BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pandeglang

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pandeglang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pandeglang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Banten yang mempunyai beberapa kesenian tradisional antara lain: zikir saman, padindangan, pencak silat, beluk, debus, terbang gede, dan Rampak Bedug. Jenis-jenis kesenian ini merupakan contoh dari sekian banyak kesenian tradisional yang diciptakan dan mengalami proses pewarisan secara turun temurun. Kehidupan kesenian tradisional secara turun temurun tidak terlepas dari pengaruh masyarakat sebagai pendukungnya yang ikut mencipta, memelihara, dan mengembangkan kreativitas pada kebudayaan itu sendiri. Hal tersebut senada dengan pendapat Kayam dalam Husen (2011:2) sebagai berikut: ….Kesenian tidak akan pernah lepas dari masyarakat. Sebagai salah satu bagian yang penting dari kebudayaan, kesenian adalah ungkapan kreativitas dari kebudayaan itu sendiri. Masyarakat yang menyangga kebudayaan dan demikian juga kesenian, mencipta, memberi peluang untuk bergerak, memelihara, menularkan, mengembangkan untuk kemudian menciptakan kebudayaan baru lagi. Pendapat tersebut menjelaskan bahwa kesenian tumbuh dan hidup dari masyarakat itu sendiri. Terciptanya kesenian tradisional pada masyarakat pedesaan khususnya di Kabupaten Pandeglang, karena mereka memiliki waktu untuk mengobati kejenuhan dari kegiatan rutinitas. Kesenian yang tumbuh khususnya di Kabupaten pandeglang merupakan hasil karya masyarakatnya, yang 1 berinteraksi dengan alam dan situasi sosialnya. Terkait dengan pendapat tersebut, Jaeni menyatakan bahwa: ….Komunikasi sosial mengisyaratkan kepada kita bahwa komunikasi itu penting untuk membangun konsep diri, akulturasi diri, untuk kelangsungan hidup, untuk mempertahankan kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan ketegangan, dan membentuk hubungan dengan orang lain (Jaeni, 2014:9). Keanekaragaman budaya dapat melahirkan berbagai bentuk kesenian tradisional. Kesenian tradisional merupakan produk estetis simbolik masyarakat yang berakar pada pengalaman kultur dan religius, sehingga mengandung norma- norma dan nilai yang perlu dilestarikan. Oleh karena itu, kesenian tradisional adalah kekhasan kebudayaan nasional sebagai modal berharga pembeda eksistensi sebuah bangsa. Dengan demikian, kebudayaan menunjukkan identitas, integritas seseorang atau suatu bangsa. Dalam kebudayaanlah tertuang segala kekayaan serta mutu hidup suatu bangsa (Soerjono,1978:9). Salah satu kebudayaan yang terdapat di Sanggar Seni Kembangtanjung Kecamatan Karangtanjung Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten adalah Rampak Bedug. Media utama yang digunakan berupa bedug dan alat pemukulnya. bedug Pandeglang terbuat dari batang pohon kelapa yang panjangnya berukuran 1,5 meter. Batang tersebut selanjutnya diberi lubang pada bagian tengahnya berdiameter 0,5 meter dengan ketebalan kulit batang kelapa 5 cm. Sejarah dan perkembangan ngadu bedug dimulai pada tahun 1950-an (wawancara, Budi: 2013). Budi adalah seorang pelaku kesenian Rampak Bedug, sejak berumur 6 tahun. Dari sejak kecil Budi ikut kelompok kesenian Rampak Bedug Kadomas Pandeglang Banten, menurut Budi Pada waktu itu, di Kecamatan Pandeglang pada khususnya, sudah biasa diadakan pertandingan ngadu bedug 2 antarkampung. Seni Rampak Bedug mulai ramai dipertandingkan pada tahun 1955-1960. Kemudian seni ini menyebar ke daerah-daerah sekitarnya, malah hingga ke Kabupaten Serang. Pada sekitar tahun 1960-1970 Ilen menciptakan suatu tarian kreatif dalam seni ngadu bedug dan sekaligus mengubah istilah dari adu bedug menjadi Rampak Bedug. Kata rampak memiliki arti serempak, jadi Rampak Bedug adalah bedug yang ditabuh secara serempak. Penamaan ini diilhami juga dengan munculnya istilah Rampak Kendang di Bandung. Ilen dalam mengembangkan Rampak Bedug diwadahi dengan mendirikan sanggar Harum Sari dan bekerja sama dengan Burhata (almarhum), Juju, dan Rahmat. Sanggar ini terletak di Kelurahan Juhut Kecamatan Pandeglang. Kesenian Rampak Bedug versi Harum Sari menyebar ke kampung-kampung, kelurahan-kelurahan serta kecamatan- kecamatan sekitar. Bahkan pada akhir tahun 2002, Rampak Bedug menyebar juga ke kecamatan-kecamatan Serang, Pamaraian, dan Walantaka Kabupaten Serang. Kampung Karang Tanjung, Kelurahan Cigadung, dan Kecamatan Karang Tanjung merupakan basis penelitian Rampak Bedug. Kampung ini terletak di sebelah utara Kampung Juhut sebagai penyebar kesenian ini. Masyarakatnya aktif dalam ngamumule kesenian tradisional seperti Rampak Bedug. Di kampung ini, didirikan kelompok seni Rampak Bedug tahun 2011 oleh Pudin dengan nama sanggar Karang Tanjung. Pendirian sanggar ini bertujuan untuk melestarikan kesenian dan kebudayaan Banten. Sebagaimana sudah dijelaskan bahwa “Rampak Bedug” dapat dikatakan sebagai pengembangan dari seni ngadu bedug, ngadulag, atau ngabedug. Bila 3 ngabedug dapat dimainkan oleh siapa saja, maka “Rampak Bedug” hanya bisa dimainkan oleh para pemain yang harus melakukan proses latihan. Rampak Bedug bukan hanya dimainkan di bulan Ramadhan, tetapi dimainkan juga secara profesional pada acara-acara hajatan (hitanan, pernikahan) dan hari-hari peringatan kedaerahan bahkan nasional. Rampak Bedug merupakan pengiring Takbiran, Ruwatan, Marhabaan, Shalawatan (Shalawat Badar), dan lagu-lagu bernuansa religi lainnya. Pada masa kemunculannya Rampak Bedug tidak seperti sekarang ini, tetapi merupakan pengembangan dari seni ngadu bedug antarkampung, saling mengadu kekuatan tabuhan bedug dari malam sampai pagi hari. Setiap kampung yang terlibat ngadu bedug, biasanya memiliki bedug tidak kurang dari 10 buah. Oleh karena itu, ngadu bedug melibatkan banyak para pemuda untuk memainkannya. Namun, dampak dari adanya ngadu bedug ini sering terjadi pertikaian karena saling mengejek. Untuk mengantisipasi hal tersebut pemerintah akhirnya mewadahi kegiatan ini secara resmi yang diadakan di alun-alun kota Pandeglang. Waktu pelaksanaannya yaitu setiap bulan Ramadhan. Pada masa lalu pemain Rampak Bedug semuanya laki-laki, tetapi sekarang melibatkan laki-laki dan perempuan. Perihal tersebut salah satunya disebabkan bahwa seni Rampak Bedug mempertunjukkan tarian-tarian yang terlihat indah jika ditampilkan oleh perempuan (selain tentunya laki-laki). Jumlah pemain sekitar 10 orang yang terdiri atas laki-laki 5 orang dan perempuan 5 orang. Adapun fungsi masing-masing pemain adalah pemain laki-laki sebagai penabuh bedug dan 4 kendang sedangkan pemain perempuan hanya sebagai penabuh bedug. Selain itu, baik pemain laki-laki maupun perempuan merangkap juga sebagai penari. Gambar 1 Bentuk kesenian Rampak Bedug di alun-alun Pandeglang Banten (Dokumentasi: Balai Seni Ciwasiat) 2012 Kesenian Rampak Bedug yang terdapat di Sanggar Seni Kembangtanjung Kecamatan Karangtanjung Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten menarik untuk diteliti karena memiliki potensi yang berbeda dengan sanggar lain. Potensi ini terletak pada ciri khas bentuk pertunjukan seperti pola tabuh, pola tarian, busana, dan jumlah pelaku. Selain memainkan kesenian Rampak Bedug Sanggar Seni Kembangtanjung Kecamatan Karangtanjung Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten ini, juga mampu memproduksi bedug sendiri yang disebut tilingtit yang bentuknya menyerupai dog-dog lojor. Sanggar ini pernah menerima pesanan bedug yang jumlahnya mencapai 600 buah bedug, yang dipesan oleh seluruh sekolah baik tingkat SMP-SMA Negeri se-Provinsi Banten. Sanggar Kembangtanjung ini dipercaya memenuhi pesanan alat kesenian Rampak Bedug dikarenakan sanggar ini lebih unggul dalam pembuatan bedug, 5 bedug-bedug yang dihasilkan dari Sanggar Seni Kembangtanjung lebih baik dari segi kualitas suara, nyaman digunakan. Untuk menyelesaikan 1 buah bedug umumnya menghabiskan waktu yang cukup lama, yaitu 3 sampai 4 hari, tetapi Sanggar Seni Kembangtanjung Kecamatan Karangtanjung Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten ini bisa menyelesaikan lebih cepat dibandingkan pengrajin yang lain, yaitu dengan jangka waktu 1 hari satu buah bedug sudah dapat diselesaikan oleh satu orang. Oleh karena itu, masyarakat Banten sering kali mengandalkan kampung ini dalam mengisi acara-acara hiburan dan pemesanan Bedug. Hal inilah yang melatarbelakangi untuk mengangkat kesenian tersebut sebagai objek penelitian. B. Perumusan Masalah Berdasarkan paparan latar belakang, maka memunculkan ketertarikan pada kesenian Rampak Bedug di Sanggar Seni Kembangtanjung Kecamatan Karangtanjung Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten untuk terus dikaji lebih dalam melalui sebuah penelitian. Ketertarikan ini terletak pada persoalan wujud, isi, dan penampilannya yang memiliki ciri khas tersendiri. Oleh karena itu, fokus penelitian ini akan mengkaji mengenai fungsi dan maknanya. Pengkajian fungsi dan makna diharapkan dapat mengkaji fungsi kesenian Rampak Bedug, sedangkan pengkajian secara makna untuk mengetahui makna kesenian Rampak Bedug di Sanggar Seni Kembangtanjung Kecamatan Karangtanjung Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten. Dengan demikian pertanyaan penelitian ini mencakup dua permasalahan yaitu: 6 1. Bagaimana fungsi kesenian Rampak Bedug Sanggar Seni Kembangtanjung di Kecamatan Karangtanjung Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten. 2. Bagaimana makna kesenian Rampak Bedug Sanggar Seni Kembangtanjung di Kecamatan Karangtanjung Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten. C. Tujuan Penelitian Umumnya keberadaan seni tradisi tidak selamanya populer dan lestari di masyarakatnya. Demikian pula dengan eksistensi kesenian Rampak Bedug yang sekarang ini belum seluruh masyarakat mengetahui kesenian ini. Berharap kesenian ini lebih dikenal lagi dan bisa menjadi ciri khas kesenian masyarakat Pandeglang, maka tujuan penelitian ini sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui fungsi kesenian Rampak
Recommended publications
  • The Islamic Traditions of Cirebon
    the islamic traditions of cirebon Ibadat and adat among javanese muslims A. G. Muhaimin Department of Anthropology Division of Society and Environment Research School of Pacific and Asian Studies July 1995 Published by ANU E Press The Australian National University Canberra ACT 0200, Australia Email: [email protected] Web: http://epress.anu.edu.au National Library of Australia Cataloguing-in-Publication entry Muhaimin, Abdul Ghoffir. The Islamic traditions of Cirebon : ibadat and adat among Javanese muslims. Bibliography. ISBN 1 920942 30 0 (pbk.) ISBN 1 920942 31 9 (online) 1. Islam - Indonesia - Cirebon - Rituals. 2. Muslims - Indonesia - Cirebon. 3. Rites and ceremonies - Indonesia - Cirebon. I. Title. 297.5095982 All rights reserved. No part of this publication may be reproduced, stored in a retrieval system or transmitted in any form or by any means, electronic, mechanical, photocopying or otherwise, without the prior permission of the publisher. Cover design by Teresa Prowse Printed by University Printing Services, ANU This edition © 2006 ANU E Press the islamic traditions of cirebon Ibadat and adat among javanese muslims Islam in Southeast Asia Series Theses at The Australian National University are assessed by external examiners and students are expected to take into account the advice of their examiners before they submit to the University Library the final versions of their theses. For this series, this final version of the thesis has been used as the basis for publication, taking into account other changes that the author may have decided to undertake. In some cases, a few minor editorial revisions have made to the work. The acknowledgements in each of these publications provide information on the supervisors of the thesis and those who contributed to its development.
    [Show full text]
  • $Tuilia I$Lailiii(A Volume 16, Number 1,2009 INDONESIAN Rcunxn- Ron Tslamlc Studres
    $TUilIA I$LAilIII(A Volume 16, Number 1,2009 INDONESIAN rcunxn- ron tsLAMlc sTUDrEs DtsuNIt"y, DlsrnNcr, DISREGARo' THE POLITICAL FAILURE OF ISMVTSU IN LATE CoI-oNnr INooNnsrn Robert E. Elson THB Tno oF IsIAM: CneNc Ho nNo THE LEGACY OF CHINESE MUSLIMS IN PRE-MODERNJAVA Sumanto Al QurtubY THnAucuENTATIoN oF RADICAL lonRs eNo THE ROLE OF ISI-AMIC EOUCNTIONAL SYSTEM IN MALAYSIA Mohd Kamarulnizam Abdullah ISSN 0215-0492 STI]ilIA ISTAilIIKA lndonesian Joumd for lslamic Studies Vol.16. no.1,2009 EDITORIALBOARD: M. Quraish Shihab (UlN lakarta) Taufik Abdullah (LIPI lakarta) Nur A. Fadhil Lubis (IAIN Sumatra Utara) M.C. Ricklefs (Melbourne Uniaersity ) Martin aan Bruinessen (Utrecht Uniztersity) John R. Bowen (Washington Uniuersity, St. Louis) M. Atho Mudzhar (IAIN logyaknrta) M. Kamal Hasan (International lslamic lJniaersity, Kuala Lumpur) M. Bary Hooker (Australian National Uniaersity, Australi.tt) Virginia Matheson Hooker (Australian National Uniaersity, Australin) EDITOR-IN-CHIEF Azyrmardi Azra EDITORS lajat Burhanuddin Saiful Muiani lamhari Fu'ad labali Oman Fathurahma ASSISTANT TO THE EDITORS Ady Setiadi Sulaiman Teslriono ENGLISH LANGUAGE ADVISOR Dickaan der Meij ARABIC LANGUAGE ADVISOR Masri el-MahsyarBidin COVER DESICNER S. Prinkn STUDIA ISLAMIKA (ISSN 021 5-0492) is a journal published by the Center for the study of Islam and society QPIM) lIlN Syarif Hidayatullah, lakarta (sTT DEPPEN No. 129/SK/ bnlfN5ppC/sTi/1976). It specinlizes in Indonesian lslamic studies in particular, and South- east Asian Islamic Studies in general, and is intended to communicate original researches and. current issues on the subject. This journal watmly welcomes contributions from scholars of related disciplines. AII articles published do not necessarily represent the aiews of the journal, or other institutions to which it is affitinted.
    [Show full text]
  • Surau Nagari Lubuk Bauk Dan Surau Gadang Bintungan Sumatera Barat : Tinjauan Gaya Bangunan Dan Makna Ornamen
    Surau Nagari Lubuk Bauk dan Surau Gadang Bintungan Sumatera Barat : Tinjauan Gaya Bangunan dan Makna Ornamen Ivo Giovanni, Isman Pratama Nasution Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia E-mail: [email protected] Abstrak Artikel ini membahas bangunan surau di Sumatera Barat yaitu Surau Nagari Lubuk Bauk dan Surau Gadang Bintungan. Tujuannya adalah untuk melihat pengaruh adat pada bangunan surau berdasarkan tinjauan arsitektur dan makna ornamennya. Selain itu, dilakukan perbandingan antara surau dengan bangunan tradisional Minangkabau lainnya, yaitu rumah gadang dengan menggunakan metode deskriptif analitis. Hal ini dilakukan agar unsur-unsur adat yang terlihat pada surau dapat diuraikan dengan jelas, sehingga dapat diketahui makna dari setiap unsur adat tersebut dan peran surau bagi masyarakat Minangkabau pada saat surau tersebut dibangun. Berdasarkan kajian ini dapat diketahui bahwa Surau Nagari Lubuk Bauk dan Surau Gadang Bintungan memiliki bangunan yang berbeda. Surau Nagari Lubuk Bauk memiliki bentuk yang bertingkat, karena hal ini dipengaruhi oleh aliran adat Koto Piliang yang menganut paham aristokrasi, sedangkan Surau Gadang Bintungan tidak bertingkat karena dipengaruhi oleh aliran adat Bodi Caniago, yang menganut paham demokrasi. Selain itu ragam hias ornamen yang terdapat pada surau ini juga memiliki makna yang mengandung pesan moral yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup bagi masyarakat Minangkabau. Kata Kunci: Adat Minangkabau, Bangunan tradisional, Surau Gadang Bintungan, Surau Nagari Lubuk Bauk. Surau Nagari Lubuk Bauk and Surau Gadang Bintungan of West Sumatra: A study of Architectural Style and the Meaning of the Ornament. Abstract This article discusses about surau (little Mosque) in West Sumatra, namely Surau Nagari Lubuk Bauk and Surau Gadang Bintungan. The aim of this article is to see the tradition influences in the buildings, based on their architectures and the meaning of ornaments.
    [Show full text]
  • Minangkabau Peace Literature in West Sumatra: a Critical Discourse
    Minangkabau peace literature in West Sumatra: A critical discourse analysis Literatur perdamaian Minangkabau di Sumatra Barat: Analisis wacana kritis Wening Udasmoro Department of Language and Literature, Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada Address: Jalan Nusantara No.1, Bulaksumur, Yogyakarta 55281 E-mail: [email protected] Abstract This research paper, focusing on the oral literature regarding peace in Minangkabau, West Sumatra, does not simply examine the meaning of oral literature, but also attempts to connect such literature with the social practices of its consumers. This has been carried out in an attempt to understand how, if peace literature is still a part of Minangkabau society, conflict and other acts of violence in the society can still occur. Three important questions must be answered: 1) How are works of oral literature regarding peace produced, consumed, and reproduced among the Minangkabau in Padang, West Sumatra? 2) Who is most involved in reproducing peace literature? 3) How is oral literature regarding peace related to social practices of peace? Critical discourse analysis can be a useful method for literary research. This can be attributed to the fact that works of literature are not simply fictional, but also social, meaning that they play an important role in bridging fact and fiction. The intent of this paper is to examine the connection between oral literature regarding peace and its discursive context through a strict investigation of the three layers of critical discourse analysis: linguistic practice, discursive practice, and social practice. The findings of this paper are that every generation creates their own definition of peace literature.
    [Show full text]
  • The Elements of Local and Non-Local Mosque Architecture for Analysis of Mosque Architecture Changes in Indonesia
    The International Journal of Engineering and Science (IJES) || Volume || 7 || Issue || 12 Ver.I || Pages || PP 08-16 || 2018 || ISSN (e): 2319 – 1813 ISSN (p): 23-19 – 1805 The Elements of Local and Non-Local Mosque Architecture for Analysis of Mosque Architecture Changes in Indonesia Budiono Sutarjo1, Endang Titi Sunarti Darjosanjoto2, Muhammad Faqih2 1Student of Doctoral Program, Department of Architecture, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Indonesia 2Senior Lecturer, Department of Architecture, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Indonesia Corresponding Author : Budiono Sutarjo --------------------------------------------------------ABSTRACT---------------------------------------------------------- The mosque architecture that deserves to use as a starting point in the analysis of architectural changes in Indonesian mosques is the Wali mosque as an early generation mosque in Indonesia. As a reference, the architectural element characteristic of Wali mosque (local mosque) needs to be known, so that this paper aims to find a description of a local mosque (Wali mosque), and also description of architectural elements of non- local mosques (mosques with foreign cultural context) because one of the causes of changes in mosque architecture is cultural factors. The findings of this paper are expected to be input for further studies on the details of physical changes in the architectural elements of mosques in Indonesia. The study subjects taken were 6 Wali mosques that were widely known by the Indonesian Muslim community as Wali mosques and 6 non-local mosques that were very well known and frequently visited by Indonesian Muslim communities. Data obtained from literature studies, interviews and observations. The analysis is done by sketching from visual data, critiquing data, making interpretations, making comparisons and compiling the chronology of the findings.
    [Show full text]
  • Halal Bi Halal, a Festival of Idul Fitri and It's Relation
    HALAL BI HALAL, A FESTIVAL OF IDUL FITRI AND IT’S RELATION WITH THE HISTORY OF ISLAMIZATION IN JAVA Saiful Hakam Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) [email protected] Abstract In this paper I will discuss three topic: the origin of Idul Fitri, the halal bi halal tradition and the history of Islamization in Java. Based on Robert Redfied’s notion of great tradition and little tradition, I want to argue that the festival of Idul Fitri in Java is more happy, cheery, and merry rather than in the origin country because in the past the intellectuals who propagated Islam did not try to change radically the local traditions, however they preferred to recontinue the ancient traditions with a new religion from great tradition, Islam. It was a very smooth and smart movement because they revive the ancient traditions by Islamizing the ancient tradition. [Dalam artikel ini saya akan membahas tiga topik: Idul Fitri, tradisi halal bi halal dan sejarah islamisasi di Jawa. Berdasarkan gagasan Robert Redfied tentang tradisi besar dan kecil, saya ingin mengatakan bahwa festival Idul Fitri di Jawa lebih menyenangkan, ceria dan menggembirakan daripada di negara asal karena di masa lalu para intelektual yang menyebarkan Islam tidak mencoba untuk mengubah secara radikal tradisi lokal, namun mereka memilih untuk melanjutkan-tradisi kuno dengan agama baru dari tradisi besar Islam. Itu adalah gerakan yang sangat halus dan pintar sebab mereka menghidupkan kembali tradisi kuno dengan memadukannya dengan Islam.] Keywords: Halal bi Halal, Idul Fitri, Islamization in Java Saiful Hakam: Halal bi Halal................. In this paper I want to discuss the development of the great tradition1 and little tradition in Java.
    [Show full text]
  • The Javanese Gamelan Kyai Madu Laras (Venerable Sweet Harmony)
    THE JAVANESE GAMELAN KYAI MADU LARAS (VENERABLE SWEET HARMONY) A gift to the Faculty of Music from The Minister of Forestry of The Republic of Indonesia H.E.SUDJARWO JEREMY MONTAGU THE BATE COLLECTION OF HISTORICAL INSTRUMENTS UNIVERSITY OF OXFORD FACULTY OF MUSIC St.Aldate’s, Oxford £ 1.00 Sixth Edition Jeremy Montagu Among the earliest evidence for the Javanese Gamelan are a few instruments found archæologically and carvings on the eighth century AD Temple of Boro- bodur, which include bonangs1, sarons and gongs. Some instruments, including the rebab and the tarompet (a shawm which is displayed in the Shawm Case), were introduced with Islam in about the 14th century, and by the 15th century gamelans existed much as they do today. An increase in the number of instru- ments has continued, and the inclusion of a full set of kenongs and kempuls is comparatively recent. There are many varieties of gamelan in Indonesia today, consisting of different types and combinations of instruments, some with instruments made of bamboo, some with instruments of bronze, others with those of iron, and some with large numbers of instruments, and some with only a few. The Gamelan Kyai Madu Laras is the classic type of Central Javanese gamelan and is a full double gamelan of high-quality bronze instruments. It came to us from Klaten, a small town halfway between the two great centres of Central Javanese gamelan, Surakarta (or Solo) and Yogyakarta (or Jogya), as a most generous gift from the Minister of Forestry of the Republic of Indonesia, His Excellency Sudjarwo.
    [Show full text]
  • Peran Amir Yusuf Dalam Mempopulerkan Kesenian Jamjaneng Di Desa Peniron Pejagoan Kebumen
    PERAN AMIR YUSUF DALAM MEMPOPULERKAN KESENIAN JAMJANENG DI DESA PENIRON PEJAGOAN KEBUMEN SKRIPSI KARYA ILMIAH Oleh Imam Furoh NIM 15112117 FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN INSTITUT SENI INDONESIA SURAKARTA 2019 PERAN AMIR YUSUF DALAM MEMPOPULERKAN KESENIAN JAMJANENG DI DESA PENIRON PEJAGOAN KEBUMEN SKRIPSI KARYA ILMIAH Untuk memenuhi persyaratan guna mencapai derajat sarjana S-1 Program Studi Etnomusikologi Jurusan Etnomusikologi Oleh Imam Furoh NIM 15112117 FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN INSTITUT SENI INDONESIA SURAKARTA 2019 PERSETUJUAN Skripsi Karya Ilmiah PERAN AMIR YUSUF DALAM MEMPOPULERKAN KESENIAN JAMJANENG DI DESA PENIRON PEJAGOAN KEBUMEN Yang disusun oleh Imam Furoh NIM 15112117 Telah disetujui untuk diajukan dalam sidang skripsi Surakarta, 30 Agustus 2019 Pembimbing, Dr. Bondet Wrahatnala, S.Sos., M.Sn. PENGESAHAN Skripsi Karya Ilmiah PERAN AMIR YUSUF DALAM MEMPOPULERKAN KESENIAN JAMJANENG DI DESA PENIRON PEJAGOAN KEBUMEN Yang disusun oleh Imam Furoh NIM 15112117 Telah dipertahankan di hadapan dewan penguji Pada tanggal 30 Agustus 2019 Susunan Dewan Penguji Ketua Penguji, Penguji Utama, I Nengah Muliana, S.kar., M.Hum Kuwat, S.kar., M.Hum Pembimbing, Dr. Bondet Wrahatnala, S.Sos., M.Sn. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat mencapai derajat Sarjana S-1 pada Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta Surakarta, 23 September 2019 Dekan Fakultas Seni Pertunjukan, Dr. Sugeng Nugroho, S.Kar., M.Sn. NIP. 196509141990111001 MOTTO DAN PERSEMBAHAN “Allah akan mengangkat (derajat) orang yang beriman di antaramu, dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat”. (QS Al- Mujadalah 11). (Khoirul Anwar, LBM NU Jawa Tengah) Skripsi ini kupersembahkan kepada: Dian Purnama Fahrun Nisa Nahdiati Keluargaku yang selalu memberikan dukungan Almamaterku ISI Surakarta tercinta PERNYATAAN Yang bertanda tangan di bawah ini, Nama : Imam Furoh NIM : 15112117 Tempat, Tgl.
    [Show full text]
  • Integration of Acculturation Values of Masjid Sulaiman Banyumas in History Learning
    Advances in Social Science, Education and Humanities Research (ASSEHR), volume 158 International Conference on Teacher Training and Education 2017 (ICTTE 2017) Integration of Acculturation Values of Masjid Sulaiman Banyumas in History Learning Suci Rahayu,1 Sariyatun1 , Leo Agung Sutimin1 1Postgraduate Program of History Education Postgraduate Program of Sebelas Maret University E-mail: [email protected] ABSTRACT The Great Mosque of Nur Sulaiman is one of the historical sites in Banyumas, built in 1755 by the Regent of Banyumas, R.T. Yudonegoro III. This research elucidates indigenous values of Nur Sulaiman Great Mosque. The indigenous values of the architecture were analyzed with literature study involved collecting sources, literature, archives, books, scientific journals to strengthen the theoretical review related to the indigenous values of the Great Mosque of Banyumas. The finding of research showed that among other mosques, the architecture of Grand Mosque of Nur Sulaiman Banyumas has uniqueness because it contains the elements of the indigenous culture of Indonesia, Hindu-Buddhism, and Islam. It means that the mosque has an acculturation values. The authors found the acculturation values of the great Mosque of Nur Sulaiman, encompassing: (1) religiosity, (2) tolerance, (3) cooperation, and (4) creativity. Based on the finding, the authors conclude that this historical site could be used as a source to develop the model of learning history. The implication of the research drives the authors and another researcher to expand the discussion in the integration of indigenous values of the great mosque in learning history. Thus, the role of learning history in providing knowledge on our local wisdom is becoming very necessary and useful for learners.
    [Show full text]
  • BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah “Kata Dakwah
    1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah “Kata dakwah dapat didefiisikan sebagai ajakan kepada umat manusia menuju jalan Allah,baik secara lisan, tulisan, maupun perbuatan, dengan tujuan agar mereka mendapatkan petunjuk sehingga mampu merasakan kebahagiaan dalam hidupnya, baik di dunia maupun di akhirat” (Hajir Tajiri, 2015: 16). Sedangkan menurut Muhyidin (2002: 32-34) bahwa: “pengertian dakwah dijelaskan dengan fokus penekanan pada proses pemberian bantuan, penyebaran pesan, pengorganisasian, dan pemberdayaan sumber daya manusia. Setiap dalam menjelaskan kebenaran, kebaikan, petunjuk ajaran, menganalisis tantangan, problem kebatilan, urgensi pengamalan aspek pesan, dan profesionalisme. Pada intinya, dakwah merupakan perilaku muslim dalam menjalankan Islam sebagai agama dakwah.” Adapun dari tinjauan aspek terminologis, pakar dakwah “ Syekh Ali Mahfuz” mengartikan dakwah dengan mengajak manusia kepada kebaikan dan petunjuk Allah SWT, menyeru mereka kepada kebiasaan yang baik dan melarang mereka dari kebiasaan buruk supaya mendapatkan keberuntungan di dunia dan di akhirat. Pengertian dakwah yang dimaksud, menurut “ Ali Mahfuz” “lebih dari sekedar ceramah dan pidato, walaupun memang secara lisan dakwah dapat diidentikan dengan keduanya. Lebih dari itu, dakwah juga meliputi tulisan (bi al-qalam) dan perbuatan sekaligus keteladanan (bi al-hal wa al-qudwah)” (Ilyas Ismail &Frio Hotman, 2011: 28-29). Sekalipun betul secara umum bahwa persepsi dan pemahaman masyarakat tentang dakwah telah mengalami sedikit perubahan. Misalnya pada masa lalu dan mungkin juga masih tetap pada sebagian masyarakat sekarang, masih juga mengartikan dakwah secara paraktis sama dengan ceramah, yaitu proses atau kegiatan menyampaikan ajaran Islam secara lisan yang dilakukan oleh penceramah diatas 2 mimbar. Sehingga sangat dimungkinkan ketika orang berbudi pekerti yang terpuji dan menolong orang yang membutuhkan bantuan, mempererat persaudaraan, menigkatkan kesejahteraan, dan menegakkan keadilan bukan sebagai kegiatan dakwah.
    [Show full text]
  • Download (1MB)
    LAMPIRAN 68 Lampiran 1 Profil Masjid Agung Kauman Semarang Nama Masjid : Masjid Agung Kauman Semarang Luas Tanah : 5000 M2 Luas Bangunan : 2500 M2 Status Tanah : Tanah Wakaf Daya Tampung Jamaah : 2.000 Fasilitas Umum : a. Sarana Ibadah b. Kamar Mandi/WC c. Tempat Wudhu d. Sound system/Multimedia e. Kantor Sekretariat f. Koperasi g. Taman h. Perlengkapan pengurusan jenazah i. Toko j. Aula Setbaguna k. Ruang belajar/TPA l. Gudang m. Parkir n. Perpustakaan 69 Lampiran 2 Identitas Narasumber Nama : M.S. Muhaimin, S.Sos. Jenis Kelamin : Laki-laki Jabatan : Sekretaris Takmir Masjid Agung Kauman Semarang Alamat Kantor : Jalan Aloon-aloon Barat, No. 11 Semarang Rumah : Jalan Kauman Timur, NO. 94 Semarang Telepon Kantor : (024) 3543051 Fax. : (024) 3550486 HP : 0851-0004-4609 70 Lampiran 3 Data Hasil Wawancara Narasumber : Bapak M.S. Muhaimin, S.Sos Tujuan Wawancara : Untuk menggali informasi terkait etnomatematika yang terdapat di bangunan Masjid Agung Kauman Semarang. Data Hasil Wawancara: Peneliti :” Bagaimana sejarah berdirinya Masjid Agung Kauman Semarang?” Narasumber : “Secara lengkap terdapat di buku selayang pandang Masjid Agung Semarang dari Doeloe hingga Sekarang” Peneliti : “Bagian bangunan mana saja yang memiliki unsur budaya atau nilai budaya?” Narasumber : “Sebenarnya secara bangunan atau bagian bangunan satu per satu tidak memiliki unsur budaya yang sangat kental, hanya saja secara umum bangunan masjid kauman mengadopsi budaya jawa dan persia yang terlihat dari bentuk atau ornamen yang terdapat pada bangunan tersebut” Peneliti : “Bisa disebutkan bagian mana saja yang secara umum mengandung budaya tersebut serta filosofi atau nilai yang terkandung didalamnya?” Narasumber : “Seperti Atap masjid yang merupakan bagian bangunan yang sampai saat ini masih bentuk aslinya yaitu terbuat dari seng yang didatangkan langsung dari belanda.
    [Show full text]
  • K. Van Dijk P. Nas Dakwah and Indigenous Culture; the Dissemination of Islam
    K. van Dijk P. Nas Dakwah and indigenous culture; The dissemination of Islam In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Globalization, localization and Indonesia 154 (1998), no: 2, Leiden, 218-235 This PDF-file was downloaded from http://www.kitlv-journals.nl Downloaded from Brill.com10/02/2021 08:31:42PM via free access KEES VAN DIJK Dakwah and Indigenous Culture The Dissemination of Islam Indonesian youth, Vice-President General Try Sutrisno pointed out to his audience when he opened the national congress of the Islamic youth organization Ansor in September 1995, must live up to their own national culture and history. Should they fail in this, their lives could be thrown into chaos by the fast flow of information and the attractions offered by a global lifestyle.1 His speech was just one of many such admonishments that could be read in Indonesian newspapers or watched on TV in recent years. Sometimes actions speak louder than words. Recently a crusade was launched to ban foreign words from public display - lettering on signboards, buildings and the like - resulting in incomprehensible notices in which certain words were covered over by white paint or a white sheet. Warnings against harmful and pervasive cultural and political influ- ences from abroad have become even more frequent of late as the ominous year 2000 draws closer. Sometimes the West is mentioned as the source of such evils; on other occasions it is merely implied. To Muslims in a non- western country it is obvious that it is the West, and in particular the United States, that is meant.2 The people who draw attention to the disruptive effects of globalization are more often than not members of the elite, which, when all is said and done, is partly a military elite.
    [Show full text]