<<

Fenomena Gender dalam Dongkari Lagu-Lagu Tembang Sunda Cianjuran1

Deni Hermawan Sekolah Tinggi Seni (STSI) Bandung Jl. Buah Batu No. 212 Bandung 40265

ABSTRACT

This article,“Gender Fenomena in Dongkari of Tembang sunda cianjuran Songs,” is a small part of my dissertation entitled “Gender dalam Tembang sunda cianjuran,” which is then elaborated in accordance with the theme of this article. This article is intended to study gender fenomena in one of a number of aspects of Tembang sunda cianjuran, dongkari. How far gender ideology in social life aff ects the performance of Tembang sunda cianjuran, especially in using dongkari in Tembang sunda cianjuran songs, and vise versa.From this study, it is obtained a conclusion asserting that gender fenomena can be found in dongkari. This are shown by the existence of masculine and feminine or- nament/dongkari which are each usually used by men and women singers in singing the Tembang sunda cianjuran songs. However, this can not be free from cross-gender fenomena which always par- ticipate in it so that in certain cases, masculine ornamnet/dongkari can be used by women singers, and vise versa. The relationship between gender fenomena found in ornament/dongkari and its using by men and women singers in performance of Tembang sunda cianjuran shows mutual relationship and infl uence between both the gender ideology which is embedded in the Sundanese life and the perfomance of music—Tembang sunda cianjuran.

Keywords: gender, Tembang sunda cianjuran, ornamen/dongkari

ABSTRAK

Tulisan ini, “Fenomena Gender dalam Dongkari Lagu-lagu Tembang Sunda Cainjuran,” merupakan bagian kecil dari disertasi penulis berjudul “Gender dalam Tembang Sunda Cianjuran,” yang kemudian diolah kembali sesuai dengan tema tulisan ini. Tulisan ini ber- maksud untuk mengkaji fenomena gender dalam salah satu unsur tembang sunda cianjuran tersebut, yaitu dongkari. Sejauh mana ideologi gender dalam kehidupan masyarakat ber- pengaruh terhadap pertunjukan tembang sunda cianjuran, khususnya dalam menggunakan dongkari lagu-lagu tembang sunda cianjuran; dan sebaliknya. Dari kajian tersebut diperoleh kesimpulan yang menyatakan bahwa fenomena gender dapat ditemukan dalam ornamen/ dongkari. Hal ini ditunjukkan oleh adanya ornamen/dongkari yang bersifat maskulin dan feminin yang masing-masing biasa digunakan oleh penembang pria dan wanita dalam menembangkan lagu-lagu tembang sunda cianjuran. Kendatipun demikian, hal tersebut tidak terlepas dari fenomena cross-gender yang senantiasa hadir menyertainya sehingga dalam kasus-kasus tertentu, ornamen/dongkari yang bersifat maskulin bisa pula digunakan oleh penembang wanita; dan demikian pula sebaliknya. Keterkaitan antara fenomena gen- der yang ditemukan dalam ornamen/dongkari dan penggunaannya oleh penembang pria dan wanita dalam praktik pertunjukan tembang sunda cianjuran menunjukkan adanya sa- ling keterkaitan dan saling memengaruhi antara ideologi gender yang melekat dalam ke- hidupan masyarakat Sunda dan pertunjukan musik—tembang sunda cianjuran.

Kata kunci: gender, tembang sunda cianjuran, ornamen/dongkari Panggung Vol. 24 No. 1, Maret 2014 26

PENDAHULUAN terhadap Tembang sunda cianjuran. Demikian pula sebaliknya. Kenyataan saling meme- Tembang sunda cianjuran adalah salah ngaruhi ini—antara gender dan musik—se- satu jenis kesenian Sunda klasik berbentuk jalan dengan pernyataan konseptual/teoretis vokal-instrumental yang lahir di Cianjur, yang dikemukakan oleh Koskoff (1987: 10) Jawa Barat. Oleh sebab itulah kesenian ini dalam bentuk pertanyaan: (1) sampai pada dinamakan ‘cianjuran’, yang mengandung tingkatan mana ideologi gender dari satu pengertian ‘tembang Sunda gaya Cianjur’. masyarakat dan perilaku yang berkaitan Jadi, kata ‘cianjuran’ di sini tidak hanya dengan gender yang dihasilkan memenga- menunjukkan daerah asalnya, tetapi juga ruhi pikiran dan praktik musik; dan (2) sekaligus menunjukkan gaya (versi)-nya bagaimana musik berfungsi di masyarakat yang berbeda dari gaya (versi) seni tembang untuk mencerminkan atau memengaruhi dari daerah lainnya, yaitu ciawian yang ber- hubungan gender. asal dari Ciawi-Tasikmalaya dan cigawiran Moore (1991: 13) mengemukakan bahwa yang berasal dari Limbangan-Garut. gender bisa dilihat sebagai satu konstruksi Sebagai kesenian berbentuk vokal-in- simbolik atau sebagai satu hubungan sosi- strumental, Tembang sunda cianjuran terdiri al. Demikian pula halnya dengan gender dari dua unsur, yaitu vokal (lagu) yang di- dalam musik seperti Tembang sunda cianjur- bawakan oleh penembang (pria dan wanita) an. Sebagai konstruksi simbolik (abstrak), gender tampak pada unsur-unsur Tembang dan instrumental (bunyi alat musik) yang sunda cianjuran, dalam bentuk hubungan dimainkan pada seperangkat alat musik gender antara “pria” dan “wanita” dalam terdiri dari kacapi (kacapi indung dan kaca- rumpaka lagu, lagu, dongkari, dan alat pi rincik) dan atau rebab.2 Di antara musik; sedangkan sebagai suatu hubungan kedua unsur tersebut, vokal (lagu) meru- sosial (konkret), gender tampak pada pe- pakan unsur pokok dalam Tembang sunda mainnya, dalam bentuk hubungan gender cianjuran. Dalam lagu ini pun terkandung antara penembang wanita dan penembang beberapa unsur yang menentukan nilai pria, dan antara penembang wanita dan pe- keindahan (nilai estetik) dari lagu tersebut, main alat musik yang terdiri atas pria. salah satu di antaranya dan yang paling Tulisan ini bermaksud untuk mengkaji utama adalah hiasan lagu atau ornamen fenomena gender dalam salah satu dari ke- 3 yang dibentuk oleh rangkaian dongkari. lima unsur Tembang sunda cianjuran terse- Salah satu fenomena menarik dan pen- but, yaitu dongkari. Sejauh mana ideologi ting dalam Tembang sunda cianjuran adalah gender dalam kehidupan masyarakat ber- gender (baca: /jénder/), yaitu hubungan gen- pengaruh terhadap praktik pertunjukan der yang terjadi antara yang dipersepsikan Tembang sunda cianjuran, khususnya dalam sebagai maskulin dan feminin. Gender, yang menggunakan dongkari lagu-lagu Tembang secara sederhana diartikan sebagai perbe- sunda cianjuran; dan sebaliknya. daan peran antara wanita dan pria yang dibentuk secara sosial/kultural, senantiasa hadir dan melekat dalam berbagai aktivitas PEMBAHASAN atau peristiwa kehidupan manusia, salah satunya adalah dalam aktivitas musikal, Gender dalam Ornamen/Dongkari khusunya dalam pertunjukan musik, seperti Tembang sunda cianjuran. Ornamen dalam Tembang sunda cianjur- Ideologi gender dalam kehidupan ma- an merupakan aspek yang sangat penting syarakat memiliki pengaruh yang sangat kuat dan sekaligus merupakan identitas musikal Hermawan: Fenomena Gender dalam Dongkari 27 yang membedakan seni vokal ini dari seni- gai contoh, dongkari riak dalam lagu Papatet seni vokal lainnya seperti tembang ciawian, baris pertama sebagai berikut: tembang cigawiran, kawih kapasindenan, dan kawih wanda wanyar. Secara sederhana, or- namen diartikan sebagai hiasan lagu, atau lebih tepatnya lagi, hiasan melodi lagu. Dalam karawitan Sunda, selain istilah or- namen dikenal pula istilah senggol atau dongkari dalam Tembang sunda cianjuran, 2) Reureueus (ΛΛΛ) yaitu motif hiasan lagu. Ornamen pada Reureueus pada umumnya digunakan dasarnya merupakan komposisi yang ter- oleh para penembang untuk menamakan diri dari gabungan motif-motif hiasan lagu semua jenis dongkari dalam Tembang sunda (senggol/dongkari). cianjuran. Meskipun demikian, dalam tu- Dalam tembang sunda cianjuran dikenal lisan ini reureueus memiliki pengertian ada beberapa macam dongkari. Menurut ha- yang berbeda. Reureueus adalah salah satu sil penelitian Elis Rosliani (1998: 42), ada tu- macam dongkari yang pada prinsipnya sama juh belas macam dongkari yang ditemukan, dengan riak. Sedikit yang membedakannya yaitu: 1) riak ( ), 2) reureueus (ΛΛΛ), 3) yaitu teknik penyuaraan pada dongkari riak gibeg ( ), 4) kait ( ), 5) inghak (~), 6) jekluk tidak mendapat tekanan, sedangkan teknik (√), 7) beulit/rante ( ), 8) lapis (≈), 9) gedag (Ζ), 10) leot ( ), 11) buntut (ζ), 12) cacag ( ), 13) penyuaraan reureueus yaitu getaran suara baledog ( ), 14) kedet ( ), 15) dorong ( ), yang dikeluarkan pada nada yang tetap 16) galasar (З), dan 17) golosor (ξ)4. Selain mendapat tekanan. dari ketujuh belas dongkari tersebut, masih terdapat pula dua dongkari lainnya yang baru-baru ini teridentifi kasi, yaitu: 18) om- bak (ΩΩΩ) dan 19) dangheuak ( ) sehingga semuanya menjadi sembilan belas dongkari5. Berikut adalah uraian tentang kesembilan belas dongkari tersebut. 3) Gibeg ( ) Gibeg menurut Kamus Umum Basa 1) Riak ( )6 Sunda artinya yaitu ngobahkeun awak ka gigir Menurut Kamus Umum Basa Sunda, make tanaga sarta rikat (menggerakkan badan riak artinya nimbulkeun cahaya nu siga om- ke samping dengan gerak cepat). Teknik bak-ombakan (menimbulkan cahaya seperti penyuaraan dongkari gibeg yaitu mengelu- gelombang). Sedangkan menurut Bakang arkan suara pada nada yang tetap disertai Abubakar, istilah riak sama dengan istilah tekanan, dan dilakukan dengan gerak cepat ombak banyu yang artinya gelombang air seolah-olah digibegkeun. (Sarinah, 1994: 121). Adapun teknik pe- nyuaraan dongkari riak yaitu mengeluarkan getaran suara pada nada yang tetap yang menyerupai gelombang air. Getaran suara dikeluarkan tanpa tekanan, tetapi secara halus tanpa terputus. Contoh, nada 5 (la) yang menggunakan dongkari riak artinya 4) Kait ( ) nada 5 (la) dibunyikan dengan halus tanpa Kait artinya sama dengan nyangkol yaitu terputus menyerupai gelombang air. Seba- menempel keras karena lilitan tali. Dalam Panggung Vol. 24 No. 1, Maret 2014 28 istilah dongkari Tembang sunda cianjuran, isti- lah kait mengandung pengertian gabungan dua buah nada dari nada tinggi ke nada rendah di mana nada pertama dongkari kait menempel/sama dengan nada sebelumnya, kemudian diikuti oleh satu nada yang lebih 7) Rante ( ) rendah. Teknik penyuaraannya yaitu bunyi Dongkari rante yaitu gabungan dua terakhir dari suku kata yang akan diikuti buah nada atau lebih yang disuarakan de- oleh dongkari kait, dibunyikan kembali se- ngan cara mengulang nada-nada tersebut bagai jembatan untuk membunyikan suku sehingga menghasilkan suara yang bila kata berikutnya. digambarkan menyerupai bentuk spiral atau rante.

5) Inghak (~) Istilah inghak diambil dari peristiwa 8) Lapis (≈) menangis yang diterapkan pada dongkari Dongkari lapis yaitu penyuaraan satu Tembang sunda cianjuran. Teknik penyu- buah nada yang mengikuti nada sebelum- araannya yaitu pada waktu membunyikan nya. Dongkari lapis ini seolah-olah mengu- suku kata yang mengandung vokal huruf lang lagi nada yang sudah dibunyikan oleh hidup (a, i, u, e, o) udara sedikit dikeluar- dongkari lain. kan dengan diberi tekanan sehingga meng- hasilkan suara yang bunyinya seperti kon- sonan /h/. Diusahakan posisi bibir tidak bergerak saat mengeluarkan udara.

9) Gedag (Ζ) Dongkari gedag yaitu menyuarakan satu nada yang tetap dengan mendapat tekanan. Nada tersebut seolah-olah disuarakan dua 6) Jekluk (√) kali (diulang). Penempatan ornamen gedag Dongkari jekluk yaitu gabungan dua bu- senantiasa di awal kata. ah nada dari nada rendah ke nada tinggi. Misalnya dari nada 1 (da) ke nada 5 (la), nada 4 (ti) ke nada 3 (na). Untuk membu- nyikan dongkari jekluk harus diawali de- ngan nada yang lebih rendah. Misalnya dari nada 1 (da) ke nada 5 (la), senantiasa 10) Leot ( ) diawali dengan nada 2 (mi). Dari nada 4 (ti) Dongkari leot yaitu gabungan dua buah ke nada 3 (na), senantiasa diawali dengan nada, dari nada tinggi ke nada rendah, mi- nada 5 (la). Teknik penyuaraan dongkari jek- salnya dari nada 5 (la) ke nada 1 (da), nada luk harus menggunakan tenaga perut. 2 (mi) ke 3 (na), dan seterusnya. Hermawan: Fenomena Gender dalam Dongkari 29

14) Kedet ( ) Dongkari kedet senantiasa ditempatkan di akhir kalimat lagu yang berfungsi untuk ma- dakeun (mengakhiri) lagu. Dongkari ini biasa digunakan dalam lagu wanda jejemplangan. 11) Buntut (ζ) Dongkari buntut pada prinsipnya sama dengan dongkari lapis. Perbedaannya terle- tak pada penempatannya. Kalau dongkari lapis diletakkan di tengah kata dan senan- tiasa diikuti lagi dengan dongkari lainnya, sedangkan buntut ditempatkan di akhir kata atau kalimat lagu (frase lagu) dan dii- 15) Dorong ( ) kuti oleh satu nada yang lebih tinggi. Dongkari dorong pada dasarnya meru- pakan dinamika dari suara yang tidak mendapat tekanan menuju nada berikutnya dengan mendapat tekanan. Biasanya dong- kari dorong selalu diikuti oleh reureueus.

12) Cacag ( ) Dongkari cacag yaitu penyuaraan satu buah nada dengan teknik memberikan tekanan pada nada tersebut secara beru- lang-ulang dan tidak terputus-putus. 16) Galasar (З) Dongkari galasar yaitu gabungan dua atau tiga buah nada yang disuarakan seper- ti diayun, tanpa terputus, dan mendapat tekanan.

13) Baledog ( ) Dongkari baledog yaitu gabungan dua buah nada yang disuarakan tanpa tekanan. Dong- kari ini senantiasa ditempatkan mengikuti or- namen lainnya seperti gibeg dan gedag.

17) Golosor (ξ) Dongkari golosor yaitu gabungan bebe- rapa nada dengan teknik penyuaraan tanpa tekanan.Wilayah nadanya yaitu dari nada tinggi menuju ke nada rendah. Panggung Vol. 24 No. 1, Maret 2014 30

dongkari-dongkari di atas digunakan dalam bentuk rangkaian yang kemudian dikenal sebagai ornamen. Ornamen-ornamen ini ada yang terdiri dari rangkaian dua macam dongkari, tiga macam dongkari, empat macam dongkari, lima macam dongkari, dan enam 18) Ombak (Ω Ω Ω) macam dongkari sebagaimana terlihat pada Dongkari ombak pada dasarnya sama tabel 1 - 5. dengan riak, yaitu mengeluarkan getaran suara pada nada yang tetap yang menyeru- pai gelombang air. Getaran suara dikeluar- Gibeg Lapis kan tanpa tekanan, tetapi secara halus tan- 1 pa terputus. Perbedaannya, pada dongkari ≈ ombak, getaran suaranya besar-besar (lebih besar daripada getaran suara pada riak) Beulit Lapis dan dibawakan secara lambat (lebih lambat 2 daripada getaran suara pada riak). ≈

Riak Beulit 3

Riak Buntut 4 ζ 19) Dangheuak ( ) Dongkari dangheuak pada dasarnya sama Inghak Galasar dengan kait, yakni mengandung pengertian 5 gabungan dua buah nada dari nada tinggi ke ~ З nada rendah di mana nada pertama dongkari kait menempel/sama dengan nada sebelum- Beulit Kait nya, kemudian diikuti oleh satu nada yang 6 lebih rendah. Teknik penyuaraannya yaitu bunyi terakhir dari suku kata yang akan di- ikuti oleh dongkari kait, dibunyikan kembali Riak Lapis sebagai jembatan untuk membunyikan suku 7 kata berikutnya. Perbedaannya, dongkari ≈ dangheuak disuarakan dengan durasi waktu lebih panjang daripada kait. Gibeg Kait 8

Reureueus Jekluk 9 ΛΛΛ √

Dari hasil pengamatan terhadap praktik Tabel 1 penyajian lagu-lagu Tembang sunda cianjuran, Ornamen Dua Dongkari Hermawan: Fenomena Gender dalam Dongkari 31

Inghak Gibeg Lapis Riak Inghak Gedag Jekluk 1 1 ~ Ζ√ ~ ≈ Gibeg Lapis Riak Buntut 2 Riak Beulit Kait ≈ζ 2 Riak Beulit Gibeg Lapis 3 ≈ Riak Gedag Jekluk Gibeg Lapis Riak Beulit 3 4 Ζ√ ≈ Riak Gedag Gibeg Kait Riak Beulit Lapis 5 4 Ζ ≈ Dorong Inghak Reureueus Jekluk 6 Inghak Reureueus Jekluk ~ ΛΛΛ √ 5 Leot Inghak Gibeg Lapis ~ ΛΛΛ √ 7 ~ ≈ Gibeg Lapis Riak Tabel 3 6 Ornamen Empat Dongkari ≈

Riak Gedag Leot 7 Riak Gedag Gibeg Gibeg Kait Ζ 1 Ζ Gibeg Gibeg Lapis Riak Beulit Golosor Gibeg Lapis 8 2 ≈ ξ≈

Beulit Gibeg Lapis Riak Inghak Gedag Gibeg Kait 9 3 ≈ ~ Ζ

Jekluk Reureueus Jekluk Riak Gedag Riak Gedag Jekluk 4 10 ΖΖ√ √ ΛΛΛ √ Tabel 4 Beulit Lapis Leot Ornamen Lima Dongkari 11 ≈

Riak Beulit Golosor Riak Inghak Gedag Leot Gibeg Lapis 12 1 ξ ~ Ζ≈

Tabel 2 Tabel 5 Ornamen Tiga Dongkari Ornamen Enam Dongkari Panggung Vol. 24 No. 1, Maret 2014 32

Fenomena gender dalam ornamen/ Gender dongkari lagu-lagu Tembang sunda cianjuran Nama No. Lambang Maskulin/ Dongkari Maskulin Feminin ditunjukkan dengan adanya ornamen/dong- Feminin kari yang bersifat maskulin dan feminin. Or- namen/dongkari yang bersifat maskulin le- 1 Riak - √ - bih umum digunakan oleh penembang pria, sedangkan ornamen/dongkari yang bersifat 2 Reureueus ΛΛΛ --√ feminin lebih umum digunakan oleh pe- nembang wanita. Kendatipun demikian, 3 Gibeg - √ - hal tersebut bersifat relatif karena terikat 4 Kait - √ - oleh adanya fenomena cross-gender, dalam arti bahwa ornamen/dongkari yang bersifat 5 Inghak ~ --√ maskulin bisa juga dibawakan oleh penem- bang wanita, demikian pula sebaliknya. 6 Jekluk √ - √ - Di antara kesembilan belas dongkari Beulit/ 7 √ yang biasa dipakai dalam penyajian lagu- Rante -- lagu Tembang sunda cianjuran, ada dongkari yang bersifat maskulin (laki-laki), ada yang 8 Lapis ≈ - √ - bersifat maskulin/feminin (laki-laki/perem- puan), dan yang bersifat feminin (perem- 9 Gedag Ζ√ -- puan). Menurut Elis Rosliani (wawancara, 10 Leot --√ 21 November 2012), dongkari yang bersifat maskulin ada satu, yaitu: gedag; yang bersi- 11 Buntut ζ - √ - fat feminin ada empat, yaitu: reureueus, ing- hak, beulit/rante, dan leot; dan yang bersifat 12 Cacag - √ - maskulin/feminin ada 14, yaitu dongkari- dongkari selain yang lima tadi. Untuk lebih 13 Baledog - √ - jelasnya, lihat tabel 6. Suatu dongkari diketegorikan sebagai 14 Kedet - √ - maskulin atau feminin ditunjukkan oleh karakteristik suaranya ketika dongkari terse- 15 Dorong - √ - but disuarakan (digunakan) dalam penya- 16 Galasar З - √ - jian lagu. Dongkari maskulin, ketika disuara- kan akan melahirkan kesan atau gambaran 17 Golosor ξ - √ - sifat perilaku laki-laki seperti gagah, tegas, kuat, tegar, gembira, adapun dongkari femi- 18 Ombak Ω Ω Ω - √ - nin, ketika disuarakan akan melahirkan ke- san atau gambaran sifat perilaku perempuan 19 Dangheuak - √ - seperti halus, lemah, menderita, melankolis, dan sedih. Tabel 6 Gender Dongkari Tembang sunda cianjuran Dalam penggunaannya, karakteristik dongkari tidak serta-merta bersesuaian de- ngan jenis kelamin penembangnya. Dong- kari yang bersifat feminin, kadang-kadang kari yang bersifat maskulin, misalnya, tidak digunakan pula oleh penembang pria. Akan selamanya digunakan oleh penembang pria, tetapi bagi penembang pria yang sudah tetapi boleh juga digunakan oleh penembang mengetahui serta memahami karakteristik wanita. Demikian pula halnya dengan dong- dongkari, dalam menembangkan lagu-lagu Hermawan: Fenomena Gender dalam Dongkari 33 cianjuran ia tidak akan menggunakan beu- Di antara dongkari yang digunakan pe- lit/rante, leot, terutama inghak dan reureueus, nembang dalam membawakan lagu Mupu yang bersifat feminin. Sedangkan penem- Kembang terdapat dongkari feminin, yaitu: bang wanita, pada bagian-bagian tertentu leot ( ), inghak (~), dan beulit/rante ( ). Leot ia akan menggunakan keempat dongkari digunakan pada suku kata terakhir, baris tersebut. Berkaitan dengan hal ini, Elis pertama: wih; dan pada suku kata keempat, Rosliani (wawancara, 21 November 2012) baris kelima: kan. Inghak digunakan pada mengemukakan bahwa apabila sedang suku kata terakhir, baris kedua: lang; pada mengajarkan lagu pada para siswanya di suku kata ketujuh, baris kelima: ya; pada SMKN 10 (dulu SMKI), ia selalu memper- suku kata terakhir, baris keenam: ning; dan ingatkan para siswanya agar bagi pria se- pada suku kata terakhir, baris terakhir: baiknya tidak menggunakan beulit/rante, mas. Beulit/rante digunakan pada suku kata leot, terutama inghak dan reureueus, dalam keenam, baris keempat: ja; dan pada suku menembangkan suatu lagu. Sebaliknya kata keenam, baris terakhir: ka. bagi wanita, selain menggunakan dongkari Pada saat membawakan lagu Mupu yang bersifat maskulin, juga sebaiknya Kembang, penembang wanita sudah bi- menggunakan keempat dongkari tersebut. asa menggunakan ketiga dongkari tersebut Contoh kasus penggunaan dongkari maskulin dan feminin dapat ditemukan pada suku-suku kata di atas dalam upaya- ketika seorang penembang membawakan nya untuk dapat menjiwai lagu atau dapat sebuah lagu, misalnya lagu Mupu Kembang, membawakan lagu dengan ekspresif atau Wani-wani, dan Eros. penuh penjiwaan. Demikian pula kemung- Lagu Mupu Kembang adalah salah satu kinannya untuk penembang pria, khusus- lagu wanda papantunan berlaras . Beri- nya bagi penembang pria yang belum me- kut adalah lagu dimaksud yang ditulis ngenal akan adanya perbedaan penggunaan lengkap dengan notasi dan dongkari yang ornamen bagi kedua penembang pria dan biasa digunakan oleh para penembang. wanita. Akan tetapi bagi penembang pria yang sudah mengetahui, menyadari, serta dapat merasakan tentang adanya dongkari maskulin dan feminin, penembang pria ini akan berupaya untuk menghindari peng- gunaan ketiga dongkari feminin dimaksud dengan cara menggantinya dengan dongkari maskulin atau membawakan frase-frase ka- limat lagu yang mengandung ketiga dong- kari tersebut dengan cara yang berbeda. Dalam menembangkan rumpaka baris kedua, misalnya, demi menghindari peng- gunaan inghak pada suku kata akhir (lang), penembang pria menembangkan baris ke- dua tanpa jeda (berhenti sejenak) pada akhir baris, tetapi langsung menggabungkannya dengan baris kedua, dan baru berhenti se- jenak pada suku kata ton (puputon) pada baris ketiga. Dengan cara demikian, pe- nembang pria tidak memiliki kesempatan untuk menggunakan inghak. Sebaliknya, Panggung Vol. 24 No. 1, Maret 2014 34 penembang wanita biasa menembangkan baris kedua dengan berhenti sejenak pada akhir baris dengan tujuan agar memiliki ke- sempatan untuk menggunakan inghak yang dirangkaikan dengan dongkari sebelumnya (riak) dan dongkari sesudahnya (gedag dan jekluk). Selain inghak, dalam lagu Mupu Kem- bang ini digunakan pula dongkari feminin lainnya, yaitu leot dan beulit/rante. Akan tetapi dalam lagu ini, kalaupun lagu terse- but dibawakan oleh penembang pria, kedua ornamen tersebut tidak lantas bisa diganti dengan ornamen maskulin. Jadi, penembang pria pun akan tetap meng- gunakan kedua dongkari feminin tersebut. Seperti telah dikatakan di muka, dongkari ini bersifat cross-gender, dongkari leot, ing- hak, beulit/rante, dan reureueus memang bi- asanya digunakan oleh penembang wanita, tetapi tidak tertutup kemungkinan dalam lagu-lagu tertentu, seperti halnya dalam lagu Mupu Kembang digunakan pula oleh penembang pria. Dalam lagu ini, dongkari ≈ feminin leot dan beulit/rante tetap saja harus Ζ digunakan oleh penembang pria. Di sini penembang pria tidak bisa menghindar untuk tidak menggunakan kedua dongkari Berkaitan dengan dongkari pada pem- tersebut atau menggantinya dengan dong- bawaan lagu Wani-wani, Elis Rosliani kari lain, karena kantur (garis) melodi pada (wawancara, 21 November 2012) menceri- bagian itu menuntutnya demikian. Jadi, takan pengalamannya ketika mengajar penggunaan dongkari feminin hanya boleh lagu tersebut kepada salah seorang siswa digunakan oleh penembang wanita atau pria. Dalam menembangkan baris pertama: oleh penembang wanita dan pria tidak Eling-eling mangka eling, pada suku kata seenaknya, tetapi bergantung pada kantur ketujuh (e), Elis biasa menggunakan gedag melodi yang menggunakan dongkari femi- yang merupakan dongkari maskulin. Pada nin tersebut. suatu waktu, siswa tersebut latihan bersa- Kasus di atas berbeda dengan kasus ma di rumah Neneng Dinar. Dalam latih- pada saat penembang membawakan lagu an tersebut, Neneng Dinar mengajarkan Wani-wani, laras pelog, yang lagu dan nota- dan menembangkan lagu Wani-wani baris sinya sebagaimana terlihat di bawah ini. pertama pada suku kata ketujuh (e) de- ngan menggunakan beulit yang merupakan dongkari feminin. Sehubungan dengan hal tersebut, siswa ini pun mengatakan kepada Elis Rosliani bahwa dalam menembangkan baris pertama pada suku kata ketujuh itu Hermawan: Fenomena Gender dalam Dongkari 35 ia merasa lebih cocok menggunakan gedag Pada suku kata lang tersebut digunakan yang memunculkan kesan gagah (masku- ornamen dengan susunan dongkari: riak-ing- lin, laki-laki) daripada menggunakan beulit hak-gedag-jekluk. Susunan dongkari terse- yang terkesan halus (feminin, perempuan). but sebenarnya bisa digunakan, baik oleh Dari peristiwa ini dapat disimpulkan bah- penembang pria maupun oleh penembang wa dalam menembangkan lagu Wani-wani wanita. Akan tetapi pada kenyataannya, baris pertama pada suku kata ketujuh un- penembang pria dan wanita suka mengubah tuk penembang pria lebih cocok menggu- susunan dongkari tersebut atau menghilang- nakan gedag daripada beulit, karena dongkari kan satu atau dua dongkari untuk memun- gedag dirasakan oleh penembangnya terke- culkan kesan maskulin atau feminin dalam san lebih gagah daripada dongkari beulit. upaya mereka untuk mencapai penjiwaan Dongkari gedag ini, selain “dipasang- lagu masing-masing. Penembang wanita lawankan” dengan beulit, juga dengan biasanya menggunakan susunan tersebut reureueus yang masih merupakan dongkari tanpa gedag atau mengganti riak dengan reu- feminin. Dalam menembangkan lagu, pada reueus, tetapi juga tanpa gedag. Sedangkan umumnya sering terjadi susunan peng- penembang pria akan menghilangkan riak gunaan dongkari yang terdiri dari: inghak- dan inghak, yang digunakan hanya gedag reureueus-jekluk. Penembang pria kemudian dan jekluk. mengubah susunan penggunaan dongkari Kasus selanjutnya mengenai penggu- tersebut menjadi: gedag-jekluk. Untuk men- naan ornamen maskulin dan feminin ini capai jekluk (karena jekluk tidak akan bisa tampak juga pada peristiwa pembawaan dicapai tanpa penggunaan dongkari sebe- lagu Eros, terkait dengan penggunaan lumnya), di sini penembang pria meng- dongkari inghak dan leot. Berikut adalah lagu hilangkan (tidak menggunakan) inghak dan Eros, laras sorog, lengkap dengan notasinya. reureueus, kemudian menggantinya dengan gedag. Dengan demikian, ornamen yang digunakannya, yang terdiri dari gedag dan jekluk terkesan lebih gagah daripada or- namen yang digunakan oleh penembang wanita yang terdiri dari inghak, reureueus, dan jekluk. Contoh kasus ini misalnya ter- jadi pada saat menembangkan lagu Mupu Kembang baris kedua, suku kata terakhir lang (dari kata ‘gumilang’) seperti terlihat di bawah ini:

Dan seterusnya...... Panggung Vol. 24 No. 1, Maret 2014 36

suku kata pertama hingga suku kata keem- pat: Boa-boa. Pada bagian-bagian rumpaka yang berubah ini, digunakan dongkari feminin, yaitu leot dan inghak. Leot digunakan pada baris ketiga, suku kata ketujuh: ha (dari hate); kemudian pada baris keempat, suku kata ketujuh; la (dari kawalahan); dan pada baris terakhir, suku kata ketujuh: la (dari bibilasan). Untuk lebih jelasnya, perubahan kantur melodi dan dongkari yang terjadi pada lagu Eros versi kedua ini adalah sebagaimana ter- lihat pada perbandingan notasi bagian lagu Eros versi pertama dan kedua di bawah ini: Baris Ketiga: Lagu Eros terdiri dari dua versi. Versi Versi pertama: pertama biasa dibawakan oleh penembang pria dan wanita, sedangkan versi kedua hanya biasa dibawakan oleh penembang wanita. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kantur melodi pada baris-baris tertentu dan perbedaan penggunaan dongkari di an- Versi kedua: tara keduanya. Lagu Eros yang dinotasikan di atas adalah versi pertama, yang umum ditem- bangkan, baik oleh penembang pria mau- pun oleh penembang wanita. Di antara dongkari yang digunakan, terdapat dongkari Baris keempat: feminin, yaitu: beulit/rante ( ) dan leot Versi pertama: ( ). Beulit/rante terdapat pada: baris ke- tiga, suku kata ketiga; baris keempat, suku kata keempat dan ketujuh; dan baris ter- akhir, suku kata ketujuh; sedangkan leot terdapat pada baris keempat, suku kata ke- empat; dan pada baris terakhir, suku kata Versi kedua: keempat. Lagu Eros versi kedua sedikit berbeda dari lagu Eros versi pertama dalam hal melodi dan penggunaan ornamen/dongkari, terutama ornamen/dongkari feminin. Pada lagu Eros versi kedua, terdapat perubahan Baris terakhir: kantur melodi yang terjadi pada baris ke- Versi pertama: tiga, mulai suku kata kelima: raheut hate; kemudian pada baris keempat: Ampir abdi kawalahan; dan pada baris terakhir, mulai Hermawan: Fenomena Gender dalam Dongkari 37

Versi kedua: men/dongkari yang bersifat maskulin bisa pula digunakan oleh penembang wanita; dan demikian pula sebaliknya. Keterkaitan antara fenomena gender yang ditemukan dalam ornamen/dongkari dan penggunaannya oleh penembang pria Perubahan kantur melodi pada ba- dan wanita dalam praktik pertunjukan Tem- gian-bagian frase melodi dan penggantian bang sunda cianjuran menunjukkan adanya dongkari feminin (leot dan inghak) pada saling keterkaitan dan saling memengaruhi suku-suku kata pada lagu versi kedua antara ideologi gender yang melekat dalam sebagimana telah diuraikan di atas me- kehidupan masyarakat Sunda dan pertun- munculkan kesan feminin, perempuan, jukan musik—Tembang sunda cianjuran. melankolis. Dengan kata lain, lagu versi kedua ini lebih cenderung memunculkan kesan feminin, sedangkan lagu versi per- tama lebih cenderung memunculkan kesan Daft ar Pustaka maskulin. Oleh karena itu, pada saat mem- bawakan lagu Eros, penembang pria biasa Ace Hasan Su’eb memilih versi pertama, sedangkan penem- 1977 Wawasan Tembang Sunda. Bandung: bang wanita biasa memilih versi kedua. CV Geger Sunten. Kendatipun demikian, sebagaimana telah dikemukakan, fenomena gender dalam orna- Apung Wiratmadja men lagu-lagu Tembang sunda cianjuran bersifat 1964 Sumbangsih kana Tembang Sunda. cross-gender. Dalam kaitannya dengan hal ini, Bandung: Purnamasari. A. Tjitjah, misalnya, saat menembangkan lagu Eros biasa menggunakan versi perta------ma yang bersifat maskulin, sedangkan Euis 1996 Kuring jeung Tembang (Pamanggih & Komariah (alm.) biasa menggunakan versi Papanggihan). Bandung: Citra Mus- kedua yang bersifat feminin (Elis Rosliani, tika. wawancara, 21 November 2012). ------2007 Mengenal Seni Tembang Sunda. Ban- PENUTUP dung: CV Wahana Iptek Bandung.

Dalam Tembang sunda cianjuran, feno------mena (konsep) gender dapat ditemukan 2009 Salawé Sesebitan Hariring. Bandung: dalam ornamen/dongkari. Fenomena gender PT Kiblat Buku Utama. dalam ornamen/dongkari tersebut dalam perwujudannya ditunjukkan oleh adanya Deni Hermawan ornamen/dongkari yang bersifat maskulin dan feminin yang masing-masing biasa di- 1994 “Gender Issues in Mythology, Symbol- gunakan oleh penembang pria dan wanita ism and Performance of Tembang Sun- dalam menembangkan lagu-lagu Tembang da cianjuran in West , Indonesia: sunda cianjuran. Kendatipun demikian, hal the Role of Female Instruments and tersebut tidak terlepas dari fenomena cross- Singers.” 1 of 3 M.A. Papers. Washing- gender yang senantiasa hadir menyertainya ton: University of Washington, USA sehingga dalam kasus-kasus tertentu, orna- Panggung Vol. 24 No. 1, Maret 2014 38

------sic in Cross-Cultural Perspective, Ellen 2002 Etnomusikologi: Beberapa Permasalah- Koskoff , ed. Urbana and Chicago: an dalam Musik Sunda. Bandung: University of Illinois Press. STSI Press. M. Yusuf Wiradiredja, dkk. ------2001 Tembang sunda cianjuran: Bahan Ap- 2006 “Membaca Potensi Tembang sunda resiasi Siswa SD dan SLTP di Kabupa- cianjuran dalam Upaya Meningkat- ten Cianjur. Cianjur: Kerja sama Di- kan Pemahaman terhadap Nilai-ni- nas P & K Kabupaten Cianjur dengan lai Budaya Sunda.” Arena: Seni Per- Jurusan Karawitan STSI Bandung. tunjukan Karya dan Karsa Budaya Bangsa, hlm. 24-42. Moore, Henriett a L. 1991 Feminism and Anthropology. Third E------dition. Cambridge: Polity Press. 2014 “Gender dalam Tembang Sunda Ci- anjuran.” Disertasi. Bandung: Univer- Rina Sarinah sitas Padjadjaran. 1994 “Teknik Penyuaraan Tembang sunda cianjuran Wanda Papantunan dan Je- Deni Hermawan dan H.M. Yusuf Wirdiredja jemplangan Bakang Abubakar.” Skrip- 2006 “MPOS2E Vokal Tembang sunda cian- si Sarjana, STSI Surakarta. juran Berbasis Teknologi Multime- dia.” Bahan Ajar, P3AI STSI Bandung. William, Sean 1990 “The Urbanization of Tembang Sunda, Denny R. Natamihardja an Aristrocratic Musical Genre of West 2009 Ngaguar Mamaos Cianjuran. Cianjur: Java.” Ph.D. Dissertation, University Lembaga Kebudayaan Cianjur. of Washington.

Elis Rosliani Zanten, Willem van 1998 “Teknik Vokal A. Tjitjah dalam Tem- 1987 “Tembang Sunda: an Ethnomusicologi bang sunda cianjuran.” Skripsi Sarjana cal Study of the Cianjuran Music in STSI Bandung. .” Ph.D. Dissertation, Uni- versity of Leiden. Enip Sukanda 1984 “Tembang sunda cianjuran: Sekitar ------Pembentukan dan Perkembangan- 1989 Sundanese Music in the Cianjuran nya.”Bandung: Proyek Pengembang- Style. Holland: Foris Publication. Institut Kesenian Indonesia Subpro- yek Akademi Seni Tari Indonesia ------Bandung. 2008 “The Merriage Relationship between Player and Kacapi Zither in West Java.” Koskoff , Ellen Ethnomusicology Forum, Vol. 17, No. 1987 “An Introduction to Women, Music, 1, pp. 41-65. and Culture.” dalam Women and Mu-