HASIL PENELITIAN TESIS
EFEK PEMBERIAN EKSTRAK DAUN PAGODA (Clerodendrum Paniculatum. L) TERHADAP KADAR IL-6 PADA MAMMAE TIKUS BETINA SPRAGUE DAWLEY YANG DI INDUKSI STAPHYLOCOCCUS AUREUS
THE EFFECT OF PAGODA LEAVES EXTRACT (CLERODENDRUM PANICULATUM. L) ON THE LEVEL OF IL-6 TO MAMMAE FEMALE RATS (SPRAGUE DAWLEY) INDUCED BY STAPHYLOCOCCUS AUREUS
FITRIANA IBRAHIM P4400216010
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018
i
EFEK PEMBERIAN EKSTRAK DAUN PAGODA (Clerodendrum Paniculatum. L) TERHADAP KADAR IL-6 PADA MAMMAE TIKUS SPRAGUE DAWLEY YANG DIINDUKSI Staphylococcus Aureus
THE EFFECT OF PAGODA LEAVES EXTRACT (CLERODENDRUM PANICULATUM. L) ON THE LEVEL OF IL-6 TO MAMMAE FEMALE RATS (SPRAGUE DAWLEY) INDUCED BY STAPHYLOCOCCUS AUREUS
Tesis Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi Ilmu Kebidanan
Disusun dan Diajukan Oleh
FITRIANA IBRAHIM P4400216010
Kepada
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018
ii
iii
iv
PRAKATA
Bismillahirrohmanirrohim
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatu.
Alhamdulillah, Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT atas segala nikmat dan berkat, kekuatan dan pengetahuan kepada hambanya sehingga tesis ini dapat disusun dan diselesaikan dengan baik.
Shalawat dan Taslim atas junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW dan keluarga, sahabat-sahabat dan para pengikutnya.
Pertama-tama penulis menyampaikan rasa hormat dan rasa terima kasih yang tak terhingga sehingga penghargaan yang tulus kepada kedua orang tua tersayang, bapak H. Ibrahim dan Ibu Hj. Nahar atas do’anya, kasih sayang, dukungan, serta nasehat yang berharga sehingga penulis bisa seperti sekarang ini.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penyusunan disertasi ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, nasehat dan dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu perkenalkan penulis menyampaikan ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :
1. Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, MA selaku Rektor yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Pendidikan
pada Program Studi Magister Kebidanan Pascasarjana Universitas
Hasanuddin
v
2. Hj. Ernawati Rifai, SE, MM selaku kepala Biro Akademik Universitas
Hasanuddin yang selalu dengan sabar memberikan do’a, dorongan,
serta bimbingan kepada penulis dari awal hingga akhir pendidikan.
3. Prof. Dr. dr. Suryani As’ad, M.Sc, Sp.GK selaku ketua Program Studi
Magister Kebidanan Universitas Hasanuddin Makassar sekaligus
sebagai penguji satu dalam penelitian ini yang telah memberikan
bimbingan dan arahan sehingga penyusunan ini bisa terselesaikan
4. Dr. dr. Prihantono, S.PB (K) Onk, M.Kes selaku Pembimbing Utama
yang dengan penuh kesabaran membimbing penulis, memberikan
masukan, serta arahan-arahan hingga selesainya proposal tesis ini
5. Dr. Mardiana Ahmad, S.SiT, M.Keb selaku Pembimbing kedua dalam
penyususnan proposal tesis ini yang telah banyak memberikan
masukan dan arahan dalam proses pembimbingan kepada penulis
hingga proposal ini terselesaikan
6. Dr. dr. Burhanuddin Bahar, MS dan dr. Aryadi Arsyad, M.Biom,
Ph.D, atas kesediaan dan telah meluangkan waktu untuk menguji
sekaligus memberikan bimbingan, arahan dan bantuannya dalam
penyelesaian tesis ini
7. Dr. Hayarna Basmin, SH, M.Si selaku ketua Yayasan Mitra Bahari
Katangka, serta Drs. Basri Abdi, M.pd, M.kes selaku Ketua STIKes
Datu Kamadre yang telah memberikan bimbingan moril serta materi
kepada penulis, sekaligus memberikan ijin untuk melanjutkan
pendidikan pada Program Pascasarjana Unhas
vi
8. Seluruh Dosen dan staf Program Magister Kebidanan pada Program
Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar yang telah membekali
penulis dalam menyusun proposal tesis
9. Teman-teman seperjuangan satu bimbingan penelitian tesis yang
telah berjuang bersama-sama penulis dalam menyelesaikan penelitian
ini, serta teman-teman Magister Kebidanan Angkatan V atas bantuan,
motivasi dan kebersamaan dalam suka dan duka menimba ilmu dari
awal hingga akhir pendidikan di Program Pascasarjana Unhas.
10. Kepada semua Staf/Pengelola STIKes Datu Kamandre yang telah
memberikan dukungan dan semangat selama mengikuti Pendidikan.
Ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya dan tak terhingga kepada suami tercinta Wahyu Hidayat dan anakku tersayang Syakira
Faiza Wahyu dan Muhammad Aqlan Wahyu, terima kasih atas semua pengertian, kesabaran dan kasih sayang serta senantiasa mendoakan, memberikan motivasi kepada penulis dari awal pendidikan hingga tahap akhir menyelesaikan tesis ini. Terkhusus pula kepada ibu mertuaku, adik- adikku, kakak ipar dan adik ipar serta seluruh keluargaku. Penulis tak lupa menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga atas bantuan, dorongan, motivasi dan doanya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini tepat waktu dan dengan baik.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya juga penulis sampaikan kepada semua pihak yang namanya tidak tercatum
vii
dalam kata pengantar ini tetapi telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini.
Semoga Allah SWT selalu melimpahkan berkah dan rahmatNya serta melipat gandakan segala amal kebaikan kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian tesis ini dan semoga tesis ini bisa bermanfaat bagi kita semua Aamiinn.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Makassar, 30 Oktober 2017
Fitriana Ibrahim
viii
ix
x
DAFTAR ISI
SAMPUL ...... i
HALAMAN PENGAJUAN ...... ii
HALAMAN PENGESAHAN ...... iii
PRAKATA ...... iv
ABSTRAK ...... viii
DAFTAR ISI ...... x
DAFTAR TABEL ...... xiii
DAFTAR GAMBAR ...... xiv
BAB I : PENDAHULUAN...... 1
A. Latar belakang ...... 1
B. Rumusan masalah...... 4
C. Tujuan penelitian ...... 4
D. Kegunaan penelitian ...... 5
E. Ruang lingkup penelitian ...... 5
F. Definisi dan istilah ...... 6
G. Sistematika penulisan ...... 7
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA...... 9
A. Tinjauan tentang Mastitis ...... 9
B. Inflmasi ...... 16
C. Respon imun terhadap Staphylococcus Aureus ...... 19
D. Tinjauan tentang IL-6 pada Staphylococcus Aureus ...... 23
xi
E. Tinjauan tentang Daun Pagoda (Clerodendrum
Paniculatum. L) ...... 25
F. Tinjauan tentang Daun Pagoda dan IL-6 ...... 29
G. Hewan Coba...... 31
H. Kerangka teori ...... 33
I. Kerangka konsep ...... 34
J. Hipotesis ...... 34
K. Definisi oprasional ...... 35
BAB III : METODE PENELITIAN ...... 36
A. Rancangan penelitian ...... 36
B. Lokasi dan waktu penelitian ...... 36
C. Populasi dan teknik sampel ...... 37
D. Instrumen pengumpulan data ...... 38
E. Etika penelitian ...... 48
F. Analisa data...... 49
G. Alur penelitian ...... 50
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...... 51
A. Hasil Penelitian ...... 51
B. Pembahasan ...... 63
C. Jawaban Hipotesis ...... 70
D. Keterbatasan Penelitian ...... 70
xii
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN...... 71
A. Kesimpulan ...... 71
B. Saran...... 71
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Taksonomi bakteri Staphylococcus aureus
Tabel 2.2. Taksonomi tanaman beruwas laut
Tabel 2.3. Aktivitas antiinflamasi genus Clerodendrum
Tabel 2.4. Taksonomi tikus putih
Tabel 4.1. Analisis kandungan fitokimia ekstrak daun pagoda
Tabel 4.2. Rerata berat badan tikus pada masing-masing kelompok
Tabel 4.3. Rerata perbedaan kadar IL-6 pada masing- masing kelompok
tikus betina sebelum, selama dan setelah pemberian ekstrak
daun pagoda (clerodendrum paniculatum.L)
Tabel 4.5 Analisis perbedaan kadar IL-6 sebelum, setelah diinduksi
staphylococcus aureus dan setelah diberikan treatment pada
masing-masing kelompok.
Tabel 4.6 Analisis perbedaan kadar IL-6 antar kelompok tikus betina
strain sprague dawley sebelum, setelah diinduksi bakteri
staphylococcus aureus dan setelah diberikan treatment.
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Mekanisme Terjadinya Inflamasi
Gambar 2.2. Bakteri Staphylococcus aureus yang dilihat dari Mikroskop
Eelektron
Gambar 2.3. Bunga pagoda (Clerodendrum paniculatum L.)
Gambar 2.4. Kerangka Teori
Gambar 2.5. Kerangka konsep
Gambar 3.1. Alur Penelitian
Gambar 4.1. Trend kadar IL-6 pada masing-masing kelompok tikus betina
strain Sprague Dawley sebelum, setelah diinduksi S.aureus
dan setelah diberikan treatment.
Gambar 4.2. Gambaran mikroskopik pada payudara tikus kelompok
kontrol normal
Gambar 4.3. Gambaran mikroskopik pada payudara tikus kelompok
kontrol negatif.
Gambar 4.4. Gambaran mikroskopik pada payudara tikus kelompok
kontrol positif
Gambar 4.5. Gambaran mikroskopik pada payudara tikus kelompok
perlakuan
xv
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Daun Pagoda (Clerodendrum Paniculatum. L) merupakan
tanaman yang banyak di jumpai di pekarangan rumah, yang biasa di
jadikan tanaman hias oleh sebagian masyarakat. Khususnya di
kabupaten Luwu.Daun Pagoda telah digunakan dalam pengobatan
tradisional di India, China, Korea, dan Jepang.Tanaman ini digunakan
dalam terapi, khususnya untuk pengobatan Asma, katarak, malaria,
penyakit kulit, kanker, tifus, dan hipertensi.Organisasi kesehatan dunia
mengestimasi sekitar 80% populasi di dunia menggunakan tanaman
alami sebagai bahan dasar pembuatan obat (Adiguzel et al.,
2005;(Shrivastava and Patel, 2007; Arun. P. V, Sachin. S, 2011)
Senyawa kimia yang terkandung dalam tanaman Daun Pagoda
yaitu flavonoid, terpen, tanin, alkaloid, sterol, dan glikosida.Flafonoid
merupakan senyawa polifenol yang terdapat pada tumbuhan yang
memiliki efek biologis seperti antimikroba, antiviral, antihipertensi,
antioksidan, antiplatelet, sitotooksik, dan aktivitas anti-inflamasi
(Rathee et al., 2009; Joseph, Bindhu and Aleykutty, 2013). Hasil
penelitian mendapati bahwa flavonoid yang terkandung dalam ekstrak
metanol dan kloroform Daun Pagoda merupakan anti inflamasi yang
efektif terhadap bakteri Staphylococcus Aureus (Praveen et al.,
2
2012).Penelitian lain menunjukkan bahwa ekstrak daun pagoda memiliki aktivitas anti-inflamasi sebesar 50 mg/kg (Hafiz, Rosidah and
Silalahi, 2016)
Mastitis adalah peradangan payudara yang bisa disertai atau tidak disertai infeksi. Dua penyebab utama mastitis adalah stasis ASI dan infeksi (WH O, 2000; BFN Mastitis and breastfeeding, 2015).
Mastitis yang disebabkan oleh stasis ASI sangat menyakitkan dan kejadiannya sekitar 9-33% dari semua wanita menyusui, akibatnya banyak ibu yang terpaksa berhenti menyusui dan bahkan mastitis ini bisa menjadi abses payudara (Amir, Forster and Mclachlan, 2004;
History, 2017). Sedangkan mastitis karena infeksi disebabkan oleh bakteri, Staphylococcus aureus merupakan penyebab yang paling utama (Chen et al., 2013; Jahanfar, Ng and Teng, 2016;Lai et al.,
2017).
Staphylococcus aureus adalah patogen utama yang dapat menyebabkan berbagai penyakit mulai dari infeksi kulit dan jaringan, syok, hingga pneumonia nekrosis (Lowy, 1998; Myles and Datta,
2012). Beberapa penelitian yang menguji coba Staphylococcus Aureus yang di induksikan pada mammae tikus menunjukkan gejala mastitis, penurunan berat badan dan kerusakan pada jaringan kelenjar susu
(Guo et al., 2013; Chinchali and Kaliwal, 2014). Inflamasi dan respon imun merupakan bentuk pertahanan diri terhadap serangan stimulus dari lingkungan luar tubuh, yang terdiri dari infeksi bakteri patogen
3
(Matsushima et al., 2011). Respon imun yang optimal mampu melindungi dirinya dari invasi patogen dan kerusakan sel serta mengeliminasi dan mengontrolnya ketika patogen tersebut berhasil masuk (Abbas et al., 2016).
Sitokin merupakan salah satu mediator terlarut, yang membantu komunikasi sel-sel dalam respon kekebalan tubuh yang diperlukan pada awal reaksi inflamasi (Tanaka and Kishimoto, 2014), contoh sitokin yang diproduksi oleh makrofag adalah IL 6. IL 6 berfungsi dalam imunitas, diproduksi oleh fagosit monokuler, sel endotel vaskular, fibroblast, dan sel lain sebagai respon terhadap mikroba dan sitokin lain (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010).
Interleukin 6 adalah sitokin pro-inflamasi yang berperan penting dalam mekanisme pertahanan diri(Banks, Kastin and Gutierrez, 1994;
Ishartadiati, 2010; Sugimoto et al., 2015). Sitokin ini merupakan mediator yang lebih unggul dalam merespon suatu inflamasi lokal seperti infeksi, luka bakar, trauma, neoplasia, dan memiliki fungsi sebagai protein fase akut yang menginduksi diferensiasi sel B dan sel
T (van der Poll et al., 1997; Álvarez, 2009). Selain itu, reseptor IL 6 juga merupakan terapi klinis yang sangat baik, karena antibodi IL 6 telah berhasil digunakan melawan kelainan autoimun seperti rheumatoid artritis, artritis idiopatik remaja, dan penyakit castleman
(Hirano, 2010; Kamimure et al., 2014)
4
Berdasarkan uraian diatas bahwa daun pagoda (clerodendrum
paniculatum. L) banyak tersedia di wilayah Sulawesi selatan
khususnya di sekitar pekarangan rumah masyarakat daerah Belopa
kabupaten Luwu dan juga penelitian tentang daun pagoda sebagai
antiinflamasi pada mastitis belum pernah dilakukan sebelumnya. Maka
peneliti tertarik melakukan penelitian untuk mengetahui efek dari
pemberian ekstrak daun pagoda (Clerodendrum Panuculatum. L)
sebagai anti inflamasi terhadap kadar interleukin 6 yang di uji cobakan
pada mammae Tikus betina sparague dawley yang telah di induksi
oleh bakteri S.aureus.
B. Rumusan Masalah
“Apakah Ada Pengaruh Ekstrak Daun Pagoda (Clerodendrum
Paniculatum. L) Terhadap Kadar Il-6 Pada mammae Tikus betina
sparague dawley yang diinduksi Staphylococcus aureus ? “
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Membuktikan bahwa pemberian ekstrak daun pagoda
(Clerodendrum Paniculatum. L) dapat berpengaruh terhadap kadar
IL 6 pada mammae Tikus betina sparague dawley yang di induksi
staphylococcus aureus.
5
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya perubahan kadar IL-6 pada masing-masing
kelompok sebelum, setelah penyuntikan S.aureus dan setelah
pemberian ekstrak Daun Pagoda (Clerodendrum Paniculatum.
L) pada Tikus betina sparague dawley yang di induksi S.aureus.
b. Diketahuinya perbedaan kadar IL-6 yang telah di induksi
S.aureus sebelum pemberian ekstrak Daun Pagoda
(Clerodendrum Paniculatum. L)
c. Diketahuinya perbedaan kadar IL-6 yang telah di induksi
S.aureus setelah pemberian ekstrak Daun Pagoda
(Clerodendrum Paniculatum. L).
D. Kegunaan Penelitian
1. Memberikan informasi ilmiah tentang efek ekstrak Daun Pagoda
(Clerodendrum Paniculatum. L) dalam menurunkan kadar IL 6.
2. Dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian lebih lanjut
sehubungan dengan ekstrak Daun pagoda sebagai anti inflamasi
untuk pengobatan mastitis yang di sebabkan oleh bakteri S.aureus
yang di uji cobakan pada manusia.
6
E. Ruang Lingkup Penelitian
Adapun ruang lingkup dari penelitian ini adalah:
1. Subjek penelitian ini adalah ekstrak daun pagoda (Clerodendrum
Paniculatum. L) sebagai anti inflamasi.
2. Objek penelitian ini adalah kadar sitokin pro-inflamasi khususnya
IL 6 pada Tikus betina sparague dawley yang di induksi bakteri
S.aureus.
F. Definisi dan Istilah
- Abses payudara : Peradangan (bengkak, merah) dan bernanah
yang di sebabkan oleh bakteri
- Anti-inflamasi : Obat yang dapat menghilangkan radang yang
disebabkan bukan karena mikroorganisme
(non infeksi)
- Flavonoid : Senyawa yang terdiri dari 15 atom karbon
yang umumnya tersebar di dunia tumbuhan
- IL 6 : Interleukin yang berfungsi sebagai sitokin pro-
inflamasi dan miokin anti-inflamasi
- Makrofag : Sel pada jaringan yang berasal dari sel darah
putih yang membersihkan tubuh dari partikel
mikroskopis yang tidak diinginkan seperti
bakteri dan sel mati.
- Mammae : Payudara
7
- Patogen : agen biologis yang menyebabkan penyakit
pada inangnya
- Respon imun : respon tubuh berupa suatu urutan kejadian
yang kompleks terhadap antigen untuk
mengeliminasi antigen tersebut
- Sitokin : Suatu molekul protein yang dikeluarkan oleh
sel ketika diaktifkan oleh antigen
- Sitokin pro-inflamasi: Protein yang memberikan sinyal kepada
sistem imun untuk bekerja lebih keras.
- Stasis : Penyumbatan atau perlambatan aliran darah
atau cairan tubuh lainnya.
G. Sistematika Penulisan
1. Bab I Pendahuluan
H. Latar belakang
I. Rumusan masalah
J. Tujuan penelitian
K. Kegunaan penelitian
L. Ruang lingkup penelitian
M. Definisi dan istilah
N. Sistematika penulisan
2. Bab II Tinjauan pustaka
A. Tinjauan tentang Mastitis
8
B. Respon imun terhadap Staphylococcus Aureus
C. Tinjauan tentang IL-6 pada Staphylococcus Aureus
D. Tinjauan tentang Daun Pagoda (Clerodendrum Paniculatum. L)
E. Tinjauan tentang Daun Pagoda dan IL-6
F. Kerangka teori
G. Kerangka konsep
H. Hipotesis
I. Definisi oprasional
3. Bab III Metode penelitian
A. Rancangan penelitian
B. Lokasi dan waktu penelitian
C. Populasi dan teknik sampel
D. Instrumen pengumpulan data
E. Analisa data
F. Alur Penelitian
4. Bab IV Hasil penelitian dan pembahasan
A. Hasil
B. Pembahasan
C. Jawaban Hipotesis
D. Keterbatasan Penelitian
5. Bab VI Penutup
A. Kesimpulan
B. saran
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan tentang Mastitis
1. Definisi
Mastitis adalah proses peradangan payudara yang dapat
disertai atau tidak disertai infeksi, hal ini bisa menyebabkan nyeri lokal,
kemerahan, demam, menggigil dan kelelahan, kemudian berkembang
seperti gejala flu. Pada umumnya, mastitis terjadi dalam 3 hari sampai
12 bulan pertama setelah melahirkan namun ada juga yang
berlangsung sampai 2 tahun. Selain itu, mastitis juga bisa terjadi pada
wanita yang tidak menyusui(Spencer, 2008; Branch-Elliman et al.,
2012; Amir, 2014; BFN Mastitis and breastfeeding, 2015; History,
2017).
Dua penyebab utama mastitis adalah stasis ASI dan infeksi,
apabila saluran ASI tersumbat atau atau payudara bengkak sehingga
menyebabkan ASI menetap di bagian tertentu maka ini disebut stasis
ASI. Jika dibiarkan, akan terjadi peradangan jaringan payudara dan
bila terinfeksi bakteri disebut mastitis terinfeksi (World Health
Organization, 2000), Ibu yang mengalami mastitis biasanya akan
memberhentikan sementara pemberian ASI, padahal hisapan bayi
akan membantu membersihkan infeksi di samping pemberian antibiotik
sebagai terapi (Amir, 2014).
10
2. Patofisiologi
Terjadinya mastitis diawali dengan peningkatan tekanan dalam
duktus (Saluran ASI) akibat stasis ASI.Bila ASI tidak segera
dikeluarkan maka terjadi tegangan alveoli yang berlebihan dan
mengakibatkan sel epitel yang memproduksi ASI menjadi datar dan
tertekan, sehingga permeabilitas jaringan ikat meningkat.Beberapa
komponen (terutama protein kekebalan tubuh dan natrium) dari plasma
masuk kedalam ASI dan selanjutnya kejaringan sekitar sel sehingga
memicu respon imun.Terjadinya infeksi biasanya disebabkan oleh
stasis ASI, adanya respon inflamasi, dan kerusakan jaringan (Suradi
dan Hegar, 2010)
Ada beberapa cara masuknya kuman ke dalam payudara yaitu;
melalui duktus laktiferus ke lobus sekresi, melalui putting yang retak ke
kelenjar limfe sekitar duktus (periduktal) atau melalui penyebaran
hematogen (pembuluh darah). Adapun bakteri yang paling sering
adalah Staphylococcus Aureus, Escherecia coli dan
Streptococcus.(Suradi dan Hegar, 2010).
Faktor risiko terjadinya mastitis antara lain:
a. Puting lecet
b. Pengosongan payudara yang tidak sempurna
c. Frekuensi menyusui yang pendek
d. Terdapat riwayat mastitis pada anak sebelumnya
11
e. Perlekatan bayi pada payudara yang kurang baik. Bayi yang hanya
mengisap putting (tidak termasuk areola) menyebabkan putting
terhimpit diantara gusi atau bibir sehingga aliran ASI tidak
sempurna
f. Produksi ASI yang terlalu banyak
g. Ibu atau bayi sakit
h. Ibu stres atau kelelahan
i. Sumbatan pada saluran atau muara saluran oleh gumpalan ASI,
jamur, serpihan kulit, dll.
j. Penggunaan krim pada puting
k. Ibu malnutrisi
3. Gejala klinis
Diagnosis mastitis ditegakkan berdasarkan kumpulan gejala
sebagai berikut:
a. Demam dengan suhu lebih dari 38,5 0C
b. Menggigil
c. Payudara menjadi kemerahan, tegang, panas, bengkak,
d. Nyeri atau ngilu seluruh tubuh
e. Peningkatan kadar natrium dalam ASI yang membuat bayi menolak
menyusu karena ASI terasa asin
f. Timbul garis-garis merah kearah ketiak
Pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan lain untuk
menunjang diagnosis tidak selalu diperlukan. World Health
12
Organization (WHO) menganjurkan pemeriksaan kultur dan uji
sensivitas pada beberapa keadaan yaitu bila:
a. Pengobatan dengan antibiotik tidak menyebabkan respon yang baik
dalam 2 hari
b. Terjadi mastitis berulang
c. Mastitis terjadi di Rumah sakit
d. Penderita alergi terhadap anti biotik atau pada kasus yang berat
Bahan kultur diambil dari ASI pancar tengah hasil dari perahan
tangan yang langsung ditampung menggunakan penampung urin
steril. Putting harus dibersihkan terlebih dahulu dan bibir penampung
diusahakan tidak menyentuh puting untuk mengurangi kontaminasi
dari kuman yang tedapat di kulit yang dapat memberikan hasil positif
palsu dari kultur. Beberapa penelitian memperlihatkan beratnya gejala
yang muncul berhubungan erat dengan tingginya jumlah bakteri atau
patogenitas bakteri
4. Penatalaksanaan dan Pengobatan
a. Pemberian ASI yang efektif
Stasis ASI merupakan faktor awal dalam mastitis, jadi langkah yang
efektif untuk mengurangi terjadinya mastitis adalah:
1) Ibu harus di dorong untuk menyusui sesering mungkin, dimulai
darii payudara yang terkena
2) Jika ibu merasa kesakitan karena proses let-down, maka bisa
dimulai dari payudara yang normal kemudian beralih ke
13
payudara yang terkena mastitis segera setelah proses let-down
tercapai.
3) Posisikan bayi dengan dengan dagu atau hidung yang
mengarah ke penyumbatan payudara untuk membantu
mengosongkan payudara
4) Pijat payudara selama menyusui dengan minyak nabati atau
baby oil yang tidak beracun untuk membantu mengosongkan
payudara
5) Setelah bayi berhenti menyusu, pompa payudara dengan
tangan atau pompa untuk mempercepat pengosongan
payudara.
Pendekatan alternatif untuk payudara bengkak adalah mobilisasi cairan, yang bertujuan untuk mendorong cairan kekelenjar getah bening aksila.Caranya, ibu bersandar dan gerakan tangan lembut mulai memijat kulit dari areola ke aksila.Tidak ada penelitian yang mengatakan ada resiko pada bayi yang terus menyusui pada ibu yang terkena mastitis.ibu yang tidak dapat melanjutkan menyusui harus mengeluarkan ASI dengan tangan atau pompa.Karena penghentian menyusui secara tiba-tiba menyebabkan risiko yang lebih besar. Yaitu bisa mengarah ke abses payudara (Bolman et al., 2013)
14
b. Tata laksana suportif
Hal yang perlu diperhatikan adalah ibu harus beristirahat,
mengkonsumsi cairan yang adekuat dan nutrisi berimbang.
Anggota keluarga yang lain perlu membantu ibu di rumah agar ibu
dapat beristirahat. Kompres hangat terutama saat menyusu akan
sangat membantu mengalirkan ASI. Setelah menyusui atau
memerah ASI, kompres dingin dapat dipakai untuk mengurangi
nyeri dan bengkak.Pada payudara yang sangat bengkak kompres
panas kadang membuat rasa nyeri bertambah.Pada kondisi ini
kompres dingin justru membuat ibu lebih nyaman. Keputusan untuk
memilih kompres panas atau dingin lebih tergantung pada
kenyamanan ibu (Bolman et al., 2013).
Perawatan di rumah sakit dipertimbangkan bila ibu sakit
berat atau tidak ada yang dapat membantunya di rumah. Selama di
rumah sakit dianjurkan rawat gabung ibu dan bayi agar proses
menyusui terus berlangsung(Suradi dan Hegar, 2010) c. Penggunaan obat-obatan
Meskipun ibu menyusui sering enggan untuk mengkonsumsi
obat, ibu dengan mastitis dianjurkan untuk mengkonsumsi
beberapa obat sesuai indikasi.
1) Analgesik
Rasa nyeri merupakan faktor penghambat produksi hormon
oksitosin yang berguna dalam proses pengeluaran ASI.
15
Analgesik diberikan untuk mengurangi rasa nyeri pada mastitis.
Analgesik yang dianjurkan adalah obat antiinflamasi seperti
ibuprofen. Ibuprofen lebih efektif dalam menurunkan gejala yang
berhubungan dengan peradangan dibandingkan parasetamol
atau asetaminofen. Ibuprofen sampai dosis 1,6 gram per hari
tidak terdeteksi pada ASI sehingga direkomendasikan untuk ibu
menyusui yang mengalami mastitis.
2) Antibiotik
Jika gejala mastitis masih ringan dan berlangsung kurang dari
24 jam, maka perawatan konservatif (mengalirkan ASI dan
perawatan suportif) sudah cukup membantu.Jika tidak terlihat
perbaikan gejala dalam 12 - 24 jam atau jika ibu tampak sakit
berat, antibiotik harus segera diberikan. Jenis antibiotik yang
biasa digunakan adalah dikloksasilin atau amoxicillin 500 mg
setiap 6 jam secara oral. Dikloksasilin mempunyai waktu paruh
yang lebih singkat dalam darah dan lebih banyak efek
sampingnya ke hati dibandingkan amoxicillin.
Pemberian per oral lebih dianjurkan karena pemberian secara
intravena sering menyebabkan peradangan pembuluh
darah.Sefaleksin biasanya aman untuk ibu hamil yang alergi
terhadap penisillin tetapi untuk kasus hipersensitif penisillin yang
berat lebih dianjurkan klindamisin. Antibiotik diberikan paling
sedikit selama 10 - 14 hari. Biasanya ibu menghentikan
16
antibiotik sebelum waktunya karena merasa telah membaik. Hal
ini meningkatkan risiko terjadinya mastitis berulang. Tetapi perlu
pula diingat bahwa pemberian antibiotik yang cukup lama dapat
meningkatkan risiko terjadinya infeksi jamur pada payudara dan
vagina.
Sebuah penelitian memperlihatkan bahwa pemberian antibiotik
disertai dengan pengosongan payudara pada mastitis
mempercepat penyembuhan bila dibandingkan dengan
pengosongan payudara saja. Sedangkan penelitian Jimenez
dkk. memperlihatkan pemberian Lactobacillus salivarius dan
Lactobacillus gasseri mempercepat perbaikan kondisi klinik
pada kasus mastitis yang sementara mendapat antibiotik
(Bolman et al., 2013).
B. Inflamasi
Inflamasi merupakan sebuah reaksi yang kompleks dari sistem imun tubuh pada jaringan vaskuler yang menyebabkan akumulasi dan aktivasi leukosit serta protein plasma yang terjadi pada saat infeksi, keracunan maupun kerusakan sel. Inflamasi pada dasarnya merupakan sebuah mekanisme pertahanan terhadap infeksi dan perbaikan jaringan tetapi terjadinya inflamasi secara terus-menerus
(kronis) juga dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan bertanggung jawab pada mekanisme beberapa penyakit (Abbas et al., 2007).
17
Terjadinya proses inflamasi diinisiasi oleh perubahan di dalam pembuluh darah yang meningkatkan rekrutmen leukosit dan perpindahan cairan serta protein plasma di dalam jaringan. Proses tersebut merupakan langkah pertama untuk menghancurkan benda asing dan mikroorganisme serta membersihkan jaringan yang rusak.
Tubuh mengerahkan elemen-elemen sistem imun ke tempat benda asing dan mikroorganisme yang masuk tubuh atau jaringan yang rusak tersebut. (Judarwanto, 2012).
Inflamasi dibagi dalam 3 fase, yaitu inflamasi akut (respon awal terhadap cidera jaringan), respon imun (pengaktifan sejumlah sel yang mampu menimbulkan kekebalan untuk merespon organisme asing), dan inflamasi kronis. Proses inflamasi akut dan inflamasi kronis ini melibatkan sel leukosit polimorfonuklear sedangkan sel leukosit mononuklear lebih berperan pada proses inflamasi imunologis
(Katzung, 2004). Secara umum, dalam proses inflamasi ada tiga hal penting yang terjadi yaitu :
1. Peningkatan pasokan darah ke tempat benda asing,
mikroorganisme atau jaringan yang rusak.
2. Peningkatan permeabilitas kapiler yang ditimbulkan oleh
pengerutan sel endotel yang memungkinkan pergerakan molekul
yang lebih besar seperti antibodi.
3. Fagosit bergerak keluar pembuluh darah menuju ke tempat benda
asing, mikroorganisme atau jaringan yang rusak. Leukosit terutama
18
fagosit polymorphonuclear neutrophilic (PMN) dan monosit
dikerahkan dari sirkulasi ke tempat benda asing, mikroorganisme
atau jaringan yang rusak. (Hamor,1989)
Mekanisme terjadinya inflamasi secara umum disebebkan adanya rangsang iritan atau cidera jaringan akan memicu pelepasan mediator-mediator inflamasi. Senyawa ini dapat mengakibatkan vasokontriksi singkat pada arteriola yang diikuti oleh dilatasi pembuluh darah, venula dan pembuluh limfa serta dapat meningkatkan permeabilitas vaskuler pada membran sel. Peningkatan permeabilitas vaskuler yang lokal dipengaruhi oleh komplemen melalui jalur klasik
(kompleks antigen-antibodi), jalur lectin (mannose binding lectin) ataupun jalur alternatif.
Gambar 2.1 Mekanisme Terjadinya Inflamasi (Anonim, 2012)
19
Mediator-mediator inflamasi dalam keadaan normal akan didegradasi setelah dilepaskan dan diproduksi secara serempak jika ada picuan. Selama proses inflamasi berlangsung, diproduksi sinyal untuk menghentikan reaksi inflamasi. Mekanisme ini meliputi perubahan produksi mediator proinflamasi menjadi mediator antiinflamasi. Ketika infeksi jaringan yang terjadi terlalu besar dan respon inflamasi akut yang terjadi tidak mampu mengatasinya. Proses inflamasi tersebut akan tetap berlangsung terus-menerus dan dapat memicu terjadinya inflamasi kronis.
C. Respon Imun terhadap Staphylococcus Aureus
Staphylococcus aureus adalah bakteri gram positif yang menghasilkan pigmen kuning, bersifat aerob fakultatif, tidak menghasilkan spora dan tidak motil, umumnya tumbuh berpasangan maupun berkelompok (Gorchev and Ozolins, 2011). Bakteri ini merupakan bakteri ekstraseluler yang dapat bereplikasi diluar sel, di dalam sirkulasi, di jaringan ikat ekstraseluler, dan di berbagai jaringan.Bakteri ekstraseluler biasanya mudah dihancurkan oleh sel fagosit. S.aureus merupakan mikroflora normal manusia. Bakteri ini biasanya terdapat pada saluran pernafasan atas dan kulit. Hal ini menyebabkan infeksi lokal pada kulit, hidung, uretra, vagina, dan saluran gastrointestinal (Harris et al., 2002; Gorchev and Ozolins,
2011; Tong et al., 2015)
20
Tabel. 2.1. Taksonomi bakteri Staphylococcus aureus Taksonomi Kingdom Bacteria Filum Firmicutes Kelas Bacili Ordo Bacillales Family Staphylococcaeceae Genus Staphylococcus Species Staphylococcus aureus
Gambar 2.2.Bakteri Staphylococcus aureusyang dilihat dari Mikroskop Eelektron
Sumber Todar, 2008
Staphylococcus aureus dapat tumbuh pada berbagai media dan berkembang biak dengan cara pembelahan biner,dimana dua anakan sel tidak terpisah secara sempurna sehingga terlihat seperti membentuk koloni kluster seperti anggur. S.aureus merupakan flora normal pada kulit sehat dan dapat menjadi patogen padajarigan kulit yang terbuka, hidup sebagai saprofitdidalam saluran pengeluaran lendir dari tubuh manusia seperti hidung,mulut, dan tenggorokan, dan dapat dikeluarkan pada saat batuk atau bersin. Staphylococcus aureus juga
21
terdapat pada pori-pori dan permukaan kulit, kelenjar keringat dan saluran usus (Brooks et al., 2007).
Staphylococcus aureus dapat tumbuh dengan baik pada media bakteriologi dengan suasana aerobik atau mikroaerofilik dan pada suhu 20-35oC. Pada media biakan, akan terlihat koloni berbentuk bulat dan mengkilat. S.aureus memiliki 4 karakteristik, yaitu faktor virulensi yangmenyebabkan penyakit yang berat pada individu normal, faktor diferensiasi yang menyebabkan penyakit berbeda pada sisi atau tempat berbeda, factor persisten bakteri pada lingkungan, faktor resistensi terhadap berbagai antibiotik.
Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh patogen serta sel tumor.
Sitem ini mendeteksi berbagai macam pengaruh biologis luar yang luas, organisme akan melindungi tubuh dari infeksi, bakteri, virus, sampai cacing parasit, serta menghancurkan zat-zat asing lain dan memusnahkan mereka dari sel organisme yang sehat dan jaringan agar tetap dapat berfungsi seperti biasa (Miller et al., 1994;
Baratawidjaja dan Rengganis, 2012).
Respon imun terhadap S. aureus bertujuan untuk menetralkan efek toksin dan mengeliminasi bakteri. Respon imun alamiah terutama melalui fagositosis oleh neutrofil, monosit serta makrofag jaringan.
Endotoksin merangsang makrofag dan sel lain seperti endotel vaskular
22
untuk memproduksi sitokin seperti TNF, IL-1, IL-6, dan IL-8. Sitokin akan menginduksi adesi neutrofil dan monosit pada endotel vaskular, pada tempat infeksi, diikuti dengan migrasi, akumulasi lokal serta aktivasi sel inflamasi. Kerusakan jaringan yang terjadi adalah akibat efek samping mekanisme pertahanan untuk eliminasi bakteri. Sitokin juga merangsang demam dan sintesis protein fase akut (Foster, 2004;
Liu, 2009; Tong et al., 2015).
Pada saat infeksi S.aureus terjadi, sitokin proinflamasi (TNF-α,
IL-1, IL-6, dan IL-8) disintesis dan terjadi inflamasi sistemik. IFN-γ juga dikenal sebagai macrophage activating factor (MAF) berperan penting dalam infeksi persisten yang dipengaruhi oleh durasi aktivasi makrofag, juga sangat penting terhadap resistensi host terhadap infeksi. Sekresi IFN-γ tergantung kepada IL-18.
Setelah sitokin disekresi maka aktivasi Th1 dan Th2 dimulai.
Aktivasi klasik bakteri atau IFN-γ akan mengantarkan perubahan profil sekresi sel melalui produksi organik nitrat nitric oxide (NO). keberadaan bakteri S.aureus menyebabkan sekresi sitokin dan reaksi inflamasi atau program kematian sel melalui apoptosis. Sinyal dari sitokin yang diinjeksi oleh interaksi sel host dan bakteri adalah hal yang krusial dalam perkembangan S.aureus. Keseimbangan antara sitokin proinflamasi dan antiinflamasi akan mengontrol pencegahan kerusakan host karena inflamasi yang berlebihan (Sladek et al., 2005; Liu, 2009)
23
D. Tinjauan tentang Interleukin-6 pada Staphylococcus Aureus
Interleukin-6 merupakan sitokin yang memprovokasi efek seluler dan respon fisiologis yang luas. Dalam keadaan normal, kadar IL-6 sangatlah rendah, akan tetapi pada stimulus yang tepat seperti inflamasi, kebanyakan sel akan memproduksi IL-6. IL-6 berfungsi dalam imunitas nonspesifik dan spesifik, diproduksi fagosit monoculer, sel endotel vasculer, vibrolast dan sel lain sebagai respon terhadap mikroba dan sitokin lain. IL-6 mempunyai berbagai fungsi.Dalam imunitas nonspesifik, IL-6 merangsang hepatosit untuk memproduksi
Acute Phase Protein (APP) dan bersama cairan serebrospinal (CSF) merangsang progenitor di sumsum tulang untuk memproduksi netrofil.
Dalam imunitas spesifik IL-6 merangsang pertumbuhan dan diferensiasi sel B menjadi sel mast yang memproduksi antibodi
(Baratawidjaja, 2012)
Interleukin 6 merupakan sitokin proinflamasi yang berperan penting dalam maturasi dan aktivasi neutrofil, maturasi makrofag, serta deferensiasi dari limfosit-T sitotoksik dan sel NK. IL-6 adalah salah satu mediator yang paling awal dan penting dalam induksi dan mengontrol sintesa protein fase akut pada trauma, infeksi, pembedahan, dan luka bakar. Setelah terjadi cedera, konsentrasi plasma IL-6 bisa di deteksi dalam 60 menit dengan konsentrasi puncak antara 4 sampai 6 jam, dan dapat bertahan sampai 10 hari. IL-6 terlibat
24
dalam mekanisme kekebalan tubuh serta modulasi pertumbuhan dan diferensiasi dalam berbagai keganasan (Miller et al., 1994).
IL-6 adalah glikoprotein terfosforilasi yang mengandung 185 asam amino, termasuk sitokin pleiotropic yang terlibat dalam proses fisiologis dan patofisologis yang berbeda seperti peradangan, metabolisme tulang, sintesis protein C-reaktif, dan karsinogenesis.
Sitokin dan reseptor ini merupakan kelas polipeptida yang memediasi proses inflamasi (Verri et al., 2006).
IL-6 juga berperan dalam respon imun normal terhadap antigen asing seperti yang digambarkan oleh penelitian yang menunjukka bahwa IL-6 yang terlibat dalam sel B-mukosa diferensiasi serta proliferasi dan diferensiasi sel T(McGhee et al., 1991), selain itu IL-6 akan meningkat dalam serum pasien yang mengalami infeksi saluran kemih (Hedges et al., 1991) dan mastitis (Liu et al., 2015).
Demam, nyeri, serta peradangan yang ditimbulkan oleh infeksi
S.aureus merupakan respon terhadap zat antigen bakteri berupa lipopolisakarida sebagai respon exogenous pyrogen yang menstimulasi monosit/makrofag dan limfosit-T menghasilkan sitokin- sitokin proinflamasi. Sitokin proinflamasi yaitu TNF-α, IL-1, IL-6 yang saling berinteraksi membentuk cascade (Kamimure et al., 2014).
25
E. Tinjauan tentang Daun Pagoda (Clerodendrum Paniculatum. L)
1. Taksonomi
Taksonomi adalah pengelompokan atau pengklasifikasian jenis
tumbuhan ke dalam kelompok tertentu.Pengelompokan ini disusun
secara runtut sesuai dengan tingkatannya (hierarkinya), yaitu mulai
dari yang lebih besar tingkatannya hingga ke tingkatan yang lebih kecil.
Berikut ini dipaparkan taksonomi tanaman daun pagoda (EOL., 2013).
Tabel 2.2. Taksonomi tanaman beruwas laut
Taksonomi Kingdom Plantae Subkingdom Tracheophyta Division Spermatophyta Class Magnoliophyta Ordo Lamiales Family Verbenaceae Genus Clerodendrum L. Spesies Clerodendrum paniculatum L..
2. Morfologi tanaman
Bunga pagoda adalah salah satu tanaman yang termasuk
dalam famili Verbenaceae, biasa ditanam di taman, pekarangan
rumah, atau di tepi jalan daerah luar kota sebagai tanaman hias.
Tanaman ini merupakan jenis tanaman semak dengan tinggi 1-4 meter
dengan percabangan pada 4 sisi.Batangnya dipenuhi rambut
halus.Panjang tangkai daun 0,5-15 cm, berdaun tunggal, letak
berhadapan dengan bentuk bulat telur dengan pangkal berbentuk hati,
ukuran daun 8-36 cm x 6-24 cm. Bunganya majemuk berwarna
26
merah.Terdiri dari bunga kecil-kecil yang berkumpul membentuk
piramida keluar dari ujung tangkai (Dalimartha, 2008; Ganeshaiah,
2013).
Gambar 2.3. Bunga pagoda (Clerodendrum paniculatum L.) Sumber : (Hafiz, Rosidah and Silalahi, 2016)
3. Sinonim
Sinonim dari bunga (Clerodendrum panicuatum L.) menurut
situs theplantlist.org (2010), yaitu Cleianthuscoccineus Lour. ex
B.A.Gomes, Clerodendrum diversifolium Vahl, Clerodendrum
pyramidale Andrews, Volkameriaangulata Lour., Volkameriadiversifolia
Vahl. Nama asing yaitu pagoda flower di Inggris dan bai jek hong atau
he bao hua di China. Nama daerahnya antara lain: tumbak raja (Bali),
singgugu (Sunda), srigunggu (Jawa), tinjau handak (Lampung),
27
punggur tosek (Madura)(Dalimartha, 2008; Hariana, 2008; Anonim,
2010).
Akar bunga pagoda berkhasiat sebagai antiradang, peluruh
kencing, dan mencegah pembekuan darah. Daun dari bunga pagoda
memiliki khasiat sebagai anti radang dan mengeluarkan nanah.
Bunganya berkhasiat sedatif dan menghentikan perdarahan
(Dalimartha, 2008). Penggunaan terapi C.paniculatum secara
tradisional di India, China, Thailand, Korea dan Jepang sebagai
pengobatan berbagai penyakit seperti HIV, sipilis, tipoid, kanker,
jaundis dan hipertensi (Florence, Joselin and Jeeva, 2012)
Khasiat berdasarkan hasil penelitian yang pernah dilakukan
terhadap daun dan akar Clerodendrum paniculatum L. diantara lain:
aktivitas antibakteri teerhadap Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis,
Escherichia coli dan Klebsiella pneumonia, Salmonella Newport, Vibrio
parahaemoliycus, Pseudomonas aeruginosa, Candida albicans (Leena
et al., 2012; Praveen et al., 2012; Joseph, Bindhu and Aleykutty, 2013),
akarnya terbukti memiliki aktivitas antioksidan (John, Jesil Mathew and
Manjunath Setty, 2008), sebagai antiinflamasi dan antimutagenik
(Joseph, Bindhu and Aleykutty, 2013; Phuneerub et al., 2015).
4. Senyawa aktif
Penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan kandungan
senyawa kimia yang paling besar dari Clerodendrum adalah steroid,
seperti: β-sitosterol, γ-sitoterol octacosanol, clerosterol, bungein A,
28
acteoside, betulinic acid (Shrivastava and Patel, 2007). Kandungan lain
adalah senyawa tannin, terpen, termasuk di dalamnya monoterpen,
diterpen, triterpen, iridoid dan sesquiterpen. Flavonoid yang terdapat
pada genus Clerodendrum antara lain yang terbanyak adalah
cynaroside, kaempferol, salvigenin, 4-methyl scutellarein, hispidulin,
dan lain-lain. Glikosida yang terkandung pada Clerodendrum adalah
glikosida sianogenik seperti lucumin dan prunasin (Shrivastava and
Patel, 2007) Adapun aktivitas antiinflamasi genus Clerodendrum dapat
dilihat pada tabel dibawah:
Tabel 2.3. Aktivitas antiinflamasi genus Clerodendrum
No Bahan Tanaman Aktivitas Sumber Antiinflamasi 1 Akar Clerodendrum serratum 180 mg/kg Bhangare, et al., 2012 2 DaunClerodendrum 150 mg/kg Chandrashekar dan viscosum Rao, 2013 3 Akar Clerodendrum Tidak signifikan Parekar, et al., 2012 phlomidis 4 Daun Clerodendrum inerme positif Yankanchi dan Koli, 2010 5 Ekstrak Petroleum Eter dan 200 dan 400 Joseph, et al., 2013 Kloroform Daun mg/kg Clerodendrum paniculatum Sumber : Hafiz, Rosidah and Silalahi, 2016
29
F. Tinjauan tentang Daun pagoda dengan IL-6
Salah satu jenis senyawa aktif pada Daun pagoda adalah flavonoid. Flavonoid biasanya bermanfaat sebagai antiinflamasi, anti kanker, antifertilitas, dan antidiabetes. Proses inflamasi yang disebabkan oleh berbagai jenis bahan kimia dan agen biologis, termasuk enzim proinflamasi dan sitokin. Enzim siklo oksigenase-2
(COX-2) dalam proses inflamasi mengkatalisis metabolisme asam arakidonat menjadi prostaglandin. Bahkan COX-2 diekspresikan dalam premalignant dan kondisi ganas.Senyawa flavonoid dalam Daun pagoda bertanggung jawab untuk aktivitas antiinflamasi. Mekanisme ini melibatkan kegiatan proinflamasi COX-2 atau diinjeksi nitrat oksida sintase (iNOS) melalui senyawa flavonoid (Leyva-López et al., 2016).
Flafonoid bekerja dengan cara membentuk kompleks dengan protein ekstraseluler dan terlarut dengan dinding mikroba, flavonoid juga berperan secara langsung dengan mengganggu fungsi sel mikroorganisme dan penghambatan siklus sel mikroba, mendenaturasi protein sel bakteri dan merusak membran sel yang dapat berakibat lisis pada sel bakteri (Shashank and Pandey, 2013; Parubak, 2013; Leyva-
López et al., 2016). Tanin menghambat dan membunuh pertumbuhan bakteri, inaktivasi enzim-enzim esensial pada bakteri dan destruksi fungsi dan materi genetic, menggangu transport protein pada lapisan dalam sel, menyebabkan pembentukan dinding sel menjadi kurang sempurna sehingga sel bakteri menjadi lisis karena tekanan osmotik
30
maupun fisik sehingga sel bakteri akan mati (Okuda, 2005; Ashok and
Upadhyaya, 2012)
Dalam penelitian lain didapatkan fakta bahwa flavonoid (6 – demethoxytangeretin/6-DMT) menekan aktifitas sel human mast cell line (HMC-1) melalui inhibisi aktifitas anaflastik limforma kinase (ALK) dan mitogen activated protein kinase (MAPKs) yang akhirnya menekan produksi dan ekspresi gen TNF-alpha dan IL-6. Hal ini menunjukkan bahwa 6-DMT bisa berperan dalam pengaturan mast sel yang memediasi respon inflamasi (Kim et al., 2014).
Penelitian dengan menggunakan total flavonoid secara oral dengan dosis 0.5,10,15 mg/20 g BB yang diisolasi dari Radix tetrastigmae akar dari T. hemsleyanum Diels et Gilg mampu menekan perkembangan sel T regulator pada tikus. Flavonoid diberikan setiap hari hingga 14 hari. Analisis HPLC menunjukkan bahwa kuersetin dan keempferol adalah flavonoid yang terdapat dalam Radix tetrastigmae.
Dosis tertinggi menunjukkan total flavonoid yang diberikan mampu menurunkan secara signifikan Transforming Growth Factor β (TGF β) . prostaglandin E2 dan Cycloaxygenase 2 (Feng et al., 2014).
31
G. Hewan Coba
1. Taksonomi
Tikus putih (Rattus norvegicus) merupakan hewan pengerat dan sering digunakan sebagai hewan percobaan atau digunakan untuk penelitian, dikarenakan tikus merupakan hewan yang mewakili dari kelas mamalia, kelengkapan organ, kebutuhan nutrisi, metabolisme biokimia, sistem reproduksi, pernafasan, peredaran darah dan ekskresi menyerupai manusia. Berikut ini dipaparkan pengklasifikasian hewantikus sebagai berikut (Akbar, 2010) :
Tabel 2.4 . Taksonomi tikus putih Taksonomi Kingdom Animalia Filum Chordata Sub filum Vertebrata Kelas Mamalia Sub kelas Theria Ordo Rodentia Subordo Muridae Famili Muridae Genus Rattus Spesies Rattus norvegicus L.
Tikus putih galur Sprague dawley paling sering digunakan sebagai hewan percobaan karena memiliki berbagai sifat menguntungkan, seperti
(Wolfensohn, dan Lloyd, 2013) :
a. Cepat berkembang biak
b. Mudah dipelihara dalam jumlah banyak
c. Lebih tenang, dan ukurannya lebih besar daripada mencit
32
d. Pola makan ominivora seperti manusia
e. Memiliki saluran pencernaan dengan tipe monogastrik seperti
manusia
f. Kebutuhan nutrisi hampir menyerupai manusia
g. Mudah diberi makan per oral dan tidak mengalami muntah
karena tikus ini tidak memiliki kantung empedu.
2. Fisiologi tikus
Tikus putih umumnya memiliki ciri–ciri albino, kepala kecil dan ekor yang lebih panjang dibandingkan badannya, pertumbuhannya cepat, temperamennya buruk, kemampuan laktasi tinggi, dan tahan terhadap perlakuan sedangkan galur Sprague dawley memiliki kepala yang lebih besar dan ekor yang lebih pendek. Selain itu, tikus hanya mempunyai kelenjar keringat di telapak kaki.Ekor tikus menjadi bagian badan yang paling penting untuk mengurangi panas tubuh. Mekanisme perlindungan lain adalah tikus akan mengeluarkan banyak ludah dan menutupi bulunya dengan ludah tersebut (Wolfensohn, dan Lloyd, 2013).
33
H. Kerangka Teori
PAYUDARA IBU MENYUSUI
STASIS ASI PUTING SUSU TEKANAN DUKTUS LECET LACTIFERUS
Jalan masuk
BAKTERI DAUN PAGODA STAPHYLOCOCUS (Clerodendrum AUREUS panuculatum L) ADHESI, KOLONISASI, INVASI
SEL EPITEL DUKTUS LACTIFERUS
Flavonoid Tanin LOBUS SEKRESI
immunomodulator MASTITIS OLEH BAKTERI
Produksi antibodi Stimulasi Sel T dan Sel B
RESPON INFLAMASI OLEH SISTEM IMUN
Stimulasi Menurunkan Limfosit Nitrik Oksida Prostaglandin
SITOKIN PROINFLAMASI IL-6
Menurunkan dan menghambat IL-6
Stimulasi Imunitas Produksi Sel B dan T Humoral Antibodi Mengaktifkan respon imun ELIMINASI BAKTERI terhadap infeksi bakteri
Sumber : (Banks, Kastin and Gutierrez, 1994; Baratawidjaja dan Rengganis, 2010; Amir, 2014; Abbas et al., 2016; Tong et al., 2015)
34
I. Kerangka konsep
Ekstrak Daun Pagoda Tikus yang Kadar (Clerodendrum disuntikkan S. aureus IL-6 Paniculatum. L)
: Variabel Independent
: Variabel Antara
:Variabel Dependent
J. Hipotesis
Ekstrak daun pagoda (Clerodendrum paniculatum. L) dapat digunakan
sebagai terapi komplementer untuk menstabilkan kadar sitokin IL-6
pada mammae Tikus betina sprague dawley yang di induksikan bakteri
staphylococcus aureus.
35
K. Definisi Operasional
Definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Pemberian ekstrak Daun pagoda50 mg/kg BB
Definisi: daun pagoda adalah tanaman yang digunakan dalam
pengobatan inflamasi. Khususnya untuk pengobatan malaria,
penyakit kulit, kanker, tifus, dan hipertensi. Dalam penelitian ini
digunakan ekstrak daun pagoda 50 mg/KgBB.
Alat ukur : randomisasi
Satuan yang digunakan : miligram
Skala pengukuran : nominal
2. Pengukuran kadar IL-6
Kadar sitokin IL-6 adalah jumlah kadar sitokin yang banyak
disekresi oleh monosit, yang memiliki efek pleiotrofik pada sistem
kekebalan dan peradangan, diukur sebelum, selama dan setelah
diberikan perlakuan.
Alat ukur : diukur dengan metode elisa
Satuan yang digunakan : pg/ml
Skala pengukuran : rasio
36
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah true experimental atau eksperimen murni yaitu percobaan pada laboratorium, dengan rancangan pre dan posttest control design.
Kelompok dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu kelompok kontrol negatif, kelompok kontrol positif, kelompok perlakuan.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Pembuatan ekstrak daun pagoda dilakukan di laboratorium
Biofarmaka fakultas farmasi Universitas Hasanuddin Makassar dan
Laboratorium Farmasi Biologi UIN Makassar. Penelitian dilakukan
di laboratorium Animal Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin Makassar. Sedangkan, untuk pemeriksaan kadar IL-6
pada sampel dilakukan di laboratorium RSP Universitas
Hasanuddin Makassar.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Desember 2017 -
Maret 2018.
37
C. Populasi dan teknik sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah tikus strain sprague dawley dengan berat badan 200-250 gram sebanyak 18 ekor. Sampel dalam penelitian ini adalah tikus strain sprague dawley dengan berat badan
200-250 gram sebanyak 18 ekor, namum dilakukan pengelompokan secara acak untuk menghindari bias karena faktor umur. Penarikan sampel dilakukan berdasarkan uji coba research guidelines for evaluating the savety and efficaty of herbal medicine sesuai dengan standar WHO yaitu minimal 5 (lima) ekor tikus strain sprague dawley pada masing – masing kelompok dan cadangan ditambah 1 (satu) setiap kelompok sehingga jumlah tikus yang dibutuhkan adalah 18 ekor yang dibagi menjadi 3 kelompok.
Guna mengantisipasi kekurangan sampel maka sebelum perlakuan tikus strain sprague dawley yang disiapkan adalah 21 ekor untuk dipelihara di Laboratorium Animal Fakultas Kedokteran Unhas selama 7 (tujuh) hari agar kondisi fisik dan psikis tikus stabil dalam ruangan dengan sirkulasi udara yang cukup dan dipertahankan pada suhu ruangan dengan kondisi standar. Lampu ruangan dengan siklus
12 jam menyala dan 12 jam dipadamkan. Tikus dikandangkan terbuat dari kawat ukuran 90
Selama pemeliharaan tikus diberikan makan diet standar alamih dan diberi minum secukupnya secara ad libtum. Berikut kriteria sampel :
38
1. Kriteria inklusi
a. Tikus strain Sprague Dawley
b. Berat badan 200-250 gram.
2. Kriteria eksklusi
a. Tikus tidak mau makan
b. Tikus sakit selama penelitian
3. Kriteria drop out
a. Tikus`mati sebelum pengambilan darah yang terakhir (akhir
perlakuan).
D. Instrument pengumpulan data
1. Bahan dan peralatan
a. Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1) Daun pagoda di dapatkan di pekarangan rumah masyarakat,
tepatnya di daerah Belopa Kabupaten Luwu dan ekstraksi
dilakukan di laboratorium Biofarmaka Unhas.
2) Hewan uji, tikus strain Sprague Dawley, berat badan 200-250
gram.
3) Makanan hewan (pallet)
4) Aqua pro injeksion
5) Antibiotik Amoxicillin @ 500 mg sebanyak 5 butir.
39
6) Bakteri S.aureus standar yang diperoleh dari laboratorium RSP
Unhas yang telah dibiakkan dan diinduksikan dengan jumlah
0,2 x 108 CFU pada mammae tikus tepatnya pada duktus
laktiferus.
b. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1) Kandang hewan coba
2) Timbangan digital
3) ELISA kit
4) Sarung tangan
5) Mikropipet dan spoit 1 mL.
2. Protokol penelitian
a. Ekstraksi
Daun pagoda diperoleh dari daerah Belopa Kabupaten Luwu
sebesar 5 kg daun mentah, kemudian dibersihkan dari kotoran
yang melekat dengan menggunakan air mengalir lalu sampel
dipotong-potong kecil, lalu dikeringkan menggunakan herb dryer
hingga mengandung kadar air dibawah 10%, setelah itu daun
pagoda diayak dengan ukuran mesh 40 sehingga didapatkan
sampel simplisia yang halus, setelah itu sampel siap untuk
diekstraksi dengan metode maserasi.
Ekstraksi dengan cara metode maserasi menggunakan
pelarut etanol 70%. Pada proses meserasi terlebih dahulu sampel
dibasahkan dengan etanol 70% hingga terendam sepenuhnya
40
selama 15 menit, setelah itu dicukupkan lagi menjadi 2 Liter dengan
etanol 70% pada suhu ruang selama 3 x 24 jam sambil sesekali di
aduk. Maserat kemudian disaring dan ampasnya dimaserasi
kembali.ekstrak yang diperoleh kemudian diuapkan dengan
menggunakan rotavapor hingga mengental, kemudian dikeringkan
dengan bantuan penangas air. Ekstrak kental yang dihasilkan
dimasukkan ke dalam vial / cawan porselen dan ditimbang bobot
ekstrak. b. Uji Kualitatif ekstrak daun pagoda (Clerodendrum Paniculatum. L)
1. Uji Alkaloid
Ekstrak daun pagoda ditimbang 100 mg ditambahkan 1 ml asam
klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan di atas penangas air
selama 2 menit dan didinginkan kemudian dituang ke dalam tiga
tabung reaksi.Pada masing-masing tabung reaksi ditambahkan
2 tetes pereaksi Mayer, tabung 2 diitambahkan 2 tetes pereaksi
Bouchardat, pada tabung 3 ditambahkan 2 tetes pereaksi
Dragendorff. Alkaloid positif jika terjadi endapan atau kekeruhan
pada dua dari tiga percobaan.
2. Uji Flavonoid
Ekstrak daun pagoda sebanyak 50 mg ditambahkan 10 ml air
panas, dan didinginkan. Ke dalam tabung pereaksi ditambahkan
0,1 g serbuk magnesium dan 1 ml asam klorida pekat dan 2 ml
amil alkohol. Dikocok dan dibiarkan memisah.Flavonoid positif
41
jika terjadi warna merah atau kuning atau jingga pada lapisan
amil alkohol.
3. Uji Steroid/ Terpenoid
Ekstrakdaun pagodaditimbang sebanyak 1 gr, dimaserasi
dengan 20 ml n-heksan selama 2 jam ditambahkan pereaksi
asam sulfat pekat melalui dinding cawan. Apabila terbentuk
warna ungu atau merah yang berubah menjadi biru ungu
ataubiru hijau menunjukkan adanya triterpenoid/steroid.
4. Uji Saponin
Ekstrak daun pagoda sebanyak sebanyak 0,5 gr dan
dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 10 ml air
panas, didinginkan, kemudian dikocok kuat-kuat selama 10
menit. Jika terbentuk busa setinggi 1-10 cm yang stabil tidak
kurang dari 10 menit dan tidak hilang dengan penambahan 1
tetes asam klorida 2 N menunjukkan adanya saponin.
5. Uji Tanin
Ekstrak daun pagoda sebanyak 1 gr ditambahkan aquadest 20
ml kemudian dipanaskan dan ditambahkan 1-2 tetes pereaksi
besi (III) klorida 1% b/v, jika terjadi warna biru kehitaman atau
hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin. c. Kultur bakteri
1. Bakteri S.aureus di tanam dalam medium BHIB dan diinkubasi
selama 18-24 jam dengan suhu 37°C dalam inkubator.
42
Kemudian bakteri tersebut ditanam pada medium Nutrient Agar
(NA) dan diinkubasi kembali selama 18-24 jam dengan suhu
37°C.
2. Setelah inkubasi bakteri, lakukan pewarnaan gram.
3. Koloni yang tumbuh pada NA dilakukan uji biokimia untuk
bakteri S. aureus dengan menanam pada medium DNAse agar
kemudian manitol salt agar, lalu lakukan bacitracin dan
Novobiocin test dilanjutkan dengan katalase koagulase test.
Kemudian diinkubasi kembali selama 18-24 jam dengan suhu
37°C.
4. Bakteri yang tumbuh pada uji biokimia dicocokkan dengan tabel
identifikasi bakteri S.aureus.
5. Untuk membuat sampel bakteri yang disuntikkan ke tikus
dengan cara membuat suspensi dalam larutan NaCl fisiologis
sebanyak 10 ml dicampurkan dengan koloni bakteri S. aureus
yang berwarna kuning emas dengan tingkat kekeruhan Mc
Farland 2 x 108 CFU. Keakuratan tingkat kekeruhan Mc Farland
diukur dengan alat Densi check. d. Perlakuan pada subjek penelitian
Tikus dipelihara dari laboratorium animal Unhas. Uji coba
dilakukan berdasarkan uji coba research guidelines for evaluating
the savety and efficaty of herbal medicine sesuai dengan standar
WHO yaitu minimal 5 (lima) ekor. Tikus wistar betina pada masing –
43
masing kelompok dan cadangan ditambah 1 (satu) setiap kelompok sehingga jumlah tikus yang dibutuhkan adalah 18 ekor yang dibagi menjadi 3 kelompok. Percobaan akan dilakukan sesuai dengan panduan penggunaan dan perawatan hewan laboratorium dan telah mendapat izin dari Komite Etik Fakultas Kedokteran Unhas
Makssar.
Tikus betina sprague dawley sebanyak 18 ekor dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok dengan random, masing-masing kelompok terdiri dari 6 (enam) ekor tikus dengan pembagian kelompok sebagai berikut:
1) Kelompok kontrol negatif (I): injeksi bakteri S.aureus + air + diet
standar
2) Kelompok kontrol positif (II) : injeksi bakteri S.aureus +
Pemberian antibiotik amoxicillin 9,6 mg/250 grBB
3) Kelompok perlakuan (III) : injeksi bakteri S.aureus + Pemberian
antibiotik amoxicillin 9,6 mg/250 grBB + ekstrak daun pagoda 50
mg/kg BB
Pengukuran dilakukan dalam tiga tahapan sebagai berikut :
1) Pengukuran pertama (pre-test) kadar sitokin IL-6 pada masing-
masing kelompok dilakukan pada hari ke 8 setelah adaptasi,
pengambilan darah sebanyak 0,5 ml dilakukan pada mata dan
dilakukan penginduksian bakteri S.aureus pada payudara.
44
2) Pengukuran kedua untuk kadar sitokin IL-6 dilakukan setalah
18-24 jam setelah induksi bakteri dilakukan, dengan mengambil
darah pada daerah mata sebanyak 0,5 ml . Selanjutnya pada
hari ke-9 masing kelompok diberikan pengobatan yaitu pada
kelompok kontrol negatif hanya diberikan air saja dengan dosis
1 ml/250grBB tikus/24 jam selama 5 (lima) hari kedepan,
kelompok kontrol positif diberikan antibiotik amoxicillin dengan
dosis 9 mg/ml/200gramBB/24 jam selama 5 (lima) hari kedepan,
dan kelompok perlakuan diberikan antibiotik amoxicillin dengan
dosis 9 mg/250 grBB/24 jam + ekstrak daun pagoda dengan
dosis 50 mg/kgBB 24 jam selama 5 (lima) hari kedepan.
3) Pengukuran ketiga untuk kadar sitokin IL-6 dilakukan pada hari
ke-14 pada semua kelompok, dengan mengambil darah pada
daerah mata sebanyak 0,5 ml . e. Uji histopatologi
1. Sebelum tikus di induksikan bakteri S.aureus pada semua
kelompok, maka akan dilakukan uji histopatologi pada satu ekor
tikus sebagai parameter bahwa teknik injeksi dan pertumbuhan
bakteri tepat pada bagian duktus laktiferus.
2. Setalah dilakukan uji histopatologi dan menunjukkan hasil yang
diharapkan bahwa terdapat radang pada mammae tikus
khususnya bagian duktus laktiferus.
45
f. Pemeriksaan kadar interleukin 6 (IL-6)
Instrumen pengumpulan data penelitian dilakukan dengan
metode Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Sebuah
monoklonal antibodi spesifik untuk tikus IL-6 sebelumnya telah
dilapisi ke lempeng standar, Control, dan sampel dipipet ke dalam
sumur dan IL-6 terikat oleh antibodi. Setelah membasuh zat terikat,
sebuah enzim-linked poliklonal antibodi khusus untuk tikus IL-6
ditambahkan ke sumur. Berikut mencuci untuk menghilangkan
enzim reagenyang terikat di antibodi, solusi substrat ditambahkan
ke sumur. Reaksi enzim menghasilkan produk biru yang berubah
menjadi kuning ketika Stop Solution ditambahkan. Intensitas warna
diukur secara proporsional dengan jumlah IL-6 terikat pada
langkah awal. Nilai sampel dibaca dengan kurva standar.
Tahap yang dilakukan adalah :
1. Kontrol Rat IL-6 disiapkan dengan 1 ml air deionisasi atau air
suling sebagai kontrol murni. Kemudian menyiapkan wash
buffer, jika kristal telah terbentuk dalam konsentrat, hangat
untuk suhu kamar dan aduk sampai kristal telah benar-benar
larut. Untuk mempersiapkan cukup Wash Buffer untuk satu
piring, tambahkan 20 ml Wash Buffer Berkonsentrasi untuk air
deionisasi atau suling untuk mempersiapkan 500 ml Wash
Buffer.
2. Substrat solusion yaitu reagen Warna A dan B harus dicampur
46
bersama-sama dalam volume yang sama dalam waktu 15 menit
penggunaan. Lindungi dari cahaya. 100 µL campuran yang
dihasilkan diperlukan per sumur. Menyiapkan Rat IL-6 mengacu
pada label botol untuk volume pemulihan.
3. Rat IL-6 Standard disusun kembali dengan calibrator Pengencer
RD1-54 dengan tidak mengganti pengencer lainnya. Proses ini
menghasilkan larutan stok 850 µL memungkinkan standar
melekat selama minimal 5 menit dengan lembut pencampuran
sebelum membuat pengenceran. Menggunakan tabung
polypropylene. Pipet 200 µL Calibrator Pengencer RD1-54 ke
masing-masing tabung. Gunakan larutan stok untuk
menghasilkan serangkaian pengenceran. Campur masing-
masing tabung secara menyeluruh sebelum transfer berikutnya.
Standar Rat IL-6 murni 800 µL berfungsi sebagai standar yang
tinggi. Kalibrator Pengencer RD1-54 berfungsi sebagai standar
nol (0 pg/mL).
4. Sampel serum disiapkan sebelum digunakan, dibiarkan di suhu
ruangan selama 4 jam dan di fortex. Hapus kelebihan strip
lempeng dari frame piring, kembalikan ke kantong foil yang
berisi paket pengering, dan reseal.
5. Sebanyak 50 µL Assay Pengencer ditambahkan untuk masing-
masing well dan ditambahkan 50 µL Standar, kontrol, atau
sampel. Campur dengan menekan lembut frame piring untuk 1
47
menit dan tutup dengan strip perekat yang disediakan lalu
diinkubasi selama 2 jam pada suhu kamar.
6. Masing-masing well diaspirasi dan cuci, dan mengulangi proses
cuci empat kali sampai lima kali dengan mengisi masing-masing
well dengan Wash Buffer (400 µL) menggunakan botol semprot,
dispenser manifold, atau autowasher. Penghapusan lengkap
cair pada setiap langkah sangat penting untuk kinerja yang baik.
Setelah mencuci terakhir, menghilangkan sisa Wash Buffer
dengan membalik piring menghadap handuk atau kertas bersih.
7. Rat IL-6 Conjugate ditambahkan pada masing-masing well
sebanyak 100 µL. Tutup dengan strip perekat baru. Inkubasi
selama 2 jam pada suhu kamar.
8. Mengulangi pencucian seperti pada langkah 6.
9. Substrat Solusion ditambahkan sebanyak 100 µL pada masing
masing well. Inkubasi selama 30 menit pada suhu kamar.
Lindungi dari cahaya. Kemudian tambah Stop Solution
sebanyak 100 µL untuk setiap well. Tekan dengan lembut piring
untuk memastikan menyeluruh pencampuran.
10. Kepadatan optik ditentukan pada masing-masing well dalam
waktu 30 menit, menggunakan microplate reader ELISA ke 450
nm. Jika koreksi panjang gelombang tersedia, set ke 540 nm
atau 570 nm. Jika koreksi panjang gelombang tidak tersedia,
kurangi pembacaan pada 540 nm atau 570 nm dari pembacaan
48
pada 450 nm. Pengurangan ini akan mengoreksi
ketidaksempurnaan optik di piring. Pembacaan dilakukan secara
langsung di 450 nm tanpa koreksi mungkin lebih tinggi dan
kurang akurat.
E. Etika penelitian
Dalam hal memanfaatkan hewan percobaan untuk penelitian kesehatan digunakan prinsip 3R, yaitu: replacement, reduction dan refinement. (Hume and Russel, 1957)
1. Replacement
Ada dua alternatif untuk replacement, yaitu:
a. Replacement relatif, yaitu tetap memanfaatkan hewan percobaan
sebagai donor organ, jaringan, atau sel.
b. Replacement absolut, yaitu tidak memerlukan bahan dari hewan,
melainkan memanfaatkan galur sel (cell lines) atau program
komputer.
2. Reduction
Mengurangi pemanfaatan jumlah hewan percobaan sehingga sesedikit
mungkin dengan bantuan ilmu statistik, program komputer, dan teknik-
teknik biokimia serta tidak mengulangi penelitian dengan hewan
percobaan apabila tidak perlu.
49
3. Refinement
Mengurangi ketidak nyamanan yang diderita oleh hewan percobaan
sebelum, selama, dan setelah penelitian, misalnya dengan pemberian
analgetik.
F. Analisis data
Data diolah dan dianalisis dengan bantuan menggunakan piranti
komputer. Efek pemberian ekstrak daun pagoda, kadar sitokin IL-6
ditampilkan dalam bentuk mean (standar deviasi). Uji bivariat
menggunakan uji repeted anova apabila data terdistribusi normal
untuk melihat perbedaan kadar IL-6 pada masing-masing kelompok
yaitu kelompok kontrol negatif, kontrol positif, dan kelompok perlakuan
sebelum, selama dan setelah diberikan perlakuan. Selain itu dilakukan
pula uji one way anova untuk melihat perbedaan kadar IL-6 antar
kelompok yaitu kelompok kontrol negatif, kontrol positif, dan kelompok
perlakuan, dilanjutkan dengan analisis post hoc.
50
G. Alur Penelitian
POPULASI
SAMPEL
PRE-EKSPERIMEN
HARI KE-9 HARI 1-7 HARI KE-8 HARI KE-8
PROSES ADAPTASI PENGAMBILAN DARAH UNTUK INJEKSI PENGUKURAN STAPHILOCOCCUS PENGAMBILAN KADAR IL-6 AUREUS DARAH UNTUK KELOMPOK I PENGUKURAN IL-6
KONTROL NEGATIF P0ST EKSPERIMEN
HARI KE 9-13 HARI KE-14
PEMBERIAN PAKAN NORMAL DAN PENGAMBILAN DARAH UNTUK AIR PENGUKURAN KADAR IL-6
PRE-EKSPERIMEN
HARI 1-7 HARI KE-8 HARI KE-8 HARI KE-9
PENGAMBILAN PROSES ADAPTASI DARAH UNTUK INJEKSI PENGAMBIAN PENGUKURAN STAPHILOCOCCUS DARAH UNTUK KADAR IL-6 AUREUS PENGUKURAN IL-6 KELOMPOK II
KONTROL POSITIF PRE-EKSPERIMEN
HARI KE 9-13 HARI KE-14
Antibiotik amoxicillin 9,6 mg/250 PENGAMBILAN DARAH UNTUK grBB PENGUKURAN KADAR IL-6
PRE-EKSPERIMEN
HARI 1-7 HARI KE-8 HARI KE-8 HARI KE-9
PROSES ADAPTASI PENGAMBILAN INJEKSI PENGAMBILAN DARAH UNTUK STAPHILOCOCCUS DARAH UNTUK PENGUKURAN AUREUS PENGUKURAN IL-6 KADAR IL-6
KELOMPOK III PRE-EKSPERIMEN PERLAKUAN
HARI KE 9-13 HARI KE-14
Antibiotik Amoxicillin 9,6 mg/ PENGAMBILAN DARAH UNTUK PENGUKURAN KADAR IL-6 250 grBB + EDP 50 mg/kg BB
PENGOLAHAN DATA
KESIMPULAN
51
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2017 – Maret
2018, penelitian ini menggunakan 4 laboratorium yaitu laboratorium
Biofarmaka Unhas untuk proses pengeringan simplisia daun pagoda, laboratorium Farmasi Biologi UIN Makassar untuk pembuatan ekstrak etanol daun pagoda, laboratorium Animal Fak. Kedokteran Unhas untuk pemeliharaan dan perlakuan hewan coba. Laboratorium penelitian RSP
Unhas untuk pembuatan slide histopatologi dan untuk mengukur kadar IL-
6 dengan teknik ELISA.
Sebelum penelitian utama dilakuan terlebih dahulu dilakukan pengekstrakan. Daun pagoda dibersihkan dari kotoran yang melekat dengan menggunakan air mengalir lalu sampel dipotong-potong kecil, lalu dikeringkan hingga mengandung kadar air dibawah 10%, setelah itu Daun pagoda diayak dengan ukuran mesh 40 sehingga didapatkan sampel simplisia yang halus hingga sampel siap untuk diekstraksi dengan metode maserasi. Ekstraksi dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol 70%. Pada proses meserasi, terlebih dahulu sampel dibasahi dengan etanol 70% hingga terendam sepenuhnya selama 15 menit, setelah itu dicukupkan lagi menjadi 2 Liter dengan etanol 70% pada suhu ruang selama 3 x 24 jam sambil sesekali di aduk. Maserat kemudian
52
disaring dan ampasnya dimaserasi kembali.Ekstrak yang diperoleh kemudian diuapkan dengan menggunakan rotavapor hingga mengental, kemudian dikeringkan dengan bantuan penangas air.
Sampel dalam penelitian ini adalah tikus betina strain Sprangue
Dawley dengan berat badan 200-250 gr gram sebanyak 18 ekor. Setiap kelompok terdiri dari 6 ekor tikus betina. Sebelum perlakuan tikus ini diadaptasi di Laboratorium Animal Fakultas Kedokteran Unhas selama 7
(tujuh) hari agar kondisi fisik dan psikis tikus stabil. Selanjutnya dilakukan pengambilan darah pertama pada hari ke-8, pada hari ke-9 penyuntikan bakteri S.aureus secara intraduktal pada salah satu payudara tikus. Hari ke-10 pengambilan darah ke 2, kemudian diberikan perlakuan selama 5 hari. Adapun Perlakuan yang diberikan pada kelompok kontrol negatif berupa air + diet standar, pada kelompok kontrol positif diberikan antibiotik amoxicillin 9,6 mg/250 grBB dan pada kelompok perlakuan diberikan antibiotik amoxicillin 9,6mg/250 grBB + EDP 50 mg/kgBB. Dan dilakukan pengambilan darah terakhir pada hari ke-15.
1. Uji fitokimia dasar ekstrak daun pagoda
Kandungan fitokimia atau metabolit sekunder pada ekstrak daun pagoda telah ditentukan secara kualitatif.Hasil analisis fitokimia pada ekstrak daun pagoda secara kualitatif menunjukkan adanya kandungan senyawa fitokimia meliputi plavonoid dan tannin, namun ekstrak etanol
53
daun pagoda tidak terdeteksi adanya senyawa fitokimia alkaloid, steroid, dan saponin (Tabel 5.)
Tabel 4.1. Analisis kandungan fitokimia ekstrak daun pagoda Fitokimia Hasil Analisis Alkaloid - Flavonoid + Steroid/Triterpenoid - Saponin - Tanin +
2. Rerata berat badan tikus pada masing-masing kelompok
Tabel 4.2. Rerata berat badan tikus pada masing-masing kelompok
Rerata + Nilai Berat badan (Min-Maks) SD ρ Kelompok kontrol negatif 216 ± 8 207 – 225 Kelompok kontrol positif 220 ± 11 207 – 232 0,14 Kelompok kontrol perlakuan 227,3 ± 6,9 220 – 234 Data disajikan dalam bentuk rerata±SD.
Berdasarkan tabel 4.2. menunjukkan bahwa rerata berat
badan tikus pada kelompok kontrol negatif adalah 216 ± 8 gram,
pada kelompok kontrol positif adalah 220 ± 11 gram, dan pada
kelompok perlakuan adalah 227 ± 6,9 gram.
54
3. Rerata perbedaan kadar IL-6 pada masing- masing kelompok tikus betina sebelum, selama dan setelah pemberian ekstrak daun pagoda (Clerodendrum Paniculatum. L)
Tabel 4.3. Rerata perbedaan kadar IL-6 pada masing- masing kelompok tikus betina sebelum, selama dan setelah pemberian ekstrak daun pagoda (clerodendrum paniculatum.L)
Kadar IL-6 (pg/ml) Setelah Setelah Nilai Kelompok Sebelum diinduksi perlakuan ρ S.A Mean±SD Mean±SD Mean±SD Kontrol negatif 725,0 ± 16,9 913,8 ± 17,3 0,00 a (n =6) 992,9 ± 9,7 Kontrol positif (Antibiotik flukloksasilin 722,0 ± 24,9 915,3 ± 28,1 834,6 ± 31,7 0,00 a 9,6 mg/250grBB ) (n =6) Perlakuan (Antibiotik flukloksasilin 9,6 mg/250grBB + 717,0 ± 22,54 914,6 ± 21,8 753,3 ± 28 0,00 a ekstrak daun pagoda 50 mg/kgBB (n =6)
Nilai ρ 0,84 b 0,99 b 0,00 b
* ANOVA. a Repeated ANOVA b One Way Anova
Berdasarkan tabel 4.3 diatas menunjukkan bahwa dari hasil uji
statistik repetead ANOVA diperoleh nilai ρ = 0.00 lebih kecil dari nila α =
0.05 pada semua kelompok yaitu kelompok kontrol negatif, positif dan
perlakuan. Hal tersebut berarti terdapat perbedaan kadar IL-6 baik pada
kelompok kontrol negatif, positif dan perlakuan sebelum, setelah
diinduksi S.aureus ± 24 jam dan setelah diberikan treatment.
55
Hasil uji statistik menggunakan One Way Anova diperoleh nilai ρ =
0,84 pada pengukuran sebelum diinduksi S.Aureus dan nilai ρ = 0,99 pada pengukuran setelah diinduksi ± 24 jam. Hal tersebut berarti tidak terdapat perbedaan kadar IL-6 baik pada pengukuran sebelum, dan setelah induksi S.Aureus pada masing-masing kelompok. Sedangkan pada pengukuran setelah diberikan treatment diperoleh nilai ρ=0,00.
Hal tersebut berarti terdapat perbedaan kadar iL-6 setelah diberikan treatment pada masing-masing kelompok.
Gambar 4.1. Trend kadar IL-6 pada masing-masing kelompok tikus betina strain Sprague Dawley sebelum, setelah diinduksi S.aureus dan setelah diberikan treatment.
56
4. Analisis perbedaan kadar IL-6 sebelum perlakuan, setelah diinduksi staphylococcus aureus dan setelah diberikan treatment antar kelompok
Guna melihat analisis perbedaan kadar IL-6 sebelum, setelah
diinduksi s.aureus dan setelah diberikan treatment pada masing-masing
kelompok tikus betina yang induksi bakteri staphylococcus aureus
dilanjutkan dengan analisis post hoc Bonferroni karena telah memenuhi
syarat data terdistribusi normal dan varian data sama, disajikan dalam
bentuk tabel, sebagai berikut :
Tabel 4.5 Analisis perbedaan kadar IL-6 sebelum, setelah diinduksi s.aureus dan setelah diberikan treatment pada masing- masing kelompok.
Pengukuran Mean ± SD Selisih Nilai Nilai Mean ρ* ρ Sebelum perlakuan
Kontrol negative 725,0 ± 16,9 2,7 1,00 Kontrol positif 722,3 ± 24,9 0,84 Kontrol negative 725,0 ± 16,9 7,4 1,00 Perlakuan 717,6 ± 22,54 Kontrol positif 722,3 ± 24,9 4,7 1,00 Perlakuan 717,6 ± 22,54 Setelah induksi bakteri S. aureus Kontrol negative 913,8 ± 17,3 -1,5 1,00 Kontrol positif 915,3 ± 28,1 Kontrol negative 913,8 ± 17,3 -0,8 1,00 Perlakuan 914,6 ± 21,8 0, 99 Kontrol positif 915,3 ± 28,1 -0,7 1,00 Perlakuan 914,6 ± 21,8 Setelah treatment
Kontrol negative 992,9 ± 9,7 158,3 0.00 Kontrol positif 834,6 ± 31,7 0,00 Kontrol negative 992,9 ± 9,7 239,6 0.00 Perlakuan 753,3 ± 28 Kontrol positif 834,6 ± 31,7 81,3 0.00 Perlakuan 753,3 ± 28 *One Way ANOVA + post hoc Bonferroni
57
Pada tabel 4.5 hasil analisis post hoc sebelum dan setelah
diinduksi bakteri s. aureus diperoleh nilai ρ > 0,05 antar masing-masing
kelompok. Hal ini menunjukkan tidak ada perbedaan kadar sitokin
IL-6, baik sebelum dan setelah diinduksikan bakteri staphylococcus
aureus ± 24 jam pada semua kelompok. Sedangkan setelah diberikan
treatment diperoleh nilai p < 0,05 antar semua kelompok. Hal ini
menunjukkan ada perbedaan kadar IL-6 setelah diberikan treatment
antar semua kelompok.
5. Analisis perbedaan kadar IL-6 antar kelompok tikus betina strain Sprague Dawley sebelum, setelah diinduksi bakteri staphylococcus aureus dan setelah diberikan treatment pada semua kelompok.
Guna melihat analisis perbedaan kadar IL-6 pada kelompok
perlakuan tikus betina strain Sprague Dawly sebelum, setelah diinduksi
bakteri staphylococcus aureus dan setelah diberikan treatment
dilanjutkan dengan analisis post hoc Bonferroni karena telah memenuhi
syarat data terdistribusi normal dan homogen, disajikan dalam bentuk
tabel, sebagai berikut :
58
Tabel 4.6 Analisis perbedaan kadar IL-6 antar kelompok tikus betina strain sprague dawley sebelum, setelah diinduksi bakteri staphylococcus aureus dan setelah diberikan treatment.
Pengukuran Mean ± SD Selisih Nilai Nilai Mean ρ* ρ Kontrol negative
Sebelum 725,0 ± 16,9 -188,8 0,000 Setelah induksi S.aureus 913,8 ± 17,3 0,000 Sebelum 725,0 ± 16,9 -267,9 0,000 Setelah treatment 992,9 ± 9,7 Setelah induksi S.aureus 913,8 ± 17,3 -79,1 0,000 Setelah treatment 992,9 ± 9,7 Kontrol positif Sebelum 722,3 ± 24,9 -192,7 0,000 Setelah induksi S.aureus 915 ,0 ± 28,1 Sebelum 722,3 ± 24,9 -112,3 0,000 Setelah treatment 834,6 ± 31,7 0, 001 Setelah induksi S.aureus 915 ,0 ± 28,1 80,4 0,001 Setelah treatment 834,6 ± 31,7 Perlakuan
Sebelum 717,6 ± 22,54 -197 0,000 Setelah induksi S.aureus 914,6 ± 21,8 0,000 Sebelum 717,6 ± 22,54 -35,7 0,101 Setelah treatment 753,3 ± 28 Setelah induksi S.aureus 914,6 ± 21,8 161,3 0,000 Setelah treatment 753,3 ± 28 *Repeated ANOVA + post hoc Bonferroni
Pada tabel 4.6 menunjukkan hasil uji repetead ANOVA pada kelompok perlakuan sebelum dan setelah diberikan treatment diperoleh nilai ρ = 0,10 lebih besar dari nilai α = 0,05. Hal ini menunjukkan tidak ada perbedaan kadar sitokin IL-6 sebelum diinjeksi S.aureus dan setelah diberikan treatment pada kelompok perlakuan. Sedangkan pada kelompok kontrol negatif dan positif diperoleh nilai ρ < 0,05, baik sebelum, setelah induksi s. aureus ± 24 jam dan setelah diberikan
59
treatment. Hal ini menunjukkan ada perbedaan kadar sitokin IL-6 pada
kelompok kontrol negatif dan positif, baik sebelum, setelah induksi s.
aureus ± 24 jam dan setelah diberikan treatment.
6. Uji histopatologi
a. Kelompok kontrol normal
Gambaran mikroskopik pada payudara tikus kelompok
kontrol normal menunjukkan duktus laktiferus yang dilapisi sel
epitel normal dan dikelilingi oleh jaringan ikat serta pembuluh
darah.
A
B
C
Gambar 4.2. Gambaran mikroskopik pada payudara tikus kelompok kontrol normal. (A) Tampak adanya pembuluh darah, (B) tampak adanya sel epitel yang normal dikelilingi oleh jaringan ikat, (C) tampak adanya duktus laktiferus.
60
b. Kelompok kontrol negatif
Gambaran mikroskopik pada payudara tikus kelompok
kontrol negatif yaitu kelompok yang diinduksikan bakteri
staphylococcus aureus tanpa diberikan pelakuan menunjukkan
adanya sel-sel radang Polimorfonuklear (PMN) disekitar jaringan
ikat yang tidak dijumpai pada kelompok kontrol normal. Nampak
penebalan lapisan sel epitel yang mengelilingi duktus laktiferus.
A
B
Gambar 4.3. Gambaran mikroskopik pada payudara tikus kelompok kontrol negatif. (A) tampak adanya sel-sel radang PNM disekitar jaringan ikat (B) tampak adanya sel radang disekitar lapisan sel epitel.
61
c. Kelompok kontrol positif
Gambaran mikroskopik pada payudara tikus kelompok
kontrol positif yaitu kelompok yang diinduksikan bakteri
staphylococcus aureus dan diberikan antibiotik amoxilcillin 9 mg
/hari secara oral selama 5 (lima) hari menunjukkan sel-sel radang
Polimorfonuklear (PMN) disekitar jaringan ikat dan sekeliling sel
epitel dan duktus laktiferus berkurang.
A
B
Gambar 4.4. Gambaran mikroskopik pada payudara tikus kelompok kontrol positif (A) Tampak adanya sel-sel radang PMN yang mengelilingi kelenjar susu (B) tampak adanya sel radang disekitar jaringan ikat.
62
d. Kelompok perlakuan
Gambaran mikroskopik pada payudara tikus kelompok
kontrol perlakuan yaitu kelompok yang diinduksikan bakteri
staphylococcus aureus dan diberikan antibiotik amoxilcillin dengan
dosis 9 mg/kgBB + ekstrak daun pagoda dengan dosis 50
mg/kgBB perhari secara oral ditambah dengan ekstrak daun
pagoda 50 mg / Kg BB selama 5 (lima) hari dan menunjukkan sel-
sel radang Polimorfonuklear (PMN) disekitar jaringan ikat, kelenjar
susu dan sel epitel berkurang.
A
Gambar 4.5. Gambaran mikroskopik pada payudara tikus kelompok perlakuan (A) Tampak adanya sel-sel radang PMN disekitar jaringan ikat.
63
B. Pembahasan
1. Analisis hasil uji fitokimia dasar ekstrak daun pagoda
Hasil uji kualitatif ekstrak daun pagoda (clerodendrum
paniculatum. L), didapatkan senyawa kimia yang terkandung dalam
tanaman yaitu flavonoid dan tannin. Hal ini sejalan dengan penelitian
terdahulu yang melakukan uji kualitatif EDP menunjukkan hasil positif
terdapat flavonoid, tanin, saponin, glikosida, steroid dan terpenoid
(Shrivastava and Patel, 2007; Arun. P. V, Sachin. S, 2011; Hafiz,
Rosidah and Silalahi, 2016). Hasil skrining ekstrak etanol daun pagoda
dalam penelitian ini tidak menunjukkan adanya senyawa alkaloid,
saponin, dan steroid yang teridentifikasi.
Perbedaan hasil skrining ini tidak memberikan pengaruh besar
terhadap nilai penelitian, karena senyawa yang sebenarnya diharapkan
ada pada ekstrak etanol daun pagoda yang berpengaruh dominan
dalam aktivitas antiinflamasi adalah flavonoid dan tanin, hal ini di
diperkuat dengan penelitian yang mendapati bahwa flavonoid yang
terkandung dalam ekstrak metanol dan kloroform Daun Pagoda
merupakan anti inflamasi yang efektif terhadap bakteri Staphylococcus
Aureus, Pseudomonas aeruginosa dan Candida albicans (Rathee et
al., 2009; Praveen et al., 2012; Shashank and Pandey, 2013)
Flavonoid dan tanin merupakan senyawa polifenol yang terdapat
pada tumbuhan yang memiliki efek biologis seperti anti bakteri,
antioksidan, dan aktivitas antiinflamasi. Flavonoid bersifat polar
64
sehingga senyawa inilah yang mengakibatkan senyawa lebih mudah
menembus dinding sel bakteri. Sementara tanin menyebabkan dinding
bakteri yang telah lisis akibat senyawa flavonoid sehingga senyawa
tanin dapat dengan mudah masuk ke dalam sel dan mengkoagulasi
protoplasma sel bakteri (Okuda, 2005; Ashok and Upadhyaya, 2012;
Joseph, Bindhu and Aleykutty, 2013; Leyva-López et al., 2016)
2. Efek pemberian ekstrak daun pagoda terhadap kadar IL-6 pada
tikus Sprague dawley yang di induksi bakteri Staphylococcus
Aureus
Pada kelompok kontrol negatif, rerata kadar IL-6 terus
meningkat baik sebelum, setelah di injeksi S.aureus dan setelah 5 hari
diberi diberi air + pakan standar. Hal ini dikarenakan IL-6 merupakan
salah satu mediator yang paling awal dan penting dalam induksi dan
mengontrol sintesa protein fase akut. Pada saat terjadi inflamasi
konsentrasi plasma IL-6 bisa di deteksi dalam 60 menit dan dapat
bertahan sampai 10 hari. selain itu IL-6 akan terus meningkat dalam
serum pasien yang mengalami infeksi saluran kemih dan mastitis
(Miller et al., 1994; Hedges et al., 1991; Liu et al., 2015).
Peningkatan kadar IL-6 disebabkan oleh adanya respon imun
seluler yang dilakukan dengan memberikan injeksi s.aureus sehingga
terjadi respon imun terhadap bakteri ini. Sebagai respon terhadap
bakteri S.aureus dan bakteri gram positif yang lain maka aktivitas
65
sitokin proinflamasi IL-6 dan TNF-α akan meningkat, sitokin proinflamasi disintesis dan terjadi inflamasi sistemik.IFN-γ juga dikenal sebagai macrophage activating factor (MAF) berperan penting dalam infeksi persisten yang dipengaruhi oleh durasi aktivasi makrofag
(Wyant et. al,. 1999; Baratawidjaja, 2006).
Pada kelompok kontrol positif, setelah diinduksi bakteri rerata kadar il-6 meningkat dan setelah diberikan antibiotik amoksillin selama
5 hari mengalami penurunan sebesar 834,6 pg/ml. Penurunan rerata kadar il-6 terkait dengan mekanisme kerja antibiotik amoksillin dalam membunuh bakteri S.Aureus dengan cara menghambat sintesis dinding sel bakteri, protein bakteri, protein asam nukleat bakteri dan menghambat jalur metabolisme utama bakteri. Materi genetik bakteri yang ada didalamnya terurai keluar akibat mekanisme kerja amoksillin dan menyebabkan bakteri mati sehingga inflamasi menurun dan kadar
IL-6 juga menurun (Nester., 2009).
Sebuah penelitian memperlihatkan bahwa pemberian antibiotik disertai dengan pengosongan payudara pada mastitis mempercepat penyembuhan bila dibandingkan dengan pengosongan payudara saja.
Satu percobaan kecil membandingkan amoksisilin dengan cephradine tidak menemukan perbedaan yang signifikan antara kedua antibiotik tersebut dalam hal pembentukan gejala dan abses. Namun peneliti menyarankan menggunakan antibiotik amoksisilin untuk meringankan
66
gejala mastitis dengan cepat pada wanita postpartum. (Elliman et. al,.
2012; Bolman et al., 2013; Jahanfar et. al., 2013).
Pada kelompok perlakuan didapatkan kadar IL-6 meningkat setelah diinjeksi bakteri S.aureus kemudian mengalami penurunan setelah diberikan treatment ekstrak daun pagoda 50 mg/kgBB + amoxicillin 9,6 gr/ 250 grBB selama 5 hari. Penurunan rerata kadar IL-
6 pada kelompok perlakuan dikarenakan mekanisme kerja antibiotik amoxicillin di gabungkan dengan ekstrak daun pagoda yang mengandung senyawa fitokimia seperti flavonoid dan tanin yang apabila bekerja bersama sama memiliki efek biological sebagai antioksidant, antibakteri, dan antiinflamasi sehingga kadar IL-6 yang meningkat akibat infeksi bakteri S.aureus pada mammae tikus menjadi normal kembali (Nester., 2009; Kim et al., 2016).
Senyawa flavonoid dan tanin dalam Daun pagoda bertanggung jawab untuk aktivitas antiinflamasi. Mekanisme ini melibatkan kegiatan proinflamasi COX-2 atau diinjeksi nitrat oksida sintase (iNOS) melalui senyawa flavonoid. Dalam penelitian lain didapatkan fakta bahwa flavonoid (6-DMT) menekan aktifitas sel HMC-1 dengan PMA melalui inhibisi aktifitas anaflastik limforma kinase (ALK) dan mitogen activated protein kinase (MAPKs) yang akhirnya menekan produksi dan ekspresi gen TNF-alpha dan IL-6.hal ini menunjukkan bahwa 6-DMT bisa berperan dalam pengaturan mast sel yang memediasi respon inflamasi
(Kim et al., 2014; Leyva-López et al., 2016).
67
Tidak terdapat perbedaan rerata kadar IL-6 yang signifikan antara kontrol negatif, kelompok kontrol positif, kelompok perlakuan sebelum induksi bakteri. Ini merupakan kode bahwa semua tikus yang digunakan dalam penelitian ini benar sehat. Menurut Bruunsgaard
(2005) produksi IL-6 bertujuan untuk menghentikan hipertrofi jaringan yang terinfeksi karena dianggap memiliki peran penting dalam dalam aktivitas antiinflamasi yang bagus untuk kesehatan, akan tetapi peningkatan IL-6 yang berlebihan juga merupakan penanda yang kuat pada tubuh bahwa terjadi gangguan kronis yang terkait dengan peradangan sistemik dan semua bisa menjadi penyebab kematian.
Hasil penelitian ini mendapatkan perbedaan kadar IL-6 yang bermakna pada masing -masing kelompok perlakuan dengan rerata.
992,9 pg/ml pada kelompok kontrol negatif, 834,6 pg/ml pada kelompok kontrol positif dan pada kelompok perlakuan adalah 753,3 ±
28 pg/ml. Ekstrak daun pagoda sebagai suplemen komplementer secara signifikan dapat menekan produksi IL-6 pada tikus betina yang terinfeksi bakteri S.aureus serta meningkatkan kerja makrofag melakukan fagositosis. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang mengatakan bahwa flavonoid yang terkandung dalam ekstrak metanol dan kloroform Daun Pagoda merupakan antiinflamasi yang efektif terhadap bakteri S.aureus. Penelitian lain menunjukkan bahwa ekstrak daun pagoda memiliki aktivitas antiinflamasi sebesar 50 mg/kg
(Praveen et al., 2012; Hafiz, Rosidah and Silalahi, 2016)
68
Ekstrak daun pagoda menunjukkan aktivitas ampuh melawan
Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis, Escherichia coli dan
Klebsiella pneumoniae. Studi tersebut menunjukkan bahwa
Clerodendron paniculatum memiliki aktivitas antibakteri yang lebih baik daripada spesies lainnya. Ekstrak daun pagoda mampu merangsang limfosit B dan limfosit T dan mengaktifkan neutrophil untuk melakukan fagositisis. Pada saat IL-6 terinduksi secara sementara, IL-6 akan segera berpartisipasi dalam pertahanan tubuh terhadap gangguan dalam sel seperti infeksi dan trauma dan pada saat yang bersamaan Il-
6 akan memberikan sinyal dengan memicu spectrum yang luas yang terlibat dalam meningkatkan kekebalan tubuh, penyakit inflamasi kronis dan kanker (Kishimoto, 1989; Leena and Aleykutty; 2012).
Mastitis merupakan peradangan payudara pada ibu menyusui yang disebabkan oleh stasis ASI. Peradangan payudara menyebabkan retak pada puting yang merupakan jalan masuk bagi patogen, yang mengakibatkan terjadinya inflamasi atau infeksi. Dalam kaitan ini adalah sitokin yang dihasilkan oleh tumor dan sel imun. Sitokin merupakan salah satu mediator terlarut, yang membantu komunikasi sel-sel dalam respon kekebalan tubuh yang diperlukan pada awal reaksi inflamasi. IL-6 adalah sitokin pro inflamasi yang terlibat dalam imuno patogenesis S.aureus (Hirano,.2010; kamimura et. al,. 2014;
Tanaka and Kishimoto; 2014).
69
Pada saat infeksi S.aureus terjadi, sitokin pro inflamasi seperti IL-
1β, dan IL-6, IFN-ɣ dan TNF-α di sintesis dan terjadi inflamasi sitemik.
Setelah sitokin disekresi maka aktivitas sel T helper 1 (Th1) dan T helper 2 (Th2) dimulai. Aktivitas bakteri atau IFN-ɣ akan mengantarkan perubahan profil sekresi sel melalui produksi organik nitrat.
Keberadaan S.aureus pada sel menyebabkan sekresi sitokin dan reaksi inflamasi atau program kematian sel melalui opoptosis. Sinyal dari sitokin yang di injeksi oleh interaksi host dan bakteri adalah hal yang krusial dalam perkembangan penyakit (Álvarez, 2009).
Hasil studi ini menunjukkan bahwa ekstrak daun pagoda memiliki efek farmakoterapi untuk penyakit mastitis atau penyakit infeksi lainnya yang disebabkan oleh bakteri S.aureus. Daun pagoda sebagai salah satu tanaman obat yang sudah digunakan secara empiris. Ekstrak daun pagoda pada penelitian ini mampu menekan kadar IL-6. Alasan tumbuhan dikatakan sebagai tanaman obat yaitu tanaman atau bagian tanaman dapat memperkuat fungsi organ tubuh, dapat menyingkirkan racun atau penyakit dan dapat membangun sistim kekebalan tubuh.
Salah satu syarat tanaman herbal dikatakan sebagai terapi komplementer atau pengobatan alternatif dalam meningkatkan imunitas tubuh adalah memodulasi respon pathogen – pengaturan sel
T, dan hal ini terdapat dalam daun pagoda (Hidayat, 2008;
Venkatesha, 2011).
70
Dengan demikian peneliti berasumsi bahwa antibiotik yang diberikan bersama dengan ekstrak daun pagoda dijadikan sebagai pengobatan yang efektif pada kasus mastitis, terutama pada mastitis yang di sebabkan oleh bakteri S.aureus.
C. JAWABAN HIPOTESIS
Ekstrak daun pagoda (Clerodendrum paniculatum. L) dapat digunakan sebagai terapi komplementer untuk menekan produksi sitokin IL-6 pada mammae Tikus betina sprague dawley yang di induksikan bakteri staphylococcus aureus.
D. KETERBATASAN PENELITIAN
1. Peneliti tidak menambahkan kelompok untuk kelompok perlakuan
yang hanya diberikan ekstrak daun pagoda dan juga tidak
melakukan perbandingan dosis
2. Peneliti tidak melakukan uji kuantitatif pada ekstrak daun pagoda
untuk mengetahui seberapa besar kadar flavonoid dan tanin yang
terkandung dalam daun pagoda yang diteliti.
71
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Ekstrak daun pagoda (Clerodendrum paniculatum. L) efektif
untuk menekan produksi sitokin IL-6 pada mammae tikus betina
strain Sprague Dawley yang di induksi bakteri staphylococcus
aureus. Ekstrak daun pagoda (Clerodendrum paniculatum. L)
dapat digunakan sebagai terapi komplementer untuk mastitis
yang disebabkan oleh bakteri staphylococcus aureus.
B. Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan secara uji klinis
menggunakan subjek manusia terkait dengan efek ekstrak
daun pagoda sebagai antiinflamasi, khususnya pada kasus
mastitis pada ibu menyusui atau pada kasus penyakit infeksi
lainnya.
2. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan untuk melakukan uji
kuantitatif ekstrak daun pagoda terlebih dahulu.
3. Dari hasil penelitian ini dapat dikembangkan untuk penelitian
yang lebih kompleks dan hasilnya dapat digunakan untuk
peningkatan ilmu kebidanan.
72
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, M. F. et al. (2015) ‘ISSN 2249-8516 Original Article Role of Sulphur in salinity tolerance of Date Palm ( Phoenix dactylifera L .)’, 5(3), pp. 92–97.
Adiguzel, A. et al. (2005) ‘Antimicrobial Effects of Ocimum basilicum (Labiatae) Extract’, Turkish Journal of Biology, 29, pp. 155–160.
Akiyama, H., Fujii, K., Yamasaki, O., 2001, Antibacterial Action of Several Tannins Against Staphylococcus aureus, Journal of Antimicrobial Chemotherapy., 48:487-491.
Álvarez, J. L. P. (2009) ‘La interleucina 6 en la fisiopatología de la artrirtis reumatoide’, Reumatologia Clinica. Elsevier, 5(1), pp. 34–39. doi: 10.1016/S1699-258X(09)70203-7.
Amir, L. H. (2014) ‘ABM Clinical Protocol #4: Mastitis, Revised March 2014’, Breastfeeding Medicine, 9(5), pp. 239–243. doi: 10.1089/bfm.2014.9984.
Amir, L. H., Forster, D. and Mclachlan, H. (2004) ‘Incidence of breast abscess in lactating women : report from an Australian cohort’, 111(December), pp. 1378–1381.
Anonim. (2010). Clerodendrum paniculatum L is an Accepted Name. Sumber: http://www.theplantlist.org. Diakses pada 6 September 2015.
Arun. P. V, Sachin. S, P. S. (2011) ‘Antioxidant potential of Clerodendrum paniculatum’, Journal of Pharmacy Research, 4(6), pp. 1796– 1799.
Ashok, P. and Upadhyaya, K. (2012) ‘Tannins are Astringent’, Journal of Pharmacognosy and Phytochemistry, 1(3), pp. 45–50. doi: 10.11648/j.ijnfs.20140304.18.
Banks, W. A., Kastin, A. J. and Gutierrez, E. G. (1994) ‘Penetration of interleukin-6 across the murine blood-brain barrier’, Neuroscience Letters, 179(1–2), pp. 53–56. doi: 10.1016/0304-3940(94)90933- 4.
73
Baratawidjaja, K. G., dan Rengganis, I. 2012. Imunologi Dasar. Badan Penerbit FKUI. Jakarta. 259-282
BFN Mastitis and breastfeeding (2015). Available at: www.breas t feedingnetwork.org.uk.
Bolman, M. et al. (2013) ‘Recapturing the Art of Therapeutic Breast Massage during Breastfeeding.’, Journal of human lactation : official journal of International Lactation Consultant Association, (March), p. 0890334413475527-. doi: 10.1177/0890334413475527.
Branch-Elliman, W. et al. (2012) ‘Risk factors for staphylococcus aureus postpartum breast abscess’, Clinical Infectious Diseases, 54(1), pp. 71–77. doi: 10.1093/cid/cir751.
Brooks, G.F., Carrol, K.C., Butel, J.S., Morse, S.A. 2007 Mikrobiologi kedokteran. Alih Bahasa. Mudihardi E, Kuntaman,WasitoEB et al. Jakarta: Salemba Medika, 2008: 317-27
Chen, H. et al. (2013) ‘Alpinetin attenuates inflammatory responses by interfering toll-like receptor 4/nuclear factor kappa B signaling pathway in lipopolysaccharide-induced mastitis in mice’, International Immunopharmacology. Elsevier B.V., 17(1), pp. 26– 32. doi: 10.1016/j.intimp.2013.04.030.
Chinchali, J. F. and Kaliwal, B. B. (2014) ‘Histopathology of mammary gland in Staphylococcus aureus induced mastitis in mice’, Asian Pacific Journal of Tropical Disease, 4(S1). doi: 10.1016/S2222- 1808(14)60463-1.
Dalimartha, S. (2008). Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jilid 2. Jakarta: Trubus Agriwidya. Hal. 38-40.
EOL, (Encyclopedia of Life). (2013). Clerodendrum paniculatum Pagoda Flower. Sumber http://eol.org/pages/2893552/names. Diakses pada 6 September 2015
Feng, Z. et al. (2014) ‘Antitumor activity of total flavonoids from Tetrastigma hemsleyanum Diels et Gilg is associated with the inhibition of regulatory T cells in mice’, OncoTargets and Therapy, 7, p. 947. doi: 10.2147/OTT.S61794.
Florence, A. R., Joselin, J. and Jeeva, S. (2012) ‘Intra-specific variation of
74
bioactive principles in select members of the genus Clerodendrum L’, Journal of Chemical and Pharmaceutical Research, 4(11), pp. 4908–4914.
Fonseca, I. et al. (2009) ‘Expression profile of genes associated with mastitis in dairy cattle’, Genetics and Molecular Biology, 32(4), pp. 776–781. doi: 10.1590/S1415-47572009005000074.
Foster, T. J. (2004) ‘Staphylococcus aureus’, Journal of Clinical Investigation, 114(12), pp. 1693–96. doi: 10.1172/JCI200422123.7.
Ganeshaiah, K.N. (2013). Clerodendrum paniculatum L. Sumber: http://indiabiodiversity.org/species/show/266140. Diakses pada 6 September 2015
Gorchev, H. G. and Ozolins, G. (2011) ‘Guidelines for Drinking-water Quality’, Who, 1, p. 564. doi: 10.1016/S1462-0758(00)00006-6.
Guo, M. et al. (2013) ‘Baicalin plays an anti-inflammatory role through reducing nuclear factor-κB and p38 phosphorylation in S. aureus- induced mastitis’, International Immunopharmacology. Elsevier B.V., 16(2), pp. 125–130. doi: 10.1016/j.intimp.2013.03.006.
Guo, Y.-F. et al. (2017) ‘Luteolin reduces inflammation in Staphylococcus aureus-induced mastitis by inhibiting NF-kB activation and MMPs expression’, Oncotarget, 8(17), pp. 28481–28493. doi: 10.18632/oncotarget.16092.
Hafiz, I., Rosidah and Silalahi, J. (2016) ‘Antioxidant and anti-inflammatory activity of pagoda leaves (clerodendrum paniculatum l.) ethanolic extract in white male rats (Rattus novergicus)’, International Journal of PharmTech Research, 9(5), pp. 165–170.
Hamor G.H., 1989, Nonsteroidal anti-inflammatory drugs, dalam Foye W.O., (Ed.), Principles of Medicinal Chemistry, 3rd Ed., 503–530, Lea & Febiger, Philadelphia.
Hariana, A. (2008). Tumbuhan Obat dan Khasiatnya. Seri 1. Jakarta: Penebar Swadaya. Hal. 60-62
Harris, L. G. et al. (2002) ‘An introduction to Staphylococcus aureus, and techniques for identifyingand quantifying S. aureus adhesins in relation to adhesion to biomaterials:Review’, European Cells and
75
Materials, 4, pp. 39–60. doi: 10.22203/eCM.v004a04.
Hedges, S. et al. (1991) ‘Interleukin-6 response to deliberate colonization of the human urinary tract with gram-negative bacteria’, Infection and Immunity, 59(1), pp. 421–427.
Hidayat S, Wahyuni S, Andalusia S, 2008. Seri tumbuhan obat berpotensihias, Jakarta: Penerbit PT. Elex Media Komputindo
Hirano, T. (2010) ‘Interleukin 6 in autoimmune and inflammatory diseases: a personal memoir.’, Proceedings of the Japan Academy. Series B, Physical and biological sciences, 86(7), pp. 717–30. doi: 10.2183/pjab.86.717.
History, C. (2017) ‘Mastitis guidelines V 4.0 August 2015’, (August 2015).
Ishartadiati, K. (2010) ‘Peranan Tnf, Il-1, Dan Il-6 Pada Respon Imun Terhadap Protozoa’, 1.
Jahanfar, S., Ng, C. J. and Teng, C. L. (2016) ‘Antibiotics for mastitis in breastfeeding women’, Sao Paulo Medical Journal, 134(3), p. 273. doi: 10.1590/1516-3180.20161343T1.
John, J., Jesil Mathew, A. and Manjunath Setty, M. (2008) ‘Free radical scavenging and anticancer activity of clerodendron paniculatum’, Pharmacologyonline, 3, pp. 730–743.
Joseph, J., Bindhu, A. and Aleykutty, N. (2013) ‘In vitro and in vivo antiinflammatory activity of Clerodendrum paniculatum linn. leaves’, Indian Journal of Pharmaceutical Sciences, 75(3), p. 376. doi: 10.4103/0250-474X.117428.
Judarwanto, W., 2012, Imunologi Dasar : Radang dan Respon Inflamasi, allergyclinic.wordpress.com/2012/02/03/imunologi-dasar-radang- dan-respon-inflamasi/ , 30 Sep 2017.
Juliantina., Farida R. Manfaat sirih (Piper crocatum) sebagai agen anti bakterial terhadap gram positif dan gram negatif. JKKI – Jurnal Kedokteran danKesehatan Indonesia; 2009 No 1 (I).h.5
Kamimure, D. et al. (2014) ‘IL-6 and Inflammatory Diseases’, Cytokine Frontiers: Regulation of Immune Responses in Health and Disease, 6, pp. 1–396. doi: 10.1007/978-4-431-54442-5.
Katzung B.G., 2009, Introduction to autonomic pharmacology, dalam
76
Katzung B.G., (Ed.), Basic and Clinical Pharmacology, 9th Ed, McGraw-Hill, New York.
Kim, Y.-M. et al. (2014) ‘A Citrus flavonoid, 6-demethoxytangeretin, suppresses production and gene expression of interleukin-6 in human mast cell - 1 via anaplastic lymphoma kinase and mitogen- activated protein kinase pathways.’, Biological & pharmaceutical bulletin, 37(May), pp. 871–876. doi: 10.1248/bpb.13-00875.
Kishimoto T. (1989). The biology of interleukin 6. Blood. 74:1-10.
Kumar, V., Abbas, A.K., & Fausto, F., 2005, Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease, 7th ed., 47-86, Elsevier Inc., Philadelphia.
Lai, J. L. et al. (2017) ‘Indirubin Treatment of Lipopolysaccharide-Induced Mastitis in a Mouse Model and Activity in Mouse Mammary Epithelial Cells’, Mediators of Inflammation, 2017. doi: 10.1155/2017/3082805.
Lal, G. and Bromberg, J. S. (2009) ‘Review article Epigenetic mechanisms of regulation of Foxp3 expression’, Blood, 114(18), pp. 3727– 3735. doi: 10.1182/blood-2009-05-219584.
Leena, P. N. et al. (2012) ‘Comparitive Study on Antibacterial Activities of Clerodendron infortunatum Linn and Clerodendron paniculatum linn Root Extract’, 1(3), pp. 325–327.
Leyva-López, N. et al. (2016) ‘Flavonoids as cytokine modulators: A possible therapy for inflammation-related diseases’, International Journal of Molecular Sciences, 17(6). doi: 10.3390/ijms17060921.
Liu, G. Y. (2009) ‘Molecular Pathogenesis of Staphylococcus aureus Infection’, Pediatr Res, 65, pp. 71–77. doi: 10.1203/PDR.0b013e31819dc44d.Molecular.
Liu, Y. et al. (2015) ‘
Lowy, F. (1998) ‘the chromosome, as well as the extrachromosomal el- ements. 6 These genes are transferred between staphy- lococcal strains, species, or other gram-positive bacte- rial species through the extrachromosomal elements. 7’, New England Journal of Medicine, 339, pp. 520–532. doi:
77
10.1056/NEJM199808203390806.
Matsushima, K. et al. (2011) ‘Chemokines in inflammatory and immune diseases’, Inflammation and Regeneration, 31(1), pp. 11–22. doi: 10.2492/inflammregen.31.11.
McGhee, J. R. et al. (1991) ‘Role of interleukin-6 in human and mouse mucosal IgA plasma cell responses’, Immunologic Research, 10(3–4), pp. 418–422. doi: 10.1007/BF02919734.
Miller, V. L. et al. (1994) Molecular Genetics of Bacterial Pathogenesis.
Myles, I. A. and Datta, S. K. (2012) ‘Staphylococcus aureus: An introduction’, Seminars in Immunopathology, 34(2), pp. 181–184. doi: 10.1007/s00281-011-0301-9.
Nester, E. W., Anderson, D. G., Roberts, C. E., & Nester, M. T. 2009. Microbiology A Human Perspective (6th Edition ed.). New York : McGraw-Hill.
Okuda, T. (2005) ‘Systematics and health effects of chemically distinct tannins in medicinal plants’, Phytochemistry, 66(17 SPEC. ISS.), pp. 2012–2031. doi: 10.1016/j.phytochem.2005.04.023.
Parubak, A.S.,2013, Senyawa Flavonoid yang Bersifat Antibakteri dari Akway (Drimys becariana Gibbs), Skripsi Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Papua, Papua
Phuneerub, P. et al. (2015) ‘In vitro anti-inflammatory, mutagenic and antimutagenic activities of ethanolic extract of Clerodendrum paniculatum root.’, Journal of advanced pharmaceutical technology & research, 6(2), pp. 48–52. doi: 10.4103/2231- 4040.154529. van der Poll, T. et al. (1997) ‘Interleukin-6 gene-deficient mice show impaired defense against pneumococcal pneumonia.’, The Journal of infectious diseases, 176(2), pp. 439–44. doi: 10.1086/514062.
Praveen, M. et al. (2012) ‘Preliminary Phytochemical , antimicrobial and toxicity studies on Clerodendrum paniculatum Linn leaves’, 4(1), pp. 41–50.
78
Rathee, P. et al. (2009) ‘Mechanism of Action of Flavonoids as Anti- inflammatory Agents: A Review’, Inflammation & Allergy - Drug Targets, 8(3), pp. 229–235. doi: 10.2174/187152809788681029.
Russel, W.M.S and Burch, R.L.,1959. Principles of humane experimental technique. London: Methuen.
Shashank, K. and Pandey, A. K. (2013) ‘Chemistry and biological activities of flavonoids’, Hindawi The Scientific World Journal, 2013(12), pp. 533–548. doi: 10.1016/j.tifs.2005.08.006.
Shrivastava, N. and Patel, T. (2007) ‘Clerodendrum and Heathcare: An Overview’, Different species of Clerodendron infortunatum have been known to possess antioxidant and hepatoprotective properties, 1(1), pp. 142–150. Available at: http://www.globalsciencebooks.info/Online/GSBOnline/images/07 06/MAPSB_1(1)/MAPSB_1(1)142-150o.pdf.
Sladek, Z. et al. (2005) ‘Neutrophil apoptosis during experimentally induced Staphylococcus Staphylococcus aureus mastitis’, Veterinary Research, 36(3), pp. 629–43. doi: 10.1051/vetres.
Spencer, J. P. (2008) ‘Management of Mastitis in Breastfeeding Women - American Family Physician’, American Family Physician, 78(6), pp. 727–732. Available at: http://www.aafp.org/afp/2008/0915/p727.html.
Sugimoto, Y. et al. (2015) ‘Associations between polymorphisms of interleukin-6 and related cytokine genes and serum liver damage markers: A cross-sectional study in the Japan Multi-Institutional Collaborative Cohort (J-MICC) Study’, Gene, 557(2), pp. 158– 162. doi: 10.1016/j.gene.2014.12.025.
Suradi, R dan Hegar. 2010. Indonesia Menyusui. Jakarta: IDAI
Tanaka, T. and Kishimoto, T. (2014) ‘The Biology and Medical Implications of Interleukin-6’, Cancer Immunology Research, 2(4), pp. 288– 294. doi: 10.1158/2326-6066.CIR-14-0022.
Tong, S. Y. C. et al. (2015) ‘Staphylococcus aureus infections: Epidemiology, pathophysiology, clinical manifestations, and management’, Clinical Microbiology Reviews, 28(3), pp. 603–661. doi: 10.1128/CMR.00134-14.
79
Venkatesha, S., Rajaiah, R., & Berman, B. (2011). Immunomodulation of Autoimmune Arthtritis by Herbal C AM. Evidence Based Complementari and Alternative Medicine, 1-13.
Verri, W. A. et al. (2006) ‘Hypernociceptive role of cytokines and chemokines: Targets for analgesic drug development?’, Pharmacology and Therapeutics, 112(1), pp. 116–138. doi: 10.1016/j.pharmthera.2006.04.001.
De Vliegher, S. et al. (2012) ‘Invited review: Mastitis in dairy heifers: Nature of the disease, potential impact, prevention, and control’, Journal of Dairy Science. Elsevier, 95(3), pp. 1025–1040. doi: 10.3168/jds.2010-4074. Wolfensohn, S. Dan Lloyd, M. 2013. Handbook of Laboratory Animal Management and Welfare. Edisi ke 4. Wiley-Blackwell, New Delhi. World Health Organization (2000) ‘Mastitis - Causes and Management’, World Health Organization, pp. 1–44.
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Perhitungan dosis ekstrak daun pagoda
Lampiran 2 : Perhitungan dosis antibiotik
Lampiran 3 : Daftar arti lambing dan singkatan
Lampiran 4 : Dokumentasi penelitian
Lampiran 5 : Hasil output SPSS
LAMPIRAN 1
Perhitungan Dosis Ekstrak Daun Pagoda Pada Hewan Coba
DOSIS EKSTRAK
1. Menentukan konsentrasi sediaan. (Berdasarkan dosis dan rute pemberian)(Kamimure et al., 2014) Dosis : 50 mg/kbBB Rute pemberian per oral (konsentrasi 1% = )
Rumus :
2. Menentukan berat obat (Berdasarkan dosis dan total berat hewan)
=
=
=
3. Menentukan volume yang disediakan
4. Jumlah dosis yang diberikan perhewan
LAMPIRAN 2
Perhitungan Dosis Antibiotik Floxaxilin
1.
2.
3.
4.
5.
Nb : 1 ml/9,59 mg 9,59 mg x 0,9 ml= 8,9 mg (Didalam 0,9 ml terdapat 8,9 mg kandungan antibiotic flucloxacillin)