PROSIDING SIMPOSIUM, WORKSHOP, DAN KONGRES IX PTTI “ORGANISASI PROFESI PENDORONG PERCEPATAN PERKEMBANGAN IPTEK” Bali, 11–13 Oktober 2011

ii

Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

iii

PROSIDING SIMPOSIUM, WORKSHOP, DAN KONGRES IX PTTI “ORGANISASI PROFESI PENDORONG PERCEPATAN PERKEMBANGAN IPTEK” Bali, 11–13 Oktober 2011

Penelaah: Rugayah HimmahRustiami Titien Ng. Praptosuwiryo

Penyelenggara: Penggalang Taksonomi Tumbuhan (PTTI) Bekerja sama dengan Kebun Raya Eka Karya Bali-LIPI Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi-Kemendikbud

LIPI Press

iv

©2013 Penggalang Taksonomi Tumbuhan Indonesia (PTTI)

Katalog dalam Terbitan

Prosiding Simposium, Workshop, dan Kongres IX PTTI: Organisasi Profesi Pendorong Percepatan Perkembangan IPTEK, Bali, 11–13 Oktober 2011/ Novi Harun A.R., Ema Handayani, Tri Warseno, Dyan Meiningsasi Siswoyo Putri, I Dewa Putu Darma, I Nyoman Peneng, I Putu Agus Hendra Wibawa, Ni Kadek Erosi Undaharta, I Made Ardaka, Hartutiningsih-M.Siregar, I Nengah Suka Widana, Arief Priyadi, Ni Putu Sri Asih, Agung Kurniawan, Wawan Sujarwo, Tuah Malem Bangun, I Made Sumerta, Siti Fatimah Hanum, Umiyah, Ni Nyoman Darsini, Serafinah Indriyani, Tatik Wardiyati, Hery Purnobasuki. – Jakarta: LIPI Press, 2013. viii + 146 hlm.; 21 x 29,7 cm

ISBN 978-979-799-759-5 1. Taksonomi Tumbuhan 2. Ekologi 3. Konservasi

578.012

Editor : Rugayah Himmah Rustiami Titien Ng. Praptosuwiryo Copyeditor : Risma Wahyu Hartiningsih Penata Isi : Yessi Santika, BayuAdjie Desainer Sampul : I GedeWawan Setiadi

Diterbitkan oleh: LIPI Press, anggota Ikapi Jln. Gondangdia Lama 39, Menteng, Jakarta 10350 Telp. (021) 314 0228, 314 6942. Fax. (021) 314 4591 E-mail : [email protected] [email protected]

[email protected]

Atas kerja sama: PenggalangTaksonomi Tumbuhan Indonesia (PTTI) Herbarium Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi-LIPI Cibinong Science Center, Jln. Raya Bogor Km. 46 Cibinong 16911 http://www.ptti.or.id

v PRAKATA

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rakhmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, hingga kita diberi nikmat sehat dan kesempatan untuk menyelenggarakan acara Simposium, Workshop, dan Kongres IX PTTI di Kebun Raya “Eka Karya” Bali. Terima kasih kepada Prof. Mien A. Rifai dan Prof. Tetsukazu Yahara atas kesediaannya menyampaikan makalah kunci pada Simposium PTTI kali ini. Terima kasih kepada Dikti yang telah memberikan bantuan hibah untuk Organisasi Profesi dan Kebun Raya Bali atas dukungan dan kerja samanya. Simposium kali ini mengambil tema yang sangat strategis, yaitu “Organisasi Profesi Pendorong Percepatan Perkembangan Iptek”, (PTTI di bidang Taksonomi Tumbuhan di Indonesia). Dalam perjalanan panjangnya taksonomi masih dianggap ilmu dasar yang kurang “seksi”, walaupun semua kelompok ilmu aplikasi mengakui pentingnya taksonomi. Dalam perkembangannya kini, taksonomi semakin menjadi perhatian dan semakin mengemuka karena kita semua masyarakat taksonomi mulai memanfaatkan berbagai perkembangan ilmu lain untuk tujuan taksonomi. Pemahaman akan species atau jenis, bukan lagi berdasar pada morfologi dan herbarium spesimen, tetapi sudah memanfaatkan dan menganalisis informasi genetik, ekologi, fisiologi, biokimia, dan sintesa protein. DNA barcoding akan menjadi salah satu kegiatan taksonomi yang mungkin perlu dilakukan oleh setiap taksonomiwan di masa yang akan datang. Kedekatan disiplin ilmu, kerja sama antarbidang keilmuan menjadi sangat penting dalam kerja taksonomi. Indonesia sebagai negara kaya keanekaragaman hayati, menyimpan begitu banyak potensi dan dengan keragaman tinggi. Kita sebagai kelompok taksonomi tumbuhan belum tahu secara pasti jumlah jenis, apalagi variasi genetik dan molekuler penyusunnya yang ada di bumi tercinta ini. Menghadapi diratifikasinya protokol Nagoya tentang Access to Genetic and Benefit Sharing (ABS) pada th 2015 , kita harus meningkatkan kemampuan dan bersegera menguasai apa yang kita miliki. Oleh karena itu, bidang spesialisasi keilmuan dan takson pilihan harus semakin menjadi pegangan. Seorang penguasa takson Jahe-jahean (Zingiberaceae) harus mulai memahami teknik menggali informasi, ekologi, genetik, dan biologi molekuler. Pada Simposium ini, beragam makalah akan disajikan. Dan beberapa di antaranya diharapkan dapat diterbitkan di jurnal nasional atau internasional yang terakreditasi. Makalah lain yang belum siap untuk diterbitkan, dapat kita kumpulkan sebagai Bank Makalah PTTI dalam bentuk prosiding. Selanjutnya makalah tersebut perlu terus ditingkatkan dan disempurnakan agar bisa masuk ke jurnal ilmiah terakreditasi. Prosiding hanya tempat parkir sementara, bukan tujuan akhir publikasi.

Bali, Oktober 2013 Prof. Dr. Dedy Darnaedi Ketua PTTI

vi DAFTAR ISI

PRAKATA vi DAFTAR ISI viii

Karakterisasi Fenotipe (Morfologi) Stamen Rhododendron Novi Harun A.R., Ema Handayani ...... 1

Variasi Sisik Idioblas Rhododendron subgenus Vireya Novi Harun A.R., Tri Warseno...... 6

Keragaman Rhododendron di Kebun Raya ‘Eka Karya’ Bali dan Status Konservasinya Dyan Meiningsasi Siswoyo Putri, Tri Warseno...... 10

Tumbuhan Paku Epifit dan Kesesuaiannya dengan Porofit di Kebun Raya 'Eka Karya' Bali I Dewa Putu Darma, I Nyoman Peneng...... 25

Eksplorasi Jenis-Jenis Tumbuhan Paku di Kawasan Gunung Tambora Sumbawa I Putu Agus Hendra Wibawa, I Nyoman Peneng ...... 31

Tiga Seksi Begonia dari Pulau Bali Ni Kadek Erosi Undaharta, I Made Ardaka, Hartutiningsih-M.Siregar...... 36

Studi Keragaman Morfologi Jeruk Besar ( Citrus maxima (Burm.) Merr.) Populasi Bali I Nengah Suka Widana ………………………………………………………………………………….. 49

Weed Species Diversity in Arable Land Related to Their Management Strategies Arief Priyadi ………………………………………………………………………...... 60

Studi Ekologi dan Masa Berbunga Anggrek Paphiopedilum lowii (Lindl.) Pfitzer I Gede Tirta ………………………………………………………………………………………………. 65

Konservasi Araceae di Kebun Raya "Eka Karya" Bali - LIPI Ni Putu Sri Asih, Agung Kurniawan ...... 69

Inventarisasi dan Konservasi Tumbuhan Langka Lokal di RPH Rendang, Kecamatan

Rendang, Karangasem Wawan Sujarwo, Tuah Malem Bangun ……………………………………………………………….. 74

Kajian Etnobotani Intaran ( Azadirachta indica A.Juss.) di Kabupaten Buleleng Bali I Made Sumerta ……………………………………………………………………. 80

Eksplorasi Tumbuhan Pewarna di Kabupaten Gianyar Siti Fatimah Hanum, Dewa Putu Darma, I Made Sumerta ...... 85

Pemanfaatan Kayu Kenitu ( Chrysophyllum cainito ) oleh Masyarakat Jember Umiyah …………………………………………………………………………………………………….. 90

Inventarisasi Tumbuhan Berkhasiat Obat Tradisional untuk Penyakit Saluran Kencing di

Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali Ni Nyoman Darsini ………………………………………………………………...... 93

vii Aspek Botani dan Potensi Rhododendron seranicum J.J.Sm. Koleksi Kebun Raya "Eka

Karya" Bali Tri Warseno, Dyan Meiningsasi Siswoyo Putri ……………………………………………………… 98

Respons Pengubah Morfologi Porang ( Amorphophallus muelleri Blume) Terhadap Perlakuan

Urea dan Kapur Serafinah Indriyani, Tatik Wardiyati, Hery Purnobasuki ………………………………………….. 104

Eksplorasi Begonia di Sebagian Taman Nasional Manusela, Maluku I Gede Tirta, I Made Ardaka, Ni Kadek Erosi Undaharta ...... 109

Empowering Thinking Process to Develop Learner’s Ability to Recognize Biodiversity through Classification and Their Reasoning Nuryani Y. Rustaman ……………………………………………………………………………………. 113

Perkembangan Koleksi Bambu Kebun Raya Eka Karya Bali Ida Bagus Ketut Arinasa, I Nyoman Peneng ...... 123

Kumpulan abstrak makalah terbit di Jurnal Reinwardtia ...... 132

Kumpulan abstrak makalah terbit di Jurnal Berita Biologi ...... 137

Kumpulan abstrak makalah terbit di Jurnal Floribunda ...... 142

Kumpulan abstrak makalah terbit di Jurnal Buletin Kebun Raya ...... 145

viii KARAKTERISASI FENOTIPE (MORFOLOGI) STAMEN RHODODENDRON

Novi Harun A.R.* dan Ema Handayani UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali–LIPI Candikuning, Batu riti, Tabanan, Bali 82191 *E-mail : [email protected]

ABSTRACT - Rhododendron is one of the tribe of woody belongs to Ericaceae mainly used as an ornamental . This research aims to study the morphology of the stamen characters of Rhododendron. In this study six genotypes of Rhododendron growing in the Botanical Gardens of "Eka Karya" Bali were observed in macroscopic and microscopic characters. Macroscopic observations were made with direct observation or using dissection microscope. While the microscopic characters obtained from observation using light microscope Olympus. Morphology of stamens as data obtained from macroscopic characters consists of crown flower stamens, long of anthers, width of anthers, and color of anthers, filament length, and presence of hairs on the filaments. While data obtained from microscopic characters include morphology and anatomy of the stamen consists of Rhododendron pollen stage form of pollen tetrad stage and the length of the pollen.

Keywords : Rhododendron ; Androecium; Pollen; Plant anatomy; Ornamental plants

PENDAHULUAN menyangga anter . Pada anter dapat dijumpai dua buah cuping yang melekat pada sebuah Rhododendron adalah tumbuhan berkayu yang struktur yang merupakan lanjutan filamen yang hidup di dataran tinggi daerah tropis dan sub- dinamakan konektivum. Setiap cuping mengan- tropis. Rhododendron yang hidup di daerah dung dua kantung polen (kantung serbuk sari) sub-tropis dikenal dengan Rhododendron yang di dalamnya ditemukan butir polen (butir subgenus Azalea , sedangkan yang hidup di serbuk sari) (D’arcy, 1996). daerah tropis dikenal dengan Rhododendron Butir polen yang masak tidak memiliki subgenus vireya . Pohon Rhododendron selalu vakuola, dan dikelilingi oleh dinding dipenuhi daun-daun yang berwarna hijau pektoselulosa yang tipis, yakni intin. Di luar sepanjang tahun. Rhododendron secara ekono- intin terdapat lapisan lainnya yang disebut eksin. mi dimanfaatkan sebagai tanaman ornamental Komponen utama eksin tersebut adalah sporo- karena morfologinya, terutama mahkota bunga polenin, suatu substansi keras yang memberi- mengandung nilai estetika tinggi. Mahkota kan daya tahan yang sangat kuat pada dinding bunga Rhododendron memiliki bentuk, ukuran, butir polen. Eksin biasanya terdiri atas bagian dan warna yang bervariasi. Bentuk mahkota luar yang terukir disebut seksin dan bagian bunga Rhododendron dapat berupa campanu- dalamnya disebut neksin. Ukiran seksin late sampai bentuk funnel , urceolate atau diakibatkan oleh adanya tangkai-tangkai yang silindris , kadang-kadang zigomorf, cuping tersusun radial yang disebut bakula. dengan berbagai tingkatan berbentuk imbricate Rhododendron berbeda dengan keba- (Malesiana, 1966). nyakan tumbuhan lainnya karena fertilisasi Bunga Rhododendron memiliki dua dapat terjadi di antara spesies yang berbeda macam organ reproduksi, yaitu stamen (yang sehingga keanekaragaman Rhododendron di terletak di sebelah luar, dan bersama-sama alam sangat tinggi. Keanekaragaman Rhodo- membentuk androesium), dan yang terletak di dendron paling mudah diamati pada karakter sebelah dalam disebut karpel yang membentuk mahkota bunga dan stamen (Chamberlain, ginoesium. Menurut teori telom, Stamen dan 2003). Keanekaragaman mahkota dan anter karpel homolog dengan daun (Wilson, 1937, termasuk di dalamnya butir polen sangat 1942 dalam Fahn, 1982). Menurut teori ini, penting untuk dipelajari karena dari bentuk dan stamen berkembang sebagai akibat reduksi dan warna mahkota bunga serta sebutir polen dapat peleburan sistem sumbu yang menyangga diperoleh berbagai macam informasi yang sporangia di bagian puncaknya. Stamen terdiri sangat berharga. Karakteristik mahkota bunga atas sebuah filamen yang di bagian distalnya digunakan untuk menentukan marga tumbuhan.

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 1 Dari karakter benang sari dapat diduga cara supermacro. Pengukuran polen dilakukan polinasi suatu tumbuhan, agen polinasi, dan dengan mikroskop Olympus model C7070WZ juga taksonnya. Analisis polen dapat digunakan perbesaran 100 kali. Adapun untuk pengamatan untuk menentukan spesies tumbuhan yang morfologi polen bentuk polen pada tahap tetrad terdapat di daerah tertentu dan juga kehidupan dilakukan dengan mikroskop Olympus model spesies tumbuhan. Polen merupakan salah satu C7070WZ dengan perbesaran 400 kali. Gambar penyebab utama dari penyakit alergi terutama mikroskopis difoto dengan kamera digital yang berhubungan dengan sistem pernapasan. Olympus model C7070WZ dengan mode Oleh karena itu, pada penelitian ini akan supermacro. dipelajari karakter morfologi anter dan polen Rhododendron . HASIL

BAHAN DAN METODE Enam spesies Rhododendron , yaitu R. macrosepalum, R. dilatatum, R. rhodopus , R. Bahan penelitian yang dipakai adalah R. yedoense, R . Macgregorei, dan Rhododendron macrosepalum, R. dilatatum, R. rhodopus , R. sp. koleksi UPT BKT KR ”Eka Karya” Bali yedoense, R . Macgregorei, dan Rhododendron . telah diamati organ generatifnya. Hasil sp. yang merupakan koleksi Kebun Raya Bali. pengamatan dapat dilihat pada Tabel 1, dan Sebanyak 2–3 individu tumbuhan setiap spesies keenam jenis Rhododendron dapat dikenal telah diamati. dengan kunci penunjuk jenis yang didasarkan Penelitian dilakukan di Labo-ratorium pada karakter morfologi stamen . Perbanyakan Tumbuhan UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali–LIPI. PEMBAHASAN Pengamatan dilakukan pada musim kemarau, yaitu bulan Agustus sampai dengan September Karakter morfologi bunga termasuk organ- 2011. organ pendukungnya dapat digunakan untuk Bunga Rhododendron yang tumbuh di mengelompokkan Rhododendron menjadi dua nursery dan petak XII Kebun Raya “Eka subgenus, yaitu subgenus vireya dan subgenus Karya” Bali dipetik dari lapang dan dibawa ke azalea (Malesiana, 1966). Pada penelitian ini laboratorium Perbanyakan Tumbuhan UPT diamati variasi stamen subgenus vireya yang BKT KR “Eka Karya” Bali. Pengamatan dan dire-presentasikan oleh R. macgregorie, R. pengukuran morfologi stamen dilakukan secara rhodopus, dan Rhododendron sp. Adapun langsung dengan mata telanjang. Gambar subgenus azalea diwakili oleh R. yedoense, R. macrosepalum , dan R. dilatatum (Gambar 1) . morfologi stamen difoto dengan kamera digital Olympus model C7070WZ dengan mode

Tabel 1. Karakter Morfologi Stamen Rhododendron Karakter yang No G1 G2 G3 G4 G5 G6 diamati cara penyusunan benang sari terhadap 1 mahkota bunga dimorphic dimorphic dimorphic dimorphic dimorphic dimorphic (Argent, 2006)

panjang kepala sari 2 (cm) 0,22 0,32 0,33 0,19 –0,22 0,18 –0,32 0,15 –0,34

lebar kepala sari (cm) 3 0,09 0,11 0,13 0,09 –0,11 0,11 –0,13 0,11 –0,17

cokelat cokelat cokelat cokelat cokelat muda - 4 warna kepala sari cokelat tua muda- muda- muda muda cokelat tua cokelat tua cokelat tua panjang filamen 5 terpanjang (cm) 1,83 4,95 4,9 3,27 3,9 4,18

panjang filamen 6 1,69 4,7 4,7 2,5 2,56 2,1 terpendek (cm)

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 2 Karakter yang No G1 G2 G3 G4 G5 G6 diamati keberadaan bulu pada filamen (Argent, 7 introrse introrse introrse introrse introrse apical 2006)

jumlah benang sari 8 10 10 10 10 10 6 tahap polen pada saat 9 masak tetrad tetrad tetrad tetrad tetrad tetrad

bentuk polen pada 10 tahap tetrad tetrahedral tetrahedral tetrahedral tetrahedral tetrahedral tetrahedral

panjang polen yang 11 0,06 0,06 0,065 0,06 0,06 0,06 masak (mm) Keterangan G1 : dideterminasi sebagai R. macgregorei G2 : Rhododendron sp. (belum dideterminasi) G3 : dideterminasi sebagai R. rhodopus G4 : dideterminasi sebagai R. yedoense G5 : dideterminasi sebagai R. macrosepalum G6 : dideterminasi sebagai R. dilatatum

Gambar 1. Morfologi Stamen Rhododendron . A. R. y edoense . 1 skala = 1 mm; B. R. macgregoriae . 1 skala = 1 mm; C. Polen pada tahap tetrad R. macgregoriae yang diwarnai dengan safranin 1%. 1 skala = 0,01 mm.

Kunci penunjuk jenis didasarkan pada karakter morfologi stamen

1a. Jumlah benang sari kurang dari 10 ……………….………… R. macrosepalum b. Jumlah benang sari 10………………………………………………….………2 2a. Keberadaan bulu pada filamen terdapat di bagian apical .……….. R. dilatatum b. Keberadaan bulu pada filamenterdapat di bagian introrse ....…………………3 3a. Panjang polen masak 0,065 mm …………………………..………R. rhodopus b. Panjang polen masak 0,06 mm ………………………..…………...……...…..4 4a. Warna kepala sari dua warna (cokelat muda-cokelat tua) …………R. yedoense b. Warna kepala sari satu warna (cokelat muda atau cokelat tua).....…………… 5 5a. Panjang filamen kurang dari 2 cm …………………………...... R. macgregorei b. Panjang filamen lebih dari 2 cm ………………………....… Rhododendron sp.

Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa (2006) yang menjelaskan bahwa stamen R. stamen R. macgregrorie mempunyai ukuran macgregorie mempunyai ukuran panjang yang paling kecil dibanding R. rhodopus dan sekitar 15 mm, tersebar merata di sekitar mulut Rhododendron sp., yaitu kurang dari 2 cm. Hal bunga dengan filamen yang dipenuhi rambut tersebut seperti yang dinyatakan oleh Argent pada bagian proksimalnya, sedangkan stamen R.

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 3 rhodopus dapat mencapai panjang sekitar 10 yang dilindungi oleh insekta berasal dari mm dengan filamen yang ditumbuhi rambut 2/3 tapetum bukan mikrospora yang sedang dari bawah, dan panjang anter 4–5x1,3 mm. berkembang (Shaw, 1971 dalam Fahn, 1982). Menurut Leach (1961), R. yedoense dan R. Butir polen yang halus dan kering dilatatum mempunyai stamen berjumlah 10. terdapat pada sebagian besar tumbuhan dari Pada penelitian ini semua Rhododendron famili yang proses penyerbukannya spesifik mempunyai 10 stamen, kecuali R. dilatatum oleh angin. Jika kebanyakan dari famili yang hanya berjumlah 6 (Tabel 1). yang polinasinya dilakukan oleh insekta dan Pada akhir pembelahan meiosis, hanya genus tertentu yang polinasinya mikrospora haploid mengumpul di dalam tetrad, dilakukan oleh angin, seperti Artemisia dan masing-masing diselubungi seluruh-nya oleh Ambrosia dari Compositae , maka genus yang dinding kalose dan tanpa hubungan polinasinya dilakukan oleh angin, tetap plasmodesmata dengan saudara atau induknya. mempertahankan struktur ukiran yang spesifik Menurut cara pembentukan dinding kalose bagi seluruh famili, tetapi dapat pula mikrospora dalam tetrad, dapat dibedakan berkembang namun hanya sedikit saja. berbagai tipe susunan butir polen dalam tetrad. Ukuran butir polen juga sangat Susunannya berbeda-beda pada spesies yang beragam. Erdtman dalam Fahn 1982 berbeda, bahkan kadang-kadang dalam spesies mengelompokkannya menurut ukuran sebagai yang sama (Fahn, 1982). berikut: 1. Perminuta, jika diame-ternya kurang Pada umumnya butir-butir polen dari dari 10 µm; 2. Minuta, jika diameternya 10–25 setiap tetrad berpisah satu sama lain dan µm; 3. Media, jika diameternya 25–50 µm; 4. terdapat bebas dalam kantung polen. Butir-butir Magna, jika diameternya 50–100 µm; 5. polen dihubungkan oleh benang-benang viskin Permagna, jika diameternya 100–200 µm; 6. pada spesies Onagraceae dan beberapa Giganta, jika diameternya lebih dari 200 µm. Leguminosae. Pada beberapa tumbuhan seperti Butir polen yang sangat kecil dijumpai pada Ericaceae , butir-butir polen tetap ada dalam Mysotis alpestris (2,5–3,5 µm) dan Echium tetrad bahkan sewaktu menjadi masak (Cruden vulgare (10–14 µm); butir polen yang sangat & Jensen, 1979 dalam Fahn 1982). Pada Acacia , besar terdapat pada Cucurbita pepo (230 µm) tetrad berlekatan bersama-sama dalam satu dan Mirabilis jalapa (250 µm). Pada Tabel 1 kelompok yang dapat mengandung 64 butir dapat dilihat ukuran polen Rhododendron 0,06 polen. mm, kecuali R. rhodopus 0,065 mm. Butir polen yang masak dikelilingi oleh dinding pektoselulosa yang tipis, yakni intin. Di KESIMPULAN luar intin terdapat lapisan lainnya yang disebut eksin. Komponen utama eksin tersebut adalah Keanekaragaman Rhododendron di alam sangat sporopolenin, suatu substansi keras yang tinggi karena fertilisasi dapat terjadi di antara memberikan daya tahan yang hebat kepada spesies yang berbeda. Terjadinya fertilisasi dinding butir polen. Eksin biasanya terdiri atas sangat tergantung dari sifat organ generatifnya. bagian luar yang terukir disebut seksin dan Oleh karena itu, karakter generatif sangat bagian dalamnya disebut neksin. Ukiran seksin penting untuk diketahui. Hasil pengamatan diakibatkan oleh adanya tangkai-tangkai yang organ generatif pada R. macrosepalum, R. tersusun radial yang disebut bakula yang di dilatatum, R. rhodopus , R. yedoense, R . bagian kepalanya membesar . Pada banyak macgregorei; dan Rhododendron sp. marga, kepala bakula melebur sehingga menunjukkan adanya variasi karakter morfologi membentuk tektum. Butir polen yang masak stamen, seperti jumlah stamen, panjang filamen, tidak memiliki vakuola. Pola ukiran yang dan bentuk serta ukuran polen pada genus retikulat, bergaris-garis atau lainnya yang Rhododendron sp. nampak di pemukaan sebagian besar butir polen disebabkan oleh susunan bakula yang khusus. DAFTAR PUSTAKA Ukiran-ukiran yang berbeda di permukaan butir polen disebabkan oleh struktur seksin. Endapan Argent, G. 2006. Rhododendron s of Subgenus bahan lipoid yang lengket, sering berwarna Vireya . Edinburgh: The Royal kuning atau jingga yang melindungi butir polen Horticultural Society. 382 hlm. yang masak pada sebagian besar tumbuhan

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 4 Chamberlain, D.F. 2003. Rhododendron in the Fahn, A. 1982. Plant Anatomy . Hebrew: Wild: a Taxonomist’s Review. In Pergamon Press Ltd. Hlm 268–290. Rhododendron in Horticulture and Flora Malesiana. 1966. Flora Malesiana . Series Science . G. Argent and M. McFarlane I: vol. 6. part 4. C.G.G.J. van Steenis (Ed.). Edinburgh: Royal Botanic (Ed.). Groningen: N.V. Dijkstra’s Garden Edinburgh. Drukkerij. D’Arcy, W.G. 1996. Anther and Stamen and Leach, D.G. 1961. Rhododendron s of the World . What They Do. In The Anther; from New York: Charles Scribner’s Sons. Function and Phylogeny . W.G. D’Arcy Hlm. 24–26. and R.C. Keating (Ed). New York: Cambridge University Press.

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 5 VARIASI SISIK IDIOBLAS Rhododendron SUBGENUS Vireya

Novi Harun A.R. dan Tri Warseno UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali – LIPI Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali 82191 *E-mail : [email protected]

ABSTRACT - Characters of idioblast scale of Rhododendron subgenus vireya have been studied. Leave of 6 species Rhododendron plus 1 genotype Rhododendron still undetermined growth in Bali Botanic garden was isolated from field and dissected to see idioblas scale. The shape of idioblas scale of Rhododendron vireya could be peltate (like wheel), stellate (like tree), and dendroid (like star). Idioblast scales are appendages on the abaxial of Rhododendron’s leaf like a small umbrella.

Keywords: Rhododendron ; Vireya ; Idioblast; Leaves

PENDAHULUAN mempunyai endosperm dan lembaga yang lurus (Tjitrosoepomo, 1996). Rhododendron adalah salah satu tumbuhan Sisik idioblas merupakan trikoma berkayu dari suku Ericaceae yang tumbuh di epidermal multiseluler (Argent, 2006). Hal ini daerah tropis dan subtropis. Rhododendron berarti bahwa sisik idioblas merupakan struktur yang habitatnya di daerah tropis sering disebut tambahan yang berada di bagian abaksial Rhododendron subgenus vireya atau Vireya . (bawah) daun Rhododendron yang menyerupai Sebutan Vireya ini berasal dari genus Vireya payung kecil, dan pada pengamatan dengan yang diusulkan oleh Carl Ludwig Blume tahun mata telanjang, sisik idioblas tampak sebagai 1823 untuk lima spesies tumbuhan yang berasal titik bundar yang berwarna gelap (Leach, 1961). dari daerah yang sekarang bernama Indonesia. Istilah sisik idioblas yang digunakan pada Daerah penyebaran Vireya terutama di seluruh tulisan ini berbeda dengan pemakaian istilah wilayah Tenggara dengan batasan pada sisik yang biasanya digunakan dalam bidang bagian barat daerah Malay Peninsula dan taksonomi untuk menjelaskan salah satu bentuk , di bagian timur adalah New Guini, modifikasi daun pada tumbuhan (Lawrence, dan kepulauan Filipina di bagian utara. 1955). Menurut Nilsen (2003), Nilsen & Rhododendron subgenus vireya secara Scheckler (2003) dalam Argent (2006), idioblas ekonomi dimanfaatkan sebagai tanaman dalam sel-sel daun semua spesies ornamental. Tumbuhan Rhododendron berupa Rhododendron subgenus vireya yang diamati semak atau semak kecil, jarang berupa perdu selama ini bersifat unik dan universal untuk atau pohon. Daun tunggal, tersebar, berhadapan tingkat subgenus. Karakter idioblas sangat atau berkarang, tanpa daun penumpu. Bunga berguna pada saat mengidentifikasi terpisah-pisah atau tersusun dalam tandan, Rhododendron terutama apabila dalam keadaan banci, aktinomorf atau zigomorf. Kelopak steril. Pada kenyataannya, sisik idioblas pada berbilangan 4–5 tidak runtuh. Daun-daun daun Rhododendron memiliki bentuk yang mahkota kebanyakan berlekatan, benang sari sangat bervariasi, tetapi variasi bentuk tersebut tertanam pada suatu cakram yang hipogin atau dapat digeneralisasi menjadi beberapa bentuk epigin, sama sekali bebas atau hampir bebas saja (Argent, 2006). Bagi tumbuhan sendiri, dari mahkota, jumlahnya dua kali jumlah daun sisik idioblas merupakan salah satu alat mahkota, jarang sama banyak. Kepala sari pertahanan dalam menghadapi cekaman beruang dua, kadang-kadang dengan alat lingkungan yang ekstrem dan untuk tambahan berbentuk ekor, membuka dengan menghadapi herbivora. liang. Bakal buah menumpang, beruang 4 - 5, Menurut Argent (2006) pengamatan satu tangkai putik, tiap ruang berisi banyak sisik idioblas pada daun Rhododendron bakal biji. Buahnya buah batu atau buah subgenus vireya terutama dilakukan pada kendaga. Biji sering bersayap, kulit biji lepas, bagian lamina daun pada jarak 1/3 bagian ke arah ujung dari dasar lamina dan sekitar

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 6 setengah jarak dari tepi lamina ke vena tengah. HASIL Akan tetapi, karena keanekaragaman Rhodo- dendron subgenus vireya sangat tinggi maka Daun Rhododendron dewasa diisolasi dari tujuh karakter sisik dari satu spesimen yang diamati jenis tumbuhan Rhododendron yang tumbuh di akan berbeda dengan spesimen yang lain. Oleh nursery dan petak XII UPT Balai Konservasi karena itu, pada penelitian ini dilakukan Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali-LIPI karakterisasi sisik-idioblas Rhododendron untuk dibawa ke Laborator-ium Perbanyakan subgenus vireya yang berasal dari beberapa Tumbuhan. Rhododendron yang diamati adalah 1. Rhododendron seranicum tempat di Indonesia dan untuk melakukan verifikasi pengelompokan Rhododendron spp. 2. R. macgregoriae 3. R. rhodopus yang dikoleksi di UPT Kebun Raya “Eka 4. R. javanicum Karya” Bali-LIPI. 5. R. inundatum 6. R. konori BAHAN DAN METODE 7. Rhododendron sp. Daun dipotong kecil, dan dibuat irisan Penelitian dilakukan di Laboratorium Perba- melintang dan membujur sehingga lapisan daun nyakan Tumbuhan UPT Balai Konservasi dapat ditembus cahaya mikroskop Olympus. Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali-LIPI. Pengamatan dilakukan dengan perbesaran 100 Pengamatan dilakukan pada musim kemarau kali lalu ditingkatkan dengan perbesaran 400 pada bulan Agustus sampai dengan September kali. Gambar difoto dengan kamera digital 2011. Olympus model C7070WZ dengan mode supermacro.

Gambar 1. Morfologi Rhododendron . A. Habitus R. javanicum . B. Morfologi daun R. macgregorie. C. Morfologi daun R. konori . a. permukaan abaksial tanpa sisik – idioblas. b. permukaan abaksial daun dewasa dengan sisik – idioblas yang membentuk warna cokelat. c. permukaan abaksial daun muda dengan sisik – idioblas yang membentuk warna cokelat muda. 1 skala = 1 mm.

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 7

Gambar 2. Irisan Melintang Daun dan Bagian Abaksial Irisan Membujur Daun Rhododendron Subgenus vireya . A. Irisan melintang daun Rhododendron sp. (100 kali). titik kecil berwarna cokelat adalah sisik-idioblas yang menempel pada epidermis bawah daun. B. Sisik idioblas Rhododendron sp. berbentuk roda (400 kali). C. Sisik idioblas R. konori berbentuk stellate yang terbagi mendalam atau dendroid (400 kali). D. Sisik idioblas yang terlepas dari daun R. konori . (400 kali). E. Sisik idioblas R. dilatatum berbentuk bintang (400 kali). F. Sisik idioblas R. javanicum berbentuk bintang (400 kali). G. Sisik idioblas R. rhodopus berbentuk bintang. (400 kali). H. Cara pelekatan sisik idioblas R. rhodopus (400 kali). I. Sisik idioblas R. seranicum berbentuk bintang (400 kali). J. Sisik idioblas R. macgregorie berbentuk roda (400 kali). 1 skala = 0,01 mm.

PEMBAHASAN sehingga bagian vena lamina daun masih dapat terlihat, kecuali pada R. konori . Gambar 1.B Idioblas adalah sel-sel khusus yang mempunyai dan 1.C menunjukkan orientasi kedudukan sisik fungsi tertentu. Sebagai contoh idioblas pada idioblas antara satu sisik dengan sisik yang lain sel-sel daun Citrus dan Begonia yang berfungsi pada satu daun. Pada Gambar 1.B, yaitu daun R. sebagai tempat menyimpan kristal Kalsium macgregorie masih dapat terlihat alur vena Oksalat yang berbentuk prisma, empat persegi lamina daun karena sisik idioblas kurang panjang atau piramida (Fahn, 1982). Sisik menutup rapat. Hal ini berbeda dengan sisik idioblas pada Rhododendron umumnya berben- idioblas pada R. konori yang menutup rapat tuk seperti payung kecil dengan tangkai yang permukaan lamina daun karena populasinya pendek dengan jumlah yang bervariasi sehingga sangat tinggi. Pada penelitian ini juga diketahui kedudukannya satu sama lain ada yang reng- bahwa semua sisik idioblas yang diamati gang, tetapi ada juga yang rapat. kedudukannya terletak dalam barisan epidermis Pada penelitian ini semua sisik idioblas abaksial daun, kecuali pada R. konori yang yang diamati populasinya tidak terlalu rapat mudah terlepas bila disentuh. Pada irisan

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 8 melintang lamina daun, garis yang terbentuk dibandingkan dengan dengan enam jenis yang oleh sel-sel epidermis abaksial daun tampak lain lebih menyerupai bentuk idioblas pada R. mengalami pelekukan di daerah sisik idioblas macgregorie. menempel yang tampak seperti mengisi cekungan karena garis yang dibentuk sel-sel KESIMPULAN epidermis mengalami pelekukan seperti pada Gambar 2.A. Sisik idioblas pada R. konori Populasi dan cara pelekatan sisik idioblas pada memiliki tangkai yang panjang sebagai alat permukaan abaksial daun Rhododendron pengait yang menyisip di antara barisan sel berbeda antara satu dengan yang lain. Secara epidermis, seperti pada Gambar 2.D. Menurut umum sisik idioblas Rhododendron subgenus Leach (1961), pada Rhododendron sisik vireya berbentuk seperti payung dengan tangkai. idioblas bersama-sama dengan papilla dan Jika dilihat secara vertikal, bagian payung sisik indumentums bertugas membantu kerja stomata idioblas Rhododendron memiliki berbagai dalam pengaturan aliran air dari dalam tubuh variasi bentuk, baik seperti roda atau perisai tumbuhan ke atmosfer demikian sebaliknya. (peltate ), pohon beringin ( dendroid ), maupun Bentuk sisik-idioblas pada daun seperti bintang ( stellate ). Rhododendron yang diamati relatif bervariasi. Pada daun Rhododendron sp. sisik idioblas DAFTAR PUSTAKA berbentuk seperti roda dengan bagian tepi yang luas dengan bantalan yang juga luas seperti Argent, G. 2006. Rhododendrons of subgenus pada Gambar 2.B. Gambar 2.C dan 2.D adalah Vireya . Edinburgh: The Royal bentuk sisik idioblas R. konori yang menye- Horticultural Society. 382 hlm. rupai pohon beringin sehingga Argent (2006) Fahn, A. 1982. Plant Anatomy . Hebrew: menyebutnya sebagai bintang ( stellate ) yang Pergamon Press Ltd. Hlm. 268–290. terbagi-bagi mendalam atau dendroid yang Lawrence, G.H.M. 1955. An Introduction to masing-masing berada di bagian atas batas atas Plant . New York: The lapisan epidermis. Gambar 2.E-I memper- Macmillan Company. Hlm. 26–84. lihatkan bentuk bintang ( stellate ) dengan Leach, D.G. 1961. Rhododendrons of the World . berbagai variasi yang masing-masing diamati New York: Charles Scribner’s Sons. pada daun R. dilatatum , R. javanicum , R. Hlm. 24–26. rhodopus , dan R. seranicum . Adapun Gambar Tjitrosoepomo, G. 1996. Taksonomi Tumbuhan 2.J adalah bentuk sisik idioblas R. macgregorie (Spermatophyta ). Yogyakarta: Gadjah yang berbentuk seperti roda atau perisai. Mada University Press. Hlm. 330–332. Bentuk idioblas pada Rhododendron sp. bila

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 9 KERAGAMAN Rhododendron DI KEBUN RAYA “EKA KARYA” BALI DAN STATUS KONSERVASINYA

Dyan Meiningsasi Siswoyo Putri dan Tri Warseno UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bali–LIPI Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali 82191 E-mail : [email protected]

ABSTRACT - Indonesia is one of Vireya Rhododendron distribution center in Southeast Asia with nearly 238 species spread in Indonesia, with 30 species endangered status. Bali Botanical Garden one of the institutions engaged in ex situ plant conservation. Number of species Vireya Rhododendron Indonesia that successfully collected endangered Bali Botanical Gardens has only reached 5%, necessitating increased exploration activity that focuses on the collection Vireya Rhododendron.

Key words : Rhododendron ; Plant conservation; Plant diversity

PENDAHULUAN senyawa flavo-noid ( R. javanicum dan R. macgregoriae ). Rhododendron mucronatum Rhododendron merupakan tanaman berbunga varietas juga bermanfaat untuk menghilangkan dengan perawakan semak sampai pohon kecil, sakit demam dan perangsang kelenjar (Anonim, terestrial atau epifit. Bentuk daun sederhana 1966; Heyne, 1987; Waldan, 2007). dan tersusun spiral atau berhadapan berseling. Beberapa Rhododendron merupakan Bunga majemuk ( inflorescentia racemosa ) jenis yang potensial terancam kepunahan atau tunggal. Bunga berbentuk tabung, karena kerusakan habitat. Perbedaan polinator merupakan bunga banci dengan bakal buah dan waktu berbunga juga menjadi faktor yang menempel pada dasar bunga. Buah penyumbang yang menyebabkan Rhododen- berbentuk kapsul yang menjulang ke atas dron menjadi terancam (Fay, 1992; Singh and dengan memiliki beberapa biji (Zomlefer, Gurung, 2009). Selain itu, ketersediaan bibit/ 1994). anakan yang sangat sedikit di alam, juga Rhododendron banyak dijumpai di menyebabkan banyak Rhododendron dalam daerah hutan-hutan pegunungan (Kalimantan kondisi terancam (Semwal dan Purohit, 1980; dan Papua Nugini) dengan ketinggian Singh et al ., 2008a; Singh et al ., 2008b). mencapai 4.000 m di atas permukaan laut, Salah satu penyebab terancamnya namun ada juga yang dapat ditemui di dataran Rhododendron adalah fase perkecambahan rendah dan mangrove. Rhododendron dapat yang banyak dikendalikan oleh beberapa hal, tumbuh di tanah berumput dan di batuan. antara lain jenis, viabilitas benih, dormansi Rhododendron akan tumbuh dengan subur benih, ukuran benih, dan faktor lingkungan pada tanah yang asam dengan kisaran pH 4,5– (ketersediaan kelembapan, suhu, kelembapan 5,5 (Anonim, 2004). relatif, intensitas cahaya) (Singh et al ., 2010). Beberapa jenis Rhododendron telah Perbanyakan jenis Rhododendron alam (wild banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai type ) secara vegetatif (konvensional) pada tanaman obat-obatan dan hias. Di kawasan umumnya menunjukkan hasil yang sama Malesia, ia telah banyak dimanfaatkan sebagai dengan perbanyakan melalui biji. Pada tanaman hias dan merupakan komoditas kebanyakan Rhododendron perbanyakan hortikultura yang penting, baik itu jenis asli secara vegetatif keberhasilannya rendah dan ataupun yang telah dihibridisasi. Selain itu, kerber-hasilan germinasi bijinya di alam juga sebagian masyarakat di kawasan Asia sangat rendah. Tenggara memanfaatkan beberapa jenis Upaya konservasi terhadap Rhododen- Rhododendron sebagai obat-obatan tradisional. dron harus segera dilakukan untuk mencegah Menurut beberapa penelitian yang telah kepunahan. Salah satu usaha yang dilakukan dilakukan di Indonesia, potensi lain dari adalah eksplorasi dan inventarisasi. Informasi Rhododendron adalah sebagai antibakterial ( R. tentang keragaman Rhododendron koleksi kanori dan R. macgregoriae ) dan penghasil

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 10 Kebun Raya Bali dan status konservasinya ssp. javanicum forma bunga kuning, R. akan disajikan dalam makalah ini. javanicum ssp. teysmanii, R. radians, R. seramicum, R. renschianum, R. rhodopus, R. KEANEKARAGAMAN VIREYA macgregoriae, R. inundatum, R. Konori , dan RHODODENDRON Rhododendron sp. Koleksi Vireya Rhododendron ditanam di pembibitan (koleksi Penyebaran Vireya Rhododendron Nursery) dan pada petak XIII (yang rencananya akan menjadi Taman Ericaceae). Vireya Rhododendron banyak dijumpai di Asia Jumlah koleksi hingga Desember 2010 adalah Tenggara, meliputi Kawasan Malesia, 10 jenis, 17 nomor, 44 spesimen (Tabel 1.). Philipines, , Indonesia, dan Nugini. Hal Beberapa jenis telah berhasil diperbanyak, ini pula yang menyebabkan Vireya misalnya R. javanicum ssp. teysmanii, R. Rhododendron disebut sebagai ‘Malesian radians, R. macgregoriae, namun masih belum Rhododendron’, walaupun saat ini sudah dapat diangkat menjadi tanaman koleksi (sebagai ditemukan di luar kawasan tersebut, seperti di penambahan jumlah nomor dan spesimen). , bagian Utara, Australia Beberapa jenis juga sudah dimanfaatkan bagian Selatan, dan bagian Barat bahkan sebagai salah satu elemen taman Ericaceae, sampai Kepulauan Solomon bagian Timur. seperti R. javanicum, R. javanicum ssp. Peta penyebaran dan jumlah spesies Vireya javanicum forma bunga kuning, R. javanicum Rhododendron tersaji dalam Gambar 1. ssp. teysmanii, R. seramicum, R. rhodopus, R. Untuk Indonesia, keragaman jenis macgregoriae, dan Rhododendron sp. tertinggi terdapat di Papua Barat (97 jenis), Jika dibandingkan dengan jumlah Kalimantan (9 jenis), (26 jenis), koleksi Vireya Rhododendron dalam Vireya Sumatra (27 jenis), Maluku (9 jenis), Jawa (8 Rhododendrons Data Base of Royal Botanic jenis), Bali (1 jenis), dan Nusa Tenggara (3 Garden Edinburgh, koleksi Kebun Raya Bali jenis). masih sangat sedikit. Dari total 180 jenis yang ada di Indonesia, Kebun Raya Bali hanya Koleksi Vireya Rhododendron di Kebun memiliki sembilan jenis saja (Tabel 2.). Raya Bali Kondisi ini disebabkan tidak adanya kegiatan eksplorasi khusus untuk Vireya Rhododendron . Kebun Raya Bali sebagai institusi Selama ini pengumpulan atau pengkoleksian yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan Vireya Rho-dodendron diperoleh melalui secara ex-situ merupakan tulang punggung kegiatan eksplo-rasi flora di kawasan Timur usaha konservasi, salah satunya adalah Indonesia sehingga belum dapat menjangkau konservasi Vireya Rhododendron . Beberapa lokasi lain yang menjadi daerah penyebaran koleksi Vireya Rhododendron di Kebun Raya Vireya Rhododen-dron di Indonesia. Bali berasal dari kawasan timur Indonesia, di antaranya, yaitu R. javanicum, R. javanicum

Gambar 1 . Peta Penyebaran Vireya Rhododendron (Gibbs, et al. 2011)

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 11 Tabel 1. Vireya Rhododendron Koleksi Kebun Raya Bali No. No. koleksi Kolektor No. Akses Nama Jenis Keterangan 1 21-21a,b War.306 E20030970 Rhododendron Kawasan Hutan Lindung Mala-mala, Kec. javanicum Benn. Kodeoha, Kab. Kolaka, Sulawesi Tenggara, Indonesia; Tumbuh pada tempat terlindung, ketinggian 1.600 m dpl. 2 23-23a,b RP.311 E200209242 Rhododendron Kawasan Hutan Lindung Nanggala II, Kab. rhodopus Sleum. Tana Toraja, Sulawesi Selatan, Indonesia; Tumbuh pada tempat yang agak terlindung. 3 115 Dn.227 E200107160 Rhododendron Gunung Kelimutu, Ende, Flores, NTT, renshianum Sleum. Indonesia; Tumbuh di tanah berwarna cokelat, berpasir, tempat terbuka, ketinggian 1.720 m dpl. 4 116-116a dd.189 E200408219 Rhododendron Cagar Alam Tinombala, Ds. Labonu, Kec. seramicum J.J Smith. Bosidondo, Kab. Tolitoli, Sulawesi Tengah, Indonesia; Tumbuh pada tempat terbuka, ketinggian 2.200 m dpl. 5 117 dd.192 E200408222 Rhododendron Cagar Alam Tinombala, Ds. Labonu, Kec. radians J.J Sm. Basidondo, Kab. Tolitoli, Sulawesi Tengah, Indonesia; Tumbuh pada tempat terbuka, ketinggian 2.200 m dpl. 6 118-118a dd. 193 E200408223 Rhododendron Cagar Alam Tinombala, Ds. Labonu, Kec. seramicum J.J Smith. Basidondo, Kab. Tolitoli, Sulawesi Tengah, Indonesia; Tumbuh di tempat terbuka, ketinggian 2.200 m dpl. 7 120-120a,b,c dd.207 E20060649 Rhododendron G. Batukau, Kec. Penebel, Kab. Tabanan, seramicum J. J. Bali, Indonesia. Smith.

8 125 dd.213 E2006071 Rhododendron Ds. Candikuning, Kec. Baturiti, Kab. javanicum ssp. Tabanan, Bali Tumbuh pada tempat teysmanii terbuka, ketinggian 1.250 m dpl.

9 135 Ida.1726 E19860736 Rhododendron Batukaru, Wangaya Gede, Kec. Penebel, javanicum ssp . Kab. Tabanan, Bali, Indonesia; Tumbuh teysmanii pada ketinggian 2.600 m dpl.

10 136-136a NS.140 E2006116 Rhododendron Batukaru, Wangaya Gede, Kec. Penebel, javanicum Benn. Kab. Tabanan, Bali, Tumbuh pada ketinggian 2.600 m dpl. 11 138-138a Harry W. E20050814 Rhododendron sp. Gunung Ngengas, Sumbawa, NTB, Indonesia; 1.400 m dpl. 12 139-139a Dm.1232 E20050499 Rhododendron Pegunungan Latimojong, Ds. Rante Balla, seranicum J.J Smith. Kec. Latimojong, Kab. Luwu, Sulawesi Selatan, Indonesia; Tumbuh pada ketinggian 1.452 m dpl. 13 140-140a,b Dm.1233 E200509500 Rhododendron sp. Pegunungan Latimojong, Ds. Rante Balla, Kec. Latimojong, Kab. Luwu, Sulawesi Selatan, Indonesia; Tumbuh pada ketinggian 1.452 m dpl. 14 141-141a, b GT. 2062 E200509150 Rhododendron Holima, Ds. Maream, Kec. Ubikosi, Kab. konori Becc. Jaya Wijaya (Wamena) Papua, Indonesia; Tumbuh pada tanah liat, di pinggir sungai, ketinggian 1.700 m dpl.

15 5 spesimen GT 2614 E20080930 Rhododendron Kabupaten Jayawijaya, Papua, tempat inundatum Sleum. terbuka, tanah gambut, ketinggian 1.700 m dpl. 16 5 spesimen GT 2617 E20080933 Rhododendron Kabupaten Jayawijaya, Papua, tempat macgregoriae F. terbuka, tanah gambut, ketinggian 1.700 m Muell. dpl.

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 12 No. No. koleksi Kolektor No. Akses Nama Jenis Keterangan 17 5 spesimen GT 2618 E20080934 Rhododendron Kabupaten Jayawijaya, Papua, tempat gaultheriifolium J.J. terbuka, tanah gabut, ketinggian 1.700 m Smith. dpl. 18 3 spesimen GT 2946 E201009119 Rhododendron sp. Taman Nasional Manusela, Maluku, tempat terbuka, tanah merah, ketinggian 1.200 m dpl.

1. Rhododendron javanicum Benn. Latimojong (Sulawesi) dengan ketinggian Section: Section Euvireya: Subsection lokasi 2.800–3.000 m dpl. Nama “rhodopus” Euvireya berasal dari tangkai bunganya yang berwarna Deskripsi : Tinggi mencapai 5 m. Terestrial merah (Gambar 3). atau epifit. Daun menjorong, berukuran 15x5cm. Bunga biasanya jingga dengan tanda merah, 3. Rhododendron renschianum Sleum. kadang-kadang kuning berbentuk corong 5 cm, Section: Section Euvireya: Subsection jumlah bunga hingga 12 per kuntum. Euvireya Ditemukan di Indonesia, yaitu di Sumatra, Jawa Deskripsi : Tinggi tanaman dapat mencapai 0,5 sampai Bali dengan ketinggian lokasi antara m. Terestrial. Daun menjorong berukuran 7x3,5 800–2.550 m dpl. (Gambar 2). cm. Bunga betuk corong menyempit, memiliki warna mahkota bunga kombinasi kuning dan 2. Rhododendron rhodopus Sleum. jingga mencolok, berukuran panjang + 4 cm, Section: Section Euvireya: Subsection berjumlah mencapai delapan bunga per kuntum. Euvireya Di Indonesia ditemukan di Kepulauan Sunda Deskripsi : Tinggi mencapai 2 m. Terestrial. Kecil, Gunung Kelimutu, Gunung Mandaswai Daun membundar telur menyempit 16x4,5 cm; dan Gunung Desu pada ketinggian 1.500–2.300 bunga berbentuk tabung-corong, 7 cm, jumlah m dpl. Nama “renschianum” diambil dari nama mencapai 9 bunga per kuntum, beraroma, Ilse Rensch-Maier, yaitu orang yang mengolek- ditemukan di Indonesia yaitu sekitar si jenis ini pertama kali (Gambar 4).

Tabel 2. Jumlah Jenis Vireya Rhododendron Koleksi Kebun Raya Bali Berdasarkan Asal Koleksi. Distribusi Vireya Rhododendron di Kebun Raya Bali Lokasi Indonesia (Gibbs, et al. 2011) Jumlah % Jawa 8 1 12,5 Bali 1 0* 0,00 Nusa Tenggara 3 1 3,3 Sumatra 27 0 0,00 Kalimantan 9 0 0,00 Sulawesi 26 3 11,54 Maluku 9 1 11,11 Papua Barat 97 3 3,09 Keterangan: * pernah dikoleksi, namun mati pada saat aklimatisasi

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 13

a b c d e d Gambar 2 . Morfologi Rhododendron javanicum Benn. a. Habitus; b. Bentuk calon bunga; c. Bunga; d. Buah; e. Buah yang pecah

a b c

d e f

Gambar 3 . Morfologi Rhododendron rhodopus Sleum. a. Habitus; b. Bentuk calon bunga; c. Bunga; d. Buah; e. Buah yang pecah; f. Biji

a b c d

Gambar 4. Morfologi Rhododendron renschianum Sleum. a. Habitus; b. Bunga; c. Buah; d. Buah yang pecah

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 14

a b c

d e

Gambar 5 . Morfologi Rhododendron radians J.J. Sm. a. Habitus; b. Bentuk calon bunga; c. Bunga; d. Buah; e. Biji

4. Rhododendron seramicum J.J. Sm. jumlah bunga per kuntum mencapai 12 bunga. Section: Section Euvireya: Subsection Di Indonesia dapat ditemukan di Sumatra, Euvireya Jawa- Bali pada ketinggian 800–2.000 m dpl. Deskripsi : Tinggi tanaman mencapai 5 m. Nama “javanicum” berasal dari nama Pulau Terestrial. Daun menjorong berukuran 8,5x4cm. Jawa, dan kata “teysmanii” berasal dari nama Bunga bentuk corong melebar, berukuran 8 cm, Johannes Teysmann, seorang Kurator berjumlah 11 bunga per kuntum. Di Indonesia Buitenzorg (Bogor) Botanic Garden (1808 – dapat ditemukan di Maluku, Sulawesi ( antara 1882) (Gambar 6). Danau Poso dan Wotu), Gunung Wawonoeru pada ketinggian 900–1.700 m dpl. Nama 6. Rhododendron konori Becc. seranicum berasal dari nama Pulau Seram Section: Section Phaeovireya tempat jenis ini ditemukan pertama kali Deskripsi : Tinggi tanaman mencapai 6 m. (Gambar 5). Epifit atau terestrial. Daun menjorong- membundar, berukuran 20x10 cm, bersisik 5. Rhododendron javanicum ssp. teysmannii (scaly ); Bunga bentuk corong, berukuran 19 cm, Section: Euvireya: Subsection Euvireya berjumlah 10 bunga per kuntum, beraroma kuat. Deskripsi : Tinggi tanaman dapat mencapai 5 m. Di Indonesia dapat ditemukan di Papua pada Terestrial atau epifit. Daun menjorong, ketinggian 750–2.500 m dpl. Nama “konori” berukuran 15x5cm. Bunga pada umumnya berasal dari Konor, nama seorang dewa berwarna jingga dengan tanda merah atau ungu kepercayaan masyarakat Papua (Gambar 7.). pada bagian leher, berukuran 5 cm dengan

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 15 7. Rhododendron inundatum Sleum. Lembah Baliem pada ketinggian 1.650 m dpl; Section: Section Siphonovireya Istilah “inundated” berasal dari “banjir Deskripsi : Tinggi tanaman mencapai 1 m. musiman” pada daerah tempat spesies ini Terestrial. Daun menjorong-membundar, pertama kali ditemukan (Gambar 8) berukuran 7 cm x 5 cm. Bunga bentuk terompet, berukuran 4 cm, jumlah bunga mencapai 8 per kuntum. Di Indonesia dapat ditemukan di Papua,

a b c

d e

Gambar 6. Morfologi Rhododendron javanicum ssp. teysmannii a. Habitus; b. Bunga masih kuncup; c. Bunga yang sudah mekar; d. Buah; e. Biji

a b

Gambar 7. Morfologi Rhododendron konori Becc.a. Habitus; b. Bentuk calon bunga.

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 16

a b

Gambar 8 . Morfologi Rhododendron inundatum Sleum.a. Habitus; b. Bunga

8. Rhododendron macgregoriae F. Muell. “gaultheriifolium” berasal dari daunnya yang Section: Section Euvireya: Subsection memiliki kemiripan dengan Gaultheria sp . Euvireya (Gambar 10). Deskripsi : Tinggi tanaman dapat mencapai 15 m. Terestrial. Daun menjorong dengan ukuran Status Konservasi Vireya Rhododendron di 14x5 cm. Bunga berwarna kuning, jingga, Indonesia merah muda-merah, berbentuk tabung kecil, berukuran 2,5 m dan jumlah bunga per kuntum Menurut Gibbs et al. (2011), dari 180 jenis dapat mencapai 15 bunga. Dapat ditemukan di Vireya Rhododendron yang ada di Indonesia, Indonesia (Papua) dan Papua Nugini pada terdapat 30 jenis yang terancam kepunahan, 61 ketinggian 120–3.000 m.dpl. Nama “ macgrego- jenis beresiko rendah, dan 89 jenis data belum riae ” berasal dari Lady Macgregor, istri dari lengkap atau belum terevaluasi (Tabel 3 dan seorang Gubernur Lieutenant Papua yang juga Lampiran 1). Vireya Rhododendron Indonesia merupakan seorang ahli dan kolektor tanaman koleksi Kebun Raya Bali yang masuk kategori yang berdedikasi (Gambar 9). rentan (VU1D2) hanya satu jenis yaitu Rhododendron renshianum Sleum., dan yang 9. Rhododendron gaultheriifolium J.J. Sm. termasuk berisiko rendah sebanyak tujuh jenis. Section: Section Discovireya Dari uraian tersebut menunjukkan Deskripsi: Tinggi tanaman dapat mencapai 5 m. bahwa Kebun Raya Bali baru berhasil Terestrial. Daun membundar telur, berukuran mengoleksi 5% jenis Vireya Rhododendron 1,0x0,7 cm. Bunga bentuk tabung, berukuran Indonesia yang terancam punah. Hal ini masih 1,7 cm, tunggal atau dalam pasangan. Di jauh dari yang ditargetkan oleh GSPC (75% Indonesia ditemukan di Papua Barat: Gunung jenis-jenis tumbuhan terancam punah dapat Oranye, Gunung Doorman dan di Papua dikonservasi secara ex-situ ). Nugini: Gunung Stars dan East-West Highlands pada ketingigian 2.900–4.150 m dpl; Nama

Tabel 3. Jumlah Jenis Vireya Rhododendron Indonesia yang terancam kepunahan No. Status Konservasi Jumlah Jenis 1 Terancam (threatened) 30 • Kritis (CR) 5 • Genting (EN) 5 • Rentan (VU) 20 2 Risiko rendah (lower risk) 61 • Mendekati terancam (NT) 5 • Risiko rendah (LC) 56 3 Data tidak memadai (DD), belum terevaluasi (NE) 89

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 17

a b c

f d e

Gambar 9 . Rhododendron macgregoriae F. Muell. a. Habitus; b. Tunas bunga; c. Bunga yang masih kuncup; d. Bunga mekar; e. Buah; f. Biji (pengamatan menggunakan mikroskop stereo perbesaran 30 kali).

Gambar 10 . Morfologi Rhododendron gaultheriifolium J.J. Sm.

KESIMPULAN disebabkan jumlah jenis Vireya Rhododen- dron Indonesia yang terancam kepunahan yang Kebun Raya Bali hingga saat ini perlu menam- berhasil dikoleksi Kebun Raya Bali baru bah koleksi Vireya Rhododendron mengingat mencapai 5%. Penelitian dan pengembangan sangat sedikitnya jenis-jenis yang berhasil untuk upaya perbanyakan Vireya Rhododen- dikoleksi, terutama untuk jenis-jenis yang ter- dron harus terus ditingkatkan dan dilakukan masuk dalam kategori terancam. Hal ini secara intensif.

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 18 DAFTAR PUSTAKA dan Kebun Raya 'Eka Karya Bali. Warta Kebun Raya , 9 (1): 14–20. Anonim. 1966. Flora Malesiana . Series I. Vol. Semwal, J.K. and Purohit, A.N. 1980. 6 (4). Leiden. Holland: Rijksherbarium. Germination of Himalayan Alpine and Anonim. 2004. Rhododendron. Temperate Potentilla. Proc.Indian Acad. (http://biodiversity.uno.edu/delta/habita Sci ., 89: 61–65. tsand biodiversity in the U_K.html, Singh, K.K., S. Kumar and A. Pandey. 2008a. diakses tanggal 23 Mei 2003). Soil Treatments for Improving Seed ------. 2009.( www.vireya.net , diakses 13 Germination of Rare and Endangered Nopember 2010). Sikkim Himalayan Rhododendrons. Fay. M. 1992. Conservation of Rare and World Journal of Agricultural Sciences , Endangered Plants Using in vitro 4 (2): 288–296. Methods. In vitro Cellular Development Singh, K.K., S. Kumar and R. Shanti. 2008b. Biology , 28: 1–4. Raising Planting Materials of Sikkim Gibbs, D., D. Chamberlin and G. Argent. 2011. Himalayan Rhododendron through The Red List of Rhododendrons . UK: Vegetative Propagationusing “Air-wet Botanic Gardens Conservation technique”. Journal of American International. 128 pp. Rhododendron Society , 62: 136–138. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia . Singh, K.K., B. Gurung. 2009. In Vitro Cetakan I. Terjemahan Badan Propagation of R. maddeni Hook. F. an Penelitian dan Pengembangan Endangered Rhododendron species of Kehutanan. Jakarta: Departemen Sikkim Himalaya. Not. Bot. Hort . Kehutanan RI. Agrobot , 37 (1): 79–83. IUCN. 2009. IUCN Red List Threatened Singh, K.K., B. Gurung, L.K. Rai and L.H. Species. Version 2009.1. . 2010. The Influence of (www.iucnredlist.org, diakses 28 emperature, Light and Pre-treatment on Desember 2010). the Seed Germination of Critically Putri, D.M.S. dan I.N. Sudiatna. 2006. Endangered Sikkim Himalayan Pengaruh Jenis Media terhadap Rhododendron (R. niveum Hook f.). Pertumbuhan Rhododendron sp. Jurnal Journal of American Science , 6(8). Widyariset (Kapita Selekta), 9 (4): 263– Vejsadova, H. 2008. Growth regulator effect on 268. in vitro regeneration of Rhododendron Putri, D.M.S. dan I.N. Sudiatna. 2009. Aplikasi cultivars. Hort.Sc. (Prague) , 35 (2): 90– Penggunaan ZPT pada Perbanyakan 94. Rhododendron javanicum Benn. Secara Warseno, T. dan D.M.S. Putri. 2010. Studi Vegetatif (Setek Pucuk). Jurnal Biologi , Sterilisasi Rhododendron radians J.J. 8 (1). 17–20. Smith Secara In Vitro. Prosiding Putri, D.M.S. 2009. Masa berbunga Beberapa Seminar Nasional Hortikultura 2010. Jenis Rhododendron spp. Denpasar, 25–26 November. Hlm. 786– (Sub.Sect.Vireya) Koleksi Kebun Raya 791. Bali. Prosiding Seminar Peranan Waldan, N.K. 2007. Di Balik Keindahan Konservasi Flora Indonesia Dalam Rhododendron (Bisa Jadi Obat Mengatasi Dampak Pemanasan Global . Insomnia dan Rematik). Kebun Raya Bali, 14 Juli. Hal. 196–205. (www.tabloidnova.com/articles.asp?id Rahman, W. & D.M.S. Putri. 2009. Kemajuan =11186 , diakses tanggal 20 April 2007). Konservasi Ex-situ Spesies Zomlefer, W.B. 1994. Guide to Flowering Rhododendron Di Kebun Raya Cibodas Plant Families . Chapell Hill, London: The University of North Carolina, Press.

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 19 Lampiran 1. Daftar Status Konservasi Vireya Rhododendron Indonesia (Gibbs, et al ., 2011) No Nama Kategori Distribusi 1 R. adinophyllum Merr. LC Indonesia (Sumatra) 2 R. aequabile J.J.Sm. LC Indonesia (Sumatra) 3 R. agathodaemonis J.J.Sm. DD Indonesia (Papua) 4 R. alborugosum Argent& J. Dransf. EN D Indonesia (Kalimantan) 5 R. album Blume VUB2ab(v) Indonesia (Jawa) 6 R. alternans Sleumer DD Indonesia (Sulawesi) 7 R. amabile Sleumer DD Indonesia (Sulawesi) 8 R. angulatum J.J.Sm. DD Indonesia (Papua) 9 R. arenicolum Sleumer DD Indonesia (Sulawesi) 10 R. arenicolumi Sleumer DD Indonesia (Sulawesi) 11 R. arfakianum Becc. DD Indonesia (Papua) 12 R. asperrimum Sleumer DD Indonesia (Papua) 13 R. asperum J.J.Sm. LC Indonesia (Papua) 14 R. banghamiorum (J.J.Sm.) Sleumer VUD1 Indonesia (Sumatra) 15 R. beccarii Sleumer DD Indonesia (Sumatra) 16 R. bloembergenii Sleumer DD Indonesia (Sulawesi) 17 R. brachyantherum Warb. ex P.&F.Sarasin DD Indonesia (Sulawesi) 18 R. brachypodarium Sleumer LC Indonesia (Papua) 19 R. brassii Sleumer LC Indonesia (Papua), Papua 20 R. bullifolium Sleumer DD Indonesia (Papua) 21 R. buruense J.J.Sm. DD Indonesia (Maluku) 22 R. caespitosum Sleumer VUD2 Indonesia (Papua) 23 R. calosanthes Sleumer VU D2 Indonesia (Papua) 24 R. carstensense Wernham CRB1ab(ii,iv) Indonesia (Papua) 25 R. celebicum (Blume) DC. LC Indonesia (Sulawesi) 26 R. cernuum Sleumer EN B2ab(ii) Indonesia (Sumatra) 27 R. ciliilobum Sleumer LC Indonesia (Papua) 28 R. cinchoniflorum Sleumer LC Indonesia (Papua) 29 R. cinerascens Sleumer DD Indonesia (Papua) 30 R. citrinum var. citrinum Hassk. LC Indonesia (Bali, Jawa) 31 R. citrinum var. discoloratum Sleumer LC Indonesia (Sumatra) 32 R. coelorum Wernham DD Indonesia (Papua) 33 R. commutatum Sleumer LC Indonesia 34 R. cornu-bovis Sleumer DD Indonesia (Papua) 35 R. correoides J.J.Sm. LC Indonesia (Papua) 36 R. culminicola var. angiense Sleumer LC Indonesia (Papua) 37 R. culminicola var. culminicola F.Muell. LC Indonesia (Papua), Papua New Guinea 38 R. curviflorum J.J.Sm. LC Indonesia (Papua) 39 R. cuspidellum Sleumer LC Indonesia (Papua) 40 R. cyrtophyllum Wernham DD Indonesia (Papua) 41 R. delicatulum var. delicatulum Sleumer DD Indonesia (Papua) 42 R. delicatulum var. lanceolatoides Sleumer DD Indonesia (Papua)

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 20 No Nama Kategori Distribusi 43 R. dianthosmum Sleumer VUD2 Indonesia (Papua) R. disterigmoides ssp. disterigmoides 44 NE Indonesia (Papua) Sleumer 45 R. dutartrei Danet CRC2a(ii) Indonesia (Papua) R. edanoi ssp. pneumonanthum Merr. & Indonesia (Kalimantan, Lesser Sunda Is.), 46 LC Quisumb. (Sabah, Sarawak) 47 R. englerianum Koord. NT Indonesia (Papua), Papua New Guinea 48 R. erosipetalum J.J.Sm. LC Indonesia (Papua) 49 R. evelyneae Danet CRD Indonesia (Papua) 50 R. extrorsum J.J.Sm. DD Indonesia (Papua) Indonesia (Sulawesi), endemic G. 51 R. eymae Sleumer EN-D Rantemario 52 R. flavoviride J.J.Sm. LC Indonesia (Papua) 53 R. fortunans J.J.Sm. NT/ VUD2 Indonesia (Kalimantan) 54 R. frey-wysslingii J.J.Sm. DD Indonesia (Sumatra) 55 R. gardenia Schltr. LC Indonesia (Papua) 56 R. gaultheriifolium J.J.Sm. LC Indonesia (Papua), Papua New Guinea 57 R. glabriflorum J.J.Sm. DD Indonesia (Papua) 58 R. habbemae Koord. VUB1ab(ii,iv) Indonesia (Papua) 59 R. haematophthalmum Sleumer LC Indonesia (Papua) 60 R. hameliiflorum Wernham DD Indonesia (Papua) 61 R. hatamense Becc. VUD2 Indonesia (Papua) 62 R. helodes Sleumer VUD2 Indonesia (Papua) 63 R. hirtolepidotum J.J.Sm. VUD2 Indonesia (Papua) 64 R. hooglandii Sleumer DD Indonesia (Papua), Papua New Guinea 65 R. impositum J.J.Sm. LC Indonesia (Sulawesi) 66 R. impressopunctatum J.J.Sm. DD Indonesia (Maluku) 67 R. incommodum Sleumer LC Indonesia (Papua), Papua New Guinea 68 R. inconspicuum J.J.Sm. LC Indonesia (Papua), Papua New Guinea 69 R. inundatum Sleumer LC Indonesia (Papua) (Guizhou, Sichuan, Yunnan), 70 R. irroratum Franchet LC Indonesia (Sumatra), Viet Nam R. jasminiflorum ssp. heusseri (J.J.Sm.) 71 LC Indonesia (Sumatra) Argent 72 R. javanicum ssp. javanicum (Blume) Benn. LC Indonesia (Jawa) R. javanicum ssp. schadenbergii (Warb.) 73 LC Indonesia (Sulawesi), Argent 74 R. kawir Danet DD Indonesia (Papua) 75 R. kemulense J.J.Sm. DD Indonesia (Kalimantan) 76 R. kogo Danet DD Indonesia (Papua) 77 R. konori var. konori Becc. LC Indonesia (Papua), Papua New Guinea 78 R. korthalsii Miq. DD Indonesia (Sumatra) 79 R. laetum J.J.Sm. LC Indonesia (Papua) 80 R. lagenculicarpum J.J.Sm. NE Indonesia (Sulawesi) 81 R. lagunculicarpum J.J.Sm. LC Indonesia (Sulawesi) 82 R. lamii J.J.Sm. DD Indonesia (Papua) 83 R. lampongum Miq. DD Indonesia (Sumatra)

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 21 No Nama Kategori Distribusi 84 R. leptobrachion Sleumer LC Indonesia (Sulawesi) 85 R. leptomorphum Sleumer DD Indonesia (Sulawesi) 86 R. leucogigas Sleumer DD Indonesia (Papua) 87 R. lindaueanum var. bantaengense J.J.Sm. VUD2 Indonesia (Sulawesi) 88 R. lindaueanum var. lindaueanum Koord. LC Indonesia (Papua), Papua New Guinea 89 R. loerzingii J.J.Sm. VUD2 Indonesia (Jawa) 90 R. lompohense J.J.Sm. DD Indonesia (Sulawesi) 91 R. longiflorum var. bancanum Sleumer CR-B2ab(iii) Indonesia (Sumatra) Brunei Darussalam, Indonesia 92 R. longiflorum var. longiflorum LC (Kalimantan, Sumatra), Malaysia (Peninsular Malaysia, Sabah, Sarawak) R. macgregoriae var. glabrifilum (J.J.Sm.) 93 NE Indonesia (Papua), Papua New Guinea Sleumer 94 R. macgregoriae var. macgregoriae F.Muell. LC Indonesia (Papua), Papua New Guinea 95 R. maius (J.J.Sm.) Sleumer LC Indonesia (Papua) Indonesia (Jawa, Sumatra), Malaysia 96 R. malayanum var. malayanum Jack LC (Peninsular Malaysia) 97 R. malayanum var. pilosifilum Sleumer LC Indonesia (Maluku) 98 R. malayanum var. pubens Sleumer DD Indonesia (Maluku) 99 R. meliphagidum J.J.Sm. LC Indonesia (Maluku) 100 R. microphyllum J.J.Sm. NT/VUD2 Indonesia (Papua) 101 R. milleri Argent VUD1 Indonesia (Papua) 102 R. mogeanum Argent VUD1+2 Indonesia (Kalimantan) 103 R. mollianum Koord. DD Indonesia (Papua) 104 R. moulmainense J. D. Hooker LC Indonesia 105 R. multicolor Miq. LC Indonesia (Sumatra) 106 R. multinervium Sleumer LC Indonesia (Papua) 107 R. muscicola J.J.Sm. DD Indonesia (Papua) 108 R. myrsinites Sleumer DD Indonesia (Papua) Indonesia (Sulawesi), endemic G. 109 R. nanophyton var. nanophyton Sleumer EN-D Rantemario, Sulawesi Selatan 110 R. nanophyton var. petrophilum Sleumer DD Indonesia (Sulawesi) 111 R. nubicola Wernham LC Indonesia (Papua), Papua New Guinea 112 R. opulentum Sleumer VU D2 Indonesia (Papua) 113 R. oreadum Wernham DD Indonesia (Papua) 114 R. oreites var. chlorops Sleumer LC Indonesia (Papua) 115 R. oreites var. oreites Sleumer LC Indonesia (Papua) 116 R. pachystigma Sleumer DD Indonesia (Papua) 117 R. papuanum Becc. LC Indonesia (Papua) 118 R. parvulum Sleumer DD Indonesia (Papua) 119 R. perplexum Sleumer DD Indonesia (Sumatra) 120 R. phaeochristum Sleumer LC Indonesia (Papua) 121 R. phaeops Sleumer NT/VUD2 Indonesia (Papua) 122 R. poremense J.J.Sm. DD Indonesia (Sulawesi) 123 R. porphyranthes Sleumer DD Indonesia (Papua) 124 R. proliferum Sleumer DD Indonesia (Papua)

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 22 No Nama Kategori Distribusi 125 R. psammogenes Sleumer DD Indonesia (Papua) Indonesia (Sulawesi), endemic G. 126 R. pseudobuxifolium Sleumer VUD2 Rantemario, Sulawesi Selatan 127 R. pseudotrichanthum Sleumer DD Indonesia (Kalimantan) 128 R. psilanthum Sleumer DD Indonesia (Sulawesi) 129 R. pubigermen J.J.Sm. LC Indonesia (Sumatra) Indonesia (Sulawesi), Latimojong, G. 130 R. pudorinum Sleumer VUD2 Pokapinjang) 131 R. purpureiflorum J.J.Sm. DD Indonesia (Papua), Papua New Guinea 132 R. pusillum J.J.Sm. DD Indonesia (Papua) 133 R. pyrrhophorum Sleumer DD Indonesia (Sumatra) 134 R. radians var. minahasae Sleumer LC Indonesia (Sulawesi) 135 R. radians var. radians LC Indonesia (Sulawesi) 136 R. rappardii Sleumer LC Indonesia (Papua) 137 R. rarilepidotum var. rarilepidotum J.J.Sm. LC Indonesia (Sumatra) Indonesia (Lesser Sunda Is.), Flores (G. 138 R. renschianum Sleumer VUD2 Kelimutu, G. Desu) 139 R. retusum var. retusum Sleumer LC Indonesia (Jawa, Sumatra) 140 R. retusum var. trichostylum Sleumer DD Indonesia (Sumatra) 141 R. revolutum Sleumer DD Indonesia (Papua) 142 R. rhodochroum Sleumer NT/VUD2 Indonesia (Papua) 143 R. rhodopus Sleumer DD Indonesia (Sulawesi) 144 R. rhodosalpinx Sleumer DD Indonesia (Papua) 145 R. ripleyi var. basitrichum Sleumer NE Indonesia (Sumatra) 146 R. ripleyi var. cryptogonium Sleumer NE Indonesia (Sumatra) 147 R. ripleyi var. ripleyi Merr. DD Indonesia (Sumatra) 148 R. roseiflorum NE Indonesia (Papua) 149 R. rosendahlii NE Indonesia (Papua) 150 R. rubrobracteatum Sleumer NE Indonesia (Papua) 151 R. ruttenii NE Indonesia 152 R. scarlatinum Sleumer DD Indonesia (Sulawesi) 153 R. schizostigma Sleumer NE Indonesia (Papua) 154 R. seramicum J.J.Sm. NE Indonesia (Maluku) 155 R. sessilifolium J.J.Sm. NE Indonesia (Sumatra) 156 R. stresemannii J.J.Sm. DD Indonesia (Maluku) 157 R. subcrenulatum Sleumer NE Indonesia (Papua) 158 R. subuliferum Sleumer NE Indonesia (Papua) 159 R. sumatranum Merr. NE Indonesia (Sumatra) 160 R. syringoideum Sleumer NE Indonesia (Papua) 161 R. taxoides J.J.Sm. ENB1ab(ii,iv) Indonesia (Papua) 162 R. thaumasianthum Sleumer DD Indonesia (Papua) 163 R. tintinnabellum Danet VUD1+2 Indonesia (Papua) 164 R. toxopei J.J.Sm. DD Indonesia (Maluku) 165 R. tuberculiferum J.J.Sm. VUD2 Indonesia (Papua) 166 R. tuhanensis Argent & Barkman CR-D Indonesia (Kalimantan)

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 23 No Nama Kategori Distribusi 167 R. ultimum Wernham VUB1ab(ii,iv), D2 Indonesia (Papua), endemic G. Jaya 168 R. vanderbiltianum NE Indonesia (Sumatra) 169 R. vanvuurenii J.J.Sm. LC Indonesia (Sulawesi) Indonesia (Kalimantan), Malaysia (Sabah, 170 R. variolosum var. andersonii (Ridl.) Sleumer NE Sarawak) 171 R. versteegii J.J.Sm. NE Indonesia (Papua) 172 R. villosulum J.J.Sm. NE Indonesia (Papua) 173 R. vinicolor Sleumer NE Indonesia (Sumatra) 174 R. vinkii Sleumer DD Indonesia (Papua) 175 R. wentianum Koord. NE Indonesia (Papua) 176 R. wilhelminae Hochr. CR-D Indonesia (Jawa) Indonesia (Maluku, Papua), Papua New 177 R. zoelleri Warb. NE Guinea Indonesia (Jawa, Lesser Sunda Is., 178 R. zollingeri J.J.Sm. NE Sulawesi), Philippines

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 24 TUMBUHAN PAKU EPIFIT DAN KESESUAIANNYA DENGAN POROFIT DI KEBUN RAYA “ EKA KARYA” BALI

I Dewa Putu Darma* dan I Nyoman Peneng UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali – LIPI Candikuning, Baturiti, Tabanan Bali 82191 *E-mail : [email protected]

ABSTRACT – Epiphytic ferns are ferns rooting on the surface of tree trunks or branches without harming the host tree. Study on epiphytic ferns and its affinity to the phorophyte was carried out on the plant collections at Bali Botanical Garden (Kebun Raya "Eka Karya" Bali). Thirty six species growing on 99 species of phorophyte were recorded. Five species of epiphytic ferns showed an affinity with the phorophyte, namely: Belvisia revoluta (Bl.) Copel (FR 17. 757), Davallia sp. (FR 12. 523), Davallia denticulata (Brum.) METT (FR 9.7196), Polypodium subauriculatum (FR. 9.719) and Asplenium nidus L. (FR 6.542 Five species of showed an affinity value with the epiphytic ferns. The highest affinity is Cyathea laterbrosa (Wall.) Copel. (FR 5.343) followed by Bischofia javanica Blume (FR 4.770), Manglietia glauca Blume (FR 3.625), Saurauia reinwardtiana Blume (FR 2.862) and Cyathea contaminans (Hook.) Copel. (FR 2.671).

Keywords : Ferns; Epiphytes; Phorophyte, Bali Botanical Garden

PENDAHULUAN ini untuk mengetahui keragaman jenis tumbuhan paku epifit dan pohon inangnya serta Tumbuhan paku pada umumnya hidup di mengetahui tingkat kesesuaian antara jenis daerah basah dan lembap. Sebagian besar epifit dengan inangnya. tumbuhan ini ditemukan di hutan hujan mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi. BAHAN DAN METODE Beberapa jenis paku dapat ditemukan di dasar hutan dan tumbuh epifit, baik pada pohon Penelitian dilakukan dengan studi lapangan di maupun di cabang-cabang pohon. Pada daerah Kebun Raya “Eka Karya” Bali pada bulan Juni– terbuka dan banyak mengandung air keba- Juli 2008. Kebun raya ini terletak di Desa nyakan paku tumbuh secara terasterial. Di Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali pada daerah dengan curah hujan tinggi tumbuhan ketinggian tempat 1.250 s.d. 1.450 m di atas paku tersebar luas di kawasan hutan (Hartini. permukaan laut. Berdasarkan data klimatologi 2001). Tumbuhan paku ada sekitar 10.000 jenis yang tercatat pada Stasiun Klimatologi di Desa dan dari jumlah tersebut diperkirakan 1.300 Candikuning kawasan ini termasuk tipe iklim yang tersebar di kawasan Malesia (Sastrapradja basah dengan curah hujan >200 mm/bl, atau dkk., 1979). 2.400 mm/th. Tipe iklim B dengan bulan basah Tumbuhan paku epifit tumbuh melekat 7–9 bulan, bulan kering 1–3 bulan, curah hujan pada batang, cabang, daun-daun pohon, semak, 2.000–3.000 mm/th (maksimum Februari 645 dan liana. Secara umum epifit tidak meng- mm, minimum Agustus 17,67 mm). Intensitas ganggu inangnya. Selanjutnya, Zubaidah (2001) cahaya matahari 45,60% (maksimum Septem- menyebutkan tumbuhan paku epifit menda- ber 72%, minimum Februari 25,72%). Kelem- patkan air dengan mengabsorpsi udara yang bapan 78–96% (pagi hari Januari 96,6%, lembap atau dari air hujan. minimum September 78,2%) (Anonim, 2002). Kebun Raya merupakan lembaga Inventarisasi tumbuhan paku epifit konservasi yang dalam pengelolaan tanaman dilakukan pada tanaman koleksi kebun raya. koleksinya sangat memerlukan informasi data Jenis paku epifit dan pohon inangnya dicatat. ekologi, terutama dalam usaha pengelolaan Paku epifit yang belum diketahui nama jenisnya koleksi tumbuhan pakunya. Mengingat nasib dibuat spesimen herbariumnya sebagai spesi- tumbuhan paku epifit sangat ditentukan oleh men bukti untuk keperluan identifikasi. Identifi- pohon inang maka inventarisasi tumbuhan paku kasi dilakukan dengan mencocokkan pada buku epifit dan pohon inangnya dilakukan di Kebun tumbuhan paku dan pada koleksi tumbuhan Raya “Eka Karya” Bali. Tujuan dari penlitian paku di Kebun Raya ”Eka Karya” Bali. Jenis

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 25 tumbuhan paku epifit yang belum dimiliki F (kemunculan suatu jenis pohon inang dikoleksi sebagai material hidup. pada jenis paku epifit) Untuk mengetahui kesesuaian jenis FR = x 100% tumbuhan paku epifit terhadap jenis pohon Jumlah total kemunculan suatu jenis inangnya dan sebaliknya, diasumsikan semakin pohon inang tinggi nilai Frekuensi Relatif (FR) semakin tinggi kesesuaian suatu jenis tumbuhan paku HASIL DAN PEMBAHASAN epifit terhadap jenis pohon inang, dicari dengan rumus: Keragaman tumbuhan paku epifit di Kebun Raya “ Eka Karya” Bali tercatat 36 jenis. F (kemunculan suatu jenis tumbuhan Berdasarkan nilai FR kesesuaian jenis paku epifit pada pohon inang) tumbuhan paku epifit yang tumbuh pada jenis FR = x 100% pohon inang memperlihatkan bahwa lima jenis Jumlah total kemunculan suatu jenis tumbuhan paku epifit memiliki nilai kesesuaian tumbuhan paku epifit yang lebih tinggi dibanding jenis lainnya, yaitu Belvisia revulute (Bl.) Copel (FR 17.757), Semakin tinggi nilai FR jenis pohon inang Davallia sp. (FR 12.523), Davallia deticulata terhadap jenis tumbuhan paku epifit merupakan (Brum.) Mett. (FR 9.7196), Polypodium jenis pohon inang yang semakin disenangi oleh subauriculatum (FR 9.719), dan Asplenium jenis tumbuhan paku epifit, dicari dengan nidus L. (FR 6.542) (Tabel 1 ). rumus:

Tabel 1. Kesesuaian Jenis Tumbuhan Paku Epifit pada Jenis Pohon Inang No Nama Jenis Paku epifit Suku F FR. 1 Asplenium nidus L. Aspleniaceae 35 6.542056075 2 Asplenium salignum Bl. Aspleniaceae 7 1.308411215 3 Asplenium belangeri (Bory) Kuntze Aspleniaceae 6 1.121495327 4 Asplenium normale Prodr. El Aspleniaceae 3 0.560747664 5 Asplenium robustum Bl. Aspleniaceae 4 0.747663551 6 Antrophyum reticulatum (Forst) Kanlf. Vittariaceae 5 0.934579439 7 Belvisia revulute ( Bl.) Copel. Polypodiaceae 95 17.75700935 8 Colysis acuminate (Bak.) Holtt Polypodiaceae 10 1.869158879 9 Cyclosorus sp. Thelypteridaceae 2 0.373831776 10 Davallia denticulata ( Brum. ) Mett. Davalliaceae 52 9.719626168 11 Davallia sp. Davalliaceae 67 12.52336449 12 Davallia sp. 1. Davalliaceae 29 5.420560748 13 Davallia solida Davalliaceae 14 2.61682243 14 Drynaria quercifolia ( L. ) J. S. Polypodiaceae 4 0.747663551 15 Humata repens (L.f.) Diel. Davalliaceae 2 0.373831776 16 Loxogramme avenia (Bl.) Presl Polypodiaceae 17 3.177570093 17 Lindsaea regularis Risenstock Lindsaeaceae 1 0.186915888 18 Lindsaea sp. Lindsaeaceae 1 0.186915888 19 Lycopodium carinatum Desv. Lycopodiacea 11 2.056074766 20 Lycopodium scorosum L. Lycopodiacea 9 1.682242991 21 Microsorum punctatum (L.) Copel. Polypodiaceae 2 0.373831776 22 Microsorum savawakense (Baker) Holtt. Polypodiaceae 3 0.560747664 23 Nephrolepis coerdifolia (L.) Pr. Lomariopsidaceae 8 1.495327103 24 Nephrolepis hirsutula (Porst.) Pr. Lomariopsidaceae 8 1.495327103 25 Nephrolepis palisotti (Desv. ) Alston Lomariopsidaceae 2 0.373831776 26 Nephrolepis radicans (Burm.) Kuhn Lomariopsidaceae 4 0.747663551 27 Ophyoglossum pendulum L. Ophioglossaceae 13 2.429906542

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 26 No Nama Jenis Paku epifit Suku F FR. 28 Phymatodes longissima ( Bl. ) J. Sm. Polypodiaceae 3 0.560747664 29 Phymatosorus sp. Polypodiaceae 3 0.560747664 30 Polypodium subauriculatum Polypodiaceae 52 9.719626168 31 Polypodium fersicifolium (Desv.) Presl. Polypodiaceae 9 1.682242991 32 Psilotum nudum (L.) Griseb. Aspleniaceae 2 0.373831776 33 Pyrrosia longifolia (N-L. Burman) C.V. Morton Polypodiaceae 32 5.981308411 34 Seleginella involvens Selaginellaceae 6 1.121495327 35 Vittaria sp. Vittariaceae 2 0.373831776 36 Vittaria ensiformis Sw. Vittariaceae 12 2.242990654 535 100

Keragaman pohon inang paku epifit di batang dapat menempel yang kuat pada batang Kebun Raya “Eka Karya” Bali tercatat 99 jenis. pohon. Berdasarkan nilai FR lima jenis pohon inang Jenis pohon inang yang paling yang paling disenangi oleh tumbuhan paku disenangi oleh jenis tumbuhan paku epifit, yaitu epifit dibanding yang lain. Cyathea laterbrosa Cyathea laterbrosa (Wall.) Copel.) (FR 5.343), (Wall.) Copel. memiliki nilai tertinggi (FR kemudian diikuti oleh Bischofia javanica 5.343), kemudian diikuti oleh Bischofia Blume (FR 4.770), Manglietia glauca Blume javanica Blume (FR 4.770), Manglietia glauca (FR 3.625), Saurauia reinwardtiana Blume (FR Blume (FR 3.625), Saurauia reinwardtiana 2.862), dan Cyathea contaminans (Hook.) Blume (FR 2.862), dan Cyathea contaminans Copel ( FR 2.671). Lima jenis pohon inang ini (Hook.) Copel (FR 2.671) (Tabel 2). umumnya mempunyai tekstur kulit batang yang Jenis tumbuhan paku epifit yang kasar dengan daun yang rimbun. Pohon inang mempunyai kesesuaian yang tinggi terhadap yang umum disukai oleh jenis-jenis paku epifit jenis pohon inang, yaitu Belvisia revulute (Bl.) adalah pohon yang mempunyai kulit batang Copel (FR 17.757), Davallia sp. (FR 12.523), yang kasar dengan percabangan yang banyak. Davallia deticulata (Brum.) Mett. (FR 9.7196), Selanjutnya Holtum (1969) menyebutkan Polypodium subauriculatum (FR 9.719), dan pohon inang merupakan tempat menempel tidak Asplenium nidus L. (FR 6.542). Pada umumnya sebagai sumber makanan dan tempat lima jenis paku epifit ini mempunyai akar atau penyebaran spora.

Tabel 2 . Kesesuaian Jenis Pohon Inang terhadap Jenis Tumbuhan Paku Epifit No Nama Jenis Pohon Inang Suku F FR. 1 Acacia polystachia A.Cunn. Ex Benth. Fabaceae 5 0.954198473 2 Acronychia trifoliata Zoll. Rutaceae 3 0.572519084 3 Agatis dammara Araucariaceae 2 0.381679389 4 Agathis palmerstoni F. Muell. Araucariaceae 6 1.145038168 5 Altingia exelsa Noronha Hamamelidacea 5 0.954198473 6 Albizia chinensis (Osb.) Merr. Fabaceae 1 0.190839695 7 Aleurites moluccana (L.) Willd. Euphorbiaceae 6 1.145038168 Arauc8 Araucaria heterophylla (Salisb.) Franco. Araucariaceae 6 1.145038168 9 Arenga pinnata (Wurmb.) Merr. Arecaceae 2 0.381679389 Archonthophoenix alecandrae (F.muell.) H.A. Arecaceae 3 0.572519084 10 Whendl.& Drude 11 Araucaria bidwilbii Hook. Araucariaceae 1 0.190839695 12 Araucaria bidwilbii Hook. Araucariaceae 7 1.335877863 13 Bischofia javanica Blume Euphorbiaceae 25 4.770992366 14 Callicoma serratifolia F. muell Cunoniaceae 4 0.763358779 15 Calliandra calothursus Meismer Fabaceae 6 1.145038168 16 Callistemon formosus S.T. Blake Myrtaceae 4 0.763358779 17 Callistemon viminalis (Gaertn.) G. Don. Myrtaceae 3 0.572519084

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 27 No Nama Jenis Pohon Inang Suku F FR. 18 Callistemon salignum DC. Myrtaceae 5 0.954198473 19 Calophyllum soulattri Burm. F. Clusiaceae 3 0.572519084 20 Caryota mitis Lour. Arecaceae 2 0.381679389 21 littoralis Salisb. Casuarinaceae 4 0.763358779 22 Casuarina junghuhniana Miq. Casuarinaceae 3 0.572519084 23 Castanospermum austral Fabaceae 5 0.954198473 24 Catha edulis Vahl. Celastraceae 5 0.954198473 25 Camellia sasanqua Thumb. Theaceae 2 0.381679389 26 Camaecyparis obtusa (Sieb. & Zucc.) Endl. Cupressaceae 5 0.954198473 27 Cinnamomum campora Lauraceae 11 2.099236641 28 Cinnamomum burmannii Nees ex Bl. Lauraceae 4 0.763358779 29 Cordia mixa Linn. Boraginaceae 8 1.526717557 30 Crecentia cujete L. Bignoniaceae 4 0.763358779 31 Cryptomeria japonica (L.f.) D. Don. Taxodiaceae 5 0.954198473 32 Cupressus funebris Cupressaceae 6 1.145038168 33 Cupressus bentami Cupressaceae 3 0.572519084 34 Cupressus cashmeriana Royle ex Mill. Cupressaceae 4 0.763358779 35 Cupressus lusitanica Mill. Cupressaceae 5 0.954198473 36 Cupressus torulosa D.Don. Cupressaceae 4 0.763358779 37 Cycas circinalis Linn. Cycadaceae 5 0.954198473 38 Cyathea contaminans (Hook.) Copel. Cyatheaceae 14 2.671755725 39 Cyathea laterbrosa (Wall.) Copel.). Cyatheaceae 28 5.34351145 40 piscosa Sapindaceae 5 0.954198473 41 Elaeocarpus sphaericus (Gaertn.) K. Schum. Elaeocarpaceae 8 1.526717557 42 Enterolobium timbouva Mart. Fabaceae 5 0.954198473 43 Englhardia spicata Lesch. Ex Blume 3 0.572519084 44 Erytrina cristagali L. Fabaceae 5 0.954198473 45 Ficus Sp. Moraceae 12 2.290076336 46 Ficus bejamina L. Moraceae 13 2.480916031 47 Ficus padana Burm.f. Moraceae 5 0.954198473 48 Ficus racemosa L. Moraceae 4 0.763358779 49 Ficus septica Burm. f. Moraceae 3 0.572519084 50 Ficus minahassae (Teijsm. & de Vriense) Miq. Moraceae 5 0.954198473 51 Filicium decipiens (W.& A.) Tuwaites Sapindaceae 3 0.572519084 52 Firmiana malayana Kosterm. Sterculiaceae 5 0.954198473 53 Flacourtia rukam Z. et M. Flacourtiaceae 3 0.572519084 54 Gleditsia assamica Bor. Fabaceae 6 1.145038168 55 Glochdion rubrum Bleme Euphorbiacea 7 1.335877863 56 Glochidion macrocarpum Blume Euphorbiaceae 7 1.335877863 57 Gmelina asiatica L. Verbenaceae 3 0.572519084 58 Guioa diplopetala (Hassk.) Radlk. Sapindaceae 2 0.381679389 59 Hibiscus macrophyllus Roxb. Ex Homen Malvaceae 4 0.763358779 60 Hypobatrum frutescents Rubiaceae 1 0.190839695 61 Juniperus procea Hochst. Ex Endl. Araucariaceae 10 1.908396947 62 Leptospermum wooroonaram F.M. Bailey Myrtaceae. 4 0.763358779 63 Libocedrus formosana Florin Cupressaceae 5 0.954198473 64 Lindera subumbelliflora (Blume) Kosterm. Lauraceae 4 0.763358779 65 Macadamia ternifolia F. Muell Protiaceae 2 0.381679389 66 Manglietia glauca Blume Magnoliaceae 19 3.625954198 67 Melaleuca styphelioides Sm. Myrtaceae 2 0.381679389

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 28 No Nama Jenis Pohon Inang Suku F FR. 68 Melaleuca quinguenervis (cav.) S.T. Myrtaceae 4 0.763358779 69 Meliosma ferrugenia BL. Sabiaceae 2 0.381679389 70 Myrica rubra Sieb.& Zucc. Myricaceae 4 0.763358779 71 Persea americana Miller. Lauraceae 2 0.381679389 72 Persea rimosa (Blume) Kosterm. Lauraceae 4 0.763358779 73 Pinus massoniana D.Don. Pinaceae 3 0.572519084 74 Pinus sp. Pinaceae 5 0.954198473 75 tobira (Thumb.) Aiton. Pittosporaceae 2 0.381679389 76 Pittosporum molucanum (Lmk.) Miq. Pittosporaceae 4 0.763358779 77 Pleiogynium FR.agran Flanch. Anacardiaceae 2 0.381679389 78 Pleiogynium godseffiana (Baker) N. E.Br. Anacardiaceae 2 0.381679389

79 Podocarpus javanicus (Burm. f.) Merr. Podocarpaceae 3 0.572519084 80 Polyosma integrifolia Blume Saxifragaceae 3 0.572519084 81 Pouteria duclitan (Blanco) Baekni Sapotaceae 2 0.381679389 82 Prunus puddum Roxb. Ex Wall. Rosaceae 8 1.526717557 83 Rhodoleia championi Hook.f. Hamamelidaceae 10 1.908396947 84 Saurauia reinwardtiana Blume Saurauiaceae 15 2.86259542 85 Schima wallichii (DC.) Korth. Theaceae 4 0.763358779 86 Sloanea sigun (BL.)K.Schum. Elaeocarpaceae 3 0.572519084 87 Sycopsis philipensis Hemsl. Hamamelidaceae 3 0.572519084 89 Syzygium polycephalum (Miq.) Merry & Perry Myrtaceae 1 0.190839695 88 Syzygium polyanthum (Wight.) Walp. Myrtaceae 13 2.480916031 90 Syszygium zolingerianum Myrtaceae 3 0.572519084 91 Syzygium zollingerianum (Miq.)Amsh. Myrtaceae 5 0.954198473 92 Tabernaemontana macrocarpa Jack. Apocinaceae 7 1.335877863 93 Taxodium mucronatum Ten. Taxodiaceae 10 1.908396947 94 Thuja dolabrata (L.f.) Sieber & Zucc. Cupressaceae 3 0.572519084 95 Trema Orientalis (L.) Blume Ulmaceae 4 0.763358779 96 Asteraceae 5 0.954198473 97 densiflora (Bl.) DC. Rubiaceae 3 0.572519084 98 Wendlandia paniculata DC. Rubiaceae. 3 0.572519084 99 Widdringtonia whytei M.wodd. Cupressaceae 3 0.572519084 524 100

KESIMPULAN Cyathea contaminans (Hook.) Copel ( FR 2.671). Keragaman jenis tumbuhan paku epifit tercatat sebanyak 36 jenis dengan 99 jenis pohon inang. DAFTAR PUSTAKA Lima jenis tumbuhan paku epifit memiliki nilai kesesuaian tumbuh pada pohon inang lebih Anonim. 2002. ”Data Iklim Stasiun Klimatologi tinggi dibanding jenis lainnya, yaitu Belvisia di Desa Kembang Merta, Candikuning, revulute (Bl.) Copel (FR 17.757), Davallia sp. Baturiti, Tabanan, Bali”. BMKG. (FR 12.523), Davallia deticulata (Brum.) Mett. Darma D.P. dan S.F. Hanum. 2007. ”Kajian (FR 9.7196), Polypodium subauriculatum (FR Penataan Koleksi Tematik Di Kebun 9.719), dan Asplenium nidus L. (FR 6.542). Raya ”Eka Karya” Bali”. Warta Kebun Adapun jenis pohon inang yang disenangi oleh Raya Bogor –LIPI. jenis tumbuhan paku epifit yaitu Cyathea Hartini, Sri. 2001. “Platyceriun bifurcatum laterbrosa (Wall.) Copel. (FR 5.343), kemudian (Cav.) C. Char. Sumber Plasma Nutfah diikuti oleh Bischofia javanica Blume (FR di Daerah Lahan Kering”. Prosiding 4.770), Manglietia glauca Blume (FR 3.625), Seminar Nasional Konservasi dan Saurauia reinwardtiana Blume (FR 2.862), dan Pendayagunaan Keanekaragaman

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 29 Tumbuhan Lahan Kering , Kebun Raya Zubaidah S. 2001. “Keanekaragaman Purwadadi–LIPI dan Universitas Tumbuhan Paku Epifit di Daerah Brawijaya Malang Fakultas Malang dan Potensi Pemanfaatannya”. Matematika dan Ilmu Pengetahuan Prosiding Seminar Nasional Alam. Hlm.76. Konservasi dan Pendayagunaan Holttum, R.E. 1969. Plant Life in Malaya . Keanekaragaman Tumbuhan Lahan Kuala Lumpur: Longman Malaysia Kering , Kebun Raya Purwadadi–LIPI SDN Berhard. dan Universitas Brawijaya Malang Steenis, V.C.G.G.J. Diterjemahkan oleh Jenny, Fakultas Matematika dan Ilmu A. dan Kartawinata (2006). Fl ora Pengetahuan Alam. Hlm. 43. Pegunungan Jawa . Bogor: Pusat Penelitian Biologi–LIPI. Sastrapradja, S., J.J. Afriastini, D. Darnaedi dan E.A. Widjaya. 1979. Jenis Paku Indonesia . Bogor: LBN–LIPI.

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 30 EKSPLORASI JENIS-JENIS TUMBUHAN PAKU DI KAWASAN GUNUNG TAMBORA SUMBAWA

I Putu Agus Hendra Wibawa* dan I Nyoman Peneng UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali LIPI Candikuning, Baturiti, Tabanan Bali 82191 *E-mail : [email protected]

ABSTRACT – Ferns are a group of vascular plants that reproduce by spores. This plant has many benefits, both economic, ecological, and conservation. With the fast pace of forest destruction, either due to land conversion and natural disasters caused many forest areas as a habitat for plants including ferns, endangered. The purpose of this activity is to: (1) inventories of ferns that grow in the area of Mount Tambora and its uses by the local community, (2) knowing the abundance and frequency of the type qualitatively, and (3) record growth habitat. Fifty-three types are included in the 14 tribes have been collected. Several types commonly used by local community such as vegetable, growing medium for other crops and ornamental plants. Most types including terrestrial ferns.

Keywords : Ferns; Plant conservation; Plant introduction; Mount Tambora; Sumbawa

PENDAHULUAN Ketakutan kita bersama adalah punahnya beberapa spesies tumbuhan di alam sebelum Tumbuhan paku ( Pteridophyta ) merupakan dapat dikonservasi dan diketahui manfaatnya. kelompok tumbuhan berpembuluh yang Oleh karena itu, eksplorasi tumbuhan di suatu berkembang biak dengan spora. Tumbuhan ini kawasan hutan yang belum banyak diketahui merupakan tumbuhan peralihan antara tumbuh- kekayaan hayatinya menjadi hal yang penting an bertalus dengan tumbuhan berkormus untuk dilakukan sesegera mungkin. (Raven et al., 1992). Mereka dapat tumbuh, Kawasan hutan Gunung Tambora, baik di perairan, darat maupun epifit, berpe- Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, memili- rawakan dari herba sampai seperti pohon. ki keanekaragaman hayati yang belum banyak Tumbuhan paku memiliki banyak diungkap potensinya dan memiliki kondisi manfaat, tunas mudanya dapat dimakan sebagai lingkungan yang kurang lebih sesuai dengan sayuran, daun atau rimpangnya kadang juga kondisi Kebun Raya Bali. Tujuan kegiatan ini dipakai dalam ramuan obat. Belakangan adalah untuk: (1) Menginventarisasi jenis-jenis pemanfaatan tanaman paku berkembang seba- tumbuhan paku yang tumbuh di kawasan hutan gai material bahan baku untuk pembuatan Gunung Tambora dan pemanfaatannya oleh kerajinan tangan, media tanaman, dan pupuk masyarakat, (2) Mengetahui kelimpahan dan organik (Amoroso, 1990). Tidak hanya itu, keseringan jenis dijumpai secara kualitatif, dan spora paku juga dapat digunakan untuk (3) Mencatat habitat tumbuhnya. menghasilkan efek kilat pada pertunjukan panggung karena sifatnya yang mudah terbakar METODOLOGI disebabkan memiliki kandungan minyak yang tinggi (Polunin, 1990). Nilai ekonominya Lokasi penelitian di kawasan Gunung Tambora terutama terletak pada keindahannya sehingga terletak di Pulau Sumbawa, Indonesia. Gunung banyak digunakan sebagai tanaman hias dalam yang memiliki ketinggian 2.850 m ini terletak pot atau halaman rumah. Kemungkinan ada di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Dompu lebih banyak lagi manfaat tumbuhan paku yang (sebagian kaki sisi selatan sampai barat laut) belum tergali. dan Kabupaten Bima (bagian lereng sisi selatan Seiring dengan begitu cepatnya laju hingga barat laut, dan kaki hingga puncak sisi kerusakan kawasan hutan, baik akibat konversi timur hingga utara), Provinsi Nusa Tenggara lahan, maupun bencana alam menyebabkan Barat, tepatnya pada 8°15' LS dan 118° BT. banyak kawasan hutan yang menjadi habitat Penelitian ini dilakukan selama 14 hari tumbuh-tumbuhan termasuk tumbuhan paku pada tanggal 24 Mei–6 Juni 2011. Metode terancam kelestariannya (Kinnaird, 1997). penelitian menggunakan metode jelajah

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 31 (Rugayah dkk., 2005) dan random sampling paku di kawasan ini terbagi dalam dua (Simon, 1993). Koleksi hidup ditanam sebagai kelompok, yaitu paku tetestrial dan paku epifit. tanaman koleksi di Kebun Raya Bali. Spesimen Paku terestrial menyukai tempat tumbuh yang herbarium disimpan di Herbarium Kebun Raya cenderung beragam tergantung jenisnya, dari Bali. tempat yang memiliki intensitas cahaya penuh Kegiatan ini mencakup pendataan sampai terlindung, sedangkan paku epifit lebih parameter lingkungan yang memengaruhi banyak menyukai lingkungan yang terlindung habitatnya di alam, deskripsi dan identifikasi dari sinar matahari. jenis, serta pemanfaatannya oleh masyarakat setempat. Status konservasi untuk setiap tumbuhan yang dikoleksi tetap diperhatikan, sebagai upaya pembatasan dalam pencapaian Lokasi Eksplorasi target perolehan koleksi. Material tumbuhan yang menjadi prioritas pengoleksian adalah yang memiliki status konservasi langka atau terancam punah, endemik, dan memiliki potensi pemanfaatan yang besar oleh masyarakat setempat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1 . Peta Pulau Sumbawa (Lokasi eksplorasi Koleksi tumbuhan paku yang diperoleh ditunjukkan oleh tanda panah.) disajikan pada Tabel 1. Tumbuhan paku di hutan kawasan G. Tambora hidup di berbagai habitat yang berbeda. Secara garis besar jenis

Tabel 1 . Daftar Jenis Paku Hasil Eksplorasi di Kawasan Gunung Tambora No. Jenis Suku Habitat Kelim- Keseringan Manfaat pahan Dijumpai 1. Adiantum cuneatum Andiantaceae T + JS Tanaman hias 2. Angiopteris evecta (Fast.) Marratiaceae T +++ Tanaman hias Hoffm. 3. Antropium reticulatum (Forst) Vittariaceae F +++ Tanaman hias Kanif. 4. Asplenium tenerum Fonst. Aspleniaceae T ++ J Tanaman hias 5. Asplenium normale Don Aspleniaceae T ++ J Tanaman hias 6. Asplenium belangeri (Bory) Aspleniaceae E ++ J Tanaman hias Kzc 7. Asplenium nidus L. Aspleniaceae E +++ Tanaman hias 8. Asplenium paradoxum Blume Aspleniaceae E ++ J Tanaman hias 9. Asplenium sp. Aspleniaceae E ++ J Tanaman hias

10. Belvisia callifolia (C. Chr.) Polypodiaceae E ++ J - Copel. 11. Belvisia mucronata (Fée) Polypodiaceae E ++ J - Copel. 12. Chingia clavipilosa Holttum Thelyperidacaee T +++ B Tanaman hias 13. Colysis macrophylla (Blume) Polypodiaceae E + J Tanaman hias Presl 14. Cyathea contaminans (Hook) Cyatheaceae T +++ B Tanaman hias; Copel. Media Tanam 15. Cyclosorus sp. 1 Thelypteridaceae T +++ B 16 Cyclosorus sp. 2 Thelypteridaceae T +++ B - 17. Cyclosorus sp. 3 Thelypteridaceae T +++ B - 18. Cyclosorus sp.4 Thelypteridaceae T +++ B -

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 32 No. Jenis Suku Habitat Kelim- Keseringan Manfaat pahan Dijumpai 19.. Cyclosorus sp. 5 Thelypteridaceae T +++ B -

20. Cyclosorus sp. 6 Thelypteridaceae T ++ B - 21. Cyclosorus sp. 7 Thelypteridaceae T +++ B 22. Cyclosorus sp.8 Thelypteridaceae T +++ B 23. Cyclosorus sp. 9 Thelypteridaceae T +++ B 24. Cyclosorus sp.10 Thelypteridaceae T +++ B 25. Davallia solida (Forst.) Sw. Davalliaceae E +++ B Tanaman hias 26. Davallia sp. Davallaliaceae E +++ B - 27. Diplazium accdens Blume Woodsiaceae T +++ B Tanaman hias 28. Diplazium esculentum (Retz.) Woodsiaceae T ++++ S Sayuran Swartz 29. Diplazium polypodioides Woodsiaceae T +++ B Sayuran Blume 30. Diplazium sorzogonense (C. Woodsiaceae T +++ B - Presl) C. Presl 31. Drynaria sparsisora Polypodiaceae E +++ B Tanaman hias 32. Goniophlebium Polypodiaceae E B Tanaman hias subauriculatum 33. Goniophlebium fersicifolium Vittariaceae E +++ B Tanaman hias (Hook.)J.Sm. 34. Loxogramme avenia (Bl.) Polypodiaceae E + J Tanaman hias Presl. 35. Lygodium circinnatum Schizaeaceae T ++ J Anyaman (Burm.) Sw 36. Lygodium microphyllum Schizaeaceae T ++ J Tanaman hias (Cav.) R. Br. 37. Microsorum punctatum (L.) Polypodiaceae E +++ B Tanaman hias Copel. 38. Nephrolepis biserrata (Sw.) Neprolepidaceae T +++ B Tanaman hias Schott 39. Nephrolepis multiflora (Roxb.) Neprolepidaceae T ++ J Tanaman hias Jarrett 40. Nephrolepis sp. Neprolepidaceae T ++ J Tanaman hias 41. Phymatodes longissima (Blume) Polypodiaceae E ++ J Tanaman hias J.Sm. 42. Pityrogramma calomelanos Polypodiaceae T ++ J Tanaman hias (L.) Link 43. Pneumatopteris callosa Thelypteridaceae T ++ J - (Blume) Nakai 44. Pteris biaurita L. Pteridaceae T ++ J - 45. Pteris linearis Poir. Pteridaceae T ++ J Tanaman hias 46. Pteris tripartita Sw. Pteridaceae T ++ J Tanaman hias 47. Pyrrosia sp.1 Polypodiaceae E ++ J Tanaman hias 48. Pyrrosia sp.2 Polypodiaceae E +++ B - 49.. Selaginella sp.1 Selaginellaceae T ++ J Tanaman hias 50. Selaginella sp.2 Selaginellaceae T ++ J Tanaman hias 52. Tectaria grandidentata (Cesati) Tectariaceae T +++ B Tanaman hias Holt. 53. Tectaria melanocaula Tectariaceae T ++ J Tanaman hias (Blume) Copel. 54. Vittaria ensiformis . Uttaria Vittariaceae E ++ B Tanaman hias sw. Keterangan: Kelimpahan: + sangat sedikit; ++ sedikit; +++ banyak; +++++ sangat banyak. Keseringan dijumpai: JS jarang sekali; J jarang; B biasa; S sering. Habitat: T terestrial; E epifit.

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 33 A B

Gambar 2. Beberapa Jenis Paku Epifit (a) Microsorum punctatum (L.) Copel., (b) Asplenium nidus L

A B C

D E D

Gambar 3 . Beberapa Jenis Paku Terestrial (a). Chingia clavipilosa Holttum, (b) Tectaria grandidentata (cesati) Holt., (c) Pteris linearis Poir. (d) Nephrolepis multiflora (Roxb.) Jarrett., (e) Cyclosorus sp. Kelimpahan dan keseringan dijumpai bahan kerajinan anyaman. Beberapa jenis biasa dari jenis paku yang ada di hutan kawasan G. digunakan sebagai tanaman hias. Tambora bervariasi, dari yang sangat banyak jumlah dan umum sampai sangat sedikit dan KESIMPULAN jarang dijumpai. Hal ini kemungkinan diakibat- kan oleh faktor lingkungan akibat banyaknya kawasan hutan yang telah beralih fungsi Kawasan Gunung Tambora, P. Sumbawa, Nusa menjadi tegalan atau bisa juga diakibatkan dari Tenggara Barat, cukup kaya dengan jenis jenis tumbuhan paku itu sendiri yang sulit tumbuhan paku. Lima puluh empat jenis berkembang biak. tumbuhan paku yang tercakup dalam 14 suku telah direkam. Sebagian besar tumbuhan itu Masyarakat di sekitar kawasan hutan G. tergolong dalam kelompok paku terestrial yang Tambora biasa memanfaatkan tumbuhan paku menyukai tempat tumbuh cenderung beragam, untuk berbagai keperluan. Beberapa jenis di dari tempat yang memiliki intensitas cahaya antaranya biasa dimanfaatkan sebagai sayur, penuh sampai terlindung. Tumbuhan paku epifit seperti Diplazium esculentum dan D. lebih banyak menyukai lingkungan yang polypodioides. Cyathea contaminans diman- terlindung dari sinar matahari. Beberapa jenis di faatkan untuk media tumbuh bagi tanaman lain. antaranya biasa dimanfaatkan oleh masyarakat Lygodium circinnatum dimanfaatkan sebagai sebagai bahan makanan, media tumbuh bagi

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 34 tanaman lain, dan tanaman hias. Dua puluh dua Polunin, N. 1990. Pengantar Geografi jenis kelimpahannya secara lokal termasuk Tumbuhan dan Beberapa Ilmu Serumpun . dalam kategori jarang. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. DAFTAR PUSTAKA Raven, P.H., R.F. Evert dan S.E. Eichhorn. 1992. Biology of Plants . New York: Amoroso, V.B., 1990. “Ten Edible Economic Worth Publishers. Ferns of Mindanao”. The Philippine Rugayah, E.A. Widjaja, dan Praptiwi. 2005. Journal of Science . Pedoman Pengumpulan Data Kinnaird, M.F. 1997. Sulawesi Utara: Sebuah Keanekaragaman Flora . Bogor: Pusat Panduan Sejarah Alam . Yayasan Penelitian Biologi LIPI. Pengembangan Wallacea. GEF- Simon, H. 1993. Metode Inventore Hutan . Biodiversity Collection Projects. Jakarta: Yogyakarta: Aditya Media. Redikencana.

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 35 TIGA SEKSI BEGONIA DARI PULAU BALI

Ni Kadek Erosi Undaharta*, I Made Ardaka* dan Hartutiningsih M. Siregar** *) UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali-LIPI Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali **) Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor-LIPI E-mail : [email protected]

ABSTRACT – Begonia from Bali consists of 3 sections; Begonia sect. Sphenanthera, Reichenheimia, and Parvibegonia. Section Sphenanthera consists of the most often species discovered in Bali namely: Begonia lempuyangensis Girm., Begonia longifolia Blume, Begonia baliensis Girm., Begonia multangula Blume., and Begonia aptera Blume. Whereas section Reichenheimia consist of Begonia coriacea Hassk. and Begonia pseudomuricata Girm. Begonia tenuifolia Draynd. is the only species belongs to section Parvibegonia.

Keywords : Begonia, Bali

PENDAHULUAN sendiri telah ditemukan sebanyak tiga seksi genus Begonia dari delapan jenis yang berasal Tercatat sebanyak 1.500 marga Begonia L. dari delapan Kabupaten di Provinsi Bali. (Begoniaceae ) (Hughes, 2008). Sekitar 600 Begonia berasal dari Bali tersebut saat ini jenis yang terbagi dalam 18 seksi terdapat di menjadi koleksi di Kebun Raya “Eka Karya” Asia Tenggara dan sebagian besar masuk dalam Bali. Tulisan ini akan mengidentifikasi jenis- tiga seksi, yaitu Petermannia , Platycentrum, jenis Begonia berasal dari Pulau Bali dan Diploclinium (Doorenbos et al ., 1998; berdasarkan seksinya. Hoover et al ., 2001; Shui et al ., 2002; Peng et al ., 2005). Seksi Petermannia terdiri atas 200 METODE lebih spesies yang tersebar di wilayah Malenesia. Seksi Platycentrum terdiri atas 110 Kegiatan dilakukan dengan cara mengamati spesies yang terdapat di India, Cina Tengah, karakter morfologi jenis Begonia hasil dan Asia Tenggara. Seksi Diplocinium terdiri eksplorasi yang dilakukan di Pulau Bali. atas 160 spesies yang tersebar di Asia (Shui et Terdapat delapan jenis yang diamati yaitu al ., 2002; Shui and Chen, 2004; Peng et al ., Begonia coriacea Hassk., Begonia tenuifolia 2005). Menurut Hughes (2008), Begonia di Dryand., Begonia lempuyangensis Girm., Asia Tenggara paling banyak ditemukan di Begonia longifolia Blume, Begonia baliensis Filipina sekitar 104 jenis, Borneo sekitar 95 Girm., Begonia multangula Blume, Begonia jenis, dan New Guinea sekitar 79 jenis, yang aptera Blume, dan Begonia pseudomuricata termasuk dalam tiga seksi, yaitu seksi Girm. Untuk mengetahui penampang dari Petermannia 247 jenis yang terpusat di Borneo, masing-masing buah Begonia digunakan Sulawesi, Filipina, dan New Guinea; seksi mikroskop stereo perbesaran 10, 20 dan 30 kali. Diploclinium sekitar 82 jenis; seksi Data lapangan hasil eksplorasi masing-masing Platycentrum sekitar 60 jenis yang terpusat di jenis digunakan untuk mengetahui penyebaran Filipina dan Indo-China. Pembagian marga Begonia yang berasal dari Pulau Bali. Begonia ke dalam seksi ini adalah untuk mempermudah proses identifikasi. Hal ini HASIL DAN PEMBAHASAN dikarenakan genus Begonia sangat besar jumlahnya sehingga dibagi ke dalam kelompok Kegiatan eksplorasi telah dilakukan oleh yang lebih kecil (Tebbitt, 2005). peneliti Kebun Raya “Eka Karya” Bali di Di Indonesia Begonia diperkirakan beberapa kabupaten di Pulau Bali dengan terdapat 200 lebih jenis dan tersebar hampir di menjelajah kawasan hutan dan tepi sungai yang seluruh pulau; Pulau Jawa (17), Pulau Sumatra berada di wilayah tersebut. Kegiatan eksplorasi (45), Pulau Kalimantan (95), Pulau Sulawesi yang sudah dilakukan menghasilkan sebanyak (30), Nusa Tenggara (9), Kepulauan Maluku (5), delapan jenis koleksi Begonia dan tersebar di dan Papua Nugini (79) (Hughes, 2008). Di Bali beberapa kabupaten di Pulau Bali. Jenis-jenis

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 36 tersebut di antaranya B. lempuyangensis , B. sebelah kiri dan kanan seperti B. baliensis , B. longifolia , B. baliensis , B. multangula , B. lempuyangensis , B. longifolia , B. Multangula, aptera , B. coriacea, B. Pseoudomuricata, dan B. dan B. aptera . Bunga betina biasanya memiliki tenuifolia . Sebanyak tiga seksi Begonia lima tepal kurang lebih bentuk yang sama tetapi diketahui berasal dari Bali di antaranya Begonia dengan yang lain sedikit lebih besar dari bagian seksi Reichenheimia , Parvibegonia, dan dalam, seperti B. baliensis , B. multangula dan B. Sphenanthera . lempuyangensis . Hanya pada jenis B. longifolia Seksi Sphenanthera termasuk seksi dan B. aptera memiliki enam tepal. Pada daun terbanyak dijumpai di Bali, jenis-jenis Begonia berwarna hijau, ada yang berbulu ( B. yang masuk dalam seksi Sphenantera di multangula dan B. lempuyangensis ) dan tidak antaranya B. lempuyangensis , B. longifolia , B. berbulu ( B. baliensis , B. Longifolia, dan B. baliensis , B. multangula dan B. aptera (Gambar aptera ). Pada umumnya buah pada seksi 1–5). B. longifolia adalah salah satu jenis yang Sphenanthera berdaging dan ovari memiliki termasuk dalam seksi Sphenantera, Begonia tiga atau sampai empat locul . spesies ini paling banyak dijumpai dan penyebarannya cukup luas di Bali di antaranya Begonia longifolia. Batang tegak, berkayu, Kabupaten Buleleng, Jembrana, Gianyar, bercabang, kelenjar bengkak, tinggi sampai 160 Bangli, Tabanan, Karangasem, dan Badung. cm, pangkal tebal hingga mencapai 2 cm, tanpa Sebagian besar jenis ini tumbuh di dekat sungai umbi, stipula hijau pucat, gundul, 10–17 x 2–3 dan kawasan hutan yang ada di daerah tersebut. mm. Panjang ruas daun 3–14 cm; tangkai hijau Girmansyah (2008) menyebutkan distribusi B. pucat, 2–15 cm, beralur diatas; lamina miring, longifolia memanjang dari Himalaya (India) ke rambut pendek di permukaan atas berwarna Cina Selatan, dan melalui , hijau, lonjong melanset, asimetris, 9–23 x 4–12 semenanjung Malaysia dan Indonesia (Sumatra, cm, sisi lebar 2,5–7 cm. Perbungaan aksiler, Jawa, Bali, dan Lombok). Hingga saat ini B. bunga sedikit, sekali bercabang per axil, 9–13 longifolia belum ditemukan di Kalimantan dan mm, tangkai bunga hijau, gundul, panjang 5–10 Indonesia timur seperti Papua. Hampir sama mm, protondrous. Braktea hijau pucat dengan B. longifolia , B. multangula juga keputihan, kecil segitiga, 6–12 x 2–4 mm. banyak dijumpai di Bali di antaranya Bangli, Bunga jantan 3, hijau pucat 6–25 mm, pedisel Jembrana, Buleleng, Karangasem, dan Tabanan. panjang, tepal 4, putih, tidak berbulu, ujung B. aptera hanya dapat dijumpai di Desa membundar, bagian luar dua, 11x11 mm, dalam Manikliyu, Kecamatan Kintamani, Kabupaten dua ukuran tidak sama, 9–11 x 7–10 mm, Bangli begitu juga B. baliensis hanya dapat benang sari banyak, benang sari bulat dijumpai di Kabupaten Tabanan atau tepatnya menggerombol, 5 mm, tangkai 1,5 mm; filamen di Cagar Alam Batukaru. 1 mm; anter kuning pucat, panjang 2 mm. Penyebaran seksi Sphenanthera di Asia Bunga betina 4, pedisel hijau pucat 5–7; ovari sangat luas terdapat sekitar 20 jenis. Hal ini putih hingga hijau, tebal dan berdaging, 3-siku dapat diketahui melalui kombinasi dari buah di atas, 10–13 x 8–11 mm, 3 ruang, plasenta 2 yang berdaging, ovari 3 atau sampai 4 ruang per locul. Buah beri, hijau, berdaging, 14–20 dengan plasenta aksiler , bunga jantan dengan 4 mm x 12–17, membulat, paruh memanjang ke tepal. Beberapa jenis bunga betina beraroma dalam berdaging, gundul, tanpa sayap, locul 3, (Tebitt, 2005). berwarna dan terlihat tidak membelah. Biji menahang, 0,25–0,3 mm. seperti kelopak bunga dan biasanya kelopak (Gambar 1). sepal disebut tepal. Seksi ini adalah berkelamin tunggal, tetapi bunga jantan dan betina dapat B. multangula . Terna, tegak, tinggi 60 cm, ditemukan pada tanaman yang sama, pada warna batang cokelat kemerahan, berbulu putih pembungaan yang sama sehingga disebut pendek, panjang ruas 27 cm, stipula segitiga, dengan monoesis. Tergantung pada jenisnya, panjang 1 cm. Daun oblong, 15–17 x 7–7,5 cm, bunga jantan dapat membuka pertama tepi daun bergerigi, permukaan atas hirsute , (protandrus ) atau bunga betina terbuka pertama berbulu, tenggelam. Permukaan bawah: berbulu (protogynus ) (Girmansyah, 2008). Bunga jantan jelas, pertulangan daun menonjol. Tangkai memiliki dua tepal luar membundar dan daun: 3–10 cm. Perbungaan: aksiler, bunga berukuran besar, berada di atas dan di bawah. menggerombol. Bunga jantan berwarna putih Tepal dua yang lainnya lebih kecil berada di 2x2, calyx 7x7 mm, membundar lonjong,

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 37 mahkota putih licin 7x7 mm, oval. Benang sari Bunga jantan 12, putih kemerahan, pedicel 2– kuning. Bunga jantan dan betina dalam satu 2,5 cm; tepal 4, marjin, ujung membulat, luar 2, perbungaan. Bunga betina tepal 6. Bakal buah kemerahan pada sisi dorsal, 14–17 x 12–14 mm, tenggelam, buah segitiga, diameter 2 cm, dalam 2 lebih kecil, putih, 13–15 x 9–10 mm, berambut (Gambar 2). benang sari banyak, filamen 1–2 mm, kepala sari kuning, membundar telur sungsang sempit, B. lempuyangensis. Terna, tegak tanpa umbi, ujung membulat, 2–3 mm. Bunga betina 8, hijau kemerahan, bercabang, tidak berbulu, tangkai bunga putih kemerahan, 9–10 mm; sukulen, muncul dari rimpang basal, hingga 50 tepal 5, putih, ujung membundar, di bagian luar cm, pangkal tebal 11–14 mm, node merah atau tiga, kemerahan, 9–17 x 7–11 mm, di bagian kehijauan, bengkak, ruas pendek, 7–12 cm. dalam dua, putih, 9–13 x 6–9 mm; ovari hijau Stipula caduceus. Daun hijau kecokelatan, tidak pucat dengan bintik putih, 6–10 x 6–13 mm, 3 berbulu, 15–21 cm, tebal 6–11 mm; lamina sayap, tidak sama, salah satu lebih besar, tepi asimetris yang sangat miring, tidak berbulu, kemerahan, beruang 3, plasenta satu per ruang; luas ovate 23,5–24 cm x 13–16, luas sisi 8,5–14 stigma spiral, kuning kehijauan, panjang 3 mm. cm, pangkal berbentuk hati, tidak rata, lobus Buah beri, 9–11 mm, membulat, 11x17 mm, basal tidak tumpang tindih. Pembungaan tidak berbulu, sayap 3, tidak sama, biasanya 1 dengan rambut kelenjar, bunga protandrous, lebih panjang dari dua lainnya. Biji cokelat, panjang tangkai bunga 5–10 cm. Braktea luruh. menjorong, 0,3–0,4 mm (Gambar 3).

A D

E

B C F

Gambar 1 . Begonia longifolia Blume seksi Sphenanthera (A. Perbungaan B. Bunga Jantan, C. Bunga Betina, D. Daun, E. Buah, F. Penampang Buah)

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 38

A D

E

F B C

Gambar 2 . Begonia multangula Blume seksi Sphenanthera (A. Tunas Bunga, B. Bunga Jantan, C. Bunga Betina, D. Daun, E. Buah, F. Penampang Buah)

B. baliensis. Herba, tegak, batang hijau membulat, luar dua 13–15 x 11–12 mm, dalam kecokelatan, berbulu, jarang bercabang, 15–50 dua serupa tapi lebih kecil, putih, 11–14 x 8–9 cm, diameter 8–15 mm; buku-buku hijau mm, benang sari banyak, benang sari bulat kecokelatan, bengkak tanpa umbi. Stipula hijau menggerombol, 5–6 mm; filamen panjang 1–2; pucat, tidak berbulu, hampir segi tiga, 2–25 x anter kuning pucat, sempit membulat telur 5–10 mm, ujung 2–3 mm, setose. Daun sunggasang, 1,5–2 mm, ujung bergubang. tersusun berjauhan; 5–15 cm, hijau pucat Bunga betina 7, pedisel hijau pucat panjang 4–5 kemerahan, tangkai daun kecokelatan, berbulu, mm; ovari hijau tua, sayap cokelat kemerahan, silinder, 7,5–30 cm, diameter 5–8 mm; lamina tebal dan berdaging, 7–9 x 5–8 mm, locul 3, miring, berbulu di atas, asimetris, 14–21 x 11– plasenta 2 perlocul; tepal 5, putih, luar putih 18 cm, sisi lebar 6,5–11 cm, lobus basal kemerahan dua, ujung membulat, 14–17 x 10– membundar, 3,5–7,5 cm, bergerigi, ujung 11 mm,stigma kuning kehijauan, panjang 4–5 meruncing. Perbungaan aksiler, beberapa bunga mm, spiral. Buah beri, berdaging kaku, 4–5 lebih pendek dari daun, protandrus, tangkai mm, hijau saat masak, berdaging, 10–15x10 bunga 2–8 cm, hijau, tidak berbulu, tidak ada mm, membulat, paruh berdaging memanjang ke braktea. Bunga jantan 4, hijau pucat kemerahan, dalam, gundul, salah satu sayap lebih besar, panjang pedicel 1,3–2,5 cm, tepal 4, putih dan tidak membelah. Biji 0,25–0,3 mm. (Gambar 4). merah di tengah, tidak berbulu, ujung

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 39 A D

E

B C F

Gambar 3 . Begonia lempuyangensis Girm. sp.nov. seksi Sphenanthera (A. Tanaman dengan tunas bunga, B. Bunga Jantan, C. Bunga Betina, D. Daun, E. Buah, F. Penampang Buah)

B. aptera. Terna, tegak, tinggi 60 cm, warna Seksi Reichenheimia ada sekitar 50 batang cokelat kemerahan, berbulu putih jenis kelompok rhizomatous dan pendek, panjang ruas 27 cm, stipula segitiga penyebarannya di seluruh Asia (Tebbit, 2005). panjang 1 cm, daun; oblong: P: L = 15–17 : 7– Semua jenis memiliki plasenta dan benang sari 7,5 cm, tepi daun bergerigi, permukaan atas simetris. Bunga jantan memiliki 2 tepal yang memisai, tenggelam. Permukaan bawah: lebih membundar dan besar pada bagian luar, berbulu jelas, pertulangan daun menonjol. sedangkan 2 tepal lainnya lebih kecil di bagian Tangkai daun: 3–10 cm. Perbungaan: aksilar, dalam, berada di bagian kiri dan kanan. Bunga bunga menggerombol. Bunga jantan berwarna betina memiliki 4 tepal dan dengan ukuran yang putih 2:2, calyx: 7:7 mm, mahkota putih licin: berbeda baik itu bagian dalam maupun luar. 7:7 mm, membundar lonjong. Benang sari Tepal 2 berada di bagian luar lebih besar jika kuning. Bunga jantan dan betina dalam satu dibandingkan 2 tepal bagian dalam. Buah pembungaan. Bunga betina: tepal 6. Bakal buah memiliki sayap yang sama, 3 locul dengan 1 tenggelam, buah menyegitiga, diameter 2 cm, plasenta pada masing-masing locul . berbulu (Gambar 5).

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 40 A D

E

B C F

Gambar 4 . Begonia baliensis Girm. seksi Sphenanthera (A. Tanaman dengan tunas bunga, B. Bunga Jantan, C. Bunga Betina, D. Daun, E. Buah, F. Penampang Buah)

Di Bali hanya dua jenis Begonia Jembrana. Di Buleleng atau tepatnya di Desa spesies dapat dijumpai termasuk dalam seksi Dadap Putih, Desa Tinggar Sari, dan Desa Reichenheimia di antaranya B. coriacea dan B. Sepang Kecamatan Busung Biu jenis ini juga pseudomuricata . Memasuki kawasan hutan banyak dijumpai. Selain di Kabupaten Bule- atau tepatnya di Desa Pendem, Kecamatan leng B. peudomuricata juga dapat dijum-pai di Jembrana Kabupaten Jembrana maka B. Bukit Lempuyang, Kabupaten Karangasem pseudomuricata akan mudah dijumpai. Selain dengan jumlah yang cukup banyak. Adapun B. itu, B. Pseudomuricata juga mudah dijumpai coriacea dapat ditemukan di hutan dan di Hutan Palungan Batu, Bukit Meseha, dan penyebarannya mengelompok pada lokasi satu Sungai Ijo Gading di Kabupaten Jembrana. dengan lokasi lainnya. Di Bali, jenis ini dapat Populasinya sangat banyak dan jenis ini ditemukan di Pura Lempuyang, Kabupaten tumbuh merayap pada batu berkapur atau pada Karangasem dan Desa Tegalcangkring, Keca- tebing-tebing bebatuan dan masih ada lagi di matan Medoyo, Kabupaten Jembrana (Gambar beberapa wilayah lainnya di Kabupaten 9).

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 41 A DD A

E

B C F

Gambar 5. Begonia aptera Sensu L. B. Smith D. C. Wasshausen seksi Sphenanthera (A. Habitus, B. Bunga Jantan, C. Bunga Betina, D. Daun, E. Buah, F. Penampang Buah)

B. coriaceae. Batang merayap, hampir bunga panjang 1–2 cm, gundul, protandrous. membulat, berbuku-buku pada perakaran, Braktea hijau kecokelatan, 3x2 mm, daun sukulen, tidak bercabang, gemuk, tanpa umbi, gantilan 2x1 mm, hijau pucat, berbulu. Bunga 10–18 cm, tebal 1–3 cm, buku-buku tidak jantan dengan pedisel 5 – 6 mm; tepal 4 ujung menonjol, ruas 5–15 mm, tebal 2,5–10 mm. membundar, luar dua, membundar, 10–13 x 9– Stipula segitiga, 12–16 x 7–10 mm, berbulu di 13 mm, dalam dua, membundar telur sungsang tengah, tepi tidak bergigi, ujung runcing. Daun 9–13 x 5–6 mm, benang sari banyak, tangkai berumbai, terpisah hingga 5–6 mm; tangkai benang sari panjang 1 mm, anther kuning silinder, gundul, 10–21 cm, diameter 2–3 mm. kusam, membulat telur sungsang 0,775–1 mm, Lamina memerisai, gundul, miring, sisi atas ujung membulat. Bunga betina berpedisel 11 hijau gelap dan mengilap, hijau pucat di bawah, mm; ovari 3 ruang, plasenta 1 per ruang; tepal 16–24 x 13–23 cm, lebar sisi 4,5–5,2 cm, 4, gundul, luar dua, 11–13 x 10–11 mm, stigma pangkal membulat 2,3 cm, margin tidak bergigi, kuning keemasan, 4 mm, stigma spiral. Buah ujung membundar; venation menjari-menyirip, kapsul, tangkai hijau kemerahan 10–11 mm, 3 3 pasang dengan yang lain. Perbungaan aksiler, sayap sama. Biji, 0,35–0,4 mm (Gambar 6). tangkai bunga 9–15 cm, tangkai percabangan

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 42 B. pseudomuricata. Batang rhizomatous, sekitar 3 cm, warna daun hijau dengan bintik ramping, lebih dari 5 cm, tebal 5–9 mm, tidak putih serta memiliki umbi berdiameter 1–2 cm. bercabang, perakaran pada buku-buku, hijau Variasi morfologi kedua, tumbuh pucat kemerahan, berbulu, sukulen, tanpa umbi. merayap dan membentuk rhizome, memiliki Stipula segitiga, 9–10 x 10–11 mm, merah ukuran daun dengan diameter 3–5 cm, terang, tengah berbulu, ujung berakhir dengan membundar, ujungnya runcing. Warna daun rambut panjang 0,9–1 cm. Daun berumbai; hijau kecokelatan dengan bintik berwarna putih. tangkai daun 5–20 cm, diameter 2–4 mm, hijau B. tenuifolia memiliki umbi berdiameter 1–2 pucat hingga kemerahan cerah, tak berbulu; cm (Hartutiningsih, 2008). Warna daun berva- lamina miring, membundar telur, sangat riasi mulai dari hijau terang, cokelat hijau tua asimetris, luas sisi 5,5–10 x 5–9 cm, lebar 3–5,5 dengan melihat pada daun bagian atas. Buah cm, hijau pucat bagian atas dan bawah. dengan sayap tidak sama yang satu memiliki Perbungaan aksiler, protandrous, tangkai bunga ukuran lebih besar. Sayap terpanjang sekitar 1 tegak, 10–25 cm dengan dua cabang utama, cm dengan ujung membulat. Sementara itu, masing-masing 1–2 cm, hijau pucat kecokelat- sayap lainnya sempit memanjang dengan ujung an, tanpa rambut; braktea eliptik 3x1 mm. meruncing. Bunga jantan 8, dengan pedisel hijau kuningan, Distribusi seksi Reichenheimia dan 10–15 mm, tepal 4, luar dua, membundar telur, Sphenanthera menunjukkan tidak ada wilayah 12–15 x 11–12 mm, dalam dua, membundar negara atau pulau diwakili oleh lebih dari 20% telur sempit 15–19 x 7 mm, luar pink pucat, pada masing-masing jenis. Seksi Reichenheimia hampir putih di dalam, gundul, ujung bundar, didistribusikan di seluruh Asia Tenggara, tidak benang sari banyak, filamen 0,5–1 mm, kepala ada jenis yang ditemukan di Filipina atau sari membulat telur sungsang sempit, kuning, wilayah Papua Nugini. Seksi Sphenanthera 0,7–1 mm, ujung membulat. Bunga betina 10, didistribusikan agak merata di antara India dan tangkai bunga putih kemerahan, 7–9 mm; ovari daerah Indocina, Jawa, Sulawesi dan Cina, hampir membulat, 7–8 x 4–5 mm, putih dengan beberapa jenis yang ditemukan di kemerahan, sayap 3 sama, beruang 3, plasenta Semenanjung Malaysia, Filipina, Papua Nugini, satu per ruang; tepal 3, elips, salah satu lebih dan Sumatra. Di Sulawesi ada tiga jenis yang besar 10–11 x 9–10 mm, merah muda, terkecil, termasuk dalam seksi Parvibegonia terutama di putih pink, 9–10 x 3–4 mm, ujung membundar, Daratan Asia (Hoover, et al ., 2001). stigma kuning pucat dan sedikit kehijauan, stigma spiral 2 mm. Buah kapsul, 1,1x1,7 cm. B. tenuifolia. Batang lemah, lurus, 2–25 cm, Biji menjorong, 0,2–0,3 mm (Gambar 7). diameter 1–4 mm, sedikit bercabang, hijau Seksi Parvibegonia kelompok rhizoma- pucat, sukulen, padat atau jarang berbulu, tous berasal dari Asia terdapat sekitar 30 jenis. rambut pendek, putih; umbi kecil, 5 mm; stipula Kelompok ini dibedakan oleh karakter luruh. Daun renggang, 1–3 atau lebih pada kombinasi pada daunnya yang memerisai , setiap batang atau cabang; petiole datar atau ovary 2 ruang dengan 3 sayap yang ukurannya berlekuk di atas, 0,5–10 cm, tembus, hijau tidak sama. Banyak jenis pada tepalnya terdapat garis merah (Tebitt, 2005). pucat keputihan, padat, jarang berbulu; lamina B. tenuifolia merupakan satu-satunya miring, membundar telur lebar, 1,5–8,5 x 1,2–6 jenis Begonia asal Bali yang termasuk dalam cm, asimetris, sisi lebar 0,7–3,2 cm, atas kusam seksi Parvibegonia . Di Bali B. tenuifolia hanya kemerahan dan bawah hijau keputih-putihan dapat dijumpai di tebing Air terjun Gitgit, atau pucat polos; lobus basal tidak tumpang Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng. tindih, 0,3–2,3 cm, ujung tumpul atau Bunga jantan memiliki 2 tepal bagian luar membundar; vena menjari-menyirip, vena 4–5 dengan ukuran lebih besar dibandingkan 2 tepal pasang. Perbungaan terminal, putih kemerahan, bagian dalam. Adapun bunga jantan memiliki 5 gundul, tangkai pebungaan 5–20 cm, berca- tepal dengan ukuran kurang lebih sama. Jenis ini memiliki variasi yang cukup luas dalam hal bang, cabang 1–4 cm, protandrous. Bunga ukuran dan warna daun, namun keduanya jantan, pedisel 10–11 mm, putih murni menjadi membentuk umbi. Variasi morfologi pada jenis putih merah muda; tepal 4, bagian luar dua, yang pertama memiliki ciri tumbuh merayap membundar, 7–10 x 6–7 mm, bagian dalam dan membentuk rhizome, ukuran daun kecil dua, membundar sempit, 7–10 x 2,5–0,3 mm, dengan bentuk membulat dan berdiameter ujung membundar, benang sari banyak, tangkai 2 mm; filamen 0,5–0,75 mm; anter membulat

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 43 telur sungsang, 1 mm, kuning, ujung membulat. ujung mmbulat, stigma kuning, spiral, 1,5–2 Bunga betina, tangkai bunga 5–12 mm, mm. Buah kapsul 5–6 mm hijau, putih atau berwarna putih sampai putih merah muda, ovari merah muda pucat, sayap 3, tidak sama, sayap pink, beruang 2, plasenta 2 per ruang; tepal 5, yang lebih besar 3–7 mm, dua lebih kecil 2–3 membulat telur, satu lebih besar, 9–12 x 3–4 mm. Biji menjorong sampai melanset, 0,3–3,5 mm, satu paling kecil, 6–11 x 2–3 mm, putih, mm, cokelat (Gambar 8).

AA B

E

B C F

Gambar 6. Begonia coriacea Hassk. seksi Reichenheimia (A. Habitus, B. Bunga Jantan, C. Bunga Betina, D. Daun, E. Buah, F. Penampang Buah)

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 44 D A

E

B C

F

Gambar 7 . Begonia pseudomuricata Girm. seksi Reichenheimia (A. Habitus, B. Bunga Jantan C. Bunga Betina, D. Daun, E. Buah, F. Penampang Buah)

Kunci identifikasi 1. a. Tanaman tahunan dengan umbi, daun 2 – 5 …………...... ……. 2 b. Tanaman tahunan, tanpa umbi, daun lebih banyak dari 5……...... B. tenuifolia 2. a. Batang merayap, ruas pendek dan tidak bengkak …………...... ….. 3 b. Batang tegak, ruas panjang, bengkak pada ruasnya………...... ………. 4 3. a. Daun memerisai, bunga betina 2, empat tepal, …...... ………. B. coriacea b. Daun membundar telur, bunga betina10, empat tepal ...... B. pseudomuricata 4. a. Buah tidak bersayap, bunga jantan dengan empat tepal, bunga betina dengan enam tepal ………………………… ……...... ……….... B. aptera b. Buah dengan sayap tebal, bunga jantan dengan empat tepal, bunga betina dengan lima-enam tepal ……………………...... ………...… 5 5. a. Buah sayap sama besar …...... ………... 6 b. Buah berukuran sayap tidak merata …………..………...... …………… 7 6.a. Lamina melonjong, tepi merata, gundul, bunga betina dengan enam tepal…...... B. longifolia b. Lamina membundar telur, tepi bergigi, jarang berambut, bunga betina dengan lima tepal …...……..……...... ……...... B. baliensis 7.a. Perbungaan berbulu, bunga jantan dan betina berbulu luar tepal, braktea banyak …....……………………………...... …...... ………..... B. multangula b.Perbungaan gundul untuk glabrescent , bunga jantan dan betina gundul tanpa braktea ...... …...... …………...... B. lempuyangensis

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 45 A D

E

B C F

Gambar 8 . Begonia tenuifolia Dryand. seksi Parvibegonia (A. Habitus, B. Bunga Jantan, C. Bunga Betina, D. Perbungaan, E. Buah, F. Penampang Buah)

Gambar 9 : Penyebaran Begonia spesies asal Bali, = B. lempuyangensis , = B. coriacea, = B. pseudomuricata, = B. baliensis , = B. longifolia , = B. aptera, = B. Multangula, = B. tenuifolia

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 46 Tabel 1 . Distribusi Begonia Spesies di Pulau Bali No. Seksi Jenis Lokasi 1. Sphenantera Begonia multangula Blume - Bukit Sengayang, Dsn. Waru, Ds. Gesing, Kec. Banjar, Kab. Buleleng - Bukit Tapak, Cagar Alam Batukaru, Kab. Tabanan - Bukit SangHyang, Ds. Jatiluwih Kec. Penebel, Kab. Tabanan - Ds. Plaga, Kec. Petang, Kab. Badung - Ds. Manikliyu, Kec. Kintamani, Kab. Bangli - Kab. Jembrana - Bukit Abang, Kab. Karangasem Begonia lempuyangesis Girm. - Bukit Lempuyang, Kab. Karangasem - Kaki Gunung Agung, Kec. Rendang, Kab. Karangasem Begonia aptera Blume - Ds. Manikliyu, Kec. Kintamani, Kab. Bangli Begonia baliensis Girm. - Bukit SangHyang, Ds. Jatiluwih Kec. Penebel, Kab. Tabanan Begonia longifolia Blume - Bukit Silangjana, Kec. Sukasada. Kab. Buleleng - Bukit Sengayang, Dsn. Waru, Ds. Gesing, Kec. Banjar, Kab. Buleleng - Bukit Tapak, Cagar Alam Batukaru, Kab. Tabanan - Kaki Gunung Agung, Kec. Rendang, Kab. Karangasem - Ds. Plaga, Kec. Petang, Kab. Badung - Ds. Sepang, Kec. Busung Biu, Kab. Buleleng - Sungai Desa Buahan, Kec. Payangan, Kab. Gianyar - Lingk. Dewasana bagian barat, Ds. Pendem, Kec. Jembrana, Kab.Jembrana - Ds. Munduk, Kec. Banjar, Kab. Buleleng 2 Reichenheimia Begonia coriacea Hassk. - Bukit Lempuyang, Kab. Karangasem - Ds. Tegalcangkring, Kecamatan Medoyo, Kab. Jembrana Begonia pseudomuricata Girm. - Hutan Palungan Batu, Bukit Meseha, Kab. Jembrana - Sungai Ijo Gading Ds. Bale Agung, Kab.Jembrana - Bukit Lempuyang, Kab. Karangasem - Ds. Dadap Putih, Ds. Tinggar Sari, Ds. Sepang, Kec. Busung Biu, Kab. Buleleng 3 Parvibegonia Begonia tenuifolia Dryand. - Air Terjun Gitgit, Ds. Gitgit, Kec. Sukasada, Kab. Buleleng

KESIMPULAN Wageningen, Netherlands: Wageningen Agricultural University. Terdapat tiga seksi dari genus Begonia yang Girmansyah, D. 2008. A Taxonomic Study of ada di Pulau Bali di antaranya seksi Bali and Lombok Begonia Sphenantera , Reicheinheimia , dan Parvi- (Begoniaceae). Reinwardtia , 12 (5): begonia . Seksi Sphenantera dapat ditemukan 419–434. sebanyak lima jenis, seksi Reicheinheimia dua Hartutiningsih-M. Siregar, 2008. Mengenal dan jenis dan Parvibegonia hanya satu jenis yaitu B. Merawat Begonia . Argomedia Pustaka. tenuifolia . Penyebaran seksi Sphenantera ham- Hoover, W.S., C. Karegeannes, H. Wiriadinata pir merata di seluruh Bali, sedangkan seksi and J.M. Hunter. 2001. Notes on The Rheichenheimia dapat ditemukan di tiga Geography of South-East Asia Begonia Kabupaten di Bali, yaitu Kabupaten Karang- and Species diversity in Montane asem, Buleleng, dan Jembrana. Seksi Parvi- Forest. 5th International Flora begonia hanya ditemukan di Kabupaten Malesiana Symposium 2001 . Buleleng. Hughes, M. 2008. An Annotated Checklist of Southeast Asia Begonia . Edinburg: DAFTAR PUSTAKA Royal Botanic Garden Edinburg. Peng, C.I., Y.K. Chen, W.C. Leong. 2005. Doorenbos, J., M.S.M. Sosef and J.J.F.E. de Five New Spesies of Begonia Wilde. 1998. The Section of Begonia .

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 47 (Begoniaceae) from Taiwan. Bot. Begonia (Begoniaceae) in China. Bull. Acad. Sin , 46: 255–272. Acta Bot. Yunnan, 26 (5): 482–486. Shui, Y.M., C.I. Peng and C.Y. Wu. 2002. Tebbitt, M.C. 2005 . Begonias: Cultivation, Synopsis of The Chinese Species of Identification and Natural History. Begonia (Begoniaceae) with a Oregon. USA: Brooklyn Botanic Reappraisal of Sectional Delimitation. Garden. Bot. Bull. Acad. Sin , 43: 313–327. Shui, Y.M. and W.H. Chen. 2004. Revision to Section Petermannia of

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 48 STUDI KERAGAMAN MORFOLOGI JERUK BESAR ( Citrus maxima [Burm.] Merr.) POPULASI BALI

I NENGAH SUKA WIDANA Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali Email : [email protected]

ABSTRACT – The diversity of Citrus maxima in Bali has been researched. The research was conducted at eight regencies and one city in Bali in 2003. The aim of the research is to know the varieties of pummelo in Bali. Contohs were taken by purposive sampling method. Around four morphological characters of 66 leaf contohs were studied. Whereas for fruit characteristics about 14 characters were conducted. The dominant characters as a variety criteria of hight quality are: epidermal weight less antile moderate, seeds weight less/without seed and the fruit teste is sweet and sweet sourness. Those criteria were own by contohs Juuk saba (B-1), juuk bone putih (B-2), juuk bawak (oblate) (B-9), oblong round citrus withh sharp neck form (B-16), juuk bone barak (B-17), juuk bone putih (B-22), juuk langkasari (B-27), juuk muntis (B-36), jerunggo gede (B-40), jerunggo yeh buah (B- 44), and red-pummelo seedless (B-51).

Keywords : Plant diversity; Citrus maxima; Bali

PENDAHULUAN terhadap punahnya plasma nutfah lokal Bali tersebut. Jeruk besar ( Citrus maxima [Burm.] Merr. atau Beberapa kabupaten di Bali telah Citrus grandis [L.] Osbeck; Citrus decumana melakukan langkah-langkah rehabilitasi plasma L.) (Davis & Albrigo, 1994; Morton, 2003; nutfah jeruk besar, seperti pembuatan kawasan Setiawan, 1995) dikenal sebagai jeruk bali, budi daya yang dilakukan oleh Kabupaten limau bali, jambua, nagiri, grapefruit , pummel , Karangasem dan di kabupaten lainnya di Bali, dan shaddock , diperkirakan berasal dari Asia namun skala penanamannya masih rendah. Di Tenggara (Morton, 2003), dan merupakan Indonesia, koleksi plasma nutfah jeruk secara tanaman asli Indonesia (Sugito, 1993). Di Bali, umum tercatat sebanyak ± 200 nomor koleksi, tanaman tersebut dikenal dengan nama muntis sekitar 30% merupakan jeruk manis dan jeruk (Sharma, 1985), jerungga atau juuk bali . besar yang berasal dari koleksi lokal (Sugiyarto, Lembaga Biologi Nasional (LBN) mencatat 15 1992 dalam Karsinah, 1999). Institut Penang- kultivar jeruk besar dan beberapa varietas yang karan Tanaman di College , Laguna, Filipina, tidak umum dibudidayakan. Di antara kultivar dan Thailand secara berturut-turut telah meng- tersebut ada dua kultivar unggul yang koleksi 40 dan 200 aksesi (Niyomdham, 1999). dilaporkan berasal dari Bali, yaitu jeruk bali dan International Centre for Underutilized Crops jeruk bali tanpa biji. Kultivar pertama Institute of Irrigation and Development Studies mempunyai ciri bentuk buah bulat lonjong Institute of Irrigation and Development Studies (piriform ), bagian atas agak meruncing dan (ICUCI-IDS) University of Southamton (2003) bawahnya mendatar, warna kulit buah hijau mendokumentasi plasma nutfah pummelo Nepal kekuningan, warna daging buah putih dengan sebanyak 132 aksesi. Keragaman jeruk besar rasa manis sedikit getir. Kultivar kedua sebagai aset plasma nutfah lokal Bali sampai mempunyai ciri bentuk buah bulat ( spheroid ), saat ini belum diidentifikasi dan didokumentasi- warna kulit buah kuning, warna daging buah kan. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian lebih merah atau merah muda, tanpa biji, rasa tentang keragaman jeruk besar populasi Bali manis tanpa asam, dan sedikit getir. sangat mendesak untuk dilakukan karena sangat Berdasarkan hasil identifikasi pendahuluan berguna sebagai penyedia informasi keragaman terhadap beberapa contoh jeruk besar secara plasma nutfah jeruk besar untuk pemuliaan acak di beberapa tempat di Bali, menunjukkan (breeding ), budi daya, rehabilitasi, konservasi, adanya perbedaan karakter morfologi daun, dan dan proteksi plasma nutfah lokal Bali. juga buah. Tanaman jeruk besar populasi Bali Permasalahan yang diteliti yaitu, sampai saat ini populasinya semakin sedikit dan bagaimanakah keragaman jeruk besar populasi jarang ditanam sehingga ada kekhawatiran Bali berdasarkan karakter morfologinya, dan

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 49 karakter manakah yang dominan dan saja yang dapat ditemukan, di antaranya (1) mencirikan kultivar yang baik (unggul) di Bali. Jeruk Besar Nambangan , ciri: bentuk buah Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bulat-pendek, kulit buah kuning-kehijauan, keragaman jeruk besar populasi Bali daging buah merah muda, dan menjadi merah berdasarkan karakter morfologi, dan untuk atau jingga setelah umur tua, rasa daging buah mengetahui karakter dominan mencirikan lebih manis dibandingkan dengan varietas sebagai kultivar yang baik. Melalui identifikasi lainnya, sangat berair. Tahan terhadap penyim- keragaman plasma nutfah jeruk besar ( C. panan pada suhu kamar (sekitar empat bulan). maxima ) populasi Bali, akan bermanfaat: (1) Nama lain yang diberikan untuk varietas nam- dalam mendokumentasikan dan penyusunan bangan adalah adas nambangan. Ditemukan di katalog plasma nutfah jeruk besar, (2) upaya daerah Nambangan Madiun Jawa Timur. (2) rehabilitasi dan proteksi keragaman plasma Jeruk Bali memiliki ciri bentuk buah bulat nutfah jeruk besar ( C. maxima ) populasi Bali, lonjong, bagian atas agak meruncing dan bagian (3) dalam usaha program pemuliaan ( breeding ) bawah agak datar, kulit buah hijau-kekuningan, melalui persilangan antarkultivar sehingga daging buah warna putih. Daun dan buah muda diperoleh kultivar unggul, dan (4) upaya berbulu banyak, ditemukan umumnya di Bali. pengembangan usaha budi daya jeruk besar (3) Jeruk Bali Tanpa Biji , ciri bentuk buah secara intensif sebagai komoditas unggulan mirip jeruk nambangan, tidak terlalu lonjong. lokal dalam skala industri. Penelitian yang Warna kulit buah matang adalah kuning, daging dilakukan terbatas pada aspek morfologi buah merah muda dan tidak berbiji, rasa manis (karakter daun dan buah) jeruk besar yang tanpa rasa asam, agak getir. (4) Jeruk Delima , terdapat di delapan kabupaten dan kota di Bali. ada dua macam kultivar yang dikenal masya- rakat, yaitu jeruk delima merah dan putih. Sistematika Jeruk Besar Bentuk buah bundar dan cekung. Tangkai sedikit runcing, kulit buah tipis dan sering Tanaman jeruk besar termasuk famili Rutaceae , pecah. Jeruk delima putih kulitnya lebih tipis subfamili Aurantioidea , tribe Citriae , subtribe daripada delima merah, rasa buah lebih asam Citrinae , genus Citrus , spesies Citrus maxima dibandingkan dengan jeruk nambangan. Jumlah (Burm.) Merr. atau Citrus grandis (L.) atau buah tiap pohon lebih banyak dibandingkan Citrus decumana L. (Setiawan, 1995; dengan kultivar lainnya, yaitu dapat mencapai Niyomdham, 1999; Morton, 2003). Jeruk besar 200 buah, dengan masa musim berbuah sangat juga memiliki banyak nama daerah, misalnya di panjang, yaitu dari bulan Desember hingga Inggris: pummelo, shaddock ; Prancis: Pomple- Januari. (5) Jeruk Pandanwangi , bentuk buah moussier ; Indonesia: jeruk besar, jeruk bali; bundar dengan ujung datar, kulit buah agak Malaysia: jambua, limau bali : Papua Nugini: tebal dan ulet sehingga sangat tahan dalam muli ; Filipina: lukban ; : shouk-ton-oh ; pengangkutan dan sangat cocok untuk pengi- Kamboja: kroonch thlong ; : kiengz riman jarak jauh. Daging buah merah muda dan s`aangz ; Thailand: som-o, ma-o; Vietnam: banyak mengandung air. Banyak ditemukan di bi`o`I (Niyomdham, 1999). Morton (2003) daerah Pasar Minggu, Ragunan Jakarta. (6) menyebutkan jumlah kultivar jeruk besar yang Jeruk Pandan , ciri menyerupai jeruk pandan- ada sekarang meliputi 21, yaitu Benpeiyu, wangi, tetapi dengan rasa lebih asam. Dulu Chandler, Dang Ai Chaa, Double Hirado, Hom sentra produksinya di Jakarta, tetapi akhir-akhir Bay Toi, Kao Lang Sat, Kao Pan, Kao Phuang, ini mulai langka. (7) Jeruk Cikoneng , warna Kao Ruan Tia, Kao Yai, Khun Nak, Mato, kulit buah kuning, warna daging buah Nakhon, Pandan Bener, Pandan Wangi, kemerahan, rasa manis, namun agak getir. Reinking, Seelompang, Siemase Sweet, Tahitian, Banyak ditemukan di daerah Sumedang Jawa Thong Dee, Tresca. Barat. (8) Jeruk Adas , dengan ciri bentuk buah serupa jeruk nambangan, namun perbedaannya Kultivar Regional Indonesia daging buah berwarna putih-kekuningan, dengan sentra produksi sama dengan jeruk Kultivar regional Indonesia menurut Setiawan nambangan. (9) Jeruk Gulung, merupakan (1995), tercatat 15 varietas jeruk besar. kultivar lokal langka dan keberadaannya hingga Berdasarkan jumlah tersebut hanya beberapa saat ini tidak banyak diketahui.

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 50 Karakter, Persebaran dan Syarat Tumbuh pengembangan produksi di Indonesia saat ini Tanaman Jeruk Besar sangat sedikit, tercatat beberapa daerah produk- si, misalnya Sumedang Jawa Barat, Madiun, Jeruk besar dengan ciri semua bagian-bagian Banyuwangi, Magetan Jawa Timur, Ragunan tanaman berukuran besar dibandingkan dengan dan Pasar Minggu Jakarta, Sambas Kalimantan tanaman jeruk lainnya. Tanaman berupa pohon serta Bali walaupun dengan data tidak lengkap. dengan ketinggian mencapai 5–10 m. batang Informasi tentang sentra poduksi yang berhasil berbengkok-bengkok kuat, kulit luar cokelat penulis himpun adalah Jeruk Cikoneng kekuningan dengan bagian dalam kuning. Tajuk Sumedang Jawa Barat telah dikembangkan rendah dan tidak teratur, percabangan tersebar menjadi varietas unggul secara nasional dengan dengan ujung menunduk. Daun berukuran lebih nama Cikoneng ST (Sumedang Tandang). Bali besar dibandingkan dengan jenis jeruk lainnya, memiliki keragaman varietas jeruk besar dan memiliki sayap lebar di dekat tangkainya. keadaan alam yang cocok untuk pengembangan Aroma bunga harum semerbak, warna kehijau- industri, sampai saat ini belum memiliki sentra an, kuning hingga putih. Bentuk dan warna produksi apalagi sebagai pemasok kebutuhan daging buah dan rasa buah beranekaragam. pasar. Jumlah biji sedikit bahkan ada yang tidak berbiji sama sekali (Sastrapradja dkk., 1977). Keragaman Plasma Nutfah Jeruk Besar Kulit buah terbagi menjadi tiga lapisan, yaitu kulit luar yang keras, kulit bagian tengah sangat Plasma nutfah ( germ plasm ) adalah substansi lembut, dan kulit dalam yang melekat langsung yang tedapat dalam setiap kelompok makhluk pada daging buah. Kulit bagian luar banyak hidup yang merupakan sumber sifat genetika mengandung kelenjar minyak dengan warna yang dapat dirakit untuk menciptakan varietas hijau-kekuningan atau kuning tergantung dari unggul (Sastrapradja, 1990; Novariantio et al ., varietasnya. Kulit tengah berwarna putih bersih 2001). Keragaman hayati Indonesia khususnya dan kulit dalam berwarna merah muda ( pink ) keragaman genetik hingga saat ini belum (Setiawan, 1995). sepenuhnya diketahui dan didokumentasi. Aset Falavanon-glikosid khas yang terdapat tersebut sangat penting untuk pengembangan dalam buah adalah berupa naringin dan sumber daya alam yang bernilai ekonomi tinggi neohespiridin yang menyebabkan rasa getir pada masa depan, khususnya terhadap sumber (bitter ) (Niyomdham, 1999). Menurut Morton daya genetik potensial untuk pertanian, obat- (2003) tanaman jeruk besar berasal dari Asia, obatan (kedokteran), dan ecotourism . Varietas merupakan salah satu tanaman asli Indonesia jeruk Indonesia, hingga saat ini telah tercatat 15 (Setiawan, 1995). Tanaman tersebut diperkira- kultivar dan diperkirakan beberapa varietas kan telah menyebar ke daratan Cina sekitar 100 lokal mulai mengalami kelangkaan (Sugito, tahun sebelum Masehi, kemudian dibudidaya- 1993). Selain kultivar yang telah didokumentasi kan secara luas di Cina Selatan, Thailand tersebut, kemungkinan masih ada varietas yang Bagian Selatan, Taiwan, Jepang, India, tidak umum dikenal ataupun ditanam sehingga Malaysia, Indonesia, New Guenia, dan Tahiti secara luas tidak dikenal. Hal tersebut (Morton, 2003). Tanaman jeruk besar tumbuh mengindikasikan bahwa evaluasi dan karak- baik pada dataran rendah tropis. Di daerah terisasi keragaman plasma nutfah jeruk besar ( C. sentra produksi Thailand, suhu 25–30ºC, maxima ) di Indonesia sangat diperlukan. dengan beberapa bulan dingin dan kering, Karakterisasi tersebut selain untuk musim kemarau berlangsung 2–4 bulan dan kepentingan pengembangan ke arah pemben- curah hujan sekitar 1.500–1.800 mm tukan varietas unggul, juga bernilai dalam (Niyomdham, 1999). proteksi keragaman plasma nutfah lokal Pada ketinggian di bawah 400 m di atas Indonesia yang pada terakhir ini banyak permukaan laut sangat cocok untuk pertum- dieksploitasi oleh peneliti asing untuk kepen- buhan jeruk besar, pada daerah yang lebih tingan dan keuntungan negaranya. Dalam upaya tinggi menyebabkan buah terasa asam, getir, pemuliaan tanaman ( breeding ) diperlukan dan berkulit tebal (Setiawan, 1995). Jenis tanah adanya keragaman genetika. Informasi tentang yang cocok untuk penanaman adalah pada tanah keragaman genetika tersebut sangat penting subur, gembur banyak mengandung pasir, air untuk membedakan genotipe individu, intra tidak tergenang, pH 5–6. Daerah maupun inter-spesies secara tepat yang

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 51 diperoleh melalui proses seleksi dan perakitan Identifikasi morfologi dilakukan di genetika jeruk unggul (Karsinah, 1999). Namun Laboratorium Jurusan Pendidikan Biologi disayangkan pada kesempatan ini penulis tidak FPMIPA IKIP PGRI Bali dengan observasi meneliti aspek genetik karena keterbatasan terhadap ciri-ciri morfologi daun dan buah, yang dimiliki. Identifikasi pendahuluan tehadap yaitu bangun daun ( circumscriptio ), tepi daun morfologi daun dan buah Jeruk Bali Populasi (margo folii), ujung daun ( apex folii), dan anak Bali, yang diambil di beberapa tempat di Bali, daun ( petiole wing ) berdasarkan konsep menunjukkan perbedaan pada morfologi daun morfologi menurut Tjitrosoepomo (1986). dan buah. Kemudian, dilakukan pengambilan Karakterisasi buah menurut Sutopo (1989) dan contoh di lapangan (delapan kabupaten dan satu ICUCI-IDS (International Centre for kota di Provinsi Bali) secara intensif dengan Underutilized Crops Institute of Irrigation and metode purposive sampling . Spesimen contoh Development Studies ) University of Southamton dikarakterisasi berdasarkan aspek morfologi United Kingdom (2003), meliputi bentuk buah, untuk deskripsi fenotipe. dasar buah, ujung buah, warna kulit buah, jumlah juring, berat kulit, berat biji, warna BAHAN DAN METODE daging buah, ukuran juring, susunan juring, tekstur daging buah, rongga aksis, juice Penelitian terhadap tanaman jeruk besar ( Citrus endocarp, dan rasa buah. Pengambilan contoh maxima [Burm.] Merr.) yang terdapat di daun untuk identifikasi morfologi: daun ke-4–6, delapan kabupaten dan satu kota di Bali, dihitung dari ujung cabang. Jumlah daun dilakukan mulai bulan Juli sampai Nopember diambil sebanyak tiga pucuk yang berisi sekitar 2003. Pengambilan contoh daun dan buah 12–15 daun. Buah yang diambil untuk dengan purposive sampling . Informasi kebera- identifikasi sebanyak tiga buah dari buah daan tanaman jeruk besar di masing-masing matang berumur 28–30 minggu setelah daerah kabupaten di Bali diperoleh dari Dinas berbunga (Mahardika & Susanto, 2003). Pertanian Provinsi Bali, Dinas Pertanian Kabupaten serta informasi dari masyarakat.

Tabel 1. Pedoman Identifikasi Morfologi Daun dan Buah C. maxima No Aspek Morfologi Deskripsi Tipe/Karakter

1. Bangun daun A. Perbandingan antara panjang (p) dengan lebar (l)= 1,5–2:1, Bangun jorong (Circumscriptio ) di mana bagian terlebar daun terletak di bagian tengah (ellipticus ) B. Perbandingan (p:l) = 3–5:1, dimana bagian terlebar helaian Bangun lanset daun terletak di bagian tengah (lanceolatus ) C. Perbandingan (p:l) = 1,5–2:1, bagian terlebar daun terletak Bulat telur ( ovatus ) pada bagian bawah tengah D. Bentuk daun menyerupai bulat telur, tetapi bagian terlebar Bulat telur terbalik terletak dekat ujung daun (obovatus ) 2. Tepi daun ( Margo A. Tepi daun hampir rata tidak bertoreh Rata ( integer ) folii ) B. Tepi berlekuk (sinus), tetapi tonjolan (angulus) tumpul Beringgit ( crenatus ) 3. Ujung daun ( apex A. Kedua tepi daun di kanan-kiri ibu tulang daun sedikit-demi Runcing ( acutus ) folii ) sedikit menuju ke ujung dan pertemuannya pada puncak membentuk sudut lancip (< 90°) B. Kedua tepi daun di kanan-kiri ibu tulang daun sedikit-demi Tumpul ( obtusus ) sedikit menuju ke ujung dan pertemuannya pada puncak membentuk sudut tumpul (> 90°) C. Ujung daun memperlihatkan suatu lekukan hingga terbelah Terbelah ( retusus ) 4. Anak daun pada A. Bentuk segi tiga di mana ketiga sisi berukuran sama. Delta ( deltoid ) Petiole (petiole wings ) B. Bentuk anak daun menyerupai bulat telur, tetapi bagian Bulat telur sungsang terlebar terletak dekat ujung daun (obovatus ) C. Menyerupai bulat telur, tetapi di bagian ujung Bangun jantung memperlihatkan sesuatu lekukan sehingga menyerupai jantung (Cordiform ) 5. Bangun buah ( shape ) A. Perbandingan panjang (p) dengan lebar (l) = 2,5 – 3:1 Lonjong ( ellipsoid ) B. Perbandingan panjang (p) dengan lebar (l) = 1:1 Bulat ( spheroid )

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 52 No Aspek Morfologi Deskripsi Tipe/Karakter

C. Dasar buah agak lonjong hingga agak meruncing kadang Bulat lonjong terlihat seperti leher dan ujung membulat (piriform ) D. Jika perbandingan dasar-ujung buah, panjang (p) dengan Bulat pendek ( oblate ) lebar (l) = 1:1,5–2 Dikompilasi dari: G. Tjitrosoepomo, Morfologi Tumbuhan , Gadjah Mada University Press, 1987; ICUCI-IDS- Southhamton UK, Germ Plasm Catalogue of Pummelo in Nepal : Leaf and Fruit Characteristics , 2003; Sutopo, 6 Varietas Jeruk Besar Magetan , Trubus 338, 1998.

Metode pengambilan contoh daun daun ada tiga tipe, yaitu runcing, membulat dan untuk identifikasi morfologi ditentukan di terbelah. Bangun anak daun ada tiga tipe, yaitu tengah dari tunas ujung ( gemma terminalis ), bangun delta, bulat telur terbalik, dan bangun yaitu pada posisi daun ke-4–6, dihitung dari jantung (Gambar 1). ujung cabang. Jumlah daun diambil sebanyak Karakter dominan: bangun lembaran tiga pucuk yang berisi sekitar 12–15 daun. daun bulat telur, bangun pinggir daun beringgit, Untuk karakterisasi buah, diambil sebanyak tiga bangun ujung daun terbelah, dan bangun anak butir buah matang, atau berumur antara 28–30 daun bulat telur terbalik. minggu setelah berbunga (MSB) (Mahardika dan Susanto, 2003). Karakteristik Buah Data karakter morfologi daun dan buah jeruk besar yang mencerminkan karakter Karakter kualitatif dan kuantitatif buah yang fenotipe, dianalisis secara deskriptif. ditemukan dari 66 contoh yang diperoleh dari Karakterisasi morfologi untuk deskripsi lapangan disajikan pada Tabel 3. Karakter fenotipe dilakukan dengan menerapkan dominan secara berturut-turut adalah bentuk pendekatan dominansi karakter, didasarkan buah bulat, dasar buah agak rata, ujung buah pada jumlah frekuensi dari masing-masing antara agak rata dan cekung, warna kulit buah karakter dan kecocokan terbanyak antara kuning kehijauan, jumlah juring banyak ( ≥13), contoh satu dengan lainnya. Penunjukan berat kulit sedang (36,4–52,5 %), jumlah biji kultivar jeruk besar populasi Bali yang baik sedikit/tanpa biji (< 1,6%), warna daging buah didasarkan pada kriteria karakter yang dimiliki antara merah muda dan merah tua, ukuran buah mengacu pada Setiawan (1995); Sutopo juring seragam, susunan juring teratur, tekstur (1998); Niyomdham (1999); Mahardika & daging buah lunak, cairan buah banyak, dan Susanto (2003). Karakter yang dimaksud rasa buah manis-asam (Gambar 2 dan 3). meliputi berat kulit sedikit atau persentase (%) Terdapat 4 tipe bangun daun jeruk berat buah yang dapat dimakan porsinya lebih besar ( Citrus maxima [Burm.] Merr .) populasi besar, tidak berbiji atau jumlah biji sedikit, Bali, yaitu bulat telur, jorong, lanset, dan bulat mudah dikupas, rasa asam-manis (berimbang), telur terbalik. Adapun bangun pinggir daun atau rasa manis tanpa asam. terdiri atas dua tipe, yaitu beringgit dan rata. Bangun anak daun ada tiga bentuk, yaitu HASIL DAN PEMBAHASAN bangun delta, bulat telur sungsang, dan bangun jantung. Hasil tersebut memperkuat penemuan Karakteristik Daun bangun daun sebelumnya oleh Davis & Albrigo (1994), Niyomdham (1999), dan ICUCI-IDS Analisis karakter morfologi daun jeruk besar University of Suothamton U.K. (2003). (Citrus maxima [Burm.] Merr.) sebanyak 66 Karakter dominan yang dimiliki, yaitu bangun contoh, diperoleh empat bangun lembaran daun, lembaran daun bulat telur, pinggir daun yaitu lanset, jorong ( ellipticus ), bulat telur, dan beringgit, ujung daun terbelah, dan bangun bulat telur terbalik. Bangun pinggir daun dua anak daun bulat telur terbalik. tipe, yaitu beringgit dan rata. Bangun ujung

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 53

Gambar 1 Variasi Bentuk Daun C. maxima Populasi Bali. A1. Bangun lanset, A2. Bangun pinggir beringgit, A3. Ujung runcing. A4. Bulat telur terbalik. B1. Bangun jorong, B2. Bangun pinggir beringgit, B3. Ujung runcing, B4. Bangun delta. C1. Bangun bulat telur, C2. Pinggir rata, C3. Ujung terbelah, C4. Bangun delta. D1. Helaian bulat telur, D2. Pinggir rata, D3. Ujung runcing, D4. Bangun jantung. E1. Helaian bulat telur terbalik, E2. Pinggir beringgit, E3. Ujung tumpul, E4. Anak daun bulat telur terbalik.

Tabel 3. Karakter Morfologi Buah Jeruk Besar ( C. maxima ) Populasi Bali No Aspek Morfologi Total contoh Tipe/karakter (Kode) Jumlah individu (N) (%) 1 Bentuk buah (BB) 66 Spheroid (Sph) 66,66 Piriform (Pir) 24,24 Oblate (Obl) 7,50 Ellipsoid (Eli) 1,50 2 Dasar buah (DB) 66 Agak rata (Ara) 53,03 Agak runcing (Aru) 7,50 Cembung (Cem) 30,30 Berleher-meruncing (Leh) 9,09 3 Ujung buah (UB) 66 Agak rata (Ara) 51,51 Cekung (Cek) 48,48 4 Warna kulit (WK) 66 Hijau-kekuningan (Hiku) 27,27 Kuning-kehijauan (Kuhi) 69,69 Kuning-kemerahan (Kume) 1,50 Kuning-keputihan(Kupu) 1,50 5 Jumlah juring (JJ) 66 Banyak ( ≥13) 51,51 Sedikit (<13) 48,48 6 Berat kulit (BK) (%) 66 Banyak (>52,5) 4,54 Sedang (36,4 – 52,5) 63,63 Sedikit (<36,4) 31,81 7 Jumlah biji (J) (%) 66 Banyak (>3,2) 3,00 Sedang (1,6-3,2) 15,10 Sedikit/tanpa biji (<1,6) 81,80 8 Warna daging buah (WD) 66 Merah muda (Mem) 39,39 Merah tua (Met) 40,90 Putih (Put) 19,69 9 Ukuran juring (UJ) 66 Tidak seragam (Tis) 32,67 Seragam (Ser) 67,30 10 Susunan juring (SJ) 66 Tidak teratur (Tit) 30,30 Teratur (Ter) 69,62 11 Tekstur daging (TD) 66 Lunak (Lun) 95,45 Liat (Lit) 4,50 12 Rongga aksis (RA) 66 Ada rongga aksis (Ada) 50,00 Tidak ada rongga pada aksis (Tid) 50,00 13 Juice endocarp (JE) 66 Banyak (Ban) 98,48 Sedikit (Sdk) 1,50 14 Rasa buah (RB) 66 Manis (Man) 7,50 Manis asam (Mas) 86,38 Asam/kecut (Asm) 6,06

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 54

Gambar 2. Aneka Bentuk Buah Jeruk Besar ( C. maxima ) Populasi Bali. A. Bentuk buah bulat ( spheroid )-Dasar buah agak rata-Ujung buah agak cekung. B. Bulat pendek ( oblate )-Dasar buah agak rata-Ujung buah agak rata. C. Bulat lonjong ( piriform )-Dasar buah berleher meruncing-Ujung buah cekung. D. Bentuk lonjong ( ellipsoid )- Dasar buah cembung-Ujung cekung. E. Bangun bulat ( spheroid )-Dasar buah cembung-Ujung agak rata. F. Bangun bulat pendek ( oblate )-Dasar buah agak runcing-Ujung buah cekung. G. Warna kulit kuning keputihan. H. Warna kuning-kehijauan. I. Warna kuning- kemerahan ( orange ). J. Warna hijau-kekuningan.

Gambar 3. Penampang Melintang Aneka Macam Buah Jeruk Besar Populasi Bali. A1.Warna daging buah merah tua. A2. Ukuran juring seragam. A3. Susunan juring teratur. A4. Tidak ada rongga pada aksis. B1. Warna daging buah merah muda. B2. Ukuran juring seragam. B3. Susunan juring teratur. B4. Ada rongga pada aksis. C1. Warna daging buah putih. C2. Ukuran juring agak seragam. C3. Susunan juring agak teratur. C4. Terdapat rongga. D1. Warna daging buah merah muda. D2. Ukuran juring tidak seragam. D3. Susunan tidak teratur. D4. Ada rongga pada aksis buah.

Karakter buah yang ditemukan adalah dua, yaitu banyak ( ≥13) dan sedikit (<13). empat macam bentuk buah. yaitu bentuk buah Terdapat tiga kategori karakter berat kulit buah: bulat, bulat lonjong, bulat pendek dan lonjong. tergolong banyak (>52,5 %), sedang (36,4–52,5 Dasar buah ada empat macam, yaitu agak rata, %) dan tergolong sedikit (<36,4%). Karakter agak runcing, cembung. dan berleher agak berat biji: banyak (>3,2%); sedang (1,6–1,2 %) meruncing. Bentuk ujung buah, ditemukan dua dan sedikit/tanpa biji (<1,6 %). macam, yaitu tipe agak rata dan cekung. Terdapat tiga jenis warna daging buah: Ditemukan empat macam warna kulit buah: merah muda, merah tua, dan putih. Dari aspek hijau-kekuningan, kuning kehijauan, kuning- keseragaman ukuran juring ada dua macam, kemerahan ( orange ), dan kuning keputihan. yaitu tidak seragam dan seragam. Susunan Kedua yang terakhir agak jarang ditemukan. juring pada irisan melintang ada dua macam: Jumlah juring (segmen) dikategorikan menjadi tidak teratur dan teratur. Tekstur daging buah

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 55 ada dua tipe, yaitu lunak dan liat. Rongga pada pinggir beringgit ( crenate ), ujung tumpul aksis buah: ada rongga dan tidak ada rongga. (obtusus ) dengan anak daun bangun delta Cairan endokarp ( juicy ): banyak dan sedikit. (deltoid ). Bentuk buah bulat lonjong ( piriform ), Rasa buah di mana rasa getir tidak disertakan dasar buah cembung dengan ujung buah agak karena pada umumnya semua jeruk besar terasa rata, warna kulit buah hijau kekuningan dengan getir, yaitu manis tanpa asam, manis-asam, dan warna daging buah merah muda, ukuran juring asam atau kecut. Warna kulit buah kuning seragam dengan susunan/konfigurasi teratur, kemerahan ( orange ) merupakan karakter tekstur daging buah lunak, tidak terdapat langka, sebab warna kulit kuning kemerahan rongga pada aksis, cairan buah banyak dan rasa belum pernah dilaporkan sebelumnya. Jenis manis asam. jeruk besar ini ditemukan di Pancasari Buleleng Ditemukan tumbuh di Desa Gerih pada ketinggian 1.200–1.500 m di atas Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung. permukaan laut. Karakter dominan yang Varian IV ( Jerungga Limbur ), deskripsi karak- ditemukan adalah bentuk buah bulat, dasar buah ter: lembaran daun bangun elips ( elliptical ) agak rata, ujung buah agak rata, warna kulit dengan pinggir beringgit ( crenate ), ujung kuning kehijauan, jumlah juring banyak, berat runcing ( acutus ) dengan anak daun bangun kulit sedang, jumlah biji sedikit/tanpa biji, bulat telur terbalik ( obovate ). Bentuk buah bulat warna daging buah merah tua, ukuran juring lonjong ( piriform ), dasar buah agak rata dengan seragam dengan susunan teratur, tekstur daging ujung buah cekung, warna kulit buah kuning buah lunak, rongga pada aksis ada dan tidak, kehijauan dengan warna daging buah putih, cairan pada endokarp banyak, dan rasa daging berat kulit buah paling banyak, ukuran juring buah manis-asam. seragam dengan susunan/ konfigurasi teratur, Tampilan karakter morfologi daun dan tekstur daging buah lunak, tidak terdapat buah C. maxima populasi Bali adalah Varian I rongga pada aksis, cairan buah banyak dan rasa (Juuk Alas ). Karakter morfologi; lembaran daun asam. bulat telur ( ovate), pinggiran beringgit ( crenate ) Ditemukan tumbuh di Desa Gelagah dengan ujung runcing ( acutus ). Bangun anak Linggah Kecamatan Kintamani Kabupaten daun bulat telur terbalik ( obovate ). Karakter Bangli dan lebih dikenal sebagai Jerungga buah yang dimiliki adalah bentuk buah bulat Limbur. Varian V ( Muntis Saba ), deskripsi (spheroid ), dasar buah agak rata dengan ujung karakter: lembaran daun umumnya bangun cekung, warna kulit buah kuning kemerahan bulat telur (ovate), dengan pinggir umumnya (orange ), daging buah berwarna putih, ukuran beringgit ( crenate ), ujung umumnya terbelah juring mendekati seragam, dengan susunan/ (retusus ). Anak daun bangun delta ( deltoid ) dan konfigurasi tidak teratur, tekstur daging buah bulat telur terbalik ( obovate ). Bentuk buah lunak, ada rongga pada aksis, cairan buah umumnya bulat ( spheroid ), dasar buah pada banyak dengan rasa asam/kecut. Tumbuh di umumnya agak rata. Ujung buah umumnya Pancasari Kabupaten Buleleng. Varian II cekung. Warna kulit buah umumnya kuning (Jerungga Merah Muda ), dengan deskripsi: kehijauan dengan warna daging buah umumnya lembaran daun bangun bulat telur ( ovate ), merah tua, ukuran juring umumnya seragam pinggir beringgit ( crenate ), ujung runcing dengan susunan/konfigurasi teratur, tekstur (acutus ) dengan bangun anak daun bulat telur daging buah lunak dan umumnya ada rongga terbalik ( obovate ). pada aksis, cairan buah banyak, rasa umumnya Karakter buah yang dimiliki adalah manis asam. bentuk buah bulat ( spheroid ), dasar buah agak Ditemukan tumbuh di banyak tempat di rata, ujung buah agak rata, warna kulit buah Bali, misalnya di Kecamatan Penebel, Keca- kuning kehijauan dengan warna daging buah matan Selemadeg Tabanan, Desa Pergung putih, ukuran juring seragam dengan susunan/ Jembrana, Desa Penarungan Kecamatan konfigurasi teratur, tekstur daging buah lunak, Abiansemal Badung, Desa Marga Bingung terdapat rongga pada aksis, cairan buah banyak Kecamatan Blahbatuh, Pejeng Kaja Gianyar, dengan rasa buah asam/kecut. Tegeh Kori Kecamatan Denpasar Timur Ditemukan tumbuh di Kintamani Denpasar. Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli. Varian VI ( Juuk Bone/Toya Buah Varian III ( Muntis-1), dengan ciri-ciri: Putih ), dengan deskripsi karakter: lembaran lembaran daun bangun elips ( elliptical ) dengan daun umumnya bangun bulat telur ( ovate ),

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 56 dengan pinggir umumnya beringgit ( crenate ), dengan pinggir rata ( entire/integer ), ujung ujung umumnya terbelah ( retusus ). Anak daun terbelah ( retusus ) dengan anak daun bangun bangun delta ( deltoid ) dan bulat telur terbalik bulat telur terbalik ( obovate ). Bentuk buah delta (obovate ). Bentuk buah umumnya bulat lonjong (deltoid ). Bentuk buah umumnya bulat (piriform ), dasar buah pada umumnya agak rata. (spheroid ), dasar buah agak rata dengan ujung Ujung buah umumnya agak rata. Warna kulit buah agak rata, warna kulit buah hijauan buah umumnya kuning kehijauan dengan warna kekuningan dengan warna daging buah merah daging buah umumnya putih, ukuran juring muda, ukuran juring tidak seragam dengan umumnya seragam dengan susunan/konfigurasi susunan/konfigurasi tidak teratur, tekstur teratur, tekstur daging buah lunak dan daging buah lunak, terdapat rongga pada aksis, umumnya tidak terdapat rongga, cairan buah cairan buah banyak dan rasa manis asam. banyak, rasa umumnya manis. Ditemukan Ditemukan tumbuh di Desa Bongkasa Keca- tumbuh di banyak tempat di Bali, misalnya di matan Abiansemal Kabupaten Badung. Klecung, Megati, Bajra Kecamatan Selemadeg Varian X ( Toya Buah Merah Muda ): Tabanan, Desa Pergung Jembrana, Desa Alas lembaran daun sangat variatif dari bangun elips Angker Pengelatan Buleleng, Banjar Blusung (elliptical ) dan bangun bulat telur ( ovate ) Desa Pejeng Gianyar. Lebih dikenal sebagai dengan pinggir umumnya beringgit ( crenate ), Juuk Bone dan Juuk Yeh Buah. ujung umumnya terbelah ( retusus ). Anak daun Varian VII ( Jerungga Kintamani ), umumnya variatif, yaitu bulat telur terbalik dengan deskripsi karakter: lembaran daun (obovate ), bangun delta ( deltoid ). Bentuk buah bangun elips ( elliptical ) dengan pinggir umumnya juga variatif, yaitu bulat ( spheroid ). beringgit ( crenate ), ujung runcing ( acutus ) Dasar buah umumnya agak rata. Ujung buah dengan anak daun bangun bulat telur terbalik umumnya agak rata dan cekung. Warna kulit (obovate ). Bentuk buah bulat ( spheroid ), dasar buah umumnya kuning kehijauan dengan warna buah agak rata dengan ujung buah cekung, daging buah umumnya merah muda, ukuran warna kulit buah kuning kehijauan dengan juring umumnya seragam dengan susunan/ warna daging buah putih, ukuran juring konfigurasi teratur, tekstur daging buah lunak seragam dengan susunan/konfigurasi teratur, dan umumnya ada rongga pada aksis, cairan tekstur daging buah lunak, tidak terdapat buah banyak, rasa umumnya manis asam. rongga pada aksis, cairan buah banyak dan rasa Ditemukan tumbuh di banyak tempat di Bali, asam. Ditemukan tumbuh di Desa Gelagah misalnya di Br. Tegeh Kori Dentim Denpasar, Linggah Kecamatan Kintamani Kabupaten Dusun Dadia Babahan Kecamatan Penebel, Bangli. Antap Bajra Tabanan, Br. Gerih Abiansemal Varian VIII ( Muntis-2/Jeroti ), dengan Badung, Br. Pikah Abiansemal Badung, Desa deskripsi: lembaran daun umumnya bangun Pejeng Gianyar, Jasi Karangasem. bulat telur ( ovate ), dengan pinggir umumnya Varian XI ( Nagasari/Langkesari ): beringgit ( crenate ), ujung daun umumnya lembaran daun umumnya bangun bulat telur variatif, yaitu terbelah ( retusus ), runcing (ovate ), dengan pinggir umumnya beringgit (acutus ) dan tumpul ( obtusus ). Anak daun (crenate ), ujung umumnya terbelah ( retusus ). bangun bulat telur terbalik ( obovate ). Bentuk Anak daun bangun delta ( deltoid ). Bentuk buah buah umumnya bulat ( spheroid ), dasar buah umumnya bulat ( spheroid ), dasar buah bentuk agak rata. Ujung buah cekung. Warna kulit cembung. Ujung buah umumnya cekung. buah umumnya hijau kekuningan. Warna Warna kulit buah umumnya kuning kehijauan daging buah umumnya merah muda, ukuran dengan warna daging buah umumnya merah tua, juring umumnya seragam dengan susunan/ ukuran juring umumnya seragam dengan konfigurasi teratur, tekstur daging buah lunak susunan/konfigurasi teratur, tekstur daging buah dan umumnya tidak terdapat rongga, cairan lunak, dan ada rongga pada aksis dan sebagian buah banyak, rasa umumnya manis asam. lagi tidak ada rongga, cairan buah banyak, rasa Ditemukan tumbuh di beberapa tempat di Bali, umumnya manis asam. Ditemukan tumbuh di misalnya di Klecung Kecamatan Selemadeg beberapa tempat di Bali, misalnya di Desa Tabanan, Desa Penarungan Abiansemal Badung, Penatahan Kecamatan Penebel, Br. Tegeh Kori Dusun Kalanganyar Sibetan Karangasem. Dentim Denpasar dan di Desa Tegak Varian IX ( Jerungga Gede Manis ): Kelungkung. lembaran daun bangun bulat telur ( ovate )

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 57 Varian XII ( Rengked ): lembaran daun bentuk luar (fenotipik) buah dan daun bangun bulat telur ( ovate ) dan bangun lanset merupakan ekspresi faktor genetika sehingga (lanceolate ) dengan pinggir beringgit ( crenate ) penggunaan penanda morfologi belum cukup dan bangun pinggir rata ( integer/entire ), ujung representatif dapat menjelaskan karakternya umumnya terbelah ( retusus ). Bangun anak daun secara keseluruhan. Untuk itu, disarankan bagi umumnya bulat telur terbalik ( obovate ). Bentuk peneliti yang berminat melanjutkan penelitian buah umumnya bulat lonjong ( piriform ) dasar menggunakan analisis DNA, misalnya RAPD buah umumnya bentuk berleher meruncing. sehingga jumlah lokus yang dianalisis lebih Ujung buah umumnya agak rata. Warna kulit banyak. buah umumnya kuning kehijauan dengan warna daging buah umumnya merah muda, ukuran UCAPAN TERIMA KASIH juring umumnya tidak seragam dengan susun- an/konfigurasi tidak teratur, tekstur daging buah Ucapan terima kasih penulis, disampaikan lunak dan ada rongga pada aksis, cairan buah kepada Profesor Dr. Ir. I Wayan Supartha, M.S. umumnya banyak, rasa umumnya manis asam. atas arahan dan bantuan yang telah sangat Ditemukan tumbuh di Desa Kayu Putih dan banyak diberikan selama penelitian, Drs. I Sibetan Karangasem. Wayan Budiyasa, M.Si. yang telah banyak Kultivar jeruk besar populasi Bali yang memberikan dukungan dan bantuan dalam unggul berdasarkan kriteria karakter yang pengumpulan data, Drs. I Wayan Suanda, S.P., dimiliki yaitu berat kulit buah atau bagian yang M.Si. atas dukungan dalam penyediaan sarana tidak dapat dimakan, berkisar dari sedikit lab yang dibutuhkan dalam identifikasi hingga sedang, berat biji sedikit/tanpa biji, dan morfologi, serta berbagai pihak yang telah memiliki rasa manis tanpa asam (Man) dan membantu selama pengumpulan data. manis-asam (Mas) adalah pada individu Juuk sabha, tumbuh di Br. Bongli Desa Sangketan DAFTAR PUSTAKA Penebel Tabanan (B-1), Juuk bone putih-1, ditemukan di Br. Klecung Desa Tangguntiti Davis, F.S. and L.G. Albrigo. 1994. Citrus . Selemadeg Tabanan (B-2), bentuk buah bulat Wallingford: CAB International. pendek, ditemukan di Br Pande Desa Gerih Griffiths, A.J.F., J.H. Miller, D.T. Suzuki, R.C. Badung (B-9), bentuk buah bulat lonjong Lewontin and W.M. Gelbart. 1993. An berleher, ditemukan di Desa Padangsambian Introduction to Genetic Analysis . 5 th ed. Denpasar (B-16), Juuk bone barak, Br. Megati New York: W.H. Freeman and Desa Megati Bajra Tabanan (B-17), Juuk bone Company. putih-2, ditemukan di Desa Antap Bajra Helentjaris, T.S. and Smith. 1996. “DNA Tabanan (B-22), Juuk Langkasari, ditemukan di Fingerprinting and Plant Variety Br. Sangketan Desa Sangketan Penebel Tabanan Protection”. In Peterson A. H. (ed.). (B-27), Juuk muntis ukuran buah besar dan Genome Mapping In Plant. Texas jumlah rerata buah tiap ujung batang antara 3-4, USA: R.G. Landers Company and ditemukan di Br. Pikah Desa Blahkiuh Badung Acadenic Press, Inc. (B-36), Jerungga gede, ditemukan di Br. ICUCI-IDS (International Centre for Penarungan Abiansemal Badung (B-40), Underutilised Corps Institute of Jerungga yeh buah, ditemukan di Desa Blusung Irrigation and Development Studies). Pejeng Gianyar (B-44), Jeruk Merah muda 2003. Germplasm Catalogue of tanpa biji, ditemukan di Desa Gerih Mambal Pummelo in Nepal Leaf Characteristics. Badung (B-51). Available from: (http://www.soton.ac.uk/~icuc/pumpger KESIMPULAN DAN SARAN m, diakses 3 Maret 2003). ______, (International Centre for Karakter fenotip berdasarkan ciri morfologi Underutilized Corps Institute of daun dan buah jeruk besar populasi Bali Irrigation and Development Studies). beragam yaitu terdapat 12 kelompok varietas. 2003. Germplasm Catalogue of Penggunaan penanda ( marker ) morfologi dalam Pummelo in Nepal. Fruits karakterisasi plasma nutfah jeruk besar populasi Characteristics. Available from: Bali memiliki keterbatasan, karena bentuk-

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 58 (http://www.soton.ac.uk/~icuc/pumger Rybicki, E. and M. Purves, 1996. “SDS m, diakses 3 Maret 2003). Polyacrylamide Gel Electrophoresis Karsinah. 1999. ”Keragaman Genetik Plasma (SDS-PAGE)”. In V. E. Coyne, M. D. Nutfah Jeruk Berdasarkan Analisis James, S. J. Reid, and E. P. Rybicki Penanda RAPD”. (disertasi). Institut (ed.). Molecular Techniques Manual. Pertanian Bogor, Bogor. Third Edition. Dept Microbiology. Kurniati, V. dan S.I. Wanandi. 2001. University of Cape Town. “Pemisahan Protein dengan (http://web.vct.ac.za/microbiology/sdsp Elektroforesis Gel Poliakrilamid-SDS”., ageHtm# , diakses 18 Mei 2003). dalam Soewoto, H., M. Sadikin, Setiawan, A.I. 1995. Usaha Pembudidayaan M.M.V. Kurniati, S.I. Wanandi, G.D. Jeruk Besar . Jakarta: Penebar Swadaya. Retno, S.P. Abadi, I.P. Prijanti, S.W.A. Sharma, S. 1985. A Glossary of Indonesia Jusman (ed.). Biokimia Eksperimental Plant Name . Denpasar: Udayana Laboratorium . Jakarta: Widya Medika. University. Mahardika, I.B.K. and S. Susanto. 2003. Singh, B.M., K.D. Sharma, M. Katoch, S. “Perubahan Kualitas Buah Beberapa Guleria and T.R. Sharma. 2001. Plant Kultivar Jeruk Besar selama Periode Genetic Newsletter-Molecular analysis Pematangan”. Hayati 10: 106–109. of variability.FAO-IPGRI Available Moritz, C. and D.M. Hillis. 1996. “Molecular (http://www.ipgri.cgiar.org/pgrnewslett Systematics: Context and Controversies er/article.asp?id-article=12&1d- “In Hillis, D.M., C. Moritz and B. K. 1ssue=124 , diakses 20 Januari 2004). Mable (ed.). Molecular Systematics, _____, H.P.1998. “Genetic Diversity, Breeding Second Edition. Sunderland, and Utilization of Citrus Fruits”. In pp. Messachusetts USA: Sinaeur 171–184. Arora, R.K. & V. Ramanatha Associates, Inc. Publishers., pp.1–13. Rao, editors. Tropical Fruits in Asia: Morton, J. 2003. “Pummelo ( Citrus maxima )” Diversity, Maintainance, Conservation In : Morton, J.F., editor. Fruits of Warm and Use . Proceeding of the IPGRI- Climates . Miami, FL. p.14–151, ICAR-UTFANET Regional Training Available from: Course on the Conservation and Use Of (http://www.hort.purdue.edu/newcorp/ Germplasm of Tropical Fruits in Asia morton/index.html , diakses 17 Juni held in Indian Institute of Horticultural 2003). Research, 18-31 May 1997, Bangalore, Niyomdham, C. 1999. “Citrus maxima (Burm.) India. From: Merr”. In Verheig, E.W.M. (ed.). (http://www.ipgri.cgiar.org/regions/apo Edible Fruits and Nuts. Bogor: Prosea /publications/tfasia/chapter19.pdf , Indonesia . pp.128–131. diakses 16 Januari 2004). Novelli, V.M., M.A. Machado and C.R. Lopes. Sugito, J. 1993. Jeruk dan Kerabatnya . Jakarta: 2000. Isoenzymatic Polymorphism in Penebar Swadaya. Citrus spp. and Poncirus trifoliata (L.) Sutopo. 1998. Enam Varietas Jeruk Besar RAF. (Rutaceae) Genet. Mol. Biol. Sao Magetan. Trubus , 338: 34–35. Paulo , 23: 1–8. Available from: Tjitrosoepomo, G. 1986. Morfologi Tumbuhan . (http://wwwscielobr/scielo.php?script= Yogyakarta: Gadjah Mada University sciattex&pid=S1415475720000001000 Press. 30&Ing=en&nrm=iso , disitasi 29 Widoretno, W., H. Harran dan Sudarsono. Desember 2003). 2003. “Keragaman Karakter Kualitatif Robertson, H. 2003. “Citrus (Orange, Lemon, pada Populasi Tanaman Somaklon Lime, Grapefruits, Naartjie genus). Kedelai dari Embrio Somatik Hasil Izikom Museum of Cape Town”. Seleksi In Vitro”. Hayati . 10: 110–117. Biodiversity Explores Iziko Home Zeidler, M. 2000. Electrophoretic Analysis of South Africa Museum Home. Available Plant Isozymes. Acta Universitatis from: Palackianae Olomucensis Facultas (http://wwwmuseums.org.za/bio/images Rerum Naturalium. Available from: /enb7/enb07484x-orange.jpg , diakses (http://www.publib.upol.cz/~obd/fulltex 29 Januari 2004). t/Biologica38 , diakses 20 Januari 2004).

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 59 WEED SPECIES DIVERSITY IN ARABLE LAND RELATED TO THEIR MANAGEMENT STRATEGIES

Arief Priyadi UPT BKT KR 'Eka Karya' Bali–LIPI Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali 82191 E-mail: [email protected]

ABSTRAK – Budi daya tanaman di lahan pertanian bertujuan untuk menciptakan kondisi ideal bagi pertumbuhan tanaman, namun pada waktu bersamaan harus berhadapan dengan tumbuhan yang sebenarnya tidak diinginkan tetapi tumbuh bersama (gulma). Kajian diversitas gulma dapat dimanfaatkan untuk memahami komposisi gulma di lokasi tertentu yang pada akhirnya dapat digunakan untuk menentukan cara pengendalian yang tepat. Kajian ini dilakukan untuk menggambarkan kelimpahan jenis dan frekuensi jenis pada suatu lahan pertanian, yang dikelompokkan dalam 11 lokasi dengan manajemen budi daya yang berbeda-beda. Hasil menunjukkan bahwa dijumpai 49 spesies gulma yang tergolong dalam 17 famili. Kurva rank-abundance menunjukkan bahwa jenis-jenis gulma tersebut tidak tersebar merata dengan indeks diversitas Shannon sebesar 2,82. Analisis kluster berdasarkan jarak Bray-Curtis mengelompokkan 11 lokasi ke dalam 5 kluster. Berdasarkan nilai penting spesies gulma, dapat ditentukan gulma dominan. Dua kluster didominasi oleh gulma rumputan (Poaceae), satu oleh rumputan (Poacaeae) dan tekian (Cyperaceae), dan dua yang lain didominasi oleh gulma daun lebar (Schrophulariacae, Euphorbiaceae, Lamiaceae, dan Commelinaceae). Jenis gulma dominan menentukan strategi pengendalian yang dapat diterapkan dengan tepat.

Kata kunci : Weed control; Arable land.

INTRODUCTION species richness depended on management (Guterzky, 2007). Cultivation of crops in arable land deals with Reported studies on species diversity efforts to provide good environmental condition showed various results. Fried et al . (2008) for plant growth. Soil tillage, fertilization, reported that crop type differentiated weed irrigation are some examples of those efforts. communities in arable land. Climatic factor and On the other hand, crops cultivation also deals management practices are important for with unwanted plant species (weed) which are changes in weed species compositions growing together with cultivated crops in the (Lososova and Cimalova, 2009). On the other same area at the same time, which interfere the hand, Plaza (2011) reported of long term 23- crop. Study of weed species diversity in arable years experiment in dry land that tillage system land is needed to help determine strategy of did not affect weed diversity. weed management. Knowledge on weed This study aimed to describe weed biology is an approach to effective and efficient vegetation richness and evenness related to weed control (Djauhariya et al. 2007). Weeds arable land management, namely crop type and will never be eliminated, but they can be tillage system. The result can be used as a managed (Zimdahl, 2007). consideration tool for the weed management There are two components of species strategies in the study area. diversity, namely species richness and evenness (Booth et al ., 2003). Species richness is the MATERIALS AND METHODS number of plant which can be found in certain area, on the other hand species evenness is a This study was conducted in Banguntapan measure whether the species distributed evenly agricultural experiment station faculty of on that area or whether some species dominate agriculture Gadjah Mada University over the other (Kindt and Coe, 2005). The Yogyakarta from March to May 2006. The soil pattern of species richness of weed communi- type in study area was regosol (entisol) and ties in arable land is complex (Pysek et al ., located about 100 m above sea level. Eleven 2005). This is due to continuous soil sites named S1–S11, with various land disturbance in cultivation activities and also management, were observed for their weed different type of crop cultivated. Overall plant communities. Quadrat sampling method with

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 60 frame 0.5 m x 0.5 m was employed during from the highest rank until the lowest rank. The vegetation analysis, 2–3 sampling plot for each calculation of Shannon diversity index gave site. Count data of weed species were recorded result of 2.82, which showed that there was for further analysis. Data was arranged into high weed species diversity. species matrix, and processed to yield species To refine the weed species diversity accumulation curve and rank-abundance curve. across the sites in the study area, calculation of Cluster analysis was done to group sites based important values were done for each group of on Bray-Curtis distance. Those data analysis of sites with similar diversity pattern. For this purpose, a cluster analysis based on Bray-Curtis weed species diversity was done with distance was conducted. A dendogram of this BiodiversityR software (Kindt and Coe, 2005). result was shown in Fig. 2. There are 5 clusters Determination of important value (IV) was as a result of the analysis. This clustering done for each cluster, after the calculation of showed influences of management practices on relative density (RD) and relative frequency weed species diversity, especially type of crop (RF) of each weed species (Mueller-Dombois cultivated. As previously mentioned, site 1, 2 and Ellenberg, 1974). The explanatory variables and 3 were cultivated with kale; site 4, 5, and 6 were species of crop cultivated and soil tillage. with cucumber. Separation of site 9 and 11 S1-S3 were site cropped with kale ( Ipomoea apart from other clusters might be related to effect of no tillage system and fallow condition aquatica ), S4-S6 with cucumber ( Cucumis for those sites opposed to tillage and cultivates sativus ), S8 with peanut ( Arachis hypogaea ) condition for almost all of other sites. and the rests were fallowed. No tillage of soil The important values (IV) of five was applied for S7, 9 and 11 and the rest with species with biggest IV for each cluster were soil tillage, namely plowing and harrowing tabulated in Table 1. There were 17 species before crop planting. from 8 families listed in the table. From this species occurrence, 41% of those 17 species RESULTS AND DISCUSSION belongs to Poaceae, 18% to Scrophulariaceae, 12% to Cyperaceae and the other 29% shared Weed vegetation analysis of the study area by Sterculiaceae, Rubiaceae, Euphorbiaceae, revealed that from the 11 sites there were 49 Lamiaceae and Commelinaceae. The list of weed species from 17 families. Species species which was shown in Table 1 for each accumulation curve depicted on Fig. 1a and site accounted for total 60.62%–68.89% of total species abundance was shown on Fig. 1b. Fig. 100% IV, this means list of species which was 1a showed that some sites of the study area not shown only acounted for about 30% –40 % shared the same weed species because the curve of IV. gradient decreased along with the increasing Based on their IV, dominant weed of sites number. Fig. 1b showed that three species each cluster can be determined easily. Cluster 1 with biggest abundance were Bulbostylis was dominated by Poaceae (IV = 31.43%), puberula , Cynodon dactylon , and cluster 2 also by Poaceae (IV = 48.94%), Dactyloctaenium aegyptium . The first belongs cluster 3 by Poaceae (IV = 22.5%) and to the family of Cyperaceae and the other two Cyperaceae (24.73%), cluster 4 and 5 belongs to Poaceae. The next eight species after dominated by families of non Poaceae and the previos three consecutively are Lindernia Cyperaceae, namely Sterculiaceae, Euphor- sp., Lindernia ciliata , Lindernia custacea , biaceae, and Lamiaceae for cluster 4, finally Eleusine indica , Eragrostis tenella , Cyperus Scrophulariaceae dominated over cluster 5. It is rotundus , Digitaria sanguinalis and Melocia mentioned in Zimdahl (2007) it is important to pyramidata . Total species abundance from 11 know whether a weed is fern or fern ally, sedge sites of this study was 2131 and the 11 species (Cyperaceae), grass (), or mentioned were accounted for 1832 (86% of broadleaves (dicotyledon), because this total abundance). Fig. 1b also informed that classification is related to specific type of weed species of 11 sites did not evenly control strategies for certain kind of weed. distributed since there was a sharp decrease

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 61

(a) (b)

Figure 1. (a) Species accumulation curve, bar is deviation standard and (b) Rank-abundance curve of the study area; species code is shown in Table 1.

Figure 2 . Dendogram of cluster analysis weed species count data, cluster 1 = S1, 2, 3; cluster 2 = S4, 5, 6; cluster 3 = S7, 8, 10; cluster 4 = S11, cluster 5 = S9.

Weed management can not be separted Djauhariya et al. (2007) pointed out, that for from the knowledge of weed biology weed which propagated by underground (Djauhariya et al. , 2007). The way how certain propagules chemical weed control by sistemic kind of weed propagates is one of the objects in post-emergence herbicide was recommended, weed biology. Sedges are notoriously known to but for weed which propagated by seed it was propagate by their under ground rhizome. recommended to use the sistemic pre- Grasses are able to produce a large number of emergence herbicide. Mechanical weed control seed which can be spread by wind. Some of the by soil tillage can be applied to manage broadleaves weed also has thissame traits. Thus, broadleaves weed since they do not have the choice of weed management strategies is underground propagules but not for sedges based on type of weed and weed biology. As which have underground propagules.

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 62 Table 1 . Important values (%) of species in each cluster, arranged based on species rank-abundance (Fig. 1b)

Clus. 1 Clus. 2 Clus. 3 Clus. 4 Clus. 5 Species Code Family S7, 8, S1, 2, 3 S 4, 5, 6 10 S11 S9

Bulbostylis puberula Bulpub Cyperaceae 7.87 8.32 24.73 - -

Cynodon dactylon Cyndac Poaceae 14.94 - 14.40 - -

Dactyloctaenium Dacaeg Poaceae 16.49 28.34 - - - aegyptium

Lindernia sp. Linspc Scrophulariaceae - - - - 22.82

Lindernia cilliata Lincil Scrophulariaceae - - 8.55 - 13.82

Lindernia crustacea Lincru Scrophulariaceae - - 9.41 - 7.01

Eleusine indica Eleind Poaceae 17.23 - - - -

Eragrostis tenella Eraten Poaceae - 10.45 - - 9.59

Digitaria sanguinalis Digsan Poaceae - - 8.10 - -

Cyperus sp. Cypspc Cyperaceae - 11.24 - - -

Melochia piramidata Melpyr Sterculiaceae 10.84 - - 21.11 -

Oldenlandia corymbosa Oldcor Rubiaceae - - - - 7.39

Digitaria sp. Digspc Poaceae - 10.15 - - -

Acalipa indica Acaind Euphorbiaceae - - - 17.78 -

Coleus scutellariodes Colscu Lamiaceae - - - 12.22 -

Digitaria cilliaris Digcil Poaceae - - - 8.89 -

Commelina nudiflora Comnud Commelinaceae - - - 8.89 -

Total 67.36 68.50 65.19 68.89 60.62

From the result of this study, weed cluster 4 and 5, mechanical weed control by soil management strategies which can be applied tillage can be applied succesfully. can be determined from the dominant weed type. For example, if chemical weed control CONCLUSION was decided to be chosen weed on cluster 1 and 2 can be controlled by contact herbicide before There were weed species richness of 49 from 17 the weed produced seed. For cluster 3 families found in this study. They were not combination of hand weeding for grasses and evenly distributed, with overall Shannon sistemic herbicide for sedges can be a good diversity index of 2.82; this informed that some choice. Since broadleaves weed dominated species dominated over the other. Type of crop

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 63 which was being cultivated and tillage method and diversity in France . Agric. Eco. Env. influenced weed diversity in the area. Members 128: 68–76. of family Poaceae and Cyperaceae (grasses and Guterzky, J.A. 2007. Plant species richness in sedges) dominated in cluster 1, 2, and 3; on the relation to pasture position, management, other hand broadleaves weed dominated in and scale. Agric. Ecos. Env. 122: 387– cluster 4 and 5. Dominant types of weed 391. determinated the best weed management Kindt, R. and R. Coe. 2005. Tree diversity strategies which can be applied. analysis . A manual and software for common statistical methods for ACKNOWLEDGEMENT ecological and biodiversity studies . Nairobi: World Agroforestry Center The author would like to thank M. Ikrar (ICRAF). Harpasti, S.P., M.P. for providing the weed data Lososova, Z. and S. Cimalova. 2009. Effects of to be used for this study. different cultivation types on native and alien weed richness and diversity in REFERENCES Moravia (Czech Republic) . Basic and Appl. Ecol, 10: 456–465. Booth, B.D., S.D. Murphy, and C.J. Swanton. Mueller-Dombois, D. and H. Ellenberg. 1974. 2003. Weed ecology in natural and Aims and methods of vegetation ecology . agricultural systems . Cambridge: CABI. Sydney: John Wiley & Sons. 547 pp. 303 pp. Plaza, E.H. 2011. Tillage system did not affect Djauhariya, E., A. Sudiman dan D.S. Effendi. weed diversity in a 23-year experiment in 2007. “Gulma penting pada kebun induk Mediterranean dryland . S.I.: s.n. tanaman jarak pagar ( Jatropha curcas L.) Pysek, P. 2005. Effects of abiotic factors on di Pakuwon, Sukabumi dan alternatif species richness and cover in Central pengendaliannya”. Prosiding Lokakarya European weed communities . Agric. Nasional-III Inovasi Teknologi Jarak Ecos. Env., 109: 1–8. Pagar untuk Mendukung Program Desa Zimdahl, R.L. 2007. Fundamentals of weed Mandiri. Banyumedia. science . Singapore: Elsevier, 666 pp. Fried, G., L.R. Norton, and X. Rebound. 2008. Environmental and management factors determining weed species composition

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 64 STUDI EKOLOGI DAN MASA BERBUNGA ANGGREK Paphiopedilum lowii (Lindl.) Pfitzer

I Gede Tirta UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali LIPI Candikuning, Baturiti, Tabanan Bali 82191 E-mail : [email protected]

ABSTRACT – Paphiopedilum lowii (Lindl.) Pfitzer potential for ornamental plants. In 2003 this species has been found in Sepang forest, Busungbiu distric, Buleleng regency, Bali. An ecological study was conducted in 2011 using cruise design and following road track route. The results of experiment showed 50 specimens of Paphiopedilum lowii on Ficus sp. at 726 m above sea level. A blooming season study also conducted at Eka Karya Bali Botanic Garden up to four years (2007 to 2011). The experiment result showed at P. lowii was mostly blooming (>60%) for three month (October to December).

Keywords: Ecology; Flowering; Paphiopedilum lowii

PENDAHULUAN bahan vegetatif yang terakumulasi di sekitar perakaran dan secara konstan jumlah unsur- Penyebaran jenis-jenis angrek Paphiopedilum unsur ini bertambah akibat adanya daun-daun pada umumnya endemik sehingga bencana yang gugur dan bahan lain yang membusuk. alam serta pengambilan di habitatnya seringkali Menurut Comber (1990), penyebaran menyebabkan kepunahan. Kekhawatiran akan anggrek P. lowii di Jawa, Sumatra, Peninsular, punahnya angrek dari marga Paphiopedilum ini Malaysia, dan Borneo, sedangkan informasi disadari oleh dunia internasional. Oleh karena penyebaran anggrek ini di Bali masih terbatas. itu, kelompok anggrek ini dimasukkan dalam Menurut G. Arsa (warga masyarakat Desa daftar tanaman yang tidak boleh diperdagang- Sepang), anggrek ini pertama kali ditemukan kan antarnegara, yaitu dimasukkan dalam pada tahun 2003 tumbuh epifit pada pohon Appendix 1 dari daftar CITES (Irawati, 1998). kayu gintungan ( Bischofia javanica ) yang rebah. Untuk membantu pengawasan Selanjutnya, ditemukan lagi pada cabang pohon perdagangan anggrek marga Paphiopedilum ini belibu ( Ehretia javanica ). dalam sidang Conference of the Parties tahun Dalam budi daya sangat dibutuhkan 1992 (CITES) diputuskan perlunya acuan baku informasi tentang habitat anggrek yang pasti, nama-nama anggrek yang diperdagangkan. sebagai bahan pertimbangan dalam penanaman, Oleh karena itu, pada tahun 1995 telah khususnya jenis anggrek P. lowii , informasinya diterbikan ”CITES Orchid Checklist Volume I” masih sangat terbatas. Anggrek ini ditemukan (Roberts et al ., 1995). Dalam daftar tersebut sudah ditanam masyarakat Candikuning, namun dapat diterima 82 nama jenis Paphiopedilum , kondisinya sebagian besar merana/mati (Tirta dan 239 sinonim. Jenis-jenis yang berasal dari dkk., 2003). Kematian anggrek ini disebabkan Indonesia terdapat tidak kurang dari 28 jenis kekeliruan dalam penanaman yang kurang dengan 78 nama perdagangan (Irawati, 1998). memperhatikan kondisi habitat aslinya, seperti Seperti tumbuhan lainnya, anggrek busuk/mati karena terlalu banyak atau kurang selalu membutuhkan makanan untuk memperta- cahaya, atau mati karena media yang dipakai hankan hidupnya. Kebutuhan tanaman anggrek kurang tepat. Anggrek yang ditanam masya- akan nutrisi sama dengan tumbuhan lainnya, rakat berasal dari Desa Sepang, namun setelah hanya anggrek membutuhkan waktu yang dicek ke habitat aslinya tidak ditemukan. Atas cukup lama untuk memperlihatkan gejala-gejala dasar inilah maka studi ekologi P. lowii di Desa defisiensi, mengingat pertumbuhan anggrek Sepang kami lakukan yang dilengkapi dengan sangat lambat. Di alam bebas anggrek memper- hasil pengamatan pembungaannya. oleh unsur-unsur tersebut dari udara dan bahan-

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 65 METODE kadang-kadang menyebabkan anggrek epifit memilih inang tertentu untuk tempat tumbuh- Penelitian ekologi dilakukan pada tanggal 9–12 nya. Anggrek Pomatocalpa spicata di Taman Mei 2011 di kawasan hutan Sepang, Kec. Nasional Manusela (Maluku) memilih pohon Busungbiu, Kabupaten Buleleng, Bali. Myristica sp. dan Syzygium sp. sebagai Penelitian menggunakan metode jelajah (Ruga- inangnya karena kulit batangnya kasar (Mursi- yah dkk., 2005), mengikuti rute jalan rintisan, dawati, 1998 dalam Lugrayasa dkk., 2001). kemudian setelah ditemukan populasi anggrek, Pohon bunut memiliki kulit kasar P. lowii baru dilakukan pencatatan data dengan diameter batang 2 m dan diameter lingkungan seperti suhu, kelembapan, dan pH cabang batang sampai 75 cm sehingga cocok tanah. Untuk mengetahui masa berbunganya ditumbuhi oleh anggrek. Selain P. lowii pada anggrek ini, dilakukan pengamatan pada koleksi pohon bunut ini ditemukan pula anggrek epifit, P. lowii di UPT Balai Konservasi Kebun Raya seperti Bulbophyllum miniatum , B, obsconditum , Eka Karya Bali 2 kali/minggu, selama 4 tahun Bulbophyllum sp. (ungu), Thelasis pygmaea , (2007–1010). Berdasarkan persentase jumlah Eria latifolia , E. hyacinthoides , Preatia bunga, pembungaan dibagi menjadi tiga kate- secunda , Coelogyne flexuosa , Cymbium gori: S (Sedikit) = persentase bunga 1–40%, M pubescens , Dendrobium sp. kuning, dan D. (Menengah/sedang) = persentase bunga 41– linearifolium . 60% dan B (Banyak) = persentase bunga 61– Di alam, perkecambahan biji anggrek 100%. Paphiopedilum sangat tergantung dari jamur mikorhiza yang sesuai yang dijumpai di sekitar HASIL DAN PEMBAHASAN tanaman induknya. Biji yang terdiri atas embrio yang dibungkus oleh kulit biji/testa yang Ekologi Paphiopedilum lowii di Kawasan permukaannya mempunyai cekungan-cekungan Hutan Sepang- Bali seperti jala ( reticulate ) sangat ringan dan pada Paphiopedilum dapat bertahan sampai 10 tahun Setelah menjelajahi Kawasan Hutan Sepang (Arditti, 1992). Sifat dormansi yang panjang ini dari Bukit Pemelas sampai dengan Gunung Sari, secara alamiah adalah untuk melindugi kelang- anggrek P. lowii (Gambar 1) hanya ditemukan sungan jenisnya di alam. Perkecambahan biji P. di Hutan Sepang yang lokasinya berdekatan lowii di alam memilih pohon inang yang sesuai, dengan Dusun Gunung Sari dengan ketinggian seperti bunut, gintungan, dan belibu. Populasi tempat 726 m dpl. Anggrek ini tumbuh epifit penyebaran alami P. lowii di Sepang tahun hanya pada pohon bunut ( Ficus sp.) dengan 2003 sudah meluas dari pohon bunut ke pohon diameter 200 cm, tinggi 40 m. Tumbuh pada gintungan dan belibu dengan jumlah sepesimen cabang (zonasi 3, 4, dan 5) diperkirakan lebih sekitar 500 individu. Sekarang hanya ditemu- dari 50 spesimen. Kebanyakan ditemukan kan di pohon bunut sekitar 50 individu. Salah tumbuh subur pada cabang pohon di bagian satu sebab berkurangnya individu anggrek ini barat pohon. Suhu udara pada waktu adalah rusaknya habitat alaminya akibat pengamatan 30,8 o C dan kelembapan udara 55%. penebangan pohon inang. Selain itu, anggrek Hal ini sesuai dengan Cribb (1997) yang ini diburu masyarakat karena memiliki nilai jual menjumpai anggrek terestrial P. lowii tumbuh cukup tinggi (Rp15.000–Rp25.000 per batang). subur di percabangan pohon yang besar di pinggir sungai di hutan Kalimantan Timur. Masa Berbunga Paphiopedilum lowii Johansson (1975) menyatakan bahwa pola penyebaran anggrek pada batang dan Paphiopedillum lowii pertama kali dikoleksi di percabangan pohon mengikuti kebutuhan akan UPT. BKT Kebun Raya Eka Karya Bali tahun cahaya dan kelembapan. Anggrek yang 2003 yang berasal dari Sepang sebanyak tiga menyukai cahaya terang akan memilih tumbuh rumpun, masing-masing rumpun terdiri atas 3– pada zona percabangan pohon (zona 3–5). 5 batang. Koleksi ini terus diperbanyak secara Madison (1977) dalam Puspitaningtyas dan konvensional dengan splitting batang. Anggrek Fatimah (1999), mengemukakan bahwa pohon ini mulai berbunga tahun 2006, namun belum inang adalah salah satu kebutuhan mendasar diamati secara intensif. Pengamatan pembunga- untuk mendapatkan cahaya dan sirkulasi udara an mulai dilakukan tahun 2007 (Tabel 1). yang baik bagi anggrek epifit. Hal demikian

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 66

Gambar 1 . Paphiopedilum lowii tumbuh epifit hanya pada pohon bunut

Tabel 1 . Masa Berbunga Paphiopedilum lowii Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni S S S S S S S S S 2007 S S S S S S S S S S 2008 M M M M M S S S S S S S S S S S 2009 S S S S S S S S S S S 2010

Lanjutan Bulan Juli Agustus September Oktober Nopember Desember S S S S M M M M 2007 S S S S S S S S S S S S M M M M M M M M M M M 2008 S S S S S S S S S S S S S B B B B B B B B B B B 2009 S S S S S S S M M M M M M S S S S 2010 Keterangan: S = persentase bunga 1–40%, M = persentase bunga 41–60% dan B = persentase bunga 61–100%.

Anggrek P. lowii yang berbunga mekar Selanjutnya, terjadi penurunan jumlah bunga jumlahnya sedikit selama dua bulan tanggal 8 mekar tanggal 8 s.d. 27 Februari 2009. Januari s.d. 12 Maret 2007, selanjutnya tidak Pembungaan P. lowii tahun 2009 lebih berbunga selama enam bulan. Bunga mekar semarak jika dibandingkan dengan tahun 2007, mulai tampak jumlahnya sedikit mulai tanggal tahun 2009 hanya dua bulan tidak berbunga 24 September s.d. 15 Oktober 2007. Bunga mekar (Maret dan April), sedangkan tahun 2007 yang mekar bertambah jumlahnya sampai selama enam bulan tidak berbunga. Tanggal 3 kategori sedang selama satu bulan mulai Mei s.d. 18 Oktober 2009 P. lowii berbunga tanggal 18 Oktober s.d. 15 November 2007. mekar jumlahnya sedikit, selanjutnya Pembungaan tahun 2008 yang jumlah mekarnya bertambah sampai kategori banyak mulai sedikit mulai tanggal 11 Januari s.d. 19 Maret tanggal 22 Oktober s.d. 31 Desember 2009. dan 9 Juli s.d. 11 Oktober. Bunga yang mekar Selanjutnya, dari tanggal 1 Januari 2010 jumlah terus bertambah sampai kategori sedang mulai bunganya menurun dengan kategori sedikit s.d. tanggal 15 Oktober 2008 s.d. 5 Februari 2009. 5 Februari 2010. Kemudian, tidak ada bunga yang mekar selama tiga bulan lebih. Bunga

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 67 mekar kategori sedikit mulai tanggal 21 Mei s.d. Cribb, P. 1977. Slipper Orchids of Borneo . 6 Agustus 2010 dan tanggal 4 s.d. 15 Oktober Natural History Publications. Kota 2010, kemudian tanggal 18 Oktober s.d. 29 Kinabalu. 118 p. November 2010 mulai tampak bunga mekar Irawati. 1998. Kultur in-vitro untuk dengan kategori sedang. Tanggal 3 s.d. 31 memperbanyak anggrek langka marga Desember P. Lowii yang berbunga mekar Paphiopedilum . Laporan Riset menurun sampai kategori sedikit. Anggrek yang Unggulan Terpadu III Bidang berbunga tahun 2010 terbatas jumlahnya Teknologi Perlindungan Lingkungan termasuk P. lowii, hal ini disebabkan oleh cuaca 1995–1998. Bogor: Pusat Penelitian hujan terus menerus sehingga kelembapan dan Pengembangan Biologi-LIPI. meningkat, kurang merangsang anggrek untuk Johansson, D.R. 1975. Ecology of Epiphytic berbunga. Orchids in West African Rain Forests. American Orchid Society Bulletin , 44. KESIMPULAN Lugrayasa, I.N., I.G. Tirta, I.B.K. Arinasa dan D. Mudiana. 2001. “Inventarisasi Anggrek Paphiopedilum lowii termasuk jenis Anggrek Alam Epifit yang Tumbuh anggrek tanah (terestrial), namun di kawasan pada Tanaman Reboisasi di Kebun hutan Sepang ditemukan tumbuh subur, Raya Eka Karya Bali”. East menempel (epifit) pada pohon bunut ( Ficus sp.). Orchid Show-Prosiding Seminar Pohon bunut ini tumbuh di pinggir sungai Anggrek Nasional . Perhimpunan dengan tebing yang curam pada ketinggian 726 Anggrek Indonesia. Hal. 10–22. m dpl. Puspitaningtyas, D.M. dan E. Fatimah. 1999. Masa berbunga P. lowii pada bulan “Inventarisasi Jenis-jenis Anggrek di Oktober sampai dengan Desember ditemukan Cagar Alam Kresik Luway, Kalimantan semarak dalam jumlah yang banyak. Sebaliknya, Timur”. Buletin Kebun Raya Indonesia , pada bulan Maret dan April jarang atau tidak 9 (1): 18–25. berbunga. Roberts, J.A., C.R. Beale, J.C. Benseler, H.N. Keberadaan P. lowii di habitat alaminya Mcgough and D.C. Zappi. 1995. CITES sangat mengkhawatirkan. Oleh karena itu, P. Orchid Checklist Volume 1. Royal lowii perlu mendapat perhatian khusus dari Botanic Gardens, Kew. Whitstable instansi terkait untuk menjaga dan melestari- Litho Ltd. Witstable. Kent. kannya agar tidak punah termasuk pohon Rugayah, E.A. Widjaja dan Praptiwi, 2005. inangnya. Pedoman pengumpulan data flora . Bogor: Pusat Penelitian Biologi-LIPI. DAFTAR PUSTAKA Tirta, I.G., I.G.P. Wendra, K. Pendra dan N.N. Raka. 2003. Laporan Perjalanan Arditti, J. 1992. Fundamentals of Orchid Eksplorasi di Kawasan Hutan Sepang, Biology . New York: John Willey & Singaraja-Bali . UPT. Balai Konservasi Sons. 691 pp. Tumbuhan Kebun Raya Eka Karya Bali. Comber, J.B. 1990. Orchid of Java . Bentham- Moxon Trust, Royal Botanic Gardens, Kew. 407 pp.

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 68 KONSERVASI ARACEAE DI KEBUN RAYA EKA KARYA BALI – LIPI

Ni Putu Sri Asih dan Agung Kurniawan UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Eka Karya Bali – LIPI E-mail : [email protected]

ABSTRACT – Indonesia has high diversity of Araceae, consist of 31 genera from 120 Araceae genera in the world. In the other hand, approximately 40% is distributed in tropical Indonesia. Highly potential and value of Araceae either ecologically or economically make its existence in the forest or other nature habitat need much concern and must be protected as well. Bali Botanic Gardens – LIPI, as institution of conservation have some efforts to protect this family, such as collecting species, recording data habitat, validating species name and cultivating selected species. Currently, Bali Botanic Garden has been conserving 30 genera, 64 species and 820 specimens of Araceae, in which covered about 64.5% of existing genera Araceae in Indonesia. This data will increase annually in line with field work activities in order to collect plant species from nature habitat notably in East Indonesia region. Four species of these had been published as new species, namely Alocasia baginda Kurniawan & P.C. Boyce, Schismatoglottis inculta Kurniawan & P.C. Boyce, Homalomena vittariifolia Kurniawan & P.C. Boyce, Homalomena agens Kurniawan & P.C. Boyce. The cultivation activity has germinated 315 spesimen of Aracae that originated from 25 species.

Keywords: Araceae, Plant conservation; Bali Botanical Garden

PENDAHULUAN rentang habitat yang luas pada hutan hujan tropis dan juga menjadi indikator ekologi bagi Araceae atau lebih dikenal sebagai suku talas- kualitas hutan dan tipe vegetasinya (Yuzammi, talasan merupakan tumbuhan yang memiliki 2007 ). Namun, dengan semakin luasnya ciri khas berupa pembungaan yang tersusun atas kerusakan hutan, menyebabkan keberadaan seludang dan tongkol. Suku Araceae terdiri atas tumbuhan ini semakin berkurang di habitatnya. 120 marga dan 3.800 jenis, umumnya Apalagi beberapa jenis dari suku ini memiliki terkonsentrasi di kawasan tropik, yaitu Asia potensi sebagai tanaman hias yang marak Tenggara (termasuk Indonesia, Malaysia, diperjualbelikan di kalangan penggemar tanam- Brunei Darussalam, Filipina, Singapura), an hias dan juga sebagai bahan obat-obatan. Hal Amerika dan Papua Nugini (Mayo et al. 1997; ini tidak menutup kemungkinan suatu saat nanti Bown, 1988; Asih & Kurniawan, 2010; terjadi kepunahan. Oleh karena itu, perlu Cusimano et al ., 2011). Indonesia merupakan dilakukannya suatu usaha konservasi untuk salah satu negara dengan keanekaragaman melindungi dan melestarikan tumbuhan ini. Araceae yang tinggi, yaitu 31 genera dan 410 UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya jenis yang umumnya tersebar di Sumatra, Jawa, Eka Karya Bali–LIPI sebagai lembaga Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Akan tetapi, konservasi ex-situ untuk tumbuhan Kawasan sampai saat ini belum diketahui angka yang Timur Indonesia berupaya menyelamatkan pasti untuk jumlah jenis Araceae di Indonesia tumbuhan yang langka dan endemik serta karena riset-riset terkait masih terus dilakukan, memiliki nilai ekonomi dan nilai ilmiah untuk khususnya di Pulau Kalimantan (Mayo et al., dikonservasi (Siregar dkk., 2005). Salah 1997; Yuzammi, 2000; Asih & Kurniawan, satunya adalah konservasi suku Araceae. 2010; Boyce et al. , 2010a; Boyce et al. , 2010b; Konservasi suku ini sudah dimulai sejak awal Wong et al. , 2010; Wong, 2010; Kurniawan & kegiatan eksplorasi dilakukan, tetapi mulai Boyce, 2011). Untuk beberapa daerah seperti difokuskan pada tahun 2007 hingga saat ini. Pulau Sulawesi, Papua, dan Kepulauan Maluku Upaya konservasi ini meliputi kegiatan masih belum banyak diteliti sehingga inventarisasi dan pengkoleksian, pendataan kemungkinan terdapatnya spesies baru masih faktor lingkungan, identifikasi dan pengem- tinggi. bangan jenis Araceae yang bernilai ekonomi Araceae merupakan tumbuhan yang tinggi. sangat penting secara ekologi, karena memiliki

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 69 KOLEKSI ARACEAE DI KEBUN RAYA (Yuzammi & Hay, 1998). Bucephalandra BALI motleyana merupakan spesies endemik Borneo (Bogner & Hay, 2000). Koleksi Araceae yang ada berasal dari hasil Marga Alocasia merupakan marga yang eksplorasi, pertukaran, biji kiriman, dan paling banyak jenisnya (Dari 30 marga Araceae pembelian. Secara spesifik, eksplorasi Araceae yang ada Kebun Raya “Eka Karya” Bali), yaitu baru dilakukan di daerah Bali dan ditemukan 18 15 jenis sudah teridentifikasi dan 12 jenis jenis Araceae (Tabel 1). Schismatoglottis belum teridentifikasi, termasuk di dalamnya calyptrata (Roxb.) Zoll. & Moritzi, Colocasia tiga jenis yang diprediksi sebagai jenis baru. esculenta (L.) Schott dan Alocasia Marga Anthurium terdiri atas 10 jenis yang macrorrhizos (L.) G.Don merupakan tumbuhan telah teridentifikasi dan 12 jenis belum yang ada di semua wilayah di Bali. teridentifikasi. Marga Homalomena terdiri atas Berdasarkan data registrasi dan dari empat jenis telah teridentifikasi dan delapan pembibitan Juli 2011, jumlah Araceae yang ada jenis belum teridentifikasi, termasuk di di koleksi dan pembibitan terdiri atas 30 marga, dalamnya jenis yang diprediksi sebagai jenis 64 jenis, dengan jumlah spesimen 820, baik baru. Berdasarkan Gambar 1 masih banyak yang tersebar secara alami di Indonesia maupun jenis yang belum teridentifikasi, termasuk lima dari luar Indonesia. Selain itu, masih terdapat jenis baru. Kegiatan validasi nama yang telah 60 nomor Araceae yang belum teridentifikasi memperoleh 78 jenis perubahan nama yang (Gambar 1). Terdapat 10 marga Araceae yang terdiri atas 38 bibit hasil eksplorasi dan 40 jenis tidak tersebar secara alami di Indonesia, yaitu koleksi. Sebelumnya telah dilakukan Anthurium, Caladium, Dieffenbachia, Monstera, identifikasi jenis baru dan telah dipublikasikan Philodendron, Syngonium, Typhonium, Xantho- sebanyak empat jenis (Tabel 1). soma, Zamioculcas , dan Zantedeschia . Sebalik- Alocasia baginda (Kurniawan & Boyce, nya, marga-marga Araceae yang tersebar secara 2011) dan Homalomena agens (Kurniawan et alami di Indonesia terdiri atas 20 marga, yaitu al. , 2011a) merupakan Araceae berdaun indah Aglaonema, Alocasia, Amorphophallus, Amy- yang berasal dari Kalimantan Timur. Alocasia drium, Anadendrum, Apoballis, Colocasia, ini merupakan salah satu dari 23 jenis Alocasia Cyrtosperma, Epipremnum, Homalomena, dari Borneo, 22 di antaranya endemik Borneo Lasia, Pistia, Pothos, Remusatia, Rhaphi- dan hidup pada daerah batu kapur sehingga dophora, Schismatoglottis, Scindapsus, Spathi- memiliki penampakan morfologi yang berbeda. phyllum, Bucephalandra, dan Holo-chlamys . Kalimantan meliputi 70% wilayah Borneo dan Hal ini berarti 64,5% jumlah marga Araceae belum banyak dijelajah dan diteliti, sehingga yang ada di Indonesia sudah berhasil kemungkinan ada 50 jenis Alocasia di Borneo terkonservasi di UPT BKT Kebun Raya “Eka (Kurniawan & Boyce, 2011). Begitu pula untuk Karya” Bali–LIPI. jenis Homalomena , masih banyak jenis yang Menurut Croat (1998), tercatat 32 jenis belum diungkap dan dipelajari. Schismatoglottis Araceae merupakan endemik yang tersebar di inculta dan Homalomena vittariifolia (Kurnia- Asia. Selain itu, penemuan-penemuan baru wan et al., 2011b) merupakan dua jenis dari 41 yang bersifat endemik, terutama di kawasan jenis Araceae yang berasal dari Sulawesi dan Borneo menyebabkan perubahan jumlah diperkirakan terdapat 15 jenis endemik tumbuhan dari suku ini. UPT BKT Kebun Raya Sulawesi. Tingginya tingkat endemisitas dan “Eka Karya” Bali–LIPI telah mengoleksi masih banyaknya wilayah yang belum dipela- beberapa spesies endemik, yaitu Holochlamys jari di daerah Indonesia seperti Kalimantan, beccarii (Engl.) Engl., Alocasia Suhirmaniana Sulawesi, dan Papua merupakan kesempatan Yuzammi & A. Hay dan Bucephalandra yang besar bagi ilmuwan Indonesia untuk lebih motleyana Schott. Holochlamys beccarii aktif menggali informasi dan Kebun Raya “Eka merupakan jenis endemik dari daerah Papua Karya” Bali sebagai wadah untuk mengkon- dan marga yang hanya memiliki satu spesies servasi mempunyai peran besar untuk menjaga yaitu beccarii (Boyce, 2010c). Alocasia dan melestarikan keanekaragaman flora suhirmaniana merupakan Alocasia berdaun Indonesia. indah yang endemik Sulawesi Tenggara

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 70 Tabel 1. Jenis-jenis Araceae Bali No. Genera Species Author 1. Aglaonema simplex (Blume) Blume 2. Alocasia Alba Schott 3. Alocasia longiloba Miq 4. Alocasia macrorrhizos (L.) G.Don 5. Alocasia sp. - 6. Amorphophallus muelleri Blume 7. Amorphophallus paeoniifolius (Dennst.) Nicolson 8. Amorphophallus variabilis Blume 9. Arisaema filiforme (Reinw.) Blume 10. Colocasia esculenta (L.) Schott 11. Colocasia gigantea (Blume) Hook.f. 12. Epipremnum pinnatum (L.) Engl. 13. Homalomena cordata Schott 14. Remusatia vivipara (Roxb.) Schott 15. Rhapidophora sp. - 16. Schismatoglottis calyptrata (Roxb.) Zoll. & Moritzi 17. Scindapsus hederaceus Miq. 18. Typhonium horsfieldii (Miq.) Steenis

Gambar 1 . Marga Araceae yang belum dan sudah teridentifikasi

Tabel 2. Publikasi Spesies Baru No. Nama spesies Asal 1. Alocasia baginda Kurniawan & P.C. Boyce Kalimantan Timur 2. Schismatoglottis inculta Kurniawan & P.C. Boyce Sulawesi Tenggara 3. Homalomena vittariifolia Kurniawan & P.C. Boyce Sulawesi Tenggara 4. Homalomena agens Kurniawan & P.C. Boyce Kalimantan Timur

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 71

A B

C D

Gambar 2 . A. Alocasia baginda Kurniawan & P.C. Boyce; B. Schismatoglottis inculta Kurniawan & P.C. Boyce; C. Homalomena vittariifolia Kurniawan & P.C. Boyce; D. Homalomena agens Kurniawan & P.C. Boyce

akan lebih baik jika ditanam langsung (Boyce, PENGEMBANGAN ARACEAE DI KEBUN 2011). RAYA BALI KESIMPULAN Dalam kegiatan pengembangan telah diperbanyak sejumlah 315 bibit Araceae yang UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya berasal dari 25 jenis koleksi Araceae terpilih, “Eka Karya” Bali – LIPI sampai saat ini telah yaitu Spathiphyllum spp., Alocasia spp., mengoleksi 30 marga, 64 jenis, dan 820 Anthurium spp., Aglaonema spp, Homalomena spesimen Araceae. Sebanyak 64,5% marga spp., Dieffenbachia spp., Schismatoglottis sp., Araceae di Indonesia sudah berhasil dikonser- dan Holochlamys beccarii Engl. Spesies terpilih vasi di dalamnya. Sebanyak 315 bibit telah merupakan jenis Araceae yang bernilai ilmiah berhasi; diperbanyak dari 25 jenis Araceae tinggi dan berpotensi secara ekonomi sebagai terpilih. Empat jenis baru telah ditemukan pada tanaman hias dan diperlukan sebagai elemen tahun 2010 dan dipublikasi pada tahun 2011, taman Kebun Raya “Eka Karya” Bali – LIPI. yaitu jenis Alocasia baginda Kurniawan & P.C. Umumnya, teknik budi daya dilakukan secara Boyce dan Homalomena agens Kurniawan & vegetatif dengan metode split tunas baru/anakan. P.C. Boyce yang berasal dari Kalimantan Timur Sebagian kecil lainnya dilakukan perbanyakan serta Schismatoglottis inculta Kurniawan & P. secara generatif, yaitu untuk jenis Anthurium C. Boyce dan Homalomena vittariifolia spp. Kurniawan & P. C. Boyce berasal dari Sulawesi Upaya konservasi Araceae melalui bank Tenggara. Saat ini pembuatan manuskrip untuk biji belum bisa dilakukan karena biji Araceae beberapa jenis baru dan endemik sedang terus tidak bisa disimpan dalam jangka waktu lama dikerjakan dan akan dipublikasikan di tahun atau bersifat rekalsitran. Penyimpanan biji dalam mendatang. keadaan kering akan membuat viabilitas biji Tingkat endemisitas yang tinggi dan menjadi sangat rendah. Viabilitas akan baik masih kurangnya informasi tentang Araceae di apabila penyimpanan dilakukan dalam keadaan wilayah Kalimantan, Sulawesi, dan Papua lembap pada suhu dingin, namun hanya berlaku merupakan tugas yang besar sekaligus untuk sementara. Oleh karena itu, biji Araceae kesempatan yang besar bagi para ilmuwan untuk mengungkapnya. Untuk ke depannya

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 72 disarankan untuk melakukan kegiatan koleksi Kalimantan Indonesia Borneo”. Acta Araceae di wilayah-wilayah tersebut. Phytotxonomica et Geobotanica, 60 (3): 123–126. DAFTAR PUSTAKA Kurniawan, A., B. Adjie & P.C. Boyce. 2011a. “Studies on the Araceae of Sulawesi I: Asih, N.P.S dan A. Kurniawan. 2010. “Jenis– New taxa of Schismatoglottis and jenis Araceae dari Kabupaten Jembrana, Homalomena , and a preliminary checklist Bali”. Prosiding Seminar Nasional and keys for Sulawesi”. Acta Biologi Peran IPTEK Bidang Biologi Phytotaxonomica et Geobotanica, 61 (1): Dalam Melestarikan Kearifan 40–50. Masyarakat Untuk Mendukung Kurniawan, A., N.P.S. Asih, B. Adjie & P.C. Pemanfaatan Sumber Daya Alam Boyce. 2011b. “Studies on Berkelanjutan. Hal. 428–439. Homalomeneae (Araceae) of Borneo IX: Bogner, J. and A. Hay. 2000. A New Species of Homalomena “Schismatoglottideae (Araceae) in Supergroup Chamaecladon from Malesia II : Aridarum, Bucephalandra, Kalimantan Timur, Indonesian Borneo”. Phymatarum, Piptospatha”. Telopea , 9 Aroideana, 34: 30–36. (1): 179–222. Mayo, J.S., J. Bogner and P.C. Boyce. 1997. Bown, D. 1988. Aroids: Plants of the Arum “The Genus of Araceae”. The European Family . Portland Oregon: Timber Press. Union. Royal Botanic Gardens, Kew. Boyce, P.C., S.Y. Wong, B.A. Fasihudin. 2010a. Siregar, M., W.S. Lestari, I W. Warnata dan “Studies on Homalomeneae (Araceae) of G.W. Setiadi. 2005. “Rencana Strategis Borneo II: The Homalomena of Nanga Tahun 2005 – 2009 UPT Balai Sumpa (Batang Ai) – Novel and Pre- Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka existing Taxa, and Notes on Iban Usages”. Karya” Bali”. UPT Balai Konservasi Gardens’ Bulletin Singapore 61 (2): 269– Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” 317. Bali-LIPI. Boyce, P.C., I.B. Igor & W.L.A. “Hetterscheid. Wong, S.Y., 2010. “Studies on 2010b. A Review of the White-flowered Schismatoglottideae (Araceae) of Amorphophallus (Araceae: Thomsonieae) Borneo XIII: A Revision of the Species in Sarawak”. Bulletin Singapore Schismatoglottis nervosa Species 61 (2): 249–268. Complex”. Gardens’ Bulletin Singapore, Boyce, P.C. 2010c. Komunikasi pribadi dalam 62 (1): 177–209. kunjungan ke Kebun Raya “Eka Karya” Wong, S.Y., P.C. Boyce, A.S. bin Othman & Bali, 3 Desember 2010. L.C. Pin, 2010. “Molecular phylogeny Boyce, P.C. 2011. Araceae Seed Sowing and of tribe Schismatoglottideae (Araceae) Germination. based on two plastid markers and (http://www.aroid.org/horticulture/arace recognition of a new tribe, Philonotieae , ae_seed_sowing.php ., diakses tanggal 15 from the neotropics”. TAXON , 59 (1): September 2011 pada pukul 09.30). 117–124. Cusimano, N., J. Bogner, S.J. Mayo , P.C. Yuzammi and A. Hay. 1998. “Alocasia Boyce, S.Y. Wong , M.Hesse , W.L.A. Suhirmaniana (Araceae : Colocasiaceae) “Hetterscheid, R.C. Keating, and J.C. A Spectacular New Aroid From French. 2011. Relationships Within The Sulawesi, Indonesia”. Telopea, 7(4): Araceae : Comparison Of Morphological 303–306. Patterns With Molecular Phylogenies”. Yuzammi. 2000. “A Taxonomi Revision of The American Journal of Botany , 98(4): 1–15. Terrestrial and Aquatic Aroids Croat, T.B., 1998. “Hystory and Current Status (Araceaein Java)”. Thesis. School of of Systematic Research with Araceae”. Biological Science Faculty of Life Aroideana, 21: 26–145. Science. Sydney: University of New Kurniawan, A. and P.C. Boyce. 2011. “Studies South Wales. on the Alocasia Schott (Araceae: Yuzammi dan Tim Flona. 2007. ”Primadona Colocasiaceae) of Borneo II: Alocasia Baru Alokasia Eksotis”. Jakarta: baginda A New Species from Eastern Majalah Flona.

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 73 INVENTARISASI DAN KONSERVASI TUMBUHAN LANGKA LOKAL DI RPH RENDANG, KECAMATAN RENDANG, KARANGASEM

Wawan Sujarwo dan Tuah Malem Bangun UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali - LIPI Candikuning, Baturiti, Tabanan 82191. E-mail : [email protected]

ABSTRACT – Forest cover in Bali is diminishing due to the high rate of conversion of land use. In addition, the reduction of vegetation cover area is also caused by volcanic activity as in Rendang district affected by the eruption of Mount Agung that occurred in 1963. The development efforts of rare local plants in Bali is emphasised in this study. This study aimed to collect plant species that have little abundance in nature, which will be cultivated in the Botanical Gardens Bali in order to get optimal seeds and can be returned to its original habitat. The methodology of this study is including literature study, interviewing the public or stakeholders as well as constructed transects in the forest areas that have been damaged or in an area not subject to degradation, so the results of the study in both transects can be compared to determine which plant species has shrunk its abundance in nature. The study results shows that some of the species that are no longer found in the forests of the RPH such as rendang kepelan (Manglietia glauca Blume), taytay (Michelia champaca L.), and purnajiwa (Euchresta horsfieldii (Lesch.) Benn.) because of over exploitation. Meanwhile, endangered plant species include wood gempong (Meliosma sp.), wood pedanten (Radermachera sp.), wood nangi (Vernonia arborea), and wood empag (Acronesia sp.).

Keywords : Cover plants; Plant conservation; Rare plants; Rendang, Kecamatan; Karangasem

PENDAHULUAN Rendang yang berlokasi di lereng Gunung Agung memiliki laju kerusakan lingkungan Mayoritas penduduk Bali memeluk agama yang cukup cepat dikarenakan banyaknya Hindu. Mereka menggunakan tumbuhan untuk masyarakat sekitar yang masuk kawasan hutan berbagai macam keperluan, di antaranya bahan untuk mencari rumput buat pakan ternak bangunan (rumah dan pura), peralatan musik, sehingga proses regenerasi alami tanaman kerajinan, bahan obat, dan upacara agama. Hal melalui seedlings menjadi terganggu. ini membuktikan bahwa dalam kehidupan Artikulasi tumbuhan langka lokal yang sehari-hari masyarakat Bali tidak bisa lepas dari dipakai yaitu tumbuhan yang sudah jarang tumbuhan. Siregar et al . (2004) menyebutkan kelimpahannya di alam pada lokasi survei/ ada 462 jenis tumbuhan yang digunakan sarana penelitian. Dalam usaha pengembangan tum- upacara, Sarna dan Sumardika (2004) juga buhan langka lokal Bali, agar manfaatnya dapat menyebutkan ada 50 jenis tumbuhan sudah dirasakan oleh masyarakat maka pemilihan langka. Di lain hal, tumbuhan yang digunakan jenis diprioritaskan pada jenis langka lokal untuk keperluan pengobatan yang tertuang yang berpotensi. Penekanan tumbuhan langka dalam lontar usada tercatat ada 433 jenis lokal berarti tumbuhan yang kelimpahannya (Siregar et al ., 2007). sudah jarang di lokasi inventarisasi. Untuk Tutupan lahan hutan di Bali semakin mendapat jenis terpilih dilakukan dengan studi berkurang dikarenakan tingginya laju konversi pustaka, wawancara pada masyarakat ataupun penggunaan lahan mulai dari berubahnya lahan pihak-pihak terkait, dan pembuatan transek di hutan, kebun kopi menjadi kebun sayur, lahan kawasan hutan, baik yang telah mengalami permukiman penduduk hingga permasalahan kerusakan maupun di kawasan yang belum pencurian kayu. Adnyana (2005) menyebutkan mengalami degradasi. Hal ini dimaksudkan agar di Desa Candikuning dan Pancasari saja lahan dari hasil kajian di kedua transek tersebut dapat vegetasi sudah berkurang 101,1 ha. Di samping dibandingkan spesies tanaman yang telah itu, berkurangnya lahan vegetasi juga disebab- menyusut kelimpahannya di alam. Di samping kan oleh aktivitas gunung berapi seperti yang penggalian status kelimpahan tumbuhan, pene- terjadi di Kecamatan Rendang yang terkena litian juga diarahkan pada perbanyakan tum- dampak dari letusan Gunung Agung yang buhan langka lokal. Perba-nyakan tumbuhan terjadi pada tahun 1963. Selain itu, RPH dilakukan dari biji, anakan, dan stek yang

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 74 diambil dari hutan atau areal milik masyarakat. terganggu sehingga hasil keragaman Penelitian ini bertujuan untuk mengoleksi jenis- vegetasi dari kedua kawasan tersebut dapat jenis tumbuhan yang sudah sedikit kelimpahan- dibandingkan untuk mengetahui perbedaan nya di alam, yang nantinya akan dibudidayakan keragamannya sehingga dapat diperkirakan spesies tumbuhan yang telah mengalami di Kebun Raya Bali sehingga akan didapatkan degradasi (Indriyanto, 2006). bibit optimal yang akan dikembalikan lagi ke c. Pengumpulan material (biji, anakan, dan habitat semula. stek) jenis-jenis tumbuhan langka lokal dilakukan dengan metode eksplorasi meng- METODOLOGI gunakan purposive sampling di kawasan hutan RPH Rendang. Lokasi Penelitian dan Rute Perjalanan d. Identifikasi jenis tumbuhan menggunakan acuan Flora of Java Vol. I, II, III (Backer Kabupaten Karangasem terletak di paling timur and van de Brink, 1968). Pulau Bali dengan luas 839.54 ha (Wikipedia, 2010) yang telah mengalami kerusakan HASIL DAN PEMBAHASAN lingkungan cukup tinggi akibat pencurian kayu, tambang pasir, dan tingginya tingkat interaksi Keragaman dan Kelimpahan Jenis Tumbuh- antara hutan dan masyarakat yang hidup di an di Hutan Alam sekitarnya. Tingkat kerusakan hutan di kabupa- ten ini adalah ketiga tertinggi di Bali setelah Dari hasil penelitian di lapangan menggunakan Kabupaten Jembrana dan Buleleng. Lokasi metode penggalian informasi dengan Kepala penelitian difokuskan pada Kecamatan Rendang, RPH Rendang dan masyarakat sekitar kawasan khususnya kawasan hutan di bawah pengelola- hutan, didapatkan beberapa jenis tumbuhan an RPH Rendang yang memiliki areal seluas yang kelimpahannya sudah tergolong langka 4767,72 ha yang terdiri atas kawasan hutan khususnya di kawasan hutan RPH Rendang. alam dan hutan tanaman. Jenis-jenis tumbuhan tersebut di antaranya udu Rute perjalanan inventarisasi dan kon- (Listea sp.), kepelan ( Manglietia glauca Bl.), servasi tumbuhan langka lokal di Kecamatan cempaka ( Michelia champaca L.), dan Rendang, Karangasem antara lain sebagai purnajiwa ( Euchresta horsfieldii (Lesch.) berikut. Kegiatan penelitian dimulai dari Kota Benn.). Hal ini disebabkan oleh tingginya Amlapura menuju Kecamatan Rendang. Selan- kegunaan (nilai ekonomi) dari jenis-jenis jutnya, perjalanan menuju RPH Rendang di tumbuhan tersebut bagi masyarakat lokal yang Desa Pempatan untuk menggali informasi tinggal di sekitar kawasan hutan. Selain sebagai tentang berbagai jenis tumbuhan di wilayah tumbuhan obat untuk stimulan, purnajiwa juga RPH Rendang. Kemudian, perjalanan menuju sebagai kayu pertukangan bagi masyarakat hutan alam Bubung, hutan peralihan dari hutan untuk perumahan. alam ke hutan tanaman di Desa Lebah, hutan Hasil pembuatan petak ukur di hutan tanaman pinus ( Pinus merkusii ), dan hutan alam bubung, menunjukkan bahwa tingkat tanaman ampupu ( Eucalyptus urophylla ). keanekaragaman jenis dan kerapatan tumbuhan Kemudian, perjalanan terakhir menuju hutan cukup rendah sebagaimana ditunjukkan pada alam Munduk Pengubengan yang terletak di Tabel 1. Hutan alam Bubung merupakan suatu Desa Besakih. kawasan yang kondisinya sudah tidak menun- jukkan sifat dan karakteristik hutan alam yang Metode Penelitian sesungguhnya. Hal tersebut dikarenakan kon- disi hutan sudah mengalami disturbances yang a. Metode wawancara digunakan untuk cukup kuat dari masyarakat lokal yang tinggal penggalian informasi mengenai jenis-jenis di sekitar areal hutan, masyarakat meman- tumbuhan di lokasi KRPH Penelokan. faatkan lahan hutan untuk menanam rumput Wawancara dilakukan dengan Kepala RPH gajah ( Penisetum purpureum ) sebagai pakan Rendang dan masyarakat lokal sekitar ternak. Kondisi tersebut dapat terlihat secara kawasan hutan. b. Pembuatan petak ukur berukuran 20x20 m nyata di kawasan hutan alam yang ada di bawah di kawasan hutan, baik yang telah pengelolaan RPH Rendang. mengalami gangguan maupun yang belum

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 75

Gambar 1 . Lokasi Penelitian (lingkaran) (BPKH, 2011)

Hasil pembuatan petak ukur di hutan lapangan menunjukkan bahwa hutan alam alam Munduk Pengubengan, justru memiliki Munduk Pengubengan memiliki tingkat keragaman jenis lebih rendah, tetapi memiliki keragaman semai (tumbuhan bawah/ ground kerapatan yang lebih tinggi dari hutan alam cover ) yang cukup tinggi, antara lain kayu Bubung. Secara kenampakan visual maka hutan gempong ( Meliosma sp.), talas-talasan ( Homa- alam Munduk Pengubengan memiliki kondisi lomena sp.), anggrek tanah ( Calanthe sp.), kayu lebih baik dibanding hutan alam Bubung. Hasil pedanten ( Radermachera sp.), kayu padi keragaman jenis dan kerapatannya disajikan (Ligustrum glomeratum ), kayu kedongdang pada Tabel 2.Selain pengamatan tegakan baik (Spondias sp.), kayu nangi ( Vernonia arborea ), berupa pohon maupun pancang, dilakukan juga kayu empag ( Acronesia sp.) dan begonia pengamatan semai untuk mengetahui proses (Begonia longifolia ). regenerasi tumbuhan. Hasil pengamatan di

Tabel 1 . Daftar Keragaman dan Kelimpahan Jenis Tumbuhan di Hutan Alam Bubung No Species Family Kelimpahan Keterangan 1 spicata Juglandaceae 2 Pohon Pohon 2 Ligustrum glomeratum Oleaceae 3 Pohon 3 Spondias sp. Anacardiaceae 1 Pohon 4 Vernonia arborea Asteraceae 1 Pohon 5 Eucalyptus urophylla Myrtaceae 1 Pohon 6 Ficus sp. Moraceae 1 7 Erythrina subumbrans Fabaceae 5 Pohon (1) Pancang (4) 8 Dabregeasia longifolia Urticaceae 1 Pancang Pancang 9 Schima wallichii Oleaceae 1 Pancang 10 Calliandra haematocephala Fabaceae 1 11 Ficus fistulosa Moraceae 3 Pancang Total Individu 20

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 76 Tingginya keragaman pada tingkat semai tidak rata-rata tinggi pohon 19,67 m, rata-rata bisa diikuti, baik sampai pada tingkat pancang diameter 39,42 cm dan kisaran umur 30 tahun. maupun pohon. Penyebab terhambatnya proses Adapun kelimpahan tegakan pada hutan regenerasi adalah terja-dinya konversi lahan tanaman ampupu sebanyak 36 individu dengan tumbuhan bawah menjadi ladang bagi rata-rata tinggi pohon 10,71 m; rata-rata pertumbuhan rumput gajah, sama halnya terjadi diameter 17,27 cm dan kisaran umur 20 tahun. di hutan alam Bubung. Kondisi di hutan alam Dari kedua kawasan hutan tanaman pinus dan Bubung lebih parah karena sama sekali tidak ampupu sama sekali tidak diketemukan indivi- diketemukan tumbuhan bawah, sudah hampir du tumbuhan bawah. seluruh kawasannya didominasi oleh rumput gajah. Rumput gajah digunakan masyarakat Jenis Prioritas dan Usaha Konservasinya lokal sebagai pakan ternak peliharaan mereka. Beternak hewan peliharaan merupakan mata Penentuan spesies prioritas dilakukan berdasar- pencaharian utama bagi mereka. Pembersihan kan pada hasil penelitian di lapangan, baik tumbuhan bawah yang dilakukan oleh berupa penggalian informasi dari masyarakat masyarakat lokal, tanpa mereka sadari telah lokal sekitar kawasan hutan maupun hasil merusak proses regenerasi alami suatu pengamatan dengan menggunakan petak ukur. ekosistem hutan yang dapat meng-akibatkan Jenis prioritas dibedakan menjadi dua kelom- terjadinya kelangkaan suatu jenis tumbuhan pok, yakni jenis yang sudah tidak ada di bahkan kepunahan jenis di kawasan tersebut. kawasan hutan RPH Rendang ( extinct on the wild ) dan jenis tumbuhan terancam ( endangered Kelimpahan Tegakan di Hutan Peralihan species ). dan Hutan Tanaman Jenis tumbuhan yang sudah tidak diketemukan lagi di kawasan hutan RPH Selain hutan alam, RPH Rendang juga memiliki Rendang, yakni kepelan ( Manglietia glauca kawasan hutan peralihan serta hutan tanaman Bl.), cempaka ( Michelia champaca L.), dan pinus ( Pinus merkusii ) dan ampupu ( Eucalyptus purnajiwa ( Euchresta horsfieldii (Lesch.) urophylla ). Hutan peralihan merupakan kawas- Benn.). Hal ini didasarkan dengan didasarkan an hutan yang dulunya adalah hutan alam, tetapi pada keterangan masyarakat dan hasil sekarang sudah berubah fungsi sebagai hutan pengamatan petak ukur yang sama sekali sudah tanaman ampupu dan masih diketemukan tidak diketemukan lagi. Tingginya nilai ekono- beberapa jenis tanaman hutan alam. Hasil mi dari jenis tanaman tersebut mengakibatkan pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa tingkat eksploitasi masyarakat menjadi ber- proses regenerasi masih terlihat dengan lebih. Adapun jenis tumbuhan terancam antara ditemukannya jenis Litsea sp., Ficus fistulosa , lain kayu gempong ( Meliosma sp.), kayu Erythrina subumbrans , Ligustrum glomeratum , pedanten ( Radermachera sp.), kayu nangi Engelhardia spicata , dan Pinus merkusii yang (Vernonia arborea ) dan kayu empag ( Acronesia secara lengkap tersaji pada Tabel 3. sp.). Hal ini didasarkan pada kelimpahan yang Hasil pengamatan kelimpahan tegakan cukup sedikit dengan hanya diketemukan di pada petak ukur berukuran 20x20 m di hutan hutan alam Munduk Pengubengan. tanaman pinus sebanyak 9 individu dengan

Tabel 2 . Daftar Keragaman dan Kelimpahan Jenis Tumbuhan di Hutan Alam Munduk Pengubengan No Species Family Kelimpahan Keterangan 1 Schima wallichii Theaceae 9 Pohon (8) Pancang (1) 2 Engelhardia spicata Juglandaceae 1 Pohon 3 Bischofia javanica Euphorbiaceae 3 Pohon Pancang 4 Ficus fistulosa Moraceae 19 Pancang 5 Calliandra haematocephala Fabaceae 9 Pancang 6 Ficus padama Moraceae 1 Total Individu 42

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 77 Tabel 3 . Daftar Keragaman dan Kelimpahan Jenis Tumbuhan di Hutan Peralihan Lebah No Species Family Kelimpahan Keterangan 1 Eucalyptus urophylla Myrtaceae 10 Pohon (5) Pancang (5) 2 Engelhardia spicata Juglandaceae 4 Pohon (3) Pancang (1) 3 Erythrina subumbrans Fabaceae 1 Pohon (2) Pancang (1) Pancang 4 Litsea sp. Lauraceae 1 Pancang 5 Ficus fistulosa Moraceae 1 Pancang 6 Ligustrum glomeratum Oleaceae 1 7 Pinus merkusii Pinnaceae 1 Pancang Total Individu 19

Usaha konservasi perlu dilakukan agar 2. Keragaman di hutan peralihan (dari hutan spesies tumbuhan tetap lestari dengan alam ke hutan tanaman ampupu) antara lain melakukan perbanyakan ( propagation ) jenis- Eucalyptus urophylla , Engelhardia spicata , jenis prioritas tersebut dan akan bermanfaat Erythrina subumbrans , Litsea sp., Ficus dalam program re-introduksi (pengembalian fistulosa , Ligustrum glomeratum , dan Pinus spesies tumbuhan ke habitat aslinya). Pada merkusii . ekspedisi ini, telah dilakukan pengambilan 3. Jenis tumbuhan yang sudah tidak material perbanyakan berupa anakan jenis-jenis diketemukan lagi di kawasan hutan RPH tanaman terancam, sedangkan jenis yang sudah Rendang yakni kepelan ( Manglietia glauca tidak diketemukan, dapat diambil dari koleksi Bl.), cempaka ( Michelia champaca L.), dan yang ada di Kebun Raya Bali. Kegiatan purnajiwa ( Euchresta horsfieldii (Lesch.) perbanyakan akan dilakukan oleh unit re- Benn.) dengan didasarkan pada keterangan introduksi Kebun Raya Bali dan diharapkan masyarakat dan hasil pengamatan petak dapat menghasilkan bibit dengan kualitas yang ukur. Tingginya nilai ekonomi dari jenis optimal sehingga program re-introduksi dapat tanaman tersebut mengakibatkan tingkat dilakukan untuk menjaga kelestarian spesies eksploitasi masyarakat menjadi berlebih. tumbuhan di lokasi alaminya. Adapun jenis tumbuhan terancam, antara lain kayu gempong ( Meliosma sp.), kayu KESIMPULAN pedanten ( Radermachera sp.), kayu nangi (Vernonia arborea ), dan kayu empag Penelitian ini telah memperoleh hasil dengan (Acronesia sp.) kesimpulan sebagai berikut. 1. Keragaman jenis tumbuhan yang terdapat di Untuk menjaga kelestarian keanekara- hutan alam Bubung, antara lain gaman hayati di kawasan hutan RPH Rendang Engelhardia spicata , Ligustrum glome- perlu dilakukan pengetatan regulasi terkait ratum , Spondias sp., Vernonia arborea , penggunaan kawasan hutan oleh masyarakat Eucalyptus urophylla , Ficus sp., Erythrina lokal yang tinggal di pinggiran hutan, social subumbrans , Dabregeasia longifolia , forestry memang merupakan hal yang cukup Schima wallichii , Calliandra haemato- dilematis, tetapi bisa diselesaikan dengan cephala dan Ficus fistulosa . Adapun pendekatan kolaboratif antara pemerintah yang keragaman jenis di hutan alam Munduk dalam hal ini pihak kehutanan dengan Pengubengan, antara lain Schima wallichii , masyarakat. Engelhardia spicata , Bischofia javanica , Ficus fistulosa , Calliandra haemato- DAFTAR PUSTAKA cephala , Ficus padama , Meliosma sp., Homalomena sp., Calanthe sp., Adnyana, IW.S. 2005. ”Erosi dan Penggunaan Radermachera sp., Ligustrum glomeratum , Lahan di Kawasan Bedugul”. Prosiding Spondias sp., Vernonia arborea , Acronesia Simposium Analisis Daya Dukung dan sp., dan Begonia longifolia . Daya Tampung Sumber Daya Air di

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 78 Kawasan Tri-Danau Beratan, Buyan I.G.W. Setiadi. 2004. “Konservasi dan Tamblingan . UPT Balai Tumbuhan Upacara Agama Hindu di Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Kebun Raya “Eka Karya” Bali”. ”Eka Karya” Bali – LIPI. Pp. 59–74. Prosiding Seminar Nasional Konservasi Backer, C.A. and R.C.B. van de Brink Jr. 1968. Tumbuhan Upacara Agama Hindu. UPT Flora of Java . Vol. I, II, III. Groningen, Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya the Netherlands: Wolters-Noordhoff N. “Eka Karya” Bali-LIPI. Pp. 51–80. V. Siregar, M., IM. Pendit, D.M.S. Putri, N.K.E. BPKH. 2011. Peta Kawasan Hutan dan Undaharta, S.F. Hanum and M.S. Perairan Provinsi Bali . Denpasar: Hartutiningsih. 2007. “Keanekaragaman Balai Pemantapan Kawasan Hutan Tumbuhan Usada dan Konservasi di Wilayah VIII. Kebun Raya “Eka Karya” Bali”. Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan . Jakarta: Bumi Prosiding Seminar Konservasi Tumbuhan Aksara. Usada Bali dan Peranannya dalam Sarna, K. dan IN. Sumardika. 2004. “Tanaman Mendukung Ekowisata . UPT Balai Upacara Agama Hindu di Bali dalam Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Tantangan Jaman”. Prosiding Seminar Karya” Bali-LIPI. Hlm. 44–58. Nasional Konservasi Tumbuhan Upacara Wikipedia. 2010. Karangasem. Agama Hindu . UPT Balai Konservasi (http://en.wikipedia.org/wiki/Karangasem , Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali diakses 11 Juni 2011). – LIPI. Pp. 123–126. Siregar, M., N.K.E. Undaharta, IW. Sumantera, D. Mudiana, IDP. Darma, D.M.S. Putri,

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 79 KAJIAN ETNOBOTANI INTARAN ( Azadirachta indica A.Juss.) DI KABUPATEN BULELENG – BALI

I Made Sumerta UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya ”Eka Karya” Bali-LIPI Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali 82191, E-mail: [email protected]

ABSTRACT – Ethnobotany research of intaran (Azadirachta indica) has been carried out in Buleleng Regency, Bali Province. The study conducted includes study of botany, study of ethnoecology ethnofarmacology, ethnoanthropology, and ethnoeconomy, using field survey and interviewing community leaders, religious and cultural leaders, healers and wood craftsmen. The results obtained show that intaran habit is tree, its trunk can reach 20 feet even more, growing in altitude 1–300 m asl, on dry land/barren with pH from 4 to 6.5. The leaves and bark are used as skin medicine and insecticide. This plant is used also in the religious ceremony such as ceremonial Hindu cultures, as the holy building materials, fodder and for soil conservation.

Keywords: Ethnobotany; Azadirachta indica: Medicinal plants; Buleleng, Kabupaten; Bali

PENDAHULUAN Bali. Sebagian besar wilayahnya merupakan dataran rendah dan kering dengan letak Keanekaragaman hayati di Indonesia bukan geografis pada posisi 8 03 ′40 ″–823 ′00 ″LS dan hanya sebagai pemenuhan kebutuhan dasar 114 25 ′55 ″–115 27 ′28 ″BT. Buleleng juga yang terbatas pada pangan, sandang, dan merupakan daerah berbukit yang membentang perumahan, tetapi juga untuk kebutuhan lain di bagian selatan, sedangkan dataran rendah seperti ilmu pengetahuan dan rekreasi. Hal ada di bagian utara, memiliki iklim tropis yang tersebut mendorong masyarakat melakukan dipengaruhi oleh angin musim yang bergantian berbagai upaya konservasi mulai dari invent- setiap enam bulan. Buleleng termasuk daerah tarisasi, pemanfaatan, dan budi daya, yang bayang-bayang hujan pada bulan Oktober- melibatkan berbagai disiplin ilmu di antaranya April, dan panas April-Oktober, dengan rata- taksonomi, etnobotani, dan bioteknologi. rata curah hujan 459,4 mm per tahun, dan Etnobotani merupakan ilmu botani mengenai kisaran suhu 26–30 oC. Jumlah penduduk pemanfaatan tumbuhan dalam keperluan sekitar 624.079 jiwa yang sebagian besar sehari-hari dan adat suatu daerah. Studi beragama Hindu (BPS. Kabupaten Buleleng, etnobotani tidak hanya mengenai data botani 2010). taksonomis saja, tetapi juga menyangkut Terwujudnya peningkatan kepercaya- pengetahuan botani yang bersifat kedaerahan, an dan kesejahteraan masyarakat Buleleng berupa tinjauan interpretasi dan asosiasi yang yang dilandasi falsafah Tri Hita Karana, yaitu mempelajari hubungan timbal balik antara hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan tanaman, serta menyangkut manusia dengan manusia, dan hubungan manu- pemanfaatan tanaman tersebut lebih sia dengan alam, serta meningkatkan potensi diutamakan untuk kepentingan budaya dan sumber daya alam maupun sumber daya kelestarian sumber daya alam. Etnobotani manusia untuk pembangunan yang merujuk pada kajian interaksi antara manusia berwawasan lingkungan dalam pertanian, dengan tumbuhan (Dharmono, 2007). Kajian pariwisata, dan bidang lainnya merupakan Visi ini merupakan bentuk deskriptif dari dan Misi Buleleng (Aditya, 2011). Dengan pendokumen-tasian pengetahuan botani potensi sumber daya hutan terluas di Bali, tradisional yang dimiliki masyarakat setempat Kabupaten Buleleng dijadikan model bagi yang meliputi kajian botani, etnofarmakologi, industri berbahan kayu berstandar internasional. etnoantropologi, etnoekonomi, dan etno- Masya-rakat Buleleng memiliki banyak jenis ekologi (Martin, 1998). tumbuhan yang dimanfaatkan dalam kehidupan Buleleng adalah kabupaten yang sehari-hari, untuk bahan pangan, perumahan, terletak di belahan Bali bagian utara dengan industri, ramuan obat-obatan, dan sarana luas wilayah 136.588 ha atau 24,25% dari luas upacara adat kebudayaan, yang salah satunya

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 80 adalah intaran/mimba. Untuk menjaga keles- BAHAN DAN METODE tarian jenis ini pemanfaatannya dilaku-kan secara bijaksana untuk mejamin kesi- Penelitian ini dilakukan di beberapa kecamatan nambungan peredaran dengan tetap mening- di Kabupaten Buleleng-Bali, menggunakan katkan kualitas nilainya. Kesadaran konservasi metode jelajah dan wawancara dengan tokoh dari masyrakat masih sangat rendah sehingga masyarakat, tokoh agama dan budaya, balian, perlu ditingkatkan melalui informasi-informasi dan pengerajin kayu. Alat yang digunakan: pH ilmiah tentang manfaat etnobotani dari meter, GPS, dan kamera, sedangkan bahan tumbuhan tersebut. yang digunakan tumbuhan intaran/mimba Intaran/mimba, mimbo (Jawa) (Azadirachta indica A. Juss.). Sampel diambil dengan nama ilmiah Azadirachta indica A. di beberapa kecamatan di Kabupaten Buleleng Juss. merupakan pohon tinggi yang dapat untuk mengamati data morfologinya. Data mencapai 20 m, bahkan lebih. Intaran/mimba hasil penelitian dianalisis secara langsung dari sampai saat ini masih banyak tumbuh liar di hasil wawancara dan secara deskripsi dengan tempat yang tanahnya agak tandus dengan meng-acu pada studi pustaka. berbagai tipe tanah, ada juga yang ditanam di tepi-tepi jalan sebagai pohon pelindung HASIL DAN PEMBAHASAN (Anonim, 2010). Intaran/mimba tahan hidup pada daerah dengan iklim kering yang lama Hasil pengamatan kajian etnobotani terhadap dan curah hujan tahunan 450–2.250 mm. intaran/mimba di Kabupaten Buleleng meliputi kajian botani, etnofarmakologi, etnoantro- Intaran/mimba banyak terdapat di daerah Jawa pologi, etnoekonomi, dan etnoekologi, didapat- Barat, Jawa Timur, Madura, pada hutan kan hasil seperti pada Tabel 1. terbuka, umumnya pada ketinggian 1–300 m dpl., tetapi bisa juga tumbuh sampai pada Kajian Botani ketinggian 1.500 m. dpl, asal suhunya tidak terlalu tinggi. Tumbuhan ini diperkirakan asli Kajian botani mencakup morfologi tumbuhan Burma dan India Timur Laut, menyebar ke yang meliputi jenis perakaran, batang, dan India, juga ditemukan di Kamboja, Laos, Iran, percabangan batang. Dari hasil pengamatan Asia, Afrika, Autralia, Amerika Latin, dan diketahui bahwa intaran atau mimba/imba (Jawa), membha/mempeuh (Madura), memiliki Amerika Selatan. bentuk pohon, batangnya simpodial yang Intaran/mimba di India disebut ” the tinggi (arbor) dapat mencapai 20 m bahkan village pharmacy ” digunakan sebagai obat lebih dan kayunya keras (Van Steenis, 2003). penyakit kulit, antiinflamasi, demam, anti- Kulit batangnya tebal, agak kasar, akar bakteri, antidiabetes, kardiovaskular, dan tunggang, daun majemuk menyirip genap, insektisida. Selain untuk obat, di India bentuk lonjong, tersusun spiral mengumpul di tanaman ini juga dipakai sebagai minyak ujung ranting dengan jumlah helaian 8–16 lampu dalam pembuatan sabun. Di Madura helai, tepi daun bergerigi, bergigi, beringgit, digunakan sebagai perabot rumah tangga helaian daun tipis dan runcing, panjang anak daun 3–10,5 cm. Bunga memiliki susunan (batang), makanan ternak (daun), dan rebusan malai terletak di ketiak daun paling ujung 5–30 daunnya diminum sebagai obat pembangkit cm, gundul atau berambut halus pada pangkal selera dan malaria. Di Jawa ada juga yang tangkai, karangan tangkai bunga 1–2 mm, menggunakan sebagai fungisida untuk pengen- kelopak kekuningan, bersilia rata-rata 1 mm, dalian antrak-nosa pada buah apel pascapanen. mahkota putih ke-kuningan bersilia panjang 5– Intaran/mimba dapat diperbanyak melalui stek, 7 mm, benang sari membentuk tabung, putik cangkok, dan biji (Anonim, 2010). memiliki panjang rata-rata 3 mm, sedangkan Berdasarkan uraian di atas, penelitian buahnya merupakan buah batu panjang 1 cm, tentang nilai etnobotani yang meliputi kajian berwarna hijau kekuningan. Intaran dapat diperbanyak dengan biji atau anakan. botani, etnofarmakologi, etnoantropologi, dan etnoekologi dari tanaman intaran khususnya di Kabupaten Buleleng perlu dilakukan. Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai informasi dasar yang nantinya dapat digunakan sebagai bahan acuan studi etnobotani selanjutnya.

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 81 Tabel 1 . Data Etnobotani Intaran/Mamba No Kajian Hasil 1 Botani Bentuk pohon, batangnya dapat mencapai 20 m bahkan lebih. Kulit batangnya tebal dan agak kasar, daun majemuk menyirip genap, bentuk lonjong, tersusun spiral mengumpul diujung ranting dengan jumlah helaian 8–16 helai, dengan tepi daun bergerigi dan runcing. Buahnya merupakan buah batu panjang 1 cm. 2 Etnofarmakologi Daun digunakan sebagai obat gatal-gatal pada kulit dan insektisida/ pengendali ulat, kulit batang juga sebagai obat gatal-gatal pada kulit. 3 Etnoantropologi Sarana ritual dalam upacara pitra yadnya (orang meninggal), upacara dewa yadnya, sarana ritual untuk pawang hujan dan sarana upacara pemelas/pemisah. 4 Etnoekonomi Sebagai bahan bangunan suci, makanan ternak, dan untuk konservasi tanah. 5 Etnoekologi Ketinggian tempat 1–300 mdpl, pada tanah kering/tandus dengan pH tanah 4–6,5

Kajian Etnofarmakologi Kabupaten Buleleng digunakan sebagai sarana ritual dalam upacara agama Hindu. Etnofarmakologi adalah kajian tentang peng- a. Sebagai sarana upacara dewa yadnya gunaan tmbuhan yang berfungsi sebagai obat Sebagai pembersihan sebelum melakukan atau ramuan yang dihasilkan oleh penduduk setempat (Martin, 1998). Selain untuk obat, persembahyangan, yang disebut dengan daun intaran juga digunakan sebagai racun ulat tepung tawar. Prosesnya: daun intaran/ (pestisida nabati) yang ramah lingkungan pada mimba dicampur beras sedikit (tidak ada tanaman paprika. Proses pembuatannya adalah perbandingan pasti/secukupnya), ditumbuk sebagai berikut: daun intaran direbus dengan setengah halus, ditaburkan di atas kepala perbandingan 5 kg daun intaran segar dan 20 atau sesajen sebelum melakukan persem- liter air, sampai menjadi 15 liter air, kemudian bahyangan. larutan disemprotkan pada tanaman dengan b. Sebagai sarana upacara pitra yadnya perbandingan 3 liter larutan daun intaran Sebagai simbul bulu alis pada orang dicampur 10 liter air, larutan ini mampu melemahkan daya serang atau daya rusak dari meninggal. Prosesnya: anak daun intaran/ ulat tersebut walaupun tidak mati seketika. Di mimba diambil 2 helai, kemudian masing- India tanaman ini disebut “the village masing helai ditempelkan pada bulu alis pharmacy”, di mana intaran ( Azadirachta indica jenazah sebelum dikubur dengan tujuan Juss), ini digunkaan untuk penyembuhan agar kelak di kelahiran yang akan datang penyakit kulit, antiinflamasi, demam, anti- mempunyai bulu alis seperti bentuk daun bakteri, antidiabetes, penyakit kardiovaskular, intaran/mimba. dan insektisida (Heyne, 1987). c. Sebagai sarana upacara manusia yadnya Ruskin (1993) dalam Anonim (2010) Untuk mengakhiri masa menyusu bayi menyebutkan Salanin pada intaran/mimba pada ibunya, disebut upacara pemelas/ berperan sebagai penurun nafsu makan ( anti- pemisah. feedant ) yang mengakibatkan daya rusak d. Sebagai sarana pawang hujan serangga sangat menurun, walaupun serangga- Daun intaran/mimba dipercaya sebagai nya sendiri belum mati. Oleh karena itu, dalam sarana bagi pawang hujan untuk meng- penggunaan pestisida nabati dari mimba, halau mendung dengan cara membakar seringkali hamanya tidak mati seketika setelah daun intaran yang masih segar. Kenyataan disemprot ( knock down ), namun memerlukan tersebut sesuai dengan pernyataan Martin beberapa hari untuk mati, biasanya 4–5 hari. (1998), bahwa kajian etnoantropologi Namun, hama yang telah disemprot tersebut adalah kajian mengenai penggunaan tum- daya rusaknya sudah sangat menurun karena buhan dalam acara ritual keagamaan, dalam keadaan sakit. Dari hasil penelitian kepercayaan, dan mitos yang diyakini oleh tersebut membuktikan bahwa intaran/mimba masyarakat setempat yang sifatnya khas. juga dimanfaatkan sebagai obat dan pestisida di Buleleng. Kajian Etnoekonomi

Kajian Etnoantropologi Dari hasil wawancara dengan beberapa peng- rajin kayu dan peternak di Buleleng, intaran/ Hasil kajian tentang etnoantropologi intaran/ mimba mempunyai nilai ekonomi yang cukup mimba menunjukkan bahwa intaran di tinggi. Selain sebagai obat dan pestisida alami,

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 82 daun intaran yang masih segar juga digunakan KESIMPULAN DAN SARAN sebagai makanan ternak (sapi), terutama pada musim kemarau, kayunya digunakan sebagai Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bangunan suci (sanggah). Kayu intaran dengan bahwa intaran ( Azadirachta indica A. Juss.) ukuran balok tebal 6 x 12 cm, panjang 1 m bisa sangat bermanfaat bagi masyarakat Buleleng mencapai harga Rp40.000,- dalam kehidupan sehari-hari, yaitu untuk Intaran/mimba sangat berpotensi untuk ramuan obat, sarana ritual keagamaan dan konservasi tanah karena memiliki sistem per- budaya, serta memiliki nilai ekonomi untuk akaran yang kuat, pohon yang tinggi dan besar, membuat bangunan suci/tempat pemujaan serta mampu bertahan hidup pada daerah- agama Hindu (sanggah). daerah tandus. Selain itu, intaran/mimba sangat Untuk mempertahankan populasi cocok digunakan sebagai pohon penghijauan intaran di Buleleng disarankan perlu adanya ataupun reboisasi di Indonesia, khususnya di usaha konservasi dan pengembangan karena daerah yang panas dan kering di dataran rendah. sampai saat ini belum ada usaha budi daya. Karena mempunyai nilai ekonomi yang cukup Pertumbuhan dan perkembangannya masih tinggi, intaran/mimba di Buleleng semakin alami dan sangat lambat, sedangkan peman- berkurang sehingga perlu adanya pengem- faatan jenis ini oleh masyarakat relatif banyak bangan agar populasinya di Buleleng bisa sehingga tidak menutup kemungkinan lambat dipertahankan. laun jenis ini di Buleleng akan mengalami kepunahan. Kajian Etnoekologi DAFTAR PUSTAKA Kajian etnoekologi adalah suatu kajian untuk mengetahui keterkaitan antara tumbuhan yang dikaji terhadap kondisi ekologi atau lingkung- Aditya. 2011. Visi dan Misi Kabupaten annya, misalnya habitat tumbuh serta interaksi Buleleng. Pemerintah Kabupaten dari tumbuhan tersebut dengan tumbuhan Buleleng lainnya. Anonim. 2010. “Tanaman Obat: Kasiat Daun Mimbo ( Azadirachta indica Juss.)”, (http://kiathidupsehat.com/tanaman- obat-khasiat-manfaat-daun-mimbo- Azadirachta-indica-juss /, diakses Agustus 2010). BPS – Bapeda Kabupaten Buleleng. 2010. Buleleng Dalam Angka 2010. Darmono. 2007. “Kajian Etnobotani Tumbuhan Jalungkap ( Centela asiatica L.) Di Suku Dayak Bukit Desa Hartai 1 Loksado”. Bioscientiae , 4: 71–78.

Gambar 1 . Contoh Sanggah dari kayu intaran/mimba Heyne, K. 1987. “Tumbuhan Berguna Indonesia, Vol. II”. Jakarta: Litbang Dari hasil pengamatan dengan menje- Kehutanan. lajahi beberapa daerah di Buleleng, intaran/ Martin, G.J. 1998. Etnobotani : Sebuah Manual mimba banyak dijumpai tumbuh liar di tempat Pemeliharaan Manusia dan Tumbuhan . yang tanahnya agak tandus dengan berbagai Edisi Bahasa Melayu, Terjemahan tipe tanah. Ada juga yang ditanam di tepi-tepi Haryati Mohamed, Natural History jalan sebagai pohon pelindung, pada ketinggian Publications (Borneo) Sdn. Bhd. 1–300 mdpl, dengan pH tanah 4–5. Pohon Kinabalu. Sabah. Malaysia mimba termasuk pohon yang mampu Astutik, S. 2010. Pemanfaatan Tanaman Mimba beradaptasi di daerah marginal yang panas dan sebaga alternative Pestisida Nabati, kering, bahkan berbatu. Dataran rendah dan (http://ksupointer.com/pemanfaatan- lahan kering dengan ketinggian 0–800 m dpl. tanaman-mimba-sebagai-alternatif- merupakan habitat yang terbaik untuk nabati , diakses Agustus 2010). pertumbuhan tanaman mimba (Anonim, 2010).

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 83 Tjtrosoepomo, G. 2002. Taksonomi Press. Tumbuhan(Spermatophyta) , Van Steenis, C.G.G.J. 2003. Flora. Jakarta: Yogyakarta: Gadjah Mada University Pradnya Paramita.

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 84 EKSPLORASI TUMBUHAN PEWARNA DI KABUPATEN GIANYAR

Siti Fatimah Hanum*, Dewa Putu Darma dan I Made Sumerta UPT BKT Kebun Raya “Eka Karya” BaliCandikuning, Baturiti, Tabanan, Bali *E-mail : [email protected]

ABSTRACT – The utilization of plants as dye has long been known by Indonesian people. With the changing times, natural dyes began to be abandoned; the use of synthetic dyes became an alternative because of practicality and easy to get it. However, the use of synthetic dyes was creating problems for the environment and human health, so people interested to use natural dyes again. Gianyar Regency is one district that has some weaving companies that still use natural dyes. This activity aims to examine the use of plants as a coloring agent in Gianyar regency and collected them at “Eka Karya” Botanic Garden Bali. A total of 19 species of plants have been successfully collected in the exploration activities. Almost all plants can be used as a dye depending on the level of color strength. A part of plants of the most widely used as a dye is the leaves. New collections of “Eka Karya” Bali Botanic Garden are Basella rubra L. and Indigofera suffruticosa Miller.

Keywords : Dye plants; Plant introduction; Gianyar, Kabupaten

PENDAHULUAN alam. Informasi mengenai pemanfaatan tanam- an sebagai bahan pewarna dipandang masih Kesadaran masyarakat terhadap bahaya bahan perlu dilakukan untuk memperkaya jenis pewarna sintesis membuat orang kembali tumbuhan sebagai bahan pewarna alam. menggunakan bahan pewarna alam. Kekayaan Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui Indonesia sebagai negara yang memiliki pemanfaatan tumbuhan sebagai bahan pewarna biodiversitas tanaman yang besar memungkin- di Kabupaten Gianyar dan mengoleksinya di kan eksplorasi tanaman pewarna. Menurut Kebun Raya “Eka Karya” Bali. Haerudin (2007), pewarna alami tidak membahayakan kesehatan manusia dan METODOLOGI lingkungan, tetapi keawetan atau stabilitas warna tidak tahan lama. Selain itu, bahan baku Kegiatan eksplorasi dilakukan di Desa Pejeng, di alam terbatas karena belum banyak yang Kecamatan Tampak Siring; Desa Bona dan membudidayakannya. Seiring dengan mening- Desa Mas Ceti, Kecamatan Gianyar; Desa katnya kebutuhan tekstil, muncul pewarna Demayu Kecamatan Ubud serta Tegallalang sintesis karena kepraktisan dan mudah pada tanggal 2–7 September 2010. Inventarisasi mendapatkannya, padahal warna yang berasal tumbuhan pewarna dilakukan dengan metode dari bahan sintetis tidak bisa didegradasi dan wawancara terhadap para perajin tenun yang diperbarui. Selain itu, kandungan logam berat masih menggunakan pewarna alam sebanyak yang ada tidak baik bagi kesehatan manusia, empat orang. Material tanaman diperoleh yaitu bisa menimbulkan kanker, menyerang dengan melakukan penjelajahan ke pekarangan, saraf otak, dan dapat merusak lingkungan . tanah tegalan, dan kebun. Zat warna tekstil digolongkan menjadi dua. Pertama, zat pewarna alam (ZPA), yaitu HASIL DAN PEMBAHASAN zat warna yang berasal dari bahan-bahan alam pada umumnya dari hasil ekstrak tumbuhan Gambaran umum lokasi kegiatan atau hewan. Kedua, zat pewarna sintesis (ZPS) yaitu Zat warna buatan atau sintesis dibuat Kabupaten Gianyar merupakan salah satu dari dengan reaksi kimia dengan bahan dasar ter sembilan kabupaten/kodya yang ada di Provinsi arang batu bara atau minyak bumi yang Bali. Secara geografi Kabupaten Gianyar merupakan hasil senyawa turunan hidrokarbon terletak di antara 80 18’48 dan 80 37’58 LS, aromatic, seperti benzena, naftalena, dan 115 0 13’29” dan 115 0 22’23” Bujur Timur. Luas antrasena (Isminingsih dalam Fitrihana, 2007). daratan 368 km 2 atau 36.800 ha (6,53% dari Kabupaten Gianyar merupakan salah satu luas Pulau Bali) tersebar dalam tujuh kecamatan kabupaten yang memiliki beberapa perusahaan dengan iklim tropis, yaitu Kecamatan tenun yang masih menggunakan bahan pewarna Blahbatuh, Gianyar, Payangan, Tegallalang,

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 85 Tampak Siring, Sukawati, dan Ubud. Secara berbentuk klorofil, karotenoid, flovonoid, dan administratif, Kabupaten Gianyar berbatasan kuinon . Pewarna alami dari tumbuhan biasanya dengan kota Denpasar di sebelah barat daya; diperoleh dari ekstraksi atau perebusan bagian- Kabupaten Bangli di sebelah timur, Kabupaten bagian tertentu tanaman, seperti kulit kayu, Badung di sebelah barat, dan Kabupaten batang, daun, akar, bunga, dan getah (Sutara, Klungkung di sebelah tenggara. Kabupaten 2009). Berdasarkan wawancara dengan Gianyar memiliki 63 desa dan 6 kelurahan, 541 pengrajin diperoleh informasi bahwa hampir banjar dinas, dan 269 desa adat, serta 515 subak. semua tumbuhan menghasilkan warna, tetapi Jumlah penduduk Gianyar pada tahun 2004 daya tahan dan kecerahan warna yang mencapai 422.186 jiwa, laki-laki 214.903 jiwa dihasilkannya berbeda-beda untuk setiap jenis- (50,90%) dan perempuan 207.293 jiwa nya. Dengan demikan, maka pengrajin hanya (49,10%) dengan tingkat kepadatan 1.147 menggunakan tumbuhan yang menghasilkan jiwa/km 2. Dengan tanah-tanah datar yang ada, warna yang kuat saja. Ada beberapa syarat yang masyarakatnya sebagian besar bertani dengan harus dipenuhi oleh tumbuhan yang akan memanfaatkan lahan secara maksimal (Anonim, digunakan sebagai pewarna, yaitu ketahanan 2011). Data dari Dinas Perindustrian dan warna yang dihasilkan, kekuatan terhadap Perdagangan, pada tahun 2011 Gianyar gesekan, dan ketahanan terhadap perubahan memiliki 43 unit industri kain tenun ikat dengan kelembapan. Informasi pemanfaatan tanaman jumlah tenaga kerja mencapai 557 orang. pewarna dapat dilihat pada Tabel 1. Menurut Mangku Barta, salah seorang staf Jenis-jenis tumbuhan pewarna tersebut Dinas Perindustrian dan Perdagangan, saat ini ada yang tumbuh liar, namun ada yang sudah terdapat dua perusahaan tidak berizin yang dibudidayakan secara terbatas untuk memenuhi masih menggunakan pewarna alam secara kebutuhan sendiri oleh masyarakat. Bagian keseluruhan dalam produksinya. tanaman yang banyak digunakan sebagai pewarna alami adalah daun, buah, kulit batang, Tumbuhan pewarna batang, dan kulit akar (Gambar 1). Pemanfaatan daun sebagai bahan Zat pewarna yang berasal dari tumbuhan sudah pewarna alam sangat besar, yaitu 54%, Hal ini dikenal masyarakat Indonesia sejak lama. dikarenakan pengambilan daun pada tanaman Menurut Lemmens dan Wulijarni-Soetjipto tidak mengakibatkan kerusakan pada tanaman (1999), sebagian besar warna dapat diperoleh sehingga dapat dilakukan berulang kali. dari produk tumbuhan, pada jaringan tumbuhan Pemanfaatan kulit akar sangat sedikit, yaitu 4%. terdapat pigmen tumbuhan penimbul warna Hal ini dikarenakan jika mengambil kulit akar yang berbeda tergantung menurut struktur maka akan merusak tanaman tersebut sehingga kimianya. Golongan pigmen tumbuhan dapat pemakaiannya sangat jarang.

Tabel 1 . Jenis Tanaman yang Dikoleksi sebagai Tumbuhan Pewarna di Kebun Raya Bali dan Pemanfaatannya. No Nama latin Suku Jenis Warna yang Bagian yang (Nama lokal) pewarna dihasilkan dimanfaatkan 1 Basella rubra L. Basellaceae Makanan Merah Buah (Gendolo) 2 Strobilanthes crispus (L.) Bl. Acanthaceae Kain Biru Daun, batang (Pecah beling) 3 Indigofera suffruticosa Mill. Fabaceae Kain Biru Daun, batang (Gereng-gereng) 4 Indigofera tinctoria L. Fabaceae Kain Biru Daun, batang (Gereng-gereng) 5 Sandoricum koetjape Merr. Meliaceae Kain Cokelat Kulit kayu (Sentul) 6 Morinda citrifolia Linn. Rubiaceae Tekstil Merah, cokelat, Kulit akar (Tibah) kuning 7 Muntingia calabura Linn. Tiliaceae Tekstil Cokelat Daun (Singepur) 8 Solanum caspicastrum Link. Solanaceae Topeng/ Hitam Buah (Terong kokak) patung 9 Theobroma cacao L. Sterculiaceae Tekstil Merah Daun (Cokelat/kakao)

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 86 No Nama latin Suku Jenis Warna yang Bagian yang (Nama lokal) pewarna dihasilkan dimanfaatkan 10 Pleomele angustifolia (Roxb.) Agavaceae Makanan Hijau Daun N.E.Br. (Kayu sugih) 11 Anacardium sp. Anacardiaceae Tekstil Kuning Kulit batang (Kecemcem) 12 Arthocarpus odoratisima Blanco Moraceae Tekstil Hijau Daun (Teep) 13 Mesua ferrea Linn. Clussiaceae Topeng/ Hitam Buah (Naga sari) barong /pretime 14 Syzygium cumini L. Myrtaceae Tekstil Hitam Daun, buah, (Juwet) kulit batang 15 Lannea grandis Engl. Anacardiaceae Tekstil Hijau Daun (Kayu santan) 16 Sauropus androgynus (L.) Merr. Euphorbiaceae Tekstil Hijau Daun (Kayu manis) 17 Cordial mixa L. Boraginaceae Tekstil Hijau Daun (Kendal ) 18 Hibiscus tiliaceus L. Malvaceae Tekstil Hijau Daun (Waru) 19 Pluchea indica (L.) Less. Asteraceae Tekstil Hijau Daun (Beluntas)

Pewarna alam digunakan untuk mewarnai tekstil, topeng/patung/pretime, dan makanan. Pewarna ini paling banyak digunakan untuk tekstil (Tabel 1). Alasan para pengrajin di Gianyar masih menggunakan bahan pewarna alami adalah bahan-bahannya mudah diperoleh karena tumbuh di lingkungan sekitar. Permintaan konsumen akan produk dengan pewarna alam terus meningkat karena peng- gunaan pewarna sintetis terkadang menim- bulkan alergi bagi pemakainya, Harga jual kain Gambar 1 . Bagian tanaman yang dimanfaatkan yang menggunakan pewarna alam lebih tinggi sebagai pewarna dibandingkan dengan penggunaan pewarna sintetis. Penggunaan pewarna alami merupakan Pewarna alam digunakan untuk bentuk kepedulian pengrajin terhadap mewarnai tekstil, topeng/patung/pretime, dan lingkungan sebagai salah satu cara menyuk- makanan. Pewarna ini paling banyak digunakan seskan program pemerintah, yaitu pengurangan untuk tekstil (tabel 1). Alasan para pengrajin di pencemaran lingkungan. Hal ini sesuai dengan Gianyar masih menggunakan bahan pewarna apa yang diutarakan Sutara (2009) bahwa alami adalah bahan-bahannya mudah diperoleh penggunaan pewarna alam pada kain tenun karena tumbuh di lingkungan sekitar. akan meningkatkan nilai jualnya karena target Permintaan konsumen akan produk dengan pasarnya adalah golongan menengah ke atas. pewarna alam terus meningkat karena penggu- Pemanfaatan daun sebagai bahan pewarna alam naan pewarna sintetis terkadang menimbulkan sangat besar, yaitu 54%, Hal ini dikarenakan alergi bagi pemakainya, Harga jual kain yang pengambilan daun pada tanaman tidak menggunakan pewarna alam lebih tinggi mengakibatkan kerusakan pada tanaman dibandingkan dengan penggunaan pewarna sehingga dapat dilakukan berulang kali. sintetis. Penggunaan pewarna alami merupakan Pemanfaatan kulit akar sangat sedikit, yaitu 4%. bentuk kepedulian pengrajin terhadap ling- Hal ini dikarenakan jika mengambil kulit akar kungan sebagai salah satu cara menyukseskan maka akan merusak tanaman tersebut sehingga program pemerintah, yaitu pengurangan pence- pemakaiannya sangat jarang. maran lingkungan. Hal ini sesuai dengan apa yang diutarakan Sutara (2009) bahwa penggunaan pewarna alam pada kain tenun

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 87 akan meningkatkan nilai jualnya karena target Dua jenis di antaranya merupakan tumbuhan pasarnya adalah golongan menengah ke atas. pewarna yang merupakan koleksi baru bagi Warna yang paling banyak dihasilkan Kebun Raya ‘Eka Karya” Bali yaitu Basella dari tumbuhan pewarna adalah hijau, biru, rubra L. (Gambar 2) dan Indigofera suffru- ticosa Miller (Gambar 3). Basella rubra oleh hitam, cokelat, dan merah. Berikut ini adalah masyarakat setempat dinamai gendolo. proses pembuatan warna biru dari bahan alam Tanaman ini termasuk dalam suku Basellaceae, (indigofera). Daun indigo direndam dalam bak merupakan tanaman herba perennial liana yang air dengan posisi tetap di bawah permukaan air. hidup pendek, batang basah (sukulen), warna Setelah kuang lebih 10 jam daun akan batang ungu, daun duduk berseling, daun mengalami proses peragian. Selama proses berbentuk sendok, buah balir dan berwarna peragian ini, daun akan naik ke atas permukaan hijau jika masih muda serta hitam setelah tua. air. Air berwarna hijau dan di permukaan air Buah digunakan sebagai pewarna merah. ada gelembung gas dan warna biru. Proses Menurut Rahmansyah (1994), jus buah yang berwarna merah dapat digunakan sebagai tinta, perendaman selesai dalam waktu kurang lebih kosmetik, dan untuk mewarnai makanan. 48 jam. Daun dikeluarkan dari bak dan diperas, Indigofera suffruticosa dikenal kemudian air disaring menggunakan strimin. masyarakat setempat dengan nama gereng- Cairan dikebur selama dua jam dengan gereng. Anggota suku Fabaceae ini merupakan menggunakan gayung sehingga air akan tanaman semak, tegak dengan tinggi 45 - 250 berwarna hijau kehitaman. Campurkan dua cm, daunnya menyirip gasal, perbungaan sendok makan soda abu per kg ke dalam cairan membentuk tandan pada ketiak batang, tadi dan dikebur lagi selama 15 menit hingga bunganya berwarna ungu, buahnya berbentuk cairan tampak berwarna cokelat. Diamkan bulan sabit, bijinya berwarna cokelat meng- kilap. Tanaman ini berguna menghasilkan semalaman, butiran akan turun mengendap. warna biru untuk kain dan bagian tanaman yang Hari berikutnya air bagian atas dibuang untuk digunakan adalah daun dan batang. memisahkan air dan nila yang mengendap di Pencarian tumbuhan pewarna dilakukan bawahnya. Nila yang sudah berbentuk pasta di pekarangan penduduk, tegalan, dan kebun. apabila akan digunakan untuk mewarnai kain Hal ini dikarenakan di lokasi eksplorasi tidak perlu diberi tambahan air, gula aren, dan kapur. dijumpai adanya hutan. Material koleksi yang sudah diperoleh selanjutnya diaklimatisasi di Material koleksi pembibitan untuk selanjutnya didaftarkan sebagai koleksi di Kebun Raya Bali.

Dari eksplorasi ini diperoleh 19 nomor yang terdiri atas 19 jenis, 18 marga, dan 15 suku.

a.

Gambar 2 . Basella rubra L.

Gambar 2 . Basella rubra L. b.

Gambar 3 . Indigofera suffruticosa Miller. (a) Habitus (b) bentuk buah

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 88 KESIMPULAN 08/16/sekilas-tentang-zat-warna-alam- untuk-tekstil/ , diakses 28 Juli 2011). Sebanyak 19 jenis tanaman telah berhasil Haerudin, H. 2007. “Ramah Lingkungan”. dikoleksi dalam kegiatan eksplorasi di Gianyar. Sumber: Indo Pos (14 Februari 2007) Informasi pemanfaatannya pun sudah (http://www.lipi.go.id/www.cgi?berita&1 terkumpul. Hampir semua jenis tanaman dapat 171728652&25&2007& , diakses 28 Juli digunakan sebagai pewarna tergantung dari 2011). tingkat kekuatan warna. Bagian tanaman yang Lemmens, R.H.M.J. dan N. Wulijarni-Soetjipto. paling banyak digunakan sebagai pewarna 1999. “Sumber Daya Nabati Asia adalah daun. Dua jenis tanaman merupakan tenggara No. 3: Tumbuh-tumbuhan koleksi baru di Kebun Raya “Eka Karya” Bali Penghasil Warna dan Tanin”. Jakarta: yaitu Basella rubra L. dan Indigofera Balai Pustaka (persero), dan Prosea suffruticosa Miller. Indonesia-Bogor. Rahmansyah, M. 1994. “Basella alba L. in DAFTAR PUSTAKA Plant Resources of South East Asia no. 8. Vegetables”. J. S. Siemonsma and K. Anonim. 2011. www.gianyar.go.id , diakses 28 Piluek (eds), Bogor. Juli 2011). Sutara, P.K. 2009. “Jenis Tumbuhan Sebagai Fitrihana, N. 2007. “Sekilas tentang zat warna Pewarna Alam pada Beberapa alam untuk tekstil”. Perusahaan Tenun di Gianyar”. Bumi (http://batikyogya.wordpress.com/2007/ Lestari , 2 (9): 217–223.

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 89 PEMANFAATAN KAYU KENITU (Chrysophyllum cainito ) OLEH MASYARAKAT JEMBER

Umiyah Staf Pengajar Jurusan Biologi FMIPA Universitas Jember E-mail : [email protected]

ABSTRACT – Chrysophyllum cainito L. is a member of Sapotaceae family with vernacular name as kenitu, manicu, sawo bludru, and others local name. The plants are very easy to get because its spreadout everywhere in Jember. Usually, many people use wood of kenitu as firewood. Inventory of wood utilization of the plant has not been researched and informed yet. Therefore, the research was conducted to get the information about other wood utilization. Observations were done at the beginning to figure-out of the information about the wood utilization of kenitu. Then, data were colleted by using semi-structured interview from key-informans. Result of the research, besides as firewood, wood of kenitu is also used as door and window frames, doors and windows, bed (divan) and part of boat material.

Keywords : Wood; Chrysophyllum cainito; Jember

PENDAHULUAN itu, perlu diinventarisasi tentang pemanfaatan kayu kenitu ( Chrysophyllum cainito L.) agar Kenitu ( Chrysophyllum cainito L.) termasuk informasi peruntukannya saat ini dapat suku Sapotaceae yang memiliki habitus pohon, diketahui secara tepat. Dengan demikian, akan tegak, tinggi 20 m (Tim Penulis Penebar tersedia data dasar untuk membantu dalam Swadaya, 1994), bahkan dapat mencapai 30 m optimalisasi pemanfaatannya melalui pengujian (Cruz Jr., 1992; Subhadrabandhu, 2001). lebih lanjut dari kayu kenitu dalam rangka Batang berbentuk silinder dengan diameter meningkatkan nilai ekonomi kayu kenitu seperti sampai 1 m (Subhadrabandhu, 2001), dengan uji kualitas kayu, ketepatan peruntukannya tajuk yang lebar dan rimbun. Seperti halnya (pulp kertas, kayu lapis, dan lain-lain.). anggota suku Sapotaceae lainnya, kayu kenitu Penelitian ini dilakukan dengan tujuan dikenal sebagai kayu yang keras dan untuk mendokumentasikan pemanfaatan yang mengandung getah putih (Lawrence, 1951; dilakukan oleh masyarakat Jember agar dapat Wiselius, 1998) yang lengket. diketahui data awal pemanfaatan dari jenis Kenitu tergolong sebagai tumbuhan tumbuhan ini. Dengan demikian, data tersebut kayu yang kurang dikenal ( Lesser used species ) dapat digunakan sebagai dasar untuk (Sosef et al ., 1998) sehingga pemanfaatannya mengoptimalkan pemanfaatan kayu kenitu di belum optimal. Hal ini disebabkan karena data masa yang akan datang. dasarnya belum banyak diketahui (Muslich dan Sumarni, 2008). Di Jember tumbuhan kenitu BAHAN DAN METODE sangat mudah dijumpai dengan populasi yang melimpah. Pada umumnya kayunya digunakan Penelitian ini telah dilakukan dengan teknik oleh masyarakat setempat untuk kayu bakar, wawancara dan pengamatan langsung di sedangkan buahnya dimakan sebagai buah lapangan yang dilakukan mulai Januari sampai segar. April 2009, kemudian dilanjutkan pada bulan Berdasarkan ciri-ciri morfologi dan Mei sampai Juni 2010. Subyek penelitian ketersediaannya di Jember maka sangat adalah masyarakat Jember yang memanfaatkan dimungkinkan ada pemanfaatan lebih luas dari tumbuhan kenitu dalam aktivitas harian. Untuk kayu kenitu, tidak hanya sebagai kayu bakar itu, dilakukan observasi awal dengan cara saja. Sampai saat ini informasi tentang manfaat purposive sampling, yaitu pemilihan informan kayu kenitu belum tersedia, yang ada hanya dengan pertimbangan tertentu. Dalam hal, ini untuk kayu bakar sebagai pengetahuan turun informannya adalah orang yang kesehariannya temurun. Sementara itu, penggunaan peralatan memanfaatkan kayu kenitu sehingga memahami modern untuk mengganti kayu bakar telah karakter kayu tersebut (produsen atau produsen tersosialisasi sampai ke desa-desa. Oleh sebab sekaligus konsumen) atau memiliki barang-

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 90 barang berbahan kayu kenitu karena mengenal tetapi juga etnis Mandar beraktivitas bersama kayu kenitu dengan baik (konsumen). dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian, untuk pengumpulan data tentang Chrysophyllum cainito merupakan pemanfaatan kayu kenitu selain untuk kayu tumbuhan populer di Jember, masyarakat bakar dilakukan wawancara semi-terstruktur Jember mengenal dengan baik tumbuhan ini (Martin, 1995). dengan beberapa varian (Umiyah, 2008). Masyarakat Jember terdiri atas banyak Pemanfaatan secara turun-temurun dari orang etnis, tetapi etnis yang terbesar adalah etnis tua ke anak-anak mereka terutama pada peman- Madura dan Jawa. Namun, di wilayah pesisir faatan buah kenitu. Pengetahuan ini diturunkan berdiam juga etnis Mandar yang masih menjaga secara oral tradisional oleh masyarakat Jember. ciri-ciri nenek moyangnya, dan kebanyakan Oleh sebab itu, kenitu merupakan salah satu bermatapencaharian sebagai nelayan. Dalam dari 17 jenis anggota suku Sapotaceae yang penelitian ini, etnis-etnis yang bertempat- buahnya masih dimanfaatkan dalam kehidupan tinggal dan menetap di Kabupaten Jember sehari-hari oleh masyarakat lokal (Purwanto, disebut sebagai masyarakat Jember 2000). Pohon kenitu ( Chrysophyllum cainito HASIL DAN PEMBAHASAN L.) memiliki tajuk yang rindang (Subhadra- bandhu, 2001) sehingga sangat tepat jika Berkaitan dengan pemanfaatan kayu kenitu, dijadikan sebagai tumbuhan peneduh, kayu masyarakat Jember terbagi menjadi tiga cukup baik sebagai bahan bangunan, bahan kelompok, yaitu orang-orang yang memanfaat- konstruksi (Cruz Jr.,1992). Berdasarkan hasil kan kayu kenitu untuk dijual, untuk digunakan wawancara dengan informan, kayu kenitu sendiri, dan memiliki barang-barang berbahan memiliki sifat keras, kuat, dan tahan lama kayu kenitu dengan membelinya. Berdasarkan (awet). Bagi masyarakat Jember, karakter kayu hasil wawancara dengan informan dan yang demikian cocok dimanfaatkan sebagai pengamatan langsung di lapangan terdapat bahan kusen, daun pintu-jendela, dan dipan. empat pemanfaatan utama kayu kenitu, yaitu Biasanya, perabot tersebut dibuat dengan sebagai kusen pintu dan jendela, daun pintu dan peralatan tradisional bukan mesin, seperti yang jendela, tempat tidur (dipan), dan bahan bagian telah dilakukan orang-orang tua mereka perahu. Pemanfaatan lainnya mengganti kayu sebelumnya. Pemanfaatan seperti ini dirasa jenis lain seperti untuk ganjal/landasan menum- sangat menguntungkan karena harga kayu puk sementara kayu gelondongan, pengganti kenitu lebih murah, sedangkan ketahanannya kayu palang kandang sapi dan lain-lain, tidak tidak kalah dengan kayu lain yang lebih populer, selalu dilakukan oleh masyarakat. seperti kayu jati, mahoni, dan sengon. Hal ini, Kusen pintu dan jendela beserta daun juga ditemui pada kayu nyatoh ( Pouteria pintu dan jendela paling banyak dibuat dari duclican Bachni.) yang dapat dimanfaatkan pada tempat tidur dan bagian perahu nelayan sebagai papan perumahan, mebel, tiang, balok, tradisional. Pemanfaatan ini dapat dijumpai di rusuk, papan lantai, dinding pemisah, peralatan beberapa bagian wilayah Jember, yaitu Desa rumah tangga dan venir kayu lapis, kemudian Jombang, Kecamatan Jombang, Kelurahan diharapkan untuk bisa mengganti posisi kayu Tegal Gede, Kecamatan Sumbersari, Desa ramin (Muslich dan Sumarni, 2008). Dengan Sukorambi, Kecamatan Sukorambi, dan Desa demikian, akan mengurangi eksploitasi terha- Gebang, Kecamatan Patrang, Kabupaten dap penggunaan kayu komersial tersebut Jember. Tempat tidur/dipan dijumpai di (Muslich dan Sumarni, 2008). wilayah Kelurahan Tegal Gede, Kecamatan Secara taksonomis, semua anggota Sumbersari saja. Wilayah ini mayoritas dihuni suatu suku memiliki kesamaan-kesamaan ter- oleh etnis Madura dan Jawa. Adapun tentu, demikian juga pada anggota suku pemanfaatan kayu kenitu untuk pembuatan Sapotaceae. Pada tumbuhan tanjung ( Mimusops bagian perahu dilakukan oleh sebagian elengi ) dan sawo ( Manilkara kauki ) memiliki masyarakat nelayan di Desa Puger Kulon dan zat ekstraktif yang cukup ampuh dalam Puger Wetan, Kecamatan Puger untuk bagian mencegah serangan rayap tanah, pada kon- Gading Perahu dan rumah-rumahan saja. sentrasi 4% menyebabkan 100% kematian Wilayah ini tidak hanya etnis Madura dan Jawa, rayap tanah (Anisah, 2001). Kemungkinan kenitu ( Chrysophyllum cainito L.) juga

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 91 memiliki zat ekstraktif yang demikian juga, Martin, G.J. 1995. Ethnobotany: A methods mengingat ketiga jenis tumbuhan ini merupakan manual . London: Chapman and Hall. anggota suku yang sama. Hal ini ditunjukkan Muslich, M. dan G. Sumarni. 2008. “Nyatoh bahwa perabot rumah tangga yang dibuat dari Putih dan Balobo sebagai Pengganti kayu kenitu mampu bertahan puluhan tahun dan Kayu Ramin”. Buletin Hasil Hutan , 14 tidak dimakan rayap. Gading dan rumah- (2): 81–89. rumahan perahu tradisional yang digunakan Purwanto, Y. 2000. “Etnobotani dan oleh nelayan Puger memanfaatkan kayu kenitu Konservasi Plasma Nutfah Horti- berdasarkan dari karakternya yang kuat kultura: Peran Sistem Pengetahuan sehingga tahan terhadap air laut (Sulistyowati, Lokal pada Pengembangan dan 2011). Pengelolaannya”. Prosiding Seminar Sehari Cinta Puspa dan Satwa KESIMPULAN Nasional . pp. 308–322 Kebun Raya Bogor. Bogor Selain buah, masyarakat Jember memanfaatkan Sosef, M.S.M., L.T. Hong and S. kayu kenitu ( Chrysophyllum cainito L.) sebagai Prawirohatmodjo. 1998. Plant bahan perabot rumah tangga seperti kusen, daun Resources of South East Asia No. 5 (3): pintu-jendela, dipan, gading, dan rumah- Timber trees: Lesser-known timbers . rumahan perahu tradisional. Pengetahuan lokal Bogor: PROSEA. masih mewarnai pemanfaatan tersebut. Agar Subhadrabandhu, S. 2001. Under-Utilized dilakukan penelitian tentang anatomi, kimia, Tropical Fruits of Thailand . Bangkok, dan mekanik dari kayu kenitu sehingga Thailand: Food and Agriculture peruntukan yang tepat dapat diketahui. Organization of the United Nations, Regional Office for Asia and the UCAPAN TERIMA KASIH Pacific. Sulistyowati, R.T. 2011. “Jenis-Jenis Ucapan terima kasih disampaikan untuk para Tumbuhan yang dimanfaatkan untuk mahasiswa yang telah membantu dalam Pembuatan perahu Tradisional oleh melakukan penelitian ini, juga untuk Rani Tri Nelayan Puger Kabupaten Jember”. Sulistyowati, S.Si. yang telah menyelesaikan Tidak Dipublikasikan. Skripsi. Jember: penelitian Etnobotani bersama penulis. Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. DAFTAR PUSTAKA Universitas Jember Tim penulis Penebar Swadaya. 1994. Mengenal Anisah, L.N. 2001. “Zat Ekstraktif Kayu Tumbuhan Langka Indonesia . Jakarta: Tanjung (Mimusops elengi Linn.) dan Penebar Swadaya. kayu Sawo Kecik (Manilkara kauki Umiyah. 2008. “Variasi Morfologi Tumbuhan Dubard) serta Pengaruhnya terhadap Kenitu (Chrysophyllum cainito L.) di rayap tanah (Coptotermes curvignathus Jember”. Makalah Lokakarya Nasional Holmgren dan Jamur Pelapuk Herbarium, Seminar dan Kongres PTTI (Schizophyllum commune Fries)”. Tesis ke-VIII , Tema: Peran Herbarium dan Magister Sains Program Studi Ilmu Penelitian Taksonomi Tumbuhan. Pengetahuan Kehutanan. Institut Wiselius, S.I. 1998. ”Chrysophyllum L”. In Pertanian Bogor Sosef M.S.M., L.T. Hong and S. Cruz, Jr. F. S. Dela. 1992. “Chrysophyllum Prawirohatmodjo (Eds.) Plant cainito L”. In E.W.M. Verheij & R.E. Resources of South-East Asia No 5 (3) Coronel (Eds.) Plant Resources of Timber trees: Lesser-known Timbers . South-East Asia No 2: Edible Fruits Bogor, Indonesia: PROSEA. and Nuts . Bogor, Indonesia: PROSEA. Lawrence, G.H.M. 1951. Taxonomy of Vascular Plants . New York: The MacMillan Company.

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 92 INVENTARISASI TUMBUHAN BERKASIAT OBAT TRADISIONAL UNTUK PENYAKIT SALURAN KENCING DI KECAMATAN KINTAMANI, KABUPATEN BANGLI, PROVINSI BALI

Ni Nyoman Darsini Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Udayana Kampus Bukit Jimbaran E-mail : [email protected]

ABSTRACT – Research on medicinal plants for urinary tract diorder has been done. This study conducted in 15 villages of Kintamani, Bangli District. Based on the results of interview process with the community, merchants, and some keynote person of Jero Balian it is known there are 47 species of plants can be used for curing urinary tract disorder. Of the 47 species of plants including three species are rare locally, namely: pule (Astolnia scholaris), purnajiwa (Euchresta horsfieldii (Lesch) Benn), and suren (Taona suroni Merr).

Keywords : Medicinal plants, Urinary tract infections.

PENDAHULUAN khususnya dan efek samping buruk yang ditimbulkan oleh pengobatan modern yang Departemen Kesehatan RI mendefinisikan biasanya bersifat kimiawis (Kriswiyanti, 2007). tanaman obat tradisional adalah obat jadi atau Era modernisasi menyebabkan ramuan bahan alam yang berasal dari tumbuhan, masyarakat untuk memilih pengobatan instan mineral, hewan atau campuran bahan tersebut dan kadang-kadang tanpa resep dokter ke yang secara tradisional telah digunakan untuk apotek membeli obat apabila sedang mengalami pengobatan berdasarkan pengalaman. gang-guan kesehatan. Mereka tidak memikirkan Pengobatan tradisional yang bersumber dari efek samping buruk mengonsumsi obat kimiawi tumbuhan telah diketahui sejak dahulu. Penge- secara bebas terhadap organ-organ vital dalam tahuan mengenai pengobatan tradisional terse- tubuh, seperti ginjal, jantung, hati, dan paru- but pada umumnya diwariskan secara turun- paru. Disekitar kita banyak tumbuh tanaman temurun dari generasi ke generasi. Setiap obat yang sebagian besar belum kita ketahui daerah atau suku bangsa memiliki ciri khas dan sangat aman untuk dikomsumsi karena masing-masing dalam hal pengobatan tradi- tidak menimbulkan efek samping. Hal ini sudah sional. Hal ini disebabkan oleh kondisi alamnya, dibuktikan dengan penelitian Kriswiyanti khususnya ketersediaan tumbuh-tumbuhan yang (2007) di Kecamatan Kintamani yang berhasil berkhasiat obat di masing-masing daerah, juga menemukan atau telah meninventarisasi seba- perbedaan falsafah budaya dan adat istiadat nyak 353 spesies tanaman obat untuk meng- yang melatarbelakanginya (Peneng dan Suman- obati berbagai penyakit. Berdasarkan hal tera, 2007; Depkes, 2007). tersebut maka penting untuk dilakukan peneli- Tumbuhan obat merupakan tumbuhan tian inventarisasi tanaman obat yang khusus berkhasiat obat yang dapat menghilangkan rasa untuk mengobati penyakit saluran kencing sakit, meningkatkan daya tahan tubuh, mem- karena kalau penyakit ini tidak ditangani secara bunuh bibit penyakit, dan memperbaiki organ tepat maka akan dapat mengganggu fungsi yang rusak, seperti ginjal, jantung, dan paru- ginjal bahkan akan dapat menyebabkan gagal paru. Tumbuhan obat juga dapat menghambat ginjal. pertumbuhan sel-sel yang tidak normal seperti tumor dan kanker. Hal-hal penting inilah yang BAHAN DAN METODE memacu masyarakat Bali khususnya untuk tetap mempertahankan penggunaan tanaman obat Penelitian ini dilakukan pada bulan November– sebagai alternatif yang sangat tepat untuk Desember 2007, di 15 desa yang ada di Keca- pengobatan penyakit secara tradisional. Apalagi matan Kintamani (Penelokan, Slulung, Daup, dengan makin gencarnya moto back to nature Subaya, Pangkung, Kutuh, Satera, Dause, atau kembali ke alam akibat terjadinya pen- Sukawana, Kintamani, Gunungbau, Pagejoran, cemaran karena limbah-limbah industri obat Catur, Suter, Blanga). Pengumpulan data

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 93 dilakukan menggunakan teknik sampling Berdasarkan data pada tabel tersebut di eksploratif. Cara pengumpulan data dilakukan atas dapat diketahui bahwa tumbuhan obat yang melalui wawancara/survei dengan narasumber berkhasiat untuk mengatasi penyakit gangguan Jero Balian dan juga dengan masyarakat serta saluran kencing di 15 desa yang ada di pedagang ceraken di pasar-pasar Kintamani Kecamatan Kintamani berjumlah 47 jenis yang yang mengetahui dan memanfaatkan tumbuhan tergolong ke dalam 35 familia. Berdasarkan obat untuk mengatasi gangguan saluran kencing. hasil studi kelangkaan tumbuhan diketahui Setiap tumbuhan yang disebut oleh masyarakat, bahwa tiga dari 47 jenis tumbuhan obat pedagang ceraken atau narasumber dicatat tergolong tumbuhan langka, yakni: pule nama lokalnya dan bagian yang digunakan. (Astolnia scholaris ), purnajiwa ( Euchresta Identifikasi tumbuhan untuk penulisan nama horsfieldii (Lasch.) Benth), dan suren ( Taona ilmiah mengacu pada buku Flora of Java (Van Suroni Merr.) (Mogea dkk., 2001). Steenis). Menurut hasil wawancara dengan masyarakat setempat dan narasumber Jero HASIL DAN PEMBAHASAN Balian diketahui ternyata ada delapan jenis gangguan penyakit saluran kencing, dari gang- Kecamatan Kintamani merupakan keca- guan yang sifatnya ringan sampai terberat, matan pegunungan yang terletak pada keting- yakni kencing seret/anyang-anyangan, kencing gian kurang lebih 1.300 m dpl. Masyarakat luas batu, kencing darah, radang ginjal, radang di Indonesia bahkan turis luar negeri telah kandung kemih, kencing nanah, radang saluran mengetahui Kecamatan Kintamani merupakan kencing, dan gagal ginjal. Dari 47 jenis tum- salah satu kecamatan di Kabupaten Bangli buhan tersebut, jenis-jenis gangguan penyakit Propinsi Bali yang memiliki objek-objek saluran kencing yang dapat disembuhkan oleh pariwisata yang sangat menarik. Sebagai contoh, masing-masing tumbuhan adalah berbeda-beda. panorama indah di Desa Penelokan, Gunung Perbedaan tersebut, antara lain 23 jenis tum- Batur, dan Danau Batur. buhan berkhasiat untuk menyembuhkan ken- Berdasarkan hasil penelitian yang cing seret atau tidak lancar (anyang-anyangan); diperoleh melalui proses wawancara dengan delapan jenis tumbuhan berkhasiat untuk masyarakat, pedagang ceraken, dan beberapa menyembuhkan penyakit kencing batu, dua narasumber Jero Balian di 15 desa di Keca- jenis tumbuhan untuk menyembuhkan penyakit matan Kintamani Kabupaten Bangli, diperoleh kencing darah, lima jenis tumbuhan untuk informasi bahwa ada 47 jenis tumbuhan obat menyembuhkan radang ginjal, dua jenis tum- yang berkhasiat untuk mengatasi gangguan buhan untuk menyembuhkan penyakit radang saluran kencing. Semua jenis gangguan penya- kandung kemih, enam jenis tumbuhan untuk kit saluran kencing ini kalau tidak tertangani menyembuhkan penyakit kencing nanah, satu dengan baik maka akan dapat menimbulkan jenis tumbuhan untuk penyakit infeksi saluran penyakit yang berbahaya bahkan mematikan kencing, dan satu jenis tumbuhan dapat diman- yakni penyakit gagal ginjal. Untuk lebih faatkan untuk meringankan penyakit yang jelasnya nama-nama tumbuhan obat untuk paling menakutkan yaitu penyakit gagal ginjal. penyakit gangguan saluran kencing, bagian Penyakit gagal ginjal adalah salah satu penyakit tumbuhan yang dimanfaatkan, jenis gangguan yang kecil kemungkinan dapat disembuhkan. penyakit saluran kencing yang dapat diatasi Dalam ilmu kedokteran penyakit ini sering dapat dilihat pada Tabel 1. disebut penyakit yang sudah terminal.

Tabel 1 . Daftar Tanaman yang Dimanfaatkan Sebagai Obat Tradisional No. Nama Lokal Jenis Suku Bagian Tumbuhan Jenis Gangguan yang Saluran Kencing Dimanfaatkan yang Diatasi 1 Anyang-anyang/rijasa Elaeocarpus Elaeocarpaceae Biji direbus Kencing seret grandiflora Smith 2 Aren/jake Arenga pinata Merr Arecaceae Akar direbus Kencing batu 3 Bakung Crinum asiaticum L Amarilidaceae Daun direbus Kencing seret 4 Belimbing manis Averrhoa carambola L. Oxalidaceae Bunga direbus Kencing batu F. 5 Bulun baon Nauclea sp. Rubiaceae Daun direbus Kencing seret

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 94 No. Nama Lokal Jenis Suku Bagian Tumbuhan Jenis Gangguan yang Saluran Kencing Dimanfaatkan yang Diatasi 6 Cempaka putih Michelia alba DC. Magnoliaceae Daun direbus Kencing seret 7 Ceplukan/kopok- Physalis minima L. Solanaceae Akar direbus Kencing seret kopokan 8 Dadap ayam Erythrina variegata Fabaceae Daun direbus Kencing darah 9 Don sendok /daun urat Plantago major L. Plantaginaceae Daun direbus Kencing seret 10 Gaharu Aquilaria malaccensis Thymelaeaceae Batang, daun Radang ginjal Lamk. direbus 11 Jagung Zea mays L. Poaceae Daun direbus Radang ginjal 12 Kaca piring/jempiring Gardenia jasminoides Rubiaceae Daun, bunga, Kencing seret Ellis buah, biji direbus 13 Kapas tahun Gossypium Malvaceae Kulit akar direbus Radang kandung acuminatum Roxb. kemih 14 Kapok Ceiba petandra Bombaceae Daun direbus Radang kandung GERTIN kemih 15 Kayu tawa Costus specieosus Zingibraceae Rimpang diramu Kencing seret Smith 16 Keji beling Strobilanthes crispus Achantaceae Daun direbus Radang ginjal, BL kencing nanah 17 Kemangi/kecarum Ocimum basillicum L. Lamiaceae Biji direbus Kencing nanah Forma Citratu 18 Kembang pukul empat Mirabilis Jalapa Nyctaginaceae Akar, daun, buah Kencing seret direbus 19 Kembang Sungsang Gloriosa superba L. Liliaceae Rimpang diramu Kencing nanah 20 Kembang telang Clitoria tematea L. Fabaceae Akar direbus Kencing seret 21 Kemeniran Phyllanthus neruri Euphorbiaceae Semua bagian Kencing Batu tumbuhan 22 Keroya Ficus lacor Buch. Ham. Moraceae Daun direbus Kencing Batu 23 Kesawi tanah Nasturtium montanum Brassicaceae Daun direbus Kencing seret Wall. 24 Kumis kucing Orthosiphon spicatus Lamiaceae Daun, bunga, Kencing Batu B. B. S. direbus 25 Landep-landep Barleria prionitis Acantaceae Daun direbus Kencing seret 26 Maja muju Cuscuta australis R. Br. Convolvulaceae Buah dibuat loloh Kencing darah 27 Mindi kecil Melia azedarach L. Lamiaceae Kulit batang, biji Kencing seret direbus 28 Murbei/besaran Morus alba L. Moraceae Daun direbus Kencing nanah 29 Palit sedangan/ginje Thevea paruviana K. Apocynaceae Semua bagian Gagal ginjal Schum. tumbuhan dapat diramu 30 Pepaya Carica papaya Caricaceae Akar di ramu Kencing seret 31 Piling-piling/saga Adenanthera pavonina Fabaceae Akar, batang, daun Kencing seret rambat diramu 32 Pisang klutuk Musa brachycarpa Musaceae Akar diperas Kencing batu Backet airnya 33 Pule @ Astolnia scholaris B.R. Apocynaceae Daun, kulit kayu Radang ginjal diramu 34 Purnajiwa@ Euchrestahorsfieldii Fabaceae Biji direbus Kencing seret (Lasch.) Benth. 35 Rumput teki Cyperus rotundatus Cyperaceae Akar direbus Kencing seret 36 Sambiloto/klimesa-di Andrographis Acantaceae Daun direbus Kencing seret paniculata 37 Sangitan Sambucus javanicus Caprifoliaceae Akar direbus Kencing seret Reinw. 38 Sidaguri Sida romifolia L. Malvaceae Daun direbus Kencing nanah 39 Sidowayah/sepet-sepet Woodfordia fruktikosa Lytheraceae Daun direbus Kencing seret (L.) Kurz. 40 Simbukan Paedaria foetida L. Rubiaceae Daun direbus Kencing seret 41 Sosor bebek/kayu urip Bryophyllum Crassulaceae Daun direbus Kencing seret calycinum Salisb. 42 Suji/kayu sugih Pleomele angustifolia Liliaxdceae Akar diramu Kencing nanah (Roxb.) N. E. Br

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 95 No. Nama Lokal Jenis Suku Bagian Tumbuhan Jenis Gangguan yang Saluran Kencing Dimanfaatkan yang Diatasi 43 Suren Taona suroni Merr. Meliaceae Kulit kayu diramu Radang ginjal 44 Tanjung Mimusips elengi L. Sapotaceae Bunga dan kulit Kencing nanah diramu 45 Tapak liman Elephantopus scaber Asclepiadaceae Seluruh bagian Infeksi saluran L. tumbuhan diramu kencing 46 Terong pipit Solanum turvum Solanaceae Buah Kencing batu Swartz 47 Tuju musna Strobilanthes sp. Acanthaceae Daun direbus Kencing batu

Berdasarkan hasil wawancara dapat tarisasi jenis tumbuhan yang berkhasiat untuk pula diketahui bagian tumbuhan yang menyembuhkan luka di Desa Jatiluwih, digunakan dan cara menggunakannya untuk Kecamatan Penebel, Tabanan, Provinsi Bali. mengobati penyakit gangguan saluran kencing. Dari hasil penelitiannya terinventarisasi 22 Bagian-bagian tumbuhan yang dapat digunakan spesies tumbuhan yang dapat menyembuhkan untuk obat mulai dari daun, kulit batang, bunga, berbagai jenis luka. Adapun Undaharta dkk. buah, biji sampai akar. Cara menggunakan (2007) berhasil menginventarisasi 68 jenis tum- bagian tumbuhan tersebut sebagian besar buhan berkhasiat menyembuhkan penyakit tuju, dengan cara direbus, ada pula dengan cara tujuh jenis tumbuhan tergolong tumbuhan memeras bagian tumbuhan, dibuat loloh, dan langka. Berdasarkan hasil penelitiannya diketa- meramu. Untuk lebih jelasnya persentase hui pula sebagian besar cara penggunaan penggunaan organ tumbuhan obat untuk tumbuhan untuk mengobati tuju adalah dengan mengatasi penyakit gangguan saluran kencing cara diparamkan. dapat dilihat pada Gambar 1. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil wawancara dengan masya- rakat, pedagang ceraken, beberapa orang Balian di 15 desa Kecamatan Kintamanai Kabupaten Bangli dapat diinventarisasi 47 jenis tumbuhan obat yang berkhasiat untuk meringankan bahkan menyembuhkan penyakit gangguan saluran kencing. Tiga jenis tumbuhan tergolong ke dalam tumbuhan langka lokal, yakni pule (Astolnia scholaris ), purnajiwa ( Euchresta horsfielddii ) dan suren ( Taona suroni Merr). Gambar 1 . Persentase penggunaan bagian Dari 47 jenis tumbuhan obat tersebut tumbuhan sebagai obat. diketahui bahwa 23 jenis tumbuhan dapat digunakan untuk menyembuhkan kencing seret Berdasarkan Gambar 1, dapat diketahui atau kencing tidak lancar/anyang-anyangan, bahwa organ daun yang paling dominan delapan jenis tumbuhan untuk menyembuhkan digunakan untuk menyembuhkan penyakit penyakit kencing batu, dua jenis tumbuhan gangguan saluran kencing adalah daun dapat menyembuhkan penyakit kencing darah, (59,57%), kemudian akar (23,40%), bunga lima jenis tumbuhan dapat menyembuhkan (12,76%), batang (10,63%), dan rimpang penyakit radang gingjal, dua jenis tumbuhan (4,25%). Diduga secara alami kandungan untuk menyembuhkan radang kantung kemih, alkaloid berkhasiat obat kebanyakan teraku- enam jenis tumbuhan untuk menyembuhkan mulasi di daun. penyakit kencing nanah, satu jenis tumbuhan Beberapa penelitian serupa di Bali untuk menyembuhkan penyakit infeksi saluran telah dilakukan oleh beberapa peneliti, yakni kencing, satu jenis tumbuhan untuk meringan- Peneng dan Sumantera (2003) telah menginven- kan penyakit gagal ginjal.

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 96 DAFTAR PUSTAKA Kriswiyanti, E. 2007. “Eksplorasi Bahan Obat Tradisional Bali Berdasarkan Kajian Anonim, 1993, 1994, 1997, 2000, dan 2001 . Usada dalam Kegiatan Pendataan dan “Inventarisasi Tanaman Obat Identifikasi Bahan Obat Tradisional Indonesia Jilid I,II,IV, V,VI”. Jakarta: Bali”. Laporan Penelitian Departemen Kesehatan dan Pengembangan Bidang Ilmu dan Kesejahteraan Sosial RI, Badan Teknologi Dasar. Jurusan Biologi, Penelitian dan Pengembangan Fakultas MIPA Universitas Udayana. Kesehatan. Peneng, IN. dan IW. Sumantera. Backer, C.A. And Van den Brink. 1968. Flora 2007. ”Inventarisasi Tumbuhan of Java . The Thailand: Wolters- Berkhasiat Obat Luka Tradisional di Noordhoff Groningen. Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Depkes. 2007. Museum Tanaman Obat dan Kabupaten Tabanan, Bali”. Prosiding Obat Tradisional. Diakses dari www. Seminar Konservasi Tumbuhan Usada Litbang.depkes Bali dan Perannya Dalam Mendukung Co.id/bpto/museum.html. Ekowisata . UNUD, LIPI, UNHI. Hlm. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia . 118–123. Jilid I dan IV. Cetakan 1. Undaharta, Erosi Ni Kadek, dkk. Diterjemahkan Badan Balitbang 2007. ”Pemanfaatan Tumbuhan Usada KehutananJakarta. Jakarta: Yayasan dalam Pengobatan Penyakit Tuju”. Sarana Wana Jaya. Prosiding Seminar Konservasi Kriswiyanti, E., I Narayani, dan L. Watiniasih. Tumbuhan Usada Bali dan Peranannya 2000. ”Inventarisasi Jenis dan Manfaat Dalam Mendukung Ekowisata . UNUD, Tumbuhan di Monkey Forest Pura LIPI, UNHI. Hlm. 131–134. Dalem Desa Adat Padang Tegal Ubud”. Mogea, J.P., H. Gandawidjaja, H. Wiriadinata Jurnal Biologi , 4 (1): 9–20. dan Irawati. 2001. Tumbuhan Langka Kriswiyanti, E. 2001. ”Potensi Pendayagunaan Indonesia . Kartikasari, S.N. (ed.) dan Usaha Konservasi Bogor: Puslitbang Biologi. LIPI. Keanekaragaman Tumbuhan Obat Van Steenis, C.G.G. J.,D. Hoed, S. (Usada ) di Bali”. Jurnal Biologi , 5 (2): Bloembergen dan P.J. Eyma. 1981. 48–55. Flora Untuk Sekolah di Indonesia . Jakarta: PT Pradnya Paramita.

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 97 ASPEK BOTANI DAN POTENSI Rhododendron seranicum J.J.Sm. KOLEKSI KEBUN RAYA “Eka Karya” BALI

Tri Warseno* dan Dyan Meiningsasi Siswoyo Putri UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali 82191 *E-mail : [email protected]

ABSTRACT - Rhododendron seranicum J.J. Sm. is still very rarely known by the public. The beauty of the flower Rhododendron seranicum J.J. Sm. is very likely to be developed as an ornamental plant. In addition, the lack of information about the flowering and propagation is expected to begin to cultivate these plants well. So public is expected to actively participate in conservation activities and commercial use as well as to manage them sustainably.

Keywords: Rhododendron; Rhododendron seranicum; Botany.

PENDAHULUAN untuk pengembangan penelitian, penambahan koleksi bagi Kebun Raya “Eka Karya” Bali, dan Rhododendron merupakan marga yang berang- pengenalan kepada masyarakat mengenai gotakan tumbuhan berkayu, dengan jumlah potensinya sebagai tanaman hias. Dalam tulisan hampir seperempat dari total jenis tumbuhan ini akan disampaikan beberapa informasi anggota suku Ericaceae. Rhododendron tentang aspek botani dan potensi dari R. seranicum J.J.Sm. masih sangat jarang dikenal seranicum J.J.Sm. sebagai tanaman hias beserta di kalangan masyarakat umum, hanya kalangan cara-cara budi dayanya. tertentu atau para ahli botani yang mengenalnya. Tumbuhan ini merupakan tanaman perdu yang METODE tumbuh liar di hutan-hutan primer yang termasuk dalam suku Ericaceae. Bunganya Teknik pengumpulan data yang digunakan indah dengan warna yang atraktif mulai dari dalam penelitian ini adalah observasi dan kajian jingga hingga merah dan sangat menarik pustaka. Teknik observasi dilakukan dengan apabila bunga sedang mekar. Jenis ini pertama mengamati aspek botani beberapa spesimen kali ditemukan di Pulau Seram, Maluku dan hidup R. seranicum J.J.Sm. koleksi Kebun Raya pertama kali dikembangkan pada tahun 1988 di “Eka Karya” Bali yang berpotensi sebagai Royal Botanic Garden Edinburgh. Pertama kali tanaman hias. Karakter-karakter yang diamati berbunga pada bulan Juli 1999. Pertumbuh- adalah sifat morfologi (perawakan, daun, bunga, annya sangat sulit dan membutuhkan perlakuan buah, dan biji). Melalui kajian pustaka, penulis khusus hingga dapat berbunga (Argent, 2006). mengumpulkan data dari berbagai sumber yang Kebun Raya “Eka Karya” Bali telah berkaitan dengan topik tulisan. mengoleksi jenis ini sejak tahun 2003 yang kebanyakan merupakan hasil eksplorasi dari HASIL DAN PEMBAHASAN Sulawesi (Sulawesi Tengah, Selatan dan Tenggara). Sama halnya dengan koleksi di Ciri Morfologi Royal Botanic Garden Edinburgh, koleksi di a. Habitus Kebun Raya “Eka Karya” Bali ini pada awalnya Rhododendron seranicum J.J. Sm. juga sangat sulit untuk tumbuh dengan baik, (Gambar 1.) merupakan tanaman perdu, teres- baru tahun 2008 koleksi ini dapat berbunga, trial dengan tinggi mencapai 5 m. Batang bahkan untuk koleksi yang berasal dari berkayu, ranting 2,5–4 mm, bulat, halus, ruas Sulawesi Selatan membutuhkan waktu lima 2–11 cm. tahun hingga akhirnya berbunga dan tumbuh dengan baik. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu b. Daun kajian mengenai aspek botani, potensi, dan cara Daun melonjong hingga membundar perbanyakan Rhododendron seranicum J.J.Sm. telur, 50–85 x 20–40 mm, ujung daun yang diharapkan hasilnya dapat bermanfaat meruncing, duduk daun spiral, tepi daun rata,

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 98 permukaan atas daun halus, permukaan bawah Koleksi di Kebun Raya “Eka Karya” Bali daun bersisik, tangkai daun 5–10 x 2–3, tanpa alur, bersisik. Daun gagang 35x10 mm, Koleksi Rhododendron seranicum J.J.Sm. di melonjong, tumpul, membran, gundul. Daun Kebun Raya “Eka Karya” Bali yang terletak di gantilan 25x1 mm linier, gundul. Sisik beru- pembibitan berjumlah 12 spesimen. Koleksi kuran kecil, datar, daerah pinggir berlekuk tidak tersebut merupakan hasil eksplorasi dari Kawasan Timur Indonesia (Tabel 1.). beraturan, bagian tengah tidak terlalu jelas atau Jenis ini mempunyai warna dan bentuk menonjol, vena tengah naik ke atas hampir ½ bunga yang menyerupai R. javanicum (Bl.) bagian proksimal, kemudian merata atau sangat Benn. Bunga dengan bentuk menyerupai sedikit menonjol, sangat mengangkat di bawah terompet, berwarna oranye menyala dengan hampir ke bagian ujung; vena lateral berjumlah warna kuning di bagian dalam mahkota bunga, 8–10 per sisi, menyebar dengan sudut 45 tepi mahkota agak bergelombang, putik pendek, derajat, teratur pada bagian dasar, kemudian dan ukuran benang sari tidak sama. Namun, melengkung tajam ke atas sebelum bagian secara morfologi bentuk mahkotanya bervariasi pinggir dan samar-samar beranastomosis, agak (Gambar 2). Adanya variasi morfologi pada bagian mahkota R. seranicum J.J.Sm. koleksi menonjol atau rata pada kedua sisinya, Kebun Raya ”Eka Karya” ini merupakan suatu retikulasi samar atau tidak jelas. kajian tersendiri yang cukup menarik dan memerlukan penelitian lebih lanjut. c. Bunga Perbungaan 7–11 bunga tersusun dalam Masa Berbunga bentuk payung. Tangkai 20–34 x 2–3 mm, menebal di puncak, bersisik atau gundul. Penelitian yang telah dilakukan adalah Kelopak berdiameter 5 mm, miring, bentuk pengamatan masa berbunga beberapa R. cakram, kadang-kadang menyerupai daun seranicum J.J.Sm. koleksi Kebun Raya ”Eka mahkota, ramping sampai 40 mm, bersisik luar. Karya” Bali. Berdasarkan hasil penelitian Putri Mahkota bunga 50–56x80 mm, bentuk corong (2010) yang dilakukan selama kurun waktu atau tabung, violet, jingga mengkilat, kuning 2008–2010, koleksi ini memiliki waktu atau merah, tabung 18–26 x 6–10 x 15–20 mm, berbunga dan berbuah sebagai berikut. dasar rongga, halus luar dan dalam, lobus 35– 1. Koleksi asal Sulawesi Tenggara 40 x 22–23 mm, setara, melonjong hingga bulat (E20030970/N.21-21a,b/War306) ini diko- telur terbalik, menyebar, tumpang tindih sampai leksi sejak tahun 2003 dan mulai berbunga dengan 1/5. Benang sari 10 mm, tak beraturan pada bulan Mei dan Juni 2008 yang di bawah 1/2 dari mulut, filamen kuning, datar, dilanjutkan berbunga kembali pada bulan memita, halus, anther 3–4x1 mm, krem, Oktober, November, Desember. Sebelum membulat, agak melengkung, basis tumpul atau bunga muncul, selalu diawali dengan berembang , cakram menonjol, gundul. munculnya tunas bunga yang mengalami d. Buah dormansi sekitar 2–3 bulan. Menurut Sung Buah 6x3 mm, mengerucut, halus, rugulose, distal, 25–20 mm, hijau, pada sisi & Chang (2001), tunas bunga akan bawah tabung mahkota, melengkung, distal 1/4 memasuki dormansi lebih tepatnya endo- sampai stigma, terpusat, diameter stigma 3–4 dormansi apabila kondisi lingkungan tidak mm, 35–40 buah x 7–8 mm, fusiform, gundul sesuai dan biasanya terjadi karena perbeda- (http://www.vireya.net/gallery-spS.htm , an suhu yang disebabkan adanya perubahan Zomlefer, 1994). atau pergantian musim. Berakhirnya endodormansi pada koleksi ini memasuki Tempat Tumbuh dan Daerah Penyebaran musim penghujan yaitu antara bulan Oktober–November. Begitu selanjutnya Rhododendron seranicum J.J.Sm. biasanya untuk tahun 2009 dan 2010, namun tidak tumbuh di hutan primer, 900–1.700 m dpl, lagi mengalami endodormasi. Jumlah bunga sering di daerah kapur, secara lokal melimpah. Pertama kali ditemukan di Pulau Seram dan yang muncul setiap kali berbunga banyak sekarang dapat ditemui di daerah Maluku yaitu lebih dari 16 kuntum dalam satu (Seram, Buru, Ambon); Sulawesi (antara Danau perbungaan dengan lama mekar sekitar 2–4 Poso dan Wotu, Gunung Wawonoeru) (Argent, minggu. 2006).

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 99

b

a

c d Gambar 1 . a. Morfologi buah R. seranicum J.J.Sm.; b. sisik pada permukaan bawah daun; c. biji (pengamatan mikroskop perbesaran 40 kali); d. buah yang sudah pecah.

b

a

c d Gambar 2. Variasi morfologi bunga pada Rhododendron seranicum J.J.Sm. a. Asal Sulawesi Tenggara (E20030970/N. 21-21a,b/War 306); b. Asal Sulawesi Tengah (E200408219/N.116-116a/dd.189); c. Asal Sulawesi Selatan (E200509499/N.139-139a/Dm. 1232); d. Asal Sulawesi Tengah (E200408223/N. 118-118a/dd. 193)

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 100 Tabel 1. Koleksi Rhododendron seranicum J.J.Sm. di Kebun Raya ‘Eka Karya Bali Tahun No. Kolektor Asal Keterangan Koleksi 1 I Wayan Warnata Kawasan Hutan Lindung 2003 Tumbuh pada tempat terlindung, (War 306) Mala-mala, Kec. Kodeoha, ketinggian 1.600 m dpl. Ditanam di Kab. Kolaka Sulawesi Nursery 21–21a, b pada tanggal 10 Tenggara Septeber 2003 2 Dyan Meiningsasi Cagar Alam Tinombala, Ds. 2004 Tumbuh pada tempat terbuka, ketinggian (dd.189) Labonu, Kec. Bosidondo, 2.200 m dpl. Ditanam di Nursery 116–116a Kab. Tolitoli, Sulawesi pada tanggal 7 Februari 2006. Tengah 3 Dyan Meiningsasi Cagar Alam Tinombala, Ds. 2004 Tumbuh pada tempat terbuka, ketinggian (dd.193) Labonu, Kec. Bosidondo, 2.200 m dpl. Ditanam di Nursery 118–118a Kab. Tolitoli, Sulawesi pada tanggal 7 Februari 2006. Tengah 4 Dewa Putu Darma Pegunungan Latimojong, Ds. 2005 Tumbuh pada ketinggian 1.452 m dpl. (1232) Rante Balla, Kec. Ditanam di Nursery 139–139a pada tanggal Latimojong, Kab. Luwu, 17 Januari 2006. Sulawesi Selatan 5 I Gede Tirta (GT Taman Nasional Manusela, 2010 Tumbuh pada tempat terbuka, tanah merah, 2946) Maluku ketinggian 1.200 m dpl. Masih proses aklimatisasi di Pembibitan (3 spesimen)

2. Koleksi asal Sulawesi Tengah kemudian dilanjutkan dengan masa berbuah. (E200408219/N.116-116a/dd.189) Buah berwarna merah, menggelendong dengan berbunga pada bulan Februari dan Maret permukaan licin. Lama buah sampai matang dengan jumlah bunga hanya sekitar 6–10 dan menghasilkan biji rata-rata sekitar lima kuntum saja dalam satu perbungaan dengan minggu. Dari pengamatan tersebut, lama mekar sekitar tiga minggu. kelas/grading pertumbuhan generatif pada jenis 3. Koleksi asal Sulawesi Tengah ini dapat dilihat pada Gambar 3. (E200408223/N.118-118a/dd.193) berbunga sepanjang tahun. Hal ini berbeda dengan ketiga individu koleksi lainnya. Perbedaan ini bisa terjadi dimungkinkan berbedanya daya adaptasi pada individu terhadap perubahan lingkungan serta aktivitas fisiologis masing–masing individu pada masa generatifnya. Jumlah bunga yang muncul juga banyak berkisar antara 15–20 kuntum dalam satu perbungaan dengan lama mekar sekitar tiga minggu. 4. Koleksi asal Sulawesi Selatan (E200509499/N.139-139a/Dm.1232), ini Gambar 3a . Pertumbuhan generatif pada dikoleksi sejak tahun 2005 dan mulai Rhododendron seranicum J.J.Sm. berbunga sejak bulan September hingga (E20030970/N. 21-21a,b/War 306) Oktober 2010. Sama halnya dengan koleksi yang berasal dari Sulawesi Tenggara, jenis ini juga tunas bunganya mengalami endodormansi sebelum bunga mekar. Jumlah bunga 16 kuntum dalam satu perbungaan dengan lama bunga mekar sekitar 2–4 minggu. Kondisi ini sedikit berbeda dengan koleksi yang dimiliki Royal Botanic Garden Edinburgh yang dilaporkan masa berbunga antara bulan Agustus hingga Februari (Argent, 2006). Kemungkinan yang bisa menjadi penyebabnya adalah faktor musim yang berbeda. Namun, dapat dipastikan bahwa jenis Gambar 3b . Pertumbuhan generatif pada ini dapat berbunga pada musim dengan suhu Rhododendron seranicum J.J.Sm. (E200408219/N.116-116a /dd. 189) yang cukup rendah. Setelah masa berbunga

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 101 Setek ditanam dalam media campuran pasir dan tanah dengan perbandingan 1:1. Pangkal setek ditanam sedalam 1/3–1/2 bagian atau minimal dua atau tiga ada mata tunas di atas permukaan tanah. Perawatan selanjutnya adalah melakukan penyiraman secara teratur untuk mengondisikan media tetap lembap. Penyiraman sebaiknya dilakukan dengan menggunakan embrat atau sprayer berlubang lembut agar air tersiram secara merata dan tidak mengubah posisi setek. Untuk menjaga kelembapan media dapat Gambar 3c . Pertumbuhan generatif pada dilakukan dengan cara menyungkup setek Rhododendron seranicum J.J.Sm. dengan plastik transparan. (E200408223/N. 118-118a/dd. 193) Perbanyakan melalui teknik cangkok menggunakan media cacahan akar kadaka yang telah direndam dengan air mendidih. Perendaman ini bertujuan untuk membunuh jamur atau bakteri yang dapat mengganggu proses pengakaran. Lama cangkok hingga siap tanam sekitar 2–3 bulan atau sampai muncul akar dan siap untuk ditanam di pot atau polybag. Penelitian perbanyakan Rhododendron seranicum J.J.Sm. melalui teknik kultur jaring- an juga telah dilakukan. Penelitian yang telah dilakukan meliputi teknik sterilisasi dan Gambar 3d . Pertumbuhan generatif pada perkecambahan biji secara in-vitro . Namun Rhododendron seranicum J.J.Sm. penelitian belum menunjukkan hasil yang (E200509499/N.139-139a/Dm. 1232) optimal sehingga masih diperlukan penelitian yang lebih lanjut untuk mendukung penam- Perbanyakan bahan jumlah spesimen hidup koleksi Rhodo- dendron seranicum J.J.Sm. di Kebun Raya Di Kebun Raya “Eka Karya” Bali, perbanyakan “Eka Karya” Bali. R. seranicum dilakukan baik secara konven- sional maupun in-vitro . Perbanyakan secara Potensi konvensional dilakukan dengan setek pucuk dan cangkok. Media yang digunakan dalam Rhododendron merupakan salah satu sumber perbanyakan dengan setek pucuk merupakan daya alam yang berpotensi sebagai tanaman kombinasi media akar kadaka:pakis:arang hias dan obat. Di daerah Malesiana, Rhodo- dengan perbandingan 2:2:1 (Putri dkk. 2006). dendron telah banyak dimanfaatkan sebagai Bagian yang banyak digunakan untuk perba- tanaman hias dan merupakan komoditas horti- nyakan adalah setek yang sehat (bebas dari kultura yang penting, baik itu Rhododendron hama dan penyakit), tidak terlalu tua atau jenis maupun yang merupakan hasil hibridisasi. terlalu muda. Setek dipotong sepanjang 10–15 Jenis R. seranicum J. J. Sm. sangat berpotensi cm (3–4 mata tunas) dengan bagian pangkal dijadikan tanaman hias karena warna dan miring. Pemotongan dilakukan menggunakan bentuk bunga yang unik. Jenis ini dapat pisau tajam atau gunting setek. dijadikan induk untuk usaha perbanyakan, baik Untuk memacu perakaran digunakan secara vegetatif maupun generatif karena zat pengatur tumbuh (ZPT). Bagian pangkal material hasil eksplorasi tersedia cukup banyak. setek direndam dalam larutan yang berisi Selain itu, biji yang dihasilkan pun cukup campuran zat pengatur tumbuh (ZPT) dan air. banyak, namun masih perlu dilakukan uji Apabila menggunakan Rootone F, pangkal viabilitas biji untuk memastikan potensi biji setek dibasahi dengan air yang kemudian dilu- dapat berkecambah dan dapat menghasilkan muri dengan Rootone F atau direndam dalam individu baru. Keragaman bentuk mahkota larutan Rootone F selama 10 sampai 15 menit. bunganya juga sangat berpotensi untuk dilaku-

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 102 kan persilangan untuk menghasilkan varietas- faatkannya secara komersial sekaligus dapat varietas baru dengan penampilan bunga yang mengelolanya secara berkelanjutan. lebih menarik. Sampai saat ini belum ada laporan DAFTAR PUSTAKA mengenai potensi R. seranicum J.J.Sm. sebagai bahan obat. Walaupun demikian, tidak menutup Argent, G. 2006. Rhododendron of Subgenus kemungkinan adanya potensi obat dalam jenis Vireya . Edinburgh: Royal Botanic Garden. ini, karena sebagian besar jenis Rhododendron Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia . memiliki potensi obat/racun yang telah Cetakan I. Terjemahan Badan Badan dimanfaatkan oleh masyarakat. Seperti yang Penelitian dan Pengembangan dilaporkan Heyne (1987) bahwa sebagian Kehutanan. Jakarta: Departemen masyarakat Asia Tenggara dan sekitarnya Kehutanan RI. memanfaatkan Rhododendron sebagai obat- Putri, D.M.S., I.N. Sudiatna dan I.M. Ardaka. obatan tradisional, sebagai obat penyakit kulit 2006. Uji Pendahuluan Perbanyakan (Papua Nugini), obat kuat (Sabah), dan R. Rhododendron spp. Di Kebun Raya “Eka viladii untuk obat gatal (Filipina). Dari Karya” Bali . Laporan Teknik 2006. beberapa penelitian yang dilakukan di Program Perlindungan dan Konservasi Indonesia diketahui bahwa R. kanori dan R. Sumber Daya Alam. UPT Balai macgregoriae berpotensi sebagai antibakterial, Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka selain itu R. javanicum dan R. macgregoriae Karya” Bali. Lembaga Ilmu Pengetahuan juga bermanfaat sebagai penghasil senyawa Indonesia, Bali. flavonoid (Indonesia). Putri, D.M.S. 2010. Studi Biologi Bunga Koleksi Rhododendron spp. (Sub Sect. KESIMPULAN Vireya) Kebun Raya “Eka Karya“ Bali . Laporan Teknik 2010. UPT Balai Dengan diketahuinya potensi keindahan bunga Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Rhododendron seranicum J.J.Sm. maka Karya“ Bali-LIPI, Bali. tanaman ini sangat berpotensi dikembangkan Sung, F.H and Chang, Y.S. 2001. sebagai tanaman hias. Selain itu, dengan adanya “Rhododendron mucronatum G. Don informasi tentang ciri morfologi, masa ber- Grown in Subtropical Taiwan Does not bunga, dan cara perbanyakan diharapkan Manifest Endodormancy”. Botanical masyarakat dapat mengenal dan mulai Bulletin of Academia Sinica , 42: 187–191. membudidayakan tanaman tersebut dengan baik. Zomlefer, W. B. 1994. Guide to Flowering Diharapkan masyarakat dapat ikut berperan Plant Families . Chapell Hill, London: aktif dalam kegiatan konservasi dan meman- The University of North Carolina, Press.

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 103 RESPONS PERUBAHAN MORFOLOGI PORANG ( Amorphophallus muelleri Blume) TERHADAP PERLAKUAN UREA DAN KAPUR

Serafinah Indriyani 1, Tatik Wardiyati 2, Hery Purnobasuki 3 1Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Brawijaya, Malang 2Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang 3Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga, Surabaya E-mail : [email protected]; [email protected]

ABSTRACT – Objective of this research is to study the response of the morphological changes of porang using dolomit and urea treatment. Porang bulbs planted in a polybag. The study design used was factorial experiment consisted of two factors using randomized block design. The first factor: level of N consists of four treatments: (1) 0 g/ polybag (N0), (2) 2.16 g/ polybag (N1), (3) 4.32 g/ polybag (N2), and (4) 6.36 g/ polybag (N3). The second factor: level of dolomit consists of four treatments: (1) 0 g/ polybag (Ca0), (2) 0.06 g/ polybag (CA1), (3) 0.12 g/ polybag (Ca2 +), and (4) 0.24 g/ polybag (CA3). Data analyses by two-way ANOVA test followed by Duncan's Multiple Range Test (DMRT) at α = 0.05. Morphological variables observed are porang plant height, crown diameter, stem diameter pseudo bulb diameter, root thickness and tuber weight. The results showed that the observed morphology of porang is affected by urea level. Dose of urea from 2.16 to 4.32 g/ polybag gave porang morphology better than the control group and 6.36 g urea dose / polybag. Dolomit had no effect on porang morphology. Porang bulbs weight influenced by interaction between urea and dolomit level. Dolomit dose 0.06 g/ polybag and 0.12 g/ polybag with urea dose of 2.16 g/ polybag and 4.32 g / polybag gave good morphological porang doses than other doses.

Keywords : Amorphophallus muelleri; Dolomit; Plant anatomy; Urea.

PENDAHULUAN praktis serta harganya lebih murah. Bahan ini juga dapat dimanfaatkan sebagai pengganti Porang memiliki nama ilmiah Amorphophallus agar-agar dan gelatin sebagai bahan pembuatan muelleri Blume sinonim A. blumei (Schott) film negatif, isolator, dan seluloid karena Engler sinonim A. oncophyllus Prain sinonim A. sifatnya mirip selulosa. Apabila larutan mannan burmanicus Hook.f. Kerabat porang adalah atau glukomannan dicampur dengan gliserin suweg (A. campanulatus sinonim A. atau natrium hidroksida, dapat dibuat bahan paeoniifolius ), acung atau kembang gaceng ( A. kedap air. Selain itu, glukomannan juga dapat variabilis ), dan bunga bangkai ( A. titanum ). digunakan untuk menjernihkan air dan Semua jenis Amorphophallus termasuk dalam memurnikan bagian-bagian koloid yang tera- suku Araceae. Amorphophallus spp. tumbuh pung dalam industri bir, gula, minyak, dan serat. liar ( wild plant ) seperti di pinggir hutan jati, di Bagi industri farmasi, kemampuan parutan bawah naungan rumpun bambu, di tepi sungai, porang segar dapat menyembuhkan luka, selain di semak belukar, dan di tempat-tempat di itu dapat diolah sebagai bahan perekat tablet bawah naungan yang bervariasi (Jansen et al ., dan pembungkus kapsul (Sulaeman, 2004; 1996). Prihatyanto , 2007). Amorphophallus spp. telah dikenal di Di Asia, Indonesia termasuk negara Asia sebagai tanaman penghasil umbi ( corm ) pengekspor bahan baku dari umbi porang ke bernilai ekonomis tinggi. Pengelolaan umbi berbagai negara termasuk Jepang, Australia, porang menghasilkan tepung sebagai bahan dan Uni Eropa. Pada zaman penjajahan Jepang, makanan untuk mi, tahu, rengginang, bahan tanaman umbi-umbian ini berguna dalam men- campuran untuk minuman, dan lain-lain. dukung ketahanan pangan Indonesia, terutama Keunggulan dan multimanfaat porang selain bagi masyarakat yang kesulitan menyediakan menjadi bahan pembuat konyaku (sejenis tahu) beras atau sumber karbohidrat lainnya (Pitojo, dan shirataki (sejenis mi) untuk masakan 2007). Jepang, juga untuk keperluan industry, antara Meskipun umbi porang bersifat lain mengilapkan kain seperti katun/wol, multifungsi untuk berbagai kebutuhan manusia, perekat kertas, cat, dan bahan imitasi yang akan tetapi seperti halnya kebanyakan tanaman memiliki sifat lebih baik dari amilum dan dari familia Araceae, kandungan kalsium

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 104 oksalatnya sangat tinggi. Oleh karena itu, umbi (3) 0,12 g/polybag (Ca2), dan (4) 0,24 porang tidak dapat dikonsumsi secara langsung. g/polybag (Ca3). Oksalat di dalam makanan berakibat tidak baik Umbi porang yang digunakan sebagai bagi kesehatan karena dua alasan, yaitu (1) bibit adalah yang telah mengalami satu periode oksalat adalah antinutrien yang memengaruhi tumbuh sesuai deskripsi dari Sumarwoto (2004a, tidak tersedianya kalsium yang diperlukan bagi 2005) yang berasal dari Desa Klangon Keca- tubuh manusia, dan (2) pada beberapa kasus, matan Saradan Kabupaten Madiun. Selanjutnya, hewan ternak dapat teracuni tumbuhan yang diamati secara berkala seminggu sekali. Pada mengandung oksalat (Nakata, 2003). Dalam akhir pengamatan dicatat tinggi tanaman, jumlah cukup tinggi, asam oksalat dan kristal diameter tajuk, diameter pangkal batang semu, kalsium oksalat menyebabkan aberasi mekanik diameter umbi, tebal umbi, dan berat umbi. dari saluran pencernaan dan tubulus yang halus Data diolah dengan menggunakan uji di dalam ginjal. Secara kimia kristal ini Anova dua arah untuk mengetahui pengaruh menyerap kalsium yang penting untuk fungsi kelompok-kelompok hasil interaksi faktor. saraf dan serat-serat otot. Pada kasus yang Apabila terdapat interaksi antara dua faktor ekstrim, penyerapan kalsium ini menyebabkan maka dilanjutkan dengan uji Duncan's Multiple hypocalcemia dan paralysis yang berakibat Range Test (DMRT) pada α = 5%. Pengolahan fatal (Brown, 2000). Noonan dan Savage data menggunakan software (Statistical Product (1999) menyatakan meskipun faktor yang lain and Service Solutions ) SPSS 16.0 for Windows . dapat menyebabkan gangguan pada ginjal, namun direkomendasikan untuk membatasi HASIL DAN PEMBAHASAN makan makanan yang banyak mengandung oksalat khususnya bagi orang yang berisiko Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat terkena batu ginjal. Tanaman menghasilkan perubahan morfologi porang sebagai respons oksalat, termasuk tanaman pangan dengan terhadap perlakuan urea, tetapi tidak terdapat rentang 3–80% dari berat kering tanaman. perubahan morfologi porang sebagai respons Hingga saat ini telah diinformasikan terhadap perlakuan kapur dan interaksi secara ilmiah tentang pengaruh sifat kimia keduanya. Morfologi porang meliputi tinggi tanah dengan percobaan pemupukan terhadap tanaman, diameter tajuk, diameter batang semu, pertumbuhan dan hasil umbi porang, namun diameter umbi, dan tebal umbi porang belum diinformasikan tentang pengaruh sifat dipengaruhi perlakuan urea dan tidak dipe- kimia tanah dengan percobaan pemupukan ngaruhi perlakuan kapur serta interaksi terhadap perubahan morfologi porang. Untuk perlakuan urea dan kapur. Pada dosis urea 2,16 itu, penelitian tentang respons perubahan g/polybag dan 4,32 g/polybag; tinggi tanaman, morfologi porang terhadap pemberian urea dan diameter tajuk, diameter batang semu, diameter kapur merupakan informasi yang penting. umbi, dan tebal umbi porang lebih baik dibanding kontrol dan dosis urea 6,36 BAHAN DAN METODE g/polybag (Tabel 1). Terdapat perubahan morfologi untuk Jenis penelitian yang digunakan adalah berat umbi porang terhadap interaksi perlakuan eksperimental. Rancangan penelitian yang urea dan kapur atau dengan kata lain perlakuan digunakan adalah percobaan faktorial terdiri urea dan kapur secara bersama-sama atas dua faktor yang dilaksanakan dengan memengaruhi berat umbi porang. Perlakuan rancangan acak kelompok, mengingat perco- tanpa kapur (dosis kapur 0,0 g/polybag) dan baan dilakukan di lapang (Sastrosupadi, 2000; dosis kapur 0,12 g/polybag pada berbagai dosis Kusriningrum, 2008). Teknik sampling yang urea, menunjukkan hasil bahwa berat umbi digunakan adalah sampling acak. Faktor porang meningkat hingga dosis urea 4,32 pertama: taraf pemberian urea/N dibuat empat g/polybag selanjutnya menurun pada dosis urea taraf, yaitu (1) 0 g/polybag (N0), (2) 2,16 6,36 g/polybag. Perlakuan dosis kapur 0,06 g/polybag (N1), (3) 4,32 g/polybag (N2), dan g/polybag dan 0,24 g/polybag pada berbagai (4) 6,36 g/polybag (N3). Faktor kedua: taraf dosis urea, menunjukkan hasil bahwa berat pemberian kapur/Ca dibuat empat taraf, yaitu: umbi porang meningkat sampai dengan dosis (1) 0 g/polybag (Ca0), (2) 0,06 g/polybag (Ca1), urea 2,16 g/polybag selanjutnya menurun pada

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 105 dosis urea 4,32 g/polybag dan 6,36 g/polybag kondisi tanah yang banyak mengandung Al (Tabel 2). (Aluminium), pemberian kapur pada tanah Perubahan morfologi porang terhadap ternyata dapat meningkatkan pertumbuhan atau perlakuan urea dan kapur belum banyak morfologi tanaman. Hal ini ditunjukkan dari hasil penelitian Sumarwoto (2004b) yang dilaporkan, tetapi pengaruh kapur terhadap memberikan informasi bahwa pemberian kapur perubahan kadar bahan kimia tertentu di dalam pada tanah dengan kadar Al dapat ditukar umbi porang telah dilaporkan. Sumarwoto (Aldd) tinggi sangat diperlukan sampai pada (2004a) menyatakan bahwa pemberian kapur (4 taraf pengapuran 1 ton/ha kapur pertanian ton/ha) dan pupuk kandang (7,5 ton/ha) tidak (kaptan) untuk setiap 1 me Al dapat ditukar/100 meengaruhi rendemen keripik, kadar gluko- g (20 ton kaptan/ha). Peningkatan pengapuran mannan, dan derajat warna putih tepung iles- hingga 40 ton kaptan/ha pada tanah dengan Al iles, di samping itu pemberian pupuk P dan K dapat ditukar tinggi mengurangi pertumbuhan pada berbagai taraf dosis (0, 5, 10, dan 15) g dan hasil umbi yang disebabkan oleh kurang tersedianya unsur P. Kadar Al dalam umbi P2O dan K 2O per tanaman, tidak berpengaruh tertinggi didapatkan pada tanah tanpa pemberi- terhadap pertumbuhan tanaman dan hasil umbi. an kaptan. Tanah dengan Al dapat ditukar tinggi Namun, penelitian sejenis oleh yang ditambah dengan pupuk kandang dan ber- Sumarwoto (2008) pada elephant food yam (A. pH asam (4,55) masih dapat menghasilkan muelleri ) periode tumbuh satu yang diberi umbi porang. pupuk N dan K menunjukkan bahwa ada Perlakuan urea dan kapur akan interaksi nyata antara perlakuan dosis pupuk N menyebabkan kondisi sifat kimia tanah berubah (0, 2,25, 4,5 dan 6,75) g urea dan pupuk K (0, 3, yang pada akhirnya akan memengaruhi atau 6 dan 9) g K O terhadap perubahan morfologi mengubah morfologi tanaman yang tumbuh di 2 atasnya. Hal ini juga dilaporkan oleh Indriyani umbi (diameter, tebal, dan bobot umbi), dkk. (2011a, 2011b) bahwa morfologi porang sedangkan pada semua peubah morfologi dapat berubah karena kondisi tinggi tempat, tanaman (tinggi tanaman, diameter tajuk, dan iklim, sifat kimia tanah, dan adanya vegetasi diameter batang semu) tidak terjadi interaksi yang terdapat di sekitar pertanaman porang. nyata. Dengan bertambahnya nutrien N dalam media Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanah akan tersedia banyak N yang dibutuhkan perlakuan kapur secara statistik tidak oleh tanaman untuk pertumbuhan dan perkem- memengaruhi morfologi porang. Hal ini sesuai bangan sehingga pertumbuhan tanaman menjadi dengan hasil penelitian Streeter (2005) yang lebih baik. Namun, jika N berlebihan akan menyatakan bahwa akumulasi kapur di dalam menyebabkan tanaman menjadi keracunan organ tumbuhan tetap stabil meskipun ditambah sehingga pertumbuhan tanaman menjadi kurang kapur dari luar, dengan demikian kapur tidak baik. memengaruhi morfologi tanaman. Untuk

Tabel 1. Hasil uji beda untuk mengetahui respons perubahan morfologi porang (tinggi tanaman, diamater tajuk, diameter batang semu, diameter umbi dan tebal umbi) terhadap perlakuan N (N = 96) Dosis urea/N Variabel morfologi (g/polybag) Tinggi Diameter Diameter batang Diameter umbi Tebal umbi tanaman (cm) tajuk (cm) semu (cm) (cm) (cm)

N0 (0,00) 86,15 b 79,91 a 2,83 b 5,26 a 7,35 a

N1 (2,16) 94,76 c 94,93 b 3,28 c 7,98 b 8,01 c

N2 (4,32) 95,72 c 101,93 b 3,35 c 7,35 ab 7,62 ab

N3 (6,36) 80,15 a 75,28 a 2,26 a 5,88 a 7,72 ab

Keterangan: superscript huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada α = 0,05

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 106 Tabel 2 . Hasil uji beda untuk mengetahui pengaruh interaksi perlakuan urea dan kapur terhadap berat umbi (N = 96) Urea/N N0 N1 N2 N3 Rerata (g/polybag) (0,00) (2,16) (4,32) (6,36)

Kapur/Ca (g/polybag) Ca0 459,93 ab 764,63 efg 804,80 fg 652,50 bcdefg 670,47 (0,00) Ca1 617,75 bcdef 887,19 g 772,09 efg 489,62 abc 691,66 (0,06) Ca2 555,95 abcde 743,22 defg 858,97 g 699,39 cdefg 714,38 (0,12)

Ca3 471,00 abc 876,58 g 361,76 a 511,40 abcd 555,19 (0,24)

Rerata 526,16 817,91 699,41 588,23

Keterangan: superscript huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada α = 0,05

KESIMPULAN non-seed carbohydrates . Bogor: Prosea Foundation. Perlakuan berbagai dosis urea dapat mengubah Kusriningrum RS, 2008. “Perancangan morfologi porang meliputi tinggi tanaman, percobaan”. Surabaya: Airlangga diameter tajuk, diameter batang semu, diameter University Press. umbi, dan tebal umbi; sedangkan perlakuan Nakata PA, 2003. “Advances in our berbagai dosis kapur serta perlakuan interaksi understanding of calcium oxalate berbagai dosis urea dan kapur secara bersama- crystal formation and function in sama tidak mengubah morfologi porang. plants”. Plant Science , 164: 901 – Perubahan morfologi umbi (berat umbi) porang 909. terjadi sebagai respons terhadap perlakuan Noonan S.C., G.P. Savage 1999. “Oxalic acid interaksi berbagai dosis urea dan kapur. content of foods and its effect on human”. Asia Pacific Journal of DAFTAR PUSTAKA Clinical Nutrition , 8: 64 – 74. Pitojo S, 2007. “Seri Budidaya: Suweg: bahan Brown D, 2000. Aroids: plants of the arum pangan alternatif, rendah kalori”. family . Second Edition. Portland. Yogyakarta: Kanisius. Oregon: Timber Press. Prihatyanto T, 2007. “Budidaya porang”. Indriyani S, E. Arisoesilaningsih, T. Wardiyati (http://www.Majalah Kehutanan dan H. Purnobasuki. 2011a. “A Indonesia Edisi II Tahun 2007.htm, model of relationship between diakses tanggal 4 Desember 2007). climate and soil factors related to Sastrosupadi A, 2000. Rancangan percobaan oxalate content in porang praktis bidang pertanian . Edisi revisi. (Amorphophallus muelleri Blume) Yogyakarta: Kanisius. corm”. Biodiversitas 12 (1): 45 – 51 . Streeter JG. 2005. “Effects of nitrogen and Indriyani S, 2011b. “Pola pertumbuhan porang calcium supply on the accumulation (Amorphophallus muelleri Blume) of oxalate in soybean seeds”. Crop dan pengaruh faktor lingkungan Science, 45: 1464 – 1468. terhadap kandungan oksalat dan Sulaeman AR, 2004. “Porang, sejahterakan glukomannan umbi”. Disertasi. warga sekaligus lestarikan hutan Program Pascasarjana Universitas klangon”. Airlangga. Surabaya. (http://www.kompas.com/kompas- Jansen P.C.M, C. van der Wilk., W.L.A cetak/0401/19/humaniora/ , diakses Hetterscheid, 1996. “Amorphophallus tanggal 4 Desember 2007). Blume ex Decaisne”. In: Flach M dan Sumarwoto, 2004a. “Beberapa aspek agronomi F. Rumawas (eds.). Plant Resources iles-iles ( Amorphophallus muelleri of South-East Asia 9: Plants yielding Blume)”. Disertasi. Sekolah

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 107 Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. sifat lainnya”. Biodiversitas , 6 (3): Bogor. 185–190. Sumarwoto, 2004b. “Pengaruh pemberian Sumarwoto, 2008. “Pertumbuhan dan hasil kapur dan ukuran bulbil terhadap elephant food yam (Amorphophallus pertumbuhan iles-iles muelleri Blume) periode tumbuh (Amorphophallus muelleri Blume) pertama pada berbagai dosis pupuk N pada tanah ber-Al tinggi”. Ilmu dan K”. Agrivita Jurnal Ilmu Pertanian , 11 (2): 45–53. Pertanian , 30 (1): 67–74. Sumarwoto, 2005. “Iles-iles ( Amorphophallus muelleri Blume); deskripsi dan sifat-

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 108 EKSPLORASI BEGONIA DI SEBAGIAN TAMAN NASIONAL MANUSELA, MALUKU

I Gede Tirta, I Made Ardaka dan Ni Kadek Erosi Undaharta UPT BKT Kebun Raya “Eka Karya” Bali LIPI Candikuning, Baturiti, Tabanan Bali 82191 E-mail : [email protected]

ABSTRACT – Field survey on the diversity of Begonia has been conducted in Manusela National Park in 2011. The result shows twenty number of Begonia including six number presumably new collection for Bali Botanical Garden. Two species were identified that is Begonia koordeersii Warb. ex L.B.Sm. & Wassh and B. aptera sensu L.B.Smith & D.C.Wasshausen.

Keywords : Begonia; Manusela National Park; Maluku

PENDAHULUAN Pada kegiatan Ristek tahun 2010 berhasil dikoleksi sebanyak 19 nomor Begonia spp, Keanekaragaman jenis Begonia alam yang ada tujuh nomor diantaranya diduga koleksi jenis di dunia diperkirakan lebih dari 1.600 jenis baru. Sementara itu pada tahun 2011 kegiatan yang tersebar di kawasan tropik dan subtropik eksplorasi dilakukan di TNM mengingat luas (Kiew, 2005), di Indonesia diperkirakan wilayahnya 189.000 ha (Anonim, 2005), mencapai lebih dari 200 jenis, di Papua topografinya bervariasi sehingga diperediksi sebanyak 70 jenis (Smith et al ., 1986), masih terdapat Begonia jenis baru. sedangkan di Bali terdapat empat jenis Begonia Berdasarkan bentuk morfologi dan sifat (Girmansyah et al., 2007 ). Di Maluku terdapat fisiologinya, perbanyakan Begonia dapat tiga jenis Begonia (Hughes, 2010). dilakukan dengan setek (setek pucuk, batang Di Indonesia, Begonia masih belum atau rhizoma), dengan daun, dengan umbi dan mendapatkan penanganan yang serius, bahkan biji. Menurut Hartutiningsih et al. (2006), keberadaannya cenderung terabaikan, padahal perbanyakan dengan setek pucuk, batang, dan Begonia dapat dikembangkan sebagai setek rhizoma merupakan cara perbanyakan komoditas tanaman hias. Di negara-negara maju yang paling umum dan mudah dilakukan untuk telah terbentuk asosiasi-asosiasi pencinta seluruh Begonia . Batang atau cabang yang Begonia , antara lain Australian Begonia digunakan untuk setek sebaiknya tidak terlalu Societies , American Begonia Societies , tua atau terlalu muda. Batang/cabang yang tua National Begonia Societies, Societe Belge du memiliki pertumbuhan sel kurang aktif Begonia, Association Francoise de Amateurs de sehingga lama membenuk akar, sedangkan Begonias , dan Japan Begonia Societies . Seiring batang yang muda memiliki proses penguapan dengan semakin berkembangnya asosiasi dan yang sangat cepat sehingga setek cepat layu, perdagangan Begonia di luar negeri, kegiatan lemah, dan akhirnya mati. eksploitasi di tempat asal juga berjalan terus sehingga mengancam kelestarian plasma nutfah BAHAN DAN METODE Begonia di alam. “Eka Karya” Bali telah memiliki koleksi Begonia terlengkap di 1. Eksplorasi Indonesia yang tertata dalam Taman Begonia yang berisi 290 jenis (89 jenis Begonia alam Eksplorasi dilakukan di Taman Nasional dan 201 Begonia eksotik). Hoover et al., (2008), Manusela (TNM) Kecamatan Seram Utara, mengatakan bahwa Kebun Raya “Eka Karya” Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku Bali mempunyai koleksi Begonia terlengkap di (Gambar 1) tanggal 24 Mei s.d. 9 Juni 2011. dunia. Lokasi eksplorasi yang dipilih ( purposive Untuk penambahan koleksi Begonia sampling ) mengikuti rute jalan rintisan atau telah dilakukan eksplorasi di Taman Nasional semak terutama pada lokasi yang kondisinya Manusela (TNM) Kecamatan Seram Utara, lembap seperti (DAS) daerah aliran sungai dan Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. terumbu batu kapur. Faktor lingkungan yang

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 109 diukur adalah suhu dan kelembapan udara, tanah berkisar antara 5,8–6,2 dan sebagian keasaman (pH) dan kelembapan tanah, besar Begonia diemukan tumbuh pada pH 6,0 intensitas cahaya, kemiringan, ketinggian yaitu sebanyak delapan jenis. Adapun pada (altitude ). Suhu dan kelembapan udara diukur kemiringan 21 0–30 0 Begonia yang dapat dengan termohydrometer, keasaman (pH) dan ditemukan sebanyak delapan jenis. kelembapan tanah diukur menggunakan soiltester . Intensitas cahaya diukur dengan 2. Suhu dan Kelembapan menggunakan lux meter , kemiringan lokasi diukur dengn Sunto dan ketinggian tempat Suhu udara pada setiap petak penelitian 22 0C– diukur dengan Global Position System (GPS). 32 0C. Kisaran suhu tersebut merupakan salah

satu ciri iklim hutan hujan tropik dengan suhu

tinggi pada musim kemarau dan suhu rendah

pada musim hujan. Keragaman suhu yang

terjadi di hutan hujan tropik terutama

ditentukan oleh perimbangan sinar matahari

yang terhalang oleh daun dan percabangan

pohon pada tingkat yang berbeda. Kondisi tajuk

pohon sangat memengaruhi perbedaan suhu

antara lapisan atas hutan dengan lapisan bawah

(Ewusie, 1980). Jenis-jenis Begonia yang

dijumpai pada lokasi tersebut menunjukkan

sebagian besar tumbuh pada suhu 28 0C.

Kelembapan udara di lokasi penelitian Gambar 1. Peta Taman Nasional Manusela di berkisar antara 60–100% (musim hujan). Maluku eksplorasi Begonia Jumlah jenis terbanyak ditemukan pada

kelembapan 100%. Tingginya kelembapan 2. Identifikasi udara tercermin dari permukaan tanah yang

basah dan cepatnya laju bahan organik menjadi Identifikasi dilakukan dengan pengumpulan serasah. Pada keadaan yang terbuka di daerah spesimen tumbuhan dan pengamatan morfologi. hutan tropik basah, kelembapan cenderung Untuk tumbuhan yang belum diketahui jenisnya, tinggi walaupun pada musim kemarau. Hal ini maka dibuat herbarium dan dibandingkan sesuai dengan pernyataan Ewusie (1980) bahwa dengan spesimen yang ada di Herbarium Kebun kelembapan di pegunungan daerah tropik Raya ”Eka Karya” Bali dan Puslitbang Biologi. meningkat seiring dengan bertambahnya

ketinggian. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. Penyebaran Begonia 1. Topografi dan Tanah

Begonia sebagian besar terdapat di Masihulan Begonia alam terdapat pada daerah dengan TNM, sedangkan untuk Begonia yang lainnya ketinggian antara 40–1.200 m di atas menyebar secara tidak merata, bahkan ada permukaan laut. Begonia TMN paling banyak beberapa jenis yang dijumpai pada lokasi yang ditemukan di tepi sungai dan tanah berlereng sama mengelompok dengan jumlah yang sangat dengan penyebaran cenderung mengelompok. banyak. Penyebaran Begonia pada berbagai Menurut Barbour et al. (1987), ada dua alasan ketinggian tempat hampir merata. Ketinggian terjadinya pola mengelompok, yaitu berhubung- tempat merupakan faktor yang menentukan an dengan reproduksi biji atau buah cenderung kelangsungan hidup bagi suatu habitat. Dengan jatuh dekat induknya dan pada tanah-tanah yang semakin bervariasinya topografi dan ketinggian berdekatan dengan keadaan iklim mikronya. tempat maka akan berpengaruh pada sifat dan Kemiringan lahan di lokasi penelitian sebaran komunitas tumbuhan (Ewusie, 1980). berkisar antara 10 0–80 0 dan hampir pada setiap Pada ketinggian 0–500 m dpl. ditemukan interval kemiringan tersebut terdapat Begonia . sebanyak sepuluh jenis Begonia dan pada Jenis tanah di lokasi penelitian termasuk latosol kisaran ketinggian tersebut paling banyak dengan tekstur geluh lempungan, sedangkan pH

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 110 ditemukan jenis Begonia . Sementara itu, jenis Pembibitan Kebun Raya “Eka Karya” Bali. yang mendominasi dan mampu berinteraksi Begonia 12 merupakan salah satu jenis koleksi dengan Begonia adalah Pilea sp. baru yang ditemukan pada tepi sungai dengan ketinggian 962 m dpl., tingkat kemiringan 0– 4. Perolehan Koleksi 10%, kelembaban 90% (Gambar 2). Begonia 12 ditemukan pada ketinggian 500–1000 m dpl., Perolehan koleksi sebanyak 20 nomor Begonia pada tingkat kemiringan 21–30%, kelembaban spp. (Tabel 1), termasuk enam nomor diduga 100%. Selanjutnya, Begonia 14, 15, 17, dan 18 merupakan tambahan koleksi baru bagi Kebun ditemukan di dataran rendah pada ketinggian 0– Raya “Eka Karya” Bali. Sebagian besar koleksi 500 m dpl. dengan kemiringan 0–30% dan yang ditemukan ini diambil dalam bentuk stek kondisi lingkungannya sangat lembab (80– batang, ditanam dan diaklimatisasi di 100%).

Gambar 3. Begonia koordeersii Gambar 2. Begonia sp.12

Tabel 1. Perolehan Koleksi Begonia dari Taman Nasional Manusela-Maluku Nomor No Tanggal Nama Tumbuhan Hab Jlh. Keterangan Koleksi Urt (Latin + Daerah) 1 27 Mei 2011 MA 81 Begonia sp.1 P 5 Litofit, agak terlindung, 395 m dpl. 2 27 Mei 2011 MA 82 Begonia koordeersii P 5 Litofit, agak terlindung, 984 m dpl. 3 27 Mei 2011 MA 83 Begonia sp.2 * P 5 Humus, terlindung, 987 m dpl. 4 27 Mei 2011 MA 84 Begonia sp.3 P 5 Agak terlindung, 991 m dpl. 5 27 Mei 2011 MA 85 Begonia sp.4 P 5 Tepi jalan, terlindung, 995 m dpl. 6 27 Mei 2011 MA 86 Begonia sp.5 P 5 Agak terlindung, 1.068 m dpl. 7 28 Mei 2011 MA 87 Begonia sp.6 P 3 Litofit, agak terlindung, 1.119 m dpl. 8 28 Mei 2011 MA 88 Begonia sp.7 P 5 Terlindung, 1.085 m dpl. 9 28 Mei 2011 MA 89 Begonia sp.8 P 5 Agak terlindung, 1.039 m dpl. 10 28 Mei 2011 MA 90 Begonia sp.9 P 5 Agak terlindung, 1.090 m dpl. 11 28 Mei 2011 MA 91 Begonia sp.10 P 5 Agak terlindung, 1.095 m dpl. 12 29 Mei 2011 MA 92 Begonia sp.11 P 2 Agak terlindung, 964 m dpl. 13 29 Mei 2011 MA 93 Begonia sp.12 * P 5 Tepi sungai, terlindung, 962 m dpl. 14 29 Mei 2011 MA 94 Begonia aptera P 5 Agak terlindung, 1.013 m dpl. 15 1 Juni 2011 MA 95 Begonia sp.13 P 5 Litofit, terlindung, 284 m dpl. 16 2 Juni 2011 MA 96 Begonia sp.14* P 5 Tanah liat, terlindung, 202 m dpl 17 2 Juni 2011 MA 97 Begonia sp.15 * P 5 Tepi sungai, terlindung, 66 m dpl 18 2 Juni 2011 MA 98 Begonia sp.16 P 5 Agak terlindung, 114 m dpl 19 2 Juni 2011 MA 99 Begonia sp.17 * P 5 Litofit, terlindung, 53 m dpl 20 2 Juni 2011 MA 100 Begonia sp.18* P 5 Agak terlindung, 46 m dpl Keterangan * = Diduga koleksi baru bagi Kebun Raya “Eka Karya” Bali, P=lebih dari setahun

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 111 5. Identifikasi Begonia Alam Manusela Utara)”. Departemen Kehutanan. Direktorat Jenderal Hasil identifikasi Begonia sebanyak dua jenis, Perlindungan Hutan dan Konservasi yaitu Begonia koordeersii Warb. ex L.B. Sm. & Alam. Balai Taman Nasional Wassh. dan B. aptera sensu L.B. Smith & D.C. Manusela. Masohi. Maluku. Tidak Wassh. Begonia koordeersii (Gambar 3) Dipublikasi. memiliki batang tegak ( cane like ) dengan spot- Barbour, M.G., J.H. Burk, and W.D. Pitts. 1987. spot keputihan. Daun membundar panjang 12– Terrestrial Plant Ecology . Second 16 cm, lebar 13–21 cm. Bunga keluar dari Edition. California: The ujung ruas batang. Dalam satu bunga terdiri Banjamin/Cummings Publishing Co, atas bunga jantan dan betina. Begonia aptera Inc. memiliki batang tegak, bundar, panjang lebih Girmansyah, D. Hartutiningsih-M. Siregar, M. kurang 60 cm, warna hijau kemerahan. Daun Siregar, H. Wiriadinata & W.S. berbentuk lonjong, panjang 15–17 cm, lebar 7– Hoover. 2007. “Conservation of 7,5cm. Warna hijau mengilat, hijau sampai Begonia (Begoniaceae) in Bali merah kecokelatan. Botanic Garden, Indonesia”. Makalah disampaikan pada acara Simposium KESIMPULAN Flora Malesiana VII, 17–22 Juni 2007. The Netherlands, Leiden. Perolehan koleksi hasil eksplorasi ke Taman Ewusie, J.Y. 1980. “Pengantar Ekologi Nasional Manusela sebanyak 20 nomor Tropika”. Terjemahan. Bandung: (Begonia sp. 1–20). Dari 20 nomor ini yang ITB-Press. diduga merupakan koleksi baru bagi Kebun Hartutiningsih, M.S., IN. Sudiatna dan IM. Raya “Eka Karya” Bali sebanyak enam nomor. Ardaka. 2006. “Begonia Eksotik dan Hasil identifikasi koleksi Begonia alam Prospek Pengembangannnya di sebanyak dua jenis, yaitu Begonia koordeersii Kebun Raya “Eka Karya” Bali”. Warb. Ex L.B.Sm. & Wassh. dan B . aptera Warta Kebun Raya , 6 (1): 10–19. sensu L.B.Smith & D.C.Wassh. Hoover, S.W., J.M. Hunter., dan G. Salisbury. 2008. “Formalization of Begonia Seed UCAPAN TERIMA KASIH Exchange Between ABS and Bali Botanic Garden”. The BEGONIAN Eksplorasi ini dibiayai oleh program Insentif Publication of the American Begonia Ristek Peneliti dan Perekayasa tahun 2011 Society, ISSN 0096-8684. dengan judul “Konservasi dan Domestikasi September–October 2006. Pp: 180– Begonia Kawasan Timur Indonesia”. Terima 182. kasih kami sampaikan kepada Bapak Kepala Hughes, M. 2010. UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya (http://elmer.rbge.org.uk/begonia/geo Eka Karya Bali atas saran dan kepercayaannya. graphic list.pdf , diakses tanggal 10 Terima kasih pula kami sampaikan kepada November 2010). Bapak Kepala Taman Nasional Manusela atas Kiew, R. 2005. Begonias of Peninsular pemberian izin memasuki kawasan dan bantuan Malaysia . Natural History Publication tenaganya sehingga tugas kami berjalan lancar. (Borneo). Sdn. Bhd. A913, Wisma Merdeka. Kota Kinabalu, Sabah, DAFTAR PUSTAKA Malaysia. Smith, L.B., D.C. Wasshausen, J. Golding and Anonim. 2005. “Laporan Identifikasi Objek C.E. Karegeannes. 1986. Begoniaceae . Wisata Alam (OWA) di Desa Sawai City of Washington: Smithsonian dan Dusun Masihulan (Kawasan TN Institution Press. 584 Pp

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 112 EMPOWERING THINKING PROCESS TO DEVELOP LEARNERS’ ABILITY TO RECOGNIZE BIODIVERSITY THROUGH CLASSIFICATION AND THEIR REASONING

Nuryani Y. Rustaman Indonesia University of Education Jl. D. Setiabudhi 229 Bandung 40154, West Java

Abstract – A continuous study about how biodiversity instruction have been carried out to help prospective teachers and students develop themselves to recognize biodiversity (especially plant diversity) tropical specific in Indonesia through reasoning in order they have sensitivity to participate actively in conservation. The study involved prospective teachers in teachers colleges, a number of educators (teachers and lecturers) who joint post graduate program in UPI. The lowcompetence of teachers at schools led them teach biodiversity as they experienced in previous schooling. The study had been conducted at various school level (primary, secondary, tertiary education) in some provinces (Nangroe Aceh Darussalam, Riau, West Java, Central Java) especially using classification approach. Data was collected by using various forms of assessment, among others: clinical interview, paper and pencil test, essay assessment, portfolio, and oral test. Object studied primarily plant diversity, whereas animal diversity was used as comparison at school level. The continuous study resulted in classification ability was closely related to thinking process and thinking ability. Students who were in formal intellectual level had higher in concept mastery, and better classificatory ability. It seemed that the potency of ability to recognize heterogenous of tropical plants in Indonesia was not realized for next generation to be able to organize the tropical biodiversity as well as for science develop-ment. Study to improve biodiversity instructions for prospective teachers to be more meaningful should be continuously afforded, so that in turn they can guide their students, with the emphasis on formative assessment, construct students’ habits of mind, habits of behave, and habits of action, and resulted in teaching material that is specially designed for learners and users in the fields.

Key words : Biodiversity, thinking process, reasoning, decision making, various assessment, classificatory ability.

INTRODUCTION to understand the framework about biodiversity, and its relationship in real life for a nation. The world is full of individual objects, living We realize that teachers nowadays have and nonliving. They vary in all conceivable certain burden because there are so many ways among themselves. To understand and courses to be inserted into the curriculum. This discuss them individually is a humanly situation is even added by the ignorance of impossible task. However, they become teachers to develop themselves and internalize amenable when they are considered in discrete what to be taught so that there is relevance groups. Any act of grouping objects into between the teaching material and everyday categories is an act of classification deductively. lives. In this case it comes to the reality that It is an essential phase in human activity to they do not pay attention to the students in cope with the multiplicity of individual objects order to understand its role in scientific and it is a necessary precondition for orderly development and daily lives. The students thinking. That a sense of classification is generally are asked to memorize, not to involved in all human thought and underlines internalize and master the content or concepts all forms of science is well recognized. in order to behave and make right decision in We all see that education about the field. biodiversity is given through all levels of Studies about how instruction for schooling, starting from elementary school, biodiversity should be taught, has not been junior secondary school, and senior secondary conducted so many although it is considered school. In tertiary level, biodiversity is given in difficult and root learning. It is due to the Biology department and some departments incompetent delivery by the teachers. They related to agronomy and forestry. But the teach biodiversity as they experienced stressing of knowledge for them is very limited themselves in college level. They present

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 113 interrelationship in plant systematic just the whatever goals he may have”. Then there were same as presenting the process and product of questions raised by science educators, among plant classification. Ability to describe various others were as follows: “How do the rational tropical plants in Indonesia seem being not powers fit or not fit within your conception of realized as important for the next generation to the development of the intellect? Can manage biodiversity of our tropical country on instruction be designed and carried out to one side and for developing concept on the promote the development of these rational other side. It will even more invaluable to powers? develop thinking ability, such as logical More than ever before, and for an ever thinking, alternative thinking, flexible thinking, increasing proportion of the population, and decision making through classification. vocational competence requires developed Studies of the importance to develop rational capacities. The march of technology thinking process through classification had been and science in the modern society progressively conducted (Rustaman, 1990; Rustaman, 1991; eliminates the positions open to low-level Rustaman, 1994; Rustaman, 2001) and to talents. The man able to use only his hands is at empower biology students and prospective a growing disadvantage as compared with the biology teachers to recognize higher plant man who can also use his head. Today even the diversity in folk classification towards scientific simplest use of hands is coming to require classification through researches (Rustaman, simultaneous employment of the mind. 2003). The effort to overcome instruction in Effective citizenship is impossible biodiversity should be well planned and without the ability to think. The good citizen, continuously designed (Rustaman, 2005). In the one who contributes effectively and improving the quality of learning outcomes, we responsibly to the management of the public need more comprehensive approach business in a free society, can fill his role only collaboratively with science educators and if he is aware of the values of his society. scientists in certain fields of biochemistry, Moreover, the course of events in modern life microbiology, organic chemistry in various increasingly influences an individual’s civic levels. life. His own firsthand experience is no longer Nowadays, people return to use herbal an adequate basis for judgment. He must have for medicine, using metabolite from natural in addition the intellectual means to study substances. A number of Indonesian plants has events, to relate his values to them, and to make been used to produce herbal medicines, such as wise decisions as to his own actions. He must Vinca rosea as medicine for heart attack, also be skilled in the processes of Mucuna prupriens for anti Parkinson, communication and must understand both the Euphorbia hirta for angina. This effort can give potentialities and the limitations of devisa to the country, as well as create new communication among individuals and groups. vacancy for young generation only if we can A person who understands and make use the potency of plant diversity in appreciates his own values is most likely to act Indonesia which is tropical and strategic. on them. He learns that his values are of great moment for himself, and he can look REASONING objectively and sympathetically at the values held by others. Thus, by critical thinking, he In Science Education Information Report can deepen his respect for the importance of (1980) it was stated that the central purpose of values and strengthen his sense of education was to develop in students called responsibility. freedom to think and to choose. According to The man who seeks to understand the Commission, the essence of the ability to himself understands also that other human think involves ten rational processes of: beings have much common with him. His recalling and imagining; classification and understanding of the possibilities which exist generalizing; comparing and evaluating; within a human being strengthens his concept analyzing and synthesizing; deducing and of the respect due to every man. He recognizes inferring. Those rational powers “enable one to the web which relates him to other men and apply logic and the available evidence to his perceives the necessity for responsible ideas, attitudes, and actions and to pursue better behavior. The person whose rational powers are

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 114 not well developed can, at best, learn habitual responses and ways of conforming which may THINKING PROCESS THROUGH insure that he is not a detriment to his society. CLASSIFICATION But, lacking the insight that he might have achieved, his capacity to contribute will Classification is included in the important inevitably be less than it might have become. thinking processes. It has been found in many Development of the ability to reason resources, whether that emphasizes its can lead also to dedication to the values which relationship with logic (Rustaman, 1990; inhere in rationality: commitment to honesty, Bransford, 1986; Raths, et al., 1986; Nickerson, accuracy, and personal reliability; respect for et al ., 1985; Phillips & Phillips, 1985; Kamii, the intellect and for the intellect life; devotion 1979; Gerhard, 1971; Inhelder & Piaget, 1969), to the expansion of knowledge. A man who critical thinking (Rustaman, et al. , 1999), or thinks can understand the importance of this flexible thinking (Lowery, 1985; Rustaman, abilities, he is likely to value the rational 1991 & 2001). Research finding (Rustaman, potentials of mankind as essential to a worthy 1990) showed that there were two types of life. thinking processes involved in logical Thus the rational powers are central to classification, i.e. abstraction and inferences. all the other qualities of the human spirit. These Essential results of abstraction being involved powers flourish in a humane and morally in science logical classification are: a) responsible context and contribute to the entire convergent thinking which includes: personally. The rational powers are to the entire intersection, extrapolation and extrapolation; b) human spirit as the hub to the wheel (Lawson, alternative or divergent thinking and finding 1980). classificatory criteria; c) dichotomous thinking In recent decades, man has greatly and labelling the group; d) inclusiveness, accelerated his systematic efforts to gain insight hierarchy and quantification. Inference was through rational inquiry. In the physical and thinking pattern or ways used by someone to biological sciences and in mathematics, where come to the classificatory results. he has most successfully applied these methods, In conducting classification, beside he has in a short time accumulated a vast fund classifying process (“classification”), there will of knowledge so reliable as to give him power be generalizing process (“generalization”) as he has never before had to understand, to well. By observing and comparing variety of predict, and to act. That is why attempts are similar objects, the concept of the objects can constantly being made to apply these methods be understood. In achieveing concept at to additional areas of learning and human classificatory level, the students can classify the behavior. example- and the nonexample- concepts, even The rapid increase in man’s ability to if both of them have many similar atributes. understand and change the world and has In primary education level, logic in resulted from increased application of his classification was distributed in four types of powers of thought. These powers have proved classification (Rustaman, 1990; Phillips & to be his most potent resource, and as such, the Phillips, 1985) which was called logical likely key to his future. classification. Those four types of classification According to Piaget theory of were class inclusion ( Inklusi kerlompok = IK) Intellectual development, there are at least three atau "class inclussion", reclassification stages of intellect development of students who (klasifkasi ulang = KU), matrix classification joint formal education. The three stages (klasifikasi matriks = KM), and classificatory mentioned above are concrete operational, alternatives ( alternatif klasifikasi = AK). transitional, and formal operational stages. Comparison of many research results They are differentiated by using certain (Rustaman, N.Y.; Opper, S.; Pillips & Phillips instrument test in a set called test of Logical in Rustaman, 1990) showed that primary school Thinking (TOLT). The test consists of ten test age students from Sundanese in Indonesia had items which represent five reasonings, i.e. different sequence of classificatory ability in proportional, correlational, probability, control- their development. Their convergent thinking ling variable, and combinatorial reasoning. ability came earlier than Malaysian students and American students, and that alternative thinking

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 115 ability could not been detected from the STUDIES ON BIODIVERSITY students until the age of 12. Other research result by one of her bachelor student resulted in Located in equator region with the land area of similar findings in alternative thinking of the two million kilometers square and ocean region first grade of junior highschool students (13-14 of six million kilometers square, Indonesia is an year old), and their reclassificatory ability (KU) island country with most dense population and and their ability in labeling the groups is known as one of mega-biodiversity in the whenever the criterion been changed were not world (Kantor Menteri Negara Lingkungan very high. Hidup, 1997). In contrast, the most populated Comparison of Rustaman’s study and country does not know exactly its richness Lowery’s study (Rustaman, 1991) showed that because Indonesia does not have human the logical classificatory types (IK< KM< KU< resource with capability to calculate and AK) got along with the stages proposed by manage the data. It has been stated by Lowery as the biological basis for thinking. The taxonomy experts in many occasions, among relevance of them lies not only in the others stated by Rifai (1987: 4): "… we need characteristics of the abilities in logical one group of thirty taxonomy experts to collect classifications, but the sequence of the ability information about our biodiversity”. Actually development as well. According to Lowery the there is no more country boundaries ability of alternative classification continued to (specifically in information as well as develop up to middle school years and tertiary knowledge), so the human resource should be education, which was above 16 years old, and critical, analytical and creative to solve was known as flexible thinking ability. problems in relation to biodiversity In middle school and university the conservation, as the biodiversity support human logic in classification was in three forms, they lives in our country. were: classification, categorization, and Because of the very rich biodiversity in seriation. The essensial retrieve study from Indonesia we need extra work to recognize, to many articles and resources ( among others was manage, and to conserve our biodiversity. We Jeffrey, 1982) it came to the conclusion that need to work hard in preparing teaching classification gave opportunity higher order materials for biodiversity. Its richness hopefully thinking than the categorization, as it included becomes the strength, not constraint in inhibit observation process, generalization, and the progression of biodiversity concept mastery inductive inference, whereas categorization through formal education (Rifai, 1994:36). resulted in limited number of groups and included deductive inference. Both 1. Preliminary Studies classification as well as categorization resulted in real discrete groups, while seriation resulted Based on personal experience in teaching in continuum and transitional groups. Biosystematics for years, it has been found that Either in real grouping or discrete students good in plant systematic, were also grouping, transitional group was always found good in other courses which were considered in biological classification, especially in higher difficult too. It has been predicted that through plant groups. For instance, although certain taxonomy or systematic we can give important groups of Fern (Pteridophyte) are separated contribution in constructing the way of biology from seed plants, we can still find seed ferns. thinking. To check the prediction we can study So as the opened seed plants (Gymnosperms or various resources as references (Keogh, 1995; Pinophytes) is separated from closed seed Rustaman, 1990; Radford, 1986; Dunn & plants, but we can still find Gnetinae which has Everitt, 1982; Wiley, 1981). integrated characteristics of both taxa. Both of It seemed there was still confusion them have thin, wide leaves with network between taxonomy and systematic, and between venation and tracheal vessels in its xylem (not classification and classificatory system. tracheid as in other Gymnosperms). Taxsonomy differ from systematic. Taxonomy is the theory and practice of classifying organisms, while systematic is a scientific study about species and diversity of organisms and relationship among them. Keogh (1995) defined

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 116 taxonomy just as "the science of collecting, systematic should be removed from school discovering and describing species". curriculum and university curriculum, and be Actually there is a number of definition replaced by biodiversity. Although it had been related to classification, from definition of argued by Rustaman (1990; 1994) because the classification as "the ordering of organisms into classificatory ability (in taxonomy) is really groups on the basic of their relationships, and needed in many school levels as well as in the relationships maybe genetic, evolutionary university level in data classification, even can (phylogenetic) or may simply refer to motivate prospective biology teachers in similarities of phenotype (phenetic)"; or the teachers college use their reasoning through definition of classification as essential activity Higher plant systematic or Phanerogamic of the whole scientific activity, as a nesecity Botany course and its practical work. and knowledge for scientists in changing and a. In Elementary school level, Biodiversity constructing classificatory system. Keogh was inserted in Science Elementary school (1995) stated that classification as species 1994 Curriculum. It was clearly inductively organization to be groups that reflects stated in working definition (not evolutionary relationship. In this case according deductively). Young children were asked to to Rifai (1987 & 1994) what were classified is describe the organisms they found in their not the objects but the knowledge about the own way. objects. This statement is relevant with the b. In Junior Secondary School level, some of opinion of Wiley (1981:193) with his the Undergraduate and Magister level statement: “classifications are systems of students had carried out research in certain words” and that the activity classifies entity or school in their provinces. phenomena and gives name to the groups. 1) Indoor learning using observation and Rustaman (1990) emphasized classifi- discussion method and outdoor learning cation as process and product. As product using field trip method had been used to classification is meant as results of study animal (vertebrate) diversity and classification. The result of folk classification then its effectiveness was compared in differs from scientific classification. Folk concept mastery in Riau Province classification divides plants horizontally, (Indriani, 2004). without hierarchy. Scientific classification has 2) Learning cycle model had been used to hierarchy and construct, which is then called differentiate students’ achievement in classificatory system. There is interrelation concept mastery using inductive and between classification as process and as product. deductive strategic in one Junior Based on their knowledge about objects, human Secondary school in Riau Province beings can classify objects (process). But if (Setiawati, D., 2010). their knowledge about objects is standstill, there 3) Classificatory approach had been used will not increase or develop the classificatory to compare students’ achievement in ability. This ability rises again after additional animal diversity and plant diversity in knowledge happed. West Java (Hapsari, I.F.R., 2010). Based on all those explanations, it is c. As in junior secondary school level, in clear that the ability or process of classification senior secondary school level, some is very important to be developed among young magister students had tried to conduct generation, in primary education level, research on biodiversity in their own secondary education level and tertiary provinces. education level. 1) Classificatory approach had been used in introducing plant diversity in NTB 2. Study on Biodiversity Instructions (Jamaludin, 1997) using 1994 Curriculum. Introduction of Linnaeus at schools (in junior 2) Further research had been conducted by secondary school as well) tend to give emphasis Noviyanti (2010) to identify plant more on classificatory system, not on biodiver- diversity in NAD after tsunami disaster sity. Based on certain consideration that had in coastal region schools. been stated in many occasions, Rifai (1979, 3) Nowadays a study on biodiversity 1987, 1994) suggested that taxonomy or (plant and animal) using classificatory

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 117 approach in instruction and level of In junior secondary school level Hapsari intellectual development as student (2010) tried to investigate students’ ability in back-ground is being conducted in classification compared to concept mastery and West Java (Debbie, in progress). level of intellectual development. She found 4) In near future a study on preparing that their ability was average in plant diversity, learning material is going to be carried as well as in plant and animal diversity, but low out by one senior teacher from senior in animal diversity. She found too that most of secondary school at DKI province after them were in concrete intellectual development conducting survey on how biology (45.5%), transitional (42.5%), and very little in teachers find out the teaching material formal intellectual development (6.1%). But she to teach plant diversity. found that students with formal intellectual d. In tertiary level in Biology department some development had the highest achievement in researches have been conducted and still on classificatory ability and in concept mastery, progress. compared to those with transitional intellectual 1) Multimedia for theoretical aspect in development and even worse for those with Phanerogamic Botany was designed by concrete intellectual development. Animal the team to help prospective teachers in diversity was considered more difficult by concept mastery (Sriyati, S., et al. , junior secondary school students. 2006) Product and essay assessment stressing 2) Practical work and field trip had been on critical thinking had been used to get used to involve prospective teachers in information of prospective biology teachers in identifying plant diversity in their practical work in Phanerogamic Botany habitat (river bank and coastal region) (Rustaman, 2005b). Assignment to bring in Environment Course in one teachers specimens, to write natural history of certain college in West Kalimantan (Ariyati, plants, and to implement their concept mastery 2010). in the form of drawing different specimens have 3) Practical work and discussion towards been used as performance assessment and plant and animal diversity had been encourage prospective biology teachers to conducted to grasp prospective develop their ability by preparing themselves to teachers’ achievement and difficulty recognize, master and apply essensial concepts whenever they were assessed by written in plant diversity. (paper and pencil test) and oral test in Students’ sensitivity from the small groups of two-three prospective prospective biology teachers was studied by teacher freshments in Central Java Wulan, (2007). Her trial to investigate the (Sukaesih, S., 2010). sensitivity of prospective biology teachers 4) In practical work and theoretic aspect of whether they took good care of the biodiversity Phanerogamic Botany, a study on using questionnaire combined with observation emphasizing formative assessment has sheet and interview indicated that most of them been conducted to analyse prospective did not realize about the importance of teachers’ ability to recognize plant biodiversity, they paid attention more to the diversity by being actively give pollution in their environment. They did not presentation as model for other groups even realize that ecosystem was actually one (Sriyati, et al. , 2010). level of Biodiversity. A study towards first year prospective teachers who learnt animal and 3. Study on Assessing Ability in plant diversity and been assessed by written and Biodiversity oral tests, resulted in low classificatory ability, especially in animal diversity (Sukaesih, 2010). Classificatory ability of elementary school Certain strategy for using variety of assessment students from Sundanese background was to improve student learning has been being conducted using clinical interview for the four carried out with stressing on formative types of classification (Rustaman, 1990). assessment using written feedback as well as However, there is no study on students’ oral feedback simultaneously (Sriyati, et al., sensitivity towards conservation of biodiversity. 2010).

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 118 4. Thinking Process only and more on memorizing the scientific names of bio-diversity (without recognize the In relation to thinking process, some logical specimens) and classificatory product of earlier classification had been carried out in primary taxonomy experts without realizing the criteria education level (Rustaman, 1990; Hapsari, and the basis for classifying them will not 1998). Still about logical classification Hapsari interesting and tend to boring, even among the (2010) had conducted a study on plant and biologists and biology educators. It has to be animal diversity with intellectual development realized that the aims of improving biodiversity as student’s background. instructions and its mastery need to be Critical thinking as one of higher order accompanied by using relevan teaching material thinking skills had been developed and assessed on biodiversity and suitable resources as using special designed instrument (reported in starting point to prepare students in studying Rustaman, 2005b). Classification and biochemistry, genetics, and modern generalization had been and is being conducted microbiology to master biotechnology now and (Rustaman, 1990; Sidik, 2011). Implementation in the future. of formative assessment in preparing Empowering thinking process whether prospective biology teachers to insist them in the form of logical thinking, critical thinking, learn (recognize, identify, classify) by convergent and divergent thinking or flexible themselves is being reported by Sriyati (2011). thinking and decision making is very important. While data analysis about the contribution of it is the right time to distribute the ideas among classificatory approach and classificatory ability the teachers and being trained to prospective to develop reasoning, especially to increase and science/biology teachers systematically in move students with concrete intellectual various levels. Thinking processes through developmental level into transitional and formal abstraction and inferences, inductively or intellectual development level is still in deductively (Rustaman, 1990) through progress. classification and generalization which all of them are rational power to increase their 5. Ethnobotany dan Ethnopedagogy reasoning, not only in such a way that manipulate the objects physically, but by Prospect of studying biodiversity realted to reasoning involvement and act on the “objects” herbal medicine from local plants is potential to in order to understand the concept as well as the be conducted either in multiplying certain kind thinking process within the concept. of specimen by tissue culture from Classification is actually impossible happened somatoembryo in laboratory, or finding out and work without generalization. During the from natural setting in certain region are also classification the object should be observed first, potensially developed. Certain medicinal plants and then the similarity based on the observation to help young mother easier delivery her baby results the concept can be grasp. The way and be healthy earlier had been found by someone classifies objects is actually depend on naturalist researcher in investigating local the knowledge she has in her mind. She uses wisdom from certain region in West Java. The the knowledge as the criteria to classify. way traditional midwife guides her “students” Concrete thinker students use only concrete is another potential area to study, as they tend concept as criteria in their classification, while to conserve medicinal plants in their village. abstract or formal thinker students can use abstrak knowledge/concept as criteria in doing CONCLUSION classification. Classification does help us to recognize diversity around us, and biodiversity Taxonomy experts will not be found among the as well. Indonesian, unless the way of teaching The effort to improve biodiversity biodiversity is improved in more creative and instructions in various levels of education essential experience. Students and prospective should be carried out by choosing priority of teachers should be encouraged and challenged development in accordance with the ability of to develop their ability to recognize, identify, students in reasoning, classifying and classify and collect tropical plants in their recognizing biodiversity based on previous surrounding. Previous experience with stressing research findings. Literature study and many

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 119 research results in relation to classification, Tesis Magister Pendidikan IPA Sekolah thinking process, teaching model and its Pascasarjana UPI. Bandung: tidak assessment have been presented to clarify the diterbitkan. meaning of systematic, taxonomy, biological Brandsford, J.D., et al. 1986. ”Improving classification, phillogenetic classification, thinking and learning skills: An classificatory biological taxonomy, and analysis of three approaches”. Segal, instructional foci and content coverage. Chipman & Glaser (eds). Thinking and Variety of assessment in the form of Learning Skills 1 . New Jersey: paper and pencil tests, and nontest assessment Lawrence Erlbaum Associates. have been proposed in this paper to give Dunn, G. & Everitt, B.S. 1982. An Introduction illustration on how serious the effort to improve to Mathematical Taxonomy . Cambrid- plant diversity instructions, and the examplaes ge: Cambridge University Press. as modeling for biology/science educators and Ennis, R.H. 1985. “Critical Thinking”. In Costa, biology/science researchers to develop and A.L. (1985). Developing Mind: A continue. The assessment is in priority to detect Resource Book for Teaching Thinking. thinking ability (intellectual intelligence), Alexandria: ASCD. emotional intelligence, as well as concept Ennis, R.H. 1996. Critical Thinking . Upper mastery in relation to the characteristics of plant Saddle River: Prentice-Hall, Inc. groups using philogenetics scale and observing Gerhard, M. 1971. Effective Teaching Strate- plants in their habitat. gies with the Behavioral Outcomes Even though the study on plant Approach. West Nyack: Parker diversity has not been completed yet, research Publishing Co. findings in recent years show that there is good Hapsari, I.F.R. 2010. “Kemampuan Klasifikasi tendency of biology students in Indonesia dan Penguasaan Konsep Keaneka- University of Education. These efforts have ragaman Makhluk Hidup Siswa SMP encouraged and motivated them to love Berdasarkan Tingkat Perkembangan biodiversity and express this through their Intelectual”. Tesis Magister Pendidikan popular and scientific writing about natural IPA Sekolah Pascasarjana UPI. history of certain plants in their home region. Bandung: Tidak diterbittkan. Classificatory biological thinking that has been Hidayat, O. 2005. Pengembangan Model developed through biodiversity learning will be Pembelajaran Berbasis Inkuiri untuk continuously on going activities. Exercises and meningkatkan Kemampuan Berpikir assignments to explore and investigate the Kritis pada Materi Jamur . Tesis characteristics of plant groups can develop their Magister. Program Pascasarjana UPI. own thinking as rational power and can be Bandung: tidak dipublikasikan. transfered to other courses or subjects.Through Indriani. 2004. Perbandingan Hasil Belajar dan their rational power we empower them to Sikap Siswa SMP antara yang participate in improving biodiversity instruct- menggunakan Media Gambar Hewan tions. For biology students and biodiversity Vertebrata berbentuk Kartu dengan lovers, their abilities in binary and hierarchical Metode Karyavisata pada Konsep classification, classification-categorization- Keanekaragaman Hewan Vertebrata . seriation can be implemented to transfer folk Tesis Pendidikan IPA Sekolah classification into scientific classification so Pascasarjana UPI. Bandung: Tidak that plant taxonomy in Indonesia well diterbitkan. developed and being admired by biologists in Inhelder, B. & Piaget, J. 1969. The Early other countries. Growth of Logic in the Child . New York: WW. Norton & Company, New References York. Jamaluddin. 1997. Pembelajaran Konsep Ariyati, E. 2010. “Pembelajaran Berbasis Keanekaragaman Hayati dengan Praktikum dengan Memanfaatkan Pendekatan Klasifikasi di Sekolah Hutan Mangrove untuk Menumbuh- Menengah Umum . Tesis Magister kembangkan Kemampuan berpikir Pendidikan IPA Program Pascasarjana Kritis dan Sikap Ilmiah Mahasiswa”.

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 120 IKIP Bandung. Bandung: Tidak Classroom . 2 nd edition. Teachers diterbitkan. College. Columbia University, New Jeffrey, C. 1982. An Introduction to Plant York and London. Taxonomy . 2 nd edition. Cambridge: Rifai, M.A. 1994. Menyiapkan Diri Mengajar Cambridge University Press. Biolog i. Jakarta: Pusat Perbukuan Kamii. C. 1979. “Teaching for thinking and Rifai, M.A. 1990. ”Keadaan pertaksonomian creativity: A Piagetian points of view”. Indonesia sebagai cermin kegagalan Lawson, A.E. (ed). 1980 AETS pendidikan biologi”. Makalah dalam Yearbook. The Psychology of Teaching Simposium Nasional Pendidikan Thinking and Creativity. Pp. 29-58. Biologi I . Surabaya. Ohio: Clearing House. Rifai, M.A. 1987. ”Quo vadis taksonomi di Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. Indonesia?” Makalah dalam Konggres 1997. Agenda 21 Indonesia: Strategi Biologi Nasional VIII. PBI, Purwokerto Nasional untuk Pembangunan 8-10 Oktober 1987 (dimuat juga dalam Berkelanjutan. Sisipan Floribunda . 1: 26-28, 1989). Keogh, J.S. 1995. “The importance of Rifai, M.A. 1994. Menyiapkan Diri Mengajar systematics in understanding the bio- Biologi Di Sekolah Menengah Umum. diversity crisis: the role of biological Jakarta: Pusat Perbukuan. Departemen educators”. In Journal of Biological Pendidikan dan Kebudayaan. Education . 29, (4). 293-299. Rustaman, A. 1989 . “Assessing Practical Skills Lawson, A. 1980. Science Education in Biology in Indonesian Senior Information Report: 1980 AETS Secondary Schools”. A critical study Yearbook - The Psycology of Teaching for Master of Education in Science . for Thinking and Creativity . Columbus, School of Education. The University of Ohio: ERIC Science, Mathmatics and Leeds, Leeds: Unpublished Environmental Education Rustaman, N.Y. 1990. Kemampuan Klasifikasi Clearinghouse. Logis Anak: Studi tentang Kemampuan Mardapi, D. 2005. “Pengembangan sistem Abstraksi dan Inferensi Anak Usia SD penilaian berbasis kompetensi”. Dalam pada Kelompok Budaya Sunda. Rekayasa Sistem Penilaian dalam Disertasi Doktor. Program Pascasarjana Rangka Meningkatkan Kualitas IKIP Bandung. Bandung: tidak Pendidikan . Yogyakarta: Himpunan dipublikasikan Evaluasi Pendidikan Indonesia Rustaman, N.Y. 1991. Dasar Biologi Proses didukung Dikti, Dimenum, Pusat Berpikir . Makalah disampaikan pada Penilaian Pascasarjana UNY.71-85 Seminar Nasional Biologi XII dan Novianty, A. 2010. ”Pembelajaran berbasis Kongres PBI X di Institut Pertanian praktikum pada konsep Kingdom Bogor, Bogor plantae untuk meningkatkan kemampu- Rustaman, N.Y. 1994. ”Pengembangan an berpikir Kritis dan Sikap siswa Penalaran Melalui Klasifikasi- SMA”. Tesis Magister Pendidikan IPA. Kategorisasi-Seriasi: Sebuah Model Sekolah Pascasarjana UPI. Bandung: Pengajaran Keanekaragaman Tumbuh- tidak diterbitkan. an Berbiji di LPTK”. Makalah Phillips, D.G. & Phillips, D.R. 1985. The dipresentasikan pada Seminar Sehari Structures of Thinking: Elaboration, Taksonomi & Pengajaran Biodiversitas Evaluation and Applications of Piaget's Tumbuhan yang diselenggarakan oleh Model of Intellectual Development . 3 rd Penggalang Taksonomi Tumbuhan edition. The Science Education Center. Indonesia dan Jurusan Biologi FMIPA University of Iowa, Iowa Universitas Indonesia, Depok. Radford, A.E., Dickison, W.C., Massey, J.R., & Rustaman, N. Y., Widodo, A., Sriyati, S., Diana, Bell, C.R. 1974. & Kusdiyanti . 1 999. ”Pengembangan Systematics . New York: Harper & Row, Model Praktikum Biologi dan Publishers. Asesmennya untuk Mengembangkan Raths, L.E., et al . 1986. Teaching for Thinking: Keterampilan Proses dan Berpikir Theory Strategies, and Activities for the Mahasiswa Calon Guru Biologi”.

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 121 Laporan Penelitian DIKTI Proyek Keanekaragaman Makhluk Hidup”. PGSM Penelitian Peningkatan Kualitas Tesis Magister Penddikan IPA Sekolah Pembelajaran Batch ke II. Pascasarjana UPI. Bandung: Tidak Rustaman, N.Y. 2001. Model Pembelajaran diterbitkan. Materi Subyek Biologi untuk Mengem- Sriyati, S., Rustaman, N., Amprasto, Hidayat, bangkan Keterampilan Berpikir T., & Yudianto, S.A . Konseptual Tingkat Tinggi Mahasiswa 2006. ”Penggunaan Multimedia pada Calon Guru Biologi . Laporan Pembelajaran Teori Botani Phanero- Penelitian DIKTI melalui Hibah gamae dalam Upaya Meningkatkan Bersaing. FPMIPA IKIP Bandung. Hasil Belajar Mahasiswa”. Laporan Rustaman, N.Y. 2002. ”Pandangan Biologi Akhir Hibah Pembelajaran dalam terhadap Proses Berpikir dan Rangka Implementasi Program SP4 Implikasinya dalam Pendidikan Sains”. Program Studi Biologi. Makalah untuk Orasi Ilmiah dibacakan Sriyati, S., Rustaman, N., & Zainul, A. pada Pidato Pengukuhan Guru Besar 2010. ”Kontribusi Asesmen Formatif FPMIPA- UPI. 18 Oktober 2002. terhadap Habits of Mind Mahasiswa Rustaman, N.Y. 2003. “Mengenal Biologi”. Artikel untuk dimuat dalam Keanekaragaman Tumbuhan Tinggi Jurnal Pengajaran MIPA. 15, (2). 77- dalam Klasifikasi Rakyat menuju 86. Klasifikasi Ilmiah melalui Penelitian Sukaesih, S. 2010. “Pembelajaran berbasis untuk Mengembangkan Proses praktikum pada Konsep Keaneka- Berpikir”. Makalah Ilmiah, disajikan ragaman makhluk hidup dan asesmen dalam Seminar Nasional Taksonomi tes lisan untuk meningkatkan Tumbuhan Indonesia di Surakarta, kemampuan berpikir Kritis dan Sikap Desember 2003. Mahasiswa”. Tesis Magister Pendidik- Rustaman, N.Y. 2005a. “Mengefektifkan an IPA. Sekolah Pascasarjana UPI. Pembelajaran Sains dan Animasinya Bandung: tidak diterbitkan. untuk mengembangkan Kemampuan Sastrapradja, D.S., Adisoemarto, S., dasar Bekerja Ilmiah melalui berbagai Kartawinata, K., Satrapradja, S., & metode”. Laporan Penelitian Hibah Rifai, M. A. 1989. Kenakeragaman Pasca Tahap II. Direktorat Jenderal Hayati untuk Kelangsungan Hidup Pendidikan Tinggi. Departemen Bangsa. Bogor: Pusat Penelitian dan Pendidikan Nasional. Jakarta. Pengembangan Bioteknologi-LIPI. Rustaman, N.Y. 2005b. “Arah Pembelajaran Shukla, P. & Misra, S.P. 1979. An Introduction Keanekaragaman Tumbuhan dan to Taxonomy of Angiosperms . New Asesmennya di LPTK dan Sekolah”. Delhi: Vikas Publishing House. Makalah utama sebagai Pembicara Wiley, E.O. 1981. Phylogenetics: The Theory Kunci dalam Seminar Nasional and Practice of Phylogenetic Keanekaragaman Hayati yang Systematics . New York: A Wiley- diselenggarakan oleh PTTI Cabang interscience Publication. John Wiley Bandung (Komisariat gabungan ITB- and Son. UNPAD-UPI) bekerjasama dengan Wulan, A.R 2007. “Pembekalan Kemampuan Penggalang Taksonomi Tumbuhan Performance Assessment kepada Calon Indonesia di FPMIPA Universitas Guru Biologi dalam Menilai Kemam- Pendidikan Indonesia di Bandung. puan Inquiry”. Disertasi Doktor Setiawati, D. 2010. “Pembelajaran Model Kependidikan dalam bidang Pendidikan Learning Cycle untuk meningkatkan IPA. Sekolah Pascasarjana UPI. Penguasaan Konsep dan Kemampuan Bandung: Tidak diterbitkan Klasifikasi Siswa SMP pada

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 122 PERKEMBANGAN KOLEKSI BAMBU KEBUN RAYA ”EKA KARYA” BALI

Ida Bagus Ketut Arinasa dan I Nyoman Peneng UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali LIPI Candikuning, Baturiti, Tabanan Bali 82191 E-mail :[email protected]

ABSTRACT – All of peoples know, bamboo close with Balinese live for long time ago because it has various functions and purposes. Furthermore Bali Botanic Garden as flora conservation institute has began to conserve bamboo in 1982. However the development of bamboo conservation in Bali Botanic Garden not satisfactorily and has been stagnant for more than 11 years. Nevertheless, 14 genera and 58 species or 39% of Indonesian bamboo have been conserved in the garden. That number of species is too far being completed of Indonesian bamboo diversity with estimation around 150 species. Most of the bamboo collection from Bali and some are from donation from people who concerned with bamboo resources. Bamboo collection from outside Bali is still lacking so there are many good opportunity to increase the number of bamboo collection from outside Bali. The herbarium of bamboo specimens kept in Bali Botanic Garden around 208 specimens where 22 species fertile material and 26 species sterile material.

Keywords : Bamboos; Bali Botanical Garden.

PENDAHULUAN Dalam bidang konservasi tanah dan air bambu juga banyak dimanfaatkan. Subak Kegiatan masyarakat di Bali tidak pernah lepas Angsri di Kabupaten Tabanan bahkan dari pemakaian bambu. Pada saat bayi lahir mengawigkan (undang-undang di desa), bambu sebilah bambu yang tajam permukaannya yang sebagai sumber mata air persawahan, dan lazim disebut ngad digunakan untuk memotong dilarang ditebang sembarangan (Sumantera dan tali pusarnya terutama bagi mereka yang jauh Peneng, 2005). Di Desa Tigawasa, Sidetapa, dari perkotaan. Pada saat memotong itik untuk Cempaga, dan Pedawa di Kabupaten Buleleng, keperluan upacara juga dipakai ngad . Pada demikian pula desa-desa di Bangli, seperti Desa kegiatan rumah tangga, alat penampi beras juga Penglipuran, Kedui, dan Tembuku yang menggunakan bambu. Alat-alat pertanian, mempunyai topografi sangat curam menanam perikanan, peternakan, seperti keranjang rumput, berbagai jenis bambu untuk menahan erosi keranjang buah, bubu penangkap ikan, tanah. Dari rerumpunan bambu dapat bangunan kandang ternak juga bambu tetap disaksikan keluarnya mata-air yang sangat digunakan. Dalam kegiatan upacara dibutuhkan oleh daerah yang terkenal kering pancayadnya bambu harus selalu ada. Upacara dan debit airnya sangat kecil. Dengan demikian, pecaruan dalam bhutayadnya , bambu selalu bambu merupakan jenis tanaman yang tepat digunakan untuk pembuatan sanggah cucuk digunakan untuk usaha konservasi tanah dan air (Arinasa 2004) . Upacara manusayadnya seperti terutama untuk tanah-tanah miring yang rawan pada upacara potong gigi atau metatah , bambu longsor dan daerah-daerah tandus. Dengan ampel gading selalu digunakan untuk penanaman bambu berskala luas di lahan kritis, pembuatan bale gading . Demikian pula pada diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan upacara pengabenan atau upacara dewayadnya , daya dukung lingkungan (Untung dkk., 1998). bambu buluh gading selalu digunakan untuk Di bidang hasta karya (kerajinan pembuatan sunari. Dalam bangunan konstruksi, tangan) para perajin di Gianyar, Badung, bambu menjadi pilihan utama sekalipun sudah Denpasar, Buleleng dan lain-lain sangat banyak steger besi ditawarkan. Pembuatan menghandalkan dan membutuhkan berbagai rumah tradisional bahkan hotel memilih bambu jenis bambu untuk produksi kerajinannya. sebagai bahan interiornya. Jembatan perdesaan Bahan mentah sering tidak mencukupi dari tidak luput pula memakai bambu betung atau hasil produksi di Bali, sehingga sering bambu gesing, walaupun besi beton banyak mendatangkan dari luar Bali. Hasil kerajinan dijual. dari bambu seperti mebel, almari, dipan, pernak-pernik, bahkan rumah bambu sangat

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 123 diminati oleh tamu mancanegara. Bambu BAHAN DAN METODE ternyata telah berhasil mendatangkan devisa bagi negara khususnya Pemerintah Daerah Bali. Kebun koleksi bambu seluas kurang lebih dua Pada tahun 2003 devisa Bali dari sektor ha yang terletak di petak XI D serta data primer perbambuan sebesar US $9.778.471.03, suatu dan data sekunder di unit Registrasi Kebun nilai yang tidak kecil (Bagiada, 2003). Selain Raya Eka Karya Bali menjadi bahan penelitian. kegunaan tersebut di atas, sejak dulu kala Metode penelitian dilaksanakan dengan rebung bambu sangat disukai untuk bahan penelusuran pustaka pada pangkalan data sayuran. Bali memiliki beberapa jenis bambu registrasi khususnya penerimaan dan yang rebungnya enak disayur di antaranya penanaman koleksi bambu dari tahun 1982 bambu petung manis ( D. asper ), bambu gesing hingga tahun 2010. (B. blumeana ) dan bambu tabah ( G. nigrociliata ). Jenis rebung bambu tabah HASIL DAN PEMBAHASAN merupakan rebung yang paling enak sehingga menjadi komoditas ekspor ke mancanegara. Dari penelusuran diperoleh hasil perkembangan Pentingnya bambu bagi kehidupan koleksi bambu Kebun Raya “Eka Karya” Bali masyarakat khususnya di Bali, bukan berarti sebagai berikut. masih sedikit masyarakat atau instansi 1. Jumlah koleksi bambu seluruhnya ada 58 pemerintah betul-betul peduli terhadap bambu. jenis dari 14 marga yang pada umumnya Belum banyak yang memperhatikan dan bibit dikumpulkan dari hasil eksplorasi di berupaya melestarikan bambu secara sungguh- Provinsi Bali, NTB, NTT, dan sumbangan sungguh. Kebanyakan mereka menanam bambu dari pecinta dan pemerhati bambu. Daftar hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri koleksi bambu dari tahun 1982 sampai apalagi di Bali bambu lebih banyak bersifat dengan tahun 2010 dapat disaksikan pada sosial, artinya bambu bisa didapat dari tetangga Lampiran 1. ataupun orang lain dengan cuma-cuma atau 2. Koleksi berbunga yang berhasil dipantau meminta alias gratis. Disadari maupun tidak datanya sebanyak 22 nomor dari 22 jenis bahwa bambu telah menjadikan celengan koleksi bambu, dan koleksi bambu yang (tabungan) bagi sebagian masyarakat terutama telah dibuat herbariumnya sebanyak 208 masyarakat perdesaan karena bambu hanya spesimen dari 35 nomor 35 jenis serta ditanam sekali dan menghasilkan secara terus koleksi mati tercatat sebanyak 26 nomor menerus tanpa banyak menuntut biaya seperti tertera pada Lampiran 2. pemeliharaan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Jumlah Koleksi Pembibitan bambu belum pernah menjadi pemikiran yang serius karena sampai Perkembangan koleksi bambu Kebun Raya saat ini petani dengan mudah dapat “Eka Karya” Bali diharapkan dapat meningkat memperbanyaknya dengan melakukan dari tahun ke tahun. Arinasa dan Widjaja (2005) pembelahan terhadap rimpangnya. Walaupun menyatakan jumlah koleksi pada saat itu hasilnya tidak maksimal, pembibitan sebanyak 36 jenis dan 50% dari jumlah tersebut mempergunakan potongan batang ataupun adalah jenis-jenis introduksi. Jumlah koleksi ranting dapat pula dihasilkan terutama terhadap bambu secara keseluruhan pada tahun 2010 jenis bambu tertentu. Tentu cara ini belum meningkat menjadi sebanyak 14 marga dan 58 efisien dari segi ilmu pengetahuan dan dari sisi jenis seperti tertera pada Daftar Koleksi Bambu ekonomi karena produktivitasnya rendah. Kebun Raya “Eka Karya” Bali (Lampiran 1). Belakangan ini banyak lahan pertanian berubah Dari Lampiran 1 diketahui bahwa marga fungsi. Banyak kebun bambu berubah menjadi Gigantochloa memiliki jenis terbanyak, yaitu perumahan, fasilitas sosial, dan lain-lain yang sebanyak 20 jenis. Di antara jenis-jenis itu mengakibatkan populasi bambu jelas semakin terdapat tiga jenis yang merupakan bambu terdesak. Kebun Raya Bali sebagai lembaga endemik Bali, yaitu jajang aya ( G. aya ) dan konservasi tumbuhan mempunyai tugas dan jajang taluh ( G. taluh ) keduanya berasal dari tanggung jawab untuk melestarikan flora hutan bambu adat Penglipuran di Kabupaten Indonesia. Bangli-Bali. Jenis bambu endemik lainnya dari marga Gigantochloa adalah tiing bali ( G.

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 124 baliana ), bambu ini berasal dari Bali Utara castaneum ). Tiing buluh ini berasal dari Desa yaitu Desa Sidatapa, Tigawasa, Cempaga dan Angkah Kecamatan Selemadeg Kabupaten Pedawa di Kecamatan Banjar Kabupaten Tabanan-Bali (Widjaja dkk., 2005). Tiing buluh Buleleng (Widjaja et al. , 2004). Jenis tiing tali tamblang ( S. brachycladum ), tiing buluh lengis (G. apus ), tiing tabah ( G. nigrociliata ), dan (S. lima ), dan tiing buluh suling ( S. silicatum ) tiing jajang ( G. manggong ) adalah jenis-jenis adalah jenis-jenis tiing buluh yang sudah bambu yang telah lama ditanam oleh nenek melekat dalam kehidupan nenek moyang orang moyang di Bali, sedangkan jenis lainnya dalam Bali sejak lama. marga ini ditanam kemudian. Menurut Widjaja (2001) Dendro- Bambusa adalah marga bambu yang calamus adalah marga bambu yang memiliki mempunyai jenis terbanyak kedua, yaitu 11 arti penting di Bali karena batang dari jenis- jenis di mana terdapat satu jenis merupakan jenis bambu ini paling besar di antara jenis- bambu endemik Bali, yaitu bambu ooh ( B. ooh ) jenis bambu yang ada di Kebun Raya “Eka (Widjaja et al. , 2004). Bambu ooh berasal dari Karya” Bali. Jenis ini sering mewakili kayu Desa Pempatan Kecamatan Rendang Kabupaten untuk keperluan bahan konstruksi bangunan. Karangasem, Bali, tiing gesing/ori ( B. Walaupun hanya mempunyai jenis yang tidak blumeana ), tiing tultul ( B. maculata ), dan tiing terlalu banyak hanya tiga jenis, yaitu D. asper, ampel gading/gadang ( B. vulgaris ) adalah jenis- D. brandisii, dan Dendrocalamus sp. jenis-jenis jenis bambu yang sudah lama juga dipelihara ini tampak mudah dikenal karena batangnya oleh masyarakat Bali. tertinggi di antara jenis-jenis koleksi bambu Schizostachyum adalah marga bambu yang ada di Kebun Raya “Eka Karya” Bali. yang mempunyai jenis terbanyak ketiga di Gambar 1 memberikan gambaran yang lebih Kebun Raya “Eka Karya” Bali, yaitu sebanyak jelas tentang komposisi jumlah jenis marga 10 jenis. Satu di antaranya merupakan bambu bambu di Kebun Raya “Eka Karya” Bali. endemik Bali, yaitu tiing buluh kedampal ( S.

20 18 Bambusa 16 Chusquea Dendrocalamus 14 Dinochloa 12 Fimbribambusa Gigantochloa 10 Guadua 8 Nastus Jumlah Jenis Jumlah Neololeba 6 Otatea Phyllostachys 4 Schizostachyum 2 Shibatea Thyrsostachys 0

Gambar 1. Jumlah Koleksi BambuMarga Kebun Raya Eka Karya Bali 1982-2010

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 125

Gambar 2. Perkembangan penanaman koleksi bambu Kebun Raya “Eka Karya” Bali dari tahun 1982–2010.

Perkembangan koleksi bambu dari saat sebanyak 24 nomor dari 22 jenis bambu. dibentuk tahun 1982 hingga tahun 2010 sangat Adapun koleksi bambu yang telah diambil fluktuatif baik dari segi jumlah nomor, marga herbariumnya adalah sebanyak 35 nomor dari maupun jenisnya per tahun. Dua tahun setelah 35 jenis dan 208 spesimen serta koleksi mati dimulai pengoleksian mengalami stagnasi tidak sebanyak 28 nomor dan 26 jenis seperti tertera ada penanaman selama 11 tahun (1984–1994). pada Lampiran 2. Selanjutnya, dari tahun 1995 hingga tahun 2010 Bambu termasuk salah satu tanaman kembali dilakukan kegiatan berupa eksplorasi, monokarpik, artinya setelah terjadi pembungaan menerima sumbangan koleksi dan tukar dan pembuahan pada umumnya diikuti dengan menukar material hidup, penanaman serta kematian seperti terjadi pada G. hasskarliana, pemeliharaan koleksi. Puncak penanaman D. Kostermansiana, dan Schizostachyum sp . koleksi terbanyak dilakukan pada tahun 1995 sehingga pembuatan herbarium harus segera sebanyak 55 nomor yang terdiri atas lima marga dikerjakan. Namun, beberapa jenis bambu 26 jenis dan pada tahun 2005 sebanyak 37 tertentu walaupun setelah terjadi pembungaan nomor yang terdiri atas enam marga dan 17 dan pembuahan, dapat bertahan hidup apabila jenis, disusul tahun 1999 sebanyak 33 nomor diadakan pemangkasan pada batang yang yang terdiri atas lima marga 17 jenis dan tahun berbunga seperti terjadi pada B. tuldoides , B. 2004 sebanyak 30 nomor terdiri atas enam vulgaris, dan S. brachycladum . Kematian marga dan 16 jenis. Untuk melihat koleksi bambu selain disebabkan karena perkembangan penanaman koleksi bambu dari sifatnya yang monokarpik, juga disebabkan tahun 1982 hingga 2010 secara lebih rinci dapat karena bibit kurang sehat, daya adaptasinya dilihat pada Gambar 2. rendah, dan faktor pemeliharaan. Belum fokusnya perencanaan dan kurangnya dana perjalanan untuk mengumpul- KESIMPULAN kan jenis-jenis bambu dari berbagai daerah baik dari lahan pertanaman petani maupun kawasan Bambu merupakan salah satu tanaman yang hutan alam, mengakibatkan perkembangan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan koleksi bambu kebun Raya Bali mengalami masyarakat Bali karena sangat berhubungan fluktuasi terutama dari tahun 1983 hingga tahun erat dengan budaya Hindu Bali serta kegunaan 1994 seperti terlihat jelas pada Gambar 2. bambu yang multifungsi. Koleksi bambu sampai tahun 2010 berjumlah 58 jenis dari 14 Koleksi bambu berbunga, pengambilan marga. Telah dibuat herbarium baik dari herbarium dan koleksi mati tanaman koleksi yang telah berbunga maupun yang belum sebanyak 208 spesimen. Sebanyak Koleksi bambu yang dipantau berbunga sejak 22 jenis tanaman koleksi berbunga dan 26 jenis tahun 1982 sampai dengan tahun 2010

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 126 koleksi bambu yang mati telah dicatat dalam Tabanan Bali”. Prosiding Seminar perkembangan koleksi. Nasional Perkembangan Perbambuan di Indonesia . 17 Januari 2005. UCAPAN TERIMA KASIH Yogyakarta. Unit Registrasi. 2010. “Buku Kebun, Terima kasih kami ucapkan kepada Bapak Pangkalan Data Kebun Raya “Eka Kepala UPT Balai Konservasi Tumbuhan Karya” Bali-LIPI” (tidak diterbitkan). Kebun Raya “Eka Karya” Bali dan Kasi Untung, K.H. Suryanda, E.A. Widjaja, L. Konservasi Kebun Raya “Eka Karya” Bali atas Garland, Gustami,Indraningsih dan M. perkenan memberikan ijin penggunaan Kristiningsih. 1998. Strategi Nasional pangkalan data khususnya bambu dan koleksi dan Rancang Tindak Pelestarian bambu di petak XID. dalam penelitian ini. Bambu dan Pemanfaatannya Secara Berkelanjutan di Indonesia. Jakarta: DAFTAR PUSTAKA Kantor Menteri Lingkungan Hidup. Widjaja, EA. 1994. “Ex Situ Conservation of Arinasa, IBK. 2004. “Pemanfaatan dan Indonesian Endemic Bambu for Keanekaragaman Bambu dalam Extensive Utilization”. The Kebun Upacara Adat Pecaruan Rsighana di Raya Bogor Conference Proceedings . Kebun Raya “Eka Karya” Bali”. Printed in Indonesia by Cv. Riza Prosiding Seminar Konservasi Graha Jaya. Tumbuhan Upacara Agama Hindu . Widjaja, EA. 2001. Identikit Jenis-jenis Bambu UPT Balai Konservasi Tumbuhan di Kepulauan Sunda Kecil . Pusat Kebun Raya “Eka Karya” Bali-LIPI. Penelitian dan Pengembangan Arinasa, IBK. and E.A. Widjaja. 2005. “Bambu Biologi-LIPI. Bogor, Indonesia: Balai Diversity in Bali, Indonesia”. Bambu Penelitian Botani, Herbarium Journal , No. 22. Japan. Bogoriense. Bagiada, P. 2003 . Prospek Bambu Ditinjau Widjaja, E.A., IP. Astuti and IBK Arinasa. dari Segi Industri dan Pemasarannya. 2004. “New Species of Bambus Bali: Dinas Perindustrian dan (Poaceae – Bambusoideae) from Bali”. Perdagangan Provinsi Bali Reinwardtia , 12 (2). Sumantera, IW dan IN. Peneng. 2005. Widjaja, E.A., IP Astuti, IBK. Arinasa dan IW “Pemberdayaan Hutan Bambu sebagai Sumantera. 2005. Identikit Bambu di Penunjang Sosial Ekonomi Bali . Bogor: Bidang Botani, Pusat Masyarakat Desa Pekraman Angsri Penelitian Biologi–LIPI.

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 127 Lampiran 1. Daftar koleksi bambu Kebun Raya “Eka Karya” Bali dari tahun 1982 sampai dengan tahun 2010 No Jumlah jenis Marga Jenis No. jenis per marga 1 Phyllostachys sp. 1 aurea A. & Ch. Riviere 2 nigra (Lodd. ex Lindl.) Munro 3 3 2 Shibatea kumasasa (Steud.) Makino 4 1 3 Bambusa sp. 5 blumeana J. A. & J. H. Schult. 6 maculata Widjaja 7 multiplex (Lour.) Raeush.ex J.A.&J.H 8 Schult. multiplex (Lour.) Raeush.ex J.A.&J.H 9 Schult.var.auriestiati ooh Widjaja & Astuti 10 tuldoides Munro 11 vulgaris Schrad.ex Wendl.var. striata 12 vulgaris Schrad.ex Wendl var. vulgaris 13 vulgaris Schrad.ex Wendl var. wamin 14 albustriata 15 11 4 Schizostachyum sp. 16 brachycladum Kurz 17 castaneum Widjaja 18 caudatum Backer ex Heyne 19 cuspidatum Widjaja 20 glaucocladum Widjaja 21 latifolium Gamble 22 lima (Blanco) Merr 23 silicatum Widjaja 24 zollingeri Steud. 25 10 5 Gigantochloa sp. 26 apus (J.A.& J.H.Schult.)Kurz 27 apus (J.A.& J.H.Schult.) Kurz cult. hitam 28 atroviolacea Widjaja 29 atter (Hassk.)Kurz 30 aya Widjaja & Astuti 31 baliana Widjaja & Astuti 32 hasskarliana Backer ex Heyne 33 kuring Widjaja 34 luteostriata Widjaja 35 magentea Widjaja 36 manggong Widjaja 37 nigrociliata (Buse) Kurz 38 pubinervis Widjaja 39 pubipetiolata Widjaja 40 robusta Kurz 41 serik Widjaja 42 taluh Widjaja & Astuti 43 thoi K.M.Wong 44 velutina Widjaja 45 20 6 Dendrocalamus sp. 46 asper (Schult.) Backer ex Heyne 47 brandisii Kurz 48 3 7 Dinochloa sp. 49 kostermansiana S.Dransf. 50 sepang Widjaja & Astuti 51 3

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 128 No Jumlah jenis Marga Jenis No. jenis per marga 8 Fimbribambusa sp. 52 1 9 Neololeba atra (Lindl.) Widjaja 53 1 10 Otatea acuminata var.artecarum 54 1 11 Chusquea ceronalis 55 1 12 Guadua angustifolia (Kunth.) subsp. Chacoensis 56 (N.Rojas Acosta) S.M.young & W.Jud. 1 13 Thyrsostachys siamensis Gamble 57 1 14 Nastus reholtumianus S. Soenarko 58 1

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 129 Lampiran 2. Koleksi bambu Kebun Raya “Eka Karya” Bali dari tahun 1982-2010 yang berbunga dan telah diambil material herbariumnya serta yang mati. Jumlah Tahun Tanggal Koleksi mati, Jenis bambu spesimen tanam berbunga tanggal herbarium 1982 Phyllostachys nigra (Lodd. ex Lindl.) Munro 5 aurea A. & Ch. Riviere 4 Shibatea kumasasa (Steud.) Makino 5 Bambusa multiplex (Lour.) Raeush. ex 5 J.A.&J.H Schult. multiplex (Lour.) Raeush.ex J.A.&J.H 3 Schult. var. auriestiati tuldoides Munro 18-8-2006 9 18-8-2006 vulgaris Schrad.ex Wendl. 9-5-1994 5 Schizostachyum brachycladum Kurz 20-8-1979 5 silicatum Widjaja 4 Gigantochloa sp. 10 apus (J.A.& J.H.Schult.) Kurz 14-7-1986 4 1983 Gigantochloa sp. 8 Dendrocalamus asper (Schult.) Backer ex Heyne 4 Schizostachyum lima (Blanco) Merr. 0 30-3-2010 1995 luteostriata Widjaja 5 5-4-2010 pubipetiolata Widjaja hasskarliana Backer ex Heyne 25-9-2008 6 30-3-2010 manggong Widjaja 5 Schizostachyum brachycladum Kurz 0 11-12-2003 lima (Blanco) Merr. 26-2-2006 5 glaucocladum Widjaja 12-5-2008 5 castaneum Widjaja 7-7-2008 6 sp. 8-9-2003 10 6-3-2006 Dinochloa kostermansiana S.Dransf. 15-8-2007 5 6-4-2010 1997 Dinochloa kostermansiana S.Dransf 20-7-2002 5 10-12-2003 Schizostachyum sp. 0 6-4-2010 Bambusa sp 0 5-4-2010 Gigantochloa sp. 26-8-1999 2 Fimbribambusa sp. 23 -11-2010 7 Dinochloa kostermansiana S.Dransf. 7-6-2005 6 1998 Phyllostachys sp. 21-5-2003 5 11-12-2003 Dinochloa sp 24-2-2010 8 1999 Bambusa vulgaris Schrad.ex Wendl. 0 5-4-2010 tuldoides Munro 23 -11-2010 5 vulgaris Schrad.ex Wendl. 5-4-1999 var.striata Gigantochloa luteostriata Widjaja 0 10-12-2010 Neololeba atra (Lindl.) Widjaja 0 5-4-2010

Schizostachyum sp. 21-5-2003 5 2000 Bambusa vulgaris Schrad.ex Wendl. 0 5-4-2010 Dendrocalamus sp. 0 5-4-2010 Schizostachyum sp. 0 5-4-2010 2001 Chusquea ceronalis 0 5-4-2010 Gigantochloa taluh Widjaja & Astuti 10 -10-2006 5 2003 Schizostachyum silicatum Widjaja 0 1-9-2008 sp. 0 28-1-2010 Dinochloa sp. 0 6-3-2006 .Neololeba atra (Lindl.) Widjaja 5 2004 Bambusa maculata Widjaja 0 5-4-2010 Thyrsostachys siamensis Gamble 10 -10-2006 5 2005 Schizostachyum latifolium Gamble 23-7-2007 7 2006 Schizostachyum sp. 0 30-3-2010

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 130 Jumlah Koleksi Tahun Jenis bambu Tanggal berbunga spesimen mati, Tahun tanam tanam herbarium tanggal 2007 Nastus reholtumianus S. Soenarko 21-1-2009 5 19-11-2009 Schizostachyum sp. 22-1-2009 11 5-4-2010 Gigantochloa apus (J.A.& J.H.Schult.) Kurz cult. 24-2-2010 8 hitam aya Widjaja & Astuti 27-1-2009 6 Keterangan: Kematian tidak mengurangi jumlah jenis dan marga, hanya jumlah spesimennya berkurang.

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 131 KUMPULAN ABSTRAK MAKALAH YANG TERBIT PADA JURNAL REINWARDTIA

STUDY ON LEAF ANATOMY OF Pandanus spp FROM SEBANGAU AND BUKIT BAKA – BUKIT RAYA NATIONAL PARK

Ina Erlinawati and Eka Fatmawati Tihurua Botany Division (Herbarium Bogoriense), Research Centre for Biology. Indonesian Institute of Sciences (LIPI). Jl. Raya Jakarta-Bogor Km 46, Cibinong, Bogor 16911, West Java, Indonesia

ABSTRACT Study on leaf anatomy of 18 collections of Pandanus spp have been conducted. Leaf materials of Pandanus spp were collected in Sebangau National Park, Palangkaraya, Center Kalimantan; Bukit Raya and Bukit Baka National Park, West Kalimantan. Cross sections showed leaf structure of Pandanus spp are similar. While paradermal sections indicated that crystal number; size and stomatal index are different. Variation of epidermis cell wall, stomata, hypodermis, schlerenchym, mesophyl and crystal are discussed in this paper.

Keywords: Leaf anatomy, Pandanus spp, Sebangau National Park, Bukit Raya and Bukit Baka, National Park.

A NEW SPECIES OF MURRAYA FROM CYCLOPS

Inggit Puji Astuti 1 and Rugayah 2 1Center for Plant Conservation Bogor Botanic Garden, Indonesian Institute of Sciences. 2Herbarium Bogoriense, Biology Reaearch center, Indonesian Institute of Sciences 1Email : [email protected]

ABSTRACT A living collection of Bogor Botanic Gardens, planted in vak XXIV.A.192-192a originated from Cyclops Papua, collected by Lugrayasa (LG 1352), will be described and illustrated as a new species, namely Murraya cyclopense Astuti & Rugayah. The species closely related with Murraya paniculata (L.) Jack, but differ in the present of indument on twig, rachis, petiole, smaller size of flower, globose and red colour of fruit and orbicular seed covered by short hairs and red aril.

Keywords: Murraya cyclopense, new species, Cyclop Nature Reserves

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 132 THE UNIQUE CHARACTERS AND HABITAT OF Freycinetia , Pandanaceae WITH SEVENTH NEW SPECIES IN TIMIKA, PAPUA, WEST NEW GUINEA

Nurhaidah Iriany Sinaga 1) , Ary Prihardyanto Keim 2) , Pratita Puradyatmika 3) 1Forestry Department, Papua University, Indonesia, Jl. Gunung Salju Amban Manokwari, Papua Barat; email : [email protected]. 2Botany Division (Herbarium Bogoriense), Research Centre for Biology. Indonesian Institute of Sciences (LIPI). Jl. Raya Jakarta-Bogor Km 46, Cibinong, Bogor 16911, West Java, Indonesia; email : [email protected]. 3Reclamation & Biodivesity Environmental Department of PT Freeport Indonesia Mimika Papua 99920

ABSTRACT Freycinetia has their great diversity in New Guinea. The real home of the genus in this was found in several herbariums. One area where unknown species have found is Timika. Old specimens were collected in 1908 and other advance collections in 1999. Therefore knowing what species is and how many of them occur in Timika became main purpose of our research. The results show that variation of species were not only shown in their characters but also in their habitat. Highest number of stigma and segments of berries only found in the area. Unique characters of the areola and stigma mostly found in the species, in addition to auricle and leaves characters. The ability of species to live in the disturb forest make them different from other Papuan species. What happen here depend on correlation among climate, primary forest surrounding and the soil. As a result of developing species in the area, 7 new species were found.

Keywords: Pandanaceae, Freycinetia, Papua

DIVERSITY OF MEDICINAL PLANT IN THE LOWLAND, BODOGOL AND ITS SURROUNDING OF MOUNTH GEDE-PANGRANGO NATIONAL PARK, WEST JAVA

Susiarti, S., M. Rahayu and Rugayah Botany Division, Research Center for Biology, LIPI Jl. Raya Bogor- Jakarta Km 46, Cibinong 16911, Indonesia E-mail: [email protected]

ABSTRACT Ethnobotanical research has been carried out in the lowland Forest, Bodogol, Gede Pangrango National Park. The study site inhabitant by local community namely Sundanese. Method used ethno–directed sampling and open–ended interview with local community. Also ‘walk in the wood’ method which carried out in four plot permanent (forest). A total of 93 medicinal plant were recorded in the lowland forest, Bodogol and its surrounding, belonging to 76 genera and 50 families. Those species used for treatment of 32 different diseases. The highest species used is for post pregnancy. Alstonia scholaris, Cinnamomum sintoc, Fibraurea chloroleuca were included endangered plant. The community rare to extractivism medicinal plant from the forest, they prefer collected from around of village or from the cultivated ones.

Keywords : Medicinal Plants, The lowland forest, Gede-Pangrango National Park, West Java

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 133 KAJIAN ETNOBOTANI PANDAN (PANDANACEAE) DI PULAU FLORES, NUSA TENGGARA TIMUR

Siti Susiarti, Tutie Djarwaningsih & Ary P. Keim Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi – LIPI CSC, Jl. Raya Jakarta – Bogor Km 46, Cibinong 16911, Bogor E-mail : [email protected]

ABSTRACT Masyarakat di Nusa Tenggara Timur terdiri dari banyak kelompok etnis dan masing- masing kelompok memiliki bahasa daerahnya sendiri. Pulau Flores adalah pulau terbesar kedua di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Pulau ini dihuni oleh 10 kelompok etnis, diantaranya Flores, Ende, Lio dan Manggarai. Flora pandan di pulau ini belum banyak dikenal, demikian pula etnobotaninya. Tujuan penelitian ini adalah mengungkapkan pemanfaatan tradisional pandan di pulau Flores beserta potensinya. Penelitian dilakukan di tiga kabupaten: Ende, Nagekeo dan Manggarai. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa di tiga kabupaten tersebut terrekam empat jenis Pandanus ( Pandanus amaryllifolius , P.dubius, P. kaernbachii, dan P.tectorius ), dan satu jenis Freycinetia (F. insignis ). Kehadiran P. kaernbachii di Pulau Flores adalah rekaman baru. Masyarakat setempat mengenali keragaman suku pandan-pandanan (Pandanaceae), khususnya dari marga Pandanus, dimana mereka mengenal dengan beberapa nama daerah seperti: “panda”, “re’a”, “waku”, dan “mbojo”. Kegunaan utama Pandanus adalah sebagai bahan baku untuk kerajinan tangan (tikar, wadah kopi, dan topi), bahan pewarna, penyedap makanan dan tanaman hias.

Kata kunci : Flores, Freycinetia , Masyarakat Flores, NTT, Pandanus, Pandanaceae.

MORPHOLOGY OF JAVANESE SPECIES OF PANDANACEAE

1 Sri Endarti Rahayu, 2Tatiek Chikmawati, 3Kuswata Kartawinata, 2 Alex Hartana 1 Biology Department, National University, Jl. Sawo Manila 61, Pejaten – Pasar Minggu , Jakarta Selatan, Indonesia. E-mail : endarti [email protected] 2 Biology Department, Bogor Agricultural Institute, Jl, Raya Dramaga, Bogor, Indonesia. 3 Herbarium Bogoriense, Research Center in Biology, Indonesian Institute of Sciences, Bogor, Indonesia; Botany Department, Field Museum , Chicago, Illionis, USA

ABSTRACT Since a large number of characters are now known for Freycinetia and Pandanus species, it appears useful to cpnsider their use in identifying plants from Java. Fieldwork carried out for this study has provided stronger foundation for understanding mprphological variation within the species. This study was uindertaken to have abetter understanding on the morphology of the family in order to ma ke abetter species delimitation. Characters of habit, stem, leaves, auricles, bracts, peduncle and pedicel, inflorescentia, male flowers (stamen), female flowers (pistil), cephalia and berries were found useful in delimitation and identification of Javanese Freycinetia, while characters of habit, stem, prop root, marginal spine, leaves, bracts, inflorescentia, peduncle, male flower (staminate), female flower (pistillate), cephalia, phalanges or drupes are proved useful for distinguishing among specioes of Javanese Pandanus.

Keywords : Freycinetia, morphology, Pandanus, Java

ABSTRAK Morfologi Jenis-Jenis Pandanaceae di Jawa – Saat ini telah diketahui adanya sejumlah karakter yang dimiliki oleh Freycinetia dan Pandanus, karena itu tampaknya akan sangat berguna untuk mempertimbangkan kegunaan karakter-karakter tersebut intuk identifikasi tumbuhan yang berasal dari Jawa. Studi lapangan yang dilakukan pada penelitian ini memberikan dasar yang lebih kuat untuk dapat memahami variasi morfologi yang terdapat di dalam spesies. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk dapat memahami dengan lebih baik tentang morfologi di dalam suku sehingga dapat membuat batasan spesies yang lebih baik. Karakter-karakter seperti perawakan,

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 134 batang, daun, aurikel, braktea, gagang dan gantilan bunga, perbungaan, bunga jantan dan bunga betina, sefalia dan buah berguna di dalam pembatasan dan identifikasi Freycinetia yang berasal dari Jawa, sedangkan karakter- karakter seperti perawakan, batang, akar tunjang, duri pinggir daun, daun, braktea, perbungaan, gagang bunga, bunga jantan, bunga betina dan buah terbukti berguna untuk pengenalan spesimen-spesimen pandanus di Jawa.

Kata kunci : Freycinetia, morfologi, Pandanus , Jawa

ECOLOGY AND SPECIES RICHNESS IN DIFFERENT HABITAT GRADIENTS OF THE FERN GENUS DIPLAZIUM IN WEST MALESIA

Titien Ngatinem Praptosuwiryo 1 and Dedy Darnaedi 2 1Center for Plant Conservation – Bogor Botanic Gardens, Indonesian Institute of Sciences. Jl. Ir. H.Juanda No. 13 Bogor, Indoensia. E-mail : [email protected] 2Herbarium Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi – LIPI, Cibinong Sciences Censter, Indonesia. E-mail : [email protected]

ABSTRAK Diplazium merupakan marga besar tumbuhan paku anggota suku Woodsiaceae yang diperkirakan terdiri dari 400 jenis yang terutama terdapat di daerah tropik. Untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik mengenai pembatasan jenis dalam Diplazium dan juga untuk mengetahui hubungan antara ekologi dan kekayaan jenis, penelitian ekologi Diplazium di kawasan Malesia Barat telah dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) untuk mempelajari ekologi Diplazium dan (2) untuk mengetahui hubungan keanekaragaman jenis Diplazium dengan ketinggian dan habitat. Penelitian dilakukan dengan studi lapangan di Jawa, Sumatra dan Borneo, dengan metode pencarian acak, dan juga pengamatan specimen herbarium yang tersimpan di dua herbarium, BO dan SING. Enam puluh sembilan jenis Diplazium dikenali dan terdistribusi di Malesia Barat. Diplazium dapat diperi dalam tiga group utama berdasarkan habitatnya: jenis lahan kering, jenis riparian dan jenis reofit. Sebagian besar jenis merupakan jenis paku terestrial lahan kering yang hidup pada ketinggian 20-155 m, 500- 1000 m, 1000-1500 m, 1500-2000 m, 2000-2500 m, 2500-3000 m, 3000-3400 dan 1500-3400 m di hutan primer maupun sekunder pada tanah subur kaya humus di tempat-tempat cukup teduh dan sangat teduh. Jumlah jenis memuncak pada ketinggian 1000-1500 m dpl. Hanya 5 tergolong jenis riparian dan 2 jenis yang reofit baik reofit fakultatif maupun obligat.

Kata kunci: West Malesia, tumbuhan paku, Diplazium , ekologi, kekayaan jenis.

ABSTRACT Diplazium is a large genus of fern of the family Woodsiacee consisting of about 400 species that occurs mainly in the tropics. In order to grasp a better understanding in species delimitation on Diplazium and also to recognize the correlation between ecology and species richness, ecological studies of this genus from Western Malesia are conducted. The aims of this study are: (1) to study the ecology of Diplazium species and (2) to recognize the species richness of Diplazium in the different habitat gradient. This research was carried out by doing field studies in Java, Sumatra and Borneo, using random search, and also specimens examination deposited at two herbaria, BO and SING. Sixty nine species of Diplazium are recognized and distributed in West Malesia. Diplazium can be divided into three major groups based on its habitats: dry-land, riparian and rheophytic species. Most of species are terrestrial dry-land ferns and found at 20-155 m, 500-1000 m, 1000- 1500 m, 1500-2000 m, 2000-2500 m, 2500-3000 m, 3000-3400 and 1500-3400 m a.s.l. in the primary and secondary forest on moist humus-rich soil in light and deep shady places. The species number of Diplazium were culminated at 1000-1500 m. There were only 5 riparian species and 2 rheophytic species which were classified into facultative rheophyte and obligate rheophyte.

Keywords: West Malesia, fern, Diplazium, ecology, species richness.

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 135 DICKSONIA TIMORENSE (DIKSONIACEAE), A HEMI-EPIPHYTIC NEW SPECIES OF TREE FERN ENDEMIC ON TIMOR ISLAND, INDONESIA

Bayu Adjie 1, Agung Kurniawan 1, Norio Sahashi 2 and Yasuyuki Watano 3 1Bali Botanic Garden, Candikuning, Baturiti, Tabanan 82191, Indonesia. E-mail : [email protected] 2Faculty of Pharmaceutical Science, Toho University, 2-2-1 Miyama, Funabashi, Chiba 274-8510, Japan. 3Faculty of Science, Chiba University, 1-33 Yayoi, Inage, Chiba 263-8522, Japan.

ABSTRACT Dicksonia timorense B. Adjie is described and illustrated as an endemic new species from Timor Island, Indonesia. Population, hemi-epiphytic trait and phylogenetic relationship based on cpDNA sequences are discussed.

Keywords: Dicksonia, Timor, Indonesia, new species, endemic, hemi-epiphytic, cpDNA.

ABSTRAK Dicksonia timorense B. Adjie dipertelakan dan diilustrasikan sebagai jenis baru endemik dari Pulau Timor, Indonesia. Studi tentang populasi, aksesi hemi-epifitik serta hubungan kekerabatan filogeni berdasarkan cpDNA disajikan.

Kata kunci : Dicksonia , Timor, Indonesia, jenis baru, endemik, hemi-epifitik, cpDNA.

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 136 KUMPULAN ABSTRAK MAKALAH YANG DITERBITKAN DI JURNAL BERITA BIOLOGI

KEDAWUNG ( Parkia timoriana ) DAN KERABATNYA DI JAWA PETIR ( Parkia intermedia ) DAN PETAI ( Parkia speciosa )

Arief Hidayat, Rugayah dan Ujang Hapid Herbarium Bogoriense, Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi-LIPI Email : [email protected]

ABSTRAK Kedawung banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan baku obat tradisional, pembuatan peti, perabotan rumah tangga dan dalam industri korek api. Berkaitan dengan pemanfaatannya, pemakaian nama ilmiah kedawung masih bervariasi seperti Parkia roxburghii , P. timoriana, P. javanica dan P. biglobosa . Di Jawa terdapat 3 jenis Parkia, yaitu: P . roxburghii , P. intermedia dan P. speciosa. Dimana P. roxburghii , P. javanica, P. biglobosa merupakan sinonim dari P. timoriana, sedangkan P. intermedia dan P. javanica masih belum jelas status taksonominya. Sehingga ketidakjelasan status taksonomi dari P. intermedia perlu ditinjau kembali. Penelitian ini dilakukan dengan cara pendekatan morfologi dan anatomi dari tiga jenis Parkia yang ada di Jawa, yaitu P. timoriana, P. intermedia dan P. speciosa . Dari hasil pengamatan morfologi dan anatomi daun dapat digunakan sebagai pembeda ketiga jenis tersebut, tetapi pengamatan anatomi belum dapat dipakai sebagai karakter pendukung untuk membuktikan terjadinya hibridisasi. Dapat disimpulkan bahwa nama ilmiah yang tepat untuk kedawung adalah Parkia timoriana.

Kata kunci : Kedawung, Parkia timoriana , Jawa.

KARAKTER ANATOMI HELAIAN DAUN MURRAYA SPP (RUTACEAE ) (The Anatomical Character of Murraya spp (Rutaceae ) Leaflet)

Eka F. Tihurua 1, Inggit Puji Astuti 2 dan Rugayah 1 1Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi, LIPI 2Pusat Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya Bogor, LIPI

ABSTRACT Five species of Murraya (Rutaceae) that have been examined for leaf anatomy. Murraya spp leaf has dorsiventral. Epidermal cell present with straight-undulate wall and square-irregular in shape. Anomocytic stomata distributed only on the lower surface and simple trichome spread in both surface except in M.crenulata which has trichome only in lower surface. Mesophyll with 2 or more layers of palisade tissues in the upper part of leaf and sponge below, but M.exotica has palisade tissue in both part of the leaf. Oil gland distributed in the mesophyll. Crystal present in prismatic (cuboid) and drusse type.

Keyword : leaf anatomy, Murraya, Rutaceae, palisade tissue, anomocytic stomata.

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 137 KERAGAMAN TANAMAN KELAPA (Cocos nucifera L.) DALAM UPAKARA PADUDUSAN ALIT DI KABUPATEN KLUNGKUNG , BALI

Eniek Kriswiyanti dan I Ketut Junitha Jurusan Biologi FMIPA Universitas Udayana, Kampus Bukit Jimbaran, Kuta E mail : [email protected]

ABSTRAK Penelitian keragaman tanaman kelapa ( Cocos nucifera L.) dalam upakara padudusan alit telah di lakukan di Kabupaten Klungkung. Masyarakat mengenal lima nama lokal yaitu: nyuh (kelapa bahasa Bali) Bulan, Udang, Gadang, Gading dan nyuh Sudamala. Untuk mengetahui keragamannya, telah dilakukan karakterisasi melalui pengamatan dan pengukuran bagian-bagian tanaman dengan menggunakan Panduan Pengujian Individual Kebaruan, Keunikan, Keseragaman dan Kestabilan Kelapa ( Cocos nucifera L.) (Deptan R.I PPVT, 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari lima tanaman kelapa: nyuh Bulan, Udang, Gadang dan nyuh Sudamala termasuk kelapa Dalam (var. typica Nar.) dan nyuh Gading tergolong kelapa Genjah (var. nana Riff.). Karakteristik masing-masing kelapa ditentukan oleh keistimewaan bagian tanaman yang berbeda.

Kata kunci : keragaman, upakara, Padusan Alit

TUMBUHAN DI TAMAN NASIONAL KELIMUTU FLORES -- NUSA TENGGARA TIMUR

Harry Wiriadinata 1, Albert Wawo 1 dan J. I. B. Hatubessy 2 1Bidang Botani, Puslit Biologi- Cibinong Science Center LIPI. Jln. Raya Jakarta Bogor Km 46 Cininong 16911. E 2Mhs S2 Ilmu Lingkungan, Univ. Udayana, Bali : Univ.Flores Jalan Samratulangi, Ende, Flores. Email : [email protected]

ABSTRAK Dalam rangka melengkapi informasi serta data keanekaragaman tumbuhan di Taman Nasional Kelimutu, Flores maka pada bulan Agustus 2008, telah dilakukan eksplorasi dan pengumpulan berbagai jenis tumbuhan di berbagai tipe ekosistem kawasan Detosuko, sebagai kelanjutan inventarisasi data vegetasi wilayah Gunung Kelimutu maupun G. Kelibara. Daerah yang disurvei umumnya merupakan hutan primer dan sekunder berbatasan dengan hutan reboisasi yang didominasi oleh Eucalyptus urophylla dan Cromolaena odoratissimum . Hasil survei tercatat sebanyak 120 jenis tumbuhan tergolong dalam 90 marga dan 44 suku. Beberapa tumbuhan diantaranya seperti Archidendron harmsii, Aquilaria filaria, Cryptocarya densiflora, Dodonea viscosa, Elaeocarpus bruno-tomentosa, Ganophyllum falcatum, Helicia attenuata, Polysciaa nodosa, Terminalia sumbawana, Ternstroemia toquin dan Zanthoxylum ovalifolium merupakan jenis-jenis pohon yang belum pernah dijumpai sebelumnya di Gn. Kelimutu dan Gn. Kelibara. Hal yang menarik dari survei ini adalah ditemukannya satu jenis baru Begonia sukoriensis sp.nov. ined. yang merupakan tumbuhan endemik khas TN Kelimutu dan merupakan penemuan baru bagi ilmu pengetahuan.

Kata kunci : Kekayaan tumbuhan Detosuko, Taman Nasional Kelimutu, Flores

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 138 PEMANFAATAN TUMBUHAN DAN HEWAN RITUAL ADAT MASYARAKAT TENGGER DI BROMO-TENGGER SEMERU JAWA TIMUR

Jati Batoro¹, Dede Setiadi², Tatik Chikmawati² dan Y. Purwanto³ 1Biologi FMIPA UB, 2Sekolah Pascasarjana IPB, 3Pusat Penelitian Biologi – LIPI Bogor E-mail : [email protected]

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman hayati tumbuhan dan hewan yang dipergunakan dalam melakukan ritual adat masyarakat Tengger di Bromo Tengger Semeru Jawa Timur. Desa masyarakat disurvei meliputi desa Ranupani dan Argosari kecamatan Senduro kabupaten Lumajang, desa Gubuklakah dan desa Ngadas Kidul kecamatan Poncokusumo kabupaten Malang, desa Ngadisari dan Ngadas kecamatan Sukapura, desa Pandansari kecamatan Sumber kabupaten Probolinggo dan desa Wonokitri dan Mororejo kecamatan Tosari, desa Ngadirejo kecamatan Tutur, desa Keduwung kecamatan Puspo kabupaten Pasuruan. Metoda penelitian dilakukan wawancara terstruktur dan bebas, serta pengamatan langsung dengan mengikuti seremoni acara ritual adat oleh para sesepuh Tengger, dukun Panditha, legen, wong sepuh dan masyarakat Tengger. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ritual adat masih baik dan konsisten dilakukan terutama wilayah Tengger bagian dalam (sentral). Jumlah tumbuhan yang dipergunakan dalam ritual adat terdapat 104 jenis tumbuhan dari 79 marga 43 familia, untuk hewan (11 jenis) meliputi hewan mamalia 5 jenis, aves 3 jenis, ikan 3 jenis. Tempat penting dalam ritual adat Tengger meliputi: Danyangan, Sanggar Pamujan, Pure Poten, gunung Bromo.

Kata kunci : Etnoritual, Masyarakat Tengger, Gunung Bromo Tengger Semeru, Jawa Timur

JAMUR ARBUSKULA DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

Kartini Kramadibrata Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi – LIPI Jl. Raya Jakarta-Bogor Km46, Cibinong 16911 Email : [email protected]

ABSTRAK Telah dilakukan penelitian jamur arbuskula (JA) pada rizosfer tumbuhan di sekitar Pos Penjaga Karang Ranjang, Resort Karang Ranjang, Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK). Sebanyak 96 contoh tanah yang berasal dari rizosfer 23 jenis tumbuhan hutan telah dikoleksi untuk pemeriksaan kandungan JA. Semua contoh tanah dimasukkan dalam kantong plastik dan dikeringanginkan. Sebagian contoh tanah diisolasi spora JA dengan cara tuang saring basah. Sebagian contoh tanah dibuat kultur pot dengan tanaman Pueraria javanica dan dipelihara dalam rumah kaca selama enam bulan sampai satu tahun. Selanjutnya dilakukan metoda tuang saring basah untuk setiap contoh tanah yang telah dipelihara dalam rumah kaca. Hasil yang diperoleh menunjukkan terdapat tiga jenis Acaulospora dan delapan jenis Glomus. Hampir semua jenis JA yang dijumpai merupakan jenis yang umum dijumpai dari alam, namun ada jenis yang jarang dijumpai seperti Glomus multicaulis.

Kata kunci : Jamur arbuskula, Taman Nasional Ujung Kulon, kultur pot, Acaulospora , Glomus .

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 139 NILAI KEPENTINGAN BUDAYA KEANEKARAGAMAN JENIS TUMBUHAN BERGUNA DI HUTAN DATARAN RENDAH BODOGOL, SUKABUMI – JAWA BARAT

Mulyati Rahayu, Y. Purwanto & Siti Susiarti Lab. Etnobotani – Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi – LIPI Jl. Raya Jakarta-Bogor Km.46, Cibinong Science Center Cibinong-Bogor E-mail : [email protected]

ABSTRAK Penelitian nilai kepentingan budaya keanekaragaman jenis tumbuhan berguna dalam studi etnobotani merupakan langkah penting, antara lain meliputi strategi kegiatan yang sifatnya subsisten dan klasifikasi tradisional. Penelitian etnobotani di kawasan hutan dataran rendah di Bodogol, Jawa Barat tercatat sekitar 200 jenis tumbuhan berguna. Penelitian dilakukan pada tahun 2009 – 2010 dalam 3 kali kunjungan. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara dengan menggunakan metode ‘walk in the wood’, pengamatan langsung di petak-petak permanen dan estimasi nilai kepentingan budaya setiap jenis tumbuhan berguna dengan formula ICS (Indexs Cultural Significance). Hasil penelitian diketahui bahwa masyarakat lokal sekitar kawasan hutan dataran rendah Bodogol memiliki pengetahuan cukup baik tentang keanekaragaman hayati disekitarnya. Berdasarkan hasil wawancara diketahui nilai kepentingan budaya jenis tumbuhan berguna di kawasan tersebut berkisar 0.5 – 86. Arenga pinnata ‘kawung’ memiliki nilai ICS tertinggi dan Arisaema filiforme ‘acung leutik’ terendah.

Kata kunci : tumbuhan berguna, ICS, Bodogol, Jawa Barat

PEMANFAATAN EDIBLE ARACEAE DI KECAMATAN NGANTANG, KABUPATEN MALANG

Rodiyati Azrianingsih, Gustini Ekowati, Vanica Rizqi Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Brawijaya, Jalan Veteran Malang 65145.

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis tumbuhan dari famili Araceae yang tumbuh di Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang, dan pemanfaatannya oleh penduduk sebagai bahan pangan. Survei etnobotani dilakukan dengan wawancara dan penyebaran kuisioner untuk mengetahui persepsi dan apresiasi masyarakat terhadap Araceae serta nilai guna jenisnya sebagai bahan pangan. Ditemukan 13 jenis dari empat genus Araceae di Kecamatan Ngantang. Semua responden di Kecamatan Ngantang mengenal Araceae dengan baik dan memiliki potensi pemanfaatan yang tinggi. Responden memiliki nilai persepsi sangat baik, namun apresiasi termasuk dalam kategori cukup dan kurang yang disebkan oleh rendahnya minat masyarakat untuk menanam tanaman tersebut. Semakin tua umur responden, semakin besar persentase pengenalan, pemanfaatan, persepsi dan apresiasi terhadap tanaman Araceae. Tanaman Araceae yang paling sering dimanfaatkan oleh responden adalah Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott. (Mbothe Hijau) karena tanaman tersebut mudah tumbuh dan tidak memerlukan waktu yang lama untuk dipanen. Diperlukan studi lebih lanjut dan upaya konservasi bagi jenis Araceae yang hanya tumbuh di Kecamatan Ngantang seperti salah satu jenis Xanthosoma (Endro).

Kata kunci : Araceae, Etnobotani, Kecamatan Ngantang, Malang, Jawa Timur

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 140 PEMANFAATAN Symplocos fasciculata Zoll. (POHON LOBA) SEBAGAI PEWARNA DAN PEMBANGKIT WARNA ALAM PADA KERAJINAN TENUN DI DESA PEJENG, TAMPAK SIRING, GIANYAR, BALI.

Siti Fatimah Hanum, I Dewa Putu Darma dan Tuah Malem Bangun UPT BKT Kebun Raya “Eka Karya” Bali-LIPI Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali. 82191

ABSTRAK Kekayaan flora Indonesia sangat berpotensi sebagai bahan pewarna alam yang sering dimanfaatkan untuk pewarna kain. Proses pencelupan dengan zat warna alam pada umumnya diperlukan pengerjaan mordanting pada bahan yang akan dicelup / dicap dimana proses mordanting ini dilakukan dengan merendam bahan kain ke dalam garam-garam logam, seperti aluminium, besi, timah atau krom. Ditengah kekhawatiran akan dampak negatif yang ditimbulkan oleh pewarna dan mordan sintetis bagi kesehatan dan lingkungan, masyarakat mulai melirik kembali pemanfaatan pewarna dan pembangkit warna (mordan) alam. Selama ini bahan yang digunakan untuk mordanting adalah tawas sementara symplocos sebagai mordan alam sudah lama ditinggalkan orang. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui peran Symplocos dan pemanfaatannya sebagai mordan pewarna alam tenun pada kerajinan tenun di Desa Pejeng, Tampak Siring, Gianyar, Bali. Metode yang digunakan adalah wawancara terhadap pihak-pihak yang terkait. Hasil kegiatan ini adalah diketahuinya peran symplocos sebagai pewarna dan mordan. Bagian tumbuhan yang dapat digunakan adalah daun dan kulit batang bagian dalam. Upaya konservasi terus dilakukan Kebun Raya “Eka Karya” Bali. Saat ini baru terkoleksi 2 jenis Symplocos.

Kata kunci: Symplocos , pewarna, pembangkit warna, tenun

STUDI KERAGAMAN GENETIK Pandanus polycephalus Lam. COMPLEX

Yunita Nur Esthi, Rugayah, Himmah Rustiami Bidang Botani, Puslit Biologi LIPI Jl. Raya Jakarta Bogor km. 46 Cibinong – Bogor 16911

ABSTRACT P. polycephalus was described first by Lamarck in 1785, then described further by Warburg in 1900 described further based on P. humilis (Rumphius, 1743) and P. humilis (Lour. 1790). P. polycephalus is economically important for weaving, and its flavenoids are used as an antitoxic, immunomodulator, and as an abortive medicine. Based on previous authors there are some variations in the number of cephalia in one infructescence. Information and research on the genetics is currently lacking. The present study was carried out using sixteen P. polycephalus Lamk. specimens collected from Kebun Raya Bogor, to optimize PCR and to screen random amplified polymorphic DNA (RAPD) markers in order to suggest appropriate primers and PCR conditions for genetic studies. Fifteen polymorphic primers were tested, and twelve (OPB07, OPB08. OPB11, OPB18, OPD02, OPD20, OPE01, OPE15, OPE18, OPL09, OPL18, OPL19) were successful. The results show that these 12 primers generated 539 total bands, of which 530 (98 %) were polymorphic. The range of genetic distances between individual specimens was from 0.61-0.85. The molecular data grouped these genotypes into three main clusters.

Key words: Genetic diversity, Pandanus, species complex

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 141 KUMPULAN ABSTRAK MAKALAH YANG DITERBITKAN DI JURNAL FLORIBUNDA

KEANEKARAGAMAN JENIS ANGGREK DI CAGAR ALAM GUNUNG TUKUNG GEDE, SERANG, BANTEN

Diah Sulistiarini Herbarium Bogoriense, Bidang Botani, Puslit Biologi – LIPI Jalan Raya Jakarta Bogor KM 46, Cibinong, Bogor E-mail : [email protected]

ABSTRAK Cagar Alam (C.A.) Gunung Tukung gede terletak di kabupaten Serang, propinsi Banten, yang meliputi kawasan hutan sekitar 1700 ha. Penelitian ini dilakukan tiga kali pada bulan Juli dan Oktober 2009 serta Okotber 2010 di tiga lokasi hutan di dekat desa Cikedung, Cikolelet dan Luwuk yang termasuk dalam dua kecamatan yaitu Cinangka dan Mancak. Berdasarkan website BKSDA ( http:bhld.banten.go.id. ) disebutkan hanya satu jenis anggrek dari Cagar Alam tersebut, yaitu Phalaenopsis sp.. Berdasarkan hasil eksplorasi, ditemukan tiga belas jenis anggrek dari C.A. Gunung Tukung Gede, yaitu 1 jenis anggrek saprofit, 3 jenis terrestrial dan 9 jenis epifit. Satu jenis merupakan anggrek langka yaitu Erythrochis altisima (Bl.) Bl.

Kata Kunci: Anggrek, Cagar Alam Tukung Gede.

ANNONACEAE DI TAMAN NASIONAL BOGANI NANI WARTABONE KOLEKSI HERBARIUM BOGORIENSE

Rugayah, Deni Sahroni dan Dirman Herbarium Bogoriense, Bidang Botani, Puslit Biologi – LIPI, Bogor.

ABSTRAK Annonaceae merupakan salah satu suku penting di daerah hutan hujan dataran rendah di kawasan Malesia. Beberapa anggotanya, mempunyai nilai ekonomi sebagai bahan pembuat parfum maupun buah-buahan. Berdasarkan pengamatan material herbarium yang disimpan di Herbarium Bogoriense, 16 jenis yang tergolong dalam 12 marga, telah dikoleksi dari Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Satu jenis diantaranya yaitu Orophea hexandra merupakan informasi baru daerah persebarannya untuk Sulawesi. Kunci identifikasi dan pertelaan marga serta persebaran masing-masing jenisnya disajikan pada makalah.

Kata kunci : Annonaceae, TN. Bogani Nani Wartabone, Herbarium Bogoriense

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 142 REKAMAN BARU BEBERAPA JENIS TUMBUHAN DI JAWA

Tutie Djarwaningsih “Herbarium Bogoriense” Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi, Cibinong Science Center – LIPI Jl. Raya Jakarta-Bogor Km. 46, Cibinong 16911 E-mail : [email protected]

ABSTRAK Beberapa jenis tumbuhan di Jawa ada yang belum dilaporkan keberadaannya dalam publikasi flora setempat. Hasil penelitian dari Cagar Alam Gunung Tukung Gede (CAGTG) Serang – Banten, menunjukkan sebanyak 23 jenis tumbuhan merupakan rekaman baru. Kriteria rekaman baru tersebut dapat dibedakan menjadi 2. Pertama, jenis-jenis tumbuhannya belum pernah dilaporkan di Flora of Java, akan tetapi koleksinya telah tersimpan di Herbarium Bogoriense – LIPI, Bogor (BO) dan ditemukan di Jawa. Kedua, jenis-jenis tumbuhannya belum pernah dilaporkan di flora yang sama, koleksinya telah tersimpan dan tidak ditemukan di Jawa. Informasi persebaran, ekologi dan lain-lain dari jenis-jenis tersebut akan disampaikan dalam makalah ini.

Kata kunci : Cagar Alam Gunung Tukung Gede (CAGTG), Jawa, rekaman baru

KEANEKARAGAMAN BEGONIA (BEGONIACEAE) DI KECAMATAN ULUIWOI SULAWESI TENGGARA, INDONESIA.

Harry Wiriadinata Herbarium Bogoriense, Research Center for Biology, LIPI Jl Raya Jakarta Bogor Km 46 Cibinong 16911, Indonesia E-mail: [email protected]

ABSTRAK Keanekaragaman tumbuhan Begonia (Begoniaceae) yang dijumpai di Kecamatan Uluiwoi, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara di pertelakan disertai gambar. Begonia flacca, B. watuwilensis merupakan endemik Sulawesi Tenggara, mempunyai persebaran sempit. Begonia aptera merupakan satu jenis endemik Sulawesi, mempunyai persebaran lebih luas, jenis ini dapat dijumpai mulai dari Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan. Begonia longifolia berbagi persebaran mulai dari Birma, Thailand, Vietnam, Malaysia, Jawa,Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku. Hasil ekspolorasi terakhir ditemukan adanya populasi kecil Begonia yang diduga merupakan satu jenis baru bagi ilmu pengetahuan.

Kata Kunci : Begonia, Begoniaceae, Sulawesi

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 143 KEANEKARAGAMAN LUMUT DI ARBORETUM SUMBER BRANTAS SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN MATAKULIAH TUMBUHAN RENDAH

Novita Kartika Indah dan Wisanti

ABSTRAK Perkuliahan Taksonomi Tumbuhan Rendah (TTR) menggunakan pendekatan lingkungan. Akan tetapi ketika materi Lumut sangat sulit ditemukan di Surabaya. Hal ini karena di Surabaya keanekaragaman lumut sangat rendah dan tubuh lumut dalam keadaan tidak lengkap seperti sporofit sangat sulit ditemukan. Berpijak dari hal tersebut agar mahasiswa tetap dapat mengamati langsung morfologi dan tempat hidup lumut digunakanlah Arboretum Sumber Brantas sebagai tempat praktikum. Penelitian deskriptif ini menggunakan metode jelajah. Adapun tujuan penelitian adalah mengidentifikasi keanekaragaman lumut dan mengetahui tingkat keanekaragaman lumut sehingga dapat digunakan sebagai media pembelajaran, sumber belajar dan sarana belajar. Arboretum Sumber Brantas ternyata mempunyai keanekaragaman yang cukup tinggi. Tiga divisi lumut terwakili serta lumut yang ditemukan mempunyai kelengkapan tubuh dari gametofit sampai sporofit, dengan kelimpahannya tinggi. Sehingga dapat digunakan sebagai media pembelajaran, sumber belajar dan sarana belajar. Tiga divisi tersebut Hepatophyta sebanyak dua jenis, Anthocerophyta sebanyak satu jenis dan Bryophyta sebanyak dua jenis.

Kata kunci : keanekaragaman, lumut, sumber brantas, media, TTR

PENGEMBANGAN LEMBAR KEGIATAN MAHASISWA MK. TAKSONOMI TUMBUHAN TINGGI BERBASIS PROYEK UNTUK MELATIH MAHASISWA BERPIKIR KREATIF

Wisanti, Muji Sri Prastiwi dan Novita Kartika Indah Jurusan Biologi FMIPA UNESA

ABSTRAK Tujuan umum penelitian ini adalah menghasilkan Lembar kegiatan Mahasiswa (LKM) mata kuliah Taksonomi Tumbuhan Tinggi berbasis proyek yang dapat melatih berpikir kreatif mahasiswa. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah mendeskripsikan kelayakan Lembar Kegiatan Mahasiswa mata kuliah Taksonomi Tumbuhan Tinggi yang dapat melatih berpikir kreatif mahasiswa. Tahapan penelitian ini meliputi: 1) Analysis , menganalisis kurikulum mata kuliah Taksonomi Tumbuhan Tinggi S1 Pendidikan Biologi UNESA; 2) Planning, melakukan perencanaan format dan substansi LKM ; 3) Design, melakukan penyusunan Draf LKM ; 4) Development, melakukan reviu dan validasi terhadap draf secara teoritis oleh reviewer dari bidang pendidikan biologi dan taksonomi; 5) Evaluation dan Revision, merevisi LKM Taksonomi Tumbuhan Tinggi berdasar hasil revisi dan validasi. Hasil telaah menunjukkan bahwa LKM Taksonomi Tumbuhan Tinggi dan perangkat pendukungnya layak digunakan. Kelayakan dilihat dari aspek materi, penyajian, dan melatih keterampilan berpikir kreatif mahasiswa. Sementara itu aspek kebahasaan, LKM masih perlu direvisi dan ditelaah kembali agar memenuhi kriteria layak.

Kata kunci: LKM berbasis proyek, berpikir kreatif

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 144 KUMPULAN ABSTRAK MAKALAH YANG TERBIT DI JURNAL BULETIN KEBUN RAYA

PISANG-PISANGAN (MUSACEAE) DI GUNUNG WATUWILA DAN DAERAH SEKITARNYA

Lulut D. Sulistyaningsih Herbarium Bogoriense, Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi – LIPI Jl. Raya Bogor-Jakarta Km. 46, Cibinong Science Centre, Cibinong 16911

ABSTRAK Sebagai salah satu pusat asal-usul dan pusat keanekaragaman pisang, Indonesia memiliki jumlah pisang liar dan pisang budidaya yang cukup banyak. Secara geografi, Sulawesi merupakan pulau yang paling penting dalam ”Subregional Wallacea” yang terletak di pusat kepulauan Indonesia antara pulau Maluku dan Borneo (Kalimantan). Karena karakteristiknya yang unik, Sulawesi kaya akan flora, fauna, dan endemisitas yang tinggi. Pengetahuan flora Sulawesi termasuk pisang-pisangan masih sangat terbatas karena kurangnya eksplorasi botani di pulau tersebut. Oleh karena itu, diperlukan penelitian eksplorasi. Eksplorasi untuk mengkaji keragaman dan potensi pisang-pisangan di kawasan pegunungan Watuwila dan sekitarnya telah dilakukan. Tiga varietas pisang liar dan dua belas kultivar pisang budidaya terdapat di kawasan tersebut. Musa acuminata Colla var. tomentosa (K. Sch.) Nasution merupakan varietas pisang liar endemik di Sulawesi. Dua varietas dari M. acuminata Colla diduga merupakan varietas baru. Beberapa kultivar budi daya diketahui merupakan anggota dari M. acuminata triploid AAA, M. balbisiana triploid BBB, dan M.x paradisiaca triploid AAB.

Kata kunci : Musa acuminata , Watuwila, liar, budidaya, triploid

KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN MANGROVE DI TAMAN NASIONAL BALI BARAT

Ida Bagus Ketut Arinasa UPT BKT Kebun Raya “Eka Karya” Bali-LIPI Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali. 82191 E-mail : [email protected]

ABSTRAK Keanekaragaman jenis tumbuhan mangrove di Taman Nasional Bali Barat belum banyak diungkap. Untuk maksud tersebut sebuah penelitian dilakukan selama lima hari mulai tanggal 12 sampai dengan 17 Juni 2011 menggunakan metode jelajah. Jelajah lapangan dimulai dari hutan mangrove pantai Banyuwedang sampai Gilimanuk dan dari Gilimanuk hingga hutan mangrove Sumbersari-Melaya. Dari hasil penelitian dapat diungkapkan keanekaragaman jenis tumbuhan mangrove Taman Nasional Bali Barat tercatat sebanyak 15 suku yang terdiri atas 19 marga dan 27 jenis, kurang lebih 38% dari total keanekaragaman tumbuhan mangrove Indonesia. Tiga jenis tumbuhan mangrove yang sebelumnya sudah pernah didaftar namun belum berhasil ditemukan dalam penelitian ini di lapangan.yaitu kacangan (Aegiceras corniculatum (L.) Blanco), tingi ( Ceripos decandra (Griff.) Ding Hou dan siri ( Xylocarpus rumphii (Kostel.) Mabb.

Kata kunci : keanekaragaman, mangrove, Taman Nasional Bali Barat.

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 145 PENENTUAN JENIS PANDAN (PANDANACEAE) YANG BERMANFAAT, PEMAHAMAN DALAM MASYARAKAT DAN MELALUI PENGAMATAN STRUKTUR DAN ANATOMI DI JAWA TIMUR

Brian Rahardi, Jati Batoro, Serafinah Indriyani Jurusan Biologi FMIPA Universitas Brawijaya E-mail : [email protected]

ABSTRAK Seiring perkembangan budaya, baik tradisional maupun bioteknologi, penggunaan bahan Pandan, seperti dapat dijumpai baik di masyarakat, pasar tradisional, mengalami pergeseran yang digantikan oleh bahan lain, seperti tali oleh plastik, topi dari bahan kain. Kajian tentang Pandan (Pandanaceae) sendiri belum banyak diteliti, baik diversitas, jenis Pandan yang berpotensi untuk kerajinan (etnobotani) terutama di Jawa Timur. Berdasarkan penelitian sebelumnya, budi daya Pandan di Jawa Timur sekarang ini hanya terbatas pada jenis Pandanus tectorius karena dapat digunakan sebagai bahan mentah kerajinan, sedangkan jenis yang lain belum dibudi daya walaupun Pandanus labyrinthicus di Kabupaten Malang digunakan sebagai tali . Tujuan jangka panjang penelitian ini adalah mendapatkan database Pandan (Pandanaceae) yang nantinya dapat digunakan untuk melakukan manejemen sumber daya Pandan (Pandanaceae) guna pelestariannya di Jawa Timur, sehingga mendukung fungsinya secara ekologis dan dihasilkan juga pembudidayaan jenis Pandan lainnya yang juga berpotensi. Adapun tujuan jangka pendeknya adalah untuk mendapatkan jenis Pandan (Pandanaceae) yang bermanfaat untuk dikembangkan sebagai kerajinan yang nantinya dapat digunakan untuk meningkatkan taraf ekonomi masyarakat Jawa Timur melalui struktur anatomi. Kajian etnobotani dilakukan dengan pengumpulan secara etnodirect sampling dengan teknik wawancara langsung maupun semi struktural terhadap masyarakat dan pengrajin pandan secara kualitatif, yaitu dengan teknik wawancara semistruktural berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah disediakan. Hasil dari wawancara ini juga untuk mempelajari pengetahuan masyarakat Jawa Timur tentang pemanfaatan pandan. Metode yang dilakukan pada anatomi Pandan meliputi: Metode ekstraksi serat, pembuatan preparat melintang dan membujur daun, pengukuran panjang dan kekuatan serat daun dan pembuatan preparat melintang dan membujur akar tunjang. Ketiga jenis Pandan yaitu P. tectorus , P. labyrinthicus dan P. furcatus memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai bahan dasar pembuatan tali tampar dan kerajinan. Meskipun kecenderungan potensi ini masih ditunjukkan pada daerah yang terbatas di Jawa Timur. Potensi Pengerjain kerajinan berbasis tanaman serat masih dapat dikembangkan untuk mengembangkan kerajinan Pandan.

Kata kunci : etnobotani, anatomi, kekuatan serat, Pandan

Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI 146

PROSIDING SIMPOSIUM, WORKSHOP, DAN KONGRES IX PTTI “ORGANISASI PROFESI PENDORONG PERCEPATAN PERKEMBANGAN IPTEK” Bali, 11–13 Oktober 2011

Penelaah: Rugayah HimmahRustiami Titien Ng. Praptosuwiryo PROSIDING SIMPOSIUM, WORKSHOP, DAN KONGRES IX PTTI “ORGANISASI PROFESI PENDORONG PERCEPATAN

PERKEMBANGAN IPTEK” Bali, 11–13 Oktober 2011

Dalam perjalanan panjangnya taksonomi masih dianggap ilmu dasar yang kurang “seksi”, walaupun semua kelompok ilmu aplikasi mengakui pentingnya taksonomi. Dalam perkembangannya kini, taksonomi semakin menjadi perhatian dan semakin mengemuka karena kita semua masyarakat taksonomi mulai memanfaatkan berbagai perkembangan ilmu lain untuk tujuan taksonomi.

Pemahaman akan species atau jenis, bukan lagi berdasar pada morfologi dan herbarium spesimen, tetapi sudah memanfaatkan dan menganalisis informasi genetik, ekologi, fisiologi, biokimia, dan sintesa protein. DNA barcoding akan menjadi salah satu kegiatan taksonomi yang mungkin perlu dilakukan oleh setiap taksonomiwan di masa yang akan datang. Kedekatan disiplin ilmu, kerja sama antarbidang keilmuan menjadi sangat penting dalam kerja taksonomi.

LIPI Press