Bab Iv Gambaran Umum Kampung Tarung Dan Rumah

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Bab Iv Gambaran Umum Kampung Tarung Dan Rumah BAB IV GAMBARAN UMUM KAMPUNG TARUNG DAN RUMAH ADAT SUMBA 4.1. Letak dan Batas Kampung Tarung Sumba Barat adalah sebuah kabupaten yang memiliki beragam daya tarik wisata. Salah satu daya tarik wisata dan keunikannya adalah perkampungan adat, yang dapat kita lihat dari rumah adat Sumba yang berada di Kampung Tarung, yang menjadi desa tradisional ditengah kemajuan modernisasi. Kampung Tarung terletak persis diatas sebuah bukit dengan ketinggian 20m6, membuatnya seakan eksklusif, kampung Tarung bukan hanya sekadar kampung biasa melainkan juga berfungsi sebagai institusi sosial dan keagamaan (Marapu). Gambar 4.1 Peta Kampung Tarung Sumber: google maps 6Sumber ketinggian kampung Tarung dari google maps 23 Kampung Tarung secara administrasi berada dibawah Kelurahan Soba Wawi, Kecamatan Loli, namun secara letak geografis Kampung Tarung berada tepat dijantung Kota Waikabubak. Kampung Tarung memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut: sebelah selatan berbatasan dengan Kampung Belaciku, sebalah utara berbatasan dengan Kampung Waitabar, sebelah barat berbatasan dengan persawahan, sebelah timur berbatasan dengan Kampung Prekelembung.7 4.2. Kondisi Penduduk, Mata Pencaharian, dan Tingkat pendidikan Kampung Tarung memiliki penduduk sebanyak 209 jiwa, yang terdiri dari perempuan 105 orang dan laki-laki 104 orang. Di dalam kampung Tarung jumlah kartu keluarga (kk) sebanyak 56 kk, dalam satu sebuah rumah, biasanya didiami satu sampai tiga kepala keluarga. Dengan jumlah rumah sebanyak 38 buah, dalam 38 buah rumah yang berada di kampung Tarung, terdapat 12 rumah adat yang menyimpan benda-benda pusaka yang didalamnya memiliki fungsi adat, 12 rumah adat juga ditinggali sama seperti 26 rumah adat lainnya yang membedakan 12 rumah adat tersebut memiliki fungsi adat salah satunya menjalankan ritual adat di kampung Tarung.8 Di kampung Tarung mayoritas penduduk bekerja sebagai petani. Berdasarkan data kelurahan Soba Wawi sebanyak 109 orang bekerja sebagai petani dan hanya 1 orang yang bekerja sebagai PNS. Bidang pertanian merupakan satu-satunya sumber pendapatan yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat kampung Tarung, produk yang biasanya dihasilkan adalah padi dan sayur-sayuran. Selain pekerjaan utama sebagai petani, masyarakat kampung Tarung memiliki pekerjaan sampingan yang digeluti oleh perempuan Sumba yaitu menenun kain, hasil tenun biasanya dijual tetapi tidak dipasarkan melainkan dijual di kampung sendiri lalu ditawarkan pada setiap wisatawan yang datang di Kampung Tarung. Pendidikan merupakan salah satu hal yang penting dalam kehidupan saat ini selain untuk mendapatkan ilmu pengetahun, pendidikan merupakan sarana yang baik untuk bisa bersaing untuk mendapatkan pekerjaan yang baik diera seperti sekarang ini. 7 Sumber data batas-batas wilayah didapat dengan melakukan wawancara dengan Rato Lado. 8 Sumber data jumlah penduduk penduduk, jumlah kartu keluarga (kk), dan jumlah rumah merupakan data yang didapat dari kelurahan Sobawawi. 24 Begitu juga yang ingin ditunjukan masyarakat kampung Tarung yang mulai menyadari bahwa pendidikan itu sangat penting, dengan mulai menyekolahkan anak-anak mereka. Berikut dibawah ini data anak-anak yang bersekolah : Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan yang Sedang Ditempuh No Tingkat Pendidikan Jumlah 1 SD 41 2 SMP 16 3 SMA 11 Total 58 Data : Kelurahan Sobawawi Tahun 2014 Secara umum masyarakat kampung Tarung menganut sebuah sistem kepercayaan yang disebut dengan Marapu, secara singkat dapat dijelaskan bahwa Marapu merupakan suatu keperayaan kepada arwah para leluhur yang diyakini mampu memberikan keselamatan dan ketentraman serta kekuatan tertinggi. Namum perlahan masyarakat kampung Tarung mulai memeluk agama-agama yang diakui oleh Negara. Berikut dibawah ini data jumlah pemeluk agama yang berada di kampung Tarung : Tabel 4.2 Jumlah Penduduk menurut Agama dan Kepercayaan lainnya No Agama Jumlah 1 Marapu 81 2 Kristen Protestan 48 3 Khatolik 81 Total 209 Data : Kelurahan Sobawawi Tahun 20149 9 Data ini berasal dari tahun 2014 yang dimiliki oleh kelurahan Sobawawi. Untuk tahun 2015 dan 2016 data-data diatas belum ada di kelurahan Sobawawi. Saat peneliti ingin melakukan verifikasi data mengalami keterbatasan waktu dikarenakan pada saat yang bersamaan ada ritual adat wulla poddu di kampung Tarung. 25 4.3. Klasifikasi Sosial dan Perkawinan Antara Kelas Sosial Secara umum masyarakat Sumba terbagi dalam tiga kategori kelas, yaitu maramba (bangsawan), kabihu (orang merdeka) dan ata (budak). Pengklasifikasian semacam ini lebih terasa di bagian Sumba sebelah timur, dan masyarakat Sumba bagian barat pengklasifikasian tidak begitu sama seperti yang terjadi pada Sumba bagian Timur yang menggunakan sistem bangsawan dan budak, di Sumba bagian barat sistem klasifikasi sosial jaman dulu pernah menggunakan sistem yang bangsawan namum sampai saat ini yang bisa ditemui hanya sistem sosial berdasarkan kabissu (klan) saja sistem bangsawan dan budak sudah tidak ada lagi.10 Sejalan dengan konsep ole dadi atau konsep keyakinan darah daging yang hanya diturunkan dari pihak ibu, orang Sumba mewarisi kelas soial ini dari garis keturunan ibu mereka. Dengan demikian seorang lelaki dari golongan merdeka atau budak bisa meningkatkan status keturunannya dengan menikahi wanita dari kelas yang lebih tinggi. Tapi tentu saja para wanita bangsawan cenderung menikahi lelaki dari keluarga-keluarga terpandang (bangsawan) yang bisa menunjang hidup mereka dengan sepantasnya. Sementara alasan para lelaki bangsawan menghindari pernikahan dengan wanita kelas rendah sudah barang tentu karena tak ingin turunan mereka turun kelas. Di Sumba Timur yang sitem pengklasifikasiannya lebih ketat, bahkan ada label untuk anak-anak semacam ini. Menurut Kapita (1976) anak-anak seorang lelaki maramba yang kawin dengan wanita kabihu disebut ana mandamu dan derajat mereka setara dengan derajat si ibu yaitu kabihu. Sedangkan anak-anak lelaki maramba yang kawin dengan budak disebut ana kalawihi dan derajat mereka bahkan lebih rendah dari ana mandamu. Di Sumba Barat kelas sosial terendah tidak disebut ata tapi lebih dikenal dengan istilah madeingu. Golongan ini merupakan budak turun temurun yang katanya berperilaku jelek (tidak taat atau suka mencuri). Lebih tinggi dari madeingu ada golongan yang di sebut ana ata uma (anak dalam rumah) yaitu orang-orang yang secara sukarela tinggal, 10 Untuk masyarakat Sumba bagian Timur kabihu merupakan pengklasifikasian sosial sedangkan untuk di Sumba bagian barat kabishu atau kabisu diterjemahkan sebagai klan. Dan untuk masyarakat Sumba bagian Barat sistem sosial berdasarkan bagsawan dan budak sudah tidak dijumpai lagi, yang ada hanya kasbisu (klan) sedangkan di Sumba bagian Timur masih ada beberapa tempat yang masih menggunakan pengklasifikasian sosial berdasarkan bangsawan dan budak. 26 bekerja dan bergantung hidup kepada kaum bangsawan11 Ana ta uma ada yang turunan budak tapi banyak juga yang berasal dari kelas kabihu, karena miskin mereka tinggal bersama para bangsawan sehingga di sebut anak dalam rumah. Lebih rendah dari ana madeingu adalah mamarung (penyihir) yaitu orang-orang yang dipercaya memiliki kekuatan sihir jahat (black magic). Berdasarkan asal usulnya para budak dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu: mereka yang sudah menjadi hamba sejak kedatangan para leluhur ke Sumba, mereka yang aslinya bukan hamba tetapi karena kalah perang lalu menjadi tawanan dan akhirnya dijual sebagai budak, serta mereka yang menjadi hamba karena perkawinan. Dalam sebuah keluarga Sumba, terutama keluarga golongan maramba, lazim terjadi ada lebih dari satu kelas sosial yang bernaung di bawahnya. Kelas budak jelas merupakan pelayan mereka, namun ada juga kelas-kelas kabihu (orang merdeka) yang turut serta. Mungkin karena tertarik pada kharisma dan kebesaran bangsawan tempatnya bergabung, tapi yang paling sering karena ketergantungan ekonomi. Setelah kemerdekaan pemerintah Indonesia melarang perbudakan dan sejak itu pula terminologi kelas mulai jarang diperbincangkan. (Anizah 2013;43-45) Sistem perkawinan yang terjadi dalam masyarakat Sumba Barat dapat dikategorikan sebagai perkawinan eksogami yaitu perkawinan di luar kabisu (klan), dimana lelaki anggota kabisu A menikah dengan perempuan anggota kabisu B tapi tidak boleh sebaliknya. Di Sumba Barat kasbisu penerima gadis (A) disebut doma sedangkan kabisu pemberi gadis (B) disebut loka. Loka adalah panggilan yang ditujukan kepada saudara laki-laki ibu atau secara umum seluruh kaum laki-laki di kabisu ibu. Karena secara tradisional mereka adalah pemberi gadis untuk dinikahi oleh laki-laki dari suku si ayah, maka loka juga diartikan sebagai kabisu pemberi gadis. Sementara suku si ayah yang adalah penerima gadis disebut doma. Singkatnya, dalam konteks pernikahan, Jadi yang terjadi sesungguhnya adalah apa yang disebut Webb Keane (1997) sebagai matrilateral crosscausin marriages. Konsep perkawinan semacam ini (dengan adanya suku penerima dan pemberi gadis) mengharuskan paling sedikit keterlibatan tiga kabisu. 11 Kaum bangsawan dulu memang ada namun untuk sekarang sudah tidak ditemui lagi didalam kehidupan sosial masyarakat Sumba bagian barat. 27 Misalnya kabisu A, B dan C. kabisu A sebagai pemberi gadis untuk kabisu B, Kabisu B sebagai pemberi gadis untuk kabisu C dan kabisu C sebagai pemberi gadis untuk kabisu A. Karena kabisu A adalah pemberi gadis untuk kabisu B maka kaum lelaki kabisu A tidak diperbolehkan menikahi wanita dari kabisu B, dengan kata lain tidak boleh terjadi salin bertukar peran diantara kabisu pemberi dan penerima gadis. Pernikahan dengan sesama anggota kabisu juga dilarang
Recommended publications
  • Capital Town
    Capital town Dorkas waits in front of her house in Lawonda for the small buss that col- lects travellers to Waikabubak. It is just after sunrise. She wants to go to town to visit the hospital. She has been feeling very tired during the last several months with fevers every two weeks, and the nurse in the village clinic had not given her a diagnosis and the right medicine. An older woman joins Dorkas in the buss; she is going to see her daughter in town. Two young girls get on board. They have attended their uncle’s funeral in the village, and now they have to hurry back because they only had permission to be absent from secondary school for three days. At the next corner, a middle-aged man car- rying a small pig steps in. He desperately needs money to pay school fees for his son. In town he will get a better price for the pig than here in the village. Descending to Anakalang the road is rather bumpy. The surface had been rehabilitated last year, but there are already large holes in the middle of the road. People blame the contractor, who surely used the cheapest materials and put the rest of the money in his own pocket. The driver puts a new tape in the recorder and cheerful Christian pop music provides enjoyment for the passengers. Waikabubak is the capital town of West Sumba. In 2002 it had 23,000 inhabitants, which is only about 6 per cent of the total population of this District.
    [Show full text]
  • Sumba Energy from Waste Desk Study Report
    SUMBA ICONIC ISLAND REPORTS ICONIC SUMBA © Josh Estey Sumba Energy from Waste Desk Study Report Bart Frederiks Fact Foundation OCTOBER 2013 Sumba energy from waste Desk study report Prepared for HIVOS Project no: 253.ID.007 Author: Bart Frederiks Date: October 2013 TABLE OF CONTENTS 1 INTRODUCTION 1 1.1 BACKGROUND 1 1.2 OBJECTIVES 1 1.3 METHODOLOGY 2 2 PRELIMINARY SELECTION OF ENERGY CONCEPTS 3 2.1 REVIEW OF LITERATURE 3 2.1.1 Resources 3 2.1.2 Supply opportunities 4 2.2 OVERVIEW OF APPLICABLE CONCEPTS 5 2.3 SELECTION OF CONCEPTS FOR FURTHER ASSESSMENT 6 3 ASSESSMENT OF SELECTED ENERGY CONCEPTS 8 3.1 COCONUT SHELL 8 3.2 CANDLE NUT SHELL 10 3.3 CORN COBS 11 3.4 RICE HUSK 12 3.5 CASHEW WASTE 14 3.5.1 Cashew apple 14 3.5.2 Cashew shell 14 3.6 BIOGAS IN EXISTING SMALL DIESEL ENGINES 14 3.7 WASTE VEGETABLE OIL 15 3.8 URBAN WASTE 15 3.9 MARKET WASTE 16 3.10 BAMBOO 17 4 CONCLUSIONS AND RECOMMENDATIONS 18 4.1 CONCLUSIONS 18 4.2 RECOMMENDATIONS 19 References Annex: Local consultant field reports i 1 INTRODUCTION 1.1 Background Within the context of the “Iconic Island” project, Dutch NGO Hivos has set a target to achieve a 100% renewable energy supply on the Indonesian island of Sumba. In order to reach this target, the utilization of liquid bio-fuels and biomass is crucial. From earlier studies it was concluded that use of bio-energy would play an important role in replacing fossil fuel in ‘back up and spinning reserve’ diesel generators that constitute an essential part of the RE power systems on the island.
    [Show full text]
  • The Life and Death of Tamu Rambu Yuliana Princess of Sumba
    The Life and Death of Tamu Rambu Yuliana Princess of Sumba 201 Georges Breguet Tamu Rambu Yuliana, Sumba Princess THE LIFE AND DEATH OF TAMU RAMBU YULIANA, 202 PRINCESS OF SUMBA AND CUSTODIAN OF THE ARTS AND TREASURES OF RINDI The Island of Sumba and the Domain of Rindi A fragment formerly detached from the Australian continental plate, the island of Sumba 1 (approximately 11,000 km 2) is situated south of the volcanic arc of the Lesser Sunda Islands, west of Flores. Made up mainly of limestone and sedimentary rocks, Sumba’s topography con - sists of numerous hills and a plateau covered with grassy savannah interspersed with valleys hollowed out by erosion where gallery forests grow. The climate is hot and arid, except during the rainy season that lasts from December to March. With fewer than 600,000 inhabitants, Sumba boasts one of the low - est population densities in Indonesia. The island is divided into two administrative districts, West and East Sumba; the east has greater ethnic, cultural, and linguistic unity than the western part. 2 The town of Waingapu is the administrative center of East Sumba; it is also its Fig. 1. Photo taken in the 1950s from the personal album of the old Raja Umbu Hapu economic center, with its port and airport, the Chinese, Arabic, and Hambandina. On the left is his daughter, Princess Tamu Rambu Yuliana. On the right is Bugis communities, and its many Indonesian civil servants. The villages Princess Tamu Rambu Mirinai Liaba, third wife of the old raja and mother of the present of the major traditional domains are in the countryside surrounding raja , Umbu Kanabundaung.
    [Show full text]
  • Bab Ii (Gambaran Umum Daerah)
    BAB II GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH Gambaran umum kondisi wilayah Kabupaten Sumba Barat meliputi gambaran mengenai aspek geografi dan demografi, aspek kesejahteraan masyarakat, aspek pelayanan umum dan aspek daya saing daerah. Kajian ini penting sebagai acuan dalam menentukan arah kebijakan dan strategi pembangunan daerah lima tahun yang akan datang. 2.1. ASPEK GEOGRAFI DAN DEMOGRAFIS 2.1.1. Karakteristik Lokasi dan Wilayah 2.1.1.1. Luas dan Batas Wilayah Administrasi Kabupaten Sumba Barat merupakan salah satu kabupaten yang berada di bagian barat Pulau Sumba, dengan letak berada pada 9°22’–9°47’ Lintang Selatan dan 119°07’–119°33’ Bujur Timur, dan memiliki batas–batas administratif pemerintahan : - Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Sumba Tengah - Sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia - Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Sumba Barat Daya - Sebelah utara berbatasan dengan Selat Sumba Luas wilayah Kabupaten Sumba Barat adalah 737,42 Km², dan jika luas wilayah daratan tersebut diakumulasikan dengan luas wilayah laut, maka total wilayah Kabupaten Sumba Barat adalah 1.178,42 Km² (luas daratan 737,42 Km² + luas laut 441 Km²). Wilayah administrasi Kabupaten Sumba Barat memiliki 6 wilayah kecamatan yang terdiri dari Kecamatan Loli, Kecamatan Kota Waikabubak, Kecamatan Lamboya, Kecamatan Wanukaka, Kecamatan Tana Righu, dan Kecamatan Laboya Barat. Peta administrasi Kabupaten Sumba Barat dapat dilihat pada Gambar 2.1. dan luas wilayah untuk masing- masing kecamatan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.1. II-1 Sumber : Dokumen RTRW kabupaten Sumba Barat Tahun 2012 – 2031 Gambar 2. 1 Peta Administrasi Kabupaten Sumba Barat II-2 Tabel 2.1. Luas Wilayah Per Kecamatan Kabupaten Sumba Barat Tahun 2016 Luas Persentase No.
    [Show full text]
  • Final Report Volume I Executive Summary Repport
    No. JAPAN INTERNATIONAL COOPERATION AGENCY MINISTRY OF SETTLEMENT & REGIONAL INFRASTRUCTURE REPUBLIC OF INDONESIA THE STUDY ON RURAL WATER SUPPLY PROJECT IN NUSA TENGGARA BARAT AND NUSA TENGGARA TIMUR FINAL REPORT VOLUME I EXECUTIVE SUMMARY MAY 2002 NIPPON KOEI CO., LTD. NIHON SUIDO CONSULTANTS CO., LTD. SSS J R 02-102 Exchange Rate as of the end of October 2001 US$1 = JP¥121.92 = Rp.10,435 PREFACE In response to a request from the Government of the Republic of Indonesia, the Government of Japan decided to conduct the Study on Rural Water Supply Project in Nusa Tenggara Barat and Nusa Tenggara Timur and entrusted the study to the Japan International Cooperation Agency (JICA). JICA selected and dispatched a study team headed by Mr. Masato FUJINAMI of Nippon Koei Co., Ltd. (and consists of Nippon Koei Co., Ltd. and Nihon Suido Consultants Co., Ltd) to the Republic of Indonesia, two times between March 2001 and March 2002. In addition, JICA set up an advisory committee headed by Mr.Yoshiki OMURA, Senior Advisor of JICA between February 2001 and May 2002, which examined the study from specialist and technical points of view. The team held discussions with the officials concerned of the Government of the Republic of Indonesia and relevant personnel, and conducted field surveys at the study area. Upon returning to Japan, the team conducted further studies and prepared this final report. I hope that this report will contribute to the promotion of this project and to the enhancement of friendly relationship between our two countries. Finally, I wish to express my sincere appreciation to the officials concerned of the Government of the Republic of Indonesia for their close cooperation extended to the Team.
    [Show full text]
  • LOVESTRAND, Joseph. 2021. 'Languages of Sumba: State of The
    Languages of Sumba: State of the field Joseph LOVESTRAND SOAS University of London This paper reviews the state of documentation and description of the languages of Sumba, an island located in the province of Nusa Tenggara Timur (NTT) in Indonesia. Sumba is home to a population of over 800,000 people. The languages of Sumba can be divided into eight or more distinct languages. Language documentation and description in Sumba began in the 19th century with the arrival of the Dutch. The most well-described language of Sumba is Kambera, spoken by 150,000 or more people occupying the eastern half of the island (Klamer 1998a). There is much less documentation and grammatical description of the languages of West Sumba. with the exception of two recent MA theses. There are also many word lists, as well as orthographically transcribed ritual texts included in publications by anthropologists interested in this aspect of the culture. Video documentation of the languages of Sumba is almost completely lacking. Language vitality in Sumba remains relatively high, however, there are signs of a possible shift to Indonesian. This increases the urgency of the need for language documentation and description, as well as investment in programs that facilitate ongoing local language use. 1. Background This paper provides a concise summary of the current state of published, academic knowledge of the languages of Sumba.1 Figure 1 shows the location of the island of Sumba in the province of Nusa Tenggara Timur (NTT), Indonesia. Sumba is south of Flores, and accessed by flight via Bali (from the west) or Timor (from the east).
    [Show full text]
  • East Nusa Tenggara
    PROVINCEBenteng WAKATOBI KEP ULA UAN BUTON INFOGRAPHIC SELAYA R EAST NUSA TENGGARA MOST DENSE LEAST DENSE PANGKAJENE DAN KotaKE PKupangULAUAN Sumba Timur MOST POPULATED LEAST POPULATED Timor Tengah Sumba Tengah Jersey The boundaries and names shown and the designations used on this map do not imply Batu Selatan Tara official endorsement or acceptance by the United Nations. Kalabahi Sangeang Api Lewotolo MA NGGARAI Paluweh Riang Kotang Leroboleng ALOR Larantuka LEMBATA KOTA FLORES Ili Bima Ili Boleng Lewoleba BIMA Mbay TIMU R Labuan NGADA Muda Lewotobi Laki-laki Sirung Raba Maumere Ili Werung Bajo Ruteng Ranakah Ili BIMA ENDE Lewotobi Labolaken NAGEKEO SIKKAEgon Perempuan Waisano Poco MA NGGARAI Kelimutu Ebulobo Leok TIMU R Inielika Ende Ndetu Sokoria CalderaNapi Borong Bajawa MA NGGARAI Inierie Iya BARAT Atambua SUMBA BARAT TIMO R DAYA TEN GAH SUMBA UTARA BELU Tambolaka TEN GAH Kefamenanu Waibakul Betun Waikabubak Waingapu SUMBA SUMBA TIMU R Soe BARAT TIMOR TENGAH KUPANG SELATAN Oelamasi Kupang Legend: Kupang KOTA Administrative Boundary KUPANG Seba Province Province Capital SABU District District Capital RAIJUA Baa ROTE Transportation Population NDAO Population counts at 1km resolution Toll road Primary road 0 Secondary road 1 - 5 Port 6 - 25 Airport 26 - 50 51 - 100 Other 101 - 500 Volcano 501 - 2,500 21 287 2,836 Water/Lake 2,501 - 5,000 DISTRICTS SUB-DISTRICTS VILLAGES Coastline/River 5,000 - 130,000 GEOGRAPHY The Province of East Nusa Tenggara (NTT) is located between 7°46'36.34" - 11°00'32.55"S and 118°55'20.79" - 125°08'22.34"E. The boundaries of NTT are the Flores Sea (North), the Atlantic Ocean (South), Timor Leste (East) and West Nusa Tenggara (West).
    [Show full text]
  • Sustainable Energy in Remote Indonesian Grids: Accelerating Project Development B
    Sustainable Energy in Remote Indonesian Grids: Accelerating Project Development B. Hirsch, K. Burman, C. Davidson, and M. Elchinger National Renewable Energy Laboratory R. Hardison, D. Karsiwulan, and B. Castermans Winrock International Produced under direction of the U.S. Department of Energy by the National Renewable Energy Laboratory (NREL) under DE-FOA-0000620 – Accelerating the Deployment of Energy Efficiency and Renewable Energy in Indonesia (Task No. 6: Financing and Project Development) and Task No IGIN.6200. NREL is a national laboratory of the U.S. Department of Energy Office of Energy Efficiency & Renewable Energy Operated by the Alliance for Sustainable Energy, LLC This report is available at no cost from the National Renewable Energy Laboratory (NREL) at www.nrel.gov/publications. Strategic Partnership Project Report NREL/TP-7A40-64018 June 2015 Contract No. DE-AC36-08GO28308 Sustainable Energy in Remote Indonesian Grids: Accelerating Project Development B. Hirsch, K. Burman, C. Davidson, and M. Elchinger National Renewable Energy Laboratory R. Hardison, D. Karsiwulan, and B. Castermans Winrock International Prepared under Task No. IGIN.6200 NREL is a national laboratory of the U.S. Department of Energy Office of Energy Efficiency & Renewable Energy Operated by the Alliance for Sustainable Energy, LLC This report is available at no cost from the National Renewable Energy Laboratory (NREL) at www.nrel.gov/publications. National Renewable Energy Laboratory Strategic Partnership Project Report 15013 Denver West Parkway NREL/TP-7A40-64018 Golden, CO 80401 June 2015 303-275-3000 • www.nrel.gov Contract No. DE-AC36-08GO28308 NOTICE This manuscript has been authored by employees of the Alliance for Sustainable Energy, LLC (“Alliance”) under Contract No.
    [Show full text]
  • Plants for Power | 2012
    S T R O P E LAND R S I C I SUMBA ICON SUMBA © Josh Estey Plants for Power The potential for cultivating crops as feedstock for energy production in Sumba Jacqueline Vel & Respati Nugrohowardhani Van Vollenhoven Institute for Law, Governance, and Development, Leiden University APRIL 2012 PLANTS FOR POWER | 2012 Jacqueline Vel & Respati Nugrohowardhani The potential for cultivating crops as feedstock for energy production in Sumba Colophon First published in April 2012 by the Hivos Knowledge Programme as part of the programme 'Sumba, the Iconic Island for demonstrating the potential of renewable energy'. Report of a study commissioned to the Van Vollenhoven Institute for Law, Governance, and Development, Leiden University, http://www.vvi.leidenuniv.nl. Authors: Jacqueline Vel and Respati Nugrohowardhani. Humanist Institute for Co-operation with Developing Countries P.O. Box 85565 | 2508 CG The Hague | The Netherlands www.hivos.net Citation: Vel, J.A.C. and R.Nugrohowardhani (2012) Plants for Power: The potential for cultivating crops as feedstock for energy production in Sumba. The Hague: Hivos. design: Tangerine – Design & communicatie advies, Rotterdam, The Netherlands The publisher encourage fair use of this material provided proper citation is made. This work is licensed under the Creative Commons Attribution-Share Alike Works 3.0 Netherlands License. To view a copy of this license, visit http://creativecommons.org/licences/by-sa/3.0/nl/or send a letter to Creative Commons, 171 Second Street, Suite 300, San Francisco, California, 94105, USA. Plants for power Table of Contents Colophon 2 Summary 8 1. Introduction 10 1.1 Exploring the potential of biofuel in Sumba 10 1.2 The framework of this study: goals, method, and limitations 10 1.3 Outline of the report 11 2.
    [Show full text]
  • Predatory Voyeurs: Tourists and “Tribal Violence” in Remote Indonesia
    predatory voyeurs: tourists and “tribal violence” in remote Indonesia JANET HOSKINS University of Southern California Tourism has been theorized in a new ethnography of modernity, stressing the museumization of the premodern and its production as spectacle. In this arti- cle, I explore the voice and perspective of the “tribal culture” recently ex- posed to a new type of gaze. Tourists are perceived as predatory voyeurs on Sumba, a once remote area now receiving increasing numbers of foreign visi- tors. An idiom of visual consumption encodes a critical awareness of global inequities in access to and use of technology, and a history of changing self- perceptions. The cameras that every tourist brings to capture images of head- hunters and primitive violence become the very emblems of the exotic vio- lence that they are designed to capture. [tourism, photography, cultural identity, Eastern Indonesia, violence, headhunting.] Fantastic stories about foreigners have been common in Indonesia’s eastern is- lands for some time. For years, the most common fear was of white headhunters, who would come in the dry season and raid villages to steal children. The children could be sold as slaves or beheaded and used to fortify the foundations of large construction projects (dams, hospitals, cathedrals, or government offices). Ethnographic reports of these fears include Haddon’s account of white headhunters in Sarawak in 1894 (Had- don 1901:173–175); Tsing’s (1993, 1996) and Drake’s (1989) reports of government headhunters in Borneo in the 1980s; Barnes’s (1993), Erb’s (1991), and Forth’s (1991) accounts from Flores; and Needham’s story of a “penyamun scare” in Kodi, Sumba in the 1950s (Needham 1983).
    [Show full text]
  • Infrastructure, Poverty and Jobs
    Infrastructure, Poverty and Jobs Introducing Local Resource-based Strategies to Eastern Indonesia (Papua, Maluku and NTT) Employment Intensive Investment Programme ILO Jakarta April 2008 Infrastructure, Poverty and Jobs: Local Resource-based Strategies for Eastern Indonesia Table of Contents Page Introduction……………………………………………………………..…………………. 2 Abbreviations……………………………………………………….……………………....4 Chapter 1 - Papua Province………………..……….……………….……………………..6 Chapter 2 - Maluku Province…………….……………………….………………………26 Chapter 3 – Nusa Tenggara Timor (NTT) Province…………………………………….38 Annexes……………………………………………………………………………………..58 1 Infrastructure, Poverty and Jobs: Local Resource-based Strategies for Eastern Indonesia Introduction The ILO has for several years provided policy advice to the Government of Indonesia, in relation to promoting local resource-based approaches in rural infrastructure development programmes1. It has provided technical advisory support and developed a series of guidelines promoting the use of local resource-based methods in the development and maintenance of rural infrastructure. In order to further promote the local resource-based strategy at local level, it is recognized that closer collaboration is required with local authorities in order to make use of the tools developed2. For this purpose, the ILO carried out a comprehensive study on how the local resource-based principles and tools can most effectively be incorporated into the rural infrastructure development programmes in selected provinces of Indonesia. Taking note of the decentralised
    [Show full text]
  • (Eastern Indonesia)1 Jacqueline AC
    Tribal Battle in a Remote Island: Crisis and V iolence in Sumba (Eastern Indonesia)1 Jacqueline A. C. Vel 1. Bloody Thursday On November 5, 1998, there was an outbreak of violence in Waikabubak, the district capital of West Sumba. The next day CNN reported: "Tribal battle in Eastern Indonesia kills 19, police say." This news message followed: Thousands of rival tribesmen fought a pitched battle with spears and knives on a remote eastern Indonesian island, killing at least nineteen people, police said on Friday. The fighting on Thursday in the western part of Sumba, a barren and inhospitable island southeast of Bali, had been brought under control with police reinforcements, Colonel Engkesman Ehilep, the chief of East Nusa Tenggara province, said. He told Reuters that nineteen people were killed in the fighting between members of the Loli and Wewewa tribes but had no word how many were injured. Ehilep said about 3,000-4,000 people were involved in the battle attacking each other with rocks, knives, and spears. Tension mounted in the area on Wednesday after rumours spread that one tribe was planning an attack, he said. Ehilep said about 150 policemen were usually posted on the island and they had been supported by reinforcement of about sixty more troops. Some one hundred more troops were on their way to Sumba. 1 The draft of this article was presented in the workshop "Violence in Indonesia: its historical roots and its contemporary manifestations/' Leiden University, December 13-15,2000. Indonesia 72 (October 2001) 142 Jacqueline A. C. Vel The Jazva Pos newspaper reported on Friday that one hundred people were believed to have been killed.
    [Show full text]