BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut HAM), merupakan suatu hasil perjuangan yang sejak dahulu sampai sekarang terus diperjuangkan agar mendapat tempat sebagaimana mestinya. Dalam bahasa dikenal sebagai istilah hak- hak dasar manusia atau hak dan kewajiban dasar manusia, sedangkan dalam bahasa asing dikenal dengan berbagai istilah, misalnya human rights (bahasa Inggris), droit de I’homme (bahasa Perancis), dan menselijkerechten atau grondrechten (bahasa

Belanda).1

Hak Asasi Manusia adalah hak yang dimiliki manusia dari lahir dan Negara mempunyai tanggung jawab untuk melindungi hak asasi setiap individu tersebut.

Belajar dari peristiwa di masa lalu, Indonesia mempunyai sejarah kelam mengenai

HAM yang sampai saat ini belum terselesaikan, sejak beralihnya rezim pada tahun

1998, serangan terhadap para Pembela HAM tidak mengalami penurunan.

Salah satunya adalah kasus pembunuhan terhadap aktivis HAM dan juga salah satu tokoh pejuang HAM di Indonesia, yaitu Munir Said Thalib (selanjutnya disebut Munir). Sosok pejuang yang terkenal dengan kegigihannya dalam

1 Widiada Gunakarya, Hukum Hak Asasi Manusia, Edisi Pertama, Andi, Yogyakarta, 2017, h. 48.

1

2

memperjuangkan HAM ini pada tanggal 7 September 2004 dinyatakan tewas diracun didalam pesawat Garuda saat sedang melakukan perjalanan ke Singapura-Amsterdam untuk melanjutkan studi S2 bidang hukum humaniter di Universitas Utrecht, Belanda.

Munir yang lahir di , 8 Desember 1965 telah merintis karir pembelaan hukum di Lembaga Bantuan Hukum (selanjutnya akan disebut LBH)

Malang dan sebelum bergabung dengan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum

Indonesia (selanjutnya disebut YLBHI) di . Sewaktu di Surabaya, mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (selanjutnya disebut HMI) ini menangani kasus pembunuhan aktivis buruh perempuan yang banyak menarik perhatian masyarakat, yakni kasus Marsinah. Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan

(selanjutnya disebut Kontras) yang didirikannya pada Maret 1998 telah menjadi model organisasi nonpemerintah dalam penanganan kasus kekerasan negara.

Upaya ini sangat beresiko karena represivitas rezim di waktu itu. Berkat kegigihannya menyebabkan organisasi itu mampu mengungkapkan penculikan aktivis oleh Tim Mawar, . Munir juga menangani berbagai kasus pelanggaran HAM berat lainnya seperti kasus Tanjung Priok, , dan Talangsari

Lampung. Munir yang berada di garis terdepan dalam upaya pembelaan HAM di tanah air memperoleh berbagai penghargaan dari dalam negeri (Yap Tiam Hien

Award) dan luar negeri (Swedia dan UNESCO).2 Sepak terjang Munir dalam memperjuangkan HAM di Indonesia merupakan suatu keberanian yang tidak dimiliki

2 Asvi Warman Adam, Menguak Misteri Sejarah, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2010, h. 37-38. 3

oleh semua orang, sebagai manusia tentu kita memiliki rasa takut, tapi apakah kita mampu mengatasi rasa takut itu.

Sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam menegakkan supremasi hukum, pada 23 Desember 2004 Presiden membentuk

Tim Pencari Fakta (selanjutnya disebut TPF) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor

111 tahun 2004 yang anggotanya melibatkan kalangan masyarakat sipil dan berfungsi membantu Polri dalam menyelidiki kasus terbunuhnya Munir. Setelah melalui beberapa kendala, TPF mulai bekerja efektif pada Januari 2005. Sejak disahkannya, pada 3 (tiga) bulan pertama masa kerjanya, TPF telah berhasil mengungkap fakta- fakta keterlibatan seorang co-pilot maskapai penerbangan nasional PT. Garuda

Indonesia, dalam kasus pembunuhan Munir. TPF juga berhasil mengungkap fakta- fakta keterlibatan manajemen puncak Garuda dalam konspirasi kejahatan tersebut.

Sampai pada tahap ini TPF sudah menyerahkan temuan-temuan mereka kepada Tim

Penyidik Polri yang kemudian menetapkan co-pilot tersebut, bersama dua orang awak kabin menjadi tersangka.

Pada 3 (tiga) bulan kedua sekaligus masa terakhir tugasnya, TPF mengembangkan semua temuan-temuan yang sudah di dapat sebelumnya dan berhasil mengidentifikasi adanya hubungan antara tersangka Pollycarpus Budihari Priyanto

(selanjutnya disebut PBP) dengan Badan Intelijen Negara (selanjutnya disebut BIN).3

3 Dokumen Laporan Akhir Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Meninggalnya Munir, Jakarta, 2005, h. 3, diunduh dari https://pt.slideshare.net/indoleaks/laporan-tim-pencari-fakta-kasus- meninggalnya-munir, pada tanggal 1 Maret 2018, pukul 18:50. 4

Dimasa akhir kerjanya, pada 23 Juni 2005 TPF melaporkan hasil kerjanya kepada

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Laporan TPF memuat 3 poin rekomendasi untuk ditindaklanjuti oleh pemerintah, isi rekomendasi tersebut yaitu:

1. Pembunuhan Munir tidak melibatkan 1 atau 2 orang saja, sehingga setiap

yang terlibat dalam konspirasi pembunuhan terhadap Munir harus diperiksa

secara intensif.

2. Proses pengusutan kasus Munir terhambat oleh faktor internal di tubuh Polri

sehingga diperlukan langkah-langkah konkret berupa audit kinerja Polri

dalam penanganan kasus pembunuhan Munir.

3. Perlu dibentuk sebuah kelembagaan baru yang berada dibawah langsung

Presiden untuk meneruskan langkah-langkah yang ditempuh TPF sekaligus

sebagai bentuk kelanjutan komitmen Presiden mengungkap kasus

pembunuhan terhadap Munir.4

Dalam Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang diketuai Cicut Sutiarso dengan Nomor : 1361/PID.B/2005/PN.JKT.PST menyatakan terdakwa atas nama Pollycarpus Budihari Priyanto bersalah melakukan perbuatan pidana dengan melakukan pembunuhan berencana dan pemalsuan surat tugas dan menghukum terdakwa dengan hukuman penjara selama 14 belas tahun.5 Majelis

Hakim juga dalam putusannya menyinggung beberapa orang yang diduga terlibat dalam komplotan pembunuhan Munir tersebut. Pertama, Ramelgia Anwar (saat

4 Edwin Partogi, et.al., Bunuh Munir, Kontras, Jakarta, 2006, h. 108. 5 Putusan Perkara Pidana dengan Nomor: 1361/PID/B/2005/PN.JKT.PST atas nama terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 20 Desember 2005 5

kejadian merupakan Vice Presiden Corporate Security PT Garuda), yang menurut

Majelis Hakim tanpa peranannya membuat surat tugas palsu, Pollycarpus tidak akan bisa melaksanakan kejahatannya.6 Kedua, Oedi Irianto dan Yeti Susmiarti (pramugara dan pramugari di kelas bisnis pada penerbangan GA 974, Jakarta-Singapura).

Menurut Majelis Hakim tindakan Pollycarpus membunuh Munir dengan racun arsen hanya bisa terjadi karena bantuan kedua orang tersebut.7 Ketiga, Majelis

Hakim dalam putusannya juga melangkah maju dengan menyebutkan nama Muchdi

PR.8 Kasus pembunuhan aktivis HAM Munir menyita perhatian dari berbagai kalangan masyarakat baik dari dalam maupun luar negri, mereka meminta Pemerintah

Indonesia segera menuntaskan kasus ini. Jika dilihat lebih dalam, kasus pembunuhan

Pembela HAM Munir bukanlah kejahatan yang berdiri sendiri, melainkan adanya turut serta orang lain dalam menjalankan kejahatan ini sehingga dapat dikenakan pasal “penyertaan” yang diatur dalam bab V Penyertaan dalam Tindak Pidana, pasal

55 khususnya ayat (1) KUH Pidana.

Secara umum penyertaan dapat diartikan sebagai suatu perbuatan atau tindak pidana yang dilakukan oleh lebih dari 1 orang. Kata penyertaan (Deelneming) berarti turut sertanya seseorang atau lebih pada waktu seseorang lain melakukan tindak pidana. Kata Deelneming berasal dari dua kata, yaitu deel (bagian) dan naming

6 Edwin Partogi, et.al., h.113 7 Ibid., h.114 8 Ibid., h.115 6

(pengambilan). Jadi, Deelneming ialah pengambilan bagian.9 Deelneming adalah suatu peristiwa pidana dimana terdapat beberapa orang atau paling sedikit dua orang terlibat dalam satu tindak pidana (bisa di dalam atau diluar KUHP) dan tindak pidananya bisa bermacam-macam.10

Penjelasan singkat mengenai kasus pembunuhan Munir diatas jelas memperlihatkan bahwa proses pengungkapan kasus ini hanya akan mengulang sejarah pelanggaran HAM lainnya seperti kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah dan pembunuhan jurnalis Udin (Harian Bernas) yang tidak pernah terselesaikan.

Pemerintah dalam hal ini Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi seharusnya mampu menyelesaikan kasus ini. Kasus pembunuhan Munir merupakan salah satu kasus dari sekian banyak kasus pelanggaran HAM di Indonesia yang tidak pernah terselesaikan, dan sudah seharusnya Pemerintah berbenah diri dengan tidak mengulangi kesalahan di masa lalu, bukannya menambah sejarah kelam HAM di

Indonesia. Proses hukum yang ditempuh pun meragukan karena tidak mampu menyeret aktor utama dalam kasus ini ke meja pengadilan, sehingga tidak terciptanya hukum yang pada hakikatnya harus bermuara pada keadilan, yaitu keadilan bagi masyarakat, dan hukum pun akan menjadi sia-sia jika tidak tercapai rasa keadilan pada masyarakat.11

9 Alfitra, Modus Operandi Pidana Khusus di Luar KUHP, Penerbit Raih Asa Sukses, Jakarta, 2014, h. 119. 10Ibid. 11 H.M. Agus Santoso, Hukum, Moral & Keadlian, Edisi Pertama, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012, h. 4. 7

Memang tujuan hukum ialah mengatur masyarakat secara adil, tetapi hukum dan keadilan itu harus dilaksanakan oleh pemerintah dan negara yang mempunyai kekuasaan untuk menertibkan masyarakat, agar taat pada peraturan yang berlaku.

Hukum dapat berjalan sebagaimana mestinya apabila adanya kekuasaan, akan tetapi kekuasaan yang tidak boleh melanggar hak-hak dan kepentingan individu, karena fungsi hukum juga ialah sebagai perlindungan bagi kepentingan manusia.12 Konsep perlindungan hukum sendiri dapat kita lihat padanan katanya dalam Bahasa Inggris yaitu legal protection dan dalam Bahasa Belanda rechtsbecherming. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan Philipus M. Hadjon bahwa pengertian perlindungan hukum bagi rakyat berkaitan dengan rumusan yang dalam kepustakaan bahasa Inggris berbunyi “legal protection of the individual in relation to acts of administrative authorities” dan dalam kepustakaan bahasa Belanda “rechtsbescherming van de burgers tegen de overhead”.

Secara ketatabahasaan, dalam bahasa inggris kata perlindungan disebut dengan protection. Istilah perlindungan menurut KBBI dapat disamakan dengan istilah proteksi, yang artinya adalah proses atau perbuatan melindungi, sedangkan menurut Black’s Law Dictionary, protection adalah the act of protecting.13 Menurut

Philipus M. Hadjon perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan atau sebagai kumpulan

12 Ibid., h. 5. 13 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Ninth Edition, St. Paul: West, 2009, h. 1343 8

peraturan atau kaidah yang dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya dan dimaknai sebagai perlindungan dengan menggunakan sarana hukum atau perlindungan yang diberikan oleh hukum.14

Perlindungan hukum menemukan relevansinya dalam konteks negara hukum. Dalam konteks negara Indonesia, negara hukum harus dikembalikan kepada

Pancasila sebagai landasannya sehingga dengan sendirinya perlindungan hukum bagi rakyat harus digali pendasarannya pada Pancasila karena pengakuan akan harkat dan martabat manusia secara instrinsik melekat pada Pancasila.15 Menurut Undang-

Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, perlindungan hukum adalah jaminan perlindungan pemerintah dan atau masyarakat kepada warga negara dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, perlindungan hukum ialah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.

Sedangkan perlindungan hukum yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tatacara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi

14 Philipus M. Hadjon, Perlindungan hukum bagi rakyat di Indonesia : sebuah studi tentang prinsip-prinsipnya, penanganannya oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan pembentukan peradilan administrasi negara, Peradaban, 2007, h. 25 15 Ibid., h. 9 9

Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, perlindungan hukum adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan terror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di pengadilan.

Suatu perlindungan dapat dikatakan sebagai perlindungan apabila mengandung unsur-unsur sebagai berikut yaitu :

1. Adanya pengayoman dari pemerintah terhadap warganya.

2. Jaminan kepastian hukum.

3. Berkaitan dengan hak-hak warganegara.

4. Adanya sanksi hukuman bagi pihak yang melanggarnya.

Dengan demikian perlindungan hukum dapat diartikan dengan segala upaya pemerintah untuk menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada warga negaranya agar hak-haknya sebagai warga negara tidak dilanggar, dan bagi yang melanggarnya akan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan yang berlaku.16 Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus selalu diperhatikan, yaitu kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit), dan keadilan (gerechtigheit).

16 Pemegang Paten Perlu Perlindungan Hukum, Republika, 24 Mei, 2004 10

Keadilan merupakan sendi terakhir dari tujuan hukum. Agar keadilan itu tercapai sesuai dengan keadilan yang ada pada masyarakat, maka hukum yang diciptakan harus bersendikan pada moral. Hukum yang berupa undang-undang maupun yang dilaksanakan pada lembaga peradilan tidak akan berarti dan tidak akan tercapai rasa keadilan jika meninggalkan prinsip-prinsip moral, baik oleh pembuat undang-undang itu maupun aparat penegak hukum.17 Dengan demikian hal ini yang melatar belakangi penelitian yang berjudul “Perlindungan Hukum Bagi Para Pembela

HAM: Studi Kasus Munir Said Thalib”.

1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah: Bagaimana perlindungan hukum bagi pembela HAM (Human Rights

Defender) Munir dalam perspektif keadilan bermartabat?

1.3. Tujuan Penelitian Untuk menggambarkan dan menganalisis perlindungan hukum bagi pembela HAM Munir.

1.4. Manfaat Penelitian Manfaat yang diberikan melalui penelitian ini adalah dari segi teoritis dan praktis.

17H.M. Agus Santoso, Op.Cit., h. 5-6 11

1. Secara teoritis

Untuk memperjelas pelanggaran HAM terhadap munir dan bagaimana seharusnya perlindungan hukum itu diberikan agar tercapainya suatu keadilan yang bermartabat.

2. Secara praktis a. Kepada Pembela HAM (human rights defender)

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan ataupun masukan bagi para Pembela HAM (human rights defender) dalam kerja-kerja HAM yang dilakukan mereka. b. Kepada Masyarakat

Diharapkan dapat bermanfaat dan menambah wawasan masyarakat untuk menyuarakan dan memperjuangkan siapapun mereka yang mengalami pelanggaran

HAM.

1.5. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian

Penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian hukum (legal research) yang dituliskan secara deskriptif dan preskriptif. Pendekatan yang digunakan penulis ialah pendekatan perundang-undangan (statute approach) baik nasional maupun internasional. Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan 12

menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.18

2. Bahan Hukum Penelitian

Sumber penelitian ini adalah bahan hukum primer & sekunder. Bahan hukum primer yang digunakan untuk menjawab permasalahannya adalah berbagai peraturan hukum dan catatan-catatan resmi yang berkaitan dengan permasalahan hak asasi manusia, perlindungan hukum & Pembela HAM (human rights defender).

Adapun bahan hukum yang digunakan terdiri dari: a. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 b. Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi

Manusia) 1948 c. Ketetapan MPR No. XVII Tahun 1998 dan Piagam Hak Asasi Manusia d. Declaration on Human Rights Defender (Deklarasi Pembela HAM) Tahun

1998 e. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia f. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan

Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang

Berat g. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan

dalam Rumah Tangga

18 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, h. 93 & 94 13

h. Dublin Declaration 2012

Sedangkan bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tentang hukum yang bukan dan atau merupakan dokumen-dokumen resmi19 sebagai pelengkap ataupun penunjang terhadap bahan hukum sekunder.

3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan-bahan hukum penelitian akan dilakukan melalui studi pustaka dan pengumpulan bahan-bahan berupa dokumen atau laporan terkait dengan judul yang diambil.

19 Ibid., h. 141