Objek Wisata Sejarah Benteng Marlborough

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Objek Wisata Sejarah Benteng Marlborough OBJEK WISATA SEJARAH BENTENG MARLBOROUGH Muhardi Museum Negeri Bengkulu Jl. Pembangunan No. 08, Gading Cempaka, Kota Bengkulu, [email protected] Abstract:Historical Tourismof Fort Marlborough. From the economic aspect Marlborough fort as a tourism has a high sales value because it has a unique, architecture and the most interesting is the value of history is full of intrigue and value people’s strunggle of Bengkulu will be a dignity as a cultural community. But it is unfortunate British fort that became colonial rule and also part Bengkulu people's struggle has not been able to inspire collective awareness of Bengkulu people and understanding of old story to his visitors. This is due to the manager is not maximized in handling objects. Keywords: Travel, Bull, Architecture, Bengkulu. Abstrak: Objek Wisata Sejarah Benteng Marlborough. Dari aspek ekonomi wisata benteng Marlborough mempunyai nilai jual tinggi karena memiliki keunikan, arsitektur dan yang tidak kalah menarik adalah nilai sejarahnya yang penuh intrik dan nilai kejuangan rakyat Bengkulu akan sebuah harkat sebagai satu komunitas budaya. Namun sangat disayangkan benteng Inggris yang menjadi supremasi kolonial dan juga simpul perjuangan rakyat Bengkulu belum mampu menggugah kesadaran kolektif masyarakat Bengkulu maupun pemahaman masa lalu kepada pengunjungnya. Hal ini disebabkan pihak pengelola belum maksimal dalam menangani objek. Kata kunci: Wisata, Banteng, Arsitektur, Bengkulu. Pendahuluan kokoh dan angkuh terhadap lingkungan Tidaklah berlebihan kalau belum sekitarnya. Kondisi inilah yang menjadi mengunjungi benteng Marlborough anda daya tarik benteng yang dibangun oleh belumlah ke Bengkulu.Benteng East Indian Company (EIC) dan Marlborough adalah benteng peninggalan merupakan benteng Inggris terbesar kolonial Inggris di Bengkulu, yang kedua di Asia setelah Benteng George di dibangun antara tahun 1714 - 1719 pada India. masa pemerintahan gubernur Joshep Dari aspek ekonomi wisata benteng Collet (1712-1716). Bangunan fisik benteng Marlborough mempunyai nilai jual tinggi berbentuk kura-kura menghadap ke utara, karena memiliki keunikan, arsitektur dan pada bagian kepala menuju ke bangunan yang tidak kalah menarik adalah nilai induk dihubungkan oleh dua jembatan sejarahnya yang penuh intrik dan nilai dengan dua gerbang kayu yang kokoh. kejuangan rakyat Bengkulu akan sebuah mempunyai empat bastion sebagai kaki harkat sebagai satu komunitas budaya. kura-kura. Benteng Marborugh berdiri Namun sangat disayangkan benteng di atas lahan seluas 44.100,5 M2, panjang Inggris yang menjadi supremasi kolonial bangunan 117,5 meter, lebar 140,5 meter, dan juga simpul perjuangan rakyat ketebalan dinding bagian luar 3,00 meter Bengkulu belum mampu menggugah dan bagian dalam 1,85 meter. Parit kering kesadaran kolektif masyarakat Bengkulu dan tanggul yang mengelilingi benteng maupun pemahaman masa lalu kepada ini seperti memisahkannya dengan dunia pengunjungnya. Hal ini disebabkan pihak di luar, sehingga benteng terlihat begitu Tsaqofah & Tarikh Vol. 1 No. 2, Juli-Desember 2016 pengelola belum maksimal dalam “seolah Bengkulu hilang dari peta”. Awal menangani objek. berdirinya republik ini tidak terlepas dari Objek benteng Marlborough dalam peran seorang puteri Bengkulu yang persepsi ekologi belum mendapatkan dengan ketulusan hatinya telah menjahit sentuhan sehingga berbagai fungsi yang bendera pusaka yang dikibarkan saat bisa dikembangkan sesuai preference proklamasi yang kemudian menjadi ibu model Kaplan (coherence; akan negara pertama republik ini adalah puteri meningkatkan kemungkinan untuk Bengkulu. dipilih, legalility; meningkatkan Menjadikan Benteng Marlborough kemampuan mengkategorikan objek, sebagai objek wisata unggulan adalah complexity variasi elemen dari objek, dan langkah awal memuplikasikan kejayaan mistery; informs yang akan menggugah masa lampau untuk mengangkat citra rasa ingin tahu pengunjung) belum Bengkulu sebagai destinasi sejarah mengemuka. budaya. Benteng berbentuk kura-kura Dari uraian tersebut permasalahan yang mempunyai “nilai jual” tinggi ini yang timbul pada manajemen adalah adalah supremasi kolonial atas pemerahan belum terkelolanya objek terutama bidang ekonomi sekaligus perlindungan Inggris pemasarannya. Tulisan ini akan mencoba dari musuh-musuhnya terutama menguraikan bagaimana upaya perlawanan rakyat Bengkulu yang tak peningkatan kualitas layanan (service pernah redup. Selaku objek sejarah, quality/servqual) marketing sesuai kondisi benteng Inggris terbesar kedua di Asia ini yang ada berdasarkan amatan lapangan belum mampu “bicara”, karena jalinan terhadap pengelola dan pengunjung. interaksi yang akan membangun image pengunjung belum terangkai secara utuh. Pembahasan Pengunjung hanya mendapatkan sedikit A. Sejarah Benteng Marlborough gambaran yang terfokus pada fisik Jauh sebelum Inggris mendirikan benteng tua ini. Sehingga fungsinya benteng Marlborough, Bengkulu telah sebagai objek yang akan menjembatani dikenal sebagai penghasil lada dengan terbentuknya kesadaran kolektif kualitas terbaik. Lada Bengkulu pada masyarakat Bengkulu belum tersentuh. masanya ibarat susu cap nona dalam Tulisan ini akan mencoba merilis kembali sejarah Bengkulu yang menjadi daya tarik kejayaan masa lampau Bengkulu dari ekonomi dan politik kerajaan-kerajaan persfektif museologi (ilmu tentang seluk Nusantara terutama Aceh dan Banten beluk permuseuman). maupun kolonial Barat. –daya tarik ini Temuan arkeologis menunjukkan pulalah yang nantinya “mengubur” bahwa kebudayaan Bengkulu telah Bengkulu dalam keterasingan dan berkembang sejak jaman megalit yang ketertinggalan pada masa kekuasaan tersebar di seluruh wilayah provinsi Inggris dan sesudahnya–. Keterasingan itu Bengkulu. Ekskavasi situs Padang Sepan juga terkadang kita rasakan ketika ada Bengkulu Utara ditemukan tempayan orang bertanya Bengkulu itu dimana? kubur, guci, beliung persegi, belincung, Kenyataan ini sepertinya menyiratkan juga keramik dinasti Sung, Yuan, dan 156 Muhardi Objek Wisata Sejarah Benteng Marlborough Ming yang secara arkeologis dijadikan referensi untuk mengungkap mengindikasikan bahwa masyarakatnya sejarah kerajaan di Bengkulu. sudah menguasai teknologi yang Perjalanan sejarah Bengkulu berhubungan dengan religi dan organisasi sepertinya dirajut secara dramatis bahkan sosial. Februari tahun lalu juga ditemukan mungkin juga sedikit romantis. Sangat perkuburan megalit di Tebat Monok riskan memang, serangan kerajaan Aceh Kepahiang yang menunjukan pola pada awal abad ke 17 yang penguburan skunder. Ditemukan meluluhlantakkan Sungai Serut lantaran tempayan kubur dan kapak batu neolit sicantik Puteri Gading Cempaka menolak sebagi bekal kubur. Pemukiman megalitik pinangan putera raja Aceh. Tetapi faktor di wilayah Bengkulu berbentuk pola ekonomi dalam bentuk hasrat merebut mengelompok yang ditimbulkan oleh hegomoni perdagangan tentu lebih logis adanya pola subsistensi sebagai suatu dan tidak bias ketimbang cinta sang strategi dalam menyiasati kondisi alam pangeran yang bertepuk sebelah tangan. yang menjadi sumber dari subsistensi Sejarah juga mencatat bahwa pada waktu mereka. Tradisi megalit ini dikategorikan itu Bengkulu terbelah dua; dari Air Urai berkembang pada masa neolitik akhir atau ke Utara dibawah pengaruh Aceh, dan ke awal paleometalik dan terus Selatan dibawah pengaruh Banten. dipertahankan hingga terjadinya kontak Bahkan Banten mengklaim Bengkulu dagang dengan bangsa luar seperti Cina, sebagai bagian dari wilayahnya, Vietnam, atau Thailand. sementara Inggris dan Belanda juga saling Bentang alam Bengkulu yang berebut pengaruh. Perancis dengan merupakan daratan sempit dibentengi skwadron lautnya dibawah Comte pegunungan Bukit Barisan dan Samudera Charles Hendri d’Estaing baru dapat Indonesia seolah “membelenggu” menguasai fort Marlborough 11 Agustus Bengkulu dari pengaruh luar. Tinggalan 1760. arkeologis Hindu-Budha di Bengkulu Sumber luar seperti Sejarah Melayu, hanya didapati pada situs Trisakti Suban Banten dan catatan kolonial menyebutkan Air Panas. Sementara itu Islam masuk di pada abad ke 16 dan 17 berkembang Bengkulu sekitar abad ke 16 yang kerajaan-kerajaan kecil seperti: Sungai kemudian menjadi nafas kebudayaan Serut, Selebar, Depati Tiang Empat, Bengkulu, Namun demikian aksara Ka- Sungai Lemao, Sungai Itam, dan Anak Ga-Nga yang merupakan turunan dari Sungai. Walaupun tidak berbentuk aksara Palawa dapat berkembang bahkan negara yang mempunyai kekuasaan menjadi salah satu aset budaya yang perlu tunggal dan mutlak, tetapi mereka dilestarikan. Aksara ini dipakai pada dipersatukan secara genealogis dan adat. naskah-naskah Ka-Ga-Nga yang berisi adat Kerajaan-kerajaan ini terdiri dari beberapa isitiadat/hukum adat, jampi/mantra, dusun dan secara bersama mengangkat pengobatan, pertanian maupun pemimpinnya kemudian bergabung pula kisah/kejadian. Manariknya naskah ini dusun-dusun lain secara sukarela menunjukan ciri Islam, tetapi belum sehingga menjadi lebih kuat. Kerajaan- ditemukan naskah Ka-Ga-Nga yang dapat kerajaan ini adalah penghasil lada terbaik 157 Tsaqofah & Tarikh Vol. 1 No. 2, Juli-Desember 2016 dibawah monopoli Kesultanan Aceh dan Maret 1719 sebagai hari jadi kota Banten. Bengkulu. Meningkatnya permintaan lada Sementara Bengkulu menikmati pada awal abad ke 17 menyebabkan kemerdekaannya, Belanda (VOC) kembali Banten memperketat pengawasan atas menanamkan pengaruhnya, untuk Bengkulu. Sebuah piagam (dari mengurangi pengaruh Belanda, Inggris lempengan tembaga) yang dikeluarkan dizinkan kembali ke Bengkulu 1720. sultan Banten 1668 merupakan bukti Inggris memperkuat fort Marlborough begitu
Recommended publications
  • British Strategic Interests in the Straits of Malacca, 1786-1819
    BRITISH STRATEGIC INTERESTS IN THE STRAITS OF MALACCA 1786-1819 Samuel Wee Tien Wang B.A., Simon Fraser University, 1991 THESIS SUBMITTED IN PARTIAL FULFILLMENT OF THE REQUIREMENTS FOR THE DEGREE OF MASTER OF ARTS in the Department of History O Samuel Wee Tien Wang 1992 SIMON FRASER UNIVERSITY December 1992 All rights reserved. This work may not be reproduced in whole or in part, by photocopy or other means, without permission of the author. APPROVAL NAME: Samuel Wee DEGREE: TITLE OF THESIS: British Strategic Interests in the Straits of Malacca, 1786-1819 EXAMINING COMMITTEE: CHAIR: J. I. Little ~dhardIngram, Professor Ian Dyck, Associate ~hfessor Chdrles Fedorak - (Examiner) DATE: 15 December 1992 PARTIAL COPYRIGHT LICENSE 1 hereby grant to Simon Fraser University the right to lend my thesis, project or extended essay (the title of which is shown below) to users of the Simon Fraser University Library, and to make partial or single copies only for such users or in response to a request from the library of any other university, or other educational institution, on its own behalf or for one of its users. I further agree that permission for multiple copying of this work for scholarly purposes may be granted by me or the Dean of Graduate Studies. It is understood that copying or publication of this work for financial gain shall not be allowed without my written permission. Title of Thesis/Project/Extended Essay British Strategic Interests in the Straits of Malacca Author: (signature) Samuel Wee (name) (date) ABSTRACT It has almost become a common-place assumption that the 1819 founding of Singapore at the southern tip of the strategically located Straits of Malacca represented for the English East India Company a desire to strengthen trade with China; that it was part of an optimistic and confident swing to the east which had as its goal, the lucrative tea trade.
    [Show full text]
  • Time Reconciliation on Fort Marlborough's Design And
    Jurnal Arkeologi Malaysia April 2019, Vol. 32, No. 1, hlm. 33-40 ISSN 0128-0732 e-ISSN 2590-4302 Diterbitkan oleh Ikatan Ahli Arkeologi Malaysia TIME RECONCILIATION ON FORT MARLBOROUGH’S DESIGN AND FUNCTIONS (PENYESUAIAN MASA MENGENAI REKA BENTUK DAN FUNGSI KUBU MARLBOROUGH) Reko Serasi & M. Arif Rahman Hakim Abstract Fort Marlborough is one of the tourism objects in Bengkulu. It has withstood for more than 300 years. During its time, it has gone through many things. As a vital asset for Bengkulu province, a special attention is needed in developing and preserving this site. In some cases, there are many historical heritage buildings were gone or in purpose changed. This article tried to discuss Fort Marlborough from time reconciliation point of view. To get better comprehension and understanding about it, an interdisciplinary study is needed. Socio-cultural and historical theories are applied to reach its goals. In conclusion, it was found that Fort Marlborough experienced good and bad time in its life. There were also changes in its design and function. The design was not changed much, but the great changes were found in its functions. Keywords: Fort Marlborough, Bengkulu, Bencoolen, British Heritage, Abstrak Kubu Marlborough adalah salah satu objek pelancongan di Bengkulu. Ia telah bertahan lebih dari 300 tahun. Sepanjang masa itu, ia telah melalui banyak perkara. Sebagai aset penting bagi wilayah Bengkulu, perhatian khusus diperlukan dalam membangun dan memelihara tapak ini. Dalam sesetengah kes, terdapat banyak bangunan warisan sejarah yang telah hilang atau dalam keadaan berubah. Artikel ini cuba membincangkan kubu Marlborough daripada sudut pandang rekonsiliasi masa.
    [Show full text]
  • Benteng Marlborough Peninggalan Kolonialisme Inggris Di Bengkulu Tahun 1714-1825 Suatu Sumbangan Materi Sejarah Pada Kelas Xi Di Sma Negeri 19 Palembang
    BENTENG MARLBOROUGH PENINGGALAN KOLONIALISME INGGRIS DI BENGKULU TAHUN 1714-1825 SUATU SUMBANGAN MATERI SEJARAH PADA KELAS XI DI SMA NEGERI 19 PALEMBANG SKRIPSI OLEH AFRIZAL KARWANA NIM 352014009 UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDDIKAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH FEBRUARI 201 BENTENG MARLBROUGH PENINGGALAN KOLONIALISME INGGRIS DI BENGKULU TAHUN 1714-1825 SUATU SUMBANGAN MATERI SEJARAH PADA KELAS XI DI SMA NEGERI 19 PALEMBANG SKRIPSI Diajukan kepada Universitas Muhammadiyah Palembang Untuk memenuhi salah satu persyaratan Dalam menyelesaikan program Sarjana Pendidikan Oleh Afrizal Karwana NIM 352014009 UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH FEBRUARI 2019 i ii iii iv MOTTO DAN PERSEMBAHAN♯ Motto : Berjuanglah Karena Tidak ada Yang Tidak Mungkin Selagi Kamu Maish Mampu Untuk Berusaha “Never Give Up” Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan orang-orang yang kufur terhadap karunia Allah (Q.S. Yusuf: 87) Kupersembahkan Kepada: Allah SWT yang selalu memberikan ridhonya dalam segala aktfitasku. Ayahanda Marhawi dan Ibunda Suryani tercinta yang selalu ku banggakan dan senantiasa tiada henti mendo’akan, mendukung, dan mengharapkan kesuksesan dan keberhasilanku. Keluarga Besar M. Arsad dan Muria yang telah memberikan motivasi dan men’doakan dalam menyelsaikan penuisan skripsi ini Dosen pembimbing Dra. Fatmah, M.Hum. dan Aprianna, M.Hum. yang selalu memberikan arahan dalam penyusunan karya tulis ini. Seluruh teman-teman seperjuangan Pedidikan Sejarah 2014. Agamaku Almamaterku v ABSTRAK Karwana, Aprizal, 2019. Benteng Marlborough Peninggalan Kolonialisme Inggris di Bengkulu Tahun 1714-1825 Suatu Sumbangan Materi Sejarah Pada Kelas XI Di SMA Negeri 19 Palembang. Skripsi, Program Studi Pendidikan Sejarah, Program Sarjana (SI), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Palembang, Pembimbing (I) Dra.
    [Show full text]
  • French Commerce
    2 French commerce Although France was not far behind England and the United Provinces when she established an East India Company in 1604, the venture represented a hope, not a fulfilment. A group from Saint-Malo in Brittany had managed to send two ships to the Moluccas, the legendary spice islands of Indonesia, as early as 1601, but successive attempts to found a viable trading company were frustrated until Richelieu’s Eastern Company was created in 1642 through the amalgamation of Paris and Dieppe promoters. Even this commercial syndicate was short-lived, however, and in the evolution of the French unitary state in the 17th century trade in the Far East was too often subordinated to political ends. Colonization and the dream of empire weighed at least as heavily as mercantile advantage. The successive French trading monopolies operating in eastern waters throughout most of the 18th century differed fundamentally from those of their main competitors in Britain, Denmark and the United Provinces. They were agents of government, largely controlled by the state, rather than independent commercial undertakings, and their personnel, at home, at sea and abroad, was always more national in its composition than that of their rivals. The Eastern Company of 1642 was preoccupied with settlement, trade and missionary endeavour on Madagascar. Some interest was shown in the possibility of using Saldanha Bay as an anchorage and refreshment station on the voyages of its ships. Etienne de Flacourt of Orleans spent some days there in 1648 on his outward voyage from La Rochelle in the Saint-Laurent and was at Saldanha Bay again for three weeks in 1655, after Jan van Riebeeck’s arrival at the Cape, on his return in the Ours.
    [Show full text]
  • Fort Marlborough
    i ii iii iv v vi vii viii ix x xi xii KATA PENGANTAR Alhamdulillah, dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik. Dimana tugas akhir ini penulis sajikan dalam bentuk buku yang sederhana. Adapun judul tugas akhir, yang penulis ambil yang judul “ Fort Malrborough” Tujuan penulisan tugas akhir ini dibuat sebagai salah satu syarat kelulusan program Diploma III Akademi Komunikasi BSI Jakarta. Sebagai bahan penulisan diambil berdasarkan hasil penelitian (eksperimen), observasi dan beberapa sumber literatur yang mendukung penulisan ini. Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan dan dorongan dari semua pihak, maka penulisan tugas akhir ini tidak akan lancar. Oleh karena itu pada kesempatan ini, izinkanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Bapak Ir.Naba Aji Notoseputro sebagai direktur bina sarana informatika 2. Bapak Samsul Bachri sebagai direktur akademi komunikasi 3. Staff/karyawan/dosen bsi di lingkungan akom 4. Ibu anisti s.sos sebagai ketua jurusan akademi komunikasi (akom ) bsi 5. Lukman .S.I.Kom.M.M sebagai pembimbing 6. Ucapan terima kasih ditujukan kepada keluarga , terutama kedua orangtua, saudara-saudara yang telah sangat membantu dalam mendorong, menyarankan penulis untuk menyelesaikan tugas akhir ini.. 7. Ucapan terima kasih ditujukan kepada teman-teman 42.6D.01 atas waktunya saat kita bersama-sama. xiii Serta semua pihak yang terlalu banyak untuk disebut satu persatu sehingga terwujudnya penulisan ini. Penulis menyadari bahwa penulisan tugas akhir ini masih jauh sekali dari sempurna, untuk itu penulis mohon kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan penulisan dimasa yang akan datang.
    [Show full text]
  • European Slave Trading in the Indian Ocean, 1500–1850
    European Slave Trading in the Indian Ocean, 1500–1850 Richard B. Allen OHIO UNIVERSITY PRESS ATHENS, OHIO ONE Satisfying the Demand for Laboring People, 1500–1850 EARLY IN JULY 1758, the British East India Company’s Court of Directors in London wrote to officials at Bombay (Mumbai) after receiving reports that the financial problems plaguing Fort Marlborough, the company’s factory at Bencoolen (Benkulen, Bengkulu) on the west coast of Sumatra, stemmed from a “want of labouring people.” The directors noted that since company personnel at Madras (Chennai) were unable to procure slaves for their Sumatran outpost while English merchants based at Bom- bay had “an intercourse with Mozambique and Madagascar, and make the Coffrees a part of their traffick, we order that you purchase all the Slaves procurable, Men, Women, and Children, for our Settlement of Bencoolen, and convey them thither by the Cruizer we have ordered upon that Station, or by any other speedy method that may offer.”1 Only a few of the 500 slaves the directors authorized that July to be shipped to Bencoolen, either via Bombay or directly from Mo- zambique and Madagascar, apparently reached Sumatra. Those 1 who did so arrived in a less than expeditious manner; in March 1759, officials at Fort Marlborough pleaded again for slaves to be sent to them as soon as possible.2 A slave census that November recorded the presence of 460 men, women, and children at the factory and its substations compared to the 458 enumerated in 1758.3 The following month, the fort acknowledged receiving 9 “very acceptable” Coffrees from Bombay who, while clearly wel- comed, nevertheless remained far too few in number to meet the station’s need for slave laborers.
    [Show full text]
  • Slavery in a Remote but Global Place: the British East India Company and Bencoolen, 1685-1825
    Instructions for authors, subscriptions and further details: http://hse.hipatiapress.com Slavery in a Remote but Global Place: the British East India Company and Bencoolen, 1685-1825 Richard B. Allen1 1) Editor of the Indian Ocean Studies Series, Ohio University Press Date of publication: June 23th, 2018 Edition period: June 2018-October 2018 To cite this article: Allen, R.B. (2018). Slavery in a Remote but Global Place: the British East India Company and Bencoolen, 1685-1825. Social and Education History, 7(2), 151-176. doi:10.17583/hse.2018.3374 To link this article: http://dx.doi.org/10.17583/hse.2018.3374 PLEASE SCROLL DOWN FOR ARTICLE The terms and conditions of use are related to the Open Journal System and to Creative Commons Attribution License (CC-BY). HSE – Social and Education History Vol.7 No. 2 June 2018 pp. 151- 176 Slavery in a Remote but Global Place: the British East India Company and Bencoolen, 1685- 1825 Richard B. Allen Editor of the Indian Ocean Studies Series, Ohio University Pres Abstract ___________________________________________________________________ Histories of the British East India Company usually ignore the company’s use of slave labor. Records from its factory at Bencoolen in Sumatra provide an opportunity to examine company attitudes and policies toward its chattel work force in greater detail. These sources reveal that the company drew slaves from a global catchment area to satisfy the demand for labor in its far-flung commercial empire, shed light on policies and practices regarding the treatment of company slaves, and illustrate the company’s role in the development of increasingly interconnected free and forced labor trades during the late eighteenth and early nineteenth centuries.
    [Show full text]
  • [CHECK JAN: New Paradigm]
    Cover Page The handle http://hdl.handle.net/1887/36561 holds various files of this Leiden University dissertation. Author: Kroon, Andréa Angela Title: Masonic networks, material culture and international trade : the participation of Dutch Freemasons in the commercial and cultural exchange with Southeast Asia (1735- 1853) Issue Date: 2015-11-26 3. DUTCH FREEMASONRY ALONG THE TRADE ROUTES TO SOUTHEAST ASIA Fig. 3.1.: Traffic between Dutch lodges in Southeast Asia in the 18th and early 19th centuries. 3.1. Freemasonry and European expansion In recent years, the study of freemasonry has focussed on (global) network relationships and western expansion. Jessica Harland-Jacobs provides an introduction into this field in the article ‘Hands across the Empire’ (1999), explaining the interest in ‘new human geographies’.1 Such networks are characterized by a transoceanic reach, in which ‘patterned interactions’ take place, and ‘transformation of socio-spatial interactions over time’ can be studied.2 Examples of relevant studies are Harland-Jacobs’ Builders of Empire. Freemasonry and British Imperialism (2007), Joachim Berger’s ‘European Freemasonries, 1850- 1935: Networks and Transnational Movements’ (2010), and Simon Deschamps’ thesis Franc-maçonnerie et pouvoir colonial dans l'Inde britannique, 1730-1921 (2014), all of which focus more heavily on the 19th than the 18th century, as that is when transnational rather than national identities were formed. As Berger put it, there were ‘certain groups of masonic actors whose activity regularly spanned national boundaries and who created regulatory mechanisms for their cross-border cooperation.3 Berger also identified the actors and mediators in this process as (for the 19th century) European aristocrats and emigrants, while (for the 18th century) those involved in trade and the military should be added.
    [Show full text]
  • Kajian Identitas Pusat Kota Lama Bengkulu Dengan Referensi Rossi Dan Trancik
    TESIS KAJIAN IDENTITAS PUSAT KOTA LAMA BENGKULU DENGAN REFERENSI ROSSI DAN TRANCIK FITRIANTY WARDHANI 3211 203 004 DOSEN PEMBIMBING Prof. Ir. Endang Titi Sunarti Darjosanjoto, M.Arch, PhD Prof. Dr. Ir. Josef Prijotomo, M.Arch PROGRAM MAGISTER BIDANG KEAHLIAN PERANCANGAN KOTA JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2015 THESIS STUDY ON IDENTITY OF BENGKULU OLD CITY CENTER BY REFERING ROSSI AND TRANCIK FITRIANTY WARDHANI 3211 203 004 SUPERVISORS Prof. Ir. Endang Titi Sunarti Darjosanjoto, M.Arch, PhD Prof. Dr. Ir. Josef Prijotomo, M.Arch GRADUATE SCHOOL OF URBAN DESIGN DEPARTMENT OF ARCHITECTURE FACULTY OF CIVIL ENGINEERING AND PLANING INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2015 KAJIAN IDENTITAS PUSAT KOTA LAMA BENGKULU DENGAN REFERENSI ROSSI DAN TRANCIK Nama Mahasiswa : Fitrianty Wardhani NRP : 3211203004 Pembimbing : Prof. Ir. Endang Titi Sunarti B.D, M.Arch, Ph.D Co-pembimbing : Prof. Dr. Ir. Josef Prijotomo, M.Arch ABSTRAK Identitas membedakan antara satu kota dengan kota lainnya. Artefak kota sejatinya dapat dijadikan identitas sebuah kota namun pembangunan kota saat ini sering mengabaikannya. Dengan mengabaikan artefak kota sama artinya menghancurkan ingatan kolektif masyarakat tentang masa lampau. Dalam perkembangannya kota Bengkulu belum mempunyai identitas kota. Studi ini mengidentifikasi artefak, elemen kota, struktur artefak kota, dan place dengan menggunakan dua teori dari Rossi dan Trancik. Kedua teori dijadikan acuan untuk mencari identitas pusat kota lama Bengkulu. Teori dari Aldo Rossi akan mengidentifikasi artefak, elemen, dan struktur artefak kota. Sedangkan teori Trancik diterapkan untuk mengidentifikasi place pada pusat kota lama Bengkulu. Teknik analisa yang digunakan menggunakan teknik analisa diachronic reading, synchronic reading dan tipo-morfologi untuk identifikasi dengan teori Rossi sedangkan identifikasi dengan teori Trancik menggunakan teknik analisa cognitive mapping dan synchronic reading.
    [Show full text]
  • Introduction
    Introduction This book is about convicts from India, or bandwars, to use a Hindustani term employed by a sepoy, or soldier in Bengkulu, to refer to his fellow countrymen in that west Sumatran settlement in the early nineteenth century. The sepoy was alluding to convicts banished to insular prisons across the Indian Ocean to serve mostly life sentences of penal transportation for their heinous crimes, not inmates lodged in jails in India. My focus is on narrating the lived experiences of these overwhelmingly male convicts housed in three penal settlements in the Indian Ocean in the long nineteenth century extending from 1789 to 1914: Bengkulu (also known as Bencoolen or Fort Marlborough) in west Sumatra, Penang (or Pulo Penang) in present- day Malaysia, and Singapore. Authorities in the Bengal Presidency, headquartered in Calcutta, along with their counterparts in the other presidencies of Bombay (Mumbai) and Madras (Chennai), also trans- ported bandwars to other parts of Southeast Asia: to Burma (present- day Myanmar), Malacca (Malaysia), and various islands in the Indonesian archi- pelago that were in and out of British hands in the decades before and after the turn of the nineteenth century. Colonial authorities also made use of other imperial outposts across the Indian Ocean, that body of water generi- cally termed kala pani or black water by many people in India, dispatching “criminal” offenders in significant numbers, particularly to Mauritius in the southwest quadrant beginning the 1810s, and to the Andamans in the Bay of Bengal, briefly in the 1790s and then again beginning in the late 1850s, when it became the principal penal depot for convicts from India.
    [Show full text]
  • 1 Colonial Bengkulu / Benkoelen, Worth a Visit and Much More Than That
    Colonial Bengkulu / Benkoelen, worth a visit and much more than that You want colonial adventure, go to Bengkulu and fall in love!! Author Dirk Teeuwen Pictures are available on request. Contents 1. Introduction 2. The beach 3. The Chinese quarter after the earthquake of 1916 4. Some monuments: Fort Marlborough and Sukarno’s House 5. European cemetary Account for pictures: see subscripts P.1, P.2, etc. 1. Introduction Bengkulu / Benkoelen, southwest coast of Sumatra, is an Indonesian province. The province is small and is not so densily populated, comprising a very mixed ethnic ancestry people (Rejang, Malay, Bugis, Chinese, Singhalese, Arabic and Indo (mixed Indonesian / Chinese and Dutch blood). The traveller has to pass the Bukit Barisan Mountains and will arrive, at last, at this beautiful and clean colonial diamant, called Bengkulu capital of the of the same name, on the western coast of this very rainy island a few miles west from Singapore. Cheap flight reservations can be arranged to reach Medan in the north of Sumatra from anywhere. Then follows a long, but interesting journey over land before you reach Benkulu. By air Bengkulu is connected with Jakarta. But delay is normal. The British founded Bengkulu in 1685. It stil is a quiet university town as well as an administrative centre. The town contains a number of historical monuments such as Benteng Marlborough / Fort Marlborough, Sukarno’s House, Mesjid Jamik (designed by Sukarno, a professional architect, during his exile in Bengkulu), Bengkulu Museum and the European cemetery at Jalan Ditra. Most of Bengkulu is set back from the quiet coast.
    [Show full text]
  • The Early Modern Colonial State in Asia
    The Early Modern Colonial State in Asia Private Agency and Family Networks in the English East India Company David Veevers Submitted for PhD examination University of Kent February 2015 Word count: 92,189 Acknowledgements I would like to thank my supervisors, Dr Pratik Chakrabarti and Dr Will Pettigrew, both of whom have provided me with untold amounts of support – emails in the middle of the night, impromptu lunch meetings and page-after-page of feedback. Specifically, Pratik Chakrabarti has exposed me to the lost art of thinking, instilled in me by his example a rigid work ethic and has been an inspiring role model of academic integrity. He has also supplied me with an unending stream of animal metaphors that have consistently energised my approach to research, while also leaving me slightly confused. Will Pettigrew, on the other hand, has challenged my identity as a protean historian, constantly forcing me to consider the path my research intends to take and the sort of researcher I would like to be. Our historiographical exchanges have been invaluable in shaping my research questions and aims. Furthermore, his never-ending supply of Double Deckers has left a permanent impact upon my waistline. I would also like to thank the School of History at the University of Kent, who succeeded during my nine years as an undergraduate and postgraduate student, and finally as a doctoral researcher, in fostering a lively and creative community of historians at all levels. I would specifically like to thank Professor Kenneth Fincham and the funding provided by the University for both a Postgraduate Taught Studentship and a Graduate Teaching Studentship which allowed me to pursue my studies.
    [Show full text]