Estetika Karawitan Tradisi Sunda
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
256 Estetika Karawitan Tradisi Sunda Heri Herdini Jurusan Karawitan, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung Jalan Buahbatu No. 212 Bandung 40265 ABSTRACT The problem of “aesthetics” related not only to the “text” or the art form itself, but also to the mindset and worldview of the communities on “the world” and “the nature of human life.” Behind the mu sical form itself, there lies the mindset of Sundanese people which formed the basis for the “text” of karawitan. The understanding on “karawitan context” is, therefore, important. It means that “text” and “context” constitute “two sides of the same coin” which are interrelated to each other. This is the subject matter to be discussed in this paper. This paper is a philosophical study in order to find “the aesthetic of traditional karawitan” which has not been revealed so far. To reveal this problem the writer uses the theory of “Antagonistic Dualism” by Jakob Sumardjo. Based on the analysis to the “text” and “context” of Sundanese traditional karawitan, it is concluded that “the aesthetic of Sundanese traditional karawitan” comes from the concept of “masagi” that in substance may pro duce “pola tiga” (pattern of three) as a reflection of the culture of tritangtu, those are: tekad, ucap, and lampah. Keywords: Aesthetic of Karawitan, Sundanese Tradition. PENDAHULUAN Cina, dan demikian pula dengan ‘estetika’ karawitan Sunda. Masing-masing musik Secara sederhana, istilah ‘estetika’ di berbagai suku bangsa memiliki esteti- dapat diartikan filsafat keindahan. Istilah kanya tersendiri. ini sering diucapkan, baik dalam konteks ‘Estetika’ karawitan Sunda hingga saat diskusi, seminar, pembelajaran kompo- ini masih tampak samar-samar. Jakob Su- sisi musik, maupun obrolan santai di mardjo telah berusaha menggali ‘estetika’ warung kopi. Tidak jarang kata ‘esteti- orang Sunda yang dijabarkan melalui buku ka’ juga dipakai sebagai ‘senjata ampuh’ yang berjudul Simbolsimbol Artefak Budaya untuk menjelaskan “mutu seni” walau- Sunda (2003), ‘estetika’ Paradoks (2006), dan pun sesungguhnya persoalan ‘estetika’ Khazanah Pantun Sunda (2006). Berdasar- itu sendiri belum dipahami secara sung- kan hasil kajian dan analisisnya, Sumardjo guh-sungguh”. Memang tidak mudah menjelaskan bahwa kebudayaan orang untuk menjelaskan persoalan ‘estetika’ Sunda didasari oleh cara berpikir pola karena hal tersebut sangat terkait dengan tiga (tritangtu) sebagai cerminan dari du- kebudayaan dan pola pikir masyarakat- nia atas (langit), tengah (dunia kehidupan nya. Oleh sebab itu, tidak heran apabila manusia), dan bawah (bumi, tanah) yang ‘estetika’ musik India berbeda dengan ‘es- ditafsirkan pula sebagai Resi (tekad), Ratu tetika’ musik Barat, musik Jepang, musik (ucap), dan Rama (lampah). Pola berpikir Jurnal Seni & Budaya Panggung Vol. 22, No. 3, Juli - September 2012: 225 - 350 257 masyarakat Sunda ini, di antaranya dapat dan “Dunia Bawah yang bersifat laki-la- dibuktikan melalui pengaturan rumah, ki” dapat menghasilkan “Dunia Tengah” pengaturan negara, bentuk senjata kujang, yang diisi oleh semua umat manusia, baik dan mitologi pantun Sunda yang semua- laki-laki maupun perempuan (Sumardjo, nya ini berpola tiga. 2003:6). Untuk memperjelas uraian di Merujuk pada hasil analisis Jakob Su- atas, lihat kutipan berikut ini. mardjo, tulisan ini bermaksud untuk men- jabarkan lebih lanjut tentang ‘estetika’ Bagaimana kehidupan dapat terus dipe- lihara? Mereka berusaha mengawinkan karawitan tradisi Sunda dalam kaitannya pasangan kembar oposisi yang saling ber- dengan konsep masagi yang berlaku da- tentangan, tetapi saling melengkapi. Dari lam kebudayaan masyarakat Sunda. Per- perkawinan, kehidupan yang baru bisa muncul. Tanaman padi dapat terus hidup masalahan inilah yang hendak dibahas kalau ada ’perkawinan’ antara langit dan dalam tulisan ini. bumi. Langit mencurahkan hujannya kepada tanah yang kering. Dengan demikian, langit itu ”basah” dan bumi ”kering”. Basah itu asas perempuan dan kering asas lelaki. Per- Landasan Teori kawinan antarkeduanya akan menciptakan entitas ketiga, yakni kehidupan di muka bumi. Langit di atas, bumi di bawah, dan Untuk mengkaji ‘estetika’ karawitan kehidupan muncul di tengah-tengah langit tradisi digunakan teori dualisme anta- dan bumi. Ketiga dunia ini merupakan satu gonistik hasil temuan Jakob Sumardjo. kesatuan yang membuat kehidupan ini tetap ada (Sumardjo, 2006:72). Teori “dualisme antagonistik” berangkat dari pemikiran religi budaya mitis-spiritu- Menurut Sumardjo, menyatunya la- al Sunda dan suku-suku lainnya di Indo- ngit (dunia atas) dan bumi (dunia bawah) nesia. Berdasarkan pemikiran budaya mi- dapat melahirkan dunia tengah. Dunia tis-spiritual bahwa semua “keberadaan” tengah ini adalah jagat alam raya yang di- ini selalu terdiri atas dua unsur yang sa- huni oleh umat manusia. Perkawinan dari ling bertentangan. Keberadaan itu sendiri dua hal yang bersifat paradoks ini dapat terkait dengan “keberadaan rohani” dan melahirkan “dunia yang ketiga” sehingga “keberadaan kebendaan” atau material. melahirkan konsep tentang “pola tiga”. Keduanya memiliki karakteristik yang Cara berpikir masyarakat Sunda yang berbeda dan bertentangan (Sumardjo, berpola tiga ini, di antaranya dapat dibuk- 2003:5). Masyarakat Sunda (primordial) tikan melalui pengaturan rumah, penga- membagi “keberadaan” ini ke dalam dua turan negara, bentuk senjata kujang, dan kategori yaitu “Dunia Atas” dan “Dunia mitologi pantun Sunda. Bawah.” Keduanya harus merupakan satu Menurut Jakob Sumardjo, “pola tiga” kesatuan agar kehidupan ini terus berpro- merupakan cara berpikir masyarakat ses. Perkawinan antara “Dunia Atas” dan ladang. Obsesi masyarakat ladang yaitu “Dunia Bawah” dapat melahirkan “Dunia ’menghidupkan’. Dasar kepercayaan kos- Tengah.” Dunia Atas dan Dunia Bawah mologi manusia peladang ini menjadi adalah antagonistik. Dunia Atas bersi- landasan cara berpikirnya untuk semua fat perempuan (basah), sedangkan Du- hal. Masyarakat primordial ladang me- nia Bawah bersifat laki-laki (kering). Me- mercayai bahwa semua eksistensi itu si- nyatunya “Dunia Atas yang perempuan” Herdini: Estetika Karawitan Tradisi Sunda 258 fatnya dualistik. Akan tetapi, semua hal suling kumbang2. Alat-alat musik ini digu- dualistik tersebut merupakan pasangan nakan oleh rakyat pribumi untuk mengisi biner, yakni dua pasangan yang saling waktu senggang setelah selesai bekerja3, bertentangan. Lebih lanjut Sumardjo me- baik di sawah maupun di perkebunan. nyatakan sebagai berikut: Hiburan kalangenan secara individu pada saat itu sudah biasa dilakukan, dan para Pola tiga bertolak dari kepercayaan dua- pelakunya pun adalah rakyat biasa yang lisme antagonistik segala hal. Misalnya, la- ngit di atas, bumi di bawah; langit basah, tidak dikategorikan sebagai seniman pro- bumi kering; langit perempuan, bumi la- fesional4 . Maka tidak heran apabila pada ki-laki; langit terang, bumi gelap. Keduanya zaman itu muncul kebiasaan masyarakat terpisah dan berjarak. Pemisahan itu tidak baik karena akan mendatangkan kematian. untuk memainkan suling (seruling) keti- Pemisahan segala hal yang dualistik anta- ka mereka sedang menggembala kerbau, gonistik harus diakhiri, yakni dengan me- atau melantunkan beluk sambil ngawulu ngawinkan keduanya. Hidup itu dimung- kinkan karena adanya harmoni. Syarat ku (menggarap tanah persawahan) sebe- hidup adalah adanya harmoni dari dua en- lum tanah tersebut ditanami benih padi. titas yang saling bertentangan tetapi saling Kesenian (karawitan) dalam konteks ini melengkapi (Sumardjo, 2006:73). tidak terpisah dari kebiasaan hidup ma- Konsep “pola tiga” yang menjadi dasar syarakatnya. Pada waktu itu, tidak terjadi berpikirnya masyarakat ladang ini akan pemisahan antara ‘pelaku seni’ dan ‘pe- dipakai sebagai landasan teori untuk nonton’, bahkan tanpa kehadiran penon- mengkaji permasalahan ‘estetika’ sehing- ton pun tak menjadi masalah. ga diharapkan dapat menghasilkan ‘este- Di samping sebagai hiburan kalangenan, tika’ karawitan tradisi Sunda yang selama karawitan Sunda juga biasa digunakan ini belum terungkap. dalam konteks upacara, baik upacara ri- tual maupun upacara adat tradisi. Ke- percayaan masyarakat Sunda terhadap 5 Konteks Karawitan Tradisi hal-hal mitis dan magis cukup kuat se- hingga kegiatan upacara dan adat tradisi Kehidupan karawitan Sunda zaman tumbuh subur sebagai bagian dari ke- dulu pada umumnya terkait dengan hidupan dan tradisi mereka. Keterlibatan kegiatan upacara1 ataupun hiburan masyarakat untuk sama-sama larut dalam kalangenan (individu atau kelompok). Ke- hidup berkesenian seolah-olah menjadi bijakan politik kolonial yang cenderung ‘keharusan’ karena pada saat itu tidak ada menguras tenaga rakyat (melalui tanam batas yang tegas antara ‘penyaji’ dan ‘pe- paksa) telah mengakibatkan rakyat cukup nonton’ apalagi bila kesenian itu disajikan menderita. Penderitaan rakyat ini salah dalam konteks upacara ritual dan hibur- satunya diekspresikan melalui kegiatan an kalangenan. Sistem penyajiannya pun kesenian, hanya sekedar untuk meng- berlangsung apa adanya tanpa didukung hibur diri. Jenis kesenian yang mereka oleh gedung atau panggung pertunjukan, tampilkan pada umumnya adalah kese- peralatan sound system, dekorasi artistik, nian yang tidak membutuhkan instrumen dan busana pertunjukan. Dalam konteks cukup banyak, seperti beluk, calung, kacapi ini, penyajian karawitan Sunda senantiasa an, taleot (dari tanah liat), karinding, dan hadir menyertai kegiatan itu, di antaranya Jurnal Seni & Budaya Panggung Vol. 22, No. 3, Juli - September 2012: 225 - 350 259 tutunggulan, angklung, pantun, tarawang Di samping untuk