Uniknya Keraton Ngayogyakarta Sebagai Daya Tarik Wisata Sejarah Di Yogyakarta
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Domestic Case Study 2018 Sekolah Tinggi Pariwasata Ambarrukmo Yogyakarta Uniknya Keraton Ngayogyakarta Sebagai Daya Tarik Wisata Sejarah di Yogyakarta Esdavina Elvandari 162413 Sekolah Tinggi Pariwasata Ambarrukmo Yogyakarta Abstract: Sultan Palace is the official palace of the empire Ngayogyakarta are now located in the city of Yogyakarta, Yogyakarta Special Region. Yogyakarta Palace is not only the residence of the king, but also a flame guard Javanese culture. In these places tourists can learn and see firsthand how the Yogyakarta palace architecture also culture remains preserved in the middle of the pace of development of the world. In terms of the building, this palace is one example of Javanese palace architecture of the palace is best. Keywords: Yogyakarta; Culture; Architecture; Palace ; Javanese. 1. Pendahuluan Pariwisata adalah industri terbesar dan paling cepat berkembang di dunia dewasa ini. Pariwisata banyak memberikan peluang terhadap pertumbuhan dan perkembangan kegiatan wisata yang menarik minat banyak wisatawan. Terlebih lagi, kegiatan wisata tiap hari kian dibutuhkan oleh wisatawan [1,2,3]. Latar belakang munculnya pariwisata di dunia telah ada semenjak adanya perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain. Dan oleh sebab itu, kebutuhan akan perjalanan yang dilakukan haruslah terpenuhi, motivasi dan motif perjalanan wisata berbeda-beda, sesuai dengan ekonomi dan lingkungan masyarakat itu sendiri serta sesuai dengan tingkat perkembangan dan tingkat sosial budaya mereka [4,5]. Menurut beberapa para ahli, pariwisata dimulai sejak dimulainya peradaban manusia itu sendiri dengan ditandai adanya pergerakan penduduk yang melakukan ziarah dan perjalanan agama lainnya, serta perjalanan keingin tahuaan, perasaan takut, gila kehormatan dan kekuasaan sehingga membuat mereka melakukan suatu perjalanan. Menurut World Tourism Organizatio (WTO) dan sekarang berubah namanya menjadi United Nations World Tourism Organizatio (UNWTO).Secara sepintas membagi perkembangan atau sejarah pariwisata ke dalam 3 (tiga) jaman, yaitu: Jaman Kuno, Jaman Pertengahan, dan Jaman Modern.[6,7] a) Jaman Kuno Adanya dorongan untuk mengetahui adat istiadat dan kebiaaan orang lain, dorongan karena kebutuhan praktis dalam bidang politik dan perdagangan, dorongan yang berhubungan dengan agama, dll. Sarana dan fasilitas pada jaman ini untuk melakukan kegiatan perjalanan sangat sederhana. Alat angkutan tersebut berupa binatang seperti kuda, onta, atau 1 perahu-perahu kecil. Namun yang paling sering adalah perjalanan dengan jalan kaki berpuluh-puluh hingga beratus-ratus kilometer jauhnya. Seperti, pedagang Yunani ke Laut Hitam, Pedagang Visia ke Afrika , dll. Belum adanya badan-badan yang mengatur kepariwisataan. Akomodasi yang digunakan masih sederhana. Pengaturan perjalanan ditentukan individu, baik oleh perorangan maupun kaum-kaum. 2. Jaman Pertengahan Motivasi perjalanan lebih luas, selain perjalanan agama dan hal lainnya seperti di jaman kuno, motifasi juga berupa tujuan yang berhungunan dengan kepentingan negara dan motif menambah pengetahuan karena pada jaman ini sudah ada perguruan-perguruan tinggi. 3. Jaman Modern Pada jaman ini motif untuk melakukan perjalanan sudah banyak seperti pendidikan, kesehatan, penelitian, tugas negara, sekedar mencari hiburan dal lain- lain. Akomodasi tumbuh dengan subur serta dengan fasilitas semakin lengkap. Keharusan dan Formalitas para pelancong atau wisatawan harus membawa identitas diri yang lengkap sesuai aturan. Transportasi yang digunakan mesin motor serta angkutan udara sehingga menempuh jarak jauh dengan waktu yang lebih cepat dan sudah adanya badan atau organisasi yang menyusun aturan perjalanan. Telah kita ketahui bersama bahwa Negara Indonesia memiliki beraneka ragam wisata dan budaya yang terbentang dari sabang sampai merauke, dari banyaknya jenis wisata yang ada di Indonesia mulai dari wisata alam, wisata kuliner, dan wisata budaya, banyak orang menyebut Indonesia sebagai surga dunia yang memiliki banyak keanekaragaman budaya yang indah dan memiliki ciri khas tersendiri. Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan istana resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang kini berlokasi di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Walaupun kesultanan tersebut secara resmi telah menjadi bagian Republik Indonesia pada tahun 1950, kompleks bangunan keraton ini masih berfungsi sebagai tempat tinggal sultan dan rumah tangga istananya yang masih menjalankan tradisi kesultanan hingga saat ini. Keraton ini kini juga merupakan salah satu objek wisata di Kota Yogyakarta. Sebagian kompleks keraton merupakan museum yang menyimpan berbagai koleksi milik kesultanan, termasuk berbagai pemberian dari raja-raja Eropa, replika pusaka keraton, dan gamelan. Dari segi bangunannya, keraton ini merupakan salah satu contoh arsitektur istana Jawa yang terbaik, memiliki balairung-balairung mewah dan lapangan serta paviliun yang luas. Inilah yang harus menjadi perhatian kita, dimana terdapat banyak objek yang sangat potensial namun belum ada sama sekali upaya pengoptimalisasian potensi-potensi tersebut, yang harapannya Keraton Yogyakartas selalu menjadi suatu kawasan yang dapat dikenal wisatawan lokal maupun wisatawan asing. Oleh karena itu penulis tertarik membahas wisata Keraton Ngayogyakarta yang dibahas dalam bentuk Jurnal Ilmiah dengan judul UNIKNYA KERATON NGAYOGYAKARTA SEBAGAI DAYA TARIK WISATA SEJARAH DI YOGYAKARTA 2. Pembahasan 2.1. Keraton Ngayogyakarta 2.1.1. Sejarah Keraton Yogyakarta Keraton Yogyakarta mulai didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono Ibeberapa bulan pasca Perjanjian Giyantipada tahun 1755.Lokasi keraton 2 dahulunya adalah bekas sebuah pesanggarahan yang bernamaGarjitawati. Pesanggrahan ini digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah raja-raja Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang akan dimakamkan di Imogiri. Versi lain menyebutkan lokasi keraton merupakan sebuah mata air, Umbul Pacethokan, yang ada di tengah hutan Beringan. Sebelum menempati Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I berdiam di Pesanggrahan Ambar Ketawang yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman. Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti yaitu Siti Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan). Selain itu Keraton Yogyakarta memiliki berbagai warisan budaya baik yang berbentuk upacara maupun benda-benda kuno dan bersejarah. Di sisi lain, Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat lengkap dengan pemangku adatnya. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika nilai-nilai filosofi begitu pula mitologi menyelubungi Keraton Yogyakarta.Dan untuk itulah pada tahun 1995 Komplek Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs Warisan DuniaUNESCO [8]. 2.1.2. Tata Ruang dan Arsitektur Umum a) Tata ruang Dahulu bagian utama istana dari utara keselatandimulai dari Gapura Gladhag di utara sampai di PlengkungNirboyo di selatan. Bagian-bagian utama keraton Yogyakarta dari utara ke selatan adalah: Gapura Gladag-Pangurakan, Kompleks Alun-alun Ler (Lapangan Utara) dan Mesjid Gedhe (Masjid Raya Kerajaan); Kompleks Pagelaran, Kompleks Siti Hinggil Ler, Kompleks Kamandhungan Ler, Kompleks Sri Manganti, Kompleks Kedhaton, Kompleks Kamagangan, Kompleks Kamandhungan Kidul, Kompleks Siti Hinggil Kidul (sekarang disebut Sasana Hinggil), serta Alun-alun Kidul (Lapangan Selatan) dan Plengkung Nirbaya yang biasa disebut Plengkung Gadhing. Bagian-bagian sebelah utara Kedhaton dengan sebelah selatannya boleh dikatakan simetris.Sebagian besar bagunan di utara Kompleks Kedhaton menghadap arah utara dan di sebelah selatan Kompleks Kedhaton menghadap ke selatan.Didaerah Kedhaton sendiri bangunan kebanyakan menghadap timur atau barat. Namun demikian ada bangunan yang menghadap ke arah yang lain. Selain bagian-bagian utama yang berporos utara-selatan keraton juga memiliki bagian yang lain. Bagian tersebut antara lain adalah Kompleks Pracimosono, Kompleks Roto Wijayan, Kompleks Keraton Kilen, Kompleks Taman Sari, dan Kompleks Istana Putra Mahkota (mula-mula Sawojajar kemudian di ndalem Mangkubumen). Di sekeliling Keraton dan di dalamnya terdapat sistem pertahanan yang terdiri dari tembok/dinding Cepuri dan Baluwerti. Di luar dinding tersebut ada beberapa bangunan yang terkait dengan keraton antara lain Tugu Pal Putih, Gedhong Krapyak, ndalem Kepatihan (Istana Perdana Menteri), dan Pasar Beringharjo. b) Arsitektur umum Secara umum tiap kompleks utama terdiri dari halaman yang ditutupi dengan pasir dari pantai selatan, bangunan utama serta pendamping, dan kadang ditanami pohon tertentu. Kompleks satu dengan yang lain dipisahkan oleh tembok yang cukup tinggi dan dihubungkan dengan Regol yang biasanya bergaya Semar Tinandu. Daun pintu terbuat dari kayu jati yang tebal.Di belakang 3 atau di muka setiap gerbang biasanya terdapat dinding penyekat yang disebut Renteng atauBaturono. Pada regol tertentu penyekat ini terdapat ornamen yang khas. Bangunan-bangunan Keraton Yogyakarta lebih terlihat bergaya arsitektur Jawa tradisional. Di beberapa bagian tertentu terlihat sentuhan dari budaya asing seperti Portugis, Belandabahkan Cina.Bangunan ditiap kompleks biasanya berbentuk/berkonstruksi Joglo atau derivasi/turunan konstruksinya. Joglo terbuka tanpa dinding disebut dengan Bangsal, sedangkan joglo tertutup dinding dinamakan Gedhong (gedung). Selainitu ada bangunan yang berupa kanopi beratap bambu dan bertiang bambu yang disebut Tratag.Pada