BAHASA IBU YANG KEHILANGAN ‘IBU’1 (KAJIAN SOSIOLINGUISTIS BAHASA YANG TERANCAM PUNAH DI MALUKU UTARA)

IBU LANGUAGE WHICH LOST IT’S “MOTHER” (SOCIOLINGUISTICS STUDY OF ENDANGERED LANGUAGE IN NORTH MOLUCCAS)

Imelda Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan - LIPI [email protected]

Abstrak Bahasa Ibu merupakan salah satu bahasa di Maluku Utara yang telah mencapai puncak kepunahannya. Saat ini penuturnya tinggal satu orang lagi karena penutur lainnya telah tua dan sakit. Sayangnya, generasi Ibu yang lebih muda telah mengganti kedudukan bahasa daerahnya dengan bahasa Ternate yang merupakan bahasa resmi di Kesultanan Ternate. Bahkan generasi yang lebih muda menggunakan bahasa Melayu yang dikenal sejak perdagangan masa lalu ketika Ternate menjadi titik jalur sutra dan bahasa yang dipakai ketika Indonesia merdeka dan menjadikan bahasa ini bahasa nasional. Penelitian ini menggunakan wawancara sebagai data utama. Wawancara tersebut berisi berbagai pola perilaku berbahasa orang Ibu dari 80 tahun yang lalu hingga saat peneltian ini dilakukan. Selain itu penelitian ini juga memanfaatkan data sekunder mengenai sejarah kerajaan dan perdagangan di Kepulauan Maluku, terutama Ternate, untuk memahami sebab-sebab punahnya bahasa Ibu. Secara kebahasaan, orang ibu dapat digambarkan dengan frase bilingual dalam perubahan. Artinya, mereka dapat menggunakan berbagai bahasa (bahasa Ibu, Ternate, Melayu, dan Indonesia) akan tetapi terdapat perbedaan pola pada setiap generasi. Pada generasi yang berumur 80-an, bahasa Ibu masih dipakai untuk ranah keluarga dan bahasa Ternate dan Melayu untuk komunikasi antaretnik. Sementara itu, pada generasi berumur 50-60 tahun, bahasa Ibu tidak dipakai lagi ranah keluarga, diganti dengan bahasa Ternate, bahasa Melayu dan bahasa Indonesia. Dengan demikian bahasa Ibu telah mengalami tahap akhir pergeseran bahasa, yaitu generasi muda sudah sangat akrab dengan bahasa mayoritas (baca: Ternate), sekaligus semakin menyadari bahwa bahasa Ibunya sudah tidak memiliki posisi tawar. Hal ini terjadi karena beberapa sebab, antara lain: (1) pengaruh bahasa Ternate sebagai bahasa Kesultanan Ternate yang melakukan ekspansi ke pulau Halmahera, (2) pengaruh bahasa Melayu sebagai bahasa Perdagangan, dan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi Indonesia. Dengan demikian, Bahasa Ibu berproses menjadi punah karena persaingan politik dan ekonomi yang terjadi dari masa lalu hingga kini. Kata kunci: bahasa Ibu, kepunahan bahasa, Ternate, Melayu Absract Ibu language is one of languages in North Maluku that has reached its peak of extinction. Currently, only one speaker left and able to communicate because the other two-speakers have been old and sick. Additionally, the younger generations have changed thei mother-tongue into , the official language of Ternate Sultanate. Besides, they also use the which has been known since past trade when Ternate Island became one of the Silk Road points. The use of Malay language is also continued because Indonesia has chosen Malay-Riau dialect, official called , as the language of Indonesian country. The research relied on interview data focused on various language use patterns of Ibu speakers aged from 80 years ago up to now. Additionally, in the description, the researcher enriched the data by exploring some historical sources related to the Ternate Sultanate and the trading history in the to understand the causes of Ibu language extinction better.

1 Paper ini tulis untuk KIMLI 2001 yang dilaksanakan di UPI-Bandung.

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 19 No. 3 Tahun 2017 419 Linguistically, Ibu people can be described as bilingual in changing. It is because they are multilingual (Ibu language, Ternate, Malay, and Indonesian), but there is a different multilingual pattern between older and younger generations. The 80 years generation use Ibu language for the domestic domain and Ternate and/or Malay for interethnic communication. Meanwhile, younger generations are no longer used Ibu in the family domain. They replaced it by Ternate, Malay and/or Indonesian. Ibu people, in short, have experienced the final stages of language shift because the younger generations have left Ibu language. There are some reasons motivate the language shift. Based on historical data, Ibu people replaced their language due to political and economic reasons in the past and present. Keywords: Ibu language, language extinction, Ternate, Melayu

Languages have died off throughout history, but never have we faced the massive extinction that is threatening the world right now. professionals, we are faced with a stark reality: Much of what we study will not be available to future generations. The cultural heritage of many peoples is crumbling while we look on. Are we willing to shoulder the blame for having stood by done nothing? (kata pembuka dari Endangered Language Fund dalam Crystal 2000: vii)

Pengantar jumlah penduduknya tidak sampai 5.000.000 jiwa, jumlah bahasanya 408. Kalau eksistensi Keanekaragaman bahasa di Indonesia bahasa dihubungkan dengan jumlah penutur, sudah terkenal di seluruh dunia. Negara ini maka bahasa-bahasa di Indonesia Timur jumlah dikenal sebagai laboraturium bahasa kedua penuturnya semakin sedikit. Ini juga berarti terbesar, setelah Papua New Guinea (PNG). Bila bahwa semakin ke Timur, eksistensi bahasa- PNG memiliki 830 bahasa, di Indonesia hidup bahasa daerah di Indonesia semakin rentan 719 bahasa (Lewis, 2009). Akan tetapi, jumlah terhadap kepunahan. Kenyataan ini diperparah bahasa yang demikian besar itu distribusinya oleh eksistensi bahasa Indonesia, yang memiliki tidak merata: semakin ke timur bahasanya peran di sektor-sektor strategis, seperti pendidikan, semakin banyak, padahal jumlah penduduknya media, dan berbagai urusan formal. Dengan kata semakin sedikit. lain, kedudukan bahasa daerah semakin tergeser. Tabel 1 Jumlah Penduduk dan Bahasa di Indonesia Kramsch (1998: 3) menyatakan bahwa Jumlah Jumlah salah satu fungsi bahasa ialah sebagai simbol Pulau Keterangan Penduduk2 Bahasa identitas. Dengan begitu kita bisa mengandaikan Sumatera 43.309.707 33 bahwa bahasa sebagai identitas kelompok etnik Jawa & 125.573.000 21 1 punah yang memilikinya. Apabila bahasa punah, maka Bali kelompok etnik itu sendiri akan kehilangan Kalimatan 11.331.558 74 identitas, baik itu identitasnya bertransformasi Nusa 7.961.540 76 menjadi bentuk lain yang lebih dominan atau Tenggara menjadi bentuk percampuran yang sporadis. Sulawesi 14.111.444 114 Bagi Indonesia yang pluralisme etnisitas menjadi Maluku 2.549.454 132 4 punah ciri khas sekaligus kekuatan persatuannya, Papua 2.220.934 276 2 bahasa ancaman kepunahan bahasa-bahasa daerah berarti tanpa juga ancaman bagi pluralisme etnisitasnya. penutur asli Sumber: diolah dari Ethnologue (Lewis, 2009) Bukti semakin tergerusnya bahasa- Tabel 1 memperlihatkan bagaimana bahasa daerah, secara nyata, dapat kita lihat di ketimpangan jumlah penduduk dan jumlah Kepulauan Maluku, yang sudah memiliki empat bahasa yang ada di Indonesia. Contohnya di bahasa yang punah. Kepunahan bahasa di Jawa, jumlah penduduknya paling tinggi, Kepulauan ini tampaknya akan semakin menjadi 125.573.000 jiwa, ternyata hanya terdapat 21 kenyataan di masa depan, karena bahasa daerah bahasa. Sebaliknya, di Maluku dan Papua yang di sana kebanyakan berpenutur antara 1000 sampai 10.000 jiwa. Angka tersebut jauh dari prasyarat yang diberikan Skutnabb-Kangas (2000: 2Berdasarkan Sensus tahun 2000

420 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 19 No. 3 Tahun 2017 45), yaitu agar bahasa berstatus aman dari bahasa Austronesia terdapat di bagian Selatan kepunahan harus memiliki 100.000 penutur. pulau Halmahera, sementara rumpun non- Austronesia terdapat di bagian Utara pulau Menyoal kepunahan bahasa di Kepulauan Halmahera. Maluku, tulisan ini akan mengangkat salah satu bahasa di Maluku Utara, bahasa Ibu, yang sudah Bahasa-bahasa yang termasuk ke dalam diberi status nearly extinct oleh Ethnologue rumpun non-Austronesia antara lain: bahasa (2009). Dengan kondisi tersebut, bahasa Ibu bisa Galela, Gamkonora, Waioli, Ibu, Laba, Loloda, dipastikan tidak akan ada lagi dalam waktu Makian Luar, Modole, Kao, Pagu, Sahu, Tabaru, dekat. Tanpa harus berharap bisa menyelamatkan Ternate, Tidore, Tobelo, dan Tugutil (Taber, dkk. bahasa Ibu, tulisan ini akan menelusuri 1996: 5-16). Sementara itu, bahasa Austronesia bagaimana proses kepunahan yang terjadi dengan ialah bahasa-bahasa yang secara linguistik mirip bahasa Ibu melalui pemertahanan penggunaan dengan bahasa di Indonesia bagian barat, seperti bahasa di berbagai ranah dan melalui berbagai di pulau Sumatra, Jawa, dan Kalimantan. informasi yang bisa digali mengenai orang Ibu. Bahasa-bahasa tersebut antara lain: bahasa Buli, Pemahaman mengenai proses kepunahan ini Gane, Gebe, Maba, Patani, Makian Dalam, Sawai, penting untuk menjadi refleksi bagi peneliti/ dan beberapa bahasa Melayu yang bercampur peminat bahasa untuk memikirkan kembali dengan bahasa daerah/lokal (Taber, dkk. 1996: proses kepunahan bahasa dan mencari jalan 17-24; Lewis, 2009). untuk menjaga eksistensi bahasa-bahasa daerah. Bahasa Ibu, semula, dikenal dengan Bukankah kita tidak ingin diam dan hanya nama bahasa Ibo. Penyebutan ibu, diduga, menunggu kematian bahasa tanpa mengambil berlaku sejak daerah tersebut menjadi Kecamatan pelajaran, seperti kutipan pada awal tulisan ini! Ibu. Akan tetapi, ada juga yang mengatakan

bahwa penyebutan ibu itu berlaku sejak sebelum Bahasa Ibu di antara Bahasa-Bahasa di Maluku kemerdekaan. Ibrahim (2009: 93) menjelaskan Utara bahwa kata ibo berarti ‘tuan tanah’. Sementara Provinsi Maluku Utara secara fisik itu, salah seorang nenek yang tinggal cukup lama terdiri dari pulau-pulau kecil yang berjumlah di sana menjelaskan bahwa kata ibo berarti banyak dan bentuknya unik. Demikian juga ‘ibu/orang tua perempuan’. Perubahan nama Ibo dengan bahasa-bahasa di sana yang memiliki menjadi Ibu berpengaruh terhadap penyebutan keberagaman dan keunikan. Keberagaman nama etniknya karena saat ini mereka menyebut bahasa di Malut dapat diidentifikasi dari dirinya orang Ibu. Sebagai konsistensi, penulis banyaknya bahasa3 yang ada di sana, yakni 30 akan menggunakan kata ibu untuk menyesuaikan bahasa. Sementara itu, keunikan bahasa di Malut dengan konteks kekinian. ditunjukkan dengan terdapatnya dua rumpun Dalam konteks kekinian, ketika telah bahasa, Austronesia dan non-Austronesia, terjadi pemekaran provinsi dan kabupaten baru, terutama di pulau Halmahera. bahasa-bahasa yang berbeda rumpun di Malut Keunikan fenomena bahasa di pulau tersebar ke dalam tujuh kabupaten (Halmahera Halmahera ini tercatat dalam sebuah disertasi H. Barat, Halmahera Utara, Pulau Morotai, van der Veen pada tahun 1915 yang berjudul De Halmahera Timur, Halmahera Tengah, Halmahera Noord-Halmahera’se Talen group tegenover de Selatan, Kepulauan Sula) dan dua kota (Ternate Austronesische Talen4. Masinambow (2001: dan Tidore Kepulauan). Bahasa Ibu yang 141) menerangkan bahwa sebelum disertasi itu menjadi fokus pada tulisan ini berlokasi di keluar hanya sedikit ahli bahasa yang sadar Kecamatan Ibu Tengah, Kabupaten Halmahera bahwa di Pulau Halmahera terdapat dua Barat. Untuk mendapatkan gambaran lokasi kelompok bahasa yang tidak sekerabat, yaitu orang Ibu, perhatikan peta berikut ini. rumpun bahasa Austronesia dan rumpun bahasa non-Austronesia. Secara lebih konkrit, rumpun

3Kepulauan Maluku merupakan tempat hidupnya 132 bahasa (Grimes 2009). Ini adalah lokasi kedua terbesar, setelah Papua, yang memiliki beragam bahasa. 4Kelompok bahasa-bahasa Halmahera utara berhadapan dengan bahasa Austronesia berbeda (terj.)

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 19 No. 3 Tahun 2017 421 Gambar 1 Visualisasi Desa Gamlamo dan Gamici bisa kita Lokasi Penutur Bahasa Ibu lihat pada foto berikut ini. Desa Gamlamo dan Gamici merupakan dua desa Islam6 di daerah Ibu. Selayaknya kampung Islam, maka mayoritas penduduknya beragama Islam, baik itu orang Ibu maupun pendatang lainnya dari Makian, Galela, Tobelo, dan lain-lain. Karena kesamaan agama itu, orang Ibu sejak dahulu sudah banyak yang kawin campur dengan penduduk pendatang. Praktik agama Islam di sana, menurut informasi dari orang lokal, mirip dengan praktik agama Islam di Ternate. Salah satu contohnya ialah bila ada orang yang meninggal, acara tahlil dan dabus pasti dilakukan. Sumber: Taber, Mark, et. al. (1996: 6) Pekerjaan penduduk di Gamlamo mayoritas Penutur bahasa Ibu tinggal di dua desa adalah pertanian tahunan kelapa, cengkeh, Islam, yaitu Desa Gamlamo dan Gamici di cokelat, dan pala. Selain itu, ada juga sebagian pesisir Halmahera Barat. Di sekitar penutur kecil yang menjadi nelayan kecil yang bahasa Ibu terdapat penutur bahasa Gamkonora menangkap ikan untuk sekedar makan dan menjual dan Waioli yang jaraknya cukup dekat, kira-kira bila ada kelebihannya. Saat ini kebanyakan 20 hingga 30 menit perjalanan dengan mobil. orang Ibu membuat kopra karena harganya Selain dengan dua kelompok penutur yang telah menjanjikan. disebutkan sebelumnya, penutur bahasa Ibu juga Menurut informasi terakhir, penutur tinggal dekat dengan penutur bahasa Tobaru. bahasa Ibu tinggal tiga orang bernama Nifu Berdasarkan infomasi tua-tua5 Ibu, Hamiru (umur 70-an tahun), Hajijah Farah (umur orang-orang Ibu berasal dari dua tempat, yaitu 80-an tahun), dan Kaidati Babao (umur 80-an Desa Gamlamo (kecamatan Ibu Tengah) dan tahun). Namun demikian, dari tiga orang penutur Bacan. Saat ini orang Ibu tinggal di dua desa: yang tersisa, hanya satu orang yang bisa Gamlamo dan Gamici. Desa Gamlamo yang diwawancarai. Hal ini karena dua orang lainnya berarti ‘Kampung Besar’, meskipun, saat ini sudah sakit tua dan tidak bisa berjalan lagi. lebih kecil dari kampung Gamici yang berarti Sebagai tambahan informasi, seorang penutur ‘kampung kecil’. Orang Ibu yang tinggal di sana bahasa Ibu yang bernama Ismail Babao (umur sudah banyak yang pindah ke desa tetangga, 90-an tahun) baru saja meninggal. Gamici, karena sempitnya Desa Gamlamo. Saat Kekhawatiran terhadap hilangnya bahasa ini, jumlah penduduk Desa Gamlamo sebanyak Ibu sudah cukup lama, tetapi usaha-usaha 200 kepala keluarga, tetapi tidak diketahui penyelamatan tampaknya belum. Namun begitu, jumlah penduduk yang beretnik Ibu. dinformasikan oleh Pak Nifu, bahwa sudah ada Di desa lainnya, Gamici, orang Ibu juga dua orang yang datang untuk penelitian bahasa tinggal di antara sekitar 600 kepala keluarga Ibo, dari Sastra Unkhair dan Pusat Bahasa tetapi yang ada. Sebagai pusat pemerintahan kecamatan ia tidak mengetahui kelanjutan penelitian itu. Ia dan pasar, Desa Gamici berkembang pesat, lebih hanya tahu bahwa penelitian itu dilakukan untuk cepat dari kampung asalnya, Gamlamo. Di desa pemetaan bahasa, bukan untuk penyelamatan ini juga ada pendatang beretik Tionghoa, bahasa Ibu. beragama Kristen, yang masuk pada tahun 50- an. Dengan kata lain, Desa Gamici lebih plural secara etnik dan agama. Seperti juga Desa 6 Gamlamo, jumlah etnik Ibu tidak diketahui Di daerah Ibu (Kecamatan Ibu Utara, Tengah secara pasti angkanya karena belum pernah dan Selatan) desa-desa kebanyakan tersegmentasi berdasarkan agama Islam dan Kristen. Di duga ini dilakukan penghitungan berdasarkan etnik. terjadi sejak Belanda berkuasa. Desa-desa Islam di sana ada tujuh, antara lain: Gamlamo, Gamici, Togutil Ternate, Tahafo, Gamkonora, Talaga, dan 5Istilah untuk orang yang dituakan Gamsungi.

422 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 19 No. 3 Tahun 2017 Beberapa Catatan Mengenai Teknik yang terancam punah menjadi kajian yang mahal Penelitian dan Lapangan karena, biasanya, kelompok-kelompok tersebut tinggal di daerah terpencil, seperti di Indonesia Penelitian bahasa yang punah tampaknya Timur, yang biaya transportasi dan biaya menjadi hal yang baru, yaitu ketika ada hidupnya cukup tinggi. kekhawatiran pemerhati tentang hilangnnya bahasa-bahasa di dunia, terutama bahasa kelompok Bahasa Ibu yang menjadi kajian dalam minoritas. Barunya kekhawatiran ini, sekitar 10 tulisan ini merupakan salah satu bahasa yang tahun terakhir, membuat peminat kajian ini wilayahnya cukup sulit dijangkau. Ketika terbatas. Selain itu, penelitian bahasa-bahasa penelitian ini dilakukan, cuaca sedang sangat

Keterangan: Foto di sebelah kiri adalah gambaran Desa Gamlamo dan sebelah kanan adalah sudut pasar di Desa Gamici tidak bagus karena terjadi banjir dan longsor di pada tahun 1993, merespons International beberapa titik. Namun demikian, penelitian ini Linguistics Congress di Quibec. Pada waktu itu, tetap dilanjutkan meskipun memang tidak UNESCO sepakat untuk mensosialisasikan dan mudah. mensponsori organisasi yang bergerak di bidang kebahasaan untuk melakukan deskripsi dan Perlu diketahui pula bahwa penelitian ini dokumentasi bahasa-bahasa yang terancam diharapkan akan dilakukan selama empat tahun punah, bahkan yang sudah punah (Crystal, 2000: berturut-turut dan pada tahun pertama penelitian 11). Membahas mengenai kepunahan bahasa baru bersifat eksploratif karena baru pertama kali mengundang pertanyaan apakah yang disebut dilakukan. Secara lebih khusus, sifat eksploratif bahasa yang punah itu? Bagaimana kriteria bagi ini karena belum ada informasi yang cukup suatu bahasa sehingga ia disebut punah? Serta, untuk mengangkat fokus-fokus permasalahan apa pentingnya menyelamatkan bahasa dan yang penting untuk dibahas secara lebih khusus bagaimana proses kepunahan bahasa? dan mendalam.

Ketika penelitian ini dilakukan, peneliti Kriteria Kepunahan Bahasa hanya bisa mewawancara satu orang penutur Crystal (2000:11) dalam bukunya, bahasa Ibu, sehingga diambil pula data lain dari Endangered Languages, menyatakan bahwa generasi tua Ibu yang berumur 50-60 tahun. Hal suatu bahasa disebut punah ketika tidak ada tersebut dilakukan untuk meneropong pola penuturnya lagi. Pemaknaan singkat tersebut, perilaku berbahasa dari masa-masa yang sebenarnya, belum menjawab pertanyaan, tetapi berbeda, 50 sampai 80 tahun, termasuk juga malah menimbulkan pertanyaaan berikutnya masa kini. Setelah data terkumpul, kemudian, mengenai apa yang dimaksud dengan tidak ada dilakukan transkripsi dan kodifikasi. Terakhir, penuturnya? Apakah karena penuturnya meninggal? dibuat analisis deskriptif untuk menggambarkan Atau, apakah ketika penuturnya terbatas bisa pola perilaku berbahasa di kelompok etnik Ibu. dikatakan juga punah? Tegasnya, apa yang

menjadi dasar bahwa suatu bahasa itu punah atau Kepunahan Bahasa: Konsep dan Proses tidak? Bahasa yang terancam punah menjadi topik yang penting dibicarakan sejak UNESCO,

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 19 No. 3 Tahun 2017 423 Untuk menjawab pertanyaan itu, ada jelasnya, perhatikanlah berbagai tingkatan dan beberapa kriteria yang ditawarkan oleh Kincade kriteria di dalam tabel berikut ini. dan Wurm dalam Crystal (2000: 20-21). Kincade Dari lima kriteria yang diberikan oleh membagi lima tingkatan untuk kondisi bahasa, dua ahli bahasa di atas, terdapat kesamaan dan mulai dari keadaan safe ‘aman’ sampai not so perbedaan. Persamaannya, keduanya menekankan safe ‘tidak aman’. Agak berbeda dari kriteria pentingnya eksistensi penutur, mulai dari Kincade, Wurm juga mengusulkan lima tingkatan aman, hingga pada tingkatan punah. tingkatan bahasa dari potentialy endangered Di sisi lain, perbedaanya, Kincade banyak ‘berpotensi terancam punah’ sampai extinct language ‘bahasa yang punah’. Untuk lebih Tabel 2 Tingkatan dan Kriteria Kepunahan Bahasa Kincade Wurm Tingkatan Kriteria Tingkatan Kriteria Secara ekonomi dan sosial tidak Populasinya cukup besar dan berperan, di bawah tekanan Potentially Viable tidak ada ancaman jangka bahasa yang lebih besar, dan Endangered panjang mulai kehilangan penutur kanak- kanak Memiliki lebih dari 1000 penutur, Komunitasnya terisolir, memiliki Sedikit/tidak ada anak-anak yang Viable Language organisasi internal yang cukup Endangered belajar bahasa dan penutur but Small kuat, menyadari pentingnya termudanya dewasa-muda bahasa untuk identitas Dituturkan oleh sejumlah orang hingga cukup untuk bertahan, Seriously Penutur termudanya 50 tahun ke Endangered dengan syarat bahwa Endangered atas lingkunganya tepat dan didukung oleh komunitas Keadaannya di luar kemungkinan Hanya memiliki beberapa penutur Nearly extinct untuk bertahan karena hanya Moribund dan kebanyakan berusia tua dituturkan segelitinir orang tua. Penutur terakhir yang mahir sudah meninggal dan tidak ada Extinct Extinct Tidak ada penuturnya lagi tanda-tanda untuk bangkit kembali Sumber: diterjemahkan dan diolah dari Crystal (2000: 20-21) menekankan pada faktor di luar penutur bahasa Mengapa Peduli Kepunahan Bahasa? yang sifatnya menunjang keberlangsungan Di dunia ini tidak ada makhluk lain yang bahasa, sementara Wurm lebih menekankan bisa berkomunikasi dengan bahasa selain pada penutur bahasa itu sendiri, terutama manusia dan berbahasa ini sudah dibawa sejak kemahiran dan usia penutur. lahir. Secara implisit, dapat dikatakan bahwa Menilik bahasa Ibu melalui pendapat bahasa memiliki peran yang penting dalam Kincade, bahasa Ibu bisa dimasukkan pada kehidupan manusia, baik untuk berkomunikasi tingkatan Nearly Extinct karena penuturnya maupun untuk kepentingan lainnya yang hanya tiga orang tua dengan kondisi dua orang menunjang kehidupan manusia. Kramsch (1998: lagi sudah tidak bisa diajak berkomuikasi. 11) menyatakan bahwa bahasa ialah sesuatu Sementara itu, melalui tingkatan yang di yang penting untuk menjaga keterjalinan tarwarkan oleh Wurm, bahasa Ibu termasuk kehidupan sosial dan dalam konteks komunikasi dalam kelompok Moribund karena alasan yang bahasa berjalin-kelindan secara kompleks dan sama dengan yang sebelumnya. Yang menjadi bertingkat dengan kebudayaan. Artinya, bahasa pertanyaan kemudian ialah mengapa kita harus bagi manusia memiliki kaitan yang erat dengan peduli dengan kepunahan bahasa? berbagai lini kehidupannya, termasuk aspek fisik maupun non-fisik yang terangkum dalam kebudayaan.

424 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 19 No. 3 Tahun 2017 Ada tiga hal yang disebut-sebut oleh punah karena akulturasi yang menggeser bahasa Kramsch sebagai jalinan bahasa dan kebudayaan. lokal. Pada kasus ini, penuturnya masih tetap Pertama, bahasa itu mengekspresikan realitas hidup, tetapi perilaku berbahasanya berubah. kebudayaan. Secara lebih mendalam, bahasa Crystal (2000: 77) menegaskan bahwa di dalam mengekspresikan fakta, ide, dan peristiwa yang asimilasi kebudayaan ‘one culture is influenced mengandung pengetahuan. Sehubungan dengan by a more dominant culture, and begins to lose pengetahuan alam, misalnya, dengan bahasa kita its character as a result of its members adopting bisa menyimpan peristilahan, mengkomunikasikan new behavior and mores.’ Ditambahkan pula pengetahuan itu dengan orang-orang, bahkan, bahwa akulturasi budaya ini disebabkan oleh mengembangkan pengetahuan tersebut. Singkatnya, faktor ekonomi dan politik secara bersamaan. bahasa menjadi kapsul kekayaan intelektual Ada dua jenis akulturasi kebudayaan manusia (Crystal, 2000:51). yang melatari perubahan kebudayaan ini: Kedua, bahasa mewujudkan realitas akulturasi yang melibatkan perpindahan penduduk kebudayaan. Pada aspek ini manusia mencipta dan akulturasi yang tidak melibatkan perpindahan pengalaman melalui bahasa, yaitu dengan penduduk. Akulturasi yang melibatkan perpindahan bahasanya mereka menciptakan makna-makna. penduduk terjadi ketika ada perpindahan besar- Misalnya, melalui tinggi rendahnya nada suara, besaran dari suatu tempat ke tempat lainnya. aksen, ekspresi, dan gesture manusia mewujudkan Contohnya, perpindahan penduduk di Australia bahasa. pada masa kolonial yang menyebabkan penduduk lokal Australia eksistensinya tergeser oleh Ketiga, bahasa menyimbolkan realitas. pendatang Eropa. Selanjutnya, akulturasi yang Pada poin ini bahasa dibawa ke ranah yang lebih tidak melibatkan perpindahan penduduk, yaitu jauh dari sekedar komunikasi, yaitu bahasa percampuran kebudayaan yang terjadi, salah menjadi sistem tanda yang di dalamnya bisa satunya, karena kebijakan, yaitu penduduk lokal menjadi penanda/identitas diri. dipaksa menggunakan suatu bahasa standar

untuk masuk ke dalam ranah formal kenegaraan. Sebab-sebab Kepunahan Bahasa Lebih jauh lagi, Crystal (2000: 78-79) Telah dijelaskan sebelumya bahwa memaparkan tiga tahapan yang terjadi ketika bahasa itu spesifik milik manusia dan juga telah akulturasi berlangsung. Pertama, adanya tekanan dijelaskan bahwa bahasa dan kebudayaan dari kelompok mayoritas, baik itu yang arahnya berkaitan secara kompleks satu sama lain. dari atas-ke-bawah (top down) atau dari bawah- Dengan demikian, eksistensi bahasa memiliki ke-atas (bottom up). Kedua, tekanan tersebut kaitan dengan dua hal; manusia dan kebudayaan. memiliki ciri yang berbeda. Apabila yang Eksistensi bahasa yang berkaitan dengan pertama, atas-ke-bawah, melibatkan kekuatan manusia ada hubunganya dengan eksistensi fisik politik, ekonomi, atau keduanya, maka tekanan manusia. Dalam hal ini bahasa menjadi punah bawah-ke-atas melibatkan kelompok marginal ketika penuturnya juga punah. Crystal (2000: untuk secara sukarela mengikuti kelompok 70-76) dalam bukunya menjelaskan bahwa mayoritas. Tahap selanjutnya, hasil dari salah kepunahan manusia ini biasanya terjadi pada satu atau kedua jenis tekanan yang telah kelompok masyarakat kecil yang homogeni, dijelaskan memunculkan tahap kedua akulturasi, yang eksistensinya terancam oleh bencana besar, yaitu bilingualisme. Pada tahap ini, orang-orang seperti tsunami, gunung meletus, gempa bumi, masih cakap berbahasa daerah dan juga cakap kelaparan, wabah penyakit, dan lain-lain. Untuk berbahasa kelompok mayoritas. Terakhir, tahap dua penyebab terakhir, kelaparan dan wabah ketiga, generasi muda sudah cakap berbahasa penyakit, Crystal menambahkan bahwa dua hal kelompok mayoritas, sekaligus semakin malu tersebut bisa terjadi karena faktor ekonomi dan dengan bahasa ibunya dan semakin menyadari politik yang menyebabkan suatu daerah betapa terbatasnya peran bahasa ibunya tersebut. mengalami kerusakan ekologi karena eksploitasi Efek dari rasa malu dan terbatasnya peran itu, alam yang dihasilkan dari perjanjian politik secara otomatis membatasi perkembangan untuk alasan peningkatan perekonomian suatu bahasa, hingga akhirnya anak-anak pun tidak wilayah. lagi berbahasa ibunya. Hal lain yang mempengaruhi eksistensi bahasa ialah kebudayaan, yaitu bahasa menjadi

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 19 No. 3 Tahun 2017 425 Bahasa Ibu di antara Penuturnya ia berkomunikasi dengan bahasa pendatang. Sementara itu, dengan pendatang asing yang Bahasa Ibu di tengah-tengah etniknya tidak dikuasai bahasanya, ia berbahasa Melayu. saat ini hanya menjadi sekedar cerita karena kelompok etnik yang seharusnya memiliki dan Generasi Ibu yang lahir 60 Tahun Lalu meneruskannya sudah lama meninggalkan, diganti dengan bahasa Ternate. Namun demikian,  Sadan Sabtu (Desa Gamlamo) bukan berarti kita tidak bisa menelusuri ikhwal Sadan Sabtu merupakan seorang bapak kepunahan bahasa Ibu ini. Pada bagian ini akan beretnik Ibu yang lahir 60 tahun lalu di Desa dipaparkan hasil wawancara dengan kelompok Gamlamo. Ia lahir dari orang tua yang beretnik etnik Ibu dari dua generasi yang hidup sejak Ibu asli. Sehari-hari ia bekerja sebagai petani delapan puluh tahun dan enam puluh tahun yang kelapa karena, menurut pengakuannya, pendidikannya lalu. hanya sampai kelas enam Sekolah Dasar.

Meskipun orang Ibu asli, ia mengaku tidak bisa Penutur Terakhir Bahasa Ibu bahasa Ibu karena orang tuanya jarang atau, Nifu Hamiru yang berusia 80-an boleh dikatakan, tidak berbahasa Ibu. Dengan merupakan penutur terakhir bahasa Ibu yang kata lain, orang tuanya tidak mengajarkan bahasa bisa diwawancarai. Ia tinggal di Desa Gamlamo Ibu. Sehari-hari, ketika orang tua Pak Sadan bersama seorang istrinya yang beretnik Tidore. masih hidup, mereka cenderung berbahasa Dari perkawinannya yang terakhir, Bapak Nifu Ternate. Interaksi seperti ini yang membuatnya memiliki tiga orang anaknya (dua laki-laki dan lebih akrab dengan bahasa Ternate. Selain satu perempuan) yang sudah memasuki usia berbahasa Ternate, ia juga berbahasa Melayu dewasa. Akan tetapi, di usianya yang senja ia dengan saudara-saudaranya. belum mempunyai cucu karena dari tiga kali Dalam kehidupan sehari-hari, dengan perkawinannya baru yang terakhir ini ia istri yang juga orang Ibu, ia berbahasa Ternate. mendapatkan keturunan. Ini karena istrinya hanya bisa bahasa Ternate. Mengenai kemampuannya berbahasa Demikian juga dengan anaknya-anaknya, ia Ibu, Bapak Nifu mengaku belajar dari orang kebanyakan berbahasa Ternate, juga berbahasa tuanya. Menurutnya, waktu itu orang tua-tua Melayu. Akan tetapi dengan cucunya, ia dulu memakai Bahasa Ibu pada setiap mengaku hanya berbahasa Indonesia. Ketika kesempatan. Selain Bahasa Ibu, Pak Nifu juga masih dalam masa kanak-kanak, Pak Sadan menguasai bahasa Ternate, Tidore, Makian, sering mendengar tetangganya berbicara dengan Melayu, Waiyoli, Gamkonora, Tobaru, dan bahasa Ibu dan Ternate. Akan tetapi, karena beberapa bahasa lainnya. Akan tetapi, dari tetangganya kebanyakan beretnik Makian dan bahasa-bahasa yang ia sebutkan, ia paling sering etnik lainnya, maka frekuensi penggunaan menggunakan bahasa Ternate. bahasa Ternatenya lebih tinggi daripada bahasa Sehari-hari dengan istrinya ia berbahasa Ibu. Maka dari itu tidak mengherankan bila ia Tidore. Sementara itu, dengan anak-anaknya ia cenderung dengan kepada bahasa Ternate dan berbahasa Ternate dan Melayu. Ia menjelaskan Melayu. Dalam pergaulan yang lebih luas lagi, yaitu bahwa anak-anaknya tidak mengerti bahasa Ibu di sekolah, ia mengaku selalu menggunakan karena tidak diajarkan dan tidak mau belajar. bahasa Indonesia. Menurutnya, dorang tong kasih tertawa ‘anak- Sebagai orang asli Ibu, Bapak Sadan anaknya menertawakan dia ketika mendengar tidak merasa malu dengan bahasa Ibu karena Bapak Nifu berbahasa Ibu’. Hal ini membuatnya menurutnya itu bahasa asli di sana. Tetapi, merasa malu sehingga ia cenderung berbahasa meskipun tidak merasa malu, ia tetap tidak lain, yaitu bahasa Ternate dan Melayu. memiliki kemampuan berbahasa itu karena tidak Dengan tetangganya, Bapak Nifu berbahasa diajarkan oleh orang tuanya. Menurutnya, Ternate. Seingatnya, di masa mudanya sudah bahasa Ibu semakin ditinggalkan karena banyak pendatang di Gamlamo sehingga, mau penuturnya kebanyakan sudah meninggal. Selain tidak mau, ia harus menggunakan bahasa itu itu juga, secara jumlah, penutur bahasa Ibu ketika berkomunikasi. Terhadap pendatang etnik relatif lebih sedikit daripada suku pendatang dari lain yang bahasanya masih dikuasai, Tidore, Makian, Loloda, Tobelo, Galela, dll., dan karena Makian, Melayu, Waiyoli, Gamkonora, Tobaru, secara jumlah, orang Ibu terbatas maka

426 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 19 No. 3 Tahun 2017 perkawinan campur dengan pendatang tidak bahasa Ibu dari tahap awal kontak mereka dapat dihindari. dengan para pendatang. Hal ini karena selain tidak ada catatan terdahulu yang menggambarkan  H. Hadadi Mustafa (Desa Gamici) penggunaan bahasa itu, juga karena kontak yang terjadi telah lama berlangsung. Ditambah lagi, Orang Ibu yang berdomisili di Desa orang Ibu yang menguasai bahasanya berumur Gamici ini menegaskan bahwa 50 tahun yang sudah sangat tua, 90 tahun ke atas dan sudah lalu, bahasa Ibu sudah tidak dipakai. Jadi, ketika tidak bisa diwawancarai lagi karena sakit dan lahir ia mendapati bahwa sudah banyak orang sulit diajak berkomunikasi. Dengan kondisi yang tidak menggunakan bahasa Ibu. demikian, saat ini penulis hanya bisa Menurutnya, di keluarganya, hanya nenek dan menggambarkan kondisi penggunaan bahasa Ibu tete ‘kakek’ yang berbahasa Ibu, selebihnya dari 80 tahun yang lalu hingga saat ini. berbahasa Ternate. Penggunaan bahasa Ternate itu, menurutnya, karena bahasa Ternate lebih Gambaran penggunaan bahasa di kelompok bermanfaat. Selain itu, hubungan daerah Ibu etnik Ibu yang didapatkan dari generasi berusia dengan Ternate sangat erat karena daerah ini 80 hingga 60 tahun tampaknya menunjukkan bekas jajahan Kesultanan Ternate. fenomena yang sama sekaligus fenomena yang berbeda. Fenomena yang sama ialah pada Saat ini, responden berbahasa Ternate generasi lalu dan kini di kelompok etnik Ibu dan Melayu dengan istrinya, sementara dengan 7 masih merupakan kelompok yang bilingual . anak-anaknya ia berbahasa Indonesia pasar. Mereka memiliki kemampuan berbahasa lebih Menurutnya, akhir-akhir ini, di daerah Ibu, satu: selain berbahasa Ibu, juga berbahasa bahasa Ternate akan segera ditinggalkan, karena Ternate dan Melayu. Bahkan, akhir-akhir ini bahasa Indonesia dan Melayu Pasar yang lebih orang Ibu menguasai bahasa Indonesia pasar dan diajarkan oleh orang tua kepada anak-anak. formal. Akan tetapi, dalam hal penggunaan Keadaan ini diperparah oleh sikap guru yang bahasa sehari-hari, dari generasi ke generasi, memarahi anak-anak karena berbahasa Ternate orang Ibu memiliki kecenderungan yang saat jam sekolah: mereka harus berbahasa berubah. Indonesia. Hal lain yang ini semakin mereduksi penggunaan bahasa Ternate ialah karena Nifu Hamiru (80 tahun), penutur terakhir pelajaran bahasa Inggris menjadi muatan lokal. bahasa Ibu, ketika orang tuanya masih hidup ia Dengan sendirinya, lama-kelamaan, bahasa menggunakan bahasa Ibu sehari-hari di rumahnya. daerah apapun akan segera ditinggalkan. Kemudian, ketika sudah menikah dengan seorang perempuan Tidore, ia berkomunikasi dengan bahasa Generasi Ibu yang Lahir 50 Tahun Lalu Tidore. Selanjutnya, ketika anak-anaknya lahir, Pak Nifu berbahasa Ternate dan Melayu. Orang Ibu lainnya yang lahir 50 tahun Menurutnya, anak-anaknya menertawakan ia lalu ialah Bapak Han Noho. Sebelumnya oleh ketika mendengarnya berbahasa Ibu. Dalam Ibrahim (2009: 96) Bapak ini disebut-sebut konteks penggunaan bahasa yang lebih luas, Pak orang Ibu asli yang berbahasa Ibu. Padahal, Nifu lebih cenderung menggunakan bahasa Ternate menurut pengakuannya ia sudah tidak bisa dan Melayu karena, menurutnya, bahasa tersebut bahasa Ibu, kecuali beberapa kata saja. dimengerti secara luas sehingga bisa dipakai Meskipun ia tidak merasa malu berbahasa Ibu, ia untuk berkomunikasi lintas etnik. tidak mempunyai kemampuan berbahasa Ibu karena orang tuannya sudah tidak memakai Orang Ibu lainnya, Sadan Sabtu (60 bahasa itu. Selain itu, ketika dia lahir, di Desa tahun), mengaku sudah tidak berbahasa Ibu. Gamlamo sudah banyak pendatang dan ketika Sehari-hari di rumah dan lingkungan tempat lahir, ia menemui semua orang di lingkungannya tinggalnya ia hanya menggunakan bahasa sudah berbahasa Ternate, kecuali kakek Ternate. Hal ini, kemudian, menyebabkan ia neneknya. berbahasa lebih akrab dengan bahasa Ternate, daripada bahasa Ibu. Selain berbahasa Ternate, Ranah Penggunaan Bahasa Ibu: Bilingual di rumah dan lingkungan tempat tinggalnya ia dalam Perubahan berbahasa Melayu. Dalam perkembangannya,

Berdasarkan pengalaman penelitian, amat tidak mungkin untuk mendapatkan 7Istilah bilingual di sini ialah untuk orang gambaran yang utuh mengenai ranah penggunaan yang menguasai lebih dari satu bahasa.

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 19 No. 3 Tahun 2017 427 saat ini, untuk berkomunikasi dengan cucunya ia 80 tahun dengan tiga tingkatan kepunahan mengaku menggunakan berbahasa Indonesia bahasa yang dipaparkan oleh Crystal di bagian demikian juga dalam kondisi formal. awal tulisan ini, tampaknya pada saat itu bahasa Ibu telah mengalami tahap akhir pergeseran Pola penggunaan bahasa sehari-hari bahasa, yaitu generasi muda sudah sangat akrab yang dipakai oleh Pak Sadan, tampaknya tidak dengan bahasa mayoritas (baca: Ternate), jauh berbeda dari Pak Hadadi Mustafa (60-an sekaligus semakin menyadari bahwa bahasa tahun). Di keluarganya, hanya nenek dan kakek Ibunya sudah tidak memiliki posisi tawar. Hal yang berbahasa Ibu. Ayah, Ibu, dan saudara- lain yang memberikan pertanda ialah pengakuan saudaranya berbahasa Ternate. Saat ini Pak dari generasi yang lebih muda bahwa Hadadi berbahasa Ternate dan Melayu dengan orangtuanya tidak lagi berbahasa Ibu dengan istrinya. Sementara itu, dengan anak-anaknya ia mereka. berbahasa Indonesia pasar karena baginya anak- anak akan lebih maju bila berbahasa Indonesia, Dari gejala-gejala yang teridentifikasi terutama karena pelajaran disekolah disampaikan dapat disimpulkan sementara bahwa 80 tahun dengan bahasa Indonesia. yang lalu, bahasa Ibu telah mengalami tahap akhir pergeseran bahasa. Ini artinya bahwa Orang Ibu lainnya, Bapak Han Noho kepunahan bahasa Ibu telah mencapai titik (50-an tahun), perilaku berbahasanya serupa klimaksnya pada waktu itu. Dengan begitu dengan Pak Sadan dan Pak Hadadi. Bapak yang tidaklah mengherankan apabila pada saat ini mengaku berbahasa Ternate dan Melayu untuk tidak satupun generasi dewasa dan generasi semua ranah komunikasinya ini, mengaku muda yang mengerti bahasanya. Yang menjadi kehilangan kesempatan berbahasa Ibu karena pertanyaan kemudian adalah faktor apa saja orang tuannya tidak memakai bahasa itu untuk yang mendorong pergeseran bahasa di kelompok komunikasi sehari-hari di rumah. Selain itu, di etnik Ibu ini? Berikut ini akan dipaparkan desa kelahirannya sudah banyak pendatang yang beberapa dugaan yang menyebabkan pergeseran berbahasa Ternate. bahasa dengan mengambil sudut bahasan dari Dari beberapa uraian mengenai bahasa-bahasa yang menggeser kedudukan penggunaan bahasa sehari-hari di kelompok bahasa Ibu, yaitu bahasa Ternate dan Melayu. orang Ibu di atas terdapat perubahan dari generasi ke generasi. Pertama, pada generasi Bahasa Ternate, Bahasa Kolano yang berumur 80-an, bahasa Ibu masih dipakai, Bahasa Ternate disebut juga bahasa terutama pada ranah keluarga. Sementara itu, Kolano. Kata Kolano ini merupakan bahasa pada ranah yang melibatkan komunikasi Ternate yang berarti ‘raja’. Dengan kata lain, antaretnik, seperti ranah pergaulan dan pekerjaan bahasa Ternate merupakan ‘bahasa raja’ atau digunakan bahasa Ternate dan bahasa Melayu. ‘bahasa kerajaan’. Menurut Ibrahim (2009: 83) Kedua, pada generasi yang berumur 50-60 bahasa ini dipakai untuk berkomunikasi dengan tahun, bahasa Ibu sudah tidak dipakai lagi, pihak Kerajaan Ternate. Kembali kepada istilah meski dalam ranah keluarga. Generasi ini lebih kolano, kata ini digunakan setelah Ternate resmi akrab dengan bahasa Ternate, meskipun dengan menjadi kerajaan pada awal abad ke-13, ketika rekan seetniknya. Sementara itu, untuk Ciko (1257-1277), pemimpin waktu itu, komunikasi yang sifatnya lebih luas mereka mengubah gelarnya menjadi Mansyur Malamo. menggunakan bahasa Melayu. Ketiga, pada Sebelumnya atau masa pra-kolano, untuk generasi masa kini, tampaknya bahasa Ternate seorang pemimpin, mereka menggunakan istilah semakin ditinggalkan, digantikan dengan bahasa momole (Amal, 2009: 391). Sebagai tambahan Melayu. Ditambah lagi, di ranah formal– informasi, periode Kolano ini, menurut Amal pendidikan, birokrasi dan media audio-visual– (2009: 391) berlangsung hingga akhir abad ke- bahasa Indonesia telah menjadi bahasa yang 15, ketika Sultan Zainal Abidin (1486-1500) digunakan. naik tahta dan memasukan Islamisasi sebagai

misi politisnya. Pertanyaannya kemudian ialah, Dari Bilingualisme, Menuju Kepunahan: dalam konteks orang Ibu, kapan bahasa Ternate Penelusuran Beberapa Faktor Penyebab menjadi amat berpengaruh bagi mereka? Untuk Kepunahan Bahasa Ibu menjawab pertanyaan ini ada dua versi yang bisa Apabila kita membandingkan fenomena dikemukakan, yaitu, pertama, berhubungan dengan yang terjadi pada generasi yang saat ini berusia lokasi tinggal orang Ibu di pulau Halmahera dan,

428 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 19 No. 3 Tahun 2017 kedua, berhubungan dengan agama Islam yang salah satunya dengan masuknya babato berjubah menjadi agama orang Ibu. putih yang bertugas mengurus agama Islam. Misi agama ini kemudian dilanjutkan oleh sultan Sampai saat ini belum ada jawaban yang berikut, yaitu Sultan Bayanullah (1500-1522). pasti. Namun, mengenai hal yang berhubungan Berikut ini beberapa perubahan yang dilakukan dengan lokasi penutur orang Ibu yang berada di ketika Islamisasi dilakukan. Halmahera, penulis hanya dapat memberikan gambaran dari berbagai misi ekspansi yang (1) Gelar kolano yang digunakan raja-raja dilakukan Kerajaan Ternate di pulau Halmahera sebelumnya diganti dengan gelar sultan yang pada saat itu dikuasai oleh seorang Ratu yang lebih Islami; dari Kerajaan Jailolo. Masih dari sumber yang (2) Ternate dengan resmi menerima Islam sama, Amal (2009: 40-42) menyatakan bahwa sebagai agama kerajaan dan sejak itu berpindahtangannya pulau Halmahera kepada menjadi kesultanan; Ternate terjadi pada tahun 1527, ketika (3) Lembaga baru dan struktur pemerintahan Taruwese, Raja Muda Ternate dibantu oleh dibentuk dengan diangkatnya Lembaga meruntuhkan Kerajaan Jailolo. Akan Jolebe atau babato berjubah putih–bertugas tetapi, dijelaskan pula bahwa sejak kepemimpinan membantu sultan dalam urusan keagamaan kolano ketiga, Siale, (1284-1298), Ternate sudah Islam untuk mendampingi babato berjubah mulai melakukan aneksasi dan menguasai hitam yang telah ada–bertugas membantu beberapa desa yang semula dikuasai Jailolo. sultan dalam urusan pemerintahan; Dengan demikian, dapat dikira-kira bahwa (4) Sultan adalah Pembina agama Islam atau secara lokasi, pengaruh bahasa Ternate bagi Amiral-din yang membawahi jolebe berjubah orang Ibu terjadi ketika Desa Gamlamo dan putuh. Jolebe terdiri dari seorang Kalem Gamici yang ada di Halmahera jatuh ke tangan (Qadhi), 4 orang Imam, 8 orang Khatib dan Ternate, sekitar abad 13 hingga awal abad 16-an. 16 orang Moding, yang membantu Amiral- din menjalankan fungsi-fungsi keagamaan Hal lain yang bisa dijadikan penanda dan syariat Islam. awal pentingnya bahasa Ternate di kalangan Sumber: Dikutip dari Amal (2009: 47) orang Ibu ialah ketika agama Islam masuk ke dalam kelompok mereka. Kita tahu bahwa saat Dari keempat uraian di atas, dapat kita ini mayoritas orang Ibu beragama Islam dan lihat bahwa agama Islam begitu penting di sampai saat ini, di kampung-kampung tempat dalam Kesultanan Ternate, juga di wilayah- orang Ibu tinggal, mereka masih melakukan wilayah lain yang dikuasai Ternate. Dijelaskan ritual-ritual keislaman yang meriah, terutama oleh Putuhena (1983: 324) bahwa untuk wilayah- ketika bulan puasa dan lebaran tiba. Tarian Gala wilayah di luar pusat kekuasaan–termasuk merupakan salah satu contoh tarian dari orang Halmahera Utara, Makian, Kepulauan Sula, Ibu yang dilakukan ketika hari raya Idul fitri. Di Kepulauan Bagai, dan Toboku di pesisir Timur dalam tarian tersebut ada lagu-lagu yang Sulawesi Tengah–diutus salahakan dan utusan syairnya berbahasa Ternate. Ritual lainnya yang yang mengkoordinasikan sangaji ‘kepala distrik’ masih ada hubunganya dengan Ternate ialah dan kimalaha ‘kepala kampung’ untuk menjaga dabus ‘ritual menusuk-nusuk tubuh dengan keamanan dan mengumpulkan pajak. Selain itu benda tajam’. Dabus ini biasa dilakukan, mereka juga diwajibkan melapor secara rutin terutama, ketika ada kematian di Desa Gamici kepada sultan secara langsung. Salah satu contoh dan Gamlamo. sangaji ialah Sangaji Gamkonora, Sahrin Malamo Raja Kawasan. Diceritakan oleh tua-tua Masuknya Islam ke wilayah Ternate Gamkonora bahwa Sangaji Gamkonora ini bisa terjadi ketika Ternate menjadi salah satu titik menghadap langsung dengan Sultan, tanpa harus jalur sutra. Pada masa kekuasaan Sida Arif melalui perantara. Malamo (1317-13-13), Ternate dibuka secara resmi menjadi bandar utama perdagangan. Konsekuensi lain yang juga bisa kita Sementara itu, Islamisasi yang gencar di tafsirkan dari masuknya Islam dalam struktur wilayah-wilayah kekuasaan Ternate terjadi pada pemerintahan ialah agama menjadi pemarkah saat Sultan Zainal Abidin (1486-1500) berkuasa. penting dalam struktur sosial masyarakat di Sultan Zainal membawa guru-guru agama dari sana. Artinya, orang-orang yang beragama Islam Jawa untuk mengajarkan agama Islam. Hal lain memiliki struktur sosial yang lebih tinggi yang ia lakukan ialah mengubah formasi kesultanan, daripada orang-orang yang beragama/berkepercayaan

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 19 No. 3 Tahun 2017 429 lain. Dijelaskan pula oleh Putuhena (1983: 328) bahasa Melayu di Asia Tenggara hingga bahwa “[p]erlakuan penguasa terhadap penduduk Madagaskar di bagian Barat, Pulau Easter di yang beragama Islam sebagai warga negara Timur, Taiwan dan Hawai di Utara dan New kelas satu dan penduduk yang beragama lain Zeland di Selatan. Hubungan Ternate dan sebagai warga negara kelas dua.” Kepulauan sekitarnya, termasuk Ibu di pulau Halmahera, dengan bahasa Melayu ialah karena Perlakuan yang didapatkan dari kesultanan Ternate pernah menjadi salah satu titik di Jalur amat menguntungkan bagi masyarakat yang Sutra. semula berkepercayaan animis/dinamis. Tidak heran bila ada kampung-kampung yang semula Lapian (2001: xiv) menjelaskan bahwa berkepercayaan lain, kemudian menjadi Islam. Jalur Sutra “merupakan metafora untuk jalur- Dalam konteks orang Ibu yang semuanya jalur komunikasi di masa lampau.” Melalui Jalur beragama Islam, dapat ditafsirkan bahwa dahulu Sutra ini berbagai barang-barang bernilai, mereka berkepercayaan lain dan kemudian termasuk sutra, rempah-rempah, keramik, dan berubah memeluk agama Islam. Dengan begitu, lain-lain di perdagangkan. Selain itu, melalui Ternate dapat menunjuk perwakilan di sana. Jalur Sutra ini orang-orang yang beasal dari Perlu diingat bahwa untuk jadi salah satu bagian berbagai tempat saling berbagi informasi yang dari struktur kesultanan, agama Islam menjadi sifatnya ‘soft’, seperti gagasan, cerita, musik, syarat pokok yang tidak bisa ditawar-tawar. tarian, dan lain-lain. Selain itu, pentingnya pengawasan di daerah Ibu Secara resmi, Ternate membuka tempatnya ini karena di sana ada sungai Ibu yang konon sebagai Jalur Sutra ketika Sultan Sida Arif kabarnya, pada masa lalu, amat ramai dengan Malamo (1317-1331) berkuasa (Amal, 2009: 42) kapal-kapal para pedagang yang mencari dan, kemudian, mencapai puncak kejayaannya rempah-rempah. sebagai Jalur Sutra karena terintegrasi dengan Tidore pada akhir abad ke-14 (Leirissa, 2001: 9). Suksesnya Ternate menjadi pusat perdagangan karena pada 1322, Ternate bersama-sama Tidore, Bacan, dan Jailolo bersepakat untuk bersaudara di bawah ikatan perjanjian Motir Verbond8. Melalui ikatan itu pemberontakan yang terjadi akibat kecemburuan sosial dengan Kesultanan Ternate bisa diredam (Amal, 2009: Keterangan: Sungai Ibu yang membelah Desa Gamlamo 45). dan Desa Gamici Seiring dengan perdagangan yang Foto di atas merupakan gambaran semakin ramai di Maluku, khususnya Ternate, sungai Ibu yang cukup luas untuk dilewati bahasa Melayu yang merupakan modal kapal-kapal nelayan dulu dan kini. Paparan komunikasi untuk memperlancar perdagangan, mengenai perdagangan dan kebahasaan yang ada lambat laun, menjadi lingua-franca. Ibrahim hubungannya dengan akses orang Ibu dan menjelaskan perkembangan bahasa Melayu ini pendatang, secara lebih jelas akan dipaparkan dengan istilah ‘kawin-mawin’ dengan bahasa pada bagian berikutnya yang membahas bahasa tempatan (baca: Ternate) dan memunculkan Melayu sebagai bahasa perdagangan. suatu dialek Melayu yang biasanya diberi nama sesuai dengan tempatnya. Di Maluku Utara, Bahasa Melayu: Dari Perdagangan hingga khususnya, tempat terjadinya interaksi bahasa Kemerdekaan Melayu dengan bahasa ternate, muncul juga Bahasa Melayu disebut juga bahasa bahasa Melayu Ternate yang eksis hingga saat perdagangan karena melalui bahasa ini orang- ini. Hal lain yang tidak kalah pentingnya ialah orang dari berbagai penjuru dunia bisa saling penggunaan bahasa Melayu Ternate di kalangan berkomunikasi dan bertukar barang-barang dagangan. Luasnya penggunaan bahasa Melayu 8Motir Verbond ialah perjanjian yang diterangkan oleh Collins (2005) dalam bukunya dilakukan di Ternate untuk menyatukan empat yang berjudul Bahasa Melayu Bahasa Dunia. kerajaan besar di Maluku, yaitu Ternate, Tidore, Dalam bukunya terdapat sebuah peta yang Jailolo, dan Bacan. Perjanjian itu akhirnya menggambarkan luasnya cakupan penggunaan menyatukan mereka dalam sebutan Moloku Kie Raha berarti ‘persatuan empat gunung’.

430 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 19 No. 3 Tahun 2017 Kesultanan Ternate. Salah satu contoh dari karena mereka berada di tengah-tengah pusat penggunaan bahasa Melayu Ternate di kalangan perdagangan yang ada sejak masa lalu hingga Kesultanan Ternate ialah Buku Tambaga9. kini. Ditambah lagi kedatangan para pendagang ini juga menarik orang-orang dari etnik lain di Amal dalam Ibrahim (2009: 104) sekitar, seperti orang Makian, untuk datang, menjelaskan bahwa di dalam Buku Tambaga bekerja, dan tinggal berbaur dengan orang Ibu. terdapat catatan kegiatan Kesultanan Ternate Dinyatakan oleh salah seorang responden bahwa dengan rekan dagangnya, Belanda. Di dalamnya kebanyakan di Desa Gamici dan Gamlamo juga terdapat surat-surat perjanjian, izin, hibah, orang-orang dari Makian sehingga untuk dan lain-lain, yang ditulis dengan bahasa Ternate berkomunikasi mereka menggunakan bahasa dengan huruf Arab. Catatan yang ada dalam Malayu atau Ternate. Secara Jumlah, orang Ibu lembaran-lembaran tersebut selain menggambarkan lebih sedikit dari pendatang, sehingga tidak aneh penggunaan bahasa Melayu juga mengindikasikan apabila kita saat ini menemukan orang Ibu, tua betapa bahasa Melayu akhirnya merangsek dan muda, bilingual bahasa Ternate dan Melayu. masuk ke dalam wilayah kesultanan yang Hal lain yang sifatnya personal ialah alasan yang semula mewajibkan berbahasa Ternate. Fakta dikemukakan oleh Bapak Nifu, penutur terakhir tersebut menjadi bukti betapa kekuatan ekonomi bahasa Ibu, yang menyatakan malu berbahasa perdagangan mendorong pergeseran bahasa. Ibu. Kalau kita lihat dari sisi ekonomi, memang Fakta yang masih ada hubungannya dengan bahasa Ibu relatif tidak menjual bila pergeseran bahasa Ternate ini bisa dilihat hingga dibandingkan bahasa Ternate yang didukung saat ini: orang-orang Ternate di pulau Ternate oleh kesultanan dan bahasa Melayu yang saat ini sudah meninggalkan bahasanya dan menjadi bahasa perdagangan. untuk belajar kembali bahasanya mereka harus pergi ke Halmahera, salah satunya lokasi Beranjak kepada masa yang lebih penutur bahasa Ibu (Ibrahim, 2009: 85). mutakhir lagi, ketika Indonesia merdeka dan Kepulauan Maluku menjadi salah satu provinsi, Kembali ke dalam konteks orang Ibu, di seluruh Indonesia dan di lingkungan orang seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa Ibu, khususnya, bahasa Indonesia yang daerah penutur bahasa Ibu ada di antara sungai mengembangkan dialek Melayu-Riau memiliki Ibu yang menjadi salah satu jalur yang dilewati posisi yang kuat dan memaksa orang-orang yang para pedagang dari berbagai tempat untuk tidak berbahasa Indonesia untuk belajar dan mencari rempah-rempah dan juga untuk menjual menerima bahasa ini. Masinambow (2002: 10) komiditi yang dibawanya dari daerah asal. Saat menjelaskan bahwa bahasa Indonesia memiliki ini, di Desa Gamici–salah satu desa orang Ibu– tiga fungsi kemasyarakatan, antara lain: “(1) terdapat pasar yang cukup besar di wilayah Ibu. sebagai bahasa nasional, (2) sebagai bahasa Dapat dikatakan bahwa, untuk wilayah Ibu, dari persatuan, dan (3) sebagai bahasa resmi.” Sebagai Sahu Timur hingga Tobaru, Desa Gamici masih bahasa nasional, bahasa Indonesia menegaskan menjadi pusat perdagangan yang ramai. identitas Republik Indonesia. Sementara itu, Ramainya tempat ini dapat dibuktikan pula sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia dengan kehadiran pedagang bermodal besar digunakan di berbagai ranah formal kenegaraan, keturunan Tionghoa yang mengadu nasib hukum, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan lain- dengan berdagang komoditas konsumsi yang lain. Terakhir, sebagai bahasa persatuan, bahasa ditukar dengan rempah-rempah (pala, cengkih, Indonesia menjadi lingua-franca bagi kelompok fuli, dan kopra). Selain itu, di daerah Ibu juga etnik yang beragam di Indonesia. terdapat pelabuhan yang menghubungkan bagian Utara pulau Halmahera (Loloda) dengan Ibu. Pentingnya peran bahasa Indonesia ini, Pelabuhan ini amat penting karena belum ada dalam konteks kelompok etnik Ibu, mau tidak jalur darat yang tembus sampai ke Loloda. mau, mendorong orang Ibu untuk menguasai bahasa itu. Apalagi di sana terdapat sekolah-

sekolah yang dibangun pemerintah dan otomatis Eksistensi bahasa Melayu di lingkungan bahasa yang digunakan dalam komunikasi orang Ibu tampaknya tidak bisa dihindarkan pengajaran m lain yang tidak kuat mendorong orang Ibu menguasai bahasa Indonesia ialah 9Disebut juga Buku Tembaga karena kulit dipakainya menggunakan bahasa Indonesia. Hal sampul buku ini terbuat dari bahan tembaga (Ibrahim, 2009:103-5).

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 19 No. 3 Tahun 2017 431

Keterangan: Aktivitas perdagangan di Desa Gamici dan gudang-gudang penyimpanan kopra bahasa ini di media cetak dan audio-visual. Tekanan-tekanan dari bahasa Ternate Keterbukaan komunikasi itu, sudah pasti dan Melayu-Ternate telah menyebabkan orang menyebabkan generasi-generasi muda orang Ibu Ibu meninggalkan bahasanya, sehingga saat ini terpajan dengan bahasa Indonesia dan akhirnya generasi muda hingga dewasa-tua tidak lagi mengadopsi bahasa ini menggantikan bahasa berbahasa Ibu. Mereka lebih cenderung berbahasa Ternate dan/atau Melayu Ternate. Ternate untuk ranah keluarga dan ketetanggaan, Melayu untuk hubungan lintas etnik dan bahasa Simpulan Indonesia untuk berurusan dengan negara, pendidikan dan berbagai media informasi. Paparan mengenai pola perilaku penutur bahasa Ibu di atas memberikan gambaran Apa yang pernah terjadi dengan bahasa kepada kita bagaimana bahasa Ibu ini berproses Ibu di masa lalu dan fenomena bergesernya menjadi punah karena persaingan politik dan penggunaan bahasa di kelompok etnik Ibu yang ekonomi yang pernah dan masih terjadi di dalam ada sekarang ini memunculkan pertanyaan untuk masyarakatnya. Secara politik, penutur bahasa penelitian berikutnya, yakni bagaimana pola Ibu ini pernah berada di bawah kekuasaan perilaku berbahasa di kelompok etnik Ibu yang Ternate yang di dalamnya terdapat konsekuensi- ada pada saat ini, terutama remaja dan anak- konsekuensi, seperti menjadinya bahasa Ternate anak? Hal ini penting selain untuk lebih sebagai bahasa resmi kenegaraan. Selain itu, mengeksplorasi tentang proses kepunahan bahasa ini juga pernah menjadi bahasa ‘ilmu’ bahasa dan juga untuk lebih memahami keislaman yang memaksa mereka untuk bagaimana proyeksi pola perilaku bahasa mempelajari bahasa Ternate. Tentu saja karena kelompok etnik Ibu pada masa depan. Islamisasi itu juga menjadi misi Kesultanan Ternate. Daftar Pustaka Di sisi lain, secara ekonomi, penutur Amal, M. Adnan. 2009. Kepulauan Rempah- bahasa Ibu yang tinggal di salah satu titik Rempah: Perjalanan Sejarah Maluku perdagangan rempah-rempah masa lalu membuat Utara 1250-1950. Makasar: Pusat Kajian mereka menjadi terbuka dengan pendatang- Agama dan Masyarakat, UIN Alaudin. pendatang dari etnik lain, bahkan dari benua Crystal, David. 2000. Language Death. Cambridge: lain. Para pedagang tersebut menggunakan Cambridge. bahasa Melayu sehingga, orang-orang Ibu yang jumlahnya tidak seberapa, lagi-lagi, harus Collins, James T. 2005. Bahasa Melayu Bahasa menguasai bahasa Melayu. Hal lain yang lebih Dunia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. menekan dari bahasa Melayu ialah ketika Grimes, Charles E. dan Barbara D. Grimes. Kesultanan Ternate ini juga mulai menggunakan 1984. “Languages of The North Moluccas: bahasa Melayu-Ternate untuk urusan kenegaraan A Preliminary Lexicostatistic Classification”. dan penyebaran Islam. Buletin Leknas: Maluku dan Irian Jaya, E.K.M. Masiambow (ed.), Vol. III:1.

432 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 19 No. 3 Tahun 2017 Jakarta: Lembaga Ekonomi dan Lewis, M. Paul (ed.). 2009. Ethnologue: Kemasyarakatan Nasional, LIPI. Languages of the World, Sixteenth edition. Dallas, Texas: SIL International. Ibrahim, Gufran Ali. 2009. Metamorfosa Sosial Online version: http://www. ethnologue.com/. dan Kepunahan Bahasa. Ternate: Diakses 14 Agustus 2011. Lembaga Penerbitan Universitas Khairun. Masinambow, E.K.M. dan Paul Haenen (ed.). Imelda. 2006. Kepunahan Bahasa 1 (Kontemplasi 2002. Bahasa Indonesia dan Bahasa terhadap Bencana Geologis di Indonesia). Daerah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Dalam Inovasi Online, Vol. 8: XVIII. http://io.ppijepang.org/v2/index.php?opt Putuhena, M. Saleh A. 1983.” Struktur Pemerintahan ion=com_k2&view=item&id=227:kepu Kesultanan Ternate dan Agama Islam.” nahan-bahasa-1-kontemplasi-terhadap- Dalam Buletin Leknas: Halmahera dan bencana-geologis-di-indonesia. Raja Ampat sebagai Kesatuan Majemuk, Studi-Studi terhadap Suatu Daerah Kramsch, Claire. 1998. Language and Culture. Transisi, E.K.M. Masinambow (ed.), Oxford: Oxford University Press. Vol. II: 2. Jakarta: LEKNAS-LIPI. Kurniawati, Wati. 2008. “Menyelamatkan Skutnabb-Kangas, Tove. 2000. Linguistic Genocide Bahasa Ibu dari Kepunahan.” Dalam in Education: Worldwide Diversity and Linguistik Indonesia, Tahun 26:2. Human Rights? New Jersey: Lawrance http://www.e-li.org/main/pdf/pdf_249. Erlbaum Associates. pdf. Diakses 14 Agustus 2011. Taber, Mark et. al. (eds). 1996. Atlas Bahasa Lapian, Adrian B. 2001. “Kata Pengantar.” Tanah Maluku. Ambon: Pusat Pengkajian Dalam Ternate Bandar Jalur Sutra, Ade dan Pengembangan Maluku, Universitas Kamaluddin, Restu Gunawan, dan Yusuf Pattimura dan Summer Institute of Mile (ed.). Jakarta: Penerbit Lintas, Linguistics. Yayasan IKAPI Program, Pustaka III- The Ford Foundation. Leirissa, R.Z. 2001. “Jalur Sutra: Integrasi Laut- Darat dan Ternate Sebagai Jalur Sutra.”

Dalam Dalam Ternate Bandar Jalur Sutra, Ade Kamaluddin, Restu Gunawan, dan Yusuf Mile (ed.). Jakarta: Penerbit Lintas, Yayasan IKAPI Program, Pustaka III- The Ford Foundation.

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 19 No. 3 Tahun 2017 433

434 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 19 No. 3 Tahun 2017