PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

ANAK-ANAK TIRI IBU PERTIWI: RUANG WAKTU GARINIAN DAN MOLEKULARITAS PENGALAMAN DALAM PUISI TAK TERKUBURKAN

Tesis

Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogayakarta

RUDY RONALD SIANTURI

Nomor Mahasiswa : 026322010

Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma 2006 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

ANAK-ANAK TIRI IBU PERTIWI:

RUANG WAKTU GARINIAN DAN MOLEKULARITAS PENGALAMAN DALAM PUISI TAK TERKUBURKAN

Tesis

Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

RUDY RONALD SIANTURI

Nomor Mahasiswa : 026322010

Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2006

i

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Ujian Tesis

ANAK-ANAK TIRI IBU PERTIWI:

RUANG WAKTU GARINIAN DAN MOLEKULARITAS PENGALAMAN DALAM PUISI TAK TERKUBURKAN

Oleh: RUDY RONALD SIANTURI NIM: 026322010

Dr. St. Sunardi …………………… Pembimbing Utama 7 Oktober 2006

Dr. Antonius Sudiarja …………………… Pembimbing Kedua 7 Oktober 2006

ii

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

LEMBAR PENGESAHAN

Tesis

ANAK-ANAK TIRI IBU PERTIWI:

RUANG WAKTU GARINIAN DAN MOLEKULARITAS PENGALAMAN DALAM PUISI TAK TERKUBURKAN

Oleh: RUDY RONALD SIANTURI NIM: 026322010

Telah dipetahankan di depan dewan penguji pada tanggal 14 Oktober 2006 dan dinyatakan memenuhi syarat

Tim Penguji

Ketua merangkap Moderator: Dr. G. Budi Subanar, S.J. ………………..

Anggota : 1. Dr. St. Sunardi ……………….

2. Prof. Dr. A. Sudiarja, S.J. ………………..

3. Dr. Alb. Budi Susanto, S.J. ……………….

Yogyakarta, 4 Oktober 2011 Direktur Program Pascasarjana Universitas Sanata Dharma

Prof. Dr. Augustinus Supratiknya iii

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Pernyataan

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tulisan ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk meraih gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepengetahuan saya, tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis dan diterbitkan orang lain kecuali yang diacu secara tertulis dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Yogyakarta, 14 Oktober 2006

Rudy Ronald Sianturi

iv PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : RUDY RONALD SIANTURI Nomor Mahasiswa : 026322010

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

ANAK-ANAK TIRI IBU PERTIWI: RUANG WAKTU GARINIAN DAN MOLEKULARITAS PENGALAMAN DALAM PUISI TAK TERKUBURKAN

Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalty kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal : 1 September 2008

Yang menyatakan,

Cokrowihasto

v PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

A DAWN

I woke up quite early at dawn. Through the window, I realized that the rain was still pouring down. Silently, I got off not to make any sound while out there a dog was barking ceaselessly. It was chilling out there.

Drinking some water, I felt so much better. The dog was still barking when someone’s cock flapping its wings so loudly. Where he hid it, I wondered. I have never seen any down there.

A memory came back. Several years ago, I loved reading John Steinbeck’s novels. My friend introduced him to me. I t is always like this. Wailing dogs, cocks and hens fighting over corns, the farmers starting their day with whistle while horses kicking in the barn. Simple things, a simple life matrix that led him to Nobel Prize in literature.

I got out of our unit to listen to another kind of sound. It was like somebody was singing in the alley. The wind blowing was entrapped in the corridor creating mysterious sounds like Indian songs at night. Even Pavarotti would not be able to produce such a beautiful harmony.

I went up to the top of the building to have some exercise. In the swimming pool, falling leaves were being pushed gently by the ripples. The water was crystal, the breeze was refreshing. It was like a triangular love: the breeze, the leaves, and the water.

I stayed there for an hour watching emerging slowly from the east. I enjoyed it until the first birds came out from nowhere.

Coming back, I looked at my wife sleeping peacefully. Her chest signaled the beat, the beats of life, a scene so simple so alive: a dawn.

Manila, 2006

vi PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Ucapan Terima Kasih

Penelitian ini tidak akan selesai tanpa dukungan, dorongan dan doa-restu banyak pihak. Dalam kesempatan ini, perkenankanlah penulis menyampaikannya sebagai berikut:

1. Sujud syukur bagi Tuhan yang berkenan bergulat dalam arena tarung batin bersama penulis yang sedang mencari dirinya secara terus-menerus. Ada begitu banyak pengalaman intelektual, emosional terlebih spiritual yang penulis petik selama ini. Penelitian ini menjadi latihan rohani bersama sang Guru yang menjelaskan begitu banyak hal yang saling terkait secara indah. 2. Terima kasih untuk Bapak Dr. St. Sunardi yang berperan sangat besar dalam proses formasi intelektual penulis. Selama proses pembimbingan, penulis sungguh merasakan dedikasi yang mendalam terhadap profesi dan panggilan hidupnya sebagai pendidik dan scholar sekaligus. Bukan cuma ilmu yang penulis dapatkan namun ilmu kehidupan yang memancar dalam kesehariannya, dalam kesederhanaannya dan dalam kedalaman ilmunya yang mencengangkan. Terima kasih pula untuk Rm. Dr. Agustinus Sudiarja S.J dan Rm. Dr. Budi Susanto S.J yang berkenan menjadi pembaca ke-2 dan ke-3. Beliau berdua adalah dosen-dosen penulis yang punya peran besar langsung atau tidak langsung dalam proses formasi intelektual penulis. 3. Khususnya untuk Rm. Dr. G. Budi Subanar S.J dan Rm. Dr. T. Baskara S.J yang sangat membantu penulis ketika penulis masih berada di Manila. Terima kasih untuk keramahtamaan dan pengertiannya yang sangat luar biasa bagi siapa saja. Kiranya Tuhan memberkati perjalanan panggilan Romo berdua. 4. Untuk Rm. Dr. T. Baskara S.J, Rm. G. Budi Subanar S.J, Rm. Dr. Harry Susanto S.J, Rm. Dr. Harriatmoko S.J, Rm. Dr. Budi Susanto S.J, Rm. Dr. A. Sudiarja S.J, Mas Tri M.A, Bang Saut M.A dan Dr. Katrin, Dr.

vii PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Budiawan, Dr. Fransisko, Prof. Dr. Mahasin dan semua dosen lainnya), terima kasih untuk setiap sentuhan dan pengaruh intelektual selama penulis belajar di IRB. Penulis beruntung boleh mempunyai orang-orang yang santai namun sangat mendalam ilmu dan daya analisanya dan tak pernah ragu membagikannya dalam diskusi, dalam canda dan dalam setiap perjumpaan. 5. Untuk teman-teman IRB yang secara luar biasa mewarnai secara mendalam kehidupan penulis dengan canda-candanya yang luar biasa. Terima kasih kalian telah banyak bertanya, mempertanyakan dan menjawab banyak soal pada serta dengan penulis yang sangat merangsang rasa ingin tahu penulis secara terus-menerus. Takkan kulupakan wajah- wajah kalian dan kuyakin kalian pun demikian. Untuk Fitri, Rudy Ambon, Pak Viktor, Mas Ali, Muklis, Singgih, Meli, Kemal, Wahid, Siska, Samuel, Melati, Iyus, Tina dan semuanya saja ‘you are the best!’. 6. Tentu saja, tak lupa teman-teman KBI yang beberapa di antaranya menunjukkan perhatian tulus terhadap penelitian penulis. Kiranya Tuhan saja yang membalaskan jasa kalian. 7. Untuk teman-teman sesama peneliti Nusakambangan (Mas Ali, Iyus Brekele dan Sri), terima kasih untuk kesempatan bersama dalam susah- senang. Sungguh indah pengalaman bersama kalian semua. Sungguh beruntung penulis mendapat kesempatan mencicipi bagaimana rasanya menjadi peneliti yang melakukan penelitian di lapangan. 8. Terima kasih untuk Mbak Hengki yang selalu siap-sedia membantu penulis menyelesaikan berbagai urusan dengan seyum manisnya dan sikapnya yang sangat ramah. Kiranya Chelsea menjadi anak yang membawa berkat bagi kedua orangtuanya. 9. Untuk para sahabat baru di Manila (Prof. Cirilo, Prof. Marjoire, Prof. Antony, Prof. May-an, Prof. David, Prof. Nerissa), terima kasih untuk setiap undangan diskusinya, untuk seyum sejuta kasihnya dan untuk setiap rasa ketertarikannya pada penelitian penulis. Untuk Ate Tres, terima kasih untuk kartu perpustakaannya yang sangat membantu penulis dalam

viii PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

menemukan buku-buku yang tidak sempat penulis bawa ke Manila. Sungguh, semua itu sangat memotivasi penulis dalam proses penyelesaian penulisan tesis ini. 10. Untuk teman-teman di geng Yahoo!360, terima kasih untuk cerita-cerita dan sharing kalian. Sungguh semua itu mengisi hari-hari penulis secara bermakna. Untuk Susan, Debbie, Turtle, Evi, Avi, Tris, Kellianah, Peach, Agent Q., I miss you all! 11. Terima kasih juga untuk Bayu adikku yang dengan ketulusan dan kecerdasannya membantu penulis untuk optimis dan belajar selalu bersedekah. Kiranya puasa kamu diterima Tuhan. 12. Untuk Herlin Untailawal, teman SMP penulis, dan Tila, terima kasih untuk doa-doanya dan pelajaran rohaninya yang sangat mendalam. 13. Abang Lisa, Abang Sisco, Mama Kris, Mama Pemri, Mama Vita dan yang terkasih adikku Rian, terima kasih setulusnya karena kalian selalu percaya dengan saudaramu ini. Kalian adalah malaikat-malaikatku yang dikirim Tuhan untuk mengingatkan dan membantu dengan setiap sms dan telepon kalian. Mama Kris, terima kasih untuk begitu banyak bantuannya. Lae Pemri dan Mama Pemri, terima kasih untuk pendampingan kalian yang sungguh membuka pikiranku. 14. Untuk kalian keponakan-keponakanku, terima kasih untuk canda dan setiap pertanyaan yang sangat mengusik kalbu dan otakku. Aku akan selalu merindukan kalian dan dalam doa-doaku, wajah-wajah kalian selalu muncul secara spontan. 15. Untuk para ipar di Manila dan di mana-mana, penulis haturkan terima kasih mendalam untuk cinta kalian yang tak terukur dengan apapun. Manang Nica, Sister Flora dan Sister Gloria, George, David, Larry dan Eddy, terima kasih untuk setiap traktiran makannya, untuk setiap ketertarikan pada proses penulisan tesis ini dan untuk setiap dorongan tanpa batas yang telah kalian berikan. Penulis juga tidak akan melupakan mertua penulis, Tatay, yang dalam sakitnya terus bercanda dan menyapa penulis dengan hangat. Untuk Lae Vita, Lae Pemri, Kakak Lisa, Kakak

ix PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Sisco,Inangbao Anik, terima kasih untuk setiap doa-restunya. Khusus untuk Lae Vita dan Mama Vita, terima kasih untuk bulan-bulan indah bersama penulis di . 16. Terima kasih untuk Mama dan Bapa yang sudah bersabar dan selalu percaya akan bahwa anaknya sanggup menyelesaikan satu lagi fase perjalanannya. Mama dan Bapa selalu duduk bersama penulis meskipun tanpa kata menemani hari-hari penuh pergulatan di depan layar komputer. Tidak ada kata yang sanggup mengekspresikan keindahan setiap gelas kopi yang Mama sediakan, untuk candanya setiap kali kesulitan menghadang dan untuk setiap pertanyaan dari Mama dan Bapa mengenai penelitian ini yang membantu menstimulasi pikiran penulis. 17. Terima kasih setulusnya untuk istri penulis yang rela ‘berpisah’ demi penyelesaian tesis ini, untuk setiap diskusi dan rangsangan intelektual yang mengembangkan minat akademik dan daya analitik penulis secara luar biasa. Sebagai seorang penyair dan penulis professional, sang Istri banyak membantu penulis mendalami elemen-elemen puitis dalam Puisi Tak Terkuburkan. Tak lupa pula, terima kasih untuk setiap canda dan tawa yang boleh kami lalui di tengah-tengah setiap tantangan kehidupan bersama. 18. Yang terakhir, terima kasih setulusnya untuk Yoshua, keponakan penulis, yang selalu menyambut penulis dengan cerita dan pelukan kasihnya yang membuat penulis selalu merasa dicintai dengan tulus.

Penulis telah belajar mencurahkan energi minat untuk mampu menyelesaikan keseluruhan proses pendidikan formal ini. Tentu saja, studi ini masih jauh dari sempurna dan untuk setiap kekurangannya menjadi tanggung- jawab penulis.

x PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Daftar Isi

Judul i Halaman Persetujuan Pembimbing ii Halaman Pengesahan iii Pernyataan iv Pernyataan Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah v Halaman Persembahan vi Ucapan Terima Kasih vii Daftar Isi xi Abstrak xiv Abstract xv

Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang yang Melahirkan Sebuah Topik ...... 1 1. Mengapa Sinema dan Filsafat? ...... 2 2. Mengapa Film Puisi Tak Terkuburkan? ...... 5 B. Status Questionis ...... 10 C. Tujuan Penelitian ...... 11 D. Metodologi ...... 11 E. Relevansi Penelitian ...... 12 F. Skema Penulisan ...... 12

Bab II Film Sebagai Diskursus: Dari Saussure Menuju Semiotika Bahasa Film Hingga Deleuzian Time-Image 15 A. Produksi Makna Saussurian ...... 18 B. Semiotika Film: Saussurian atau anti Saussurian ...... 21 C. Gilles Deleuze: Dari Action-Image ke Time-Image ...... 28 C.1 Durasi Bergsonian ...... 28 C.2 Akumulasi Krisis dan Patahnya Proses Identifikasi ...... 33 C.2.2 Potensi Kreatif Disintegrasi ...... 36

xi PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

C.2.3 Munculnya Pikiran dan Time-Image ...... 37 C.3 Gerakan Ganda Cipta dan Hapus ...... 40 C.3.2 Sinema adalah Pengetahuan, Aktor adalah Medium ...... 41 C.4 Beberapa Kategori Deleuzian Lainnya ...... 43

Bab III Menguak Bahasa Film 47 A. Kontradiksi, Fragmen Visualisasi dan Dialog Internal ...... 51 1. Trauma: Fiksasi Ruang-Waktu dan Pergolakan Perseptual ...... 51 2. Perbedaan Reaksi Para Tahanan Perempuan dan Laki-Laki...... 56 3. Pengalaman akan Waktu: Garinian Time-Image? ...... 62 B. Garinian Images: Pergeseran dari Movement-Image ke Time-Image..... 66 1. Sudut Pandang Kamera dan Kontinuitas Temporal ...... 66 2. Dialog Internal dan Konseptualisasi Ruang-Waktu Garinian ...... 69 C. Musik dan Syair ...... 72

Bab IV Membongkar Garinian Time-Image: Menuju Estetika Baru dan Originalitas Pikiran 73 A. Ruang Garinian ...... 75 1. Ruang dan Kematian: Sebuah Distorsi ...... 76 2. Diskontinuitas dan Ekstensivikasi Ruang: Intensivikasi Emosional ...... 80 B. Waktu Garinian ...... 84 1. Reduksi dan Paradoks Waktu Penjara...... 85 2. Ruang-Waktu Garinian: Kontras, Pembalikan dan Partisipasi Penonton ...... 89 C. Suara, Bunyi dan Musik: Monotonitas Dinamis, Simultanitas dan Doppler Effect ...... 95 D. Garinian Time-Image ...... 100 1. Proses Menjadi: Konfrontasi dan Filmic Caesura ...... 100 2. Filmic Alliteration ...... 110 3. Komunikasi: Sebuah Medan Vibrasi ...... 115

xii PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

4. Dialog Internal, Trial and Error serta Visualisasi ...... 120 5. Munculnya Pikiran: Material Capture, Machinic Assemblage dan Rhizome ...... 132

Bab V Estetika Baru dan Proses Menjadi : Sebuah Tawaran Garinian 143 A. Estetika Baru: Molekularitas dan Sensasi ...... 147 B. Menjadi Indonesia Model Garinian ...... 155 C. Menuju Praxis Filsafat Kontemporer Indonesia ...... 163

Daftar Pustaka 170 Sinopsis 172 Daftar Istilah 175

xiii PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Abstrak

Anak-Anak Tiri Ibu Pertiwi: Ruang-Waktu Garinian dan Molekularitas Pengalaman dalam Puisi Tak Terkuburkan

Film Puisi Tak Terkuburkan merupakan upaya Garin Nugroho menelusup jauh ke dalam tragedi kemanusiaan dan trauma 1965. Film ini akan dianalisa secara Deleuzian. Penelitian ini hendak menjawab empat pertanyaan yaitu: (1) Simbolisme apa yang ada dalam film tersebut?; (2) Bagaimanakah pengalaman waktu sinematik kita?; (3) Kesadaran seperti apa yang sedang ditawarkan?; dan (4) Bagaimanakah film berfungsi dalam proses menjadi Indonesia baru? Studi ini bergerak melalui dinamika cipta-hapus dengan melibatkan penonton dalam konteks (zone of indeterminancy). Cipta-hapus ini adalah relasi-relasi antar real-imaginer, fisikal-mental, obyektif-subyektif, deskriptif- naratif, aktual-virtual yang saling merefleksikan dan menubruk hingga pada titik tertentu tak terbedakan lagi (point of indiscernibility). Konfrontasi ini memprovokasi pikiran yang terus bercabang seiring multiplikasi transformatif affective images. Inilah jaringan sirkular antar image yang sepenuhnya optikal- suara serta antar time-image dan thought-image. Praktisnya, proses analisa akan simultan dengan pengalaman sinematik (experiential) dalam bentuk retelling. Hasil studi menunjukkan berbagai capaian Garin khususnya filmic ceasura, filmic alliteration, Doppler effect, medan vibrasi berkombinasi dengan dialog internal serta aneka ‘mutasi’ indrawi, gestural, pola dan dimensi interaksi. Selain menciptakan tanda-tanda, Garin juga mengembangkan filsafat waktunya lewat konfrontasi antar yang mekanis, represif dan affective images dengan vibrasi pada level personal maupun kolektif. Ia bahkan mendestabilisasikan distingsi waktu dan ruang (yaitu pertukaran bentuk dan isi secara intens-frontal dalam benak pemain maupun penonton) seraya menciptakan dimensi ruang-waktu Garinian. Ada tawaran estetika baru berkat penciptaan sensasi tanpa henti yang membuat subyektivitas terjadi secara molekuler. Dalam konteks menjadi Indonesia, Garin menawarkan sejarah sebagai pertumbuhan dan percabangan multi dimensi berkat konfrontasi dinamis dengan daya-daya hidup. Ia adalah diskontinuitas yang mengandaikan partisipasi pencecapan sensoris secara dinamis-mobile. Yang lampau (former present) hanya dimengerti sepenuhnya via pengalaman bukan via analisa intelektual-ideologis semata. Dengan lebih peka pada tubuh (locus sejarah) sebagai interkoneksivitas afektif-perseptif, Garin membuat pikiran berpikir di luar ‘pikiran resmi’ (subversif) seraya menjaganya dari bahaya pengeroposan dan penyeragaman ideologis-visual. Ada juga tawaran mendinamisasi filsafat kontemporer Indonesia lewat konsep biografi affective images di sepanjang contact zones (basis field work) yang bertumbuh (ekstensif dan intensif) seraya mentranformasikan sejarah secara radikal (konstruktivisme). Biografi ini dipresentasikan secara konseptual-provokatif pada tataran duratif. Proyek besar yang tersirat adalah rekonsiliasi keluarga (besar) Indonesia.

xiv PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Abstract

The Outcasts of the Motherland: Garinian Time-Space and the Molecularity of Experience in The Poem Unburied.

The Poem Unburied represents Garin Nugroho’s filmic effort to retell the 1965 tragedy. The study adapts Deleuze's approach to film analysis. This research explores four questions: (1) What symbolism exists in the film?; (2) What kind of cinematic experience of time is being offered?; (3) What kind of consciousness is being constructed?; and (4) How does film function in the process of becoming a new Indonesia? This study makes use of the double movement of creation and erasure. It accommodates the audience’s cinematic experience in terms of . The creation-erasure is the relations between real-imaginer, physical-mental, objective-subjective, actual-virtual which reflect and collide with each other to the point of indiscernibility. This collision provokes thought to keep splitting proportionally to the transcendent plurality of affective images. This process gives rise to the fibrous web of connections among the images which are fully optical and audio and among time-image and thought-image. Shortly, the analysis process parallels the audience’s cinematic experience in the form of retelling. The research shows Garin’s various achievements as evidenced in the way he used devices such as filmic caesura, filmic alliteration, Doppler effect and the vibration field in combination with the many types of sensory mutation, gestures, patterns and interactions. While creating new signs, Garin also develops his own philosophy of time through the confrontational encounters between the mechanical, repressive and affective images with the vibration is on the personal and collective level. He even destabilizes time-space distinction (making it intense and frontal exchanges between form and volume in the minds of characters and audience) creating the so-called Garinian time-space Garin offers new aesthetics by continuously producing sensation that can be experienced in the minutest level. In terms of becoming Indonesia, he offers the notion of history as the multi-dimensional growth and multiplication resulting from the dynamic confrontation with the forces of life. History is a discontinuity calling for sensory participation in a fluid manner. The past (former present) can fully be comprehended experientially, not through an intellectual-ideological analysis. Being more sensitive to the body (locus of history) as the interconnectivities of affect-percept, he enables thought to think outside the ‘official’ thinking making it well-guarded from the dangers of ideological-visual uniformity and monolithic politicized subjectivity. Garin inspires us to conceptualize the so-called biography of affective images as a way of dynamizing Indonesia’s contemporary philosophy. These affective images are those across the contact zones (the field-work basis). They are always in a growth (both extensively and intensively) while transforming history radically (constructivism). This biography is then presented conceptually and provocatively along the field of . The big project implied is the reconciliation of the expansive community called Indonesia.

xv PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang yang Melahirkan Sebuah Topik

Hidup tanpa lingkaran refleksi dan praktik, bagaimana mungkin bisa merespon, mengantisipasi dan mentransformasi sarat dimensi pengalaman dan interaksi antar pengalaman secara maksimal? Pertanyaan ini bisa direspon dari tiga bidang yang berbeda yaitu sains, estetika dan filsafat. Di sisi lain, pengalaman mengajarkan kita bahwa operasionalitas sebuah sudut pandang seringkali membutuhkan sumbangan-sumbangan dari wilayah disiplin lainnya secara langsung maupun tidak langsung. Tentu saja, tetap dimungkinkan aplikasi satu sudut pandang secara ketat untuk mengupas tuntas sebuah permasalahan yang sudah didefinisikan secara sistematis. Akan tetapi, pada titik tertentu biasanya mono-analisis seperti itu mengalami kejenuhan dan membuka jalan bagi operasionalitas disiplin-disiplin lainnya. Inilah yang kita kenal sebagai lintas disiplin yang memungkinkan sesuatu ditelaah menurut dimensi-dimensi sains, estetis maupun filosofisnya seperti yang kerap kita temukan dalam ranah cultural studies. Studi ini merupakan upaya menggabungkan ketika bidang di atas dengan tekanan kuat pada dimensi estetis dan filosofis. Salah satu produk kultural yang paling kuat merepresentasikan ketiganya adalah film. Dengan asumsi bahwa film secara ketat ataupun longgar mengekspresikan estetika dan filsafat sang pembuatnya, olah film sangat potensial untuk membawa kita pada temuan-temuan baru dalam berbagai bidang termasuk filsafat itu sendiri. Filsafat patut mendapat perhatian khusus tanpa meremehkan estetika dan sains tentunya. Seringkali diasosiasikan dengan tradisi Yunani yang kemudian menjadi tradisi pemikiran dunia Kristen Barat, filsafat di Indonesia tampaknya belum cukup kuat menjadi alat praktik maupun refleksi di negeri ini. Salah satu

1

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 2

gejala umum yang bisa menjelaskan situasi ini adalah fakta penerapan berpikir secara filosofis atau lintas disipliner yang cenderung apatis, terlalu linier, kurang reflektif namun mekanistis atau sekedar melekatkan teori seperti misalnya dalam proses kritik sastra di kalangan mahasiswa umumnya. Lemahnya tradisi filsafat di Indonesia paling tidak menyangkut dua hal. Pengajaran filsafat di universitas-universitas swasta selalu berada di bawah bayang-bayang teologi tertentu. Sementara itu, di universitas-universitas negeri, filsafat selalu menjadi subordinasi . Tanpa institusi-institusi yang independen, bagaimana mungkin mengharapkan dialog sistematis yang kontinu dan menyentuh setiap level pergulatan baik secara internal maupun lintas ilmu. Filsafat tidak berpikir dan melibati apa yang sedang dihadapi masyarakatnya. Sebaliknya, filsafat boleh dikatakan mengalami stagnasi dan juga begitu ilmu- ilmu sosial lainnya. Oleh karena itu, filsafat harus menemukan dirinya kembali dan mereorientasikan daya-daya hidupnya dalam rangka memberdayakan dirinya dan/atau ilmu-ilmu humaniora lainnya dengan membuat berbagai pilihan dan aliansi strategis.

1. Mengapa Sinema dan Filsafat?

Pada titik kritis inilah filsafat berhadap-hadapan dengan sinema baik pada level teori maupun proses. Sebagai salah satu produk budaya yang paling berpengaruh, sinema adalah harmoni adonan teknologi dan estetika yang terolah kreatif dengan organisasi naratif tertentu seturut pilihan dan pesan tematik tertentu (kandungan sosial sinema). Di sisi lain, di dalam dirinya sendiri, sinema adalah industri kecerdasan sekaligus perjalanan budaya material manusia yang hakikatnya diarahkan pada eksplorasi dan eksploitasi ruang-ruang pengalaman manusia baik dengan dirinya, sesamanya, dunia realitas dan berbagai sarana ataupun produk kulturalnya. Inilah pusat pergulatan estetik individual (sutradara, misalnya) maupun kolektif (penonton, misalnya), lingkaran produksi-distribusi-konsumsi yang mengandaikan bahkan menghasilkan corak-corak produksi pengalaman tertentu dalam proses PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 3

konsumsi.1 Secara semiotik, pengalaman sinematik adalah resultansi pengalaman dengan gerak (movement) dan waktu (time). Harmoni sinematografis justru tercipta lewat tumpang-tindih presentasi dan pengalaman signifikasi dalam konteks hubungan-hubungan ruang-waktu2. Dewasa ini, level dan corak pengalaman sinematik sekali lagi mengalami transformasi revolusioner, menapaki tataran citraan-waktu spontan (direct time- image). Sebelumnya, meskipun objek dan setting sudah memiliki realitasnya sendiri, realitas itu sifatnya fungsional melulu tergantung tuntutan situasi. Ruang (space) identik dengan sebuah setting yang mengandaikan serangkaian tindakan untuk membukanya atau untuk mengantisipasi maupun memodifikasi ruang tersebut. Gerak atau tindakan itu secara logis menghasilkan gagasan dan pengalaman akan waktu. Waktu tergantung pada sang protagonis yang mengkonsumsi3 setting dan aneka objek untuk mengekspresikan makna sekaligus tindakannya (action-image based cinema). Kini objek dan setting mewujud dalam realitas material otonom yang menghasilkan signifikasi dalam dirinya sendiri. Secara esensial, penonton maupun para pemain menciptakan berbagai setting dan objek dengan tatapan (gaze) mereka. Mereka melihat dan mendengar objek-objek dan orang-orang di dalam film itu seraya menunggu pematangan momen untuk aksi atau hasrat (passion) terlahir secara langsung-spontan serta berkesinambungan (a pre-existing daily life). Logika linear dan kontinuitas berbasis gerakan (movement-based continuity) menjadi masa lalu. Kaitan-kaitan (rational cuts) yang mengandaikan gerak sang

1 Menurut hemat penulis, terlepas dari suguhan estetis yang terkandung dalam setiap proses produksi sinematik, setiap proses konsumsi (secara aktif, pasif, skeptis, dan seterusnya) pasti menghasilkan struktur pengalaman tertentu. Hal ini dimungkinkan karena sinema tanpa henti melibatkan pencerapan sensoris dan intelektual serta berbagai lapisan struktur pengalaman individual maupun kolektif (efek audiovisual versus derajad keterbukaan seseorang atau audiens terhadap tawaran sinematik tertentu), melibatkan memori (yang sifatnya sensoris, afektif, intelektual, sosial, religius, kultural, ideologis) maupun filter sosiokultural. 2 Bagian ini yang menyangkut direct time-image adalah buah pemikiran Gilles Deleuze seperti yang ia paparkan secara menyeluruh dalam bukunya Cinema 2, The Time-Image, Hugh Tomlinson dan Robert Galeta (trans), (London: The Athlone Press, 2000). 3 Konsumsi yang penulis maksudkan adalah segala proses bergerak dan bertindak dalam setting dan aneka objek sedemikian sehingga menghasilkan logika, makna dan gerakan narasi (yang pada gilirannya menimbulkan waktu yang dikonsumsi sekaligus diproduksi seseorang atau penonton). Prinsip konsumsi untuk memproduksi ini akan terlihat sangat fundamental yang membedakannya dengan gambar-gambar dalam direct time-image. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 4

pemain (shot to sequence) dibekukan hanya menyisakan melulu optikal dan suara yang dicerap indra sebelum sebuah tindakan mengambil ekspresinya. Waktu hadir secara spontan, dialami secara simultan dengan sebuah situasi sinematik4. Waktu sepenuhnya independen, tak tergantung lagi pada gerakan. Seorang filsuf mengalami bagaimana sinema sedang menstrukturasi dan merestrukturasi masyarakat secara keseluruhan. Struktur budaya dan identitas sosial selalu dalam proses menjadi (in the process of becoming). Hadir situasi baru. Hadir tantangan baru untuk melakukan refleksi filosofis-sistematis dan respon-tindakan nyata (praksis). Inilah yang kiranya dilakukan Gilles Delauze, salah satu teoritisi film sekaligus filsuf terkemuka. Ia percaya bahwa seorang filsuf seyogyanya bekerja seiring perkembangan sinema. Filsuf adalah penyelam dalam dunia tanda-tanda sinematik. Aktivitas ini adalah upaya untuk mengklasifikasikan berbagai citra dan tanda namun kemudian diurutkan kembali untuk tujuan-tujuan baru. Daya tarik sinema yang terpenting adalah kemampuannya mentransformasikan konstruksi-konstruksi konseptual menjadi dimensi-dimensi baru. Konseptualisasi itu sendiri selayaknya mengintegrasikan percept dan affect (yang tidak boleh dikacaukan dengan istilah persepsi dan perasaan atau feeling). Ketiganya membentuk kompleks kekuatan yang tak terpisahkan yang bergerak dari seni ke filsafat dan dari filsafat ke seni. Jelas sekali praksis dimaksud bukanlah untuk mengaplikasikan konsep-konsep filosofis dalam sinema melainkan bekerja dengan konsep-konsep yang ditimbulkan dalam dan oleh sinema. Pada gilirannya dialog intens terjadi antar keduanya dan filsafat dan bidang-bidang ilmu lain secara umum.

4 Situasi sinematik adalah upaya penulis untuk menterjemahkan dan mendeskripsikan setiap potong audiovisual (shot) yang di dalamnya sudah mengandung keseluruhan elemen dan dimensi time-image. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 5

2. Mengapa Film Puisi Tak Terkuburkan?

Puisi Tak Terkuburkan merupakan upaya Garin Nugroho menelusup jauh ke dalam trauma dan tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah Indonesia di tahun 19655. Berawal dan berpuncak pada terbunuhnya tujuh jenderal Angkatan Darat di sebuah tempat yang disebut Lubang Buaya, kisah setelahnya adalah mobilisasi tanpa batas, angkara murka, balas-dendam, aniaya, orgi penggorokan masal di berbagai titik eksekusi di tanah Jawa khususnya dan di Indonesia umumnya. Indonesia tak pernah lagi sama sejak kemenangan mutlak ABRI khususnya Angkatan Darat terhadap musuh-musuh Pancasila (yang praktisnya diterjemahkan sebagai Partai Komunis Indonesia beserta organisasi-organisasi

5 Keith Foulcher mencatat bagaimana ingatan sejarah (remembered history) menjadi bagian perkembangan sastra dan pergulatan para penulis Indonesia. Ia mencatat bahwa di sepanjang 1970- an, kebanyakan produk sastra bungkam terhadap peristiwa 1965 maupun dampaknya bagi kehidupan bangsa ini pada level individual, komunitas maupun sebagai bangsa. Ia mencatat bahwa paska 1965, ada sejumlah cerita pendek yang terbit namun tujuannya untuk menggalang pengertian (understanding) ataupun membersihkan nama. Sejarah mulai muncul kembali dalam khazanah kesusastraan Indonesia di tahun 1979 tidak lewat sastra seni (art literature) namun justru dalam genre sastra pop sebagai konsekuensi praktis dari pertumbuhan kelas elit menengah perkotaan yang diwakili kelompok muda yang tidak mengalami peristiwa itu secara langsung berbeda dari generasi penulis cerita pendek di atas. Akhirnya sejarah kembali secara serius digarap dengan kemunculan Yudhistira Ardi Noegraha dalam Mencoba Tidak Menyerah (: Gramedia, 1979) yang merepresentasikan kombinasi sastra dan dokumen sosial. Dalam perkembangan selanjutnya, kita melihat kebangkitan sastra seni lewat para penulis „kiri‟ yang dipenjara karenan afiliasinya dengan peristiwa 1965. Begitulah, Pramoedya Ananta Toer menggelegar dengan Bumi Manusia di tahun 1980 selain banyak penulis cemerlang lainnya. Hingga akhirnya muncul Ajip Rosidi dengan Anak Tanah Air, Secercah Kisah (Jakarta: Gramedia, 1985) yang dengan Rendra merepresentasikan kelompok penulis muda Indonesia yang menekankan „regional identities and regional cultural roots as a basis for the development in the national literary tradition‟. Mereka mengklaim sebutan Angkatan Terbaru. Novelnya ini sangat berbeda dari konvensi sastra angkatan sebelumnya seperti misalnya Nyali (Putu Wijaya). Anak Tanah Air, Secercah Kisah karena merepresentasikan „a realist historical novel, in part a historical documentary, full of autobiographical elements and peopled by actual historical figures, either under their own names or thinly disguised behind pseudonyms‟. Buku dan posisi Ajip Rosidi yang independen tidak memihak kiri (Lekra) atau kalangan nasionalis ini menyulut polemik sebagaimana yang terekam dalam beberapa edisi Horison, April hingga Agustus 1987. Arief Budiman waktu itu sempat menulis editorial bertajuk „Do we have the courage to look at our past history?‟. Untuk lengkapnya, silahkan baca Keith Foulcher, 1991. “Making History: Recent and the Events of 1965,” dalam Robert Cribb (ed), The Indonesian Killings 1965 – 1966. Studies from Java and Bali (Australia: Centre of Southeast Asian Studies, Monash University, 1991), hlm. 101–119. Kita bisa menempatkan Garin Nugroho dan Puisi tak Terkuburkan dalam konteks ini. Akan tetapi, mengingat bahwa Garin adalah seorang sineas dan sekaligus merepresentasikan generasi sineas Indonesia yang menggunakan kosa kata, tehnik, filsafat serta estetika yang sangat berbeda, kita membutuhkan alat analisis yang juga sangat berbeda. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 6

onderbow-nya sekaligus anggota-anggota dan para simpatisan langsung atau tidak langsung). Kemenangan Pancasila terhadap “G 30S PKI” menjadi titik nol sejarah republik ini, titik awal penulisan kemajuan bangsa, justifikasi ideologi pembangunan, justifikasi etis kamp-kamp konsentrasi untuk mencerca, menjerat dan mengisolasi berbagai anasir komunis dan antek-anteknya. Penjara-penjara penuh sesak, Nusakambangan dan Pulau Buru identik dengan kaum buangan. Terperangkap dalam puting-beliung tebasan clurit dan sayatan sembilu ini adalah seorang seniman didong (musik tradisional rakyat Aceh) Ibrahim Kadir. Tertuding anggota PKI, ia dilucuti dari desanya di Takengon, Aceh tengah, dan „hanya‟ dipenjara selama 11 (ditangkap 12 Oktober 1965) dan sebelum dibebaskan (22 oktober 1965) karena terbukti sekedar korban dari kekacauan dan eforia kekerasan saat itu. Lewat panca indera sang seniman (yang dimainkan Ibrahim Kadir sendiri), saksi hidup lusinan tahanan digiring ke ladang pembantaian, Garin memainkan tutur sinematiknya. Didong sang seniman menjadi musik sekaligus ritme dan tuturan sinematik di sana-sini sebelum layar menutup 90 menit kemudian. Dengan begitu, film produksi 1999 ini sangat menarik dan sangat menantang untuk dipertemukan dengan proses sinesemiotik Deleuzian justru karena kontroversi sejarah, mekanisme penjara yang hendak membungkam kemanusiaan dan sentralitas didong terhadap dialog dan gerak. Pertama, penjara adalah asumsi masyarakat demokratik. Penjara adalah konsekuensi logis prinsip- prinsip retributif, korektif dan remedial. Pemenjaraan adalah kondisi ideal ketika keadilan ditegakkan. Lebih dalam lagi ke diskursus penjara, kita akan menemukan ada begitu banyak elemen dalam konstruk penjara dan pemenjaraan. Penjara menunjukkan kesadaran sejarah yang meluas akan kesucian hak-hak asasi manusia dan nilai-nilai universal dari demokrasi itu sendiri seperti kesetaraan, kebebasan, kebebasan mengemukakan pendapat, individualitas, hak kepemilikan, dan seterusnya. Pada titik ini, kita berhadapan dengan paradoks penjara. Ketika penjara dianggap bagian integral sebuah masyarakat demokratis dengan sistimatisasi PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 7

isolasi eksklusif berkat sistem tertutup dan prinsip panoptikumnya6, penjara juga sekaligus miniatur dari masyarakat yang melahirkannya (sebuah relasi diferensial) dan sebuah masyarakat dalam dirinya sendiri (jadi sebuah sistem signifikasi yang independen). Pertukaran serta komunikasi antar tanda pada setiap level di antara „subyek-subyek penjara‟ selalu menghadirkan keunikan dan kekuatan potensial kreatif penciptaan dalam rangka memaknai proses-proses kodifikasi dan konvensionalisasi. Artinya, prinsip demokrasi justru mengalami banyak pertanyaan dalam dinamisme kehidupan penjara. Demokrasi ternyata bukanlah sebuah entitas yang given dan stabil tapi entitas labil yang terus-menerus berbenturan dengan motivasi subversif, pemberontakan terhadap segala upaya represi sistematis proses simbolik kontra ideologi resmi. Garin mengkonfrontasikan institusi penjara dan olah rasa sang seniman yang mendendang saat lidah kelu kehilangan kata tercekam realitas yang melampaui kapasitas panca indra. Garin mengambil posisi sebagai pencipta tanda-tanda yang memproduksi cara-cara baru dalam mengkonsumsi dan memproduksi jaringan tanda, kontras-anarkhis dengan kebiasaan ingatan dan sirkuit pencerap (perceptual circuits) bangsa ini. Kedua, pengalaman sinematik direct time-image menisbihkan dikotomi film-audiens. Penjara dan segala sesuatu dan setiap orang di dalamnya independen menciptakan simbol-simbol dan sistem pertukaran tandanya masing-masing (intertekstualitas dan intersubyektivitas). Berbagai hal menjelmakan dirinya secara spontan! Aspek menjadi (becoming)7 ini bukan barang asing dalam karya-

6 Jeremy Benthan (1748 – 1832), seorang hakim Inggris dan filsuf utilitarian adalah yang pertama memformulasikan prinsip pengawasan minor dengan efek maksimum. Penjara ditandai dengan menara pengawas yang memungkinkan penjaga melihat setiap terhukum sejelas siang hari sementara para napi tak pernah bisa memastikan apakah mereka sedang diamati atau tidak. Ini menghasilkan perasaan sedang diawasi secara terus-menerus. Disiplin ditegakkan lewat prisnip conditioning operant ketika para tahanan mengawasi tindak-tanduk mereka secara sukarela. Utilitarianisme ini secara khusus ditandai dengan evaluasi moral dan etis dalam kaitannya dengan kekuatan moral dan etika memproduksi kesenangan (pleasure) yaitu yang satu-satunya baik (the only good) atau penderitaan (pain) yaitu yang satu-satunya jahat (the only evil). Lihat Clarence L. Barnhart (ed), The American College Encyclopedia Dictionary (Chicago: Spencer Press, Inc., 1958), hlm. 114. 7 Konsep becoming yang dimaksud adalah seperti yang digambarkan Deleuze, “Cinema always narrates what the image‟s movements and times make it narrate. If the motion‟s governed by a sensory-motor scheme, if it shows a character reacting to a situation, then you get a story. If, on the other hand, the sensory-motor scheme breaks down to leave disoriented and discordant PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 8

karya Garin Nugroho. Seperti dikatakan I. Bambang Sugiharto8, film-film Garin berkat kombinasi fakta dan fiksi memungkinkan kita mereinterpretasi realitas aktual dari kebaharuan perspektif (angle) potensialitasnya. Film-film ini mendekonstruksi kategori-kategori dasar yang biasanya kita dayagunakan untuk mencerap realitas dan pada saat yang sama menggeser posisi subyek dan meletakkan subyek pada titik potong lalu-lintas berbagai impuls dan impresi yang sangat liar namun begitu nyata untuk diacuhkan. Kepadatan realitas cerai-berai tersebar membentuk jaringan (network) polifonik dan simultan, sebuah intertekstualitas yang tak terduga namun begitu menyerap (absorbing). Garin berhasil mendestabilisasikan kesadaran subyek seraya menyingkap lapisan fiksi dari semua bentuk rasionalisasi sekaligus membuka sumbat lorong-lorong impuls yang paling primordial. Bagi Sugiharto, tuturan Garin ini sangat strategis guna mengungkap realitas tersembunyi bangsa ini khususnya menyangkut kombinasi ganjil pra-moderen (bahkan Jaman Batu), horizon moderen and post moderen, ketakberakaran dari paradigma-pardigma ini di Indonesia, hilangnya sejarah, hilangnya heroisme, keruntuhan nilai-nilai normatif dan kegamangan dalam konstelasi emosi. Garin berupaya mengungkap semua ini bukan ala Holywood (bukan lewat identifikasi emosional dengan karakter juga bukan berkat kekuatan bahasa atau kata-kata). Penonton disentuh lewat eksposisi sejumlah image, bahasa tubuh dan adegan-adegan poetik. Film bukan untuk menghujat seorang pemain dalam film tapi justru mengkritisi fiktisisasi kehidupan sehari-hari. Dengan cara ini, diri mengalami semacam „bersih jiwa‟ yang memungkinkan peningkatan kapasitas mencerap realitas original. Garin merefleksikan pengaruh dan perkembangan bahasa sinematik paska Perang Dunia II9 khususnya yang berkembang di Italia (neoRealisme) dan

movements, then you get other patterns, becomings rather than stories.” Lihat Gilles Deleuze.1990. Negotiation. 1972-1990, Martin Joughin (trans), (New York: Colombia University Press, 1990), hlm. 59. 8 I. Bambang Sugiharto, “Garin Nugroho‟s Films and Social Transformation,”.dalam Philip Cheah, Taufik Rahzen, Ong Hari Wahyu, Tonny Trimasanto (eds), And The Moon Dances: The Films of Garin (Yogyakarta: Bentang Pustaka. bekerjasama dengan SET Film Workshop and BingO, 2004), hlm. 187-189. 9 Untuk mendapatkan perbedaan nyata antara Garin dengan sineas-sineas lainnya atau untuk melihat bagaimana Garin secara independen ataupun sebagai bagian dari kelompok sineas yang PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 9

Perancis (New Wave)10. Tehnik ini mengintegrasikan tumpang-tindih radikal, menonjolkan kontras, paradoks dan disharmoni, plot yang tak linear (plot bisa saja dikorbankan tanpa menyebabkan gangguan berarti), ambigu moralitas dan khususnya dengan mengeksplorasi karakter-karakter „sakit‟. Dalam karya-karya Garin semua elemen di atas tampak dengan jelas yang mengingatkan kita pada Taviani, intertekstualitas, Goddard atau bahkan gambar-gambar satiris surrealis Bunuel misalnya. Akan tetapi, Garin tetap asli Indonesia11 yang menggulati realitas negerinya dengan cara-cara laiknya tipikal Indonesia dan khususnya dari perspektif sensibilitas Jawa. Narasi berfungsi tidak lebih sebagai bingkai. Garin lebih menekankan pada citraan (image) daripada integritas konstruk film secara keseluruhan. Film-filmnya selalu penuh dengan pregnant moments (Roland Barthes). Setiap adegan dijiwai kedalaman eksistensial tertentu sehingga kita dipaksa untuk berhenti berkali-kali untuk setiap adegan12. Dalam bahasa Deleuze, protagonis dan penonton saling tumpang-tindih, yang nyata dan imaginer saling menghapus sekaligus mencipta. Inilah kategori filmis baru yang menempatkan

gelisah dengan perkembangan film di tanah air yang cenderung menekankan tujuan-tujuan komersial, terhalang pisau sensor serta cenderung merefleksikan keinginan produser, silahkan baca Salim Said, Profil Dunia Film Indonesia, (Jakarta: Grafiti Pers, 1982). Persoalan-persoalan yang disorot secara mendalam oleh Salim Said di atas juga menjadi keprihatinan seorang H. Usmar Ismail. Dalam kumpulan tulisannya, ia mengekspresikan sikapnya yang anti kiri dan posisinya soal komersialisasi film (yang dipengaruhi nilai-nilai Barat- Holywood). Ia juga mempertanyakan relevansi lembaga sensor, bagaimana posisi film sebagai alat politik serta berbagai persoalan perkembangan film di tanah air serta bagaimana soal-soal kebangsaan (lewat tema-tema perjuangan, gerilya ataupun pembangunan) menjadi pergulatan dunia sineas di masanya. Tak lupa juga ia menyinggung-nyinggung bagaimana latar belakang produser maupun sutradara turut mempengaruhi pilihan produk sinematik, dan seterusnya. Untuk lengkapnya, silahkan baca H. Usmar Ismail, Usmar Ismail Mengupas Film (Jakarta: Sinar Harapan, 1983). Dalam kaitannya dengan eksistensi lembaga sensor yang secara historis merupakan produk kolonial itu dan respon seorang seniman, pandangan WS Rendra di bawah ini patut direnungkan. Katanya, “Di dalam masyarakat kita, standard akal sehat kolektif masih rendah akibat tekanan politik dari zaman raja-raja, zaman penjajahan, dan zaman sekarang. Rakyat dibiasakan dicecoki instruksi dan indoktrinasi, jadi kurang didorong untuk mengembangkan pikiran yang kreatif oleh kaum agama, kaum birokrat, atau pun oleh para politisi. Yah, maklumlah, kita masih berada dalam tingkat perkembangan. Oleh karena itu, sangat berbahaya bagi para seniman untuk berkompromi dengan selera penonton. Sebab, hal itu akan menurunkan mutu seninya, kecuali kalau ia sudah mantap secara jujur akan menjadi penghibur saja”. Lihat WS Rendra, “Dunia Film di Mata Seorang Dramawan” dalam Harris Jauhari (ed), Layar Perak, 90 Tahun Bioskop di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 150. 10 Dua gerakan ini akan kita dalami dalam bagian-bagian berikutnya. 11 Tekanan dengan italiks ini berasal dari penulis. 12 I. Bambang Sugiharto, Op. cit., 189–190. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 10

subyek di mana-mana, ambiguitas antara pergerakan tanpa henti (continuous flowing) dan keterperangkapan yang membekukan (pemain tidak lagi “mengetahui” bagaimana berreaksi terhadap situasi-situasi yang jauh melebihi kapasitas respon manusiawi entah karena terlalu buruk, terlalu cantik, terlalu mengejutkan, dan seterusnya). Momen ini melahirkan yang nyata justru karena wadah imaginernya!

B. Status Questionis

Ada empat pertanyaan yang hendak dijawab dalam penelitian ini yaitu : 1. Simbolisme apa yang ada dalam film tersebut? 2. Bagaimanakah pengalaman waktu sinematik kita? 3. Kesadaran seperti apa yang sedang ditawarkan? 4. Bagaimanakah film berfungsi dalam proses menjadi „Indonesia baru‟?

Dalam pertanyaan pertama, kita secara obyektif hendak mencari dan memetakan simbol-simbol apa yang menghadirkan waktu dalam film dimaksud. Setelah itu adalah proses penafsiran atau pembacaan simbol-simbol itu dalam kaitannya dengan pembentukan diri (self) yaitu pengalaman menemukan diri (semacam sosiologi simbolisme). Dalam pertanyaan ketiga kita hendak menggali dan merumuskan rangkaian pengalaman waktu sehubungan dengan pertanyaan kedua tadi. Setelah ini semua mendapat jawaban-jawabannya, kita hendak mendalami pertautan antara yang imaginer dan yang nyata itu khususnya secara Deleuzian13 dalam konteks dan dalam perspektif menjadi Indonesia modern.

13 “Film criticism faces two dangers: it shouldn‟t just describe films but nor should it apply to them concepts taken from outside film. The job of criticism is to form concepts that aren‟t of course “given” in films but nonetheless relate specifically to cinema, and to some specific genre of film, to some specific film or other. Concepts specific to cinema, but which can only be formed philosophically. They are not technical notions (like tracking, continuity, false continuity, depth or flatness of field, and so on), because technique only makes sense in relation to ends which it presupposes but doesn‟t explain. It is these ends that constitute the concepts of cinema. Cinema sets out to produce self-movement in image, autotemporalization even: that‟s the key thing, and it‟s these two aspects I‟ve tried to study……” Conversation with Gilbert Cabasso and Fabrice Revault d‟Allones, Cinema 334 (December 18, 1985). (Negotiations. 1972-1990, Op. Cit., hlm. 57-58) PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 11

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasikan simbolisme dalam film Garin Nugroho dengan menginventarisasi simbol-simbol, melacak latar belakang (kaitan antara bahasa estetik dan biografi sinematik sutradara, gaya atau personal style, posisi sutradara sebagai ateur dalam teks-teks sosial yang dominan) memetakan pola-pola, dan menghasilkan semacam taksonomi tanda-tanda berikut hubungan-hubungan antar tanda. Kemudian, penelitian bisa mulai mempertanyakan bentuk dan proses kesadaran seperti apa yang sadar atau tidak sadar coba dipresentasikan dan dimaknai seorang Garin Nugroho. Kita akan melihat bagaimana tanda-tanda dan hubungan-hubungan antar tanda dipadurangkaikan secara tehnis-estetis. Lebih dalam lagi, kita akan mencermati dinamisme bagaimana, mengapa serta seberapa jauh kesemuanya itu mampu memproduksi muatan kesadaran tertentu. Hal ini tentu akan sangat terkait dengan muatan konsep waktu yang diproduksi, dikonsumsi dan didistribusikan dalam film dimaksud secara simultan. Pada tingkat selanjutnya, penelitian ini juga bertujuan meletakkan dan menggulati Puisi Tak Terkuburkan dalam konteks dan perspektif menjadi Indonesia moderen. Pada puncaknya, semua upaya di atas akan menjadi umpan balik secara Deleuzian. Kata lain, penelitian ini berharap bisa mempresentasikan temuan sejumlah tanda sinematik yang bisa diaplikasikan dalam dunia filsafat.

D. Metodologi

Pengalaman penelitian lapangan beserta pengolahan data-datanya, riset dokumen serta riset kepustakaan akan saling mendukung menciptakan basis untuk proses interpretasi yang berkelanjutan. Secara semiotik, setiap elemen akan dianalisa dari dalam hingga elemen-elemen tersebut mencapai titik jenuh membuncah sebagai sebuah sistem signifikasi kultural. Ada dua level proses analisis yang interdependen. Secara khusus penulis akan mencari bahasa sinematik Garin Nugroho secara sintagmatik, melihat pola- PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 12

pola berulang serta konsistensi gaya tutur sinematik sang sutradara. Dalam hal ini, penulis akan banyak menggunakan teori-teori narasi film, sinematografi, semiotika film khususnya sejak dari Metz, sosiohistoris film dan biografi karya sinematik sang sutradara (Garin Nugroho). Kemudian level analisa akan mengalami transformasi ke tataran paradigmatik yaitu secara Deleuzian (direct time-image).

E. Relevansi Penelitian

Film adalah salah satu mitra baru dalam mereposisikan filsafat ke dalam tempat yang semestinya, sebuah alat kultural untuk mengkontemplasikan dan mendasarkan tindakan atau praktik sosial. Melalui film, kita bisa belajar dan menganalisa sangat banyak dan mendalam bagaimana kita disignifikasi dengan penanda-penanda apa, dengan citraan-citraan seperti apa dan berdasarkan penilaian dan evaluasi siapa. Kita juga bisa belajar bagaimana memproduksi genre film sendiri secara independen sekaligus simultan melakukan proses dialog intens multi konteks dan perspektif dengan berbagai pihak. Pengalaman ini pada gilirannya akan menciptakan arus balik kreatif yaitu menemukan kembali filsafat dan menciptakan tanda-tanda baru.

F. Skema Penulisan

Penelitian ini akan bergerak lewat lima bagian besar. Bab I sifatnya memproblematisasikan latar belakang dan mengkoordinasikan jalannya penelitian dan proses penulisan. Kita berkutat dengan sejumlah gagasan pokok yang menjadi dasar argumentasi selanjutnya. Bab II berfungsi sebagai kerangka teoritis untuk memberi bingkai dan batu pijakan analisa. Ini dimulai dengan mengupayakan ringkasan sekaligus pemetaan baik secara diakronis maupun anakronis berbagai teori film sejak Christian Metz hingga Gilles Deleuze. Penggalian ini sangat fundamental untuk menemukan pokok-pokok kekuatan dan kelemahan yang menggerakkan proses PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 13

pencarian para pemikir, sineas dan kritikus. Selain itu, „arkeologi sinesemiotik‟ ini akan memperlihatkan dinamisme dialektika sinesemiotik dengan berbagai disiplin lainnya, bagaimana setiap proses tersebut sebenarnya mengandung bibit teori narasi atau konsep tertentu yang kemudian dieksperimentasikan dalam eksplorasi images baru yang menghasilkan persepsi ruang-waktu yang khas. Secara khusus, penulis akan menunjukkan proses berpikir dan representasi Deleuze dan bagaimana sikapnya terhadap kecenderungan teoritisasi para pemikir lainnya serta kekhususan teorinya dibandingkan teori-teori film lainnya. Kita harus bolak-balik memasuki pola-pola khas Deleuze dalam proses mengaitkan filsafat dan seni, filsafat dan film dan bagaimana semua ini menghasilkan struktur perseptual dan pengalaman baru dan time-images. Telusur ini akan pungkas dengan sejumlah formula dan kesimpulan yang mengarahkan kita pada kelaikan dan germinitasnya untuk diterapkan dalam gaya bertutur Garin Nugroho. Bab III melihat dan mendekati film sebagai artefak dalam sejarah perfilman di Indonesia. Puisi Tak Terkuburkan akan menjadi sentral dalam bagian ini. Kita akan melihat bagaimana seorang Garin khususnya lewat film ini memposisikan dirinya secara khas. Kita berasumsi bahwa Garin berjuang dan belajar keluar dari penjara ideologisasi simbol-simbol sekaligus menghidupkan kembali simbolisme-simbolisme privat dan publik yang sudah direkonstruksi regim Soeharto yang menginjeksikan instrumen-instrumen imagery reproducation14-nya. Mengapa Puisi Tak Terkuburkan istimewa? Mengapa Garin berbeda dengan sineas-sineas lainnya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kita akan berupaya merekonstruksi film ini menurut elemen-elemen penyusunnya yang nantinya sekaligus menjadi dasar bagi argumentasi berikutnya. Pokok-pokok Bab IV kemudian mengikuti perkembangan proses analisa sejak dari awal. Bagian ini merupakan upaya mendialogkan Garin dalam Puisi Tak Terkuburkan dengan corak berpikir Deleuzian. Kita akan melihat bagaimana tanda-tanda dan hubungan-hubungan antar tanda dipadurangkaikan secara tehnis- estetis yang kemudian memproduksi imagi-imagi tertentu. Imagi-imagi ini pada

14 Istilah penulis sendiri. Penulis membayangkan mekanisme clonning. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 14

gilirannya menghasilkan proses kesadaran tertentu. Ini semua sangat berkaitan dengan konsep waktu yang diproduksi, dikonsumsi dan didistribusikan dalam film dimaksud secara simultan. Dua level sintesa yang akan kita gulati adalah sintesa diskursif dan sintesa artistik dari paham time-image yang ditunaskembangkan Deleuze berhadapan dengan proses sinematik seorang Garin khususnya dalam Puisi Tak Terkuburkan. Analisa dengan demikian berada di level paradigmatik dengan fokus pada pengalaman waktu yang ditawarkan Garin Nugroho khususnya lewat Puisi Tak Terkuburkan. Pada bagian ini, penulis berharap akan berhasil memeras beberapa tehnik, konsep dan gambar baru yang ditawarkan Garin. Semoga juga kita berhasil menunjukkan kebaruan dalam proses mengkonsumsi karya audiovisual. Hal ini sangat penting karena kita akan mengkomparasikan sinesemiotik Garin Nugroho dan Gilles Deleuze khususnya pada bagian time-image. Dalam rangka bertemu, bertaut dengan sinaps-sinaps filmik baru ini, kita akan bertanya bagaimana dialektika Garin dan Deleuze bisa menghasilkan pola-pola sirkuit dan tanda-tanda baru dalam dunia sinema Indonesia khususnya dan sinematografi umumnya! Bab V adalah sintesa ringkas antara seni perfilman dan filsafat. Sintesa ini meliputi dua level yaitu level filosofis dan level artistik. Bagaimana tanda- tanda dan hubungan-hubungan antar tanda bisa diterapkan dalam dunia filsafat (umpan balik Deleuzian). Penulis akan berupaya memeras beberapa konsep yang dihasilkan dari dalam film sendiri namun dapat dikembangbiakkan dalam kultur filosofis. Proyek ini memuncak pada problematisasi bagaimana pertautan antara yang nyata dan imaginer dalam Puisi Tak Terkuburkan dalam konteks/perspektif Indonesia. Kita akan mencoba menemukan mata rantai kerja keras estetik- filosofis-ideologis seorang Garin dan upaya-upaya simboliknya merespon situasi- situasi yang sedang berubah dengan dasyat nir batas dan mengantisipasi impian kolektif bangsa ini: Indonesia Baru.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Bab II

Film Sebagai Diskursus:

Dari Saussure Menuju Semiotika Bahasa Film Hingga

Deleuzian Time-Image

Sebagai bagian integral budaya komsumtif dewasa ini, film justru menawarkan kausalitas terbalik. Barangkali dalam bayangan banyak orang, film yang sangat tergantung pada teknologi itu seharusnya muncul sebagai produk kreatif berbagai temuan di bidang mekanik, optik maupun kimiawi. Sayangnya, tidak demikian realitasnya seperti yang ditulis Andre Bazin dalam The Myth of

Total Cinema?1.

Muybridge seorang pecinta kuda di tahun 1877 dan 1880 berhasil mewujudkan hasratnya menangkap image derap seekor kuda dengan mereduksinya menjadi serangkaian gerakan pada lempeng-lempeng kaca. Hal ini hanyalah salah satu dari tiga komponen film yaitu simultanitas, emulsi2 kering dan wadah yang fleksibel (flexible base). Ketika kimia menemukan wadah yang lebih baik (gelatin-bromida dari perak), namun sebelum kemunculan gulungan seluloid

1 Andre Bazin, ―The Myth of Total Cinema,‖ dalam Gerald Mast, Marshall Cohen dan Leon Braudy (eds), Film Theory and Criticism. Introductory Readings (New York: Oxford University Press, 1992), hlm. 34-37. 2 Ira Konigsberg menjelaskan demikian, ―The layer of light-sensitive silver salts, suspended in gelatin, which is coated on the base of film. In color film, there are normally three separate emulsion layers, each also containing a chemical coupler sensitive to a different primary color. The latent image is formed in black-and-white film when the emulsion is exposed to light and made visible when the silver salts are transformed to black metal during developing. In color film the couplers are responsible for forming the colored image, which remains after the develop silver has been removed‖. Lihat Ira Konigsberg, The Complete Film Dictionary (United States of America: Meridian Printing, 1989), hlm. 103.

15

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 16

di pasar, Marey mendesain kameranya dengan menggunakan berbagai lempeng kaca. Akan tetapi, ketika akhirnya seluloid mulai dipasarkan, Lumiere pun berupaya menggunakan kertas film. Sementara itu, kita mencatat benih film sebenarnya sudah disemai sejak abad ke-17 dengan phenakistiscope3 atau zootrope.

Di sisi lain, ada sejumlah upaya ilmiah utamanya Plateau yang melakukan riset mendalam mensintesa gerakan-gerakan sederhana. Penemuan ini membuka jalan bagi berbagai penemuan lainnya. Optik juga memainkan peranan dengan menemukan betapa image bisa tertahan lama pada retina. Dan ilmu kimia secara independen berupaya menemukan cara melakukan fiksasi image.

Bagi Bazin, ini semua mengherankan mengingat semua yang dibutuhkan untuk menghasilkan gambar yang hidup namun harus menunggu hingga perkembangan-perkembangan industrial maupun ekonomi abad 19.

Perkembangan-perkembangan ini mengisyaratkan adanya penemuan-penemuan terpisah tak terkoordinir. Para penggagas film bisa dikatakan menjadi nabi yang memproyeksikan sebuah jaman seperti yang kita alami saat ini. Dalam imaginasi mereka, sinema dipandang sebagai representasi total dan sempurna dari realitas, sebuah rekonstruksi dari kesempurnaan ilusi dunia luar dalam suara, warna dan relief.

3 Phenakistiscope adalah sebuah mainan yang ditemukan Joseph Plateau di tahun 1832. Mainan ini memanfaatkan daya resistensi visual seseorang untuk menciptakan ilusi gerakan dalam sebuah rangkaian gambar yang berputar pada sebuah piringan yang berotasi. Penonton memegang piringan tersebut di depan kaca dan mengamati bayangan dari berbagai figur atau gambar itu melalui serangkaian celah kecil di sepanjang piringan yang bersangkutan (yang sekaligus mencegah gambar-gambar tersebut menjadi kabur). (Ibid., hlm. 259)

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 17

Sejarahwan P. Potoniee bahkan mengatakan bahwa bukannya fotografi namun penemuan stereoskopi yang masuk ke pasar di tahun 1852 sesaat sebelum upaya-upaya awal fotografi animasi yang membuka mata para ahli. Melihat obyek mereka diam tak bergerak dalam ruang membuat mereka berpikir bahwa apa yang mereka butuhkan adalah gerakan. Gerakan inilah yang menjadi kunci animasi foto mereka menjadi kopi alamiah kehidupan. Gagasan ini kemudian menjadi tuntunan penelitian dan eksperimentasi berikutnya.

Kita berhadapan dengan paradoks di sini. Sentralitas image secara historis maupun teknis pada dasarnya kebetulan. Setiap penemuan yang ditambahkan pada perkembangan sinema dengan sendirinya bergerak kian lama kian dekat ke originalitas ide akan gambar yang hidup. Atau dengan kata lain, film belum juga ditemukan! Hal ini kembali akan terlihat nyata dalam perjalanan film sebagai diskursus dan praktik estetik. Kita akan melihat bagaimana kawin silang antar disiplin dan berbagai peristiwa monumental melahirkan sejumlah gagasan yang membawa kita makin lama makin dekat dengan realitas sinematik. Pertumbuhan ini kemudian melahirkan banyak percabangan baru yang membuka berbagai alternatif dalam menformulasikan realitas sinematik seperti yang diimpikan para penubuatnya.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 18

A. Produksi Makna Saussurian

Bianglala semiotika film tak akan serumit sekarang seandainya Saussure4 tak pernah mendekritkan diktum semiotikanya. Mainan favorit para filolog yaitu berpuas-puas menjejaki sebuah kata atau suara secara evolutif (bagaimana sebuah kata atau suara muncul dan tumbuh selama berabad-abad hingga menemukan kestabilan bentuknya saat ini) terjungkir tanpa ampun. Para empu bahasa, demikian fatwa Saussure, bertugas menjelaskan bagaimana kata atau suara tertentu justru memproduksi makna. Faktanya makna atau signifikasi itu mandiri di luar sistem dunia benda alias berhubungan secara semena-mena tanpa kepastian dan dasar identifikasi. Sebaliknya, makna ada dan hanya berada dalam sebuah sistem yang memungkinan ujaran (utterance) diproduksi, dikomunikasikan dan dimengerti. Sistem ini adalah langue (grammar), sedangkan yang terujar dalam sistem tersebut adalah parole. Kedua hal ini saling terkait dan memberi batas ujaran yang mungkin (kapasitas komputasi sistem memungkinkan produksi bunyi dan makna sekaligus) maupun yang ‗terlarang‘ (tak memungkinkan dalam mekanisme sistem ataupun yang mungkin namun kosong makna).

Sebagai totalitas sistemik, bahasa berfungsi berkat jaring-jaring tanda signifier (bunyi aktual atau jika tersurat, tampilan atau materi kasat mata dari sebuah bunyi atau kata) dan signified (konsep atau makna). Hubungan signifier dan signified ini arbiter dan nir relasi pasti lurus. Di sisi lain, seakan-akan kata dan maknanya saling melibati mewujud dalam ketunggalan sebuah tanda. Paradoks ini

4 Silahkan baca Philip Rosen (ed), ―Introduction: The Saussurian Impulse and Cinema Semiotics,‖ dalam Narrative, Apparatus, Ideology: A Film Theory Reader (New York: Columbia University Press, 1986), hlm. 3–16.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 19

menyingkap fundamen tak sadar kolektif yaitu konvensi atau kodevikasi sosial yang berfungsi sebagai kanon sistem. Tanda dengan demikian adalah fenomena kolektif, sebuah entitas mental.

Lebih jauh lagi, Saussure meruntuhkan mitos nilai positif sebuah signifier.

Sebuah signifier bernilai hanya dalam hubungannya dengan setiap signifier lainnya dalam sistem yang bersangkutan. Ujaran diproduksi hanya setelah melewati filter seleksi yang menghilangkan potensi setiap signifier yang tak terpilih. Bukan apa yang ada (present) tapi apa yang tak ada (absent) yang menentukan! Makna mencuat justru karena ada perbedaan (difference) antar signifier. Bayi dan babi misalnya dua komponen dalam sistem diferensial bahasa

Indonesia yang memungkinkan makna muncul dari hubungan arbiter dua signifier y dan b.

Relasi negatif atau absensi ini tampak dalam dua aras primer. Pertama adalah sintagmatik (aras kombinasi) yaitu relasi-relasi gramatikal di antara tanda yang hadir dalam rantai pemaknaan (signifiying chain) konkret dan aktual seperti dalam kalimat. Aras kedua adalah paradigmatik (aras seleksi atau subtitusi) yang merangkum berbagai relasi di antara semua kemungkinan yang mungkin

(karenanya implisit atau absent) untuk setiap elemen dari sebuah rantai pemaknaan5.

5 Dalam bukunya, Yasraf Amir Piliang mencatat adanya enam prinsip yang mendasari pemikiran Saussure yaitu : (1) Prinsip structural. Saussure memandang relasi tanda sebagai relasi struktural, yang di dalamnya tanda dilihat sebagai sebuah kesatuan antara sesuatu yang bersifat material, yang oleh Roland Barthes—sebagai penerus Saussure—disebut penanda (signifier) dan sesuatu yang bersifat konseptual, yang disebut petanda (signified). Strukturalisme dalam semiotika tidak menaruh perhatian pada relasi kausalitas antara suatu tanda dan causa prima-nya, antara bahasa dan realitas yang dipresentasikannya, melainkan pada relasi secara total unsur-unsur yang ada di

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 20

Saussure tak pelak lagi menangguk pengikut dan kejayaan di berbagai lingkungan akademik. Gagasannya sangat original dan secara bersamaan juga menjadi pergulatan intelektual Pierce di Amerika Serikat. Yang terakhir ini mewakili aliran stukturalisme buah rahim mazhab Formalisme Rusia. Meskipun keduanya mengandung sejumlah perbedaan namun keduanya memulai era baru dalam dunia linguistik dan bahkan lintas disipliner. Muncul kegairahan baru dalam menata pengertian dan cara mempersepsi realitas linguistik dan realitas- realitas di luar linguistik. Sejak saat itu seakan segala sesuatu merepresentasikan corak produksi makna dan proses pemaknaan tertentu. Tugas menemukan

‗bahasa‘ dari suatu tatanan dan memformulasikan hukum-hukum (langue) yang mengatur proses-proses spontan ini menjadi sangat populer di kalangan komunitas akademik di berbagai tempat.

dalam sebuah sistem (bahasa). Makna adalah akibat dari relasi total yang ada dengan unsur-unsur lain secara total; (2) Prinsip kesatuan. Sebuah tanda merupakan kesatuan yang tak dapat dipisahkan antara bidang penanda yang bersifat konkrit atau material (suara, tulisan, gambar, objek) dan bidang petanda (konsep, ide, gagasan, makna). Meskipun petanda yang abstrak dan nonmaterial bukan bagian instrinsik dari sebuah penanda, akan tetapi oleh Saussure ia dianggap hadir (present) bersama-sama penandanya yang konkrit dan kehadirannya adalah absolut; (3) Prinsip konvensional. Relasi struktural antara sebuah penanda dan petanda sangat tergantung pada apa yang disebut konvensi yaitu kesepakatan sosial tentang bahasa (tanda dan maknanya) di antara komunitas bahasa; (4) Prinsip sinkronik. Keterpakuan pada relasi struktural menempatkan semiotika struktural sebagai sebuah kecenderungan kajian sinkronik, yaitu kajian tanda sebagai sebuah sistem yang tetap di dalam konteks waktu yang dianggap konstan, stabil, dan tak berubah. Dengan demikian, ia mengabaikan dinamika, perubahan, serta transformasi bahasa: (5) Prinsip representasi. semiotika struktural dapat dilihat sebagai sebuah bentuk representasi, dalam pengertian sebuah tanda merepresentasikan suatu realitas, yang menjadi rujukan atau referensinya. Ketiadaan realitas berakibat logis pada ketiadaan tanda; (6) Prinsip kontiunitas. Ada kecenderungan pada semiotika struktural untuk melihat relasi antara sistem tanda dan penggunaannya secara sosial sebagai sebuah continuum, yaitu sebuah relasi waktu yang berkelanjutan dalam bahasa, yang di dalamnya berbagai tindak penggunaan bahasa selalu secara berkelanjutan mengacu pada sebuah sistem atau struktur yang tidak pernah berubah, sehingga di dalamnya tidak dimungkinkan adanya perubahan radikal pada tanda, kode, dan makna‖. Lihat Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna, Bambang Sugiharto (kata pengantar), (Bandung: Jalasutra, 2003), hlm. 47–49.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 21

B. Semiotika Film : Saussurian atau anti Saussurian?

Saussure pasti sudah ‗gila‘ ketika mendesakkan praktek prinsip-prinsip semiotika dalam segala bidang. Semiotikanya mulai menuai keraguan dalam lingkungan terpelajar. Patutkah sebuah temuan menjadi bahasa paripurna setiap jenis proses tanda? Apakah semua sistem tanda pasti mengandaikan hubungan- hubungan arbiter antar siginifier sebagai unit-unit dasar yang kasat mata? Paling meresahkan adalah pernyataan bahwa signifikasi tak lebih dari efek diferensiasi.

Artinya, makna Saussurian adalah sebuah sistem yang sudah sempurna atau selesai dalam dirinya sendiri alias sebuah sistem tertutup. Teks yang diproduksi dalam sistem tertentu diperlakukan relatif sebagai totalitas yang koheren, dipahami tidak dalam dirinya sendiri (bukan entitas yang secara organis pungkas dan meliputi dirinya sendiri) melainkan hanya dalam hubungannya dengan sistem induk.

Tidak heran apabila semiotika Saussurian ini menuai kecaman dan lawan.

Akan tetapi, realitas ini sekaligus merepresentasikan dinamisme dalam proses perkembangan ilmu-ilmu sosial yang pada hakikatnya adalah proses melahirkan kreativitas dan produktivitas baru. ‗Pertanyaan Saussurian‘ mengalami transformasi drastis. Bukan lagi apa langue dari parole melainkan apakah langue dari parole per definisi sudah cukup?

Semiotika film mulai tamasya dengan pertanyaan serupa. Dapatkah film didefinisikan dalam perspektif langue dan parole? Menonton film-film klasikal tampaknya menimbulkan kesepakatan dengan penalaran strukturalisme. Akan

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 22

tetapi fakta visual dan visualisasi dalam film sungguh mengusik. Begitu sering gambar visual seolah identik dengan objek dunia nyata. Film juga menggunakan fotografi dan rekaman suara yang mustahil hanya representasi realitas (seperti model imitasi langsung Bazinian). Sebaliknya, itu adalah presentasi dari realitas.

Singkatnya, fundamen signifikasi sinematik tampaknya tidak mengandaikan struktur diferensi relasional.

Pertanyaan yang membuka gerbang kebuntuan ini adalah ‗apakah film itu sebuah bahasa?‘6. Christian Metz termasuk yang mula-mula menjawab dengan sistem semiotikanya sendiri. Metz menarik batas langue dan parole secara berbeda yang ‗mengusir‘ sebagian kemungkinan aplikasi konsep-konsep

Saussurean. Bahasa selalu melibatkan intersubyektivitas dan historitas sosio budaya tertentu. Bahasa muskil tanpa speaking public. Manakala bahasa adalah sistem tanda yang dimaksudkan untuk interkomunikasi seturut garis Saussurean, film sukar memenuhi kaidah ini. Komunikasi satu arah justru merupakan kekuatan film. Film adalah film terlepas dari bahasa induknya, tak ada kemungkinan mendeduksi bahasa film dari sumber yang melingkupinya. Yang bisa dilakukan adalah menciptakan bahasa tersendiri (bahasa film). Metz menyoalnya sebagai semacam bahasa (a kind of language) yang dibuat sepihak oleh pembuat film.

Kita tidak bisa melakukan semiotika film kecuali semiotika wacana film. Film adalah bahasa minus langue7.

6 Lihat Robert Stam, Robert Burgoyne dan Sandy Flitterman-Lewis (eds), New Vocabularies in Film Semiotics: Structuralism, post-structuralism and beyond (London and New York: Routledge, 1999), hlm. 33-37. 7 Robert Lapsley dan Michael Westlake, 1988. Film Theory: An Introduction (Manchester: Manchester University Press, 1988), hlm. 38–43.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 23

Gambar filmis sama sekali bukan tanda Saussurean yang wajib memenuhi ciri arbiter. Hubungan signifier dan signified justru saling rengkuh dan sudah mapan. Penonton tak punya kesempatan melakukan proses seleksi apalagi tawar- menawar bagaimana menghubungkan signifier dan signified sebuah tanda.

Hakekat filmis adalah reproduksi kondisi-kondisi persepsi (‘a block of reality’) lewat presentasi utuh replika realitas.

Bahasa film juga tidak mengandung artikulasi ganda yang menjiwai bahasa konvensional. Prinsip double articulation ini memungkinkan penutur memakai sejumlah tanda yang terbatas untuk keperluan tanpa batas. Tahap pertama menghasilkan bentuk. Bentuk ini kemudian diintegrasikan ke level yang di atasnya sehingga memunculkan makna. Kata adalah satuan tanda dalam sebuah sistem bahasa. Kata ini harus dihubungkan (secara sintagmatik maupun paradigmatik) dengan satuan-satuan tanda lainnya untuk menghasilkan makna melebihi sekedar tataran kata.

Passolini8 datang dengan semiotikanya sendiri. Benar seperti kata Metz bahwa film tidak mempunyai langue. Sinema adalah bahasa yang mengekspresikan kenyataan dengan kenyataan. Tak ada saringan baik simbolik maupun konvensional antara seseorang dan realitas seperti membaca sastra, misalnya. Lagipula, artikulasi ganda sangat nyata dalam sinema meskipun tidak menunjukkan ciri-ciri seperti dalam bahasa verbal. Fonem, katanya, adalah satuan linguistik terkecil setara dengan sinem (cineme) (obyek, tindakan atau peristiwa) yang merepresentasikan unit bungsu dalam bahasa sinema. Sejumlah sinem ini

8 Ibid., hlm. 43

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 24

mengelompok membentuk satuan yang lebih besar (frame) yang menjadi unit dasar signifikasi, setara dengan monem dalam linguistik umumnya. Frame kemudian ‗berbicara‘ berkat proses artikulasi kedua, berkat seleksi dan kombinasi berbagai obyek, tindakan dan peristiwa dari dunia nyata (elemen-elemen dunia nyata ini sendiri ia istilahkan ‗pro-filmic‘ artinya yang berada di depan kamera).

Akan tetapi, catat Passolini, sinem itu tanpa batas dan paling tidak tak terhitung.

Menangkap realitas secara filmis berarti menghadirkan benar-benar obyek nyata dan bukanlah sekedar gambar realitas sehari-hari9. Kita harus memilih dari antara jagat sinem. Mustahil ada film apabila anasir-anasir realitas tak tertangkap panca indra.

Passolini adalah sebuah upaya keluar dari cengkraman linguistik dan menemukan film pada dirinya sendiri. Ia berupaya menjelaskan hakekat tanda

9 Millicent Marcus punya catatan menarik soal Passolini. Katanya, ―To liberate the cinema from its complicity with prewar modes, Passolini posits an antinaturalist style with gives his images a mythic, quasi-sacred quality by replacing the deep fields and long takes of the neorealis9 with flattened planes, frontal shots, a static camera, and a fetishistic attachment to the photographic object. What entitles this style to the realist label is not a theory of history, as it was in the case of Visconti, nor a theory of phenomenology, as in the case of Fellini, nor again a psychological approach as in the case of Antonioni, but a semiotic theory, a theory of cinematic signs, which makes Passolini a conscious manipulator of the cinema‘s built-in powers of realist representation. …this theory argues that the lexicon of film images, or ―im-segni‖ concides with the infinite number of significant images that make up the real world, as well as the world of memory and dream. Unlike linguistic signs, or ―lin-segni,‖ which are finite elements in a code, these ―im- Segni‖ are countless, uncodified, and pregrammatical…As such, they give film an oneiric quality ―by reason of the elementary character of its archetypes (that is, once again, habitual and consequently unconscious observation of environment, gestures, memory, dreams) and of fundamental pre-eminence of the pre-grammatical character of objects as symbols of the visual language…Because film language is a direct transcription of these primal, pregrammatical images, it bears a special relationship to reality that no codified language enjoys… Since cinema is ―a system of signs whose semiology corresponds to a possible semiology of the system of signs of reality itself,‖ it is therefore ―the written language of reality‖ whose referentiality is entirely independent of symbolic or conventional mediations…. ―narrative structure itself the subject of the film, rather than anything it chose to relate‖ so that the ―formal parallelism create a self-enclosed world where everything has an assigned place in a predetermined structure whose very precision turns the film into a formal creation or, to use Pasolini‘s words, an ‗object‘ rather than a representation of reality‖. Lihat Millicent Marcus, Italian Film in the Light of Neorealism (United States of America: Princeton University Press, 1986), hlm. 245–249.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 25

dalam film dan hubungan signifier dengan signified. Gayung tersambut dengan kemunculan Umberto Eco10 yang mencoba menggunting tentakel Saussurean dengan gaya Eco. Alih-alih realitas, film menjamu penonton dengan sejumlah signifier yang terikat pada kodevikasi kultural yang membacanya sebagai sejumlah signified. Obyek, tindakan, peristiwa ataupun ragam bentuk interaksi manusia halnya bahasa tubuh Passolini tidak berada di atas kultur dan proses- proses kultural. Justru kebalikannya, setiap sinem tertenun rapi tak terpisahkan dari konvensi, kode, sistem dan bahkan ideologi! Secara tegas, Eco menolak analogi sinem dan fonem. Bagaimana mungkin ada pararelisme. Fonem hanya bermakna dalam kombinasi, bukan dalam dirinya sendiri. Sinem bermakna dalam dirinya sendiri, sebuah obyek yang tertangkap proses perseptual Meskipun begitu, Eco sepakat dengan Passolini kalau frame lebih dekat ke ujaran daripada ke sebuah kata.

Eco kemudian mengkritik Metz yang baginya gagal melihat bahwa gambar tidak melulu simulakrum atau duplikasi realitas dan karenanya non arbiter dan motivated. Realitas, papar Eco, adalah habitat kode-kode. Artinya, gambar eksis karena utangnya pada dinamisme kode dan pengkodean kultural. Kode-kode ini meliputi kode persepsi, transmisi, kode tonasi suara, kode ikonik, kode ikonik, kode ikonografis, style dan kode bawah sadar.

Mengatasi kelangkaan konseptual Passolini dan mandeg dogmatisme verba-sentris (upaya menganalisis bidang-bidang ekstra-linguistik seperti musik dan gambar menggunakan teori artikulasi ganda), Eco menawarkan proses

10 Robert Lapsley dan Michael Westlake, Op. Cit., hlm. 43-47.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 26

semiologis artikulasi lipat tiga. Total gambar dapat diurai menjadi satuan-satuan seme (satuan-satuan bermakna yang dapat dicerap dan diidentifikasi dalam dirinya sendiri). Seme ini masih lagi dapat diurai ke dalam tanda-tanda ikonik yang lebih kecil. Sebagai bagian dari sebuah kontinuum grafis, tak mandiri dan tak membentuk keunikan dalam dirinya sendiri, satuan ikonik ini hanya dapat dikenali dalam konteks seme yang bersangkutan. Tanda-tanda ikonik ini akhirnya dianalisis lagi ke dalam kondisi-kondisi persepsi (ikon sudut pandang, kelengkungan, tekstur, ragam efek cahaya, arsiran, dan seterusnya). Titik jenuh proses analisis struktural menemui akhirnya. Elemen-elemen tak bermakna dalam dirinya sendiri. Analog dengan fonem mungkin yaitu tanda-tanda ikonik didefinisikan melulu dalam terminologi diferensial dan oposisional. Akan tetapi, posisi satuan-satuan ini sangat esensial bagi proses konstruksi makna. Alterasi progesif pada titik tertentu bisa mengartikulasikan tanda ikonik yang berbeda.

Corak artikulasi kode sinematik yang unik inilah yang memungkinkan derajad realisme yang jauh lebih dasyat daripada jenis-jenis representasi non filmis.

Analisis foto (fotogram) atau Passolinian frame ini tidak berhenti sebaliknya baru menemukan momentumnya. Eco baru saja menyingkap aspek sinkronik dan siap melangkah ke aspek diakronik film. Level ini muncul berkat gerakan (gesture) atau proses yang menghasilkan figur sinetik (sinea). Sinea ini kemudian menghasilkan semimorfi yang merupakan satuan sinetik (tanda sinetik) yang setara dengan monem. Tingkat tiga proses artikulasi menemukan wujudnya.

Gagasan Eco sebenarnya mencoba mengurai dan mengakomodasi proses perpindahan dari tanda ikonik (dalam frame) ke tanda ikonik lainnya (dalam shot).

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 27

Tanda ikonik yang kedua ini ia sebut sinetik yaitu tanda yang timbul akibat gesture. Ia membongkar paradigma lama yang menetapkan frame sebuah gambar fotografis atau sel tunggal di atas seluloid. Padahal satuan-satuan fotografis itu sendiri bisa dikaji menurut semiotika foto yang kemudian menjadi gambar yang bergerak, yang hidup dalam film.

Dalam perkembangan selanjutnya, Eco melakukan otokritik atas teorinya.

Alih-alih mengabstraksi tanda yang tersusun dari unit-unit elementer dengan nilai- nilai tetap (yang menjadi landasan artikulasi lipat tiga), dia kemudian melontarkan terobosan bahwa tanda sebaiknya dipikirkan sebagai tanda-fungsi (sign-functions) yang menghubungkan sebuah satuan ekspresi dengan satuan isi dalam kurung proses pemecahan kode dalam rangka menciptakan sebuah tanda baru. Ini berlawanan dengan tanda sebelumnya yang nihil toleransi buah prioritas struktur di atas proses. Eco menyadari bahwa tanda tak bisa tidak sensitif terhadap konteks. Tanda bukanlah reproduksi maupun representasi realitas yang ada mendahului proses filmis. Produksi tanda adalah produksi dan konstruksi tanda yang imaginer. Analisa semiotik tidak lagi berkutat mengidentifikasi sejumlah artikulasi berbilang tertentu dalam interrelasi yang tertentu pula. Ketika film menyangkut konteks dan kontekstual, elemen artikulasi pertama mungkin saja menjadi elemen untuk artikulasi kedua atau sebaliknya.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 28

C. Gilles Deleuze : Dari Action-Image ke Time-Image

Tamasya kritis yang mempertanyakan keabsahan ‗kekaisaran Saussurian‘ di atas pada dasarnya masih berkutat dengan Saussurianisme meski dorongan untuk menerabas kebuntuan strukturalisme seringkali meledak-ledak. Semangat yang terasa adalah upaya melakukan modifikasi untuk mengkompromikan fundamen dasar Saussurian hingga anti Saussurian secara frontal. Ironisnya, pola berpikir yang dipakai belum bisa melepaskan diri dari pola Saussurian itu sendiri.

Akibatnya, bayang-bayang Saussurianisme dan ujung strukturalisme masih terasa kuat. Sementara itu banyak aspek filmis yang justru tidak bisa diakomodasi dengan pola berpikir seperti ini. Perlu daya dobrak yang kuat yang mengambil inspirasinya bukan dari linguistik Saussurian namun sepenuhnya dari dalam film itu sendiri. Semiotika seharusnya jangan hanya membongkar produksi maknanya secara langue namun harus berhadapan langsung dan mulai dari intisari filmis itu sendiri yaitu image. Kita buka babak baru semiotika film dengan Gillez Deleuze.

C.1 Durasi Bergsonian

Gagasan Deleuzian mengakar dalam konsep durasi yang ia pinjam dari

Bergson. Dalam berbagai tulisannya, Bergson menolak keras hidup yang direduksi ke dalam sebuah model intelek Dalam hubungannya dengan seni hidup

(the art of living), ia bertolak dari dua corak dalam berpikir. Yang pertama adalah corak intelek dan yang kedua corak intuitif. Masing-masing berbeda secara metodologis ketika berhadapan dengan pengalaman perjumpaan.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 29

Intelek adalah komponen kesadaran yang memungkinkan seseorang memahami lingkungan sekitarnya serta bertahan di dalamnya. Pola persepsi intelek yang berorientasi pada tindakan atau aksi sudah barang tentu esensial bagi kehidupan. Intelek membentuk teori dengan menempatkan dirinya dalam gerakan karena gerakan adalah realitas itu sendiri. Akan tetapi, ia mengaplikasikan arah yang berlawanan dari sifat dasar kehidupan. Ia selalu bergerak dari immobilitas seolah-olah immobilitas merupakan puncak realitas. Artinya, ketika ia berupaya mengekstrasi ide gerakan (mobilitas), ia melakukannya justru dengan mengonstruksinya berdasarkan asumsi bahwa gerakan itu terdiri dari serangkaian immobilitas yang bisa diukur secara spasial-matematis. Waktu dengan demikian menjadi dimensi ruang. Realitas pada akhirnya direduksi ke dalam sejumlah momen beku dan dari situ ia bekerja secara saintifik.

Bagi Bergson, cara ini mendiskreditkan kehidupan yang ditandai dengan mobilitas secara terus-menerus. Intelek tidak memiliki privilese akses ke dalam realita. Ia hanya mengerti realitas seturut kebutuhan dan kepentingannya dengan meniadakan berbagai dimensi realitas yang tidak menjawab hasrat eksistensialnya.

Sebaliknya, intuisi menjadi corak yang lebih memenuhi syarat untuk memahami kehidupan secara penuh. Kehidupan baginya ditandai oleh adanya pergerakan dan perubahan transisional tanpa henti. Setiap bentuk kehidupan adalah materi

(matter) yang eksis sebagai image yang didefinisikan berdasarkan rentang kemungkinan gerakannya (real ataupun virtual). Manusia adalah sebuah image atau obyek seperti berbagai image lainnya namun dengan kekhususan. Lanjut

Bergson, manusia sekaligus adalah pusat persepsi yang mengorganisasi

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 30

keberadaannya dalam hubungannya dengan setiap keberadaan di sekelilingnya. Ia juga adalah sebuah potensi yang mampu menghasilkan mobilitasnya sendiri.

Dalam hal ini, intuisi bekerja secara berlawanan dengan intelek. Bergson melihat bahwa dalam setiap pusat kehidupan (living center), ada potensi penundaan (a potential delay) antara momen persepsi dan momen tindakan yang ia sebut ‗wilayah penundaan‘ (zone of indeterminancy) ketika persepsi tidak serta diterjemahkan ke dalam tindakan. Semakin besar rentang wilayah ini, semakin besar pula akses subyek ke dalam realitas dan ke dalam berbagai alternatif dari aksis tindakan atau gerakan. Secara internal, corak intuitif memungkinkan seseorang mendapat pengalaman dan memasuki ragam kedalaman diri. Secara eksternal, ia memungkinkan subyek melampaui diri menggulati obyek dalam keseluruhannya.

Kedua hal ini menjadi pergulatan intuisi. Tidak seperti intelek yang berorientasi pada spasialisasi, intuisi condong kepada temporalitas atau duree 11.

Dengan kata lain, image selalu eksis dalam durasi. Setiap durasi sifatnya unik.

Karenanya, setiap image memiliki durasinya sendiri-sendiri. Durasi tidak sama dengan waktu karena baginya konsep waktu sudah mengalami fraktalisasi ke dalam komponen-komponen spasial (detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, dan seterusnya). Durasi adalah kapasitas untuk mengalami transisi atau perubahan, sebuah evolusi secara terus-menerus. Artinya, image selalu dalam proses (becoming process) menjadi dirinya pada dirinya.

11 Dur dengan pengertian di atas yang harus dibedakan dengan durasi yang merepresentasikan waktu yang bergerak linier atau satuan panjang waktu secara spasial.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 31

Dipandang dari sudut ini, intuisi adalah cara mengakses realita tanpa mediasi (unmediated) yaitu akses ke dalam berbagai daya (forces) atau energi di dalam obyek yang menjadi alas eksistensi. Ia dimotivasi oleh arah gerakan insting yang mengarah ke dalam, sebuah bentuk simpati yang sudah dilepaskan dari kepentingan ego (disinterested), sadar diri (self-concious) dan mampu merefleksikan obyeknya dan memperkembangkannya tanpa batas. Penting dicatat, bahwa intuisi itu tidak sama dengan durasi namun semacam gerakan yang memungkinkan subyek membubul keluar dari dalam durasinya. Dengan cara ini, tandas Bergson, relasi subyek-obyek yang membuka jalan bagi interkoneksi materi dan memori mengalami pergeseran tekanan dari obyek estetik menjadi tindakan penciptaan.

Pada titik ini, Deleuze mengambil jarak yang berbeda dari Bergson. Bagi

Bergson, aparatus sinematik yang ditandai dengan serangkaian snapshots realitas yang immobile langsung berkaitan dengan fungsi intelek. Berkat kamera, pergerakan maupun perubahan transisional diisolasi ke dalam fragmen-fragmen mati yang meniadakan berbagai nuansa tranformatif yang terjadi di antara frame.

Proyektor kemudian membuka kembali fragmentasi immobilitas ini dan merestorasinya menjadi sebuah ilusi gerakan yang kontinu. Akan tetapi, kata

Bergson, gerakan tersebut tidak lagi unik atau image kehilangan keunikannya sebagai obyek yang direkam. Gerakan tersebut kehilangan personalitasnya dengan tunduk pada logika regulasi keterukuran durasi. Pengetahuan yang menjadi target persepsi menjadi tidak lengkap dan sifatnya fragmentaris.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 32

Deleuze sebaliknya justru melihat potensi kehidupan image. Baginya,

Bergson keliru dalam melokalisasi persepsi sinematik dan natural pada kontinuum yang satu dan sama. Dalam aktualitasnya, proyektor memperbaiki ilusi gerakan tadi sejak dari awal justru dengan keterukuran re-animasinya terhadap image.

Film, katanya, tidak memberikan kita sebuah image yang kepadanya gerakan ditambahkan. Akan tetapi, film serta-merta mempersembahkan kepada kita sebuah movement-image. Benar, bahwa movement-image itu adalah partikular (a section) tetapi partikular yang bergerak, bukan abstrak dan immobile.

Maka berlawanan dengan Bergson, film bagi Deleuze bukannya representasi model rasionalitas. Pada dirinya sendiri, film memiliki potensi kehidupannya sendiri. Ia bukan sekedar model persepsi ataupun gambaran realitas yang direfleksikan. Dalam dirinya, film mampu menghadirkan segenap fluiditas gerakan dan temporalitasnya secara mandiri. Meskipun gerakan ini terkait dengan berbagai elemen formal dari ritme dan durasi dalam film yang bersangkutan, dia tidak bisa direduksi ke dalam sejumlah tehnik atau ke dalam image konkrit tertentu. Sama halnya dengan temporalitas yang ditandai oleh Deleuze di dalam sinema itu tidak bisa direduksi menjadi sebuah shot tertentu ataupun rentang momen tertentu dalam shooting, proses editing, proyeksi ataupun resepsi film.

Dengan begitu, Deleuze melakukan pencapaian teoritis yang revolusioner jauh melampaui psikoanalisis maupun semiotik yang meletakkan makna film di bawah permukaan tanda-tanda.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 33

C.2 Akumulasi Krisis dan Patahnya Proses Identifikasi

Setiap perubahan mendasar pasti punya basis material. Begitu juga halnya dengan kemunculan time-image. Revolusi Deleuze bertolak dari penemuannya akan adanya perubahan mendasar dalam filmmaking dan corak persepsi filmis.

Awal kisah adalah krisis yang terus-menerus menerpa action-image. Pemain film dan setting seolah ‗cerai talak tiga‘, nyaris terputus total. Pemain tidak lagi banyak memberi reaksi terhadap setting. Kontinuitas dan alur filmis tak lagi tergantung pada fungsi-fungsi motoris pemain12. Waktu yang tadinya tunduk pada logika dan ekonomi fungsi sensoris-motoris terlantar terlepas dari ikatan aksi dan situasi.

Waktu harus menemukan dirinya sendiri di tengah-tengah meningkatnya krisis movement-image. Akumulasi krisis tampak sangat jelas dalam bentuk trip atau balad, multiplikasi cliche13 atau ketika film mengandung sejumlah peristiwa yang nyaris tidak mendapat perhatian dari pemain-pemain yang justru menjadi target peristiwa-peristiwa tersebut.

12 ―In the old realism or on the model of the action-image, objects and settings already had a reality of their own, but it was a functional reality, strictly determined by the demands of the situation, even if these demands were as much poetic as dramatic (for instance, the emotional value of objects in Kazan)‖. Lihat Gilles Deleuze, Cinema 2, The Time-Image, Hugh Tomlinson dan Robert Galeta (trans), (Great Britain: The Athlone Press, 2000), hlm. 4. 13 Cliché adalah sebuah gambar motor sensoris (sensory-motor image) dari sesuatu. Seperti dikatakan Bergson, kita tidak pernah melihat benda atau gambar benda itu secara keseluruhan. Sebaliknya, kita hanya melihat apa yang menarik perhatian atau apa yang ingin kita lihat. Proses ini bekerja berdasarkan kepentingan-kepentingan ekonomis, keyakinan-keyakinan ideologis ataupun kebutuhan-kebutuhan psikologis. Oleh karena itu, kita pada dasarnya hanya melihat cliché. Cerita akan berubah sama sekali ketika skemata motor sensoris (sensory-motor schemata) kita macet, lumpuh atau terhalangi. Saat itu muncul tipe gambar filmis yang lain sama sekali: gambar yang sepenuhnya optikal dan suara (optical-sound image). Gambar ini sama sekali tidak dalam arti metaforis; ia secara literal menghadirkan hal itu sendiri (bahkan metafor juga adalah motor sensoris dan memberi kita sesuatu untuk dikatakan pada saat kita tak lagi tahu hendak berbuat apa). Yang hadir itu ekstrim horor atau sebaliknya kecantikan (keindahan), karakter yang radikal atau tak terkatakan karena gambar tak harus lagi ‗justified‘ baik buruknya. (Ibid., hlm. 20)

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 34

Renggang kaitan motoris tadi menyembulkan jenis gambar baru yang melulu optis dan suara sementara pemain hilang nafsu beraksi. Bagi penonton, tipe gambar ini melenggang masuk melulu lewat mata dan telinga. Penonton tidak lagi bisa mengidentifikasi diri dengan pemain yang menimpakan aksinya terhadap situasi seperti dalam film-film sebelumnya. Konstruksi gambar bukan lagi soal hubungan gambar itu dengan dunia eksternal dan subyek yang menyadari dirinya

(self-aware subject). Penonton tersedot larut dalam pergulatan tokoh-tokoh dalam film bukan via identifikasi, bukan sekedar terlibat namun dilibatkan seketika14.

Batas penonton dan tontonan mengabur, proses identifikasi patah.

Pembalikan seperti ini mungkin terjadi dalam konteks visual modern bukan sekedar ingin eksentrik atau tampil beda. Sesungguhnya kita menyaksikan antitesis dari proses dan logika film-film mainstream yang bertumpu pada totalitas, koherensi narasi dan kontinuitas temporal15. Dalam proses pembuatan sebuah film, seorang sutradara bekerja berdasarkan skenario yang terdiri dari potongan-potongan adegan (rational cuts) yang di dalamnya pemain film menjawab sebuah situasi atau peristiwa dengan sejumlah tindakan dan

14 Alfred Hitchcock boleh dibilang merintis inversi atau pembalikan identifikasi ini. Dalam film- filmnya, ia melibatkan penonton. 15 Tom Gunning dalam artikelnya menulis demikian, ―The narrative of continuity is unquestionably later than the previous genres. It is exemplified by a form often noted as a ‗genre‘ in early film –the chase film. In this genre the disruption of the cut is naturalized by a continuity within the story. Specifically this continuity is the actual movement of a character(s) that bridges the cuts. The end of one shot is signaled by characters leaving the frame, while the next shot is inaugurated by their reappearance. The disruption of the cut is as it were, smoothed over the continuity of the character‘s movement and the brief ellipsis of his action between shots is minimized rather than emphasized….But this form of continuity finds its complete expression in the chase film, in which the action of dashing from one locale to the next provides the narrative armature of the film‖. Lihat Tom Gunning, ―Non-Continuity, Continuity, Discontinuity, A Theory of Genres in Early Films,‖ dalam Thomas Elsaesser dan Adam Barker (eds), Early Cinema, Space Frame Narrative (London: British Film Institute (BFI) Publishing, 1990), hlm. 91.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 35

pergerakannya dari setting ke setting lainnya. Dalam dan lewat proses editing

(yang sekaligus menambahkan suara dan musik), potongan-potongan ini kemudian mengelompok berdasarkan satuan koherensinya (shot). Tiap satuan koherensi ini saling mengikat dengan satuan koherensi lainnya membentuk jalinan adegan (sequence). Ibarat sulap, proses ini akhirnya menghadirkan totalitas, kontinuitas, logika dan waktu.

Sebaliknya, tipe gambar filmis yang sedang dibicarakan Deleuze bekerja berdasarkan proses penciptaan yang sangat berbeda. Film bergerak dengan dan karena visualisasi dan suara (musik). Pemain lumpuh bicara, gagap motoris.

Rangkaian tindakannya dalam dan terhadap sebuah situasi tinggal kenangan.

Dalam sebuah adegan misalnya, seorang pemain tiba-tiba menemukan dirinya menyaksikan gumpalan-gumpalan awan panas menghitam dan turun gunung dengan kecepatan mengerikan ke arahnya. Seketika setiap otot terbajak, setiap sendi seolah terkilir. Lari atau tidak lari tidak ada bedanya. Tak sanggup ia menanti hawa pembunuh yang kian mendidihkan udara. Tapi dia terperangkap dalam jaringan daging, otot dan tulang; dalam dirinya sendiri yang seketika lupa apa yang seharusnya dilakukan. Sayup-sayup ada suara dalam batin yang menyuruh berlari. Tapi siapa yang akan berlari ketika yang menyuruh justru terkesima membatu menyaksikan puncak kekuatan alam?

Dalam situasi di seberang ambang batas, di seberang daya-daya perseptual, reaksi sensoris-motorik menjadi tak berguna. Tak ada repertoar sensorik yang sanggup menjawab situasi ekstrim mencengkram ini. Pemain terjerembab ke dalam dirinya sendiri. Respon sensoriknya lunglai. Ia tak sanggup menatap namun

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 36

tak berdaya mengelak. Dan segalanya berlangsung tanpa kata tanpa tindakan kecuali musik yang menggila manakala visualisasi menggigilkan. Pemain sejurus adalah penyaksi, saksi yang sejenak kehilangan akal kecuali mengalami situasinya dengan tatapan tanpa putus. Posisi pemain mengalami transformasi radikal ketika identifikasi itu sendiri dibengkokkan kepada dirinya. Ia menjadi semacam penonton (a kind of viewer)!

C.2.2 Potensi Kreatif Disintegrasi

Melemahnya ikatan-ikatan motoris ini memungkinkan film melepaskan potensi dasyat energi disintegrasi. Sutradara tidak lagi bekerja berdasarkan potongan-potongan rasional dan jaringan kaitan-kaitan logis. Ia berhadapan dengan sesuatu yang baru yaitu potongan-potongan di luar akal sehat (irrational cuts) yang mengelompok bukan atas dasar hubungan-hubungan kausal dan sekuensial.

Karena itu, seturut bahasa baru, kontinuitas yang ada itu sesungguhnya juga tak ada. Sepenuhnya musikal dan optikal membuat film bergerak dan tak bergerak sekaligus (false continuity). Akan tetapi, paradoks kontinuitas ini justru mampu melepaskan kekuatan-kekuatan kreatif non-rasional dari represi regim yang rasional untuk meluncur dengan rasionalitasnya sendiri. Ia bersama potongan-potongan yang tak bisa diantisipasi sebelumnya (unexpected cuts) itu menarik bagian-bagian dari sejumlah gambar untuk disusun kembali menjadi sebuah gambar yang diinginkan (pulling parts of images into a suggested image).

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 37

C.2.3 Munculnya Pikiran dan Time-Image

Pemain yang lumpuh dan sepenuhnya menjadi penonton tadi tertegun beku mengalami (gulungan-gulungan awan membara turun menerjang) apa yang memang dimaksudkan menerpa penonton. Pengalaman ini melibas habis kapasitas sensoris, tak tertanggungkan dan tak terbayangkan. Atau ia hanya bisa ternganga di depan sesuatu yang luar biasa indah jelitanya atau keterlaluan brutal tak adil yang segera meluap keluar dari ‗tangki persepsi‘ yang tak sanggup lagi menampung dan mengelola ultrarealitas ini.

Tatapan mengalami semua ini melalui beragam garis, permukaan, ukuran, warna dan suara yang terus-menerus membanjir menumpahkan kekuatan deskriptifnya seraya mengganti sekaligus menghapus-menciptakan ulang obyek yang bersangkutan (replacing while obliterating and recreating the very object).

Segala sesuatu sedang berlangsung sekaligus melambat hingga berhenti dalam keterpakuan tatapan yang mencengkram dirinya sendiri. Hingga kemudian, visualisasi gambar mencapai batasnya, absolut obyek kontemplasi yang secara simultan memutus mata rantai manualitas dan kontinuitas ruang-waktu.

Keterputusan ini ternyata sekaligus jalan bagi pembaharuan tataran konektivitas mental dan fisikal, real dan imaginer, subyek-obyek, dan akhirnya dunia (realitas) dan ego (kita) dari kebiasaan-kebiasaan proses mental sebelumnya.

Waktu dan pikiran yang tadinya tak tampak dalam film-film action-image menjadi elemen-elemen yang terasa, tampak dan nyata (from imperceptibel to be perceptible). Panca indera mau tidak mau langsung mengaitkan diri dengan waktu dan pikiran yang seperti ini. Panca indera semata menjadi tak memadai. Harus ada

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 38

mobilisasi pengertian untuk mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi. Yang filmis dan yang mental saling berbenturan. Konfrontasi dinamis antara ‗yang di luar‘ dan ‗yang di dalam‘ itulah yang mendorong atau memunculkan pikiran keluar. Deleuze melihat bahwa film sedang mengeksplorasi sebuah pikiran dalam dirinya sendiri dan mengeksplorasi sesuatu yang tak tadinya terpikirkan ada dalam pikiran tersebut (an unthought within thought). Pikiran mengalami transformasi dengan dilepaskan berbagai ‗pikiran tidur‘ dalam mikrokosmos pikiran.

Terjadi migrasi fundamental dari pengenalan otomatik atau habitual ke pengenalan mendalam (attentive recognition). Dalam proses mental yang pertama, kita bergerak dari satu obyek ke obyek lainnya seturut logika gerakan horizontal atau berdasarkan asosiasi impresi-impresi. Picu corak pengenalan seperti ini adalah ketampakan sebuah obyek dan subyek bergerak pada tataran yang satu dan sama. Dalam artian tertentu, subyek secara konstan mengambil jarak dari obyek.

Ia terkait hal atau obyek yang menarik perhatian subyek atau apa yang memicu reaksi atau tindakan sang subyek. Sifat kekayaan superfisial dan berasal dari fakta bahwa ia berasosiasi dengan sesuatu hal dan banyak hal lainnya yang mirip dengan hal tersebut pada tataran yang sama sejauh hal-hal tersebut mendorong gerakan atau reaksi serupa. Skema motorik-sensorik berfungsi sebagai agensi abstraksi.

Corak pengenalan kedua sepenuhnya membendung pergerakan horizontal.

Sebelumnya kita mempersepsi gambar motor-sensoris dari sesuatu. Tindakan persepsi ini menghubungkan penampakan perseptual (perception-image) dengan

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 39

action image. Pemodelan tindakan dilakukan berdasarkan rangsang impresi yang masuk seraya yang satu mulur menjadi lainnya.

Dalam kasus kedua, kita meninggalkan kebiasaan ekstensifikasi persepsi natural justru karena kita tidak mungkin melakukannya lagi. Gambar tidak lagi utuh atau mutlak seperti sebelumnya. Gambar bisa hanya sekedar deskripsi untuk mempresentasikan seorang karakter yang (seperti sudah kita lihat di atas) tidak lagi sanggup atau tahu bagaimana harus menanggapi ataup berreaksi dalam atau terhadap situasinya. Alhasil, pergerakan subyek merujuk obyek, kembali ke obyek seraya memberi tekanan pada sejumlah kontur tertentu dari obyek yang bersangkutan dan mengambil sejumlah kecil fitur khas darinya. Tiap kali kita harus memulai dari awal lagi saat kita hendak mengidentifikasi berbagai fitur dan kontur yang berbeda namun hadir secara simultan, misalnya, dalam suatu adegan.

Dan kita benar-benar selalu mulai dengan tangan kosong! Maksudnya, alih-alih menambah obyek-obyek baru pada tataran yang sama, kita sesungguhnya sedang menyaksikan bagaimana sebuah obyek tetap sama namun berlalu (passing) melalui sejumlah tataran yang berbeda-beda. Dalam kasus kedua ini, kita mengkonstitusi gambaran (dari sebuah gambar atau obyek filmis) yang sepenuhnya optikal dan suara (musikal) itu. Begitu gambaran tertentu masuk labirin perseptual dan bersenggama dengan berkas-berkas visual (recollection- image), kita serta-merta membuat deskripsi.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 40

C.3 Gerakan Ganda Cipta dan Hapus

Ada berlangsung fenomena bolak-balik yang sangat memikat hati dan sepenuhnya melibatkan penonton ini. Pikiran membumbul pada/lewat proses dan dinamika cipta dan hapus (the double movement of creation and erasure16).

Pikiran secara intensif berinteraksi dengan sejumlah kontur dan karateristik dari sebuah penampakan deskriptif sembari menghasilkan dan meniadakan secara kreatif dan original. Yang masuk ke dalam relasi itu adalah yang real dan yang imaginer, yang fisikal dan yang mental, yang obyektif dan yang subyektif, yang deskriptif dan yang naratif, yang aktual dan yang virtual.

Benar bahwa pasangan-pasangan ini total berlawanan satu sama lain. Akan tetapi, justru sifat yang saling menegasi inilah yang memungkinkan satu sama lain saling menubruk, saling merujuk dan merefleksikan tanpa kita pernah pasti mana yang mendahului mana.

Zone tertentu berkas-berkas memori neural (recollections), mimpi atau pikiran berkorespondensi dengan partikularitas dari obyek filmis yang bersangkutan. Dan setiap saat ini melibatkan sebuah tatanan perseptual (plane) atau sirkuit sehingga obyek atau sesuatu itu berlalu melalui sejumlah tataran atau sirkuit yang tak terhitung, yang masing-masing berkorespondensi dengan

‗lapisan‘ atau aspeknya sendiri-sendiri. Akibat dari dinamisme sirkuitasi perseptual ini adalah fenomena yang mencengangkan. Pola-pola perseptual yang independen itu membenturkan diri satu sama lain, yang satu hendak menghentikan yang hendak membatalkan eksistensinya, tanpa henti mengkontradiksi yang

16 Gilles Deleuze, Op. Cit., hlm. 46.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 41

sedang timbul seraya menciptakan simpul-simpul yang menyatukan. Proses bolak-balik ini terus saling mencipta dan meniadakan hingga titik tertentu

‗terpeleset‘ terjun bebas ke lembah nir beda (point of indiscernibility).

Keterpautan ini tanpa dapat dicegah seketika mengkonstitusi lapis-lapis dari realitas fisikal yang satu dan sama maupun tingkat-tingkat realitas mental yang satu dan sama pula, memori dan spirit. Proses pengenalan sepenuh perhatian ini

(the progress of the attentive recognition) memperbaharui tidak hanya obyek yang kena tatap tapi juga sistem-sistem sirkuital yang terus-menerus menggelembung ekspansif-intensif yang mungkin saja akan mengaitkan dirinya dengan kemajuan tatap mendalam tadi. Inilah jaringan kaitan sirkular antara gambar-gambar yang sepenuhnya optikal dan suara di satu sisi, dan di sisi lain, antara gambar-gambar dari waktu dan pikiran, di atas bentangan jalur–jalur sirkuit yang satu sama lain ko-eksis.

C.3.2 Sinema adalah Pengetahuan, Aktor adalah Medium

Penonton menghasilkan logika secara mandiri bukan sekedar mengkonsumsi logika atau rasionalitas para penulis/pembuat film. Proses filming seakan-akan tak pernah selesai memberi peluang besar bagi penonton untuk menghasilkan filmnya sendiri. Ada dialog antara pembuat film dan penonton.

Pergerakan bukan karena identifikasi dengan protagonis ataupun antagonis.

Identifikasi terjadi dari arah pemain ke penonton. Pemain seolah menonton bersama penonton atau bahkan ia menjadi pelihat untuk penonton. Keduanya sebenarnya melihat dengan tatapannya (gaze). Sinema bukan lagi upaya untuk

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 42

kenal (recognizing) namun meningkat drastis menjadi upaya untuk tahu, untuk mengetahui (the undertaking of knowledge17).

Sinema mentransformasi dirinya menjadi sains impresi visual. Tanpa ampun, ia memaksa kita meninggalkan habituasi retinal terdahulu dan melupakan logika sebelumnya sebab ‗anggur baru jangan dimasukkan dalam wadah lama atau wadah itu akan robek sementara anggurnya membanjir keluar.‘ Menonton menjadi pengalaman visionaris. Baik penonton maupun pemain sama-sama meraup pengetahuan dan aksi (action) semata-mata hasil melihat (action out of pure vision18). Pegalaman ini menempatkan fungsi melihat (seeing function) di atas fungsi motoris. Penonton dan pemain menjadi visioner.

Dengan status film seperti ini, pemain menjadi medium. Pemain sama sekali tak identik dengan acting. Para pemain film adalah mereka yang mampu menunjukkan (showing) dan melihat atau menatap (seeing) dengan aneka cara yang tidak hanya berbeda namun juga bervariasi. Mereka ada untuk merekam bukan memberi reaksi. Kapasitas motoriknya terlantar dalam kesia-siaan atau bahkan dia menemukan diri direduksi hingga nyaris nihil daya, konsekuensi logis dari ketidakberdayaan daya-daya motoris tindakannya.

Pemain tidak lagi tunduk pada hukum respons atau aksi.. Sebaliknya, ia justru jatuh korban dalam visualitas, dikejar oleh atau mengejar-ngejar visualitas dan bukannya terlibat dalam suatu tindakan motoris tertentu. Tubuh pemain

17 ―Pure optical and sound images, the fixed shot and the montage-cut, do define and imply a beyond of movement. But they do not strictly stop it, neither in the characters nor even in the camera. They mean that movement should not be perceived in a sensory-image, but grasped and thought in another type of image. The movement-image has not disappeared, but now exists only as the first dimension of an image that never stops growing in dimensions‖. (Ibid., hlm. 22) 18 Ibid., hlm. 18.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 43

berhenti menjadi subyek gerakan atau instrumen tindakan sementara waktu menyembul secara independen. Tiada gerak, tiada kata, tubuh sang pemain sekaligus pengembang dan penanda waktu (a developer and shower of time as well). Ringkas kata, ia sepenuhnya seorang pelihat (a seer), ia bukan agensi.

C. 4 Beberapa Kategori Deleuzian Lainnya

Pemikiran Deleuze meliputi periode yang panjang dan sangat beragam serta berwarna-warni. Salah satu benang merah yang bisa dijadikan penghubung adalah keprihatinan seorang Deleuze akan adanya kecenderungan penyeragaman pikiran dan/atau berpikir melalui image. Kita bisa melihatnya secara jelas dalam fenomena global Holywood (dan industri-industri film lainnya seperti Bolywood) yang mau tidak mau ‗mengajarkan‘ kita bagaimana mengkonsumsi, mengerti, menganalisis dan mengembangkan sinesemiotik seturut pilihan-pilihan teoritis dan praktik serta ideologinya. Dalam konteks cultural theories, Deleuze dan juga karya-karya bersaman menawarkan sejumlah alat konseptual untuk memikirkan ulang berbagai teks maupun paradigma-paradigma sosial yang sudah mapan.

Berbagai studi yang mereka lakukan tadi membawa cara-cara baru dalam memahami globalisasi dan geo-politik seraya bergaung hebat dalam ranah kesehatan mental, studi-studi jender, seksualitas maupun etnisitas. Terutama sejak kematiannya yang mengenaskan di tahun 1995, karya-karyanya terus-menerus mempengaruhi pemikiran kita di bidang seni fraktal, creative writing dan musik elektronik yang bisa dilihat dalam berbagai situs resmi maupun underground

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 44

ataupun yang sangat kental aroma counter budayanya selain di berbagai majalah maupun perhelatan budaya.

Sebenarnya, penghargaan terhadap pikiran-pikirannya di pertengahan 90- an terhitung terlambat. Dekonstruksi, pendekatan teoritis yang mendominasi sastra, sudah terlebih dahulu berkembang sebagai musuh utama strukturalisme.

Meskipun secara politik mereka sebenarnya sesuara dengan dekonstruksi, rupanya pikiran-pikiran itu tidak mudah diasimilasi begitu saja. Akibatnya, capaian- capaian teoritis mereka terpinggirkan dan kembali mendapat perhatian setelah dekonstruksi mencapai ‗batasnya‘. Dekonstruksi memang sudah meretas jalan untuk ‗menyelamatkan‘ pikiran yang dideterminasi secara eksternal ini namun ia minus jalan keluar dan optimisme.

Deleuze menawarkan aneka jalan yang belum terpikirkan sebelumnya untuk memetakan imanensi pikiran, tubuh dan dunia dan untuk mengevaluasi kembali sastra, film dan berbagai bidang lainnya. Dia berpendapat bahwa otak kita merupakan perwujudan (embodiment) dalam aliran tanpa henti dari dunia material. Film, sastra, filsafat dan politik masing-masing merupakan proses pikiran yang diwujudkan secara khas. Hal inilah yang ia sebut dengan machinic assemblage yaitu dinamisme interkoneksi dari berbagai elemen yang tetap mempertahankan yang khas dari dirinya. Hal ini menggeser gagasan Cartesian menyangkut binari subyek-obyek Sifat mendasar dari dinamisme tanpa henti ini adalah pembentukan berbagai assemblage baru (prinsip multiplikasi) dengan berbagai assemblage sosial maupun kultural yang melibatkan gerakan/pergerakan, daya (force), kecepatan, ritme dan intensitas pada level material. Artinya,

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 45

machinic assemblage dari teks dan pembacanya merupakan sebagian dari realitas aliran energi abadi daya-daya material melalui waktu.

Konsekuensinya, persepsi itu lebih merupakan reaksi instingtif daripada intelektual (visceral) dan langsung dan bukannya secara subyektif sebagaimana dalam gagasan Freudian/Lacanian yang banyak mempengaruhi teori-teori film.

Kita berpikir maupun merasa secara langsung berkat atau melalui gerakan

(movement) pada ujung-ujung saraf kita berkat sensasi yang sedang berlangsung.

Dengan pandangan yang spektakuler ini, Deleuze menggantikan gagasan mengada

(being) menjadi proses menjadi (becoming) yang juga sesuai dengan prinsip machinic assemblage di atas. Bagi Deleuze, becoming adalah tarik-menarik ekstrim (extreme contiguity) dalam proses penyatuan dua sensasi yang berbeda satu dengan lainnya. Olah pikir seperti ini mengatasi pembagian binaris dan memungkinkan terjadinya berbagai transformasi tanpa henti yang meleburkan subyek dan obyek yang berada dalam jarak yang relatif berdekatan .

Gagasan Deleuze ini bersandar pada gagasan sistem sebagai entitas yang hidup. Sebuah sistem yang hidup selalu berada di antara sistem-sistem yang hidup lainnya. Interaksi multi dimensi tak terelakkan dan proses machinic assemblages menjadi keniscayaan. Dalam konteks menjadi Deleuzian (Deleuzian becoming), subyektivitas dengan demikian terjadi pada level molekul dan bukannya terdefinisi menurut kaidah-kaidah libidinal-psikis ataupun linguistik. Dalam proses ini, sensasi mengakibatkan berbagai affective image akan mengalami stimulasi secara terus-menerus. Affective images mengalami vibrasi secara intensif yang merupakan kebalikan dari action-image yang bergerak secara ekstensif.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 46

Percabangan demi percabangan, asssemblages demi assemblages ini dalam proses menjadi yang terus menerus ini memungkinkan pikiran mengalami provokasi hebat. Pada gilirannya, provokasi ini memungkinkan ‗pikiran di luar pikiran‘ resmi atau yang sudah ditentukan secara eksternal (yang menjadi keprihatinan

Deleuze dan Guattari) muncul. Dalam konteks menonton film, misalnya, pikiran merupakan perwujudan dari kesadaran penonton yang berpartisipasi dalam proses menjadi pada level material.

Pada titik ini, kita menyadari bahwa untuk mengembangkan pemikiran

Delezian ini secara proporsional serta untuk juga mengapresiasi Puisi Tak

Terkuburkan secara maksimal, kita tidak bisa tidak harus melakukan dua hal secara simultan. Yang pertama adalah proses analisa itu sendiri dengan memakai berbagai kategori Deluzian yang sudah kita cermati bersama serta yang akan kita temui dalam perkembangan selanjutnya. Yang kedua adalah film itu sendiri harus hadir secara simultan sebagai bagian integral dari pengalaman intuitif tadi yang bertumbuh-bertunas-bercabang menurut sang Sutradara. Artinya, analisa akan bersanding dan berdialektika dengan proses filmik Puisi Tak Terkuburkan (dalam hal ini secara retelling).

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Bab III

Menguak Bahasa Film Garin Nugroho

Seperti menonton episode hidup dalam mimpi yang sangat meresahkan, begitulah salah satu perasaan yang mencuat selama menonton film Garin Nugroho yang satu ini. Dari judulnya Puisi Yang Tak Terkuburkan, kita seolah diajak sang sutradara untuk bernostalgia dalam indahnya puisi hidup. Banyak puisi yang lahir berkat pergulatan sejarah berhadapan dengan intelek dan emosi yang hendak mempertanyakan kondisi jamannya. Tapi ada jenis puisi lain yang spontan mengalir sehakekat dengan penghayatan hidup. Puisi ini hendak menafsir dan mencurahkan perasaan dan semangat manusia yang mengalami hidup begitu mendalam. Biasanya ini merupakan wilayah para seniman. Itulah semangat sang seniman didong Ibrahim Kadir yang menghidupi bumi Aceh dengan syair-syair yang mengakar dalam karakter tanah rencong. Puisi ini berkawan dengan sawah, kodok, suara jangkrik dan lompatan belalang. Puisi ini bermesraan dengan sungai- sungai yang mengalir menghidupkan bumi yang selalu memberi makanan dan minuman. Ini puisi manusia yang hidup.

Keakraban manusia dengan budayanya merefleksikan proses penciptaan sang manusia karena ranah sensorik dan intelek, emosi dan spiritual melibati dunia imaginer dan nyata begitu intim. Mustahil kelebat kelewang dan pekak mesiu sanggup membenamkan puisi seperti ini. Di manakah kuburan itu kalau bukan dalam benak orang-orang Aceh? Puisi ini lahir dalam kerinduan akan

47

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 48

ekspresi jiwa dan dibenamkan dalam-dalam menjadi kepribadian. Siapa yang bisa merogoh ke dalam labirin teramat kompleks seperti ini?

Tapi begitulah kebebalan dan keserahkan. Sejarah bertabur pemberontakan terhadap kenyataan puisi hidup dalam kesadaran manusia. Bukannya cinta pada kehidupan tapi seringkali justru cinta pada kematian menjadi tolak ukur dan titik balik historis. Manusia memang masih kanak-kanak dalam menerima kenyataan dirinya sendiri. Pengingkaran adalah corak psikologis yang seringkali bersifat massal. Dan kengerian merajalela tanpa ampun. Manusia siap menjadi mesin pembunuh, menjadi alat dari ide-ide ciptaannya. Tahun 1965 menjadi gemetar mengingat semua ini. Tahun 1965 lebih memilih melupakan daripada menyimpan memori yang menjadi puisi kematiannya.

Berliter-liter darah segar anak bangsa ditumpahkan. Bagaikan antrean ternak ke tempat pembantaian, seantero negeri ini harus menjadi pelaku dan korban sekaligus. Nafsu orgi bersepakat dengan tawarnya batin. Negeri ini gila bersorak-sorai menyambut setiap kepala yang berguling lepas dari tubuh yang menyangganya selama ini. Negeri ini seakan lupa menangis saat darah muncrat di mana-mana. Berjalan pun harus hati-hati karena bisa tergelincir timbunan merahnya darah. Hidup dan mimpi buruk, apa bedanya? Lebih baik tidur panjang dan tak bangun lagi.

Tapi sekali lagi, kuburan itu ada dalam benak manusia. Para desainer orgi

1965 demi pendirian suatu regim baru, regim yang katanya setia pada Pancasila dan UUD 1945 itu, regim rakyat, seakan hendak menenun puisi baru dan dengan kasar menjejalkannya ke dalam benak bangsa ini. Mereka pikir benak manusia PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 49

Indonesia harusnya direkayasa ulang. Benak mutan ini lalu dikontrol dengan aneka instrumen dan penciptaan mitos-mitos baru. Regim itu bernama Orde Baru yang berkilah berdiri di atas „kegagalan‟ Orde Lama. Regim ini berkepentingan memprediksi proses dan hasil reproduksi benak yang sudah direkaya ini menjadi puisi-puisi hidup baru dengan standar-standar yang sangat terukur.

Tapi tidak kata sang sutradara. Tidak, kata Ibrahim Kadir sang seniman puisi hidup. Benak manusia itu terlalu misterius. Ideologi hendak mengubahnya dalam hitungan tahun? Ada terlalu banyak bilik rahasia dalam relung tersembunyi manusia. Itu sebabnya manusia itu hidup dan bukan bergerak saja mati tanpa perasaan. Puisi yang asali itu tak terkuburkan!

Teror kematian memang bisa menghentikan spontanitas benak. Tapi sudah wataknya sang benak untuk subversif. Orang bisa tercekam tak sanggup berbuat apa-apa lagi. Tapi siapa yang bisa benar-benar menghancurkan ruh yang terlindung rapat-rapat itu? Giling lumat-lumat seseorang. Jangan sisakan sama sekali. Dan terimalah kenyataan bahwa ada selalu bagian dari dirinya yang akan terus hidup dalam benak para sahabatnya. Puisi hidup itu tidak soliter, ia berbagi dan saling memeluk dengan sesamanya. Ia adalah jaring-jaring kehidupan itu sendiri. Ia adalah denting kemanusiaan. Dengarlah kata-kata Ibrahim Kadir di akhir film kepada dua pegawai jaksa soal hakim yang dulu menjatuhkan hukuman keliru (seolah mereka berdua hendak minta maaf padanya). “...Itu aku tidak perlu kudengar. Aku mau ke danau mancing!”

Kata-kata Ibrahim Kadir ini memaksa kita untuk melongok Puisi Tak

Terkuburkan bagian demi bagian. Bagian pertama akan membedah jalinan dan PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 50

proses seorang Garin Nurgoho mempresentasikan filmnya yang dikatakan adalah tafsiran sejarah seorang korban sekaligus saksi peristiwa 1965 ini. Kita akan berusaha menghadirkan sistematika film tersebut dan bagaimana sistematika itu menghasilkan apresiasi justru dengan mengaduk-aduk afeksi dan nalar penonton.

Semua pengalaman menonton akan ditumpahkan bersama pergulatan mengerikan para karakter dalam film ini.

Adukan perasaan dan nalar yang membangun sejumlah impresi audio- visual ini tentu memerlukan teropong analisa tertentu. Proses semiotik mendapat tempat yang istimewa untuk „mencerai-beraikan‟ dan menyatukan kembali mayoritas penggal paparan dan simpul yang terbaca dalam film ini. Ini bakal mencerminkan sebuah perjalanan proses kreatif sutradara sekaligus proses reintegrasi pengalaman menonton ke dalam struktur baru pemahaman yang lebih komprehensif.

Secara alamiah, intensitas proses biasanya membubulkan jenis pengalaman tertentu. Jika film secara semiotik adalah kisah konseptualisasi ruang- waktu imaginer, proses bergulat ini akan berujung pada pengalaman waktu secara khusus. Pertanyaan mendasar adalah bagaimana Garin merangkai gambar-gambar dan segala sesuatu di dalamnya menjadi presentasi ruang-waktu imaginer namun berhasil menyedot kesadaran penonton sehingga menghayati semua proses ruang- waktu sebagai ruang-waktu yang „nyata?‟ Ketersedotan tanpa ampun ini sudah pasti merepresentasikan bahasa film sang sutradara. Bagian pertama dari Bab III akan berakhir di sini. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 51

Pada bagian kedua Bab III, penjelajahan akan mulai mendapat momentumnya. Kita akan memeriksa secara mendalam gambar-gambar apa yang khas dan menjadi andalan Garin dalam proses kreatifnya. Kita harus merasa yakin betul bagaimana dan mengapa Garin bisa dikatakan berhasil „mendominasi‟ benak penonton dengan gambar-gambarnya. Secara Deleuzian, kita akan juga bertanya apakah gambar-gambar tersebut banal (biasa) atau memang mengandung sesuatu yang baru dan memungkinkan refleksi filosofis tertentu1.

A. Kontradiksi, Fragmen Visualisasi dan Dialog Internal

1. Trauma : Fiksasi Ruang-Waktu dan Pergolakan Perseptual

Seperti Aceh 26 Desember 2005, tsunami melontarkan energi kinetiknya mengganyang setiap penghalang sodokan dasyatnya. Pagi yang damai terbelah juluran lidah-lidah asin. Daratan bukan untuk hunian lagi. Laut sedang menuntut wadah baru tak peduli berapa nyawa harus tumbang. Gairah pembunuhan ini untuk dilampiaskan. Musnah sudah banyak harapan. Musnah pula kejayaan yang sekarang bernama masa lalu. Realitas adalah kenyataan. Bangkai dan sampah menyisakan sedikit perbedaan. Dan yang masih hidup kebanyakan tak sanggup peduli.

Bagi kebanyakan para korban apalagi penyaksi langsung bah yang memasuki kota bertabuh genderang geram volume air di luar bayangan, tsunami

1 Boleh dibilang, seturut prinsip Lacanian bagian pertama adalah fase cermin (mirror stage) yaitu ketika pengalaman menonton itu terjadi secara spontan dan terjadi proses identifikasi secara keliru. Sebaliknya, bagian kedua mencerminkan fase simbolik-ilmiah ketika pengalaman menonton dipresentasikan dan dikomunikasikan secara sistematis dan proses penafsiran sanggup mentransformasikan pengalaman estetis ke formulasi filosofis. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 52

adalah fragmen yang sanggup merampas nyaris semua mata air eksistensi, kenangan dan pikiran. Tsunami ibarat pencuri di siang bolong yang sekaligus merompak dan memperkosa mayoritas sirkuit psikis. Waktu seakan menganga menelan setiap pola perseptual lama menyisakan kekosongan jiwa dan jutaan tusukan batin. Sesaat eksistensi terpaku hanya menatap tak berdaya, tak percaya.

Waktu terjerumus ke dalam pola-pola biopsikis korban yang sesaat hanya melihat hampa dalam belitan kengerian. Tatapan menatap sementara waktu secepat kilat melenggang masuk bersama sang teror. Bagi sebagian orang, luka ini terlalu kuat bahkan permanen hingga hari ini. Waktu mengalami fiksasi. Dan fiksasi ini menentukan pola-pola perseptual saat ini. Begitulah trauma menjadi kelekatan obsesional, menjadi pola instingtual yang sanggup meluluhlantakan pola-pola sebelumnya. Trauma menjadi „kuasa hitam‟ yang bergerilya tanpa lelah seraya memerintah dari dalam.

Barangkali sebuah kebetulan ketika Garin Nugroho bicara lewat mulut

Aceh namun untuk segenap bangsa ini. Puisi Tak Terkuburkan seakan hendak menembus lapisan paling pekat sejarah republik ini. Trauma bukan untuk diingkari, apalagi peristiwa sesensitif 1965 yang kadung membekas dan sempat selama regim Orde Baru hendak dijadikan adikarya dalam proses penciptaan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 ini.

Film dibuka dengan klaim bahwa ini adalah tafsiran sejarah oleh seorang seniman didong yang bersama Ibrahim Kadir. Pembukaan ini seakan hendak meyakinkan penonton bahwa ini adalah film tentang persepsi Ibrahim atas peristiwa salah tangkap yang menimpa dirinya dan catatan kesaksiannya saat PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 53

dipenjar dulu sebelum dibebaskan kemudian. Tak tanggung-tanggung, Ibrahim langsung muncul di pembukaan memimpin sejumlah orang bersyair bertabuh.

Lalu Ibrahim bersaksi bagaimana „tata laksana‟ penjagalan. Ibrahim memang benar-benar seorang aktor alamiah. Dia seakan sedang berdialog langsung atau tanpa peduli dengan kehadiran penonton, begitu rileks dan tanpa beban namun tak urung penuh emosi. Kisahnya,“Di situ pertama kali aku lihat cara membunuhnya, cak! putung..., bergelepar saya....” Begitu juga di akhir layar, Ibrahim muncul untuk terakhir kalinya mengungkapkan hidupnya yang diisi dengan syair dan sepoi-sepoi danau tempat ia memancing.

Bergulirlah wajah-wajah ketakutan atau penuh kecewa kontras dengan wajah garang sang sipir yang praktis hanya membentak meski terkesan kurang percaya diri. Ada kekuasaan yang memungkinkan mereka bersikap garang atau harus bersikap garang sekedar menjaga demarkasi antara penjahat dan aparat penegak ketertiban ideologi resmi. Garin memang menyorot wajah-wajah biasa dari kalangan biasa minus petinggi militer atau sosok sosial ternama. Apalagi para tahanan wanita yang nyaris tanpa latar belakang dan karakterisasi yang berarti.

Seperti mimpi, fragmen-fragmen saling bertumpuk membentuk logikanya sendiri. Garin bergerak dari sel laki-laki ke sel wanita dan seterusnya. Seringkali kaitannya terasa ngambang namun toh tetap ada jalinan. Yang terpenting adalah jalainan itu justru menenun dirinya dalam benak penonton. Para tahanan seakan hendak memerankan porsi visual dan audio tertentu. Sementara itu, benak penonton justru menjadi lokus seluruh karakterisasi dan peristiwa. Garin seakan hendak menggugah dan membangunkan trauma 1965 (entah dalam bentuk apa PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 54

itu) dalam benak penonton. Ini bukan tontonan biasa memang tapi tontonan tarian trauma dalam benak sendiri. Diri mencengkram dirinya yang dengan sukarela mengalami proses ulang traumanisasi. Tapi untuk apa?

Dialog-dialog antar tawanan menjembatani arah tafsiran subyektif seorang

Ibrahim Kadir atas peristiwa ini. “Hasan!” teriakan sipir membahana menyebutkan beberapa nama. Lima tahanan baru digiring masuk setelah derit terali membuka pintu sel. Deru truk pengangkut menjauh sementara kamera memusat pada Ibrahim yang lunglai memasuki „rumah barunya‟ untuk beberapa hari ke depan. “Apa istriku tahu aku di sini?” tanya Ibrahim sambil duduk entah pada siapa. Lalu sayup-sayup senandung lagu terkenang padamu mengisi ruang.

Film bergerak seperti ini nyaris monoton namun dialog-dialog seakan memaksa kita memikirkan ulang trauma 1965 dengan cahaya baru. Di tengah- tengah kesesakan yang paling pahit dan menyisakan terlalu sedikit harapan itu, lalu-lintas kata sempat menuai pengertian, kegembiraan, romantisme bahkan harapan. Kalau penjara dan kelebas kelewang menjadi andalan ideologi kekuasaan, cakap-cakap yang paling biasa ternyata bisa menjadi kontras yang efektif meski ironi dan kepiluan tak bisa dihilangkan. Percakapan yang jujur seperti itu ternyata bukan sekedar sejenak membuat lupa kengerian yang begitu nyata. Ia sanggup membangkitkan memori yang menyalakan semangat dan harapan akan masa depan. Seperti kata El Manik kepada Ibrahim Kadir, “Dalam keadaan tertekan seperti ini, semuanya bisa jadi berarti....” Atau seperti pelajaran tarian menampi dan menyambut kekasih Mak Tua pada si Juwita. Begitu indah mereka berdua gemulai menampilkan kontras dua generasi, kontras lekak-lekuk PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 55

tubuh, kontras reaksi terhadap kondisi keterpenjaraan mereka. Dan mereka berdua membawa para tawanan wanita untuk bersorak kenes untuk berbagi cerita percintaan mereka yang teramat sederhana namun penuh romantisme membara.

“Pertama kali kenal dengan suamiku di hutan.....” kata seorang “Aku lain lagi..., kami ketemu di kebun kopi.....” timpal yang lainnya.

Tahanan pria pun tak kalah genitnya. Keindahan kisah taksir-menaksir dan strategi lelaki menggaet sang pujaan bukan sekedar selipan namun salah satu puncak fragmentasi film ini. Penonton mau tidak mau terseyum bahkan mungkin teringat kisah sendiri! Kemiskinan reaksi pemain pada setting justru membuka peluang penciptaan intensifikasi dialog internal dalam diri penonton. Penonton bukan berharap dan memprediksi adegan selanjutnya (seperti pengalaman menonton film-film mainstream). Sebaliknya, film ini seakan hendak menciptakan ketegangan saat penonton mau tak mau melongok ke dalam benaknya sendiri kontra harapan dan prediksi adegan selanjutnya harusnya seperti ini atau seperti itu.

Sudah hukumnya bahwa secara psikologis trauma hanya bisa diatasi oleh individu atau komunitas yang bersangkutan. Tak ada obat untuk jenis fiksasi ruang-waktu seperti ini kecuali diri sendiri berani mengalaminya sekali lagi secara berulang-ulang. Jalan paling singkat adalah dengan menggali dan mengorek kembali luka batin itu secara menyeluruh dengan perspektif baru. Tidak ada jalan memutar kecuali hendak mengingkari atau menipu diri. Lupa memang bisa berakibat positif. Tapi lupa juga mengandung dimensi hilang kepekaan alias amnesia terhadap peristiwa traumatis. Puisi Tak Terkuburkan sengaja atau tidak PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 56

merepresentasikan upaya sineas menggolakkan kembali arus psikis yang sudah sempat terkurung itu.

2. Perbedaan Reaksi Para Tahanan Perempuan dan Laki-Laki

Dari reaksi fisikal yang sangat sedikit dan banyak-padatnya reaksi sensorik serta verbal emosional itu, kita mencatat adanya perbedaan antara reaksi para tahanan perempuan dan laki-laki. Para lelaki terkesan lebih pasif dan meratap meskipun dialog-dialog mereka seolah merefleksikan kematangan intelektual tertentu. Garin tampaknya sengaja atau tidak sengaja memberi porsi „kepala dingin‟ pada para lelaki dan „emosional‟ pada para perempuan.

Akan tetapi, justru para perempuan khususnya Mak Tua dan Juwita di dapur itu tampak lebih tegar dan mampu memberi reaksi yang lebih terhadap situasi yang ada. Memang mereka diposisikan secara domestik yaitu mempersiapkan makanan termasuk membagikannya serta mempersiapkan karung- karung goni (membeli di pasar dan melipat kembali karung-karung goni sehabis eksekusi) untuk menutupi wajah para tawanan yang kejatuhan jatah dieksekusi.

Akan tetapi merekalah yang justru berani menghadapi sipir secara frontal (saat

Mak Tua itu menolak bekerja lagi dan mau ikut dengan semua kerabat dan keluarganya yang sudah duluan ke alam baka) maupun secara personal-langsung

(Juwita).

Juwita juga lebih memilih ikut Mak Tua yang memberikan selendangnya kepada dia sebelum diekskusi. Saat sang sipir menyerahkan kain bulan-bulan katanya, “Ibu Tua menitipkan kain bulan-bulan ini untukmu supaya kamu bisa PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 57

menari dengan gembira.” Juwita menerimanya sepenuh hati, memandangnya lapat-lapat kemudian membungkus bahu dan dadanya sambil merasakan cinta sang ibu yang begitu hangat mengajarinya berdendang. Perlahan terdengar nyanyian para wanita seperti saat Ibu Tua masih hidup. Dia bergerak dalam keperihan selaksa sembilu. Matanya nyaris menutup dalam trance yang dalam memedihkan. Jangan tanya lagi sedu-sedannya yang membungkukkan badannya hingga bersimpah ke lantai sementara suara truk berhenti sesaat sebelum suara pintu mobil ditutup seseorang.

Ia meminta sipir menjatuhkan waktunya sekarang juga. Dia juga mempertanyakan makna dari semua orgi darah ini kepada sang sipir yang tidak mampu menatap matanya dan akhirnya hanya sanggup melepaskan topinya dalam pergolakan batin yang tak tahu harus mengatakan apa. Yang sangat mencekam adalah ketika Ibrahim Kadir mengikat tangannya sebelum dinaikkan ke atas truk untuk dieksekusi, dia memberi wasiat terakhirnya supaya Ibrahim Kadir terus ber- didong, terus berdendang dan menceritakan semua ini tapi tidak dengan marah.

Seringkali Garin melukiskan saat mereka berdua atau bertiga (dengan seorang perempuan tua lainnya yang praktis hanya figuran di situ) bekerja, mereka bernyanyi bahkan Mak Tua mengajarkan kepada Juwita cara-cara mengolah padi serta berdandan termasuk menari sambil berdendang (bersiap menyambut kekasih hati yang hendak berkunjung). Bahkan ketika sel tempat para perempuan memasak dan mempersiapkan bahan-bahan masakan dan memasak serta tempat untuk mempersiapkan para terhukum untuk dieksekusi itu dibuka sekalipun, tidak tampak ada keinginan para tahanan lelaki untuk berbuat sesuatu. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 58

Terutama ketika itu sang Ideolog sudah diangkut ke suatu tempat seiring deru truk yang menderu berlalu tak peduli dengan teror yang ditorehkan ke dalam relung terdalam setiap tawanan (laki-laki!). Saat Ibrahim hendak kembali dengan gontai memasuki selnya (Ibarahim yang disuruh mengikat tangannya), sang sipir

(yang ternyata sahabatnya) memanggil Ibrahim kembali. Ia merintih mengapa kita para saudara harus seperti ini dan meminta Ibarahim menyanyikan kembali lagu yang biasa mereka dendangkan di tepi sungai (di akhir cerita, kita akan mengetahui kalau Ibrahim Kadir memang bertempat tinggal di tepi sungai tempat ia menciptakan syair-syair didong dan menikmati waktunya dengan memancing).

Saat Ibrahim mulai bersyair itulah kamera mulai menyorot sang Penutup

Gendang Telinga yang berjalan hampa menuju dalam sel dan kamera terus berjalan hingga berhenti pada El Manik yang pelan-pelan mengikuti Ibrahim.

Akhirnya seisi sel laki-laki berdendang lagu yang penuh penggambaran masa- masa bahagia hidup damai berdampingan dengan alam dan sesama (nostalgia?).

Justru „wanita tua‟ (yang akhirnya dieksekusi itu) dengan frontal lebih mengekspresikan emosinya terhadap situasi ironis tersebut. Ia mengambil sapu lidi (simbol domestik?). Atau juga gambaran akrab saat seorang ibu mengancam anaknya yang rewel atau meletus emosinya karena tak tahan lagi dengan suasana hidup yang monoton dari dapur ke dapur namun seakan „berpartisipasi‟ dengan pesta darah itu. Dia membentakkan kata DIAM! berkali-kali.

Para lelaki terus bernyanyi malahan kian keras seakan sama sekali tak mendengar. Mata mereka terus menunduk hampa sementara mulut mereka menyanyikan syair lagu seolah otomatis tanpa penjiwaan (karena antara syair PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 59

dengan situasi mereka serta momen eksekusi begitu menyatu bagai jaring laba- laba merajut semangat hidup mereka hingga menjadi kepompong yang siap disantap sang pengisap darah). Serentak para lelaki berhenti ketika Mak Tua bergerak cepat ke dinding dapur sambil berteriak DIAM!

Saat suasana hening meraja di sel laki-laki maupun di dapur itulah kamera menyorot El Manik dari belakang. El Manik menumbuk-numbuk dinding sel dengan kepalan tangan kanannya kuat-kuat, detik per detik seakan mengatakan

„mengapa‟ dan „kapan‟ (waktu eksekusi tiba?). Tangannya tampak memar sedikit lecet berdarah dan gemetaran menahan sakit. Kamera lalu mengekspos tatapan mata marah campur ngeri dan perih tak terhingga dan kepalan yang lecet berdarah itu sembari telinga kita (penonton) mendengar rintihan dan kalimat-kalimat bijak

El Manik yang mempertanyakan ini semua. “Mengapa tangan kita ini tidak lagi mengetuk pintu untuk menyapa? Mengapa ketukan di setiap pintu rumah kini jadi menakutkan? Kenapa jemari ini tidak bisa menunjukkan setiap kebaikan? Kenapa jari kita harus menunjuk ke dalam sarung (memfitnah)?” (Lalu telunjuk kanannya ia tusukkan ke dalam sarungnya hingga mencuat jelas seolah ujung pisau atau pedang atau rencong).

Mak Tua juga lebih ekspresif khususnya momen beberapa tahanan digiring untuk diangkut truk entah ke mana) sambil menghamburkan piring-piring di atas meja. Ia muak dengan semua ini lagi. Dia tidak mau bekerja seperti itu lagi.

“Aku tidak mau kerja seperti ini lagi. Aku biasa masak untuk pesta perkawinan. Aku telah berbuat dosa pada anak-anak yang tidak mengerti apa- PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 60

apa. Aku mau cari kerja lain!!!!” (Kalimat terakhir ini ia lontarkan dengan keras membentak sang Sipir yang duduk di ujung meja!)

Sang Penutup Telinga yang sedang menguping di sudut jeruji berlindung di balik dinding sel pembatas dapur dan sel laki-laki itu, berjalan gontai sangat perlahan. Kamera mengikutinya dari samping hingga ia membaringkan tubuhnya tanpa tenaga sementara tiga orang terkulai tertidur! Perlahan ia merebahkan kepalanya saat seseorang mengingau “Anakku....” dan akhirnya menggelung bangun merintihkan kata itu lagi. Integrasi adegan kemarahan dan protes Mak Tua yang dipaksa memasak dan mengurusi karung-karung dengan rintihan „anakku‟ yang dijembatani oleh reaksi sensorik Sang Penutup Telinga (yang sangat minimal) ini sangat apik dikemas dan berlangsung mulus dengan musik yang menggiriskan jantung. Waktu bergerak tanpa terpengaruh para tahanan yang justru luluh-lantak terteror seringai waktu (eksekusi) yang tak kenal ampun.

Lalu wak Haji bangun dari entah tidur entah menunggu waktu, perlahan berjalan ke jeruji dan bertanya pada sang Sipir, “Pak Sipir apa sudah waktunya?”

Dan waktunya sudah tiba saat beberapa nama dipanggil lagi. Kali ini beberapa nama perempuan. Sementara itu, pria yang memanggil-manggil anaknya itu mengintip dari balik dinding penjara ke sel sebelah yang tampak lengang tak berpenghuni kecuali kain-kain yang berserakan di atas tikar pandan. “Anakku....”

Saat itulah wak Haji bertanya, “Di mana umatku?” sambil menatap seisi selnya. Sementara itu El Manik sang pengetuk waktu menumbuk-numbuk kayu menandakan detik-detik waktu yang teramat mencekam. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 61

Para tahanan pria kelihatan lebih terpengaruh dengan intimidasi dan teror waktu yang luar biasa mendera panca indra ini. Emosi mereka tampak naik-turun dan dominan di depan kamera dan kalimat-kalimat mereka kentara jelas lebih diperhitungkan dalam penuangan cerita dan penggerakan waktu. Akan tetapi, emosi perempuan (khususnya yang di dapur) sengaja atau tidak sengaja justru lebih kuat menggambarkan protes maupun kematangan menyikapi anarhki politik yang tak kenal ampun pada siapa saja yang jatuh korbannya. Perhatikan kata-kata

Juwita sesaat setelah Mak Tua dieksekusi.

“Bapak jangan ragu untuk memanggil nama saya pak. Panggil saja

sekarang. Saya ndak mau lagi masak makanan yang ndak dimakan. (Lalu

ia menuju sang Sipir dan mengambil tali di atas meja). Saya ndak mau

pegang tadi ini Pak. Tali ini untuk kerbau,bukan untuk ikat tangan

manusia. Saya juga ndak mau kumpulkan goni-goni ini. Ini untuk simpan

beras Pak. Maafkan saya Pak. Panggil saja saya sekarang. Keluarga saya

ndak pernah ajarkan saya memukul. Kalau saya silap. Disapa saya.

Diajak bicara saya. Kami keluarga diajarkan untuk berani bicara. Siapa

yang salah dan siapa yang benar. Diajak bicara, letak yang salah dan

letak yang benar. Saya harap Bapak mau ngerti ini. Panggil saja saya

Pak.”

Sementara itu Sipir yang lain meneriakkan beberapa nama perempuan.

Satu demi satu perempuan yang dipanggil bergerak melewati mereka berdua.

“Ikat saya Pak. Tapi kepala saya ndak mau dimasukan ke goni-goni ini

Pak. Tuhan memberikan manusia mata cantik untuk melihat kehidupan ini. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 62

(Sambil melepaskan tudung kepalanya dan sedikit menggeraikan rambut panjang hitamnya). Ina ingin saya tetap cantik.”

Tangannya menjulur menanti sesuatu dari Sipir yang bergolak dalam derita rasa salah dan nurani yang terkoyak-koyak. Sang Sipir mengulurkan tangannya memberikan sisir. Perempuan muda itu kemudian menyisir rambut begitu gemulai penuh penghayatan dan sedikit sensual menampakkan kewanitaannya yang memang jelita itu. Nama Ibrahim diteriakkan bukan untuk dihukum melainkan untuk mengikat tangan perempuan muda yang jatuh giliran menghadapi penjagalan atas nama ideologi tersebut.

3. Pengalaman akan Waktu : Garinian Time-Image?

Pengalaman akan waktu secara umum tidak lagi mengikuti logika movement-image. Pemain tidak pernah tampak benar-benar memberi reaksinya terhadap setting secara fisikal kecuali bergerak dalam ruang sel yang sempit itu.

Setting tidak mengalami perubahan apapun dari awal hingga akhir film. Selain itu, secara umum, para pemain tidak banyak melakukan pergerakan maupun reaksi fisikal terhadap ruang-ruang penjara.

Reaksi pemain jauh lebih kuat terhadap sistem yang direpresentasikan oleh sipir, derit pintu sel dan bunyi truk pengangkut tawanan baru ataupun tawanan yang siap dieksekusi (truknya sendiri tidak pernah tampak kecuali hanya deru meninggalkan penjara ataupun suaranya saat mendekat).

Ruang fisikal justru pesat berkecambah memenuh benak pemian. Begitu jelas para pemain merasakan kehadiran ruang yang tak kasat mata namun sangat PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 63

menggigit afeksi. Kekuasaan tak bertubuh terus-menerus mengiris-iris sirkuit kesadaran para tawanan. Hidup tak lagi dalam hitungan waktu namun dalam hitungan bayang-bayang lokasi jagal. Derit engsel menimbulkan ngilu. Perasaan tawar. Pikiran seolah tumpul. Mata mendelik saat telinga menutup sesaat lengkingan bentakan sipir mengawali ritual pemanggilan nama-nama. Deru truk militer menderu mati di luar penjara sebelum menderu lagi menjauh.

Ruang-waktu dicerabut dari kedirian para pemain Yang tersisa seakan hanya sejumlah nama. Seperti zombi namun bernyawa terpenjara dalam cengkraman waktu yang acuh tak acuh. Ruangpun hanya disisakan sedikit, hanya sebatas panjang-lebar-tinggi ruang penjara. Kedirian tak berdiri dalam ruang- waktu yang sebelumnya begitu intim melekat dalam setiap pribadi. Tubuh tak kuasa lagi mengisi waktu. Tubuh mereka tak punya kuasa untuk meruang seperti dulu lagi. Tubuh adalah pertaruhan lotere kapan waktu menghampiri dan meminta tumbal daging manusia.

Waktu meraja sendirian bergerak di sekitar momen eksekusi. Ia adalah pengalaman waktu yang paling mencekam dan „ditunggu-tunggu‟ khususnya para lelaki. Para tahanan pria tampak lebih tenang tapi sekaligus „pasrah‟.Wak Haji setiap kali bertanya pada pada sipir, “Pa Sipir sekarang sudah jam berapa?” dan seterusnya. Pertanyaan ini merujuk pada momen pemanggilan beberapa nama, pemanggilan Ibrahim Kadir untuk mengikat tangan-tangan para terpidana mati itu serta membantu sipir menutupi wajah-wajah mereka yang siap ditembak mati tersebut. (Mengapa nyaris hanya Ibrahim Kadir yang diminta untuk mengikat PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 64

tangan-tangan para terpidana mati? Apakah ini sungguh merupakan kejadian nyata atau sebuah „rekaan‟ saja?)

Seorang tahanan laki-laki lainnya setiap kali mendengar suara ribut-ribut terlebih pemanggilan beberapa nama, sudah pasti akan menutupi telinganya dengan sesuatu (kadang seperti dengan kapas, pernah dengan sarungnya).

Beberapa kali ia tampak membuka tutup telinganya untuk menguping!

Kadangkala ia berdiri bersandar ke dinding sel di sebelah kanan jeruji (dari sudut pandang kamera) menguping pembicaraan di dapur. Dan perlahan-lahan berlalu bergerak lunglai dengan wajah penuh kengerian saat sipir mulai membentakkan beberapa nama.

El Manik yang bermain juga dalam film ini seringkali hanya meratapi dengan bahasa puitis dan reflektif (“Mengapa tangan ini menunjuk ke dalam sarung?”, dan seterusnya). Tampaknya Garin memberinya peran khusus padanya sebagai „Pengetuk Waktu‟. Setiap kali ada sesuatu yang memilukan terlebih saat beberapa nama dipanggil dan dibawa deru truk, El Manik pasti akan mengetuk- ngetuk tembok atau kayu dengan kepalan tangannya sambil merintihkan beberapa baris kalimat reflektif seperti contoh di atas. Pada adegan sang Ideolog (lihat paragraf selanjutnya) dipanggil, dipaksa menerima bahwa ideologi tidak bisa menyelamatkan hidupnya, ditempeleng dan diikat tangannya oleh Ibrahim yang tampak tersiksa saat melakukannya, El Manik mendapat sorotan khusus mengekspresikan pukulan emosional yang luar biasa dari para tawanan. Memang sebelumnya mata Wak Haji diambil dengan sudut (angle) khusus sehingga kelopak matanya tampak membelalak dicengkram ketakutan yang sangat PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 65

sementara seorang yang lain gemetaran dalam siksa visual kengerian sedangkan kamera bergerak terus menyorot tangan yang menegang dan bergetar. Akan tetapi, sekali lagi adalah El Manik yang seakan mendapat „tugas‟ mengekspresikan tikaman kengerian yang memporak-porandakan keutuhan afeksi para tawanan.

Saat terdengar DOR!, wajah, mata, kerutan dahi dan mulut serta gemetaran tangan

El Manik begitu mencekam.

Ada juga seseorang yang kita panggil „sang Ideolog‟ atau si Jalil. Orang ini sejak awal sibuk dengan logika ideologinya bahwa ideologi itu untuk hidup dan mengapa takut bicara ideologi? Tapi kemudian justru ia yang jadi korban duluan mendahului lain-lainnya yang kebanyakan tidak jelas nasibnya hingga di akhir film (apakah mereka juga akhirnya selamat seperti Ibrahim Kadir ataukah terus dipenjara, di-Buru-kan atau dieksekusi, atau apa?). Beberapa kali kita bisa mencatat bahwa sang Ideolog ini justru masuk-keluar dari sebuah ruangan kecil

(berfungsi sebagai kamar MCK dan memiliki lubang intip juga) saat beberapa nama dipanggil. Saat akhirnya waktunya tiba, dia berjalan lunglai dari dalam ruangan tersebut dan saat hendak dipersiapkan ke arena pembantaian barulah ia berreakasi kuat menolak hawa kematian yang sedang menghampirinya tanpa ampun. Erangnya, “Tuhan, jangan panggil namaku Tuhan...”

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 66

B. Garinian Images : Pergeseran dari Movement-Image ke Time-Image

1. Sudut Pandang Kamera dan Kontinuitas Temporal

Seringkali Garin mengambil gambar-gambar dari dalam penjara laki-laki menyorot ke arah ruangan tempat pak Sipir dan para perempuan memasak dan mempersiapkan karung-karung goni tersebut. Perempuan-perempuan itu selalu didampingi seorang sipir yang mengamati mereka memasak, memanggil nama- nama yang bakal dimatikan hari itu dan mengarungkan goni kepada kepala-kepala yang sebenarnya juga sudah tak jelas karakter dan identitasnya kecuali secuil nama yang diteriakkan sipir. Kita jadi bertanya-tanya untuk apa mengulang-ulang adegan kepala-kepala yang ditutupi goni-goni secara kasar ini? Apakah alasan khusus mengontraskan menutupi secara kasar sambil membentak dan terkadang memaki-maki (oleh Pak Sipir) dan gerakan lunglai penuh perasaan tak berdaya dan mungkin juga rasa salah (oleh Ibrahim Kadir) ini?) Untuk sementara kita pikir alasannya adalah repetisi yang secara gradual menenggelamkan penonton pada ketercengkraman kengerian emosional. Repetisi ini menghasilkan gejolak emosi yang sangat riuh dengan konflik dalam batin pemain yang tak mampu mendefinisikan situasi ini. Pada waktu inilah waktu seolah menjadi semena-mena bergerak terus sementara kontinuitas filmik sebenarnya adalah fragmen-fragmen sekuens yang nihil pergerakan sensorik-motorik pemain. Gerak mereka dibatasi seminimal mungkin hingga tidak singkron lagi dengan kontinuitas temporal.

Selain itu terutama di awal, Garin seolah hendak menunjukkan kepada para penonton bahwa di sebelah sel laki-laki ada sel perempuan. Caranya dengan PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 67

membuat adegan beberapa laki-laki mengintip ke dalam sel perempuan lewat lubang kecil di dinding sel. (Apakah mata para tahanan lelaki menjadi kamera untuk penonton?)

Kita juga tahu bahwa kedua sel ini bertetangga di pertengahan film saat perempuan muda dari dapur membagikan makanan kepada para tahanan perempuan. Ketika itu, seorang perempuan muda dengan bayi sedang menangis di gendongannya bertanya apakah ayah bayinya ada di sel laki-laki. Beberapa saat kemudian dia bertanya lagi, “Apakah itu suara batuk suamiku?” Lagi seorang perempuan tua bertanya adakah Jafar dan Usmar di sebelah karena ada surat dari

Amini dan.....Penonton bertanya-tanya mengapa para perempuan itu tidak mengintip saja seperti para lelaki?

Selebihnya yang dominan adalah sel laki-laki dan dapur yang juga disorot dari sudut pandang sel laki-laki. (Mungkin ada alasan tehnis yaitu dapur terlalu kecil untuk memuat kamera tanpa mengganggu proses filmik di dalamnya).

Memang ada adegan lain saat Mak Tua mengajari Juwita berdendang dan menari begitu gemulai, dan ketika Mak mengurai saat tata cara menyambut kekasih yang berkunjung, para tahanan perempuan sudah berkumpul membentuk lingkaran dan serempak menyorakkan „ahoy huuuuuuuu...... !!!!‟ (akan tetapi sudut pandang kamera tetap dari dalam sel laki-laki).

Perpindahan ini bagi kita menjadi sangat menarik karena saat perempuan muda itu membagi-bagikan jatah makan kepada para tawanan perempuan, wajah- wajah mereka tampak lesu dan suasana penjara tampak lusuh dan muram dengan dekor sarung yang menjuntai dari pertengahan dinding sel. Akan tetapi saat tiba- PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 68

tiba mereka berteriak „ahoy huuuuuu!!‟ tadi, wajah-wajah mereka tampak segar dan agak kenes saling membuka kisah percintaan mereka satu sama sementara aura sel menjadi lebih ceria.

Perpindahan dari sebuah tema personal menjadi tema kolektif (kisah-kisah cinta) ini tercatat dua kali menjadi cara Garin menggerakkan filmnya. Yang pertama adalah dengan para perempuan (seperti yang digambarkan di atas) dan setelah itu langsung ke sel laki-laki (para tahanan pria itu seketika tampak mengumpul tiduran tumpang-tindih dan mulai berbagi cerita). Gaya perpindahan ini mengingatkan kita pada waktu yang independen, bergerak secara pasti namun tanpa intervensi reaksi sensorik-motorik pemain.

Dibandingkan dengan para tahanan laki-laki, para tahanan wanita tidak banyak menampakkan gradasi emosionalitas antara senang dan keterhimpitan dalam tekanan teror sang waktu penjagal. Kita mencatat satu adegan sebelum si

Jalil sang Ideolog dipanggil untuk dieksekusi, beberapa nama perempuan dipanggil dan kemudian terdengar deru truk menjauh. Akan tetapi adegan ini hanya di situ saja (kecuali saat perempuan tua dikarungi dan diikat tangannya).

Kita mencatat ada sekali adegan beberapa perempuan sedang dikarungi didahului pemanggilan nama (seperti pada laki-laki) sementara sudut pandang kamera menyoroti sipir yang dibantu seorang pria. Dari sel laki-laki terdengar suara minta ampun para perempuan di tengah-tengah tangis bayi. Lalu kamera dengan jelas menangkap panci masak telungkup di sebuah tataan di dinding.

(Sesuatu yang tampaknya tidak kelihatan sebelumnya, ini untuk apa?) Sangat berbeda ketika nama-nama pria dipanggil dan tampak dibariskan dipersiapkan PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 69

menghadapi regu penembak atau penjagal. Ketika para terhukum perempuan itu digiring keluar, kamera menangkap beberapa pria muda mematung seperti pahatan batu, lesu tak berdarah tertunduk melorot daya. Kesan sementara, para terhukum perempuan memang tak berdaya seperti laki-laki tetapi kamera memberi porsi ekspresi ketidakberdayaan itu pada laki-laki.

Sudut pandang kamera juga selalu bertumbukan dengan jeruji-jeruji sel.

Kita tahu bahwa pintu sel terbuat dari logam dan sudah lama dari suara derit engsel tiap kali pintu sel dibuka. Akan tetapi, ada satu jeruji sel yang menurut hemat penulis „istimewa‟. Jeruji itu melengkung di tengahnya seakan dibengkokkan. Tapi oleh siapa (?) mengingat para tahanan laki-laki tidak tampak ada emosi yang cukup kuat untuk melakukan sesuatu seperti itu. Ataukah ini karena semata sudah dari sejak awal sel dibuat ataukah ada kesengajaan sutradara dalam hal ini. Karena posisinya kurang-lebih agak ke sebelah kanan kamera, kamera sering menangkapnya dengan jelas seakan biar mata kita bisa dengan leluasa mengintip ke dapur dan segala aktivitasnya. Lengkungan itu ke kiri (dari sudut pandang kamera).

2. Dialog Internal dan Konseptualisasi Ruang-Waktu Garinian

Film ini seolah hendak menggabungkan dokumentasi memori seorang

Ibrahim Kadir dan ekspresi audio-visual. Film dibuka dengan membeberkan sedikit apa yang terjadi di tahun 1965 saat PKI dituduh melakukan pengkhianatan terhadap republik ini berikut kekalahan mereka yang tragis oleh Angkatan

Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Di tengah-tengah puting-beliung ini, PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 70

seorang seniman didong dari kota Takingen, Aceh, terseret pertumpahan darah politik ini. Ia ditangkap karena dituduh terlibat dalam partai terlarang tersebut dan dijebloskan dalam penjara selama 11 hari sebelum dilepaskan karena alasan „salah tangkap‟.

Film ini, klaim pembuatnya, adalah tafsiran atas „peristiwa historis 1965‟ oleh seorang Ibrahim Kadir. Mungkin alasan inilah yang membuat dialog internal

Ibrahim yang bercerita tentang peristiwa yang menimpa dia sekaligus memberi kesaksian mata menempati posisi sangat penting. Tercatat empat kali film ini men-cut presentasi filmiknya yang membiarkan Ibrahim berkisah dengan lugu namun sangat ekspresif. Terkadang Ibrahim seakan hendak tertawa dengan apa yang barusan ia katakan, atau merasa lucu dengan logika „basmi PKI hingga ke akar-akarnya‟ (meskipun kata-kata ini tidak pernah diucapkan secara eksplisit) atau „tertawa getir‟ untuk trauma yang begitu menghimpit dirinya dan jutaan anak bangsa bukan saja di tahun 1965 tapi juga bertahun-tahun kemudian.

Memakai seseorang untuk bercerita kepada penonton bukan barang baru lagi dalam dunia film. Cukup banyak film yang memakai cara serupa baik film- film bioskop, televisi maupun sinetron. Film-film Holywood juga tercatat tidak ragu-ragu memakai seorang narator sebagai yang dominan.

Akan tetapi, ada hal yang khusus di sini. Untuk sementara, bisa kita katakan bahwa kita tidak benar-benar merasakan integritas dialog internal dengan keseluruhan film. Kesan kita, sutradara „terlalu banyak‟ melakukan intervensi sehingga kontinuitas temporal film terpotong-potong. Intervensi ini memang tidak tampak, tersembunyi di balik dialog internal Ibrahim Kadir. Seakan-akan film ini PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 71

mengandung dua representasi temporalitas yaitu memori Ibrahim Kadir lewat dialog internalnya dan waktu yang bergerak secara independen tadi.

Di sisi lain, kaitan dialog internal dan waktu yang independen tadi juga masuk akal dalam artian komplementar (saling melengkapi). Dalam representasi filmik, kita tidak akan mendapati visualisasi pembantaian dan kekacauan politik

1965 tersebut (yang justru menjadi titik sentral yang dipersoalkan). Dialog internal Ibrahim yang begitu ekspresif lengkap dengan refleksi filosofisnya itu

(misalnya kepala dan badan itu tak terpisahkan sejak dari manusia dilahirkan, dan seterusnya) menjadi bingkai dan kerangka kronologis sekaligus kian memperkuat deskripsi (secara filmik) kengerian yang dialami para tahanan bahkan sang Sipir!

Film ini, menurut hemat penulis, akan kehilangan maknanya apabila tak di-cut kesaksian Ibrahim dan orang-orang yang menonton sangat mungkin akan tersesat dalam kebingungan. Setidaknya penonton bisa mengetahui bahwa ini adalah kesaksian dan kejadian nyata yang menimpa seseorang yang bernama Ibrahim

Kadir. Sebaliknya, dialog internal itu sendiri hanya beralasan karena ia terintegrasi dalam keseluruhan presentasi audio-visual. Waktu personal dan waktu yang independen secara filmis itu mengalami penyatuan meski terkesan ganjil, tumpang-tindah dan tidak mulus. Keduanya menyatu dalam fragmen-fragmen filmis yang barangkali dimaksudkan Garin untuk menghasilkan kegetiran sekaligus ketersentakan emosional penonton.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 72

C. Musik dan Syair

Film ini dari awal hingga akhir juga memakai dua hal yaitu gesekan senar- senar yang menggiriskan hati dan syair-syair lagu. Seringkali, bunyi yang terekam begitu menuntut penuh pertanyaan. Seringkali pula bunyi itu merintih-rintih memilukan disertai metafor-metafor yang menyentak kalbu dan menabrak pikiran kita yang cenderung terlatih merumuskan hidup secara verbal-rasional. Dalam film ini, kata, musik dan lirik membuat lidah kita kelu, membuat pikiran kita gagap. Serentak dengan itu, mencuatlah jenis pikiran lain yang seringkali tersembunyi atau bahkan direpresi. Pikiran itu adalah kata hati yang terkoneksi langsung dengan panca indra batin yang memaksa kita mengalami sesuatu di dalam diri kita (mengalami sesuatu secara intra-psikis). Panca indra ragawi seakan menjadi subordinasi panca indra batiniah ini.

Untuk sementara yang kita rasakan adalah film ini mampu sedikit banyaknya menghentikan respon sensorik-motorik penonton seraya menciptakan sebuah ruang (space) baru yang dialami penonton secara internal. Ini membuat penonton

„berpikir dan merasa secara integral‟ tidak sekedar mengharapkan (dengan diam- diam berusaha memprediksi) sekuensi rasional-koheren dari satu adegan ke adegan lainnya seperti saat menonton film-film mainstream.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

BAB IV

Membongkar Garinian Time-Image:

Menuju Estetika Baru dan Originalitas Pikiran

Dalam Bab II, kita mencoba selayang pandang menjejaki proses pendewasaan film baik sebagai artefak kultural, obyek refleksi demi teoritisasi maupun sebagai praktik. Secara garis besar, upaya tersebut terbagi dua yaitu sebelum (movement-image) dan sesudah Deleuze (time-image). Hal ini sangat penting mengingat konstruksi sinematik Deleuzian mengubah teori maupun praktik secara revolusioner. Deleuze mencoba melihat film dari sudut pandang filsafat tapi tidak dengan filsafatisasi film namun bekerja sama dengan film, mencari tanda-tanda sinematis dalam kultur neo-realisme namun mereorganisasinya untuk tujuan-tujuan filosofisnya. Ia adalah sebuah perjalanan dari film ke filsafat, filsafat ke film atau dengan kata lain, sebuah diskursus filsafat-film.

Masuk ke Bab III, kita kemudian mendedah Puisi Tak Terkuburkan secara menyeluruh menurut kategori-kategori yang membangun keseluruhan narasi, stuktur dan interrelasi baik itu secara internal (antar image, antar ruang di antara shot/frame dan seterusnya) maupun eksternal dan dengan penonton pada level pengalaman sinematik. Kita mencoba membongkar gagasan, gaya dan metode filmmaking seorang Garin dengan memperlihatkan elemen-elemen pokok yang

73

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 74

terlibat di dalamnya. Di samping itu, kita juga mencoba memperlihatkan berbagai konsekuensi langsung dari cara sinematografi seperti ini.

Bagian ini merepresentasikan sebuah upaya mendialektikakan intisari kedua bab di atas. Secara praktis, kita berupaya mengembangkan serta memperdalam sedemikian sehingga Deleuzian dan Garinian bisa bertemu, bertubrukan, sinergis maupun asinergis, konvergen maupun disvergen. Untuk itu, baiklah kita menganalisis Puisi Tak Terkuburkan menurut beberapa fitur pokoknya. Kita akan meninjau secara sistematis berbagai elemen audiovisual dengan cara mengonfrontasikan pokok-pokok pikiran dalam Bab II dan Bab III.

Dengan cara ini, kita akan mengembangkan berbagai ide dasar Deleuze dan capaian-capaian estetik-filmis seorang Garin.

Berturut-turut kita akan membedah aneka dimensi dan interrelasi dalam film ini menurut komponen-komponen pokoknya yaitu ruang, waktu, teks, dialog internal, musik serta aneka bunyi lainnya dan berbagai catatan di awal dan di akhir film. Sudah barang tentu, semua ini akan dirajut seturut rangkaian dan kaitan elemen intersubyektivitas berikut tonalitas, intensitas dan emosionalitas di dalamnya. Pada puncaknya, kita akan memeras sari-sari dari kompleksitas proses dan efek sinematik yang diakibatkannya ini ke dalam beberapa konsep. Maka bab ini memakai kata membongkar isyarat apa yang dikatakan Deleuze sebagai machinic assemblages1 namun dilakukan secara terbalik yaitu machinic disassemblages!

1 Machinic assemblage adalah sebuah konsep yang disodorkan Deleuze untuk menjelaskan pengalaman (sinematik) yang ditandai dengan multiplikasi eksponensial berbagai daya (forces) secara dinamis ( in motion) kontras dengan gagasan multiplikasi non-dinamis (fixed). Interaksi dinamis ini tetap mempertahankan kekhususan tiap entitas yang terlibat di dalam proses tersebut PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 75

A. Ruang Garinian

Ruang khususnya dalam film ini menjadi bagian yang sangat menarik.

Selain merupakan entitas yang dengan sendirinya harus ada dalam setiap kultur estetika dan sinematografi, ia sekaligus merepresentasikan dirinya secara konseptual. Sebagai konsep, ia lengkap di dalam dirinya sendiri dan tidak membutuhkan entitas lainnya untuk membentuk eksistensinya. Di sisi lain, ia juga sebuah persoalan bagi indra maupun penalaran. Ia kerap kali diposisikan mengada bersama berbagai elemen lainnya baik real atau virtual tanpa mengorbankan keutuhan fisikalnya. Maka ruang Garinian bisa dikatakan sebagai entitas nomadik2 yang bergerak secara terus-menerus dalam modulasinya dengan

namun sekaligus mengaburkan batas antara subyek/obyek. Manusia misalnya merepresentasikan ketersatuan masinik antara pikiran/otak/tubuh yang (dalam konteks pengalaman sinematik) mengalami masinifikasi secara material dengan berbagai gerakan (movement), daya dan intensitas dari teknologi film. Dengan demikian machinic disassemblage merupakan upaya memerikan berbagai komponen dan interaksi yang membentuk dinamisme pengalaman sinematik. 2 Pemakaian istilah ini dalam konteks ruang nomad sebagaimana yang ditemukan dalam pemikiran Deluzian. Bagi Deleuze, pikiran (thought) adalah sebuah pertemuan (encounter). Baginya ada sesuatu di dunia ini yang memaksa kita untuk berpikir. Pertemuan secara frontal ini membuka pengertian kita pada kedasyatan potensi pikiran sekaligus pikiran dipaksa untuk mencipta dalam rangka mengatasi deras-kerasnya berbagai benturan dengan daya-daya tersebut. Akibatnya, hubungan filsafat dengan pikiran meliputi dua aspek yaitu: (1) sebuah serangan frontal terhadap gagasan pikiran konvensional dan (2) sebuah tendensi untuk memahami pikiran sebagai entitas yang bertumbuh dari dalam dirinya sendiri atau sebagai tindakan mencipta (an act of creation) bukan hanya apa itu pikiran tapi pikiran itu sendiri dalam pikiran (thought itself within thought). (Roffe Jon, The Internet Encyclopedia of Philosophy (http://www.iep.utm.edu/d/deleuze.htm#H7: University of Melbourne, 2006). Gagasan ini mengintisarikan kritik Deleuze terhadap kemapanan persamaan x = x = bukan y (identitas, persamaan, kebenaran, keadilan dan negasi) yang menjadi basis rasional bagi sebuah order (regim) yang berpuncak pada Negara (sebagaimana yang dibedah oleh Nietszche dalam The Geneology of Morality: gagasan tradisional image of thought berkembang sebagai pola reaktif terhadap berbagai potensi ancaman yang terjadi dalam sebuah pertemuan yang berlangsung secara keras tersebut. Hasil akhir dari foundasionalisme ini adalah lahirnya sebuah subyek pengetahuan dan masyarakat yang sepenuhnya legitim (a fully legitimated subject of knowledge and society). Alhasil, setiap pikiran merupakan miniatur negara yang diorganisasi secara analog yang secara moral bersatu dengan sang Maha Pikiran: Negara. Untuk itu ia mengganti persamaan Saya = Saya = Bukan Anda itu dengan ...+ y + z + a + .... Dengan cara ini, Deleuze tidak mereduksi keragaman ke dalam ketunggalan identitas melainkan mensintesiskan multiplikasi berbagai elemen tanpa mengorbankan heterogenitas maupun berbagai pontesi dan kemungkinan lain di masa depan. Kita bisa melihat dengan jelas betapa daya (force) itu berbeda dengan kekuasaan (power). Daya itu datang dari luar (eksterior) untuk mematahkan kekakuan PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 76

berbagai fitur lainnya. Ia juga bermigrasi bolak-balik kadang ke dalam lingkungan imaginasi atau ingatan, kadang menjadi bagian integral kekuasan, kadang menjadi sebuah kehadiran sensoris-fisis.

1. Ruang dan Kematian : Sebuah Distorsi

Secara umum, ada tiga jenis ruang yaitu yang tertangkap indra secara langsung (ruang terekspos), ruang tak terekspos serta ruang absolut. Secara umum ruang terekspos terbagi tiga secara fisik yaitu sel laki-laki, sel perempuan dan ruang sipir yang juga berfungsi sebagai ruang pengarungan dan dapur umum.

Ketiga ruang ini membentuk kesatuan fisik. Kedua sel sebelah-menyebelah sedangkan ruang sipir menempati bagian depan tengah.

Kedua sel di atas tidak banyak berbeda. Keduanya terbuat dari kayu dengan sebuah WC dan dipan dialasi tikar tua dari pandan. Keadaan dalam sel tampak kumuh dengan bilah-bilah dinding yang lebih mengesankan rumah tua daripada dinding penjara yang umumnya kita kenal. Pada dinding, kita bisa

membuka berbagai galur baru sedangkan kekuasaan itu membangun tembok. Dengan demikian pikiran nomad (nomad thought) tidak bersandar pada kemegahan interioritas regim. Sebaliknya ia bergerak bebas dalam elemen eksterioritas. Ia tidak mencari aman dalam identitas namun sebaliknya ia mengendarai difference. Ia tidak merefleksikan dunia namun membaur dalam realitas yang selalu sedang berubah. Dengan begitu, ruang bagi nomad thought itu secara kualitatif berbeda dari State space. Ruang negara itu striated atau gridded. Gerakan di dalamnya ditentukan oleh gravitasi relatif terhadap tataran horisontal (horizontal plane) dan terbatas pada jalur-jalur antara satu titik dengan titik lainnya yang sudah tertentu (fixed) dan teridentifikasi (identifiable). Sebaliknya, ruang nomad itu fleksibel serta terbuka (open-ended). Kita bisa berada pada titik manapun dan kemudian bergerak ke titik lain yang manapun secara bebas. Corak distribusinya adalah nomos (menempatkan dirinya pada sebuah ruang yang membuka) dilawankan dengan logos (mengurung dirinya sendiri dalam sebuah ruang yang menutup). Untuk lengkapnya, silahkan lihat A Thousand Plateaus, Capitalism and Schizophrenia, Brian Massumi (trans dan foreword), khususnya bagian ‗Translator‘s Foreword,‘ (United States of America: University of Minnesota Press, 1991), hlm. x – xiii. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 77

mendapati pakaian-pakaian terpidana tergantung. Yang menghubungkan kedua sel adalah celah agak besar untuk ukuran penjara dan sebuah lubang intip kecil.

Sel adalah ruang habituasi para terpidana yang menjadi jelas kepada penonton ketika para terpenjara saling bertukar kisah baik itu nostalgia, trauma maupun angan-angan. Ruang ini berasosiasi dengan orang-orang yang tercinta, tanah leluhur atau kampung halaman, atau kengerian (ketika ruang yang sangat lekat dengan kehidupan mereka sehari-hari seperti kebun, pengkolan jalan, dan lain-lain, ditransformasikan menjadi situs pembantaian karena tuduhan perbedaan ideologi dengan penguasa yang direpresentasikan oleh penjara dan aparatus dan aparat-aparatnya). Sel juga menjadi semacam penampungan sementara sebelum dipaksa menerima terjangan pelor panas. Tidak pernah ada proses pengadilan tersirat atau tersurat dan dari berbagai percakapan yang ada, para terpidana dan penonton sama bingungnya soal kesalahan mereka.

Yang kedua adalah ruang offscreen3. Ruang ini tidak terberi tapi harus dibayangkan, dirasakan kehadirannya, diraba atau didengarkan. Ruang ini paling mudah diakses penonton lewat gemuruh datang atau perginya truk pengangkut atau dentam pintu truk yang dibanting siapapun itu yang turun kemudian. Ia adalah halaman, atau tempat parkir atau sel-sel lainnya atau bahkan mungkin kantor utama ‗kompleks penjara‘. Nalar dan indra mengetahui bahwa penjara ini

3 Menurut Ira Konigsberg, off-screen (OS): Any character, object, or action not seen on the screen but known to be part of the scene or near the location photographed; or any sound originating from such an area. We might hear an off-screen voice or watch a character viewing an off-screen action. Berdasarkan pengertian ini, saya mengembangkan pemahaman akan ruang sejenis dalam film ini. Menurut hemat penulis, konsep ruang seperti ini dikembangkan Garin melampaui pengertian di atas yang pada gilirannya sangat mempengaruhi konsepsi ruang (dan ruang-waktu) Garinian dan pengalaman estetis yang ditawarkannya. Lihat Ira Konigsberg, The Complete Film Dictionary (United States of America: Meridian Printing, 1989), hlm. 242. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 78

mestinya masih merupakan bagian dari bangunan dan sistem penjara hanya tidak diperlihatkan. Ini merefleksikan pembayangan seturut logika kasualitas meskipun tetap mengandaikan sensitivitas terhadap dinamika ekstentif ruang ini.

Di sisi lain, saat kita sedang membayangkan ruang yang secara ekstensif sedang mengejawantahkan dirinya itu, indra kita mendapat bombardir perjumpaan audio-spasial lewat suara-suara memilukan orang-orang yang secara bersamaan dikarungi sementara tangan-tangan mereka ditelikung untuk diikat. Ini juga tangisan pilu teman-teman yang ditinggal sekedar menunggu waktu mereka kemudian. Seringkali pula, sayup-sayup kita mendengar senandung perempuan atau laki-laki (sendirian atau berkelompok) melakukan lagu-lagu berbahasa Aceh dan teriakan sipir memanggil nama-nama, suara yang kian lama mendekat namun bukan dari ruang pengarungan yang diekspos kamera tersebut. Ia juga memanifestasi dirinya lewat salak anjing atau lamat irama lantunan ayat-ayat suci

Al‘Quran. Ruang ini berkembang secara intensif dan terfragmentisasi melalui kombinasi asinkronis namun simultan berbagai suara, bunyi dan musik.

Yang berikut adalah kombinasi antara ruang terekspos maupun offscreen yaitu ruang sebagai konteks, ruang universal yang melingkupi siapa saja, yaitu konteks historis yang menjadi latar belakang film (‗Gerakan 30 September Partai

Komunis Indonesia‘). Pemahaman ruang ini diperoleh lewat catatan pembuka yang memproyeksikan penonton pada tujuan atau alasan film. Ruang ini direkonstruksi dengan memposisikan Ibrahim Kadir sebagai semacam jembatan penghubung lewat serangkaian dialog internalnya. Ruang ini juga membuka kehadirannya lewat tukar-menukar kisah antar tahanan baik di sel laki-laki PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 79

maupun perempuan. Ruang ini sifatnya mutlak dan tak peduli. Konteks kehidupan pribadi dan komunal berada dalam cengkraman ruang ini secara menyakitkan.

Kisah-kisah percintaan, hubungan sosial (perhelatan kawin misalnya), kehidupan pribadi (kebun, rumah, dan lain-lain), semuanya dicabik-cabik ruang ini yang hadir ke dalam segenap spektrum kehidupan. Ia menjadi pertanyaan para tahanan, menjadi protes dan tuntutan namun tak bergeming meresapi secara sepihak setiap konteks dan narasi personal.

Ruang ini sekali lagi meskipun dihadirkan secara aksara dan lewat pengisahkan namun ia tidak terberi. Ruang ini harus dicari, diimaginasikan, dilahirkan dalam benak penonton termasuk tahanan sementara ia sendiri seperti pewahyuan yang terputus-putus, timbul-tenggelam dalam angan, kenyataan atau dalam cerita para terpidana. Dialog internal Kadir dan berbagai teks di awal dan akhir film menjadi bagian sentral dalam proses pembiakan ruang kontekstual ini.

Inilah mayapada omnipoten yang menteror detak-detik dimensi interaksi di dalam dan di luar penjara.

Tehnik kekuasaan yang dipakai adalah dengan memisahkan akar histori pribadi dengan ruang personal/komunal dan ditempatkan dalam ruang historis.

Ruang menjadi alineasi atau bahkan aliansi kekuatan yang memisahkan orang- orang dari ruang familiaritasnya. Lahir dan hidup di desanya, menanti kematian di sel, mati entah dimana dan mungkin tanpa terkubur. Maka orang takut dengan ketukan, orang enggan ke pesta kawin sanaknya. Ruang adalah memori lewat ‗aku lihat di sana‘ ataupun pertanyaan bagaimana (‗akhirnya orang-orang itu?‘,

‗akhirnya pengangkutan itu?‘, ‗nasib mereka?‘). Orang diasingkan dari PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 80

familiaritasnya sementara indra didistorsi menjadi masalah takut, masalah kapan eksekutor tiba atau kapan semua kegilaan ini berakhir.

2. Diskontinuitas dan Ektensifikasi Ruang : Intensifikasi Emosionalitas

Garin menggarap ketiga dimensi ruang ini secara seksama. Dengan sengaja ia menahan informasi historis sejauh mungkin kecuali catatan pembuka di awal film yang mendeskripsikan peristiwa 1965 sebagai latar belakang film.

Penonton yang akrab dengan peristiwa 1965 maupun tidak sudah cukup mendapat petunjuk bagaimana mengerti film ini. Di sinilah letak keistimewaan catatan pembuka ketika ia ‗hanya secukupnya atau malahan nyaris ‗terlalu sedikit‘ yang memungkinkan terjadinya proses apresiasi film di luar penglihatan (the look/gaze4). Biasanya film memaparkan karakterisasi, kontekstualisasi dan interrelasi di antaranya. Sebaliknya Garin membiarkan penonton menerka dan menemukan jalinan logis. Akan tetapi, jalinan logis ini juga tidak banyak bisa diperoleh apabila hanya mengandalkan ruang terekspos (penjara) dan ruang offscreen tadi.

Ketika penonton masih menerka menebak berupaya mengaitkan, Garin sudah melangkah lebih jauh dengan situasi penuh mencengkam dalam penjara.

Penonton tidak diberi nafas untuk menyelesaikan proses penalarannya. Penonton

4 Kebanyakan teori film sangat menekankan sentralitas mata atau penglihatan yang menjadi alas pengembangan secara teoritis maupun praktek sinematik. Misalnya kita melihat dengan jelas dalam judul-judul seperti : ‗Visual Pleasure and Narrative Cinema‘ (Laura Mulvey); ‗Voyeurism, The Look, and Dwoskin‘ (Paul Willemen); ‗Ellipsis on Dread and the Specular Seduction‘ (Julia Kristeva); ‗The Imaginary Signifier‘ (Christian Metz). Untuk lengkapnya, silahkan lihat Philip Rosen (ed), A Film Theory Reader: Narrative, Apparatus, Ideology, khususnya bagian 'Part 2: Subject, Narrative, Cinema. Introduction: Text and Subject,‘ (United States of America: Colombia University Press, 1986), hlm. 155–278. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 81

seakan diperangkap untuk berjumpa dengan yang visual secara mendalam. Segala sesuatu berlangsung paradoks: durasi lambat-observasional sekaligus ‗cepat‘. Hal ini sangat kelihatan dalam aplikasi elipsis5 utamanya ‗paket‘ suara truk datang – suara truk pergi, gerendengan rantai gembok dan pintu membuka - pintu menutup dan gerendengan rantai gembok, pengarungan - karung-karung dilipat kembali yang berlangsung berulang-ulang. Deru truk, hardikan dan pemanggilan nama, kebisuan membatu para terpidana menyaksikan tanpa daya wajah-wajah frustasi yang sedang dikarungi menjadi metafor atau lebih tepatnya realisme kematian minus keadilan. Tontonan menjadi derita penyiksaan bukan saja pada para terpidana namun juga pada diri penonton. Penonton terperangkap dalam kebisuan, kebisuan yang menimbulkan perasaan cemas menggigit seakan penonton setiap saat bakal menjadi tereksekusi berikutnya. Timbul banyak pertanyaan dan protes diam-diam dalam benak penonton. Pergolakan antara berhenti menonton atau terus menonton silih berganti menerpa benak penonton. Namun kesadaran itu terlalu lemah untuk mengambil keputusan, kesadaran itu tidak sepenuhnya sadar namun seakan berhenti di ambang kesadaran.

5 Elipsis adalah sebuah tehnik yang dipakai untuk melakukan penyingkatan peristiwa dengan meniadakan sejumlah transisi. Dengan begitu terjadilah lompatan peristiwa ke peristiwa lainnya atau tempat ke tempat lainnya sekaligus menghasilkan efek tertentu utamanya meningkatkan secara signifikan sensitivitas ragawi-sensoris serta antisipasi penonton. Ozu --seorang sutradara yang juga disinggung-singgung Deleuze dalam bukunya -- dikenal banyak menggunakan tehnik ini. Bisa dikatakan, ellipsis di atas merepresentasikan dramatic ellipsis yaitu berkenaan dengan berbagai kejadian (peristiwa) dramatis off-screen yang nantinya diketahui penonton dari karakter atau peristiwa lainnya. Lihat Gilles Deleuze, Cinema 2: The Time Image, Hugh Tomlinson dan Robert Galeta (trans), (Great Britain: The Athlone Press, 2000), hlm. 13–18. Dalam film ini, aplikasi elipsis sudah jauh mengatasi konvensi seperti di atas sebagaimana yang bisa kita lihat dalam proses pengembangan film yang mampu membicarakan sebuah narasi besar tanpa menjadi film kolosal, dalam tehnik-tehnik yang didayagunakan serta dalam berbagai efek sinematik yang dihasilkan. Untuk mengenal Ozu lebih jauh, silahkan lihat Nick Wrigley, ―Yasujiro Ozu,‖ dalam Great Directors (http// www.sensesofcinema.com, March 2003). PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 82

Kedasyatan intensitas ini berhasil ditimbulkan berkat karakterisasi ruang yang sangat terbatas baik secara fisik maupun pencahayaan. Praktis kita mendapati ruang yang suram dan tak terurus. Belum lagi di dalam ruang ada ruang kecil tempat MCK. Konvensi umum mengatakan ruang yang sangat privat ini seharusnya terpisah dari ruang utama atau harusnya tertutup rapat dari penglihatan dari luar. Yang terjadi sebaliknya. Ruang ini justru terbuka, menjadi fasilitas bersama sekaligus berfungsi sebagai tempat menggantungkan pakaian.

Sebagai tempat yang paling kurang terkooptasi pengamatan mata Sipir dari kantornya, WC justru berhasil menjadi teror bagi penonton sementara melipatgandakan fungsinya sebagai ‗kotak pengungsian‘ bagi para terpidana.

Setiap kali setiap nama dipanggil atau setiap kali waktunya tiba untuk pemanggilan nama-nama siap bantai, seseorang dari antara para terpidana bergegas masuk ke dalamnya. Dengan jelas penonton bisa merasakan ketakutan dan trauma tak tertahankan para terpidana yang diasosiasikan dengan buang hajat.

Pada saat yang bersamaan, terjadi dialog intens antara yang di dalam dan yang di luar WC lewat sepotong celah yang cukup besar. Betapa memilukan ketika kakus justru menjadi pelarian sementara setiap orang tahu kematian hanya soal urutan pemanggilan entah berdasarkan apa.

Pada titik ini, terpidana dan penonton ditumbukkan dengan ruang offscreen ketika suara truk mendekat atau menjauh. Ruang yang tak kelihatan, ruang yang diasumsikan keberadaannya ini justru penuh kuasa, justru yang mengendalikan kamera sutradara dan sekaligus membatasinya hanya dalam ruang penjara. Terpidana menjadi objek belaka, begitu juga penonton. Ketakutan PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 83

menjadi pengalaman, menjadi peristiwa tidak sekedar yang digambarkan atau yang direpresentasikan. Penonton lupa dengan gerakan dan pergerakan.

Sebaliknya bersama terpidana, penonton hanya terngaga seperti tahanan yang menutup gendang telinganya namun toh mendengar, menatap tak percaya namun melotot jua, lumpuh secara fisik manakala barisan manusia berkepala karung digiring. Tak lama kemudian, derit engsel pintu penjara berdebam kembali. Dan proses yang sama akan berlangsung kemudian sekali lagi seakan hendak menikmati proses pembantaian hingga tak tersisa seorang pun. Ruang berhenti menjadi kehidupan, bukan pula ikatan memori, nostalgia atau angan-angan.

Ruang menjadi hakim dan penghakiman. Ruang penjara menjadi kematian yang tertunda sejenak.

Sutradara bergerak sangat terbatas. Sutradara bergerak sejauh kamera bisa menangkap. Penonton mempertanyakan interaksi ruang terekpos dan offscreen.

Kapankah mereka diadili atau dengan cara apa untuk menentukan siapa yang harus dieksekusi hari ini. Akan tetapi, kamera bungkam tidak berupaya menjawab kegelisahan ini. Sebaliknya, kamera terus-menerus ‗mengobservasi kehidupan‘ para terpidana dari hari ke hari. Kamera seakan hendak mengekspos respon setiap orang maupun respon sebagai komunitas terhukum secara lekat, langsung dan tanpa perantara. Kamera seakan hendak menangkap setiap momen sebelum kematian menjemput paksa. Kamera menjadi repetitor, yang mengulang-ulang momen menjelang ajal seakan menjadi salah satu diantara para terpidana. Kamera menjadi skandal kematian! PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 84

Dengan cara demikian, penonton menjadi begitu sadar dengan ruang-ruang yang ada meski proses itu berlangsung di luar kendali mereka. Proses perulangan menjadi kekuatan yang mentahtakan ruang ke dalam benak penonton. Namun ruang itu punya kekuatan menghapus atau meminggirkan ruang-ruang lain yang sudah akrab dalam benak penonton. Terjadi teror ruang filmik terhadap ‗ruang- ruang di antara mekanisme selebral‘ di dalam benak penonton. Ruang menjadi pencengkram, aib, luka, pemutus mata rantai tontonan, menjadi yang sudah mati, bahkan mungkin sang kematian.

B. Waktu Garinian

Seperti halnya ruang, waktu juga menjadi entitas yang utuh dalam dirinya sendiri namun sekaligus berada dalam berbagai dimensi interrelasional dengan elemen-elemen lainnya dalam film. Ia seringkali bersinggungan secara tajam dengan yang visual. Ia bisa ada secara fisik, psikologis ataupun sebagai representasi ideologi kekuasaan. Namun begitu, waktu dalam film ini tidak tenggelam ke dalam dependensi eksistensial namun menjadi sebuah proses mengada yang kental dengan kediriannya. Ia menjadi kenyataan dan gagasan sekaligus yang mau tidak mau harus ditanggapi secara langsung dan serius. Dan bersama ruang, waktu menjadi kekuatan dasyat yang menantang setiap konsepsi dan praktek waktu pada umumnya.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 85

1. Reduksi dan Paradoks Waktu Penjara

Ketika penonton terteror dasyat, dimensi waktu yang biasanya menyatu dengan identifikasi ruang bergerak tanpa terlacak, seakan di luar kesadaran penonton. Kita mencatat beberapa pola respon para terpidana yang membentuk ide dan aura waktu penjara ini.

Yang pertama adalah corak religious ala wak Haji6. Orang tua yang sudah banyak makan asam garam kehidupan, yang menduduki posisi sosial penting dalam masyarakat kini terdampar dalam lautan kalut penuh tanda tanya.

Kengerian dan pupusnya gairah tergambar lekat dalam gerak-geriknya yang begitu berat menyeret tubuhnya. Dulu di luar sana, tubuhnya mendapat tempat istimewa dalam benak setiap anggota komunitasnya. Barangkali tubuhnya identik dengan otoritas skriptural dan kebijaksanaan. Tubuh yang sama kini lunglai seakan menjadi tumpukan daging aneh yang membungkus kesadaran rohaniahnya.

Berkali-kali kita mendengar ia bertanya pada sipir ‗Sudah jam berapa?‘. Beliau seakan menyiratkan adagium bahwa hidup matinya seseorang di tangan Tuhan.

Hanya beliaulah yang ‗diberi kesempatan‘ melantunkan azan tumbuk- bertumbukan dengan mesin truk berpadu dengan serak teriakan geram sipir memanggil nama demi nama kontra jerit tangis memilukan. Pada suatu saat ketika sang waktu sudah tiba (eksekusi), beliau mempertanyakan „di mana umatku?‟, pertanyaan seorang pemuka agama untuk orang-orang yang sekian lama ia jambangi dan jaga dengan setia.

6 Garin tidak memberi nama pada setiap orang namun dengan mudah kita bisa mengidentifikasi mereka (meski tidak semua) berdasarkan stereotipe tertentu. Demi kelancaran analisis, penulis akan mencoba mengidentifikasi dan membaginya ke dalam beberapa kategori. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 86

Kutup sebaliknya adalah secara ideologis. Adalah seorang Jalil yang begitu percaya pada diskursus ideologi dan pembebasan. Bebas dari rasa takut menjadi temanya untuk meyakinkan teman-temannya. “Kenapa takut bicara?” tanyanya. Politik bisa menggubah teman jadi lawan, ideologi jadi nasib buruk.

Setiap kali penjagalan jatuh tempo, setiap kali namanya bukan yang terpanggil, tiap kali itu pula diskursus ideologi mengelupas sekian senti. Dan akhirnya dia sendirian tanpa rompi ideologis. Beralih secara ideologis jelas sudah terlalu terlambat kecuali meringkuk dan meneropong sisa kehidupannya dari celah dinding WC. Namun toh ‗Jalil‘ dan bukan lainnya yang menggelegar keluar dari mulut sipir. Jalil yang tadinya kesatuan nama dan identitas dalam jalinan interaksi sosial terbelah dua: terpidana politik dan indeks dalam daftar eksekusi yang tak bisa disatukan lagi lewat ideologi kecuali lewat ajal.

Di antara dua kutup ini, kita mendapati beberapa corak respon lainnya.

Yang terutama adalah sang Pengetuk Waktu (diperankan El Manik) berkali-kali mengantarkan kesadaran para terpidana dan penonton pada gerak jarum pendek jam mekanik yang sudah tereduksi sedemikian rupa menjadi masalah kematian paksa. El Manik mengepal tangan seraya menyalurkan siksa waktu dengan mengetuk-ngetuk. Pada titik paling menyiksa, dia menggeram dengan buku-buku jari memar gemetar kombinasi disharmoni sakit, pilu, nyeri, putus asa, takut dan derita ‗mengapa‘ serta siksa penantian.

Yang berikut adalah Penutup Telinga yang juga mendapat perhatian secara khusus. Paling tidak ada dua bahasa tubuh (gestures) yang khas dari dia yaitu menutup dan melepas katup telinganya atau menutup telinga dengan kedua ujung PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 87

sarungnya. Ketika Jalil sang Ideolog mencoba meyakinkan dirinya (juga Wak Haji dan Pak Tua) soal ideologi yang pada dasarnya adalah untuk pembebasan dari rasa takut dan karena itu sudah selayaknya orang mengambil sikap secara ideologis, ia mendengus, memasang katupnya dan berlalu mengindikasikan kemuakan atau rasa tak percaya. Seringkali, gerak-geriknya ini menggambarkan rasa ingin tahu yang sumbernya dari trauma berulang-ulang, ketakutan luar biasa dipicu deru truk, gerontongan pintu sel, bentakan Sipir atau pada setiap perkembangan yang bisa berarti goni dan mati. Di lain kesempatan, keinginan tahu ini demi keinginan itu sendiri. Boleh dikatakan, ia mendengar, mengamati, merasakan bahkan berempati dengan telinganya.

Bagi para penonton, waktu yang biasanya integral dalam proses mengetahui dan mengerti akan apa yang terjadi dalam film seakan berhenti: sebuah konstan. Waktu tercerabut dari akar konteks fisiknya (ruang), bergerak mandiri tanpa peduli. Penonton seakan hendak disedot sepenuhnya dalam dimensi waktu yang sarat pesan kematian ini. Penonton berhenti berpikir soal waktunya sendiri. Kamera seakan hendak membuat penonton melupakan durasi tontonan yang sedang berlangsung dan memperlakukannya sebagai pengalaman di luar film. Waktu mengalami ideologisasi secara ekstrim. Ia adalah ‗dentang‘ gemuruh namun tak kedengaran dari ‗jam ideologis‘ penjara kontra jam mekanik di dinding maupun di tangan Sipir. Waktu menjadi sebuah kode mengerikan alam barzah yang menghantui benak terpidana. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 88

Di lain sisi, waktu ini pun sebenarnya tidak banyak disadari penonton ketika timbul pertanyaan siapa selanjutnya7? Penonton terkesima oleh potensi luar biasa waktu yang berhasil mencuat dari berbagai peristiwa dalam ruang yang nyaris tak berubah-ubah tersebut. Nyaris tak ada gerakan signifikan yang bisa menginformasikan kepada penonton perubahan hari ke hari. Jam fisikal digantikan kengerian menanti saatnya (kematian) tiba.

Terjadi paradoks di sini ketika ruang offscreen merajalela tanpa halangan.

Ruang itu mendamparkan setiap orang termasuk sipir bahkan supir truk (yang hanya bisa kita asumsikan lewat deru truk) dan juga para pengawal dan penjagal para terpidana ke dalam ruang penjara yang gelap, kumuh dan sempit itu. Bukan ruang terekspos yang menjadi sentral namun justru ruang offscreen yang justru tidak pernah dideskripsikan secara filmik. Namun di sisi lain, justru waktu penjara

7 Dalam film-film mainstream umumnya, sutradara sering menyisipkan beberapa petunjuk bagaimana film akan bergerak pada tahap selanjutnya. Selain itu, adalah kebiasaan proses mental untuk membuat sejumlah prediksi berdasarkan informasi yang ada. Dalam film ini, kita juga tak urung melakukan hal yang sama. Akan tetapi, upaya prediksi ini ‗terhalang‘ dengan minimnya atau praktis tidak adanya informasi atau penunjuk sementara ruang-waktu mengalami ekstensifikasi dan intensifikasi yang sekaligus melibatkan penonton secara ekstrim bahkan ke titik melumpuhkan pola-pola pergerakan indrawi-ragawi sementara repertoar affective images menjadi tidak memadai untuk menampung apalagi menyaring yang visual maupun pengalaman akan yang visual. Bagi Deluze, justru inilah yang menandai perkembangan terbaru dari revolusi estetika film sebagaimana yang tercemin dalam generasi sutradara paska Perang Dunia II di Perancis maupun Italia. Pengalaman dua kali perang yang sangat mengerikan itu membuat keunggulan peradaban Barat menjadi pertanyaan besar yang tercermin dalam diri para karakter yang tidak mampu lagi memproses berbagai pengalaman yang melampaui daya respon sensorik-ragawinya berhadapan dengan kedasyatan potensi masa sekarang dan kemungkinan-kemungkinan baru yang tak terbayangkan sebelumnya. (Gilles Deleuze, Op. Cit., hlm. 18) Susan Hayward memberikan kita catatan menarik menyangkut pilihan-pilihan estetis generasi sutradara paska Perang Dunia II (khususnya di Perancis) ini. Katanya, ―The ‗fin de sie cle‘ mood of this twentieth century, is once again conditioned by the death of ideology –not just on a macro- level in France but on a macro-level –this time engendered by the apocalyptic events of the Holocaust and the dropping of the Bomb. How to go on, knowing what we know? Such is the wailing cry of Beckett‘s characters. How to invent, when invention can lead to such wholesale self-destruction? Such is the morose message of Kiefer‘s canvanses. In answer to these daunting, perhaps, unanswerable questions, postmodern culture bifurcates. The majority tendency is unoppositional, symptomatic postmodernity (a uni-directional reflection) providing a conservative cultural production – in other words, mainstream culture. The minority is avant-garde and oppositional‖. Untuk lengkapnya, silahkan lihat Susan Hayward, French National Cinema (New York: Routledge, 2001), hlm. 208. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 89

(dan bukannya waktu offscreen) yang jadi perhatian utama para terpidana dan penonton dan kamera. Inilah waktu yang sudah direduksi sedemikian rupa sehingga tidak memungkinkan terjadinya pengembangan narasi film di luar kerangka waktu penjara. Yang terus-menerus kita alami adalah pengulangan struktur peristiwa nyaris tanpa improvisasi yang berarti.

2. Ruang-Waktu Garinian : Kontras, Pembalikan dan Partisipasi Penonton

Muncul Kadir (didahului suara gerendengan gembok rantai jeruji sel dibuka) memperagakan cerita kesaksiannya dengan kalimat yang mengkondensasikan ruang dan waktu menjadi pengalaman, ―Di situ (ruang: lokasi/tempat) pertama skali (titik waktu) saya saksikan (durasi) bagaimana cara membunuhnya (peristiwa)...‖ Lalu mendadak dia menyamping cenderung agak membelakangi penonton, ―Cak putung....Bergulir kepalanya.‖ Ada kesan dia tidak bercerita secara langsung pada penonton (seakan menghindar bertatap langsung dengan penonton) namun seakan menyaksikan bersama penonton (yang seolah- olah turut berdiri bersamanya) dan tampak tak peduli pada kamera yang tidak persis 180° di depannya. ―Sudah bertimbun mayatnya, kemudian saya lihat...(sesaat ia ‗menatap‘), kakinya yang menggelepar...‖ Lembut musik melengking tinggi seiring (dalam sel laki-laki) tangan kiri (bukannya kaki!) seseorang yang bergetar isyarat ketakutan luar biasa. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 90

Film kilas balik ke hari pertama saat ia berjalan gontai memasuki sel.

Kamera bergerak lambat sejenak zoom in8 tangan kanan seseorang si atas sepasang kaki, ketiganya bergetar mengingatkan kita pada refleks ekor cicak yang buntung. Sayup-sayup gonggongan anjing tanda ada aktivitas atau ada yang mengganggu di luar sana. Penonton menyapu ruang bersama kamera yang menyaksikan orang-orang lintang-pukang berbaring. Investigasi berlanjut hingga terhadap tiga orang yang tertelungkup dalam dera kengerian sementara pintu pembatas tampak untuk pertama kalinya diselingi sayup hardikan sipir di luar.

Kamera sekali lagi zoom in, kali ini cengkaraman jari-jari di atas lutut. Seseorang tersenguk-senguk sesakan berbisik tanpa kata, derit pintu kayu membuka seiring rantai penggembok yang ditarik lepas. Pintu membuka, sang sipir menepi seakan mempersilahkan masuk enam orang terpidana baru. Mereka gontai berjalan masih dengan sarung dan kaos sehari-hari, memecah ke dua arah seakan terbelah kamera di depannya dan Kadir kuyu menapak langkah demi langkah.

Sejurus kemudian, berhenti ia setumpuk daging tanpa semangat dan perlahan menatap sipir yang mematung kehilangan rohnya di pojok pintu. Mata mereka bertaut langsung di puncak pertarungan mental9: Kadir penuh tanya, Sipir gelisah tak tahu jawaban. Kamera menangkap kontras pencahayaan yang mencekam. Bayangan persegi pintu yang membuka memanjang memasuki sel yang tadinya gelap sementara dua manusia yang dipisahkan ideologis namun

8 Zoom in (ZI): To increase the focal length of a zoom lens in the process of a shot so that the camera seems to move in to the subject as it is continuously magnified. To ―zoom out‖ achieves the opposite effect. (Ira Konigsberg, Op. Cit., hlm. 419) 9 Pertarungan mental adalah upaya penulis menterjemahkan konsep ‗encounter‘ dalam konteks time-image. Berkali-kali kita akan mengalami perjumpaan dengan pola perjumpaan seperti ini yang memungkinkan durasi sebagai konsep dan praktik muncul secara intens. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 91

terhubung oleh kemanusiaan saling mengukur menimbang-nimbang situasi. Sipir bergerak lambat menutup pintu diikuti tatapan lekat Kadir yang hanya membengkokkan lehernya. Sesaat sebelum ia menutup sempurna kedua belah pintu, dia masih sempat menatap Kadir seakan hendak mengatakan yang tak terkatakan. Bunyi gerendel mengisi segenap ruangan, cahaya menciut nyaris habis, suara truk menjauh isyarat aktivitas serupa sedang berlangsung masif di luar sana dan Kadir terus menatap daun pintu yang kini tertutup rapat. Perlahan dia menyapu seisi ruangan, menatap teman-temannya sebelum mengucap,

―Assalamwalaiikum.‖ Berjalanlah ia tanpa tenaga luruh ke dalam frustasi menuju kamera, sejurus membesar sebelum berbelok ke kanan menempati ‗rumah barunya‘, kontras dengan pengisahannya yang begitu hidup.

Sejak awal, para pemain secara visual tidak lagi secara internal bergerak untuk merespon setting, kondisi atau interaksi dalam film. Hubungan ketat antara setting dan respon motorik para pemain melemah dalam berbagai dimensi.

Padahal respon semacam ini sangat penting untuk menghasilkan kontinuitas ruang dan terlebih waktu. Artinya, setting kehilangan keutuhan fungsi temporernya seperti dalam movement-image yang mengandaikan respon motorik-sensorik terhadap setting yang sudah bernilai di dalam dirinya. Melemahnya hubungan spasial di dalam dan di antara adegan ini merefleksikan adanya selisih spasial yang berkonsekuensi pada terciptanya dimensi temporal. Garin mencapai hal ini dengan memperpanjang durasi (long take) yang cenderung diam (frozen atau still) guna melibatkan penonton pada realitas secara intens (deep focus). Hasilnya, yang visual seakan membeku dan menjadi yang teramati atau secara paradoks PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 92

menjadi yang sedang mengamati. Keseluruhan adegan di atas misalnya dimulai dari suara pintu sel membuka mencapai kurang-lebih 1 menit 31,83 detik.

Bukannya kontinuitas namun justru diskontinuitas di sana-sini yang menuntut partisipasi dan kreativitas proses pengalaman sinematik. Film bergerak maju atau jalan di tempat (false movement) yang menghasilkan kontinuitas palsu

(false continuity)10. Indra harus sigap dan peka mencari. Mata tidak hanya sekedar terhibur tapi harus melihat bila perlu melongok-longok. Telinga tidak bisa hanya penerima suara tapi harus aktif mendedah ragam bunyi, tonalitas, ritme serta kecepatan. Kulit menjadi jaring-jaring permukaan yang menangkap aneka perubahan biokimiawi yang diproduksi secara intens oleh rambut-rambut saraf, kadang panas, sebentar mungkin dingin, kadang gemetar sebentar mungkin kesemutan.

Diskontinuitas seperti ini memutus mata rantai kronologis menurut skema lampau-sekarang-masa depan. Disparitas antar adegan memungkinkan kita menyadari kehadiran ruang-ruang lainnya yang hadir secara simultan. Ruang mengalami multiplikasi secara intens dan spontan. Konsekuensinya, setting menjadi situs pembiakan atau semacam peta yang memungkinkan interaksi multi dimensi ragam faktor, kekuatan, energi, emosi atau interaksi. Masing-masing elemen sedang berjuang bertumbuh dan berkembang dari dalam dirinya sendiri namun juga secara simultan mengalami perjumpaan dengan setiap elemen yang

10 Dua konsep ini sangat penting dalam sinesemiotik Deleuzian. Akibat melemahnya hubungan antara aksi atau gerakan dengan pengembangan cerita dan setting yang ditandai dengan lompatan- lompatan cut yang tidak lagi mengikuti narasisasi rasional melainkan penciptaan sekuensi film justru dengan menggabungkan shot-shot yang tidak serta-merta saling berkaitan secara kausalitas, film bergerak maju dengan kategori yang sangat berbeda dari konvensi sebelumnya. Dalam konteks inilah gerakan serta kontinuitas yang ada itu menjadi nyata tapi palsu. (Gilles Deleuze, Op.Cit., Chapter 6 : The Power of the False, hlm. 126–155) PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 93

ada bahkan dengan berbagai elemen yang belum ada atau yang potensial tertarik ke dalam kancah perkecambahan ini. Ini tampak sangat elegan lewat pertukaran ruang pengisahan kisah percintaan tempo dulu yang berlangsung mulus lewat seruan ―Ahoy, huuuuuu!‖ Seketika itu pecahnya ketawa pria yang ternyata (sangat mungkin sejak para wanita mulai bertukar memori) menguping seraya terbawa arus kenangan dalam tataran yang sama. Objek visual menjadi semacam ‗lubang cacing11‘ yang membawa kita pada setting yang sama sekali baru. Atau fenomena lubang cacing itu mengikuti logika pararel worlds dalam arti masih ada kesamaan kepentingan dan atau keterkaitan tematis dengan mendespasialisasikan ruang- waktu secara maksimal.

Penonton menjadi lebih ‗perasa‘. Perjumpaan dengan yang visual menjadi kemungkinan. Kemungkinan membuka sejumlah galur baru kemungkinan yang membawa perjumpaan pada berbagai dimensi dan arah baru. Proses tumpang- tindih seperti ini menghasilkan perubahan, metamorfosis yang penuh

11 Ini adalah sebuah analogi yang penulis ambil dari pemahaman popular akan teori Relativitas Umum Albert Einstein. Bagi sang genius, terjadinya waktu karena adanya adalah pelengkungan continuum ruang-waktu oleh objek super masif. Untuk itu, ia mengajukan konsep ruang-waktu dengan menambahkan waktu imaginer pada tiga dimensi yang sudah dikenal sebelumnya (panjang, lebar dan tinggi). Mahafisikawan dari Inggris, Stephen Hawking menggabungkan teori ini dengan Mekanika Quantum untuk menemukan fenomena lubang hitam yaitu bintang yang tungku nuklirnya mencapai titik penghabisan (yang ditandai dengan ledakan super dasyat alias supernova). Akibatnya, bintang tersebut runtuh ke dalam dirinya sendiri dengan tingkat kerapatan yang luar biasa sehingga nyaris tak ada satupun benda yang terhisap ke dalam super pusarannya bisa selamat lagi meskipun kemungkinan itu selalu ada berdasarkan Prinsip Ketidakpastian Heisenberg. Hal ini sudah dibuktikan dengan eksistensi berbagai galaksi yang justru lebih muda atau lebih tua dari Bimasaksi tempat solar system kita berada. Ada hal lain yang bisa dibayangkan berdasarkan pelengkungan ruang-waktu oleh benda masif tadi. Seandainya pelengkungan itu terjadi begitu kuat, pada titik tertentu benda tersebut bisa tembus entah ke dimensi mana. Ataupun seandainya kita bisa melipat ruang-waktu tersebut sehingga berbagai titik di kedua sisinya bertemu dan menembusinya, maka kita pun bisa bergerak dari satu dimensi ke dimensi lainnya ataupun mempersingkat secara signifikan perjalanan antar bintang yang seharusnya sangat lama menurut kaidah konvensional. Lubang waktu ini juga kerap disebut lubang cacing alam semesta. Untuk lengkapnya, silahkan lihat Sandi Setiawan, Gempita Tarian Kosmos (Yogyakarta: Andi Offset, 1994), hlm. 7–45. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 94

percabangan. Perubahan (change) dalam waktu ditransformasikan ke dalam tindakan yang bernilai di dalam dirinya sendiri, tidak lagi sekedar menjawab sejumlah kemungkinan reaksi fisikal dan atau linguistik yang sudah ditentukan dari luar (konsensus, tehnik standard, naskah, dan seterusnya). Setting dan berbagai elemen di dalamnya, manusia atau bukan, mengklaim kemandirian filmik. Mereka tak lagi tergantung pada repertoar motorik-sensorik. Sebaliknya, dimensi ekstensif ini dimentahkan dan dibiarkan mengalami proses pematangan secara independen berkat kontribusinya dalam proses interrelasi secara internal.

Kita melihat pemain bergulat dalam kediriannya secara intens. Mereka memainkan perannya sendiri-sendiri sementara pada saat yang sama mengalami perjumpaan satu sama lain. Kadang perjumpaan itu sinkron yang memungkinkan kisah pribadi mengalir. Seringkali pula perjumpaan itu menukik pada konflik, selisih atau ironi solidaritas. Mak Tua yang mogok masak karena dapur identik dengan dosa! „Diam!‟ jeritnya sementara tangan menggenggam sapu lidi

(sementara kamera mengekspos pintu pembatas sel dan ruang pengarungan yang terbuka lebar) kepada kelompok pria yang asyik menyanyi, yang satu histeris yang lainnya tak peduli tetap menyanyi.

Terjadilah tumpang-tindih ruang-waktu. Saling himpit ini tidak untuk menghasilkan fusi namun melahirkan percabangan bahkan mutasi. Intensitas respon pemain terhadap ruang-waktu mengalami intensifikasi di sana-sini.

Intensifikasi ini bisa dalam arti meletus seperti lepuhan nanah yang sudah masak, mengalami amplitudo seperti gabungan vektor dalam fisika, atau luruh ketika cengkraman emosional sudah tak tertampungkan lagi, atau mengalami pasifikasi PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 95

seperti Jelita12 yang menyisir rambutnya seraya meminta sang Sipir memanggil namanya. Dan sementara Kadir mengikat tangannya, lusuh bak benang basah, dia justru tegak berdiri meninggalkan pesan agar sang seniman terus memainkan didongnya setelah semua ini berakhir namun tidak dengan kebencian. Berjalanlah ia mayang terurai sebab karung kawannya beras bukan manusia. Perlahan ia melewati Sipir yang menepi seakan berhadapan dengan sang komandan, sebuah kontras dan pembalikan posisi politis dan visualisasi filmis secara ekstrim.

C. Suara, Bunyi dan Musik : Monotonitas Dinamis, Simultanitas dan Doppler

Effect

Dalam movement-image, suara, bunyi maupun musik biasanya membentuk kesatuan audiovisual dengan gambar filmis. Yang sebaliknya justru mengemuka dalam Puisi Tak Terkuburkan. Musik tidak lagi sekedar menjadi double atau background yang visual13. Ia tidak merespon secara langsung apa yang sedang terjadi supaya penonton merespon secara ‗benar‘ atau menjadi pintu masuk ke dalam masalah yang sedang dihadapi pemain. Ia juga tidak secara langsung

12 Di bagian sebelumnya, kita menyebutnya Juwita. 13 Ini merupakan persoalan yang sangat krusial dalam Deleuze. Seperti katanya, ―From the outset, the problem of sound was: how could sound and speech be used so that they were not simply an unnecessary addition to what was seen? This problem was not a denial that sound and talking were a component of the visual image; on the contrary: it was because it a a specific component that sound did not have to be unnecessary in relation to what was seen in the visual. The famous Soviet manifesto already proposed that sound referred to a source out-of-field, and would therefore be a visual counterpoint, and not the doule os a seen point: the noise of boots is all the more interesting when they are not seen‖. Gagasan ini mengakar dalam Nietzsche. Dalam the Birth of Tragedy, yang visual berasal dari Apollo yang menyebabkan yang visual bergerak menurut kaidah tertentu dan membuatnya merepresentasikan keseluruhan secara tidak langsung namun diintermediasi lewat puisi liris ataupun drama. Namun begitu, keseluruhan tersebut juga ―…capable of a direct presentation, of an ‗immediate image‘ incommensurable with the first, and this time musical, Dionysian: closer to an inexhaustible Will (Vouloir sans fond) than to a movement.‖ (Gilles Deleuze, Op. Cit., hlm. 235–239) PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 96

mengiringi dinamika tonalitas dan emosionalitas pemain baik ke dalam atau secara internal maupun secara eksternal. Interaksi antar pemain tidak serta-merta mengisyaratkan warna musik tertentu. Respon musik terhadap ruang, waktu atau ruang-waktu pun tidak mengandaikan logika setting secara linear.

Kita sudah melihat bagaimana pemain diemansipasi untuk menjadi dirinya sendiri dan berproses secara intens baik itu pada tingkat personal maupun kolektif.

Ruang pun mengalami disparitas koneksi dengan respon motorik-sensorik para pemain. Akibatnya, kamera menjadi semacam penangkap atau bahkan penampung fenomena atau intensitas momen, bukan lagi sekedar melihat tapi menyaksikan.

Ruang menjadi semacam gumpalan energi yang bergulung melampaui setting.

Diskontinuitas ini melempar musik ke dalam dirinya sendiri mencapai kemandirian audiofilmis yang memancarkan pesannya ke seluruh arah dan ke dalam segenap dimensi ruang. Musik menjadi kehadiran egosentris yang secara simultan bertemu, bertabrakan, mengalami simultanitas dengan dimensi-dimensi lainnya namun terus mendesakkan geraknya, totalitas yang sedang mencari jati dirinya. Ia menjadi sound-image pada dirinya sendiri.

Konsekuensinya, musik selayaknya sedikit, pendek atau bahkan sangat pendek serta monoton penuh nada-nada tinggi. Ia tidak mengiba tapi melengking dan menjerit seketika itu juga dengan komposisi yang sama. Kombinasi monoton- repetitif-simultan baik itu komposisi, warna nada, instrumen, durasi serta momen yang diperdengarkan ini berhasil memaksa telinga mencondongkan perhatian pada dirinya yang sedang mengurai ‗sabda‘. Pada titik ini, musik menjadi soal yang mempresentasikan dirinya bagi pencecapan panca indra. Ia tidak sekedar PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 97

masalah pendengaran tapi juga visual dan rasa. Ia getir, pahit dan penuh kata, kasat mata yang hadir secara penuh untuk proyek eksistensinya tanpa harus tergantung pada tayangan visual. Musik melengking begitu saja jatuh melayang mengisi kekosongan ruang dan ruang pendengaran penonton, warna musik yang sama (dan terus-menerus sama di setiap kemunculannya, utuh atau sepenggal atau penggalan-penggalan) seakan tak peduli jiwa-jiwa yang meradang tercampak ideologi.

Kehadiran musik sebagai yang asing (foreign body14) terhadap yang visual ini berlangsung secara simultan dengan kehadiran suara dan bunyi lainnya.

Sejenak sebelum musik meradang, kita bisa mendapati lamat-lamat dendang lagu yang mengalun lembut masuk dari dalam sel-sel lainnya yang tak terekspos ke dalam ketiga ruang terekspos (yang harus dibedakan dengan senandung syair yang serta-merta diproduksi dalam sel pria maupun wanita). Kadang dendangan syair- syair itu berdiri sendiri seakan menjadi perpisahan kepada para tereksekusi.

Kadangkala, lagu-lagu itu seakan merespon peristiwa yang sedang terjadi sebelum akhirnya bermetamorfosis menjadi aktivitas berdendang di antara para tahanan. Di lain waktu pula, syair-syair itu berlangsung dalam satu kontinuum disharmonis dengan musik. Mereka mengalun lambat dan lamat, bergerak mendekat lebih cepat lebih keras sebelum dipungkas dengan musik yang jatuh mendadak menguasai segenap pelataran penjara tanpa kendali visual kecuali oleh

14 ―…cinema music must be abstract and autonomous, a true ‗foreign body‘ in the visual image, rather like a speck of dust in the eye, and must accompany ‗something that is in the film without being shown or suggested in it‖. (Ibid., hlm. 239) PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 98

kemauannya sendiri. Musik di sini untuk mencabik-cabik, menggelisahkan dan menggugat untuk dirinya sendiri15.

Dendangan yang bercerita ini seringkali ditampung kamera dengan seksama dengan durasi yang cukup panjang, menjadi peristiwa (event yang melampaui dinamika internal shot atau frame yang harus ada seturut logika keutuhan cerita) yang memukau sekaligus bagi penonton maupun para pemain di dalam film. Ambil adegan pelajaran mengolah padi dan mengirim ‗sandi asmara‘ bagi sang buah hati. Kamera close-up wajah-wajah pria yang merasakan sesuatu yang mengusik sensibilitas mereka pada kehidupan. El Manik yang menutup mata perlahan duduk menatap searah tatapan teman-temannya. Penutup telinga tak urung melepaskan kedua ‗katup‘ di telinganya. Lilin yang nyaris padam mendapat siraman minyak baru. Sayup-sayup terdengar sesuatu.

Mak Tua bergerak gemulai sambil memaparkan tehnik memisahkan bulir dari biji-biji padi yang kosong. Senyum kecil perlahan kuncup di wajah Jelita.

Dan seperti tunas yang bertumbuh di atas tanah gembur, gairah seyum itu menjadi geliat penuh hasrat gerak mengikuti arahan kedua tangan si Mak di atas bahunya.

Selampir selendang Mak Tua dan dendang ‗ibu‘ bagi sang anak menyusupi sanubari Jelita membuat bibirnya turut merangkai syair. Gemulai mereka kian cepat seiring kombinasi gerak-suara tua-muda yang memenuhi dapur dan akhirnya kamera yang ‗mengintip‘ (lewat celah antara kedua sel) dan hinggap di sekujur

15 ―There is certainly a relation, but it is not an external correspondence nor even an internal one which would lead us back to an imitation; it is a reaction between the musical foreign body and the completely different visual images, or rather an interaction independent of any common structure….there no movement common to the visual and to sound, and music does not act as movement, but as ‗stimulant to movement without being its double‘ (that is, as will)‖. (Ibid., hlm. 239–240) PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 99

wajah dan tubuh para tahanan wanita yang serentak berteriak, ―Ahoy...uuuy..!‖

(menyoraki merah pipi sang Jelita). Waktu yang muncul ke permukaan layar terdeteksi lewat gerombolan uap panas yang menerobos tutup periuk bertabrakan dengan panah-panah mentari yang menggelitik lewat celah-celah jendela kayu seakan hendak mencegah mereka meloloskan diri dari dapur.

Seketika itu juga, penonton sadar bahwa ini adalah pengalaman bersama dengan kaum terpidana atau pada level tertentu penonton pun ternyata berada di dalam penjara karena kamera hanya mengikuti energi suara yang sedang mendekat. Kalau boleh kita menyebutnya, ini adalah tehnik Doppler Effect yang mengemansipasi partisipasi penonton secara utuh sekaligus menghasilkan efek intensifikasi dan ekstensifikasi ruang dan emosi secara intens.

Maka saling bertukar kisahlah mereka, kisah-kisah manis yang mencegah opresi penjara menghancurkan hasrat manusiawi mereka. Ruang-ruang personal dan sosial berhamburan menambah pengetahuan kontekstual penonton. Kenangan percintaan yang sudah mengendap terangkat dengan sendirinya. Yang lampau menjadi kekinian. Yang tadinya terlupakan, terkubur, bangkit kembali menjadi yang hidup, aktif dan partisipatif, serta revelan seketika. Telusur kilas ini melahirkan simultanitas kehadiran, sebuah ko-eksistensi dengan kenangan- kenangan para tahanan. Dan ketika kenangan memuncak, tubuh tak sanggup lagi menahan vibrasi energi yang begitu besar yang hanya mungkin tertumpah dalam nyanyi dan tari perayaan kehidupan. Kamera yang sejak tadi mengintip tanpa kedip kini menangkap pantulan kinetik suara yang memasuki sel laki-laki. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 100

Doppler effect juga dimainkan dengan manis lewat bunyi-bunyi lainnya.

Yang terutama adalah kombinasi suara truk yang mendekat, berhenti lalu pintu yang dihempas. Pada saat yang sama, sayup-sayup teriakan Sipir memasuki sel diiringi isak dan jeritan kecil para tahanan di sel-sel lainnya (yang tak terekspos).

Kadangkala hardikan ini bergerak kian dekat kian keras hingga begitu jelas ke dalam sel pria maupun perempuan saat beberapa tahanan dari situ sedang dikarungi di dapur.

D. Garinian Time Image

1. Proses Menjadi : Konfrontasi dan Filmic Caesura

Image di dalam shot atau frame mengalami transformasi menjadi peristiwa

(event). Yang visual menjadi yang nyata, hadir dan bertumbuh dalam serta lewat dirinya sendiri. Dengan kata lain, image adalah singularitas16. Peristiwa terungkap melalui montase (montage17) yaitu penataan dinamis shot-shot individual yang

16 Dalam fisika, singularitas adalah titik pada pusat sebuah lubang hitam dengan tingkat kerapatan materi yang tak terbayangkan dan tak definit. Deleuze menggunakan istilah untuk melukiskan kekhususan sebuah komponen atau assemblage tertentu yang meliputi kekhususan dan keunikan kualitas serta potensinya yang tidak mengenal batas tersebut. 17 Pada awalnya, montase bermula dari dua praktisi film terkemuka Rusia yaitu Pudovkin dan Eisenstein. Keduanya sebenarnya mengakar dalam Kuleshov Workshop di State Film School Moscow pada waktu itu. Kelompok ini mengembangkan seni editing dan percaya bahwa editing itu menjadi fundasi film. Pudovkin mengembangkan editing yang menekankan kontinuitas dengan cara menyambung berbagai shot seperti jalinan rantai yang ia percaya bisa membimbing emosi maupun pikiran penonton. Sebaliknya Eisenstein mengembangkan editing yang lebih dramatik. Editing ini menekankan juksteposisi dinamis berbagai shot individual yang dengan sendirinya menarik perhatian pada dirinya dan memaksa penonton secara sadar sampai pada kesimpulan- kesimpulan mengenai interplay images. Sementara itu, pada saat yang sama, penonton sebenarnya secara emosional dan psikologis dipengaruhi tanpa menyadarinya terlalu banyak. (Ira Konigsberg, Op. Cit., hlm. 216–217) Eisenstein menekankan sentralitas respon penonton. Baginya, atraksi adalah, ―that subjects the audience to emotional or psychological influence‖. Tekanannya bukan pada mengonstruksi sebuah narasi atau merepresentasikan dunia nyata tetapi pada penciptaan kejutan (shock) yang mempengaruhi persepsi dan pengetahuan, sebuah estetika yang mengarahkan kita kembali pada PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 101

mengklaim perhatian pada dirinya sehingga penonton mau tidak mau harus menarik kesimpulan sendiri terhadap relasi internal antar image (the interplay of images). Hal ini ditandai dengan long take panning18 yang memungkinkan penonton mengikuti secara seksama dan memperhatikan detil-detil berbagai elemen yang terlibat di dalamnya serta terlibat atau dilibatkan di atau ke dalam adegan tertentu.

Seringkali pula, kamera benar-benar diam (still) seolah terpaku dan terlibat sepenuhnya dalam berbagai proses filmik di dalamnya. Kalaupun kamera bergerak, tampak bahwa tujuannya untuk lebih mengamati, untuk mendapatkan pandangan lebih dekat tanpa menjadi close-up. Kamera mengambil sudut pandang

sinema primitif yang sangat menekankan ‗play‘ di atas progesi naratif. Ini menyebut cara ini sebagai ‗intellectual montage‘ yaitu ―which built on the concept of ‗attraction‘ but which aimed, in the words of the French Eisenstein scholar Jacques Aumont, at ―a conceptual effect...the production of meaning.‖ Dua tehnik yang menjadi favorit dia adalah ‗synecdoche‘ (sebagian untuk semua) dan metafor (dalam praktek sinematiknya, menyandingkan berbagai image yang tidak berhubungan satu sama lain untuk membangkitkan asosiasi dalam pikiran penonton). Untuk lengkapnya, silahkan lihat Robert Sklar, Film, An International History of the Medium (United States of America: Prentice-Hall, INC., and Harry N. Abrams, INC., Publishers, 2000), hlm. 138. Dalam The Montage of Film Attraction (1923), Eisenstein menulis demikian, ―Whereas in theatre an effect is achieved primarily through the physiological perception of an actually occuring fact (e.g. a murder), in cinema it is made up of the juxtaposition and accumulation, in the audience‘s psyche, of associations that the film‘s purpose requires, associations that are aroused by the separate elements of the stated (in practical terms, in ‗montage fragments‘) fact, associations that produce, albeit tangentially, a similar (and often stronger) effect only when it taken as a whole. Let us take the same murder as an example: a throat is gripped, eyes bulge, a knife is brandished, the victim closes his eyes, blood is spattered on the wall, the victim falls on the floor, a hand wipes off the knife – each fragment is chosen to ‗provoke‘ associations‖. Lihat S.M. Eisenstein, Selected Works, Volume I, Writings 1922–34, Richard Taylor (ed and trans) (London: Indiana University Press, 1987), hlm. 41. 18 Pan Shot: A shot in which the camera moves horizontally around a fixed axis to survey an area. The terms comes from ―panorama‖ and the technique frequently functions to (1) give the audience a larger more panoramic view of the scene that a shot from a fixed camera. The technique can also be used (2) to guide the audience‘s attention to a significant action or point of interest, keeping them aware of the relationships of elements in the scene (something that cutting cannot do); (3) to follow the movement across the landscape of a character or vehicle; and (4) to convey a subjective view of what a character sees when turning his or her head to follow an action. (Ira Konigsberg, Op. Cit., hlm. 252) PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 102

objektif19 dalam arti pemain sepenuhnya tidak menyadari bawah mereka sedang diamati dan tidak sekalipun mereka menatap langsung ke kamera. Bahkan ketika mereka menghadap ke arah penonton, para pemain seolah selalu menghindar langsung menatap kamera.

Cara ini juga memungkinkan action terbuka (unfold) dalam waktu (tanpa mengsubordinasi waktu). Kombinasi cutting dalam proses editing tidak menjadi begitu tampak dan menjadi lebih dinamis tanpa harus tunduk sepenuhnya pada rasionalitas (sebaliknya irrational cuttings) yang memungkinkan penonton meresapi secara mandiri (tanpa disetir naskah film atau respon motorik pemain) dan mengalami internalisasi emosionalitas. Cutting dalam adegan (diapit dua dialog internal) bahkan nyaris tidak terasa. Sampai tahap tertentu, kita bahkan bisa mengatakan gambar-gambar yang hadir lewat Puisi Tak Terkuburkan bisa membawa penonton pada intensitas keterpesonaan, menatap dalam-dalam sementara batin tergempur golakan perasaan sehingga lupa keadaan sekitar sekaligus berproses secara personal dan internal (dream-like stage).

Sensibilitas terhadap mis-en-sce ne: dimensi ruang-waktu, terhadap interaksi, percakapan, transformasi emosionalitas pemain dan hubungan- hubungan antar elemen di dalam film menjadi sentral di sini. Mata, telinga, peraba mengalami aktivasi aktif. Menonton menjadi semacam survei secara mendalam

(yang bisa berarti bersama para pemain). Yang disurvei adalah image dan hubungan antar image dalam keruangan tertentu. Sementara itu, ruang sendiri adalah entitas yang sedang memuai. Dengan begitu, image menjadi potensialitas

19 Lihat Joseph V. Mascelli, A.S.C. Angle – Kontiniti – Editing – Close Up – Komposisi dalam Sinematografi, H.M.Y. Biran (penerjemah), (Jakarta: Yayasan Citra, 1986), hlm. 9–10. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 103

yang sedang mengalami transformasi radikal tanpa terkungkung asumsi dunia maupun subyek yang sepenuhnya sadar dengan setting (self-aware subject20).

Image menjadi yang mengada dan sepenuhnya sedang berproses mencapai finalitasnya. Image menjadi the animated yang dibebaskan dari penjara struktur spasialisasi gerakan, bukan sekedar diperlakukan sebagai the animated inanimated. Ia sepenuhnya mengalami dimensi prosesualnya dalam proses menjadi (process of becoming21).

‗Proses menjadi‘ ini menjadi konsep yang sangat penting dan mendominasi logika filming dan organisasi relasi antar image dalam film. Film tidak banyak mengandalkan gerak namun sebaliknya lebih membiarkan image berproses mencapai finalitasnya. Berbagai image ko-eksis dalam ruang-waktu peristiwa (juxtaposition). Dari sudut pandang penonton, image dibiarkan berkembang baik itu ke dalam maupun ke luar dirinya sehingga bukan hanya retina yang melihat, merasakan bahkan melibati pertumbuhan image, organ-organ lain pun terlibat secara langsung.

20 Asumsi ini berlaku dalam movement-image. (Gilles Deleuze, Op. Cit., hlm. xvi.) 21 Pada titik ini, Deleuze ‗berpisah‘ dari sang inspiratornya (Bergson). Bagi Bergson, film yang ditandai dengan spasialisasi gerakan yang kemudian dianimasi oleh proyektor itu merepresentasikan corak intelektual yang baginya tidak mampu mengalami pertemuan dengan daya-daya hidup secara utuh. Sebaliknya ia mengedepankan corak intuisi yang tidak serta merta menterjemahkan pertemuan ke dalam sejumlah tindakan atau respon reaktif melainkan mengalami perjumpaan itu secara mendalam (dan dengan demikian menunda respon). Artinya bagi Bergson, film merepresentasikan ilusi gerakan dari sejumlah immobilitas yang secara semena-mena diekstrasi oleh intelek untuk tujuan-tujuannya. Sebaliknya, Deleuze justru melihat sebaliknya. Proyektor sejak awal ‗membetulkan‘ ilusi tersebut berkat regulasi dari reanimasi dari image yang bersangkutan. ―Cinema does not give us an image to which movement is added, it immediately gives us a movement-image. It does give us a section but a section which is mobile, not an immobile section + abstract movement.‖ Dengan demikian, film tidak lagi sekedar model bagi intelek tetapi, ―…contains its own potential image of thought.‖ Untuk lengkapnya lihat Amy Herzog, ―Images of Thoughts and Act of Creation: Deleuze, Bergson and the Question of Cinema,‖ dalam Celeste Amy (ed), Time and the Work, (http://www. rochester.edu/in_visible_culture/issue3.htm: VISIBLE: An Electronic Journal for Visual Studies, 2000. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 104

Pemain dalam film seringkali berbicara lewat ekspresi wajah, getaran emosi serta gestural. Wajah, kepala, mata, telinga, tangan, kaki serta tubuh mendapat tekanan istimewa. Wajah mengekspresikan emosi-emosi primordial manusia lewat beliak mata atau sudut-sudut mata yang menciping, kerat-kerut kulit muka atau dahi penuh tanya penuh protes dalam kebisuan atau mulut yang mengatup kencang. Wajah mengerutkan semburat kecil garis-garis seyum atau tawa. Kepala menunduk, termangu-mangu, tubuh kaku tanpa goyang saat berjalan, kepala di dalam goni atau kepala yang tengadah ke langit sedang tubuh meringkuk ketakutan dalam WC. Kadangkala kepala tertekuk kaku sementara bahu mengembang sedikit terangkat dengan kedua tangan saling telungkup di depan pusar bagai kobra kehilangan kegarangannya. Kaki menapak bagai berselancar minus semangat menunduk dengan bahu bergidik sedikit terangkat, sikap berdiri yang kaku menghadap tembok lurus ke depan. Tangan bergetar, mengetuk-ngetuk lalu mencakar dinding, memar bahkan berdarah, tangan yang menutup kedua daun telinga ngeri namun ingin tahu, tangan mengelus dada atau yang terikat sementara kepala dalam karung menunduk seakan leher menanti telebas pedang.

Di lain pihak, film seringkali berjalan cukup dengan suara-suara tunggal.

Pak Sipir meneriakkan nama demi nama, membentak, menghardik atau menempeleng suara Kadir. Deru truk mendekat atau menjauh diikuti rantai pengembok pintu beradu dengan jeruji besi dan derit pintu membuka. Mak Tua tersedu-sedu, jerit pilu wanita-wanita yang minta ampun di sel sebelah. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 105

Sementara itu, interaksi seringkali berada di dua kutub ekstrim, frontal atau sifatnya memoris. Interaksi seakan berlangsung dalam medan tempur, pertarungan demi pertarungan mental. Apabila yang frontal melibatkan para tahanan dan Sipir yang merepresentasikan kekuasaan dan konteks historis, yang memoris biasanya berlangsung di antara para tahanan. Akan tetapi, yang frontal ini juga tak pelak bisa juga melibatkan para tahanan secara brutal. Ketika itu sang

Ideolog (Jalil) akhirnya dipanggil. Jalil keluar dari WC terisak-isak. Kamera agak tinggi dari depan sementara ia mendekat yang kemudian menampakkan Penutup

Gendang yang sedang melipat badan dengan kedua tangan menutup pendengaran dengan ujung-ujung sarungnya. Saat Jalil melewatinya, dia beringsut naik isyarat satu berlalu yang lainnya membubul. Para tahanan diam pematung, Penutup

Telinga mengikuti Jalil dari belakang ketakutan, sepi merayap. Musik berhenti di sini seolah turut menanti apa yang bakalan terjadi. “Ayo keluar!” bentak Sipir.

“Kawan semalam aku berpikir tentang ideologi. Katanya ideologi bisa membuat orang hidup. Tapi di setiap sejarah yang aku baca, ideologi bisa membunuh orang. Jadi sebenarnya ideologi itu apa?” tuntutnya. “Diam!, Diam kamu, diam!” “Jadi ideologi itu apa?” sementara Sipir menggulatinya.

Peristiwa ini menjadi luka di atas luka, torehan di atas torehan bahkan dalam batin Sipir yang barusan menempeleng serta membentak-bentak Jalil. Kata tidak sanggup mengatakan yang dirasakan. Kata tenggelam dalam memori.

Seiring truk yang melaju sementara satunya lagi dihidupkan, gontai Kadir masuk setelah ‗mengantarkan‘ Jalil. “Ibrahim,” lembut panggil Sipir yang sedang duduk di amben menghadap pintu masuk dari luar. Ibrahim berbalik berjalan ke arah PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 106

dinding dan mematung di situ sedikit tengadah sementara itu Jelita dan seorang ibu lainnya membereskan goni-goni. “Kita masih bersaudara, kenapa seperti ini?

Nyanyikan saya nyanyian yang sering kita nyanyikan di danau itu.” pintanya.

Ibrahim mulai bernyanyi kecil sekali. Kamera bergerak horizontal mengikuti

Penutup Gendang yang gontai menuju dipan. Lagu mulai kedengaran sesaat dia naik ke dipan. Bibir El Manik komat-kamit, seseorang di sebelahnya tampak bertepuk mencoba mengikuti irama lagu. Kemudian segenap sel bernyanyi dengan iringan tepuk tangan mereka.

Ketika proses survei berlangsung secara internal maupun eksternal, waktu primordial (pure time) dilepaskan dari kungkungan movement-image. Ia tidak lagi menjadi sub-entitas yang ‗diciptakan‘ berkat kaitan respon motorik terhadap setting. Ia bukan lagi spasiotemporal namun original alias tempo. Image sendiri menjadi realitas yang sedang mengada dan berproses menjadi dirinya secara dinamis, yang sedang bergulat dengan persoalan yang esensial bagi dirinya. Ini mengisyaratkan adanya hubungan primordial antara image dan energi yang menganimasikannya atau energi yang dia lepaskan dalam proses menjadinya.

Konsekuensinya, ada rentang waktu yang dibutuhkan untuk bertransformasi.

Dengan kata lain, transformasi atau evolusi radikal itu berlangsung lewat durasi.

Image muncul dari dan lewat durasinya sendiri (bukan ditentukan secara eksternal seperti dalam movement-image). Pada saat yang sama, image menggunakan durasinya untuk mengafirmasi sekaligus seketika mengenali berbagai durasi lainnya di sekitarnya yang juga sedang mengalami proses evolutifnya. Peristiwa PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 107

menjadi lines of flight22 atau semacam entrypoint23 yang membuka ragam horison serta jaring-jaring keterhubungan baru.

Tengoklah ‗pertarungan mental‘ antara Jelita dan Sipir. Kamera tak mampu berbuat lain kecuali merekam (tanpa gerak tanpa ‗kedip‘) transformasi

(radikal) Jelita yang penuh maaf dan pengertian kontra Sipir yang menanggung sesal mendalam namun tak berdaya mengubah situasi kecuali menolak bertatap pandang. Dan saat Jelita menyisir rambutnya, begitu senyap tanpa bunyi sehingga sesaat kita seolah-olah mendengar telisik rambut-rambut yang tersibak bilah-bilah sisir (dari sipir!), kelembutan yang sebentar lagi akan digelundungkan ke bumi.

Kita menjadi sadar dengan jeruji sel, meja, sikap duduk Sipir, baju dan topinya, suasana dapur yang sepi tanpa Mak Tua (yang sudah ‗pergi‘ mendahului), mendengar setiap kata Jelita yang bertemu ekspresi Sipir dalam keheningan bahkan mungkin juga ‗bisa‘ mencium bau sel campur apak karung. Frame yang

22 Menurut Deleuze, demikian catat Kennedy dalam bukunya, kita terdiri dari ‗…a series of lines, latitudes, lines of flight‘ yaitu: (1)‗Line of segmentary‘. Corak ini tampak dalam fundasi atau struktur hidup manusia umumnya misalnya keluarga, kelas sosial, agama, jender ataupun seksualitas; (2) Yang berikutnya adalah bahwa kita hidup pada atau mempunyai ‗lines of molecularisation atau ‗lines of the molecular‘. Yang kedua ini sangat berbeda dari rigiditas ‗the segmentary line‘ karena ‗line of molecularisation make detours; they ‗sketch out rises and falls; but they are no less precise for all this, they even direct irreversible processes‘; (3) Line of flight, the nomadic line. Corak ini memungkinkan kita menjauh baik dari corak segementaris maupun corak molecular memasuki zona-zona eksperimentasi. Inilah corak yang memampukan kita keluar dari perangkap ‗fixed positionalities‘. Katanya lagi, ‗It is also the line of experimentation, excitement, creativity, volition, flight, but also danger and risk, loss and possible annihilation. Truly the line for the artist, the dancer, the thinker. …it is, ‗the most complex of all, the most tortuous; it is the line of gravity or velocity, the line of flight and of the greatest gradient…this line has something exceedingly mysterious, it is nothing other than the progression of the soul of the dancer‘. Lihat Barbara M. Kennedy, Deleuze and Cinema. The Aesthetics of Sensation (Great Britain: Edinburgh University Press. 2000), hlm. 70–71. 23 Entry point menghubungkan singularitas atau tataran yang satu dengan lainnya. Sebagai ‗benang yang merentang di sepanjang perbatasan‘, ia merupakan sarana deterritorialisasi untuk berpikir secara baru. Dalam bahasa lain, bersama dengan Guattari, Deleuze mengembangkan konsep peta yaitu, ―…The map is open and connectable in all its dimensions; it is detachable, reversible, susceptible to constant modification. A map has multiple entryways as opposed to tracing which, always comes back to ―the same.‖ (Ibid)

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 108

memukau sekaligus ‗tak tertanggungkan‘ yang di dalamnya berbagai image membual secara otonom sekaligus dalam relasinya satu sama lain membentuk peristiwa yang potensial membuka aneka pergolakan, ide atau horizon baru dalam diri penonton. Setiap elemen intens menimpa retina sementara ritmis waktu

(fleeting moments) bergerak bersama setiap kata yang terucap, setiap syair yang mengemuka atau seirama sisiran, transformasi kusut ke gerai, manusia ke

‗malaikat‘.

Setiap shot atau frame menjadi ‗dunia kecil‘ atau makrokosmos yang sedang mengalami perubahan melalui dan dalam durasinya. Survei menjadi perjumpaan secara mendalam dengan makrokosmos berikut elemen-elemennya.

Berbagai elemen ini dalam dirinya sendiri membentuk makrokosmosnya sendiri- sendiri. Inilah realitas dalam keseluruhannya yang tak terpisahkan dari berbagai elemen penyusunnya. Dengan begitu, survei menjadi perjumpaan secara intens dengan unit-unit penyusun (building blocks) realitas ini. Terjadi dialektika antar realitas yang secara simultan sedang mengalami proses trasnsformasi radikalnya, yang sedang memuai maupun sedang meningkatkan volumenya.

Perjumpaan secara radikal ini melahirkan momen-momen perhentian atau filmic caesura24. Perhentian tidak berarti berhenti namun pause, memperhatikan

24 Banyak pengamat mengatakan bahwa Garin berpuisi lewat film-filmnya. Selain itu, judul film ini sendiri secara eksplisit mengekspresikan dirinya. Akan tetapi, penulis berpendapat bahwa Garin sudah jauh melampaui konsep ini per definisi maupun dalam aplikasinya dalam konteks praksis sinematik. Dalam ensiklopedia dikatakan: ‗Caesura, cesura (from Greek ―tome‖; French ―cesure‖; German ―Zasur‖). In classical prosody the term caesura has, since the time of Boeckh (1811), been used to refer to a word-boundary falling within a metrical foot (it was not so used by the ancients). The modern sense of the term, however, refers to a break or joint in the continuity of the metrical structure of the line (where word-boundary is all but universal) and so concerns the division of lines into distinguishable cola. In every sentence of any length there will be a syntactic juncture or pause between phrases or clauses, usually signaled by punctuation but sometimes not. Caesura is the metrical phenomenon which corresponds to this break in syntax of the line. Often the relevant PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 109

secara seksama yaitu keterlibatan secara radikal pada tataran afek dan persep.

Perhentian berarti berjumpa tanpa ampun, mau tak mau tanpa kemungkinan lain kecuali memilih tidak eksis atau berpura-pura tidak tahu atau memilih lari dari kenyataan. Ini sebuah keniscayaan manakala realitas menjadi sebuah soal bagi eksistensi. Ranah persepsi dan afeksi tertegun, termangu, terdiam dalam arus realitas yang menjadi lewat dan dalam durasinya. Yang mengenaskan, yang tragis, yang getir dan menyakitkan, yang pahit atau memuakkan, semuanya adalah realitas yang mempresentasikan sejumlah persoalan untuk dijawab. Sementara itu, jawaban tidak given berada dalam yang visual tapi eksis dalam dan melalui perjumpaan langsung yaitu konfrontasi (yang brutal bila perlu) antara yang di luar

(image) dan yang di dalam (afek dan persep).

Jelita melangkah seakan melayang melewati Sipir dengan ekspresi angelik di wajah meninggalkan kesenyapan yang jatuh menguasai dapur dan seisi sel.

Kadir layu kembali ke selnya, sepenggal manusia terseok-seok melewati jeruji yang terbuka sebagian. Suara perempuan merintihkan ―ina....oooo ina‖ mengiringi dia yang melangkah ke atas dipan, bergelung badan kepala tersungkur di pangkuan El Manik. ‗Jemari lembut yang selalu bercanda‘ mengiringi tangan El

Manik yang turun menyambut kepala dan mengelusnya. Sebuah persoalan barusan menyelesaikan episode presentasinya terhadap eksistensi. Babakan yang pungkas di puncak pertarungan dan pergulatan jiwa manakala musik menggila antara ‗acuh tak acuh dan mencari dirinya sendiri‘ di ujung film. Dan sejak tadi,

terms are not carefully distinguished in prosody and literary criticism: thus critics often use ―pause,‖ ―rest,‖ and ―caesura‖ almost interchangeably‖. Lihat Alex Preminger dan T.V.F. Brogan (eds), The New Princeton Encyclopedia of Poetry and Poetics (New Jersey: Princeton University Press, 1993), hlm. 158–159. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 110

kita mengalami perjumpaan radikal dengan setiap elemen dan keseluruhan yang membuka dirinya dalam waktu, dari satu tingkat ke tingkat lainnya sekaligus secara simultan saling berhadap-hadapan, bertabrakan, berbenturan, berselisih, beradu energi: sebuah konfrontasi! Dan durasi konfrontasi yang dimulai sejak

Sipir memberikan Jelita kain bulan-bulan titipan Mak Tua ini berlangsung selama

± 12 menit 5,51 detik sementara kamera praktis diam tak berkutik!

2. Filmic Alliteration

Durasi 12 menit 5,51 detik ini adalah akhir tayangan visual (namun bukan akhir dari film) sebelum kemunculan Kadir dalam dialog internal yang terakhir.

Ketika itu Kadir menyelesaikan dialog internal yang ke empat. Kamera ambil posisi tepat di tengah sudut pandang penonton dengan dua jeruji menjadi frame- nya menyorot Jelita yang duduk tenggelam dalam ratapan batin kehilangan Mak.

Sipir (yang tak kelihatan sebelumnya) bangkit menyerahkan kain bulan-bulan padanya (membelakangi penonton). “Ibu Tua menitipkan kain bulan-bulan ini untukmu supaya kamu bisa menari dengan gembira.” Jelita menerimanya penuh takzim, mendekapnya ke dada (Sipir kembali duduk). Perlahan ia berdiri, membuka lipatan kain, membungkus tubuhnya merasakan kehangatan sang ibu, menyamping dan bergerak seperti diayun-ayun. Perlahan terdengar beberapa perempuan bernyanyi, ―Tarikan, hei si buah hati...‖ Makin lama, suara mereka makin keras seolah mereka di dalam dapur sebelum akhirnya memudar mendapati

Jelita yang tersunguk-sunguk, duduk menelungkup badan. Sayup-sayup anjing menggonggong di luar. Kemudian mesin truk mendekat, mengeras dan berhenti. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 111

Musik mengaum, pintu truk dihempas. Suara-suara Sipir (lainnya) memanggil nama-nama.

Jelita kemudian meminta Sipir memanggil namanya. Namun ia menambahkan bahwa bukan seperti ini caranya ia dididik. Selain itu, ia menegaskan bahwa ia tak mau diikat dengan tali dan kepalanya tak mau dikarungi karena ia bukan kerbau dan bukan beras dan mata itu untuk melihat. Sipir menolak beradu pandang. Lenyap setiap jejak garang di wajahnya. Sebaliknya

Sipir tenggelam dalam aktivasi images dalam benaknya. Terdengar suara-suara terdengar di sekeliling dapur tanda ada pengumpulan narapidana sementara dua orang perempuan masuk berdiri menunggu dikarungi.

Perlahan ia lepaskan tudung kepalanya. “Ina ingin saya tetap cantik.”

Sipir merogoh-rogoh tanpa melihat membelakangi Jelita nyaris menghadap kamera, lalu menjulurkan tangan menyerahkan sisir pada Jelita. Kemudian

Ibrahim dipanggil untuk mengikat tangan Jelita. Sipir yang berdiri membelakangi

Jelita, hanya menunjuk dengan tangan kanannya ke arah Jelita. “Pak Cik, setelah semua ini lewat, saya ingin Pak Cik tetap berdendang, tetap berdidong. Tapi jangan ceritakan ini dengan kemarahan.” Saat Kadir selesai, ia mematung menghadap dinding kontras dengan gerakan Sipir yang tampak terburu-buru mengikat dan mengarungi dua wanita tadi. Sesaat Jelita berbalik menghadap penonton kemudian terdengar lagu, “Ina...o... ina...”

Seketika itu juga, kita sadar bahwa lagu ini dan segala adegan di dalamnya sebenarnya menunjuk pada peristiwa Mak Tua dan Jelita, pada hubungan kasih di antara mereka, pada ‗pemberontakannya‘, pada konfrontasinya dengan Sipir dan PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 112

para tahanan, bahkan pada kata-kata di ujung dialog internal Kadir sebelumnya

(yang ke-4), “Seperti anakku...” erangnya nyaris lunglai. Seketika itu juga kita ingat adegan di penghujung sebelum dialog internal tadi betapa Pak Tua mencari- cari anaknya saat ia dipanggil. Dan seluruh isi dialog internal Kadir sesungguhnya menceritakan kesaksian nyata saat ia melihat eksekusi seseorang yang tidak mau dipisahkan dari anaknya.

Adegan selanjutnya seperti yang sudah kita lalui di atas, saat Jelita bak dewi melewati Sipir simultan dengan Kadir nyaris ambruk melangkah menuju dipan sementara sipir memperhatikan sebelum melangkah menuju pintu sel dan menguncinya. Di sana, El Manik duduk tertegun. Kadir melipat badannya, menaruh kepalanya di pangkuan El Manik yang menerimanya dan mengusap-usap kepala Kadir.

Kita mengalami fenomena perulangan yang berlangsung secara intens dan mendalam. Setiap bagian berbicara untuk bagian lainnya. Akan tetapi, perulangan itu tidak biasa. Setiap perulangan menjadi pintu masuk untuk dimensi lainnya.

Perulangan menjadi percabangan bahkan mutasi25. Jelita yang menari diringi senandung para wanita itu mengulangi adegan sebelumnya namun dengan efek

25 Dalam cara berpikir Deleuze, peristiwa adalah momen konfrontasi antara ‗yang di dalam‘ dan ‗yang di luar‘ yang memungkinkan ‗pikiran‘ mencuat keluar. Pikiran Deleuzian ini sangat berbeda dari konsep pikiran konvensional. Segaris dengan pemikiran Nietzsche tentang kembalinya segala sesuatu (eternal return), Ia dengan keras mengkritik image of thought ini yang, ―…imply the subordination of thought to externally imposed directives.‖ Ini mengarah pada, ―….crush thought under an image which is that of the same and Similar in representation, but profoundly betrays what it means to think…‖ Lihat Gilles Deleuze, Difference and Repetition, Patton (trans), ( New York: Colombia University Press, 1994), hlm. 167. Apabila habit (kebiasaan) selalu kembali berulang sama, dan memori berkaitan dengan penciptaan identitas supaya sebuah pengalaman bisa diingat kembali, eternal return itu adalah repetisi yang berbeda dari dirinya yang sebelumnya.. ―The subject of the eternal return is not the same but the different, not the similar but the dissimilar, not the one but the many.‖ ―Difference inhabits repetition.‖ (Ibid., hlm. 126, 76) PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 113

serta mood filmis yang sangat berbeda, yaitu dari intensitas klimaks ke intensitas anti klimaks. Berbarengan dengan itu, tarian dia seakan mereinkarnasi tarian serta iringan lagu yang sama namun dengan kecepatan irama dan mood yang sepenuhnya berbeda. Lagi pula, diam menari sendirian diringi penyanyi yang entah berasal dari penjara perempuan yang menghubungkan visualisasi ini pada saat mantra vibrasi romantisme menuai efeknya membuat Kadir berjoget ria diiringi tepuk dan dendang riuh teman-temannya sebelum ia tumbang di puncak bahagia.

Kain bulan-bulan kini bukan dari Mak Tua namun dari Sipir yang memberikannya begitu lembut seperti bapa ke anak kontra ibu ke anak. Mak Tua memberontak, kemudian meminta untuk ‗ikut‘ dengan kerabat, adik dan keluarganya yang sudah mendahului. Sebaliknya, Jelita lebih afirmatif serta penuh pengampunan. Namun ia adalah fenomena tersendiri: yang bersisir (dan sisirnya dari Sipir!), berjalan tanpa karung dan berkonfrontasi dengan Sipir secara

‗bersahabat‘ dengan durasi yang cukup panjang. Saat ia menyisir pun, kita teringat samar-samar pada adegan saat Mak sebelumnya menyuruhnya menyelipkan tusuk konde ke rambutnya yang digerai, keheningan sejenak tercipta simultan dengan kepulan uap menerobos tutup periuk. Lalu saat lagu „ina‟ bergema, Jelita melangkah ke pembantaian dengan hikmat sementara Kadir seolah tersedot ke dalam hasrat kembali ke rahim ibunda namun berakhir di pangkuan sang ‗Bapak‘

El Manik.

Pada titik ini tersentak kita gamang dalam ingatan saat Saruddin (Pak Tua) mencari-cari anaknya mengintip ke sel perempuan yang kosong-melompong PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 114

(adegan terakhir sebelum dialog internal ke-4). Terus ke belakang, pikiran kita terbawa kembali saat ia mengingau dalam tidur menyebut anaknya, terbangun dan membangunkan Wak Haji yang malahan terseok ke jeruji bertanya pada Sipir,

“Pak Sipir, sudah jam berapa”. Kita terus menghubungkannya dengan adegan di bagian awal film saat tangisan bayi memecah kebisuan sel dan kamera menunjukkan bagaimana dia terbangun, duduk mencodongkan badan dan kemudian mengintip sebelum dibantu Kadir (setelah dialog internal ke-1). Namun dalam dialog internal ke-4, kita tahu dengan pasti bahwa ia bukan Saruddin tapi seorang ibu yang memohon untuk tidak dipancung tapi ditembak sebab anaknya harus ikut dengan dia, menyusui anak itu kemudian mempersilahkan eksekutornya beraksi. Dan erangnya di akhir kisah “....Bergulir begini, bergulung dia....Waktu itu saya lihat, bulan sepertinya ada jerit dari atas, menjerit bulan dan bintang itu sepertinya menjerit...menjerit...Rasanya seperti anakku...” nyaris roboh ke samping.

Setiap perulangan memperkuat ingatan filmis sebelumnya namun terus berkembang dinamis menambah dimensi baru, menambah bunyi baru yang mengakibatkan emosi dan yang visual mengalami peningkatan secara konstan ad infinitum. Gestural meresonansi yang sebelumnya seraya memperluas dan memperdalam cakupan filmisnya. Images dalam benak penonton juga mengalami reaktivasi secara terus-menerus sembari membuka begitu banyak percabangan baru yang terus berkembang ke segala dimensinya. Pada momen menjelang kematian, kemanusiaan mengalami peningkatan secara ekstrim. Bahasa lenyap ditransendensi gestures, para pemain kehilangan kata dan suara. Jiwa mencari PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 115

jiwa lainnya, sebuah pencarian yang melewati batas hubungan biologis bahkan oposisi binaris antar jenis kelamin. Inilah aplikasi repetisi puitis yang melampaui sekedar penciptaan emosi maupun empati: filmic alliteration26.

3. Komunikasi : Sebuah Medan Vibrasi

Filmic Alliteration dan filmic caesura menciptakan krisis besar yang melemahkan keterkaitan logis antar shot atau frame. Montase bukan lagi linkage.

„Kontrak kesetiaan‘ ala Bazinian27 antara sutradara dan penonton buyar.

Akibatnya, suara merujuk pada dirinya sendiri ataupun ke suara-suara lainnya yang tampak dalam asinkronisasi dinamis berbagai suara, bunyi, musik. Sound- image menjadi energi atau kekuatan (force)yang sedang merambat, tembus memantul menyelesaikan kinetiknya dan kamera menangkap dampaknya lewat doppler effect. Krisis ini juga menyebabkan visual image pada gilirannya potensial menunjukkan ruang apa saja (the any-space-whatever), ruang-ruang kosong ataupun diskoneksi. Yang visual bahkan potensial mengangkat fondasi-

26 Dalam dunia puisi, aliterasi berarti perulangan bunyi yang dilakukan secara sengaja untuk menghasilkan efek imaginal atau emosi tertentu atau kombinasi keduanya. Dalam ensiklopedia dikatakan demikian : ‗The repetition of the sound of an initial consonant or consonant cluster in stressed syllables close enough to each other for the ear to be affected. Although poetic alliteration is necessarily manifested in words, what it draws on in another work need not be verbal. The words of the alluding passage may establish a conceptual rather than a verbal connection with the passage or work alluded to. Alliteration assumes: (1) prior achievements or events as sources of value; (2) readers sharing knowledge with the poet; (3) incorporation of sufficiently familiar yet distinctive elements; (3) fusion of the incorporated and incorporating elements. Alliteration is NOT restricted to poetry, and has analogues in other arts, religious writings, and other possible uses of echo. It usually presumes a close relation between poet and audience, a social emphasis, a community of knowledge, and a prizing of tradition, even fears of the loss of valued tradition‖. (Alex Preminger, Op. Cit., hlm. 36, 39) 27 Bagi Bazin, film harus mengandung relasi logis ynag memungkinkan penonton mencerna film secara akurat. Ia mendeklarasikan bahwa film harusnya secara ontologis menuju sesuatu secara nyata. Dalam film-film bergaya Deleuzian, kontrak semacam ini menjadi kabur yang ditandai dengan lemahnya berbagai hubungan antar elemen. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 116

fondasi ruang –strata demi strata28-- yang tadinya direpresi bersama waktu dalam movement-image (ketika setting ditentukan secara eksternal seakidah dengan respon motorik karakter). Yang visual pada gilirannya menjadi semacam arkeologi, stratigrafi atau tektonik.

Sementara itu, peristiwa (event) menjadi pengalaman lewat perjumpaan radikal. Radikalitas perjumpaan itu berarti berada dalam perhentian, gagu bicara kaku melangkah ketika mengalami yang visual secara ekstrim. Konsekuensinya, perjumpaan sinematik berarti mengerahkan energi setiap ranah indra, mengalami ketubuhan/kedirian secara langsung-subyektif. Realitas dalam visual beradu fisik dan energi dengan realitas ketubuhan dan kedirian. Subyek yang sedang menonton tidak lagi menonton begitu saja namun mengalami realitas sebagai persoalan yang menyangkut keseluruhan eksistensinya.

Kombinasi ini membuat menonton menjadi sejenis ‗uji mental‘ bahkan

‗adu daya tahan (fisik)‘. Menonton membutuhkan partisipasi dan memorisasi.

Kreativitas menjadi syarat mutlak ketika dalam perhentian orang justru berhadapan secara simultan dengan diskontinuitas, diskoneksi dan kompleksitas afeksi dan persepsi. Menonton sekaligus menjadi akvitas menghubung- hubungkan, mempertanyakan, menguji hipotesis, mengingat-ingat yang sudah lewat dan berusaha memahami ‗keganjilan interrelasi‘ antara visual image dan sound-image, antara dialog internal dan interaksi di dalam sel, antara gestural dan

28 ―The break in the sensory-motor link does not only affect the speech act turning in on itself and hollowing itself out, and in which the voice now refers to itself and to other voices. It also affects the visual image, which now reveals the any-space-whatever, empty or disconnected spaces characteristic of modern cinema. It is as if, speech having withdrawn from the image to become founding act, the image, for its part, raised the foundations of space, the ‗strata‘, those silent powers of before or after speech, before or after man. The visual image becomes archaeological, stratigraphic, tectonic.‖ (Gilles Deleuze, Op. Cit., hlm. 243) PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 117

speech. Aktivitas ini menjadi bagian integral dari perjumpaan ektrim dalam proses perhentian yang justru ditandai dengan konfrontasi dalam durasi semisal energi hidup jelita dan Mak Tua yang mulai dengan intensitas rendah hingga mencapai antusiasme (puncak intensitas) yang menulari energi (harapan, aspirasi, kenangan, cita-cita) para tahanan lainnya.

Sebaliknya, kadangkala energi itu terjun bebas justru di puncaknya.

Penonton terseyum-seyum atau bahkan ketawa mendengar kisah-kisah tahanan wanita: musim petik kopi, simbolisasi bunga untuk cinta, insiden tutup kepala atau bahkan ludahan sirih-pinang. Hal-hal biasa bahkan teramat akrab dalam kehidupan sehari-hari ini justru menjadi titik tolak sekaligus tonggak pembangkitan memori dan kesadaran manusiawi para tahanan. Tidak heran para pria tergial saling bertukar memori kasih. Namun apa lacur, di puncak kegembiraan, di pucuk ingatan yang tertuang dalam dendang, tepuk tangan dan gerak tubuh menari justru ‗realitas asing‘ –ideologi, penjara dan kematian— kembali menancap dalam-dalam menghempas energi ke dasar jurang frustasi.

Fenomena ini membangkitkan ide bahwa sound-image tidak sekedar fenomena fisis namun juga biologis. Ia menjadi vibrasi kinetik force yang melampaui fungsi interaktifnya. Kita bisa melihatnya dalam durasi selepas dialog internal ke-2. Saat Kadir fade-out29, layar menjelma jadi Mak Tua yang berlenggak-lenggok dengan kain bulan-bulannya. Jelita memperhatikan namun kurang semangat. Sesaat Mak berhenti. “Apa gunanya semuanya ini. Aku tak mau

29 A gradual means of closing or starting a scene, often used as a transitional device when one scene closes with the image disappearing (A fade-out) and the next scene comes into view as the image grows stronger and stronger (a fade-in). Both kinds of fades following one another indicate a significant break in action, time, or place (the viewer briefly faces a blank screen which marks this separation). (Ira Konigsberg, Op. Cit., hlm. 111) PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 118

lagi.” Sambil menyodorkan kain tersebut pada Jelita. ―Betapa aku menjadi pilu.

Kerabatku, adikku mereka tidak mau datang pada perkawinan anak kakakku.

Abangku pun tak lagi diajak kakakku waktu mengawinkan anaknya. Kenapa?

Yang datang malah orang lain. Kenapa jadi begini? Apa yang salah?” tanyanya penuh tuntutan. “Kenapa hidup jadi kacau?‖ respon Jelita sembari menerima Mak yang jatuh ke haribannya. “Entah aku tak mengerti apa sebabnya terjadi seperti ini.” Musik mengalun, kamera bergerak horisontal menunjukkan Pak Tua yang ternyata sejak tadi berdiri di pojok jeruji mendengarkan dengan seksama.

Musik mencabik dengan repetisi disharmonis dengan sedu-sedan Mak Tua saat Pak Tua mulai berkisah. Struktur kisahnya kurang-lebih sebangun dengan struktur kisah Mak Tua yang ditandai dengan tanya menuntut. Kisahnya pun bukan pertama-tama untuk merespon (dalam struktur interaksi) Mak namun lebih merupakan produksi dinamis angan-angan, aspirasi, ingatan atau harapan yang teraktivasi dalam teror mental-fisik di luar batas. Kamera mengikuti vibrasi energi yang menganimasi images dalam benak para tahanan. Lalu kamera turun vertikal yang membuat kita kembali sadar ada yang sejak tadi mendengarkan namun tenggelam dalam lautan memori yang secara simultan juga sedang mengalami aktivasi secara ekstrim. Musik berhenti. Gerakan kamera kembali horisontal hingga ke Kadir sebelum naik vertikal ke sang Ideolog dan berakhir kembali ke

Pak Tua secara horizontal. Efek yang sama berulang dengan struktur pengisahan yang serupa. Mereka berbicara seolah kepada diri sendiri, seolah mengucap mantra atau semacam kontemplasi melalui kata. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 119

Kombinasi horizontal dan vertikal ini berlangsung sampai empat putaran.

Di akhir putaran, ia mulai dari asal vibrasi (Pak Tua), turun vertikal ke seseorang yang berbaring di bawahnya, horizontal ke Kadir dan naik kembali ke sang

Ideolog. Gerakan ini membentuk persegi empat imaginer ibarat memetakan medan vibrasi sebelum di-cut dan gerakan kamera mulai tidak persis vertikal lagi namun menyerong close-up wajah seorang tahanan yang kepalanya bertumpang pada tangan seraya memandang ke depan tajam. Kamera terus naik hingga

Ideolog yang memalingkan wajah sedikit menyungging seyum sebelum horizontal ke Kadir perlahan mengikuti gerakan kamera sembari juga terseyum tipis sementara Pak Tua di belakangnya bangkit menatap sambil membereskan kopiahnya. Kamera terus ke kanan nyaris full close-up pada wajah Wak Haji yang perlahan menegakkan kepalanya juga ke arah yang sama.

Sampai titik ini hanya kesenyapan yang meraja namun setiap ekspresi jelas memancarkan vibrasi tertentu dan tertuju pada satu arah. Ketika kamera turun menyamping ke Penutup Telinga yang perlahan melepas kedua katup telinganya, gabungan suara Mak dan Jelita mulai kecil kedengaran. Kamera kemudian naik ke

Pak Uban yang tadi membereskan kopiahnya lalu sejajar ke kanan ke seorang tua lainnya yang tampak mengerahkan penglihatan dengan menyipitkan sudut-sudut matanya. El Manik yang sedang berbaring tidur terusik, bangun, mengejap-ejap matanya seakan hendak mengusir halusinasi pendengaran kemudian menatap tajam ke depan seiring suara yang makin keras (doppler effect). Dan begitu energi suara mencapai titik maksimumnya, begitu pula Mak Tua dan Jelita bergoyang gemulai penuh semangat sementara panas uap mengepul-ngepul di belakang PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 120

mereka. Dan mulailah pelajaran mengolah padi dan sandi asmara seperti yang sudah digambarkan di atas.

Sound-image menjadi perambatan yang memenuhi sekujur tubuh bahkan jiwa. Ia menjadi potensi yang menganimasi dengan menghidupkan kembali affective images30 dalam benak pemain yang tadinya sudah direpresi sedemikian rupa. Komunikasi dalam Puisi Tak Terkuburkan tidak hanya berfungsi sebagai sarana pertukaran pikiran dan perasaan yang sudah ditentukan secara eskternal.

Jauh lebih dalam dari itu, ia menjadi sejenis entitas yang ada dalam dirinya sendiri terlepas dari kontrol ego dan logika interaksi sosial umumnya. Ia membuka jalan ke dalam diri, terowongan ke dalam jiwa dan saluran alternatif keluar mengatasi sekat-sekat hukum komunikasi. Ia menjadi interaksi dalam dirinya sendiri yang bertemu dan berkonfrontasi bahkan mengalami proses okulasi dengan berbagai image, dengan tubuh, dengan jiwa, pendek kata, dengan keseluruhan dimensi kemanusian. Komunikasi adalah medan vibrasi yang terus-menerus meningkatkan isi, tekanan dan bentuknya.

4. Dialog Internal,Trial and Error serta Visualisasi

Dalam hubungannya dengan tranformasi radikal dalam dan lewat durasi ini, Garin mendudukkan dialog internal Kadir secara khusus kalau dikaji menurut isi dan gestural-nya. Dalam bagian pertama, Kadir mengisahkan keberingasan pedang yang mengayun memenggal kepala demi kepala hingga bertimbun-timbun

30 Affective images menempati posisi teramat penting dalam time-image. Ia merepresentasikan respon neural terhadap rangsang dari luar. Secara kualitatif dan bukannya kuantitatif, respon ini melibatkan daya-daya tubuh untuk menyerap tindakan eksternal tersebut dan meresponnya secara internal. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 121

hingga saat ia melihat kaki yang menggelepar. Adegan selanjutnya menunjukkan tangan dan kaki yang menggelepar berikut beliak mata, tubuh kaku duduk atau berdiri, dan seterusnya. Ini adalah trauma akibat mengalami sesuatu secara kontans dan bertubi-tubi. Pola reaksi menjadi sangat minim sejalan dengan pola aksi yang juga minim.

Ini merefleksikan upaya menkontekstualisasikan ‗tafsiran sejarah‘ ke dalam benak penonton. Kita mengetahui ruang, ritme, pola relasi dan interaksi, berbagai kejadian serta sistem tanda di dalamnya. Namun begitu, hubungan isi dan gesture dalam dialog internal ini dengan berbagai adegan yang mengikutinya tidak sekedar saling melengkapi. Pada dirinya sendiri, kesaksian tersebut otonom sebagai pengalaman seorang Kadir. Ia adalah kesaksian yang mengandung sejumlah percikan peristiwa aktual namun berbagai peristiwa itu sendiri otonom tidak tergantung pada kesaksiannya. Sebaliknya berbagai dimensi audiovisual yang mengikutinya justru bisa berlawanan, bertumbuh, berkembang mengikuti logikanya sendiri. Tampaknya, masing-masing bisa ditonton secara terpisah.

Ketika disandingkan sebagai kontinuitas, kontinuitas ini serta-merta menciptakan diskontinuitas yang sebenarnya lebih saling menggempur tanpa saling menghancurkan. Celah (gap)inilah yang harus coba disambung-sambung, dijembatani dan dimaknai penonton. Menonton lalu menjadi semacam proses trial and error secara aktif-partisipatif.

Bersama Kadir kita melangkah masuk penjara untuk pertama kalinya dan mengalami berbagai peristiwa yang terjadi di dalamnya. Bagi kekuasaan, ini adalah soal menjebloskan ke dalam bui dan mengangkutnya ke lokasi eksekusi. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 122

Bagi para terpidana ini adalah rentang perjumpaan dengan diri sendiri, sesama terhukum dan kekuasaan dalam situasi yang tak terbayangkan.

Situasi menjadi absurd secara brutal. Kadir permisi masuk mengucap

‗assalamualaikum‘. Karung bukan lagi beras tapi kepala terpenggal. Demikian tanya Pak Tua pada Sipir yang memberikan sepiring nasi dan sepotong kain padanya, ―Berapa karung lagi yang datang itu?‖. Yang memasak dan yang dilayani sama-sama menunggu waktu (eksekusi). Sementara itu, Ideolog mendakwakan pembebasan dari rasa takut secara ideologis seraya memberanikan seseorang yang meringkuk dalam WC tak percaya namanya dipanggil. Terhukum

(khususnya Kadir) mengikat terhukum ‗membantu‘ Sipir. “Bagaimana?” tanya

El Manik diamuk gelisah pada Kadir yang membeberkan eksekusi dari celah- celah WC. (Kita melihat Jelita untuk pertama kalinya). Tangis bayi memecah keheningan malam, terdengar senandung ‗anakku....o anakku..sayang...‟. Pak Tua terbangun, mengintip dan meminta Kadir memastikan keberadaannya di sel sebelah. Kadir sempat menggambarkan istri Pak Tua secara puitis, “Wajahnya seperti perahu lane dihempas-hempas gelombang.” katanya. Jelita dibawa diserahkan kepada Sipir untuk membantu di dapur yang membuka jalan pada hubungannya dengan Mak Tua yang sudah bekerja di situ sebelumnya. Adegan selanjutnya adalah konfrontasi Mak Tua dengan Sipir via Jelita (yang mengusulkan wanita lainnya untuk memakai goni sebagai sajadah) untuk pertama kalinya, indikasi yang bakal terjadi kemudian. Lalu Wak Haji menanyakan waktu kepada Sipir seolah tidak sabar dengan kedatangan truk berikutnya. Kadir PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 123

mencium bau kotoran anaknya di selimut yang diberikan Sipir kepadanya. Wak

Haji mengalunkan azan terbeliak matanya seiring deru truk berhenti.

Penjara merampas harmoni pribadi maupun komunal. Namun begitu, yang terkasih dan yang mengisi hari-hari dalam kebersamaan tidak mudah terlupakan atau melupakan. Bahkan, kita merasakan jaring-jaring hubungan manusiawi ini mengalami perluasaan serta pendalaman melampaui kaitan biologis dan bahasa kecuali sensibilitas. Bau misalnya menjadi pesan seribu makna. Tangis bayi begitu menyihir. Mata yang melihat istri serta anak di seberang sana tak kuasa berair mendapatkan kembali yang hilang meski terhalang dinding dan kekuasaan.

Maka, di tengah-tengah absurditas yang begitu opresif–depresif ini, kita mendapati sepotong kemanusiaan yang memukau lewat percakapan Kadir dan El

Manik. “Dalam keadaan tertekan seperti ini, semuanya bisa jadi berarti. Makan, tidur, berak, mandi...Semuanya jadi berarti, bukan cuma keluarga, bukan cuma anak, bukan cuma istri.....,” kata El Manik mengomentari Kadir yang mencium bau anaknya di selimut tadi. “Mereka tahu aku di sini,” kata Kadir tanpa menoleh. Interaksi separuh pada diri sendiri, saparuh satu sama lain ini boleh dibilang menyimpulkan persoalan yang sedang mempresentasikan dirinya serta bertunas dan bercabang-cabang membentuk kemandiriannya namun sekaligus berasal dari pergulatan yang sama: persoalan kemanusian. Pada titik ini juga, hubungan antara isi dialog internal dengan berbagai adegan di dalamnya menjadi kabur bahkan mungkin terpisah sama sekali. Ia bukan lagi kesaksian personal namun persoalan bersama, pemain dan penonton. Di sisi lain, kemanusian itu melawan. Ingatan menjadi batu penjuru yang menopang daya tahan ego dalam PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 124

menjaga kewarasan sang manusia dari upaya perkosaan secara ideologis. Penjara ibarat sebuah laboratorium manusia dan kemanusiaan berjibun konflik, kepentingan dan pertanyaan.

Dialog internal ke-2 menjadi antitesis yang pertama. Ia adalah cerita gembira ‗kehidupan normal‘ ketika bersendau-gurau di sawah bersama istri dan anak. Bahasa tubuh Kadir dengan jelas menggambarkan orang yang bekerja di sawah dengan ekspresi bahasa dan wajah seorang suami dan bapak yang sangat bahagia. Tidak ada hantu trauma seperti dalam dialog internal ke-1. Kamera juga dengan sengaja melakukan zoom out membuat tubuhnya mengecil. Penonton dengan seketika memahami bahwa kamera sedang memandang dari jauh seolah dari pematang sawah menyaksikan saat menanam. Semuanya penuh sukacita, sang empunya sawah, keluarga dan kehidupan. “Aku tuh mikir kan, wah itu miliknya memang. Wah senang anakku tuh, punya sawah sendiri, menanam sendiri dengan ibunya...” Dan ketika anaknya melihat Kadir yang membawa pulang hasil mancingnya, betapa senangnya dia memberitahu ibunya. “Itu kan bapak bawa...bawa ikan....Ya... ini gunanya pancing, katanya. Nanti kita tumbuk, kita masak lalu kita lauk ikan bapak habis itu...” Betapa bahagianya sang bapak melihat anaknya berjingkrak-jingkrak menyambutnya. “Aku kan senang, oooh senang aku eh...”

Separoh adegan setelahnya merefleksikan antitesis baik itu bahasa, bahasa tubuh dan ekspresi wajah. Kamera menangkap Mak Tua yang sedang melenggok gemulai dengan kain bulan-bulan disaksikan Jelita yang lesu duduk. Kehidupan yang normal sudah dicerabut dari akarnya. Ruang pribadi maupun komunal serta PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 125

eksistensi sebagai manusia yang bermartabat dicerabut tanpa belas kasihan atas nama ideologi. Kehidupan normal tinggal kenangan digantikan logika penjara yang kesudahannya basmi. Mati kontra hidup, tawa kontra pertanyaan.

Kita memasuki medan vibrasi seperti yang digambarkan di atas yang ditandai dengan story-telling para tahanan. Struktur narasi mereka ditandai dengan keterhubungan kembali dengan dan lewat memori, identitas, peranan serta relasi sosial yang porak-poranda dilibas kepongahan kekuasaan yang sedang menafsirkan sejarah menurut kepentingannya. Keterhubungan ini mengindikasikan kegagalan ‗proyek pemurnian ideologis‘ kekuasaan sebab akal dan martabat melampaui ancaman, aturan dan logika penjara. Getaran energi hidup itu membuka simpul-simpul selebral yang tadinya ditekak lumat oleh situasi yang penuh ketidakpastian ini. Bagian kedua dari adegan yang kemudian menjadi antitesis yang secara internal membalik mood serta corak vibrasi (seperti yang sudah kita lihat di atas tadi). Cerita pribadi menjadi kepemilikan serta interpretasi kolektif. Ini sebuah upaya membalik kondisi penjara menjadi jejaring komunal.

Film mengalami perkembangan tanpa batas hingga Kadir yang tersungkur kembali. Kembali kita menyaksikan betapa adegan paska dialog internal tidak sekedar menggambarkan secara visual namun berkembang secara otonom pada akhirnya.

Memasuki dialog internal ke-3, Kadir mencoba memasuki kepiluan kepala dan tubuh yang dipisahkan dengan paksa. Kadir seakan sedang mengekspresikan ironi kekuasaan yang sedang membela sejarah. Bagi Kadir ini adalah soal antipati sepihak terhadap takdir natural sebagaimana yang diciptakan Tuhan, absurditas PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 126

perilaku yang terlampau sulit dinalar. Katanya, “...Dia itu utuh dari kaki sampai rambut diciptakan Tuhan lengkap. Tapi kita menceraikannya. Hei...aku tidak suka ciptaan ini katanya! Cak! Hahahahaha....,” katanya sambil agak melompat sedikit menebas dan geleng-geleng kepala. Bagi penonton, Kadir seolah-olah berjingkrak-jingkrak tepat di depan mereka akibat gerakan kamera yang lincah mengikuti dan mendekatkannya hingga hanya bagian kepala di sebelah kanan layar (dari penonton). Saat dia menggeleng-gelengkan kepala, kita malahan melihat permukaan kepalanya! Sebuah gestural tersendiri dari kamera yang memberi kesan kepala yang tertebas ataupun sesuatu yang bakal terjadi.

Adegan yang mengikutinya semakin mempertajam pesan sejak awal.

Hubungan sosial, kekerabatan dan keluarga adalah lokus dan batu pijak eksistensi dan kemanusiaan. Tampak sel perempuan lewat celah dinding. Jelita membagi- bagi makanan di sel perempuan hingga ibu dengan bayinya yang sedang tidur.

Mereka bertanya apakah Jelita melihat ayah sang anak, suara batuk itu suaminya atau yang lain, melihat anak-anaknya di sebelah. Untuk ketiga pertanyaan itu,

Jelita menjawab, “Saya tidak tahu.” Jawaban ini bisa merefleksikkan ketidaktahuan Jelita, atau indikasi begitu cepatnya perubahan datang dan ambil untuk eksekusi sehingga indra sulit mengikuti perkembangan ataupun campuran frustasi terhadap keseluruhan skenario yang ada.

Kamera kemudian berpindah ke sel pria menyorot dari dekat Wak Haji.

Nama-nama dipanggil, bergerak ke El Manik dan...‗dor!‘. El Manik bangun, gemetaran menutup mulutnya seolah takut menjerit, matanya membeliak seperti

Wak Haji dan terdengar cabikan musik. Suara perempuan menangis, nama-nama PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 127

perempuan dipanggil sebelum kamera berhenti agak lama pada Penutup Telinga yang membujur di lantai. Kita merasakan kembali puncak tekanan yang membuat setiap orang gagap ekspresi verbal kecuali dalam refleks dan distorsi afeksi.

―Jalil!” Jalil meringkuk dalam WC. “Jalil, mana Jalil, keluar!” suara Sipir terdengar dekat sekali, dari dapur! Lalu Jalil berjalan keluar dari WC. Sikap badannya mengingatkan kita pada pengarungan pertama saat ia justru menguatkan temannya (yang tersudut jongkok di pojok WC) untuk keluar dari menemui eksekutornya dengan berani (seperti yang sudah kita ikuti di atas hingga Mak Tua yang histeris menyuruh para pria berhenti berdendang).

Kamera kemudian menyorot El Manik yang membelakangi penonton, memukul-mukul dinding dengan gemas campur amarah. Dengan kepalan tangannya dia seolah hendak menumpahkan segenap perasaan. Dengan kuat ia menyeret kepalan tangannya sepanjang dinding sampai buku-buku jarinya meradang, bengkak dan berdarah. Bertanyalah ia, “Kenapa tangan kita ini tidak lagi mengetuk pintu untuk menyapa? Kenapa ketukan di setiap pintu rumah kini jadi menakutkan?” Ia mendesah-desah dalam sengal nafas yang tertahan-tahan.

“Kenapa jemari ini tidak bisa menunjuk setiap kebaikan? Kenapa jari kita harus menunjuk ke dalam sarung (memfitnah)?” sembari tangannya menusuk dari balik sarungnya seperti badik atau rencong menikam penuh tenaga. Presentasi persoalan di awal dan pada momen medan vibrasi mengalami penajaman maksimal. Ia sedang bermaklumat mengulangi serta memperkembangbiakkan dimensi pertanyaan. Tangan, kaki, badan, kepala, ekspresi wajah disatukan dalam sebuah PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 128

maklumat yang mempertanyakan serta merenungi hilangnya normalitas jejaring kehidupan di bawah ancaman pembunuhan (rencong).

Adegan lalu berpindah pada Jelita yang sedang terpekur lesu. Badannya tertekuk, leher menunduk. Kamera perlahan turun vertikal menunjukkan tangannya yang menggenggam goni, antara sesal dan protes. Terdengar nyanyian laki-laki tapi bukan dari sel laki-laki. Sipir dengan kasar meraup karung dari tangannya. Beberapa orang sedang dikarungi lagi. Ketika mereka didorong keluar, kamera memperlihatkan sikap berdiri dua orang laki-laki yang membantu dalam proses pengarungan barusan. Kamera terus bergerak horisontal ke kanan menangkap Jelita yang juga berdiri dalam sikap yang sama. Dibandingkan dengan sikap berdiri Jelita pertama kali, mereka bertiga berdiri di puncak sesal dan protes tanpa daya.

Pada titik ini, frustasi dan marah menterjemahkan dirinya ke dalam konfrontasi secara langsung. Ketika itu Jelita dan temannya barusan pulang dari pasar membeli karung-karung baru. “Dapat berapa karung...” tanya Sipir. “Ini saja Pak, orang-orang di pasar bertanya karung-karung ini untuk apa? Mereka tidak menjual karungnya.” Jawab Jelita. Sebagai yang merepresentasikan kekuasaan, Sipir menuntut, “Besok cari di pasar lain.” Mak Tua yang sudah sejak awal bersikap frontal tanpa diundang menimpali ketus, “Aku tidak mau masak seperti ini! Aku biasa masak untuk pesta perkawinan,” sambil membanting panci. “Aku mau cari kerja lain. Aku telah berbuat dosa pada anak-anak yang tidak mengerti apa-apa!” seraya berteriak mencondongkan badannya ke arah

Sipir. Pada titik ini, peran domestik mengalami perluasan dimensi ruangnya PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 129

menjadi peran dan identitas sosial. Generasi tua berbuat dosa pada generasi muda yang seharusnya menjadi penerus yang lewat keluarga (perkawinan) mempersiapkan generasi sesudah mereka. Ada kesinambungan dan kepentingan timbal-balik yang dikacaubalaukan oleh ideologi dan penjara. Ini adalah masalah survival sebuah komunitas atau bahkan bangsa yang ironisnya justru hendak ditunaikan kekuasaan.

Samar-samar terdengar suara laki-laki sedang mengaji. Mak Tua mengitari pembatas ke arah luar seiring Penutup Telinga yang sejak tadi berdiri di situ mendengar berjalan menuju dipan. Ada dengkur mereka yang tidur, musik perlahan masuk. Sesaat dia melungkar di atas dipan dan Pak Tua (Saruddin) mengingaukan anaknya. Sisa adegan selanjutnya seperti yang sudah kita perhatikan di atas. Ia membangunkan Wak Haji yang justru bergegas bertanya pada Sipir apa sudah waktunya. Pada titik inilah, maklumat Wak Haji berreinkarnasi dalam konteks komunitas spiritual, “Dimana umatku?” seiring suara pintu sel lain dibuka dan nama-nama diteriakkan Sipir. “Ampun

Tuhan...tolong aku..” jerit seorang perempuan. Seorang bayi kedengaran menangis. Pak Tua gontai menuju celah mencari-cari anaknya di sebelah namun sel kosong melompong. Ketika namanya akhirnya dipanggil, El Manik mengetuk- ngetuk papan pembatas WC dan ruang dipan. Musik menjerit-jerit sendirian. Indra mengalami mutasi fungsi. Kadir menatap mereka yang didorong dibawa pergi.

Gontai ia masuki WC. Suara truk menjauh diikuti Kadir yang ‗mengintip‘ lewat celah WC dengan telinganya. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 130

Dialog internal ke-4 sepenuhnya didedikasikan pada kisah ibu dan anaknya seperti yang sudah kita cermati sebelumnya. Ini menggemakan adegan

Pak Tua yang mencari-cari anaknya sejak pertama hingga berpuncak pada upaya terakhirnya sebelum ke ladang pembantaian. Begitu pula adegan yang mengikutinya berpusat pada Jelita yang kehilangan Mak Tua. Ibu mengalami perluasan konsep. Sekaligus kita mengalami bagaimana anak mengalami pasifikasi. Generasi muda yang justru maklum dan memaafkan seraya menitipkan pesan pada generasi tua untuk terus melagukan hidup namun tanpa dendam dan amarah.

Dialog internal ke-5 boleh disebut sebagai epilog. Situasi normal diraih kembali namun berbagai dimensinya sudah mengalami perubahan mendasar. Ini bukan sekedar happy-ending atau menangnya mereka yang benar terhadap yang salah. Tidak ada yang sama lagi, subyek maupun obyek, namun sekaligus berbagai kekuatan di masa lalu itu jelas menjadi bagian tak terpisahkan dari kekinian. Ia serta merta menceritakan pengaruh pesan Jelita dalam diri seorang

Kadir. Menurut konteksnya pula, film beranjak jauh dari salah tangkap seorang

Kadir dan segala peristiwa di penjara menjadi pertanggungjawaban kekuasaan kepada keseluruhan populasi, pada anak-anak bangsa, pada rakyat.

Maka datanglah dua orang pegawai jaksa memberitahukan Kadir bahwa,

“...... Jaksa yang membunuh itu sudah menembak dirinya.” Namun jawab Kadir,

“...itu aku tidak perlu kudengar. Ceritakan itu pada rakyat.” Lalu matanya menatap jauh ke depan (dia menyamping di sudut kanan layar dari arah penonton), tangan kanannya menunjuk ke arah danau. “Aku mau pergi ke danau PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 131

mancing. Jangan ganggu aku! Ia berbalik, kamera zoom out sedikit, “Hei danau, aku datang lagi. Kita kan bersahabat,” katanya membelakangi penonton, mengangkat kedua tangannya menunjuk pada sahabatnya sambil terpingkal- pingkal sampai bengkok punggungya sejajar tanah. “Aku selaaalu mandi di airmu yang tenang ini. Aku mancing kan, di atasmu selalu....Aku datang lagi ke sana”.

Manusia dan alam menjadi para sahabat. Ada kegetiran yang tersirat di situ sekaligus optimisme bahwa pemulihan kehidupan itu niscaya meskipun jelas memakan waktu dan energi.

Yang mengikuti kemudian adalah berbagai informasi yang memperjelas persona Kadir dan latar belakang peristiwa. Ini semakin memperjelas serta memperkuat tulisan-tulisan di awal film. Penonton tahu bahwa sampai hari itu

Kadir tetap tinggal di rumahnya di pinggir danau dan tetap menulis syair-syair didongnya. Penonton juga tahu bahwa menurut angka resmi, peristiwa ini memakan korban hingga 500.000 namun estimasi lain mengatakan hingga

2.000.000 jiwa melayang. Semua ini memperdalam serta merangsang berbagai pemikiran serta imaginasi dalam diri penonton. Film terasa mengambang dan belum selesai. Singkatnya, pergulatan baru saja dimulai!

Lalu adegan berpindah pada pesta didong seperti di awal film saat Kadir dan para sahabatnya bersua, berdendang dalam syair-syair didong penuh bahagia seolah tanpa beban tanpa trauma. Dipotong sejenak dengan nama-nama dan peran mereka dalam pembuatan film ini sebelum kembali lagi ke suasana didong. Begitu berganti-ganti dengan gembira dan sorak dendang mereka mengiringi setiap tulisan yang muncul kemudian. Ekspresi wajah, harmoni gerak tubuh mereka, PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 132

warna nada didong serta sorak mereka merefeleksikan suasana hati sama sekali berbeda. Hingga di penghujung, kita akhirnya menyadari bahwa jumlah sel mencapai delapan! Namun tak urung, didong mereka harus bercampur cabikan disharmoni musik yang halus menjerit.

5. Munculnya Pikiran: Material Capture, Machinic Assemblage dan Rhizome

Dialog internal, filmic caesura, filmic alliteration, doppler effect, long take pannings, still images, gestural, medan vibrasi dan perilaku kamera serta berbagai tehnik dan elemen lainnya dalam proses menjadi lewat dan dalam durasi ini mentransformasi film secara mendasar31. Konsep film sebagai hiburan audiovisual

31 Kita bisa membandingkan gaya serta capaian sinematik Garin Nugroho dengan sesama sineas dari belahan Asia lainnya dengan pergulatan estetik sealiran. Ambil contoh adalah Hou Hsiao- hsien, sutradara terkemuka dari Taiwan yang merupakan satu figur terkemuka dalam kancah Taiwan New Cinema yang muncul di tahun 80-an seiring kemunculan gerakan sejenis di Hong Kong and Cina Daratan. Dalam artikelnya, Charles R. Wagner menulis demikian: ―Hou and his peers, most notably Edward Yang, had inherited a film culture geared toward romantic-themed adaptations and ―healthy realism‖ – that is, state-prescribed melodramas designed to ease (or rather sugarcoat) the island‘s rapid transition from an agricultural to an industrial capitalist society. The New Cinema figures sought a more intense engagement with Taiwan‘s history and identity, the very topic which Japanese had suppressed in the colonial years (1896-1945) and which the Kuomintang (KMT) Nationalist regime had rendered obscure after establishing power in 1949. …stand apart from Hong Kong action films that were flooding their home market and distracting audiences from pressing social concerns. …inspired by the Italian neorealists of the immediate postwar years, the New Cinema filmmakers stressed location shooting, attention to the quotidian, and the use of non-actors and regional dialect – in short, all the characteristics of a realism which they regarded as being more in step with indigenous experience. In the case of Hou, these aims led to a preference for long takes and telephoto lensing, an approach which mobilized his explorations of national history. …In Hous‘s hands, the telephoto lens became a tool for catching history in the process of its becoming, for isolating (and ignoring) revelatory moments in the crowded frame…in Beiging chengsi (City of Sadness, 1989) he broached the ―February 28 incident‖ (the 1947 massacre in Taipei of thousands of civilians at the hands of KMT soldiers) with remarkable acuity. Instead of covering the event in broad strokes, Hou staged most of the violence offscreen and worked on a microscopic scale, registering its impact on a particular family. City of Sadness received the Golden Lion at the Venice International Film Festival and established Hou as a major figure in world cinema, but in Taiwan, despite its enormous success at the box office, the film gradually divided Hou‘s viewers into ―pro-Hou‖ and ―anti-Hou‖ factions, the latter group claiming the he should have shown the incident more explicitly and exposed the whitewashing of the Nationalist government…In 1991, a group of local critics put together a collection of essays titled Death of the New Cinema, and all of them pointed fingers at Hou and his distant observationalism. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 133

mengalami transformasi radikal yang ditandai dengan terputusnya ketergantungan waktu pada respon sensorik-motorik karakter terhadap setting. Film menjadi buah karya seni (work of art) tidak sekedar untuk menghibur tapi untuk mempresentasikan sebuah persoalan secara frontal (art film).

Proses identifikasi dengan pemain tertentu menjadi sulit karena selalu mendapat tantangan dari ‗pemain-pemain utama‘ lainnya. Image yang satu mendapat tantangan dari image lainnya. Setiap image adalah soal proses menjadi dirinya sendiri, menjadi entitas yang berkembang lewat durasinya seraya mengafirmasi durasi-durasi lainnya. Di sisi lain, secara tematik, film juga mempersulit proses identifikasi sebagaimana dalam film-film umumnya. Sejak awal kita diberitahu bahwa ini adalah tafsiran sejarah atas peristiwa 30 September

1965 yang berpusat pada seorang Ibrahim Kadir. Namun dalam perkembangan justru film tidak berpusat pada salah tangkap tapi pada pengalaman Kadir sebagai titik tolak namun kemudian film berkembang secara otonom tanpa tergantung secara tematik pada pengisahannya.

Sementara itu, dialog internal maupun berbagai adegan yang mengikutinya disandingkan sisi-bersisian (juxtaposition) seakan sengaja tidak peduli dengan rentang diskontinuitas antara keduanya. Akibatnya, menonton berarti menangkap dan tertangkap sekaligus, menangkap images dan melepaskannya kembali. Dari

But whether he stands accused of formalist tedium or conservative politics (a position that gained support when he filmed a music video for the Ministry of Defense), the debates concerning Hou turn on questions of style and temporality. What always seems at issue are his long-held shots and his persistent avoidance of Western codes of cinema‖. Lebih jauh soal film-film Hou, silahkan lihat Charles R. Wagner, ―Smoke Gets in Your Eyes: Hou Hsiao-hsien‘s Optics of Ephemerality,” dalam Rolando Caputo dan Scoff (eds), Senses of Cinema Murray (http://www.sensesofcinema.com/contents/06/39/hou_optic_ephemerality.html).

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 134

arah geraknya, menonton itu mengandaikan proses maju-mundur, ke atas-bawah, ke kiri-kanan, ke dalam dan ke luar tanpa henti. Menonton membutuhkan memori dan memorisasi dengan hadirnya berbagai keterputusan atau deformasi kausalitas

(ruptures). Ia adalah sekaligus membaca (reading32) secara baru.

Pengalaman sinematik dengan sendirinya mengalami transformasi mendasar. Hal ini bisa kita verifikasikan dalam dua tataran. Yang pertama adalah menangkap benang merah berbagai interaksi internal dalam dan lewat serta antar durasi. Film tidak melakukan karakterisasi atau narasi ala Holywood atau mainstream films33. Narasi tidak secara jelas-tegas mengandung korehensi tertentu

32 ―In this sense, the archeological, or stratigraphic, image is read at the same time as it is seen. Noel Burch put it very well when he said that, when images cease to be linked together ‗naturally‘, when they relate to a systematic use of false continuity or a continuity shot at 180, it is as if the shots are the,themselves turning, or ‗turning round‘, and grasping them ‗requires a considerable effort of memory and imagination, in other words, a reading‖. (Gilles Deleuze, Op.Cit., hlm. 245) 33 Satu nama yang tidak bakal lepas dari genre naratif adalah David Wark Griffith (1875–1948). Seorang penyair, pemain drama dan aktor panggung yang kemudian beralih ke dunia film bahkan menjadi sutradara lebih dari seratus film. Lewat karyanya The Lonely Villa (1909) yang ‗dicurinya‘ dari film Physician of the Castle (film produksi Inggris, 1908), ia melakukan terobosan yang luar biasa. Bukan saja dari banyaknya shot yang melampaui film sebelumnya (dari 26 shot menjadi 44 shot), ia juga menghasilkan kebaruan yang terkenal sebagai ‗narrative or cinematic space‘ (ruang narasi atau sinematik). Karena kedua film kurang-lebih berdurasi sama, menyingkat durasi tiap shot serta pada saat yang sama menambah jumlah shot dikombinasi dengan perpindahan-perpindahan dari satu lokasi atau adegan ke lokasi atau adegan lainnya, Griffith dalam film tersebut menciptakan dunia metaspasial, sebuah ruang di luar sana atau multi ruang yang eksis hanya di atas layar film. Dengan tehnik ‗shot chain‘ yaitu penciptaan narasi melalui sekuensi dari berbagai shot yang berbeda-beda), ia mengonstruksi waktu sinematiknya yang memungkinkan image bergerak mulus dari satu lokasi ke lokasi lainnya tanpa henti. (Robert Sklar, Op. Cit., hlm. 48–49) Sergei Eisenstein sendiri tak urung memberi perhormatan khusus kepada Griffith dalam sebuah tulisannya. Dalam kata-katanya, ―The most thrilling figure was Griffith, for it was in his works that the cinema made itself felt as more than an entertainment or pastime. The brilliant new methods of the American cinema were united in him with a profound emotion of story, with human acting, with laughter and tears, and all this was done with an astonishing ability….construction and method swiftly discerned wherein lay the most powerful affective factors in this great American‘s films. This was in a hitherto unfamiliar province bearing a name that was familiar to us, not in the field of art, but in that of engineering and electrical apparatus, first touching art in its most advanced section—in cinematography. This province, this method, this principle of building and construction was montage‖. Lihat Sergei Eisenstein, ―Dickens, Griffith, and the Film Today,‖ dalam Gerald Mast, Marshall Cohen dan Leo Braudy (eds), Film Theory and Criticism (New York: Oxford University Press, 1992), hlm. 127. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 135

secara eksternal. Sebaliknya, interrelasi dan internalisasi dalam atau antar shot dan dalam atau antar sekuens menempati posisi sentral. Koherensi itu dicapai dengan memperhatikan detil dan bukannya garis besar peristiwa. Pengamatan (survei) mendalam sangat penting atau kehilangan sama sekali jalinan cerita. Namun begitu, korehensi itu sangat berbeda makna dan dimensinya dibandingkan dengan pengalaman sinematik ketika menikmati genre film yang sebaliknya. Ketika koherensi itu ditandai dengan diskontinuitas dan illogical cuts, ia dicapai secara internal di dalam benak penonton yang melakukan proses trial and error. Ia adalah produk dari proses internalisasi berbagai images yang disimak dalam dirinya sendiri tak tergantung pada kaidah-kaidan eksternal. Sebaliknya, setiap image pada dirinya sendiri adalah matter34 otonom yang sedang mengalami proses transformasi radikal. Kita berjumpa dan perjumpaan itu berlangsung secara konfrontatif. Pengalaman sinematik Garinian dengan begitu menjadi moments of processual surprises atau intensitas dari proses keseketikaan.

Moments of processual surprises ini terjadi lewat proses dialektika antara yang di dalam dan yang di luar. Menonton seperti yang kita lihat di atas adalah proses menyambung-nyambung, memotong dan menyatukan kembali, bertanya- tanya atau proses trial and error. Ketika peluang identifikasi menipis atau bahkan mustahil, koherensi menjadi persoalan yang harus dicari dan dicapai secara

Kita bisa membaca bagaimana kiprah serta betapa dalam pengaruh seorang Griffith bagi dunia film secara menyeluruh dalam biografinya. Silahkan baca Richard Schickel, D.W. Griffith, An American Life (New York: Limelight). Dalam konteks ini, kita bisa mengatakan bahwa Garin Nugroho sebenarnya membawa sesuatu yang segar baru dalam jagat perfilman Indonesia bahkan menyumbang secara nyata bagi perkembangan film seni umumnya. 34 Seperti yang sudah dibahas sebelumnya dalam Bab II, gagasan ini mengikuti garis pemikiran Bergson yang kemudian dikembangkan oleh Deleuze. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 136

mandiri. Seringkali pula, korehensi berarti memahami simultanitas yang muncul secara mendadak (bagi penonton) namun berlangsung secara natural dalam film

(misalnya ketika Mak Tua sedang bicara pada Jelita, kamera yang bergerak horisontal menjadi mata yang mensurvei Pak Tua yang ternyata sejak tadi turut mendengarkan di pojok kanan pintu sel). Pada titik ini, panca indra mengalami emansipasi secara maksimal.

Sementara itu, proyektor tidak sekedar menyampaikan apa yang direkam kamera sebelumnya. Sebaliknya, sejak dari detik pertama, setiap image adalah persoalan yang mempresentasikan dirinya secara intens. Dengan begitu, tubuh mengalami keseluruhan durasi secara konstans serta mengalami keterlibatan secara langsung. Terjadilah fenomena okulasi tubuh/ketubuhan dengan berbagai sirkuit selebral35 (di dalam otak) yang ditandai dengan teraktivasinya berbagai proses mental. Proses-proses mental ini terasa dan dialami secara langsung secara fisik. Tubuh ‗turut menonton‘ bersama proses-proses selebral sebagai kesatuan entitas yang sedang mengalami film tanpa jeda. Artinya, tubuh mengalami durasi pada level afeks dan perseps (sensasi) dan bukannya pada level psikologis atau signifikasi belaka. Dengan begitu, filmmaking Garinian merepresentasikan tehnik menghasilkan sensasi secara terus-menerus.

Dua tataran pengalaman sinematik ini mencuatkan ide cinematic capture36 pada level material. Film bukannya apa yang dipahami dalam benak penonton berdasarkan koherensi tematis serta logika linguistik linear yang sudah dideterminasi secara eksternal. Akan tetapi, film adalah yang processual dan

35 Dalam istilah Deleuze adalah microbiology. 36 Barbara M. Kennedy, Op. Cit., hlm. 5 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 137

experiential. Menonton berarti menangkap materi (atau images) yang sedang menjadi dalam dan lewat durasinya. Lebih jauh lagi, menonton artinya menangkap berbagai ‗irrasionalitas koherens‘, menghubung-hubungkannya kembali secara baru sembari terus-menerus berusaha menangkap tebaran berbagai materi dan hubungan antar materi yang sedang berevolusi secara radikal tersebut.

Ketika proses material capture berlangsung, tubuh/otak/pikiran mengalami perjumpaan secara optimum dengan berbagai durasi secara filmis.

Sensasi itu sendiri adalah fenomena di luar wilayah common sense. Dengan demikian, aparatus filmis (kamera, proyektor, pencahayaan, layar, sound system) mengalami ekstensifikasi dan intensifikasi fungsional. Mereka bukan sekedar menganimasi yang inanimated melainkan bagian integral dari the animated images itu sendiri yang sedang mengalami proses durasinya. Proses survei serta trial and error serta penciptaan sensasi37 secara terus-menerus memungkinkan tubuh/otak/pikiran mengalami penyatuan atau konglomerasi secara dinamis dan mobile dengan keseluruhan proses ini. Inilah yang disebut Deleuze sebagai machinic assemblage ketika keseluruhan cinematic experience menjadi kesatuan sistem yang hidup (living system). Tubuh/otak/pikiran, aparatus filmik, forces dan intensitas secara serempak mengalami sebuah perjumpaan secara intuitif ala

Bergsonian.

37 Dalam pembahasannya mengenai film-film Garin, I. Bambang Sugiharto mengajukan ‗teori‘ yang sangat menarik menyangkut sensibilitas ini yaitu bahwa, ―…Yet, Garin is Garin, an Indonesian who, through his workd, responds to the problems specifically related to Indonesian reality in ways which are both specific and made alive by Indonesian, particularly Javenese, sensibility‖. Lihat Bambang I. Sugiharto. 2004. ―Garin Nugroho‘s Films and Social Transformation,‖ dalam Philip Cheah, Taufik Rahzen, Ong Hari wahyu dan Tonny Trimasanto (penyunting), And the Moon Dances: The Films of Garin. Jogjakarta: Bentang Pustaka bekerjasama dengan SET Film Workshop and BingO, 2004), hlm. 189. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 138

Mengalami matter (image) dalam dan melalui intuisi ini membuka jalan bagi keterlibatan pikiran secara mandiri dan spontan. Intuisi berarti memperhatikan durasi secara seksama dan menunda respon motorik-sensorik.

Dengan begitu, tercipta apa yang disebut dengan zone of indeterminancy yaitu rentang ruang-waktu antara persepsi and keputusan mengubahnya ke dalam tindakan (action). Garin menciptakan rentang zona ini dengan perilaku kamera yang seringkali diam38 atau bergerak secara horisontal-vertikal tanpa mengubah setting namun justru memperdalam pengetahuan penonton dengan pengambilan gambar secara panoramik. Ia nyaris tak mengambil sudut pandang pemain yang sedang berbicara seperti yang kita lihat dalam film-film Holywood umumnya.

Garin boleh dikatakan dalam berbagai cara ‗memblokir‘ otak (penonton) yang aktif-responsif serta dinamis memproduksi gambaran atau representasi apa yang sedang diamatinya. Akibatnya, sebagai sebuah image dalam dirinya sendiri sekaligus pusat persepsi, subyek yang sedang mempersepsi itu mengalami proses serta pengaruh timbal-balik dengan image yang lainnya secara konstans dan intens. Otak menjadi semacam filter yang menyaring dan menterjemahkan berbagai impuls apakah ke dalam tindakan ataupun non tindakan. Deskripsi film- image sebagai fixed representation atau berbagai gambaran konkrit dari obyek

38 Dalam bahasa David Hanan : ―...Nugroho‘s narration, while often ambiguous, also employs an inordinate amount of temps mort (literally ‗dead time‘, time when nothing of narrative significance seems to be happening). The Italian director Michelangelo Antonioni is famous for introducing a hitherto unknown degree of dead time into the European cinema, particularly in L‟ Aventura (‗The Adventure‘ 1959) which produced protests from its first audience at Cannes. But the use of dead time in And the Moon Dances far excels that of Antonioni and is comparable with some of the more difficult films of the Belgian director Chantal Akerman, for example Jeanne Dielman, 23 Quai Du Commerce, Bruxelles 1080 (1975)…, and comparable also to the slow moving films of leading Taiwanese director Tsai Ming-Ling (Rebels of the Neon God, 1993). (David Hanan, Garin Nugroho: ―Refusing the Stereotype, Challenges Posed by Indonesia‘s Filmmaker of the 1990s,‖Ibid., hlm. 167–168) PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 139

real tidak memadai lagi di sini. Sebaliknya Garin mempresentasikannya sebagai image dalam dirinya sendiri dengan durasi dan aksis pergerakannya sendiri.

Mereka menjadi di antara subyek dan obyek (zone of indeterminancy) melalui persinggungan dinamis dengan affective images.

Pada titik ini, images dalam Puisi Tak Terkuburkan memprovokasi39 otak secara kompleks. Konvensi imaginal-representational yang sudah mendarah- daging dalam benak penonton (misalnya dari pengetahuan sejarah resmi, cerita generasi tua, dari film-film nasional, dari berbagai kampanye biografi seorang

Soeharto40, dan dari berbagai sumber lainnya) tidak memadai untuk menkonfrontir bombardir provokasi yang begitu mencekam ini. Proses mental tidak lagi bisa mengandalkan basis padanan dengan berbagai image yang sudah ada (yang sudah terekam dan mengalami konvensionalisasi baik itu secara kultural, politik, historis, dan seterusnya) seturut logika linear-kausalitas.

Sebaliknya, ia membuka jalan bagi proses kreasi dan proses penemuan secara kreatif. Hal ini dimungkinkan karena Garin tidak memungkinkan persepsi kita mengisolasi image untuk dijawab dengan tindakan tertentu (seperti dalam

39 Provokasi merupakan salah satu kata kunci dalam memahami pemikiran Deleuze. 40 Deleuze mencatat sesuatu yang menarik menyangkut ‗sikap politik‘ film-film bergaya neorealisme seperti karya Garin ini. Katanya, ―In Japan and Europe, Marxist critics have attacked these films and their characters for being too passive and negative, in turn bourgeois, neurotic or marginal, and for having replaced modifying action with a ‗confused‘ vision…But it is precisely the weakness of the motor-linkages, the weak connections, that are capable of releasing huge forces of disintegration…In the West as in Japan, they are in the grip of a mutation, they are themselves mutants. On the subject of Two or Three Things…, Godard says that to describe is to observe mutations. Mutation of Europe after the war, mutation of an Americanized Japan, mutation of France in ‘68: it is not the cinema that turns away from politics, it becomes completely political, but in another way‖. (Gilles Deleuze, Op.Cit., hlm. 29) Dalam konteks ini, film Puisi Tak Terkuburkan benar-benar menyodorkan secara ‗paksa‘ gagasan yang sangat berbeda dari yang resmi (negara atau regim) bahkan bisa kita katakan melampaui catatan Deleuze di atas! PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 140

movement-image) tapi justru mengorientasikan kekayaan dan potensialitas persepsi penonton pada memori, pada potensi virtual masa lalunya.

Keterhubungan dinamis mobile ini membuka begitu banyak sirkuit selebral yang tertarik berkat kebaruan modus operansi persepsi ini. Pada gilirannya, berbagai affective images yang mengalami aktivasi ini membuka berbagai jalur-jalur sinaps baru yang menarik berbagai image lainnya tanpa henti.

Setiap persepsi pada akhirnya menjadi tindakan kreasi yang menghasilkan multiplikasi secara kualitatif yang disebut Deleuze rhizome41. Fenomena rhizomatis yang pada gilirannya menjadi fondasi afektif dalam proses berpikir tampak sangat jelas di sepanjang Puisi Tak Terkuburkan (misalnya dalam konteks medan vibrasi atau filmic alliteration42).

41 Secara literal, arti rhizome adalah sistem akar multi cabang (multi-forked root system). Bagi Deleuze, ide merepresentasikan sebuah peristiwa (event) dinamis atau ‗line of flight‘ yang membawa kita tanpa henti pada sistim-sistem yang terus-menerus mengalami percabangan (bifurcating system) yang mengandaikan nomaditas gerakan atau pergerakan pikiran berkat lusinan intensitas dari diri yang sedang berproses. Pikiran yang bertunas-bercabang dan beranak- pinak (arborescence) tanpa henti itulah yang kemudian mendeskripsikan hirarkhi pikiran/pemikiran. 42 ―The relation of the actual image to recollection-image can be seen in the flashback. This is precisely a closed circuit which goes from the present to the past, then leads us back to the present….it is a multiplicity of circuits each of which goes through a zone of recollections and returns to an even deeper, ever more inexorable, state of the present situation. ..The question of the flashback is this: it has to be justified from elsewhere, just as recollection-images must be given the internal mark of the past from elsewhere. The circumstances must be such that the story cannot be told in the present. It is therefore necessary for something else to justify or impose the flashback, and to mark or authenticate the recollection- clear: it is destiny which goes beyond determinism and causality; it is destiny that sketches out a super-linearity; it is destiny that both justifies flashback and provides recollection-images with a mark of the past… Mankiewicz is undoubtedly the greatest flashback author. But the use he makes of it is recollection-image. There is no longer any question of an explanation, a causality or a linearity which ought to go beyond themselves in destiny. On the contrary it is a matter of an inexplicable secret, a fragmentation of all linearity, perpetual forks like so many breaks in causality. Time in Mankiewicz is exactly as Borges describes it in ‗The Garden of Forking Paths‘: it is not space but time which forks, ‗web of time which approaches, forks, is cut off or unacknowledged for centuries, embracing every possibilities‘. It is here that the flashback finds its justification: at each point where time forks. The multiplicity of circuits, thus finds a new meaning. It is not simply several people each having a flashback, it is the flashback belonging to several people (three in The Barefoot Contessa, three in A Letter to Three Wives, two in All About Eve). And it is not just PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 141

Dengan begitu, pikiran muncul selama menonton itu merupakan bagian integral dari proses material capture. Ia bukannya pikiran yang ditentukan dari luar atau ditentukan secara sepihak oleh penulis naskah maupun sutradara atau kekuatan-kekuatan eksternal lainnya. Sebaliknya, ia merupakan pikiran yang belum terdefinisikan alias tak terduga hasil dari proses konfrontasi antara yang di dalam (durasi: forces dan intensitias, diskontinuitas, illogical cuts, false movement, false continuity, dan seterusnya) dengan apa yang di luar (survei, trial and error, visual encounter) dalam konteks machinic assemblage.

Ketika pola-pola berpikir secara otomatis terhenti (traumatis atau bukan), pikiran spontan menjadi pengalaman subyektif dan bukannya obyektif yang melibati images pada level sensasi bersama afeks dan perseps. Kesadaran maupun ketidaksadaran subyektif mengalami personalisasi dan kebaruan secara mendasar.

Pikiran yang berkerja dengan dibimbing thought images pada galibnya menjadi jawaban kreatif-alternatif tanpa henti terhadap presentasi persoalan di dalam film.

Yang subyektif kemudian menjadi yang sangat obyektif. Affective images yang dicerabut keluar dari sarang fiksasinya berkembang menjadi migrasi dinamis-

the circuits forking between themselves, it is each circuit forking within itself, like a split of hair…And even when there is a single fork, like the taste for mud in a proud and splendid creature (The Barefoot Contessa), its repetitions are not accumulations, its manifestations refuse to be aligned, or to reconstitute a destiny, but constantly split up any state of equilibrium and each time impose a new ‗meander‘, a new break in causality, which itself forks from the previous one, in a collection of non-linear relations… Time‘s forks thus provide flashback with a necessity, and recollection-images with an authenticity, a weight of past without which they would remain conventional. But why, and how? The answer is simple: the forking points are very often so imperceptible that they cannot be revealed until after their occurrences, to attentive memory‖. (Gilles Deleuze, Op. Cit., hlm. 48-50) Kalau kita konfrontasikan kedalaman penalaran Deleuze di atas dengan Puisi Tak Terkuburkan, kita bisa mengatakan bahwa Garin (setidaknya dalam film ini) mengembangkan sendiri gagasan sinematiknya namun secara mencengangkan mempunyai banyak titik singgung dengan pengalaman-pengalaman sineas Eropa yang dikaji Deleuze. Hal ini bisa kita perhatikan misalnya dalam medan vibrasi dan filmic alliteration dalam kaitannya dengan recollection-image. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 142

kreatif yang menelurkan berbagai penyegaran mental dan penetasan ide-ide43.

Penonton film ini dengan begitu adalah seseorang yang terhubung secara molekuler dengan proses sinematik (molecular fusion) dan bukannya sekedar yang sedang melihat images secara spekular.

43 ―Ideas are events: lines that point human thought towards new horizons. Similarly, the desires of the cinematic experience, it may be argued, emanate from the affective, rather than identification with subjectivity or identity, sited in the image. Many contemporary thinkers use the idea of the ‗affective‘ as a force capable of liberating us from hegemonic ways of thinking. Affectivity can be said to be the pre-discursive. In terms of film, then, a web of connections might be drawn not only from the film‘s maker ‗intention‘ and the viewer‘s reception, but through a wider, more complex set of ‗machinic‘ interconnections‖. (Barbara M. Kennedy, Op. Cit., hlm. 70) PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

BAB V

ESTETIKA BARU DAN PROSES MENJADI INDONESIA:

SEBUAH TAWARAN GARINIAN

Deleuze sebenarnya sedang berfilsafaf tentang waktu lewat film. Ia mengembangkan filsafat waktu ini berdasarkan konsep Bergsonian yang didialektikakan dengan berbagai pemikiran lainnya termasuk Nietzsche yang hasil akhirnya adalah sitematika pemikiran yang justru jauh melampaui Bergson termasuk dalam pendekatan sinematiknya. mengakar dalam upaya mengalami hidup secara penuh dan pada kepenuhan hidup itu sendiri. Sementara itu, kenyataan menunjukkan bahwa segala sesuatu (yang adalah image itu sendiri) selalu dalam perubahan secara terus-menerus. Artinya, duree level pengalaman, pada kontak-kontak secara mendalam dan langsung, pada apa yang dilihat dan dialami sekaligus dan pada apa yang dirasakan atau, secara mikrobiologi pada level simultansi indrawi-ragawi.

Dalam praktik sinematik, gagasan d mengharuskan pemain melakukan proses respon terhadap sekelilingnya serta mengalami rasa pada setiap ujung sarafnya dan mengalami bagaimana proses-proses mentalnya merespon dalam proses stimulasi tanpa henti ini. Ini membebaskan pemain dari tirani skenario ataupun berbagai ketentuan eksternal lainnya. Organ-organ sensorik mereka diemansipasi secara ekstrim membuat merekalah yang sebenarnya mengembangkan setting. Para pemain mengalami pertemuan, persinggungan

143

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 144

bahkan tabrakan (collision) langsung dengan berbagai daya-daya hidup dalam diri mereka maupun di luar diri mereka. Image menjadi entitas ataupun event yang membuka dalam waktu. Untuk mencapai hal ini, film justru ‗bersikap antagonis‘ terhadap kaidah-kaidah konvensional yang ditandai dengan koherensi-kausalitas rasional yang ‗ditetapkan‘ selama proses editing. Sementara itu, dengan tehnik jaksteposisi dipandu dengan panning, long shot dan bahkan still images, images menjadikan dirinya sebagai pusat persepsi yang digdaya mengatasi plot yang ketat.

Cara ini sekaligus mengafirmasi supremasi kelonggaran hubungan antara antar dan di antara shot atau frame. Sekuensi diperoleh bukan karena rational links (dan rational cuts), tapi justru karena terjadinya violent encounters antar image, antara penonton dan pemain, antara proses-proses mental dalam benak pemain yang pada gilirannya mengaktivasi proses-proses mental dalam diri penonton. Image menjadi peristiwa yang sedang membual dalam dan lewat dirinya sendiri seraya mengafirmasi images lainnya yang juga sedang menjalani proses serupa. Terjadi pola sekuensi yang justru berdasarkan irrational cuts dan pola interkonektivitas antar shot atau frame mengalami pembaharuan secara radikal.

Deleuze menekankan pergeseran dari progresi images secara rasional- linier ke pengalaman akan images pada dirinya sendiri. Hal ini melahirkan gagasan persepsi pada level primordial, seolah dalam tahap mimpi di luar kategori-kategori psikis, linguistik ataupun kultural-politik. Para pemain sendiri bergeser dari sang bintang yang sedang melakukan acting menjadi orang-orang

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 145

yang sedang mengamati (perceiving), mengalami atau berproses secara radikal- evolusioner. Duree sebagai corak intuitif ini sepenuhnya berbeda dengan corak intelek (yang dengan semena-mena mereduksi gerakan atau mobilitas ke dalam sejumlah immobilitas berdasarkan kebutuhan-kebutuhan praktisnya)

Tidak heran, ‗film-film Deleuzian‘ dengan sendirinya bergerak atau terintegrasi secara ‗palsu‘ dengan dimensi waktunya yang seolah jalan di tempat atau sangat lamban atau bahkan ‗malas‘ bergerak. Interaksi verbal antar pemain menjadi minim sementara itu sensasi yang dialami pemain menjadi penting serta secara langsung berkaitan dengan pengembangan setting yang kini juga dibebaskan dari tirani eksternal (setting bisa berkembang tanpa batas khususnya secara intensif). Film menjadi berjubel situasi optikal dan sound sekaligus situasi ini menjadi image dalam dirinya sendiri (sound-image). Gestural, afeksi, the pathic menjadi penting. Hal-hal biasa menjadi luar biasa. Semuanya merupakan image yang sedang menuju kematangan atau kedewasaannya dalam dan lewat evolusi duratifnya.

Dalam proses violent encounters seperti ini, pikiran menjadi keniscayaan.

Baik dalam benak pemain maupun penonton, berbagai repertoar afektif mengalami aktivasi secara ekstrim. Semakin besar rentang pengalaman duratif

(dalam bahasa Deleuze adalah zone of indeterminancy), semakin intensif pula rentang pengalaman indrawi-ragawi yang dialami. Ini berakibat semakin besar, beragam serta bercabang pula berbagai affective images yang mengalami stimulasi dan kemudian menjadi stimulan itu sendiri. Dalam proses inilah, pikiran

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 146

mengalami pembaharuan bahkan mungkin pemurnian dalam merespon atau menarik pengetahuan dari provokasi ini.

Puisi Tak Terkuburkan dengan jelas mengekspresikan bagian-bagian dari gagasan Deleuzian ini. Akan tetapi, Garin Nugroho sebagai sutradara dengan pergulatan personal, intelektual, sosial, kultural, politik maupun spiritualnya melakukannya dengan cara-caranya yang khas. Bahkan pada titik-titik tertentu, kita bisa mengatakan bahwa Garin menghasilkan pendekatan sinematiknya sendiri1. Lewat berbagai capaian filmisnya teristimewa filmic ceasura, filmic alliteration, doppler effect, medan vibrasi yang dikombinasi dengan dialog internal serta berbagai tehnik mutasi indrawi, gestural serta sikap duduk, berdiri maupun pola dan dimensi interaksi dan seterusnya, kita merasakan keistimewaan estetika sang sutradara. Selain menciptakan tanda-tanda baru dan bagaimana tanda-tanda tersebut saling dikombinasikan-diperlawankan-dibiarkan, Garin juga berhasil mengembangkan filsafat waktunya secara mandiri yang merepresentasikan pertemuan waktu mekanis, waktu kekuasaan-represif dan waktu sebagai teror ataupun waktu sebagai affective images yang bervibrasi secara kolektif. Bahkan dalam mengembangkan ruang dan keruangannya, Garin bisa dikatakan mendestabilisasikan distingsi waktu dan ruang seraya menciptakan

1 Pada waktu tulisan ini dibuat, Garin Nugroho lewat Rindu Kami Padamu baru saja memenangkan penghargaan sebagai Best Director dalam Indonesia MTV Movie Awards 2006. Selain itu, film masuk nominasi dalam yang digelar awal September lalu. Festival ini untuk film-film yang menekankan tren baru dalam dunia film internasional dan Opera Jawa berhasil lolos seleksi (dalam kategori Orrizonti bersanding dengan beberapa film dari Eropa, Amerika dan Asia) dari sekitar 5000 film dari seluruh dunia. Tak urung, kritikus setempat memuji habis-habisan film tersebut. Bahkan Garin bersama dengan pemeran utama Artika Sari Devi sempat diundang dalam acara siaran langsung di televisi besama dengan Simon Field (produser berkebangsaan Amerika). Dalam press conference secara on air, banyak pertanyaan dilontarkan khususnya pada Garin. Berita lengkapnya, silahkan baca Nyata, Artika Sari Devi, Cerita Indah dari Venice, edisi 1839 – IV September, hlm. 10)

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 147

dimensi ruang-waktu Garinian yang membuat ruang pun merepresentasikan waktu dan sebaliknya. Ektensifikasi maupun intensifikasi menjadi pertukaran bentuk dan isi secara intens-frontal baik dalam benak pemain maupun penonton, yang satu mengekspresikan yang lainnya dan hanya bisa mengekspresikan justru dengan mengadopsi sebagian dari fitur yang lainnya sekaligus pada saat yang sama menegasinya. Ini semua menghasilkan pengalaman tontonan yang sungguh berbeda.

Inilah yang akan kita cermati di ujung perjalanan perjumpaan dengan seorang Garin Nugroho khususnya dalam dan lewat Puisi Tak Terkuburkan.

Upaya kita sejauh ini sudah berhasil membuka sejumlah terobosan mendasar secara filmis dalam hubungannya dengan simbolisme dan bagaimana simbolisme itu dipertautkan, dilawankan, diadu dan beradu dengan penonton sebagai image maupun pusat persepsi. Kini kita akan menarik beberapa kesimpulan yang bisa dijadikan bahan pemikiran lebih lanjut. Berturut-turut, kita akan menggali kontribusi dan posisi Garin pada jagat perfilman Indonesia umumnya sebelum memasuki proses menjadi Indonesia yang tertangkap di dalam film ini. Di penghujung diskusi, kita akan menarik beberapa pokok pikiran yang bisa dipakai dalam upaya menggagas corak filsafat kontemporer Indonesia.

A. Estetika Baru : Molekularitas dan Sensasi

Banyak jalan menuju Roma. Banyak pula cara mendiskusikan budaya visual kontemporer seheboh film. Sejauh yang bisa kita catat, diskusi dan perdebatan masalah film seringkali berkisar pada topik representasi, signifikasi,

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 148

semiotik dan strukturalisme. Film membentuk ruang-waktu yang memungkinkan realitas, relasi, kemungkinan serta berbagai konteks timbul dan berkembang.

Tradisi sastra dan teater memainkan peranan tidak kecil dalam membentuk budaya kritik film seperti ini. Selain itu, film juga mencatat pengaruh kuat psikoanalisa yang berasumsi bahwa aktivitas menonton film itu tidak lepas dari hasrat (desire) untuk kembali ke status primordial semasa dalam kandungan ketika belum terjadi diferensiasi realitas (the plenitude of the womb). Hasrat kembali ini adalah motivasi paling kuat ketika segala-sesuatu begitu damai, nyaman, indah, tak ada bahaya, tak ada ada keharusan memahami struktur realitas secara linguistik yang dipersonifikasi dengan kehadiran sang ayah berikut iktisar aturan-aturannya (the symbolic order).

Hasrat ini sebenarnya mengantisipasi kesenangan (pleasure) selama dan sesudah subyektivitas, sebuah dorongan kembali ke status awal. Lewat mekanisme mirror stage yang ditandai dengan ‗salah kenal‘ (misrecognition) ketika seorang anak menyadari dirinya sebagai yang lain (the other2) dari orang- orang di sekitarnya. Namun pada saat yang sama, ia adalah individu yang sangat tergantung dengan mereka yang lain. Begitulah proses subyektivitas berlangsung berdasarkan ketegangan relasi dengan pribadi-pribadi lainnya. Pada titik inilah terbit kebutuhan mendesak untuk belajar merepresentasikan dirinya dalam jaring- jaring sosial yang melingkupi hidupnya. Konstitusi diri seperti ini dimulai bukan

2 ―One Lacanian tenet is that subjectivity is entirely relational; it only comes into play through the principle of difference, by the opposition of the ‗other‘ or the ‗you‘ to the ‗I‘. In other words, subjectivity is not an essence but a set of relationships. It can be induced by the activation of a signifying system which exists before the individual and which determines his or her cultural identity. Discourse, then, is the agency whereby the subject is produced and the existing order sustained‖. Lihat Madan Sarup, An Introduction Guide to Post-Structuralism and Postmodernism (Athens: The University of Georgia Press), hlm. 24.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 149

karena masuknya sang ayah tapi justru karena pembelajaran bahasa (the acquisition of language3). Proses ini menekankan supremasi mata (the look dan the visual. Film dengan sendirinya menjadi jawaban paling konkrit dari gagasan seperti ini. Proses identifikasi4 dengan yang visual menjadi teramat krusial dalam teori maupun praktik perfilman.

3 ―How exactly does this act of self-constitution come about? How, exactly, does this shift from imaginary plenitude to the pre-structured symbolic network arise? Not just by the entry of the father, says Lacan, but by the acquisition of language itself. For Lacan, language is the fundamental medium in which desire is represented, and through which the subject is constituted to itself and to others. Language, he describes, as an intersubjective order of symbolization, an order embedded within patriarchal culture, and thus a force that perpetuates what which he calls the ‗Law of the Father‘….the individual subject, once severed from the narcissistic fullness of the imaginary order, is inserted into the symbolic order of language. Within this order, the subject attempts to represents itself, to give expression to desire through language. Yet this proves to be a far from easy task, since the subject has become an ‗effect of the signifier,‘ inserted into the spacings or differences that constitute language. …The unconscious, then, is less a realm ‗inside‘ the human subject, than an intersubjective space between people, as desire sinks or fades into the gaps which separate word from word, meaning from meaning. As Lacan puts this: ‗the exteriority of the symbolic in relation to man is the very notion of the unconscious‘. Or, in Lacan‘s infamous slogan: ‗the unconscious is structured like a language. The unconscious is the discoursed of the Other‖. Untuk lengkapnya silahkan lihat Anthony Elliott, Psychoanalytic Theory: An Introduction (Hampshire and New York: Palgrave, 2002), hlm. 99–111. Lihat juga Robert Lapsley dan Michael Westlake, Film Theory: An Introduction, khususnya ‗Chapter 3: Psychoanalysis‘ (United Kingdom: Manchester University Press, 1988), hlm. 67–104. 4 Berbagai citraan maupun suara dalam film tidak akan bermakna tanpa didukung oleh proses konstruksi di dalam ranah bawah sadar penonton. Gagasan ini mengakar dalam analogi penonton film dan orang yang bermimpi (dream-work). Mimpi merepresentasikan ‗structured text‘ yang hanya dapat dimengerti via analisis akan ‗manifest content‘ (‗cerita atau kisah‘ yang disampaikan dalam mimpi) dan ‗latent content‘ (yaitu dream-wish yang merepresentasikan berbagai hasrat terpendam ataupun terlarang yang menstimulasi kreasi mimpi). Proses-proses dari dream-work ini disebut ‗primary processes‘ yang terdiri dari (1) condensation (ketika keseluruhan asosiasi dapat diekspresikan dengan sebuah image tertentu); (2) displacement (yaitu ketika energi psikis diubah dari sesuatu yang signifikan menjadi sesuatu yang remeh atau banal); (3) conditions of representability (yaitu ketika sejumlah pikiran tertentu bisa direpresentasikan dengan sejumlah visual images); (4) secondary revision ( ketika sebuah narasi korehen-logis ditambahkan untuk mengikat keseluruhan aliran image). Dalam berbagai aktivitas produksi bawah sadar ini, keempat hal di atas bergabung berkombinasi dalam mentransformasikan berbagai bahan dasar mimpi (berbagai stimulasi pada tubuh, berbagai peristiwa maupun berbagai dream-thoughts) menjadi ‗kisah atau cerita‘ halusinatif yang adalah mimpi itu sendiri. Sinema kemudian menganalogikan penonton sebagai ‗semi-wakeful dreamer‘. Dengan menekankan subyektivitas sebagai sebuah proses konstruksi, teori film psikoanalisis ini menggeser diskusi dari analisa makna sebagai isi menjadi analisa makna sebagai sebuah proses konstruksi (strukturisasi) dengan memberi prioritas pada bawah sadar dalam mendefinisikan ataupun mendeskripsikan penonton maupun spectatorship. Jikalau psikoanalisis dapat dikatakan menyoal masalah ―interlocking subjectivities‖ yang tersangkut dalam jaring-jaring symbolic systems, teori film psikoanalisis menyoal spectatorship sebagai bagian integral dari matriks yang sangat kompleks ini. Artinya, penonton film merupakan ‗a desiring spectator‘ dan disposisi menonton (viewing state) yang

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 150

Kalau boleh kita ringkaskan5, kebanyakan proses diskursus di atas sangat dipengaruhi epistemologi Cartesian. Proses seperti ini memprioritaskan rasionalitas bernalar yang mendasari proses berpikir, menulis dan berekspresi serta pemahaman estetika, fitur sangat penting dalam kritik dan studi film. Secara praktis, nalar ini mempersoalkan cara dan tingkat keberhasilan mekanisme aparatus berikut manusianya menghasilkan estetika, kecantikan dan perasaan.

Kejelasan dalam proses mencipta dan menghasilkan ruang-waktu filmik menjadi sentral perbincangan, diskusi dan perdebatan. Tidak heran, orang kemudian sibuk

‗mengonstruksi‘ subyek penonton maupun teks film itu sendiri dianggap memobilisasi struktur- struktur dari ‗unconscious fantasy‘ (yang merujuk pada produksi pada level psikis berdasarkan hasrat bawah sadar memakai ‗imaginary scene‘ yang di dalamnya sang subyek/pemimpi tadi bertindak sebagai protagonist, apakah ia ada atau tidak), atau ‗true mises-en-sce ne (stagings/performances) of desire‘. Dengan begitu, teori ini menekankan cara-cara memposisikan penonton (yaitu dengan memakai ‗a series of hallucinatory lures‘) sebagai ‗desiring producer of the cinematic fiction‘. Artinya, saat menonton film, kita sebenarnya pada level tertentu sedang bermimpi; berbagai hasrat bawah sadar kita sedang bekerja sama dengan berbagai hasrat yang menghasilkan film-dream. Penonton cinema dari perspektif teori film psikoanalisis dengan demikian merupakan ‗central mechanisme‘ dari keseluruhan operasi sinematik. Teks film (yang dalam mimpi adalah ‗kisah-kisah‘ yang diceritakan dalam bentuk images) ‗engange this viewer in a complex of pleasure and meaning‘ dengan memobilisasi berbagai struktur fantasi, identifikasi dan vision dan melakukannya melalui ‗interlocking systems‘ dari pengisahan, kontinuiti dan sudut pandang (point-of-view). Pada titik ini, identifikasi menjadi sangat penting. Identifikasi itu sendiri dikatakan merupakan tali emosional paling awal dari kehidupan subyek yang memainkan peran sangat krusial dalam formasi imaginer sang ego. Teori film psikoanalisis dengan begitu menekankan sentralitas identifikasi dalam konseptualisasi ‗spectator‘s imaginary access‘ terhadap sebuah film. Metz membedakan dua identifikasi yaitu primary cinematic identification dan secondary cinematic identification. Identifikasi primer adalah identifikasi penonton dengan tindakan melihat itu sendiri. Bagi Metz, ini disebut primer karena ialah yang memungkinkan berbagai identifikasi sekunder lainnya terjadi (yaitu identifikasi penonton dengan para pemain maupun berbagai peristiwa di dalam layar film). Proses ini, baik perseptual (penonton melihat obyek) maupun bawah sadar (penonton berpartisipasi secara fantasmatik atau imaginer) seketika itu juga dikonstruksi dan diarahkan/dipandu oleh penglihatan (the look) kamera dan perantaranya (proyektor). Dari the look yang berasal di belakang kepala penonton itulah, ―precisely where fantasy locates the ‗focus‘ of all vision‖. Untuk lengkapnya, silahkan lihat Robert Stam, Robert Burgoyne dan Sandy Flitterman-Lewis (eds), New Vocabularies in Film Semiotics: Structuralism, post-structuralism and beyond (London and New York: Routledge, 1999), hlm. 139-151. Untuk melihat lebih jauh pemikiran Metz, silahkan baca Christian Metz, Psychoanalysis and Cinema, The Imaginary Signifier, Celia Britton, Annwyl Williams, Ben Brewster dan Alfred Guzzetti (trans), (1982), khususnya bagian ‗The Imaginary and the ‗Good Object‘ in the Cinema and in the Theory of the Cinema,‘ hlm. 3-16. 5 Bagian ini merupakan ringkasan yang sangat padat meliputi Freudian/ Lacanian yang dikawinkan dengan Saussurian yang memuncak pada superioritas mata/penglihatan ini serta bagaimana Deleuzian menawarkan proses menjadi yang sama sekali berbeda dalam: Barbara M. Kennedy, Deleuze and Cinema (Edinburgh: Edinburgh University Press Ltd., 2000), hlm. 38–50.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 151

mencari tanda-tanda audiovisual dalam struktur ruang-waktu yang bersangkutan untuk disistematisasikan.

Film memang merupakan kombinasi kreatif dari aneka perasaan, tonalitas, intensitas dan potensial menyentuh penonton pada level afektif melampaui kendali subyektivitas. Artinya, film adalah teks dengan makna. Cultural theory yang saling tumpang-tindih dengan humaniora kemudian mengarahkan debat kepada ideologi, konstruksi jender secara kultural, seksualitas, hasrat dan pada subyektivitas. Para feminis yang sangat bergantung pada psikoanalisa

Freudian/Lacanian6 berupaya menganalisa makna ini kemudian untuk menemukan struktur hasrat feminin yang menjadi dasar hasrat maupun subyektivitas feminis (engendered subjectivity7).

Ketika perdebatan estetika seakan tertentu oleh karena mekanisme fisikal

(utamanya kamera), Deleuze menyeruak dengan gagasan non-Cartesiannya. Dia seakan memberontak terhadap tradisi dikotomis ala Barat dan mendesakkan perhatian kita pada ranah yang selama ini kurang diperhitungkan. Baginya, hasrat, kesenangan dan subyektivitas tidak cukup untuk mendedah kedalaman filmik.

Dampak sinematik tidak dialami hanya melalui signifikasi atau corak signifikasinya. Film juga tidak serta-merta harus mengatakan sesuatu tentang posisi politik atau ideologisnya berdasarkan proses representasionalitasnya.

6 Teori Lacan menarik perhatian banyak feminis karena tekanannya pada produksi gendered subjectivity via signifikasi (yaitu proses-proses dimana makna diproduksi bersamaan dengan pembentukan sang subyek yang kemudian diposisikan dalam berbagai relasi sosial). Formulasi seperti ini memungkinkan upaya mengatasi subordinasi perempuan yang inheren dalam gagasan Freud yang berbasiskan pada perbedaan biologis. (Madan Sarup., Op. Cit., hlm. 26) 7 Para feminis dalam konteks ini biasanya merujuk pada falosentrisme yang menjadi dasar dalam proses subyektivikasi binaris yang menisbihkan perempuan sebagai yang tidak memiliki signifier (berdasarkan gagasan Freudian Oedipal complex) seperti kaum lelaki sebagaimana yang dikembangkan oleh Lacan. (Ibid., hlm. 27–28)

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 152

Sebaliknya, Deleuze mempersoalkan bagaimana film bekerja secara ontologis sebagai film dan bukannya sekedar sebagai tehnik atau seni penggarapan pro-filmik. Deleuze menawarkan cara berestetika baru yaitu dengan mempertanyakan bagaimana afeksi diformulasikan melalui warna, suara, gerakan, kekuatan (forces), atau intensitas. Afeksi tidak dipandang sekedar mekanisme fisik melainkan sebagai akibat proses selebral dari elemen-elemen material seperti pikiran/otak/tubuh. Film ditransformasikan dari sekedar teks bermakna menjadi sebuah peristiwa yang hanya tertangkap karena dialami (experiential). Cara berpikir seperti ini memungkinkan kita bertanya-tanya mengapa, misalnya, seorang feminis tetap bisa menikmati sebuah film yang terang-terangan mendeskreditkan perempuan (lembek, tak sanggup berpikir rasional, sepenuhnya untuk urusan dapur, dan seterusnya.). Bagaimanakah kita harus mengerti formasi hasrat dan kesenangan seperti ini dengan pola estetika sebelumnya? Apakah kita harus mengatakan bahwa sang feminis tersebut sedang berkhianat secara ideologis?8

Fenomena di atas membuka cara baru dalam memahami estetika visual.

Hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa film bisa juga beroperasi di luar wilayah image dan representasi, di luar kendali hasrat, kesenangan dan subyektivas semata9. Basis psikis yang mendasari motif identifikasi dalam proses menonton rupanya hanya separuh kisah peristiwa estetis. Separuh lagi adalah

8 Sudah barang tentu, orang menonton dengan berbagai modal kulturalnya. Akan tetapi, modal tersebut bisa saja ‗lumpuh‘ manakala film tidak memberi kesempatan baginya untuk berpikir atau mendayagunakan daya kritisnya secara maksimal. 9 Hal ini berlawanan dengan arus umum seperti yang ditenggarai oleh Kennedy bahwa, ―…most film theory has been locked into definitions of self, subjectivity, identity and representation‖. (Barbara M. Kennedy, Op. Cit., hlm. 72)

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 153

basis material yang eksis dan sangat penting dalam pengalaman afektif. Kata lain, penglihatan (the look) tidak pernah melulu visual melainkan juga sensoris, material dan mengada menurut proses-proses biologis (micro-biology) yang merupakan produk langsung dari pertautan antara material dan pikiran/otak/tubuh dan mesin (machinic assemblage).

Kita berhadapan dengan estetika baru yang tidak berhenti pada proses psikologis-perseptual semata. Pada saat representasi visual tertangkap mata, yang terjadi sebenarnya peleburan dinamis proses mental, ketubuhan, mesin/aparatus yang menghasilkan afek atau sensasi pada level molekuler. Estetika kekuatan dan sensasi dimana subyektivitas tidak lagi sekedar berada dalam image atau dalam ruang psikis penonton atau tontonan tetapi lewat peleburan materi: material film, daya-daya dan sensasi sebagai gerakan/pergerakan di antara ruang-ruang tersebut.

Film dilihat bak proses nuklir antara pikiran/tubuh/mesin yang saling menggilas, saling membentur, saling meniadakan menghasilkan panas yang menjalar bergerak di antara ruang-ruang, terasa sebagai sensasi. Inilah pengalaman filmik pada tataran sel (molekular atau microbiology) yaitu ketika tercipta afeksi yang merepresentasikan formasi kesadaran-persepsi. Persepsi di sini tidak dilihat hanya dari sudut pandang mata/visual tetapi lewat sinestetik sensasi. Dalam pradigma ini, gambar di layar beroperasi sebagai movement images, sebagai afek, sebagai modulasi dalam proses, dinamis dan tak tertentu (unfixed) pada tataran imanen.

Untuk itu, kita harus mengeksplorasi film sebagai prosesual tidak lagi sepenuhnya representasional, psikologis ataupun berdasarkan dikotomi subyek–obyek.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 154

Garin dengan jelas berhasil menterjemahkan gagasan seperti ini secara independen khususnya dalam Puisi Tak Terkuburkan. Kita mengalami sebuah corak filmmaking yang berbasiskan pada penciptaan sensasi secara berkesinambungan yang ditandai dengan lakunitas (gap) dan transisi. Tranformasi radikal misalnya tampak lewat hubungan-hubungan personal (Mak Tua dan

Jelita, Kadir dan El Manik, Mak Tua dan Sipir, Wak Haji dan Sipir, Kadir dan

Jelita dan Sipir, dan seterusnya) serta pasang-surutnya yang menjadi dasar jejaring komunal di luar dan khususnya dalam penjara. Secara simultan, tranformasi juga mengambil tempat secara ‗privat‘ dalam diri sejumlah tahanan misalnya Kadir, El

Manik, Jelita, Ideolog, Penutup Kuping dan seterusnya.

Eksposisi Garinian ini menghasilkan kesadaran akan perbedaan-perbedaan individual antar image yang tidak bisa lagi diserap secara sambil lalu. Menonton menjadi sebuah aktivitas serius selain dimensi menghiburnya. Memori dan memorisasi mendorong terjadinya konfrontasi antar image di dalam dan di luar film. Hal ini tampak sangat jelas kalau kita membandingkan durasi10 antar ‗paket‘ dialog internal dan visualisasi yang mengikutinya. Misalnya saja, dialog internal pertama dihabiskan dalam ±29,09 detik sedangkan visualisasi selama ±17 menit

20,02 detik sedangkan dialog internal ke-2 selesai dalam ±1 menit 7,22 detik diikuti visualisasi selama ±20 menit, 12,24 detik. Visualiasi dalam proses ekstensif dan intensifnya itu praktis mengikuti satu atau serangkaian kompleksitas peristiwa secara seksama nyaris tanpa jeda dan tanpa cutting. Hasilnya, berbagai emosi, ingatan, kenangan, aspirasi, harapan atau keyakinan mendapat tantangan

10 Sudah barang tentu, durasi yang dimaksud di sini adalah spasial namun sekaligus justru karena diskontinuitas serta aplikasi berbagai tehnik dan pilihan-pilihan estetis-filosofis dalam konteks time-

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 155

secara ekstrim yang memungkinkan terjadilah dialog kreatif tanpa batas.

Puncaknya, pengalaman sinematik menjadi semacam visual athletism11 yang ditandai dengan keterbukaan pada berbagai corak dan dimensi lain dalam proses perjumpaan dengan realitas-realitas hidup. Semua ini sekaligus merintis corak baru dalam proses menjadi Indonesia.

B. Menjadi Indonesia Model Garinian

Dalam bukunya, Indonesian Cinema, Framing the , Krishna

Sen menemukan bagaimana film menekankan sentralitas Soeharto dalam proses pembentukan identitas historis Indonesia dalam konteks Orde Baru12. Tema utama film-film nasional itu adalah perjuangan TNI dalam proses nation building melawan kekuatan asing (Belanda) yang tanpa rasa malu berusaha menjajah kembali koloninya yang ditinggal lari ketika Jepang masuk ke wilayah Republik.

Boleh kita ringkaskan film-film ini berbasiskan pada paham hitam lawan putih, kejahatan lawan kebenaran yang bagaimanapun pasti dimenangkan mereka yang berhati mulia, tulus dalam perjuangan dan berkorban tanpah pamrih. Kekuatan

11 I. Bambang Sugiharto mencatat demikian, ―…his films are always full of pregnant moments (Roland Barthes): each scene in his films is laden with existential profundity in such a way that we are forced to stop every time. Each scene is always too rich to miss. In other words, Garin‘s films often serve as a book of aphorisms in which the packaging—the dramatic personae—the characters—and even the plot become no longer too important. They may also be sacrificed without causing much of a problem. As a result, to be able to enjoy Garin‘s films, you need to see them many times. Therefore, these films can also be tiring even though they are far from making you bored‖. Lihat I. Bambang Sugiharto, ―Garin Nugroho‘s Films and Social Transformation,‖ dalam Philip Cheah, Taufik Rahzen, Ong Hari Wahyu dan Tonny Trimasanto (eds), And the Moon Dances: The Films of Garin (Jogjakarta: Bentang Pustaka bekerjasama dengan SET Film Workshop and BingO, 2004), hlm. 189. 12 Demikian katanya, ― With the making of the Suharto films we can see the beginning of the efforts of the regime not only to claim a role in the nationalist struggle, which is the ostensible purpose of the films, but more than that to inscribe itself into the nation‘s immemorial past, and at the same time ascribe the unity of the nation to itself‖. Lihat Krishna Sen, Indonesian Cinema, Framing the New Order (London and New Jersey: Zed Books Ltd., 1994), hlm. 89.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 156

putih ini (segenap bangsa) dimotori oleh TNI yang dipimpin oleh seorang pemuda tampan, murah seyum nan kokoh, ksatria pilih tanding dengan energi tak terbatas:

Soeharto yang dilawankan dengan Jendral Besar Soedirman yang sakit-sakitan13.

Dalam perkembangannya, personifikasi ini menjadi fixed alias sudah takdirnya seorang Soeharto memimpin bangsa ini. Berdasarkan logika pewayangan, sang pemuda sesungguhnya adalah ‗satrio piningit‘ yang mengalami tranformasi visi dan identitas terasah tahun-tahun penuh pergolakan. Indonesia menjadi anak-anak yatim yang diadopsi sang pemimpin yang menyadari perannya sebagai bapak14.

Di titik puncaknya, ia adalah titisan Semar, begawan maha bijak yang mengambil bentuknya dalam perkawanan Petruk dan Gareng, orang-orang lucu sederhana namun penuh ketulusan dan kebenaran15. Dan inilah sejarah nasionalisme yang menentukan subyektivikasi atau proses menjadi Indonesia16!

Garin dalam Puisi Tak Terkuburkan berbicara dengan bahasa dan cara yang sangat berbeda. Filmnya memang soal seorang Kadir Ibrahim yang tanpa pengadilan dicekok begitu saja dengan tuduhan terkait komunis. Namun begitu, seperti yang sudah kita lihat, keseluruhan film justru berkembang secara

13 Terutama tampak dalam film Janur Kuning yang ―.is first and foremost about Colonel Suharto….His superior physical endurance is emphasized when, after a week-long march, the troops ‗look tired, apart from Colonel Suharto, who still walks energetically. As the men are falling behind, shifting their load from shoulder to shoulder, Suharto‘s superiority is acknowledged by his subordinates, as Lieutenant Suhardono says: ‗walking seven days and nights! This Suharto never seems to tire.‘ (Ibid., hlm. 90–91). 14 ―Suharto has a paternal concern for his soldiers…Suharto‘s concern for soldiers is contrasted with that of average officer, like Lieutenant Sugiono, Suharto‘s chief-of-staff, who eagerly receives his portion and starts eating immediately. In return Suharto‘s men look up to him in child- like dependence. When Suharto reappears, after he is thought to have been killed in the battle, one soldier, Sudarso, runs ‗like a child, rushing to its mother (scenario) and weeps loudly on the commander‘s shoulder‖. (Ibid., hlm. 91) 15 Ibid., hlm.96–101 16 ―…by the end of the 1970s the time had come to remind people, especially the younger generation which did not know the nationalist movement and did not remember 1965, that ‗Pak Harto‘ had served the country well in the past. Brigadier General Dwipayana similarly insisted that the PFN film was a timely lesson in history, particularly for the younger generation‖. (Ibid., 102)

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 157

eksponensial tanpa lagi mempersoalkan salah tangkap atau bagaimana ia dibebaskan. Film sepenuhnya berkembang menjadi persoalan kemanusiaan atau bahkan crime against humanity17 yang melibatkan berbagai dimensi pertarungan mental, konflik batin, pertanyaan penuh protes dan persoalan-persoalan mendasar sehari-hari. Ia bukan film tentang Kadir meskipun kita toh masih mendapati peran sentral Kadir. Namun persoalan tidak diorganisasi di sekitar dirinya. Selain itu, ada figur-figur lainnya yang memang secara sengaja mendapat porsi peran dan proporsi sorotan secara khusus. Namun sekali lagi, mereka tidak menjadi persoalan sentral yang menjadi alas dan arah perjalanan film. Kesaksian Kadir bersanding dengan kesaksian orang-orang lainnya yang meskipun bersinggungan dengan dialog internalnya tidak sekedar untuk memperkuat atau menjadi double kesaksiannya tapi menjadi images yang berrevolusi dalam dan lewat durasinya.

Alhasil, film ini tidak berdasarkan star system atau sentralitas hero ataupun definisi kepribadian secara kualitatif (mulia, bijak, sederhana, dan sebagainya). Ia menyangkut orang-orang biasa dengan pengalaman sehari-hari dalam satu konteks waktu dan ruang tertentu yang ditandai dengan bulan-bulan penuh pergolakan.

Berbeda dengan film-film nasional di atas, film ini bukan berdasarkan pada konsep yang diinterpretasi secara ideologis untuk kepentingan tertentu. Dari sisi pemain (dan penonton), ia membuka jalan bagi reorganisasi fleksibilitas tubuh, formasi persepsi dan afeksi serta pikiran/pemikiran justru dengan mengembalikan kembali pengalaman yang sudah terkoptasi eksternalitas itu ke

17 Patut dicatat di sini adalah bahwa film ini berbeda cara penggarapan, kerangka berpikir, cakupan filosofis serta tawaran estetikanya bila dibandingkan dengan film berbasis saksi mata dan crime against humanity lainnya, misalnya, seperti Hotel Rwanda (yang menyangkut --di Rwanda-- soal perang etnis antara kelompok-kelompok Hutu dan Tutsi yang menyebabkan begitu banyak manusia terbunuh sia-sia).

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 158

level paling primordial (untuk kemudian dipertanyakan). Materi dan situasi politik yang mendasari film ini sebenarnya dengan mudah menjadi struktur metafor laiknya dalam logika visual umumnya. Namun Garin rupanya tidak tergoda menggubah konsep-konsep psikolinguistik ke dalam presentasi visual. Boleh dikatakan, dia menawarkan gagasan sejarah yang berbeda. Film-film Soeharto memahami sejarah sebagai hasil interpretasi yang menekankan momen menentukan dan tokoh (seperti dalam logika movement-image). Momen menjadi setting yang sudah bernilai di dalam dirinya sendiri, sebuah keniscayaan yang direspon protagonist. Dengan cara ini, sejarah direduksi ke dalam kronologi waktu dan peristiwa seturut kontinuum masa lampau, sekarang dan masa depan.

Garin sebaliknya berpikir secara time-image. Sejarah adalah sebuah proses perjuangan pertumbuhan menjadi sesuatu yang belum pasti dengan mempergunakan berbagai daya yang ada secara maksimal18. Ia bukan citraan-

18 Menurut hemat penulis, Puisi Tak Terkuburkan tidak sekedar ‗imaging of national culture‘ ala Anderson, sekedar mengeksploitasi ingatan publik atas perisitiwa ‘65, bersandar pada otoritas masa lalu untuk menarasikan sejarah nasional bangsa ini (dengan negara sebagai pusat artikulasi historis yang merujuk pada ide kesatuan atau nationhood dengan menisbihkan pengalaman- pengalaman individual maupun kolektif pada level mikro) ataupun menampilkan ‗shared images‘ pusat sebagai totalitas pengalaman kolektif di Republik ini sebagaimana yang didiskusikan dalam tulisannya. Ia lebih merepresentasikan sebuah ‗counter-memory‘ yang menghadirkan difference dan lapisan-lapisan pengalaman sebagai fakta historis yang, ―opens up the locked doors, allowing for the marginalized and silenced voices to be heard. Lihat Wimal Dissanayake, ―Nationhood, History, and Cinema, Reflection on the Asia Scene,‖ dalam Wimal Dissanayake (ed), Colonialisme and Nationalism in Asian Cinema (Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 1994), hlm. ix-xxix. Dengan ‗memaksa‘ pemain dan penonton sekaligus untuk mengalami dan bereksperimen dengan images dan pengalaman serta pengalaman akan images, Garin membawa trauma ‘65 ke titik nadir, ke ‗titik nol‘ namun bukan sebagai nihilisme justru sebagai kepenuhan pengalaman dan eksperimentasi pada level individual maupun kolektif dan pada level molekular. Hal ini tampak sekali dalam berbagai images seperti gestural, sikap-sikap berdiri, berbicara atau berjalan, pola- pola interaksi seperti terungkap dalam medan vibrasi atau doppler effect, serta dalam pengembangan, percabangan bahkan mutasi (dalam konteks machinic assemblages). Sejarah bukan terutama pada plot atau lalu-lintas interaksi rasional-horehensi seturut model movement- image tapi pada setiap ujung saraf yang terus-menerus mengalami stimulasi dan menstimulasi yang menghasilkan pengalaman kurang-lebih pada taraf pre-grammar, pre-linguistics, pre- symbolics ataupun pre-signification. Untuk lengkapnya bagaimana sinema di Indonesia menjadi

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 159

citraan yang disusun dengan sistematika tertentu berdasarkan sejumlah asumsi aksiomatis. Akan tetapi, sejarah adalah pertumbuhan dan percabangan ke segala dimensi berkat konfrontasi berbagai daya hidup secara dinamis. Daya-daya dalam matter (image) yang saling bertemu, bertubrukan, saling menimpa berdesak- desakkan ini menghasilkan peleburan di sana-sini, berkembang terus bahkan bermutasi. Sejarah bukan sebuah kontinuitas yang terberi melainkan diskontiuitas yang mengandaikan partisipasi pencecapan sensoris secara dinamis dan mobile.

Masa lampau bukan berlalunya peristiwa yang berdampak pada masa sekarang dan masa depan berdasarkan model interpretasi tertentu (ideologi). Sebaliknya, masa lampau (atau ingatan sejarah19) adalah former present yang hanya dimengerti sepenuhnya secara experiential bukannya dengan analisa intelektual semata.

Dimensi experiential ini berarti mengafirmasi provokasi yang membuka jalan bagi tertangkapnya berbagai durasi pada dirinya sendiri. Perjumpaan yang radikal ini mentransendensi agregat masa lalu dengan mengubah potongan- potongan memoris immobile menjadi kompleksitas mobilitas sinapsis relevan yang sedang menjadi tanpa berkesudahan. Pikiran menjadi keniscayaan dengan konsepsi sejarah seperti ini. Pikiran tumbuh dan berkembang serta berevolusi di luar ‗pikiran resmi‘ atau di luar pakem signifikasi secara ideologis. Pikiran

sarana menarasikan budaya nasional dalam konteks Andersonian imagined communities, silahkan lihat, Karl G. Heider, ―National Cinema, National Culture,‖ dalam Wimal Dissanayake (ed), Colonialisme and Nationalism in Asian Cinema (Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 1994), hlm. 162-169. 19 Menyangkut bagaimana peristiwa ‗65 menjadi ‗subject of creative narrative‘, silahkan lihat Keith Foulcher, ―Making History: Recent Indonesian Literature and the Events of 1965,‖ dalam Robert Cribb (ed), The Indonesian Killings 1965 – 1966. Studies from Java and Bali (Australia: Centre of Southeast Asian Studies, Monash University), hlm. 101–119. Silahkan juga bandingkan tulisan-tulisan Usmal Ismael

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 160

dikembalikan ke sifat aslinya yaitu selalu dalam dinamisme pemberontakan atau yang subversif. Dengan cara ini, Garin sebenarnya menawarkan jalan bagaimana mencegah proses pengeroposan pikiran secara ideologis bahkan secara visual.

Sejarah sebagai sains harusnya melawan setiap upaya otomatonisasi manusia- manusia nyata dengan melawan proses penyeragaman (monolithic politicized subjectivity).

Garin melakukannya dengan membuat kita lebih peka pada badan atau pada ketubuhan kita sebagai interkoneksivitas afektif-perseptif. Locus sejarah bukan pada pikiran resmi tapi pada tubuh/otak/pikiran sebagai ketunggalan sistem hidup. Ia membangkitkan kembali semangat merestorasi pikiran yang sudah direpresi menjadi kemungkinan tanpa batas. Tubuh/otak/pikiran dengan demikian mengaktifkan kembali pola interrelasi secara internal dan dengan berbagai matter

(image) lainnya. Pengalaman kemudian menghidupkan kembali kepekaan mengalami perjumpaan secara intens dan independen pada level sensasi. Hal ini justru berlawanan dengan logika kekuasaan ideologis yang berpikir secara secara dikotomis memisahkan dimensi pikiran/persepsi/perasaan dengan tubuh sebagai representasi material si jahat dan karenanya valid sebagai sasaran ‗keadilan‘.

Tidak heran, penghukuman selalu didahului pengikatan tangan di belakang punggung dan pengarungan kepala yang selain secara praktis untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkan juga sadar atau tidak menegaskan filsafat jiwa-raga ini.

Dalam Garin, yang terpenting bukan apa yang dilihat dan dinarasikan tapi apa yang dirasakan sistem hidup tersebut yang sekaligus pusat persepsi dan salah

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 161

satu matter (image). Hal ini mengandaikan intentifikasi dan ekstensifikasi memori dan imaginasi secara terus-menerus tanpa merusak pola-pola interrelasi dalam dan lewat serta antar durasi. Sejarah dengan demikian soal mereka yang hidup dan bukannya soal menang-kalah. Ia bukan ada begitu saja, tapi harus ditemukan dan digulati secara fundamental. Basis pergulatan ini adalah apa yang paling menentukan dalam hidup dan kehidupan itu sendiri. Artinya, materi sejarah adalah dalam dan lewat kehidupan sehari-hari. Pengetahuan dan kebenaran adalah pergulatan sehari-hari. Ia bukan sebuah ideologi yang harus ditegakkan secara sepihak tapi sebuah perjumpaan secara intens, sebuah pertarungan dan perjuangan dari hari ke hari. Proses konfrontasi inilah yang menentukan pengalaman historis secara mendasar. Setiap subyek dengan demikian menjadi mengada yang sedang berproses secara radikal. Setiap tindakan adalah proses mentranformasi sejarah itu sendiri. Maka kita bisa mengatakan bahkan perilaku sang Sipir yang garang namun sesungguhnya penuh pergulatan dan penuh pemikiran ini merefleksikan bagaimana sejarah itu sedang mengalami proses tranformatif.

Tubuh (the corpereal body) adalah entitas hidup yang dihidupi, dialami dan dijumpai secara intens (a lived body) yang harus didefinisikan dengan berbagai varian dalam proses konglomerasi-okulatif (machinic assemblages) dengan berbagai bentuk ketubuhan serta daya lainnya (teknologis maupun non- teknologis). Menulis sejarah sama dengan membaca pergulatan, perasaan, persepsi dan pengalaman korporealitas multi dimensi tersebut. Setiap tanda yang diaplikasikan secara visual merepresentasikan sebuah tanda perjumpaan (a sign of encounter) dan daya-daya perjumpaan (forces of encounter). Konsekuensinya,

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 162

tubuh yang bukan lagi representational itu kini dipandang sebagai transisi demi transisi yaitu impuls, ritme dan elemen yang memungkinkan proses perubahan secara terus-menerus. Tubuh seperti ini dihidupi sebagai yang mengalami sensasi.

Tidak heran apabila Garin terus-menerus mendesakkan keterlibatan aktif-kreatif penonton, mengemansipasi indrawi secara maksimal sembari meminimalkan kemungkinkan identifikasi dengan pemain yang juga secara otonom mengalami sensasi pada sekujur tubuhnya.

Inilah proses menjadi Indonesia yang watak utamanya adalah subversif- kreatif-dialogis. Ia mengadopsi paham menghadirkan perbedaan individual berlawanan dengan paham menghakimi karena berbeda. Realitas adalah fluiditas perubahan. Subyektivitas seperti ini tidak dibentuk secara eksternal namun secara internal dalam dan lewat perjumpaan duratif. Subyektivitas seperti ini sifatnya multi bentuk, multi isi dan multi posisi. Ia terjadi bukan pada level semiotik maupun dalam format psikologis atau ideologis seperti dalam film-film nasional

Soeharto. Sebaliknya ia terjadi pada level sensasi secara material, sebuah potensi menjadi yang penuh daya dan kejutan20.

20 Deleuze sendiri mengolah proses menjadinya berdasarkan Nietzsche yang memeluk paham multiplikasi, perubahan, dunia, kehidupan atau flaktuasi tanpa henti : sebuah continuum, proses perubahan secara terus-menerus, kecepatan dan dinamisme yang terus berubah tanpa mengalami fiksasi atau permanensi. Dengan begitu, proses menjadi identik dengan kehidupan biologis atau duniawi. Konsep menjadi Deleuze, sama halnya dengan Nietzsche, anti Hegelian dan anti metafisika. Identitas dan order teleologis yang tetap digantikan dengan ‗a flux of multiple becomings‘. Akan tetapi, Deleuze sedikit berbeda dalam mengoperasikan proses menjadinya. Seperti yang sudah jelas tampak, Deleuzian desire tidak dipremiskan berdasarkan subyek desire psikoanalitik. Akan tetapi, desire ia bangun berdasarkan daya-daya afektif dari materialitas, materialitas tubuh-tubuh (bodies) yang mengalami assemblage satu sama lain menjadi konglomerasi daya-daya molekuler. Dari sini, proses menjadi Deleuzian merepresentasikan proses desire dan dengan begitu ia tidak bisa dikatakan murni natural atau biologis. Deleuze mengajukan konsep bahwa menjadi itu (selalu dalam bentuk jamak) adalah molekuler. Artinya, proses menjadi ini dilihat sebagai ―affects and it is the subsuming of subjectivity through the notion of a material affect that is central to a neo-aesthetics of the cinematic‖. (Barbara M. Kennedy, Op. Cit.,hlm. 87– 88)

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 163

C. Menuju Praxis Filsafat Kontemporer Indonesia

Dalam What is Philosophy?21 buah karyanya bersama Guattari, Deleuze dengan tajam membedakan tiga corak disiplin yaitu sains, seni dan filsafat.

Masing-masing bidang menganalisa realitas dengan caranya sendiri-sendiri. Sains, katanya, menciptakan teori-teori kuantitatif berdasarkan fiksasi referensi seperti kecepatan cahaya atau nol absolut (absolute zero) yang ia sebut ‗functives‘.

Sementara itu, seni menggulati penciptaan berbagai kombinasi kualitatif dari sensasi dan feeling yang ia istilahkan dengan percepts dan affects. Filsafat sesuai dengan naturnya mendominasi aktivitas penciptaan konsep22. Ketika area pengetahuan ini pada dasarnya sama-sama praktis dan kreatif. Namun begitu, ketiganya tidak saling mendominasi namun berkonsentrasi pada wilayah

21 What Is Philosophy?, Hugh Tomlinson dan Graham Burchell (trans) (New York: Colombia University Press, 1994). 22 Dalam kesempatan jauh sebelumnya, dalam sebuah wawancara, Deleuze memerikan dengan jelas pemikirannya menyangkut tugas seorang filsuf. Katanya, ―…but ideas, having an idea, this is not a question of ideology but of practice. Godard has a nice formula: not a true image, just an image (pas une image juste, juste une image). Philosophers should say the same too, and practice what they preach: no sound idea, just ideas (pas d’ide es justes, justes des ide es), because sound ideas are always ideas which conform to dominant meanings or established slogans, they are always ideas which verify something, even if that something is in the future, even if that future is revolutionary. Whereas ‗just ideas‘ corresponds to what is in the making in the present, it‘s a stammering of ideas, something that can only be expressed in the form of questions, questions of the sort which tend to be difficult to answer. Or else which show something utterly simple and obvious‖. (Gilles Deleuze, ―On Sur Et Sous La Communication: Three Questions on Six Fois Deux (‗A propos Sur et sous la communication: Trois questions sur Six fois deux‘, Cashier du Cinema 271, November 1976),‖ dalam David Wilson (ed) dan Berenice Reynaud (intr.), Cashier du Cine –1978: History Ideology Cultural Studies. An Anthology from -292, September 1973-September 1978 (London and New York: Routledge in association with the British Film Institute, 2000), hlm. 125. Berkaitan dengan hal ini, kita bisa melacak perjalanan Deleuze sebelumnya dalam tulisannya tentang Nietzsche the philosopher. Katanya, ―When someone asks ‗what‘s the use of philosophy?‘ the reply must be aggressive, since the question tries to be ironic and caustic. Philosophy does not serve the State, who has other concerns. It serves no established power. The use of philosophy is to sadden. A philosophy which saddens no one, that annoys no one, is not a philosophy. It is useful for harming stupidity, for turning stupidity into something shameful. Its only use is the exposure of the baseness of thought…Philosophy at its most positive as a critique, as an enterprise of demystification. Lihat Roffe Jon, The Internet Encyclopedia of Philosophy (University of Melbourne: http://www.iep.utm.edu/d/deleuze.htm#H7, 2006).

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 164

aktivitasnya merespon aliran metafisika (metaphysical flux) sambil tetap mempertahankan resonansi harmonis.

Gagasan ini sangat berbeda dari para filsut lainnya yang melihat filsafat sebagai upaya menangkap kebenaran, mendirikan rasio ataupun menghasilkan ensiklopedia universal. Konsep baginya tidak merepresentasikan proposisi atau kondisi identitas namun merupakan konstruksi-konstruksi metafisika yang menentukan rentang atau cakupan pikiran laiknya substansi Aristoles, idea Plato, cogito Descartes atau durasi Bergson. Konsep sama sekali tidak terberi atau pengetahuan atau representasi yang dapat dijelaskan oleh berbagai proses mental yang membentuknya (abstraksi atau generalisasi) ataupun yang mampu mengaplikasikannya. Konsep dengan begitu harus diciptakan23. Ia tidak dibentuk tapi ia memposisikan dirinya dalam dirinya (self-positing). Penciptaan dan self- positing ini saling mengimplikasikan satu sama lain. Dengan begitu, filsafat adalah sebuah vitalis konstruksivisme24.

Kalau kita merenungkan secara mendalam bagaimana Garin berkiprah lewat film ini, kita akan mendapati beberapa sumbangan konkrit sehubungan dengan menggagas praxis filsafat kontemporer Indonesia. Pertama sekali, filsafat itu seharusnya mengakar dalam pengalaman bersama bangsa ini. Rentang ruang-

23 Gagasan ini bertabur dalam berbagai pemikirannya serta kait-mengkait dengan berbagai pemeriaan filosofisnya di berbagai kesempatan. Dalam salah satu tulisannya, misalnya, ia berkata, ―What we should in fact do, is stop allowing philosophers to reflect ―on‖ things. The philosopher creates, he doesn‘t reflect. …‖Cinema was invented while Bergson‘s thought was taking shape. Motion was brought into concepts at precisely the same time it was brought into images. Bergson presents one of the first cases of self-moving thought. Because it‘s not enough simply to say concepts possess movement; you also have to construct intellectually mobile concepts. Just as it‘s not enough to make moving shadows on the wall, you have to construct images that can move by themselves.‖ Lihat Gilles Deleuze, ―Mediators,‖ dalam Martin Joughin (trans), Negotiations, 1972-1990 (United States of America: Colombia University Press, 1995), hlm. 122. 24 Roffe John, Op. Cit.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 165

waktu filsafat meliputi Indonesia sebagai peradaban yang sedang berproses tanpa henti tanpa mengasumsikan kontinuitas serta kronologi. Filsafat harus menggali berbagai simbol-simbol kolektif maupun personal sebagai sistem tanda yang terus-menerus mengalami proses menjadi (the flux of changes) sebagaimana tersurat dan tersirat dalam berbagai manifestasi kehidupan sehari-hari.

Konsekuensinya, filsafat harus memasuki sejarah secara ekstrim bukan untuk mendirikan justifikasi melainkan untuk memahami secara mendasar dan internal dengan menggulati berbagai dimensi dan interrelasi pergulatan serta pertarungan dalam konteks sehari-hari tersebut. Filsafat adalah sejarah mereka yang hidup dengan memperlakukan kekuatan-kekuatan masa lalu sebagai yang real meskipun tidak aktual, ideal tanpa menjadi abstrak (former present).

Dalam kaitannya dengan proses perjumpaan ini, filsafat harus berbasiskan field work yang kemudian mengalami resonansi dalam penciptaan sejumlah gagasan mendasar untuk menggulati kondisi-kondisi terkini bangsa ini. Yang menjadi target penelitan tadi adalah realitas sebagaimana ia mewayuhkan dirinya secara material di lapangan. Maka filsafat harusnya berorientasi pada yang hidup.

Hidup itu dipahami sebagai pergulatan dan pertarungan antar image dan antar pusat persepsi secara konstruktif. Konstruktif di sini harus dijelaskan bukan sebagai idealisasi realitas melainkan sebuah disposisi positif yang ‗rela‘ menangkap hidup apa adanya, yang positif maupun yang negatif, yang kondusif maupun yang dekstruktif, yang jelas maupun kabur atau laten. Filsafat dengan demikian menggulati situasi sehari-hari dari orang-orang kebanyakan secara

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 166

konfrontatif. Ia mencemplungkan dirinya ke dalam konteks seperti ini tanpa membawa sejumlah prasangka ilmiah atau bias lainnya.

Penelitian berbasis field work dalam rangka menggali basis material bagi penciptaan konsep ini bukan untuk harmonisasi perbedaan, sekedar geneologis, redemptif, upaya menghasilkan universal-universal atau terbatas sebagai upaya menguak jaring-jaring makna ala antropologi interpretatif. Dengan mengasumsikan hidup sebagai pergulatan, perjuangan atau pertarungan di dalam, melalui dan antar image, field work bergeser menjadi upaya berada langsung di medan pertempuran. Maka filsafat sebagai praxis berarti masuk ke dalam setiap wilayah persinggungan (contact zones) dan mengalami perjumpaan intens dengan segenap vitalisme25 kehidupan dalam bentuk bias, disharmoni, diskonkruensi, kontras, oposisional, ambivalensi, resistensi atau paradoks antar perbedaan. Ia menyadari sungguh eksistensi berbagai daya hidup (yang menyangkut intensitas, tonalitas, ritme, diskontinuitas, dan seterusnya) yang bekerja secara internal maupun eksternal sebagaimana termanifestasi dalam taburan affective images. Ia adalah biografi (namun bukan filsafat biografi!) affective images yang mengakar dan bertumbuh terus-menerus (ekstensif maupun intensif) dalam dan melalui daya-daya (forces) tertentu (personal, komunal maupun historis) seraya mentranformasikan sejarah itu sendiri secara radikal. Biografi ini dipresentasikan sebagai persoalan konseptual yang sifatnya provokatif seturut logika time-image

(dengan mengapropiasi intuisi).

25 Deleuze mengembangkan vitalisme Bergsonian. Bagi Bergson, vitalisme adalah kehadiran universal berbagai daya dinamis dalam setiap sistem yang hidup dan dan (selalu sedang) berkembang. Baginya, alam semesta itu endures dan durasi --dari perspektif vitalist akan evolusi—merupakan ‗penemuan, penciptaan bentuk-bentuk, elaborasi pembaharuan secara terus- menerus‘.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 167

Perilaku filsafat seperti ini sangat penting mengingat bahaya besar yang selalu mengintip sepanjang contact zones. Bahaya itu adalah terjadinya fusi26 afektif yang sifatnya destruktif ketika berbagai warna emosionalitas yang saling berlawanan dengan kepentingannya masing-masing menarik affective images serta formasi pengalaman masa lalu dan menjadikannya basis interpretasi kekinian secara membabi buta. Terjadilah sebuah fusi antar horison secara prematur yang membuka jalan bagi pemikiran yang sifatnya bawah sadar dan bukannya sebagai proses sadar yang melahirkan ide-ide original. Pemikiran berakhir sebagai formasi reaktif yang ditunggangi percikan-percikan afeksi yang tadinya direpresi. Alih- alih menghasilkan biografi affective images, kita justru mencatat berbagai mutan vested-interest afektif-perseptif. Multi dimensi dan perkecambahan images menjadi proses mereduksi sejumlah image dominan ke dalam sejumlah postulat dan bukannya konsep.

Sebuah proyek yang bisa disebutkan di sini adalah proses rekonsiliasi keluarga besar (Indonesia) seperti yang menjadi pergulatan utama dalam film ini.

Garin dengan brillian menggulati kehidupan normal yang berantakan diterpa kekuatan-kekuatan ideologis-historis. Berbagai struktur dan konstruk sosial seperti keluarga, kekerarabatan, pertetanggaan, pemerintahan kampung, dimensi rumah-tangga, definisi rumah, dan seterusnya harus masuk ke dalam pertempuran

26 Fusi adalah istilah dari dunia fisika nuklir yang bisa menggambarkan gagasan mendasar Deleuze tentang image of thought. ―The construction of concepts is guided by a secret ‗image of thought‘ which inspires by its development, forkings and mutations the necessity of always creating new concepts, not as a function of external determinism, but as a function of a becoming which carries along the problems themselves‖. ―In everyday banality, the action-image and even the movement-image tend to disappear in favor of pure optical situations, but these reveal connections of a new type, which are no longer sensory- motor and which bring the emancipated senses into direct relation with time and thought‖. Lihat Gilles Deleuze, Cinema 2, The Time-Image, Hugh Tomlinson dan Robert Galeta (trans), (Great Britain: The Athlone Press, 1989), hlm. xvi, 17.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 168

maha dasyat yang mengoyak-koyak bukan saja harmoni kehidupan namun juga masuk ke dalam labirin afektif dan secara frontal mengangkat lapis demi lapis images of thought. Dalam perkembangannya, situasi multi opresif ini justru melahirkan perkembangan, percabangan bahkan mutasi konsep keluarga yang melampaui dimensi biologis-sosial menjadi pergulatan personal, sosial, historis dan secara tersamar menjadi masalah nationhood. Ia adalah ibarat menulis dan menegoisasikan ulang sejarah secara imaginal justru dengan destabilisasi dan deteritorisasi jejaring makna. Potensi kemanusiaan yang sifatnya kreatif, interaktif dan multi persepsi dipulihkan kembali.

Sudah barang tentu, filsafat terbuka bekerja sama dengan disiplin-disiplin lainnya namun ia harus setia pada tujuannya pokoknya yaitu menciptakan konsep dan bukannya bekerja secara apriori. Realitas hanya mungkin dimengerti melalui konsep hanya apabila konsep itu sendiri diciptakan atau dikonstruksikan secara intuitif yaitu sebuah bidang atau wilayah (field), tataran dan basis yang tidak boleh dicampuradukkan dengan benih dan mereka yang menggarapnya.

Konstruktivisme mengandaikan bahwa setiap penciptaan (konsep) harus merupakan sebuah konstruksi pada tataran yang memungkinkannya eksis secara otonom. Tataran dalam konstruktivisme adalah plane of immanence27. Ia jangan dikacaukan dengan konsep ataupun pikiran melainkan seperti images of thought28 yang memberikan dirinya sebagai pemerian apa artinya berpikir, mendayagunakan pikiran dan bagaimana menemukan posisi seseorang dalam pikiran.

27 ―Concept exists on the plane of immanence and each philosopher, Deleuze and Guattari tell us, must create such a plane‖. (Roffe John, Op. Cit) 28 What Is Philosophy?, Op. Cit., hlm. 37.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 169

Filsafat ringkasnya adalah pengetahuan lewat konsep-konsep murni

(knowledge through pure concepts) mencuatkan corak berpikir melalui gerakan

(thinking through movement) yang hakekatnya memungkinkan pikiran muncul secara independen dalam konteks kreasi dan pembaharuan. Dengan begitu, filsafat

(yang bekerja bersama film) memungkinkan pikiran sekali lagi menempati posisi sentral dalam haru-biru Republik ini.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Daftar Pustaka

Barnhart, Clarence L. (ed.) (1958) The American College Encyclopedia Dictionary, Chicago: Spencer Press. Bazin, Andre (1992) “The Myth of Total Cinema,” dalam Film Theory and Criticism, Introductory Reading,, eds. Gerald Mast, Marshall Cohen dan Leon Braudy, New York: Oxford University Press. A Thousand Plateaus, Capitalism and Schizophrenia, trans. Brian Massumi, United States of America: University of Minnesota Press. Deleuze, Gilles (1994) Difference and Repetition, trans. Patton, New York: Colombia University Press. What Is Philosophy?, trans. Hugh Tomlinson dan Graham Burchell, New York: Colombia University Press. Deleuze (1995) “Mediators,” dalam Negotiations, 1972-1990, trans. Martin Joughin, United States of America: Colombia University Press. Deleuze, Gilles (2000) “On Sur Et Sous La Communication: Three Questions on Six Fois Deux („A propos Sur et sous la communication: Trois questions sur Six fois deux‟, Cashier du Cinema 271, November 1976),” dalam Cas – 1978: -292, September 1973-September 1978, eds. David Wilson dan Berenice Reynaud, London and New York: Routledge in association with the British Film Institute. Deleuze, Gilles (2000) Cinema 2, The Time-Image, trans. Hugh Tomlinson dan Robert Galeta, Great Britain: The Athlone Press. Eisenstein, S.M. (1987) Selected Works, vol I, Writings, 1922–34, ed. and trans. Richard Taylor, London: Indiana University Press. Eisenstein, Sergei (1992) “Dickens, Griffith, and the Film Today,” dalam Film Theory and Criticism, eds. Gerald Mast, Marshall Cohen dan Leo Braudy, New York: Oxford University Press. Elliott, Anthony (2002) Psychoanalytic Theory: An Introduction, Hampshire and New York: Palgrave. Foulcher, Keith (1990) “Making History: Recent Indonesian Literature and the Events of 1965,” dalam The Indonesian Killings 1965 – 1966. Studies from Java and Bali, ed. Robert Cribb, Australia: Centre of Southeast Asian Studies, Monash University. Gunning, Tom (1990) “Non-Continuity, Continuity, Discontinuity, A Theory of Genres in Early Films,” dalam Early Cinema, Space Frame Narrative, eds. Thomas Elsaesser dan Adam Barker, London: British Film Institute (BFI) Publishing. Hayward, Susan (2001) French National Cinema, New York: Routledge. Heider, Karl G. (1994) “National Cinema, National Culture,” dalam Colonialisme and Nationalism in Asian Cinema, ed. Wimal Dissanayake, Bloomington and Indianapolis: Indianan University Press. Ismail Usmar H. (1983) Usmar Ismail Mengupas Film, Jakarta: Sinar Harapan. Kennedy, Barbara M. (2000) Deleuze and Cinema, Edinburgh: Edinburgh University Press Ltd. Konigsberg, Ira (1989) The Complete Film Dictionary, United States of America: Meridian Printing. Lapsley, Robert dan Michael Westlake (1988) Film Theory: An Introduction, United Kingdom: Manchester University Press. Mascelli, Joseph V., A.S.C. (1986) Angle – Kontiniti – Editing – Close Up – Komposisi dalam Sinematografi,trans. H.M.Y. Biran, Jakarta: Yayasan Citra. Metz, Christian (1982) Psychoanalysis and Cinema, The Imaginary Signifier, trans. Celia Britton, Annwyl Williams, Ben Brewster dan Alfred Guzzetti. Piliang, Yasraf Amir (2003) Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna, Bandung: Jalasutra.

170

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 171

Preminger, Alex dan T.V.F. Brogan (eds) (1993) The New Princeton Encyclopedia of Poetry and Poetics , New Jersey: Princeton University Press. Rendra, WS. (1992) “Dunia Film di Mata Seorang Dramawan” dalam Layar Perak, 90 Tahun Bioskop di Indonesia, ed. Harris Jauhari, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Rosen, Philip (ed.) (1986) A Film Theory Reader: Narrative, Apparatus, Ideology, United States of America: Colombia University Press. Said, Salim (1982) Profil Dunia Film Indonesia, Jakarta: Grafiti Pers. Sarup, Madan An Introduction Guide to Post-Structuralism and Postmodernism, Athens: The University of Georgia Press. Schickel, Richard D.W. Griffith, An American Life, New York: Limelight. Sen, Krishna (1994) Indonesian Cinema: Framing the New Order, London and New Jersey: Zed Books Ltd. Setiawan, Sandi (1994) Gempita Tarian Kosmos, Yogyakarta: Andi Offset. Sklar, Robert (2000) Film, An International History of the Medium, United States of America: Prentice-Hall, INC., and Harry N. Abrams, INC., Publishers. Stam, Robert, Robert Burgoyne dan Sandy Flitterman-Lewis (eds) (1999) New Vocabularies in Film Semiotics:, Structuralism, post-structuralism and beyond, London and New York: Routledge. Sugiharto, Bambang I. (2004) “Garin Nugroho‟s Films and Social Transformation,” dalam And the Moon Dances: The Films of Garin, eds. Philip Cheah, Taufik Rahzen, Ong Hari Wahyu dan Tonny Trimasanto, Jogjakarta: Bentang Pustaka bekerjasama dengan SET Film Workshop and BingO.

Majalah

Nyata, Artika Sari Devi, Cerita Indah dari Venice, edisi 1839 – IV September, hlm. 10.

Website

Celeste, Amy (ed.) (2000) “Time and the Work,” dalam VISIBLE: An Electronic Journal for Visual Studies, http://www.rochester.edu/in_visible_culture/issue3.html. Jon, Roffe (2006) The Internet Encyclopedia of Philosophy, http://www.iep.utm.edu/d/deleuze.htm#H7 : University of Melbourne. Wagner, Charles R. (2006), “Smoke Gets in Your Eyes: Hou Hsiao-hsien‟s Optics of Ephemerality,” dalam Senses of Cinema, issue 39, April-June, eds. Rolando Caputo dan Scoff Murray, http://www.sensesofcinema.com/contents/o6/39/hou_optic_ephemerality.html. Wrigley, Nick (March, 2003), “Yasujiro Ozu,” dalam Great Directors, http// www.sensesofcinema.com.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Sinopsis Film

1. Pembukaan

Film dibuka dengan perhelatan didong. Kamera memperkenalkan tokoh-tokoh utama (laki-laki). Suara truk terdengar disusul keterangan pembuka memberi konteks pada film serta posisi Ibrahim Kadir sebagai tertuduh (yang kemudian dibebaskan) dan saksi (penafsir) hidup. Kembali masuk suasana riang dalam perayaan bersama tadi sebelum nama-nama pemain muncul.

2. Dialog Internal Pertama

Kadir secara dramatis menarasikan proses eksekusi masal. Ia menggambarkan telebas pedang dan guliran kepala terpancung, timbunan mayat dan tubuh-tubuh yang menggelepar.

3. Kilas Balik dan Dinamisme Penjara

Kadir dijebloskan pertama kali ke penjara didahului visualisasi situasi mencekam para tahanan yang gemetaran, lesu tertunduk, tampak putus asa dan membisu dalam ketakutan. Kita langsung melihat pertarungan mental antara Kadir dan Sipir ditambah deru datang dan pergi truk di luar serta signifikansi bunyi gerendelan rantai gembok, karung goni dan tali.

Kamera menyorot dapur: kantor Sipir sekaligus tempat pengarungan dan kontrol Sipir terhadap keseluruhan penjara khususnya sel laki-laki, suasana dan aktivitas memasak dan urusan goni, ibu-ibu yang memasak dan ketokohan Mak Tua.

Sang Ideolog mendapat sorotan khusus memaparkan makna ideologi bagi kebenaran dan pembebasan dari rasa takut. Begitu juga respon Wak Haji dan Penutup Telinga mendengar itu semua. Kamera juga menyorot El Manik si Pengetuk Waktu.

Pemanggilan pertama dan suasana mencekam pengarungan di dapur. Kamera dengan detil menatap pola- pola respon tahanan terhadap ruang offscreen dan waktu penjara. Kadir ditugaskan mengikat tangan-tangan para terhukum. Sekembalinya Kadir, ia menceritakan semuanya kepada El Manik.

Kamera menangkap situasi sel perempuan ditingkah tangis bayi. Kamera lalu pindah ke wajah-wajah tawanan pria yang mendengarkan tangis bayi (lagu ‘Anak’ terdengar kian membesar).

Pak Tua mencoba mengintip ke sel sebelah mencari istri dan anaknya. Kadir membantu. El Manik tahu- tahu keluar dari WC sambil menyenandungkan lagu ‘Nasib Anak Ayam Tersambar Elang’.

Sipir memberi Kadir bingkisan dari istrinya.

Juwita disuruh membantu para ibu di dapur.

Konfrontasi pertama Mak Tua dan Sipir.

Wak Haji bertanya pada Sipir sudah jam berapa. Penonton langsung sadar signifikasi pertanyaan ini yang akan terus dipakai Wak Haji hingga akhir film.

Kadir merasakan kehadiran anaknya lewat bau di kain kiriman istrinya tersebut, tercenung jauh. El Manik berrefleksi betapa dalam keadaan tertekan, semuanya bisa bermakna.

Wak Haji mengalunkan azan ditengahi suara truk yang berhenti.

172

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 173

4. Dialog Internal Kedua

Kadir mengekspresikan rasa bahagianya saat masih bekerja di sawah milik mereka bersama istri dan anaknya. Betapa cerah hati sang bapak melihat kenakalan anaknya yang suka mencari kupu-kupu itu. Kadir juga menggambarkan perasaannya melihat anaknya bersorak-sorak memberitahu sang ibu bahwa bapaknya datang membawa sejumlah ikan yang baru ditangkapnya.

5. Curiga dan Hancurnya Kekerabatan Sosial

Para tawanan mencoba memaknai situasi mereka dengan bertanya bahkan mempertanyakan keabsahan politik memporak-porandakan kehidupan mereka yang sebelumnya sangat damai tersebut. Mula-mula Mak Tua meradang bersama Juwita. Kemudian menjalar kepada kelompok pria lewat Pak Tua yang ternyata menguping. Sebagian tahanan menggambarkan situasi hidupnya sebelum masuk penjara dan perubahan serba cepat ketika ideologi membelah tatanan dan kekerabatan.

Jalil sang Ideolog ketakutan luar biasa ketika suara truk terdengar berhenti di luar.

Mak Tua dan Juwita mengubah mood penjara secara drastis dengan pelajaran menampi padi dan mengolah asmara via bahasa-bahasa simbolik. Mak Tua menyampirkan kain bulan-bulan, membentuk sanggul Juwita dan menyelipkan kuntum bunga di sela-selanya. Para tawanan wanita menyoraki semu pipi Juwita. Mereka kemudian saling bertukar kisah-kisah masa pacaran diakhiri tari dan lagu. Kaum pria menyusul tak kalah kenesnya. Apa lacur, di ujung cerita, Kadir yang sempat menari-nari diiringi tepuk tangan para sahabatnya justru lunglai di puncak rasa.

6. Internal Dialog Ketiga

Kadir memaparkan filsafat hidup yang ditandai siklus lahir, berkembang dan mati. Semua ini wajar belaka dan indah adanya sebelum ideologi mensabotase keutuhan kepala dan tubuh dari mereka yang tidak sependapat dengannya.

7. Menggugat dan Mencari

Bagian ini kian mengerucutkan paradoks ideologi yang hendak membela kemanusiaan dengan mendustai nuraninya sendiri. Pertanyaan-pertanyaan menggugat juga kian kental bahkan dari Sipir yang mempertanyakan mengapa mereka akhirnya harus berdiri di dua pihak yang frontal berbeda. Pertanyaan ini muncul setelah Jalil dibawa pergi. Sempat terjadi pergulatan karena Sipir mencoba membungkam Jalil yang mempertanyakan ideologi untuk terakhir kalinya saat ia diseret ke dapur.

El Manik juga menggugat segala sesuatu yang hanya berujung pada curiga dan pengkhianatan.

Mak Tua menunjukkan sikap pemberontakan dengan frontal, tak sudi lagi berbuat dosa memasak makanan seakan menyetujui orgi darah ini.

Penutup Telinga menguping, kembali ke dipan, rebah. Pak Tua (Saruddin) mengingau, bangun dan mencari-cari anaknya di dipan dan di sel sebelah yang sudah kosong-melompong. Wak Haji bertanya-tanya di mana umatnya?

Saruddin dipanggil jua. Wanita-wanita terkarungi dibawa keluar.

El Manik mengetuk-ngetuk dinding, Kadir ‘mengintip’ truk yang menjauh lewat celah WC dengan telinganya.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 174

8. Internal Dialog Keempat

Kadir memberi kesaksiannya ketika seorang ibu dipanggil untuk dipancung namun bersikeras membawa serta anaknya. Tangan ibu tersebut sempat dipukul hingga berlumuran darah. Ia kemudian minta ditembak saja dan bukannya ditebas lehernya. Sang algojo memberi dia waktu sejenak untuk menyusui anaknya sebelum peluru menembusi tubuh anaknya terus masuk tubuhnya. Kadir mengerang ‘melihat’ kembali tubuh sang bayi bergulir. Saat itu, rembulan seperti menjerit bersama Kadir yang seakan melihat anaknya (kandung) tewas di depan mata.

9. Anak dan Keluarga

Film bergerak dengan mengulangi bagian-bagian tertentu yang menghubungkan bagian-bagian film sejak dari awal yang berrotasi di sekitar ‘anak’. Ada sejumlah kata kunci seperti anak dan kain bulan-bulan maupun adegan-adegan tertentu yang mengingatkan kita pada adegan-adegan serupa namun mereka itu sekaligus kian diperluas dan diperdalam tanpa henti. Di sisi lain, perulangan itu juga seringkali mengalami konfrontasi tajam satu sama lain atau bahkan ‘mutasi’: Juwita meminta Sipir memanggil namanya seraya berkonfrontasi tajam dengannya namun dengan tenang dan panjang-terstruktur (kontras sikap frontal Mak Tua terhadap Sipir), Juwita menerima kain bulan-bulan dari Sipir (titipan Mak Tua), Juwita menerima sisir dari Sipir (sebelumnya Mak Tua menyampirkan kain bulan-bulan ke tubuhnya, membuat sanggul dengan rambut panjangnya dan menyelipkan konde bunga), Saruddin mencari-cari anaknya (berlawanan dengan cerita Kadir soal ibu yang membawa anaknya ke lokasi pembantaian), lagu ‘Ina’ mengiringi Juwita yang melangkah gemulai ke menuju truk yang menunggu di luar sementara Kadir lunglai masuk sel kembali namun berakhir di pangkuan ‘Bapak’ El Manik. Sebelumnya, Juwita sempat menitipkan pesan agar Kadir terus berdendang setelah semua kegilaan itu berakhir namun bercerita tidak dengan marah.

10. Dialog Internal Kelima

Ini adalah epilog. Situasi normal diraih kembali namun berbagai dimensinya sudah mengalami perubahan mendasar. Dikisahkan Kadir akan kedatangan dua orang pegawai jaksa kepadanya. Mereka bercerita bahwa sang jaksa yang menjatuhkan palu eksekusi menembak dirinya sendiri. Nmun posisi Kadir jelas. Itu adalah urusan negara untuk bercerita pada rakyat. Kadir sendiri mau pergi menemui sang sahabat, danau, untuk memancing!

11. Penutup

Film menutup presentasi dirinya dengan sejumlah keterangan yang kian memperkuat persona Kadir dan latar belakang peristiwa. Kemudian adegan berpindah ke pesta didong seperti di awal film. Orang-orang tampak berdendang penuh ceria tanpa beban. Dipotong sejenak dengan pemaparan nama-nama yang terlibat pembuatan film, begitu berganti-ganti termasuk keterangan jumlah penjara yang ternyata mencapai delapan!

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Daftar Istilah

Act of Creation (Tindakan Mencipta): (baca ‘Nomadik’)

Affective Image: (baca juga ‘Machinic Assemblage’) Afektif terkait dengan proses-proses mental organisme seperti persepsi, aspirasi, proses berpikir, rupa-rupa perasaan, citraan mental, bayangan, imaginasi bahkan ilusi. Bagi Deleuze, afeksi itu pre-diskursif. Ia adalah kekuatan yang mampu membebaskan seseorang dari cara-cara berpikir hegemonik. Dalam kaitannya dengan film, jaring-jaring koneksi dapat ditarik tidak hanya seturut intensi pembuat film maupun pola resepsi penonton namun jauh lebih beragam dan kompleks berdasarkan interkonektivitas masinik. Deleuze menggunakan affective-images untuk merepresentasikan respon neural terhadap rangsang dari luar (serta- merta mengambil tindakan atau menunda) serta kaitannya dengan munculnya pikiran ataupun proses berpikir secara umum. Secara kualitatif dan bukannya kuantitatif, respon ini melibatkan daya-daya tubuh untuk menyerap tindakan eksternal tersebut dan meresponnya secara internal.

Bergson: Bergson adalah orang yang banyak menyumbang terobosan-terobosan filosofis seperti duree , vitalisme dan seterusnya. Ia merupakan salah satu pemikir yang turut mempengaruhi Deleuze terutama ketika merumuskan movement-image dan time-image. Sudah barang tentu, Deleuze mendirikan filsafatnya sendiri bahkan pada beberapa bagian tidak sepakat dengan Bergson.

Cinematic Capture: Istilah ini merujuk pada bagaimana penonton baik secara individual maupun kolektif menangkap makna yang sedang ditonton baik sebagai keseluruhan entitas (sinema) maupun sebagai proses sinematik tertentu. Istilah ini dipakai untuk mengimplikasikan pengalaman sinematik pada tataran material (bukan sekedar psikologis maupun linguistik).

Cliché: Cliché adalah sebuah gambar motor sensoris (sensory-motor image) dari sesuatu. Seperti dikatakan Bergson, kita tidak pernah melihat benda atau gambar benda itu secara keseluruhan. Sebaliknya, kita hanya melihat apa yang menarik perhatian atau apa yang ingin kita lihat. Proses ini bekerja berdasarkan kepentingan-kepentingan ekonomis, keyakinan-keyakinan ideologis ataupun kebutuhan-kebutuhan psikologis. Oleh karena itu, kita pada dasarnya hanya melihat cliché. Cerita akan berubah sama sekali ketika skemata motor sensoris (sensory-motor schemata) kita macet, lumpuh atau terhalangi. Saat itu muncul tipe gambar filmis yang lain sama sekali: gambar yang sepenuhnya optikal dan suara (optical- sound image). Gambar ini sama sekali tidak dalam arti metaforis; ia secara literal menghadirkan hal itu sendiri (bahkan metafor juga adalah motor sensoris dan memberi kita sesuatu untuk dikatakan pada saat kita tak lagi tahu hendak berbuat apa). Yang hadir itu ekstrim horor atau sebaliknya kecantikan (keindahan), karakter yang radikal atau tak terkatakan karena gambar tak harus lagi „justified‟ baik buruknya.

Deleuzian Becoming (Menjadi ala Deleuzian): Proses menjadi adalah perubahan dari satu fase ke fase lainnya pada berbagai tataran yang mungkin. Psikoanalisa (hasrat untuk kembali ke ke status primordial semasa dalam kandungan ketika belum terjadi diferensiasi realitas) maupun linguistik (keharusan memahami struktur simbolik lewat penguasaan bahasa) kuat mempengaruhi berbagai teori film dalam merumuskan proses menjadi (subyektivitas). Lewat „fase cermin‟ ketika seorang anak menyadari bahwa ia tidak sama dengan yang lain tidak sama namun, pada saat yang sama, hidupnya tergantung pada mereka, terjadilah proses kedirian yang sarat ketegangan antar pribadi. Proses ini menekankan supremasi penglihatan dan materi visual. Proses identifikasi dengan yang visual menjadi teramat krusial dalam teori maupun praktik perfilman. Film dengan sendirinya menjadi jawaban paling konkrit dari gagasan seperti ini.

Deleuzian becoming secara radikal mengubah corak dan proses menjadi yaitu pada level molekular dan bukannya terdefinisi menurut kaidah-kaidah libidinal-psikis ataupun linguistik. Hal ini dimungkinkan

175

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 176

karena yang visual bukan untuk membangkitkan respon seketika namun justru menunda atau bahkan menahannya sedemikian rupa. Di sisi lain, proses identifikasi terhalangi atau bahkan tak mungkin. Tercipta pengalaman akan sensasi yang mengakibatkan berbagai affective images (dalam benak penonton maupun pemain) akan mengalami stimulasi secara terus-menerus. Affective images mengalami vibrasi secara intensif yang merupakan kebalikan dari action-image yang bergerak secara ekstensif.

Deleuzian Image (Gambar Deleuzian): Secara umum, bagi Deleuze, seni adalah upaya memproduksi sensasi, menciptakan entitas sensasi murni (a pure „being of sensation‟). Proses kreatif seni adalah „mesin‟ atau „aparatus‟ yang menggunakan aneka sintesa sensasi pasif ini untuk menghasilkan sejumlah efek sendiri (effects of its own): tanda (sign). Deleuze melihat tanda bukan sebagai konsep semiotik (semiotic tropes) melainkan sebagai daya-daya pertemuan atau objek-objek dari pertemuan fundamental. Artinya, sebuah tanda (an encountered sign) tidak memiliki nilai yang stabil dan tertentu, dapat dikenali seketika, dibayangkan atau diingat. Sebaliknya, tanda tersebut eksis sepenuhnya dalam pergerakan, durasi dan ritme. Konsekuensinya, sensasi eksis di luar setiap bentuk pencerapan obyektif atau bahkan di luar wilayah akal sehat alias sepenuhnya dalam wilayah daya, ritme dan pertemuan (fundamental).

Duree : Sebuah konsep yang disodorkan Bergson untuk membedakan pola intelektual dan intuisi. Secara sederhana, duree adalah pengalaman intuitif akan sebuah objek yang teramati lebih dalam atau lebih mendetil oleh karena pikiran menunda respon dengan membiarkan objek mengalami proses menjadi secara maksimal seraya (1) menggunakan proses ini untuk mengakses pengertian yang lebih mendalam akan objek yang bersangkutan dan (2) mengalami proses duree -nya sendiri.

Elipsis: Elipsis adalah sebuah tehnik yang dipakai untuk melakukan penyingkatan peristiwa dengan meniadakan sejumlah transisi. Dengan begitu terjadilah lompatan peristiwa ke peristiwa lainnya atau tempat ke tempat lainnya sekaligus menghasilkan efek tertentu utamanya meningkatkan secara signifikan sensitivitas ragawi- sensoris serta antisipasi penonton.

Entry Point (Titik Masuk): Titik masuk menghubungkan singularitas atau tataran yang satu dengan lainnya. Sebagai „benang yang merentang di sepanjang perbatasan‟, ia merupakan sarana deterritorialisasi untuk berpikir secara baru. Dalam bahasa lain, bersama dengan Guattari, Deleuze sedang mengembangkan konsep peta yaitu, “Peta itu terbuka dan dengan mudah terhubungkan ke segerap dimensinya; ia tidak mengikat, dapat diulang serta sepenuhnya terbuka pada modifikasi. Sebuah peta memiliki banyak jalan masuk yang dilawankan dengan pelacakan (tracing) yang selalu kembali ke titik awal.

Fade-out: Tehnik transisional untuk memutus sebuah adegan (aksi, waktu ataupun tempat) seraya melanjutkan film dengan menghadirkan adegan baru. Kadangkala, layar sekejap gelap sebelum muncul gambar baru.

False Movement (Pergerakan Palsu): Konsep ini sangat penting dalam sinesemiotik Deleuzian. Akibat melemahnya hubungan antara aksi atau gerakan dengan pengembangan cerita dan setting yang ditandai dengan lompatan-lompatan cut yang tidak lagi mengikuti narasisasi rasional melainkan penciptaan sekuensi film justru dengan menggabungkan shot- shot yang tidak serta-merta saling berkaitan secara kausalitas, film bergerak maju dengan kategori yang sangat berbeda dari film yang bersandar pada cut-cut yang logis. Dalam konteks inilah gerakan serta kontinuitas yang ada itu menjadi nyata tapi palsu.

Filmic Alliteration (Aliterasi Filmis): Dalam dunia puisi, aliterasi adalah perulangan bunyi yang dilakukan secara sengaja untuk menghasilkan efek imaginal atau emosi tertentu atau kombinasi keduanya. Dalam ensiklopedia dikatakan demikian: Pengulangan bunyi dari konsonan awal atau kelompok konsonan. Pengulangan ini harus susul-menyusul sedemikian sehingga telinga bisa mendeteksinya dan efek dimaksud tercapai. Aliterasi tidak terbatas pada puisi namun banyak diaplikasikan dalam berbagai ekspresi seni bahkan tulisan-tulisan keagamaan. Aliterasi PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 177

mungkin karena adanya kedekatan penyair dan audiensnya, nilai sosial tertentu, komunitas pengetahuan, hormat pada tradisi atau justru karena takut kehilangan tradisi.

Filmic Caesura: Dalam dunia puisi, caesura merujuk pada estetika pembagian kontinuitas struktur metrikal sebuah syair ke dalam sejumlah baris yang menghasilkan bukan hanya jeda namun juga memungkinkan terciptanya imagi- imagi dan efek emosional tertentu. Filmic Caesura dalam tesis ini diperluas untuk menjelaskan proses „perhentian-perhentian‟ dalam konteks tertunda atau menunda pola respon terhadap stimulasi visual dan membiarkan berbagai gambar mengalami proses menjadinya yang memungkinkan terjadinya proses pencerapan mendalam lewat duree.

Forces (Daya-Daya): (baca juga ‘Image’ dan ‘Nomadik’) Daya seringkali dipahami bersama intensitas dalam berbagai konteks seperti duree atau pertemuan (encounter). Dalam konteks pertemuan mendalam ini, daya dan intensitas sangat menentukan pembentukan ide-ide. Ide tidak harus selalu merupakan produk pikiran. Ide bahkan bisa eksis tanpa pikiran. Ide itu seperti peristiwa atau garis/corak yang membawa kita pada jaring-jaring pergerakan, arah maupun horizon-horizon baru sebagaimana peta bisa membawa kita ke dan dari semua titik tanpa batasan. Konsep ide seperti ini dilawankan dengan non-Deleuzian images yang sifatnya sering tertentu serta mendesakkan pengertiannya, misalnya, selama proses menonton film.

Illogical Cuts (Potongan Tidak Logis): (baca juga ‘False Movement’):

Berbagai shot dihubungkan tidak berdasarkan hukum kausalitas maupun cenderung longgar atau bahkan tidak kait-berkait secara logis. Ini menghasilkan sekuensi yang tidak serta-merta bergerak menurut kaitan ruang-waktu secara ketat.

Illogical links (Hubungan Tidak Logis): (baca ‘False Movement’)

Line of Flight (Garis Transendental): Menurut Deleuze, kita ini terdiri dari sejumlah garis, latitud, garis pergerakan yaitu: (1) Corak segmentaris yang tampak dalam fundasi atau struktur hidup manusia umumnya misalnya keluarga, kelas sosial, agama, jender ataupun seksualitas; (2) Corak molekularisasi atau garis molekular yang berbeda dari pola segmentaris yang sifatnya kaku. Corak kedua ini sanggup menghasilkan rute atau caranya sendiri; ia soal jatuh-bangun akan tetapi ia toh punya „kekurangan‟ yaitu merupakan proses-proses yang sifatnya tak berulang atau tak bisa diulang; (3) Corak transendental, corak nomadik (line of flight) yaitu yang memungkinkan kita menjauh baik dari corak segementaris maupun molekular seraya memasuki zona-zona eksperimentasi. Corak ini memampukan kita keluar dari perangkap „fiksasi posisionalitas‟. Selain merepresentasikan keasyikan, kreativitas, kebulatan tekad, transendensi, ia juga menyangkut bahaya dan risiko, kehilangan serta kemungkinan tercabutnya eksistensi. Ini adalah garisnya para seniman, penari, pemikir...garis yang paling kompleks sekaligus bisa sangat menyiksa yang di dalamnya terdapat misteri dasyat. Ia adalah aras gravitasi, kecepatan dengan kecuraman paling curam: capaian sukma sang seniman.

Machinic Assemblage (Konglomerasi Masinik): Konglomerasi masinik adalah sebuah konsep yang disodorkan Deleuze untuk menjelaskan pengalaman (sinematik) yang ditandai dengan multiplikasi eksponensial berbagai daya (forces) secara dinamis (in motion) kontras dengan gagasan multiplikasi non-dinamis (fixed). Interaksi dinamis ini tetap mempertahankan kekhususan tiap entitas yang terlibat di dalam proses tersebut namun sekaligus mengaburkan batas antara subyek/obyek. Manusia misalnya merepresentasikan konglomerasi masinik antara pikiran/otak/tubuh yang (dalam konteks pengalaman sinematik) mengalami masinifikasi secara material dengan berbagai gerakan (movement), daya dan intensitas dari teknologi film.

Machinic Disassemblage: (baca juga ‘Machinic Assemblage’) Machinic disassemblage merupakan upaya memerikan berbagai komponen dan interaksi yang membentuk dinamisme pengalaman sinematik.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 178

Montase: Pada awalnya, montase bermula dari dua praktisi film terkemuka Rusia yaitu Pudovkin dan Eisenstein. Keduanya sebenarnya mengakar dalam Kuleshov Workshop di State Film School Moscow pada waktu itu. Kelompok ini mengembangkan seni editing dan percaya bahwa editing itu menjadi fundasi film. Pudovkin mengembangkan editing yang menekankan kontinuitas dengan cara menyambung berbagai shot seperti jalinan rantai yang ia percaya bisa membimbing emosi maupun pikiran penonton. Sebaliknya Eisenstein mengembangkan editing yang lebih dramatik. Editing ini menekankan juksteposisi dinamis berbagai shot individual yang dengan sendirinya menarik perhatian pada dirinya dan memaksa penonton secara sadar sampai pada kesimpulan-kesimpulan mengenai interrelari antar gambar (interplay of images). Sementara itu, pada saat yang sama, penonton sebenarnya secara emosional dan psikologis dipengaruhi tanpa menyadarinya terlalu banyak.

Movement-Image: (baca ‘Time-Image’)

Multiplikasi: (baca ‘Rhizome’)

Mutasi: Dalam cara berpikir Deleuze, peristiwa adalah momen konfrontasi antara „yang di dalam‟ dan „yang di luar‟ yang memungkinkan „pikiran‟ mencuat keluar. Pikiran Deleuzian ini sangat berbeda dari konsep pikiran konvensional. Segaris dengan pemikiran Nietzsche tentang kembalinya segala sesuatu (eternal return), Ia dengan keras mengkritik image of thought ini yang, “…imply the subordination of thought to externally imposed directives.” Ini mengarah pada, “….crush thought under an image which is that of the same and Similar in representation, but profoundly betrays what it means to think…” Lihat Gilles Deleuze, Difference and Repetition, Patton (trans), ( New York: Colombia University Press, 1994), hlm. 167. Apabila habit (kebiasaan) selalu kembali berulang sama, dan memori berkaitan dengan penciptaan identitas supaya sebuah pengalaman bisa diingat kembali, eternal return itu adalah repetisi yang berbeda dari dirinya yang sebelumnya.. “The subject of the eternal return is not the same but the different, not the similar but the dissimilar, not the one but the many.” “Difference inhabits repetition.” (Ibid., hlm. 126, 76)

Nomadik: Pemakaian istilah ini dalam konteks ruang nomad sebagaimana yang ditemukan dalam pemikiran Deluzian. Bagi Deleuze, pikiran (thought) adalah sebuah pertemuan (encounter). Baginya ada sesuatu di dunia ini yang memaksa kita untuk berpikir. Pertemuan secara frontal ini membuka pengertian kita pada kedasyatan potensi pikiran sekaligus pikiran dipaksa untuk mencipta dalam rangka mengatasi deras-kerasnya berbagai benturan dengan daya-daya tersebut. Akibatnya, hubungan filsafat dengan pikiran meliputi dua aspek yaitu: (1) sebuah serangan frontal terhadap gagasan pikiran konvensional dan (2) sebuah tendensi untuk memahami pikiran sebagai entitas yang bertumbuh dari dalam dirinya sendiri atau sebagai tindakan mencipta (an act of creation) bukan hanya apa itu pikiran tapi pikiran itu sendiri dalam pikiran (thought itself within thought).

Pan Shot: Shot yang tercipta ketika kamera bergerak horizontal tanpa mengubah posisinya guna mensurvei sebuah area. Pan berasal dari kata „panorama‟ dan tehnik ini seringkali berfungsi untuk (1) memungkinkan penonton melihat keseluruhan adegan; (2) mengarahkan perhatian penonton pada adegan tertentu sehingga penonton sadar dengan berbagai relasi di antara unsur-unsur pembentuknya; (3) mengikuti pergerakan di sepanjang lanskap karakter ataupun kendaraan; dan (4) menunjukkan sudut pandang karakter ketika ia melihat sesuatu atau memalingkan wajahnya.

Phenakistiscope: Phenakistiskop adalah sebuah mainan yang ditemukan Joseph Plateau di tahun 1832. Mainan ini memanfaatkan daya resistensi visual seseorang untuk menciptakan ilusi gerakan dalam sebuah rangkaian gambar yang berputar pada sebuah piringan yang berotasi. Penonton memegang piringan tersebut di depan kaca dan mengamati bayangan dari berbagai figur atau gambar itu melalui serangkaian celah kecil di sepanjang piringan yang bersangkutan (yang sekaligus mencegah gambar-gambar tersebut menjadi kabur).

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 179

Rational Cuts: Potongan-potongan adegan (rational cuts) yang di dalamnya pemain film menjawab sebuah situasi atau peristiwa dengan sejumlah tindakan dan pergerakannya dari setting ke setting lainnya. Dalam dan lewat proses editing (yang sekaligus menambahkan suara dan musik), potongan-potongan ini kemudian mengelompok berdasarkan satuan koherensinya (shot). Tiap satuan koherensi ini saling mengikat dengan satuan koherensi lainnya membentuk jalinan adegan (sequence). Ibarat sulap, proses ini akhirnya menghadirkan totalitas, kontinuitas, logika dan waktu.

Rhizome: Secara literal, arti rhizome adalah sistem akar multi cabang (multi-forked root system). Deleuze menggunakannya untuk menjelaskan kaitan antara affective images, pengalaman sinematik, konglomerasi masinik dan pertumbuhan pikiran berkat terlepasnya daya-daya kreatif. Ide merepresentasikan sejumlah peristiwa (events) dinamis atau „line of flight‟ yang membawa kita tanpa henti pada sistem-sistem yang terus-menerus mengalami percabangan (bifurcating system) yang mengandaikan nomaditas gerakan atau pergerakan pikiran berkat lusinan intensitas dari diri yang sedang berproses. Pikiran yang bertunas- bercabang dan beranak-pinak (arborescence) tanpa henti itulah yang kemudian mendeskripsikan hirarkhi pikiran/pemikiran.

Ruang Offscreen: Off-screen (OS) merujuk pada setiap karakter, objek atau aksi yang meskipun tidak tampak atau ditampakkan di atas layar namun diketahui merupakan bagian dari suatu adegan ataupun berada di sekitar lokasi adegan tersebut. Kamera misalnya bisa menyorot seorang pemain yang sedang „melihat‟ sebuah peristiwa di depannya meskipun peristiwa itu sendiri tidak terlihat penonton.

Seni Fraktal: Berkaitan dengan penggunaan komputer dan geometri untuk menciptakan berbagai bentuk secara digital.

Singularitas: Dalam astrofisika, singularitas adalah titik pada pusat sebuah lubang hitam dengan tingkat kerapatan materi yang tak terbayangkan dan tak definit. Deleuze menggunakan istilah untuk melukiskan kekhususan sebuah komponen atau konglomerasi (assemblage) tertentu yang meliputi kekhususan dan keunikan kualitas serta potensinya yang tidak mengenal batas tersebut

Time-Image: Konsep yang dipakai Deleuze untuk menjelaskan dinamika film yang tidak lagi tergantung pada pola-pola respon fisik-sensoris pemain terhadap setting. Ketika pemain masih berreaksi terhadap setting, waktu masih mengikuti pola pergerakan pemain (movement-image). Sebaliknya, ketika pemain tak mampu lagi merespon secara spontan, menentukan reaksinya bahkan tak sanggup lagi menampung berbagai situasi, peristiwa ataupun pengalaman yang sedang terjadi, pemain tersebut bakalan lumpuh, diam, terhenyak hanya mampu memandang, menanti. Pada saat inilah waktu mencuat dari dalam dirinya sendiri tak tergantung lagi pola pergerakan pemain, tak tunduk lagi kepada hegemoni gerak ataupun kekuatan- kekuatan eksternal seperti skenario. Inilah yang disebut time-image.

Visual Athletisim (Olah Bugar Visual): Istilah ini dipakai untuk menjelaskan proses menonton film yang tidak bisa hanya secara sambil lalu, berdasarkan identifikasi dengan yang visual, berdasarkan asumsi kausalitas-kronologis atau berdasarkan oposisi baik-benar, cantik-buruk dan seterusnya. Sebaliknya, menonton berarti „memaksa‟ indra-indra ekstra kerja, bertanya-tanya sembari mengingat-ingat, mengalami konfrontasi dengan berbagai gambar yang sedang berkembang (berevolusi) secara ekstensif maupun intensif, mengalami berbagai sensasi dan pertumbuhan pengertian serta berbagai sarat dimensi pengalaman lainnya.

Zone of Indeterminancy: (baca juga ‘Duree ’) Konsep ini merujuk pada potensi penundaan (a potential delay) antara momen persepsi dan momen tindakan yang disebut „wilayah penundaan‟ (zone of indeterminancy). Hal ini terjadi ketika persepsi tidak serta diterjemahkan ke dalam tindakan. Semakin besar rentang wilayah ini, semakin besar pula akses subyek ke dalam realitas dan ke dalam berbagai alternatif dari aksis tindakan atau gerakan. Secara internal, PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 180

corak intuitif memungkinkan seseorang mendapat pengalaman dan memasuki ragam kedalaman diri. Secara eksternal, ia memungkinkan subyek melampaui diri menggulati obyek dalam keseluruhannya.

Zoom in: Memulurkan zoom kamera dalam proses sebuah shot sehingga menimbulkan kesan kamera masuk ke dalam subyek yang secara bersamaan dimagnifikasi secara berkesinambungan.

Zoom out: Kebalikan Zoom in