POLITIK MURAL: MEDIA RESISTENSI RAKYAT PALESTINA PADA MASA INTIFADHA

Skripsi

Dilaksanakan sebagai Salah Satu Tugas Akademik untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)

Oleh:

Anto Langgeng Prayogo 1110022000007

JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015 POLITIK }ILRAL : },IEDIA RESISTEI{SI R4.KYAT PALESTITiA PADA }.IASA tr{TIFADHA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakuitas Adab dari F{umaniora untuk lv{emenuhi Persl'aratan

I\,{emperoieh Gelar Sarj ana Human icra (S.Hum)

Oleh:

Antc Langgeng Prayogo

(1 1 10822000007)

Pernbimbing I Pembirnbing II

Dr. H. L{.Muslih Idris.I-e.}'fA H. Nurhasan. M.A

I'IIF: 19520903 t 986031001 NIP: 195907211997 &31081

PROGR.{NI STUDI SEJAR,{I{ DAN KEBUDAYAAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HI.II{AT\IORA

L]-N-I VERS ITA S IS LA il{ NE GERI SYARIF }IIDAYATULLAH

JAICARTA

1136 H./2015 M. P E}{GE SAI"TA]{ PAIVITIAN UJIA}I

Skripsi dengan juciul PoLrrIK MURAL: NfEDIA RESISTEI.{SI RAKYAT PALESTINA PADA I'IAsA I]\rrIFA]I{A teiah diujil

Jakarta. 13 Maret2015

Sidang h{unaqas3,ah

Ketua Anguota Sekretaris N4erangkap Anggota

H. Nurhasan- l\4A NiP: 19690724 19970:^ | A01 t9750117 200501 2 AA7

Anugota

PengLrjil Penguii II

bdul Haki Arvaiia Rahraa. Ir4A NIP: 19590203 1989903 I 003 }.JIP: I 971A621 20Ci i2 2 0C1

Pembimbing

Pembirrbins I Pembimbi

Dr. H \flA,luslih Idri \iP: 19,.10901 193503 l00l NIP: 19694724 199701 i 0i)l LEMBARAN PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli dari saya sendiri yang diajukan untuk

memenuhi syarat dalam memperoleh gelar Sarjana jenjang Strata Satu (Sl) di

Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarla.

2. Sumber yang saya gunakan dalam ketentuan yang berlaku di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli atau

merupakan hasil jiplakan karya orang lain maka saya bersedia menerima sanksi

yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta,5 Maret 2015

Anto Langgeng Prayogo KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.

Tidak ada untaian kata yang pantas penulis ucapkan untuk pertama kalinya selain rasa syukur kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat pada setiap hamba-Nya berupa kecerdasan, seperti memudahkan penulis dalam membuat skripsi ini. Dengan anugerah tersebut mudah-mudahan dapat menjadi manfaat bagi kehidupan di dunia maupun akhirat. Dan tidak ketinggalan pula sholawat serta salam penulis limpahkan kepada kekasih-Nya, Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, seorang Revolusioner yang telah menenggelamkan era kejahiliyahan menuju tatanan kehidupan penuh kemuliaan dalam bendera Islam.

Dalam membuat sebuah karya skripsi, penulis membutuhkan waktu dan suasana sebagai usaha untuk mencari inspirasi serta mood guna mengerjakan skripsi ini dengan baik. Alunan musik dari salah satu band favorit L’arc~en~Ciel dipilih sebagai partner dalam menemani setiap dentuman ketikan serta sebagai langkah meningkatkan mood penulis. Walaupun demikian, pastinya dalam proses pembuatan skripsi terdapat suatu kendala berupa kemalasan yang terkadang menghantui diri penulis, namun pada akhirnya, sikap malas tersebut dapat penulis atasi. Akan tetapi hal tersebut dapat dilakukan apabila kita mempunyai kemauan serta niat yang kuat, dan diimbangi dengan usaha nyata. Sehingga atas adanya sikap tersebut terciptalah target penulis, one day one page. Mengingat hal itu, kini tidak terasa usaha yang dijalankan selama beberapa bulan tersebut telah menghasilkan sebuah karya yang patut penulis banggakan, seakan waktu dan tenaga yang telah digunakan tidak terbuang sia-sia.

Selain itu penulis juga mengucapkan rasa terima kasih kepada mereka yang telah membantu, membimbing dan menemani penulis dalam menyelesaikan skripsi ini:

1. Bapak Prof. Dr. Oman Faturahman M.Hum, selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

i

2. Bapak H. Nurhasan, M.A, selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah menyetujui dan menerima judul skripsi ini sebagai tugas akhir penulis. 3. Ibu Sholikatus Sa’diyah, M.Pd, selaku Sekertaris Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam, yang selalu memberikan pelayanan kepada mahasiswanya dengan baik. 4. Bapak Dr. H. M. Muslih Idris, Lc, M.A dan Bapak H. Nurhasan, M.A, selaku dosen pembimbing yang telah menyempatkan waktu luangnya untuk siap direpotkan serta dengan sabarnya memberikan arahan dan masukan kepada penulis dalam membantu menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik. 5. Ibu Awalia Rahma, M.A, selaku ibunda penulis selama di kampus yang telah memberikan nasehat, motivasi, dan masukan atas segala kegalauan serta kegundahan penulis pada masa pencaharian judul skripsi. 6. Bapak Dr. Saidun Derani, M.A, selaku Dosen Pembimbing Akademik yang dengan penuh perhatiannya telah membantu penulis dalam merumuskan proposal skripsi, sehingga penulis mampu melanjutkan tulisan ini pada tahap berikutnya. 7. Bapak dan Ibu Dosen yang selalu memberikan bimbingan dan pelajaran selama penulis mengikuti perkuliahan. 8. Seluruh Staff Fakultas Adab dan Humaniora, yang telah memberikan pelayanannya dengan baik dan tidak mempersulit penulis dalam usaha mengumpulkan setiap syarat-syarat yang diperlukan. 9. Para karyawan/karyawati Perpustakaan Utama, khususnya Amcore yang telah menyediakan fasilitas mendownload jurnal-jurnal online, sehingga semakin mempermudah penulis mendapatkan bahan-bahan untuk skripsi ini. 10. Kedua orang tua penulis, Ayahanda tersayang Bapak Sriyoto dan Ibunda tercinta Ibu Lainah, yang secara tidak langsung telah membantu proses penyeselaian skripsi ini. Penulis yakin Ayah dan Ibu pasti selalu menyempatkan memberikan do’anya pada penulis, yang dengan do’a itu telah memberikan kekuatan terhadap diri penulis. Semoga Allah SWT,

ii

selalu memberikan rahmat serta kasih sayang-Nya kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta. Maaf penulis belum bisa memberikan yang terbaik hingga saat ini, terima kasih untuk semuanya. Semoga penulis yang sedang mengenyam pendidikan ini bisa bermanfaat dan juga dapat mewujudkan cita-citanya sehingga dapat melihat senyum bahagia dari kedua bibir Ayah dan Ibu. 11. Nenek tercinta, Mbah Sidem yang selalu memberikan masakan-masakan yang terbaik dan tanpa lelah rela bangun setiap sepertiga malam untuk memulai aktivitas, sehingga hal tersebut menambah motivasi serta rasa semangat penulis dalam mengerjakan tugas akhir ini. 12. Teman-teman, Endi, Nana, Hanafi, Hanifah, Agung, Iwan, Ela, Irna, Okta, Lidya, Dian, dalam membantu menterjemahkan sebahagian teks yang penulis tidak terlalu mamahaminya, serta kepada teman-teman satu perjuangan SKI 2010 yang secara tidak langsung memberikan motivasi dan semangat ketika penulis melihat kalian juga bekerja keras dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Tidak ketinggalan pula penulis berterimakasih kepada teman-teman KKN Ceria 2013 (Desa Pabuaran - Bogor) yang telah memberikan pengalaman serta cerita menarik selama kita mengemban tugas sosial, dan kepada teman-teman LDK Syahid (An- najm) yang hampir setiap harinya kita bertemu di PU untuk mengerjakan skripsi bersama.

Semoga semua pihak yang membantu dan menyelesaikan Skripsi ini akan selalu diberi pertolongan, meskipun penulis belum mampu membalas segala jasa mereka, mudah-mudahan Allah swt selalu memberikan pintu berkah untuk mereka, salut untuk mereka semua. Jakarta, 5 Maret 2015

Anto Langgeng Prayogo

iii

ABSTRAK

Dalam sejarah perlawanan bangsa Palestina, perjuangan seperti perang fisik ataupun diplomasi, telah marak diketahui publik global. Akan tetapi, tidak banyak yang mengetahui tentang eksistensi mural sebagai media perlawanan Palestina. Mural secara tersirat ataupun tersurat mempunyai makna di dalamnya, sehingga mural dimanfaatkan kelompok pemuda untuk memobilisasi perjuangan rakyat Palestina melawan cengkraman Israel. Penulis sebagai mahasiswa Sejarah Kebudayaan Islam dengan konsentrasi Timur Tengah khususnya mengenai Palestina, sangat tertarik terhadap pembahasan ini, dikarenakan dari berbagai sumber tertulis belum ada yang menyinggung secara jauh tentang keberadaan fenomena mural pada masa Intifadha. Jadi, studi ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana fenomena perjuangan Intifadha melalui media mural. Penulis menggunakan pendekatan antropologis dan teori terpaan media, di mana pandangan seseorang diterpa secara terus menerus oleh isi pesan yang secara tidak langsung akan menarik perhatian mereka. Melalui pendekatan serta teori tersebut penulis menemukan bahwa mural memiliki peranan yang signifikan sebagai bahasa protes dan perlawanan sebuah bangsa ketika dalam keadaan tertekan. Di Palestina keberadaan mural telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan, karena mural selalu hadir dalam mewarnai setiap langkah perjuangan bangsa Palestina.

Kata Kunci: Mural, Media, Perlawanan, Rakyat Palestina, Intifadha, Israel.

iv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...... i ABSTRAK ...... iv DAFTAR ISI ...... v

BAB I PENDAHULUAN ...... 1

A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Permasalahan...... 5 1. Identifikasi Masalah ...... 5 2. Pembatasan Masalah ...... 5 3. Rumusan Masalah ...... 5 C. Tujuan Penelitian ...... 6 D. Manfaat Penelitian ...... 6 E. Metode Peneltian ...... 7 F. Tinjauan Pustaka ...... 9 G. Landasan Teori ...... 13 H. Sistematika Penulisan ...... 14

BAB II POLITIK MURAL ...... 16

A. Sejarah Mural ...... 16 B. Mural di Beberapa Negara ...... 19 1. Mural di Jerman ...... 20 2. Mural di Amerika Serikat ...... 23 3. Mural di Irlandia Utara ...... 25 4. Mural di Palestina ...... 31

BAB III BENTUK BARU RESISTENSI PALESTINA ...... 34

A. Palestina ...... 34 B. Konflik Palestina – Israel ...... 35 C. Perlawanan Non Kekerasan Palestina ...... 38 D. Bentuk Non Kekerasan Palestina 1967-1987 ...... 40 E. Intifadha ...... 44

BAB IV DINAMIKA POLITIK MURAL SEBAGAI MEDIA RESISTENSI RAKYAT PALESTINA PADA MASA INTIFADHA ...... 47

A. Munculnya Politik Mural di Palestina ...... 47 B. Mural Intifadha ...... 53 1. Mural pada Intifadha Pertama ...... 54

v

2. Mural pada Periode Oslo ...... 63 3. Mural pada Intifadha Kedua ...... 65 C. Makna dari Simbol Teks dan Gambar ...... 68 1. Teks Dinding ...... 69 2. Gambar Dinding ...... 71 D. Tema-tema Mural Intifadha ...... 73 1. Tahanan Palestina ...... 74 2. Kesyahidan ...... 75 3. Nakba Day ...... 76 E. Dampak Mural ...... 78 1. Bagi Rakyat Palestina ...... 79 2. Sikap dan Respon Tentara Israel ...... 80 BAB V PENUTUP ...... 84 A. Kesimpulan ...... 84 DAFTAR PUSTAKA ...... 86 LAMPIRAN-LAMPIRAN ...... 91

vi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Membahas mengenai media khususnya di era modern seperti sekarang ini, hampir dipastikan pikiran seseorang akan tertuju pada bentuk media seperti; internet, televisi, radio, dan surat kabar. Hal itu dikarenakan bahwa media-media tersebut telah menjadi bagian dari kehidupan umat manusia, baik dalam urusan berkomunikasi atau sekedar mendapatkan informasi. Namun, bentuk media tidak hanya sebatas pada media cetak dan elektronik semata, tetapi juga melalui sebuah karya seni, dalam hal ini mural.1 Mural merupakan lukisan besar yang terpajang pada dinding ruang publik.2 Pada era modern, mural sangat dikenal dengan konten-konten berbau pesan kritik sosial dan politik terhadap pemerintahan di suatu wilayah tertentu. Pada hakikatnya mural terbentuk melalui tangan para pemuda yang dinilai anarkis oleh sebagian masyarakat umum, oleh sebab itu maka tidak jarang mural disebut sebagai polusi pemandangan. Namun, perlu dicatat bahwa sesungguhnya aksi mencoret-coret dinding di sebagian wilayah dunia yang sedang mengalami konflik, merupakan tindakan kritis. Sehingga dalam lanskap tersebut, mural tidak hanya sebatas penghias mata (baca: visual),

1Mural merupakan salah satu karya visual dengan bermodelkan penuh warna, motif, dan komposisinya terdapat pada ruang publik. Lihat Mikke Susanto, Diksi Rupa, (Yogyakarta: Kanisius, 2002, h.77). 2Secara teknis mural memang terlihat berbeda dengan graffiti yang hanya berfokus pada aksara kata atau kalimat tertentu. Namun, secara garis besar mural dan graffiti sama-sama menggunakan medium dinding, sehingga menjadikan keduanya masih dalam lingkaran kesatuan seni jalanan. Dalam kasus di Palestina kemunculan mural hampir selalu dibarengi dengan kehadiran graffiti di sisinya sebagai penguatan arti yang disampaikan lukisan dinding tersebut. Jadi, dengan demikian hadirnya mural di Palestina tidak dapat dipisahkan dari graffiti. Lihat Julie Peteet. “The Writing on the Walls: the Graffiti of the Intifada”, Cultural Anthropology, Vol. 11, no. 2, (1996), h. 147.

1

2

tetapi juga penuh unsur pesan di dalamnya, sebagai langkah untuk memobilisasi massa. Alasannya, karena mural yang terbentuk di wilayah berkonflik lebih efektif daripada wilayah dengan status damai, hal tersebut dikarenakan audiens merasa ikut terjebak di dalamnya. Dengan demikian, sangat tidak aneh apabila para pelaku pembuat mural selalu berhadapan dengan aksi pemukulan serta penangkapan oleh aparat penegak hukum.

Dalam sejarahnya mural telah memainkan peranannya di berbagai belahan negara atau wilayah yang sedang mengalami konflik seperti di Amerika Serikat,

Irlandia Utara, dan Tembok Berlin Jerman.3 Namun yang lebih menariknya, penampakkan mural ternyata juga terlihat pada wilayah yang selama ini dianggap kaku seperti Timur Tengah, dan Palestina telah menjadi bangsa yang membantah anggapan tersebut.

Di Palestina, kehadiran mural diakibatkan karena efek gerakan Intifadha yang muncul pada tahun 1987. Intifadha berasal dari bahasa Arab (nafadha) yang berarti kebangkitan, mengguncang, dan revolusi.4 Istilah ini digunakan untuk

3Tembok Berlin menjadi batas pemisah antara Jerman Barat dan Jerman Timur selama masa Perang Dingin (1961). Segala perbedaan antar kedua wilayah tersebut menjadi tampat yang sempurna bagi setiap orang untuk mengekspresikan pendapat mereka, khususnya tentang keinginan dan penolakan yang dituangkan melalui dinding-dinding tersebut. Sehingga Tembok Berlin bagian barat memiliki karya seni yang sepenuhnya menutupi dinding, sementara pada sisi Berlin bagian Timur dijaga untuk selalu bersih dari warna-warni cat mural, karena masyarakat tidak diizinkan untuk melukis apapun oleh pemerintah di sana. Namun setelah runtuhnya Tembok Berlin pada tahun 1989, sekelompok seniman internasional diundang untuk membuat mural pada sisi bagian Timur Tembok sebagai reaksi mereka atas runtuhnya Tembok tersebut. Akhirnya, mural-mural di Tembok Berlin menjadi populer dikalangan seniman dari seluruh dunia dan objek menarik bagi para wisatawan. Sebagian konteks lukisan mural tersebut adalah refleksi historis, untuk mengingatkan mereka tentang peristiwa yang pernah dialami Jerman. Lihat Miglena Ivanova, “Graffiti and the Symbolic Dismantling of the Berlin Wall”, (Anthropology of Culture, Vol. 02/2013, h. 157). 4Dr Fathi Ibrahim Shaqaqi, Sekjen pertama Gerakan Jihad Islam Palestina mengatakan, “Dalam sejarah revolusi dan perjuangan, kata intifada memiliki latar belakang yang panjang. Akan tetapi dari sisi makna, intifada berarti kebangkitan menggantikan masa kevakuman. Intifada adalah tahap pendahulu bagi sebuah revolusi. Misalnya, di Iran, terjadi kebangkitan di madrasah Feiziyah Qom. Kebangkitan itu kita namakan intifada, sebab gerakan itu pada tahun 1979 membuahkan 3

menggambarkan pemberontakan rakyat Palestina melawan pemerintahan pendudukan Israel. Namun bangsa Barat memandang Intifadha sebagai suatu pemberontakan dengan kekerasan.5 Sedangkan menurut dunia Arab, Intifadha adalah bentuk sah dari sebuah pemberontakan dan menjadi salah satu cara untuk mencapai kemerdekaan sehingga terlepas dari penindasan Israel.

Gerakan Intifadha dikenal dengan kecepatan dan kekuatan yang muncul secara tiba-tiba.6 Padahal saat dekade 1980-an, rakyat Palestina tidak memiliki sarana dan fasilitas apapun untuk memperjuangkan kebebasan negeri mereka melawan tentara Israel. Namun, keterbatasan akses tersebut tidak menyurutkan langkah rakyat Palestina dalam bertindak, dan faktanya secara serentak rakyat

Palestina berani bangkit untuk melawan walaupun hanya bermodalkan batu sebagai senjata pembelaan diri.

Berbicara mengenai konteks Intifadha, memang tidak dapat dipisahkan antara Intifadha dengan batu, karena batu dalam Intifadha merupakan perangkat revolusioner. Dewasa ini, telah menjadi rahasia umum bahwa gambaran seorang remaja sedang melempar batu mendominasi presentasi publik terhadap Intifadha.

Akan tetapi kali ini, batu dapat berfungsi lebih dari sekedar senjata pertahanan, dengan menjadikannya sebagai senjata cetak, dalam hal ini dinding. Dengan dominasi sebuah batu dan dinding, maka lanskap yang diciptakan telah tersedia,

kemenangan revolusi. Apa yang terjadi saat ini di Palestina tak lain adalah tahap bagi sebuah revolusi. Kita tak pernah membayangkan gerakan kebangkitan ini akan berjalan secara luas dan universal seperti ini. Kita namakan gerakan ini dengan nama intifada. Karena itu, kami di Gerakan Jihad Islam menyebut kebangkitan ini sebagai intifada dan revolusi.” Sumber: http://beritapalestina.com/sejarah-intifada-palestina-kami-lawan-zionis/, (akses 2/2/15). 5Robert A. Pape, James K. Feldman. Cutting the Fuse: The Explosion of Global Suicide Terrorism and How to Stop It, (Universityof Chicago Press, 2010), h. 219. 6Orang Palestina menyebut Intifadha seperti seekor kalajengking yang muncul secara tiba-tiba di tangan anda dan secara reflex anda akan menggoyang-goyangkannya dengan agresif. Lihat Gary M. Burge, Palestina milik siapa?, (Surabaya: BPK Gunung Mulia, 2003, h. 56) 4

yaitu sejata yang mudah diakses; berawal dari mengajak berkomunikasi, menjadi menyerang, dan sekaligus bertahan (baca: mural).

Selama masa-masa Intifadha, mural telah mewarnai setiap perjuangan rakyat Palestina, mereka hadir untuk memobilisasi masyarakat agar ikut terlibat ke dalam aksi solidaritas menentang pendudukan Israel. Dalam setiap harinya mural selalu muncul bahkan konten mereka selalu berubah-ubah dalam setiap waktunya, baik pagi, sore, dan malam hari, sesuai dengan kondisi tertentu.

Sehingga tidak mengherankan jika lanskap budaya yang paling mencolok mata dari terjadinya aksi Intifadha pada tahun 1987 adalah banyaknya penampakkan mural di setiap dinding Palestina.7

Namun sayangnya, dari berbagai literatur yang membahas mengenai masalah Palestina, sedikit sekali yang mangkaji lebih jauh mengenai keberadaan fenomena mural. Padahal faktanya, mural telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Intifadha, sebagai media mobilisasi massa terkait keterbatasan akses. Dengan latar belakang ini, penulis sangat tertarik membahas lebih jauh tentang eksistensi mural di Palestina. Dengan sumber-sumber tertulis yang penulis dapatkan, penulis menelaah bahwa keberadaan mural di setiap wilayah yang sedang berkonflik merupakan bentuk dari identitas: seni, nasionalisme, perlawanan, kebanggaan, harga diri, dan semangat. Dan secara tidak langsung, mural seperti halnya sebuah cerita tentang suatu rakyat yang hidup dengan penuh tekanan, namun berusaha melawan dengan kelemahan mereka.

7Julie Peteet. “The Writing on the Walls: the Graffiti of the Intifada”, Cultural Anthropology, Vol. 11, no. 2, (1996), h. 139. 5

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Dengan melihat latar belakang di atas, ada sejumlah masalah yang dapat diidentifikasi antara lain:

1. Media-media perlawanan;

2. Terciptanya mural;

3. Seni mural menjadi sarana politik;

4. Pandangan masyarakat terhadap mural;

5. Afiliansi pembuat mural kepada faksi-faksi politik;

6. Perkembangan politik mural;

7. Peran fungsi yang dibawakan;

8. Dampak keberadaan mural.

2. Pembatasan Masalah

Dari beberapa identifikasi masalah di atas, maka penulis batasi tulisan sesuai dengan judul studi ini di antaranya:

1. Mural sebagai media perlawanan Palestina;

2. Mural selama masa Intifadha (1987-1993 dan 2000-2005).

3. Rumusan Masalah

Rumusan pokok masalah dari studi ini adalah bagaimana fenomena keberadaan mural di Palestina bagi rakyatnya selama masa Intifadha?

Adapun sub pertanyaan pokoknya adalah sebagai berikut: 6

1. Bagaimana perkembangan mural di Palestina pada masa Intifadha?

2. Tema besar apa saja yang selalu muncul pada pembahasan mural

selama terjadinya Intifadha?

3. Bagaimana dampak yang ditimbulkan dari fenomena mural bagi rakyat

Palestina ataupun bagi tentara Israel?

C. Tujuan Penelitian

Sebagaimana mestinya sebuah penelitian, penelitian ini pun memiliki tujuan untuk menjelaskan peran mural terhadap perjuangan rakyat Palestina pada masa Intifadha. Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui bagaimana perkembangan mural di Palestina pada

masa Intifadha.

2. Mengetahui bagaimana peran fungsi mural di Palestina.

3. Serta mengetahui dampak yang ditimbulkan mural bagi rakyat

Palestina.

D. Manfaat Penelitian

Selain tujuan, dalam penelitian ini pun diharapkan memiliki manfaat.

Untuk itu, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Bagi penulis, skripsi ini diharapkan dapat diterima sebagai prasyarat

kelulusan penulis untuk mendapatkan gelar S. Hum.

2. Memberikan hasil karya penelitian sebagai bahan bacaan teman-teman

Mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora khususnya, terlebih lagi

kepada teman-teman Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah secara

umum terkait tema yang diambil tentang mural di Palestina. 7

3. Skripsi ini penulis harapkan dapat meneruskan penelitian untuk studi

S2 tentang mural di Palestina.

E. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode historis, yaitu sebuah metode yang bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis peristiwa- peristiwa masa lampau yang bertumpu pada empat langkah di antaranya, heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi.8

Ada pun sistematika yang dilakukan dalam metode historis, di antaranya sebagai berikut:

1. Heuristik

Heuristik merupakan tahap pertama, yakni kegiatan pengumpulan data atau sumber. Dalam penelitian ini penulis mengumpulkan data-data sebagai bahan penulisan dengan melakukan penelitian kepustakaan (Library Research), merujuk pada sumber-sumber yang berhubungan dengan tema skripsi penulis, dapat berbentuk buku, jurnal, buletin, koran, foto, dan sebagainya. Dalam upaya mendapatkan bahan-bahan tersebut, penulis mengunjungi beberapa perpustakaan, seperti; Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan Adab dan Humaniora, Perpustakaan UI Depok, Perpusnas (Perpustakaan Nasional).

Selain melakukan penelitian kepustakaan, penulis juga melakukan search online dengan mengunjungi American Corner di Perpustakaan Utama UIN Jakarta guna mendapatkan jurnal-jurnal online. Penulis juga mengunjungi beberapa situs pemberitaan online dari media lokal maupun internasional seperti, Kompas.com,

8Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah, cet II, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), h. 54. 8

Republika.com, Al-Jazeera.com, The Guardian.com, Al-Monitor.com dan

CNN.com.

2. Kritik Sumber

Kritik sumber merupakan tahap yang kedua setelah melakukan pengumpulan data. Dalam tahap ini penulis menganalisis dan mengkiritisi sumber-sumber yang didapat serta melakukan perbandingan terhadap sumber- sumber yang didapat agar mendapatkan sumber yang valid dan relevan dengan tema yang dikaji penulis.

3. Interpretasi

Setelah sumber-sumber yang didapat dianalisis dan dikritisi, tahapan selanjutnya yang dilakukan ialah penulis mencoba menafsirkan terhadap sumber yang telah dikritisi dan melihat serta menafsirkan fakta-fakta yang didapat oleh penulis, sehingga mendapatkan pemecahan atas permasalahannya.

4. Historiografi

Terakhir penulis menuliskan pemikiran dari penelitian serta memaparkan hasil dari penelitian sejarah secara sistematik yang telah diatur dalam pedoman skripsi, sehingga penelitian ini bukan hanya baik dari segi isi tetapi juga baik dalam metode penulisannya. Tahapan terakhir ini disebut dengan historiografi.9

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan antropologi.

Antropologi adalah suatu ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan tata cara kehidupan serta proses perjalanan manusia itu sendiri. Sartono Kartodirdjo

9Hariyono, Mempelajari Sejarah Secara Efektif, (Yogyakarta: Pustaka Jaya, 1995), h. 109 9

mengatakan, pendekatan antropologi mengungkapkan nilai-nilai, status dan gaya hidup, sistem kepercayaan dan pola hidup yang mendasari perilaku seseorang.10

Antopologi dan sejarah pada hakikatnya memiliki objek kajian yang sama, ialah manusia dan pelbagai dimensi kehidupannya. Kedua disiplin ilmu tersebut dapat dikatakan hampir tumpang tindih, sehingga seorang antropolog terkemuka, Evans-

Pritchard, menyatakan bahwa ”antropologi adalah sejarah”.11 Dalam hal ini, pendekatan antropologi digunakan penulis pada studi ini adalah untuk melihat bagaimana sikap dan perilaku masyarakat Palestina terhadap fenomena keberadaan mural di wilayahnya.

F. Tinjauan Pustaka

Dari hasi penelusuran penulis, penulis menemukan beberapa skripsi dari

Mahasiswa jurusan Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta yang membahas Palestina. Beberapa skripsi tersebut menjadi tinjauan pustaka dalam penulisan ini di antaranya:

1. Skripsi yang berjudul Konflik Arab-Israel: Pengusiran Etnis Palestina dan

Diaspora Etnis Palestina, ditulis oleh Rian Yuliana (2011). Dalam skripsi

tersebut ia menjelaskan tentang konflik Arab-Israel yang berujung pada

terdiasporanya penduduk Palestina ke berbagai wilayah. Dimulai setelah

Perang Dunia I usai, dan turki merupakan pihak yang kalah, sedangkan

Zionis menjalin hubungannya dengan Inggris yang menggantikan posisi

Turki sebagai penguasa Palestina. Inggris mendukung Zionisme dengan

10Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodelogi Sejarah, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 4. 11Takako Yoshikawa, Evans Pritchard's humanism and the development of anthropology, (Durham: Durham University), h. 41. 10

maksud agar kekuasaan mereka di Timur Tengah tetap terjamin. Hal

tersebut ditambah dengan keluarnya surat dari Menteri Luar Negeri

Inggris, Arthur James Balfour, kepada para tokoh Zionis tentang kesediaan

Inggris mendukung Zionis, sehingga kaum zionis mendapatkan angin

segar, dan orang-orang Yahudi yang tersebar di seluruh dunia mulai

bermigrasi ke Palestina. Atas kejadian ini Palestina dibagi menjadi dua

bagian, yaitu 55 persen untuk orang-orang Israel dan 45 persen untuk

orang Palestina. Dan akibatnya orang-orang Palestina dengan terpaksa

pergi dari wilayahnya menuju kamp-kamp pengungsian yang tersebar di

berbagai wilayah bahkan di beberapa negara tetangga seperti Yordania,

Suriah, dan Libanon,

2. Skripsi yang berjudul, Pandangan Abdurrahman Wahid terhadap Konflik

Palestina Israel, dibuat oleh Johan Wahyudi (2011). Skripsi ini

menjelaskan bahwa konfli Palestina-Israel telah mengundang banyak

perhatian tokoh intelektual muslim dunia, termasuk Abdurrahman Wahid

(Gus Dur). Dalam pandangan Gus Dur, dari konflik ini harus ada kerelaan

dari kedua belah pihak untuk hidup berdampingan sebagai dua negara

yang berbeda. Walaupun sebagian kaum muslim menganggap perdamaian

merupakan sebuah hal yang tabu, namun dibantah dengan tegas olehnya,

karena upaya menerima perdamaian adalah langkah kongkret untuk

menyelesaikan masalah tersebut.

3. Sedangkan skripsi berikutnya berjudul, Kebijakan Politik Palestina pada

masa Presiden Yaseer Arafat (1994-2004) yang ditulis oleh Ashabul Kahfi

Saparudin (2014), skripsi tersebut menjelaskan tentang beberapa 11

kebijakan-kebijakan pemerintahan Yaseer Arafat dalam usahanya

memerdekakan Palestina secara de jure. Yaseer Arafat merupakan tokoh

sekaligus pemimpin yang sangat berpengaruh dan kontroversial. Disebut

kontroversial karena perjuangan yang ia lakukan melalui proses kebijakan-

kebijakan perundingan, padahal kala itu perlawanan fisik seolah menjadi

satu-satunya jalan bagi kemerdekaan bangsa Palestina.

4. Selanjutnya skripsi yang berjudul, Gerakan Intifada dan Dampaknya

terhadap Perjuangan Palestina, ditulis oleh Gustin Aryani (2010). Skripsi

ini menuliskan tentang hadirnya Intifadha merupakan sebuah periode

kebangkitan rakyat Palestina untuk melawan rezim zionis Israel.

Terjadinya Intifada ini menyusul dari semakin kerasnya aksi terror yang

dilakukan Israel. Di samping itu rakyat palestina juga telah berputus

harapan atas bantuan dari pemerintahan Barat dan organisasi-organisasi

intern Palestina yang pada hakikatnya tidak dapat membebaskan Palestina

dari cengkraman Israel. Dampak dari Intifada adalah melahirkan sebagian

gerakan-gerakan yang berjuang melalui senjata seperti Hamas ataupun

Brigade al-Qassam, sebagai langkah untuk mengusir keberadaan Israel

dari tanah Palestina.

5. Penulis juga menemukan satu skripsi yang membahas mengenai Palestina

namun ditulis oleh Mahasiswa jurusan Ilmu Politik, Ubaidallah dengan

judul, Pengaruh Gerakan Jihad Izzudin Al Qassam terhadap Perjuangan Rakyat

Palestina Sebelum dan Sesudah Berdirinya Negara Israel. Dalam skripsi ini,

Izzuddin al-Qassam merupakan seorang ulama yang identik dengan jihadnya.

Seluruh kehidupannya difokuskan pada pembebasan umat Islam dari belenggu

penjajahan, baik dari tanah kelahirannya atau Palestina. Kedatangan Izzuddin ke 12

Palestina adalah untuk berjihad di medan perang. Perjuangannya ia tuangkan

dalam sebuah organisasi, yang kemudian hari dinamakan organisasi jihad. Motif

kedatangannya hanya untuk berjihad memerangi Inggris dan mengusir kaum

Yahudi. Dalam organisasi ini Izzuddin al-Qassam menuangkan idenya, baik dari

sistem perekrutan, pengkaderan, program organisasi, dan lainnya. Titik

perjuangannya adalah berjihad dengan mengangkat senjata. Perjuangan Izzudin

telah memberikan motivasi sekaligus tamparan bagi rakyat Palestina yang

seharusnya perjuangan tersebut dilakukan oleh mereka. Akibatnya, ide dan

aktivitas Izzuddin memberikan dampak yang signifikan terhadap perjuangan

rakyat Palestina, baik sebelum atau sesudah berdirinya Israel.

Dari beberapa judul yang telah diuraikan di atas, secara keseluruhan pembahasan mereka mengenai Palestina. Akan tetapi, dari semua uraian tersebut sama sekali tidak ada yang menyinggung masalah mural di Palestina pada masa

Intifadha. Penulis hanya menemukan sebuah skripsi dari Gustin Aryani yang merupakan mahasiswa SKI, dengan judul Gerakan Intifada dan Dampaknya terhadap Perjuangan Palestina. Namun, walaupun tema yang dibawakan sama- sama membahas Intifadha, tetapi pada bagian ini perbedaan penulis dengan skripsi tersebut adalah pada aspek kajian, yaitu mengenai fenomena mural pada masa Intifadha, sehingga hal ini menjadi pembeda antara skripsi penulis dengan pembahasan skripsi sebelumnya.

13

G. Landasan Teori

Pada penulisan skripsi ini, penulis akan menggunakan teori Media

Exposure (Terpaan Media).12 Terpaan media diartikan sebagai suatu kondisi di mana orang diterpa oleh isi media atau bagaimana isi media menerpa audiens.

Kelompok pergerakan Palestina percaya bahwa target (audiens) perlu mendapatkan bombarder exposure agar pesan perjuangan dapat mempengaruhinya. Pesan bertubi-tubi yang datang melalui lukisan mural sangat penting karena memiliki potensi untuk mendapatkan perhatian dari audiens. Hal tersebut dikarenakan manusia tidak dapat terlepas dari sifat alaminya dalam melihat. Perilaku ini menurut Blumler dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti:

1. Surveillace, yaitu kebutuhan individu untuk mengetahui

lingkungannya.

2. Curiosity, yaitu kebutuhan individu untuk mengetahui peristiwa-

peristiwa menonjol di lingkungannya.

3. Diversion, yaitu kebutuhan individu untuk lari dari perasaan tertekan,

tidak aman, atau untuk melepaskan ketegangan jiwa.

4. Personal identity, yaitu kebutuhan individu untuk mengenal dirinya

dan mengetahui posisi keberadaannya di masyarakat.13

Sissors dan Bumba mendefinisikan bahwa terpaan media lebih dari sekedar mengakses media. Terpaan media tidak hanya menyangkut apakah seseorang secara fisik cukup dekat dengan kehadiran media massa, tetapi apakah

12Joseph Straubhaar, Media Now: Understanding Media, Culture, and Technology, (Cengage Learning, 2011), h. 134. 13J. G. Blumler, & E. Katz. The Uses of Mass Communications: Current Perspectives on Gratifications Research, (Beverly Hills: Sage, 1974), h. 19-20. 14

seseorang itu benar-benar terbuka terhadap pesan-pesan media tersebut (baca: terpengaruh). Terpaan media merupakan kegiatan mendengarkan, melihat, dan membaca pesan media massa atau mempunyai pengalaman dan perhatian terhadap pesan tersebut yang dapat terjadi pada individu atau kelompok.14

Pada penelitian ini, pesan politik perjuangan Palestina menggunakan sebuah seni mural sebagai bahan medianya. Media tersebut tidak hanya berisi tulisan atau gambar tanpa makna, akan tetapi mereka mengandung unsur pengalaman rakyat Palestina sendiri sehingga dengan hanya melihat dan membaca, para audiens Palestina mengerti apa yang disampaikan pada layar dinding. Hal tersebut juga ditambah dengan adanya terpaan dari mural yang membuat mereka tidak dapat terlepas dari daya tarik yang dimunculkan dari lukisan atau gambar tersebut.

H. Sistematika Penulisan

Skripsi ini akan terdiri atas lima Bab pembahasan dengan rincian:

Bab I (pertama), membahas tentang signifikansi tema yang diangkat, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, pendekatan dan metode penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori serta sistematika penulisan.

Bab II (kedua), membahas tentang sejarah mural serta keberadaannya dibeberapa negara.

14Jack Sissors dan Lincoln Bumba. Advertising Media Planning, (Indiana: Contemporary Pubishing Company, 1995), h. 69. 15

Bab III (ketiga), membahas tentang bentuk perlawanan nonfisik Rakyat

Palestina.

Bab IV (keempat), membahas tentang dinamika politik mural sebagai media resistensi rakyat palestina pada masa intifadha.

Bab V (kelima), berisi kesimpulan, tentang segala pertanyaan yang diajukan penulis. BAB II

POLITIK MURAL

A. Sejarah Mural

Mural1 menurut Susanto, merupakan lukisan besar yang berguna untuk mendukung ruang arsitektur, jika didefinisikan lebih lanjut maka mural tidak dapat dilepaskan dari tata ruang bangunan dalam hal ini dinding.2 Dinding dipandang tidak hanya sebagai pembatas ruang pada sebuah bangunan rumah dan gedung, namun dapat juga sebagai medium guna memperindah ruangan.

Mural termasuk salah satu bentuk dari seni visual. Mural bukan seni yang berdiri tanpa adanya makna, melainkan ia berdiri dengan ribuan pesan yang terkandung di dalamnya. Mural merupakan seni visual tertua yang pernah hidup di dunia, dan diperkirakan telah ada jauh sebelum peradaban modern lahir yaitu sekitar

30.000 tahun SM. Sejak ditemukannya sejumlah gambar prasejarah pada dinding gua di Lascaux, selatan Perancis. Gambaran tersebut melukiskan aksi-aksi berburu dan aktivitas religius, sehingga acapkali hal ini disebut sebagai bentuk awal dari seni mural.3 Pada zaman tersebut mural digunakan sebagai sarana mistik maupun spiritual untuk membangkitkan semangat berburu. Mural dilukiskan dengan cara mengukir,

1Mural berasal dari bahasa latin Murus yang berarti dinding. Dalam KBBI online Mural berarti lukisan pada dinding. Sumber : http://kbbi.web.id/mural (akses: 20/9/14) 2Mikke Susanto. Diksi Rupa, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 76 3P. G. Bahn, The Cambridge Illustrated History of Prehistoric Art, (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), h. 33

16

17

menatah, dan melukis menggunakan cat air yang terbuat dari sari buah limun, dan biasanya berbentuk manusia atau hewan.

Seiring perkembangan zaman dan peradaban manusia, mural mengalami transformasi dari sebuah media ritual menjadi salah satu kaya seni pelengkap elemen ruang seperti; dinding, langit-langit, dan permukaan datar lainnya. Seni pelengkap elemen ini digadang-gadang telah muncul pada Loggia4 di kota Pompeii, yaitu suatu ruang terbuka yang berada di dalam badan ruang bangunan.

Pada masa kerajaan Romawi, mural menjadi salah satu identitas keindahan dari segi arsitektur bangunan. Selain sebagai identitas, mural juga melambangkan semangat spiritualitas kaum Katolik Roma. Mural yang bersifat spiritual menghidupkan imajinasi dari adanya kehidupan setelah kematian.5

Seni mural mulai berkembang sebagai seni modern yang bersifat sosial politik di tahun 1920-an di Mexico, saat itu pelopornya adalah Diego Rivera, Jose Clemente

Orozco dan David Alfaro6. Namun, Cikal bakal mural politik yang dibuat pada

4Loggia merupakan ruang atau gedung dengan sisi terbuka yang membentang di sepanjang bagian depan atau di samping bangunan. (sumber: http://artikata.com/arti-109045-loggia.html, akses 20/9/14). 5Mario Sironi. Manifesto of Mural Painting. Art in Theory 1900-1990: Anthology of Changing Ideas. Eds Charles Harrison and Paul Wood. (Oxford: Blackwell Publishing, 2007), h.107. 6Diego Rivera yang lahir pada tahun 1886 ini adalah salah satu tokoh pemimpin gerakan mural di Mexico tahun 1920-an. Ia seorang anggota Partai Komunis di Mexico. Karya mural politiknya sangat terkenal di Mexico. Sasaran yang biasa dituju dari karyanya tersebut adalah semacam penguasa, gereja, dan kapitalisme. Jose Clemente Orozco lahir pada tahun 1883, lebih muda tiga tahun dari Diego Rivera. Ia seorang pelukis dari Mexico yang terkenal berani dalam membuat karyanya. Ia juga dikenal sebagai muralis yang kompleks, tema yang lebih disukai adalah tentang penderitaan manusia tetapi kurang realistik dan lebih tertarik dengan apa yang dibuat oleh Diego Rivera. David Alfaro Squeiros lahir dengan nama baptis José de Jesús Alfaro Siqueiros pada 29 Desember 1896. Merupakan tokoh muralis paling muda di antara Rivera dan Jose. Ia seorang pelukis realis sosial Mexico yang karyanya lebih dikenal dengan mural besar pada ruangan terbuka. Dan ia

18

dinding terbuka muncul ketika Pablo Picasso telah menyelesaikan lukisan yang berjudul Guernica7 dengan menggunakan media berupa sebidang kanvas yang besarnya menyerupai dinding, dan di dalam lukisan tersebut, bercerita tentang perang sipil di Spanyol.8 Namun, lukisan yang menyuarakan tentang kritik sosial dan politik ini dibawakan dengan gambar yang humoris, sehingga kesan yang tergambarkan bersifat sindiran ataupun ejekan. Hal ini dilakukan sebagai cara untuk menghindari bentrokan dengan otoritas setempat.9

Lukisan tersebut menjadi titik awal cikal bakal munculnya mural politik.

Sejak saat itulah beberapa negara yang sedang mengalami konflik menggunakan media mural sebagai bentuk penyampaian sebuah pesan yang mengandung kritik ataupun sebagai alat propaganda kepada audiens yang menyaksikannya. Beberapa negara yang menggunakan mural sebagai media untuk menyampaikan pesan kritik ataupun propaganda politik, seperti; tembok Berlin di Jerman, Amerika Serikat,

Indonesia, Irlandia Utara, dan Palestina.

juga merupakan anggota dari Stalinis dan Partai Komunis di Mexico. Lihat Folgarait Leonard, Mural Painting and Social Revolution in Mexico, 1920-1940: Art of the New Order. (Cambridge University Press, 1998), h. 7-18. Mereka bertiga adalah tokoh pendiri Mexican Muralism. 7Guernica adalah lukisan karya Pablo Picasso yang diciptakan untuk menanggapi pemboman di Guernica, nama sebuah desa di wilayah Basque, Spanyol Utara, oleh pesawat tempur Jerman dan Italia atas perintah pasukan Nasionalis Spanyol, selama perang saudara Spanyol pada tahun 1937. 8Rudolf Arnheim. The Genesis of a Painting: Picasso's Guernica, (London: University of California Press, 1973), h. 43. 9 Bruce Campbell. Mexican Murals in Times of Crisis, (Tucson, Ariz : The University of Arizona Press, 2003), h. 54. Lihat lampiran 2.2.

19

B. Politik Mural di Beberapa Negara

Seperti yang telah penulis katakan di atas bahwa mural merupakan salah satu genre dari seni visual. Seni selalu dihubungkan dengan estetika pada setiap kajiannya.

Di dalam estetika ini, seni sering mencangkup nilai elok, molek, cantik, anggun, bagus, lembut, utuh, seimbang, padu, hening, terang, hampa, suram, dinamik, kokoh, hidup, gerak, dan tragis. Pada intinya nilai estetika ini ingin mengisyaratkan bahwa di dalam seni tersebut terdapat sebuah persentuhan selera, pemahaman, dan kepekaan untuk membedakan serta mengapresiasikan makna dari suatu karya manusia yang mengakibatkan tumbuhnya perasaan-perasaan bagi para audiens yang melihatnya.10

Seni dalam hal ini mural, telah banyak digunakan sepanjang sejarah hidup manusia sebagai media untuk mengekspresikan keadaan sosial, keyakinan, maupun yang berhubungan dengan politik dan pemberontakan. Semua ekspresi tersebut sengaja ditunjukkan untuk tampil di hadapan publik. Mural yang dibuat sebagai bentuk kritik atau perlawanan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah, dinilai lebih efektif sebagai media komunikasi dua arah yakni, visual-verbal terhadap masyarakat.

Alasannya karena media semacam ini lebih terlihat menarik untuk disaksikan ketimbang dengan membacanya pada sebuah artikel koran yang mungkin bagi sebagian orang menjenuhkan.

Di era modern seperti sekarang, mural dapat kita ibaratkan sebagai sebuah status pada jejaring sosial yang berguna untuk menuliskan segala macam ekspresi hati

10Budi Susanto. Politik dan Postkolonialitas di Indonesia. (Yogyakarta: Kanisius, 2003), h. 323

20

dan perasaan yang bersifat resistensi, penghentian blokade atau perang, pemenuhan hak, rasisme, dan lain-lain yang bersifat pengaduan terhadap fenomena ketidakadilan.

Beberapa negara yang menggunakan mural sebagai media resistensi rakyat antara lain:

1. Mural di Jerman

Tembok Berlin di Jerman adalah salah satu tembok di dunia yang banyak

menyimpan sejarah. Inilah bukti dari kebebasan terhadap dinding pembatas. Tidak

hanya menyimpan sejarah, namun tembok ini juga menjadi sarana kreativitas

masyarakat. Tidak heran jika tembok ini dijuluki East Side Gallery. Hal ini karena

berbagai mural warna-warni dan graffiti yang menggambarkan kehidupan politik,

ketegangan, serta pengorbanan manusia di masa lalu menyelimuti setiap sudut

dinding.

Tembok Berlin menjadi dikenal sebagai dinding mural, gambar dan lukisan di

tembok Berlin muncul di sisi barat pada periode antara tahun 1960-an dan 1980-an.

Beberapa gambar mural cenderung berisikan tentang cinta ataupun penghinaan.

Tembok Berlin terbuat dari dinding beton yang pada dasarnya didirikan pada tahun

1961 oleh Republik Demokratik Jerman (GDR)11 yang memisahkan Berlin Barat dan

11Jerman Timur atau secara resminya German Democratic Republic (GDR). Republik Demokratik Jerman didirikan di zona Soviet, sementara Republik Federal (Jerman Barat) didirikan di zona Barat. Kata Timur sering digambarkan sebagai negara satelit Uni Soviet, sejak otoritas pendudukan Soviet dimulai. Setelah pengalihan tanggung jawab administratif kepada para pemimpin komunis Jerman pada tahun 1948, setahun kemudian GDR mulai berfungsi sebagai sebuah negara yaitu pada tanggal 7 Oktober 1949. Lihat David Childs. The Fall of the GDR, (London: Longman, 2001), h. 9.

21

Berlin Timur serta daerah Jerman Timur lainnya sehingga membuat Berlin Barat

terlihat seperti enklave.12 Dinding pemisah tersebut menjadikannya simbol dari

Perang Dingin. Tembok pembatas ini juga dibarengi dengan pendirian menara

penjaga yang dibangun sepanjang tembok, terdapat pula sebuah daerah terlarang

yang diisi dengan ranjau anti kendaraan. Jerman Timur beralasan bahwa tembok ini

dibangun untuk melindungi para warganya dari elemen-elemen fasis yang dapat

memicu gerakan-gerakan besar, sehingga mereka dapat membentuk pemerintahan

komunis di Jerman Timur. Meski begitu, dalam praktiknya ternyata tembok ini

digunakan untuk mencegah semakin besarnya pelarian penduduk Berlin Timur ke

wilayah Berlin Barat, yang berada dalam wilayah Jerman Barat.13

Pemerintah kota Jerman Barat pada kesempatannya acapkali mengatakan

bahwa Tembok Berlin adalah Tembok Memalukan, sebutan tersebut dicetuskan oleh

Walikota Willy Brandt untuk mengutuk keberadaan tembok ini karena membatasi

kebebasan bergerak.14 Gerakan protes dari para mahasiswa di akhir tahun 1960-an

menjadikan awal dari peran dinding tersebut sebagai media protes sosial. Pada

awalnya permukaan dinding tersebut masih tidak rata, sehingga pada saat itu bagi

sebagian orang yang ingin mencoba menulis di Tembok Berlin tidak dapat berbuat

banyak, melainkan hanya dapat membuat sebuah tulisan atau gambar yang sangat

12Menurut KBBI oneline enklave adalah negara atau bagian negara yang dikelilingi oleh wilayah dari suatu negara lain. (sumber: http://kbbi.web.id/enklave ,akses: 22/9/14). 13David Childs. The Fall of the GDR, (London: Longman, 2001), h. 44. 14Mary Beth Stein. “The Politics of Humor: The Berlin Wall in Jokes and Graffiti”, Western Folklore, Vol. 48, No. 2 (April, 1989), h. 97.

22

sederhana.15 Renovasi yang dilakukan oleh pemerintah GDR di pertengahan tahun

1970-an, sehingga mengubah sisi permukaan tembok tersebut benar-benar terlihat

halus ibarat sebuah kanvas yang memudahkan seseorang untuk membuat semacam

goresan, khususnya permukaan tembok bagian Barat. Dan pada saat yang sama,

goresan tersebut menjadi simbol akan jendela kebebasan Barat dan monumen

kesaksian memalukan dari dekadensi Barat.16

Kreutzberg, merupakan wilayah yang paling dekat dengan tembok dan

terkenal akan muralnya. Pada periode kemunduran perang dingin, wilayah tersebut

secara bertahap ditinggal pergi oleh penduduk aslinya. Akibatnya, wilayah tersebut

dihuni oleh seniman tunawisma, punk, dan massa anarkis sebagai gantinya. Mereka

biasa membuat mural di tembok tersebut dan meninggalkan pesan pribadi berupa

slogan-slogan politik dan gambar.17

Pada tahun 1970-an dan 1980-an terdapat beberapa kompetisi untuk proyek-

proyek seni lukis yang terorganisir. Banyak karya seni yang diusulkan pada

kompetisi tersebut, dengan mempopulerkan gambar simbolis perlawanan terhadap

dinding seperti; tangga, lubang, ritsleting, dan bahkan figur manusia yang sedang

melompati tembok.18 Meskipun kompetisi ini dilakukan oleh para seniman

profesional, namun aksi ini tidak mempunyai tujuan sebagai bentuk penghias tembok

15Kuzdas Heinz. Berliner Mauer Kunst: Berlin Wall Art, (Berlin: Elefanten Press, 1999), h. 10. 16Ladd Brian. The Ghosts of Berlin: Confronting German History in the Urban Landscape, (Chicago: the University of Chicago Press, 1997), h. 27. 17Ladd Brian. The Ghosts of Berlin: Confronting German History in the Urban Landscape, h, 41. 18Greverus Maria, “Poetics with Politics. Towards an Anthropology of the Own”, Anthropological Journal of European Cultures, vol. 8, The Politics of Anthropology, (2000), h. 128.

23

melainkan sebagai bentuk kritik dan protes terhadap keberadaan tembok yang

membatasi hak keberadaan rakyat untuk berpindah tempat. Mural tersebut seakan

memberikan saran dan cara bagi seseorang yang ingin melewati dinding, yaitu

dengan cara melompatinya, menggali lubang, atau bahkan terbang di atasnya.19

Kini tembok sepanjang 1,3 kilometer tersebut menjadi saksi bisu atas sejarah

kebebasan bangsa Jerman di masa lalu. Tidak hanya sebagai saksi dari sebuah

sejarah, Tembok Berlin pun kini telah menjadi objek wisata yang banyak dikunjung

oleh para wisatawan mancanegara.

2. Mural di Amerika Serikat

Mural modern mulai dikenal di Amerika Serikat sebagai sebuah budaya seni

visual ketika orang pertama kali melihat bahwa seseorang sedang menulis kata

“TAKI 183”20 di setiap subway stop di New York sekitar tahun 1970.21 Namun

sebelumnya, sekitar akhir tahun 1960-an mural sudah diperkenalkan di Amerika

Serikat. Mural pada saat itu digunakan sebagai bentuk ekspresi jiwa aktivis politik,

dan juga sebagai penanda wilayah oleh beberapa kelompok seperti Savage Skulls, La

Familia, dan Savage Nomans.

19Baker Frederick, The Berlin Wall P. Ganster & D. E. Lorey (eds.) Borders and Border Politics in a Globalizing World, (Oxford: SR Books, 2005), h. 34. 20Taki 183 adalah salah satu penulis grafiti paling berpengaruh dalam sejarah. “Tag”-nya adalah sebuah singkatan dari kata Demetraki, yang berasal dari bahasa Yunani yaitu Demetrius, dan nomor 183 berasal dari alamatnya , Jalan 183 di Washington Heights. Lihat Joel Siegal, “When TAKI Ruled Magik Kingdom”, (Daily News, April 9, 1989). 21Boland Jr. “Taking TAKI’s Tag”, (The New York Times, 15 Juni, 2003).

24

Pada akhir tahun 1960-an telah terjadi kerusuhan tragis terhadap kaum kulit

hitam. Akibatnya, terjadilah penjarahan di pemukiman orang-orang kulit hitam

Amerika Serikat. Pada saat itu dinding pemisah antara kulit putih dan kulit hitam

begitu terasa. Hak-hak sipil sulit diterima oleh penduduk minoritas Amerika Serikat

khususnya warga kulit hitam, karena itu sebagian dari mereka berinisiatif untuk

melakukan perlawanan demi merebut kembali hak-hak mereka. Lima puluh tokoh

blues, jazz, dunia teater, politikus, agamawan, sastrawan, dan olahragawan,

umumnya dipilih untuk menjadi karakter dari beberapa kelompok seniman fotografer

dan pelukis.

William Walker dan OBAC Association22 menjadi salah satunya, dengan

menjadikan sebuah bangunan menjadi dinding aspirasi masyarakat kulit hitam untuk

menyatakan kritik dan protes terhadap kebijakan pemerintah. Bangunan tersebut

diberi nama Wall of Respect, yang bertujuan untuk mendefinisikan kembali dan

memberitahukan beberapa kejadian ketidakadilan yang dialami orang kulit hitam di

Amerika Serikat.

Ketegangan politik dan sosial yang berjalan tinggi di pemukiman orang-orang

kulit hitam, menjadikan Wall of Respect menjadi tren positif masyarakat sebagai

sebuah media baru. Dengan segera dinding tersebut menunjukkan korelasi langsung

dengan perjuangan hak-hak sipil. Wall of Respect juga menjadi obyek wisata yang

22William Walker lahir di Birmingham, Alabama pada tahun 1927 Meskipun lahir di Selatan, ia dibesarkan di Chicago. William Walker adalah muralis terkenal di Chicago. Dia adalah salah satu pendiri Organisasi for Black American Culture (OBAC) dan salah satu pemimpin dalam proyek Wall Of Respect. Dia juga salah satu pendiri penting dari gerakan mural di Chicago pada 1960-an. Lihat http://www.chicagoreader.com/chicago/back-to-the-walls/Content?oid=906406 (akses 14/03/15).

25

dikunjungi oleh ratusan orang yang penasaran untuk berbagi pandangan mereka

dengan para seniman. Dinding tersebut didukung dan dilindungi langsung oleh geng

di lingkungan setempat. Dinding menjadi tempat yang netral, simbol kebanggaan

menjadi hitam, tempat pertemuan di mana orang mengajarkan anak-anaknya sejarah

kulit hitam Amerika Serikat.23

Selain Wall of Respect, di tahun 1969 juga terdapat kasus yang sama. Yaitu

sebuah bangunan tua yang disulap menjadi dinding aspirasi, dikenal dengan nama

Wall of Truth. Gambar dari mural di Wall of Truth memperihatkan kondisi

masyarakat tentang kelaparan, kemiskinan, kekerasan xenophobia24, perjuangan, dan

solidaritas etnis.25

3. Mural di Irlandia Utara

Mural telah menjadi simbol Irlandia Utara, yang menggambarkan perpecahan

politik dan agama dari dulu hingga sekarang. Irlandia Utara merupakan salah satu

bagian dari Britania Raya. Konflik Irlandia Utara memiliki latar belakang yang

sangat panjang secara historis. Etnis Kelt yang mendiami kepulauan Britania

termasuk pulau Irlandia, saat itu dikuasai oleh kekaisaran Romawi kemudian bangsa

Romawi mewariskan peradaban dan kebudayaannya kepada orang-orang Kelt di

23Laetitia Espanol. The Chicago Mural Group, Art society, (Boston: Editions L’Harmattan, 2006), h, 55. 24Xenofobia adalah perasaan ketidaksukaan atau ketakutan terhadap orang-orang dari negara lain, atau yang dianggap asing. Beberapa definisi menyatakan xenofobia terbentuk dari keirasionalan dan ketidak masuk akalan. Berasal dari bahasa Yunani xenos, artinya orang asing, dan phobos, artinya ketakutan. Lihat Guido Bolaffi. Dictionary of race, ethnicity and culture, (London: SAGE Publications, 2003). h. 332. 25Mary Lackritz Gray. A Guide to Chicago's Murals, (Chicago: University Of Chicago Press, 2001), h. 25. Lihat lampiran 2.3.

26

kepulauan Britania, termasuk agama Katolik Roma. Pada abad ke-5 kekaisaran

Romawi runtuh dan menyebabkan mereka pergi meninggalkan kepulauan Britania,

setelah itu kemudian bangsa Anglo menginvasi kepulauan Britania. Itulah awal

terjadinya permusuhan yang berujung pada konflik etnis, antara Kelt dan Anglo.

Kepulauan Britania yang telah diwarisi oleh peradaban dan kebudaan Romawi,

akhirnya secara perlahan tersingkirkan oleh kebudayaan Anglo.26

Etnis Kelt yang tersebar di kepulauan Britania secara perlahan menjadi

terpusat di wilayah pulau Irlandia. Dari cikal bakal itulah maka etnis Kelt lahir

menjadi orang-orang Irish, sementara etnis Anglo menjadi cikal bakal lahirnya

orang-orang English.

Pada tahun 1592 kerajaan Inggris memutuskan untuk keluar dari struktur

Gereja Katolik Roma dan kemudian membuat Gereja Nasional. Namun, orang-orang

Irlandia tidak lantas mengikuti hal tersebut karena orang-orang Kelt masih banyak

terpengaruh oleh kebudayaan Romawi. Maka ketika terjadinya penutupan gereja-

gereja Katolik Roma akibat kebijakan kerajaan Inggris, orang-orang Katolik Roma

yang berada di Irlandia menjadi tidak simpatik terhadap Inggris, hal tersebut

berujung pada tindakan diskriminasi terhadap orang-orang Irlandia. Oleh sebab itu

orang-orang Irlandia menjadikan agama Katolik Roma mereka sebagai bentuk dan

sikap anti Inggris. Berawal dari alasan ini, maka lahirnya konflik yang bersifat

26Keogh Dermot. Northern Ireland and the Politics of Reconciliation, (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), h. 55.

27

sentimen agama atau sektarianisme,27 ditambah lagi pada tahun 1690 William of

Orange (Protestan) memenangkan pertempuran terhadap James II (Katolik)28,

membuat kebencian mereka semakin kuat.

Hingga abad ke-19 kerajaan Inggris tetap memegang kekuasaan dan orang-

orang Katolik terus mengalami diskriminasi. Maka pada pertengahan abad ke-19

muncul benih-benih nasionalisme pada masyarakat Irlandia di mana nilai

kebanggaan kebangsaan masa lalu dikobarkan untuk bersatu melawan dominasi

Inggris. Pada tahun 1921 Inggris memutuskan untuk menyetujui didirikannya Irish

Free State (Negara Irlandia Merdeka), akan tetapi Inggris tetap berkuasa atas

sebagian pulau Irlandia dengan tetap menguasai Ulster (wilayah Irlandia bagian

utara) dengan dalih untuk melindungi hak rakyat yang tetap menginginkan berada di

bawah kekuasaan Inggris, karena wilayah tersebut merupakan tempat bermukimnya

orang-orang keturunan Inggris. Hal tersebut membuat peluang konflik menjadi

semakin besar, konflik antara orang-orang Nasionalis Irlandia yang menginginkan

pulau Irlandia merdeka secara penuh dan membebaskan Ulster dari Inggris, dengan

orang-orang Ulster yang bersikeras ingin tetap bergabung bersama Inggris.29

27Richard Jenkins. Rethinking Ethnicity: Arguments and Explorations, (London: SAGE Publications, 1997) h. 120 28Kemenangan Pangeran William menyebabkan James II melepaskan tanggung jawab dan melarikan diri ke Perancis pada akhir tahun. Hal tersebut memberikan efek mendalam bagi orang Irlandia. Penduduk asli Irlandia pada abad kemudian menjadi sasaran sistem hukum yang kejam. Sistem hukum tersebut mengakibatkan terjadinya pemblokiran kemajuan politik, ekonomi mereka dan membuat kaum tani tetap dalam kemiskinan. Lihat Richard Jenkins, Rethinking Ethnicity: Arguments and Explorations, (London: SAGE Publications, 1997) h. 141 29Alasannya terjadinya perbedaan dua kubu tersebut karena mereka menganggap dirinya berbeda secara budaya, etnis dan kepercayaan dengan orang-orang asli Irlandia, bahkan secara agama pun mereka mayoritas menganut Protestan. Lihat Richard Jenkins, Rethinking Ethnicity: Arguments and Explorations, h. 149.

28

Puncaknya, pada tahun 1966 terjadilah konflik di Irlandia Utara. Konflik

tersebut dipicu karena orang-orang Katolik yang tinggal di Irlandia Utara

diperlakukan secara diskriminatif, baik sosial, politik, dan ekonomi, oleh orang-

orang pemerintahan (Protestan). Irlandia Utara merupakan wilayah yang

mayoritasnya penganut paham Protestan dan orang-orang yang loyal terhadap

Inggris (Unionis), sementara orang-orang Katolik yang menginginkan Irlandia Utara

bebas dari Inggris (Nasionalis) menjadi minoritas di wilayah ini.30

Konflik sengit antara orang-orang Protestan dan Katolik di Irlandia Utara

dikenal dengan nama The Troubles. Konflik yang berlangsung beberapa dekade

tersebut memunculkan gambar-gambar dan slogan-slogan yang dibuat pada dinding-

dinding kota dan daerah pemukiman.31

Kemunculan lukisan-lukisan dinding di Irlandia berawal setelah seratus tahun

pertempuran Boyne, ketika sebuah organisasi dibentuk untuk merayakan

kemenangan Pangeran William. Beberapa pawai digunakan sebagai bentuk

penghormatan terhadap jasa Pangeran William yang mereka anggap sebagai sosok

manusia taat, mulia dan abadi, karena ia telah memberikan agama Protestan di

Irlandia. Kebebasan, agama, dan hukum adalah saksi keberhasilan Pangeran William

yang menjadikan kebanggaan orang-orang Protestan di Irlandia. Biasanya pawai

dilakukan oleh semua golongan Protestan di Irlandia, pawai tersebut berisi barisan

marching band dan spanduk. Spanduk dilukis dengan sangat cermat oleh para

30Gordon Gillespie, Historical Dictionary of the Northern Ireland Conflict, (Amerika Serikat: scarecrow press), h. 250 31Sumber: http://www.bbc.co.uk/history/troubles, (Akses:12/1/15).

29

seniman. Lukisan tersebut menunjukkan pemandangan kekuasaan kekaisaran

Inggris, cerita dari Alkitab, dan lainnya. Tapi gambar yang paling dominan adalah

sosok Raja Billy yang sedang menyeberangi Boyne dengan penuh kasih sayang di

atas kudanya.32

Pada awal abad ke-20 gambar-gambar tersebut mulai dipindahkan ke gable

dinding, di mana semua orang dapat melihat gambar tersebut setiap waktu bukan

hanya sekali dalam setahun pada saat hari perayaan. Beberapa tema lain juga dibuat,

seperti pertempuran Somme atau tenggelamnya kapal Titanic yang digambar di

Belfast. Tetapi gambar dari sosok Raja Billy tetap menjadi yang utama. Setiap

wilayah yang dihuni oleh kalangan Protestan selalu bersaing untuk menggambar

sosok Raja Billy dan Boyne.33

Sebelum terjadi partisi pada tahun 1921, mereka menaruh perhatian khusus

terhadap penduduk Unionis di Irlandia Utara yang sedang melakukan perayaan

sebagai bentuk solidaritas, setelah negara Irlandia Utara terbentuk dari pertumpahan

darah dan dibangun di atas diskriminasi. Mural telah menjelma menjadi sesuatu yang

sangat penting bagi masyarakat Unionis.

Tetapi di Irlandia Utara pada kuartal terakhir abad ke-20 merupakan tempat

yang sangat berbeda dari apa yang telah terjadi sebelumnya. Diskriminasi yang terus

dilakukan terhadap orang-orang Katolik, membuat para kaum Nasionalis (Katolik)

32Bill Rolston. The War of The Walls: Political Murals in Northern Ireland. (Belfast: University of Ulster, 2003), h. 39. 33Bill Rolston. The War of The Walls: Political Murals in Northern Ireland, h. 40.

30

melakukan aksi demonstrasi tentang hak-hak sipil. Namun, beberapa aktifis kampanye hak-hak sipil dipukuli di jalanan, dan beberapa tentara Inggris juga turunkan sebagai bentuk dari legitimasi negara runtuh. Administrator Inggris menuntut politisi dan birokrat lokal bertindak adil dan inklusif, organisasi militer yang loyal terhadap Inggris seperti Ulster Defence Association (UDA) dan Ulster

Volunteer Force (UVF) membantai penduduk Katolik dan Irish Republican Army

(IRA).34 Akibat dari kejadian itu aktivis pro-Irlandia menyatakan sikap perang terhadap institusi Inggris di Irlandia. Mural yang pada awalnya berisikan gambar

Raja Billy untuk beberapa waktu digantikan dengan gambar hiasan bendera, mahkota, Alkitab, dan simbol mati lainnya.35

Setelah IRA mengambil alih Irlandia Utara pada akhir tahun 1970-an, lukisan mural dari pro-Irlandia (Nasionalis) mulai bermunculan. Mural tersebut muncul untuk memperjuangkan suara politik yang lebih besar dan menyerukan bersatunya kembali Republik Irlandia. Mural-mural yang dibuat oleh kaum Nasionalis lebih bersifat perlawanan dan lebih mempunyai variasi genre yang beragam seperti, aksi mogok makan dan lukisan para tokoh tahanan sebagai korban sistem pemerintahan

Inggris. Namun selain berisikan masalah internal, kaum Nasionalis juga membuat mural yang bertemakan internasional. Tema tersebut berisikan dukungan dan rasa simpatik mereka terhadap penderitaan berbagai kelompok global yang sedang mengalami penindasan. Aksi ini dilakukan sebagai bentuk solidaritas mereka

34Bill Rolston. The War of The Walls : Political Murals in Northern Ireland, h, 41 35Kerr R. Republican Belfast: A Political Tourists Guide, (Belfast: MSF Press, 2008). h, 60

31

terhadap negara atau kelompok yang juga sedang mengalami konflik.36 Mural

internasional berkaitan dengan peristiwa di Afrika Selatan, Nikaragua, dan Palestina,

serta lukisan mural dengan ikon tokoh global terkenal seperti Che Guevara, Nelson

Mandela, Martin Luther King, dan Malcolm X.37

Berbagai tema menunjukkan bahwa mural produksi kaum Nasionalis

merupakan karya dari masyarakat pro-Irlandia yang meliputi kelompok-kelompok

komunitas, aktifis politik dan aktifis militer. Tidak seperti mural Unionis yang hanya

diperintahkan oleh kelompok sipil bersenjata yang mendominasi daerah setempat.

Selain itu, mural produksi kaum Nasionalis juga banyak berisikan opini publik dari

para muralis.

Sejak saat itulah mural kaum Nasionalis Irlandia Utara telah berkembang

menjadi simbol keyakinan, bahwa waktu berada di pihak mereka. Meskipun

merupakan pendatang baru dalam proses pembuatan mural, namun mural mereka

lebih memiliki visi dan keyakinan akan terjadinya sebuah perubahan yang tidak

dapat dihindarkan, sehingga menampilkan sikap kepercayaan diri dan kegembiraan

yang terlihat jelas.

4. Mural di Palestina

Beberapa kasus di negara-negara tersebut merupakan contoh bagaimana seni mural memainkan peran lebih dari sekedar pengantar pesan singkat yang sederhana.

36Bill Roston. “The Brothers on The Walls : International Solidarity and Irish Political Mural”, Jurnal of Black Studies, vol 39, no.3, (Northern Ireland : University of Ulster, 2009), h. 451 37Bill Roston. The Brothers on The Walls : International Solidarity and Irish Political Mural, h. 458.

32

Mural menunjukkan tampilan aspek budaya dan sejarah dengan cara komunikasi dua arah antara gambar dengan audiens. Di Palestina sendiri, selama Intifadha pertama mural telah mengubah dinding-dinding jalan dan bangunan menjadi monumen kesaksian atas pergolakan yang terjadi selama masa pendudukan Israel.

Perlawanan Israel terhadap perjuangan nasionalisme Palestina telah muncul sejak 1967 silam. Di wilayah pendudukan, mereka membuat kebijakan untuk tidak mentolerir tanda-tanda visual nasionalisme Palestina. Salah satu metode efektif yang digunakan rakyat Palestina selama intifada adalah dengan menggunakan dinding.38

Ini merupakan cara untuk mengedarkan informasi dan melambangkan perlawanan.

Israel mencoba menekan tindakan seperti ini, mereka memerintahkan warga Palestina agar tidak melukis dinding dengan tema nasionalistik. Dunia pers melihat insiden tentara Israel ini dinilai menarik, rakyat Palestina akan berada di bawah todongan senjata Israel untuk mengecat ulang dinding yang telah dilukis.39 Ini merupakan gambaran bahwa sebuah pemerintahan yang demokratis akan merasa terancam oleh gambar visual yang diekspresikan melalui mural.

Kepemimpinan Palestina percaya akan keefektifan dari seni jalanan tersebut, selanjutnya gerakan bawah tanah memberikan perintah kepada anggotanya untuk menggerakkan para pemuda Palestina melakukan kampanye lukisan bendera

Palestina pada setiap dinding pada bangunan-bangunan di wilayah pendudukan yang secara simbolis hal ini menandakan sebagai wilayah Palestina.

38Julie Peteet. “The Writing on the Walls: The Graffiti of the Intifada”, Cultural Anthropology, Vol. 11, No. 2. May, 1996) h. 139. 39Abdul Jawad Saleh. Israel’s Policy of De-Institutionalization. (London: Jerusalem Center for Development Studies, 1987), h. 89.

33

Selang beberapa waktu ketika perlawanan graffiti mulai popular di kalangan rakyat Palestina, mereka selanjutnya mengembangkan dinding menjadi seperti sistem media massa. Pembahasan isu serta dengungan peringatan, mewarnai bentuk perlawanan nonfisik ini dan keberadaan mereka pun dapat membuat Israel merasa terusik. Akibatnya, Israel berusaha menutupi layar dinding tersebut. namun secepat mereka menutupinya, secepat itu pula mural baru kembali muncul.40

Menjelang masa intifadha pertama berakhir, dinding selain sebagai bentuk perlawanan nasional dan media massa, juga sebagai media pembaca konflik kepemimpinan internal Palestina. suatu organisasi Islam seperti Hamas dan organisasi nasionalis seperti PLO atau Fatah, saling serang menyerang masalah ideologi serta kepemimpinan Palestina. Mereka menggunakan dinding sebagai sumber sirkulasi informasi kepada khalayak luas. Terlepas dari hal itu, dalam menilai seni jalanan selama Intifadha, adanya respon Israel telah membuktikan keefektifan perlawanan non-fisik tersebut. Namun, strategi non-fisik bukan menjadi hal baru bagi rakyat

Palestina. Pada periode sebelum Intifadha dimulai, perlawanan non-fisik telah turut mewarnai perjuangan Palestina untuk melengserkan pendudukan Israel.

40Julie Peteet. “The Writing on the Walls: The Graffiti of the Intifada”, Cultural Anthropology, Vol. 11, No. 2. May, 1996) h. 140.

BAB III

BENTUK BARU RESISTENSI PALESTINA

A. Palestina

Palestina (Arab: Filastin) merupakan wilayah yang terletak di kawasan Asia

Barat, di antara laut Mediterania dan laut Yordan. Palestina di dalam ajaran Yahudi disebut dengan istilah “Tanah yang dijanjikan” atau ada juga yang menyebutnya

“Tanah suci”, karena Palestina merupakan tempat dari tiga agama besar di dunia yaitu: Islam, Kristen dan Yahudi. Secara historis wilayah ini juga dikenal dengan nama-nama seperti; Kanaan, Suriah Selatan dan Kerajaan Yerusalem.1 Palestina juga terletak di daerah yang amat strategis yaitu antara Mesir, Suriah dan Jazirah Arab.

Karena lokasinya terletak di pertengahan negara-negara Arab, Palestina membentuk kombinasi geografis yang natural dan humanistik bagi medan terestrial yang luas.

Tanah Palestina mempunyai keistimewaan dibanding dengan daerah lain, karena Palestina merupakan bagian dari tempat bercokolnya semua agama samawi, tempat di mana peradaban kuno muncul, menjadi jembatan aktivitas komersial dan tempat penyusupan ekspedisi militer di sepanjang era bersejarah yang berbeda.

Lokasi strategis yang dinikmati Palestina memungkinkannya untuk menjadi faktor penghubung antara berbagai benua : Asia, Afrika dan Eropa.2 Palestina juga menjadi tempat yang dijadikan pintu masuk bagi perjalanan ke negara-negara tetangga. Ia

1Simon S. Montefiore. Jerusalem: The Biography. (New York: Alfred A. Knopf, 2011), h. 33. 2Kemal H. Karpat. Studies on Ottoman Social and Political History: Selected Articles and Essays. (Boston: Brill, 2002), h. 313.

34 35

menjadi jembatan penghubung bagi manusia sejak dahulu, sebagaimana ia juga menikmati lokasi sentral yang memikat sebagian orang untuk bermukim dan hidup dalam kemakmuran.

Namun dibalik letaknya yang strategis, bukan rahasia umum lagi bahwa dari dahulu hingga kini wilayah Palestina selalu menjadi perebutan. Palestina telah dikuasai oleh berbagai bangsa, yaitu : Mesir Kuno, bangsa Kanaan, Bani Israil,

Assyiria, Babilonia, Farsi, Yunani Kuno, Romawi, Romawi Timur, Kekhalifahan

Arab Sunni, Kekhalifahan Fatimiyah Syi’ah, Salibi, Ayyubiyah, Mamluk, Turki

Utsmani, Britania (Inggris Raya) dan yang terkini Pendudukan tanah Palestina oleh bangsa Israel, yang menyatakan berhak atas tanah Palestina.

B. Konflik Palestina – Israel

Konflik antara orang Arab Palestina – Israel merupakan sebuah fenomena modern yang muncul sejak akhir abad ke-19 Masehi. Meskipun kedua kelompok memiliki kepercayaan yang berbeda (Palestina: Muslim, Kristen, dan Druze), perbedaan agama bukanlah penyebab perselisihan.3 Sebab konflik dimulai dengan alasan kepemilikan hak atas tanah, sehingga terjadilah perebutan terhadap tanah tersebut.

Konflik berawal ketika gerakan Zionisme atau nasionalisme Yahudi yang dipopulerkan oleh seorang jurnalis berkebangsaan Austria bernama Theodore Herzl,

3Charles D Smith. Palestine and the Arab Israel Conflict, (Indiana: Bedford, 2007), h. 24.

36

mulai marak di Eropa sebelum tahun 1920-an.4 Gerakan ini menyebabkan terjadinya perpindahan masyarakat Yahudi dari Eropa ke kawasan Timur Tengah. Sementara pada saat itu, kawasan Timur Tengah termasuk wilayah Israel atau Palestina (pada saat ini) masih berada di bawah kekuasaan Turki Utsmani. Eksistensi kekuasaan

Turki Utsmani di kawasan Timur Tengah berakhir setelah mengalami kekalahan pada

Perang Dunia I. Kekalahan tersebut tidak hanya disebabkan oleh Inggris atau

Perancis, melainkan juga oleh bangsa Arab sendiri. Bangsa Arab yang berada di bawah kekuasaannya (baca: Turki Utsmani) melakukan pemberontakan kepada pemerintahannya sendiri. Hal tersebut dilakukan dengan dalih janji Inggris, bahwa

Inggris akan membantu mereka untuk membentuk sebuah pemerintahan Arab yang independen apabila mereka mau melawan pemerintahan Turki Utsmani. Janji Inggris kepada bangsa Arab ini tertuang dalam korespondensi antara Sir Mac Mahon (pejabat

Inggris di Kairo) dengan Sharif Hussein (tokoh bangsa Arab) yang dikenal dengan

Hussein-Mac Mahon Correspondence.5

Akan tetapi, janji Inggris terhadap bangsa Arab tersebut tidak segera diwujudkan. Inggris bersama dengan Perancis justru membuat perjanjian bilateral yang membagi eks-wilayah pemerintahan Turki Utsmani untuk negara-negara Eropa.

Perjanjian ini dikenal dengan sebutan Sykes-picot Agreement. Dalam perjanjian tersebut, Inggris mendapatkan Yordania, Irak, dan sebagian wilayah Haifa, sedangkan

Perancis mendapatkan wilayah Turki, Irak bagian utara, Suriah dan Lebanon.

4R. Garaudy, The Case of Israel: a Study of Political Zionism, (London: Shorauk, 1983), h. 4 5Howard Morley Sachar. The Course of Modern Jewish History – The Classic History of the Jewish People, From the Eighteenth Century to the Present Day. (New York City: Dell Publishing, 1977), h. 370.

37

Sementara itu, negara-negara Eropa lain dibebaskan untuk memilih wilayah yang ingin dikuasainya.6 Dalam Sykes-picot Agreement, wilayah Palestina belum diserahkan kepada negara manapun, sehingga Palestina menjadi sebuah wilayah internasional yang dikelola bersama oleh negara-negara pemenang perang.

Terdapatnya Sykes-picot Agreement membuat bangsa Arab tidak mendapatkan eks-wilayah kekuasaan Turki Utsmani dan tidak mungkin dapat membentuk pemerintahan Arab yang independen. Namun di saat bersamaan, Inggris justru berjanji mendukung pendirian negara Yahudi di Palestina.7 Dukungan Inggris tersebut tertuang dalam dokumen Balfour Declaration yang menjadi landasan bagi gerakan Zionisme untuk membentuk sebuah negara Yahudi di Palestina. Terdapatnya janji-janji Inggris, baik kepada pihak Arab ataupun Yahudi telah membuat kedua bangsa ini merasa berhak atas wilayah Palestina dan merasa mendapat dukungan dari

Inggris.8 Hal ini yang kemudian melatarbelakangi terjadinya konflik panjang antara

Arab – Yahudi hingga merubahnya menjadi konflik Palestina – Israel seperti sekarang ini.

Selama konflik antara Palestina-Israel, lanskap perlawanan mereka khususnya

Palestina lebih sering terlihat melalui jalur fisik yang dilakukan oleh faksi-faksi politiknya serta perlawanan non fisik yang dilakukan oleh Otoritas Palestina melalui negosiasi-negosiasi perdamaiannya. Namun terlepas dari hal itu, peran rakyat sipil

6David Fromkin. A Peace to End All Peace: The Fall of the Ottoman Empire and the Creation of the Modern Middle East, (New York: Owl, 1989), h. 283. 7Sahar Huneidi. A Broken Trust: Sir Herbert Samuel, Zionism and the Palestinians, (London: I.B. Tauris, 2001), h. 261. 8David Fromkin. A Peace to End All Peace: The Fall of the Ottoman Empire and the Creation of the Modern Middle East, h. 290.

38

Palestina tidak dapat dipisahkan dari perjuangan bangsa tersebut. Mereka tidak berjuang menggunakan senjata, akan tetapi dengan keterbatasannya, rakyat Palestina melakukan aksi-aksi pembangkangan sipil yang cukup merugikan pihak Israel. Aksi tersebut dikenal dunia dengan istilah Nonviolent Resistance.

C. Perlawanan Non Kekerasan Palestina

Nonviolent Resistance atau sebagaimana Mahatma Gandhi kerap sebut dengan perlawanan tanpa tindak kekerasan, adalah praktik untuk mencapai tujuan tertentu melalui protes simbolik, pembangkangan sipil, menolak bekerjasama baik sektor ekonomi maupun politik, atau metode lain tanpa menggunakan kekerasan.

Pada dasarnya istilah ini acapkali diidentikkan dengan perlawanan sipil, namun hal itu merupakan sebuah kekeliruan. Masing-masing istilah (perlawanan non kekerasan dan perlawanan sipil) memiliki karakter serta konotasi berbeda.9

Aksi non kekerasan bukan berarti menunjukkan sikap lemah atau pasif. Pada dekade abad lalu, di beberapa negara, gerakan rakyat telah menggunakan metode- metode non kekerasan yang berhasil menggulingkan rezim penindas, menggagalkan kudeta militer dan membela Hak Asasi Manusia. Dari tahun 1966 sampai 1999, perlawanan sipil tanpa kekerasan memainkan peran penting pada sebuah transisi dalam otoritarianisme. Terakhir, perlawanan tanpa kekerasan telah menyebabkan

Revolusi Rose di Georgia dan Revolusi Orange di Ukraina,10 termasuk perlawanan

9Scott Bennett. Radical Pacifism: The War Resisters League and Gandhian Nonviolence in America, 1915-1963, (Syracuse : Syracuse University Press, 2003), h. 6 10Judith Hand, A Future Without War: The Strategy of a Warfare Transition, (San Diego, CA: Questpath Publishing, 2006), h. 22

39

mahasiswa Indonesia saat menumbangkan Orde Baru menuju Orde Reformasi.

Banyak gerakan yang mengadopsi metode non-kekerasan sebagai cara yang efektif untuk mencapai tujuan sosial dan politik. Mereka menggunakan taktik perlawanan non kekerasan seperti: perang informasi, pawai, demonstrasi, leafleting, komunitas pendidikan guna meningkatkan kesadaran, menolak membayar pajak, aksi boikot, general strike, protes melalui musik dan protes melalui seni.11 Aksi non-kekerasan berbeda dari pasifisme, karena mereka berpotensi menjadi proaktif dan intervensi.

Pada kasus di Palestina, kisah perlawanan mereka dengan bentuk fisik telah sangat dikenal, sementara hal yang sama pentingnya juga terjadi pada perlawanan non-fisik Palestina yang hampir tak terhitung jumlahnya. Perlawanan non-fisik dimulai semenjak periode mandat, ketika Inggris melakukan kontrol kolonial atas

Palestina yang dikenal dengan General Strike pada tahun 1936. General strike dipanggil untuk memprotes kebijakan kolonial Inggris yang mengesampingkan masyarakat lokal dari proses pemerintahan. Aksi pemogokkan tersebut berlangsung selama enam bulan, sehingga menjadikan aksi pemogokkan umum terpanjang dalam sejarah modern. Untuk mempertahankan aksi pemogokkan selama berbulan-bulan, diperlukan sebuah kerjasama yang besar dan sistem perencanaan yang baik pada tingkat lokal. Hal ini juga melibatkan pembentukkan lembaga alternatif oleh Palestina untuk menyediakan kebutuhan ekonomi.12 Pemogokkan serta tindakan yang menyertainya, akhirnya menemui dilema yang kemudian dihadapi oleh banyak

11Jamal Dajani. Deporting Gandhi from Palestine. The World Post, 06/16/2010. (Sumber: http://www.huffingtonpost.com/jamal-dajani/deporting-gandhi-from-pal_b_540270.html, akses,7/2/14) 12Michael Bröning, The Politics of Change in Palestine. State-Building and Non-Violent Resistance. (London: Pluto Press, 2011), h. 43.

40

gerakan perlawanan non-kekerasan Palestina. Mereka ditindas secara brutal oleh pemerintah Inggris dan banyak dari para pemimpin pemogokkan itu akhirnya tewas, dipenjara, atau diasingkan. Akan tetapi, represi ini tidak mencegah pengalaman serta inspirasi dari general strike dan tindakan-tindakan lain terhadap pembangkangan sipil untuk menjadi model perlawanan bagi generasi masa depan aktifis Palestina.13

Satu generasi melihat upaya ini berguna untuk membangun bentuk-bentuk baru perlawanan terhadap tindak penindasan, dan generasi berikutnya harus menggunakan memori sejarah yang telah disediakan dalam perjuangan sebelumnya untuk memulai kembali serta menciptakan strategi baru perlawanan Palestina.

D. Bentuk Non Kekerasan Palestina 1967-1987

Selama perang 1967, Israel telah menduduki Tepi Barat termasuk Yerusalem

Timur, bersama dengan dataran tinggi Golan, Jalur Gaza, dan semenanjung Sinai.

Namun, perdebatan terjadi di dalam masyarakat Israel sendiri. Mereka memperdebatkan bagaimana cara mengontrol wilayah yang baru saja ditaklukkan.

Karena bagi beberapa orang Israel, situasi ini merupakan keuntungan permanen dan sebagai bagian dari keinginan mereka untuk mengontrol sejarah Palestina dan menciptakan Israel Raya. Hal ini menyebabkan periode pendudukan di Palestina mengalami pergeseran, militer Israel, dan pemerintahan sipil.

Lebih dari 1.400 aturan dan perintah militer, bersamaan dengan peraturan darurat British yang tersisa dari periode mandat dan hukum Turki Utsmani, menjadi

13Michael Bröning, The Politics of Change in Palestine. State-Building and Non-Violent Resistance, h. 50.

41

dasar pemerintahan militer atas rakyat Palestina yang tinggal di Gaza dan Tepi Barat.

Akibatnya, kekerasan dan penindasan merupakan bagian yang konsisten dari pengalaman tersebut. Pemerintah militer Israel telah menangkap dan menahan lebih dari setengah rakyat Palestina di wilayah pendudukan.14 Sekitar tahun 1967 – 1987 telah lebih dari 2.000 warga Palestina dideportasi dari wilayah pendudukan, lebih dari

1.560 rumah warga Palestina dihancurkan, dan segala bentuk kebebasan pendidikan dan kebudayaan yang erat dibatasi: sekolah secara rutin ditutup, dan lebih dari 1.600 buku dilarang oleh pemerintah Israel di wilayah Pendudukan.15

Dalam menghadapi keadaan umum dari represi tersebut, tindakan sederhana dari kehidupan sehari-hari seperti, bekerja, pergi ke sekolah, serta merawat seorang keluarga (akses rumah sakit ditutup oleh militer Israel, mereka tidak diizinkan beroperasi), menjadi tindakan pembangkangan sipil. Istilah sumuod (kesabaran atau keteguhan) merupakan kata yang sering didengungkan pada perjuangan sehari-hari untuk bertahan hidup dalam menghadapi pendudukan. Namun bagaimana pun, rakyat

Palestina terus mencari outlet kreatif sebagai bentuk resistensi terhadap tindak kekerasan pendudukan.16

14Menurut pakar hukum Lisa Hajjar pada tahun 1967-1987 jumlah penduduk Palestina yang tinggal di wilayah Gaza dan Tepi Barat sekitar 1,5 juta jiwa. Dalam artikel, Joel Beinin dan Lisa Hajjar, Palestine, Israel and the Arab Conflict A Primer. (The Middle East Research and Information Project, 2014), h. 2. 15Periode tersebut muncul bersamaan dengan kebijakan pemukiman, agresif dilakukan pemerintah Israel. pada tahun 1967 hingga 1987, sekitar 135 pemukiman dengan total 175.000 pemukim, dibangun di Tepi Barat, bersamaan dengan 12 pemukiman dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000 pemukim di Jalur Gaza. Disamping itu, kehadiran militer secara besar-besaran diperlukan untuk membuat pemukiman ini menjadi legal. Para pemukim sendiri mewakili paramiliter besar di wilayah pendudukan. Lihat, Joel Beinin dan Lisa Hajjar, Palestine, Israel and the Arab Conflict A Primer, h. 7. 16Rashid Khalidi. Palestinian Identity. (New York: Columbia University Press, 1998), h. 108

42

Bentuk besar dari perlawanan Palestina selanjutnya adalah dengan mengembangkan institusi dan kepemimpinan alternatif pada tahun 1970-an.17

Sepanjang periode ini, sejumlah organisasi akar rumput yang berbeda juga muncul untuk menyediakan institusi dan kepemimpinan alternatif. Institusi muncul sebagai upaya melengkapi institusi resmi Palestina yang sedang berjuang memberikan pendidikan, perawatan kesehatan, dan kebutuhan dasar lainnya untuk rakyat Palestina yang tinggal di wilayah Pendudukan. Proyek perlawanan non-fisik semakin terlihat bergerak dari strategi protes, non-kerjasama, dan kesabaran, menuju strategi yang dirancang untuk membangun sesuatu kehidupan yang layak bagi Palestina. Berikut lembaga-lembaga yang muncul pada periode ini:

1. Komite Perempuan : Gerakan perempuan telah aktif dalam politik

Palestina sejak awal abad ke-20 (kongres pertama perempuan Arab yang

diadakan di Yerusalem pada tahun 1929), gerakan ini mengambil peran

penting dalam protes terhadap kolonial inggris dan ikut serta pada aksi

general strike 1936.18 Namun, aksi brutal yang dilakukan Inggris

membuat gerakan ini terpaksa dibubarkan. Dan pada tahun 1965, Gerakan

Union Perempuan Palestina kembali dibentuk. Tetapi gerakan tersebut

mulai berperan aktif pada tahun 1970-an. Gerakan ini bekerja berdasarkan

17Terkadang hal ini membutuhkan semacam formulir resmi. Misalnya, dalam pemilihan daerah yang diselenggarakan pada tahun 1976, rakyat Palestina sangat banyak memilih anggota partai nasionalis untuk ditempatkan pada posisi kepala daerah. Meskipun demikian, banyak tokoh tersebut yang selanjutnya dipenjara atau diasingkan oleh pasukan Israel. Pada tahun 1981, badan-badan politik lokal membuat semacam lembaga baru, Lajnat al Tawjih (Komite Bimbingan), sebagai langkah menyediakan kepemimpinan nasional untuk melakukan perlawanan terhadap pendudukan. Akan tetapi, sekali lagi Israel banyak menangkap anggota dari kelompok ini. Lihat Awad Mubarak, “Non-Violent Resistance: A Strategy for the Occupied Territories,” Journal of Palestine Studies 13 (University of California Press, Summer 1984, h. 34). 18Selengkapnya lihat lampiran 3.1

43

penguatan terhadap peran perempuan dalam perjuangan melawan

pendudukan. Tujuan dari komite ini adalah untuk meningkatkan nilai

produktifitas pendidikan bagi kaum perempuan.

2. Serikat Buruh dan Relawan Komite Kerja : Peran serikat buruh mulai

tumbuh setelah tahun 1970-an, khususnya mengingat kesulitan yang

dihadapi para pekerja Palestina. Serikat buruh berjuang untuk

mendapatkan hak asuransi kesehatan, upah dan kondisi kerja yang lebih

baik, serta hak untuk arbitrase bagi pekerja di wilayah Pendudukan. Upaya

ini dilakukan untuk memperluas aktivitas serikat buruh untuk masyarakat

Palestina yang bekerja di Israel, namun hal itu ditentang oleh serikat buruh

Israel, Histadrut. Sementara itu, Komite Relawan Kerja dibentuk secara

kolektif di seluruh wilayah pendudukan untuk menyediakan pemuda

Palestina dengan memberikan kesempatan guna turut ambil bagian dalam

proyek-proyek komunitas.

3. Pergerakan Pemuda dan Mahasiswa serta Organisasi Narapidana :

Basis pergerakan mahasiswa Palestina yang terorganisir dapat ditelusuri

dari tahun 1950-an dengan pembentukan Federation of Palestinian

Students di Kairo dan pengorganisasian mahasiswa di Gaza. Pada awal

tahun 1980-an, mahasiswa berada di garis depan dalam pengorganisasian

politik. Mahasiswa memperluas gerakan pemuda untuk ikut terlibat ke

dalam kegiatan sosial dan mayarakat, klub, olahraga, dan permainan

44

dengan pesan-pesan politik yang eksplisit. Mereka juga mulai mengatur

protes spontan dan demonstrasi menentang pendudukan. Pemenjaraan

seringkali terjadi pada aktifis mahasiswa, dengan alasan pelanggaran

keamanan selama demonstrasi. Pemuda Palestina merupakan sebagian

utama dari populasi tahanan politik, mereka juga memberikan kontribusi

terhadap pergerakan perlawanan di antara para tahanan. Tindakan besar

tersebut meliputi aksi mogok makan para tahanan, serta melakukan protes

terhadap kondisi penjara mereka yang mencakup penggunaan sistematis

penyiksaan.19

Awalnya pemerintah Israel tidak menunjukkan tanda-tanda dalam menghadapi perlawanan non-fisik, seperti yang terjadi pada respons Inggris terhadap

General Strike pada tahun 1936. Akan tetapi pada periode berikutnya, ratusan warga

Palestina termasuk pemimpin wilayah, profesor universitas, dan pemimpin organisasi perempuan, serta serikat buruh, dideportasi dari daerah pendudukan karena terlibat dalam kegiatan non-kekerasan selama periode menjelang demonstrasi Intifadha

Pertama. Aksi unjuk rasa, pemogokkan kerja, distribusi petisi, memajang bendera

Palestina dan aksi serupa, secara sistematis ditekan.20

E. Intifadha

Intifadha muncul pada bulan Desember 1987, penduduk Palestina di Gaza dan

Tepi Barat mulai melakukan pemberontakan masal terhadap pendudukan Israel. Aksi

19Mubarak E. Awad. “Non-Violent Resistance: A Strategy for the Occupied Territories”, Journal of Palestine Studies. Vol. XIII, no. 2 (1984), h. 48-52. 20Ali Abunimah. “On Violence and the Intifada”. (The Electronic Intifada, 22 January 2003).

45

pemberontakan tersebut melibatkan ratusan ribu orang dan sebagian dari mereka hampir tidak pernah memiliki pengalaman dalam aksi resistensi sebelumnya, termasuk anak-anak dan remaja. Menariknya, taktik Intifadha tidak dimulai atau diatur oleh kepemimpinan PLO (pada saat itu merupakan organisasi paling dominan di Palestina). Sebaliknya, mobilisasi berasal dari inisiatif aktivis setempat serta institusi dan organisasi-organisasi lokal yang telah berkembang di bawah pendudukan.21 Mereka bertindak atas instruksi yang diturunkan oleh kelompok- kelompok perlawanan terkemuka, seperti sekuler dan Islam.

Selama tahun-tahun Intifadha, bentuk dari budaya perlawanan Palestina semakin berkembang dan yang paling dominan adalah semakin beragamnya bentuk pembangkangan sipil tanpa kekerasan, seperti menyebarkan leaflet,22 demonstrasi besar-besaran, pemogokkan umum, menolak untuk membayar pajak, boikot produk

Israel serta pendirian sekolah underground (sebab sekolah regular ditutup oleh militer

Israel sebagai pembalasan bagi pemberontakan).23 Taktik tanpa kekerasan tersebut merupakan dasar-dasar dari upaya untuk menyingkirkan represi pendudukan Israel.

Taktik ini disebut juga dengan strategi ju-jitsu, karena konsep utama dari perlawanan tersebut adalah menggunakan kekuatan penuh lawan, di mana kekuatan itu akan

21Institusi dan organisasi tersebut terdiri dari komite perempuan, serikat buruh, kelompok mahasiswa, komite kerja medis, pendidikan, dan pertanian. Lihat, Mubarak E Awad. (Non-Violent Resistance: A Strategy for the Occupied Territories), h. 34. 22Selengkapnya lihat lampiran, 3.2 23Penny Johnson. “Palestinian Universities under Occupation: 15 August-15 November”. Journal of Palestine Studies 18, no. 2, (1989), h. 93.

46

dikembalikan kembali kepada dirinya dan sekaligus menjadi titik lemahnya.24 Ketika awal Intifadha pertama, sebagian besar warga sipil Palestina tak bersenjata menghadapi pasukan bersenjata Israel, hal ini mengungkapkan perbedaan kekuatan yang besar antara sipil dan pendudukan, sehingga tampilan tersebut membuat pasukan militer Israel terlihat memalukan.

Dalam konflik yang tidak simetris ini, metode perlawanan tanpa kekerasan dapat digunakan untuk membalikkan perbedaan kekuatan tersebut.25 Namun, di balik semua metode perlawanan non kekerasan lainnya, terdapat satu kebudayaan baru yang paling mencolok mata, yaitu mural. Mural mampu mencangkup semua perlawanan tersebut dengan menggunakan taktik mobilisasi yang terlukiskan pada seluruh dinding di wilayah palestina guna merangkul masanya. Akibatnya, resistensi berbasis luas ini telah menarik perhatian dunia internasional, sebab model tersebut belum pernah dilakukan pada situasi yang dihadapi Palestina bahkan dunia Arab sebelumnya.

24Maria J. Stephan. “People Power In The Holy Land: How Popular Nonviolent Struggle Can Transform The Israelipalestinian Conflict”, Journal of Public and International Affairs, Vol. 14, (2003), h. 6. 25Maria J. Stephan. People Power In The Holy Land: How Popular Nonviolent Struggle Can Transform The Israelipalestinian Conflict, h. 7.

BAB IV

DINAMIKA POLITIK MURAL SEBAGAI MEDIA RESISTENSI

RAKYAT PALESTINA PADA MASA INTIFADHA

Di tengah-tengah konflik berkepanjangan antara Palestina-Israel, ternyata menyimpan fakta yang menarik tentang perjuangan rakyat Palestina. Bukan dengan senjata laras panjang ataupun granat sebagai bentuk resistensi, melainkan lebih ke arah seni dalam hal ini mural. Rakyat Palestina menggunakan mural untuk tujuan politik, sosial, informatif, dan estetika. Mural telah menjadi pemandangan yang wajar, terlebih sejak terjadinya Intifadha Pertama. Selama

Intifadha Pertama, mural adalah media yang berhubungan langsung dengan khalayak publik guna menyebarkan informasi, dan dengan cepat ditutup-tutupi oleh tentara Israel. Karena mural merupakan simbol perlawanan terhadap otoritas

Israel dan juga sebagai bentuk pembangkangan sipil. Memang dengan demikian rakyat Palestina tidak merasa bersuara, tetapi mereka dapat berbicara melalui mural.

A. Munculnya Politik Mural di Palestina

Dinding-dinding di wilayah Palestina telah disulap menjadi kanvas raksasa oleh para pemuda Palestina. Dinding dalam perspektif seni jalanan, dapat menjadi ruang publik ketika struktur bangunan menghadap keluar dan dapat diakses publik. Kini di Palestina, ruang publik telah menjadi galeri terbuka bagi lukisan-

47 48

lukisan mural dan dapat dinikmati oleh para audiens dengan mudah sebagai bagian dari perlawanan, namun melalui jalur kreatif.

Istilah creative resistance sangat cocok dialamatkan kepada mural, dengan mengacu pada cara pandang media untuk melawan ketidakadilan khususnya di

Palestina. Menurut Norman, “rakyat Palestina harus mengembangkan seni strategi kreatif lainnya untuk memengaruhi publik dan pemerintah Israel juga internasional”.1 Namun, dalam hal ini tidak hanya nilai kreativitas yang diperhitungkan, tetapi juga fakta bahwa sebuah seni dapat disederajatkan dengan senjata. Creative resistance melibatkan unsur tulisan dan gambar untuk mendokumentasikan cerita rakyat Palestina. Gambar dan narasi merupakan saksi atas tindakan pendudukan Israel terhadap rakyat Palestina sekaligus sebagai bentuk pengecaman terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia dan untuk mengubah realitas rakyat Palestina.2

Munculnya mural Palestina dilatarbelakangi oleh kelompok pro-Irlandia

(Irish Republican Army/IRA) yang menjalin hubungan dengan otoritas PLO di

Palestina sekitar tahun 1970-an. Relasi tersebut terjalin karena kelompok Irlandia

Utara merasa memiliki kesamaan nasib dengan penduduk Arab Palestina yang terjajah dan terusir di tanah sendiri. Tidak hanya itu, relasi yang terjalin antara

IRA – PLO juga mencakup pertukaran informasi, pelatihan, finansial, hingga persenjataan.

1J. Norman. The Second Palestinian Intifada: Civil Resistance, (London: Routledege, 2010), h. 12. 2Kurasawa. “A Message in a Bottle: Bearing Witness as a Mode of Transnational Practice”, Theory, Culture and Society Vol. 26 (2009), h. 94.

49

Menurut Rory Miller dalam buku yang berjudul Ireland and The Palestine

Question, mengatakan bahwa ada beberapa alasan mengapa Irlandia menaruh perhatian sendiri mengenai konflik Palestina – Israel, di antaranya:

I. Persamaan Historis : Sebelum awal abad ke-20, Irlandia merupakan

bagian dari wilayah jajahan Inggris atau Britania Raya. Pasca peristiwa

tahun 1916 di Dublin yang diikuti perjuangan bersenjata menjadikan

upaya Irlandia untuk terlepas dari Inggris semakin mendekati

kenyataan. Melalui traktat Anglo – Inggris pada tahun 1920,

menyebabkan Inggris menyetujui untuk memberikan kemerdekaan

kepada sebagian besar wilayah Irlandia, namun wilayah Irlandia Utara

tetap menjadi bagian dari Inggris Raya. Kebijakan yang dibuat Inggris

dalam traktat tersebut dipandang kaum Nasionalis Irlandia sebagai

tindakan pembagian paksa yang bertentangan dengan keinginan

mayoritas rakyat Irlandia.

Hal tersebut menyebabkan Irlandia menilai Inggris tidak memberikan

kemerdekaan secara utuh karena perjanjian pembagian wilayah

dianggapnya berat sebelah. Dengan melihat kesamaan historis tersebut,

Irlandia memiliki opini tersendiri tentang isu pembagian wilayah yang

juga dialami Palestina. Pada tahun 1937, Irlandia menolak proposal

pembagian tanah dalam sidang Liga Bangsa Bangsa (LBB). Dalam

salah satu buletin terbitan Kementrian Hubungan Luar Negeri Irlandia

pada tahun 1938 menyatakan secara implisit bahwa Inggris ingin

membagi wilayah Palestina, sama seperti yang dilakukannya pada

Irlandia beberapa tahun sebelumnya.

50

II. Hubungan dengan Vatikan : Sebagai negara yang mayoritasnya

adalah beragama Katolik dan berdiri dengan pondasi negara Katolik

sekuler, bukan hal yang rumit jika Irlandia memiliki hubungan yang

erat dengan Vatikan sebagai pusat dari umat Katolik seluruh dunia.

Alasan itulah yang menyebabkan Irlandia dalam kebijakan luar

negerinya juga berusaha menyelaraskan diri dengan pandangan

Vatikan yang menyerukan internasionalisasi Yerusalem sejak tahun

1948. Setahun berikutnya, menteri luar negeri Irlandia Sean MacBride

mengatakan bahwa tempat-tempat suci Yerusalem harus dilindungi

dan berada di bawah kendali internasional.

III. Cara Pandang Kelompok Irlandia terhadap Kaum Yahudi dan

Israel : Pada awalnya Irlandia menaruh simpati terhadap kaum Yahudi

dalam usaha mendirikan negara dan menentukan nasibnya sendiri. Hal

tersebut karena kesamaan rasa sebagai bangsa yang terusir dan

terdiskriminasi dari tanahnya sendiri. Sejak runtuhnya kerajaan mereka

akibat serangan Kekaisaran Romawi beberapa abad sebelum Masehi,

kaum Yahudi terdiaspora dan kebanyakan dari mereka mengalami

tindakan diskriminasi di negara-negara tempat mereka tinggal. Tidak

sedikit pula dari mereka yang menjadi sasaran pembantaian; pogrom,

holocaust, dan inkuisisi.3

3Pogrom (kehancuran) adalah serangan penuh kekerasan besar-besaran yang terorganisasi atas sebuah kelompok tertentu, etnis, keagamaan, atau lainnya. Secara historis istilah ini digunakan untuk mengacu pada tindakan kekerasan beasar-besaran, baik secara spontan ataupun terencana terhadap orang Yahudi. Lihat Stephen M Berk. Year of Crisis, Year of Hope: Russian Jewry and the Pogroms of 1881–1882, (New York : Greenwood, 1985, h. 55). Holocaust (seluruh atau terbakar) dan dikenal pula dengan Shoah (bancana atau kehancuran), adalah genosida terhadap enam juta penganut Yahudi Eropa selama Perang Dunia II. Suatu program pembunuhan sistematis yang didukung oleh Nazi. Secara khusus lebih dari satu juta anak Yahudi tewas , serta sekitar dua juta wanita dan tiga juta jiwa pria Yahudi tewas dalam

51

Namun seiring berjalannya waktu, opini masyarakat Irlandia terutama

kelompok Nasionalis terhadap kelompok Zionis Yahudi berubah

drastis. Sejak kelompok Zionis menerima kebijakan pembagian tanah

Palestina, kelompok Nasionalis Irlandia memandang Israel tidak lebih

sebagai kelompok kolonial yang merampas tanah pribumi. Pasca

berdirinya negara Israel pada tahun 1948, mereka beranggapan bahwa

berdirinya Israel yang diprakarsai oleh Inggris merupakan bentuk

pembungkaman nasionalisme Arab di wilayah tersebut. Sama seperti

pendirian Irlandia Utara yang bersebrangan dengan kepentingan kaum

nasionalis Irlandia yang ingin wilayahnya merdeka seutuhnya.4

Dukungan masyarakat Katolik Irlandia terhadap Palestina dapat terlihat pada lanskap pemukiman kelompok Katolik Irlandia di wilayah Derry dan Belfast yang merupakan dua kota terbesar di Irlandia Utara. Wilayah tersebut merupakan lokasi terjadinya konflik etnis antara kelompok Katolik (pro-Irlandia) dengan

Unionis Protestan (pro-Inggris) yang dikenal sebagai The Troubles.

Selama konflik The Troubles di Irlandia Utara, beragam bentuk mural muncul sebagai wujud visualisasi dan pengobar semangat, baik dari pihak

Nasionalis ataupun Unionis. Tema-tema yang diangkat pada mural tersebut di

kasus Holocaust. Lihat Donald L Niewyk, The Columbia Guide to the Holocaust. (Columbia University Press, 2000, h. 45). Inkuisisi merupakan pengadilan Gereja abad pertengahan yang ditunjuk untuk mengusut bid’at, disebut demikian karena menentang kesalahan dan tradisi Gereja Roma (diperintahkan oleh Uskup atau Paus). Pada tahun 1487, Paus Innocentius VIII menunjuk rahib Dominikan Spanyol, Tomas de Torquemada, sebagai pelaksana Inkuisisi Agung. Di bawah kekuasaannya, ribuan orang Kristen, Yahudi, Muslim, “penyihir”, serta orang-orang lainnya terbunuh dan disiksa. Orang-orang yang berada dalam bahaya terbesar karena Inkuisisi adalah kaum Alumbrados (penganut mistik di Spanyol) dan Protestan. Lihat Henry Charles Lea, A History of The Inquisition of Spain, (New York: AMS Press Inc, 1988, h. 47). 4Rory Miler and Allan Shatter. Ireland and the Palestine Question 1948-2004, (Irlandia : Irish Academic Press, 2005), h. 28.

52

antaranya tentang; kelompok bersenjata, tokoh yang memiliki pengaruh, peristiwa penting, serta opini dari suatu kelompok. Mural yang bertemakan sikap solidaritas

Irlandia dengan Palestina juga turut terlihat. Hal tersebut dikarenakan, kasus

Palestina dianggap mirip dengan kasus Irlandia pada masa Inggris.5

Pada tahun 1982 di Belfast, terdapat mural kelompok Nasionalis yang sangat terkenal. Mural tersebut menampilkan gambar pejuang PLO dengan IRA yang sedang mengangkat senjata RPG (Rocket Propelled Grenade) secara bersama-sama. Di bagian bawah terdapat tulisan one struggle (satu perjuangan), suatu kalimat simbolik yang menyatakan bahwa PLO dan IRA sama-sama berjuang untuk memerdekakan masing-masing wilayahya (Lihat gambar 4.5).

Sikap dan hubungan antara kedua negara tersebut disinyalir merupakan salah satu alasan mengapa seni mural ikut terbawa dan menjadi budaya baru dalam perjuangan bangsa Palestina yang membuat lanskap dinding menjadi penuh warna di setiap tempat.

Coretan dinding di Palestina sesungguhnya telah ada sejak akhir tahun

1970-an, walaupun mayoritas coretan tersebut masih berbentuk tulisan sederhana dan diproduksi oleh para pemuda sebagai pelampiasan kekecewaan atas pendudukan Israel. Namun dengan munculnya Intifadha Pertama tahun 1987, aksi mereka telah menarik perhatian segenap gerakan politik Palestina dan membuat seni dinding menjadi upaya legal dalam perjuangan mereka.6 Legalitas tersebut muncul karena sebelumnya Israel menguasai semua berita dan saluran informasi di jalur pantai, akibatnya tidak ada akses televisi maupun radio Palestina. Di Gaza

5Rory Miler and Allan Shatter. Ireland and the Palestine Question 1948-2004, , h. 28. 6Mia Gröndahl, Gaza Graffiti: messages of love and politics. (Cairo : The American University in Cairo Press, 2009), h. 4.

53

sendiri tidak memiliki koran harian lokal, dan Israel selalu memberikan pengawasan terhadap koran-koran Palestina yang datang dari Yerusalem.

Akibatnya untuk pertama kali rakyat Palestina tidak dapat menyebarkan informasi atau sekedar mengatakan apa yang sedang terjadi.7 Karena itulah dengan adanya pengalaman serta hubungan dengan IRA telah menjadikan dinding menjadi saluran alternatif komunikasi dan sebagai tempat memproduksi surat kabar yang dapat menjangkau semua khalayak Palestina.8

Dalam politik mural, para aktifis Intifadha telah menemukan cara untuk menginformasikan kepada rakyat Palestina tentang situasi yang sedang terjadi.

Dinding seolah-olah menceritakan mereka yang telah berpartisipasi dalam pertempuran, memanggil mereka untuk mengambil bagian dalam aksi unjuk rasa baru, dan mendorong mereka untuk terus melawan. Dengan demikian mural telah menjadi alat untuk memecahkan ketakutan, menambah motivasi, serta panggilan mereka untuk bangkit.

B. Mural Intifadha

Salah satu ciri yang paling mencolok dari lanskap budaya akibat pendudukan Israel di Palestina pada masa Intifadha Pertama, di akhir tahun 1980- an hingga awal tahun 1990-an, adalah goresan pada dinding.9 Sebab, sepasang mata akan segera tertuju pada coret-coretan mural yang hampir memenuhi setiap dinding batu di Palestina. Sebagai hasil budaya ciptaan mereka (baca: artefak), sifat mural tidak pasif atau mati. Karena melihat dan membaca merupakan

7Mia Gröndahl, Gaza Graffiti: messages of love and politics, h. 6. 8Sumber: http://www.aljazeera.com/focus/gazaoneyearon/009/12/20, (akses:23/9/14). 9Selengkapnya lihat lampiran, 4.1.

54

perilaku aktif sehari-hari manusia, sedangkan fungsi dari gambar dan bahasa adalah sebagai pembawa hubungannya. Oleh karena itu mural diproduksi secara sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan tentara Israel. Sebab, tentara Israel akan segera menindaklanjuti aksi tersebut, hingga menyebabkan kekerasan fisik terhadap pelakunya.10 Namun sebagai balasannya, tindakan tersebut mendapat apresiasi tinggi oleh rakyat Palestina, karena dalam pandangan mereka sebagai pembaca, mural yang dihasilkan terkandung nilai emosi, keberanian, semangat, dan tekat.

Menurut Edward Said, “dalam sebuah coretan dinding, tidak ada yang menulis untuk dirinya sendiri, selalu ada yang lainnya dan mau tidak mau hal ini mengubah interpresi dinding menjadi kegiatan sosial”.11 Membaca dan menyerap pesan mural terjadi karena didasari oleh arena historis dan budaya. Karena ketika mereka membaca mural dan graffiti tidak terlepas dari kondisi serta konten mereka.

1. Mural pada Intifadha Pertama

Selama masa Intifadha Pertama, Mural mengambil tempat terhadap konstelasi12 taktik perlawanan untuk melakukan intervensi dengan otoritas pendudukan. Karena tindakan menulis dan membaca dapat menganggu hubungan pendudukan Israel – sipil Palestina dalam berbagai cara. Munculnya goresan pada dinding secara tiba-tiba dan serentak di setiap wilayah Gaza dan Tepi Barat selalu

10Julie Peteet. “The writing on the walls: the graffiti of the intifada”, Cultural Anthropology, Vol. 11, no. 2, (1996), h. 139. 11Edward Said. Opponents, Audiences, Constituencies, and Community. In The Politics of Interpretations. (Chicago: University of Chicago Press, 1983) h. 9. 12Konstelasi menurut KBBI Online adalah 1. keadaan, tatanan (Politik Eropa) 2. Bangun, bentuk, susunan, kaitan, 4. gambaran. Sumber : http://kbbi.web.id/konstelasi

55

menjadi media pengingat akan kisah ketidaknormalan hidup di bawah

Pendudukan Israel maupun pemberontakan massa setiap harinya.

Para pemuda Palestina menuliskan mural mereka di sebuah dinding pertahanan serta yang lebih berani pada kendaraan lapis baja milik IDF (Israel

Denfense Force).13 Penampakan mural tersebut merupakan bentuk resistensi atas tindakan akuisisi Israel terhadap wilayah Palestina, sekaligus bentuk celaan bagi mereka.14 Mural adalah salah satu media terkecil, mereka sering memunculkan tanda-tanda (kode), tulisan atau gambar dalam waktu cepat,15 berani, dan fragmentaris, seperti gerakan Intifadha itu sendiri.16 Mural-mural Intifadha biasanya sangat sederhana dengan menampilkan beragam kata dengan simbol terbatas yang bertujuan untuk mengekspresikan kondisi sosial-politik mereka.

Berkaitan dengan konteks Intifadha Pertama yang muncul sebelum adanya jaringan Internet, menulis di dinding menjadi media pilihan terakhir para pemuda

Palestina. Hal tersebut karena adanya lembaga sensor yang diberlakukan Israel, sehingga memperlemah dan bahkan mematikan akses media lokal Palestina, baik cetak maupun elektronik.17 Akibatnya, rakyat Palestina tidak mendapatkan sumber informasi tentang perkembangan kondisi politik mereka. Namun dengan munculnya mural pada setiap dinding di wilayah Palestina, telah mengubah

13Jonathan Matusitz. Symbolism in Terrorism: Motivation, Communication, and Behavior. (Lanham: Rowman & Littlefield, 2014), h. 125. 14Jonathan Matusitz. Symbolism in Terrorism: Motivation, Communication, and Behavior, h. 126. 15Yang dimaksud “cepat” di sini adalah, malam hari diproduksi dan pada pagi harinya mural baru telah muncul. 16Intifadha bersifat: cepat, tiba-tiba, berani (menghadapi tentara Israel hanya dengan bermodalkan batu), dan fragmentaris (berupa bagian-bagian/aksinya tidak berfokus pada satu bagian, namun terpecah-pecah dalam artian menyebar di setiap tempat). 17Jonathan Matusitz. Symbolism in Terrorism: Motivation, Communication, and Behavior. (Lanham : Rowman & Littlefield, 2014), h. 127.

56

kondisi keterbatasan informasi tersebut. Mural kini menjadi satu-satunya media yang dapat menghindari pengaturan sensor Israel dan membuat hubungan langsung dengan publik, sehingga mengundang respons aktif dari pembaca atau audiens.

Mural adalah cara termudah bagi para pemuda Palestina untuk menyuarakan aspirasi, ide, gagasan serta pesan orang tua mereka. Sebuah genre graffiti memperlihatkan seorang ibu yang membawa pesan pengorbanan, “jika seorang teman kembali tanpa aku, ibu akan menangis, namun setiap tetesan air mata yang jatuh merupakan bahan bakar kobaran api cahaya kebebasan”.18

Menulis di dinding merupakan cara yang egaliter (baca: merakyat) dan mampu memberikan semangat juang rakyat Palestina di tengah ruang publik.

Dinding memungkinkan setiap orang untuk menyuarakan protes ataupun penolakan mereka. Para pemuda Palestina bermaksud agar masyarakat luas mengetahui ide gagasan mereka, sehingga mural layaknya sebuah billboard

(papan iklan) bagi rakyat Palestina. Namun pada kesempatan lain, mural tersebut dimanfaatkan oleh pihak Israel sebagai alat pengawas dan sebagai celah untuk mendeteksi terjadinya aksi serta mengontrol segalanya. Dalam hal ini, pemberlakuan sensor sangat dibutuhkan Israel agar tidak terjadi komunikasi dengan masyarakat lokal maupun global mengenai situasi di Palestina, karena mural mampu mempengaruhi dan merespons aktif para pembacanya. Dan yang paling penting, mural merupakan bagian dari repertoar19 tindakan pembangkangan

18Julie Peteet. “The Writing on the Walls: The Graffiti of the Intifada”, Cultural Anthropology, Vol. 11, No. 2 (1996), h. 154. 19Repertoar adalah daftar rencana permainan sandiwara, opera, balet, komposisi musik, lagu, atau peran yang telah dipersiapkan dan dipelajari oleh artis, grup musik, orkestra, atau

57

sipil. Sikap yang paling menonjol adalah menolak membayar pajak, pemboikotan barang Israel, dan mengibarkan bendera Palestina. Sebagai hasil budaya tangan manusia, mural merupakan usaha dalam mengekspresikan ide gagasan mereka secara global untuk menggulingkan hierarki kekuasaan Israel.

Sejak kemunculannya, mural adalah salah satu cara untuk melawan pendudukan Israel dengan mengiringi strategi mobilisasi massa, mulai dari mengunjungi, mengajak, dan akhirnya ikut terlibat ke dalam konfrontasi. Dengan demikian mural mencoba memberikan sugesti dan menyerukan kepada audiens agar menolak kehadiran pendudukan Israel serta mengambil tindakan.20 Oleh sebab itu, mereka yang memproduksi mural dengan genre dramatis dan mengakibatkan aksi massa, dapat dianggap sebagai tindakan ilegal bagi tentara

Israel. Bahkan pada kesempatan lain tidak sedikit pemuda yang tewas ketika menulis dan menggambar di dinding. Selain itu, tentara Israel juga akan menahan siapa pun yang kedapatan memiliki bercak cat di tangan mereka.

Namun, aksi kekerasan yang dilakukan tentara Israel tidak mengurangi langkah pemuda Palestina untuk terus aktif memploklamirkan goresan dinding.

Dinding-dinding seperti toko, rumah, dinding publik, serta telepon umum tidak terlepas dari goresan campur aduk mural. Setiap lokasi memiliki beberapa koleksi mural dan graffiti, kuantitas merupakan barometer dari simbol ketidakpuasan dan

kelompok sandiwara sebelum mengadakan pertunjukan di depan penonton. Lihat Yus Badudu. Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia, (Kompas, 2003). h. 302. 20Strategi tersebut diberi nama days of confrontations dengan otoritas pendudukan yang dibentuk oleh pemimpin wilayah. Days of Confrontations merupakan hari di mana orang-orang didorong untuk mengambil bagian pada aksi yang dirancang untuk melibatkan tentara dalam konfrontasi, seperti pelemparan batu atau menyiapkan barikade. Mural dimaksudkan untuk memicu mobilisasi massa, menarik orang agar keluar dari rumahnya dan kehidupan sehari-hari berubah menjadi pergulatan aksi perlawanan. Lihat Julie Peteet, “The Writing on the Walls: The Graffiti of the Intifada”, Cultural Anthropology, Vol. 11, No. 2 (1996), h. 142.

58

perlawanan rakyat. Pada satu kesempatan, dinding rumah sipil beserta tempat bisnis dikerahkan secara formal. Hal tersebut, sebagai aksi dukungan serta perlawanan mereka dengan Israel. Namun, pengambialihan dinding milik pribadi ini merupakan salah satu tindakan mobilisasi dari gerakan politik internal

Palestina, sebab seniman mural tidak terlepas dari afiliansi gerakan politik di

Palestina. Karenanya para pemilik dinding akan berhadapan dengan tentara Israel yang menuntut penghapusan dan pembayaran denda sebesar 700 Shekel Israel

(sekitar $350).21

Dengan adanya sanksi tersebut, membuat beberapa pemilik dinding mengingkari kerjasama dengan para muralis. Pada satu kesempatan ketika terjadi huru-hara antara sipil Palestina dengan tentara Israel, beberapa pemilik dinding mencoba menutup penuh mural tersebut dengan cat untuk menyelamatkan diri mereka dari denda dan penghinaan penghapusan di bawah mata tentara Israel.

Akibatnya, sikap tersebut membuat para seniman geram, dan untuk mengontrol hal tersebut, maka sikap tegas ditunjukkan lewat mural yang bertuliskan, “Don't paint over graffiti voluntarily. First Warning!”, sebuah instruksi yang ditujukan kepada warga Palestina agar menahan diri dari sikap main hakim sendiri demi keuntungan otoritas pendudukan.22 Mural memang memiliki kemampuan untuk mengubah hubungan internal dan memanfaatkan mereka melakukan tindakan perlawanan.

21Julie Peteet. “The Writing on the Walls: The Graffiti of the Intifada”, Cultural Anthropology, Vol. 11, No. 2 (1996), h. 143. 22Namun, pada tahun 1991, Unified National Leadership (UNL) mengeluarkan instruksi dalam bayan (leaflet) yang melarang menulis grafiti di dinding milik pribadi. Karena menanggap Israel telah mengumpulkan terlalu banyak pendapatan dari denda pemilik dinding yang dipenuhi mural. Lihat Julie Peteet. “The Writing on the Walls: The Graffiti of the Intifada”, Cultural Anthropology, Vol. 11, No. 2 (1996), h. 144.

59

Gerakan Intifadha pada hakikatnya merupakan perlawanan kaum muda

Palestina. Sama dengan kasus Intifadha secara umum, aksi mural juga mengerahkan sebagian besar pemuda. Sehingga aksi tersebut dapat dikatakan seperti ritual kedua menuju kedewasaan. Sebab, bagi mereka yang ingin tergabung ke dalam barisan keanggotaan sebuah organisasi politik, menggores dinding menjadi salah satu syarat.23 Singkatnya, tindakan yang membuat dinding berbicara tersebut merupakan salah satu syarat untuk memperoleh mandat revolusioner guna memasuki status keanggotaan dalam ranah politik atau afiliasi di Palestina.

Tema tulisan dan gambar dinding pada dasarnya diarahkan oleh para pemimpin di masing-masing wilayah. Dan umumnya mural diproduksi pada malam hari lalu diblok (dihapus dengan cat) Israel pada siang hari. Karenanya, wajah dinding akan selalu berubah-ubah dalam setiap waktu, baik pagi, sore, dan malam hari. Isi konten mural sendiri selalu seragam dan riuh, sebanyak terjadinya pemberontakan. Retorika mereka sangat dituntut untuk menandakan persimpangan batas terlarang antara Palestina-Israel.24

Melalui mural, suara rakyat Palestina secara luas mampu terwakilkan.

Kehadiran suara pada sebuah ruang publik Palestina yang lolos dari sensor Israel dan bernada berani muncul bersamaan dengan tagging faksi politik untuk mengobarkan semangat perlawanan rakyat Palestina yang bertuliskan, ”Kematian

23Menulis mural merupakan tugas pertama yang dilakukan seorang calon jika ingin tergabung dalam barisan. Selain itu, kesiapan dan mentalitas calon juga menjadi prioritas utama, dilihat dari komitmennya yang ikut terlibat ke dalam aksi perlawanan dan juga kapasitasnya dalam menghadapi bahaya. Julie Peteet. “The Writing on the Walls: The Graffiti of the Intifada”, Cultural Anthropology, Vol. 11, No. 2 (1996), h. 144. 24Ghazi Hamad, “Writings on the wall”, Palestine Report, vol. 10, no. 22, (2003), h. 179.

60

bagi pemukim di mana pun mereka berada – PFLP” (Popular Front for the

Liberation of Palestine).25 “Kami adalah orang-orang kuat terhadap semua model penyiksaan yang ada – PFLP”; “Cepat kembalikan kemerdekaan kami!! – UNL”

(Unified National Leadership), “Tidak untuk penjajahan”. Selain memberikan semangat perjuangan, mural juga mengarahkan rakyat untuk melakukan aksi pembangkangan terhadap Otoritas Pendudukan. “Tidak membayar pajak adalah kewajiban nasional dan tindakan perjuangan – UNL”. “Generasi yang bangkit di dalam ruang interogasi di bawah tongkat polisi menciptakan partai rakyat dan semua kamerad26 - PCP” (Palestine Communist Party).27

Kebanyakan dari mural memang menampilkan kalimat-kalimat dan makna yang tergolong tegas. Namun di balik semua itu, terdapat pula ilustrasi tulisan yang terlihat humoris, akan tetapi tetap pada koridor perjuangan. “Penjara adalah tempat relaksasi, kebijakan deportasi adalah pariwisata, melempar batu adalah olahraga – UNL”.28 Tulisan tersebut, selain sebagai langkah untuk menunjukkan kapasitas mereka dalam menantang sanksi hukum Israel juga sebagai bentuk ketegasan akan sebuah cerita, bahwa rutinitas yang mereka jalani sehari-hari merupakan sesuatu yang menyenangkan. Pesan terhadap sikap keberanian yang

25PFLP, Fatah, UNL, Hamas, PCP, dan QD umumnya digunakan dan akronim yang dituliskan semuanya muncul sebagai tanda tangan di akhir graffiti atau mural. PFLP singkatan Front Populer untuk Pembebasan Palestina, kelompok oposisi utama di PLO. Fatah, merupakan faksi terbesar dan paling kuat di PLO, sebagai sebuah kata, Fatah berarti “penaklukan” atau “pembukaan”. UNL mengacu pada Kepemimpinan Nasional Bersatu, merupakan pimpinan bawah tanah intifadha. Hamas adalah akronim dari Harakat al-Muqawama al-lslamiyya; sebagai sebuah kata, Hamas berarti semangat, gigih, sabar. PCP mengacu pada Partai Komunis Palestina (Party Comunist Palestine), dan QD singkatan Pasukan Mogok (Quwwat al-Darb). 26Dalam KBBI Online, istilah Kamerad adalah panggilan sesama anggota Partai Komunis. Sumber : http://kbbi.web.id/kamerad, (akses: 7/2/14). 27Juliee Peteet. “The Writing on the Walls: The Graffiti of the Intifada”, Cultural Anthropology, Vol. 11, No. 2 (1996), h. 145. 28Julie Peteet. “The Writing on the Walls: The Graffiti of the Intifada”, h. 146.

61

terbilang lugu tersebut merupakan sarana untuk mempersiapkan diri anak-anak muda Palestina akan kemungkinan pengalamannya menjadi tahanan.

Secara keseluruhan graffiti dan mural selalu bersandingan dengan tagging dari gerakan politik, akan tetapi tidak jarang pula muncul tagging individu.

Namun, rakyat Palestina lebih melihat goresan dinding yang muncul dengan tagging gerakan politik. Sebab, hal tersebut lebih membawa makna kebersamaan dan sikap nasionalisme serta menegaskan pembaca ikut terlibat ke dalam ruang lingkup politik. Itulah sebabnya Israel sangat responsif terhadap goresan dinding.

Bagi tentara Israel tulisan atau gambar yang dibuat terburu-buru (baca: singkat) lebih penting daripada isi kandungan yang sebenarnya.

Tentara Israel menanggapi praktik sosial tersebut serta dampak kemungkinan dari arahan mural yang dapat menimbulkan pembaca mengeksplorasi dan menegaskan identitas kolektif. Aksi penghapusan disertai tindak kekerasan menjadikan catatan akan ketakukan Israel terhadap kedua komunitas, yang memproduksi dan mensirkulasikan informasi, serta pengalaman dan sentimen yang ditulis dan dishared kepada masyarakat luas tanpa harus melalui kontak langsung atau face to face.29

Di bawah pemerintahan tentara Israel, kehidupan sehari-hari masyarakat

Palestina sangat diatur oleh izin, hampir pada setiap kegiatan, mulai dari membangun rumah, membawa buku-buku ataupun sekedar menanam pohon.

Lebih dari 1.500 perintah tentara Israel mengatur kehidupan sehari-hari rakyat

Palestina. Melukis dan menulis di dinding yang tidak memiliki izin didefinisikan

29Sirkulasi sentimen dapat menimbulkan hasutan. Lihat Julie Peteet, “The Writing on the Walls: The Graffiti of the Intifada”, Cultural Anthropology, Vol. 11, No. 2 (1996), h. 146

62

sebagai tindakan illegal.30 Jadi tentara Israel akan bergegas untuk memastikan bahwa mural dan graffiti telah diblok. Sebagian besar tentara Israel tidak dapat memahami isi sebenarnya, namun mereka menanggapinya hanya dengan melihat bahwa mencoret dinding merupakan sebuah praktik sosial dari aksi pembangkangan. Ikon yang paling dikenal, umumnya seperti; palu dan arit dari

Partai Komunis Palestina, kepalan tangan dari QD atau Masjid of Rock Dome dari

Hamas yang tidak memerlukan keaksaraan dalam bahasa Arab.

Kondisi mural yang dilukis dan ditulis adalah inti untuk menemukan makna dan keberhasilan mereka. Mural merupakan cara menghindari penolakan terhadap suara mereka. Ia merupakan satu-satunya cara untuk mematahkan aturan yang membatasi mereka bersuara dan menjadi sarana utama dalam komunikasi kepada publik. Adanya penolakan akses media cetak oleh tentara Israel, membuat orang turun ke dinding guna menciptakan media cetak dari batu dan sekaligus pembaca batu. Dengan demikian mural merupakan bukti tentang upaya untuk mengembalikan suara dan fashion ruang publik, di mana arena seperti opini dapat dibentuk.31 Akan tetapi, diakhir tahun 1980-an hingga awal tahun1990-an, dinding telah berubah dari yang berisi resistensi terhadap Israel menjadi media persaingan politik internal Palestina, baik berupa isu gender maupun konsep negara Palestina.

30Hilterman menyatakan bahwa aturan Orde atau pasal Militer 101 (1967), mengenai larangan aksi penghasutan dan propaganda, mencangkup pelarangan seperti kepemilikan dan distribusi bahan illegal, mengibarkan bendera Palestina, dan keanggotaan dalam organisasi yang dianggap illegal. Berdasarkan Orde Militer 101,“No publications can be brought in, sold, printed, or kept in someone's possession in the West Bank unless a permit has been obtained for them”, terjemahan bebas : “tidak ada publikasi yang dapat dibawa, dijual, dicetak, atau disimpan dalam kepemilikan seseorang di Tepi barat kecuali izin telah diperoleh mereka”. Lihat Joost Hiltermann, Behind the Intifada. Labor and Women's Movements in the Occupied Terri-tories, (Princeton, NJ : Princeton University Press, 1991, h. 105-106). 31Layoun mengatakan bahwa gagasan Habermas tentang ranah publik sebagai "pidato yang ideal, situasi di mana komunikasi diskursif berlangsung. Lihat Mary Layoun, Telling Spaces: Palestinian Women and the Engendering of National Narra-tives. In Nationalisms and Sexualities. (New York: Routledge, 1992, h. 422).

63

Namun demikian, lanskap perlawanan terhadap Israel masih tetap terlihat, walaupun pada intensitas yang rendah.

Setelah terjadinya perjanjian damai Oslo pada tahun 1993, sebuah instruksi keluar dengan mengatakan bahwa mural dan graffiti harus dicat (baca: hapus) sebelum kedatangan presiden Arafat. Instruksi tersebut sesuai dengan salah satu isi dari perjanjian damai Oslo.32 Akibatnya, warna-warni dinding di setiap wilayah harus disapu bersih dari noda-noda coretan mural.33 Pada masa ini tidak ada satupun kritik terhadap proses perdamaian yang terlihat di dinding, meskipun demikian, kritikan terus berkembang tanpa henti selama tahun 1990-an.

2. Mural pada Periode Oslo

Perlawanan rakyat Palestina selama Intifadha Pertama menyebabkan terjadinya negosiasi perdamaian serta perjanjian Oslo di tahun 1993. Namun selama periode Oslo dari tahun 1993-2000, pendudukan Israel yang berkelanjutan terus membatasi ekonomi dan pembangunan nasional Palestina. Akan tetapi, dalam periode ini, rakyat Palestina diizinkan untuk mendirikan media penyiaran mereka sendiri di wilayah pendudukan. Ini merupakan kesempatan bagi rakyat

Palestina untuk mengembangkan media-media dalam bidang lainnya.34 Otoritas

Palestina mendirikan Voice of Palestina, sebuah stasiun radio dan Televisi

Palestina pada tahun 1994. Palestina khususnya di Gaza, telah memiliki surat

32Dasar dari munculnya instruksi tersebut adalah karena tentara Israel selalu terprovokasi oleh hiasan yang muncul pada dinding-dinding Palestina. sehingga tidak jarang tentara Israel menggunakan kekerasan untuk menghentikan aksi tersebut. Lihat Mia Gröndahl, Gaza Graffiti: messages of love and politics. (Cairo : The American University in Cairo Press, 2009, h. 10). 33Pada pertengahan 1990-an, secara menyeluruh mural dilukis untuk memperingati acara- acara nasional atau internasional di bawah pengawasan organisasi sipil. Lihat Asmaa Al-Ghoul “Palestinians in Gaza Express Love, Politic with Graffiti”. (Al-monitor : 23 Oktober 2013). 34Amal Jamal. Media, Politics and Democracy in Palestine. (Sussex : Academic Press. 2005), h. 89.

64

kabar sendiri untuk pertama kalinya sejak pendudukan Israel dimulai. Selain itu palestina juga mulai menggunakan proyek berita melalui internet.35

Teknologi serta perkembangan politik telah berubah menjadi madiascapes36 pada tahun 1994 – 2000, sehingga menghasilkan perkembangan besar terhadap media resmi non-aparat, salah satunya media Islam yang diprakarsai oleh Hamas. Publikasi Islam mulai beredar lebih luas dan bebas.37

Media Islam membahas mengenai masalah agama dan sosial, namun fokus utama mereka adalah politik. Mereka memanfaatkan hal ini untuk menyampaikan wacana propaganda perlawanannya terhadap ideologi sekuler, seperti; hak asasi aanusia, pluralism, dan kritik terhadap otoritas resmi Palestina. Karena pemberitaan yang terus menerus mengkritik pemerintah, menyebabkan media kelompok Islam tersebut resmi dibatasi dan dilarang bila kedapatan ilegal. Untuk mencegah hal tersebut, Otoritas Palestina membagun lembaga sensor serta melakukan aksi terjun langsung dalam mengontrol institusi media. Dengan demikian persaingan antara Hamas dan Fatah (Otoritas Palestina) semakin terlihat.38

Selama periode Oslo, legalitas atas media elektronik dan cetak telah membuat budaya dinding berbicara tersingkirkan. Namun perlu dicatat, pada periode ini media Palestina tidak dapat konsisten dalam mendorong percakapan

35Amal Jamal. Media, Politics and Democracy in Palestine, h. 92. 36Mediascapes adalah distribusi kapabilitas elektronik untuk menghasilkan dan menyebarkan informasi (koran, majalah, televisi, studio pembuat film). 37Amahl Bishara. “New Media and Political Change in the Occupied Palestinian Territories”, Middle East Journal of Culture and Communication. Tufts University (2005), h. 69. 38Amahl Bishara. “New Media and Political Change in the Occupied Palestinian Territories”, h. 71.

65

yang hidup dengan audiens terkait isu-isu Politik, ditambah sumber daya keuangan yang kurang menjadi faktor penyebabnya.39

3. Mural pada Intifadha Kedua

Intifadha Kedua dimulai pada September 2000, pada aksi Intifadha kali ini mengambil bentuk yang sangat berbeda dari Intifadha Pertama karena konstelasi yang berbeda antara pemerintahan Israel dan Palestina.40 Selain itu, legalitas atas penggunaan akses media menjadi sebuah hal yang paling menonjol. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama, karena Israel kembali mengawasi akses media

Palestina, seperti pada saat Intifadha Pertama. Bahkan aksi pelarangan media dibarengi dengan tindakan yang lebih brutal dari tentara Israel dengan menargetkan kantor media, baik milik pemerintah Palestina ataupun independen sebagai lokasi sasaran militer. Akibatnya, pada tahun 2000 pula Israel mengebom pemancar radio Voice of Palestine milik Otoritas Palestina.41 Dengan demikian rakyat Palestina kembali mengalami krisis media, baik sebagai sumber informasi ataupun alat propaganda politik.

39Akibatnya, media cetak seperti koran jarang mengirim wartawan ke lokasi kejadian. Dan sekitar 55 persen konten surat kabar merupakan terjemahan atau diterbitkan dari media internasional lainnya. Lihat Amahl Bishara, “New Media and Political Change in the Occupied Palestinian Territories: Assembling Media Worlds and Cultivating Networks of Care”, Middle East Journal of Culture and Communication, Tufts University, (2010), h. 70. 40Tidak seperti Intifadha Pertama, ketika aksi protes terhadap pendudukan Israel yang secara geografis tersebar luas di wilayah perkotaan, baik besar maupun kecil. Selama masa Intifadha Kedua, bentrokan tidak lagi berlangsung di dalam wilayah tersebut karena adanya administrasi Otoritas Palestina. Bentrokan tersebut justru terjadi di perbatasan kota dan di jalan bypass, sedangkan Israel mengontrol tempat Ibadah. Lihat Amahl Bishara, “New Media and Political Change in the Occupied Palestinian Territories: Assembling Media Worlds and Cultivating Networks of Care”, Middle East Journal of Culture and Communication, Tufts University (2010), h. 71. 41Aksi tersebut terus berlanjut, pada musim dingin 2001-2002 tentara Israel menyita peralatan media dan kemudian meledakkan bom di gedung pemerintah dan penyiaran TV Palestina Israel juga menggeledah salah satu stasiun televisi perdana milik independen, Al-Quds Television, dan stasiun independen lainnya. Lihat Amahl Bishara, “New Media and Political Change in the Occupied Palestinian Territories: Assembling Media Worlds and Cultivating Networks of Care”, Middle East Journal of Culture and Communication, Tufts University, (2010), h. 73.

66

Di awal abad millennium tahun 2000, perkembangan teknologi khususnya komunikasi menjadi media yang sangat dimanfaatkan, terlebih di Palestina. Alat komunikasi tersebut dimanfaatkan sebagai media pengganti mural dan graffiti dalam menyebarkan semangat perjuangan dan mengajak rakyat Palestina agar ikut terlibat ke dalam aksi Intifadha Kedua. Namun pada situasi ini, signal telepon merupakan hambatan dan resiko terbesar terhadap rakyat Palestina. Sebab, kekuatan signal akan memungkinkan militer Israel untuk mencari para pejuang.

Akhirnya, opsi non-digital atau pesan lukis dinding datang kembali untuk melayani rakyat Palestina sebagai media short message service alternatif di masa

Intifadha Kedua. Mural dan graffiti kembali menjadi media penting terhadap elemen perlawanan dengan alasan yang sama seperti sebelumnya; mobilisasi, resistensi, dan memorialisasi.42 Akan tetapi, pada kesempatan kali ini budaya dari seni jalanan muncul dengan kekuatan penuh. Aktivis dan seniman lebih bebas dalam menarik mata audiens melalui eksistensi dinding di kota Gaza dan Tepi

Barat. Kebebasan ini telah memicu bentuk baru dari gambar yang lebih modern dan berwarna.

Namun, setelah terjadinya pembagian kekuasaan di wilayah Palestina pasca dibangunnya tembok pemisah antara Gaza dan Tepi Barat pada tahun 2002, di mana Hamas menguasai sepenuhnya wilayah Gaza sedangkan Fatah di Tepi

Barat, mengakibatkan terjadinya perbedaan parsial di masing-masing wilayah, tak terkecuali mengenai dinding.

42Sejak awal mula, mural Palestina telah melayani sejumlah fungsi utama: menentang pendudukan dan penindasan Israel, memvalidasi perlawanan rakyat palestina, termasuk melakukan perlawanan bersenjata, mengumpulkan penduduk untuk ikut berpartisipasi ke dalam aksi perlawanan, dan mengumumkan pejuang yang tewas dalam konflik tersebut. Mia Gröndahl, Gaza Graffiti: messages of love and politics, (Cairo: The American University in Cairo Press, 2009), h. 8.

67

Di Tepi Barat, Fatah memegang kendali atas munculnya mural dan graffiti terutama di area yang dikontrol oleh Otoritas Palestina seperti di kota Nablus dan

Jenin, serta kamp-kamp pengungsi seperti Aida dan Dheisheh. Tema goresan dinding pun masih sama seperti sebelumnya. Akan tetapi pada Intifadha Kedua, mural mayoritas berisi tentang gugurnya seseorang, hal itu menunjukkan bahwa resistensi rakyat Palestina masih terus berjalan. Namun isi goresan dinding tidak jarang pula yang berisikan kecaman terhadap keberadaan dinding pemisah.

Sementara itu, sebelum Hamas memegang kendali atas wilayah Gaza pada masa Intifadha Kedua, mural dan graffiti terlihat lebih banyak berisi kritikan terhadap Fatah yang merupakan bagian dari Otoritas resmi Palestina. Mereka menilai terjadinya Intifadha Kedua adalah bukti bahwa perundingan damai bukanlah jalan keluar untuk memerdekakan Palestina secara penuh, seperti yang terkandung dalam graffiti, “Hentikan negosiasi dengan musuh…!!”.43 Kritikan

Hamas yang selalu muncul pada dinding di wilayah Gaza, menyebabkan pihak

Otoritas Palestina yang pada saat itu masih menguasai penuh seluruh tanah air, kembali menerapkan sensor terhadap agresifitas mural-mural Hamas. Namun setelah pengambilalihan kekuasaan oleh pihak Hamas, dinding menjadi kontrol

Hamas. Hamas hanya mengizinkan satu tema untuk digoreskan pada dinding, hal tersebut menjadikan keanekaragaman graffiti dan mural menghilang. Tetapi dalam situasi seperti ini, seniman Hamas memiliki ruang untuk melukis mural dan graffiti secara terbuka. Di sisi lain, faksi Fatah yang berada di Gaza terdegradasi ke posisi kecil dalam kehidupan politik, mereka hanya diizinkan melukis mural terkait dengan tema peringatan kesyahidan atau ucapan untuk hari besar Islam,

43Mia Gröndahl, Gaza Graffiti: messages of love and politics, (Cairo: The American University in Cairo Press, 2009), h. 11.

68

“Kami dari Fatah berharap semua orang merayakan Idul Fitri – Selamat hari libur”.44 Pada satu waktu ketika pelukis Fatah ingin melukis pesan politik, maka mereka harus bekerja dengan cara yang relatif rahasia. Sebab jika tidak demikian, polisi Hamas akan memenjarakan mereka.45

C. Makna dari Simbol Teks dan Gambar

Hampir setiap goresan dinding di Palestina selalu disertakan dengan tanda tangan, atau dalam seni jalanan disebut tagging. Tagging adalah simbol yang sering dipakai untuk menciptakan ketenaran seseorang atau kelompok. Semakin banyak graffiti atau mural yang disertakan dengan tagging serupa, maka semakin terkenal pula nama pembuatnya. Oleh sebab itu, tagging merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari seni dinding.

Di Palestina tagging merupakan standarisasi lukisan dinding yang telah terdaftar dalam afiliansi suatu faksi, dengan demikian akan dianugerahi otentisitas dan legitimasi. Selama terjadinya gerakan Intifadha Pertama, seluruh elemen kelompok pergerakan mempunyai seniman mural sendiri-sendiri. Masing-masing dari mereka mempunyai ciri khas untuk menandakan keberadaan atas mural tersebut. Tagging yang sering terlihat adalah akronim Fatah, simbol PFLP (peta

Palestina dilalui oleh panah horizontal yang diarahkan ke barat), simbol Partai

Komunis (palu merah dan sabit), akronim Hamas, UNL, dan aksara Arab dari

44Mia Gröndahl, Gaza Graffiti: messages of love and politics, h. 53 45Polisi Hamas sering memenjarakan seniman Fatah yang tertangkap sedang memproduksi mural politik, hal ini terjadi semenjak pengambilalihan Gaza oleh pihak Hamas. Lihat Bill Roston, Messages of allegiance and defiance: the murals of Gaza, (London: Institute of Race relation, h. 50).

69

QWM (Al-Qiyadi Al-Wataniyya Muwahhida), simbol dari pasukan mogok QD

(Quwwat Al-Darb).46

Tulisan mural biasanya dibuat dengan warna hitam, namun pada kesempatan lain mereka muncul dengan beragam warna. Hamas menggunakan warna hijau yang dianggap warna suci Islam, Partai Komunis dan PFLP menggunakan warna merah, sedangkan Fatah, UNL, dan QD menggunakan warna hitam. Simbol kelompok memiliki rasa sentimen, tagging, dan warna menyatakan keberadaan dan kontrol dalam wilayah tersebut.47 Politik melalui teritolialisasi bukan hanya memiliki kemampuan untuk membaca tanda-tanda yang disandikan tetapi juga memobilisasi kaum muda di suatu daerah untuk melakukan tindakan beresiko, seperti melukis dan menulis di dinding.

Banyak cara dan bentuk yang dilakukan pemuda dalam menyebarkan pesan dinding kepada para audiens, baik menggunakan teks kalimat atau hanya menggunakan sebuah gambar tanpa kalimat.

1. Teks Dinding

Pada awalnya, jenis goresan dinding pada masa Intifadha Pertama berbentuk tulisan sederhana. Karena aksi dinding mayoritas diisi oleh para pemuda yang hanya ingin mengekspresikan kekesalannya terhadap pendudukan.

Namun aksi tersebut telah menarik perhatian segenap kelompok gerakan politik di

Palestina dan kemudian menjadikannya sebagai anggota. Walaupun demikian, pada kenyataanya hanya Hamas yang serius menggunakan seni jalanan sebagai

46Selengkapnya lihat lampiran 4.2. 47Jonathan Matusitz. Symbolism in Terrorism: Motivation, Communication, and Behavior. (Lanham: Rowman & Littlefield, 2014), h. 124.

70

alat penyebar pesan perlawanan. Upaya keseriusan Hamas tersebut terlihat, ketika mereka memberikan pelatihan kepada para pemuda untuk membuat mural dengan model kaligrafi Arab. Hamas berasumsi bahwa dinding sangat dibutuhkan untuk mengumpulkan orang-orang serta memberi mereka kekuatan dalam melawan pendudukan, karena tulisan dinding memiliki efek psikologis yang besar.

Asumsi tersebut lahir karena dengan model penyampaian dari kualitas mural kaligrafi yang mana hal tersebut merupakan bentuk penghormatan bahasa

Arab sebagai bahasa suci Al-Qur’an, dapat membuat maknanya semakin kuat.

Serta ditambah dengan kalimat bernada profokatif, semakin menjadikan seseorang merasa memiliki power untuk melakukan perlawanan.48

Pada kesempatan lain tidak jarang mural muncul dengan tulisan Allah yang berada di setiap sudut atau bagian-bagian tersembunyi.49 Makna tulisan tersebut mampu membakar semangat perjuangan rakyat Palestina, dan tulisan

Allah dianggap sebagai sumber kekuatan mereka di saat lemah serta membuat keberadaan-Nya terasa lebih dekat bahkan menyatu. Kepercayaan inilah yang menjadi kekuataan atas tindakan politis selama gerakan Intifadha.

Selain berisi kalimat, mural teks juga terkadang muncul dengan model ringan seperti bentuk matematika sebagai kalimat sandi yang simpel namun memiliki makna dalam, “Fahd+Assad= Mouse”, dan “1948+1967= Palestine”.50

48Pada zaman pra-Islam terdapat kepercayaan yang meyakini bahwa dalam setiap tulisan dapat mengandung unsur magis serta inspirasi atau kekuatan. 49Selengkapnya lihat lampiran, 4.3. 50Jonathan Matusitz. Symbolism in Terrorism: Motivation, Communication, and Behavior. (Lanham : Rowman & Littlefield, 2014), h. 127.

71

Pada model pertama kata Fahd merupakan arti dari panther dan merupakan nama dari Raja Arab Saudi. Sedangkan Assad berarti singa yang merupakan nama dari Presiden Suriah. Persamaan ini untuk mengingatkan rakyat Palestina bahwa mereka seharusnya mendapatkan bantuan dari bangsa Arab, namun mereka menutup mata akibat ketakutannya terhadap Israel. Kata Fahd dan Assad yang mempresentasikan kekuatan, pada kenyataanya mereka lemah dan tidak memiliki kekuatan, yang diibaratkan seperti tikus.

Di model kedua, angka 1948 dan 1967 mengacu pada memori sejarah

Palestina. angka 1948 mengingatkan bahwa di tahun tersebut lebih dari 700.000 penduduk Palestina telah diusir dari wilayahnya sendiri yang disebut dengan peristiwa Nakbah. Sementara 1967 mengingatkan tentang perebutan wilayah teritorial Palestina oleh Israel. Sandi mural tersebut seolah-olah mengatakan kepada rakyat Palestina bahwa semua yang diambil Israel adalah milik bangsa

Palestina dan harus direbut kembali.51

2. Gambar Dinding

Di samping tagging yang digunakan sebagai kode suatu faksi Palestina dan teks kalimat untuk membawa pesan, simbol gambar juga turut hadir guna memaknai serangkaian undangan perlawanan rakyat sekaligus penanda eksistensi faksi (baca: ikon). Gambar hadir sebagai pesan singkat tanpa kalimat. Gambar- gambar yang sering muncul adalah kepalan tangan, tanda V, senapan, bendera

Palestina, peta Palestina, kunci dan Masjid Dome of Rock. Kepalan tangan dan tanda V telah menjadi simbol yang dapat dikenali secara global sebagai aksi

51Jonathan Matusitz. Symbolism in Terrorism: Motivation, Communication, and Behavior, h. 128.

72

pemberontakan dan perlawanan selama beberapa dekade hingga kini. Simbol kepalan tangan dilambangkan dengan arti kuat, tak tergoyahkan, hingga sikap keras, sedangkan tanda V, memiliki arti Peace.52

Terkadang gambar muncul bersama tagging, seperti mural dengan makna nasionalisme dan perlawanan yang terlihat pada salah satu gambar dengan tagging

FTH (Fatah) yang melintasi gambar peta Palestina, bagian utara peta diubah menjadi sosok manusia yang membawa bendera Palestina serta mural berbentuk bendera Palestina dengan penuh warna (putih, merah, hijau, dan hitam) terlihat dan ditagging oleh qd. Bagi rakyat Palestina, warna bendera mereka memiliki arti:

1. Warna Putih melambangkan kedamaian,

2. Warna Merah melambangkan darah para syuhada,

3. Warna Hijau mewakili kesuburan Palestina (bagi umat Muslim merupakan

warna Islam),

4. dan Warna Hitam mengacu pada penjajah.53

Dengan demikian dilihat dari sudut pandang umum, makna warna bendera tersebut melontarkan pesan ke khalayak publik tentang pembenaran tehadap aksi

Intifadha. Berbeda dengan mereka, di Gaza, beberapa mural Hamas berfungsi sebagai badan pengawas terhadap warga sipil Palestina, seperti gambar jari telunjuk dengan tangan mengepal ke arah langit. Gambar tersebut memiliki

52Jonathan Matusitz. Symbolism in Terrorism: Motivation, Communication, and Behavior, h. 129. 53Julie Peteet. “The writing on the walls: the graffiti of the intifada”, Cultural Anthropology Vol. 11, no. 2, (1996), h. 141.

73

makna untuk mempresentasikan penanda wilayah sekaligus peringatan Hamas terhadap warganya yang menyimpang dari jalan Islam.54

D. Tema-tema Mural Intifadha

Selama berlangsungnya Intifadha dari tahun 1987 hingga 1993 dan muncul kembali pada abad millennium 2000, dinding-dinding di Palestina telah berubang fungsi, dari yang hanya sebagai elemen memperkokoh bangunan menjadi elemen pembantu perjuangan. Secara fisik, mural memang tidak bergantung kepada kemajuan teknologi, karena potensi goresan cat dapat timbul di mana saja selama memiliki akses ruang kosong. Akan tetapi, sifat interaktif dengan audiens merupakan hal wajib, sebagai platform komunikasi ke khalayak luas. Dengan demikian, mural dialamatkan langsung kepada setiap orang untuk menarik perhatian akan sebuah cerita yang tidak terhitung, sehingga tanpa rasa malu, mural telah menjadi bagian dari media protes dan perlawanan yang dimaksudkan untuk menciptakan propaganda.55

Di Palestina, mural telah banyak ditekan sebagai akibat dari adanya pendudukan. Para pemuda Palestina melukiskan gambar terkait dengan tema perlawanan terhadap kekuatan imperialisme, rasisme, dan penindasan Israel.

Dalam konteks ini, dinding telah mengambil peran sebagai seorang pendongeng yang menceritakan kisah tentang masyarakat tertindas sejak Israel datang.

54Selengkapnya lihat lampiran 4.4. 55Pada hakikatnya mural memang indentik dengan seni protes. Protest art atau seni protes merupakan sebuah istilah yang mengacu pada sikap kepedulian melalui karya kreatif yang diproduksi oleh aktifis atau gerakan sosial. Mereka menghasilkan karya untuk menyampaikan pesan dari kejadian tertentu dan karya tersebut muncul sebagai panggilan kepada khalayak luas guna menunjukkan seseorang atau kelompok yang sedang termarjinalkan dapat dilihat dan didengar. Lihat Jean Robertson. Themes of Contemporary Art - Visual Art after 1980, (New York : Oxford University Press, Inc. 2005), h. 42.

74

Akibatnya, seni visual mendapat perhatian lebih karena memiliki peran yang menonjol dari bentuk ekspresi diri terhadap perlawanan rakyat Palestina.

Sebagai media komunikasi, relasi, dan interaksi, mural berusaha menguraikan pesan kecaman dan perlawanan terhadap agresi militer Israel dengan mempresentasikan secara luas gambaran dramatis para korban.56 Namun, selain berisi tema-tema tentang sebuah aksi protes dan perlawanan, mural Palestina juga selalu menyajikan tema-tema besar lain yang selalu muncul selama masa-masa

Intifadha Pertama ataupun Kedua, di antaranya:

1. Tahanan Palestina

Selama Perang Enam Hari pada tahun 1967 dan Intifadha Pertama, telah diperkirakan sekitar 600.000 rakyat Palestina dipenjarakan.57 Pada akhir

Desember 2012, perkiraan tersebut meningkat menjadi 800.000 orang, seperlima dari populasi penduduk Palestina dan mayoritas tanpa melalui pengadilan.58

Menurut Kementerian Tahanan dan Eks-tahanan Palestina, Israel menangkap sekitar 10.000 anak-anak Palestina pada dekade awal Intifadha Kedua.59

Mengingat statistik ini, tidaklah mengherankan bahwa pembebasan tahanan sering menjadi tema pembahasan dalam setiap mural Palestina sebagai bentuk dukungan terhadap mereka.

56Bill Roston. Messages of allegiance and defiance: the murals of Gaza. (London: Institute of Race relation, 2014), h. 55. Lihat lampiran 4.5 57Statistik penangkapan, pemenjaraan, dan penyiksaan, Palestinian Centre for Human Rights. http://www.pchrgaza.org/arrests_torture_stat.html, (akses: 28/2/15) 58Mohammed Mar’i, Israeli Forces arrested 800.000 Palestinians since 1967, (Saudi Gazette: 12 Desember 2012). http://www.saudigazette.com.sa/index.cfm?method, (akses: 28/2/15). 59Mohammed Mar’I, Israel arrested 10.000 Palestinian Children since 2000, (Saudi Gazette: 30 September 2013). http://www.saudigazette.com.sa/index.cfm?method=20130930, (akses: 28/2/15).

75

Hal ini merupakan aksi kampanye sekaligus bertujuan untuk meningkatkan kesadaran rakyat Palestina terhadap penderitaan para tahanan serta membangun rasa solidaritas terhadap perjuangannya dan mengupayakan kebebasan mereka.60

2. Kesyahidan

Dinding memberikan laporan tentang korban tewas, sebagai langkah untuk membangkitkan sentimen masyarakat serta perasaan kehilangan.61 Namun, sebuah kehormatan yang tinggi apabila nama para korban tercantum pada dinding, sebab mereka akan diangkat statusnya sebagai seorang syuhada secara nasional (baca: pahlawan), hal ini mengindikasikan bahwa gerakan Palestina memiliki kekuatan dan legitimasi untuk memutuskan siapa yang menjadi syahid62 dan pengorbanan serta kematian mereka perlu dikenang.63 Selain itu, munculnya daftar korban tewas pada dinding menunjukkan adanya hari berkabung bagi rakyat Palestina.

Peringatan 40 harian untuk orang yang telah meninggal, merupakan kebiasaan di kalangan Muslim Palestina. Namun hal itu diperpanjang menjadi peringatan tidak terbatas untuk berkabung kepada para syuhada Intifadha. Dari awal Intifadha, serangkaian anjuran terhadap perilaku rakyat Palestina telah dicantumkan dan sebagian besar ditaati, seperti; tidak ada pesta dan tidak ada

60Lihat lampiran 4.6. 61Pada awalnya Hamas sempat melarang adanya potret para pejuang yang gugur di dinding. Namun atas nasihat para pemimpin Islam Palestina yang mengatakan, “seseorang mungkin telah keliru menganggap nama tersebut adalah sosok yang kudus”, banyak mural di seluruh Gaza menggambarkan seorang pria bersenjata yang tewas dalam aksi. Mereka mengenakan seragam dan senjata, dengan bangga saat mereka terlihat seperti memandang langsung ke arah audiens. Bersama simbol kelompok militer mereka (Hamas, Jihad Islam atau Fatah). Lihat Bill Roston. Messages of allegiance and defiance: the murals of Gaza. (London: Institute of Race relation, 2014, h. 42). 62Syuhada merupakan istilah agama dan bagi bangsa Palestina sebutan tersebut menunjuk kepada siapa saja yang berjuang dan menolak pendudukan Israel. 63Selengkapnya lihat Lampiran 4.5.

76

yang menari. Para perempuan dianjurkan untuk tidak berpakaian mewah atau dengan make up yang berlebihan, bahkan acara pernikahan harus berlangsung dengan sangat sederhana. Singkatnya, rakyat Palestina tidak diperkenankan memanjakan diri dalam bentuk kesenangan yang berlebihan, upaya demikian dilakukan untuk menghormati para syuhada.64

Dinding sebagai media memorialisasi para korban dan syuhada bertujuan untuk menimbulkan rasa empati, dorongan, dan identifikasi dengan orang-orang yang telah kehilangan nyawa. Dinding juga memberikan perasaan bersalah kepada para korban serta refleksi diri, karena ketika seseorang melihat nama-nama korban di dinding, mereka akan merasa seperti tidak memberikan kontribusi yang cukup untuk negaranya sendiri.65

Bukan hanya sekedar media memorialisasi atau batu nisan semata, namun berdirinya mural tersebut merupakan contoh dan panutan bagi orang lain, tentang arti sikap pengorbanannya dalam membangun bangsa, dan membuat sebutan mati syahid menjadi terlihat heroik bagi generasi sekarang dan masa depan rakyat

Palestina dalam memperjuangkan kemerdekaannya.66

3. Nakba Day

Ruang memori publik rakyat Palestina tersusun di sekitar peristiwa Nakba, hal itu karena Nakba terikat secara temporal dan spasial. Nakba day, atau Yaum

Nakba yang dalam bahasa Indonesia berarti hari malapetaka, merupakan hari peringatan atas didirikannya negara Israel dari sudut pandang bangsa Palestina.

64Julie Peteet. “The writing on the walls: the graffiti of the intifada”, Cultural Anthropology, Vol. 11, no. 2, (1996), h. 153. 65Julie Peteet. “The writing on the walls: the graffiti of the intifada”, h. 154. 66Lihat Lampiran 4.7.

77

Proklamasi pendirian Israel pada tanggal 14 Mei 1948 bagi orang-orang Zionis merupakan perwujudan cita-cita bersejarah kaum Yahudi yang tersebar di berbagai negara dan menginginkan adanya persatuan di suatu wilayah atau negara.

Namun bagi bangsa Palestina, hari tersebut menjadi tonggak pengusiran ratusan ribu orang Arab Palestina. Pengusiran tersebut terus berlangsung hingga kini, diperkirakan sekitar lima juta orang Palestina hidup terusir dan menyebar ke berbagai wilayah atau menjadi pengungsi di dalam wilayah Palestina. Mayoritas dari mereka masih memegang kunci dan sertifikat rumah yang sebagian telah dihancurkan atau ditempati warga Israel. Dengan demikian, Nakbah menjadi peristiwa yang tidak dapat dilupakan dari memori rakyat Palestina.

Namun tidak hanya sebagai situs memori, Nakba juga menjadi simbol dari semua yang telah hilang. Dan lukisan mural menjadi salah satu media yang paling aktif menyuarakan peristiwa tersebut. Mural bertansformasi menjadi ruang masa lalu di mana lanskap visual mengajak para audiens berdialog tentang kenangan mereka. Peristiwa Nakba diidealisasikan terhadap kerasnya kenyataan pengalaman warga Palestina di tenda pengasingan, sehingga memori publik tersebut seperti sebuah dialog yang membangkitkan beberapa kenangan pribadi mereka.67 Secara bersamaan, diskursif tersebut menyediakan dorongan yang kuat terhadap identitas mereka di masa sekarang serta mendefinisikan daerah asal mereka yang sebenarnya dan berdampak pada ambisi seseorang untuk kembali pulang.

67Wacana popular yang mengiringi tema tersebut adalah tentang gambaran desa hijau yang indah serta masyarakat dengan kehidupan damai di tanah air, sampai puncak bencana rakyat Palestina datang pada peristiwa Nakba. Kehidupan mereka yang sempurna hilang, serta munculnya tindakan ketidakadilan yang dilakukan terhadap mereka. Wacanan tersebut dilakukan sebagai upaya untuk membakar semangat rakyat Palestina tentang usaha mereka kembali ke desa asalnya di Palestina. Lihat Bill Roston. Messages of allegiance and defiance: the murals of Gaza, (London: Institute of Race relation, 2014, h. 60).

78

E. Dampak Mural

Munculnya mural pada dinding merupakan isyarat keberhasilan para pemuda Palestina mengalahkan pengawasan Israel. Penampakan mural tersebut sering terlihat di dinding-dinding ruang publik seperti; jalan umum, lapangan, dan area komersial padat.68 Akan tetapi, membaca mural tidak seperti membrowsing di sebuah perpustakaan atau toko buku untuk memilih tema bacaan, karena mereka tidak memiliki alokasi khusus dalam menentukan masing-masing tema pada setiap wilayah. Namun, dinding tidak diproduksi dan dikemas sebagai genre yang berbeda dari sebuah buku atau surat kabar, mereka juga tidak membentuk perbedaan estetika dengan pembaca. Satu-satunya modal yang harus dimiliki untuk membaca dinding adalah mengerti huruf Arab, karena pada dasarnya mural dihiasi oleh tulisan Arab. Akan tetapi, pada kesempatan lain hal tersebut tidak terlalu diperlukan, karena seseorang akan membacakanya dan menyebarkan bacaan tersebut ke orang lain. Dengan demikian, konten mural tersebut ditujukan untuk audiens internal.

Sebagai praktek sosial, membaca dinding didasarkan pada posisi serta pengalaman Palestina di bawah payung kekuasaan pendudukan Israel. Dinding diartikan sebagai bentuk kesatuan sentimen dan identitas, serta panggilan untuk melakukan tindakan. Sedangkan bagi masyarakat Israel di wilayah pendudukan, mural dianggap sebagai bentuk pembangkangan dan prilaku anarkis tanpa hukum.

Tetapi menurut analisa tentara Israel, hal tersebut adalah sebuah pelanggaran

68Jonathan Matusitz. Symbolism in Terrorism: Motivation, Communication, and Behavior. (Lanham : Rowman & Littlefield, 2014), h. 123.

79

hukum, karena munculnya mural merupakan penanda bahwa mereka akan segera berhadapan dengan konfrotasi masa.

1. Bagi rakyat Palestina

Mural dapat mensugesti audien untuk melakukan tindakan, hal ini mengacu kepada rakyat Palestina yang secara kolektif menolak keberadaan pendudukan di wilayah mereka. Dalam kategori sebagai pembaca, mereka dapat dianggap sebagai komunitas interpretif dan konstitutif. Radway mengatakan,”sebagai pembaca, mereka disatukan oleh tujuan umum, preferensi dan prosedur penafsiran”.69 Membaca mural sama seperti membaca teks, tidak terjadi dalam “ruang hampa”, tetapi terdapat persoalan yang menyangkut tentang masalah bersejarah, tempat, dan pengalaman mereka.

Keberadaan mural yang merata dan menyeluruh, membuat mereka sulit menghindari pandangannya dari warna warni hiasan dinding. Akibatnya, rakyat

Palestina selalu memberi perhatiannya kepada goresan dinding tersebut. Tidak berhenti sampai di sana, mereka juga memahami arti dari kemunculan mural pada dinding. Setiap pagi hari saat melihat mural baru yang hadir, mereka dapat menyimpulkan bahwa perlawanan masih terus berlanjut. Asumsi tersebut memunculkan penafsiran bahwa ada seseorang yang sedang mempertaruhkan hidupnya dan menyatakan keberadaan mereka tinggal di wilayah ini.

Beberapa rakyat Palestina, menganggap dinding seperti layaknya headline news pada sebuah koran. Karena pada umumnya, mural diproduksi ketika terjadi

69Janice Radway. Interpretive Communities and Variable Literacies: The Functions of Romance Reading. In Rethinking Popular Culture: Contemporary Perspectives in Cultural Studies, (Berkeley: University of California Press, 1991), h. 470.

80

sesuatu yang “panas” atau memberitakan peristiwa yang sedang terjadi. Mereka telah memahami bahwa mural tersebut tidak akan bertahan lama dan biasanya akan diblok beberapa hari setelahnya. Untuk itu, ketika sedang berjalan dan melihat corat-coret mural, mereka dengan segera mendatanginya untuk mengetahui apa yang baru saja dituliskan. Bahkan terkadang, rakyat Palestina sengaja mendatangi dan berdiri di depan mural untuk dibacanya sebagai sarana, baik hanya untuk mendapatkan informasi berita atau bahkan himbauan melakukan aksi. Akibatnya, isi mural tersebut sering dibawa pulang untuk dijadikan tema pembahasan yang memicu diskusi sosial politik, baik di kelompok-kelompok kecil seperti keluarga dan kerabat, atau di suatu perkumpulan masyarakat

Palestina.70

2. Sikap dan Respons Tentara Israel

Tindak kekerasan yang sering dilakukan tentara Israel tidak hanya dialamatkan kepada seorang pembuat mural semata, namun juga pembaca mural.

Sikap tersebut merupakan langkah antisipasi tentara Israel, karena mereka beranggapan bahwa mural pasti menyerukan provokasi dan mensugesti audiens untuk melakukan perlawanan. Tindakan radikal Israel adalah bukti pengakuan akan bahaya yang ditimbulkan dari praktik sosial tersebut. Adanya pemberlakuan sensor oleh Israel, semakin memperjelas pengakuan tentang bahaya yang ditimbulkan dari sifat dasar sosial seperti membaca.

70Seorang wanita yang sudah tua di wilayah Yerusalem, graffiti sering menjadi titik tolak untuk diskusi politik dengan anak-anaknya. Dia menemukan informati graffiti dari sikap berbagai faksi perlawanan. Setelah membaca grafiti tertentu ia akan meminta anak-anaknya berpendapat tentang sikap yang diambil di dalamnya. Lihat Julie Peteet, “The writing on the walls: the graffiti of the intifada”, Cultural Anthropology, Vol. 11, no. 2, (1996), h. 159.

81

Dinding pada umumnya dilukis pada larut malam ataupun dini hari, namun tentara Israel seringkali mengadakan patroli malam dan terkadang mendapati para pemuda yang sedang beraksi. Walaupun di lain waktu, membaca mural tidak menimbulkan efek terhadap audiens, namun tetap saja Israel menganggap hal tersebut merupakan sebuah pelanggaran. Sebab, menggambar dan menulis dengan tujuan untuk disebarluaskan kepada khalayak umum tanpa melalui izin badan sensor Israel adalah tindakan ilegal. Dan disuatu waktu tentara

Israel terkadang menggunakan kekerasan dengan memukuli atau bahkan menembak para pemuda Palestina yang sedang beraksi membuat mural.71

Seperti permainan “kucing-kucingan” antara pemuda Palestina dengan tentara Israel, namun kali ini dengan resiko kematian. Bentuk mural seringkali berubah-ubah dalam setiap waktu pada tempat yang sama. Suatu ketika mural muncul dan pada waktu berikutnya ia diblok dengan cat hitam oleh tentara Israel, namun selang kemudian muncul kembali. Hal tersebut terkadang membuat Israel meradang, sehingga tentara Israel semakin serius menanggapi fenomena dinding yang “berbicara” ini.

Upaya keseriusan Israel dalam menanggapi fenomena praktek sosial yang semakin marak ini kian terlihat ketika mereka membentuk sebuah badan operasi khusus The Arabized Unit. Badan tersebut bertugas untuk mencari dan mengejar para pembuat mural serta memaksa keluarga mereka membersihkan

71Dalam berita yang dilansir oleh Reuters (sebuah kantor berita yang bermarkas di London, Inggris. Dan didirikan pada tahun 1851), pada tanggal 5 desember 1992, dari camp pengungsi Khan Younis di daerah Jalur Gaza melaporkan bahwa bentrokan antara pasukan Israel dan warga Palestina yang menyebabkan seorang anak tewas dan 13 orang terluka, ketika tentara mulai mengejutkan sebuah kelompok yang terdiri atas lima orang pria bertopeng sedang menyemprotkan mural.

82

mural pada dinding-dinding Palestina, bahkan terkadang Israel memaksa semua orang yang tinggal di suatu gang untuk membersihkan dinding secara bersama- sama. Pada suatu kesempatan dengan menggunakan mobil Jeep, tentara Israel membawa dan mengumpulkan lima hingga enam orang pemuda yang berbaris di bawah todongan senjata untuk segera memblok mural tersebut dengan cat hitam.72

Langkah keseriusan tentara Israel terhadap mural juga terlihat ketika mereka melarang adanya penjualan cat di setiap toko, namun hal itu gagal.

Kegagalan kebijakan tersebut tidak membuat Israel berputus asa, sebagai upaya untuk meredam aksi mencorat-coret dinding, mereka mulai menggunakan kendaraan khusus yang dapat menyemprotkan tar hitam guna menghapus mural pada dinding. Penyemprot otomatis tersebut dipasang pada badan truk Israel, sehingga secara instan ia mampu memblok mural bahkan yang letaknya tinggi.73

Dengan demikian, terlihatlah perbedaan “kekuatan” antara sipil Palestina dan tentara Israel. Sama seperti perlawanan yang tersaji pada lanskap Intifadha ketika rakyat Palestina melawan tentara Israel dengan menggunakan batu, lalu direspon dengan menggunakan peluru tajam oleh Israel, sehingga hal tersebut memperlihatkan bentuk ketimpangan kekuatan teknologi antara Palestina dan

Israel.

Akan tetapi, Budaya mencoret dan menghapus telah menyisakan sebuah cerita dibalik “permainan” yang berlangsung pada setiap harinya. Mengambil dari

72Militer order no. 1.260, diresmikan pada bulan November 1988. “pemilik properti yang bertanggung jawab atas graffiti di dinding mereka dan wajib untuk menghapusnya. Lihat Al-Haq, “A Nation under Siege”, Al-Haq Annual Report on Human Rights in the Occupied Palestinian Territories, (1989), h. 257-258. 73Seperti mural di Irlandia Utara yang menimbulkan respons teknologi serupa dari tentara Inggris, disebut “paint-bombed” mural PLO/IRA. Lihat Bill Rolston, Politics, Painting and Popular Culture: The Political Wall Murals of Northern Ireland. (Media, Culture and Society 1987, h. 23).

83

kemunculan serta kuantitas, permainan dinding tersebut seperti sebuah perlombaan dengan makna, siapa yang akan memiliki kata-kata terakhir.74

Walaupun dalam pertempuran dinding selalu dimenangkan oleh pihak Israel.

Namun pada saat yang sama, para pemuda menyatakan rasa bangga bahwa ternyata pesan mereka cukup kuat untuk memprovokasi para tentara Israel, sehingga mereka mengambil tindakan.

74Mia Gröndahl, Gaza Graffiti: messages of love and politics. (Cairo: The American University in Cairo Press, 2009), h. 152.

PENUTUP

BAB V

A. Kesimpulan

Kemunculan mural di Palestina ditandai dengan ditutupnya akses media oleh

Israel, sehingga rakyat Palestina untuk pertama kalinya tidak mendapatkan akses informasi atau bahkan sekedar mengatakan apa yang sedang terjadi, terkait perkembangan mereka di bawah rezim pendudukan Israel. Selama masa-masa

Intifadha Pertama, kehadiran mural bukan sebagai elemen penghias ruang, melainkan sebagai media mobilisasi massa terkait ajakan untuk melakukan aksi-aksi perlawanan. Akan tetapi, menjelang tahun-tahun berakhirnya Intifadha Pertama yang bertepatan dengan perjalanan menuju Perjanjian Oslo, lanskap mural mulai terlihat berubah dari yang berkutat pada isu perjuangan melawan Israel, menjadi kisruh persaingan politik internal Palestina. Puncaknya setelah Perjanjian Oslo, fenomena keberadaan mural mulai menghilang, hal tersebut karena isi konteks Perjanjian Oslo yang mengatakan bahwa keberadaan mural harus disapu bersih, sehingga era warna- warni dari mural mulai meredup. Pada masa ini Palestina mulai membangun kembali media-media yang sebelumnya “dimatikan” Israel. Namun pada tahun 2000, ketika

Palestina kembali bergejolak, Israel sekali lagi menutup akses media Palestina.

Sehingga dengan demikian, Palestina kembali kehilangan akses medianya. Dan akhirnya, opsi pesan dinding kembali hadir dengan kekuatan penuh, di mana mural-

84 85

mural muncul lebih bewarna dan bervariasi dibandingkan pada saat Intifadha

Pertama.

Secara garis besar, tema pembahasan yang selalu hadir pada mural di

Palestina selama masa Intifadha adalah tentang perlawanan. protes, tahanan Palestina, kesyahidan, dan peristiwa Nakba day. Mural tersebut terbentuk bukan tanpa sebuah makna, akan tetapi mereka hadir sesuai dengan keadaan dan kondisi nyata rakyat

Palestina.

Keberadaan mural telah memberi dampak terhadap aktifitas keseharian kedua belah pihak, baik sipil Palestina maupun tentara Israel. Bagi Palestina, mengartikan mural seperti layaknya koran, mereka akan meluangkan waktunya untuk sekedar berdiri dan melihat apa yang tertuangkan pada dinding. Sedangkan Israel menganggap keberadaan mural merupakan suatu pelanggaran, karena menulis dan menyebarkan ke khalayak luas tanpa melalui izin badan sensor Israel merupakan sesuatu yang ilegal. Sehingga tentara Israel selalu mencari cara untuk meredam aksi mural, mulai dengan cara memberi denda, penyerangan, ataupun menggunakan mobil khusus yang dapat menyemprotkan tar hitam guna menutupi keberadaan mural. Pada akhirnya, terciptalah pertarungan baru yang muncul dari konflik Israel – Palestina, yaitu lanskap menulis dan menghapus.

DAFTAR PUSTAKA

Bachtiar, Anwar. Hamas Kenapa Dibenci Israel. (Jakarta: Hikmah, 2008).

Bahn, P. G. The Cambridge Illustrated History of Prehistoric Art, (Cambridge: Cambridge University Press, 1997).

Brian, Ladd. The Ghosts of Berlin: Confronting German History in the Urban Landscape. (Chicago and London: the University of Chicago Press, 1997).

Bröning, Michael. The Politics of Change in Palestine. State-Building and Non- Violent Resistance. (London: Pluto Press, 2011).

Burge, M. Gary. Palestina Milik Siapa?. (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2010).

Campbell, Bruce. Mexican Murals in Times of Crisis. (Tucson Ariz : The University of Arizona Press, 2003).

Dudung, Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2009).

Fromkin, David. A Peace to End All Peace: The Fall of the Ottoman Empire and the Creation of the Modern Middle East. (New York: Owl, 1989).

Garaudy, R. The Case of Israel: a study of political Zionism. (London: Shorauk, 1983).

Heinz, Kuzdas. Berliner Mauer Kunst/Berlin Wall Art. (Berlin: Elefanten Press, 1999).

J.R, Hiltermann. Behind the Intifada. Labor and Women's Movements in the Occupied Territories. (Princeton, NJ : Princeton University Press, 1991).

Jamal, Amal. Media, Politics and Democracy in Palestine. (Sussex : Academic Press. 2005).

86 87

Jawad, Saleh Abdul. Israel’s Policy of De-Institutionalization. (London: Jerusalem Center for Development Studies, 1987).

Judith, Hand. A Future Without War: The Strategy of a Warfare Transition. (San Diego, CA: Questpath Publishing, 2006).

Kerr, R. Republican Belfast: A Political Tourists Guide. (Belfast: MSF Press, 2008).

Khalidi, Rashid. Palestinian Identity. (New York: Columbia University Press, 1998).

Loren, D. Lybarger. Identity and Religion in Palestine: The Struggle Between Islamism and Secularism in the Occupied Territories. (California: Princeton University Press, 2007).

Matusitz, Jonathan. Symbolism in Terrorism: Motivation, Communication, and Behavior. (Lanham : Rowman & Littlefield, 2014).

Miler, Rory dan Allan Shatter. Ireland and the Palestine Question 1948-2004. (Irlandia : Irish Academic Press, 2005).

Mishal, Shaul. The Palestinian Hamas: Vision, Violence, and Coexistence. (New York: Columbia University Press, 2006).

Moscovitz, Talia. Through the Wall: The West Bank Wall as Global Canvas. (Northeastern University, Boston : College of Arts & Sciences, 2007).

Nimer, Mohammed Abu. Nirkekerasan dan Bina-Damai dalam Islam: Teori dan Praktik. (Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina, 2010).

Norman, Julie M. The Second Palestinian Intifada: Civil Resistance. (London: Routledege, 2010).

Ramadan, Adam. A Refugee Landscape: Writing Palestinian Nationalisms in Lebanon. (London: University of Oxford, 2008).

88

Robertson, Jean. Themes of Contemporary Art - Visual Art after 1980. (New York : Oxford University Press, Inc. 2005).

Rolston, Bill. “Messages of Allegiance and Defiance: the Murals of Gaza”. (London: Institute of Race Relations, 2014).

Rolston, Bill. Politics, Painting and Popular Culture: The Political Wall Murals of Northern Ireland. (Media, Culture and Society 1987).

Rolston, Bill. The War of The Walls: Political Murals in Northern Ireland. (Belfast: University of Ulster, 2003).

Schiff, Ze’ev dan Ehud Ya’ari, Intifada: The Palestinian Uprising -- Israel’s Third Front. (New York: Simon and Schuster, 1990).

Setem, I Wayan. Seni Mural Sebagai Media Penyampaian Aspirasi Rakyat : Sebuah Kajian Politik Identitas. (Denpasar : Institut Seni Indonesia Denpasar, 2011).

Smith, D. Charles. Palestine and The Arab Israel Conflict. (Indiana: Bedford, 2007).

Susanto, Budi. Politik dan Postkolonialitas di Indonesia. (Yogyakarta : Kanisius, 2003).

Susanto, Mikke. Diksi Rupa. (Yogyakarta: Kanisius, 2002).

Artikel :

Beinin, Joel dan Lisa Hajjar. “Palestine, Israel and the Arab Conflict A Primer”, The Middle East Research and Information Project, (2014), h. 1-16.

Bishara, Amahl. “New Media and Political Change in the Occupied Palestinian Territories”, Middle East Journal of Culture and Communication, Vol. 3, No. 1, (2005), h. 63-81.

Budeiri, Musa K. “The Nationalist Dimension of Islamic Movements in Palestinian Politics”, Journal of Palestinian Studies, Vol. 24, No. 3, (1995), h. 89-95.

89

Hammami, Rema. “Women, the Hijab and the Intifada”, Middle East Report, No. 164/165, Intifada Year Three, (Mei - Ags, 1990), h. 24-78.

Litvak, Meir. “The Islamization of the Palestinian-Israeli Conflict: The Case of Hamas”, Middle Eastern Studies, Vol. 34, No. 1, (1998), h. 148-163.

Munson, Henry. “Islam, Nationaism, and Resentment of Foreign Domination”, Middle East Policy, Vol. 10, No. 2, (2003), h. 40-53.

Peteet, Julie. “The Writing on the Walls : The Graffiti of the Intifada”. Cultural Anthropology, Vol. 11, No. 2, (May 1996), h. 139-159.

Roston, Bill. “The Brothers on The Walls : International Solidarity and Irish Political Mural”, Jurnal of Black Studies, vol. 39, no.3, (2009), h. 446-470.

Stephan, Maria J. “People Power In The Holy Land: How Popular Nonviolent Struggle Can Transform The Israeli palestinian Conflict”, Journal of Public and International Affairs, Vol 14, (2003), h. 1-26.

Yair, Gad dan Khatab, Nabil. “Changing of the Guards: Teacher-Student Interaction in the Intifada”. Sociology of Education, Vol. 68, No. 2 (Apr 1995), h. 99-115.

Koran:

Al-Ghoul, Asmaa. “Palestinian in Gaza Express Love, Politics With Graffiti”, Al- Monitor, (11 Oktober 2013).

Al-Zahar, Mahmoud. “No Peace without Hamas”, The Electronic Intifada, (17 April 2008).

Barrows, Nora. “Activists Face Broad PA Crackdown in West Bank”, The Electronic Intifada, (22 September 2010).

Break the Silence Mural Project. “Israeli Army stops West Bank Mural Project, Citing Gaza Disengagement”, The Electronic Intifada, (31 Agustus 2005).

90

Gray, Melissa. “Palestinian Graffiti Spreads Message of Peace”, CNN, (20 April 2009).

Grondahl, Mia. “Gaza’s Writing on the Wall”, Al-Jazeera, (29 Desember 2009).

Isabel, Kershner. “Palestinians May Exhume Arafat After Report of Poisoning”, The New York Times, (8 Desember 2012).

J. R, Boland. “Taking TAKI’s Tag”, The New York Times, (15 Juni, 2003).

Manneh, Suzanne. “Palestinian Mural Finally Inaugurated”. The Arab American News, (12 Februari 2007).

Murray, Eoin. “The Art of War”, The Electronic Intifada, (13 Januari 2005).

Niva, Steve. “Israel’s Assassination Policy Triggers Latest Suicide Bombings”, The Electronic Intifada, (2 September 2003).

Odgaard, Lena. “Palestinian Street Artists Take to Walls With New Zeal”, Al- Monitor, (27 Agustus 2012).

Wiles, Rich. “Palestinian Graffiti: Tagging' Resistance Palestinian Graffiti is Still a Key Means of Communication and an Integral Voice against Israel's Occupation”, Al-Jazeera, (26 November 2013).

91

LAMPIRAN LAMPIRAN

Lampiran 2.1

Gambar 2.1. Gua Lascaux di Perancis, terdapat sekitar 600 lukisan berupa gambar

hewan yang dibuat pada masa Paleolitik.1

Lampiran 2.2

Gambar 2.2. Pameran galeri Reina Sophia di Madrid, Spanyol. Pengunjung menikmati lukisan paling terkenal Pablo Picasso, Guernica.2

1Sumber : http://photography.nationalgeographic.com/photography/enlarge/lascaux-cave- walls-photography.html (akses:20/9/14) .

92

Lampiran 2.3

The Wall of Truth.3

2sumber:http://ngm.nationalgeographic.com/ngm/photocontest/2012/entries/160795/view/, (akses 20/9/14). 3Sumber: http://www.phillyfreedom.org/wall-of-truth/, (Akses 20/9/14).

93

Lampiran 3.1

General Strike

Aksi general strike pertama kali yang dilakukan bangsa Arab Palestina (1936) untuk memprotes Zionis-Inggris. Aksi ini merupakan pemberontakkan massal yang bertujuan untuk mengirim pesan keras kepada pemerintahan Inggris bahwa rakyat Palestina secara menyeluruh merupakan kesatuan nasional yang mampu bertindak tegas dan penuh percaya diri.4

4Sumber foto: http://www.internationalpeaceandconflict.org/photo/palestine-the-uprising, (akses: 2/2/15).

94

Lampiran 3.2

Leaflet

Aktifis Palestina membagikan leaflet-leaflet kepada penduduk Palestina, sebagai upaya mereka untuk mengajak masyarakat melakukan aksi pemboikotan produk-produk Israel.5

5Sumber foto: http://www.gettyimages.com/detail/news-photo/palestinian-activist-hands-out- a-leaflet-calling, (akses, 2/2/15).

95

Lampiran 4.1

Palestinian Liberation Organization dan Irish Republican Army: One Struggle.6

Lampiran 4.2

Lanskap coret-coretan mural terlihat pada setiap dinding-dinding bangunan Palestina. para warga Palestina berkumpul untuk menyaksikan para pejuang- pejuangnya berbaris mengumpulkan massa untuk melakukan aksi.7

6Mural, Beechmount Avenue, Belfast, 1982. "PLO-IRA : One Struggle"; anggota Tentara Republik Irlandia dan anggota PLO dengan satu tangan memegang senapan dan di tangan satunya lagi memegang RPG secara bersamaan, di belakang tubuhnya terdapat bendera Irlandia dan bendera Palestina. dilukis oleh Gerakan Pemuda Republik Irlandia. Sumber : http://redwedgemagazine.com/creativity/brits, (akses, 14/10/14). 7Sumber foto: http://a-amira-ana-blr.tumblr.com/image/102449537495, (akses: 2/2/15).

96

Lampiran 4.2

Mural PFLP

Tagging gerakan PFLP dalam aksara Arab.8

Mural Hamas

Tagging dari gerakan Hamas dengan aksara Arab.9

8Sumber foto: http://flickrhivemind.net/Tags/israel,pflp/Interesting, (akses: 2/2/15). 9Sumber foto: http://jihadintel.meforum.org/identifier/25/hamas-graffiti, (akses: 2/2/15).

97

Mural Fatah

Mural dengan tagging Fatah, muncul dengan kalimat-kalimat perjuangan10

10Sumber foto: https://www.flickr.com/photos/michaelimage/2941769879/in/set-72, (akses: 2/2/15).

98

Lampiran 4.3

Mural Masjid Kubah Batu

Mural dengan tema Masjid Kubah Batu muncul dengan kalimat-kalimat Allah pada setiap sudutnya.11

11Sumber foto: http://www.al-monitor.com/pulse/originals/2013/07/gaza-youth-clubs.html, (akses: 2/2/15).

99

Lampiran 4.4

Mural “Peringatan” Hamas

Para pemuda Palestina di Jalur Gaza, melukiskan mural Hamas dengan model mengacungkan telunjuk ke atas dengan sebuah kalimat, laa ilaaha ilallah, sebagai simbol peringatan tauhid dari Hamas.12

Mural Hamas juga terlihat di kota Ramallah, Tepi Barat.13

12Sumber foto: http://www.gettyimages.com/detail/news-photo/palestinian-youth-writes-pro- hamas-graffiti-on-the-wall-of-news-photo/2868378, (akses : 2/2/15). 13Sumber foto: http://www.theguardian.com/world/2008/may/30/middleeast, (akses: 2/2/15).

100

Lampiran 4.5

1. Penderitaan Palestina

Mural tersebut berupaya ingin menunjukkan bahwa gambaran ini merupakan pemandangan yang terjadi ketika tentara Israel menyerang Palestina. Terlihat pada langit-langit kota dipenuhi ledakan bom, sedangkan seorang ibu menangisi kematian anak-anaknya di kamp pengungsian yang telah dibanjiri oleh genangan darah para korban. Banjir darah tersebut mampu menenggelamkan seseorang, akan tetapi dalam situasi ini siapapun tidak dapat menolongnya, karena mereka pun juga akan menjadi korban selanjutnya (lihat belenggu rantai dan sedikit ilusi petir di antara kedua lengan). Di saat yang sama seorang wanita dengan berkalungkan sebuah kunci di lehernya,14 terlihat dipenuhi perasaan khawatir dan takut. Terakhir, sebuah mata

14Kunci adalah simbol kerinduan rakyat Palestina untuk kembali ke rumah atau desa mereka yang telah hancur dalam peristiwa Nakba.

101

muncul dengan penuh air mata sebagai ungkapan kepedihan atas pemandangan yang terjadi.15

2. Perlawanan Palestina

Mural di dinding Ayda Kamp, Tepi Barat. Mural tersebut seolah-olah sedang menceritakan aksi perlawanan para pemuda Palestina yang hanya bermodalkan batu dan ketapel. Namun, mereka yakin Palestina akan mendapatkan kemenangan, sesuai tulisan yang berdiri kokoh di atas gambar tersebut dengan penuh warna merah menyala, sebagai lambang pengorbanan.16

15Sumber gambar, Bill Roston, Messages of allegiance and defiance: the murals of Gaza, (London: Institute of Race relation), h. 52. 16Sumber foto: http://tlv1.fm/full-show/2015/01/16/palestinian-students-and-the-struggle-for- nationhood-the-tel-aviv-review/ (akses: 20/3/15).

102

Lampiran 4.6

1. Tahanan Palestina

Pada gambar ini mural memperlihatkan daftar nama warga Palestina yang ditahan oleh pihak Israel. Sedangkan pada lanskap selanjutnya mural melukiskan gambaran dengan beberapa tahanan yang sedang menanti datangnya kebebasan mereka dan satu orang tahanan terlihat dengan wajah penuh harapan. Sementara di sisi luar penjara terlihat gelombang massa Palestina yang berupaya merusak tembok sel penjara, seakan mendesak, “Kebebasan untuk semua tahanan”. Pada saat mural menceritakan rusaknya tembok atau terbukanya pintu penjara, hal itu mengilustrasikan bahwa sebuah kebebasan dapat menjadi kenyataan. Dalam banyak kasus burung merpati digambarkan sebagai simbol kebebasan.17

17Sumber gambar, Bill Roston, Messages of allegiance and defiance: the murals of Gaza, (London: Institute of Race relation), h. 58.

103

2. Tahanan Palestina

Pada gambar kedua ini, mural mengilustrasikan seorang pejuang Palestina sedang menyeret seorang tentara Israel yang menjadi tawanan, seolah-olah mengatakan, “Kami hanya dapat membebaskan tahanan dengan menangkap tentara

Israel”. Sementara seorang tahanan Palestina melalui jeruji penjara yang sedikit terbuka, terlihat sedang berteriak gembira menyambut kedatangannya.18

18Sumber gambar, Bill Roston, Messages of allegiance and defiance: the murals of Gaza, (London: Institute of Race relation), h. 55.

104

Lampiran 4.7

Kesyahidan

Daftar para korban yang tewas dalam aksi perlawanan rakyat Palestina.19

19Sumber Foto: http://www.thedailybeast.com/articles/2012/12/18/the-first-intifada-in- retrospect.html, (akses: 2/2/15).

105

Mural untuk mengenang empat pejuang yang telah gugur memorialisasi mural muncul dengan sosok seorang pria berseragam yang sedang memegang sejata laras panjang, di jalan Omar al-Mokhtar, Gaza. Terdapat teks yang bertuliskan, “Ini adalah peringatan para syuhada laut, para putra Gerakan Pembebasan Nasional Palestina,

Fatah, Brigade al-Aqsha. Dirgahayu hari jadi kesyahidan yang pertama para raksasa laut”.20

20Bill Roston. Messages of allegiance and defiance: the murals of Gaza. London: Institute of Race relation , 2014, h. 58.

106

Lampiran 4.8

Peristiwa Nakba Day

Mural ini sedang menceritakan tentang kisah para pengungsi. Sebuah rombongan pengungsi dipimpin oleh satu orang pria yang memegang kunci berjalan meninggalkan tenda (kamp pengungsian), secara bersamaan hal tersebut melambangkan keadaan pengungsi yang telah kehilangan rumah. Di lanskap selanjutnya terdapat gambar sebuah kunci beserta angka dengan teks yang menyertainya, “Kami akan kembali”, hal ini menunjukkan bahwa pengasingan akan segera berakhir pada waktunya. Dan sebuah angka menjelaskan tentang kurun waktu mereka terusir sejak peristiwa Nakba terjadi.21

21Bill Roston. Messages of allegiance and defiance: the murals of Gaza. London: Institute of Race relation , 2014, h. 60.

107

Lampiran 4.9

Agen Israel

Tanpa atribut lengkap, tentara Israel menyamar sebagai waga sipil Palestina dan menangkap beberapa warga yang diduga terlibat ke dalam aksi “pembangkangan sipil”.22

22Sumber foto: https://desertpeace.wordpress.com/2013/02/21/a-profile-of-israeli, (akses: 2/2/15).