Perkembangan Dan Perubahan Tepak Kendang Jaipongan Suwanda

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Perkembangan Dan Perubahan Tepak Kendang Jaipongan Suwanda Perkembangan dan Perubahan Tepak Kendang Jaipongan Suwanda dalam Masyarakat Urban Asep Saepudin Jurusan Karawitan, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Yogyakarta E-mail: [email protected]; HP: 081227978377 Volume 2 Nomor 1, ABSTRAK April 2015: 9-17 Tulisan ini membahas perkembangan tepak kendang jaipongan karya Suwanda dilihat dari kontinuitas dan perubahannya terutama yang terjadi dalam masyarakat urban. Metode deskriptif analisis dengan pendekatan sejarah digunakan untuk mengungkap berbagai fenomena tepak kendang jaipongan, yaitu hadirnya notasi yang dibuat oleh para pengendang dan perubahan tepak kendang jaipongan dalam struktur, tempo, dinamika, embat, motif, serta fungsi. Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa tepak kendang jaipongan karya Suwanda pada perkembangannya ditanggapi secara kreatif oleh para pengendang melalui kreativitasnya. Oleh karena itu, terdapat perbedaan motif tepak kendang antara hasil rekaman Suwanda di dalam kaset dengan fakta di lapangan ketika digunakan oleh para pengendang. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan dan kepunahan beragam tepak kendang jaipongan karya Suwanda di masyarakat. Kata kunci: Suwanda, tepak, kendang, jaipongan ABSTRACT The Development and Changes of Suwanda’s Tepak Kendang Jaipongan in Urban Society. This paper discusses the development of Suwanda’s tepak kendang jaipongan, drumming strokes of jaipongan, seen from its continuity and changes, particularly for what has been found in urban society. The descriptive analysis method with historical approach is used to explore any various kind of phenomenon of drumming strokes of jaipongan, among others are the presence of jaipongan notation created by the drummers as well as the changes in the structure of drumming strokes of jaipongan, tempo, dynamics, embat, motifs, and function. Based on the analysis it can be concluded that the Suwanda’s drumming strokes of jaipongan in its progress has been creatively responded by the drummers through their creativity. Therefore, there is a significant difference between the motives of Suwanda’s drumming strokes recorded on tape with the facts of live performance when they are used by the drummers. This led to the change and the extinction of various Suwanda’s jaipongan drumming strokes in the community. Keywords: Suwanda, strokes, drum, jaipongan Pendahuluan Perkembangan tepak kendang jaipongan karya Suwanda belakang ini telah mengalami banyak perubahan setelah digunakan lebih dari tiga puluh tahun oleh para seniman. Tepak kendang jaipongan pada masa sekarang tidak sama lagi dengan tepak kendang jaipongan pada masa Suwanda. Pada masa sekarang ini banyak bermunculan pola-pola baru hasil kreativitas para seniman Naskah diterima: 10 Desember 2014; Revisi akhir: 2 Februari 2015 9 Asep Saepudin, Jaipongan Suwanda dalam Masyarakat Urban muda. Tepak kendang jaipongan karya Suwanda seniman pengendang yang menciptakan tepak mulai tidak cocok lagi dengan tuntutan pasar dan kendang jaipongan. Suwanda lahir pada 03 Maret realitas masyarakat pada masa kini. Oleh karena 1950 di Citopéng, Bolang, Batu Jaya, Rengasdéng- itu tidak mengherankan seandainya tepak kendang klok, Karawang, Jawa Barat. Suwanda merupakan jaipongan banyak yang berubah bahkan terdapat keluarga seniman yang mewariskan kesenian to- motif yang hilang dimana tidak digunakan lagi péng banjét secara turun-temurun. Topéng banjét oleh para pengendang. Tepak kendang jaipongan menurut Soepandi (1999:74), termasuk salah satu telah mengalami berbagai perubahan seperti dalam bentuk pertunjukan sandiwara rakyat yang terdapat tempo, struktur, dan motif tepak kendangnya. di daerah Bekasi, Karawang, Subang, dan Bogor. Pada masa sekarang telah terjadi transformasi Pengalaman berkesenian selama bertahun- tepak kendang jaipongan Suwanda setelah beredar tahun membentuk Suwanda menjadi seniman yang dan ditiru selama tiga puluh tahun lebih oleh para handal dalam memainkan instrumen kendang. seniman. Transformasi yang dimaksud adalah telah Pengalaman berkesenian diperolehnya saat berada terjadinya perubahan struktur gramatikal menjadi dalam kesenian topéng banjét, baik dalam grup struktur gramatikal lain dengan menambah, ayahnya maupun ketika mengikuti grup lain yang mengurangi, dan menata kembali (KBBI, 2005: berada di Karawang. Selama kurang lebih sebelas 1209) pola-pola tepak kendang jaipongan oleh tahun lamanya yakni dari 1966 sampai dengan generasi berikutnya. Dampaknya, motif-motif 1977, Suwanda mencari ilmu menabuh kendang tepak kendang Suwanda banyak yang tidak berlaku dengan memasuki beberapa grup topéng banjét lagi di antara para seniman karena motif-motif yang yang berada di Karawang yakni grup topéng banjét digunakan pada masa sekarang adalah motif-motif Abah Reman, topéng banjét Abah Pendul, topéng baru hasil kreativitas para pengendang meskipun banjét Wadas, serta topéng banjét Baskom (Saepudin, secara bentuk masih nampak dari bentuk tepak 2010:165-168). kendang Suwanda. Hasil penyadapan dari berbagai grup tersebut Berdasarkan pemaparan tersebut maka memberi pengaruh sangat besar bagi Suwanda tujuan penulisan ini untuk memberikan informasi untuk mampu menciptakan beragam tepak secara komprehensif mengenai perkembangan kendang jaipongan sebagai tepak baru dalam tepak kendang jaipongan Suwanda dilihat dari karawitan Sunda pada tahun 1980-an. Pola kontinuitas dan perubahannya terutama yang tepak kendang karya Suwanda di antaranya tepak terjadi dalam masyarakat urban. Di dalamnya kendang dalam lagu Daun Pulus Késér Bojong, Serat dibahas pula tentang perubahan struktur tepak Salira, Banda Urang, Bulan Sapasi, Seunggah, Iring- kendang jaipongan dan diungkap tentang dampak Iring Daun Puring, dan Toka-Toka, Daun Pulus dari realitas kebutuhan yang ada di masyarakat Mimiti, Daun Pulus Panineungan, Daun Pulus 1 terhadap hasil kreativitas seniman dalam menggarap sampai Daun dengan Pulus 20, Daun Pulus Adu tepak kendang jaipongan. Manis, Tepung di Luhur Panggung. Hasil karya tersebut merupakan tepak kendang jaipongan Suwanda sebagai Pencipta Tepak Kendang yang diciptakan Suwanda pada tahun 1980-an Jaipongan yang merupakan masa kejayaan jaipongan dalam seni pertunjukan di Jawa Barat. Pada masa tersebut Menulis tepak kendang jaipongan tidak lepas menjadi tidak mengherankan seandainya Suwanda dari Suwanda sebagai pelaku seninya. Informasi menjadi ikon dalam tepak kendang jaipongan. biografis Suwanda dapat dilihat dari latar belakang lingkungan sosio-kulturalnya, proses pendidikan Kemunculan Tepak Kendang Jaipongan formal dan informal, watak-watak orang yang ada di sekelilingnya, cara persepsi dan konsepsinya, Tepak kendang jaipongan lahir berawal dari pandangan hidup, dan orientasi intelektualnya pertemuan Suwanda dengan Gugum Gumbira, (Kartodirdjo, 1992:77). Suwanda adalah seorang seorang seniman berasal dari Bandung, Jawa 10 Journal of Urban Society’s Art | Volume 2 No. 1, April 2015 Barat. Gugum sangat membutuhkan pengendang penata tari pada awal penciptaannya. Dalam satu yang dapat memahami dan mengikuti ide-ide pola lagu jaipongan memiliki beberapa goongan kreatif untuk mengiringi tari yang dibuatnya. dari setiap ragam tepaknya. Goongan inilah yang Ketertarikan Gugum terhadap tepak kendang menjadi acuan, batasan, dan bagian-bagian improvisasi yang terdapat dalam kesenian topéng penting yang dapat dijadikan konsep bersama banjét, mengantarkan Gugum untuk bertemu dalam menabuh kendang jaipongan. Dalam setiap dengan Suwanda, seorang pengendang topéng dari goongan terdiri dari beberapa tepak di antaranya Karawang, Jawa Barat. tepak bukaan, tepak pangjadi, tepak mincid, dan Suwanda dan Gugum saling menjajaki tepak ngeureunkeun. Masing-masing memiliki keterampilan yang dimiliki masing-masing. ragam tepak yang berbeda dalam setiap goongan- Suwanda ternyata dapat memuaskan Gugum nya. Dalam tepak bukaan terdiri dari ragam tepak dengan ketangkasan tepak kendangnya. Kehadiran bukaan, pencugan, seredan, cindek, ngagoongkeun. Suwanda bukan saja memuaskan Gugum, tetapi Dalam tepak mincid terdiri dari ragam tepak mincid menjadi pemecah persoalan para pengrawit ketika kendor, ragam tepak mincid gancang, dan ragam itu yang sedang kesulitan mengikuti ide-ide Gugum. tepak peralihan atau ragam tepak ngala. Para pengrawit belum bisa memenuhi seluruh Dalam setiap pola tepak kendang jaipongan keinginan Gugum untuk membuat garapan yang secara umum dibagi menjadi tiga bagian yakni baru. Hal ini disebabkan para pengrawit masih angkatan wirahma (awal), tataran wirahma kesulitan untuk keluar dari konvensi atau pakem (tengah), dan pungkasan wirahma (akhir). Bagian tradisi yang telah dimiliki selama bertahun-tahun angkatan wirahma umumnya diisi oleh tepak dalam melakukan kegiatan seninya. pangkat (buka: dalam karawitan Jawa), tataran Setelah terdapat kesamaan persepsi antara wirahma oleh tepak pangjadi, bukaan dan mincid, Suwanda, Gugum, dan para pengrawit, mulailah sedangkan bagian pungkasan wirahma oleh tepak disusun beragam tepak kendang jaipongan. ngeureunkeun (memberhentikan). Setiap bagian Dalam hal ini terjadi kompromi di antara para tepak tersebut memiliki ragam tepak yang berbeda pengrawit. Kompromi yang dimaksud adalah (memiliki banyak motif) sehingga para seniman kesepakatan garapan yakni dari goong ka goong sering memainkan pola kendang yang berbeda (goongan ke goongan). Goongan menjadi aturan meskipun dalam satu lagu yang disajikan. bersama untuk menyamakan persepsi antara tepak Struktur pokok tepak kendang jaipongan kendang, gending, dan tarian. Kesepakatan tersebut Suwanda secara umum dapat dibagi menjadi lima menghasilkan karya-karya
Recommended publications
  • Analysis on Symbolism of Malang Mask Dance in Javanese Culture
    ANALYSIS ON SYMBOLISM OF MALANG MASK DANCE IN JAVANESE CULTURE Dwi Malinda (Corresponing Author) Departement of Language and Letters, Kanjuruhan University of Malang Jl. S Supriyadi 48 Malang, East Java, Indonesia Phone: (+62) 813 365 182 51 E-mail: [email protected] Sujito Departement of Language and Letters, Kanjuruhan University of Malang Jl. S Supriyadi 48 Malang, East Java, Indonesia Phone: (+62) 817 965 77 89 E-mail: [email protected] Maria Cholifa English Educational Department, Kanjuruhan University of Malang Jl. S Supriyadi 48 Malang, East Java, Indonesia Phone: (+62) 813 345 040 04 E-mail: [email protected] ABSTRACT Malang Mask dance is an example of traditions in Java specially in Malang. It is interesting even to participate. This study has two significances for readers and students of language and literature faculty. Theoretically, the result of the study will give description about the meaning of symbols used in Malang Mask dance and useful information about cultural understanding, especially in Javanese culture. Key Terms: Study, Symbol, Term, Javanese, Malang Mask 82 In our every day life, we make a contact with culture. According to Soekanto (1990:188), culture is complex which includes knowledge, belief, art, morals, law, custom and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society. Culture are formed based on the local society and become a custom and tradition in the future. Culture is always related to language. This research is conducted in order to answer the following questions: What are the symbols of Malang Mask dance? What are meannings of those symbolism of Malang Mask dance? What causes of those symbolism used? What functions of those symbolism? REVIEW OF RELATED LITERATURE Language Language is defined as a means of communication in social life.
    [Show full text]
  • Cross-Gender Attempts by Indonesian Female Impersonator Dancer Didik Nini Thowok
    Cross-Gender Attempts by Indonesian Female Impersonator Dancer Didik Nini Thowok Madoka Fukuoka Graduate School of Human Sciences, Osaka University, Japan [email protected] ABSTRACT This article examines the creative stages of Didik Nini Thowok (1954‒), a female impersonator and cross-gender dancer based in Java, Indonesia. In addition, it discusses his endeavours of crossing gender boundaries by focusing on his use of costumes and masks, and analysing two significant works: Dwimuka Jepindo as an example of comedic cross-gender expression and Dewi Sarak Jodag as an example of serious cross-gender expression. The findings indicate three overall approaches to crossing gender boundaries: (1) surpassing femininity naturally expressed by female dancers; (2) mastering and presenting female characters by female impersonators and cross-gender dancers; and (3) breaking down the framework of gender itself. Keywords: Didik Nini Thowok, cross-gender, dance, Java, Indonesia © Penerbit Universiti Sains Malaysia, 2014 58 Wacana Seni Journal of Arts Discourse. Jil./Vol.13. 2014 INTRODUCTION This article examines the creative stages of Didik Nini Thowok (1954‒), a female impersonator and cross-gender dancer based in Java, Indonesia.1 In addition, it discusses his endeavours of crossing gender boundaries by focusing on the human body's role and Didik's concept of cross-gender dance, which he has advocated since his intensive study of the subject in 2000. For the female impersonator dancer, the term "cross-gender" represents males who primarily perform female roles and explore the expression of stereotypical femininity. Through his artistic activity and unique approach, Didik has continued to express various types of femininity to deviate from stereotypical gender imagery.
    [Show full text]
  • Masyarakat Kesenian Di Indonesia
    MASYARAKAT KESENIAN DI INDONESIA Muhammad Takari Frida Deliana Harahap Fadlin Torang Naiborhu Arifni Netriroza Heristina Dewi Penerbit: Studia Kultura, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara 2008 1 Cetakan pertama, Juni 2008 MASYARAKAT KESENIAN DI INDONESIA Oleh: Muhammad Takari, Frida Deliana, Fadlin, Torang Naiborhu, Arifni Netriroza, dan Heristina Dewi Hak cipta dilindungi undang-undang All right reserved Dilarang memperbanyak buku ini Sebahagian atau seluruhnya Dalam bentuk apapun juga Tanpa izin tertulis dari penerbit Penerbit: Studia Kultura, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara ISSN1412-8586 Dicetak di Medan, Indonesia 2 KATA PENGANTAR Terlebih dahulu kami tim penulis buku Masyarakat Kesenian di Indonesia, mengucapkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas berkah dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan penulisan buku ini pada tahun 2008. Adapun cita-cita menulis buku ini, telah lama kami canangkan, sekitar tahun 2005 yang lalu. Namun karena sulitnya mengumpulkan materi-materi yang akan diajangkau, yakni begitu ekstensif dan luasnya bahan yang mesti dicapai, juga materi yang dikaji di bidang kesenian meliputi seni-seni: musik, tari, teater baik yang tradisional. Sementara latar belakang keilmuan kami pun, baik di strata satu dan dua, umumnya adalah terkonsentasi di bidang etnomusikologi dan kajian seni pertunjukan yang juga dengan minat utama musik etnik. Hanya seorang saja yang berlatar belakang akademik antropologi tari. Selain itu, tim kami ini ada dua orang yang berlatar belakang pendidikan strata dua antropologi dan sosiologi. Oleh karenanya latar belakang keilmuan ini, sangat mewarnai apa yang kami tulis dalam buku ini. Adapun materi dalam buku ini memuat tentang konsep apa itu masyarakat, kesenian, dan Indonesia—serta terminologi-terminologi yang berkaitan dengannya seperti: kebudayaan, pranata sosial, dan kelompok sosial.
    [Show full text]
  • Strategi Kolaborasi Dalam Seni Pertunjukan Tradisional Di Kabupaten Subang
    1 STRATEGI KOLABORASI DALAM SENI PERTUNJUKAN TRADISIONAL DI KABUPATEN SUBANG COLLABORATION STRATEGIES IN TRADITIONAL PERFORMING ARTS IN SUBANG Oleh Irvan Setiawan Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung Jln. Cinambo No. 136 Ujungberung Bandung Email: [email protected] Naskah Diterima: 28 Februari 2013 Naskah Disetujui: 2 April 2013 E Abstrak Kesenian tradisional memegang peranan dalam pencirian dan menjadi kekhasan suatu daerah. Bagi wilayah administratif yang menjadi cikal bakal suatu kesenian daerah tentu saja tidak sulit untuk menyebut istilah kesenian khas dan menjadi milik daerah tersebut. Lain halnya dengan wilayah administratif yang tidak memiliki kesenian daerah sehingga akan berusaha menciptakan sebuah kesenian untuk dijadikan sebagai kesenian khas bagi daerahnya. Beruntunglah bagi Kabupaten Subang yang menjadi cikal bakal beberapa kesenian yang terlahir dan besar di daerahnya. Tidak hanya sampai disitu, Pelestarian dan pengembangan kesenian tradisional tampak serius dilakukan. Hal tersebut terlihat dari papan nama berbagai kesenian (tradisional) di beberapa ruas jalan dalam wilayah Kabupaten Subang. Seiring berjalannya waktu tampak jelas terlihat adanya perubahan dalam pernak pernik atau tahapan pertunjukan pada beberapa seni pertunjukan tradisional. Kondisi tersebut pada akhirnya mengundang keingintahuan mengenai strategi kolaborasi apa yang membuat seni pertunjukan tradisional masih tetap diminati masyarakat Subang. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif analisis yang didukung dengan data lintas waktu baik dari sumber sekunder maupun dari pernyataan informan mengenai seni pertunjukan tradisional di Kabupaten Subang. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa kolaborasi yang dilakukan meliputi kolaborasi lintas waktu dan lintas ruang yang masih dibatasi oleh seperangkat aturan agar kolaborasi tidak melenceng dari identitas ketradisionalannya. Kata kunci: Strategi kolaborasi, pertunjukan tradisional Abstract Traditional arts play a role in the characterization of a region.
    [Show full text]
  • The Islamic Traditions of Cirebon
    the islamic traditions of cirebon Ibadat and adat among javanese muslims A. G. Muhaimin Department of Anthropology Division of Society and Environment Research School of Pacific and Asian Studies July 1995 Published by ANU E Press The Australian National University Canberra ACT 0200, Australia Email: [email protected] Web: http://epress.anu.edu.au National Library of Australia Cataloguing-in-Publication entry Muhaimin, Abdul Ghoffir. The Islamic traditions of Cirebon : ibadat and adat among Javanese muslims. Bibliography. ISBN 1 920942 30 0 (pbk.) ISBN 1 920942 31 9 (online) 1. Islam - Indonesia - Cirebon - Rituals. 2. Muslims - Indonesia - Cirebon. 3. Rites and ceremonies - Indonesia - Cirebon. I. Title. 297.5095982 All rights reserved. No part of this publication may be reproduced, stored in a retrieval system or transmitted in any form or by any means, electronic, mechanical, photocopying or otherwise, without the prior permission of the publisher. Cover design by Teresa Prowse Printed by University Printing Services, ANU This edition © 2006 ANU E Press the islamic traditions of cirebon Ibadat and adat among javanese muslims Islam in Southeast Asia Series Theses at The Australian National University are assessed by external examiners and students are expected to take into account the advice of their examiners before they submit to the University Library the final versions of their theses. For this series, this final version of the thesis has been used as the basis for publication, taking into account other changes that the author may have decided to undertake. In some cases, a few minor editorial revisions have made to the work. The acknowledgements in each of these publications provide information on the supervisors of the thesis and those who contributed to its development.
    [Show full text]
  • ADS-Vol.52 2017
    Arts and Design Studies www.iiste.org ISSN 2224-6061 (Paper) ISSN 2225-059X (Online) Vol.52, 2017 FOLK DANCE IN A FOLK RITUAL :::Case Study on Tari Topeng (Mask Dance) and Tari Ronggeng (Ronggeng Dance) in Ngunjung and Ngarot Ritual Lina Marliana Hidayat Dance Department, Faculty of Performing Arts, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung Jalan Buahbatu No 212 Bandung, Jawa Barat, Indonesia Abstract A folk dance as a folk performing art always has position and function in a folk ritual, generally in West Java, especially in Indramayu and Cirebon Regency. A folk dance for the case study here is Tari Topeng and Tari Ronggeng in the ritual of Ngunjung and Ngarot. The study uses qualitative method. The analysis applies Edi Sedyawati views on typology of performing arts. Tari Topeng and Tari Ronggeng can be seen from aesthetic elements, social function, and dramatization. To be seen from social function, the Dalang of Topeng and Ronggeng is believed as Shaman. It is also found that Tari Topeng and Ronggeng are not categorized as dramatization dance. Keywords : folk dance, folk ritual, typology of performing arts. 1. Folk Ritual in Cirebon and Indramayu West Java Performing arts in various cultural regions in Indonesia always relate to the cultural tradition of its people. Indonesia owns various ethnics and sub-ethnics having respective distinctiveness. They spread out in every regions from Sabang to Merauke. Likewise, West Java occupied by Sundanese ethnic also has characteristic as the influence of its nature. The living traditions are folk rituals containing folk performing arts which become the manifestation of gratitude toward God for having given fertile nature.
    [Show full text]
  • Downloaded from Brill.Com09/26/2021 01:14:48PM Via Free Access Wim Van Zanten - 9789004261778 Downloaded from Brill.Com09/26/2021 01:14:48PM Via Free Access
    PART FIVE THE ETHNIC MODERN Wim van Zanten - 9789004261778 Downloaded from Brill.com09/26/2021 01:14:48PM via free access Wim van Zanten - 9789004261778 Downloaded from Brill.com09/26/2021 01:14:48PM via free access <UN> <UN> CHAPTER ELEVEN MUSICAL ASPECTS OF POPULAR MUSIC AND POP SUNDA IN WEST JAVA Wim van Zanten Introduction: Sundanese Music and the Technology of Enchantment Research on popular music, particularly in the field of cultural studies, has tended to focus on political and sociological aspects, to the exclusion of musical structures and actual sounds. Whereas in most societies musi- cal genres are in the first place classified by social criteria, it is undeniable that also the technicalities of the music play a role: audiences hear the differences between, for instance, jaipongan and degung kawih perfor- mances. This is because these musics are produced in different ways, using different instruments, tone material, musical structure, etc. Alfred Gell made an important contribution to the anthropological study of art by pointing out that the production of art is a technological process. He mentions that there are ‘beautiful’ things, like beautiful women, beautiful horses and a beautiful sunset. However, art objects are made ‘beautiful’ by human beings and this requires technology. He criti- cizes sociologists like Pierre Bourdieu, who do not really look at an art object as a concrete product of human ingenuity, but only elaborately look at the represented symbolic meanings (Gell 1999:162). In contrast, Gell proposes that anthropologists should look at art as a ‘component of technology.’ We call something an object of art if it is the outcome of a technological process, the kind of processes in which artists are skilled.
    [Show full text]
  • Webinar September 15, 2020
    Webinar September 15, 2020 Faculty of Arts and Design Education Universitas Pendidikan Indonesia The 3rd Strengthening Tolerance Through Arts and Design Education ATLANTIS the PRESS education university fpsd2020 Assalamua’alaikum Wr. Wb., Honorable Rector of Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Dean of Faculty of Arts and Design Education, honorable speakers, participants, Ladies and Gentlemen, In this good opportunity, I‟m as a chief of the 3rd ICADE committees, would like to express my gratitude to Rector of UPI, Prof. Dr. M. Solehuddin, M.Pd., M.A. and all vice Rectors; Dean of Faculty of Arts and Design Education, Dr. Zakarias S. Soeteja, M.Sn., and all vice deans and staffs; for all the assists, supports, participation and cooperation in carrying out this 3rd ICADE well. By the theme “Strengthening Tolerance through Arts and Design Education”, The 3rd ICADE aims to share and exchange knowledge and practices for academicians, educators, researchers, practitioners, graduate and post graduate students, and art entrepreneurs from different cultural backgrounds and nationality to worldwide present and exchange their recent knowledge, and latest research in fields of performing arts, arts education and the practices, as well as multidisciplinary arts field. This conference is also held as a media in establishing a partnership within art and design institutes, nationally and internationally. In this happy opportunity, the 3rd ICADE is attended by nearly 100 presenters, co-presenters and 200 participants from various countries such as Germany, Poland, Korea, USA, Mexico, Iran, and from different cities of Indonesia. The selected papers of this conference will then be published on Atlantis Press Publisher, and will be indexed by Web of Science, and Google Scholar.
    [Show full text]
  • Falidasi Data Lingkung Seni Se-Kecamatan Ujungberung Tahun 2014
    FALIDASI DATA LINGKUNG SENI SE-KECAMATAN UJUNGBERUNG TAHUN 2014 Tahun Tempat NO Nama Lingkung Seni Jenis Kesenian Pimpinan Alamat Perangkat Kesenian Anggota Legalisasi Berdiri Latihan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Pasar Kaler RT.01 1 Pas Nada Elektone Ibu. Heny Organ, Kibord,Gitar, Kendang, Suling, 5 Orang Tidak Ada 2010 Rumah RW.01 Cigending RT.03 Gendang, Bedug, Goong, Terompet, Toa Ampli. 2 Sancang Pusaka Benjang Agus Sulaeman RW.03 Mixer, Badut, Kecrek, Kuda Lumping, Gendang, Goong, Bedug, Terompet, Kepang, 3 LS Benjang Kalimasada Benjang Gugun Gunawan Cipicung RT.04 RW.04 25 Orang Dalam Proses 2004 Rumah Lumping, Toa, Ampli,MixerBadut 4 Karinding Nukula Upit Supriatna Cipicung RT.01 RW.04 Karinding,Celempung,Toleot, Kecrex 15 Orang Tidak Ada 2011 Rumah Gendang, bedug, Goong, Terompet, Toa Ampli, Rumah ketua 5 Pusaka Gelar Putra Benjang Asep Dede Cinangka RT.02 RW.05 25 Orang Tidak Ada 2007 Barong, Badut, Kecrek RT Rumah ketua 6 Pusaka Wirahman Putra Penca Silat Enay Darso Cinangka RT.01 RW.05 Gendang Besar/Kecil, Golok (untuk atraksi) 25 Orang Tidak Ada 2010 RT Gendang, Rabab, Bonang, Goong, Kecrek, 7 Arum Gumelar Jaipongan I n d r a Cinangka RT.02 RW.05 30 Orang Tidak Ada 2006 Rumah Terompet 8 R e o g E m u l Cinangka RT.03 RW.05 Dog-dog, Goong, Gendang 9 Elektone Dangdut E m u l Cinangka RT.03 RW.05 Organ, Gendang Suling Gitar, Kecrex 7 Orang Tidak Ada 2010 Rumah Sakeburuy RT.01 RW 10 Dwi Shinta Rock Dangdut Dede Dadan Kibord, Gitar, Gendang, Suling, Kecrex 9 Orang Ada 1993 Gedung 06 Gendang, Goong, Bedug, Terompet, Toa, Ampli, 11 Pusaka Wargi Benjang Didi / Ono Ranca RT.01 RW.06 25 Orang Ada 1930 Hal.
    [Show full text]
  • Materi+DRAMA+JAWA 0.Pdf
    BAB I SELUK BELUK DRAMA A. Antara Drama, Sandiwara, dan Teater Banyak orang berasumsi, drama itu sekedar tontonan. Memang tidak keliru anggapan ini. Hampir semua drama dipentaskan memang untuk ditonton. Apalagi kalau dirunut dari aspek etimologi, akar tunjang dari istilah "drama" dari bahasa Greek (Yu- nani kuna) drau yang berarti melakukan (action) atau berbuat sesuatu (Muhsin, 1995). Berbuat berarti memang layak dilihat. Wiyanto (2002:1) sedikit berbeda, katanya drama dari bahasa Yunani dram, artinya bergerak. Kiranya, gerak dan aksi adalah mirip. Kalau begitu, tindakan dan gerak yang menjadi ciri drama. Tiap drama mesti ada gerak dan aksi, yang menuntun lakon. Aristoteles (Brahim, 1968:52) menyatakan bahwa drama adalah “a representation of an action”. Action, adalah tindakan yang kelak menjadi akting. Drama pasti ada akting. Dalam drama itu terjadi “a play”, artinya permainan atau lakon. Jadi ciri drama harus ada akting dan lakon. Permainan penuh dengan sandi dan simbol, ayng menyimpan kisah dari awal hingga akhir. Daya simpan kisah ini yang menjadi daya tarik drama. Drama yang terlalu mudah ditebak, justru kurang menarik. Dalam bahasa Jawa, drama sering disebut sandiwara. Kata sandi artinya rahasia, wara (h) menjadi warah berarti ajaran. Sandiwara berarti drama yang memuat ajaran tersamar tentang hidup. Sandiwara dan drama sebenarnya tidak perlu diperdebatkan. Keduanya memuat kisah, yang bercirikan dialog. Baik drama maupun sandiwara sama- sama menjadi guru kehidupan ini. Drama itu suguhan seni yang hidup, penuh fantasi. Drama menjadi tafsir kehidupan, yang kadang-kadang melebihi dunia aslinya. Siapapun sesungguhnya dapat bergulat dengan drama. Muhsin (1995) juga banyak mengetengahkan berbagai kelebihan drama. Biarpun bagi seseorang kadang-kadang enggan tampil dan malu-malu menjadi pemain, drama tetap genre sastra yang menarik.
    [Show full text]
  • Land- ​ En Volkenkunde
    Music of the Baduy People of Western Java Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal- , Land- en Volkenkunde Edited by Rosemarijn Hoefte (kitlv, Leiden) Henk Schulte Nordholt (kitlv, Leiden) Editorial Board Michael Laffan (Princeton University) Adrian Vickers (The University of Sydney) Anna Tsing (University of California Santa Cruz) volume 313 The titles published in this series are listed at brill.com/ vki Music of the Baduy People of Western Java Singing is a Medicine By Wim van Zanten LEIDEN | BOSTON This is an open access title distributed under the terms of the CC BY- NC- ND 4.0 license, which permits any non- commercial use, distribution, and reproduction in any medium, provided no alterations are made and the original author(s) and source are credited. Further information and the complete license text can be found at https:// creativecommons.org/ licenses/ by- nc- nd/ 4.0/ The terms of the CC license apply only to the original material. The use of material from other sources (indicated by a reference) such as diagrams, illustrations, photos and text samples may require further permission from the respective copyright holder. Cover illustration: Front: angklung players in Kadujangkung, Kanékés village, 15 October 1992. Back: players of gongs and xylophone in keromong ensemble at circumcision festivities in Cicakal Leuwi Buleud, Kanékés, 5 July 2016. Translations from Indonesian, Sundanese, Dutch, French and German were made by the author, unless stated otherwise. The Library of Congress Cataloging-in-Publication Data is available online at http://catalog.loc.gov LC record available at http://lccn.loc.gov/2020045251 Typeface for the Latin, Greek, and Cyrillic scripts: “Brill”.
    [Show full text]
  • Daftar Pustaka
    DAFTAR PUSTAKA A. Sumber Buku Bungin, Burhan H.M. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Raja Grafindo Persada, Jakarta Kebijakan Publik, dan ilmu sosial. Jakarta : Kencana Prenama Media Group. Effendy, Onong Uchjana. 2002. Hubungan Masyarakat Suatu Studi Komunikasi. Cetakan keenam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Effendy, Onong Uchjana. 2003. Ilmu Komunikasi dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Effendy, Onong Uchjana. 2009. Human & Public Relations. Bandung : Mandar Maju Marzali, Amri. 2006. Metode Penelitian Etnografi. Yogyakarta, Tirta Wacana Moleong, Lexy. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Morissan, 2013. Teori Komunikasi : individu hingga massa. Jakarta : Kencan Mulyana, Deddy. 2007. Ilmu Komunikasi : Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya ______________. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya ______________. 2013. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakrya Samovar, Larry A. 2010. Komunikasi Lintas Budaya. Salemba Humanika Sobur, Ale. 2009. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Subagyo, Joko P. 2006. Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta Sugiyono. 2014. Memahami Penelitian Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta 103 104 Sugiyono. 2009. Memahami Penelitian Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta Suyatna, Bagong. 2005. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternative Pendekatan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada B. Karya Ilmiah Sundari, Erni. 2011. Makna Komunikasi Non Verbal Dalam Tradisi Siramam Pada Proses Pernikahan Adat Sunda Di Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung. Bandung: UNIKOM Ayu Anggaswari, Niluh. 2014. Komunikasi Nonverbal Dalam Pagelaran Seni Tari Kecak di Kebudayaan Bali (Studi Etnografi Komunikasi Mengenai Makna Komunikasi Nonverbal Para Penari Kecak Dalam Pagelaran Seni Tari Kecak di Kawasan Wisata Denpasar Bali). Bandung: UNIKOM Hasbi, Billy. 2016. Makna Komunikasi Nonverbal Para Penari Yogyakarta Dalam Sendratari Ramayana di Kawasan Prambanan.
    [Show full text]