gandum-jagung)” dalam Harian Indonesia Raya, 20 November 1968.
lxxxviii manipulasi harga-harga perlengkapan yang dibeli dari Jepang untuk pabrik pembuat beras tekad. Mantrust juga tidak berhasil memenuhi kontrak beras tekad seharga Rp 150 juta kepada pemerintah (Bulog), IR mempertanyakan
Bulog sebanyak pihak yang dirugikan justru tidak mengajukan gugatan.
Bahkan berdasarkan investigasi wartawan IR dana Bulog sebesar Rp 150 juta dilaporkan 90% nya hanya dibelikan mesin-mesin dan yang paling janggal adalah justru produk beras yang dihasilkan oleh Mantrust bukanlah beras tekad yang sesungguhnya melainkan hanya terbuat dari terigu dan jagung.150
Berdasarkan pandangan IR kasus Mantrust adalah kasus yang merugikan negara bahkan berdasarkan informasi yang didapat oleh IR mengenai
Mantrust. Mantrust adalah perusahaan yang erat kaitannya dengan para oknum
Bulog termasuk di antaranya Kepala Bulog Jenderal Achmad Tirtosudiro dan wakil Bulog Zam Zam. Mantrust juga tercatat pada masa Orde Lama sebagai perusahaan rekanan Angkatan Darat sebagai penyuplai utama kebutuhan pokok para tentara. Direktur Utama Mantrust yaitu Tan Kiong alias Tegoeh
Soetantyo adalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap kasus ini narnun dalam perkembangannya kelanjutan dari kasus Mantrust tidak ada tindakan nyata terhadap pelakunya. walaupun kasus Mantrust pernah dibahas oleh komisi VI di DPR-GR. Selain itu. muncul kasus korupsi yang melibatkan lembaga ABRI diantaranya kasus pemebelian Kapal LST. Pada masa awal
Orde Baru kondisi peralatan ABRI mengalami kekurangan baik secara jumlah maupun kondisi peralatan. Jumlah dan kondisi yang tidak memadai tersebut
150 Harian Indonesia Raya, 22 Agustus 1969.
lxxxix telah mendorong pimpinan ABRI untuk melakukan penambahan peralatan
ABRI, untuk kepentingan tersebut Angkatan Darat membeli beberapa jumlah
kapal LST bekas. Kapal LST yang dibeli oleh Angakatan Darat ini adalah
sepuluh buah kapal LST yang dibeli dari Argentina.
Permasalahan yang diangkat oleh IR dalam kasus LST adalah proses
transaksinya yang terlihat adanya kejanggalan. Kejanggalan-kejanggalan
dalam transaksinya inilah yang menjadi sorotan IR dalam beberapa minggu.
Diantaranya adalah mengenai kondisi kapal yang ternyata rusak, selain itu
juga harga dari kesepuluh kapal LST tersebut cukup tinggi yaitu 9,5 juta
dollar. Sangat jauh dari harga pasarnya yang hanya berkisar 2,5 juta dollar.151
C. Kekecewaan Mochtar Lubis
Populisme dan sikap kritis pers Indonesia semakin meningkat di tahun
1967, populisme dan sikap pers ini dimanifestasikan terutama ke dalam dua
hal, yaitu pertama mengemukakan, mengkritik serta mengecam akativitas
korupsi yang semakin fenomenal dalam birokrasi Negara, kedua menyatakan
dukungan kritis dan kreatif terhadap pemerintahan Orde Baru yang baru
bangkit. Seiring dengan smakin meningkat dan meluasnya kekuasaan
pemerintah Orde Baru setelah “peralihan kekuasaan” dari Soekarno kepada
Soeharto lewat sidang MPRS, Maret 1967, fenomena korupsi pun semakin
dirasakan oleh masyarakat dikalangan pejabat Negara pada berbagai tingkatan
birokrasi. Masalah korupsi ini kemudian telah cukup banyak menyita
151 Harian Indonesia Raya, 11 April 1969.
xc perhatian dan proporsi pemberitaan di halaman-halaman suratkabar pada
waktu itu.
Tajuk-tajukpun banyak diturunkan untuk mempersoalkan, menilai dan
mengecam aktivitas korupsi tersebut. Lalu pers menuntut agar pemerintah
memperhatikan dan menghentikan aktivitas korupsi dan menindak tegas para
pelakunya, karena korupsi sangat berpengaruh terhadap pembentukkan image
dan kewibawaan pemerintah. 152 Mochtar Lubis melihat korupsi dan kolusi
merupakan bahaya mendesak sekarang dan juga pada masa mendatang, maka
masih menurut Mochtar Lubis bahwa satu-satunya jalan keluar dari korupsi
adalah dengan membersihkan birokrasi dari elemen-elemen birokrasi yang
korup153.
Semenjak kelahirannya, pemerintah Orde Baru menjalankan kebijakan
birokratisasi sebagai bagian integral dari modernisasi, karena modernisasi
membutuhkan birokrasi sebagai salah satu mesin penggeraknya seperti yang
digagaskan oleh Peter M. Blau dan Marshall W. Meyer dalam Bureaucracy in
Modern Society. Kebijakan birokratisasi yang dijalankan Orde Baru dapat
digambarkan secara ringkas sebagai berikut; birokrasi diperbesar secara
mengesankan (Parkinsonisasi). Jika ditahun 1970 anggota birokrasi sekitar
515 ribu jiwa, maka 10 tahun kemudian jumlah itu telah menjadi 4 kali
lipatnya, dan 20 tahun kemudian membengkak menjadi sekitar 6 kali lipat.
Lebih jauh sosok birokrasi yang telah membesar itu terkena pula korporatisasi,
sehingga birokrasi dijadikan bagian dari korporasi Negara dan “
152 Harian Kompas, 19 Mei 1967. 153 Ramadhan KH (penyunting), Mochtar Lubis Bicara Lurus: Menjawab Pertanyaan Wartawan, Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 1995, h. xix
xci memperpanjang “ tangan negara dalam melakukan kontrol-birokratis terhadap
masyarakat, sehingga birokrasi memposisikan diri sebagai mesin
pengakumulasi kekuasaan Negara dan mengasingkan masyarakat dari
kekuasaan154.
Pada pertengahan bulan Desember 1973 atau kurang lebih satu bulan
sebelum harian IR dibredel, Mochtar Lubis mengemukakan sikap terhadap
rasa frustasinya mengenai korupsi yang masih berlangsung di Indonesia,
karena setelah gencar mengungkap kasus korupsi antara tahun 1968 sampai
1970 tidak mempunyai pengauh yang berarti, terutama terhadap tindakan
Jaksa Agung Ali Said yang dianggap Mochtar Lubis tidak melakukan tindakan
hukum terhadap Ibnu Sutowo,155 walaupun sudah mengalami kekecewaan
terhadap pemerintah, Mochtar Lubis tidak henti-hentinya memberikan
himbauan terhadap pemerintah, melalui sindiran dan peringatan agar
pemerintah mempertimbangkan kembali kasus Pertamina sebelum dibredel.156
Pembangunan sebagai emansipasi kebudayaan semakin jelas sosoknya,
ketika semua pihak di negeri kita sekarang bicara tentang kualitas sumberdaya
manusia sebagai pelatuk strategis bagi pembangunan. Mochtar lubis sangat
intensif perhatiannya terhadap kebudayaan, karakter bangsa dan sikap rasional
dinilainya sebagai kondisi kultural yang sangat berperan untuk menggerakkan
kemajuan, memelihara momentumnya dan memberikan rohnya. Dalam
pemikiran kebudayaannya, ia menempatkan martabat kemanusiaan sebagai
154 Eep Saefullah Fatah, Catatan Atas Gagalnya Politik Orde Baru, Jakarta: Pustaka Pelajar, cet.1, 1998, h. 200. 155 Harian Indonesia Raya, 15 Desember 1973. 156 “Tertibkan Pertamina Lebih Baik”, Tajuk Rencana Harian Indonesia Raya, 7 Januari 1974.
xcii pangkal tolak dan tujuan sentral. Ia menggugat segala hal yang mengekang
dan mengungkung ekspresi dan karya manusia. Feodalisme dan tradisi-tradisi
yang menekan persamaan martabat manusia dan aspirasinya, dikupas secara
tajam, manusia yang bebas menjadi dambaan hatinya.157
Mochtar Lubis tidak tinggal diam meskipun tidak bisa melakukan
perubahan lewat jalan politik maupun jurnalistik karena harian Indonesia Raya
sudah dibredel, maka beliau berjuang melalui sastra. Mochtar Lubis merasa
harus memperjuangkan kemanusiaan serta hak-hak asasi untuk tetap konsisten
dengan prinsip dan sikap manusia secara hakiki, karena semua tulisannnya
ditujukan untuk manusia dan berjuang untuk memperlakukan manusia sebagai
manusia sejati.
157 Himpunan “Catatan Kebudayaan” Mochtar Lubis Dalam Majalah Horison, (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia).
xciii BAB V
KESIMPULAN
Perbuatan korupsi tidak hanya merugikan dan menghambat pembangunan secara materi namun berdampak pada kerusakan moral, perbuatan korupsi telah menghamburkan keuangan negara untuk kepentingan pribadi, yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Terlebih lagi kondisi keuangan negara sangat terbatas, sehingga pembangunan tidak hanya terhambat tetapi justru proses pembangunan akan banyak membebankan rakyat banyak, seperti kenaikan harga minyak pada awal tahun 1970, yang seharusnya apabila keuangan negara tidak dikorupsi dapat dialihkan kepada kebutuhan lainnya seperti subsidi minyak.
Peranan pers di sebuah negara berkembang seperti Indonesia memiliki posisi yang sangat penting. Umumnya negara-negara berkembang, yang sedang mengupayakan pembangunan segala bidang termasuk bidang ekonomi.
Pembangunan ekonomi tidak akan tercapai apabila pemborosan, kebocoran, in- efisiensi dalam segala bentuk yang dilakukan oleh aparat negara terus dibiarkan.
Peranan pers sangat diperlukan sebagai media informasi kepada pemerintah dan masyarakat terhadap masalah yang bisa menghambat pembangunan, di antaranya perbuatan korupsi.
Persepsi bahwa korupsi adalah sebuah tindakan “kotor” yang dapat membawa kehancuran bangsa, merusak nilai-nilai kemanusiaan dan juga merusak sendi- sendi perekonomian Indonesia memiliki andil dalam mendorong Mochtar Lubis dalam mengungkap korupsi pada masa awal Orde Baru. Persepsi inilah yang menjadi komitmen bagi para pengasuh IR untuk mencapai pemerintahan yang
xciv bersih terhadap perbuatan korupsi sehingga pembangunan segala bidang di
Indonesia bisa berjalan dengan baik dan hasilnya bisa dirasakan oleh masyarakaat luas, agar cita-cita nasional mencapai masyarakat adil, makmur dan sejahtera dapat diwujudkan. Hal ini dapat terlihat dari jumlah prosentase pengungkapan IR terhadap kasus korupsi, yang lebih banyak diarahkan ke lembaga-lembaga pemerintah, terutama lembaga yang menyangkut kepentingan masyarakat umum dan terkait dengan sumber keuangan negara.
Peranan Mochtar Lubis dalam harian IR di antaranya pertama, menjadikan harian IR sebagai salah satu pers pada masa awal Orde Baru yang melakukan peranan memberikan informasi masalah kasus korupsi, melalui pengungkapan kasus korupsi yang dilakukan harian IR dan beberapa pers lainnya, masyarakat umum bisa mengetahui tindakan-tindakan korupsi yang terjadi di lembaga pemerintah. Sehingga secara tidak langsung telah merangsang reaksi masyarakat, seperti aksi massa kenaikan harga minyak. Sebab sebelum aksi masyarakat muncul telah terlebih dahulu disorot secara gencar kasus mismanajemen di
Pertamina oleh IR. Kedua, peranan Mochtar Lubis dalam harian IR yaitu sebagai pembentuk opini publik, khususnya terkait dengan aksi-aksi di masyarakat terhadap keinginan memberantas korupsi agar pemerintah dapat membuat kebijakan dalam pemberantasan korupsi seperti UU Anti-Korupsi dan UU
Pertamina.
Selama menjalankan peranannya dalam mengungkap kasus korupsi antara tahun 1968-1974, Mochtar Lubis dalam harian IR telah berhasil mengundang perhatian pemerintah terhadap kasus-kasus korupsi seperti Pertamina, Bulog,
xcv Coopa, PN Telekomunikasi, percukongan dan lain-lain. Sehingga secara tidak langsung telah mendorong pemerintah untuk membawa kasus-kasus tersebut kepengadilan walaupun tidak semua kasus korupsi yang diungkap IR mendapat respon serius dari pemerintah. Bahkan bisa dikatakan pemerintah lebih banyak menindak kasus korupsi skala kecil
Pada akhirnya pers awal Orde Baru sebagai perwakilan aspirasi masyarakat dalam penerapannya membantu pemerintah untuk mencipatakan pemerintahan yang bersih dari korupsi dalam mendukung pembangunan, tidak memiliki pengaruh yang kuat terhadap perubahan struktur “kebudayaan” korupsi yang sudah mengakar di Indonesia. Pada dasarnya untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dari korupsi dibutuhkan kekuatan bersama yaitu antara masyarakat dan pemerintah. Masyarakat diwakili oleh pers sedangkan pemerintah diwakili oleh Presiden sebagai penentu kebijakan politik dan aparat penegak hukum sebagai pelaksana hukum.
xcvi DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Abar, Akhmad Zaini, Kisah Pers Indonesia 1966-1974. Jakarta: LKiS, 1995.
Anwar, Rosihan, Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia 1961-1965. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.
Atmadi, T. Bunga Rampai Sistem Pers Indonesia. Jakarta: PT Pantja Simpati Jakarta, 1985.
Atmakusumah ed., Mochtar Lubis Wartawan Jihad. Jakarta: PT Gramedia,1992.
Atmakusumah, “Kasus Koran Indonesia Raya” dalam Abdurrahman Surjomihaarjo, redaktur, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, Departemen Penerangan RI Leknas LIPI, Jakarta, 1980.
BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan), Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Latihan Pengawasan BPKP, 1999.
Busyairi, Badaruzzaman, Boerhanoeddin Harahap Pilar Demokrasi. Jakarta: Bulan Bintang, 1989.
C. Smith, Edward, Pembreidelan Pers Di Indonesia. Jakarta: Pustaka Grafiti Pers,1986.
Cassae, Antonio, Hak Asasi Manusia di Dunia Yang Telah Berubah. Penerjemah Zainudin, A. Rahman, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.
E. A. Roekasah dan D. H. Penny,“ Bimas: A New Approach to Agricultural Extention In Indonesia” dalam BIES No.7 bulan Juni tahun 1967.
Faber, G. H. Von, A Short History Of Journalism in The Dutch East Indies. Diterjemahkan oleh Leonard Arndt, Surabaya, Hindia Belanda: G. Kolff & Co.
Fatah, Eep Saepullah, Bangsa Saya Yang Menyebalkan: Catatan Tentang Kekuasaan Yang Pongah. Bandung: Remaja Rosda Karya,1998.
Fatah, Eep Saepullah, Catatan Atas Gagalnya Politik Orde Baru. Jakarta: Pustaka Pelajar, cet.1, 1998.
xcvii Fatah, Eep Saepullah, Pengkhianatan Demokrasi Ala Orde Baru. Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2000.
Feith, Herbert, The Decline Of Constitutional Democracy inIndonesia. Ithaca and London: Cornell University Press, 1976.
Glassburner, Bruce, “ In The Wake Of General Ibnu: Crisis In The Indonesian Oil Industry” dalam ASIAN SURVEY Vol. XVI No.12 November 1976.
Gottschalk, Louis, (ter. Nugroho Notosusanto) Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press, 1986.
Hamzah, Andi, Korupsi di Indonesia Solusi dan Pemecahannya. Cet. III Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991.
Harahap, Krisna, Kebebasan Pers di Indonesia dari Masa Kemasa. Bandung: Grafiti Budi Utami, 2000.
Haryanto,Ignatius, Pemberdelan Pers Di Indonesia: Kasus Koran Indonesia Raya. Jakarta: LSPP (Lembaga Studi Pers Pembangunan), 1995.
Harvey, Barbara Sillars, PERMESTA Pemberontakkan Setengah Hati. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989.
Hutabarat, Saur dan Susanto Pudjamartono, “Menukik kedalam artikel opini” dalam Siregar, Ashadi dan I Made Suarjana ed., Bagaimana Mempertimbangkan Artikel Opini Untuk Media Massa. Jakarta: Kanisius, 1995.
Kartodirdjo, Sartono, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia Suatu Alternatif. Jakarta: PT Gramedia, 1982.
Lubis, Mochtar, Catatan Subversif. Jakarta: Obor Indonesia, 1983.
Lubis, Mochtar, Bangsa Indonesia Masa Lampau, Masa Kini, Masa Depan. Jakarta: Yayasan Idayu, 1978.
Masoed, Mohtar, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971. Jakarta: LP3ES, 1989.
Muhtadi, Asep Saepul, Jurnalistik (Pendekatan Teori dan Praktek). Jakarta: Logos,1999.
Mustofa, Syahrul ed., Mencabut Akar Korupsi. Jakarta: SOMASI-NTB, The Asian Foundation dan USAID, 2003.
xcviii Rahardjo, M. Dawam, “Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) Kajian Konseptual dan Sosio-Kultural” dalam Edy Suandi Hamid dan Muhamad Sayuti, ed., Menyingkap Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Indonesia. Jakarta: Aditya Media, 1999.
Rahardjo, M. Dawam, (et.al), Bank Indonesia DalamKisaran Sejarah Bangsa. Jakarta: LP3ES, 1995.
Raillon, Francois, Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukkan dan Konsolidasi Orde Baru 1966-1974. Jakarta: LP3ES, 1998.
Ramadhan, KH (Penyunting), Mochtar Lubis Bicara Lurus: Menjawab pertanyaan Wartawan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995.
Ricklefs, M.C, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: SERAMBI, 2007.
S.Wojowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia. Jakarta: PT Ictiar Baru Van Hoeve: Jakarta, 2000.
Said, Tribuana, Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila. Jakarta: CV Masagung, 1988.
Samudra, Arung ed., Andi Suwirta, Pers, revolusi dan Demokratisasi: Kehidupan dan Pandangan Surat Kabar di Jawa Pada Masa Revolusi Indonesia 1945- 1947. Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian UI, Depok, 2001.
Santoso, Wartini ed., Katalog Surat Kabar: Catalogue of Newspaper. Jakarta: Perpusnas, 1984.
Smith, Edward C., Pembreidelan Pers di Indonesia, Jakarta: Pustaka Grafiti Pers, 1986.
Susanto, ed., Undang-undang RI Tentang Minyak dan Gas Bumi. Jakarta: Pancar Utama, 2002.
Suwirta, Pers, revolusi dan Demokratisasi: Kehidupan dan Pandangan Surat Kabar di Jawa Pada Masa Revolusi Indonesia 1945-1947. Jakarta: Obor Indonesia, 2000.
T. Atmadi, Bunga Rampai Sistem Pers di Indonesia. Jakarta: PT Pantja Simpati Jakarta, 1985.
Taher, Elza Peldi, Demokratisasi Politik, Budaya, dan Ekonomi: Pengalaman Indonesia Masa Orde Baru. Jakarta:Yayasan Paramadina,1994.
Tebba, Sudirman, Jurnalistik Baru. Ciputat: Kalam Indonesia, 2005.
xcix Koran dan Majalah:
Indonesia Raya
KOMPAS
Prisma
c