MIMBAR, Vol. XXVII, No. 1 (Juni 2011): 39-46

Dimensi Inklusi Dakwah KH. Abdullah Gymnastiar dan KH. 1

BAMBANG SAIFUL MA‘ARIF

2 Fakultas Ilmu Dakwah Universitas

Abstract

KH Abdullah Gymnastiar and KH Jalaluddin Rakhmat are famously known as da‘i in national level. Both were actively engaged in communicating and spreading Islam since 1980s.This article discusses content of speech delivered by those two figures. Applying rhetorical analysis, the research revealed that inclusive messages which assumed man as equal were dominantly played. Both da‘i communicated messages focused on ethics, tolerance, and mutual understanding, not merely concentrates on Islamic jurisprudence (al fiqh). Such messages are considered ideal in ‘s multiculturalism context, where people–no matter what their religions or ethnical origins are–should be able to embrace the essence of inclusive messages.

KH Abdullah Gymnastiar dan KH Jalaluddin Rakhmat merupakan da‘i nasional yang sangat terpandang di Indonesia. Keduanya telah terlibat aktif dalam mengomunikasikan dan menyebarkan ajaran Islam sejak tahun 1980an, dan dikelilingi oleh jamaahnya masing-masing. Artikel ini membahas isi dakwah yang disampaikan oleh para da‘i tersebut. Dengan menerapkan metode analisis retorika, diperoleh kesimpualn bahwa inti dari pesan dakwah kedua da‘i adalah pesan-pesan inklusif yang mengutamakan kesetaraan manusia. Kedua da‘i pada dasarnya menyebarkan isi pesan yang sama, berfokus pada etika, toleransi, serta pemahaman timbal-balik yang setara. Pesan mereka tidak semata-mata menekankan pada hukum-hukum Is- lam. Pesan inklusif semacam ini ideal bagi Indonesia yang sangat multikultural.

Kata Kunci: Inclussion, Islamic Communicator, Rhetorical Analysis

I. PENDAHULUAN Walaupun dakwah kedua komunikator mengalami pasang surut sejalan dengan ritme Di antara ulama penyebar Islam di kota kiprah mereka, jemaahnya tetap menyanjung Bandung adalah KH. Abdullah Gymnastiar dan KH. keduanya, karena mampu mengisi relung-relung Jalaluddin Rakhmat, yang sejak 1980-an telah aktif hati dan pemikiran mereka. KH. Jalal mengusung berkomunikasi dakwah. Jemaah keduanya banyak, pembelaan kepada Syiah, yang semula agak baik yang hadir secara langsung maupun yang dicurigai dan diawasi. Serangan berbagai pihak lain mengikutinya melalui media. Uraian-uraian kedua dibalasnya dengan halus dan penuh persabahatan, komunikator dakwah ini disimak dengan baik oleh jauh dari dendam, sehingga paham Syiah yang jemaahnya, sehingga banyak penggemar mereka semula kontroversial perhalan-lahan diterima yang setia, baik umat Islam maupun non-Muslim. masyarakat. Ma‘arif dalam Mimbar Jurnal Sosial Dakwah kedua komunikator ini bersifat lintas dan Pembangunan (Vol. XXV, No.2, 2009) menge- agama. Pesan-pesannya dipandang bijak dan mukakan bahwa KH. A. Gymnastiar meng-usung mencerahkan. Terlepas dari kekurangan yang ada hal-hal yang praktis dari kehidupan, dengan dan perbedaan paham yang mungkin terjadi, kedua membina akhlak hati menjadi lembut. komunikator dakwah telah mampu mendorong Ajaran Islam merupakan sumber materi Muslim untuk beramal dan berkiprah secara komunikasi dakwah yang utama, yang garis intelektual, ruhiah, dan praktek. besarnya Aqidah, Syari‘ah, dan Akhlaq (Syaltut,

1 Artikel ini merupakan hasil ringkasan dari disertasi Unpad 2 Fakultas Dakwah Unisba, Jl. Ranggagading No.8 Bandung; email: [email protected].

39 BAMBANG S. MA‘ARIF. Komunikasi Dakwah Inklusif Dakwah KH.Abdullah Gymnastiar dan KH. Jalaluddin R.

1966, Anshari, 2004: 48, dan Ali, 2005: 133). kehendaki.“ Islam dapat dipahami secara ketat, yang Tema yang dikupas komunikator dakwah melahirkan praktik yang serupa, namun bisa pula akan berpengaruh kepada audiensnya. Kapasitas pemahaman dan pengamalan yang lembut dan berpikir komunikator dakwah membawa kepada inklusif. Inklusivitas menjadi sarana menjembatani kajian-kajian yang bersifat intelektual, ada pula yang berbagai kutub pemahaman yang saling bertolak- bersifat practical skill. Kapasitas diri yang bertaut belakang. dengan pengalaman hidup masa lalu berkaitan Agama yang bergantung pada legitimasi kitab dengan kehidupan masa kini. Ideologi juga suci yang dipahami secara tekstual, tanpa disadari, mempengaruhi pola pikir komunikator dakwah. rupanya dapat mengantarkan seseorang atau Kebaikan akan muncul dengan sendirinya dari kelompok pada sosok ”kesalehan yang keras, mili- suatu pengamalan agama. Kalangan seperti ini tant, radikal.‘ Sedangkan universalitas inklusivitas disebut sebagai ahlu al-atsar (tekstualis atau agama-agama menekankan compassionate ethic skripturalis [Abrahamov, 1998: 19, dan Madjid, yang mengedepankan rasa simpati, empati, rasa 1985: 244]). Pada sisi lain, ada ahlu ”l-ra‘yi yang hormat, senasib, suka menolong, suka beramal, berkecenderungan memahami teks secara rasional murah hati, loyalitas, kerjasama, dan solidaritas yang mengupas hikmahnya antar-sesama umat manusia (Amin Abdullah, Tulisan ini berasal dari penelitian yang dalam Armstrong, 2007: v). dilakukan dengan metode rhetorical analysis. Al-Faruqi menyatakan bahwa aqidah menjadi Metode ini dijelaskan oleh Littlejohn, (1978: 161) landasan beragama. —Akidah merupakan ruh bagi sebagai, setiap orang; dengan berpegang teguh padanya ia Rhetorical criticism is necessarily analytical. The akan hidup dalam keadaan yang baik dan scheme of rhetorical study includes the element of menggembirakan, tetapi dengan meninggalkannya the speaker‘s as conditioning factor: it includes also matilah semangat kerohanian manusia“ (Sabiq, the public character of the man œ not what he was, 2002: 21). Jiwa yang hidup akan menggerakkan but what he was to be. It require description of the raganya untuk melakukan tindakan yang benar dan speaker audience, and of the leading ideas with which he plied his hearers œ his topics, the motives to which sesuai dengan nilai agama. Esensi Islam adalah he appealed, the nature of the proofs he offered….. Tauhidullah, tindakan yang menegaskan Allah Maha Esa, Pencipta yang mutlak, Penguasa segala yang Adapun langkah-langkah yang ditempuh ada, sehingga, —Islam dan Kebudayaan Islam dimulai dengan kajian pustaka, observasi dan (termasuk peradabannya) memiliki suatu esensi wawancara mendalam dengan para aktivis kedua pengetahuan, yaitu tauhid, yang dapat dianalisis dan kelompok pengajian ini. diuraikan.“ (Al-Faruqi, 1982: 16). Tujuan tulisan ini adalah untuk mengupas Cinta kepada Allah (mahabbatullah) inklusifitas komunikasi dakwah kedua figur ini, mengantar kepada sikap bijaksana dan sadar akan dengan memfokuskan pada: (a) Makna inklusi pada kebenaran (Glasse, 1999: 259-260). Jadi, komunikator dakwah KH. A. Gymnastiar dan KH. ma‘rifatullah merupakan kumpulan ilmu Jalaluddin Rakhmat; (b) Isi pesan inklusi pada pengetahuan, perasaan, pengalaman, amal dan komunikator dakwah KH. A. Gymnastiar dan KH. ibadat. Kumpulan dari ilmu, filsafat dan agama. Jalaluddin R., dan; (c) Implikasi inklusif pada Kumpulan dari mantiq, keindahan dan cinta (, Komunikasi dakwah kedua figur ini. 1980: 106). Amal syariat itu dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (1) ta‘abbudi, dan (2) ta‘aqquli II. PEMBAHASAN (Hamka, 1980: 103). Sedangkan Akhlak merupakan pembahasan Perbedaan corak pemahaman berpengaruh suasana batin dan karakter diri (self character) pada komunikasi dakwah (da‘i)-nya dalam untuk membersihkan ruhani yang mengantarkan menjelaskan kepada jemaahnya. Pembaca teks pada pencerahan pikiran sebagai basis perilaku. kitab suci ada perbedaan antara yang bergaya Jadi akhlak mewujud dalam tindakan nyata. skriptural dengan yang substansial. Perbedaan Perhatian Al-Ghazali, selaku tokoh sufi, lebih banyak dalam membaca teks dan memahaminya akan tertuju kepada pembangunan akhlak untuk melahirkan perbedaan pada pesan-pesan kebersihan jiwa sendiri, perbanyak puasa, jangan komunikasinya. Kedua gaya ini dianggap absah menoleh ke kanan ke kiri. Kelompok sufi dikenal dalam pemikiran agama. Kenyataan itu tampak dengan tarekat. pada KH. A. Gymnastiar dan KH. Jalaluddin R. Hamka (1980: 179) menulis, —Kebanyakan Pemahaman agama diwarnai oleh ideologi, Sufi bermadzhab Jabbariyah. Pandangan mata kita dalam artian —suatu kepercayaan dan nilai-nilai yang ini sebenarnya buta. Lebih baik kita fana kedalam dianut oleh suatu kelompok tertentu“ (Soekanto, pandangan Kekasih (Tuhan). Pandangan Tuhan 1983: 148). Ideologi dapat bersifat manifest adalah lebih baik menjadi ganti dari pandangan kita. (terbuka dan transparan), namun bisa juga bersifat Dalam pandangan-Nya tersimpan segala yang kita latent, dan dalam dakwah terkandung ideologi

40 MIMBAR, Vol. XXVII, No. 1 (Juni 2011): 39-46 agama yaitu ideologi yang terdiri dari nilai-nilai untuk menciptakan habitat yang menurut suci (Soekanto, 1983: 148). pandangan mereka ideal, karena di situlah mereka Ajaran agama seringkali dipahami sesuai bersosialisasi dalam suatu arena dakwah. dengan keperluan tokoh, lebih-lebih pemimpin Dalam komunikasi visi dan misi organisasi organisasi dakwah. Dengan kata lain, faktor seringkali mewarnai corak pesan komunikasinya —ideologi-bersama ikut berperan dalam proses (Mulyadi dan Setiawan, 200l: 461). Hirokawa interaksi dari suatu kelompok“ (Frey, 1999: 519). (dalam Fessenden, et al, 1968: 23) mendapatkan Ideologi secara umum memengaruhi langsung atau bahwa suatu kelompok memiliki keterampilan tidak langsung isi dan proses komunikasi pada membuat keputusan untuk memeroleh keputusan kelompok-kelompok atau jemaah (Frey, 1999: 520). alternatif, dan komunikasi berperan baik dalam Pada fiqih, kecenderungan terjadi perbedaan mendukung anggotanya. —Komunikasi menjadi baik lebih besar. Bahkan bisa memperuncing bila ia membantu para pelakunya untuk memahami persaudaraan (persahabatan), sehingga kurang problem, mengajukan dan berandil dalam cocok untuk disampaikan dalam ruang publik melalui menemukan pada suatu pilihan yang dapat diterima, mimbar (Rachman, 2004: 83). dan memastikan kualitas pilihan terbaik maupun satu bentuk hijacking (pembajakan) yang kurang baik.“ Pendapat tersebut berimplikasi terhadap agama ialah jika para pemeluknya menjadi pada upaya untuk menyelesaikan masalah (Heath lebih mementingkan bentuk daripada isi, simbol dan Bryant, 2000: 334). Dalam dunia dakwah, daripada substansi. Dengan melihat sisi esoterisme komunikasi dipandang mencapai satu sasarannya dari agama atau suatu ajaran kerohanian (spirit), bila berfungsi mengembangkan kehidupan maka manusia akan dibawa kepada apa yang beragama jemaahnya. merupakan hakikat dari panggilan manusia. —Dalam Inti keberhasilan da‘i adalah faktor hati. tasawuf Islam, ada pengakuan atas keabsahan Nabi- Orang yang hatinya tidak bersih, tidak akan mampu Nabi terdahulu sebagai pembawa risalah dari Yang memunculkan reaksi atau jawaban orang lain. Satu, terutama Nabi-Nabi garis keturunan Ibrahim —Dengan menyentuh hati nurani, diharapkan seluruh yang membawa wahyu Taurat, Zabur, dan Injil“ tata nilai yang terkandung dalam ajaran agama (Suruin, 2005: 212). dapat diaktualisasikan dalam kehidupan“ (Rukmana, Di antara ketiga pilar agama ini yang paling 2002: 26). berat nilai esoterismenya adalah tasawuf, dan Soewardi (2003: 26) menulis, ada tiga tujuan karenanya cenderung inklusif dibandingkan dengan operasional dakwah, yaitu: (1) menjadikan orang materi komunikasi dakwah lainnya, Aqidah dan lurus dan benar dengan melakukan kebaikan dan Syariah (fiqih). Fiqih condong kepada eksosteris, menghilangkan kemunkaran (amar ma‘ruf dan nahyi sehingga ia tidak mampu memahami sifat-sifat munkar); (2) melahirkan kekuatan pada diri adikodrati impersonalitas Ilahi (Rachman, 2004: seseorang melalui karya-karyanya; karsa; (3) tinggi 84). Para sufi lebih berhati-hati dan konservatif, profesionalisme di bidang masing-masing. Dakwah dengan mengikuti kesepakatan yang terjadi dari Islam diarahkan pada terbinanya kesalehan pribadi berbagai pihak meski mereka yang bertentangan. dan sosial. Mereka beranggapan bahwa perbedaan-perbedaan Berikut adalah temuan penelitian yang dengan para ahli hukum akan mendatangkan relevan dengan permasalahan yang ada. kebenaran, dan tidak ada satu pun yang benar-benar bertentangan dengan lainnya“ (Suruin, 2005: 215). A. Komunikasi Dakwah Inklusif KHA. Sistem yang sebaiknya diterapkan di Indonsia Gymnastiar adalah sistem yang tidak hanya baik untuk umat 1. Makna Inklusif Komunikasi Dakwah Islam, tetapi juga yang membawa kebaikan untuk semua anggota masyarakat Indonesia. Inklusivitas Komunikasi dakwah inklusif diartikan sebagai dakwah relefan karena sejalan dengan watak memandang bahwa dakwah Islam menekankan inklusif Islam (Ahmad, 2001: 56). pada kesamaan dan menjauhkan perbedaan, Godaan untuk berhenti pada kesalehan- sehingga muncul istilah —Indahnya Kebersamaan“. kesalehan formal simbolik yang kemudian Masyarakat Muslim merupakan satu kesatuan, yang menghalangi kita untuk melahirkan transendensi tidak bisa dipecah-belah. Persamaan diutamakan, dengan jalan memahami dan berpegang kepada sehingga umat Islam dapat bekerja sama, yag akan makna-makna esensial di balik simbol-simbol itu, memerkuat kerjasama di kalangan kaum Muslimin. lalu bertindak sesuai dengan konsekuensi atau Jemaahnya dianjurkan untuk menjalin tuntutan makna-makna itu. kerjasama dengan masyarakat pihak lain, baik Perilaku etis ini bersifat normatif, yang dengan bergabung dalam pengajian maupun berkemungkinan paling besar mempertemukan kerjasama perekonomian, sehingga mampu antara berbagai macam kelompok; ada titik temu mengangkat perekonomian umat Islam. Dengan yang paling besar. Lingkungan kelompok dan simbol- demikian umat Islam bisa berkembang secara simbol bagi semua kelompok besar peranannya mandiri untuk menjadi bermartabat.

41 BAMBANG S. MA‘ARIF. Komunikasi Dakwah Inklusif Dakwah KH.Abdullah Gymnastiar dan KH. Jalaluddin R.

2. Pesan-Pesan Inklusif Komunikasi Dalam pembicaraannya, Aa Gym tidak membeda- Dakwahnya kan Muslim dan non-Muslim. Sikap itu sendiri akhirnya bisa menjadi daya tarik tersendiri. Sesama a) Akhlak sebagai Isi Pesan Inklusi makhluk Allah saling menghormati dan menghargai. Komunikasi Dakwah Dituntut adanya sikap arif dan mulia. Tema akhlaq (etika) menjadi unggulan Begitu pula perselisihan di antara sesama pengajian KH. A. Gymnastiar. Ketertarikan jemaah kaum Muslimin juga karena merosotnya akhlaq pada materi ini diawal dakwahnya Aa Gym dapat umat Islam khususnya dalam menyikapi perbedaan disimak dari buku-bukunya yang laku keras di kaum Muslimin. Perlu ditekankan sikap ridla, pasaran, dan sebagiannya dicetak ulang. Ini tawakkal, dan Zuhud. memberikan informasi bahwa buku-buku Aa Gym Zuhud itu masalah terikat hatinya kepada diapresiasi oleh jemaah, karena materinya Allah. Dia adalah pecinta Allah; orang kaya yang sederhana, praktis, mudah dicerna, dan membina diuji dengan dititipi (rizki, pen.) oleh Allah. Bukan diri. yang dijajah oleh harta. Jadi zuhud bukan persoalan Masalah kesabaran menjadi penting ketika kaya atau miskin, namun lebih kepada apakah dia dunia mengalami goncangan akibat krisis. Abdullah bisa memanfaatkan kekayaannya untuk jalan Gymnastiar merujuk pengertian sabar dari Dzinnun kebaikan atau tidak. (Banyak orang kaya namun Al-Misri, hatinya tetap baik, sementara banyak yang miskin Menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan namun dia menjadi jahat. [Aa Gym, 1 Pebruari 2007, dengan agama dan bersikap tenang manakala dalam Ma‘arif, 2008: 195) terkena musibah, serta berlapang dada dalam Wara‘ merupakan sikap kehati-hatian Mus- kefakiran di tengah-tengah medan kehidupan. Al- lim dalam menjalani hidup ini. Dia menggambarkan, Junaid,: ”Engkau menelan suatu kepahitan tanpa —Saya dulu punya teman karyawan sebuah mengernyitkan muka.‘ Sedangkan syukur adalah perusahaan. Tiap kali mau menelpon dia pergi ke tindakan memuji si pemberi nikmat atas kebaikan yang telah dilalukannya (Gymnastiar, 2004[c]: 24). wartel. Tidak pakai telepon kantor, karena pembicaraannya bukan masalah kantor. Ketika Ada kiat-kiat tertentu Aa Gym untuk membina ditanya oleh Aa teman itu menjawab, —Ini telepon kesabaran, yaitu: (1) Hati ini harus siap kompromi kantor tidak untuk keperluan pribadi. Allah tahu…“ dengan ketidaksempurnaan. Orang-orang yang KH. A. Gymnastiar membina berpikir, dan ingin sempurna, sulit sabar. Mengapa? Karena tidak pikiran diletakkan setelah pembinaan hati; pikiran ada yang sempurna. (2) Terampil mengarahkan dituntun oleh hati nurani. Konsep ini kemudian pikiran. Salah mengarahkan pikiran salah pula dibakukan sebagai konsep Manajemen Qalbu (MQ) suasana pikiran. Maka orang-orang yang sabar itu yang kekuatannya ada pada pendayagunaan adalah dia terampil mengarah-arahkan pikiran. potensi diri manusia secara optimal, dengan Kalau kita mendapatkan masalah dari sudut unggulannya adalah hati dan pikiran (Ma‘arif, 2008: pandang negatif, cenderung marah, tidak enak saja 195). hati ini. Rumusnya, kesabaran itu akan timbul kalau Untuk melejitkan berbagai potensi lainnya fokus pikiran kita Allah (atau akhirat). Kalau yang ada dalam diri manusia hati harus dibina, fokusnya duniawi susah sabarnya, maka Ridla ditata, dan dimantapkan. Semua itu membutuhkan hatinya akan ketentuan Allah Swt, menerima, ”saya pembinaan (latihan dan pembiasaan) akhlaq, yaitu terima ini tanpa komplain, terhadap suratan takdir. dengan mendidik hati (riyadlah). —Melakukan Ini tidak berarti kita tidak boleh memiliki keinginan. riyadlah dengan jalan: (1) jaga niat; (2) sesembunyi Keinginan tetap ada tetapi kenyataan diterima, juga mungkin saat mengerjakan; (3) kalau sudah jadi mulutnya; harus sesuai dengan hati, jangan sampai amal rahasiakan.“ Hati yang bersih akan membuat bertolak belakang antara hati dan lidah; Ngadu pikiran semakin jernih dan itu akan efektif dalam kepada orang yang bukan ahlinya dan bukan berpikir, memecahkan masalah atau menjadi kreatif. mencari solusi tidak termasuk sabar; jasad (tubuh) Dalam kaitan ini, kemampuan manusia untuk itu bagian dari kesabaran. —Kalau tidak suka dengan memutuskan urusan-urusan duniawi ada di dalam pemberian sedekahkan saja, daripada dijojowet akal (rasio), namun untuk menetapkan yang baik (Sunda: dicela),“ aku Aa Gym. dan yang buruk akal pikiran tidak akan mampu. Akal Inti dari pesan akhlak Aa Gym adalah ke mengetahui yang benar dan yang salah, tapi untuk dalam dan ke luar. Ke dalam, membina diri sendiri menetapkan masalah baik dan buruk – dalam agar diri sadar akan potensi dan kondisi yang pandangan filosuf moral. menyertainya. Banyak orang tidak sukses dalam Di samping itu, pandangan Aa Gym terhadap hidupnya karena tidak mampu mengenali potensi mereka yang berbeda agama juga bersifat dirinya, sehingga tidak mampu menempatkan merangkul. —Yahudi juga makhluk Allah… Nasrani dirinya dalam tata pergaulan sosial secara baik. juga makhluk Allah. Mengapa sesama makhluk Sedangkan ke luar adalah untuk berlaku baik Allah bertengkar..“ Demikian aku Aa Gym. kepada sesama manusia, Muslim dan non Muslim.

42 MIMBAR, Vol. XXVII, No. 1 (Juni 2011): 39-46

3. Implikasi dari Komunikasi Dakwah Karena itu, KH. Jalal selalu menyempatkan inklusif untuk memberikan santunan biaya kepada fakir miskin. Bila seseorang membela orang-orang Komunikasi dakwah yang inklusif, miskin tidak perlu dikatakan riya‘ (pamrih). sebagaimana ditekankan oleh KH. A. Gym Bagaimana kalau masih terbersit di dalam hati membawa sikap toleran dan kerjasama dengan sikap riya‘, Jawabnya, —Riya‘ tapi dermawan lebih pihak-pihak lain yang berbeda, baik itu karena baik daripada ikhlas tapi bakhil. Riya‘nya dapat perbedaan paham, aliran, agama, dan kelompok. menghapuskan amalnya, tapi kedermawanannya Kerjasama tersebut akan menjadikan pihak-pihak memberkahi rizkinya.“ yang berbeda memiliki kedekataan sosial dan Komunikasi dakwah tidak bisa tinggal diam, kultural, sehingga tidak bersifat eksklusif. Ia ikut memberdayakan, dan salah satu caranya B. Komunikasi Dakwah Inklusif KH. adalah memberikan perhatian kepada pembinaan Jalaluddin Rakhmat akhlaq untuk berkarya dan mental sportif. Dengan berbuat baik dan menolong orang 1. Makna Komunikasi Dakwah Inklusif lain seseorang akan menjadi lebih sehat. Salah Komunikasi dakwah inklusif bermakna satu ciri inklusivitas adalah berbuat adil dan bahwa manusia dari latar belakang agama apa pun memperlakukan orang lain secara adil. Karena adalah sama-sama makhluk Tuhan. Perbedaan Islam adalah agama semua Nabi terdahulu, maka agama tidak dilihat sebagai faktor pemisah, karena warisan-warisan yang ada pada penganut agama masing-masing agama akan dipertimbangkan Samawi terdahulu itu masih ada bekas-bekas kebaikannya. Di sini, KH. Jalal bersifat pluralistik, (atsar) kebenarannya (Ma‘arif, 2009). dalam artian agama apa pun tidak menjadi masalah Tema akhlak diambil karena bersifat yang penting berbuat baik. membangun karakter diri dan jiwa sportif seperti: Inklusiviitas Komunikasi dakwah KH. Jalal kejujuran, ketulusan, kedermawanan, dimulai dengan tampil untuk melakukan suatu dia- kesetiakawanan, dan sifat-sifat terpuji lainnya log panjang dengan cara membina persaudaraan sesuai dengan ajaran Islam, dan kesetiakawanan. melalui berbagai bentuk kegiatan yang terencana Untuk para siswa ditanamkan disiplin, istilahnya dan terfokus, melalui pengembangan sikap yang —lebih baik dipaksa berbuat baik, daripada sukarela santun, dan tidak saling serang, yaitu: pertama, berbuat jelek.“ (Jalal-on, Reg Jalal 9388). Pembinaan kehidupan beragama yang inklusif Kedua, Pembinaan kehidupan beragama melalui pembinaan cakrawala pemikiran yang inklusif melalui jalur tindakan konkret. Melalui keagamaan jemaah dengan memberikan berbagai latihan ini, jemaah diajak untuk latihan pengetahuan ”baru‘. Pada ranah (domain) ini beramal. Dalam latihan beramal ini jemaah ungkapan-ungkapan yang diberikan lebih bersifat langsung merasakan dan menghayati kehidupan doktrin-doktrin agama; kedua, pembinaan beragama yang memiliki banyak nuansanya, dan kehidupan beragama yang inklusif melalui jalur semuanya dianggap sebagai suatu kebenaran yang tindakan konkret. dirujuk dari kitab suci dan al-Sunnah al-nabawiyyah Sesama Muslim harus didamaikan, atau (Sunnah Nabi Saw.) secara spirit. Amal agama dibina persaudaraannya fa-ashlihu baina bukan hanya teori, tetapi praktis. Membantu yang akhawaikum [QS. Al-Hujuraat/49: 10]). Pihak lain, lemah yang kurang beruntung secara ekonomi dalam hal ini paham Syiah, diberi tempat karena (Imdad al-mustadl‘afin). ia bagian dari paham Islam yang minoritas, agar Untuk jemaah umum, KH. Jalal menggunakan jangan sampai yang minoritas itu tertindas dan tema, —Dahulukan akhlaq di atas Fiqih.“ Slogan ini terlindas. Langkahnya, memberikan mereka ruang menjadi judul buku KH. Jalal dalam rangkaian publik. Yayasan Muthahhari non-sektarian; bukan menyikapi adanya perbedaan paham dan Sunni atau Syiah, tetapi ukhuwwah. peribadatan yang bersifat sekunder (furu‘). Ia merupakan satu kiat dalam menyikapi berbagai 2. Pesan-Pesan Komunikasi Dakwah perbedaan dalam masyarakat. Ini bukan berarti Inklusif bahwa dalam fikih tidak ada akhlak, tapi lebih kepada satu panduan untuk berdakwah. a Akhlak sebagai Prasyarat Kelapangan Hubungan Sosial b Persaudaraan inklusif Pertama, Pembinaan akhlak yang baik Umat Islam di Indonesia menghadapi satu menjadi satu isi dari agenda komunikasi dakwah problem yang cukup berat, yaitu adanya KH. Jalal. Dengan akhlak yang baik, bukan saja untuk —perpecahan sebagai akibat dari ketertutupan setiap sesama orang Islam, namun juga untuk semua mazhab. Masing-masing tidak mau belajar dari umat manusia, dari latarbelakang apa pun pihak lain. Maka diperlukan keterbukaan; agamanya, sehingga ia mewarnai persaudaraan menghargai perbedaan pendapat“ (Rakhmat [edi- Muslim yang inklusif, dan bahkan sikap pluralisme. tor], 1998: 471).

43 BAMBANG S. MA‘ARIF. Komunikasi Dakwah Inklusif Dakwah KH.Abdullah Gymnastiar dan KH. Jalaluddin R.

Kiai mengarahkan kepada kehidupan yang 1998: 239). Ciri pengikut Ahlul Bait adalah orang lebih damai, tidak saling serang, yaitu: (1) yang menjadi penghias bagi mazhabnya, bukan pembinaan kehidupan beragama yang inklusif mazhab yang menjadi penghias baginya. Pada melalui pembinaan pemikiran keagamaan jemaah konteks ini, KH. Jalal mengutip Khameini ketika dengan memberikan pengetahuan ”baru‘. Pada menjawab pertanyaan —Apakah hukumnya (orang ranah ini, ungkapan-ungkapan yang diberikan lebih Syiah) shalat di belakang Ahlus-Sunnah.“ bersifat doktrin-doktrin agama; (2) pembinaan Kata Imam Khameini, —Salatnya sah, bahkan kehidupan beragama yang inklusif melalui jalur sangat dianjurkan salat bersama Ahlussunnah.“ tindakan konkret. Kemudian Imam Khomeini mengutip riwayat dari Inklusivitas beragama dalam pikiran KH. Imam Ja‘far, —Barang siapa salat di belakang Jalaluddin, terdiri atas dua arah, ke dalam dan ke Ahlussunnah dalam shaf pertama, dia mendapat luar. Pertama, Ke dalam yaitu bahwa sesama kaum pahala seperti salat di belakang Rasulullah Saw. muslimin adalah bersaudara, betatapun perbedaan Dan dianjurkan salat seperti sholatnya Ahlussunnah“ paham di antara mereka tajam, namun selama (Rakhmat, 1998: 159). tetap berpegang teguh kepada ayat-ayat al-Quran Beragama yang inklusif merupakan satu sikap dan al-Sunnah adalah benar. Kedua, inklusif ke luar, yang lebih menekankan keterbukaan akan adanya yaitu kepada pemeluk agama lain. kebenaran lain di samping kebenaran agama. Pertama, masalah ”ukhuwwah Islamiyyah‘ – Akhirnya, akan membentuk sikap empati dan meski telah menunjukkan adanya perbaikan, namun toleran. Ada tiga orang tokoh penganjur pluralisme – yang terasa adalah komunikasi internal umat inklusivitisme yang diacu, yaitu: Husein Fadlullah, masih terasa renggang. Karena itu, Kang Jalal Tabaththaba‘i, dan Murtadla Muthahhari. Mereka sangat konsen dengan ukhuwah Islam. Perbedaan menyatakan, —keselamatan tidak bergantung kepada menjadi suatu berkah, karena akan dapat membuka nama agama, namun tergantung pada pemikiran baru dan belajar untuk memahami ”yang keberimanan kepada Allah, hari akherat dan lain‘. Sikap inklusif —menganggap diri kita yang beramal baik.“ Ajaran ini mengacu kapada M. paling benar, tetapi pada kelompok lain juga ada Muthahhari. yang benar.“ Orang lain tidak dipersalahkan hanya Meskipun KH. Jalal memperkenalkan paham karena berbeda dengan kita. Syiah di lembaganya, sebagai pahamnya umat Is- Kang Jalal sering menyinggung kriteria lam ”yang lain‘. Yayasan ini bukan untuk Syiah. pengikut Ahlul Bait, dan dalam menjawabnya dia Sesama Muslim yang harus didamaikan (fa-ashlihu mengutip pendapat Imam Ja‘far yang mengatakan, baina akhawaikum [QS. Al-Hujuraat/49: 10]). —Jadilah kamu penghias bagi kami, dan jangan Paham keliru pun perlu diberi ruang gerak, bahkan menjadi pendatang cela bagi kami. Kamu sudah jika perlu dibela oleh KH. Jalal. menisbatkan diri sebagai pengikut kami“ (Rakhmat, Ketika Kang Jalal ceramah yang dilanjutkan

Tabel 1 Perbandingan Komunikasi Dakwah Inklusif KH. Abdullah Gymnastiar dan KH. Jalaluddin Rakhmat

Aspek-aspek yang KH. A. Gymnastiar KH. Jalaluddin Rakhmat diperbandingkan

Makna Komunikasi Dakwah - Menekankan ukhuwah - Kesamaan tujuan agama- Inklusif melalui —Indahya agama Kebersamaan“ - membina persaudaraan Islam - Jalinan kerjasama dengan - Pembinaan Cakrawala pihak-pihak lain kehidupan beragama inklusif - Pembinaan inklusi melalui tindakan

Pesan-Pesan Komunikasi Dakwah - Bertema akhlak - Akhlak sebagai prasyarat Inklusif - Menjaga hati kelapangan hubungan sosial, - Ilustrasi dari kehidupan real - Persaudaraan inklusif - Humor - Toleran dan saling mendekat Implikasi Komunikasi Dakwah - Sikap toleran - Kerjasama Inklusfi - Kedekatan sosial

Sumber: Penelitian B.S. Ma‘arif, 2008, (dengan pengolahan).

44 MIMBAR, Vol. XXVII, No. 1 (Juni 2011): 39-46 tanya jawab, seorang bertanya, —Bisakah mencintai kebencian, tetapi justru saling mendekat untuk bisa Nabi dan keluarganya (Ahlul Bait) tanpa menjadi memahami alasan yang dijadikan landasan bersikap Syiah?“ Jawabnya: —Bisa, banyak orang mencintai dan berperiku. Pandangan bahwa pihak lain mampu keluarga Nabi Saw. tanpa harus menjadi Syiah. kerjasama yang konstruktif dan positif dalam Bahkan ada orang Kristen Libanon, George Jordac kehidupan multikulturalisme. Mereka yang berbeda mencintai Nabi dan keluarganya dan air matanya tetap beragama sesuai dengan keyakinannya, dan berlinang-linang (sangat mengingat itu). Tidak apa- Tuhan – bukan manusia – yang akan menilainya. apa.“ Selanjutnya ia menyatakan, Anda tahu saya pluralis! (sedikit bernada kesal). III. PENUTUP Tidak usah jadi Syiah…. Berat jadi Syiah itu…., Kedua Komunikator dakwah, KH. Abdullah ketimbang kualitas akhlaqnya rendah buru-buru Gymnastiar dan KH. Jalaluddin Rakhmat, mengaku Syiah Anda mempermalukan madzhab Ahlul Bait. Lebih baik bertahan dalam akhlaq buruk sebagai menekankan pada komunikasi dakwah iklusif dalam Ahlussunnah. …. Eh… eh …. Ashtaghfirullah al-”adhim arti memandang pihak lain sebagai bagian dari diri (hadirin terkejut mendengar itu dengan wajah yang kita, mereka sejajar dengan kita. Di samping itu, kurang senang), eh… eh… maksud saya eh … Baru pesan komunikasi dakwah yang inklusif menekankan masuk Syiah kalau Anda sudah merasa berakhlaq baik. pada pesan-pesan akhlak, yang diaplikasikan kepada Kalau akhlaq baik Anda sudah (bisa) meneteskan air sesama manusia, bukan masalah fikih, dan mata orang …., terharu…. ”Pantes …. Dia ini (Syiah – penl.) sih…. Karena dia Syiah….‘ (Rakhmat, 7 persaudaraan sesama manusia diarahkan ke Januari 2007, dalam Ma‘arif, 2008: 289). toleransi dan kerjasama yang positif. Akhirnya, implikasi komunikasi dakwah inklusif adalah subjek Pembinaan kehidupan beragama yang inklusif memberi peluang pihak lain beramal sesuai dengan akan mampu mengurangi konflik sosial karena ajaran agamanya, dan memandang bahwa mereka dipandang lebih tenang. Ia berprinsip dalam setara dengan kita sebagai sama-sama makhluk pembinaan beragama yang inklusif bagi jemaahnya Allah. berdasarkan pemikiran yang matang. Konsekuensi dari inklusivitas itu adalah KH. Jalal selaku pimpinan Yayasan Muthahhari komunikasi dakwah kedua komunikator dakwah ini ingin membangun jembatan di antara mazhab- dapat diterima oleh berbagai kalangan. Bukan hanya mazhab dalam Islam, dengan semangat: umat Islam, tetapi juga mampu menembus Menghargai pendapat orang lain yang berbeda. kelompok non-Muslim. Keberagamaan yang pluralistik-inklusif ini dianggap Bagi komunikator dakwah yang bermaksud oleh dirinya sebagai ”cara beragama yang lebih untuk memeroleh jemaah yang luas, disarankan sehat‘ (Ma‘arif, 2008: 289) untuk mengutamakan pesan-pesan akhlak, toleransi Perbedaan pandangan dihargai selama masih antarumat beragama, dan kerjasama dengan berdasarkan argumentasi yang kuat, tidak harus berbagai kalangan. Penggunaan media komunikasi manut dalam berpandangan. Keseragaman justru pada dakwah dengan ciri praktis dan solutif dapat tidak merangsang kreativitas. Sebab itu, jemaah membimbing jemaah untuk mencari pola kehidupan pengajian masjidnya tidak diperintahkan untuk yang konstruktif. Pandangan inklusif pada memakai seragam tertentu. komunikasi dakwah dapat memberi dimensi baru Mengakui imam dan mentaatinya adalah dalam kehidupan sosial. Keadaan ini cocok untuk sebagian dari iman, dan imam itu ma‘shum masyarakat majemuk, mengapresiasi kebhinekaan (terpelihara dari dosa). Di antara mereka ada sebagai wujud konkret multikulural. Inklusivitas sekte-sektenya (Hasjmy, 1983: 36). Jalal tidak komunikasi dakwah menjembatani perbedaan dan menyinggung langsung keabsahannya Abu Bakar, menyerukan dialog Umar, dan Utsman. Namun, yang paling sering adalah menyinggung hadis Rasulullah Saw.: —Man kuntu mawlahu fa hadza ”aliyy mawlahu DAFTAR PUSTAKA (barangsiapa yang menjadikan aku sebagai pimpinannya), maka hendaklah ia menjadikan ”Ali Abrahamov, B. (2002). Ilmu Kalam, Jakarta: PT. sebagai pemimpinnya). Fakta sejarah dipandang Serambi Ilmu Semesta sebagai sebuah ”kekeliruan‘ sejarah. Yang penting Ahmad, N. (editor). (2001). Pluralitas Agama baginya tidak lagi menghujat Ali ra. sebagaimana Kerukunan dalam Keragaman. Jakarta: yang dilakukan oleh Dinasti Umayyah melalui Kompas. mimbar mereka (Rakhmat, 1998: 245). Al-Faruqi, I.R. (1982). Tauhid. Bandung: Pustaka Salman ITB 3. Implikasi dari Komunikasi Dakwah inklusi Ali, M.D. (2005). Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Komunikasi dakwah yang inklusif KH. Rajawali Press. Jalaluddin Rakhmat, berimplikasi pada sikap toleran Anshari, E. S. (2004). Wawasan Islam. Jakarta: kepada perbedaan pandangan dan paham bukan Pustaka Firdaus. alasan untuk bertikai dan menyebarluaskan Armstrong, K. (2007). Muhammad Prophet for Our

45 BAMBANG S. MA‘ARIF. Komunikasi Dakwah Inklusif Dakwah KH.Abdullah Gymnastiar dan KH. Jalaluddin R.

Time. (Penerj.: Y.Liputo), Bandung: Mizan. Merajut Ukhuwah Menyimak Pesan-Pesan Bijak Fessenden, S., R.I. Johsnon, P.M. Larson, dan K.Y. Aa Gym dan Kang Jalal. Bandung: Nuansa. Good. (1968). Speech for creative teacher. ––––––––. (2009b). —Pola Komunikasi Dubuque Iowa: Brown Company Publishers. Dakwah KH. Abdullah Gimnastiar dan KH. Frey, L. R. (editor). (1999). The Handbook of Group Jalaluddin Rakhmat,“ dalam MIMBAR Jurnal Communication Theory and Research. London: Sosial dan Pembangunan, Volume XXV, No. 2 Sage Publication. (Juli-Desember 2009) Unisba, Bandung. ISSN Glasse (1999). Ensiklopedia Islam. Bandung: Mizan 0215-8175. Gymnastiar, A. (2004). Menggapai Qolbun Salim, Mulyadi dan Setiawan, J. (2001). Sistem Bengkel Hati Menuju Akhlak Mulia. Bandung: Perencanaan dan Pengendalian Manajemen. MQS Publishing. Jakarta: Salemba Empat. Hamka, 1980. Tasawuf; Perkembangan dan Rachman, B. M. (2004). Islam Pluralis: Wacana Pemurniannya. Jakarta: Yayasan Nurul Islam. Kesetaraan Kaum Beriman. Jakarta: Raja Hasjmy, A. (1983). Dustur Dakwah menurut al-Qur‘n. Grafindo Persada. Jakarta: Bulan Bintang. Rachmat, M. F. (editor). (1998). Catatan Kang Jalal Heath, R. L and Bryant, J. (2000). Human Commu- Visi Media, Politik, dan Pendidikan. Bandung: nication Theory and Research Concept, Con- PT Remaja Rosda Karya. text, and Challenges. London: Lawrence Rakhmat, J. (1998). Jalaluddin Rakhmat Menjawab Erlbaum Associates. Soal-soal Islam Kontemporer. (editor: Littlejohn. S. W. (1978). Theories of Human Com- Hernowo). Bandung: Mizan. munication. Columbus: Charles E. Merriil Pub- Rukmana, N. (2002). Masjid dan Dakwah. Jakarta: lishing Company Al-Mawardi Prima. Madjid, N. (1985). Khazanah Intelektual Islam, Syaltut, M. (1966). Al-Islam Aqidah wa Syari‘ah. Jakarta: Bulan Bintang Beirut: Daar ”l-Qolam. Ma‘arif, B.S. (2008). Pola Komunikasi Dakwah KH. Soekanto, S. (1982). Sosiologi Suatu Pengantar. Abdullah Gymnastiar dan KH. Jalaluddin Jakarta: Rajawali Press. Rakhmat dalam Membina Kehidupan Beragama Soewardi, H. (2003). Akhirnya Sains Barat Sekuler Jemaahnya di Bandung. (Disertasi Unpad). Kandas. Bandung: Bakti Mandiri. Bandung: Program Pascasarjana. Suruin, (editor). (2005). Nilai-Nilai Pluralisme dalam ––––––––. (2009). Menjaga Hati dan Islam. Jakarta: Penerbit Nusadua.

46