
53 Lampiran 1 : Surat Keterangan Survey 54 Lampiran 1 : Surat Keterangan Survey (Sambungan) 55 Lampiran 2 : Sebuah Ruang Bernama Bioskop Sebuah Makna Ruang Bernama Bioskop Minggu, 30 Mei 2004 BEGITULAH potongan syair lagu ”Malam Minggu”, yang dipopulerkan oleh Bing Slamet dan Benyamin Sueb pada tahun 1970-an. Sebuah lagu bersuasana tragik komedi tentang seorang lelaki yang membawa tunangannya nonton ke sebuah gedung bioskop bergengsi, dengan uang pas-pas-an. Satu hal yang tersirat dalam lirik lagu tersebut adalah bagaimana bioskop, pada suatu masa di belakang, tak hanya berfungsi sebagai tempat menonton pertunjukan film, tapi juga dimaknai sebagai tempat yang bisa memberi sebuah identitas dan prestise sosial tertentu, yakni identitas dan prestise, gaya hidup tuan dan nyonye di gedongan. Jika disebut film sebagai sesuatu yang di dalamnya memaktubkan apa yang disebut dengan dokumen sosial suatu masyarakat, maka halnya demikian pula dengan bioskop. Bioskop dalam hal ini agaknya tidaklah cukup dimengerti sebagai tempat yang mempertemukan film dan publiknya, dengan relasi-relasi kepentingan ekonomi di dalamnya. Atau juga bukan bersebab pada masa kelahirannya yang sama, yakni ketika film pertama kalinya dipertontonkan ke hadapan publik dengan memungut bayaran seperti yang terjadi di Grand Cafe Boulevard de Capucines Paris, pada 28 Desember 1895 lalu, sebagai peristiwa yang menandai lahirnya film dan bioskop. Bioskop dengan keberadaan dan berbagai penanda yang menyertainya, juga merepsentasikan sebuah perkembangan dan realitas fenomena sosial yang tengah terjadi di suatu waktu. Termasuk, seperti yang disiratkan oleh syair lagu di atas, yakni sebagai ruang yang memaktubkan sebuah identitas dan prestise kelas sosial tertentu. Sebagai sebuah dokumen atau artefak sosial, bioskop dengan berbagai perkembangannya, lebih jauh, juga merepresentasikan seluruh gejala perubahan yang terjadi dengan masyarakat penontonnya dalam memahami perubahan yang terjadi dalam fenomena identitas dan prestise kelas-kelas sosial. Kebutuhan suatu masyarakat pada sebuah tempat, seperti misalnya bioskop atau pasar tradisional, cenderung tidaklah melulu mendasar atas pengertiannya yang fungsional. Tetapi juga membayangkan adanya pemaknaan yang terberikan di dalamnya dalam konteks makna sosio dan psiko-kulturalnya. Bahkan sejak awal kehadirannya di Indonesia pada 5 desember 1900 di sebuah lapangan terbuka di Kebondjae, kawasan Tanah Abang Jakarta, bioskop telah dimaknai bukan melulu sebagai ruang fungsional untuk menyaksikan pertunjukan film -- yang ketika itu berupa film dokumenter tentang perjalanan Ratu Olanda dan Raja Hertog di Den Haag. Tetapi juga membayangkan bagaimana ruang itu dimaknai dengan sejumlah kategori prestise sosial tertentu. Hal ini, misalnya, dapat diperhatikan dari bunyi iklan film itu di Surat Kabar Bintang Betawi sehari sebelumnya, yang menulis juga harga tanda masuk untuk menyaksikan film tersebut, Klas satoe f2, klas doewa f1, klas tiga f 0,50. Bahkan setahun kemudian perkembangan bioskop yang gencar memasang iklan di berbagai surat kabar ketika itu, menambah lagi jenis atau kategori kelas tempat 56 duduk. Dari mulai Loge (VIP) hingga kelas III yang identik dengan penonton pribumi yang karena itu disebut kelas "kambing". PERKEMBANGAN bioskop, dari mulai fasilitas dan sarananya, arsitekturnya hingga tata letaknya dalam arsitektur kota, mengalami perubahan seiring dengan fenomena yang terjadi dalam masyarakatnya. Selain tentunya juga merepresentasikan perubahan yang terjadi dalam dunia industri perfilman itu sendiri. Satu perubahan besar yang terjadi dalam fenomena keberadaan bioskop sejak tahun 1980-an, serta bagaimana fenomena itu menggiring cara pandang banyak orang -- terutama di perkotaaan -- dalam memaknai bioskop sebagai sebuah ruang sosial, adalah ketika bioskop kian cenderung menjadi tidak lagi hadir sebagai ruang yang tersendiri di tengah sebuah arsitektur ruang-ruang kota. Tapi telah menjadi bagian dari sebuah bangunan besar yang bernama mall, dengan apa yang disebut sebagai cineplex. Bioskop dalam keadaan yang semacam ini seakan-akan tengah digiring pada pemaknaan berikutnya, bahwa ia tak hanya sekadar tempat orang menonton dengan prestise sosial yang disediakannya. Akan tetapi juga bagaimana prestise itu dihadapkan dengan kecenderungan bioskop yang diandaikan sebagai ruang publik yang diam-diam juga menegaskan serta menawarkan sebuah gaya hidup. Bioskop dihadirkan sebagaimana psikologi ruang mall itu sendiri, sebagai ruang publik yang demikian terbuka dengan pelataran yang dipenuh sofa-sofa yang empuk. Siapa pun boleh duduk datang dan pergi di situ, meski tidak berniat untuk menonton. Juga orang pun diberi kebebasan untuk memilih sendiri film yang akan ditontonnya dan nomor tempat duduknya, tanpa adanya lagi kelas dan perbedaan harga tiket. Dengan kata lain, yang dijual cineplex bukanlah sekadar film-film terbaru yang bermutu, namun juga gaya hidup dan kebudayaan. Prestise kelas tempat duduk menjadi tidak lagi penting, karena bioskop dan mall itu adalah prestise itu sendiri. Terlebih lagi sasaran atau target penonton yang diandaikannya adalah kaum muda. Dalam konteks inilah agaknya menjadi benar seperti apa yang dikatakan oleh Edison Nainggolan dari Kharisma jabar Film dalam obrolan singkat kami di GK. Rumentang Siang (26/5) yang lalu. "Kelas-kelas dalam ruang bioskop itu sendiri memang tidak lagi diperlukan, karena dalam masyarakat sendiri pengertian kelas itu sudah tidak lagi jelas," katanya. Perkembangan bioskop dengan kenyataan semacam ini menjelaskan bagaimana perkembangan itu melakukan korelasi dengan apa yang terjadi dalam perubahan sosio-kultural masyarakatnya. Dan seraya itu juga, dalam hal ini di sisi yang lain cineplex memang tidak berangkat dari keperluan menjadi ruang tontonan keluarga atau masyarakat kebanyakan yang telah direbut oleh media televisi dan jenis tontonan "rumahan" lainnya. Seperti juga mall, bioskop menawarkan dan menciptakan psikologi ruang yang penuh dengan sensasi-sensasi kebersamaan dalam gaya hidup anak-anak muda perkotaan. 57 Mall sebagai psikologi ruang yang terkesan begitu memberi keleluasaan dan kebebasan, dari mulai prosedur berbelanja hingga hanya sekadar untuk berjalan- jalan menjadi penanda yang tepat untuk keperluan membangun citraan dan sensasi kebersamaan anak-anak muda tersebut, lengkap dengan sugestifikasi gaya hidup di dalamnya. Lepas dari berbagai soal di seputar politik distribusi film yang centang-perenang yang menguntungkan pemilik modal besar, atau juga penurunan kualitas film yang diputar di gedung bioskop-bioskop konvensional, namun paling tidak inilah salah satu yang menyebabkan terjadinya perubahan masyarakat dalam mempersepsikan bioskop sebagai sebuah makna ruang sosial. Bioskop tidak lagi hanya dibaca dengan pemaknaan prestise tempat seperti halnya sebuah gedung bioskop konvensional dengan desain psikologi ruang yang terasa kaku, melainkan dengan prestise gaya hidup yang menyertainya, yang bukan mendasar pada kelas-kelas sosial. Tapi pada bagaimana gaya hidup itu dihadirkan di dalamnya sehingga sekonyong-konyong ia menjadi sebuah prestise yang tak hanya dimasuki dan diterima, tapi bahkan diperlukan dan menjadi kebutuhan. (Ahda Imran)*** 58 Lampiran 3 : Bioskop 21 "http://id.wikipedia.org/wiki/Bioskop_21" Bioskop 21 15 Juni 2007 Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia. Langsung ke: navigasi, cari Logo 21 Cineplex Bioskop 21 (disebut pula Studio 21 atau Bioskop TwentyOne atau 21 Cineplex) adalah jaringan bioskop terbesar di Indonesia. Bioskop ini tersedia di beberapa kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan Medan. Sebagian besar di antaranya telah dilengkapi dengan teknologi-teknologi tercanggih, seperti tata suara Dolby Digital, THX, dan semacamnya. Hampir semua bioskop 21 terletak di dalam gedung pusat perbelanjaan. Studio XXI Selain itu, jaringan 21 juga mengembangkan anak perusahaannya, yakni jaringan Studio XXI yang ditujukan untuk level kalangan menengah ke atas sebagai bentuk perlawanan grup bioskop 21 terhadap MPX yang berkonsep bioskop butik, dan Blitz Megaplex yang berkembang dengan pesat. Bioskop XXI dilengkapi dengan teknologi-teknologi terbaru dan ditambah dengan kenyamanan lobby, studio dan kursinya yang satu tingkat di atas jaringan 21. Bioskop XXI pertama dibuka di Plaza Indonesia Entertainment Xnter pada tahun 2003 dan telah berkembang dengan pembukaannya di mal-mal papan atas termasuk Mal Kelapa Gading 3, Mal Pondok Indah 2, Senayan City, dan Cihampelas Walk Bandung. Selain itu, beberapa bioskop 21 yang selama ini menjadi pilihan utama termasuk Anggrek 21, Senayan 21, Djakarta Theater 21 dan BSM 21 Bandung direnovasi menjadi bioskop XXI. Senayan 21 yang berlokasi di Plaza Senayan kini telah dibuka kembali dengan nama Plaza Senayan XXI tambahan dua studio menjadi sepuluh studio (8 studio reguler dan 2 studio premiere), salah satu yang terbanyak di Indonesia. Seiring dengan dibentuknya Studio XXI, 21 Group juga mendirikan sebuah lounge bernama XXI Club yang terletak satu gedung dengan Djakarta Theater XXI. 59 The Premiere Ditargetkan untuk pecinta film yang menginginkan fasilitas yang lebih mewah, terdapat pula The Premiere, suatu konsep bioskop yang diperlengkapi dengan segala kemewahan yang ada, termasuk di dalamnya lobby khusus, kursi khusus layaknya business class di dalam sebuah pesawat, dan juga selimut serta kemewahan-kemewahan lainnya. The Premiere hingga saat ini baru hadir di beberapa bioskop di Jakarta, yakni Studio XXI, Pondok Indah XXI, Senayan City XXI, dan Plaza Senayan XXI. Harga tiket
Details
-
File Typepdf
-
Upload Time-
-
Content LanguagesEnglish
-
Upload UserAnonymous/Not logged-in
-
File Pages41 Page
-
File Size-