KANZ PHILOSOPHIA Volume 6 Number 2, December 2020 Pages 119-138 WAḤDATUS SHUHŪD, KRITIK AL-RĀNIRI ATAS PANTEISME KETUHANAN

Ahmad Fairozi Pascasarjana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia Jakarta

[email protected]

Sulistiya Ayu Anggraini Pascasarjana Universitas Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

[email protected]

ABSTRACT This paper discusses Al-Rāniri ‘s criticism of the theological conception in Nusantara which contains elements of . This paper begins by describing the teachings of Waḥdah shuhūd in Sufism Al-Rāniri . This teaching believes in , Allah as the only one and only being, while the universe (ma siwallah) is only a madzhar that testifies to the oneness of Allah Himself. That is why a being other than Allah is not separate, it is neither independent nor one (united) with God. Based on this view, Al-Rāniri criticizes, even kafuses the wujūdiyah followers because they tend to be pantheistic which unites God, Allah and humans. The Sufism teachings developed by Al-Rāniri were able to bring together sharia and Sufism. This teaching can be accepted by the people of the archipelago, Aceh in particular because the people of the Archipelago in the following years were colored by Sunni teachings that uphold the practice of sharia. This paper aims to find the position of Waḥdah shuhūd teachings in the context of Nusantara Islamic studies, especially in the field of Sufism, whose roots cannot be separated from the development of Sufism in the 17- 18 century. Therefore, this study uses a descriptive-analytical approach while adhering to the accuracy of the analysis data that has been carried out by previous researchers.

Keywords : Al-Rāniri, Waḥdah Shuhūd, Tasawuf Nusantara, Pantheism.

ABSTRAK

menjabarkanTulisan ini membahas ajaran waḥdah tentang shuhūd kritik Al-Rāniri atas konsepsi teologis dalam ajaran. tasawuf Nusantara yang mengandung unsur panteisme. Tulisan ini dimulai dengan dalam tasawuf yang dikembangkan Al-Rāniri 120

Waḥdatus Shuhūd, Kritik Al-Rāniri Atas Panteisme Ketuhanan Ajaran ini menyakini Tuhan, Allah sebagai satu-satunya dhāt yang esa, sedangkan alam semesta (mā siwallāh) hanyalah madẓhar yang memberi kesaksian akan keesaan wujūd juga tidak menyatu (manunggal) bersama Dhāt Allah itu sendiri. Karena itulah selain Allah tidaklahwujūdiyah terpisah, berdiri kerena sendiri cenderung pun Allah. Berdasarkan pandangan ini, Al- Rāniri mengkritik, bahkan mengkafirkan penganut aliran panteistik yang menyatukan Tuhan, Allah dengan manusia. Ajaran tasawuf yang Nusantaradikembangkan di tahun-tahun Al-Rāniri ini berikutnya mampu mempertemukan diwarnai dengan syariatajaran dengansunni yang tasawuf. memengang Ajaran ini dapat diterima oleh masyarakat Nusantara, Aceh pada khususnya karenawaḥdah masyarakat shuhūd dalam konteks kajian Islam Nusantara, khususnya dalam bidang tasawuf yang akar teguh amalan syariat. Tulisan ini bertujuan untuk mencari posisi ajaran pemikirannya tidak dapat dilepaskan dengan perkembangan tasawuf di abad ke-17-18. Karena itu, penelitian ini menggunakan metode pendekatan deskriptif-analitis dengan tetap memegang teguh akurasi data analisis yang telah dilakukan oleh peneliti-peneiti Kata-katasebelumnya. Kunci : Al-Rāniri, Waḥdah al-Shuhūd, Tasawuf Nusantara, Panteisme

Pendahuluan

Diskursus sejarah perkembangan teologi Islam di Nusantara tidak lagi ramai diperbincangkan oleh kalangan akademisi. Konsep metafisika ketuhanan pada masyarakat Muslim Indonesia di fase awal masuknya teologi Islam kisaran abad ke-13 M, hingga periode pertengahan sekitar abad ke-16-17 M, belum terjabarkan dengan rinci—klarifikasi benar(manifes) dan salahnya. Sementara itu, segala bentuk ibadah dan ritual keagamaan yang dilakukan oleh setiap umat beragama, merupakan implementasi nyata dari kepercayaan mereka terhadap Tuhan. Maka, ibadah dan praktik ritual keagamaan setiap umat beragama hanya dapat dijalankan dengan benar dan absah, ketika prinsip-prinsip teologisnya dipahami dengan benar. Kerangka pikir korelatif dalamyang menggantungkan membentuk dinamika keabsahan keberagamaan ibadah pada keyakinanmasyarakat terhadap Nusantara Tuhan secara yang benar menarik ditelaah, guna melihat signifikansi relasi historis teologi sufistik akademik (Nasir 2012, 3). “teis”, jelmaan akidah hingga tradisi ritual keagamaan dalam masyarakat Nusantara, sudah tertanamMengawali sejak sebelum tulisan ini, datangnya perlu diperhatikan agama-agama bahwa modern, budaya yaitu agama Jawa

Proto Melanesia keturunanPurba, atau Homo yang Erectus lebih akrab disebut dengan agama Kapitayan (Sunyoto 2012, 12). Sistem kepercayaan yang berasal dari manusia ras sejak abad pra-sejarah telah menyebar di Asia KANZ PHILOSOPHIA, Volume 6, Number 2, Desember 2020 121

“Sang Taya” sebagai sesembahan utama Tenggara dan pulau-pulau Nusantara (Subagya 1979, 13). Sistem kepercayaan Kapitayan yang mengkultuskan “Taya” dalam bahasa Jawa masih membekas dalam tradisi masyarakatAwang-Uwung Jawa hingga atau abad Suwung ke-17 “Taya”M, di mana juga teologi Islam mulai berkembang pesat di Nusantara. purba bermakna kosong atau hampa ( ). dapat diartikan absolut (Sunyoto 2012, 37). “Sang Hyang Taya” secara esoteric tidak jauh beda Konsepsi teologis agama Kapitayan sebagaimana mereka rumuskan dalam bentuk sesembahan kepada “Dhāt” dengan metafisika ketuhanan umat Islam. Dalam perspektif ilmu kalam“Dhāt” atau selainnya,bahkan dalam sebagai tradisi “Dhāt” sufisme Islam, persepsi tentang Tuhanmaqām sebagai dalam diri makhluk,transenden sebagai yang adanya“Dhāt” yang sebab sama dirinya sekali sendiri berbeda tanpa dengan sumbangsih makhluk, tidak yang tidak mungkin dapat ber- dalammemiliki teologi perbedaan Islam dengan yang signifikan agama Jawa dengan sebagaimana sistem kepercayaan dimaksud belum masyarakat tentu Jawa pada dasarnya. Terlepas dari kiasan ini, terkait dengan konsep ketuhanan sudah “teis” tepat, hal penting yang harus dicatat adalah, bahwa masyarakat Nusantara jauh sebelum datangnya agama baru: Hindu, Budha dan Islam.

Bila dicermati berdasarkan catatan sejarah islamisasi di Nusantara, ajaran tasawuf memiliki sumbangsih yang cukup dominan. Sumbangan kuat fiqhiyahtasawuf ini dapat dilihat sangat jelas pada pola islamisasi yang akulturatif, kompromis dan tidak membebani masyarakat dengan kewajiban-kewajiban (Shihab 2001, 1-2). Sebab itulah kedatangan Islam di Nusantara daerah-daerahdengan mudah diterimasubordinat dan yang dapat tidak berkembang banyak diwarnai dengan pesat.oleh tradisi Secara dan geografis, sistem sejak kali pertama penyebarannya, ajaran Islam tumbuh dan berkembang di kepercayaan Hindu-Budha, seperti di Maluku, Banten, Aceh, Makassar dan Minangkabau bagian pesisir. Tradisi Kapitayan, Kejawen, dan atau bahkan Hindu-Budha, lumrahnya berkembang di pedalaman. Sementara Islam datang ke daerah-darah pesisir yang memiliki akses cukup luas terhadap peradaban kosmopolitan di masanya (Thohir 2004, 324). Dari proses ini dapat dipahami bahwa datangnya Islam yang membawa seperangkat ideologi dan teologi, menghindari perjumpaannya dengan sistem teologi yang sudah ada sebelumnya. Pertama, esotericMasuknyakedua, Islam dengan nuansa sufistik mampu meraih dua nilai penting. menampilkan sikap Islam yang ramah dan santun dengan pendekatan . Dan menanamkan pondasi teologi Islam yang cukup kuat sejak dini pada masyarakat pinggiran yang tak banyak bersentuhan dengan sistem kepercayaan leluhurnya. Lanskap Muslim periode awal dengan bernuansa 122

Waḥdatus Shuhūd, Kritik Al-Rāniri Atas Panteisme Ketuhanan sufistik ini dapat diambil contohnya pada peradaban Aceh semasa Sultan Alauddin Ri‘ayat Syah (1588–1604), di mana ajaran tasawufwujūdiyah yang diajarkan oleh Hamzah Fansuri (sekitar abad 16-17 M) dan Syamsuddin Sumatrani (di kisaran tahun 1575-1630 M) berhasil memasukkan ke istana. wujūdiyahyang dibawa Hamzah Fansuri bersama muridnya Syamsuddin Al- Dalam perkembanganya, karakteristik pemikiran dan corak ajaran tasawuf wujūdiyah yang diduga sebagaiSumatrani kelanjutan mendapat dari tantangan waḥdatul dan wujūd kecaman-nya Ibnu sesat ‘ dari Nuruddin Al-Rāniri dan ulama-ulama besar Aceh pada masanya. Aliran wujūdiyah Arabi dan Al-Jilli ini dicap panteismemenyimpang dari ajaran Islam (Hermansyah 2014, 44-45). Ajaran yang menganggap setiap emanasiwujūdiyah adalah aspek Tuhan, oleh Al-Rāniri “dicap” yang bukan meng-Esa-kan Tuhan tapi justruAsrār menyekutukan al-‘Ārifīn, oleh Tuhan Al- dengan segala ciptan-Nya. Ajaran Hamzah tentang falsafahMuntahī metafisika yang di ketuhanan dan teologi sufinya yang dituangkan shaṭaḥātdalam (teofani Rāniri dinilai“Anā al-Ḥaq” sebagai pembelaan. Begitu pula dengan kitab dalamnya membahas pandangan Hamzah atas ) sufi Mansur al-Ḥallāj (Akulah kebenaran sejati) dinilai sebagai pembelaan diri belaka. (Sudrajat 2017, 56). kufur dan halal darahnya wujūdiyah dan waḥdatul wujūd Sehingga, Al-Rāniri mengeluarkan fatwa terhadap para penganut . Selain itu, terlepas dari kepentingan politik, Al-Rāniri yang tidak qāḍikenal mālik kompromi al-‘adl melalui, mufti kuasa kesultanan Sultan melakukan pembakaran terhadapwujūdiyah, kitab-kitab waḥdatul Syaikh Fansuriwujūd dengan dan Sumatrani waḥdah shuhūd(Azwad 2008, 45). Al-Rāniri sebagai sepenuhnya, membasmi aliran yang mengompromikan tasawuf dengan syariat.

Dialektika sufisme Islam di Nusantara seperti disebutkan di atas, dalam penelitian ini akan didalami dari dua sisi perdebatannya secara cermat, guna mencari posisi tasawuf Nusantara pada masing-masing kedua aliran tersebut. Namun begitu, penelitian ini tidak hendak mengecualikan satu dari kedua aliran dimaksud sebagai ajaran sesat yang harus dihindari. Penelitian ini akan mengelaborasikan kedua aliran tersebut dalam kerangka pikir Islam Nusantara. Hasil telaah elaboratif yang cermat, secara tidak langsung pada posisiwujūdiyah proses dialektika,waḥdatul penilaian wujūd hingga sebagai kritik, aliran akan tasawuf terbentuk yang berbau dengan panteisme sendirinya. Penting dicatat, penelitian ini sejak awal tidak menggolongkan maupun . Jika pengkategorian tersebut dalampanteisme proses yang penelitian akan dibahas ini tidak di sub dapat bab dihindari, bahasan hal itu merupakan penilaian—yang mungkin diberikan—Al-Rāniri itu sendiri. Jabaran kerangka konsep KANZ PHILOSOPHIA, Volume 6, Number 2, Desember 2020 123 selanjutnya, hanyalah tolak ukur teoritis yang sengaja dihadirkan secara akademik.

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif analitis pada masing- masing aliran kontroversial sebagaimana disebutkan di atas. Penggunaan istilah “tasawuf Nusantara” dalam penelitian ini tidak lain hanyalah sekadar batasan pada corak, karakteristik, dan eksperimentasi ajaran tasawuf yang pernah berkembang dan bernuansa Nusantara, mulai dari pemilihan istilah- istilah yang digunakan, pemilihan kiasan simbolik, logika berfikirfocus hingga dan ruangscope lingkup perkembangannya yang tidak bisa dipisahkan dengan nuansa ke- Nusantara-an. Batasan ini penting ditegaskan untuk menjamin Berkenalankajian yang akan dengan dijabarkan Tasawuf selanjutnya. Nusantara

Periode pemikiran Islam abad pertama (600-1258 M) ditandai dengan lahirnya berbagai disiplin ilmu pengetahuan dari cendekiawan Muslim, salah tasawufsatunya falsafi adalah dan disiplin tasawuf ilmu akhlaki tasawuf. Sejak kelahirannya,tasawuf falsafi tasawuf selaluḥulūl, ittiḥād,diwarnai fana’ dengan dan duaittiṣāl, varian aliran yang sepintas saling bertentangan, yaitu . Pemikirantasawuf akhlaki seperti lahir dari buah pemikiran Abu Yāzīd al-Basṭāmi, al- Ḥallāj, Ibn ‘Arabi dan al-Jilli. Sementara dipelopori oleh Junaid al-Baghdādi, al-Qushayri, dan Al-Ghazāli (Simuh 1996, 32).

Di Nusantara, kedua corak tasawuf ini juga berkembang pesat. Sebut saja menjalankanbeberapa nama tasawuf seperti falsafi Hamzah Fansuri, Syamsuddinwaḥdatul wujūd Al-Sumatrani, Abdur Rauf Al Fanshuri dan Syekh Burhanuddin Ulakan adalah tokoh sufi di Nusantara yang tasawuf akhlaki mirip dengan yang dipelopori oleh Ibn ‘Arabi. Sementara itu, sufi Nusantara periode pertama yang mengajarkan adalah Nuruddinsunni Al-Rāniri. Al-Rāniri adalah tokoh sufi Nusantara yang berusaha mempertemukan syariah dan tasawuf. Corak tasawufshuhūdi atauAl-Rāniri waḥdah lebih shuhūd condong pada sebagaimana yang diajarkan Al-Ghazāli maupun Junaid al-Baghdādi. Tasawufwujūdiyah Al-Rāniri dengan dikenal dalih dengan hiretic ajaran (bid ‘ah). (Majid 2015, 181). Al-Rāniri sebagai tokoh sufi Aceh yang cukup berhasil membasmi bias-bias heretic panteisme Dalam perkembangannya, tasawuf Nusantaratasawuf lebih akhlaki menekankan pada jalan pemurnian akidah dari bias . Melalui perpaduan rumpun ilmu fikih (syariat) dan ilmu tauhid (teologi), dapat mencapai keberhasilannya pada masa Syekh Abdus Samad al-Falimbani. Abdus Samad lebih condong mengembangkan tasawuf Al-Ghazāli. Pemikirannya tentang 124 Waḥdatus Shuhūd, Kritik Al-Rāniri Atas Panteisme Ketuhanan teologi dituangkan dalam kitabnya Hidāyat Al Sālikīn dan Sayr Al Sālikīn Ila Ibādati Rabbil ‘Alamīn

. Corakmu Ghazalian‘āmalah, dalamdan ilmu diri Syekhmukāshafah Abdus Samad terlihat jelas pada kategorisasi tasawuf yang dibedakan dalam dua bentuk kerangka ilmu pengetahuan: ilmu Iḥyā’ ‘Ulūmuddin dan Minhājul. Argumentasi ‘Ābidīn. tentang masing-masing varian dari dua ilmu ini mirip dengan keterangan yang dandisampaikan coraknya Al-Ghazāli yang khas dalam Nusantara kitabnya menemukan momentumnya di tangan (Shihab 2017, 125). Ajaran tasawuf dengan mengelaborasi karakter, ciri khas

Syekh Abdus Samad.

Ajaran tasawuf yang berkembang pesat (‘aqīdah)di Nusantara juga bersumber dari ulama lainnya, yaitu Syekh Muhammad(sālīk) Nafis al-Banjari. Tasawuf dalam asuhan Syekh Nafis menjadi penyelamat keimananlā ilāha illā bagi Allāh” setiap hamba yang sedang menempu jalan menuju Allah . Ini terlihat pada ajaran tasawufnya yang ditekankan pada penghayatan lafal “al-ahad yang kemudian. Dalam diturunkan konsep ketuhanan, Syekh Nafistauḥīd menekankan al-Dhāt, tauḥīd pada al-Sifat, peng-Esa-an dan tauḥīd Tuhan. al-Af‘āl. Karenanya, Seorang SyekhSālik harusNafis meyakinimenjadikan bahwa tauhid Allah sebagaiadalah jalan menuju ma‘rifah. dalamketika tigaseorang konsep, Sālik mendudukan Allah sebagai Dhāt yang Wāḥid, baik yang berhubungan dengan wāḥid al-wujūd fi al-’Azali dan wāḥid al-wujūd al-Abadi,Baginya, ma‘rifah Allah ( . maka niscaya ia akan mampu mencapai Al-Tahanāwi 1996,tasawuf 528) akhlaki Dūr al-Nafīs, ia Aliran tasawuf Syekh Nafis dapat dipandang sebagai bentuk karenaAsh‘ariyyah. dalam beberapa kitabnya, terutama dalam tentangbanyak mengutipAllah, sebagai pendapat yang kalamEsa dan mazhab yang haqq Al-Ghazāli yang merupakan tokoh daripenting ajaran dalam shuhūdiyyah atauSebab waḥdah itulah shuhūd Syekh Nafis menekankan pengetahuan dapat disebut sebagai bagian . yang diwarnai dengan corak tasawuf akhlaki Selepas dari kedua tokoh tersebut, perkembangan tasawuf dimainstream Nusantara, ḥulūl, ittiḥād dan wuṣūl semakin berkembang pesat. Masyarakat Nusantara yangsunni tidak mau menerima ajaran di luar tasawuf falsafiseperti yang kemudian hari banyak mendapat serangan dari penganut tasawuf , yang pada akhirnya membuat ajaran Nahdlatul hanyalah Ulama sebatas (NU) sebagaiteori yang organisasi tidak banyak yang diperaktekkan banyak memiliki di tengah-tengah basis ulama bermadzhabmasyarakat. Terlebihsunni, ajaran setelah Ash‘ariyyah memasuki pertengahan abad 20, pasca berdirinya

marak ditekuni oleh pesantren. Sejak periode itulah ajaran tasawuf yang dipadukan dengan syariat menjadi ciri khas dan karakter tasawuf Nusantara selanjutnya, hingga hari ini. KANZ PHILOSOPHIA, Volume 6, Number 2, Desember 2020 125

waḥdah shuhūd- nya telah memulai babak baru tasawuf Nusantara—dari falsafi ke akhlaki Dalam diskusrus ini, hadirnya Al-Rāniri dengantasawuf ajaran falsafi masih selalu hadir dalam kajian kitab di berbagai majelis ta‘ waḥdah. shuhūdMeski demikian, tidak dapat wujūdiyahdipungkiri pemikiran berkembangnya tasawuf akhlaki lim. Keberhasilan tasawuf sebagaiakhlaki, wajah pembasmi tarekat yang berkembangdi abad di 17 Nusantara, M, menjadi mulai kunci Sathoriah, utama Sammaniah, Qodiriyah, Naqsabandiah sejauh ini. Bersamaan dengan keberhasilan yang mencolok dari teologi sunni. , hingga TMA tidak memiliki kontroversi Heretica Tasawuf dari Alegori Teofani ke Panteisme

Perkembangan tasawuf di Nusantara sebagaimana sedikit telah dijabarkan di atas, tidak panteisme seluruhnya dapat diterima apalagi dipahami secara benar oleh adalahmasyarakat. wujūd Dari sekian banyak varian dan ajaran tasawuf, terselip satu aliran yang “dicap” , suatu ajaran yang mempersepsikan segala sesuatu Tuhan (Tituspanteisme 1984, 442). terdiri dari tiga suku kata, yaitu “pan” yang berarti seluruh, “teo” yang bermakna Tuhan, dan “isme” yang menunjukkan Secara harfiah, kata segalapaham/aliran. sesuatu Secarayang ada, harfiah, dalam panteisme istilah bahasa memiliki Arab artidisebut segala tasybih/tashabbuh yang ada adalah PenganutTuhan. Secara panteisme praksis, memiliki penganut argumentasi panteisme yang menyepadankan kuat tentang Tuhankeyakinannya, dengan . panteisme secara umum memandang Tuhan dari dua yaitu kehadiran Tuhan yang aktif pada setiap panteismesegala yang ada, telah membuat segalanya ada. Penganut perspektif: personal dan universal. Penganut personal menyatakan sunnibahwa yang benar-benar ada hanyalah Tuhan. Karena itu, segala yang ada adalah perwujudan dari keberadaan Tuhan. Madzhab ini mirip dengan tasawuf wujūd yang menyatakan segala dhātyang ada merupakan bukti dari adanya Tuhan. Sedangkan penganut panteisme universal menganggap akumulasi dari seluruh yang ada, terdapat padapanteisme Tuhan (Bakhtiar 2009, 94). waḥdatul wujūd (kesatuan wujūd ‘ Dalam Islam,waḥdatul paham wujūd kerap kali diidentikkan dengan paham panteisme ) sebagaimana yang dikonsepsikan Ibnu Al- Arabi. Sekalipun dhāttidak dapatPanteisme disamakan berkeyakinan secara persis bahwa dengan alam , kedua sistem keyakinan ini memilikiwaḥdatul kemiripan wujūd teologis, berkeyakinan bahwa pada segala yang ada terdapat Tuhan. dalamadalah aliran Tuhan waḥdatul dan Tuhan wujūd— adalahdi alam. Nusantara Sedangkan dikenal dengan aliran wujūdiyah— bahwa dalam alam ada Tuhan. (Bakhtiar 2009, 93). Dapat disederhanakan, 126 Waḥdatus Shuhūd, Kritik Al-Rāniri Atas Panteisme Ketuhanan ada unsur-unsur panteisme waḥdatul wujūd memiliki unsur tashbih/tashabbuh yang menghilangkan unsur-unsur yangtanzih cukup kuat. PemahamanDhāt yang demikian ini menurut Al-Rāniri, (kesucian)tasawuf padafalsafi Tuhanwaḥdatul itu sendiri. wujūd, teofanik Pada realitasnya, penganut aliran , seperti selalu identikteofani dengan yang ungkapan-ungkapan identik dengan aliran tasawuf sebagai falsafi ekspresi, juga mewarnai metafisis dari keyakinannya. Sejak awal kedatangannya, sekitar abad ke-16 M ungkapan- ungkapan sejarah perkembangansyathahat tasawuf ( Nusantara.teofani Syekh Siti Jenar dapat dijadikan Manunggalcontoh konkret ing Kawula dalam Gusti menggambarkan, yaitu keyakinan akidahmenyatu sesat (manunggal) penganut dalam tasawuf (ing) dirikufalsafi (kawula) ini. Ungkapan ) yang diungkapkanteofani Siti Jenar adalah

Tuhan/Allah (Gusti). Ungkapan yang pernah terlontar dari Siti Jenar membuat Sunan Giri marah dan mengakhiri ajaran ini dengan (union)membunuh Siti Jenar. Menurut riwayat tradisi Jawa, Siti Jenar telah mencapai puncak estetik (kebahagiaan luar biasa) dengan pengalamannya yang bersatu dengan Tuhan/Allah (Howwell 2001, 7070). Ajaran Siti Jenar tidak danmendapat cenderung sambutan menghilangkan yang baik dari dimensi para ulama tanzih di yangmasanya, inheren tapi justrudengan ditolak Dhāt dan dimusnahkan. Karena menurut para wali waktu itu, ajaran Siti Jenar sesat

Tuhan/AllahJika ditelaah itu sendiri. dengan (Arifin seksama, 2012, ajaran 126) Siti Jenar tentang Manunggal ing Kawula Gusti sebagaimana yang terlontar dalam syathahat-nya memiliki kesamaan dengan ajaran waḥdatul wujūd sebagaimana yang diajarkan Abu shaṭaḥāt “Aku sudah melepaskan diriku seperti seekor ular melepaskan kulitnya, sesudah itu aku melihatYazīd Al-Busṭāmi. hakikat diriku, Al-Busṭāmi dan aku dalam adalah diriku-nya sendiri, pernah Dia mengungkapkan (Allah)” (Toriqularif Manunggal ing Kawula Gusti Siti Jenar beserta teofani union2018, 257). Kemunculan ajaran berbagai ungkapan-ungkapan nya yang merasa telah mencapai puncak dengan Tuhan/Allah merupakan jejak hitam bagi perkembangan tasawuf tidak hanya di Nusantara, tapi dalam dunia Islam secara universal (Pramasto 2019, 102). shaṭaḥāt bid‘ah (heretik)

Ungkapan para sufi Nusantara yang dinilai selanjutnya terdapat pada sosok Haji Abulung seorang pengajarteofani tasawuf heretik dari Kalimantan Selatan. Haji Abulung adalah toko Sufi yang hidup semasa“Tidak dengan ada wujūdSyaikh selain Arsyad Allah”, Al-Banjari. “Tidak Dalamada Abdul dunia Hamid tasawuf, (Abulung) ungkapan selain Allah”, “Dia adalah AkuHaji dan Abulung Aku adalah terdapat Dia”. pada ajarannya yang mengatakan bahwa,

Ajaran ini tidak mampu bertahan dan berkembang KANZ PHILOSOPHIA, Volume 6, Number 2, Desember 2020

127 lama, karena bertentangan dengan aliran tasawuf yang dianut oleh Sultan

Arsyad mengeluarkan fatwa bahwa Haji Abulung sesat, kemudian Sultan Tahmidullah. Raja meminta Al-Banjari untuk menghakimi Haji Abulung. Syaikh

Tahmidullah memerintahkan untuk menyelesaikannya (Prasmanto 2020, 12). berkembang di Nusantara adalah ajaran “kesunyatan” (hakekat) yang diajarkan Selain kedua tokoh sufi di atas, ajaran tasawuf yang dinilai sesat dan pernah Serat Cebolek menuturkan bahwa oleh Haji Ahmad Mutamakin. Sejarah ini dipaparkan dalam naskah Serat “kasunyatan”Cebolek yang, ditulisyaitu denganoleh Kyai “menjadi Yasadipura Muhammad” I. . Haji Haji Ahmad Mutamakin menuturkan bahwa dirinya telah mencapai puncak (Anonim 2009, 74) Ahmad Mutamakin dalam khutbah-khutbahnya menganjurkan umat Muslim untuk meninggalkan Syariah (hukum Islam)panteisme (Bizawie 2002, 115). Ajaran ini jelas melemahkan keyakinan umat Islam sehingga mendapat pertentangan dari berbagai ulama pada masa itu. Ajaran yang disampaikan oleh Haji Ahmad Mutamakin mirip dengan ajaran Syekh Sititeofanik Jenar (Muzairi 2011, 23). tasawuf falsafi heretis karena cenderung panteisme Berkaitan dengan ungkapan-ungkapan daritasawuf penganut akhlaki aliran yang , ungkapan mereka dinilai dan menyekutukan falsafiTuhan dengan selain-Nya. Para tokoh khas Nusantara hadir untuk menyederhanakah pemikiran dan meluruskan keyakinan sufisme . Pada posisi ini, tasawuf Nusantara memilikitasawuf fungsifalsafi kritik terhadap beberapa aliran tasawuf yang tidak sesuai dengan kultur dan ajaran ulama Nusantara pada umumnya. Apalagi penganut aliran“filosofis” tersebut dalam perkembangannya di Nusantara cenderung mengesampingkan syariat Islam. Menurut Azra, aliran-aliran tasawuf yang bercorak sempat memperoleh perhatian masyarakat luas sepanjang abad ke-18 (Safwan A.M 2012, 23). Oleh sebab itulah tokoh sufi Nusantara memberikan kritik yang sangat keras dan bahkan menggolongkannya sebagai aliran sesat. Konsep Tasawuf Waḥdah Shuhūd Nuruddin Al-Rāniri

waḥdah shuhūd wujūd itu Esa adanyaAl-Rāniri yaitu sebagai dhāt tokohAllah Tasufi‘ Nusantara memilikimazhar konsep tersendiri tentang ketuhanan, konsep ini dikenal dengan . BagiWaḥdah Al-Rāniri, Shuhūd Al- wujūdala. AllahAlam denganini hanya alam berlainan, (perwujudan) namun tidakyang tidak lebih dari sekadar sebagai bukti adanya Allah Swt. wujūd majāzi dari Rāniri Wujūdmengajarkan majāzi bahwa dapat dipisahkan satu sama lain.wujūd Alam majāzi semesta yang sebagai dimaksudkan adalah alam semestaAllah. sebagai gambarandalam darihal iniwujūd tidak dapat diartikan sebagai padanan dan atau perumpamaan, akan tetapi Allah (Tim IAIN Sumut 1983, 186). 128 Waḥdatus Shuhūd, Kritik Al-Rāniri Atas Panteisme Ketuhanan Ajaran waḥdah shuhūd-

nya Al-Rāniri dapat diterima oleh masyarakatmufti Nusantara, khususnya masyarakat Acah pada abad ke-16-17 karena tidak bertentangan dengan syariat Islam. Bahkan, Al-Rāniri dipercaya sebagaiwujūdiyah kesultanan dan sering kali diminta fatwa berkaitan dengan paham ketuhanan yang dianggap sesat dan berkembang di Aceh pada waktu itu. Penganut kerena persepsinya yang meyamakan Tuhan dengan makhluk, menurut Al- Rāniri dapat disebut kufur dan harus kembali ke jalan syariat.wujūdiyah Bagi mereka secara yang tidak mau kembali ke jalan syariat, maka pantas untuk mendapatkan Abdulhukuman Hadi (Azra dalam 1995, Tasawuf 200). yang Al-Rāniri Tertindas tidak menolak ajaran Tuhansepenuhnya, dengan tapi makhluk-Nya, juga tidak menerima dengan alasan secara syirik keseluruhan. dan panteistik Seperti dijelaskan , Al-Rāniri hanya menolak persamaan . Ini berbeda dengan pengkafiran yang dilakukan Ibnu Taimiyah yang mengkafirkan secara total penganut tasawuf Ibnu ’Arabi (Hadi WM 2001, 159). dalamKalau masalah begitu, hubungan dari uraian antara diatas wujūd dapat dipahami bahwa pandangan Al- Rāniri tidak jauh berbeda dengan konsep Hamzah dan Syamsuddin terutama Tuhan dengan alam. Sekalipun disebut bahwa Al-Rāniri adalah penentang paham Hamzah, namun sebenarnya perbedaan mereka terkesan pada pengungkapan redaksi saja. Dari sini timbul kecurigaan bahwa boleh jadi, fatwa pengkafiran oleh Al-Rāniri terhadap konsep Hamzah dan pengikutnya disebabkan oleh motif lain, seperti unsur politik dan kekuasaan, karena untuk menyebarkan pahamnya, Al-Rāniri perlu “kekuatan istana” untuk melindungi gerakannya (Tim IAIN Sumut 1983, 224). Dugaan ini bisa saja terjadi, sebab ar-Raniri merupakan seorang pendatang di Aceh dan ia tentu punya program untuk dapat bertahan dengan kepentingan idenya.

Terlepas dari motif kepentingan politik, secara kerangka paradigmatik ada perbedaan sangat kuat antara Al-Rāniri dengan Hamzah Fansuri dalam memosisikan syari’at. Menurut Al-Rāniri, syari’at tidak dapat diabaikan untuk menuju hakekat. Untuk lebih memperjelas titik tolak perbedaan pemikiran antara Al-Rāniri dengan beberapa tokohwujūd, tasawuf Hamzah di masanya,Fansuri mengatakan penjabaran bahwaatas ragam dhāt pemikiran tasawuf penting untuk dikemukakan. Seperti dikutip Abdullah, dalam menjelaskan konsep Allah dengan alam Esa hukumnya. Dapat diibaratkan sepertiwujūd dengancermin dan bayangan. Keduanya saling terkait dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Karena gambarwaḥdatul yang ada wujūd pada cermin, pada hakikatnya satu ‘bendanya (Abdullah 2015, 110). Pada bagian ini, Hamzah memiliki kedekatan dengan konsep sebagaimana yang dikonsepsikan oleh Ibnu Arabi . KANZ PHILOSOPHIA, Volume 6, Number 2, Desember 2020

129 Rumusan waḥdatul wujūd Ibn ‘

Arabi dapat diperhatikan pada syair yang dikutip oleh Abdul Aziz Dahlanal-‘Abdu dalam Rabbun tesisnya: wa ar-Rabbu ‘Abdun ya layta Sya’ry Man al-Mukallaf in qulta ‘abdu fa dzaka Rabbun aw qulta Rabbun anna yukallaf

waḥdatul wujūd tanzih dan tashbih—sekaligus dan menyatu, yaituBerdasarkan tanzih kutipan syair di atas, pengikut ajaran Dimenyakini sinilah letaknya bahwa kesatuan ada konsep antara wujūd Tuhan dengan wujūd sulit dibedakan dalam antara transendensi dua wujūd Tuhan serta pengakuan akan imanensi Tuhan. alam. Memang yang telah menyatu. Ide seperti inilah yang Tuhanmempengaruhi sebagai lā Hamzah ta‘ayyun dan, lalu Syamsuddin bertajalli, maka dalam muncul; tasawufnya. ta‘ayyun Dari awal pola (ilmu, pikir nur,ajaran wujūd tasawuf); ta‘ayyun ini, Hamzah thāni memiliki(manifestasi konsep ilmu 5 Tuhan);martabat ta‘ayyun yang berurutan. thālis (roh); Zat ta’ayyun rābi’; dan khāmis

(alam semesta dan makhluk lainnya dan penciptaan alam materi terus berkelanjutan) (Dahlan 1999, 73). ilāhiyah Sedangkan Syamsuddin merumuskan martabat tujuh yang terinspirasi dari konsep al-Burhanpuri (1623/1029 M). Penciptaan bermula dari sifat sampai terbentuk martabat alam yang bersifat materi (Dahlan 1999, 124). Pada dasarnya, isi rumusannya tidak berbeda jauh dengan konsep Hamzah. Hanya dibedakan dari penggunaan istilahwujūd, serta Syamsuddinposisi tingkatan. dan Hamzah sama-sama wujūdiyah tahlil ke dalam 3 kategori:Adapun lā ma’būd mengenai illallāh konsep, lā maqsud illallāh, lā maujūd illallāh. tanzihmendukung konsep . Syamsuddin membagi strata Inilah konsep sālik (3 macam) maksudnya meluputkan alam. Kategori di atas disebut sebagai tauhid murni yang harus diajarkan serta dipahamkan sesuai dengan tingkatan . Rumusan tersebutPotret yang Pemikiran: dikritik Jurnal Al-Rāniri Penelitian dan dianggap dan Pemikiran penyimpangan Islam akidah yaitu menafikan hakikat makhluk. Rusdiyanto dan Musafar dalam penelitiannya di menjelaskan bahwa, menurut Al-Rāniri,wujūdiyah makhluk tetap berhakikat seperti meng-esakanmatahari dan cahayadalam yangdiri makhluk masing-masing hanya hakikattetap punya Allah hakikat. saja (Rusdiyanto Jadi, menurut dan Al-Rāniri, ajaran Hamzah (aliran ) dengan konsep imanensi Tuhan

Musafar 2018, 5). 130

Waḥdatus Shuhūd, Kritik Al-Rāniri Atas Panteisme Ketuhanan

wujūdiyah menimbulkan kecurigaan bahwa ada motif Gerakan Al-Rāniri yang tergolong ekstrim dalam menyerang dan mengkritik penganut politik yang mendorong fatwa-fatwa penyesatan dari Al-Rāniri. Lain dari pada itu, pada dasarnya Al-Rāniri sejak sediawujūdiyah kala telah sebagaimana bertekad untuk diajarkan menganjurkan Hamzah danpengamalan Syamsuddin, syari’at memahami kepada masyarakat,Tuhan secara kemudian falsafi dan disusul cenderung dengan panteistik amalan- amalan tasawuf. Ringkasnya, aliran tauhid yang dianut oleh kalangan sunni . membagiSedangkan wujūd Al-Rāniri menjadi memahami dua, yaitu Tuhan wujūd secara teologis sebagaimana konsep (mā siwallāh). Berangkat, dan wujūd dari ikhtiyar ini, Al-Rāniri yang dapat dilihat dengan (‘aql) mata, melaluikepala: alamtuntunan sebagai shara‘ makhluk (kashf)yang tidak dapat dillihat dengan mata(dhawq) kepala, tapi dapat dirasakan keberadaanya melalui akal keterangan ini, wujūd Tuhan,, melalui Allah mata adalah hati wujūd spritualitas maupun melalui indra perasa ‘aql,yaitu syara’, Tuhan, kashf Allah dan dhawq(Al-Attas 1962, 150-151). Berdasarkan hakiki yang hanya dapat dilihat dengan perantara , bukanḤujjah melalui al-Ṣiddiq mata kepala. li Daf‘ al- Zindiq Penjelasan di atas dapat dilihat dalam kitabnya, Wujūd, Al-Rāniri mengatakan: syay’

adalah dhāt,‘aql yaitu keadaan sesuatukashf (dan dhawq). Artinya diri sendiri.wujūd Maka dhāt itu ada kalanya kelihatan dengan mata kepala, tetapi menetapkan ada dan syara’ atau . Ia itulah hakiki Allah (Al-Rāniri 2005, 43). wujūd sebagaimana dituliskan wujūd Ibnu ‘ Jika diperhatikan secara sepintas, konsep Al-Rāniri dalam bukunya itu memiliki kemiripan dengan konsep Arābi dan atau bahkan dengan beberapawujūd hakiki tokoh adalah sufi falsafi wujūd lainnya,Allah, sedangkan layaknya wujūdSyansuddin dan Hamzah sebagaimana telahwujūd dipaparkan di atas. Namun, Al- Rāniri memberi penekananWujūd Tuhan, bahwa Allah adalah esa dalam dirinya sendiri, bukan immanenselan-Nya, pada hakikatnya adalah Tuhan, Allah yang dipinjamkanwujūdiyah Wujūdkepada Allah makhluk. adalah wujūd mutlak, bukan wujūd muqayyad dari ikatan dalam dan diriketerkaitan makhluk sebagaimanadengan segala dikonsepsikan sesuatu (shai’) penganut dari azali hingga. Wujūd Allah adalah Dhāt-Nya yang berdiri sendiri, Esa, (terbatas). tidak berbilang, Ia bebas (jawhar) abadi. (‘ard), tidak terbatas, tidak semua dan tidak pula sebagian. Ia bukan subtansiDhāt yang tapi juga bukan aksiden tidak berubah juga tidak tetap, tidak berpindah juga tidak bertukar. Tidak berlawanan juga tidak serupa. Ia adalah Esa (Al-Rāniri 2005, 32-33). KANZ PHILOSOPHIA, Volume 6, Number 2, Desember 2020 131

seluruh teori-teori tesawuf, ḥulūl, ittiḥād, fanā’, ittiṣāl, wuṣūl. Dari itulah ajaran Ajaran tasawuf Al-Rāniri sebagaimana dijabarkanwujūdiyah di atas, waḥdatul menegasikan wujūd, ittaḥādiyah, waḥidiyah tasawuf Al-Rāniri menjadi kritik, antitesa terhadap dan sejenisnya. (ma siwallāh) juga memiliki wujūd Bersamaan dengan itu, Al-Rāniri juga mengakui bahwa alam semesta wujūd wujūdnyatersendiri. sendiri), Alam yaitu semesta wujūd bukanlahyang dalam tidak artian ada metaforisdan bahkan (majāzi), menyatu wujūd dengan Allah, akan tetapi alam(maẓhār) semesta, atau juga wujūd memiliki yang hanya nyabayang-bayang (tapi bukan (ẓill). wujūdiyahyang hanya penampakan Pertama, wujūdiyah muwāḥid, Untuk mencernalafẓi dan perihal ma‘nawi ini denganmengesakan seksama, Tuhan, Al- Rāniri membagi aliran dalam dua bagian. yaitu kelompok yang secaramutakallimīn ṣūfiyyah Kedua, wujūdiyahAllah. Kelompok mulḥid, ini sama sekali membedakan Tuhan dengan makhluk-Nya.wujūd Kelompok ini diyakini oleh kalangan danWujūdiyah para mulḥid. adalah yaitu kelompok yang menganggap bahwa antara Tuhan dan makhluk-Nya itu satu, sama dan identik. ‘aql naql mereka yang menganggap alam adalah Allah dan menganggap Allah adalah alam. Pendangan ini sama sekali tidak dapat diterima secara maupun (Al-Rāniri 2005, 28-43). wujūd sebagaimana digambarkan di atas

Semua aliranwujūdiyah pemahaman mulḥid kesemuanya mendapat kritik tajam dari Al-Rāniri (Septiawadi 2013,(mā siwallāh)197). Kalangan, sementara wujūdiyah muwāḥid dianggap kufur karena menyatukan, secaramengidentikkan, qaṭ‘i, secara bahkan ma‘nawi menganggap antara mā sama siwallāh antara Tuhan dan makhluk-Nya dhāt dianggap kufur karena memisahkan dengan Tuhan, Allahwujūd itu sendiri. yang Esa,Persepsi wujūd ini hakiki, menjadikan sementara dua mayang siwallāh sama adalah sama berdiri wujūd dengen majāzi dirinyayang hanyalah sendiri. maẓhārKonsep yangdari dhātbenar wujūd menurut Al-Rāniri adalah hanya Tuhan, Allahwujūd majāzi-lah wujūd dirasakan melalui ‘aql, aqlTuhan, dan syara’ Allah. atau Oleh kashf karena dan dhawqitu, hanya yang tampak dalam mata, sedangkanwaḥdah shuhūd hakiki hanya dapat dilihat, dicerna, . Karena(mā itulah siwallāh) ajaran sebagaiAl-Rāniri kesaksian disebut akan dengan keesaan Allah dan tidak(persaksian memandang tunggal), mā yaitusiwallāh ajaran itu tasawuf yang mempersepsikan/melihatmā segala siwallāh sesuatu sebagai apapun dhāt tersendiri yang sebagai Tuhan, juga tidak menganggap terpisah dari Tuhan. 132

Waḥdatus Shuhūd, Kritik Al-Rāniri Atas Panteisme Ketuhanan Kritik Al-Rāniri terhadap Panteisme Ketuhanan

wujūdiyah sebagaiDalam fatwa usahanya untuk melenyapkan Sultan Iskandar Tsanidi menjadiAceh, Al-Rāniri bukti memanfaatkanadanya kritik pengaruh hubungannyawaḥdatul dengan wujūd. Sultan. Fatwa sesat yang diberikan Al-Rāniri terhadap ajaran Dalam usaha pemurnian ajaran Islam ini, Al- Rāniri menggunakan cara; pendekatan intelektual dan pendekatan kekuasaan. aliranPendekatan wujūdiyah. intelektual yang dimaksudkan dalam hal ini, Al-Rāniri menulis sejumlah kitab tasawuf yang menerangkan kerancuan, sesat pikir‘aqāid penganut yang Kitab-kitab yang dikarangnya ini pada masa itu oleh Sultan Iskandar Tsani ditetapkan sebagai buku pegangan dalam perihal wujūdiyahbenar. Sedangkan pendekatan intelektual yang dimaksudkan dalam hal ini, kesesatanAl-Rāniri membuatajaran wujūdiyah forum diskusi dan agenda-agenda debat dengan pengikut . Dalam forum diskusi dan debat inilah Al-Rāniri menyampaikan ‘Dalam kitab Nubdhah fi(Hadi Da‘wa WM al-Ẓīl 2001, ma‘a 159). Ṣāḥibih, yang berisi tanya jawab tentang kesesatan ajaran wujūdiyyah “Karakteristik Pemikiran Islam Nuruddin Ar Raniry” jurnal Substantia, wujūdiyahsebagaimana yang dikutip diajarkan Abdul oleh Majid Hamzah dalam Al-Rāniri kerap kali menuduh aliran tasawuf Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani sebagai ajaran yang sesat (Majid, 2015, 182). cenderungAl-Rāniri panteistik tidak mengkritik Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani utamasecara personal.ajaran wujūdiyah Akan tetapi lebih fokus pada sistem keyakinan alirannyaWujūdiyah yang Hamzah Fansuri mengajarkan dalam memosisikanimanensi Tuhan. Bagi Al-Rāniri, kesalahan Ajaran imanensi adalah menyamakan Tuhan dengan alam. Allah tajassum (ber-maqam) atau bahkan Tuhan tashabbuh kepada segala sesuatu yang ada. ini oleh Al-Rāniri(mukhalafah) dianggap sesat dengan kerena makhluk tidak mungkin (lil ḥawādis). Tuhan/ tajassum dengan makhluk, maka Tuhan (serupa) akan kehilangan dengan makhluk. dimensi kesucian-NyaKarena Tuhan ( tanzih mesti berbeda Ketika Tuhan ) (Dahlan 1999, 73). waḥdah shuhūd SebagaimanaAsrār dalam al-Insān penjelasan sub bab sebelumnya disebutkan bahwawaḥdatul Al- wujūdRāniri (kesatuan menerapkan wujūd konsep (kesaksian tunggal) perihal teologi sufi, dalam , Al-Rāniri mengecam sistem keyakinan ). Al-Rāniri menuliskan: salah ambilnya kaum yang zindik lagi mulhid Jangan terlintas pada sangkamu daripada perkataan ini seperti sesat dan , di’itiqadkannya dan katanya KANZ PHILOSOPHIA, Volume 6, Number 2, Desember 2020 133

shay’ yang ada maujud itu maka kembali apabila matiMuntahi dan hilang (Hamzah) fana’lah bahwa suatu murad fa dkhulî jannatî itu masuklahke dalam Dhatengkau, Allah hai seperti nafsu’l-mutmainnah keluar dari padaNya… Dan lagi pula kata yang empunya kuntu daripada kanzan makhfiyyan serta ke dalam surga, ya’ni kembalilah hamba seperti adanya tatkala pada tempat dengan Tuhannya seperti biji dalamnya pohon…(Daudy 1983, 235). yang diajarkan dalam wujūdiyah AllahBerdasarkan hakikatnya sama kutipan dengan ini, jelasalam bahwa semesta, Al-Rāniri dan ketika menggambarkan manusia meninggal teologi dunia maka ia kembali ke Dhāt Hamzah Fansuri mengasumsikan Tuhan/ Hamzah tentang kesatuan wujūd Allah (Rusdiyanto dan Musafar 2018, 5). Ajaran dalam kitabnya Al-Muntahi ini juga dapat dilihat dalam alegori kiasanJurnal PotretTuhan Pemikirandengan ‘sebiji pohon kayu’ yang diberikan Hamzah. Menurut Hamzah sebagaimana yang dikutip Rusdiyanto dalam , dikatakan bahwa “ketika seorang melihat sebatang pohon maka ia hakikatnya melihat Allah”wujūdiyah (Majid 2015, 184).

Nūr TentangNūr sesat pikir aliran yang menganggap alam, manusia dan Tuhan itu satu dengan dalil setiap insan yang hidup berasal dari pancaran Tuhan. Tuhan yang ditiupkanAsrār al-Insān pada insan, insan tersebut bisa hidup. dituliskan:Pada keyakinan model ini Al-Rāniri juga memberikan kritik yang sangat tajam. Ini dapat dilihat dalam kitab karya Nuruddin Al-Rāniri yang mútú qabla an tamútu”. maqam fana’ fî Allah wa baqa’ bi Allah dan bagi ruh insan itu ma‘nawi Seperti sabda Nabi ..” wa man Yaitulah kana maytan faahyaiynâh wa ja’alnâlah nur yamsyi bih fî al-Nâs” adakah sama dalam dunia seperti firman Alla Ta’ala.. “ dengan anwar kami dan dijadikan akan dia nur maka jalanlah iabarang dengan siapa nur yang itu matiyaitulah hatinya baqâ’ maka bi Allah kami hidupkan akan dia

(Al-Rāniri t.t, 88a).

Selain mengritik Hamzah Fansuri, Al-Rāniriwujūdiyah juga lainnya memberikan sebagaimana kritik pada penyamaan Allah dengan makhluk yang disampaikan“…i’tiqad kami Syamsuddin bahwasanya as- Sumatrani. As-Sumatrani beserta pengikut dikutip oleh Rusdiyanto dan Musafar dituliskan Allah Ta’ala itu diri kami dan wujūd kami, dan kami dari-Nya dan wujūd-Nya. Dan lagi pula kata mereka itu bahwa alam itu adalah Allah dan Allah (Rusdiyanto itu alam” juga mengandung panteisme. Pernyataan seperti ini kerap kali disampaikan oleh pengikut Hamzah Fansuri ketika berdebat dengan Al-Rāniri dan Musafar 2018, 6-8). 134 Waḥdatus Shuhūd, Kritik Al-Rāniri Atas Panteisme Ketuhanan

Syamsuddin As-Sumatrani yang mengandung bidah Untuk menguatkan kritiknya, Al-RāniriḤujjah al-Ṣiddīq juga menyadur li Daf‘i al-Zindīq pendapat : . Sebagaimana dituliskan oleh Al-Rāniri menuliskan dalam kitabnya Asrār al- ‟Ārifīn Dhāt “Demikianlah i’tiqad Hamzah Fansuri, katanya dalam kitab madhhab, bahwa Tanasukhiyyah cahaya yang pertama cerai dari pada Allāh itu adalahNūr Muhammad. Haqq Ta’ālā Maka itu suatu dari pada jawhar perkataan yang bāsit ini cenderung kepada iktiqad Waṭaniyyah , dan serupa denganBarāhimah kata falasifah dan Sāmiyyah bahwa yang hulūliyyah . Dan demikiani’tiqād kaum lagi yang mendiami negeri yang Halwūniyyah dari pada kaum bahwa segala arwāh mengediami dan segala Negeri sesuatu Tubbat dari dan suku-suku seperti Allah dari dan benua Hindustan, Katanya

makhlūqātkarena Ia berbuat dan menjadikan segala sesuatu. Maka perbuatan- danNya Syamsuddin dan demikiannya Sumatrani itu yang jadi daripada-Nyadalālah jua. Maka segala itu suku-suku dari Allah. Inilah mazhab Hamzah Fansuri keduanya” (Al-Rāniri t.t, 88a).

Pada teks di atas dengan sangat jelaswujūdiyah bahwa Al-Rāniri yang tashabbuh mengutuk keras mengecampara penganut keras ajaran madhhab yang Tanasukhiyyah mengandung unsur panteisme. Dalam naskah daritersebut Dhāt Al-Rāniri tidak Nurhanya mengkritik, hulūliyyah yang, tapi dianut juga oleh kaum Barāhimah dan Sāmiyyah yang mengatakan pancaran pertama bahwa arwāhAllah berupa Muhammad kepercayaan keyakinan kaum Halwūniyyah. Sederhananya serta ajaran kepercayaan wujūdiyah yang Hamzah menganggap Fansuri dari segala sesuatu berasal dari suku-suku Allah seperti keyakinan Tanasukhiyyah, Jawhar Basīṭ Waṭaniyyah, Barāhimah danoleh Hulūliyyah Al-Rāniri juga diidentikkan . dengan ajaran reinkarnasi sebagaimana kesemuanya cenderung penteistik dalam filsafat, (Al-Rāniri 2011, 30) Keyakinan seperti disebutkan itu secara yang menyerupakan Tuhan/Allah dengan manusia. ‘ahkan tashabbuhAjaran-ajaran tersebut mendapatkanal-Munqidh min kecaman al-Ḍalāl kerasmenyebut tidak kalangan hanya ini di denganNusantara, istilah akan ahl tetapi rafīḍah sejak lama misalnya Al-Ghazāli). juga membid ini. Al-Ghazāli dalam panteisme sama sekali tidak (Al-Tahanāwi 1996, 526 Baiktanzih menurut Al-Ghazāli maupun menurut Al-Rāniri para pengikutsunni, ajaran panteisme cenderung dapat dibenarkan karena menghilangkan sisi-sisi (kesucian) pada diri Tuhan/Allah. Menurutbasic ulama para pengikut panteisme tidak mengesampingkan syariat dalam perjalanannya menuju tuhan. Padahal syariat adalah perkara yang mesti ditekuni. Kalangan KANZ PHILOSOPHIA, Volume 6, Number 2, Desember 2020 135

(wuṣūl al-‘abdi ilallāh) memerhatikan syariat karena inti dari seluruh ibadah adalah sampainya seorang hamba kepada Allah melalui pengalaman-pengalaman sufistik yang dialaminya (Sangidu 2003, 23). panteisme tasawufBila wujūdiyah, ditelaah secara logis, penyamaan Tuhan/Allah sebagaimana teologi yang di dalam tradisi tasawuf Islam Nusantara terekspresikan dalam maka tentu tidakqiyāmu terbukti. bi nafsihiKarena (berdirimakhluk dengan dengan dirinya segala sendiri)sifatnya yangsedangkan lemah, makhluk makhluk qiyāmu tidak akan bi ghairi dapat menyamai Tuhan/Allah dalamdhāt hal apapun. Allah adalah Zat yang (berdiri dengan perantara lain). Makhluk memiliki keterbatasan dan kekurangan, sedangkan Tuhan sama sekali jauh dari ituPertama (Saksono, intiqāl 1995,, artinya 22-25). wujūd Bila manusia dipaksakan insān sama dengan Tuhan, maka bagi Al-Rāniri setidaknya ada beberapa kemungkinan Kedua,yang akan ittiḥād terjadi., artinya dua wujūd Allah berpindah kepada atau makhluk,Ketiga, seperti ḥulūl berpindahnya, artinya wujūd seseorang dari satu tempat ke tempat lain. Keempat,menjadi Ittiṣāl satu,, artinya seperti wujūd bersatunya Allah berhubunganemas dengan tembaga. Allah masuk ke dalam makhluk, seperti air masuk ke dalam kendi. dengan makhluk seperti manusia dengan anggotanya (Daudy 1983, 83).

Dari empat kemungkinan di atas, maka tidak ada satu pun yang dapat diterima akal. Al-Rāniri menganggap semua kemungkinan yang ḥudūth di atas sebagaiyang terususun sesuatu ajsāmyang mustahil bagi Allah dan mustahil pula dari sisi rasionalitas. Sebab, empat ḥudūthkemungkinan yang terdiri tersebut dari hanya susunan akan ajsām, terjadi pada Zat . Ketika Tuhan, Allah menyatu dengan makhluk, manusia dan alam yang atau makhlukmukhalafah yang mampu lil al-ḥawādithmenempati yangposisi, itu sifat hanya dan haq ihwal li Allah Tuhan, Allah, maka Tuhan tidak ada bedanya antara Tuhan, manusia, dan alam. Kemanakah dimensi ? (Al-Bāhu 2012, 30) Oleh sebab itu, penyamaan Allah yangdengan mengikuti alam dan ajaran manusia wujūdiyah merupakan, yaitu sesuatu menyamakan yang mustahil Tuhan dengansecara akal,manusia dan membenarkannya bertentangan dengan ajaran agama. Karenanya, setiap orang

Kesimpulanmaka mereka dianggap sesat dan keluar dari ajaran Islam.

waḥdah shuhūd- nya—Berdasarkan pembahasan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa Al- DhātRāniri yang adalah Esa danseorang mukhalafah tokoh sufi lil al-ḥawādithyang mengembangkanWaḥdah shuhūd- ajarannya mengajarkan bahwaajaran alam teologiini hanya sufistik mazhar yang dari meyakini wujūd Allahbahwa yang hanyalah tidak Allahlebih satu-satunyadari sekadar . 136 Waḥdatus Shuhūd, Kritik Al-Rāniri Atas Panteisme Ketuhanan mengajarkan bahwa wujūd sebagai pembuktian, bukan perwujudan dan apalagiwujūd perumpamaan. majāzi dari wujūd Al-Rāniri Allah dengan alam berlainan, namun tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Alam semesta sebagai Allah. yang Ajaranbercorak Al-Rāniri sunni dapat diterima oleh masyarakatrole Aceh pada masa itu, kerena tidak bertentangan syariat Islam. Karena itu, ajaran tasawuf Al-Rāniri pantas disebut sebagai model tasawuf Nusantara. Sebuah ajaran tasawuf yang mampu mengkompromikan antarawujūdiyah syariat secara dan tasawuf. Tasawuf model ini sejalan dengan teologi Asy’ariyah dan teologi menolaksufistiknya sisi-sisi Al-Ghazāli. panteistik Al-Rāniri tidak menolak ajaran sepenuhnya, tapi juga tidak menerima secara keseluruhan. Al-Rāniri hanya waḥdahyang shuhūd, menyamakan Tuhan dengan makhluknya. Pada tahap selanjutnya, berdasarkanwaḥdatul wujūd, pandangannya wujūdiyah, tentang ḥulūl, Tuhan ittiḥad, sebagaimana fana’, wuṣul karenayang terdapat cenderung dalam mentashabbuh -kan AllahAl-Rāniri dengan mengkritik makhluk-Nya pemikiran yang dan menghilangkankeyakinan penganut sisi tanzih Dhāt

(suci) yang hanya terdapat pada Allah Swt.

DAFTAR RUJUKAN

Abdullah, Muhammad.Dialog: 2015. Jurnal “Pergulatan Penelitian danTeologis Keagamaan antara Asy’ariyah dan Kaum Tradisionalis: Study atas Durrah Fakhirah Karya Syekh Nuruddin Ar- Ar-Raniry and the Wujudiyah of 17th Century Raniri.” 1 (3): 103-118. Acheh. Al-Attas, Muhammad Naqib. 1962. ‘Aqīd al-Asha‘irah. Montreal: MelGill University. Asrār al-Insān Al-Bahu, Muṣṭafa. 2012. Kairo: al-Maktabah al-Islamiyah. Ḥujjat al-Siddiq li Daf‘ al-Zindiq. Al-Rāniri, Nuruddin. T.t. . folio 88a. Al-Fath al-Mubīn ‘ala al-Mulḥidīn ———. 2005. Banda Aceh: Dinas Kebudayaan. Al-Tibyān fi Ma‘rifah Al-Adyān. ———. 2005. . Banda Aceh: Dinas Kebudayaan. Mawsū‘ah Kashf Iṣtilāḥāt al-Funuūn wa al- ———. 2011. Banda Aceh: Pena. ‘Ulūm. Di-tahqīq Al-Tahanāwi, Muhammad ‘Ali. 1996. Khilafah dan Jejak Islam Kesultanan Islam Nusantara oleh ‘Ali Duhrīj. Libanon: Maktabah Lubnan ‘Āṣirīn. Anonim, Saifulloh, ed. 2009. Sufi Nusantara: Biografi, Karya Intelektual, dan Pemikiran . Bogor: Pustaka Thariqul Izzah. Tasawuf Arifin, Miftah. 2012. . Jogjakarta: ArRuzz Media. KANZ PHILOSOPHIA, Volume 6, Number 2, Desember 2020

137 Jaringan Ulama Timur Tengah dan kepulauan Nusantara abad 17 dan 18. Azra, Azyumardi. 1995. Azwad, Ridwan, Aceh Bumi Iskandar Muda. Bandung: Mizan. dkk. 2008. Banda Aceh: Pemerintah Filsafat Agama Nanggroe Aceh Darussalam. Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia Bakhtiar, Amsal. 1997. . Jakarta: Logos Wacana Ilmu. ———. 2009. . Perlawanan Kultur Agama Rakyat Jakarta: Rajawali Pers. Penilaian Teologis atas Paham Waḥdatul Wujud dalam Bizawie, Zainul Milal. 2002. . Jakarta: Samha. Tasawuf Syamsuddin Sumatrani. Dahlan, Abdul Aziz. 1999. Allah dan Manusia Dalam Konsep Shaikh Nuruddin ar Padang: IAIN Imam Bonjol Press. Raniry. Daudy, Ahmad. 1983. Syaikh Nuruddin Ar-Raniri , Sejarah, Karya dan Sanggahan Jakarta: Rajawali. terhadap Wujudiyah di Aceh. ———. 1983. Tasawuf yang Tertindas. Jakarta: Bulan Bintang. Hadi WM, Abdul. 2001. Jakarta: Paramadina. Jumantara Hermansyah. 2014. “Naskah Tibyan Fi Ma’rifat Al-Adyan: Interpretasi Aliran The Journal Sesat di Aceh Menurut Nuruddin Ar-Raniry.” 5 (1): 41-60. of Asian Studies Howell, Julia Day. 2001. “Sufism and the Indonesian Islamic Revival.” 60 (3): 701-729. Substantia: Majid, Abdul. 2015. “Karakteristik Pemikiran Islam Nuruddin Ar Raniry.” 17 (2): 179-188. Jurnal Potret Pemikiran: Jurnal Penelitian dan Musafar, RusdiyantoPemikiran Islam Rusdiyato dan Musafar. 2018. “Ajaran Wujudiyah Menurut Nuruddin Ar-Raniri.” Esensia XII 22 (1): 1-10. Muzairi. 2011. “Pembangkangan Mistik Jawa Dalam Suluk Cebolek.” Pemikiran Kalam (Teologi Islam); Sejarah, Ajaran, dan (1): 21-38. Perkembangannya. Nasir, Sahilun. 2012. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Al-Mabsut: Jurnal Studi Pramasto,Islam Arafah. dan Sosial 2019. “Pengaruh Sosial-Politik dan Intelektual dalam Pembentukan Neo-Sufisme Imam Al-Ghazali.” 13 (2): 101-114. Sindang: ———. 2020.Jurnal “KritikPendidikan Terhadap Sejarah Pemikiran dan Kajian Kontroversial Sejarah Bercorak Panteistik dalam Karya Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani Abad ke-18.” Islam, Iran, dan Peradaban 2 (1): 8-18. Mengislamkan Java Land: The Study of Methods of Da’wa Safwan A.M, dkk. 2012. . Jogjakarta: Rausyan Fikr. Saksono, Widji. 1995. 138 Waḥdatus Shuhūd, Kritik Al-Rāniri Atas Panteisme Ketuhanan Walisongo Waḥdatul wujud: Polemik Pemikiran Sufistik Hamzah Fansuri . Bandung: Mizan Pustaka. dan Syamsuddin As-Samatrani dengan Nuruddin Ar-Raniri Sangidu. 2003. . Yogyakarta: Gama Media. Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam Septiawadi. 2013. “Pergolakan Pemikiran Tasawuf di Indonesia: Kajian Tokoh Sufi Ar-Raniri.” 7 (1): Islam Sufistik “Islam Pertama” Dan Pengaruhnya Hingga Kini 183-200. Di Indonesia. Shihab, Alwi. 2001. Akar Tasawuf di Indonesia, Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Bandung: Mizan. Falsafi. ———. 2009. Tasawuf dan Sejarah Perkembangannya dalam Islam Depok: Pustaka IIMaN. Simuh. 1997. . Jakarta: PT Agama dan Alam Kerohanian Asli di Indonesia Raja Grafindo Persada. Subagya, Rahmat. 1979. . Jakarta: CLC. Humanika: Kajian Ilmiah Mata Kuliah Umum Sudarajat, Ajat. 2017. “Pemikiran Wujudiyah Hamzah Fansuri dan Kritik Nurudin Al-Raniri.” 17 Atlas Wali Songo (Buku Pertama Yang Mengungkap Wali (1): 55-76. Songo Sebagai Fakta Sejarah). Sunyoto, Agus. 2012. Sufi “Ndeso” Vs. Wahabi Kota. Bandung: Mizan Media Utama. Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam: Melacak ———. 2012. Jakarta: Noura Books. Akar-Akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam Thohir, Ajid. 2004. . Jakarta: PT Pengantar Ilmu Tasawuf Raja Grafindo Persada. Tim Penyusun IAIN Sumatera Utara. 1983. . Jakarta: Persoalan-Persoalan Filsafat Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama. Titus, dkk. 1984. . Jakarta: Bulan Bintang. Al Falah Toriqularif, Muhammad. 2018. “Abu Yazid Al Bustami dan Pengalaman Tasawufnya.” XVIII (2): 247-267.