<<

256 Estetika Karawitan Tradisi Sunda

Heri Herdini Jurusan Karawitan, Sekolah Tinggi Seni (STSI) Bandung Jalan Buahbatu No. 212 Bandung 40265

ABSTRACT

The problem of “aesthetics” related not only to the “text” or the art form itself, but also to the mindset and worldview of the communities on “the world” and “the nature of human life.” Behind the mu­ sical form itself, there lies the mindset of which formed the basis for the “text” of karawitan. The understanding on “karawitan context” is, therefore, important. It means that “text” and “context” constitute “two sides of the same coin” which are interrelated to each other. This is the subject matter to be discussed in this paper. This paper is a philosophical study in order to find “the aesthetic of traditional karawitan” which has not been revealed so far. To reveal this problem the writer uses the theory of “Antagonistic Dualism” by Jakob Sumardjo. Based on the analysis to the “text” and “context” of Sundanese traditional karawitan, it is concluded that “the aesthetic of Sundanese traditional karawitan” comes from the concept of “masagi” that in substance may pro­ duce “pola tiga” (pattern of three) as a reflection of the culture of tritangtu, those are: tekad, ucap, and lampah.

Keywords: Aesthetic of Karawitan, Sundanese Tradition.

PENDAHULUAN Cina, dan demikian pula dengan ‘estetika’ karawitan Sunda. Masing-masing musik Secara sederhana, istilah ‘estetika’ di berbagai suku bangsa memiliki esteti- dapat diartikan filsafat keindahan. Istilah kanya tersendiri. ini sering diucapkan, baik dalam konteks ‘Estetika’ karawitan Sunda hingga saat diskusi, seminar, pembelajaran kompo- ini masih tampak samar-samar. Jakob Su- sisi musik, maupun obrolan santai di mardjo telah berusaha menggali ‘estetika’ warung kopi. Tidak jarang kata ‘esteti- orang Sunda yang dijabarkan melalui buku ka’ juga dipakai sebagai ‘senjata ampuh’ yang berjudul Simbol­simbol Artefak Budaya untuk menjelaskan “mutu seni” walau- Sunda (2003), ‘estetika’ Paradoks (2006), dan pun sesungguhnya persoalan ‘estetika’ Khazanah Pantun Sunda (2006). Berdasar- itu sendiri belum dipahami secara sung- kan hasil kajian dan analisisnya, Sumardjo guh-sungguh”. Memang tidak mudah menjelaskan bahwa kebudayaan orang untuk menjelaskan persoalan ‘estetika’ Sunda didasari oleh cara berpikir pola karena hal tersebut sangat terkait dengan tiga (tritangtu) sebagai cerminan dari du- kebudayaan dan pola pikir masyarakat- nia atas (langit), tengah (dunia kehidupan nya. Oleh sebab itu, tidak heran apabila manusia), dan bawah (bumi, tanah) yang ‘estetika’ musik India berbeda dengan ‘es- ditafsirkan pula sebagai Resi (tekad), Ratu tetika’ musik Barat, musik Jepang, musik (ucap), dan Rama (lampah). Pola berpikir Jurnal Seni & Budaya Panggung Vol. 22, No. 3, Juli - September 2012: 225 - 350 257 masyarakat Sunda ini, di antaranya dapat dan “Dunia Bawah yang bersifat laki-la- dibuktikan melalui pengaturan rumah, ki” dapat menghasilkan “Dunia Tengah” pengaturan negara, bentuk senjata kujang, yang diisi oleh semua umat manusia, baik dan mitologi pantun Sunda yang semua- laki-laki maupun perempuan (Sumardjo, nya ini berpola tiga. 2003:6). Untuk memperjelas uraian di Merujuk pada hasil analisis Jakob Su- atas, lihat kutipan berikut ini. mardjo, tulisan ini bermaksud untuk men- jabarkan lebih lanjut tentang ‘estetika’ Bagaimana kehidupan dapat terus dipe- lihara? Mereka berusaha mengawinkan karawitan tradisi Sunda dalam kaitannya pasangan kembar oposisi yang saling ber- dengan konsep masagi yang berlaku da- tentangan, tetapi saling melengkapi. Dari lam kebudayaan masyarakat Sunda. Per- perkawinan, kehidupan yang baru bisa muncul. Tanaman padi dapat terus hidup masalahan inilah yang hendak dibahas kalau ada ’perkawinan’ antara langit dan dalam tulisan ini. bumi. Langit mencurahkan hujannya kepada tanah yang kering. Dengan demikian, langit itu ”basah” dan bumi ”kering”. Basah itu asas perempuan dan kering asas lelaki. Per- Landasan Teori kawinan antarkeduanya akan menciptakan entitas ketiga, yakni kehidupan di muka bumi. Langit di atas, bumi di bawah, dan Untuk mengkaji ‘estetika’ karawitan kehidupan muncul di tengah-tengah langit tradisi digunakan teori dualisme anta- dan bumi. Ketiga dunia ini merupakan satu gonistik hasil temuan Jakob Sumardjo. kesatuan yang membuat kehidupan ini tetap ada (Sumardjo, 2006:72). Teori “dualisme antagonistik” berangkat dari pemikiran religi budaya mitis-spiritu- Menurut Sumardjo, menyatunya la- al Sunda dan suku-suku lainnya di Indo- ngit (dunia atas) dan bumi (dunia bawah) nesia. Berdasarkan pemikiran budaya mi- dapat melahirkan dunia tengah. Dunia tis-spiritual bahwa semua “keberadaan” tengah ini adalah jagat alam raya yang di- ini selalu terdiri atas dua unsur yang sa- huni oleh umat manusia. Perkawinan dari ling bertentangan. Keberadaan itu sendiri dua hal yang bersifat paradoks ini dapat terkait dengan “keberadaan rohani” dan melahirkan “dunia yang ketiga” sehingga “keberadaan kebendaan” atau material. melahirkan konsep tentang “pola tiga”. Keduanya memiliki karakteristik yang Cara berpikir masyarakat Sunda yang berbeda dan bertentangan (Sumardjo, berpola tiga ini, di antaranya dapat dibuk- 2003:5). Masyarakat Sunda (primordial) tikan melalui pengaturan rumah, penga- membagi “keberadaan” ini ke dalam dua turan negara, bentuk senjata kujang, dan kategori yaitu “Dunia Atas” dan “Dunia mitologi pantun Sunda. Bawah.” Keduanya harus merupakan satu Menurut Jakob Sumardjo, “pola tiga” kesatuan agar kehidupan ini terus berpro- merupakan cara berpikir masyarakat ses. Perkawinan antara “Dunia Atas” dan ladang. Obsesi masyarakat ladang yaitu “Dunia Bawah” dapat melahirkan “Dunia ’menghidupkan’. Dasar kepercayaan kos- Tengah.” Dunia Atas dan Dunia Bawah mologi manusia peladang ini menjadi adalah antagonistik. Dunia Atas bersi- landasan cara berpikirnya untuk semua fat perempuan (basah), sedangkan Du- hal. Masyarakat primordial ladang me- nia Bawah bersifat laki-laki (kering). Me- mercayai bahwa semua eksistensi itu si- nyatunya “Dunia Atas yang perempuan” Herdini: Estetika Karawitan Tradisi Sunda 258 fatnya dualistik. Akan tetapi, semua hal kumbang2. Alat-alat musik ini digu- dualistik tersebut merupakan pasangan nakan oleh rakyat pribumi untuk mengisi biner, yakni dua pasangan yang saling waktu senggang setelah selesai bekerja3, bertentangan. Lebih lanjut Sumardjo me- baik di sawah maupun di perkebunan. nyatakan sebagai berikut: Hiburan kalangenan secara individu pada saat itu sudah biasa dilakukan, dan para Pola tiga bertolak dari kepercayaan dua- pelakunya pun adalah rakyat biasa yang lisme antagonistik segala hal. Misalnya, la- ngit di atas, bumi di bawah; langit basah, tidak dikategorikan sebagai seniman pro- bumi kering; langit perempuan, bumi la- fesional4 . Maka tidak heran apabila pada ki-laki; langit terang, bumi gelap. Keduanya zaman itu muncul kebiasaan masyarakat terpisah dan berjarak. Pemisahan itu tidak baik karena akan mendatangkan kematian. untuk memainkan suling (seruling) keti- Pemisahan segala hal yang dualistik anta- ka mereka sedang menggembala kerbau, gonistik harus diakhiri, yakni dengan me- atau melantunkan beluk sambil ngawulu­ ngawinkan keduanya. Hidup itu dimung- kinkan karena adanya harmoni. Syarat ku (menggarap tanah persawahan) sebe- hidup adalah adanya harmoni dari dua en- lum tanah tersebut ditanami benih padi. titas yang saling bertentangan tetapi saling Kesenian (karawitan) dalam konteks ini melengkapi (Sumardjo, 2006:73). tidak terpisah dari kebiasaan hidup ma- Konsep “pola tiga” yang menjadi dasar syarakatnya. Pada waktu itu, tidak terjadi berpikirnya masyarakat ladang ini akan pemisahan antara ‘pelaku seni’ dan ‘pe- dipakai sebagai landasan teori untuk nonton’, bahkan tanpa kehadiran penon- mengkaji permasalahan ‘estetika’ sehing- ton pun tak menjadi masalah. ga diharapkan dapat menghasilkan ‘este- Di samping sebagai hiburan kalangenan, tika’ karawitan tradisi Sunda yang selama karawitan Sunda juga biasa digunakan ini belum terungkap. dalam konteks upacara, baik upacara ri- tual maupun upacara adat tradisi. Ke- percayaan masyarakat Sunda terhadap 5 Konteks Karawitan Tradisi hal-hal mitis dan magis cukup kuat se- hingga kegiatan upacara dan adat tradisi Kehidupan karawitan Sunda zaman tumbuh subur sebagai bagian dari ke- dulu pada umumnya terkait dengan hidupan dan tradisi mereka. Keterlibatan kegiatan upacara1 ataupun hiburan masyarakat untuk sama-sama larut dalam kalangenan (individu atau kelompok). Ke- hidup berkesenian seolah-olah menjadi bijakan politik kolonial yang cenderung ‘keharusan’ karena pada saat itu tidak ada menguras tenaga rakyat (melalui tanam batas yang tegas antara ‘penyaji’ dan ‘pe- paksa) telah mengakibatkan rakyat cukup nonton’ apalagi bila kesenian itu disajikan menderita. Penderitaan rakyat ini salah dalam konteks upacara ritual dan hibur- satunya diekspresikan melalui kegiatan an kalangenan. Sistem penyajiannya pun kesenian, hanya sekedar untuk meng- berlangsung apa adanya tanpa didukung hibur diri. Jenis kesenian yang mereka oleh gedung atau panggung pertunjukan, tampilkan pada umumnya adalah kese- peralatan sound system, dekorasi artistik, nian yang tidak membutuhkan instrumen dan busana pertunjukan. Dalam konteks cukup banyak, seperti beluk, , kacapi­ ini, penyajian karawitan Sunda senantiasa an, taleot (dari tanah liat), , dan hadir menyertai kegiatan itu, di antaranya Jurnal Seni & Budaya Panggung Vol. 22, No. 3, Juli - September 2012: 225 - 350 259 tutunggulan, , pantun, tarawang­ Di samping untuk kebutuhan hiburan sa, macapat atau wawacan, dan gembyung6 . kalangenan dan upacara ritual, karawitan Dalam konteks upacara ritual, kehadiran tradisi digunakan pula dalam konteks kesenian dianggap dapat mengundang hiburan adat tradisi, seperti adat per- ruh leluhur sehingga keberadaannya tetap kawinan atau sunatan. Para menak zaman dipertahankan. Oleh karena tujuan dari dulu sering menyajikan hiburan kesenian kegiatan upacara ritual ini untuk memper- ketika mereka hendak mengadakan hajat oleh berkah, keselamatan, dan kesejahte- perkawinan atau sunatan. Nina Herlina raan masyarakatnya, setiap berlangsung- Lubis menyampaikan bagaimana perilaku nya kegiatan upacara (upacara panen padi menak ketika akan mengadakan syukuran misalnya) masyarakat senantiasa ikut ter- khitanan cucunya sebagai berikut. libat menyukseskan kegiatan tersebut. Mengapa peristiwa kesenian pada saat Ketika Raden Tanuwangsa (Wiratanu- baya), Bupati Sukapura (1835-1854), akan itu berlangsung sederhana dan lebih ba- mengkhitankan cucunya, tindakan pertama nyak digunakan dalam konteks upacara yang dilakukannya yaitu memberitahukan ritual dan hiburan kalangenan? Tentu saja para cutak (wedana) tentang rencananya itu. . . . Bupati kemudian menyuruh dua hal ini ada kaitannya dengan situasi so- orang Jawa mengantar surat kepada sultan sial dan ekonomi pada zaman itu. Pada Kasepuhan dan Bupati Cirebon yang isinya zaman dulu, kehidupan ekonomi ma- menyatakan bahwa bupati Sukapura ber- maksud meminjam taledek (ronggeng) un- syarakat pribumi masih bertumpu pada tuk memeriahkan pesta khitanan cucunya. . hasil pertanian dan perkebunan (akibat . . Bupati Sukapura juga mengirim surat ke- kebijakan politik pemerintah Hindia Be- pada Bupati Ciamis untuk meminjam orang- orang yang ahli dalam permainan atau kese- landa). Diferensiasi jenis pekerjaan ber- nian (Lubis, 1998: 201). dasarkan “keahlian tertentu” pada saat Pada malam harinya diadakan pesta itu belum membudaya. Oleh karena mata yang meriah. Berbagai permainan dan ke- senian digelar di alun-alun. Tamu-tamu Bu- pencaharian pokok masyarakat pribumi pati Sukapura dan Garut, baik yang berasal mengandalkan dari hasil pertanian dan dari kalangan menak maupun pejabat Be- perkebunan, “kesuburan tanaman” men- landa setempat hadir dalam pesta. Mereka ikut menikmati Tayuban (semacam tari per- jadi sebuah “kepentingan bersama” yang gaulan), menari dengan ronggeng pilihan perlu dijaga dan dipelihara. Sistem keper- dari Cirebon yang bernama Nyi Rara Pucuk, cayaan masyarakat terhadap “kekuatan Nyi Dewi Melok, dan Nyi Bokar (Lubis, 1998: 202-203). gaib” pun pada saat itu tumbuh kuat men- dasari pikiran mereka. Oleh karenanya, ti- Dua kutipan ini cukup membuktikan dak heran apabila pada zaman itu muncul bahwa karawitan tradisi pada saat itu di- “tradisi upacara ritual” (terkait dengan ha- gunakan pula dalam konteks adat tradisi sil pertanian) yang tujuannya untuk mem- perkawinan atau khitanan. Hiburan ke- pertahankan kesejahteraan hidup mereka. senian sebagaimana digambarkan melalui Dengan diadakannya upacara ritual (hasil kutipan di atas tidak ada kaitannya de- pertanian), maka masyarakat percaya bah- ngan kepercayaan “terhadap kekuatan wa hasil pertanian mereka akan tumbuh gaib” seperti ketika kesenian digunakan subur yang tentu saja akan berdampak dalam konteks upacara ritual, upacara pada kesejahteraan dan kelangsungan panen padi, misalnya. Hiburan kesenian hidup masyarakatnya. dalam konteks adat tradisi ini semata-ma- Herdini: Estetika Karawitan Tradisi Sunda 260 ta hanya untuk menunjukkan prestise langsung secara alami tanpa ada keter- yang ditandai oleh berbagai kemegahan7. kaitannya dengan ekonomi. Dalam arti, Fenomena ini sekaligus dapat memperli- kesenian belum menjadi sebuah komodi- hatkan bahwa perbedaan status sosial an- tas yang dapat dijual. Sebelum memasuki tara rakyat biasa dan kalangan menak bisa abad ke-20, kesenian (termasuk karawit- juga ditunjukkan melalui kesenian. an) dipandang sebagai alat untuk me- Jenis-jenis kesenian yang menjadi salah menuhi kebutuhan ‘rohani’ dan ‘prestise’ satu hiburan para menak di antaranya bagi orang-orang yang berkepentingan. adalah gamelan8 , wayang golek9 , tayuban, Dengan demikian, kalau dilihat berdasar- cianjuran, dan degung10. kan fungsinya, maka ada tiga pola ‘kon- Menurut Nina Herlina Lubis (1998), kaum teks’ kesenian tradisi bagi kehidupan ma- menak luhur selain melakukan aktivitas syarakatnya. di dunia sastra, juga menikmati kesenian lainnya untuk mengisi waktu senggang Hiburan Kalangenan mereka, bukan hanya sekedar untuk rekreasi. Lebih lanjut ia menjelaskan bah- Seniman Karya Seni wa seni yang berorientasi kepada seni ista- na mengandung nilai-nilai yang berkaitan dengan politik aristokrasi. Dengan menja- di pengayom kesenian, kaum aristokrasi Ritual dapat menonjolkan status mereka dengan gaya hidup yang penuh dengan pertun- Upacara Ritual jukan kemegahan. Oleh karenanya, tidak heran apabila para bupati sering menye- Seniman Karya Seni lenggarakan kegiatan kesenian (Lubis, 1998:243). Pernyataan ini mengandung Adat Tradisi makna bahwa kesenian dapat menjadi simbol status bagi seseorang untuk bisa Seniman Karya Seni dikatakan apakah ia termasuk golongan menak atau rakyat biasa. Kenyataannya memang demikian, dulu tembang sunda cianjuran digolongkan sebagai kesenian Adat menak, dan rakyat biasa tidak boleh me- nyaksikan pertunjukan kesenian tersebut. Pemisahan jenis-jenis kesenian atas dasar Ketiga pola ini menunjukkan bahwa perbedaan status sosial ini dapat dimak- Kfuentgigsai kpesoelnaiainni(k(alriahwatitagnamtrabdairsi)dpiadaatas) menunjukka lumi karena pada masa pemerintahan saat itu (sebelum zaman modern) lebih Hindia Belanda sistem feodalisme sangatkesenianberorientasi(karawitanpadatradhalisi)-halpadayangsaatsifanyaitu (sebelum zaman kuat, dan antara rakyat dan bupati dibeb-erorientnansmi apteardiaal. Dhaalla-mhaalrtyi,aknegsensiiafnan(kyaaanwo-nmaterial. Dalam dakan secara tegas antara nu kawasa jeung itan) merupakan kebutuhan rohaniah nu teu kawasa. (fungsi kalangenan dan fungsi upacara) Situasi dan kondisi kehidupan karawit- dan kebutuhan prestise (harga diri) (fung- an Sunda pada zaman tradisi masih ber- si adat tradisi), baik bagi si penanggap Jurnal Seni & Budaya Panggung Vol. 22, No. 3, Juli - September 2012: 225 - 350 261 maupun bagi para senimannya itu sendi- rak” identik dengan bangunan melodi, se- ri. Dengan demikian, dapat dipertegas dangkan nada yang diam identik dengan bahwa makna kesenian (karawitan) bagi nada yang tetap (statis). Dalam permainan kehidupan masyarakat zaman dulu cen- karawitan Sunda, fungsi nada yang sifat- derung mengarah pada upaya menjalin nya melodis dan statis senantiasa mun- harmoni kehidupan antara manusia, alam, cul. Misalnya, dalam permainan dan penguasa bumi. salendro, fungsi nada yang bersifat melo- Kehidupan sosial antara kalangan dis dapat dilihat pada tabuhan , pe­ menak (pejabat bupati dan pemerintah king, , dan suara pesinden. Sementara kolonial) dan rakyat biasa dibatasi oleh itu, fungsi nada yang tetap dapat dilihat fungsi sosial antara anu kawasa (yang dari tabuhan , selentem, dan goong. berkuasa) dan anu teu kawasa (yang tidak Kemudian dalam permainan degung klasik berkuasa). Pembedaan peranan sosial ini terjadi pula hal serupa. Misalnya, fung- berakibat pada fungsi kesenian (termasuk si nada yang bersifat melodis dibawakan karawitan) yang selalu ditempatkan se- oleh dan saron, sedangkan fungsi bagai alat persembahan bagi para pengu- nada yang tetap (statis) dibawakan oleh asa, baik sebagai “penghormatan” mau- jenglong dan goong. Fenomena seperti ini pun sebagai hiburan kalangenan di antara tidak hanya dapat dilihat dari permain- mereka. Kebiasaan ini kemudian berkem- an gamelan salendro dan , bang sehingga karawitan tradisi difung- tetapi juga dapat dilihat dari jenis kese- sikan pula sebagai alat hiburan dalam nian lainnya, seperti: tabuhan wanda anyar konteks perkawinan, sunatan, atau aca- Koko Koswara, karawitan , dan ra-acara hiburan lainnya yang diselengga- jenis-jenis karawitan lainnya. rakan oleh kaum menak. Apabila merujuk pada pendapat Jakob Sumardjo bahwa perkawinan antara du- nia atas (langit) dan dunia bawah (bumi) Estetika Karawitan Tradisi dapat melahirkan dunia tengah (yang di- huni oleh umat manusia), dalam karawit- Terbentuknya karawitan Sunda pada an Sunda pun terjadi hal serupa. Misal- dasarnya dihasilkan oleh dua sumber nya, bentuk penyajian karawitan Sunda bunyi, yaitu dari suara manusia (sekar) pada dasarnya ada dua jenis, yaitu: sekar dan bunyi alat-alat musik (gending). Dua dan gending. Dengan menyatunya sekar sumber bunyi ini sesungguhnya bersi- dan gending, maka muncul bentuk penya- fat paradoks antara yang “hidup” dan jian yang ketiga yaitu sekar gending. Kemu- “mati”. Sekar dapat ditafsirkan sebagai dian dalam karawitan Sunda pada sesuatu yang “hidup” karena lahir dari dasarnya juga ada dua jenis yaitu irama suara manusia (makhluk hidup), sedang- tandak (ketukan tetap) dan merdika (free me­ kan “gending” dapat ditafsirkan sebagai ter). Dengan menyatunya dua jenis irama sesuatu yang “mati” karena lahir dari alat- ini, maka muncullah bentuk irama cam- alat musik sebagai benda mati. Sifat dari puran yang disebut tandak merdika. Kemu- “hidup” adalah bergerak, sedangkan sifat dian apabila dilihat dari sisi pemakaian dari yang “mati” adalah diam. Dalam kon- nada pokok lagu, juga ada dua nada teks karawitan Sunda, nada yang “berge- pokok yaitu yang berfungsi sebagai nada Herdini: Estetika Karawitan Tradisi Sunda 262 kenongan dan nada goongan. Apabila nada rendah. Dari sisi pemakaian wirahmanya, kenongan dan nada goongan ini dimainkan ada yang disebut irama merdika, irama tan­ dalam bangunan struktur musikal yang dak, dan campuran antara tandak dan merdi­ utuh, maka biasanya muncul nada pancer ka. Kemudian dilihat dari besaran interval yang berfungsi sebagai tanda peralihan setiap larasnya, ada yang berinterval kecil dari nada kenongan ke nada goongan, atau (80 sen), interval sedang (240 sen), dan in­ sebaliknya. Fenomena ini hanya sebagai terval besar (400 sen). pembuktian bahwa pada karawitan Sunda Dilihat dari bentuk penyajiannya, seni pun perkawinan antardua hal yang bersi- gamelan termasuk pada kategori “ensam- fat paradoks itu juga terjadi. Perkawinan bel besar” karena menggunakan banyak tersebut dapat menghasilkan pola yang instrumen seperti: bonang, rincik, saron 1, ketiga. Kembali kepada permasalahan saron 2, demung, peking, selentem, kenong, pokok tentang perpaduan antara fungsi ketuk, dan goong, , rebab, nada antara yang bergerak (melodi) dan dan juru kawih (pesinden). Dalam permain- diam (tetap atau statis). an gamelan terdapat tiga jenis pola tabuhan Garap musikal yang dibentuk oleh yaitu berdasarkan prinsip “saling mengi- perpaduan antara fungsi nada yang ber- si”, “kelipatan dua”, dan “penyatuan”. sifat melodis dan nada yang tetap (statis) Prinsip yang pertama (saling mengisi) dapat melahirkan wirahma. Jadi, muncul- dapat dilihat pada permaina saron 1 dan nya wirahma dalam karawitan Sunda pada saron 2, kedua instrumen tersebut ditabuh dasarnya terjadi karena adanya perpadu- secara bersahutan (dari nada satu ke nada an antara dua fungsi nada tersebut. Oleh berikutnya); demung dan bonang (dalam karena dalam karawitan Sunda terdapat dua wilet) juga ditabuh secara bersahutan; dua fungsi nada antara yang “bergerak” demikian pula dengan tabuhan rincik dan dan yang “diam”, lahirlah konsep pe- bonang (dalam satu wilet). Prinsip yang ngaturan wirahma sehingga dalam garap kedua (kelipatan dua) dapat dilihat pada karawitan Sunda muncul “pola tiga” yang tabuhan rincik dan bonang, di mana tabuh- terkait dengan peranan musikal, yaitu: (1) an rincik merupakan kelipatan dua dari yang berperan sebagai pembawa melodi; tabuhan bonang. Kemudian tabuhan selen­ (2) yang berperan sebagai tanda pergan- tem juga merupakan kelipatan dua dari tian frase atau perputaran siklus ; tabuhan kenong. Prinsip yang ketiga ada- dan (3) yang berperan sebagai pengatur lah “penyatuan” dari dua bangunan melo- wirahma. Bentuk pola tiga pada karawitan di yang berbeda. Prinsip “penyatuan” ini Sunda tidak hanya dapat dilihat dari sisi dapat dilihat pada tabuhan peking yang peranan musikal, tetapi juga dapat dili- menggabungkan dua bangunan melodi hat dari aspek-aspek lainnya. Misalnya, dari tabuhan saron 1 dan saron 2. dari sisi penyajian, senantiasa didahului Munculnya fenomena “pola tiga” da- oleh bubuka, penyajian lagu, diakhiri oleh lam permainan gamelan di samping dapat panutup. Kemudian dari sisi pembagian dilihat dari prinsip pola tabuhannya, juga bentuknya, ada yang disebut karawitan dapat dilihat dari sisi fungsi musikalnya. sekar, karawitan gending, dan karawitan Dari semua instrumen yang dimainkan sekar gending. Dari sisi wilayah nadanya, pada gamelan ini muncul tiga jenis fung- ada nada sedang, nada tinggi, dan nada si musikal, yaitu: (1) berfungsi sebagai Jurnal Seni & Budaya Panggung Vol. 22, No. 3, Juli - September 2012: 225 - 350 263 pembawa melodi; (2) berfungsi sebagai Saling Mengisi pengatur irama; dan (3) berfungsi sebagai penanda siklus atau batas frase melodi. 1 1 3 1 Fungsi musikal sebagai “pembawa melo- di” dimainkan oleh rebab, saron, dan pe­ 2 4 2 1 king. Fungsi musikal sebagai “pengatur irama” dimainkan oleh kendang dan ketuk. Kelipatan Dua Sementara itu, fungsi musikal sebagai “penanda siklus atau batas frase melodi” 1 1 dimainkan oleh kenong dan goong. Tiga prinsip pola tabuhan dalam per- 1 1 1 1 mainan gamelan ini termasuk pada tataran “‘estetika’ instrumental”11 yang dapat Penyatuan menghasilkan wujud (bentuk), bobot (isi), dan penampilan. Sementara itu, tiga fungsi musikal yakni sebagai “pembawa 1 2 1 4 3 2 1 melodi,” “pengatur irama,” dan “penanda siklus atau batas frase melodi” cenderung mengarah pada “‘estetika’ normatif” yang Apakah ‘estetika’ karawitan tradisi sifatnya universal. Sifat dan karakteristik ini secara filosofis ada kaitannya dengan “‘estetika’ instrumental” adalah bisa ber- falsafah kehidupan masyarakat Sunda? ubah, sedangkan sifat dan karakteristik Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu “‘estetika’ normatif” adalah tetap. Dalam dikaji konsep ‘masagi’ yang berlaku pada arti, dalam ensambel karawitan Sunda, kebudayaan masyarakat Sunda. Istilah fungsi musikal sebagai “pembawa melo- ‘masagi’ sering diucapkan untuk menya- di,” “pengatur irama,” dan “penanda takan kemampuan seseorang yang diang- siklus atau batas frase melodi” senantisa gap serba bisa. Bahkan sering pula orang hadir, dan tidak ada karya karawitan Sun- mengatakan bahwa “hirup teh kudu masa­ da yang hanya memiliki dua apalagi satu gi” yang artinya “hidup itu harus serba fungsi musikal. bisa”. Pengertian ‘masagi’ sebagaimana Dengan ditemukannya fenomena pernyataan ini, tidak salah, namun tidak “pola tiga” dalam permainan gamelan tra- sepenuhnya benar. disi, baik yang terkait dengan ‘estetika’ Secara filosofis, makna ‘masagi’ se- instrumental maupun ‘estetika’ normatif, sungguhnya merupakan penjabaran maka perangkat untuk menganalisis ten- dari hakikat hidup manusia yang ber- tang “perubahan” terhadap karya-karya dasar pada ‘kronologis waktu manusia’. karawitan Sunda setelah abad ke-20 sa- Ada tiga jenis waktu yang menimpa ke- ngat memungkinkan. Dengan demikian, hidupan manusia, yaitu: ‘waktu kronolo- dapat dipertegas bahwa ‘estetika’ karawit- gis’, ‘waktu intelektual’, dan ‘waktu emo- an tradisi adalah bersumber dari “pola sional’. ‘Waktu kronologis’ (usia) pada tiga”. ‘estetika’ pola tiga ini dapat tercer- diri manusia berjalan secara alami dan min melalui prinsip menabuh gamelan se- terus berlangsung sampai menuju batas. bagai berikut. ‘Waktu intelektual’ adalah perkembangan Herdini: Estetika Karawitan Tradisi Sunda 264 pola pikir manusia sesuai dengan ‘waktu Waktu Kronologis kronologis’. Sementara itu, ‘waktu emo- sional’ adalah perkembangan jiwa (emo- 25 th sional) manusia yang sesuai pula dengan ‘waktu kronologisnya’. Dalam konsep 15 th ‘masagi’, antara ‘waktu kronologis’, ‘wak- 0 tu intelektual’, dan ‘waktu emosional’ itu harus seimbang. Dalam arti, ketika ses- eorang berumur 15 tahun, maka tingkat intelektual dan emosional seseorang itu Waktu Emosional Waktu Intelektual harus sesuai dengan kapasitas umurnya (Hati) (Otak) yang 15 tahun itu. Kemudian, ketika usia GGamambabr adri aitnais daappaat tmmemepmerpjelearsjeblaahswababherwtama bahnya usia manusia, seseorang itu bertambah hingga menca- diikbuteirptualma oblaeh nbeyrakemusbiaangmnyaantuinsgikaa,t dinitiekleuktuapliutalsadan emosional. Dalam pai 25 tahun, maka tingkat intelektual dan konoselpeh“mbaesrakgie”m, sbemanakgin ytiangtgiintginkgaktatinutseialeskeoturaanlgi-manusia (dalam batas emosional seseorang itu harus ikut pula wakttaus tderatennteum), osesmioankainl. tDingaglai mpuklaondasyeap p‘mikiar sad-an pengendalian rasa berkembang sesuai dengan usianya yang emogsio’,naslneyma.akKienseitminbagnggiantinangtkaraat buesrtiambsaehonryaangusia, daya pikir, dan terus bertambah. Dengan seimbangnya manusia (dalam b as wak u tertentu), tingkat intelektual dan emosional manu- pengendalian rasa emosional ini dapat melahirkan perilaku yang mampu semakin tinggi pula daya pikir dan pen- sia sesuai dengan bertambahnya ‘waktu menjalin hubungan atau relasi antara manusia dengan Tuhannya, dengan gendalian rasa emosionalnya. Keseim- kronologisnya’ (usianya), maka manusia sesama manusia, dan hubungan dengan alam sekitarnya. Apabila ketiga bangan antara bertambahnya usia, daya tersebut dianggap telah ‘masagi’. Dalam pikir, dan pengendalian rasa emosional hal ini, ‘waktu intelektual’ terkait dengan ini dapat melahirkan perilaku yang mam- ‘otak’, sedangkan ‘waktu emosional’ ter- pu menjalin hubungan atau relasi antara kait dengan ‘hati’. Otak dan hati sesung- manusia dengan Tuhannya, dengan sesa- guhnya merupakan dua hal yang bersi- ma manusia, dan hubungan dengan alam fat paradoks. Namun, apabila kedua hal sekitarnya. Apabila ketiga hubungan ini tersebut berfungsi secara seimbang (saling dapat terjalin dan terpelihara dengan baik, mengisi), maka akan dihasilkan tindakan maka pepatah orang Sunda yang disebut atau perilaku yang bermanfaat dan terken- cageur, bageur, pinter, dan singer ini bisa dali. Dengan seimbangnya antara pem- terwujud sehingga manusia dapat mem- berdayaan otak dan hati, maka kehidupan peroleh ‘ketenangan’, keselamatan, dan manusia akan mendapatkan ‘ketenangan’, ‘kesejahteraan’ dunia akhirat. Inilah se- keselamatan, dan ‘kesejahteraan’ kare- sungguhnya makna yang tersembunyi di na antara ‘otak’ dan ‘hati’ yang bersifat balik konsep ‘masagi’. paradoks ini mampu bekerja sama untuk Munculnya pola tiga dari konsep ‘ma- mencapai harmoni kehidupan sesuai de- sagi’ ini bersumber dari pola dua, yakni ngan keyakinan dan nilai-nilai yang diem- esensi diri manusia yang dikaruniai ‘hati’ bannya. Untuk lebih jelasnya bagaimana dan ‘otak’ sehingga berbeda dari binatang. konsep ‘masagi’ tersebut, lihat gambar di Ketika manusia dilahirkan, keberadaan bawah ini. ‘hati’ dan ‘otak’ sang bayi tersebut belum begitu berfungsi. Namun, setelah sang bayi itu tumbuh besar bahkan mencapai Jurnal Seni & Budaya Panggung Vol. 22, No. 3, Juli - September 2012: 225 - 350 265 usia remaja hingga dewasa, hati dan otak- dapat dipertegas bahwa ‘estetika’ karawit- nya dapat berfungsi dengan baik. Sesuai an tradisi Sunda tidak terlepas dari hitung- dengan perjalanan waktu (usia), maka an bilangan dua, tiga, dan empat. keadaan otak (intelektual) dan hati (emo- sional) manusia harus tetap seimbang (harmoni). Pola tiga adalah hubungan an- CATATAN AKHIR tara ‘waktu kronologis’, ‘waktu intelektu- 1 al’, dan ‘waktu emosional’. Sementara itu, Menurut John E. Kaemmer, tradisi musik di Indonesia merupakan perpaduan antara pola empat adalah wujud perilaku ma- praktik-praktik Hindu dan praktik-praktik nusia yang disebut dengan cageur, bageur, keyakinan ritus keagamaan tradisional pinter, dan singer. Keempat aspek ini (ca­ (Kaemmer, 1993:192). 2 geur, bageur, pinter, dan singer) dihasilkan Sumber primer yang bisa memperkuat keterangan ini tidak ditemukan, namun ber- dari keseimbangan antara ‘waktu kro- dasarkan informasi lisan dari para tokoh seni nologis’, ‘waktu intelektual’, dan ‘waktu seperti Tatang Suryana, Enip Sukanda, dan emosional’ yang terkandung dalam kon- Atik Soepandi, semua alat musik tersebut se- ring digunakan sebagai hiburan kalangenan sep ‘masagi’. Dengan demikian, konsep pribadi. Informasi ini diperoleh sejak penulis ‘masagi’ yang berdasar pada pola tiga ini kuliah di ASTI Bandung (1985-1988). sesungguhnya merupakan landasan ‘este- 3 Lihat buku Khasanah Kesenian Jawa Barat tika’ karawitan tradisi Sunda. (1977), karangan Atik Soepandi dan Enoch At- madibrata. 4 Seniman profesioanal adalah seniman yang secara khusus menekuni bidangnya, dan PENUTUP mendapatkan upah (bayaran) dari hasil kerja kesenimanannya. Berdasarkan uraian di atas dapat 5 Masyarakat Sunda meskipun mayori- tas beragama Islam, namun pengaruh agama disimpulkan bahwa permasalahan ‘este- Hindu-Budha cukup kuat sehingga kebiasan tika’ sangat terkait dengan pola pikir dan upacara ritual pada masyarakat Sunda masih kebiasaan hidup masyarakatnya. Pada ke- tetap berlangsung. Setelah memasuki abad ke-20 pun, kebiasaan “ngukus” (memberi budayaan Sunda, konsep ‘masagi’ yang sesajen kepada karuhun setiap malam Jumat) di dalamnya mengandung petuah cageur, juga masih dilaksanakan oleh sebagian masya- bageur, pinter, singer merupakan falsa- rakat Sunda. Menurut Jakob Sumardjo dalam bukunya Simbol-simbol Artefak Budaya Sun- fah hidup masyarakat Sunda yang tidak da (2003), masyarakat Sunda termasuk pada lapuk oleh perkembangan zaman. Secara masyarakat mitis-spiritual. substansi, konsep ‘masagi’ terbentuk oleh 6 Lihat buku Khasanah Kesenian Jawa Barat adanya keseimbangan (perkawinan) antara (1977), karangan Atik Soepandi dan Enoch At- ‘hati’ dan ‘otak’ manusia sehingga terwu- madibrata. 7 judlah pola tiga yang disebut “kronologis Secara garis besar bisa dikatakan bahwa pertunjukan-pertunjukan yang ditentukan waktu”, “kronologis emosional” dan “kro- oleh pihak pemimpin pemerintahan seperti nologis pikiran”. Keseimbangan antara lingkungan presiden, raja, gubernur, bupati, ketiga kronologis inilah yang dapat mem- dan seterusnya, bertujuan untuk menunjukkan prestise, kemegahan, kebesaran (Sedyowati, bentuk karakter manusia menuju cageur, 1981:55). bageur, pinter, dan singer. Secara falsafah, 8 Menurut Raden Haji Muhamad Musa, ‘estetika’ karawitan tradisi Sunda bersum- seorang bupati haruslah memiliki . . . gamelan ber dari konsep masagi. Dengan demikian, anoe patitis, anoe ampoeh nayagana . . . Herdini: Estetika Karawitan Tradisi Sunda 266

(gamelan yang sesuai aturan semestinya dan Kaemmer, John E penabuh gamelan yang halus perilakunya) 1993 Music in Human Life: Anthropolo­ (Lubis, 1998:244). gical Perspectives on Music. USA: 9 Rd. Aria Adipati Wiranatakusumah III (Bupati Bandung periode 1829-1846) mengem- University of Texas Press. bangkan seni pedalangan di wilayah Bandung dengan cara mendatangkan dalang dari Jawa Lubis, Nina H Tengah. Pada saat itu, dalang yang diun- dang adalah Ki Rumyang, Ki Darman, dan Ki 1998 Kehidupan Kaum Menak Priangan Sura Sungging. Pada saat itu Mama Anting 1800­1942. Bandung: Pusa Infor- mendapat kehormatan sebagai orang Sunda masi Kebudayaan Sunda. pertama yang dilatih menjadi dalang wayang golek yang diajari langsung secara telaten oleh Ki Rumyang (Hedy, 2011:155). Soepandi, Atik dan Enoch Atmadibrata 10 Zaman dahulu, gamelan degung itu hanya 1977 Khasanah Kesenian Daerah Jawa terdapat di keraton saja. Zaman kolonial Be- Barat. Bandung: PelitaMasa landa biasa terdapat di babancong Kabupaten. Jadi tegas gamelan degung itu bukan perang- kat “gamelan rakyat jelata”. Perbawa swara- Sumardjo, Jakob nya dapat memberikan suasana keagungan. 2003 Simbol­Simbol Artefak Budaya Dianggap pantas sekali sebagai iringan musik para Raja Sunda atau para apsara-apsari di Sunda: Tafsir­tafsir Pantun Sunda. Kahyangan (Soewargana, 1977:18). Bandung: Kelir. 11A.A.M. Djelantik membagi dua jenis es- tetika yaitu estetika instrumental dan estetika ------. normatif. Landasan estetika instrumental ada- lah ilmu pengetahuan, sedangkan landasan 2006. ‘estetika’ Paradoks. Bandung: estetika normatif adalah falsafah. estetika Sunan Ambu Press. instrumental dapat dikatakan objektif kare- na memiliki standar ukuran yang nyata bagi semua pengamat. Sementara estetika normatif cenderung subyektif karena langsung berkait- an dengan pendirian, falsafah pengamat yang bersangkutan yang menggunakan norma-nor- ma perorangan (Djelantik, 1990:9) .

DAFTAR PUSTAKA

Djelantik, A.A.M 1990 Pengantar Dasar Ilmu ‘estetika’ Jilid 1 ‘estetika’ Instrumental. Denpasar: STSI Denpasar.

Hardjasaputra, A. Sobana 2002 Perubahan Sosial di Bandung”. Disertasi Fakultas Sastra Univer- sitas Indonesia.