BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Famili Polypodiaceae
Kerajaan (Kingdom) : Plantae
Divisi (Divisio) : Pteridophyta
Kelas (Classis) : Pteridopsida
Bangsa (Ordo) : Polypodiales
Suku (Familia) : Polypodiaceae (Holttum, 1986)
Famili Polypodiaceae, merupakan bagian dari kelas Polypodiosida atau
Pteridosida. Polypodiaceae merupakan nama takson pada tingkat suku (famili) yang merupakan salah satu famili tumbuhan paku terbesar dan mempunyai habitat di daerah tropis (Chiou dalam Muhimmatin, 2016). Eames (dalam Muhimmatin,
2016) mengatakan bahwa dari semua tumbuhan paku yang hidup, sebagian besar adalah anggota Polypodiaceae, sehingga Polypodiaceae adalah suatu suku yang disebut sebagai paku-pakuan umum.
Dalam klasifikasi tumbuhan, batasan anggota dari suku Polypodiaceae belum jelas karena terdapat perbedaan pendapat diantara ahli taksonomi.
Perbedaan pendapat tersebut akibat dasar klasifikasi dan pemilihan ciri taksonomi yang berbeda-beda. Suatu organisme yang sama, dengan pemilihan sifat atau ciri taksonomi yang berbeda dapat menghasilkan versi klasifikasi yang berbeda.
Sehingga organisme yang mana saja yang termasuk anggota suatu kelompok adalah tergantung pada dasar yang digunakan untuk mengelompokan (Ariyanto,
2014). Polypodiaceae meliputi beberapa genus, seperti: Dipteris, Cheiropleuria,
Platycerium, Drynaria, Pyrrosia, Drymoglossum, Belvisia, Selligue, Colysis, 8
Loxogramme, Lepisorus, Lemmaphyllum, Microsorium, Phymatodes, Polypodium
(Piggott, 1988).
Spesies dari Polypodiaceae kebanyakan epifit, rimpang yang menjalar ditanah atau pepohonan, dengan ental yang bentuknya beraneka ragam. Banyak anggotanya yang merupakan tanaman hias seperti Drynaria dan Platycerium
(Tjitrosoepomo, 1994).
2.1.1 Deskripsi Jenis Famili Polypodiaceae
1. Dipteris
Gambar 2.1 Dipteris conjugata Reinw (Piggott, 1988)
Termasuk ke dalam golongan paku terestrial dengan bentuk
pertumbuhan tegak, tingginya dapat mencapai hingga 130 cm atau lebih.
Hidup pada hutan dataran rendah yaitu pada ketinggian 800 hingga 1000
mdpl. Daun berbentuk tunggal, dan membundar menjari. Daun berwarna
hijau terang. Sorus terletak di bawah permukaan daun berwarna kuning dan
tersebar di bagian bawah daun (Arini, 2012).
9
2. Cheiropleuria
Gambar 2.2 Cheiropleuria bicuspis (Piggott, 1988)
Hidup didaratan tinggi atau pegunungan, memiliki daun tunggal.
Terdapat daun fertil dan steril, fertil dan steril memiliki bentuk yang berbeda. Ukuran daun fertil 10-12 cm sedangkan daun steril 20 cm, dengan stipe yang panjang. Sorus berwarna coklat muda (Piggott, 1988).
3. Platycerium
Habitat epifit, rimpangnya tertutup oleh daun penyangga. Daun penyangga tumbuh tegak dan mempunyai banyak lekukan. Daun fertil berjumbai dengan panjang mencapai 1 meter. Bentuk daun fertil menyerupai tanduk, pada bagian bawah daun terdapat bulu tipis dan spora yang saling berdekatan dan menutupi seluruh permukaan ujung daun
(Sastrapradja, 1980: 109).
a b
Gambar 2.3 Platycerium a) Sorus Platycerium bifurcatum (Arini, 2012) b) Sorus Platycerium coronarium (Piggott, 1988) 10
a) Platycerium bifurcatum memiliki kantung-kantung spora yang
terdapat diujung daun bagian bawah. Letaknya saling berdekatan
menutupi seluruh ujung daun tersebut.
b) Platycerium coronarium letak sorusnya pada bagian bawah daun
fertil yang berbentuk menyerupai mangkuk terbalik.
4. Drynaria
a b
Gambar 2.4 Drynaria a) Drynaria quercifolia (L.) J.Sm. (Rambe, 2014) b) Drynaria rigidula (Arini, 2012)
a) Drynaria quercifolia (L.) J.Sm. digolongkan ke dalam paku
terestrial dan epifit. Daun tunggal yang dapat tumbuh tinggi hingga
mencapai 150 cm atau lebih. Permukaan daun berwarna hijau
kusam dan kaku. Kedudukan anak daun berselang-seling.
Kedudukan spora menyebar di seluruh bawah permukaan daun,
dengan bentuk bulat. Dikenal dengan nama lokal paku daun kepala
tupai dan banyak dimanfaatkan sebagai tanaman hias. (Arini,
2012).
b) Drynaria rigidula Bedd. digolongkan dalam kelompok paku epipit.
Tumbuh pada tempat yang banyak mendapatkan sinar matahari.
Termasuk daun majemuk, anak daun berjumlah 6-18 setiap 11
helainya. Daun berwarna hijau tua dan tekstur keras. Tepi daun
bergerigi halus (Arini, 2012).
5. Pyrrosia
a b c
Gambar 2.5 Pyrrosia a) Daun steril dan fertil Pyrrosia lanccolata (Piggott, 1988) b) Sorus Pyrrosia longifolia (Rambe, 2014) c) Sorus Pyrrosia stigmosa (Piggott, 1988)
a) Pyrrosia lanccolata sangat umum dijumpai didaerah lembab, efipit
pada pepohonan tua dan dibebatuan. Daun steril berbentuk oval (4
cm) dan daun fertil memanjang (13 cm) dengan sorus yang
bergerombol menutupi sebagian daun (Piggott, 1988).
b) Pyrrosia longifolia memiliki rimpangnya menjalar panjang dengan
diameter 2-3 mm, bersisik. Sisik-sisiknya berwarna merah
kecoklatan dengan warna gelap. Umumnya panjang daun 20-60
cm, terkadang mencapai 100 cm. Memiliki dua jenis daun yaitu
daun fertile dan steril. Sorus tumbuh hanya satu sepertiga dari
bagian daun fertile. Daun fertil lebih panjang dari daun steril dan
terdapat sorusnya (kotak spora), spora berada di tepi daun dan
berada di sepertiga bagian daun (Holttum, 1968). 12
c) Pyrrosia stigmosa memiliki rimpang pendek dengan diameter 5
mm, panjang stipe 10-25 cm. Panjang daun 20-45 cm dengan lebar
2,5-5,5 cm (Holttum, 1968). Daun steril memiliki rambut coklat
yang tebal dan daun fertil dengan sorus menempel dilapisan rambut
(Piggott, 1988).
6. Drymoglossum
Gambar. 2.6 Drymoglosum piloselloides (Rambe, 2014)
Drymoglosum piloselloides merupakan jenis tumbuhan paku yang
banyak dijumpai menempel pada pohon teh dan pohon-pohon tinggi
lainnya di daerah yang mempunyai curah hujan tinggi. Rimpangnya
menjulur dan ditutupi oleh sisik yang bulat dan kecil yang menyerupai
sisik naga. Karena sifat inilah jenis paku ini disebut sisik naga. Memiliki
daun fertil dan steril. Daun steril kecil, berbentuk bulat dengan garis
tengah 1-2 cm. Sedangkan daun fertil lebih panjang dari daun steril
seringkali dapat mencapai panjang 12 cm. Sori yang merupakan alat
perkembang biakan, letaknya menggerombol dan terdapat ditepi daun.
(Sastrapaja,1985).
13
7. Belvisia
a b
Gambar 2.7 Belvisia a) Belvisia spicata (Rambe, 2014) b) Belvisia revoluta (Piggott, 1988)
a) Jenis yang sering dijumpai dari genus belvisia adalah Belvisia
spicata (L.f) Copel. merupakan jenis paku efipit menempel pada
tumbuhan hidup dan batu-batu. Tinggi tumbuhan dapat mencapai 18
cm. Daun merupakan daun tunggal, berwarna hijau muda. Panjang
dan lebar daun masing-masing 15 cm dan 2 cm. Daun berbentuk
lanset dengan ujungnya menyirip dan tepi rata. Sorus atau spora
berada di ujung daun dengan bentuk memanjang berwarna coklat
kehitaman (Arini, 2012).
b) Belvisia revoluta memiliki sorus di ujung daun berbentuk runcing,
sorus tersebar di atas permukaan di ujung dan berwarna kecoklatan.
Hidup epifit (menempel) di batang pepohonan, akar pendek
merambat. Memiliki dua jenis ental, ental steril memiliki panjang
11cm, berbentuk lanset, ental fertile dengan panjang 18-22cm
(Piggott, 1988).
14
8. Selligue
a b
Gambar 2.8 Selligue a) Selligue lima (Piggott, 1988) b) Sorus Selligue lima (Piggott, 1988)
Efipit pada pohon, umumnya didaratan tinggi atau pegunungan.
Rimpang menjalar, daun tunggal dan kasar. Daun steril sekitar 21 × 2,3 cm dan daun fertil 27 × 1,2 cm. Sorus bulat tenggelam dibawah permukaan daun (Piggott, 1988).
9. Colysis
a b
Gambar 2.9 Colysis a) Sorus Colysis pedunculata (Piggott, 1988) b) Sorus Colysis macrophylla (Piggott, 1988)
a) Colysis pedunculata efipit pada pohon dan bebatuan. Panjang dan
lebar daun steril masing-masing 18 × 3,3 cm dan daun fertil 12×1 cm
sorus menyebar dari ibu tulang daun ke tepi (Piggott, 1988). 15
b) Colysis macrophylla efipit pada pohon atau semak di hutan dataran
rendah. Panjang daun fertil 23 cm dengan lebar 4,5 cm. Sorus
terletak diantara urat daun (Piggott, 1988).
10. Loxogramme
a b
Gambar. 2.10 Loxogramme a) Loxogramme avenia (BI.) Presl. (Piggott, 1988). b) Sorus Loxogramme avenia (BI.) Presl. (Piggott, 1988).
Rizome pendek merayap dengan daun yang saling berhimpitan antara yang satu dengan lainnya. Daun tidak memiliki tangkai dengan panjang sekitar 20-70 cm dan lebar sekitar 1,5-6 cm. Tekstur daun sedikit berdaging dan tulang daun terlihat jelas di tengah. Sorus terletak di setengah bagian atas daun, hampir lurus, sangat miring, biasanya mulai dari dekat tulang daun sampai ke tepi daun (Holttum, 1968: 167-168).
11. Lepisorus
Gambar 2.11 Daun fertil Lepisorus longifolius (Piggott, 1988) 16
Efipit pada pohon dataran rendah dan pegunungan, terkadang dibebatuan dan tembok. Sorus memanjang dan tenggelam dilamina dari barisan dekat tepi daun dengan warna coklat kekuningan. Panjang daun mencapai 50 cm dengan lebar 3 cm (Piggott, 1988).
12. Lemmaphyllum
Gambar 2.12 Lemmaphyllum accendens (Piggott, 1988)
Rizome panjang merayap, diameter 1 mm dengan rambut yang menempel. Memiliki daun steril oval dan daun fertil bulat dengan ujung meruncing, panjang daun steril 15 cm. Sorus terlihat jelas diujung daun sepanjang 6 cm.
13. Microsorium
a b c
Gambar 2.13 Microsorium a) Daun fertil Microsorium sarawakense (Piggott, 1988) b) Daun fertil Microsorium zippelii (Piggott, 1988) c) Microsorium punctatum (Piggott, 1988)
17
a) Microsorium sarawakense efipit dipohon maupun dibebatuan atau
tembok, pada umumnya terdapat dipegunungan, daun tunggal,
panjang daun 18 cm dengan lebar 2,7 cm dengan sorus bulat
(Piggott, 1988).
b) Microsorium zippelii efipit dibebatuan atau pepohonan yang berada
dihutan atau pegunungan, daun tunggal dengan panjang 35 cm,
pada permukaan daun fertil terdapat sorus bulat dengan 2 baris
diantara vena (Piggott, 1988).
c) Microsorium punctatum epifit, seperti di pohon dan dinding tua.
Umumnya ditemukan di dataran rendah, perbukitan, dan tempat
terbuka. Daun berwarna hijau pucat dengan tekstur yang berdaging.
Panjang daun berkisar antara 60-120 cm dengan lebar 4-8 cm.
Sorus hanya terdapat pada setengah sampai bagian atas daun saja,
tersebar tidak teratur dan terkadang padat (Piggott, 1988).
14. Phymatodes
a b c
Gambar 2.14 Phymatodes a) Sorus Phymatodes scolopendria (Piggott, 1988) b) Sorus Phymatodes longssima (Piggott, 1988) c) Sorus Phymatodes nigrescens (Piggott, 1988)
18
a) Phymatodes scolopendria efipit pada pohon dapat ditemukan di
dataran rendah, membentuk koloni yang besar. Daun pinnatifid
dengan panjang 50 cm, sorus bulat membentuk dua baris (Piggott,
1988).
b) Phymatodes longssima efipit pada pohon kadang pada batu. Daun
panjang dapat mencapai 1 m, sorus terdapat dikanan dan kiri tulang
daun, dan berada pada cekungan yang dalam dan hampir
menembus daun (Piggott, 1988).
c) Phymatodes nigrescens efipit pada pohon kadang pada batu
didaratan rendah. Rizome menjalar, beriameter 1 cm, bersisik.
Daun hijau pada permukaan atas dan hijau muda pada permukaan
bawah, sorus bulat tidak berindusium (Rachmat, 2011).
15. Geniophlebium
a b c
Gambar 2.15 Geniophlebium a) Geniophlebium prainii (Piggott, 1988) b) Geniophlebium verrucosum (Piggott, 1988) c) Geniophlebium persicifolium (Piggott, 1988)
a) Geniophlebium prainii atau Polypodiumprainii umumnya dihutan
pegunungan, daun steril 30 cm dan daun fertil 21 cm. Permukaan
bawah daun fertil terdapat sorus bulat (Piggott, 1988). 19
b) Geniophlebium verrucosum atau Polypodiumverrucosum efipit pada
pohon ditempat yang cukup terbuka di dataran rendah dan umum di
perkebunan kelapa sawit. Daun fertil 19 cm dengan sorus bulat
tenggelam pada permukaan daun (Piggott, 1988).
c) Geniophlebium persicifolium atau Polypodium persicifolium efipit
dihutan pegunungan, panjang ental dapat 1 m dengan panjang daun
24 cm, dibawah permukaan daun terdapat sorus bulat (Piggott,
1988).
2.1.2 Morfologi Famili Polypodiaceae
Tumbuhan paku (Pteridophyta) merupakan satu divisi tumbuhan yang telah memiliki kormus yaitu akar, batang (rhizome), dan daun yang seringkali ditutupi oleh rambut atau sisik yang berfungsi sebagai pelindung (Tjitrosoepomo, 2009).
Tumbuhan paku pada umumnya tumbuh di permukaan tanah, namun pada tumbuhan paku epifit, tumbuh menempel di cabang atau batang pohon (Holttum
1968; Anas 2016).
Sistem perakaran tumbuhan paku merupakan akar serabut. Perakaran embrionya dibedakan menjadi kutub atas dan bawah. Kutub atas berkembang menjadi rimpang dan daun, sedangkan kutub bawahnya membentuk akar. Akar tumbuhan paku bersifat endogen dan tumbuh dari rimpang (Holttum 1959;
Wanma 2016). Akar tumbuhan paku awalnya berasal dari embrio kemudian gugur dan digantikan akar-akar seperti kawat atau rambut, berwarna gelap dan dalam jumlah besar yang berasal dari batangnya (Tjitrosoepomo, 1994).
Umumnya pertumbuhan batang tidak nyata, namun pada paku pohon, batangnya tumbuh menyerupai batang pinang (Sastrapradja et al. 1979). Batang 20
tumbuhan paku umumnya berupa akar tongkat atau rimpang, ada yang berbentuk batang sesungguhnya. Batang tumbuhan paku dapat berbentuk tiang, merambat atau memanjat. Beberapa tumbuhan paku yang hidup di tanah, batangnya tumbuh sejajar dengan permukaan tanah sehingga disebut rimpang (Holttum 1959).
Daun pada tumbuhan paku umumnya dikenal dengan istilah ental (frond).
Daun tumbuhan paku terdiri dari helaian daun (lamina) dan tangkai (stipe). Daun tumbuhan paku umumnya mengumpul atau menyebar di sepanjang stipe dan rachis. Daun muda umumnya menggulung yang dikenal dengan istilah coil atau gelung. Bentuk daun pada daun muda berbeda dengan daun dewasa. Bentuk daun bersirip (pinnate), tiap anak daun disebut sirip (pinna) dan poros tempat sirip berada disebut rakis (rachis) (Loveless, 1989).
Gambar 2.16 Morfologi tumbuhan paku (Sudewa, 2013).
Tumbuhan paku yang memiliki daun subur (fertil) dan daun mandul (steril) yang bentuknya sama disebut paku homofil dan bentuknya bebeda termasuk 21
kedalam paku heterofil. Bermacam tipe daun tumbuhan paku pada gambar berikut:
Gambar 2.17 Jenis tipe daun tumbuhan paku (Wanma, 2016)
a. Daun tunggal : daun dengan tepi rata hingga lobed tanpa percabangan
rachis.
b. Daun Pinnatifid : pinna yang berdekatan menyambung membentuk sinus.
c. Daun 1-pinnate : pinna tidak menyambung, rachis sekali bercabang.
d. Daun 2-pinnate : rachis dua kali bercabang, pinnule tidak menyambung.
e. Daun 3-pinnate : rachis tiga kali bercabang, pinnule tidak menyambung.
2.2 Metode Taksimetri
2.2.1 Pengertian Metode Taksimetri
Salah satu cara pendekatan dalam klasifikasi tumbuhan adalah dengan menggunakan taksonomi numerik. Istilah taksonomi numerik (numerical taxonomy) atau taxometrics diciptakan oleh Sokal dan Sneath tahun 1963 (Irawan,
2010). Taksonomi numerik muncul secara kebetulan bersama-sama dengan pendekatan fenetik dalam klasifikasi tumbuhan. Oleh sebab itu muncul pendapat bahwa kedua pendekatan ini sama, padahal tidak demikian. Sebab taksonomi numerik tidak menghasilkan data baru, bukan pula sistem pendekatan baru, tetapi 22
metode baru dalam pengorganisasian data, dan biasanya dengan bantuan komputer, sehingga taksonomi numerik bisa digunakan dalam menentukan hubungan kekerabatan dalam pendekatan fenetik (Stace, 1980 dalam irawan,
2010).
Taksimetri didefinisikan sebagai metode evaluasi kuantitatif mengenai kesamaan atau kemiripan sifat antar golongan organisme dan penataan golongan- golongan itu melalui suatu analisis yang dikenal sebagai analisis kelompok
(cluster analysis) ke dalam kategori takson yang lebih tinggi atas kesamaan- kesamaan tersebut (Tjitrosoepomo, 2009).
Menurut pendapat Shukla dan Misra (1982) dalam Suratman (2000) bahwa hubungan kekerabatan dapat digunakan untuk menyusun klasifikasi dengan menggunakan taksimetri. Metode taksimetri menggunakan data kuantitatif yang diperoleh dari hasil pengamatan karakter seluruh bagian tanaman yang nantinya akan ditabulasikan secara sistematis. Menurut Rasnovi (2004) dalam taksimetri terdapat konsep fenetik dimana dalam konsep ini perbandingan kesamaan atau perbedaan karakter morfologi pada suatu organisme digunakan untuk mengenali spesies dalam keberagaman. Data yang diperoleh akan membentuk suatu diagram yang disebut dengan dendogram yang menggambarkan klasifikasi berdasarkan kekerabatan fenetik (Mahmudati, 1988).
Metode taksimetri juga bisa dihitung dengan menggunakan koefisien korelasi dan jarak taksonomi. Nilai koefisien asosiasi dan korelasi yang semakin besar mengartikan bahwa memiliki hubungan kekerabatan yang dekat. Nilai jarak taksonomi yang semakin besar menandakan bahwa antar pasangan takson memiliki hubungan kekerabatan yang jauh (Mahmudati, 1988). 23
2.2.2 Langkah-Langkah dalam Taksimetri
Menurut Tjitrosoepomo (2009) dalam metode taksimetri ada beberapa langkah yang harus dilakukan, yaitu :
1. Pemilihan objek studi
Unit terkecil yang digunakan dalam objek studi disebut dengan unit
taksonomi operasional (OTU-Operational Taxonomic Unit). Objek studi yang
diamati merupakan golongan dari organisme yang diteliti baik berupa
individu, galur, varietas, jenis, dan seterusnya.
2. Pemilihan
Ciri-ciri yang akan diberi angka (score). Ciri-ciri yang digunakan dalam
penelitian harus dalam jumlah yang cukup banyak untuk menghindari
kesalahan sampling. Ciri yang diamati diberi kode dan disusun dalam tabel
atau matriks.
3. Pengukuran
Kemiripan Ciri pada masing-masing OTU digunakan untuk menentukan
kemiripan yang besarnya atau banyaknya angka kesamaan dinyatakan dalam
% (persen) yang berkisar dari 0 apabila tidak ada kemiripan sampai 100
apabila sama atau identik.
4. Analisis Kelompok (Cluster Analysis)
Kegiatan dalam analisis kelompok ini yaitu mengelompokkan OTU yang
sama dalam satu kelompok yang disebut dengan fenon setelah itu fenon ditata
secara hierarki dalam bentuk diagram yang disebut dengan dendogram.
5. Diskriminasi 24
Diskriminasi dilakukan untuk menentukan ciri yang konstan yang dilihat dari nilai terbanyak dengan cara menelaah kembali ciri-ciri yang digunakan.
Menurut Radfor (1986) dalam Nurchayati (2010) adapun langkah-langkah yang dilakukan secara berurutan dalam metode taksimetri adalah sebagai berikut :
1. Menentukan objek studi (OTU) dan karakter yang akan diamati yang hasilnya
diberi kode 1 untuk karakter yang dimiliki dan kode 0 untuk karakter yang
tidak dimiliki kemudian hasilnya disusun ke dalam matrik.
2. Menghitung indeks kesamaan untuk mengetahui persamaan antar pasangan
takson.
3. Penyusunan data hasil dari perhitungan indeks kesamaan ke dalam matrik.
4. Perhitungan dengan menggunakan analisis cluster.
5. Menyusun fenogram dari hasil perhitungan analisis cluster.
2.3 Sumber Belajar
2.3.1 Pengertian Sumber Belajar
Sumber belajar dalam pengertian sempit adalah, misalnya buku-buku atau bahan-bahan tercetak lainnya. Pengertian itu masih banyak dipakai dewasa ini oleh sebagian besar guru. Misalnya dalam program pengajaran yang biasa disusun oleh para guru terdapat komponen sumber belajar, dan pada umumnya akan diisi dengan buku teks atau buku wajib yang dianjurkan. Menurut Sitepu (2008:84),
“sumber belajar adalah segala sesuatu yang mengandung informasi yang dapat memfasilitasi pemelajar memperoleh informasi yang diperlukannya dalam belajar”. Sedangkan menurut Abdullah (2012) sumber belajar adalah semua sumber seperti pesan, orang, bahan, alat, teknik, dan latar yang dimanfaatkan 25
peserta didik sebagai sumber untuk kegiatan belajar dan dapat meningkatkan kualitas belajarnya.
Menurut Association for Educational Communications and Technology dalam Khoirunisa (2012), sumber pembelajaran adalah segala sesuatu atau daya yang dapat dimanfaatkan oleh guru, baik secara terpisah maupun dalam bentuk gabungan, untuk kepentingan belajar mengajar dengan tujuan meningkatkan efektivitas dan efisiensi tujuan pembelajaran. Sumber pembelajaran dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu: a. Sumber pembelajaran yang sengaja direncanakan (learning resources by
design), yakni semua sumber yang secara khusus telah dikembangkan sebagai
komponen sistem instruksional untuk memberikan fasilitas belajar yang
terarah dan bersifat formal. b. Sumber pembelajaran yang karena dimanfaatkan (learning resources by
utilization), yakni sumber belajar yang tidak secara khusus didesain untuk
keperluan pembelajaran, namun dapat ditemukan, diaplikasikan, dan
dimanfaatkan untuk keperluan belajar, salah satunya adalah media massa.
2.3.2 Jenis-jenis Sumber Belajar
Menurut Jameshal (2006) dalam Abdullah (2012) sumber belajar dibedakan menjadi enam jenis, yaitu sebagai berikut:
1. Orang (person): tenaga pengajar mata pelajaran
2. Pesan (massage): informasi yang ditransmisikan atau diteruskan oleh
komponen lain dalam bentuk Ide, fakta, makna yang terkait dengan isi
bidang studi atau mata kuliah, 26
3. Bahan (material): sesuatu ujud tertentu yang mengandung pesan atau
ajaran untuk disajikan dengan menggunakan alat atau bahan. seperti
buku, hasil pekerjaan mahasiswa, papan, peta, gambar-gambar, diagram,
majalah, jurnal, dan surat surat kabar,
4. Latar atau lingkungan: situasi di sekitar proses belajar-mengajar terjadi.
Seperti perpustakaan, laboratorium, dan taman kampus.
5. Teknik (Technique) : ceramah bervariasi, diskusi, pembelajaran
terprogram, pembelajaran individual, pembelajaran kelompok, simulasi,
permainan, studi eksplorasi, studi lapangan, tanya jawab, pemberian
tugas.
6. Alat (Divice): suatu perangkat yang digunakan seperti komputer, LCD,
radio, tape recorder, televisi, OHP dan kamera.
2.3.3 Fungsi Sumber Belajar
Menurut Sitepu (2008) dalam proses belajar dan membelajarkan sumber belajar dapat berfungsi untuk:
1. Mempercepat laju belajar dan membantu pendidik menggunakan waktu
secara lebih efisien sehingga dapat meningkatkan kualitas proses dan
hasil belajar,
2. Mengurangi beban guru dalam menyajikan informasi sehingga
dapat lebih banyak membina dan mengembangkan gairah peserta didik
3. Memberikan kemungkinan belajar bersifat lebih individual dengan jalan
mengurangi kontrol guru yang kaku dan tradisional serta memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk belajar sesuai dengan
kemampuannya, 27
4. Memberikan dasar yang lebih ilmiah dengan jalan merencanakan
program pembelajaran yang lebih sistematis
5. Mengembangkan bahan pembelajaran yang dilandasi penelitian,
6. Lebih memantapkan pembelajaran dengan jalan meningkatkan
kemampuan manusia dalam menggunakan berbagai media komunikasi
penyajian data dan informasi secara lebih kongkrit
7. Memungkinkan belajar secara seketika, karena mengurangi jurang
pemisah antara pelajaran yang bersifat verbal dan memberikan
pengetahuan yang bersifat langsung, dan
8. Memungkinkan penyajian pendidikan yang lebih luas, terutama dengan
adanya media massa, dengan jalan pemanfaatan secara bersama lebih
luas tenaga atau kejadian yang langka, serta penyajian informasi yang
mampu menembus geografis.
2.3.4 Poster
Menurut KBBI, poster adalah plakat yang dipasang di tempat umum (berupa pengumuman, atau iklan). Selain itu ada poster yang berisi himbauan kepada masyarakat tentang suatu kegiatan. Ada juga poster yang berisi larangan untuk menghindari perbuatan tertentu. Dengan demikian poster tidak saja penting untuk menyampaikan kesan-kesan tertentu tetapi mampu untuk memengaruhi orang lain untuk mengikuti kegiatan/ program yang dapat dituangkan lewat poster.
Pemasangannya bisa di kelas, di pohon, di tepi jalan dan di majalah (Rumalean,
2014).
Secara umum, poster yang baik adalah: (1) sederhana sehingga mudah dipahami, (2) mampu menyajikan satu ide dan mampu mencapai satu tujuan 28
pokok; (3) berwarna yang berfungsi untuk menarik perhatian; (4) slogannya ringkas dan jitu sehingga tidak membosankan; (5) tulisannya jelas tidak menyulitkan; (6) motif dan disain bervariasi. Selain itu poster merupakan gagasan yang dicetuskan dalam bentuk ilustrasi gambar yang bertujuan untuk menarik perhatian, membujuk, memotivasi masyarakat terhadap suatu peristiwa
(Rumalean, 2014).
Menurut Sulistyono (2015) poster yang baik harus memenuhi kriteria tingkat keterbacaan (readability), mudah dilihat (visibility), mudah dimengerti
(legibility), serta komposisi yang baik. Kriteria keterbacaan mencakup ukuran font yang digunakan. Ukuran minimal yang disarankan untuk tulisan yang dimuat dalam media poster adalah 24 pt. Sementara itu, kriteria mudah dilihat mencakup pemilihan warna pada teks dan warna pada latar poster. Jumlah warna yang disarankan untuk digunakan adalah 2 sampai 3 warna. Warna pada teks harus saling kontras dengan warna pada latar. Pemilihan warna harus mencermati penggunaan warna primer karena warna primer memiliki kecenderungan lebih menarik perhatian. Meskipun penggunaan warna primer lebih menarik, kombinasi warna-warna ini cenderung lebih cepat membuat mata lelah. Alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan mengombinasikan warna-warna sekunder yang tidak saling bersinggungan.
Untuk menyusun media pembelajaran poster, hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain adalah tujuan penyusunan poster, apakah memberi informasi, persuasi, partisipasi, atau berdikusi. Selain itu, poster juga harus memenuhi kriteria menarik perhatian. Hal lain yang juga penting untuk diperhatikan adalah judul poster, Isi, tampilan, dan tema poster sebaiknya 29
mengarah pada siapa poster itu dituju-kan serta dalam rangka apa poster itu dibuat. Komposisi poster juga tak kalah penting untuk diperhatikan. Penyusunan komposisi poster juga sebaiknya memperhatikan alur. Ketika membaca poster, seseorang akan mencari titik awal untuk memulai memahami isi poster
(Sulistyono, 2015).
Selain itu dikemukakan juga bahwa beberapa manfaat poster dari segi pendidikan yaitu: (1) memotivasi, (2) sebagai peringatan, dan (3) pengalaman kreatif. Sedangkan kelebihan poster adalah (1) poster memiliki warna yang menarik dan memiliki daya tertarik yang khusus, (2) poster bisa disertai dengan ilustrasi berupa uraian dan pernyataan sehingga menarik perhatian siswa, dan (3) poster memuat keterangan sehingga lebih memudahkan pemahaman siswa khususnya dalam menulis karangan persuasi (Rumalean, 2014).
2.3.5 Pemanfaatan penelitian sebagai sumber belajar
Menurut Suhardi dalam Munajah dan Susilo (2015) pemanfaatan hasil penelitian sebagai sumber belajar harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:
a. Kejelasan potensi: besarnya potensi suatu objek dan gejalanya untuk
dapat diangkat sebagai sumber belajar terhadap permasalahan biologi
berdasarkan konsep kurikulum. Potensi suatu objek sendiri
ditentukan oleh ketersediaan objek dan permasalahan yang dapat
diungkap untuk menghasilkan fakta-fakta dan konsep-konsep dari hasil
penelitian yang harus dicapai dalam kurikulum. 30
b. Kesesuaian dengan tujuan pembelajaran: kesesuaian yang dimaksud
adalah hasil penelitian dengan kompetensi dasar (KD) yang
tercantum berdasarkan kurikulum. c. Kejelasan sasaran: objek dan subjek penelitian d. Kejelasan informasi yang diungkap: dapat dilihat dari 2 aspek yaitu
proses dan produk. e. Kejelasan pedoman penelitian: diperlukan produser kerja dalam
melaksanakan penelitian yang meliputi penentuan sampel penelitian,
alat dan bahan, cara kerja, pengolahan data dan penarikan kesimpulan. f. Kejelasan perolehan yang diharapkan: kejelasan hasil berupa proses dan
produk penelitian yang dapat digunakan sebagai sumber belajar
berdasar aspek-aspek dalam tujuan belajar biologi yang meliputi,
perolehan kognitif, perolehan afektif dan perolehan psikomotorik.
31
2.4 Kerangka Konsep
Keanekaragaman Tumbuhan Famili Polypodiaceae
Taksimetri Ciri-ciri Morfologi
SPSS
Ental Stipe Sorus Rimpang
Koefisien Analisis Diskriminasi
Asosiasi Cluster
Dendogram Hubungan Kekerabatan
Sumber Belajar Biologi