Read Ebook {PDF EPUB} Musashi - Buku Pertama Tanah by Eiji Yoshikawa Tag Archives: eiji yoshikawa. Inilah kisah perjalanan pertama yang lugu, setia dan cinta damai, namun dipaksa berperang untuk mempertahankan wilayah dan kehormatannya. Seorang samurai yang dikagumi oleh dan Minamoto no Yoritomo. TAIRA No Masakado merupakan buku karya Eiji Yoshikawa, penulis novel sejarah terkemuka dari Jepang yang dikenal dengan karya besarnya, Mushasi dan Taiko. Taira no Masakado ditulis setelah Yoshikawa melakukan riset tentang sejarah dan gerakan/pemberontakan Masakado yang terjadi di abad sembilan. Sejarah Jepang mencatat Masakado sebagai samurai yang berusaha berjalan di hukum kekaisaran, namun keadaan memaksa dia melakukan pembelaan diri hingga memunculkan perang antarklan dan akhirnya dalam suatu peristiwa dia disebut sebagai pemberontak. Perang dengan pemerintah pusat Kyoto terjadi pada tahun 939-940 M dan dikenal sebagai perang paling dramatis, karena bertepatan dengan gempa bumi, gerhana bulan, pemberontakan di utara, dan serangan bajak laut. Perang itu berakhir dengan kematian Masakado. Kepalanya dipisah dari tubuh dan diarak ke Kyoto. Tragedi kematian Masakado menjadi perbincangan dan terus bertahan hingga sekarang. Kisah Masakado melegenda dan memunculkan berbagai versi. Konon, karena merasa diperlakukan tidak adil, kepala Masakado yang dibawa ke Kyoto melayang dan jatuh di tanah kelahirannya Desa Shibasaki — sekarang berada di tengah atau pusat Kota Tokyo. Untuk menenangkan arwahnya, masyarakat membangun kuil di tempat jatuhnya kepala Masakado. Kisah yang beredar, orang-orang yang memfitnah Masakado satu-persatu tertimpa musibah, meninggal secara mengenaskan. Di zaman modern, beberapa kali makam dan kuil Masakado yang terletak di tengah kota Tokyo akan dialih fungsikan, namun selalu diikuti dengan rentetan bencana. Itu sebabnya, sampai sekarang makamnya tetap ada dan terpelihara, dikepung gedung-gedung tinggi pusat Kota Tokyo. Buku Eiji Yoshikawa menceritakan perjalanan hidup Taira no Makasado sejak dia kecil hingga kematian menjemput. Dikisahkan, Masakado tumbuh sebagai anak dan pemuda baik hati dengan pikiran positif. Ketika ayahnya meninggal, harta kekayaannya dikelola ketiga pamannya. Setelah gagal membunuh Masakado, pamannya mengirim Kojiro (nama masa kecil Masakado) ke Kyoto untuk menjadi pelayan kelas rendah di tempat kediaman Fujiwara no Tadahira, menteri kiri di pemerintahan. Perjalanan Hidup Sang Taiko. Masih tentang Taiko . Sebagaimana Musashi , Taiko adalah kisah klasik yang ditulis ulang Eiji Yoshikawa dari manuskrip aslinya ke dalam bahasa yang lebih mudah dicerna. Ditulis tahun 1937 dengan judul Shinsho taikoki . Sebagaimana karya-karya lainnya, kisah ini ditulis ulang untuk menumbuhkan minat baru terhadap sejarah. Genrenya novel sejarah. Dan Eiji Yoshikawa menjadi yang terbaik dan terkemuka di Jepang di genre tersebut. Bahkan di tingkat dunia. Pemerintah Jepang sengaja menjadikan perjalanan hidup (Sang Taiko) sebagai panutan orang banyak, sebagai bagian dari propaganda untuk menunjukkan kekuatan Jepang pada masa sebelum PD II. (Wikipedia) Saya suka beberapa paragraf pada bagian Penutup, halaman 1140-1141: Ketika membandingkan perjalanan hidupnya dengan sebuah pendakian gunung, ia merasa seakan-akan memandang bukit-bukit di bawah setelah hampir mencapai puncak. Puncak gunung dianggap sebagai tujuan akhir sebuah pendakian. tapi tujuan sesungguhnya, yaitu memperoleh kenikmatan hidup, tidak ditemui di puncak, melainkan dalam kesulitan-kesulitan yang menghadang di perjalanan. Perjalanan itu ditandai oleh lembah, tebing, sungai, jurang, serta tanah longsor, dan pada waktu menyusuri jalan setapak, sang pendaki mungkin merasa ia tak dapat maju lebih jauh, atau bahkan kematian lebih baik daripada meneruskan perjalanan. Tapi kemudian ia bangkit dan kembali berjuang melawan kesulitan- kesulitan yang menghadang, dan ketika akhirnya ia dapat menoleh dan mengamati rintangan yang berhasil diatasinya, ia pun menyadari bahwa ia telah merasakan kenikmatan hidup yang sesungguhnya. Betapa membosankan hidup bebas dari kebimbangan atau perjuangan yang melelahkan! Betapa cepatnya orang akan bosan menempuh perjalanan di tempat datar. Pada akhirnya, hidup manusia merupakan rangkaian penderitaan dan perjuangan, dan kenikmatan hidup tidak terletak dalam masa-masa jeda yang singkat. Hideyoshi, yang lahir dalam kesengsaraan, tumbuh dewasa sambil bermain di tengah-tengahnya. … Tetapi cita-cita Hideyoshi tidak berhenti di batas air; ambisinya menjangkau lebih jauh, ke negeri yang diimpi-impikannya semasa kanak-kanak… Orang yang tak pernah ragu bahwa ia sanggup membalik setiap kesulitan menjadi keuntungan baginya, bahwa ia sanggup membujuk setiap musuh untuk menjadi sahabat, bahwa ia sanggup membujuk burung yang membisu agar menyanyikan lagu yang dipilihnya… Eiji Yoshikawa: Taiko. Taiko (Dari Taiko : An Epic Novel of War and Glory in Feudal Japan) . Eiji Yoshikawa. Alih bahasa: Hendarto Setiadi. PT Gramedia Pustaka Utama. Cetakan keempat, April 2006. Hardcover, 1142 halaman. ISBN: 979220492X (ISBN 13: 9789792204926) Menulis tentang novel ini? Hmm.. tidak sekarang. Masih ecstasy . Hehe. 1142 halaman! Karena tebalnya, bisa dijadikan bantal. Membacanya jadi perjuangan tersendiri, tapi puas. Biar terendapkan dulu. Meski bercerita tentang perang, perebutan kekuasaan, intrik politik, dan pengkhianatan, tapi juga becerita tentang perjuangan, pengabdian, kesetiaan dan sisi-sisi kemanusiaan di dalamnya. Tentang ambisi, namun juga nurani yang tetap mendasari ambisi yang besar dan kuat itu. Tentang idealisme di satu sisi, dan sisi-sisi kemanusiaan yang tetap mewadahi. Tentang sebuah cita-cita besar, dan perjuangan untuk mewujudkannya. Nah, untuk saat ini, hanya ingin mengabadikan 2 hal yang membuat saya bertahan hingga berbulan-bulan untuk menyelesaikan membaca buku ini: sampai tuntas! Yang pertama, kalimat pembuka pada halaman Catatan Untuk Pembaca. Perhatikan bagian yang ditebalkan.. Poinnya, bagaimana cara Hideyoshi membuat burung itu ingin berkicau. It’s exactly sparked my curiosity . Menjelang pertengahan abad keenam belas, ketika keshogunan Ashikaga ambruk, Jepang menyerupai medan pertempuran raksasa. Panglima- panglima perang memperebutkan kekuasaan, tapi dari tengah-tengah mereka tiga sosok besar muncul, seperti meteor melintas di langit malam. Ketiga laki-laki itu sama-sama bercita-cita untuk menguasai dan mempersatukan Jepang, namun sifat mereka berbeda secara mencolok satu sama lain: Nobunaga, gegabah, tegas, brutal; Hideyoshi, sederhana, halus, cerdik, kompleks; Ieyasu, tenang, sabar, penuh perhitungan. Falsafah-falsafah mereka yang berlainan itu sejak dulu diabadikan oleh orang Jepang dalam sebuah sajak yang diketahui oleh setiap anak sekolah: Bagaimana jika seekor burung tidak mau berkicau? Nobunaga menjawab,” Bunuh saja!” Hideyoshi menjawab , “Buat burung itu ingin berkicau.” Ieyasu menjawab, “Tunggu.” Buku ini, Taiko (sampai kini, di Jepang, Hideyoshi masih dikenal dengan gelar tersebut), merupakan kisah tentang laki-laki yang membuat burung itu ingin berkicau. Yang kedua, sinopsis pada cover belakang buku: Dalam pergolakan menjelang dekade abad keenam belas, Kekaisaran Jepang menggeliat dalam kekacau-balauan ketika keshogunan tercerai- berai dan panglima-panglima perang musuh berusaha merebut kemenangan. Benteng-benteng dirusak, desa-desa dijarah, ladang-ladang dibakar. Di tengah-tengah penghancuran ini, muncul tiga orang yang bercita-cita mempersatukan bangsa. Nobunaga yang ekstrem, penuh karisma, namun brutal; Ieyasu yang tenang, berhati-hati, bijaksana, berani di medan perang, dan dewasa. Namun kunci dari tiga serangkai ini adalah Hideyoshi, si kurus berwajah monyet yang secara tak terduga menjadi juru selamat bagi negeri porak-poranda ini. Ia lahir sebagai anak petani, menghadapi dunia tanpa bekal apa pun, namun kecerdasannya berhasil mengubah pelayan-pelayan yang ragu-ragu menjadi setia, saingan menjadi teman, dan musuh menjadi sekutu. Pengertiannya yang mendalam terhadap sifat dasar manusia telah membuka kunci pintu-pintu gerbang benteng, membuka pikiran orang-orang, dan memikat hati para wanita. Dari seorang pembawa sandal, ia akhirnya, menjadi Taiko, penguasa mutlak Kekaisaran Jepang. Selain mengagumi Eiji Yoshikawa, saya juga mengagumi penerjemahnya, Hendarto Setiadi (sejak pertama berkenalan lewat novel Dan Damai di Bumi! ). Belajar tentang satu hal: Tak ada yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata (bahasa). Betapa Tuhan menciptakan bahasa sebagai suatu wujud kebudayaan. Bukan Sekedar Hidup, Tetapi Harus Berarti. “Yang penting adalah bagaimana berdiri di tempat yang benar, agar ia dapat menunggangi ombak zaman. Tujuannya mutlak, bukan sekedar hidup, tetapi harus berarti.” Eiji Yoshikawa , Musashi My most fascinating book.. “Some books are to be tasted, others to be swallowed, and some few to be chewed and digested." - Francis Bacon. “I have always imagined that Paradise will be a kind of library.” - Jorge Luis Borges. Timus Narara. Novel Jepang ” Miyamoto Musashi “ mengambil seting Jepang zaman dahulu ketika keshogunan dalam masa kritis dan peperangan perebutan kekuasaan terjadi dimana-mana. Cerita dimulai dari tahun Temmon kelima, 1536, yaitu masa ketika Kinoshita Hiyoshi menjalani masa kanak- kanaknya yang berat. Setelah ayahnya meninggal, ibu Hiyoshi menikah dengan Chikuami. Hubungan Hiyoshi dengan ayah tiri yang memanggilnya Saru ini tidak baik, sehingga Hiyoshi dikirim ke kuil untuk belajar, namun dipulangkan karena berbuat kenakalan. Akhirnya Hiyoshi mengembara mencari pengalaman dengan berjualan jarum. Dalam perjalanan ini ia mengalami berbagai hal yang membuatnya belajar mengenai sifat manusia. Dari seorang yang sederhana, berkat kecerdikan dan ketulusannya Hiyoshi memperoleh kepercayaan dari orang-orang, sampai ia menjadi kepercayaan . Sedemikian dalam kepercayaan Nobunaga padanya sampai-sampai Hiyoshi yang namanya menjadi Toyotomi Hideyoshi dianugerahi daerah dan kekuasaan militer. Sebagai tangan kanan Nobunaga, Hideyoshi berjumpa dengan banyak orang penting yang kelak berperan besar dalam sejarah Jepang, salah satunya Tokugawa Ieyasu . Nobunaga, Ieyasu, dan Hideyoshi bertemu dalam masa kekacauan. Ketiganya sama-sama ingin menyatukan Jepang, namun siapa diantara mereka yang berhasil mewujudkan impian tersebut? Taiko yang berjudul asli Taiko Ki merupakan buah karya novelis legendaris Yoshikawa Eiji . Novelis bernama asli Yoshikawa Hidetsugu ini dilahirkan pada 11 Agustus 1892 di prefektur Kanagawa. Ketertarikannya pada sastra dimulai pada usia belia 18 tahun, namun beliau benar-benar terjun dalam dunia tulis menulis setelah menjadi juara pertama lomba penulisan novel Kodansha pada tahun 1914 dengan karya The Tale of Enoshima . Beliau bergabung dengan koran Maiyuu dan menulis serial Life of Shinran di koran tersebut. Karya berjudul Miyamoto Musashi yang ditulisnya tahun 1915 membuat namanya dikenal sebagai penulis novel fiksi histori. Terjemahan novel Taiko sangat baik, bahasa yang digunakan tidak begitu rumit sehingga enak dibaca serta mudah dimengerti. Plot cerita yang kuat dan karakterisasi yang tergali dengan baik membuat kita betah membaca buku ini dari awal sampai akhir hampir tanpa jeda. Selain itu, peristiwa- peristiwa bersejarah serta kemunculan tokoh-tokoh sejarah dalam novel ini merupakan daya tarik bagi penggemar sejarah Jepang. Bahkan bagi pembaca yang bukan penggemar sejarah, novel ini tetap menarik karena menyajikan ajaran filosofis, intrik politik, dan taktik perang zaman dulu. Oleh karena itu jangan gentar duluan melihat tebalnya buku, cobalah membaca perlahan dan kamu akan terbawa dalam suasana Jepang pada ratusan tahun yang lalu. MUSASHI. Musashi adalah sebuah novel fiksi karya Eiji Yoshikawa yang bercerita mengenai Miyamoto Musashi, pengarang buku Buku Lima Cincin (五輪書 Go Rin No Sho) yang mungkin adalah pendekar pedang (samurai) Jepang paling terkenal yang pernah hidup. Di Jepang, kisah ini pertama kali diterbitkan dalam bentuk serial di surat kabar Jepang Asahi Shimbun pada tahun 1935-1939 dan dibukukan dalam pada 1980-an. Di Indonesia, kisah ini pertama kali diterbitkan dalam bentuk cerita bersambung di surat kabar KOMPAS pada tahun 1983-1984, dilanjutkan dengan bentuk tujuh jilid buku saku pada sekitar 1990-an. Versi bahasa Indonesia diterjemahkan bukan dari kisah asli bahasa Jepang-nya (sekitar 26 ribu halaman), melainkan dari terjemahan bahasa Inggris yang lebih ringkas (sekitar 900 halaman). Pada tahun 2002, Gramedia Pustaka Utama menerbitkan kembali buku ini dalam bentuk satu buku lengkap setebal 1247 halaman. Sharing and Gives. Novel maupun Cerita serta kisah-kisah menarik yang akan membawa kita ke alam Imaginasi penulisnya. Anda dapat berbagi komentar tentang hal-hal tersebut disini. MUSASHI. karya : EIJI YOSHIKAWA. Kisah yang ditulis oleh Hidetsugu ”Eiji” Yoshikawa ini menceritakan periode awal kehidupan Musashi hingga usia 28 atau 29 tahun. Sesudah ini, Musashi mengundurkan diri dari kehidupan ramai, dan kemudian menuliskan buku yang kini banyak digandrungi orang Amerika karena dianggap sebagai kunci pemahaman akan manusia dan manajemen Jepang. Kisah novel ini diawali ketika Takezo (kemudian beralih menjadi Musashi setelah mendapat ”pencerahan”) dan sahabatnya bangkit dari pingsannya di padang perang Sekigahara. Perang yang menetukan kemenangan Tokugawa. Takezo kembali ke desanya dan juga kembali menjadi perusuh. Perusuh ini bisa dijinakkan oleh Pendeta Takuan. Ia dikucilkan di sebuah ruang oleh Takuan selama tiga tahun untuk meditasi dan belajar. Di sinilah ia menemukan pencerahan. Dan ia memutuskan menjadi shugyosha , samurai pengembara. Maka petualangan panjang pun dimulai. Kyoto, kota pertama ditujunya. Ia menentang aliran termasyhur saat itu, Yhosioka. Sendirian ia membunuh 70 lawannya. Sementara itu ia terus mengembara untuk mematangkan teknik pedangnya dan juga filsafatnya. Sedikit demi sedikit ia sadar bahwa ”pejuang terbaik tidak lagi berkelahi”, dan ia pun mulai beralih mencari seni damai: membantu petani mengolah tanah, mengorganisir mereka melawan bandit-bandit. Kisah berakhir dengan duel melawan musuh setimpalnya. Cerita Singkat Musashi. Ayah Musashi, Munisai Hirata, meninggal ketika ia diperkirakan baru berusia 7 tahun. Setelah ibunya kemudian juga meninggal, maka Musashi kemudian ikut paman dari pihak ibu. Dengan demikian, ia sudah yatim piatu ketika Toyotomi Hideyoshi menyatukan Jepang pada tahun 1590. Tidak jelas apakah keinginan bermain Kendo adalah berkat pengaruh pamannya ataukah keinginan Musashi sendiri. Musuh pertama Musashi ditemuinya ketika ia baru berusia 13 tahun. Ia adalah Arima Kihei, samurai perguruan Shinto Ryu bidang seni militer yang terampil bermain pedang dan tombak. Musashi mengalahkannya dengan cara melemparnya ke tanah dan memukulnya dengan tongkat, sehingga musuhnya tersebut mati berlumuran darah. Ketika ia berusia 16 tahun, Musashi mengalahkan lawan berikutnya, dan sejak itu ia kabur dari rumah dan terlibat dalam berbagai kontes pertarungan dan peperangan sampai ia berusia 50 tahun. Musashi mengembara keliling Jepang dan menjadi legenda. Berbagai musuh terkenal pernah dikalahkannya, antara lain samurai-samurai keluarga Yoshioka di Kyoto , jagoan ilmu tongkat kondang Muso Gonosuke di Edo , bangsawan Matsudaira di Izumo , dan Sasaki Kojiro di Bunzen . Pertempuran lain adalah pertempuran melawan salah satu perguruan bela diri terkenal di Jepang pada masanya di Ichijoji. Musashi bertempur melawan sekitar 50 samurai, dan pertempuran tersebut dimenangkan oleh Miyamoto Musashi dengan teknik dua pedangnya. Hingga saat ini, bekas pertempuran Musashi di Ichijoji dijadikan monumen oleh masyarakat Jepang. Salah satu peperangan terkenal yang sering dikatakan melibatkan Musashi adalah Pertempuran Sekigahara di tahun 1600 , antara pasukan Tokugawa Ieyasu dan pasukan pendukung pemerintahan Toyotomi Hideyori , dimana ribuan orang tewas terbantai dalam peperangan itu sendiri dan pembantaian sesudahnya oleh tentara pemenang perang. Saat itu Musashi memihak pasukan Toyotomi Hideyori (anak dari Toyotomi Hideyoshi). Setelah melewati periode pertarungan (terakhir melawan Sasaki Kojiro) dan peperangan tersebut, Musashi kemudian menetap di pulau Kyushu dan tidak pernah meninggalkannya lagi, untuk menyepi dan mencari pemahaman sejati atas falsafah Kendo . Setelah sempat meluangkan waktu beberapa tahun untuk mengajar dan melukis di Kuil Kumamoto , Musashi kemudian pensiun dan menyepi di gua Reigendo. Di sana lah ia menulis Go Rin No Sho, atau Buku Lima Cincin/Lima Unsur. Buku ini adalah buku seni perang yang berisi strategi perang dan metode duel, yang diperuntukkan bagi muridnya Terao Magonojo. Namun oleh peneliti barat, buku ini dianggap rujukan untuk mengenal kejiwaan dan pola berpikir masyarakat Jepang. Buku ini menjadi klasik dan dijadikan rujukan oleh para siswa Kendo di Jepang. Musashi dianggap sedemikian hebatnya sehingga di Jepang ia dikenal dengan sebutan Kensei, yang berarti Dewa Pedang. Tak lama setelah itu, Musashi meninggal di Kyushu pada tahun 1645. Musashi tidak menikah dan tidak mempunyai keturunan, tapi ia mempunyai seorang anak angkat sekaligus murid yang juga masih saudara sepupunya bernama Iori Miyamoto. Studi kehidupan dan hasil karya Musashi masih tetap relevan pada masa kini, karena mencakup taktik dan strategi yang dapat diaplikasikan untuk berbagai kegiatan praktis seperti periklanan, bisnis, dan militer. Berbagai produk budaya seperti film dan buku sastra juga tetap diminati masyarakat, diantaranya yang terkenal ialah buku karya penulis Eiji Yoshikawa dan film karya sutradara Hiroshi Inagaki . Inspirasi yang diberikan oleh Musashi tidak saja terjadi pada masyarakat Jepang, tetapi juga pada masyarakat dari berbagai penjuru dunia.