JPPI Vol 5 No 1 (2015) 93 - 108 Jurnal Penelitian Pos dan Informatika 578/AKRED/P2MI-LIPI/07/2014 e-ISSN: 2476-9266 p-ISSN: 2088-9402 DOI: 10.17933/jppi. 2015.0501006

DINAMIKA TATA KELOLA KEBIJAKAN INDUSTRI PENYIARAN DAN TELEKOMUNIKASI MENUJU KONVERGENSI THE DYNAMIC OF THE BROADCASTING AND TELECOMMUNICATION POLICY AND GOVERNANCE IN INDONESIA TOWARDS CONVERGENCE Vience Mutiara Rumata Puslitbang Aplikasi Informatika dan Informasi Komunikasi Publik, Kementerian Kominfo Jl. Medan Merdeka No.9, ,10110, Indonesia [email protected] Naskah diterima : 20 Juli 2015; Direvisi : 3 Agustus 2015; Disetujui : 5 Agustus 2015 Abstrak Konvergensi antara penyiaran dan telekomunikasi di Indonesia tidak terhindarkan seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) serta ketatnya persaingan dalam industri keduanya. Kedua industri telah mengintegrasi TIK sebagai nilai tambah dari layanan ataupun produk yang ditawarkannya. Meski demikian, tata kelola kedua industri ini masih terpisah yakni melalui UU Penyiaran tahun 2002 dan UU Telekomunikasi tahun 1999. Di saat RUU konvergensi telematika belum menemukan titik terang, regulator berupaya merevisi kedua UU tersebut. Studi ini bertujuan untuk memahami relasi kekuasaan serta pandangan para pemangku kebijakan dalam mengatur industri penyiaran dan telekomunikasi di era konvergensi. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam kepada narasumber yang dipilih secara purposif yakni Kemkominfo, KPI, BRTI, dan DPR, selama Januari- Februari 2015. Setiap institusi memiliki path dependence yang berbeda antar satu dengan yang lain, sehingga membentuk pola distribusi kekuasan berbeda dalam prosedur pembuatan kebijakan. Proposal revisi UU baik dari Kemkominfo dan KPI tidak mengatur hal-hal yang berkaitan dengan konvergensi. Akan tetapi, perebutan otoritas antar kedua institusi tersebut justru menjadi fokus dalam proposal tersebut. Kemkominfo, sebagai inisiator UU Telekomunikasi, berencana untuk mengubah revisi UU tersebut menjadi UU konvergensi.

Kata Kunci : Kebijakan, Pemerintahan, Penyiaran, Telekomunikasi, Konvergensi

Abstract The convergence between broadcasting and telecommunication in Indonesia is inevitable as the growing information and communication technology and competition within both industries. Nevertheless, the policy governance of these industries remains distinctively separated under the 2002 Broadcasting Law and the 1999 Telecommunication Law. Whilst the regulators failed to enact the convergence bill, the only way is to synergize the revision of both laws.. This study aims to understand the point of views as well as power relation among regulators in regulating the broadcasting and telecommunication towards convergence. The primary data tool is in-depth interview with respondents who are officials of four institutions: the Kemkominfo, KPI, BRTI, and DPR, within January-February 2015. The path dependence of these institutions is differ one to another which determine the power contribution in the policy processes. The emerging proposals of the Broadcasting Law revision are not regulating convergence in detail. Instead, the KPI and Kemkominfo dispute over the authority of broadcasting industry. Kemkominfo is planning to turn the revision of the Telecommunication law into convergence law.

Keywords : Policy, Governance, Broadcasting, Telecommunication, Convergence 87

Jurnal Penelitian Pos dan Informatika, Vol.5 No 1 September 2015 : 87 - 108

PENDAHULUAN setidaknya terdapat 88,1 juta penduduk Indonesia atau sekitar 34,9 persen dari total populasi Pesatnya pertumbuhan teknologi informasi terkoneksi internet. Dari jumlah tersebut, kelompok dan komunikasi berdampak terhadap konvergensi usia 18-25 tahun masih mendominasi. Penelitian ini antara industri penyiaran dan telekomunikasi atau memberikan perhatian yang lebih kepada penyiaran dikenal sebagai “konvergensi media” (media khususnya televisi (TV) karena media ini masih convergence). Di industri penyiaran, para menjadi media utama masyarakat Indonesia. pengusaha media menyediakan konten-konten Berdasarkan riset Nielsen 2014, penetrasi TV di penyiaran ke dalam format digital atau aplikasi Indonesia mencapai 95 persen di pulau Jawa dan 97 berbasis mobile seperti e-paper dan online persen di luar pulau Jawa. Kementerian Komunikasi streaming. Tapsell (2014) berpendapat bahwa dan Informatika (Kemkominfo) tengah konvergensi dapat memberikan kesempatan bagi mengupayakan migrasi TV terestrial tak berbayar pengusaha media mengekspansi layanan konten di analog menuju digital dengan target 2018 berbagai platform, baik dalam media tradisional mendatang. Migrasi ini penting karena memiliki maupun media baru atau yang dikenal dengan dampak pada pengembangan teknologi 4G untuk istilah “multiplatform oligopolies”. Konvergensi ini akses broadband, khususnya efisiensi spektrum. terjadi karena internet tidak saja memberikan Pemerintah Indonesia telah menerapkan saluran bagi pendistribusian konten, tetapi juga sistem deregulasi terhadap industri media membuka peluang bagi konsumen untuk khususnya penyiaran dan telekomunikasi sejak menciptakan dan mendistribusikan konten atau akhir 1990an. Sejak reformasi, pola kebijakan dikenal dengan istilah “prosumer” (Lin, 2013). pemerintah berubah dari sebelumnya state authority Di Indonesia, para pengusaha media dan control menjadi public control. Di tahun 1999, telekomunikasi mengadopsi konvergensi agar tetap Undang-Undang (UU) No. 36 tentang bertahan di tengah ketatnya persaingan bisnis. Telekomunikasi disahkan, yang kemudian dibentuk Mengangkat studi kasus Pikiran Rakyat, Resmadi Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI). dan Yuliar (2014) menemukan bahwa motif bisnis Di tahun 2002, UU Penyiaran No.32 tentang media menjadi basis transisi ke arah konvergensi, Penyiaran disahkan sebagai pengganti UU “ada kecenderungan jika suatu media massa tidak Penyiaran tahun 1997. Deregulasi ini turut memasuki ranah teknologi digital akan digilas oleh menyumbang pesatnya pertumbuhan baik di persaingan media massa yang kian cepat” (p.112). industri media1 maupun di industri telekomunikasi Dalam studinya, Tapsell (2014:3) juga menemukan itu sendiri. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik faktor penggerak utama konvergensi pada industri 2014, pertumbuhan sektor telekomunikasi media di Indonesia adalah teknologi serta menyumbang sekitar Rp. 292 miliar terhadap GDP pertumbuhan konsumsi media oleh kaum muda nasional tahun 2013. Penetrasi sektor telepon yang tinggal di kota-kota besar. Berdasarkan buku profil pengguna internet keluaran APJII (Asosiasi 1 Setidaknya, terdapat 12 TV swasta jangkauan siaran Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) 2014, nasional; 516 media cetak; dan lebih dari 900 radio memiliki ijin siaran di Indonesia (Haryanto, 2011:105)

88

Dinamika Tata Kelola Kebijakan Industri Penyiaran dan Telekomunikasi Indonesia Menuji Konvergensi (Vience Mutiara Rumata) seluler bergerak mendominasi bahkan jumlahnya regulasi penyiaran dan telekomunikasi di era hampir dua kali lipat dari jumlah populasi. konvergensi. Selain itu, studi ini juga Internet telah mengubah bisnis industri di mendeskripsikan pola interelasi serta distribusi Indonesia. Selain pengusaha media yang kekuasaan antar regulator dalam pembuatan menyediakan format digital untuk produk- kebijakan. Rumusan masalah penelitian ini adalah produknya, perusahaan telekomunikasi pun sebagai berikut: mengekspansi bisnisnya dalam layanan penyiaran. Bagaimana tata kelola kebijakan industri penyiaran dan Sebagai contoh, Telkom meluncurkan produk telekomunikasi di Indonesia menuju Groovia sebagai televisi protokol internet (IPTV) konvergensi? pertama di Indonesia pada 4 Juni 2011. Memasuki Tujuan dari studi ini adalah untuk mendeskripsikan tahun 2008, pemerintah memulai program migrasi secara garis besar perkembangan tata kelola TV analog ke digital, dengan tujuan untuk kebijakan industri penyiaran dan telekomunikasi mengefisiensikan penggunaan spektrum yang saat ini serta mendeskripsikan pola interalasi antar nantinya digunakan untuk kepentingan regulator terkait yang mempengaruhi outcome dari pengembangan pita lebar (broadband). Tata kelola kebijakan baik saat ini maupun konvegrensi yang industri penyiaran di era konvergensi saat ini masih akan datang. Harapan penulis dari penelitian ini mengacu pada Undang-Undang (UU) No.32 tahun agar pelaku pembuat kebijakan menjadikan hasil 2002 tentang Penyiaran. Akan tetapi, UU ini belum penelitian ini sebagai bahan pertimbangan tata memadai untuk mengatur konvergensi. Pada tahun kelola industri penyiaran di era konvergensi. Selain 2012, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) itu, dapat mendorong penelitian-penelitian yang mengajukan revisi Undang-Undang Penyiaran berkaitan dengan analisis model tata kelola dengan tujuan untuk restruktrusiasi sistem konvergensi yang dapat diterapkan di Indonesia. penyiaran dan migrasi TV analog – digital

(Fahriyadi, 2012). Hanya saja, diskusi antara DPR Tinjauan Pustaka dan pemerintah terkait revisi ini sangat alot Dalam literatur, studi mengenai “konvergensi sehingga revisi tersebut belum rampung hingga media” lebih memfokuskan pada perubahan struktur memasuki tahun 2015. baik dari sisi bisnis industri – telekomunikasi dan Berdasarkan deskripsi di atas, studi ini penyiaran – serta peraturan ataupun kebijakan. Flew memfokuskan pada 1) tata kelola dan kebijakan (2002:5) berargumen bahwa isu pokok dari bidang penyiaran dan telekomunikasi saat ini serta konvergensi mengarah pada perubahan - baik dari memberikan deskripsi isu-isu terkemuka di era segi peraturan kebijakan maupun industri – dari transisi konvergensi; serta 2) skenario regulator integrasi secara verikal (silos) menuju integrasi dalam revisi UU Penyiaran dan UU Telekomunikasi secara horisontal dari lapisan infrastruktur, akses, untuk menghadapi konvergensi. Signifikansi dari applikasi, maupun konten. Secara teoretis, kata penelitian ini adalah memfokuskan pada regulatory ‘konvergensi’ dipopulerkan oleh Ithiel de Sola Pool point of views, skenario serta ekspektasi regulator pada tahun 1983 –‘convergence of modes’ – yang (Kemkominfo, KPI, BRTI dan DPR) terhadap

89

Jurnal Penelitian Pos dan Informatika, Vol.5 No 1 September 2015 : 87 - 108 merujuk pada kemampuan digital elektronik dalam Jaringan) (ACMA4, 2011). Dasar pemikiran dari mendekatkan (atau mengaburkan) moda-moda kerangka model ini adalah internet tidak sekadar komunikasi yang secara historis terpisah (Gordon, sebagai alat atau medium semata, melainkan 2003). Dari paradigma teori, Menon (2006:62) membawa dampak sosial dan ekonomi secara mengungkapkan bahwa terdapat dua teori: fundamental terhadap penggunanya (p.18). Technological Determinism dan Social Shaping Sehingga, peraturan dengan pendekatan vertikal Theory, yaitu merujuk pada proses pembuatan terpisah (antara industri telekomunikasi dan kebijakan konvergensi dipicu oleh perkembangan penyiaran) tidak cukup mengatur layanan berbasis teknologi dan/atau konstruktivitas kerangka sosial. internet protokol. Thierer (2005:280) berargumen Kedua paradigma, menurut penulis, tercermin bahwa Network Layers model adalah sebuah teknik dalam proses pembuatan kebijakan industri analisis untuk mengkritisi perkembangan model telekomunikasi dan penyiaran di Indonesia. bisnis tradisional (vertical-silo paradigm) yang Telekomunikasi, yang diprakarsai oleh pemerintah tidak serta-merta berkembang menjadi paradigma (kemkominfo) cenderung berpengang pada regulasi baru. Justru model ini mampu memastikan paradigma technological determinism, kebijakan perkembangan broadband serta membuka peluang disesuaikan dengan perkembangan teknologi. layanan baru sehingga pada akhirnya industripun Sementara penyiaran, diprakarsai oleh parlemen, tumbuh. Argumen Thierer merujuk pada ‘Net cenderung social shaping theory, bahwa kebijakan Neutrality’ di mana pemilik infrastruktur jaringan harus memperhatikan dampak sosial kepada (perusahaan telko) tidak bersikap diskriminatif masyarakat. terhadap penyedia konten dan termasuk juga Beberapa negara telah menerapkan tata kelola pelanggan. konvergensi media, ‘legislative convergence’, sebuah kerangka peraturan yang mengakomodir METODE peraturan – yang sebelumnya terpisah – bidang Studi ini merupakan studi kualitatif-deskriptif telekomunikasi, media dan internet ke dalam dengan berdasarkan kerangka paradigma kerangka peraturan tunggal. Malaysia, sebagai interpretatif. Paradigma interpertatif, yang contohnya, berhasil menggabungkan seringkali dipersepsikan sama dengan paradigma Telecommunications Act 1950 dan Broadcasting konstruktivis, memiliki asumsi ontologi yakni Act 1988 ke dalam Communications and realitas terbentuk dari interaksi sosial manusia. Oleh Multimedia Act tahun 1998 (CMA). Salah satu sebab itu, penelitian dengan paradigma ini sangat pokok penting2 dari kerangka Converged bergantung pada persepsi manusia terhadap realitas Legislative ini adalah Network Layers Regulatory dunia ataupun realitas studi yang diteliti (Creswell, Model3 (Model Peraturan Berbasis Lapisan 2003). Peneliti terarik untuk menggambarkan

2 Pokok penting Converged Legislative, berdasarkan studi yang dilakukan ACMA pada 2011, adalah: (transmission control layers, IP, network, link interface); 3 Terdapat empat lapisan (layers) dalam kerangka ini dan Physical (transmission, DSL, WiFi, Satelit, dsb). yaitu: Application (programs, apps protocols); Content 4 ACMA : Australian Communication and Media (images, text, voice, music, videos); Logical Authority

90

Dinamika Tata Kelola Kebijakan Industri Penyiaran dan Telekomunikasi Indonesia Menuji Konvergensi (Vience Mutiara Rumata) interpretasi regulator terhadap realita konvergensi fiksi, melainkan fakta-fakta yang membentuk realita media saat ini di Indonesia. Makna atau persepsi ini (praktik, nilai, konsep) saat ini (Willis, 2007:112). tentu akan mempengaruhi bagaimana kerangka Unsur historis tidak diabaikan dalam studi ini regulasi konvergensi media di masa yang akan seperti proses judicial review terhadap institusi datang. Sementara itu, pendekatan kritis merupakan maupun peraturan tertentu yang dapat upaya untuk mengekspos kekuasaan dominan dalam mempengaruhi keberlangsungan kebijakan industri sebuah interelasi sosial baik individu-individu penyiaran di Indonesia. Dengan demikian, validasi maupun individu dengan kelompok tertentu. studi ini tidak bergantung seberapa objektifnya hasil Dengan pendekatan ini, peneliti dapat memberi temuan. Sebaliknya, bagaimana data yang disajikan kritikan terhadap ideologi, asumsi, atau nilai-nilai mampu menggambarkan realitas majemuk serta yang berkembang. Lebih lanjut, penelitian dengan makna yang terbangun dalam konteks studi dengan pendekatan kritik juga harus memperhatikan cara jelas dan detail (detailed explications of the kerangka historis yang mempengaruhi sistem saat context) (Denzin, 1994) ini (Kilgore, 1998 dalam Willis, 2007:82). Metode penelitian yang sejalan dengan Dalam proses penelitian paradigma paradigma ini adalah kualitatif, di mana menurut interpretatif dengan pendekatan kritis – mulai Merriam (2014) dan Barbour (2008), bertujuan pemilihan topik hingga analisis data – bukanlah untuk memahami bagaimana manusia membentuk proses yang bebas dari nilai serta kepercayaan dari atau memberi makna terhadap berbagai hal. peneliti (Willis, 2007:86). Proses analisis data Setidaknya ada empat karakteristik dari penelitian penelitian interpretatif bukanlah proses yang kualitatif, yaitu: 1) fokus penelitian pada bersifat teknikal atau aplikatif terhadap suatu pre- pemahaman dan makna; 2) peneliti merupakan konsep tertentu, melainkan melalui analisis yang instrumen pengumpulan data dan analisis utama; 3) mendalam serta refleksi sehingga cenderung proses penelitian bersifat induktif; serta 4) hasil subjektif (p.113). Validasi penelitian dengan akhir penelitian bersifat deskriptif (Merriam, paradigma konstruktivis-kritis ini menekankan 2014:14). Metode pengumpulan data digunakan “… would emphasize socially secara wawancara mendalam. Jiwani dan constructed realities, local Krawchenko (2014:57) menilai wawancara generalisations, interpretive resources, stock of knowledge, mendalam merupakan teknik yang terbaik dalam intersubjectivity, practical penelitian kebijakan publik serta mampu reasoning and ordinary talk” (Denzin, 1994:502) mengaplikasikan pendekatan paradigma kritis

dalam studi kepemerintahan. Unit analisis penelitian Sementara untuk pendekatan kritis memandang ini dipilih secara purposive, yakni para pemangku pentingnya kekuasaan, budaya, stuktur, dan aksi kebijakan di bidang penyiaran yaitu Kementerian yang berkembang di masyarakat. Paradigma Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Komisi konstruktivis-kritis menekankan pada historisitas Penyiaran Indonesia (KPI) serta Dewan Perwakilan sebagi aspek penting dalam memahami data. Rakyat (DPR). Teknik sampling purposif dianggap Historisitas dimaksud bukanlah mitos, legenda, atau memiliki keuntungan untuk mendapatkan informan

91

Jurnal Penelitian Pos dan Informatika, Vol.5 No 1 September 2015 : 87 - 108 yang memiliki informasi ataupun pengalaman yang in Indonesia”, menemukan bahwa kunci untuk relevan dengan studi yang dikerjakan (Merriam, menganalisa proses pembuatan kebijakan di 2009:77). Setidaknya ada empat narasumber dari Indonesia adalah mengidentifikasikan ‘para pemain’ ketiga institusi tersebut di mana tiga diantaranya yang memiliki pengaruhi cukup kuat untuk dilakukan wawancara tatap muka, sementara satu mengendalikan proses pengambilan keputusan. wawancara via surat elektronik (e-mail). Keempat Sebagaimana para akademisi menilai bahwa narasumber tersebut yaitu: kekuasan merupakan sentral dalam studi kebijakan 1. Dr. Judhariksawan, S.H., M.H, Ketua public, Hal Colebatch (2002) berpendapat bahwa Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat. prosedur pembuatan kebijakan publik jarang dicapai 2. Ir. Anang Achmad Latif, M.Sc, Kasubdit. Pengembangan Infrastruktur, Dit. melalui proses yang linear dan runut serta oleh aktor Telekomunikasi Khusus, Penyiaran Publik tunggal. Melainkan, formulasi kebijakan serta dan Kewajiban Universal, Kementerian Komunikasi dan Informatika pengambilan keputusan ditentukan oleh koneksi dan (Kemkominfo) jaringan si pembuat kebijakan (dikutip dalam Duric, 3. Syaharuddin, S.T, M.T, Kasubdit Televisi, Dit. Penyiaran, Ditjen Penyelenggaraan Pos 2012:86). dan Informatika, Kemkominfo. Studi ini menggunakan kerangka teori New 4. Gunawan Hutagalung, Kasubdit Kelayakan Sistem Telekomunikasi, Ditjen Institutionalism (neo-institusionalisme) untuk Penyelenggaraan Pos dan Informatika, melihat pola interalasi antar institusi yang terlibat Kemkominfo. 5. Dr. Riant Nugroho, anggota Komissioner dalam pembuatan kebijakan baik penyiaran maupun Badan Regulator Telekomunikasi Indonesia telekomunikasi di Indonesia. Teori neo- (BRTI) 6. Tantowi Yahya, anggota Komisi 1 Dewan institusionalisme di dalam teori organisasi dan Perwakilan Rakyat (DPR) sosiologi, memiliki asumsi dasar bahwa institusi

merupakan variabel yang independen. Lecours Selain wawancara, data sekunder juga digunakan (2005 yang dikutip dalam Duric (2012:88)), dalam penelitian ini. Data sekunder tersebut berupa: berpendapat bahwa institusi memiliki kekuatan dokumen pemerintah (Peraturan Menteri, Surat politik yang otonom serta dapat mempengaruhi Keputusan, dan sebagainya), siaran pers, berita, hasil akhir kebijakan. Politik di sini tidak serta dokumen pendukung yang didapat dari narasumber merta merujuk pada partai politik di parlemen, yang berfungsi untuk memverifikasi ataupun melainkan praktik kekuasaan dan pengaruh. memperluas data primer sehingga dapat Bahkan, Kingdon (2003) menekankan bahwa memberikan gambaran dinamika tata kelola dan sebuah institusi juga independen terhadap faktor kebijakan industri penyiaran dan telekomunikasi di ekonomi dan sosial lingkungan eksternalnya. Indonesia. Teori Neo-Institusionalisme memiliki

berbagai pendekatan di mana salah satunya adalah Kerangka Teori: New Institutionalism institusionalisme historis (historical Interelasi antar regulator menjadi penentu dalam proses pembuatan kebijakan. Nugroho dkk (2012:70), dalam studinya “mapping media policy

92

Dinamika Tata Kelola Kebijakan Industri Penyiaran dan Telekomunikasi Indonesia Menuji Konvergensi (Vience Mutiara Rumata) institutionalism)5 dan menjadi fokus perhatian studi adalah menjelaskan asumsi bahwa perbedaan ini. Institusionalisme historis secara garis besar kekuasaan dan pengaruh tiap-tiap regulator dalam menjelaskan bagaimana perkembangan historis sebuah proses kebijakan karena diperngaruhi oleh sebuah institusi dapat membentuk sebuah trajektori historis pembentukan institusi tersebut. atau lintasan yang dependen (path dependency). Trajektori ini tidak saja menjelaskan perkembangan HASIL DAN PEMBAHASAN institusi secara organisasi, tetapi juga Interelasi antar Regulator: dari kerangka menggambarkan kekuatan pengaruh institusi yang historis dimaksud dalam sebuah proses pembuatan Di dalam sistem pemerintahan Indonesia, kebijakan. Hall dan Taylor (1996) berpendapat terdapat tiga elemen utama regulator yakni: bahwa institusionalisme historis berhasil Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Ketiga elemen mengkombinasikan dua pandangan yang berbeda: negara ini memiliki dua pola yakni: “terpisah satu kalkulus dan kultur artinya bahwa institusi memiliki sama lain, terkait satu sama lain, atau salah satu maknanya sendiri baik berupa tata prosedur formal menjadi bagian dari yang lain baik secara formal dan informal, rutinitas, norma-norma dan perjanjian maupun dalam arti terkooptasi” (Nugroho, yang melekat pada struktur kepemerintahan, politik 2014:26). Di dalam perumusan kebijakan industri dan ekonomi dari institusi tersebut (yang dikutip penyiaran dan telekomunikasi, ketiga elemen ini dalam Duric, 2011:97). Greener (2005) memiliki andil yang sangat besar untuk meloloskan menyarankan langkah awal pendekatan ataupun menggagalkan sebuah kebijakan. Baik UU institusionalisme historis adalah dengan Penyiaran maupun UU Telekomunikasi mengidentifikasikan elemen-elemen ataupun mencerminkan interalasi antar elemen regulator kondisi yang membentuk pilihan-pilihan yang yang berbeda, terutama antara pemerintah dan mengawali trajektori dependensi tersebut baik parlemen. Tidak hanya itu, kedua UU ini juga berupa awal terbentuknya lembaga, ataupun proses mempengaruhi kekuatan pengaruh badan indepenen formulasi kebijakan. Dalam studinya, Greener regulator – yakni Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) (2005:64) mengemukakan kritik terhadap prinsip dan Badan Regulator Telekomunikasi Indonesia path dependence yang dikemukakan oleh beberapa (BRTI) – dalam proses pembuatan kebijakan. Hal akademis, diantaranya: pertanyaan mengenai ini dapat terlihat dalam diagraf 1, bahwa KPI bagaimana sebuah institusi dapat membebaskan cenderung berlaku seperti oposisi Kemkominfo dirinya dari path dependence yang telah terbentuk dalam merumuskan kebijakan penyiaran, sebaliknya secara historis. Penggunaan teori ini untuk studi ini BRTI menjadi mitra Kemkominfo dalam 5 Lecours (2005a) menemukan tiga pendekatan: merumuskan kebijakan telekomunikasi. historical, rational, dan sociological institutionalism. Sementara, Parsons (1995) menyebutkan tiga pendekatan: economical, sociological, dan political institutionalism. Beda halnya, dengan Peters (2000) yang menyebutkan tujuh pendekatan: normative, empirical, institutionalism of interest representation, international institutionalism, historical institutionalism, rational institutionalism, dan sociological institutionalism.

93

Jurnal Penelitian Pos dan Informatika, Vol.5 No 1 September 2015 : 87 - 108

Gambar.1 Interelasi antar elemen regulator dalam kebijakan penyiaran dan telekomunikasi di Indonesia Sumber: wawancara Riant Nugroho, BRTI

”BRTI adalah half part dari Kominfo, seperti pertahanan, hubungan luar negeri, dan jadi sifatnya lebih kepada partnership. komunikasi dan informatika. Komisi ini memiliki Sementara KPI itu oposisi. Hubungan Kominfo dan KPI itu Diametral. Kalo ke setidaknya 15 mitra kerja yang terdiri dari BRTI dan Kominfo itu lebih kepada kementerian, badan pemerintah, elemen kongruen, nah hubungan diametral ini menyebabkan Kominfo dan KPI itu tidak masyarakat. Sejak awal tahun ini, Komisi I DPR pernah sinergi. Kalo Kominfo dan BRTI dan Kemkominfo menyepakati tiga RUU untuk itu sinergi, kepentingan sama kok.”(wawancara dengan Riant dibahas dalam program legislasi nasional Nugroho, komisioner BRTI) (prolegnas) 2015-2019, diantaranya: RUU Revisi

Elemen Legislatif dan Yudikatif UU Penyiaran, RUU TVRI dan RRI, serta RUU revisi UU Telekomunikasi (Komisi I DPR, 2015). Kedua elemen, baik Legislatif (Dewan Perlu diketahui bahwa Komisi I DPR memprakarsai Perwakilan Rakyat/ DPR) dan Yudikatif revisi UU Penyiaran 2002 dan masuk dalam (Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah prolegnas pada periode sebelumnya, 2010-2014. Konstitusi (MK)), sangat berpengaruh pada Sementara itu, MK dan MA merupakan keberlangsungan sebuah kebijakan baik secara elemen regulator yang bertugas untuk menegakkan hukum maupun secara politik. DPR memiliki tiga sistem hukum Indonesia berdasarkan Pancasila dan fungsi: legislasi, penyusunan anggaran, dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). pengawasan. Dengan fungsi legislasi, DPR Berdasarkan amandemen UUD 1945 (1999-2002), memiliki otoritas untuk menyusun dan membahas MK dan MA memiliki wewenang untuk melakukan rancangan Undang-Undang (RUU) baik yang judicial review (uji material) terhadap UU dan diajukan oleh pihaknya, Presiden (melalui menteri peraturan Per-UU, apabila bertentangan dengan terkait) ataupun dari DPD, serta menetapkan UU itu UU. Setidaknya ada dua alasan kebutuhan uji sendiri (DPR website, 2015). Dalam material, yaitu: 1)bagi masyarakat, uji material mengembankan tugasnya, anggota DPR terbagi ke berfungsi untuk memberikan jaminan perlindungan dalam beberapa komisi yang menangani isu hukum dari tindakan badan pemerintah, sementara nasional yang berbeda. Komisi I menangani isu bagi badan pemerintah, uji material tersebut

94

Dinamika Tata Kelola Kebijakan Industri Penyiaran dan Telekomunikasi Indonesia Menuji Konvergensi (Vience Mutiara Rumata) berfungsi sebagai batasan sekaligus jaminan untuk kedua badan regulator independen ini dipengaruhi mengeluarkan peraturan kebijakan; 2) setiap oleh historis pembuatan UU Penyiaran dan UU keputusan dalam uji materil dapat menyumbang Telekomunikasi yang asal muasalnya diprakarsai perkembangan ilmu hukum administrasi dan oleh dua instansi berbeda yakni DPR dan menjadi instrument baru dalam penyelenggaraan Kemkominfo berturut-turut. KPI dibentuk tata pemerintahan (Latief,2005 dalam Nalle,2013:3) berdasarkan amandemen UU Penyiaran 2002. Elemen Eksekutif Dalam UU tersebut, bahkan, mengatur wewenang Regulasi bidang penyiaran dan KPI untuk bekerja sama dengan pemerintah (dalam telekomunikasi di Indonesia mengalami perubahan hal ini Kemkominfo) untuk mengatur jumlah dari kontrol penuh menuju deregulasi. Demikian lembaga penyiaran baik skala lokal, regional, pula, institusi pemerintah mengalami perubahan maupun nasional; membatasi kepemilikan media; baik secara struktur organisasi maupun orotritas mengeluarkan ijin penyiaran; dan mengatur yang didelegasikan. Secara historis, kebijakan implementasi Sistem Siaran Jaringan bagi Televisi6. penyiaran pada masa Orde Baru sangat Meski demikian, peran KPI sebagai badan regulator dikendalikan oleh pemerintah melalui Departemen di luar pemerintah dilemahkan. Sejak awal Penerangan. Semenjak Reformasi diteggakkan, pembentukannya, komunitas Pers7 menilai KPI departemen ini dibubarkan pada tahun 1999 dan berpotensi menyerupai Departemen Penerangan kemudian berganti struktur (seperti berbentuk seperti jaman Orde Baru yang dapat memberedel lembaga ataupun kementerian negara) sebelum surat kabar karena tidak pro pemerintah. Beberapa akhirnya dibentuk Kementerian Komunikasi dan materi pokok judicial review yang diajukan Informatika (Kemkominfo) pada tahun 2001 oleh pemohon, diantaranya: 1) ihwal KPI sebagai Presiden Megawati. Kebijakan bidang Lembaga Negara (pasal 7(2) dan Pasal 62 (1)&(2) telekomunikasi dan penyiaran dipegang oleh UUD Penyiaran No.32/2002); 2) wewenang Direktorat Jenderal Pemberdayaan Pos dan judiciary yang dimiliki KPI (Pasal 55 (1-3) dan Informatika (Ditjen PPI). Secara historis, Ditjen PPI Pasal 34 (5)) dinilai bersifat represif dan bersama dengan Direktorat Jenderal Sumber Daya mengancam kebebasan ekspresi dan bertentangan Perangkat Pos dan Informatika (Ditjen SDPPI) dengan pasal 28 (1)&(2) UUD 1945 amandemen; 3) merupakan pecahan dari Direktorat Jenderal Pos Pasal diskriminatif terhadap jangkauan siaran (Pasal dan Telekomunikasi (Postel) berdasarkan penetapan 14 (1), pasal 15 (1), Pasal 31 (2) dan Pasal 16 (1)) struktur baru Kemkominfo berdasarkan Peraturan (dokumen Putusan MK No 005, p.4-5). Terkait Menteri Kominfo No. 17/2010 (SDPPI, 2015). 6 Badan Regulator Indepeden Hal ini diamanatkan dalam Pasal 18 (3) & (4), Pasal 29 (2), dan Pasal 31 UU No.32/2002 tentang Penyiaran. Temuan menarik dalam studi ini adalah 7 Komunitas Pers yang mengajukan permohonan judicial review KPI diantaranya: Ikatan Jurnalis Televisi kekuatan pengaruh badan regulator independen - Indonesia (IJTI), Persatuan Radio Siaran Swasta KPI dan BRTI - dalam menyusun kebijakan Nasional Indonesia (PRSSNI), Persatuan Perusahaan Perikalanan Indonesia (PPPI), Asosiasi Televisi Siaran penyiaran dan telekomunikasi di Indonesia. Indonesia (ATVSI), Persatuan Sulih Suara Indonesia (PERSUSI), Komunitas Televisi Indonesia Perbedaan distribusi pengaruh dan kekuatan dari (KOMTEVE).

95

Jurnal Penelitian Pos dan Informatika, Vol.5 No 1 September 2015 : 87 - 108 eksistensinya sebagai lembaga negara, MK industri telekomunikasi yang sehat. Karenanya, memutuskan bahwa status lembaga negara yang BRTI tidak saja membantu Kemkominfo untuk diatur tidak bertentangan dengan UUD 1945. Arti membuat kebijakan, tetapi juga menangani kata ‘lembaga negara’ (dengan huruf kecil) manajemen bisnis perusahaan telekomunikasi memiliki makna bahwa KPI dibiayai dan dimiliki seperti merger antar dua perusahaan oleh negara (p.22). Pada tahun 2006, KPI telekomunikasi. mengajukan permohonan pengajuan uji Meski independen, kedua lembaga ini secara konstitusional kembali Pasal 62 ayat (1) dan (2), operasional dan tata kelola bergantung pada terutama terkait kepastian hukum KPI sebagai anggaran pemerintah (APBN). Hal ini lembaga independen serta penolakan KPI terhadap mempengaruhi kredibilitas keduanya di mata penyusunan regulasi industri penyiaran dalam publik. Bahkan, dalam proses perekrutan bentuk Peraturan Pemerintah (PP). Lembaga negara komisioner kedua institusi ini dipengaruhi baik dari independen, menurut Jimly Asshiddiqie (2003 yang Kemkominfo maupun dari DPR. Pada proses dikutip dalam putusan MK No 031/PUU-IV/2006, seleksi anggota anggota komisioner BRTI, panitia p.8), merupakan organ negara (state organ) yang seleksi berasal dari Kemkominfo dan dilakukan didesain independen dan berada di luar cabang pengumuman secara terbuka melalui website kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, Kemkominfo. Komposisi anggota komisioner ini namun mempunyai fungsi ketiganya. Sementara, PP terdiri dari sembilan orang, yakni: tujuh anggota adalah wewenang lembaga eksekutif. Karenanya, dari publik yang merupakan praktisi dan ahli di MK memutuskan pembatasan wewenang KPI bidang telekomunikasi, TIK, hukum, ekonomi dan menjadi lembaga pengawas konten siaran kebijakan publik; serta dua lainnya merupakan sebagaimana tercatut dalam pasal 8 (2) UU pejabat eselon I di lingkungan Kemkominfo, yakni: Penyiaran tersebut. Direktur Jenderal (Dirjen) PPI dan SDPPI. Anggota Tidak sama halnya dengan KPI, BRTI komisioner lolos seleksi dilantik oleh Menteri memiliki peran yang cukup berpengaruh dalam Kominfo. Sementara, perekrutan anggota KPI pembuatan kebijakan telekomunikasi di dilakukan oleh panitia seleksi yang dipilih oleh Kemkominfo. BRTI dibentuk pada tahun 2013 Komisi I DPR berdasarkan rekomendasi KPI Pusat berdasarkan Keputusan Menteri (KM) Perhubungan (KPI, 2015). DPR juga melakukan fit and proper No. 31/2003. Pasal 4 (2) UU Telekomunikasi dan test terhadap calon komisioner KPI serta melantik pasal 5 KM No.31/2003 menyebutkan BRTI anggota terpilih. memiliki fungsi pengaturan, pengawasan, dan Dari deskripsi ini, tampak jelas path pengendalian penyelenggaraan jaringan dan jasa dependence dari kedua lembaga ini sangat berbeda. telekomunikasi. Di struktur organisasi BRTI, Dampak judicial review MK berpengaruh pada terdapat Komite Regulasi Telekomunikasi (KRT) pembatasan kekuasaan KPI dalam prosedur yang berperan sebagai agen perumus kebijakan di perumusan kebijakan bidang penyiaran, yakni dari Kemkominfo. Key Performance Index KRT ini, regulator menjadi pengawas konten siaran. Bahkan, menurut Riant Nugroho, adalah pertumbuhan pemilihan anggota KPI dipengaruhi oleh kekuatan

96

Dinamika Tata Kelola Kebijakan Industri Penyiaran dan Telekomunikasi Indonesia Menuji Konvergensi (Vience Mutiara Rumata) politik di DPR. Lain halnya dengan BRTI yang terjadinya konvergensi tersebut. Apakah IPTV memiliki pengaruh cukup kuat dalam perumusan diatur seperti konten internet pada umumnya atau kebijakan bidang telekomunikasi. Meski kredibilitas sebagai lembaga penyiaran seperti televisi pada independen sempat diragukan karena adanya dua umumnya. Kominfo mendefinisikan layanan IPTV pejabat tinggi Kemkominfo sebagai anggota KRT, sebagai teknologi layanan konvergen yang mampu akan tetapi proses seleksi anggota dilakukan secara menyalurkan siaran, audio, text, video serta transparan dan terbuka. Pola path seperti ini memberikan layanan interaktif kepada tampaknya akan berlanjut hingga penyusunan pelanggannya8. Terkait perizinan, penyedia jasa peraturan konvergensi di masa yang akan datang. IPTV harus memiliki tiga jenis izin yang diatur “Kalo kita konvergensi, BRTI harus terpisah di UU Penyiaran dan UU Telekomunikasi9. paling depan. Kita punya kepentingan Isu mengemuka lainnya dalam industri dalam RUU Konvergensi karena ke depannya broadcast, telekomunikasi dan penyiaran saat ini adalah migrasi TV terestrial tidak ITE harus menyatu gitu. KPI itu hanya berbayar (free to air). Kominfo telah mengeluarkan mengerjakan konten saja, sementara BRTI itu seperti MCMC Malaysia.” (Riant sedikitnya 14 Peraturan Menteri untuk mencapai Nugroho, komisioner BRTI) Analogue Switch Off yang ditargetkan pada tahun

2018. Kominfo telah menetapkan sistem Regulasi Industri Penyiaran multipleksing (Mux) dengan mengadopsi teknologi Pada sub bagian ini membahas isu-isu DVB-T210. Satu kanal frekuensi dalam teknologi terkemuka industri penyiaran, yaitu: IPTV dan multipleksing dapat menampung hingga 12 saluran migrasi TV terestrial analog ke digital, serta standar digital/SDTV (Wibawa dkk, 2010:119). kebijakan yang dikeluarkan regulator saat ini. Pasar televisi berbasis Internet Protokol (IPTV) di Indonesia terus berkembang. Selain Telkom yang meluncurkan Groovia tahun 2011, MNC media grup juga meluncurkan produk IPTVnya Play Media tahun 2014 (Gatra, 2014). Pengklasifikasian layanan IPTV, secara akademis, memicu perdebatan: apakah layanan ini termasuk ke dalam jenis distribusi konten tertutup (wall-garden type) atau jaringan terbuka bagi publik (a free web-based 8 Peraturan Menteri Kominfo No. 30/2009, Bab I Pasal 1, tentang Penyelenggaraan Layanan Televisi Protokol type) (Lin, 2013:675). Pemahaman mendasar Internet (Internet Protocol Television/IPTV) di mengenai ‘sifat alamiah’ dari teknologi itu sangat Indonesia. 9 Pasal 5 (2) Peraturan Menteri Kominfo No. 15/2010, penting karena berdampak pada regulasi. yaitu a) Izin Penyelenggaraan Jaringan Tetap Lokal, Izin Penyelenggaraan Jaringan Bergerak Seluler, atau Izin Sebagaimana disampaikan oleh Shin (2005), bahwa Penyelenggaraan Jaringan Tetap Tertutup; b) Izin tantangan pemerintah dalam tata kelola konvergensi Penyelnggaraan Jasa Akses Internet (ISP); c) Izin Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran adalah mengkonseptualisasikan atau Berlangganan Jasa Penyiaran Televisi. 10 mengklasifikasikan hal-hal teknis yang mendukung Diatur dalam Permen Kominfo No.5/2012 tentang Standar Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap tidak Berbayar (Free to Air)

97

Jurnal Penelitian Pos dan Informatika, Vol.5 No 1 September 2015 : 87 - 108

Gambar 1. Pembagian Zona Layanan Multipleksing Sumber: Peraturan Menteri No.6/2013, p.12

Berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) seperti dari Jerman, serta ada pemancar back up untuk stand by, Kominfo No. 7/2009, pemerintah telah menetapkan maka itu akan membuat harga sewa 15 zona layanan Mux dalam wilayah kepulauan Mux itu menjadi mahal. Sewa Mux untuk operator itu berbeda-beda. TV- Indonesia dengan jumlah wilayah layanan serta TV lokal yang analog sekarang jumlah saluran Mux beragam tiap-tiap pemancarnya kecil-kecil mungkin hanya 500 watt, kalau TV nasional zonaPemerintah telah menetapkan formula tarif pemancarnya besar-besar bisa sewa saluran Mux melalui Permen Kominfo No. mencapai 60 hingga 80 ribu watt dengan harga miliaran.” (Buyung 18/2012, yaitu berdasarkan Forward-Looking Run Syaharuddin, interview 9 Februari Incremental Cost Plus (FL-LRIC+). Formula ini 2015). Sebagai ilustrasi, PT. Visi Media Tbk (VIVA), memperhitungkan beban investasi pengembangan sebuah media grup yang memiliki dua TV swasta teknologi multipleksing baik secara langsung nasional – TV One dan ANTV – harus maupun tidak langsung serta perhitungan margin menginventasikan sedikitnya 300 miliar rupiah yang dapat diperoleh oleh perusahaan berbasis a untuk memangun infrastruktur multipleksing di fair cost. Kominfo tidak menetapkan biaya sewa enam propinsi (Riska, 2014). Berdasarkan analisis maksimum. Meski demikian, setiap pemegang cost-benefit, sebuah penyelenggara multipleksing lisensi Mux wajib melaporkan perhitungan biaya sedikitnya harus menyewakan satu saluran sewa saluran Mux kepada pemerintah untuk multiplesingnya dengan tarif dasar minimal sebesar dievaluasi. Pemerintah mengakui adanya resistensi Rp. 33.497.766 per Mbyte per bulan kepada khususnya dari TV-TV siaran lokal terhadap penyelenggara konten siaran. Satu penyelenggara formula ini. konten siaran harus menyewa minimal 4 Mbyte “Kekhawatiran pada TV Lokal adalah keharusan untuk menyewa saluran Mux sehingga biaya yang dikeluarkan setidaknya Rp. yang dirasa mahal. Itu semua kembali 120 juta per bulan untuk menyelenggarakan siaran tergantung pada si [penyelenggara] Mux ini membuat konfigurasi jaringan digital (Azmi, 2013:273). Anang Latif, kepala sub dia. Jika dia membeli pemancar mahal direktorat pembangunan infrastruktur Kominfo,

98

Dinamika Tata Kelola Kebijakan Industri Penyiaran dan Telekomunikasi Indonesia Menuji Konvergensi (Vience Mutiara Rumata) mengungkapkan adanya alasan non teknis yang mahal dan hanya bisa dijangkau oleh penyelenggara membuat TV-TV siaran lokal enggan untuk konten siaran padat modal saja. Hal ini dapat bermigrasi ke digital. Diantaranya hilangnya mengancam upaya untuk mencapai keberagaman kemampuan untuk mendistribusi konten siarannya konten. Sementara dari segi layanan, model bisnis secara mandiri karena harus diserahkan kepada ini tidak memperhatikan komponen bisnis di luar pihak ketiga yakni pemegang lisensi infrastruktur penyelenggara konten dan multiplekser semisal Mux. pihak penyedia layanan tambahan seperti electronic Dengan penerapan sistem multipleksing ini, programme guide ataupun yang mendukung model bisnis industri penyiaran digital terestrial pun layanan interaktif (p.274). berubah dari struktur vertikal menuju struktur Absennya peraturan dengan kekuatan legal horisontal. Dalam siaran analog, sebuah perusahaan yang tinggi seperti UU diyakini menjadi televisi menguasai mata rantai bisnis dan aset- penghambat migrasi tersebut. Regulasi berbentuk asetnya termasuk hak siar. Sementara dalam siaran peraturan Menteri tidak cukup kuat untuk mengatur digital, struktur horisontal yakni berbasis layanan industri TV digital kelak, bahkan rawan dibatalkan dimana penyelenggara siaran terbagi menjadi dua oleh yudikatif. Hal ini terjadi pada Peraturan yaitu lembaga penyiaran penyelenggara program Menteri No. 22/2011 yang dijudicial review dan multipleksing (LPPPM) dan lembaga penyiaran dibatalkan oleh Mahkamah Agung pada tahun 2013. penyelenggara program siaran (LPPPS) Meskipun demikian di tahun yang sama, Kominfo (berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) No. mengeluarkan Permen No.32/201311. Pembatalan 22/2011 Bab III pasal 3). LPPPM merupakan tersebut diakibatkan karena istilah LPPPM dan penyedia infrastruktur multipleksing termasuk alat LPPPS bertentangan dengan UU Penyiaran 2002. pemancar, menara dan teknologi multiplexer. Dalam peraturan terbaru, kedua istilah tersebut Sementara, LPPPS merupakan penyedia konten dihilangkan serta ditegaskan kembali bahwa siaran. Keuntungan dari pemisahan antara lembaga penyiaran televisi swasta dan lembaga penyelenggara konten dan infrastruktur adalah: 1) penyiaran publik (TVRI) dapat menyelenggarakan penyelenggara konten dapat memfokuskan pada penyiaran multipleksing (pasal 3). Dalam Permen peningkatan kualitas konten siaran tanpa Kominfo No. 28/201312, setiap lembaga penyiaran memikirkan sarana dan prasarana pemancar dan pemegang ijin siaran program diwajibkan untuk jaringan transmisi; 2) efisiensi biaya operasional menyewa saluran siaran multipleksing dan diantaranya mendorong penggunaan menara pemegang lisensi penyelenggara multipleksing bersama, pengurangan biaya manajemen dan SDM diwajibkan menyewakan enam dari sembilan (Hutabarat, 2014:492). Meski demikian, model saluran Mux-nya untuk penyelenggara program bisnis digital saat ini masih memiliki titik kritis terutama dari sisi finansial, layanan dan regulasi 11 Permen No. 32 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan sehingga memerlukan peraturan yang rinci dan Penyiaran Televisi secara Digital dan Penyiaran Multipleksing melalui Sistem Terestrial. detail (Azmi, 2013:276). Dari sisi finansial, 12 Permen No.28/2013 tentang tata cara dan persyaratan perizinan penyelengaraan penyiaran jasa penyiaran misalnya, tarif dasar sewa saluran Mux cenderung televisi secara digital melalui sistem terestrial.

99

Jurnal Penelitian Pos dan Informatika, Vol.5 No 1 September 2015 : 87 - 108 siaran13. Permen No. 32/2013 kembali digugat oleh masyarakat …” Lebih lanjut, dalam batang tubuh kalangan komunitas jurnalistik dan penyiaran UU tersebut pasal 13, tidak dikenal istilah lembaga karena dianggap tidak mendukung demokratisasi penyiaran multipleksing, melainkan hanya empat penyiaran14. Judhariksawan, Ketua KPI, tipe lembaga penyiaran yakni: lembaga penyiaran berpendapat bahwa sistem multipleksing tidak publik, swasta, komunitas dan berlangganan. dikenal dalam UU Penyiaran 2002. “Migrasi terrestrial dari analog ke Skenario Revisi UU Penyiaran digital, itu tidak ada dasar hukumnya. Terdapat perbedaan pendapat yang signifikan Karena sebenarnya dia tidak masalah dalam UU jika sekadar mengubah, antara DPR, Kominfo dan KPI terkait Rancangan maksudnya, jika RCTI ada di frekuensi Undang-Undang (RUU) revisi UU Penyiaran 20 MHz, ketika digital RCTI tinggal ganti pemancarnya. Tetapi, No.32/2002, terutama terkait otoritas KPI dan masalahnya kementerian yang kemarin Kominfo dalam regulasi industri penyiaran. Dalam menyusun konsep multiplekser, satu entitas baru yang tidak dikenal dengan draf RUU revisi UU Penyiaran usulan pemerintah, UU Penyiaran. Kelemahan UU Kominfo memiliki otoritas dalam membina industri Penyiaran itu tidak visioner terhadap perkembangan teknologi yang cepat, penyiaran yaitu: menetapkan kebijakan (perumusan walaupun dalam definisi penyiaran ada strategis dan perencanaan dasar teknis penyiaran kata-kata ‘gelombang alat elektromagnetik lainnya’, tetapi di nasional), pengaturan (pengeluaran ijin lembaga dalam batang tubuh UU sendiri sulit penyiaran), pengawasan dan pengendalian. Lebih kita menggunakan pasal-pasal yang ada untuk menjangkau perkembangan jauh, Kominfo meniadakan lembaga KPI dan teknologi yang ada seperti IPTV, menggantikannya dengan ‘Komisi Pengawas Isi OTT,Konvergensi, sekarang digital terrestrial. Itu sulit.” (Judhariksawan, Siaran’ (KPIS) dengan struktur kelembagaan yang ketua KPI, interview pada tanggal 28 sama dengan sebelumnya15. KPIS, dalam pasal 101 Januari 2015) Definsi ‘Penyiaran’, Bab 1 Pasal 1 (2) UU draf RUU revisi UU Penyiaran versi pemerintah, Penyiaran 2002, adalah “kegiatan pemancarluasan memiliki wewenang diantaranya: Menyusun dan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana menetapkan Standar Program Siaran (SPS); transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan keleluasan untuk memberi sanki administrasi menggunakan spektrum frekuensi radio … untuk terhadap pelanggaran SPS, serta merekomendasi dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh pencabutan Izin Penyelenggara Penyiaran kepada Menteri atas pelanggaran SPS yang dilakukan oleh 13 Berdasarkan Permen No.32/2013 Bab III bagian ketiga pasal V (2), setiap penyelenggara Mux tidak lembaga penyiaran. diperbolehkan untuk menggunakan seluruh jumlah saluran Mux untuk kepentingan sendiri dan afiliasinya, Draf RUU revisi UU Penyiaran versi melainkan hanya tiga saluran Mux yang dapat pemerintah berbanding terbalik dengan draf versi dipergunakan. Lebih lanjut, pemegang lisensi penyelenggara Mux harus menerapkan prinsip “open KPI. Dalam draf RUU versi KPI, peran KPI access” dan “non-discriminatory” terhadap TV-TV lain untuk dapat menyewa saluran Mux tersebut. dipulihkan sebagai lembaga independen berskala 14 Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dalam siaran persnya, menyebutkan bahwa Permen Kominfo Mo. 32/2013 emmiliki substansi dengan Permen No. 22/2011 15 Secara struktural, KPI terdiri dari satu KPI pusat yang dan hanya menghilangkan istilah-istilah teknis yangt idak berkantor di Jakarta serta 33 KPI daerah di masing- terdapat dalam UU penyiaran. masing propinsi.

100

Dinamika Tata Kelola Kebijakan Industri Penyiaran dan Telekomunikasi Indonesia Menuji Konvergensi (Vience Mutiara Rumata) nasional yang berwenang mengatur menampung aspirasi masyarakat dan mewakili penyelenggaraan penyiaran dan mewakili kepentingan publik dalam hal penyiaran” (p.48). kepentingan dan kebutuhan masyarakat akan Lebih lanjut, penyiaran. Hal ini berarti KPI memiliki otoritas Terkait konvergensi, baik draf RUU revisi untuk mengeluarkan izin penyelenggaraan UU Penyiaran versi pemerintah maupun versi KPI penyiaran. Akan tetapi, ada satu hal yang tidak tidak secara tegas mengatur konvergensi di industri menjadi wewenang KPI yaitu pembagian alokasi penyiaran seperti model bisnis atau mengadopsi frekuensi untuk kebutuhan penyiaran, yang model regulasi dari negara lain. Draf versi KPI merupakan domain wewenang Kominfo. mengusulkan perubahan definisi penyiaran dengan “Negara ini sesungguhnya tidak menambahkan penggunaan kata “kegiatan menjalankan UU Penyiaran. Kenapa? pemancarluasan menggunakan multimedia Karena KPI tidak diletakkan pada posisi yang independen. Dari sisi (internet)” postur anggaran, sangat kecil, “[definisi penyiaran] harus mengacu diletakknya dibawah Sekjen [Kominfo] pada regulasi internasional, regulasi yang pasti memiliki visi dan misi yang ITU mengatakan [penyiaran] harus berbeda, tupoksi berbeda direct reception. Tetapi ketika ya..kedudukan lembaganya tidak misalnya kita menyalurkan sesuatu di jelas.” (Judhariksawan, ketua KPI, internet, apakah itu tujuannya untuk interview pada tanggal 28 Januari penerimaan langsung kepada publik? 2015) Mekanisme penyalurannya [sarana transmisi darat, laut atau antariksa], UU Penyiaran No 32/2002 dengan tegas tetapi sifat penerimaannya langsung mengamandemenkan peran KPI sebagai regulator kepada publik dan serentak dan penyelenggaraan penyiaran di Indonesia16. Meski serempak. Nah, itu masuknya penyiaran.” (Judhariksawan, ketua demikian, peran KPI dalam mengatur regulasi KPI, interview pada tanggal 28 bidang industri semakin terbatas semenjak judicial Januari 2015) review terhadap lembaga ini pada tahun 2003. Dengan adanya revisi UU Penyiaran 2002 Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tampaknya upaya untuk mewujudkan sebuah UU No.031/PUU-IV/2006, disebutkan bahwa Pasal 7(2) konvergensi akan sulit direalisasikan dalam waktu UU Penyiaran No.32/2002 harus diartikan bahwa dekat. RUU tentang Konvergensi Telematika, peran KPI sebagai lembaga independen hanya diajukan oleh DPR, DPD dan pemerintah, masuk sebatas pada “pemberdayaan masyarakat dalam dalam Program Legislasi Nasional DPR 2015-2019 melakukan kontrol sosial … dengan cara (DPR,2015). Dalam wacananya, RUU Konvergensi Telematika akan menyatukan tiga UU bidang 16 Setidaknya ada beberapa pasal dalam tubuh UU yang menegaskan peran KPI sebagai regulator, diantaranya: Komunikasi dan Informatika: UU Penyiaran pasal 8(3), tugas dan kewajiban KPI yaitu “ikut No.32/2002, UU Telekomunikasi No. 36/1999, dan membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran”; pasal 18(4) “…pembatasan kepemilikan dan penguasaan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) No. … dan pembatasan kepemilikan silang … disusun oleh KPI dan Pemerintah”; pasal 29(2) di mana KPI dan 11/2008. Unifikasi ketiga UU ini ke dalam sebuah pemerintah bekerja sama mengatur tata cara perizinan UU baru akan menemukan kendala. TV berlangganan; dan pasal 31 di mana KPI dan pemerintah bekerja sama mengatur pelaksanaan sistem “Dalam sistem perundang- stasiun jaringan (SSJ).

101

Jurnal Penelitian Pos dan Informatika, Vol.5 No 1 September 2015 : 87 - 108

undangan kita tidak dikenal UU induk atau UU payung yang “Sistem tata Negara di Indonesia memayungi beberapa undang menganut bahwa perumusan UU itu undang. Tidak ada nomenklatur UU dilakukan oleh dua pihak. Pertama oleh Konvergensi dalam prolegnas. DPR sendiri yang memang memiliki hak Yang ada hanyalah tiga undang- legislasi dan Pemerintah yang dapat undang yang sudah ada [UU mengajukan usulan UU. Pada Penyiaran dan UU Telekomunikasi] kenyataannya pada dua sumber dari plus UU Lembaga Penyiaran seperti itu pendekatan Unifikasi itu sulit Publik atau UU RTRI yang saling dilakukan karena ada beberapa UU bersentuhan dan berkaitan yang sangat related pada political (konvergensi). Ketiga UU dibidang matters. Seperti UU penyiaran dan UU dibidang kominfo ; UU Penyiaran, ITE itu ada sifat political mattersnya UU ITE dan UU Telekomunikasi yaitu menjadi domain publik … sehingga akan diamandemen oleh Komisi 1 DPR berpendapat bahwa UU Penyiaran pada periode ini. Sesuai dengan dan UU ITE itu harus menjadi UU semangat konvergensi, isi dan nafas tersendiri. Sehingga pemerintah ketiga UU tersebut harus saling berketetapan bahwa yang harus terkait, saling mendukung dan tidak dilakukan pertama adalah melakukan boleh saling memandulkan” UU yang memperbolehkan tindakan (Tantowi Yahya, email, anggota bisnis konvergensi secara hukum dan DPR Komisi I, 28 Februari 2015) dalam konteks itu didoronglah UU Telekomunikasi menjadi UU yang mengatur praktik konvergensi di Selain bertentangan dengan sistem tata Indonesia.” (Gunawan Hutagalung, negara, RUU Konvergensi Telematika akan memicu Subdit Telekomunikasi Kemkominfo, wawancara 10 Februari 2015) konflik kepentingan baik dari DPR dan Kominfo.

Secara historis, Pembentukan UU Penyiaran Regulasi Industri Telekomunikasi maupun UU Telekomunikasi diusulkan oleh dua instansi tersebut yang tentunya memiliki Penggunaan spektrum di Indonesia sudah kepentingan dan tradisi yang berbeda17. semakin kritis seiring dengan meningkatnya pasar “Harmonisasi ketiga UU tersebut telekomunikasi berbasis mobile serta konsumsi memakan waktu lama dan melalui komunikasi berbasis data. Data statistik ITU 2015, perdebatan panjang karena semua UU dibawah Kominfo sarat dengan jumlah pelanggan telepon selular mencapai 303,7 tehnologi, kedaulatan dan kepentingan juta pelanggan. Sementara, jumlah pengguna bisnis disamping politik. Diperlukan kehati-hatian dalam merumuskan pasal frekuensi berdasarkan izin stasiun radio di demi pasal. Inilah yang membuat Indonesia khususnya di frekuensi UHF (300 MHz- pembahasan menjadi lama dan melelahkan” (Tantowi Yahya, email, 3Ghz) dan SHF (3GHz-30GHz)18 untuk term anggota DPR Komisi I, 28 Februari semester II 2014 mencapai 106.998 (atau naik 2015) sebesar 2.600 ijin yang dikeluarkan pada semester I 17 DPR yang mengusulkan UU Penyiaran 2002. 2014) dan 340.422 (atau naik sebesar 26.834 ijin Semangat UU Penyiaran 2002 adalah media memiliki peran membangun sistem demokrasi di Indonesia serta yang dikeluarkan pada semester I 2014) berturut- memberi dampak bagi masyarakat secara luas (menghindari kecenderungan media sebagai alat turut (Data statistik SDPPI semester II 2014, p.90). propaganda). Sementara Kominfo yang mengusulkan UU Kebutuhan penggunaan spektrum untuk penyiaran Telekomunikasi 1999 karena terkait dengan pengaturan spektrum, yang merupakan sumber daya alam, yang harus dikelola oleh pemerintah. 18 Pita frekuensi UHF dan SHF merupakan

102

Dinamika Tata Kelola Kebijakan Industri Penyiaran dan Telekomunikasi Indonesia Menuji Konvergensi (Vience Mutiara Rumata) juga terus meningkat. SDPPI mencatat bahwa pembangunan menara pemancar setidaknya hingga jumlah presentase pengguna frekuensi untuk tahun 2021 (p.206) kategori TV siaran di semester II tahun 2014 adalah mencapai 78,23 persen dan radio siaran mencapai Skenario Revisi UU Telekomunikasi 45,81 persen (p.94). Sementara, jumlah pengguna Revisi UU Telekomunikasi 1999 merupakan kanal frekuensi untuk TV digital di tahun 2014 satu-satunya opsi regulator untuk mengatur perihal mencapai 244. Dengan asumsi pertumbuhan data konvergensi ditengah absennya UU konvergensi. trafik sebesar 60 persen dan 28,8 persen Draf revisi UU Telekomunikasi saat ini masih pertumbuhan menara BTS tiap tahunnya, maka dipersiapkan oleh Kemkominfo. Fokus utama dari jumlah ketersediaan spektrum akan mencapai minus revisi ini adalah mengkonvergensi antara 500 MHz (Setiawan, 2014). telekomunikasi dan internet sebagai fondasi dasar Migrasi TV terrestrial tak berbayar analog- dari infrastruktur industri digitalisasi. Bahkan, digital tidak bisa ditunda mengingat migrasi ini Kemkominfo berencana untuk mendorong agar akan menciptakan apa yang disebut dengan ‘Digital revisi UU Telekomunikasi ini menjadi UU Dividend’. Saat ini TV analog menggunakan pita Konvergensi. frekuensi di rentang 470-806 Mhz. Sementara, “Jadi nanti UU telekomunikasi ini akan ditransform menjadi UU konvergensi Kemkominfo melalui Permen No. 23/2011 yang pertama itu adalah mengalokasikan rentang pita frekuensi 478-694 mengkonvergensi antara telekomunikasi dan internet sehingga terjadi digitalisasi MHz untuk TV digital. Sisa rentang pita frekuensi infrastruktur, digitaliasi network. sangat cocok untuk untuk pengembangan teknologi Staging berikutnya itu nanti. Baik UU Konvergensi, UU ITE maupun UU Long Term Evolution (LTE/4G) bagi penyediaan Penyiaran itu harus mengenabler akses broadband wireless19. Ariyanti (2013) siapapun bisa menyelenggarakan ketiga layanan di atas jaringan yang sudah melakukan studi investasi pengembangan LTE digital.” (Gunawan Hutagalung, Subdit dengan kapasitas bandwith bervariasi antara 1.4 Telekomunikasi Kemkominfo, wawancara 10 Februari 2015) MHz hingga 20 MHz di empat jenis lokasi: urban, dense urban, sub-urban dan rural. Dalam studinya, Peraturan saat ini masih mengkotak-kotakan antara dia menemukan bahwa skenario terbaik untuk penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi mengoptimalkan teknologi LTE di rentang alokasi dengan penyelenggara telekomunikasi khusus digital dividend adalah tiga operator telekomunikasi (termasuk untuk keperluan penyiaran). Pasal 9 UU dengan kapasitas bandwith masing-masing adalah Telekomunikasi 1999 memperbolehkan 15 MHz sehingga dengan demikian tidak perlu penyelenggara jaringan telekomunikasi untuk adanya penambahan kapasitas bandwith ataupun menyelenggarakan jasa telekomunikasi. Akan tetapi, penyelenggara telekomunikasi khusus untuk

19 Berdasarkan pertemuan Asia Pacific Telecommunity keperluan penyiaran dilarang untuk menyewakan Wireless Group Meeting ke-11 (AWG-11), Indonesia jaringannya ataupun mengadakan interkoneksi berencana untuk memanfaatkan pita frekuensi 698-806 Mhz atau dikenal sebagai Pita frekuensi 700 Mhz untuk kepada penyelenggara telekomunikasi lainnya pengembangan broadband wireless. Pita frekuensi ini, menurut Ariyanti (2013), memiliki radius (Peraturan Pemerintah No. 52/2000 Pasal 50 (b) dan

103

Jurnal Penelitian Pos dan Informatika, Vol.5 No 1 September 2015 : 87 - 108

Pasal 53). Lebih lanjut, jikapun penyelenggara (teknologi produksi konten, teknologi pemrosesan penyiaran ingin melakukan koneksi kepada jaringan informasi, yang juga mendukung interaksi antara ataupun jasa telekomunikasi, harus memiliki ijin konsumen dan produsen). Dalam proses pembuatan yang diatur dalam UU Telekomunikasi (Pasal 54). desain ini perlu melibatkan publik, termasuk KPI. Werbach (2005:80) berpendapat bahwa kunci tantangan kebijakan konvergensi, apa yang REKOMENDASI kemudian disebutnya “connective layers” adalah Kemkominfo, KPI dan DPR perlu meninjau terletak pada dua titik kritis: infrastruktur fisik dan kembali dan memosisikan draf RUU revisi UU pengalaman dari customer (the user experience). Penyiaran sebagai regulasi bidang konvergensi Kebijakan konvergensi tidak harus merujuk pada khususnya bidang penyiaran. RUU ini kelak perdebatan open access, tetapi juga net neutrality, mengatur mata rantai bisnis penyiaran digital perdebatan mengenai penyedia jaringan sehingga perlu dijelaskan interkoneksi antara telekomunikasi untuk memberikan akses sebebas- industri penyiaran dan industri telekomunikasi. bebasnya, tanpa diskriminatif, kepada para penyedia Terlepas dari pengaruh politik, KPI dan jasa konten dan tetap memberikan layanan terbaik Kemkominfo perlu meninjau kembali peran kepada konsumen akhir. keduanya baik secara historis maupun peluang

untuk menciptakan sebuah kemitraan seperti IMPLEMENTASI Kemkominfo dengan BRTI. Kemkominfo menjadi aktor utama perumus kebijakan baik bidang Penyiaran dan PENUTUP Telekomunikasi. Tantangan terbesar bagi Studi ini memberikan gambaran umum Kemkominfo adalah pengaturan konvergensi bidang mengenai isu-isu terkemuka serta tata kelola penyiaran karena masih terbentur dengan industri penyiaran dan telekomunikasi di Indonesia kepentingan stakeholder lain terutamanya KPI. memasuki era konvergensi antara kedua industri Kemkominfo perlu meninjau dan merevisi kembali tersebut. Baik industri telekomunikasi dan draf proposal RUU rancangan UU Penyiaran penyiaran telah memanfaatkan TIK sebagai bagian khususnya untuk menegaskan kembali peraturan dari nilai tambah produk dan layanannya. UU No. model bisnis konvergensi bidang penyiaran. Salah 32/2002 tentang Penyiaran dan UU No. 36/1999 satu yang perlu diperhatikan adalah tidak saja tentang Telekomunikasi tidak cukup mengatur konvergensi antar produksi dan distribusi, tetapi perubahan teknologi yang telah mengaburkan juga antara produsen dan konsumen. Langkah awal batasan tegas antara dua industri ini. Kebijakan yang dapat dilakukan adalah Direktorat Penyiaran, yang mengatur hal-hal konvergensi saat ini Ditjen PPI dapat memdesain ekosistem konvergensi dilakukan melalui peraturan menteri Kominfo, bidang penyiaran. Dalam ekosistem termasuk termasuk mengatur migrasi TV terestrial tak pemetaan mata rantai bisnis industri penyiaran dan berbayar analog ke digital. Akan tetapi, legalitas komunikasi; implementasi teknologi konvergensi peraturan ini tidak cukup kuat karena utamanya

104

Dinamika Tata Kelola Kebijakan Industri Penyiaran dan Telekomunikasi Indonesia Menuji Konvergensi (Vience Mutiara Rumata) absensi UU yang mengatur digitalisasi. Alhasil, DAFTAR PUSTAKA peraturan menteri ini dapat sewaktu-waktu dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Unifikasi UU ACMA. (2011). Converged Legislative Frameworks – International Approaches. Penyiaran, UU Telekomunikasi (dan UU ITE) sulit Occasional Paper. July 2011. Australian diwujudkan. Karenanya, baik pemerintah dan Communication and Media Authority. Ariyanti, S. (2013) Studi Pemanfaatan Digital parlemen sepakat untuk mensinkronisasikan revisi, Dividend untuk Layanan Long Term khususnya, UU Penyiaran dan UU Telekomunikasi. Evolution (LTE). Buletin Pos dan Telekomunikasi. 11(3): 189-208. Hisotris pembuatan kedua UU ini telah membentuk Azmi, R. (2013) Analisis Model Bisnis path dependence terutama peran badan regulator Penyelenggaraan Televisi Digital Free-to-Air di Indonesia. Buletin Pos dan independen: KPI dan BRTI dalam komposisi Telekomunikasi. 11(4):265-280. pembuatan kebijakan transisi saat ini, maupun BPS (2014) ‘Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Pertumbuhan PDB Tahun 2013 Mencapai konvergensi yang akan datang. Dalam draf revisi 5,78 persen’. Berita Resmi BPS. UU Penyiaran, terdapat perbedaan yang cukup http://www.bps.go.id/brs_file/pdb_05feb14.p df [diakses pada 29 Januari 2015] signifikan antara Kemkominfo dan KPI, yakni Barbour, R.R. (2008) Introducing Qualitative perebutan otoritas dalam regulasi bidang penyiaran Research. SAGE publications Ltd. London Creswell, J.W. (2003). Research design: antara kedua institusi tersebut. Di dalam draf versi Qualitative, quantitative, and mixed methods pemerintah, KPI dihapus dan diganti menjadi approaches (2nd ed.). Thousand Oaks: Sage. Denzin, N. (1994) The art and politics of ‘Komisi Pengawas Isi Siaran’ yang tidak memiliki interpretation dalam Handbook of Qualitative otoritas dalam menentukan kebijakan yang Research. pp.500-515. Sage publication. California. meregulasi industri penyiaran. Sementara, di dalam DPR (2015) ‘Tentang DPR’ draf versi KPI, peran KPI ‘diperluas’ sebagai http://www.dpr.go.id/tentang/fraksi [tanggal akses 11 Maret 2015] regulator dan Kominfo sebagai pelaksana teknis DPR (2015) ‘Tentang Komisi I’ daripada kebijakan. Sementara, Kemkominfo http://www.dpr.go.id/akd/index/id/Tentang- Komisi-I [tanggal akses 11 Maret 2015] tengah mempersiapkan revisi UU Telekomunikasi DPR (2015) ‘Program Legislasi Nasional 2015- dengan fokus mengkonvergensi antara 2019’ http://www.dpr.go.id/uu/prolegnas- long-list [tanggal akses 19 Agustus 2015]. telekomunikasi dan internet sebagai fondasi dasar Gatra online (2014) ‘MNC Serius Garap Broadband dari infrastruktur dan jaringan industri digitalisasi. dan IPTV di Indonesia’. http://www.gatra.com/ekonomi-1/61421-mnc- serius-garap-broadband-dan-iptv-di- UCAPAN TERIMA KASIH indonesia.html [tanggal akses 25 Agustus 2015]. Greener, Ian. (2005). State of Art: the Potential of Peneliti mengucapkan terima kasih kepada para Path Dependence in Political Studies. Politics 25(1): 62-72. narasumber yang bersedia diwawancara untuk Gordon, R. (2003). Convergence Defined. Digital mendukung penelitian. Peneliti juga berterima kasih Journalism: Emerging Media and the Changing Horizons of Journalism (ed. Kevin kepada Dr. Danny Butt, research fellow di the Kawamoto). Rowman& Littlefield University of Melbourne, Australia, pembimbing Publishers. Washington http://www.ojr.org/ojr/business/1068686368. peneliti selama mengerjakan proyek penelitian ini. php (tanggal akses 20 Mei 2015). Hutabara, D.P. (2014) Tinjauan terhadap Model

105

Jurnal Penelitian Pos dan Informatika, Vol.5 No 1 September 2015 : 87 - 108

Bisnis Penyelenggaraan Penyiaran TV multipleksing-siap-sewakan-kanal (tanggal Digital. COMTECH. 5(1):485-494. akses 24 Maret 2015) Jiwani N. F. Krawchenko, T. (2014). Public Policy, Setiawan, D. (2014) “Perkembangan Teknologi Access to Government, and Qualitative Telekomunikasi Wireless dan Tantangan bagi Research Practices: Conducting Research Indonesia ke depan”. Paparan dalam Seminar within a Culture of Information Control. Sistem Telekomunikasi dan Informasi (SSTI) Canadian Public Policy/ Analyse de 2014, Unika Atmajaya. Politiques. March 2014: 57-66 SDPPI website (2015) ‘Profil> Sejarah Singkat’. Komisi I DPR (2015) ‘Laporan Singkat’ http://sdppi.kominfo.go.id/artikel-sejarah- http://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/K1- singkat-1-2 (tanggal akses 25 September Lapsing-Rapat-kerja-Komisi-I-DPR-RI- 2015) dengan-Menkominfo-RI-1423014508.pdf Shin, D-H. (2005) Technology Convergence and [tanggal akses 11 Maret 2015] Regulatory Challenge: a Case from Korean KPI Pusat (2015) KPI: Seleksi Anggota KPI PUsat Digital Media Broadcasting. Info. 7(3):47-58 2013-2016 Berjalan Sesuai Prosedur Tapsell, R. (2014) Platform Convergence in http://www.kpi.go.id/index.php/lihat- Indonesia: Challenges and Opportunities for terkini/40-topik-pilihan-2/31465-kpi-seleksi- Media Freedom. Convergence: the anggota-kpi-pusat-2013-2016-berjalan- International Journal of Research into New sesuai-prosedur (tanggal akses 25 September Media Technologies. May (2014):1-16 2015) Thierer, A. (2005) Are “Dumb Pipe” Mandates Lin, T.T.C. 2013. Convergence and Regulation of Smart Public Policy? Vertical Integration, Multi-Screen Television: The Singapore Net Neutrality, and the Network Layers Experience. Telecommunication Policy. Model. Journal on Telecommunications & 37(2013):673-685. High Technology Law 3(2): 275-308. Menon, S. 2006. Policy Initiative Dilemmas Tierney, W.G. Clemens, R.F. (2011) Qualitative Surrounding Media Convergence: A Cross Research and Public Policy: The Challenges National Perspective. Prometheus. 24 (1): 59- of Relevance and Trustworthiness. Higher 80. Education: Handbook of Theory and Merriam, S.B. 2009. Qualitative Research: A Guide Research (ed. John C. Smart and Michael B. to Design and Implementation. San Paulsen). Springer. New York. Francisco: Jossey-Bass. Werbach, K (2005) 'Breaking the Ice: Rethinking Merriam, S.B. 2014 Qualitative Research: A Guide Telecommunications Law for the Digital to Design and Implementation, Revised and Age', Journal On Telecommunications & Expanded from Qualitative Research and High Technology Law. 4(1): 59-95 . Case Study Applications in Education. Wibawa, A. Afifi, S, dan Prabowo, A. (2010) Jossey-Bass. San Fransisco Model Bisnis Penyiaran Televisi Digtial di Nalle, Victor Imanuel W. 2013. Kewenangan Indonesia. Jurnal Ilmu Komunikasi. 8(2):117- Yudikatif Dalam Pengujian Peraturan 130. Kebijakan: Kajian Putusan Nomor 23 Willis, W.J. (2007) Foundations of Qualitative P/HUM/2009. Jurnal Yudisial. 6(1):33-47. Research. Sage Publications. United States of Nugroho, Riant. 2014. Public Policy: Teori, America. Manajemen, Analisis, Konvergensi, dan Kimia Kebijakan (edisi kelima). PT Elex Dokumen Media Komputindo. Indonesia.  Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Resmadi, I, Yuliar,S. 2014. Kajian Difusi Inovasi Penyiaran Konvergensi Media di Harian Pikiran Rakyat.  Rancangan Undang-Undang Tentang Jurnal Sosioteknologi. 13(2): 110-118 Riska, M. (2014) ‘Penyedia multipleksing siap Penyiaran Usulan Pemerintah sewakan kanal’.  Rancangan Undang-Undang Tentang http://industri.kontan.co.id/news/penyedia- Penyiaran Usulan KPI  Peraturan Menteri Kominfo No.22/  Peraturan Menteri Kominfo No. PER/M.KOMINFO/11/2011 tentang 23/PER/M.KOMINFO/11/2011 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Rencana Induk Frekuensi Radio untuk Terrestrial Penerimaan Tetap tidak Berbayar

106

Dinamika Tata Kelola Kebijakan Industri Penyiaran dan Telekomunikasi Indonesia Menuji Konvergensi (Vience Mutiara Rumata)

Keperluan Televisi Siaran Digital Terestrial 20-%20Konsultasi%20Publik.pdf [tanggal Pada Pita Frekuensi Radio 478 – 694 MHz akses 30 Januari 2015]  Peraturan Menteri Kominfo No. 18/2012  ‘Kebijakan Akselerasi Pengembangan tentang Tata Cara Perhitungan Tarif Sewa Broadband di Indonesia’, presentasi Dirjen Saluran Siaran Pada Penyelenggaraan PPI pada Rakornas Kemkominfo 2013 Penyiaraan Multipleksing http://web.kominfo.go.id/sites/default/files/Pa  Peraturan Menteri Kominfo No. 32/2013 paran%20Bapak%20Dirjen%20PPI%20Rako tentang penyelenggaraan penyiaran televisi rnas%202013.pdf [tanggal akses 19 Maret secara digital dan penyiaran multipleksing 2015] melalui sistem terrestrial  Siaran Pers Aliansi Jurnalis Independen  Peraturan Menteri Kominfo No. 15/2014 (AJI). 2014. ‘Cabut Permen Kominfo No tentang penyelenggaraan layanan televisi 32/2013 atau Pidanakan Tifatul’. protokol internet http://melekmedia.org/kajian/pantau-  Surat Putusan Mahkamah Konstitusi media/cabut-permen-kominfo-no-322013- No.031/PUU-IV/2006 atau-pidanakan-tifatul// (tanggal akses 18  Putusan Mahkamah Konstitus. Perkara No Maret 2015). 005/PUU-I/2003. Berita Negara Republik Siaran Pers Humas Kemkominfo Indonesia No 63 tahun 2004. 6 Agustus 2004. No.9/PIH/KOMINFO/2/2015 ‘Seleksi Calon Anggota Regulasi Telekomunikasi  “Dokumen Konsultasi Publik: Indonesia (KRT-BRTI) Peride 2015- Penyempurnaan Regulasi Tarif dan 2018’. Interkoneksi” http://sdppi.kominfo.go.id/?mod=news&a http://web.kominfo.go.id/sites/default/files/us ction=view&cid=26&page_id=2284&lang ers/1536/Dokumen%20Penyempurnaan%20 =en (tanggal akses 25 September 2015). Regulasi%20Tarif%20dan%20Interkoneksi%

107

Jurnal Penelitian Pos dan Informatika, Vol.5 No 1 September 2015 : 87 - 108

108