ANALISIS MUSIK DALAM PERTUNJUKAN OLEH SANGGAR TUNAS TURONGGO MUDO DI KELURAHAN SARI REJO, KECAMATAN MEDAN POLONIA

SKRIPSI SARJANA Dikerjakan

O L E H

NAMA : MHD. SAYUTI

NIM :120707014

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2017

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ANALISIS MUSIK DALAM PERTUNJUKAN KUDA LUMPING OLEH SANGGAR TUNAS TURONGGO MUDO DI KELURAHAN SARI REJO, KECAMATAN MEDAN POLONIA

SKRIPSI SARJANA Dikerjakan

O L E H

NAMA : MHD. SAYUTI

NIM :120707014

Pembimbing I Pembimbing II

Dra. Rithaony H, M.A Drs. Muhamad Takari, M.Hum Ph.D NIP : 196311161990032001 NIP : 196512211991031001

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatra utara Medan, untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana seni dalam bidang Etnomusikologi.

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2017

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DITERIMA OLEH :

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salahsatu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, Medan

PadaTanggal :

Hari :

Fakultas Ilmu Budaya USU,

Dekan,

Dr. Budi Agustono., M.S. NIP 196008051987031001

PanitiaUjian : TandaTangan

1. Arifninetrirosa,SST. M.A ( )

2. Drs.Bebas Sembiring,M.Si ( )

3. Dra. Rithaony H, M.A ( )

4. Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D ( )

5. Drs. Fadlin, M.A ( )

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DISETUJUI OLEH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI

KETUA,

Arifninetrirosa, SST. M.A NIP 196502191994032002

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini tepat pada waktunya.

Adapun judul skripsi ini adalah “Analisis musik dalam pertunjukan kuda lumping oleh sanggar tunas turonggo mudo di kelurahan sari rejo,kec. Medan

Polonia” yang merupakan salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana

Program Studi Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera

Utara, Medan.

Pertama penulis mengucapkan terima kasih kepada ayahanda dan ibunda yang telah memberikan dukungan dan doanya. Penulis juga mengucapkan terima kasih pada dosen pembimbing,Ibu Dra. Rithaony H, M.A., selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Drs. Muhamad Takari, M.Hum Ph.D, selaku anggota komisi pembimbing yang telah membantu dalam menyelesaikan Skripsi ini.

Terima kasi juga saya ucapkan kepada Dekan Fakultas Ilmu Budaya, dosen- dosen, staf pengajar serta pegawai di lingkungan Departemen Etnomusikologi USU

Fakultas Ilmu Budaya saya mengucapkan terima kasih karena telah memberikan ilmu-ilmu kepada saya di dalam perkuliahan, juga mebantu saya dalam menyelesaikan urusan administrasi.

Juga kepada teman-teman kuliah saya di Etnomusikologi yang telah menjadi teman diskusi, yang juga telah banyak membantu saya di dalam menyelesaikan kuliah serta skripsi saya. Juga kepada teman-teman saya pada saat sekolah dulu yang juga telah banyak memberikan semangat dan dorongan kepada saya untuk menyelesaikan skripsi ini.

i

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Terakhir saya ingin mengucapkan terima kasih kepada para informan saya di grup kuda kepang Tunas turonggo mudo yang telah membantu saya menyelesaikan tulisan ini, yang tidak lelah menjawab pertanyaan saya mengenai kuda lumping, tidak bosan melihat saya merekam ketika sedang melakukan pertunjukan, selalu menerima saya ketika saya berkunjung ke rumah, tidak lelah berulang-ulang untuk merekam musik untuk saya transkripsi. Demikianlah ucapan terima kasih saya kepada semua pihak yang telah membantu saya untuk menyelesaikan skripsi ini, mungkin tidak semua saya sebutkan tetapi saya ucapkan terima kasih dan mohon maaf jika saya ada kesalahan.

Medan, Maret 2017

Mhd. Sayuti

NIM. 120707014

ii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan analisis musik pada pertunjukan tari Kuda Lumping Tunas Turonggo Mudo di kelurahan Sari Rejo medan, Penelitian Bentuk, Makna, dan Fungsi musik Pertunjukan Kuda Lumping Tunas Turonggo Mudo di Desa kelurahan Sari Rejo Kecamatan Medan Polonia menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah informan antara lain ketua grup kesenian Kuda Lumping Tunas Turonggo Mudo, sesepuh grup kesenian Kuda Lumping Tunas Turonggo Mudo, penari Kuda Lumping Tunas Turonggo Mudo. Sumber data sekunder dalam penelitian ini diperoleh melalui dokumentasi, studi kepustakaan dari buku- buku, internet, serta hasil penelitian yang terkait. Data primer dalam penelitian ini berupa informasi dari para informan yang diperoleh dari hasil wawancara. Video, foto, dan rekaman tarian Kuda Lumping Tunas Turonggo Mudo merupakan data sekunder dalam. Fungsi Musik Kuda Lumping Tunas Turonggo Mudo di kelurahan Sari Rejo, Medan : (a) sebagai sarana upacara dan pengiring lagu, (b) sebagai sarana hiburan, (c) sebagai media pendidikan, (d) sebagai seni pertunjukan. Penelitian ini berada di Desa Sari Rejo, Medan Kecamatan Medan Polonia. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik observasi, wawancara, dokumentasi, dan analisis isi. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif. Hasil dari penelitian bentuk penyajian hasil analisis musik Kuda Lumping Tunas Turonggo Mudo di kelurahan Sari Rejo, Medan Kecamatan Medan Polonia , dimana terdapat lagu- lagu pengiring yang meliputi lagu : 1). Jatilan, 2). Ijo-ijo, 3). Ponorogo, 4). Es Lilin dan 5). Warung doyong yang telah di notasi kan dalam bentuk- bentuk not-not yang guna mempermudah pembacaannya.

Kata Kunci : Kuda Lumping, Analisis Musik

iii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ...... i

ABSTRAK ...... iii

DAFTAR ISI ...... iv

DAFTAR TABEL...... viii

DAFTAR GAMBAR ...... ix

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ...... 1 1.2 Pokok Permasalahan ...... 6 1.3 Tujuan Penelitian ...... 7 1.4 Manfaat Penelitian ...... 7 1.5 Konsep Dan Teori ...... 7 1.5.1 Konsep...... 8 1.5.2 Teori ...... 10 1.6 Metode Penelitian...... 13 1.6.1 Studi Pustaka ...... 14 1.6.2 Wawancara ...... 17 1.6.3 Kerja Laboratorium ...... 17 1.7 Lokasi Penelitian ...... 18

BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT JAWA DI KELURAHAN SARI REJO, MEDAN 2.1 Sumatra Utara ...... 19 2.2 Daerah Kebudayaan jawa ...... 29 2.3 Gambaran Umum Kelurahan Sari Rejo ...... 35 2.3.1 Letak Geografis ...... 35 2.3.2 Keadaan Alam ...... 36 2.3.3 Sejarah Tanah Sari Rejo ...... 37 2.4 Jumlah Dan Susunan Penduduk ...... 38 2.4.1 Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ...... 38 2.4.2 Komposisi Penduduk Berdasarkan Pekerjaan ...... 39 2.4.3 Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama ...... 39 2.5 Sistem Kekerabatan ...... 39 2.6 Upacara-upacara ...... 41 2.6.1 Selametan ...... 41 2.6.2 Upacara Perkawinan Adat Jawa ...... 43 2.7 Kesenian jawa ...... 45 2.7.1 Reog ponorogo ...... 45 2.7.2 Teater ...... 46 2.7.3 Teater ...... 48 2.7.4 Wong ...... 51

iv

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2.7.5 ...... 59 2.7.6 Musik Atau Kerawitan ...... 60

BAB III DESKRIPSI KESENIAN KUDA LUMPING DALAM MASYARAKAT KEBUDAYAAN JAWA DAN GAMBARAN UMUM SANGGAR TUNAS TURONGGO MUDO 3.1 Sejarah kuda lumping di jawa ...... 63 3.2 Pertunjukan Tari Kuda Lumping ...... 64 3.3 Persebaran Kuda Lumping ...... 66 3.4 Kuda Lumping Sebagai Seni Pertunjukan ...... 70 3.5 Unsur Seni Dalam Pertunjukan Kuda Lumping ...... 71 3.6 Unsur Religi Dalam Pertunjukan Kuda Lumping ...... 74 3.7 Kesurupan (Trance) ...... 76 3.8 Selamatan ...... 79 3.9 Simbolisme Dan Makna ...... 80 3.10 Perubahan Kebudayaan ...... 81 3.11 Awal Terbentuknya Kelompok Tunas Turonggo Mudo ...... 85 3.12 Manajemen Kelompok Tunas Turonggo Mudo ...... 86 3.13 Seleksi Penerimaan Anggota ...... 86 3.14 Penentuan Jadwal Latihan ...... 86 3.15 Pembagian Honor ...... 87 3.16 Kesepakatan Mengundang Kelompok Tunas Turonggo Mudo ...... 88

BAB IV DESKRIPSI PERTUNJUKAN SANGGAR TUNAS TURONGGO MUDO 4.1 Tempat Pertunjukan ...... 89 4.2 Waktu Pelaksanaan Pertunjukan ...... 89 4.3 Pendukung Pertunjukan ...... 90 4.3.1 Penari ...... 90 4.3.2 Pemain Musik ...... 91 4.3.3 Pawang ...... 92 4.3.4 Penonton ...... 93 4.3.4.1 Penonton Biasa ...... 93 4.3.4.2 Penonton Dari Kelompok Kuda Lumping Lain ...... 93 4.3.5 Pengeras Suara ...... 94 4.4 Perlengkapan Pertunjukan ...... 94 4.4.1 Panggung ...... 94 4.4.2 Kostum ...... 95 4.4.3 Tata Rias ...... 95 4.4.4 Kuda Lumping ...... 96 4.4.5 Barongan ...... 97 4.4.6 Pecut ...... 97 4.4.7 Pentul Atau Topeng ...... 99 4.4.8 Tungku Membakar Kemenyan ...... 100 4.5 Bahan Pertunjukan ...... 100 4.5.1 Macam-macam Bunga ...... 100

v

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

4.5.2 Kemenyan ...... 101 4.5.3 Minyak Wangi ...... 101 4.5.4 Arang ...... 102 4.6 Alat Musik Yang Dimiliki Kelompok Tunas Turonggo Mudo ...... 103 4.6.1 Saron ...... 103 4.6.2 Demung ...... 103 4.6.3 ...... 104 4.6.4 ...... 105 4.6.5 Slenthem ...... 106 4.7 Deskripsi Pertunjukan ...... 106 4.8 Pertunjukan Kuda Lumping Sanggar Tunas Turonggo Mudo ...... 111

BAB V ANALISIS MUSIK 5.1 Alat-alat Musik Yang Digunakan ...... 118 5.2 Lagu-lagu Yang Di Gunakan ...... 121 5.3 Struktur Melodi Lagu Jatilan ...... 122 5.3.1 Tangga Nada ...... 123 5.3.2 Nada Pusat atau Nada Dasar...... 124 5.3.3 Wilayah Nada ...... 127 5.3.4 Jumlah Nada ...... 127 5.3.5 Penggunaan Interval ...... 129 5.3.6 Pola-pola Kadensa ...... 130 5.3.7 Formula Melodi ...... 130 5.3.8 Kontur ...... 131 5.4 Struktur Melodi Lagu Reog Ponorogo ...... 132 5.4.1 Tangga Nada ...... 133 5.4.2 Nada Pusat atau Nada Dasar...... 133 5.4.3 Wilayah Nada ...... 136 5.4.4 Jumlah Nada ...... 137 5.4.5 Penggunaan Interval ...... 138 5.4.6 Pola-pola Kadensa ...... 138 5.4.7 Formula Melodi ...... 139 5.4.8 Kontur ...... 140 5.5 Struktur Melodi Lagu Ijo-Ijo ...... 141 5.5.1 Tangga Nada ...... 142 5.5.2 Nada Pusat atau Nada Dasar...... 143 5.5.3 Wilayah Nada ...... 145 5.5.4 Jumlah Nada ...... 146 5.5.5 Penggunaan Interval ...... 147 5.5.6 Pola-pola Kadensa ...... 148 5.5.7 Formula Melodi ...... 148 5.5.8 Kontur ...... 149 5.6 Struktur Melodi Lagu Es Lilin ...... 150 5.6.1 Tangga Nada ...... 151 5.6.2 Nada Pusat atau Nada Dasar...... 152 5.6.3 Wilayah Nada ...... 154

vi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

5.6.4 Jumlah Nada ...... 155 5.6.5 Penggunaan Interval ...... 156 5.6.6 Pola-pola Kadensa ...... 157 5.6.7 Formula Melodi ...... 157 5.6.8 Kontur ...... 158 5.7 Struktur Melodi Lagu Waru Doyong ...... 159 5.7.1 Tangga Nada ...... 160 5.7.2 Nada Pusat atau Nada Dasar...... 160 5.7.3 Wilayah Nada ...... 163 5.7.4 Jumlah Nada ...... 163 5.7.5 Penggunaan Interval ...... 165 5.7.6 Pola-pola Kadensa ...... 165 5.7.7 Formula Melodi ...... 166 5.7.8 Kontur ...... 167

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ...... 169 6.2 Saran ...... 172

DAFTAR PUSTAKA ...... 173

DAFTAR INFORMAN KUNCI, PANGKAL DAN ANGGOTA KUDA

LUMPING TUNAS TURONGGO MUDO ...... 177

vii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DAFTAR TABEL

Jumlah Berbagai Etnik di Sumatera Timur Tahun 1930 ...... 26 Gambaran Jumlah Penduduk Kelurahan Sari Rejo Berdasarkan Jenis Kelamin .. 38 Komposisi Jumlah Penduduk Berdasarkan Pekerjaan ...... 39 Pembagian penduduk Berdasarkan Agama ...... 39 Daftar Lagu-lagu yang Digunakan pada Pertunjukan Kuda luping Tunas turonggomudo121 Nada Dasar yang Dipergunakan pada Lagu Jathilan ...... 126 Jumlah Nada Lagu Jatilan ...... 129 Penggunaan Interval lagu Jatilan ...... 130 Nada Dasar yang Dipergunakan pada Lagu Reog Ponorogo...... 135 Jumlah Nada Lagu Reog Ponorogo ...... 138 Penggunaan Interval lagu Reog Ponorogo ...... 138 Nada Dasar yang Dipergunakan pada Lagu ijo-ijo ...... 144 Jumlah Nada Lagu ijo-ijo ...... 147 Penggunaan Interval lagu Ijo-Ijo ...... 147 Nada Dasar yang Dipergunakan pada Lagu Es lilin ...... 153 Jumlah Nada Lagu Es lilin ...... 156 Penggunaan Interval lagu Es lilin ...... 156 Nada Dasar yang Dipergunakan pada Lagu Warung Doyong ...... 162 Jumlah Nada Lagu Warung Doyung ...... 165 Penggunaan Interval lagu Warung Doyong ...... 165

viii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Kesurupan (Trance)...... 78 Gambar 4.1 Kuda Lumping...... 96 Gambar 4.2 Barongan ...... 97 Gambar 4.3 Pecut ...... 98 Gambar 4.4 Pentul atau Topeng...... 99 Gambar 4.5 Tungku Membakar Kemenyan ...... 100 Gambar 4.6 Macam-macam bunga ...... 101 Gambar 4.7 Minyak wangi ...... 102 Gambar 4.8 Saron...... 103 Gambar 4.9 Demung ...... 104 Gambar 4.10 Gong duduk...... 105 Gambar 4.11 Kendang ...... 105 Gambar 4.12 Slentem ...... 106 Gambar 4.13 Anak Wayang Sedang Menari...... 113 Gambar 4.14 Kostum Anak Wayang ...... 114

ix

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Musik menjadi bahagian dari kesenian dan kebudayaan umat manusia.

Musik digunakan dan difungsikan untuk berbagai aktivitas umat manusia. Mulai dari penggunaannya untuk kerja, untuk hiburan-hiburan di dalam masyarakat perkotaan seperti di ballroom hotel, café atau cafetaria, ruang dansa, dan lainnya, juga di dalam masyarakat pedesaan seperti untuk memeriahkan upacara panen, membersihkan desa, jamu laut, dan lain-lainnya. Musik juga selalu digunakan dalam upacara-upacara masyarakat, seperti untuk menyambut bayi lahir, memberikan nama anak, nyanyian anak, perkawinan, masuk rumah baru, kematian, dan lain-lainnya.

Sumatera Utara sendiri khusunya di kota Medan banyak memiliki suku suku dan budaya yang beragam. Di antara banyak suku dan budaya yang ada di kota Medan salah satunya adalah suku Jawa yang merupakan suku yang telah lama bermigrasi ke kota Medan.

Suku Jawa memiliki beragam budaya di antaranya adalah kesenian tari kuda lumping. Kuda lumping adalah seni tari yang dimainkan dengan properti berupa kuda tiruan, yang terbuat dari anyaman bambu atau bahan lainnya dengan dihiasi rambut tiruan dari tali plastik atau sejenisnya yang digulung atau dikepang, sehingga pada masyarakat Jawa sering di sebut kuda lumping. Tidak satupun catatan sejarah mampu menjelaskan asal mula tarian ini, hanya riwayat verbal

1

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kuda lumping juga di sebut Jaran Kepang atau jathilan adalah tarian teradisional Jawa, yang menampilkan sekelompok prajurit tengah menungganggi kuda.

Tari kuda lumping biasanya hanya menampilkan adegan prajurit berkuda, akan tetapi beberapa penampilan kuda lumping juga menyuguhkan atraksi kesurupan (trance), kekebalan, dan kekuatan magis, seperti atraksi memakan beling (pecahan kaca dalam bahasa Jawa) dan kekebalan tubuh terhadap deraan pecut (cemeti). Meskipun tarian ini berasal dari Jawa, tarian ini juga diwariskan oleh kaum Jawa yang menetap di Sumatra Utara dan di beberapa daerah di luar

Indonesia seperti di , , Hongkong, Jepang, dan Amerika.

Konon, tari kuda lumping adalah tari kesurupan. Ada pula versi yang menyebutkan, bahwa tari kuda lumping menggambarkan kisah seorang prajurit pemuda bergelar jathil penunggang kuda putih berambut emas, berekor emas, serta memiliki sayap emas yang membantu pertempuran Kerajaan Bantarangin melawan pasukan penunggang babi hutan dari Kerajaan Lodaya pada serial legenda reyog abad ke-8 (sumber https://id.wikipedia.org/wiki/Kuda_lumping)

Terlepas dari asal-usul nilai historisnya, tari kuda lumping menggambarkan semangat heroisme dan aspek kemiliteran sebuah pasukan berkuda atau kavaleri. Hal ini terlihat dari gerakan-gerakan ritmis, dinamis, dan agresif, melalui kibasan anyaman bambu, menirukan gerakan layaknya seekor kuda di tengah peperangan.

Seringkali dalam pertunjukan tarian kuda lumping, juga menampilkan atraksi yang mempertontonkan kekuatan supranatural berbau magis, seperti

2

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

atraksi mengunyah kaca, menyayat lengan dengan golok, membakar diri, berjalan di atas pecahan kaca, mungkin atraksi ini menggambarkan kekuatan supranatural yang pada jaman dahulu berkembang di lingkungan Jawa, dan merupakan aspek non militer yang di gunakan melawan pasukan belanda.

Adapun jenis-jenis musik kuda luping dan peranannya dalam setiap pertunjukannya yaitu: (1) Jatilan, lagu ini di mainkan pada saat anak wayang menari. (2) Reog Ponorogo, lagu yang dimainkan pada saat klimaks dari pertunjukan kuda lumping yaitu pada saat anak wayang akan mengalami trance

(kesurupan). (3) Waru Doyong, lagu yang dimain kan pada saat anak wayang menari. (4) Es Lilin, lagu yang dimainkan jika ada anak wayang yang sedang trance dan meminta lagu ini dimainkan, biasanya lagu ini dimainkan pada saat kembalinya endang (roh) yang ada dalam tubuh si anak wayang. (5) Ijo-ijo, sama halnya dengan lagu es lilen lagu ini juga dimainkan jika ada anak wayang yang sedang trance meminta lagu ini untuk di main kan.

Kayam (1981) mengungkapkan sebagai permainan rakyat, kuda lumping tidak dapat dimainkan oleh sembarang orang, tetapi harus di bawah petunjuk dan pengawasan sang pawang kuda lumping. Kesenian kuda lumping atau sering disebut dengan tari jathilan. Kuda lumping atau jaran kepang merupakan salah satu jenis tarian ritual warisan dari budaya primitif. Kuda lumping merupakan jenis tari yang paling tua di Jawa. Pada umumnya dalam pertunjukkan kuda lumping selalu ada salah satu penari atau lebih yang intrance, lebih lanjut dijelaskan bahwa kesenian tradisional kerakyatan kuda lumping pada zaman dahulu menggambarkan sebuah tari yang menyerupai dan menirukan gerakan

3

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

kuda. Hal ini disebabkan karena orang pada zaman dahulu mempercayai roh-roh kuda sebagai pelindung. Bunyi sebuah pecutan (cambuk) besar yang sengaja dilecutkan pada penari kuda lumping, menjadi awal permainan dan masuknya kekuatan mistis yang bisa menghilangkan kesadaran penari. Dengan menaiki kuda dari anyaman bambu tersebut, penunggang kuda yang pergelangan kakinya diberi kerincingan ini pun mulai berjingkrak-jingkrak, melompat-lompat hingga berguling-guling di tanah. Selain melompat-lompat, penari kuda lumping pun melakukan atraksi lainnya, dan tingkah lakunya menyerupai binatang, penari juga secara tidak sadar mampu memakan beling (pecahan kaca) dan mengupas sabut kelapa dengan giginya. Di saat tersebut penari memakan beling seperti layaknya orang kelaparan, tidak meringis kesakitan dan tidak ada darah pada saat penari menyantap beling-beling tersebut.

Untuk memulihkan kesadaran para penari dan penonton yang kerasukan, dalam setiap pagelaran selalu hadir para warok, yaitu orang yang memiliki kemampuan supranatural yang kehadirannya dapat dikenali melalui baju serba hitam bergaris merah. Para warok ini akan memberikan penawar hingga kesadaran para penari maupun penonton kembali pulih.

Pada fragmen selanjutnya, penari pria dan wanita bergabung membawakan tarian senterewe, pada fragmen terakhir, dengan gerakan-gerakan yang lebih santai enam orang wanita membawakan tari begon putri, yang merupakan tarian penutup dari seluruh rangkaian atraksi tari kuda lumping.

Adapun Jenis-jenis alat musik pengiring tarian kuda lumping yaitu: (1)

Saron, adalah alat musik dengan klasifikasi metalofon, merupakan alat musik

4

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

yang berbilah besi dan Memiliki Sembilan bilahan, (2) Demung, alat musik yang berbilah besih yang memiliki jumlah tujuh buah bilahan dengan klasifikasi metallofon, (3) Gong, alat musik yang dimainkan dengan cara dipukul, termasuk pada klasifikasi idiofon, jumlah gong yang di gunakan pada tari kuda lumping bervariasi mulai dari dua buah sampai enam buah, (4) Slenthem, alat music yang berbilah besi yang terdiri dari sepuluh buah bilahan yang disusun dalam dua baris bilahan yang satu baris terdiri dari lima bilahan besi, termasuk dalam kelasifikasi metallofon, (5) Kendang, alat musik perkusi, masuk dalam klasifikasi membranofon. (6) Bonang/peking, alat musik berbilah dengan klasifikasi xylofon jumlah bilahnya Sembilan buah sama jumlahnya dengan alat musik saron, namun wilayah nadan peking lebih tinggi disbanding saron.

Keenam alat musik diatas sangat berpengaruh terhadap struktur bangunan musik yang di hasilkan oleh grup kuda lumping Tunas Turonggo Mudo. Kelima alat musik tersebut dapat diklasifikasikan menurut fungsi, yaitu pembawa melodi yang diwakili oleh saron, demung, slenthem, dan peking, pembawa ritme adalah kendang.

Kuda lumping sering dipertunjukkan pada saat khitanan, pernikahan, ulang tahun, perayaan kemerdekaan, penyambutan tamu, dan lain-lain. Mereka biasanya di undang secara khusus oleh yang punya hajatan untuk pertunjukan, proses ini terjadi ketika ada kesepakatan antara pemimpin kuda lumping dengan yang ingin menanggap.

Menanggap adalah salah satu istilah dalam kuda lumping yang maksudnya adalah permintaan pertunjukan atau penampilan grup kuda lumpin oleh beberapa

5

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

orang atu satu orang saja untuk alasan tertentu biasanya saat hajatan,khitanan, serta perayaan kemerdekaan. Untuk menempatkan penelitian kuda lumping kelompok Tunas Turonggo Mudo ini sebagai penelitian etnomusikologi, maka penulis meletakan dasar keilmuan, yaitu penelitian ini adalah kajian musik (dan pertunjukan) dalam konteks kebudayaan masyarakat Jawa dan etnik lainnya di

Sarirejo, Medan, Sumatra Utara. Kajian ini juga akan memfokuskan pada analisis musiknya, yang mencakup instrumentasi, gendhing atau lagu, frase, motif, bentuk melodi lagu, pola ritme, durasi, aksentuasi, dan seterusnya dengan menggunakan teori dalam etnomusikologi.

Dilatarbelakangi oleh pertunjukan kuda lumping Tunas turonggo mudo seperti uraian di atas cukup menarik, maka penulis menentukan judul penelitian ini sebagai berikut: Analisis Musik Dalam Pertunjukan Kuda lumping Oleh

Sanggar Tunas Turonggo Mudo di Kelurahan Sari Rejo, Kec. Medan Polonia.

1.2 Pokok Permasalahan

Dari latar belakang seperti yang sudah di uraiakan maka penulis mendapatkan pokok permasalahan antara lain:

1. Deskripsi pertunjukan kuda lumping pada sanggar Tunas Turonggo Mudo?

2. Bagaimana struktur musik yang dimainkan dalam pertunjukan kuda

lumping pada sanggar Tunas Turonggo Mudo?

6

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian sesuai dengan pokok permasalahan yang telah di jelaskan di atas yaitu:

1 Untuk mengetahui deskripsi pertunjukan kuda lumping pada sanggar Tunas

turonggo mudo.

2 Untuk mengetahui Analisi musik yang dimainkan dalam pertunjukan Kuda

lumping pada sanggar Tunas turonggo mudo.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini di harapkan dapat:

1. Menjadi bahan infomasi yang dapat di pergunakan pada jurusan

etnomusikologi .

2. Memperluas pengetahuan dan wawasan penulis dalam

mengaplikasikan ilmu yang diperoleh selama masa studi di jurusan

etnomusikologi.

3. Salah satu hubungan musik dan tari dari suku Jawa di medan.

1.5 Konsep dan Teori

Melalui konsep dan teori, penulis di arahkan dan difokuskan untuk memperoleh gambaran tentang objek penelitian dan memecahkan pokok permasalahan yang telah di temukan. Selain itu, konsep dan teori juga berpungsi sebagai pedoman dan dasar untuk mencari dan melengkapi data-data yang di butuh kan.

7

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

1.5.1 Konsep

Konsep yang akan diuraikan pada subbab ini adalah yang terkait dengan judul penelitian, yaitu: Musik dan Pertunjukan Kuda lumping Kelompok tunas turonggo mudo di sari rejo Tulisan ini pada dasarnya diuraikan secara deskriptif dan analisis. Maka perlu dikemukakan pengertian deskripsi, kajian atau analisis .

Khusus tentang konsep Kuda lumping dan Tunas turonggo mudo akan dibahas secara khusus pada Bab III.

Konsep merupakan suatu definisi secara singkat dari kelompok fakta atau gejala (Mely Tan dalam Koentjaraningrat 1991:21). Konsep ini dalam rangka penelitian etnomusikologi boleh diambil dari kamus, para ahli di bidangnya maupun dari masyarakat yang kita teliti. Dalam konteks tulisan ini, konsep yang digunakan mencakup yang dikemukakan oleh para ahli maupun menurut para informan kunci dalam penelitian ini.

Yang dimaksud dengan deskripsi adalah unsur serapan dari bahasa Inggris description, adalah termasuk kepada kata benda abstrak yang artinya adalah gambaran, atau lukisan. Misalnya kata-kata beyond description artinya tak terlukiskan. Kemudian kata-kata to answer to description artinya sesuai dengan yang digambarkan (Echols dan Hasan Shadily 1978:175). Kata deskripsi ini ditujukan untuk menggambarkan kebudayaan suku Jawa, sejarah masuknya mereka ke Sumatera Timur, dan juga deskripsi keberadaan Kuda lumping kelompok Tunas Turonggo Mudo dalam masyarakat.

Dalam Kamus Besar Bahasa (1991:496) kata analisis diartikan sebagai penyelidikan atau penguraian terhadap suatu masalah untuk mengetahui

8

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

keadaan yang sebenar-benarnya serta proses pemecahan masalah yang dimulai dengan dugaan akan sebenarnya.

Kata yang sepadan dengan analisis, yang memang berasal dari bahasa

Indonesia, dan bukan unsur serapan, adalah kajian. Kata ini menjadi pilihan untuk tajuk skripsi penulis. Yang dimaksud dengan kajian adalah pemeriksaan atau penguraian yang teliti (Kamus Besar Bahasa Indonesia 1991:24).

Jadi analisis yang dimaksud dalam tulisan ini adalah suatu proses pengamatan untuk mengetahui struktur musik dan pertunjukan kuda lumping

Tunas turonggo mudo dengan cara melihat langsung pertunjukan mereka, ketika grup tersebut sedang ditanggap ataupun melalui wawancara dengan para pemain

Kuda lumping, atau dengan penonoton dan dengan orang-orang lain yang mempunyai pemahaman tentang kuda lumping. Kemudian menguraikannya secara mendalam berdasarkan fakta-fakta yang ada serta menarik kesimpulaan dari kajian atau analisis dimaksud.

Analisis musik dapat dikonsepkan sebagai bagian-bagian suatu komposisi musik yang terintegrasi menjadi satu bentuk yang estetik (lihat Kamus Besar

Bahasa Indonesis 1998). Analisis musik yang penulis maksudkan di sini adalah mencakup aspek melodi dan ritme. Kedua masalah pokok ini didukung oleh tangga nada, nada dasar, wilayah nada, persebaran nada-nada, interval, pola-pola kadensa, kontur, dan lainnya (Malm 1997).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990:459-460 ) kata jaran berarti kuda. Sedangkan kata kepang berarti jalinan (ayaman), tali (rambut)

(1990:546). Dalam tulisan ini kata kuda lumping bisa mengartikan dua hal yaitu:

9

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

salah satu bentuk kesenian Jawa yang menggunakan musik dan ilmu gaib dalam pertunjukannya dan yang berikutnya adalah kuda-kudaan atau benda yang bentuknya menyerupai kuda dibentuk sedemikian rupa dari bahan bambu atau plastik dan dipergunakan dalam pertunjukan kuda lumping.

Dari uraian di atas dapat diartikan bahwa yang dimaksud dengan Analisis

Musik Dalam Pertunjukan Kuda lumping oleh Sanggar Tunas Turonggo Mudo di

Kelurahan Sari Rejo,Medan. adalah suatu kajian tentang suatu seni pertunjukan

Kuda lumping yang saat ini tetap bertahan. Berdasar stratifikasi sosial mereka berada pada kelas ekonomi menengah ke bawah. Walau tingkat pendidikan yang tidak tinggi. mereka bisa mempunyai gagasan agar kuda lumping tetap bertahan dan tentunya tetap diminati oleh masyarakat.

1.5.2 Teori

Teori dalam pembahasan ini digunakan sebagai landasan kerangka berpikir dalam membahas permasalahan. Penulis menggunakan dua teori utama untuk mengkaji dua pokok permasalahan. Untuk mengkaji struktur musik (khususnya melodi dan ritme) yang digunakan dalam mengiringi pertunjukan kuda lumping digunakan teori weighted scale (bobot tangga nada). Untuk mendeskripsikan struktur musik seperti instrumentasi atau alat-alat musik yang digunakan dalam pertunjukan digunakan sistem klasifikasi Sachs dan Hornbostel serta etnoklasifikasi. Untuk menganalisis unsur-unsur pertunjukan digunakan teori deskripsi pertunjukan oleh

Murgianto.

Teori weighted scale, teori weighted scale adalah sebuah teori yang mengkaji keberadaan melodi berdasarkan kepada delapan unsurnya. teori ini dikemukakan oleh

10

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

William P. Malm (1977:15). Kedelapan unsur melodi itu menurut Malm adalah: (1) tangga nada; (2) nada pusat atau nada dasar; (3) wilayah nada [ambitus]; (4) jumlah nada; (5) penggunaan interval; (6) pola kadensa; (7) formula melodi; dan (8) kontur.

Teori ini dipergunakan untuk menganalisis melodi lagu yang dipergunakan dalam pertunjukan Kuda lumping oleh sanggar Tunas turonggo mudo di kelurahan sari rejo, medan. tentunya dengan melihat beberapa kali pertunjukan kuda lumping

Tunas Turonggo Mudo kemudian mencatat lagu-lagu yang sering dimainkan dalam pertunjukan, mencatat pada saat kapan saja lagu tersebut dimainkan, kemudian merekam lagu-lagu yang sering dimainkan.

Teori Murgianto, seni pertunjukan atau pertunjukan budaya merupakan tontonan bernilai seni drama, tari, dan musik yang disajikan sebagai pertunjukan di depan penonton (Murgianto 1996:156). Seni pertunjukan merupakan sesuatu yang berlaku dalam waktu, dengan maksud peristiwa ini memiliki arti hanya pada saat pengungkapan seni itu berlangsung. Sementara hakikat seni pertunjukan adalah gerak, perubahan keadaan dengan substansi terletak pada imajinasi serta prosesnya sekaligus, dengan daya rangkum sebagai sarana, cengkeraman rasa sebagai tujuan seninya dan keterampilan teknis sebagai bahan. Ada beberapa pembagian seni pertunjukan yaitu:

1 Seni pertunjukan yang memiliki kegunaan sebagai tontonan, dimana ada

pemisah yang jelas antara penyaji dan penonton.

2 Seni pertunjukan dengan kegunaan sebagai pengalaman bersama, dimana

antara penyaji dan penonton saling berhubungan (Sedyawaty, 1981:58-

60).

11

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Milton Singer pernah mengeluarkan pendapatnya yang bisa dipergunakan untuk mendeskripsikan seni pertunjukan. Bahwa seni pertunjukan memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) waktu pertunjukan yang terbatas, (2) mempunyai awal dan akhir,

(3) acara kegiatan yang terorganisir, (4) sekelompok pemain, (5) sekelompok penonton, (6) tempat pertunjukan, dan (7) kesempatan untuk mempertunjukkan.

(dalam Jurnal Masyarakat Seni Pertunjukan indonesia 1996:164-165)

Ditambah lagi dengan pendapat Edi Sedyawaty yang mengatakan analisis pertunjukan sebaiknya selalu dikaitkan dengan kondisi lingkungan di mana seni pertunjukan tersebut dilaksanakan atau didukung masyarakatnya, pergeseran- pergeseran yang terdapat di dalam pertunjukan dan kemungkinan yang muncul dari interaksi setiap orang (penyaji dan penyaji), (penyaji dan penonton) diantara variable- vriabel wilayah yang berbeda (1981:48-66). Di lain sisi, Qureshi juga pernah mengeluarkan pendapatnya tentang menganalisis pertunjukan yang mana dalam proses pertunjukan aspek yang mendasar terdiri dari ketegasan perilaku dari semua partisipan, musisi dan penonton, yang semua bersama-sama berinteraksi dalam pertunjukan (1988:135-136).

Lebih lanjut Maran (2005) mengatakan, tidak ada kebudayaan yang bersifat statis, setiap individu dan setiap generasi melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan semua desain kehidupan sesuai kepribadian mereka dan sesuai dengan tuntutan zaman. Begitu pulalah dengan pertunjukan kuda lumping yang menambahkan alat musik serta bentuk kesenian yang lainnya karena penyesuaian dengan zaman.

Teori dan kaidah seperti terurai di atas digunakan dalam penelitian ini, dalam rangka mendapat jawaban pokok permasalahan yang telah ditentukan pada bagian

12

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

pokok permasalahan tulisan ini. Adapun pokok masalah tersebut adalah proses pertunjukan dan struktur musik.

1.6 Metode Penelitian

Metode di sini diartikan sebagai suatu cara atau teknis yang dilakukan dalam proses penelitian. Sedangkan penelitian diartikan sebagai upaya dalam bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip dengan sabar dan hati-hati serta sistematis untuk mewujudkan kebenaran (Mardalis 2003:24).

Metode penelitian yang penulis gunakan adalah metode penelitian kualitatif. Menurut Nawawi dan Martini (1995:209) penelitian kualitatif adalah rangkaian atau proses menjaring data (informasi) yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi aspek atau bidang kehidupan tertentu pada objeknya. Selanjutnya Moleong juga menambahkan bahwa penelitian kualitatif dibagi dalam empat tahap, yaitu: tahap sebelum ke lapangan (pra lapangan), tahap kerja lapangan, analisis data dan penulisan laporan.

Dalam penelitian ini penulis juga menggunakan metode deskriptif yang bersifat kualitatif. Menurut Koentjaraningrat (1990:29) mengatakan bahwa penelitian yang bersifat deskriptif adalah bertujuan untuk memaparkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu untuk menentukan frekuensi atau penyebaran dari suatu gejala ke gejala lain dalam suatu masyarakat.

13

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

1.6.1 Studi Pustaka

Sebagai landasan penulis dalam melakukan penelitian, sebelum melakukan kerja lapangan penulis terlebih dahulu melakukan studi kepustakaan, baik dari artikel, skripsi, buku-buku yang yang berkaitan dengan objek penelitian. Studi ini bertujuan untuk memperoleh konsep-konsep serta teori-teori yang relevan untuk membahas permasalahan dalam tulisan ini.

Dalam studi kepustakaan ini, penulis mencari dan membaca buku-buku yang berkaitan dengan topik penelitian ini. Di antara bidang ilmu yang dikandungi buku-buku yang penulis baca adalah bidang etnomusikologi, antropologi, kajian seni pertunjukan, budaya Jawa dan Nusantara secara umum, sosiologi seni, mengenai trance, tema-tema adaptasi dan migrasi, perkebunan, koeli kontrak, dan lain-lain. Isi buku-buku yang relevan penulis kutip menurut kaidah tulisan ilmiah.

Untuk memperjelas arah penelitian, dan mengeksplorasi hal-hal yang perlu dikaji, maka di bawah ini akan diuraikan secara ringkas alangkah baiknya di sini diuraikan secara ringkas penelitian yang dituang dalam bentuk tulisan-tulisan yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu. Di antaranya adalah seperti diuraikan berikut ini.

Seorang peneliti yang berlatarbelakang etnomusikologi, yaitu Margareth J.

Kartomi dari , menulis sebuah buku mengenai Kuda lumping yang bertajuk Music and Trance in Central (1973). Dalam tulisannya ini beliau mengemukakan tentang hubungan musik dan trance yang terjadi dalam praktik pertunjukan Kuda lumping. Salah satu deskripsi tulisannya adalah mengenai ebeg

(Kuda lumping) di daerah Banyumas. Ia menjelaskan bahwa musik dapat

14

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

menjadi dasar terciptanya kesurupan pada pertunjukan Kuda lumping di daerah penelitiannya tersebut. Melalui tulisannya itu, Margareth Kartomi juga.

Mendeskripsikan keberadaan alat-alat musik yang dipergunakan dalam pertunjukan Kuda lumping, yaitu gong, saron (peking), (saron) demung, dan kendhang. Secara dasar, tulisan ini mendeskripsikan aspek kesurupan yang terjadi karena komunikasi antara dunia manusia dengan alam gaib, yang dibantu oleh bunyi-bunyian dari alat musik gamalen Jawa. Musik berperan penting dalam trance.

Masih tentang Kuda lumping di daerah Jawa, seorang penulis setempat yang bernama Soekarno (1983) menulis sebuah buku yang bertajuk Pertunjukan

Kuda lumping di Jawa Tengah. Dari hasil pengamatan dan penelitiannya ia menjelaskan bahwa pertunjukan Kuda lumping digunakan untuk upacara bersih desa, untuk menghalau. roh-roh jahat yang menyebabkan penyakit dan malapetaka lainnya. Upacara semacam ini sangat umum dilakukan di kawasan budaya Jawa. Bahkan setiap keluarga di Jawa juga dapat mengadakan upacara menolak bala yang disebut dengan ruwaran.

Di kawasan Nusantara lainnya, tepatnya di Negara Malaysia, seorang penulisnya yaitu Nasuruddin (1990), menulis tentang Kuda lumping di Malaysia, khususnya wilayah perantauan Jawa, yaitu dan Shah Alam. Nasuruddin juga mengkaitkannya dengan Kuda lumping di Pulau Jawa sebagai daerah asal- usulmya pertunjukan Jaran Kepang di Semenanjung Malaysia. Ia juga menjelaskan bahwa Kuda lumping dibuat di Jawa sebagai bentuk penyembahan ritual yang terjadi pada masa animisme. juga turut mengembangkan

15

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

ajarannya melalui seni-seni pertunjukan seperti halnya Kuda lumping ini. Di dalam pertunjukannya biasa menggunakan makna-makna metaforik.

Untuk kajian mengenai Kuda lumping di Sumatera Utara, seorang penulis insider, yaitu Heristina Dewi (1992) dalam rangka menyelesaikan studi sarjana seninya di Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, meneliti keberadaan Kuda lumping di salah satu desa di Sumatera Utara, dengan tajuk Jaran Kepang pada Masyarakat Desa Cengkeh Turi, Binjai, Sumatera

Utara: Suatu Studi Kasus Musik Dan Trance Dalam Konteks Sosio-Budaya.

Dalam skripsi ini, Heristina Dewi mendeskripsikan pertunjukan Kuda lumping di daerah pedesaan dan sekaligus perkebunan, sebagai kawasan umum orang-orang

Jawa di Sumatera Utara. Selanjutnya beliau menganalisis hubungan musik dengan peristiwa kesurupan (trance). Tulisan ini menjadi acuan utama penulis dalam melakukan penelitian ini. Adapun alasannya adalah kawasan yang diteliti adalah, masyarakat Jawa di Sarirejo, Sumatera Utara, dan fenomenanya juga hampir sama. Yang membedakannya dengan penelitian yang penulis lakukan adalah kelompok Kuda lumpingnya dan selain itu adalah fenomena seperti masuknya sintren dalam kelompok yang penulis teliti. Selain itu karena rentang waktu antara

Heristina Dewi melakukan penelitian dan kajian yaitu tahun 1992 dengan penulis tahun 2017, yaitu 25 tahun, maka tentu saja sudah banyak perkembangan- perkembangan baru dalam pertunjukan Kuda lumping ini. Untuk itulah dilakukan penelitian ini.

Tulisan berikutnya yang ada di Sumatera Utara adalah Syarbaini. Tulisan yang dibuatnya dalam rangka meraih gelar sarjana di Universitas Sumatera Utara

16

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Jurusan Sosiologi, dengan judul “ Fungsi Humor

Sebagai Rite Dalam Kuda Kepang.“ Di dalam tulisan tersebut Syarbaini lebih menitikberatkan kajiannya pada humor yang ada dalam pertunjukan kuda lumping.

1.6.2 Wawancara

Dalam teknik wawancara, saya melakukan wawancara berencana di mana sebelumnya telah tersedia daftar pertanyaan yang akan diajukan kepada informan.

Namun dalam wawancara tersebut, pembicaraan bersifat informal dan spontan.

Adakalanya pertanyaan akan berkembang sesuai dengan pembicaraan, tetapi penulis tetap berpusat kepada inti permasalahan dan tujuan penelitian.

1.6.3 Kerja Laboratorium

Pada kerja laboratorium ini, seluruh data yang terkumpul akan diolah dan dianalisis sesuai dengan permasalahan yang ada pada tulisan. Saya juga akan menganalisis musik yang ada berdasarkan teori yang sesuai dengan ilmu

Etnomusikologi.

Setelah melakukan analisis data tersebut, kemudian saya membuatnya ke dalam sebuah tulisan karya ilmiah berbentuk skripsi sesuai dengan teknik penulisan secara ilmiah. Dengan demikian, diharapkan tulisan ini dapat mengembangkan wawasan pengetahuan di bidang Etnomusikologi.

17

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

1.7 Lokasi Penelitian

Adapun lokasi penelitian, penulis menetapkan di Sarirejo, Medan. Sarirejo dipilih karena penulis bermukim sementara (kost) sebagai mahasiswa di Sarirejo sehingga memudahkan dalam melakukan kerja lapangan. Walaupun masyarakat

Sarirejo tidak keseluruhannya suku Jawa, yakni ada juga orang Melayu, Karo,

Batak Toba, Tamil, dan lain-lainnya, namun kuda lumping masih tetap ada di

Sarirejo bahkan sering ada pertunjukannya, ini ditunjukkan bahwa di Sarirejo menurut kerja lapangan ada tiga grup yang tersebar di Sari rejo.

18

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB II

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT JAWA DI KELURAHAN

SARI REJO, MEDAN

2.1 Sumatera Utara

Pada saat Indonesia merdeka tahun 1945, Sumatera tetap dipertahankan sebagai satu wilayah pemerintahan yang disebut Provinsi Sumatera, yang dipimpin oleh seorang gubernur. Terdiri dari beberapa kabupaten yang dipimpin oleh bupati. Untuk memudahkan jalannya pemerintahan, maka Komite Regional

Nasional Indonesia membagi Sumatera ke dalam tiga provinsi: Sumatera Utara yang di dalamnya termasuk Aceh, Sumatera Timur, dan Tapanuli; Sumatera

Tengah, dan Sumatera Selatan. Awal tahun 1949, sistem pemerintahan ini direstrukturisasi. Sumatera Utara dibagi dua daerah militer: Aceh dan Tanah Karo dipimpin oleh Teungku Mohammad Daud Beureuh, sementara itu wilayah militer

Sumatera Timur dan Sumatera Selatan dipimpin oleh Dr. F.L. Tobing.

Kawasan Sumatera Utara awalnya provinsi yang merupakan gabungan wilayah dari Aceh, Sumatera Timur, dan Tapanuli, yang sekarang hanya tinggal dua kawasan terakhir. Berdasarkan pengamatan lapangan, maka Sumatera Utara dihuni oleh tiga jenis pemukim, yaitu: etnik-etnik native, yang terdiri dari:

Melayu, Karo, Pakpak-Dairi, Simalungun, Toba, Mandailing, Pesisir (Barat), dan

Nias; etnik-etnik pendatang Nusantara yang terdiri dari: Aceh, Minangkabau,

Banjar, Jawa, Sunda, dan lainnya; dan etnik-etnik pendatang dunia, seperti:

Hokian, Kwong Fu, Hakka, Khek, Tamil, Hindustani, Sikh, Arab, Belanda, dan

19

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

lain-lainnya. Sementara itu di kawasan budaya Mandailing-Angkola terdapat masyarakat Lubu dan Siladang.

Dengan demikian, Sumatera Utara adalah daerah yang multi etnik dan budaya. Mereka tetap memelihara berbagai unsur budaya yang diwarisi dari nenek moyangnya. Masyarakat Karo, Pakpak-Dairi, Simalungun, Toba, dan Mandailing-

Angkola, kadangkala disebut juga dengan masyarakat Batak. Namun dalam kenyataannya ada pula di antara mereka yang menolak istilah generalisasi tersebut. Namun bagaimanapun ada berbagai persamaan budaya di antara kelompok-kelompok masyarakat tersebut. Misalnya pembagian tiga struktur masyarakat berdasarkan hubungan perkawinan dan darah (dalihan na tolu atau rakut sitelu). Dalam bidang bahasa pula ada dua alur utama, yaitu kelompok bahasa Karo dan Pakpak-Dairi serta kelompok bahasa Toba, Simalungun, dan

Mandailing-Angkola. Berdasarkan aspek historis, wilayah Sumatera pada saat pemerintahan kolonial Belanda disebut Gouverment van Sumatra, yang mencakup keseluruhan wilayah Sumatera dan pulau-pulau di sekitarnya. Pusat pemerintahan ini berada di Medan, yang dipimpin oleh seorang gubernur. Pada masa penjajahan

Belanda ini, Sumatera Utara dibagi ke dalam berbagai daerah administratif yang disebut regency (keresidenan).

Sumatera Utara berada pada 1°LU sampai 4°LU pada garis latitudinal dan

98°BT-100°BT pada garis longitudinal, dan berbatasan dengan wilayah Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam di Utara, Provinsi Sumatera Barat dan Riau di

Selatan, selat Melaka di Timur, dan samudera Hindia di sebelah Barat.

Keseluruhan area Sumatera Utara adalah 71.680 kilometer persegi dengan jumlah

20

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

penduduk 12.875.045 jiwa. Sumatera Utara dihuni oleh berbagai kelompok etnik dengan berbagai agama yang dianut. Pada masa sekarang sebagian besar masyarakat Sumatera Utara, menerima cara pembahagian kelompok-kelompok etnik setempat ke dalam delapan kategori, seperti yang ditawarkan oleh pemerintah Indonesia. Tiga kelompok etnik besar Sumatera Utara adalah Batak,

Melayu Pesisir, dan Nias. Orang-orang Sumatera Utara biasanya dibagi ke dalam sembilan populasi setempat (yaitu mereka yang bukan imigran), yang biasa disebut dengan suku-suku.

Kelompok etnik Batak yang lebih luas, biasanya dibagi kepada enam komunitas utama, yaitu: Pakpak-Dairi, Batak Toba, Angkola-Sipirok, Mandailing,

Karo, dan Simalungun. Keenam komunitas utama ini mempunyai organisasi sosial yang sama, yaitu berdasar pada sistem patrilineal dan klen yang eksogamus.

Mereka mempunyai sistem sosial, agama, dan linguistik yang berbeda. Perbedaan linguistik paling jelas adalah antara kelompok Karo dan Pakpak-Dairi di utara dan barat--dengan kelompok Toba, Mandailing, Angkola, dan Sipirok di Selatan.

Simalungun berada di antara dua sistem linguistik ini.

Pulau Sumatera mempunyai panjang lebih dari 1,920 kilometer yang membentang dari barat laut ke tenggara, dan mempunyai lebar maksimum sebesar

384 km. Sumatera adalah pulau di sebelah barat Indonesia, yang terentang dari 6º

LU sampai 6º LS secara latitudinal dan 95º sampai 110º BT secara longitudinal

(Whitington 1963:203).

Sumatera juga dikelilingi oleh pulau-pulau di sekitarnya, baik yang berdekatan dengan pantai barat ataupun timurnya. Pulau-pulau ini secara

21

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

pemerintahan ikut ke dalam pemerintahan daerah di Sumatera. Struktur geologis

Pulau Sumatera didominasi oleh rangkaian Pergunungan Bukit Barisan.

Rangkaian pegunungan ini sampai ke wilayah Selat Sunda. Awalnya Sumatera dibagi menjadi lima Provinsi atau Daerah Tingkat I sampai dekade 1980-an. Kini terdiri dari sembilan provinsi yaitu: Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara,

Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, dan

Bangka Belitung.

Sumatera adalah kawasan yang sangat cocok untuk bidang pertanian dan perikanan (Whitington 1963:539). Sebahagian besar penduduk Sumatera tergolong ke dalam ras proto-Mongoloid (Fisher 1977:456), dan berbahasa sama dengan kelompok bahasa Austronesia atau Melayu-Polinesia (Howell 1973:80-

81).

Pada masa lampau, beberapa sistem klasifikasi regional dipergunakan untuk membahagi wilayah secara etnik. Provinsi Sumatera Utara misalnya pada zaman Belanda terdiri dari dua wilayah yaitu Sumatera Timur dan Tapanuli.

Namun Sumatera Timur mencakup daerah Aceh Timur (Whitington 1963:203).

Daerah budaya Sumatera Utara yang menjadi fokus studi ini, berkaitan dengan daerah Sumatera Timur masa Belanda dan awal kemerdekaan Republik

Indonesia. Dalam konteks perdagangan dunia, Sumatera Timur sangat terkenal, mempunyai pertumbuhan ekonomi yang pesat. Sumatera Timur mempunyai beberapa perkebunan, menghasilkan minyak, dan menjadi daerah sumber devisa yang penting di Indonesia. Perdagangan dan perikanan menjadi bidang ekonomi

22

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

yang sangat penting di Pesisir Timur Sumatera Utara ini. Daerah Sumatera Timur ini awalnya dihuni oleh tiga etnik setempat, yaitu: Melayu, Karo dan Simalungun.

Sumatera dan pulau-pulau sekitarnya sendiri dihuni oleh beberapa kelompok etnik setempat, yaitu: Aceh, Alas dan Gayo, Batak, Melayu, Minangkabau, Rejang,

Lampung, Kubu, Nias, Mentawai, dan Enggano. Sejarah kebudayaan di Sumatera

Timur, erat kaitannya dengan saling berinteraksinya di antara penduduk setempat dengan pendatang.

Dengan keberadaan budaya yang heterogen ini, sampai sekarang,

Sumatera Utara tidak memiliki budaya dominan. Mereka berada di antara hidup segregatif di satu sisi dan integrasi di sisi lainnya. Para pendatang ini melakukan pola migrasi. Migrasi dapat didefinisikan sebagai gerakan pindah penduduk dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan maksud mencari nafkah atau menetap.

Migrasi tersebut ada yang terjadi karena didatangkan oleh seseorang atau suatu lembaga. Ada juga yang terjadi berdasarkan kemauan sendiri. Pola migrasi di

Sumatera Utara umumnya bermotif ekonomi, yang didukung oleh faktor sosial, seperti: berbedanya tingkat kemakmuran di antara desa dengan kota, tingkat konsumsi dan produksi rata-rata per kapita di pededesaan lebih rendah dibandingkan di perkotaan, pertumbuhan ekonomi di perdesaan lebih lambat dibandingkan di perkotaan (Suwarno dan Leinbach 1985:68).

Sumatera Utara adalah termasuk ke dalam salah satu daerah tujuan migrasi yang terkenal di Indonesia bahkan kawasan Asia, karena didukung oleh perkembangan ekonominya yang pesat. Daerah ini memerlukan jumlah tenaga kerja yang relatif banyak, dan memerlukan pekerja-pekerja yang terampil dan

23

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

berkemauan keras untuk maju di dalam bidangnya. Para migran pun sadar akan harapan-harapan yang realistik yang dijanjikan di daerah ini. Faktor lain tingginya migrasi ke Sumatera Utara disebabkan oleh faktor budaya majemuk. Orang yang bermigrasi ke wilayah ini dapat langsung membaur dengan kelompok etniknya-- tidak harus melebur dalam budaya lain. Latar belakang orang bermigrasi ke

Sumatera Utara juga beraneka ragam antara lain, yaitu: mencari kesempatan kerja, pindah kerja, ditugaskan oleh pejabat, tertarik dengan kehidupan kota, bosan tinggal di desa, ingin mandiri dari orang tua, ikut orang tua, sekolah, dan sebagainya. Sejak zaman Belanda hingga sekarang, migrasi ke Sumatera Utara terus berlangsung. Di antara migran ini ada pula yang menjadi jemaat gereja

Bethel Indonesia.

Daerah Sumatera Timur mengalami peningkatan jumlah penduduk sebesar

300% sejak tahun 1905 sampai 1930, yang disebabkan oleh berkurangnya peperangan, perbaikan kesehatan, menurunnya jumlah kematian anak, dan terutama kedatangan migran dari luar daerah, yang umumnya didatangkan untuk bekerja di perkebunan-perkebunan di Sumatera Utara (Langenberg 1976:37-38).

Khususnya perluasan pertanian perkebunan di Sumatera Timur mempunyai pengaruh yang mencolok dalam keadaan demografis, yaitu dalam waktu singkat penduduk asli Sumatera Timur yang terdiri dari Melayu, Karo, dan Simalungun jumlahnya dilampaui oleh suku-suku pendatang, terutama Jawa dan Cina.

Pada tahun 1930, kepadatan penduduk di kawasan perkebunan di

Sumatera Timur mencapai 200 jiwa/km², yakni tertinggi di Pulau Sumatera

(Langenberg 1976:40). Perkembangan perkebunan yang diikuti pembangunan

24

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

berbagai saran dan prasarana seperti jalan raya, jalur kereta api, dan jembatan, menjadi daya tarik bagi pendatang-pendatang yang bermigrasi ke Sumatera Timur ini. Sehubungan dengan pembuatan sarana-prasarana ini, sultan-sultan, para pedagang, pejabat-pejabat pemerintah Belanda dan semua orang kecuali para nelayan mulai pindah ke pedalaman sepanjang jalan raya atau jalur kereta api, khususnya kota-kota baru. Sebagai contoh perpidahan dari Tanjung Pura ke

Binjai, dari Rantau Prapat ke Lubuk Pakam dan sebagainya (Pelzer 1985:88).

Pada awal abad ke-20, lima kota di Sumatera Timur, yaitu: Medan,

Pematang Siantar, Tebing Tinggi, Tanjung Balai, dan Binjai ditetapkan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai gemeente (kota praja), dan dengan demikian berkembang sebagai pusat ekonomi, politik, dan sosial serta budaya. Lain halnya dengan daerah Tapanuli, di Sumatera Timur terlihat bertumbuhnya kelas menengah berpendidikan dan golongan pekerja (proletariat). Kekuatan-kekuatan sosial yang muncul di kota, memegang peranan penting dalam perkembangan sosial, politik, dan kebudayaan. Dengan demikian, di Sumatera Timur, mobilitas sosial yang tinggi termasuk urbanisasi merupakan faktor utama dari terjadinya perubahan sosial. Jika kita memberi perhatian pada kedatangan para migran yang menonjol di Sumatera Timur, maka kita dapat temui bahwa banyak kuli didatangkan oleh para pengusaha perkebunan melalui agen-agen, terutama masyarakat China dan Tamil pada mulanya, dan kemudian disusul etnik Jawa.

Setelah selesai dari kontrak dengan perkebunana para bekas kuli ramai yang menjadi petani penyewa tanah. Masyarakat China bekas kuli, selain menjadi petani penanam sayur-sayuran, ramai juga yang berpindah ke kota-kota memasuki

25

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

sektor perdagangan. Etnik Jawa bekas kuli banyak mendirikan pemukiman yang selalu disebut sebagai Kampung Jawa, atau menjadi tenaga kerja di kota-kota di

Sumatera Timur.

Tabel 2.1

Jumlah Berbagai Etnik di Sumatera Timur Tahun 1930

Jumlah Berbagai Etnik di Sumatera Timur Jumlah % Tahun 1930 Banyaknya

Eropa 11,079 0.7

China 192,822 11.4

India dan lainnya 18,904 1.1

Subtotal Non-Pribumi 222,805 13.2

Jawa 589,836 35

Batak Toba 74,224 4.4

Mandailing-Angkola 59,638 3.5

Minangkabau 50,677 3

Sunda 44,107 2.6

Banjar 31,266 1.8

Aceh 7,795 0.5

Lain-lain 24,646 1.5

Subtotal Pendatang 882,189 52.3

Melayu 334,870 19.9

Batak Karo 145,429 8.6

Batak Simalungun 95,144 5.6

lain-lain 5,436 0.3

Subtotal Pribumi Sumatera Timur 580,879 34.5

26

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Jumlah seluruhnya 1,685,873 100

Sumber: Anthony Reid (1987:61)

Dengan demikian, tidaklah mengherankan jika di daerah Sumatera Timur, khususnya di kota-kota, terbentuk masyarakat heterogen dalam beberapa dasawarsa pada awal abad ke-20 sebagaimana yang dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Namun kota-kota tersebut tidak berfungsi sebagai wadah pembauran (melting pot)

(Pelzer 1985:47-48).

Di lain sisi kelompok-kelompok etnik itu awalnya tidak terjadi integrasi dan asimilasi di antara satu dengan lain, akan tetapi lebih mencolok terbentuknya pemukiman-pemukiman yang dihuni oleh kelompok warga satu etnik yang tertentu, yang memisahkan dirinya dengan etnik lain. Setiap kelompok dipersatukan oleh ikatan adat yang dibawa dari tempat asalnya dan perlindungan atas warganya masing-masing. Begitu juga dengan pendatang dari luar Nusantara seperti orang China, Arab, India, dan Eropa, yang membentuk permukiman masing-masing. Pada umumnya permukiman elit orang Eropah dan permukiman pendatang asal suku Cina, Arab dan India, masing-masing menempati pusat kota dan di sekelilingnya terdapat permukiman-permukiman kelompok etnik pribumi.

Pendatang baru mendapat kemudahan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di rantau di bawah perlindungan permukiman tersebut. Di dalam permukiman itu sendiri setiap kelompok masyarakat biasanya menggunakan bahasa daerahnya masing-masing dan menjaga kelangsungan kehidupan berdasarkan norma-norma tradisional dan agamanya.

27

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Dengan demikian budaya yang dibawa dari tempat asal masing-masing kelompok terjaga. Mereka masing-masing membentuk jaringan sosial dengan para migran baru yang berasal dari kelompok etnik yang sama.

Sesudah kemerdekaan Republik Indonesia, di kota-kota Sumatera Utara muncul kelompok orang kaya baru yang terdiri dari beberapa golongan, seperti: pegawai, pengusaha, ahli politik, pemodal besar, Tentara Nasional Indonesia

(TNI), ahli teknologi, dan lain-lain (Pelly 1986:11).

Mereka yang merupakan elit peribumi baru membentuk pemukiman baru yang bersifat netral, dan kehadirannya dipandang sebagai kelas eksekutif. Dengan demikian, di kota-kota Sumatera Utara tersusun masyarakat majemuk yang segregatif. Orang hidup berdampingan secara fisik, tetapi karena perbedaan suku, agama, dan status sosial, mereka terpisah dalam kelompok-kelompok atau unit- unit sosial yang segregatif (Pelly 1985:70). Kehidupan masyarakat perkotaan yang segregatif ini diperkuat oleh kesamaan dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan agama seperti pemilihan jenis pekerjaan, organisasi-organisasi sosial atau agama dan pendidikan formal dan informal (Pelly 1985:5).

Dalam hal ini sering terjadi dominasi dari satu kelompok suku dalam kegiatan ekonomi dan distribusi pendapatan, yang dapat menimbulkan kesenjangan sosial dan suasana tidak akrab, yang menyebabkan masyarakat terikat pada pandangan stereotaip dan berbagai prasangka terhadap kelompok lain.

Namun pada sisi lain, tuntutan berbangsa dan bernegara memaksa mereka untuk bersatu pula, demi terwujudnya stabilitas dan keharmonian sosial.

28

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Kini pada tahun 2017 Sumatera Utara adalah salah satu dari 33 Provinsi di

Indonesia, yang terdiri dari 23 pemerintahan Kabupaten dan Kota, yaitu:

Kabupaten Tapanuli Tengah, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Tapanuli

Selatan, Kabupaten Nias, Kabupaten Langkat, Kabupaten Karo, Kabupaten

Simalungun, Kabupaten Asahan, Kabupaten Labuhan Batu, Kabupaten Dairi,

Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Nias Selatan,

Kabupaten Pakpak Bharat, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten

Samosir, Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Batubara, Kabupaten Padang

Lawas Utara, Kabupaten Padang Lawas, Kabupaten Labuhan Batu Utara,

Kabupaten Labuhan Batu Selatan, Kabupaten Nias Utara, Kabupaten Nias Barat,

Kota Medan, Kota Pematang Siantar, Kota Padangsidempuan, Kota Sibolga, Kota

Tanjung Balai, Kota Binjai, Kota Tebing Tinggi dan Kota Gunung Sitoli.

2.2 Daerah Kebudayaan Jawa

Masyarakat Jawa adalah suku yang terbesar jumlahnya di Indonesia.

Hampir setengah dari sekitar 240 juta jiwa penduduk Indonesia merupakan suku

Jawa. Wilayah kebudayaan mereka adalah di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Namun pada masa sekarang ini, orang-orang Jawa menetap di berbagai kawasan di seluruh pulau di Indonesia, bahkan sampai ke Malaysia. Begitu juga penyebarannya sampai ke Afrika Selatan, Suriname, dan Madagaskar.

Di Indonesia sendiri selain di Pulau Jawa, suku Jawa ini tersebar ke berbagai kawasan, dengan tujuan meningkatkan taraf hidup melalui transmigrasi yang dilakukan sejak zaman belanda sampai sekarang. Di antara kawasan-

29

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

kawasan yang menjadi tempat tinggal baru suku Jawa adalah Provinsi Sumatera

Selatan, Provinsi lampung, Provinsi Bengkulu, Provinsi Bangka Belitung,

Propinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan

Tengah, Provinsi Papua Barat, Provinsi Riau, Provinsi Sumatera Utara, dan lain- lainnya. Di antara provinsi yang suku Jawanya berjumlah menonjol adalah

Provinsi Sumatera Utara.

Sumatera Utara (dahulu Sumatera Timur) adalah sebuah provinsi yang mayoritas dihuni oleh suku Jawa sebagai suku pendatang Mereka selain bermigrasi atau transmigrasi juga membawa kesenian-keseniannya. Di antara kesenian itu yang paling menonjol adalah eksistensi kuda lumping. Kesenian ini dijumpai merata hampir di sebahagian besar desa-desa yang mayoritas dihuni oleh suku Jawa di Sumatera Utara. Termasuk suku Jawa yang ada di Sarirejo di desa yang menjadi tempat penelitian penulis. Kesemua faktor tersebut di atas menjadi bahagian yang tidak terpisahkan dari kesenian kuda lumping di wilayah ini. Untuk itu perlu dideskripsikan tentang gambaran umum masyarakat Jawa dalam konteks wilayah Sumatera Utara, khususnya Sarirejo yang mendukung keberadaan seni kuda lumping ini.

Daerah kebudayaan Jawa dapat dikatakan sangat luas, yang meliputi bagian tengah dan timur Pulau Jawa. Walaupun demikian, ada daerah-daerah yang secara kolektif sering disebut daerah Kejawen. Sebelum ada perubahan status wilayah seperti sekarang ini, daerah itu meliputi Banyumas Kedu, ,

Surakarta, Madiun, Malang, dan Kediri. Daerah di luar tersebut dinamakan daerah pesisir dan ujung timur (sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Jawa)

30

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Kebudayaan Jawa semula berpusat di , tetapi dengan terjadinya

Perjanjian Giyanti 1755, antara raja Surakarta dan Yogyakarta, pusat kebudayaan

Jawa juga terdapat di Yogyakarta. Di berbagai daerah tempat kediaman orang

Jawa terdapat variasi dan perbedaan-perbedaan yang bersifat lokal dalam beberapa unsur kebudayaan, seperti perbedaan mengenai berbagai istilah teknis, dialek, bahasa, dan lain sebagainya. Namun kalau diteliti lebih jauh hal-hal itu masih merupakan suatu pola atau satu sistem dalam satu kebudayaan Jawa.

Agama yang dianut mayoritas, penduduknya adalah agama Islam, kemudian agama Kristen Katolik, Protestan, Hindu, dan Budha. Orang santri adalah mereka yang secara patuh dan teratur menjalankan ajaran-ajaran Islam.

Sedangkan orang Islam Kejawen biasanya tidak menjalankan shalat, puasa, dan tidak bercita-cita naik haji, tetapi mereka mengakui ajaran-ajaran agama Islam pada umumnya.

Orang Jawa mempunyai kepercayaan adanya suatu kekuatan yang melebihi segala kekuatan di mana saja yang pernah mereka kenal, yakni kesakten, kemudian arwah atau roh leluhur dan mahluk-makhluk halus seperti memedi, lelembut, tuyul, demit, jin, dan lain sebagainya. Mahluk-mahluk tersebut bertempat tinggal di sekitar kediaman mereka. Menurut kepercayaan masing- masing mahluk-mahluk tersebut dapat mendatangkan kebahagiaan, ketentraman, dan keselamatan--tetapi juga dapat menimbulkan gangguan pemikiran, kesehatan bahkan dapat menyebabkan kematian.

Bila seseorang ingin hidup tanpa menderita ganguan, ia harus berbuat sesuatu untuk mernpengaruhi alam semesta dengan berprihatin, berpuasa,

31

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

berpantang melakukan perbuatan serta makan-makanan tertentu, berselamatan, dan bersaji. Kedua cara terakhir ini kerap kali dijalankan oleh masyarakat Jawa di desa-desa pada waktu tertentu dalam peristiwa kehidupan sehari-hari. Selama masa penelitian kedua cara ini pernah penulis sendiri saksikan. Cara pertama yaitu berselamatan atau selamatan. Dalam cara ini banyak yang mengundang Kuda lumping untuk memeriahkan dan lebih memantapkan keinginan mereka agar tercapai. Peristiwa yang pernah penulis saksikan sendiri adalah ketikaada seorang kakek yang cucunya sakit selama berbulan-bulan kemudian dia berjanji jika nanti cucunya sembuh maka akan mengadakan selamatan dengan mengundang orang- orang di sekitar kampung untuk makan dan mengundang grup kuda lumping.

Peristiwa ini terjadi di desa Sarirejo.

Selain peristiwa itu penulis juga pernah melihat ketika pertunjukan grup kuda lumping yang lain sedang mengamen di tengah-tengah pertunjukannya ada seorang ibu yang meminta anaknya disembuhkan karena sudah hampir seminggu badan anaknya panas ketika itu ada seorang anak wayang yang sedang trance dan kemudian memanggil ibu itu sambil mengendong bayinya, tentunya hal ini terjadi setelah ada komunikasi antara pawang dengan anak wayang yang sedang trance tersebut. Setelah mendekat si anak wayang tersebut memegang badan si anak kecil kemudian meminta segelas air putih , dengan membaca mantra-mantra tertentu maka dia menyuruh ibunya untuk meminum air di dalam gelas tersebut.

Setelah itu maka selesailah acara pengobatan tersebut.

Cara kedua yaitu bersaji. Cara ini ketika tahun baru agama Islam. Pada waktu ini biasanya para pemain kuda lumping akan melakukan upacara selamatan

32

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

sekaligus bersaji sebagai ungkapan terima kasih kepada Tuhan dan pembersihan diri agar terhindar dari mara bahaya. Penulis pernah melihat salah satu pawang kuda lumping yag bernama Pak Saripuden melakukan upacara bersaji ketika tahun baru Islam. Pak Saripuden melakukan pembersihan barang-barang keramatnya dengan membakar kemenyan dan menyiapkan sebaskom air yang sudah dicampur dengan air jeruk purut untuk mencuci alat-alat pusaka yang dimilikinya.

Menurut Pak Saripuden sehari sebelum melakukan pembersihan alat pusaka miliknya itu maka harus berpuasa terlebih dahulu agar doa-doa dan keinginannya tercapai dan terhindar dari mara bahaya. Sedang kan bagi grup kuda lumping mereka akan melakukan pertunjukan tanpa ada yang mengundang dengan tujuan pembersihan diri serta ucapan syukur kepada tuhan karena sampai saat itu mereka tetap bermain kuda lumping. Dalam acara ini biasaanya didahului dengan acara makan bersama dengan menu nasi urap dan bubur merah putih setelah itu maka dilakukan pembersihan alat-alat kuda lumping dengan mencucinya menggunakan air yang telah dicampur dengan minyak wangi cap air mata duyung dan jeruk purut.

Orang Jawa meskipun pada umumnya diketahui sebagai penghuni daerah agraris, mereka sejak zaman dahulu melakukan perpindahan dalam berbagai bentuk seperti perdagangan, pendudukan kerajaan-kerajaan Jawa, migrasi secara spontan, dan sebagainya. Sebagai pedagang, umpamanya, mereka terkenal bergerak antar pulau-pulau di Nusantara, terutama membawa beras dan tekstil

(Sartono Kartodirdjo, 1988:10).

33

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Kerajaan-kerajaan yang muncul di pulau Sumatera di antaranya banyak yang silsilah raja-raja atau golongan bangsawannya merupakan keturunan orang- orang Jawa atau yang menjalin hubungan perkawinan dengan pihak Kerajaan

Jawa. Begitu juga Kerajaan Malaka. Kampung Jawa di sana-sini dibangun sejak zaman dahulu, seperti di Daerah Deli terdapat pemukiman orang Jawa kira-kira

500 orang yang disebut Kota Jawa (Luckman Sinar 1985:6), dan daerah Asahan sekitar Pasir Putih dikatakan sebagai pemukiman orang Jawa beberapa abad sebelum kunjungan John Anderson

Di samping itu, perpindahan orang Jawa secara besar-besaran dan mencolok dalam sejarah Indonesia adalah yang didatangkan oleh pihak perkebunan sebagai tenaga kerja di Sumatera Timur. Sejak tahun 1880, dengan menggantikan kuli orang Tionghoa mereka mulai dibawa ke Sumatera Timur dan setelah tahun 1910 kedatangan mereka bertambah banyak. Mereka awalnya terikat dengan sebuah kontrak dengan disertai peraturan-peraturan tentang hukuman atas mereka yang disebut Penale Sanctie. Namun demikian, sejak tahun 1911 dengan tiba-tiba kontrak kerja tersebut didasarkan pada kontrak yang merugikan para buruh (Reid 1987:82-83).

Pada masa kini, perpindahan orang Jawa dilaksanakan dalam rangka kebijakan transmigrasi yang disponsori oleh pemerintah. Transmigrasi ini dilakukan karena alasan pemerataan penduduk dan padatnya penduduk di pulau

Jawa, kekurangan lahan pertanian, dan kemiskinan di pedesaan Jawa pada umumnya. Orang Jawa pada hakekatnya mempunyai watak yang senantiasa berusaha menyesuaikan diri dengan orang di lingkungannya, dan mementingkan

34

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

keharmonisan. Meskipun orang-orang Jawa yang lahir di Sumatera sering disebut

Pujakesuma, watak dan kebiasaan yang berdasarkan budaya mereka sendiri tetap disampaikan daripada orang tuanya. Mereka mengatasi ego dan nafsu demi ketenangan hidup dan kebijaksanaan, dan sukarela bekerja untuk umum dengan cara gotong-royong. Para migran orang Jawa yang umumnya terdiri dari petani kecil hidup sederhana, dan menerima kesengsaraan dengan menganggap hidupnya memang begitu. Namun tak lupa mempertahankan nama dan harga dirinya

(Sadarmo dan R. Suyono 1985:2).

2.3 Gambaran Umum Kelurahan Sari Rejo

2.3.1 Letak Geografis

Gambar : Peta Administrasi kel. Sari Rejo

35

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Kelurahan Sari Rejo merupakan Kelurahan yang terdapat di wilayah administratif Kecamatan Medan Polonia. Luas wilayah Kelurahan Sari Rejo adalah 2,46 Km2 atau 27,58% dari total keseluruhan luas wilayah Kecamatan

Medan Polonia. Kelurahan Sari Rejo terdiri dari 9 lingkungan yaitu : lingkungan I sampai lingkungan IX. Kelurahan Sari Rejo mempunyai jumlah penduduk mencapai 26.083 jiwa. Kelurahan Sari Rejo mempunyai batas-batas dengan daerah lain sebagai berikut:

Sebelah Utara: Berbatasan dengan kelurahan Suka Damai yaitu kecamatan

Medan Polonia.

Sebelah Selatan: Berbatasan dengan Pangkalan Mansyur yaitu kecamatan

Medan Johor.

Sebelah Timur: Berbatasan dengan kelurahan Suka Damai yaitu kecamatan

Medan Polonia.

Sebelah Barat: Berbatasan dengan kelurahan Binjai yaitu kecamatan

Medan Selayang.

2.3.2 Keadaan Alam

Secara umum kondisi iklim di wilayah penelitian dikategorikan pada iklim tropis dengan suhu minimum menurut Stasiun Polonia berkisar antara 23,2° C -

24,3° C dan suhu maksimum berkisar antara 30,8° C – 33,2° C serta menurut

Stasiun Sampali suhu minimumnya 23,3° C - 24,1° C dan suhu maksimum berkisar antara 31,0° C – 33,1° C. Berdasarkan pengukuran stasiun klimatologi

Polonia, curah hujan di Kota Medan mencapai rata-rata 3.594 mm dengan hari

36

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

hujan sebanyak 230 hari serta menurut Stasiun Sampali mencapai rata-rata 2.712 mm dengan hari hujan sebanyak 224 hari.

Selanjutnya mengenai kelembapan udara di wilayah Kota Medan rata-rata berkisar antara 84 – 85%. Dan kecepatan angin rata-rata sebesar 0,48 m/sec sedangkan rata-rata total laju penguapan tiap bulannya 104,3 mm. Hari hujan di

Kota Medan rata-rata per bulan 19 hari dengan rata-rata curah hujan menurut

Stasiun Sampali per bulannya 226,0 mm dan pada Stasiun Polonia per bulannya

299,5 mm. 2.1.3.

2.3.3 Sejarah Tanah Sari Rejo

Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terdapat dua gelombang migrasi besar ke Kota Medan. Gelombang pertama berupa kedatangan suku bangsa, sampai saat sekarang ini usia Kota Medan telah tercapai 419 tahun. Jawa sebagai kuli kontrak perkebunan.Setelah tahun 1880perusahaan perkebunan berhenti mendatangkan suku bangsaTionghoa, karena sebagian besar dari mereka lari meninggalkan kebun dan sering melakukan kerusuhan.Perusahaan kemudian sepenuhnya mendatangkan suku bangsa Jawa sebagai kuli perkebunan.

Gelombang kedua ialah kedatangan suku bangsa Minangkabau,

Mandailing, dan Aceh. Mereka datang ke Kota Medan bukan untuk bekerja sebagai buruh perkebunan, tetapi untuk berdagang, menjadi guru, dan ulama.Begitu juga yang terjadi di wilayah Sari Rejo, peternak sapi tidak lagi mendominasi, tanah garapan mereka sudah banyak berpindah tangan kepada pendatang dengan berbagai profesi baru yang ada. Hal ini disebabkan tidak

37

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

memungkinkannya lagi adanya peternakan di Sari Rejo yang saat itu mengalami kemajuan yang ditandai dengan intensitas kepadatan penduduk yang semakin meningkat.

Saat ini kelurahan Sari Rejo merupakan hasil dari pemekaran Kelurahan

Polonia. Pada awalnya masih termasuk dalam wilayah Kecamatan Medan Baru yang kemudian dimekarkan sesuai dengan S.K.Gubsu No. 821:4/1991 pada tanggal 31 Oktober 1991. Kecamatan Medan Baru kemudian dimekarkan menjadi

Kecamatan Medan Polonia dan Kecamatan Medan Maimoon Kota Medan.

2.4 Jumlah dan Susunan Penduduk

2.4.1 Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 2.1

Gambaran Jumlah Penduduk Kelurahan Sari Rejo Berdasarkan Jenis Kelamin

No Jumlah Rumah Jumlah Penduduk Rata-Rata Anggota

Tangga Rumah Tangga Laki-laki Perempuan

13,122 12,961

1 5.825 26.083 4,48

Sumber Data (BPS, 2013)

38

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2.4.2 Komposisi Jumlah Penduduk Berdasarkan Pekerjaan

Tabel 2.2

Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan

No Jenis Pekerjaan Jumlah 1 Pegawai Negeri Sipil 414 2 Karyawan Swasta 9.934 3 TNI 375 4 Petani 55 5 Pedagang 2.250 6 Pensiunan 356 7 Lainnya 1.001 Sumber Data (BPS, 2013)

2.4.3 Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama

Tabel 2.3

Pembagian Penduduk Berdasarkan Agama

No Agama Jumlah

1 Islam 20.379

2 Kristen dan Katolik 3.782

3 Hindu 235

Sumber Data (BPS, 2013)

2.5 Sistem Kekerabatan

Orang-orang Jawa memiliki sistem kekerabatan, yang disebut bebrayat.

Menurut informasi Bapak Jikan, seorang tokoh masyarakat Jawa di Sumatera

Utara, bebrayat berasal dari kata brayat yang berarti keluarga--mendapat suku kata awalan (prefik) be. Dalam budaya Jawa brayat berarti sistem bekeluarga

39

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

dalam arti luas, yaitu keluarga inti, batih, atau keluarga budaya. Sistem kekerabatan ini dilandasi oleh sikap bergotong-royong, dengan konsep sepi ing pamrih, rame ing gawe, artinya tidak mengharapkan balasan pamrih, dan mengutamakan kerja bersama-sama.

Dengan menggunakan sistem ini, mereka meyakini bahwa semua manusia adalah keluarga, namun dalam penjabaran tanggung Jawab selalu dikonsepkan dengan paseduluran: sedulur tunggal kringkel merupakan saudara lahir daripada ibu dan ayah yang sama; sedulur kuwalon yaitu saudara lain ayah tetapi ibunya sama, atau sebaliknya saudara lain ibu namun ayahnya sama, dan saudara tiri; sedulur misanan merupakan saudara satu nenek atau satu kakek, yang mencakup kandung atau tiri; sedulur mindoan adalah saudara satu buyut (orang atau kakek atau nenek) berlaku baik untuk saudara kandung atau tiri, sedulur mentelu yaitu saudara satu canggah (buyutnya ayah dan ibu) baik saudara kandung atau tiri; bala yaitu yang menurut anggapan mereka masih saudara, namun dari silsilah sudah tidak terlacak kedudukannya, dan disebabkan oleh interaksi mereka, karena kebutuhan yang erat, misalnya jenis pekerjaan sama, sering berkomunikasi, dan sejenisnya; tangga yang konsep

Sistem kekerabatan masyarakat Jawa berdasarkan prinsip keturunan bilateral. Semua kakak laki-laki serta kakak perempuan ayah dan ibu, beserta istri dan suami mereka masing-masing diklasifikasikan menjadi satu, yaitu dengan istilah siwa atau uwa. Sedangkan adik-adik dari ayah dan ibu diklasifikasikan ke dalam dua golongan yang berbeda menurut jenis kelamin, yaitu paman bagi adik laki-laki dan bibi bagi adik perempuan.

40

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Pada masyarakat berlaku adat-adat yang menentukan bahwa dua orang tidak boleh saling menikah apabila: saudara kandung, yaitu anak dari dua orang saudara sekandung laki-laki, pancer lanang, yaitu : pihak laki-laki lebih muda menurut ibunya dari pada pihak perempuan. Adapun perkawinan yang diperbolehkan adalah perkawinan antara dua orang yang tidak terikat karena hubungan-hubungan kekerabatan seperti tersebut di atas. Dalam perkawinan masyarakat Jawa dikenal beberapa istilah sebagai berikut: ngarang wulu, yaitu perkawinan seorang duda dengan seorang wanita salah satu adik dari almarhum istrinya, wayuh, yaitu perkawinan lebih dari seorang istri (poligami), kumpul kebo, yaitu laki-laki dan perempuan yang tinggal dalam satu rumah, sudah atau belum mempunyai anak dalam kurun waktu tertentu akan tetapi belum menikah. Hal ini merupakan suatu bentuk perkawinan yang menyimpang dari tradisi dan ajaran agama, pisah kebo, yaitu berpisahnya suami-istri tetapi tidak diikuti oleh perceraian secara resmi.

2.6 Upacara-upacara

2.6.1 Selametan

Selamatan adalah suatu upacara makan bersama yang telah dibagikan doa sebelum dibagi-bagikan. Selamatan itu tidak terpisah dari pandangan alam pikiran partisipasi tersebut di atas, dan erat hubungannya dengan kepercayaan kepada unsur-unsur kekuatan sakti maupun makhluk-makhluk halus tadi. Hampir semua selamatan ditujukan untuk memperoleh keselamatan hidup dengan tidak ada gangguan-gangguan apapun. Hal itu juga terlihat pada nama upacara sendiri,

41

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

yakni kata selamat. Upacara ini biasa dipimpin oleh modin, yakni salah seorang pegawai masjid yang antara lain berkewajiban mengumandangkan adzan. la dipanggil karena dianggap mahir membaca doa keselarnatan yang intinya berasal dari ayat-ayat Al Qur'an.

Upacara selamatan dapat digolongkan kedalam enam macam sesuai dengan peristiwa atau kejadian dalarn kehidupan manusia, sehari-hari yaitu:

Selamatan dalam. rangka lingkaran hidup seseorang, seperti hamil tujuh bulan

(mitoni), kelahiran, upacara potong rambut pertama, upacara menyentuh tanah untuk pertama kali (tedak siten), upacara menusuk telinga (tindik), sunat

(khinatan), kematian, serta saat-saat setelah kematian. Selamatan yang bertalian dengan bersih desa, penggarapan tanah pertanian, dan setelah panen padi.

Selamatan yang berhubungan dengan hari-hari serta bulan-bulan besar Islam.

Selamatan pada saat-saat yang tidak tertentu berkenaan dengan kejadian-kejadian, seperti, menempati rumah kediaman baru, menolak bahaya (ngruwat), janji kalau sembuh dari sakit (kaul), dan lain-lain. Di antara keempat macam golongan upacara selamatan tadi, maka upacara selamatan dalam rangka lingkaran hidup seseorang, khususnya yang berhubungan dengan kematian serta sesudahnya, adalah suatu adat kebiasaan yang amat diperhatikan dan kerap kali dilakukan di salah satu tempat dalam lingkungan istana (ratawijaya), secara terbuka. Oleh kalangan masyarakat orang Jawa, terutama yang datang dari kalangan pedesaan, air bekas siraman tersebut dapat membawa berkah. Sedangkan tokoh raksasa

Batara Kala adalah raksasa yang mempunyai yang dapat mendatangkan bencana pada benda-benda ataupun manusia. Misalnya seorang anak tunggal (bocah

42

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

ontang-anting) dianggap hidupnya senantiasa diancam oleh raksasa ini. Maka untuk menghidari bahaya tersebut, orang tua dari si anak mengadakan ruwatan, biasanya disertai dengan pertunjukan wayang kulit sehari semalam, dengan mengambil cerita sekitar tokoh raksasa Batara Kala.

Sejauh ini selama penelitian , kuda lumping diundang masyarakat yang melakukan selamatan ini, jadi dapat diperhatikan kalau kuda lumping sampai saat ini tetap hidup karena masyarakat Jawa sendiri masih hidup dengan adat istiadat dari leluhurnya.

2.6.2 Upacara Perkawinan Adat Jawa

Sebelum dilangsungkan upacara perkawinan, biasanya terdapat beberapa pendahuluan, di antaranya: Nakokake, yaitu ketika seorang pria ingin meminang kekasihnya harus menanyakan dahulu kepada orang tua (wali) si gadis apakah masih legan (belum ada yang meminang). Paningsetan, yaitu apabila sudah mendapat Jawaban bahwa si gadis masih belum ada yang melamar, dan kehendaknya mempersunting tadi diterima, maka akan segera ditetapkan kapan diselenggarakan paningsetan, yaitu upacara pemberian harta benda kepada calon istri berupa sepotong kain dan kebaya, yang semua itu disebut pakaian sakpengadek. Kadang-kadang disertai cincin kawin, inilah yang sekarang sering disebut pertunangan, yang berarti si gadis telah terikat untuk melangsungkan pernikahan atau wis dipacangke.

Asok tukon, yaitu suatu tanda penyerahan harta kekayaan dari pihak laki- laki kepada pihak perempuan secara simbolis. Hal ini biasanya dilakukan dua atau

43

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

tiga hari sebelum upacara pernikahan dilangsungkan. Harta itu berupa sejumlah uang, bahan pangan, perkakas rumah tangga, ternak, dan sebagainya. Asok tukon juga disebut srakah atau sasrahan yang sebenarnya tidak lain berupa mas kawin.

Sehari menjelang saat upacara pernikahan, pada pagi hari pihak anggota keluarga berkunjung ke makam para leluhurya untuk meminta doa restu.

Sedangkan pada sore hari diadakan upacara selamatan berkahan yang dilanjutkan dengan leklekan (berjaga malam). Dalam hal ini para kerabat pengantin perempuan serta tetangga dekat dan kenal-kenalannya berada di rumahnya hingga larut malam bahkan sampai pagi hari. Malam ini disebut malam tirakatan atau malam midadareni. Karena pada malam itu bidadari turun dari kayangan memberi restu pada perkawinan tersebut. Setelah tiba hari perkawinan, pengantin laki-laki dengan diiringkan oleh orang tua atau walinya serta handai taulannya dan juga para tetangga atau sedukuh atau sedesa, pergi ke kelurahan desa untuk melaporkan kepada kaum, yaitu salah seorang perangkat desa yang bertugas mengurus pernikahan, talak, dan rujuk. Sesudah selesai menuju kantor urusan agama di kecamatan menghadap penghulu, yaitu salah seorang yang bertugas untuk melangsungkan ijab kabul atau akad nikah. Upacara disaksikan oleh wali kedua belah pihak.

Setelah pengantin laki-laki menyerahkan sejumlah uang sebagai tanda mas kawin hukum perkawinan Islam. Ijab kabul atau akad nikah dapat dilakukan di rumah pengantin wanita, yaitu dengan memanggil penghulu. Setelah upacara ini berakhir lalu dilakukan upacara pertemuan (temon) antara kedua mempelai yang akhimya dipersandingkan di atas pelaminan. Apabila mempelai laki-laki

44

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

berkehendak membawa istrinya, hal ini dapat dilaksanakan sesudah sepasar atau lima hari sesudah upacara perkawinan. Pemboyongan yang disertai pesta upacara lagi ditempat kediaman mempelai laki-laki ini disebut ngunduh temanten.

Demikian sekilas struktrur masyarakat dan budaya Jawa, termasuk dalam bidang pengantin.

2.7 Kesenian Jawa

2.7.1 Reyog Ponorogo

Kapan pastinya reyog Ponorogo dilahirkan, sampai sekarang orang masih meraba-raba. Sudah semestinya kalau orang belum tahu juga bagaimana bentuk kesenian reyog tersebut ketika ia menampakkan diri pertama kali. Menurut

Prasasti Diyono tahun 682 Saka atau 760 Masehi Prabu Gajayana raja

Kanyuruhan (daerah Malang) adalah raja yang telah mengupas kebenaran sejarah adanya reyog Ponorogo. Jika berpegang pada prasasti tersebut, maka ada tanda- tanda bahwa reyog memang sudah tua betul usianya. Namun jika mendasarkan pada legenda, yang bersumber dari zaman Kediri atau Jenggala (tahun 1045-

1222), maka kelahiran reyog ponorogo tergolong masih muda.

Reyog dilahirkan dan menjadi besar di Kota Ponorogo, namun akhirnya berkembang di berbagai wilayah di Nusantara, termasuk Johor Malaysia. Reyog biasanya disajikan dalam bentuk sendratari, yang terdiri dari empat babak, yang menggambarkan perjalanan prajurit berkuda dari Ponorogo menuju Kerajaan

Kediri ketika beberapa pembesar Ponorogo mempersunting putra-putri raja

Kediri. Dalam prosesi ini pertunjukan reyog terdiri dari pemeran: kelompok

45

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

pengawal, kelompok pendamping, kelompok pemain (penari), kelompok pemusik, dan kelompok pengiring. Ada satu ciri khusus pada kesenian reyog yang sekarang sudah mengalami degradasi yaitu ilmu mistik. Mereka menganggap bila reyog tidak didukung oleh ilmu mistik, maka maka tidak lengkap. Reyog juga memiliki lagu-lagu khusus dari daerah Ponorogo seperti: Ijo-ijo, Patrojayan, Sampak, Iling- iling, dan lainnya. Alat-alat musik pengiring reyog adalah gong, terompet, kendhang, ketipung, . Alat-alat untuk penari atau pemain adalah: barongan dan dhadhak merak, topeng, dan kuda lumping.

2.7.2 Teater Ludruk

Ludruk sebagai sebuah genre kesenian Jawa dapat dicari makna etimologisnya yang diperoleh dari berbagai informasi yang relevan. Informasi ini diperoleh dari tokoh seniman dan budayawan ludruk secara etimologis berasal dari kata molo-molo dan gedrak-gedruk. Molo-molo berarti mulutnya penuh dengan tembakau sugi (dan kata-kata koma yang pada saat keluar tembakau sugi) tersebut hendak dimuntahkan dan dikeluarkan kata-kata dalam bentuk kidung dan dialog. Manakala gedrak-gedruk berarti kakinya menghentak-hentak pada saat menari. Pendapat lainnya menyatakan bahwa istilah ludruk berasal dari kata gela- gelo dan gedrak-gedruk. Gelo-gelo berarti menggeleng-gelengkan kepala pada saat menari, dan gedrak-gedruk berarti menghentakkan kaki dipentas saat menari.

Jadi ludruk adalah pertunjukan dalam bentuk dialog, menggelengkan, kepala, dan menghentakkan kaki di pentas.

46

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Era perkembangan ludruk dapat diklasifikasikan melalui beberapa tahapan genre. Secara historis perkembangan kesenian ini bermula dari ludruk bandan yaitu di abad 12 sampai 15. Abad 16 sampai 17 muncullah kesenian lerok yang dipelopori oleh Pak Sentik dari Jombang. Tahun 1915 pementasan sudah dimulai mengambil pemain besutan. Tahun 1931 bentuk besutan berubah menjadi ludruk yang berbentuk dengan tokoh yang semakin bertambah jumlahnya.

Tahun 1937 muncul tokoh baru dari Surabaya yaitu Cak Durasim, dan ludruk mulai menggunakan cerita legenda. Ludruk sebagai seni pertunjukan telah tercatat sejak 1822 yang menampilkan dua pelaku laki-laki yang seorang menjadi pelawak yang membawakan cerita dan seorang lagi sebagai penari yang berdandan wanita.

Tahun 1942 tentara pendudukan Jepang menggunakan ludruk sebagai sarana propaganda politik. Berdasarkan pertumbuhannya ludruk merupakan fusi dari tiga genre, yaitu ngremo (tari kepahlawanan), dagelan (lawakan), dan cerita.

Adapun fungsi ludruk adalah: sebagai sarana pendidikan masyarakat, sebagai pemupuk rasa solidaritas kolektif, sebagai alat hiburan yang memperkaya jiwa dan nilai estetika, dan sebagai sarana alternatif cara berpikir dan mengendalikan kehidupan budaya. Jenis-jenis cerita ludruk adalah: mitologi, epos kerakyatan, sejarah, kehidupan sehari-hari, dan humor kerakyatan. Adapun temanya adalah tentang keadilan, pandangan hidup, dan keyakinan.

(sumber https://fitriianggraini210.wordpress.com/2014/05/13/ludruk-adalah- salah-satu-jenis-kebudayaan-asli-dari-jawa-timur/)

47

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2.7.3 Teater Ketoprak

Membicarakan seni pertunjukan tradisional khususnya ketoprak tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan tata hidup dan kehidupan masyarakat lingkungannya. Teater rakyat ini mempunyai keistimewaan dapat berkomunikasi langsung dengan rakyat untuk ikut memecahkan masalah-masalah pembangunan, dengan pengungkapan sederhana dan mudah diterima pikiran rakyat (A. Kasim

1980-1981). Pada umumnya kelahiran teater rakyat didorong kebutuhan masyarakat terhadap hiburan, lalu meningkat untuk kepentingan lain, seperti kebutuhan akan mengisi upacara-upacara. Teater rakyat kethoprak disangga oleh masyarakat Jawa, terutama Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa

Timur.

Menurut Umar Kayam (1981), kebudayaan adalah suatu usaha yang dilakukan oleh masyarakat untuk melakukan respons terhadap lingkungannya dan merupakan bentuk proses yang dinamis. Tradisi dalam kethoprak terutama tradisi

Jawa mencakup bahasa, akting, bloking, busana, rias, lagu, setting, properti, dan lain-lainnya (Handung Kus Sudyarsana 1989:25). Sampai sekarang kethoprak terus ditopang masyarakatnya dalam menegakkan budaya bangsa, khususnya budaya seni pertunjukan berwarna lokal Jawa. .Kethoprak merupakan teater rakyat, sebagaimana dikemukakan A. Kasim Achmad, kethoprak merupakan teater tradisional Jawa. Seni pertunjukan kethoprak biasanya dilaksanakan pada malam hari selama 3 sampai 4 jam.

R.M.A. Harymawan (1993:231) mengemukakan bahwa ciri-ciri kethoprak itu sangat khas yakni: Kethoprak menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa

48

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

pengantar dalam dialog, Cerita tidak terikat pada salah satu pakem, tetapi ada tiga kategori pembagian jenis, yaitu: Cerita-cerita tradisional seperti Timun Mas,

Ande-ande Lumut, Buto Ijo, dan Roro Mendut Pronocitro; Cerita-cerita babad, baik cerita lama maupun setelah Belanda masuk ke Indonesia; Cerita-cerita masa kini seperti Gagak Sale, Ngulandara. Musik pengiringnya adalah gamelan Jawa, baik pelog maupun . Seluruh cerita dibagi-bagi dalam babak besar dan kecil, perkembangannya sangat urut, tidak mengenal flash back seperti dalam film. Dalam cerita kethoprak selalu ada peranan dagelan yang mengikuti tokoh- tokoh protagonis maupun antagonis.

Bahasa Jawa dalam seni pertunjukan kethoprak meliputi 4 ragam yaitu: ragam krama inggil ( halus dan tinggi); ragam krama madya (halus sedang ); ragam krama desa (halus desa), dan ngoko (kasar). Adanya ragam berbahasa dalam kethoprak ini menunjukkan etika menyatu, sehingga disana termuat: keindahan bahasa, sifat peran, tingkat darah dan kedudukan, tingkat umur, dan suasana dramatik.

Dalam tulisan ini perihal periodisasi kethoprak mengikuti pola pembabakan waktu seperti tercermin dalam uraian Lokakarya Kethoprak Tahap I di Yogyakarta pada tahun 1974. Handung Kus Sudyarsana (1989:15) menuliskan periodisasi kethoprak sebagai berikut: Tahun 1887- 1925, periodisasi kethoprak lesung, dengan ciri -ciri: tetabuhan lesung; tari; nyanyian atau tembang; cerita; dan pakaian. Tahun 1925-1927, periodisasi kehoprak peralihan dengan ciri-ciri: tetabuhan campur (lesung, rebana, alat musik Barat ); tari; nyanyian atau tembang; cerita; pakaian; dan rias. Tahun 1927 sampai sekarang, periodisasi

49

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

kethoprak gamelan, dengan ciri-ciri : tetabuhan gamelan; cerita; nyanyian atau tembang; pakaian; dan rias. Hal yang penting selain periodisasi dalam seni pertunjukan kethoprak adalah aspek-aspek seni ( Handung Kus Sudyarsana

1989:24-25 ) yang meliputi : lakon, adalah susunan peran dengan pola perwatakan dan permainannya, pembabakan dan pengadeganan serta aspek-aspek lain yang bersangkutan dengan kebutuhan lakon, baik tertulis rinci maupun tidak berdasarkan cerita kadang-kadang dialog dalam susunan lakon kethoprak ditulis secara full play, atau hanya garis besarnya; Pemain, adalah orang-orang yang membawakan peran-peran dalam lakon; Dialog, adalah percakapan antar pemain sebagai salah satu bentuk permainannya; Akting, adalah bentuk-bentuk dan sikap- sikap pemain ketika membawakan peran dalam lakon; Bloking adalah posisi pernain ketika bermain; Busana, adalah pakaian yang dikenakan para pernain;

Rias, adalah coretan -coretan, baik pada muka pemain maupun pada anggota badan mereka, termasuk rambut. Bunyi - bunyian, adalah suara- suara instrumen musik dan vokal, baik sebagai pengiring maupun ilustrasi babak, adegan, maupun tekanan-tekanan gerak tertentu para pemain Tradisi, adalah ketentuan-ketentuan yang sudah menjadi kebiasaan. Tradisi dalam kethoprak terutama tradisi Jawa, yang mencakup bahasa, akting, bloking, busana, rias, lagu, setting, properti , dan lain lainnya.

Kethoprak tak pernah berhenti sebagai seni pertunjukan, baik dari segi artistik, pengelolaan organisasi terus mengalami inovasi yang digerakkan seniman dan ditopang masyarakat penyangganya. Kethoprak dalam perkembangan budaya tetap berpijak pada tradisi Jawa, secara khusus tampak. pada bahasa, lakon,

50

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

pemeranan, dhalang atau sutradara, sehingga tradisi Jawa merupakan aspek penting yang menggerakkannya. Sisi lain hadirya modernisasi dalam bidang teknologi seperti radio dan televisi dimanfaatkan oleh Seniman kethoprak guna mendukung eksistensi seni pertunjukan kethoprak dalam kebudayaan masyarakat

Jawa.

2.7.4

Wayang Wong adalah nama sebuah drama tari yang terdapat di beberapa daerah di Indonesia. Di , wayang wong merupakan drama tari bertopeng yang menggunakan dialog bahasa Kawi yang selalu menampilkan wiracarita

Ramayana. Di Jawa Tengah isitilah ini dipergunakan untuk menyebut pertunjukan drama tari berdialog Jawa prosa yang biasanya membawakan lakon-lakon dan cerita dan Ramayana, yang diciptakan oleh Adipati Mangku Negara

I pada akhir tahun 1750-an. Pada akhir abad ke-19, pertunjukan istana ini berhasil dikeluarkan dari tembok istana oleh pengusaha China kaya bernama Gan Kam dan dikemas sebagai pertunjukan profesional dan komersial. Oleh karena itu, jangkauan penontonnya sangat luas. Istilah wayang wong sering disebut pula wayang orang. Bahkan oleh karena pertunjukannya ditampikan di atas panggung dan bukan pendapa lagi, drama tari Jawa yang pernah mengalami masa jaya pada tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an ini, untuk membedakan dengan pertunjukan wayang wong yang lain disebut wayang orang purwa. Di daerah

Istimewa Yogyakarta pernah berkembang pula dengan baik sebuah drama tari berdialog bahasa Jawa prosa yang juga bernama wayang wong. Berbeda dengan

51

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

wayang wong yang diciptakan oleh Adipati Mangku 1, wayang wong dari istana

Yogyakarta merupakan drama tari ritual kenegaraan, yang diciptakan oleh

Hamengku Buwana I pada akhir tahun 1756. Di Jawa Barat, pernah berkembang pula sebuah tontonan berbentuk drama tari berdialog bahasa Sunda prosa yang disebut wayang wong. Dari aspek kesejarahannya, jelas bahwa wayang wong Priangan ini mendapat pengaruh yang sangat besar dari wayang wong Jawa Tengah. Yang akan dibahas dalam bagian ini adalah wayang wong gaya Yogyakarta yang sampai pada tahun 1929 merupakan pertunjukan ritual kenegaraan yang sangat megah.

Apabila dilacak sejarahnya, sebenarnya pertunjukan drama tari yang bernama wayang wong itu sudah sangat tua. Sebuah prasasti Jawa Kuna yaitu prasasti Wimalasmara yang berangka tahun 930 M., telah menyebut pertunjukan ini dengan istilah Jawa Kuna, wayang wong. Namun demikian kita tidak bisa membayangkan pertunjukan itu seperti apa. Sebuah karya sastra kakawin

Sumanasantaka dari Jawa Timur dari abad ke-12 juga menyebutkan pertunjukan wayang wong ini. Walaupun tidak jelas gambaran cerita-cerita yang berasal dan wiracerita yang dibawakan pasti berkisar pada Ramayana atau Mahabharata.

Ketika pusat kebudayaan Jawa berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur sejak abad ke-10, para sastrawan Jawa, mulai menampilkan ceritera yang benar-benar berpijak pada sumber-sumber Jawa, yaitu Panji. Bisa diperkirakan bahwa seniman Jawa, pada masa Jawa Timur juga berupaya, untuk menghadirkan sebuah drama tari yang tidak menampilkan wiracerita Ramayana dan Mahabarata, melainkan menampilkan cerita Panji. Drama tari itu disebut raket. Kakawin

52

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Negarakertagama yang ditulis Mpu Prapanca, pada tahun 1365 telah membicarakan panjang lebar pertunjukan raket ini. Walaupun kita tidak bisa mendapatkan gambaran bentuk tontonan istana ini dengan jelas, namun setidak- tidaknya ada petunjuk bahwa raket merupakan pertunjukan ritual untuk kesuburan dan kemakmuran negara. Sang raja sendiri, Hayam Wuruk serta ayah sang raja

Kertawardhana sering tampil pula dalam pertunjukan ini (Theodore G.Th.

Pigeaud 1960-1963).

Robson dalam disertasinya yang berjudul Wangbang Widey: A Javanese

Panji Romance (1971), mengutarakan. bahwa raket (juga disebut raket lalangkaran) merupakan bentuk lain atau nama lain dari . Diduga keras bahwa di samping lahirnya drama tari yang disebut raket, drama. tari wayang wong yang membawakan wiraceritera, Ramayana dan Mahabharata, masih tetap berkembang. Asumsi ini diperkuat dengan adanya kenyataan bahwa di Bali yang merupakan pelestari budaya Jawa. Timur, baik gambuh maupun wayang wwang atau wayang wong sampai kini masih hidup. Hanya saja drama tari yang sudah sangat tua, yang diperkirakan. masuk ke Bali dari Jawa Timur pada akhir abad ke-

14 atau awal abad ke-15, terdesak oleh genre-genre drama tari yang lebih baru.

Dengan cara membandingkan pertunjukan wayang wong Bali dengan relif candi

Panataran yang menampilkan wiracerita Ramayana, bisa diperkirakan penampilan wayang wong pada zaman Jawa Timur itu seperti pada penampilan yang tergores pada relif candi Panataran. Adapun teknik tarinya kemungkinan besar seperti wayang wong Bali yang selalu menampilkan ceritera Ramayana.

53

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Di Bali pertunjukan wayang wong selalu membawakan wiraceritera

Ramayana, dan semua penarinya mengenakan topeng penuh. Apabila drama tari yang membawakan lakon dan wiracerita Mahabharata dinamakan parwa; kemungkinan besar nama lengkap dari kedua drama tari itu adalah wayang wong

Ramayana dan wayang wong Parwa. Mengenai kedua drama tari tersebut menurut Beryl de Zoete dan Walter Spies (1973) yang pernah tinggal lama di Bali pada tahun l930-an sering menyaksikan kedua bentuk seni pertunjukan itu dan mengatakan kalau sebenarnya kedua tarian tersebut merupakan genre yang sama.

Bedanya, wayang wong dipertunjukkan pada sore hari, sedangkan parwa pada malam hari menyusul pertunjukan wayang wong. Wayang wong yang merupakan drama tari bertopeng dengan menampilkan Rama sebagai sang pahlawan

pada sore hari, parwa merupakan drama tari tak bertopeng yang menampilkan Muna sebagai pahlawan pada malam hari.

Dengan cara membandingkan antara relif candi Panataran yang menggambarkan wiracenta Ramayana serta relief candi-candi di Jawa Timur yang menampilkan wiracenta Mahabharata seperti candi Jago, Tigawangi, Surawana, dan Kedaton dengan pertunjukan wayang wong dan parwa dan Bali, dapat diperkirakan bahwa pertunjukan wayang wong pada zaman Jawa Timur mirip dengan pertunjukan wayang wong dan parwa Bali sekarang ini. Dugaan ini bisa diperkuat lagi apabila busana yang terekam pada relif candi Panataran dan candi- candi lain di Jawa Timur dibandingkan dengan busana yangg tersungging pada wayang kulit Bali yang menampilkan lakon-lakon dari wiracerita Ramayana dan

Mahabharata. Pertunjukan. wayang kulit Bali yang membawakan ceritera

54

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Ramayana. biasa disebut sebagai Wayang Ramayana, sedangkan yang menampilkan lakon-lakon dari wiracerita Mahabharata, disebut Wayang Parwa.

Apabila dilacak sejarahnya sebenarnya penciptaan wayang wong di istana

Yogyakarta merupakan upaya, untuk menghidupkan kembali pertunjukan wayang wong dari masa . Kiblat Sultan Hamengku Buwana I ke Majapahit sangat beralasan oleh karena sebagai raja yang baru dan kerajaan yang merupakan bagian dari kerajaan Surakarta, ia ingin menampilkan sebagai raja yang sah yang mewarisi takhta dari garis keturunan Majapahit. Dalam tradisi Jawa, seorang yang ingin menjadi raja bukan saja karena ia terbukti masih merupakan keturunan dan raja terdahulu akan tetapi ia harus memiliki wahyu, berbagai benda pusaka, serta bisa menjaga keseimbangan dunia dengan melakukan hubungan spiritual dengan berbagat kekuatan alam (Heine Geldern 1956). Ada tiga wahyu penting yang harus dimiliki oleh raja, yaitu wahyu nubuwah, wahyu hukumah, dan wahyu wilayah. Wahvu nubuwah mengesahkan raja sebagal wakil Tuhan; wahyu hukumah mengesahkan raja adalah sumber hukum; dan wahyu wilayah mengesahkan raja sebagai penguasa dunia (Selo Soemardjan 1962; juga Darsiti

Soeratman 1989).

Ketika terjadi penandatangan Perjanjian Giyanti pada tahun 1775 yang mengesahkan pembagian kerajaan Mataram Surakarta menjadi dua, yaitu yang tetap menjadi wewenang Sunan Paku Buwana III yang merupakan setengah dari kerajaan Mataram Surakarta, dan setengahnya yang menjadi hak Sultan

Hamengku Buwana I yang menggunakan nama kerajaan barunya, Kasultanan

Ngayogyakarta Adiningrat. Ada beberapa pusaka yang diserahkan oleh Paku

55

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Buwana III kepada pamannya, Sultan Hamengku Buwana . Pusaka-pusaka itu yang merupakan warisan dari raja-raja terdahulu ada yang berupa senjata tajam seperti tombak Kanjeng Kyai Plered, Kanjeng Kyai Baru, Kanjeng Kyai

Megatruh, Kanjeng Kyai Gadatapan, Kanjeng Kyai Gadawedana, yang berupa keris yaitu Kanjeng Kyai Kopek, Kanjeng Kyai Bethok, Kanjeng Kyai Sengkelat, dan Kanjeng Kyai Jakapiturun; yang berupa bendera yaitu Kanjeng Kyai

Tunggulwulung, Kanjeng Kyai Pare Anom, Kanjeng Kyai Puja, dan Kanjeng Kyai

Puji; yang berupa gong perang yaitu Kanjeng Kyat Tundung Mungsuh; Kanjeng

Kyai Sima, Kanjeng Kyai Udanurum, dan Kanjeng Kyai Bijak; tiga tempat menanak nasi yaitu Kanjeng Kyai Blawong, Kanjeng Kyai Kendhil Siyem,

Kanjeng Kyai Berkat; juga sebuah gendang bernama Kanjeng Kyai Meyek, serta sebuah baju Kanjeng Kyai Antakusuma atau Kanjeng Kyai Gundhil. Adapula sekitar 20 wayang kulit yang dianggap sebagai pusaka lain Kanjeng Kyai

Jayaningrum (Arjuna), Kanjeng Kyai Bayukusuma (Bima), dan sebagainya.

Sebuah kitab ada yang dikeramatkan yang juga dianggap sebagai pusaka yaitu

Kanjeng Kyai Surjaraja. Dua buah kereta berkuda kebesaran yang juga dianggap sebagai pusaka adalah Kanjeng Kyai Jimat (Sultan Hamengku Buwana III, 1814-

1822) dan Kanjeng Kyai Garudha Yeksa (Sultan Hamengku Buwana VI, 1855-

1877). Kedua kereta itu oleh kalangan umum disebut sebagai kereta kencana.

Salah satu seni pertunjukan yang dianggap sebagai seni pusaka adalah wayang wong, yang diciptakan kembali oleh Sultan Hamengku Buwana 1.

Sudah barang tentu timbul pertanyaan, mengapa wayang wong diangggap sebagai pusaka Soedarsono dalam disertasinya yang berjudul Wayang Wong: The

56

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

State Dance Drama in the Court of Yoyakarta (1983) telah membuktikan bahwa pertunjukan wayang wong di keraton Yogyakarta bukanlah sekedar pertunjukan akbar sebagai kebanggan istana akan tetapi memiliki makna yang lebih dalam yaitu sebagai pertunjukan guna menambah legitimasi kehadiran raja di atas tahta.

Tema-tema yang ditampilkan dalam lakon-lakon wayang wong selalu melambangkan kesuburan yang digambarkan lewat perkawinan atau perang antara dua keluarga yaitu Pandawa dan Kurawa. Pertunjukan-pertunjukan akbar yang berlangsung dalam dua sampai empat hari empat malam itu selalu memperingati peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan istana, yaitu ulang tahun bedirinya

Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, ulang tahun penting yang dalam tradisi

Jawa disebut tumbuk yang terjadi delapan tahun sekali, serta pernikahan putra- putri Sultan.

Ciri-ciri ritual dari pergelaran wayang wong ialah : tempat pertunjukan di

Tratag Bangsal Kencana, dan Sultan sendiri duduk di tengah-tengah Bangsal

Kencana mengahadap ke timur; pemilihan waktu pergelaran yang dimulai sejak jam enam pagi selalu mengikuti perhitungan kalender Jawa; para penarinya adalah pernari terpilih, bahkan laki-laki semua; selain disediakan seperangkat sesaji juga terdapat doa-doa yang isinya mengharapkan kemakuran negara dan raja. Bangsal

Kencana adalah bangsal tanpa dinding yang merupakan pusat dari bangunan keraton. Tempat ini biasanya dipergunakan sebagai tempat penghadapan pejabat tinggi negara untuk membuktikan kesetiaan mereka terhadap Sultan. Tepat di tengah-tengah Bangsal Kencana Sultan ketika menyaksikan pertunjukan wayang wong duduk sendirian di atas kursi kebesaran menghadap ke timur.

57

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Pertunjukan yang dimulai tepat jam 06.00 pagi memiliki makna, bahwa pertunjukan itu dipersembahkan juga kepada Dewa Matahari yang dalam pantheon Jawa adalah Dewa Surya. Dalam tradisi Jawa Hindu, Dewa ini identik dengan Dewa Wisnu, yang dalam pantheon Hindu merupakan Dewa Pemelihara

Dunia. Gelar Sultan Hamengku Buwana memiliki makna "Pemelihara Dunia."

Hal ini berarti bahwa ketika Sultan menyaksikan wayang wong, Sultan juga melakukan penghormatan kepada Dewa Surya atau Wisnu, yang sebenarnya adalah dirinya sendiri. Mungkin pada saat itulah Sultan melakukan meditasi untuk menyatu dengan Dewa Surya atau Wisnu sesuai dengan konsep kerajaan klasik

Jawa yang mengacu kepada konsep devaraja dari India, akan tetapi dalam tata kehidupan politik di Jawa, dijabarkan menjadi ratu gung binathara yang berarti raja besar yang didewakan. Pencandraan Sultan Hamengku Buwana I sebagai

Dewa Wisnu banyak dijumpai dalam kitab-kitab Babad Mangkubumi misalnya mengibaratkan pangeran Mangkubumi (nama Hamengku Buwana I sebelum naik tahta), Lir Pendah Wisnu Bhatara' yang berarti setampan Batara Wisnu (M.C.

Ricklefs 1974). Adapun Babad Mentawis mencandra Sultan Lir upama ywang

Wisnu lagya arseng tumameng marcapada yang berarti "Seperti Ywang Wisnu yang sedang akan turun ke marcapada."

Penggunaan penari laki-laki semua dalam pergelaran wayang wong kemungkinan besar untuk menjaga jangan sampai pertunjukan yang berlangsung selama dua sampai empat hari empat malam itu tercemar, seandainya ada penari perempuan sekoyong-koyong dalam keadaan haid. Bahkan tari Semang yang pernah beberapa kali tampil di keraton Yogyakarta, ditarikan oleh sembilan

58

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

penari pria, walaupun bedhaya adalah tari putri. Doa-doa, keselamatan, serta kemakmuran bisa dijumpai pada akhir teks dan pertunjukan yang disebut Serat

Kandha sebagai bukti bahwa pergelaran wayang wong di Yogyakarta merupakan sebuah ritual kenegaraan, semua kawula dalem atau rakyat Yogyakarta diizinkan oleh Sultan untuk menyaksikan. Groneman dalam sebuah ulasannya tentang sebuah pertunjukan wayang wong yang pernah ia saksikan pada akbir abad ke-19 yang dituangkan dalam bukunya, berjudul De Wayang Orang Pregiwa in den

Kraton te Yogyakarta (1899) mengatakan bahwa setiap harinya pertunjukan akbar itu dikunjungi oleh tidak lebih dari 30.000 orang. Penonton yang berjumlah ribuan itu sebenamya tidak bisa menikmati pergelaran dengan baik oleh karena semuanya duduk di atas halaman berpasir di bawah pohon sawo yang ridang.

Namun demikian penduduk Yogyakarta itu tetap setia duduk dengan tenangnya tanpa ada yang berisik. Walaupun mereka tidak bisa menyaksikan serta menikmati pertunjukan yang langka itu, namum mereka sudah puas apabila sudah bisa duduk di pelataran istana yang sejuk itu mereka percaya bahwa kehadiran mereka di dalam keraton sudah mendapatkan berkah keselamatan dari Sultan

2.7.5 Wayang Kulit

Masyarakat Jawa mempunyai kekayaan hasil budaya, antara lain sebagai berikut. Pertunjukan wayang dengan kemahiran sang dalang, dapat menyajikan berbagai macam pengetahuan, filsafat hidup berupa nilai-nilai budaya dan berbagai unsur budaya seni yang terpadu dalam seni pendalangan. Pertunjukan wayang yang didalamnya terdapat perpaduan antara seni suara, seni musik

59

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(gamelan) dan seni rupa, merupakan bentuk kesenian sangat disukai masyarakat

Jawa. Menurut penelitian para ahli, wayang (wayang kulit) diciptakan oleh Sunan

Kalijaga (salah seorang dari wali songo) pada abad 15 dan 16 di daerah Pesisir

Utara Jawa dipakai untuk menyebarkan agama Islam.

Cerita pewayangan ini bersumber pada epos Ramayana dan Mahabrata yang diadopsi dari India. Kemudian cerita pertunjukan wayang dalam perkembangan selanjutnya juga menampilkan cerita-cerita di luar patokan yang ada, sehingga merupakan bentuk variasi untuk menghilangkan kebosanan para penontonnya.

Penulis pernah melihat pertunjukan wayang kulit di daerah Sari rejo.

Tepatnya di daerah perkebunan bandar sinembah. Masyarakat di daerah tersebut sangat rutin menampilkan kesenian ini walaupun hanya setahun sekali.

Pertunjukan dilakukan semalaman suntuk. Waktu pertunjukan dilakukan setelah perayaan hari lebaran. Penduduk sekitar secara swadaya mengumpulkan uang kepada Kepala desa. Grup wayang kulit diundang dari kota Medan.

2.7.6 Musik atau Karawitan

Di Jawa, gamelan adalah sebuah istilah umum untuk ensambel musik.

Gamelan terdiri dari beberapa alat musik dengan berbagai ukuran, yang jumlahnya bisa mencapi 75 buah. Variasi seperti ini dijumpai tidak hanya dari satu pulau ke pulau lainnya di seluruh Indonesia, tetapi misalnya di pulau Jawa sendiri gamelan memiliki berbagai variasi. Penelitian secara etnomusikologis sejauh ini banyak dilakukan terhadap berbagai tradisi musik yang dijumpai di

60

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Jawa dan Bali. Meskipun orang-orang Barat selalu berpikiran bahwa musik gamelan hanyalah instrumentalia, tetapi banyak juga nyanyian yang merupakan musik yang tak kalah pentingnya pada komposisi musik di Jawa Tengah dan

Timur. Seorang penyanyi wanita solo (pesindhen), seorang penyanyi lelaki membawa suara unisono (gerong) atau laki-laki pembawa suara campuran

(gerong bedayan) sering dipergunakan dan tepukan tangan yang lembut membawa ketukan dasar dapat disaksikan dalam pertunjukan musik Jawa. Suara yang lembut, yang merupakan ornamentasi musik paduan suara dapat dikatakan berhubungan dengan melodi yang dihasilkan rebab yang bersenar dua, sebuah lute gesek. Penyanyi wanita solo menyajikan melodi bersama suling, end-blown flute. Pada beberapa komposisi gamelan digunakan alat musik zither bersenar yang disebut celempung, juga sebuah alat musik zither yang disebut siter, senarnya 26 dilaras ganda menghasilkan 13 nada.

Alat musik yang paling banyak digunakan dalam gamelan adalah metalofon tembaga. Terdiri dari saron, satu set bilahan di atas kotak resonator.

Dimainkan dengan tabuh. Memiliki tiga ukuran, yang paling kecil saron panerus atau peking, yang pertengahan adalah saron barung, dan yang paling besar adalah saron demung. Alat musik lainnya adalah xilofon kayu yang disebut kayu. Selain itu ada pula alat musik pembawa melodi lainnya yang disebut gendher, bilahan-bilahan kecil dari tembaga diletakkan di atas tabung resonator.

Seperti saron, gendher memiliki tiga ukuran, yang kecil gendher panerus, yang pertengahan gendher barung, dan yang terbesar gendher panembung atau slentem.

Keluarga gong berpencu yang diletakkan di atas rak disebut dengan bonang,

61

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

gunanya membawa waktu dalam musik. Dipergunakan onomatopeik ketuk, , kempul, dan gong untuk alat-alat musik pembawa siklus waktu. Alat musik pembawa ritmik yang paling utama dalam ensambel gamelan adalah kendhang, berbentuk barel dua sisi. Di Jawa juga ditemukan alat musik angklung yang terbuat dari bambu fungsinya membawa melodi. Istilah yang paling umum untuk komposisi musik dalam ensabel gamelan adalah gendhing. Unit yang utama dalam karawitan Jawa adalah siklus gongan. Sistem musik Jawa biasanya ditulis dalam notasi Kepatihan, ada juga santiswara, dan notasi taman siswa.

Unsur tangga nada dalam musik Jawa terdiri dari dua laras, yaitu slendro dan pelog. Setiap tanga nada ini terdiri atas tiga (modus). Tangga nada slendro terdiri dari pathet manyura, sanga, dan nem. Sementara tangga nada pelog terdiri atas pathet lima, nem, dan barang. Nama-nama nada untuk tangga nada slendro adalah nem, siji atau barang, loro atau gulu, telu atau dada, dan lima.

Untuk tangga nada pelog, nada- nada yang digunakan adalah: nem, pitu atau barang, siji atau penunggul atau bem, loro, telu, papat atau pelog, dan lima.

Demikian sekilas keberadaan karawitan atau musik tradisional Jawa.

62

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB III

DESKRIPSI KESENIAN KUDA LUMPING DALAM MASYARAKAT

KEBUDAYAAN JAWA DAN GAMBARAN UMUM SANGGAR KUDA

LUMPING TUNAS TURONGGO MUDO

3.1 Sejarah Kuda lumping

Konon tarian Kuda lumping merupakan bentuk apresiasi dan dukungan rakyat jelatah terhadap pasukan berkuda Pangeran dalam menghadapi penjajah Belanda. Adapula versi yang mengatakan, bahwa tari kuda lumping menggambarkan kisah perjuangan raden patah, yang di bantu oleh sunan kalijaga, melawan penjajah belanda. Versi lain menyebutkan bahwa, tarian ini mengisah kan tentang latihan perang pasukan mataram yang di pimpin sultan Hamengku

Buwono I, Raja Mataram, untuk menghadapi pasukan belanda.

Terlepas dari asal-usul nilai historisnya, tari kuda lumping menggambarkan semangat heroisme dan aspek ke militeran sebuah pasukan berkuda atau kavaleri. Hal ini terlihat dari gerakan-gerakan ritmis, dinamis, dan agresif, melalui kibasan anyaman bambu, menirukan gerakan layaknya seekor kuda di tengah peperangan.

Seringkali dalam pertunjukan tarian kuda lumping, juga menampilkan atraksi yang mempertontonkan kekuatan supranatural berbau magis, seperti atraksi mengunyah kaca, menyayat lengan dengan golok, membakar diri, berjalan di atas pecahan kaca, mungkin atraksi ini menggambarkan kekuatan supranatural

63

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

yang pada jaman dahulu berkembang di lingkungan Jawa, dan merupakan aspek non militer yang di gunakan melawan pasukan belanda.

Awalnya, menurut sejarah kuda lumping, seni kuda lumping lahir sebagai simbolisasi bahwa rakyat memiliki kemampuan (kedigdayaan) dalam menghadapi musuh ataupun melawan kekuatan elite kerajaan yang memiliki bela tentara.

Disamping juga menjadi media menghadirkan hiburan yang murah-meriah namun menjadi fenomena kepada rakyat banyak.

3.2 Pertunjukan Tari Kuda lumping

Dalam setiap pertunjukannya, tari kuda lumping ini menghadirkan 4 fragmen tarian yaitu 2 kali tari Buto Lawas, tari Senterewe, dan tari Begon Putri.

Pada fragmen Buto Lawas, biasanya ditarikan oleh para pria saja dan terdiri dari 4 sampai 6 orang penari. Beberapa penari muda menunggangi kuda anyaman bambu dan menari mengikuti alunan musik. Pada bagian inilah, para penari Buto

Lawas dapat mengalami kesurupan atau kerasukan roh halus. Para penonton pun tidak luput dari fenomena kerasukan ini. Banyak warga sekitar yang menyaksikan pagelaran menjadi kesurupan dan ikut menari bersama para penari. Dalam keadaan tidak sadar, mereka terus menari dengan gerakan enerjik dan terlihat kompak dengan para penari lainnya.

Untuk memulihkan kesadaran para penari dan penonton yang kerasukan, dalam setiap pagelaran selalu hadir para datuk, yaitu orang yang memiliki kemampuan supranatural yang kehadirannya dapat dikenali melalui baju serba

64

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

hitam yang dikenakannya. Para datuk ini akan memberikan penawar hingga kesadaran para penari maupun penonton kembali pulih.

Pada fragmen selanjutnya, penari pria dan wanita bergabung membawakan tari senterewe. Pada fragmen terakhir, dengan gerakan-gerakan yang lebih santai, enam orang wanita membawakan tari Begon Putri, yang merupakan tarian penutup dari seluruh rangkaian atraksi tari kuda lumping.

Kuda lumping' adalah suatu bentuk seni pertunjukan tradisional Jawa yang di dalam pertunjukannya ada unsur seni dan religi. Ciri khasnya menggunakan kuda yang terbuat dari anyaman barnbu sebagai perlengkapan pertunjukan dan ada peristiwa kesurupan. Pertunjukan Kuda lumping didukung oleh para anggota, terdiri dari pawang (sebagai pemimpin pertunjukan dan pengendali pertunjukan), pemain musik, penari, dan penonton. Peralatan yang digunakan berupa seperangkat alat musik, terdiri dari: kendhang, saron, demung, gong dan ketuk kenong. Perlengkapan penari, terdiri dari seperangkat pakaian, Kuda lumping, cambuk, dan topeng. Sebagai perlengkapan pawang, terdiri dari sesaji berupa bunga, minuman, minyak wangi, dan kemenyan.

Kuda lumping Sering disebut juga Jaran Kepang Menurut bahasa Jawa

"Jaran" berarti kuda, "Kepang" berarti anyaman. Dinamakan Kuda lumping karena, di dalam pertunjukan menggunakan anyaman bambu berbentuk kuda.

Topeng digunakan penari dalam pertunjukan Kuda lumping untuk melakonkan karakter manusia tertentu, seperti lueu dan seram. Rasers (1982:56) menjelaskan pertunjukan seperti lakon-lakon adalah peninggalan seremoni lengkap yang sudah punah. Pertunjukan tersebut, dewasa ini dipakai dalam upacara sunat, perkawinan,

65

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

dan simbolis berkaitan dengan dualisme di dalam alam semesta yang masih muncul atau masih bisa dilihat di dalamnya.

Soedarsono (1983:143) menjelaskan pertunjukan kuda lumping pada sebelum Islam berkembang abad XV dilaksanakan dalam upacara pemujaan

(ritual worship). Kuda lumping secara metafonk dalam pertunjukan kuda lumping berfungsi untuk melanjutkan hubungan antara masyarakat pendukung dengan roh orang yang sudah meninggal. Perkembangan selanjutnya, kuda lumping ditampilkan dalam upacara bersih desa, yang berfungsi untuk menghalau roh-roh jahat penyebab penyakit dan malapetaka lainnya. Dewasa ini pertunjukan Kuda lumping masih ada unsur religinya yang ditandai masih adanya peristiwa kesurupan (kemasukan roh halus) pada para pemain pertunjukan.

3.3 Persebaran Kuda lumping

Kuda lumping yang pada awalnya hidup pada masyarakat Jawa di pulau

Jawa, telah menyebar ke berbagai wilayah Nusantara. Hal tersebut berlangsung bersamaan dengan perpindahan orang Jawa dari suatu daerah ke daerah lain. Salah satu daerah daerah penyebaran budaya Jawa yaitu di daerah-daerah pemukiman sektor perkebunan daerah Pertanian, seperti di pinggiran Kota Medan dan sekitarnya.

Untuk menjelaskan kedatangan orang Jawa ke Sumatera Utara maka penulis mengutip tulisan tentang Kuda lumping di kota Medan. Kedatangan masyarakat Jawa sebagai Pekerja Perkebunan secara besar besaran ke Propinsi

Sumatera Utara - Medan sudah berlangsung sejak masa kolonial Belanda. Bekas

66

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

daerah Perkebunan Belanda tersebut hingga kini didiami oleh masyarakat Jawa

(Mohammad Said, 1990:20). Etnis Jawa di Medan dewasa ini berjumlah 628.898 jiwa atau 33 % dari total jumlah penduduk kota Medan 1.904.272 (BPS Kota

Medan 2003). Di daerah perkebunan tersebut, buruh-buruh berlatar belakang budaya Jawa tetap mempertahankan tradisi daerah asal, diantaranya melakukan pertunjukan kesenian: Ludruk, wayang, dan Kuda lumping (Edi Sedyawati,

1984:64).

Salah satu wilayah pemukiman masyarakat Jawa tersebut adalah

Kelurahan Tanjung Sari Medan. Di daerah ini juga terdapat suku bangsa lain, seperti Melayu, Karo, Batak, Mandailing, Minangkabau, Pakpak, Simalungun dan

Aceh. Walaupun mereka sudah berbaur dengan berbagai suku bangsa yang lain, tetapi tradisi Jawa masih dipertahankan. Hal ini terlihat dari seni budaya dan bahasa yang mereka gunakan sehari-hari.

Hildred Geertz (1982) menjelaskan orang Jawa di dalam kehidupan sehari- hari sangat kuat memegang tradisi leluhumya, baik dari tutur kata, kekerabatan, hubungan sosial maupun seni budayanya. Keluarga inti merupakan orang-orang yang terpenting di dalam meneruskan suatu tradisi. Mereka itulah yang memberi bimbingan moral dan mengajari nilai-nilai budaya Jawa kepada kerabat-kerabat terdekat. Di dalam siklus kehidupan mereka tidak lepas dari masalah kekuatan- kekuatan gaib (makhluk-makhluk halus) dan sesaji (sajen), sehingga selalu ada upacara-upacara untuk terhindar dari makhluk-makhluk halus.

Salah satu pertunjukan yang digunakan dalam upacara dalam ' siklus kehidupan, seperti perkawinan dan sunatan pada masyarakat Jawa di Kelurahan

67

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Tanjung sari adalah pertunjukan kuda lumping yang sampai saat ini masih hidup dan bertahan. Masyarakat Jawa di daerah ini berpandangan, pertunjukan Kuda lumping dilaksanakan supaya terhindar dari gangguan makhluk-makhluk halus dan hiburan. Mulder (1999:3) menjelaskan, bahwa di dalam kehidupannya orang

Jawa mencampurkan antara kehidupan beragma dengan kepercayaan lama nenek moyangnya.

Pertunjukan kuda lumping dikenal masyarakat Medan secara luas, karena adanya kelompok kuda lumping yang mengadakan pertunjukan keliling. Dewasa ini, pertunjukan kuda lumping keliling jarang ditemukan, karena semakin sedikit lapangan terbuka yang dapat dimanfaatkan untuk pertunjukan tersebut secara bebas. Di sisi lain, pertunjukan tersebut tidak dapat dilakukan secara bebas setelah keluar peraturan pemerintah 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2

Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.yang menggariskan membuat pertunjukan atau membuat keramaian harus ada izin dari pemerintah terkait, seperti polisi dan kelurahan. Setelah pemberlakuan Undang-Undang tersebut, pemain kuda lumping mengalami kesulitan mengurus izin pertunjukan dikarenakan keterbatasan pengetahuan tentang peraturan pemerintah tersebut juga karena keterbatasan dana dalam pengurusan izin.

Berdasarkan "grand toue” Oktober 2004, di Kelurahan Tanjung Sari terdapat dua kelompok kuda lumping yang bernama Tunggal Wargo dan Darma

Kusurna. Kelompok tersebut jarang main di Kelurahan Tanjung Sari, apakah mulai berubah dan pandangan masyarakat terhadap pertunjukan? Kelihatannya lebih mengarah sebagai pertunjukan seperti biasa atau sebagai hiburan.

68

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Anggotanya pun sudah ada yang tidak mau kesurupan dan pertunjukan Kuda lumping tampil berdasarkan pesanan, seperti: acara perkawinan, sunatan dan Hari

Kemerdekaan (tanggal 17 Agustus), sudah jarang tampil secara sukarela

(ngamen). Selain hal tersebut, peralatan yang dipergunakan sudah mulai usang.

Pada hakekatnya pertunjukan kuda lumping mengandung unsur seni dan religi; keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Apabila dipisah menjadi berubah makna dan bentuk pertunjukannya.

Menurut pelaku seni kuda lumping, unsur religi yang menghadirkan makhluk halus ini yang membuat daya tarik pertunjukan Kuda lumping. Pada saat kesurupan tersebut mereka dapat melakukan atraksi-atraksi yang menarik seperti makan kaca, bunga, kelapa dan lain-lain. Namun, untuk -mempertahankan unsur religi bukanlah hal yang mudah. Karena para anggotanya sudah ada yang tidak mau kesurupan. Padahal jika anggota dari grup kuda lumping tidak ada yang kesurupan maka atraksi yang menunjukkan unsur religi atau mistis sulit untuk ditampilkan dalam pertunjukan kuda lumping.

Sardono (2004:3) menjelaskan kesenian yang bermuara dari produk budaya lokal yang sedang menghadapi tantangan zaman, antara lain karena semangat modemisasi merebak di segala belahan dunia. Ruang religius yang terkandung di dalam kesenian semakin tidak berkembang. Kesenian hanya menjadi objek yang dikemas tanpa bermuara pada proses budaya masyarakat dan memperlemah budaya itu sendiri, akhirnya tersingkirkan.

69

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Sementara itu, Sedyawati menjelaskan di kota kebanyakan seni pertunjukan hanya berkaitan dengan kesenian saja, adanya imbalan jasa, adanya kesepakatan 'harga' sebagai landasan. untuk mempergelarkan kesenian (1981:61).

3.4 Kuda lumping Sebagai Seni Pertunjukan

Semua tingkah laku yang dilakukan seseorang di depan orang lain dan mempunyai pengaruh terhadap orang tersebut adalah pertunjukan (Salmurgianto,

1997:160). Sejalan dengan hal itu, Richard Schechner (dalam Salmurgianto,

1997:161) menjelaskan, pertunjukan adalah sebuah proses yang rnemerlukan waktu dan ruang. Sebuah pertunjukan, mempunyai bagian awal, tengah, dan akhir. Struktur dasar pertunjukan meliputi tahapan-tahapan sebagai berikut: (1) persiapan bagi pernain maupun penonton, (2) pementasan, (3) aftermath (apa-apa yang terjadi setelah pertunjukan selesai). Kuda lumping dalam pertunjukannya seseorang harus membuat perjanjian kepada pemimpin Kuda lumping dalam

Sanggar Tunas Turonggo Mudo adalah Pak Jikan. Setelah ada kesepakatan maka

Kuda lumping akan melakukan pertunjukan untuk memeriahkan hajatan yang dilakukan oleh orang yang mengundang Sanggar Tunas Turonggo Mudo.

Biasanya setelah pertunjukan ada beberapa orang yang akan berkenalan kepada mereka atau anggota grup kuda lumping bahkan meminta menjadi anggota Kuda lumpingTunas turonggo mudo. Selain itu anggota grup Kuda lumping akan mempunyai teman baru karena banyak orang yang melihat pertunjukan mereka.

Kata pertunjukan biasa. ditambah "seni" di depannya dan memiliki arti

'tontonan yang benilai seni", seperti drama, tari, musik, yang disajikan sebagai

70

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

pertunjukan di depan penonton. Dalam hal ini, kata pertunjukan digunakan sebagai padanan kata performance yang di Amerika Serikat, selama dasawarsa terakhir dikaji dan diperluas batas artinya. Untuk memberikan persepsi pertunjukan yang integratif, tari dan musik tidak dipandang sebagai pertunjukan yang berdiri sendiri, tetapi sebagai bagian vital dari teater, ritual, dan kehidupan sosial (Sal Murgianto, 1997: 25).

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka kuda lumping dapat diartikan sebagai pertunjukan. Alsannyaadalah karena kuda lumping ditampilkan dihadapan penonton dan mempunyai tahapan dan waktu tertentu serta mengandung unsur seni.

3.5 Unsur Seni dalam Pertunjukan Kuda lumping

Seni yang terdapat di dalam pertunjukan Kuda lumping terdiri dari pertunjukan musik dan tari serta mempunyai makna bagi pendukungnya. Menurut

Ariyono (1985:368) seni adalah keahlian dan keterampilan manusia untuk mengekspresikan dan menciptakan hal-hal yang indah serta bernilai bagi kehidupan baik untuk diri sendiri maupun untuk masyarakat umurn.

M.Yunus (1997:5) menjelaskan unsur-unsur seni di antaranya, adalah indah, halus, kreatif, melankolis, harmoni, kebenaran, kompetitif, riang, disiplin, dinamis, taqwa, tertib, dan waspada. Seni diartikan sebagai: (1) keindahan, (2) keahlian membuat karya bermutu, dapat dilihat dari segi kehalusan dan keindahannya, (3) kebolehan dan keterampilan yang diperlukan di suatu usaha pementasan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988:816).

71

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Selain itu, keindahan dan keterampilan tentang seni, batasan antara yang seni yang satu dengan lainnya berbeda-beda. Batasan berdasarkan filsafati yang sering muncul di masyarakat, sehingga berakibat batasan seni dapat berbeda-beda karena dasar pemikiran filosofinya yang berbeda. Orang tinggal memilih batasan berdasarkan filsafati yang dipahaminya (Dannawati, 2004).

Menurut The Liang Gie (dalam Sujarwa, 1999:53) bahwa nilai keindahan tersebut memiliki kecenderungan untuk mengisyaratkan suatu "pesan makna".

Yang berkaitan dengan filsafat hidup, budaya, psikologi, dan lain-lain. Berkenaan dengan hal tersebut Tolstoy (1999:54) mengatakan keindahan adalah sesuatu yang mendatangkan rasa menyenangkan bagi yang melihat. Sedangkan, menurut Hume

(ibid.) keindahan adalah sesuatu yang mendatangkan rasa senang. Sejalan dengan ini Hemsterhuis menyatakan bahwa yang indah dalam waktu yang sesingkat singkatnya memberikan pengalaman yang menyenangkan. Seni yang terdapat dalam Kuda lumping terdapat dalam seni tari dan musik yang di dalam pertunjukan juga mempunyai fungsi. Beberapa pakar tari yang mengulas tentang fungsi tari dalam kehidupan manusia, antara lain Getrude Kurath, Curt Sachs,

Anthony Shay, dan Soedarsono. Sach (Hannoko, 1999:6) menjelaskan secara garis besar tari memiliki dua fungsi, yaitu tujuan-tujuan magis, dan sebagai tontonan.

Kurath (Ibid. 1999:35) dengan lebih rinci mengatakan ada 14 fungsi tari dalam kehidupan manusia, yaitu: (1) untuk inisiasi kedewasaan, (2) percintam, (3) persahabatan, (4) perkawinan, (5) pekedaan, (6) pertafflan, (7) perbintangan, (8)

72

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

perbunian, (9) menirukan binatang, (10) menirukan perang, (11) penyembuhan,

(12) kematian, (13) kerasukan, dan (14) lawakan.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui seni tari tidak saja digunakan untuk nilai-nilai estetis yang berkaitan dengan hiburan, tetapi juga dapat digunakan untuk penyembuhan, kerasukan, dan menirukan binatang. Beberapa fungsi-fungsi tersebut terdapat di dalam kuda lumping. Shay (dalam Harmoko,

1999:36) mengkategorikan tari menjadi enam yaitu: (1) tari sebagai refleksi dari organisasi sosial; (2) tari sebagai sarana ekspresi untuk ritual sekuler dan keagarnaan; (3) tari sebagai aktifitas rekreasi (hiburan); (4). tari sebagai ungkapan serta pengendoran psikologis; (5) tari sebagai refieksi ungkapan estetis; dan (6) tari sebagai refleksi dari kegiatan ekonomi. Musik yang -digunakan di dalam pertunjukan Kuda lumping selain untuk mengiringi tarian dapat juga mempunyai fungsi lainnya. Merriam (1964:217-218) membagi penggunaan musik ke dalam lima kategori, yaitti: (1) hubungan musik dengan kebudayaan material, (2) hubungan musik dengan kelembagaan sosial, (3) hubungan musik dengan manusia dan alam, (4) hubungan musik dengan nilai-nilai estetika, dan (5) hubungan musik dengan bahasa. Sedangkan fungsi musik dibagi ke dalam sepuluh kategori, yaitu: (1) fungsi pengungkapan emosional, (2) fungsi pengungkapan estetis, (3) fungsi hiburan, (4) fungsi komunikasi, (5) fungsi perlambangan, (6) fungsi reaksi jasmani, (7) fungsi yang berkaitan dengan norma sosial, (8) fungsi pengesahan lembaga sosial dan upacara keagamaan, (9) fungsi kesinambungan kebudayaan, dan (10) fungsi pengintegrasian masyarakat.

73

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Musik Kuda lumping berfungsi sebagai pengungkapan estetis, hiburan, komunikasi, reaksi jasmani, dan pengintegrasian masyarakat. Lebih lanjut

Soedarsono (1985:18) berpendapat bahwa fungsi seni (kesenian) dalam kehidupan manusia dikelompokkan menjadi tiga yaitu: (1) sarana upacara, (2) hiburan, dan

(3) tontonan. Sedangkan Keesing (1988:53) menjelaskan fungsi seni, yaitu: (1) sarana kesenangan, (2) sarana hiburan, (3) sarana pemyataan diri, (4) sarana integrasi, (5) sarana penyembuhan, (6) sarana pendidikan, (7) sarana pemulihan ketertiban, dan (8) sarana simbolik yang mengandung kekuatan magis.

3.6 Unsur Religi dalam Pertunjukan Kuda lumping

Religi adalah segala sistem tingkah -Iaku manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyandarkan diri kepada kemauan dan kekuatan makhluk- makhluk halus seperti roh, dewa, dsb. yang menempati alam (Frazer dalam

Koentjaraningrat, 1985:27).

Religi dalam suatu masyarakat mempunyai tujuan untuk menJawab permasalahan kehidupan, mengisi kebutuhan atau mencapai kebutuhan bersama, seperti kemakmuran, kebahagiaan dan rasa aman yang berhubungan dengan yang gaib.

Frazer (dalam Koentjaraningrat, 1985:28) menjelaskan mula-mula manusia hanya mempergunakan ilmu gaib untuk memecahkan persoalan hidup di luar batas kemampuannya dan banyak yang tidak ada hasilnya. Maka mulailah ia percaya bahwa alam didiami oleh makhluk-makhluk halus yang lebih berkuasa dari padanya. Manusia lalu mencari hubungan dengan makhluk-makhluk halus

74

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

itu, dengan demikian timbullah religi. Pertunjukan Kuda lumping mengandung unsur religi, namun tidak sepenuhnya menyandarkan diri kepada makhluk- makhluk halus seperti yang dikemukakan oleh Frazer. Namun, sangat berkaitan dengan religi orang Jawa dahulunya. Koentjaraningrat (1984:3 10), menjelaskan masalah religi bagi orang Jawa ada yang disebut Islam Santri dan Islam Kejawen.

Islam santri, yaitu penganut agama Islam di Jawa yang secara patuh dan teratur menjalankan ajaran- ajaran Islam. Agama Islam Kejawen yang disebut agarna

Jawi adalah suatu kornpleks keyakinan dan konsep-konsep Hindhu Budha yang cenderung kearah mistik, yang tercampur menjadi satu dan diakui sebagai varian dari agama Islam. Sejalan dengan ini, Neils Mulder (19973) menjelaskan sebagian besar orang Jawa termasuk dalam golongan kejawen yang telah berusaha mencampuradukkan beberapa konsep dan cara berpikir Islam dengan pandangan asli mengenai alam kodrati (dunia, ini) dan alam adikodrati (alam gaib atau supernatural).

Selanjutnya, Koentjaraningrat (1982:340) menjelaskan kebanyakan orang

Jawa percaya kepada suatu kekuatan yaitu kesakten (kekuatan sakti), arwah atau roh leluhur dan makhluk-makhluk halus, seperti: memedi, lelembut, serta jin lainnya yang menempati alam sekitar tempat tinggal mereka. Menurut kepercayaan, makhluk halus tersebut dapat mendatangkan kebahagiaan dan dapat pula menimbulkan gangguan. Hampir pada tiap peristiwa yang dianggap penting, baik yang bersifat keagamaan atau kepercayaan, maupun mengenai usaha seseorang dalam mencari penghidupan, pelaksanaannya selalu disertai upacara.

75

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Sedyawati (1981:52) menjelaskan seni Pertunjukan terutama yang berupa tari-tarian dengan iringan bunyi-bunyian, sering merupakan pengembangan dari kekuatan-kekuatan magis yang diharapkan hadir. Beberapa fungsi seni pertunjukan di dalam lingkungan ethnik di Indonesia yaitu: (1) pemanggil kekuatan gaib; (2) penjemput roh-roh pelindung; (3) memanggil roh-roh baik untuk mengusir roh-roh jahat; (4) peringatan pada nenek moyang; (5) pelengkap upacara; (6) pewujudan daripada dorongan untuk mengungkap keindahan semata.

Sehubungan dengan uraian yang dikemukakan di atas, seni pertunjukan

Kuda lumping berfungsi untuk memanggil roh-roh gaib agar terhindar dari gangguan yang terlihat pada saat kesurupan, mengungkapkan keindahan dan kegiatan yang terorganisir. Pada saat upacara itu berlangsung, kesenian selalu berperan. Pertunjukan Kuda lumping dipandang masyarakat Jawa dapat menjauhkan dari ganguan makhluk halus. Kehadiran makhluk halus terlihat pada kesurupan penari di saat pertunjukan.

3.7 Kesurupan (Trance)

Kesurupan merupakan salah satu bagian yang menarik di dalam pertunjukan Kuda lumping, terjadi kesurupan dipercaya karena makhluk halus atau roh halus memasuki tubuh penari. Hal itu menyebabkan hilangnya kesadaran penari.

Geertz (1989) mengemukakan "kepercayaan terhadap makhluk halus", bahwa menurut konsep orang Jawa, peristiwa kesurupan disebabkan oleh karena roh-roh halus memasuki tubuh seseorang, sehingga orang yang dimasukinya

76

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

kesadaran dirinya hilang atau bisa menjadi sakit. Jenis-jenis kesurupan yang dikemukakannya, yaitu: kesurupan tanpa ada permainan musik dan upacara.

Kesurupan yang dikemukakan Geertz adalah kesurupan yang terjadi tanpa direncanakan dan tidak diinginkan (diharapkan) agar roh itu merasuki seseorang, dan tidak diketahui kapan saatnya. Tetapi akan diketahui apabila seseorang itu telah menderita sakit atau terganggu dirinya.

Kesurupan yang terjadi pada penari Kuda lumping, disebabkan endang

(roh-roh halus) memasuki tubuh penari. Lebih lanjut, kejadian kesurupan dianggap karena bantuan pawang dan musik. Kesurupan pada para penari kuda lumping merupakan kesurupan yang diinginkan atau diharapkan dan sengaja diciptakan. Remi Sylado (1983:16) menjelaskan orang-orang yang membuat pertunjukan itu percaya, dengan jalan lupa diri atau hilang kesadaran, mereka dapat bersatu dengan roh-roh nenek moyang dan dewa-dewa.

Berdasarkan uraian di atas dapat dibedakan kesurupan yang dikemukakan

Geertz dan kesurupan yang terjadi dalam pertunjukan Kuda lumping, tetapi antara kedua pendapat tersebut mempunyai konsep yang sama tentang terjadinya kesurupan disebabkan roh-roh halus memasuki tubuhnya.

Kesurupan menurut Rouget (1985), sifat-sifat kesurupan (trance budayawi) yang terlatih melalui proses budayawi, adalah sebagai berikut: (1) selalu berkaitan dengan gerakan fisik, (2) selalu berkaitan dengan suasana, (3) terjadi di dalam keramaian, (4) ada krisis, (5) selalu ada yang merangsang pendengaran, (6) berkaitan dengan kehilangan kesadaran, (7) kejadiannya timbul dari kondisi sadar. Sifat-sifat ini terdapat dalam pertunjukan Kuda lumping.

77

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Selanjutnya Kartomi (1973:166) menjelaskan, trance (kesurupan) yang bersifat pengalaman kelompok (trance rakyat) dibuat secara sengaja menurut keperluan masyarakat. Fungsinya untuk membuat rasa aman, melepaskan ketegangan emosional, dan memenuhi keinginan bertemu dengan leluhur dan roh- roh lain. Di dalam kondisi trance (kesurupan), misalnya dapat memperlihatkan nafsu, masyarakat dapat memperlihatkannya secara terbuka. Perilaku di dalmn trance dapat berfungsi sebagai katub pengaman psikologis dan dalam kondisi trance nafsu dianggap tidak perlu dikendalikan. Begitu juga dengan Kuda lumping, walaupun ada Pawang yang mengendalikan, tetapi orang yang kesurupan tidak dianggap harus bertanggung Jawab untuk perlakuan tubuhnya.

Gambar 3.1 Kesurupan (Trance)

Sumber: dokumentasi Muhammad Sayuti, 2016.

78

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

3.8 Selamatan

Selamatan (selametan) adalah suatu upacara makan bersama yang telah diberikan doa sebelumnya dan dibagi-bagikan (Koentjaraningrat, 1995:347).

Upacara selamatan diadakan berkaitan erat dengan kepercayaan kepada kekuatan sakti dan makhluk--makhluk halus. Diadakannya upacara ini ditujukan untuk memperoleh keselamatan hidup dengan tidak ada gangguan-gangguan apapun biasanya upacara ini dipimpin oleh scorang yang faham akan doa-doa dan bacaan

Al-Quran.

Selarnatan diadakan berkaitan dengan kegiatan hidup sehari-hari, yaitu:

(1) dalam rangka lingkaran hidup seperti, kelahiran, sunat, perkawinan dan kematian, (2) bersih desa, panen padi, (3) berhubungan dengan bulan-bulan kalender Islam seperti pada saat tahun baru Islam (4) pada saat yang tidak- tertentu, seperti menempati rumah baru dan sembuh dari sakit. Melalui upacara selamatan biasanya diadakan pertunjukan kesenian, seperti: wayang dan Kuda lumping. Upacara selamatan yang menggunakan Kuda lumping di Kelurahan

Tanjung Sari menurut heristina dewi terjadi pada acara perkawinan, sunatan dan panen. Pertunjukan kesenian seperti Kuda lumping diadakan setelah acara makan bersama atau keesokan harinya. Di Desa karang Sari sendiri pertunjukan Kuda lumping juga dilaksanakan pada acara selamatan seperti sunatan, pernikahan, janji setelah sembuh dari sakit dan pada saat tahun baru Islam.

79

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

3.9 Simbolisme dan Makna

Simbolisme yaitu suatu tata pemikiran atau paham yang menekankan atau mengikuti pola-pola yang mendasarkan diri kepada simbol-simbol (Budiono,

1984:29). Esensi simbolisme terletak dalami pengakuan sesuatu sebagai pengganti sesuatu yang lain, bisa dalam bentuk kongkrit maupun abstrak. Simbol itu sendiri muncul dengan kekuatan tersendiri untuk memulihkan dan menerima efek atau sesuatu yang lain atau untuk melindungi sesuatu objek.

Simbol digunakan dalam bentuk ungkapan kata, benda, kesenian atau lambang-lambang tertentu guna merepresentasikan makna yang melekat dan terkait dalam setiap kejadian hidup secara luas dan intensif untuk memahami makna dari simbol harus dirujuk pada lingkungan dimana dia terkait. Bentuk eksplisit dari simbolisme adalah makna yang melekat pada apa yang diberi makna. Simbolisme tidak hanya sebagai suatu isyarat dari komunikasi sosial, tetapi suatu kelengkapan yang lahir dalam mental yang membuat pengalaman manusia dimungkinkan bermakna (Pelly, 1994:84-85). Semua makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol (Spradley, 1997:12 1).

Penggunaan simbol dalam. masyarakat sangat bervariasi, dapat dipergunakan untuk tindakan yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat atau individu.

Sperber (Usman Pelly, 1994:84) menjelaskan interpretasi simbolik tidak hanya sekedar masalah kode, tetapi suatu improvisasi yang implisit dan mengikuti aturan yang tidak disadari. Simbolisme merupakan suatu kelengkapan yang lahir dalam mental yang membuat pengalaman manusia dimungkinkan bermakna.

80

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Selanjutnya Sperber (1979:50) mengungkapkan, maksud suatu simbol tidak universal tapi bersifat kultural, bisa ada bisa tidak, berbeda dari kebudayaan yang satu dengan yang lainnya, dan bahkan berbeda dalam satu kebudayaan.

Lebih lanjut Sperber mengungkapkan, simbol memiliki kunci tertentu, dan jika informan mengetahui kunci tersebut, situasi yang ditemui tidak akan berbeda dari situasi ketika mempelajari aspek kekerabatan, ekonomi, sejarah, dan lain-lain

(1979:20).

Blumer (Paloma, 1994) dalam teori interaksi simbolik, menjelaskan manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka. Makna tersebut berasal dari "interaksi sosial seseorang dengan orang lain'. Makna-makna disempurnakan disaat proses interaksi sosial berlangsung.

Uraian di atas dapat ditemukan di dalam pertunjukan Kuda lumping, seperti kuda-kudaan, bunga, kemenyan, dan minuman yang mempunyai makna, serta efek dari pertunjukan diharapkan dapat terjauhi dari gangguan makhluk- makhluk halus.

3.10 Perubahan Kebudayaan

Setiap kehidupan masyarakat manusia senantiasa mengalami suatu perubahan. Perubahan merupakan fenomena sosial yang wajar, karena setiap manusia mempunyai kepentingan yang tak terbatas. Perubahan-perubahan akan nampak setelah tatanan sosial dan kehidupan masyarakat yang lama dapat dibandingkan dengan tatanan kehidupan masyarakat yang baru. Perubahan-

81

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

perubahan yang terjadi bisa merupakan kemajuan atau mungkin justru kemunduran (Abdul Syani, 1994:162).

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang begitu pesat, berpengaruh terhadap pandangan hidup orang Jawa dalam melanjutkan tradisi nenek moyangnya. Penghayatan akan makna simbolis tradisional dan religius sudah berubah, yang dahulunya dilaksanakan atas dasar batiniah, sekarang lebih rasional dan daya simboliknya sudah berubah makna, melainkan hanya merupakan simbol identitas (Budiono, 1984:127).

Perubahan yang terjadi di dalam kebudayaan selalu berkaitan dengan perubahan sosial masyarakat. Wilbert Moore (Lauer, 1989:4) mendefinisikan perubahan sosial sebagai perubahan dalam hal sosial. Sosial yang dimaksud adalah pola-pola prilaku dan interaksi sosial yang mencakup mengenai norma, nilai dan fenomena kultural.

Pada saat ini di tengah masyarakat pendukung kuda lumping mengalami perubahan. Menurut Umar Yayar (1985) kesenian adalah salah satu unsur yang menyangga kebudayaan. la berkembang menurut kondisi dari kebudayaan itu, dengan demikian kesenian harus mengerti pada situasi masyarakat yang akan menikmati. Pernyataan tersebut sesuai dengan keadaan Kuda lumping yang dikembangkan pendukungnya. Hal ini juga didukung oleh pernyataan

Koentjaraningrat (1980:31) mengungkapkan, manusia selalu bergerak menuju kearah kemajuan, "sehingga manusia di dunia ini telah berkembang dari tingkat yang sederhana ke tingkat yang makin tinggi serta kompleks. Selanjutnya, Usman

82

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Pelly (1994:162) menjelaskan kebudayaan itu dinamis, bagaimana pun juga kebudayaan itu akan berubah, hanya kecepatannya yang berbeda-beda.

Unsur-unsur budaya dalam suatu kelompok masyarakat ada yang mudah berubah dan ada pula yang sulit berubah. Demikian pula dengan individunya ada yang cepat dan ada yang lambat dalam proses menerima perubahan, bahkan ada individu yang cenderung menolak perubahan.

Sikap menerima dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: faktor kebutuhan, keuntungan langsung yang dapat dinikmati, seni pada suatu hal yang baru, sifat inovatif yang selalu ingin berkreasi. Adapun sikap menolak disebabkan oleh anggapan bahwa hal-hal yang baru itu merugikan, atau bertentangan dengan tata nilai yang sudah dianut sebelumnya. Di samping itu ada pula yang menolak tanpa alasan (L. Dyson, 1997:39).

Perubahan dapat terjadi ketika proses internalisasi, sosialisasi, dan enkulturasi terjadi pada diri individu. Intemalisasi adalah suatu proses dari berbagai pengetahuan yang berada di luar diri individu masuk menjadi bagian dari diri individu; sosialisasi adalah proses penyesuaian diri seorang individu ke dalam kehidupan kelompok di mana individu tersebut berada, schingga kehadirannya dapat diterima oleh anggota kelompok yang lain; sedangkan enkulturasi adalah proses ketika individu memilih nilai-nilai yang dianggap baik dan pantas untuk hidup bermasyarakat, sehingga dapat dipakai sebagai pedoman bertindak. Ketiga proses ini (intemalisasi, sosialisasi dan enkulturasi) bervariasi dari individu yang satu ke individu yang lain, meskipun mereka hidup dalam masyarakat dan kebudayaan yang sama (Lauer, 1989:6).

83

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Perubahan-perubahan terjadi bukan semata-mata disebabkan karena lingkaran pemilikan suatu seni tradisi menjadi lebih luas, tetapi bisa pula karena manusia--manusia pendukung kebudayaan daerah itu sendiri telah berubah, karena perubahan cara hidup, dan pergantian generasi (Edi Sedyawati, 1987).

Selanjutnya, Umar Kayam (1981:48) menjelaskan sudah waktunya kreatifitas kesenian dipahami dalam konteks perkembangan masyarakat, agar strategi pengembangan kesenian mengacu kepada perkembangan masyarakat. Sementara itu ada pendapat (Sri Hastanto, 2002:7) bahwa kesenian daerah tidak perlu dikelola khusus, sebab kesenian daerah itu telah menjadi milik msyarakat dan kehidupannya diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat. Ada yang berpendapat sebaliknya, perlu dikelola secara terencana. Maka konsep pengelolaan kesenian harus ditangani dengan cermat. Untuk itu kita harus faham benar dasar sebuah bentuk kesenian daerah dan tahu betul peruntukannya. Juga harus tahu betul akan dibawa kemana kesenian tersebut, agar kehidupannnya lebih baik dan mempunyai daya guna bagi masyarakat pendukungnya.

Sehubungan dengan hal di atas, Edi Sedyawati (1981:61) menjelaskan kesenian berkaitan dengan pembangunan masyarakat Indonesia secara menyeluruh. Pembangunan masyarakat yang dijalankan untuk menyamaratakan kemakmuran selalu dilandasi oleh norma efisien yang seragam. Suasana kehidupan yang lamban dan didasari oleh kepercayaan akan kekuatan magis

(gaib) berangsur diubah menuju tata hidup yang dilandaskan pada perhitungan rasional. Hal ini berakibat juga pada kesenian, sehingga kesenian di dalam pengembangannya selalu diarahkan ke rasional.

84

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Sehubungan dengan beberapa pendapat di atas, perubahan pada pertunjukan kuda lumping dapat dikaitkan dengan kemajuan informasi dan teknologi, pergantian generasi penerus, serta berkaitan dengan kondisi dimana. kebudayaan berada. Selanjutnya perubahannya selalu bergerak menuju kearah kemajuan, rasional dan sesuai kepentingan manusia.

3.11 Awal Terbentuknya Kelompok Kuda lumping Tunas Turonggo Mudo

Berdasarka hasil wawancara Tunas Turonggo Mudo adalah sanggar tari kuda lumping yang di dirikan oleh bapak kartani pada tahun 1954, bapak kartani ini adalah masyarakat asli Jawa timur dia sangat menyukai tari kuda lumping sehingga dia ingin mendirikan sanggar tari kuda lumping sendiri di sari rejo, sebelum dia membuat sanggar tari ini terlebih dahulu dia mengumpulkan masyarakat Jawa yang ada di desa sari rejo, pak kartani mengadakan musyawarah pada masyarakat tersebut untuk membuat sanggar tari ini, setelah di setujui maka dibuat lah susunan ke anggotaan oleh pak kartani,yaitu ketua,wakil ketua,bendahara,anggota. setelah bapak kartani meninggal pada tahun 2010 Tunas

Turonggo Mudo ini di lanjutkan oleh Pak jikan hingga sekarang, sanggar ini masi berjalan dan memiliki banyak anggota, tunas turonggo mudo ini adalah salah satu sanggar tari kuda lumping yang banyak diminati oleh masyarakat di sari rejo, di karnakan umur sanggar yang sudah sangat lama dan mereka juga sanggar yang memiliki generasi-generasi muda sehingga pertunjukan kuda lumpingnya menjadi lebih ber enerjik.

85

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

3.12 Manajemen Klompok Tunas Turonggo Mudo

Kelompok tunas turonggo mudo terbentuk karna adanya hubungan kekeluargaan yang erat antara pak kartani dan pak jikan dengan tujuan untuk melestarikan kebudayaan Jawa yaitu kuda lumping. Kuda lumpng awal terbentuknya di ketuai oleh pak kartani, kemudian setelah pak kartani meninggal klompok tunas turonggo mudo di lanjutkan oleh pak jikan selaku ketua. Ada pun pak sari puden berperan sebagai dalang, dan pak murianto berperan sebagi kepala penari, dan pak sukardi sebagai pemain musik.

3.13 Seleksi Penerimaan Anggota

Dalam hal penerimaan anggota, maka cara yang dipilih adalah dengan menunggu, atau boleh dibilang siapa saja yang mau bisa menjadi anggota dan bukan atas ajakan. Atau seleksi penerimaan anggota dapat dilakukan dengan datang langsung ke rumah pak jikan dengan syarat anak tersebut harus memiliki ijin orang tuanya, mengikuti peraturan menjalan kan latihan dan penilaian, setelah dianggap bisa baru boleh langsung main kepertunjukan, seleksi penerimaan aggota tanpa di pungut biaya.

3.14 Penentuan Jadwal Latihan

Menentukan jadwal latihan yaitu dengan mengadakan musyawarah kepada para anggota untuk menentukan waktu yang tepat dan setelah di sepakati waktunya, para anggota harus datang tepat waktu sesuai dengan ke sepakatan,

86

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

jadwal latihan tunas turonggo mudo di tetapkan pada malam rabu dan malam saptu pada pokul 21-00 sampai dengan selesai.

3.15 Pembagian Honor

Untuk pembagian honor mereka melakukannya berdasarkan peranan mereka di dalam kelompok mereka. Misalkan saja seperti pemain musik akan lebih besar honornya jika dibandingkan dengan anggota kelompok yang lain, jadi boleh dikatakan honor pawang dengan pemain musik sama besarnya dan jumlah yang diterima oleh penari akan lebih kecil jumlahnya. Hal ini terjadi selain karena peranan yang lebih besar juga pengaruh para pemain musik yang umurnya lebih tua dari penari Kuda lumping jadi ada pembagian honor yang lebih besar bagi pemain musik dan pawang ketimbang para penari.

Contohnya : jika pemain musik mendapat lima puluh ribu rupiah, maka penari mendapat dua puluh ribu rupiah, tetapi jika dalam mengamen akan lain jumlahnya karena uang yang didapat tidak tentu jumlahnya.

Sistem pembagian honor ini terjadi setelah semua peralatan mereka lengkap artinya, pada awal terbentuknya kelompok ini kostum, alat musik serta perangkat pengeras suara belum lengkap maka semua jumlah uang yang di dapat dari undangan penampilan mereka tidak dibagikan melainkan dikumpulkan sampai jumlahnya cukup untuk membeli peralatan mereka, jadi ketika semua peralatan tersebut sudah dibeli maka pembagian honor tersebut berlaku.

87

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

3.16 Proses Kesepakatan Mengundang Kelompok Tunas Turonggo Mudo

Pengundang mendatangi kerumah pak jikan secara langsung untuk menentukan ke sepakatan hari dan waktu serta biaya yang di tentukan oleh kesepakatan kedua belah pihak. Dengan syarat ada uang muka terlebih dahulu sebagai tanda jadinya pengundangan tersebut.

88

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB IV

DESKRIPSI PERTUNJUKAN KUDA LUMPING SANGGAR

TUNAS TURONGGO MUDO

4.1 Tempat Pertunjukan

Selama penulis melakukan penelitian, tempat pertunjukan Kuda lumping memang selalu berada di lapangan ataupun tanah kosong yang lumayan luas, bisa di halaman rumah penduduk yang mengundang Kuda lumping untuk bermain begitu juga jika kelompok kuda lumping diundang oleh pihak tertentu misalnya instansi pemerintah maka tempat pertunjukan mereka biasanya dibuat di lapangan instansi pemerintah tersebut. Memang tidak ada persyaratan khusus tentang suatu tempat agar layak menjadi tempat pertunjukan Kuda lumping karena semua tergantung kondisi di lapangan.

4.2 Waktu Pelaksanaan Pertunjukan

Waktu pelaksanaan pertunjukan tergantung alasan suatu kelompok kuda lumping bermain. Maksudnya adalah seperti ini, misalkan saja kelompok kuda lumping bermain dalam bentuk mengamen, maka waktu pertunjukan mereka tergantung kepada mereka sendiri, bisa dimulai dari pagi hari, siang hari ataupun pada malam hari. Tetapi akan beda halnya dengan penampilan kuda lumping yang karena adanya undangan ataupun permintaan orang tertentu. Maka waktu pertunjukan mereka tergantung kesepakatan antara kedua belah pihak.

89

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Perlu saya tambahkan tentang waktu pertunjukan ini, secara umum waktu pertunjukan terjadi dalam dua kali, yaitu pada siang hari yang berhenti pada saat maghrib setelah itu dilanjutkan pada malam hari dan berhenti ketika dirasa cukup waktunya oleh pawang (karena ia adalah pengendali pertunjukan), sebab lain berhentinya pertunjukan karena permintaan dari orang yang mengundang mereka.

Namun hal ini tidak menjadi patokan kalau semua penampilan Kuda lumping akan selalu seperti ini karena semua tergantung kondisi tempat pertunjukan serta beberapa hal lainnya yang dapat mempengaruhi pertunjukan seperti jika pertunjukannya berada di daerah pelosok ataupun daerah yang masih kurang adanya sarana transportasi biasanya pada saat itu akan banyak pemain Kuda lumping yang lain datang untuk melihat pertunjukan tersebut dan nantinya akan ikut mabok juga, jadi keadaan akan menjadi ramai, maka jika hal tersebut terjadi maka waktu pertunjukan akan lama selesai.

4.3 Pendukung Pertunjukan

4.3.1 Penari

Dalam kuda lumping jumlah penari biasanya ganjil, seperti lima, tujuh atau sembilan, semua tergantung dari keadaan kelompok itu sendiri. Penari terdiri laki-laki. Semua penari bisa mengalami trance. Mereka menari menggunakan

Kuda lumping atau kuda-kudaan yang dipegang di tangan kiri sedang tangan kanan mereka memegang selendang yang terikat di pinggang mereka. Ada beberapa isitilah untuk penari dalam Kuda lumping yaitu, pemayung dan penari biasa. Pemayung biasanya pemimpin penari yang ditangan kanannya memegang

90

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

cambuk atau yang biasa disebut dengan pecut dan pada saat menari posisinya selalu di depan.

4.3.2 Pemain Musik

Ada banyak penyebutan pemain musik dalam Kuda lumping, salah satunya menurut Pak Jikan pemimpin dari Sanggar Tunas Turonggo Mudo mengatakan pemain musik biasanya disebut dengan gamel, sedangkan keterangan yang didapatkan dari Pak Saripuden seorang pawang kuda lumping, pemain musik biasa disebut dengan Panjak. Sedangkan keterangan dari Pak Yono seorang pawang juga mengatakan pemain musik biasa disebut dengan Wiyogo, lebih lanjut disebutkannya bahwa penyebutan ini adalah istilah lain yang lebih halus dari kata- kata di dalam bahasa Jawa seperti istilah panjak dan gamel.

Menjadi seorang pemain musik dalam kelompok kuda lumping memang tidaklah mudah karena memang harus orang yang berpengalaman karena bisa-bisa nantinya jika musik yang dimainkannya kurang baik maka para penari yang sedang mabok akan marah, karena beberapa kali penulis pernah mengikuti beberapa penampilan kelompok kuda lumping para penari yang mabok memarahi para pemain musik jika musik yang mereka mainkan tidak bagus, bahkan para arwah yang memasuki para penari kuda lumping mengenali siapa saja pemain musik yang memainkan musik dengan baik, contohnya saja jika para penari yang sedang mabok ingin kembali sadar maka sering ia memilih sendiri pemain musiknya (memang yang sering mereka pilih adalah pemain kendang atau juga sering pemain saron). Ketika hal ini saya tanyakan kepada beberapa orang para

91

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

pemain kuda lumping mereka semua mengatakan bahwa kedua pemain musik ini memang yang sangat vital, Pak Jikan, Rakem, Ngoweh serta informan yang lainnya mengatakan hal seperti ini kalau pemain saron itu pembawa melodi yang utama jika melodi yang dimainkannya salah atau tidak sesuai dengan yang biasanya maka dapat dibayangkan bisa-bisa kurang enak kedengarannya musik yang dimainkan terlebih lagi pemain kendang karena setiap arwah atau endang yang ingin keluar dari tubuh penariselalu menghadap kendang jika permainan kendang tidak bagus bisa-bisa endang tersebut nantinya tidak mau keluar dari tubuh si penari-tetapi jika hal tersebut terjadi semua menjadi tanggung Jawab si

Pawang karena ia adalah pengendali penampilan.

4.3.3 Pawang

Pawang merupakan seorang pengendali permainan Kuda lumping artinya jika ada seseatu yang terjadi di luar kendali itu semua adalah tanggung Jawab si pawang untuk mengatasinya, misalnya saja jika ada endang yang tidak mau keluar dari tubuh penari ataupun ada penari dari kelompok lain ikut mabok dalam pertunjukan Kuda lumping maka hal tersebut menjadi tanggung Jawab si Pawang untuk mengatasinya. Menjadi seorang pawang haruslah orang yang sudah pengalaman dalam ilmu kebatinan dan memang sudah punya pengalaman dengan banyak ilmu penangkal jika ada yang ingin berbuat tidak baik dengan kelompok ataupun dirinya sendiri.

92

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

4.3.4 Penonton

Sebuah pertunjukan Kuda lumping untuk lebih meriahnya memang tidak terlepas dari penonton yang hadir, boleh dikatakan semakin banyak yang menonton maka kelihatannya pertunjukan Kuda lumping sangat bagus dan baik untuk ditonton (walaupun penialaian ini tidak sepenuhnya menjadi penentu dari bagus atau tidaknya suatu pertunjukan kuda lumping).

4.3.4.1 Penonton Biasa

Penonton biasa yang saya maksudkan adalah penonton pertunjukan Kuda lumping yang ketika ada pertunjukan Kuda lumping dia hanya menonton yang tujuannya hanya tertarik dan ingin melihat bagaimana pertunjukan Kuda lumping.

Tujuan utama dia menonton untuk kesenangan saja, bisa membuatnya tertawa dan melupakan sejenak rutinitas sehari-harinya.

4.3.4.2 Penonton Dari Kelompok Kuda Lumping yang Lain

Sedangkan penonton yang satu ini adalah penonton yang nantinya ditengah-tengah penampilan Kuda lumping mereka akan ikut bermain dan meramaikan suasana. Biasanya para penari dari kelompok kuda lumping yang lain akan ikut mabok dan ikut dalam pertunjukan kuda lumping.

Namun jika adalah seseorang dari kelompok lain ataupun yang mempunyai ilmu kebatinan maka bisanya ia akan mencobai kemampuan kelompok Kuda lumping terutama sang pawang dengan cara menghambat kembalinya arwah ataupun endang yang ada di dalam tubuh penari, jika hal itu

93

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

terjadi maka kemampuan sang Pawang akan teruji jika dapat mengatasi hal tersebut maka ia akan dipandang cukup baik dimata kelompoknya sendiri ataupun di mata kelompok yang lain yang sedang menontonnya.

4.3.5 Pengeras Suara

Adanya fasilitas pengeras suara tergantung dari kemampuan kelompok

Kuda lumping itu sendiri, karena boleh dikatakan jika uang yang mereka miliki cukup untuk membeli pengeras suara atau yang biasanya disebut mereka dengan ampli maka mereka akan membelinya, namun jika mereka tidak memilik uang ataupun suatu kelompok yang baru terbentuk dan mempunyai modal yang pas- pasan maka pengadaan pengeras suaratersebut tidak mungkin terjadi. Namun ada atau tidak suatu pengeras suara dalam suatu kelompok Kuda lumping tidak menjadi suatu masalah karena beberapa kali penulis menyaksikan penampilan kelompok Kuda lumping yang lainnya salah satunya adalah kelompok Kuda lumping yang berasal dari kampung Keloneng jalan tanah seribu pasar I, dalam pertunjukan mereka tidak menggunakan pengeras suara, penonton yang menyaksikan mereka cukup banyak.

4.4 Perlengkapan Pertunjukan

4.4.1 Panggung

Panggung dalam setiap pertunjukan memang menjadi suatu yang penting.

Di dalam petunjukan Kuda lumping panggung yang menjadi arena penampilan mereka adalah suatu tanah yang kosong dan cukup luas untuk bergerak dan

94

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

menari, panggung bisa sebuah halaman rumah penduduk yang mengundang kelompok mereka ataupun halaman rumah disekitar tempat tersebut. Dengan diterangi dengan beberapa lampu berdaya listrik untuk dimalam hari maka tempat tersebut sudah bisa untuk menjadi panggung pertunjukan kuda lumping.

4.4.2 Kostum

Kostum biasanya dipergunakan oleh para penari Kuda lumping. Kostum yang mereka pergunakan biasanya terdiri dari baju tangan panjang, celana panjang trening, jarik selendang serta ira-ira atau ikat kepala. Memang kostum yang dipergunakan tergantung dari keadaan kelompok Kuda lumping yang bersangkutan semua perlengkapan tadi bisa saja bertambah ataupun berkurang tergantung keadaan kelompok yang bersangkutan. Sedangkan jika para pemain musik ingin memakai kostum, maka yang mereka pergunakan biasanya hanya pakaian saja ditambah dengan blangkon. Blangkon merupaka topi yang khas dari masyarakat Jawa.

4.4.3 Tata Rias

Tata rias yang biasa mereka pergunakan hanya untuk di bagian muka saja dengan beberapa alat tata rias yang biasa digunakan, hal ini dilakukan mereka sendiri tanpa menggunakan tenaga khusus ataupun memerlukan bantuan orang lain, karena sifatnya sangat sederhana. Merias diri dilakukan sebelum melakukan pertunjukan.

95

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

4.4.4 Kuda lumping

Kuda lumping yang dimaksud di sini adalah kuda-kudaan yang dipergunakan oleh penari Kuda lumping pada saat menari dan diletakkan pada bagian selangkangan mereka dipegang dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan memegang selendang atau pecut.

Bahan pembuatnya selama pengetahuan penulis saat melakukan penelitian terdiri dari dua jenis yaitu plastik dan bambu, ada beberapa kelompok Kuda lumping yang bisa membuat Kuda lumping sendiri atau memesan dari pembuat

Kuda lumping yang lain. Semuanya tergantung kesepakatan dan keadaan di dalam kelompok tersebut.

Gambar 4.1 Kuda lumping

Sumber: dokumentasi Muhammad Sayuti, 2016.

96

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

4.4.5. Barongan

Barongan adalah benda yang terbuat dari kayu dan berbentuk menyerupai kepala singa. Di bagian belakangnya terdapat kain yang mempunyai panjang 2 atau tiga meter. Pada saat penampilan Kuda lumping barongan biasanya dimainkan satu ataupun tiga orang dengan gerakan bebas sambil membunyikan

Barongan, maksudnya adalah membenturkan kedua bagian yang terpisah seperti mulut singa sehingga membuat efek suara yang bisa menyemarakkan pertunjukan

Kuda lumping.

Gambar 4.2 Barongan

Sumber: dokumentasi Muhammad Sayuti, 2016.

4.4.6. Pecut

Pecut adalah cambuk yang terbuat dari tali plastik yang biasanya dipegang disebelah tangan kanan pemimpin penari yang biasanya disebut dengan

97

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

pemayung. Pecut juga dipergunakan jika ada penari yang sedang mabok ingin dicambuk maka dipergunakanlah pecut tersebut, karena pecut adalah nama lain dari cambuk yang dipergunakan dalam pertunjukan Kuda lumping. Dalam pertunjukan Kuda lumping, pecut juga digunakan pawang pada saat penutupan pertunjukan, maksudnya adalah pada saat akhir pertunjukan dilakukan ritual pemulangan seluruh arwah dengan mencambukkan pecut ke empat arah yang berbeda.

Gambar 4.3 Pecut

Sumber: dokumentasi Muhammad Sayuti, 2016.

98

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

4.4.7. Pentul atau Topeng

Topeng yang dipergunakan dalam pertunjukan Kuda lumping bentuknya menyerupai wajah manusia dan terbuat dari kayu. Topeng ini dipergunakan oleh para penari pada saat pertunjukan Kuda lumping. Mereka menggunakan ini dan melakukan gerakan tarian bebas tidak seperti penari yang menggunakan Kuda lumping. Jumlah penari yang menggunakan topeng biasanya jumlahnya tergantung dari kelompok itu sendiri, jika jumlah anggota yang dimiliki kelompok

Kuda lumping itu sendiri mencukupi maka akan ada penari pentul tetapi jika tidak maka penari yang ada hanya penari yang memegang kuda lumping.

Gambar 4.4 Pentul atau Topeng

Sumber: dokumentasi Muhammad Sayuti, 2016.

99

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

4.4.8 Tungku Membakar Kemeyan

Tungku ini biasanya terbuat dari kayu. Alat ini dibutuhkan pada saat klimaks dari pertunjukan Kuda lumping jika ada penari yang sedang mabok mereka akan meminta asap kemeyan yang berasal dari pembakaran tungku ini.

Untuk membakar kemenyan ini dibutuhkan arang dan minyak lampu agar bisa membuat api.

Gambar 4.5 Tungku Membakar Kemenyan

Sumber: dokumentasi Muhammad Sayuti, 2016.

4.5. Bahan Pertunjukan

4.5.1. Macam-macam Bunga

Bunga ini biasanya dibuat dalam wadah yang biasa disebut dengan baskom yang diisi dengan air. Jika ada penari yang mabok maka ia biasanya mencari wadah bunga ini untuk memakan bunga. Bunga yang ada terdiri dari macam-macam bunga bisa bunga apa saja, namun menurut keterangan yang diberikan Pak Sari puden yang utamanya adalah bunga kantil dan kenanga yang

100

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

harus ada namun jika ada bunga yang lain pun tidak apa-apa tetapi yang utamanya adalah kedua bunga tersebut adapun bunga yg sering digunakan juga ialah. Mawar putih dan bunga jarum.

Gambar 4.6 Macam-macam Bunga

Sumber: dokumentasi Muhammad Sayuti, 2016

4.5.2. Kemenyan

Kemeyan memang seseatu yang harus ada dalam pertunjukan Kuda lumping karena tanpa ini maka ritual untuk mengundang arwah yang masuk kedalam tubuh para penari akan sangat sulit untuk dilakukan. Kemeyan biasanya akan dibakar di dalam tungku pembakaran dan ini dilakukan pada saat akan klimaks dari pertunjukan kuda lumping.

4.5.3. Minyak Wangi

Minyak wangi yang sering mereka pergunakan adalah minyak wangi cap

Air Mata Duyung. Sampai saat ini saya bertanya kepada semua Pawang ataupun

101

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

pemain Kuda lumping tidak ada Jawaban yang cocok menurut saya secara umum para pemain Kuda lumping mengatakan memang itu yang saya pergunakan dari dulu jadi mau bagaimana lagi menjelaskannya kenapa miyak wangi ini yang saya pergunakan. Dalam satu pertunjukan biasanya menghabiskan satu sampai tiga botol munyak wangi.

Gambar 4.7 Minyak wangi

Sumber: dokumentasi Muhammad Sayuti, 2016

4.5.4. Arang

Arang terbuat dari kayu yang digunakan sebagai sumber api ini untuk pembakaran kemeyan. Tak jarang juga arang ini menjadi sarana pertunjukan dari penampilan Kuda lumping yaitu dengan cara memakannya ataupun menginjak- injak bara api dari arang ini. Biasanya dengan adanya hal itu dalam pertunjukan

102

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Kuda lumping akan menambah kemeriahan kelompok tersebut pada saat penampilan.

4.6. Alat Musik yang Dimiliki Sanggar Tunas Turonggo Mudo

4.6.1. Saron

Saron adalah alat musik yang membawa melodi utama di dalam pertunjukan Kuda lumping. Alat musik yang terdiri dari bilahan besi yang berjumlah sembilan buah dan diletakkan diatas kotak resonator. Untuk memainkannya menggunakan alat pemukul yang menyerupai palu dan dimainkan oleh satu orang.

Gambar 4.8 Saron

Sumber: dokumentasi Muhammad Sayuti, 2016

4.6.2. Demung

Secara umum bentuk dan cara memainkan serta jumlah orang memainkan demung hampir sama dengan saron. Namun yang membedakannya adalah jumlah

103

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

bilahannnya jika demung hanya ada tujuh buah saja. Juga fungsi yang dimiliki oleh alat musik ini bukan sebagai pembawa melodi utama.

Gambar 4.9 Demung

Sumber: dokumentasi Muhammad Sayuti, 2016

4.6.3. Gong

Penyebutan gong yang dipergunakan dalam Kuda lumping adalah gong ceper ataupun gong duduk. Bentuk yang lain ini terjadi karena menurut keterangan Pak Jikan bentuk lain dari gong ini karena untuk menghemat biaya pembuatan gong, jika gong yang dibuat bentuknya seperti gong yang digantung atau bentuk gong yang biasanya maka biaya pembuatannya akan sangat mahal sedangkan jika gongnya berbentuk seperti ini maka biaya pembuatannya akan sedikit lebih murah.

104

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gambar 4.10 Gong Duduk

Sumber: dokumentasi Muhammad Sayuti, 2016

4.6.4 Kendang

Kendang yang ada dalam Kuda lumping berbentuk barel yang mempunyai sisi dua dimana salah satu sisi bentuknya lebih besar dari yang lainnya. Dilapisi kulit hewan yang direnggangkan di setiap sisinya. Fungsinya sebagai pembawa ritmis dan tempo dan tak jarang kendang fungsinya menjadi pemulangan arwah yang ada pada penari.

Gambar 4.11 Kendang

Sumber: dokumentasi Muhammad Sayuti, 2016

105

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

4.6.5 Slenthem

Slenthem secara umum bentuknya hampir sama dengan saron dan demung, namun slenthem mempunyai dua baris bilahan besi yang tersusun dan tanpa ada ruang resonatornya. Fungsinya juga tidak seperti saron karena ia hanya bukan sebagai melodi utama hanya sebagai pengiring saja.

Gambar 4.12 Slentem

Sumber: dokumentasi Muhammad Sayuti, 2016

4.7. Deskripsi Pertunjukan

Pertunjukan Kuda lumping Tunas Turonggo Mudo secara umum terbagi dua, yaitu yang pertama adalah pertunjukan tarian persembahan dan dilanjutkan dengan pertunjukan trance. Pertunjukan tarian persembahan mempunyai arti bahwa semua anggota kelompok Kuda lumping tersebut telah meminta izin kepada penguasa di daerah tempat mereka melakukan pertunjukan sehingga mereka tidak mendapat gangguan karena telah meninta izin untuk melakukan pertunjukan Kuda lumping sebagai hiburan untuk masyarakat sekitar terutama

106

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

warga yang mengundang mereka dalam hajatannya. Sebelum tarian persembahan dimulai. Semua peralatan pertunjukan diletakkan pada posisinya yang sedemikian rupa, kemudian sang pawang meminta izin kepada penguasa daerah tersebut dengan cara membakar kemenyan serta membaca mantra-mantra tertentu.

Menurut Pak Sari puden dan Pak Yono , kedua pawang ini menyatakan bahwa banyak makna dalam membakar kemenyan tersebut tetapi yang paling utama adalah meminta izin kepada para penguasa dan menyampaikan niat mereka berada di daerah tersebut untuk melakukan pertunjukan menghibur warga sekitar. Setelah selesai membakar kemenyan tersebut maka dengan aba-aba tertentu maka para penari masuk ke dalam panggung pertunjukan. Tentu saja panggung pertunjukan

Kuda lumping secara umum hanya halaman yang luas saja, sekedar hanya bisa untuk melakukan tarian dengan bebas saja. Para penari masuk kemudian berlutut dengan dengkul kaki sebelah kanan sebagai penumpu. Dengan tetap diiringi lagu jatilan , pertunjukan tarian persembahan dimulai ketika para penari berlutut sambil menyembah. Setelah melakukan hal tersebut dilanjutkan dengan mengerakkan tangan dengan gerakan tertentu sambil memegang unung selendang yang terikat di pinggang mereka. Gerakan ini dilakukan dalam posisi empat penjuru atau dengan mudah kita sebut saja dengan arah depan belakang serta arah samping kanan dan kiri. Setiap gerakan mereka ini dibantu dengan aba-aba dari bunyi

Pecut jadi setiap pecut dibunyikan maka para penari akan mengganti posisi menari mereka. Gerakan seperti ini dimulai dari arah saling berhadapan dengan para pemain musik. Pecut dipegang oleh pemimpin penari yang disebut dengan

107

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

pemayung. Pemayung ini biasanya menggunakan kuda berwarna putih dan posisinya selalu di depan.

Setelah itu para penari mengambil kuda lumping (kuda-kudaan) yang dipegang dengan kiri sambil berdiri. Tetapi pada posisi ini kuda-kudaan belum diletakkan di selangkangan penari tetapi masih di samping kiri badan penari.

Mereka dengan aba-aba dari pukulan pecut yang dipegang oleh pemayung tetap menari sambil mengerakkan selendang yang dipegang dengan tangan kanan sedang tangan kiri memegang kuda-kudaan. Setelah beberapa saat menari dengan posisi tersebut, dengan aba-aba dari pemayung, kuda-kudaan dengan perlahan dipindahkan ke selangkangan penari. Perlu diketahui setiap pecut berbunyi maka itu suatu pertanda suatu gerakan tarian berganti.

Setalah kuda-kudaan tersebut ada di selangkangan penari , para penari melangkah mundur menjauhi pemain musik, setelah dirasa cukup jaraknya maka pecut dibunyikan. Pada posisi menari berdiri seperti ini setiap bunyi pecut penari mengangkat kaki kanan dan gerakan tarian berhenti selama beberapa saat. Jadi setelah bunyi pecut pertama pada posisi menari berdiri, para penari menggerakkan tangan kanannya dengan memegang selendang dengan gerakan tertentu. Setelah dirasa cukup dilanjutkan dengan gerakan berikutnya tentunya pergantian gerakan ini didahului dengan bunyi pecut. Gerakan berikutnya berupa gerakan memutar penari dimana pemayung memimpin gerakan memutar ini yang kemudian diikuti oleh penari lainnya, gerakan memutar ini artinya mengganti posisi yang paling depan menjadi kebelakang dan dilanjut berbalik posisi ke posisi semula tadi.

Kemudian berlanjut dengan gerakan tarian berikutnya yaitu dengan dua baris

108

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

penari berhadapan kemudian saling mendekati sampai menjadi posisi mereka saling bertolak belakang. Sedang pemayung menari dengan gerakan bebas tetapi semuapenari tetap menggerakkan tangan kanannya sambil memegang selendang dan tangan kirinya memegang kuda-kudaan. Jadi posisi penari yang tadi di sebelah kanan menjadi di sebelah kiri dan begitu juga sebaliknya. Setelah pada posisinya maka pecut dibunyikan dan mereka menari di tempat dengan tangan kanan memegang selendang serta tangan kiri memegang kuda-kudaan. Kemudian pecut kembali dibunyikan dan penari yang di dua sisi saling mendekat artinya barisan di sebelah kiri saling merapat dengan teman di barisannya begitu juga dengan penari yang berada di sebelah kanan juga saling mendekat. Kemudian pecut dibunyikan dan kembali mereka menari di tempat dengan posisi yang seperti sebelumnya.

Setelah itu pecut dibunyikan dan penari yang di sebelah kanan dan kiri yang saling merapat berpindah posisi tetapi tetap saling berdekatan yang sebelah kanan bergerak ke arah kirinya sedang yang di sebelah kiri bergerak ke arah kanannya. Setelah pada posisi yang tepat maka pecut kembali berbunyi tanda suatu gerakan tarian berganti. Kemudian dilanjutkan dengan gerakan tarian di tempat. Pecut kembali dibunyikan dan kedua baris penari mulai membuat jarak di antara mereka setelah dirasa cukup pecut dibunyikan dan kembali gerakan memutar dilakukan setelah selesai memutar pecut dibunyikan kembali. Kemudian semua penari saling berhadapan sambil menari di tempat. Kemudian barisan penari yang di sebelah kiri dan kanan membentuk barisan garis lurus kemudian pemayung menari sambil berjalan diantara selah-selah penari yang lain. Kembali

109

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

pecut dibunyikan dan mereka menari di tempat dengan posisi satu garis lurus saja.

Setelah itu pecut dibunyikan dan penari selain pemayung membentuk suatu lingkaran dan mereka menari sambil bergerak membentuk lingkaran tetapi arah gerakan mereka berganti dengan aba-aba dari pecut yang berbunyi dan pemayung pada posisi ini menari bebas mengelilingi lingkaran yang terbentuk oleh posisi penari yang lainnya. Setelah itu pecut berbunyi dan mereka berhenti tetapi melakukan gerakan tarian di tempat saja. Gerakan tadi diulang sampai dua kali setelah itu lingkaran tadi dibuat semakin mengecil dan mereka menari dengan memutari lingkaran tadi arah perputaran mereka berganti dengan aba-aba dari bunyi pecut.

Setelah itu mereka kembali ke posisi semula dimana ada dua baris penari yang berjumlah tiga orang di setiap barisnya dan di depannya pemayung. Pada saat ini mereka kembali melakukan gerakan tarian seperti gerakan tarian yang pertama mereka lakukan tadi. Begitulah bentuk pertunjukan tarian persembahan gerup Kuda lumping Tunas Turonggo Mudo. Perlu diketahui bentuk gerakan tarian di setiap kelompok bisa berbeda-beda tergantung dari siapa yang mengajari gerakan tarian tersebut. Jadi setiap penari dari kelompok yang lain walaupun dia sangat mahir di kelompoknya dalam hal menari belum tentu jika ia ikut bergabung di kelompok yang lain gerakannya akan sebaik gerakan dia di kelompoknya karena gerakan tarian di setiap kelompok akan berbeda.

Untuk pertunjukan trance gerakan tariannya sama dengan gerakan tarian persembahan tetapi perbedaannya pada saat gerakan tarian yang membentuk lingkaran di situ ada perbedaannya. Pada gerakan tarian ini sang pawang akan

110

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

mulai melakukan tugasnya yaitu membuat para penari mengalami mabok. Pawang mengoleskan minyak wangi di kuda-kudaan penari serta di setiap alat musik yang dimainkan. Minyak wangi ini menurut Pak yono. Pak sari puden berfungsi untuk mempermudah proses trance . Setelah pawang mengoleskan minyak wangi tersebut maka sang pawang akan memukul pecut sebanyak tiga kali kemudian mengangkat pecut di atas kepala penari sambil memutar-mutarnya dan para penari semakin rapat membentuk gerakan tarian tersebut dan gerakan memutar mereka semakin lama semakin cepat. Dan akhirnya satu persatu para penari mengalami trance. Setelah peristiwa ini maka pertunjukan tidak bisa dideskripsikan lagi karena pertunjukan trance bersifat bebas dimana segala kemungkinan bisa saja terjadi.

4.8. Pertunjukan Kuda lumping Sanggar Tunas Turonggo Mudo

Dari uraian deskripsi pertunjukan di atas maka saya akan mencoba menganalisis pertunjukan Kuda lumping sanggar Tunas Turonggo Mudo dengan mengikuti pendekatan semiotika, yang di kemukakan dua pakar pertunjukan budaya, Tadeuz Kowzan dan Patrice Pavis dari Perancis, yang dapat diaplikasikan dalam pertunjukan. Kowzan menawarkan 13 sistem lambang dari sebuah pertunjukan teater 8 berkaitan langsung dengan pemain dan 5 berada di luarnya.

Ketiga belas lambang itu adalah sebagai berikut

Dalam pertunjukan kuda lumping kata-kata yang sering keluar adalah dari penyanyi. Dalam grup Tunas Turonggo Mudo. Pak Anto mengatakan kata-kata yang digunakan dalam lagu Kuda lumping hanya berupa ungkapan saja seperti :

111

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

ole-ole-ole, wiwiwi, hehehe dan beberapa ungkapan yang lain. Menurut Pak Anto dan hasil pengamatan saya ungkapan-ungkapan ini dipergunakan untuk menambah semangat para penari dan pemain musik agar musik yang dimainkan dengan tempo yang cepat karena semangat yang timbul dari bunyi ungkapan dari penyanyi sehingga para penari menjadi lebih semangat dalam menari.

Nada bicara terutama penyanyi sangat kuat dan penuh tekanan-tekanan karena tujuannya ingin membuat para pemain baik penari dan pemain musik menjadi semangat. Jika para penari yang sedang mabok ingin meminta lagu ataupun mengajukan permintaan seperti meminta kemenyan atau minyak wangi maka mereka meminta dengan suara tidak jelas dan serak. Seperti yang dikatakan pak Sari puden dan pak yono para penari yang kemasukan jika berbicara seperti orang marah yaitu suaranya serak dan tidak jelas apa yang mereka sampaikan walapun berbicara dengan nada yang kuat.

Mimik wajah sangat menarik jika kita membicarakan mimik penari yang sedang mabok. Menurut beberapa keterangan dari pemain Kuda lumping Tunas

Turonggo Mudo jika teman-teman mereka sedang mabok jika dilihat wajahnya pasti bentuk dan raut wajahnya akan berubah. Dari hasil pengamatan yang penulis lakukan perubahan mimik wajah mereka kelihatan ketika pada saat mabok, karena menurut keterangan pak sari puden dan pak yono perubahan mimik ini karena pengaruh setan yang masuk ke dalam tubuh penari.

Gestur penari pada pertunjukan Kuda lumping seperti menunggang kuda- kudaan yang ingin berperang, seperti dijelaskan pada bab 3 sebelumnya. Konon, tari kuda lumping merupakan bentuk apresiasi dan dukungan rakyat jelata

112

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

terhadap pasukan berkuda Pangeran Diponegoro dalam menghadapi penjajah

Belanda. Ada pula versi yang menyebutkan, bahwa tari kuda lumping menggambarkan kisah perjuangan Raden Patah, yang dibantu oleh Sunan

Kalijaga, melawan penjajah Belanda. Versi lain menyebutkan bahwa, tarian ini mengisahkan tentang latihan perang pasukan Mataram yang dipimpin Sultan

Hamengku Buwono I, Raja Mataram, untuk menghadapi pasukan Belanda.

Ditambahkan lagi terlepas dari asal usul dan nilai historisnya, tari kuda lumping merefleksikan semangat heroisme dan aspek kemiliteran sebuah pasukan berkuda atau kavaleri. Hal ini terlihat dari gerakan-gerakan ritmis, dinamis, dan agresif, melalui kibasan anyaman bambu, menirukan gerakan layaknya seekor kuda di tengah peperangan.

Gambar 4.13 Anak Wayang Sedang Menari.

Sumber: dokumentasi Muhammad Sayuti, 2016

Seperti deskripsi pertunjukan tarian persembahan dan mabok di atas tadi maka dapat diketahui gerakan yang mereka lakukan berupa gerakan yang

113

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

memegang selendang di sebelah tangan kanan dan kuda-kudaan dipegang oleh tangan kiri.. Gerakan tarian diberi aba-aba dengan bunyi pecut setiap bunyi pecut berarti tanda mengakhiri suatu gerakan tarian dan memulai suatu gerakan yang baru, sebelum grakan baru dan akhir gerakan diberi jeda gerakan dimana para penari mengangkat kaki kanannya. Gerakan memutar, berhadapan dan membentuk gerakan lingkaran adalah gerakan yang biasa mereka pergunakan para penari.

Kostum yang digunakan oleh grup Tunas Turonggo Mudo dapat dilihat pada gambar berikut ini :

Gambar 4.14 Kostum Anak Wayang

Sumber: dokumentasi Muhammad Sayuti, 2016

Baju mereka mempunyai lengan panjang berwarna merah. Celana yang mereka pergunakan panjang dan di pinggang mereka terikat selendang.

Sedangkan para pemain musik di grup Tunas Turonggo Mudo tidak mempunyai

114

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

kostum tertentu, kostum di atas hanya di pergunakan untuk para penari saja. para pemain musiknya mempunyai kostum untuk bermain seperti menggunakan batik dan celana panjang . Memang masalah kostum tergantung dari dana yang dimiliki sebuah grup Kuda lumping, tetapi di grup Tunas Turonggo Mudo tidak menjadi masalah bagi mereka sendiri.

Properti atau peralatan pertunjukan berupa alat musik yang terdiri dari saron, demung, slenthem, gong dan kendang. Untuk menari ada kuda-kudaan, kostum . Serta untuk pawang berupa tungku membakar kemenyan, minyak wangi cap “Air Mata Duyung”, sesajen yang berupa bunga-bungaan, buah kelapa , baskom yang berisi air. Memang untuk hal sesajen maka akan berbeda di setiap grup kuda lumping, tergantung dari permintaan endang yang ada di tubuh penari mereka. Ada yang minta darah ayam, daun-daunan dan banyak lainnya , tetapi di grup Tunas Turonggo Mudo hanya bunga-bungaan yang ditaruh di dalam baskom yang berisi air, kemenyan, minyak wangi cap „Air Mata Duyung‟, dan buah kelapa.

Setting panggung dan pertunjukan terdiri dari tempat peletakan alat musik dan tempat menari. Panggung pertunjukan cukup hanya halaman tanah yang luas untuk melakukan tarian. Alat musik diletakankan di atas tikar mulai dari sebelah kanan yaitu : Saron , Kendang, Demung, slenthem dan gong . Sedang para penari menari di depan para pemain musik. Tempat pertunjukan biasanya berbentuk empat segi. Tetapi bentuk panggung akan berubah jika para penonton yang melihat pertunjukan semakin banyak, maka mereka akan semakin maju kedepa dan membuat panggung menjadi sempit . Jika hal ini terjadi maka para pwang

115

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

atau anggota Kuda lumping yang lain akan mengatakan kepada para penonton untuk mundur kembali. Tak jarang juga penari yang sedang mabok akan menyuruh para penonton untuk mundur sambil memegang pecut untuk menakuti para penonton. Hali ini terjadi jika pertunjukan dilaksanakan pada malam hari, karena pada siang hari orang-orang banyak yang melakukan aktifitasnya, ditambah lagi jika tempat pertunjukan dilakukan di daerah pedalaman maka jumlah penonton akan semakin banyak. Jika hal ini terjadi maka akan sering terdengar bunyi pecut yang untuk memberitahu penonton untuk mundur dan memberi tempat yang luas untuk para penari.

Sistem pencahayaan pada pertunjukan Kuda lumping sangat sederhana sekali. Cahaya bantuan hanya dipergunakan pada saat pertunjukan di malam hari.

Cahaya bantuan hanya berupa lampu penerang biasa yang berdaya listrik. Jadi tidak menggunakan sistem pencahayaan yang rumit. Cahaya hanya sekedar dapat penerangan yang cukup saja. Tidak perlu memakai efek-efek cahaya yang rumit sekali.

Musik yang dipergunakan pada pertunjukan kuda lumping dibahas lebih lanjut pada Bab V. Fokus perhatian adalah kepada music sebagai bunyi yang terdiri dari unsure melodi dan ritme.

Efek suara bisa di dapatkan dari bunyi pecut serta bunyi-bunyi ungkapan yang di keluarkan oleh Penyanyi. Efek suara bisa juga di dapat dari semangat yang ditunjukkan oleh para penonton, biasanya mereka akan mengeluarkan ungkapan-ungkapan jika sudah dimulai acara mabok . Acara mabok ini ditandai jika para pemain musik sudah memainkan lagu reog- kan. Para penonton biasanya

116

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

sudah mengetahui apa yang terjadi setelah lagu itu dimainkan. Para pemain ataupun penonton yang sudah memiliki endang akan ikut serta mabok. Karena sifat lagu rego-kan ini menurut pak Jikan, lagu ini membuka kunci untuk masuknya endang ke dalam tubuh manusia yang sudah ada endangnya. Jadi jika lagu ini sudah di mainkan maka suara penonton akan riuh sekali.

117

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB V

ANALISIS STRUKTUR MUSIK

Struktur musik yang dikaji dalam Bab V ini mencakup struktur instrumen atau alat musik yang digunakan. Kemudian beranjak, bagaimana struktur melodi lagu yang menjadi sampel dalam penelitian ini yaitu lagu Jatilan. Kedua lagu ini akan dikaji melodinya melalui delapan unsur seperti yang ditawarkan oleh Wiliam

P. Malm melalui teori weighted scale. Adapun kedelapan unsur melodi yang akan dianalisis adalah meliputi:

(a) tangga nada

(b) nada pusat atau nada dasar;

(c) wilayah nada,

(d) jumlah nada-nada,

(e) interval yang digunakan;

(f) pola-pola kadensa;

(g) formula melodi ,dan

(h) kontur.

5.1 Alat-alat Musik yang digunakan

Struktur alat musik yang digunakan dalam grup Kuda lumping semuanya adalah alat-alat musik yang berasal dari kebudayaan Jawa. Walaupun demikian alat-alat msik yang digunakan dalam Kuda lumping tidak semua didatangkan dari daerah Jawa melainkan dibuat di sini.

118

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Berikut ini dideskripsikan alat-alat musik yang digunakan dalam pertunjukan Kuda lumping Tunas Turonggo Mudo. Alat-alat musik ini biasanya digunakan keseluruhannya dalam pertunjukan kuda lumping.

Saron, merupakan alat musik yang berbilah besi. Saron merupakan alat musik dengan klasifikasi metallofone. Jumlah bilahan yang dimiliki oleh saron berjumlah sembilan buah. Saron berfungsi sebagai pembawa melodi utama. Saron ini dimainkan oleh satu orang pemain. Dalam permainannya dimainkan dengan posisi duduk dan pemain menggunakan alat bantu yang terbuat dari kayu berbentuk martil. Jumlah martil tadi bisa satu atau dua tergantung dari lagu yang sedang dimainkan. Misalnya saja jika memainkan lagu Reog Ponorogo, maka pemain saron akan menggunakan duabuah alat pemukul yang dipegang oleh kedua tangannya.

Saron menggunakan kotak resonator yang berada di bawahnya untuk pengeras suara. Kotak resonator tersebut terbuat dari kayu dan biasanya grup yang mempunyai keuangan yang cukup bisa membeli sistem pengeras suara yang sederhana tergantung dari uang yang mereka miliki , meletakkan mik di dalam kotak resonator tersebut agar suara yang dihasilkan oleh saron menjadi lebih besar lagi.

Demung merupakan alat musik berbilah besi yang jumlah bilahannya sebanyak tujuh buah dengan klasifikasi metalofon. Demung ini dimainkan oleh satu orang pemain. Dalam permainannya dimainkan dengan posisi duduk.

Demung menggunakan kotak resonator yang berada di bawahnya untuk pengeras suara. Kotak resonator tersebut terbuat dari kayu. Penampilannya mirip

119

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

dengan Saron tapi perbedaannya dengan Saron adalah Demung memiliki tujuh bilahan besi yang ukuran bilahannya lebih besar dari Saron. Fungsinya sebagai pengiring melodi utama atau saron. Menurut Pak jikan nada yang dihasilkan demung adalah satu oktaf dari nada saron.

Gong adalah sebuah alat musik pukul yang dimainkan dengan dipukul memakai alat pemukul termasuk kepada klasifikasi idiofon. Jumlah gong yang digunakan dalam Kuda lumping bervariasi mulai dari dua buah sampai enam buah. Menurut wawancara saya dengan Pak jikan , Pak sukardi, Pak murgianto, mengatakan jumlah gong yang dipergunakan menentukan jumlah lagu yang dimainkan jika jumlahnya dua buah lagu yang dimainkan hanya Jatilan, Reog , sedangkan jika jumlah gong sampai enam buah maka lagu yang dimainkan bisa memainkan Jatilan, Reog, Iling-Iling, Ijo-Ijo, Sampak baik sampak Songo dan

Sampak Nem. Gong ini dimainkan dengan satu orang dalam posisi duduk.

Slenthem adalah alat musik berbilah besi yang terdiri dari sepuluh buah yang disusun dalam dua buah baris bilahan yang dalam satu baris terdiri dari lima buah bilahan besi. Selenthem dimainkan dengan alat pemukul yang dipegang dengan kedua tangan pemainnya, yang termasuk ke dalam klasifikasi metallofon.

Kendang adalah alat musik perkusi (membranofon) yang terdiri dari kulit yang direntangkan dan dipikul oleh tangan atau kayu. Selain digunakan dalam kesenian Kuda lumping, kendang juga digunakan dalam kesenian tradisional Jawa yang lainnya seperti wayang , ludruk dan lainya.

Bonang atau sering disebut dengan Peking merupakan alat musik berbilah dengan klasifikasi xylofon . Jumlah bilahannya sembilan buah sama dengan

120

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

jumlah bilahan yang dimiliki saron namun wilayah nadanyanya lebih tinggi jika dibandingkan dengan saron , karena inilah maka sering pak sukardi dan Pak murgianto menyebutnya dengan Peking. Alat musik ini dimainkan dengan satu orang dengan posisi duduk .

Keenam alat musik di atas sangat memberikan pengaruh terhadap struktur bangunan musik yang dihasilkan oleh grup Kuda lumping Tunas turonggo mudo.

Kelima alat musik di atas dapat diklasifikasikan menurut fungsi, yaitu pembawa melodi yang diwakili oleh Saron, demung, slenthem dan peking, pembawa ritme adalah kendang.

5.2 Lagu-lagu yang Digunakan

Dalam penampilan grup Kuda lumping Tunas turonggo mudo menggunakan beberapa lagu yang sering dimainkan. Berikut adalah daftar lagu- lagu yang digunakan dalam penampilan Sanggar Tunas Turonggo Mudo.

Tabel 5.1

Daftar Lagu-lagu yang Digunakan pada Pertunjukan Kuda luping Tunas turonggo mudo.

No Judul Lagu Keterangan

1. Jatilan Lagu yang dimainkan pada saat anak wayang menari.

2. Reog Ponorogo Lagu yang dimainkan pada saat klimaks dari pertunjukan Kuda lumping yaitu pada saat anak wayang akan mengalami trance. 3. Waru Doyong Lagu yang dimainkan pada saat anak wayang menari, namun menurut keterangan Pak Jikan dan Pak Sukardi lagu ini sekarang jarang digunakan pada saat menari karena tarian dari lagu ini sangat lembut sehingga menurut mereka kurang cocok

121

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

untuk mengiringi tarian anak wayang karena menurut mereka tarian di Kuda lumping harus kelihatan lincah, kasar dan cepat sedangkan tarian dengan diiringi lagu waru doyong lembut. 4. Es lilin Lagu yang dimainkan jika ada anak wayang yang sedang trance ingin mendengar lagu itu dimainkan, biasanya permintaan ini dilakukan pada saat kembalinya endang yang ada dalam tubuh si anak wayang. 5. Ijo-ijo. Lagu yang dimainkan jika ada anak wayang yang sedang trance ingin mendegar lagu itu dimainkan, biasanya permintaan ini dilakukan pada saat kembalinyaendang yang ada dalam tubuh si anak wayang.

5.3 Struktur Melodi Lagu Jatilan

Struktur melodi lagu menjadi bahagian dari lagu dalam pertunjukan grup

Kuda lumping Tunas turonggo mudo. Sebelum mengkaji struktur melodi lagu maka terlebih dahulu dibentangkan hasil transkripsi dua lagu dimaksud. Adapun teknik transkripsi ini sudah diuraikan pada Bab I tulisan ini. Hasil transkrpsi lagu ini adalah Jatilan. Melodi yang ditranskripsi adalah melodi dari alat musik saron.

Alasan kenapa hanya alat musik saron saja karena alat musik ini menurut Pak

Jikan, Pak Murgianto dan Pak Sukardi fungsinya sebagai pembawa melodi utama.

Musik yang ditranskripsi pemainnya adalah Pak jikan.Hasilnya dalam bentuk notasi (visual) adalah sebagai berikut.

122

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Berdasarkan teori weighted scale, yang diaplikasikan untuk menganalisis musik yaitu Jatilan, maka hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut.

5.3.1 Tangga Nada

Setelah melakukan transkripsi terhadap lagu Jatilan, maka langkah selanjutnya adalah menganalisis struktur melodinya. Pendekatan yang penulis lakukan untuk menentukan tangga nada dan nada dasar dilakukan dengan pendekatan weighted scale, seperti yang dikemukakan oleh Bruno Nettl (1964:7).

Meskipun dapat saja pendekatan ini tidak sesuai dengan cara pandang pemain

Kuda lumping, namun teori ini dapat mendeskripsikan secara umum keberadaan struktur melodi lagu-lagu Kuda lumping, terutama bagi para pemula yang dilatar belakangi pendidikan musik Barat yang selanjutnya lebih dapat menelusuri

123

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

konsep dan struktur sebenarnya musik Kuda lumping ini baik pandangan musikologis secara umum.

Dari hasil transkripsi lagu sampel itu, maka struktur tangga nada yang digunakan oleh lagu tersebut adalah seperti berikut ini.

a b c d e

Jika dilihat dari jumlah nada yang digunakan maka tangga nada yang digunakan dalam lagu tersebut adalah pentatonik yaitu : tangga nada yang mempunya lima buah anggota nada.

5.3.2 Nada Pusat atau Nada Dasar

Dalam menentukan nada dasar, penulis mempergunakan kriteria-kriteria generalisasi yang ditawarkan oleh Bruno Nettl dalam bukunya yang berjudul

Thaory and Method in Ethnomusicology (1984:164). Menurutnya ada tujuh kriteria yang ditawarkannya untuk menentukan nada dasar suatu lagu, yaitu sebagai berikut.

(1) Patokan yang paling umum adalah melihat nada mana yang paling sering

dipakai, dan mana yang paling jarang dipakai dalam sebuah komposisi musik;

(2) Kadang-kadang nada yang harga ritmisnya besar dianggap sebagai nada dasar,

walaupun jarang dipakai dalam keseluruhan komposisi musik tersebut.

(3) Nada yang dipakai pada awal atau akhir komposisi maupun pada bahagian

tengah komposisi musik dianggp mempunyai fungsi penting dalam

menentukan tonalitas komposisi musik tersebut.

124

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(4) Nada yang berada pada posisi paling rendah atau posisi tengah dianggp

penting.

(5) Interval-interval yang terdapat di antara nada , kadang-kadang dapat dipakai

sebagai patokan. Umpamanya kalau ada satu nada dalam tangga nada pada

sebuah komposisi musik yangdigunakan bersama oktafnya.

(6) Adanya tekanan ritmis pada sebuah nada juga dapat dipakai sebagai patokan

tonalitas.

(7) Harus diingat bahwa barangkali terdapat gaya-gaya musik yang mempunyai

sistem tonalitas yang tidak dapat dideskripsikan dengan keenam patokan di

atas. Untuk mendeskripsikan sistem tonalitas seperti itu, cara terbaik adalah

berdasar kepada pengalaman akrab dengan gaya musik tersebut (terjemahan

Marc Perlman 1990).

Dengan mempergunakan ketujuh kriteria di atas, maka nada dasar lagu

Jatilan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut ini.

Lagu Jatilan.

(1) Nada yang paling sering dipakai adalah nada : c

(2) Nada yang memiliki nilai ritmik paling besar dalam keseluruhan komposisi

musik ini adalah nada : c

(3) Nada awal lagu ini adalah nada c dan paling sering digunakan adalah nada : c

(4) Nada yang memiliki posisi paling rendah adalah nada :a

(5) Nada yang dipakai sebagai duplikasi oktaf

(6) Tekanan ritmik pada umumnya terjadi pada nada

125

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(7) Menurut pengalaman musikal penulis dalam bidang musik, kemungkinan

paling besar sebagai nada dasar lagu Jatilan adalah nada : c .

Tabel 5.2

Nada Dasar yang Dipergunakan pada Lagu Jathilan

No Kriteria Nada

1. K1 c 2. K2 3. K31 c 4. K32 c 5. K33 c 6. K4 a 7. K5 8. K6 8. K7 c

Keterangan:

K1 = nada yang paling sering dipakai c

K2 = nada yang memiliki nilai ritmis terbesar

K31 = nada awal yang paling sering dipakai c

K32 = nada akhir yang paling sering dipakai c

K33 = nada tengah yang paling sering dipakai c

K4 = nada yang menduduki posisi paling rendah a

K5 = nada dengan penggunaan duplikasi oktaf

K6 = nada yang mendapat tekanan ritmis

K7 = nada dasar sebagai ciri khas musik kuda lumping c

126

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

5.3.3 Wilayah Nada

Dari tangga nada yang telah didapatkan pada lagu Jatilan di atas, maka selanjutnya dapat ditentukan wilayah nada (ambitus) melodi lagu Jatilan. Dengan berpedoman pada nada terendah dan nada tertinggi frekuensinya dan jarak atau interval yang dihasilkan antara keduanya. Dengan demikian maka wilayah nada kedua lagu ini dapat dilihat sebagai berikut adalah dimulai dari nada a dan paling tinggi di nada e

a b c d e

5.3.4 Jumlah Nada

Untuk menentukan jumlah nada-nda ada dua cara yang perlu dilakukan.

Yang pertama adalah melihat banyaknya kemunculan setiap nada tanpa melihat jumlah durasinya secara kumulatif. Yang kedua adalah melihat kemunculannya dan sekaligus menghitung durasi kumulatif. Karena durasi juga menentukan komposisi jumlah nada dalam melodi. Dengan konsep tersebut, maka didapati jumlah masing-masing nada untuk lagu Jatilan adalah seperti berikut ini.

Tabel 5.3

Bar 1 c=3 , b=1

Bar 2 c=3 , b=1

Bar 3 c2, b1, d1

Bar 4 a,b,c,d=1

Bar 5 a,d =1, c=2

127

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Bar 6 a,d =1, c=2

Bar 7 a,e=1, c=2

Bar 8 c=3, e=1

Bar 9 b,d =1, c=2, Bar 10 c=3, e=1 Bar 11 b,c,d,e = 1 Bar 12 c=3, b=1 Bar 13 c=3, b=1 Bar 14 b,d =1, c=2 Bar 15 b.e=1, c=2 Bar 16 b,c,d,e=1 Bar 17 a,b=1, c=2 Bar 18 bd=1, c=2 Bar 19 cd=1, b=2 Bar 20 b,d=1, c=2 Bar 21 b=1, c=3 Bar 22 c=3, b=1 Bar 23 c=3, b=1 Bar 24 b,d=1, c=2 Bar 25 a,b,c,d=1 Bar 26 ad-1, c=2 Bar 27 ad-1, c=2 Bar 28 a,e=1. c=2 Bar 29 e=1, c=3 Bar 30 b,d=1, c=2 Bar 31 c=3, e=1 Bar 32 b,c,d,e=1 Bar 33 b=1, c=3 Bar 34 b=1, c=3 Bar 35 b,d=1, c=2 Bar 36 b,e=1, c=2

128

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Bar 37 b,c,d,e=1 Bar 38 a,b=1, c=2 Bar 39 b,d=1, c=2 Bar 40 c,d=1, b=2 Bar 41 b,d=1, c=2 Bar 42 b=1, c=3

Tabel 5.4

jumlah nada pada lagu Jatilan adalah :

NAMA NADA A B C D E

Jumlah 10 24 90 22 12 Penggunaan

5.3.5 Penggunaan Interval

Interval yang penulis maksudkan dalam tulisan ini adalah jarak antara satu nada dengan nada lain yang dipergunakan di dalam sebuah komposisi musik.

Ukuran interval ini didapat menggunakan laras atau langkah dan sent.

Setelah memperhatikan interval-interval yang dipergunakan dalam lagu jatilan, maka interval yang digunakan dalam kedua komposisi ini adalah sebagai berikut. Selengkapnya jumlah penggunaan interval-interval juga dapat dilihat sebagai berikut.

129

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Tabel 5.5

Nama Interval

1P 2m 2M 3m 3M 4P

Jumlah 31 36 24 23 21 8 Penggunaan

5.3.6 Pola-pola Kadensa

Pola-pola kadensa dapat dikonsepkan sebagai rangkaian nada-nada akhir pada setiap frase melodi, namun pola kadensa ini juga dapat diartikan sebagai

c e c c e c d b

nada-nada akhir frase pada musik yang bentuknya harmoni empat suara atau sejenisnya. Pola-pola kadensa dalam lagu Jatilan adalah sebagai berikut .

5.3.7 Formula Melodi

Formula melodi yang dimaksud dalam skripsi ini adalah susunan melodi berdasarkan blok-blok atau kesatuan-kesatuannya. Dalam hal ini ditentukan tiga jenis blok secara umum dari yang terbesar sampai ke terkecil, yaitu: (a) bentuk,

(b) frase, dan (c) motif melodi.

Yang dimaksud dengan bentuk melodi adalah bagian melodi terbesar yang menjadi dasar perulangan bagi bentuk-bentuk berikutnya. Satu bentuk melodi terdiri dari dua frase melodi atau lebih. Yang dimaksud dengan frase melodi adalah seuntai melodi yang terdiri dari dua frase atau lebih, yang merupakan satu

130

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

ide melodi yang utuh. Sedangkan motif melodi adalah bahagian melodi terkecil yang menjadi karakter perulangan seluruh komposisi (lihat Nettl 1964).

Bentuk, frase, dan motif melodi lagu Jatilan adalah seperti pada analisis berikut ini :

b d c b c b c d c b c c c c c b

5.3.8 Kontur

Kontur adalah garis lintasan melodi yang terdapat pada sebuah nyanyian.

Jenis-jenis atau nama kontur dibedakan atas gerakan melodi:

(a) Bila gerakan melodi naik maka disebut dengan asending;

(b) Bila gerak melodi tersebut turun maka disebut konturnya dengan disending;

(c) Jika melengkung seperti lintasan jarum jam maka disebut dengan pendulum

atau pendulous;

(d) Bila susunannya berjenjang disebut dengan terraced;

(e) Bila gerak melodi terbatas gerak intervalnya, maka kontur melodi ini disbut

dengan statis (Malm 1977:17).

Melodi lagu jatilan memiliki berbagai jenis kontur melodi. Selengkapnya dapat dilihat pada contoh berikut ini : a. Berjenjang

c d b c

131

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

b. Statis

c b c c

5.4 Struktur Melodi Lagu Reog Ponorogo

Struktur melodi lagu menjadi bahagian dari lagu dalam pertunjukan grup

Kuda lumping Tunas turonggo mudo. Sebelum mengkaji struktur melodi lagu maka terlebih dahulu dibentangkan hasil transkripsi dua lagu dimaksud. Adapun teknik transkripsi ini sudah diuraikan pada Bab I tulisan ini. Hasil transkrpsi lagu ini adalah Reog Ponorogo. Melodi yang ditranskripsi adalah melodi dari alat musik saron. Alasan kenapa hanya alat musik saron saja karena alat musik ini menurut Pak Jikan, Pak Sukardi dan Pak Murgianto fungsinya sebagai pembawa melodi utama. Hasilnya dalam bentuk notasi (visual) adalah sebagai berikut.

Berdasarkan kepada teori weighted scale, yang diaplikasikan untuk menganalisis yaitu Reog Ponorogo, maka hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut.

132

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

5.4.1 Tangga Nada

Setelah melakukan transkripsi terhadap lagu Reog Ponorogo, maka langkah selanjutnya adalah menganalisis struktur melodinya. Pendekatan yang penulis lakukan untuk menentukan tangga nada dan nada dasar dilakukan dengan pendekatan weighted scale, seperti yang dikemukakan oleh Bruno Nettl (1964:7).

Meskipun dapat saja pendekatan ini tidak sesuai dengan cara pandang pemain

Kuda lumping, namun teori ini dapat mendeskripsikan secara umum keberadaan struktur melodi lagu-lagu Kuda lumping, terutama bagi para pemula yang dilatarbelakangi pendidikan musik Barat yang selanjutnya lebih dapat menelusuri konsep dan struktur sebenarnya musik Kuda lumping ini baik pandangan musikologis secara umum.

Dari hasil transkripsi lagu sampel itu, maka struktur tangga nada yang digunakan oleh lagu tersebut adalah seperti berikut ini :

a c d e f

Jika dilihat dari jumlah nada yang digunakan maka tangga nada yang digunakan dalam lagu tersebut adalah pentatonis yaitu : tangga nada yang mempunyai lima buah anggota nada.

5.4.2 Nada Pusat atau Nada Dasar

Dalam menentukan nada dasar, penulis mempergunakan kriteria-kriteria generalisasi yang ditawarkan oleh Bruno Nettl dalam bukunya yang berjudul

133

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Thaory and Method in Ethnomusicology (1984:164). Menurutnya ada tujuh kriteria yang ditawarkannya untuk menentukan nada dasar suatu lagu, yaitu sebagai berikut.

1. Patokan yang paling umum adalah melihat nada mana yang paling sering

dipakai, dan mana yang paling jarang dipakai dalam sebuah komposisi musik;

2. Kadang-kadang nada yang harga ritmisnya besar dianggap sebagai nada dasar,

walaupun jarang dipakai dalam keseluruhan komposisi musik tersebut.

3. Nada yang dipakai pada awal atau akhir komposisi maupun pada bahagian

tengah komposisi musik dianggp mempunyai fungsi penting dalam

menentukan tonalitas komposisi musik tersebut.

4. Nada yang berada pada posisi paling rendah atau posisi tengah dianggp

penting.

5. Interval-interval yang terdapat di antara nada , kadang-kadang dapat dipakai

sebagai patokan. Umpamanya kalau ada satu nada dalam tangga nada pada

sebuah komposisi musik yangdigunakan bersama oktafnya.

6. Adanya tekanan ritmis pada sebuah nada juga dapat dipakai sebagai patokan

tonalitas.

7. Harus diingat bahwa barangkali terdapat gaya-gaya musik yang mempunyai

sistem tonalitas yang tidak dapat dideskripsikan dengan keenam patokan di

atas. Untuk mendeskripsikan sistem tonalitas seperti itu, cara terbaik adalah

berdasar kepada pengalaman akrab dengan gaya musik tersebut (terjemahan

Marc Perlman 1990).

134

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Dengan mempergunakan ketujuh kriteria di atas, maka nada dasar lagu

Reog Ponorogo tersebut dapat diuraikan sebagai berikut ini.

Lagu Reog Ponorogo

1. Nada yang paling sering dipakai adalah nada: c

2. Nada yang memiliki nilai ritmik paling besar dalam keseluruhan komposisi

musik ini adalah nada: a

3. Nada awal lagu ini adalah nada a,c dan paling sering digunakan adalah nada: c

4. Nada yang memiliki posisi paling rendah adalah nada: a

5. Nada yang dipakai sebagai duplikasi oktaf

6. Tekanan ritmik pada umumnya terjadi pada nada: a dan c

7. Menurut pengalaman musikal penulis dalam bidang musik, kemungkinan

paling besar sebagai nada dasar lagu Reog Ponorogo adalah nada: c

Tabel 5.6

Nada Dasar yang Dipergunakan pada Lagu Reog Ponorogo

No Kriteria Nada

1. K1 c 2. K2 a 3. K31 a 4. K32 a 5. K33 c 6. K4 a 7. K5 - 8. K6 a 8. K7 c

135

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Keterangan:

K1 = nada yang paling sering dipakai c

K2 = nada yang memiliki nilai ritmis terbesar a

K31 = nada awal yang paling sering dipakai a

K32 = nada akhir yang paling sering dipakai a

K33 = nada tengah yang paling sering dipakai c

K4 = nada yang menduduki posisi paling rendah a

K5 = nada dengan penggunaan duplikasi oktaf

K6 = nada yang mendapat tekanan ritmis a

K7 = nada dasar sebagai ciri khas musik Kuda lumping c

5.4.3 Wilayah Nada

Dari tangga nada yang telah didapatkan pada lagu Reog Ponorogo di atas, maka selanjutnya dapat ditentukan wilayah nada (ambitus) melodi lagu Reog

Ponorogo.

Dengan berpedomam pada nada terendah dan nada yang tertinggi frekuensinya dan jarak atau interval yang dihasilkan antara keduanya. Dengan demikian maka wilayah nada lagu ini dapat dilihat sebagai berikut adalah dimulai dari nada d dan paling tinggi di nada d.

a c d e f

136

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

5.4.4 Jumlah Nada

Untuk menentukan jumlah nada-nada ada dua cara yang perlu dilakukan.

Yang pertama adalah melihat banyaknya kemunculan setiap nada tanpa melihat jumlah durasinya secara kumulatif. Yang kedua adalah melihat kemunculannya dan sekaligus menghitung durasi kumulatif. Karena durasi juga menentukan komposisi jumlah nada dalam melodi. Dengan konsep tersebut, maka didapati jumlah masing-masing nada untuk lagu Reog Ponorogan adalah seperti berikut ini.

Tabel 5.7

Bar 1 C = 6, a = 4

Bar 2 c, = 6, a = 4, d = 2

Bar 3 c = 5, a = 4, d = 3

Bar 4 a = 4, c = 6

Bar 5 c = 5, a = 4, d,e,f = 1

Bar 6 a = 4, c = 8

Bar 7 a , c, d = 4

Bar 8 c , d = 3, a = 4, e,f = 1

Bar 9 d = 1, a = 2, c = 5

Bar 10 a, c = 4

Bar 11 a, c = 4

137

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Tabel 5.8

Maka jumlah nada pada lagu Reog Ponorogo adalah :

Nama Nada

A C D E F

Jumlah Penggunaan 41 57 14 2 2

5.4.5 Penggunaan Interval

Interval yang penulis maksudkan dalam tulisan ini adalah jarak antara satu nada dengan nada lain yang dipergunakan di dalam sebuah komposisi musik.

Ukuran interval ini didapat menggunakan laras atau langkah dan sent.

Setelah memperhatikan interval-interval yang dipergunakan dalam lagu

Reog ponorogo, maka interval yang digunakan dalam kedua komposisi ini adalah sebagai berikut.

Tabel 5.10

Nama Interval

1P 2m 2M 3M

Jumlah Penggunaan 39 2 28 1

5.4.6 Pola-pola Kadensa

Pola-pola kadensa dapat dikonsepkan sebagai rangkaian nada-nada akhir pada setiap frase melodi, namun pola kadensa ini juga dapat diartikan sebagai nada-nada akhir frase pada musik yang bentuknya harmoni empat suara aatau sejenisnya. Pola-pola kadensa dalam lagu Reog Ponorogo adalah sebagai berikut:

138

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

d c c c c a c a c a c a c a c a

5.4.7 Formula Melodi

Formula melodi yang dimaksud dalam skripsi ini adalah susunan melodi berdasarkan blok-blok atau kesatuan-kesatuannya. Dalam hal ini ditentukan tiga jenis blok secara umum dari yang terbesar sampai ke terkecil, yaitu: (a) bentuk,

(b) frase, dan (c) motif melodi.

Yang dimaksud dengan bentuk melodi adalah bagian melodi terbesar yang menjadi dasar perulangan bagi bentuk-bentuk berikutnya. Satu bentuk melodi terdiri dari dua frase melodi atau lebih. Yang dimaksud dengan frase melodi adalah seuntai melodi yang terdiri dari dua frase atau lebih, yang merupakan satu ide melodi yang utuh. Sedangkan motif melodi adalah bahagian melodi terkecil yang menjadi karakter perulangan seluruh komposisi (lihat Nettl 1964).

Bentuk, frase, dan motif melodi lagu reog ponorogo adalah seperti pada analisis berikut ini :

c c c c c c c c c c d c d c d c d c d c c c c c c c c c c c a a a a a a a a a a a a a a a a

139

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

5.4.8 Kontur.

Kontur adalah garis lintasan melodi yang terdapat pada sebuah nyanyian.

Jenis-jenis atau nama kontur dibedakan atas gerakan melodi: a.Bila gerakan melodi naik maka disebut dengan asending; b.Bila gerak melodi tersebut turun maka disebut konturnya dengan disending; c.Jika melengkung seperti lintasan jarum jam maka disebut dengan pendulum atau

pendulous; d.Bila susunannya berjenjang disebut dengan terraced; e.Bila gerak melodi terbatas gerak intervalnya, maka kontur melodi ini disbut

dengan statis (Malm 1977:17).

Melodi lagu es lilin memiliki berbagai jenis kontur melodi. Selengkapnya dapat dilihat pada contoh berikut ini : a. Descending.

f e d c a a b. Pedolous.

b d c a

140

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

c. Statis.

c c c c c c a a a a d. Teracced.

c a c a c a c

5.5. Struktur Melodi Lagu Ijo-ijo

Struktur melodi lagu menjadi bahagian dari lagu dalam pertunjukan grup

Kuda lumping Tunas turonggo mudo. Sebelum mengkaji struktur melodi lagu maka terlebih dahulu dibentangkan hasil transkripsi dua lagu dimaksud. Adapun teknik transkripsi ini sudah diuraikan pada Bab I tulisan ini. Hasil transkrpsi lagu ini adalah Ijo-ijo. Melodi yang ditranskripsi adalah melodi dari alat musik saron.

Alasan kenapa hanya alat musik saron saja karena alat musik ini menurut Pak jikan, Pak Sukardi dan Pak Murgianto fungsinya sebagai pembawa melodi utama.

Hasilnya dalam bentuk notasi (visual) adalah sebagai berikut.

141

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Berdasarkan kepada teori weighted scale, yang diaplikasikan untuk menganalisis yaitu Ijo-ijo, maka hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut.

5.5.1 Tangga Nada

Setelah melakukan transkripsi terhadap lagu Ijo-ijo, maka langkah selanjutnya adalah menganalisis struktur melodinya. Pendekatan yang penulis lakukan untuk menentukan tangga nada dan nada dasar dilakukan dengan pendekatan weighted scale,

seperti yang dikemukakan oleh Bruno Nettl (1964:7). Meskipun dapat saja pendekatan ini tidak sesuai dengan cara pandang pemain Kuda lumping, namun teori ini dapat mendeskripsikan secara umum keberadaan struktur melodi lagu- lagu Kuda lumping, terutama bagi para pemula yang dilatarbelakangi pendidikan musik Barat yang selanjutnya lebih dapat menelusuri konsep dan struktur sebenarnya musik Kuda lumping ini baik pandangan musikologis secara umum.

Dari hasil transkripsi lagu sampel itu, maka struktur tangga nada yang digunakan oleh lagu tersebut adalah seperti berikut ini :

b c d e

Jika dilihat dari jumlah nada yang digunakan maka tangga nada yang digunakan dalam lagu tersebut adalah tetratonis yaitu : tangga nada yang mempunyai empat buah anggota nada.

142

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

5.5.2 Nada Pusat atau Nada Dasar

Dalam menentukan nada dasar, penulis mempergunakan kriteria-kriteria generalisasi yang ditawarkan oleh Bruno Nettl dalam bukunya yang berjudul

Thaory and Method in Ethnomusicology (1984:164). Menurutnya ada tujuh kriteria yang ditawarkannya untuk menentukan nada dasar suatu lagu, yaitu sebagai berikut.

1. Patokan yang paling umum adalah melihat nada mana yang paling sering

dipakai, dan mana yang paling jarang dipakai dalam sebuah komposisi musik;

2. Kadang-kadang nada yang harga ritmisnya besar dianggap sebagai nada dasar,

walaupun jarang dipakai dalam keseluruhan komposisi musik tersebut.

3. Nada yang dipakai pada awal atau akhir komposisi maupun pada bahagian

tengah komposisi musik dianggp mempunyai fungsi penting dalam

menentukan tonalitas komposisi musik tersebut.

4. Nada yang berada pada posisi paling rendah atau posisi tengah dianggp

penting.

5. Interval-interval yang terdapat di antara nada , kadang-kadang dapat dipakai

sebagai patokan. Umpamanya kalau ada satu nada dalam tangga nada pada

sebuah komposisi musik yang digunakan bersama oktafnya.

6. Adanya tekanan ritmis pada sebuah nada juga dapat dipakai sebagai patokan

tonalitas.

7. Harus diingat bahwa barangkali terdapat gaya-gaya musik yang mempunyai

sistem tonalitas yang tidak dapat dideskripsikan dengan keenam patokan di

atas. Untuk mendeskripsikan sistem tonalitas seperti itu, cara terbaik adalah

143

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

berdasar kepada pengalaman akrab dengan gaya musik tersebut (terjemahan

Marc Perlman 1990).

Dengan mempergunakan ketujuh kriteria di atas, maka nada dasar lagu

Ijo-ijo tersebut dapat diuraikan sebagai berikut ini.

Lagu Ijo-ijo

1. Nada yang paling sering dipakai adalah nada : b

2. Nada yang memiliki nilai ritmik paling besar dalam keseluruhan komposisi

musik ini adalah nada : E

3. Nada awal lagu ini adalah nada B dan paling sering digunakan adalah nada : B

4. Nada yang memiliki posisi paling rendah adalah nada : d

5. Nada yang dipakai sebagai duplikasi oktaf

6. Tekanan ritmik pada umumnya terjadi pada nada : B

7. Menurut pengalaman musikal penulis dalam bidang musik, kemungkinan

paling besar sebagai nada dasar lagu ijo-ijo adalah nada : b

Tabel 5.11

Nada Dasar yang Dipergunakan pada Lagu Ijo-ijo

No Kriteria Nada

1. K1 b 2. K2 E 3. K31 B 4. K32 a 5. K33 c 6. K4 d 7. K5 -

144

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

8. K6 B 8. K7 c

Keterangan:

K1 = nada yang paling sering dipakai b

K2 = nada yang memiliki nilai ritmis terbesar E

K31 = nada awal yang paling sering dipakai B

K32 = nada akhir yang paling sering dipakai a

K33 = nada tengah yang paling sering dipakai c

K4 = nada yang menduduki posisi paling rendah d

K5 = nada dengan penggunaan duplikasi oktaf

K6 = nada yang mendapat tekanan ritmis B

K7 = nada dasar sebagai ciri khas musik Kuda lumping c

5.5.3 Wilayah Nada

Dari tangga nada yang telah didapatkan pada lagu ijo-ijo di atas, maka selanjutnya dapat ditentukan wilayah nada (ambitus) melodi lagu ijo-ijo. Dengan berpedomam pada nada terendah dan nada yang tertinggi frekuensinya dan jarak atau interval yang dihasilkan antara keduanya.

Dengan demikian maka wilayah nada lagu ini dapat dilihat sebagai berikut adalah dimulai dari nada d dan paling tinggi di nada d.

d e f g a b c d

145

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

5.5.4 Jumlah Nada

Untuk menentukan jumlah nada-nada ada dua cara yang perlu dilakukan.

Yang pertama adalah melihat banyaknya kemunculan setiap nada tanpa melihat jumlah durasinya secara kumulatif. Yang kedua adalah melihat kemunculannya dan sekaligus menghitung durasi kumulatif. Karena durasi juga menentukan komposisi jumlah nada dalam melodi. Dengan konsep tersebut, maka didapati jumlah masing-masing nada untuk lagu Ijo-ijo adalah seperti berikut ini.

Tabel 5.12

Bar 1 c = 1, b = 3

Bar 2 c,d = 1, a = 2

Bar 3 b,c = 1, a = 2

Bar 4 a,b,c,d = 1,

Bar 5 b,c = 1, a = 2

Bar 6 a,b = 2

Bar 7 a,c = 1, b = 2

Bar 8 g,b = 1, a = 2

Bar 9 e,f = 1, d = 2

Bar 10 e = 1

146

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Tabel 5.13

Maka jumlah nada pada lagu ijo-ijo adalah :

NAMA NADA

A B C D E F

JUMLAH 12 11 6 4 1 1 PENGGUNAAN

5.5.5 Penggunaan Interval

Interval yang penulis maksudkan dalam tulisan ini adalah jarak antara satu nada dengan nada lain yang dipergunakan di dalam sebuah komposisi musik.

Ukuran interval ini didapat menggunakan laras atau langkah dan sent.

Setelah memperhatikan interval-interval yang dipergunakan dalam lagu Es

Lilin, maka interval yang digunakan dalam kedua komposisi ini adalah sebagai berikut. Selengkapnya jumlah penggunaan interval-interval juga dapat dilihat sebagai berikut.

Tabel 5.14

Nama Interval

1P 2m 2M 3m

Jumlah Penggunaan 4 4 16 6

147

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

5.5.6 Pola-pola Kadensa

Pola-pola kadensa dapat dikonsepkan sebagai rangkaian nada-nada akhir pada setiap frase melodi, namun pola kadensa ini juga dapat diartikan sebagai nada-nada akhir frase pada musik yang bentuknya harmoni empat suara atau sejenisnya. Pola-pola kadensa dalam lagu Ijo-ijo adalah sebagai berikut :

a b a g g f d d

5.5.7 Formula Melodi

Formula melodi yang dimaksud dalam skripsi ini adalah susunan melodi berdasarkan blok-blok atau kesatuan-kesatuannya. Dalam hal ini ditentukan tiga jenis blok secara umum dari yang terbesar sampai ke terkecil, yaitu: (a) bentuk,

(b) frase, dan (c) motif melodi.

Yang dimaksud dengan bentuk melodi adalah bagian melodi terbesar yang menjadi dasar perulangan bagi bentuk-bentuk berikutnya. Satu bentuk melodi terdiri dari dua frase melodi atau lebih. Yang dimaksud dengan frase melodi adalah seuntai melodi yang terdiri dari dua frase atau lebih, yang merupakan satu ide melodi yang utuh. Sedangkan motif melodi adalah bahagian melodi terkecil yang menjadi karakter perulangan seluruh komposisi (lihat Nettl 1964).

Bentuk, frase, dan motif melodi lagu Ijo-ijo adalah seperti pada analisis berikut ini :

c a b a b d c a a b c a

148

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

5.5.8 Kontur

Kontur adalah garis lintasan melodi yang terdapat pada sebuah nyanyian.

Jenis-jenis atau nama kontur dibedakan atas gerakan melodi: a. Bila gerakan melodi naik maka disebut dengan asending; b. Bila gerak melodi tersebut turun maka disebut konturnya dengan disending; c. Jika melengkung seperti lintasan jarum jam maka disebut dengan pendulum

atau pendulous; d. Bila susunannya berjenjang disebut dengan terraced; e. Bila gerak melodi terbatas gerak intervalnya, maka kontur melodi ini disbut

dengan statis (Malm 1977:17).

Melodi lagu Ijo-ijo memiliki berbagai jenis kontur melodi. Selengkapnya dapat dilihat pada contoh berikut ini : a.Ascending

a a c d b. Descending.

g f d d c.Pedolous.

b d c a

149

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

d. Teracced

a b c a e.Statis.

b b c b

5.6 Struktur Melodi Lagu Es Lilin

Struktur melodi lagu menjadi bahagian dari lagu dalam pertunjukan grup

Kuda lumping Tunas turonggo mudo. Sebelum mengkaji struktur melodi lagu maka terlebih dahulu dibentangkan hasil transkripsi dua lagu dimaksud. Adapun teknik transkripsi ini sudah diuraikan pada Bab I tulisan ini. Hasil transkrpsi lagu ini adalah Es Lilin. Melodi yang ditranskripsi adalah melodi dari alat musik saron.

Alasan kenapa hanya alat musik saron saja karena alat musik ini menurut Pak

Jikan, Pak Murgianto dan Pak Sukardi fungsinya sebagai pembawa melodi utama.

Musik yang ditranskripsi pemainnya adalah Pak jikan.Hasilnya dalam bentuk notasi (visual) adalah sebagai berikut:

150

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Beradasarkan kepada teori weighted scale, yang diaplikasikan untuk menganalisis yaitu Es Lilin, maka hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut.

5.6.1 Tangga Nada

Setelah melakukan transkripsi terhadap lagu Es lilin, maka langkah selanjutnya adalah menganalisis struktur melodinya. Pendekatan yang penulis lakukan untuk menentukan tangga nada dan nada dasar dilakukan dengan pendekatan weighted scale, seperti yang dikemukakan oleh Bruno Nettl (1964:7).

Meskipun dapat saja pendekatan ini tidak sesuai dengan cara pandang pemain

Kuda lumping, namun teori ini dapat mendeskripsikan secara umum keberadaan struktur melodi lagu-lagu Kuda lumping, terutama bagi para pemula yang dilatarbelakangi pendidikan musik Barat yang selanjutnya lebih dapat menelusuri konsep dan struktur sebenarnya musik Kuda lumping ini baik pandangan musikologis secara umum.

Dari hasil transkripsi lagu sampel itu, maka struktur tangga nada yang digunakan oleh lagu tersebut adalah seperti berikut ini.

g a b c d e f

Jika dilihat dari jumlah nada yang digunakan maka tangga nada yang digunakan dalam lagu tersebut adalah diatonis yaitu : tangga nada yang mempunyai tujuh buah anggota nada.

151

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

5.6.2 Nada Pusat atau Nada Dasar

Dalam menentukan nada dasar, penulis mempergunakan kriteria-kriteria generalisasi yang ditawarkan oleh Bruno Nettl dalam bukunya yang berjudul

Thaory and Method in Ethnomusicology (1984:164). Menurutnya ada tujuh kriteria yang ditawarkannya untuk menentukan nada dasar suatu lagu, yaitu sebagai berikut.

1. Patokan yang paling umum adalah melihat nada mana yang paling sering

dipakai, dan mana yang paling jarang dipakai dalam sebuah komposisi musik;

2. Kadang-kadang nada yang harga ritmisnya besar dianggap sebagai nada dasar,

walaupun jarang dipakai dalam keseluruhan komposisi musik tersebut.

3. Nada yang dipakai pada awal atau akhir komposisi maupun pada bahagian

tengah komposisi musik dianggp mempunyai fungsi penting dalam

menentukan tonalitas komposisi musik tersebut.

4. Nada yang berada pada posisi paling rendah atau posisi tengah dianggp

penting.

5. Interval-interval yang terdapat di antara nada , kadang-kadang dapat dipakai

sebagai patokan. Umpamanya kalau ada satu nada dalam tangga nada pada

sebuah komposisi musik yangdigunakan bersama oktafnya.

6. Adanya tekanan ritmis pada sebuah nada juga dapat dipakai sebagai patokan

tonalitas.

7. Harus diingat bahwa barangkali terdapat gaya-gaya musik yang mempunyai

sistem tonalitas yang tidak dapat dideskripsikan dengan keenam patokan

diatas. Untuk mendeskripsikan sistem tonalitas seperti itu, cara terbaik adalah

152

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

berdasar kepada pengalaman akrab dengan gaya musik tersebut (terjemahan

Marc Perlman 1990).

Dengan mempergunakan ketujuh kriteria di atas, maka nada dasar lagu Es

Lilin tersebut dapat diuraikan sebagai berikut ini.

Lagu Es Lilin

1. Nada yang paling sering dipakai adalah nada : E

2. Nada yang memiliki nilai ritmik paling besar dalam keseluruhan komposisi

musik ini adalah nada : E

3. Nada awal lagu ini adalah nada B dan paling sering digunakan adalah nada : B

4. Nada yang memiliki posisi paling rendah adalah nada : G

5. Nada yang dipakai sebagai duplikasi oktaf

6. Tekanan ritmik pada umumnya terjadi pada nada : B

7. Menurut pengalaman musikal penulis dalam bidang musik, kemungkinan

paling besar sebagai nada dasar lagu Es lilin adalah nada : B

Tabel 5.15

Nada Dasar yang Dipergunakan pada Lagu Es Lilin

No Kriteria Nada

1. K1 E 2. K2 E 3. K31 B 4. K32 E 5. K33 D 6. K4 G 7. K5 - 8. K6 B

153

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

8. K7 c Keterangan:

K1 = nada yang paling sering dipakai E

K2 = nada yang memiliki nilai ritmis terbesar E

K31 = nada awal yang paling sering dipakai B

K32 = nada akhir yang paling sering dipakai E

K33 = nada tengah yang paling sering dipakai D

K4 = nada yang menduduki posisi paling rendah G

K5 = nada dengan penggunaan duplikasi oktaf

K6 = nada yang mendapat tekanan ritmis B

K7 = nada dasar sebagai ciri khas musik Kuda lumping c

5.6.3 Wilayah Nada

Dari tangga nada yang telah didapatkan pada lagu Es Lilin di atas, maka selanjutnya dapat ditentukan wilayah nada (ambitus) melodi lagu Es Lilin.

Dengan berpedomam pada nada terendah dan nada tang tertinggi frekuensinya dan jarak atau interval yang dihasilkan antara keduanya. Dengan demikian maka wilayah nada lagu ini dapat dilihat sebagai berikut adalah dimulai dari nada g dan paling tinggi di nada f.

g a b c d e f

154

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

5.6.4 Jumlah Nada

Untuk menentukan jumlah nada-nada ada dua cara yang perlu dilakukan.

Yang pertama adalah melihat banyaknya kemunculan setiap nada tanpa melihat jumlah durasinya secara kumulatif. Yang kedua adalah melihat kemunculannya dan sekaligus menghitung durasi kumulatif. Karena durasi juga menentukan komposisi jumlah nada dalam melodi. Dengan konsep tersebut, maka didapati jumlah masing-masing nada untuk lagu Es Lilin adalah seperti berikut ini.

Tabel 5.16

Bar 1 b,c,d,e = 1

Bar 2 b, f = 1, e = 2

Bar 3 c, d = 1, e = 2

Bar 4 f = 1, e = 3

Bar 5 c, f = 1, e = 2

Bar 6 b,c = 1, e = 2

Bar 7 b,c,d,e = 1

Bar 8 c = 4

Bar 9 c,e = 1, g = 2

Bar 10 g,d = 1 , c = 2

Bar 11 b,c = 1, a = 2

Bar 12 a = 1, g = 3

Bar 13 c = 1, g = 3

Bar 14 a,b = 2

Bar 15 g,a = 2

155

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Bar 16 b = 2

Tabel 5.17

Maka jumlah nada pada lagu Es Lilin adalah :

NAMA NADA

A B C D E F G

JUMLAH 5 10 14 4 14 3 6 PENGGUNAAN

5.6.5 Penggunaan Interval

Interval yang penulis maksudkan dalam tulisan ini adalah jarak antara satu nada dengan nada lain yang dipergunakan di dalam sebuah komposisi musik.

Ukuran interval ini didapat menggunakan laras atau langkah dan sent.

Setelah memperhatikan interval-intercal yang dipergunakan dalam lagu Es

Lilin, maka interval yang digunakan dalam kedua komposisi ini adalah sebagai berikut. Selengkapnya jumlah penggunaan interval-interval juga dapat dilihat sebagai berikut.

Tabel 5.18

Nama Interval

1P 2m 2M 3m 3M 4P 5P 6M

Jumlah Penggunaan 15 12 12 2 3 6 2 1

156

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

5.6.6 Pola-pola Kadensa

Pola-pola kadensa dapat dikonsepkan sebagai rangkaian nada-nada akhir pada setiap frase melodi, namun pola kadensa ini juga dapat diartikan sebagai nada-nada akhir frase pada musik yang bentuknya harmoni empat suara aatau sejenisnya. Pola-pola kadensa dalam lagu Es Lilin adalah sebagai berikut :

b b b c a a b b

5.6.7 Formula Melodi

Formula melodi yang dimaksud dalam skripsi ini adalah susunan melodi berdasarkan blok-blok atau kesatuan-kesatuannya. Dalam hal ini ditentukan tiga jenis blok secara umum dari yang terbesar sampai ke terkecil, yaitu: (a) bentuk,

(b) frase, dan (c) motif melodi.

Yang dimaksud dengan bentuk melodi adalah bagian melodi terbesar yang menjadi dasar perulangan bagi bentuk-bentuk berikutnya. Satu bentuk melodi terdiri dari dua frase melodi atau lebih. Yang dimaksud dengan frase melodi adalah seuntai melodi yang terdiri dari dua frase atau lebih, yang merupakan satu ide melodi yang utuh. Sedangkan motif melodi adalah bahagian melodi terkecil yang menjadi karakter perulangan seluruh komposisi (lihat Nettl 1964).

Bentuk, frase, dan motif melodi lagu Es Lilin adalah seperti pada analisis berikut ini :

157

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

e f e e e f e c c e e b c d e b

5.6.8 Kontur

Kontur adalah garis lintasan melodi yang terdapat pada sebuah nyanyian.

Jenis-jenis atau nama kontur dibedakan atas gerakan melodi: a. Bila gerakan melodi naik maka disebut dengan asending; b. Bila gerak melodi tersebut turun maka disebut konturnya dengan disending; c. Jika melengkung seperti lintasan jarum jam maka disebut dengan pendulum

atau pendulous; d. Bila susunannya berjenjang disebut dengan terraced; e. Bila gerak melodi terbatas gerak intervalnya, maka kontur melodi ini disbut

dengan statis (Malm 1977:17).

Melodi lagu es lilin memiliki berbagai jenis kontur melodi. Selengkapnya dapat dilihat pada contoh berikut ini : a. Ascending

b c d e

b. Statis

c c c c

158

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

c. Berjenjang.

g c e g c d g c a c b a

5.7 Struktur Melodi Lagu Waru Doyong

Struktur melodi lagu menjadi bahagian dari lagu dalam pertunjukan grup

Kuda lumping Tunas turonggo mudo. Sebelum mengkaji struktur melodi lagu maka terlebih dahulu dibentangkan hasil transkripsi dua lagu dimaksud. Adapun teknik transkripsi ini sudah diuraikan pada Bab I tulisan ini. Hasil transkrpsi lagu ini adalah Waru Doyong. Melodi yang ditranskripsi adalah melodi dari alat musik saron. Alasan kenapa hanya alat musik saron saja karena alat musik ini menurut

Pak Murgianto, Pak jikan dan Pak Sukardi fungsinya sebagai pembawa melodi utama. Hasilnya dalam bentuk notasi (visual) adalah sebagai berikut.

Berdasarkan kepada teori weighted scale, yang diaplikasikan untuk menganalisis yaitu Waru Doyong, maka hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut.

159

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

5.7.1 Tangga Nada

Setelah melakukan transkripsi terhadap lagu Waru Doyong, maka langkah selanjutnya adalah menganalisis struktur melodinya. Pendekatan yang penulis lakukan untuk menentukan tangga nada dan nada dasar dilakukan dengan pendekatan weighted scale, seperti yang dikemukakan oleh Bruno Nettl (1964:7).

Meskipun dapat saja pendekatan ini tidak sesuai dengan cara pandang pemain

Kuda lumping, namun teori ini dapat mendeskripsikan secara umum keberadaan struktur melodi lagu-lagu Kuda lumping,

terutama bagi para pemula yang dilatarbelakangi pendidikan musik Barat yang selanjutnya lebih dapat menelusuri konsep dan struktur sebenarnya musik

Kuda lumping ini baik pandangan musikologis secara umum.

Dari hasil transkripsi lagu sampel itu, maka struktur tangga nada yang digunakan oleh lagu tersebut adalah seperti berikut ini :

a b c d e g

Jika dilihat dari jumlah nada yang digunakan maka tangga nada yang digunakan dalam lagu tersebut adalah heksatonis yaitu : tangga nada yang mempunyai enam buah anggota nada.

5.7.2 Nada Pusat atau Nada Dasar

Dalam menentukan nada dasar, penulis mempergunakan kriteria-kriteria generalisasi yang ditawarkan oleh Bruno Nettl dalam bukunya yang berjudul

160

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Thaory and Method in Ethnomusicology (1984:164). Menurutnya ada tujuh kriteria yang ditawarkannya untuk menentukan nada dasar suatu lagu, yaitu sebagai berikut.

1. Patokan yang paling umum adalah melihat nada mana yang paling sering

dipakai, dan mana yang paling jarang dipakai dalam sebuah komposisi musik;

2. Kadang-kadang nada yang harga ritmisnya besar dianggap sebagai nada dasar,

walaupun jarang dipakai dalam keseluruhan komposisi musik tersebut.

3. Nada yang dipakai pada awal atau akhir komposisi maupun pada bahagian

tengah komposisi musik dianggp mempunyai fungsi penting dalam

menentukan tonalitas komposisi musik tersebut.

4. Nada yang berada pada posisi paling rendah atau posisi tengah dianggp

penting.

5. Interval-interval yang terdapat di antara nada , kadang-kadang dapat dipakai

sebagai patokan. Umpamanya kalau ada satu nada dalam tangga nada pada

sebuah komposisi musik yangdigunakan bersama oktafnya.

6. Adanya tekanan ritmis pada sebuah nada juga dapat dipakai sebagai patokan

tonalitas.

7. Harus diingat bahwa barangkali terdapat gaya-gaya musik yang mempunyai

sistem tonalitas yang tidak dapat dideskripsikan dengan keenam patokan di

atas. Untuk mendeskripsikan sistem tonalitas seperti itu, cara terbaik adalah

berdasar kepada pengalaman akrab dengan gaya musik tersebut (terjemahan

Marc Perlman 1990).

161

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Dengan mempergunakan ketujuh kriteria di atas, maka nada dasar lagu

Waru Doyong tersebut dapat diuraikan sebagai berikut ini.

Lagu Waru Doyong

1. Nada yang paling sering dipakai adalah nada : e

2. Nada yang memiliki nilai ritmik paling besar dalam keseluruhan komposisi

musik ini adalah nada : d

3. Nada awal lagu ini adalah nada b dan paling sering digunakan adalah nada : d

4. Nada yang memiliki posisi paling rendah adalah nada : g

5. Nada yang dipakai sebagai duplikasi oktaf

6. Tekanan ritmik pada umumnya terjadi pada nada : d

7. Menurut pengalaman musikal penulis dalam bidang musik, kemungkinan

paling besar sebagai nada dasar lagu Waru Doyong adalah nada : c

Tabel 5.19

Nada Dasar yang Dipergunakan pada Lagu Waru Doyong

No Kriteria Nada

1. K1 d 2. K2 d 3. K31 d 4. K32 d 5. K33 c 6. K4 g 7. K5 - 8. K6 d 8. K7 c Keterangan:

K1 = nada yang paling sering dipakai d

162

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

K2 = nada yang memiliki nilai ritmis terbesar d

K31 = nada awal yang paling sering dipakai d

K32 = nada akhir yang paling sering dipakai d

K33 = nada tengah yang paling sering dipakai c

K4 = nada yang menduduki posisi paling rendah g

K5 = nada dengan penggunaan duplikasi oktaf

K6 = nada yang mendapat tekanan ritmis d

K7 = nada dasar sebagai ciri khas musik kuda lumping c

5.7.3 Wilayah Nada

Dari tangga nada yang telah didapatkan pada lagu Waru Doyong di atas, maka selanjutnya dapat ditentukan wilayah nada (ambitus) melodi lagu Waru

Doyong. Dengan berpedomam pada nada terendah dan nada yang tertinggi frekuensinya dan jarak atau interval yang dihasilkan antara keduanya. Dengan demikian maka wilayah nada lagu ini dapat dilihat sebagai berikut adalah dimulai dari nada d dan paling tinggi di nada d.

g a b c d e g

5.7.4 Jumlah Nada

Untuk menentukan jumlah nada-nada ada dua cara yang perlu dilakukan.

Yang pertama adalah melihat banyaknya kemunculan setiap nada tanpa melihat

163

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

jumlah durasinya secara kumulatif. Yang kedua adalah melihat kemunculannya dan sekaligus menghitung durasi kumulatif. Karena durasi juga menentukan komposisi jumlah nada dalam melodi. Dengan konsep tersebut, maka didapati jumlah masing-masing nada untuk lagu Waru Doyong adalah seperti berikut ini.

Tabel 5.20

Bar 1 b,d = 1, a = 2

Bar 2 g,a,b,d = 1

Bar 3 c = 2 , b, d = 1

Bar 4 c, d = 2

Bar 5 b, d = 2

Bar 6 c, d = 2

Bar 7 b = 3, d =1

Bar 8 g,a,b,d = 1

Bar 9 c = 3, b = 1

Bar 10 e = 3, d = 1

Bar 11 e,d = 2

Bar 12 c,f = 1, e = 2

Bar 13 b = 3 , a = 1

Bar 14 b,d = 1

164

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Tabel 5.21

Maka jumlah nada pada lagu Waru Doyong adalah :

Nama Nada

A B C D E G

Jumlah Penggunaan 5 14 10 13 7 3

5.7.5 Penggunaan Interval

Interval yang penulis maksudkan dalam tulisan ini adalah jarak antara satu nada dengan nada lain yang dipergunakan di dalam sebuah komposisi musik.

Ukuran interval ini didapat menggunakan laras atau langkah dan sent.

Setelah memperhatikan interval-intercal yang dipergunakan dalam lagu

Waru Doyong, maka interval yang digunakan dalam kedua komposisi ini adalah sebagai berikut. Selengkapnya jumlah penggunaan interval-interval juga dapat dilihat sebagai berikut.

Tabel 5.22

Nama Interval

1P 2m 2M 3m 3M

Jumlah Penggunaan 18 3 19 9 1

5.7.6 Pola-pola Kadensa

Pola-pola kadensa dapat dikonsepkan sebagai rangkaian nada-nada akhir pada setiap frase melodi, namun pola kadensa ini juga dapat diartikan sebagai

165

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

nada-nada akhir frase pada musik yang bentuknya harmoni empat suara aatau sejenisnya. Pola-pola kadensa dalam lagu Waru Doyong adalah sebagai berikut :

d e e d e f e c a b b b

5.7.7 Formula Melodi

Formula melodi yang dimaksud dalam skripsi ini adalah susunan melodi berdasarkan blok-blok atau kesatuan-kesatuannya. Dalam hal ini ditentukan tiga jenis blok secara umum dari yang terbesar sampai ke terkecil, yaitu: (a) bentuk,

(b) frase, dan (c) motif melodi.

Yang dimaksud dengan bentuk melodi adalah bagian melodi terbesar yang menjadi dasar perulangan bagi bentuk-bentuk berikutnya. Satu bentuk melodi terdiri dari dua frase melodi atau lebih. Yang dimaksud dengan frase melodi adalah seuntai melodi yang terdiri dari dua frase atau lebih, yang merupakan satu ide melodi yang utuh. Sedangkan motif melodi adalah bahagian melodi terkecil yang menjadi karakter perulangan seluruh komposisi (lihat Nettl 1964).

Bentuk, frase, dan motif melodi lagu Waru Doyong adalah seperti pada analisis berikut ini :

b a g a g a b d b c c d

166

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

5.7.8 Kontur

Kontur adalah garis lintasan melodi yang terdapat pada sebuah nyanyian.

Jenis-jenis atau nama kontur dibedakan atas gerakan melodi: a.Bila gerakan melodi naik maka disebut dengan asending; b.Bila gerak melodi tersebut turun maka disebut konturnya dengan desending; c.Jika melengkung seperti lintasan jarum jam maka disebut dengan pendulum atau

pendulous; d.Bila susunannya berjenjang disebut dengan terraced; e.Bila gerak melodi terbatas gerak intervalnya, maka kontur melodi ini disbut

dengan statis (Malm 1977:17).

Melodi lagu Waru Doyong memiliki berbagai jenis kontur melodi.

Selengkapnya dapat dilihat pada contoh berikut ini : a. Ascending.

g a b d b. Desending

d b b b c. Statis.

a b b b

167

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

d. Teracced.

b a g a

168

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan sebelumnya dengan menganalisis pertunjukan dan musik Kuda lumping maka dapat disimpulkan beberapa hal. Tempat pertunjukan Kuda lumping tergantung di mana dan untuk apa dipertujukkan. Jika

Kuda lumping dipertunjukkan di halaman rumah warga dalam ranggka hajatan maka penontonnya berasal dari daerah sekitar, tetapi jika Kuda lumping dipertunjukkan untuk menyambut tamu atau acara-acara pemerintahan maka tempat pertunjukannya di lapangan luas yang penontonnya sudah ada tempat khususnya dan tidak perlu lagi berdesak-desakan ataupun terkena sinar matahari sebab sudah ada tempat khusus bagi penontonnya tidak seperti pada hajatan yang dilakukan oleh masyarakat.

Waktu pertunjukan secara umum terbagi dua, yaitu : sore hari dan malam hari. Sore hari pertujukan dimulai ketika azan sholat juhur selesai atau sekitar jam empat sore dan berakhir sebelum maghrib. Pada malam hari dimulai ketika azan sholat isya selesai atau sekitar jam delapan malam dan berakhir sebelum tengah malam. Khusus pertunjukan di malam hari, durasinya tergantung banyaknya antusian penonton di sekitar tempat [pertunjukan. Jika yang meonton banyak serta pemaiin dari kelompok Kuda lumping yang lain ikut meramaikan pertunjukan maka durasinya akan lama berakhir. Tetapi jika penonton di sekitar tempat tersebut sedikit maka durasi pertunjukan akan cepat berakhir.

169

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Dalam pertunjukan kuda lumping mempunyai beberapa pendukung pertunjukan. Salah satunya adalah penari yang biasa disebut dengan anak wayang.

Jumlah penari dalam Kuda lumpingTunas turonggo mudo berjumlah ganjil dalam pertunjukannya. Penari terdiri dari pria. penari dalam pertunjukan bisa mengalami trance.

Selain penari, pemusik merupakan pendukung pertunjukan yang lainnya.

Menurut Pak Jikan, Pak Sukardi dan Pak Murgianto, dalam pertunjukan Kuda lumping pemain musik merupakan hala yang terpenting sebab tanpa mereka akan sulit sekali melakukan trance pada anak wayang. Maka dalam pertunjukan, jika ada seorang pemain musik yang melakukan kesalahan permainan maka akan merusak pertunjukan Kuda lumping.

Bahan-bahan dalam pertunjukan Kuda lumping berupa : macam-macam bunga, kemeyan, minyak wangi, dan arang. Alat musik yang dipergunakan dalam pertunjukan Kuda lumping kelompok Tunas turonggo mudo adalah : saron, demung, gong, kendang, slenthem,

Dalam pertunjukan Kuda lumping grup Tunas turonggo mudo terdiri dari tiga. Pertama adalah tarian persembahan, kemudian tarian untuk membuat para anak wayang mengalami trance dan yang terakhir adalah pemulangan arwah atau penyadaran kembali anak wayang yang mengalami trance. .

Musik yang dipergunakan dalam pertunjukan Kuda lumping mempunyai beberapa lagu yang sering dimainkan yaitu lagu jatilan, ijo-ijo, reog Ponorogo, waru doyong dan es lilin. Lagu yang dipergunakan mempunyai fungsinya masing- masing seperti lagu waru doyong dipergunkan untuk mengiringi penari

170

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

melakukana gerakan tariannya, reog Ponorogo yang dipergunakan untuk membuat anak wayang mengalami trance, serta es lilin, ijo-ijo dan jatilan yang dimainkan ketika ada permintaan dari anak wayang yann trance.

Analisis yang digunakan adalah analisis tangga nada, nada dasar / nada pusat, wilayah nada, jumlah nada- nada, interval nada, pola kadensa, formula melodi, dan kontur.

Jenis lagu Tangga nada Wilayah nada Nada Pola Kadensa pusat Jatilan a, b, c, d, dan e a,b,c,d,dan e c, dan a c,e,c, c,e,c,d, dan b Reog a,c,d,e,dan f a,c,d,e,dan f c, dan a c,c,c,c,c,c,c,c,c diponorogo ,c,d,c,d,c,d,c,d,c d,c,c,c,c,c,c,c,c c,c,c a,a,a,a,a,a,a,a,a,a a,a,a,a,a dan a Warung a,b,c,d,e,dan g G,a,b,c,d,e,dan g d,e, dan d,e,e,d ,e,f,e c, Doyong g a, b,b dan b Es lilin g,a,b,c,d, e dan g,a,b,c,d, e dan f B, E dan b,b,b,c,a,a,b dan f G b Ijo ijo B, c, d dan e D,e,f,g,a,b,c, dan B,b, d a,b, a,g,g,f,d d dan E dan d

171

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

6.2. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang di peroleh dalam penelitian ini, peneliti memberikan beberapa saran sebagai berikut:

1. Perlu adanya kesadaran diri masyarakat dalam melestarikan tari kuda

lumping sehingga tidak di jadikan kebutuhan hiburan saja, melainkan

sebagai pelestarian kesenian tradisional. Khususnya generasi muda agar

selalu menjaga tari kuda lumping jangan sampai punah di landa oleh

perkembangan jaman. Tari kuda lumping dapat digunakan sebagai sarana

guna melestarikan dan mempertahankan kesenian tradisional yang

semangkin di desak oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,

oleh karnanya mudah-mudahan kesenian tradisional tetap bertahan.

2. Kepada pihak pemerintah hendaknya turut menggali, membina,

mengembangkan, serta mempromosikan kesenian tradisional tersebut, agar

tetap lestari dan mempunyai nilai-nilai positif.

172

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, John, 1971 Mission to the East Coast of Sumatra in 1823. Singapura: Oxpord University Press.

Backer, Judith, 1976. Tradisional musik in modern java. Honolulu: University of Hawaii perss

Bogdan, Robert dan stevani J. Taylor.1993. kualitatif: Dasar-Dasar Penelian.(terj. A. Khoazin Fandi), Surabaya Usaha Nasional.

Depdikbud, 1997. Perkembangan Ludruk Di Jawa Timur. Jakarta: Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.

Depdikbud, 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa Depdikbud. Dewi.H., 1992. Kuda lumping pada masyarakat desa cengkeh turi, sumatera utara : suatu studi kasus musik.

Dewi.H., 1992. Kuda lumping pada masyarakat desa cengkeh turi, sumatera utara : suatu studi kasus musik dan trance dalam konteks sosio - budaya. Fakultas sastra USU, Medan 2006, Perubahan Makna Pertunjukan Jaran Kepang Pada Masyarakat Jawa di kelurahan Tanjung sari, Medan. Prodi Pendidikan IPS Konsentrasi Antropologi-Sosiologi Program Pasca sarjana. Universitas Negri Padang.

Echols, jhone M. dan Hassan Shadily, 1978. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia

Geertz, Cifford, 1982. Abangan, Santri, dan priyayi. Yogyakarta: Kanisius

Hartono, 1980. Reyog Ponorogo. Jakarta: Depdikbud.

Jayakusuma. Wardiman, 1992. Seni Tari Jawa. Surabaya : Penerbit Sinar ilmu.

Kartomi, W.J, 1989. Emostion of Culture: A Malay Perspective, Singapure: Oxford University Press

Kayam, Umar 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar harapan. Universitas Sumatra Utara

Kartomi, Margaret 1973. “Musik and Trance In Java”, di dalam Journal Ethnomusikologi vol. 17: 163-208.

173

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Kartodirdjo, Sartono 1988. Pengantar Sejarah Indonesia Baru. Jakarta: Gramedia.

Koentjaraningrat. 1971. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia Jakarta: Jambatan. 1984, Kebudayaan Mentaliteit dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 1984, Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka 1985, “Metode Wawancara” dalam Metode-Metode Penelitian Masyarakat (Koenjaraningrat, red). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1995, Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1986, Pengantar Antropologi, Jakarta: Aksara Baru 1989, Metode Penelitan Masyarakat, Jakrta: Aksara Baru

Kunst, Jaap. 1949. Music in Java. The Hague: Martinus Nijhoff.

Luckman Sinar, Tengku 1985. “keserasian Sosial dalam Kearifan Tradisional Masyarakat Melayu” Makalah Seminar Keserasian Sosial Dalam Masyarakat Majemuk di Perkotaan, Medan.

Mal, William P 1990. Kebudayaan Musik Pasifik, Timur Tengah dan Asia; Dialihbahasa oleh Muhammad Takari, Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra, USU.

Maran, Rafael Rage 2000. Manusia Dan Kebudayaan Dalam Pers Pektif Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Murgianto, Sal 1995.”Cakrawala Pertunjukan Budaya, Mengkaji Batas dan Arti Pertunjukan “dalam seni Pertunjukan Indonesia.Yogyakarta:MSPI 1997, Mengkaji Cakrawala Seni Pertunjukan, dalam Jurnal Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.

Nasuruddin, Muhammad Ghouse 1990. “ Dancing to Estasy on the ” di dalam Karim, W.J. (ed) Emotion of Culture: A Malay Perspective. Singapure. Oxford University Press.

Pelzer, Karl J,1978. Planters and Peasant Colonial Policy and The Agrarian struggle in East Sumatra 1863-1847. S‟gravenhage: Martinus Nijhoff. Juga terjemahannya dalam bahasa Indonesia, Karl J. Pelzer,1985. Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria 1863-1947. Terjemahannya J. Rumbo. Jakarta: Sinar Harapan.

Pelly, Usman, 1994. Teori-teori Sosial Budaya. Jakarta: Dikti Ritzer, George. 1994, Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing. Jakarta: LP3ES.

174

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2003, Teori Sosial Postmodern, Yogyakarta: Juxtapse Research and publication studi club bekerjasama dengan KREASI WACANA.

Rouget, G 1985. Musik and Trance: A General theory of the Relations between Musik and Possession, Chicago: The University of Chicago press.

Rassers, W. H,1983. Panji, The Cultur Hero: A Structural Study Of Religion In Java. The Haque: Martinus Nijhoff.

Remy Sylado,1983. Menuju Apresiasi Musik. Bandung: Angkasa.

Sardono,2004. “Seni dan Tantangan Zaman”. (Online) http//www.Seni. PL diakses Oktober 2004.

Sadarmo dan R Suyono,1985. Masyarakat Jawa di Sumatera Utara. Makalah pada Seminar Masyarakat Majemuk di Medan.

Sach, Curt dan Eric Van Hornbostel,1901. “Clasification of Musical Instrument”, terjemahan Anthony Baines dan Klauss C. Wachsman dalam Ethomusicology: An Introduction‟ Helen Meyers (ed). Londong: Farbes.

Sedyawati, Edi. 1981. Tari: Tinjauan dari Berbagai Segi. Jakarta: Pustaka Jaya 1984. “Aspek- aspek Komunikasi Budaya yang Diekspresikan dalam Tari.” Analisis Kebudayaan. (Tahun II) Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1993. Ke-Islaman dalam tari Indonesia. Dalam Wan Abdul Kadir & Zainal Abidin Borhan (pngr.) Fenomena 2. 60-80. University Malaya: Jabatan Pengajian Melayu.

Sitiwahyuni,1998. Terbangun Jawa Dalam Konteks Lek-Lekan: Perubahan Dan Kelanjutan Tradisi Musik Masyarakat Jawa Di Desa Paya Bengkuan., kecamatan Gebang, Kabupaten Langkat-Sumatera Utara. Medan: Skripsi Sarjana-Fakultas Sastra Jurusan Etnomusikologi USU.

Soekarno,1983. Pertunjukan Rakyat Kuda lumping di Jawa Tengah. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kedudayaan.

Soemardjan, Selo dan Soelaeman Soemardi,1964. Setangkai Bunga Rampai Sosiologi. Jakarta: FE UI.

Sperber, Dan,1979. Rethinking Symbolism, Cambridge: Cambridg Univesity Press.

175

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Soedarsono, R.M 1983. Wayang Wong: The State Dance Drama In The Court of Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah mada University Press. 1991, Beberapa Catatan Tentang Perkembangan Kesenian Kita, Yogyakarta: B.P. ISI Yogyakarta.

1999, Metode Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. Bandung: Masyarakat Seni Dan Pertunjukan Indonesia.

Spradley, James P,1997. Metode Etnografi. Jakarta: Tiara Wacana.

SurJawa,1999. Manusia dan Fenomena Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Syani, Abdul,1994. Skematika, Teori dan Terapan. Jakarta: Bumi Aksara.

Syarbaini,1997. Fungsi Humor Sebagai Rite Dalam Kuda Kepang, Medan: Skripsi Sarjana-Fakultas ISIP USU.

Withington, W. A., 1963. “The Distribution of Population in Sumatra, Indonesia, 1961.” The Journal Of Tropical Geography, 17.

Zed, Mestika,1995. “Analisis Kualitatif dalam Ilmu-Ilmu Sosial: Beberapa Catatan Tentang Klasifikasi, Tipologi dan Indeks. Di dalam Jurnal Forum Pendidikan No.1, Tahun XX, hlm.19-46, Padang: IKIP Padang.

Zulkarnain, Iskandar,1999. Modernisasi dan Pembangunan Budaya Nasional. Yayasan Bina Mitra Wawasan dengan FISIP USU.

Sumber Internet https://id.wikipedia.org/wiki/Kuda_lumping https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Jawa https://fitriianggraini210.wordpress.com/2014/05/13/ludruk-adalah-salah- satu-jenis-kebudayaan-asli-dari-jawa-timur/

176

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DAFTAR INFORMAN KUNCI, PANGKAL DAN ANGGOTA SANGGAR

KUDA LUMPING TUNAS TURONGGO MUDO

1. Nama : Pak Jikan

Umur : 74 Tahun

Alamat : karang sari kec, medan polonia

Pekerjaan : wiraswasta (pemain alat musik gendang) / Informan kunci

2. Nama : Pak Saripuden

Umur : 51

Alamat : Jalan mawar gang ganesa karang sari kec. Medan polonia

Pekerjaan : Wiraswasta (pawang/gambo) / Informan kunci

3. Nama : Pak Rakem

Umur : 65

Alamat : jalan cinta karya gang perbatasan

Pekerjaan : wiraswasta (pemain alat musik demung)

4. Nama : Pak Sukardi

Umur : 68

Alamat : Jalan cinta karya gang perbatasan

Pekerjaan : Wiraswasta (pemain alat musik saron) / Informan kunci

177

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

5. Nama : Pak Sulaiman

Umur : 69

Alamat : jalan cempaka

Pekerjaan : wiraswasta (pemain alat musik gong)

6. Nama : Pak Suparman

Umur : 77

Alamat : jalan cinta karya gang perbatasan

Pekerjaan : pensiun Ptpn (pemain alat musik slentem)

7. Nama : Pak Murgianto

Umur : 33

Alamat : karang rejo

Pekerjaan : wiraswasta (pemain alat musik gendang) / Informan kunci

8. Nama : Pak Misri

Umur : 60

Alamat : karang rejo gang buntu

Pekerjaan : wiraswasta (pemain alat musik gong)

178

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

9. Nama : Muri

Umur : 23

Alamat : jalan mawar gang ganesa

Pekerjaan : wiraswasta (anak wayang)

10. Nama : Sadar

Umur : 25

Alamat : jalan antariksa gang nasional

Pekerjaan : wiraswasta (anak wayang)

11. Nama : Tomi

Umur : 21

Alamat : jalan mawar gang sodara

Pekerjaan : wiraswasta (anak wayang)

12. Nama : Budi

Umur : 23

Alamat : jalan antariksa gang nasional

Pekerjaan : wiraswasta (anak wayang)

179

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

13. Nama : jumadi

Umur : 22

Alamat : jalan cinta karya gang sawah

Pekerjaan : wiraswasta (anak wayang)

14. Nama : Bagus

Umur : 27

Alamat : jalan sejati

Pekerjaan : wiraswasta (anak wayang)

15. Nama : Sidik

Umur : 29

Alamat : jalan mawar gang sodara

Pekerjaan : wiraswasta (anak wayang)

16. Nama : Imam

Umur : 26

Alamat : jalan cinta karya gang sawah

Pekerjaan : wiraswasta (anak wayang)

180

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

17. Nama : Kiki

Umur : 24

Alamat : jalan cinta karya gang perbatasan

Pekerjaan : wiraswasta (anak wayang)

18. Nama : Pak Yono

Umur : 61

Alamat : jalan mawar

Pekerjaan : wiraswasta (pawang/gambo)

181

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

JABATAN DAN PEMAIN KUDA LUMPING DALAM SANGGAR

TUNAS TURONGGO MUDO

No Nama Pekerjaan Peran

1 Pak Jikan wiraswasta pemain alat musik gendang 2 Pak Saripuden Wiraswasta pawang/gambo 3 Pak Rakem wiraswasta pemain alat musik demung 4 Pak Sukardi Wiraswasta pemain alat musik saron 5 Pak Sulaiman wiraswasta pemain alat musik gong 6 Pak Suparman pensiun Ptpn pemain alat musik slentem 7 Pak Murgianto wiraswasta pemain alat musik gendang 8 Pak Misri wiraswasta pemain alat musik gong 9 Muri wiraswasta anak wayang 10 Sadar wiraswasta anak wayang 11 Tomi wiraswasta anak wayang 12 Budi wiraswasta anak wayang 13 Jumadi wiraswasta anak wayang 14 Bagus wiraswasta anak wayang 15 Sidik wiraswasta anak wayang 16 Imam wiraswasta anak wayang 17 Kiki wiraswasta anak wayang 18 Pak yono wiraswasta Pawang/ gambo

182

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA