BAB IV GAMBARAN UMUM KAMPUNG TARUNG DAN RUMAH ADAT SUMBA 4.1. Letak dan Batas Kampung Tarung Sumba Barat adalah sebuah kabupaten yang memiliki beragam daya tarik wisata. Salah satu daya tarik wisata dan keunikannya adalah perkampungan adat, yang dapat kita lihat dari rumah adat Sumba yang berada di Kampung Tarung, yang menjadi desa tradisional ditengah kemajuan modernisasi. Kampung Tarung terletak persis diatas sebuah bukit dengan ketinggian 20m6, membuatnya seakan eksklusif, kampung Tarung bukan hanya sekadar kampung biasa melainkan juga berfungsi sebagai institusi sosial dan keagamaan (Marapu). Gambar 4.1 Peta Kampung Tarung Sumber: google maps 6Sumber ketinggian kampung Tarung dari google maps 23 Kampung Tarung secara administrasi berada dibawah Kelurahan Soba Wawi, Kecamatan Loli, namun secara letak geografis Kampung Tarung berada tepat dijantung Kota Waikabubak. Kampung Tarung memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut: sebelah selatan berbatasan dengan Kampung Belaciku, sebalah utara berbatasan dengan Kampung Waitabar, sebelah barat berbatasan dengan persawahan, sebelah timur berbatasan dengan Kampung Prekelembung.7 4.2. Kondisi Penduduk, Mata Pencaharian, dan Tingkat pendidikan Kampung Tarung memiliki penduduk sebanyak 209 jiwa, yang terdiri dari perempuan 105 orang dan laki-laki 104 orang. Di dalam kampung Tarung jumlah kartu keluarga (kk) sebanyak 56 kk, dalam satu sebuah rumah, biasanya didiami satu sampai tiga kepala keluarga. Dengan jumlah rumah sebanyak 38 buah, dalam 38 buah rumah yang berada di kampung Tarung, terdapat 12 rumah adat yang menyimpan benda-benda pusaka yang didalamnya memiliki fungsi adat, 12 rumah adat juga ditinggali sama seperti 26 rumah adat lainnya yang membedakan 12 rumah adat tersebut memiliki fungsi adat salah satunya menjalankan ritual adat di kampung Tarung.8 Di kampung Tarung mayoritas penduduk bekerja sebagai petani. Berdasarkan data kelurahan Soba Wawi sebanyak 109 orang bekerja sebagai petani dan hanya 1 orang yang bekerja sebagai PNS. Bidang pertanian merupakan satu-satunya sumber pendapatan yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat kampung Tarung, produk yang biasanya dihasilkan adalah padi dan sayur-sayuran. Selain pekerjaan utama sebagai petani, masyarakat kampung Tarung memiliki pekerjaan sampingan yang digeluti oleh perempuan Sumba yaitu menenun kain, hasil tenun biasanya dijual tetapi tidak dipasarkan melainkan dijual di kampung sendiri lalu ditawarkan pada setiap wisatawan yang datang di Kampung Tarung. Pendidikan merupakan salah satu hal yang penting dalam kehidupan saat ini selain untuk mendapatkan ilmu pengetahun, pendidikan merupakan sarana yang baik untuk bisa bersaing untuk mendapatkan pekerjaan yang baik diera seperti sekarang ini. 7 Sumber data batas-batas wilayah didapat dengan melakukan wawancara dengan Rato Lado. 8 Sumber data jumlah penduduk penduduk, jumlah kartu keluarga (kk), dan jumlah rumah merupakan data yang didapat dari kelurahan Sobawawi. 24 Begitu juga yang ingin ditunjukan masyarakat kampung Tarung yang mulai menyadari bahwa pendidikan itu sangat penting, dengan mulai menyekolahkan anak-anak mereka. Berikut dibawah ini data anak-anak yang bersekolah : Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan yang Sedang Ditempuh No Tingkat Pendidikan Jumlah 1 SD 41 2 SMP 16 3 SMA 11 Total 58 Data : Kelurahan Sobawawi Tahun 2014 Secara umum masyarakat kampung Tarung menganut sebuah sistem kepercayaan yang disebut dengan Marapu, secara singkat dapat dijelaskan bahwa Marapu merupakan suatu keperayaan kepada arwah para leluhur yang diyakini mampu memberikan keselamatan dan ketentraman serta kekuatan tertinggi. Namum perlahan masyarakat kampung Tarung mulai memeluk agama-agama yang diakui oleh Negara. Berikut dibawah ini data jumlah pemeluk agama yang berada di kampung Tarung : Tabel 4.2 Jumlah Penduduk menurut Agama dan Kepercayaan lainnya No Agama Jumlah 1 Marapu 81 2 Kristen Protestan 48 3 Khatolik 81 Total 209 Data : Kelurahan Sobawawi Tahun 20149 9 Data ini berasal dari tahun 2014 yang dimiliki oleh kelurahan Sobawawi. Untuk tahun 2015 dan 2016 data-data diatas belum ada di kelurahan Sobawawi. Saat peneliti ingin melakukan verifikasi data mengalami keterbatasan waktu dikarenakan pada saat yang bersamaan ada ritual adat wulla poddu di kampung Tarung. 25 4.3. Klasifikasi Sosial dan Perkawinan Antara Kelas Sosial Secara umum masyarakat Sumba terbagi dalam tiga kategori kelas, yaitu maramba (bangsawan), kabihu (orang merdeka) dan ata (budak). Pengklasifikasian semacam ini lebih terasa di bagian Sumba sebelah timur, dan masyarakat Sumba bagian barat pengklasifikasian tidak begitu sama seperti yang terjadi pada Sumba bagian Timur yang menggunakan sistem bangsawan dan budak, di Sumba bagian barat sistem klasifikasi sosial jaman dulu pernah menggunakan sistem yang bangsawan namum sampai saat ini yang bisa ditemui hanya sistem sosial berdasarkan kabissu (klan) saja sistem bangsawan dan budak sudah tidak ada lagi.10 Sejalan dengan konsep ole dadi atau konsep keyakinan darah daging yang hanya diturunkan dari pihak ibu, orang Sumba mewarisi kelas soial ini dari garis keturunan ibu mereka. Dengan demikian seorang lelaki dari golongan merdeka atau budak bisa meningkatkan status keturunannya dengan menikahi wanita dari kelas yang lebih tinggi. Tapi tentu saja para wanita bangsawan cenderung menikahi lelaki dari keluarga-keluarga terpandang (bangsawan) yang bisa menunjang hidup mereka dengan sepantasnya. Sementara alasan para lelaki bangsawan menghindari pernikahan dengan wanita kelas rendah sudah barang tentu karena tak ingin turunan mereka turun kelas. Di Sumba Timur yang sitem pengklasifikasiannya lebih ketat, bahkan ada label untuk anak-anak semacam ini. Menurut Kapita (1976) anak-anak seorang lelaki maramba yang kawin dengan wanita kabihu disebut ana mandamu dan derajat mereka setara dengan derajat si ibu yaitu kabihu. Sedangkan anak-anak lelaki maramba yang kawin dengan budak disebut ana kalawihi dan derajat mereka bahkan lebih rendah dari ana mandamu. Di Sumba Barat kelas sosial terendah tidak disebut ata tapi lebih dikenal dengan istilah madeingu. Golongan ini merupakan budak turun temurun yang katanya berperilaku jelek (tidak taat atau suka mencuri). Lebih tinggi dari madeingu ada golongan yang di sebut ana ata uma (anak dalam rumah) yaitu orang-orang yang secara sukarela tinggal, 10 Untuk masyarakat Sumba bagian Timur kabihu merupakan pengklasifikasian sosial sedangkan untuk di Sumba bagian barat kabishu atau kabisu diterjemahkan sebagai klan. Dan untuk masyarakat Sumba bagian Barat sistem sosial berdasarkan bagsawan dan budak sudah tidak dijumpai lagi, yang ada hanya kasbisu (klan) sedangkan di Sumba bagian Timur masih ada beberapa tempat yang masih menggunakan pengklasifikasian sosial berdasarkan bangsawan dan budak. 26 bekerja dan bergantung hidup kepada kaum bangsawan11 Ana ta uma ada yang turunan budak tapi banyak juga yang berasal dari kelas kabihu, karena miskin mereka tinggal bersama para bangsawan sehingga di sebut anak dalam rumah. Lebih rendah dari ana madeingu adalah mamarung (penyihir) yaitu orang-orang yang dipercaya memiliki kekuatan sihir jahat (black magic). Berdasarkan asal usulnya para budak dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu: mereka yang sudah menjadi hamba sejak kedatangan para leluhur ke Sumba, mereka yang aslinya bukan hamba tetapi karena kalah perang lalu menjadi tawanan dan akhirnya dijual sebagai budak, serta mereka yang menjadi hamba karena perkawinan. Dalam sebuah keluarga Sumba, terutama keluarga golongan maramba, lazim terjadi ada lebih dari satu kelas sosial yang bernaung di bawahnya. Kelas budak jelas merupakan pelayan mereka, namun ada juga kelas-kelas kabihu (orang merdeka) yang turut serta. Mungkin karena tertarik pada kharisma dan kebesaran bangsawan tempatnya bergabung, tapi yang paling sering karena ketergantungan ekonomi. Setelah kemerdekaan pemerintah Indonesia melarang perbudakan dan sejak itu pula terminologi kelas mulai jarang diperbincangkan. (Anizah 2013;43-45) Sistem perkawinan yang terjadi dalam masyarakat Sumba Barat dapat dikategorikan sebagai perkawinan eksogami yaitu perkawinan di luar kabisu (klan), dimana lelaki anggota kabisu A menikah dengan perempuan anggota kabisu B tapi tidak boleh sebaliknya. Di Sumba Barat kasbisu penerima gadis (A) disebut doma sedangkan kabisu pemberi gadis (B) disebut loka. Loka adalah panggilan yang ditujukan kepada saudara laki-laki ibu atau secara umum seluruh kaum laki-laki di kabisu ibu. Karena secara tradisional mereka adalah pemberi gadis untuk dinikahi oleh laki-laki dari suku si ayah, maka loka juga diartikan sebagai kabisu pemberi gadis. Sementara suku si ayah yang adalah penerima gadis disebut doma. Singkatnya, dalam konteks pernikahan, Jadi yang terjadi sesungguhnya adalah apa yang disebut Webb Keane (1997) sebagai matrilateral crosscausin marriages. Konsep perkawinan semacam ini (dengan adanya suku penerima dan pemberi gadis) mengharuskan paling sedikit keterlibatan tiga kabisu. 11 Kaum bangsawan dulu memang ada namun untuk sekarang sudah tidak ditemui lagi didalam kehidupan sosial masyarakat Sumba bagian barat. 27 Misalnya kabisu A, B dan C. kabisu A sebagai pemberi gadis untuk kabisu B, Kabisu B sebagai pemberi gadis untuk kabisu C dan kabisu C sebagai pemberi gadis untuk kabisu A. Karena kabisu A adalah pemberi gadis untuk kabisu B maka kaum lelaki kabisu A tidak diperbolehkan menikahi wanita dari kabisu B, dengan kata lain tidak boleh terjadi salin bertukar peran diantara kabisu pemberi dan penerima gadis. Pernikahan dengan sesama anggota kabisu juga dilarang
Details
-
File Typepdf
-
Upload Time-
-
Content LanguagesEnglish
-
Upload UserAnonymous/Not logged-in
-
File Pages22 Page
-
File Size-