53

Lampiran 1 : Surat Keterangan Survey 54

Lampiran 1 : Surat Keterangan Survey (Sambungan) 55

Lampiran 2 : Sebuah Ruang Bernama Bioskop

Sebuah Makna Ruang Bernama Bioskop Minggu, 30 Mei 2004 BEGITULAH potongan syair lagu ”Malam Minggu”, yang dipopulerkan oleh Bing Slamet dan Benyamin Sueb pada tahun 1970-an. Sebuah lagu bersuasana tragik komedi tentang seorang lelaki yang membawa tunangannya nonton ke sebuah gedung bioskop bergengsi, dengan uang pas-pas-an. Satu hal yang tersirat dalam lirik lagu tersebut adalah bagaimana bioskop, pada suatu masa di belakang, tak hanya berfungsi sebagai tempat menonton pertunjukan film, tapi juga dimaknai sebagai tempat yang bisa memberi sebuah identitas dan prestise sosial tertentu, yakni identitas dan prestise, gaya hidup tuan dan nyonye di gedongan. Jika disebut film sebagai sesuatu yang di dalamnya memaktubkan apa yang disebut dengan dokumen sosial suatu masyarakat, maka halnya demikian pula dengan bioskop. Bioskop dalam hal ini agaknya tidaklah cukup dimengerti sebagai tempat yang mempertemukan film dan publiknya, dengan relasi-relasi kepentingan ekonomi di dalamnya. Atau juga bukan bersebab pada masa kelahirannya yang sama, yakni ketika film pertama kalinya dipertontonkan ke hadapan publik dengan memungut bayaran seperti yang terjadi di Grand Cafe Boulevard de Capucines Paris, pada 28 Desember 1895 lalu, sebagai peristiwa yang menandai lahirnya film dan bioskop. Bioskop dengan keberadaan dan berbagai penanda yang menyertainya, juga merepsentasikan sebuah perkembangan dan realitas fenomena sosial yang tengah terjadi di suatu waktu. Termasuk, seperti yang disiratkan oleh syair lagu di atas, yakni sebagai ruang yang memaktubkan sebuah identitas dan prestise kelas sosial tertentu. Sebagai sebuah dokumen atau artefak sosial, bioskop dengan berbagai perkembangannya, lebih jauh, juga merepresentasikan seluruh gejala perubahan yang terjadi dengan masyarakat penontonnya dalam memahami perubahan yang terjadi dalam fenomena identitas dan prestise kelas-kelas sosial. Kebutuhan suatu masyarakat pada sebuah tempat, seperti misalnya bioskop atau pasar tradisional, cenderung tidaklah melulu mendasar atas pengertiannya yang fungsional. Tetapi juga membayangkan adanya pemaknaan yang terberikan di dalamnya dalam konteks makna sosio dan psiko-kulturalnya. Bahkan sejak awal kehadirannya di pada 5 desember 1900 di sebuah lapangan terbuka di Kebondjae, kawasan Tanah Abang , bioskop telah dimaknai bukan melulu sebagai ruang fungsional untuk menyaksikan pertunjukan film -- yang ketika itu berupa film dokumenter tentang perjalanan Ratu Olanda dan Raja Hertog di Den Haag. Tetapi juga membayangkan bagaimana ruang itu dimaknai dengan sejumlah kategori prestise sosial tertentu. Hal ini, misalnya, dapat diperhatikan dari bunyi iklan film itu di Surat Kabar Bintang Betawi sehari sebelumnya, yang menulis juga harga tanda masuk untuk menyaksikan film tersebut, Klas satoe f2, klas doewa f1, klas tiga f 0,50. Bahkan setahun kemudian perkembangan bioskop yang gencar memasang iklan di berbagai surat kabar ketika itu, menambah lagi jenis atau kategori kelas tempat 56 duduk. Dari mulai Loge (VIP) hingga kelas III yang identik dengan penonton pribumi yang karena itu disebut kelas "kambing". PERKEMBANGAN bioskop, dari mulai fasilitas dan sarananya, arsitekturnya hingga tata letaknya dalam arsitektur kota, mengalami perubahan seiring dengan fenomena yang terjadi dalam masyarakatnya. Selain tentunya juga merepresentasikan perubahan yang terjadi dalam dunia industri perfilman itu sendiri. Satu perubahan besar yang terjadi dalam fenomena keberadaan bioskop sejak tahun 1980-an, serta bagaimana fenomena itu menggiring cara pandang banyak orang -- terutama di perkotaaan -- dalam memaknai bioskop sebagai sebuah ruang sosial, adalah ketika bioskop kian cenderung menjadi tidak lagi hadir sebagai ruang yang tersendiri di tengah sebuah arsitektur ruang-ruang kota. Tapi telah menjadi bagian dari sebuah bangunan besar yang bernama mall, dengan apa yang disebut sebagai cineplex. Bioskop dalam keadaan yang semacam ini seakan-akan tengah digiring pada pemaknaan berikutnya, bahwa ia tak hanya sekadar tempat orang menonton dengan prestise sosial yang disediakannya. Akan tetapi juga bagaimana prestise itu dihadapkan dengan kecenderungan bioskop yang diandaikan sebagai ruang publik yang diam-diam juga menegaskan serta menawarkan sebuah gaya hidup. Bioskop dihadirkan sebagaimana psikologi ruang mall itu sendiri, sebagai ruang publik yang demikian terbuka dengan pelataran yang dipenuh sofa-sofa yang empuk. Siapa pun boleh duduk datang dan pergi di situ, meski tidak berniat untuk menonton. Juga orang pun diberi kebebasan untuk memilih sendiri film yang akan ditontonnya dan nomor tempat duduknya, tanpa adanya lagi kelas dan perbedaan harga tiket. Dengan kata lain, yang dijual cineplex bukanlah sekadar film-film terbaru yang bermutu, namun juga gaya hidup dan kebudayaan. Prestise kelas tempat duduk menjadi tidak lagi penting, karena bioskop dan mall itu adalah prestise itu sendiri. Terlebih lagi sasaran atau target penonton yang diandaikannya adalah kaum muda. Dalam konteks inilah agaknya menjadi benar seperti apa yang dikatakan oleh Edison Nainggolan dari Kharisma jabar Film dalam obrolan singkat kami di GK. Rumentang Siang (26/5) yang lalu. "Kelas-kelas dalam ruang bioskop itu sendiri memang tidak lagi diperlukan, karena dalam masyarakat sendiri pengertian kelas itu sudah tidak lagi jelas," katanya. Perkembangan bioskop dengan kenyataan semacam ini menjelaskan bagaimana perkembangan itu melakukan korelasi dengan apa yang terjadi dalam perubahan sosio-kultural masyarakatnya. Dan seraya itu juga, dalam hal ini di sisi yang lain cineplex memang tidak berangkat dari keperluan menjadi ruang tontonan keluarga atau masyarakat kebanyakan yang telah direbut oleh media televisi dan jenis tontonan "rumahan" lainnya. Seperti juga mall, bioskop menawarkan dan menciptakan psikologi ruang yang penuh dengan sensasi-sensasi kebersamaan dalam gaya hidup anak-anak muda perkotaan. 57

Mall sebagai psikologi ruang yang terkesan begitu memberi keleluasaan dan kebebasan, dari mulai prosedur berbelanja hingga hanya sekadar untuk berjalan- jalan menjadi penanda yang tepat untuk keperluan membangun citraan dan sensasi kebersamaan anak-anak muda tersebut, lengkap dengan sugestifikasi gaya hidup di dalamnya. Lepas dari berbagai soal di seputar politik distribusi film yang centang-perenang yang menguntungkan pemilik modal besar, atau juga penurunan kualitas film yang diputar di gedung bioskop-bioskop konvensional, namun paling tidak inilah salah satu yang menyebabkan terjadinya perubahan masyarakat dalam mempersepsikan bioskop sebagai sebuah makna ruang sosial. Bioskop tidak lagi hanya dibaca dengan pemaknaan prestise tempat seperti halnya sebuah gedung bioskop konvensional dengan desain psikologi ruang yang terasa kaku, melainkan dengan prestise gaya hidup yang menyertainya, yang bukan mendasar pada kelas-kelas sosial. Tapi pada bagaimana gaya hidup itu dihadirkan di dalamnya sehingga sekonyong-konyong ia menjadi sebuah prestise yang tak hanya dimasuki dan diterima, tapi bahkan diperlukan dan menjadi kebutuhan. (Ahda Imran)*** 58

Lampiran 3 : Bioskop 21 "http://id.wikipedia.org/wiki/Bioskop_21"

Bioskop 21 15 Juni 2007 Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia. Langsung ke: navigasi, cari

Logo 21 Cineplex Bioskop 21 (disebut pula Studio 21 atau Bioskop TwentyOne atau 21 Cineplex) adalah jaringan bioskop terbesar di Indonesia. Bioskop ini tersedia di beberapa kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, , dan . Sebagian besar di antaranya telah dilengkapi dengan teknologi-teknologi tercanggih, seperti tata suara Dolby Digital, THX, dan semacamnya. Hampir semua bioskop 21 terletak di dalam gedung pusat perbelanjaan. Studio XXI Selain itu, jaringan 21 juga mengembangkan anak perusahaannya, yakni jaringan Studio XXI yang ditujukan untuk level kalangan menengah ke atas sebagai bentuk perlawanan grup bioskop 21 terhadap MPX yang berkonsep bioskop butik, dan Blitz Megaplex yang berkembang dengan pesat. Bioskop XXI dilengkapi dengan teknologi-teknologi terbaru dan ditambah dengan kenyamanan lobby, studio dan kursinya yang satu tingkat di atas jaringan 21. Bioskop XXI pertama dibuka di Plaza Indonesia Entertainment Xnter pada tahun 2003 dan telah berkembang dengan pembukaannya di mal-mal papan atas termasuk 3, Mal Pondok Indah 2, , dan Cihampelas Walk Bandung. Selain itu, beberapa bioskop 21 yang selama ini menjadi pilihan utama termasuk Anggrek 21, Senayan 21, Djakarta Theater 21 dan BSM 21 Bandung direnovasi menjadi bioskop XXI. Senayan 21 yang berlokasi di kini telah dibuka kembali dengan nama Plaza Senayan XXI tambahan dua studio menjadi sepuluh studio (8 studio reguler dan 2 studio premiere), salah satu yang terbanyak di Indonesia. Seiring dengan dibentuknya Studio XXI, 21 Group juga mendirikan sebuah lounge bernama XXI Club yang terletak satu gedung dengan Djakarta Theater XXI. 59

The Premiere Ditargetkan untuk pecinta film yang menginginkan fasilitas yang lebih mewah, terdapat pula The Premiere, suatu konsep bioskop yang diperlengkapi dengan segala kemewahan yang ada, termasuk di dalamnya lobby khusus, kursi khusus layaknya business class di dalam sebuah pesawat, dan juga selimut serta kemewahan-kemewahan lainnya. The Premiere hingga saat ini baru hadir di beberapa bioskop di Jakarta, yakni Studio XXI, Pondok Indah XXI, Senayan City XXI, dan Plaza Senayan XXI. Harga tiket untuk The Premiere adalah Rp. 100,000. Nonton Hemat Setiap Senin baik 21 dan XXI menerapkan harga khusus tiketnya yang lebih murah dari hari-hari biasanya, dan event ini dinamakan dengan NoMat (Nonton Hemat). Di hari-hari tertentu, jaringan 21 dan XXI bekerjasama dengan beberapa bank di Indonesia menerapkan sistem Buy One Get One Free untuk tiketnya, bagi pengguna kartu kredit bank-bank yang bersangkutan. Juga, baru-baru ini pihak 21 mengubah peraturan untuk tarif tiket bioskop-bioskop tertentu, terutama yang berada di Jakarta, dimulai dari yang termurah untuk hari senin, lebih mahal sedikit untuk hari selasa - jumat, dan harga termahal untuk akhir pekan. Mobile Ticketing Untuk melengkapi kenyamanan para penonton, kini telah diluncurkan sistem mobile ticketing (MTix), untuk pemesanan tiket melalui SMS. Persaingan Seiring dengan bangkitnya perfilman Indonesia, perbioskopan di tanah air pun seakan ikut menyemarakkan hal tersebut. Hal ini ditandai dengan kemunculan beberapa gedung bioskop kelas satu untuk berbeda kalangan, seperti MPX Grande yang sebagian besar menayangkan film India, namun tidak mengesampingkan kenyamanan dan kemewahan menonton, Cinema Surya M2 yang sebagian besar menayangkan film-film Asia Oriental, dan juga Blitz Megaplex, sebuah konsep bioskop terbaru yang kini tengah ramai diperbincangkan keberadaannya, oleh karena diperkirakan menyaingi 21. Meskipun demikian, tampaknya 21 masih memegang peranan besar dalam monopoli bisnis perbioskopan di Indonesia, dikarenakan jumlah bioskop- bioskopnya yang telah menyebar di seluruh tanah air, dan juga hak atas sebagian besar film-film Hollywood. Namun masyarakat yang telah jenuh dengan film-film mainstream pun akan beralih ke bioskop-bioskop tadi dan dunia sinema Indonesia pun akan ramai kembali. www.blitzmegaplex.com 60

ISTILAH-ISTILAH TEMPAT Audi adalah kependekan dari 'auditorium'. Auditorium atau audi adalah ruangan di mana film ditayangkan. Concession adalah tempat di mana kamu dan para blitzers suka jajan snack buat sebelum nonton dan kapan aja kalian kepanggil untuk ngemil. Popping Area bukan! ini bukan tempat yang nge-pop, tapi tempat yang dipake untuk mengolah popcorn andalan blitz yang wangi itu, plus snack lainnya. The Stores DigitalBeat Store Tampil beda nggak harus selalu lewat baju atau gadget terbaru. Bisa juga lewat musik dan lagu yang bisa Anda download sendiri di 16 monitor touch-screen. Caranya mudah: Pilih lagu. Dengarkan dulu. Bila suka, langsung beli dan bayar di kasir sebelum pergi. Pilih mau di-download ke mana. iPod-kah? USB Storage kah? Memory card kah? CD-kah? Sok wae atuh. Tinggal pencet gitu looh...

Movie Selections Seperti layaknya pecinta film sejati, Anda pasti ingin tahu apa saja film-film bagus lain selain film-film lokal dan Hollywood. Tersenyumlah, karena kami juga menayangkan film-film dari Korea, Thailand, Jepang, dan Eropa. Tinggal pilih dan review film yang Anda tonton di Forum kami di www.blitzmegaplex.com Cafe Tantang staf kami dan pesan sesuatu dari 'QUICK MENU', yaitu pilihan menu di mana semuanya akan tersaji dalam waktu kurang dari 9 menit. Atau, be ordinary dan pesan menu-menu kami yang lainnya seperti Sop Buntut, Spaghetti, Steak, Soto Ayam, Ayam Bakar dengan pilihan dessert dan jus buah segar. Yang beda: ISTILAH-ISTILAH KERJA

CRO Ini adalah singkatan dari Customer Relation Officer yang tugasnya paling penting. Soalnya merekalah yang paling pertama ketemu sama tamu. En, ngewakilin citra blitzmegaplex yang ramah tamu, teman, dan lingkungan baik secara langsung maupun tidak langsung alias lewat telepon. Usher Bukan penyanyi item itu yah. Ini adalah pekerjaan tukang anter. Di mana mbak dan mas harus mengontrol tiket pengunjung ke dalam audi, mengantar ke tempat duduk dan menjaga kebersihan auditorium blitzmegaplex. Server Dude! Ini adalah sebutan untuk para mbak dan mas yang melayani para tamu di Blitz Café dan Lounge. 61

Crew Orang yang menjalankan seluruh kegiatan operasional di unit tertentu yang bertanggung jawab kepada Crew Leader. Lalu untuk yang lain-lainnya, kamu bisa juga ngelamar jadi Crew, Crew Leader, Supervisor, Manajer, Proyeksionis, dan masih banyak lagi. Main lagi aja ke sini, www.blitzmegaplex.com untuk tahu lebih banyak. Belum puas?!?! Langsung aja email kami lewat Contact Blitz 62

Lampiran 4 : Bioskop “http://id. Bioskop - Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.mht” Bioskop

Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia. Bioskop (Belanda: bioscoop dari bahasa Yunani dan berarti "gambar hidup") adalah tempat untuk menonton pertunjukan film dengan menggunakan layar lebar. Gambar film diproyeksikan ke layar menggunakan proyektor. Bioskop di Indonesia Bioskop pertama di Indonesia berdiri pada Desember 1900, di Jl Tanah Abang I, Jakarta Pusat, karcis kelas I harganya dua gulden (perak) dan harga karcis kelas dua setengah perak. Bioskop jaman dulu bermula di sekitar Lapangan Gambir (kini Monas). Bangunan bioskop masa itu menyerupai bangsal dengan dinding dari gedek dan beratapkan kaleng/seng. Setelah selesai pemutaran film, bioskop itu kemudian dibawa keliling ke kota yang lain. Bioskop ini di kenal dengan nama Talbot (nama dari pengusaha bioskop tsb). Bioskop lain diusahakan oleh seorang yang bernama Schwarz. Tempatnya terletak kira-kria di Kebon Jahe, Tanah Abang. Sebelum akhirnya hancur terbakar, bioskop ini menempati sebuah gedung di Pasar Baru. Ada lagi bioskop yang bernama De Callone (nama pengusahanya) yang terdapat di Deca Park. De Callone ini mula-mula adalah bioskop terbuka di lapangan, yang dijaman sekarang disebut "misbar", gerimis bubar. De Callone adalah cikal bakal dari bioskop Capitol yang terdapat di Pintu Air. Bioskop-bioskop lain seperti, Elite di Pintu Air, Rex di Kramat Bunder, Cinema di Krekot, Astoria di Pintu Air, Centraal di Jatinegara, Rialto di Senen dan Tanah Abang, Surya di Tanah Abang, Thalia di Hayam Wuruk, Olimo, Orion di Glodok, Al Hambra di Sawah Besar, Oost Java di Jl. Veteran, Rembrant di Pintu Air, Widjaja di Jalan Tongkol/Pasar Ikan, Rivoli di Kramat, dan lain-lain merupakan bioskop yang muncul dan ramai dikunjungi setelah periode 1940-an. Film-film yang diputar di dalam bioskp tempo dulu adalah film gagu alias bisu atau tanpa suara. Biasanya pemutaran di iringi musik orkes, yang ternyata jarang "nyambung" dengan film. Beberapa film yang kala itu yang menjadi favorit masyarakat adalah Fantomas, Zigomar, Tom MIx, Edi Polo, Charlie Caplin, Max Linder, Arsene Lupin, dll. Di Jakarta pada tahun 1951 diresmikan bioskop Metropole yang berkapasitas 1.700 tempat duduk, berteknologi ventilasi peniup dan penyedot, bertingkat tiga dengan ruang dansa dan kolam renang di lantai paling atas. Pada tahun 1955 bioskop Indra di mulai mengembangkan kompleks bioskopnya dengan toko dan restoran. 63

Di Indonesia awal Orde Baru dianggap sebagai masa yang menawarkan kemajuan perbioskopan, baik dalam jumlah produksi film nasional maupun bentuk dan sarana tempat pertunjukan. Kemajuan ini memuncak pada tahun 1990-an. Pada dasawarsa itu produksi film nasional 112 judul. Sementara sejak tahun 1987 bioskop dengan konsep sinepleks (gedung bioskop dengan lebih dari satu layar) semakin marak. Sinepleks-sinepleks ini biasanya berada di kompleks pertokoan, pusat perbelanjaan, atau mal yang selalu jadi tempat nongkrong anak-anak muda dan kiblat konsumsi terkini masyarakat perkotaan. Di sekitar sinepleks itu tersedia pasar swalayan, restoran cepat saji, pusat mainan, dan macam-macam. Sinepleks tidak hanya menjamur di kota besar, tetapi juga menerobos kota kecamatan sebagai akibat dari kebijakan pemerintah yang memberikan masa bebas pajak dengan cara mengembalikan pajak tontonan kepada "bioskop depan". Akibatnya, pada tahun 1990 bioskop di Indonesia mencapai puncak kejayaan: 3.048 layar. Sebelumnya, pada tahun 1987, di seluruh Indonesia terdapat 2.306 layar. 64

Lampiran 5 : Over The Top Blitz Megaplex ”Over the ToP” Blitz Megaplex “http://id. Pikiran Rakyat ”Over the ToP” Blitz Megaplex.mht”

Sabtu, 18 Nopember 2006 One Stop Entertainment. Konsep jitu yang kini didambakan para penikmat hiburan. Menghibur, bukan lagi hal sederhana atau sekadar memberikan kepuasan kecil. Namun, sejatinya dunia hiburan pun senantiasa mampu memberikan ruang serta waktu yang tak tersekat batas.Sejalan dunia hiburan yang tak pernah berhenti berevolusi, Blitz Megaplex hadir memberikan pilihan cerdas. Sebagai bagian dari khasanah entertainment, industri film seolah tak pernah mati dalam menunjukkan kreativitasnya. Adanya film tentunya menarik khalayak untuk menontonnya. Tak ayal, gedung sinema pun menjadi sarana favorit untuk menikmati berbagai kisah yang difilmkan. Seperti layaknya ruang bioskop, Blitz Megaplex yang berada di Mal Paris Van Java Sukajadi Bandung ini muncul dengan segenap piranti modern yang diusungnya. Gelegar suaranya dapat kita nikmati lewat teknologi Dolby Sound- nya. Auditorium plus kapasitas duduk yang demikian cozy dihadirkan demi pengalaman menonton film yang mengesankan.Bukan lagi kebiasaan baru, para pecinta film kini banyak yang lebih memilih menonton film DVD bajakan di ruangan rumah. Tentunya, aspek ini terdorong perhitungan ekonomis. Untuk mendongkrak fenomena semacam ini, rasanya tak berlebihan jika Blitz Megaplex hadir menawarkan cara menonton yang lebih elegan namun tak lepas dari tujuan menghibur. Dengan sembilan ruang cineplex yang super canggih, Blitz Megaplex siap memanjakan penonton dengan dukungan fasilitas yang over the top, sejajar dengan auditorium film kelas dunia. Dengan komitmen menghibur yang tak berbatas, Blitz juga memperkaya fasilitasnya dengan disediakannya Blitz Digital Cafe, Live Band hingga Performance DJ serta keasyikan browsing internet secara free of Charge.Karena diperuntukkan bagi mereka yang dinamakan kawula muda 18-25 tahun, Blitz pun menyodorkan aroma dunia muda yang penuh semangat. Adanya Blitz diharapkan juga mereka yang hobi nongkrong atau mencari suasana berbeda dapat memuaskan kebutuhannya tanpa harus berajak dari tempat ini. Tak lama, Blitz akan melengkapi sarananya dengan pool table, yang kini tengah diminati kawula muda. Dengan desain yang beraksen modern minimalis, Blitz siap memutarkan varian judul film terbaru yang diluncurkan. Uniknya, di tempat ini tak hanya menyajikan film produksi Holywood saja. Mulai dari film Indoensia, Asia sampai Eropa dapat kita nikmati di layar Blitz. Jika menyoal segmentasi, tentunya tujuan ini tak lain untuk merangkul mereka yang menginginkan varian tontonan yang lain dari biasanya.Urusan booking tiket, jangan khawatir fully booked karena Blitz akan memberikan banyak kemudahan. Pemesanan kursi dapat diakses lewat website, via ATM atau menelefon call center dari Blitz tak ada lagi batas bukan? 65

Lampiran 6 : Sejarah Perkembangan Pertunjukan Film

Sejarah Perkembangan Pertunjukan Film 20 Mei 2005

Sejak Kinetoscope yang diciptakan oleh Thomas A. Edison hingga kini, bioskop telah mengalami berbagai perubahan sejalan dengan kemajuan jaman. Sejarah perkembangan tersebut adalah sebagai berikut (berdasarkan Kronologi Teknologi Film): Tahun 1901 : Di Perancis, Ferdinand Fecca membuat film dengan judul “The Story of Crime” yang merupakan film bisu. Tahun 1902 : Di Perancis, Edwin S. Foster membuat film dengan judul “The Life of American Man” merupakan film bisu. Tahun 1903 : Di Amerika, “The Great Train Robberry” juga merupakan film bisu dan dianggap sebagai film cerita pertama. Tahun 1927 : Di Broadway Amerika Serikat, muncul film bicara pertama tetapi dalam keadaan yang belum sempurna Tahun 1950 : Setelah Perang Dunia II, muncul televisi yang merupakan ancaman bagi pertunjukan film. Para pengusaha film berusaha membuat film yang kolosal dengan layar besar dan menampilkan pemandangan yang kompleks. Pada tahun ini diperkenalkan “Wide Screen” yang mempengaruhi design teater (bioskop). Tahun 1952 : Fred Walker memperkenalkan system Cinerama dengan layar enam kali lebih besar dari layar film biasa pada waktu itu. Tetapi system ini tidak berkembang karena biaya yang terlalu mahal dan banyak kesulitan teknis lainnya. Tahun 1953 : System 3 dimensi ditemukan suatu system gambar dapat menimbulkan kesan kedalamnya, karena apa yang dilihat penonton tidak rata seperti biasanya, melainkan ada yang seolah-olah menonjol keluar dan ada yang di dalam. System ini pun belum dapat berkembang, karena banyaknya kesulitan teknis. Pada tahun ini juga perusahaan 20th Century Fox memperkenalkan “Cinemascope” dengan layar yang lebih besar meskipun tidak selebar Cenerama. System ini dapat 66

berkembang dan sekarang banyak dipakai. Selain Cinemascope adapula system Vista Vision yang layarnya lebih kecil dari Cinemascope tetapi lebih tajam gambarnya. Pada tahun berikutnya muncul system khusus yang menciptakan gambar 360 derajat di sekeliling penonton. Terdiri dari Circarama (oleh Walt Disney), Kinopanorama (oleh Rusia) dan Circlorama (oleh Inggris). Ketiganya menggunakan 11 proyektor yang diarahkan ke layar film yang berbentuk lingkaran, dengan penonton didalamnya. Pada tahun 1970, muncul system Imaz yang dipamerkan pada Expo Osaka. Sistem ini memakai kamera serta proyektor khusus, layarnya berbentuk mirip kubah. Salah satunya ada di Taman Mini Indonesia Indah yaitu Teater Imax Keong Mas. 67

Lampiran 7 : Teknik dan Peraturan Teknik dan Peraturan Besar Gambar

Ukuran gambar pada layar bervariasi sesuai dengan sistem film yang dipakai, karenanya operator harus dapat menentukan ukuran yang diperlukan. Kemajuan teknologi mengakibatkan munculnya berbagai ukuran tinggi maupun lebar gambar, dimana ukuran lampu yang digunakan ditentukan oleh efek maksimum luas gambar yang diperoleh dengan menggunakan rasio luas setara yang berbeda. Bila menggunakan film 70 mm mungkin membutuhkan rasio luas setara yang berbeda. Lebar layar maksimum yang biasa dipakai adalah 20 m untuk film 70,13 m untuk film 35. Untuk menghitung lebar gambar yang diperoleh dari lensa tertentu dapat menggunakan rumus :

Lebar = lebar kerangka alat mempertajam film X panjang sorotan panjang titik api lensa

Untuk proyek anmorphis (cinemascope), layar lebar perhitungannya sama dengan rumus diatas dikalikan 2. Disarankan penggunaan panjang lensa standart dari menghindari gambar yang terlalu kecil. Gambar yang lebih besar akan memerlukan lensa yang lebih khusus. 68

Ukuran layar

Ukuran layar harus sebesar mungkin sesuai ukuran maksimumnya atau hingga mencapai lebar tempat duduk:

20 m

Layar normal 1:1,37

Layar normal 1:1,66 Layar normal 1:1,85 Bentuk Kinoton 1:1,2 70 mm

Cinemascope 1:2,34

Jarak Pandang Rasio lebar terhadap jarak panjang maksimal sebaiknya dari 1:2 hingga 1:3:

1.3 W SEATING 1 W W 69

Jarak pandang maksimum baris terdepan

Layar

33º maximum Horizontal

Mata

Ruang Proyektor Biasanya dipisahkan menjadi kamar untuk menggulung dan memproyeksikan film yang dilengkapi ruang pengatur cahaya, ruang baterai, ruang tempat distribusi, listrik, ruang pegawai, bengkel dan gudang, masing- masing cukup mempunyai luas 6-10 m2. Sistem peralatan otomatis modern dapat menggunakan ruang yang sama dan perlu dilengkapi dengan meja untuk menggulung film sehingga memudahkan kegiatan di ruang tersebut. Jenis peralatan yang digunakan harus ditetapkan sejak semula agar dimensi detailnya dapat diselesaikan. Cermin untuk proyektor dan pengamatan dapat digunakan bila ruang terbatas, dan belum menggunakan peralatan otomatis. Dengan menggunakan beberapa cermin maka satu ruang proyeksi dapat melayani bioskop berganda yang letaknya vertikal. Tetapi menurut kebiasaan, lebih baik tidak menggunakan cermin proyeksi tersebut. 70

Lampiran 8: Lay-Out dan Pola Lantai

Lay- Out

Pola Lantai 71

Lampiran 9: Perspektif 1, 2, 3

Perspektif 1

Perspektif 2

Perspektif 3 72

Lampiran 10: Detail Elemen Dekoratif 1 73

Lampiran 10: Detail Elemen Dekoratif 1 (Sambungan) 74

Lampiran 11: Detail Elemen Dekoratif 2 75

Lampiran 12: Detail Elemen Dekoratif 3 76

Lampiran 12: Detail Elemen Dekoratif 3 (Sambungan) 77

Lampiran 13 : Detail Elemen Interior 1 78

Lampiran 13 : Detail Elemen Interior 1 (Sambungan) 79

Lampiran 14: Detail Perabot 1 80

Lampiran 14: Detail Perabot 1 81

Lampiran 15: Detail Perabot 2 82

Lampiran 15: Detail Perabot 2 (Sambungan) 83

Lampiran 16: Detail Perabot 3 84

Lampiran 16: Detail Perabot 3 (Sambungan) 85

Lampiran 17: Detail Perabot 4 86

Lampiran 17: Detail Perabot 4 (Sambungan) 87

Lampiran 18: Detail Perabot 5 88

Lampiran 18: Detail Perabot 5 (Sambungan) 89

Lampiran 19: Gambar Maket 1, 2 90

Lampiran 20: Gambar Maket 3, 4 91

Lampiran 21: Gambar Maket 5,6 92

Lampiran 22: Gambar Maket 7, 8 93

Lampiran 23: Gambar Maket 9, 10