Download (2MB)
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
PENDIDIKAN MORAL-SUFISTIK DALAM SERAT WULANGREH KARYA SUSUHUNAN PAKU BUWONO IV SKRIPSI OLEH IZZUDDIN RIJAL FAHMI NIM: 210313245 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PONOROGO 2017 1 2 ABSTRAK Fahmi, Izzuddin Rijal. 2017. Pendidikan Moral-Sufistik dalam Serat Wulangreh Karya Susuhunan Paku Buwono IV. Skripsi. Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo, Pembimbing, Dr. M. Irfan Riyadi, M.Ag.. Kata Kunci: Pendidikan Moral, Sufistik, Paku Buwono IV, Serat Wulangreh Sebagai akibat modernisasi-globalisasi-industrialisasi, kadang manusia mengalami degradasi moral yang dapat menjatuhkan harkat dan martabatnya. Kehidupan modern seperti dewasa ini sering menampilkan sifat-sifat yang kurang baik dan tidak terpuji. Pendangkalan rasa agama, nilai-nilai moral dewasa ini ditanggapi dengan sebelah mata. Gejala tindak kejahatan narkotika, kekerasan, korupsi, kolusi kekuasaan, hilangnya sopan santun serta nilai-nilai moralitas merupakan bukti konkret dari hambarnya nilai sakral dan kesadaran akan dosa tersebut. Maka mulailah muncul counter culture terhadap gejala semacam ini dengan kemunculan kesadaran dan kerinduan untuk mereaktualisasikan ajaran- ajaran tasawuf dalam tata nilai kehidupan modern. Oleh sebab itulah, maka perlu adanya sebuah kajian kritis yang memotret pendidikan moral yang dibingkai melalui pendekatan tasawuf atau pendidikan moral yang bersumber dari ajaran tasawuf. Di sisi lain, budaya masa lalu adalah simpanan tersembunyi yang mengandung nilai-nilai kehidupan manusia dan perlu digali guna sebagai pedoman dalam kehidupan sekarang dan yang akan datang. Kebudayaan pada intinya adalah kehidupan dan kemanusiaan. Aspek moral termasuk salah satu dari bagian terpenting dari kebudayaan, sehingga dapat dikatakan bahwa mengkaji budaya sama saja dengan menghidupkan moral. Salah satu hasil dari budaya adalah karya sastra. Sebagai warisan kebudayaan, sastra lama juga dapat mengungkapkan informasi tentang hasil budaya pada masa lampau melalui teks klasik yang dapat dibaca dalam peninggalan-peninggalan yang berupa tulisan atau naskah. Naskah serat merupakan simpanan masa lalu yang bernilai sufistik. Sebagian naskah (sastra) Jawa juga berisi piwulang (ajaran) atau pitutur (nasihat). Salah satu karya sastra Jawa yang mengandung piwulang (nilai pendidikan) adalah Serat Wulangreh. Penelitian ini bertujuan untuk; (1) mendeskripsikan isi naskah Serat Wulangreh karya Susuhunan Paku Buwono IV dan (2) mengetahui kandungan atau nilai-nilai pendidikan moral-sufistik dalam Serat Wulangreh karya Susuhunan Paku Buwono IV dan relevansinya dengan Pendidikan Islam. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan historis dengan model penelitian kepustakaan (library research). Sedangkan metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode dokumentasi atau teks. Setelah pengumpulan data selesai, maka data tersebut dianalisis menggunakan metode content analysis, teknik penelitian untuk mengumpulkan inferensi-inferensi yang dapat ditiru dan sahih dengan memperhatikan konteksnya. 3 Berdasarkan analisis data, maka disimpulkan bahwa (1) Serat Wulangreh karya Susuhunan Paku Buwono IV terbagi dalam 12 pupuh (jenis syair), yang terdiri dari Dhandhanggula (8 pada/ bait), Kinanthi (16 pada), Gambuh (17 pada), Pangkur (16 pada), Maskumambang (33 pada), Dudukwuluh (17 pada), Durma (12 pada), Pucung (53 pada), Mijil (23 pada), Asmarandana (27 pada), Sinom (32 pada), dan Gurisa (24 pada). Jika diklasifikasikan, maka Serat Wulangreh tersebut berisi antara lain; syarat memilih guru, sumber dan menuntut ilmu (syariat); penjelasan perbuatan baik dan buruk; konsep kesatuan hamba- Tuhan; ajaran kepemerintahan dan beberapa petuah leluhur (raja Jawa); dan (2) konsep pendidikan moral-sufistik dalam Serat Wulangreh karya Susuhunan Paku Buwono IV antara lain; memilih guru dan sumber ilmu (Dhandhanggula); melaksanakan syariat (Asmarandana); perbuatan baik dan buruk/ tazkiyat al-nafs (Kinanthi, Pangkur, Maskumambang, Mijil, Gambuh, Asmarandana, Durma, Pucung, dan Sinom); dan puncaknya adalah konsep kesatuan hamba-Tuhan yang termuat dalam pupuh Sinom. Adapun relevansinya dengan pendidikan Islam yaitu bahwa sumber ilmu dalam Serat Wulangreh relevan dengan sumber pendidikan Islam; memilih guru dalam Serat Wulangreh relevan dengan syarat menjadi pendidik dalam Pendidikan Islam; dan salah satu ajaran dalam Serat Wulangreh, yaitu sembah lelima (lima yang harus dipatuhi) relevan dengan lingkungan (tanggung jawab) dalam pendidikan Islam. 4 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu persoalan esensial yang kini melanda dunia pendidikan adalah persoalan yang berkaitan dengan dimensi moral atau moralitas. Moralitas sebagai salah satu tolok ukur dan koridor perilaku serta segenap manifestasi dimensi sosial-kemanusiaan meniscayakan terhadap nilai-nilai kebaikan bersama. Pendidikan dengan tujuannya yang ideal diharapkan menjadi media untuk melestarikan nilai-nilai moralitas tersebut.1 Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab II tentang Dasar, Fungsi dan Tujuan, Pasal 3, dijelaskan bahwa: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.2 Tujuan pendidikan nasional sebagai ultimate goals yang harus dicapai, ternyata memiliki perhatian yang luar biasa pada moral.3 Telah dijelaskan dalam tujuan pendidikan nasional bahwa tujuan yang disebutkan pertama kali adalah “menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang 1 As‟aril Muhajir, Ilmu Pendidikan Perspektif Kontekstual (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), 31. 2 Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Undang-undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2006), 8-9. 3 Mursidin, Moral Sumber Pendidikan: Sebuah Formula Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah/Madrasah (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), 53. 5 Maha Esa” disusul dengan “berakhlak mulia”. Hal ini membuktikan bahwa tujuan pendidikan nasional pada dasarnya mengarah pada pembentukan nilai spiritual keagamaan (personal religious) serta pembentukan moral. Moral adalah sesuatu yang restrictive, artinya bukan sekedar sesuatu yang deskriptif tentang sesuatu yang baik, tetapi sesuatu yang mengarahkan kelakuan pikiran seseorang untuk berbuat baik.4 Moral berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang benar dan salah, maka moral merupakan kendali dalam bertingkah laku.5 Hal itulah yang menyebabkan perlunya pendidikan moral. Urgensi pendidikan moral disebabkan oleh tiga hal: Pertama, melemahnya ikatan keluarga. Kedua, kecenderungan negatif di dalam kehidupan, khususnya pemuda. Ketiga, suatu kebangkitan kembali dari perlunya nilai-nilai etik.6 Di samping dikembalikan pada nilai etik, moral juga berkaitan dengan nilai agama, khusunya agama Islam. Agama (Islam) dipandang sebagai agama yang penuh dengan muatan- muatan spiritual demi kepuasan batin (rohani) manusia. Islam bukan berarti tunduk patuh di hadapan Allah, tetapi ia merasakan getaran cinta kepada Allah dan rasa ingin menyandarkan diri kepada apa yang diperintahkan-Nya.7 Menurut Rahmat Jatnika, agama (Islam) berdasarkan esensi pengertian agama 4 H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), 77. 5 Elfi Yuliani Rochmah, “Penyaluran Moral Remaja Melalui Agama Perspektif Psikologi Agama”, Cendekia, 2 (Desember, 2006), 43. 6 Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, 74-75. 7 Mohammed Arkoun, Al-Fikr al-Islām, Naqd wa Ijtihād, terj. Hsyim Slih (Beirut: Dr al-Sqī, 1992), 53 dan Suadi Putro, Mohammed Arkoun tentang Islam dan Modernitas (Jakarta: Paramadina, 1998), 29. 6 itu sendiri mengandung unsur iman, akidah (belief), serta ibadah, amal salih (actions) dan ihsan atau tata cara ibadah yang sebaik-baiknya, yang biasa disebut akhlak (religious attitude).8 Akhlak yang dimaksud tersebut tentunya mengarah kepada apa yang dimaksud sebagai tasawuf, sebab tasawuf di dalamnya juga mengandung aspek moral atau moralitas. Akan tetapi, menurut Said Aqil Siroj, tasawuf lebih dari sekedar moralitas. Jika moralitas terpotret dari wujud perilaku manusia secara fisik, tasawuf menekankan hakikat moralitas itu sendiri.9 Sebagai akibat modernisasi-globalisasi-industrialisasi, kadang manusia mengalami degradasi moral yang dapat menjatuhkan harkat dan martabatnya. Kehidupan modern seperti dewasa ini sering menampilkan sifat-sifat yang kurang baik dan tidak terpuji.10 Pendangkalan rasa agama, nilai-nilai moral dewasa ini ditanggapi dengan sebelah mata. Sikap hidup yang lebih mementingkan keduniaan, tak mengenal hukum halal-haram kian merajalela. Perilaku korup, main suap, makan barang syubhat tumbuh menjadi penyakit sosial yang menggejala mengiringi perkembangan kemajuan dunia modern dewasa ini. Gejala tindak kejahatan narkotika, kekerasan, korupsi, kolusi kekuasaan, hilangnya sopan santun serta nilai-nilai moralitas merupakan bukti konkret dari hambarnya nilai sakral dan kesadaran akan dosa tersebut. Maka mulailah muncul counter culture terhadap gejala semacam ini dengan kemunculan kesadaran dan kerinduan untuk mereaktualisasikan ajaran-ajaran