UPAYA TURKI UNTUK MENGHIDUPKAN KEMBALI NEGOSIASI AKSESI KE UNI EROPA PASCA-PEMBEKUAN NEGOSIASI AKSESI TAHUN 2018

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos.)

oleh:

Nida Fajriyatul Huda

11161130000087

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2020

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Skripsi yang berjudul:

UPAYA TURKI UNTUK MENGHIDUPKAN KEMBALI NEGOSIASI AKSESI KE UNI EROPA PASCA-PEMBEKUAN NEGOSIASI AKSESI TAHUN 2018

1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu

persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya saya

asli atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta

Jakara, 14 Desember 2020

Nida Fajriyatul Huda

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI

Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:

Nama : Nida Fajriyatul Huda

NIM : 11161130000087

Program Studi : Ilmu Hubungan Internasional

Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:

UPAYA TURKI UNTUK MENGHIDUPKAN KEMBALI NEGOSIASI AKSESI KE UNI EROPA PASCA-PEMBEKUAN NEGOSIASI AKSESI TAHUN 2018

Dan telah memenuhi syarat untuk diuji.

Jakarta, 14 Desember 2020

Mengetahui, Menyetujui, Ketua Program Studi Pembimbing

Muhammad Adian Firnas, S.IP, M.Si Ahmad Alfajri, MA NIP. NIP. 198507022019031005

iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

SKRIPSI UPAYA TURKI UNTUK MENGHIDUPKAN KEMBALI NEGOSIASI AKSESI KE UNI EROPA PASCA-PEMBEKUAN NEGOSIASI AKSESI TAHUN 2018

oleh: Nida Fajriyatul Huda 11161130000087 Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 23 Desember 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos.) pada Program Studi Ilmu Hubungan Internasional.

Ketua, Sekretaris,

Muhamad Adian Firnas, S.IP, M.Si Irfan Rachmad Hutagalung, SH, LLM NIP. NIP.

Penguji I, Penguji II,

Kiky Rizky, M.Si. Robi Sugara, M.Sc NIP. 197303212008011002 NIP.

Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 23 Desember 2020

Ketua Program Studi Hubungan Internasional, FISIP UIN Jakarta

Muhamad Adian Firnas, S.IP, M.Si NIP.

iv

ABSTRAK

Skripsi ini menganalisis sejauh mana upaya Turki dalam menghidupkan kembali negosiasi aksesi Turki ke Uni Eropa (UE) pasca-pembekuan tahun 2018 melalui penyesuaian aspek normatif UE. Penelitian dalam skripsi ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan analisis deskriptif. Data yang digunakan dalam penelitian ini didapatkan melalui studi kepustakaan. Melalui pendekatan Konstruktivisme versi Peter Katzenstein, penelitian ini menemukan adanya pertentangan antara aspek normatif internasional yang diajarkan oleh UE dan aspek normatif domestik Turki. Ketika pertentangan tersebut muncul, skripsi ini melihat bahwa aspek normatif domestik Turki yang berfokus pada aspek keamanan mendominasi proses upaya Turki dalam menghidupkan kembali negosiasi aksesi ke UE.

Selain itu, skripsi ini juga menggunakan Teori Sekuritisasi dan Regional Security Complex Theory versi Barry Buzan dan Ole Waever untuk melihat lebih jauh bagaimana aspek normatif keamanan Turki mempengaruhi proses upaya Turki dalam menghidupkan kembali negosiasi aksesi ke UE. Berdasarkan analisis data dengan kedua teori tersebut, skripsi ini menemukan bahwa ancaman terhadap terorisme, serta pola hubungan amity Turki dengan Turkish Republic of Northern Cyprus (TRNC) menjadi aspek normatif yang mendominasi kebijakan Turki dan berpengaruh besar terhadap kelanjutan proses negosiasi aksesi Turki ke Uni Eropa. Dominasi struktur normatif domestik Turki yang cenderung bertentangan dengan struktur normatif UE tersebut membuat upaya yang diusahakan Turki tidak mampu mengantarkan Turki kepada penghidupan kembali negosiasi aksesi ke UE.

Kata kunci: Turki, Uni Eropa, Negosiasi Aksesi, Konstruktivisme, Keamanan,

Sekuritisasi, Regional Security Complex Theory.

v

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt. atas mencurahkan rahmat dan ridho-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi

Muhammad Saw. yang telah menjadi suri tauladan bagi penulis untuk selalu bersungguh-sungguh dalam megupayakan apapun termasuk dalam penulisan skripsi ini.

Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis juga mendapatkan banyak bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan rasa syukur dan terimakasih yang mendalam kepada:

1. Bapak Ahmad Al Fajri, MA yang telah bersedia untuk menjadi dosen

pembimbing skripsi penulis. Terima kasih telah membimbing penulis

dengan sangat sabar walaupun penulis sering kali terlambat dalam

mengirimkan revisi. Terima kasih atas segala masukan dan kritik

membangun yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan

penulisan skirpsi ini. Terima kasih atas ilmu yang selama ini Bapak berikan,

baik dalam mata kuliah Teori HI maupun selama masa bimbingan skripsi.

Semoga ilmu tersebut dapat menjadi amal jariyah bagi Bapak dan semoga

vi

Bapak dan keluarga senantiasa diberikan kesehatan dan keberkahan oleh

Allah Swt.

2. Bapak Kiky Rizky dan Bapak Robi Sugara selaku dosen penguji sidang

skripsi penulis. Terima kasih atas bimbingan dan bantuan yang diberikan

kepada penulis dalam memperbaiki penulisan skripsi ini menjadi lebih baik

dari sebelumnya.

3. Keluarga penulis, Mama, Papap, serta adik-adik yang telah memberikan

dukungan moril maupun materil kepada penulis. Terima kasih atas

dukungan dan doa tulus yang selalu dipanjatkan untuk penulis.

4. Seluruh Dosen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang telah mengajarkan berbagai macam ilmu yang

bermanfaat dan tidak ternilai harganya kepada penulis. Semoga Bapak dan

Ibu selalu diberikan kesehatan dan keberkahan oleh Allah Swt.

5. Zulfa, Ina, Alif, Kak Maulida, Adila, Arbam, dan Farha yang telah menjadi

teman diskusi penulis selama penulisan skripsi, terimakasih untuk segala

masukan dan dukungan yang diberikan selama proses penulisan

berlangsung. Semoga kalian selalu diberkati kesehatan dan kemudahan

dalam menjalankan upaya apapun kedepannya.

6. Teman-teman “Ciee Watsapan”, Bela, Zulfa, dan Savana. Terimakasih mau

berteman dengan penulis dengan segala keanehannya sejak masa orientasi

sampai sekarang. Semoga ke depannya kita dapat terus menjaga

silaturrahim yang baik satu sama lain dan dapat mencapai kesuksesan

masing-masing di masa depan.

vii

7. Keluarga besar Fisip Mengajar. Terimakasih atas segala pengalaman dan

ilmu luar biasa yang tidak mungkin penulis bisa dapatkan di tempat lain.

Terkhusus untuk para senior Fisip Mengajar, Kak Eri, Kak Devina, Kak

Gunawan, Kak Doni, Kak Redi, Kak Sultan, serta untuk teman seperjuangan

penulis, Kak Audy, Ais, Mael, Miftah, Mauby, dan Madyan. Terimakasih

telah turut membentuk pribadi penulis untuk menjadi pribadi yang lebih

tulus, berani, dan bertanggung jawab dalam mengerjakan apapun.

8. Keluarga besar Kelompok Asuh Pelita Hati (KAPH) Gunung Balong.

Terkhusus untuk Kak Fajri, Kukur, Lina, Ilham, dan Aril. Terimakasih telah

menginspirasi penulis bahwa memberi manfaat kepada sesama bukanlah

suatu hal yang melelahkan, namun justru dapat menenangkan hati dan

menyembuhkan.

9. Keluarga besar International Studies Club (ISC). Terimakasih atas ilmu dan

pengalaman yang begitu berharga. Terkhusus untuk para senior ISC, Kak

Maulida, Kak Tyas, Kak Aulia, Kak Aisyah, Kak Faisal, Kak Astrid yang

selalu menyempatkan waktu untuk menjawab setiap pertanyaan penulis dan

selalu bersedia dimintai tolong. Tidak lupa untuk teman-teman

seperjuangan yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu, terimakasih

untuk kebersamaan dan kerjasamanya dalam setiap pengerjaan proyek ISC.

See you on top, guys!

10. Teman-teman HI Angkatan 2016, terkhusus teman-teman HI C yang penulis

banggakan. Terimakasih telah menemani masa perkuliahan penulis.

viii

Semoga kita semua senantiasa diberkahi kesehatan dan dapat bertemu

kembali dengan kesuksesan masing-masing di masa depan.

Penulis berharap semoga dukungan dan amal baik dari seluruh pihak yang telah membantu penulis akan mendapat balasan yang sesuai dari Allah Swt. Selain itu, penulis juga menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga kritik dan saran yang konstruktif akan sangat membantu penulis dan semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangsih yang baik bagi perkembangan

Ilmu Hubungan Internasional.

Jakarta, Desember 2020

Nida Fajriyatul Huda

ix

DAFTAR ISI

JUDUL SKRIPSI ...... i PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ...... ii PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ...... iii PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ...... iv ABSTRAK ...... v KATA PENGANTAR ...... vi DAFTAR ISI ...... x DAFTAR GAMBAR ...... xii DAFTAR LAMPIRAN ...... xiii DAFTAR SINGKATAN ...... xiv

BAB I ...... 1 1.1. Pernyataan Masalah...... 1 1.2. Pertanyaan Penelitian ...... 7 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 7 1.4. Tinjauan Pustaka ...... 8 1.5. Kerangka Teoretis ...... 14 1.5.1. Konstruktivisme ...... 15 1.5.2. Teori Sekuritisasi ...... 18 1.5.3. Regional Security Complex Theory (RSCT) ...... 21 1.6. Metode Penelitian ...... 24 1.7. Sistematika Penulisan ...... 25

BAB II ...... 26

2.1. Negosiasi Aksesi Uni Eropa ...... 26 2.1.1. Sistem Negosiasi Aksesi ke Uni Eropa ...... 26 2.1.2. Proses Pra-Negosiasi Aksesi Turki ke Uni Eropa (1959-2004) 30 2.2. Hubungan Turki dan Uni Eropa dalam Kerangka Negosiasi Aksesi . 34 2.2.1. Periode 2005 – 2012 ...... 35 2.2.2. Periode 2012 – 2016 ...... 45

x

BAB III ...... 55 3.1. Keputusan Pembekuan Negosiasi Aksesi Turki ...... 55 3.2. Permasalahan yang Mendasari Keputusan UE dalam Membekukan Negosiasi Aksesi Turki ...... 59 3.2.1. Pembersihan Setelah Upaya Kudeta Turki pada 15 Juli 2016 .. 59 3.2.2. Rencana Permberlakuan Kembali Hukuman Mati ...... 68 3.2.3. Reformasi Konstitusional Turki ...... 72 3.2.4. Konflik Turki dengan Siprus dan Yunani ...... 79

BAB IV ...... 87 4.1. Upaya Turki di Bidang HAM, Hak-hak Fundamental, Demokrasi, dan Supremasi Hukum yang Sesuai dengan Aspek Normatif UE ...... 89 4.1.1. Komitmen Turki terhadap 18 March Statement ...... 92 4.1.2. Kerjasama Turki dengan the Council of Europe (CoE) ...... 96 4.1.3. Pembaharuan Judicial Reform Strategy (JRS) ...... 98 4.2. Dominasi Aspek Normatif Turki dalam Pembentukan Upaya di Bidang HAM, Hak-hak Fundamental, Demokrasi, dan Supremasi Hukum yang Bertentangan dengan Aspek Normatif UE ...... 101 4.3. Upaya Turki dalam Memperbaiki Hubungannya dengan Negara Anggota UE Sesuai dengan Aspek Normatif UE...... 111 4.4. Dominasi Aspek Normatif Turki dalam Pembentukan Upaya Perbaikan Hubungannya dengan Negara Anggota UE yang Bertentangan dengan Aspek Normatif UE ...... 114

BAB V ...... 122 5.1. Kesimpulan...... 122 5.2. Saran ...... 126

DAFTAR PUSTAKA ...... cxxvii LAMPIRAN ...... cxxxvi

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Pendapat Publik Turki terhadap kelanjutan Negosiasi Aksesi Turki ke Uni Eropa ...... 57

Gambar 3.2 Hasil Referendum Konstitusional Turki 2017 ...... 78

Gambar 4.1 Peta Sengketa di Kawasan Laut Mediterania ...... 116

Gambar 4.2 Pendapat Publik Turki terhadap TRNC ...... 118

Gambar 4.3 Pendapat Publik Turki terhadap Pengakuan RoC ...... 122

Gambar 4.4 Pendapat Publik Turki terhadap Penyelesaian Sengketa Pulau Siprus ...... 122

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1: Poin Pernyataan Pembekuan Negosiasi Aksesi Turki ...... cxxxvi

Lampiran 2: Hubungan Turki-Uni Eropa menurut Perspektif Turki ...... cxxxvii

xiii

DAFTAR SINGKATAN

AKP Adalet ve Kalkinma Partisi (Justice and Development Party) CHP Cumhuriyetci Turk Partisi (Republican People’s Party) CoE The Council of Europe CTRS Center for Turkish Studies CU Custom Union ECHR European Convention on Human Rights ECtHR European Court of Human Rights EEC European Economic Community FETO Fethullahist/ Gulenist Terrorist Organization GCASC Greece Cypriot Administration of Southern Cyprus HAM Hak Asasi Manusia HDP Halklarin Demokratik Partisi (The People’s Democratic Party) HI Hubungan Internasional JRS Judicial Reform Strategy MHP Milliyetci Hareket Partisi (The Nationalist Movement Party) MoU Memorandum of Understanding PACE Parliament Assemble of Council of Europe PBB Perserikatan Bangsa Bangsa RAG Reform Action Group RSCT Regional Security Complex Theory RMG Reform Monitoring Group RoC Republic of Cyprus RUU Rancangan Undang Undang TRNC Turkish Republic of Northern Cyprus TRT Turkish Radio and Television Corporation UE Uni Eropa VLD Visa Liberalisation Dialogue ZEE Zona Ekonomi Eksklusif

xiv

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Pernyataan Masalah

Skripsi ini akan membahas tentang upaya Turki untuk menghidupkan kembali negosiasi aksesi ke Uni Eropa (UE) pasca-pembekuan tahun 2018 melalui penyesuaian aspek normatif Uni Eropa. Sejak awal, para pendiri European

Communities (EC) yang kini dikenal sebagai European Union atau Uni Eropa memiliki harapan bahwa keputusan untuk mendirikan EC menjadi salah satu jalan untuk menciptakan blok besar yang berpusat di Eropa. Salah satu cara utama yang dilakukan untuk menambah negara anggota UE dan membentuk blok besar di Eropa adalah dengan menerapkan Enlargement Policy.1

Enlargement merupakan suatu proses panjang dan kompleks yang dilakuan oleh lembaga-lembaga UE dalam menentukan siapa dan dalam kondisi seperti apa suatu negara dapat menjadi negara anggota UE. Pada praktiknya, Enlargement dapat dikatakan sebagai suatu proses tanpa poin akhir yang jelas karena sifatnya yang terus berjalan secara berkelanjutan dan bertahap. Proses tanpa jenjang waktu yang jelas tersebut dikarenakan kebijakan UE yang tidak membatasi waktu bagi negara yang ingin membuat aplikasi keanggotaan UE, serta tidak adanya batas

1 Frank Schimmelfennig dan Ulrich Sedelmeier, “Theorizing EU Enlargement: research focus, hypotheses, and the state of research,” Journal of European Public Policy 96, no. 4 (2002): 500-501. Diakses melalui https://doi.org/10.1080/13501760210152411 pada 3 Juli 2020

1

2

khusus terkait lamanya proses aksesi setiap negara yang mengirimkan aplikasi tersebut. 2

Proses Enlargement melibatkan semua negara anggota UE secara langsung, baik dalam penerimaan aplikasi maupun dalam proses negosiasi sampai diterimanya negara kandidat sebagai negara anggota UE. Setiap negara yang mengajukan aplikasi keanggotaan UE tentunya memiliki karakteristik dan hubungan yang berbeda dengan negara anggota UE satu sama lain. Masuknya suatu negara baru ke dalam keanggotaan UE bisa saja dinilai menguntungkan bagi negara

A, namun di sisi lain merugikan bagi negara B, begitu pula sebaliknya. Hal tersebut membuat proses negosiasi aksesi suatu negara dapat berjalan sangat lama. Jika dilihat dari lamanya waktu negosiasi, Turki adalah negara yang menempuh waktu paling lama dalam menjalani proses negosiasi aksesi.3

Proses negosiasi aksesi Turki ke Uni Eropa berawal dari pengajuan keanggotaan penuh terhadap European Economic Community (EEC) pada 1987.

Kemudian pada 18 Desember 1989 EEC menyatakan, bahwa aksesi Turki dapat menjadi tujuan utama bagi Turki dan memungkinkan untuk EEC, namun negosiasinya tidak dapat dilaksanakan dalam waktu dekat.4

Kesempatan Turki untuk memulai negosiasi aksesi mulai terlihat ketika Uni

Eropa (nama baru EEC yang ditetapkan pada 1993) mengakui secara eksplisit

2 Frank Schimmelfennig dan Ulrich Sedelmeier, “Theorizing EU Enlargement: research focus, hypotheses, and the state of research,” Journal of European Public Policy 96, no. 4 (2002): 501-502. Diakses melalui https://doi.org/10.1080/13501760210152411 pada 3 Juli 2020 3 Wira Kurnia, Diplomasi Turki: Studi tentang Langkah-Langkah Turki untuk Menjadi Anggota Uni Eropa pada Masa Perdana Menteri Erdogan (2002-2007), (Skripsi., UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016), 38-39. 4 L.M. Robert Klaassen, Moving to the East; Explaining the negotiation processes on the accession of Albania and to the European Union, (Tesis., Radboud University Nijmegen, 2018), 6-14

3

bahwa Turki adalah kandidat negara anggota UE pada Helsinki Summit 1999.5

Kemudian pada Copenhagen Summit yang dilaksanakan Desember 2002, berdasarkan laporan dan rekomendasi dari Komisi Eropa, European Council atau

Dewan Uni Eropa memutuskan, bahwa UE akan membuka negosiasi tanpa penundaan apabila Turki telah memenuhi kriteria Kopenhagen.6

Kriteria Kopenhagen merupakan kriteria yang harus dipenuhi suatu negara untuk dapat melakukan proses negosiasi aksesi dengan Uni Eropa. Kriteria tersebut ditetapkan pada Copenhagen Summit tahun 1993. Pada kriteria tersebut, setidaknya ada tiga kriteria utama antara lain; (1) memiliki lembaga-lembaga stabil yang menjamin demokrasi, supremasi hukum, hak asasi manusia dan penghormatan dan perlindungan minoritas; (2) memiliki ekonomi pasar yang berfungsi dan berkapasitas untuk menghadapi persaingan dan kekuatan pasar di UE; dan (3) memiliki kemampuan untuk mengambil serta mengimplementasikan kewajiban keanggotaan secara efektif, termasuk kepatuhan terhadap tujuan serikat politik, ekonomi, dan moneter.7

Proses reformasi Turki pada sistem ekonomi sejak 2001 dan sistem politik sejak 2002 mampu mengatasi sebagian besar hambatan dan memenuhi kriteria Uni

Eropa pada aspek ekonomi dan politiknya, sehingga pada Brussel Summit 2004 diputuskan bahwa Uni Eropa akan memulai negosiasi dengan Turki karena Turki

5“Turkey,” European Neighbourhood Policy and Enlargement Negotiations. Diakses melalui https://ec.europa.eu/neighbourhood-enlargement/countries/detailed-country- information/turkey_en, pada 23 Maret 2020 6“Copenhagen European Council 12 and 13 December 2002: Presidency Conclusions,” European Council. Diakses melalui http://www.consilium.europa.eu/ueDocs/cms_Data/docs/pressData/en/ec/73842.pdf,23 Maret 2020 7“Condition for Membership,” European Neighbourhood Policy and Enlargement Negotiations. Diakses melalui https://ec.europa.eu/neighbourhood-enlargement/policy/conditions- membership_en, 24 Maret 2020

4

dinilai telah cukup memenuhi kriteria Kopenhagen. Negosiasi Turki dan Uni Eropa mulai dibuka secara resmi pada 3 Oktober 2005.8

Semenjak ditetapkannya negosiasi aksesi Turki ke Uni Eropa, Turki telah melakukan berbagai reformasi dalam sistem pemerintahannya guna memenuhi tiga puluh lima (35) bab negosiasi yang terdapat dalam acquis communautaire.

Pemenuhan 35 bab tersebut ternyata bukanlah merupakan hal yang mudah bagi

Turki. Hal tersebut dapat terlihat dari proses negosiasi aksesi yang begitu lambat di mana hingga tahun 2016, negosiasi Turki-Uni Eropa baru membuka enam belas (16) dari 35 bab yang ada. Jika dibandingkan dengan negara lain yang mengajukan aplikasi aksesi pada tahun yang sama seperti Kroasia, Turki memang terlihat lambat karena Kroasia yang memulai negosiasi aksesi pada 2004 telah mendapat keanggotaan penuh di Uni Eropa pada Juli 2013. 9

Keterlambatan Turki dalam proses aksesinya menarik banyak perhatian peneliti karena prosesnya yang begitu lama dan masih belum menemukan kepastian akan terselesaikannya proses aksesi tersebut. Lambatnya proses negosiasi aksesi

Turki tersebut tentunya tidak terjadi tanpa alasan. Beberapa permasalahan yang menjadi dasar hambatan aksesi Turki adalah permasalahan HAM, intervensi rezim militer dalam sistem pemerintahan dalam negeri, serta konflik terkait penolakan

Turki terhadap kedaulatan Siprus yang membuat Siprus sebagai negara anggota UE memblokade 8 bab dalam acquis communitaire. 10

8 Faidah Rahim, “Clash of Civilization: Hambatan Aksesi Turki ke Uni Eropa,” Global and Policy 1, no. 2 (2013): 215. 9 Untari Narulita, Keputusan Uni Eropa terkait Permohonan Keanggotaan Turki Tahun 2005-2016 (Skripsi., Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2016), 44-45 10 Untari Narulita, Keputusan Uni Eropa terkait Permohonan Keanggotaan Turki Tahun 2005-2016 (Skripsi., Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2016), 46.

5

Selain permasalahan yang berasal dari internal Turki, beberapa negara anggota UE yang bersikap oposisi terkait aksesi Turki juga menjadi hambatan bagi

Turki. Idealnya, Turki dapat menyelesaikan proses negosiasi dalam kurun waktu

10-15 tahun, namun munculnya kelompok negara yang menolak keanggotaan Turki dalam UE menghambat proses tersebut. Beberapa politisi terkemuka UE bahkan secara terbuka menyatakan bahwa Turki tidak seharusnya bergabung dalam UE.11

Hingga tahun 2016, proses negosiasi Turki dengan UE tidak mengalami perkembangan yang signifikan, khususnya terkait pembukaan bab dalam acquis communitaire. Ditambah lagi dengan terjadinya percobaan kudeta di Turki pada 15

Juli 2016 yang membuat Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan dikecam oleh berbagai pihak karena dinilai telah melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia

(HAM) terhadap para pelaku kudeta. 12 Percobaan kudeta tersebut menjadi salah satu faktor utama yang menghambat negosiasi aksesi Turki ke UE.13

European Council menegaskan kekhawatirannya terhadap kemunduran Turki yang terus berlajut dalam aspek supremasi hukum dan hak-hak fundamental seperti melemahnya fungsi peradilan, salah satunya dapat dilihat dari adanya pembatasan dan penahanan yang menargetkan jurnalis, akademisi, anggota partai politik, bahkan pembela hak asasi manusia yang dinilai tidak melewati proses hukum yang seharusnya. Selain itu, European Council juga menyayangkan berbagai hal yang

11 Faidah Rahim, “Clash of Civilization: Hambatan Aksesi Turki ke Uni Eropa,” Global and Policy 1, no.2 (2013): 215. 12 L.M. Robert Klaassen, Moving to the East; Explaining the negotiation processes on the accession of Albania and Turkey to the European Union, (Tesis., Radboud University Nijmegen, 2018), 45-46. 13 “Council Conclusion on Turkey,” European Council (18 Juli 2016). Diakses melalui https://www.consilium.europa.eu/en/press/press-releases/2016/07/18/fac-turkey-conclusions/, 10 Juli 2020.

6

terjadi setelah terjadinya percobaan kudeta tersebut seperti perubahan konstitusional Turki yang dinilai kurang dalam aspek check and balance, serta hubungan Turki dengan negara tetangga yang semakin memburuk. 14

Berdasarkan berbagai penurunan tersebut, European Council menilai bahwa posisi Turki dalam berbagai aspek semakin menjauh dari nilai-nilai dan norma Uni

Eropa sehingga pada Juni 2018, diputuskan bahwa negosiasi aksesi Turki ke Uni

Eropa secara efektif terhenti dan tidak ada bab lebih lanjut yang dapat dibuka ataupun ditutup, serta tidak ada upaya lebih lanjut terkait pengembangan Custom

Union yang terlihat dalam waktu dekat.15

Sementara itu, Turki yang telah menetapkan status state of emergency 16 semenjak percobaan kudeta pada 2016 memutuskan untuk mencabut status tersebut pada Juli 2018 serta berharap bahwa kedepannya Turki dapat membentuk permulaan baru untuk meningkatkan progresivitas Turki dalam mengupayakan negosiasi aksesi ke Uni Eropa melalui berbagai upaya seperti pengaktifan kembali

Reform Action Group dan Judicial Reform Strategy yang disusun sesuai dengan nilai-nilai dan standar norma di UE.17

14 “Enlargement and Stabilisation and Association Process; Council Conclusion,” European Council (26 Juni 2018). Diakses melalui https://www.consilium.europa.eu/media/35863/st10555- en18.pdf, 10 Juli 2020 15 “Enlargement and Stabilisation and Association Process; Council Conclusion,” European Council (26 Juni 2018). Diakses melalui https://www.consilium.europa.eu/media/35863/st10555- en18.pdf, 10 Juli 2020 16 Pemerintah Turki berfokus pada penanggulangan upaya kudeta sehingga faktor keamanan di Turki pada saat itu menjadi prioritas utama 17 Faruk Kaymacki, “Turkey and EU Relation” disiarkan langsung pada 23 Mei 2020 melalui akun Facebook European Union in Turkey: (“…But now, of course you know the state of emergency is behind us and we reactivated the reform action groups, we have three major meetings, we able to take a judicial reform strategy, so we are hoping that you know we can make progress in the coming days…,” menit ke 33.00-33:58). Diakses melalui https://www.facebook.com/EUinTurkey/videos/1144186189275988/, 11 Juli 2020.

7

Dari kedua perspektif tersebut, dapat dilihat bahwa tahun 2018 merupakan waktu yang dapat menunjukkan permasalahan awal dari penulisan skripsi ini. Dari perspektif UE, terlihat bahwa UE pada akhirnya memutuskan untuk membekukan proses negosiasi aksesi Turki karena dinilai semakin menjauh dari UE. Sementara

Turki yang baru saja mengakhiri masa state of emergency-nya justru menegaskan kembali bahwa keanggotaan penuh UE adalah tujuan utama hubungan Turki dengan UE dan meyakini bahwa Turki dapat secara progresif meraih tujuan tersebut.

Oleh karena itu, penulisan skripsi ini akan berfokus pada upaya Turki dalam menghidupkan kembali negosiasi aksesinya setelah pembekuan yang dilakukan oleh Uni Eropa pada tahun 2018 melalui penyesuaian aspek normatif UE.

1.2. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan pernyataan masalah diatas, maka dapat disimpulkan sebuah pertanyaan penelitian, yaitu bagaimana upaya Turki untuk menghidupkan kembali negosiasi aksesi ke Uni Eropa pasca-pembekuan tahun 2018 melalui penyesuaian aspek normatif Uni Eropa?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan memperoleh hasil atau data yang memperlihatkan sejauh mana upaya Turki untuk menghidupkan kembali negosiasi aksesi ke Uni Eropa pasca-pembekuan tahun 2018 melalui penyesuaian aspek normatif di Uni Eropa.

Sementara itu, penelitian ini bermanfaat untuk:

8

• Memperkaya wawasan dan pengetahuan bagi mahasiwa hubungan

internasional, khususnya dalam studi kawasan Eropa serta dinamika yang

ada di dalamnya.

• Memberikan kontribusi kepada disiplin Ilmu Hubungan Internasional

khususnya dalam memberikan perspektif baru terkait pola pembuatan

kebijakan suatu negara dalam berhubungan dengan suatu entitas regional

dalam studi kasus Turki dan Uni Eropa

1.4. Tinjauan Pustaka

Proses negosiasi aksesi Turki untuk menjadi negara anggota UE sejak tahun

2005 merupakan suatu peristiwa yang menarik untuk diteliti melihat lamanya rentang waktu negosiasi dan dinamika negosiasi yang muncul selama proses aksesi berlangsung. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya literatur yang telah membahas mengenai aksesi tersebut. Salah satu tulisan yang menjelaskan awal mula dan sejarah keputusan Turki untuk mengajukan aplikasi keanggotaan UE serta langkah-langkah awal yang dilakukannya setelah menjadi negara kandidat adalah tulisan yang ditulis oleh Wira Kurnia.

Kurnia18 menjelaskan secara historiografi perkembangan awal Turki untuk menjadi negara anggota UE dalam rentang waktu 2002-2007. Dalam tulisannya,

Kurnia berfokus membahas kinerja Perdana Menteri (PM) Recep Tayyip Erdogan dalam mengusahakan keanggotaan Turki di Uni Eropa. Kurnia berpendapat bahwa dibukanya negosiasi Turki terhadap UE pada tahun 2005 merupakan bukti

18 Wira Kurnia, Diplomasi Turki: Studi tentang Langkah-Langkah Turki untuk Menjadi Anggota Uni Eropa pada Masa Perdana Menteri Erdogan (2002-2007), (Skripsi., UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016)

9

suksesnya PM Erdogan dalam mereformasi pemerintahan Turki, khususnya dalam mengembalikan HAM, khususnya terkait hak perempuan dan perlindungan terhadap minoritas.

Kurnia 19 percaya bahwa Erdogan membawa Turki menjadi jembatan penghubung antara Barat dan Timur dengan strategi intensif dan politik multidimensi yang dibawanya. Tulisan Kurnia tersebut tentunya belum dapat menjelaskan bagaimana respon UE terkait proses negosiasi aksesi Turki yang berlangsung bertahun-tahun karena keterbatasan penelitian yang hanya menjelaskan hubungan Turki dan Uni Eropa hingga tahun 2007 di mana proses negosiasi aksesi baru berjalan selama dua tahun.

Utari Narulita 20 yang menganalisis alasan UE yang belum menerima permohonan keanggotaan Turki di Uni Eropa sejak tahun 2005 secara tidak langsung sedikit banyak melengkapi penelitian Wira Kurnia. Narulita membatasi penelitiannya dari Oktober tahun 2005 ketika awal pembukaan negosiasi antara Uni

Eropa-Turki hingga Juni 2016 ketika pembicaraan terkait pembukaan bab baru yakni bab ke 33 tentang ketentuan keuangan dan anggaran. Dalam tulisannya,

Narulita melihat bahwa UE adalah produk-produk tawar-menawar, strukturnya dibentuk oleh traktat-traktat yang merupakan hasil kesepakatan negara-negara.

Analisis Narulita mengantarkannya pada kesimpulan bahwa daya tawar- menawar Perancis dan Jerman dalam perundingan terkait aksesi Turki ke UE

19 Wira Kurnia, Diplomasi Turki: Studi tentang Langkah-Langkah Turki untuk Menjadi Anggota Uni Eropa pada Masa Perdana Menteri Erdogan (2002-2007), (Skripsi., UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016) 20 Untari Narulita, Keputusan Uni Eropa terkait Permohonan Keanggotaan Turki Tahun 2005-2016 (Skripsi., Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2016)

10

cenderung memiliki kekuatan lebih besar daripada negara anggota Uni Eropa lainnya. Hal tersebut memungkinkan Perancis dan Jerman memiliki lebih banyak kepentingan yang dapat terpenuhi. Sementara itu akumulasi daya tawar-menawar enam negara pendukung keanggotaan Turki (Portugal, Italia, Swedia, Republik

Ceko, Spanyol, dan Inggris) tidak dapat menyaingi dominasi dua kekuatan seperti

Perancis dan Jerman.

Narulita21 menyimpulkan bahwa dominasi kedua negara tersebut secara tidak langsung terakomodasi dalam UE karena sistem yang ada membuat Jerman dan

Perancis memiliki hak untuk menempatkan dua orang komisioner di Komisi Uni

Eropa ketika negara-negara lain hanya menempatkan seorang komisioner. Selain itu, dalam lembaga intergovernmental seperti Dewan UE, Perancis mendapatkan

12,98 persentase vote dari total populasi negara Perancis. Sedangkan Jerman mandapatkan persentase 15,93 vote dari total populasi negara Jerman. Singkatnya,

Perancis dan Jerman secara tidak langsung mendominasi populasi negara dalam pembuatan keputusan di Dewan Uni Eropa.

Jika melihat kemungkinan Turki sebagai negara anggota UE, keanggotaannya akan mempengaruhi alokasi kursi untuk negara-negara anggota Uni Eropa secara signifikan. Turki akan diwakili oleh 74 kursi anggota di Parlemen (seperti Prancis,

Inggris dan Italia) dan memiliki 29 suara di Dewan UE (seperti Jerman, Prancis,

Inggris, dan Italia). Selain itu, Turki bisa mengirimkan 1.000-1.500 birokrat untuk mengisi kursi di Komisi UE dan lembaga-lembaga lain di dalamnya. Sebagai

21 Untari Narulita, Keputusan Uni Eropa terkait Permohonan Keanggotaan Turki Tahun 2005-2016 (Skripsi., Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2016)

11

negara dengan populasi yang besar, Turki akan memperoleh signifikansi dalam perkembangan Uni Eropa. Hal itu menjadikan negara-negara seperti Perancis dan

Jerman berupaya untuk menarik ulur keanggotaan Turki di UE hingga negosiasi keanggotaan ini berjalan selama sebelas tahun tanpa ada batas waktu negosiasi yang jelas. 22

Ahla Aulia23 melihat bahwa Turki menyadari penolakan terhadap aksesi yang mulai muncul secara terbuka sejak tahun 2007. Hal tersebut mendorong Turki untuk mengambil tindakan lebih lanjut untuk menghadapi permasalahan tersebut. Aulia menyimpulkan bahwa First Track dan Second Track Diplomacy menjadi respon

Turki terhadap penolakan keanggotaan Turki di Uni Eropa yang disampaikan oleh beberapa negara anggota Uni Eropa seperti Jerman dan Perancis. Melalu kedua jalur tersebut, Turki berusaha meningkatkan hubungan bilateral yang bersifat resmi antara para perwakilan negara Turki dengan Jerman dan Perancis untuk menciptakan harmonisasi hubungan di antara keduanya.

Strategi diplomasi tersebut ditujukan untuk menerima dukungan atas keanggotaan Turki di UE. Walaupun Turki mendapatkan tawaran untuk menjalin kemitraan istimewa dengan Uni Eropa, Turki menolak karena keanggotaan penuh di UE adalah satu-satunya tujuan utama yang ingin dicapai Turki terkait hubungannya dengan Uni Eropa. Aulia percaya bahwa masuknya Turki ke Uni

22 Untari Narulita, Keputusan Uni Eropa terkait Permohonan Keanggotaan Turki Tahun 2005-2016 (Skripsi., Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2016) 23 Ahla Aulia, Diplomasi Turki menjadi Anggota Uni Eropa (2007-2012), (Skripsi., UIN Syarif Hidayatullah Jakara, 2013)

12

Eropa merupakan pilihan strategis bagi Uni Eropa dan akan memberikan hasil positif bagi Turki dan Uni Eropa. 24

Sama halnya dengan Ahla Aulia, M. Sya’roni Rofii25 rupanya juga melihat usaha Turki dalam melakukan pendekatan dengan negara-negara yang menolak keanggotaannya di Uni Eropa. Turki mencoba memaksimalkan perannya dengan melakukan sejumlah negosiasi dan penggalangan dukungan dari berbagai pihak yang dianggap mampu membantu dalam mencapai tujuan-tujuan politik domestik.

Rofii percaya bahwa diplomasi Turki dinilai sedikit banyak membuahkan hasil dengan melihat lunaknya beberapa negara anggota UE untuk menerima keanggotaannya dalam UE. Sya’roni Rofii menilai bahwa masuknya Turki ke Uni

Eropa akan berdampak positif bagi keduanya dan bahwasanya berbagai strategi diplomasi dan pendekatan bilateral Turki menjadi hal yang dapat meningkatkan kemungkinan diterimanya Turki sebagai negara anggota Uni Eropa. 26

Literatur-literatur diatas meneliti keberlangsungan negosiasi aksesi Turki dengan Uni Eropa dalam batasan waktu tidak lebih dari tahun 2016 sehingga tidak menjelaskan bagaimana penurunan hubungan antara Turki dan Uni Eropa setelah tahun 2016, khususnya setelah terjadinya kudeta pada Juli 2016. Untuk menjelaskan kelanjutan hubungan Turki dan Uni Eropa, Meltem Müftüler-Baç 27 membahas bagaimana proses memburuknya hubungan Turki dan UE pada tahun

24Ahla Aulia, Diplomasi Turki menjadi Anggota Uni Eropa (2007-2012), (Skripsi., UIN Syarif Hidayatullah Jakara, 2013) 25 M. Sya’roni Rofii, “Potret Diplomasi Turki menuju Keanggotaan Tetap Uni Eropa,” Jurnal Interdependence 5, no.2 (2017) 26 M. Sya’roni Rofii, “Potret Diplomasi Turki menuju Keanggotaan Tetap Uni Eropa,” Jurnal Interdependence 5, no.2 (2017) 27Meltem Müftüler-Baç, “Remolding the Turkey-EU Relationship,” Turkish Policy Quarterly 17, no.2 (2018)

13

2016-2017 dan bagaimana bentuk hubungan yang mungkin terbentuk antara keduanya. Ia menjelaskan bahwa aksesi Turki ke UE yang pada awal tahun 2000- an terlihat begitu memungkinkan, kini terjadi sebaliknya di mana masa depan Turki sebagai anggota penuh EU dinilai sama sekali tidak menjanjikan.

Müftüler-Baç menjelaskan bagaimana berbagai hambatan yang muncul dalam hubungan UE-Turki setelah kudeta Juli 2016, ditambah dengan peristiwa

Brexit dan meningkatnya paham Populisme dan Euroscepticism di Eropa. Ia juga menjelaskan menurunnya pengaruh Eropa dalam reformasi poitik Turki, dan integrasi Uni Eropa yang semakin dipertanyakan sehingga pada akhirnya meningkatkan ketidak-pastian pada masa depan politik Turki di Uni Eropa. 28

Walaupun demikian, Müftüler-Baç tidak menyatakan bahwa hubungan Turki dan

UE saat itu telah masuk pada pemberhentian secara utuh atau Turki tidak lagi menjadi tujuan integrasi Uni Eropa. UE justru mengembangkan aspek integrasinya dalam berbagai tingkatan dan tahapan. 29

Dari perspektif UE, Müftüler-Baç melihat bahwa kebijakan UE terhadap

Turki pada dasarnya menghadapi dilema di mana dalam satu sisi UE mempertanyakan bagaimana cara untuk mereformulasi hubungannya dengan Turki, dan di sisi lain bagaimana untuk bekerjasama dengan Turki dalam mempromosikan transformasi demokratis dengan catatan tetap memposisikan UE sebagai promoter kredibel dalam demokrasi. Secara keseluruhan, Müftüler-Baç tetap melihat bahwa

28Meltem Müftüler-Baç, “Remolding the Turkey-EU Relationship,” Turkish Policy Quarterly 17, no.2 (2018) 29Meltem Müftüler-Baç, “Remolding the Turkey-EU Relationship,” Turkish Policy Quarterly 17, no.2 (2018)

14

Turki dan UE akan terus terikat dalam hubungan kooperasi, dengan atau tanpa adanya kepastian aksesi. 30

Berdasarkan uraian berbagai kepustakaan diatas, penelitian yang akan dilakukan pada skripsi ini tentunya berbeda dengan penelitian-penelitian yang telah dibuat sebelumnya. Lebih jauh dari itu, penulis berharap dapat menampilkan fokus baru yang belum tersentuh terkait perkembangan proses aksesi Turki ke UE, yaitu melihat upaya Turki untuk menghidupkan kembali negosiasi aksesi Turki setelah pembekuan negosiasi aksesi ditetapkan tahun 2018 oleh UE. Sejauh ini, penelitian terkait proses negosiasi aksesi Turki ke Uni Eropa dari perspektif Turki sejak tahun

2018 belum dibahas oleh peneliti-peneliti sebelumnya.

1.5. Kerangka Teoretis

Penelitian berjudul Upaya Turki untuk Menghidupkan Kembali Negosiasi

Aksesi ke Uni Eropa Pasca-Pembekuan Tahun 2018 ini akan menyajikan elaborasi tentang dinamika negosiasi aksesi Turki ke Uni Eropa sampai ditetapkannya pembekuan negosiasi aksesi tersebut tahun 2018, memperlihatkan bagaimana Turki menyatakan komitmennya untuk melakukan proses aksesi terlepas dari pembekuan negosiasi aksesi, dan pada pembahasan pokoknya akan mengukur sejauh mana upaya yang dilakukan Turki untuk menghidupkan kembali negosiasi aksesi tersebut.

Dalam melakukan analisis tersebut, skripsi ini akan menggunakan pendekatan

Konstruktivisme, Teori Sekuritisasi, dan Regional Security Complex Theory

(RSCT).

30Meltem Müftüler-Baç, “Remolding the Turkey-EU Relationship,” Turkish Policy Quarterly 17, no.2 (2018)

15

1.5.1. Konstruktivisme

Menurut Karacasulu dan Uzgoren, Konstruktivisme digunakan untuk mempelajari politik internasional berdasarkan ide inti yang menyatakan bahwa hubungan internasional dibangun secara sosial atau socially constructed. 31

Konstruktivisme memiliki beberapa pemikiran atau asumsi dasar, yaitu meyakini signifikansi struktur ideasional dalam sistem internasional serta percaya bahwa distribusi ide membentuk struktur internasional dan perilaku negara dipengaruhi oleh pola persebaran ide tersebut.32

Selain itu, Konstruktivisme juga mengakui eksistensi dan signifikansi peran aktor, agen, atau subjek (baik yang bersifat material maupun ideasional) dalam berinteraksi yang pada akhirnya akan membentuk struktur internasional. Agen juga mampu untuk melakukan berbagai transformasi struktur melalui proses intersubjektif. 33 Kemudian, Konstruktivisme juga melihat pentingnya aspek interaksi dalam mempengaruhi hubungan agen/ subjek dengan struktur. Subjek dinilai dapat membentuk struktur dan struktur akan mempengaruhi subjek, dan hal tersebut akan terjadi hanya jika ada interaksi yang terbentuk antar subjek.34

Istilah Konstruktivisme pertama kali disebutkan dalam dunia politik internasional oleh Nicolas Onuf pada 1989 dan terus berkembang dengan berbagai

31 Nilufer Karacasulu, N dan Elif Uzgoren “Explaining Social Constructivist Contributions to Security Studies,” Perceptions 12, no. 3 (2007): 29. Diakses melalui https://dergipark.org.tr/en/pub/perception/issue/48995/625097, 10 Agustus 2020 32Imanuel Adler, “Seizing the Middle Ground: Constructivism in World Politics. European Journal of International Relations 3, no. 3 (1997): 333. Diakses melalui https://doi.org/10.1177/1354066197003003003, 10 Agustus 2020 33 Alexander Wendt. “Constructing International Politics”. International Security 20, no. 1 (1995): 74. Diakses melalui https://doi.org/10.2307/2539217, 10 Agustus 2020 34 Nicholas Onuf, World of Our Making: Rules and Rule in Social Theory and International Relations (Columbia: University of South Carolina Press, 1989), 66.

16

analisis berbeda yang dibawakan oleh akademisi-akademisi yang berbeda pula.

Beberapa akademisi tersebut antara lain seperti Martha Finnmore yang berfokus pada norma-norma masyarakat internasional dan pengaruhnya pada identitas negara, Peter Katzenstein dan Ted Hopf yang berfokus pada peran norma-norma domestik dibidang keamanan nasional, hingga Alexander Wendt yang berfokus pada signifikansi identitas dan interaksi antar agen dalam sistem internasional.35

Dalam memahami Konstruktivisme itu sendiri, berbagai akademisi

Hubungan Internasional mencoba mengelompokkan pendekatan Konstruktivisme dalam beberapa varian, salah satunya John Hobson yang memperkenalkan varian

Konstruktivisme berdasarkan aspek-aspek kunci yang membentuk analisis konstruktivis dalam memahami perilaku negara dalam hubungan internasional. 36

Tiga varian utama yang ditawarkan Hobson antara lain; (1) international society-centric Constructivism yang didominasi oleh pemikiran Martha

Finnemore 37 yang memperlihatkan pentingnya struktur agensi serta kekuatan struktur normatif dalam masyarakat internasional yang mampu mempengaruhi kepentingan nasional; (2) state-centric Constructivism yang didominasi oleh pemikiran Peter Katzenstein 38 yang pada dasarnya mengkritik pemikiran

Finnemore dengan menyatakan bahwa agensi negara atau domestik serta struktur domestik yang terbentuk di dalamnya dapat memberikan pengaruh yang lebih kuat

35 Fakhreddin Soltani, Jayum A. Jawan, dan Zaid B. Ahmad, “Constructivism, Christian Reus-Smit and the Moral Purpose of the State,” Asial Social Science, Canadian Center of Science and Education 10, no.10 (2014): 154-156. Diakses melalui http://dx.doi.org/10.5539/ass.v10n10p153, 30 Juli 2020 36 John Hobson, The State and International Relations (Cambridge: Cambridge University Press 2000): 148. 37 National Interest in International Society (1996) 38 Cultural Norms and Society Security (1996)

17

dalam proses terbentuknya kebijakan suatu negara dibandingkan dengan struktur normatif yang ditawarkan dalam lingkup masyarakat internasional; dan (3) radical

Constructivism yang mempersoalkan definisi negara yang merujuk pada proses pembentukan kesatuan paham terkait komunitas politik atau rasa kebersamaan di mana pada akhirnya menciptakan kelompok lain atau “other” yang dinilai mengancam karena memiliki perbedaan kepentingan. 39

Dari ketiga varian tersebut, skripsi ini akan berfokus pada pendekatan

Konstruktivisme yang dibawakan oleh Peter Katzenstein. Argumen Peter

Kazenstein pada umumnya berfokus pada kekuatan agen dan struktur normatif domestik terhadap pembentukan kebijakan luar negeri yang pada keadaan tertentu mampu memberikan pengaruh yang sama atau lebih kuat dengan nilai-nilai yang dituntut oleh masyarakat internasional. Hal tersebut dapat dilihat dari pernyataan

Peter Katzenstein bahwa ‘generally speaking social norms in the international society of states are less dense and weaker than those in domestic society’.

Katzenstein menilai bahwa teori sistemis seperti yang ditawarkan Finnemore tidak cukup kuat untuk menjelaskan perilaku negara dalam hubungan internasional karena terlalu mengotak-hitamkan negara dan gagal untuk menjelaskan kompleksitas hubungan yang terbentuk dalam struktur negara itu sendiri. 40

Struktur normatif domestik yang dimaksud Katzenstein berfokus pada faktor keamanan nasional yang mencangkup tiga bagian, yaitu norma keamanan ekonomi,

39 John Hobson (2000) The State and International Relations. (Cambridge University Press; Cambridge): 148-173, dalam Iva Rachmawati “Konstruktivisme sebagai Pendekatan Alternatif dalam Hubungan Internasional”, Paradigma 16, no.1 (2012): 29-33. 40 John Hobson, The State and International Relations (Cambridge: Cambridge University Press 2000), 165

18

norma keamanan militer eksternal, dan norma keamanan internal. Norma-norma domestik tersebut tentunya akan berhadapan dengan norma yang terbentuk dalam masyarakat internasional yang tidak selalu sejalan satu sama lain sehingga munculnya pertentangan di antara norma domestik dan norma internasional mungkin terjadi. Ketika pertentangan tersebut muncul, Katzenstein melihat bahwa norma domestik yang berkembang dan disertai dengan kekuatan agensi domestik

(kemampuan untuk mengolah hubungan antar masyarakat domestik serta hubungan transnasional) dapat berpengaruh lebih besar terhadap proses pembuatan kebijakan.41

Skripsi ini akan memperlihatkan pertentangan normatif yang terbentuk antara

Turki dan Uni Eropa sehingga mempersulit hubungan keduanya dalam proses aksesi yang berujung pada pembekuan negosiasi aksesi pada 2018. Pertentangan tersebut juga menghambat upaya Turki dalam menghidupkan kembali negosiasi aksesi. Dengan menggunakan pendekatan Konstruktivisme versi Peter Katzenstein, skripsi ini akan menunjukan bagaimana aspek normatif domestik Turki yang berfokus pada pentingnya keamanan nasional Turki akan mendominasi pembentukan upaya Turki dalam menghidupkan kembali negosiasi aksesi ke Uni

Eropa pasca-pembekuan 2018.

1.5.2. Teori Sekuritisasi

Selain menggunakan pendekatan Konstruktivisme, skripsi ini juga menggunakan Teori Sekuritisasi yang berasal dari Copenhagen School (non-

41 Iva Rachmawati “Konstruktivisme sebagai Pendekatan Alternatif dalam Hubungan Internasional”, Paradigma 16, no.1 (2012): 31-32.

19

tradisional) yang dikembangkan oleh Barry Buzan, Ole Waever, dan Jaap de Wilde.

Teori ini digunakan untuk menyajikan analisis terkait dominasi faktor-faktor keamanan nasional dalam aspek normatif domestik Turki yang pada akhirnya berpengaruh besar dalam pembentukan upaya Turki untuk menghidupkan kembali negosiasi aksesi ke Uni Eropa.

Teori ini berangkat dari Perspektif Konstruktivisme yang melihat bahwa keamanan merupakan suatu hasil konstruksi ide melalui securitization process yang mengklasifikasi suatu isu ke dalam kondisi aman atau ancaman.42 Berbeda dengan konsep keamanan dalam Perspektif Realisme atau idealisme yang berfokus pada aspek material keamanan, konsep keamanan dalam Perspektif Konstruktivisme ini berfokus pada faktor ideasional keamanan yang dikonstruksi oleh aktor yang berkuasa dalam suatu wilayah tertentu. 43 Dalam pembentukan kebijakan yang berfokus pada aspek keamanan, perspektif aktor dalam memahami ancaman keamanan lebih berpengaruh daripada kondisi sesungguhnya dari ancaman keamanan tersebut.44

Teori ini juga memperlihatkan perdebatan terkait perluasan cakupan keamanan antara keamanan tradisional dan non-tradisional sebagaimana yang disebut Barry Buzan sebagai referent object of security. Permasalahan keamanan yang semakin meluas di berbagai macam bidang serta melibatkan berbagai macam aktor membuat konsep keamanan tradisional yang hanya berfokus pada kapabilitas

42 Ole Waever, Securitization and Desecuritization, On Security, ed. Ronnie D. Lipschutz (New York: Columbia University Press, 1995), 48, 54 43 Barry Buzan and Ole Waever, Regions and Powers: The Structure of International Security (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 86 44 Barry Buzan, Ole Waever, Jaap de Wilde, Security: A New Framework of Analysis, (London: Lynne Riener Publisher, 1998), 24

20

militer tidak dapat menjelaskan perkembangan permasalahan keamanan yang terjadi. 45

Barry Buzan menawarkan perluasan konsep keamanan yang lebih kompleks dengan memaparkan lima kategori ancaman terhadap keamanan nasional, yaitu; (1) ancaman militer yang merupakan prioritas tertinggi karena dampaknya yang cenderung besar, spontan, dan sulit dipulihkan dan biasanya bersifat offensive dan defensive antara dua negara; (2) ancaman politik yang merujuk pada stabilitas kinerja institusi negara, seperti penekanan kinerja pemerintah, penggulingan pemerintahan atau kudeta, dan jenis tindakan lainnya yang biasanya menargetkan perubahan nilai-nilai negara terutama yang berkaitan dengan identitas nasional dan ideologi negara; (3) ancaman sosial yang mengacu pada kemungkinan adanya perubahan nilai, budaya, dan identitas etnik yang tidak diinginkan; (4) ancaman ekonomi yang merujuk pada permasalahan diluar kondisi normal pasar dan berkembangnya persaingan tidak sehat yang berujung pada pengangguran, kemiskinan, dan keterbatasan sumber daya; dan (5) ancaman lingkungan yang mengacu pada kemungkinan adanya bencana alam serta tingkah laku manusia yang merusak lingkungan.46

Kemudian Buzan, Waever, dan Jaap de Wilde memperlihatkan tiga unit utama yang digunakan dalam mendefinisikan keamanan, yaitu: (1) referent object yang merupakan objek utama yang dipandang terancam; (2) securitizing actor yang merupakan aktor pelaku pengamanan terhadap suatu isu; dan (3) functional actors

45 Barry Buzan, People, State and Fear: An Agenda for International Security Studies in the Post-Cold War Era, (London: Harvester Wheatsheaf Publisher, 1991), 10 46 Barry Buzan, People, State and Fear: An Agenda for International Security Studies in the Post-Cold War Era, (London: Harvester Wheatsheaf Publisher, 1991), 75-83

21

yang mempengaruhi dinamika suatu isu keamanan tanpa harus bertindak sebagai referent objects atau securitizing actors.47

Selain itu, Teori Sekuritisasi ini juga mempresentasikan beberapa langkah utama yang digunakan untuk menggambarkan operasionalisasi teori terhadap suatu isu, yaitu; (1) issue area yang memperlihatkan konsensus aktor dalam melihat eksistensi ancaman; (2) securitizing actor yang menentukan aktor pelaku sekuritisasi; (3) security concept yang memperlihatkan bagaimana konsep keamanan yang digunakan aktor dalam melakukan sekuritisasi; (4) process yang memperlihatkan bagaimana pengaruh speech acts (upaya aktor untuk meyakinkan audience (biasanya masyarakat) tentang adanya ancaman) terhadap proses sekuritisasi; (5) degree of securitization yang melihat sejauh mana sekuritisasi telah dilakukan melalui berbagai indikator seperti alokasi sumber daya, keterlibatan militer, pembentukan undang-undang, dan institusionalisasi; (6) impact on the threat yang melihat sejauh mana upaya sekuritisasi bekerja; serta (7) condition affection securitization yang memperlihatkan dampak proses sekuritisasi terhadap faktor-faktor lain seperti sistem politik dalam negeri dan norma internasional.48

1.5.3. Regional Security Complex Theory (RSCT)

Selain memperkenalkan Teori Sekuritisasi secara umum, Barry Buzan dan

Ole Waever juga memperkenalkan Regional Security Complex Theory (RSCT) atau

Teori Keamanan Regional Kompleks melalui Region and Powers: The Structure of

International Relations. RSCT merupakan teori yang menggaris bawahi

47 Barry Buzan, Ole Waever, Jaap de Wilde, Security: A New Framework of Analysis, (London: Lynne Riener Publisher, 1998), 36 48 Mely Caballero, Anthony & Ralf Emmers, Amitav Acharya (ed) Non-Traditional Security in Asia: Dilemmas in Securitization, (ASGATE. 2006), hal. 6-8.

22

signifikansi unsur kawasan atau regional dalam melihat struktur keamanan internasional. Pengertian kawasan dalam RSCT merujuk kepada sebuah hubungan sub-sistem yang terjalin antara kelompok negara yang umumnya saling terikat secara geografis. RSCT melihat bahwa ancaman dapat menyebar dengan mudah, khususnya dalam jarak tertentu sehingga keamanan negara akan saling bergantung satu sama lain demi menciptakan keamanan kawasan. Oleh sebab itu, kondisi keamanan regional menjadi semakin kompleks.49

RSCT pada dasarnya berangkat dari dua pendekatan besar, yaitu Realisme dan Konstruktivisme. Dalam kerangka Realisme, RSCT memperlihatkan pentingnya memahami pembentukan polaritas dalam melihat dominasi negara yang berperan dalam konteks keamanan regional. Sementara iu, dalam kerangka

Konstruktivisme, RSCT melihat mentingnya memahami konsep identitas dalam mengidentifikasi interaksi negara yang akan memperlihatkan pembentukan pola enmity (hubungan negara yang bersifat konfliktual) dan pola amity (hubungan negara yang bersifat kooperatif).50

RSCT memiliki empat variabel utama dalam menjelaskan struktur keamanan suatu kawasan, yaitu: (1) boundary, yang mengidentifikasi perbedaan suatu kawasan dengan kawasan lainnya; (2) struktur anarki, yang menggambarkan pembentukan interaksi negara-negara yang saling bergantung satu sama lain dalam suatu kawasan tertentu; (3) polaritas, yang menjelaskan distribusi kekuasaan atau

49 Barry Buzan and Ole Waever, Regions and Powers: The Structure of International Security (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 42-44 50 Barry Buzan and Ole Waever, Regions and Powers: The Structure of International Security (Cambridge: Cambridge University Press, 2003)

23

power dalam suatu kawasan tertentu; dan (4) konstruksi sosial yang menjelaskan pembentukan amity dan enmity dalam suatu kawasan.51

Demi memperoleh hasil analisis berdasarkan pertanyaan penelitian yang ada, skripsi ini akan menggunakan RSCT dalam kerangka pemikiran Konstruktivisme dalam melihat sejauh mana Turki membentuk pola amity and enmity dalam lingkup keamanan kawasan. Analisis keamanan kawasan Turki tersebut akan memperlihatkan bagaimana dominasi aspek normatif domestik Turki dalam membentuk hubungannya dengan negara anggota UE yang pada akhirnya memberikan pengaruh besar terhadap kelanjutan proses aksesi Turki ke Uni Eropa.

RSCT memperkenalan empat level analisis yang dapat memperlihatkan pembentukan stabilitas atau keamanan kawasan, yaitu: (1) keamanan kawasan akan terganggu jika keamanan suatu negara juga terganggu sehingga keamanan kawasan akan terbentuk hanya jika seluruh negara dalam kawasan tersebut berada dalam kondisis aman; (2) keamanan kawasan akan terbentuk berdasarkan hubungan yang terjalin dengan negara-negara dalam kawasan tersebut; (3) keamanan kawasan akan dipengaruhi oleh interaksi antar kawasan; dan (4) keamanan kawasan akan terpengaruh oleh kekuatan global yang berpengaruh dikawasan tersebut.52

Skripsi ini akan berfokus pada level analisis pertama yang membahas terbentuknya keamanan kawasan jika keamanan setiap negara terpenuhi. Dalam konteks tersebut, skripsi ini akan memperlihatkan bagaimana hubungan Turki dan

51 Barry Buzan and Ole Waever, Regions and Powers: The Structure of International Security (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 53 52 Barry Buzan and Ole Waever, Regions and Powers: The Structure of International Security (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 53

24

Turkish Republic of Northern Cyprus (TRNC) dalam mempertahankan keamanan di kawasan Laut Mediterania. Skripsi ini akan memperlihatkan bagaimana pola amity di antara Turki dan TRNC serta peran Turki dalam menyuarakan hak-hak

TRNC dalam ranah internasional. Skripsi ini akan berfokus pada perilaku Turki serta pengaruh perilaku tersebut terhadap kelanjutan negosiasi aksesi Turki ke Uni

Eropa.

1.6. Metode Penelitian

Penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif dalam menganalisis berbagai data yang didapat. Menurut Creswell, penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang menggunakan teknik pengumpulan, analisis, dan interpretasi data yang tidak menggunakan pengolahan data atau non-statistik.53 Oleh karena itu, penelitian ini akan mengumpulkan dan menganalisis berbagai data yang berkaitan dengan topik penelitian, lalu melakukan intepretasi secara deskriptif untuk mendapatkan kesimpulan yang dapat menjawab pertanyaan penelitian.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui data resmi dari otoritas terkait, umunya diambil dari website-website resmi pemerintah dan website resmi Uni Eropa seperti website Kementerian Luar Negeri Turki (http://www.mfa.gov.tr/default.en.mfa), website Direktorat Urusan Uni Eropa di Turki

(https://www.ab.gov.tr/index_en.php), website Kepresidenan Turki

(https://www.tccb.gov.tr/en/), website Uni Eropa (https://europa.eu/), dan website

53 John W. Creswell, terj. Achmad Fawaid, Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2010): 46

25

delegasi UE untuk Turki (https://www.avrupa.info.tr/en). Sementara itu, data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan yang bersumber dari e-book, jurnal ilmiah, skripsi, webinar, dan berita harian online yang memiliki keterkaitan yang signifikan dengan topik pembahasan dalam penelitian.

Setelah berhasil dikumpulkan, data-data tersebut akan melalui proses analisis.

Menurut Miles dan Huberman54, ada tiga jalur Analisa data kualitatif, yaitu; (1) reduksi data; (2) penyajian data; dan (3) penarikan kesimpulan. Dari ketiga jalur analisis data tersebut, penelitian ini akan menggunakan jalur penarikan kesimpulan.

1.7. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembahasan, maka penulisan skripsi ini akan dibagi menjadi lima BAB yang terdiri dari:

BAB I, merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, pertanyaan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab ini bertujuan untuk menjadi dasar pembahasan yang menjelaskan secara umum keseluruhan isi skripsi.

BAB II akan membahas tentang proses dan dinamika negosiasi aksesi Turki ke UE mulai dari penjelasan sistem negosiasi aksesi UE dilengkapi dengan upaya

Turki pada masa pra-negosiasi, kemudian dilanjutkan dengan elaborasi terkait dinamika hubungan Turki dan UE dalam kerangka negosiasi aksesi sejak awal mula negosiasi pada 2005 sampai masa di mana kemungkinan pembekuan negosiasi aksesi mulai muncul 2016. Bab ini bertujuan untuk memperlihatkan secara umum

54Matthew B Miles, A. Michael Huberman, dan Johnny Saldana, Qualitative Data Analysis: A of Methods Sourcebook (Bevery Hills: SAGE Publication, 2014)

26

upaya yang telah dilakukan dan hambatan yang dihadapi Turki dalam proses negosiasi aksesi.

BAB III akan membahas tentang proses terjadinya pembekuan negosiasi aksesi Turki ke Uni Eropa dari 2016-2018. Bab ini bertujuan untuk melihat berbagai faktor yang menimbulkan perdebatan di antara Turki dan Uni Eropa sehingga sampai pada pembekuan negosiasi. Bab ini juga akan memperlihatkan respon Turki terhadap pembekuan tersebut.

BAB IV akan menganalisis sejauh mana upaya Turki untuk menghidupkan kembali negosiasi aksesi Turki ke Uni Eropa melalui penyesuaian aspek normatif

UE setelah pembekuan negosiasi aksesi tahun 2018. Bab ini akan mengukur progresivitas upaya Turki dengan menggunakan pendekatan Konstruktivisme menurut Peter Katzenstein serta Teori Sekuritisasi yang dikembangkan oleh Barry

Buzan, Ole Waever, dan Jaap de Wilde. Bab ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah ditentukan sebelumnya.

BAB V berisi kesimpulan dari keseluruhan penulisan dan saran atau rekomendasi untuk penulisan selanjutnya.

BAB II

DINAMIKA NEGOSIASI AKSESI TURKI KE UNI EROPA

Bab kedua ini menjelaskan bagaimana negosiasi aksesi Turki ke Uni Eropa

(UE) berlangsung dimulai dengan menjelaskan sistem negosiasi yang diatur dalam kerangka aksesi UE serta masa pra-negosiasi aksesi Turki. Setelah itu, pembahasan akan dilanjutkan dengan menjelaskan dinamika negosiasi yang terjalin dari awal mulai negosiasi pada 2005 sampai pada waktu di mana mulai muncul kemungkinan pembekuan proses negosiasi aksesi pada 2016.

2.1. Negosiasi Aksesi Uni Eropa

2.1.1. Sistem Negosiasi Aksesi ke Uni Eropa

Ketika UE menerima aplikasi aksesi suatu negara dan menetapkannya sebagai negara kandidat, negara tersebut akan melewati berbagai tahapan yang telah disusun dengan tujuan untuk membantu proses transformasi negara-negara kandidat yang nantinya akan menjadi bagian dari UE. Proses aksesi yang merupakan inti dari pembesaran UE atau EU Enlargement ini memiliki tujuan untuk memperluas perdamaian, stabilitas, kemakmuran, demokrasi, hak asasi manusia, dan supremasi hukum di kawasan Eropa secara keseluruhan.1

Periode waktu atau berbagai fase yang harus dilalui setiap negara kandidat

UE disebut sebagai negosiasi aksesi. Proses negosiasi aksesi tidak hanya mencakup

1 “Accession Negotiations,” Delegation of the European Union to Turkey. Diakses melalui https://www.avrupa.info.tr/en/accession-negotiations-720, pada 20 Agustus 2020

26

27

rancangan waktu yang diperlukan suatu negara untuk menjadi negara angota UE, namun juga mencakup berbagai peraturan yang harus diadopsi dan diimplementasikan oleh negara kandidat. Peraturan atau dasar hukum tersebut disebut sebagai Acquis Communautaire.2

Acquis Communautaire merupakan istilah dalam Bahasa Jerman yang mengacu pada kumpulan hukum yang diterapkan dalam UE. Acquis ini mengikat seluruh negara angora UE sehingga secara otomatis harus diadopsi oleh suatu negara yang mengajukan aplikasi aksesi ke UE, atau selanjutnya disebut sebagai negara kandidat.3 Kumpulan hak dan kewajiban tersebut terus berkembang dan bersifat dinamis sehingga tidak menutup kemungkinan adanya perubahan di dalamnya. Acquis ini mencakup prinsip dan tujuan politik dari berbagai perjanjian dan pengadopsian undang-undang yang sesuai dengan institusi atau kebijakan yang terkait dalam lingkup aktivitas Uni.4

Dalam kerangka negosiasi aksesi, Acquis Communautaire terbagi dalam 35 bab negosiasi, yaitu: (1) pergerakan bebas barang; (2) pergerakan bebas bagi pekerja; (3) kebebasan meyediakan jasa; (4) pergerakan bebas modal; (5) pengadaan publik; (6) hukum perusahaan; (7) hukum kekayaan intelektual; (8) kebijakan persaingan; (9) pelayanan finansial; (10) informasi dalam masyarakat dan media (11) pertanian dan pembangunan daerah pedesaan; (12) keamanan pangan,

2 “FAQ for Negotiations Process” Directorate of EU Affairs, Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey, updated 23 July 2019 Diakses melalui https://www.ab.gov.tr/faq-for- negotiation-process_44460_en.html, pada 20 Agustus 2020 3 “Acquis Communautaire” EurWORK, (11 March 2008). Diakses melalui https://www.eurofound.europa.eu/observatories/eurwork/industrial-relations-dictionary/acquis- communautaire#:~:text=Acquis%20communautaire%20is%20a%20French,the%20European%20 Union%20(EU). pada 21 Agustus 2020 4 “Glossary of Summaries, “ACQUIS,” EUR-Lex. Diakses melalui https://eur- lex.europa.eu/summary/glossary/acquis.html, pada 21 Agustus 2020

28

kesehatan hewan, dan kebijakan fitonasitasi; (13) perikanan; (14) kebijakan transportasi; (15) energi; (16) perpajakan; (17) kebijakan ekonomi dan moneter; (18) statistika; (19) kebijakan sosial dan pekerjaan; (20) kebijakan perusahaan dan industri; (21) jaringan trans-eropa; (22) kebijakan kawasan dan koordinasi instrumen struktural; (23) peradilan dan hak-hak fundamental; (24) keadilan, kebebasan, dan keamanan; (25) ilmu pengetahuan dan riset; (26) pendidikan dan budaya; (27) lingkungan; (28) perlindungan konsumen dan kesehatan; (29) customs union (30) hubungan eksternal; (31) kebijakan luar negeri, keamanan, dan pertahanan; (32) pengawasan keuangan; (33s) syarat keuangan dan anggaran; (34) institusi atau lembaga; (35) lain-lain.5

Dalam kerangka pertemuan Madrid 1995, tercatat bahwa negara kandidat diharuskan untuk membentuk kapasitas hukum dan administratif yang sesuai agar dapat menerapkan seluruh undang-undang yang tercatat dalam acquis secara efektif.

Oleh sebab itu, bentuk reformasi yang dibutuhkan tidak hanya sebatas menerapkan hukum UE pada hukum dalam negeri, namun juga melakukan pembentukan lembaga-lembaga atau departemen-departemen yang secara efektif berkapasitas untuk menerapkan undang-undang tersebut.6

Pada laman resmi Kementerian Luar Negeri Turki, tercatat berbagai tahap negosiasi aksesi yang harus dilalui Turki untuk mendapatkan keanggotaan penuh

UE melalui kerangka negosiasi aksesi, antara lain: (1) menetapkan keputusan untuk

5 “Chapter of the Acquis,” European Neighbourhood Policy and Enlargement Negotiations, Diakses melalui https://ec.europa.eu/neighbourhood-enlargement/policy/conditions- membership/chapters-of-the-acquis_en, pada 22 Agustus 2020 6 Lisa Louwerse, “Mind the Gap; Issues of Legality in the EU’s Conceptualisation of the Rule of Law in Its Enlargement Policy”, CYELP 15 (2019): 37-39. DOI:10.3935/cyelp.15.2019.352

29

memulai negosiasi dan mengadakan Intergovernmental Conference (IGC) sebagai forum seremonial untuk mendeklarasikan pembukaan proses negosiasi; (2)

Screening Phase, atau Fase Penyaringan di mana negara kandidat melakukan pengujian terhadap Acquis dan UE akan menilai rancangan persiapan negara kandidat; (3) Screening Reports atau laporan dari proses penyaringan; (4) persiapan dokumen terkait posisi negosiasi oleh negara kandidat dilanjutkan dengan persiapan dokumen umum ‘bersama’ atau common position oleh Uni Eropa; (5) penutupan

Bab tertentu secara sementara 7 . Pada akhir proses negosiasi, semua bab yang awalnya ditutup sementara akan melalui proses peninjauan kembali sebelum ditutup secara utuh; (6) Negosiasi pada Bab Institusi atau Lembaga dan Bab Isu-Isu

Lain8; dua bab paling akhir ini akan dinegosiasikan setelah 33 bab sebelumnya ditutup sementara; dan yang terakhir adalah (7) Ratification of The Treaty of

Accession atau Ratifikasi Perjanjian Aksesi di mana setelah negosiasi 35 bab terselesaikan, Dewan UE dengan persetujuan Parlemen UE akan menyusun

Perjanjian Aksesi9. Seluruh proses negosiasi aksesi tersebut harus dilewati dan disetujui oleh seluruh negara anggota UE secara keseluruhan. 10

7 suatu bab akan ditutup secara sementara jika adopsi Acquis dan tingkat implementasinya dinilai cukup, sementara jika dinilai kurang, maka Dewan UE atas dasar pertimbangannya dengan Komisi UE akan menetapkan tolak ukur yang harus dipenuhi negara kandidat untuk mencapai penutupan bab. 8 Pada Bab Institusi, proporsi Komisi, Dewan, dan Parlemen negara kandidat akan ditentukan. Sementara pada Bab Isu-Isu Lain, masalah yang muncul selama proses negosiasi namun tidak termasuk dalam Acquis akan dinegosiasikan 9 Bentuk penandatangan perjanjian aksesi dapat dilakukan dengan cara yang disetujui seluruh pihak, baik melalui persetujuan parlemen atau referendum yang diikuti oleh rakyat 10 FAQ for Negotiations Process” Directorate of EU Affairs, Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey, updated 23 July 2019 Diakses melalui https://www.ab.gov.tr/faq-for- negotiation-process_44460_en.html, pada 20 Agustus 2020

30

Pada laman tersebut, tercatat pula hal-hal yang boleh dan tidak boleh dinegosiasikan dalam proses aksesi. Hal-hal fundamental yang tidak boleh dinegosiasikan antara lain; (1) pengadopsian Acquis di mana keseluruhan Bab harus diadopsi tanpa kecuali; (2) keharusan untuk membentuk struktur administrasi untuk meningkatkan proses implementasi; serta (3) kepatuhan terhadap kriteria politik dan ekonomi Kopenhagen. Sementara hal-hal yang dapat dinegosiasikan, yaitu; (1) kapan dan bagaimana bab-bab Acquis akan diadposi; dan (2) negosiasi terkait fase transisi, pengurangan sementara, atau permintaan bantuan dalam proses harmonisasi. 11

2.1.2. Proses Pra-Negosiasi Aksesi Turki ke Uni Eropa (1959 – 2004)

Negosiasi aksesi Turki ke UE dapat dilaksanakan melalui proses panjang rekonsiliasi antara Turki dan para pendahulu UE. Keinginan Turki untuk bergabung dengan Uni Eropa diawali dengan pengajuan aplikasi asosiasi Turki dengan

European Economic Community (EEC) pada 31 Juli 1959.12

Dewan Menteri EEC menyambut baik aplikasi tersebut dan mengusulkan pembentukan sebuah asosiasi sampai kondisi Turki memungkinkan untuk memulai proses aksesi. Negosiasi antara Turki dan EEC menghasilkan pembentukan asosiasi antara Turki dan EEC yang dikenal dengan the Ankara Agreement atau Perjanjian

Ankara yang ditandatangani pada 12 September 1963 dan mulai berlaku pada 1

11 FAQ for Negotiations Process” Directorate of EU Affairs, Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey, updated 23 July 2019 Diakses melalui https://www.ab.gov.tr/faq-for- negotiation-process_44460_en.html, pada 20 Agustus 2020 12 L.M. Robert Klaassen, Moving to the East; Explaining the negotiation processes on the accession of Albania and Turkey to the European Union, (Tesis., Radboud University Nijmegen, 2018), 38

31

Desember 1964.13 Perjanjian Ankara menjadi awal mula hubungan Turki dengan

Eropa yang membuka berbagai pertemuan penting antara kedua pihak yang pada akhirnya mengantarkan Turki pada pintu aksesi dengan UE.

Perjanjian Ankara merupakan dasar hukum dalam hubungan Turki dengan

EEC, khususnya dalam bidang perdagangan, ekonomi, dan pembangunan. Tujuan utama dari perjanjian tersebut adalah untuk membentuk dan menerapkan Custom

Union (CU) serta membantu Turki untuk mencapai keanggotaan penuh Komunitas

Eropa atau European Community14.15 Turki juga menyatakan dengan tegas bahwa tujuan akhir Turki dalam melaksanakan perjanjian tersebut adalah untuk memperoleh keanggotaan penuh komunitas.16

Pada 13 November 1970, Additional Protocol atau Protokol Tambahan untuk

Perjanjian Ankara disusun sebagai langkah penting dalam proses asosiasi. Protokol ini menggambarkan rencana pembentukan CU secara utuh dalam kurun waktu 12-

13 “Turkey-EU Relations/ History of Turkey-EU Relations,” Directorate for EU Affairs, Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey. Diperbaharui 12 Februari 2020. Diakses melalui https://www.ab.gov.tr/brief-history_111_en.html, pada 17 Agustus 2020 14 European Community adalah sebutan bagi tiga organisasi internasional Eropa (European Coal and Steel Community, European Economic Community, dan European Atomic Energi Community) yang diatur oleh kumpulan institusi yang sama (European Commission, European Council, dan European Parliament). European Community ini kemudian dikenal sebagai European Union atau Uni Eropa setelah the Treaty of Maastricht ditandatangani pada 1992. Dikutip dari Iain Mclver. “The History of European Union”, Scottish Parliament Information Centre (SPICe), Diakses melalui http://www.parliament.scot/ResearchBriefingsAndFactsheets/S5/SB_16- 37_The_European_Union_A_Brief_History.pdf), 18 Agustus 2020 15 L.M. Robert Klaassen, Moving to the East; Explaining the negotiation processes on the accession of Albania and Turkey to the European Union, (Tesis., Radboud University Nijmegen, 2018), 38 16 “Turkey-EU Relations/ History of Turkey-EU Relations,” Directorate for EU Affairs, Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey. Diperbaharui 12 Februari 2020. Diakses melalui https://www.ab.gov.tr/brief-history_111_en.html, pada 17 Agustus 2020

32

22 tahun serta menyusun rancangan waktu untuk menyelaraskan undang-undang perdagangan antara Turki dan EEC.17

Walaupun asosiasi Turki dan EEC terlihat mengalami perkembangan yang cukup baik, hubungan Turki dengan EEC mengalami penghentian sementara setelah terjadinya kudeta militer di Turki pada 12 Desember 1980. Setelah Turki berhasil membangun kembali otoritas sipil melalui pemilihan multi-partai pada

1983, hubungan Turki dan EEC mulai memasuki tahap penghidupan kembali. Pada

14 April 1987, Turki pada akhirnya mengajukan aplikasi keanggotaan penuh kepada EEC secara resmi tanpa menunggu fase-fase dalam perjanjian Ankara terselesaikan.18

Pada 18 Desember 1989, European Community menyatakan bahwa keanggotaan penuh Turki dapat menjadi tujuan utama, namun bukan berarti UE akan secara langsung membuka negosiasi aksesi karena Turki belum menyelesaikan proses integrasi internal dengan EEC. Tidak hanya itu, European

Community juga menggaris bawahi permasalahan ekonomi, sosial, dan politik internal Turki serta buruknya hubungan Turki dengan Yunani dan Siprus (pada saat itu juga sebagai negara kandidat) yang menjadi alasan penundaan penerimaan aplikasi aksesi Turki.19

17 H.D. Mumcu Akan dan B.Engin Balin, “The European Union-Turkey Relations under the Influence of Custom Union”, Journal of Economics, Business and Managements 4, no.2, (2016): 155. Diakses melalui http://www.joebm.com/vol4/383-ET00042.pdf, 18 Agustus 2020 18 “Turkey-EU Relations/ History of Turkey-EU Relations,” Directorate for EU Affairs, Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey. Diperbaharui 12 Februari 2020. Diakses melalui https://www.ab.gov.tr/brief-history_111_en.html, pada 17 Agustus 2020 19 L.M. Robert Klaassen, Moving to the East; Explaining the negotiation processes on the accession of Albania and Turkey to the European Union, (Tesis., Radboud University Nijmegen, 2018), 39

33

Turki merespon secara positif pernyataan tersebut dan mulai melakukan persiapan untuk mewujudkan CU sebagaimana yang telah tercatat dalam Protokol

Tambahan 1970 untuk Perjanjian Ankara. Pada 6 Maret 1995, CU pada akhirnya didirikan dan mulai berlaku pada 1 Januari 1996 antara Turki dan Uni Eropa

(sebelumya disebut European Community). CU yang telah disetujui tidak hanya berkaitan dengan aspek perdagangan dan ekonomi, namun juga berkaitan dengan berbagai bidang lainnya seperti transportasi, pertanian, sains, serta urusan dalam negeri sehingga CU ini memegang peran yang sangat penting dalam memastikan keberlangsungan proses aksesi Turki ke UE.20

Hubungan Turki dan UE sejak tahun 1999 sampai 2004 dinilai sebagai waktu emas di mana komitmen keduanya untuk melakukan proses aksesi terbentuk.21

Pada Desember 1999, Turki dan European Council melaksanakan pertemuan di

Helsinki yang dikenal sebagai Helsinki Summit. Pada pertemuan tersebut, European

Council secara resmi mengakui Turki sebagai negara kandidat Uni Eropa. 22

Sebagaimana yang telah disimpulkan dalam Helsinki Council Conclusions, Komisi

UE atau European Commission mulai mempersiapkan proses aksesi untuk keanggotaan Turki yang selanjutnya diterima oleh European Council pada 19

Maret 2001. Pada bulan yang sama, Turki juga mengirimkan the National

20 “Turkey-EU Relations/ History of Turkey-EU Relations,” Directorate for EU Affairs, Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey. Diperbaharui 12 Februari 2020. Diakses melalui https://www.ab.gov.tr/brief-history_111_en.html, pada 17 Agustus 2020 21 Gozde Yilmaz, “From Eu-phoria to EU-phobia? Changing Turkish Narratives in EU- Turkey Relations”. Baltic Journal of European Studies Tallinn University of Technology 9, no. 1 (2013): 22. Diakses melalui https://content.sciendo.com/configurable/contentpage/journals$002fbjes$002f9$002f1$002farticle -p20.xml, pada 6 September 2020 22 “Helsinki European Council 10 and 11 December 1999, Presidecy Conclusions”, European Parliament. Diakses melalui https://www.europarl.europa.eu/summits/hel1_en.htm, pada 18 Agustus 2020

34

Programme atau Program Nasional yang disusun berdasarkan Acquis

Communautaire Uni Eropa kepada Komisi Uni Eropa sebagai persyaratan dalam kemitraan aksesi. 23

Setelah itu, Turki terus melakukan berbagai reformasi dalam aspek ekonomi dan politik untuk memenuhi kriteria aksesi. Turkish Grand National Assembly atau

Majelis Besar Nasional Turki memberlakukan paket harmonisasi untuk menyesuaikan kriteria aksesi yang juga mencakup berbagai aspek lainnya seperti hak dan kebebasan fundamental, demokrasi, supremasi hukum, dan kebebasan berpendapat. 24

Pada 17 Desember 2004, Turki dan Uni Eropa melaksanakan pertemuan di

Brussels dan mendiskusikan kemajuan reformasi politik Turki sebagai pertanda baik dalam hubungan Turki dan Uni Eropa yang pada akhirnya European Council menyatakan bahwa Turki sudah dapat memulai negosiasi aksesi dan direncakan akan dimulai pada 3 Oktober 2005. 25

2.2. Hubungan Turki dan Uni Eropa dalam Kerangka Negosiasi Aksesi

Subbab ini akan menjelaskan hubungan Turki dan UE dalam kerangka negosiasi aksesi yang dibagi dalam dua periode waktu. Periode pertama (2005-2012) akan memperlihatkan bagaimana upaya Turki dalam melakukan berbagai macam

23 “Turkey-EU Relations/ History of Turkey-EU Relations,” Directorate for EU Affairs, Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey. Diperbaharui 12 Februari 2020. Diakses melalui https://www.ab.gov.tr/brief-history_111_en.html, pada 17 Agustus 2020 24 “Turkey-EU Relations/ History of Turkey-EU Relations,” Directorate for EU Affairs, Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey. Diperbaharui 12 Februari 2020. Diakses melalui https://www.ab.gov.tr/brief-history_111_en.html, pada 17 Agustus 2020 25 “Turkey-EU Relations/ History of Turkey-EU Relations,” Directorate for EU Affairs, Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey. Diperbaharui 12 Februari 2020. Diakses melalui https://www.ab.gov.tr/brief-history_111_en.html, pada 17 Agustus 2020

35

reformasi untuk memenuhi Acquis pada masa awal negosiasi. Selain itu, periode ini juga akan memperlihatkan pola dukungan dan penolakan yang terjadi di antara negara anggota serta menjelaskan berbagai hambatan yang dihadapi Turki dan bagaimana upaya yang Turki lakukan untuk menghadapinya.

Periode kedua (2012-2016) akan memperlihatkan bagaimana Turki memperbaiki hubungannya dengan negara-negara anggota UE melalui berbagai macam bentuk kerjasama. Walaupun demikian, periode ini juga memperlihatkan hambatan besar yang muncul dalam hubungan Turki dan UE sehingga memengaruhi proses negosiasi aksesi hingga muncul kemungkinan adanya pembekuan proses negosasi aksesi yang akan lebih detail dijelaskan pada bab ketiga.

2.2.1. Periode 2005 – 2012

Setelah European Council menyatakan bahwa Turki telah memenuhi kriteria sebagai negara kandidat pada 11 Desember 1999 melalui pertemuan Helsinki,

European Council menyatakan pada 16 Desember 2004 bahwa Turki telah memenuhi kriteria pembukaan negosiasi aksesi dan secara resmi memasuki tahap negosiasi selanjutnya yaitu Screening Process pada 3 Oktober 2005. 26 Turki menyelesaikan tahap screening untuk 33 bab negosiasi (dua bab lainnya, yaitu bab

34 dan 35 hanya bisa diproses setelah menyelesaikan 33 bab pertama) pada 13

Oktober 2006. Selain itu, bab ke-25 tentang Ilmu Pengetahuan dan Penelitian

26 “Turkey,” European Neighbourhood Policy and Enlargement Negotiations. Diakses melalui https://ec.europa.eu/neighbourhood-enlargement/countries/detailed-country- information/turkey_en, diunduh pada 20 Agustus 2020

36

(Science and Research) dibuka dan ditutup dalam satu pertemuan yang sama pada

12 Juni 2006.27

Pada periode 2005-2012, terhitung 10 bab negosiasi berhasil dibuka dan menjalani proses negosiasi.28 Dalam proses negosiasi aksesi, Turki sebagai negara kandidat diharuskan untuk melakukan berbagai upaya dalam menyesuaikan institusi, manjemen, sistem administrasi, dan peradilannya kedalam standar Uni

Eropa. Upaya tersebut memerlukan administrasi publik yang baik dan stabil di mana layanan sipil yang dibentuk tidak memihak dan disertai dengan sistem peradilan yang independen dan efisien.29

Sampai akhir 2008, Turki dinilai mengalami progress yang baik dalam menyesuakan standar UE, baik melalui reformasi politik, ekonomi, serta aspek sosio-ekonomi dengan negara anggota UE. Selain itu, komisi Uni Eropa juga melihat baik peran perantara Turki dalam hubungan Suriah dan , pendekatan diplomatiknya dengan Armenia, serta perannya dalam konflik militer antara Rusia dan .30

27 “Chronology of Turkey-European Union Relations (1959-2019),” Directorate of EU Affairs, Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey. hlm 11-12. Diakses melalui https://www.ab.gov.tr/siteimages/birimler/kpb/chronology-_en-_1959-_ocak2020.pdf pada 23 Agustus 2020 28 “Chronology of Turkey-European Union Relations (1959-2019),” Directorate of EU Affairs, Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey. hlm 10-15. Diakses melalui https://www.ab.gov.tr/siteimages/birimler/kpb/chronology-_en-_1959-_ocak2020.pdf pada 23 Agustus 2020 29 “Accession Negotiations” Delegation of the European Union on Turkey. Diakses melalui https://www.avrupa.info.tr/en/accession-negotiations-720 pada 23 Agustus 2020 30 Jurgen Gerhards. “Why not Turkey? Attitudes towards Turkish Membership in the EU among Citizens in 27 European Countries”, Journal of Common Market Studies 49, no. 4 (2011): 741. Diakses melalui https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/j.1468-5965.2010.02155.x, pada 6 September 2020

37

Dalam bidang sosial dan politik, Turki memperlihatkan bagaimana upaya reformasinya berkembang dengan baik sejak negosiasi aksesi dimulai. Salah satu contoh yang dapat diambil adalah kemampuan Turki dalam menjaga lembaga pemerintahan Turki agar tetap stabil, menjamin sistem demokrasi agar terus berjalan, serta menjaga hak asasi manusia, termasuk peningkatan perlindungan terhadap minoritas.

Spesifik dalam bidang demokrasi, Freedom House31 Index memperlihatkan posisi Turki dalam survey terkait tingkatan demokrasi dan kebebasan sipil suatu negara yang digambarkan melalui skala 1 (benar-benar bebas) sampai 10 (benar- benar tidak bebas). Posisi Turki yang berada pada angka 4 untuk tingkat demokrasi dan angka 5 untuk tingkat kebebasan sipil meningkat menjadi angka 3 untuk kedua aspek pada 2006.32 Kemudian dalam aspek ekonomi, UE dalam Turkey 2008

Progress Report menyampaikan bahwa stabilitas makro ekonomi Turki sudah cukup untuk memulai integrasi ke pasar tunggal Eropa dengan peningkatan pertumbuhan rata-rata tahunan GDP per kapita sebesar 5.4% dari 2002 sampai

2007.33

Selain melakukan berbagai upaya reformasi, Turki juga mendapat berbagai dukungan dari negara-negara besar di UE seperti Italia, Inggris, dan Spanyol.

31 Freedom House adalah lembaga non-pemerintah dan non-provit asal Amerika Serikat yang berfokus pada penelitian dan advokasi demokrasi, kebebasan politik, dan hak asasi manusia. https://freedomhouse.org/ 32 Jurgen Gerhards. “Why not Turkey? Attitudes towards Turkish Membership in the EU among Citizens in 27 European Countries”, Journal of Common Market Studies 49, no. 4 (2011): 743. Diakses melalui https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/j.1468-5965.2010.02155.x, pada 6 September 2020 33 Jurgen Gerhards. “Why not Turkey? Attitudes towards Turkish Membership in the EU among Citizens in 27 European Countries”, Journal of Common Market Studies 49, no. 4 (2011): 743. Diakses melalui https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/j.1468-5965.2010.02155.x, pada 6 September 2020

38

Presiden Italia saat itu, Carlo Azeglio Ciampi menyatakan bahwa keanggotaan

Turki di UE akan sangat menguntungkan mengingat posisi Turki secara geografis menjadi rute sangat penting dalam jalur transfer energi dan pipa minyak bagi UE.

Ciampi juga menggaris bawahi peran Turki sebagai jembatan antara dunia barat dan dunia Islam yang dapat mencegah benturan peradaban.34

Selain Italia, Perdana Menteri Spanyol, Jose Luiz Rodrigues juga menyatakan bahwa keanggotaan Turki akan menguntungkan UE, khususnya terkait permasalahan penanggulangan terorisme dan imigrasi ilegal, serta mencegah perdagangan manusia.35 Kemudian Menteri Luar Negeri Swedia, Carl Bildt pada

2009 menyatakan pembelaannya terhadap Turki yang sebelumnya dinilai sebagai bukan bagian dari Eropa secara geografis dengan membandingkannya dengan penerimaan Siprus yang secara geografis merupakan pulau di sepanjang pantai

Suriah sehingga posisi Turki yang tidak jauh berbeda dengan Siprus perlu dipertimbangkan. 36

Tidak hanya itu, Inggris juga menunjukan dukungannya terhadap Turki sebagaimana dinyatakan oleh David Cameron selaku Perdana Menteri Inggris pada

2010 bahwa sebagai negara Muslim moderat, Turki dapat membantu UE untuk meningkatkan hubungannya dengan negara Islam lainnya mengingat posisi Turki

34 “Italy Supports Turkey’s EU Membership” English People Daily (23 November 2005). Diakses melalui http://english.peopledaily.com.cn/200511/23/eng20051123_223326.html pada 28 Agustus 2020 35 “Spain Supports Turkey’s Candidature to the EU,” Gobierno De Espana (5 April 2009).. Diakses melalui https://www.lamoncloa.gob.es/lang/en/paginas/archivo/2009/05042009_RANTurquia.aspx pada 28 Agustus 2020 36 “Sarkozy Cancels Sweden Visit Over Turkey,” Euobserver (29 Mei 2009). Diakses melalui https://euobserver.com/political/28208 pada 28 Agustus 2020

39

secara geofrafis memiliki pengaruh yang besar dalam politik Timur Tengah. 37

Selain Italia, Spanyol, dan Inggris, masih terdapat beberapa negara anggota UE lainnya yang menyatakan dukungannya terhadap proses negosiasi aksesi Turki, yaitu Belgia, Denmark, Hungraria, Irlandia, Republik Ceko, Lithuania, Finlandia,

Bulgaria, dan Latvia.38

Walaupun Turki telah melakukan berbagai upaya dalam mereformasi sistem pemerintahannya agar sesuai dengan acquis serta mendapat banyak dukungan dari negara anggota lainnya, penolakan terhadap keanggotaan Turki di UE masih terus bermunculan. Hal tersebut dapat dilihat dari sikap Jerman, Perancis, dan Austria yang sejak awal lebih merekomendasikan privileged partnership atau kemitraan istimewa sebagai bentuk hubungan UE dengan Turki dibandingkan melakukan proses aksesi. Kanselir Jerman pada saat itu, Angela Markel pertama kali mengusulkan kemitraan istimewa pada 2004 namun konsep kemitraan istimewa yang belum terlalu jelas pun menimbulkan perdebatan bahkan Menteri Luar Negeri

Jerman pada saat itu menyatakan ketidakpahamannya terkait kemitraan istimewa tersebut.39

Pemerintahan Turki dengan tegas menolak usulan kemitraan istimewa tersebut dengan menyatakan bahwa tawaran tersebut tidak dapat dipahami dan

37 Jason Groves “Turkey Must Join EU, says Cameron: ‘Those who are against are playing on fears of Islam,” The Daily Mail Online, (3 Agustus 2010). Diakses melalui https://www.dailymail.co.uk/news/article-1297906/Turkey-join-EU-says-Cameron-Those-playing- fears-Islam.html pada 29 Agustus 2020 38 Ahla Aulia, Diplomasi Turki menjadi Anggota Uni Eropa (2007-2012), (Skripsi., UIN Syarif Hidayatullah Jakara, 2013), 67 39 Hugh Pope. “Privileged Partnership Offers Turkey Neither Privilege nor Partnership,” International Crisis Group (23 June 2009). Diakses melalui https://www.crisisgroup.org/europe- central-asia/western-europemediterranean/turkey/privileged-partnership-offers-turkey-neither- privilege-nor-partnership pada 30 Agustus 2020

40

diluar konteks kesepakatan antara Turki dan UE. Recep Tayyip Erdogan yang saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri Turki memperingatkan Angela Merkel untuk tidak menggunakan kemitraan khusus tersebut sebagai instrumen kampanye untuk pemilihan parlemen Eropa mendatang.40

Selain itu, hambatan aksesi Turki lainnya muncul setelah UE menyatakan 10 negara anggota UE baru pada 2005. Pada 29 Juli 2005, Turki menandatangani

Additional Protocol atau Protokol Tambahan dari Perjanjian Ankara terkait enlargement atau pembesaran UE. Protokol tersebut berfokus pada penyesuaian isi perjanjian terkait dengan penambahan 10 negara anggota baru UE, di mana seluruh negara anggota baru UE akan secara otomatis menjadi bagian dari perjanjian yang telah ada serta Turki harus menghormati seluruh negara anggota baru tersebut.41

Walaupun demikian, pada hari yang sama dengan hari penandatanganan protokol tambahan tersebut, Turki mengeluarkan sebuah deklarasi yang berfokus pada hubungannya dengan Siprus sebagai salah satu negara anggota baru UE yang disebutkan dalam protokol tambahan tersebut. Turki dan Siprus sudah mengalami persoalan sengketa sejak berakhirnya Perang Dunia I sehingga pada deklarasi tersebut Turki tidak bisa mengakui kedaulatan Siprus secara utuh dan tetap mengakui bagian utara Siprus yang dikenal sebagai Turkish Republic of Northern

Cyprus atau Siprus Turki sebagai negara merdeka yang terpisah dari bagian selatan

40 “Turkey Rejects Proposal for “Privileged Partnership” with EU,” Euractiv (29 Januari 2010). Diakses melalui https://www.euractiv.com/section/enlargement/news/turkey-rejects- proposal-for-privileged-partnership-with-eu/ pada 30 Agustus 2020 41 “Additional Protocol 2005,” Directorate of EU Affairs, Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey. Diakses melalui https://www.ab.gov.tr/files/AB_Iliskileri/Tur_En_Realitons/protokol_2005.pdf pada 2 September 2020

41

Siprus yang lebih dikenal sebagai Greece Cypriot Administration of Southern

Cyprus (GCASC) atau Siprus Yunani. Turki juga menegaskan bahwa hubungannya dengan Siprus Turki tidak berubah menjadi pihak-pihak yang disebutkan dalam protokol. Turki juga menyatakan bahwa posisi Turki terhadap Siprus tidak akan berubah selama proses penyelesaian konflik masih berlangsung dan Turki akan menjalin hubungan kemitraan yang baru setelah konfliknya dengan Siprus selesai.42

Dalam merespon deklarasi tersebut, European Community mengeluarkan deklarasi pada 21 September 2005 yang menyatakan penyesalannya terhadap keputusan Turki dalam mengeluarkan deklarasi sebelumnya. Deklarasi European

Community tersebut menggaris bahwahi bahwa deklarasi Turki hanya bersifat sepihak dan tidak termasuk dalam protokol sehingga tidak mempengaruhi kewajiban Turki terhadap substansi protokol tambahan tersebut. Dinyatakan bahwa

UE akan memantau implementasi Turki dan menekankan bahwa implementasi tersebut akan sangat mempengaruhi proses negosiasi aksesi secara keseluruhan, khususnya terkait pembukaan bab-bab yang relevan. Turki diharuskan untuk menormalisasi hubungannya dengan seluruh negara anggota UE, khususnya dengan

Siprus.43

Walaupun Turki terus melanjutkan proses negosiasi aksesi, Turki tidak memenuhi tuntutan European Community untuk menormalisasi hubungannya dengan Siprus sehingga pada 11 Desember 2006, Dewan Urusan Umum Uni Eropa

42 “Declaration by Turkey on Cyprus, 29 July 2005,” Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey. Diakses melalui http://www.mfa.gov.tr/declaration-by-turkey-on-cyprus_-29-july- 2005.en.mfa, pada 4 September 2020 43 “Enlargement: Turkey Declaration by the European Community and its Member States,” European Commission (21 September 2005). Diakses melalui https://ec.europa.eu/commission/presscorner/detail/en/PRES_05_243, 4 September 2020

42

(EU General Affairs Council) memutuskan untuk membekukan delapan bab negosiasi sampai Turki menunjukan komitmennya terkait Protokol Tambahan 2005.

Bab yang dibekukan adalah; (Bab 1) pergerakan bebas barang; (Bab 3) kebebasan meyediakan jasa; (Bab 9) pelayanan finansial; (Bab 11) pertanian dan pembangunan daerah pedesaan; (Bab 13) Perikanan; (Bab 14) kebijakan transportasi; (Bab 29) customs union; dan (Bab 30) hubungan eksternal.44

Blokade bab negosiasi aksesi Turki lainnya muncul pada 26 Juni 2007 ketika

Perancis secara sepihak memblokade 5 bab negosiasi. 45 Perancis yang sejak awal tidak mendukung penuh proses negosiasi aksesi Turki memblokade bab-bab yang dinilai secara langsung berkaitan dengan keanggotaan Uni Eropa yaitu bab (11) pertanian dan pembangunan daerah pedesaan; (17) kebijakan ekonomi dan moneter;

(22) kebijakan kawasan dan koordinasi instrumen struktural; (33) syarat keuangan dan anggaran; dan (34) institusi atau lembaga.46 Presiden Perancis saat itu, Nicholas

Sarkozy menjadikan penentangannya terhadap aksesi Turki ke UE sebagai salah satu elemen penting dalam kampanye kepresidenannya. Ia menyatakan bahwa

Turki secara geografis tidak termasuk dalam wilayah Eropa sehingga tidak seharusnya tergabung dalam UE. 47

44 “2770th Council Meeting General Affairs and External Relations,” European Commission (Brussels, 11 December 2006). Diakses melalui https://ec.europa.eu/commission/presscorner/detail/en/PRES_06_352, pada 4 September 2020 45 Dan Bilefsy, “Sarkozy Blocks Key Part of EU Entry Talks on Turkey,” The New York Times (25 Juni 2007). Diakses melalui https://www.nytimes.com/2007/06/25/world/europe/25iht- union.5.6325879.html, pada 10 September 2020 46 “Chronology of Turkey-European Union Relations (1959-2019),” Directorate of EU Affairs, Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey. Diakses melalui https://www.ab.gov.tr/siteimages/birimler/kpb/chronology-_en-_1959-_ocak2020.pdf pada 23 Agustus 2020 47 Dan Bilefsy, “Sarkozy Blocks Key Part of EU Entry Talks on Turkey,” The New York Times (25 Juni 2007). Diakses melalui https://www.nytimes.com/2007/06/25/world/europe/25iht- union.5.6325879.html, pada 10 September 2020

43

Walaupun demikian, Turki melalui kepala negosiatornya pada saat itu, Ali

Babacan menyatakan bahwa Ankara akan terus melanjutkan proses negosiasi aksesinya dengan UE terlepas dari bab apa saja yang dapat dibuka atau masih belum bisa dibuka. Ia menyatakan bahwa Ankara akan terus melanjutkan proses integrasi undang-undang sesegera mungkin dan akan menunggu kesiapan penuh UE untuk keanggotaan Turki. 48

Blokade sepihak dari negara anggota UE tidak berhenti pada blokade Perancis karena pada 8 Desember 2009, Siprus Yunani menyatakan bahwa Turki belum melakukan normalisasi hubungan dengan Siprus sehingga Siprus memutuskan untuk memblokade 6 bab dalam negosiasi, yaitu bab (2) pergerakan bebas bagi pekerja; (15) energi; (23) peradilan dan hak-hak fundamental; (24) keadilan, kebebasan, dan keamanan; (26) pendidikan dan budaya; dan (31) kebijakan luar negeri, keamanan, dan pertahanan.49

Selain respon pemerintahan negara anggota Uni Eropa, penerimaan masyarakat UE juga memegang peran penting dalam proses negosiasi aksesi. Sikap warga negara anggota yang cenderung tidak mendukung proses aksesi Turki dan menekan pemerintahnya untuk mempertimbangkan sudut pandang warga menjadi hambatan lain yang harus dihadapi Turki.50 Berdasarkan data yang diperoleh oleh

48 Dan Bilefsy, “Sarkozy Blocks Key Part of EU Entry Talks on Turkey,” The New York Times (25 Juni 2007). Diakses melalui https://www.nytimes.com/2007/06/25/world/europe/25iht- union.5.6325879.html, pada 10 September 2020 49 “Chronology of Turkey-European Union Relations (1959-2019),” Directorate of EU Affairs, Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey. Diakses melalui https://www.ab.gov.tr/siteimages/birimler/kpb/chronology-_en-_1959-_ocak2020.pdf pada 23 Agustus 2020 50 Jurgen Gerhards. “Why not Turkey? Attitudes towards Turkish Membership in the EU among Citizens in 27 European Countries”, Journal of Common Market Studies 49, no. 4 (2011): 741. Diakses melalui https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/j.1468-5965.2010.02155.x, pada 6 September 2020

44

Eurobarometer dari 1996-2010, dukungan warga negara UE terhadap EU

Enlargement secara umum mengalami penurunan dari tahun ke tahun.51

Sementara itu, Komisi Uni Eropa memperlihatkan hasil surveynya pada 2006 terkait dukungan masyarakat Uni Eropa terhadap proses aksesi Uni Eropa. Survey tersebut menunjukan 48% responden tidak mendukung proses aksesi dan 39% lainnya mendukung aksesi Turki hanya jika Turki memenuhi semua persyaratan yang telah ditetapkan. Presentasi ketidaksetujuan publik tersebut adalah angka tertinggi yang diperoleh jika dibandingkan dengan negara kandidat lainnya.52

Menyadari berbagai hambatan yang muncul pada tahun-tahun awal proses negosiasi, Turki melakukan berbagai upaya diplomasi untuk memperlancar proses negosiasi yang sedang dilakukan. Salah satu upaya utama Turki adalah dengan meningkatkan hubungan baiknya dengan negara-negara yang tidak mendukung keanggotaan Turki di Uni Eropa, khususnya negara-negara besar seperti Jerman dan Perancis.53

Melalui hasil penelitian yang dilakukan oleh Ahla Aulia pada 2013, didapati bahwa Turki menggunakan strategi First Track Diplomacy dengan meningkatkan hubungan bilateralnya dengan Perancis dan Jerman melalui intensifikasi kunjungan kenegaraan agar dapat meningkatkan hubungan baik dengan kedua negara tersebut sehingga dapat mengubah perspektifnya terhadap keanggotaan Turki di UE. Selain

51 “Public Opinion Index,” European Commission. Diakses melalui https://ec.europa.eu/commfrontoffice/publicopinion/index.cfm/Chart/getChart/themeKy/14/group Ky/71, pada 12 September 2020 52 “Special Eurobarometer: Attitudes towards European Union Enlargement,” European Commission. Diakses melalui https://ec.europa.eu/commfrontoffice/publicopinion/archives/ebs/ebs_255_en.pdf, pada 12 September 2020 53 Ahla Aulia, Diplomasi Turki menjadi Anggota Uni Eropa (2007-2012), (Skripsi., UIN Syarif Hidayatullah Jakara, 2013): 73

45

itu, Turki juga menggunakan strategi Second Track Diplomacy dengan meningkatkan keaktifannya dalam membina hubungan secara langsung dengan berbagai tingkatan aktor mulai dari media, kelompok kepentingan, kelompok bisnis dan pengusaha, hingga masyarakat Jerman dan Perancis secara langsung. Berbagai strategi diplomasi tersebut dilakukan untuk mencapai keanggotaan penuh Uni

Eropa melalui pencapaian dukungan dari negara-negara besar di UE.54

2.2.2. Periode 2012 – 2016

Proses aksesi Turki ke UE yang tidak menunjukan kemajuan signifikan khususnya dalam hal pembukaan bab negosiasi membuat UE memutuskan untuk membentuk pergerakan dan momentum baru dalam mengharmonisasi hubungan

Turki dan Uni Eropa melalui pembentukan Positive Agenda pada 17 Mei 2012.

Komisioner Pembesaran UE, Stefan Fule menyatakan bahwa tujuan utama pembentukan agenda tersebut adalah untuk meningkatkan kerjasama dan mempromosikan reformasi Turki dalam area kepentingan bersama.55

Positive Agenda ini difokuskan untuk memperbaiki hubungan Turki dengan

UE dalam berbagai isu seperti reformasi politik, hak-hak fundamental, kebijakan luar negeri, dan sebagainya. Selain itu, Positive Agenda juga melakukan banyak dialog informal untuk mendiskusikan bab-bab yang dibekukan melalui suatu kelompok kerja bersama.56 Namun dalam kurun 2 bulan setelah Positive Agenda

54 Ahla Aulia, Diplomasi Turki menjadi Anggota Uni Eropa (2007-2012), (Skripsi., UIN Syarif Hidayatullah Jakara, 2013): 99-101 55 “EU Commissioner Fule: Positive Agenda to put EU Process Back on Track,” Anadolu Agency (17 Mei 2012). Diakses melalui https://www.aa.com.tr/en/turkey/eu-commissioner-fule- positive-agenda-to-put-eu-process-back-on-track/367648 pada 10 September 2020 56 “EU Commissioner Fule: Positive Agenda to put EU Process Back on Track,” Anadolu Agency (17 Mei 2012). Diakses melalui https://www.aa.com.tr/en/turkey/eu-commissioner-fule- positive-agenda-to-put-eu-process-back-on-track/367648 pada 10 September 2020

46

tersebut dipublikasikan, momentum baru yang diharapkan tidak kunjung muncul dan justru semakin memburuk ketika pemerintah Turki memutuskan untuk kembali membekukan hubungannya dengan UE selama Kepresidenan Siprus di UE yang berakhir pada 31 Desember 2012.57

Pada awal 2013, momentum baru dalam hubungan Turki dan UE justru muncul setelah Perancis berada dibawah kepemimpinan Presiden Hollande mulai menunjukan dukungannya pada proses aksesi Turki dengan mencabut vetonya dalam bab 22 dalam Acquis yang sebelumnya dibekukan pada 2007. 58

Walaupun bab tersebut sudah tidak dibekukan lagi dan diprediksi akan menjadi bab pertama yang dibuka setelah lebih dari dua tahun proses negosiasi yang stagnan, Jerman mengusulkan untuk menunda pembukaan bab tersebut sampai

Oktober 2013 dengan alasan agar Turki terlebih dahulu menyelesaikan permasalahan terkait protes anti-pemerintah yang sedang terjadi di Turki.59 Oleh karena itu, General Affairs Council memutuskan bahwa tanggal pembukaan bab melalui Intergovernmental Conference akan ditentukan setelah Progress Report untuk 2013 dipublikasikan. Pada akhirnya, bab tersebut berhasil dibuka pada 5

November 2013. 60

57 “Chronology of Turkey-European Union Relations (1959-2019),” Directorate of EU Affairs, Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey. Diakses melalui https://www.ab.gov.tr/siteimages/birimler/kpb/chronology-_en-_1959-_ocak2020.pdf pada 23 Agustus 2020 58 Morelli, V.L. “European Union Enlargement: A Status Report on Turkey’s Accession Negotiations”, Congressional Research Service. (5 Agustus 2013). Diakses melalui https://fas.org/sgp/crs/row/RS22517.pdf pada 13 September 2020 59 “EU Delays Turkey Membership Talks After German Pressure,” BBC News (25 Juni 2013). Diakses melalui https://www.bbc.com/news/world-europe-23044600, pada 14 September 2020 60 Ebru Turhan, ‘’Turkey’s EU accession process: Do member states matter?’’ Journal of Contemporary European Studies 24, no. 4 (2016): 464. Diakses melalui https://doi.org/10.1080/14782804.2016.1198693, pada 14 September 2020

47

Setelah pembukaan bab ke-22 tersebut, tepatnya pada 16 Desember 2013, UE dan Turki sepakat untuk memulai dialog untuk membahas Liberalisasi Visa Turki di UE yang seterusnya akan disebut dengan VLD (Visa Liberalization Dialogue).

Implementasi VLD ini nantinya akan memungkinkan warga negara Turki yang memegang paspor biometrik sesuai dengan standar UE untuk bepergian ke Negara

Anggota Schengen61 tanpa visa untuk masa inap singkat, yaitu hingga 90 hari dalam periode 180 hari. Untuk mencapai keputusan liberalisasi visa tersebut, Turki harus memenuhi 72 tolak ukur yang telah ditetapkan oleh Uni Eropa yang selanjutya disebut Visa Liberalization Roadmap.62

Selain berupaya dalam memenuhi 72 tolak ukur dalam VLD, Turki juga menunjukkan keseriusannya dalam melakukan berbagai reformasi untuk memenuhi

Acquis dengan membentuk Reform Monitoring Group (RMG) yang selanjutnya dikenal dengan Reform Action Group (RAG). Kelompok ini pada dasarnya berfungsi untuk memantau reformasi politik serta menyiapkan rancangan undang- undang reformasi dan akan berperan aktif dalam pengesahan oleh Parlemen dan dalam proses pelaksanaannya.63

Sejak awal 2015, UE mulai menghadapi permasalahan baru terkait masifnya jumlah pengungsi dari Suriah yang masuk ke wilayah UE. Meningkatnya jumlah pengungsi yang masuk mengantarkan UE kepada krisis pengungsi yang ternyata

61 Wilayah Schengen adalah zona di mana 26 negara di Eropa menghapus perbatasan internal mereka untuk menciptakan kebebasan dalam pergerakan dengan mengontrol perbatasan eksternal dan bekerjasama dalam memerangi kriminalitas serta memperkuat sistem peradilan umum dan kerjasama polisi. https://www.schengenvisainfo.com/schengen-visa-countries-list/ 62 “Visa Liberalisation Dialogue,” Delegation of the European Union to Turkey. Diakses melalui https://www.avrupa.info.tr/en/visa-liberalisation-dialogue-6896, pada 14 September 2020 63 “Reform Monitoring Group for EU Reforms Replayed with Action Group,” Hurriyet Daily News (7 November 2014). Diakses melalui https://www.hurriyetdailynews.com/reform- monitoring-group-for-eu-reforms-replayed-with-action-group--74013, pada 14 September 2020

48

tidak mampu diselesaikan sendiri. Turki sebagai negara besar yang terletak di antara Suriah dan negara-negara anggota UE dinilai mampu menahan lonjakan jumlah pengungsi. 64 Krisis yang dihadapi UE tersebut ternyata mengantarkan hubungan Turki dan UE kepada momentum baru di mana ketergantungan di antara keduanya meningkat melalui kerjasama terkait penanggulangan krisis pengungsi.

Awal mula perubahan hubungan antara Turki dan UE tersebut dapat dilihat dari sikap Jerman yang cenderung skeptis terhadap proses aksesi Turki mulai menurun pada awal Oktober 2015 setelah Kanselir Jerman, Angela Merkel melakukan kunjungan ke Ankara untuk menemui para petinggi Turki. Dalam kunjungan tersebut, Turki meminta agar Jerman membantu percepatan pembukaan negosiasi atas 5 bab Acquis yaitu bab ke-15, 17, 23, 24, dan 31. Selain itu, Turki juga menuntut finalisasi VLD Turki untuk diselesaikan paling lambat Juli 2016, pengikutsertaan Turki dalam Pertemuan Tingkat Tinggi UE atau EU Summit, serta pemberian bantuan sebanyak 3 billion Euro untuk memenuhi keperluan penerimaan pengungsi Suriah yang menetap di Turki.65

Dalam merespon permintaan Turki tersebut, Kanselir Merkel menyatakan bahwa Jerman telah siap untuk mendukung pembukaan bab ke-17 yang sebelumnya diblokade Perancis dan sedang dalam persiapan untuk membuka bab-23 dan ke-24.

Merkel bahkan menambahkan bahwa Jerman dapat membantu percepatan proses

64 Beken Saatcioglu, “The European Union’s Refugee Crisis and Rising Functionalism in EU-Turkey Relation”, Journal of Turkish Studies 21, no. 2 (2020): 3. Diakses melalui https://doi.org/10.1080/14683849.2019.1586542, pada 15 September 2020 65 Ebru Turhan, ‘’Turkey’s EU accession process: Do member states matter?’’ Journal of Contemporary European Studies 24, no. 4 (2016): 472. Diakses melalui https://doi.org/10.1080/14782804.2016.1198693, pada 14 September 2020

49

VLD sesuai dengan permintaan Turki dan mendukung keikutsertaan Turki dalam

EU Summit. Sebagai gantinya, Jerman berharap bahwa Turki akan lebih cepat menyetujui proses penerimaan kembali pengungsi Suriah yang masuk ke wilayah

Uni Eropa melalui perbatasan Turki. 66

Kemudian pada 29 November 2015, hubungan Turki dan Uni Eropa memasuki langkah baru melalui EU Summit di Brussels yang dihadiri oleh seluruh pemimpin institusi-institusi UE, para pemimpin tertinggi negara anggota UE, serta pemimpin Turki yang diwakili Presiden Erdogan. Dalam pertemuan tersebut, UE dan Turki sepakat untuk membangkitkan kembali proses aksesi Turki ke UE dan menyetujui enam poin penting, yaitu; (1) membangkitkan kembali negosiasi aksesi,

(2) mengadakan Turkey-EU Summit secara teratur; (3) memercepat proses VLD (4) mengimplementasikan Joint Action Plan yang dibuat untuk menghadapi permasalahan terkait krisis pengungsi; (5) mendirikan berbagai fasilitas yang diperlukan untuk pengungsi di Turki; dan (6) meningkatkan Custom Union.67

Setelah pertemuan tersebut, berbagai upaya dilakukan kedua pihak untuk memenuhi kesepakatan yang ada dengan cukup baik. Pemantauan implementasi

Turkey-EU 2015 terus dilanjutkan melalui penyusunan laporan implementasi yang disusun oleh Komisi UE berdasarkan Joint Action Plan yang telah disetujui oleh kedua pihak. Pada laporan pertama yang dirilis 17 Desember 2015 memperlihatkan

66 “Merkel Says Ready to Support Turkey EU Accession Process,” Euractiv (19 Oktober 2015).. Diakses melalui https://www.euractiv.com/section/global-europe/news/merkel-says-ready- to-support-turkey-eu-accession-process/ pada 15 September 2020 67 “Chronology of Turkey-European Union Relations (1959-2019),” Directorate of EU Affairs, Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey. Diakses melalui https://www.ab.gov.tr/siteimages/birimler/kpb/chronology-_en-_1959-_ocak2020.pdf pada 23 Agustus 2020

50

dampak yang cukup signifikan khususnya dalam membendung masuknya imigran ilegal. Lalu pada laporan kedua yang dipublikasikan 10 Februari 2016, dinyatakan bahwa migrasi ilegal ke UE melalui Turki telah berkurang secara bertahap.

Kemudian pada 4 Maret 2016, laporan ketiga memperlihatkan bahwa Turki telah melakukan permulaan yang baik dalam memenuhi kerangka Joint Action Plan yang telah disepakati. 68

EU-Turkey Summit yang sebelumnya disepakati akan dilakukan secara berkala memulai pertemuan lanjutannya pada 7 Maret 2016. Topik utama yang dibahas dalam EU-Turkey Summit kedua ini masih berfokus pada kerjasama UE dan Turki untuk mengatasi krisis pengungsi yang ada di Eropa. Kerjasama tersebut khususnya dilakukan oleh Turki dan Yunani mengingat banyaknya imigran gelap yang menggunakan jalur laut Aegea yang merupakan perbatasan antara Turki dan

Yunani untuk memasuki wilayah Eropa. Selain itu, pentingnya keaktifan NATO

(North Atlantic Treaty Organization) dalam mendukung upaya Turki dan UE dalam mengatasi kasus pengungsi di laut Aegean juga dibahas dalam pertemuan tersebut.69

Pada pertemuan tersebut, Turki mempresentasikan proposal tambahan terkait penanggulangan pengungsi yang kemudian disetujui oleh UE. Pada proposal tersebut, Turki menyatakan bahwa seluruh migran ilegal yang memasuki Yunani

68 “Chronology of Turkey-European Union Relations (1959-2019),” Directorate of EU Affairs, Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey. Diakses melalui https://www.ab.gov.tr/siteimages/birimler/kpb/chronology-_en-_1959-_ocak2020.pdf pada 23 Agustus 2020 69 “Statement of the EU Heads of State or Government, 07/03/2016,” Directorate of EU Affairs, Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey. Diakses melalui https://www.ab.gov.tr/files/AB_Iliskileri/Tur_En_Realitons/7_march_2016_statement_of_the_eu_ heads_of_state_or_government.pdf , pada 16 September 2020

51

melalui Turki akan dikembalikan ke Turki mulai 20 Maret 2016. Selain itu, ketika satu pengungsi dikembalikan ke Turki dari Yunani, maka satu pengungsi akan ditempatkan kembali dari Turki ke Uni Eropa. Metode tersebut yang selanjutnya disebagai sebagai formula one to one akan diberlakukan sementara dan bergantung kepada hasil yang muncul terkait jumlah pengungsi yang melewati laut Aegean.70

Kemudian, UE juga sepakat dalam mencairkan alokasi dana untuk fasilitas pengungsi Suriah yang ada Turki sebesar 3 milyar Euro sebelum Maret 2016 berakhir dan menerima adanya dana tambahan diwaktu mendatang. UE dan Turki juga sepakat untuk bekerja sama untuk memperbaiki permasalahan kemanusiaan di

Suriah yang juga memengaruhi stabilitas keamanan wilayah Eropa. Keduanya juga sepakat untuk mempercepat implementasi peta liberalisasi visa dengan meniadakan keharusan visa paling lambat pada Juni 2016 dan melanjutkan pembukaan bab negosiasi aksesi secepatnya.71

Turkey-EU Summit ketiga dilaksanakan tidak lama setelah pertemuan kedua yaitu pada 18 Maret 2016. Pertemuan ini juga masih fokus membahas krisis pengungsi yang terjadi di wilayah Eropa, namun tidak luput membahas kelanjutan proses negosiasi aksesi Turki. Hal tersebut ditandai dengan persiapan pembukaan bab ke-33 negosiasi aksesi serta percepatan proses pembukaan untuk bab-bab lainnya. Selain itu, kedua pihak juga mereview kembali berbagai topik yang dibahas

70 “Chronology of Turkey-European Union Relations (1959-2019),” Directorate of EU Affairs, Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey, hlm 19 Diakses melalui https://www.ab.gov.tr/siteimages/birimler/kpb/chronology-_en-_1959-_ocak2020.pdf pada 23 Agustus 2020 71 “Statement of the EU Heads of State or Government, 07/03/2016,” Directorate of EU Affairs, Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey. Diakses melalui https://www.ab.gov.tr/files/AB_Iliskileri/Tur_En_Realitons/7_march_2016_statement_of_the_eu_ heads_of_state_or_government.pdf , pada 16 September 2020

52

dalam pertemuan sebelumya mulai dari evaluasi formula one to one, percepatan pencairan dana fasilitas pengungsi dan penambahan 3 milyar Euro sampai akhir

2018, penegasan kembali penyelesaian proses VLD, pembahasan kelanjutan

Custom Union, hingga kerjasama kedua pihak dalam menciptakan zona aman untuk para imigran diperbatasan Turki. Dari berbagai kerjasama tersebut dapat dilihat bahwa ternyata isu pengungsi yang meningkat di UE pada tahun 2016 dapat membawa hubungan Turki dan UE kedalam momentum baru yang tentunya akan berdampak baik pada kelanjutan proses aksesi Turki ke UE.72

Kemudian perihal proses peniadaan persyaratan Visa yang sebelumnya disepakati harus selesai sebelum akhir Juni 2016, Komisi UE pada awal Mei 2016 menyatakan bahwa Turki masih memiliki 7 dari 72 tolak ukur peniadaan Visa yang belum terpenuhi. Turki harus segera memenuhi 5 di antara 7 tolak ukur73 tersebut sebelum akhir Juni 2016. Komisi UE pada saat itu meyakini bahwa Turki mampu memenuhi tolak ukur tersebut sebelum tenggat waktu yang ditentukan.74

Walaupun tahun 2016 pada awalnya diperkirakan dapat menjadi momentum yang baik untuk memperbaiki hubungan Turki dan UE melalui kerjasama diberbagai bidang, khususnya terkait upaya penanggulagan pengungsi atau imigran gelap, kemunduran hubungan Turki dan UE juga mulai kembali terlihat pada

72 “EU-Turkey Statement, 18 March 2016,” Directorate of EU Affairs, Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey. Diakses melalui https://www.ab.gov.tr/files/AB_Iliskileri/Tur_En_Realitons/18_march_2016_turkey_eu_statement .pdf , pada 16 September 2020 73 dua tolak ukur lainnya merupakan tolak ukur praktis yang dapat diselesaikan diakhir tenggat waktu 74 “Chronology of Turkey-European Union Relations (1959-2019),” Directorate of EU Affairs, Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey, hlm 20 Diakses melalui https://www.ab.gov.tr/siteimages/birimler/kpb/chronology-_en-_1959-_ocak2020.pdf pada 23 Agustus 2020

53

pertengahan tahun 2016. Hal itu dimulai dari terjadinya percobaan kudeta terhadap pemerintahan Turki pada 15 Juli 2016. Dampak dari percobaan kudeta tersebut menjadi awal mula keraguan UE terhadap Turki serta peningkatan Euroscepticism di Turki sehingga menjadi hambatan besar bagi hubungan Turki dan Uni Eropa.75

Setelah gagalnya percobaan kudeta tersebut, Turki dibawah pemerintahan

Presiden Erdogan menerapkan status State of Emergency dan melakukan berbagai upaya untuk menuntas habis akar percobaan kudeta yang dinilai melibatkan berbagai macam pihak termasuk jurnalis, para ilmuwan, hingga warga sipil. Upaya

Turki dalam mengadili seluruh pihak yang dinilai terlibat ternyata menimbulkan kontroversi dikalangan aktor-aktor UE hingga aktor-aktor internasional termasuk

PBB karena dinilai mulai mengesampingkan aspek-aspek HAM.76

Perbedaan perspektif antara Turki dan UE terkait cara Turki dalam menuntaskan permasalahan kudeta tersebut ternyata mempengaruhi hubungan keduanya hingga pada 24 November 2016, Parlemen UE melakukan perhitungan suara untuk menghentikan proses negosiasi aksesi sampai Turki kembali memperhatikan aspek-aspek supremasi hukum dan HAM. 77 Walaupun usulan

Parlemen Eropa bukanlah suatu keputusan mengikat yang dapat secara resmi mengubah status proses aksesi Turki, usulan Parlemen tersebut berpengaruh pada

75 Erhan Icener. “Turkey-EU Relations after the Failed July 15 Coup Attempt. Bilig, No. 79 (2016): 70. Diakses melalui https://dergipark.org.tr/tr/download/article-file/807212, pada 17 September 2020 76 L.M. Robert Klaassen, Moving to the East; Explaining the negotiation processes on the accession of Albania and Turkey to the European Union, (Tesis., Radboud University Nijmegen, 2018): 46 77 “European Parliament Resolution on EU-Turkey Relations (2016/ 2993(RSP)),” European Parliament. Diakses melalui http://www.europarl.europa.eu/sides/getDoc.do?type=MOTION&reference=B8-2016- 1283&language=EN, pada 17 September 2020

54

tingkat kepercayaan negara anggota UE sehingga berdampak pada tidak adanya bab yang dibuka sejak 2016.78

Pada bab selanjutnya, skripsi ini akan membahas lebih detail mengenai keputusan Dewan Uni Eropa untuk secara resmi membekukan proses negosiasi aksesi Turki pada Juni 2018. Keputusan tersebut ditetapkan setelah melihat berbagai kemunduran Turki dalam berbagai aspek penting, khususnya yang terjadi sejak tahun 2016. Penjelasan tersebut akan disajikan dalam subbab yang terfokus untuk menjelaskan berbagai alasan yang menjadi dasar keputusan Uni Eropa untuk memutuskan pembekuan resmi.

78 Meltem Müftüler-Baç, “Remolding the Turkey-EU Relationship,” Turkish Policy Quarterly 17, no.2 (2018): 120

BAB III

PEMBEKUAN NEGOSIASI AKSESI TURKI KE UNI EROPA

3.1. Keputusan Pembekuan Negosiasi Aksesi Turki

Setelah menjalani proses negosiasi aksesi sejak tahun 2005, Turki masih belum berhasil memenuhi semua persyaratan sehingga belum menjadi negara anggota resmi Uni Eropa. Turki menjadi negara kandidat yang melalui masa negosiasi aksesi paling panjang jika dibandingkan dengan negara kandidat lainnya.

Tidak hanya itu, proses negosiasi aksesi terus-menerus menghadapi berbagai hambatan dan semakin memburuk semenjak tahun 2016 sehingga pada Juni 2018

Dewan Uni Eropa memutuskan untuk membekukan proses negosiasi aksesi Turki sampai waktu yang tidak ditentukan.

Pembekuan tersebut tercatat dalam European Council Conclusion on

Enlargement and Stabilisation and Association Process yang dipublikasikan pada

26 Juni 2018. Dalam dokumen tersebut, sebelum European Council menyatakan keputusannya untuk secara efektif membekukan negosiasi aksesi dengan Turki,

European Council mencatat beberapa faktor yang menjadi pertimbangan dalam memutuskan pembekuan negosiasi aksesi tersebut, antara lain: (1) Pemerintah

Turki dinilai tidak memperhatikan aspek demokrasi, supremasi hukum, dan HAM dalam menangani dampak percobaan kudeta 2016 dan menuntut Turki mengakhiri tren buruk yang muncul dalam penanggulangan dampak percobaan kudeta tersebut;

(2) Dewan menuntut Turki untuk meningkatkan kerjasamanya dengan the Council

55

56

of Europe serta badan/ institusi relevan lainnya, khususnya dalam menerapkan semua putusan Pengadilan HAM Eropa sesuai dengan Pasal 46 ECHR; (3) Dewan memperhatikan konstitusi baru Turki yang dinilai kurang memiliki unsuk check and balance sehingga dikhawatirkan akan membahayakan pemisahan kekuasaan; (4)

Dewan mengharapkan Turki dapat secara tegas berkomitmen membentuk hubungan baik dalam bertetangga mengingat hubungan Turki yang memburuk dengan beberapa negara anggota Uni Eropa, khususnya dengan Siprus; (5) Dewan menegaskan bahwa keberlanjutan aksi ilegal Turki di Mediteranian Timur dan Laut

Aegea merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan; (6) Dewan menegaskan kembali bahwa Turki harus memenuhi kewajibannya dibawah Kerangka Kerja

Negosiasi, termasuk dalam mengimplementasi secara menyeluruh persyaratan yang telah ditetapkan termasuk Protokol Tambahan yang salah satunya mengharuskan

Turki untuk menormalisasi hubungannya dengan Siprus dan menghormati seluruh kedaulatan negara anggota UE; dan (7) Dengan berbagai pertimbangan tersebut,

UE menilai bahwa Turki semakin menjauh dari Uni Eropa dan memutuskan untuk membekukan negosiasi aksesi dengan Turki serta melihat tidak adanya pekerjaan lebih lanjut terhadap Custom Union antara Turki dan Uni Eropa dalam waktu dekat.1

The Council notes that Turkey has been moving further away from the European Union. Turkey's accession negotiations have therefore effectively come to a standstill and no further chapters can be considered for opening or

1 “Enlargement and Stabilisation and Association Process; Council Conclusion,” European Council (2018, 26 June). Diakses melalui https://www.consilium.europa.eu/media/35863/st10555- en18.pdf, 12 Juli 2020

57

closing and no further work towards the modernisation of the EU-Turkey Customs Union is foreseen.2 Faktor-faktor diatas dapat dikelompokan menjadi tiga faktor utama yang membuat Uni Eropa pada akhirnya membekukan negosiasi aksesi Turki, yaitu: (1) penurunan aspek HAM dan hak-hak fundamental; (2) penurunan aspek demokrasi dan supremasi hukum; serta (3) memburuknya hubungan Turki dengan beberapa negara anggota UE. Ketiga faktor tersebut muncul dari permasalahan dalam hubungan Turki-UE yang makin berkembang semenjak tahun 2016. Berbagai permasalahan tersebut akan dijelaskan lebih detail pada subbab selanjutnya.

Gambar 3.1 Pendapat Publik Turki terhadap kelanjutan Negosiasi

Aksesi Turki ke Uni Eropa

Sumber: Center for Turkish Studies (2019). Public Perceptions on Turkish Foreign Policy

Walaupun kesempatan Turki untuk menjadi negara anggota Uni Eropa semakin tertutup sejak pembekuan negosiasi aksesi pada Juni 2018, Turki justru tetap menegaskan bahwa keanggotaan penuh Turki di Uni Eropa tetap menjadi

2 “Enlargement and Stabilisation and Association Process; Council Conclusion,” European Council (2018, 26 June). Diakses melalui https://www.consilium.europa.eu/media/35863/st10555- en18.pdf, 12 Juli 2020

58

tujuan utama Turki dalam menjalin hubungannya dengan Uni Eropa. 3 Sesuai dengan hasil survey diatas terkait pendapat publik terhadap kelanjutan negosiasi, dapat dilihat bahwa keputusan pemerintahan Turki untuk melanjutkan proses aksesi juga sesuai dengan pendapat mayoritas masyarakat.4 Faruk Kaymacki selaku Wakil

Menteri Luar Negeri dan Direktur Urusan Uni Eropa Turki menyatakan bahwa akhir state of emergency yang pada akhirnya ditetapkan pada Juli 2018 diharapkan dapat menjadi permulaan baru bagi Turki untuk meningkatkan progresivitas Turki dalam mengupayakan negosiasi aksesi ke Uni Eropa.5

Pada 29 Agustus 2018 melalui konferensi pers di ibukota Lithuania Vilnius,

Mevlut Cavusoglu selaku Menteri Luar Negeri Turki juga mengatakan bahwa

Pemerintah sedang berada dalam fokus untuk mengembalikan Turki ke jalur keanggotaan UE. Ia menyatakan bahwa prioritas Turki setelah pencabutan state of emergency adalah melakukan berbagai rerformasi untuk melanjutkan proses aksesi keanggotaan UE melalui pengaktifan kembali Reform Action Group yang terhenti semenjak 2015.6

3 “Turkey-EU Relations,” Directorate of EU Affairs, Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey (diperbaharui 19 Juli 2019). Diakses melalui https://www.ab.gov.tr/4_en.html, 11 Juli 2020 4 “Public Perceptions on Turkish Foreign Policy,” Center for Turkish Studies (2019), 42. DOI: 10.13140/RG.2.2.14535.24480 5 Faruk Kaymacki, “Turkey and EU Relation” disiarkan langsung pada 23 Mei 2020 melalui akun Facebook European Union in Turkey: (“…But now, of course you know the state of emergency is behind us and we reactivated the reform action groups, we have three major meetings, we able to take a judicial reform strategy, so we are hoping that you know we can make progress in the coming days…” menit ke 33.00-33:58). Diakses melalui https://www.facebook.com/EUinTurkey/videos/1144186189275988/, 11 Juli 2020. 6 “Turkish Leaders Agree to Death Penalty for Terrorist and Child Killer,” Middle East Eye (29 Agustus 2018). Diakses melalui https://www.middleeasteye.net/news/turkish-leaders-agree- death-penalty-terrorists-and-child-killers-report pada 23 Oktober 2020

59

Oleh karena itu, intensi Turki tersebut menjadi perihal yang menarik untuk diteliti karena optimisme Turki dalam meneruskan upaya tersebut justru terlihat kontradiktif dengan kesempatan yang ada mengingat berbagai hambatan yang berkembang dalam hubungan Turki dan Uni Eropa. Sebelum membahas sejauh mana upaya Turki untuk menghidupkan kembali negosiasi aksesinya pasca- pembekuan tahun 2018, bab ini akan lebih lanjut membahas berbagai permasalahan yang mendasari keputusan UE dalam membekukan negosiasi tersebut.

3.2. Permasalahan yang Mendasari Keputusan UE dalam Membekukan

Negosiasi Aksesi Turki

3.2.1. Pembersihan Setelah Upaya Kudeta di Turki pada 15 Juli 2016

Penegakan HAM, hak-hak fundamental, dan supremasi hukum di Turki yang semakin menurun menjadi salah satu alasan utama UE dalam mempertimbangkan penghentian sementara proses negosiasi aksesi Turki pada 2018 karena dinilai sebagai tanda semakin jauhnya Turki dari nilai-nilai yang diterapkan UE.

Penurunan tersebut mulai terlihat puncaknya setelah terjadinya percobaan kudeta di Turki pada 15 Juli 2016, tepatnya di Ankara dan Istanbul.

Percobaan kudeta tersebut dilakukan oleh pasukan bersenjata yang berasal dari tentara Angkatan Udara dan tentara Angkatan Laut. Keterlibatan tentara tersebut diketahui melalui pernyataan yang diberikan oleh pemerintahan terpilih pada saat itu dibawah kepemimpinan Recep Tayyip Erdogan. Peristiwa tersebut dimulai sekitar pukul 10 malam ketika dua jet tempur F-16 lepas landas dari

Pangkalan Angkatan Udara Akinci dan melakukan beberapa lintasan rendah di

Ankara. Pada waktu berdekatan, kurang lebih 30 tentara memblokir dua jembatan

60

yang melintasi selat Bosphorus di Instanbul. Selain itu, para pemberontak juga menyandera para pemimpin militer, termasuk Kepala Staf Jenderal Hulusi Akar.

Para pelaku kudeta tersebut menargetkan kantor Parlemen, Pasukan Operasi

Khusus, Organisasi Intelijen Nasional, dan Istana Kepresidenan.7

Sekitar waktu tengah malam, beberapa pelaku kudeta menyerbu kantor

Turkish Radio and Television Corporation (TRT) yang merupakan saluran televisi negara dan memaksa presenter ditempat untuk membacakan deklarasi kudeta.

Sementara itu, sekitar pukul 00.30, Presiden Recep Tayyip Erdogan yang sedang dalam liburannya di Marmaris melakukan siaran langsung melalui CNN Turki dengan menggunakan Face Time. Dalam siaran tersebut, Erdogan secara langsung menyatakan bahwa percobaan kudeta tersebut dikepalai oleh kelompok Gulen

Movement, di mana gerakan tersebut dipimpin oleh Fethullah Gulen yang merupakan seorang ulama yang tinggal di Pennsylvania, Amerika Serikat.8

Selain itu, Erdogan juga menghimbau para pendukungnya diberbagai kalangan, khususnya para penduduk sipil untuk turun ke jalan dan menghalangi mobilitas para pelaku kudeta. Hal tersebut merupakan peristiwa pertama di mana upaya penghentian kudeta melibatkan masyarakat sipil. Sekitar pukul 9 pagi, pasukan Angkatan Militer yang masih setia dengan pemerintah, disertai dengan bantuan kepolisian dan masyarakat sipil berhasil menggagalkan upaya kudeta.

7 Hakki Tas, “The 15 July Abortive Coup and Post-Truth Politics in Turkey”, Southeast European and Black Sea Studies 18, no. 1 (2018): 4 Diakses melalui https://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1080/14683857.2018.1452374?needAccess=true&, pada 14 Oktober 2020 8 Hakki Tas, “The 15 July Abortive Coup and Post-Truth Politics in Turkey”, Southeast European and Black Sea Studies 18, no. 1 (2018): 5 Diakses melalui https://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1080/14683857.2018.1452374?needAccess=true&, pada 14 Oktober 2020

61

Sekitar 1.400 tentara yang diyakini sebagai pelaku kudeta ditahan dan para sandera berhasil dibebaskan. Percobaan kudeta tersebut menewaskan 249 orang dan melukai hampir 2.200 orang.9

Walaupun kesatuan masyarakat Turki terlihat jelas dalam upaya penggagalan percobaan kudeta tersebut, perspektif publik Turki dalam mendefinisikan upaya kudeta tersebut ternyata terpolarisasi. Setidaknya terdapat tiga narasi utama yang tersebar di antara masyarakat terkait upaya kudeta tersebut yaitu ‘kamikaze coup’,

‘stage coup’, dan ‘controlled coup’.10

Narasi pertama dikenal sebagai ‘Kamikaze Coup’. Narasi ini muncul dari keyakinan bahwa percobaan kudeta 15 Juli dilakukan sebagai upaya terakhir kelompok Fethullah Gulen untuk menggulingkan pemerintahan. Hubungan

Erdogan dan Gulen pada awal 2000an terjalin begitu baik dengan berbagai kerjasama mulai memburuk pada Desember 2013 ketika skandal korupsi pada kelompok Erdogan mencuat. Erdogan mendefinisikan penyelidikan terhadap kasus tersebut sebagai upaya ‘kudeta yudisial’ yang diatur oleh Gulenis. Pemerintahan

Erdogan juga merotasi atau memberhentikan ribuan politisi, hakim, dan jaksa.11

9 Hakki Tas, “The 15 July Abortive Coup and Post-Truth Politics in Turkey”, Southeast European and Black Sea Studies 18, no. 1 (2018): 5 Diakses melalui https://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1080/14683857.2018.1452374?needAccess=true&, pada 14 Oktober 2020 10 Hakki Tas, “The 15 July Abortive Coup and Post-Truth Politics in Turkey”, Southeast European and Black Sea Studies 18, no. 1 (2018): 1 Diakses melalui https://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1080/14683857.2018.1452374?needAccess=true&, pada 14 Oktober 2020 11 Hakki Tas, “The 15 July Abortive Coup and Post-Truth Politics in Turkey”, Southeast European and Black Sea Studies 18, no. 1 (2018): 5 Diakses melalui https://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1080/14683857.2018.1452374?needAccess=true&, pada 14 Oktober 2020

62

Pada Mei 2016, National Security Council Turki menyebut kelompok

Fethullah Gulen dengan sebutan Fethullahist/ Gulenist Terrorist Organization

(FETO).12 Dalam menegaskan keterlibatan Gulenis dalam upaya kudeta tersebut,

Presiden Erdogan sebagai pemimpin AKP menarasikan FETO sebagai ancaman keamanan negara sekaligus menegaskan pelarangan gerakan Gulenis tersebut.13

Narasi kedua dikenal sebagai ‘stage coup’. Sebagai pihak yang dinyatakan sebagai pengendali percobaan kudeta 15 Juli, Fethullah Gulen dan kelompoknya menyampaikan narasi bahwa percobaan kudeta tersebut merupakan ‘kudeta yang dipentaskan’ atau stage coup. Gulen menarasikan bahwa kudeta tersebut dipentaskan oleh Erdogan dan pengikutnya dan memang direncanakan untuk gagal.

Pementasan tersebut dinilai serupa dengan apa yang pernah dilakukan Adolf Hitler pada 1933 ketika kejadian Reichstag Fire yang diduga dilakukan untuk membersihkan saingan komunis.14 Setelah upaya kudeta, argumen serupa bergema di media sosial, bahkan muncul tagar Twitter #TheatreNotCoup dalam daftar tren karena banyak yang berasumsi bahwa AKP bertanggung jawab atas kudeta tersebut.15

12 Erhan Icener. “Turkey-EU Relations after the Failed July 15 Coup Attempt. Bilig, No. 79 (2016): 71. Diakses melalui https://dergipark.org.tr/tr/download/article-file/807212, pada 17 Oktober 2020 13 Hakki Tas, “The 15 July Abortive Coup and Post-Truth Politics in Turkey”, Southeast European and Black Sea Studies 18, no. 1 (2018): 5 Diakses melalui https://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1080/14683857.2018.1452374?needAccess=true&, pada 14 Oktober 2020 14 “Was July 15 Turkey’s Reichstag Fire?” Youtube: Alliance for Shared Values (2017). Diakses melalui https://www.youtube.com/watch?v=6QvF6TMxs1U pada 15 Oktober 2020 15 “Turkey coup: Conspiracy theorists claim power grab attempt was faked by Erdoğan,” The Independent (17 Juli 2020). Diakses melalui https://www.independent.co.uk/news/world/turkey-coup-conspiracy-theory-erdogan-military-gift- god-soldiers-istanbul-a7140516.html pada 15 Oktober 2020

63

Kemudian narasi selanjutnya dikenal sebagai ‘controlled coup’ atau ‘kudeta yang dikendalikan’. Narasi ini muncul dari para pemimpin oposisi pemerintah, yaitu Kemal Kılıçdaroğlu dan Selahattin Demirtaş, di mana mereka menilai bahwa pemerintahan Erdogan telah mengetahui perencanaan kudeta, namun membiarkan percobaan kudeta tersebut terlaksana dan mengendalikan jalannya kudeta tersebut untuk menunjukan penindasan dari pihak oposisi. Para pengusung narasi ini menyatakan bahwa kemungkinan kudeta yang sudah diprediksi ini tidak dicegah dan justru dieksploitasi.16

Beberapa pengamat menentang narasi pemerintah yang mengklaim kelompok

Gulen sebagai pelaku utama dan hanya menyalahkan koalisi anti-Erdoğan di dalam angkatan bersenjata, yang terdiri dari Kemalis, ultra-nasionalis, dan oportunis.17

Sementara itu, beberapa pengamat yang sangat pro-AKP berpendapat bahwa

Kemalis juga berada di belakang kudeta, tetapi pemerintah mempertahankan retorika tunggal, agar tidak memecah konsensus anti-Gulen.18

Dari keseluruhan narasi yang muncul, narasi pemerintah tentang 'kudeta kamikaze' mendapat penerimaan luas di masyarakat Turki. Menurut survey yang dilakukan segera setelah kudeta gagal tersebut, 47% orang Turki percaya Gulen berada di belakang upaya tersebut sementara 32% menunjuk ke Erdogan. Namun,

16 Hakki Tas, “The 15 July Abortive Coup and Post-Truth Politics in Turkey”, Southeast European and Black Sea Studies 18, no. 1 (2018): 13 Diakses melalui https://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1080/14683857.2018.1452374?needAccess=true&, pada 14 Oktober 2020 17 “Why Turkey’s Coup Didn’t Stand A Chance,” Al Monitor (17 Juli 2016). Diakses melalui https://www.al-monitor.com/pulse/originals/2016/07/turkey-kamikaze-coup-attempt- fails.html pada 15 Oktober 2020 18 Hakki Tas, “The 15 July Abortive Coup and Post-Truth Politics in Turkey”, Southeast European and Black Sea Studies 18, no. 1 (2018): 12 Diakses melalui https://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1080/14683857.2018.1452374?needAccess=true&, pada 14 Oktober 2020

64

beberapa bulan kemudian, mereka yang percaya kudeta sebagai plot Gulen meningkat menjadi antara 71% dan 95% dalam berbagai survey.19

Pada 20 Juli 2016, kabinet pemerintahan mengumumkan status state of emergency pertama bagi Turki yang akan dijalankan selama tiga bulan yang kedepannya terus diperpanjang. Dengan status tersebut, pemerintahan Turki menyatakan fokusnya terhadap kemanan nasional dengan berupaya untuk menuntaskan segala kemungkinan teror lanjutan setelah upaya kudeta 15 Juli.

Seluruh institusi atau pergerakan yang berkaitan dengan kelompok Gulen termasuk sekolah, universitas, media, rumah sakit, kelompok usaha, dan bentuk institusi lainnya ditutup dan berbagai asetnya disita. 20

Hal tersebut dilakukan atas dasar keyakinan bahwa kelompok Gulen telah menyusup kedalam berbagai institusi pemerintahan termasuk institusi peradilan, angkatan kepolisian, hingga tentara selama bertahun-tahun. Oleh karena itu, salah satu kebijakan pertama pemerintah setelah deklarasi keadaan darurat adalah mengeluarkan orang-orang yang terikat dengan Gulen serta menangguhkan pegawai negeri yang dianggap terkait sampai penyelidikan atas keterlibatan mereka dengan FETÖ diselesaikan. Selain itu, Turki juga menuntut ekstradisi Fethullah

Gulen dari AS.21

19 Yildiray Oğur dan Ceren Kenar. “Who was behind the 15th july coup attempt” Medium (22 Maret 2017). Diakses melalui https://medium.com/@15thJulyCoup/who-was-behind-the-15th- july-coup-in-turkey-19f75a5771c5 pada 14 Oktober 2020 20 Hakki Tas, “The 15 July Abortive Coup and Post-Truth Politics in Turkey”, Southeast European and Black Sea Studies 18, no. 1 (2018): 14 Diakses melalui https://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1080/14683857.2018.1452374?needAccess=true&, pada 14 Oktober 2020 21 Hakki Tas, “The 15 July Abortive Coup and Post-Truth Politics in Turkey”, Southeast European and Black Sea Studies 18, no. 1 (2018): 14 Diakses melalui https://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1080/14683857.2018.1452374?needAccess=true&, pada 14 Oktober 2020

65

Penuntasan atau pembersihan pasca-kudeta dilakukan dengan menelusuri para pendukung kudeta dan tidak terbatas pada kelompok Gulen, namun juga dilakukan pada kelompok Kurdi, serta kritikus sekuler dan liberal yang dinilai terkait dengan pelaku kudeta. Dalam setahun, 169.013 orang menjalani proses hukum dengan tuduhan terkait terkait teror dan 50.510 lainnya ditangkap.

Pemerintah juga menyita setidaknya $11 miliar aset perusahaan di mana penyitaan tersebut termasuk sebagai perampasan kekayaan terbesar dalam sejarah negara demokrasi.22

Selain itu, Wakil Menteri Urusan Luar Negeri sekaligus Direktur untuk urusan Uni Eropa, Faruk Kaymacki juga menyatakan bahwa upaya kudeta tersebut telah merubah banyak hal di Turki serta mempengaruhi hubungannya dengan UE, salah satunya memengaruhi kesiapan Turki dalam memenuhi tolak ukur liberalisasi visa karena harus fokus pada isu keamanan. Ia juga menyatakan bahwa EU-Turkey

Statement pada 18 Maret 2016 tidak dapat dilaksanakan dengan maksimal jika tidak menyelesaikan permasalahan pasca-kudeta terlebih dahulu.23

Sebelumnya, dalam merespon percobaan kudeta 15 Juli, UE mengutuk terjadinya percobaan kudeta tersebut dan mendukung berbagai pihak dan instansi

22 Hakki Tas, “The 15 July Abortive Coup and Post-Truth Politics in Turkey”, Southeast European and Black Sea Studies 18, no. 1 (2018): 13 Diakses melalui https://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1080/14683857.2018.1452374?needAccess=true&, pada 14 Oktober 2020 23 Faruk Kaymacki, “Turkey and EU Relation” disiarkan langsung pada 23 Mei 2020 melalui akun Facebook European Union in Turkey: (“…Turkey are actually have difficult time when we have this heinous coup attempt in 15th July 2016. Actually, I would say 18 March Statement would not really function well if we not had touch this heinous Coup Attempt because this coup attempt has really change much in Turkey and also in EU and it forces Turkey to implement a security focus policy rather than progressive policy…,” menit ke 31:58-33:00). Diakses melalui https://www.facebook.com/EUinTurkey/videos/1144186189275988/, 10 Juli 2020.

66

yang membela demokrasi dan menegakan hak asasi. Namun, setelah melihat bagaimana bentuk kebijakan Turki pasca-kudeta, UE meragukan kebijakan Turki karena dinilai menyalahi berbagai aspek mendasar dalam negara demokrasi. UE juga menegaskan agar Turki dapat menghormati demokrasi, HAM, dan kebebasan mendasar termasuk hak setiap orang terhadap pengadilan yang adil dalam menghadapi dampak percobaan kudeta tersebut. 24

Komisi Uni Eropa menyatakan keprihatinannya terkait hukuman kolektif yang diterapkan karena UE menilai bahwa hukuman tersebut didasari atas kriteria yang dinilai tidak jelas dalam mengidentifikasi keterkaitan tersangka dalam upaya kudeta tersebut. Para kritikus dari berbagai pihak juga menyatakan adanya berbagai pelanggaran HAM seperti kondisi penjara yang mengerikan, adanya penyiksaan sistematis, banyaknya kematian yang mencurigakan, serta panjangnya daftar tokoh yang hilang. Selain itu, UE juga menyayangkan berbagai asosiasi atau institusi berbasis demokrasi yang ditutup atau diberhentikan.25

Dalam merespon tanggapan dan kritik dari Uni Eropa dan negara anggotanya, berbagai aktor Turki yang pro Pemerintah menilai bahwa UE justru gagal dalam memahami politik domestik Turki. Dengan menggarisbawahi bagaimana masyarakat Turki mempertaruhkan hidup mereka untuk melindungi stabilitas institusi Turki yang menjamin demokrasi, supremasi hukum, dan hak asasi manusia

24 “Council Conclusion on Turkey,” European Council (18 Juli 2016). Diakses melalui https://www.consilium.europa.eu/en/press/press-releases/2016/07/18/fac-turkey-conclusions/, 10 Juli 2020. 25 Erhan Icener. “Turkey-EU Relations after the Failed July 15 Coup Attempt. Bilig, No. 79 (2016): 71-72. Diakses melalui https://dergipark.org.tr/tr/download/article-file/807212, pada 17 September 2020

67

pada malam tanggal 15 Juli, muncul pendapat bahwa pendekatan yang seharusnya diambil UE dalam mengapresiasi hal tersebut adalah dengan membuka negosiasi untuk Bab 23 (Peradilan dan Hak-Hak Fundamental) dan Bab 24 (Keadilan,

Kebebasan, dan Keamanan). 26

Hal tersebut dinilai akan menjadi dorongan besar bagi hubungan Turki-UE dan meningkatkan peran normatif UE di Turki. Selain itu, UE juga diharapkan dapat memberi perhatian yang cermat terhadap identitas dan afiliasi individu atau lembaga dalam menerima analisis atau informasi tentang Turki mengingat pesatnya jaringan Gulenis di luar Turki, khususnya di Eropa. Hal tersebut diketahui dari aktifnya jaringan Gulenis sebagai akademisi, jurnalis, atau tergabung dalam organisasi masyarakat sipil di beberapa negara Eropa seperti Belgia, Jerman, dan

Inggris. 27

Untuk menantang Euroscepticism di Turki serta menjaga kekuatan normatif

UE di Turki, Pemerintah Turki berharap para aktor UE dapat meningkatkan relasi dan kontak mereka dengan para aktor di Turki, salah satunya dengan mengunjungi

Turki dan memahami rincian upaya kudeta secara langsung. Hal ini bukan berarti

Turki tidak menerima kritik dari UE, namun diharapkan kritik tersebut didasari oleh informasi yang valid. 28

26 Erhan Icener. “Turkey-EU Relations after the Failed July 15 Coup Attempt. Bilig, No. 79 (2016): 76-77. Diakses melalui https://dergipark.org.tr/tr/download/article-file/807212, pada 17 September 2020 27 Erhan Icener. “Turkey-EU Relations after the Failed July 15 Coup Attempt. Bilig, No. 79 (2016): 76-77. Diakses melalui https://dergipark.org.tr/tr/download/article-file/807212, pada 17 September 2020 28 Erhan Icener. “Turkey-EU Relations after the Failed July 15 Coup Attempt. Bilig, No. 79 (2016): 76-77. Diakses melalui https://dergipark.org.tr/tr/download/article-file/807212, pada 17 September 2020

68

Di tengah meningkatnya pesimisme atas prospek keanggotaan UE Turki, duta besar Turki untuk UE, Selim Yenel, menegaskan kembali target dan komitmen pemerintah Turki untuk bergabung dengan UE pada tahun 2023 pada wawancara yang ia lakukan setelah upaya kudeta 15 Juli.29 Di sisi lain, Komisioner Uni Eropa untuk Kebijakan Lingkungan Eropa dan Negosiasi Pembesaran, Johannes Hahn, justru mempertanyakan komitmen Turki untuk memenuhi kriteria keanggotaan UE dan komitmennya untuk bergabung dengan UE.30

Dari penjelasan tersebut dapat dilihat besarnya pengaruh percobaan kudeta

15 Juli terhadap hubungan Turki dengan Uni Eropa, khususnya setelah Turki menunjukan bagaimana kebijakan yang ditetapkan setelah percobaan kudeta tersebut.

3.2.2. Rencana Permberlakuan Kembali Hukuman Mati

Selain percobaan kudeta Turki pada 15 Juli 2016, munculnya rencana pemberlakuan kembali hukuman mati di Turki menjadi katalisator besar yang membuat para pemimpin negara di UE mengajukan pemberhetian upaya aksesi

Turki karena semakin jauh dari nilai-nilai yang diajarkan UE.

Turki yang sebelumnya menerapkan hukuman mati memutuskan untuk menghapuskan hukum tersebut pada 2004 berhubungan dengan proses reformasi yang dilakukan untuk memenuhi syarat keanggotaan Uni Eropa. Namun sejak terjadinya percobaan kudeta 15 Juli, pemerintah Turki mulai mempertimbangkan

29 “Turkey: Our Goal is To Join the EU by 2023.” Deutsche Welle (19 Agustus 2016). Diakses melalui https://www.dw.com/en/turkey-our-goal-is-to-join-the-eu-by-2023/a-19486473 pada 17 Oktober 2020 30“EU to Turkey: Do You Really Want to Join?,” Euobserver (25 Agustus 2016). Diakses melalui https://euobserver.com/enlargement/134751 pada 18 Oktober 2020

69

untuk menerapkan kembali hukuman mati untuk para pelaku kudeta. Hal tersebut dinyatakan dengan jelas oleh Presiden Recep Tayyip Erdogan pada 19 Juli 2016 bahwa ia siap untuk menerapkan kembali hukum tersebut jika masyarakat Turki menuntut hal tersebut dan disetujui oleh parlemen dengan berbagai prasyarat yang harus dipenuhi.31

Dalam merespon wacana tersebut, Dewan UE menyatakan dengan tegas bahwa penolakan terhadap hukuman mati merupakan elemen penting dalam proses akuisisi. 32 Oleh karena itu, Jean-Claude Juncker selaku Presiden Komisi UE, menyatakan bahwa negosiasi aksesi akan dihentikan jika Turki menerapkan kembali hukuman mati. 33 Selain itu, Kanselir Austria, Christian Kern juga menyarankan untuk menghentikan negosiasi aksesi dengan Turki dengan mengkritik standar demokratis Turki, khususnya terkait kebijakannya pasca- kudeta.34 Kemudian Menteri Luar Negeri Austria Sebastian Kurz juga menyatakan bahwa dia akan memveto pembukaan bab negosiasi aksesi baru dengan Turki jika

Turki menerapkan hukuman mati tersebut.35

31 “President Erdogan: Ready to Reinstate the Death Penalty,” Al Jazeera (19 Juli 2016). Diakses melalui https://www.aljazeera.com/news/2016/7/19/president-erdogan-ready-to-reinstate- the-death-penalty pada 19 Oktober 2020 32 “Statement by the President of the European Commission, the President of the European Council, and the EU High Representative on behalf of the EU Member States present at the ASEM Summit on the situation in Turkey,” European Commission (2016). Diakses melalui https://ec.europa.eu/commission/presscorner/detail/en/STATEMENT_16_2554 pada 19 Oktober 2020 33 “Turkey in No Position to Become EU Member Any Time Soon: Juncker,” Reuters (25 Juli 2016). Diakses melalui https://www.reuters.com/article/us-turkey-security-eu-juncker- idUSKCN1050L9 pada 19 Oktober 2020 34“Austrian Chancellor Suggest Ending EU Accession Talks with Turkey,” Reuters (4 Agustus 2016). Diakses melalui https://www.reuters.com/article/us-turkey-eu-austria- idUSKCN10E2LX pada 19 Oktober 2020 35“Austria Threatens to Block Acceleration of Turkish EU Talks” Reteurs (7 Agustus 2016). Diakses melalui https://www.reuters.com/article/us-turkey-eu-austria-idUSKCN10I0CO pada 19 Oktober 2020

70

Untuk merespon berbagai tanggapan eksternal tersebut, Duta Besar Turki untuk UE, Selim Yenel menyatakan bahwa penerapan kembali hukuman mati pasca-kudeta untuk para pelaku kudeta tersebut masih sebuah diskusi dan ia menyayangkan tanggapan berbagai pihak yang seolah-olah hal tersebut sudah benar-benar ditetapkan.36

Kemudian tidak lama setelah referendum konstitusi Turki pada 16 April 2017, setelah menimbang tuntutan publik untuk menerapkan kembali hukuman mati,

Presiden Erdogan berjanji kepada para pendukungnya untuk berbicara dengan

Perdana Menteri dan anggota parlemen tentang penerapan kembali hukum tersebut.

Hal tersebut sesuai dengan janji kampanyenya sebelum referendum konstitusi berlangsung. Tuntutan hukuman mati yang disebutkan banyak didorong oleh terjadinya berbagai kekerasan seperti pembunuhan seorang siswa bernama Ozgecan

Aslan pada 2015. Namun hukuman tersebut juga didiskusikan untuk diterapkan bagi para pelaku kudeta langsung serta bagi Fethullah Gulen yang diyakini sebagai pemimpin pelaku kudeta 15 Juli.37

Walaupun wacana tersebut muncul, hukuman mati tidak secara langsung diberlakukan karena memerlukan kesepakatan dari parlemen Turki untuk melakukan amandemen konstitusi. Selain itu, Turki yang sebelumnya telah menandatangani Konvensi Eropa tentang HAM akan secara otomatis melanggar protokol 6 dan 12 terkait pelarangan penerapan hukuman mati sehingga turut

36 “EU, NATO remain Turkey’s Key Partners: Turkish Envoy,” Reuters (10 Agustus 2016). Diakses melalui https://www.reuters.com/article/us-turkey-eu-diplomacy-idUSKCN10L1QZ pada 19 Oktober 2020 37 “Turkey Referendum: Could Erdogan Resume Execution?”, Deutsche Welle (24 April 2017). Diakses melalui https://www.dw.com/en/turkey-referendum-could-erdogan-resume- executions/a-38571043 pada 19 Oktober 2020

71

menahan pemberlakuan kembali hukum tersebut.38 Selain itu, muncul pula diskusi dikalangan para pengamat tentang keseriusan Presiden Erdogan untuk menerapkan hukuman mati tersebut karena dugaan adanya intensi untuk menggunakan wacana tersebut sebagai retorika nasionalistik dalam upaya memenangkan referendum konstitusi 2017.39

Kemudian, wacana penerapan hukuman mati kembali ramai diperbincangkan pada 28 Agustus 2018 ketika Presiden Erdogan dan mitra koalisinya, Devlet

Bahceli yang merupakan pemimpin dari Partai Gerakan Nasionalis (MHP) Turki menyetujui proposal yang dapat mengaktifkan kembali hukuman mati di Turki.

Hukuman mati tersebut ditujukan untuk para teroris dan pelaku pembunuhan terhadap wanita dan anak-anak. Walaupun demikian, pengesahan penerapan kembali hukuman mati masih belum memenuhi setidaknya 360 dari 600 anggota parlemen serta belum ada pernyataan lebih lanjut terkait persetujuan Turki terhadap

Konvensi Eropa yang disebutkan sebelumnya sehingga hukum tersebut masih belum diterapkan.40

Berbicara tentang pendapat publik, opini publik terkait penerapan kembali hukuman mati memang lebih banyak didorong oleh peristiwa-peristiwa kekerasan terhadap perempuan atau pelecehan anak daripada kasus politis seperti yang berkaitan dengan upaya kudeta atau Fethullah Gulen. Menurut survey yang

38 “Turkey Referendum: Could Erdogan Resume Execution?”, Deutsche Welle (24 April 2017). Diakses melalui https://www.dw.com/en/turkey-referendum-could-erdogan-resume- executions/a-38571043 pada 19 Oktober 2020 39 “Will Erdoga.n Resume Capital Punishment in Turkey After Referendum Victory?” Xinhua (28 April 2017) Diakses melalui http://www.xinhuanet.com//english/2017- 04/28/c_136243869.htm pada 19 Oktober 2020 40 “Turkish Leaders Agree to Bring Back Death Penalty”. Ahval News (28 April 2018). Diakses melalui https://ahvalnews.com/death-penalty/turkish-leaders-agree-bring-back-death- penalty pada 20 Oktober 2020

72

dilakukan oleh Metropoll pada 2011 dapat dilihat bahwa 65% responden dari masyarakat Turki sejak lama mendukung hukuman mati untuk kasus kejahatan tertentu.41

Walaupun dukungan publik Turki terkait penerapan kembali hukuman mati terhitung cukup tinggi serta banyaknya pihak pemerintah yang mendukung, penerapan hukuman mati ini masih menjadi sebuah wacana dan belum disahkan sampai sekarang dan terus mendapat kritik dari berbagai pihak. Perlu diingat bahwa peniadaan hukuman mati adalah syarat dasar bagi sebuah negara yang ingin bergabung dengan Uni Eropa. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jika

Turki benar-benar secara resmi menerapkan hukuman mati, maka proses aksesi

Turki ke UE akan sangat terancam, bahkan akan mungkin terisolasi dari Eropa lebih dari bagaimana kudeta militer sebelumnya memengaruhi hubungan keduanya.42

3.2.3. Reformasi Konstitusional Turki

Aspek demokrasi yang dinilai semakin menurun di Turki juga menjadi latar belakang UE dalam membekukan proses aksesi, dan terjadinya reformasi konstitusional Turki pada 2017 menjadi peristiwa besar yang membuat UE menilai bahwa pemerintahan Turki cenderung semakin otoriter dan semakin jauh dari norma demokrasi yang dianut Uni Eropa.

41“Turkey Political Status Survey”. Metropoll Strategic and Social Research (April 2011). Diakses melalui http://www.metropoll.com.tr/arastirmalar/sosyal-arastirma-12/1700 pada 20 Oktober 2020 42 “Death Penalty in Turkey-Illusions in Europe,” European Stability Initiative (16 Mei 2017). Diakses melalui https://www.esiweb.org/sites/default/files/newsletter/pdf/ESI%20-%20Death%20penalty%20in%2 0Turkey%20-%20Illusions%20in%20Europe%20-%2016%20May%202017.pdf pada 21 Oktober 2020

73

Gagasan reformasi konstitusi Turki pertama kali muncul setelah Partai AKP memenangkan pemilihan umum pada 2011 namun belum mendapat banyak dukungan dari berbagai pihak. Wacana tersebut muncul kembali setelah Erdogan terpilih sebagai Presiden pertama Turki yang dipilih melalui pemilihan demokratis pada 2014.43

Pada Januari 2017, Parlemen Turki menyetujui 18 pasal Rancangan Undang-

Undang (RUU) untuk mereformasi wewenang Presiden dalam struktur pemerintahan sebagaimana peran Presiden di Amerika Serikat dan Perancis.

Singkatnya, reformasi tersebut mejadikan peran Presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, serta pemimpin partai berkuasa sehingga peran

Perdana Menteri akan dihapuskan dan digantikan oleh Wakil Presiden. Reformasi tersebut juga memungkinkan perpanjangan masa jabatan Erdogan hingga 202944.

Selain itu, reformasi tersebut juga akan memungkinkan Presiden untuk membubarkan parlemen, menyatakan status state of emergency, mengeluarkan dekrit, serta menunjuk setengah anggota badan peradilan tertinggi. RUU tersebut disetujui oleh Presiden Erdogan pada 10 Februari 2017. Wakil Perdana Menteri saat itu, Numan Kurtulmus juga menambahkan pernyataan bahwa referendum nasional terkait reformasi tersebut akan dilaksanakan pada 16 April 2017.45

43 “Menelisik Rancangan Reformasi Konstittusi Kontriversial Turki,” CNN Indonesia (13 Maret 2017). Diakses melalui https://www.cnnindonesia.com/internasional/20170313160702- 134-199759/menelisik-rancangan-reformasi-konstitusi-kontroversial-turki pada 18 Oktober 2020 44 “Menelisik Rancangan Reformasi Konstittusi Kontriversial Turki,” CNN Indonesia (13 Maret 2017). Diakses melalui https://www.cnnindonesia.com/internasional/20170313160702- 134-199759/menelisik-rancangan-reformasi-konstitusi-kontroversial-turki pada 18 Oktober 2020 45 “Presiden Turki Setuju RUU Reformasi Konstitusi,” VOA Indonesia (10 Februari 2017) Diakses melalui https://www.voaindonesia.com/a/presiden-turki-setujui-ruu-reformasi-konstitusi- untuk-perkuat-wewenang/3718105.html pada 21 Oktober 2020

74

Reformasi konstitusi tersebut menimbulkan pro-kontra diberbagai pihak, baik internal maupun eksternal. Pro kontra yang muncul di internal Turki dapat dilihat melalui review yang diterbitkan pada Februari 2017 oleh TRT World Research

Centre sebagai salah satu media Turki yang banyak dinilai sebagai media yang pro-

Pemerintah. Review tersebut menyajikan penjelasan tentang sejarah konstitusi

Turki, sistem pemerintahan parlementer yang pada saat itu masih berlaku, serta tentang bagaimana sistem presidensial yang sedang diupayakan.46

Review tersebut menyajikan perspektif dari empat partai politik utama di

Turki terhadap amandemen konstitusi yang sedang diupayakan. Keempat partai tersebut adalah Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), Partai Rakyat Republik

(CHP), Partai Rakyat Demokratik (HDP), dan Partai Gerakan Nasionalis (MHP).

Dalam review tersebut, AKP disebutkan memiliki perspektif posititf terhadap perencanaan reformasi konstitusi di antaranya menyatakan bahwa struktur eksekutif harus diperkuat untuk membuat keputusan lebih cepat dalam mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk pembangunan negara, adanya kebingungan dalam yuridiksi presiden dan perdana menteri dalam sistem parlementer sehingga pengadopsian sistem presidensial akan memperjelas sistem yang ada, meyakini bahwa sistem presidensial dapat mencegah pembentukan koalisi yang merusak stabilitas Turki, menilai bahwa sistem presidensial akan menciptkan penghalang

46“Turkey’s Constitutional Reform: A Review of Constitutional History, Current Parliamentary System and Proposed Presidential System,” TRT World (Februari 2017): 5. Diakses melalui https://www.trtworld.com/referendum/images/key/research.pdf pada 21 Oktober 2020

75

terhadap percobaan kudeta, serta menegaskan bawa sistem presidensial yang akan diterapkan tidak akan membuka jalan bagi kurangnya penerapan demokrasi.47

Sebagai partai yang mendukung wacana penerapan reformasi konstitusi sejak upaya kudeta 15 Juli, MHP juga memiliki perspektif yang positif terhadap penerapan sistem presidensial di Turki. Argumen utama mereka adalah bahwa

Turki sedang melalui situasi eksistensial yang luar biasa, sehingga sistem presidensial yang memiliki cabang eksekutif yang kuat dapat menjadi sistem yang dibutuhkan Turki. MHP juga meyakini bahwa reformasi tersebut akan memperkuat sistem kemanan nasional serta akan memperkuat peran parlemen karena memungkinan oposisi untuk lebih aktif pada sistem presidensial.48

Sementara itu, CHP dan MHP disebutkan memiliki perspektif yang cenderung negatif terhadap reformasi konstitusi. CHP menyatakan bahwa peningkatan peran yang tidak proposional dalam otoritas presiden akan membuka jalan bagi otoritarianisme. Mereka juga meyakini bahwa sistem check and balances dalam sistem yang diusulkan tidak ada serta mengkritik adanya yuridiksi presiden yang diperpanjang tanpa batasan. Selain itu, CHP juga melihat bahwa sistem tersebut justru akan melemahkan peran legislatif. Sama halnya CHP, HDP juga memperlihatkan ketidaksetujuan terhadap sistem presidensial yang ditawarkan dengan alasan yang senada dengan yang disebutkan oleh CHP. HPD juga

47 “Turkey’s Constitutional Reform: A Review of Constitutional History, Current Parliamentary System and Proposed Presidential System,” TRT World (Februari 2017): 6. Diakses melalui https://www.trtworld.com/referendum/images/key/research.pdf pada 21 Oktober 2020 48 “Turkey’s Constitutional Reform: A Review of Constitutional History, Current Parliamentary System and Proposed Presidential System,” TRT World (Februari 2017): 8. Diakses melalui https://www.trtworld.com/referendum/images/key/research.pdf pada 21 Oktober 2020

76

menyerukan bahwa mereka akan melaksanakan kampanye untuk menolak rancangan reformasi tersebut.49

Kemudian, aktor-aktor diluar Turki juga menyatakan berbagai tanggapan terhadap perencanaan reformasi tersebut, berbeda dengan pro-kontra aktor internal yang cukup terlihat, tanggapan ekternal Turki didominasi oleh berbagai kritik khususnya yang berasal Uni Eropa dan negara-negara anggotanya. Salah satu kritik utama yang paling banyak muncul adalah penilaian bahwa reformasi tersebut merupakan upaya untuk membentuk pemerintahan yang otoriter. Kritik lain juga muncul dari pemimpin-pemimpin negara Uni Eropa seperti Jerman, Autria, dan

Swiss yang pada umumnya menyatakan kurangnya aspek check and balance dalam reformasi tersebut sehingga tidak dapat menjamin transparansi dan akuntabilitas pemerintah.50

Berbeda dengan penerapan sistem presidensial di Amerika Serikat yang dinilai memiliki check and balances yang baik karena adanya kesediaan peradilan independen untuk melawan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah termasuk presiden serta adanya kebebasan pers yang dapat dengan mudah mengkritik berbagai kebijakan yang dinilai kontroversial, situasi Turki yang memperlihatkan keterpurukan independensi peradilan bahkan memasuki peringkat 151 dari 180 negara dalam indeks kebebasan pers menurut survey Without Borders justru

49 “Turkey’s Constitutional Reform: A Review of Constitutional History, Current Parliamentary System and Proposed Presidential System,” TRT World (Februari 2017): 7. Diakses melalui https://www.trtworld.com/referendum/images/key/research.pdf pada 21 Oktober 2020 50 “Menelisik Rancangan Reformasi Konstittusi Kontriversial Turki,” CNN Indonesia (13 Maret 2017). Diakses melalui https://www.cnnindonesia.com/internasional/20170313160702- 134-199759/menelisik-rancangan-reformasi-konstitusi-kontroversial-turki pada 18 Oktober 2020

77

menjadikan kebijakan Turki dalam mengupayakan reformasi konstitusi yang memperkuat kekuasaan presiden tersebut sebagai awal mula kematian demokrasi.51

Selain itu, tidak lama setelah rencana reformasi tersebut tersebar, beberapa media Eropa dan Internasional menerbitkan berbagai pernyataan yang menggabarkan bahwa reformasi tersebut justru menjadi jalur bagi kediktatoran dan autokrasi satu pihak. Le Monde, sebuah media Perancis menerbitka artikel berjudul

“Turkey Facing Putinisation” pada 11 Februari 2017 yang menyatkaan bahwa jika referendum tersebut disahkan, kekuatan Erdogan diperkirakan akan melampaui kekuatan legislatif seperti halnya yang telah dilakukan oleh di

Rusia.52

Selain itu, media-media internasional lainnya juga memperlihatkan perspektif negatif terhadap upaya Turki untuk menerapkan sistem presidensial tersebut.

Seperti artikel berjudul “How a constitutional amendment could end Turkey’s republic”53 dan “Turkey is about to take another step toward dictatorship”54 yang diterbitkan oleh The Washington Post, atau artikel berjudul “Turkey, Facing

Disunity Under Erdogan, Finds an Enemy in Europe”55 yang diterbitkan oleh The

51“Why Did Turkey Hold a Referendum?” BBC News (16 April 2017). Diakses melalui https://www.bbc.com/news/world-europe-38883556 pada 21 Oktober 2020 52 “Turkey Ahead of the Constitutional Referendum” Eurotopics (16 Februari 2017). Diakses melalui https://www.eurotopics.net/en/173114/turkey-ahead-of-the-constitutional- referendum?zitat=174541#zitat174541 pada 20 Oktober 2020 53“How a Constitutional Amendment Could End Turkey’s Republic”, The Washington Post (24 Januari 2017). Diakses melalui https://www.washingtonpost.com/news/monkey- cage/wp/2017/01/24/how-a-constitutional-amendment-could-end-turkeys-republic/ pada 20 Oktober 2020 54 “Turkey is About to Take Another Step Toward Dictatorship” The Washington Post (17 Maret 2017). Diakses melalui https://www.washingtonpost.com/news/democracy- post/wp/2017/03/16/turkey-is-about-to-take-another-step-toward-dictatorship/ pada 20 Oktober 2020 55 “Turkey, Facing Disunity Under Erdogan, Finds an Enemy in Europe” The New York Times (13 Maret 2017). Diakses melalui

78

New York Times. Artikel-artikel tersebut juga cenderung menganggap keputusan reformasi konstitusi Turki sebagai awal mula kediktatoran Turki. Artikel-artikel tersebut secara konsisten menggambarkan Erdogan sebagai aktor yang menyusun otokrasi dengan menggunakan alat-alat demokrasi.56

Gambar 3.2 Hasil Referendum Konstitusional Turki 2017

Sumber: The Guardian (16 April 2020). Erdogan Clinches Victory in Turkish Constitutional Referendum

Pada 16 April 2017, referendum untuk menentukan penerapan sistem presidensial di Turki pada akhirnya dilaksanakan dan menghasilkan 51,2% suara publik Turki setuju dan menghasilkan perubahan sistem pemerintahan Turki dari demokrasi parlementer menjadi republik presidensial. Walaupun hasil dari pemungutan suara referendum tersebut banyak dipertanyakan oleh berbagai pihak,

Erdogan pada akhirnya menduduki kursi presiden dengan penguatan kekuasaan yang telah ditentukan. Setelah hasil referendum tersebut dideklarasikan, Erdogan

https://www.nytimes.com/2017/03/13/world/europe/turkey-erdogan-disunity-europe.html pada 20 Oktober 2020 56 “Turkey’s Future: The West’s Mounting Erdoganophobia” Middle East Eye (14 April 2017). Diakses melalui https://www.middleeasteye.net/opinion/turkeys-future-wests-mounting- erdoganophobia pada 21 Oktober 2020

79

menyatakan bahwa ia akan kembali membahas kemungkinan penerapan hukuman mati sebagaimana yang telah ia janjikan selama kampanye.57

Tidak lama setelah itu, tepatnya pada 20 Mei 2017, Parlemen UE menerbitkan pernyataan terkait perubahan konstitusi Turki. Hal pertama yang dinyatakan pada press release tersebut adalah kekhawatiran Parlemen terhadap kemunduran supremasi hukum dan kebebasan pers di Turki, khususnya yang terus berkembang setelah percobaan kudeta 15 Juli. Kemudian, press release tersebut dilanjutkan dengan menanggapi reformasi konstitusi Turki sebagai tanda kemunduran yang lebih jauh dari sistem demokrasi Turki dan menguruskan Dewan UE untuk menangguhkan kelanjutan proses aksesi Turki jika konstitusi baru tersebut terus diterapkan.58

3.2.4. Konflik Turki dengan Siprus dan Yunani

Buruknya hubungan Turki dan Siprus telah menjadi salah satu faktor utama yang menghambat negosiasi aksesi Turki ke Uni Eropa karena berkaitan dengan kekuatan negara anggota UE untuk memveto pembukaan suatu bab tertentu seperti halnya yang dilakukan Siprus pada 2009. Hubungan Turki dan Siprus pada dasarnya tidak dapat dikatakan harmonis bahkan sebelum proes negosiasi aksesi ke

Uni Eropa Turki dimulai.

57 “Erdogan Clinches Victory in Turkish Constitutional Referendum” The Guardian (16 April 2020).. Diakses melalui https://www.theguardian.com/world/2017/apr/16/erdogan-claims- victory-in-turkish-constitutional-referendum pada 22 Oktober 2020 58 “Turkey: Changing the Constitution Could End Up in Freezing EU Accession Talks”. European Parliament (20 Juni 2017). Diakses melalui https://www.europarl.europa.eu/news/en/press-room/20170619IPR77714/turkey-changing-the- constitution-could-end-up-in-freezing-eu-accession-talks pada 22 Oktober 2020

80

Sejak 1974, kekuatan militer Turki telah menempati bagian utara Siprus dan mengakuinya secara de facto sebagai Turkish Republic of Northern Cyprus (TRNC), yang merupakan status negara yang hanya diakui oleh Turki dan berada dibawah perlindungan milter Turki sampai hari ini.59 Sementara itu, Turki mengakui bagian selatan Siprus sebagai Greek Cypriot Administration of Southern Cyprus

(GCASC).60

Sebagai negara anggota Uni Eropa, pengakuan Turki terhadap kepulauan

Siprus (Uni Eropa mengakui keseluruhan pulau Siprus sebagai Republic of Cyprus

(RoC) dan tidak mengakui adanya TRNC) tentunya berpengaruh besar pada keberlangsungan negosiasi aksesi Turki seperti halnya yang telah dibahas pada bab

2 skripsi ini terkait perbedaan perspektif Turki dan Uni Eropa tentang penerapan

Additional Protocol 2006. Perbedaan tersebut menyebabkan UE memutuskan untuk memberi sanksi kepada Turki dan menunda pembukaan 8 bab negosiasi aksesi Turki pada 11 Desember 2006. 61 Sampai tahun 2018, Turki masih belum menormalisasikan hubungannya dengan Siprus walaupun perihal tersebut berkali- kali UE tegaskan dalam berbagai kesempatan.

Sementara hubungan Turki dengan Yunani telah mengalami banyak permusuhan dan rekonsiliasi sejak Kekaisaran Ottoman pada tahun 1830. Naik

59 Ileana Gentilia Metea “Cyprus, an Unresolved Issue of the European Union”. International Conference Knowledge Based Organization 24, no. 1, (26 Juli 2018). Diakses melalui https://content.sciendo.com/view/journals/kbo/24/1/article-p142.xml, 19 Juli 2020 60 “No: 83, 23 March 2013, Statement Regarding the Claims of the GCASC on Hydrocarbon Resources in the Eastern Mediterranean,” Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey. Diakses melalui http://www.mfa.gov.tr/no_-83_-23-march-2013_-statement-regarding- the-claims-of-the-gcasc-on-hydrocarbon-resources-in-the-eastern-mediterranean.en.mfa, 23 Oktober 2020 61 “Turkey accession and Cyprus,” Euractv (Diperbaharui pada 7 Januari 2016). Diakses melalui https://www.euractiv.com/section/enlargement/linksdossier/turkey-accession-and-cyprus/, 19 Juli 2020

81

turun hubungan keduanya terus berlanjut sampai memasuki era baru pada tahun

1999 yang ditandai dengan pembentukan berbagai mekanisme dialog seperti konsultasi politik secara rutin, mengadakan pertemuan Dewan Kerjasama Tingkat

Tinggi, serta melakukan berbagai kunjungan satu sama lain. Pada 2010, Turki menginisiasikan pembentukan the High-Level Cooperation Council antara Turki dan Yunani untuk mengatasi berbagai masalah dalam hubungan keduanya.62

Walaupun hubungan Turki dan Yunani pada awalnya terlihat mulai membaik, permasalahan di Laut Mediterania Timur dan Laut Aegea muncul menjadi permasalahan utama dalam hubungan antara Turki dengan kedua negara tersebut.

Permasalahan pertama muncul dari perbedaan perspektif antara Turki dan Yunani atas Laut Aegea terletak pada status quo yang ditetapkan dalam Perjanjian

Perdamaian Lausanne 1923. Perjanjian tersebut membentuk keseimbangan politik antara Yunani dan Turki dalam menyelaraskan kepentingan keduanya, termasuk kepentingan yang ada di Laut Aegea.63

Turki melihat bahwa Yunani berupaya untuk mengubah status quo yang ada dengan percaya bahwa seluruh wilayah laut Aegea adalah bagian dari laut Yunani.64

Sementara itu Yunani melihat bahwa Turki juga berusaha merubah status quo yang ada, serta merubah status hukum zona maritim dan wilayah udara dengan

62 “Relations between Turkey and Greece” Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey. Diakses melalui http://www.mfa.gov.tr/relations-between-turkey-and-greece.en.mfa, 19 Juli 2020 63 “Background Note on Aegea Dispute” Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey. Diakses melalui http://www.mfa.gov.tr/background-note-on-Aegea-dispute.en.mfa, 19 Juli 2020 64 “Perception of the Aegean Sea,” Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey. Diakses melalui http://www.mfa.gov.tr/perception-of-the-Aegea-sea.en.mfa, 19 Juli 2020

82

mengangkat sengketa dan klaim terhadap kedaulatan, hak-hak kedaulatan, serta yuridiksi Yunani.65

Walaupun hubungan keduanya sering dihadapkan pada beberapa permasalahan, Turki dan Yunani terus mengupayakan normalisasi hubungan keduanya melalui berbagai dialog untuk membahas hubungan bilateral di antara keduanya, seperti halnya berbagai kunjungan resmi yang dilakukan kedua pihak pada tahun 2017.66 Namun, hubungan keduanya kembali menegang ketika Turki terus melanjutkan pengeboran diwilayah Laut Mediterranea Timur yang menurut

Yunani adalah bagian dari wilayah lautnya. Salah satu analis kemananan Yunani,

Loannis Michaletos bahkan menyatakan bahwa ketidakstabilan hubungan antara

Yunani dan Turki akan terus berlanjut sepanjang tahun 2020.67 Tidak hanya dengan

Yunani, permasalahan tersebut juga melibatkan GSASC yang memiliki perbedaan perspektif terkait kedaulatan Siprus secara keseluruhan sehingga secara otomatis berpengaruh pada penilaian keduanya terhadap batas laut Siprus.

Penemuan gas alam besar pada 2009 di Laut Mediterania yang terletak disekitar Mesir, Siprus, Israel, Yunani, dan Turki sangat mempengaruhi politik energi Eropa. Sebelumnya, Rusia menjadi pemasok utama gas Eropa dan berpengaruh penting pada politik Eropa. Namun pengaruh tersebut mulai bergeser setelah penemuan gas di Mediterania sehingga menimbulkan berbagai pergulatan

65 “Turkey: Political Relation” Ministry of Foreign Affairs, Hellenic Republic. Diakses melalui https://www.mfa.gr/en/blog/greece-bilateral-relations/turkey/, 19 Juli 2020 66 “Turkey: Political Relation” Ministry of Foreign Affairs, Hellenic Republic. Diakses melalui https://www.mfa.gr/en/blog/greece-bilateral-relations/turkey/, 19 Juli 2020 67 “Turkish-Greek relations tense amid fears of military showdown,” Arab News (2020, 13 Juni). Diakses melalui https://www.arabnews.com/node/1689421/middle-east, 19 Juli 2020

83

baru serta sengketa di antara negara-negara kunci sekitar Laut Mediterania yang saling bersaing untuk mengontrol sumber daya di wilayah tersebut.68

Walaupun demikian, skripsi ini hanya akan berfokus pada permasalahan atau sengketa yang muncul di antara Siprus, Yunani, dan Turki karena hubungan ketiganya akan berpengaruh pada kelanjutan proses negosiasi aksesi Turki ke Uni

Eropa. Penjelasan perspektif sengketa yang ada diwilayah Siprus pada skripsi ini akan menggunakan sebutan TRNC dan GSASC karena sengketa tersebut melibatkan Turki yang mengakui kedaulatan TRNC sehingga penggunaan sebutan

RoC sebagai penggambaran pulau Siprus secara keseluruhan tidak dapat menjelaskan fenomena yang ada dengan menyeluruh.

Sebagai satu-satunya negara yang mengakui TRNC, Turki menyatakan bahwa GCASC tidak memiliki hak untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya hidrokarbon lepas pantai dizona TRNC. Selain itu, Turki juga mempersengketakan legitimasi GCASC dan mengklaim kedaulatan yang tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) GCASC. Hal tersebut disampaikan langsung oleh Turki kepada PBB melalui objection letter yang dikirimkan pada 12

April 2017. Dalam surat tersebut, Turki mempertanyakan garis besar ZEE yang digambarkan oleh GCASC dan mengklaim bahwa Blok 6 sebagai bagian dari landas kontinennya sendiri. 69

68 Khaled Kesseba dan Konstantinos Lagos. “Five Countries in the Eastern Mediterranean Are Shaking Up Europe’s Energy Map” The Conversation: Sheffied Hallam University (2019). Diakses melalui http://shura.shu.ac.uk/24996/ pada 21 Oktober 2020 69 “Letter dated 12 April 2017 from the Permanent Representative of Turkey to the United Nations addressed to the Secretary-General,” United Nation General Assembly Security Council. Diakses melalui http://undocs.org/A/71/875 pada 23 Oktober 2020

84

Sebagai respon, pada 4 Mei 2017 GCASC (dalam konteks ini RoC sebagai wilayah yang diakui UE dan PBB) mengirimkan objection letter yang mengacu pada surat Turki sebelumnya. Pada surat tersebut, GCASC menggarisbawahi bahwa

Turki telah melanggar Konvensi PBB tentang Hukum Laut terkait pengaturan hak pulau-pulau ke laut teritorial, zona yang bersebelahan, landas kontinen, dan ZEE yang berlaku secara umum dan diakui sebagai hukum kebiasaan (customary law) sehingga tidak membenarkan Turki untuk melanggar konvensi tersebut walaupun tidak mengakuinya. GCASC menegaskan bahwa Blok 6 adalah wilayah hak berdaulat eksklusif RoC yang secara sah dapat dieksplorasi atau dieksploitasi sesuai dengan hukum internasional dan tidak memengaruhi hak-hak negara ketiga manapun, termasuk Turki.70

Walaupun demikian, Turki tetap konsisten dengan penilaiannya tentang sengketa tersebut. Pada 11 Februari 2018 Otoritas GCASC menyatakan bahwa militer Turki menghalangi kapal perusahan GCASC yang akan mengeksplorasi gas alam di daerah lepas pantai Pulau Siprus. Turki menyatakan bahwa pernyataan tersebut merupakan tindakan sepihak GCASC yang melanggar kedaulatan TRNC.

Sementara itu, Yunani juga menyatakan bahwa Turki telah melanggar hukum internasional dan mengutuk tindakan Turki yang dinilai terlalu provokatif.71

70“Letter dated 4 May 2017 from the Permanent Representative of Cyprus to the United Nations addressed to the Secretary-General,” United Nation General Assembly Security Council. Diakses melalui http://undocs.org/A/71/900 pada 23 Oktober 2020 71 “Tension Between Turkey and Other Stakeholders Over Gas Drilling in the Eastern Mediterranean” (2018) European Sources Online. Diakses melalui https://www.europeansources.info/record/tension-between-turkey-and-cyprus-over-gas-drilling-in- the-eastern-mediterranean/ pada 23 Oktober 2020

85

Kemudian pada 22 Maret 2018, Dewan UE menyatakan posisinya terkait tindakan Turki di wilayah Mediterania Timur dan Laut Aegea melalui publikasi hasil pertemuan Dewan UE. Pada publikasi tersebut Dewan UE mengutuk keras keberlanjutan tindakan Turki di Mediterania Timur dan Laut Aegea yang dinilai ilegal serta menggaris bawahi solidaritas UE dengan RoC dan Yunani. Selain itu,

Dewan UE juga mendesak Turki untuk menghentikan tindakannya tersebut dan menghormati kedaulatan RoC untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber dayanya sesuai hukum internasional yang berlaku.72

Dari pernyataan tersebut, dapat dilihat bahwa sengketa yang terjadi antara

Turki, Yunani, dan Siprus sangat mempengaruhi hubungan Turki dan Uni Eropa secara keseluruhan mengingat status Yunani dan Siprus sebagai negara anggota Uni

Eropa. Permasalahan Turki dengan Yunani dan Siprus tersebut menjadi salah satu poin penting dalam pertimbangan Uni Eropa untuk menentukan kelanjutan proses negosiasi aksesi Turki ke UE.

Dari subbab ini, dapat terlihat jelas berbagai permasalahan utama yang menjadi pertimbangan Uni Eropa untuk membekukan negosiasi aksesi Turki.

Berbagai permasalahan tersebut membentuk tiga faktor utama yang mendasari keputusan pembekuan negosiasi yang tercatat dalam Council Conclusion on

Enlargement and Stabilisation and Association Process yang dipublikasikan pada

26 Juni 2018 sebagaimana yang telah disebutkan pada subbab sebelumnya.73

72 “Conclusion of European Council Meeting on 22 March 2018,” European Council. Diakses melalui https://www.consilium.europa.eu/media/33457/22-euco-final-conclusions-en.pdf pada 23 Oktober 2020 73 Lihat halaman 55-57

86

Kebijakan pemerintahan Turki untuk melakukan “pembersihan” setelah upaya kudeta 15 Juli, munculnya wacana penerapan kembali hukuman mati secara terus-menerus, serta pelaksaan Reformasi Konstitusi ditengah status state of emergency membuat UE menilai bahwa Turki semakin menjauh dari Uni Eropa dalam aspek HAM dan hak-hak fundamental, serta demokrasi dan supremasi hukum. Sementara semakin buruknya hubungan Turki dengan Siprus dan Yunani juga membuat UE menilai bahwa Turki tidak mampu menjaga hubungan baik dengan seluruh negara anggota UE sehingga pada akhirnya keputusan pembekuan diterapkan.

Disamping keputusan pembekuan tersebut, pernyataan komitmen bahwa

Turki akan melanjutkan proses aksesi mengundang pertanyaan besar tentang bagaimana upaya yang akan dilakukan Turki setelah pembekuan 2018. Pada bab selanjutnya, skripsi ini akan menggunakan pendekatan Konstruktivime yang dikenalkan oleh Peter Katzenstein untuk menganalisis bagaimana Turki membentuk upayanya dalam menghidupkan kembali negosiasi aksesi Turki ke UE pasca-pembekuan 2018.

BAB IV

UPAYA TURKI UNTUK MENGHIDUPKAN KEMBALI NEGOSIASI

AKSESI KE UNI EROPA PASCA-PEMBEKUAN NEGOSIASI AKSESI

TAHUN 2018

Pada bab sebelumnya, telah dijelaskan tiga faktor utama yang menyebabkan

UE memutuskan untuk membekukan proses negosiasi aksesi Turki sebagaimana yang tercatat dalam Council Conclusion on Enlargement and Stabilisation and

Association Process pada 26 Juni 2018. Tidak lama setelah pernyataan pembekuan negosiasi aksesi tersebut, Turki menyatakan komitmennya untuk melanjutkan proses aksesi. Berdasarkan pernyataan tersebut, skripsi ini menetapkan pertanyaan penelitian tentang bagaimana upaya Turki dalam menghidupkan kembali negosiasi aksesi yang telah dibekukan tersebut melalui penyesuaian aspek normatif UE.

Skripsi ini akan menggunakan pendekatan Kontruktivisme dan Teori Sekuritisasi dalam menjawab pertanyanan penelitian yang sudah ditentukan.

Melalui pernyataan UE dalam Council Conclusion on Enlargement and

Stabilisation and Association Process pada 26 Juni 2018, Turki dinilai semakin menjauh dari Uni Eropa. Penegasan kata ‘semakin menjauh’ atau ‘moving further away’ yang UE gunakan akan ditafsirkan sebagai kalimat yang ditujukan kepada norma atau nilai-nilai yang UE tetapkan. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Peter

J. Katzenstein bahwa “Norms are collective expectations about proper behavior for

87

88

a given identity”1, maka skripsi ini melihat bahwa pembekuan negosiasi aksesi

Turki didasarkan atas semakin menjauhnya Turki dari norma-norma UE yang seharusnya Turki terapkan sebagai negara kandidat.

Berdasarkan sistem negosiasi aksesi UE yang telah dijelaskan pada bab kedua, keputusan untuk memulai kembali negosiasi aksesi Turki harus disetujui oleh keseluruhan negara anggota UE. Untuk mencapai persetujuan tersebut, Turki dituntut untuk mengikuti aspek normatif internasional yang diajarkan oleh UE.

Walaupun demikian, skripsi ini menemukan bahwa aspek normatif internasional yang diajarkan UE tidak selalu mempengaruhi proses pembentukan kebijakan Turki karena ada kemungkinan di mana aspek-aspek normatif domestik justru bertentangan dengan aspek normatif yang UE ajarkan.

Oleh karena itu, untuk melihat sejauh mana upaya Turki dalam menghidupkan kembali negosiasi aksesinya melalui penerapan aspek normatif yang diajarkan UE, skripsi ini akan menggunakan Perspektif Konstruktivisme versi Peter

Katzenstein yang tidak hanya menegaskan pentingnya norma internasional, namun juga melihat kemungkinan adanya pertentangan antara aspek normatif internasional dan aspek normatif domestik yang didominasi oleh faktor keamanan nasional di mana pada akhirnya aspek normatif domestik tersebut mampu memberikan pengaruh lebih besar dalam pembentukan kebijakan.2

Selain itu, skripsi ini juga akan menggunakan Teori Sekuritisasi dan Regional

Security Complex Theory (RSCT) untuk menganalisis lebih lanjut bagaimana isu

1 Peter Katzenstein, The Culture of National Security (New York: Colombia University Press, 1996), 18 2 Iva Rachmawati (Januari 2012). “Konstruktivisme sebagai Pendekatan Alternatif dalam Hubungan Internasional”, Paradigma 16 No.1: 31

89

keamanan Turki dapat mempengaruhi aspek normatif domestik Turki sehingga berdampak pada kelanjutan upaya Turki dalam menghidupkan kembali negosiasi aksesinya pasca-pembekuan tahun 2018.

Untuk menyajikan jawaban atas pertanyaan penelitian yang ada, skripsi ini akan membagi bab pembahasan berdasarkan aspek-aspek penentu yang membuat

UE membekukan negosiasi aksesi Turki sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab ketiga. Namun karena aspek HAM, Hak-Hak Fundamental, demokrasi, dan supremasi hukum memiliki keterkaitan yang erat dalam implementasinya, pembagian bab ini akan difokusan pada dua aspek, yaitu (1) Upaya Turki dalam bidang HAM, Hak-hak Fundamental, Demokrasi, dan Supremasi Hukum; dan (2)

Upaya Turki dalam Memperbaiki Hubungannya dengan Negara Anggota UE.

Selain itu, skripsi ini juga akan menyajikan subbab-subbab yang berfokus untuk menganalisis aspek normatif domestik Turki yang mendominasi upaya Turki dalam bidang-bidang yang telah disebutkan sebelumnya.

4.1. Upaya Turki di Bidang HAM, Hak-hak Fundamental, Demokrasi, dan Supremasi Hukum yang Sesuai dengan Aspek Normatif UE

Intensi positif Turki terhadap penerapan norma-norma yang diajarkan UE dalam aspek HAM, hak-hak fundamental, demokrasi, dan supremasi hukum pada awalnya terlihat baik dan disambut baik oleh Uni Eropa ketika Turki meninggalkan status state of emergency pada Juli 2018 yang diikuti dengan pengaktifan kembali

Reform Action Group (RAG)3. RAG yang sebelumnya disebut sebagai the Reform

3 “EU reaction mixed as Turkey lifts state of emergency” Hurriyet Daily News (19 Juli 2018) Diakses melalui https://www.hurriyetdailynews.com/eu-reaction-mixed-as-turkey-lifts-state- of-emergency-134751, pada 25 November 2020

90

Monitoring Group (RMG) ini didirikan pada September 2003 untuk memastikan jalannya reformasi di Turki dengan tujuan memenuhi kriteria politik Kopenhagen.

Pertemuan yang selalu melibatkan Menteri Urusan Uni Eropa, Kepala Negosiator,

Kementerian Kehakiman, dan Kementerian Dalam dan Luar Negeri Turki tersebut telah melaksanakan 30 pertemuan sejak 2003-2014, dan setelah mengganti namanya menjadi RAG, terhitung hingga kini telah melaksanakan 6 pertemuan.4

Pada praktiknya, kinerja RAG sempat terhenti dari tahun 2016-2017 karena fokus pemerintahan Turki yang pada saat itu terpusat pada pengendalian keamanan dalam negeri terkait dampak percobaan kudeta pada Juli 2016 serta keadaan negara yang berada dalam status state of emergency. Setelah status state of emergency terhenti, Turki segera menghidupkan kembali RAG dengan melakukan pertemuan keempat pada 29 Agustus 2018 untuk memperlihatkan tekad Turki untuk bergabung dengan UE.5 Terhitung sejak penghentian status state of emergency Turki hingga penulisan skripsi ini, Pemerintahan Turki telah melaksanakan tiga pertemuan RAG, yaitu pada 29 Agustus 2018, 11 Desember 2018, dan 9 Mei 2019. 6

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab kedua, reformasi adalah bagian inti yang menentukan kelajutan proses negosiasi. Negara kandidat harus melakukan reformasi diberbagai bidang untuk memenuhi persyaratan yang tercatat dalam acquis. Efektivitas reformasi yang berkembang akan menentukan pembukaan dan

4“Reform Action Group Meetings” Directorate for EU Affairs, Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey (diperbaharui 25 Februari 2020) Diakses melalui https://www.ab.gov.tr/- reform-action-group-meetings_49767_en.html, 12 Juli 2020 5 “Turkey Resumes Reform Process for EU Membership”. Anadolu Agency (1 Desember 2018). Diakses melalui https://www.aa.com.tr/en/europe/turkey-resumes-reform-process-for-eu- membership/1326780, 12 Juli 2020. 6 “Reform Action Group Meetings” Directorate for EU Affairs, Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey (diperbaharui 25 Februari 2020). Diakses melalui https://www.ab.gov.tr/-reform-action-group-meetings_49767_en.html, 12 Juli 2020

91

penutupan setiap bab negosiasi. Oleh karena itu, langkah Turki untuk menghidupkan kembali RAG menjadi permulaan yang baik untuk menunjukan keseriusan komitmen Turki yang ingin melanjutkan proses aksesi ke Uni Eropa.

Dalam rangka merespon pembekuan negosiasi aksesi yang diputuskan oleh

UE, Turki memusatkan diskusi RAG setelah pembekuan untuk membahas reformasi Turki dalam aspek hak-hak fundamental dan peradilan sebagaimana dikatakan dalam publikasi Direktorat Urusan Uni Eropa bahwa “our determination to continue with reforms in the areas of the judiciary and fundamental right was clearly set forth”.7 Hal tersebut menunjukkan upaya Turki dalam memenuhi norma yang diajarkan Uni Eropa.

Secara keseluruhan, ketiga pertemuan RAG pasca-pembekuan menggarisbawahi setidaknya tiga langkah utama yang berkaitan dengan aspek

HAM, Hak-Hak Fundamental, Demokrasi, dan Supremasi Hukum, antara lain; (1) berkomitmen pada keberlanjutan 18 March Statement; (2) bekerjasama dengan instansi-instansi terkait khususnya dengan the Council of Europe; (3) pembaharuan

Judicial Reform Strategy (JRS) dan melakukan rekonstruksi akademi kehakiman.8

7 “Fourth Meeting of the Reform Action Group Press Statement Ankara, 29 August 2018,” Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey (29 Agustus 2018). Diakses melalui http://www.mfa.gov.tr/reform-eylem-grubu-dorduncu-toplantisi-basin-bildirisi_en.en.mfa, 12 November 2020 8 “Fourth Meeting of the Reform Action Group Press Statement Ankara, 29 August 2018,” Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey (29 Agustus 2018). Diakses melalui http://www.mfa.gov.tr/reform-eylem-grubu-dorduncu-toplantisi-basin-bildirisi_en.en.mfa, 12 November 2020; “Fifth Meeting of the Reform Action Group Press Statement Ankara, 11 December 2018” Directorate of EU Affairs, Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey (11 Desember 2018). Diakses melalui https://www.ab.gov.tr/51470_en.html, 12 November 2020; “The Sixth Meeting of the Reform Action Group Press Statement Ankara, 9 Mei 2019,” Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey (2019, 9 Mei). Diakses melalui http://www.mfa.gov.tr/altinci- reform-eylem-grubu-basin-bildirisi- hk.en.mfa#:~:text=The%20sixth%20meeting%20of%20the%20Reform%20Action%20Group%20 (RAG)%20was,Minister%20of%20Foreign%20Affairs%20and, 12 November 2020

92

4.1.1. Komitmen Turki terhadap 18 March Statement

Pada 17 dan 18 Maret 2016, anggota Dewan Eropa, bersama dengan Presiden

Dewan Eropa dan Komisi Eropa, bertemu dengan Perdana Menteri Turki Ahmet

Davutoglu untuk membahas hubungan Turki-UE dan membahas apa yang disebut

European Refugee Crisis atau krisis pengungsi Eropa di mana kedua pihak mendiskusikan strategi untuk mengurangi angka migran dan pengungsi yang memasuki Eropa melalui Turki. 9 Pertemuan yang kemudian dikenal sebagai EU-

Turkey 18 March Statement tersebut diklaim bertujuan untuk meminimalisir angka kematian yang dialami para pengungsi, khususnya yang menggunakan jalur laut selama perpindahan.10 Baik UE maupun Turki sepakat untuk bekerjasama dalam menanggulangi krisis pengungsi tersebut.

Aksi pertama yang dilaksanakan berdasarkan pertemuan ini diterapkan mulai

20 Maret 2016 di mana semua pencari suaka tidak teratur yang memasuki Yunani melalui Turki akan dikembalikan lagi ke Turki dan menetap disana. UE menyatakan akan tetap menerima 72.000 warga Suriah dari Turki dan akan memberikan 3 miliar Euro kepada Turki sebagai investasi dalam pengendalian perbatasan dan pemfasilitasan pengungsi di Turki. Setelah kerjasama pengendalian migran dan pengungsi tersebut diterapkan, EU Turkey Statement menjadi agenda politik utama dan dianggap sebagai tindakan pengendalian migrasi yang efektif

9 “Press Release 17-18 March 2016 Meeting EU-Turkey Meeting in Brussels.” European Council . Diakses melalui https://www.consilium.europa.eu/media/23720/160316-euco- background-note-final.pdf pada 19 November 2020. 10“Chronology of Turkey-European Union Relations (1959-2019)” Directorate of EU Affairs, Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey: 18-19. Diakses melalui https://www.ab.gov.tr/siteimages/birimler/kpb/chronology-_en-_1959-_ocak2020.pdf , pada 15 November 2020

93

karena mampu menurunkan jumlah kedatangan dan mengurangi penyelundupan manusia.11

Setelah pembekuan negosiasi, Turki tetap menyatakan komitmennya untuk terus melanjutkan kewajibannya yang tertera pada 18 March Statement. Pada pertemuan RAG terbaru yang dilaksanakan 9 Mei 2019, Turki menyatakan bahwa

Turki akan terus berusaha untuk mengontrol keluar masuknya migran dari perbatasan Turki dan berfokus untuk mencegah angka kematian karena mobilisasi pengungsi dan migran yang tidak aman. Turki juga menggaris bawahi bahwa rendahnya tingkat migrasi dan pengungsi yang memasuki UE dalam 5 tahun terakhir adalah hasil dari kerja keras Turki dalam menerapkan perjanjian dalam 18

March Statement tersebut.12

Hal tersebut diakui UE sebagaimana tercatat dalam Turkey Report 2020 bahwa “Overall, the March 2016 EU-Turkey Statement continued to deliver results, with both parties renewing commitment to its effective implementation.” Sejak diberlakukannya 2016 Statement tersebut, Turki telah menerima lebih dari 3,6 juta pengungsi dari Suriah dan 370.000 pengungsi dari negara lain sehingga menciptakan komunitas pengungsi terbesar di dunia. Sesuai dengan perjanjian yang

11 Ilse Van Liempt et al., “Evidence-based assessment of migration deals; the case of the EU-Turkey Statement”, Netherlands Organisation for Scientific Research. (Desember 2017); 5. Diakses melalui https://www.kpsrl.org/sites/default/files/2018- 08/Van%20Liempt%20Final%20Report.pdf pada 20 November 2020 12 “The Sixth Meeting of the Reform Action Group Press Statement Ankara, 9 Mei 2019,” Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey (2019, 9 Mei). Diakses melalui http://www.mfa.gov.tr/altinci-reform-eylem-grubu-basin-bildirisi- hk.en.mfa#:~:text=The%20sixth%20meeting%20of%20the%20Reform%20Action%20Group%20 (RAG)%20was,Minister%20of%20Foreign%20Affairs%20and, 12 November 2020

94

ada, Turki dan UE bekerjasama untuk membangun fasilitas pengungsi di Turki dengan biaya operasional yang ditanggung oleh UE secara keseluruhan.13

Walaupun demikian, kerjasama tersebut tidak terlepas dari permasalahan.

Dari pihak Turki, Turki menilai bahwa UE tidak maksimal dalam memenuhi kerangka kerjasama, khususnya dalam pencairan dana untuk pembangunan fasilitas pengungsi yang dijanjikan sebanyak 6 miliar Euro namun Turki baru menerima sebanyak 3,8 miliar Euro. Turki berharap UE dapat sesegera mungkin memenuhi kewajiban tersebut. Turki juga menyinggung kelanjutan proses negosiasi aksesi dan liberalisasi visa Turki yang diharapkan dapat dipercepat sesuai dengan kesepakatan dalam 18 March Statement tersebut.14

Sementara dari perspektif UE, kemunduran Turki dalam menerapkan statement tersebut terjadi pada awal Maret 2020 di mana pemukiman pengungsi tidak resmi terpaksa dibangun di Pazarkule yang merupakan perbatasan Turki-

Yunani setelah Turki membuka perbatasannya dengan Yunani dan membiarkan para pengungsi dan migran untuk memasuki Eropa melalui Yunani. Pemukiman tersebut menampung hampir 60.000 pengungsi dengan fasilitas yang tidak memadai.15 Selain itu, Turki juga meminta agar dibentuk perjanjian baru untuk memperbaharui 18 March Statement sebelumnya. Untuk merespon hal tersebut,

13 “Turkey Report 2020,” European Commission: 3. Diakses melalui https://ec.europa.eu/neighbourhood-enlargement/sites/near/files/turkey_report_2020.pdf pada 21 November 2020 14 “Fifth Meeting of the Reform Action Group Press Statement Ankara, 11 December 2018” Directorate of EU Affairs, Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey (11 Desember 2018). Diakses melalui https://www.ab.gov.tr/51470_en.html, 12 November 2020

15 “Turkey Report 2020,” European Commission: 3. Diakses melalui https://ec.europa.eu/neighbourhood-enlargement/sites/near/files/turkey_report_2020.pdf pada 21 November 2020

95

Presiden Komisi Uni Eropa, Presiden Dewan Uni Eropa, dan Presiden Turki mengadakan pertemuan pada 9 Maret 2020 untuk mendiskusikan lebih lanjut mengenai implementasi 18 March Statement.16

Setelah pertemuan tersebut terhitung mulai 30 Maret 2020, Turki mengatur transportasi untuk menarik para migran dan pengungsi yang ada di perbatasan

Pazarkule dan menutup perbatasan dengan Yunani dan Bulgaria kecuali untuk lalu linter komersial karena Covid-19. Walaupun demikian, Menteri Dalam Negeri

Turki tetap menyatakan bahwa hal tersebut dilakukan untuk pencegahan penyebaran penyakit di kamp pengungsi tidak resmi dan tetap tidak mencegah para pengungsi dan migran yang memang ingin meninggalkan Turki. Terlepas dari masalah tersebut, angka migrasi ilegal yang memasuki wilayah UE masih terlampau jauh dibandingkan sebelum statement tersebut diberlakukan. 17

Dari penjelasan tersebut, terlihat bahwa kerjasama UE-Turki dalam menanggulangi krisis migran dan pengungsi UE masih terjalin dengan cukup baik di mana Turki masih terus menampung migran dan pengungsi yang ingin memasuki

Eropa serta UE mengakui bahwa Turki melakukan upaya yang luar biasa dan berperan penting dalam mengurangi angka masuknya migran dan pengungsi ke

Eropa. Dari hal tersebut dapat dilihat bagaimana aspek normatif dalam menerapkan

18 March Statement yang diajarkan UE dapat diikuti dengan baik oleh Turki sehingga kerja sama keduanya dapat berjalan dengan cukup sinergis.

16 “Turkey Report 2020,” European Commission: 3-4. Diakses melalui https://ec.europa.eu/neighbourhood-enlargement/sites/near/files/turkey_report_2020.pdf pada 21 November 2020 17 “Turkey Report 2020,” European Commission: 47-48. Diakses melalui https://ec.europa.eu/neighbourhood-enlargement/sites/near/files/turkey_report_2020.pdf pada 21 November 2020

96

4.1.2. Kerjasama Turki dengan the Council of Europe (CoE)

Proses implementasi setiap rancangan reformasi yang telah disusun tentunya memerlukan kerjasama yang intensif dengan berbagai instansi terkait. Dalam mengupayakan proses reformasi dibidang HAM, hak-hak fundamental, demokrasi, dan supremasi hukum, the Council of Europe (CoE) atau Dewan Eropa merupakan instansi paling relevan yang dapat membantu Turki dalam mengimplementasikan rancangan reformasi yang ada.

CoE adalah organisasi internasional yang beranggotakan negara-negara di

Eropa yang didirikan untuk mempromosikan demokrasi, melindungi hak asasi manusia, dan supremasi hukum di Eropa. 18 CoE beranggotakan seluruh negara anggota Uni Eropa dan berapa negara Eropa lainnya, termasuk Turki dengan total

47 negara anggota.19 Sebagai promotor HAM, demokrasi, dan supremasi hukum,

CoE banyak melakukan proyek dengan UE dalam mengupayakan kesepemahaman norma dengan Turki dalam aspek HAM, demokrasi, dan supremasi hukum. Peran

CoE yang berfokus pada HAM, demokrasi, dan supremasi hukum serta kepentingan

UE sebagai anchor atau jangkar demokrasi bagi Turki membuat UE sangat merekomendasikan agar Turki bekerjasama dengan CoE dalam melaksanakan reformasinya.20

18 Definisi Council of Europe, diakses melalui https://www.coe.int/ro/web/about-us/do-not- get-confused, 15 Juli 2020 19 Negara anggota Council of Europe, diakses melalui https://www.coe.int/ro/web/about- us/our-member-states, 15 Juli 2020 20 “Enlargement and Stabilisation and Association Process; Council Conclusion,” Council of the European Union. (2018, 26 June). Diakses melalui https://www.consilium.europa.eu/media/35863/st10555-en18.pdf

97

Setelah pembekuan negosiasi aksesi dan penghentian status state of emergency, Turki mulai berupaya untuk meningkatkan kerjasamanya dengan CoE sebagaimana yang telah disepakati dalam pertemuan RAG pada Agustus 2018.

Pada praktiknya, CoE banyak berperan dalam membantu Turki untuk memenuhi agenda reformasi yang berkaitan dengan HAM, Demokrasi, dan supremasi hukum melalui pertemuan-pertemuan Informal Working Groups untuk mendiskusikan berbagai hal termasuk pembaharuan Judicial Reform Strategy.21

Salah satu bentuk kerjasama Turki-CoE lainnya dapat dilihat pada penyusunan Action Plan on the Prevention of the European Convention for the

Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms (ECHR) Violations yang disusun oleh Turki atas dasar rekomendasi dan kerjasama CoE. Action Plan ini setidaknya berfokus pada 3 aspek, yaitu hak atas kebebasan dan keamanan, hak atas peradilan yang adil, dan kebebasan berekspresi. Uni Eropa menyambut baik action plan tersebut dengan menyepakati pendanaan proyek CoE-Turki dalam peningkatan sistem peradilan pidana di Turki terkait pelanggaran ECHR yang diluncurkan pada 3 Oktober 2019. Proyek tersebut termasuk dalam Horizontal

Facilty untuk Balkan Barat dan Turki 2019-2022 atas dasar penemuan European

Court of Human Rights (ECtHR) terhadap pelanggaran ECHR terutama terkait keadilan dalam proses peradilan. 22

21 “Fifth Meeting of the Reform Action Group Press Statement Ankara, 11 December 2018” Directorate of EU Affairs, Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey (11 Desember 2018). Diakses melalui https://www.ab.gov.tr/51470_en.html, 12 November 2020 22 “Supproting the Implementation and Reporting on the Action Plan on Human Rights in Turkey,” Council of Europe. Diakses melalui https://rm.coe.int/hf14-leaflet-eng/16809cffa1, 16 November 2020

98

Melalui contoh-contoh tersebut, dapat dilihat bagaimana upaya Turki untuk menunjukkan intensinya dalam mengikuti nilai-nilai yang ditetapkan CoE sesuai dengan rekomendasi UE pasca-pembekuan negsosiasi aksesi dan penghentian status state of emergency.

4.1.3. Pembaharuan Judicial Reform Strategy (JRS)

Judicial Reform Strategy (JRS) merupakan bagian penting yang harus dilakukan oleh seluruh negara kandidat UE. JRS Turki pertama kali disiapkan tahun

2009 untuk memenuhi salah satu kriteria pembukaan tidak resmi dalam lingkup negosiasi Bab 23. Dokumen yang disajikan pada tahun 2009 tersebut kemudian diperbarui pada tahun 2018. Pada 30 Mei 2019, Presiden Erdogan meresmikan dokumen JRS ketiga. JRS ketiga ini bertujuan untuk memperkuat independensi, transparansi, objektivitas, dan tanggung jawab peradilan di Turki. Dokumen yang berisi 9 tujuan utama, 63 tujuan lanjutan, dan 256 kegiatan tersebut disusun untuk periode 2019-2023. 23 Berbeda dengan dokumen JRS sebelumnya yang berfokus pada proses manajemen dan hak-hak dalam peradilan, dokumen ini berfous pada pembentukan kembali fungsionalitas sistem peradilan secara keseluruhan.24

Dokumen yang dipublikasikan pada Mei 2019 tersebut mempunyai motto

“reassuring justice” atau dapat diartikan dengan upaya untuk membentuk keadilan yang meyakinkan. Dokumen tersebut disusun oleh Menteri Kehakiman dengan bekerjasama dengan berbagai pemangku kepentingan dari berbagai institusi penting

23 Enes Guzel, “Judicial Reform Strategy Document,” TRT World Research Centre. (Juni, 2019): 6-8. Diakses melalui https://researchcentre.trtworld.com/publications/info-packs/turkey-s- judicial-reform-strategy-document, 14 Juli 2020 24 Muharrem Kilic. “Remarks on Turkey’s Judicial Reform Strategy Document”. Insight Turkey 21, No.3 (2019): 39. Diakses melalui https://www.jstor.org/stable/26776101?read- now=1&seq=9 pada 23 November 2020

99

seperti Mahkamah Agung, asosiasi pengacara Turki, fakultas-fakultas hukum, organisasi masyarakat sipil, dan beberapa akademisi, hakim, jaksa, dan pengacara terpilih. Hal tersebut memperlihatkan bahwa dokumen JRS yang baru tersebut disusun dengan persiapan yang lebih komprehensif dan menyajikan partisipan yang lebih luas dibandingkan dengan dokumen JRS sebelum-sebelumnya.25

Turki menyatakan bahwa dalam proses penyusunan dokumen, unsur-unsur normatif yang ada merupakan hasil penyesuaian dari norma-norma UE serta hukum internasional. Penyesuaian tersebut dilakukan dengan melihat kembali kepada berbagai dokumen penting seperti laporan tahunan yang dibuat oleh UE, laporan komisi Venesia, pengadilan eropa untuk yurisprudensi hak asasi manusia, prinsip- prinsip Council of Europe, dan berbagai organisasi internasional lainnya. Dokumen ini secara keseluruhan diklaim sebagai manifestasi praktis dari upaya Turki untuk menerapkan serta menginstitusikan nilai-nilai UE.26

Secara garis besar, dokumen JRS ini memiliki dua perspektif dasar, yaitu (1) perspektif dasar dalam aspek Hak dan Kebebasan, di mana JRS menaruh perhatian besar pada aspek demokrasi, salah satunya dengan memperkuat kebebasan bereskpresi; dan (2) perspektif dasar dalam fungsi sistem peradilan, di mana JRS menggaris bawahi pentingnya pemisahan kekuatan dalam kerangka amandemen konstitusi dan bahwa fungsi konstitusional peradilan sangat penting untuk

25 Muharrem Kilic. “Remarks on Turkey’s Judicial Reform Strategy Document”. Insight Turkey 21, No.3 (2019): 39. Diakses melalui https://www.jstor.org/stable/26776101?read- now=1&seq=9 pada 23 November 2020 26 Muharrem Kilic. “Remarks on Turkey’s Judicial Reform Strategy Document”. Insight Turkey 21, No.3 (2019): 31. Diakses melalui https://www.jstor.org/stable/26776101?read- now=1&seq=9 pada 23 November 2020

100

memperkuat demokrasi. 27 Selain itu, salah satu bagian penting dari JRS ini adalah adanya upaya untuk membuka jalan bagi beberapa warga negara yang ditahan atas dasar tuduhan teror selama state of emergency setelah 21 Juli 2016. Mereka yang telah dicabut paspornya selama state of emergency akan kembali mendapatkan paspornya setelah proses administrasi dan peradilan terpenuhi.28

Selain melalui JRS, kebijakan Turki lainnya yang sesuai dengan norma yang diajarkan oleh UE dalam aspek supremasi hukum dapat dilihat dari Keputusan

Presiden no.34 pada 2 Mei 2019 yang menyatakan pembentukan Akademi

Kehakiman Turki sebagai pusat pelatihan bagi staf kehakiman Turki yang sebelumnya ditutup selama state of emergency. Akademi ini juga akan menawarkan program pelatihan kepada notaris, pengacara, dan orang-orang yang dianggap memenuhi syarat untuk mengikuti pelatihan tersebut. Akademi ini akan menyelenggarakan spesialisasi dan program sertifikat serta kursus, seminari, dan konferensi di bidang hukum dan keadilan, Akademi ini juga dapat mendirikan bank data dan perpustakaan untuk merilis publikasi tentang hukum dan keadilan.29

Dari penjelasan terkait JRS serta keputusan Turki untuk membangun akademi kehakiman tersebut, dapat dilihat secara umum bahwa penyusunan upaya tersebut sejalan dengan norma-norma yang diajarkan oleh Uni Eropa, serta hukum internasional yang berlaku.

27 Enes Guzel, “Judicial Reform Strategy Document,” TRT World Research Centre. (Juni, 2019): 8. Diakses melalui https://researchcentre.trtworld.com/publications/info-packs/turkey-s- judicial-reform-strategy-document, 14 Juli 2020 28 “First Package of judicial reforms published in official gazette” Hurriyet Daily News (24 Oktober 2019) Diakses melalui https://www.hurriyetdailynews.com/first-package-of-judicial- reforms-published-in-official-gazette-147902, 14 Juli 2020 29 “Justice Academy of Turkey Established,” English Bianet (2 Mei 2019). Diakses melalui https://bianet.org/english/law/208049-justice-academy-of-turkey-established pada 21 November 2020

101

4.2. Dominasi Aspek Normatif Turki dalam Pembentukan Upaya di Bidang HAM, Hak-hak Fundamental, Demokrasi, dan Supremasi Hukum yang Bertentangan dengan Aspek Normatif UE

Disamping berbagai upaya yang telah Turki lakukan untuk menghidupkan kembali negosiasi aksesi di bidang HAM, hak-hak fundamental, demokrasi, dan supremasi hukum sebagaimana disebutkan dalam subbab sebelumnya, diskusi terkait sejauh mana pengaruh upaya tersebut terhadap keberlanjutan status negosiasi aksesi tidak bisa terlepas fenomena upaya kudeta 15 Juli 2016 yang menjadi awal mula adanya pertentangan aspek normatif domestik Turki dalam menyusun strategi upaya di bidang-bidang terkait.

Berdasarkan lima kategori ancaman yang dikembangkan oleh Barry Buzan, upaya kudeta termasuk dalam ancaman politik yang dapat mengancam stabilitas negara. 30 Walaupun upaya kudeta yang terjadi 15 Juli 2016 tersebut berhasil digagalkan sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab ketiga31, Pemerintah Turki mempercayai bahwa jaringan pelaku kudeta yang diyakini berasal dari kelompok

Fethullah Gulen masih banyak tersembunyi diberbagai kelompok masyarakat, termasuk dalam struktur pemerintahan. Pemerintah Turki percaya bahwa Gulenis merupakan acaman bagi keamanan nasional Turki dan mengelompokkan jaringan

Gulenis sebagai jaringan teroris yang disebut Fethullahist/ Gulenist Terrorist

Organization (FETO).32

30 Barry Buzan, People, State and Fear: An Agenda for International Security Studies in the Post-Cold War Era, (London: Harvester Wheatsheaf Publisher, 1991), 77 31 Lihat halaman 59-61 32 Luis Ramirez, “Why Turkey’s Erdogan Finds Gulen’s Movement so Threatening” VOA. 22 Juli 2016. Diakses melalui https://www.voanews.com/europe/why-turkeys-erdogan-finds- gulens-movement-so-threatening pada 18 Desember 2020

102

Atas dasar keyakinan tersebut, Pemerintah Turki menyatakan komitmennya untuk melawan FETO yang dicap sebagai pengkhianat negara. Pemerintahan Turki menyatakan bahwa pertarungan terhadap FETO adalah masalah kelangsungan hidup dan kehormatan bagi Turki.33 Dari data tersebut dapat dilihat bahwa negara

Turki dikategorikan sebagai referent object atau objek utama yang dipandang terancam, sedangkan Pemerintah Turki yang didominasi oleh AKP dikategorikan sebagai securitizing actor yang merupakan aktor yang mengupayakan kondisi aman dari adanya ancaman.

Untuk meyakinkan masyarakat terkait status FETO sebagai ancaman terhadap keamanan nasional, Pemerintahan Turki melakukan speech acts dengan melakukan berbagai penyampaian informasi melalui berbagai media nasional di

Turki. 34 Salah satu media yang secara konsisten menyampaikan perspektif pemerintah terkait FETO adalah TRT World.35

Melalui speech acts tersebut mayoritas masyarakat Turki pada akhirnya mempercayai narasi yang menyatakan bahwa upaya kudeta 2016 dilakukan oleh

FETO sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumya36. Dominasi narasi tersebut turut mengantarkan pemerintah Turki untuk melakukan pembersihan terhadap anggota atau pendukung FETO yang masih berada dalam lembaga publik

33 Zehra Nur Duz, “Turkey’s Fight Against FETO matter of Survival, Honor,” Analodu Agency. 5 November 2019. Diakses melalui https://www.aa.com.tr/en/politics/-turkeys-fight- against-feto-matter-of-survival-honor/1636462 pada 5 Januari 2021 34 Presidency of the Republic of Turkey. “FETO poses a threat not only for Turkey but also all the countries it is present in,” 5 Agustus 2016. Diakses melalui https://www.tccb.gov.tr/en/news/542/49913/feto-poses-a-threat-not-only-for-turkey-but-also-all- the-countries-it-is-present-in pada 5 Januari 2021 35 TRT World, FETO is a threat to all countries: Erdogan. Diakses melalui https://www.trtworld.com/turkey/erdogan-says-feto-threat-to-all-countries-where-it-exists-158715 pada 6 Januari 2021 36 Lihat halaman 61-64

103

ataupun pemerintahan. Operasi FETO untuk memasuki lembaga publik dan pemerintahan dipercayai muncul sejak tahun 1970-an dan diduga kuat berupaya untuk membangun kekuasaan di dalam negara sehingga pemerintah Turki meyakini bahwa jaringan FETO masih banyak tersebar di Turki. Oleh karena itu, pemerintahan Turki memutuskan untuk melakukan simplifikasi birokrasi dalam pengawasan terhadap pemerintah daerah untuk memaksimalkan upaya pemberantasan jaringan FETO yang diyakini mengancam keamanan Turki.37

Ibrahim Kalin selaku juru bicara kepresidenan Turki melalui wawancara dengan TRT World pada 15 Juli 2020 menggambarkan bagaimana organisasi teroris FETO mengorganisir dan bersembunyi dalam institusi negara dan publik selama 40 terakhir. Kalin menyatakan bahwa walaupun ada contoh organisasi serupa seperti gerakan bawah tanah rahasia di Eropa, besarnya gerakan dan pencapaian FETO tidak akan bisa tertandingi. Kalin menegaskan keprihatinnya terhadap ketidaksadaran berbagai negara Eropa terhadap beratnya upaya Turki dalam membersihkan jaringan FETO yang masih ada di Turki.38

Pemerintah Turki menyayangkan pendapat aktor politik dan Jurnalis Eropa yang menyatakan bahwa kebijakan Presiden Erdogan menggunakan narasi upaya kudeta 15 Juli serta kebijakan pembersihan setelahnya sebagai upaya yang ditujukan untuk melawan oposisi politik. Pemerintah Turki menyatakan bahwa

37 Mehmet Zahid Sobaci. “How Gulenist infiltrated Turkey’s bureaucracy”, TRT Worlds (18 Juli 2017). Diakses melalui https://www.trtworld.com/opinion/how-gulenists-infiltrated- turkey-s-bureaucracy-8886, pada 23 November 2020 38 Burak Dag. “West fails to grasp gravity of July 15 coup attempt”, Analodu Agency (15 Juli 2020). Diaskes melalui https://www.aa.com.tr/en/july-15-coup-bid/west-fails-to-grasp-gravity- of-july-15-coup-attempt/1910763, pada 28 November 2020

104

pendapat tersebut adalah tuduhan tidak berdasar. 39 Ibrahim Kalin menyatakan kekecewaan pemerintah Turki terhadap kritik beberapa negara di Eropa yang justru tidak mendukung kebijakan Turki dalam menindaklanjuti gerakan teroris FETO40

Dari penjelasan tersebut, dapat dilihat bahwa sikap Turki dalam membersihkan jaringan FETO pasca-kudeta 2016 merupakan tindakan yang dilakukan setelah menganalisis keberadaan FETO sebagai ancaman bagi keamanan

Turki. Simplifikasi birokrasi melalui penerapan sistem presidensial baru pada 2017 merupakan bentuk degree of securitization yang dilakukan Turki untuk memperoleh keamanan dari ancaman yang ada.

Walaupun demikian, upaya pemerintah Turki dalam mengatasi dampak upaya kudeta tersebut menjadi salah satu momentum di mana hubungan Turki dan

UE semakin memburuk. Hal tersebut disebabkan oleh dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan Turki dalam melakukan pembersihan selama status state of emergency terhadap pihak-pihak yang dianggap terlibat dalam upaya kudeta. Upaya

Turki tersebut UE nilai sebagai pembentukan tren buruk yang menyalahi norma UE karena pemerintah Turki melakukan berbagai cara untuk menangkap pihak-pihak yang diduga terlibat mulai dari pemberhentian kerja sepihak untuk pekerja sipil, penangkapan paksa, hingga memberlakukan peradilan yang dinilai tidak sesuai dengan norma HAM menurut The European Court of Human Rights (ECHR). 41

39 Talha Kose. “Impact of July 15 on Turkey’s Foreign Policy”, Daily Sabah (20 Juli 2020). Diakses melalui https://www.dailysabah.com/opinion/columns/impact-of-july-15-on-turkeys- foreign-policy, pada 28 November 2020 40 Burak Dag. “West fails to grasp gravity of July 15 coup attempt”, Analodu Agency (15 Juli 2020). Diaskes melalui https://www.aa.com.tr/en/july-15-coup-bid/west-fails-to-grasp-gravity- of-july-15-coup-attempt/1910763, pada 28 November 2020 41 Hakki Tas, “The 15 July Abortive Coup and Post-Truth Politics in Turkey”, Southeast European and Black Sea Studies 18, no. 1 (2018): 14. Diakses melalui

105

Selain itu pemberlakuan sistem presidensial baru yang dinilai tidak memenuhi standar check and balances juga menjadi hal penting yang menjadi perhatian CoE sebagai aspek yang harus Turki evaluasi. 42

Pada 25 April 2017, komite CoE yang disebut dengan Parliamentary

Assembly of the Council of Europe (PACE) memutuskan untuk membuka kembali prosedur pemantauan atau monitoring procedure terhadap Turki pasca-penerapan referendum konstitusi 2017 yang dinilai menimbulkan kekhawatiran serius terhadap HAM, demokrasi, dan supremasi hukum di Turki. Kekhawatiran tersebut muncul dari status state of emergency yang tidak kunjung dicabut serta penerapan upaya pembersihan pasca-kudeta 2016 yang dinilai menyalahi nilai-nilai HAM, demokrasi, dan supremasi hukum. 43 Pemantauan tersebut ditujukan sebagai instrumen formal yang diberlakukan untuk memberikan sanksi sosial kepada negara anggotanya dengan cara mengungkap kesalahan negara tersebut secara terbuka. 44

Melalui RAG keempat dan kelima tahun 2018, Turki menyatakan bahwa salah satu target utama dalam pelaksanaan reformasinya adalah untuk mencapai penutupan pemantauan yang dilakukan oleh PACE sejak 2017. 45 Berdasarkan

https://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1080/14683857.2018.1452374?needAccess=true&, pada 14 Oktober 2020 42 BBC News (16 April 2017), Why Did Turkey Hold a Referendum?Diakses melalui https://www.bbc.com/news/world-europe-38883556 pada 21 Oktober 2020 43 “PACE reopens monitoring procedure in respect of Turkey Parliament Assembly,” Council of Europe (25 April 2017). Diakses melalui https://pace.coe.int/en/news/6603 pada 13 November 2020 44 Digdem Solyatin dan Colella, “(Un)Democratic Change and Use of Social Sanctions for Domestic Politics; Council of Europe Monitoring in Turkey. International Political Science Review. Diakses melalui https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0192512120927120 pada 15 November 2020 45 “Fourth Meeting of the Reform Action Group Press Statement Ankara, 29 August 2018,” Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey (29 Agustus 2018). Diakses melalui http://www.mfa.gov.tr/reform-eylem-grubu-dorduncu-toplantisi-basin-bildirisi_en.en.mfa, 12 November 2020; “Fifth Meeting of the Reform Action Group Press Statement Ankara, 11

106

target tersebut, dapat dilihat bahwa Turki berupaya untuk menunjukan pada UE bahwa Turki sedang berupaya untuk memenuhi norma yang diajarkan UE. Hal tersebut dapat disimpulkan karena penutupan pemantauan mengartikan bahwa lembaga-lembaga demokrasi di Turki telah berfungsi dengan sebagaimana mestinya.46

Walaupun demikian, Turki sampai hari ini belum memenuhi standar yang ditetapkan oleh PACE untuk mencapai penutupan pemantauan. Dalam laporan pemantauan PACE pada 24 Januari 2019, dinyatakan bahwa oposisi pemerintah

Turki berada dalam situasi yang memprihatinkan karena mendapat ketidakadilan dalam banyak aspek seperti pembatasan hak-hak politis serta banyaknya dugaan terorisme dengan dasar yang tidak memadai hingga ketidakadilan dalam proses peradilan.47

Dalam merespon laporan tersebut, Akif Çağatay Kilic yang merupakan anggota Komite PACE asal Turki menyatakan bahwa laporan tersebut tidak adil dan tidak berdasar karena seluruh penangkapan yang Turki lakukan adalah sah dan sesuai dengan hukum yang berlaku. Ia menegaskan kembali bahwa seluruh upaya penangkapan tersebut tidak lain ditujukan untuk melawan terorisme di Turki yang merupakan kewajiban pemerintah Turki untuk melindungi negaranya dari ancaman

December 2018” Directorate of EU Affairs, Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey (11 Desember 2018). Diakses melalui https://www.ab.gov.tr/51470_en.html, 12 November 2020

46 “Committee on the Honouring of Obligations and Commitments by Member States of the Council of Europe,” Parliamentary Assembly, Council of Europe. Diakses melalui https://pace.coe.int/en/pages/committee-4/AS-MON pada 20 November 2020 47 “Resolution: The Worsening situation of opposition politician in Turkey,” Parliamentary Assembly, Council of Europe. (23 Januari 2019). Diaskes melalui https://pace.coe.int/pdf/ef36ad90342736e71d5c882030c1ca7ed85ed5173326667a8259ffe25682ae 848428feba12/resolution%202260.pdf pada 20 November 2020

107

terorisme. 48 Dari perdebatan tersebut, dapat terlihat bahwa perpektif normatif antara Turki dan CoE terkait terorisme saling berlawanan satu sama lain.

Perbedaan perspektif antara Turki dan CoE tersebut terus berlanjut sebagaimana laporan pemantauan lanjutan PACE yang dipublikasikan pada 19

Oktober 2020. Laporan tersebut menyatakan bahwa tindakan pemerintahan Turki kepada oposisinya semakin memburuk, bukan hanya oposisi dari pihak pemerintah, namun juga oposisi yang muncul dari publik termasuk jurnalis dan aktivis masyarakat sipil. Laporan tersebut juga menegaskan agar Turki memperkuat reformasi peradilan dan rencana aksi yang telah disusun.49

Semenjak penerapan sistem presidensial pasca-referendum konstitusi 2017,

CoE belum melihat adanya perubahan dalam kerangka hukum yang masih cenderung tersentralisasi pada pemerintahan pusat dan semakin mempersempit otonomi pemerintahan daerah. salah satunya dalam pengelolaan staf mereka sendiri.

Selain itu, dialog antara pemerintah pusat daerah juga cenderung minim dan tidak memuaskan karena terlalu banyak pengawasan administratif dari pemerintahan pusat. Berbagai kekurangan tersebut mengarah pada pemerintahan Turki yang dinilai tidak menerapkan check and balances sehingga cenderung tidak demokratis50

48 “Addendum: The Worsening situation of opposition politician in Turkey”Parliamentary Assembly, Council of Europe (23 Januari 2019). Diaskes melalui https://pace.coe.int/pdf/b87b5884bd63900f7f9461f93d74eec12d2731073326667a8259ffe25682ae 848428feba12/doc.%2014812%20add..pdf 20 November 2020 49 “New Crackdown on Political Opposition and Civil Dissent in Turkey; Urgent Need to Safeguard Council of Europe Standards,” Parliamentary Assembly, Council of Europe (19 Oktober 2020).”. Diaskes melalui https://pace.coe.int/pdf/df056ab5a23f0753ba76e2cafa95617e04603a023326667a8259ffe25682ae8 48428feba12/doc.%2015171.pdf 21 November 2020 50 “Monitoring of the European Charter od Local Self-Government in Turkey” Council of Europe Portal (12 Februari 2020). Diakses melalui

108

CoE juga mengkritik pemahaman Turki terhadap definisi ‘terorisme’ dalam

Undang-Undang Anti Teror Turki yang dinilai terlalu luas. Perluasan definisi terorisme tersebut memunculkan banyak kasus yang tampaknya tidak benar-benar terkait dengan tindakan teroris yang sesungguhnya, bahkan terkadang cenderung sepele dan berkaitan dengan kebebasan politik. Dugaan tersebut semakin kuat ketika terlihat orang-orang yang mendapat tuduhan terorisme tersebut didominasi oleh lawan politik pemerintah. Hal tersebut berujung pada dugaan bahwa peradilan

Turki tidak memenuhi standar independensi peradilan yang diajarkan CoE dan UE.

Selain itu, UE masih menemukan berbagai kekurangan dalam penyusunan dan implementasi dokumen JRS. UE menyatakan bahwa kekurangan dan kemunduran tersebut masih perlu diperhatikan dan diperbaiki, khususnya terkait independensi peradilan yang merupakan substansi utama dalam aspek supremasi hukum.51 Kekurangan dalam penyusunan dokumen tersebut juga dijelaskan dalam publikasi yang disusun oleh International Commission of Jurist pada November

2019 di mana publikasi tersebut juga didanai oleh UE.52

Dalam publikasi tersebut, disebutkan beberapa kekurangan yang tidak diperhatikan dalam penyusunan JRS, khususnya dalam aspek independensi peradilan. Kekurangan pertama berada pada pemilihan anggota Council of Judges and Prosecutors (CJP) atau Dewan Hakim dan Jaksa yang tidak dipilih oleh hakim

https://search.coe.int/congress/Pages/result_details.aspx?ObjectId=09000016809ed449 21 November 2020 51 “Turkey Report 2020,” European Commission, 5. Diakses melalui https://ec.europa.eu/neighbourhood-enlargement/sites/near/files/turkey_report_2020.pdf pada 21 November 2020 52 “Turkey’s Judicial Reform Strategy and Judicial Independence” International Commission of Jurist (November 2019). Diakses melalui https://www.icj.org/wp- content/uploads/2019/11/Turkey-Justice-Reform-Strat-Advocacy-Analysis-brief-2019-ENG.pdf pada 21 November 2020

109

atau jaksa penuntut umum dan justru dipilih oleh Presiden Turki dan badan pemerintahan lainnya. Hal tersebut bertolak belakang dengan hukum internasional dan standar independensi peradilan di mana seharusnya pembentukan badan peradilan harus terlepas dari kekuatan eksekutif dan legislatif sebagaimana juga tercatat dalam European Charter on the Statute of Judge 1998 pasar 1 ayat 3.53

Kemudian kekurangan kedua berada pada implementasi the criminal judgeships of peace atau pengadilan pidana perdamaian. Komisi Venisia yang merupakan Komisi Council of Europe for Democracy through Law menyatakan bahwa keputusan-keputusan hakim dalam peradilan criminal yang diterapkan Turki tidak memberikan prospek yang cukup dalam pemeriksaan banding dan cenderung memihak. Hal tersebut mengantarkan kesimpulan bahwa sistem hakim pengadilan pidana Turki tidak dapat memastikan independensi yang seharusnya.54

Kekurangan terakhir yang dibahas berfokus pada pengaruh lembaga eksekutif negara dalam peradilan yang tinggi, khususnya selama masa state of emergency pasca-upaya kudeta 15 Juli 2016. Walaupun masa state of emergency telah berakhir, pengaruh eksekutif, khususnya dalam pemberhentian jaksa atau hakim masih terus berlanjut karena penerapan UU No. 7145 pada Juli 2018 yang memperpanjang

53 “Turkey’s Judicial Reform Strategy and Judicial Independence” International Commission of Jurist (November 2019):3. Diakses melalui https://www.icj.org/wp- content/uploads/2019/11/Turkey-Justice-Reform-Strat-Advocacy-Analysis-brief-2019-ENG.pdf pada 21 November 2020 54 “Turkey’s Judicial Reform Strategy and Judicial Independence” International Commission of Jurist (November 2019):6. Diakses melalui https://www.icj.org/wp- content/uploads/2019/11/Turkey-Justice-Reform-Strat-Advocacy-Analysis-brief-2019-ENG.pdf pada 21 November 2020

110

penerapan undang-undang yang diberlakukan pada masa state of emergency selama tiga tahun.55

Dari subbab ini, dapat dilihat bahwa Turki tidak sepenuhnya mengikuti norma internasional yang UE ajarkan karena masih ada beberapa aspek penting yang menjadi perdebatan di antara UE dan Turki di mana kedua pihak memiliki aspek nomatif yang bertentangan. Dari 3 aspek normatif domestik yang menurut

Peter Katzenstein dapat memberi pengaruh besar dalam pembentukan kebijakan negara, norma keamanan internal menjadi norma yang mempengaruhi kebijakan

Turki yang berlawanan dengan norma UE.

Berbagai kritik yang disampaikan UE secara umum muncul dari bentuk kebijakan Turki setelah kudeta 2016 serta penerapan sistem presidensial pasca- referendum Turki 2017 yang diduga kuat membawa berbagai kemunduran dalam aspek HAM, Hak-Hak Fundamental, Demokrasi, dan Supremasi Hukum. Dalam merespon kritik tersebut, Turki meyatakan bahwa sikap tersebut ditujukan untuk merespon ancaman yang muncul pasca-kudeta. 56

Turki melihat bahwa sistem presidensial tahun 2017 yang memiliki simplifikasi pengambilan keputusan justru akan mempermudah upaya Turki dalam menjaga keamanan nasional Turki dari serangan teroris pasca-upaya kudeta 15 Juli

2016. Turki meyakini bahwa perubahan sistem birokrasi di Turki merupakan

55 “Turkey’s Judicial Reform Strategy and Judicial Independence” International Commission of Jurist (November 2019):9. Diakses melalui https://www.icj.org/wp- content/uploads/2019/11/Turkey-Justice-Reform-Strat-Advocacy-Analysis-brief-2019-ENG.pdf pada 21 November 2020 56 Saim Kurubas. “What does the presidential system bring to Turkey?”, TRT World. (24 Mei 2018). Diakses melalui https://www.trtworld.com/turkey/what-does-the-presidential-system- bring-to-turkey--17682, pada 23 November 2020

111

pilihan tepat untuk melawan Gulenis yang dipercaya masih bersembunyi dalam sistem pemerintahan bahkan dalam lembaga publik. 57

Dari penjelasan diatas, dapat dilihat bagaimana aspek normatif internasional yang diajarkan UE dan aspek normatif domestik yang diyakini Turki saling berlawanan satu sama lain, khususnya dalam memahami terorisme yang ada di

Turki. Sebagaimana yang diasumsikan oleh Peter Katzenstein, ketika aspek normatif internasional dan domestik berlawanan, aspek normatif domestik mampu memberikan pengaruh lebih kuat terhadap pemutusan kebijakan. Melalui penggunaan Teori Sekuritisasi, skripsi ini melihat bahwa, konsistensi Turki dalam melakukan upaya pembersihan FETO yang bertentangan dengan norma UE merupakan gambaran bagaimana aspek normatif domestik Turki mempengaruhi kebijakannya dalam mengupayakan kembali penghidupan negosiasi aksesi ke UE.

4.3. Upaya Turki dalam Memperbaiki Hubungannya dengan Negara Anggota UE Sesuai dengan Aspek Normatif UE

Selain kemunduran dalam aspek HAM, Hak-hak Fundamental, Demokrasi, dan Supremasi Hukum, alasan pembekuan negosiasi aksesi Turki ke UE adalah buruknya hubungan Turki dengan negara-negara tetangga yang merupakan negara anggota UE, khususnya Siprus dan Yunani. Dalam Council Conclusion on

Enlargement and Stabilisation and Association Process yang diterbitkan pada 28

Juni 2018 dinyatakan bahwa:

57 Saim Kurubas. “What does the presidential system bring to Turkey?”, TRT World. (24 Mei 2018). Diakses melalui https://www.trtworld.com/turkey/what-does-the-presidential-system- bring-to-turkey--17682, pada 23 November 2020

112

The Council continues to expect Turkey to unequivocally commit to good neighbourly relations, international agreements and to the peaceful settlement of disputes, having recourse, if necessary, to the International Court of Justice. 58

Dari pernyataan tersebut, UE menegaskan harapannya agar Turki dapat menjaga hubungan bertetangga yang baik serta memperhatikan unsur-unsur perjanjian internasional dan mengedepankan upaya penyelesaian masalah secara damai. Dengan mempertimbangkan norma tersebut, Turki mulai memperbaiki hubungannya dengan Belanda dan Jerman setelah status state of emergency berakhir dan mendapat sambutan baik dari UE.

Ketegangan hubungan Turki dengan Belanda pada awalnya disebabkan oleh permasalahan yang muncul pada pertengahan Maret 2017 di mana Belanda melarang diplomat Turki memasuki Belanda untuk melakukan kampanye pelaksanaan referendum konstitusi Turki yang akan dilakukan pada tahun itu.

Dalam merespon tindakan Belanda tersebut, Recep Tayyip Erdogan memberikan pernyataan yang menyinggung pemerintah Belanda dengan mengungkit Naziisme dan menyebut Belanda sebagai “Banana Country”. Peristiwa tersebut membawa hubungan Turki dan Belanda dalam ketegangan diplomatik.59

Kemudian pada Juli 2018 setelah Turki meninggalkan status daruratnya,

Turki dan Belanda memutuskan untuk menormalkan hubungan bilateral di antara keduanya setelah pertemuan Mevlut Cavusoglu dan Stef Blok di Brussels di sela-

58 “Enlargement and Stabilisation and Association Process; Council Conclusion,” European Council (26 Juni 2018). Diakses melalui https://www.consilium.europa.eu/media/35863/st10555- en18.pdf, 12 Juli 2020 59 Susannah Cullinane and Joe Sterling (2017, 15 Maret). “Why are Turkey and the Netherlands clashing”, CNN World. Diakses melalui https://edition.cnn.com/2017/03/13/europe/turkish-dutch-tensions-explained/index.html, pada 19 Juli 2020

113

sela KTT NATO. Keduanya menyesalkan peristiwa yang terjadi pada Maret 2017.

Keduanya sepakat untuk secara bilateral menempatkan kembali duta besar masing- masing. Selain itu, Turki juga mengundang pihak belanda untuk mengunjungi Turki dalam rangka menentukan langkah selanjutnya untuk kembali dialog dan kepercayaan satu sama lain.60

Selain dengan Belanda, tahun 2017 adalah masa di mana hubungan Turki dan

Jerman berada pada titik paling rendah karena tingginya ketidakpercayaan dan konflik yang banyak muncul setelah percobaan kudeta di Turki pada 2016. Salah satu masalah yang muncul di antara keduanya adalah ketika salah satu jurnalis

Jerman, Deniz Yucel yang ditangkap oleh otoritas Turki karena dinilai sebagai salah satu teroris dan mata-mata. Ia ditangkap dan ditahan selama 10 bulan walaupun belum memiliki dakwaan yang pasti. Intensitas permasalahan Turki-

Jerman semakin memburuk ketika referendum konstitusional Turki dijalankan pada

April 2017. Pada akhir Juli 2017, Menteri Luar Negeri Jerman, Sigmar Gabriel memberikan peringatan bagi Turki terkait jaminan kredit ekspor dan bantuan pra- aksesi UE yang dinilai merupakan salah satu peringatan sanksi yang serius. 61

Setelah pemilihan nasional Jerman pada akhir September 2017, Kanselir

Jerman, Gerhard Schroder bertemu dengan Presiden Erdogan di Turki yang dinilai sebagai sebuah inisiasi untuk meredakan ketegangan di antara keduanya. 62 Pada

60 Meltem Bulur and Merve Aydogan (2018, 20 Juli). “Turkey, Netherlands to normalize relations”, Anadolu Agency. Diakses melalui https://www.aa.com.tr/en/europe/turkey-netherlands- to-normalize-relations-/1209487, 19 Juli 2020 61 “Germany and Turkey in 2017; a rollercoaster relationship,” Deutsche Welle. Diakses melalui https://www.dw.com/en/germany-and-turkey-in-2017-a-rollercoaster-relationship/a- 41897041, 19 Juli 2020 62 “Germany and Turkey in 2017; a rollercoaster relationship,” Deutsche Welle. Diakses melalui https://www.dw.com/en/germany-and-turkey-in-2017-a-rollercoaster-relationship/a- 41897041, 19 Juli 2020

114

Oktober 2018, kunjungan tiga hari yang dilakukan Presiden Erdogan ke Jerman menjadi langkah awal yang sangat penting dalam upaya normalisasi hubungan di antara keduanya. Pada pertemuan tersebut, Presiden Erdogan dan Kanselir Angela

Merkel mendiskusikan banyak hal, mulai dari refleksi terhadap permasalahan sebelumnya, membahas isu-isu terkini, dan kemungkinan langkah yang diambil kedepannya. 63 Semenjak itu, hubungan Turki dan Jerman cenderung membaik, setidaknya sampai pertengahan 2019 sebelum Turki mengintensifkan aktivitas pengamatan dan pengeboran di wilayah Mediterania Timur.

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat dilihat bahwa upaya Turki dalam memperbaiki hubungannya dengan Belanda dan Jerman menunjukkan kesesuaian aspek normatif antara Turki dan UE dalam melihat pentingnya hubungan baik antara Turki dengan negara-negara anggota lainnya. Walaupun demikian, Uni

Eropa masih melihat kurangnya intensi Turki dalam menjalin hubungan baik dengan negara anggota UE lainnya, khusunya dengan Siprus dan Yunani. Hal tersebut akan dijelaskan lebih lanjut pada subbab selanjutnya.

4.4. Dominasi Aspek Normatif Turki dalam Pembentukan Upaya Perbaikan Hubungannya dengan Negara Anggota UE yang Bertentangan dengan Aspek Normatif UE

Walaupun Turki berupaya untuk menormalisasi hubungannya dengan

Belanda dan Jerman, berbeda halnya dengan hubungan Turki dengan Siprus dan

Yunani. Hubungan Turki dengan Siprus yang sejak awal buruk tidak kunjung memperlihatkan perbaikan. Pada bab sebelumnya, dijelaskan bagaimana buruknya

63 Burhanettin Duran, “Normalization and Merkel’s Uphill Battle”. Daily Sabah (1 Oktober 2018). Diakses melalui https://www.setav.org/en/normalization-and-merkels-uphill-battle/, 19 Juli 2020

115

hubungan Turki dengan Siprus menjadi salah satu alasan utama pembekuan negosiasi aksesi. Pasca-pembekuan tersebut, UE terus-menerus menegaskan bahwa aktivitas Turki diwilayah Laut Mediterania Timur dan Laut Aegea merupakan aktivitas yang melanggar perjanjian dan hukum internasional serta melukai kedaulatan Siprus dan Yunani. Walaupun demikian, Turki menyatakan bahwa UE keliru dan Turki terus melanjutkan aktivitasnya di wilayah tersebut.

Oleh karena itu, subbab ini akan menjelaskan lebih detail terkait kelanjutan sengketa yang muncul di antara Turki, Siprus (GCASC dan TRNC), dan Yunani mengenai wilayah Laut Mediterania Timur dan Laut Aegea pasca-pembekuan negosiasi aksesi 2018 untuk memperlihatkan perbedaan perspektif normatif yang muncul antara Turki dan UE serta dampaknya pada upaya Turki dalam menghidupkan kembali negosiasi aksesinya.

‘Fertile Crescent’ atau ‘Bulan Sabit Subur’ merupakan sebutan bagi wilayah

Mediterania Timur karena kaya akan sumber energi bumi. Keadaan perekonomian yang saat ini banyak bergantuung pada energi serta mulai munculnya kelangkaan energi membuat Kawasan ini tidak terlepas dari perhatian internasional, khususnya negara-negara yang berada disekitar Kawasan tersebut.64

Kekayaan energi tersebut dapat dilihat melalui survei Geologi AS tahun 2010 yang mengestimasikan jumlah energi minyak bumi yang belum ditemukan sebanyak 1.763 Juta Barel dengan kisaran dari 491 hingga 4.266 Juta Barell, kemudian untuk energi gas yang belum ditemukan sekitar 223.242 miliar kubik

64 Sahin, A. E (2019) Delimitation of the Maritime Zones in the Eastern Mediterranean Sea: The Case of Turkey. Dissertation of School of Law of University of Essex: 28.

116

dengan kisaran 92.614 sampai 425.935 miliar kubik, serta untuk energi gas alam cair sekitar 5.974 juta barel cairan gas alam dengan kisaran 2.451 sampai 11.464 juta barel cairan gas alam. Selain itu, teluk Mediterania Timur juga diperkirakan berpotensi memiliki produksi gas hidrat sekitar 98.160 trilion meter kubik dan merupakan jumlah tertinggi jika dibandingkan dengan energi yang ada di

Mediterania Barat.65

Melihat besarnya jumlah energi yang ada, tidak mengherankan jika hal tersebut menimbulkan berbagai sengketa terkait penentuan Zona Ekonomi Ekslusif

(ZEE) yang melibatkan negara-negara di pesisir Mediterania Timur yaitu Turki,

Suriah, Libanon, Israel, Mesir, Yunani, dan Siprus (GCASC dan TRNC).66

Gambar 4.1 Peta Sengketa di Kawasan Laut Mediterania

Sumber: BBC News (25 Agustus 2020) Turkey-Greece tension escalate over Turkish Med drilling plans. Diakses melalui https://www.bbc.com/news/world-europe-53497741

65 The United States Geological Survey (Mei 2010). Assesment of Undiscovered Oil and Gas Resources of the Nile Delta Basin Province, Eastern Mediterranean. Diakses melalui https://pubs.usgs.gov/fs/2010/3027/pdf/FS10-3027.pdf pada 23 November 2020 66 Ali Erdem Sahin, Delimitation of the Maritime Zones in the Eastern Mediterranean Sea: The Case of Turkey, (Disertasi, School of Law of University of Essex, 2019), 28

117

Sengketa kelautan yang terjadi antara Turki, Yunani, dan Siprus pada dasarnya dimulai dari perbedaan perpektif Turki dan pihak lainnya terhadap kedaulatan TRNC yang membuat pemahaman atas kedua pihak terkait perbatasan

ZEE juga turut berbeda. Perbedaan tersebut membuat penerapan hukum internasional yang ditafsirkan Turki dengan aktor-aktor lainnya berbeda. Status

TRNC yang belum diakui secara internasional membatasi kapabilitas TRNC dalam mempertahankan haknya dalam lingkup internasional sehingga Turki memainkan peran penting dalam mewakili TRNC secara internasional.67

Sebagai satu-satunya negara yang mengakui kedaulatan TRNC, Turki memiliki hubungan yang begitu kuat dengan TRNC. Keterikatan antara Turki dan

TRNC dalam aspek sejarah, budaya, agama, hingga bahasa yang kuat memperlihatkan eratnya hubugan amity antraa Turki dan TRNC. Hubungan tersebut menjadikan keduanya menjadi sekutu kuat yang melindungi hak dan kepentingan satu sama lain disetiap bidang. Banyak protokol telah ditandatangani antara TRNC dan Turki dalam mengatur hubungan perdagangan dan ekonomi.

Turki berperan penting dalam meringankan kesulitan TRNC yang berkaitan dengan pembatasan kerjasama yang terbatas karena pengakuan kedaulatan. Hal tersebut yang membuat Turki menjadi aktor penting dalam merepresentasikan TRNC dalam ranah internasional, termasuk dalam sengketa yang terjadi antara TRNC dan

67Ali Erdem Sahin, Delimitation of the Maritime Zones in the Eastern Mediterranean Sea: The Case of Turkey, (Disertasi, School of Law of University of Essex, 2019), 38

118

GCASC di mana Turki menjadi pihak yang sangat vokal dalam membela hak-hak

TRNC.68

Gambar 4.2 Pendapat Publik Turki terhadap TRNC

Sumber: Center for Turkish Studies (2019). Public Perceptions on Turkish Foreign Policy

Keputusan Turki untuk mendukung TRNC dalam berbagai aspek juga didukung oleh publik Turki. Menurut survei Center for Turkish Studies (CTRS) yang ditujukan kepada publik Turki dari tahun 2013-2018, 53,3% responden menggolongkan TRNC sebagai negara kerabat yang sangat diperlukan oleh Turki.69

Pendapat publik tersebut menunjukkan bagaimana perlindungan Turki terhadap

TRNC juga menjadi hal penting bagi publik.

Pada November 2020, Presiden Erdogan menyatakan kembali hubungan

Turki dan TRNC dengan menegaskan bahwa pencapaian stabilitas dan keamanan

68“Relations with Turkey,” Deputy Prime Ministry and Ministry of Foreign Affairs of Turkish Republic of Northern Cyprus. Diakses melalui https://mfa.gov.ct.tr/foreign- policy/relations-with-turkey/ pada 24 November 2020 69 “Public Perceptions on Turkish Foreign Policy,” Center for Turkish Studies (2019). DOI: 10.13140/RG.2.2.14535.24480

119

bagi masyarakat TRNC merupakan salah satu prioritas Turki di kawasan. 70

Pernyataan tersebut sesuai dengan level analisis kemanan kompleks kawasan menurut Barry Buzan yang memperlihatkan bagaimana pola hubungan amity antar negara akan menghasilkan sifat ketergatungan sehingga stabilitas satu negara akan berpengaruh bagi negara lainnya.

Sementara itu, hubungan Turki dan GCASC justru semakin memburuk dan semakin memperlihatkan pola hubungan enmity setelah aktivitas pengeboran yang

Turki lakukan sejak Februari 2018 sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya.71 Tidak hanya dengan GCASC, pola hubungan enmity antara Turki dan Yunani juga semakin memburuk setelah Nota Kesepemahaman atau

Memorandum of Understanding (MoU) antara Turki dan Libya pada November

2019 terkait wilayah pengeboran minyak dan gas di dekat pulau Kreta diterima oleh

PBB. MoU tersebut ditolak tegas oleh Yunani dan negara sekitaran Mediterania lainnya karena dinilai mengabaikan posisi Kreta yang merupakan bagian dari

Yunani sehingga dinilai menyalahi zona laut Yunani. 72 Dalam melihat permasalahan tersebut, UE menyatakan dukungannya terhadap Yunani sebagai

70 Presidency of the Republic of Turkey, “No equation in the Eastern Mediterranean in which Turkey and the TRNC are not fairly included can produce peace and stability”. Diakses melalui https://www.tccb.gov.tr/en/news/542/122827/-no-equation-in-the-eastern-mediterranean- in-which-turkey-and-the-trnc-are-not-fairly-included-can-produce-peace-and-stability- pada 10 Januari 2021 71 Lihat halaman 79-84 72 Panagiotis Kouparanis. “Turkey’s Maratime Claims in the Mediterranean Sea Raise Thorny Legal Question” Deutsche Welle (21 Juli 2020). Diakses melalui https://www.dw.com/en/turkeys-maritime-claims-in-the-mediterranean-sea-raise-thorny-legal- questions/a-54256300 pada 25 November 2020

120

negara anggotanya serta kembali menyinggung pelanggaran hukum laut yang Turki lakukan di wilayah Siprus.73

Pada 20 April 2020, GCASC menyatakan bahwa Turki kembali melakukan pengeboran gas diperairan yang termasuk ZEE RoC. Pemerintah GCASC menyatkan bahwa pengeboran tersebut adalah yang keenam kalinya dilakukan

Turki dalam kurun waktu hampir satu tahun sejak Juli 2019. Sebelumnya pada

Februari 2020, UE bahkan memberlakukan pembekuan aset dan larangan perjalanan ke wilayah UE bagi dua pejabat tinggi dari Perusahaan Perminyakan

Turki milik negara atas respon ekplorasi Turki yang tidak kunjung berhenti.74

Tidak hanya itu, UE kembali mengadopsi sebuah pernyataan pada 15 Mei

2020 terkait situasi di Kawasan Mediterania Timur dan kembali menuntut Turki untuk menghentikan aktivitasnya di ZEE RoC serta menegaskan dukungannya dan solidaritasnya kepada Yunani dan RoC. 75 Meskipun demikian, Turki terus melanjutnya operasinya. Pada 10 Agustus 2020, Yunani menyatakan bahwa Turki telah mengancam perdamaian di Mediterania Timur setelah Turki melanjutkan pencarian sumber minyak bumi dan gas di sekitar pulau Kastellorizo yang merupakan bagian dari Yunani.76

73 Nektaria Stamouli, “Turkey’s Mediterranean Claims Lead to EU Spat” Politico (12 Desember 2019). Diakses melalui https://www.politico.eu/article/turkey-mediterranean-sea- claims-lead-eu-spat/ pada 25 November 2020 74 “Cyprus: Turkey’s latest gas drilling proof of ‘expansionism’,” Ekathimerini (21 April 2020) Diakses melalui https://www.ekathimerini.com/251863/article/ekathimerini/news/cyprus- turkeys-latest-gas-drilling-proof-of-expansionism pada 25 November 2020 75 European Council. (15 Mei 2020) Press Release: Statement of the EU Foreign Ministers on the Situation in the Eastern Mediterranean. Diakses melalui https://www.consilium.europa.eu/en/press/press-releases/2020/05/15/statement-of-the-eu-foreign- ministers-on-the-situation-in-the-eastern-mediterranean/ pada 26 November 2020 76“Greece accuses Turkey of ‘threatening peace’ in the Mediterranean,” Deutsche Welle (10 Agustus 2020). Diakses melalui https://www.dw.com/en/greece-accuses-turkey-of-threatening- peace-in-the-mediterranean/a-54521206 pada 26 November 2020

121

Sementara itu, Turki menyatakan bahwa Yunani justru membuat keributan besar atas pengeboran yang Turki lakukan di ZEEnya sendiri karena posisi pulau

Kastellorizo yang menurut Turki memang berada di ZEENya sesuai dengan MoU yang telah ditandatanganinya dengan Libya. Turki menegaskan bahwa yang menciptakan ketegangan pada wilayah tersebut adalah Yunani dengan klaim maksimalisnya yang ditujukan terkait pulau Kastellorizo.77

Turki sama sekali tidak mengindahkan berbagai teguran dari UE yang menyatakan bahwa aktivitas Turki di Kawasan Mediterania Timur merupakan tindakan ilegal yang menyalahi hukum internasional dan menyatkan bahwa tindakan Turki justru didasari oleh hukum internasional. Perbedaan penafsiran tersebut muncul tentunya dari distingsi pengakuan kedaulatan TRNC yang membuat penafsiran hukum atas ZEE yang ada juga berbeda. Permasalahan di wilayah tersebut semakin berkembang dan memburuk sepanjang tahun 2020.

Menurut Ali Erdem Sahin dalam disertasinya yang berjudul Delimitation of the Maritime Zones in the Eastern Mediterranean Sea: The Case of Turkey, pengakuan kedaulatan TRNC menjadi permasalahan besar dalam penyelesaian sengketa di Mediterania Timur. Walaupun UE dan masyarakat internasional telah mengakui GSASC sebagai RoC yang mencakup keseluruhan wilayah di pulau

Siprus, tidak mungkin untuk membicarakan RoC tanpa TRNC. Dalam konteks tersebut, tindakan Turki dalam mewakili TRNC dalam lingkup internasional serta upayanya untuk melindungi TRNC dapat dianggap wajar, bahkan sikap kooperatif

77 “Key aspects of Turkey’s Mediterranean Mission, explained” TRT World (11 Agustus 2020). Diakses melalui https://www.trtworld.com/magazine/key-aspects-of-turkey-s- mediterranean-mission-explained-38821 pada 26 November 2020

122

Turki dan TRNC yang selalu terbuka terhadap dialog disaat Yunani dan GCASC sempat menolak dialog membuat klaim Turki dan TRNC tidak bisa dianggap lemah.

Singkatnya dapat dikatakan bahwa kebijakan yang Turki upayakan di wilayah

Mediterania Timur memiliki tingkat aplikabilitas yang tinggi jika mencapai konsensus dari seluruh pihak. Oleh karenanya, tidak akan ada peluang bagi delimitasi wilayah jika konsensus terkait kedaulatan TRNC belum tercapai.78

Gambar 4.3 Pendapat Publik Turki terhadap Pengakuan RoC

Sumber: Center for Turkish Studies (2019). Public Perceptions on Turkish Foreign Policy

Gambar 4.4 Pendapat Publik Turki terhadap Penyelesaian Sengketa Pulau Siprus

78 Ali Erdem Sahin, Delimitation of the Maritime Zones in the Eastern Mediterranean Sea: The Case of Turkey, (Disertasi, School of Law of University of Essex, 2019), 50-51

123

Sumber: Center for Turkish Studies (2019). Public Perceptions on Turkish Foreign Policy

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Center for Turksih Studies (CTRS) yang meneliti tentang Public Perceptions on Turkish Foreign Policy pada 4 Juli

2019, kecil kemungkinan Turki akan mengakui RoC sebagai representasi dari keseluruhan pulau Siprus sebagaimana yang telah menjadi salah satu tuntutan UE.

Dalam melihat sengketa pulau Siprus, mayoritas penduduk Turki berpendapat bahwa pengakuan atas RoC akan terjadi hanya jika sengketa tersebut terselesaikan.

Dan bentuk penyelesaian sengketa yang dinilai paling ideal menurut survey tersebut adalah dengan menjadikan bagian utara Siprus atau TRNC menjadi bagian dari

Turki.79 Dukungan publik tersebut turut memperkuat kebijakan pemerintahan Turki untuk terus membela kepentingan TRNC dalam sengketa yang terjadi dengan

GCASC dan Yunani serta dalam melanjutnya aktivitas Turki dikawasan

Mediterania Timur.

Dari subbab ini dapat dilihat bahwa walaupun upaya Turki dalam menormalisasi hubungannya dengan negara anggota UE pada awalnya terlihat baik ketika Turki mulai menormalisasi hubungannya dengan Belanda dan Jerman, buruknya hubungan Turki dengan Siprus dan Yunani membuat upaya Turki tidak dapat secara keseluruhan memenuhi norma yang diajarkan oleh UE. Sejarah panjang yang terjadi antara Turki, Siprus, dan Yunani serta konsistensi Turki dalam mengakui dan kuatnya keberpihakan Turki pada TRNC menjadi norma tersendiri yang telah lama diyakini oleh Turki yang juga didukung oleh publik. Pola amity

79 “Public Perceptions on Turkish Foreign Policy,” Center for Turkish Studies (2019). DOI: 10.13140/RG.2.2.14535.24480

124

yang dijalin Turki dengan TRNC, serta pola enmity yang semakin terlihat antara

Turki dengan GCASC dan Yunani membuat Turki tidak sepenuhnya mengikuti anjuran UE untuk memperbaiki hubungannya dengan GCASC dan Yunani. Oleh karena itu, kebijakan Turki dalam melanjutkan aktivitasnya dikawasan Mediterania

Timur yang berlawanan dengan tuntutan normatif UE tersebut membuktikan kuatnya aspek normatif domestik dalam mempengaruhi kebijakan Turki.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Skripsi ini menganalisis upaya Turki untuk menghidupkan kembali negosiasi aksesi ke Uni Eropa (UE) pasca-pembekuan tahun 2018. Berangkat dari alasan UE yang membekukan negosiasi aksesi karena semakin jauhnya Turki dari norma- norma UE, skripsi ini berfokus untuk menganalisis sejauh mana upaya Turki dalam menghidupkan kembali negosiasi melalui penerapan aspek normatif yang UE ajarkan. Mengingat pentingnya struktur normatif dalam upaya penghidupan kembali negosiasi aksesi Turki ke UE, skripsi ini menggunakan pendekatan

Konstruktivisme untuk melihat sejauh mana struktur normatif berpengaruh pada upaya Turki tersebut.

Berdasarkan Council Conclusion on Enlargement and Stabilisation and

Association Process pada 26 Juni 2018, semakin jauhnya Turki terhadap dua aspek normatif utama UE menyebabkan negosiasi aksesi tersebut dibekukan. Dua aspek normatif tersebut antara lain; (1) HAM, hak-hak fundamental, demokrasi, dan supremasi hukum, serta (2) hubungan Turki dengan negara-negara anggota UE.

Dalam dokumen tersebut, ditegaskan bahwa UE mengharapkan kepatuhan Turki terhadap aspek-aspek normatif yang telah disebutkan. Oleh sebab itu, analisis upaya

Turki dalam skripsi ini dibagi berdasarkan kedua aspek tersebut.

Skripsi ini menemukan bahwa walaupun Turki telah berupaya untuk memenuhi kedua aspek normatif yang UE ajarkan tersebut, adanya perbedaan

122

123

struktur normatif antara Turki dan UE menjadi hambatan dalam upaya Turki untuk menghidupkan kembali negosiasi aksesi. Sebagaimana asumsi yang disampaikan

Peter Katzenstein terkait kekuatan struktur normatif domestik dalam pembentukan kebijakan suatu negara, Turki lebih memilih untuk tetap konsisten pada struktur normatif yang diyakininya sehingga struktur normatif internasional yang UE ajarkan tidak bisa dicapai secara keseluruhan.

Dari tiga jenis struktur normatif domestik menurut Peter Katzenstein yang disebutkan pada bab pertama, skripsi ini berargumen bahwa struktur keamanan internal menjadi aspek utama yang mendominasi kebijakan Turki dalam menyusun upaya penghidupan kembali negosiasi aksesi ke UE dalam bidang HAM, hak-hak fundamental, demokrasi, dan supremasi hukum. Struktur normatif tersebut menjadi dominan karena pemerintahan Turki yang masih belum secara utuh merasa aman dari ancaman terorisme setelah upaya kudeta 15 Juli 2016.

Dalam menjelaskan bagaimana struktur keamanan Turki mendominasi kebijakannya untuk mengupayakan penghidupan kembali negosiasi aksesi, skripsi ini menggunakan Teori Sekuritisasi dan Regional Security Complex Theory (RSCT).

Dengan kedua teori tersebut, skripsi ini menemukan bahwa ancaman terhadap terorisme, serta pola hubungan amity Turki dengan Turkish Republic of Northern

Cyprus (TRNC) menjadi aspek normatif yang mendominasi kebijakan Turki dan berpengaruh besar terhadap kelajutkan proses negosiasi aksesi Turki ke Uni Eropa.

Ketakutan pemerintahan Turki terhadap ancaman terorisme mengantarkan

Turki untuk melakukan referendum konstitusi yang salah satu tujuan utamanya adalah untuk melakukan simplifikasi birokrasi yang ditujukan untuk mempermudah

124

proses pembersihan setelah upaya kudeta tersebut. Referendum konstitusi tersebut membuat Turki menerapkan sistem presidensial yang memberatkan kekuasaan kepada lembaga eksekutif, khususnya Presiden.

Council of Europe (CoE) menyampaikan kritik yang kemudian diamini oleh

UE bahwa sistem presidensial yang diterapkan Turki sejak 2017 tidak sesuai dengan standar demokrasi CoE. CoE menilai bahwa sistem presidensial tersebut tidak menerapkan sistem check and balances yang sesuai serta tidak menerapkan independensi peradilan dan cenderung berpihak pada pihak tertentu sehingga menimbulkan berbagai pelanggaran terhadap European Convention on Human

Rights (ECHR). CoE juga menggaris bawahi konsep terorisme Turki yang terlalu luas sehingga sering kali dinilai salah sasaran.

Dalam merespon hal tersebut, Turki menolak dengan tegas pernyataan adanya ketidakadilan dalam proses peradilan dan menegaskan bahwa simplifikasi birokrasi serta intervensi pemerintah dalam lembaga peradilan merupakan hal yang harus dilakukan untuk mencegah ancaman terorisme dari FETO yang Turki yakini masih banyak bersembunyi dalam insitusi-institusi Turki. Dari perbedaan perspektif tersebut, skripsi ini menyajikan bukti bahwa Turki pada akhirnya berkonsisten untuk mengikuti struktur normatif domestik yang ada walaupun bertentangan dengan struktur normatif internasional yang UE ajarkan.

Hal tersebut juga muncul dalam upaya Turki untuk memperbaiki hubungannya dengan negara-negara anggota UE. Pada awalnya, normalisasi hubungan Turki dengan Belanda dan Jerman pasca-pembekuan negosiasi aksesi membawa respon baik dari UE. Namun, tidak adanya perbaikan hubungan antara

125

Turki dengan Yunani dan Greek Cypriot Administration of Southern Cyprus

(GCASC) kembali menjadi hambatan dalam upaya Turki untuk menghidupkan kembali negosiasi aksesi.

Faktor utama yang menyebabkan minimnya intensi Turki untuk memperbaiki hubungannya dengan GCASC dan Yunani sesuai permintaan UE adalah kuatnya amity Turki-TRNC. Sejarah panjang yang terjalin antara ketiga negara tersebut pada dasarnya sudah menggambarkan kompleksitas hubungan di antara keduanya.

Sebagai negara anggota UE, pengakuan terhadap kedaulatan terhadap pulau Siprus secara keseluruhan sebagai Republic of Cyprus (RoC) tidak sesuai dengan normatif

Turki yang sejak awal mengakui bahwa Pulau Siprus terbagi antara Turkish

Republic of Nothern Cyprus (TRNC) dan Greek Cypriot Administration of Southern

Cyprus (GCASC).

Perbedaan tersebut berdampak pada terjadinya sengketa perbatasan yang terjadi dikawasan Mediterania Timur dan Laut Aegea di mana Turki berupaya untuk melindungi hak-hak perbatasan TRNC sebagai negara yang hanya diakui oleh Turki dalam lingkup internasional. Dukungan publik yang turut percaya terhadap pentingnya hubungan Turki dan TRNC semakin memperkuat kebijakan

Turki dalam membela kepentingan TRNC. Dengan demikian, dapat terlihat jelas bagaimana struktur normatif domestik Turki mendominasi kebijakan Turki walaupun harus bertentangan dengan norma UE.

Dengan demikian, skripsi menyimpulkan bahwa upaya Turki dalam menghidupkan kembali negosiasi aksesi Turki ke Uni Eropa melalui penerapan aspek normatif internasional yang UE ajarkan tidak dapat Turki penuhi secara

126

maksimal karena adanya pertentangan struktur normatif antara Turki dan UE.

Dalam melihat adanya pertentangan tersebut, Turki memilih untuk menyusun kebijakan sesuai dengan aspek normatif domestik yang ada sehingga negosiasi aksesi Turki ke UE hingga hari belum memperlihatkan tanda-tanda adanya kemungkinan penghidupan kembali.

5.2. Saran

Skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan diberbagai aspek. Salah satu kekurangan tersebut terletak pada terbatasnya penelitian pada aspek-aspek normatif yang UE tegaskan dalam Council Conclusion on Enlargement and Stabilisation and

Association Process 26 Juni 2018. Aspek normatif tersebut belum mencangkup keseluruhan dimensi yang terbentuk dalam hubungan UE dan Turki dalam kerangka negosiasi. Oleh karena itu, alangkah baiknya jika penelitian selanjutnya dapat menyertakan berbagai aspek normatif lainnya yang belum disertakan dalam skripsi ini.

Selain itu, sumber data yang ada pada skripsi ini juga masih terbatas pada pengumpulan data yang didapatkan dari buku, artikel jurnal, skripsi, tesis, disertasi, artikel online, pengamatan webinar, dan berita online. Untuk penelitian selanjutnya akan jauh lebih baik jika data yang disajikan juga menyertakan hasil wawancara, baik dari para pemangku kepentingan yang terjun langsung dalam hubungan UE-

Turki atau dari para ahli yang sebelunya telah meneliti hubungan UE-Turki.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU Buzan, B., dan Ole W, 2003. Regions and Powers: The Structure of International Security. Cambridge: Cambridge University Press. Buzan, B., Ole W, dan Jaap. D., W., 1998. Security: A New Framework of Analysis, London: Lynne Riener Publisher. Buzan, B., 1991. People, State and Fear: An Agenda for International Security Studies in the Post-Cold War Era, London: Harvester Wheatsheaf Publisher. Caballero, M., Anthony & Ralf, E., Amitav, A., (ed). 2006, Non-Traditional Security in Asia: Dilemmas in Securitization. Aldershot, Hants: Asghate. Creswell, J., W., 2010. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Terjemahan oleh Ahmad Fawaid. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Denzin, N., K. 1978. The Research Act: A Theoretical Introduction in Sociological Methods New York: McGraw-Hills. Dugis, V.ed. 2016. Teori Hubungan Internasional; Perspektif-Perspektif Klasik. Surabaya: Cakra Studi Global Strategis. Hadiwinata, B., S. 2017. Studi dan Teori Hubungan Internasional: Arus Utama, Alternatif, dan Reflektivis. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Hobson, J. 2000. The State and International Relations. Cambridge: Cambridge University Press. Katzenstein, P. 1996. The Culture of National Security. New York: Colombia University Press. Miles, M., B., A. Michael, H., dan Johnny, S. 2014. Qualitative Data Analysis: A of Methods Sourcebook. Bevery Hills: SAGE Publication. Onuf, N. 1989. World of Our Making: Rules and Rule in Social Theory and International Relations. Columbia: University of South Carolina Press. Waever, O. 1995. Securitization and Desecuritization, On Security, ed. Ronnie D. Lipschutz, New York: Columbia University Press.

SKRIPSI, TESIS, DISERTASI Aulia, Ahla. Diplomasi Turki menjadi Anggota Uni Eropa (2007-2012). Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah Jakara, 2013. Klaassen, L.M. Robert. Moving to the East; Explaining the negotiation processes on the accession of Albania and Turkey to the European Union. Tesis. Radboud University Nijmegen. 2018. Kurnia, Wira. Diplomasi Turki: Studi tentang Langkah-Langkah Turki untuk Menjadi Anggota Uni Eropa pada Masa Perdana Menteri Erdogan 2002- 2007. Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2016. Narulita, Untari. Keputusan Uni Eropa terkait Permohonan Keanggotaan Turki Tahun 2005-2016. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. 2016.

cxxvii

Sahin, Ali Erdem. Delimitation of the Maritime Zones in the Eastern Mediterranean Sea: The Case of Turkey. Disertasi. School of Law of University of Essex. 2019.

ARTIKEL JURNAL DAN THINK TANK Adler, Imanuel, “Seizing the Middle Ground: Constructivism in World Politics. European Journal of International Relations 3, no. 3 (1997): 319-363. Diakses melalui https://doi.org/10.1177/1354066197003003003, 10 Agustus 2020 Akan, H.D. Mumcu & B.Engin Balin, “The European Union-Turkey Relations under the Influence of Custom Union”, Journal of Economics, Business and Managements 4, no.2, (2016): 155-160. Diakses melalui http://www.joebm.com/vol4/383-ET00042.pdf, 18 Agustus 2020 Gerhards, Jurgen. “Why not Turkey? Attitudes towards Turkish Membership in the EU among Citizens in 27 European Countries”, Journal of Common Market Studies 49, no. 4 (2011): 741. Diakses melalui https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/j.1468-5965.2010.02155.x, pada 6 September 2020 Guzel, Enes, “Judicial Reform Strategy Document,” TRT World Research Centre. (Juni, 2019). Diakses melalui https://researchcentre.trtworld.com/publications/info-packs/turkey-s- judicial-reform-strategy-document, 14 Juli 2020 Hopf, Ted, “The Promise of Constructivism in International Relations Theory”. International Security 23, no. 1 (1998): 171-200. Diakses melalui https://doi.org/10.2307/2539267, 29 Juli 2020 Icener, Erhan. “Turkey-EU Relations after the Failed July 15 Coup Attempt. Bilig, No. 79 (2016): 69-87. Diakses melalui https://dergipark.org.tr/tr/download/article-file/807212, pada 17 September 2020 Karacasulu, Nilufer., dan Elif Uzgoren “Explaining Social Constructivist Contributions to Security Studies,” Perceptions 12, no. 3 (2007): 27-48. Diakses melalui https://dergipark.org.tr/en/pub/perception/issue/48995/625097, 10 Agustus 2020 Kilic, Muharrem. “Remarks on Turkey’s Judicial Reform Strategy Document”. Insight Turkey 21, No.3 (2019): 31-40. Diakses melalui https://www.jstor.org/stable/26776101?read-now=1&seq=9 pada 23 November 2020 Liempt, Ilse Van. et al., “Evidence-based assessment of migration deals; the case of the EU-Turkey Statement”, Netherlands Organisation for Scientific Research. (Desember 2017). Diakses melalui https://www.kpsrl.org/sites/default/files/2018- 08/Van%20Liempt%20Final%20Report.pdf pada 20 November 2020 Louwerse, Lisa, “Mind the Gap; Issues of Legality in the EU’s Conceptualisation of the Rule of Law in Its Enlargement Policy’, CYELP 15 (2019): 27-55. DOI: 10.3935/cyelp.15.2019.352, 38

cxxviii

Metea, Ileana Gentilia “Cyprus, an Unresolved Issue of the European Union”. International Conference Knowledge Based Organization 24, no. 1, (26 Juli 2018): 142-147. Diakses melalui https://content.sciendo.com/view/journals/kbo/24/1/article-p142.xml, 19 Juli 2020 Müftüler-Baç, Meltem, “Remolding the Turkey-EU Relationship,” Turkish Policy Quarterly 17, no.2 (2018): 119-128 Price, Richard dan Christian Reus-Smit “Dangerous Liaisons? Critical International Theory and Constructivism” European Journal of International Relations 4, no. 3 (1998): 259-194. DOI: 10.1177/1354066198004003001 Rachmawati, Iva (Januari 2012). “Konstruktivisme sebagai Pendekatan Alternatif dalam Hubungan Internasional”, Paradigma 16 No.1: 25-34 Rahim, Faidah, “Clash of Civilization: Hambatan Aksesi Turki ke Uni Eropa,” Global and Policy 1, no.2 (2013): 214-227. Rofii, M., Sya’roni, “Potret Diplomasi Turki menuju Keanggotaan Tetap Uni Eropa,” Jurnal Interdependence 5, no.2 (2017): 86-93 Saatcioglu, Beken, “The European Union’s Refugee Crisis and Rising Functionalism in EU-Turkey Relation”, Journal of Turkish Studies 21, no. 2 (2020): 169-187. Diakses melalui https://doi.org/10.1080/14683849.2019.1586542, pada 15 September 2020 Schimmelfennig, Frank & Ulrich Sedelmeier, “Theorizing EU Enlargement: research focus, hypotheses, and the state of research,” Journal of European Public Policy 96, no. 4 (2002): 500-528 Smith, Steve, “The Discipline of International Relations: still an American social science?,” British Journal of Politics and International Relations 2, no. 3 (2000): 374-420. Diakses melalui https://doi.org/10.1111/1467-856X.00042, 28 Juli 2020 Soltani, Fakhreddin, Jayum A. Jawan, & Zaid B. Ahmad, “Constructivism, Christian Reus-Smit and the Moral Purpose of the State,” Asial Social Science, Canadian Center of Science and Education 10, no.10 (2014): 153-158. Diakses melalui http://dx.doi.org/10.5539/ass.v10n10p153, 30 Juli 2020 Solyatin, Digdem & Colella, “(Un)Democratic Change and Use of Social Sanctions for Domestic Politics; Council of Europe Monitoring in Turkey. International Political Science Review, 1-17. Diakses melalui https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0192512120927120 pada 15 November 2020 Tas, Hakki, “The 15 July Abortive Coup and Post-Truth Politics in Turkey”, Southeast European and Black Sea Studies 18, no. 1 (2018). Diakses melalui https://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1080/14683857.2018.1452374?nee dAccess=true&, pada 14 Oktober 2020 Turhan, Ebru, ‘’Turkey’s EU accession process: Do member states matter?’’ Journal of Contemporary European Studies 24, no. 4 (2016): 464. Diakses melalui https://doi.org/10.1080/14782804.2016.1198693, pada 14 September 2020

cxxix

Wendt, Alexander. “Constructing International Politics”. International Security 20, no. 1 (1995): 71-81. Diakses melalui https://doi.org/10.2307/2539217, 10 Agustus 2020 Yilmaz, Gozde, “From Eu-phoria to EU-phobia? Changing Turkish Narratives in EU-Turkey Relations”. Baltic Journal of European Studies Tallinn University of Technology 9, no. 1 (2013): 20-32. Diakses melalui https://content.sciendo.com/configurable/contentpage/journals$002fbjes$00 2f9$002f1$002farticle-p20.xml, pada 6 September 2020 Zamili, Moh, “Menghindar dari Bias: Praktik Triangulasi dan Kesahihan Riset Kualitatif,” Jurnal Lisan Al Hal 7, no. 2 (2015): 283-304 INTERNET “Was July 15 Turkey’s Reichstag Fire?” Youtube: Alliance for Shared Values (2017). Diakses melalui https://www.youtube.com/watch?v=6QvF6TMxs1U pada 15 Oktober 2020 Center for Turkish Studies. “Public Perceptions on Turkish Foreign Policy” (2019). DOI: 10.13140/RG.2.2.14535.24480 Council of Europe Portal. “Monitoring of the European Charter od Local Self- Government in Turkey” (12 Februari 2020). Diakses melalui https://search.coe.int/congress/Pages/result_details.aspx?ObjectId=0900001 6809ed449 21 November 2020 Council of Europe. “PACE reopens monitoring procedure in respect of Turkey Parliament Assembly,” (25 April 2017). Diakses melalui https://pace.coe.int/en/news/6603 pada 13 November 2020 Council of Europe. “Supproting the Implementation and Reporting on the Action Plan on Human Rights in Turkey”. Diakses melalui https://rm.coe.int/hf14- leaflet-eng/16809cffa1, 16 November 2020 Delegation of the European Union to Turkey. “Accession Negotiations”. Diakses melalui https://www.avrupa.info.tr/en/accession-negotiations-720, pada 20 Agustus 2020 Delegation of the European Union to Turkey. “Visa Liberalisation Dialogue”. Diakses melalui https://www.avrupa.info.tr/en/visa-liberalisation-dialogue- 6896, pada 14 September 2020 Deputy Prime Ministry and Ministry of Foreign Affairs of Turkish Republic of Northern Cyprus. “Relations with Turkey,” Diakses melalui https://mfa.gov.ct.tr/foreign-policy/relations-with-turkey/ pada 24 November 2020 Directorate for EU Affairs, Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey. “Turkey-EU Relations/ History of Turkey-EU Relations” Diperbaharui 12 Februari 2020. Diakses melalui https://www.ab.gov.tr/brief- history_111_en.html, pada 17 Agustus 2020 Directorate for EU Affairs, Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey. “Reform Action Group Meetings” (diperbaharui 25 Februari 2020) Diakses melalui https://www.ab.gov.tr/-reform-action-group- meetings_49767_en.html, 12 Juli 2020

cxxx

Directorate of EU Affairs, Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey. “FAQ for Negotiations Process”, updated 23 July 2019 Diakses melalui https://www.ab.gov.tr/faq-for-negotiation-process_44460_en.html, pada 20 Agustus 2020 Directorate of EU Affairs, Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey. “Chronology of Turkey-European Union Relations (1959-2019),” Diakses melalui https://www.ab.gov.tr/siteimages/birimler/kpb/chronology-_en- _1959-_ocak2020.pdf pada 23 Agustus 2020 Directorate of EU Affairs, Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey. “Additional Protocol 2005,” Diakses melalui https://www.ab.gov.tr/files/AB_Iliskileri/Tur_En_Realitons/protokol_2005. pdf pada 2 September 2020 Directorate of EU Affairs, Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey. “Statement of the EU Heads of State or Government, 07/03/2016” Diakses melalui https://www.ab.gov.tr/files/AB_Iliskileri/Tur_En_Realitons/7_march_2016_ statement_of_the_eu_heads_of_state_or_government.pdf , pada 16 September 2020 Directorate of EU Affairs, Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey. “EU- Turkey Statement, 18 March 2016” Diakses melalui https://www.ab.gov.tr/files/AB_Iliskileri/Tur_En_Realitons/18_march_2016 _turkey_eu_statement.pdf , pada 16 September 2020 Directorate of EU Affairs, Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey. “Fourth Meeting of the Reform Action Group Press Statement Ankara, 29 August 2018,” (29 Agustus 2018). Diakses melalui http://www.mfa.gov.tr/reform- eylem-grubu-dorduncu-toplantisi-basin-bildirisi_en.en.mfa, 12 November 2020 Directorate of EU Affairs, Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey “Fifth Meeting of the Reform Action Group Press Statement Ankara, 11 December 2018” (11 Desember 2018). Diakses melalui https://www.ab.gov.tr/51470_en.html, 12 November 2020 Directorate of EU Affairs, Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey. “The Sixth Meeting of the Reform Action Group Press Statement Ankara, 9 Mei 2019” Diakses melalui http://www.mfa.gov.tr/altinci-reform-eylem-grubu- basin-bildirisi- hk.en.mfa#:~:text=The%20sixth%20meeting%20of%20the%20Reform%20 Action%20Group%20(RAG)%20was,Minister%20of%20Foreign%20Affair s%20and, 12 November 2020 Euobserver. “Sarkozy Cancels Sweden Visit Over Turkey” (29 Mei 2009). Diakses melalui https://euobserver.com/political/28208 pada 28 Agustus 2020 EUR-Lex. “Glossary of Summaries, “ACQUIS”. Diakses melalui https://eur- lex.europa.eu/summary/glossary/acquis.html, pada 21 Agustus 2020 European Commission. “2770th Council Meeting General Affairs and External Relations”. (Brussels, 11 December 2006). Diakses melalui https://ec.europa.eu/commission/presscorner/detail/en/PRES_06_352, pada 4 September 2020

cxxxi

European Commission. “Enlargement: Turkey Declaration by the European Community and its Member States” (21 September 2005). Diakses melalui https://ec.europa.eu/commission/presscorner/detail/en/PRES_05_243, 4 September 2020 European Commission. “Public Opinion Index” Diakses melalui https://ec.europa.eu/commfrontoffice/publicopinion/index.cfm/Chart/getCha rt/themeKy/14/groupKy/71, pada 12 September 2020 European Commission. “Special Eurobarometer: Attitudes towards European Union Enlargement,” Diakses melalui https://ec.europa.eu/commfrontoffice/publicopinion/archives/ebs/ebs_255_e n.pdf, pada 12 September 2020 European Commission. “Statement by the President of the European Commission, the President of the European Council, and the EU High Representative on behalf of the EU Member States present at the ASEM Summit on the situation in Turkey,” (2016). Diakses melalui https://ec.europa.eu/commission/presscorner/detail/en/STATEMENT_16_2 554 pada 19 Oktober 2020 European Commission. “Turkey Report 2020,” Diakses melalui https://ec.europa.eu/neighbourhood- enlargement/sites/near/files/turkey_report_2020.pdf pada 21 November 2020 European Council. “Conclusion of European Council Meeting on 22 March 2018,” Diakses melalui https://www.consilium.europa.eu/media/33457/22-euco- final-conclusions-en.pdf pada 23 Oktober 2020 European Council. “Copenhagen European Council 12 and 13 December 2002: Presidency Conclusions,”. Diakses melalui http://www.consilium.europa.eu/ueDocs/cms_Data/docs/pressData/en/ec/73 842.pdf,23 Maret 2020 European Council. “Council Conclusion on Turkey” (18 Juli 2016). Diakses melalui https://www.consilium.europa.eu/en/press/press- releases/2016/07/18/fac-turkey-conclusions/, 10 Juli 2020. European Council. “Enlargement and Stabilisation and Association Process; Council Conclusion” (26 Juni 2018). Diakses melalui https://www.consilium.europa.eu/media/35863/st10555-en18.pdf, 12 Juli 2020 European Council. “Press Release 17-18 March 2016 Meeting EU-Turkey Meeting in Brussels.” Diakses melalui https://www.consilium.europa.eu/media/23720/160316-euco-background- note-final.pdf pada 19 November 2020. European Neighbourhood Policy and Enlargement Negotiations. “Chapter of the Acquis” Diakses melalui https://ec.europa.eu/neighbourhood- enlargement/policy/conditions-membership/chapters-of-the-acquis_en, pada 22 Agustus 2020 European Neighbourhood Policy and Enlargement Negotiations. “Condition for Membership”. Diakses melalui https://ec.europa.eu/neighbourhood- enlargement/policy/conditions-membership_en, 24 Maret 2020

cxxxii

European Neighbourhood Policy and Enlargement Negotiations. “Turkey,” Diakses melalui https://ec.europa.eu/neighbourhood- enlargement/countries/detailed-country-information/turkey_en, pada 23 Maret 2020 European Parliament. “European Parliament Resolution on EU-Turkey Relations (2016/ 2993(RSP))” Diakses melalui http://www.europarl.europa.eu/sides/getDoc.do?type=MOTION&reference =B8-2016-1283&language=EN, pada 17 September 2020 European Parliament. “Helsinki European Council 10 and 11 December 1999, Presidecy Conclusions”, Diakses melalui https://www.europarl.europa.eu/summits/hel1_en.htm, pada 18 Agustus 2020 European Parliament. “Turkey: Changing the Constitution Could End Up in Freezing EU Accession Talks” (20 Juni 2017). Diakses melalui https://www.europarl.europa.eu/news/en/press- room/20170619IPR77714/turkey-changing-the-constitution-could-end-up- in-freezing-eu-accession-talks pada 22 Oktober 2020 European Sources Online. “Tension Between Turkey and Other Stakeholders Over Gas Drilling in the Eastern Mediterranean” (2018) Diakses melalui https://www.europeansources.info/record/tension-between-turkey-and- cyprus-over-gas-drilling-in-the-eastern-mediterranean/ pada 23 Oktober 2020 European Stability Initiative. “Death Penalty in Turkey-Illusions in Europe” (16 Mei 2017). Diakses melalui https://www.esiweb.org/sites/default/files/newsletter/pdf/ESI%20-%20Deat h%20penalty%20in%20Turkey%20-%20Illusions%20in%20Europe%20-% 2016%20May%202017.pdf pada 21 Oktober 2020 EurWORK. “Acquis Communautaire”, (11 March 2008). Diakses melalui https://www.eurofound.europa.eu/observatories/eurwork/industrial- relations-dictionary/acquis- communautaire#:~:text=Acquis%20communautaire%20is%20a%20French,t he%20European%20Union%20(EU). pada 21 Agustus 2020 Gobierno De Espana. “Spain Supports Turkey’s Candidature to the EU”. (5 April 2009). Diakses melalui https://www.lamoncloa.gob.es/lang/en/paginas/archivo/2009/05042009_RA NTurquia.aspx pada 28 Agustus 2020 International Commission of Jurist. “Turkey’s Judicial Reform Strategy and Judicial Independence” (November 2019). Diakses melalui https://www.icj.org/wp-content/uploads/2019/11/Turkey-Justice-Reform- Strat-Advocacy-Analysis-brief-2019-ENG.pdf pada 21 November 2020 Kaymacki, Faruk, “Turkey and EU Relation” disiarkan langsung pada 23 Mei 2020 melalui akun Facebook European Union in Turkey: (“…But now, of course you know the state of emergency is behind us and we reactivated the reform action groups, we have three major meetings, we able to take a judicial reform strategy, so we are hoping that you know we can make progress in the coming days…” menit ke 33.00-33:58). Diakses melalui

cxxxiii

https://www.facebook.com/EUinTurkey/videos/1144186189275988/, 11 Juli 2020. Kesseba, Khaled & Konstantinos Lagos. “Five Countries in the Eastern Mediterranean Are Shaking Up Europe’s Energy Map” The Conversation: Sheffied Hallam University (2019). Diakses melalui http://shura.shu.ac.uk/24996/ pada 21 Oktober 2020 Mclver, Iain. “The History of European Union”, Scottish Parliament Information Centre (SPICe), Diakses melalui http://www.parliament.scot/ResearchBriefingsAndFactsheets/S5/SB_16- 37_The_European_Union_A_Brief_History.pdf), 18 Agustus 2020 Metropoll Strategic and Social Research. “Turkey Political Status Survey”. (April 2011). Diakses melalui http://www.metropoll.com.tr/arastirmalar/sosyal- arastirma-12/1700 pada 20 Oktober 2020 Ministry of Foreign Affairs, Hellenic Republic. “Turkey: Political Relation” Diakses melalui https://www.mfa.gr/en/blog/greece-bilateral- relations/turkey/, 19 Juli 2020 Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey. “Background Note on Aegea Dispute” Diakses melalui http://www.mfa.gov.tr/background-note-on- Aegea-dispute.en.mfa, 19 Juli 2020 Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey. “Declaration by Turkey on Cyprus, 29 July 2005”. Diakses melalui http://www.mfa.gov.tr/declaration-by-turkey- on-cyprus_-29-july-2005.en.mfa, pada 4 September 2020 Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey. “No: 83, 23 March 2013, Statement Regarding the Claims of the GCASC on Hydrocarbon Resources in the Eastern Mediterranean,” Diakses melalui http://www.mfa.gov.tr/no_- 83_-23-march-2013_-statement-regarding-the-claims-of-the-gcasc-on- hydrocarbon-resources-in-the-eastern-mediterranean.en.mfa, 23 Oktober 2020 Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey. “Perception of the Aegean Sea,” Diakses melalui http://www.mfa.gov.tr/perception-of-the-Aegea-sea.en.mfa, 19 Juli 2020 Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey. “Relations between Turkey and Greece” Diakses melalui http://www.mfa.gov.tr/relations-between-turkey- and-greece.en.mfa, 19 Juli 2020 Oğur, Yildiray & Ceren Kenar. “Who was behind the 15th july coup attempt” Medium (22 Maret 2017). Diakses melalui https://medium.com/@15thJulyCoup/who-was-behind-the-15th-july-coup- in-turkey-19f75a5771c5 pada 14 Oktober 2020 Parliamentary Assembly, Council of Europe. “Addendum: The Worsening situation of opposition politician in Turkey”. (23 Januari 2019). Diaskes melalui https://pace.coe.int/pdf/b87b5884bd63900f7f9461f93d74eec12d273107332 6667a8259ffe25682ae848428feba12/doc.%2014812%20add..pdf 20 November 2020 Parliamentary Assembly, Council of Europe. “Committee on the Honouring of Obligations and Commitments by Member States of the Council of Europe”.

cxxxiv

Diakses melalui https://pace.coe.int/en/pages/committee-4/AS-MON pada 20 November 2020 Parliamentary Assembly, Council of Europe. “New Crackdown on Political Opposition and Civil Dissent in Turkey; Urgent Need to Safeguard Council of Europe Standards” (19 Oktober 2020).”. Diaskes melalui https://pace.coe.int/pdf/df056ab5a23f0753ba76e2cafa95617e04603a023326 667a8259ffe25682ae848428feba12/doc.%2015171.pdf 21 November 2020 Parliamentary Assembly, Council of Europe. “Resolution: The Worsening situation of opposition politician in Turkey,” (23 Januari 2019). Diaskes melalui https://pace.coe.int/pdf/ef36ad90342736e71d5c882030c1ca7ed85ed517332 6667a8259ffe25682ae848428feba12/resolution%202260.pdf pada 20 November 2020 Pope, Hugh. “Privileged Partnership Offers Turkey Neither Privilege nor Partnership,” International Crisis Group (23 June 2009). Diakses melalui https://www.crisisgroup.org/europe-central-asia/western- europemediterranean/turkey/privileged-partnership-offers-turkey-neither- privilege-nor-partnership pada 30 Agustus 2020 Presidency of the Republic of Turkey. “FETO poses a threat not only for Turkey but also all the countries it is present in,” 5 Agustus 2016. Diakses melalui https://www.tccb.gov.tr/en/news/542/49913/feto-poses-a-threat-not-only- for-turkey-but-also-all-the-countries-it-is-present-in pada 5 Januari 2021 Stamouli, Nektaria, “Turkey’s Mediterranean Claims Lead to EU Spat” Politico (12 Desember 2019). Diakses melalui https://www.politico.eu/article/turkey- mediterranean-sea-claims-lead-eu-spat/ pada 25 November 2020 United Nation General Assembly Security Council. “Letter dated 12 April 2017 from the Permanent Representative of Turkey to the United Nations addressed to the Secretary-General,” Diakses melalui http://undocs.org/A/71/875 pada 23 Oktober 2020 United Nation General Assembly Security Council. “Letter dated 4 May 2017 from the Permanent Representative of Cyprus to the United Nations addressed to the Secretary-General,” Diakses melalui http://undocs.org/A/71/900 pada 23 Oktober 2020

cxxxv

LAMPIRAN

Lampiran 1: Poin Pernyataan Pembekuan Negosiasi Aksesi Turki dalam “Enlargement and European Council Conclusion: Stabilisation and Association Process (26 Juni 2018) https://www.consilium.europa.eu/media/35863/st10555-en18.pdf

cxxxvi

Lampiran 2: Hubungan Turki-Uni Eropa menurut Perspektif Turki; Pernyataan Kelanjutan Proses Aksesi Pasca-Pembekuan Negosiasi Aksesi 2018 https://www.ab.gov.tr/turkey-eu-relations_4_en.html

cxxxvii

cxxxviii