Formulir Validasi Data Warisan Budaya Tak Benda (Wbtb)

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Formulir Validasi Data Warisan Budaya Tak Benda (Wbtb) FORMULIR VALIDASI DATA WARISAN BUDAYA TAK BENDA (WBTB) Nama Petugas : 1. Riva Argadia 2. Tri Istiwahyuningsih Waktu : Rabu, 9 Oktober s.d. Sabtu, 12 Oktober 2019 Tempat : Dinas Kebudayaan Kabupaten Gianyar A. IDENTITAS 1. Nama a. Nama di SK : Dramatari Gambuh b. Nama di Lapangan : Dramatari Gambuh 2. Sebaran WBTB : Kabupaten Gianyar 3. Tahun Penetapan : 2015 4. Domain : Seni Pertunjukan 5. Deskripsi Gambuh adalah tarian dramatari yang dianggap paling tinggi mutunya dan juga merupakan dramatari klasik Bali yang paling kaya akan gerak-gerak tari, sehingga dianggap sebagai sumber segala jenis tari klasik Bali. Diiringi dengan gamelan Penggambuhan yang berlaras pelog Saih Pitu, tokoh-tokoh yang biasa ditampilkan dalam Gambuh adalah Condong, Kakan-kakan, Putri, Arya/Kadean-kadean, Panji (Patih Manis), Prabangsa (Patih Keras), Demang, Temenggung, Turas, Panasar, dan Prabu. Dalam memainkan tokoh-tokoh tersebut semua penari berdialog umumnya menggunakan bahasa Kawi, kecuali tokoh Turas, Panasar dan Condong yang berbahasa Bali, baik halus, madya, atau kasar. Pada awalnya, teater total Gambuh adalah kesenian istana kaum bangsawan Bali tempo dulu. Pada masa kejayaan Dalem Waturenggong di abad ke 16, seni pertunjukan Gambuh adalah tontonan kesayangan seisi kraton dan masyarakat umum. Begitu tingginya gengsi kesenian ini hingga hampir setiap puri di Bali saat itu memiliki tempat khusus untuk menggelarnya yang disebut dengan bale pagambuhan. Sejarah Perkembangan Gambuh Diperkirakan Gambuh ini muncul sekitar abad ke-15 yang lakonnya bersumber pada cerita Panji. Gambuh berbentuk total teater karena di dalamnya terdapat jalinan unsur seni suara, seni drama dan tari, seni rupa, seni sastra, dan lainnya. Diiringi dengan gamelan Penggambuhan yang berlaras pelog Saih Pitu. Tokoh-tokoh yang biasa ditampilkan adalah Condong, Kakan-kakan, Putri, Arya / Kadean-kadean, Panji (Patih Manis), Prabangsa (Patih Keras), Demang, Temenggung, Turas, Panasar dan Prabu. Dalam memainkan tokoh-tokoh tersebut semua penari berdialog, umumnya bahasa Kawi, kecuali tokoh Turas, Panasar dan Condong yang berbahasa Bali, baik halus, madya dan kasar. Pementasannya dalam upacara-upacara Dewa Yadnya seperti odalan, upacara Manusa Yadnya seperti perkawinan keluarga bangsawan, upacara Pitra Yadnya (ngaben) dan lain sebagainya Asal-usul Istilah Gambuh Gambuh adalah satu istilah yang digunakan untuk seni tari yang berbentuk drama tari, tembang dan wayang. Kata “Gambuh” bisa ditemukan dalam bahasa Melayu, Jawa dan Sunda. Dalam bahasa Melayu istilah ini dihubungkan dengan perasaan “Terima Kasih”, dalam bahasa Sunda dihubungkan dengan hiasan kepala topeng yang juga dinamakan tekes. Sementara itu, dalam bahasa Jawa istilah ini merujuk pada nama pupuh dengan pada lingsa u, 10u, 12i, 8u, 80. Pada lingsa adalah patokan dalam satu bait lagu atau pupuh gending Bali (dikutip Bandem dkk 1975: 2-3). Unsur Teater Tradisional Gambuh Gambuh yang terbentuk di Bali tidak hanya memperkenalkan cerita sebagai lakon yang memunculkan adanya struktur dramatik yang lengkap, akan tetapi memperkenalkan pula koreografi yang rumit dan penampilan yang artistik, untuk hiburan raja dan para bangsawan kerajaan. Bentuk pertunjukan Gambuh memiliki standar kualitas tertentu yang mencirikan Gambuh, yaitu memiliki struktur pertunjukan dan koreografi serta iringan musik yang pasti, perbendaharaan gerak yang lengkap dengan aturan-aturan yang ketat, yang tidak dimiliki oleh Bali sebelumnya. Begitu pula kostum yang digunakan sangat megah, berbeda dengan kostum yang digunakan oleh tarian-tarian sebelumnya yang sangat sederhana. Itulah yang menyebabkan Gambuh dikatakan sebagai sumber drama tari yang muncul kemudian di Bali. Fungsi Teater Tradisional Gambuh 1. Sebagai Tari Bebali (seremonial), yaitu sebagai pengiring upacara di pura-pura. Dramatari Gambuh sebagai tari lakon klasik tertua dalam khazanah tari Bali adalah merupakan bentuk total teater yang memiliki unsur seni, drama, music, dialog dan tembang. 2. Sebagai sarana dan pelaksanaan upacara-upacara besar terutama tingkatan upacara "mapeselang". Tarian Gambuh ditarikan pada waktu Ida Bhatara turun ke paselang 3. Sebagai sebuah hikayat yang menceritakan kehidupan, peperangan, roman dari raja-raja Jenggala, Kediri, Gegelang, dan sebagainya. Karakter Dalam pementasan dramatari, yang dipentingkan adalah pemahaman setiap pelaku terhadap alur cerita yang dibawakan yang akan berdampak pada pengenalan karakter tokoh yang ditarikan oleh pelaku pementasan. Bila tidak demikian, dapat dipastikan pementasan yang dibawakan kurang memiliki penjiwaan dan bahkan mungkin pesan ataupun amanat yang terkandung dalam cerita tersebut tidak sampai pada penonton yang menunjukkan pementasan tersebut boleh jadi dikatakan gagal. Dalam Gambuh tokoh Panji mempunyai peran yang sangat vital, mengingat ia merupakan tokoh utama yang menentukan alur cerita. Panji merupakan tokoh putra halus yang memiliki watak tenang dan manis. Dalam melantunkan wawankata, tokoh Panji memiliki kemiripan dengan tokoh Putri yaitu suaranya bernada tinggi datar, terkadang memperpanjang silabus kata dan gaya jalannya luwes. Namun demikian, penulis selalu menekankan sisi maskulinitas dari tokoh Panji tetap dikedepankan dalam setiap ragam gerak dan wawankatanya karena memang sebenarnya ia adalah seorang laki-laki. Rias dan Busana Rias dan busana dalam sebuah tarian merupakan hal yang sangat penting dan segera menarik perhatian karena dari sanalah penonton dapat menafsirkan apa dan bagaimana karakter seorang tokoh pementasan di atas panggung. Sebagai tokoh yang memiliki karakter halus dan manis, rias dan busana tokoh Panji harus disesuaikan untuk mendukung karakter yang diinginkan. Dimulai dari rias wajah, Panji memiliki alis yang ramping dan pada bagian ujung dibentuk agak sedikit naik untuk tetap memperlihatkan sisi maskulinnya. Panji dalam rias wajahnya tidak memakai kumis buatan. Sementara busana tariannya memakai jenis sesaputan, dengan lelancingan yang dibuat agak panjang dibiarkan terseret. Bila diperkirakan, panjang kain untuk lelancingan ini kurang lebih 4 meter. Tokoh Panji menggunakan baju lengan panjang putih, badong manis, stewel hijau, celana panjang putih dan saput berwarna hijau. Warna hijau di sini dimaksudkan untuk memberi kesan kesejukan dan kedamaian sehingga dapat menunjuang karakter yang diinginkan. Lanjut pada hiasan kepala atau yang bisa disebut gelungan, Panji menggunakan hiasan kepala berbentuk Keklopingan dengan menggunakan bancangan / onggar ( susunan bunga berwarna putih atau kuning ) yang ditempatkan di kedua sisi gelungannya diletakkan lurus ke atas. Pada sisi kiri dan kanan gelungan tepat berada di atas telinga, terdapat perekapat dengan gelenternya yang berupa susunan pernik-pernik mote berwarna kuning emas. Terakhir, pada kedua telinga dipasangkan sepasang rumbing. Ragam Gerak Tokoh Panji dalam pementasannya memiliki ragam gerak yang secara kuantitas tidak begitu banyak, namun tetap memerlukan teknik yang baik utnuk melakukannya. Semisal, ngungkab langse dan berjalan milpil, nyalud, ngembat pajeng, matetanganan, nyambir dan ngerajeg. Pada bagian penglembar, gerak tersebutlah yang dilakukan. Sedangkan pada bagian penagkilan maupun peangkat tidak banyak melakukan gerak, karena yang difokuskan adalah wawankata pada para Arya atau Kade-kadean serta pembantu terdekatnya yaitu Turas. Perkembangan Gerak Dari jenis-jenis gerak tari yang biasa dipergunakan dalam tari Gambuh, terdiri dari : Mungkah Lawang : gerakan seperti membuka langse yang biasanya dipakai untuk memulai suatu tarian condong. Ngeseh : gerakan sendi untuk menghubungkan agem kanan ke agem kiri. Ngalih pajeng : gerakan pencari pajeng (paying) yang merupakan salah satu property dari tempat pementasan (kalangan). Nayog : berjalan dengan ayunan tangan agak datar ke samping. Nyambir : mengambil ujung (sisi) kampuh kanan dengan tangan kiri dan kanan kemudian diangkat bersama-sama setinggi dada (di muka dada). Butangawasari : posisi berdiri dengan mengangkat sebelah kaki (nengkleng) dengan tangan kanan ditekuk diatas kepala, sedangkan tangan kiri ditekuk ke samping. Gelatik nuut papah : meloncat kecil seperti burung gelatik baik ke kanan maupun ke kiri, sementara ditekuk datar ke samping kanan maupun kiri. Nepuk : mengambil (menyentuh) kampuh pada pertengahan dada, baik oleh tangan kanan maupun tangan kiri. Ngelangsut. Ngerajeg : gerakan mencari rajeg yang biasanya berfungsi sebagai dekorasi di sudut-sudut arena tari. Nyeleyog : gerak perpindahan yang disertai dengan perputaran bahu dadn kemudian dilakukan bersama-sama dengan memindahkan arah hadap. Anadab gelung : gerakan tangan untuk menyentuh bagian samping dari gelungan. Anadab karna : gerakan tangan untuk menyentuh telinga bagian atasnya. Anadah oncer : gerakan mengambil oncer. Tayungan ngotes (kotes) : ayunan tangan tepat ke muka dan ke belakang. Nakep dada : menutup dada dengan posisi tangan menyilang. Milpil : berjalan cepat. Malpal : berjalan cepat dengan langkah agak lebar dan berat. Ngulah : sejenis ngangsel namun dilakukan dengan melangkah ke depan. Ngeger : semacam ngangsel namun dilakukan dalam batas lagu yang lebih panjang. Ngeger ini juga disebut (ngopak lantang). Kirig udang : gerakan semacam ngangsel yang dilakukan dengan menarik salahsatu kaki dengan tolehan stakato ke bawah. Lakon Pada pementasan ini, lakon yang diambil masih bersumber pada kisah Malat yang menceritakan penyamaran Panji untuk menculik kekasihnya Dyah Ratna Merta. Tersebutlah Raden Panji dari kerajaan Jenggala putra mahkota dari Raja Jenggala. Beliau memiliki seorang kekasih
Recommended publications
  • Apresiasi Masyarakat Terhadap Kesenian Burok Grup Pandawa Nada Di Desa Kemurang Wetan Kabupaten Brebes
    APRESIASI MASYARAKAT TERHADAP KESENIAN BUROK GRUP PANDAWA NADA DI DESA KEMURANG WETAN KABUPATEN BREBES SKRIPSI disajikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Seni Musik oleh M. Ricky Juliardi 2503407015 JURUSAN PENDIDIKAN SENI DRAMA, TARI, DAN MUSIK FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013 ii iii MOTTO DAN PERSEMBAHAN Motto: Ikutilah apa yang diwahyukan kepadamu dan bersabarlah (Q.S Yunus: 109) Persembahan: Kupersembahkan skripsi ini untuk orang-orang terkasih yang telah memberi warna dan makna dalam alur kehidupan yang telah terlalui dan yang akan dilalui: Ayahku yang tercinta Joko Irianto, Ibuku yang tersayang Lily Mulyati dan adikku Laras Nur Maulida yang cinta dan kasihnya tak pernah terbatas. Rekan-rekan Mahasiswa Pendidikan Seni Musik Angkatan Tahun 2007. Segenap Dosen Sendratasik Abdul Muklis, Lingling, dan teman-teman kos Tumpuk yang telah membantu dan memberikan inspirasi kepadaku. iv KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang selalu melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya. Hanya dengan anugerah dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Apresiasi Masyarakat Terhadap Kesenian Burok Grup Pandawa Nada Di Desa Kemurang Wetan Kabupaten Brebes”. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala bantuan dan ilmu yang telah diberikan kepada penulis baik secara langsung maupun tidak langsung dalam rangka penyusunan skripsi ini, terutama kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum., Rektor Universitas Negeri Semarang yang telah memberi kesempatan untuk menyelesaikan studi di Pendidikan Sendratasik FBS Universitas Negeri Semarang. 2. Bapak Prof. Dr. Agus Nuryatin, M.Hum., Dekan Fakultas Bahasa dan Seni yang telah memberikan ijin untuk melaksanakan penelitian.
    [Show full text]
  • Performance in Bali
    Performance in Bali Performance in Bali brings to the attention of students and practitioners in the twenty-first century a dynamic performance tradition that has fasci- nated observers for generations. Leon Rubin and I Nyoman Sedana, both international theatre professionals as well as scholars, collaborate to give an understanding of performance culture in Bali from inside and out. The book describes four specific forms of contemporary performance that are unique to Bali: • Wayang shadow-puppet theatre • Sanghyang ritual trance performance • Gambuh classical dance-drama • the virtuoso art of Topeng masked theatre. The book is a guide to current practice, with detailed analyses of recent theatrical performances looking at all aspects of performance, production and reception. There is a focus on the examination and description of the actual techniques used in the training of performers, and how some of these techniques can be applied to Western training in drama and dance. The book also explores the relationship between improvisation and rigid dramatic structure, and the changing relationships between contemporary approaches to performance and traditional heritage. These culturally unique and beautiful theatrical events are contextualised within religious, intel- lectual and social backgrounds to give unparalleled insight into the mind and world of the Balinese performer. Leon Rubin is Director of East 15 Acting School, University of Essex. I Nyoman Sedana is Professor at the Indonesian Arts Institute (ISI) in Bali, Indonesia. Contents List
    [Show full text]
  • The Rise up Art Tradition in the Popular Culture
    Journal of Education and Social Sciences, Vol. 5, issue 2, (October) ISSN 2289-1552 2016 THE RISE UP ART TRADITION IN THE POPULAR CULTURE Bani Sudardi Cultural Studies Department Universitas Sebelas Maret Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta [email protected] ABSTRACT This research is about folklore and its corrrelation with art tradition. This research has signification wit tradition, especially in Solo, Central Java, Indonesia. Folkore is a tradition, but in the line with the development of media. Folklore spread in the wider area outside its tradition.This study used a qualitative approach. Data is the form of art traditions in Java, especially around Surakarta. Which is the source of data are the kinds of traditions such as puppets, drama, songs, and so on. The data source is also in the form of electronic display on the TV, radio, movies, and CDs. Another source is the tradition of the artists themselves. Sampling determined by purposive sampling. Art tradition is part of folklore. Today, art tradition became popular culture and loss its tradition value. Art tradition has changed and reflected the change of the era. The change is a form of the changing identities and mass communication. It mean that the culture is instable and not in the closed system. The culture is in forming, dynamic, and continuously updating their self. So, the culture is not artifacts or symbol, but a process. This research tries to study the transformation of culture from folklore or art tradition to the popular culture. Art tradition grows in the certain society. But, today, it is transformed to TV’s performance.
    [Show full text]
  • Usage of 12 Animation Principles in the Wayang
    USAGE OF 12 ANIMATION PRINCIPLES IN THE WAYANG KULIT PERFORMANCES Ming-Hsin Tsai #1, Andi Tenri Elle Hapsari *2, # Asia University, Taichung – Taiwan http://www.asia.edu.tw 1 [email protected] * Department of Digital Media Design Faculty of Creative Design 2 [email protected] Abstrak— Wayang kulit merupakan salah satu animasi tertua, animation principles will be used in this paper and further namun hingga kini belum ada penulisan lebih lanjut yang discussed in the following section. membahas tentang hubungan animasi dengan wayang kulit itu Wayang Kulit is the Indonesian shadow puppet theatre, sendiri. Dengan demikian, tulisan ini bertujuan untuk which already been acknowledge in worldwide organization memperlihatkan hubungan antara animasi yang kita kenal saat about The Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of ini dengan pertunjukan wayang kulit, menggunakan 12 prinsip dasar dari animasi sehingga terlihat persamaan penggunaan Humanity. It was a list maintained by UNESCO with pieces teknik yang ada dalam hubungannya dengan proses yang of intangible culture considered relevant by that organization. lainnya. The goal of this paper is to take a closer look at 12 principle of animation used in wayang kulit performances. The animation principles designed by Disney animators Kata kunci— Teknik animasi, 12 prinsip animasi, wayang kulit themselves, will act as guidelines to test the quality of Abstract— Wayang Kulit has been known as one of the oldest animation used in wayang kulit performances techniques, by animation; however, there is no definitive methodology that analyzing the use of the 12 traditional animation principles in supports the development process of these animation performances it.
    [Show full text]
  • Phd Thesis Tamara Aberle
    Socially-engaged theatre performances in contemporary Indonesia Tamara Alexandra Aberle Royal Holloway, University of London PhD Thesis 1 Declaration of Authorship I, Tamara Alexandra Aberle, hereby declare that this thesis and the work presented in it is entirely my own. Where I have consulted the work of others, this is always clearly stated. Signed: ______________________ Date: ________________________ 2 Abstract This thesis argues that performances of contemporary theatre in Indonesia are socially- engaged, actively creating, defining and challenging the socio-political environment, and that theatre practitioners are important members of a vibrant civil society who contribute and feel actively committed to democratic processes. Following an initial chapter about the history of modern theatre from the late 19th century until the fall of President Suharto in 1998, the four core chapters centre on four different aspects of contemporary Indonesian socio-politics: historical memory and trauma, violence and human rights, environmentalism, and social transition. Each of these chapters is preceded by an introduction about the wider historical and socio-political context of its respective discourse and is followed by an analysis of selected plays. Chapter 2 focuses on historical trauma and memory, and relates the work of two theatre artists, Papermoon Puppet Theatre and Agus Nur Amal (a.k.a. PM Toh), to processes seeking truth and reconciliation in Indonesia in the post-Suharto era. Chapter 3, on violence and human rights, discusses the works of Ratna Sarumpaet and B. Verry Handayani, with a specific focus on human trafficking, sexual exploitation, and labour migration. Chapter 4 discusses environmentalism on the contemporary stage. It investigates the nature of environmental art festivals in Indonesia, taking Teater Payung Hitam’s 2008 International Water Festival as an example.
    [Show full text]
  • B. Barendregt the Sound of Longing for Homeredefining a Sense of Community Through Minang Popular Music
    B. Barendregt The sound of longing for homeRedefining a sense of community through Minang popular music In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 158 (2002), no: 3, Leiden, 411-450 This PDF-file was downloaded from http://www.kitlv-journals.nl Downloaded from Brill.com09/23/2021 02:24:12PM via free access BART BARENDREGT The Sound of 'Longing for Home' Redefining a Sense of Community through Minang Popular Music Why, yes why, sir, am I singing? Oh, because I am longing, Longing for those who went abroad, Oh rabab, yes rabab, please spread the message To the people far away, so they'll come home quickly (From the popular Minangkabau traditional song 'Rabab'.) 1. Introduction: Changing mediascapes and emerging regional metaphors Traditionally each village federation in Minangkabau had its own repertoire of musical genres, tunes, and melodies, in which local historiography and songs of origin blended and the meta-landscape of alam Minangkabau (the Minangkabau universe) was depicted.1 Today, with the ever-increasing disper- sion of Minangkabau migrants all over Southeast Asia, the conception of the Minangkabau world is no longer restricted to the province of West Sumatra. 1 Earlier versions of this article were presented at the 34th Conference of the International Council of Traditional Music, Nitra, Slovakia, August 1996, and the VA/AVMI (Leiden Uni- versity) symposium on Media Cultures in Indonesia, 2-7 April 2001. Its present form owes much to critical comments received from audiences there. I would like to sincerely thank also my colleagues Suryadi, for his suggestions regarding the translations from the Minangkabau, and Robert Wessing, for his critical scrutiny of my English.
    [Show full text]
  • Body of Tradition: Becoming a Woman Dalang in Bali
    Body of Tradition: Becoming a Woman Dalang in Bali A dissertation presented to the faculty of the College of Fine Arts of Ohio University In partial fulfillment of the requirements for the degree Doctor of Philosophy Jennifer L. Goodlander August 2010 © 2010 Jennifer L. Goodlander. All Rights Reserved. 2 This dissertation titled Body of Tradition: Becoming a Woman Dalang in Bali by JENNIFER L. GOODLANDER has been approved for the Interdisciplinary Arts and the College of Fine Arts by William F. Condee Professor of Theater Charles A. McWeeny Dean, College of Fine Arts 3 ABSTRACT GOODLANDER, JENNIFER L., Ph.D., August 2010, Interdisciplinary Arts Body of Tradition: Becoming a Woman Dalang in Bali (248 pp.) Director of Dissertation: William F. Condee The role of women in Bali must be understood in relationship to tradition, because “tradition” is an important concept for analyzing Balinese culture, social hierarchy, religious expression, and politics. Wayang kulit, or shadow puppetry, is considered an important Balinese tradition because it connects a mythic past to a political present through public, and often religiously significant ritual performance. The dalang, or puppeteer, is the central figure in this performance genre and is revered in Balinese society as a teacher and priest. Until recently, the dalang has always been male, but now women are studying and performing as dalangs. In order to determine what women in these “non-traditional” roles means for gender hierarchy and the status of these arts as “traditional,” I argue that “tradition” must be understood in relation to three different, yet overlapping, fields: the construction of Bali as a “traditional” society, the role of women in Bali as being governed by “tradition,” and the performing arts as both “traditional” and as a conduit for “tradition.” This dissertation is divided into three sections, beginning in chapters two and three, with a general focus on the “tradition” of wayang kulit through an analysis of the objects and practices of performance.
    [Show full text]
  • By Golly, the Sounds of Bali!
    By Golly, The Sounds of Bali! Designed by: Taryn O’Keefe University of Washington Summary: Students will learn about the music and culture of Bali by listening critically to the performance styles of traditional music and recreating the performance practices of the Gamelan, Kecak, and Wayang Kulit musical genres. Suggested Grade Levels: 3-5; 6-8 Specialization: General/Classroom Music Co-curricular areas: Social studies, visual arts, and drama. Categories to which the lesson-segments apply: Country: Indonesia Region of Country, if applicable: Bali Culture Group: Balinese Genres: Gamelan, Kecak, and Wayang Kulit Instrument(s): Gamelan instruments (metallophone and gong types, as well as unpitched percussion) and voice Language: Indonesian Lesson-segment titles: 1. Jam Along with Gamelan 2. Kecak Yourself Before You Wreck Yourself 3. No Strings Attached: The Music of Balinese Shadow Puppetry Resources: ● Smithsonian Folkways: “Bali: Folk Music” album liner notes. Link: http://media.smithsonianfolkways.org/liner_notes/unesco/UNES08003.pdf ● Smithsonian Folkways: “The Bali Sessions: Living Art, Sounding Spirit” album liners notes. Link: http://media.smithsonianfolkways.org/liner_notes/hart/HRT15021.pdf ● Smithsonian Folkways: “From Kuno to Kebyar: Balinese Gamelan Angklung” album liner notes. Link: http://media.smithsonianfolkways.org/liner_notes/smithsonian_folkways/SFW50411.pdf ● Smithsonian Folkways: “Music of Indonesia, Vol. 14: Lombok, Kalimantan, Banyumas: Little-known Forms of Gamelan and Wayang” album liner notes. Link: http://media.smithsonianfolkways.org/liner_notes/smithsonian_folkways/SFW40441.pdf ● “A Sense of Place: Wayang Kulit in Bali and wayang listrik in America.” Thesis by Prada Young. Link: http://wesscholar.wesleyan.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=2066&context=etd_hon_thes es ● “Performing Kecak: A Balinese dance tradition between daily routine and creative art” article by Kendra Stepputat.
    [Show full text]
  • “Saweran Sebagai Bentuk Interaksi Simbolik Antara
    “SAWERAN SEBAGAI BENTUK INTERAKSI SIMBOLIK ANTARA PEMAIN DAN PENONTON DALAM TARI REOG GONDORIYO PADA KESENIAN BARONGAN SINGO LODRO DI DESA TODANAN KECAMATAN TODANAN KABUPATEN BLORA” SKRIPSI untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S1) Oleh: Nama : Selvi Widya A NIM : 2501412154 Program Studi : Pendidikan Seni Tari Jurusan : Pendidikan Seni Drama Tari dan Musik JURUSAN SENI DRAMA TARI DAN MUSIK (PENDIDIKAN TARI) FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2017 i PERSETUJUAN PEMBIMBING Skripsi dengan judul “Saweran Sebagai Bentuk Interaksi Simbolik Antara Pemain Dan Penonton Dalam Tari Reog Gondoriyo Pada Kesenian Barongan Singo Lodro Di Desa Todanan Kecamatan Todanan Kabupaten Blora” telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke Sidang Panitia Ujian Kripsi Semarang, 11 Agustus 2017 Pembimbing I Pembimbing II Drs. Bintang Hanggoro P. M. Hum.. Restu Lanjari, S.Pd, M.Pd. NIP. 196002081987021001 NIP. 196112171986012001 ii PENGESAHAN KELULUSAN Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan sidang Panitia Ujian Skripsi Jurusan Seni Drama, Tari dan Musik, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang pada hari : Jumat tanggal : 11 Agustus 2017 Panitia Ujian Skripsi Prof. Dr. Agus Nuryatin, M. Hum. (196008031989011001) Ketua Abdul Rachman, S.Pd.M.Pd (198001202006041002) Sekertaris Dra. Eny Kusumastuti, M.Pd (196804101993032001) Penguji I Restu Lanjari, S.Pd, M.Pd (196112171986012001) Penguji II/Pembimbing II Drs. Bintang Hanggoro P, M. Hum. (196002081987021001) Penguji III/Pembimbing I Prof. Dr. Agus Nuryatin, M. Hum. (196008031989011001) Dekan Fakultas Bahasa dan Seni iii PERNYATAAN Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi yang berjudul “Saweran Sebagai Bentuk Interaksi Simbolik Antara Pemain Dan Penonton Dalam Tari Reog Gondoriyo Pada Kesenian Barongan Singo Lodro Di Desa Todanan Kecamatan Todanan Kabupaten Blora” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan dari karya orang lain, baik sebagian atau seluruhnya.
    [Show full text]
  • Wayang Golek Menak: Wayang Puppet Show As Visualization Media of Javanese Literature
    Wayang Golek Menak: Wayang Puppet Show as Visualization Media of Javanese Literature Trisno Santoso 1 and Bagus Wahyu Setyawan 2 {[email protected] 1, [email protected] 2} 1Institut Seni Indonesia Surakarta, Indonesia 2Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia Abstract. Puppet shows developing in Javanese culture is definitely various, including wayang kulit, wayang kancil, wayang suket, wayang krucil, wayang klithik, and wayang golek. This study was a developmental research, that developed Wayang Golek Ménak Sentolo with using theatre and cinematography approaches. Its aims to develop and create the new form of wayang golek sentolo show, Yogyakarta. The stages included conducting the orientation of wayang golek sentolo show, perfecting the concept, conducting FGD on the development concept, conducting the stage orientation, making wayang puppet protoype, testing the developmental product, and disseminating it in the show. After doing these stages, Wayang Golek Ménak Sentolo show gets developed from the original one, in terms of duration that become shorter, language using other languages than Javanese, show techniques that use theatre approach with modern blocking and lighting, voice acting of wayang figure with using dubbing techniques as in animation films, stage developed into portable to ease the movement as needed, as well as the form of wayang created differently from the original in terms of size and materials used. It is expected that the development and new form of wayang golek menak will get more acceptance from the modern community. Keywords: wayang golek menak, development, puppet show, visualization media, Javanese literature, serat menak. 1. INTRODUCTION Discussing about puppet shows in Java, there are two types of puppet shows, namely wayang golek and wayang krucil .
    [Show full text]
  • Bali: So Many Faces--Short Stories and Other Literary Excerpts in Indonesian. INSTITUTION Western Sydney Univ., Macarthur (Australia)
    DOCUMENT RESUME ED 411 529 CS 215 987 AUTHOR Cork, Vern, Comp. TITLE Bali: So Many Faces--Short Stories and Other Literary Excerpts in Indonesian. INSTITUTION Western Sydney Univ., Macarthur (Australia). Language Acquisition Research Centre.; Australian National Languages and Literacy Inst., Deakin. ISBN ISBN-1-87560-40-7 PUB DATE 1996-00-00 NOTE 200p. PUB TYPE Collected Works General (020) Creative Works (030) LANGUAGE English, Indonesian EDRS PRICE MF01/PC08 Plus Postage. DESCRIPTORS Anthologies; *Audience Awareness; Cultural Background; *Cultural Context; Foreign Countries; *Indonesian; Literary Devices; Non Western Civilization; *Short Stories; *Social Change; Tourism IDENTIFIERS *Bali; *Balinese Literature; Indonesia ABSTRACT This collection of 25 short stories (in Indonesian) by Balinese writers aims to give Bali's writers a wider public. Some of the stories in the collection are distinctly and uniquely Balinese, while others are more universal in their approach and are self-contained. But according to the collection's foreword, in all of the stories, experiences of Bali are presented from the inside, from the other side of the hotels, tour buses, and restaurants of "tourist" Bali. The writers presented come from a range of backgrounds, reflecting the diversity cf Balinese society--different castes, differences between urban and rural baa4xiouncl.s, .and varieties of ethnicity are all important to the multiplicity of voices found in the collection. In addition, the collection draws from backgrounds of journalism, theater, cartoons, poetry, and academia, and from writers who may have been born in other parts of Indonesia but who have lived for decades in Bali and reflect Bali's inseparability from the Indonesian nation.
    [Show full text]
  • Mapping the History of Malaysian Theatre: an Interview with Ghulam-Sarwar Yousof
    ASIATIC, VOLUME 4, NUMBER 2, DECEMBER 2010 Mapping the History of Malaysian Theatre: An Interview with Ghulam-Sarwar Yousof Madiha Ramlan & M.A. Quayum1 International Islamic University Malaysia It seems that a rich variety of traditional theatre forms existed and perhaps continues to exist in Malaysia. Could you provide some elucidation on this? If you are looking for any kind of history or tradition of theatre in Malaysia you won’t get it, because of its relative antiquity and the lack of records. Indirect sources such as hikayat literature fail to mention anything. Hikayat Raja-Raja Pasai mentions Javanese wayang kulit, and Hikayat Patani mentions various music and dance forms, most of which cannot be precisely identified, but there is no mention of theatre. The reason is clear enough. The hikayat generally focuses on events in royal court, while most traditional theatre developed as folk art, with what is known as popular theatre coming in at the end of the 19th century. There has never been any court tradition of theatre in the Malay sultanates. In approaching traditional theatre, my own way has been to first look at the proto- theatre or elementary forms before going on to the more advanced ones. This is a scheme I worked out for traditional Southeast Asian theatre. Could you elaborate on this? Almost all theatre activity in Southeast Asia fits into four categories as follows: Proto-Theatre, Puppet Theatre, Dance Theatre and Opera. In the case of the Philippines, one could identify a separate category for Christian theatre forms. Such forms don’t exist in the rest of the region.
    [Show full text]