Buku ini mengandung makalah yang dipresentasikan pada acara Seminar Nasional PEI Bandung 2011. Makalah ini menunjukkan hasil karya dan pendapat dari penulis yang disajikan tanpa adanya perubahan yang merubah substansi dari hasil penelitian.

Hak Kekayaan Intelektual dan Ijin Mengkopi Buku ini, atau bagian dari buku ini tidak dapat digandakan dalam bentuk atau cara apapun, baik secara digital maupun mekanik, yang telah dan akan ditemukan tanpa ijin tertulis dari panitia penyelenggara sebagai penanggung jawab dari buku ini.

© 2011 oleh Panitia Penyelenggara Seminar Nasional PEI Bandung Dicetak dan diterbitkan pada 16 Februari 2011

We thanks our ancestors for their pionerring works We thanks our colleagues for developing the works We thanks our successors who will answes the questions

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan i

KATA PENGANTAR

Kami sebagai panitia dari Seminar Nasional PEI Bandung tahun 2011 sangat berbahagia dengan antusiasme dari para entomolog dari berbagai daerah di Indonesia untuk berpartisipasi dalam acara ini. Hal tersebut ditandai dengan jumlah makalah presentasi yang mencapai lebih dari 100 buah. Acara ini diorganisir oleh berbagai pihak yang tergabung ke dalam PEI Cabang Bandung baik dari kalangan akademisi, peneliti, dan praktisi dengan tidak melupakan peran besar dari pihak Universitas Padjadjaran sebagai lokasi dari penyelenggaraan seminar ini. Tujuan utama dari Seminar Nasional PEI Bandung ini adalah untuk mempromosikan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan dalam bidang entomologi di Indonesia, untuk meningkatkan komunikasi antar entomolog yang bekerja dengan bidang yang beragam guna menghasilkan ide-ide baru dalam mengembangkan pengetahuan seputar ilmu entomologi. Tema utama dari Seminar Nasional ini adalah “Hidup Sejahtera Bersama Serangga”. Seminar ini menyajikan presentasi dalam bentuk oral dan poster dari penelitian entomologi di bidang Ekologi dan Biodiversitas; Fisiologi, Toksikologi, dan Biologi Medikal; dan Pengendalian Hama. Akhir kata, atas nama panita dari Seminar Nasional PEI Bandung, kami bermaksud untuk menyampaikan rasa terima kasih kami kepada PT. Bayer CropScience, PT. Bina Guna Kimia, PURISKA FMIPA Unpad, PEI Pusat, PEI Cabang Bogor, Al Masoem dan Klinik Tanaman HPT Faperta Unpad atas dukungannya, pembicara utama dan tidak lupa kepada seluruh peserta atas kontribusi mereka baik secara langsung maupun tidak langsung untuk keberhasilan penyelenggaraan acara ini. Kami sebagai panitia juga mengucapkan apresiasi sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu teselenggaranya Seminar Nasional PEI sebab tanpa perannya maka acara ini mustahil untuk diadakan.

Bandung, 16 – 17 Pebruari 2011

Panitia

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan ii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ii Daftar Isi iii Sambutan Ketua Panitia x Sambutan Ketua PEI Cabang Bandung xii Sambutan Ketua PEI Pusat xiv Sambutan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. xvi Sambutan Rektor Universitas Padjadjaran xviii Informasi Umum xx Susunan Panitia xxii Susunan Acara xxiv Daftar Peserta xxvii Presentasi (OPH dan PTH): Pengendalian Hama OPH-01 Pemanfaatan Organic Trap Sebagai Pengendali Oryctes rhinoceros Secara Terpadu di Perkebunan Kelapa Sawit Donnarina Simanjuntak, Agus Susanto, A.E. Prasetyo, dan Y. Sebayang 30 OPH-02 Reaksi Ketahanan Galur Padi Rawa Terhadap Serangan Wereng Cokelat Serta Penyakit Hawar Daun Bakteri Dan Blas Trisnaningsih, Anggiani Nasution, Supartopo dan Arifin Kartohardjono 42 OPH-03 Uji Konsentrasi Nematoda Entomopatogen Steinernematidae Lokal Sebagai Pengendali Hama Rayap Coptototermes curvignathus Holmgren Desita Salbiah dan Puji Handayani 60 OPH-04 Efektivitas dan Prospek Perangkap Feromon Seks untuk Pengendalian Hama Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga incertulas (Walker) (Lepidoptera; Pyralidae). Tatang Suryana, Ajeng Wulan Lestari, N Usyati, dan Nia Kurniawati 70 OPH-05 Pemanfaatan Pestisida Nabati untuk Mengendalikan Wereng Cokelat Pada Tanaman Padi Wiratno 77 OPH-06 Status Hama Rayap Pada Lingkungan Pemukiman Dan Pengendaliannya di Indonesia Yudi Rismayadi 78 OPH-07 Tinjauan Pemanfaatan Jamur Beauveria bassiana (Bals.) untuk mengendalikan Hama Wereng pada Tanaman Padi sebagai Antisipasi Dampak Perubahan Iklim Global. Syahri, Sidiq Hanapi, dan Tumarlan Thamrin 79 OPH-08 Penggerek Tandan Kelapa Sawit Tirathaba mundella di Perkebunan Kelapa Sawit Lahan Gambut : Studi kasus di PT Meskom Agro Sarimas Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau. Agus Susanto dan Sugiyono 91 OPH-09 Manajemen Penggunaan RYNAXYPYR 50SC dan Karakteristik Varietas Padi pada Pengendalian Penggerek Batang. Baehaki S.E. 101 OPH-10 Tinjauan Perbaikan Teknologi Pascapanen Padi untuk Menekan Serangan Serangga hama Gudang 121 Syahri, Tumarlan Thamrin dan Yanter Hutapea OPH-11 Studi Potensi Insektisida Daun Gamal dan Daun Kapuk Randu sebagai Insektisida Nabati untuk Hama Bisul Dadap (Quadrastichus erythrinae Kim.) Endang L. Widiastuti, N. Nukmal, V. Intansari, D. Indriyani, E. Sumiyani 133 OPH-12 Identifikasi Hama Benih Beberapa Jenis Tanaman Hutan Tati Suharti, Naning Yuniarti, dan Yulianti Bramasto 145

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan iii

OPH-13 Tanaman Alfalfa sebagai Komoditas Harapan Pakan Ternak : Pengaruh Serangan Hama Terhadap Produktifitas Hijauan pada Pemotongan Pertama. Sajimin dan N.D. Purwantari 154 OPH-14 Flora Rawa Sebagai Pengendali Hama dan Penyakit Tanaman Syaiful Asikin 165 OPH-15 Pengendalian Hama Penggerek Batang Padi Ramah Lingkungan Di Lahan Rawa Pasang Surut. Muhammad Thamrin 182 OPH-16 Pengendalian Hama Sayuran Sawi dan Parea di Lahan Rawa Pasang Surut. Muhammad Thamrin 183 OPH-17 Potensi Jamur Metarhizium anisopliae Indigenous dalam Mengendalikan Hama Pertanian dan Perkebunan Secara Alami. Melanie 196 OPH-18 Level And Mechanism Of Host Plant Resistance in Popular Rice Varieties: Antixenosis, Antibiosis, and Feeding Rate Of Brown Planthopper on Various Resistance Rice Varieties. Baehaki S.E , M. Cohen, dan K.L. Heong 197 OPH-19 Potensi Pemanfaatan Musuh Alami dalam Pengendalian Hama Wereng Coklat (Nilavarva talugens) pada Padi Herwenita dan Aulia Evi Susanti 230 OPH-20 Kajian Inovasi Teknologi Penerapan Perangkap Kuning (Yellow trap) pada Perbibitan Bawang Merah di Kabupaten Brebes. Hairil Anwar dan Yulianto 241 OPH-21 Keberadaan Musuh Alami Pada Areal Padi dan Gulma Teki di Lahan Rawa Pasang Surut Muhammad Thamrin 251 OPH-22 Spesies Eretmocerus serta Tingkat Parasitisasinya Terhadap Bemisia tabaci GENN. Pada Beberapa Tanaman Sayuran di Dataran Tinggi dan Dataran Rendah. Sudarjat, Andang Purnama dan Delih Ratnasari 261 OPH-23 Potensi Jamur Aschersonia aleyrodis,Paecilomyces sp. dan Verticillium sp.Untuk Mengendalikan Bemisia tabaci GENNADIUS (Homoptera : Aleyrodidae) Pada Tanaman Tomat Hidroponik. Devi Kurnia, Sudarjat dan Andang Purnama 274 OPH-24 Hubungan Antara Kepadatan Populasi Bemisia tabaci GENNADIUS (Homoptera :Aleyrodidae) dengan Kehilangan Hasil Kedelai Danit Annisa dan Sudarjat 288 OPH-25 Kajian Keefektifan Feromon-Pbp terhadap Berbagai Varietas Padi pada Sistem Penanaman Padi Off-Season Tri Martini dan Sarjiman 299 OPH-26 Seleksi Ketahanan Klon-klon Harapan Ubijalar Terhadap Hama Tungau Puru (Eriophyes gastrotrichus) di Malang, Jawa Timur M. Jusuf, Sri Wahyuni Indiati dan Joko Restuono 307 OPH-27 Kajian Hasil Gabah Sembilan Padi Hibrida Dan Reaksinya Terhadap Hama Wereng Coklat Bambang Sutaryo, Tri Martini, dan Tri Sudaryono 318 OPH-28 Serangga Potensial Pengendali Hama Ulat Api Setothosea asigna di Perkebunan Kelapa Sawit Ahmad P Dongoran, Agus Susanto, Corry F A Sinaga, dan Nena C Daeli 329 OPH-29 Pengaruh Warna Feromon-Pbp Terhadap Intensitas Serangan Scirpophaga incertulas pada Padi Tri Martini dan I Made Samudra 339 OPH-30 Pembungaan dan Serangan Hama pada Ixora amboinica DC. dalam Upaya Domestikasi Sebagai Tanaman Hias R. Subekti Purwantoro dan Sumanto 340 OPH-31 Efek Minyak Cengkeh terhadap Viabilitas dan Vigor Benih Dua Varietas Sorghum (Sorghum bicolor L.) yang Diinfeksi Hama Gudang Sitophillus oryzae

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan iv

Setelah Penyimpanan Dua Bulan Wieny H. Rizky, Anne Nuraini dan Rifki Amrullah 347 OPH-32 Kajian Pengetahuan Petani Kelapa Sawit terhadap Pengelolaan dan Pengendalian Darna atenata Menggunakan Beauveria bassiana Vuill dan Apanteles spp. Itji Diana Daud, Melina Idham dan Suleha Thamrin 348 OPH-33 353 OPH-34 Jamur Entomopatogenik Potensial Sebagai Agen Pengendali Hayati Migratory Locust (Locusta migratory) di Timor Barat Lince Mukkun 354 OPH-35 Identifikasi dan Uji Lapang Feromon Seksual Etiella zinckenella Treitscke (Lepidoptera : Pyralidae) di Jawa Barat - Indonesia Agus D. Permana, G. Suhaedi, D. Buchari, dan H. Lionita 365 OPH-36 Potensi Metarhizium sp. Dan Beauveria bassiana Dalam Pengendalian Orchidopphyllus aterrimus pada Dendrobium Ana F.C. Irawati dan Yudi Sastro 366 OPH-37 Efektivitas Insektisida Nabati Untuk Mengendalikan Kumbang Gajah Pada Anggrek Ana F.C. Irawati, Yudi Sastro, dan Ikrarwati 374 OPH-38 Seleksi Awal Isolat Bt Indigenus Terhadap Hama Umbi Kentang, Phthorimaea operculella Zell. (LEPIDOPTERA ; GELECHIIDAE) Berdasarkan Respon Time- Mortality (LT50) Syarif Hidayat, Intan Ahmad, Pingkan Aditiwati, dan Wardono Niloperbowo 382 OPH-39 Preferensi Hama Umbi Kentang, Phthorimaea operculella Zell. (Lepidoptera: Gelechiidae) Terhadap Warna Cahaya Di Tempat Penyimpanan Syarif Hidayat dan Fazli Al Hadi 383 OPH-40 Pengendalian Hama Sayuran Ramah Lingkungan Di Lahan Rawa Pasang Surut Mahrita Willis, Syaiful Asikin, dan Muhammad Thamrin 384 OPH-41 Pengendalian Hama Penggerek Batang Padi Ramah Lingkungan di Lahan Rawa Pasang Surut Mahrita Willis, Syaiful Asikin, dan Muhammad Thamrin 399 OPH-42 Inventarisasi Serangga Hama pada Tanaman Manggis di Jawa Barat Agus Susanto, Danar Dono, dan Faizal Tedy Nugraha 413 OPH-43 Perilaku Memanggil dan Respon Cylas formicarius Fabricius (Coleoptera: Curculionidae) terhadap Ekstrak Feromon Seks di Laboratorium Agus Susanto, Nenet Susniahti dan Dewi Darsita 421 OPH-44 Identifikasi Hama pada Beberapa Tanaman Hutan di Hutan Penelitian Rumpin, Bogor Tati Suharti dan Nurin Widyani 433 OPH-45 Pengaruh Populasi Siput Setengah Cangkang (Parmarion Sp.) Terhadap Kerusakan dan Produksi Kubis Bunga Maryani Cyccu Tobing, Yuswani P. Ningsih dan Dhiky Agung Endika 444 OPH-46 Pengujian Lapang Efikasi Fumigan Alumunium Phospida Terhadap Kumbang Bubuk Kayu Kering pada Proyek Rekonstruksi Aceh Mustika Dewi dan Yudi Rismayadi 457 OPH-47 Relationship Between Population Of Bemisia tabaci Genn. With Disease Incidence Of cowpea mild mottle virus (CMMV) After BPMC(500 g a.i. / l) Application On Soybean. Wartono dan. I Wayan Laba da 465 PPH-1 Pengaruh Penggunaan Insektisida Nabati Ekstrak Biji Sirsak, Daun Mindi,Daun Suren Terhadap Serangan Empoasca sp dan Hasil Pucuk Tanaman Teh (Camellia sinensis L) Merry Antralina dan Tien Turmuktini 466 PPH-2 Pengaruh Konsentrasi Insektisida Alami Terhadap Intensitas Serangan Empoasca sp dan Hasil Pucuk Tanaman Teh (Camellia sinensis .L) Klon Gambung 4. Merry Antralina dan Endang Kantikowati 474

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan v

PPH-3 Serangan Aphis sp. dan Keragaan Agronomis Penangkaran Kebun Induk Mini Lada dengan Bahan Tanaman Berbeda Suprapto dan Dewi Rumbaina Mustikawati 483 PPH-4 Stabilitas Ketahanan Dua Varietas Kedelai Terhadap Penggerek Polong (Etiella spp.) di Lampung Dewi Rumbaina 491 PPH-5 Parasitoid Hama Eurema blanda pada Sengon (Falcataria mollucana (Miq.) Barneby & J.W. Grimes) di Bogor Illa Anggraeni dan Agus Ismanto 496 PPH-6 Serangan Hama Tungau Puru (Eriophyes gastrotrichus) pada Beberapa Klon- Klon Harapan Ubi Jalar Sri Wahyuni Indiati, M. Jusuf, dan St. A. Rahayuningsih 503 PPH-7 Potensi Biji Bengkuang Sebagai Bahan Pestisida Nabati Wieny H. Rizky, Sofiya Hasani, Agung Karuniawan 511 Presentasi (OFTBM dan PFTBM): Fisiologi, Toksikologi dan Biologi Medikal OFTBM-01 Pengaruh Ekstrak Daun Suren (Toona sureni) terhadap Perkembangan Hama Pengisap Polong (Riptortus linearis) dan Predator Coccinella sp. pada Tanaman Kedelai Dodin Koswanudin, I Made Samudra, dan Wida Darwiati 520 OFTBM-02 Pengaruh Faktor Ekologi dan Sosial terhadap Penyebaran Penyakit Malaria di Daerah Endemis Kampunglaut Cilacap. Hery Pratiknyo dan Rahmad Santosa, M 530 OFTBM-03 Pengaruh Pupuk Organik Terhadap Serangan Hama Putih Palsu (Cnaphalocrosis medinalis Guenee) pada Tanaman Padi Amrizal Nazar, Soraya, dan Solamer PM 538 OFTBM-04 Pengaruh Pupuk Organik Terhadap Serangan Ulat Perusak Daun (Spodoptera litura F) pada Tanaman Kedelai. Amrizal Nazar 544 OFTBM-05 Produksi Helicoverpa armigera Nuclear Polyhedrosis Virus pada Kelompok S. Litura sebagai Inang Pengganti Mia Miranti, Ratu Safitri, dan Melanie. 549 OFTBM-06 Infeksi Helicoverpa armigera Nuclear Polyhedrosis Virus (HaNPV) Secara Transmisi Vertikal pada Telur Spodoptera litura Yasmi Purnamasari Kuntata, Asti Rahmiati, dan Mia Miranti Rustama 550 OFTBM-07 Pengaruh Ekstrak Minyak Cengkeh dan Kayu Manis terhadap Perkembangan Wereng Coklat (Nilaparvata lugens) dan Predator Paederus fuscifes dan Coccinella sp. pada Tanaman Padi Dodin Koswanudin, I Made Samudra, dan Agus Ismanto 558 OFTBM-08 Bioekologi vector malaria nyamuk Anopheles sundaicus di Kec. Nongso, Batam Yusniar Ariati, HerryAndris, dan S. Sukowati. 567 OFTBM-09 Genus Aedes yang Ditemukan pada Tempat Penampungan air di Tingkat Rumah Tangga. M. Hasyimi Pangestu, NaniKarmani, dan Astrid BerlianUtami 568 OFTBM-10 Isolasi Senyawa Flavonoid dari Ekstrak Air Serbuk Daun Gamal (Gliricidia maculata ) dan Uji Toksisistasnya Terhadap Hama Kutu Putih Pepaya (Paracoccus marginatus). Nismah, Nurul Utami, dan Gina Dania Pratami 569 OFTBM-11 Efikasi Tanaman Kapayang (Pangium edule) Sebagai Insektisida Terhadap Wereng Coklat (Nilavarpata lugens) Syaiful Asikin 580 OFTBM-12 Penggunaan Jamur Entomopatogen Paecilomyces fumusoroseus Bain. (PFR) terhadap Mortalitas Ulat Jengkal (Hiposydra talaca Wlk.) Hama Pada Tanaman Teh (Camellia sinensis (L.) O. Kuntze Yenny Muliani, Wahyu Widayat, dan Agus Solihin 591 OFTBM-13 Ketersediaan Mikrohabitat dan Efek Perilaku Masyarakat Terhadap Keberadaan Aedes ageptii di Lingkungan Perkotaan

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan vi

Andrio Adiwibowo 596 OFTBM-14 Pengaruh Varietas Unggul Baru Terhadap Perkembangan Wereng Coklat Brakiptera dan Makroptera Biotipe 2 dan 3 Endang Sri Ratna, Wahyu Fitriningtyas, Rahmini, dan Arifin Kartohardjono 597 OFTBM-15 Sitotoksisitas Andrografolida Terhadap Sel Epitel dan Sel Regeneratif Usus Tengah Larva Plutella xylostella Linnaeus. Erine Sofie Alamanda, Madihah, dan Wawan Hermawan, Madihah 609 OFTBM-16 Pengujian Laboratorium Efikasi Umpan Rayap Berbahan Aktif Hexaflumuron dan Bistreifluron Terhadap Rayap Tanah Coptotermes curvignathus (Rhinotermitidae) Yudi Rismayadi 623 OFTBM-17 Efek Biopestisida Cendawan Entomopatogen Beauveria bassiana Terhadap Serangga Predator Menochillus sexmaculatus Silvia Permata Sari, Trizelia, dan Yaherwandi 630 OFTBM-18 Resistensi Crocidolomia pavonana Populasi Lembang Terhadap Insektisida Sintetik Profenofos dan Kepekaannya Terhadap Ekstrak Biji Azadirachta indica (Meliaceae) Danar Dono, Syafri Ismayana, Idar, dan Yogas Dwi Pratiwi 639 OFTBM-19 Profil Hemocyt Oxya japonica (Orthoptera : Acrididae) yang Terinfeksi Jamur Entomopatogen Metarhizium anisopliae Melanie, Hikmat Kasmara, dan Tjandra anggraeni 640 OFTBM-20 Kerusakan Anatomi Sebagai Penyebab Kematian Plutella xylostella yang Diinfeksi Jamur Paecilomyces fumosoroseus Tjandra Anggraeni 641 OFTBM-21 Uji Efikasi Fungi Entomopatogen Beauveria bassiana (Balsamo) dan Cordyceps sp. Terhadap Crocidolomia pavonana (Fabr.) (Lepidoptera: Pyralidae) dalam Kondisi Laboratorium Agus Dana Permana dan Salli Marindha 648 OFTBM-22 Perkembangan Larva Boktor ( festiva) Pada Artificial Diet Laura Flowrensia dan Noor Farikhah Haneda 649 OFTBM-23 Aktifitas Enzim Detoksifikasi Pada Kecoa Jerman, Blattella germanica yang Resisten Insektisida dari Beberapa Lokasi di Indonesia Resti Rahayu, Intan Ahmad, Marselina I. Tan, dan Endang S. Ratna 655 OFTBM-24 Pengaruh Permetrin Dosis Sub-lethal Terhadap Konsumsi Makan Kecoa Jerman, Blattella german Strain Rentan dan Resisten Resti Rahayu, Karl_Martin V. Jansen, Michael Kristensen, dan Intan Ahmad 656 OFTBM-25 Respon Rayap Tanah Coptotermes curvignathus (Isoptera: Rhinotermitidae) Terhadap Ekstraktif Kayu Eboni Eko Kuswanto, Wasrin Syafii, dan Dodi Nandika 657 OFTBM-26 Rasio resistensi 5 strain Kecoa Jerman Blattella germanica terhadap Fipronil dengan metoda Topikal Aplikasi dan Glass Jar Nova Hariani, Intan Ahmad, Maelita Ramdhani M, Chow-Yang Lee 668 OFTBM-27 Pengaruh Fraksi Ekstrak Daun Cocor Bebek (Kalanchoe Daigremontiana Hammet&Perrier) Terhadap Fekunditas dan Lolos Hidup Kumbang Koksi (Epilachna Vigintioctopunctata Fabricius) Wawan Hermawan, Melanie, Tri Mayanti, Meilani Nurdamayanti 669 PFTBM-1 Hubungan Kondisi TempatPenampungan Air Minum dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Provinsi DKI Jakarta dan Bali M.Hasyimi,Yusniar Ariati,Eny Wahyu Lestari, dan Miko Hananto 682 PFTBM-2 Aktivitas Nokturnal Nyamuk Vektor Demam Berdarah Dengue di Beberapa Daerah di Indonesia Upik K. Hadi, S. Soviana, dan D.J. Gunandini 695 PFTBM-3 696 PFTBM-4 Efikasi Insektisida Benzyl Alkohol Terhadap Kutu Rambut Pediculus humanus capitis D.J. Gunandini, S.Soviana, Upik K. Hadi, dan Supriyono 697 PFTBM-5 Infestasi Kutubusuk (Cimicidae: Cimex hemipterus) di Asrama TPB IPB Bogor

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan vii

S. Soviana, Sugiarto, M. Chalidaputra, dan Upik K. Hadi 698 PFTBM-6 Efektivitas Helicoverpa armigera NUCLEAR POLYHEDROSIS VIRUS (HaNPV) Hasil Subkultur pada Spodoptera litura Fabricius Terhadap Mortalitas Ulat Kubis (Plutella xylostella Linnaeus ) Dicky Budi Sugiarto, Wawan Hermawan, dan Mia Miranti 699 PFTBM-7 Pengaruh Biopestisida Aglaia harmsiana dan Parasitoid Eriborus argenteopilosus Terhadap Profil Imun Seluler dan Humoral Larva Helicoverpa armigera Tjandra Anggraeni 710 PFTBM-8 Efektivitas Helicoverpa armigera Nuclear Polyhedrosis Virus (HaNPV) Terhadap Mortalitas Populasi Larva Crocidolomia pavonana Fabricius yang Didedahkan pada Tanaman Kubis (Brassica oleracea var. capitata L) Mia Miranti, dan Melanie 715 Presentasi (OEB and PEB): Ekologi dan Biodiversitas OEB-01 Dinamika Populasi Hama Perusak Daun Pada Beberapa Varietas Kedelai Di Desa Gondang Rejo Kabupaten Lampung Timur Dewi Rumbaina Mustikawati, Ratna Wylis Arief, dan Endriani. 721 OEB-02 Hamuli Apis (Hymenoptera: Apidae) pada Beberapa Ketinggian di Sumatera Barat Jasmi dan Siti Salmah 727 OEB-03 Keragaman Serangga Pollinator Pada berbagai Habitat Imam Widiono 738 OEB-04 Keanekaragaman Jenis kumbang (Ordo Coleoptera) di Taman Nasional Bali Barat Ichsan Luqman Indra Putra, Ibnu Fadilatussar’I, Reza Aditya Kuniawan Usetiono, Siti Sumarmi, dan Angga Putra Kusumastianto 739 OEB-05 Pengaruh Vegetasi Liar Berbunga Terhadap Parasitoid Anastatus dasyni FERR. (Hymenoptera: Eupelmidae) IM. Trisawa, A. Rauf, U. Kartosuwondo, N. Maryana, dan A. Nurmansyah 750 OEB-06 Kajian Tabel Kehidupan Belalang Kembara (Locusta migratoria Meyen) Pada Kondisi Agroklimat Timor Barat Yosep Seran Mau, Titik Sri Harini, dan Lince Mukkun 751 OEB-07 Lepidopteran Diversity in Kars Ecosystem, Luweng Jomblang, Semanu, Gunung Kidul RC Hidayat Soesilohadi dan N. Tristianti 762 OEB-08 Kesamaan dan Peringkat Spesies dalam Komunitas di Berbagai Agroekologi Baehaki S.E 763 OEB-09 Populasi Hama Kutu Loncat (Heteropsylla cubana Crawford) pada Beberapa Jenis Lamtoro (Leucaena sp) di Ciawi Bogor Sajimin 787 OEB-10 Dinamika Populasi Belalang Kembara (Locusta migratoria) di Kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur Lince Mukkun 795 OEB-11 Penyebaran dan Potensi Kepik Hitam (Pachybracius pallicornis) pada Ekosistem Tanaman Padi di Sulawesi Selatan Itji Diana Daud and Abdul Gaffar 809 OEB-12 Pola Aktivitas Makan Tiga Biotipe Wereng Batang Cokelat Pada Tanaman Padi Rahmini, Endang Sri Ratna, dan Arifin Kartohardjono 810 OEB-13 Keragaman OPT pada Pertanaman Padi Organik di Kec. Rancakalong Kulon Kab. Cianjur Ichsan Nurul Bari 812 OEB-14 Inventarisasi Serangga Hama Gudang Pada Tanaman Obat: Studi Kasus DKI dan Sukoharjo (Jawa Tengah) M. Rizal, A. Kardinan, T. L. Mardiningsih, Michelia Darwis, dan C. Sukmana 825 OEB-15 Hama pada Tanaman Kelapa dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya (Studi Kasus di Pulau Sumba, NTT)

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan viii

Agnes V. Simamora 826 OEB-16 Keberadaan dan Prediksi Perkembangan Helopeltis antonii pada Pertanaman Jambu Mente di Kabupaten Flores Timur, NTT Agnes V. Simamora 836 OEB-17 Keanekaragaman Hymenoptera Parasitoid pada Berbagai Ekosistem Pertanian di Sumatera Barat Hasmiandy Hamid, Yunisman, dan Yaherwandi 846 OEB-18 Pengaruh Tanaman Penutup Tanah (Arachis pintoi) pada Tanaman Teh Belum Menghasilkan Terhadap Jenis dan Populasi Serangga Hama Serta Musuh Alami Wahyu Widayat 861 OEB-19 Spatial Dynamic of Species Diversity and Abundance in Bukit Barisan National Park, Sumatera Nur Hasanah, Heri Tabadepu, Bandung Sahari, dan Damayanti Buchori 870 OEB-20 Ukuran Morfologi dan Keperidian Hemiptarsenus varicornis (Hymenoptera: Eulophidae) dari Geografi Berbeda di Sumatera Barat Reflinaldon 879 OEB-21 Brontispa longissima Hama Penting Tanaman Kelapa di Kabupaten Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur Jesayas A. Londingkene 880 OEB-22 Berbagai Jenis Hama Pada Tanaman Perkebunan Kopi dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya di Kabupaten Manggarai, NTT Jesayas A. Londingkene 881 OEB-23 Perilaku Kawin Kupu-Kupu Troides helena di Kandang Penangkaran Herawati Soekardi, Amelia Oktarini, dan Achmad Nugraha 882 OEB-24 Diversitas Semut (Hymenoptera: Formicidae) Arboreal Sebagai Predator pada Perkebunan Kelapa Sawit di Sumatera Selatan Irham Falahudin 893 OEB-25 Interaksi Tumbuhan Berbunga dan Lebah di Lembah Zontan, Restorasi Satoyama, Kanazawa, Jepang Windra Priawandiputra, Ramadhani Eka Putra, Agus Dana Permana , dan Koji Nakamura 905 OEB-26 Faktor Lingkungan yang Berasosiasi dengan Distribusi Temporal Larva Culex dan Anopheles pada Area Pesawahan Organik di Kota Kaga, Jepang Didot Budi Prasetyo, Tjandra Anggraeni, dan Tuno Nobuko 917 OEB-27 Pengaruh Ketinggian Lokasi Pemeliharaan Terhadap Pertumbuhan Populasi dari Koloni Lebah Madu Lokal (Apis cerana) Ramadhani Eka Putra dan Soelaksono Sastrodihardjo 926 OEB-28 Komposisi Serangga Tanah (Diptera) pada Sistem Satoyama di Kawasan Kampus Kakuma Universitas Kanazawa, Jepang Ida Kinasih dan Koji Nakamura 938 OEB-29 Komposisi dan kepadatan spesies semut (Hymenoptera:Formicidae) yang dikoleksi dengan beberapa metoda pada tiga tipe habitat di Pulau Marak Sumatra Barat Henny Herwina, Siti Salmah, Rijal Satria, dan Yaherwandi 948 OEB-30 Tumbuhan yang Di kunjungi oleh Lebah Pekerja (Hyemnoptera: Apidae) Aktif di Sumatra Barat Siti Salmah 958 OEB-31 Peningkatan Produksi Madu Lebah Jenis Lokal Apis indica di Desa Langensari Lembang Bandung Dengan Penggunaan Desain Stup Modern W. Darajat Natawigena 968 PEB-1 Pola Komunitas Kupu-kupu pada Lima Hutan Kota DKI Jakarta Dieka Pertiwi 979 Kesimpulan dan Saran 980

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan ix

SAMBUTAN KETUA PANITIA

Puji syukur kita panjatkan kehadiran Tuhan, Allah yang maha pengasih dimana atas idzin dan karuniaNya kita dapat berkumpul hari ini dalam keadaan sehat waalfiat. Seminar kita hari ini bertema HIDUP SEJAHTERA BERSAMA SERANGGA.Dari judul ini tersirat pesan bahwa manusia harus menyadari bahwa kita, termasuk serangga adalah mahluk ciptaan Ilahi meskipun kita merupakan mahluk CiptaanNya yang paling mulia. Judul dan pesan ini menekankan perlunya kita hidup selaras, serasi dan seimbang sebagai mahluk ciptaanNya. Seminar Nasional ini diikuti jumlah peserta berjumlah 187 orang dengan jumlah peserta pemakalah sebanyak 125 orang, peserta poster sebanyak 22 orang. Dari sekian banyak peserta, ada sekitar 26 Peserta merupakan mahasiswa strata satu. Angka ini cukup banyak. Ini menunjukkan proses regenerasi keilmuan Entomologi/Serangga berjalan dengan baik. Sangat membahagiakan disatu sisi tapi memprihatinkan pula disebabkan di beberapa fakultas dengan alasan mengutamakan teknologi justru keilmuan sains seperti Entomologi, Penyakit, Virologi justru dihapuskan. Perlu dipikirkan apakah hal ini sudah tepat. Dalam seminar ini dibahas secara khusus Serangga Nyamuk DBD. Nyamuk DBD sangat memusingkan para ahli. Mudah-mudahan pembahasannya meskipun sederhana, telah dimulai dan kiranya bermanfaat dalam upaya pengendalian dampak DBD terhadap masyarakat. Seminar Nasional Entomologi ini diikuti peserta yang sangat beragam dimulai dari mahasiswa, peneliti, karyawan perusahaan juga diikuti peserta dosen. Peserta seminar ini berasal dari berbagai propinsi di Indonesia, dimulai dari Sumatera Utara, Sumatera barat, Sumatera Selatan, Riau, Lampung, Propinsi Jakarta, Jawa barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, NTT, Kalsel, Yogyakarta dan NTB. Ada sekitar 13 propinsi. Pada kesempatan seminar ini kita mengundang Mr. Lee Chow Yang sebagai Pembicara Utama. Mr Lee berasal dari University Science Malaysia.Terima-kasih Prof DR. Lee Chow Yang. Kehadiran Prof Lee tidak lepas dari peran Bapak Prof DR. Intan Ahmad dari SITH ITB. Terima-kasih kepada Pa Intan Ahmad. Dalam pelaksanaan Seminar ini, kami tidak bekerja sendiri.Bekerja sendiri adalah sesuatu yang mungkin bersifat mustahil. Kepanitiaan Seminar ini, melibatkan berbagai unsur lembaga seperti ITB/SITH, UNPAD (Kantor Pusat, Faperta, Klinik Tanaman HPT dan HPT Faperta Unpad, PURISKA FMIPA Unpad), Faperta (Unwim, Unbar, Unibba), BPTPH Jabar, PPTK Gambung, BALITSA Lembang, BB PADI Sukamandi

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan x

Subang Jabar, PT BAYER Jakarta, FMC dan PT. Ma’soem. Kepada Rekan rekan Panitia dan sponsor saya hanya bisa mengucapkan terima-kasih atas kerja-sama kita ini. Pada kesempatan ini saya juga mengucapkan terima-kasih kepada para peserta seminar sekalian.

Terakhir, tiada gading yang tak ada retaknya. Mohon di maafkan oleh Bapak/ Ibu serta peserta sekalian apabila dalam pelaksanaan seminar ini banyak terdapat kekurangan. Kiranya Tuhan yang maha esa, Allah yang maha pengasih tetap memimpin acara ini dari awal, pertengahan hingga akhir. Kasih dan berkat dari Nya menyertai kita sekalian. Amien.

Ketua Panitia,

Drs.Martua Suhunan Sianipar, MS

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan xi

SAMBUTAN KETUA PEI CABANG BANDUNG

Bismillahirrahmanirrahim

Yth. Bapak Rektor Universitas Padjadjaran Yth. Ketua Perhimpunan Entomologi Indonesia Pusat Yth. Bapak Para Dekan di lingkungan Universitas Padjadjaran Yth. Bapak dan Ibu Pembicara Utama Yth. Bapak dan Ibu Undangan Yth. Para peserta Seminar dan Hadirin sekalian yang berbahagia

Assalamualaikum Warrahmatulahi Wabarrakatuh Selamat pagi dan Salam sejahtera bagi kita semua

Pertama-tama kami sampaikan ucapan Selamat Datang kepada seluruh peserta seminar Nasional Entomologi dengan tema Hidup Sejahtera Bersama Serangga, dan terima kasih atas partisipasinya. Tema ini sengaja dipilih karena kami sadari bahwa sekarang ini mulai berkembang paradigma baru terhadap eksistensi serangga di alam, yaitu bahwa sebenarnya manusia harus bisa hidup berdampingan dengan serangga tanpa saling merugikan eksistensi masing-masing. Perlu kiranya kami sampaikan, bahwa kegiatan Seminar ini merupakan kegiatan pertemuan ilmiah rutin yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI), khususnya PEI Cabang Bandung. Namun, kegiatan pertemuan ilmiah kali ini merupakan kegiatan yang pertama kali diselenggarakan oleh PEI Cabang Bandung yang dilaksanakan bersamaan dengan Musyawarah Cabang, dengan harapan nantinya rumusan hasil dari seminar ini dapat ditindaklanjuti oleh pengurus baru PEI Cabang Bandung. Pada kesempatan ini, perkenankanlah kami atas nama pengurus PEI Cabang Bandung untuk mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada seluruh jajaran Panitia Seminar atas kerja kerasnya sehingga seminar ini dapat terlaksana dengan baik. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya juga kami sampaikan kepada para pembicara, khususnya kepada Prof Lee Chow Young dari School Of Biological Sciences Universiti Sains Malaysia yang telah jauh-jauh datang dari Malaysia

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan xii ke Bandung, Prof. Soelaksono Sastrodihardjo yang kami anggap sebagai tokoh keseranggaan dan sesepuh PEI, Prof. Ridad Agus, dan Prof. Tati Suryati Samsudin Subahar. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga kami sampaikan kepada para sponsor, Bapak Dekan Fakultas Pertanian Unpad beserta staf, Pimpinan Pusat PEI, Puriska (Pusat Riset dan Kerja Sama) Fakultas MIPA Unpad, dan PEI Cabang Bogor atas dukungan dan kerja samanya. Kepada Yth. Bapak Rektor Universitas Padjadjaran, kami sampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas bantuan fasilitas dan SDM yang telah diberikan sehingga kami dapat melaksanakan seminar di lokasi yang sangat strategis, khususnya bagi para peserta dari luar Bandung (karena dekat dengan daerah wisata belanja). Kami mohon dengan hormat kesediaan dari Bapak Rektor untuk membuka secara resmi seminar ini. Akhir kata, kami mengucapkan Selamat Berseminar, semoga seminar ini dapat memberikan ide dan pemikiran baru dalam upaya pengembangan kerjasama antara manusia dengan serangga. Kami mohon maaf atas segala kekurangan dalam pelaksanaan seminar ini.

Wabillahitaaufik Walhidayah Wassalamualaikum Warrahmatullahi Wabarrakatuh

Bandung, 16 Februari 2011 Ketua PEI Cabang Bandung

Syarif Hidayat, Ir. MP

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan xiii

SAMBUTAN KETUA PEI PUSAT

Yang kami hormati, para pejabat di lingkungan institusi pemerintah maupun swasta, para pembicara seminar baik dari dalam maupun luar negeri, para peserta seminar, dan para hadirin semua. Pertama, kami ingin mengucapkan SELAMAT kepada PEI Cabang Bandung yang bekerjasama dengan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran dalam menyelenggarakan Seminar Nasional Entomologi. Ini adalah suatu bukti akan kepedulian terhadap kemajuan Entomologi dan juga pengembangan anggota PEI. Topik yang dipilih ‘Hidup Sejahtera Bersama Serangga (Living with : Improving the Quality of Life)’ mempunyai nilai filosofis yang dalam sekaligus bersifat praktis. Tidak sulit bagi anggota PEI untuk memahami topik tersebut, namun juga tidak mudah bagi anggota PEI untuk menerapkan filosofi tersebut dalam kehidupan nyata. Masih banyak kegiatan dan praktek terkait dengan entomologi yang tidak sesuai dengan apa yang kita pahami dan yakini, misalnya dalam kaitannya dengan kegiatan pengelolaan hama serangga baik di bidang pertanian, kesehatan, atau bidang lainnya yang masih bertolak belakang dengan makna topik di atas. Serangga merupakan makhluk Tuhan yang sangat bervariasi baik dalam spesies, biologi, maupun perannya di dalam ekosistem dan kaitannya dengan kehidupan manusia. Serangga juga sangat adaptif terhadap berbagai tekanan seleksi baik oleh alam maupun karena kegiatan manusia. Secara historis serangga telah membuktikan mampu untuk menghadapi dan hidup di berbagai ekosistem yang ‘keras’, dan hal ini nampaknya akan menjadi advantage bagi serangga dalam menghadapi climate change. Salah satu konsekuensi yang mungkin muncul di kemudian hari adalah semakin sering munculnya outbreak serangga hama karena kemampuan adaptasi yang lebih cepat dibandingkan dengan faktor pengendali alami atau berubahnya status serangga hama karena berbagai support yang diperoleh dengan adanya perubahan iklim. Perubahan ini menuntut kita sebagai entomologis untuk go beyond (berfikir dan bertindak di luar kebiasaan). Masih banyak tantangan yang kita hadapi baik sebagai individu entomologis maupun sebagai anggota profesi PEI. Sebagai perhimpunan profesi, PEI merupakan muara berbagi kegiatan, pemikiran, dan kepentingan. Sebagai perhimpunan profesi, harus kita akui bahwa perannya dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara masih pasang surut. PEI di kemudian hari semestinya dapat lebih mengambil peran dalam mewarnai proses pendidikan entomologi di Indonesia dan mengembangkan konsep/paradigm pengelolaan serangga serta implementasinya yang lebih sesuai dengan bumi Indonesia.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan xiv

Beberapa hal yang kami sebut di atas merupakan tantangan dan sekaligus sebagai peluang bagi kita semua untuk secara kolektif berkontribusi dalam menekan kehilangan hasil/kerugian yang disebabkan oleh serangga dengan tetap menjaga kesehatan lingkungan. Akhirnya, kami mengucapkan selamat berseminar dan semoga pemikiran yang muncul selama dua hari ini akan bermanfaat bagi masyarakat Indonesia.

Ketua PEI Pusat,

Prof. DR. Y. Andi Trisyono

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan xv

SAMBUTAN DEKAN FAPERTA UNIVERSITAS PADJADJARAN

Bissmillahirrahmanirahim

Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Padjadjaran Yang terhormat Para Pembantu Rektor UNPAD I sampai V Yang terhormat Para Dekan Dilingkungan Universitas Padjaran Yang terhormat Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masysrakat UNPAD Yang terhormat Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Entomologi Indonesia Yang terhormat Para Pengrus Cabang Perhimpunan Entomologi Indonesia Yang terhormat Para Undangan dari instansi pemerintah yang membidangi Pertanian, Perkebunan , kehutanan dan Kesehatan. Saudara-saudara pencinta serangga dan hadirin undangan serta seluruh peserta seminar Entomologi ,

Assalamu Alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh

Berkat Rakhmat Allah S.W.T, pada hari ini masih diberi ni’mat sehat wal’afiat sehingga dapat berkumpul pada acara pembukaan Seminar Nasional Entomologi dan Musyawarah Pengurus Perhimpunan Entomologi Cabang Bandung. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa keberadaan serangga di planet bumi ini telah diketahui sejak berabad-abad yang lampau dan aktivitas hidupnya selalu berinteraksi dengan aktivitas hidup manusia sehingga habitat serangga selalu berdekatan dengan habitat manusia, mulai dari lingkungan terbuka (di daratan, perairan, tempat penyimpanan bahan makanan) dengan rentang waktu aktivitas yang bervariasi baik siang hari (diurnal) maupun malam hari (nocturnal). Keberadaan serangga di dalam habitat lahan pertanian memiliki peranan yang beragam antara lain sebagai serangga hama yang bersifat merugikan,maupun sebagai musuh alami serangga hama (parasitoid dan predator), serangga pemakan gulma. Keberadaan serangga di Agroekosistem tidak terlepas dari aktivitas manusia dalam melakukan budidaya tanaman mulai dari memilih tanah yang cocok untuk menanam benih sebagai sumber bahan pangan terpilih dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup dan penghidupan manusia sesuai dengan tingkat perkembangan budaya manusia mulai dari ladang berpindah-pindah , ladang menetap, bercocok tanam di sawah mulai dari irigasi sederhana, irigasi teknis yang dikelola secara sistematis sampai ke pengaturan distribusi air irigasi. Tersedianya air irigasi secara teratur memberikan manfaat positif terhadap upaya peningkatan

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan xvi produksi bahan pangan khususnya beras melalui program ekstensifikasi (perluasan areal) maupun intensifikasi. Dalam mengelola lahan pertanian yang biasa dilakukan oleh petani tidak pernah luput dari gangguan organisme pemakan tumbuhan (Herbivora) yang sebagian besar didominasi Kelas Insekta dan dikenal sebagai serangga hama. Seiring dengan proses suksesi ekosistem serangga herbivora tersebut mendapat tekanan dari serangga pemakan serangga hama (Serangga entomophaga) demikian pula dalam penguraian bahan organik oleh organisme pengurai dalam proses pelapukan, mulai dari bahan tumbuhan yang dikoyak oleh serangga decomposer seperti Protura, Colembolla , anoplura dan organisme penghuni tanah lainnya. Disamping itu terdapat pula serangga yang berperan dalam proses penyerbukan bunga. Aktivitas serangga yang lainnya adalah sebagai penyerbuk bunga, parasitoid, predator, dan dekomposer. Disamping itu terdapat pula serangga yang berperan sebagai vektor penyebar penyakit baik pada tumbuhan, hewan maupun manusia. Dari fenomena ini menunjukkan bahwa sebagian dari aktivitas serangga berdampingan aktivitas manusia .

Jatinangor, 16 Februari 2011

(Prof.Dr. Benny Joy, Ir.,M. S.)

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan xvii

SAMBUTAN REKTOR UNIVERSITAS PADJADJARAN

Bismillahirrahmanirrahim

Yth. Ketua Perhimpunan Entomologi Indonesia Pusat dan Cabang Bandung Yth. Bapak dan Ibu Para Pembicara Pada Seminar Nasional : “Hidup Bersama Serangga” Yth. Bapak dan Ibu Para Undangan Dan Hadirin peserta seminar sekalian yang berbahagia

Assalamualaikum Warrahmatulahi Wabarrakatuh Selamat pagi dan Salam sejahtera bagi semua

Seiring dengan pertumbuhan populasi manusia, seringkali manusia lupa lalu mengeksploitasi sumber daya alam yang melebihi kemampuan alam itu sendiri. Keadaan ini lantas bersinggungan dengan mahluk lain, dalam hal ini serangga. Sebagaimana kita ketahui, banyak serangga yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, mulai dari kupu-kupu yang membantu penyerbukan tanaman, lebah yang menghasilkan madu, ulat sutra yang dapat menghasilkan produk berharga dan sebagainya. Di sisi lain beberapa serangga juga ada yang merugikan kehidupan manusia yang biasa disebut hama. Namun kini tidak lagi sesederhana itu, manusia telah lebih jauh mempelajari system kehidupan serangga hingga taraf fisiologi dan molekulernya. Entomologi kini banyak dibahas dalam kapasitas urban dan industri, bahkan serangga berperan cukup penting pada perubahan iklim global atau global environmental change. Maka kemudian, manusia dalam kapasitasnya mengembangkan pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dalam bidang kesehatan, agrikultur, medis, veteriner, peternakan, perikanan dll berusaha untuk hidup berdampingan dengan serangga sehingga dapat menguntungkan kehidupan dalam lingkungan yang seimbang serta mengatasi masalah dengan lebih bijaksana. Sehubungan dengan hal itu, seminar nasional “Hidup Sejahtera Bersama Serangga (Living with insects: Improving the quality of life) diharapkan dapat menghimpun informasi, menjadikan bahan diskusi, memperluas pengembangan penelitian tentang sumber daya hayati serangga demi tercapainya sebuah tujuan optimalisasi pemanfaatan dan pelestarian sumber daya hayati bagi manusia dan lingkungannya.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan xviii

Pada kesempatan ini saya berharap peran serta akademisi, peneliti, masyarakat dan asosiasi agar dapat meningkatkan jaringan antar institusi bagi terwujudnya tujuan tersebut. Kepada panitia dan semua pihak yang telah bekerja demi berlangsungnya acara ini, saya ucapkan terima kasih. Dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim, saya buka seminar nasional “Hidup Sejahtera Bersama Serangga” ini dengan resmi. Selamat berseminar.

Wabillahitaaufik Walhidayah Wassalamualaikum Warrahmatullahi Wabarrakatuh

Rektor Universitas Padjadjaran

Prof. Dr. Ganjar Kurnia,DEA

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan xix

INFORMASI UMUM

DAFTAR ULANG Semua peserta seminar diwajibkan untuk mendaftar ulang sebelum acara dimulai. Meja Daftar Ulang berada di pintu masuk tempat pelaksanaan seminar, yaitu di Gedung 2 lantai 4 Universitas Padjadjaran Bandung Jalan Dipati Ukur no 35. Dengan mendaftar ulang, kami ingin memastikan bahwa seluruh peserta akan mendapatkan layanan dan bantuan yang terbaik. Meja Daftar Ulang akan dibuka pada hari Rabu tanggal 16 Februari 2011 jam 07:00-17:30. Dalam seminar ini, setiap peserta akan mendapatkan sertifikat, seminar-kit, makan siang, snack, dan minuman hangat selama dua kali rehat.

PANDUAN PRESENTASI ORAL File presentasi oral dalam bentuk MS-PowerPoint harap dibawa dalam USB flash-disc atau CD dan wajib di-copy ke komputer sekretariat seminar setelah daftar ulang pada Bagian Penerimaan File Presentasi. Panitia hanya menerima presentasi oral dengan menggunakan software MS-PowerPoint dan tidak menyediakan OHP maupun proyektor slide. Tiap ruangan presentasi oral akan dilengkapi dengan satu set komputer dan LCD- projector untuk presentasi MS-PowerPoint. Waktu yang diberikan untuk tiap presentasi oral adalah 15 menit, termasuk kurang lebih 5 menit untuk tanya- jawab pada bagian akhir presentasi. Waktu yang diberikan untuk keynote-speaker adalah 30 menit, termasuk kurang lebih 7,5 menit untuk tanya- jawab pada bagian akhir presentasi. Tiap penyaji presentasi oral dimohon untuk menyediakan waktu yang cukup untuk tanya-jawab pada bagian akhir presentasi.

PANDUAN PRESENTASI POSTER Poster wajib dibawa pada hari pelaksanaan dan diserahkan ke sekretariat seminar setelah daftar ulang pada bagian Penerimaan Poster. Poster akan dipasang oleh petugas dari sekretariat seminar pada tempat yang telah disediakan. Ukuran poster adalah maksimal 100x160 cm dengan layout portrait. Penyaji presentasi poster wajib berada disamping posternya selama sessi presentasi poster yaitu antarajam 11:30-12:30.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan xx

Bagi penyaji presentasi poster yang menghendaki posternya dibawa kembali, mohon memberitahupetugas untuk dibantu mengemas poster pada akhir pelaksanaan seminar.

PANDUAN UNTUK TIAP SESI PRESENTASI Panitia seminar akan sangat berterimakasih apabila semua penyaji presentasi oral dapat tepat waktu dengan jadwal dan alokasi waktu yang diberikan untuk tiap presentasi. File presentasi oral tiap penyaji akan tersedia pada komputer tiap ruang sessi sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan. Satu orang petugas akan disediakan untuk membantu penyaji mengoperasikan komputer apabila diperlukan. Penyaji presentasi oral dimohon hadir di ruang presentasi selama satu sessi penuh dan terlibat aktif dalam tanya-jawab. Penyaji presentasi oral wajib menyampaikan presentasinya. Penyaji, moderator, dan koordinator ruang akan diminta menandatangani lembar berita-acara pelaksanaan presentasi.

ATURAN UMUM Tanda Pengenal : Seluruh peserta akan memperoleh Tanda Pengenal pada saat daftar ulang yang wajib dipakai dan terlihat jelas selama seminar berlangsung. Telepon Genggam : Di dalam ruangan selama seminar berlangsung, baik pleno maupun sessi, telepon gengam wajib di-set silent. Rokok : Di dalam ruangan selama seminar berlangsung, baik pleno maupun sessi, dan di tempat banyak orang berkumpul tidak diperkenankan merokok.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan xxi

SUSUNAN PANITIA

Pelindung : Rektor Universitas Padjadjaran (Prof. DR. Ganjar Kurnia, Ir., DEA.) Ketua PP Perhimpunan Entomologi Indonesia (Prof. DR. Y. Andi Trisyono)

Penanggung Jawab: Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI) Cabang Bandung ; - Syarif Hidayat, Ir., MP ( Ketua ) - H. Tohidin, Ir., MP ( Sekretaris )

Panitia Pengarah (SC) : Prof. DR. Soelaksono Sastrodihardjo Prof. DR. Benny Joy, Ir., MS (Dekan Fakultas Pertanian UNPAD) DR. H. Ceppy Nasahi, Ir., MS (Ketua Jurusan HPT, Faperta UNPAD)

Panitia Pelaksana (OC ) Ketua : Martua Suhunan Sianipar, Drs., MS (UNPAD) Wakil Ketua : Wahyu Widayat, Ir., MS. (PPTK Gambung) Sekretaris : Tien Turmuktini, Dra., MP. (Faperta UNWIM) Wakil Sekretaris : Endang Kantikowati, Dra., MP (Faperta UNIBBA) : Rika Meliansyah, SP. MSi (Faperta UNPAD) : Ichsan Nurul Bari, SP., MSi (Koordinator/Faperta UNPAD)

Bendahara : Hj. Tinny S. Uhan, Ir., MS (BALITSA Lembang) Wakil Bendahara : Elly Roosma Ria, Ir., M.Si. (Faperta UNWIM)

Bidang Bidang : 1. Scientific Committee(SC): Intan Ahmad. Ph.D (Koordinator, Dekan SITH ITB) DR. Wawan Hermawan, M.Sc (Wkl Koordinator/Dekan FMIPA UNPAD). Prof.DR.Ridad Agoes, dr. (Fak. Kedokteran UNPAD) Prof. DR. Entun Santosa, Ir. (Faperta UNPAD) Prof.(Rest) Baehaki. (BB Padi Sukamandi)

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan xxii

DR. Atik Dharmadi. (Asosiasi Teh Indonesia) DR.Tita Damayanti Lestari., Ir. (Fak. Peternakan UNPAD) Prof. DR. Tati Suryati S.Subahar, DEA. (SITH ITB) DR. Agus Dana Permana (SITH ITB) DR. Tjandra Anggraeni. (SITH ITB) DR. Sudarjat (Faperta UNPAD) DR. Danar Dono (Faperta UNPAD) Sekretariat SC : Ramadhani Eka Putra, Ph.D. (SITH ITB) Ida Kinasih, Ph.D. (UIN Bandung)

2.Acara, Persidangan & Transportasi : DR. Toto Sunarto, Ir., MP (Koordinator/UNPAD) Agus Susanto, Ir., MSi (Wkl Koord/UNPAD). DR. Laksminiwati Prabaningrum (BALITSA Lembang) Luciana Djaya, Ir., MSi (Faperta UNPAD) Wiwin Setiawati, Ir., MSi (BALITSA Lembang) Yenny Muliani, Ir., MP. ( Faperta UNINUS) Tim Klintan HPT Faperta UNPAD.

3. Publikasi & Dokumentasi : Ir. Lukman Nulhakim (Koord/BPTPH Jabar) Ir. Sunanto (Wkl Koord/ BPTPH Jabar) Ir. Odih Sucherman (PPTK Gambung). Tim Klintan HPT Faperta UNPAD 4.Pameran : Lindung, SP., MP (Wkl Koord/Faperta UNPAD) Mastur, SP (Balitsa Lembang) Ir.Sobar (PPTK Gambung) Siska Rasiska, SP., MSi (Faperta UNPAD) Tim Klintan HPT Faperta UNPAD.

5.Konsumsi : Pasetriyani, Ir., MP (Koordinator/Faperta UNBAR) Ely Darlina, Ir, MS (Wkl Koord/Faperta UNBAR) Tati Rubiati, B.Sc (Balitsa Lembang) Sri Hartati, Ir,. MP. (Faperta UNPAD) Ineu Sulastrini SP (Balitsa Lembang) Tim Klintan HPT Faperta UNPAD.

6.Kesehatan (P3K) : dr. Yati Muliati Santosa,MM.(Koordinator) Tim Klintan HPT Faperta UNPAD

7. Ketertiban : Satuan Pengaman UNPAD

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan xxiii

SUSUNAN ACARA

Hari ke-1 Rabu, 16 Februari 2011 08:00-09:00 Daftar ulang peserta Seminar/ registrasi 09:00-09:30 Pembukaan Pembacaan Doa Laporan Ketua Panitia Martua Suhunan Sianipar, Drs., MS Sambutan 1. Syarif Hidayat, Ir. MP (Ketua PEI Cabang Bandung) 2. Prof. Dr. Y. Andi Trisyono (Ketua Pengurus Pusat PEI) 3. Prof. Dr, Benny Joy, Ir., MS (Dekan Faperta Unpad) Sambutan dan Pembukaan Prof. Dr. Ganjar Kurnia, Ir. DEA (Rektor Universitas Padjajaran) 09:30-10:00 Coffee Break 10:00-10:45 Pemakalah Utama I Prof. Lee Chow Yang (Guru Besar Universiti Sains Malaysia) Moderator : Prof.Intan Achmad, Ph.D 10:45-11:30 Pemakalah Utama II Prof. Dr. Soelaksono Sastrodihardjo (Guru Besar Emeritus SITH – ITB) Moderator : Prof.Intan Achmad, Ph.D 11:30-13:00 Makan siang Presentasi Poster Ruang Serbaguna Gd. 2 Lt. 4 Ruang Serbaguna Lama Lt. 3 OPH: Pengendalian Hama OFTBM: Fisiologi, Toksikologi dan Biologi Medikal (Moderator: Ramadhani Eka Putra) (Moderator:Toto Sunarto ) OPH-01 Donnarina Simanjuntak OFTBM-02 Hery Pratiknyo OPH-02 Trisnaningsih OFTBM-11 Syaiful Asikin OPH-03 Desita Salbiah OFTBM-03Amrizal Nazar OPH-04 Tatang Suryana OFTBM-20 Tjandra Anggraeni Bale Rumawat Fakultas Hukum Gd. 4 Lt. 2 OPH: Pengendalian Hama OEB: Ekologi dan Biodiversitas Presentasi Oral (Moderator:Luciana Jaya) (Moderator:Wiwin Setiawati ) Sesi Paralel 1 OPH-08 Agus Susanto OEB-20 Reflinaldon OPH-05 Wiratno OEB-30 Siti Salmah 13:00-14:00 OPH-07 Syahri OEB-18 Wahyu Hidaya OPH-40 Mahrita Willis OEB-14 M. Rizal E F OPH: Pengendalian Hama OFTBM: Fisiologi, Toksikologi dan Biologi Medikal (Moderator :Wahyu Widayat) (Moderator:Tjandra Anggraeni ) OPH-34 Lince Mukkun OFTBM-01 Dodin Koswanudin OPH-21 Muhammad Thamrin OFTBM-08 Yusniar Ariati OPH-32 Itji Diana Daud OFTBM-10 Nismah OPH-28 Ahmad P. Dongoran OFTBM-13 Andrio Adiwibowo Ruang Serbaguna Gd. 2 Lt. 4 Ruang Serbaguna Lama Lt. 3 Presentasi Oral OPH: Pengendalian Hama OEB: Ekologi dan Biodiversitas Sesi Paralel 2 (Moderator:Tita Damayanti Lestari ) (Moderator: Toto Sunarto ) OPH-09 Baehaki S.E. OEB-01 Dewi Rumbaina M. 14:00-15:00 OPH-11 Endang L. Widiastuti OEB-21 Jesayas A. Londingkene. OPH-12 Tati Suharti OEB-15 Agnes V Simamora OPH-10 Syahri OEB-11 Itji Diana Daud Bale Rumawat Fakultas Hukum Gd. 4 Lt. 2 OPH: Pengendalian Hama OFTBM: Fisiologi, Toksikologi dan Biologi Medikal (Moderator:Luciana Jaya ) (Moderator:Tjandra Anggraeni ) OPH-13 Sajimin OFTBM-04 Amrizal Nazar

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan xxiv

OPH-14 Syaiful Asikin OFTBM-17 Silvia Permata Sari OPH-15 Muhammad Thamrin OFTBM-09 M. Hasyimi OPH-41 Mahrita Willis OFTBM-07 Dodin Koswanudin E OPH: Pengendalian Hama (Moderator:Wahyu Widayat ) OPH-26 M. Jusuf OPH-45 Maryani Cyccu Tobing OPH-37 Ana F.C Irawati OPH-25 Tri Martini 15:00-15:30 Coffee Break Ruang Serbaguna Gd. 2 Lt. 4 Ruang Serbaguna Lama Lt. 3 OPH: Pengendalian Hama OEB: Ekologi dan Biodiversitas (Moderator: Wiwin Setiawati) (Moderator: Ramadhani Eka Putra ) OPH-18 Baehaki S.E. OEB-06 Yosep Seran Mau OPH-19 Herwenita OEB-07 RC. Hidayat Soesilohadi OPH-16 Muhammad Thamrin OEB-22 Jesayas A. Londingkene OPH-20 Hairil Anwar OEB-16 Agnes V Simamora Bale Rumawat Fakultas Hukum Gd. 4 Lt. 2 OPH: Pengendalian Hama OEB: Ekologi dan Biodiversitas Presentasi (Moderator: Tita Lestari) (Moderator:Toto Sunarto ) Oral OPH-30 R. Subekti OEB-02 Jasmi Sesi Paralel 3 OPH-36 Ana F.C. Irawati OEB-09 Sajimin 15:30-16:30 OPH-29 Tri Martini OEB-23 Herawati Soekardi OPH-27 Bambang Sutaryo OEB-24 Irham Falahudin E OEB: Ekologi dan Biodiversitas (ModeratorTohidin:) OEB-03 Imam Widiono OEB-04 Ichsan Luqman Indra P OEB-10 Lince Mukkun OEB-17 Hasmiandy Hamid

Hari ke- 2 Kamis, 17 Februari 2011 08:30-09:15 Pemakalah Utama III Prof. Dr. Ridad Agoes, dr Moderator: Dr. Wawan Hermawan, MSc 09:15-10:00 Pemakalah Utama IV Prof. Dr. Tati Suryati S. Subahar Moderator: Dr. Wawan Hermawan, MSc 10:00-10:30 Pemakalah Utama V Prof. Dr. Y. Andi Trisyono Moderator: Prof. Dr. Entun Santosa, Ir. 10:30-11:00 Coffe Break Ruang Serbaguna Gd. 2 Lt. 4 Ruang Serbaguna Lama Lt. 3 OFTBM: Fisiologi, Toksikologi dan Biologi OEB: Ekologi dan Biodiversitas (Moderator: Danar Medikal Dono) (Moderator:Toto Sunarto ) OEB-08 Baehaki S.E. OFTBM-06 Yasmi Purnamasari K. OEB-05 IM. Trisawa OFTBM-08 Yusniar Ariati OEB 12 Rahmini Presentasi Oral OFTBM-05 Mia Miranti OEB-19 Nur Hasanah Sesi Paralel 4 OFTBM-12 Yenny Muliani Bale Rumawat Fakultas Hukum Gd. 4 Lt. 2 11:00-12:00 OPH: Pengendalian Hama OFTBM: Fisiologi, Toksikologi dan Biologi Medikal (Moderator: Ramadhani Eka Putra) (Moderator: Wahyu Widayat ) OPH-17 Melanie OFTBM-19 Melanie OPH-31 Wieny H. Rizky OFTBM-14 Endang Sri Ratna OPH-35 Agus D. Permana OFTBM-15 Wawan Hermawan OPH-39 Syarif Hidayat OFTBM-16 Yudi Rismayadi 12:00-12:30 Ishoma Presentasi Poster Ruang Serbaguna Gd. 2 Lt. 4 Ruang Serbaguna Lama Lt. 3 Presentasi Oral OPH: Pengendalian Hama OEB: Ekologi dan Biodiversitas (Moderator: (Moderator: Wawan Hermawan) Ramadhani Eka Putra)

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan xxv

Sesi Paralel 5 OPH-33 Wieny H. Rizky OEB-13 Ichsan Nurul Bari OPH-06 Yudi Rismayadi OEB-29 Henny Herwina 13:00-14:00 OPH-24 Danit Annisa OEB-31 W. Darajat Natawigena OPH-46 Mustika Dewi Bale Rumawat Fakultas Hukum Gd. 4 Lt. 2 OPH: Pengendalian Hama OFTBM: Fisiologi, Toksikologi dan Biologi Medikal (Moderator:Syarif Hidayat) (Moderator: Tohidin ) OPH-42 Agus Susanto OFTBM-21 Agus Dana Permana OPH-44 Tati Suhari OFTBM-22 Laura Flowrensia OPH-23 Devi Kurnia OFTBM-23 Resti Rahayu OPH-22 Sudarjat OFTBM-26 Nova Hariani Ruang Serbaguna Gd. 2 Lt. 4 Ruang Serbaguna Lama Lt. 3 OPH: Pengendalian Hama OEB: Ekologi dan Biodiversitas (Moderator: (Moderator: Danar Dono) Sudarjat) OPH-43 Agus Susanto OEB-25 Windra Priawandiputra OPH-47 Wartono OEB-26 Didot Budi Prasetyo OPH-38 Syarif Hidayat OEB-27 Ramadhani Eka Putra Presentasi Oral OEB-28 Ida Kinasih Sesi Paralel 6 Bale Rumawat 14:00-15:00 OFTBM: Fisiologi, Toksikologi dan Biologi Medikal (Moderator: Wiwin Setiawati) OFTBM-24 Resti Rahayu OFTBM-25 Eko Kuswanto OFTBM-27 Wawan Hermawan 15:00-15:15 Penutupan 15:15-17:00 Musyawarah Anggota PEI Bandung

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan xxvi

DAFTAR PESERTA SEMINAR NASIONAL PERHIMPUNAN ENTOMOLOGI INDONESIA

NO. NAMA INSTANSI/INSTITUSI 1 Aa Tatang Muhram Uninus 2 Ade Salimah Ir Unpad 3 Adhisunu Arysta 4 Ahmad Asrori Biruni Pest Control 5 Akbar Reza Kelompok Studi Entomologi BIOGAMA 6 Angga Putra Kusumastianto Kelompok Studi Entomologi BIOGAMA 7 Annisa Maulikalyana HPT Faperta Unpad 8 Arifin Kartohardjono Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Bogor Peneliti BB Padi 9 Arina Muthia Biologi Unpad 10 Asep Andung Dishut Provinsi 11 Awaluddin Terminix Bogor 12 Ayu Ratri Wardyaningrum Kelompok Studi Entomologi BIOGAMA 13 Berty Assa Unsrat Manado 14 Berty H. Assa Unsrat 15 Buari, Sp PT. East West Seed Indonesia 16 Crisyanto Zatnika Mahasiswa Faperta Unpad 17 Dadang Kusnadi Uninus 18 Dadi Surachman Teknik Lingkungan ITB 19 Danar Dono Faperta Unpad 20 Dede Wahyu Disbun Provinsi Jabar 21 Dedeh Kurniasih Biologi Unpad 22 Derhani Lg Karantina 23 Dewi Anggraini W Mahasiswa Faperta Unpad 24 Diah Ayu Sithoresmi S Dsibun Provinsi Jabar 25 Dian Rahayu P.S Kelompok Studi Entomologi BIOGAMA 26 Dieka Pertiwi Bio Uia 27 Dita Nurtjahya Kelompok Studi Entomologi BIOGAMA 28 Dr. Ahmad Ghiffari Universitas Sriwijaya 29 Dr. Ir. Christina L Salaki, Ms Fakultas Pertanian Unsrat Manado 30 Dr. Ir. Christina Salaki, Ms Fakultas Pertanian Unsrat 31 Dwi Subekti, Sp. Msi Karantina 32 Dwi Sugipriatini, S.Si, M.Si Karantina 33 Dyah Ayu Widyastuti Kelompok Studi Entomologi BIOGAMA 34 Edy Syahputra Msi Fakultas Pertanian Universitas Tanjung Pura 35 Emma Mardliyah, Dr. Mkes Unjani Cimahi 36 Entun Santosa Fakultas Pertania Unpad 37 Ernawati Handayani Kelompok Studi Entomologi BIOGAMA 38 Eva Fatihatur Rohmah Kelompok Studi Entomologi BIOGAMA 39 Fahmi Ginanjar Kelompok Studi Entomologi BIOGAMA 40 Faiz Nizam Uninus 41 Fani Fauziah HPT Faperta Unpad 42 Fatimah Biologi Uia 43 Fauziatul Fitriyah Kelompok Studi Entomologi BIOGAMA 44 Fitra Sukma Meylia Kelompok Studi Entomologi BIOGAMA 45 Galang Ari Purnama Biologi Unpad 46 Harris Uninus

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan xxvii

47 Hery Damana BP2MB Disbun Jabar 48 Hibban F Mahasiswa Faperta Unpad 49 Hingrid Mahasiswa Faperta Unpad 50 Hoerussalam UGM 51 Hussen Al Idrus Uninus 52 Ibnu Fadilatussyar‘i Mahasiswa Pecinta Alam/Fakultas Biologi UGM 53 Ida Adviany Uninus 54 Ida F. BPTP Disbun Jabar 55 Imam Anbar Mahasiswa Faperta Unpad 56 Indriana Saraswati Kelompok Studi Entomologi BIOGAMA 57 Ir Jeane Krisen, Mp Unsrat Manado 58 Ir. Hj. Tuti Aswati Bdtp Desbun Jabar 59 Ir. Jeane Krisen, Mp Unsrat 60 Ir. Mareyke Moningka, Ms Unsrat Manado 61 Ir. Sobni Y Kaidun Distanbunhut Bekasi 62 Ir. Wawan BP2MB Disbun Jabar 63 Irma Mangatur HPT Faperta Unpad 64 Iwan Mahasiswa Faperta Unpad 65 Iwan BPTPH 66 Iza Fariza Disbun Provinsi Jabar 67 Juliati Prihatini Ir, M. Si IPDN 68 Junengsih HPT Faperta Unpad 69 Ken Winarni T PT. Petrokimia Kayaku Gresik 70 Keri Lestari Farmasi Unpad 71 Kiki Korneliani Skm. Mkes Univ. Siliwangi Tasik 72 Langkah Sembiring M.Sc, Ph.D Fakultas Biologi UGM 73 Lina Dishut Provinsi 74 Lucy L. V. Simarmata Mahasiswa Faperta Unpad 75 Luthfi Nurlaela, Dr. Mkes Unjani Cimahi 76 Luthfiralda, M. Biomed Program Studi Pasca Sarjana Biologi Departemen Biologi FMIPA Unpad 77 M. Luqman K Mahasiswa Faperta Unpad 78 Madihah S.Si., M.Si Puriska – FMIPA Unpad 79 Maria Wulan Purwiji P Disbun Provinsi Jabar 80 Maulani Nurfitri F Mahasiswa Faperta Unpad 81 Mereyke Moningka Unsrat Manado 82 Muhamad Nurcahyo Utomo Biologi Unpad 83 Muhamad Rizal HPT Faperta Unpad 84 Neneng S Parasitologi Unpad 85 Nining R Jurusan Biologi Unpad 86 Nova Hariani ITB 87 Novita Hartati Kelompok Studi Entomologi BIOGAMA 88 Nur Chakra Universitas Hasanuddin 89 Nur Intan F Dishut Provinsi Jabar 90 Nur Maullidiah Mahasiswa Faperta Unpad 91 Nuraidah Uninus 92 Nurjanah Sp, M.Si Karantina 93 Nurman Hendriyanto Uninus 94 Nursusilawati HPT Faperta Unpad 95 Nurul Mu‘min Universitas Hasanuddin 96 Ontri Naldi PT. Mitra Kreasidharma 97 Pathmi Noerhatini, Ir. Msi ITB 98 Paulus M Mahasiswa Faperta Unpad 99 Pebriani Megandara HPT Faperta Unpad 100 Prihatini Ir, Msie IPDN

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan xxviii

101 Prof Dr Ir. S. J. Rondonuwu L Unsrat 102 Prof. Dr. Chairil Anwar Universitas Sriwijaya 103 Prof. Dr. Ir. Redsway T.D. Maramis, Ms Unsrat 104 Rahmi Utami Hadiani ITB 105 Rahmini IPB 106 Rani Siti R Mahasiswa Faperta Unpad 107 Repsi Erdiana N Kelompok Studi Entomologi BIOGAMA 108 Resti Indah HPT Faperta Unpad 109 Restu Galih Purba Unibba 110 Rian Priyatno Mahasiswa Faperta Unpad 111 Ricky Sianipar Mahasiswa Faperta Unpad 112 Rika Alfianny Ir. Mp ITB 113 Rini Sitawati Faperta Unpad 114 Riska Novianti HPT Faperta Unpad 115 Ristiani Amalia HPT Faperta Unpad 116 Rizki Rohmanian HPT Faperta Unpad 117 Rizky Ari Budianto Kelompok Studi Entomologi BIOGAMA 118 Rizky Renggana Mahasiswa Faperta Unpad 119 Robi Fernando Uninus 120 Rumenda Ginting, Sp. Msi Karantina 121 Sahata Simanungkalit PT. Hehindo Publika Utama 122 Septiani Emdarwati Kelompok Studi Entomologi BIOGAMA 123 Shafitri Rizka Rahayu Kelompok Studi Entomologi BIOGAMA 124 Silvita Fitri R Parasitologi Dept. Fk Unpad 125 Siti Nur Chasanah Kelompok Studi Entomologi BIOGAMA 126 Sobni Y. Kaidun Dis. Tani Bekasi 127 Suryadi Islami Kelompok Studi Entomologi BIOGAMA 128 Tanti Rahayu Kelompok Studi Entomologi BIOGAMA 129 Tatang Rukmana PT. Bayer Indonesia (Bayer Cropsicence) 130 Taufan Tanto S Karantina Pertaman 131 Tiara Restu Amanda Mahasiswa Faperta Unpad 132 Titi Sumarti, Sp., M.Si Karantina 133 Tri Martini UGM 134 Umi Mudrikatul Janah, Sp - 135 Vidya Imasita HPT Faperta Unpad 136 Waly Akbar HPT Faperta Unpad 137 Winda F. A Mahasiswa Faperta Unpad 138 Wino A. N Mahasiswa Faperta Unpad 139 Yadi P Disbun Provinsi 140 Yani Dawy, Sp., Msi Karantina 141 Yayan Supyan Poltekes Bandung 142 Yayat Rabdiyat BP2MB Disbun Jabar 143 Yeyet Setiawati Ir. Mp ITB 144 Yoga Dwi Permana Kelompok Studi Entomologi BIOGAMA 145 Yuanita Anggit F.H., S.Si PT. Petrokimia Kayaku Gresik

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan xxix

OPH-01 Pemanfaatan Organic Trap Sebagai Pengendali Oryctes rhinoceros Secara Terpadu Di Perkebunan Kelapa Sawit Donnarina Simanjuntak1, Agus Susanto1, A. E. Prasetyo1, Y. Sebayang1 1PusatPenelitianKelapaSawit (PPKS), Indonesian Oil Palm Research Institute (IOPRI) Jl. Brigjen. Katamso No. 51 Kp. Baru, Medan 20158, Indonesia Telp. 061-7862477, mobile 081281020038, fax 061-7862488 Email: [email protected]

ABSTRAK Oryctes rhinoceros merupakan hama penting yang menyerang kelapa sawit khususnya di areal peremajaan dan sangat merugikan di beberapa daerah di Indonesia. Pengendalian O. rhinoceros pada perkebunan kelapa sawit secara umum biasanya dilakukan dengan cara sanitasi breeding site, pengutipan larva maupun kumbang dewasa di tanaman yang terserang, pengumpulan larva di breeding site, penggunaan insektisida sistemik, penggunaan jamur Metarhizium anisopliae sebagai pengendali biologi larva O. rhinoceros dan perangkap kumbang dengan feromon sintetik. Pengendalian O. Rhinoceros dengan tandan kosong sawit memiliki harapan besar dalam keberhasilannya. Aplikasi M. anisopliae padatan dan kosong memiliki peluang yang besar sebagai pengendali biologi larva O. rhinoceros. Pengendalian kumbang tanduk dengan menggunakan feromon sintetik merupakan pengendalian yang efektif dan ramah lingkungan yang dapat diterapkan di perkebunan kelapa sawit. Keberhasilan organic trap adalah besar karena tandan kosong kelapa sawit secara alamiah sebagai tempat mendatangkan telur O. rhinoceros. Datangnya O. rhinoceros ke organic trap akan semakin besar dengan adanya aplikasi feromon. Dengan telah berkumpulnya O. rhinoceros di organic trap maka pengendalian O. rhinoceros akan lebih terarah dan efektif dengan pengutipan larva dan aplikasi jamur M. anisopliae. Perlakuan feromon + tandan kosong + M. anisopliae memiliki jumlah larva terperangkap lebih banyak yaitu 6,14 ekor dibanding perlakuan yang hanya menggunakan feromon jumlah larva yang terperangkap 2,14 ekor. Organic trap yang menggunakan perlakuan feromon + tandan kosong + M. Anisopliae + insektisida memberikan keberhasilan yang lebih baik dalam mengendalikan kumbang dan serangan O. rhinoceros di perkebunan kelapa sawit yaitu dengan jumlah tangkapan kumbang yang terperangkap sebanyak 23,81 ekor dan jumlah gerekan semakin berkurang dari 2 ekor/8 tanaman menjadi 1,86 ekor/8 tanaman. Kata kunci : Oryctes rhinoceros, organic trap, feromon, tandan kosong, M. anisopliae, insektisida.

ABSTRACT Oryctes rhinoceros is an important pest attacking oil palm in particular in the area of replanting and very harmful in some regions in Indonesia. The controlling of O. rhinoceros in oil palm plantations in general are usually done by sanitation breeding site, handpicking the larvae and adult on the plants that was attacked by Oryctes, collection of larvae in breeding sites, the use of systemic insecticides, the use of the fungus Metarhizium anisopliae as a biological control larvae of O. rhinoceros and traps with synthetic pheromone. The controlling of O. Rhinoceros with empty fruit bunches have a great hope in its success. Application M. anisopliae on the empty fruit bunches have a great opportunity as a biological control of O. rhinoceros larvae. The controlling of beetle O. rhinoceros using synthetic pheromones are effectiveand friendly environment that can be applied in oil palm plantations. Organic trap was successfully use for controlling Oryctes because naturally empty fruit bunch is the host of O. rhinoceros eggs. The population of O. rhinoceros can be increase if pheromone was applicated in organic trap. The controlling of O. rhinoceros will be more focused and effective if handpicking of larvae and application M. anisopliae also added to the organic trap. The number of larvae of treatment pheromone + empty fruit bunches + M. anisopliae is about 6,14 higher than treatment which only use pheromone that is 2,14. The organic traps that using pheromone + empty fruit bunches + M. Anisopliae + insecticide was successfull to control O. rhinoceros in oil palm plantations with the number of O. rhinoceros was trapped is about 23,81 and reduced the number of attack from 2 O. rhinoceros/8 plant to be 1,86 O. rhinoceros /8 plant. Keywords : Oryctes rhinoceros, organic trap, pheromone, empty fruit bunches, M. anisopliae, insecticide.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 30

PENDAHULUAN Kumbang tanduk (Oryctes rhinoceros Coleoptera: Scarabaeidae, Dynastinae) merupakan hama penting yang menyerang perkebunan kelapa sawit dan sangat merugikan di beberapa daerah di Indonesia (Susanto dkk., 2005). Pada umumnya kumbang tanduk menyerang di areal perkebunan kelapa sawit muda, terutama pada areal peremajaan yang sebelumnya terserang berat oleh penyakit Busuk Pangkal Batang (Ganoderma) sehingga batang yang busuk menjadi tempat berkembang biak kumbang tersebut (PPKS, 1996). Serangan hama ini sangat merugikan karena dapat menyebabkan kerusakan yang besar, bahkan dapat menyebabkan kematian tanaman. Di areal replanting kelapa sawit sering terjadi serangan kumbang tanduk, dikarenakan di areal tersebut banyak tumpukan bahan organik yang sedang mengalami proses pembusukan sebagai tempat berkembang biak hama ini (Kamarudin & Wahid, 1997). Gejala serangan yang disebabkan oleh kumbang tanduk yaitu berupa gerekan pada pucuk kelapa sawit yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan dan rusaknya titik tumbuh sehingga dapat mematikan tanaman (Susanto dkk., 2005). Cara aplikasi mulsa tandan kosong kelapa sawit baik pada gawangan maupun pada sistem tanam lubang besar (big hole) yang tidak benar dapat menyebabkan munculnya masalah baru yaitu meningkatnya jumlah breeding site kumbang tanduk yang menjadi awal berkembangnya populasi hama ini di areal perkebunan kelapa sawit tua (Sudharto dkk., 2000). Tingkat serangan akan semakin berat diakibatkan karena tempat berkembang biak yang sangat melimpah yaitu setiap tahun ratusan ribu hektar batang kelapa sawit hasil replanting yang telah membusuk dan jutaan ton tandan kosong kelapa sawit. Tandan kosong kelapa sawit yang diaplikasikan setelah membusuk akan menjadi breeding site kumbang tanduk dan langsung dapat menyerang tanaman muda hasil replanting. Larva O. rhinoceros yang ditemukan pada lubang tanam besar ukuran 3,0 x 3,0 x 0,8 m dengan tandan kosong kelapa sawit 400 kg/lubang/tahun yaitu sekitar 200 larva per dua minggu (Susanto dkk., 2005). Kebijakan tanam ulang yang menggunakan sistem zero burning (tanpa pembakaran) juga dapat menyebabkan meningkatnya jumlah breeding site (Susanto & Brahmana, 2008). Pada areal

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 31 replanting kelapa sawit serangan kumbang dapat mengakibatkan tertundanya masa berproduksi sampai satu tahun dan tanaman yang mati dapat mencapai 25% (Sipayung, 1992). Pengendalian O. rhinoceros pada perkebunan kelapa sawit secara umum biasanya dilakukan dengan cara sanitasi breeding site (Liau & Ahmad, 1991), pengutipan (handpicking) larva maupun kumbang dewasa di tanaman yang terserang, pengumpulan larva di breeding site, penggunaan insektisida sistemik, penggunaan jamur Metarhizium anisopliae sebagai pengendali biologi larva O. rhinoceros (Ho, 1996; Kalidas & Konchu, 2005; Ramle dkk., 1999; Sudharto & Susanto, 2002), perangkap kumbang dengan feromon sintetik (de Chenon, 1996; Morin dkk., 1996; de Chenon dkk., 1997; Ho, 1996). Pengendalian O. rhinoceros dengan aplikasi insektisida sistemik granule memiliki kelemahan yaitu biaya yang relatif mahal dan mencemari lingkungan, sedangkan pengendalian dengan cara pengutipan membutuhkan tenaga yang relatif banyak (Sudharto dkk., 2001) sehingga menghabiskan banyak biaya untuk upah tenaga kerja tersebut. Pengendalian O. rhinoceros pada tandan kosong kelapa sawit di sistem tanam lubang besar (big hole) memiliki harapan besar dalam keberhasilannya (Susanto dkk., 2005). Tandan kosong sawit (TKS) merupakan limbah pertanian yang mengandung bahan organik yang dapat digunakan sebagai substrat untuk pertumbuhan mikroorganisme (Singh, 1994) yang berpotensi untuk dijadikan sebagai sumber hara bagi tanaman dan tanah (Susilawati, 1998). Aplikasi jamur Metarhizium anisopliae pada lubang tanam besar memiliki peluang yang besar karena lingkungan yang teduh dibandingkan pada areal replanting dan penetrasi jamur tersebut ke dalam tandan kosong kelapa sawit relatif mudah (Susanto dkk., 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Sudharto & Susanto (2002) memberikan hasil yang baik, bahwa dengan pemberian dosis M. anisopliae sebanyak 20 gram/m2 pada mulsa tandan kosong sawit dapat mengendalikan larva O. rhinoceros di gawangan. Di waktu lampau, O. rhinoceros diketahui hanya menyerang kelapa sawit TBM (tanaman belum menghasilkan) dan itu juga setelah melakukan replanting, akan tetapi di waktu sekarang O. rhinoceros diketahui juga menyerang areal sawit TM (tanaman menghasilkan) yang secara otomatis akan mempengaruhi produksi kelapa sawit. Intensitas

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 32 serangan yang ditimbulkan hama tersebut bervariasi dari tingkat ringan hingga berat yang dapat menyebabkan kematian tanaman kelapa sawit menghasilkan sebesar 13% (Susanto & Brahmana, 2008). Gagalnya pengendalian O. rhinoceros di perkebunan sawit biasanya disebabkan karena kurang terpadunya strategi dan teknologi pengendalian yang diterapkan, oleh karena itu populasi O. rhinoceros di lapangan akan semakin banyak dan cenderung sulit dikendalikan. Penelitian Susanto dkk. (2005) melaporkan bahwa hasil uji efikasi jamur M. anisopliae pada tandan kosong sawit di lapangan efektif menyebabkan kematian larva O. rhinoceros sampai 100% dalam waktu 7 minggu setelah aplikasi. Selain itu pengendalian kumbang tanduk dengan menggunakan feromon sintetik merupakan pengendalian yang efektif dan ramah lingkungan yang dapat diterapkan di areal perkebunan kelapa sawit (Utomo dkk., 2006). Keberhasilan organic trap adalah besar karena tandan kosong kelapa sawit secara alamiah sebagai tempat mendatangkan telur Oryctes. Datangnya Oryctes ke organic trap akan semakin besar dengan adanya aplikasi feromon. Dengan telah berkumpulnya Oryctes di organic trap maka pengendalian Oryctes akan lebih terarah dan efektif dengan pengutipan larva dan aplikasi jamur M. anisopliae.

BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan sejak bulan Juni sampai dengan Desember 2009. Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Ajamu afdeling V PTPN IV Labuhan Batu, Sumatera Utara. Pengamatan jumlah O. rhinoceros yang terperangkap pada ferotrap dilakukan seminggu sekali selama 9 minggu sedangkan pengamatan jumlah gerekan yang timbul setelah perlakuan insektisida dan jumlah larva yang timbul di tandan kosong dilakukan setiap bulannya.

Bahan Bahan penelitian yang digunakan meliputi feromonas, tandan kosong kelapa sawit, jamur entomopatogen Metarhizium anisopliae, dan insektisida sistemik berbahan aktif karbosulfan, ferotrap dari pipa PVC berdiameter 5 inchi, ember plastik, lem PVC, soldir, kawat pengait, parang, gergaji, paku, bambu, alat tulis, buku, dan lain-lain. Ferotrap yang

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 33 digunakan dibuat dengan berbagai desain dan ukuran dengan panjang pipa PVC 1 m, luas lubang samping 10 x 20 cm2 (lubang samping 2 buah), dan lubang kecil berukuran 0,5 cm.

Metode Pemasangan Ferotrap Pada luasan 2 ha dipasang satu ferotrap, lokasi pemasangan terletak di pinggiran kebun sawit dengan lokasi serangan O. rhinoceros yang cukup tinggi. Ferotrap tersebut dipasang dengan cara digantungkan pada tiang bambu setinggi 2,5 meter. Pengamatan dilakukan seminggu sekali dengan menghitung jumlah tangkapan seluruh kumbang yang terperangkap.

Perlakuan Penelitian ini terdiri dari empat perlakuan. Masing-masing perlakuan diletakkan di pertanaman kelapa sawit menghasilkan (TM). Jumlah ulangan pada setiap ekosistem kelapa sawit adalah enam ulangan. Keempat perlakuan tersebut yaitu: 1. Feromon (A) 2. Feromon+tandan kosong sawit+M. anisopliae (B) 3. feromon+tandan kosong sawit+M. anisopliae+insektisida (C) 4. Feromon+insektisida (D) Feromon diletakkan pada gawangan mati kelapa sawit. Perlakuan yang menggunakan tandan kosong kelapa sawit (TKS), pemasangan ferotrap tepat berada di tengah-tengah penaburan TKS. Jumlah TKS yang digunakan seluas piringan kelapa sawit dengan 3 – 4 lapis. Aplikasi feromon dilakukan 3 minggu setelah penaburan TKS. Penggunaan jamur M. anisopliae dilakukan dengan dosis 20 gram/m2 sebulan sekali. Pengendalian kimiawi dengan insektisida Marsal56 Granule hanya dilakukan pada 8 tanaman di sekeliling ferotrap dengan dosis 5 gram/pohon yang dilakukan setiap minggu.

Pengamatan

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 34

Pengamatan dilakukan terhadap jumlah tangkapan kumbang O. rhinoceros yang terperangkap di dalam ferotrap, jumlah larva yang timbul di tandan kosong 1 bulan setelah perlakuan insektisida, jumlah gerekan yang timbul setelah perlakuan insektisida dalam waktu 1 bulan. Pada perlakuan penaburan TKS tanpa M. anisopliae, semua larva yang ditemukan (jika sudah memasuki instar ke-3 dan kepompong) kemudian dimusnahkan. Pada perlakuan penaburan TKS dengan M. anisopliae, larva tetap dibiarkan berada di dalam TKS dan dihitung jumlah larva yang sehat dan yang sakit. Pengamatan dilakukan setiap minggu sekali.

Analisis Data Seluruh data jumlah tangkapan kumbang O. rhinoceros yang terperangkap di dalam ferotrap, jumlah larva yang timbul di tandan kosong, dan jumlah gerekan yang timbul dalam waktu 1 bulan, ketiga data tersebut dikumpulkan. Data yang sudah terkumpul kemudian dijumlahkan dan dicari rata-ratanya. Hasil rata-rata yang sudah didapat dari setiap aspek pengamatan kemudian dibandingkan antar setiap perlakuan, dipilih perlakuan yang terbaik yang selanjutnya dapat digunakan untuk pengujian pada tahap penelitian selanjutnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN Dari keempat perlakuan selama 9 minggu pengamatan, perlakuan feromon+tandan kosong+M. anisopliae+insektisida memiliki jumlah O. rhinoceros terperangkap paling banyak yaitu 23,81 ekor dibandingkan dengan perlakuan feromon yang memiliki jumlah kumbang tanduk terperangkap hanya sebesar 12,07 ekor (Tabel 1). Tandan kosong sawit (TKS) merupakan limbah pertanian yang mengandung banyak bahan organik (Singh, 1994), oleh karena itu tandan kosong secara alamiah dapat menjadi breeding site Oryctes sebagai tempat mendatangkan telur Oryctes (Susanto dkk., 2005). Tekhnik penggabungan trap yang menggunakan tandan kosong terbukti dapat memerangkap kumbang Oryctes jauh lebih banyak dibanding yang hanya menggunakan feromon saja dengan kumbang yang terperangkap hanya 12,07 ekor per trap (Tabel 1).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 35

Datangnya Oryctes ke tandan kosong akan bertambah lebih banyak jika pada organic trap tersebut dilakukan aplikasi feromon. Dengan telah berkumpulnya Oryctes di organic trap maka pengendalian Oryctes menjadi lebih terarah dan efektif dengan aplikasi M. anisopliae dan insektisida carbofuran. Pemasangan feromon di sekitar organic trap dapat mengundang kumbang tanduk datang ke lokasi trap dikarenakan sifat senyawa kimia yang dikeluarkan feromon tersebut. Menurut Susanto dkk. (2007) pemasangan feromon jangka panjang akan meningkatkan jumlah tangkapan kumbang. Kumbang yang terperangkap diduga berasal dari kebun kelapa sawit yang diuji dan kebun yang berada di sekitar lokasi pengujian. AplikasiM. anisopliae pada lubang tanam besar ke dalam tandan kosong kelapa sawit memiliki peluang besar dalam pengendalian biologi larva Oryctes (Susanto dkk., 2005). Insektisida butiran yang berbahan aktif Carbofuran yang diaplikasikan pada ketiak daun pokok sawit diketahui juga dapat mengendalikan kumbang tanduk hingga mengurangi breeding site nya. Dari hal tersebut dapat dijelaskan bahwa tekhnik penggabungan feromon+tandan kosong+M. anisopliae+insektisida efektif sebagai organic trap yang dapat mengendalikan O. rhinoceros karena dapat mengundang O. rhinoceros datang mengumpul lebih banyak dibanding perlakuan yang hanya menggunakan feromon.

Tabel 1. Rata-rata O. rhinoceros terperangkap pada ferotrap Pengamatan minggu ke- Total Perlakuan I II III IV V VI VII VIII IX

Feromon (A) 2,57 1,57 0,50 1,26 1,95 2,40 0,60 0,83 0,38 12,07

Feromon+Tankos+M.anisopliae (B) 1,52 2,10 1,29 2,14 2,52 3,76 1,88 1,40 1,12 17,74 Feromon+Tankos+M.anisopliae+insektisida (C ) 1,64 1,52 1,57 2,71 3,76 5,64 2,71 2,48 1,76 23,81

Feromon+insektisida (D) 1,81 1,71 1,71 2,71 2,40 3,81 1,24 2,26 1,21 18,88

Dari hasil analisis data gerekan, perlakuan feromon+tandan kosong+M. anisopliae+insektisida memiliki daya tangkap yang lebih baik dibanding perlakuan feromon+insektisida. Jumlah gerekan pada perlakuan feromon+tandan kosong+M. anisopliae+insektisida mengalami penurunan dari bulan pertama hingga ke bulan terakhir pengamatan yaitu dari 2 ekor/8 tanaman hingga menjadi 1,86 ekor/8 tanaman dibanding

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 36 pada perlakuan feromon+insektisida jumlah gerekan mengalami peningkatan yaitu dari 2 ekor/8 tanaman menjadi 4,86 ekor/8 tanaman (Grafik 1). Banyak sedikitnya jumlah gerekan berkaitan erat dengan banyak sedikitnya jumlah Oryctes yang tertangkap. Perlakuan trap yang menggunakan feromon diketahui dapat mengundang kumbang Oryctes datang mengumpul dikarenakan sifat senyawa kimia yang dikeluarkannya (Susanto dkk., 2005). Kumbang yang terperangkap jatuh di dalam ember diduga berasal dari kebun kelapa sawit yang diuji dan kebun yang berada di sekitar lokasi pengujian sedangkan kumbang yang tidak terperangkap di dalam ember ferotrap diasumsikan berada di tandan kosong. Penambahan tandan kosong di lokasi pengujian (Gambar 1) diketahui dapat menarik kumbang Oryctes datang, makan (sebagai food attractan) dan bertelur (sebagai breeding site Oryctes) karena pada tandan kosong terkandung banyak bahan organik yang dimanfaatkan kumbang Oryctes sebagai makanannya (Susanto dkk., 2005). Jika kumbang Oryctes sudah banyak yang terperangkap pada feromon dan tandan kosong diasumsikan Oryctes tersebut tidak akan makan (menggerek) lagi pada pokok sawit yang berada di sekitar lokasi pengujian sehingga jumlah gerekan semakin sedikit. Dari hal-hal tersebut di atas dapat diambil dugaan bahwa semakin sedikit jumlah gerekan pada perlakuan yang ikut menggabungkan tandan kosong menunjukkan bahwa perlakuan tersebut merupakan organic trap yang efektif dalam mengendalikan O. rhinoceros di perkebunan kelapa sawit.

Gambar 1. Aplikasi tandan kosong sawit di lokasi pengujian

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 37

6.00 Feromon (A) 5.00 4.00 Feromon+Tankos+M.anisopliae 3.00 (B) 2.00 Feromon+Tankos+M.anisopliae 1.00 +insektisida (C ) - I II III IV V VI

Gambar 2. Rata-rata jumlah gerekan yang timbul setelah perlakuan insektisida per bulan

Dari hasil analisis data larva, perlakuan feromon+tandan kosong+M. anisopliae (perlakuan B) merupakan perlakuan yang lebih baik dibanding perlakuan feromon+tandan kosong+M.anisopliae+insektisida. Perlakuan feromon+tandan kosong+M. anisopliae memiliki jumlah larva terperangkap lebih banyak yaitu 6,14 ekor dibanding perlakuan feromon+tandan kosong+M.anisopliae+insektisida jumlah larva yang terperangkap hanya 2,00 ekor (Tabel 2). Jumlah larva yang terperangkap pada perlakuan feromon+tandan kosong+M.anisopliae+insektisida jauh lebih sedikit dibanding pada perlakuan lainnya, dikarenakan kumbang yang sebelumnya sudah terperangkap jauh lebih banyak pada perlakuan yang sama (feromon+tandan kosong+M.anisopliae+insektisida) sehingga di waktu yang datang kesempatan kumbang untuk menghasilkan telur menjadi larva sudah menjadi lebih sedikit pada perlakuan yang sama.

Tabel 2. Rata-rata jumlah larva yang timbul di tandan kosong 1 bulan setelah perlakuan insektisida Pengamatan Bulan Ke- Rata-rata/bulan Perlakuan Total I II III IV V VI I II III IV V VI

Feromon (A) 4 2 0 3 1 5 0,57 0,29 - 0,43 0,14 0,71 2,14 Feromon+Tankos+M.anis opliae (B) 21 6 1 8 1 6 3,00 0,86 0,14 1,14 0,14 0,86 6,14 Feromon+Tankos+M.anis opliae+insektisida (C ) 0 0 0 0 2 12 - - - - 0,29 1,71 2,00

Feromon+insektisida (D) 11 16 1 4 1 7 1,57 2,29 0,14 0,57 0,14 1,00 5,71

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 38

Apabila dibandingkan dengan perlakuan (A) yang hanya menggunakan feromon jumlah larva yang terperangkap jauh lebih sedikit yaitu 2,14 ekor dibanding perlakuan (B) yang menggabungkan dengan penggunaan tandan kosong memiliki jumlah larva terperangkap jauh lebih banyak yaitu sebesar 6,14 ekor. Dari hal tersebut diduga bahwa perlakuan yang tidak menggunakan tandan kosong rata-rata memiliki jumlah kumbang dan larva terperangkap jauh lebih sedikit dibanding perlakuan yang menggunakan tandan kosong (lihat Tabel 1, Gambar 2, Tabel 2). Tandan kosong sawit secara alamiah merupakan breeding site O. rhinoceros karena dalam tandan kosong tersebut terkandung banyak bahan organik yang disukai Oryctes sebagai makanannya (Susanto dkk., 2005). Dari penjelasan sebelumnya dapat diasumsikan bahwa tekhnik penggabungan tandan kosong sebagai organic trap merupakan pengendalian yang efektif dalam mengurangi jumlah kumbang dan gerekan O. rhinoceros di lapangan.

KESIMPULAN Organic trap yang menggunakan perlakuan feromon+tandan kosong+M. anisopliae+insektisida memberikan keberhasilan yang lebih baik dalammengendalikan Oryctes rhinoceros di perkebunan kelapa sawit yaitu dengan jumlah tangkapan kumbang yang terperangkap sebanyak 23,81 ekor dan jumlah gerekan semakin berkurang dari 2 ekor/8 tanaman menjadi 1,86 ekor/8 tanaman.

DAFTAR PUSTAKA de Chenon, R.D. 1996. New control of the rhinoceros beetle with pheromones, Oryctes rhinoceros (Coleoptera, Scarabaeidae, Dynastidae). Paper read at Oil Palm Seminar at Pekanbaru, Riau. de Chenon, R.D., C.U. Ginting, dan A. Sipayung. 1997. Integrated Control Method of Oryctes rhinoceros in Oil Palm Plantations with the Use of Pheromones. Pertemuan Teknis Kelapa Sawit, Medan 24 Juni 1997: 1-25. Ho, C.T. 1996. The Integrated Management of Oryctes rhinoceros (L) Populations in the Zero Burning Environment. Proceeding PORIM International Palm Oil Congress: 336-368. Kalidas, P. dan B.M. Konchu. 2005. Success Story of Commercialization of Bioagents of Pests and Diseases of Oil Palm in India. Proceeding of the PIPOC International

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 39

Palm Oil Congress (Agriculture, Biotechnology and Sustainability), MPOB Malaysia: 972-976. Kamarudin, N. dan M.B. Wahid. 1997. Status of rhinoceros beetle, Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae) as pest of young oil palm in Malaysia. The Planters, 73 (850): 5-21. Liau, S.S. dan A. Ahmad. 1991. The Control of Oryctes rhinoceros by Clean Clearing and its Effect of Early Yields in Palm to Palm Replants. Proceeding of the 1991 PORIM International Palm Oil Development Conference, module II-Agriculture (B. Yusof et al. Eds). Palm Oil Research Institute of Malaysia: 396-406. Morin, J.P., D. Rochat, C. Malosse, R.D. de Chenon dan H. Wibowo. 1996. Ethyl-4- methyloctanoate, major component of Oryctes rhinoceros (Coleoptera; Dynastidae) male pheromones. Competetive Rendus Academie des Sciences Paris 319: 595-602. Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS). 1996. Pengendalian Baru Kumbang Tanduk dengan Feromon New Control of the Rhinoceros Beetle with Pheromones Oryctes rhinoceros (Linnaeus) Coleoptera, Scarabaeidae, Dynastinae, Medan. Ramle, M., M.B. Wahid, N. Kamarudin, S. Mukesh dan S.R.A. Ali. 1999. Impact of Metharizium anisopliae (Deutromycotina: Hyphomycetes) Applied by Wet and Dry Inoculum on Oil Palm Rhinoceros Beetles, Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae). Journal of Oil Palm Research 2: 25-40. Singh, G. 1994. Management and Utilisation of Oil Palm by Products. The Planters 71 (833): 361-386. Sipayung, A. 1992. Pengaruh serangan Oryctes rhinoceros terhadap pengalihan status tanaman kelapa sawit dari belum menghasilkan ke menghasilkan. Buletin Puslitbun Marihat-Bandar Kuala 12 (1): 18-24. Sudharto, P.S., A. Susanto, Z.A. Harahap dan E. Purnomo. 2000. Pengendalian kumbang tanduk Oryctes rhinoceros pada tumpukan tandan kosong kelapa sawit. Pros. Pert. Teknis Kelapa Sawit III tahun 2000, PPKS Medan: 51-61. Sudharto, P.S., R.Y. Purba, d. Pochat dan J.P. Morin. 2001. Synergy between Empty Oil Palm Fruit Bunches and Synthetic Aggregation Pheromone (ethyl 4-methyloctanoate) for Mass Trapping of Oryctes rhinoceros Beetle in Oil Palm Plantations in Indonesia. Proceeding of the PIPOC International Palm Oil Congress (Agriculture, biotechnology and Sustainability) 2005, MPOB, Selangor Malaysia: 661-554. Sudharto, P.S. dan A. Susanto. 2002. Utilization of Entomopathogenic Fungus Metharizium anisopliae as Bio-Insecticide Against Larvae of Oryctes rhinoceros on Empty Oil Palm Fruit Bunch Mulch in The Oil Palm Plantation. Proceeding of International Oil Palm Conference, Nusa Dua Bali: 514-519. Susanto, A., P.S. Sudharto dan F. Yanti. 2005. Konservasi dan Perbanyakan Musuh alami, Hama, Penyakit dan Gulma Kelapa Sawit. Seri Buku Saku, PPKS 2005: 15-18.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 40

Susanto, A., C. Utomo, T. Herawan, AP. Dongoran. 2007. Peranan Feromon Agregat Sintetik Dalam Pengurangan Populasi Kumbang Oryctes rhinoceros Pada Perkebunan Kelapa Sawit. Seminar PEI Cabang Bandung, 27 Januari 2007. Susanto, A. dan J. Brahmana. 2008. Serangan Oryctes rhinoceros pada Tanaman Kelapa Sawit Menghasilkan (TM). Warta Pusat Penelitian Kelapa Sawit Vol. 16 (1): 1-7. Susilawati, E. 1998. Potensi dan Teknik Pengomposan Tandan Kosong Sawit. Warta Pusat Penelitian Kelapa Sawit Vol. 6 (2) : 77-82. Utomo, C., T. Herawan dan A. Susanto. 2006. Mass Traping of Oryctes rhinoceros in Oil Palm by Using Synthetic Pheromone. Paper read at IOPC at Bali Indonesia.

Notulensi Diskusi Seminar Taufan : Apakah organic trap ini hanya menangkap oryctes saja? Jawab : Ya, karena feromon yang digunakan sangat spesifik. Daddy – ITB : Kenapa terjadi penurunan lagi pada grafik dan pada kesimpulan angkanya sangat kecil? Jawab : Karena keempatnya sebenarnya efektif, grafik dan table saling berkorelasi.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 41

OPH-02 Reaksi Ketahanan Galur Padi Rawa Terhadap Serangan Wereng Cokelat Serta Penyakit Hawar Daun Bakteri Dan Blas Trisnaningsih1, Anggiani Nasution1, Supartopo1, dan Arifin Kartohardjono1 1Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Jl. Raya No IX, Sukamandi, Subang Email : [email protected]

ABSTRAK Lahan rawa dan lebak belum banyak dimanfaatkan untuk tanaman padi karena banyak kendala yang dihadapi baik biotik maupun abiotik. Kendala biotik yang ada di lahan ini yaitu serangan hama tikus, wereng, penggerek batang, walang sangit, penyakit blas, bercak daun coklat, hawar daun bakteri, busuk pelepah dan lepuh daun/leaf scald. Penanaman varietas unggul yang tahan terhadap cekaman biotik merupakan cara pengendalian yang paling efektif dan ramah lingkungan. Penggunaan varietas tahan telah berhasil menekan kerugian yang disebabkannya. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan galur padi rawa yang tahan terhadap hama wereng coklat, penyakit Hawar Daun Bakteri (HDB), dan Blas. Penelitian ini dilakukan pada MT 2009, galur-galur padi berupa UDHL dan UML diperoleh dari Pemulia BB Padi. Pengujian dilakukan di Laboratorium, Rumah Kaca dan Lapangan KP Muara Bogor, Jabar pada MT 2009 terhadap ketahanan wereng coklat serta HDB dan blas.Hasil penelitian menunjukkan bahwa Galur yang tahan dan agak tahan biotipe 2 dan 3 yaitu Swarna Sub-1, IR 64 Sub-1, BP1035F-PN-1-3-1-KN-3, dan BP1051E-KN-1-1. Sedang terhadap penyakit hawar daun bakteri,ada 3 galur yang tahan terhadap penyakit hawar daun bakteri kelompok VIII yaitu galur TOX4136-5-1-1-KY-3, B10891B-MR-3-KN-4-1-1-MR-1, dan galur BP10580E-KN-81-3. Sedang terhadap penyakit blas ada 3 galur yang tahan 4 ras yaitu IPB 106-F-25-DJ-1, IPB 106-F-146-DJ-1, dan galur IPB 106-F-200-DJ-1. Khususnya dua galur IPB 106-F-25-DJ-1 dan IPB 106-F-146-DJ-1 diketahui agak tahan wereng coklat biotipe 3 dan 2 serta tahan terhadap 4 ras blas. Dari pengujian seluruh galur diperoleh satu galur BP1035F-PN-1-3-1-KN-3 bersifat tahan terhadap wckbiotipe 2, agak tahan wck biotipe 3 dan tahan HDB kelompok VIII. Kata kunci : Galur padi rawa, Wereng coklat, Hawar Daun Bakteri (HDB) , Blas

ABSTRACT Swamp area and marsh isn‘t used for planting rice because there are many obstacles as biotic and abiotic factors. Biotic factors which are found in these areas are pests and diseases like rat, plant hoppers, rice stem borers, rice bug, blast disease, brown spot, bacterial leaf blight, foot rot, and leaf scald. Using high yielding variety which resistant to biotic factors were effective method and didn‘t contaminated environment. The objective of these researches is to obtain swampy rice lines which are resistant to brown plant hopper; bacterial leaf blight (BLB) and blast. These researches consist of some activities, namely screening of rice lines to brown plant hopper and screening of rice lines to blast and BLB. These activities were conducted in laboratory and green house at Muara sub station, Bogor. Results from these observations show that : resistant and moderately resistant lines to bphbiotipe 3 and 2 were Swarna Sub-1; IR 64 sub – 1; BP1035F-PN-1-3-1- KN-3 and BP1051E-KN-1-1. While to BLB there were 3 lineswhich resistant to BLB group VIII were : TOX4136-5-1-1-KY-3, B10891B-MR-3-KN-4-1-1-MR-1 and BP10580E-KN-81-3. While to blas there were 3 lines which resistant to 4 racewere IPB 106-F-25-DJ-1, IPB 106-F-146-DJ-1 and, IPB 106-F-200-DJ-1. Especially two lines IPB 106-F-25-DJ-1 and IPB 106-F-146-DJ-1 shown moderately resistance to bphbiotipe 3 and 2 also resistance to blas 4 race. Screening from all lines was found 1 lines BP1035F-PN-1-3-1-KN-3 which resistant to bphbiotipe 2, moderately resistant to bphbiotpe 3 and resistant to BLB group VIII. Keywords : Swampy rice line, Brown planthopper (bph), Bacterial Leaf Blight (BLB), Blast

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 42

PENDAHULUAN Sekitar 33,4 juta ha lahan di Indonesia tergolong sebagai lahan rawa dan pasang surut. Lahan pasang surut seluas 20,1 juta ha dapat dibagi ke dalam lahan potensial (2 juta ha), lahan gambut (10,9 juta ha), lahan sulfat masam (6,7 ha) dan lahan salin (0,4 juta ha) (Inu dkk., 1993). Padi merupakan komoditas unggulan yang dikembangkan di lahan rawa tetapi cekaman biotik dan abiotik yang merupakan kendala di lahan tersebut. Penanaman varietas unggul yang tahan terhadap cekaman biotik dan abiotik merupakan cara pengendalian yang paling efektif dan ramah lingkungan. Peningkatan hasil varietas unggul telah mencapai maksimal, sehubungan hal tersebut perlu diupayakan untuk mendapatkan varietas unggul baru yang mempunyai potensi hasil yang lebih tinggi dari varietas yang ada dan tahan terhadap cekaman biotik dan abiotik.

Pada pertanaman padi hama yang sering menyerang yaitu wereng coklat (Wck). Serangan wereng batang coklat sejak tahun 2000 - 2005 berturut-turut yaitu: 16.064 ha; 9.084 ha; 8.753 ha; 10.441 ha; 12.396 ha dan 68.241 ha (Dir Perlintan, 2006). Meningkatnya populasi wck dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya kondisi lingkungan, ketahanan varietas yang ditanam dan penggunaan insektisida yang mematikan musuh alami. Cara mengatasi serangan wck antara lain dilakukan dengan menggunakan varietas padi yang memiliki ketahanan terhadap wck. Sejak tahun 1997 telah dilepas 14 galur padi rawa yang bersifat tahan dan agak tahan terhadap Wck (Suprihatno dkk., 2009).

Pelepasan varietas unggul baru yang ditanam secara luas dan terus menerus menyebabkan suatu populasi wck dapat beradaptasi dan berkembang biak dengan cepat dan suatu saat mengalami patah ketahanannya (Baehaki, 2005). Sebelum varietas padi dilepas perlu diketahui sifat ketahanannya terhadap Wck, sehubungan dengan itu dilakukanlah pengujian galur terhadap Wck. Pada tahun 2007 telah diuji 74 galur padi rawa. Hasil pengujian menunjukkan bahwa galur yang bereaksi agak tahan ada 9 yaitu: dari UML, B9858D-KA-55; IR 70213-9-CPA-12-UBN-2-1-3-1; IR 70215-2-CPA-2-1-UBN-1-2 dari Observasi, B10551E-KN-62-2; B10217F-TB-38-1-1; B9833C-KA-III-13-4; B9833C-KA- III-13-5 dan dari UDHP, B10553E-KN-99-1-2; B10216F-TB-6-2-2-KY-2 (Kartohardjono dkk., 2007). Pada tahun 2008 telah diuji 25 galur padi rawa terhadap Wck biotpe 2 dan 3.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 43

Hasil pengujian menunjukkan galur yang bereaksi tahan terhadap biotipe 3 dan agak tahan terhadap biotipe 2 yaitu galur IR 70181-5-PM 1-1-2-B-1 dan 1 galur bereaksi agak tahan terhadap biotipe 3 dan agak rentan terhadap biotipe 2 yaitu galur B 10868 F-MR-15-1 (Kartohardjono dkk., 2008). Salah satu penyakit utama padi sawah di Indonesia dan negara Asia adalah hawar daun bakteri yang disebabkan oleh bakteri Xanthomonas oryzae pv oryzae (Jennings dkk., 1979). Di lapangan khususnya daerah Jawa Barat dan sekitarnya patotipe Xoo yang mendominasi adalah dari kelompok VIII dan untuk daerah tertentu masih patotipe IV (Hartini, 1986). Hasil penelitian Kadir (2000), menunjukkan bahwa patotipe Xoo yang dominan pada MK 1996 adalah kelompok IV, akan tetapi pada MH 1996/97 mulai terjadi pergeseran patotipe. Patotipe yang dominan pada MH 1996/97 adalah kelompok X dan VIII, sedangkan pada MK 1997 dan MH 1997/98 patotipe yang dominan adalah kelompok VIII. Sehubungan dengan hal tersebut maka diupayakan untuk mendapatkan varietas dengan peningkatan hasil yang nyata dari padi tipe baru dan gogo yang tahan terhadap penyakit utama khususnya blas dan Hawar Daun Bakteri. Penyakit blas disebabkan oleh Pyricularia grisea (Cooke) Sacc sangat mudah mengalami perubahan ras di alam. Sifat ini yang menyebabkan sulitnya pengandalian penyakit blas. Munculnya ras baru dikarenakan mudahnya beradaptasi dengan lingkungan seperti jenis atau varietas padi yang ditanam, teknik budidaya (pemupukan nitrogen), pola tanam, dan waktu tanam (Amir & Anggiani, 2002). Perubahan ras jamur ini membatasi ketahanan varietas padi menjadi sekitar dua tahun sehingga harus terus dilakukan pengujian (Ahn & Amir, 1986). Di Indonesia ditemukan 27 ras dan 9 diantaranya tergolong dominan penyebarannya (Mogi dkk., 1991). Penyakit blas dapat menyerang padi pada segala umur. Gejala serangan dapat dilihat pada daun, batang, bunga , malai, dan biji. Serangan berat pada daun mengurangi jumlah anakan efektif dan tinggi tanaman bahkan menyebabkan kematian tanaman, sedang pada malai mempengaruhi pengisisan biji dan bobot biji Penggunaan varietas tahan telah berhasil menekan kerugian yang disebabkan oleh serangan hama dan penyakit. Pembentukan atau perakitan varietas unggul padi merupakan rangkaian kegiatan berkesinambungan terdiri dari tiga kegiatan utama, yaitu: persilangan

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 44 untuk membentuk populasi dasar, seleksi untuk memilih populasi atau tanaman yang dikehendaki, dan uji daya hasil serta adaptasi galur-galur harapan untuk mengidentifikasi galur-galur unggul yang dapat diusulkan menjadi varietas baru (Abdullah, 2008). Untuk mendapatkan varietas padi rawa yang berproduksi sampai 7 ton dan tahan terhadap Wck biotipe 2 dan 3 serta penyakit HDB dan blas, dilakukanlah persilangan-persilangan dengan tetua yang diharapkan. Hasil dari persilangan berupa galur-galur yang telah diseleksi dilakukan uji adaptasi dan identifikasi galur-galur unggul. Khususnya untuk mendapatkan galur yang tahan terhadap Wck dan penyakit HDB serta blas dilakukanlah pengujian galur iuji daya hasil lanjutan (UDHL) dan uji multi okasi (UML) padi rawa terhadap Wck dan HDB serta blas. BAHAN DAN METODA Penelitian di Rumah Kaca KP Muara, MT 2009, terdiri dari 2 kegiatan sebagai berikut: A. Uji galur padi terhadap wereng coklat biotipe 3 dan 2 Galur padi rawa yang diuji berasal dari Kelompok Peneliti (Kelti) Pemuliaan, sejumlah 40 nomer yang terdiri dari 16 galur UDHL, 12 galur UML Konsursium set 1, dan 12 galur UML Konsursium set 1. Galur-galur tersebut diuji terhadap wck biotipe 2 dan 3, serta disemai di bak kayu berisi tanah berukuran 60 X 40 X 10 cm. Satu galur disemai kurang lebih 15-20 kecambah di bak pengujian disertakan pembanding yang peka biotipe 2 yaitu IR 26 dan biotipe 3 yaitu IR 42 serta pembanding yang tahan biotipe 2 yaitu ASD 7 dan IR 64 sedang yang tahan biotipe 3 yaitu Rathu Henaathi & Ptb 33. Setelah tanaman berumur 7 hss diinokulasi nimpha instar 2 sampai 3 sebanyak kurang lebih 8-10 ekor per batang. Ulangan dilakukan 3 kali. Pengamatan dilakukan setelah pembanding rentan mati kriteria penilaian berdasarkan SES IRRI 1996.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 45

Tabel 1. Kriteria ketahanan galur terhadap serangan Wbc Nilai Gejala 0 Tidak ada kerusakan 1 Kerusakan ringan, terdapat garis-garis kuning pada daun pertama 3 Daun pertama dan kedua menguning sebagian 5 Daun-daun menguning, pertumbuhan terhambat 7 Lebih dari setengah jumlah tanaman mati dan yang hidup kelihatan kerdil 9 Semua tanaman mati Kriteria ketahanan : Nilai : 0= sangat tahan; 1 = tahan; 3= agak tahan ; 5 = agak tahan; 7= rentan; 9= sangat rentan. B. Skrining hawar daun bakteri dan blast

Penelitian dilakukan di Laboratorium, Rumah Kaca dan Lapang KP Muara, pada MT 2009 Penelitian terdiri dari beberapa kegiatan sebagai berikut:

a. Uji Ketahanan Galur/Varieta Padi terhadap Penyakit Hawar Daun Bakteri Uji ketahanan dilakukan di rumah kaca Inlitpa Bogor pada MT1. Varietas/galur yang diuji berasal dari Kelti Pemuliaan, ditanam di pot (ukuran diam. 16 cm; tinggi 19 cm) berisi tanah sawah, satu pot terdiri dari 3 tanaman. Pemupukan dilakukan 3 kali yaitu pupuk dasar 1 gr N + 1 gr K2O+ 1 gr P2O5 per pot, kemudian pupuk susulan masing-masing pada 1 dan 2 bulan setelah tanam dengan 2 gr N per pot. Inokulasi HDB kelompok IV dan VIII dilakukan secara buatan pada tanaman berumur 55-60 hst dengan pengguntingan (clipping method). Caranya dengan menggunting pada daun yang mengembang penuh. Inokulasi dibuat dari biakan Xanthomonas oryzae pv. oryzae berumur 2 hari yang ditumbuhkan pada medium Wakimoto. Pengamatan dilakukan pada 2 dan 3 minggu setelah inokulasi dengan skoring berdasarkan S.E.S IRRI 1996.

Tabel 2. Skala untuk percobaan rumah kaca (IRRI, 1996) Skala Luas serangan Keterangan 1 0 - 3% Tahan 2 4 - 6% Tahan 3 7 - 12% Moderat tahan 4 13 - 25% Moderat tahan 5 26 - 50% Moderat rentan 6 51 - 75% Moderat rentan 7 76 - 87% Rentan 8 88 - 94% Rentan 9 95 - 100% Sangat rentan

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 46

b. Uji Ketahanan Galur/Varietas Padi terhadap Penyakit Blas Penelitian dilaksanakan di laboratorium dan rumah kaca Inlitpa Bogor. Bahan: - Varietas/galur padi yang berasal dari pemuliaan sebanyak 40 galur - Ras P. grisea yang digunakan yaitu 4 ras yang sudah teridentifikasi. Galur/varietas padi tersebut ditanam pada pot-pot plastik persegi panjang dengan ukuran 20x10x10 cm ditanam secara gogo dengan pemupukan 5 gram Urea, 1,3 gram TSP, dan 1,2 gram KCl untuk tiap 10 gram tanah kering. Tiap isolat P. grisea diperbanyak pada media PDA (Potato Dextrose Agar) selama 5-7 hari, selanjutnya dipindahkan ke media sporulasi yaitu media OMA (Oat Meal Agar) selama 12 hari. Setelah itu akan didapatkan suspensi spora. Kerapatan spora yang digunakan sebesar 2 x 10 5 spora/ml. Inokulasi dilakukan pada tanaman umur 18-21 hari setelah tanam dengan cara penyemprotan. Tanaman yang telah diinokulasi diinkubasikan di kamar lembab selama 48 jam. Setelah itu baru dipindah ke rumah kasa dengan kelembaban lebih dari 90%. Pengamatan dilaksanakan 7 hari setelah inokulasi dengan menggunakan skala pengamatan IRRI (1996). yaitu:

Tabel 3. Skala pengamatan penyakit blast, IRRI (1996) Skala Keterangan 0 Tidak ada gejala serangan 1 Terdapat bercak-bercak sebesar ujung jarum 2 Bercak nekrotik keabu-abuan, berbentuk bundar dan agak lonjong, panjang 1-2 mm dengan tepi coklat. 3 Bercak khas blas, panjang 1-2 mm 4 luas daun terserang kurang dari 2% luas daun 5 Bercak khas blas luas daun terserang 2-10% 6 Bercak khas blas luas daun terserang 10-25% 7 Bercak khas blas luas daun terserang 26-50% 8 Bercak khas blas luas daun terserang 51-75% 9 Bercak khas blas luas daun terserang 76-100%

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 47

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Pengujian galur padi terhadap wereng coklat biotipe 3 dan 2 Jumlah galur yang diuji 40 nomer galur yang terdiri dari 16 galur UDHL 1 dan 12 galur UML I serta 12 galur UML II. Reaksi terhadap Wck biotipe 3 dan 2 diuraikan sebagai berikut

Pada pengujian terhadap Wck biotipe 3 yang pertama dari 40 galur yang diuji diperoleh 13 galur agak tahan; 18 galur agak rentan dan 9 galur rentan (Lampiran 1). Galur yang menunjukkan reaksi agak tahan dan agak rentan diuji lagi dengan 3 ulangan (Lampiran 1). Untuk memantapkan sifat ketahanan ke 9 galur tersebut dilakukan uji ulang dan hasilnya tertera pada Tabel 4. Galur UDHL padi rawa ada 1 yang tahan yaitu Swarna sub–1 dan 2 agak tahan yaitu IR 64 sub–1 dan BP 1031F-PN-25-2-4-KN-2. Sedang galur UML Konsorsium set I diperoleh 2 galur agak tahan yaitu IPB 106-F-25-DJ-1 dan IPB 106-F-47-DJ-1 (Tabel 4). Pada galur UML Konsorsium set II diperoleh 4 galur agak tahan yaitu IPB 106-F-200-DJ-1;BP1035F-PN-1-3-1-KN-3;BP1051E-KN-1-1dan BP1046F-KN- 15-1-KN-1.

Pada pengujian terhadap Wck biotipe 2 yang pertama dari 40 galur yang diuji diperoleh 11 galur agak tahan, 21 galur agak rentan, dan 8 galur rentan (Lampiran 3). Galur yang menunjukkan reaksi agak tahan berjumlah 11, untuk lebih memantapkan sifat ketahanannya di lakukan uji ulang. Hasil pengujian tersebut diperoleh 4 galur tahan yaitu dan 2 galur agak tahan. Keempat galur yang tahan yaitu IR64 Sub-1; IR64, BP1035F-PN-1- 3-1-KN-3; BP1051E-KN-1-1 (Tabel 4).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 48

Tabel 4. Hasil uji ulang galur tahan dan agak tahan Wck biotipe 3 dan 2, Muara Bogor , MT 2009 NOMOR Sore biotipe 3 Sore biotipe 2 GALUR/VARIETAS TERUS ASAL Rerata Reaksi Rerata Reaksi UDHL RAWA. MT. 1.09 1 1. A Swarna Sub-1 1 t 3 at 2 2. B IR64 Sub-1 3 at 1 t IR 64 - - 1 t 3 10. K BP1031F-PN-25-2-4-KN-2 3 at - - 4 12. M BP1027F-PN-1-2-1-KN-MR-3-3 5 ar 5 ar 5 13. N BP367E-MR-42-4-PN-3-KN-MR-4 5 ar - - UML. KONSORSIUM MT. 1. 09 SET-1 6 17. 1 IPB 106-F-20-DJ-1 5 ar 7 18. 2 IPB 106-F-25-DJ-1 3 at 7 r 8 19. 3 IPB 106-F-47-DJ-1 3 at 7 r 9 20. 4 IPB 106-F-82-DJ-1 5 ar 7 r 10 25. 9 B11586F-MR-11-2-2 5 ar

UML. KONSORSIUM MT. 1. 09 SET-2 11 29. 1 5 ar 5 ar 30.2 IPB 106F-146-DJ-1 - - 3 at 12 31. 3 IPB 106-F-200-DJ-1 3 at 5 ar 13 32. 4 IPB 106-F-206-DJ-1 5 ar - - 14 33. 5 IPB 107-F-19-DJ-2 5 ar - - 15 34. 6 BP1035F-PN-1-3-1-KN-3 3 at 3 t 16 36. 8 BP1051E-KN-1-1 3 at 3 t 17 37. 9 BP10580E-KN-81-3 5 ar - - 18 38. 10 BP1046F-KN-15-1-KN-1 3 at - - Rathu Henathi 1 1 PTB 33 1 1 IR 42/ IR 26 9 9 Keterangan : Skore: 0= sangat tahan; 1 = tahan; 3= agak tahan ; 5 = agak tahan; 7= rentan; 9= sangat rentan.

Reaksi galur-galur UDHL, Konsorsium set 1 dan 2 yang diuji terhadap biotipe 2 dan 3, diperoleh hasil 1 galur tahan biotipe 3 dan agak tahan biotipe 2 yaitu Swarna sub – 1. Sedang galur yang tahan biotipe 2 dan agak tahan biotipe 3 ada 4 nomer yaitu: IR 64 Sub – 1; BP1035F-PN-1-3-1-KN-3 dan BP1051E-KN-1-1 (Tabel 4).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 49

2. Skrining hawar daun bakteri dan blast A. Uji Ketahanan Galur/Varietas Padi terhadap Penyakit Hawar Daun Bakteri (HDB) Pengujian di rumah kaca, dari 40 galur yang diuji dengan Xoo kelompok IV dan VIII ternyata hasilnya bervariasi ada yang menunjukan respon tahan sampai moderat rentan (Lampiran 2.1 ). Dari 40 galur padi rawa tersebut yang diuji dengan kelopok IV galur-galur padi rawa tidak ada yang menunjukan reaksi tahan, hanya ada moderat susebtible (agak peka) sebanyak 12 galur (Tabel 8) sedang sisanya 28 galur menunjukan reaksi rentan (susebtible) (Lampiran 2.1). Pada pengujian terhadap HDB kelompok VIII, ternyata ada 3 galur padi rawa yang menunjukan reaksi tahan yaitu galur TOX4136-5-1-1-KY-3, B10891B-MR-3-KN-4-1-1- MR-1 dan galur BP10580E-KN-81-3 (Tabel 5), sedang sisanya sebanyak 37 galur menunjukan reaksi yang bervariasi, dimana 1 galur menunjukan reaksi agak tahan yaitu galur BP1035F-PN-1-3-1-KN-3,

Tabel 5. Reaksi galur padi rawa yang tahandan agak tahan terhadap BLB kelompok VIII No Galur/varietas Reaksi BLB kelompok VIII 1 TOX4136-5-1-1-KY-3 3.7 R 2 B10891B-MR-3-KN-4-1-1-MR-1 4.5 R 3 BP10580E-KN-81-3 5.5 R 4 BP1035F-PN-1-3-1-KN-3 10.3 MR Keterangan : R: Resistant (Tahan) ; M R: Moderat Resistant (AgakTahan)

Galur-galur padi rawa yang menunjukan reaksi berbeda, adanya perbedaan ketahanan dari galur galur ini kemungkinan kemampuan ketahanan yang dimiliki oleh galur-galur tersebut berbeda sebab ketahanan suatu kultivar tertentu untuk melawan efek dari patogen atau faktor-faktor yang ditimbulkan oleh patogen tersebut baik secara keseluruhan maupun sebagian dapat dikendalikan oleh satu atau banyak gen. Satu gen dapat mengendalikan ketahanan terhadap ras tertentu. Beberapa gen dapat mengendalikan beberapa ras atau strain. Banyak gen yang mengendalikan banyak ras atau strain (Takashi, 1963).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 50

B. Uji Ketahanan Galur/Varietas Padi terhadap Penyakit Blas

Pengujian di rumah kaca, sejumlah 40 galur padi rawa yang diuji ketahanannya dengan Pyricularia grisea ras 173, 133, 073, dan ras 033 penyebab penyakit blas daun pada stadia anakan pada MTI (Lampiran 2.2). Pada padi rawa reaksi ketahanannya cukup bervariasi ada yang tahan 1 ras sampai dengan tahan 4 ras. Galur yang tahan 4 ras ada sebanyak 3 nomer atau (7,5%) adalah galur IPB 106-F-25-DJ-1, IPB 106-F-146-DJ-1 dan, galur IPB 106-F-200-DJ-1 (Tabel 6). Galur yang tahan 3 ras ada sebanyak 4 nomer atau (10%), sedang tahan 2 ras ada sebanyak 13 nomer atau (32,5%) (Tabel 7 dan 8). Galur tahan 1 ras ada sebanyak 7 galur atau 17,5% (Tabel 9).

Tabel 6. Galur-galur padi rawa yang tahan terhadap 4 ras

Nomor Reaksi ras Pyricularia grisea Galur/varietas Terus Asal 173 133 073 033 1 2 IPB 106-F-25-DJ-1 1 T 0 T 1 T 1 T 2 2 IPB 106-F-146-DJ-1 0 T 1 T 1 T 1 T 3 3 IPB 106-F-200-DJ-1 1 T 1 T 1 T 1 T Keterangan : T: Tahan

Ketahanan tanaman padi terhadap blas dipengaruhi oleh ras Pyricularia grisea makin tinggi derajat ketahanan padi makin sedikit ras jamur yang dapat menginfeksi tanaman padi (Ou, 1985). Kultivar padi yang berbeda-beda ketahannya terhadap patogen ini, hal ini tidak hanya dipegaruhi oleh gen ketahanan yang mengontrol yang dikandung oleh tanaman tersebut, banyak gen tahan (poligenik) atau gen tunggal (monogenik) tapi dipengaruhi juga oleh ketebalan kutikula dan silika pada sel epidermis daun, ketahanan secara mekanis.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 51

Tabel 7. Galur-galur padi rawa yang tahan terhadap 3 ras

Nomor Reaksi ras Pyricularia grisea Galur/varietas Terus Asal 173 133 073 033 1 B IR64 Sub-1 1 T 0 T 3 MT 1 T 2 N BP367E-MR-42-4-PN-3-KN-MR-4 1 T 1 T 3 MT 1 T 3 3 IPB 106-F-47-DJ-1 3 MT 0 T 1 T 1 T 4 4 IPB 106-F-82-DJ-1 1 T 1 T 3 MT 0 T Keterangan : T: Tahan; MT: Moderat Tahan

Tabel 8. Galur-galur padi rawa yang tahan terhadap 2 ras

Nomor Galur/varietas Reaksi ras Pyricularia grisea Terus Asal 173 133 073 033 1 D IR72049-B-R-22-3-1-1 7 R 0 T 3 MT 0 T 2 K BP1031F-PN-25-2-4-KN-2 1 T 3 MT 3 MT 1 T 3 L B10528F-KN-35-2-2 1 T 3 MT 3 MT 1 T 4 S IR64 1 T 1 T 3 MT 3 MT 5 1 IPB 106-F-20-DJ-1 1 T 0 T 3 MT 3 MT 6 5 IPB 106-F-85-DJ-2 1 T 5 R 0 T 5 R 7 7 B10528F-KN-35-2-2 1 T 3 MT 0 T 3 MT 8 8 B10891B-MR-3-KN-4-1-1-MR-1 1 T 5 R 3 MT 1 T 9 12 BATANGHARI 3 MT 1 T 3 MT 1 T 10 1 IPB 106-F-88-DJ-2 3 MT 0 T 0 T 3 MT 11 5 IPB 107-F-19-DJ-2 1 T 3 MT 1 T 3 MT 12 6 BP1035F-PN-1-3-1-KN-3 1 T 3 MT 0 T 3 MT 13 12 BATANGHARI 3 MT 1 T 1 T 3 MT Keterangan : T: Tahan; MT: Moderat Tahan: R: Rentan

Tabel 9. Galur-galur padi rawa yang tahan terhadap 1 ras

Nomor Galur/varietas Reaksi ras Pyricularia grisea Terus Asal 173 133 073 033 1 E TOX4136-5-1-1-KY-3 5 R 3 MT 3 MT 1 T 2 Y B9856D-MR-93-23-KY-1 3 MT 3 MT 3 MT 1 T 3 M BP1027F-PN-1-2-1-KN-MR-3-3 1 T 3 MT 5 R 3 MT 4 R BATANGHARI 3 MT 3 MT 1 T 3 MT 5 6 BP1027F-PN-1-2-1-KN-MR-3-3 1 T 3 MT 3 MT 3 MT 6 9 B11586F-MR-11-2-2 9 R 9 R 9 R 1 T 7 10 B10387F-MR-7-6-KN-3-KY-2 3 MT 3 MT 0 T 3 MT Keterangan : T: Tahan; MT: Moderat Tahan; R: Rentan

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 52

3. Pembahasan Sifat ketahanan galur terhadap cekaman biotik diturunkan dari induk persilangannya. Jenis galur uji yang berasal dari kelti Pemuliaan tersebut memiliki induk persilangan dari berbagai sumber ketahanan. Galur-galur tersebut telah diseleksi beberapa sifat yang terpilih sedang untuk mengetahui ketahahan terhadap serangan wereng, HDB dan blas diperoleh hasil sebagai berikut. Pada UDHL diperoleh galur yang tahan dan agak tahan terhadap wck biotipe 3 dan 2 yaitu Swarna sub 1 dan IR 64 sub 1. Sedang galur yang tahan HDB kelompok VIII yaitu TOX4136-5-1-1-KY-3 dan B10891B-MR-3-KN-4-1-1-MR-1. Serta galur yang tahan terhadap blas 3 ras yaitu IR 64 sub 1 dan BP367E-MR-42-4-PN-3-KN-MR-4 Pada pengujian UML Konsorsium set I diperoleh galur yang tahan terhadap blas 4 ras yaitu IPB 106-F-25-DJ-1 serta galur yang tahan terhadap blas 3 ras yaitu IPB 106-F-47- DJ-1 dan IPB 106-F-82-DJ-1. Pada pengujian UML Konsorsium set II diperoleh galur yang tahan dan agak tahan wck biotipe 3 dan 2 yaitu BP1035F-PN-1-3-1-KN-3 dan BP1051E-KN-1-1. Galur yang tahan dan agak tahan HDB kelompok VIII yaitu BP10580E-KN-81-3 dan BP1035F-PN-1-3-1- KN-3. Galur yang tahan terhadap blas 4 ras yaitu IPB 106-F-146-DJ-1 dan IPB 106-F-200- DJ-1. Dari keseluruhan galur yang diuji diperoleh satu galur yang bersifat tahan terhadap Wck biotipe 2, agak tahan terhadap Wck biotipe 3 dan tahan terhadap HDB kelompok VIII yaitu BP1035F-PN-1-3-1-KN-3

KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN Pengujian terhadap wereng coklat Reaksi galur-galur UDHL dan UML MT 1, 2009 padi rawa yang tahan dan agak tahan terhadap Wck biotipe 3 dan 2 ada 4 yaitu Swarna Sub-1, IR64 Sub-1; BP1035F-PN-1-3-1- KN-3; dan BP1051E-KN-1-1. Pengujian terhadap hawar daun bakteri dan blas

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 53

Reaksi galur-galur UDHL dan UML MT 1, 2009 padi rawa: 1. Ada 3 galur yang tahan terhadap penyakit hawar daun bakteri kelompok VIII yaitu: galur TOX4136-5-1-1-KY-3, B10891B-MR-3-KN-4-1-1-MR-1 dan BP10580E-KN-81- 3 serta agak tahan yaitu BP1035F-PN-1-3-1-KN-3. 2. Ada 3 galur yang tahan penyakit blas 4 ras yaitu IPB 106-F-25-DJ-1, IPB 106-F-146- DJ-1 dan, IPB 106-F-200-DJ-1.

Pengujian seluruh galur diperoleh

Satu galur BP1035F-PN-1-3-1-KN-3 bersifat tahan terhadap Wck biotipe 2, agak tahan Wck biotipe 3 dan tahan HDB kelompok VIII.

SARAN Galur-galur tahan dan agak tahan terhadap wereng dan HDB serta blas pada percobaan ini dapat digunakan oleh para pemulia sebagai bahan persilangan untuk menghasilkan varietas-varietas padi yang tahan terhadap kendala biotik.

DAFTAR PUSTAKA Ahn, S.W. and M. Amir. 1986. Rice blast management under upland condition proceed of the . Jakarta conference. Amir,M. Dan Hakam S. 1990. Penyakit tanaman pangan dan pengendaliannya di lahab pasang surut. Amir. M. dan Anggiani, 1998. Studi dinamika struktur patotipe P grisea dan pemanfaatan ketahanan parsial untuk Pengendalian penyakit blas pada padi gogo. Laporan Teknis Penelitian (Belum diterbitkan) Amir.M., Anggiani.,dan Santoso.2000. Uji ketahanan Parsial galur-galur harapan padi gogo terhadap penyakit blas (Pyricularia grisea). Laporan penelitian Balitpa, Sukamandi. Baehaki, S.E. 2005. Keganasan dan penentuan biotipe wereng coklat Jawa tengah (Kasus Pati dan Demak) terhadap varietas padi yang dilepas. Prosiding Seminar Nasional dan Kongres Biologi XIII. PBI & fak. Biologi UGM. Yogjajarta 16 – 17 Sept : 726 – 731. Direktorat Bina Perlindungan Tanaman Pangan. 2001. Evaluasi kerusakan tanaman padi karena organisme pengganggu tahun 1995-1999. Dir. Jen. Pert. Tan. Pangan. 184 h. Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. 2006. dalam http://www.ditlin.deptan.go.id. diakses Agustus 2006. Harahap,Z,. Amir.M. dan Azwar, 1985. Blast breeding methodologies in Indonesia of rice blast Workshop, IRRI. P.81.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 54

Hartini, R.H. 1986. Kelompok baru bakteri Xanthomonas campestris pv. oryzae pada varietas padi. Penelitian Pertanian vol 6 (2) : 74 - 76. Badan Pen. dan Pengembangan Pert. BALITTAN, Bogor. International Rice Research Institute. 1996. Standart Evaluation System for Rice. 4ed IRRI. Los Banos. Philippines 54 hlm. Kadir, S. K. 2000. Variasi Patogen Xanthomonas oryzae pv. oryzae. pp 159-165. Dalam. Soedarmono et al (Eds.) Prosiding Kongres Nasional XV dan Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. 16-18 September 1999. Faperta UNSOED Purwokerto. Kartohardjono,A, Trsinanngsih, C. Sukmana dan Tarso. 2007. Laporan Akhir Tahun 2007. Balai Besar penelitian Tanaman Padi. 52 h. Kartohardjono,A, Trsinanngsih, C. Sukmana dan Tarso. 2008. Laporan Akhir Tahun 2008. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Lubis. E., M. Diredja,. Z. Harahap dan B. Kustianto, 1993. Perbaikan varietas padi gogo. Simposium penelitian Tanaman Pangan II, Pusalitbangtan, Jakarta/Bogor 23-25 Agustus 1993 Ou, S.H., 1985. Rice Disease. Commonwealth Mycological Institute. Kew Surrey. England. Santoso, T. 1998. Permasalahan dan strategi pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) pertanian lahan rawa. Makalah seminar pada Proyek Penelitian dan Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu – ISDP. Puslitbang Tanaman Pangan . 24 Juli 1998. Sembiring, H. dan I. N. Widiarta. 2007. Inovasi Teknologi Padi Menuju Swasembada Beras berkelanjutan. Abstrak Simposium Tanman pangan V. Puslitbangtan. Bogor 28 – 29 Agustus: 13 Semangun, H.1991. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Gajah Mada University Press. 449 h Suprihatno, B., A.A. Dradjat, Satoto, Baehaki, S.E., Suprihanto, A. Setyono, S.D. Idrasari, M.Y. Samaullah, H. Sembiring. 2009, Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar penelitian Tanaman Padi. 105 h Suwarno dan T. Suhartini. 1993. Perbaikan varietas padi untuk menunjang usaha tani di lahan pasang surut dan lebak. Dalam Proseding Simposium Penelitian Tanaman Pangan II. Jakarta/Bogor, 23 – 25 Agustus 1983.

Notulensi Diskusi Seminar Amijusalam : Screeningnya lebih bagus tiga-tiganya atau satu per satu. Jawab : Diujinya satu persatu, padinya hibrida yang diharapkan keturunannya akan baik. Tanya : Untuk wereng coklat dan xantomonas biotapenya udah sampai berapa? Apakah yang paling tertinggi yang paling toksik? Jawab : Ada 3 biotape untuk wereng coklat, dan udah rentan yang memulai munculnya biotape 4.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 55

Lampiran 1. Reaksi galur padi rawa terhadap wck bitotipe 3dan 2, Muara Bogor MT 2009 NOMOR Skore dan 2 GALUR/VARIETAS TERUS ASAL Biotipe 3 Biotipe 2 UDHL RAWA. MT. 1.09 Rerata Reaksi Rerata Reaksi 1 A Swarna Sub-1 5 ar 3 At 2 B IR64 Sub-1 ,5 ar 1 t 3 C BR-11 Sub-1 7 R 9 r 4 D IR72049-B-R-22-3-1-1 5 Ar 5 ar 5 E TOX4136-5-1-1-KY-3 7 R 5 ar 6 F B10891B-MR-3-KN-4-1-1-MR-1 5 Ar 5 ar 7 G B11586F-MR-11-2-2 5 Ar 5 ar 8 H B10387F-MR-7-6-KN-3-KY-2 7 R 5 ar 9 Y B9856D-MR-93-23-KY-1 7 R 3 at 10 K BP1031F-PN-25-2-4-KN-2 5 Ar 3 at 11 L B10528F-KN-35-2-2 5 Ar 3 at 12 M BP1027F-PN-1-2-1-KN-MR-3-3 3 At 5 ar 13 N BP367E-MR-42-4-PN-3-KN-MR-4 3 At 5 ar 14 P IR42 7 R 7 r 15 R BATANGHARI 5 Ar 5 ar 16 S IR64 3 At 3 at Rathu Henathi 1 3 PTB 33 1 1 IR 42/ IR 26 9 9 UML. KONSORSIUM MT. 1. 09 SET-1 17 1 IPB 106-F-20-DJ-1 3 At 5 Ar 18 2 IPB 106-F-25-DJ-1 5 Ar 1 t 19 3 IPB 106-F-47-DJ-1 3 At 1 t 20 4 IPB 106-F-82-DJ-1 5 Ar 3 at 21 5 IPB 106-F-85-DJ-2 5 Ar 5 ar 22 6 BP1027F-PN-1-2-1-KN-MR-3-3 5 Ar 3 at 23 7 B10528F-KN-35-2-2 7 R 7 r 24 8 B10891B-MR-3-KN-4-1-1-MR-1 5 Ar 5 ar 25 9 B11586F-MR-11-2-2 5 Ar 5 ar 26 10 B10387F-MR-7-6-KN-3-KY-2 5 Ar 5 ar 27 11 IR42 7 R 7 r 28 12 BATANGHARI 7 R 5 ar UML. KONSORSIUM MT. 1. 09 SET-2 29 1 7 Ar 3 at 30 2 IPB 106-F-146-DJ-1 3 At 3 at 31 3 IPB 106-F-200-DJ-1 5 Ar 3 at 32 4 IPB 106-F-206-DJ-1 5 Ar 7 r 33 5 IPB 107-F-19-DJ-2 7 Ar 5 ar 34 6 BP1035F-PN-1-3-1-KN-3 3 At 3 at

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 56

35 7 BP10216F-TB-6-2-2-KY-2 5 Ar 3 at 36 8 BP1051E-KN-1-1 5 Ar 3 at 37 9 BP10580E-KN-81-3 3 At 5 ar 38 10 BP1046F-KN-15-1-KN-1 3 At 3 At 39 11 IR42 7 R 7 r 40 12 BATANGHARI 7 R 3 at Rathu Henathi 1 3 PTB 33 1 1 IR 42/ IR 26 9 9

Lampiran 2. Reaksi galur-galur padi rawa terhadap HDB kelompok IV dan VIII No Galur/varietas Reaksi Kelompok IV Kelompok VIII UDHL RAWA. MT. 1.09 1 Swarna Sub-1 41.9 S 23.5 MS 2 IR64 Sub-1 35.4 S 18.5 MS 3 BR-11 Sub-1 25.5 MS 16.0 MS 4 IR72049-B-R-22-3-1-1 28.1 S 23.4 MS 5 TOX4136-5-1-1-KY-3 40.1 S 3.7 R 6 B10891B-MR-3-KN-4-1-1-MR-1 24.5 MS 4.5 R 7 B11586F-MR-11-2-2 20.9 MS 13.2 MS 8 B10387F-MR-7-6-KN-3-KY-2 25.1 MS 82.9 HS 9 B9856D-MR-93-23-KY-1 49.1 S 65.8 HS 10 BP1031F-PN-25-2-4-KN-2 33.2 S 16.2 MS 11 B10528F-KN-35-2-2 40.9 S 47.0 S 12 BP1027F-PN-1-2-1-KN-MR-3-3 27.3 S 35.2 S 13 BP367E-MR-42-4-PN-3-KN-MR-4 35.8 S 22.1 MS 14 IR42 26.1 S 17.1 MS 15 BATANGHARI 36.6 S 20.4 MS 16 IR64 36.8 S 58.3 HS UML. KONSORSIUM MT. 1. 09 SET-1 17 IPB 106-F-20-DJ-1 27.9 S 61.3 HS 18 IPB 106-F-25-DJ-1 33.2 S 17.4 MS 19 IPB 106-F-47-DJ-1 32.7 S 52.1 HS 20 IPB 106-F-82-DJ-1 52.8 HS 33.6 S 21 IPB 106-F-85-DJ-2 42.5 S 28.8 S 22 BP1027F-PN-1-2-1-KN-MR-3-3 35.3 S 23.5 MS 23 B10528F-KN-35-2-2 20.8 MS 29.2 S 24 B10891B-MR-3-KN-4-1-1-MR-1 47.1 S 20.2 MS 25 B11586F-MR-11-2-2 16.7 MS 68.5 HS 26 B10387F-MR-7-6-KN-3-KY-2 38.7 S 89.6 HS 27 IR42 22.0 MS 20.8 MS 28 BATANGHARI 37.3 S 42.0 S UML. KONSORSIUM MT. 1. 09 SET-2 29 IPB 106-F-88-DJ-2 44.7 S 59.2 HS 30 IPB 106-F-146-DJ-1 24.5 MS 28.9 S

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 57

31 IPB 106-F-200-DJ-1 32.3 S 19.3 MS 32 IPB 106-F-206-DJ-1 57.3 S 76.7 HS 33 IPB 107-F-19-DJ-2 19.0 MS 40.6 S 34 BP1035F-PN-1-3-1-KN-3 24.6 MS 10.3 MR 35 BP10216F-TB-6-2-2-KY-2 26.7 S 80.0 HS 36 BP1051E-KN-1-1 35.4 S 22.0 MS 37 BP10580E-KN-81-3 29.5 S 5.5 R 38 BP1046F-KN-15-1-KN-1 23.0 MS 1.3 MS 39 IR42 21.8 MS 18.0 MS 40 BATANGHARI 39.9 S 23.7 MS

Lampiran 3. Reaksi galur-galur padi rawa terhadap penyakit blas

Nomor Galur/varietas Reaksi ras Pyricularia grisea Terus Asal 173 133 073 033 UDHL RAWA. MT. 1.09 1 Swarna Sub-1 9 R 7 R 9 R 7 R 2 IR64 Sub-1 1 T 0 T 3 MT 1 T 3 BR-11 Sub-1 7 R 7 R 7 R 3 MT 4 IR72049-B-R-22-3-1-1 7 R 0 T 3 MT 0 T 5 TOX4136-5-1-1-KY-3 5 R 3 MT 3 MT 1 T 6 B10891B-MR-3-KN-4-1-1-MR-1 9 R 9 R 7 R 5 R 7 B11586F-MR-11-2-2 9 R 9 R 7 R 5 R 8 B10387F-MR-7-6-KN-3-KY-2 7 R 3 MT 3 MT 3 MT 9 B9856D-MR-93-23-KY-1 3 MT 3 MT 3 MT 1 T 10 BP1031F-PN-25-2-4-KN-2 1 T 3 MT 3 MT 1 T 11 B10528F-KN-35-2-2 1 T 3 MT 3 MT 1 T 12 BP1027F-PN-1-2-1-KN-MR-3-3 1 T 3 MT 5 R 3 MT 13 BP367E-MR-42-4-PN-3-KN-MR-4 1 T 1 T 3 MT 1 T 14 IR42 3 MT 3 MT 5 R 3 MT 15 BATANGHARI 3 MT 3 MT 1 T 3 MT 16 IR64 1 T 1 T 3 MT 3 MT UML. KONSORSIUM MT. 1. 09 SET-1 17 IPB 106-F-20-DJ-1 1 T 0 T 3 MT 3 MT 18 IPB 106-F-25-DJ-1 1 T 0 T 1 T 1 T 19 IPB 106-F-47-DJ-1 3 MT 0 T 1 T 1 T 20 IPB 106-F-82-DJ-1 1 T 1 T 3 MT 0 T 21 IPB 106-F-85-DJ-2 1 T 5 R 0 T 5 R 22 BP1027F-PN-1-2-1-KN-MR-3-3 1 T 3 MT 3 MT 3 MT 23 B10528F-KN-35-2-2 1 T 3 MT 0 T 3 MT 24 B10891B-MR-3-KN-4-1-1-MR-1 1 T 5 R 3 MT 1 T 25 B11586F-MR-11-2-2 9 R 9 R 9 R 1 T 26 B10387F-MR-7-6-KN-3-KY-2 3 MT 3 MT 0 T 3 MT 27 IR42 3 MT 3 MT 3 MT 1 T 28 BATANGHARI 3 MT 1 T 3 MT 1 T UML. KONSORSIUM MT. 1. 09 SET-2 29 IPB 106-F-88-DJ-2 3 MT 0 T 0 T 3 MT 30 IPB 106-F-146-DJ-1 0 T 1 T 1 T 1 T 31 IPB 106-F-200-DJ-1 1 T 1 T 1 T 1 T

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 58

32 IPB 106-F-206-DJ-1 1 T 5 R 3 MT 3 MT 33 IPB 107-F-19-DJ-2 1 T 3 MT 1 T 3 MT 34 BP1035F-PN-1-3-1-KN-3 1 T 3 MT 0 T 3 MT 35 BP10216F-TB-6-2-2-KY-2 7 R 7 R 5 R 7 R 36 BP1051E-KN-1-1 3 MT 3 MT 1 T 3 MT 37 BP10580E-KN-81-3 5 R 7 R 5 R 3 MT 38 BP1046F-KN-15-1-KN-1 3 MT 3 MT 0 T 3 MT 39 IR42 3 MT 5 R 3 MT 1 T 40 BATANGHARI 3 MT 1 T 1 T 3 MT

OPH-03 Uji Konsentrasi Nematoda Entomopatogen Steinernematidae Lokal Sebagai Pengendali Hama Rayap Coptototermes curvignathus Holmgren Desita Salbiah1 dan Puji Handayani1 Tidak dipresentasikan

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 59

1Fakultas Pertanian Universitas Riau Jl. Bina Widya, Km. 12,5 Panam Pekanbaru Email : [email protected]

ABSTRACT Coptotermes curvignathus Holmgren termites were the pest that often make damage to the forest of the industrial crop and the plantation crop. Entomopathogenic nematode Riau local has a potential to developed as a biological control of termites pest of C. curvignathus. This experiment was to know the capability of several concentration of the entomopatogenic to control C. curvignathus. This research was conducted is Plant Pest Laboratory Agriculture Faculty, Riau University from November 2009 until January 2010. Observation was carried out towards the morphology of the head, vulva, nerves ring, tail, and had or not the bursa. The experiment by using the randomized block design with 6 treatments that 600 JI/ML, 500 JI/ml, 400 JI/ml, 300 JI/ml, 200 JI/ml and 0 JI/ml was repeated 3 times. The results showed that the entomopathogenic nematode concentration 600 JI/ml, very effective to kill termites of 100% for 72 hours, followed with the entomopathogenic nematode concentration 500 JI/ml, 400 JI/ml, 300 JI/ml and 200 JI/ml respectively of 76.6%, 68.3%, 63.3%, 36.6%. The entomopatogen nematode Steinernematidae potential to be developed as the biological agent in controlling the Coptotermes curvignathus termites pest. Keywords: Coptotermes curvignathus termites, entomopatogen nematode, Steinernematidae.

PENDAHULUAN Rayap dikenal sebagai hama yang banyak menyebabkan kerusakan pada tanaman perkebunan dan hasil hutan hampir di seluruh daerah tropik dan subtropika. Indonesia

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 60 sebagai negara tropik merupakan tempat hidup yang sangat sesuai bagi rayap. Selain itu diperkirakan hampir 80-85% dari luas daratan Indonesia merupakan habitat yang sesuai bagi kehidupan rayap (Nandika, 1999 dalam Erningtyas, 2006). Rayap dapat menimbulkan kerusakan fisik secara langsung dan menyebabkan terjadinya penurunan hasil bahkan apabila serangannya berat dapat menyebabkan kematian pada tanaman, sehingga menimbulkan kerugian ekonomis yang sangat besar (Nandika dkk, 1999 dalam Desyanti, 2007). Golongan rayap tanah yang paling banyak menimbulkan kerusakan adalah dari famili Rhinotermitidae dan Termitidae (Tambunan & Nandika, 1989 dalam Erningtyas, 2006). Rayap tanah Coptotermes curvignathus Holmgren (Isoptera: Rhinotermitidae) merupakan jenis rayap perusak kayu yang paling banyak menyebabkan kerugian di Indonesia. Persentase serangan rayap pada tanaman karet diperkirakan mencapai 7,4%, pada kelapa sawit mencapai 10,8% (Yatina dkk., 2006). Secara umum serangan rayap masih rendah namun serangan ini dapat menimbulkan kematian yang cukup tinggi pada tanaman yaitu lebih dari 90% (Suhaendah dkk., 2007). Pengendalian rayap secara biologis menggunakan agen hayati nematode entomopatogen (NEP) merupakan pengendalian alternatif yang efektif. NEP yang telah digunakan untuk mengendalikan rayap adalah NEP dari famili Steinernematidae dan Heterorhabditidae masing-masing famili hanya memiliki satu genus yaitu genus Steinernema dan Heterorhabditis (Pearce, 1997 dalam Arinana, 2002). NEP sebagai pengendali hayati rayap memiliki prospek yang cerah dimasa depan, karena NEP banyak terdapat di daerah tropik dan dapat hidup di dalam tanah (Poinar & Thomas, 1982 dalam Bakti, 2004). Beberapa keunggulan dari NEP sebagai agen hayati pengendali rayap dibandingkan musuh alami lain yaitu daya bunuhnya cepat, kisaran inangnya luas meliputi hama tanaman perkebunan, hortikultura, maupun tanaman pangan. Aktif dalam mencari inang sehingga efektif untuk mengendalikan serangga dalam jaringan, tidak menimbulkan resistensi, tidak berbahaya bagi kesehatan manusia dan mudah dibiakkan secara massal (Kaya & Gaugler, 1993 dalam Uhan, 2008). Menurut Poinar

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 61

(1979) dalam Anggraeni (2003) NEP mampu menginfeksi 250 spesies serangga lebih dari 75 famili dalam 10 ordo. Teknik untuk memperoleh NEP adalah dengan cara pengumpanan (baiting), yaitu dengan menggunakan ulat hongkong (Tenebrio molitor). Faktor yang menentukan keberhasilan penggunaan NEP dalam pengendalian rayap adalah seberapa banyak jumlah juvenil infektif (JI) NEP yang diberikan. Hasil penelitian Arinana (2002) menunjukkan kepadatan 550 JI/ml dapat menyebabkan kematian hama rayap 90,3% dalam waktu 120 jam. Penelitian ini bertujuan untuk menguji kemampuan beberapa konsentrasi nematoda entomopatogen lokal untuk mengendalikan rayap Coptotermes curvignathus Holmgren (Isoptera: Rhinotermitidae).

BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Hama Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Riau Kampus Bina Widya Km 12.5 kelurahan Simpang Baru Kecamatan Tampan Pekanbaru. Penelitian dilaksanakan dari bulan November 2009 hingga Januari 2010. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah yang berasal dari pertanaman caisim, ulat hongkong (Tenebrio molitor) instar empat biakan Laboratorium Hama Tumbuhan, nematoda entomopatogen instar 3 (juvenil infektif), rayap kasta pekerja, rumah rayap dan aquades steril. Alat yang digunakan yaitu stoples dengan diameter 14 cm tinggi 6 cm, kain muslim, kain tile warna hitam, kertas saring, cawan petri dengan diameter 9 cm, mikroskop, spon, pinset, pipet tetes. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL), dengan 6 perlakuan dan diulang sebanyak 3 kali sehingga diperoleh 18 unit percobaan. Perlakuannya adalah konsentrasi NEP 0 JI/ml aquades, 200 JI/ml aquades, 300 JI/ml aquades, 400 JI/ml aquades, 500 JI/ml aquades dan 600 JI/ml aquades

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 62

Data dianalisis ragam dan dilakukan uji lanjut dengan Duncan’s New Multiple Range Test (DNMRT) pada taraf 5%. Isolasi NEP dilakukan dengan teknik pengumpanan (soil baiting technique) (Bedding & Akhurts, 1975 dalam Chaerani & Suryadi, 1999). Ulat hongkong instar empat digunakan sebagai umpan. Untuk memperoleh NEP keluar dari ulat hongkong di lakukan dengan metode White trap. NEP yang diperoleh disimpan dalam stoples yang berisi spons. Aplikasi NEP di laboratorium dilakukan pada sore hari pukul 18.00 WIB. Masing- masing botol diisi kayu bekas gerekan (rumah rayap) seberat 1 gram yang telah dibasahi dengan aquades, kemudian diinvestasikan rayap pekerja sebanyak 20 ekor. 10 menit kemudian dimasukkan NEP fase infektif ke dalam botol tersebut sesuai dengan perlakuan. Untuk mendapatkan jumlah NEP yang sesuai dengan perlakuan dilakukan penghitungan dengan hand counter dan disetiap waktu pengamatan pada perlakuan ditetesi 1 ml aquadest agar kelembabannya terjaga. Pengamatan dilakukan terhadap, gejala awal hingga rayap mati, persentase mortalitas harian, persentase mortalitas total.

HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium pada suhu rata-rata 26,8oC dan kelembaban 93,5 %

A B

C D Gambar 1. Ciri NEP Steinernematidae: kepala (A); vulva (B); cincin syaraf (C); ekor (D)

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 63

(Pembesaran 400 x). Sumber: Foto Penelitian (2010)

1.Waktu gejala awal hingga rayap mati (jam) Hasil pengamatan waktu gejala awal sampai rayap mati setelah dianalisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan berbagai konsentrasi NEP berpengaruh nyata terhadap 0 JI/ml aquades. Hasil uji lanjut DNMRT pada taraf 5% dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Rerata Waktu Gejala Awal sampai Rayap Mati dengan Pemberian Beberapa Konsentrasi NEP (Jam) Konsentrasi Nematoda Entomopatogen (NEP) Rerata (jam) 0 JI/ml aquades 0 a 200 JI/ml aquades 20 b 300 JI/ml aquades 20 b 400 JI/ml aquades 16 b 500 JI/ml aquades 16 b 600 JI/ml aquades 12 b KK = 14,14% Angka-angka pada lajur yang diikuti oleh huruf kecil berbeda nyata setelah diuji lanjut dengan DNMRT 5% setelah ditransformasi Log Y

Tabel 1 menunjukkan bahwa perlakuan pemberian perbedaan konsentrasi NEP tidak menunjukkan perbedaan dalam waktu muncul gejala awal sampai rayap mati diduga karena bakteri yang berada di dalam tubuh NEP belum bekerja secara optimal. Bakteri akan menghasilkan toksin 24-48 jam setelah masuk ke dalam hemolim rayap oleh sebab itu pada pengamatan ini belum terlihat perbedaan pada setiap perlakuan pemberian konsentrasi NEP. Sesuai dengan pendapat Kaya dan Gaugler (1993) dalam Uhan (2008) menyatakan bahwa faktor penentu infektifitas NEP terletak pada bakteri simbionnya. Seberapa banyak toksin intraseluler dan ekstraseluler yang dihasilkan bakteri dalam waktu 24-48 jam. NEP dan bakteri Xenorhabdus spp. bersifat mutualistik, yaitu masing-masing saling membutuhkan. Bakteri Xenorhabdus spp. tidak dapat hidup dan tidak pernah ditemukan tersendiri di alam selain di dalam tubuh NEP. NEP berperan sebagai vektor bagi bakteri Xenorhabdus spp. dari satu inang ke inang lainnya. Untuk mendapatkan nutrisi, NEP sangat bergantung pada produktivitas bakteri Xenorhabdus spp., dan bakteri inilah yang mampu mematahkan mekanisme pertahanan serangga inang dengan toksin yang dihasilkannya (Poinar, 1979; Wouts, 1991; Kaya dkk., 1993 dalam Anggraeni, 2003).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 64

Bakteri simbion Xenorhabdus spp. akan dilepaskan ke dalam hemolim rayap, kemudian sel-sel bakteri Xenorhabdus spp. akan berkembang biak dan mematikan rayap. Proses mematikan rayap dilakukan dengan mengeluarkan eksotoksin, enzim-enzim seperti protease, lipase, lechtinase, dan endotoksin lipopolisakarida, dan selanjutnya NEP akan bereproduksi. Terjadi perubahan warna dan tubuh rayap menjadi lembek (Gambar 3), kemudian toksin-toksin dan enzim-enzim yang dihasilkan bakteri Xenorhabdus spp. memecah jaringan tubuh rayap sehingga tubuh rayap yang telah hancur oleh bakteri ini dimanfaatkan oleh NEP Steinernematidae sebagai nutrisi untuk hidup dan berkembang biak. Kematian rayap ditandai dengan perubahan warna tubuh rayap dari kuning kecoklatan menjadi coklat. Bagian tubuh menjadi lembek karena rusaknya jaringan tubuh sehingga tubuh rayap akhirnya menjadi hancur. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Tanada dan Kaya (1993) dalam Anggraeni (2003) bahwa serangan NEP pada serangga inang menyebabkan gejala eksternal, internal dan perilaku. Gejala eksternal rayap yang terserang NEP ini adalah adanya perubahan warna, yaitu dari warna kuning kecoklatan menjadi coklat dan tubuhnya menjadi lunak. Pada gejala internal apabila tubuhnya dibedah, jaringan dalam serangga inang menjadi hancur dan cair tetapi tidak berbau busuk. Hal ini didukung juga oleh Simoes dan Rosa (1996) dalam Uhan (2008), yang mengemukakan bahwa terjadinya perubahan warna dan rusaknya jaringan tubuh disebabkan oleh bakteri simbion Xenorhabdus spp. yang mengeluarkan eksotoksin sehingga menyebabkan paralisis pada serangga yang diikuti kematian serangga.

Gambar 2. Rayap yang Telah Mati Terinfeksi NEP. Sumber: Foto Penelitian (2010)

2.Lethal Time 50 (LT50)

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 65

Hasil pengamatan LT50 setelah dianalisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi NEP memberikan pengaruh nyata terhadap waktu yang dibutuhkan NEP untuk mematikan 50% rayap uji, dan hasil uji lanjut DNMRT pada taraf 5% dapat dilihat pada tabel 2 Tabel 2. Rerata Lethal Time 50 dengan Pemberian Beberapa Konsentrasi NEP (jam) Konsentrasi Nematoda Entomopatogen (NEP) Rerata(jam) 0 JI/ml aquades 0 a 600 JI/ml aquades 36 b 500 JI/ml aquades 52 c 400 JI/ml aquades 60 d 300 JI/ml aquades 64 d 200 JI/ml aquades 84 e KK = 8,1% Angka-angka pada lajur yang diikuti oleh huruf kecil berbeda nyata setelah diuji lanjut dengan DNMRT 5%

Tabel 2 menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi NEP 600 JI/ml berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, demikian juga perlakuan 500 JI/ml. Perlakuan konsentrasi NEP 600 JI/ml adalah konsentrasi NEP yang tercepat mematikan 50% rayap yaitu 36 jam setelah aplikasi. Perlakuan 400 JI/ml dan 300 JI/ml berbeda tidak nyata diantara keduanya disebabkan pemberian kedua konsentrasi tersebut mempunyai kemampuan yang sama untuk mematikan 50% rayap uji, disamping itu toksin yang dihasilkan bakteri simbion Xenorhabdus spp. dari kedua perlakuan tersebut belum mampu mematikan rayap. Konsentrasi NEP 600 JI/ml mampu mematikan 50% rayap uji lebih cepat disebabkan oleh karena konsentrasi NEP yang diaplikasikan lebih banyak dibandingkan dengan konsentrasi NEP yang diberikan pada perlakuan lainnya. bakteri simbion juga telah bekerja secara optimal untuk menghasilkan toksin dan enzim-enzim yang mampu mempercepat kematian rayap. Kematian rayap dipengaruhi oleh mobilitas NEP yang digunakan, ketahanan rayap, dan mobilitas rayap. Selain itu media yang digunakan untuk pengujian juga mempengaruhi daya infektifitas NEP terhadap serangga inang. Media yang digunakan dalam penelitian ini adalah rumah rayap yang telah di hancurkan terlebih dahulu, dengan kondisi seperti ini mengakibatkan rayap uji selalu berada di atas permukaan. Hal ini sesuai dengan sifat NEP Steinernematidae yaitu bersifat ambushing (menunggu) dan berada di dekat permukaan,

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 66 sehingga NEP Steinernematidae lebih efektif menyerang serangga yang berada dekat dengan permukaan.

3. Persentase Mortalitas Total (%) Hasil pengamatan mortalitas harian rayap setelah dianalisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi NEP memberikan pengaruh nyata terhadap mortalitas harian rayap, dan hasil uji lanjut DNMRT pada taraf 5% dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Rerata Mortalitas Total Rayap dengan Pemberian Beberapa Konsentrasi NEP (%) Konsentrasi Nematoda Entomopatogen (NEP) Rerata(%) 0 JI/ml aquades 0 a 200 JI/ml aquades 36.6 b 300 JI/ml aquades 63,3 c 400 JI/ml aquades 68,3 c 500 JI/ml aquades 76,6 d 600 JI/ml aquades 100 e KK: 7,4% Angka-angka pada lajur yang diikuti oleh huruf kecil berbeda nyata setelah diuji lanjut dengan DNMRT 5%

Tabel 3 dapat dilihat bahwa semua perlakuan pemberian NEP yaitu 600 JI/ml berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Perlakuan konsentrasi NEP 600 JI/ml menunjukkan mortalitas yang tertinggi yakni 100%. Perlakuan 500 JI/ml, 400 JI/ml, 300 JI/ml dan 200 JI/ml masing-masing dapat menyebabkan mortalitas total sebesar 76,6%, 68,3%, 63,3%, 36,6%. Perlakuan konsetrasi NEP 300 JI/ml telah mampu mematikan rayap sebesar 63,3% dalam waktu 72 jam dan perlakuan ini sudah cukup efektif untuk mengendalikan rayap di laboratorium. Faktor penentu infektifitas NEP terletak pada bakteri simbionnya, kemungkinan bakteri simbion pada perlakuan ini telah memproduksi toksin dan enzim yang cukup dan kemampuan memperbanyak diri di hemolim baik sehingga mampu mematahkan mekanisme pertahanan rayap. Pendapat ini sesuai dengan Akhurst dan Boemere (1990) dalam Uhan (2008) menyatakan bahwa patogenisitas Xenorhabdus spp. bergantung pada kemampuan masuknya NEP ke hemosel rayap, juga kemampuan bakteri untuk memperbanyak diri di hemolim serta kemampuannya untuk melawan mekanisme pertahanan rayap.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 67

Keefektifan NEP dipengaruhi juga oleh keadaan lingkungan tempat penelitian. NEP membutuhkan kelembaban yang tinggi untuk dapat hidup dan berkembang biak sesuai dengan pendapat Hara dkk. (1993) dalam Yulensri (2001) yang menyatakan bahwa aplikasi NEP dapat berhasil apabila kelembaban rata-rata ± 92%. Didalam tubuh rayap, NEP akan mengalami siklus reproduktif, dimana JI akan berganti kutikula menjadi juvenil instar keempat (J4) kemudian berganti kutikula menjadi dewasa. Telur diproduksi tiga hari setelah NEP masuk ke dalam tubuh rayap. Telur menetas dan berkembang di dalam tubuh NEP menjadi juvenil instar pertama (J1), kemudian berganti kutikula menjadi juvenil instar kedua (J2). Pada stadia J2 NEP akan memasuki siklus infektif, tergantung pada kepadatan populasi dan nutrisi inang. Jika nutrisi inang mencukupi dan kepadatan populasi rendah maka J2 berkembang menjadi J3 (JI) dan keluar dari tubuh inang (Gambar 3) (Samsudin, 2008). Tubuh rayap hancur dalam 2-4 hari setelah inokulasi, dan kemudian JI NEP keluar dan tampak jelas berkerumun di sekeliling tubuh rayap yang telah hancur.

Gambar 3. Juvenil Infektif Nematoda Entomopatogen keluar dari tubuh rayap yang telah mati. Pembesaran 200 X. Sumber: Foto Penelitian (2010)

KESIMPULAN Konsentrasi NEP 600 JI/ml dapat mematikan rayap 100% dalam waktu 72 jam sehingga perlakuan ini cukup efektif untuk mengendalikan rayap Coptotermes curvignathus.

DAFTAR PUSTAKA

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 68

Anggraeni, E.D. 2003. Nematoda Entomopatogen pada Bebarapa Lahan Palawija dan Hortikultura Di Wilayah Bogor dan Cianjur. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Pertanian Bogor. Bogor. Arinana. 2002. Keefektifan Nematoda Entomopatogen Steinernema sp dan Heterorhabditis indica Sebagai Agen Hayati Pengendali Rayap Tanah Coptotermes Curvignathus Holmgren (Isoptera: Rhinotermitidae). Tesis Sekolah PascaSarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Bakti, D. 2004. Pengendalian Rayap Coptotermes curvignathus Holmgren menggunakan Nematoda Steinernema carpocapsae Weiser dalam skala Laboratorium. http://72.14.235.132/search?q=cache:xNXNJQy9NZeJ:www.unri.ac.id/jurnal/jurnal- natur/vol 6(2). Diakses pada tanggal 3 Maret 2008. Chaerani dan Y. Suryadi. 1999. Isolasi Nematoda Patogen Serangga Steinernema dan Heterorhabditis dari Daerah di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Buku I Prosiding Seminar Nasional Peranan Entomologi dalam Pengendalian Hama yang Ramah Lingkungan Dan Ekonomis. Bogor, 16 Februari 1999. Hal: 197-206. Desyanti. 2007. Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes spp (Isoptera;Rhinotermitidae) Dengan Menggunakan Cendawan Entomopatogen Isolat Lokal. Tesis Sekolah PascaSarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Erningtyas, T. 2006. Efikasi Nematoda Entomopatogen Heterorhabditis sp dan Steinernema sp Isolat Bogor sebagai Bioinsektisida Terhadap Rayap Tanah Coptotermes Curvignathus Holmgren (Isoptera; Rhinotermitidae). Tesis Sekolah PascaSarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suhaendah, E., M. Siarudin dan E. Rachman. 2007. Serangan Hama dan Penyakit pada Lima Provenan Sengon di Kabupaten Tasikmalaya. Jurnal Warna Benih Vol 8, no.1. Diakses pada tanggal 28 Januari 2009. Uhan, 2008. Bioefikasi Beberapa Isolat Nematoda Entomopatogenetik Steinernema spp. Terhadap Spodoptera litura Fabricius pada Tanaman Cabai di Rumah Kaca. Jurnal Hortikultura Vol 18 No.2.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 69

OPH-04 Efektivitas dan Prospek Perangkap Feromon Seks untuk Pengendalian Hama Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga incertulas (Walker) (Lepidoptera: Pyralidae). Tatang Suryana1, Ajeng Wulan Lestari2, N. Usyati1, dan Nia Kurniawati1 1 Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Jl. Raya 9-Sukamandi, Subang 41256 Jawa Barat 2 Mahasiswa Program Diploma III, Politeknik Agroindustri Jl. Raya Sukamandi, Subang 41256 Jawa Barat

ABSTRAK Hama penggerek batang padi kuning, Scirpophaga incertulas, adalah salah satu organisma pengganggu tanaman padi dengan predikat sebagai hama utama. Meskipun insektisida pada umumnya kurang efektif dan kurang ramah lingkungan untuk mengendalikan hama S. incertulas, namun petani tetap menggunakannya secara terus menerus. Untuk mengurangi dampak negatif dari penggunaan insektisida, maka sekarang perlu dikembangkan teknologi pengendalian alternatif yang ramah lingkungan. Perangkap feromon seks adalah salah satu teknologi alternatif untuk mengendalikan hama S. incertulas yang simple dan ramah lingkungan. Percobaan dengan tujuan untuk mempelajari efektivitas dan prospek perangkap feromon seks untuk pengendalian hama S. incertulas telah dilaksanakan pada bulan Juni-Agustus 2010 di areal sawah irigasi PT Sang Hyang seri Kantor Regional I Sukamandi – Subang, areal Litbang (S.21). Percobaan dilaksanakan di 2 lokasi yang ditanami varietas Ciherang dengan luas masing-masing lokasi adalah 1 ha. Lokasi ke-1 dipasang 25 buah perangkap feromon seks dengan jarak antar perangkap 10 m x 25 m. Perangkap dipasang mulai 14 hari setelah tanam. Lokasi ke-2 tanpa perangkap feromon seks. Pada lokasi ke-1 dan 2 masing-masing ditentukan 2 plot untuk sampel pengamatan yaitu plot I (kontrol/tidak diaplikasi insektisida) dan Plot II (diaplikasi insektisida). Sampel dari masing-masing plot pengamatan ditentukan sebanyak 20 rumpun tanaman padi dengan penentuan sampel dengan sistem secara acak (random). Hasil percobaan menunjukkan bahwa perangkap feromon seks yang digunakan untuk perangkap massal kurang efektif untuk mengendalikan hama S. incertulas di daerah Sukamandi. Ada prospek lain dari perangkap feromon seks selain sebagai perangkap massal yaitu sebagai atraktan pada tanaman perangkap. Kata kunci: efektivitas, prospek, perangkap feromon, , Scirpophaga incertulas

ABSTRACT The yellow rice stem borer, Scirpophaga incertulas, is one of the pest organism rice with a title as the main pest. Although insecticides are generally less effective and less friendly environment to control S. incertulas, but farmers still use it constantly. To reduce the negative impact of the use of insecticides, it is now necessary to develop alternative control technology is environmentally friendly. Pheromone traps are one of the alternative technology to control S. incertulas a simple and environmentally friendly. To study the effectiveness and the prospect of sex pheromone traps to control S.incertulas, a experiment was conducted from June-August2010 in PT Sang Hyang SeriI Sukamandi-Subang, R & Dareas (S.21). Experiment was conducted at 2 locations that planted with a Ciherang variety. Each location is 1ha. The first location was installed 25 pieces of sex pheromone traps with trap spacing of 10 m x 25 m. The location of the 2nd without sex pheromone traps. At each location was determined 2 plots for observation, that were plot I (control /no insecticide applied) and PlotII (insecticide applied). Samples from each plot observation was determined 20 hill rice with random systems (random). The results showed that sex pheromone traps used form as strapping is less effective for controlling S. incertulas in Sukamandi. There is another prospect of sex pheromone traps than as a trap mass that is as attractant in the trap crop. Keywords: effectiveness, prospects, pheromone traps, Scirpophaga incertulas

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 70

PENDAHULUAN Hama penggerek batang padi kuning Scirpophaga incertulas adalah salah satu organisma pengganggu tanaman padi dengan predikat sebagai hama utama. Larva penggerek batang padi kuning S. incertulas makan bagian dalam batang padi. Pada saat menetas, larva instar-1 S. incertulas segera menyebar mencari anakan tanaman padi dan segera masuk ke dalam batang tanaman padi, yang normalnya satu larva menginfestasi satu anakan. Hal tersebut menyebabkan larva S. incertulas terlindungi dari musuh alami dan insektisida (Bandong & Litsinger, 2005), sehingga hama S. incerulas ini sulit untuk dikendalikan sehingga sering menimbulkan kegagalan panen dan kehilangan hasil. Meskipun insektisida pada umumnya kurang efektif untuk mengendalikan hama penggerek batang padi, namun petani tetap menggunakannya secara terus menerus. Penggunaan insektisida yang terus menerus berdampak negatif terhadap lingkungan seperti hama menjadi resisten, resurjensi atau ledakan hama sekunder, berpengaruh negatif terhadap organisma non target, dan residu insektisida (Metcalf, 1982; Sutanto, 2002). Untuk mengurangi dampak negatif dari penggunaan insektisida, maka sekarang perlu dikembangkan teknologi pengendalian alternatif yang ramah lingkungan (Cork dkk., 2003). Perangkap feromon seks adalah salah satu teknologi alternatif untuk mengendalikan hama penggerek batang padi yang sederhana dan ramah lingkungan (Cork dkk., 2003). Perangkap feromon adalah perangkap yang dilengkapi dengan dispenser yang berisi senyawa kimia yang berasal dari feromon seks ngengat betina penggerek batang padi. Feromon seks ini akan menarik ngengat jantan menuju perangkap. Dengan tertangkapnya ngengat jantan, maka diharapkan perkawinan antara ngengat jantan dan betina di alam menjadi berkurang, dan hal ini akan memberikan efek pada berkurangnya populasi penggerek batang padi di alam (Hendarsih dkk., 1999a). Untuk mempelajari lebih jauh efektivitas dan prospek perangkap feromon seks untuk pengendalian hama penggerek batang padi kuning S. incertulas akan dibahas dalam makalah ini.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 71

BAHAN DAN METODE Percobaan dilaksanakan pada bulan Juni-Agustus 2010 di areal sawah irigasi PT Sang Hyang Seri (Persero) Kantor Regional I Sukamandi – Subang, areal Litbang (S.21). Percobaan dilaksanakan di 2 lokasi yang ditanami varietas Ciherang dengan luas masing-masing lokasi adalah 1 ha (total luas 2 lokasi adalah 2 ha). Lokasi ke-1 dipasang 25 buah perangkap feromon seks dengan jarak antar perangkap 10 x 25 m. Perangkap dipasang mulai 14 hari setelah tanam. Lokasi ke-2 tanpa perangkap feromon seks. Pada lokasi ke-1 dan 2 masing-masing ditentukan 2 plot untuk sampel pengamatan yaitu plot I (kontrol/tidak diaplikasi insektisida) dan Plot II (diaplikasi insektisida). Sampel ditentukan dari masing- masing plot pengamatan sebanyak 20 rumpun tanaman padi dengan penentuan sampel dengan sistem secara acak (random). Pengamatan jumlah penggerek batang padi kuning yang tertangkap oleh perangkap feromon seks dilakukan setiap hari, dari satu hari setelah pemasangan perangkap atau umur tanaman 15 hari setelah tanam (HST) sampai dengan 2 minggu sebelum panen. Untuk pengamatan gejala serangan penggerek batang padi dilakukan sejak tanaman berumur 2 minggu setelah tanam (MST) sampai 2 minggu sebelum panen dengan interval pengamatan 1 minggu. Pengamatan sundep dilaksanakan pada umur tanaman 15 HST sampai 57 HST, sedangkan pengamatan beluk dilaksanakan pada umur tanaman 64 HST sampai 71 HST.

HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Ngengat Jantan S. incertulas yang Tertangkap Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan di areal tanaman padi sawah PT. Sang Hyang Seri (Persero) pada bulan Juni-Agustus 2010 terlihat bahwa penggerek batang padi kuning S. incertulas adalah yang dominan tertangkap pada perangkap feromon seks. Jumlah ngengat jantan S. incertulas yang tertangkap oleh perangkap feromon seks sebanyak 25 buah/ha dalam satu musim tanam yaitu 1.009 individu (738 individu pada stadium vegetatif dan 271 individu pada stadium generatif). Puncak tangkapan pada perangkap feromon seks terjadi pada tangkapan minggu ke-1 umur tanaman 22 HST

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 72

(stadium vegetatif) yaitu sebanyak 300 individu/minggu. Puncak tangkapan kedua terjadi pada saat tanaman stadium generatif yaitu sebanyak 141 individu/minggu (Gambar 1). Tingginya populasi ngengat S. incertulas pada minggu ke-1 diduga merupakan ngengat S. incertulas yang berasal dari tanaman padi musim hujan sebelumnya. Penanaman tanaman padi secara terus menerus merupakan faktor yang menyebabkan S.incertulas terus berkembang (Hendarsih & N. Usyati, 2009). Dilihat dari fluktuasi jumlah ngengat yang tertangkap pada setiap minggunya (Gambar 1) dapat dikatakan bahwa generasi S. incertulas ini tumpang tindih. Menurut Hendarsih dkk. (1999b) generasi S. incertulas di Sukamandi dalam satu musim tanam bisa mencapai 3-5 generasi atau 7-8 generasi dalam satu tahun (Hendarsih & N. Usyati, 2009).

350 Vegetatif 300 300 Generatif

250

200 183 150 130 141

100 106 batang padi/minggu batang 73 50 46 30 Jumlah penggerek ngengat tangkapan Jumlah 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Waktu pengamatan (minggu ke-)

Gambar 1. Jumlah tangkapan ngengat penggerek batang padi kuning S. incertulas pada perangkap feromon seks. Sukamandi, MK 2010

Tingkat Serangan S. incertulas Tingkat serangan S. incertulas pada 2 lokasi yaitu lokasi ke-1 dengan perlakuan perangkap feromon seks dan lokasi ke-2 tanpa perlakuan perangkap feromon seks disajikan

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 73 dalam Tabel 1. Data hasil pengamatan menunjukkan bahwa tingkat serangan S. incertulas pada stadium vegetatif dan generatif pada lokasi ke-1 (dengan perlakuan perangkap feromon seks) lebih tinggi dibandingkan pada lokasi ke-2 (tanpa perlakuan perangkap feromon seks). Hal ini menunjukkan bahwa perangkap feromon seks yang digunakan untuk perangkap massal ini kurang efektif untuk mengendalikan hama S. incertulas di daerah Sukamandi. Hasil ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Samudera (2011) yang menyatakan bahwa pemakaian perangkap berferomon dengan 24 perangkap/ha mampu menurunkan tingkat serangan penggerek batang padi dari 21,8% (pada kontrol) menjadi sekitar 5% (24 perangkap/ha). Namun demikian dari data yang dikumpulkan di Sukamandi tersebut terlihat ada prospek lain dari perangkap feromon seks selain sebagai perangkap massal yaitu sebagai atraktan pada tanaman perangkap. Hal ini didasari oleh adanya fenomena bahwa pada lahan yang dipasang perangkap feromon seks intensitas serangan penggerek batangnya lebih tinggi dibandingkan dengan lahan yang tanpa perangkap feromon seks. Tingginya intensitas serangan tersebut disebabkan banyak ngengat jantan yang tertarik feromon seks dan sebelum tertangkap pada perangkap peluang ngengat jantan kawin dengan ngengat betina yang ada pada lahan yang dipasang perangkap menjadi lebih besar. Kondisi ini memberikan dampak banyaknya ngengat betina yang bertelur di lahan yang dipasang perangkap feromon seks. Tingkat serangan S. incertulas pada plot I di masing-masing lokasi terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan plot II (Tabel 1). Kondisi ini terjadi disebabkan pada plot I pertanaman padi tidak diaplikasi dengan insektisida, dan sebaliknya pada plot II. Hal ini menyebabkan hama penggerek batang padi kuning S. incertulas dapat tumbuh dan berkembang tanpa adanya gangguan dari insektisida.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 74

Tabel 1. Intensitas serangan penggerek batang padi kuning S. incertulas. Sukamandi, MK 2010 Intensitas serangan penggerek batang padi kuning/20 rumpun (%) Pengamatan Umur tanaman Gejala ke- (HST) serangan Lokasi 1 Lokasi 2 Plot I Plot II Plot I Plot II 1 15 Sundep 5,0 5,5 4,9 5,2 2 22 Sundep 10,0 8,7 9,4 8,8 3 29 Sundep 6,7 6,4 8,5 5,8 4 36 Sundep 13,5 10,6 12,7 8,9 5 43 Sundep 13,1 11,9 12,1 9,7 6 50 Sundep 12,3 10,2 11,7 8,9 7 57 Sundep 9,4 8,5 8,8 7,9 8 64 Beluk 8,6 8,2 7,6 7,9 9 71 Beluk 7,1 6,8 6,4 6,1 Keterangan: HST = Hari Setelah Tanam Plot I = Kontrol (tanpa aplikasi insektisida) Plot II = Diaplikasi insektisida

KESIMPULAN 1. Perangkap feromon seks yang digunakan untuk perangkap massal kurang efektif untuk mengendalikan hama S. incertulas di daerah Sukamandi. 2. Ada prospek lain dari perangkap feromon seks selain sebagai perangkap massal yaitu sebagai atraktan pada tanaman perangkap.

DAFTAR PUSTAKA Bandong JP, JA Litsinger. 2005. Rice crop stage susceptibility to the rice yellow stemborer Scirpophaga incertulas (Walker) (Lepidoptera: Pyralidae). Inter Jour Pest Manag 51(1):37-43. Cork A, NQ Kamal, S Ahmed, E Casagrande. 2003. Commercial adoption of pheromones as a component in ICM of rice in Bangladesh. Hendarsih S, N Usyati, A Cork, K De Souza. 1999a. Efektivitas perangkap massal dengan seks feromon sintetik terhadap penggerek batang padi kuning (Scirpophaga incertulas) dalam Prasadja dkk., editor. Peranan Entomologi dalam Pengendalian

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 75

Hama yang Ramah Lingkungan dan Ekonomis; Pertemuan PEI Cabang Bogor, 16 Februari 1999. Bogor: PEI Cabang Bogor. Hal 327-334. Hendarsih, S Susilowati, H Anwar, N Usyati, E Suwangsa. 1999b. Penyebaran spesies penggerek batang padi di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Seminar Nasional Biologi Menuju Milenium III. Yogyakarta, 20 November 1999. Hendarsih S, N Usyati. 2009. Pengendalian hama penggerek batang padi. Dalam Daradjat AA, A Setyono, AK Makarim, A Hasanuddin, editor. Padi. Inovasi Teknologi Produksi. Buku 2. Sukamandi: Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hal. 323-346. Metcalf RL. 1982. Insecticides in pest management. In: Metcalf RL, WH Luckmann, editor. Introduction to Insect Pest Management. Second Edition. New York: John Wiley & Sons. pp 217-277. Samudera. 2011. Perangkap berferomon pengendalian penggerek batang padi kuning. Sinar Tani Edisi 12-18 Januari 2011 No. 3388 Tahun XLI. Sutanto R. 2002. Pertanian Organik. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 218 hal.

Notulensi Diskusi Seminar Tanya : Banyaknya trap feromon yang aktif berapa? Jawab : 20 per hektar – 25 per hektar. Yang dipasang feromon sex akan lebih tinggi. Tanya : Apakah bisa digunakan di masyarakat, berhubung harganya juga mahal. Jawab :

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 76

OPH-05 Pemanfaatan Pestisida Nabati untuk Mengendalikan Wereng Cokelat Pada Tanaman Padi Wiratno1 1 Pusat Penelitian Pengembangan Perkebunan, Jl. Tentara Pelajar No.1 Bogor

Abstrak

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 77

OPH-06 Status Hama Rayap Pada Lingkungan Pemukiman Dan Pengendaliannya di Indonesia Yudi Rismayadi1 1Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung Jatinangor

Notulensi Diskusi Seminar Ade Salimah : Kenapa adanya kerajaan rayap di suatu daerah? Apa alasannya? Biar bisa preventif. Lignin mana yang disukai rayap? Jawab : - Lebih ke karakteristik tanahnya, rayap tidak suka pasir tinggi - Ketinggian, temperature, dan kelembapan, yang paling disukai hangat dan lembab. - Untuk kayu hanya bisa awet 20% bukan lignin tapi lebih ke zat aktif di dalam kayunya (zat ekstraktif), preventif : desain bangunan yang tidak disukai rayap. Putria – UGM : Marker yang digunakan apa? Apakah memperhitungkan umur rayap? Jawab : Pertama diteliti dulu ketahanannya dan pewarnaannya/marker bukan di cat melainkan melalui makanannya yang mengandung selulosa sehingga warnanya di dalam badan.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 78

OPH-07 Tinjauan Pemanfaatan Jamur Beauveria bassiana (Bals.) untuk mengendalikan Hama Wereng pada Tanaman Padi sebagai Antisipasi Dampak Perubahan Iklim Global Syahri1, Sidiq Hanapi1, dan Tumarlan Thamrin1 1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan, Jl. Kol. H. Barlian No.83 Km.6 Palembang Telp. (0711) 410155 Email : [email protected]

ABSTRAK Wereng merupakan hama penting yang umum menyerang tanaman padi. Berbagai jenis hama wereng dilaporkan menyerang tanaman padi dan menyebabkan kehilangan hasil yang tinggi. Hama ini juga diketahui sebagai vektor dari beberapa jenis virus seperti tungro, kerdil rumput, dan kerdil hampa. Populasi hama wereng dilaporkan meningkat akibat adanya perubahan iklim, sehingga upaya pengendalian harus tepat agar kerusakan hasil yang lebih tinggi dapat ditekan. Penggunaan insektisida kimiawi sintetik yang tidak bijaksana justru akan mengakibatkan munculnya biotipe baru wereng sehingga terjadi resurjensi serta resistensi wereng. Salah satu upaya pengendalian yang dinilai aman terhadap lingkungan serta tidak akan memacu ledakan populasi hama adalah dengan menggunakan agensia hayati berupa jamur B. bassiana. Jamur B. bassiana merupakan jamur entomopatogen yang banyak dimanfaatkan untuk mengendalikan berbagai jenis hama termasuk wereng padi. Jamur ini dapat diisolasi dari tanah melalui metode umpan serangga serta sangat mudah diperbanyak pada berbagai jenis media buatan seperti pada beras, jagung, maupun media lain yang mengandung nutrisi untuk pertumbuhan jamur. Kata kunci: jamur Beauveria bassiana, wereng, padi, perubahan iklim

ABSTRACT Planthopper is an important pest that commonly attack the rice plant. Many types of planthopper which attacking rice and reportedly causing high yield losses. The planthopper is also known as a vector of several viruses such as tungro, grassy stunt virus, and dwarf virus. The population of planthopper were increased as a result of climate change, so that control efforts must be appropriate for a higher yield damage could be decreased. The using of chemical insectiside are causig pest resurgence and resistance. One of the control efforts are considered safe for the environment and does not had negative effect that will cause explosion of planthopper are the use of biological agents such as fungus B. bassiana. B. bassiana is an entomopathogenic fungus was used for controlling various types of insects including planthoppers. This fungus could be isolated from the soil through insect bait method and reared on many types of artificial media such as rice, corn, and other media which contain nutrients for fungal growth. Key words: fungi B. bassiana, planthopper, rice, climate change

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 79

PENDAHULUAN Padi merupakan kebutuhan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia dan bahkan di dunia. Hampir sebesar 60-70% kebutuhan kalori untuk penduduk Asia. Data statistik menyatakan bahwa rata-rata produksi padi di Indonesia saat ini adalah 4,6 ton/ha. Namun, sejalan dengan itu produksi padi menghadapi berbagai faktor seperti anomali iklim, daya hasil varietas yang beragam, adopsi teknologi serta adanya gangguan hama dan penyakit tanaman. Serangan hama dan penyakit pada tanaman padi menyebabkan kehilangan hasil mencapai kira-kira 20% (Balitpa, 2004). Wereng merupakan jenis hama yang sering menyebabkan penurunan hasil pada padi. Berbagai jenis wereng diketahui mampu menyebabkan kerusakan pada padi, seperti wereng coklat, wereng punggung putih, wereng hijau, wereng zigzag. Di samping kerusakan secara langsung, wereng juga diketahui sebagai vektor penular penyakit virus pada padi. Semangun (2004) menyatakan bahwa penyakit tungro pada padi ditularkan oleh wereng hijau (Nephotettix virescens), sedangkan wereng coklat (Nilaparvata lugens) mampu menularkan penyakit kerdil rumput (grussy stunt). Pada bulan Januari sampai Juni 2007, di wilayah Sumatera, wereng coklat menyebabkan kerusakan padi sekitar 95 ha dan menyebabkan kehilangan hasil sebanyak 250 ton (Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura, 2007). Tahun 2010 di Musi Rawas, terjadi penurunan produktivitas padi akibat adanya musim kemarau, sehingga sejumlah petani dalam beberapa kecamatan di Mura tidak dapat melakukan kegiatan tanam secara maksimal. Selain itu masih banyaknya serangan hama tikus, tungro dan wereng mempengaruhi penurunan produksi (Sripoku.com, 2011). Adanya perubahan iklim global dapat memacu eskalasi serangan hama pada tanaman padi. Perubahan iklim global terhadap ketahanan pangan juga berimplikasi terhadap munculnya ras, strain, biotipe, genome baru dari hama dan penyakit yang menyerang tanaman dan berdampak menimbulkan resiko baru terhadap ketahanan pangan (Iwantoro, 2008). Menurutnya, perubahan temperatur dan kelembaban dapat memacu terjadinya perubahan serangga vektor.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 80

Tingginya tingkat serangan wereng pada tanaman padi, menimbulkan semakin tinggi pula penggunaan pestisida kimiawi sintetik yang digunakan petani. Kecenderungan petani untuk menggunakan pestisida sintetik karena petani masih beranggapan bahwa pestisida tersebut mudah diaplikasikan serta dapat mematikan hama secara langsung. Padahal berbagai dampak negatif dapat ditimbulkan dari adanya penggunaan pestisida kimiawi. Menurut Laba dan Trisawa (2008) penggunaan insektisida dapat menimbulkan dampak terhadap hama utama serta organisme bukan sasaran. Dampak tersebut di antaranya adalah resistensi dan resurjensi serangga hama serta terancamnya populasi musuh alami dan organisme bukan sasaran. Menurutnya, beberapa jenis insektisida menimbulkan resurjensi wereng coklat, dapat meningkatkan jumlah telur, reproduktivitas/keperidian, stadia nimfa dan lama hidup serangga dewasa. Tercatat 23 jenis insektisida menimbulkan resurjensi terhadap wereng coklat. Menurut Villareal (1999), ketika terjadi epidemi tungro di Filipina tahun 1998, petani melakukan penyemprotan pestisida sipermetrin setiao minggu. Ternyata pengendalian ini tidak efektif mengurangi insidensi penyakit tungro dan justru menyebabkan resurjensi populasi wereng coklat. Sebagai upaya untuk mengantisipasi serangan hama wereng padi serta mengurangi risiko penggunaan insektisida kimiawi, maka pemanfaatan dan pengembangan bioinsektisida berbahan aktif jamur entomopatogen Beauveria bassiana di tingkat petani merupakan suatu alternatif. Jamur entomopatogen B. bassiana memiliki kisaran inang yang luas dan telah digunakan untuk mengendalikan serangga hama (Ferron, 1978). Menurut Sudarmadji (1997), jamur B. bassiana diketahui memiliki daya bunuh yang tinggi terhadap berbagai jenis serangga, mudah diperbanyak dan tidak toksik terhadap vertebrata. Jamur tersebut akan mengeluarkan toksin yang dialirkan melalui pencernaan serangga sehingga dapat mematikan serangga (Mahr, 2003). Jamur B. bassiana diketahui mampu menginfeksi beberapa jenis serangga hama, sepeerti dari ordo Lepidoptera, Hemiptera, Homoptera dan Coleoptera (Prayogo & Tengkano, 2002b; Cagan & Svercel, 2001). Penggunaan jamur B. bassiana bersifat kompatibel dengan strategi pengendalian lainnya. Dengan adanya kemampuan ini, maka

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 81 dimungkinkan untuk memanfaatkan jamur B. bassiana sebagai salah satu agens dalam pengendalian wereng padi terutama di Sumatera Selatan.

KARAKTERISTIK WERENG PADI Hama wereng yang menyerang padi terdiri dari beberapa spesies yang memiliki karakteristik yang berbeda. Beberapa spesies di antaranya adalah sebagai berikut. 1. Wereng Coklat (Nilaparvata lugens) Gejala kerusakan yang ditimbulkannya adalah tanaman menguning dan cepat sekali mengering. Umumnya gejala terlihat mengumpul pada satu lokasi-melingkar disebut hopperburn. Pertanaman yang dipupuk nitrogen tinggi dengan jarak tanam rapat merupakan kondisi yang sangat disukai wereng. Stadia tanaman yang rentan terhadap serangan wereng coklat adalah dari pembibitan sampai fase matang susu. Ambang ekonomi hama ini adalah 15 ekor per rumpun. Siklus hidupnya 21-33 hari. Mekanisme kerusakan adalah menghisap cairan tanaman pada sistem vaskular (pembuluh tanaman). Berdasarkan data yang dipantau Direktorat Jenderal Tanaman Pangan sampai dengan Juni 2010 serangan WBC tersebut telah mencapai 24.664 hektar, dari luasan tersebut yang mengalami puso seluas 730 hektar.

2. Wereng Hijau (Nephotettix virenscens) Wereng hijau penting karena berperan sebagai vektor virus penyebab penyakit tungro. Kepadatan populasi wereng hijau biasanya rendah, sehingga jarang menimbulkan kerusakan karena cairan tanaman dihisap oleh wereng hijau. Namun karena kemampuan pemencaran yang tinggi, bila ada sumber inokulum sangat efektif menyebarkan penyakit. Populasi wereng hijau hanya meningkat pada saat tanam hingga pembentukan malai. Kepadatan populasi tertinggi pada saat itu mencapai 1 ekor per rumpun. Gejala kerusakan yang ditimbulkannya adalah tanaman menjadi kerdil, anakan berkurang, daun berubah warna menjadi kuning sampai kuning oranye. Ambang kendali adalah 5 ekor wereng hijau per rumpun. Jika tungro juga ada di lapang, 2 tanaman bergejala tungro per 1000 rumpun pertanda tungro telah ditularkan dan dapat merusak tanaman. Siklus hidup

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 82

23-30 hari. Wereng hijau umumnya ditemukan pada berbagai ekosistem sawah tetapi jarang ditemukan pada pertanaman padi gogo. Wereng hijau lebih menyukai menghisap cairan tanaman pada daun bagian pinggir daripada di pelepah daun atau daun bagian tengah. Hama ini sangat menyukai tanaman yang dipupuk nitrogen tinggi. 3. Wereng Punggung Putih (Sogatella furcifera) Imago wereng punggung putih berukuran kecil yakni 3,5-4,5 mm dengan warna dasar tubuh imago coklat tua dan di punggungnya terdapat pita berwarna putih. Imago dapat membentuk sayap pendek dan panjang (Kusmayadi, 1995; Kalshoven, 1981). Nimfa dan imago S. furcifera menghisap cairan floem yang menyebabkan menurunnya vigor, penghambatan pertumbuhan dan menguningnya daun (Sidhu dkk., 2005). Hama ini mengisap cairan pada batang padi umur 1,5 bulan atau menjelang masa bunting, sehingga tanaman dalam kondisi meranan dengan gejala berwarna agak kemerah- merahan. Hama wereng ini menyerang padi pada setiap musim tanam tanpa terpengaruh kondisi iklim (Media Indonesia Online, 2007).

ISOLASI DAN KARAKTERISASI ENTOMOPATOGEN Beauveria bassiana Isolat jamur entomopatogen dapat diperoleh dari serangga yang telah terinfeksi jamur, dengan ciri-ciri tubuh mengeras dan ditumbuhi oleh miselia jamur yang berwarna putih. Selain itu, juga bisa diperoleh melalui metode yang dilakukan oleh Hasyim dkk. (2007) berikut. Jamur entomopatogen, B. bassiana dapat diperoleh bagian atas (top soil) sedalam 5-15 cm dari permukaan tanah. Teknik untuk memperoleh jamur entomopatogen, B. bassiana dari tanah adalah dengan menggunakan metoda umpan serangga (insect bait method) seperti dapat dilihat pada Gambar 1.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 83

Gambar 1. Metode isolasi jamur B. bassiana dari tanah (Sumber: Hasyim dkk., 2007).

Tanah diambil dengan menggalinya pada kedalaman 5-10 cm dan kemudian diayak dengan ayakan 600 mesh dan dimasukkan ke dalam kotak plastik. Sebagai serangga umpan yakni larva T. molitor instar 3 yang baru berganti kulit (kulitnya masih berwarna putih) yang dimasukkan ke dalam kotak yang berisi tanah masing-masing sebanyak 10 ekor. Larva ini kemudian ditutupi dengan selapis tipis tanah dan dilembabkan dengan menyemprotkan aquadest steril di atasnya. Selanjutnya kotak ditutupi dengan potongan kain puring hitam ukuran 25 x 25 cm yang juga telah dilembabkan. Larva T. molitor yang terserang jamur B. bassiana selanjutnya diisolasi sebagai sumber isolat. Larva yang terinfeksi jamur B. bassiana terlebih dahulu disterilisasi permukaan dengan 1% Natrium hipoklorit selama 3 menit. Kemudian dibilas dengan air steril sebanyak 3 kali dan dikering anginkan di atas kertas saring steril. Larva tersebut kemudian diletakkan dalam cawan petri yang dialasi tisu lembab dan diinkubasikan untuk merangsang pertumbuhan jamur. Spora yang keluar dari tubuhnya kemudian diambil menggunakan jarum inokulasi dan dibiakkan pada PDA (Potato Dextrose Agar) dan diinkubasikan selama 7 hari. Adanya pertumbuhan jamur dapat dilihat pada integumen

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 84 serangga yang diselaputi oleh jamur yang berwarna putih. Jamur B. bassiana memiliki ciri berwarna putih dan bisanya cukup kelihatan pada tubuh inangnya (Hasyim dkk., 2007) Spora jamur ini tumbuh berkelompok. Temperatur oprimum untuk pertumbuhannya berkisar antara 22-30 oC (Tsay dkk., 2001). Konidia jamur akan membentuk kecambah pada kelembaban di atas 90%. Efektivitas biakan B. bassiana yang berumur 1, 2, 3, 4 dan 6 minggu terhadap wereng coklat tidak berbeda. Jamur B. Bassiana yang telah diisolasi ini dapat diperbanyak secara masal dengan berbagai macam media yang mengandung nutrisi untuk pertumbuhan jamur.

Perbanyakan Masal Entomopatogen B. bassiana Jamur B. bassiana dapat diperbanyak secara masal pada berbagai jenis media. Media sangat diperlukan jamur untuk pertumbuhannya. Selain itu, media sangat mempengaruhi viabilitas maupun daya infeksi jamur entomopatogen. Menurut Rasminah dkk. (1997), kemampuan spora untuk bertahan dan berkecambah setelah kontak dengan serangga juga dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas nutrisi media yang digunakan untuk perbanyakan.

Tabel 1. Rata-rata viabilitias spora Beauveria bassiana (%) pada berbagai formulasi dan lama penyimpanan Rata-rata viabilitas spora (%) pada umur Formulasi Asal substrat simpan yang berbeda (bulan) 2 4 6 B. bassiana + EKKU* cair Jagung 84 a 66 bc 59 c B. bassiana + EKKU* cair Beras 79 a 63 c 57 c B. bassiana + SDB SDB 60 c 68 c 43 d Kontrol 0 0 0 Keterangan: Angka yang diikuti yang sama dalam lajur yang sama berarti berbeda tidak nyata (BNJ 5%). EKKU = ekstrak kompos kulit udang. Sumber : Nadia Devega Panggar Besi dkk. (2008)

Berdasarkan Tabel di atas terlihat bahwa asal substrat sangat mempengaruhi viabilitas dari spora B. bassiana, Selain itu, umur simpan juga dapat menurunkan viabilitas spora. Hal ini karena semakin lama disimpan maka cadangan energi spora akan semakin berkurang. Adanya pengaruh jenis media maupun lama penyimpanan terhadap viabilitas spora ini tentunya menjadi acuan dalam hal perbanyakan masal yang harus memperhatikan

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 85 jenis media. Menurut Panggar Besi dkk. (2008), jamur yang diperbanyak pada substrat jagung memiliki viabilitas spora tertinggi yakni 84% pada umur simpan 2 bulan. Namun, akan mengalami penurunan viabilitas seiring bertambahnya umur biakan. Penurunan kualitas spora dan virulensi B. bassiana dapat terjadi selama proses subkultur in vitro. Penurunan viabilitas ini terjadi apabila selama subkultur terjadi penurunan sumber karbon, seperti glukosa, glukosamin, kitin, pati, nitrogen yang penting untuk pertumbuhan hifa (Tanada & Kaya, 1993). Namun menurut Salim dkk. (2008), kerapatan dan viabilitas spora B. bassiana yang telah disubkulturkan hingga 10 kali pada media glucose yeast agar (GYA) tidak konsisten mengalami penurunan serta masih memiliki tingkat virulensi yang tinggi terhadap imago walang sangit (Tabel 2).

Tabel 2. Viabilitas sepuluh subkultur spora B. bassiana serta pengaruhnya terhadap mortalitas nimfa walang sangit (Salim dkk., 2008) Subkultur Viabilitas spora (%) Mortalitas Nimfa Walang Sangit (%) 0 29,82 100,00 I 23,67 96,67 II 23,81 100,00 III 25,99 100,00 IV 29,08 100,00 V 24,64 100,00 VI 20,74 100,00 VII 23,29 80,00 IX 24,65 100,00 X 20,40 100,00

Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa walaupun terjadi penurunan viabilitas spora setelah subkultur ke sepuluh, namun secara nyata tetap mampu mematikan nimfa walang sangit. Kematian nimfa pada subkultur 10 masih tinggi yakni 100%. Hal ini memberikan gambaran bahwa potensi pemanfaatan B. bassiana yang diperbanyak sebagai agens hayati untuk mengendalikan wereng padi masih cukup baik walaupun telah dilakukan perbanyakan berulang kali. Ini tentunya dapat menepis keraguan petani untuk memperbanyak sendiri B. bassiana secara masal.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 86

Mekanisme Infeksi Jamur B. bassiana Menurut Hasyim dkk. (2007), jamur B. bassiana terlihat keluar dari tubuh serangga terinfeksi mula-mula dari bagian antara segmen-segmen antena, segmen kepala dengan toraks, segmen toraks dengan abdomen dan segmen abdomen dengan cauda. Setelah beberapa hari kemudian seluruh permukaan tubuh serangga yang terinfeksi akan ditutupi oleh massa jamur yang berwarna putih. Penetrasi jamur entomopatogen sering terjadi pada membran antara kapsul kepala (head capsule) dengan toraks atau di antara segmen-segmen apendeges. Demikian pula miselium jamur keluar pertama kali pada bagian-bagian tersebut. Spora jamur yang kontak dengan kutikula serangga akan segera berkecambah dan langsung tumbuh memenuhi kutikula hingga masuk ke bagian dalam tubuh inang. Selanjutnya jamur akan memproduksi toksin yang dapat mematikan serangga sasaran. Menurut Kucera dan Samsinakova (1968), jamur B. bassiana mampu memproduksi toksin beauvericin. Toksin ini akan menyebabkan gangguan fungsi hemolimph dan nukleus, yang mengakibatkan pembengkakan disertai pengerasan tubuh serangga. Oleh karena itu, pada umumnya serangga yang terinfeksi jamur B. bassiana mengalami pengerasan pada tubuhnya.

EFEKTIVITAS JAMUR Beauveria bassiana TERHADAP WERENG PADI Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa jamur B. bassiana sangat efektif untuk mengendalikan hama wereng padi. Berbagai jenis wereng diketahui dapat dikendalikan dengan jamur ini. Efektifitas isolat jamur B. bassiana yang diperbanyak pada berbagai macam media diketahui mampu mengendalikan wereng punggung putih dapat dilihat pada Tabel 3 (Sulisti dkk., 2008; Hartono dkk., 2008). Seperti diketahui bahwa pemanfaatan agens hayati dalam mengendalikan serangga hama, dapat menekan terjadi resistensi maupun resurjensi dari hama sasaran. Selain itu, dampak residu yang dihasilkan juga tidak ada sehingga aman bagi lingkungan dan menjadi modal dasar untuk bersaingnya produk pangan kita di tingkat internasional.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 87

Tabel 3. Kematian nimfa S. furcifera setelah diaplikasi berbagai isolat B bassiana (Sulisti dkk., 2008) Perlakuan/Isolat Mortalitas Nimfa (%) LT (hari) B. bassiana 50 Kontrol 0,00 a - La 43,33 b 5,42 CPJW8 46,67 b 9,10 BBY725 50,00 b 4,91 Ua 50,00 b 4,93 TB 50,00 b 4,64 BTS7 50,00 b 5,59 BBY715 53,33 b 4,57 BTS3 53,33 b 5,59 KBC 53,33 b 7,00 PD1 56,67 b 6,50 Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata (BNJ 5%).

Berdasarkan Tabel di atas, kemampuan beberapa isolat B. bassiana memilki efektifitas yang tinggi dalam mengendalikan nimfa S. furcifera. Kematian nimfa berkisar antara

43,33-56,67%. Nilai LT50 tercepat yakni 4,57 hari sehingga upaya pengendalian tentunya tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama. Kematian nimfa S. furcifera ini disebabkan adanya beauvericin yang dihasilkan jamur B. bassiana. Melihat kemampuan yang dimiliki jamur B. bassiana dalam mengendalikan berbagai jenis wereng padi, tentunya merupakan suatu potensi dan peluang jika kita mengembangkan agensia hayati ini secara masal serta memberikan pemahaman kepada petani mengenai manfaat dari penggunaan B. bassiana untuk mengendalikan hama wereng. Pemanfaatan jamur ini juga dapat memecahkan permasalahan ledakan wereng akibat pengaruh perubahan iklim global.

PENUTUP Jamur B. bassiana merupakan salah satu agensia hayati yang memiliki potensi dikembangkan secara masal sebagai upaya pengendalian hama wereng yang menyerang padi. Beberapa penelitian membuktikan bahwa jamur B. bassiana mampu mengendalikan berbagai jenis wereng padi. Jamur ini juga mudah diperbanyak dan diaplikasikan pada pertanaman.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 88

DAFTAR PUSTAKA Ferron, P. 1978. Biological control of insect pests by entomogenous fungi. Ann. Rev. of Entomol. 23:409-442. Hasyim, A., Azwana, dan Khoirul Mu'minin. Cara Mudah Mendapatkan Jamur Entomopatogen, Beauveria bassiana Dari Tanah Dengan Teknik Umpan Serangga (http://www.balitbu.go.id). Diakses 12 Januari 2011. Iwantoro, S. 2008. Pengaruh perubahan iklim global terhadap eksistensi spesies invasif dan perdagangan global. Prosiding Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Palembang dan Perhimpunan Fitopatologi Indonesia Komda Sumsel. Palembang, 18 Oktober 2008. Kucera, M dan Smsinakoova. 1968. Toxins of the entomophagous fungus Beauveria bassiana. J. Inverteb. Patho. 12:316-320. Laba, IW dan I.M. Trisawa. 2008. Tinjauan masalah serangga hama dan pengelolaannya. Prosiding Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Palembang dan Perhimpunan Fitopatologi Indonesia Komda Sumsel. Palembang, 18 Oktober 2008. Mahr, S. 2003. The entomopathogen Beauveria bassiana (http://www. Entomology.wisc.edu/mbcn/kyf4110.html). Diakses 30 Desember 2007. Mahr, S. 2003. The entomopathogen Beauveria bassiana (http://www.entomology.wisc.edu/mbcn/kyf4110.html). Diakses 30 Desember 2007. Media Indonesia Online. 2007. Ribuan ha sawah di Mamuju diserang haam wereng. Edisi 26 September 2007. Panggar Besi, ND., Siti Herlinda, Chandra Irsan, dan Yulia Pujiastuti. 2008. Efikasi Bioinsektisida Formulasi Cair dari Beauveria bassiana dan Metarhizium sp. yang Berbeda Umur Simpan terhadap Wereng Coklat. Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Palembang dan PFI Komda Sumsel. Palembang, 18 Oktober 2008. Salim, A., Robby Septiadi, Effendy TA, Siti Herlinda, dan Rosdah Thalib. 2008. Penurunan Kualitas Jamur Entomopatogen Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. Akibat Subkultur terhadap Nimfa Walang Sangit. Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Palembang dan PFI Komda Sumsel. Palembang, 18 Oktober 2008. Semangun, H. 2004. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Sidhu, N., Bansal UK., Shukla KK, dan Saini RG. 2005. Genetics of resistance to whitebacked planthopper in five rice stocks. Sabrao Journal of Breeding and Genetics 37(1):1-11. Sriwijaya Post Online (http://www.sripoku.com, Edisi Tanggal 20 Juni 2010 dan 11 Januari 2011) Sudarmadji, D. 1997. Optimalisasi pemanfaatan Beauveria bassiana Bals. (Vuill.) untuk pengendalian hama. Makalah Seminar pada Pertemuan Teknis Perlindungan Tanaman. Direktorat Bina Perlindungan Tanaman. Dirjen Perkebunan. Cipayung 16-18 Juni 1997. Sulisti, EM., Syahri, Siti Herlinda, dan Chandra Irsan. 2008. Pengendalian wereng punggung putih (Sogatella furcifera Horv,) (Homoptera: Delphacidae) pada tanaman

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 89

padi menggunakan Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. dan Metarhizium sp. Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Palembang dan PFI Komda Sumsel. Palembang, 18 Oktober 2008. Tsay, JG., Lee MJ, dan Ruey SC. 2001. Evaluation of Beauveria bassiana for controlling casuarina tussock moth (Lymantria xylina Swinhoe) in casuarina plantations. J. Bioc. Of Casuarina Tussock Moth 16(4):201-207. Villareal, S. 1999. Rice tungro disease management. Edited by TCB Chancellor, O. Azzam and K.L. Heong. IRRI.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 90

OPH-08 Penggerek Tandan Kelapa Sawit Tirathaba mundella di Perkebunan Kelapa Sawit Lahan Gambut: Studi kasus di PT Meskom Agro Sarimas Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau Agus Susanto1 dan Sugiyono1 1Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Jl. Brigjen. Katamso No. 51 Kp. Baru, Medan 20158, Indonesia

ABSTRAK Hama penggerek tandan kelapa sawit Tirathaba mundella selama ini hanya dikenal sebagai hama minor dengan kerusakan dan kerugian yang dapat diabaikan. Keberadaan hama ini biasanya dilaporkan pada tanaman TM 1 pada tanah mineral. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan hama Tirathaba mundella di perkebunan kelapa sawit lahan gambut. Penelitian dilaksanakan di kebun kelapa sawit PT Meskom Agro Sarimas Kabupaten Bengkalis Riau. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hama Tirathaba mundella yang selama ini dikenal hanya sebagai hama minor telah berubah dapat menjadi hama mayor di kebun kelapa sawit tanah gambut di sawit PT Meskom Agro Sarimas, Kabupaten Bengkalis, Riau. Intensitas serangannya sebesar 15% dengan luas serangan sebesar 80% dari luas kebun 6.817,75 Ha. Populasi larva per tandan buah adalah 2,25 ekor per tandan dengan berbagai stadia. Salah satu kerugian yang disebabkan oleh hama ini adalah menurunkan fruitset tandan kelapa sawit. Fruitset tandan kelapa sawit di PT Meskom rendahyaitu 38,44%. Faktor utama terjadinya ledakan hama ini adalah tersedianya buah matang dan buah busuk di lapangan akibat buah tidak dipanen dan sanitasi yang dilakukan belum bersih dan benar. Faktor lain adalah terlalu lembapnya kondisi kebun akibat pengendalian gulma belum dilaksanakan. Kata Kunci: Tirathaba mundella, penggerek tandan, fruitset, gambut

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 91

PENDAHULUAN Serangga Tirathaba mundella dan T. rufivena dikenal sebagai hama penggerek tandan buah kelapa sawit baik di Indonesia maupun di Malaysia. Pada umumnya hama ini dijumpai terutama pada areal dengan tandan buah dengan fruitset rendah atau terlewat dipanen (Wood & Ng, 1974), karena sebagai makanan dari hama ini. T. mundella ini biasanya mulai dijumpai di suatu areal kelapa sawit pada saat tanaman sudah mengeluarkan bunga. Pembentukan bunga yang terjadi secara terus-menerus merupakan salah satu faktor pendorong perkembangan populasi hama ini. T. mundella tergolong dalam famili Pyralidae (Gallego & Abad, 1985). Pada saat istirahat ngengat berbentuk segitiga dan berwarna kehijauan untuk T. mundella atau putih keabuan untuk T. rufivena. Rentangan sayapnya berkisar antara 20-25 mm. Ngengat tersebut aktif pada sore menjelang malam hari (Sudharto, 2004). Biasanya telur diletakkan pada tandan buah betina yang sudah mulai membuka seludangnya, meskipun dapat juga dijiumpai pada semua tingkat umur tandan buah. Telur akan menetas dalam waktu sekitar 4 hari. Larva biasanya dijumpai pada bunga betina, bunga jantan dan tandan buah. Larva muda berwarna putih kotor, sedangkan larva dewasa berwarna coklat muda sampai coklat tua. Larva tua panjangnya 4 cm dan ditumbuhi dengan rambut-rambut panjang yang jarang. Larva tersebut memakan putik bunga dan daging buah kelapa sawit. Stadia ulat berlangsung selama 16-21 hari atau antara 2-3 minggu yang terdiri dari 5 instar. Menjelang berkepompong larva membentuk kokon dari sisa gerekan dan kotorannya yang direkat dengan benang liur pada tandan buah yang diserang. Pupa kemudian berubah menjadi imago. Pada sayap depan imago terdapat bercak kecil berwarna hijau, sedangkan pada bagian belakang sayap terdapat bercak berwarna coklat muda kekuningan. Imago betina mempunyai ukuran sayap lebih besar yaitu 24mm, sedangkan imago jantan ukuran sayapnya lebih kecil dari 24 mm. Pupa berwarna coklat gelap dan stadia pupa berlangsung sekitar 5-10 hari atau sekitar 1,5 minggu, sedangkan stadia imago berlangsung selama 9-12 hari sehingga total siklus hidupnya adalah lebih

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 92 kurang 1 bulan (Chan, 1973; Hartely, 1979; Wood & Ng, 1974). Dari semua stadia ini yang merusak adalah stadia ulat atau larvanya. T. mundella banyak menyerang tanaman kelapa sawit muda berumur 3-4 tahunan (Basri dkk., 1991), tetapi pada kondisi tertentu juga ditemui pada tanaman tua. Gejala serangannya berupa bekas gerekan yang ditemukan pada permukaan buah dan bunga. Bekas gerekan tersebut berupa faeces dan serat tanaman. Larva T. mundella dan T. rufivena dapat memakan bunga jantan maupun bunga betina. Larva menggerek bunga betina, mulai dari bunga yang seludangnya baru membuka sampai dengan buah matang. Bunga yang terserang akan gugur dan apabila ulat menggerek buah kelapa sawit yang baru terbentuk sampai ke bagian inti maka buah tersebut akan rontok (aborsi) atau berkembang tanpa inti. Akibatnya fruitset buah sangat rendah akibat hama ini. Buah muda dan buah matang biasanya digerek pada bagian luarnya sehingga akan meninggalkan cacat sampai buah dipanen atau juga menggerek sampai inti buahnya. Sisa gerekan dan kotoran yang terekat oleh benang-banang liur larva akan menempel pada permukaan tandan buah sehingga kelihatan kusam. Pada serangan baru, bekas gerekan masih berwarna merah muda dan larva masih aktif di dalamnya. Sedangkan pada serangan lama, bekas gerek berwarna kehitaman dan larva sudah tidak aktif karena larva telah berubah menjadi kepompong. Serangan hama ini dapat menyebabkan buah aborsi. Hama T. mundella selama ini dianggap sebagai hama minor dan jarang sekali menimbulkan kerusakan yang berarti. Laporan selama ini yang pernah penulis terima adalah serangan ringan T. mundella pada perkebunan kelapa sawit tanah mineral. Padahal pengembangan kelapa sawit saat ini sudah menuju ke arah lahan marginal yaitu daerah lahan gambut dan pasang surut. Luas lahan yang masih tersedia dan berpotensi untuk pengembangan kelapa sawit menurut (Subardja dkk., 2006) adalah sekitar 26 juta ha. Lahan berpotensi tersebut termasuk di dalamnya adalah lahan gambut dan pasang surut. Lahan gambut tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Tidak seluruh lahan ini bisa dikembangkan, tetapi diperkirakan masih mungkin untuk dimanfaatkan seluas 5,6 juta hektar (Subagyo & Karama, 1996).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 93

Lahan gambut mempunyai penyebaran di lahan rawa, yaitu lahan yang menempati posisi peralihan diantara daratan dan sistem perairan. Lahan ini sepanjang tahun/selama waktu yang panjang dalam setahun selalu jenuh air (water logged) atau tergenang air. Tanah gambut terdapat di cekungan, depresi atau bagian-bagian terendah di pelimbahan dan menyebar di dataran rendah sampai tinggi. Yang paling dominan dan sangat luas adalah lahan gambut yang terdapat di lahan rawa di dataran rendah sepanjang pantai. Lahan gambut sangat luas umumnya menempati depresi luas yang menyebar diantara aliran bawah sungai besar dekat muara, dimana gerakan naik turunnya air tanah dipengaruhi pasang surut harian air laut. Perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut, khususnya gambut dalam akan dihadapkan pada serangan sejumlah hama. Serangan hama tersebut dapat mengganggu pertumbuhan dan pada akhirnya akan berpengaruh pada penurunan produksi. Jika serangan hama tidak secara efektif ditangani secara baik, maka akan berakibat pada penurunan hasil dan bahkan tanaman akan mati. Strategi pengendalian hama dan penyakit di lahan gambut dan pasang surut tentunya akan berlainan dengan pengendalian hama dan penyakit di lahan mineral. Strategi inigat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan dimana lahan gambut dan pasang surut memiliki karakteristik yang sangat khas, berbeda dengan karakteristik lahan yang lain. Sementara itu kajian mengenai hama T. mundella di perkebunan kelapa sawit belum ada.

BAHAN DAN METODE Penelitian kajian hama T. mundella di lahan gambut dilaksanakan di perkebunan kelapa sawit PT Meskom Agro Sarimas Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau. Kegiatan penelitian telah dilaksanakan pada bulan Desember 2010. Metodologi penelitian adalah pengumpulan data penunjang dan observasi langsung ke kebun kelapa sawit. Lahan yang diobservasi seluas 6.817,75 Ha dengan teknik sampling yaitu mendatangai daerah-daerah yang menunjukkan gejala serangan paling berat dari T. mundella. Pengamatan yang dilakukan gejala serangan lama dan baru, fruitsetting, populasi larva pada tandan, dan

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 94 kondisi kebun secara umum. Tahun tanam kebun kelapa sawit di PT Meskom adalah 2003, 2004, 2005, dan 2006. Berikut ini formula untuk menghitung intensitas serangan: Σ (n x v) IS = ------x 100% N x V Keterangan: IS = intensitas serangan n = jumlah sampel pada kategori terpilih v = kategori terpilih N = jumlah total sampel V = nilai kategori terbesar

Kategori: 0 = tidak ada gejala serangan (0%) 1 = serangan ringan, ada beberapa bekas gerekan tetapi tidak mengakibatkan patah pelepah (<25%) 2 = serangan sedang, ada beberapa bekas gerekan dan mengakibatkan sebagian patah pelepah (25-50%) 3 = serangan agak berat, ada banyak bekas gerekan dan hampir semua pelepah patah (50- 75%) 4 = serangan berat, pupus terlepas, tanaman kerdil dan terpuntir atau tanaman sudah mati (75-100%)

Sedangkan mengitung fruitset tandan kelapa sawit dengan formula sebagai berikut: . Ambil 5 sampel tandan fraksi nol pada setiap blok pengamatan. . Ambil 10 spikelet buah dari tandan bagian ujung, tengah dan pangkal. . Hitung jumlah buah yang jadi dan buah partenokarpi. . Hitung nilai persentase fruit set: D ------x 100 %

D + P

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 95

Gambar 1. Contoh dasar penghitungan fruitset

HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil sampling populasi T. mundella pada semua blok kebun dan semua tahun tanam yaitu 2003, 2004, 2005, dan 2006 diperoleh populasi larva T. mundella adalah 2,25 ekor per tandan dan dengan stadia yang berbeda-beda. Populasi ini termasuk tinggi apalagi kebun sudah melakukan tindakan sanitasi buah busuk atau kelewat matang. Rerata populasi hasil sampling selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rata-rata jumlah larva per tandan kelapa sawit Sampel Rata- Uraian 1 2 3 4 5 6 7 8 rata Jumlah larva per tandan 3 2 1 2 2 3 2 3 2,25

Stadia yang ditemukan pada tandan buah sudah tumpang tindih ada larva stadia kecil, larva tua, dan kepompong. Dari gejala yang muncul berupa kotoran pun ada dua macam yaitu gejala serangan lama dan gejala serangan baru yang berupa kotoran berwarna merah cerah. Gejala serangan T. mundella yang lama dan baru adalah 15% yaitu berdasarkan kotoran yang diproduksi (Tabel 2). Sedangkan luas serangan T. mundella adalah sekitar 80% luas kebun.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 96

Gambar 2. Larva, pupa, dan gejala serangan T. mundella (a) larva T. mundella yang ditemukan (b) pupa Tirathaba (c) Gejala serangan lama (d) Gejala serangan baru

Tabel 2. Intensitas serangan T. mundella di PT Meskom Sampel Uraian 1 2 3 4 5 6 Rata-rata Intensitas 10 15 20 15 20 10 15 Serangan (%)

Salah satu kerugian akibat adanya serangan hama T. mundella adalah fruitset tandan yang rendah. Hal ini disebabkan larva T. mundella menggerek buah yang masih muda dan sampai pada inti sawit yang mengakibatkan abortusnya buah tersebut. Fruitset tandan kelapa sawit berdasarkan hasil sampling sangat rendah yaitu 38,44%. Salah satu penyebab rendahnya fruitset adalah aborsi buah akibat gerekan T. mundella.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 97

Tabel 3. Fruitset kelapa sawit di PT Meskom Uraian Rata-rata 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Fruitset (%) 29 28 27 32 34 35 56 68 37 38,44

Gambar 3. Fruitset tandan kelapa sawit yang rendah

Sistem monokultur pada perkebunan kelapa sawit akan menciptakan kondisi lingkungan yang mendukung bagi peningkatan laju reproduksi dan laju kelangsungan hidup hama. Dengan demikian akan selalu tersedianya inang yang suseptibel dan di lain pihak populasi hama akan semakin meningkat akibat dari akumulasi populasi hama. Faktor yang mendorong terjadinya ledakan hama T. mundella di PT Meskom Bengkalis Riau adalah: Masih sangat banyaknya makanan T. mundella yaitu buah yang kelewat matang akibat tidak dipanen. Sanitasi buah busuk atau terserang Marasmius belum tuntas yaitu masih ada yang belum disanitasi dan sanitasi belum bersih total (masih ada yang tertinggal). Sanitasi buah busuk masih tepat khususnya sanitasi lanjutan. Aplikasi insektisida yang sudah dilaksanakan masih belum efektif. Aplikasi yang sudah dilaksankan adalah dengan insektisida sipermetrin dengan konsentrasi 0,5 ml/liter dengan volume semprot per pohon 2 liter atau 260 liter/ha. Kelembaban kebun mendukung perkembangan T. mundella akibat pengendalian gulma belum dilaksanakan secara baik. Hama lain yang juga menyebabkan kerusakan

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 98 adalah tikus dan rayap. Intensitas serangan tikus termasuk kategori berat dan intensitas serangan rayap kategori sedang. Beberapa saran yang dapat disampaikan untuk mengatasi hama T. mundella di lahan gambut ini adalah sebagai berikut: (a) Sanitasi buah busuk dan terserang Marasmius terus dilaksanakan sampai bersih. Peningkatan populasi hama ini akan terjadi apabila tandan buah terserang tetap dibiarkan, sehingga memungkinkan siklus hidupnya dapat terus berlangsung dan dapat memicu timbulnya wabah penyakit busuk tandan buah Marasmius. Hal ini biasanya dijumpai pada areal tanaman muda yang tidak dilakukan kastrasi. Oleh sebab itu, tindakan kastrasi selain dapat menunjang pertumbuhan vegetatif tanaman, juga diharapkan dapat bermanfaat untuk memutuskan siklus hidup hama ini. Larva yang terikut pada tandan buah hasil kastrasi agar dimusnahkan dengan cara disiram insektisida. (b) Buah busuk hasil penunasan dikumpulkan pada satu lubang yang diaplikasi insektisida Fipronil dan ditutup dengan tanah. (c) Aplikasi dengan insektisida sistemik yaitu Fipronil dengan konsentrasi 7,5 ml/ 15 liter, dengan volume semprot 370-400 liter / ha supaya buah basah betul tersemprot insektisida. Karena stadia yang ada bermacam-macam maka perlu aplikasi susulan yaitu 2 minggu setelah aplikasi pertama. Aplikasi terakhir atau ketiga dilakukan pada 1 bulan setelah aplikasi. Hal ini dilakukan karena daur hidup hama ini sekitar 1 bulan.Aplikasi semprot diusahakan jangan bersamaan pada semua kebun diatur supaya Elaeidobius tidak ikut mati dan menurun populasinya. (d) Menurunkan kelembapan dengan pengendalian gulma pada gawangan mati dan pasar pikul dengan dongkel dan babat laying sampai ketinggian 30 cm. (e) Monitoring serangan hama T. mundella selalu dilakukan. Monitoring populasi dilakukan dengan mengamati jumlah dan intensitas serangan pada tandan buah kelapa sawit, pohon per pohon, setiap sebulan sekali. Pada tanaman kelapa sawit tua dianjurkan untuk digunakan teropong. Apabila ≥ 30% dari tanaman kelapa sawit dapat dijumpai paling tidak satu tandan buah terserang hama ini sampai 50% (pada tanaman muda) atau 60% (pada tanaman tua), maka perlu dilakukan tindakan pengendalian.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 99

KESIMPULAN Hama T. mundella yang selama ini dikenal hanya sebagai hama minor telah berubah dapat menjadi hama mayor di kebun kelapa sawit tanah gambut di Kabupaten Bengkalis Riau. Intensitas serangannya sebesar 15% dengan luas serangan sebesar 80% dari luas kebun 6.817,75 ha. Populasi larva per tandan buah adalah 2,25 ekor per tandan dengan berbagai stadia. Salah satu kerugian dari hama ini adalah menurunkan fruitset tandan kelapa sawit. Fruitset tandan kelapa sawit di PT Meskom adalah rendah yaitu 38,44%. Faktor utama terjadinya ledakan hama ini adalah tersedianya buah matang dan buah busuk di lapangan akibat buah tidak dipanen dan sanitasi yang dilakukan belum bersih dan benar. Faktor lain adalah terlalu lembabnya kondisi kebun akibat pengendalian gulma belum dilaksanakan.

DAFTAR PUSTAKA Basri MW, Sharma M, Norman K. 1991. Field evaluation of insecticides and a cultural practice against the bunch moth, Tirathaba ruflvena (Lepidopter,a: Pyralidae) in a mature oil palm plantation. Elaeis, 3(2):355-362. Chan CO. 1973. Some notes on the oil palm bunch moth (Tirathaba mundella Walk) and its control. In (eds. Wastie, R L and Earp, D A). Advances in Oil Palm Cultivation. Incorporated Society of Planters, Kuala Lumpur. p. 193-196. Gallego CE, Abad RG. 1985. Incidence, biology and control of the greater coconut spike moth, Tirathaba rufivena Walker (Lepidoptera, Pyralidae). Philippine Journal of Coconut Studies, Volume 10, Number 2, pp. 9-13. Hartely CWS. 1979. The Oil Palm. Second edition, Tropical Agriculture Series, Longman, London, New York. 806pp Subagyo M, Karama S. 1996. Prospek Pengembangan Lahan Gambut untuk Pertanian dalam Seminar Pengembangan Teknologi Berwawasan Lingkungan untuk Pertanian pada Lahan Gambut. 26 September 1996. Bogor. Subardja D, Irsal L, Saleh A. 2006. Distribution of land potential for oil palm extensification in Indonesia. . International Oil Palm Conference 2006, Bali 19 – 23 June 2006. 7 p. Sudharto PS. 2004. Hama dan Penyakit Kelapa Sawit. Budidaya Kelapa Sawit Pusat Penelitian Kelapa Sawit medan Wood BJ, Ng KY. 1974. Studies on the biology and control of the oil palm bunch moth Tirathaba mundella (Walker) (Lepidoptera: Pyralidae). Malay. Agric J-49: 310-331.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 100

OPH-09 Manajemen Penggunaan RYNAXYPYR 50SC dan Karakteristik Varietas Padi pada Pengendalian Penggerek Batang Baehaki S.E1 1Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Jl. Raya No.9 Sukamandi-Subang-Jawa Barat. Telp. 0260-520157, Fax. 0260-520158 Email : [email protected]

ABSTRAK Serangan penggerek batang padi setiap musimnya cukup tinggi berkisar antara 15-60% sundep maupun beluk. Pada pertanaman padi MT 2007, serangan penggerek padi terutama penggerek padi kuning meningkat mencapai 100% beluk. Penelitian efikasi insektisida Prevathon 50SC (Rynaxypyr 50SC b.a. Chloranthraniliprole) dilaksanakan pada MT 2007, dicoba di 2 tempat yaitu Gempor-ciasem-Subang dan KP BB Padi-Sukamandi-Ciasem-Subang. Insektisida pembanding adalah Demihipo 400WSC dan Fipronil 50SC. Teknik pengendalian yang digunakan adalah 1). Pada 4 hari setelah ada penerbangan ngengat penggerek batang, dan 2) pada saat ada serangan sundep dengan beberapa tingkat intensitas serangan. Dosis insektisida Prevathon yang digunakan adalah 0.5 l/ha dan penggunaan air sebagai pelarut adalah 240-250 l/ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi insektisida Prevathon dosis 0.5 l/ha pada saat 4 hari setelah ada penerbangan ngengat atau diaplikasikan setelah ada serangan >10% dapat menurunkan sundep sampai 0%. Menurunnya produksi padi akan sebanding dengan besarnya intensitas serangan beluk, pada varietas IR64 dan Ciherang setiap kenaikan 1% beluk akan menimbulkan penurunan hasil sebesar 1%. Tetapi secara umum kenaikan 1% beluk akan menimbulkan penurunan hasil sebesar 0.9-1%. Ukuran diameter dan lingkaran batang varietas padi mempengaruhi tingkat serangan penggerek, makin kecil diameter dan lingkar batang akan makin tinggi serangan penggereknya. Managemen pengendalian sundep dan beluk hendaknya dilaksanakan pada 4 hari setelah penerbangan ngengat, bila aplikasi sundep pada saat serangan >10% walaupun gejalanya menjadi 0%, namun aplikasi setelah terjadi sundep akan menimbulkan pertumbuhan tanaman menjadi lambat dan menurunnya produksi.

ABSTRACT Management of rynaxypyr mm mm 50SC and rice characterized on rice stem borer control.Out break of rice stem borer in each season high enough around 15-60% dead hearth and white head. Out break on 2007, especially by yellow stem borer until 100% white head. The research was carried out in the 2007 used Prevathon 50SC (rynaxypyr 50SC, a.iChloranthraniliprole) at gempor-Ciasem-Subang and in the station rice research-Sukamandi-Ciasem-Subang.The application technique on 4 days after moth flaying and on some degree on dead hearth intensity. Performance Prevathon 50SC is compared with Demihipo 400WSC dan Fipronil 50SC. All of insectisides are recomended doses by 240-250 l water solution. The result of the research showed that the Prevaton 50SC better use on 4 days after moth flaying and on some degree on dead hearth intensity have suppressed until zero dead hearth intensity. Decreasing rice yield was balanced by white head intensity, especially on IR64 and Ciherang in each increased 1% has decreased 1% rice production, but generally in each increased 1% has decreased 0.9-1% rice production. Degree of rice stem borer attack higher on small diameter and small stem circle. Management on rice stem borer control better done on 4 days after moth flaying, although rice stem borer control on some degree of dead hearth intensity was good, but control after dead hearth will be more decreased rice production.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 101

PENDAHULUAN Hama penggerek padi menjadi kendala dalam peningkatan produksi padi sejak MH 1989/90 di Jalur Pantura dan daerah sentra produksi padi lainnya. Sebenarnya hama ini, terutama penggerek padi putih telah menyerang pertanaman padi mulai MK 1988 di Bekasi, seluas 100 ha fuso dan pada MH 1988/89 terjadi ledakan di Indramayu pada areal 2000 ha. Pada MH 1989/90 populasi penggerek padi putih meningkat, mengakibatkan kerusakan yang berat pada tanaman padi terutama IR64 di Karawang Timur, Subang, Indramayu, dan Cirebon Barat seluas 65.040 ha, diantaranya 15.868 ha puso. Pada MH 1990 penggerek padi putih menyerang pertanaman padi di Pedes- Karawang seluas 400 ha, diantaranya 50 ha puso. Pada MP 1990/91 populasi ngengat penggerek meningkat lagi dan sampai bulan Maret tercatat 2156 ha tanaman padi terserang. Kenyataan tersebut di atas menunjukkan bahwa penggerek padi putih (Scirpophaga innotata) sudah berubah perilakunya, bukan saja hama pada musim hujan, melainkan juga merupakan hama pada musim kemarau. Demikian juga ulat-ulat yang non diapause mencapai 75% melebihi dari tahun-tahun sebelumnya (Baehaki, 1990). Serangan penggerek batang di Kebun percobaan BB Padi-Sukamandi setiap musimnya cukup tinggi berkisar antara 15-60% sundep maupun beluk. Pada pertanaman MT 2007, serangan penggerek padi terutama penggerek padi kuning (S.incertulas) kembali lagi meningkat, bahkan pada beberapa galur padi serangannya mencapai 100% beluk. Serangan penggerek diatasi dengan insektisida yang direkomendasi, namun hasilnya tidak memuaskan. Hal ini disebabkan oleh kurang konsistennya petani dalam penerapan pengendalian hama penggerek, karena petani terutama SLPTT dicekoki dengan pengendalian hama no pesticide. Disamping itu diduga insektisida yang beredar kurang mampu mengendalikan hama penggerek, atau kualitas insektisidanya menurun. Penggunaan pestisida kimia secara bijak bukan sebuah dosa ekologi (ecological sin), tetapi bila penggunaannya sewenang-wenang akan merupakan dosa ekologi. Dengan meningkatnya permintaan akan makanan, maka kimia pestisida adalah bagian yang

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 102 dibutuhkan dalam pertanian dunia, khusus memberikan jalan di produksi pertanian saat ini (Anonimus, 2002). Baru-baru ini keluar insektisida produk baru dari P.T. Dupont dengan nama Rynaxypyr 50SC atau di perdagangkan di Indonesia dengan merk Prevathon 50SC dengan bahan aktif chloranthraniliprole. Dari kajian awal insektisida Rynaxypyr 50SC, mampu mengendalikan penggerek. Oleh karena itu dalam rangka Launching di coba penggunaan insektisida tersebut dengan berbagai managemen aplikasinya.

BAHAN DAN METODE DEMONSTRASI Metode Penelitian dengan model ekologi mengenai efikasi insektisida Prevathon 50SC (Rynaxypyr 50SC b.a. Chloranthraniliprole) dengan dosis rekomendasi dilaksanakan pada MT 2007. Insektisida pembanding adalah Demihipo 400WSC dan Fipronil 50SC. Percobaan dilaksanakan di2 tempat yaitu Gempor- desa Sukamandijaya-Kec. Ciasem-Kab. Subang dan KP BB Padi-Sukamandi, desa Sukamandijaya-Kec. Ciasem-Kab. Subang. Percobaan di Gempor menggunakan varietas IR64. Aplikasi insektisida masing-masing pada areal seluas 2500 m2. Teknik pengendalian yang digunakan di Gempor adalah aplikasi insektisida pada 4 hari setelah terlihat ada penerbangan ngengat (dewasa) penggerek batang, tanpa dilakukan pengamatan serangan penggerek di lapangan dan aplikasi insektisida pada saat ada serangan sundep dengan beberapa tingkat intensitas serangan sundep 8%, sebelum aplikasi didahului dengan pengamatan sundep. Percobaan di KP BB Padi-Sukamandi mengunakan 4 varietas yaitu IR64, Ciherang, Mekongga, dan Cigeulis. Areal yang digunakan untuk masing-masing aplikasi insektisida adalah 250 m2. Aplikasi insektisida pada 4 hari setelah terlihat ada penerbangan ngengat (dewasa) penggerek batang, tanpa dilakukan pengamatan serangan penggerek di lapangan dan aplikasi insektisida pada saat ada serangan sundep dengan tingkat intensitas serangan sundep di atas 10%, sebelum aplikasi didahului dengan pengamatan sundep.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 103

Untuk melihat ada penerbangan dengan memasang perangkap lampu atau untuk melihat penerbangan di lampu jalan sekitar percobaan. Dosis insektisida Prevathon yang digunakan adalah 0.5 l/ha dengan penggunaan air sebagai pelarut adalah 240-250 l/ha.Demihipo 400WSC dosis 1.0 l/ha, Fipronil 50SC dosis 0.5 dan Kontrol.

Pengamatan 1. Sundep dan Beluk yang terlihat Pengamatan sundep atau beluk dilakukan pada 1 dan 2 minggu setelah aplikasi untuk menghitung kerusakan anakan yang terserang dan tidak terserang hama penggerek batang berupa sundep saat vegetatif atau beluk saat generatif. Pengamatan pada 30 rumpun contoh dan intensitas serangan penggerek dihitung dengan menggunakan rumus: a I = ------x 100% a + b

Keterangan: I = Intensitas serangan penggerek batang (sundep atau beluk) a = Jumlah anakan terserang b = Jumlah anakan tidak terserang

2. Sundep yang tidak terlihat Pengamatan dilakukan pada 12 rumpun, dihitung berapa sundep yang terlihat. Kemudian rumpun padi dipotong dipangkal batang dan diikat sendiri sendiri. Setiap batang dari rumpun yang dipotong diamati lubang gerekan dari ulat, baik lubang gerekan yang baru maupun yang lama. Intensitas serangan penggerek dihitung baik yang terlihat di bagian atas pertanaman maupun yang dilihat pada pengamatan di pangkal batang. Hitung masing intensitas serangan penggerek menggunakan rumus di butir 1. Kemudian buat persamaan regresi antara intensitas serangan penggerekyang terlihat di bagian atas tanaman dan intensitas serangan penggerek yang dilihat di pangkal batang.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 104

3. Diameter dan Lingkar batang Pengamatan pada 10 rumpun padi, dan pada setiap rumpun padi diamati 5 batang secara acak. Batang yang diukur adalah ruas pertama sebelum ruas tempat malai yaitu ruas pertama di bawah ruas malai. Diameter batang diukur menggunakan alat buatan China dengan skala mm dengan dua decimal dibelakang koma (dua digit). Lingkar batang diukur dengan melingkarkan benang pada ruas padi, kemudian benang tersebut diukur panjangnya menggunakan mistar skala sentimeter (cm) dengan satu desimal di belakang koma (satu digit).

Data awal berupa persentase sundep, data setelah perlakuan berupa intensitas sundep dan beluk ditampilkan dalam bentuk tabel, kurva, atau histogram. Data diameter dan lingkar batang dianalisis dengan metode analisis sidik ragam (ANOVA) dan perbedaan antara varietas menggunakan uji Jarak berganda (Duncan‘s Multiple Range Test = DMRT) pada taraf nyata 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Managemen Aplikasi Insektisida Prevathon 50SC pada 4 hari setelah penerbangan ngengat di Gempor (Perum SHS) Saat Tanaman Vegetatif Aplikasi insektisida Prevathon 50Sc pada saat 4 hari setelah penerbangan ngengat (kupu-kupu penggerek) dapat menekan timbulnya serangan sundep cukup tinggi. Pada Tabel 1 terlihat bahwa 1 minggu setelah aplikasi (1 MSA), tidak terjadi sundep pada perlakuan Prevathon 50EC, sedangkan pada perlakuan Fipronil 50SC gejala sundep pada 1msa hanya 1%. Di lain pihak kejadian sundep pada petak kontrol mencapai 8%. Pengamatan pada 2 MSA, kejadian sundep pada perlakuan Prevathon 50EC mencapai 3.8%, sedangkan pada perlakuan Fipronil 50SC kejadian sundep pada 1msa mencapai 6.8%. Di lain pihak kejadian sundep pada petak kontrol mencapai 23.3%. Dari data diatas menunjukkan bahwa Prevathon dapat diandalkan untuk menangkal penggerek batang padi, bila diaplikasikan pada 4 hari setelah penerbangan. Hasilnya sangat

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 105 baik karena tanaman padi sangat sedikit terserang sundepnya yaitu 50% lebih rendah bila dibandingkan dengan penggunaan Fipronil 50SC (Tabel 1).

Tabel 1. Kemanjuran insektisida Prevaton 50EC Dosis 0.5 l/ha terhadap penggerek batang pada IR64,Saat aplikasi 4 hari setelah penerbangan ngengat (17 Nov. 2007), Gempor (Perum SHS), MT 2007

Sundep (%) Dosis Insektisida (l/ha) 1 MSA* 2 MSA 24 Nov. 2007 1 Des. 2007 Prevaton 50 SC 0.5 0 3.8 Demihipo 400WSC 1.0 4 5.9 Fipronil 50SC 0.5 1 6.8 Kontrol - 8 23.3 *MSA= minggu setelah aplikasi,

B. Managemen Aplikasi Insektisida Prevathon 50SC saat serangan sundep 8%di Gempor (Perum SHS) Saat Tanaman Vegetatif Aplikasi insektisida Prevathon 50Sc pada waktu sesudah serangan sundep mencapai 8% dapat menekan timbulknya serangan sundep lanjutan cukup tinggi, serangan sundep ditekan keras sampai serangannya yang muncul pada 1 MSA hanya 0.7%, bahkan pada pengamatan 2 MSA serangannya pada yang diaplikasi Prevathon mencapai 0% (Tabel 2). Pada perlakuan Fipronil 50SC kejadian sundep pada 1msa 5.7% dan pada 2 MSA mencapai 11.7%. Di lain pihak kejadian sundep pada petak kontrol sangat tinggi mencapai 23.3%, dan pada pengamatan kedua mencapai 16.3%.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 106

Tabel 2. Kemanjuran insektisida Prevaton 50EC Dosis 0.5 l/ha terhadap penggerek batang pada IR64, aplikasi saat 8% sundep (17 Nov. 2007), Gempor (Perum SHS), MT 2007

Sundep (%) Dosis Insektisida (l/ha) 1 MSA* 2 MSA 1 Des. 2007 8 Des. 2 07 Prevaton 50 SC 0.5 0.7 0 Demihipo 400WSC 1.0 9.8 3.7 Fipronil 50SC 0.5 5.7 11.7 Kontrol - 23.3 16.3 *MSA = minggu setelah aplikasi

Kemanjuran Prevathon bukan saja terhadap penggerek batang, namun dapat terlihat kemanjuran menekan hama pelipat daun (Tabel 3). Kemanjuran Prevaton sama dengankemanjuran Fipronil dalam menekan pelipat daun sampai 0%. Di lain pihak gejala serangan pelipat daun pada kontrol terus meningkat dari 18% menjadi 44% (Tabel 3).

Tabel 3. Kemanjuran insektisida Prevaton 50EC Dosis 0.5 l/ha terhadap pelipat daun. Gempor (Perum SHS), MT 2007 Waktu aplikasi Insektisida 4 hari setelah penerbangan Saat 8% Sundep (17 Nov. 2007) (24 Nov. 2007) Dosis 1 msa 2 msa 1 msa 2 msa (l/ha) 24 Nov 07 1 Des 07 1 Des 07 8 Des 07 Prevaton 50 SC 0.5 0 0 28 0 Dpo 400WSC 1.0 ? ? ? ? Fipronil 50SC 0.5 0 0 18 0 Kontrol - 0 18 18 44 *? = tak punya data

C. Hubungan antara gejala sundep terlihat dan gejala sundep tidak terlihat Hubungan antara gejala sundep terlihat dan gejala sundep tidak terlihat (realita) menunjukkan persamaan y = 1.463 x + 8.063 dengan R2 = 0.628 (y = gejala sundep tidak terlihat/realita dan x = gejala sundep terlihat) (Gambar 1).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 107

Gambar 1. Perbandingan gejala sundep terlihat dengan kenyataan lubang gerekan

Hubungan gejala sundep terlihat dan gejala sundep tidak terlihat (realita) menunjukkan persamaan di atas dengan korelasi yang nyata. Dari persamaan tersebut dapat diprediksi gejala sundep yang tidak terlihat. Bila gejala sundep terlihat pada 0% maka gejala sundep yang tidak terlihat mencapai 8%. Bila gejala sundep yang terlihat adalah 5 dan 10%, maka gejala sundep yang tidak terlihat mencapai 15.4% dan 22.7%, suatu data yang cukup tinggi. Dari data ini menunjukkan bahwa bila pengendalian penggerek setelah terjadi serangan, akan menimbulkan kerugian yang besar. Oleh karena itu sebaiknya pengendalian dilakukan pada 4 hari setelah penerbangan.

D. Percobaan di KP Sukamandi-BB Padi Saat Tanaman Bunting (Tgl. Tanam 10 Oktober 2006) 1. Sundep dan beluk Aplikasi insektisida Prevathon 50Sc saat mulai bunting pada 4 hari setelah penerbangan ngengat (kupu-kupu penggerek) dapat menekan timbulknya serangan beluk sangat signifikan. Pada Gambar 2, perlakuan Prevathon pada IR64 terlihat bahwa pada 1 MSA, tidak terjadi sundep pada perlakuan Prevathon 50EC, sedangkan pada perlakuan kontrol kejadian sundep masih berlangsung.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 108

Pada pengamatan 1MSA2, pada petak yang diaplikasi Prevathon tidak terjadi beluk, sedangkan pada petak kontrol terjadi beluk mencapai 13%. Kejadian beluk pada IR64 di petak kontrol terus berlangsung sampai menjelang panen mencapai 48.5%.

Gambar 2. Efikasi Pevathon 50SC terhadap penggerek pada IR64, saat aplikasi 4 hari setelah penerbangan ngengat.

Gambar 3. Efikasi Pevathon 50SC terhadap penggerek pada Ciherang, saat aplikasi 4 hari setelah penerbangan ngengat.

Perlakuan Prevathon pada Ciherang (Gambar 3), pada saat bunting menimbulkan sundep dan beluknya sangat kecil sampai 1 MSA2, namun pada 3 MSA2 gejala beluk muncul mencapai 7% beluk. Perlakuan Prevathon pada Mekongga (Gambar 4), pada saat bunting mengakibatkan sundepnya sangat kecil, namun pada 3 MSA2 gejala beluk mencapai 12.6% beluk. Perlakuan Prevaton pada Cigeulis (Gambar 5), pada saat bunting

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 109 mengakibatkan gejala sundepnya sangat kecil, demikian juga pada 3 MSA2 saat beluk muncul hanya mencapai 2.7% beluk.

Gambar 4. Efikasi Pevathon 50SC terhadap penggerek pada Mekongga, saat aplikasi 4 hari setelah penerbangan ngengat.

Gambar 5. Efikasi Pevathon 50SC terhadap penggerek pada Cigeulis, saat aplikasi 4 hari setelah penerbangan ngengat.

Yang sangat menarik penggunaan Prevathon 50SC dosis 0.5 l/ha dengan air 240 l/ha sebagai pelarut pada IR64, Ciherang, Mekongga, dan Cigeulis dapat menekan gejala sundep sampai 0%. Di pihak lain tidak kalah menariknya adalah kejadian beluk pada varietas IR64 yang tidak diaplikasi Prevahton terus berkembang sampai menjelang panen, sehingga menimbulkan serangan beluk yang sangat tinggi. Serangan beluk pada varietas Ciherang, Cigeulis, dan Mekongga cukup rendah, bahkan pada Cigeulis hanya menimbulkan intensitas serangan sebesar 2.7%.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 110

Gejala beluk pada varietas padi bila diurutkan mulai dari yang paling tinggi terserang beluk sampai yang paling rendah adalah IR64 sebesar 48.5%, Mekongga sebesar 12.6%, Ciherang sebesar 7%, dan Cigeulis sebesar 2.7%. Hal yang menarik dari kejadian tersebut yaitu bahwa setiap varietas menerima serangan beluk yang berbeda. Oleh karena itu pada bagian dibawah ini dianalis hubungan diameter dan lingkar batang terhadap intensitas beluk dari empat varietas tersebut.

2. Diameter dan Lingkar Batang Hasil analisis diameter dan lingkar batang menunjukkan bahwa setiap varietas mempunyai diameter dan lingkar batang yang berbeda satu sama lainnya. Diameter batang IR64 adalah 3.7398 mm paling kecil dan berbeda nyata dengan diameter batang varietas lainnya. Diameter batang Cigeulis adalah 4.8126 mm paling besar dan berbeda nyata dengan diameter batang varietas lainnya. Diameter varietas Ciherang dan Mekongga lebih besar dan berbeda nyata dengan diameter batang IR64, di lain pihak diameter varietas Ciherang dan Mekongga lebih kecil dan berbeda nyata dengan diameter batang varietas Cigeulis (Tabel 4).

Tabel 4. Perbedaan diameter dan lingkar batang ruas pertama sebelum malai. Sukamandi, 2007 Varietas Diameter Batang (mm) Lingkar Batang (Cm) IR64 3.7398 c 1.308 c Ciherang 4.3692 b 1.478 b Mekongga 4.3032 b 1.446 b Cigeulis 4.8126 a 1.572 a Keterangan: Angka rata-rata pada satu kolom yang diikuti huruf yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf 5% uji DMRT.

Lingkar batang IR64 adalah 1.308 cm paling kecil dan berbeda nyata dengan diameter batang varietas lainnya. Diameter batang Cigeulis adalah 1.572 mm paling besar dan berbeda nyata dengan diameter batang varietas lainnya. Diameter varietas Ciherang dan Mekongga lebih besar dan berbeda nyata dengan diameter batang IR64, di lain pihak

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 111 diameter varietas Ciherang dan Mekongga lebih kecil dan berbeda nyata dengan diameter batang varietas Cigeulis (Tabel 4). Hubungan diameter batang dan lingkar batang dengan besarnya serangan beluk sangat erat, makin kecil diameter batang dan lingkar batang, maka intensitas serangan beluk makin tinggi (Gambar 6 dan 7)

Gambar 6. Hubungan serangan beluk dengan diameter batang padi. Skmi, MK 2007

Gambar 7. Hubungan serangan beluk dengan lingkar batang padi. Skmi, MK 2007

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 112

Garis regresi antara diameter serangan beluk dan diameter batang adalah y = - 44.162x + 208, dengan keeratan hubungan R2 = 0.8696. Garis regresi antara diameter serangan beluk dan diameter batang adalah y = -180.48x + 279.71, dengan keeratan hubungan R2 = 0.8957. Garis regresi dan keeratan hubungan antara serangan beluk dan diameter dan lingkar bartang menunjukkan bahwa beratnya serangan beluk disebabkan oleh lingkar batang yang kecil.

E. Manajemen Aplikasi Insektisida Prevathon 50SC setelah serangan sundep diatas 10% (Tgl. tanam 28 Oktober 2006) Aplikasi insektisida Prevathon pada IR64 dilakukan setelah kerusakan akibat sundep mencapai 22%. Pengamatan 1 MSA 1 serangan sundep pada perlakuan Prevathon turun menjadi 15%, dan pengamatan pada 1 MSA2 turun mencapai 3% (Gambar 8). Di lain pihak serangan sundep pada IR 64 tanpa perlakuan terus meningkat mencapai 44%, namun pada 1 MSA2 sundep di petak kontrol turun akibat siklus biologis larva penggerek.

Gambar 8. Kemanjuran Prevathon terhadap sundep pada IR64

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 113

Gambar 9. Kemanjuran Prevathon terhadap sundep pada Ciherang

Gambar 10. Kemanjuran Prevathon terhadap sundep pada Mekongga

Gambar 11. Kemanjuran Prevathon terhadap sundep pada Cigeulis

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 114

Aplikasi insektisida Prevathon pada Ciherang dilakukan setelah kerusakan akibat sundep mencapai 20.6%. Pengamatan 1MSA1 serangan sundep pada perlakuan Prevathon turun menjadi 16.7%, dan pengamatan pada 1MSA2 turun mencapai 6% (Gambar 9). Di lain pihak serangan sundep pada Ciherang tanpa perlakuan terus meningkat mencapai 44.8%, namun pada 1MSA2 sundep di petak kontrol turun akibat siklus biologis larva penggerek menjadi 27% (Gambar 9). Aplikasi insektisida Prevaton pada Mekongga dilakukan setelah kerusakan akibat sundep mencapai 16%. Pengamatan 1MSA1 serangan sundep pada perlakuan Prevathon turun menjadi 13.2%, dan pengamatan pada 1MSA2 turun mencapai 3.8% (Gambar 10). Di lain pihak serangan sundep pada Mekongga tanpa perlakuan terus meningkat mencapai 36%, namun pada 1MSA2 sundep di petak kontrol turun akibat siklus biologis larva penggerek menjadi 25% (Gambar 10). Aplikasi insektisida Prevaton pada Cigeulis dilakukan setelah kerusakan akibat sundep mencapai 27%. Pengamatan 1MSA1 serangan sundep pada perlakuan Prevathon turun menjadi 9%, dan pengamatan pada 1MSA2 turun mencapai 2% (Gambar 11). Di lain pihak serangan sundep pada Cigeulis tanpa perlakuan terus meningkat mencapai 37%, dan pada 1 MSA2 sundep di petak kontrol terus meningkat menjadi 41% (Gambar 11).

F. Hasil dan Kehilangan hasil padi akibat serangan penggerek Hasil yang dicapai varietas IR64 dari perlakuan Prevathon saat bunting mencapai 5.7 kg/5m2, sedangkan pada kontrol hanya 2.9 kg/5m2 (Gambar 12). Hasil IR 64 bila di ekstrapolasi ke hektar mencapai 11.4 t/ha, sedangkan yang tidak diaplikasi hanya 5.8 t/ha. Hal ini cukup meyakinkan bahwa penggunaan Prevathon 50SC saat bunting dengan waktu aplikasi 4 hari setelah penerbangan ngengat dapat menyelamatkan hasil padi sebesar 49.3% (Gambar 13), atau dapat dikatakan bila saat bunting tidak diaplikasi Prevathon maka hasil akan hilang sebesar 49.3%. Hasil yang dicapai varietas Ciherang dari perlakuan Prevathon saat bunting mencapai 5.5 kg/5m2, sedangkan pada kontrol hanya 4.9 kg/5m2 (Gambar 12). Hasil Ciherang bila di ekstrapolasi ke hektar mencapai 11.0 t/ha, sedangkan yang tidak diaplikasi

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 115 hanya 9.8 t/ha. Pada kali ini bahwa penggunaan Prevathon 50SC saat bunting dengan waktu aplikasi 4 hari setelah penerbangan ngengat dapat menyelamatkan hasil padi sebesar 7% (Gambar 13), atau dapat dikatakan bila saat bunting tidak diaplikasi Prevathon maka hasil akan hilang sebesar 11%. Hasil yang dicapai varietas Mekongga dari perlakuan Prevathon saat bunting mencapai 5.1 kg/5m2, sedangkan pada kontrol hanya 3.7 kg/5m2 (Gambar 12). Hasil Mekongga bila di ekstrapolasi ke hektar mencapai 10.2 t/ha, sedangkan yang tidak diaplikasi hanya 7.4 t/ha. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan Prevathon 50SC saat bunting dengan waktu aplikasi 4 hari setelah penerbangan ngengat dapat menyelamatkan hasil padi sebesar 26.6% (Gambar 13), atau dapat dikatakan bila saat bunting tidak diaplikasi Prevathon maka hasil akan hilang sebesar 26.6%. Hasil yang dicapai varietas Cigeulis dari perlakuan Prevathon saat bunting mencapai 5.6 kg/5m2, sedangkan pada kontrol hanya 4.8 kg/5m2 (Gambar 12). Hasil Cigeulis bila di ekstrapolasi ke hektar mencapai 11.2 t/ha, sedangkan yang tidak diaplikasi hanya 9.6 t/ha. Data ini menunjukkan bahwa penggunaan Prevathon 50SC saat bunting dengan waktu aplikasi 4 hari setelah penerbangan ngengat dapat menyelamatkan hasil padi sebesar 14% (Gambar 13), atau dapat dikatakan bila saat bunting tidak diaplikasi Prevathon maka hasil akan hilang sebesar 14%.

Gambar 12. Hasil GKP (5m2) perlakuan Prevathon saat aplikasi 4 hari setelah penerbangan ngengat.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 116

Gambar 13. Kehilangan hasil akibat tidak ada pengendalian terhadap serangan penggerek.

Dari data diatas menunjukkan bahwa serangan penggerek sangat berpengaruh langsung terhadap produksi, terutama serangan beluk. Varietas padi IR64, Ciherang, Mekongga, dan Cigeulis reaksinya berbeda terhadap serangan beluk. Umur tanaman dapat mempengaruhi tingkat serangan penggerek, hal ini sesuai dengan Baehaki (1986) telah menyatakan bahwa varietas yang umur panjang adalah toleran terhadap serangan penggerek padi, sedangkan intensitas serangan penggerek pada yang berumur pendek paling tinggi. Sebagaimana halnya umur IR64 paling genjan yaitu 115 hari paling banyak terserang beluk, sedangkan Ciherang dan Cigeulis berumur 125 hari, demikian juga Mekongga adalah 125 hari serangan penggereknya rendah. Demikian juga ukuran diameter dan lingkaran batang mempengaruhi tingkat serangan penggerek sebagaimana halnya diterangkan di atas. Serangan penggerek yang rendah terjadi pada varietas padi dengan diameter dan lingkaran batang yang besar.

G. Hubungan intensitas serangan penggerek dengan hasil Perhitungan pengaruh serangan penggerek terhadap hasil sangat perlu karena serangan penggerek, khususnya beluk akan sangat berpengaruh terhadap produksi. Hubungan intensitas serangan dengan penurunan produksi pada varietas IR64 dan Ciherang adalah y = 1.0317x - 0.7378 dengan nilai korelasi sempurna R2 = 1. Hal ini menunjukkan bahwa menunjukan bahwa garis persamaan tersebut membentuk sudut 45o

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 117 terhadap absis persentasi beluk. Dengan melihat korelasi sempurna dan posisi garis menunjukkan bahwa setiap kenaikan 1% kerusakan akibat beluk akan menyebabkan menurunnya produksi sebesar 1% (Gambar 14). Di lain pihak hubungan intensitas serangan dengan penurunan produksi pada semua varietas (padi umumnya) adalah y = 0.8356x + 9.331 dengan nilai korelasi R2 = 0.8788. Hal ini menunjukkan bahwa garis persamaan tersebut tidak membentuk sudut 45o terhadap absis persentasi beluk, tetapi agak melandai. Dengan melihat nilai korelasi dan posisi garis menunjukkan bahwa setiap kenaikan 1% kerusakan akibat beluk akan menyebabkan menurunnya produksi sebesar 0.8788% (Gambar 15).

Gambar 14. Hubungan intensitas serangan beluk dengan penurunan hasil pada IR64 dan Ciherang.

Gambar 15. Hubungan intensitas serangan beluk dengan penurunan hasil pada beberapa varietas padi.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 118

Dari dua kurva tersebut di atas bila disatukan dapat ditarik kesimpulan bahwa kenaikan 1% terjadinya beluk akan mengakibatkan menurunnya hasil sebesar 0.9-1%. Betapa hebatnya serangan penggerek ini bila tidak dikendalikan dengan managemen insektisida yang baik, dan berapa kerugian yang akan diakibatkannya dapat segera ditaksir berdasar kurva tersebut di atas. KESIMPULAN 1. Aplikasi insektisida Prevathon dosis 0.5 l/ha dengan pelarut air 240 l/ha dapat diaplikasikan pada saat 4 hari setelah ada penerbangan ngengat atau diaplikasikan setelah ada serangan, walaupun serangan sundepnya telah mencapai 27%. Hasil yang di dapat setelah aplikasi Prevathon menunjukkan bahwa sundep dan beluk pada varietas yang diaplikasi adalah 0%. 2. Managemen Pengendalian sundep dan beluk hendaknya dilaksanakan pada 4 hari setelah penerbangan ngengat, karena tidak akan ada gejala sundep atau beluk pada petak yang diaplikasi. 3. Bila aplikasi sundep pada saat serangan 8% atau sampai 27% sundep dapat dilakukan dan gejala sundep pada petak yang telah diaplikasi Prevathon gejalanya menjadi 0%. Namun aplikasi setelah terjadi sundep akan menimbulkan pertumbuhan tanaman menjadi lambat dan menurunnya produksi sebagai kerugian hasil di kemudian hari, karena bila aplikasi sesudah ada serangan otomatis secara langsung mengurangi hasil. 4. Menurunnya produksi padi akan sebanding dengan besarnya intensitas serangan beluk, pada varietas IR64 dan Ciherang setiap kenaikan 1% beluk akan menimbulkan penurunan hasil sebesar 1%. Tetapi secara umum kenaikan 1% beluk akan menimbulkan penurunan hasil sebesar 0.9-1%. 5. Ukuran diameter dan lingkaran batang varietas padi mempengaruhi tingkat serangan penggerek, makin kecil diameter dan lingkar batang akan makin tinggi serangan penggereknya.

DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 2002. Integrated pests management, entomology, plant pathologfy, and soil science.Chemicals Pesticides, the good, the bad, and the ugly.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 119

http://eppserver.ag.utk.edu/courses/Epp530/Chem.html Baehaki S.E. 1986. Penelitian jangka panjang dinamika populasi hama penting padi pada daerah berbeda agroekologi. Hasil Penelitian Balittan Sukamandi. Baehaki. S. E. 1990. Pengendalian penggerek batang padi putih pada berbagai ambang kendali pada tiga varietas. Seminar Hasil Penelitian Balittan Sukamandi. 7p

Notulensi Diskusi Seminar Endang Sri Ratna – IPB : Kondisi penggerek batang padi sekarang? Populasi penggerek batang kuning dan putih gimana? Jawab : Kuning mulai 1998; hama putih mulai sedikit dan belum diketahui alasannya. Umi – BPPTH : Bagaimana pengendalian (mekanismenya) menggunakan rynaxypyr? Jawab : Saat ngengat terbang 4 hari.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 120

OPH-10 Tinjauan Perbaikan Teknologi Pascapanen Padi untuk Menekan Serangan Serangga Hama Gudang Syahri1, Tumarlan Thamrin1 dan Yanter Hutapea1 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Selatan Jl. Kol H. Barlian No. 83 Km. 6 Palembang Email : [email protected]

ABSTRAK Serangga merupakan salah satu hama penting pasca panen penyimpanan padi. Beberapa jenis serangga seperti kumbang bubuk beras (Sitophilus oryzae), kumbang bubuk gabah (Rhyzopertha dominica), ngengat beras (Sitotroga cerealella), ngengat gabah (Corcyra cephalonica) masih menjadi kendala dalam penyimpanan padi. Tindakan pasca panen yang dilakukan terkadang masih kurang tepat sehingga menyebabkan meningkatnya serangan serangga hama gudang, sehingga diperlukan teknologi pasca panen yang mampu menurunkan kehilangan hasil akibat serangga gudang. Teknologi tersebut dilaksanakan dengan jalan memodifikasi faktor-faktor lingkungan agar tidak sesuai dengan kehidupan serangga, seperti dengan mengurangi kadar air bahan melalui penjemuran maupun penggunaan mesin pengering, perbaikan tempat penyimpanan, pemanfaatan pestisida nabati, sistem kedap serta langkah kuratif dapat berupa fumigasi.

ABSTRACT The insects, one of the important strorage pests of rice. Manykinds of insects such as beetles powdered rice (Sitophilusoryzae), powder grain beetle (Rhyzopertha dominica), rice moth (Sitotroga cerealella), rice moth (Corcyra cephalonica) is still a constraint in rice storage. Actions carried out post-harvest still is not quite right sometimes causing increased insect pest warehouse, necessitating post-harvest technologies that can reduce yield losses due to insect warehouse. The technology was implemented by modifying the environmental factors so as not in accordance with insect life, such as by reducing the water content of the material through the drying and the use of the dryer, storage improvements, use of botanical pesticides, resistant system as well as curative emeasures can be a fumigation.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 121

PENDAHULUAN Bahan pangan seperti beras diperlukan sepanjang masa sebagai kebutuhan pokok manusia sebelum sandang dan papan. Seiring dengan itu, tuntutan bahan pangan semakin hari semakin meningkat, baik jumlah maupun mutunya. Namun, produktivitas tanaman pangan waktunya sangat terbatas baik oleh musim atau keadaan alam sehingga mengakibatkan produksinya hanya bisa diperoleh pada waktu tertentu saja. Oleh karena itulah, berbagai tindakan dilakukan manusia mulai dari pengolahan hasil hingga pada penyimpanan produk pangan agar ketika dibutuhkan produk tersebut dapat tersedia. Berbagai tujuan penyimpanan bahan antara lain untuk persediaan konsumsi, menunggu untuk dipasarkan, mendapatkan harga jual yang tinggi hingga pada keperluan perbenihan. Kendala yang dihadapi dalam penyimpanan adalah adanya gangguan hama gudang berupa serangga. Hama gudang (storage pest) merupakan salah satu penyebab kerusakan hasil pada produk simpanan. Kehilangan hasil yang disebabkan oleh hama gudang ini dapat secara langsung menurunkan kualitas maupun kuantitas produk yang disimpan. Menurut Imdad dan Nawangsih (1999), di negara berkembang termasuk Indonesia, kerusakan bahan hasil pertanian diperkirakan rata-rata mencapai 25-50% dari total produksi, sedangkan di negara maju kerusakan yang terjadi hanya berkisar antara 5-15%. FAO melaporkan kehilangan hasil panen di negara-negara berkembang berkisar antara 10-13%, diantaranya berkisar 5% oleh berbagai jenis hama gudang. Bulog memperkirakan susut bobot beras sekitar 25%, terdiri dari 8% waktu panen, 5% waktu pengangkutan, 2% waktu pengeringan, 5% waktu penggilingan, dan 5% waktu penyimpanan (Widjono dkk., 1982). Menurut Kartasapoetra (1991), di Malaysia pengurangan berat pada beras dalam simpanan mencapai 3-10%, sedangkan di Thailand penurunan berat dalam waktu 8 bulan yakni 1,14-3,41%. Kerusakan yang terjadi dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Kerusakan atau kerugian yang bersifat langsung berupa pengurangan berat komoditi, pengurangan kandungan nutrisi dari komoditi, penurunan daya tumbuh, dan penurunan harga pasar. Kerugian tidak langsung seperti perpindahan kelembaban nisbi, pemanasan internal, pertumbuhan cendawan yang menghasilkan aflatoksin dan bakteri.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 122

Beberapa jenis serangga dapat menyebabkan kehilangan hasil pada produk simpanan. Serangga-serangga tersebut di antaranya kumbang bubuk beras (Sitophilus oryzae), kumbang bubuk gabah (Rhyzopertha dominica), ngengat gabah (Sitotroga cerealella), Dinoderus spp., kumbang penggerek butir padi-padian (Lophocateres pusillus), ngengat beras (Corcyra cephalonica). Serangga ini mempunyai kemampuan cepat berkembang biak sehingga dalam setahun dapat menghasilkan beberapa generasi, dan dapat berpindah bersama-sama dengan komoditi. Selain itu serangga hama pada gudang mempunyai kemampuan adaptasi yang besar terhadap keadaan kering sehingga dapat berkembang dengan baik pada kondisi komoditi yang disimpan dengan kadar air relatif rendah. Kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap teknologi penyimpanan bahan pangan menyebabkan semakin meningkatnya risiko kerusakan akibat hama gudang. Oleh karena itulah, dalam tulisan ini akan ditinjau mengenai beberapa teknologi penyimpanan yang mungkin bisa diaplikasikan oleh masyarakat sehingga kerusakan hasil pasca panen akibat serangga hama gudang dapat dikurangi. Faktor yang Mempengaruhi Peningkatan Aktivitas Hama Gudang Hama gudang dari golongan serangga merupakan organisme hidup yang kehidupannya tidak terlepas dari pengaruh berbagai faktor seperti faktor bitoik maupun abiotik (fisik). Faktor biotik sendiri dapat berupa ketersediaan makanan, gangguan musuh alami maupun aktivitas biologi dari serangga hama tersebut. Sedangkan, faktor abiotik sendiri berupa pengaruh suhu, kelembaban, kadar air bahan, cahaya. Berbagai faktor ini sangat mempengaruhi aktivitas serangga hama gudang.

1. Temperatur/Suhu

Serangga hama gudang memerlukan keadaan suhu udara minimum dan maksimum untuk kelangsungan hidupnya. Suhu minimum yaitu suhu terendah dimana produk pertanian dalam simpanan masih dapat hidup. Sedangkan suhu maksimum merupakan suhu tertinggi di mana hama produk simpanan masih dapat hidup. Suhu minimum yakni 5 oC sedangkan suhu maksimumnya yakni 45 oC. Pada umumnya suhu optimum untuk perkembangan hama gudang yakni 25-30 oC (Kartasapoetra, 1991).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 123

Suhu sangat mempengaruhi aktivitas biologi serangga gudang, di mana pada kondisi suhu tinggi maka masa inkubasi (penetasan) telur serangga akan berlangsung lebih cepat. Menurut Kartasapoetra (1991), kumbang Tribolium castaneum memiliki masa indukasi cepat yakni 3,5 hari pada bulan Juli-Agstus (suhu tinggi) dibandingkan dengan pada bulan April-Nopember yakni selama 12,2 hari.

2. Kelembaban Kelembaban juga sangat mempengaruhi perkembangan serangga gudang. Menurut Yos Sutyoso (1964) dalam Kartasapoetra (1991), hama S. oryzae yang dipelihara pada temperatur 21oC siklus hidupnya berbeda pada tingkat kelembaban berbeda. Menurutnya, pada kelembaban udara relatif 50% siklus hidup serangga tersebut 59 hari, sedangkan pada kelembaban udara 80% siklus hidup serangga tersebut hanya 37 hari. Hal ini menunjukkan bahwa kelembaban udara yang tinggi akan memperpendek siklus hidup hama yang berarti semakin banyak serangga yang muncul. Selain itu, kelembaban juga akan sangat mempengaruhi kadar air bahan, artinya pada tingkat kelembaban udara yang tinggi pada umumnya kadar air bahan simpanan juga relatif tinggi. Tingginya kadar air bahan menyebabkan risiko serangan serangga gudang meningkat dan pada umumnya kadar air bahan yang aman untuk penyimpanan yakni 4-8% (Tabel 1).

Tabel 1. Hubungan antara kadar air biji dengan perubahan biji dan kehidupan hama gudang. Kadar Air Perubahan Biji Bahan (%) >45 Terjadi proses perkecambahan biji di tempat penyimpanan. 18-20 Di dalam ruang penyimpanan akan timbul uap panas. Biji dapat berkecambah, tetapi cendawan dan bakteri yang terbawa akan berkembang subur dan merusak biji 12-18 Serangga akan merusak biji dalam simpanan 8-9 Kehidupan serangga gudang dapat dihambat 4-8 Keadaan aman untuk menyimpan biji. Sumber: Neergaard (1977) dalam Imdad dan Nawangsih (1999)

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 124

3. Cahaya Warna cahaya yang berbeda akan memancarkan perbedaan panjang gelombang. Semakin panjang gelombang yang dipancarkan maka akan semakin besar pula energi yang dihasilkannya. Molekul energi yang dipancarkan juga akan semakin rapat, semakin rapat pancaran molekul yang yang mengandung molekul energi ini akan mengakibatkan pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan mahluk hidup dalam hal ini serangga. Semakin besar pula energi yang dipancarkan akan semakin besar juga kenaikan suhu yang ditimbulkannya dalam satuan luas yang tetap atau konstan. Menurut Kartasapoetra (1991), hama-hama gudang saat melakukan kopulasi dan meletakkan telurnya serta aktivitas pengerusakan sangat menyukai kondisi cahaya yang gelap.

4. Aerasi Aerasi atau sirkulasi udara dalam penyimpanan akan sangat mempengaruhi kehidupan serangga gudang. Pada umumnya pada kondisi oksigen yang rendah maka akan terjadi kematian pada serangga gudang. Berdasarkan hasil penelitian terhadap Sitophilus sp. yang ditempatkan pada tempat dengan aerasi yang diatur, maka diketahui bahwa apabila kadar CO2>40% atau O2<2%, maka hama tersebut akan mati dalam semua tingkat pertumbuhannya, sedangkan apabila kadar CO2 dalam kondisi biasa dan kadar O2 hanya 4%, pada temperatur 29oC akan terjadi kematian total pada imago Sitophilus sp. Apabila kadar CO2 5% dan O2 seperti biasa di udara, maka akan terjadi kematian total setelah + 3 minggu (Kartasapoetra, 1991).

SERANGGA HAMA GUDANG DAN KERUSAKANNYA 1. Kumbang Bubuk Gabah (S. oryzae) (Coleoptera: Curculionidae) Kumbang S. Oryzae berukuran 3,5-5 mm, berwarna coklat agak kemerahan dan setelah tua menjadi hitam. Terdapat 4 bercak berwarna kuning kemerahan di kedua belah sayapnya. Larvanya tidak berkaki dan siklus hidup kumbang berkisar 28-90 hari. Akibat yang ditimbulkan menyebabkan beras mengalami susut berat mencapai 23%. 2. Kumbang Penggerek Gabah (R. dominica) (Coleoptera: Bostrichidae)

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 125

Berukuran panjang 1,5-3 mm, tubuh silindris, kepala terletak di bawah pronotum. Kumbang berwarna coklat gelap atau hitam. Kumbang betina mampu menghasilkan telur sebanyak 300-500 butir dan diletakkan secara tunggal atau mengelompok dalam biji. Lama siklus hidup sekitar 2 bulan. Gejala serangannya ditandai dengan berlubangnya gabah dan adanya sisa gerekan berupa dedak halus. Penurunan hasil yang ditimbulkan kumbang ini yakni mencapai 7% (Pracaya, 1997). 3. Ngengat Beras (C. cephalonica) (Lepidopetra: Pyralidae) Ngengat berwarna coklat keabu-abuan pucat, telur berjumlah 200 butir dan menetas 3-5 hari setelah diletakkan. Larva berwarna putih krem dan akan merusak material simpanan dengan cara menggandeng butiran material dengan air liurnya. 4. Ngengat Gabah (S. cereallela) (Lepidoptera: Gelechiidae) Gejala kerusakannya berupa lubang-lubang bekas gerekan dan adanya sisa gerekan berupa tepung. Ngengat dewasa berwarna kekuningan sampai merah muda yang mengilap. Tubuh panjang ramping berukuran 3-4 mm dan larvanya berwarna putih dengan kepala coklat gelap.

PERBAIKAN TEKNOLOGI PASCA PANEN

1. Pengurangan Kadar Air Bahan Simpanan Kadar air adalah kandungan air yang terdapat di dalam butiran gabah, yang dapat dinyatakan dengan persen. Telah kita ketahui bahwa, tingginya kadar air bahan akan memacu meningkatnya intensitas serangan serangga gudang. Oleh karena itu, diperlukan tindakan dalam rangka mengurangi kadar air bahan. Selama ini, petani sendiri telah tahu mengenai kadar air gabah. Namun, kendala yang dihadapi adalah masih kurangnya peralatan yang dimiliki petani untuk bisa mengukur kadar air bahan sehingga mereka lebih mengandalkan kebiasaan yakni dengan cara setempat. Di beberapa daerah di Sumatera Selatan, pengukuran kadar air gabah dilakukan petani dengan cara menggigit gabah tersebut. Artinya jika gabah digigit retak-retak, gabah tersebut dianggap utuh kalau digiling. Cara tradisional ini memang mudah dilakukan tapi tentunya dengan tingkat keakuratan yang diragukan. Kesalahan pengukuran yang dilakukan akan menyebabkan tingginya risiko

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 126 serangan serangga gudang. Karena kadar air akan sangat mempengaruhi kelembaban yang justru disukai serangga. Beberapa alat pengukur kadar air gabah telah dipasarkan. Alat ukur kadar air yang sekarang terdapat di pasaran adalah alat ukur kadar air model digital. Alat ini lebih praktis dan mudah pemakaiannya. Namun, harga alat ini masih tergolong mahal. IRRI telah mengembangkan alat pengukur kadar air gabah yang praktis dan dengan harga yang terjangkau (Gambar 1).

Gambar 1. Alat pengukur kadar air gabah (Nugraha, 2008)

Apabila setelah pengukuran kadar air gabah masih relatif tinggi dari normal, maka diperlukan perlakuan yang benar untuk menguranginya tetapi dengan syarat tidak merusak kualitas bahan simpanan. Tindakan pengurangan kadar air gabah dapat dilakukan dengan cara berikut. a. Penjemuran Bahan Penjemuran merupakan cara praktis untuk mengurangi kadar air gabah dalam jumlah besar di tingkat petani. Dalam penjemuran ini diperlukan tindakan lain seperti harus dilakukan pembalikan secara berkala. Proses pengeringan di pedesaan umumnya masih dilakukan dengan cara tradisional yaitu penjemuran di bawah panas matahari dengan alas tikar/terpal/plastik di halaman atau tanggul saluran/jalan. Selama penjemuran gabah dibiarkan di lapangan sedang bila turun hujan atau malam hari cukup ditutupi karung atau plastik. Selanjutnya Soemardi (1982), menyatakan bahwa pengeringan gabah dengan penjemuran menyebabkan kadar beras pacah dan susut bobot lebih

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 127

tinggi dibandingkan penjemuran dengan mesin pengering. Menurut Wijaya (2005), kadar air gabah yang lebih rendah atau lebih tinggi dari 13,2 % akan menurunkan hasil beras kepala. Oleh karena itulah, selain untuk mengatasi tingginya serangan serangga gudang, penjemuran juga dapat mengurangi kerusakan gabah akibat tingginya kadar air gabah. Hasil penelitian Nugraha dkk. (2007) menunjukkan bahwa kehilangan hasil pada tahapan pengeringan gabah pada ekosistem padi lahan irigasi sebesar 0,98%, untuk ekosistem padi lahan tadah hujan sebesar 1,05% dan pada ekosistem lahan pasang surut sebesar 1,52% b. Penggunaan Mesin Pengering (Box Dryer) Untuk mengantisipasi adanya gangguan cuaca seperti ketika musim penghujan, maka tindakan pengurangan kadar air bahan secara tradisional dapat diperbaiki dengan memanfaatkan mesin pengering (box dryer). Pengeringan gabah dalam jumlah kecil dapat dilakukan dengan menggunakan oven. Berbagai jenis alat pengering telah dihasilkan dan dengan kapasitas yang beragam, salah satunya adalah alat pengering gabah berbahan bakar sekam (BBS). Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), mesin pengering harus memiliki persyaratan mampu menurunkan kadar air gabah hingga 13% dengan keragaman 1,5%.Alat pengering gabah BBS telah diterapkan di lahan pasang surut Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Keuntungan alat pengering kapasitas 3 ton ini antara lain: 1) Waktu pengeringan berkisar 8-12 jam atau rata-rata 10 jam, lebih cepat dibandingkan dengan penjemuran yang lamanya 1-2 hari, 2) Rendemen pengeringan rata-rata meningkat 2,5%, 3) Rendemen beras giling rata-rata meningkat 2,5%, 4) persentase beras kepala rata-rata meningkat 17%, 5) Biaya pengeringan rata-rata sebesar Rp 25/kg GKP berarti lebih rendah dibandingkan dengan biaya penjemuran (Rp 50/kg GKP) (BPTP Sumsel, 2009).

2. Pengaturan Tempat Penyimpanan Tempat penyimpanan juga sangat mempengaruhi kesukaan serangga gudang terhadap gabah yang disimpan. Tempat penyimpanan yang tidak baik dengan kelembaban

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 128 tinggi dan temperatur yang tidak sesuai akan memacu perkembangbiakan serangga. Walaupun kadar air gabah sudah memenuhi standar setelah dikeringkan, akan tetapi jika tempat penyimpanan tidak sesuai justru akan meningkatkan kembali kadar air gabah. Tempat penyimpanan ini meliputi ruang penyimpanan maupun material yang digunakan untuk menyimpan bahan.

3. Penggunaan Pestisida Nabati Penggunaan pestisida nabati untuk menekan serangan serangga gudang masih jarang diterapkan di tingkat masyarakat. Hal ini selain karena terbatasnya pengetahuan juga karena masih ada anggapan bahwa daya bunuh pestisida nabati masih rendah dan relatif lambat. Padahal pemanfaatan pestisida nabati ini sangat diperlukan terlebih lagi jika produk simpanan tersebut akan dikonsumsi. Kardinan (2001) melaporkan beberapa jenis tanaman bisa menjadi pestisida nabati untuk menekan serangan serangga gudang (Tabel 2).

Tabel 2. Hasil pengujian terhadap beberapa jenis tumbuhan penghasil pestisida nabati No. Nama Tumbuhan Bagian Tumbuhan Serangga Uji 1. Babadotan, Ageratum conyzoides Daun, bunga, batang, akar Tribolium castaneum 2. Lempuyang gajah, Zingiber zerumbet Rimpang Sitophilus sp. 3. Lempuyang emprit, Zingiber americans Rimpang Sitophilus sp. 4. Jeringau, Acorus calamus Rimpang Sitophilus sp. 5. Bengkuang, Pachyrhizus erosus Biji Callosobruchus analis, Sitophilusi sp. 6. Serai dapur, Cymbopogon nardus Daun Callosobruchus analis 7. Bawang putih, Allium sativum Umbi Callosobruchus analis 8. Tuba, Derris eliptica Akar Sitophilus sp., Carpophilus sp. 9. Brotowali, Tinospora sp. Batang Tribolium castaneum 10. Srikaya, Annona squamosa Biji Callosobruchus analis Sumber: Kardinan (1998).

Rukmana dan Oesman (2002), aplikasi ekstrak nimba pada penyimpanan ternyata ampuh untuk mengendalikan hama gudang. Adapun cara aplikasi daun nimba kering di penyimpanan adalah sebagai berikut:

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 129

 Disiapkan 2-5 kg daun nimba kering, kemudian dicampur dengan 100 kg gabah hasil pertanian yang akan disimpan.  Karung yang digunakan untuk mengemas biji yang akan disimpan direndam dalam 100 liter air yang mengandung 2-10 kg biji nimba.  Karung dikeringkan kembali, dan biji-bijian yang akan disimpan dimasukkan ke dalamnya.

4. Pemanfaatan Sistem Kedap (Hermetic Storage) Penyimpanan kedap udara mencakup penempatan gabah/beras/benih kedalam kontainer (wadah) yang menghentikan pergerakan udara (oksigen) dan air antara atmosfir luar dan gabah/benih yang disimpan. Teknologi ini sudah mulai diterapkan di beberapa negara di Asia Tenggara. Sistem ini dapat menggunakan kontainer plastik khusus atau kontainer yang lebih kecil terbuat dari plastik atau baja atau bahkan pot dari tanah. Ukuran penyimpan dapat berkisar antara 25 liter sampai 300 ton. Sistem ini dapat digunakan untuk gabah, beras, dan serealia lainnya seperti jagung (Syam, 2006). Penyimpanan kedap uadara memperbaiki kualitas gabah dan viabilitas benih karena cara ini menjaga stabilitas kandungan air dan mengurangi kerusakan karena hama tanpa penggunaan pestisida. Viabilitas atau kelangsungan hidup benih di daerah tropis dapat dapat ditingkatkan dari 6 sampai 12 bulan. Penyimpanan tertutup mengendalikan serangga karena serangga menggunakan oksigen yang ada sepanjang respirasi dan mengeluarkan karbon dioksida (misalnya tingkat oksigen dapat berkurang dari 21% menjadi kurang dari 5% dalam 10-21 hari) (Anonim, 2005). Pada kondisi oksigen rendah ini, aktivitas serangga menjadi minimal dan reproduksi terhenti. Tikus dan burung tidak tertarik terhadap gabah/benih yang disimpan dengan cara ini.

5. Fumigasi Fumigasi merupakan tindakan pengendalian hama gudang dengan menggunakan senyawa kimiawi berupa fumigan. Pihak Karantina Pertanian sendiri melalkukan upaya fumigasi untuk menekan serangga hama gudang yang tergolong OPT maupun OPTK.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 130

Beberapa jenis senyawa fumigan yang sering digunakan di antaranya metilbormide, carbon disulphide, hydricianic acid, phospine, ethylene oxide, ethylene dibromide. Menurut Imdad dan Nawangsih (1999), serangga seperti kumbang bubuk beras, ngengat beras, ngengat gabah, kumbang penggerek gabah dapat ditanggulangi dengan menggunakan fumigan 3 carbon disulphide (CS-2) dan phostoxin tablet. Dosis penggunaan yakni 30 cc CS2/m bahan selama 24-48 jam dalam ruang yang tertutup. Dosis penggunaan phostoxin yakni 1 tablet/ kuintal bahan.

PENUTUP Serangga gudang memiliki arti penting dalam penyimpanan produk pasca panen, karena secara langsung dapat menyebabkan kerusakan bahan simpanan baik secara kuantitas maupun kualitas. Oleh karena itu, dibutuhkan teknologi pasca panen yang baik agar kehilangan hasil akibat serangan serangga gudang dapat dikurangi. Beberapa teknologi yang diterapkan didasarkan pada perilaku dan faktor fisik yang mempengaruhi kehidupan serangga, seperti pengaturan suhu, kelembaban, cahaya, aerasi yang tidak sesuai untuk perkembangan serangga. Teknologi yang dapat dipakai diantaranya pengungaran kadar air bahan baik melalui penjemuran maupun penggunaan mesin pengering, pengaturan tempat penyimpanan, penggunaan pestisida nabati yang dicampurkan pada bahan simpanan, pemanfaatn sistem kedap dan fumigasi.

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2005. Penyimpanan Benih/Gabah Sistem Tutup Kedap Udara (Hermetis). Lembar Fakta Padi. Imdad, H.P. dan A.A. Nawangsih. 1999. Menyimpan Bahan Pangan. Penebar Swadaya. Jakarta. Kardinan, A. 2001. Pestisida Nabati: Ramuan & Aplikasi. Penebar Swadaya. Jakarta. Kartasapoetra, A.G. 1991. Hama Hasil Tanaman dalam Gudang. Rineka Cipta. Jakarta. Nugraha, S. 2008. Perangkat praktis untuk mengukur kadar air gabah dan beras. Informasi Ringkas Bank Pengetahuan Padi Indonesia. BB Pasca-Panen. Pracaya. 1997. Hama dan Penyakit Tanaman. Penebar Swadaya. Jakarta.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 131

Rukmana, R dan Y.Y. Oesman. 2002. Nimba Tanaman Penghasil Pestisida Alami. Kanisius. Yogyakarta. Soemardi. 1982. Produksi, Rendemen dan Mutu Gabah/Beras Hasil Panen Petani. Laporan Kemajuan Seri Teknologi Pasca Panen No. 15 (Padi). BPTP Bogor Sub BPTP Karawang. Sudarmo, S. 1998. Pengendalian Serangga Hama Sorgum. Kanisius. Yogyakarta. Syam, M. 2006. Penyimpanan Benih/Gabah Sistem Tutup Kedap Udara (Hermetik). Informasi Ringkas Teknologi Padi.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 132

OPH-11 Studi Potensi Pemanfaatan Daun Gamal dan Daun Kapuk Randu sebagai Insektisida Nabati untuk Hama Bisul Dadap (Quadrastichus erythrinae Kim.) Endang L. Widiastuti1, N. Nukmal1, V. Intansari1, D. Indriyani1, dan E. Sumiyani1 1 Jurusan Biologi – FMIPA – Universitas Lampung. Jl. Prof.DR. Sumantri Brojonegoro No.1. Bandar Lampung – LAMPUNG 35145 Email : [email protected]

ABSTRAK Kerusakan tanaman lada akibat tajar yang terserang hama bisul (Q. erythrinae) telah menurunkan secara drastic produktivitas lada di Provinsi Lampung, khususnya di sentra-sentra lada di tiga kabupaten; Tanggamus, Lampung Timur, dan Lampung Barat, sejak tahun 2005. Beberapa jenis tanaman yang dipakai sebagi tajar adalah dadap (Erythrina spp), gamal (Gliricida maculate Hbr.), kapuk randu (Ceiba petandra Gartn.), dan lainnya. Namun dadap adalah jenis tanaman yang paling banyak dan paling disukai sebagai tajar tanaman lada. Hal ini yang menimbulkan kerugian besar akibat adanya serangan hama bisul. Di lapangan menunjukkan lada hanya dapat dipanen dari tanaman yang menggunakan tajar gamal ataupun kapuk randu, hal ini menimbulkan dugaan kedua tanaman tersebut memiliki senyawa insektisida. Studi ini bermaksud mengeksplorasi potensi yang dimiliki oleh tanaman gamal dan kapuk randu sebagai insektisida botani terhadap hama bisul (Q erythrinae) yang mudah diterapkan kepada petani lada. Dua set percobaan dilakukan untuk menguji potensi/efektivitas insektisida gamal dan kapuk randu: a. uji potensi insektisida ekstrak air (1:1) daun gamal dan kapuk randu yang dibandingkan dengan insektisida sintetik (dimehipo, karbosulfan, dan dimetoat), b. uji potensi insektisida ekstrak ethanol daun gamal terhadap imago hama bisul dadap. Rancangan acak lengkap dengan faktorial dilakukan. Data dianalisis ragam serta BNT pada taraf 5% untuk efektivitas dalam LC50. Hasil menunjukkan bahwa ekstrak air baik gamal ataupun kapuk randu mampu membunuh hama bisul, namun dalam waktu yang lebih lama dibandingkan dengan insektisida sintetik (48 jam : 1 jam). Selanjutnya, ekstrak etanol daun gamal mampu membunuh imago hama bisul dengan LC50 21.5%, namun ekstrak air memiliki LC50 54.9%. Kata kunci: Gliricida maculate, Ceiba petandra, Quadrastichus erythrinae

ABSTRACT Declining of the pepper productivity of Lampung Province has been occurred since 2005, especially in the production centers, the districts of Tanggamus, Lampung Timur and Lampung Barat, and caused by gall wasps (Q. erythrina). The pest killed the vine plants of the pepper plants, such as Erythrinaspp, which very commonly used by the farmers. However those used Gliricida and Ceiba (kapok) were not suffered from the pest. Based on this phenomenon, the study was conducted to explore any insecticidal potential of these two plants to gall wasps (Q. erythrina). Besides that, the study also conducted to obtain any alternative botanical insecticide which environmentally friendly and applicable to the farmers. Two set experiments were conducted: a. to study the insecticide potential of water extract of Gliricida and Ceiba compared with synthetic insecticides (namely dimehypo, carbosulfan and dimethoat), b. to study the insecticide potential of ethanol extract of Gliricida leaves on the gall wasps. Completely randomized design with factorial was chosen to determine the LC of the extracts. ANOVA and LSD (α=5%) were used to analyze the collected data. The study indicated that the water extract of Gliricida dan Ceiba had insecticide potential, but took more time compared to synthetic insecticides (48 hours vs 1 hour). Both ethanol and water extract of the Gliricida could kill the pest with LC50 each was 21.5% and 54.9%. Key Words: Galiricida, Ceiba, Quadrastichus erythrinae

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 133

PENDAHULUAN Produktivitas lada di Provinsi Lampung sejak tahun 2005 (atau sebelumnya) mengalami penurunan yang cukup tinggi, khususnya di beberapa wilayah Provinsi Lampung. Hal ini sangat merugikan petani lada khususnya yang berada si sentra produk lada, seperti Kabupaten Lampung Timur, Tanggamus, dan Lampung Barat. Penurunan produktivitas lada disebabkan oleh matinya tajar tanaman lada. Tajar ini umumnya adalah tajar tanaman tempat rambatan tanaman lada, seperti tajar dari tanaman gamal, kapuk randu, dan dadap. Namun dari ketiga tanaman tersebut, petani lada umumnya menyukai tanaman dadap sebagai tajar lada mereka (Rismunandar, 2000). Dadap dipilih karena berbagai keuntungan yang dimilikinya, yaitu mudah didapat serta perakaran yang kuat. Namun demikian, tanaman ini juga memiliki berbagai kelemahan sebagai tajar, satu di antaranya yaitu mudah diserang hama, baik hama penggerek ataupun hama bisul (Suprapto, 2005). Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa tanaman lada yang mengalami kerusakan adalah tanaman lada yang memiliki tajar dadap (Suprapto, 2005; Nukmal dkk., 2007). Tanaman dadap ini layu dan mati karena hama bisul. Sedangkan tanaman lada dengan tajar tanaman gamal (Gliricida maculate) ataupun kapuk randu (Ceiba petandra) tetap tegak dan sehat. Serangan hama bisul pada tanaman dadap (Erythrina sp.) disebabkan serangga Quadrastichus erythrinae (Suprapto, 2005). Hama ini menyerang jaringan, khususnya pada berbagai bagian tanaman yang masih muda, baik pada tangkai daun ataupun daunnya (Nukmal dkk., 2007). Siklus hidup hama ini terdapat pada jaringan tanaman dengan telur diletakkan pada bagian tanaman yang masih muda tersebut. Pengendalian hama terpadu yang ramah lingkungan sangat diperlukan, khususnya pada saat serangan hama terjadi. Salah satu dari prengendalian hama yang ramah lingkungan adalah penggunaan insektisida yang bersifat alami (insektisida nabati). Untuk itu diperlukan insektisida nabati yang mudah didapat serta mudah dibuat dan murah untuk mendapatkannya tanpa menimbulkan efek samping terhadap lingkungan. Dari hasil pengamatan di lapangan serta kajian di laboratorium terhadap kondisi serangan hama bisul pada tanaman tajar, maka diduga tanaman tajar lainnya yang tidak

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 134 diserang hama ini, gamal dan kapuk randu, dapat digunakan sebagai insektisida nabati. Zoema (2007) juga menunjukkan bahwa ekstrak batang ataupun daun gamal dan kapuk randu dapat dipakai sebagai insektisida berbagai hama. Namun apakah hama bisul yang disebabkan Q. erythrinae juga mampu diatasi oleh insektisida berupa ekstrak dari kedua tanaman tersebut perlu dilakukan suatu kajian. Sebagai pembanding kemampuan/potensi insektisida ektrak kedua tanaman tersebut dibandingkan dengan insektisida sintetik.

BAHAN DAN METODA Untuk mengetahui seberapa besar kemampuan tanaman gamal (G. maculate) ataupun kapuk randu (C. petandra) sebagai insektisida nabati, maka daun gamal dan daun kapuk diekstrak dan diujikan kemampuan/potensi insektisidanya pada imago hama bisul dadap. Pembuatan ekstrak air daun gamal dan kapuk randu Seratus (100) gram masing-masing daun gamal dan kapuk randu yang sudah dikering-anginkan dihaluskan dengan menggunakan blender ditambahkan aquades sebanyak 100 ml. Setelah dihomogenkan, masing-masing bahan tersebut disaring sehingga diperoleh ekstrak air masing-masing daun gamal dan daun kapuk randu. Pembuatan ekstrak etanol daun gamal dan kapuk randu Ekstrak etanol daun gamal dan kapuk randu menggunakan metode yang dilakukan oleh Harborne (1987). Setelah daun gamal dan kapuk randu dikering-anginkan, dipotong kecil-kecil kemudian dimaserasi (direndam) dalam etanol 95 % selama 14 hari selanjutnya disaring. Untuk memperoleh ekstrak dalam bentuk pasta, maserat yang diperoleh kemudian dipekatkan dalam rotary evaporator pada suhu 40o – 50o C. Pemeliharaan hama Serangga yang digunakan dalam penelitian ini adalah imago dari serangga Q. erythrinae yang menyebabkan hama bisul dadap yang diperoleh dari desa yang terserang hama di Desa Dadapan Kabupaten Tanggamus. Selanjutnya untuk memperoleh imago hama bisul ini, daun yang terkena hama bisul dipelihara di dalam stoples berdiameter 15 cm yang ditutup kain kasa di Laboratorium Zoologi-Universitas Lampung.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 135

Investasi insektisida terhadap hama bisul Investasi insektisida ini dilakukan dengan metode celup. Daun dadap licin yang sehat dan segar masing-masing dicelupkan kedalam ekstrak air/etanol daun gamal dan kapuk randu, insektisida sintetik (sebagai kontrol negatif), dan aquades (sebagai kontrol positif), kemudian diangkat dan dikering-anginkan lalu dimasukkan ke dalam botol selai. Sepuluh (10) ekor hama Q. Erythrinae dimasukkan ke dalam botol selai tersebut yang sudah diberi madu sebagai sumber makanan tersebut. Botol selai tersebut selanjutnya ditutup dengan kain kasa. Perlakuan pada penelitian pertama Penelitian pertama ini menggunakan 4 macam perlakuan, yaitu ekstrak air daun gamal dengan perbandingan antara daun dan aquades 1 : 1 (berat : volume), ekstrak air daun kapuk randu dengan perbandingan yang sama, insektisida sintetik yang digunakan sebagai kontrol negatif (pembanding) dengan bahan aktif dimehipo, dimetoat, dan karbosulfandengan konsentrasi anjuran 1 mL/L, dan aquades yang digunakan sebagai kontrol positif. Perlakuan pada penelitian kedua Penelitian kedua menggunakan 3 macam perlakuan, yaitu ekstrak ethanol daun gamal dan/atau ekstrak etanol daun kapuk randu serta insektisida sintetik (sebagai kontrol negatif). Ekstrak etanol dilakukan untuk mengetahui potensi senyawa insektisida dari kedua tanaman. Pengamatan Pengamatan baik untuk penelitian pertama ataupun kedua dilakukan selama 72 jam dengan jeda waktu: 1, 3, 6, 12, 24, 48, dan 72 jam setelah investasi. Parameter yang diamati adalah jumlah kematian serangga pada jeda waktu tersebut. Pengamatan dihentikan jika jumlah kematian serangga mencapai 100 %. Rancangan Percobaan dan Analisis data Untuk setiap penelitian Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4/3 perlakuan digunakan. Masing-masing perlakuan adalah ekstrak air daun gamal, ekstrak air daun kapuk randu, ekstrak etanol daun gamal dan ekstrak etanol daun kapuk ransu serta

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 136 insektisida sintetik dimehipo, dan aquades. Pemilihan dimehipo sebagai kontrol negatif setelah dilakukan uji efektivitas dari ketiga insektisida sintetik (dimehipo, karbosulfan, dan dimetoat). Setiap perlakuan diulang sebanyak 5 (lima) kali. Data berupa persen kematian serangga yang diperoleh dianalisis dengan analisis ragam serta dilanjutkan dengan Uji Tukey‘s dengan p < 5 %. Selanjutnya untuk mengetahui kemampuan dua jenis ekstrak terhadap hama bisul dadap, berbagai konsentrasi dari kedua jenis ekstrak dari daun gamal diberikan pada hama bisul. Data selanjutnya dianalisis probit.

HASIL DAN PEMBAHASAN Untuk membandingkan kemampuan insektisida sintetik, 3 jenis insektisida, yaitu dimehipo, karbosulfan, dan dimetoat diujikan pada imago hama bisul (Gambar 1).

100 90 80 70 60 50 Kematian serangga (%) 40 30 20 10

0

1 1 mL/L 3 mL/L 2 mL/L 1 mL/L

1,5 1,5 mL/L 0,5 mL/L 2,5 mL/L 1,5 mL/L 5,5 mL/L 4,5 mL/L 3,5 mL/L 2,5 mL/L 1,5 mL/L

1,25 mL/L1,25 mL/L0,75 Dimehipo Dimetoat Karbosulfan

Gambar 1. Kemampuan insektisida sintetik terhadap imago hama bisul dadap dalam 1 jam

Selanjutnya, sehubungan dengan efek yang terbaik dari ketiga insektisida sintetik tersebut adalah dimehipo, insektisida ini digunakan sebagai kontrol negatif terhadap efektivitas insektisida yang dimiliki oleh ekstrak daun gamal atau kapuk randu. Dari ketiga jenis insektisida sintetik tersebut, dimehipo memiliki kemampuan membunuh hama dengan sangat baik, L50 hanya dengan konsentrasi kurang dari 1 mL/L (0.75mL/L). Sedangkan senyawa sintetik lainnya membutuhkan 2 mL/L untuk dimetoat dan 2.5 mL/L untuk karbofuran. Dengan demikian jenis insektisida sintetik yang dipakai

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 137 sebagai pembanding kemampuan insektisida nabati ekstrak daun gamal ataupun kapuk randu adalah insektisida dimehipo. Uji potensi insektisida ekstrak air daun gamal dan kapuk randu terhadap hama bisul dapat dilihat pada Gambar 2. Ekstrak air dari kedua daun ini menunjukkan kemampuannya pada 6 jam setelah investasi insektisida terhadap hama dilakukan. Kemampuan insektisida ekstrak air daun gamal menunjukkan perbedaan yang nyata (p < 0.001) dibandingkan ekstrak daun kapuk serta kontrol dan insektisida sintetik (yang memiliki daya bunuh hanya dalam 1 jam), pada 6, 12, dan 24 jam setelah investasi dilakukan.

100 80 60 Gamal 40 Randu 20 Kontrol Persen hidupPersen 0 Dimehipo 1 2 3 4 5 Waktu investasi (1, 3, 6, 12, 24 jam)

Gambar 2. Daya insektisida ekstrak air daun gamal dan kapuk randu terhadap hama bisul

Hasil yang sama juga ditunjukkan pada ekstrak etanol dari kedua jenis tanaman tersebut (Gambar 3). Namun pada 3 jam setelah investasi ekstraksi etanol baik untuk gamal ataupun kapuk randu telah menunjukkan kemampuannya. Pada 3 jam investasi ekstraksi tersebut, sekitar 20-40% kematian hama bisul dapat terjadi. Kemampuan ekstrak gamal baik dengan menggunakan air ataupun etanol sebagai insektisida lebih tinggi dibandingkan ekstrak kapuk randu (p < 0.001), namun masih lebih rendah jika dibandingkan kemampuan insektisida sintetik.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 138

100 Gamal 50 Randu 0 Kontrol Persen hidupPersen 1 2 3 4 5 Dimehipo Waktu investasi (1, 3, 6, 12, 24 jam)

Gambar 3. Daya insektisida ekstrak etanol gamal dan kapuk randu terhadap hama bisul

Selanjutnya, perbandingan daya insektisida daun gamal dan kapuk randu dengan proses ekstraksi yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 4 dan 5. Ekstrak etanol jauh lebih efektif sebagai insektisida dibandingkan dengan ekstrak air (p < 0.001). Dalam waktu 1 jam setelah investasi dilakukan, ekstrak etanol kedua tanaman ini mampu membunuh hama bisul.

100 80 60 ekstrak air 40 ekstrak etanol 20 kontrol/aquades Persen hidupPersen 0 1 2 3 4 5 dimehipo Waktu investasi (1, 3, 6, 12, 24 jam)

Gambar 4. Daya insektisida daun gamal dengan proses ekstraksi yang berbeda

Ekstrak etanol, khususnya untuk daun gamal, telah mampu membunuh hama bisul sebesar 20% dari kemampuan insektisida sintetik dimehipo. Walau membutuhkan waktu, dalam 24 jam penggunaan ekstrak etanol daun gamal mampu mematikan 100% hama bisul, sedangkan insektisida sintetik dimehipo hanya membutuhkan waktu dalam 1 jam.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 139

100 80 60 ekstrak air 40 ekstrak etanol 20 kontrol/aquades 0 1 2 3 4 5 dimehipo

Persen hidupPersen Waktu investasi (1, 3, 6, 12, 24 jam)

Gambar 5. Daya insektisida daun kapuk randu dengan proses ekstraksi yangberbeda

Berbagai senyawa terkandung dalam tanaman gamal, di antaranyanya adalah HCN. Ekstrak etanol dapat melepaskan HCN ini dari jaringan daun gamal. HCN adalah senyawa kimia toksik yang mampu menggangu dalam metabolisme tubuh, khususnya dalam perolehan energi ATP. HCN berperan sebagai asphyxiant kimia yang kuat dan cepat (Anonim, 2007). HCN bekerja di mitokondria dengan menghambat penggunaan oksigen oleh enzim sitokrom oksidase, yaitu berikatan dengan sitokrom oksidase. Keracunan sianida yang berikatan dengan sitokrom oksidase inilah yang membuat produksi ATP untuk aktivitas jaringan tubuh terganggu (Sastrodiharjo, 1984; Anonim, 2008). Ekstrak etanol daun gamal dan kapuk randu juga dapat mengeluarkan flavonoid yang juga dapat mengganggu pernafasan hama bisul dadap. Robinson (1995) juga berpendapat bahwa, flavonoid dapat bekerja sebagai penghambat kuat pada proses pernapasan serangga. Demikian juga dengan senyawa kumarin yang mampu dikeluarkan oleh jaringan daun pada ekstraksi dengan etanol. Seperti HCN dan flavonoid, kumarin juga diduga merupakan salah satu senyawa dapat membunuh serangga. Namun proses bekerjanya kumarin terhadap serangga tidak melalui gangguan perolehan ATP, diduga kumarin mampu menurunkan kemampuan untuk makan serangga, seperti yang ditunjukkan pada beberapa kelompok hewan uji bukan serangga (Wikipedia, 2007). Disamping itu, ekstrak etanol daun gamal dan kapuk randu juga menghasilkan saponin, alkaloid, dan tanin. Keberadaan saponin dan alkaloid pada ekstrak etanol daun

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 140 gamal dan kapuk randu juga menyebabkan kematian hama bisul dadap, yaitu dengan menimbulkan iritasi pada saluran pencernaannya, disamping sifat hemolitik yang dimiliki saponin terhadap tubuh hewan (Anonim, 2007). Saponin dapat mengganggu absorpsi air dan kolesterol pada usus (Rosenthal & Janzen,1979). Kolesterol tersebut dibutuhkan untuk mempertahankan membran agar selalu dalam kondisi fungsional, dengan demikian kerusakan membran akibat terhambatnya absorpsi kolesterol diduga sebagai pemicu kematian serangga akibat ekstrak etanol daun gamal atau daun kapuk randu. Senyawa utama yang dapat mematikan organisme hewan adalah alkaloid. Alkaloid tidak hanya menyebabkan iritasi pada saluran pencernaan namun yang lebih poten adalah menghambat kerja dari enzim asetilkolinesterase dalam transmisi impuls saraf (Vickery & Vickery, 1981). Sedangkan tanin yang terkandung di ekstrak etanol daun gamal dan kapuk randu juga dapat berpengaruh terhadap sistem pencernaan serangga, karena tanin merupakan senyawa fenol yang mampu berikatan dengan protein (Goodwin & Mercer, 1983). Mekanisme kerja alkaloid yang menghambat kerja aselkolineterase dimiliki oleh berbagai insektisida sintetik, yaitu kelompok organofosfat dan karbamat (Fukuto, 1990). Khusus pada ekstraksi etanol daun gamal didapat juga senyawa dikumerol yang merupakan konversi dari kumarin. Dikumerol diketahui berperan sebagai inhibitor untuk NAD(P)H quinone oksidoreduktasi (NQO1) (Cullen dkk., 2003; Abdelmohsen dkk., 2005; Buranrat dkk., 2007). Pada tubuh manusia, dikumarol dikenal sebagai antokoagulan, penghambat kerja Vitamin K. Penghambatan terhadap NQO1 ini berakibat terhadap penurunan perolehan energi, seperti halnya pengaruh HCN terhadap sitrokrom oksidasi yang akhirnya menghambat pembentukan ATP. Senyawa-senyawa tersebut yang dimiliki oleh daun gamal dan kapuk randu dimungkikan diekstraksi dengan etanol dan dapat digunakan sebagai insektisida untuk hama bisul dadap. Petani di beberapa kota di Amerika Latin juga telah menggunakan gamal sebagai penolak serangga. Ekstrak daun dan kayu gamal juga telah diuji dan menunjukkan aktivitas insektisida serta antimikroba (Anonim, 2007). Senyawa-senyawa tersebut diketahui dinyatakan sebagai metabolit sekunder, terkandung dalam tanaman gamal dan kapuk randu serta dapat bersifat toksik terhadap

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 141 hama bisul dadap. Oleh karena itu, kedua jenis tanaman tersebut berpotensi sebagai sumber insektisida nabati. Pembuatan ekstrak daun gamal dan kapuk randu dengan menggunakan air juga mampu digunakan sebagai insektisida yang sederhana dan dapat dipakai oleh petani, khususnya di Provinsi Lampung. Walau membutuhkan waktu yang lebih lama, penggunnaan insektisida nabati daun gamal dan kapuk randu tidak memiliki efek samping terhadap lingkungan atau ramah terhadap lingkungan serta bersifat biodegradable. Ekstrak etanol jauh lebih baik dalam memunculkan berbagai senyawa-senyawa metabolit sekunder yang berfungsi sebagai insektisida, karena etanol merupakan pelarut polar yang baik (Harborne, 1987; Robinson, 1995), sehingga memungkinkan senyawa- senyawa polar yang terdapat dalam daun gamal dan kapuk randu dapat terlarut. Penggunaan air panas dapat juga mempercepat kelarutan tanin (Robinson, 1995). Semakin murni tanin yang didapat semakin berkurang kelarutannya di dalam air. Demikian juga terhadap flavonoid yang merupakan senyawa yang dapat larut dalam air panas dan alkohol.

Untuk mengetahui seberapa besar konsentrasi (LC50) yang dibutuhkan dalam membunuh serangga hama bisul dadap, berbagai konsentrasi diujikan dari ekstraks air ataupun etanol daun gamal. Dari hasil analisis probit didapat, ekstrak etanol daun gamal setelah 12 jam investasi insektisida memilikiLC50sebesar 21.5%, sedangkan ekstrak air memiliki LC50 sebesar 54.9%. Hampir semua hama bisul dadap yang mati dari penelitian ini memiliki perubahan warna pada tubuhnya, khususnya pada bagian abdomen dengan warna berubah menjadi kehitaman. Dari hasil penelitian ini, kedua tanaman tersebut, ekstraksi daun gamal atau kapuk randu mampu digunakan sebagai insektisida nabati atau sebagai alternative bahan insektisida yang memenuhi persyaratan dalam pengendalian hama terpadu, yaitu aman, murah, mudah diterapkan serta efektif membunuh hama (Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2008).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 142

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Gamal (G. maculate) serta kapuk randu (C. petandra) mampu membunuh hama bisul dadap (Q. erythrinae) dalam waktu 3-24 jam. Kemampuan membunuh serangga jauh lebih baik pada ekstrak daun gamal dari pada kapuk randu, 20-40%. Demikian juga ekstraksi etanol jauh lebih baik dibandingkan ekstrak air dengan LC50 dari daun gamal masing-masing adalah sebesar 21.5% dan 54.9%. Karena ekstraksi daun gamal ataupun kapuk randu dapat juga mematikan hama bisul dadap, maka kedua tanaman ini dapat dijadikan sebagai alternative insektisida yang memenuhi persyaratan dalam pengendalian hama terpadu.

Saran Penelitian lanjut sangat diperlukan untuk mendapatkan ekstrak murni senyawa metabolit sekunder dari gamal ataupun kapuk randu yang mampu menjadi insektisida nabati. Dalam hal budidaya tanaman, pemanfaatan gamal ataupun kapuk randu sebagai tajar tanaman menjalar perlu dilakukan dan disosialisasikan.

DAFTAR PUSTAKA Abdelmohsen K, Stuhlmann D, Daubrawa F, Klotz L. 2005. Dicumarol is a potent reversible inhibitor of gap junctional intercellular communication. Arch Biochem Biophys 434 (2): 241–7 Anonim. 2007. Kihujan Gliricidia Sepium. Diakses 3 Desember 2007, 13.43 WIB http://www.Plantamor.com/spedtail.Php?Recid=623&popname=kihujan Anonim. 2008. Delapan Bahan Pangan Yang Perlu Diwaspadai. Diakses 20 Agustus 2008, 13 : 24 http://clickcentre.blogspot.com/2008/01/8-bahan-pangan-yang-perlu- diwaspadai.html Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2008. Atasi Hama Belalang Secara Organik. Diakses 18 Januari 2008. http://www.beritabumi.or.id/artikel3.php? idartikel=362 Buranrat, B., Prawan, A., Kukongvirayapan, U., Kongpetch, S., Kukongviriyapan, V. 2007. PIMD: 20480521[PubMed-indexed for MEDLINE]PMCID: PMC2874140Free PMC Article Cullen J, Hinkhouse M, Grady M, Gaut A, Liu J, Zhang Y, Weydert C, Domann F, Oberley L. 2003. Dicumarol inhibition of NADPH: quinone oxidoreductase induces growth

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 143

inhibition of pancreatic cancer via a superoxide-mediated mechanism. Cancer Res 63 (17): 5513–20 Fukuto, T.R. 1990. Mechanism of Action of Organophosphorus and Carbamate Insecticides. Environmental Health Perspectives: Vol. 87: 245 – 254 Goodwin dan E. I. Mercer. 1983. Introduction to Plant Biochemistry. Pergamon Press. Harborne, J. B. 1987. Metode Fitikimia Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. ITB. Bandung Nukmal,N., Suprapto dan E. L. Widiastuti. 2007. Pengendalian Hama Bisul Dadap Secara Terpadu dengan memanfaatkan Musuh Alami. Bandar Lampung. Universitas Lampung. Rismunandar. 2000. Lada Budidaya dan Tata Niaga. Penebar Swadaya. Jakarta. Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Diterjemahkan oleh K. Padmawinata. Penerbit ITB. Bandung. Rosenthal, G.A. dan D. H. Janzen. 1979. Herbivores Their Interaction with Secondary Plant Metabolites. Academic Press. Sastrodiharjo. 1984. Pengantar Entomologi Terapan. Penerbit ITB. Bandung. Suprapto. 2005. Serangga Hama Tanaman Penegak Lada jenis Dadap (Erythrina spp) dan Usaha Pengendaliannya.Prosiding Lokakarya Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Kering. Bandar Lampung, 20-21 September 2005. Hal 35 – 359. Vickery, M. L. dan Vickery, B. 1981. Secondary Plant Metabolism. The MacMillan Press. Wikipedia. 2007. Coumarin. Diakses tanggal 5 Februari 2011. 16.45 pm. Zoema. 2007. Membuat Pestisida Alami. Diakses 15 Januari 2008. 13:15. http://id.wikipedia.org/wiki/Pestisida

Notulensi Diskusi Seminar Endang : Mengenai hama bisul sejauh mana mengganggunya? Bisul daun dadap yang dikendalikan tahap apa? Jawab : Di Lampung lada komoditas utama, jika tajat diganti tiang akan sangat mahal, dan jika tajat terserang, maka akan roboh. Dan di Lampungs sendiri udah 3 kabupaten terserang. Diperuntukkan untuk tahap imago yang melalui pengembangan tahap yang terkena. Balitro : Di Bangka tajat hidup, pake beton tanaman kepanasan. Jawab : Hang tajat mati itu break evenpoin baru 4 tahun, sedangkan tajat hidup bisa 15 tahun.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 144

OPH-12 Identifikasi Hama Benih Beberapa Jenis Tanaman Hutan Tati Suharti1, Naning Yuniarti1, dan Yulianti Bramasto1 1Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor. Email : [email protected]

Abstrak Banyak hal yang dapat mempengaruhi produktivitas serta kualitas dari suatu hutan tanaman. Salah satu faktor yang cukup berperan adalah penggunaan benih. Penggunaan benih bermutu mutlak adanya, yaitu bermutu fisik, fisiologi, genetik serta bebas hama dan penyakit. Jenis hama yang umum menyerang benih tanaman hutan adalah hama jenis serangga. Identifikasi hama benih pada tanaman hutan penting untuk diketahui sebagai informasi awal sehingga tindakan pencegahan dan pengendalian segera dapat dilakukan. Serangga hama yang ditemukan pada benih dikoleksi selanjutnya diidentifikasi. Jenis-jenis serangga yang ditemukan pada benih beberapa jenis tanaman hutan adalah Oryzaephilus surinamensis, Cryptolestes sp., Carpophilus sp., Lepisma saccharina, Ephestia cautella, Stegobium paniceum, Ahasverus advena, Araecerus sp., Acanthocelides sp., Sitotroga cerealella, Dichocrocis sp., Liposcelis sp. Teknik pengendalian hama benih tanaman hutan antara lain : suhu ruang penyimpanan, kebersihan ruang penyimpanan, wadah kemasan, tingkat kadar air, kemurnian benih, fumigasi, insektisida kimia dan insektisida nabati. Kata kunci : benih, hama benih, teknik pengendalian

ABSTRACT Many things can affect productivity and the quality of a forest plant. One factor is the use of seed plays enough. Use of quality seed absolute existence, namely the physical quality, physiology, genetics and free of pests and diseases. Common types of pests which attack the seeds of forest plants are pest insects. Identification of seeds in plants of forest pests is important to know as early information so that preventive and control measures can be done immediately. Insect pests found in the seeds were collected subsequently identified. The types of insects found in seeds of some species of forest plants is Oryzaephilus surinamensis, Cryptolestes sp., Carpophilus sp., Lepisma saccharina, Ephestia cautella, Stegobium paniceum, Ahasverus advena, Araecerus sp., Acanthocelides sp., Sitotroga cerealella, Dichocrocis sp., Liposcelis sp. Pest control techniques seeds of forest plants such as: temperature of storage space, cleanliness of storage space, packaging container, the level of water content, the purity of seeds, fumigation, chemical insecticides and botanical insecticides. Key words: seed, seed pests, control techniques

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 145

PENDAHULUAN Latar Belakang Banyak hal yang dapat mempengaruhi produktivitas serta kualitas dari suatu hutan tanaman. Salah satu faktor yang cukup berperan adalah penggunaan benih. Penggunaan benih bermutu mutlak adanya, yaitu bermutu fisik, fisiologik serta genetik yang tinggi. Namun satu hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah faktor kesehatan benih yaitu benih bebas dari hama dan penyakit. Benih sebagaimana bagian tanaman lainnya, tidak menutup kemungkinan untuk terserang hama atau penyakit. Sebagai struktur perbanyakan tanaman, benih mempunyai hubungan sangat erat dengan perkembangan dan penyebaran hama dan penyakit. Jenis hama yang umum menyerang benih tanaman hutan adalah hama jenis serangga. Kerugian akibat hama yang menyerang benih adalah dapat secara langsung maupun tidak langsung. Kerugian secara langsung yaitu (1) terjadinya penyusutan akibat infestasi larva serangga yang memakan benih sehingga benih menjadi kosong atau rusak (2) terjadinya kontaminasi terhadap benih melalui kotoran yang dihasilkan serangga maupun sisa bekas pergantian kulit. Sedangkan kerugian secara tidak langsung adalah (1) kemasan benih rusak akibat gigitan serangga serangga dalam membuat lubang untuk masuk ke dalam kemasan, (2) berjamur akibat aktifitas serangga di dalam benih yang dapat menghasilkan panas/lembab. Identifikasi hama benih pada tanaman hutan penting untuk diketahui sebagai informasi awal sehingga tindakan pencegahan dan pengendalian segera dapat dilakukan. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui jenis-jenis hama yang menyerang benih beberapa tanaman hutan.

BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada tahun 2007 sampai 2010 di laboratorium hama dan penyakit BPTP Bogor.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 146

Alat dan Bahan Bahan penelitian yang digunakan yaitu alkohol 70%, kapas, kertas koran dan kertas label. Alat-alat yang digunakan adalah mikroskop, kuas kecil, gunting, gelas obyek, gelas penutup, wadah plastik dan kamera. Metoda Identifikasi hama benih 1. Mengambil beberapa butir benih atau buah yang menampakkan gejala serangan hama. 2. Hama yang ditemukan dikoleksi basah yaitu dimasukkan ke dalam larutan alkohol 70% atau koleksi kering. 3. Hama diidentifikasi menggunakan mikroskop stereo dengan cara membandingkan morfologi serangga yang ditemukan dengan buku identifikasi hama (Borror dkk., 1989).

HASIL DAN PEMBAHASAN a. Jenis Serangga Hama yang Menyerang Benih Tanaman Hutan Beberapa jenis serangga hama yang ditemukan pada benih tanaman hutan dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Serangga yang terdapat pada benih tanaman hutan No Benih Jenis Serangga 1. Mahoni Oryzaephilus surinamensis, Cryptolestes sp., (Swietenia macrophylla) Carpophilus sp., Lepisma saccharina 2. Krasikarfa Ephestia cautella, Oryzaephilus surinamensis, (Acacia crassicarfa) Stegobium paniceum, Ahasverus advena 3. Merbau Araecerus sp. (Instia bijuga) 4. Sengon Stegobium paniceum (Paraserianthes falcataria) 5. Pilang Acanthocelides sp. (Acacia leucophloea) 6. Kihiang (Albizia procera) Acanthocelides sp. 7. Meranti (Shorea sp.) Sitotroga cerealella 8. Ki Pahang (Pongamia pinnata) Dichocrocis sp. 9. Kepuh (Sterculia foetida) Sitotroga cerealella, Liposcelis sp.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 147

Ciri-ciri serangga hama yang ditemukan pada benih tanaman hutan antara lain : 1. Oryzaephilus surinamensis (Coleoptera : Silvanidae) Serangga ini memakan berbagai produk (polifag), mempunyai daya adaptasi yang luas (kosmopolitan). Kumbang dewasa berwarna coklat tua berukuran panjang sekitar 5 mm, dengan bentuk tubuh yang langsing dan agak pipih (Gambar 1). Pada bagian pronotumnya terdapat enam pasang gerigi yang menyerupai gigi gergaji. Bagian kepala berbentuk segitiga. Elitra tampak jelas bergaris-garis membujur. Antena berbentuk menggada dengan 11 segmen (Booth dkk., 1990). Serangga ini hidup pada kisaran suhu 18- 38 0C, 10-90% RH dan tetap hidup pada kondisi yang sangat dingin. Kumbang aktif makan, terbang dan berjalan dengan cepat. 2. Carpophilus sp. Serangga ini merupakan hama penting. Hama ini mempunyai daya adapatasi yang luas. Serangga berukuran ± 3 mm, berwarna kuning kecoklatan, coklat sampai hitam, berbentuk oval (Gambar 2). Warna kaki lebih muda. Antena menggada dengan 3 ruas terakhir membesar. Elitra memendek sehingga apabila dilihat dari arah dorsal terlihat 2 ruas abdomen (Kartasapoetra, 1991). Kumbang bergerak aktif, terbang dan tertarik cahaya (Gilang, 2010). 3. Cryptolestes sp. Serangga ini merupakan hama sekunder. Hama mempunyai daya adaptasi yang luas. Serangga berukuran ± 2 mm, berwarna coklat atau coklat kemerah-merahan, pipih (Gambar 3). Pronotum melebar. Antena filiform, 11 segmen (Kartasapoetra, 1991). Hama ini tahan terhadap kondisi dingin. Kumbang aktif makan, dapat terbang, berjalan cepat, mampu memasuki produk yang dikemas melalui celah yang kecil (Gilang, 2010). 4. Lepisma saccharina Serangga ini merupakan hama yang kurang penting. Hama mempunyai daya adaptasi yang luas. Serangga berukuran ± 12 mm, berwarna keperakan, berbentuk agak pipih, memanjang (Gambar 4). Antena panjang berbentuk filiform dan beruas banyak. Abdomen mempunyai 10 segmen. Tubuhnya ditutupi semacam sisik. Di bagian ujung abdomen terdapat 3 buah embelan (1 pasang cerci dan sebuah filamen kaudal). Pada

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 148 beberapa ruas abdomen terdapat stilus (struktur memanjang seperti jari). Serangga tidak bersayap. Serangga banyak ditemukan pada ruangan yang gelap. Serangga ini dapat bergerak sangat cepat (Kartasapoetra, 1991). 5. Stegobium paniceum (Coleoptera : Anobiidae) Serangga ini mempunyai daya adaptasi yang luas. Serangga berukuran 2-3 mm, berwarna coklat kemerahan sampai coklat (Gambar 5). Kepala tersembunyi di bawah pronotum. Elitra tampak jelas bergaris-garis. Antena berbentuk menggada. Fase yang merusak yaitu larva dan serangga dewasa (Kartasapoetra, 1991). Kondisi optimum adalah pada suhu 30° C dan kelembaban relatif 60 – 90 %. Kumbang tidak aktif makan dan tidak aktif terbang (Gilang, 2010). 6. Ahasverus advena (Coleoptera: Silvanidae) Serangga ini merusak produk simpanan yang lembab dan berjamur dan mempunyai daya adaptasi yang luas. Serangga berukuran ± 2 mm, berwarna coklat kemerahan (Gambar 6). Antena terdiri dari 11 ruas dengan bentuk menggada. Pada pronotum terdapat satu tonjolan/benjolan bulat (pada setiap sisi lateral bagian depan). Fase yang merusak yaitu larva dan serangga dewasa (Kartasapoetra, 1991). Kondisi optimum yaitu suhu 27 0C dan kelembaban 75%. Kumbang aktif makan dan terbang serta berlari cepat (Gilang, 2010). 7. Ephestia cautella (Lepidoptera: Pyralidae) Hama ini mempunyai daya adaptasi yang luas. Larva berwarna coklat agak kotor atau coklat merah dengan bintik-bintik agak gelap yang kecil, berukuran ± 10 mm (Gambar 7). Larva sering mengeluarkan kotoran yang warnanya kecoklat-coklatan. Kepompong mempunyai ukuran panjang sekitar 7,5 mm dan kokonnya berwarna putih. Ngengat berwarna abu-abu, panjang sekitar 6 mm (Kartasapoetra, 1991). 8. Araecerus sp. (Coleoptera : Anthribidae) Serangga mempunyai daya adaptasi yang luas. Serangga berukuran 3-4 mm, berwarna coklat kehitaman atau coklat keabuan (Gambar 8). Kepala tersembunyi di bawah pronotum. Pada pronotum dan elitra terdapat bintik-bintik yang berwarna terang. Antena menggada dengan 3 ruas terakhir yang membesar. Kumbang bergerak aktif dan akan langsung terbang dan membebaskan diri pada saat wadah penyimpanan terbuka. Kumbang

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 149 ini bergerak ke arah cahaya (Kalshoven, 1981). Benih yang terserang hama ini berlubang. Hama ini mengorok bagian dalam benih. Dalam satu benih bisa terdapat lebih dari satu lubang. 9. Acanthocelides sp. (Coleoptera : Bruchidae) Kumbang dewasa berbentuk agak bulat seperti bola (Gambar 9). Panjang tubuhnya sekitar 3-5 mm, berwarna kuning kehijauan dengan bercak coklat abu-abu pada elitranya. Elitra tidak menutupi seluruh abdomen, abdomen ruas terakhir terbuka dan disebut pygidium. Kondisi optimum yaitu pada suhu 30-35°C dan kelembaban relatif 70-90%. Beberapa larva dapat berkembang dalam satu benih. Kumbang sangat aktif dan dapat berlari dan terbang. Pada suhu dibawah 15°C kumbang ini tidak dapat berkembang biak dengan baik (Rivai dkk., 2010). Benih yang terserang hama ini berlubang. Hama ini mengorok bagian dalam benih. 10. Liposcelis sp. (Psocoptera) Serangga ini dikenal dengan kutu buku. Serangga ini mempunyai daya adaptasi yang luas. Serangga berukuran kecil, bertubuh lunak, biasanya kurang dari 5 mm (Gambar 10). Antena filiform. Tidak mempunyai sayap. Serangga makan bahan berpati, spora cendawan atau miselium cendawan (Prijono dkk.,1985). 11. Dichocrocis sp. (Lepidoptera: Pytaustinae) Larva mencapai panjang 15 mm, berwarna coklat kemerah-merahan (Gambar 11). Buah yang terserang hama ini berlubang. Biasanya lubang berada di tepi kulit buah. Selanjutnya hama ini mengorok bagian dalam benih. Benih yang terserang hama ini berlubang dan berwarna hitam. Bagian embrio benih dapat habis dimakan larva. 12. Sitotroga cerealella (Lepidoptera: Gelechiidae) Imago berwarna kuning agak kecoklatan, ukurannya kecil 3 sampai 4 mm (Gambar 12). Imago memiliki sayap belakang dengan rumbai-rumbai yang panjang, ujung sayap belakang sangat memanjang, lancip, sisi atas sayap bagian depan berwarna coklat pucat kekuning-kuningan. Larva bergerak, mengorok dan berkembang di bagian dalam benih. Bagian embrio benih dapat habis dimakan larva. Larva menjelang kepompong akan membuat lubang keluar dengan cara menggerek kulit benih yang ditempatinya.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 150

Pembentukan pupa menggunakan jaringan benih. Pupa bercampur dengan kotoran dan hasil gerekan. b. Teknik Pengendalian Hama Benih Tanaman Hutan Secara umum teknik pengendalian hama benih tanaman hutan yang dapat dilakukan antara lain: 1. Ruang penyimpanan Ruang DCS (Dry Cold Storage) dengan suhu 4-7°C dapat menghambat aktivitas dan perkembangan serangga hama dibandingkan ruang kamar. Hal ini karena suhu dan kelembaban DCS relatif tidak sesuai untuk perkembangan serangga hama. Aktivitas serangga tropis menurun pada suhu 5-7°C, bahkan pengurangan suhu sedikitpun dapat menghambat aktivitas dan perkembangannya. Suhu 5°C mampu untuk menghambat perkembangan bruchidae tapi tidak membunuh serangganya (Stoyanova, 1984 dalam Schmidt, 2000). 2. Kebersihan ruang penyimpanan Hama menyukai tempat-tempat yang tersembunyi dan karena ukurannya yang kecil, secara sekilas sering tidak terlihat. Oleh karena itu hendaknya senantiasa menjaga kebersihan ruang penyimpanan. 3. Wadah kemasan Sebaiknya menggunakan wadah kemasan yang dapat menghalangi masuknya serangga hama. 4. Tingkat kadar air Kadar air benih berkorelasi positif dengan ketahanan hidup. Kadar air meningkat, kondisi lingkungan makin baik untuk serangga sehingga ketahanan hidupnya pun meningkat. Sebaliknya, ketahanan hidup hama menurun bila kadar air benih rendah. 5. Kemurnian benih Benih yang diserang serangga sebaiknya dipisahkan dari benih sehat sebelum disimpan untuk meningkatkan kemurnian dan kualitas benih. Sebagai contoh, jika bagian

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 151 dari benih telah habis dimakan serangga, benih menjadi lebih ringan dibanding benih sehat dan dapat dipisahkan dengan hembusan udara (Schmidt, 2000). 6. Fumigasi

Salah satu fumigan yang dapat digunakan yaitu CO2 karena gas ini tidak berbahaya terhadap benih kering. Benih dapat disimpan dengan gas tersebut dalam waktu yang lama

(Sary dkk., 1993 dalam Scmidt, 2000). Perlakuan CO2 pada waktu penyimpanan dapat menghambat perkembangan hama. Meskipun CO2 tidak meracuni serangga, tetapi kalau konsentrasinya lebih tinggi dari oksigen, dapat menghambat proses fisiologis dari sistem pernafasan. 7. Insektisida kimia Dalam kondisi tertentu, insektisida dapat digunakan untuk perlakuan benih sebelum ditanam. Aplikasinya biasanya dalam bentuk bubuk dimana benih dicampur dengan bubuk kimia kering. 8. Insektisida nabati Penggunaan ekstrak mimba, sirsak, lada dan tanaman lainnya yang mengandung bahan penolak serangga dapat digunakan untuk mengendalikan hama benih. Keuntungan penggunaan insektisida ini adalah sifatnya yang tidak beracun terhadap benih dan aman untuk pekerja dan lingkungan serta umumnya mudah didapat.

KESIMPULAN Umumnya hama benih tanaman hutan yang sering dijumpai adalah dari golongan Coleoptera, Lepidoptera, Thysanura dan Psocoptera. Jenis-jenis serangga yang ditemukan pada benih beberapa jenis tanaman hutan adalah Oryzaephilus surinamensis, Cryptolestes sp., Carpophilus sp., Lepisma saccharina, Ephestia cautella, Stegobium paniceum, Ahasverus advena, Araecerus sp., Acanthocelides sp., Sitotroga cerealella, Dichocrocis sp., Liposcelis sp. Teknik pengendalian hama benih tanaman hutan antara lain: suhu ruang penyimpanan, kebersihan ruang penyimpanan, wadah kemasan, tingkat kadar air, kemurnian benih, fumigasi, insektisida kimia dan insektisida nabati.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 152

DAFTAR PUSTAKA Borror, D.J., C.A. Triplehorn, and N.F. Johnson. 1989. An Introduction to The Study of Insect. Sixth Edition. Harcourt Brace College Publishers. Florida. The United States of America. Booth, R.G, M.L. Cox, and R.B. Madge. 1990. Coleoptera. CAB international. Cambridge. Australia. Gilang. 2010. Hama Pascapanen Tanaman Kacang Hijau. http://www.redholic.web.id. Diakses tanggal 20 Januari 2011. Kartasapoetra A.G. 1991. Hama Hasil Tanaman Dalam Gudang. P.T. Rinka Cipta. Jakarta. Kashoven, L.G.E. 1981. Pest of Crops in Indonesia. P.T. Ichtiar Baru – Van Hoeve. Jakarta. Prijono D. dan A. Rauf. 1985. Penuntun Praktikum Entomologi Umum. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Rivai M. dan I.A. Wirawan. 2010. Hama Gudang dan Pantri. http://www.sith.itb.ac.id. Diakses tanggal 20 Januari 2011. Schmidt, L. 2000. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Subtropis. Danida Forest Seed Centre.

Notulensi Diskusi Seminar Tanya : Tidak ada pertanyaan Jawab :

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 153

OPH-13 Tanaman Alfalfa sebagai Komoditas Harapan Pakan Ternak : Pengaruh Serangan Hama Terhadap Produktifitas Hijauan pada Pemotongan Pertama Sajimin1 dan N.D. Purwantari1 1Balai Penelitian Ternak, P.O.Box 221 Bogor 16002 Email : [email protected]

ABSTRAK Tanaman pakan ternak Alfalfa (Medicago sativa L) adalah merupakan tanaman pakan jenis leguminosa perennial dan telah tersebar luas diberbagai belahan dunia. Di Indonesia tanaman tersebut mulai dikembangkan sejak tahun 2004. Tanaman alfalfa memiliki nilai nutrisi dan kandungan vitamin yang lengkap dan lebih tinggi dibanding jenis leguminosa lainnya. Perkembangan tanaman alfalfa sampai sekarang mengalami banyak kendala akibat serangan hama sehingga pertumbuhannya dan produktivitasnya rendah. Kegiatan penelitian ini melakukan pengamatan serangan hama di lokasi pengembangan alfalfa Baturaden, Boyolali, Lembang dan Ciawi. Kegiatan di Ciawi melakukan pengamatan tingkat serangan hama secara empiris pada tanaman yang ditumbuhkan dari biji hingga tanaman umur tiga bulan. Data yang diperoleh dianalisa secara diskriptif tingkat kerusakan dan produktivitas hijauan. Hasil pengamatan dilokasi pengembangan alfalfa hama yang menyerang adalah jenis hama pemotong, penghisap dan hama pemakan daun, batang ditemukan di semua lokasi pengembangan alfalfa. Serangan hama tersebut mengakibatkan tanaman alfalfa banyak yang mati. Hasil pengamatan di Ciawi, tingkat serangan hama adalah ringan 0-25% daun terserang, serangan sedang 25-75% daun terserang dan serangan berat tanaman daunnya rusak lebih dari 75-100%. Akibat serangan hama tersebut produktivitas hijauan tanaman alfalfa daunnya berkurang 60.2% (serangan berat), serangan ringan kehilangan daun 38.5% dan tingkat rusak ringan kehilangan daun 22.4%. Akibat serangan hama ini mengakibatkan nilai nutrisi hijauan berkurang. Kata kunci : Alfalfa, hama, produktivitas hijauan.

ABSTRACT Alfalfa (Medicago sativa L) has been grown as a forage crop and can now be found almost anywhere in the world. Alfalfa has spread and become popular because of its productivity and high feed value. However, it is hardly report problem for development in Indonesia. The research was conducted in order to investigate degree damage alfalfa by insect in Baturaden Lembang, Boyolali and Ciawi. The second experiment was conducted at Ciawi. Planting material was seed of alfalfa, grown in soil media in polybag. The treatments were arranged in random block design and treatment were replicated 10 times. Data collected were plant height, fresh and dry weight of shoot after 3 month. Damage of the alfalfa was expressed in an empirical scale. The results show that the damage alfalfa all location were attack by insect with symptom as leaves damage from side followed by curling and falling of leaves. Degree of damage alfalfa varied from low, modeate and heavy. Productivity of biomass were decreased 60.2% for heavy damage, 38.5% for moderat damage and 22.4% for low damage. Keywords: Alfalfa, damage, insect, forage production

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 154

PENDAHULUAN Alfalfa (Medicago sativa L) termasuk tanaman leguminosa perenial dan merupakan hijauan pakan yang populer di dunia. Tanaman tersebut telah berkembang secara luas sebagai pakan dan seringkali dipanen untuk dijadikan hay. Pertumbuhan akar yang dalam dapat mencapai 4,5 meter, kondisi tanaman ini tangguh menghadapi musim kering atau kekeringan yang panjang. Tanaman bercabang dan membentuk rhizome, membutuhkan sinar matahari dan kadar kapur yang cukup, tahan temperatur tinggi tetapi tidak tahan kelembaban tinggi dan penggembalaan berat. Menurut Radovic dkk. (2009), alfalfa memerlukan drainase baik, pH 6,5 atau lebih dengan kesuburan tanah yang baik. Alfalfa dapat beradaptasi pada daerah kering (curah hujan 200 mm/th) atau daerah basah 2500 mm/th dengan drainase yang baik. Batang tanaman mendatar, menanjak sampai tegak, berkayu di bagian dasar, cabang- cabang di bagian dasar dan menanjak setinggi 30-120cm, satu tangkai (petiole) berdaun tiga (―trifoliat‖), panjang daun 5-15 mm, berbulu pada permukaan bawah, tangkai daun berbulu, bunga berbentuk tandan yang rapat berisi 10-35 bunga, mahkota berwarna ungu atau biru jarang yang berwarna putih (Mannetje & Jones, 2000). Menurut Hoy dkk. (2002), Alfalfa adalah leguminosa yang biasa tumbuh di daerah temperate (sedang) dan berumur 8- 10 th. Berdasarkan potensi biomas dari hasil penelitian luar negeri budidaya tanaman alfalfa sebagai pakan ternak menguntungkan. Produsen terbesar alfalfa di dunia adalah Amerika Serikat diantaranya California, South Dacota dan Wisconsin. Tanaman alfalfa telah ditanam lebih dari 80 negara atau sekitar 35 juta ha (Steinbeck, 2007). Menurut Radovic dkk. (2009), produksinya mencapai 80 ton/ha bahan segar dan 20 t/ha bahan kering dengan kandungan protein tinggi. Kemudian Markovic dkk. (2007), alfalfa juga mengandung asam amino serta kaya vitamin serta unsur mineral penting untuk pertumbuhan dan perkembangan ternak. Bahkan tanaman alfalfa telah dimanfaatkan sebagai konsumsi manusia untuk kesehatan terutama sumber kloropil. Kemampuan tanaman alfalfa mengikat N dari udara sebesar 7.85-10.37 g N/m2 (Matensson & Ljunggren, 1984). Kemudian Russelle (2004) fiksasi N tersebut berdampak

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 155 positif pada lingkungan yang dapat menanggulangi polusi udara serta memperlambat kelarutannya dalam tanah sehingga meningkatkan bahan organik sehingga dapat menurunkan kebutuhan pupuk N tanaman. Tanaman demikian tidak memerlukan pupuk nitrogen, bahkan menyumbangkan N dalam tanah. Beberapa hasil penelitian lahan setelah ditanami alfalfa selama 4 tahun kemudian ditanami jagung menjadi lebih efektif penggunaan urea 33%. Alfalfa juga mampu mengikat nitrogen walaupun adanya tekanan lingkungan tanah yang kapasitas lapang tanah 30% dan 60% (Freyer, 2004). Hal inilah yang membuat tanaman ini dapat dijadikan tanaman penyubur tanah dan berpotensi untuk dikembangkan sebagai pakan ternak di Indonesia karena memiliki keunggulan tersebut dibandingkan dengan tanaman pakan jenis leguminosa lainnya. Hal ini mendorong upaya perluasan penanaman alfalfa di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan dan ini telah diintroduksikan jenis alfalfa tropis. Sebagaimana telah diketahui tanaman ini juga disukai oleh berbagai serangga hama yang menjadi penyebab utama penurunan produktivitasnya. Lebih dari 27 spesies serangga diketahui menyerang tanaman alfalfa sejak tumbuh hingga akhir pertumbuhannya (Randoph & Garner, 1997). Kehilangan hasil yang disebabkan oleh serangan hama telah dilaporkan di Amerika Serikat mencapai 6 ton bahan kering per ha (Aldryhin, 1994). Kelompok hama yang dominan menyerang alfalfa adalah jenis hama pemotong, pengisap dan pemakan daun, batang dan akar. Jenis hama yang paling serius adalah alfalfa weevil (Hypera postica) (Cook dkk., 2004). Hama tersebut merupakan hama utama memakan daun dan batang dari mulai larva sampai dewasa. Pertama kali ditemukan tahun1904 dari Asia kemudian menyebar ke Amerika melalui Eropa bagian utara. Penyebaran hama ini setelah 50 th populasi hama ditemukan di wilayah barat, tengah dan timur Amerika. Kemudian tahun 1970 telah menyebar keseluruh bagian Amerika Serikat (Sell dkk., 1978). Hingga saat ini telah tersebar di semua bagian dunia yang menanam tanaman pakan (Aldryhin, 1994). Hama lain yang tidah kalah penting adalah potato leafhopper (Empoascafabae Harris). Serangan hama ini sangat nyata dapat menurunkan hasil alfalfa hingga 50%. Gejala serangan pada awalnya tidak jelas kemudian setelah terserang meninggalkan gejala seperti

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 156 tanaman defisiensi boron yang membentuk V dari ujung daun. Gejalanya menjalar kesemua bagian tanaman dan menyebabkan kematian (Cook dkk., 2004). Dari beberapa laporan siklus hidup serangga hama alfalfa relatif pendek yaitu satu bulan, sehingga selama pertumbuhan tanaman selalu ada hama yang menyerangnya. Melalui makalah ini dipelajari hama yang menyerang serta pengaruhnya pada produktivitas hijauan yang ditumbuhkan dari biji.

MATERI DAN METODE Kegiatan pertama penelitian ini dilakukan dengan melakukan pengamatan langsung dilokasi pengembangan alfalfa yaitu di Baturaden, Boyolali, Lembang dan Ciawi. Di masing-masing lokasi tanaman alfalfa diamati hama yang menyerang secara langsung dan diidentifikasi hama yang menyerang dan ditentukan tingkat kerusakan tanaman secara empiris. Kegiatan kedua yaitu melakukan penanaman alfalfa dari biji selama pertumbuhan diamati hama yang menyerang dan diidentifikasi. Setelah umur 3 bulan dipotong dan diukur produksi hijauan segar dan kering, tinggi tanaman dan jumlahnya tunas serta ditentukan tingkat kerusakan tanaman secara empiris. Pengambilan sampel secara komposit pada plot yang kondisi tanaman mengalami kerusakan ringan, sedang dan berat. Penagmbilan sampel juga pada tanaman yang rawat dan tidak mengalami kerusakan dengan penggunaan insektisida secara rutin (sebagai kontrol). Rancangan percobaan acak kelompok dengan jumlah sampel masing-masing 10 tanaman sebagai ulangan. Data yang diperoleh dianalisa secara diskriptif berdasarkan tingkat kerusakan tanaman. Tingkat kerusakan tanaman ditentukan mengikuti Mullen dkk. (1996) dengan kategori ketahanan dengan skala bebas yaitu: a) skala 1-3 (daun tanaman alfalfa ada yang terserang hama 10- 30%); b) skala 3-6 (daun tanaman terserang hama 30-60%); c) skala 6-9 (daun tanaman terserang hama daun rusak 60-90%).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 157

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan disemua lokasi penanaman Alfalfa menunjukkan bahwa tanaman terserang hama dengan tingkat kerusakannya bervariasi dari serangan ringan, sedang dan berat. Jenis hama yang teridentifikasi dan ditemukan di 4 lokasi tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. kelompok hama alfalfa di beberapa lokasi Lokasi penanaman alfalfa

Kondisi lokasi Baturaden Lembang Boyolali Ciawi Tinggi tempat dpl 1000 643 1600 - 1800 520 (m) Curah hujan (mm/th) 5000 – 6170 2500 2000 2500 Suhu (0C) 18 – 25 17 - 27 17 - 20 20 - 30 Jenis hama 1.Hypera pastica 1.Hypera pastica, 1.Hypera pastica, 1.Hypera pastica, 2.Empoascafabae 2.Empoascafabae 2.Empoascafabae 2.Melanoplus fermur Harris Harris Harris rubrum 3.Hyperapunctata fabricius 4.Empoascafabae Harris Tingkat kerusakan Berat sedang ringan Berat

Pada Table 1 tersebut menunjukkan bahwa tanaman alfalfa di lokasi Ciawi hama yang ditemukan ada 4 jenis sedangkan dilokasi lain 2 jenis. Lebih banyaknya hama yang ditemukan di Ciawi diduga pengaruh lokasi yang mendukung untuk siklus hidup serangga dibanding tempat lain yang kondisi lingkungannya lebih dingin. Sedangkan lokasi Lembang dan Baturaden lebih tinggi dengan temperature 17-25oC. Kondisi lingkungan demikian mempengaruhi siklus hidupnya untuk berkembang. Menurut Wiyono (2006) bahwa perkembangannya hama dipengaruhi oleh faktor faktor iklim baik langsung maupun tidak langsung. Temperatur, kelembaban udara relatif dan fotoperiodisitas berpengaruh langsung terhadap siklus hidup, keperidian, lama hidup, serta kemampuan diapause serangga. Hasil pengamatan dilapang serangan hama yang dominan adalah jenis larva dari H. postica (alfalfa weevil). Tanda-tanda tanaman yang terserang pada daun muda dan tua rombeng dari pinggir kemudian menyerang seluruh helai daun dan hanya tinggal tulang-

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 158 tulang daun. Tingkat serangan hama di Baturaden dan Ciawi termasuk berat, kemudian di Lembang dan Boyolali termasuk ringan. Hal ini diduga berkaitan dengan distribusi hama dan berkembangnya dilokasi pengamatan. Menurut Sell dkk. (1978), distribusi H. postica akan dibatasi oleh curah hujan yang berat dan temperature yang rendah. Kemudian hama sejenis belalang (leaf hopper potato) atau Empoascafabae. Larva tersebut akan berhenti menyerangnya setelah intar ke 5 dan menjadi pupa kemudian menjadi kupu dan dewasa. Dua jenis hama tersebut ditemukan di empat lokasi namun yang dominan di daerah Lembang, Baturaden dan Boyolali. Sedangkan Melaplusfemur rubrum dan Hyperapunctata fabricius tidak ada, mungkin hama ini tidak berkembang atau penyebarannya belum sampai. Hama H. postica dan Empoascafabae merupakan hama yang sering menyerang tanaman sayuran yang banyak ditanam dilokasi tumbuh di Lembang, Baturaden dan Boyolali yaitu kobis, kentang dan lain-lain. Hama H. postica merupakan hama yang tingkat serangan pada alfalfa yang merugikan dan menjadi hama yang serius pada tanaman tersebut (Cook dkk., 2004). Di Indonesia (Gambar 1) hama tersebut selain menyerang alfalfa juga menyerang tanaman kacang-kacangan yang tumbuh liar. Sehingga siklus hidupnya dapat berlangsung terus dengan pakan selalu tersedia.

Alfalfa Baturaden Alfalfa Lembang

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 159

Alfalfa Boyolali Alfalfa Ciawi Gambar 1. Kondisi tanaman Alfalfa yang terserang hama di 4 lokasi

Pada Gambar 1 terlihat performan tanaman paling baik dengan kerusakan daun rendah adalah tanaman alfalfa di Boyolali kemudian Lembang dan Baturaden. Sedangkan yang paling rusak adalah yang di Ciawi. Hal tersebut nampaknya juga berhubungan dengan jenis-jenis hama yang menyerangnya karena hama tersebut hidupnya lebih menyukai tempat panas dengan kelembaban tinggi. Jika suhu tinggi akan berpengaruh pada siklus hidup dan kelangsungan hidup serangga. Tanaman Alfalfa di Lembang dan Boyolali daunnya yang masih utuh setelah terserang Empoascafabae daun menguning dari ujung. Seperti yang dikemukakan Cook dkk. (2009) bahwa gejala serangannya lorosis bagian ujung daun. Hama ini mengisap cairan tanaman melalui tulang daun. Gejala serangan seperti tanaman defisiensi boron. Potensi kerusakan akibat hama ini paling besar selama musim kering.

Produktivitas hijauan Alfalfa Hasil pengamatan tanaman alfalfa yang ditanam di Ciawi dengan mengukur produktivitas hijauan seperti pada pada Tabel 2. Tabel 2. Rataan poduksi hijauan dan tinggi tanaman alfalfa umur 90 hari di Ciawi Tingkat serangan Berat segar (g/tanaman) Berat kering (g/tanaman) Ringan 5.40 a 1.36 b Sedang 6.11 b 1.35 b Berat 5.47 a 1.22 a Kontrol 13.23c 2.83 c Angka yang diikuti huruf sama dalam kolom sama tidak beda nyata P<0.05

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 160

Pada Tabel 2 tersebut terlihat bahwa tanaman alfalfa mengalami kerusakan dari ringan sampai berat. Produksi tertinggi pada tanaman kontrol (tidak ada serangan hama) kemudian diikuti yang rusak ringan, sedang dan berat. Akibat serangan hama menyebabkan penurunan produksi sebesar 56.89% dari tanaman kontrol, kemudian yang rusak sedang 52.29% dan terendah 51.94% pada tanaman rusak ringan. Serangan hama tersebut juga berpengaruh pada pertumbuhannya seperti pada Gambar 2.

50 45 40 35 30 25 20

Tinggi (cm)Tinggi 15 10 Tinggi tanaman 5 Jumlah tunas 0 Rusak Rusak Rusak Kontrol ringan sedang berat Tingkat kerusakan

Gambar 2. Tinggi tanaman alfalfa dan jumlah tunas umur 90 hari Pada Gambar 2 diatas memperlihatkan pertumbuhan tanaman kontrol menunjukkan lebih tinggi dengan rata-rata 5.8 tunas per tanaman kemudian tanamn yang rusak berat 5.7 tunas, rusak sedang 5.3 tunas dan terendah 4.8 tunas yang rusak ringan. Hal ini disebabkan tanaman yang terserang berat hama, hama menyerang samapi bagian pucuk/tunas. Bagian pucuk yang terpotong akan merangsang pertumbuhan tunas. Namun tunas yang baru tumbuh terus di makan hama, sehingga produksi hijauannya tetap rendah. Hasil ini terlihat dari penghitungan jumlah daun yang rusak dan yang utuh (Tabel 3).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 161

Tabel 3. Rataan jumlah daun rusak dan utuh per tanaman alfalfa umur 90 hari Tingkat kerusakan tanaman Jumlah daun/tanaman Jumlah daun/tanaman yang utuh yang rusak Ringan 15.25 53.5 Sedang 30.0 48.0 Berat 48.71 32.14 Kontrol - 75.40

Pada Tabel 3 menunjukkan pada tanaman kontrol daunnya tidak mengalami kerusakan. Sedangkan tanaman yang rusak ringan, sedang dan berat daunnya banyak yang rombeng bahkan tinggal tulang daun. Kerusakan daun ini mengakibatkan penurunan produksi karena daun yang rusak mencapai 22.37% - 60.24%. Kerusakan daun akibat serangan hama telah menurunkan produksi bahan kering hijauan. Penurunan hijauan alfalfa di Amerika mencapai 6 ton/ha dan sisanya 4.5 ton/ha (Oppert dkk., 2000). Penurunan produksi lebih banyak dipengaruhi populasi larva yang aktif (Aldryhim, 1994). Hal ini disebabkan larva dan nimfa aktif memakan daun dari pada srrangga dewasa.

KESIMPULAN

Tanaman alfalfa telah mulai dikembangkan di Indonesia dan tumbuh baik, namun terdapat serangan hama Hypera postica yang terdapat pada tanaman alfalfa disemua lokasi penanamannya. Tingkat kerusakan akibat serangan hama mengakibatkan tanaman rusak ringan, sedang dan berat. Penurunan produksi akibat serangan hama mencapai 11.27% dengan daun yang rusak mencapai 60.24%. Kerusakan tanaman alfalfa lebih banyak disebabkan larva daripada serangga hama dewasa.

DAFTAR PUSTAKA Aldryhim, Y.N. 1994. Seasonal abundance and biology of Hyera postica (Gyllenhal) (Coleoptera: Curculionidae) Under Irrigation from two different Water Sources. Arab Gulf J.Scient.res. 12 (3). Pp.479 – 488. http:// colleges.ksu.edu.sa/food and agriculture/plant protection/academic research//papers. Acces : 4/2/2011. Cook, K.A., S.T. Ratcliffe, M.F. Gray, K.L.steffey. 2011. Potato leafhopper (Empoascafabae Harris. Integrated Pest Mangement. http://ipm.illionis.edu/field crops/insects/alfalfa-weevil. acces: 5/2/2011 Dixon AFG. 2000. Insect Predator-Prey Dynamics: Ladybird beetles & Biological Control. Spain: Cambridge Univ Pr 257 p.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 162

Freyer, B. 2004. Biological nitrogen fixation of different legume species under water stress. Universiats of Natural resourcehes and Applied life Sciences Institute of Organic Farming Gregor Mendel Viena. 16 p. Hoy. D. M,., K. J. Mooere, J. R. George and E. C. Brummer. 2002. Alfalfa Yield and Quality as Influenced by Establishment Method. Agronomi J. 94: 65-71. Marcovic, J., J. Radovic, J., Z.Lugic.Z.and D.Sokolovic. 2007. The effect of development stage on chemical composition of alfalfa leaf and steam. Biotechnology in husbandry. 23 (5-6). Acces : 9/1/2011 Mannetje, L dan R.M. Jones. 2000. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara. PT. Balai Pustaka, Bogor. Matensson, A.M and H.D. Ljunggren. 1984. Nitrogen Fixation in an establishing Alfalfa (M.sativa L) ley in Sweden, Estimated by three different methods. Applied and Environmental Microbiology. American Society for Microbiology . Vol 48(4). P 702 – 707. http://ukpmc.ac.uk/articles/PMC241598. acces : 23/10/2010. Mullen, B.F., H.m.Shelton, W.W. Stur and F.Gabunada. 1996. Psyllid Resistance in the Leucaena Genus. Leucnet News. No.3.The University of Queensland. Australia. Oppert, B. K. Hartzer dan C.M.Smith. 2000. Digestive Proteinases of alfalfa weevil, Hypera potica, (Gyllenhal) (Coleoptera : Curculionidae). Transaction of The Kansas Academy of Science. 103 (3-4). Pp. 99 – 110. Access: 4/2/2011. Radovic, J. D. Sokovic, and J. Markovic. 2009. Alfalfa Most Important perennial forage legume in Animal Husbandry. Biotechnology in Animal Husbandry. Belgrade- zemun. 25 (5-6) 465 -475. Acces : 9/1/2010 Raybun, E. B. 1993. Plant Growth and Development as the Basis of Forage Management. West Virginia University Extension Service, West Virginia. Rao, N.S.S. 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Cetakan pertama. UI Press, Jakarta. (Diterjemahkan oleh: H. Susilo) Smith, D.H, K.G. Beck, F.B Pears and W.M. Brown. 2006. Alfalfa: Production and Management. No. 703. Colorado State University Cooperative Extension, Colorado. Sell, D. K,. E.J. Armbrust, and G.S. Whitt. 1978. Genetic differences between eastern and western populations of the alfalfa weevil. The journal of heredity. 69: 37 – 50. http://jhered.oxfordjournals.org. acces : 4/02/2011. Schellhorn NA, Andow DA.1999. Mortality of Cocinellid (Coleoptera: Coccinellidae) larvae and pupae when prey become Scarce. Environ Entomol 28 (6): 1092-1100 Smith JG. 1976. Influence of crop background on aphids and other phytophagous insects in Brussels sprouts. Ann. Appl Biol 83: 19-22. Stoyenoff JL. 2001. Plant wahing as a pest management technique for control of aphids (Hmoptera: Aphididae). J Econ Entomol 94(6): 1492-1499. Steinbeck, J. 2007. Alfalfa from Wikipedia. The Free Encyclopedia. California. (http://en.wikipedia.org/wiki/alfalfa) Acces date: Januari 2011 Wiyono, S. 2007. Perubahan iklim dan ledakan hama dan penyakit tanaman. Makalah seminar sehari tentang keanekaragaman Hayati di tengah perubahan iklim. KEHATI. Jakarta. 9 hal.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 163

Notulensi Diskusi Seminar Delih (HPT UNPAD) : - Metode, ada tanaman lain? - Hama primer? - Hama di Indonesia dibandingkan dengan daerah asal Alfalfa? Jawab : Arif (East West Seed Indonesia) : - Bisa digunakan untuk ternak lain? - Suhu? Jawab : - Ada tanaman lain pakan ternak dari jenis rumput-rumputan, nutrisi pada alfalfa lebih disukai hama ini (rumput legume : komposisi pakan = 70% : 30%). - Dibuat minuman klorofil - Hypera pastica, pada daerah-daerah penelitian ditemukan hama yang sama Umi (Proteksi Tanaman Pangan Jabar) : - Perbedaan perlakuan? - Kenapa memakai insektisida? - Bahaya terhadap produk ternak, misalnya susu? Jawab : - Merupakan penelitian pendahuluan - Ada jenis alfalfa yang tumbuh di daerah tropis. Jenis tanaman tanah kering. Tanya : - Kelebihan tanaman? - Bibit mudah didapatkan? - Manfaat lain bagi manusia? - Perlu legin? Jawab : Dikembangkan pestisida organic untuk alfalfa, agar residu tidak terlalu berbahaya. Yeyen (SITH ITB) : Inti permasalahan? Jawab : - Produksi benih masih sulit, impor dari Taiwan dan Australia, dikembangkan dengan kultur jaringan. - Perlu pengolahan tanah lebih intensif. - Dibuat salad, jus dan minuman. Minuman klorofil, teh alfalfa, toge alfalfa. - Tidak diberi legin, tapi ada bintil akar (lahan ex. Legin) Karena penelitian pendahuluan, inti dari penelitian pengaruh tingkat serangan hama terhadap produktifitas alfalfa pada pemotongan pertama. Akan ada penelitian lebih lanjut.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 164

OPH-14 Flora Rawa Sebagai Pengendali Hama dan Penyakit Tanaman Syaiful Asikin1 1Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa Jl.Kebun Karet Loktabat Utara, Banjarbaru P.O Box 31 Kalimantan Selatan Email : [email protected]

ABSTRAK Untuk mengatasi penggunaan pestisida sintetik yang kurang bijaksana yang berdampak negatif terhadap lingkungan maka pengendalian hama diarahkan kepada penggunaan bahan tumbuhan yang berpotensi sebagai pengendali hama dan penyakit tanaman. Dari beberapa hasil penelitian ditemukan jenis tumbuhan teki atau purun tikus (Eleocharis dulcis) yang dapat digunakan sebagai tanaman perangkap hama penggerek batang padi putih. Ekstrak dari purun tikus dapat digunakan sebagai atraktan hama penggerek batang padi putih. Tanaman mercon, ribu-ribu dan kuli buah jeruk dapat digunakan sebagai zat penolak bagi hama penggerek batang dan walang sangit. Sedangkan tanaman yang berpotensi sebagai insektisida nabati seperti cambai karauk (Piper sarmentosum), pegagan (Centella asiatica), Putat (Barringtonia spicata), Jingah (Glutha rengas), Simpur (Dillenia suffruticosa), Kalampan (Cerbera manghas), Lukut (Patycerium bifurcatum), Kapayang (Pangium edule), Kalalayu (Eriogiosum rubiginosum), Lua (Ficus glomerata), Galam (Melaleuca leucandra), rumput minjangan (Chromolaema odorata), Sarigading (Nyctanthes arbor-tritis), Bakung rawa (Crynum asiaticum), Lua (Ficus glomerata), Kumandrah (Croton tiglium), dan lain-lain. Sedangkan Tanaman yang berpotensi sebagai bahan nabati fungisida seperti gulinggang (Cassia sp), Sirih, Jambu biji, dan Lengkuas. Kata kunci: Flora rawa, Pengendali hama penyakit, ramah lingkungan.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 165

PENDAHULUAN Di lahan rawa pasang surut dan rawa lebak cukup banyak ditemukan berbagai jenis flora dari jenis rumput-rumputan, semak dan pohon terdiri dari golongan berdaun lebar, teki dan rerumputan. Kesemua jenis flora tersebut ada yang berfungi sebagai tanaman perangkap, habitat serangga musuh alami, bahan atraktan, bahan penolak, bahan pupuk, petisida, bahan industri, dan bahan kosmetik (Asikin, 2002). Akhir-akhir ini banyak dilakukan ekspolorasi terhadap bahan tanaman yang mengandung bahan bioaktif dan bermanfaat sebagai pengendali hama yang ramah lingkungan, seperti penggunaan tanaman perangkap dan pestisida/insektisida nabati. Cara terbaik untuk mengatasi atau mengurangi dampak bahaya penggunaan insektisida organik sintetik terhadap manusia maupun lingkungan perlu dicari alternatif pengendalian dengan menggunakan bahan alam yang bersifat racun bagi hama tanaman atau yang disebut dengan insektisida nabati. Usaha penggunaan bahan nabati dapat dimulai dengan bahan-bahan tumbuhan yang telah diketahui/dikenal baik, misalnya bahan ramuan obat tradisional atau jamu, bahan- bahan berkemampuan tertentu misalnya mengandung rasa gatal, pahit, langu, tidak disenangi hama/serangga serta bahan-bahan tumbuhan yang memang jelas memiliki kemampuan racun seperti gadung, biji/daun mimba. Pengendalian dengan menggunaan bahan-bahan botani seperti tersebut di atas tidak akan menimbulkan dampak yang merugikan seperti terjadinya pencemaran lingkungan dan sebagainya, karena pada umumnya bahan nabati tersebut cepat terurai menjadi bahan yang tidak berbahaya. Berdasarkan konsep PHT pengguaan pestisida merupakan alternatif terakhir apabila komponen pengendali lainnya tidak mampu lagi menekan hama tersebut. Untuk mengatasi atau mengurangi penggunaan pestisida tersebut perlu dicari alternatif lain yaitu pemanfaatan produk alami sebagai pengendali hama dan penyakit yang mudah, murah serta ramah lingkungan. Makalah ini bertujuan untuk menginformasikan manfaat flora rawa sebagai pengendali hama dan penyakit ramah lingkungan.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 166

FLORA RAWA Menurut Budiman dkk. (1988), bahwa di lahan pasang surut Kalimantan Selatan dan Tengah ditemukan beberapa jenis gulma yang teridentifikasi yaitu terdiri dari 181 genera dalam 51 famili, golongan berdaun lebar 110 spesies, rumput 40 spesies dan teki 31 spesies. Vegetasi gulma yang tumbuh dominan adalah rumput purun tikus (Eleocharis dulcis), rumput bulu babi (Eleocharis retroflata), kelakai (Stenochiaena palutris), perupuk (Phragmites karka), rumput bundung (Scirpus grosus), rumput purun kudung (Lepironea articulata), banta (Leersia hexandra) dan kumpai bura-bura (Panicum refens). Menurut hasil penelitian terhadap preferensi peletakan telur penggerek batang padi dijumpai 5 jenis tumbuhan/gulma yang disenangi oleh penggrek dalam meletakkan telurnya yaitu rumput purun tikus (Eleocharis dulcis), kelakai (Stenochiaena palutris), perupuk (Phragmites karka), rumput bundung (Scirpus grosus), rumput purun kudung (Lepironea articulata) selain gulma-gulma tersebut kumpai bura-bura (Panicun repens) juga merupakan rumputan tempat persinggahan bagi imago setelah meletakkan telurnya pada gulma-gulma tersebut Nazemi dkk. (1997) melaporkan bahwa di lahan rawa lebak telah teridentifikasi sebanyak 17 jenis flora/gulma golongan berdaun lebar, 5 jenis golongan rumput dan 1 jenis golongan teki. Spesies gulma yang tumbuh di sekitar lingkungan lahan budidaya seperti kaiapu, eceng gondok, rumput babulu, dan kangkung air dipelihara petani, dan akan dimanfaatkan untuk musim tanam padi rintak. Sedangkan dominasi pertumbuhan gulma selain itu, ditebas dan dibersihkan dengan cara dikait, dan diletakkan di galangan/pematang.

KOLEKSI BAHAN PESTISIDA NABATI Takahashi (1981), menjelaskan bahwa pada dasarnya bahan alami yang mengandung senyawa bioaktif dapat digolongkan menjadi : a. Bahan alami dengan kandungan senyawa antifitopotogenik (antibiotika pertanian). b. Bahan alami dengan kandungan senyawa bersifat fitotoksik atau mengatur tumbuh tanaman (fitotoksin, hormom tanaman dan sebangsanya).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 167

c. Bahan alami dengan kandungan senyawa bersifat aktif terhadap serangga (hormon serangga, feromon, antifidan, repelen, atraktan dan insektisidal). Asikin dan Thamrin (2010) melaporkan bahwa hasil koleksi flora rawa tersebut sebanyak 220 jenis terdiri dari golongan rumputan, semak dan pohon-pohonan. Nama-nama tumbuhan yang telah dikoleksi tersebut umumnya masih menggunakan bahasa daerah, sebagian belum diketahui bahasa umumnya (Bahasa Indonesia), sehingga masih menggunakan Bahasa Daerah Banjar. Tumbuhan yang dikoleksi pada umumnya berkhasiat sebagai obat, namun ada juga yang dapat meracun terutama pada kulit dan sebagian lagi mempunyai bau yang menyengat. Dari hasil eksplorasi tersebut ditemukan beberapa jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai bahan pestisida nabati (Tabel 1 ).

Tabel 1. Jenis flora rawa yang berpotensi sebagai bahan pestisida di Kalimantan Selatan dan Tengah pada Tahun (2002-2010). Jenis Flora Rawa Nama Ilmiah Nama Daerah Bag.Tanaman Ket/Kegunaan Pangium edule Kapayang Kulit Batang, daun, buah Insektisida Cassia sp Gulinggang Daun Insektisida/Fungisida Canavalis sp Kac.parang Biji Insektisida Centella asiatica Jalukap Daun Insektisida Lasia spinosa Gagali Daun Insektisida Piper sarmentosum Cambai karuk Daun Insektisida Erythrina subumbrans Dadap Daun Insektisida Leea indica Mamali habang Daun Insektisida Urtika dioica Jalatang tulang Daun Insektisida Hedychium sp Suli tulang Daun Insektisida Barringtonia spicata Putat Daun Insektisida Glutha rengas Jingah Daun Insektisida Dillenia suffruticosa Simpur Daun Insektisida Patah kajang Daun Insektisida Justicia gendarussa Kakambat Daun Insektisida Tanaman mercon Daun Insektisida Maleleoca cajuputi Galam Daun Insektisida Patycerium bifurcatum Lukut Daun Insektisida Ficus glomerata Lua Daun Insektisida Croton tiglium Kumandrah Daun Insektisida Amorphophallus Maya Daun,Umbi Insektisida campanulatus Annona muricata Sersak Daun Insektisida Nyctanthes abortritis Sarigading Daun Insektisida Melastoma affine Karamunting Daun Insektisida Eleocharis dulcis Purun tikus - Tan.perangkap Phragmites karka Prupuk - Tan.perangkap

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 168

Scirpus grosus Bundung - Tan.perangkap Leperonea articulata Purun kudung - Tan.perangkap Stenochlaena palutris Kalakai - Tan.perangkap Psidium guajava Jambu biji Daun Fungisida Alpinia galangal Lengkuas Daun,umbi Fungisida Cerbera odollam Kalampan Daun,buah Insektisida Kalabuau Daun Insektisida Diocorea composite Gadung Umbi Insektisida Derris eliptica Tuba Daun,akar Insektisida Vitex trifolia Langgundi Daun Insektisida Phitecellobium lobatum Jengkol Daun Insektisida Spondias pinnata Kedondong Daun Insektisida Peronema canescen Sungkai Daun Insektisida Morinda citrifolia Mengkudu Daun Insektisida Stenochiaena palutris Kalakai - Tan.perangkap Datura fastuosa L. Kacubung Daun Insektisida Raja bangun Daun Insektisida Pisang bangkui Daun Insektisida Mantawingan Daun Insektisida Miratan Daun Insektisida Kanidai Daun Insektisida Panahan banyu Daun Insektisida Leea sp Pilancau/Mamali Daun Insektisida Kayu Mandau Daun Insektisida Akar arau Daun Insektisida Kalindayu Daun Insektisida Pidampul Daun Insektisida Racun ayam Daun Insektisida Mantawingan kulit Daun,kulit Insektisida Lycodium flexuosum Ribu-ribu Daun Insektisida Blumea balsamifera Sasambung Daun Insektisida Acorus calamus Dringo Daun Insektisida Orthosiphon stamineus . Kumis kucing Daun Insektisida Uncaria gambir Gambir Getah Insektisida Talang hujan Daun Insektisida Sambung Asam Daun Insektisida Bati-Bati Putih Daun Insektisida Hambat Lalat Daun Insektisida Acanthus ebracteatus Jeruju Daun Insektisida Elephantopus scaber Tapak gajah Daun Insektisida Sawi Laut Daun Insektisida Serunai Daun Insektisida Averrhoa bilimbi L Belimbing tunjuk Daun Insektisida Pedilanthus pringlei Kayu miskin Batang Insektisida Dianella montana bl Usar Daun,akar Insektisida/Rodentisida Chromolaena odorata Rpt.minjangan Daun Insektisida Flacourtia rukam Rukam Daun Insektisida Mangifera caesia Binjai Daun Insektisida Alstonia sp Pulantan Daun Insektisida Crinum asiaticum Bakung Rawa Daun Insektisida

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 169

Sumber :Asikin dan Thamrin (2010)

Jingah (Glutha rengas) Ekstrak Tanaman Jingah (Glutha rengas) termasuk famili Anacardiaceae, yang sering dimanfaatkan kayunya, ini terkenal karena getahnya amat beracun. Bila terkena kulit, getah rengas bisa menyebabkan iritasi berat, bahkan bisa melumpuhkan manusia. Racun dari getah ini juga kerap digunakan untuk berburu binatang. Meski bersifat iritan, getah rengas punya khasiat untuk membasmi jamur. Beberapa penelitian menyebutkan rengas mengandung senyawa ursiol, rengol, glutarengol, laccol, dan thitsiol. Sedangkan kayunya punya senyawa golongan steroid, lipid, benzenoid dan flavonaloid. Meskipun keefektifan senyawa kimia nabati jauh dibawah senyawa kimia sintetik, tetapi senyawa tersebut mempunyai kelebihan, yaitu kurang menimbulkan dampak negatif antara lain residu yang terjadi melalui rantai makanan yang membahayakan manusia dan lingkungan (http://www.tempo.co.id/hg/iptek/2007). Menurut Asikin dan Thamrin (2002) bahwa tanaman jingah ini cukup efektif dalam mengendalikan hama penggerek batang padi yaitu mencapai 75%. Pegagan (Centela asiatica [L.] Urban) Pegagan dapat diperbanyak dengan pemisahan stolon dan biji. Menurut Asikin dan Thamrin (2005), tanaman ini cukup efektif untuk mengendalikan ulat jengkal dan ulat grayak. Herba rasanya manis, sifatnya sejuk, berkhasiat tonik, antiinfeksi, antitoksik, antirematik, penghenti pendarahan (hemostatis), peluruh kencing (diuerik ringan), pembersih darah, memperbanyak pengeluaran empedu, pereda demam (antipiretik), penenang (sedatif), mempercepat penyembuhan luka, dan melebarkan pembuluh darah tepi (vasodilator perifer). Khasiat sedatif terjadi melalui mekanisme kolinergik di susunan syaraf pusat. Pegagan mengandung asiaticoside, thankuniside, isothankuniside, madecassoside, brahmoisde, brahminoside, brahmic acid, madasitic acid, hydrocotyline, mesoinositol, centellose, caretenoids, garam mineral (seperi garam kalium, natrium, magnesium, kalsium, besi) zat pahit vellarine dan zat samak. Diduga senyawa glikosida

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 170 triterpenoida yang disebut asiaticoside berperan dalam berbagai aktivitas penyembuhan penyakit. Asiaticoside berperan dan senyawaan sejenis juga berkhasiat anti lepra (kusta). Secara umum, pegagan berkasiat sebagai hepatoprotektor yaitu melindungi sel hati dari berbagai kerusakan akibat racun dan zat berbahaya (http://drliza.wordpress.com). Ekstrak dari tanaman ini dapat digunakan sebagai bahan nabati untuk mengendalikan ulat grayak dan ulat plutella. Jengkol (Phitecellobium lobatum) Menurut Asikin dan Thamrin (2005), tanaman jengkol selain efektif untuk ulat grayak juga efektif untuk mengendalikan ulat kubis atau ulat tritip. Menurut Setianingsih (1994), jengkol mengandung alkaloid, minyak atsiri, steroid, glikosida, tanin dan saponin. Daun jengkol mengandung saponin, flavonoida dan tanin (htt://waristek.ristek.go.id). Smith (1989) dalam Nursal (2003), melaporkan bahwa alkaloid, terpenoid dan flavonoid merupakan senyawa pertahanan tumbuhan yang dapat bersifat menghambat makan serangga dan juga bersifat toksik. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Nunik dkk. (2001), melaporkan bahwa buah lerak yang mengandung golongan senyawa saponin, daun kecubung yang mengandung alkaloid dan antrakoinon serta daun orang-aring yang mengandung minyak atsiri, tanin dan steroid terbukti berkhasiat sebagai insektisida. Hal ini mengindikasikan bahwa tanin, saponin dan flavonoid mempunyai daya toksik terhadap hama. Zat toksik tanin, saponin dan flavonoid yang terdapat pada daun jengkol inilah yang menyebabkan ulat grayak mati. Daun jengkol diduga lebih banyak mengandung tanin hal ni nampak pada saat pembuatan larutan pasta, dimana larutan pasta tidak adanya busa yang terbentuk, sedangkan zat aktif saponin mempunyai kemampuan membentuk busa (Widodo, 2005). Ekstrak tanaman ini dapat digunakan sebagai bahan insektisida nabati untuk pengendalian ulat jengkal dan plutella. Rumput minjangan (Chromolaena odorata) Tanaman ini ditemukan tumbuh pada lahan kering, tadah hujan, lahan rawa (pasang surut dan lebak) dan ditemukan juga pada wilayah pesisir. Tumbuhan ini dapat digunakan sebagai obat luka tanpa menimbulkan bengkak, tumbuhan ini berfungsi juga sebagai bahan insektisida nabati untuk mengendalikan beberapa jenis hama sayuran. Biller dkk. (1994),

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 171 melaporkan tumbuhan rumput minjangan juga dapat digunakan sebagai pakan ternak, namun harus melalui proses pengolahan seperti pengeringan dan penumbukan. Rumput minjangan mengandung Pas (Pryrrolizidine Alkaloids) sebagai racun, dan kandungan ini menyebabkan tanaman ini berbau menusuk, rasa pahit, sehingga bersifat repellent dan juga mengandung allelopati. Rumput minjangan ini cukup efektif dalam mengendalikan hama perusak tanaman sepeti ulat grayak, ulat jengkal, ulat tritip dan ulat buah selain itu tanaman ini juga berpotensi sebagai pupuk daun cair (Asikin & Thamrin 2005). Cambai karuk (Piper sarmentosum Roxb.Ex Hunter) Tumbuhan tersebut dapat digunakan sebagai pengobatan tradisional sebagai obat dan berkhasiat untuk penyakit maag dan ginjal. Tumbuhan cambai karuk (Piper sarmentosum Roxb.Ex Hunter) mengandung saponin, polifenol, fvanoid dan minyak atsiri (Permadi 2005). Menurut Pittaya (2006), tumbuhan cambai karuk juga mengandung berbagai kandungan senyawa seperti pyrrolidinel amide, betasitosterol, methylenedioxybencena, guineensine, alkene, sarmintine, pellitorine, sarmentosine dan polifenol. Cambai karuk ini cukup efektif dapam mengendalikan ulat kubis, ulat jengkal, ulat grayak dan ulat buah. Menurut Campbell (1933) dan Burkill (1935) dalam Nunik dkk. (1997) jenis tumbuhan yang telah diketahui berfungsi sebagai bahan obat, insektisidal dan repelen atau attraktan mengandung senyawa bioaktif seperti alkaloid, terpenoid, steroid, asetogenin, fenil propan, dan tanin. Kapayang (Pangium edule) Tanaman ini merupakan pohon yang tingginya sampai 40 m dan berdiameter batangnya 2,5 m. Tanaman Kapayang mengandung asam sianida dalam jumlah besar, obat anti septik, pemusnah hama dan pencegah parasit yang manjur. Kulit kayu pohon ini yang diremas-remas dan ditaburkan diperaian akan mematikan ikan atau sejenis tuba ikan. Daunnya dapat mematikan ulat dan organisme hewani lainnya. Menurut Rumphius (1992) dalam Wardhana (1997) bahwa seluruh bagian pohon kapayang mengandung asam sianida yang sangat beracun dan dapat digunakan sebagai bahan pencegah busuk dan senyawa

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 172 pembunuh serangga. Adapun sifat astiri dari racunnya memiliki keuntungan apabila digunakan tidak ada bau atau rasa apapun yang tertinggal pada tanaman yang diperlakukan. Diduga pestisida nabati tersebut bersifat racun perut, karena pada hari pertama terjadi kontak belum memperlihatkan gejala keracunan, tetapi setelah larva-larva tersebut makan baru terjadi gejala keracunan. Kapayang (Pangium edule), mempunyai daya racun tertinggi berkisar 70-85%. Menurut Asikin (2005), bahwa tumbuhan kapayang tersebut berpotensi sebagai insektisida nabati dalam mengendalikan hama penggerek batang padi, wereng coklat, ulat kubis, ulat jengkal, ulat grayak dan ulat buah (Tabel 2).

Tabel 2. Potensi kapayang (Pangium edule) sebagai pestisida nabati Bahan tumbuhan Persentase Kematian (%) PB UK UJ UG UB Daun Kapayang 75 75 60 80 60 Kulit Batang Kapayang 80 85 70 80 75 Kulit Buah Kapayang 75 70 65 - 70 Biji Kapayang 75 75 70 - 70 Daging Buah Kapayang 70 70 65 - - Keterangan : PB : Penggerek batang, UK : Ulat kubis; UJ : Ulat jengkal UG : Ulat grayak; UB : Ulat buah Sumber: Asikin (2005)

Hasil penelitian di lapangan pada tahun 2005/2006 menunjukkan bahwa tanaman bayam dan sawi yang dikendalikan dengan menggunakan eksrak cair dari bahan kapayang (Pangium edule), tingkat serangan hama perusak daun dapat ditekan. Dimana tanaman bayam yang dikendalikan intensitas kerusakan hanya berkisar 10-15%, begitu pula dengan tanaman sawi yaitu intensitas serangan berkisar antara 10-15,5%. Adapun jenis hama yang dominan menyerang tanaman bayang dan sawi adalah belalang, ulat jengkal, Plutella sp, ulat grayak (Asikin, 2006) (Tabel 3). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian di laboratorium dimana tumbuhan kapayang berpotensi dalam meracuni atau mematikan ulat grayak, ulat jengkal, ulat kubis dan ulat buah (Asikin, 2005).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 173

Tabel 3. Pengaruh penggunahan bahan tumbuhan kapayang terhadap hama tanaman Bayam dan sawi pada MT.2005/2006. Perlakuan Persentase kerusakan daun (%) Tanaman Bayam Tanaman sawi Daun kapayang 12,5-15 10-15,5 Kulit batang kapayang 10-15 10-15 Kontrol I 25-80 30-85 Kontrol II (deltametrin) 10-15 10-15 Sumber :Asikin (2006)

Bakung (Crinum asiaticum L) Tanaman ini telah lama digunakan sebagai bahan obat tradisional depresan sistem syarat pusat. Tanaman ini dapat digunakan sebagai pengganti pestisida yang berfungsi sebagai bakterisida, dan virisida. Senyawa dari tanaman ini mengandung alkaloid yang terdiri dari likorin, hemantimin, krinin dan krianamin. Tanaman cukup beracun terhadap ulat jengkal dan ulat grayak (Asikin, 2007). Tanaman Sirih, Jambu biji dan Lengkuas Ketiga jenis bahan tumbuhan tersebut berpotensi sebagai alternatif pengendalian penyakit blas yang ramah lingkungan. Karena usaha pengendalian dengan menggunakan bahan-bahan nabati sebagai sumber senyawa bioaktif seperti ini tidak akan menimbulkan dampak yang merugikan seperti terjadinya pencemaran lingkungan dan sebagainya, karena pada umumnya bahan nabati tersebut bersifat mudah terurai atau terdegradasi di alam sehingga diharapkan tidak persisten di alam ataupun pada bahan makanan, serta tidak mencemari lingkungan. Dengan demikian ketiga jenis bahan tumbuhan tersebut berprospek untuk dikembangankan menjadi bahan fungisida nabati dan sebagai alternatif pengendali penyakit blas yang ramah lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi ekstrak daun sirih dan rimpang lengkuas sebanyak tiga kali mampu menekan intensitas penyakit blas leher dari 35,2% menjadi 19,2%. Sementara itu, aplikasi ekstrak daun jambu biji dan daun lada pada kondisi lapangan kurang efektif. Hasil penekanan intensitas penyakit blas leher dengan ekstrak daun sirih dan rimpang lengkuas tersebut masih kurang memuaskan. Hal ini disebabkan

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 174 karena pada saat melakukan aplikasi ekstrak tersebut pada penelitian tersebut sering turun hujan, sehingga bahan banyak yang tercuci. Untuk meningkatkan keefektivannya perlu ditambah frekuensi aplikasinya atau diberi tambahan zat perekat maupun zat perata. Dengan demikian bahan ekstrak dapat berada lebih lama untuk melindungi tanaman dari serangan patogen (Prayudi dkk., 2002). Menurut Mukhlisah, (2001) dalam Prayudi dkk. (2002), melaporkan bahwa ekstrak daun sirih mengandung senyawa minyak atsiri, hidroksivacikol, kavikol, kavibetol, allypirokatekol, karvakrol, eugenol, eugenol metil ether, p-cymene, cineole, carryophillene, cadinene, estregol, terpene, sesquiterpene, fenil propane, tannin, diastase, gula dan pati. Sementara itu rimpang lengkuas mengandung minyak atsiri, sesquiterpene, camphor, galangol, cadinene, dan hydrate hexahydrocadelene. Diantara senyawa-senyawa tersebut baik secara individual maupun kerjasama yang sinergis mampu menekan perkembangan patogen blas.

Gulinggang (Casia sp) Pada umumnya pengendalian hama maupun penyakit tanaman selalu bertumpu pada bahan pestisida sintetik. Adapun penggunaan pestisida (insektisida, fungisida) yang terus- menerus akan menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Untuk mengatasi hal tersebut perlu dicari alternatif penggendalian yang ramah lingkungan yaitu dengan memanfaatkan bahan tumbuhan yang berpotensi sebagai pestisida atau yang disebut dengan pestisida nabati. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi daun gulinggang mampu menekan intensitas penyakit busuk buah lombok (antraknose) (Gambar 1).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 175

Keusakan Buah Lombok oleh Antraknose

100 K e 80 r

( u 60 Cassia % s Fungisida ) a 40 Kontrol k a 20 n 0 2001/02 2002/03 2003/04

Gambar 1. Efikasi ekstrak Flora rawa Cassia sp terhadap penyakit Antraknose Sumber : Asikin (2004)

Dari hasil penelitian tersebut di atas menunjukan bahwa ekstrak dari tumbuhan liar/gulma gulinggang dapat digunakan sebagai bahan fungisida nabati yang cukup aman bagi lingkungan. Karena fungisida nabati adalah berasal dari bahan tumbuhan yang diekstraksi kemudian diproses menjadi konsentrat tanpa mengubah struktur kimianya. Pestisida (fungisida) ini mudah terurai atau terdegradari sehingga tidak persisten di alam ataupun pada bahan makanan (Nunik dkk., 1997; Tahakashi, 1981).

FLORA RAWA SEBAGAI TANAMAN PERANGKAP

Hasil penelitian sejak tahun 1995 - 2008, diketahui bahwa tumbuhan purun tikus sangat disenangi oleh hama penggerek batang padi putih sebagai tempat meletakkan telurnya. Jumlah telur yang diletakkannya > 6000 kelompok telur setiap hektarnya, lebih banyak daripada jumlah telur yang diletakkan pada gulma lainnya pada padi (Gambar 2).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 176

Kelompok Telur Peng.Batang

8000 7000 6000 5000 2005 Kel.Telur 4000 2006 3000 2007 2000 2008 1000 2009 0 E.dulcis P.karka S.grossus Padi Jenis Tumbuhan Liar

Gambar 2. Kelompok Telur Peng Batang Padi pada Beberapa Tumbuhan liar dan padi di Lahan Pasang Surut. Sumber : Asikin dan Thamrin (2009)

Jumlah kelompok telur yang diletakkan pada purun tikus lebih banyak daripada tumbuhan lainnya, hal ini disebabkan tumbuhan lainnya mempunyai batang yang lebih keras, selain itu bagian permukaan batang purun tikus lebih licin sehingga memudahkan bagi penggerek batang untuk meletakkan telurnya. Menurut Asikin dan Thamrin, (2001) bahwa penggerek batang padi putih lebih tertarik meletakkan telurnya pada purun tikus dibandingkan dengan padi yang permukaan daunnya kasar.

FLORA RAWA SEBAGAI BAHAN ATTRAKTAN Ada lima jenis rumputan yang disenangi oleh penggerek batang padi putih meletakkan telurnya yaitu rumput purun tikus (Eleocharis dulcis), kelakai (Stenochlaena palutris), perupuk (Phragmites karka), rumput bundung (Scirpus grosus), rumput purun kudung (Lepironea articulata). Tetapi dari kelima jenis rumputan tersebut yang paling disenangi dan paling banyak ditemukan kelompok telurnya hanya pada E. dulcis. (Gambar 4). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak purun tikus (Eleocharis dulcis), dan kemudian diikuti prupuk (Phragmites karka) mempunyai potensi sebagai attraktan bagi penggerek batang padi putih.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 177

Pengaruh Ekstrak Tum.Rawa Terhadap Peng.Batang

60 50 40 30

20 JJlh.Kel.Telur 10 0 E.dulcis S.grosus L.articulata S.palutris P.karka Kontrol Jenis Ekstrak

Gambar 4. Jumlah Kelompok Telur Penggerek Batang yang Terperangka Inlitra Banjarbaru MT.2001. Sumber : Asikin dkk. (2002).

FLORA RAWA SEBAGAI BAHAN PENOLAK Menurut Asikin (2005), melaporkan bahwa kebiasaan petani dalam mengendalian hama tanaman padi pada fase generatif salah satunya adalah menggunakan tumbuhan liar jenis ribu-ribu, terutama untuk mengendalikan hama penggerek batang dan walang sangit. Adapun aplikasinya yaitu dengan cara adalah dengan menaburkan daun ribu-ribu tersebut pada lahan pertanaman padi yang masih ada airnya. Dengan perlakuan tersebut serangan penggerek batang (beluk) dan walang sangit dapat dihindari. Terhindarnya serangan penggerek batang dan walang sangit tersebut karena pengaruh daun dari tumbuhan ribu-ribu tersebut setelah terendam air dan membusuk mengeluarkan bau yang ditimbulkannya. Diduga akibat dari bau tersebut dapat mengusir atau mempengaruhi kunjungan hama penggerek batang dan walang sangit pertanaman padi tersebut. Pengguaan kulit buah jeruk bali (Citrus maxima) ini dilakukan petani pada fase generatif atau bunting, untuk mencegah serangan hama penggerek batang, atau walang sangit. Adapun cara aplikasinya dengan menaburkan ke lahan yang masih berair, setelah 2- 3 hari kulit buah jeruk tersebut menbusuk dan mengeluarkan bau yang fungsinya untuk mengusir dari serangan hama tanaman padi tersebut (Asikin, 2005). Menurut Sanjaya (1970), mengemukkan banyak diantara jenis-jenis serangga tertarik atau menolak oleh bau-bauan dipancarkan oleh bagian tanaman yaitu bunga ataupun buah atau benda lainnya. Zat yang berbau tersebut pada hakekatnya adalah senyawa kimia yang mudah menguap seperti pada pengasapan bahan mercon tersebut.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 178

KESIMPULAN 1. Telah didapatkan kurang lebih 70 jenis bahan flora wara yang berpotensi sebagai insektisida nabati dan 4 jenis flora rawa yang berpotensi sebagai bahan fungisida nabati. 2. Didapatkan 5 jenis flora rawa yang dapat digunakan sebagai tanaman perangkap hama penggerek batang padi, tetapi dari kelima jenis tumbuhan tersebut tumbuhan liar purun tikus (Eleocharis dulcis) yang sangat tertarik dan disenangi oleh penggerek batang padi untuk meletakkan telurnya. 3. Tumbuhan liar rawa purun tikus juga tempat/habitat bagi beberapa jenis musuh alami padi di lahan rawa. Selain itu pula purun tikus dapat digunakan sebagai bahan attraktan penggerek batang padi. 4. Didapatkan pula jenis tumbuhan liar rawa yang berpotensi sebagai zat penolak hama.

DAFTAR PUSTAKA Asikin, S. 2001. Observasi Tanaman Perangkap Penggerek Batang Padi di Lahan Rawa Pasang Surut. Laporan Hasil Penelitian Balittra. Banjarbaru. Asikin, S. 2002. Keadaan Flora di Lahan Rawa. Laporan Hasil Penelitian Balittra. Banjarbaru. Asikin, S. dan M.Thamrin. 2002. Attraktan Nabati Terhadap Peletakkan Telur Penggerek Batang. Laporan Hasil Penelitian Balittra Banjarbaru. Asikin, S. dan M.Thamrin. 2002. Bahan Tumbuhan Sebagai Pengendali Hama Ramah Lingkungan. Disampaikan pada Seminar Nasional Lahan Kering dan Lahan Rawa 18-19 Desember 2002. BPTP Kalimantan Selatan dan Balittra. Banjarbaru. Asikin, S. dan M. Thamrin. 2003. Efikasi Flora Rawa Sebagai Insektisida Nabati. Laporan Hasil Penelitian Balittra. Banjarbaru Asikin, S. 2004. Pemanfaatan Tumbuhan Liar Rawa Sebagai Fungisida Nabati. Laporan Kegiatan Hama Penyakit Balittra. Banjarbaru. Asikin, S. dan M.Thamrin. 2005. Bahan Tumbuhan Rawa Yang Berpotensi Sebagai Insektisida Nabati. Disampaikan pada Seminar Nasional Pestisida Nabati III, 21 Juli 2005. Asikin, S. 2005. Aplikasi Tumbuhan Liar Ribu-Ribu Sebagai Zat Penolak. Laporan Kegiatan Hama dan Penyakit. Balittra. Banjarbaru. Asikin, S. 2005. Penggunaan Tumbuhan Kapayang Terhadap Hama Perusak Daun Sawi dan Bayam. Laporan Hasil Penelitian. Balittra. Banjarbaru. Asikin, S. 2006. Pengendalian Hama Sayuran Sawi dan Bayam. Laporan Kegiatan Hama dan Penyakit. Balittra. Banjarbaru.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 179

Asikin, S. 2007. Koleksi Bahan Tumbuhan Yang Berpotensi Mengandung Bahan Bioaktif Untuk Pengendalian Hama. Laporan Hasil Penelitian Balittra. Banjarbaru. Asikin, S, dan M.Thamrin. 2009. Preferensi Peletakkan Telur Penggerek Batang Padi di Berbagai Gulma di lahan rawa Laporan Hasil Penelitian. Balittra. Banjarbaru. Asikin, S., dan M. Thamrin. 2010. Flora Rawa Sebagai Pengendali Hama dan Penyakit Tanaman. Laporan Hasil Penelitian Balittra. Banjarbaru Burkill, J.H. 1935. A dictionary of economic products of the Malay Peninculla. Government of the Straits Settlement. Milbank. London S.W. 340 hal. Budiman, A., M. Thamrin dan S. Asikin. 1988. Beberapa Jenis Gulma di Lahan Pasang Surut Kalimantan Selatan dan Tengah Dengan Tingkat Kemasaman Tanah Yang Berbeda. Prosiding Konperensi KeIX HIGI. Bogor 22-24 Maret 1988. Biller, A., M. Boppre, L. Witte and T. Hertman. 1994. Pyrrolizidine alkaloids in Chromolaena odorata. Phytochemistry. http//www.ens.cau.au//Chromolaena/o/o mod.html. Diakses 26 Agustus 2005 Campbell, F.L., and W.W. Sullivan. 1933. The relative toxicity of nicotine, methyl anabasine and lupinine for culicine mosquito larvae. J.Con. Entomol. 26 (3) : 910- 918. http://www.tempo.co.id. Getah Anti Jamur di akses tanggal 10 Desember 2008. http://drliza.wordpress.com. Pegagan untuk awet muda di akses tanggal 10 Desember 2008. Nazemi, D.S., S. Saragih dan I. Ar-Riza. 1997. Potensi pemanfaatan rumput air sebagai sumber pupuk hijau di lahan lebak. Laporan Penelitian Balai Tanaman Pangan Lahan Rawa. Banjarbaru. Novizan. 2002. Pestisida Ramah Lingkungan. AgroMedia Pustaka. Jakarta. Nunik St.Aminah, Enny. W. Lestari dan Supraptini. 1997. Penggunaan Ekstrak Buah Pucung Pangium edule Sebagai Penghambat Serangan Lalat pada Ikan Tongkol (Auxis thazard). Prosiding Seminar Nasional Tantangan Entomologi pada Abad XXI. PEI Cabang Bogor. Nursal dan Etti Sartina Siregar. 2005. Kandungan Senyawa Kimia Ekstrak Daun Lengkuas (Lactuca indica L) Toksisitas dan Pengaruh Subletalnya Terhadap Nyamuk Aedes aegypty L. Univ. Sumatera Utara. Medan, htt:// www.kemahasiswan.its.ac.id/, diakses tanggal 5 Maret 2007. Prayudi, B. 1998. Kinerja Kelompok Peneliti Hama Penyakit Balittra. Lokakarya Program dan Hasil Penelitian Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa. 8p. Wardhana, A., Gt. 1997. Penetapan LC 50 Ekstrak Pucuk Daun Kapayang (Pangium edule Rein W.) Terhadap Ulat Pemakan Daun Kubis (Plutella xylostella Linn.) Skripsi. Fak.Pertanian Unlam. Banjarbaru. Widodo, W. 2005. Tanaman Beracun Dalam Jehidupan Ternak. UMM Press, Jakarta Sunjaya, P.I. 1970. Dasar-Dasar Serangga. Bagian Ilmu Hama Tanaman Pertanian. IPB. Bogor. Setianingsih, E. 1994. Petai dan Jengkol. Penebar Swadaya. Jakarta. Takahashi, N. 1981. Application of Biologically Natural Products in Agricultural Fields. Dalam Proc. Of Reg. Seminar on Recnet Trend in Chemistry of Natural Product

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 180

Research, M.Wirahadikusumah and A.S Noer (Eds.). 110-132. Penerbit ITB, Bandung.

Notulensi Diskusi Seminar Delih (HPT UNPAD) : Metode penelitian flora rawa? Jawab : Penelitian 10 tahun, dilakukan di lapangan dan di laboratorium, baru 3 jenis yang akan didaftarkan, Haki, Kapayang, Kromolena, Galang. Prof. Saartje Rodonuwu (Uus Rat) : Bahan kimia? Spesies yang dapat menyerap logam berat? Jawab : Kapayang (sianida), Galang (pilitrin) bisa buat obat kanker. Wino A. (Agroteknologi UNPAD) : Sosialisasi? Rendemen/dosis? Jawab : - Untuk tanaman perangkap, masyarakat petani, sudah mulai melaksanakan. - Pengendalian Mitimna pada padi menggunakan pestisida nabati. 15 liter. 250 gr = 1 liter (kulit batang kapayang). - Sedang diusahakan 3 jenis tanaman rawa, untuk mendapatkan Haki.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 181

OPH-15 Pengendalian Hama Penggerek Batang Padi Ramah Lingkungan Di Lahan Rawa Pasang Surut. Muhammad Thamrin1 1Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa Jl.Kebun Karet Loktabat Utara, Banjarbaru P.O Box 31 Kalimantan Selatan

ABSTRAK Di lahan rawa pasang surut Kalimantan Selatan dan Tengah jenis penggerek batang padi yang sering menyerang dan menimbulkan kerusakan adalah jenis penggerek batang padi putih. Beberapa hasil penelitian diketahui bahwa taktik pengendalian penggerek batang padi yang dilakuan di lahan rawa pasang surut yang cukup efektif adalah seperti cara bercocok tanam padi yang biasa dilakukan oleh petani di lahan pasang surut yang dapat menekan populasi penggerek batang padi,yaitu memotong turiang padi dan membiarkannya sampai membusuk, tanam pindah yang dilakukan beberapa kali, memotong daun pada saat tanaman akan dipindahkan. Cara-cara tersebut dapat menggagalkan penggerek batang yang berdiapause untuk menjadi imago, membunuh larva yang ada di dalam batang dan menggagalkan telur menetas menjadi larva, memanfaatkan tumbuhan liar purun tikus (Eleocharis dulcis) sebagai tanaman perangkap. Tumbuhan liar purun tikus juga bermanfaat sebagai perumahan musuh alami hama padi (parasitoid dan predator), bahan attraktan. Pemanfaatan musuh alami seperti laba-laba dan parasitoid telur berpotensi dalam menekan populasi telur penggerek batang padi yaitu berkisar antara 12,5-60%. Adapun pemanfaatan bahan amileoran (abu sekam/dapur) sebagai sumber sikika (Si) dapat menekan serangan antara 5-14%. Pemanfaatan flora rawa yang berfungsi sebagai insektisida nabati seperti tumbuhan kapayang (Pangium edule), lukut (Patycerium bifurcatum), lua (Ficus glomerata), kalalayu (Erigioseum rubiginosum), galam (Melaleuca leucandra), jingah (Glutha rengas), mamali (Leea sp), maya (Amorphophallus campanulatus) dan rumput minjangan (Chromolaena odorata) dengan daya racun berkisar antara 55-85%, sedangkan tumbuhan liar ribu-ribu (Lycodium flexuosum), kulit buah jeruk (Citrus maxima) dan tumuhan mercon sebagai zat penolak bagi hama padi. Kata kunci : Penggerek batang, pengendalian, rawa pasang surut.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 182

OPH-16 Pengendalian Hama Sayuran Sawi dan Parea di Lahan Rawa Pasang Surut Muhammad Thamrin1 1Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa Jl.Kebun Karet Loktabat Utara, Banjarbaru P.O Box 31 Kalimantan Selatan Email: [email protected]

ABSTRAK Diantara jenis sayuran yang banyak diusahakan di lahan rawa pasang surut Kalimantan Selatan dan Tengah adalah sawi dan pare. Usahatani ini sudah berlangsung sejak lama, namun dalam perjalanannya banyak mengelami hambatan terutama pada saat produksinya ditingkatkan untuk memenuhi permintaan pasar. Maka perluasan areal tanam dilakukan dengan waktu tanam yang tidak disela dari musim ke musim, selain itu penggunaan pupuk anorganik yang lebih intensif, mengakibatkan munculnya hama serangga dengan populasi tinggi yang diikuti oleh penggunaan insektisida sintetik dalam frekuensi tinggi pula sehingga kerusakan tanaman tidak dapat dihindari. Kerusakan tanaman sawi dapat mencapai 95%, sedangkan pare berkisar 80- 100%. Kondisi seperti ini tidak dapat dipulihkan dalam waktu singkat karena memerlukan strategi pengelolaan tanaman yang ramah lingkungan agar dapat kembali kepada agroekosistem awal. Tulisan ini menguraikan tentang beberapa alternatif pengendalian dengan pengaturan waktu tanam dan pemupukan dari bahan abu, memanfaatkan potensi musuh alami (predator), serta cara penggunaan attraktan dari bahan nabati dan insektisida nabati agar frekuensi penggunaan insektisida sintetik dapat dikurangi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (a) kerusakan sawi yang disebabkan ulat plutella tertinggi akan terjadi apabila melakukan tanam pada bulan Agustus sejak minggu pertama sampai ketiga, (b) selain dapat memperbaiki pertumbuhan semaian sawi, penggunaan abu sekam juga dapat mengurangi serangan ulat tanah dan siput, (c) insektisida nabati yang berasal dari kepayang, gelam dan krinyu dapat menekan tingkat kerusakan tanaman sawi yang disebabkan ulat plutella lebih dari 60%, (d) attraktan nabati efektif digunakan untuk memerangkap serangga yang berasal dari ordo lepidoptera, coleoptera dan diptera, penggunaan attraktan ini dapat mengurangi intensitas kerusakan pare yang disebabkan ulat plutella sebesar 60-70%, (e) pada keadaan populasi semut rangrang cukup tinggi, ternyata dapat menekan kerusakan pare yang disebabkan lalat buah antara 50-60%, (f) insektisida nabati yang berasal dari kulit batang kepayang, daun gelam dan sirsak efektif menekan tingkat kerusakan pare yang disebabkan ulat buah antara 45-50%. Kata kunci: Hama sawi, parea, ramah lingkungan dan rawa pasang surut.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 183

PENDAHULUAN Luas lahan rawa yang berpotensi untuk pengembangan pertanian diperkirakan antara 9-10 juta hektar, sedangkan yang dibuka baru sekitar 5 juta hektar dan yang dapat dimanfaatkan baru sekitar 2 juta hektar. Sementara kebanyakan lahan rawa dimanfaatkan untuk budidaya pertanian tanaman pangan (padi) dan secara terbatas untuk tanaman sayuran. Hasil penelitian di lahan rawa pasang surut dan lebak menunjukkan bahwa lahan rawa dapat menghasilkan sayuran dengan produkstivitas cukup tinggi apabila dikelola dengan baik, diantaranya tanaman sawi dan pare dapat menghasilkan masing-masing antara 10-20 dan 17-18 ton/ha (Alihamsyah dkk, 2003; Hilman dkk., 2003). Diantara jenis sayuran yang banyak diusahakan di lahan rawa pasang surut Kalimantan Selatan dan Tengah adalah sawi dan pare. Usaha tani ini sudah berlangsung sejak lama, namun dalam perjalanannya banyak mengelami hambatan terutama pada saat produksinya ditingkatkan untuk memenuhi permintaan pasar. Maka perluasan areal tanam dilakukan dengan waktu tanam yang tidak disela dari musim ke musim, selain itu penggunaan pupuk anorganik yang lebih intensif, mengakibatkan munculnya hama serangga dengan populasi tinggi yang diikuti oleh penggunaan insektisida sintetik dalam frekuensi tinggi pula. Kerusakan sayuran yang disebabkan oleh hama di lahan pasang surut Kalimantan Selatan dan Tengah tergolong tinggi yang mencapai 25%. Pada tahun 2002-2003 di lahan pasang surut Kabupaten Kuala Kapuas (Kalteng) pernah terjadi serangan ulat buah pare (Diaphania indica) yang sangat tinggi dan mengakibatkan kerusakan berkisar antara 80- 100%. Penyebab terjadinya serangan yang tinggi tidak diketahui secara pasti, namun berdasarkan hasil wawancara terhadap beberapa petani diketahui bahwa pada saat itu dilakukan penyemprotan setiap hari dengan menggunakan insektisida sintetik kerena adanya serangan ulat buah yang cukup tinggi, dimana setiap buah pare terdapat sedikitnya satu larva. Akan tetapi setelah dilakukan pemberian insektisida sintetik dengan frekuensi dan dosis yang sangat tinggi, ternyata hasil yang diperoleh adalah sebaliknya yaitu semakin meningkatnya populasi hama tersebut (Thamrin dkk., 2007). Kondisi seperti ini tidak dapat dipulihkan dalam waktu singkat karena memerlukan strategi pengelolaan yang ramah

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 184 lingkungan, antara lain merubah varietas dan pola tanam, melakukan sanitasi, tanam serentak dalam areal luas, kalaupun harus menggunakan insektisida sintetik maka frekuensinya harus dikurangi dan mengkombinasikannya dengan penggunaan insektisida nabati termasuk attraktan. Kerusakan tanaman sawi di lahan pasang surut Kalimantan Selatan dan Tengah pada umumnya disebabkan oleh ulat plutella. Menurut petani, kerusakan sawi yang disebabkan oleh hama tersebut pernah mencapai 95%, tetapi sampai saat ini belum diketahui cara pengendalian yang efektif, karena penggunaan insektisida sintetik belum dapat menurunkan tingkat serangannya. Tulisan ini menguraikan tentang beberapa alternatif pengendalian dengan pengaturan waktu tanam dan pemupukan dari bahan abu, memanfaatkan potensi musuh alami (predator), serta cara penggunaan attraktan dari bahan nabati dan insektisida nabati. Cara-cara pengendalian tersebut dianjurkan agar dapat mengurangi frekuensi penggunaan insektisida sintetik.

PENGENDALIAN DI PERTANAMAN SAWI a. Pengaturan waktu tanam

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap intensitas kerusakan yang disebabkan hama plutella, ulat grayak, dan ulat tanah sangat bervariasi yaitu dari 10% hingga 95%, kerusakan yang tertinggi selalu disebabkan oleh ulat plutella (Thamrin & Asikin, 2006). Tingginya tingkat kerusakan tanaman ini, salah satunya disebabkan waktu tanam yang keliru, padahal serangan hama ini dapat dihindari dengan melakukan pengaturan waktu tanam. Menurut Asikin dan Thamrin (2006), bahwa dengan melakukan waktu tanam pada minggu pertanama bulan Juni sampai minggu pertanama bulan Juli, tanaman sawi akan terhindar dari serangan plutella. Pada bulan Agustus sejak minggu pertanaman sampai minggu ketiga tidak dianjurkan untuk menanam sawi karena melakukan tanam pada saat tersebut akan berakibat kerusakan yang tinggi (Gambar 1). Strategi pengendalian dengan menerapkan waktu tanam harus memperhatikan siklus hidup dari hama yang menyerang, agar tanaman terhindar dari serangan hama dengan

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 185 populasi tinggi. Ulat plutella atau yang dikenal dengan nama Diamond-back moth menyelesaikan siklus hidupnya dari telur sampai dewasa berkisar 2-3 minggu. Telur akan menetas menjadi larva selama 3 hari, sedangkan larva mengelami 4 instar yang berlangsung selama 12 hari. Larva instar I panjangnya 1 mm dan lebar 0,5 mm, berwarna hijau kekuningan selama 4 hari. Instar II panjangnya 2 mm dan lebar 0,5 mm, berwarna hijau kekuningan dan berlangsung 2 hari. Instar III panjangnya 4-6 mm, lebar 0,75 mm, berwarna hijau dan berlangsung 3 hari. Instar IV panjangnya 8-10 mm, lebar 1-1,5 mm, berwarna hijau dan berlangsung 3 hari. Stadium kepompong (pupa) memerlukan waktu antara 6-8 hari selanjutnya menjadi ngengat. Ngengat dapat bertelur sampai 50 butir dalam 24 jam dan dalam setahun dapat menghasilkan 10 generasi. Faktor lainnya yang sangat berpengaruh terhadap perkebangbiakan hama serangga adalah iklim. Menurut Susanti dkk. (2011) bahwa perubahan iklim berdampak terhadap serangan organisme penggangu tanaman. Sebagai contoh yang sering terjadi adalah meningkatnya serangan penyakit kresek dan blas pada musim hujan, sedangkan pada musim kemarau terjadi peningkatan serangan penggerek batang padi dan hama belalang kembara.

100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Jun (ming 1) Jun (ming 3) Jul (ming 1) Jul (ming 3) Agt (ming 1) Agt (ming 3)

Gambar 1. Waktu tanam dan tingkat kerusakan sawi yang disebabkan ulat plutella b. Penggunaan abu Abu sekam atau abu dapur dapat berfungsi sebagai pupuk yang memberikan tambahan unsur hara bagi tanaman. Kedua jenis abu tersebut mengandung bahan silikat

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 186 yang cukup tinggi, kalium dioksida, magnesium oksida, fosfat oksida, sulfat oksida dan karbon (Badan Pengendali Bimas, 1983). Menurut Ritonga (1991), silikat dapat memperbaiki daya tumbuh, meningkatkan ketahanan terhadap serangan hama dan penyakit, memperlancar penyerapan hara dan juga dapat membantu penghematan pemakaian air pada tanaman. Penggunaan bahan amelioran dari abu sekam atau abu dapur diaplikasikan pada saat semai dan tanam. Selain dapat memperbaiki daya tumbuh tanaman, pemberian abu dapur secara khusus dapat mengendalikan hama-hama dalam tanah seperti ulat tanah, dan beberapa jenis siput. Dari hasil penelitian diketahui bahwa semaian yang diberi abu sekam pertumbuhannya lebih baik dan tanaman terhindar dari serangan ulat tanah dan siput. Sedangkan semaian yang tidak diberikan abu sekam sebagian besar terserangan hama yang intensitasnya dapat mencapai 70% (Asikin & Thamrin, 2006).

c. Penggunaan insektisida nabati Pestisida dari bahan nabati sebenarnya bukan hal yang baru tetapi sudah lama digunakan, bahkan sama tuanya dengan pertanian itu sendiri. Sejak pertanian masih dilakukan secara tradisional, petani di seluruh belahan dunia telah terbiasa memakai bahan yang tersedia di alam untuk mengendalikan organisme pengganggu tanaman. Pada tahun 40-an sebagian petani di Indonesia sudah menggunakan bahan nabati sebagai pestisida, diantaranya menggunakan daun sirsak untuk mengendalikan hama belalang dan penggerek batang padi. Sedangkan petani di India, menggunakan biji mimba sebagai insektisida untuk mengendalikan hama serangga. Namun setelah ditemukannya pestisida sintetik pada awal abad ke-20, pestisida dari bahan tumbuhan atau bahan alami lainnya tidak digunakan lagi. Menurut Thamrin dkk. (2007), bahwa sampai saat ini sebagian petani Kalimantan Selatan dan Tengah masih menggunakan bahan tumbuhan sebagai insektisida, diantaranya ada yang menggunakan kulit batang kepayang untuk mengendalikan serangga perusak kayu rumah, dengan cara meracik kulit batangnya sampai kecil kemudian dimasukkan ke dalam lubang-lubang kayu tempat bersarang serangga tersebut, ternyata cara yang demikian

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 187 efektif membunuh larva-larva yang ada di dalam lubang kayu tersebut. Namun kulit batang tumbuhan ini sangat beracun karena dapat mematikan ikan dan biota air lainnya. Selain menggunakan kulit batang kepayang, diantara petani lainnya ada yang menggunakan kulit jengkol, dengan cara meraciknya hingga menjadi kecil, kemudian ditaburkan ke sawah, ternyata dapat mengurangi serangan hama serangga. Hal ini diduga bahwa bau dari kulit jenkol dapat mengecohkan penciuman serangga, karena menurut Sosromarsono (1993), perilaku serangga dalam memilih pakan, memakan, menentukan habitat bagi keturunannya dan lain-lain sangat dipengaruhi oleh sifat kimiawi lingkungannya. Penelitian pengendalian ulat plutella dengan menggunakan ekstrak tumbuhan gelam, krinyu dan kepayang di pertanaman sawi Kabupaten Kapuas (Kalimantan Tengah), ternyata dapat mengurangi tingkat kerusakan tanaman. Pengaruhnya terlihat pada saat tanaman berumur 3 dan 4 minggu, karena kerusakan tanaman pada perlakuan kontrol (tanpa dikendalikan) mencapai 80,0% sedangkan perlakuan yang disemprot dengan ketiga jenis ekstrak tumbuhan tersebut hanya berkisar 10,3-11,8% (Gambar 2), sehingga dengan menggunakan ketiga ekstrak tumbuhan tersebut tingkat kerusakan tanaman sawi dapat ditekan lebih dari 60% (Thamrin, 2009). Ketiga tumbuhan tersebut juga efektif membunuh ulat grayak dengan mortalitas 80-90% (Gambar 3) (Asikin & Thamrin, 2009) dengan demikian apabila terjadi serangan ulat grayak maka ketiga tumbuhan tersebut dapat digunakan untuk mengendalikannya.

80 70 60 50 40 30 20 intensitas intensitas kerusakan (%) 10 0 kepayang gelam krinyu insektisida kontrol Gambar 2. Intensitas kerusakan sawi yang disebabkan oleh ulat plutella pada saat 4 minggu setelah tanam

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 188

100

80

60

40

mortalitas mortalitas larva (%) 20

0 krinyu gelam kepayang insektisida kontrol Gambar 3. Efikasi jenis tumbuhan rawa terhadap ulat grayak

Tumbuhan lainnya yang dapat dibuat sebagai bahan insektisida nabati dan efektif mengendalikan ulat plutella adalah pegagan (Centella asiatica), mengkudu (Morinda citrifolia) dan kacang parang (Canavalia ensiformis). Ketiga tumbuhan tersebut efektif membunuh ulat plutella dengan mortalitas 60-75% (Gambar 4). Tumbuhan ini bersifat racun perut karena pada hari pertama terjadi kontak belum memperlihatkan gejala keracunan, tetapi gejalanya terlihat setelah larva-larva tersebut memakan daun yang telah disemprotkan dengan insektisida nabati dari ketiga tumbuhan tersebut. Hasil penelitian sebelumnya juga dilakukan terhadap ulat plutella pada kubis, ternyata mengkudu dapat membunuh larvanya dengan mortalitas 75% (Thamrin & Asikin, 2009). Sedangkan Gazali (1999) mengemukakan bahwa ekstraks mengkudu, bawang putih, alamanda, kamboja, lada dan gadung dapat membunuh larva plutella dengan mortalitas antara 90-100%.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 189

80

70

60

50

40

30

mortalitas mortalitas larva (%) 20

10

0 mengkudu pegagan kacang parang deltametrin

Gambar 4. Efikasi tumbuhan rawa terhadap ulat plutella

PENGENDALIAN DI PERTANAMAN PARE

Hama serangga buah pare yang sering menyerang dan menimbulkan kerusakan berarti di lahan rawa pasang surut adalah ulat buah, ulat daun dan lalat buah. Pengendalian dengan menggunakan attraktan dari bahan nabati, methyl eugenol, musuh alami (predator) dan insektisida nabati dapat mengurangi tingkat kerusakan. a. Pemanfaatan attraktan nabati Balai Penelitan Pertanian Lahan Rawa telah membuat attraktan dari bahan nabati berentuk cair. Attraktan ini ternyata efektif digunakan untuk menarik serangga yang berasal dari ordo lepidoptera, coleoptera dan diptera. Percoaan ini telah dilakukan di Kebun Percobaan Banjarbaru pada pertanaman sayuran yang diantaranya terdapat tanaman pare. Aplikasinya cukup mudah, yaitu attraktan nabati dioleskan pada kapas kemudian dimasukkan ke dalam botol plastik dan dibiarkan terbuka agar serangga bisa masuk. Botol plastik diletakkan pada tiang setinggi 50-75cm menyebar di pertanaman sebanyak 20-30 buah. Pengendalian dengan cara ini ternyata dapat mengurangi intensitas kerusakan yang disebabkan ulat plutella sebesar 60-70% jika dibandingkan dengan perlakuan kontrol pada

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 190 lahan petani dan tidak berbeda dengan perlakuan yang menggunakan methyl eugenol (Gambar 5) (Asikin & Thamrin, 2006)

90 80 70 60 50 40 30

20 intensitas intensitas kerusakan (%) 10 0 attraktan nabati methyl eugenol insektisida kontrol

Gambar 5. Intensitas kerusakan pare yang disebabkan ulat plutella di Kebun Percobaan Banjarbaru (Kalsel) dan lahan petani.

b. Pemanfaatan predator Semut rangrang (Oecophylla smaragdina F), memiliki sifat morfologik sebagai pemangsa, keberadaan rangrang sebagai pemangsa juga tampak apabila rangrang bertemu dengan ulat pemakan daun atau mangsa lainnya. Untuk meningkatkan populasi semut rangrang di pertanaman dengan cara meletakkan siput yang dikupas kulitnya dan diletakkan pada tongkat setinggi 60-75 cm di sekitar tanaman sebanyak 20-30 buah/ha maka semut rangrang akan berkerumun pada siput tersebut. Setelah populasinya cukup tinggi, segera dipindahkan agar populasi semut rangrang beralih menyerang hama serangga sebagai mangsanya. Pada keadaan populasi semut rangrang cukup tinggi, intensitas kerusakan pare yang disebabkan lalat buah dapat ditekan sampai 50-60% dibandingkan dengan di daerah lain yang tingkat kerusakannya dapat mencapai 85% (Gambar 6). Diduga bahwa semut rangrang memakan telur lalat buah, sehingga sebagian besar telurnya tidak dapat menetas

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 191 menjadi larva (Asikin & Thamrin, 2006). Sedangkan yang terjadi pada tanaman jambu, semut rangrang juga menunjukkan sifat predasi yang nyata karena aktif memakan lalat buah yang keluar untuk berkepompong (Soeprapto, 1999)

90 80 70 60 50 40 30

intensitas intensitas kerusakan (%) 20 10 0 semut rangrang insektisida kontrol

Gambar 6. Intensitas kerusakan pare yang disebabkan lalat buah c. Penggunaan insektisida nabati dan cara membuatnya Insektisida nabati yang berasal dari kepayang, gelam dan lua telah dicobakan di laboratorium terhadap ulat buah pare (Diaphania indica), ternyata efektif membunuh larvanya dengan mortalitas 65-75% (Gambar 7). Selanjutnya penelitian pengendalian dengan menggunakan kepayang sebagai insektisida nabati dilakukan di lapangan (Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah) ternyata dapat mengurangi tingkat kerusakan tanaman sampai 20% (Asikin & Thamrin, 2006) Insektisida nabati dibuat dengan cara ekstraksi yang bahannya dari daun dan kulit batang tumbuhan. Pembuatan insektisida ini dilakukan secara sederhana karena tidak menggunakan pelarut organik seperti etanol, metanol ataupun aseton. Sebagai penggantinya hanyalah mencampurnya dengan sedikit detergen. Berikut ini diuraikan cara membuat insektisida nabati dengan metode ekstraksi dari bahan daun dan kulit batang. Bahan yang berasal dari daun krinyu dan gelam. Bahannya terdiri dari 300 gram daun segar yang ditumbuk hingga halus (bisa menggunakan blender) dan dilarutkan dalam 5 liter air, dicampur dengan 10 gram detergen, kemudian diendapkan kurang lebih 24 jam

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 192 dan disaring dengan kain halus, hasil penyaringan diencerkan dengan 100 liter air, maka bahan tersebut sudah dapat digunakan untuk mengenddalikan ulat buah pare dan plutella. Bahan yang berasal dari kulit batang kepayang. Kulit batang diserut sampai halus sebanyak 250 gram direbus dengan 3 liter air selama 1 jam. Setelah dingin dicampur dengan 10 gram detergen kemudian endapkan selama 24 jam. Cairannya disaring dengan kain halus, maka bahan tersebut sudah dapat digunakan untuk mengenddalikan ulat buah pare dan Plutella.

80 70 60 50 40 30

mortalitas mortalitas larva (%) 20 10 0 kepayang gelam Lua kontrol Gambar 7. Efikasi beberapa jenis tumbuhan terhadap ulat buah pare

KESIMPULAN 1. Kerusakan sawi yang disebabkan ulat plutella tertinggi akan terjadi apabila melakukan tanam pada bulan Agustus sejak minggu pertama sampai ketiga 2. Selain dapat memperbaiki pertumbuhan semaian sawi, penggunaan abu sekam juga dapat mengurangi serangan ulat tanah dan siput. 3. Insektisida nabati yang berasal dari kepayang, gelam dan krinyu dapat menekan tingkat kerusakan tanaman sawi yang disebabkan ulat plutella lebih dari 60% 4. Attraktan nabati efektif digunakan untuk memerangkap serangga yang berasal dari ordo Lepidoptera, Coleoptera dan Diptera. Penggunaan attraktan ini dapat mengurangi intensitas kerusakan pare yang disebabkan ulat plutella sebesar 60-70% 5. Pada keadaan populasi semut rangrang cukup tinggi, ternyata dapat menekan kerusakan pare yang disebabkan lalat buah antara 50-60%

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 193

6. Insektisida nabati yang berasal dari kulit batang kepayang, daun gelam dan sirsak efektif mengendalikan ulat buah pare, karena dapat menekan tingkat kerusakan antara 45-50%

DAFTAR PUSTAKA Alihamsyah, T., M. Sarwani, A. Jumberi, I. Ar-Riza, I. Noor dan H. Sutikno. 2003. Lahan rawa pasang surut: pendukung ketahanan pangan dan sumber pertumbuhan agribisnis. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Banjarbaru. 53 halaman. Asikin, S dan M. Thamrin. 2006. Pengendalian hama serangga sayuran ramah lingkungan di laha rawa pasang surut. Dalam Noor, M., I. Noor dan S.S. Antarlina (Ed). Budidaya Sayuran di Lahan Rawa: Teknologi Budidaya dan Peluang Agribisnis. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya lahan Pertanian. p. 73-85 Asikin, S dan M.Thamrin. 2009. Pengendalian ulat grayak (Spodoptera litura) dengan menggunakan ekstrak bahan tumbuhan liar rawa. Seminar Nasional Perlindungan Tanaman. Pertanian, Institut Pertanian Bogor. p. 178-192. Badan Pengendali Bimas. 1983. Pedoman Bercocok Tanam Padi, Palawija dan sayur- Sayuran. Deptan. Jakarta. Gazali, A. 1999. Kerusakan daun sawi oleh Plutella xylostella yang diberi perasan Umbi Gadung. Kalimantan Agrikultura Vol.6 No.1 April 1999. Jurnal Ilmiah Fak.Pertanian Universitas Lambung Mangkurat. Hilman, Y., A. Muharram dan A. Dimyati. 2003. Teknologi agro-produksi dalam pengelolaan gambut. Makalah disajikan pada Lokakarya Nasional Pertanian Lahan Gambut, Pontianak, 15-16 Desember 2003. Ritonga, L. 1991. Pengaruh Silikat Terhadap Perkembangan Wereng Coklat (Nilaparvata lugens Stall) pada Tanaman Padi (Oryza sativa). Tesis Fak.Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Suprapto, M. 1999. Asosiasi Rangrang Oecopylia smaragdina (F) (Hymenoptera : Formicidae) dengan Serangga Lain dalam Syarif, H. Sadel, N., E. Santosa., Sumeno., Delon. S., N. Susniati dan E. Rosmania. Pengelolaan Serangga Secara Berkelanjutan. Prosiding Kongres Perhimpunan Entomologi Indonesia V dan Symposium Entomologi. Bandung 24-26 Juni 1997. Sosromarsono, S. 1993. Pemanfaatan bahan alami dalam pengendalian hama terpadu. Makalah Seminar Pemanfaatan Bahan Alami Dalam Upaya Pengendalian Populasi Organisme Pengganggu Tanaman. Cisarua, 10-11 Agustus 1993. 8 hal. Thamrin, M. 2009. Pemanfaatan insektisida nabati asal tumbuhan rawa untuk pengendalian ulat grayak dan plutella pada pertanaman kedelai dan sayuran di lahan rawa pasang surut yang berwawasan lingkungan. Laporan hasil Penelitian. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya lahan Pertanian. 14p. Thamrin, M., S.Asikin, Mukhlis dan A.Budiman. 2007.Potensi ekstraktan flora lahan rawa sebagai pestisida nabati. Dalam Supriyo, A., M. Noor, I. Ar-Riza dan D. Nazemi (Ed).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 194

Monograf: Keanekaragaman Flora dan Buah-buahan Eksotik Lahan Rawa. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Hal 23-31 Thamrin, M dan S.Asikin. 2006. Alternatif pengendalian hama serangga sayuran ramah lingkungan di lahan lebak dalam Noor, M., I. Noor., A. Supriyo., Mukhlis dan R.S.Simatupang (Ed) Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Terpadu. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya lahan Pertanian. P. 375-386 Thamrin, M dan S.Asikin. 2009. Ekstrak tumbuhan yang berpotensi mengendalikan ulat kubis Plutella xylostella dalam Prosiding Seminar Nasional Perlindungan Tanaman. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. p. 230-233

Notulensi Diskusi Seminar Dwi – Faperta UGM : Penelitian banyak tentang pestisida nabati tapi mengapa pengembangannya sangat sedikit? Jawab : Wayan : Masukkan – Harus ada standar yang jelas buat petani, dan bapak belum melakukan uji lapangan. Jawab : Tergantung tujuannya.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 195

OPH-17 Potensi Jamur Metarhizium anisopliae Indigenous dalam Mengendalikan Hama Pertanian dan Perkebunan Secara Alami Melanie1 1Jurusan Biologi FMIPA UNPAD Jl..Raya Bandung – Sumedang km 21, tlp/fax 0227796412 Email : [email protected]

Abstrak Semakin meningkatnya masalah lingkungan akibat penggunaan insektisida sintetik mendorong diterapkanannya pengendalian hayati dengan memanfaaatkan agensia hayati sebagai musuh alami. Salah satu diantaranya adalah pemanfaatan patogen serangga untuk mengendalikan populasi serangga hama. Jamur entomopatogen Metarhizium anisopliae dikenal sebagai agensia hayati pengendali serangga hama. Karakter biologis entomopatogen, seperti patogenesitas dan persistensi di alam dipengaruhi oleh lingkungan tempat agensia biologis tersebut berasal. Penggunaan jamur entomopatogen yang sukses pada suatu tempat bisa menjadi kurang efektif pada tempat yang lain akibat perbedaan karakter lingkungan. Introduksi agensia biologis asing kedalam suatu ekosistem perlu dilakukan secara hati-hati, spesies jamur entomopatogen yang non-indigenous berpotensi mengganggu kestabilan ekosistem lingkungan tersebut. Permasalahannya M. anisopliae yang diperjualbelikan dipasaran umumnya produk impor, yang non-indigenous Indonesia. Dalam upaya pengembangan M. anisopliae yang indigenous sebagai pengendali serangga hama, dilakukan rangkaian penelitian untuk mengujikan patogenitas M. anisopliae varietas lokal yang diisolasi dari Kumbang Badak yang telah terinfeksi M. anisopliae di perkebunan buah Majalengka. Penelitian dilakukan terhadap Oxya japonica (Orthoptera : Acrididae) hama pertanian padi dan jagung (Graminae), diujikan pula terhadap Crocidolomia pavonana (Lepidoptera : Heterocera) hama perkebunan kubis (Cruciferae) serta Epilachna vigintioctopunctata (Coleoptera) hama perkebunan terung-terungan dan kentang (Solanaceae). Hasil penelitian menunjukkan spora M. anisopliae varietas lokal Majalengka secara signifikan berhasil mengendalikan O. japonica dengan mortalitas sebesar 100% pada konsentrasi terendah 1.5 x 102 spora/ekor, mortalitas C. pavonana 90% pada konsentrasi 1 x 106, dan mortalitas larva E. vigintioctopunctata sebesar 85% pada konsentrasi 1 x 108 spora/ml.

Kata Kunci: Metarhizium anisopliae, indigenous, agensia hayati, Oxya japonica, Crocidolomia pavonana, Epilachna vigintioctopunctata, mortalitas.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 196

OPH-18 Level and Mechanism of Host Plant Resistance in Popular Rice Varieties: Antixenosis, Antibiosis, and Feeding Rate of Brown Planthopper on Various Resistance Rice Varieties Baehaki S.E1, M. Cohen, dan K. L. Heong 1Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Jl. Raya No.9 Sukamandi-Subang-Jawa Barat. Telp. 0260-520157, Fax. 0260-520158 Email : [email protected]

ABSTRACT In the antixenosis test, eggs laying of BPH more prefer on TNI, IR26, IR36, and Cisadane. Numbers of eggs on those varieties is high, whereas on IR64, IR72, and IR74 reduced numbers of eggs, except egg laying of BPH from Cirebon on IR64 indicate to rise. Numbers offspring and weigh of BPH on TN1, IR26, IR36, and Cisadane is high, but low offspring and weigh on IR64, IR72, and IR74, except BPH from Cirebon on IR64. The susceptible varieties IR26 and IR36 generally is low of antibiosis, but Cisadane variety although include to susceptible rice variety have more antibiosis value. Also IR64, IR72, and IR74 properties high antibiosis, except IR64 to BPH from Cirebon showed minus antibiosis. It means IR64 against BPH from Cirebon give susceptible reaction. Amount of rice sap that sucking by BPH can be expressed by wide honey dew, depend on of resistance level rice varieties, It is according to level on antibiosis of rice. Generally sap sucking on susceptible rice varieties result more wide of honey dew on filter paper, whereas on resistance rice varieties result narrow honey dew stain. High carrying capacity of rice to insect population as a photos ability of rice to produced grain more than rice in a control treatment. The rice quality and tonnage without decrease although infested by insect in level economic threshold as of susceptible rice varieties.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 197

INTRODUCTION Insect-resistant rice varieties are a basic element in the IPM, and their is used compatible with other control tactics. Resistant rice varieties provide pest control at essentially no cost to the farmers. This extremely important as today‘s rising input cost severity erode the farmer‘s profit margin. In the IRRI overall program for improving technology to help farmers increase world rice production, the development of pest- resistant rice has been an important objective (Heinrichs et al, 1985). The major control tactic is varietals resistant used to minimize losses by pest. The role of varieties resistant in a IPM with the spread of high yielding varieties and the change in cultural practices which accompanied the green revolution, there was a shift away from traditional cultural controls. So for develop and evaluate management tactics and strategies to maintain low pest population in the long term through enhancing natural biological control, use of pest resistant cultivar and cultural techniques. The use of varietals resistant may be the principal control method or and adjust to other control measures (Painter, 1951). Further, more Russell (1978) reported that cultivars differ in their degree of resistance. Differences of rice resistant to BPH due to genes resistant of rice interaction with brown plant hopper (BPH). BPH Biotype 1 can‘t be able to infest rice plant with any gene for host plant resistance, biotype 2 can be able to infest only rice plant with the Bph 1 gene, and BPH biotype 3 can be able to infest rice plant with bph2 but can‘t be able to infest rice plant Bph l gene. Fact in the field of Indonesian rice plantation was known that some varieties are quick damaged by BPH. In the other rice varieties are resistant for a long time and called a durable popular rice varieties, e.g IR64 (Bphl + gene) was resistant to BPH biotype 3 and Cisadane (bph2 gene) was resistant to BPH biotype 1 and biotype 2. In the case of popular rice varieties as host plant resistant to BPH is very interesting to study of characterization of level and mechanism of resistant that was measured with antixenosis, fecundity, feeding rate, tolerance, and antibiosis. The objective of this research to determine the level of BPH host plant resistance in popular rice varieties in areas where

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 198

BPH population are low and stable. This will help us to understand some factors that are necessary for successful BPH management

MATERIALS AND METHODS The research was carried out on November, 1997 up to May, 1998 at the Research Station of the Research Institute for Rice (RIR), Sukamandi-West Java, Indonesia. The research divided in two activities, First activity have collected BPH from fourlocation of northern coastal of west Java. The second activity was carried out in laboratory for seed box test, fecundity, antixenosis, nymphal development, feeding rate, and tolerance index of BPH from four location.

1. Study Area The area of the BPH region study should have the following characteristics: a. It should be possible to identify one or two varieties that are clearly the most popular. Each variety should be grown by 25% or more of the farmers in the areas. Preferably, the varieties should have been highly popular for at least five years. b. The population of BPH in farmers field should be low (below the level that causes damage or causes most farmers to spray insecticide) and stable (consistently low throughout the growing season and over the past several years). In other words, there should currently be successful BPH control on the popular varieties. The data as a documentation of what percentage of farmers are growing the popular varieties, the number insecticide applications per season, and BPH population in farmers would be get by survey in the areas of rice production.

2. Collection of BPH colonies Collect BPH from farmer‘s field at four location in West Java, Indonesia. Each location can be one field or several field in one village. The four locations are Cilamaya Karawang, Sukamandi-Subang, Gabus Wetan-Indramayu, and Palimanan-Cirebon district that separated from each to other by at least 15 up to 100 km. The field location should be

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 199 planted to the both popular varieties IR64 and Cisadane. At each location, collect at least 100 females, preferably 300 or morefrom each of 3-4 rice fields planted to popular varieties. Mix the insects from the different fields together, and cage them in the greenhouse on a susceptible variety such as TN1 that has no major genes for BPH resistance. It may be easiest to collect early in the growing season, when the first generation of immigrating macropterous female is still in the field. Allow the females to oviposit and let the colony from each location. If a colony become too small, e.g. less than 200 females per generation, then the genetic background of the colony may change and the colony will no longer be representative of the BPH population in the field.

3. Test of varietals resistance To establish a brown planthopper colony that is representative of the local population of the insect, collected from the field above and rear the insects for at least two generations, to increase the colony size and adapt the colony to the rearing conditions. Change the TN1 plants inside the cage as needed. Eggs of approximately the same age are obtained by placing the plants overnight in a cage containing adult insects. We want to compare the level of resistance in the popular varieties to other test varieties that have different genes for BPH resistance. A serial of experiment will be conducted in a greenhouse on seven varieties, there are TN1 (no genes resistance for BPH), IR26 (Bph 1 gene), IR64 (Bph 1+ gene), IR36 (Bph2 gene), Cisadane (Bph2 gene), IR72 (Bph3 gene), and IR74 (Bph3 gene). All experiment were arranged in a randomized complete block design. a. Seed box test For the standard seed box screening test (Velusamy at al, 1986) a row of 20-25 seeds of each variety was sown in 36x27x11 cm metal trays. There were four replication trays per colony. Seven days after sowing (DAS), the plant were infested with approximately 8 second or third instar nymph per seedling and covered with a plastic cage (38x30x50 cm) with a nylon mesh. When the plant of TN1 (susceptible check) were

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 200 completely dead, approximately seven days after infestation (DAI), the damage level of each variety was scored on a 0-9 scale where 0-4 indicated high resistance, 4-6 moderate resistance, 7-9 susceptible (Velusamy et al, 1986). For the modified seed box screening test (Velusamy at al, 1986) a row at 15 seeds of each variety was sown in trays, four replicate trays per colony, and infested at ten DAS with 3 second or third instar nymphs per seedling. Trays and cages were as described for the standard seed box test. When the TNI plants completely dead, approximately 26 DAI, the damage level of each variety was scored on a 0-9 scale where 0-3 indicated high resistance, 4-6 moderate resistance, 7-9 susceptible (Velusamy at al, 1986). b. Nymphal survival and developmental time For the test of nymphal survival and developmental time, 20 one-day-old nymph were placed on 30 day old potted plants enclosed in a cylindrical plastic cage (4 cm diameter x 55 cm height) with nylon mesh top and two nylon mesh side windows. For each colony, there were ten replicates of each of the seven test varieties. Once per day, the number old newly-enclosed male and female adults was recorded. c. Antixenosis Antixenosis mechanism ofBPH wastestedthrough oviposition used modified technique from the method of Heinrichs at al., (1985). The research used randomized complete block design with 7 treatments and 8 replicationsof each varietyof each BPH colony from Cilamaya-Karawang, Sukamandi-Subang, Gabus Wetan-Indramayu, and Palimanan-Cirebon. The treatments wereTN1, IR26, IR36, IR64, IR72, IR74 and Cisadane. Seeds of seven varieties were sown on potin 10 cm diameter with 10 cm height, one seed per plot per variety. At 35 DAS, the plant of each variety were trimmed to one tiller. One replication is shown in one circle iron tray60 cm diameter and 15 cm height. Six pots of each variety arranged in a circle iron tray with water level above surface of the pots. Twenty-five gravid BPH brachypterous were placed on a platform in the middle of the circle and then the array of plans was covered with a cylindrical plastic cage. The insects were able to move among the plant by swimming and jumping. The number of BPH on

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 201 each variety was recorded at 24, 48, and 72 h after infestation. After 72 h, the plants were removed and dissected to count the number of eggs deposits. d. Fecundity To measure the number and biomass of progeny produced by BPH pair (one adult male and female brachypterous) was carried out by infested of each pair of new emergence BPH adult (before 24 h old), on 30 day-old rice on pot and enclosed in a cylindrical plastic cage (12 cm diameter x 120 cm height) with a nylon mesh on top and two nylon windows in side. The research used randomized complete block design with 7 treatments and 10 replications of each varietyof each BPH colony from Cilamaya- Karawang, Sukamandi-Subang, Gabus Wetan-Indramayu, and Palimanan-Cirebon. The treatments wereTN1, IR26, IR36, IR64, IR72, IR74 and Cisadane. Male or female that died within 24 h after infestation were presumed to have been injury during handling and were replaced. Twenty-five days after infestation (DAI), after the parent had died but before the Fl generation had begun to reproduced, the insects from each cage were collected and preserved in 75% ethanol. The insects were counted, dried at 60 oC for 48 h, and weighed on 0.1 mg-sensitivity balance. e. Feeding rate The test of honey dew excretion, as a measure of feeding rate, was conducted as described in Heinrichs at al, (1995), One-day old brachypterous female, starved for four hours, were cage on single tiller of 35 day-old plants, one insect per plant. The research used randomized complete block design with 7 treatments and 10 replications of each variety of each BPH colony from Cilamaya-Karawang, Sukamandi-Subang, Gabus Wetan-Indramayu, and Palimanan-Cirebon. The treatments wereTN1, IR26, IR36, IR64, IR72, IR74 and Cisadane. The base of each plant was encircled by a filter paper disk treated by bromocresol green. After 24 h, the filter paper collected and the total area of blue green spot, resulting from honey dew deposition, was measured.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 202

f. Tolerance To evaluate the tolerance of TNI, IR26, IR64, IR.36, IR72, IR74and Cisadane to BPH feeding, used modified method of Panda and Heinrichs (1983). The research used Split plot design with 7 main plot and 3 sub plot treatments and 3 replications of each variety of each BPH colony from Cilamaya-Karawang, Sukamandi-Subang, Gabus Wetan- Indramayu, and Palimanan-Cirebon. The main plot wereTN1, IR26, IR36, IR64, IR72, IR74 and Cisadane. The sub plot were25, 50, and 100 first instar of BPH. Two 30 day old plants in 12 cm diameter pots were infested with 0, 25, 50, and 100 first instar of BPH and covered with tubular plastic cage. Control plant was left uninfected. There were three replicate pots of each varieties for each level infestation. At 16 DAT, when the most susceptible plant were beginning to turn brown, the BPH from each pot were collected, dried at 60 oC for 48 h, and weighed on a mg sensitivity balance. The plant were removed from the pots, washed to clean the soil from the root, dried at 75 oC for 60 h, and weighed. We calculated a tolerance index (TI), using formula Dixon et al (1990) and Robinson et al, (1991):

TI = [(Wc-Wt)/Wc]/BPH

Where Wc is the weight of the uninfected plant, Wt is the weight of the infested plant, and BPH is the weight of BPH collected from the infested plant. g. Antibiosis Antibiosis in the resistance mechanism that operates after the insect have colonized and have started utilizing then plant. When the insect feeds on an antibiotic plant its growth, development, reproduction, and survival are affected. The antibiotic effect may result in a decline in insect size or weight, reduce metabolic processes, increased restlessness, and greater larval or pre adult mortality. For measure antibiosis index is used data from dry weight BPH of fecundity research, it according to philosophy of antibiosis. Antibiosis index using Panda and Khush (1995) formula as follows:

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 203

BPH dry weight on test variety Antibiosis index = 1 - (------) BPH dry weight on susceptible variety

RESULT 1. Study Area The study area were focused to profile of varieties distribution and pest explosive of selected location (Karawang, Subang, Indramayu, and Cirebon). At the four location was always planted Cisadane and IR64 for ever, whereas the other varieties (Ciliwung, Way Sputih, Dodokan, Walanay, Semeru, Membramo, and Maros) were planted as a complement. The number one of rice plantation was IR 64 and the second was Cisadane, and other varieties are number three, etc. In Karawang, the profile rice varieties since 1989 up to 1997 was a familiar rice variety IR64 followed by Cisadane (Fig. 1). In Indramayu, IR64 variety dominated since 1989, followed by Cisadane variety (Fig. 2). So in North coastal of West Java in all district was always planted by both IR64 and Cisadane varieties. The pest profile in Karawang, formerly in the 1989 dominated by BPH and after using IR64 the BPH pest decreased, but rice stem borer (RSB) increased. The pick area damaged by RSB in the 1990, after that the pest decreasing (Fig. 3). The pest profile in Indramayu dominated by RSB since 1989, whereas damaged by BPH is always low. The pick area damaged by RSB was in 1989, after that decreasing, but almost every year always reported in thousands hectare destroyed by RSB (Fig.4). The rice varieties and pest profile from Subang and Cirebon can‘t be appeared, because the data of both location didn‘t complete, but data in some years showed that IR64 and Cisadane was planted as in Karawang and Indramayu. Profile pesticides use for insects were higher in the 1990, especially granule insecticides, but after that utilization pesticides more and more decreased. Also amount of rodenticides decreased since 1990 (Fig. 5).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 204

2. Test of varietal resistance a. Seed box test of rice variety to BPH In the standard seed box test of variety to BPH from Karawang, showed that TN1, lR26, IR36, and Cisadane were susceptible rice varieties. The IR72 and IR74 gave moderate reaction, IR64 had high resistance to BPH Karawang (Table 1). In the modified test showed that TN1, IR26, IR36, and Cisadane were susceptible rice varieties to BHP from Cilamaya-Karawang. The result showed the same reaction with the standard test. The IR72 and IR74 had high resistance, and the IR64 was moderate resistance (Table 2). Tabel 1. Seedbox test of rice variety to BPH from Cilamaya-Karawang. WS 1998 Score Level of Variety Gene I II III IV Average resistance TN1 Non 9 9 9 9 9 S IR26 Bphl 7 9 7 5 7 S IR36 bph2 7 9 7 7 7.5 S IR64 Bphl+ 3 3 3 3 3 HR Cisadane bph2 7 9 7 7 7.5 S IR72 Bph3 5 5 5 5 5 MR 1IR74 Bph3 5 3 3 3 4.6 MR Velusamy et al (1986) : HR= 0-4 indicated high resistance, MR= 4-6 moderate resistance, S= >6-9 susceptible

Tabel 2. Modification seedbox test of rice variety to BPH from Cilamaya- Karawang.WS 1998 Score Level of Variety Gene I II III IV Average resistance TN1 Non 9 9 9 9 9 S IR26 Bphl 7 7 5 7 6.5 S IR36 bph2 7 7 5 9 7 S IR64 Bphl+ 5 3 3 3 3.5 MR Cisadane bph2 9 7 7 9 8 S IR72 Bph3 3 3 3 3 3 HR IR74 Bph3 3 3 3 3 3 HR Velusamy et al (1986) :HR= 0-3 indicated high resistance, MR= 4-6 moderate resistance, S= >6-9 susceptible

The rice varieties TN1, IR26, and IR36 were susceptible to BPH from Sukamandi. In the other hand IR64, IR72, and IR74 gave high resistance reaction, whereas Cisadane was moderate resistance to BPH Sukamandi (Table 3). In the modified test showed that all varieties were same result with the standard test. The TN1, IR26, and IR36 were

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 205 susceptible and the IR64, IR72, and IR74 gave high resistance reaction, whereas Cisadane was moderate resistance against BPH from Sukamandi (Table 4). Tabel 3. Seedbox test of rice variety to BPH from Sukamandi-Subang. WS 1998 Score Level of Variety Gene I II III IV Average resistance TN1 Non 9 9 9 9 9 S IR26 Bphl 7 5 7 7 6.5 S IR36 bph2 7 7 7 7 7 S IR64 Bphl+ 3 5 3 5 4 HR Cisadane bph2 5 5 5 5 4.5 MR IR72 Bph3 1 1 1 7 4 HR IR74 Bph3 0 0 0 0 0 HR Velusamy et al (1986) : HR= 0-4 indicated high resistance, MR= 4-6 moderate resistance, S= >6-9 susceptible Tabel 4. Modification seedbox test of rice variety to BPH from Sukamandi-Subang. WS 1998 Score Level of Variety Gene I II III IV Average resistance TN1 Non 9 9 9 9 9 S IR26 Bph1 7 7 5 7 6.5 S IR36 Bph2 7 7 7 7 7 S IR64 Bphl+ 3 5 3 3 3.5 FIR Cisadane Bph2 5 5 7 5 5.5 MR IR72 Bph3 1 1 1 1 1 HR IR74 Bph3 1 1 1 1 1 HR Velusamy et al (1986) : HR 0-3 indicated high resistance, MR 4-6 moderate resistance, S >6-9 susceptible

In the standard test to BPH from Indramayu, showed that TN1 and IR36 were susceptible rice varieties. IR26, IR64, Cisadane gave moderate reaction, therefore IR72 and IR74 were high resistance against BPH (Table 5). In the modified test showed that only TN1 is susceptible and another rice varieties of IR26, IR36, IR64, and Cisadane were moderate resistance, whereas the IR72 and IR74 were high resistance (Table 6). The results of rice varieties test to BPH from Cirebon was a similar reaction with rice test to BPH from Gabus Wetan-Indramavu. Varieties reaction to BPH from Gabus Wetan-Isdramayu, showed that TNl and IR36 were susceptible. The IR26, IR64, Cisadane gave moderate resistance, therefore IR72 and IR74 were high resistance against BPH (Table 7). In the modified test showed that only TNI was susceptible and another rice varieties of IR26, tR36, IR64, and Cisadane moderate resistance, in the other hand the IR72 and IR74 were high resistance varieties (Table 8).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 206

Tabel 5. Seedbox test of rice variety to BPH from Gabus Wetan WS 1998 Score Level of Variety Gene I II III IV Average resistance TN1 Non 9 9 9 9 9 S IR26 Bph1 7 7 5 5 6 MR IR36 bph2 5 7 9 9 7.5 S IR64 Bphl+ 5 3 5 5 4.5 MR Cisadane bph2 5 5 5 5 5 MR IR72 Bph3 3 3 3 3 3 HR IR74 Bph3 3 3 3 3 3 HR Velusamy et al (1986) : HR= 0-4 indicated high resistance, MR= 4-6 moderate resistance, S >6-9 susceptible

Tabel 6. Modification seedbox test of rice variety to BPH from Gabus Wetan Indramayu. WS 1998 Score Level of Variety Gene I II III IV Average resistance TN1 Non 9 9 7 9 8.5 S IR26 Bphl 7 7 5 5 6 MR IR36 bph2 7 5 5 5 5.5 MR IR64 Bphl+ 3 5 5 5 4.5 MR Cisadane bph2 5 3 3 5 4 MR IR72 Bph3 1 1 3 1 1.5 HR IR74 Bph3 3 1 1 1 1.5 HR Velusamy et al (1986) : HR = 0-3 indicated high resistance, MR= 4-6 moderate resistance, S= >6-9 susceptible

Tabel 7. Seedbox test of rice variety to BPH from Palimanan-Cirebon. WS 1998 Score Level of Variety Gene I II III IV Average resistance TN1 Non 9 9 9 9 9 S IR26 Bphl 7 5 7 5 6 MR IR36 bph2 9 7 9 9 8.5 S IR64 Bphl+ 5 5 5 5 4 MR Cisadane bph2 7 5 5 5 5.5 MR IR72 Bph3 3 3 3 3 3 HR IR74 Bph3 3 3 3 3 3 HR Velusamy et al (1986) : HR = 0-4 indicated high resistance, M .= 4-6 moderate resistance, S >6-9 susceptible

Tabel 8. Modification seedbox test of rice variety to BPH from Cirebon. WS 1998 Score Level of Variety Gene I II III IV Average resistance TN1 Non 9 7 9 7 8 S IR26 Bphl 7 7 5 3 5.5 MR IR36 bph2 5 5 7 7 6 MR

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 207

IR64 Bphl+ 3 3 5 3 3.5 MR Cisadane bph2 3 5 5 3 4 MR IR72 Bph3 1 1 1 1 11 HR IR74 Bph3 1 1 1 1 HR Velusamy et al (1986) : HR= 0-3 indicated high resistance, MR= 4-6 moderate resistance, S= >6-9 susceptible

b. Nymphal survival and developmental time The BPH nymph from Karawang developed to female on TN1, IR26, and Cisadane more higher and significant compared development nymph on the other test rice varieties. The nymph develop to female on rice varieties among IR36, IR64, lR72, and IR74 were not significant (Table 9). The nymph development to male more higher on TNI, IR36, Cisadane, and IR72. The lowest nymph develop to male were on IR64 and lR74. The folded BPH population on generation determined by amount of female in formerly generation. BPH development on TN1 and Cisadane will abundance, because emergence of female on it rice varieties more higher. The first rank of nymph survival to adult is on TN1 about 65%, and then on Cisadane about 61%, and the lowest is 26% was on IR74 (Table 9),

Table 9. Nymphal survival and development of BPH from Cilamaya-Karawang, WS 1998 Development to* Survival Variety Gene Female brachy Male brachy Adult (%) TN1 Non 6.6 a 6,4 a 13 a 65 IR26 Bphl 4.8 ab 3.2 bc 8b cd 40 IR36 bph2 4 b 4.2 abc 8.2 bc 41 IR64 Bphl+ 3.2 b 2.4 c 5.6 cd 28 Cisadane bph2 6.4 a 5.8 a 12.2 a 61 IR72 Bph3 3.2 b 5.4 ab 8.6 b 43 IR74 Bph3 3 b 2.2 c 5.2 d 26 * Means in a column followed by a common letter are not significantly different at 5% level by DMRT.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 208

Table 10. Nymphal survival and development of BPH from Sukamandi-Subang, WS1998 Development to* Survival Variety Gene Female male Adult (%) Brachy Macro Brachy Macro TN1 Non 3.0 bc 5.2 ab 1.2 a 5.6 b 17 a 85 IR26 Bphl 3.8 abc 2.4 c 2.0 a 8.4 a 16.6 a 83 1IR36 bph2 5.6 ab 4.2 abc 1,2 a 6.6 ab 17.6 a 88 IR64 Bphl+ 4.4 abc 6.2 a 0.2 a 5.6 b 16.6 a 83 Cisadane bph2 6.0 a 4.0 abc 2.0 a 7.0 ab 19 a 95 IR72 Bph3 3.4 abc 2.8 be 1.8 a 8.6 a 16.6 a 83 IR74 Bph3 2.4 c 2.8 be 1.4 a 4.8 b 11.4 b 57 * Means in a column followed by a common letter are not significantly different at 5% level by DMRT.

BPH Nymphsof Sukamandi-Subang developedto female and male brachypterous and macropterous. Emergence female brachypterous on Cisadane was 6 BPH but non significance with female on IR26, IR36, IR64, and IR72. The lowest female was on IR74 (Table 10). Nymphal development to female macropterous was on IR64 high, but non significance with female macropterous on TN1, IR36, and Cisadane. The lowest of macropterous was on IR26 but non significance with female on IR72 and IR74, Emergence adult on Cisadane, TN1, IR26, IR36, IR64, and IR72 non significance to each other with survival were 95, 85, 83, 88, 83, and 83% respectively. The lowest of survival nymph of BPH from Sukamandi-Subang was on IR74. BPH Nymphs from Indramayu develop to two wing form macropterous and brachypterous of male and female. Emergence of female brachypterous on TN1 and IR26 were higher and significance with female brachypterous of other varieties. Emergence female brachypterous on IR36, IR64, Cisadane, and IR74 were non significance to eachother. The lowest is on IR72. Emergence of female macropterous is very low almost on all varieties except on IR74 (Table 11). Emergence of adult on TN1, IR26, IR36, IR64, Cisadane, and IR74 were non significance to each other with the survival 86, 86, 61, 62, 63, and 71% respectively. The lowest adult on IR72 with nymphal survival was 34%. Maintenance of nymph BPH from Cirebon on Cisadane, resulted more female brachypterous, but non significance with the female on TN1, IR26, IR64, IR74, and IR74. The female on IR64 was the lowest, In the other hand female macropterous from IR26 was

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 209 the highest and significance with the female macropterous from the other rice varieties (Table 12). The BPH nymph from Cirebon which develop to adult on TN1 and Cisadane were 95 and 91% respectively. This value non significance with adult on IR26, IR36, and IR64. Adult on IR72 and IR74 were very low there are 68 and 60% respectively.

Table 11.Nymphal survival and development of BPH from Gabus Wetan-Indramayu. WS 1998 Development to* Survival Variety Gene Female Male Adult (%) Brachy Macro Brachy Macro TN1 Non 10.8 ab 0.2 b 4.0 a 2.2 a 17.2 a 86 IR26 Bphl 12.8 a 0.2 b 1.8 a 2.4 a 17.2 a 86 IR36 bph2 7.8 be 0.2 b 3.8 a 0.4 a 12.2 ab 61 IR64 Bphl+ 7.4 be 0 b 1.6 a 3.4 a 12.4 ab 62 Cisadane bph2 7.4 be 0 b 1.0 a 3.2 a 12.6ab 63 IR72 Bph3 4.4 c 1.0 ab 0.8 a 0.4 a 6.8 b 34 IR74 Bph3 7.2 be 3.0 a 2.0 a 2.0 a 14.2 a 71 * Means in a column followed by a common letter are not significantly different at 5% level by DMRT.

Table 12. Nymphal survival and development of BPH from Palimanan-Cirebon, WS 1998 Development to* Survival Variety Gene Female Male Adult (%) Brachy Macro Brachy Macro TN1 Non 9.4 ab 1.0 b 5.0 a 2.8 a 18.2 ab 91 IR26 Bphl 7.6 b 1.2 a 1.8 c 2.6 a 15.2 abc 76 IR36 bph2 10.0 ab 1.0 b 2.6 be 1.6 ab 15.2 abc 76 IR64 Bphl+ 10.8 ab 0,6 b 3.6 abc 2.2 ab 17.2 ab 86 Cisadane bph2 11.8 a 0 b 4.6 ab 2.6, a 19.0 a 95 IR72 Bph3 8.2 ab 1.2 b 2.8 be 1.4 ab 13.6 be 68 IR74 Bph3 8.2 ab 1,0 b 2.0 c 0.8 b 12.0 c 60 * Means in a column followed by a common letter are not significantly different at 5% level by DMRT.

c. Antixenosis Antixenosis properties of rice was showed of number BPH that landed on plant.At 24 hour after release (HAR) number BPH from Karawang observed showed that female brachypterous landed on TN1, IR26, Cisadane more higher from 5 BPH/6 tillers compared

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 210 female brachypterous on the other varieties. The female brachypterous on IR64, IR72, IR74 more lower than 2 BPH/6 tillers (Table 13). Observation at 48 HAR existences of BPH on TN1, IR26, and Cisadane more than 4.75 BPH/6 tillers. In the other hand female on IR64, IR72, and IR74 more lower from 2.25 BPH/6 tillers. Observation at 72 HAR showed female on TN1, IR26, IR36, Cisadane, IR64, and IR74 non significance to each other, and the lowest was on IR72.

Table 13. Antixenosis of BPH from Cilamaya- Karawang, WS 1998 Female on rice variety at the* # of eggs on 6 Variety Gene 24 har 48 har 72 har tillers TN1 Non 6 a 6 a 4.75 a 475.5 a IR26 Bphl 5.25 ab 4.5 a 3.25 ab 230.0 b IR36 bph2 2.5 be 2 b 1.5 ab 89.5 be IR64 Bphl+ 1.25 c 0.25 b 1.25 ab 23.5 c Cisadane bph2 5 ab 4.75 a 3 ab 214.25 b IR72 Bph3 1.5 c 1.25 b 1 b 106.5 bc IR74 Bph3 2 be 2.25 b 2.25 ab 257.5 b Remark: har = hour after release (Amount female on each variety) * Means in a column followed by a common letter are not significantly different at 5% level by DMRT.

BPH egg on TN1 was the highest about 475,5 eggs/6 tiller. The eggs in IR26, IR36, Cisadane, IR72 and IR74 non significant to each others.BPH eggs in IR64 was very low only 23.5 eggs/6 tillers. Observation of rice antixenosis to BPHfemale brachypterous from Subang at 24,48, and 72 HAR on TN1 and Cisadane always more higher and significance with compare numbers female on the other varieties. Number female on TNI and Cisadane were 6 and 8.7 BPH/6 tiller respectively. Female on the other varieties was less than 1.3 BPH/6 tillers (Table 14).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 211

Table 14. Antixenosis of BPH from Sukamandi-Subang, WS 1998 Female on rice variety at the* # of eggs on 6 Variety Gene 24 har 48 har 72 har tillers TN1 Non 6 b 6,7 a 5.3 ab 441.7 a IR26 Bphl 1 c 0.3 b 0,3 b 77 b IR36 bph2 1.3 c l.3 b l b 88.7 b IR64 Bphl+ 0.7 c l.4 b l b 75.7 b Cisadane bpb2 8.7 a 7.7 a 7.7 a 447,7 a IR72 Bph3 1 c 0 b l.3 b 56 b IR74 Bph3 0.3 c 0 b 0.7 b 107 b Remark: har = hour after release (Amount female on each variety) * Means in a column followed by a common letter are not significantly different at 5% level by DMRT.

Numbers of eggs in TNI and Cisadane reach more than 440 eggs/6 tillers and significance with eggs in the other varieties. The numbers eggs of IR26, IR36, IR64, IR72, and IR74 were less than 107 eggs/6 tillers. Observation of rice antixenosis to BPHfemale brachypterous from Subang at 24, 48, and 72 HAR showed that BPH female on TN1, IR26, IR36, and Cisadane were non significance to each other. The BPH eggs in TN1, IR26, IR36, and Cisadane are 242.7, 260.0, 197.0 and 179.4 eggs/6 tillers respectively. In the other hand the eggs in IR64, IR72, and IR74 were 59.3, 3.6, and 100 eggs/6 tillers (Table 15). In observation at 24 and 48 HAR of BPH from Cirebon showed that BPH female on all varieties almost flat distribute, but at 72 HAR BPH female on TNI, IR26, LR36, and IR64 more higher than female on IR72, IR74 and Cisadane (Table 16). Numbers of eggs on TN1, IR26, IR36, IR64, and Cisadane were more than 86 eggs/6 tillers. The numbers eggs on IR72 and IR74 less than 39 eggs/6 tillers, this fact showed that the eggs from this variety was low.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 212

Table 15. Antixenosis of BPH from Gabus Wetan - Indramayu, WS 1998 Female on rice variety at the* # of eggs on 6 Variety Gene 24 har 48 har 72 har tillers TN1 Non 4.0 ab 4 ab 4.7 a 242,7 ab IR26 Bph1 6.0 a 5.3 a 4.7 a 260.0 a IR36 bph2 2.0 ab 4.3 ab 4.7 a 197.0 abc IR64 Bphl+ 1.2 b 2 ab 2 ab 59,3 cd Cisadane bpb2 4.3 ab 4 ab 3.3 ab 179.4 abc IR72 Bph3 0.7 b 0.3 b 0,3 b 3.6 d IR74 Bph3 l.0 b 1.3 ab 1.3 ab 100.0 bcd Remark: har = hour after release (Amount female on each variety) *Means in a column followed by a common letter are not significantly different at 5%level by DMRT.

Table 16. Antixenosis of BPH from Palimanan-Cirebon, WS 1998 Female on rice variety at the* # of eggs on 6 Variety Gene 24 har 48 har 72 har tillers TNI Non 3 a 2 a 4 a 218.3a IR26 Bph1 2.3 a 3 a 1.7 ab 101.3 ab IR36 bph2 1.3 a 1.7 a 2.7 ab 114 a IR64 Bphl+ 4 a 4.7 a 4.3a 172 a Cisadane bph2 3.3 a 2 a 1 b 86 ab IR72 Bph3 0.3 a 0.3 a 03 b 28.3 c IR74 Bph3 0.7a 0.la 0.lb 36.3bc Remark: har = hour after release (Amount female on each variety) * Means in a column followed by a common letter are not significantly different at 5% level by DMRT.

d. Fecundity Offspring of BPH from Karawang on TN1 was 111.8 BPH/female and 80.8 BPH/female on IR26. Numbers BPH offspring on TN1 was significance compared BPH offspring on the others rice varieties (Table 17). Numbers offspring on Cisadan e, IR72, IR74 were non significance to each other, although BPH offspring on IR72 was the smallest.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 213

Table 17. Amount and dry weight of BPH offspring from Cilamaya-Karawang Gene Offspring/female* Dry weight offspring (g)* Variety resistance Amount Dry weight TN1 Non 111.8 a 0.0278 a IR26 Bphl 80.8ab 0.0266 a IR36 bph2 51.2bc 0.0157b IR64 Bphl+ 54.9bc 0.0133bc Cisadane bph2 49.1 bcd 0.0085bcd IR72 Bph3 16.2 d 0.0067cd IR74 Bph3 33.6 cd 0.0038 d * Means in a column followed by a common letter are not significantly different at 5% level by DMRT. The dry weight BPH from TNI and IR26 were non significance, according to non significance on numbers offspring. The offspring dry weight of BPH from IR36, IR64, and Cisadane were non significance to each other, but significance with BPH dry weight from TNI. BPH offspring dry weight from IR72 and IR74 were low less than 0.0067 gr. Offspring BPH from Subang was 120.6 BPH/female on TN1 and significance to BPH offspring from others varieties. Offspring BPH from IR26, IR36, Cisadane, IR74 were low than 45 BPH/female and also in IR72 and IR64 were very low about 27.2 and 20.8 BPH/female respectively (Table 18).

Table 18. Amount and dry weight of BPH offspring from Sukamandi-Subang Gene Offspring/female* Dry weight offspring (g)* Variety resistance Amount Dry weight TN1 Non 120.6 a 0.0301 a IR26 Bphl 37.2 bc 0.0115 b IR36 bph2 44.8 b 0.0128 b IR64 Bphl+ 20.8 d 0.0052 c Cisadane bph2 39,8 bc 0.0117 b IR72 Bph3 36.9 bc 0.0095 bc IR74 Bph3 27.2 cd 0.0106 b * Means in a column followed by a common letter are not significantly different at 5% level by DMRT Offspring BPH from Indramayu on TN1 is 128 BPH/female and significance to BPH offspring of others varieties. Offspring BPH on IR26, IR36, Cisadane, IR72, and IR74 were lower than 45 BPH/female. BPH offspring on IR74 is the lowest about 12.4 BPH/female. Dry weight BPH offspring of Indramayu on TN1 was 0.0282 gr, and the lowest from IR74 by 0.0045 gr (Table 19).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 214

BPH offspring from Cirebon on IR64 reach 144 BPH/female. This numbers was non significance with BPH offspring from TNI, IR26, and IR36, whereas BPH offspring on Cisadane, IR72, and IR74 were non significance to each others. Dry weight of BPH offspring on TN1, IR26, IR36, and Cisadane were non significance to each other, in the other handdry weight BPH offspring on Cisadane, IR72 and IR74 non significance to each others with values 0.0106,0.0046, and 0.047 gr respectively (Table 20).

Table 19. Amount and dry weight of BPH offspring from Gabus Wetan-Indramayu Gene Offspring/female* Dry weight offspring (g)* Variety resistance Amount Dry weight TN1 Non 128 a 0.0282 a IR26 Bphl 44 b 0.0177 b IR36 bph2 44.6 b 0.0174 b IR64 Bphl+ 43.8 b 0.0119 bc Cisadane bph2 41.2 b 0.0129 bc IR72 Bph3 31.6 b 0.0076 bc IR74 Bph3 12.4 b 0.0045 c * Means in a column followed by a common letter are not significantly different at 5% level by DMRT

Table 20. Amount and dry weight of BPH offspring from Palimanan-Cirebon Gene Offspring/female* Dry weight offspring (g)* Variety resistance Amount Dry weight TN1 Non 103 ab 0.0228 b IR26 Bphl 98.6 ab 0.0241 b IR36 bph2 92.4 ab 0.0248 b IR64 Bphl+ 144 a 0.0394 a Cisadane bph2 45.4 bc 0.0106 bc IR72 Bph3 34.4 c 0.0046 c IR74 Bph3 50.8 bc 0.0047 c * Means in a column followed by a common letter are not significantly different at 5% level by DMRT.

e. Feeding rate Honey dew area on filter paper of BPH from Karawang was l0.83 cm2 on TN1 rice variety. Honey dew area of BPH on IR26, IR36, and Cisadane was second rank after on TN1 with wide honey dew 4.83, 2.88, and 4.04 cm2 respectively. Honey dew of IR64,

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 215

IR72, and IR74 occupied third rank with wide honey dew 1.33, 1.07, and 1.09 cm2 respectively (Table 21). Honey dew area of BPH from Subang on TN1, IR26, and IR36 non significance to each other, with wide honey dew 5.89, 4.13, and 4.38 cm2 respectively. Honey dew of IR64, Cisadane, IR72, and IR74 occupied second rank with wide honey dew 1.13, 2.14, 0.56, and 0.48 cm2 respectively (Table 22).

Table 21. Honey dew of BPH from Cilamaya-Karawang on various rice varieties Level of significance Variety Gene resistance Honey dew (cm2) 1% 5% TNI Non 10.83 a a IR26 Bphl 4.83 b b IR36 bph2 2.88 bcd bc IR64 Bphl+ 1.33 cd c Cisadane bph2 4.04 bc b IR72 Bph3 1.07 d c IR74 Bph3 1.09 d c * Means in a column followed by a common letter are not significantly different at 5% level by DMRT.

Table 22. Honey dew of BPH from Sukamandi-Subang on various rice varieties Level of significance Variety Gene resistance Honey dew (cm2) 1% 5% TNI Non 5.89 a a IR26 Bphl 4.13 ab ab IR36 bph2 4.38 ab ab IR64 Bphl+ 1.13 bc c Cisadane bph2 2.14 bc bc IR72 Bph3 0.56 c c IR74 Bph3 0.48 c c * Means in a column followed by a common letter are not significantly different at 5% level by DMIRT.

BPH from Indramayu showed that honey dew area on TN1, IR26, IR36, and Cisadane were 6.88, 4.69, 4.23, and 4.50 cm2 respectively. Honey dew of IR64, IR72, and IR74 occupied second rank with wide honey dew 2.5, 1.15, and 0.84 cm2 respectively (Table 23). BPH from Cirebon showed that honey dew on TN1, IR26, IR36, and IR64 were 9.40, 8.39, 5.01, 5.81, and 4.56 cm2 respectively. Honey dew BPH from Cirebon on IR64

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 216 have different pattern with BPH from another region. Honey dew of IR72, and IR74 occupied rank two with wide honey dew 1.91 and 2.15 cm2 respectively (Table 24).

Table 23. Honey dew of BPH from Gabus Wetan-Indramayu on various rice varieties Level of significance Variety Gene resistance Honey dew (cm2) 1% 5% TN1 Non 6.88 a a IR26 Bphl 4.69 ab ab IR36 bph2 4.23 abcd b IR64 Bphl+ 2.50 bcd bc Cisadane bph2 4.50 abc ab IR72 Bph3 1.15 cd c IR74 Bph3 0.84 d c * Means in a column followed by a common letter are not significantly different at 5% level by DMIRT.

Table 24. Honey dew of BPH from Cirebon on various rice varieties Level of significance Variety Gene resistance Honey dew (cm2) 1% 5% TN1 Non 9.40 a a IR26 Bphl 8.39 ab ab IR36 bph2 5.01 ab abc IR64 Bphl+ 5.81 ab abc Cisadane bph2 4.56 ab bc IR72 Bph3 1.91 b c IR74 Bph3 2.15 b c * Means in a column followed by a common letter are not significantly different at 5% level by DMRT.

f. Tolerance Index 1. BPH from Karawang Tolerance index of TN1 in three level BPH population from Karawang was non significance, because this susceptible variety will be destroyed although only by 25 BPH/hill, even less than 100 BPH/hill. Tolerance index of IR26 and IR36 were same between population 25 and 50 BPH/hill, but if be added up to 100 BPH/hill it will be accelerated destroyed. Tolerance index of IR64 and Cisadane include to the moderate resistance were still to defend on 100 BPH/hill. In IR72 and IR74 were high with 25 BPH/hill, and also still tolerance by 50-100 BPH/hill.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 217

Differentiation tolerance between rice varieties on 25 BPH/hill showed that tolerance index of IR72 and IR74 more higher, there were 47.81 and 47.38 point respectively. IR26, IR36, and IR64 occupied second rank with tolerance index is 29.36, 30.65, and 31.73 point respectively. Tolerance index of TN1 and Cisadane were lowest about 26.70 and 27.51 point respectively (Table 25).

Table 25. Tolerance index of rice varieties to amount of BPH from Cilamya-Karawang Index Tolerance of Rice Variety* # BPH/hill TN1 IR26 IR36 IR64 Cisadane IR72 IR74 25 26.70 a 29.36 a 30.65 a 31.73 a 27.51 a 47.81 a 47.38 a D BCD BC B CD A A 50 19.30 a 16.64 ab 16.79 b 23.11 a 26,77 a 28.22 b 30.76 b D D D C B AB A 100 13.25 a 13.87 b 19.49 ab 21.27 a 21.79 a 20.71 b 26.91 b C C B B B B A * Means in a column and row followed by a common letter are not significantly different at 5% level by DMIRT.

Tolerance index between rice varieties on 50 BPH/hill showed that tolerance index of IR72 and IR74 more higher, there were 28.22 and 30,76point respectively. Tolerance index of Cisadane near to IR72, and than tolerance index of IR64 on 23.11 point (Table 25). Tolerance index between rice varieties on100 BPH/hill showed tolerance index of IR74 the most highest, there was 26.91 point. Rice varieties IR36, and IR64 occupied second rank, and on TN1 and IR26 were low (Table 25).

2. BPH from Subang Tolerance index of TN1, Cisadane, IR26, IR36, IR64, IR72, and IR74 in level 25 BPH/hill from Subang was high, and the rice tolerance will be decreasing at level 50 and 100 BPH/hill. Tolerance index IR72 variety on 25 BPH/hill was highest followed by IR74. Tolerance index Cisadane, IR26, IR36, IR6varieties was low, and TN1 was the lowest.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 218

Tolerance index of IR72 and IR74 varieties on 50 BPH/hill were high, but Cisadane, IR26, IR36, IR6varieties was low, and TN1 was the lowest tolerance to BPH. On level 100 BPH/hill the index tolerance of all varieties was low (Table 26).

3. BPH from Indramayu Tolerance index of TN1, IR26, IR36 and Cisadane in level 25 BPH/hill from Indramayu non significant compared by level 50 and 100 BPH/hill. In level 25 and 50 BPH/hill showed that tolerance index of IR72 and IR74 was different and more high compared by BPH level of 100 BPH/hill. In the other hand comparative index tolerance between TN1, IR26, IR36, Cisadane, IR72 and IR74 on 25 BPH/hill were different, and IR74 was the highest reach 30.67 point and TN1 was the lowest only 8.04 point. Tolerance index between IR72 and IR74 on 50 BPH/hill non significant, and on TN1, IR26, IR36, Cisadane was low compare on IR72 and IR74. Tolerance index between IR36, IR64, IR72, and IR74 on 100 BPH/hill non significant to each other, and on TN1, IR26, and Cisadane was low tolerance to BPH (Table 27).

Table 26. Tolerance index of rice varieties to amount of BPH from Sukamandi-Subang Index Tolerance of Rice Variety* # BPH/hill TN1 IR26 IR36 IR64 Cisadane IR72 IR74 25 26.l0 a 34.00 a 28.36 a 30.45 a 30.64 a 76.14 a 45.90 a E C DE D D A B 50 12.10 b 25.81 b 18.26 b 23.48 ab 20.58 b 26.78 b 26.98 b D AB C B C A A 100 14.81 b 12.2 c 12.03 b 19.64 b 16.64 b 17.87 c 14.56 c CD D D A BC AB CD * Means in a column and row followed by a common letter are not significantly different at 5% level by DMIRT.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 219

Table 27. Tolerance index of rice varieties to amount of BPH from Gabus Wetan Indramayu Index Tolerance of Rice Variety* # BPH/hill TN1 IR26 IR36 IR64 Cisadane IR72 IR74 25 8.04a 19,87 a 12.66 a 18.90 a 17.43 a 23.01 a 30.67a E BC D C C B A 50 8.31 a 9.41 a 11.66 a 15.22 a 15.02 a 18.27 a 20.35 a C C BC B B A A 100 8.59 a 7.83 a 10.69 a 13.12 a 8.26 a 13.54 b 10.01 b B B A A B A A * Means in a column and row followed by a common letter are not significantly different at 5% level by DMRT.

4. BPH from Cirebon Tolerance index of TN1, IR36 and IR64 in level 25 BPH/hill from Cirebon non significant compared by level 50 and 100 BPH/hill. In level 25 BPH/hill showed that tolerance index of Cisadane, IR72 and IR74 was different and more high compared by BPH level of 50 and 100 BPH/hill. In the other hand comparative index tolerance between TN1, IR26, IR36, Cisadane, IR72 and IR74 on 25 BPH/hill were different, and on IR74 was the highest reach 31.15 point and TN1 was the lowest only 9.94 point. Tolerance index between of IR74 on 50 BPH/hill was the highest, and on TN1, IR26, IR36, Cisadane, and IR72 was low compare to IR74. Tolerance index between IR64, Cisadane and IR74 on 100 BPH/hill non significant to each other, and on TN1, IR26, and IR36, IR72 was low tolerance to BPH (Table 28).

Table 28. Tolerance index of rice varieties to amount of BPH from Palimanan-Cirebon Index Tolerance of Rice Variety* # BPH/hill TN1 IR26 IR36 IR64 Cisadane IR72 IR74 25 9.94 a 13.26 a 6.93 a 13.99 a 20.79 a 22.49 a 31.15 a D C E C B B A 50 8.60 a 6.32 ab 5.55 a 13.12 a 11.15 b 11.75 b 18.46 b CD DE E B BC B A 100 4.99 a 3.21 b 6.75 a 11.15 a 9.13 b 6.80 c 9.82 c CD D BC A AB BC A * Means in a column and row followed by a common letter are not significantly different at 5% level by DMRT.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 220

g. Antibiosis Index Antibiosis index base on comparative weight between BPH dry weight on susceptible variety and BPH dry weight on varieties test. The standard susceptible rice variety was TN1, so all of the dry weight BPH from other varieties compared to dry weight BPH from TN1. The result showed average antibiosis index of IR26 and IR36 to BPH from all location less than 5, but antibiosis index of IR64, IR72, IR74, and Cisadane more than 5, except antibiosis index of IR64 to BPH from Cirebon have negative value (Table 29). In this case indicated that BPH in Cirebon more and more to break out IR64. Also antibiosis index of varieties closely related to virulent of BPH, so may be antibiosis depend on level of BPH biotype.

Table 29. Antibiosis index of rice varieties to BPH from some location Location Varieties Karawang Subang Indramayu Cirebon IR26 0.1871 0.6179 0.3723 0.1484 IR36 0.4353 0.5748 0.3829 0.1236 IR64 0.5216 0.8272 0.5780 -0.3922 Cisadane 0.6942 0.6112 0.5425 0.6254 IR72 0.7589 0.6843 0.7305 0.8375 IR74 0.8633 0.6478 0.8404 0.8339

DISCUSSION a. Study area Study area at North coastal of West Java (NCWJ = Jalur Pantura) from four location Karawang, Subang, Indramayu, and Cirebon focused to profile of rice variety, pest damage, and utilization of pesticides. Since 1988 rice plantation at NCWJ almost 75% was dominated by IR64, followed by Cisadane (20%), and other varieties occupied 5%. Pests damage by BPH, RSB, and other pests decreased since 1988, so utilization of pesticides had decreased too. In this case pest damage along NCWJ held low level and stable pest population.

b. Seed box test

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 221

Reaction TN1 and IR36 to BPH from Karawang, Subang, Indramayu, and Cirebon were susceptible. Reaction IR26 to BPH from Karawang and Subang were susceptible, but to BPH from Indramayu and Cirebon are moderate resistance. Reaction of IR64, Cisadane, IR72, and IR74 to BPH from four location are moderate up to high resistance, except Cisadane have susceptible to BPH from Karawang. In the modified test showed that TNI, IR26, and IR36 are susceptible to BPH from Karawang and Subang, whereas Cisadane variety is susceptible to BPH from Karawang and moderate to BPH from Subang. The others varieties IR64, IR72, IR74 are moderate and high resistance to BPH from Indramayu and Cirebon. In this result showed that IR64, IR72, and IR74 a consistence reaction to BPH from all location, but IR26 and Cisadane unconsistence reaction to BPH, depend on native of BPH. Above result is according to biotype test of BPH from Subang and Indramayu that carried out in the 1995, there are biotype 3 (Baehaki, 1995). Actually in the 1987/88 was carried out biotype test of BPH from Subang and in the 1988/89 to BPH from Indamayu, those result were biotype 3 (Baehaki et al, 1991). So, situation of BPH biotype in Karawang, Subang, Indramayu, and Cirebon is still on biotype 3 after 9 years since 1988, do not changes to another biotype. Relationship biotype test formerly and seed box test later of IPM network program showed equally result, although is thin different. From biotype test to IR26, IR36, Cisadane are susceptible, whereas IR64 and IR74 are resistance rice varieties. In seed box test sometime IR26 and Cisadane is moderate resistance reaction. This different caused by using different score. In biotype test with scoring <5 is resistance and >5 is susceptible, but in seed box test with scoring 0-3 indicate high resistance, 4-6 moderate resistance, and 6-9 is susceptible. Insect biotype constitute an importance biotic stress affecting the host plant resistance. Biotype develop when antibiosis in the major component resistance (Panda and Khush, 1995). They seldom, if ever, develop when antixenosis or tolerance is the mechanism of resistance (Gallun, 1972). With antibiosis selection pressure is excreted on the insect pest resulting in severe mortality. The virulent individuals within the insect population survive and multiply to form a new population biotype. The erstwhile resistance

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 222 plant variety can be attacked by the new biotype and become susceptible. Biotype, therefore, are a natural survival mechanism for the perpetuation of an insect species, selected on a resistance cultivar widely grown in areas where exposure to such insect in common (Nielson at al, 1971). If we are adhere to Nielson et al (1971), of course BPH in four districts will go to new biotype; but not happen changes to other biotype although Cisadane and IR64 since 1989 is planted widely and dominant. In my opinion do not changes biotype in four districts is caused by IR64 variety. Those variety is a good rice that preference by farmers as a shifty rice to BPH out break and completely bridle biotype 3 develop to other biotype. In this case IR64 have Bphl+ gene that flexible against BPH. IR64 have a high carrying capacity, it mean although high BPH infested, it still capable stability of production.

c. BPH development, Fecundity, feeding rate, and antixenosis Nymphal development on TN1, Cisadane, IR26, IR36 more higher almost to all BPH from four location. Nymphal development on IR64, IR72, and IR74 do not absolutely low, because nymphal development from Cirebon on IR64 showed tend high. Number of female on susceptible varieties tend to rise, but emergence of macropterous is difficult to differentiation between susceptible and resistance varieties. Baehaki (1985) reported that maintenance of 20 nymphs BPH/hill on Pelita 1/I susceptible rice variety resulted 50% female brachypterous, less then 10% male macropterous, 25% male brachypterous, and 15% female macropterous. Abundance macropterous female will be got of crowded BPH population (Baehaki, 1985; Kisimoto, 1956). Also amount female macropterous will be got on old rice varieties, where as on the young plant nymph develop especially to brachypterous. Emergence of macropterous is caused by decrease mimic juvenile hormone. In the young plant, green tissue rich mimic juvenile hormone affected BPH develop to brachypterous wing form. So the certainty young rice variety do not urge BPH develop to macropterous. Related to this case BPH generation 1 and 2 dominated by female brahypterous, but in generation 3 or more dominated by female macropterous (Baehaki, 1985).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 223

Nymphal development on rice varieties closely related to fecundity and feeding rate of BPH. Fecundity of BPH from all location on TNI, IR26, and IR36 resulted more offspring compare BPH offspring on IR72 and 1IR74. Offspring BPH from Cirebon on IR64 is the highest, but population BPH of Karawang, Indramayu, especially BPH form Sukamandi-Subang are low, less than 20 BPH/female. Dry weight offspring of BPH follows to the numbers offspring BPH, it mean dry weight depend on number of BPH population. So dry weight BPH of TN1, IR26, IR36, and Cisadane more heigher compare BPH dry weight of IR72 and IR74. The miracle dry weight BPH from Cirebon that maintenance on IR64 higher than dry weight BPH of TNI. This result indicate that BPH of Cirebon have began to destroy IR64. Feeding rate of BPH can be measured by stain honey dew area on filter paper. Generally BPH on TNI, IR26, IR36, and Cisadane result more stain area. Feeding rate of BPH from Cirebon to IR64, almost one level of feeding rate BPH on IR26 and IR36, so this indicate IR64 variety will be broke by BPH from Cirebon. Honey dew area on resistance rice variety IR72 and IR74 are very small compare to others rice varieties. Antixenosis research showed that almost BPH from all location prefer to TN1, IR26, IR36, and Cisadane, because numbers of BPH eggs more higher than BPH eggs on IR64, IR72, IR74. BPH reaction to IR72 and IR74 is always stable with low colonization and reduce numbers of eggs laying. BPH reaction to IR64 is unstable depend on the origin of BPH location. BPH from Karawang , Subang, and Indramayu give low antixenosis with little bit numbers of eggs. In the other hand BPH from Cirebon indicate high preference to IR64 by high eggs laying. Generally TNI, IR26, IR36 is group of low tolerance to all level of BPH population began of 25 BPH/hill. Cisadane varieties is a moderate tolerance, because this variety tolerance to 25-50 BPH/hill, but reduced tolerance to 100 BPH/hill. IR64 is exist between moderate and high tolerance, because this variety some time high tolerance, but some time moderate tolerance. Reaction IR64 to BPH from Karawang, Subang, and Indramayu is high tolerance, but to BPH from Cirebon show moderate tolerance. In the other hand IR72 and IR74 is high tolerance to all level of BPH from all location.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 224

Painter (1951) defined host plant resistance is ―the relative amount of heritable qualities possessed by the plant which influence the ultimate degree of damage done by he insect in the field‖. In practical agriculture resistance represent the ability of certain variety to produce a larger crop of good quality than other varieties under the same level of insect infestation and comparable environment. Painter (1951) classified the mechanism of resistance that are non preference, antibiosis, and tolerance, but Kogan and Ortman (1978) proposed that term non preference should be replaced by antixenosis because the former describes a pest reaction and not a plant characteristic. Antixenosis is the resistance mechanism employed the plant to deter or reduce colonization by insect (Panda and Khush, 1995). Generally insect orient themselves toward plant for food, oviposition sites, and/or for shelter. Plant that exhibit antixenotic resistance should have a reduce initial number of colonizers early in the season, the size of the insect population should also be reduce after each generation as compared with susceptible plant. The most primitive condition is represented by the palate scale, which may reduce transpiratory losses, from this evolved the stellate hair and finally the tufted hair,which protect against insect attack. Plant hair or pubescence interfere with insect oviposition, attachment to the plant, feeding, and ingestion. Chemical cues are involved in all the three phase of host selection behavior: orientation, oviposition, and feeding. The eventual acceptance or rejection of a plant as a host usually depend on contact with the plant surface or through probing after landing. For example although the attractive properties of onion volatile diprophyl disulfide in host finding and oviposition on the onion Delia antique have long been recognized, yet minute of diallyl disulfide in the onion volatiles are antagonic to the stimulating properties of diprophyl disulfide (Harris and Millers, 1982). Volatile hydrocarbons and other secondary component may act as oviposition deterents. Saxena (1986) reviewed the effect of rice plant allelochemicals on the behavior and physiology of Chilo supressalis, Nilaparvata lugens, Sogatella furcifera and Nepholeltix virescens. Stem distillate extracts of the resistance rice variety TKM6 as pentadecanal inhibit oviposition, hatching, and larval development of C. supressalis.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 225

Tolerance is genetic trait of a plant that protect it against an insect population which would damage a susceptible host variety, so that there is no economic yield loss or lowering of the quality of the plant‘s marketable product. The mechanism of tolerance is distinct from antixenosis and antibiosis (Panda and Heinrichs, 1983). Tolerance does not effect the rate of population increase at the target pest, but does raise the threshold level. Tolerance is an adaptive mechanism for the survival of plant, and is more or less independent of the effect upon the insect. The type of host plant resistance refers strictly to resultant effects and not mechanism.

CONCLUSSION 1. IR64 and Cisadane varieties is a paired compatible for safety national rice production, this coupled rice varieties held low and stability of pest population. 2. In the seed box test TNI and IR26 is susceptible varieties to BPH from Karawang, Subang, Indramayu, and Cirebon. IR36 variety is susceptible only to BPH from Karawang and Subang. In the other hand IR64, Cisadane, IR72, IR74 are moderate up to high resistance. 3. In the modified test TNI, IR26, and IR36 are susceptible varieties to BPH from Karawang and Subang, whereas IR64, IR72, and IR74 are moderate up to high resistance. IR26, IR36, IR64, Cisadane, IR72, and IR74 are moderate up to high resistance to BPH from Indramayu and Cirebon, but TN1 is susceptible. Cisadane variety is susceptible to BPH from Karawang, but moderate resistance to BPH from Subang, Indrarnayu and Cirebon. 4. BPH nymphs from all location develop to adult on TN1, IR.26, IR36, and Cisadane is good, but nymph development on IR64, IR72, and IR74 is suppressed, except BPH from Cirebon on IR64. 5. In the antixenosis test, eggs laying of BPH more prefer on TNI, IR26, IR36, and Cisadane. Numbers of eggs on those varieties is high, whereas on IR64, IR72, and IR74

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 226

reduced numbers of eggs, except egg laying of BPH from Cirebon on IR64 indicate to rise. 6. Numbers offspring and weight of BPH on TN1, IR26, IR36, and Cisadane is high, but low offspring and weight on IR64, IR72, and IR74, except BPH from Cirebon on IR64. 7. The susceptible varieties IR26 and IR36 generally is low of antibiosis, but Cisadane variety although include to susceptible rice variety have more antibiosis value. Also IR64, IR72, and IR74 properties high antibiosis, except IR64 to BPH from Cirebon showed minus antibiosis. It means IR64 against BPH from Cirebon give susceptible reaction. 8. BPH honey dewdepend on of resistance level rice varieties. It is according to level on antibiosis of rice. Generally sap sucking on susceptible rice varieties result more wide of honey dew on filter paper, whereas on resistance rice varieties result narrow honey dew stain. 9. High carrying capacity of rice to insect population as a photos ability of rice to produced grain more than rice in a control treatment. The rice quality and tonnage without decrease although infested by insect in level economic threshold as of susceptible rice varieties.

REFERENCE Baehaki SE. 1985. Study of Development brown planthopper population, Nilaparvata lugens (Stal) origin of imigrant and dispersal in the field, IPB Dissertation, 15p. Baehaki S.E, A. Rifki, AG. Salim. 1991. Assessment of brown planthopper biotype in rice production region. Sukamandi Research Media. No.9, 26-30. Baehaki SE. 1995. Natural biological control of rice pest in Indonesia prospect for research. Presented in the meeting IPM Net Work. Hangzou , PR. China, l2p. Baehaki.S.E, A. Rifki, and P. Sasmita. 1996. Rotation Varieties as a tactic management of Brown planthopper. In Seminar Apresiasi Hasil Penelitian Balai Penelitian Tanaman Padi. Book II (in Indonesia). 261pp. Research Institute for Rice. Dixon. A.G.O, P.J. Bramel-Cox, J.C. Reese and T.L. Harvey. 1990. Mechanism of resistance and their interaction in twelve sources of resistance to biotype E greenbug (Homoptera: Aphididae) in sorghum. Journal of Economic Entomology. 83: 234-240. Gallagher, K.D, P.E. Kenmore, and K. Sogawa. 1994. Judicial use of Insecticides DeterPlanthopper outbreaks and extend the Life of Resistant Varieties in

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 227

SoutheastAsian Rice. In Planthopper : Their Ecology and Management, R.F. Denno and J.T. Perfect. Chapman & Hall, New York. 799pp. Harris M.Oand JR. Millers. 1982. Synergism of visual and chemical stimuli in the oviposition behavior of Delia antiqua (Meigen) (Diptera:Anthomyiidae). In Proceeding of the Inter. Symp. Of Insect — Plant relationship. Heinrichs, E.A., F.G. Medrano, and H.R. Rapusas. 1985. Genetic evaluation for insect resistance in rice. Manila (Philippines): International Rice Research Institute. 356p. Kisimoto R. 1956. Effect of crowding during the larval period on determination of the wing form of adult planthopper.Nature (Lond). 178: 64 1-42 Kogan M and E.E. Ortman. 1978. Antixenosis a new term to replace Painter‘s nonpreference modality of resistance. Bull. Entomol. Soc. Ann. 24: 175-76. Gallun R.L. 1972. Genetic inter-relationship between host plant and insect. J. Environ. Qual. 1: 259-262. Nielson M.W, M.H Schonhorst, H. Don, W.F. Lehman, and V.L. Marble.1971, Resistance in alfalfa to four biotypes of spotted alfalfa aphid. J. Econ. Entomol. 64: 506-510 Painter, RH. 1951. Insect resistance in crop plants. The MacMillan Co., New York S2Op. Panda, N and U.S. Khush. 1995. Host Plant Resistance to Insects. CAB.International in.Association with the IRRI. 431p. Panda, N and E.A, Heinrichs. 1983. Level of tolerance and antibiosis in rice varieties having moderate resistance to BPH, Nilaparvata lugens (Stat.) (Hemiptera: Delphacidae). Environ. Entomol. 12:1204-1214. Robinson, J. H.E. Vivar, P.A. Burnet and D.S. Calhoun. 1991. Resistance to Russian wheat aphis (Homoptera: Aphididae) in barley genotypes. Journal of Economic Entomology. 84: 674-679. Russell, G.E. 1978. Plant breeding for pest and diseases resistance. Butterworth and Co., London. 485p Saxena R.C 1986. Biochemical bases of insects resistance in rice varieties, in natural resistance of plant to pest. ACS Symp. Serie 296. Velusamy, R., E.A. Heinrichs, and F.G. Medrano. 1986. Greenhouse techniques to identify field resistance to the brown planthopper Nilaparvata lugens (Stal) (Homoptera: Delphacidae) in rice cultivars. Crop Protection 5:328-333.

Notulensi Diskusi Seminar Askin : Bisakah pemangkasan biotipe? Bagaimana melihat controlnya? Jawab : Bisa iya bisa tidak, tergantung varietas barunya. Satu varietas 6 baris, pada varietas yang tahan lubangnya sangat kecil. Dwi – Faperta UGM : Data synopsis indikatornya bagaimana? Jawab : Belum bisa dibedakan antara anti serumsis dan anti biosis.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 228

Risti : Bagaimana membedakan biotape wereng? Dan berapa banyak yang bapak uji? Jawab : Di lapangan kita tidak bisa membedakan morfologinya bisanya menggunakan biodiverensial, reaksi tiap varietas yang menentukan. Biotape yang dipakai 1 saja, ulangan yang banyak.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 229

OPH-19 Potensi Pemanfaatan Musuh Alami dalam Pengendalian Hama Wereng Coklat (Nilavarva talugens) pada Padi Herwenita1 dan Aulia Evi Susanti1 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Selatan Jl. Kol H. Barlian No. 83 Km. 6 Palembang Email : [email protected]

ABSTRAK Hama wereng coklat (Nilaparvata lugens Stal.) masih merupakan hama utama padi di Indonesia. Bersama- sama dengan hama wereng lainnya seperti wereng hijau dan wereng putih, wereng coklat telah banyak merugikan petani padi bahkan mengakibatkan puso dan gagal panen. Wereng coklat sulit dibasmi dikarenakan dapat membentuk populasi cukup besar dalam waktu singkat, memiliki sifat perpindahan yang cepat, daya adaptasi tinggi dan merusak tanaman pada semua fase pertumbuhan. Usaha pengendaliannya telah banyak dilakukan seperti penggunaan varietas tahan, pemakaian insektisida dan pengaturan cara bercocok tanam. Pengalaman menunjukkan bahwa penggunaan varietas tahan tidak dapat dilakukan terus menerus, sehingga perlu dicari cara pengendalian lain, seperti penggunaan musuh alami. Beberapa jenis musuh alami wereng coklat dan hama padi antara lain laba-laba (Arachnida), Kumbang (Coleoptera), Kepik (Hemiptera), Capung (Odonata), dan Belalang (Orthoptera). Kata kunci: Wereng Coklat, musuh alami, padi

ABSTRACT Rice brown plant hopper (Nilaparvata lugens Stal.) is still the main pest of rice in Indonesia. Together with several other plant hopper species such as green leafhoppers (Nephotettix spp.) and the white back plant hopper (Sogatella furcifera), brown plant hopper has many harmful and even cause crop failure. Brown planthopper is difficult to eradicate because it has a rapid proliferation and can quickly adapt to environmental changes. Control efforts have been done such as the use of resistant varieties, insecticides and settings cultivation. Experience has shown that the use of resistant varieties can not be applied continuously, so that other control is needed to find. Control with the use of natural enemies is an alternative control that could be developed. Several types of natural enemies of brown plant hopper and rice pests such as spiders (Arachnida), beetles (Coleoptera), Ladybug (Hemiptera), dragonflies (Odonata), and Conocephalus longipennis (Orthoptera: Tettigoniidae). Keywords : Natural enemies, brown plant hopper, potential, control

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 230

PENDAHULUAN Padi merupakan tanaman paling penting di Indonesia dikarenakan mayoritas penduduk Indonesia mengkonsumsi beras sebagai makanan pokoknya. Sebagai bahan pangan pokok bagi sekitar 90% penduduk Indonesia, beras menyumbang antara 40-80% kalori dan 45-55 % protein. Sumbangan beras dalam mengisi kebutuhan gizi tersebut makin besar pada lapisan penduduk yang berpenghasilan rendah. Mengingat demikian pentingnya beras dalam kehidupan bangsa Indonesia, maka pemerintah telah menempuh berbagai kebijakan untuk meningkatkan produksi padi, yaitu dengan program intensifikasi, ekstensifikasi, diversifikasi dan rehabilitasi lahan pertanian (Anonim, 2009). Direktur Budidaya Tanaman Serealia Kementerian Pertanian, Dadih Permana memprediksi tahun ini jumlah lahan padi yang kemungkinan terkena hama sekitar 600 ribu hektare. Hama yang paling mengkhawatirkan ialah hama wereng batang cokelat. Selain itu, tikus dan banjir kering juga menambah kekhawatiran (Rosalina, 2011). Wereng Batang Coklat (Nilaparvata lugens) atau disebut juga Wereng Coklat merupakan salah satu hama tanaman padi yang paling berbahaya dan sulit dibasmi. Bersama beberapa jenis wereng lainnya seperti wereng hijau (Nephotettix spp.) dan wereng punggung putih (Sogatella furcifera), wereng coklat telah banyak merugikan petani padi bahkan mengakibatkan puso dan gagal panen. Hama ini menjadi penting dikarenakan kemampuannya membentuk populasi cukup besar dalam waktu singkat, memiliki sifat perpindahan yang cepat, daya adaptasi tinggi dan merusak tanaman pada semua fase pertumbuhan. Kerusakan tanaman disebabkan oleh kegiatan makan dengan menghisap cairan pelepah daun (Baehaki, 1989; Pathak, 1988) sehingga mengakibatkan perkembangan tumbuhan menjadi terganggu bahkan mati. Selain itu, wereng coklat juga menjadi vektor (organisme penyebar penyakit) bagi penularan sejumlah penyakit tumbuhan yang diakibatkan virus serta menyebabkan tungro.

SERANGAN WERENG COKLAT DI INDONESIA Wereng coklat merupakan hama global bukan saja menyerang pertanaman padi di Indonesia, juga menyerang pertanaman padi di Cina, Thailand, Vietnam, India, Bangladesh,

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 231

Malaysia, Filipina, Jepang, dan Korea. Di Indonesia wereng coklat merupakan hama tua yang sudah lama dikenal sebagai hama yang hingga saat ini sudah 80 tahun sejak 1930 masih menjadi kendala dalam peningkatan produksi padi. Sebaran serangan wereng coklat terkonsentrasi di Provinsi Banten (Kab. Pandeglang), Jawa Barat (Kab. Subang, Karawang, Indramayu, Cirebon), Jawa Tengah (Kab. Klaten, Sukoharjo, Boyolali, Pekalongan, Pemalang, Tegal) dan Jawa Timur (Kab. Banyuwangi, Jember, Bondowoso, Lamongan).

Tabel 1. Serangan Wereng Coklat Selama 5 Dasawarsa Dasawarsa Luas Lahan (Ha) 1960-1970 52.000 1971-1980 2.510.680 1981-1990 54.770 1991-2000 250.000 2001-2010 272.580 Sumber : Prof. Dr. Ir. Baehaki SE – BB Penelitian Padi Sukamandi Serangan wereng coklat tertinggi terjadi pada dasawarsa 1971-1980 yang mencapai 2.510.680 ha. Periode tersebut merupakan puncak serangan wereng coklat di Indonesia. Pada periode 1981-1990, serangan wereng coklat mampu diatasi sehingga terjadi penurunan yang signifikan, namun kembali meningkat pada dasawarsa setelahnya. Pada awal tahun 2010 serangan wereng coklat di pertanaman terjadi di berbagai provinsi dengan tingkat serangan mulai rusak ringan sampai puso. Berdasarkan hasil pantauan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan (Ditjentan), luas serangan wereng coklat sampai Agustus 2010 mencapai 105.372 ha dengan luas tanaman puso 4.161 ha, merupakan luas serangan terluas 10 tahun terakhir (Tempo Interaktif, 2011).

PENGENDALIAN WERENG BATANG COKLAT Ledakan wereng coklat biasanya terjadi akibat penggunaan pestisida yang tidak tepat, penanaman varietas rentan, pemeliharaan tanaman, terutama pemupukan, yang kurang tepat, dan kondisi lingkungan yang cocok (lembab, panas, dan pengap) (Bawolye & Syam, 2006). Cara alami untuk mengontrol hama yang telah berlangsung selama berabad-abad adalah hubungan yang saling mempengaruhi dalam ekosistem. Usaha pengendaliannya

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 232 telah banyak dilakukan seperti penggunaan varietas tahan, pemakaian insektisida dan pengaturan cara bercocok tanam. Pengalaman menunjukkan bahwa penggunaan varietas tahan tidak dapat dilakukan terus menerus, sehingga perlu dicari cara pengendalian lain, seperti penggunaan musuh alami (Kartoharjono, 1990). Wereng coklat sulit diatasi dengan satu cara pemberantasan. Untuk mengatasi dengan aman, dilakukan pengendalian secara terpadu sehingga memberi peranan penting pada musuh alami sebagai komponen yang tidak dapat ditinggalkan (Westen, 1990). PENGENDALIAN BERDASAR MUSUH ALAMI Banyak sekali musuh alami di alam yang diketahui efektif untuk menekan perkembangan populasi wereng coklat antara lain predator yang mencapai 19–22 famili dan parasitoid 8–10 famili. Predator–predator ini cocok untuk pengendalian wereng coklat karena kemampuannya memangsa spesies lain (polyfag) sehingga ketersediaannya di alam tetap terjaga walaupun pada saat populasi wereng coklat rendah atau di luar musim tanam (Mahrub & Arwiyanto, 2003). Pengamatan hama wereng cokelat dan musuh alami paling sedikit dilakukan 2 minggu sekali. Kemudian hasil pengamatan dihitung berdasarkan formula Baehaki (1996) sebagai berikut: Ai (5Bi+2Ci) Di = ------20

Ai : Jumlah wereng (wereng cokelat + wereng punggung putih) pada 20 rumpun pada minggu ke-i Bi : Jumlah predator (laba-laba+ Ophionea nigrofasciata + Paederus fuscifes + Coccinella sp) pada 20 rumpun pada minggu ke-i Ci : Jumlah kepik Cyrtorhinus lividipennis pada 20 rumpun pada minggu ke- i Di : Jumlah wereng cokelat terkoreksi per rumpun Dari hasil pengamatan tersebut dapat dilakukan tindakan apakah perlu/tidak perlu pemberian insektisida sebagai berikut.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 233

 Bila Di lebih besar dari 5 pada padi berumur di bawah 40 hari setelah tanam (hst) atau nilai D1 lebih besar dari 20 pada padi berumur di atas 40 hst, maka perlu diberi insektisida yang direkomendasikan.  Bila nilai Di kurang dari 5 pada padi berumur di bawah 40 hst atau nilai Di kurang dari 20 pada padi berumur di atas 40 hst, maka tidak perlu diberi insektisida, tetapi teruskan amati pada minggu berikutnya. Teknologi pengendalian wereng coklat menggunakan ambang kendali berdasarkan manipulasi musuh alami dapat mengurangi pemakaian insektisida dan meningkatkan pendapatan (Baehaki dkk., 1996). Teknologi ini diawali dengan pemantauan pada pertanaman untuk menentukan ambang ekonomi wereng terkoreksi musuh alami dengan menggunakan formula Baehaki (1996). Insektisida yang direkomendasikan dapat digunakan untuk pengendalian hama jika ambang ekonomi terkoreksi yang ditentukan telah terlampaui. Berikut adalah beberapa jenis musuh alami wereng batang coklat dan hama padi pada umumnya. 1. Laba-laba Serigala (Lycosa pseudoanulata) Laba-laba ini memiliki ukuran 5-18 mm dengan ciri-ciri bagian punggungnya terdapat 3 buah garis dan pada tubuh bagian ‘cephalothorax’ depannya terdapat tanda bentuk Y serta disekitar matanya berwarna gelap (hitam). Kebiasaan hidupnya berada di bagian bawah batang atau di atas permukaan air pada siang hari dan pada malam hari biasanya berada pada daun bagian atas. Rentang hidupnya 100 hari dan jumlah telur yang dihasilkan 380/betina. Laba-laba ini aktif mencari dan memburu mangsanya. Kemampuan memangsanya tinggi bergantung pada ukuran mangsa dan keaktifan mangsanya. Kemampuan memangsa terhadap wereng coklat mencapai 10-20 ekor imago/hari atau 15-20 nimfa/hari. Selain wereng coklat, laba-laba serigala juga memangsa wereng hijau, wereng punggung putih, hama putih, hama putih palsu dan lalat bibit.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 234

2. Laba-laba Bermata Jalang (Oxyopes javanus) Laba-Iaba ini memiliki ukuran 7-10 mm, pada tungkai terdapat duri-duri yang panjang dengan mata berbentuk segi enam. Rentang hidup 150 hari dengan jumlah telur yang dihasilkan 350/betina. Laba-laba ini merupakan laba-laba aktif yang memburu mangsanya. Jenis mangsanya wereng batang coklat, wereng hijau, wereng punggung putih (8 ekor/ hari), wereng zigzag, lalat padi, hama putih dan hama putih palsu. 3. Laba-laba Berahang Empat (Tetragnatha spp.) Predator ini memiliki panjang tubuh 10-25 mm, terdapat rahang, tungkai-tungkainya panjang dan dalam keadaan diam/ beristirahat sering terjulur dalam satu garis. Rentang hidupnya 150 hari dan jumlah telur yang dihasilkan 120 butir/betina. Kebiasaan hidupnya adalah berada pada daun di mana laba-laba tersebut membentuk sarangnya. Laba-laba ini tidak begitu aktif menyerang mangsanya. Di siang hari laba-laba ini banyak diam dan di malam hari aktif membuat sarang dan mangsa yang terjerat oleh sarangnya baru ditangkap dan dimakan. Selain wereng coklat, jenis serangga yang dimangsa adalah wereng hijau, wereng pungguh putih, wereng hijau, wereng punggung putih, wereng zigzag dan lalat padi. 4. Kepik Permukaan Air (Microvellia douglasi atrolineata) Kepik ini hidupnya bergerombol dipermukaan air dan sangat aktif menyerang hama/serangga yang jatuh dipermukaan air dan tertarik oleh sinar. Jenis mangsa predator ini adalah wereng coklat, wereng hijau, wereng punggung putih, larva penggerek batang padi dan yang baru menetas. Kepik ini panjangnya 1,5 mm dengan ciri-ciri pada bagian bahu melebar, warna bahu hitam mengkilat, tungkai-tungkainya terletak pada jarak yang sama di sepanjang tubuhnya dan alat mulutnya tipe mengisap. Rentang hidupnya 45 hari dan jumlah telur yang dihasilkan oleh seekor betina adalah 100 butir. 5. Kepik Mirid (Cyrtorhinus lividipennis) Kepik mirid hidup pada tanaman padi, gulma dan tanaman lain dengan ciri-ciri berwarna hijau terang dan pada bagian kepala dan bahu terdapat warna hitam. Predator ini mempunyai ukuran tubuh 2,5-3,25 mm dengan alat mulut bertipe mengisap dan

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 235

pada malam hari mempunyai silat tertarik terhadap cahaya sinar. Rentang hidupnya 30 hari dan seekor betina dapat menghasilkan 30 telur. Jenis mangsanya lainnya selain wereng coklat adalah wereng hijau, wereng punggung putih, wereng zig-zag dan lalat padi. butir. 6. Kumbang Stacfilinea (Paederus fuscipes) Kumbang Stacfilinea aktif mencari mangsa pada malam hari dan dapat berenang di air atau pada bagian tanaman. Jenis mangsanya adalah wereng coklat, wereng hijau, hama putih, wereng zig-zag, wereng punggung putih dan larva ulat bulu yang masih muda. Predator ini mempunyai ukuran 7 mm dengan ciri-ciri sayapnya hanya separuh tubuh, ujung abdomen berwarna biru, tubuh bergaris-garis dan alat mulutnya bertipe mengunyah. Rentang hidupya 90-110 hari dan jumlah telur yang dihasilkan oleh seekor betina sebanyak 24 butir. 7. Kumbang Karabid (Ophionea nigrofasciata) Kumbang ini mempunyai ukuran panjang tubuh 8 mm dengan ciri-ciri tubuh mengkilat, kulit halus, kepala dan perut bagian tengah berwarna hitam kebiru-biruan dengan tipe mulut mengunyah. Rentang hidupnya 15 hari dan jumlah telur yang dihasilkan oleh seekor betina adalah 45 butir. Predator ini aktif mencari mangsa pada siang hari dan dapat berenang. Jenis mangsanya adalah wereng coklat, wereng hijau, hama putih, wereng zig-zag, wereng punggung putih, ulat bulu, ulat jengkal dan penggerek batang padi. Tempat hidupnya di pangkal batang atau di tanah yang tidak berair. 8. Kumbang Koksinelid (Synharmonia octomaculata) Kumbang ini merupakan predator wereng batang coklat, wereng punggung putih, wereng hijau, wereng zig-zag, aphis, hama putih palsu dan penggerek batang padi. Larva predator ini aktif memangsa secara berkelompok. Predator ini mempunyai ukuran tubuh 6-7 mm. Kumbang dewasa berbentuk bundar memanjang berwarna kuning, tubuh larva beruas-ruas dengan alat mulut mengunyah. Tempat hidupnya pada seluruh bagian tanaman. Rentang hidupnya 150 hari dengan jumlah telur yang diletakkan 45 butir/betina. 9. Kinjeng Dom (Agriocnemis spp.)

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 236

Kinjeng dom atau sering juga disebut capung kecil biasanya dijumpai di bawah tajuk tanaman dan bila hinggap pada batang tanaman tubuhnya mengarah lurus ke bawah. Capung ini merupakan predator wereng hijau, wereng coklat, wereng punggung putih dan hama putih palsu. Predator ini mempunyai panjang tubuh 30 mm dengan ciri-ciri tubuhnya ramping berwarna merah oranye atau abu-abu kebiru-biruan dan sayapnya mempunyai bentuk jaringan yang rumit. Rentang hidupnya 10-30 hari dan jumlah telur yang dihasilkan oleh seekor betina adalah 30 butir. 10. Belalang Bertanduk Panjang (Conocephalus longipennis) Predator ini sangat aktif di pagi hari, merupakan predator telur penggerek batang dan predator wereng coklat, wereng hijau, wereng zig-zag dan wereng punggung putih. Predator ini mempunyai panjang tubuh 25-32 mm dan mempunyai ciri khas antenanya 2-3 kali panjang tubuhnya dan tubuh berwarna hijau. Tempat hidupnya pada daun atau malai tanaman padi. Rentang hidup predator ini 110 hari dan jumlah telur yang dihasilkan berkisar antara 15-30 butir/betina.

HASIL PENELITIAN EFEKTIVITAS MUSUH ALAMI WERENG COKLAT IRRI melaporkan bahwa Cyrtorhinus memangsa telur wereng 4,1 butir/hari, memangsa nimfa instar 1; 2; 3; 4; 5, dan dewasa berturut-turut 0,4 ; 0,4 ; 0,5 ; 0,5 ; dan 0,6 ekor/hari. Namun di alam terjadi rantai makanan yang mana Cyrtothinus sendiri dimangsa oleh Lycosa sp. Sebanyak 11 ekor/hari. Pada awalnya Cyrtorhinus membunuh wereng coklat sampai 50%, tetapi perkembangan populasi wereng lebih cepat, karena Cyrtorhinus hanya meletakkan telur 13 butir/hari, sedangkan wereng coklat mencapai 50 butir/hati (IRRI, 1979). Aktivitas memangsa Cyrtorhinus tergantung dari populasi wereng coklat. Makin banyak populasi wereng, makin banyak pula yang dimangsa. Sukarna dan Sutisna melaporkan bahwa dengan perbandingan 20 wereng : 1 predator dan 1 : 1 rata-rata kemampuan memangsa tiap harinya berturut-turut 1,58 dan 0,13 ekor wereng tiap predator. IRRI melaporkan bahwa Lycosa jantan memangsa 5 ekor wereng coklat dewasa tiap hari, sedangkan Lycosa betina memangsa 9 ekor wereng coklat dewasa tiap hari. Nimfa

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 237 instar 1-3 dapt termangsa oleh Lycosa sebanyak 8 ekor/hari. Laba-laba Calitrichia daya mangsanya rendah, yaitu hanya 1 ekor wereng coklat/hari. Aktivitas Paederus, Casnodea dan laba-laba juga ditentukan oleh populasi werengnya. Makin tinggi populasi wereng, aktivitas predator tersebut makin tinggi. Daya memangsa Paederus pada populasi wereng 5 dan 15 ekor berturut-turut 1,4 dan 8 ekor wereng/predator/hari (Sukarna & Sutisna, 1984) Penelitian yang dilakukan oleh Marheni (Universitas USU, Medan) memberikan hasil bahwa Pardosa pseudoannulata Boesenberg., Tetragnatha maxillosa Thorell., Cyrtorhinus lividipennis Reuter, dan Conocephalous longipennis de Haan. berpotensi tinggi menekan populasi wereng coklat dan intensitas serangan pada tanaman padi dengan kemampuan memangsa masing masing 4,05; 3,10; dan 1,79 ekor/hari. Sementara itu, Cyrtorhinus lividipennis dan Conocephalous longipennis hanya mampu memangsa wereng coklat masing 0,38 dan 0,57 ekor/hari sehingga mempunyai potensi rendah untuk dijadikan predator dalam usaha pengendalian wereng coklat. Intensitas serangan Nilaparvata lugens rendah bila kemampuan memangsa predator tinggi, yaitu pada Paradosa pseudoannulata (P1), Tetragnatha maxillosa (P2), dan Ophionea nigrofasciata (P4), masing-masing sebesar 17,05%; 18,89%; dan 21,84%. Sebaliknya intensitas serangan WBC akan tinggi jika kemampuan memangsa dari predator rendah, yaitu Cyrtorhinus lividipennis (P3) dan Conocephalous longipennis (P5), masing–masing sebesar 52,67% dan 52,87% (Marheni, 2004).

KESIMPULAN Wereng coklat merupakan salah satu hama tanaman padi yang paling berbahaya dan sulit dibasmi. Wereng coklat mempunyai daya perkembangbiakan cepat dan segera dapat menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan. Berbagai cara telah dilakukan untuk mengendalikan hawa wereng coklat, seperti penggunaan varietas tahan, pemakaian insektisida dan pengaturan cara bercocok tanam. Cara aman untuk mengatasi wereng coklat adalah dengan pengendalian secara terpadu. Dalam pengendalian hama terpadu, penggunaan musuh alami merupakan cara yang mudah, murah dan efisien. Beberapa jenis

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 238 musuh alami wereng coklat dan hama padi, diantaranya laba-laba serigala (Lycosa pseudoanulata), Laba-laba Bermata Jalang (Oxyopes javanus), Laba-laba Berahang Empat (Tetragnatha spp.), Kepik Permukaan Air (Microvellia douglasi atrolineata), Kepik Mirid (Cyrtorhinus lividipennis), Kumbang Stacfilinea (Paederus fuscipes), Kumbang Karabid (Ophionea nigrofasciata), Kumbang Koksinelid (Synharmonia octomaculata), Kinjeng Dom (Agriocnemis spp.), dan Belalang Bertanduk Panjang (Conocephalus longipennis). Pengamatan hama wereng cokelat dan musuh alami paling sedikit dilakukan 2 minggu sekali. Dari hasil pengamatan tersebut dapat dilakukan tindakan apakah perlu/tidak perlu pemberian insektisida. Teknologi pengendalian wereng coklat menggunakan ambang kendali berdasarkan manipulasi musuh alami dapat mengurangi pemakaian insektisida dan meningkatkan pendapatan (Baehaki dkk., 1996).

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2009. Teknologi Pengolahan Beras.http://www.tempointeraktif.com/hg/bisnis/ 20011/01/19/brk,20110119-307569,id.html. (diakses tanggal 19 Januari 2011) Anonim. 2010. Wereng Batang Coklat dan Pengendaliannya. http://blog.unila.ac.id/ hamim/files/2010/11/Wereng-coklat-HS-Presentation1.2.pdf (diakses tanggal 15 Januari 2011) Baehaki, S.E. dan D. Sukarna, 1988. Tekanan Predator dan Insektisida Terhadap Perkembangan Wereng Coklat di Pertanaman. Penelitian Wereng Coklat Edisi Khusus No. 2. Balai Penelitian Tanaman Pangan. Bogor. Baehaki, S.E. 1989. Dinamika Populasi Wereng Batang Coklat. 1: 16-30 Baehaki S.E. 1996. Formula pengendalian wereng coklat menggunakan ambang ekonomi berdasar musuh alami. Suatu sintesis data mendasari rasionalisasi pengendalian hama secara kuantitatif pada tanaman padi. Unpublished. Baehaki S.E., P. Sasmita, D. Kertoseputro, dan A. Rifki. 1996. Pengendalian hama berdasar ambang ekonomi dengan memperhitungkan musuh alami serta analisis usaha tani dalam PHT. Temu Teknologi dan Persiapan Pemasyarakatan Pengendalian Hama Terpadu. Lembang. Borror, D.J., D.M. Delong and C.A Triplehorn. 1981. An Introduction to The Study of Insect. Fifth Edition. Philadelpia. Pa. Saunders College. IRRI. 1979. Annual report for 1979. IRRI. Los Banos. Philippines. IRRI. 1980. Annual report for 1980. IRRI. Los Banos. Philippines. J, Bawolye, dan M. Syam. 2006. Wereng Coklat. Informasi Ringkas Teknologi Padi. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 239

Kartoharjono, A. 1990. Hubungan antara wereng batang coklat dan predatornya pada tanaman padi varietas Simeru di Jawa Tengah. Di dalam: Padi dan Palawija. Bogor: Bogor: Seminar Balittan.Lanya, H., Mustaghfirin, Baskoro SW, dan Urip SR. 2010. Pengamatan & Pengendalian Wereng Batang Coklat (WBC). Balai Besar Peramalan OPT. Mahrub, E. & Arwiyanto, T. 2003. Identifikasi hama dan penyakit padi di sentra produksi padi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Gama Sains 5. Marheni. 2004. Kemampuan Beberapa Predator pada Pengendalian Wereng Batang Coklat (Nilaparvata lugens Stal.). Jurnal Natur Indonesia 6(2): 84-86. Pathak, A.D. 1988. Insect Pest of Rice. Los Banos: IRRI. Rosalina. 2011. Ratusan Ribu Hektare Lahan Padi Terancam Serangan Hama. http://www.tempointeraktif.com/hg/bisnis/2011/01/19/brk,20110119-307569, id.html. (diakses tanggal 19 Januari 2011). Shepard, B.M., A.T. Barion, dan J.A. Litsinger. 2000. Helpful Insenct, Spiders, and Pathogens. International Rice Research Instiute. Los Banos, Laguna, Philippines. Sukarna, D. dan A. Sutisna. 1984. Beberapa Predator Wereng Coklat dan Kemampuan Memangsanya. Pemberitaan Puslitbangtan No. 3. Wawan, J. 2009. Musuh Alami Wereng Hijau. http://wawan-junaidi.blogspot.com/ 2009/09/musuh-alami-wereng-hijau.html. (diakses tanggal 19 Januari 2011) Westen, N. 1990. Perilaku predator Cyrtorhinus lividipennis Reuter (Hemiptera: Miridae) terhadap tiga jenis wereng Nilaparvata lugens Stal., Sogatella furcifera Hovath (Homoptera: Delphacidae), dan Nephotetix virescens Distant (Homoptera: Cicadellidae). Tesis Pascasarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 240

OPH-20 Kajian Inovasi Teknologi Penerapan Perangkap Kuning (Yellow trap) pada Pembibitan Bawang Merah di Kabupaten Brebes. Hairil Anwar1 dan Yulianto1 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah Alamat : Bukit Tegalepek, Sidomulyo, kotak pos 101, Ungaran Telep. (024) 6924965 – 6924967, Fax. (024) 6924966

ABSTRAK Bawang merah (Allium ascalonicum, L) termasuk komoditas sayuran unggulan Kabupaten Brebes. Secara nasional komoditas ini banyak dikonsumsi dan dibutuhkan oleh masyarakat. Propinsi Jawa Tengah merupakan salah satu pemasok kebutuhan nasional tertinggi dengan tingkat produksinya mencapai rata-rata 8,24 ton/ha (Dirjen Bina Produksi Hortikultura, 2004). Selama periode 1993-2003 produktifitas budidaya bawang merah di Jawa Tengah terus mengalami penurunan rata-rata 0,25% per tahun. Salah satu penyebabnya adalah adanya serangan hama dan penyakit tanaman. Pada bulan Agustus 2004 telah dilakukan identifikasi pola serangan hama yang membahayakan tersebut pada pola tanam bawang merah yang berbeda dan pengendaliannya di tingkat petani. Serangga hama tersebut adalah lalat pengorok daun Lyriomiza sp dan ulat penggerek daun Spodoptera exigua. Kajian Inovasi Teknologi penerapan perangkap kuning (Yellow trap) pada perbibitan bawang merah bersertifikat di Jawa Tengah, bertujuan untuk mengetahui tingkat populasi dan kerusakan akibat serangan hama tersebut. Lokasi kegiatan dilaksanakan di dua desa yaitu Desa Klampok, Kecamatan Wanasari, dan Desa Tanjung, Kec. Tanjung, Kabupaten Brebes, dengan ketinggian tempat di bawah 20 meter dari permukaan laut, topografi datar, jenis tanah termasuk vertic endo-aquep dan tekstur liat. Luas lahan pengkajian seluas 4,2 hektar. Metode yang digunakan pada pengkajian ini adalah metode rancangan acak kelompok dengan jumlah ulangan sebanyak 10 kali yaitu petani kooperator, masing-masing 5 petak sampel tanaman bawang merah setiap petani dan perlakuan sebanyak 2 yaitu lokasi desa. Adapun komponen teknologi yang diterapkan adalah penggunaan alat perangkap berwarna kuning dengan jumlah 20 buah untuk lahan seluas satu hektar. Alat perangkap dipasang secara acak (random sampling) berjarak 10-20 meter antar perangkapnya. Berdasarkan hasil studi menunjukkan bahwa hama Lyriomiza sp dan Spodoptera exigua menyerang pada berbagai stadia/umur pertumbuhan tanaman bawang merah, sejak tanaman mulai tumbuh sampai menjelang tanaman panen, dengan jumlah populasi hasil tangkapan komulatif rata-rata berkisar 10 ekor sampai 20 ekor per hektarnya. Sedangkan tingkat kerusakan yang disebabkan oleh serangga hama tersebut secara komulatif yaitu berkisar rata - rata 5,2 % hingga 8,7 % Kata Kunci: Perangkap kuning, Spodoptera exigua, Perbibitan bawang merah

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 241

PENDAHULUAN Salah satu masalah yang dihadapi dalam pengembangan komoditas bawang merah di Jawa Tengah adalah terjadinya penurunan produktifitas usaha tani bawang merah. Produktifitas bawang merah selama tahun 1994-2003 mengalami penurunan 0,25% per tahun ( BPS, 1994-2003 dalam Dipertan Propinsi Jawa Tengah, 2004). Faktor rendahnya kualitas bibit yang digunakan diduga merupakan penyebab utama penurunan produktifitas tersebut. Rendahnya kualitas bibit yang digunakan petani antara lain disebabkan oleh terjadinya serangan hama dan penyakit. Hama ulat penggerek daun dan lalat pengorok daun merupakan hama utama pada tanaman bawang merah, serangga tersebut memiliki daya memangsa yang bersifat polyfagus, sehingga dapat menurunkan hasil cukup tinggi di daerah sentra-sentra produksi jika serangannya tidak segera diatasi. Penanganan masalah tersebut secara parsial telah ditempuh dan ternyata tidak mampu mengatasi masalah yang komplek dan juga tidak efisien. Oleh karena itu guna memenuhi kebutuhan bawang merah baik, nasional maupun regional yang terus meningkat dari tahun ke tahun, maka perlu diupayakan terobosan teknologi yang cocok untuk perkenalkan di daerah sentra produksi seperti Kabupaten Brebes dan mampu memberikan nilai tambah, serta meningkatkan efisiensi usaha. Salah satu alternatif inovasi teknologi tersebut yaitu penerapan model pengendalian hama secara terpadu melalui pengelolaan tanaman terpadu (PTT). Pengelolaan tanaman terpadu merupakan model pendekatan usaha intensifikasi, dengan mengimplementasikan berbagai komponen teknologi spesifik lokasi yang memberikan efek sinergis sehingga dapat dikombinasikan penggunaan komponen teknologinya. Pada kegiatan ini strategi penerapan konsep PHT merupakan modal utama dalam mengantisipasi kendala serangan hama. Penerapan konsep PHT yang diintroduksikan merupakan komulatif pengendalian melalui model pengelolaan hama berdasarkan tingkat kebutuhan dan keputusan sebijaksana mungkin dengan cara menggabungkan dua atau lebih komponen teknologi pengendalian hama untuk mencapai sasaran yaitu efektif, efisien dan ekonomis.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 242

Menurut Sastrosiswojo (1995) bahwa kontribusi penerapan PHT pada tanaman sayuran, termasuk bawang merah secara umum memiliki beberapa keuntungan yang diperolehnya antara lain: a) secara ekonomis, menekan biaya produksi (rendahnya biaya untuk penggunaan pestisida sintetik dan pupuk), panen lebih tinggi disebabkan penggunaan pupuk yang berimbang mengakibatkan tanaman tumbuh optimal dan mempunyai ketahanan lingkungan yang tinggi terhadap serangan hama maupun penyakit dan b) secara ekologis, berkurangnya pencemaran lingkungan, hasil terhindar dari residu pestisida sintetik, dapat menghasilkan produk yang sehat sehingga banyak diminati, serta dapat memelihara peranan musuh alami. Model penerapan PHT melalui pendekatan PTT, sebagai upaya untuk mensosialisasikan pendekatan usaha intensifikasi bawang merah, berwawasan lingkungan yang berdasarkan berbagai kajian dan penelitian di berbagai lembaga penelitian termasuk BPTP Jawa Tengah pada tahun 2005, secara konsisten mampu meningkatkan produktifitas bawang merah hingga 2,4 % dari laju produktifitas tahun sebelumnya (Dirjen Hortikultura, 2004) dan meningkatkan efisiensi usaha tani, yang akhirnya mampu meningkatkan pendapatan petani. Beberapa komponen teknologi PTT yang diimplementasikan pada areal kegiatan PHT meliputi: a) penggunaan varietas unggul adaptif dan benih berkualitas, b) seed treatmen, c) penggunaan bahan organik (kompos), d) pemupukan N, P dan K berdasarkan kebutuhan tanah atau rasional/berimbang, e) pengendalian hama secara terpadu.

METODOLOGI Pengkajian dilakukan di lahan petani penangkar bibit bawang merah dengan metode pendekatan diskriptif. Lokasi yang digunakan merupakan lahan sawah irigasi, terletak pada ketinggian tempat di bawah 20 m dpl, bertopografi datar dengan jenis tanah termasuk vertic endo-aquep, berstruktur liat dan pH tanah mencapai 7,0. Luas lahan yang digunakan sebanyak 4,2 hektar. Komponen teknologi budidaya yang diterapkan sesuai inovasi teknologi produksi bibit bawang merah seperti pada Tabel 1. Metode pengkajian menggunakan rancangan acak kelompok dengan jumlah ulangan sebanyak 10 kali yaitu petani kooperator, masing-masing 5 petak sampel tanaman bawang merah setiap petani dan

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 243 perlakuan sebanyak 2 yaitu lokasi desa. Adapun yang diintroduksikan dalam pengkajian ini berupa paket teknologi pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) berdasarkan penerapan konsep pengelolaan hama secara terpadu (PHT). Parameter yang diamati meliputi, intensitas serangan, dan tingkat populasi serangga hama lalat pengorok daun dan ulat penggerek daun. Untuk pengamatan OPT pengambilan contoh tanaman bawang merah dilakukan secara acak sesuai arah diagonal (Moekasan, 1997). Untuk tingkat kerusakan tanaman bawang merah akibat serangan OPT yang bersifat sistematik menggunakan rumus di bawah ini.

a P = ...... x 100 % N Keterangan : P : Tingkat serangan dan atau tanaman (%) a : jumlah daun atau tanaman yang terserang N : jumlah daun atau tanaman total yang diamati

Kemudian untuk menghitung intensitas gejala serangan hama dihitung menggunakan rumus : I = jumlah (nxv) x 100% N x Z Keterangan : I = Tingkat intensitas (%) n = jumlah rumpun yang memiliki kategori kerusakan (skoring) yang sama v = Nilai skoring berdasarkan luas seluruh daun tanaman yang terserang N = Jumlah tanaman total yang diamati Z = Nilai skala tetinggi.

Untuk intensitas serangan hama yang bersifat kontak diamati berdasarkan skala skoring (0 - 5) dengan kategori sebagai berikut : 0 : tidak ada gejala penyakit 1 : kerusakan daun 1 – 10 % 2 : kerusakan daun 11 – 20 % 3 : kerusakan daun 21 – 40 % 4 : kerusakan daun 41 – 50 %

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 244

5 : kerusakan daun > 50 % Pengamatan dilakukan selama pengkajian berlangsung yaitu mulai fase vegetatif, fase generatif, hingga panen. Pengamatan pada kajian perangkap kuning ini dilakukan secara berkala mulai umur tanaman 10 hari setelah tanam (hst) hingga seminggu sebelum panen dengan interval waktu 3 hari sekali. Pengamatan produksi, dilakukan dengan menimbang umbi dan brangkasan bawang merah hasil ubinan, mengukur diameter, bentuk, dan warna umbi.

Tabel 1. Paket teknologi Yellow trappada bawang merah, di Kabupaten Brebes Introduksi Teknologi K e t e r a n g a n  Pengolahan tanah  3 hingga 4 kali  Jarak tanam  12 cm x 8 cm  Varietas  Bima Brebes  Umur bibit  3 sampai 4 bulan  Seed treatment  Fungisida sistemik  Pemupukan: - Pupuk kandang - 4 ton / ha - Urea - 200 kg / ha - SP-36 - 260 kg / ha - KCl - 3 00 kg / ha - ZA - 250 kg / ha - NPK - 80 kg / ha  Penyiangan  2 kali ( pagi dan sore pada umur <15 hst), dan sekali ( pagi atau sore pada umur >  Pengendalian hama- penyakit 15 hst)  Menggunakan konsep PHTyaitu dengan Alat perangkap kuning (yellow trap) dan pestisida  Panen dan pasca panen sintetis yang bersifat sistemik  Umur berkisar 60 – 65 hst, daun menguning 80 – 90 %, batang lemas, umbi kepermukaan tanah dan keras serta warna umbi mengkilat.

HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan gejala serangan hama Liriomyza sp. dan Spodopterra exigua pada tanaman bawang merah relatif rendah, hal ini disebabkan adanya beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan serangga tersebut diantaranya adalah kondisi potensi genetiknya sebagai faktor penentu stabilitas out break OPT, seperti tersaji pada Tabel 2 dan 3. Selain itu faktor lingkungan lainnya sebagai media atau habitat tumbuh seperti kesuburan

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 245 tanah, dan tingkat populasi serangga Liriomyza sp. dan S. exigua, serta perkembangan populasi musuh alaminya, baik yang bersifat predator, parasit maupun patogen. Pada tanaman bawang merah umur 20 sampai 35 hari setelah tanam, umumnya tingkat populasi serangga Lyriomiza sp. dan S. exigua relatif rendah, sekitar kurang dari 5%. Walaupun demikian, perlu diwaspadai agar terjaga dari tingkat serangan yang lebih parah (out break). Berdasarkan hasil penelitian kerugian akibat serangan hama lalat pengorok daun bawang merah dan ulat S. exigua dapat mencapai 90% pada kondisi paling parah, (Dirjen Bina Produksi Hortikultura, 2004). Hal ini sesuai dengan pendapat Soejitno (2001), bahwa tingkat perkembangan jasad pengganggu termasuk serangga hama, populasinya selalu dipengaruhi oleh aras luka ekonomi, sehingga laju perkembangannya perlu diamati sedini mungkin secara berkesinambungan hingga menunjukkan posisi yang aman atau sejajar dengan garis keseimbangan populasi.

Tabel 2. Tingkat populasi serangga hama pada tanaman bawang merah di Desa Klampok, KecamatanWanasari, Kabupaten Brebes

Rerata populasi Jumlah Lyriomiza sp (ekor ) Spodoptera exigua (ekor ) Petani Ulangan I Ulangan II Ulangan I Ulangan II 1 2,0 b 2,2 b 1,4 a 3,2 c 2 1,0 a 1,3 a 1,2 a 2,1 b 3 2,0 b 1,0 a 1,0 a 2,2 b 4 1,1 a 1,3 a 0,4 c 2,1 b 5 1,2 a 2,0 b 2,2 b 1,2 a 6 2,3 b 1,3 a 1,0 a 2,0 b 7 1,2 a 2,0 b 2,1 b 2.1 b 8 1,2 a 2,1 b 2.1 b 1,3 a 9 1,1 a 1,2 a 1,1 a 1,2 a 10 2,2 b 1,2 a 1,2 a 1,2 a CV (%) 23,60 22,72 22,34 23,00 BNT 0,05 5,9 3,8 3,2 5,0

Data ditransformasi dengan Arcsin Vx. Pada kolom yang sama, angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda pada BNT 0,05

Menurut Sunjaya, 1970. bahwa tingkat perkembangan populasi hama dipengaruhi oleh faktor ekosistem habitat hayati yang ada, baik bersifat biotik maupun abiotik. Semakin

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 246 tinggi keanekaragaman hayati dalam ekosistem tersebut, maka tidak bisa dipungkiri akan mempengaruhi keseimbangan ekosistemnya. Berdasarkan hasil penangkapan OPT dengan perangkap kuning (yellow trap), diperoleh hasil yang memuaskan yaitu mencapai rata-rata 10% hingga 20%. Hal ini berarti bahwa penggunaaan alat tersebut sangat efektif dan efisien dalam mengendalikan jasad pengganggu tanaman. Adapun jenis OPT yang terperangkap alat tersebut dapat dilihat pada Tabel 4 dan 5. Menurut S. Sastrosiswojo dan Toni K. Moekasan (1997), mengatakan bahwa pemasangan perangkap (yellow trap) merupakan salah satu penerapan komponen teknologi pengendalian hama terpadu (PHT) yang dapat mengurangi penggunaan pestisida sintetis atau cara konvensional/lokal hingga mencapai 25%. Keberhasilan tersebut disebabkan oleh adanya sifat morfologi serangga yang menyukai faktor cahaya, seperti warna kuning dapat memancarkan spektrum cahaya lebih kuat dari warna lainnya seperti hijau, biru dan atau merah. Menurut pendapat Baehaki dkk. (1995), bahwa cara pengendalian yang berhubungan dengan faktor lingkungan merupakan cara yang efektif, karena didahului dengan adanya pengamatan sebagai dasar pertimbangan untuk mengambil suatu keputusan pengendalian OPT dengan pestisida sintetik. Tabel 3. Tingkat populasi serangga hama pada tanaman bawang merah di Desa Tanjung,KecamatanTanjung, Kabupaten Brebes Rerata populasi (ekor) Petani Lyriomiza sp Spodoptera exigua Ulangan I Ulangan II Ulangan I Ulangan II 1 2,0 b 2,0 b 1,2 a 2,2 b 2 1,1 a 1,2 a 1,4 a 2,1 b 3 2,0 b 3,3 c 1,0 a 2.1 b 4 1,2 a 3,3 c 0,4 d 1,3 a 5 1,2 a 2,0 b 2,1 b 1,2 a 6 2.2 b 2,0 b 1,2 a 1,2 a 7 1,4 a 2,3 b 1,1 a 2,2 b 8 1,2 a 2,2 b 1,0 a 2,1 b 9 1,0 a 1,3 a 0,4 d 1,2 a 10 2,0 b 2,0 b 1,2 a 2,0 b CV (%) 23,22 25,28 23,22 22,03 BNT 0,05 5,4 7,3 5,4 3,0 Data ditransformasi dengan Arcsin Vx. Pada kolom yang sama, angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda pada BNT 0,05

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 247

Berdasarkan hasil pemantauan di lapangan seperti tersaji pada Tabel 5 dan 6, bahwa dinamika populasi musuh alami mengalami perkembangan yang fluktuatif, hal ini dipengaruhi oleh kondisi agro-ekosistem dan agro-ekologi-zone setempat, sehingga tidak terjadi tingkat populasi yang signifikan, rata-rata berkisar antara 1,3 ekor sampai 2,1 ekor per pohon. Perkembangan populasi musuh alami seperti Paederus sp. dan Verania sp. dapat dipengaruhi oleh adanya perkembangan serangga atau hama sasaran sebagai faktor makanan. Oleh karena itu ketersediannya secara tidak langsung dapat mengakibatkan daya memangsa serangga vektor semakin tinggi, Painter (1951) dalam Hairil Anwar (1985). Menurut Metcalf (1980) dalam Suharsono (2001) dikatakan bahwa sistem pengendalian hama atau serangga vektor dapat berlangsung dengan baik, apabila mempertimbangkan faktor lingkungan atau agro-ekologi, karena faktor tersebut merupakan bagian terpenting dalam menentukan sikap atau melakukan tindakan keputusan dalam pengendalian jasad pengganggu tanaman (OPT). Tabel 4. Tingkat perkembangan populasi musuh alami pada tanaman bawang merah di Desa Klampok, Kecamatan Wanasari, Kabupaten Brebes Rerata populasi (ekor) Petani Paederus sp Verania sp Ulangan I Ulangan II Ulangan I Ulangan II 1 2,3 b 3,5 c 1,1 a 2,3 b 2 1,3 a 2,4 b 1,3 a 2,2 b 3 1,3 a 3,4 c 1,2 a 2,3 b 4 2,6 b 1,5 a 1,3 a 1,3 a 5 2,2 b 1,3 a 1,3 a 1,3 a 6 3,1 c 2,3 b 1,2 a 2,6 b 7 2,4 b 2,2 b 1,3 a 2,6 b 8 2,2 b 1,2 a 1,1 a 2,3 b 9 2,3 b 1,2 a 1,3 a 2,2 b 10 1,3 a 1,5 a 1,3 a 1,2 a CV (%) 22,82 23,85 20,32 22,22 BNT 0,05 3,9 5,5 2,9 3,5 Data ditransformasi dengan Arcsin Vx. Pada kolom yang sama, angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda pada BNT 0,05

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 248

Tabel 5 . Tingkat perkembangan populasi musuh alami pada tanaman bawang merah di Desa Tanjung, Kecamatan Tanjung, Kabupaten Brebes Rerata populasi (ekor) Petani Paederus sp Verania sp Ulangan I Ulangan II Ulangan I Ulangan II 1 1,3 a 1,1 a 1,5 a 1,0 a 2 1,3 a 1,1 a 1,2 a 1,1 a 3 2,2 a 2,2 b 1,2 a 1,1 a 4 1,2 a 1,1 a 2,1 b 2,0 b 5 1,1 a 1,3 a 3,0 c 1,2 a 6 0,2 c 1,2 a 2,3 b 0,1 c 7 1,2 a 1,3 a 2,2 b 2,2 b 8 1,3 a 1,3a 2,4 b 1,0 a 9 1,2 a 2,2 a 3,2 c 1,0 a 10 1,1 a 1,2 a 1,5 a 2,1 b CV (%) 20,32 20,55 22,12 21,12 BNT 0,05 2,5 2,5 3,4 2,7 Data ditransformasi dengan Arcsin Vx. Pada kolom yang sama, angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda pada BNT 0,05

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil kajian maka dapat disimpulkan, penggunaan perangkap kuning ―Yellow trap‖ berfungsi sebagai alat pemantau sangat efektif dan efisien digunakan sebagai indikator pola sebaranserangga hamadi lingkungan pertanaman bawang merah, sehingga sangat tepat sebagai alat pertimbangan dalam melakukan keputusan pengendalian.

Tingkat populasi hama lalat pengorok daun (Lyriomiza sp.) di dua lokasi selama pengkajian mencapai rata-rata 4,0-7,0 ekor, sedang hama ulat penggerek daun (S. exigua) rata-rata berkisar 3,0-5,0 ekor. Untuk musuh alami Paederus sp., tingkat populasinya mencapai rata-rata 2,0-5,0 ekor, sedang musuh alami Verania sp., mencapai rata-rata 2,0- 3,0 ekor. Sedangkan intensitas kerusakan tanaman bawang merah akibat serangan hama tersebut mencapai 5%.

Untuk mencegah meluasnya serangan hama Lyriomiza sp. dan S. exigua pada tanaman bawang merah di sekitarnya, maka perlu dilakukan alternatif model penerapan teknologi pengendalian melalui pendekatan pengelolaan tanaman terpadu (PTT) yang berkelanjutan. Selain itu, juga perlu dilakukan desiminasi teknologi PHT yang terfokus,

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 249 baik secara teknis maupun non-teknis agar petani/pengguna bisa lebih memahami teknik berbudidaya tanaman bawang merah secarah utuh.

DAFTAR PUSTAKA Baehaki SE., A. Rifki, P. Sasmita, 1995. Rotasi Varietas sebagai Taktik Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman. Makalah Seminar Apresiasi Hasil Penelitian Balitpa, Sukamandi. Dinas Pertanian Propinsi Jawa Tengah, 2004. Laporan Tahunan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura. Dirjen Hortikultura, 2004. Mensikapi Ketersediaan cabe merah dan bawang merah. Makalah Show window Bawang merah, Brebes. Dirjen Bina Produksi Hortikultura, 2004. Produksi, Luas panen dan Produktifitas Buah- buahan, Sayuran, Tanaman hias dan Tanaman obat tahun 2003 ( angka tetap ). Departemen Pertanian. Jakarta. Hairil Anwar, Yulianto, Nurhalim, Kuswantono, Sariman, Arifin, 2004. Perbanyakan Bibit Bawang Merah Varietas Bima dan Kuning. LaporanKegiatan. BPTP Jawa Tengah. Moekasan, 1997. Panduanteknis PHT pada sistem tanam tumpang gilir bawang merah dan cabe. Kerjasama Balitsa dan Novartis Crop Protektion. Lembang. Sastrosiswojo Sudarwohadi,1995. Sistem Pengendalian hama terpadu dalam menunjang agrbisnis sayuran. Prosiding Seminar Nasional Komoditas Sayuran Balitsa. Lembang. Sastrosiswojo S., dan Toni K. Moekasan 1997. Panduan teknis PHT pada sistem tanam tumpang gilir bawang merah dan cabe. Kerjasama Balitsa dan Novartis Crop Protektion. Lembang. Soedjitno, 2001. Pengendalian Hama Terpadu, Falsafah, Konsepsi dan Paradigma, PUSLITBANGTAN, Bogor. Suharsono,2001. Pengendalian hama kedelai dengan agensia hayati sebagai inovasi pengendalian organisme pengganggu tumbuhan berwawasan lingkungan. Makalah Pelatihan Pengendalian HamaTerpadu. Balitkabi. Malang.

Notulensi Diskusi Seminar Arifin : Berapa banyak perangkap trap yang digunakan dan berapa jaraknya? Jawab : 1 ha 20 perangkap dengan jarak  10 m. Wayan, Balitro : Masukkan – tidak perlu pakai rancangan acak segala, sampaikan saja hamparan luas dan 0,25 %. Jika dikendalikan tentu tidak menguntungkan. Jawab : 0,25 % itu bukan pertahun melainkan permusim. Sedangkan untuk rancangan itu meman sudah diintruksikan.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 250

OPH-21 Keberadaan Musuh Alami Pada Areal Padi dan Gulma Teki di Lahan Rawa Pasang Surut Muhammad Thamrin1 1Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa Jl.Kebun Karet Loktabat Utara, Banjarbaru P.O Box 31 Kalimantan Selatan Email: [email protected]

ABSTRAK Pengembangan usahatani di lahan rawa banyak dihadang oleh faktor-faktor penghambat, karena selain kondisi lahannya yang rapuh, juga beberapa faktor biotik antara lain hama dan penyakit. Walaupun demikian, populasi musuh alami dari beberapa jenis hama serangga pada agroekosistem di daerah ini tergolong tinggi, sehingga pengelolaan hama serangga harus dilakukan secara cermat agar populasi musuh alaminya dapat terjaga dengan baik. Makalah ini menguraikan tentang keberadaan musuh alami dari hama serangga pada pertanaman padi dan areal tumbuhan liar di lahan rawa pasang surut. Dari hasil observasi ditemukan beberapa jenis musuh alami baik sebagai parasitoid ataupun predator, diantaranya berasal dari ordo arachnida, odonata, orthoptera, coleoptera, diptera dan hymenoptera. Musuh alami tersebut sebagian besar ditemukan di pertanaman padi dan sebagian lainnya ditemukan di areal tumbuhan teki, yaitu Eleocharis dulcis, Scirpus grosus dan Lepironea articulata. Oleh karena itu keberadaan tumbuhan liar tersebut harus dikelola secara baik agar keseimbangan ekosistem serangga di lahan rawa tetap terjaga. Kata kunci: Agroekosistem, padi, gulma teki, Musuh alami, lahan rawa pasang surut

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 251

PENDAHULUAN

Lahan rawa di Indonesia memiliki potensi besar dan merupakan salah satu pilihan strategis sebagai areal produksi pertanian dalam mendukung peningkatan ketahanan pangan dan pengembangan agribisnis. Menurut Alihamsyah (2002) peranan lahan rawa bagi pengembangan pertanian khususnya produksi tanaman pangan yang sekaligus mendukung peningkatan ketahanan pangan nasional akan semakin penting dan strategis bila dikaitkan dengan perkembangan penduduk dan industri serta berkurangnya lahan subur untuk berbagai penggunaan non pertanian. Akan tetapi dalam pengembangan usahatani di lahan rawa banyak dihadang oleh faktor-faktor penghambat, karena selain kondisi lahannya yang rapuh, juga faktor biotik antara lain hama dan penyakit. Hama serangga yang banyak menyebabkan kerusakan tanaman di lahan pasang surut adalah hama putih palsu dan wereng coklat, namun terkadang populasi walang sangit juga tinggi. Sedangkan penggerek batang yang cukup tinggi populasinya ternyata tidak menyebabkan kerusakan pada tanaman padi karena aktivitasnya lebih banyak pada areal gulma. Selain itu populasi musuh alaminya pada agroekosistem di daerah ini tergolong tinggi (Thamrin & Asikin, 2005; Hamijaya dkk., 2006). Dalam makalah ini diuraikan tentang keberadaan musuh alami dari ordo arachnida, odonata, orthoptera, coleptera, diptera dan hymenoptera pada areal pertanaman padi dan gulma golongan teki di lahan rawa pasang surut dengan tujuan agar dalam pelaksanaan pengendalian hama serangga pada agroekosistem ini dilakukan secara cermat sehingga keseimbangan ekosistem serangga di lahan rawa tetap terjaga.

KEBERADAAN MUSUH ALAMI Dinamika populasi musuh alami serta inangnya dipengaruhi oleh kepadatan populasi, mortalitas, distribusi umur, pola pencemaran, potensi biotik dan abiotik. Faktor iklim, teknik budidaya dan keragaman tumbuhan di suatu tempat juga dapat mempengaruhi tingkah laku, jumlah populasi, karakteristik hama dan musuh alaminya (Ratna, 2006). Tidak berbeda dengan situasi musuh alami di lahan pasang surut, populasinya juga

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 252 dipengaruhi oleh jenis tanaman, teknik budidayanya, keragaan tumbuhan atau jenis gulma yang tumbuh, dan yang sangat berpengaruh adalah iklim. Musuh alami di areal pertanaman padi Musuh alami hama serangga padi di lahan rawa pasang surut yang dominan adalah ordo arachnida, odonata dan coleoptera. Predator yang berasal dari ordo arachnida adalah Tetragnatha mandibulata, Lycosa pseudoannulata, Oxyopes sp. dan Argeope cotenulata. Ordo Coleoptera adalah Ophionea ishii ishii, Paederus fuscifes, Verania sp., Micraspis sp., Harmonia sp., dan Hapalochrus rufofasciatus. Sedangkan yang berasal dari ordo odonata adalah Orthetrum sabina sabina, dan Agriocnemis femina femina. Populasi dari ordo orthoptera, diptera dan hymenoptera tergolong rendah. Jenis yang selalu muncul dari keempat ordo tersebut adalah Conosephalus longipennes, Anatrichus pygmaeus, Poecilotraphera taeniata, Microvelia sp, dan Limnogomus sp. Parasitoid yang populasinya tinggi adalah Telenomus rowani, sedangkan populasi Tetrastichus schoenobii dan Trichogramma sp. tergolong rendah, begitu juga Bracon chinensis, Stenobracon sp., Xamthopimpla punctata, dan Pipunculus sp. Kehadiran laba-laba pada pertanaman padi merupakan syarat utama untuk keberlanjutan usahatani terutama padi, karena kemampuan memangsa predator ini cukup tinggi, yaitu mampu memangsa 2-3 serangga per hari dan dalam waktu yang relatif singkat dapat menghasilkan turunan yang banyak sehingga dapat mengimbangi populasi hama serangga. Menurut Shepard dkk. (1987), L. pseudoanulata mampu menghasilkan 200-400 keturunan dalam masa 3-5 bulan, Oxyopes javanus dan Oxyopes lineatipes menghasilkan 200-350 keturunan dalam masa 3-5 bulan sedangkan Tetragnatha hidup selama 1-3 bulan dan dapat bertelur 100-200 butir. Seperti halnya laba-laba, capung juga merupakan predator yang cukup tinggi populasinya terutama A. femina femina, Ischnura segegalensis dan O. sabina sabina, namun data tentang perkembangbiakannya dan kemampuannya dalam menekan hama serangga belum banyak diketahui. Populasi O.ishii ishii, P.fuscipes dan H. rufofasciatus termasuk populasi yang tinggi namun muculnya tidak setiap saat. Jenis predator ini lebih banyak memakan larva penggulung daun, dalam satu hari mampu memangsa 3-5 larva.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 253

Kemampuan Lycosa sp. memangsa wereng coklat setiap harinya sebanyak 2-5 ekor, semakin tinggi populasi wereng coklat maka kemampuan memangsanya juga semakin tinggi, sedangkan Manti dan Laba (2003) melaporkan bahwa seekor laba-laba Lycosa sp. memiliki kemampuan memangsa perhari 5-10 ekor nimfa wereng coklat intar 1, 2 dan dewasa masing-masing 41-60% dan 22-52%. Hasil unduhan melalui internet menyebutkan bahwa kemampuan memangsa terhadap wereng coklat mencapai 10-20 ekor imago/hari atau 15-20 nimfa/hari. Beberapa jenis mangsa lainnya adalah wereng hijau, wereng punggung putih, hama putih, hama putih palsu dan lalat bibit. Sedangkan mangsa dari T. mandibulata adalah wereng coklat, wereng hijau, wereng punggung putih, wereng zigzag dan lalat padi. Laba-laba ini aktif membuat sarang pada malam hari, sedangkan pada siang hari predator ini banyak diam. Predator lainnya adalah Cyrtorhinus sp. dan Microvellia sp., kedua predator ini sebagai pemangsa wereng coklat. Predator Cyrtorhinus sp. atau biasa disebut kepik mirid hanya dijumpai pada keadaan populasi hamanya tinggi. Aktif pada malam hari memburu mangsa dan gerakannya seperti wereng coklat. Mempunyai mulut mengisap dan hidupnya pada padi dan beberapa tanaman gulma lainnya. Sedangkan Microvellia sp. atau biasa disebut kepik permukaan air, hidupnya bergerombol dipermukaan air dan sangat aktif menyerang serangga hama yang jatuh dipermukaan air. Jenis mangsanya selain wereng coklat adalah wereng hijau, wereng punggung putih dan larva penggerek batang yang baru menetas. Hasil penelitian yang telah dilaksanakan di rumah kasa Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa, diketahui bahwa kemampuan L. pseudoannolata, P. fucefes dan O. ishii-ishii memangsa larva hama putih palsu cukup tinggi, sedangkan A. femina femina dan O. sabina sabina adalah yang terendah (Tabel 1). Hal ini diduga bahwa kondisi rumah kasa tidak sesuai bagi ordo odonata, karena pengamatan pada hari kelima, kedua jenis predator tersebut mati (Asikin dan Thamrin, 2005). Hasil observasi di beberapa daerah pasang surut di Kalimantan Selatan diketahui bahwa parasitasi dari T. rowani adalah yang tertinggi dibandingkan parasitoid lainnya, bahkan hasil observasi yang dilakukan pada tahun 2007, parasitasi T. rowani mencapai

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 254

66,5% (Tabel 2). Penyebab tingginya parasitasi pada tahun tersebut belum diketahui secara pasti.

Tabel 1. Kemampuan predator memangsa hama putih palsu Kemampuan memangsa (%) Predator 3 hsi 4 hsi 5 hsi 6 hsi Lycosa pseudoannolata 60,5 75,5 80,0 85,5 Tetragnatha mandibulata 30,0 35,0 50,0 60,0 Paederus fucefes 50,0 60,5 75,0 80,0 Ophionea ishii-ishii 50,0 65,0 75,0 80,5 Agreocnemis femina femina 10,0 25,0 0,0 0,0 Orthetrum sabina sabina 20,0 30,0 0,0 0,0 Micraspis sp 10,0 30,0 45,0 50,0 Sumber : Asikin dan Thamrin (2005)

Tabel 2. Parasitasi terhadap telur penggerek batang putih Parasitasi (%) Parasitoid 2003 2004 2005 2006 2007 Telenomus rowani 18,5-25,5 25,0-30,0 22,5-32,5 19,5-50 15,5-66,5

Tetrastichus schoenobii 2,5-5,5 1,5-2,0 1,5-3,5 3,5-4,5 2,5-4,5

Trichogramma sp 1,5-2,0 1,5-3,0 2,5-4,5 1,0-2,5 1,0-2,5 Sumber : Asikin dan Thamrin (2008)

Musuh alami di areal pertumbuhan teki Populasi musuh alami baik dari ordo laba-laba ataupun serangga pada areal tumbuhan teki di lahan pasang surut cukup tinggi. Salah satu penyebabnya adalah adanya aktivitas serangga penggerek batang padi, seperti yang dilaporkan oleh Thamrin dkk. (2006) bahwa aktivitas penggerek batang padi putih lebih banyak pada areal tumbuhan teki antara lain Eleocharis dulcis, Leperonea articulata dan Scirpus grosus. Hal ini ditandai dengan adanya kelompok telur penggerek batang padi putih dalam jumlah yang tinggi, bahkan jumlahnya lebih tinggi dari pertanaman padi (Tabel 3). Tumbuhan E. dulcis telah diteliti secara khusus sejak tahun 1995, namun terhadap tumbuhan S. grosus dan L. articulata belum dilakukan. Tumbuhan E. dulcis adalah gulma yang dapat tumbuh dan berkembang di lahan rawa pasang surut dengan tingkat keasaman

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 255 yang rendah pada tanah yang berlumpur. Tumbuhan ini termasuk dalam famili Cyperaceae atau golongan teki. Batangnya bulat dan berongga dengan diameter 2-3 mm dan tingginya dapat mencapai 1,5 m, tidak bercabang dan berwarna hijau. Tumbuhan ini tidak berdaun sehingga potosintesa dilakukan memalalui batang. Bunga terletak pada bagian ujung batang. Akarnya selalu tergenang air, sehingga gulma ini banyak ditemukan pada tepi sungai atau saluran air. Tumbuhan E. dulcis mempunyai bonggol yang akan membentuk akar dan sekaligus membentuk anakan pada umur 6-8 minggu. Sedangkan pembentukan bunga terjadi setelah anakan muncul di atas permukaan air yang tingginya kurang lebih 15 cm. Setelah berbunga, maka tumbuhan ini segera membentuk bonggol baru pada bagian ujung stolon yang panjangnya kurang lebih 12,5 cm dengan kemiringan 450 dari permukaan tanah. Setelah berumur 7-8 bulan, bonggol tidak produktif lagi sehingga batang mulai mengering dan perlahan akhirnya mati (CBA International, 2001). Pada umumnya Suku Banjar di Kalimantan Selatan menyebut E. dulcis adalah purun tikus, sedangkan dalam Crop Protection Compendium 2001 (CBA International) disebut Chinese water chestnut. Purun tikus tidak hanya dapat tumbuh di lahan pasang surut yang bertanah sulfat masam tetapi apabila ditanam di lahan yang subur juga dapat tumbuh, bahkan perkembangannya lebih cepat. Namun secara alami purun tikus tidak ditemukan di tanah yang subur, diduga bahwa gulma ini tidak mampu berkompetisi dengan gulma lain pada lahan tersebut, sehingga hanya di tanah masam dapat tumbuh dan berkembang dengan baik karena gulma lain kurang adaptif bahkan tidak dapat tumbuh di lahan yang tingkat keasamannya tinggi (Thamrin & Asikin, 2005).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 256

Tabel 3. Jumlah kelompok telur penggerek batang padi putih pada areal pertanaman padi dan gulma golongan teki di lahan pasang surut Jumlah Kelompok Telur/ha Areal pertumbuhan MK. 2004 MH. 2004/2005 Eleocharis dulcis 3.336 – 5.504 3.978 – 6.779 Scirpus grosus 29 – 79 29 – 118 Lepironea articulata 10 – 65 30 – 49 Oryza sativa 19 – 97 89 - 153 Sumber : Asikin et al. (2006)

Jenis musuh alami hama serangga padi yang diidentifikasi hanya serangga dan laba- laba, baik sebagai predator ataupun parasitoid. Musuh alami tersebut berasal dari ordo arachnida, odonata, orthoptera, coleptera, diptera, dan hymenoptera. Kegiatan seperti ini pernah dilakukan tetapi hanya pada pertanaman padi di lahan rawa pasang surut dan lebak di Kalimantan Selatan. Dari hasil observasi tersebut dilaporkan bahwa jumlah spesies serangga predator dan parasitoid kurang lebih 62 spesies (Gabriel et.al, 1986; Asikin dan Thamrin, 2003). Populasi musuh alami yang tertinggi pada areal tumbuhan E. dulcis adalah T. mandibulata, Methioche sp., Oxyopes sp. dan Bracon chinensis, pada areal tumbuhan S. grosus hanya T. mandibulata yang populasinya tinggi. Sedangkan pada areal tumbuhan L. articulata populasi T. mandibulata tergolong sedang (Tabel 4). Nampaknya terdapat korelasi antara aktivitas musuh alami dengan keberadaan hama serangga atau mangsanya.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 257

Tabel 4. Populasi musuh alami hama serangga padi pada areal tumbuhan teki di lahan rawa pasang surut, Kalimantan Selatan

Gulma golongan teki Musuh alami Populasi Eleocharis dulcis Tetragnatha mandibulata +++ Lycosa sp +++ Methioche sp +++ Oxyopes sp +++ Agripe sp ++ Paederus forcipes ++ Ophionea ishii ishii ++ Hapalochrus sp ++ Micraspis sp + Verania lieata + Agriocnemis femina femina ++ Orthetrum sabina sabina + Conocephalus longipennis ++ Solenopsis geminatan + Pipunculus sp + Telenomous rowani + Tetrastichus schonobii +++ Bracon chinensis +++ Elasmus sp ++ Itoplectri marangne + Triango liper + Trichogramma sp + Leperonea artuculata Tetragnatha mandibulata ++ Lycosa sp ++ Oxyopes sp + Agriope sp + Paederus forcipes + Ophionea ishii ishii + Hapalochrus sp + Micraspis sp ++ Verania lieata + Agriocnemis femina femina ++ Orthetrum Sabina sabina ++ Conocephalus longipens + Solenopsis geminatan + Pipunculus sp + Telenomous rowani ++ Tetrastichus schonobii + Trchogramma sp + Elasmus sp + Itoplectri marangne + Triango liper + Scirpus grosus Tetragnatha mandibulata +++ Methioche sp + Agriocnemis femina femina ++ Orthetrum Sabina sabina ++ Telenomous rowani ++ Tetrastichus schonobii + Micraspis sp +

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 258

Valanga sp + Lycosa sp ++ Hemiptera + Lalat diptera ++ Keterangan: +++ = tinggi; ++ = sedang; + = rendah Sumber : Thamrin et al. (2006) KESIMPULAN DAN SARAN 1. Di lahan rawa pasang surut terdapat beberapa jenis musuh alami baik sebagai parasitoid ataupun predator, diantaranya berasal dari ordo arachnida, odonata, orthoptera, coleoptera, diptera dan hymenoptera. Musuh alami tersebut sebagian besar ditemukan di pertanaman padi dan sebagian lainnya ditemukan di areal tumbuhan teki, antara lain pada areal tumbuhan E. dulcis, S. Grosus, dan L. articulata 2. Musuh alami yang dominan pada pertanaman padi adalah T. mandibulata, L. pseudoannulata, Oxyopes sp dan A. cotenulata, O. ishii ishii, Paederus fuscifes, Verania sp, Micraspis sp., Harmonia sp., H. rufofasciatus, O. sabina sabina, A. femina femina, dan T. rowani, 3. Musuh alami yang dominan pada gulma golongan teki adalah T. mandibulata, Lycosa sp., Methioche sp., Oxyopes sp., B. chinensis, dan T. rowani 4. Disarankan agar keberadaan gulma E. dulcis, S. grosus dan L. articulata harus dikelola secara baik agar keseimbangan ekosistem serangga di lahan rawa tetap terjaga.

DAFTAR PUSTAKA Alihamsyah, T. 2002. Optimalisasi pendayagunaan lahan rawa pasang surut. Makalah Seminar Nasional Optimalisasi Pendayagunaan Sumberdaya Lahan di Cisarua tanggal 6-7 Agustus 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Asikin., S. dan M.Thamrin. 2006. Keragaan serangga hama dan intensitas kerusakan padi di lahan rawa pasang surut lingkungan bukaan baru. Dalam Prosiding Seminar Naional Entomologi Dalam Perubahan Lingkungan dan Sosioal. Perhimpunan Entomologi Indonesia. p 461-466. Asikin., S., M.Thamrin dan M.Z. Hamijaya. 2006. Pengaruh pembabatan tumbuhan liar rawa dalam budidaya padi terhadap serangan penggerek batang padi di lahan pasang surut. Dalam Prosiding Seminar Naional Entomologi Dalam Perubahan Lingkungan dan Sosioal. Perhimpunan Entomologi Indonesia. p 437- 450 Asikin., S. dan M.Thamrin. 2003. Musuh alami di Lahan rawa pasang surut. Laporan Hasil Penelitian, Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 259

Asikin., S. dan M.Thamrin. 2005. Kemampuan memangsa beberapa jenis predator tehadap hama putih palsu di rumah kasa. Laporan Hasil Penelitian, Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Asikin., S. dan M.Thamrin. 2008. Parasitoid telur penggerek batang padi di lahan rawa pasang surut. Laporan Hasil Penelitian, Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Gabriel., B.P., M.Willis and S. Asikin. 1986. Parasites and Predatorof Insect Pest of Rice in Swamplands of South and Central Kalimantan. Applied Agricultural Resarch Project. Banjarbaru Research Institute for Food Crop. Hamijaya, M.Z., Thamrin dan Asikin. 2006. Dominasi spesies parasitoid telur penggerek batang padi pada tipologi lahan basah di Kalimantan Selatan. Dalam Prosiding Seminar Nasional Dalam Perubahan Lingkungan dan Sosial. Perhimpunan Entomologi Indonesia. p. 467-475 Manti, I dan I.W. Laba. 2003. Kemampuan Predator Lycosa pseudoanulata pada Berbagai Kepadatan Populasi. Dalam Baehaki S.E,; E.Santosa; Hendarsih; T. Suryana; Nyoman Widiarta dan Sukirno (Ed) Prosiding Simposium Pengendalian Hayati Serangga. Ratna, E.S. 2006. Populasi parasitoid Eriborus argentiopilosus (Cameron) (Hymenoptera: Ichneumonidae) dan pengaruh residu insektisida diafentioron dan imanektin benzoat terhadap efiseinsi parasitisme. Perhimpunan Entomologi Indonesia. p. 83-100 Shepard, B.M., A.T. Barion and J.A. Litsinger. 1987. Helpful Insects, Spider and Pathogens. IRRI. 127p. CBA International. 2001. Crop Protection Compendium. Thamrin, M., M.Z.Hamijaya dan S.Asikin. 2006. Pemanfaatan gulma golongan teki di lahan rawa pasang surut. Dalam Inovasi Teknologi Padi Menuju Swasembada Beras Berkelanjutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. p. 239-249 Thamrin, M dan S.Asikin. 2006. Dominasi spesies penggerek batang padi di beberapa agroekosistem sawah. Dalam Prosiding Seminar Nasional Entomologi Dalam Perubahan Lingkungan dan Sosial. Perhimpunan Entomologi Indonesia. p. 407-412 Thamrin, M dan S.Asikin. 2005. Strategi pengendalian penggerek batang padi tanpa insektisida sintetik di lahan pasang surut. Dalam Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pengelolaan Sumberdaya Lahan Rawa dan Pengendalian Pencemaran Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. p.251-260

Notulensi Diskusi Seminar Itji : - Cara pengamatannya apa? - Pada kesimpulan bapak dikemukakan bahwa musuh alami mempunyai inang alternatis pada rumput teri? Apakah musuh alami tersebut mempunyai mangsa/inang yang merupakan OPT tanaman padi? Jawab : - Metode masih kasar, dengan cara perbandingan. - Punya predasi/prefesensi masing-masing.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 260

OPH-22 Spesies Eretmocerus serta Tingkat Parasitisasinya Terhadap Bemisia tabaci GENN. Pada Beberapa Tanaman Sayuran di Dataran Tinggi dan Dataran Rendah. Sudarjat1, Andang Purnama1, Delih Ratnasari2 1Dosen Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran 2Alumnus Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Email : [email protected]

ABSTRAK Salah satu hama yang sangat potensial menyerang tanaman sayuran di lapangan yaitu Bemisia tabaci Gennadius (Homoptera: Aleyrodidae). Salah satu teknik yang ramah lingkungan untuk menekan populasi B. tabaci yaitu dengan menggunakan parasitoid nimfa Eretmocerus sp. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui spesies Eretmocerus serta untuk mengetahui tingkat parasitisasinya terhadap beberapa tanaman sayuran di dataran tinggi dan dataran rendah. Penelitian dilaksanakan dari mulai April sampai Juni 2009 di Kecamatan Ciwidey dan Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung, Kecamatan Sliyeg Kabupaten Indramayu dan Laboratorium Entomologi Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Jatinangor. Metode yang digunakan adalah metode survey, dilakukan dengan cara mengambil lima sampel tanaman yang masing-masing sampel diambil lima helai daun yang diambil secara acak pada sampel tanaman yang terdapat nimfa B. tabaci. Hasil penelitian menunjukan bahwa spesies Eretmocerus mundus merupakan parasitoid yang terdapat pada beberapa tanaman sayuran yang menjadi inang B. tabaci di dataran tinggi dan dataran rendah. Terdapat perbedaan tingkat parasitisasi pada beberapa jenis tanaman sayuran di dataran tinggi dan dataran rendah. Tingkat parsitisasi tertinggi adalah pada tanaman kacang buncis sebesar 47,14 %, kacang merah 42,20 %, dan kacang panjang 29,97 %. Kata kunci: Eretmocerus, Bemissia tabaci, tingkat parasitisasi

ABSTRACT Sweet potato whitefly Bemisia tabaci Gennadius (Homoptera: Aleyrodidae) is one of major pest of vegetable in field. One of techniques to control this pest is the used of parasitic wasp Eretmocerus sp. This research was aimed to find out the species of Eretmocerus and the parasitization level at several vegetable plants in the highland and lowland.This research was carried out since April until June 2009 at Ciwidey and Pangalengan subdistrict in Bandung, Sliyeg subdistrict in Indramayu, and the laboratory of Entomology Departement of Pest and Plant Disease Science, Faculty of Agriculture, Universitas Padjadjaran. This research used a survey method, by taking randomizely five sample plants where each sample consists of five leaf blade infested by nymph of B. tabaci. The results showed that species of parasitoids Eretmocerus mundus was found in some vegetable crops infested by B. tabaci in the highlands and lowlands. There were different parasitization levels in some vegetable crops in the highlands and lowlands. The highest level was the parasitization in string bean is 47.14%, kidney bean is 42.20%, and long bean is 29.97%. Key words: Eretmocerus, Bemisia tabaci, parasitization level

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 261

PENDAHULUAN Dalam budidaya tanaman sayuran sering kali dihadapkan pada beberapa masalah, salah satunya adalah serangan yang disebabkan oleh Bemisia tabaci. Perkembangan B. tabaci di Indonesia telah mengalami peningkatan status hama dari hama sekunder menjadi hama primer. Menurut Kalshoven (1981) B. tabaci telah menjadi hama pada tanaman tembakau sejak tahun 1931, dan dewasa ini telah menjadi hama penting pada berbagai jenis tanaman terutama tanaman sayuran, baik di dataran tinggi maupun di dataran rendah. Penyebaran B. tabaci meliputi sebagian besar wilayah di Indonesia. Hama ini telah menyebar di beberapa sentra sayuran di pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali (Setiawati, dkk., 2005) dan Sumatera (Kalshoven, 1981). B. tabaci mempunyai tingkat sebaran yang sangat luas yang didukung oleh kemampuan hidupnya (Bonaro dkk., 2007), dengan tingkat migrasi yang tinggi dan tingkat reproduksi yang tinggi (Naranjo & Ellsworth, 2007), serta dapat hidup pada dataran tinggi dan dataran rendah (Wiyono, 2007). Keberadaan B. tabaci dapat menimbulkan kerugian secara ekonomis karena dapat menurunkan hasil produksi petanian, khususnya tanaman sayuran. Kerusakan yang disebabkan oleh serangga hama ini dapat terjadi secara langsung melalui aktifitas makan yang dapat menyebabkan klorosis pada tanaman (Berlinger, 1986 dalam Diez, 2007), dapat menjadi vektor virus gemini (Diez, 2007), dan secara tidak langsung hama ini dapat memproduksi embun madu yang dapat mengundang pertumbuhan jamur Capnodium (Berlinger, 1986 dalam Diez, 2007). Usaha pengendalian B. tabaci yang sering dilakukan oleh para petani adalah dengan menggunakan insektisida sintetik. Akan tetapi penggunaan insektisida sintetik akan menimbulkan permasalahan baru yaitu terjadinya resistensi (Gerling & DeBarro, 2007), terbunuhnya jasad bukan sasaran seperti parasitoid dan predator (Dennehy, 2006). Selain itu, penggunaan insektisida sintetik menjadi tidak efektif karena telur dan nimfa B. tabaci berada dibagian bawah daun sehingga sulit terjangkau insektisida (Ardeh, 2004b). Maka alternatif pengendalian B. tabaci lebih diarahkan dengan menggunakan pengendalian hama terpadu yaitu dengan cara memanfaatkan agens pengendali hayati yang ramah lingkungan (McCutcheon & Simmons, 2006).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 262

Salah satu agens pengendalian hayati yang banyak digunakan adalah parasitoid. Parasitoid yang berpotensi untuk mengendalikan populasi B. tabaci adalah spesies dari genus Eretmocerus dan Encarsia (Ardeh, 2004a; Zolnerowich & Rose, 2008). Spesies Eretmocerus merupakan parasitoid nimfa dari beberapa spesies hama ordo Homoptera, Famili Aleyrodidae (Hoddle, 2008) yang mempunyai keefektifan lebih tinggi dalam memarasitisasi B. tabaci jika dibandingkan dengan Encarsia (Hoddle, 1999). Menurut Zolnerowich dan Rose (2008) diketahui 16 spesies Eretmocerus yang telah diidentifikasi, dan berdasarkan penelitian Sudarjat (2008) di Indonesia baru behasil diidentifikasi satu spesies yaitu Eretmocerus mundus. Eretmocerus sp. mempunyai sebaran tanaman inang yang sangat luas. Jenis tanaman inang akan berpengaruh terhadap tingkat parasitisasi Eretmocerus sp. (Suarez et al., 2003). Tingkat parasitisasi spesies Eretmocerus terhadap nimfa B. tabaci pada tanaman Gossypium hirsutum (kapas) di Afrika Barat mencapai 88,7 % (Otoidobiga, 2003), pada tanaman Lantana camara (daun tembelekan) mencapai 15-56 %, pada tanaman Solanum melongena (terong) mencapai 9-50 %, pada tanaman Convolvulus arvensis (bunga sepatu) 38-69 % dan pada tanaman Achyranthis aspera (jarong) 17-85 % (Naveed & Zahida, 2003). Ardeh (2004b) menyatakan bahwa bentuk trikoma daun berpengaruh terhadap tingkat oviposisi Eretmocerus sp.. Di Indonesia penelitian tentang spesies Eretmocerus masih sangat sedikit, terutama spesies dan tingkat parasitisasinya pada beberapa tanaman sayuran baik di dataran tinggi maupun di dataran rendah. Oleh karena itu maka perlu dilakukan penelitian mengenai spesies dan tingkat parsitisasi Eretmocerus terhadap B. tabaci pada beberapa tanaman sayuran di dataran tinggi dan dataran rendah.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN Pengambilan sampel Eretmocerus sp. dilakukan pada tanaman sayuran milik petani di desa Ciwidey, Panundaan, dan Lebak Muncang Kecamatan Ciwidey dan desa Margamukti KecamatanPangalengan Kabupaten Bandung dengan ketinggian 1300 meter di atas permukaan laut (dpl) dan desa Majasih Kecamatan Sliyeg Kabupaten Indramayu

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 263 dengan ketinggian 7 meter dpl. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Entomologi Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Jatinangor yang terletak pada ketinggian 700 meter dpl. Penelitian dilaksanakan mulai bulan April sampai Juni 2009.

Alat dan Bahan Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu alat tulis, stoples kecil, kain kasa, spatula, kuas, termohigrometer digital, mikroskop, jarum bedah, kamera, selotip bening, pisau/catter, gunting, gelas objek. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah imago dari genus Eretmocerus, nimfa B. tabaci, sampel daun tanaman sayuran yaitu sampel daun kacang buncis, kacang merah, tomat, kentang, labu, kacang panjang, oyong, mentimun, dan terung, serta buku literatur

Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode survey, dilakukan dengan cara mengambil 5 sampel tanaman yang terdapat nimfa B. tabaci. Pengambilan sampel tanaman tergantung dari sebaran populasi B. tabaci di lapangan, jika penyebarannya mengelompok, sampel tanaman diambil secara acak di dalam suatu lahan. Jika penyebaran populasi B. tabaci menyebar relative rata, maka pengambilan sampel tanaman dilakukan dengan menggunakan metode diagonal simetris. Dari sampel tanaman tersebut masing-masing diamati 5 helai daun tunggal yang terdapat nimfa B. tabaci yang diambil secara acak searah dengan arah mataangin (barat, selatan, timur, utara, tengah) sehingga jumlah daun tunggal yang diambil sebagai sampel dari masing-masing komoditas tanaman berjumlah 25 daun. Seletah pengambilan sampel, kemudian dihitung jumlah nimfa yang terparasit oleh spesies Eretmocerus, perhitungan dapat dilakukan di rumah kaca. Selanjutnya diidentifikasi spesies Eretmocerus yang didapat pada sampel daun yang diamati setelah disimpan kurang lebih selama 2 hari sampai muncul imago Eretmocerus sp.. Data tingkat parasitisasi dianalisis secara stratistik dengan ANOVA menggunakan program SPSS 16.0 untuk

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 264 mengetahui perbedaan tingkat parasitisasi pada masing-masing tanaman dilakukan Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%.

Pengamatan Tingkat Parasitisasi Eretmocerus sp. Pengamatan dilakukan dengan cara menghitung jumlah nimfa yang terparasit genus Eretmocerus pada setiap sampel tanaman inang. Kemudian dilakukan perhitungan tingkat parasitisasi spesies Eretmocerus terhadap B. tabaci pada beberapa sampel tanaman sayuran di dataran tinggi dan dataran rendah dengan menggunakan rumus:

a

P = X 100 % n Keterangan : P = Tingkat parasitisasi (dalam persen). a = Jumlah nimfa Bemisia tabaci yang terparasit. n = Jumlah nimpa Bemisia tabaci yang diamati. Identifikasi Spesies Eretmocerus Identifikasi morfologi dilakukan di bawah mikroskop dengan cara mengamati semua imago spesies Eretmocerus yang terdapat pada masing-masing toples yang telah ditetapkan sebagai sampel. Pengamatan morfologi spesies Eretmocerus dilakukan dengan melihat bagian antena, thorax(mesoscutum) dan sayap depan. Kemudian diidentifikasi berdasarkan kunci identifikasi dari Evans (2008), Gibson et al., (2008), Myarsteva (2006), Barro et al., (2000).

HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Parasitisasi Eretmocerus sp. Hasil pengamatan tingkat parasitisasi Eretmocerus sp. terhadap B. tabaci pada beberapa tanaman sayuran di dataran tinggi maupun di dataran rendah dapat dilihat pada (Tabel 1). Tingkat parasitisasi tertinggi di daerah dataran tinggi terjadi pada tanaman kacang buncis dengan tingkat parasitisasi sebesar 57,14 %. Hal ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan beberapa tanaman lainnya, tingkat parasitisasi tertinggi pada tanaman

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 265 dataran rendah yaitu pada tanaman kacang panjang dengan tingkat parasitisasi sebesar 27, 97 %.

Tabel 1. Tingkat Parasitisasi Eretmocerus sp. terhadap B. tabaci pada Beberapa Tanaman Inang di Dataran Tinggi dan Dataran Rendah No. Tanaman Rata-rata Jumlah Nimfa (ekor) Rata-rata Tingkat Parasitisasi (%) 1. kacang buncis 26 57,14 a 2. kacang merah 21 42,20 b 3. Tomat 3 13,60 d 4. kentang 2 4,00 e 5. Labu 30 3,85 e 6. kacang panjang 5 27,97 c 7. Oyong 34 15,30 d 8. Mentimun 37 15,19 d 9. Terung 48 8,96 de Keterangan : dataran tinggi dataran rendah Angka rata-rata yang ditandai huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf nyata 5 %.

Pada Tabel 1, tingkat parasitisasi tertinggi terjadi pada tanaman kacang buncis, dan tingkat parasitisasi terendah terjadi pada tanaman labu. Dari hasil pengamatan tidak terjadi kolerasi antara populasi nimfa dengan tingkat parasitisasinya, meskipun menurut De Bach, (1973) kepadatan populasi inang merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap tingkat parasitisasi parasitoid. Hal ini diduga jumlah populasi nimfa B. tabaci bukan merupakan faktor dominan dalam menentukan tingkat parasitisasi parasitoid karena pada sampel daun yang diamati terdapat keragaman bentuk tanaman inang yang ikut menentukan tingkat parasitisasi parasitoid. Ardeh (2004a) menyatakan bahwa keragaman bentuk tanaman inang sangat berpengaruh terhadap tingkat pencarian parasitoid terhadap B. tabaci. Persentase tingkat parasitisasi Eretmocerus sp. pada tanaman kacang-kacangan seperti kacang buncis, kacang merah, dan kacang panjang berada pada tingkat tertinggi jika dibandingkan dengan tomat, kentang, labu, oyong, mentimun dan terung. Tingkat parasitisasi untuk kacang buncis yaitu 57,14 %, kacang merah 42,20 %, dan kacang

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 266 panjang 27,97 %. Diduga hal ini disebabkan oleh jenis tanaman inang. Suarez et al., (2003) menyatakan bahwa tingkat parasitisasi spesies Eretmocerus sp. terhadap B. tabaci dipengaruhi oleh jenis tanaman inang seperti bentuk dan kerapatan trikoma, tekstur daun, dan senyawa kimia yang dikeluarkan tanaman. Pada beberapa tanaman efektivitas trikoma sebagai penentu ketahanan terhadap hama ditentukan oleh kerapatan dan panjang trikoma.Trikoma yang panjang dapat mengganggu dan menghalangi ovipositor serangga dalam meletakan telur (Indianti, 2004).

(a) (b)

Gambar 1. Bentuk trikoma daun buncis (a) dilihat dari bagian atas dan (b) dilihat dari bagian samping Berdasarkan hasil pengamatan secara mikroskopis pada beberapa tanaman kacang- kacangan seperti pada kacang buncis (Gambar 1) bentuk trikoma yaitu non glandular. Trikoma non glandular merupakan trikoma sederhana yang terdiri dari satu sel (Mulyani, 2008). Panjang trikoma yaitu sekitar 0,0-2,2 mm, dengan kerapatan trikoma yaitu 0,0-1,1 mm2, sehingga memudahkan parasitoid dalam meletakkan ovipositornya (Indianti, 2004). Hal ini sesuai dengan pernyataan Ardeh (2004b)yang mengemukakan bahwa panjang trikoma merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap tingkat parasitisasi Eretmocerus sp.. Tingkat parasitisasi terendah terjadi pada tanaman kentang yaitu sebesar 4,00 % dan labu 3,85 %. Rendahnya tingkat parasitisasi pada kedua tanaman tersebut disebabkan oleh beberapa faktor.Tanaman kentang diduga mempunyai bentuk trikoma yang agak panjang dan miring (Gambar 2a), bentuk trikoma yang panjang dan miring akan menyulitkan

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 267 parasitoid dalam mencari inang dan meletakan ovipositornya (Susanto, 2008). Faktor lain yang mempengaruhi rendahnya tingkat parasitisasi pada tanaman kentang adalah aplikasi insektisida sintetik yang relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan tanaman lain yang diamati. Pengaplikasian insektisida sintetik yang berlebihan dan tidak bijaksana akan menyebabkan terbunuhnya jasad hidup bukan sasaran termasuk parasitoid (Dennehey, 2006).

(a) (b)

Gambar 2. Bentuk trikoma (a) kentang dan (b) labu

Rendahnya tingkat parasitisasi pada tanaman labu dari hasil penelitian diduga karena kepadatan trikoma yang sangat tinggi yaitu 0,7 mm2 walaupun bentuk trikomanya non glandular (Gambar 2). Selain itu, diduga tekstur daun akan berpengaruh terhadap tingkat parasitisasi Eretmocerus. Daun yang tipis dan halus seperti pada labu, dan mentimun akan menyulitkan Eretmocerus sp. dalam meletakan ovipositornya (Ardeh, 2004b).

Identifikasi Eretmocerus sp. Berdasarkan hasil identifikasi morfologi dari genus Eretmocerus yang diamati terdapat spesies Eretmocerus mundus. Eretmocerus mundus mempunyai karakteristik yang dapat dibedakan dengan spesies Eretmocerus yang lainnya . Berdasarkan kunci identifikasi dapat dibedakan dari bentuk antena, jumlah seta pada mesoscutum dan jumlah seta pada bagian marginal vein dan calva.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 268

b

a

c

Gambar 3. Antena Eretmocerus mundus dengan bagian-bagiannya (a) scape, (b) funicular, (c) flagellum.

Bentuk funicular dari antena Eretmocerus mundus terdiri dari dua segmen, Segmen kedua lebih panjang dari segmen pertama (Gambar 3). Pada bagian scape terdapat lima seta, dan pada bagian ujung flagellum terdapat sejumlah seta, seta pada ujung flagellum ini hampir sama dengan Eretmocerus warrae, akan tetapi pada Eretmocerus warrae tidak ditemukan seta pada bagian scape dan bentuk funicular pun berbeda. Jumlah seta pada bagian tubuh genus Eretmocerus menjadi hal yang penting, karena berfungsi sebagai identifikasi spesies. Pada bagian thorax Eretmocerus yaitu thorax bagian tengah (mesothorax) pada bagian notum dari mesothorax (mesoscutum) terdapat empat seta (Gambar 4a).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 269

Gambar 4. Bagian thorax Eretmocerus sp. (a) mesoscutum tampak dari atas (b) mesoscutum tampak dari samping

Pada bagian sayap, yang terlihat pada Gambar 5 adalah sayap bagian depan beserta bagian-bagiannya. Jumlah seta pada bagian marginal vein dan linea calva (Gambar 5) terdapat 6-10 seta. Hal ini yang membedakan Eretmocerus mundus dengan spesies Eretmocerus yang lainnya.

calva

Marginal vein

Gambar 5. Sayap depan Eretmocerus mundus dan jumlah seta pada bagian marginal vein dan calva pada sayap depan Eretmocerus mundus

Gambar 6. Imago Eretmocerus mundus Dari hasil identifikasi dapat ditentukan bahwa spesies Eretmocerus yang ditemukan adalah Eretmocerus mundus (Gambar. 6). Hal tersebut sesuai dengan penelitian Sudarjat (2009) yang menyatakan bahwa di Indonesia baru diketahui satu spesies yaitu Eretmocerus mundus.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 270

KESIMPULAN Hanya ditemukan satu spesies parasitoid dari genus Eretmocerus yaitu Eretmocerus mundus yang menyerang B. tabaci pada berbagai jenis tanaman sayuran baik di dataran tinggi maupun di dataran rendah. Terdapat perbedaan tingkat parasitisasi Eretmocerusmundus terhadap beberapa jenis tanaman sayuran di dataran tinggi dan dataran rendah. Tingkat parasitisasi pada beberapa tanaman sayuran adalah : kacang buncis 57,14 %, kacang merah 42,20 %, tomat 13,6 %, kentang 4,00 %, labu 3,85 %, kacang panjang 27,97 %, oyong 15,30 %, mentimun 15,19 % dan terung 8,96 %.

DAFTAR PUSTAKA Ardeh, M.J. 2004a. Whitefly Control Potential of Eretmocerus Parasitoid with Different Reproductive Modes. Thessis Wegeningen University. Germany. < available online at >http://library.wur.nl/wda/dissertations/dis3695.pdf. Diakses tanggal 20 Maret 2009. Ardeh. M.J. 2004b. Biologi of an Arrohenotokous and Thelytokous Population of the Whitefly Parasitoid E. mundus on the Three Host Plans: How do Host Plant and Wolbachia Infections Influence the Parasitoid. http://www.library.wur.nl/wda/dissertations/dis3695.pdf . Diakses 3 Mei 2009. Barro, P.J De., D. Felice., D N. Ian., Schmidt. Stefan., M C. Geoffrey and C. Jhon. 2007. Descriptions of three species of Eretmocerus haldeman.(Hymenoptera: Aphelinidae) Parasiting Bemisia tabaci (Gennadius) (Himenoptera: Aleyrodidae) and Trialeurodes vaporariorum (Westwood) (Himenoptera: Aleyrodidae) in Australia based on Morphological and Molecular data. Australian Journal of Entomology 36. p. 259-269. Dennehy, T.J., B. DeGain., G. Harpold., X. Li., D.W. Crowder., Y. Carriere., P.C. Ellswoth and R.L. Niclos. 2006.Management of Bemisia Resistance: Cotton in the South western USA. Fourth International Bemisia Workshop International Whitefly Genomics Workshop. Duck Key, Florida, USA. Diez, J.M. 2007. Bemisia tabaci (Gennadius). Department of Entomology Honolulu, Hawaii. < available online at >http://www.doacs.state.fl.us/pi/enpp/ento/b.tabaci.html. Diakses tanggal 20 Maret 2009. Evans, G.A. 2007. Parasitoids (Hymenoptera) Associated Wuith Whiteflies (Aleyrodidae) of The World. USDA/Animal Plant Health Inspection Service (APHIS). < available online at >http://www.blackwellpublishing.com/products/journals/freepdf/sen134.pdf. Diakses 3 Mei 2009.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 271

Gerling, D and P. DeBarro. 2007. Bemisia tabaci research: Past-Present- Future. Tel Aviv University, Department of Zoology, Israel. CSIRO Division of Entomologi, Australia. Journal of Insect Science: Vol.8. Article 4. Gibson, Gary. A. P. 2008. Selected Structures of Chalcidoidea.of the Eastern Cereal & Oilseed Research Institute, (ECORC), Agriculture Canada, Ottawa, Ontario.http://www.sel.barc.usda.gov/hym/chalcids/collecting/structures.html.Diakses 2 Agustus 2009 Hoodle, M.S. 1999. The Biology and Management of Silverleaf Whitefly, Bemisia argentifolli Bellows and Perring (Homoptera: Aleyrodidae) on Greenhouse Grown Ornamentals. Department of Entomology, University of California. http://www.biocontrol.ucr.edu/bemisia.html. Diakses 3 Juli 2009. Hoodle, M.S (Edited by: Catherine, R., W.M. Anthony., F.H Michael). 2008. Eretmocerus eremicus (=Eretmocerus sp. Nr. Californicus, Arizona strain) (Hymenoptera: Aphelinidae). Department of Entomology, University of California. http://www.nysaes.cornell.edu/ent/biocontrol/parasitoidds/eretmocerus.html.Dia kses tanggal 29 Juli 2009. Indianti, S.W. 2004. Penyaringan dan Mekanisme Ketahanan Kacang Hijau MLG-716 terhadap Hama Thips. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi- umbian. Jurnal Litbang Pertanian. http://www.pustaka- deptan.go.id/publikasi/p3233044.pdf.Diakses 3 Juli 2009. Kalshoven, L. G. E. 1981. Pests of Crops in Indonesia. PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. McCutcheon, Gloria S and A. M. Simmons. 2006. Relationship Between Temperature and Rate of Parasitism by Eretmocerus sp. (Hymenoptera: Aphelinidae), a Parasitoid of Bemisia tabaci (Homoptera: Aleyrodidae). Coastal Research and Education Center, Clemson University, 2865 Savannah Highway. Journal of Insect Science www.insectscience.org . Diakses tanggal 3 Juli 2009. Mulyani, Sri. 2008. Anatomi Tumbuhan http://books.google.com/books. Diakses 3 Juli 2009 Myartseva, S.N. 2006. Eretmocerus haldeman (Hymenoptera: Aphelinidae) – Parasitoid of Whiteflies Trialeurodes vaporariorum and Bemisia tabaci (Complex) in Mexico, with a Key and Description of a New Species. Articulo Cientifico Vedalia 13. p. 27- 38. Naranjo, S. and P. Ellsworth. 2007. Using Life Tables to Measure the Contribution of Conservation Boilogical Control of Bemisia tabaci. Session IV: Biological Control. http://www.recercat.net/bitstream/2072/4538/4/Session4.pdf Diakses 20 Maret 2009. Naveed, M. A. Rafique and T. Zahida. 2003. Status of Bemisia tabaci on Cotton and Population dynamics of Parasitoids on Alternate Host Plant in Pakistan. Biological Control Sessoin IV. Central Cotton Research Institute, Entomology Section. http://www.recerat.net/bitstream/2072/4538/4/Session4.pdf. Diakses 20 Maret 2009.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 272

Otoidobiga, L.C. 2003. Susceptibility of Field Populations of Adult Bemisia tabaci Gennadius (Homoptera: Aleyrodidae) and Eretmocerus sp. (Hymenoptera: Aphelinidae) to Cotton Insecticides in Burkina Faso (West Afrika). McGill University. Setiawati, W.,A.A. Asandhi., T.S. Uhan., B. Marwoto., A. Somantri dan Hermawan. 2005. Pengendalian Kutu Kebul dan Nematoda Parasitik Secara Kultur Teknik pada Tanaman Kentang. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Jurnal Hortikultura. Vol. 15 No. 4 Hal. 288-296. Suarez, Hernandez., J.R Esteves and A. Carneo. 2003. Population Dynamics and Natural Enemies of Bemisia tabaci on Different Horticultural Crops in The Canari Islands. Session IV. Biological Control. ICIA, Dpto. Protection Vegetal, Spain. http://www.recercat.net/bitstream/2072/4538/4/Session4.pdf. Diakses 3 Juni 2009. Diakses 3 Juli 2009. Sudarjat. 2009. Potensi Berbagai Musuh Alami Asal Sentra Produksi Tanaman Sayuran di Jawa Barat untuk Mengendalikan Kutu Kebul (Bemisia tabaci Genn). Disertasi Program Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran. Susanto, G. W. Anggoro and M. Muchlish Adie. 2008. Penciri Ketahanan Morfologi Genotipe Kedelai terhadap Hama Penggerek Polong. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. http://www.puslittan.bogor.net. Diakses 28 April 2009. Wiyono, Suryo. 2007. Perubahan Iklim dan Ledakan Hama dan Penyakit Tanaman. Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Zolnerowich, Gregory and M. Rose. 2008. The Genus Eretmocerus. Chapter 5. Department of Entomology, Kansas State University, Manhattan, KS, USA. Department of Entomology, Montana State University.

Notulensi Diskusi Seminar Agus Susanto (Dosen HPT UNPAD) - Kenapa keragaman inang berpengaruh pada tingkat parasitisasi? - Bagaimana agar perbedaan elevasi untuk dataran medium dan dataran tinggi? - Bagaimana trikoma tomat? Jawab : - Disebabkan oleh sifat kimia dan sifat fisik (trikoma) tanaman. - Trikoma tomat dapat dikategorikan sedang.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 273

OPH-23 Potensi Jamur Aschersonia aleyrodis,Paecilomyces sp. dan Verticillium sp.Untuk Mengendalikan Bemisia tabaci GENNADIUS (Homoptera : Aleyrodidae) Pada Tanaman Tomat Hidroponik Devi Kurnia1, Sudarjat2, Andang Purnama2, 1Mahasiswa dan 2Dosen Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Email : [email protected]

ABSTRAK Salah satu hama yang sangat potensial menyerang tanaman tomat yaitu Bemisia tabaci Gennadius (Homoptera: Aleyrodidae). Pengendalian yang ramah lingkungan untuk menekan populasi B. tabaci yaitu dengan menggunakan jamur entomopatogen Aschersonia aleyrodis, Paecilomyces sp dan Verticillium sp. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan jamur entomopathogen yang paling berpotensi untuk menekan B. tabaci pada tanaman tomat hidroponik. Telah dilakukan di Rumah Kaca Jurusan Budidaya Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran dari bulan Juli sampai bulan Oktober 2010. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan rancangan penelitian adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) terdiri atas enam perlakuan dan empat kali ulangan. Keenam perlakuan tersebut adalah (A) Aplikasi A. aleyrodis dengan kerapatan spora 1 x108 / ml dengan interval aplikasi 1 minggu (B) Aplikasi Paecilomyces sp dengan kerapatan spora 1 x 108 / ml dengan interval aplikasi 1 minggu (C) Aplikasi Verticillium sp dengan kerapatan spora 1 x 108 /ml dengan interval aplikasi 1 minggu (D) Aplikasi A. aleyrodis dengan kerapatan spora 1 x 106/ ml dengan interval aplikasi 1 minggu (E) Aplikasi Paecilomyces sp dengan kerapatan spora 1 x 106 ml dengan interval aplikasi 1 minggu (F) Aplikasi Verticillum sp dengan kerapatan spora 1x 106 / ml dengan interval aplikasi 1 minggu dan (G) Kontrol (Tanpa aplikasi jamur entomopathogen). Hasil penelitian menunjukan bahwa jamur A. aleyrodis dengan konsentrasi 1 x 108 / tanaman dengan interval 1 minggu dapat menekan populasi nimfa B. tabaci sebesar 90.39% pada minggu ke-8 setelah aplikasi pertama. Tingkat penekanan tersebut tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lain. Kata kunci : Jamur Aschersonia aleyrodis, Paecilomyces sp dan Verticillium sp, Bemisia tabaci, tomat hidroponik.

ABSTRACT Bemisia tabaci is a major pest of tomato. One of the environmentally-friendly control measures to suppress the population of B. tabaci is by using entomopathogenic fungi such as Aschersoniaaleyrodis, Paecilomyces sp and Verticillium sp. This research was objected to obtain the most potent of entomopatogen fungus in suppressing B.tabaci on hydroponic tomato plants. The experiment was carried out in the Greenhouse of the Faculty of Agriculture, Padjadjaran University from July to October 2010. The experiment was arranged in the Randomized Block Design consists of six treatments and four replications. The treatments were weekly application of the fungi at some different concentration, (A) A. aleyrodis 1x108 spores /plant (B) Paecilomyces sp 1x108 spores/plant (C) Verticillium sp 1x108 spores/plant (D) A. aleyrodis 1 x 106 spores/plant (E) Paecilomyces sp 1 x 106 spores /plant (F) Verticillum sp 1 x 106 spores/plant (G) Control (no entomopathogen fungus application). The result showed that the application of A. aleyrodis with concentration of 1x 108 spores/plantat interval of 1 week suppressed the populations of B. tabaci nymph by 90.39% at 8 week after the first application. The suppression rate was the highest compared with other treatment Key words: Aschersoniaaleyrodis, Paecilomycessp,Verticilliumsp, Bemisia tabaci, hydroponictomatoes.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 274

PENDAHULUAN Tomat merupakan salah satu komoditas hortikultura yang bernilai ekonomi tinggi dan masih memerlukan penanganan serius, terutama dalam hal peningkatan hasil dan kualitas buahnya. Rata-rata produksi tomat dalam 5 tahun terakhir (1999-2003) mencapai 574.153 ton/tahun dengan produktivitas 12 ton/ha (Ditjen BPH, 2004). Nilai ini masih jauh di bawah rata-rata produktivitas di negara maju seperti Amerika Serikat yang dapat mencapai 39 ton/ha (Ditjen BPH, 2004). Rendahnya produksi tomat di Indonesia kemungkinan disebabkan varietas yang ditanam tidak cocok, kultur teknis yang kurang baik atau pengendalian OPT (organisme pengganggu tanaman) yang kurang efisien. Faktor lain yang menyebabkan produksi tomat rendah adalah penggunaan pupuk yang belum optimal serta pola tanam yang belum tepat. Upaya untuk menanggulangi kendala tersebut adalah dengan perbaikan teknik budidaya. Salah satu teknik budidaya tanaman yang diharapkan dapat meningkatkan hasil dan kualitas tomat adalah hidroponik. Dengan sistem hidroponik dapat diatur kondisi lingkungannya seperti suhu, kelembaban relatif dan intensitas cahaya, bahkan ketergantungan terhadap faktor curah hujan dapat dihilangkan sama sekali dan serangan hama penyakit dapat diperkecil (Wijayanti dan Widodo, 2005). Perbedaan yang paling menonjol antara budidaya hidroponik dan konvensional adalah penyediaan nutrisi tanaman. Pada budidaya konvensional, ketersediaan nutrisi tergantung kemampuan tanah menyediakan unsur hara dalam jumlah yang cukup dan lengkap sedangkan pada budidaya hidroponik, semua kebutuhan nutrisi tersedia dalam jumlah yang tepat dengan yang dibutuhkan tanaman dan mudah diserap oleh tanaman (Siswadi, 2008). Kunci keberhasilan budidaya hidroponik adalah pada pemberian komposisi pupuk yang tepat, sesuai dengan jenis dan umur tanaman (Wardi, 2005). Formula larutan yang dapat digunakan untuk berbagai macam tanaman sayuran dan hias, adalah N 140-300 ppm; P 31-80 ppm dan K 160-300 ppm, tetapi untuk kebutuhan yang optimal belum diketahui secara pasti. (Wijayanti dan Widodo, 2005). Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan kualitas tomat yaitu adanya serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Keberadaannya sangat mengganggu tanaman yang ditanam para petani sehingga dapat menurunkan hasil dari

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 275 pertanaman mereka. Salah satu OPT yang sering menyerang tanaman tomat adalah Bemisia tabaci (Homoptera : Aleyrodidae). Keberadaan B. tabaci di Indonesia pertama kali ditemukan pada tahun 1938 (Kalshoven, 1981). Hama ini telah menyebar di beberapa sentra sayuran di pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Bali (Setiawati dkk., 2005). B. tabaci mempunyai tingkat sebaran yang sangat luas yang didukung oleh kemampuan hidupnya, yaitu mampu hidup pada kisaran suhu 17-30 °C (Bonaro dkk., 2007), dengan tingkat migrasi yang tinggi dan tingkat reproduksi yang tinggi (Naranjo & Ellsworth, 2007) serta dapat hidup pada dataran tinggi maupun dataran rendah (Wiyono, 2007). Kerugian yang ditimbulkan oleh serangan B. tabaci dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Kerugian secara langsung terjadi pada saat B. tabaci menusukkan stiletnya pada permukaan daun serta menghisap cairan daun, sehingga apabila serangan berat dapat menimbulkan klorosis, daun menjadi mengecil dan menggulung ke atas (Mau & Kessing, 2007). Kerugian secara tidak langsung, yaitu adanya embun madu yang dikeluarkan sebagai sisa eksresi dari B. tabaci menjadi tempat tumbuhnya jamur seperti Cladosporium dan Alternaria spp. (Hoddle, 1999). Selain itu, B. tabaci dapat juga berperan sebagai vektor dari beberapa jenis virus dari kelompok Geminivirus sehingga keberadaannya yang sedikitpun dapat menimbulkan kerugian (Mau & Kessing, 2007). Pengendalian B. tabaci biasanya dilakukan petani dengan menggunakan insektisida sintetik. Penggunaan insektisida yang tidak bijaksana akan berdampak negatif karena insektisida sintetik memiliki spektrum daya bunuh yang cukup luas dan mengakibatkan terbunuhnya musuh alami seperti predator, parasitoid, serangga non target, dan serangga menguntungkan lainnya (Untung, 2006). Selain itu, penggunaan insektisida sintetik menjadi kurang efektif karena telur dan nimfa B. tabaci berada di bagian bawah daun sehingga sulit terjangkau oleh insektisida (Ardeh, 2004). Oleh karena itu alternatif pengendalian B. tabaci lebih diarahkan dengan menggunakan pengendalian hama terpadu yang salah satu komponennya yaitu dengan memanfaatkan agens pengendali hayati yang ramah lingkungan (McCutcheon & Simmons, 2001). Pengendalian hayati merupakan taktik pengeloloan hama yang dilakukan secara sengaja memanfaatkan atau memanipulasi musuh alami untuk menurunkan atau

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 276 mengendalikan populasi hama (Untung, 1993). Jamur entomopatogen adalah salah satu agen pengendali hayati yang mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai alternatif pengendali hama (Wahyunendo, 2002). Jamur entomopatogen dapat dimanfaatkan untuk menekan populasi B. tabaci (Sudarjat dkk.., 2009). Berdasarkan penelitian Sudarjat (2009) telah ditemukan banyak B.tabaci yang mati oleh jamur entomopatogen dan setelah diidentifikasi jamur entomopatogen tersebut antara lain Pacilomyses sp, Aschersonia aleyrodis, Beauveria bassasna. Dalam pengujian semi lapangan jamur Aschersonia aleyrodis asal Karawang yang dikembangbiakan dalam jagung dapat mengakibatkan mortalitas nimfa B. tabaci sebesar 72,27% sedangkan Paecilomyces sp. asal Ciwidey yang dikembangbiakan dalam jagung dapat mengakibatkan mortalitas B. tabaci pada tanaman buncis sebesar 60,53% (Sudarjat dkk., 2009). Selain ketiga jenis jamur entomopatogen juga ada satu jamur yang mempunyai prosfek cukup baik untuk dikembangbiakan serta dapat mengendalikan B. tabaci yaitu Verticillium sp (Hoddle 1999; Cloyd 2003 dalam Prayogo dan Suharsono 2005). Dengan memperhatikan potensi jamur entomopatogen untuk mengendalikan B. tabaci tersebut, maka perlu diteliti kemungkinan penggunaannya untuk mengendalikan B. tabaci pada tanaman tomat hidroponik.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di Rumah Kaca Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Jatinangor pada ketinggian tempat ± 700 meter dari permukaan laut (m dpl) dari bulan Juli 2010 sampai dengan Oktober 2010. Jamur A. aleyrodis, dan Paecilomyces sp. didapat dari beberapa tanaman sayuran milik petani di kecamatan Tirtamulya kabupaten Karawang dengan ketinggian tempat 25 meter dari permukaan laut (m dpl), Verticillum sp didapat dari Balitsa (Balai Penelitian Tanaman Sayuran) di Lembang.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 277

Alat dan Bahan Penelitian Peralatan yang digunakan dan kegunaannya adalah sebagai berikut : o Kurungan Kasa Kecil (P :65cm L :45cm T :52cm untuk rearing B.tabaci o Polybag (diameter 17.5 cm dan tinggi 25 cm) untuk tanaman Labu besar dan tomat hidroponik yang akan digunakan sebagai tanaman inang B.tabaci selama di rumah kaca. o Laminar, petridish, oven, mikroskop, bunsen dan kawat ose serta kertas lebel dan selotip. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : o Tanaman tomat varietas Martha dengan sytem budidaya hidroponik sebagai inang B.tabaci untuk perlakuan. o Tanaman kastuba sebagai inang B.tabaci saat perbanyakan o Tanah untuk media tanam Labu dan arang sekam bakar untuk tomat hidroponik o Nutrisi untuk tomat hidroponik o Jamur A. aleyrodis, Paecilomyces sp dan Verticillum sp

Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimental dengan rancangan percobaan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) terdiri atas 6 perlakuan. Masing-masing perlakuan diulang 4 kali. Ke 6 perlakuan tersebut adalah : A = Aplikasi A. aleyrodis dengan kerapatan spora 1 x108/ml dengan interval aplikasi 1 minggu B = Aplikasi Paecilomyces spdengan kerapatan spora 1 x 108/ml dengan interval aplikasi 1 minggu C = Aplikasi Verticillium spdengan kerapatan spora 1 x 108/ ml dengan interval aplikasi 1 minggu D = Aplikasi A. aleyrodis dengan kerapatan spora 1x 106/ml dengan interval aplikasi 1 minggu

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 278

E = Aplikasi Paecilomyces spdengan kerapatan spora 1x 106/ml dengan interval aplikasi 1 minggu F = Aplikasi Verticillum sp dengan kerapatan spora 1x 106/ ml dengan interval aplikasi 1 minggu G = Kontrol (Tanpa aplikasi jamur entomopathogen) Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan ANOVA menggunakan program SPSS Version 16. Untuk mengetahui perbedaan diantara perlakuan dilakukan Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%.

Persiapan Percobaan Persiapan Penanaman Labu Disiapkan lima belas polybag ukuran dua kilogram yang sebelumnya telah diisi tanah dan campuran pupuk kandang lalu ditanami benih labu. Apabila tanaman labu telah cukup digunakan sebagai media hidup B.tabaci (dua minggu setelah tanam), maka media dipindahkan ke rumah kaca, ke dalam ruangan rering yang terbuat dari kain kassa dengan ukuran P :6m L :1,5m T :1,8 m. Persiapan Penanaman Tomat Hidroponik Disiapkan tiga puluh polybag ukuran lima kilogram yang sebelumnya telah diisi dengan arang sekam bakar lalu ditanami bibit tomat dengan umur 3 minggu. Nutrisi yang digunakan selama penanaman adalah campuran NPK dengan perbandingan N 140-300 ppm, P 31-80 ppm dan K 160-300 ppm, yang disiramkan pada tanaman tomat, tempat penanaman di dalam rumah kaca dengan ukuran P :6m, L :5m, T :2m.

Perbanyakan Massal Jamur Entomopatogen A. aleyrodis, Paecilomyces sp dan Verticillum sp. Pembuatan Media Potato Dextrose Agar (PDA) Media PDA dibuat dengan cara : 200 gram kentang dikupas, dicuci bersih kemudian dipotong kecil dan direbus dalam 1 liter aquades sampai lunak. Kemudian disaring untuk memisahkan air kaldu dengan kentang. Air hasil saringan diukur hingga 1 liter, apabila

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 279 kurang dari 1 liter maka ditambahkan aquades samapai volumenya mencapai 1 liter kemudian ditambah 20 gram agar dan 20 gram dextrose, lalu direbus kembali sampai mendidih. Setelah itu, larutan tersebut disaring kembali dan dituangkan ke dalam botol schott untuk disterilisasi dalam autoclave selama 15 menit pada temperatur 121°C dengan tekanan 1 atmosfir (atm). Perbanyakan Massal Jamur Entomopatogen di Media Jagung Tahapan pertama dalam perbanyakan massal jamur entomopatogen yaitu melakukan pembuatan media jagung. Proses yang dilakukan untuk mendapatkan media jagung yaitu mula-mula mengukus biji jagung yang telah dibersihkan dari kotoran selama ± ½ jam. Jagung yang telah dikukus kemudian dibungkus dalam plastik tahan panas dengan berat tiap bungkusan kira-kira l00 g. Selanjutnya media jagung tersebut disterilisasi dalam autoclaf dengan tekanan 1 atm. Media jagung yang telah disterilisasi siap digunakan untuk media perbanyakan jamur A. aleyrodis,Paecilomyces sp dan Verticillum sp. Tahapan proses selanjutnya yaitu rnelakukan inokulasi biakan murni jamur A. aleyrodis, Paecilomyces sp dan Verticillum sp. ke dalam media jagung yang telah disterilisasi. Untuk mempercepat proses pertumbuhan jamur A. aleyrodis, Paecilomyces sp dan Verticillum sp. media jagung tersebut disimpan dalam inkubator pada suhu 250C – 300C. Setelah masa inkubasi sekitar satu minggu, jamur A. aleyrodis, Paecilomyces sp dan Verticillum sp. akan tumbuh dan menyebar dalam media jagung. Pembuatan Suspensi Jamur Entomopatogen Biakan murni jamur entomopatogen dalam media jagung disuspensikan dengan menambahkan aquadest 400 ml kemudian diaduk sampai merata. Suspensi tersebut kemudian disaring dengan kain saring. Kerapatan konidia dalam suspensi tersebut dihitung dengan bantuan mikroskop dan haemositometer. Perhitungan kerapatan konidia dilakukan sesuai dengan perlakuan yang akan diuji.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 280

Rearing B. tabaci Nimfa B. tabaci yang didapat dari lapangan, disimpan dalam rumah kassa yang telah disediakan labu dan kastuba lalu B. tabaci diinfestasi pada tanaman labu dan kastuba. Penggantian tanaman labu dilakukan apabila ada tanaman yang mati atau layu.

Pelaksanaan Penelitian Aplikasi Jamur A. aleyrodis, Paecilomyces sp dan Verticillum sp Tanaman tomat hidroponik dengan umur ± 3-5 minggu setelah tanam diinfestasikan dengan imago B. tabaci yang telah diperbanyak secara masal di rumah kaca. Setelah kepadatan nimfa cukup tinggi antara 300-1000 nimfa per tanaman, masing-masing tanaman tomat disekat dengan kasa supaya perlakuan satu tidak mempengaruhi perlakuan lainya, selanjutnya aplikasi jamur terhadap serangga uji dilakukan dengan cara menyemprotkan suspensi jamur menggunakan handsprayer, sesuai dengan konsentrasi perlakuanpada daun tanaman tomat yang telah dipenuhi nimfa B. tabaci dan aplikasi jamur dilakukan sore hari pada pukul 16.30 WIB.

Pengamatan Pengamatan Utama o Penghitungan dilakukan terhadap populasi nimfa B. tabaci setiap minggu dimulai satu minggu setelah perlakuan. o Hasil buah tomat diukur dengan cara menimbang buah tomat, panen dilakukan pada saat tomat sudah mencapai umur 3 bulan. Pengamatan Penunjang Pengamatan suhu dan kelembaban ruang penelitian menggunakan termohigrometer. Pengamatan dilakukan pada pagi hari dan sore hari agar diperoleh kisaran suhu dan kelembaban maksimum serta minimum setiap harinya.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 281

HASIL DAN PEMBAHASAN Kepadatan Nimfa B. tabaci dan Tingkat Penekanan Jamur A. aleyrodis, Paecilomyces sp. dan Verticillium sp terhadap Nimfa B. tabaci. Pada Tabel 1 terlihat bahwa pada minggu pertama dan minggu ke dua setelah aplikasi Jamur Aschersoniaaleyrodis,Paecilomyces sp., dan Verticillium sp. tidak berpengaruh terhadap penurunan kepadatan populasi nimfa B. tabaci. Pada minggu pertama setelah aplikasi masih terjadi peningkatan jumlah nimfa B. tabaci pada setiap perlakuan sedangkan pada minggu ke dua mengalami penurunan jumlah nimfa B. tabaci. Hal ini diduga karena jamur tersebut belum dapat menekan populasi nimfa B. tabaci secara signifikan serta pengaruh kelembaban sangat mempengaruhi kemampuan jamur tersebut. Rata-rata kelembaban di Rumah kaca berkisar antara 71%-86%. Menurut Cloyd (2003) jamur entomopatogen membutuhkan waktu 24 -72 jam untuk menimbulkan gejala pada serangga setelah jamur tersebut menempel pada tubuh serangga, dan membentuk tabung kecambah paling cepat 10 jam setelah menempel pada tubuh serangga, itupun hanya terjadi apabila kelembaban di sekitar spora di atas 85%. Hal tersebut diungkapkan pula oleh Rayati dkk., (1996) Jamur entomopatogen melakukan proses infeksi hingga dapat menimbulkan kematian pada serangga inang dalam waktu sekitar 3-10 hari. Hadi (2003) menyatakan bahwa terinfeksinya suatu serangga disebabkan oleh pertumbuhan dan perkembangan koloni jamur dalam tubuh inangnya bukan disebabkan oleh enzim toksin yang diproduksi oleh jamur tersebut. Jika toksin yang membunuh inangnya, maka inang akan lebih cepat mati setelah aplikasi. Robert dan Yendol (1971) mengemukakan apabila kondisi lingkungan sesuai jamur yang menempel pada lapisan luar dinding tubuh serangga akan mulai menginfeksi.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 282

Tabel 1. Kepadatan Nimfa B. tabaci dan Tingkat Penekanan Jamur Aschersonia aleyrodis,Paecilomyces spdan Verticillium sp

Kepadatan Nimfa (ekor) dan Tingkat Penekanan Jamur Aschersonia aleyrodis,Paecilomyces sp dan Verticillum sp % pada minggu ke Perlakuan Nimfa 1 2 3 4 5 6 7 8 Awal Kp Pn Kp Pn Kp Pn Kp Pn Kp Pn Kp Pn Kp Pn Kp Pn 1105.50 33.41 48.95b 63.30 70.32 A (Asc 108) 1504.00a 1791.00b -38.52a 1588.00a -8.35a a b 933.00a c 745.50a b 650.75 b 386.75a 84.62c 254.75a 90.39c a 1554.25a 1261.50 23.87 1069.00 57.30 682.50 68.80 84.11 B (Pae 108) 1469.75a 1832.75b -42.14a b -6.72ab a b a 41.34b 862.50a b a b 566.25b 77.44b 421.00b b

1501.25a 1033.25 37.51 62.05 648.00 70.45 541.50a 370.25a 86.08 C (Ver 108) 1370.00a 1912.25b -45.29a b -2.07ab a b 838.50a 54.16c 767.75a b a b b 78.57b b b

1410.25a 1122.50 32.86 49.59b 62.88 647.50 70.49 84.17 D (Asc 106) 1253.75a 1789.75b -35.00a b 4.56ab a b 924.00a c 753.75a b a b 551.00a 78.26b 423.50b b b - 1265.00a 12.59a 39.50 50.14b 60.59 657.50 69.80 500.25a 80.02b 85.08 1614.00a E (Pae 106) 1369.25a 996.25a b 23.77ab b b b 906.00a c 787.50a b a b b c 396.50b b

1032.75 37.28 49.04b 61.53 663.50 68.94 526.25a 83.44 F (Ver 106) 1406.75a 1896.00b 1251.00b -45.94a 13.83b a b 924.00a c 766.75a b a b b 79.08b 439.00b b

1471.75a 1663.75 1837.50 2058.75 682.50 2527.75 2670.25 G 1213.75a 1322.75a (Kontrol) 0.00b b 0.00ab b 0.00a b 0.00a b 0.00a b 0.00a c 0.00a c 0.00a Keterangan : Angka rata-rata perlakuan yang di ikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5 % Kp :Kepadatan (ekor) Pn : Penekanan % Asc : Aschersoniaaleyrodis Pae : Paecilomyces sp Ver:Verticillium sp

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 283

Pada minggu ketiga penekanan jamur entomopatogen yang diuji sudah mulai nyata, hal ini dapat dilihat dari jumlah nimfa B.tabaci yang menurun dari minggu sebelumnya, sedangkan pada perlakuan kontrol jumlah nimfa tetap meningkat. Jumlah nimfa pada tiap perlakuan jamur yang diuji tidak berbeda nyata antar satu dengan lainnya, tingkat penekanan berkisar antara 23,87% sampai dengan 39,50%. Demikian pula pada minggu ke empat, ke lima dan ke enam, kepadatan nimfa B.tabaci terus menurun setiap minggunya dengan tingkat penekanan 68,80% - 70,49% pada minggu ke enam. Meskipun demikian, tingkat penekanan jamur yang diuji tidak berbeda nyata antara satu perlakuan dengan lainnya. Menurut Mc Coy dkk. (1988), jamur entomopatogen yang memiliki virulensi yang rendah akan memiliki daya infeksi yang lemah sehingga mengakibatkan ketidakmampuan jamur tersebut untuk bertahan hidup dan memperbanyak diri dalam tubuh inang, walaupun jamur tersebut telah memasuki daerah hemocoel serangga. Virulensi jamur entomopatogen dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain: metode perbanyakan, adaptasi jamur, penyimpanan, formulasi, dan keadaan lingkungan. Pada umumnya menurunnya virulensi disebabkan oleh jamur entomopatogen diperbanyak dan disimpan pada media buatan secara terus menerus. Selain itu faktor, lingkungan terutama suhu dan kelembaban yang kurang sesuai juga turut menentukan menurunnya virulensi (Tanada & Karya, 1993 dalam Herdiana, 2002). Diungkapkan pula oleh Roberts dan Yendol (1971), banyaknya inokulum merupakan salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan infeksi jamur, semakin banyak inokulun yang diaplikasikan maka semakin besar peluang konidia jamur untuk masuk ke tubuh inangnya. Pada minggu ke tujuh populasi B.tabaci makin terus menurun akibat perlakuan jamur entomopatogen yang diuji dengan tingkat penekanan berkisar antara 77.44% - 84,62%. Pada minggu ketujuh ini sudah tampak mulai ada perbedaan penekanan dengan tingkat penekanan tertinggi dicapai oleh perlakuan jamur A (Aschersoniaaleyrodis 108). Pada minggu ke delapan tingkat penekanan mencapai 83,44% - 90,39%, dengan tingkat penekanan tertinggi dicapai oleh perlakuan A (Aschersoniaaleyrodis 108) sebesar 90,39%. Rohani (1991) mengemukakan keberhasilan jamur entomopatogen menginfeksi serangga inang dengan efektif sangat tergantung pada kondisi iklim, jumlah inokulum, dan kerapatan spora. Hal tersebut diungkapkan pula oleh McCoy dkk. (1988) bahwa makin banyak spora yang menempel pada tubuh serangga makin besar peluang spora tersebut untuk tumbuh dan berkembang pada serangga sasaran yang selanjutnya dapat mematikan serangga. Menurut Liu dkk. (2007) jamur Aschersoniaaleyrodis memiliki kelebihan, antara lain mempunyai toleransi yang tinggi terhadap kelembaban yang rendah.

Hasil Buah Tomat Pengamatan hasil tomat dilakukan dengan cara menimbang berat tomat yang bagus yang berhasil di panen. Pada Tabel 2 terlihat bahwa perlakuan jamur entomopatogen dapat mengurangi kehilangan hasil akibat B. tabaci. Hasil tomat yang diperoleh pada semua perlakuan jauh lebih tinggi dan berbeda nyata bila dibandingkan dengan kontrol. Diantara jamur entomopatogen yang diuji, perlakuan Aschersoniaaleyrodis 108 menghasilkan buah

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 284 tomat yang paling tinggi dan berbeda nyata bila dibandingkan dengan perlakuan jamur entomopatogen lainnya.

Tabel 2. Rata-rata Hasil Tomat Hidroponik Setelah Perlakuan Jamur Entomopatogen No Perlakuan Hasil Tomat (g) 1 Aschersoniaaleyrodis 108 408,75c 2 Paecilomyces sp 108 214b 3 Verticillium sp 108 298,25b 4 Aschersonia aleyrodis 106 242b 5 Paecilomyces sp 106 277,75b 6 Verticillium sp 106 244,75b 7 Kontrol 126a

Hal ini menunjukan bahwa perlakuan jamur Aschersonia aleyrodis 108 mampu menekan lebih tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Kerusakan akibat B. tabaci sangat berpengaruh terhadap kehilangan hasil panen. Menurut Mau dan Kessing, (2007) salah satu jenis kerusakan yang ditimbulkan oleh B. tabaci adalah kerusakan langsung akibat tusukan stilet B. tabaci sehingga daun menjadi klorosis dan mati karena sel daun mati kekurangan cairan. Dengan klorosis dan matinya sel daun maka proses fotosintesis menjadi terganggu sehingga produk fotosintat yang disimpan pada buah sebagai makanan cadangan menjadi lebih sedikit dibandingkan dengan tanaman tomat yang daunnya tidak banyak yang rusak. Akibatnya buah yang dihasilkan pun menjadi sedikit dan berukuran kecil-kecil.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa jamur Aschersonia aleyrodis dengan kerapatan spora 1 x108 / mL dengan interval aplikasi 1 minggu dapat menekan populasi nimfa B. tabaci sebesar 90.39%.

DAFTAR PUSTAKA Ardeh. M.J. 2004. Biologi of an Arrohenotokous and Thelytokous Population of the Whitefly Parasitoid E. mundus on the Three Host Plans: How do Host Plant and Wolbachia Infections Influence the Parasitoid. http://www.library.wur.nl/wda/dissertations/dis3695.pdf. Diakses 3 Mei 2009. Direktorat Perlindungan Holtikultura. 2004. Pedoman Penerapan PHT Pada Agribisnis Tanaman Cabai. Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. 91 p. Bonaro, O., A. Lurette., C. Vidal and J. Fargues. 2007. Modelling Temperature-Dependent Bionomics of Bemisia tabaci (Q-biotype) Physiological Entomology. p.32: 50-55. Cloyd, R. 2003. The Entomophtogen Verticillium lecanii. University of Illionis. Internet : http//www.Entomology.wisc.edu/mben/kyf612. Html. Diakses 7 November 2010. Hadi, S. A. 2003. Uji Toksisitas Jamur Entomopatogen Paecilomyces fumosoroseus Bainer. (Deuteromycetes; Hyphomycetes) Terhadap Mortalitas Bemisia tabaci Genn., Myzus persicae sulz., dan Apihis gossypii Glover. Pada tanaman Tomat di Rumah Kaca. Skripsi. Jurusan Hama dan penyakit Tumbuhan. Fakultas Pertanian. Universitas Padjadjaran. Jatinangor. 55 hal.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 285

Herdiana, A. 2002. Pengaruh Kerapatan Konidia dan Waktu Aplikasi Jamur Entomopatogen Paecilomyces fumosoroseus Bainer. Terhadap Mortalitas Larva Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera; Yponomeutidae) Pada Tanaman Kubis di Rumah Kaca. Skripsi. Jurusan Hama dan penyakit Tumbuhan. Fakultas Pertanian. Universitas Padjadjaran. Jatinangor. 69 hal. Hoddle, M.S (Edited by : Catherine, R., W., Anthony, M., S., Michael, F.H) .1999. Eretmocerus eremicus (=Eretmocerus sp. nr. californicus, Arizona strain) (Hymenoptera: Aphelinidae). Department of Entomology, University of California. http://www.nysaes.cornell.edu/ent/biocontrol/parasitoids/eretmocerus.html. Diakses tanggal 10 Oktober 2009. Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pest of Crop in Indonesia. Revised by P.A. Van der Laan. PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta. Indoneseia. 701 hal. Liu, X. T. 2007. Oviposition, Development, and Survivorship of Eretmocerus melanoscutes (Hymenoptera: Aphelinidae)Parasitizing Nymphs of Bemisia tabaci (Homoptera: Aleyrodidae). Texas Agricultural Experiment Station, Texas A&M University System, USA.. Proceeding Fourth International Bemisia Workshop International Whitefly Genomics Workshop. http://www.insectscience. org/8.04. Diakses 8 Agustus 2009. Prayogo, Y., Suharsono. 2005. Optimalisasi Pengendalian Hama Pengisap Polong Kedelai (riptortus linearis) dengan Cendawan Entomopatogen verticillium lecaniiJurnal Litbang Pertanian, Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Kotak Pos 66, Malang 65101. Mau, R.L.F., J.L.M. Kessing (edited by : J.M. Diez) . 2007. Bemisia tabaci (Gennadius). Department of Entomology Honolulu, Hawai http://www.extento.hawaii.edu/kbase/crop/Type/b_tabaci.htm -->Diakses tanggal Oktober 2009. McCoy, C. W., R. A. Samson and D. G. Baucias. 1988.. Entomogenous Fungi. Carlo Ignoffo (ed). Microbial Insectisides Part A Entomogenous Protozoa and Fungi. CRC Hand Book of Natural Pestisides. Volume V. CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida. Hlm 151-235. McCutcheon, Gloria, S., & Simmons, Alvin M. 2001. Relationship Between Temperature and Rate of Parasitism by Eretmocerus sp (Hymenoptera : Aphelinidae), a Parasitoid of Bemisia tabaci (Homoptera : Aleyrodidae). Coatal Research and Education Center, Clemson University. http://entweb.clemson.edu/scesweb/archives/182/97.pdf. Diakses 20 April 2009. Naranjo, S. and P. Ellsworth. 2007. Using Life Tables to Measure the Contribution of Conservation Boilogical Control of Bemisia tabaci. Session IV: Biological Control. http://www.recercat.net/bitstream/2072/4538/4/Session4.pdf Diakses: 20 Maret 2009. Rayati, D.J., Widayat, W. & Martosupono, M. 1996. Penggunaan Jamur Paecilomyces fumosoroseus (PfR) Teknologi Alternatif Pengendalian Hama Non Kimiawi Pada Tanaman The dan Kina. Bnadung. Robert, D.W. and G.W. Yendol. 1971. Use of Fungi Microbial Control of Insect. In H.D. Burges and N.W. Huseey (ed.). Microbial Control of Insect and Mites. Academic Press. New York. Pp. 125-145. Diakses 12 Desember 2010.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 286

Setiawati, W., A. A. Asandhi, T. S. Uhan, B. Marwoto, A. Somantri dan Hermawan. 2005. Pengendalian Kutu Kebul dan Nematoda Parasitik secara Kultur Teknik pada Tanaman Kentang. Jurnal Hortikultura. Vol. 15 No. 4 Hal. 288-296. Siswadi, 2008. Berbagai Formulasi Kebutuhan Nutrisi pada Sistem Hidroponik NNOFARM : Jurnal Inovasi Pertanian Vol. 7, No. 1, 2008 (103-110). Susniahti, N., C., Nasahi, K. Dewi. 2002. Virulensi Jamur Entomopatogen verticilium lecanii (zimmerman) viegs terhadap myzus persicae sulzer (homoptera;aphididae) pada tanaman cabai merah (capsicum annum l) di rumah kaca. Berdasarkan DIP No. 060/232002 Tanggal 1 Januari 2009. Sudarjat, 2009. Potensi Berbagai Musuh Alami Asal Sentra Produksi Tanaman Sayuran di Jawa Barat untuk Mengendalikan Kutukebul (Bemisia tabaci Genn.). Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran. Sudarjat, D. Dono, dan N. Istifadah. 2009. Pengembangan Produk Agens Pengendali Hayati Hama Kutu Kebul (Bemisia tabaci Genn.). Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Bandung. Untung, K. 1993. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada University. Yogyakarta. 273 hal. Untung, K dan Sosromarsono, S. 2006. Keanekaragaman Hayati Arthrophoda Predator dan Parasit di Indonesia dan Pemanfaatannya. http://kasumbogo. Staff.ugm.ac.id. Diakses April 2010. Wardi, H. 2005. Teknologi Hidroponik Media Arang Sekam untuk Budidaya Holtikultural. Wahyunendo, Y. D. 2002. Sporulasi cendawan Etomopatogen Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. Pada Berbagai Media Alami dan Viabilitasnya di Bawah Pengaruh Suhu dan Sinar Matahari. Skripsi. Jurusan Hama dan Penyakit Tanaman. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 21 hal. Wiyono, Suryo. 2007. Perubahan Iklim dan Ledakan Hama dan Penyakit Tanaman. Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Wijayanti, A., Widodo, W. 2005. Usaha Meningkatkan Kualitas Beberapa Varietas Tomat dengan Sistem Budidaya Hidroponik. Fakultas Pertanian UPN ‖Veteran‖ Yogyakarta. Ilmu Pertanian Vol. 12 No.1, 2005:77-83.

Notulen Diskusi Seminar Umi (BPTPH Jawa Barat) : - Jamur Aschersonia aleyrodis diisolasi dari apa? - Kemampuan visual dari Aschersonia aleyrodis? - Cara penyemprotan/aplikasi Ascherionia Sp? - Gejala tampak Bemicia tabaci? - Berapa ekor Bemicia untuk diaplikasikan pada kerapatan 1x108? Jawab : - Diisolasi dari tanaman kubis, waluh, terong, dan bagian yang diisolasi pada bagian daun. - Aschersonia aleyrodis berwarna putih seperti kapas, paecllomyces berwarna merah muda, verticilium Sp. berwarna putih. - Penyemprotan dengan hand sprayer. - Untuk kerapatan 1x108, Bemicia tabaci tidak dapat dihitung jumlahnya.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 287

OPH-24 Hubungan Antara Kepadatan Populasi Bemisia tabaci GENNADIUS (Homoptera :Aleyrodidae) dengan Kehilangan Hasil Kedelai Danit Annisa1 dan Sudarjat 1Mahasiswa, dan 2Dosen Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Bandung. Email : [email protected]

ABSTRAK Bemisia tabaci Gennadius (Homoptera: Aleyrodidae) merupakan hama yang menyerang berbagai jenis tanaman, antara lain tanaman hias, sayuran, buah-buahan maupun tumbuhan liar atau gulma. B. tabaci juga telah menjadi hama utama pada tanaman kedelai, walaupun belum diketahui kehilangan hasil yang diakibatkannya.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kepadatan populasi B. tabaci dengan kehilangan hasil pada tanaman kedelai. Penelitian menggunakan metode eksperimental dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK), terdiri atas enam perlakuan dan empat ulangan, dan terdiri atas dua unit percobaan yaitu fase pertumbuhan awal dan fase pembungaan awal. Keenam perlakuan baik pada fase pertumbuhan awal maupun pada fase pembungaan awal adalah infestasi B. tabaci dengan masing-masing perlakuan A) tanpa infestasi imago, B) 20 imago, C) 40 imago, D) 60 imago, E) 80 imago, dan F) 100 imago. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepadatan populasi B. tabaci mempunyai hubungan yang erat dengan kehilangan hasil pada tanaman kedelai. Pada tanaman kedelai yang diinfestasikan B. tabaci saat fase pertumbuhan awal, hubungan antara kepadatan populasi B. tabaci dengan kehilangan hasil kedelai mengikuti persamaan garis regresi Y= 20,145 + 0,546 X {Y=persentase kehilangan hasil (%); X= kepadatan populasi B. tabaci (ekor per tanaman)} dengan keefektifan menduga sebesar 70,8 % dan koefisien kerusakan sebesar 0,0521 gram per ekor. Sedangkan untuk tanaman yang diinfestasikan B. tabaci pada fase pembungaan awal mengikuti persamaan garis regresi Y = 21,13 + 0,629 X dengan keefektifan menduga (R²) 74,5 % dan mempunyai koefisien kerusakan sebesar 0,0686 gram per ekor. Kata kunci : Kepadatan populasi, Bemisia tabaci, Kehilanga

ABSTRACT

Bemisia tabaci Gennadius has a wide range of host plants, including ornamental plants, vegetables, fruit, and weeds. It has become a major pest of soybean, however the yield loss of soybean caused by this pest was not known. This research was objected to determine the relationship between population density of B. tabaci and yield loss of soybean. There were two experiments which were arranged in the randomized complete block design, consisted of six treatments and four replications. The first experiment was treatment on soybean at the early growth stage; the second was at the early flowering stage. The treatment on both experiments were the infestation of B. tabaci on soybean plant at the population of 0, 20, 40, 60, 80, and 100 larva per plant. The results showed that the population density of B. tabaci had a close relationship with the yield loss of soybean. The result of the infestation a soybean at the early stage in soybean plants infested B. tabaci during the early growth phase, had the relationship between population density with yield losses following the regression line equation Y = 20.145 + 0.546 X {Y = percentage yield losses (%); X = population density of B. tabaci (larvae per plant)} by the effectiveness of the suspect at 70,8 % and the damage coefficient of 0.0521 gram per insect. As for plants infested B. tabaci in the early flowering phase following the regression line equation Y = 21.13 + 0.629 X by the effectiveness of 74.5 % and had a damage coefficient of 0.0686 gram per insect. Key words : Population density, Bemisia tabaci, yield loss.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 288

PENDAHULUAN Kedelai adalah salah satu komoditas pangan utama setelah padi dan jagung, serta merupakan bahan pangan sumber protein nabati utama bagi masyarakat. Kebutuhan kedelai dari tahun ke tahun terus meningkat. Kedelai merupakan komoditas yang bernilai ekonomi tinggi dan banyak memberi manfaat tidak saja digunakan sebagai bahan pangan tetapi juga sebagai bahan baku industri dan pakan ternak. Pengembangan kedelai telah memberi kontribusi terhadap perekonomian nasional meskipun nilainya masih relatif kecil dibandingkan dengan komoditas tanaman pangan lainnya (Deptan, 2008). Usaha peningkatan produksi kedelai telah dilakukan dengan perluasan area dan dengan intensifikasi meliputi penggunaan bibit unggul, pemupukan, pengaturan pemberian air, cara bercocok tanam yang lebih baik, serta pengendalian organisme pengganggu tanaman, termasuk serangga hama yang meyerang tanaman kedelai. Dalam budidaya tanaman kedelai sering kali dihadapkan pada beberapa masalah, salah satunya adalah serangan yang disebabkan oleh hama Bemisia tabaci Genn (Homoptera: Aleyrodidae). Perkembangan B. tabaci di Indonesia telah mengalami peningkatan status hama dari hama sekunder menjadi hama primer (Marwoto & Suharsono, 2008). B. tabaci dapat menimbulkan kerusakan secara langsung yaitu melalui aktivitas makan yang dapat menyebabkan klorosis pada tanaman, layu, daun menjadi kuning, dan penghambatan pertumbuhan tanaman (Diez, 2007). B. tabaci dapat juga berperan sebagai vektor dari beberapa jenis virus dari kelompok Geminivirus sehingga keberadaannya yang sedikitpun dapat menimbulkan kerugian (Mau & Kessing, 2007). Selain itu B. tabaci dapat menimbulkan kerusakan secara tidak langsung diakibatkan oleh penimbunan embun madu yang dihasilkan oleh B. tabaci. Embun madu yang dihasilkan dapat mengundang pertumbuhan jamur jelaga (Capnodium) yang berwarna hitam yang terdapat pada daun dan buah. Jamur ini dapat mengakibatkan terhambatnya proses fotosintesis dan mengurangi nilai jual tanaman. Aktifitas makan hama ini dapat melemahkan dan membuat tanaman menjadi layu dan dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman terganggu sehingga mengurangi hasil panen (Berlinger, 1986 dalam Diez , 2007). Berbagai cara telah dilakukan untuk mengendalikan B. tabaci dan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1995 pasal 3 ditetapkan bahwa perlindungan tanaman dilaksanakan melalui sistem pengendalian hama terpadu (PHT) yang salah satunya adalah pengendalian berdasarkan ambang ekonomi hama. Ambang ekonomi adalah suatu tingkatan

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 289 populasi atau kerusakan akibat hama yang menghendaki tindakan pengendalian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ekonomi (Carlson, 1971). Jika nilai ambang ekonomi akan digunakan untuk pengambilan keputusan pengendalian, maka penentuan hubungan antara populasi dan tingkat kerusakan dengan kehilangan hasil tanaman mutlak diperlukan (Walker, 1991). Ambang ekonomi suatu hama merupakan nilai perbandingan antara biaya pengendalian dengan harga per kilogram hasil, daya bunuh pestisida yang digunakan dan koefisien kerusakan tanaman (Norton, 1976 dalam Sudarjat 2008). Hubungan antara kepadatan populasi hama dengan kehilangan hasil tanaman membentuk model regresi linier Y = a + b X, dengan b merupakan nilai koefisien arah regresi yang sama dengan koefisien kerusakan (damage coeficient). Dengan demikian koefisien kerusakan adalah angka yang menunjukkan besarnya kehilangan hasil tanaman untuk setiap ekor (individu) hama atau untuk satu satuan (%) tingkat kerusakan tanaman. Oleh karena kehilangan hasil dalam satuan (%) maka berlaku rumus (Norton, 1976: Pedigo 1991: Teng, 1991) : d = b x m, dimana d adalah koefisien kerusakan (kg/ekor hama, b adalah koefisien arah regresi dan m adalah hasil maksimum ketika tidak ada hama(kg)) Nilai ambang ekonomi hama kutu kebul (B. tabaci) pada tanaman kedelai belum tersedia di Indonesia. Maka perlu dilakukan penelitian untuk mencari nilai koefisien kerusakan tanaman kedelai akibat adanya serangan hama kutu kebul (B. tabaci), sehingga nantinya dapat digunakan untuk mencari nilai ambang ekonomi yang diperlukan.

BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di rumah kasa Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran di Jatinangor menggunakan metode eksperimen semi lapangan dengan dua seri percobaan, masing-masing percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok yangterdiri dari enam perlakuan dan empat perlakuan. Percobaan I : Infestasi B. tabaci pada tanaman kedelai fase pertumbuhan awal (2 minggu setelah tanam) dengan perlakuan sebagai berikut : A = Tanpa pelepasan imago B. tabaci ( kontrol ). B = Pelepasan 20 ekor imago B. tabaci per tanaman. C = Pelepasan 40 ekor imago B. tabaci per tanaman. D = Pelepasan 60 ekor imago B. tabaci per tanaman. E = Pelepasan 80 ekor imago B. tabaci per tanaman.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 290

F = Pelepasan 100 ekor imago B. tabaci per tanaman. Percobaan II : Infestasi B. tabaci pada tanaman kedelai fase pembungaan awal (4 minggu setelah tanam) dengan perlakuan sebagai berikut : A = Tanpa pelepasan imago B. tabaci ( kontrol ). B = Pelepasan 20 ekor imago B. tabaci per tanaman. C = Pelepasan 40 ekor imago B. tabaci per tanaman. D = Pelepasan 60 ekor imago B. tabaci per tanaman. E = Pelepasan 80 ekor imago B. tabaci per tanaman. F = Pelepasan 100 ekor imago B. tabaci per tanaman Untuk kedua seri percobaan tersebut, setelah infestasi dengan B. tabaci setiap tanaman disungkup dengan menggunakan kain kasa untuk menghindari adanya migrasi hama antar perlakuan. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan ANOVA menggunakan program SPSS Version 16.0. Untuk mengetahui perbedaan diantara perlakuan dilakukan Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%. Untuk mengetahui hubungan antara kepadatan populasi B. tabaci dengan kehilangan hasil kedelai dilakukan analisis regresi dan korelasi (Draper & Smith 1992, dalam Sudarjat 2008).

HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Populasi B. tabaci Hasil percobaan infestasi B. tabaci pada fase pertumbuhan awal dan pembungaan awal diamati setiap seminggu sekali. Hasil pengamatan disajikan dalam Gambar 3 untuk data infestasi B. tabaci fase pertumbuhan awal.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 291

4500 F (100 ekor imago per 4000 tanaman) 3500 E (80 ekor imago 3000 per tanaman) 2500 D (60 ekor imago 2000 per tanaman) 1500 C (40 ekor imago

1000 per tanaman) Kepadatan Populasi NimfaPopulasiKepadatan 500 B (20 ekor imago 0 per tanaman) Umur Tanaman (MST)

Gambar 1. Grafik Perkembangan Populasi B. tabaci Yang Diinfestasikan Pada Tanaman Kedelai Fase Pertumbuhan Awal

Pada Gambar 1. tampak bahwa hasil pengamatan pada minggu ke-1 setelah infestasi tidak memperlihatkan bertambahnya nimfa pada tanaman kedelai, hal ini diduga karena B. tabaci masih mengalami stres akibat pengaruh perpindahan tempat hidup imago B. tabaci dari tempat perbanyakan ke tempat percobaan, perpindahan B. tabaci tersebut menggunakan ‗aspirator‘. Selain itu faktor yang dapat berpengaruh pada minggu ke-1 yaitu B. tabaci membutuhkan adaptasi lingkungan yang baru. Kenaikan populasi nimfa B. tabaci mulai terlihat pada minggu ke-2, ke-3, dan ke-4, pada minggu ini B. tabaci sudah mulai bisa beradaptasi dengan lingkungan baru. Namun pada minggu ke-5 mengalami penurunan populasi B. tabaci, hal ini terjadi karena sebagian besar nimfa telah menjadi imago, sedangkan imago yang diinfestasikan secara serempak mengalami kematian, sehingga proses penambahan nimfa menjadi terhambat. Pada minggu ke-6 hingga minggu ke-8 (akhir pengamatan) kepadatan populasi B. tabaci pada kedelai terus meningkat, hingga dapat dilihat kepadatan populasi tertinggi terjadi pada perlakuan E (infestasi 100 imago) dengan rata-rata kepadatan populasi mencapai 4.250 nimfa B. tabaci. Berbeda dengan kepadatan populasi nimfa B. tabaci pada fase pertumbuhan awal, pada fase pembungaan awal populasi B. tabaci dalam setiap perlakuan mempunyai pola kenaikan populasi nimfa yang sama antara perlakuan yang satu dengan perlakuan yang lainnya (Gambar 2). Pada minggu ke-1 setelah infestasi tidak terlihat pertambahan populasi,

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 292 pertambahan populasi terlihat pada minggu ke-2 setelah infestasi. Pada fase pembungaan awal kepadatan populasi B. tabaci terus meningkat setiap minggunya, tidak terjadi penurunan di pertengahan minggu. Penurunan terjadi pada minggu ke-8 atau pada minggu terakhir pengamatan, karena pada minggu ini tanaman kedelai sudah mengalami masa panen sehingga tanaman sudah mulai layu dan menguning sehingga faktor makan dan tempat hidup menjadi faktor pembatas untuk B. tabaci tersebut. Puncak kepadatan populasi B. tabaci pada fase ini terjadi pada minggu ke-7 yaitu pada perlakuan E dan perlakuan F (infestasi awal 80 dan 100 ekor/tanaman). Setelah infestasi B. tabaci pada fase pertumbuhan awal maupun fase pembungaan awal (Gambar 1 dan Gambar 2) pada setiap minggu ke-1 setelah aplikasi tidak terlihat adanya pertambahan populasi nimfa B. tabaci di tanaman kedelai. Hal ini disebabkan karena terjadinya stress pada B. tabaci yang disebabkan karena pengaruh perpindahan tempat hidup B. tabaci dari ruang perbanyakan ke tempat percobaan, pemindahan imago B. tabaci tersebut dibantu dengan menggunakan ‗aspirator‘. Maka pada saat ini hewan uji membutuhkan adaptasi lingkungan terlebih dahulu. Stress pada hewan uji dapat terjadi akibat perubahan lingkungan yang mendadak dan karena adanya perlakuan yang kurang baik bagi hewan tersebut (Sudarjat, 1999).

3500 F (100 ekor imago per 3000 tanaman) 2500 E (80 ekor imago per tanaman) 2000

1500 D (60 ekor imago per tanaman) 1000

500 C (40 ekor imago

Kepadatan Populasi NimfaPopulasiKepadatan per tanaman) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 B (20 ekor imago Umur Tanaman (MST) per tanaman)

Gambar 2. Grafik Perkembangan Populasi B. tabaci yang Diinfestasikan pada Tanaman Kedelai Fase Pembungaan Awal

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 293

Faktor lain yang diduga berpengaruh terhadap populasi nimfa B. tabaci pada minggu pertama adalah faktor inang. Sebelum dilakukan infestasi B. tabaci diperbanyak di rumah kaca dengan cara menggunakan tanaman labu dan kastuba, sedangkan pada saat penelitian B. tabaci yang digunakan dipindahkan ke tanaman kedelai. Perbedaan antara tanaman inang untuk perbanyakan dan tanaman inang untuk percobaan menyebabkan B. tabaci memerlukan waktu untuk beradaptasi sehingga imago yang diinfestasikan tidak dapat langsung menghasilkan keturunan pada minggu pertama. Lama perkembangan dari telur hingga menjadi dewasa adalah 15-70 hari tergantung pada temperatur dan tanaman inangnya (Mau&Kessing, 1992). Selain itu stress pada B. tabaci yang diinfestasikan disebabkan oleh adanya perbedaan tempat perbanyakan dengan tempat percobaan yang dilakukan. Tempat perbanyakan B. tabaci dilakukan di rumah kaca, sedangkan pada saat penelitian B. tabaci dipelihara pada kassa dengan tinggi 1 meter, dan lebar 60 cm. Perbedaaan tempat dapat mempengaruhi perkembangan B. tabaci, hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan kisaran suhu dan kelembaban antara ruang tempat perbanyakan dengan rumah kassa tempat penelitian. Kisaran suhu dan kelembaban rata-rata selama penelitian adalah 22,99 - 32,49 oC dan 74,16 - 82,86 oC pada siang hari serta 24,83 - 28,06 oC dan 82,46 - 89,24 oC pada malam hari. Sedangkan pada tempat perbanyakan suhu minimal 23,80 oC dan suhu maksimal 29,29 oC, kelembaban minimal 58,09% dan maksimal 81,97%. Oleh karena itu untuk mengatasi hal tersebut sebaiknya ruang tempat perbanyakan dan tempat penelitian harus sama agar B. tabaci tidak mengalami stress. Hasil Kedelai Pengamatan hasil kedelai dilakukan dengan cara menimbang berat biji kedelai yang bagus pada saat panen. Hasil kedelai disajikan pada Tabel 1 untuk data infestasi B. tabaci pada fase pertumbuhan awal dan Tabel 2 untuk data hasil kedelai infestasi pada fase pembungaan awal.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 294

Tabel 1. Rata-rata Hasil dan Kehilangan Hasil Kedelai Akibat Infestasi B. tabaci pada Fase Pertumbuhan Awal. Infestasi B. tabaci Kehilangan Hasil Kedelai (g) (ekor per tanaman) Hasil (%)

A (kontrol) 9,56 e ± 0,20 0,00 B (20 ekor per tanaman) 5,13 d ± 0,68 46,35 C (40 ekor per tanaman) 4,38 c ± 0,37 54,15 D (60 ekor per tanaman) 4,25 bc ± 0,17 55,25 E (80 ekor per tanaman) 3,57 ab ± 0,40 62,60 F (100 ekor per tanaman) 3,18 a ± 0,54 66,60 Keterangan: Angka rata-rata hasil kedelai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%.

Pada Tabel 1 dan Tabel 2 dapat dilihat bahwa kepadatan populasi B. tabaci sangat berpengaruh terhadap hasil kedelai, baik untuk infestasi pada fase pertumbuhan awal maupun pada fase pembungaan awal tanaman kedelai. Hasil kedelai yang diperoleh pada setiap perlakuan berbeda nyata dengan hasil pada kontrol. B. tabaci yang diinfestasikan pada tanaman kedelai fase pertumbuhan awal dapat menyebabkan menurunnya hasil kedelai. Infestasi B. tabaci 80 dan 100 ekor per tanaman menyebabkan hasil yang diperoleh sangat rendah dan berbeda dengan hasil pada kontrol. Kehilangan hasil pada setiap perlakuan tersebut masing-masing sebanyak 62,60% dan 66,60%. Rata-rata kehilangan hasil kedelai akibat infestasi B. tabaci pada fase pertumbuhan awal adalah 46,35% - 66,60%.

Tabel 2. Rata-rata Hasil dan Kehilangan Hasil Kedelai Akibat Infestasi B. tabaci pada Fase Pembungaan Awal. Infestasi B. tabaci Hasil Kedelai (g) Kehilangan (ekor per tanaman) Hasil (%)

A (kontrol) 10,92 d ± 1,32 0,00 B (20ekor per tanaman) 5,21 c ± 0,28 51,63 C (40 ekor per tanaman) 4,65 c ± 0,35 56,94 D (60 ekor per tanaman) 4,15 bc ± 0,17 61,3 E (80 ekor per tanaman) 3,34 ab ± 0,17 68,75 F (100 ekor per tanaman) 2,51 a ± 0,22 76,94 Keterangan: Angka rata-rata hasil kedelai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 295

Pada tanaman kedelai yang diinfestasi dengan B. tabaci pada fase pembungaan awal juga menghasilkan hasil biji kedelai yang rendah jika dibandingkan dengan kontrol. Untuk setiap perlakuan dengan populasi 20, 40, 60, 80, dan 100 memperlihatkan perbedaan hasil yang nyata. Kehilangan hasil tertinggi terjadi pada infestasi 80 dan 100 ekor imago yaitu 68,75% dan 76,94%. Rata-rata kehilangan hasil pada fase ini sebesar 51,63% - 76,94%. Dari kedua hasil percobaan dapat dibuktikan bahwa B. tabaci yang menyerang tanaman kedelai pada fase pertumbuhan awal dan fase pembungaan awal dapat mengakibatkan kehilangan hasil yang cukup besar.

Hubungan Antara Kepadatan Populasi B. tabaci dengan Kehilangan Hasil Kedelai Untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara kepadatan populasi B. tabaci dengan kehilangan hasil kedelai dilakukan analisis regresi. Hasil analisis untuk infestasi B. tabaci pada fase pertumbuhan awal didapat persamaan garis Y = 20,145+0,546 X {Y = persentase kehilangan hasil (%); X = kepadatan populasi B. tabaci (ekor per tanaman)} dengan koefisien korelasi R = 0,841. Koefisien arah (b) yang besarnya = 0,546 merupakan koefisien kerusakan (‗damage coeficient‘) yang artinya penambahan satu ekor B. tabaci dapat menyebabkan kehilangan hasil sebesar 0,546% (Gambar 3). Pada percobaan ini hasil maksimum pada tanaman kontrol atau pada saat tidak ada hama B. tabaci yaitu sebesar 9.56 g, maka koefisien kerusakan (d) setara dengan 0,546/100 x 9.56 = 0.0521 g/ ekor.

80 70 60 50 y = 20,14+0,546x 40 R² = 0,708 30 20 10 0 0 50 100 150 Infestasi B. tabaci (ekor per tanaman) Gambar 3. Grafik Hubungan Antara Kepadatan Populasi B. tabaci dengan kehilangan Hasil pada Tanaman Kedelai Fase Pertumbuhan Awal ( Y = persentase kehilangan hasil, X = Kepadatan Populasi, R² = Koefisien Determinasi)

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 296

Untuk menduga kehilangan hasil berdasarkan kepadatan populasi B. tabaci yang diketahui, maka dilakukan analisis ragam. Berdasarkan hasil sidik ragam tampak bahwa F- hitung memperlihatkan perbedaan yang sangat nyata, artinya hubungan antara kepadatan populasi dan kehilangan hasil kedelai sangat erat. Adanya hubungan yang erat ini membuktikan bahwa persamaan garis regresi tersebut dapat digunakan untukcmeramal persentase kehilangan hasil berdasarkan kepadatan populasi. Sedangkan untuk mengetahui keefektifan menduga dari persamaan tersebut ditentukan oleh nilai koefisien determinasi. Dari hasil analisis didapat R² = 0,708; artinya keragaman kehilangan hasil kedelai dapat diterangkan oleh keragaman kepadatan populasi B. tabaci sebesar 70,8% dan sisanya 29,2% karena faktor lain yang tidak diketahui. Untuk percobaan yang kedua pada fase pembungaan awal didapat hasil persamaan garis regresi Y = 21,13 + 0,629 X {Y= persentase kehilangan hasil (%); X= kepadatan populasi B. tabaci (ekor/tanaman)}dengan koefisien korelasinya R = 0,805 (Gambar 4). Koefisien kerusakan sebesar 0,629/100 x 10.92= 0,0686 g per ekor.

90 80 70 60 50 y = 21,13+0,629x R² = 0,745 40 30 20 10 0 0 50 100 150 Infestasi B. tabaci (ekor per tanaman)

Gambar 4. Grafik Hubungan Antara Kepadatan Populasi B. tabaci dengan Kehilangan Hasil pada Tanaman Kedelai Fase Pembungaan Awal ( Y = persentase kehilangan hasil, X = Kepadatan Populasi, R² = Koefisien Determinasi)

Pada fase pembungaan awal untuk melihat keefektifan dari persamaan tersebut dapat dilihat dari (R²) yaitu sebesar = 0,745 dengan arti bahwa kehilangan hasil yang disebabkan

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 297 oleh B. tabaci pada kedelai sebesar 74,5 % dan sisanya 25.5 % kehilangan hasil diakibatkan oleh faktor lain yang tidak diketahui.

KESIMPULAN Kepadatan populasi B. tabaci mempunyai hubungan yang erat dengan kehilangan hasil pada tanaman kedelai. Pada tanaman kedelai yag diinfestasi dengan B. tabaci saat fase pertumbuhan awal, hubungan antara kepadatan populasi dengan kehilangan hasil mengikuti persamaan garis regresi Y= 20,145 + 0,546 X {Y=persentase kehilangan hasil (%); X= kepadatan populasi B. tabaci (ekor/tanaman)} dengan keefektifan menduga sebesar 70,8 % dan koefisien kerusakan sebesar 0,0521 g/ekor, sedangkan untuk tanaman yang diinfestasikan B. tabaci pada fase pembungaan awal mengikuti persamaan garis Y = 21,13 + 0,629 X {Y= persentase kehilangan hasil (%); X= kepadatan populasi B. tabaci (ekor/tanaman)} dengan keefektifan menduga 74,5 % dan koefisien kerusakan sebesar 0,0686 g/ ekor.

DAFTAR PUSTAKA Carlson, G. A. 1971. Economic Aspect of Crop Loss Control at the Farmer Level. FAO Manual of Crop Loss Assesment. Rome. Deptan, 2008.. http://www.pustaka-deptan.go.id.pdf diaksestanggal 25 Desember 2009. Diez, J.M. 2007. Bemisiatabaci(Gennadius). Department of Entomology Honolulu, Hawaii. http://www.doacs.state.fl.us/diaksestanggal 20 Januari 2010. Marwoto dan Suharsono, 2008. Strategi dan Komponen Teknologi Pengendalian Ulat Grayak (Spodoptera litura Fabricius) Pada Tanaman Kedelai. Balai Penelitian Kacang- kacangan dan Umbi-Umbian, Malang. Pdf. Diakses tanggal 25 September 2010. Mau, R.L.F., J.L.M. Kessing (edited by : J.M. Diez) . 2007. Bemisia tabaci (Gennadius). Departement of Entomology Honohulu, Hawai ,available online at>http://www.extento.hawaii.edu/kbase/crop/type/b_tabaci.htm. diakses tanggal 27 September 2010. Pedigo, L. P. 1991. Entomology and pest Management. Macmillan Publishing Company, New York. Sudarjat, 1999. Hubungan antara Kepadatan Populasi Kutu Daun Persik ( Myzus persicae Sulz.) dan Tingkat Kerusakan Daun dengan Kehilangan Hasil Cabai Merah ( Capsicum annuum L.) Teng, P. S. (ed). 1991. Crop Loss Assessment and Pest Management. APS Press The American Phytopathological Society St. Paul Minnesota. Walker, P. T. 1991. Measurement of insect populations and injury in Crop Loss Assesment and Pest Management. APS Press the American Phytopathological Society. St. Paul Minnesota. Pp. 19-29.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 298

OPH-25 Kajian Keefektifan Feromon-Pbp terhadap Berbagai Varietas Padi pada Sistem Penanaman Padi Off- Season Tri Martini1 dan Sarjiman1 1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta

ABSTRAK Penggerek batang padi (Scircophaga sp) merupakan hama yang sangat penting pada padi dan sering menimbulkan kerusakan dan menurunkan hasil panen secara nyata. Biasanya petani menggunakan insektisida untuk pengendalian hama tersebut. Pengujian keefektifan dari Feromon-PBP pada sistem penanaman padi off- season perlu dilakukan agar dapat memberikan informasi kepada petani, yang diharapkan akan bermanfaat sebagai alternatif untuk mengendalikan hama penggerek batang padi (sundep). Beberapa varietas tanaman padi yang ditanam yakni Galur (B10970E), Lokal umbul-umbul, Silugonggo, Inpari 1 dan Situbagendit. Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui efektifitas Feromon-PBP sebagai agen pengendali hama sundep pada berbagai macam varietas tanaman padi. Penelitian ini menggunakan metode percobaan dengan Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL). Petak utama merupakan aplikasi Feromon-PBP; sedangkan Anak Petak nya adalah varietas padi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa serangan PBP dimulai pada umur 4; 6 dan 9 MST. Hama yang terperangkap terbanyak pada Galur B10970E dan Silugonggo. Banyaknya serangga yang tertangkap pada varietas berkaitan erat dengan banyaknya serangga yang beterbangan di lahan tersebut. Kombinasi perlakuan peletakan perangkap pada berbagai varietas terlihat bahwa tidak ada kombinasi perlakuan yang nyata terhadap hasil jebakannya. Kata Kunci : penggerek batang padi (Scircophaga sp), Feromon-PBP, padi

ABSTRACT Paddy usually cultivated in wet area because needs allot of water, cultivation practices at off seasons area demands a specific treatment for optimum production. Sustainable plants cultivations should conducted in associated with Integrated Pest Management (IPM) practice. The application of Pheromone-PBP as a trap pheromone for Scircophaga incertulas male imago is one alternatives plant management toward environmental sustainable. Research on Pheromone-PBP effect to populations o Scircophaga incertulas trapped was conducted in Dusun Klampengan, Jogotirto Village, Berbah Sub-district, District Sleman with 10 cooperatives farmers. The observation was conducted to population of Scircophaga incertulas by counting the number of imagoes trapped in the middle of hanged Pheromone-PBP bottle with water-soap. For the needs of observation implement with Random Complete Block Design. Treatment was tested variety of paddy (Inpari, Silugonggo, Situbagendit, Lokal Umbul-umbul, and Galur B10970E). The results showed that the use of Pheromone-PBP trap really can catch the imagoes of Scircophaga incertulas on planting at off-seasons area of Sleman. Pheromone-PBP trap on Galur and Silugonggo, catch more imagoes than others. In general, treatment of Pheromone-PBP traps at planting of paddy off-seasons could reduce the population of Scircophaga incertulas. That means cultivation practices based on Integrated Pest Management as one as part of the Agriculture Sustainable can be achieved. Keywords: Scircophaga incertulas, Feromon-PBP, paddy

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 299

PENDAHULUAN

Padi yang biasa dibudidayakan di lahan sawah irigasi karena kebutuhan airnya cukup banyak tentunya akan memerlukan perlakuan khusus dan teknologi baru untuk dapat berproduksi optimal apabila dibudidayakan pada kondisi off-season (di luar musim). Disini diperlukan praktek budidaya tanaman sehat yang didukung kuat oleh praktek Pengendalian Hama Terpadu (PHT) mengingat respon ketahanan tanaman yang dibudidayakan pada lahan sawah irigasi tidak akan sama apabila dibudidayakan di luar musim, yang cenderung ketersediaan airnya terbatas. Menurut Semangun (1996), di lingkungan yang baru tanaman dapat menjadi lebih rentan atau justru menjadi lebih tahan terhadap hama dan penyakit. Berdasarkan pertimbangan tersebut, juga mengacu pada Peterson (1973), diterapkan konsep budidaya tanaman sehat dengan menggabungkan berbagai cara yang kompatibel secara terpadu yang selalu didasari pertimbangan ekologi. Oleh karena itu praktek PHT dilakukan mulai sejak awal pengolahan lahan hingga pemeliharaan tanaman dan panen. Sundep atau beluk atau Penggerek Batang Padi atau PBP (Scircophaga incertulas) termasuk Ordo Lepidoptera, famili Pyralidae. Ukuran tubuhnya kecil dan lembut, dengan sayap yang sempit memanjang berbentuk segitiga dan sayap belakang lebar dan bulat. Penggerek Batang Padi merupakan hama yang sangat penting pada padi dan sering menimbulkan kerusakan dan menurunkan hasil panen secara nyata. Terdapatnya penggerek di lapang dapat dilihat dari adanya ngengat di pertanaman dan larva di batang. Mekanisme kerusakan disebabkan larva merusak sistem pembuluh tanaman di dalam batang. Stadia tanaman yang rentan terhadap serangan penggerek adalah dari mulai pesemaian sampai pembentukan malai. Gejala kerusakan yang ditimbulkan pada stadia anakan disebut sundep, sedangkan gejala kerusakan pada fase generatif disebut beluk. Ambang ekonomi PBP adalah 10% anakan terserang atau 4 kelompok telur per rumpun (pada fase bunting). Pengendalian yang terlambat pada stadia generatif, tidak akan efektif lagi mengendalikan serangan hama ini. Feromon merupakan senyawa yang dilepas oleh salah satu jenis serangga yang dapat mempengaruhi serangga lain yang sejenis dengan adanya tanggapan fisiologi tertentu. Feromon serangga dapat dimanfaatkan dalam pengelolaan serangga hama baik secara langsung maupun tidak langsung yaitu digunakan dalam hal: pemantauan serangga hama (monitoring), perangkap massal (mass trapping), pengganggu perkawinan (matting

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 300 distruption), maupun kombinasi antara feromon sebagai atraktan dengan insektisida atau patogen serangga sebagai pembunuh (attracticide). (Samudera, 2006). Tujuan dari penelitian yakni untuk mengetahui efektifitas Feromon-PBPK (Feromon Penggerek Batang Padi Kuning) sebagai agen pengendali hama sundep atau beluk (Scircophaga incertulas) pada tanaman padi yang ditanam di luar musim (off-season).

BAHAN DAN METODA Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan Desember 2010 di Dusun Klampengan, Desa Jogotirto, Kecamatan Berbah, Sleman, D.I Yogyakarta. Lokasi tersebut merupakan lahan sawah irigasi dengan pola tanam padi-padi-palawija. Penanaman dilakukan pada musim tanam palawija, dengan maksud mengambil pola off-season (di luar musim penanaman padi). Adapun bahan feromoid yang digunakan dengan merek dagang Feromon-PBPK yang didapat dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Genetik Pertanian Bogor. Penelitian ini menggunakan metode percobaan dengan Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL). Petak utama merupakan aplikasi Feromon-PBP; sedangkan Anak Petak nya adalah varietas padi. Varietas padi yang ditanam yakni Galur (B10970E), Lokal umbul- umbul, Silugonggo, Inpari 1 dan Situbagendit. Data hasil pengamatan dianalisis dengan sidik ragam atau ANOVA (Analisis of varians ) pada jenjang nyata 5 %. Apabila ada beda nyata maka dilakukan uji lanjut pada jenjang nyata 1% dan 5 %.

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Intensitas Imago Yang Terperangkap Feromon-Exi mulai diaplikasikan pada saat tanaman berumur 7-0 hari setelah tanam. Perangkap feromon berupa stoples plastik yang dirancang khusus, di mana di bagian atas digantungkan feromon dan pada bagian bawahnya diiisi dengan air sabun. Perangkap feromon ditempatkan pada pertanaman secara acak dan berjarak 10 - 15 m antar perangkap. Perangkap feromon ditempatkan pada ketinggian 60 - 80 cm di atas permukaan tanah.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 301

Tabel 1. Hasil pengamatan imago penggerek batang padi (PBP ) yang terperangkap dalam perangkap feromon-PBPK Var padi 3 MST 4 MST 5 MST 6 MST 7 MST 8 MST 9 MST 10 MST G. B10970E 0,774 0,901 11,362 17,150 17,750 17,713 18,525 13,487 Silugonggo 0,710 0,710 0,838 15,500 14,575 15,087 18,500 14,575 Umbul 0,710 0,710 0,710 0,774 13,312 14,175 11,700 13,400 Inpari 1 0,710 0,901 0,838 10,550 13,088 13,850 10,550 11,825 Situbagendit 0,710 0,710 0,774 0,838 11,550 10,100 11,275 10,550 HSD 5% 0,120 0,170 0,370 0,310 0,630 0,780 0,590 0,680 HSD 1% 0,150 0,210 0,460 0,390 0,790 0,980 0,740 0,850 CV(%) 11,160 14,500 28,530 17,380 30,070 36,980 28,140 35,480 Probabilitas 0,431 0,001 0,024 0,000 0,081 0,108 0,000 0,444 Ket. MST: minggu setelah tanam; HSD:honey significance difference. Angka rerata pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama menunjukkan beda nyata uji HSD pada taraf nyata 5%. CV=coefficienct of variance; Data transformasi ((X+0,5)^0,5) di mana X=data primer.

Pengaruh varietas terhadap serangan PBP pada umur 4; 6 dan 9 MST masing-masing perangkap terbanyak pada varietas Galur dan Silugonggo. Banyaknya serangga yang tertangkap pada varietas berkaitan erat dengan adanya data banyaknya imago serangga yang beterbangan di lahan tersebut. Data di atas menunjukkan bahwa dinamika imago terperangkap ferotrep mulai mengalami kenaikan pada usia padi ± 4 minggu setelah tanam hingga 9 minggu setelah tanam. Dari data diatas juga diketahui bahwa setelah tanaman berumur 10 MST tampak penurunan populasi imago terperangkap, walaupun tidak ditunjukkan pada seluruh varietas yang dikaji. Hal tersebut menunjukkan bahwa populasi imago tertinggi pada pertengahan musim tanam atau pada saat tanaman padi mulai memasuki fase generatif. Pemasangan perangkap feromon ini memang tidak secara langsung mempengaruhi intensitas serangan sundep atau beluk. Hal tersebut dikarenakan perangkap ditujukan untuk imago yang merupakan stadia hama yang belum merugikan bagi pertanaman padi. Manfaat dari pemasangan feromon-trap ini akan dapat dirasakan pada pertanaman padi di musim berikutnya karena populasi imago terbang berkurang akibat terperangkap feromon trap. Oleh karena itu, rekomendasi yang diberikan adalah waktu pemasangan feromon-trap harus dilakukan maksimal 2 minggu sebelum tanam atau minimal ketika padi di pesemaian.

B. Analisis malai dan produksi padi off season

Varietas padi yang ditanam sebanyak empat macam dan satu galur dengan sifat super genjah (umur panen < 90 hst). Varietas Situbagendit dan Silugonggo adalah varietas padi

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 302 yang dapat beradaptasi pada kondisi air terbatas khususnya pada musim kemarau. Selain tahan kekeringan Silugonggo mempunyai umur genjah (90 hari), sementara itu Inpari merupakan varietas introduksi yang dirancang adapted di lahan irigasi.

Tabel 2. Hasil analisis malai dan produksi padi off season pada beberapa introduksi varietas di Desa Jogotirto Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman

Panjang Gabah Berat Gabah Persentasi GKP GKG Varietas malai hampa/ 100 butir isi/malai hampa (kg/ha) (kg/ha) (cm) malai (g) Genjah 22.51b 112.44 40.17a 26.71a 2.08 6,233.10 4,837.60 Situbagendit 24.54a 123.75 20.08b 13.64b 1.92 6,270.00 4,869.50 Impari-1 23.63ab 123.56 24.50ab 15.05b 1.73 5,949.40 4,729.40 Lokal 22.38b 110.12 27.88ab 19.91ab 1.88 7,077.50 5,637.50 Silugonggo 23.17ab 118.79 17.63b 13.29b 2.03 6,768.70 5,291.90 HSD 5% 1.50 28.10 16.62 9.35 0.84 2,406.87 1,922.75 HSD 1% 1.87 35.14 20.78 11.69 1.05 3,010.00 2,404.58 Probabilitas 0.002 0.488 0.006 0.001 0.738 0.642 0.599 Ket. HSD:honey significance difference. Angka rerata pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama menunjukkan beda nyata uji HSD pada taraf nyata 5%.

Situbagendit memberikan beda nyata pada panjang malai terhadap galur super genjah dan varietas lokal. Jumlah gabah isi per malai tidak menunjukkan beda nyata antar varietas. Gabah hampa per malai merupakan parameter yang sangat penting untuk diketahui. Penyebab gabah hampa antara lain adanya gagal penyerbukan oleh angin, hujan, atau serangan OPT seperti walangsangit dan burung pipit. Selain itu ada kemungkinan faktor mandul jantan atau sifat steril yang diwarisi dari induknya seperti pada padi hibrida. Gabah hampa tertinggi pada galur super genjah (40,17%) dan berbeda sangat nyata dengan Varietas Silugonggo, dan nyata dengan ke-tiga varietas lainnya.

Hasil GKP dan GKG tidak menunjukkan beda nyata antar perlakuan varietas, hasil introduksi varietas tertinggi pada varietas Silugonggo dan terendah varietas Situbagendit. Varietas lokal sangat eksisting karena sudah bertahun-tahun diusahakan sehingga sudah ada kesesuaian dengan lingkungannya. Hasil GKP tiga varietas introduksi bila dibandingkan dengan potensi hasil yang tertera pada buku diskripsi varietas padi tahun 2010, untuk Situbagendit sebesar 6 t/ha, Inpari-1 sebesar 6,47 t/ha dan Silugonggo sebesar 5,5 t/ha. Situbagendit dan Silugonggo mempunyai kelebihan hasil, masing-masing sebesar 270 kg/ha (Situbagendit), dan Silugonggo kelebihan 1.268 kg/ha; sedangkan untuk Inpari-1 masih kurang 531 kg/ha.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 303

C. Analisis usahatani padi off season

Hasil analisis usahatani terhadap introduksi empat varietas menunjukkan bahwa B/C tertinggi dicapai oleh varietas Silugonggo, diikuti varietas Inpari-1 (tabel 3). Secara umum varietas introduksi memberikan B/C lebih tinggi dibanding dengan varietas lokal (eksisting). Rendahnya B/C varietas lokal karena penggunaan urea yang sangat tinggi sehingga memberikan kontribusi input cukup banyak sehingga nilai B/C menjadi kecil. Kebutuhan biaya tertinggi (60%) pada penyerapan upah tenaga kerja dan diikuti oleh biaya sarana produksi.Berikut tabel analisis usahatani padi di Dusun Klampengan, Desa Jogotirto, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta.

Tabel 3. Hasil analisis usahatani padi off season

Galur Lokal/ Situ Silu Uraian Inpari-1 Genjah umbul2 bagendit gonggo No. Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jenis Kegiatan Jumlah (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) A TENAGA KERJA

1 Pembuatan pesemaian 30,000 30,000 30,000 30,000 30,000 2 Babat jerami 195,000 195,000 195,000 195,000 195,000 3 Perbaikan pematang - -

Tamping 150,000 150,000 150,000 150,000 150,000

Tembok 150,000 150,000 150,000 150,000 150,000

Mojoki 150,000 150,000 150,000 150,000 150,000

4 Pengolahan tanah - - -

Membajak (traktor) 360,000 360,000 360,000 360,000 360,000

Membuat palir 90,000 90,000 90,000 90,000 90,000

5 Tanam 390,000 390,000 390,000 390,000 390,000 6 Pemupukan - - - - - Pupuk dasar 90,000 90,000 90,000 90,000 90,000

Pupuk kandang 300,000 300,000 300,000 300,000 300,000

Pupuk susulan 1 90,000 90,000 90,000 90,000 90,000

Pupuk susulan 2 90,000 90,000 90,000 90,000 90,000

7 Pemeliharaan - - - - - Menyiangi 1 480,000 480,000 480,000 480,000 480,000

Merumput (tangan) 480,000 480,000 480,000 480,000 480,000

Pengendalian Hama / 8 - - - - Penyakit Aplikasi pestisida 180,000 180,000 180,000 180,000 180,000

Jumlah A 3,225,000 3,225,000 3,225,000 3,225,000 3,225,000

B. SARANA PRODUKSI

1 Benih 270,000.00 270,000 270,000 270,000 270,000

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 304

2 Pupuk - - - -

Urea 400,000.00 240,000 500,000 250,000 200,000

Pupuk Organik 700,000.00 525,000 770,000 420,000 350,000

Lain-lain ( Phonska ) 600,000.00 360,000 624,000 405,000 337,500

3 Pestisida - - - - - Score 240,000.00 240,000 240,000 240,000 200,000

Jumlah B 2,210,000 1,635,000 2,404,000 1,585,000 1,357,500

C LAIN-LAIN

Jumlah C - - - - -

D JUMLAH A + B + C 5,435,000 4,860,000 5,629,000 4,810,000 4,582,500 Komponen Pendapatan / E 13,090,208 13,292,083 12,860,000 12,217,000 13,680,000 musim Keuntungan atas biaya total F 7,655,208 8,432,083 7,231,000 7,407,000 9,097,500 (E-D) R/C atas biaya tunai (E/(D- G 2.41 2.73 2.28 2.54 2.99 Biaya sewa lahan) H R/C atas biaya total (E/D) 2.41 2.73 2.28 2.54 2.99 Net B/C (F2/D) 1.41 1.73 1.28 1.54 1.99

Hasil analisis ekonomi dari budidaya padi off-season pada Tabel 3 dapat disimpulkan bahwa dengan penggunaan pendekatan Pengendalian hama Terpadu hama sundep atau beluk atau Penggerek Batang Padi melalui pemasangan feromon-trap yang relatif sederhana dapat diperoleh B/C rasio antara 1,28 hingga 1,99, yang artinya secara teori analisis finansial budidaya padi menguntungkan dan layak untuk dikembangkan. Sesuai dengan pendapat Malian (2004) bahwa kriteria keputusan perhitungan ekonomi yang digunakan adalah Benefit Cost Ratio (B/C rasio) >1. Revenue Cost Ratio (R/C rasio) adalah perbandingan antara hasil penjualan dibagi total biaya produksi. Jika suatu hasil usahatani diperoleh R/C rasio > 2 maka usahatani sangat layak untuk dilanjutkan.

KESIMPULAN Berdasarkan pada hasil analisis dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa : 1. Pada penanaman padi off-season, Feromon-PBPK efektif memerangkap imago Scircophaga incertulas. 2. Imago yang terperangkap dimulai pada umur tanaman 4 MST dan terbanyak pada Galur B10970E dan Silugonggo. 3. Kombinasi perlakuan varietas padi dan peletakan perangkap feromon terlihat tidak ada beda nyata terhadap hasil jebakannya.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 305

DAFTAR PUSTAKA Malian, H. 2004. Analisis Ekonomi Usahatani dan Kelayakan Finansial Teknologi Pada Skala Pengkajian. Puslitbang Sosek Pertanian dan Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif (PAATP). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Peterson, Jr.,G.D. 1973. Pest Management : a New Concept needs a New Educational Approach. East West Food Inst. 1, 24 h. Samudera, IM. 2009. Pengendalian Ulat Bawang Ramah Lingkungan. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol 28 No. 6 Tahun 2006. Semangun, H. 1991. Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gadjah Mada Univ. Yogyakarta. 850 h. Semangun, H. 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada Univ. Yogyakarta. 754 h.

Notulensi Diskusi Seminar Indri (Karantina) : - Bahan aktifnya? Cara mendapatkannya? - Bisa digunakan untuk hama lalat buah? Jawab : - Feromon adalah hormone seksual yang dihasilkan imago betina scircophaga Sp. ketika berkopulasi dengan imago jantan. Cara mendapatkannya, komponen teromon seks diisolasi dari kelenjar feromon betina dan diidentifikasi senyawa kimianya, lalu diuji biasai untuk mengetahui respon perilaku serangga terhadap senyawa yang diisolasi. Kemudian dibuat formula dari senyawa aktif sintetiknya. - Tidak bisa untuk lalat buah karena spesifik. Subowati (Bogor) : Mekanisme feromon? Jawab : Feromon (hormone seksual) menyerupai imago betina yang menarik imago jantan untuk masuk ke dalam perangkap ―Stoples‖ (Wadah plastic) yang telah diberi air sabun agar ketika imago jantan masuk ke dalam perangkap, dapat terjatuh ke dalam air sabun dan mati.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 306

OPH-26 Seleksi Ketahanan Klon-klon Harapan Ubijalar Terhadap Hama Tungau Puru (Eriophyes gastrotrichus) di Malang, Jawa Timur M. Jusuf1, Sri Wahyuni Indiati1, dan Joko Restuono1 1Balai PenelitianTanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian, Jalan Raya Kendal Payak Km 8. P.O.Box 66, Malang 65101, Telp:0341-801468; Fax: 0341-801496; HP 081252665648 E-mail: [email protected]

ABSTRAK Tungau puru (Eriophyes gastrotrichus) merupakan hama yang mulai menyerang pertanaman ubijalar di Jawa Timur tahun 2006. Hama ini sangat cepat sekali berkembang dan saat ini bahkan sudah menyerang pertanaman ubijalar di Jawa Tengah. Tanaman ubijalar yang terserang tungau puru pada umumnya mempunyai tampilan yang kurang menarik karena hampir semua helaian daun , tangkai daun maupun sulur dipadati dengan puru. Ketahanan klon-klon harapan ubijalar terhadap hama tungau puru diteliti di desa Wringin Songo kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang pada musim kemarau 2010 dari bulan April sampai September 2010. Penelitian lapang menggunakan rancangan petak terbagi dengan petak utama perlakuan lingkungan: optimal (diproteksi terhadap hama tungau puru dan hama/penyakit lainnya) dan lingkungan tercekam (tanaman tidak diproteksi dan disekeliling petak percobaan terdapat tanaman ubijalar yang terserang hama tungau puru) dengan anak petak klon/varietas ubijalar, Jumlah klon ubijalar yang diuji yaitu sebanyak 24 klon yang diulang tiga kali. Hasil umbi dan indeks toleransi terhadap cekaman (ITC), kehilangan hasil dan indeks kerentanan terhadap cekaman (IKC) tungau puru digunakan sebagai tolok ukur ketahanan. Semakin tinggi nilai ITC suatu klon, semakin tahan klon tersebut terhadap serangan hama tungau puru. Semakin besar nilai IKC maka semakin rentan klon tersebut terhadap serangan hama tungau puru. Klon yang terbaik adalah klon yang memilki rata-rata produksi tinggi, nilai ITC yang lebih besar dan nilai IKC yang lebih kecil. Dari analisis dan telaah toleransi klon ubijalar terhadap tungau puru di desa Wringin Songo kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang terlihat indeks cekaman (IC) yang tidak terlalu tinggi yaitu 0,10. Dari 24 klon yang diuji terdapat 3 klon/varietas yang teridentifikasi tahan terhadap cekaman hama tungau puru dengan nilai ITC lebih besar dari 1, nilai IKC lebih kecil dari 1 dan memiliki rata-rata hasil umbi lebih dari 30 t/ha. Klon/varietas yang tergolong tahan dan memiliki produksi tinggi tersebut itu adalah MSU 06039-07, Ayamurasaki dan Beta 2. Disamping itu terdapat 2 klon yang berproduksi tinggi (rata-rata lebih 25 t/ha) dan kehilangan hasilnya sangat kecil yaitu MSU 06042-18 dan MIS 0601-22. Kata kunci: Eriophyes gastrotrichus, ubi jalar, klon resisten

ABSTRACT Gall Mites (Eriophyes gastrotrichus) is a kind of pest on sweetpotato that beginning to attack sweetpotato plantation in East Java started in 2006. This kind of pest was quickly spread out and now it already attacks sweet potato plantations in Central Java. The plants that were attacked by gall mites usually have bad performance because most of the leaf blades, leaf petiole or vines occupied by full of mites. The resistance of promising clones to gall mites was observed in Wringin Songo village, Tumpang District and Malang Regency during dry season 2010. Field experiment used Split Plot Design with main plot is optimum environment (protected from pests and diseases) and stress environment (not protected and surrounded by sweetpotato plant heavily infested by gall mites) and sub plot clones/varieties of sweetpotato. As many as 24 clones were used in this experiment, planted with three replications. Fresh tuber yield and Stress Tolerant Index (STI), yield losses and Stress Susceptibility Index (SSI) to gall mites were used as resistance criteria. The higher the STI value means the more resistance the clones and the higher the SSI value means the more susceptible the clones to gall mites. Best clone is the one that has high mean yield (>30 t/ha), high STI value and low SSI value. Result of the analysis indicated that stress index value (SI) was quite low (0,10) which means that stress condition was not so high enough. From 24 clones tested, only 3 clones which were identified tolerant to gall mites with high STI value, low SSI value and high fresh tuber yield. The clones that tolerant to gall mites are MSU 06039-07, Ayamurasaki dan Beta 2. It was found two clones with high fresh tuber yield and low yield losses namely MSU 06042-18 dan MIS 0601-22. Keywords: Eriophyes gastrotrichus, sweet potato, resistant clone

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 307

PENDAHULUAN Ubi jalar merupakan tanaman pangan penghasil karbohidrat, selain itu beberapa klon yang umbinya berwarna kuning juga merupakan sumber -karotin, dan klon yang umbinya berwarna ungu merupakan sumber antosianin. Beta-karotin adalah bahan dasar dari vitamin A, sedangkan antosianin adalah bahan dasar antioksidan. Beberapa tahun terakhir telah dikembangkan kedua macam ubijalar tersebut. Dalam pengembangan ubijalar tersebut terdapat beberapa hambatan. Salah satu diantaranya adalah serangan hama dan penyakit. Hama utama pada ubi jalar adalah puru tungau, boleng (Cylas.formicurius) dan beberapa jenis pengisap. Sedangkan penyakit utama pada ubijalar adalah kudis, bercak daun Cercospora, beberapa jenis virus dan nematoda. Di Indonesia hama puru tungau merupakan jenis hama baru, dengan gejala serangan pada daun, tangkai daun, dan batang. Berat ringannya serangan dapat dilihat dari kepadatannya. Pada serangan yang parah, puru bisa saling tumpang tindih sehingga membentuk segerombol puru dengan tiga sampai empat puncak. Di lapangan, gejala serangan terlihat pada varietas Sari, Sewu, IR Melati, Beniazuma, Ayamurazaki, dan klon-klon harapan ubijalar (Indiati, 2007). Pada saat gejala tersebut muncul, tanaman ubi jalar masih berumur sekitar 3 bulan. Pada tahun 2007 telah berhasil diidentifikasi, dan penyebabnya adalah Eriophyes gastrotrichus. Identifikasi penyebab puru dilakukan di laboratorium Entomologi Balitkabi Malang dengan cara mengiris puru secara horizontal dan dilakukan pengamatan di bawah mikroskop binokuler, untuk melihat apakah ada organisme di dalam irisan puru, dan memastikan penyebab puru tersebut akibat serangan hama atau penyakit. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa puru berdiameter sekitar1-2 mm setelah diiris melintang ternyata puru berongga dan di dalam rongga tersebut ditemukan tungau dewasa (imago), nimfa, dan telur dalam jumlah banyak. Imago berwarna putih agak oranye dibagian punggung sampai kepala, dengan ukuran panjang ± 110 µm dan lebar 40 µm. Telur-telur dalam jumlah banyak ditemukan dalam rongga puru berbentuk bulat berwarna bening dengan diameter 30 µm. Menurut Amalin dan Vasques (1993) tungau tersebut termasuk Klas : Arachnida, ordo : Acarina dan famili : Eriophyiidae. Tungau tersebut sangat kecil dan sangat sukar dilihat dengan mata telanjang, panjang badan sekitar 148-160 µm dan tebal 46 µm; berwarna putih, berbentuk silindris, dan meruncing di bagian ujung abdomen (pantat). Pada abdomen

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 308 dijumpai sekitar 67 cincin. Telur-telur dalam jumlah banyak diletakkan dan berkembang di dalam puru sampai menjadi nimfa, setelah nimfa dewasa akan keluar dari dalam puru untuk menginfestasi daun yang lain. Menurut Amalin dan Vasques 1993, serangan hama tungau hanya terdapat pada tanaman ubijalar di Philipina, dan setelah diidentifikasi tungau yang menyerang dari spesies Eriophyes gastrotrichus Nepala. Sejak bulan Juni 2006 tanaman ubijalar di desa Wringinsongo, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang Propensi Jawa Timur, Indonesia mulai terserang tungau Eriophyiid untuk pertama kali. Selain menyerang tanaman ubijalar hama ini juga dilaporkan menyerang tanaman famili Convolvulaceae yang lain seperti Ipomoae staphylina. Tungau pembentuk puru ini lebih banyak ditemukan dan berkembang pada tanaman gulma jenis Convolvulus dan Calystegia (Rosenthal & Platts, 1990) dan pada tanaman gulma telah dikembangkan sebagai agens pengendali hayati. Pada tahun 1989 Eriophyes malherbae telah dilepas dan menetap di Saskatchewan (Canada), New Jersey and Texas-USA (Yulien 1992). Berhubung di Indonesia hama ini baru muncul pertama kali dan agar tidak menyebar secara luas, sebaiknya pengendalian perlu dilakukan dengan cara membakar sulur berserta daun yang terserang puru sedini mungkin, atau bila tanaman yang terserang dalam fase pembentukkan umbi, maka pembakaran sulur berserta daun yang terserang puru sebaiknya dilakukan setelah umbi dipanen, untuk memutus siklus hama tersebut. Menurut Amalin dan Vasques (1993) pengendalian tungau puru tidak perlu dilakukan tapi bagian yang berpuru mungkin dapat dihilangkan untuk menghindari penampilan yang buruk pada daun yang terserang. Karena tungau tersebut memiliki tanaman inang selain ubijalar, maka pengamatan adanya tanaman inang di lokasi yang akan ditanami ubi jalar perlu dilakukan, dan bila ada inang lain perlu dilakukan sanitasi.

BAHAN DAN METODA a. Pelaksanaan Lapang Penelitian dilaksanakan pada musim kemarau 2010 di Desa Wringin Songo kecamatan Tumpang, Kabupaten. Malang, Jawa Timur. Penelitian dirancang dalam percobaan petak terbagi, yang diulang tiga kali. Penelitian lapang menggunakan rancangan petak terbagi dengan petak utama perlakuan lingkungan: optimal (diproteksi terhadap hama tungau puru dan hama/penyakit lainnya) dan lingkungan tercekam (tanaman tidak diproteksi

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 309 dan disekeliling petak percobaan terdapat tanaman ubi jalar yang terserang hama tungau puru) dengan anak petak klon/varietas ubijalar. Jumlah klon ubi jalar yang diuji yaitu sebanyak 24 klon, diulang tiga kali. Klon yang digunakan dalam penelitian ini adalah 12 klon-klon yang memiliki warna daging umbi ungu (kaya antosianin) dan 12 klon yang memilki warna daging oranye (kaya β- karotin). Penyiapan lahan diawali dengan pembebasan gulma dari lahan percobaan menggunakan herbisida. Selanjutnya tanah diolah sampai halus dan dibuat guludan-guludan sepanjang 5m. Jarak antar pusat guludan satu dengan pusat guludan lainnya 1 m. Sebelum ditanam stek-stek dicelup di dalam larutan yang mengandung fungisida dan insektisida selama 1 menit untuk mencegah serngan hama dan penyakit utama selama penelitian berlangsung Kemudian stek pucuk ditanam agak miring pada puncak guludan dengan 2-3 ruas sulur masuk terbenam di dalam tanah. Pemupukan menggunakan dosis pupuk 300 kg pupuk majemuk Phonska dan pupuk kandang asal kotoran ayam 2 t/ha. Pupuk diberikan 2 kali, pertama pada saat tanaman berumur satu minggu dengan takaran sepertiga bagian pupuk dan sisanya diberikan pada umur 1,5 bulan setelah tanam. Pemupukan dilakukan dengan cara garitan. Penyiangan dilakukan tergantung pada pertumbuhan gulma, sekitar umur 4, 7 dan 10 minggu setelah tanam. Penurunan gulud dilakukan pada saat tanaman berumur 1,5 bulan bersamaan dengan penyiangan I dan dilanjutkan dengan pemberian pupuk susulan. Pembalikan batang dilakukan pada saat tanaman berumur 6, 9, dan 12 minggu atau untuk yang bertipe menjalar pelaksanaannya lebih awal dan lebih sering. Untuk mencegah kekeringan diberikan pengairan pada waktu tanam dan setelah itu diberikan sebulan sekali sampai panen. Sebelum tanam puncak guludan diberi Furadan 3 G secara garitan, stek direndam dalam campuran larutan Larvin dan Dithane M45 (dosis rekomendasi) selama 5 menit. Pemberian Furadan diulang saat fase pembesaran umbi (2 bulan). Pengendalian hama atau penyakit lainnya dilakukan secara intensif sedangkan panen dilakukan pada umur 4-4,5 bulan. Pengamatan dilakukan terhadap: Tipe tajuk umur 3 bulan (menyebar, kompak, agak menyebar), jumlah dan bobot umbi rata-rata/gulud, bobot tajuk/gulud, warna kulit dan daging umbi, tipe pertumbuhan umbi, skor keragaan umbi 1-5 (bentuk, kehalusan permukaan, dan cacat umbi), serangan hama dan penyakit dengan skor 1-5. Hasil umbi dan indeks toleransi terhadap cekaman (ITC), kehilangan hasil dan indeks kerentanan terhadap cekaman (IKC) tungau puru digunakan sebagai tolok ukur ketahanan.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 310

Semakin tinggi nilai ITC suatu klon, semakin tahan klon tersebut terhadap serangan hama tungau puru. Semakin besar nilai IKC maka semakin rentan klon tersebut terhadap serangan hama tungau puru. Klon yang terbaik adalah klon yang memilki rata-rata produksi tinggi, nilai ITC yang lebih besar dan nilai IKC yang lebih kecil b. Penilaian Ketahanan/Toleransi Terhadap Kekeringan Perbaikan tanaman untuk toleransinya terhadap kekeringan dapat dilakukan dengan identifikasi klon yang beradaptasi pada lingkungan tercekam kekeringan atau mengembangkan varietas yang memiliki adaptasi luas, atau dengan pendekatan fisiogenetik (Quizenberry, 1982). Cara penilaian tingkat toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan pada umumnya menggunakan tingkat kehilangan hasil sebagai dasar penilaian, diantaranya dengan menghitung selisih hasil di lingkungan berpengairan normal dan hasil di lingkungan kering (Blum, 1980). Fischer dan Maurer (1978) menggunakan indeks kepekaan kekeringan (S) untuk mengukur ketahanan terhadap cekaman yang didasarkan pada tingkat kehilangan hasil pada kondisi tercekam dibandingkan pada kondisi optium. Nilai indeks yang rendah berarti toleran terhadap kekeringan dan nilai indeks yang besar menunjukkan kepekaan terhadap kekeringan. Rosielle dan Hamblin (1981) menggunakan parameter hasil di lingkungan normal, hasil di lingkungan berkendala (stress), selisih hasil di kedua lingkungan tersebut (toleransi), dan hasil rata-rata di kedua lingkungan tersebut untuk mendapatkan varietas unggul yang adaptif pada lingkungan berkendala dan memiliki produktivitas rata-rata lintas lingkungan yang tinggi. Seleksi dapat dilakukan berdasarkan produktivitas rata-rata atau berdasarkan toleransi tergantung besarnya ragam genetik pada kedua lingkungan tersebut. Jika ragam genetik pada kondisi berkendala lebih rendah dari ragam genetik normal maka seleksi berdasarkan toleransi akan menurunkan produktivitas rata-rata, sedangkan seleksi untuk produktivitas rata-rata akan meningkatkan hasil baik di lingkungan berkendala maupun di lingkungan normal. Kriteria seleksi yang digunakan Rosielle dan Hamblin (1981) adalah TOL (Tolerance) atau toleransi, MP (Mean Productivity) atau PR (Prroduktivitas Rata-rata). Fischer dan Maurer (1978) menggunakan SSI (Stress Tolerance Index) atau IKC (Indeks Kerentanan

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 311

terhadap Cekaman), sedangkan Fernandez (1993) menggunakan STI (Stress Tolerance Index) atau ITC (Indeks Toleransi Terhadap Cekaman). a. Toleransi terhadap cekaman atau TOL (Toperance) didefinisikan sebagai perbedaan antara hasil yang dicapai setiap genotipe pada lingkungan tanpa cekaman (Yp) dengan hasil hasil yang dicapai setiap genotipe pada kondisi lingkungan tercekam (Ys). Semakin besar nilai TOL suatu genotipe, maka genotipe tersebut semakin sensitif terhadap cekaman. TOL = Yp- Ys b. Produktivitas rata-rata (PR) atau MP (Mean Productivity) merupakan hasil rata-rata dari Ys dan Yp. PR = (Ys + Yp)/2. c. Indeks Kerentanan terhadap cekaman (IKC) atau SSI (Stress Susceptibilty Index). Semakin besar nilai IKC suatu genotipe, maka genotipe tersebut semakin rentan terhadap cekaman. IKC = SSI = [1-(Ys/Yp)]/SI. SI (Stress Index) atau IC (Indeks Cekaman) = [1-(Ys/Yp)] d. Indeks toleransi terhadap cekaman( ITC ) atau STI (Strees Tolerance Index ). Semakin tinggi nilai ITC suatu genaipe, maka genotype tersebut semakin toleransi terhadap cekaman. Index toleransi terhadap cekaman digunakan untuk mengidentifikasi genotip yang mampu berproduksi tinggi di kedua lingkungan, yaitu lingkungan maupun tanpa cekaman. ITC = STI = ( Yp/Yp)(Ys/Yŝ)( Yŷ Yŝ

HASIL DAN PEMBAHASAN Data-data yang diperoleh dari masing-masing kondisi lingkungan dianalisis berdasarkan Rancangan Acak Kelompok. Analisis gabungan dari dua kondisi lingkungan dengan menggunakan uji asumsi kehomogenan ragam galat (Steel dan Torrie, 1981). Kriteria seleksi klon ubijalar terhadap hama tungau puru didasarkan pada penampilan hasil klon pada kondisi lingkungan proteksi dan tanpa proteksi yang digunakan Rosielle dan Hamblin, 1981. Hasil umbi dan indeks toleransi terhadap cekaman (ITC), kehilangan hasil dan indeks kerentanan terhadap cekaman (IKC) tungau puru digunakan sebagai tolok ukur ketahanan. Semakin tinggi nilai ITC suatu klon, semakin tahan klon tersebut terhadap serangan hama tungau puru. Semakin besar nilai IKC maka semakin rentan klon tersebut terhadap serangan hama tungau puru. Klon yang terbaik adalah klon yang memilki rata-rata produksi tinggi, nilai ITC yang lebih besar dan nilai IKC yang lebih kecil.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 312

Dari analisis dan telaah toleransi klon ubi jalar terhadap tungau puru di desa Wringin Songo kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang terlihat bahwa perlakuan tasi hama menimbulkan indeks cekaman (IC) 0,10. Menurut Fernandez (1993) indeks cekaman 0,10 tergolong rendah. Nilai paeameter seleksi dari setiap genotipe disajikan pada Tabel 1. Dari 24 klon yang diuji tersebut teridentifikasi 3 klon dengan nilai ITC lebih besar dari 1, nilai IKC lebih kecil dari 1 dan memiliki rata-rata hasil umbi lebih dari 30 t/ha. Klon/varietas yang tergolong tahan dan memiliki produksi tinggi tersebut itu adalah MSU 06039-07, Ayamurasaki dan Beta 2. Disamping itu terdapat 2 klon yang berproduksi tinggi (rata-rata lebih 25 t/ha) dan kehilangan hasilnya sangat kecil yaitu MSU 06042-18 dan MIS 0601-22 (Tabel 1). Rata-rata hasil umbi dari 24 klon/varietas yang diuji di desa Wringin Songo, kecamatan Tumpang Kabupaten Malang masing-masingnya adalah 25,01 t/ha pada kondisi optimum (diproteksi dan tidak diinfestasi) dan 22,53 t/ha pada kondisi cekaman (infestasi tungau puru dan tidak diproteksi) (Tabel 1). Data tersebut menunjukkan kehilangan hasil karena cekaman infestasi tungau puru sekitar 9,70%. Dari 24 klon yang diuji terdapat 7 klon yang hasil umbinya pada kondisi cekaman lebih tinggi dibanding kondisi optimum sehingga kehilangan hasilnya jadi negatif. Sedangkan pada 17 klon lainnya terjadi penurunan hasil dengan kehilangan hasil berkisar antara 0,8% sampai 39,1%. Kehilangan hasil terendah dimiliki oleh klon MSU 06044-03 (0,8%) sedangkan kehilangan hasil tertinggi dicapai oleh klon MSU 06043-42. Pada kondisi optimum terdapat 6 klon (25,0%) yang memiliki hasil umbi diatas 30 t/ha, 12 klon (50,0%) memiliki kisaran hasil 20,1-30,0 t/ha dan 6 klon/varietas (25,0%) memiliki hasil umbi 11,1-20.0 t/ha, sedangkan pada kondisi cekaman hama tungau puru terdapat 3 klon (12,5%) yang memiliki hasil umbi diatas 30 t/ha, 10 klon (41,7%) memiliki kisaran hasil 20,1-30,0 t/ha dan 11 klon/varietas (45,8%) memiliki kisaran hasil umbi 10,1-20,0 t/ha (Tabel 1). Untuk mengetahui toleransi dari masing-masing klon terhadap cekaman hama tungau puru digunakan 2 parameter yaitu indeks toleransi terhadap cekaman (ITC) dan indeks kerentanan terhadap cekaman (IKC) tungau puru digunakan sebagai tolok ukur ketahanan. Semakin tinggi nilai ITC suatu klon, semakin tahan klon tersebut terhadap serangan hama tungau puru. Semakin besar nilai IKC maka semakin rentan klon tersebut terhadap serangan hama tungau puru. Klon yang terbaik adalah klon yang memilki rata-rata produksi tinggi, nilai ITC yang lebih besar dan nilai IKC yang lebih kecil.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 313

Nilai Indeks Toleransi Cekaman (ITC) yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 0,24 sampai 3,09. Nilai ITC terendah dimiliki oleh klon MIS 0612-73 dan tertinggi dicapai oleh varietas Beta 2. Dari 24 klon yang diuji terdapat sepuluh klon (41,7%) dengan nilai ITC kurang dari 0,75, sembilan klon (37,5%) dengan nilai ITC 0,76-1,50 dan lima klon (20,8%) dengan nilai ITC diatas 1,50. Klon-klon dengan nilai ITC diatas 1,50 adalah MSU 05036-23, MSU 06014-51, MSU 06039-07, Ayamurasaki dan Beta 2 dengan nilai ITC masing-masing 1,51; 1,56; 1,96; 1,88 dan 3,09. Kelima klon ini selain memiliki nilai ITC yang tinggi juga memilikil rata-rata yang juga tinggi yaitu diatas 30,0 t/ha, bahkan Beta 2 yang memiliki niai ITC 3,09 memiliki produksi rata-rata 44,0 t/ha. Memang dengan nilai ITC juga mempertimbangkan produktivitas sebagai salah satu pertimbangannya (Tabel 1). Penilaian dengan menggunakan indeks toleransi cekaman (ITC), kehilangan hasil dan indeks kepekaan cekaman (IKC) memberikan hasil yang hampir sama di dalam menilai toleransi suatu klon terhadap cekaman kekeringan, terutama pada urutan 10% terendah (klon- klon yang tergolong toleran). Hal ini dikarenakan ketiganya menggunakan selisih hasil pada kedua kondisi tersebut sebagai dasar penilaian. Perbedaan urutan pada klon-klon tertentu. Dengan menggunakan kriteria di atas dapat diperoleh kon-klon yang tergolong toleran terhadap cekaman yang dapat digunakan sebagai bahan untuk perbaikan toleransi klon ubijalar terhadap cekaman. Menurut Clarke dkk. (1992) indeks kepekaan (IKC) tidak dapat membedakan antara klon yang toleran dengan potensi hasil tinggi atau rendah, sehingga seleksi untuk indeks kepekaan akan menurunkan potensi hasil pada kondisi normal sehingga parameter utama yang digunakan untuk seleksi terhadap cekaman ini menggunakan nilai ITC karena juga mempertimbangkan hasil. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Clarke dkk. (1992).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 314

Tabel 1. Hasil umbi, kehilangan hasil, indeks toleransi cekaman (ITC) dan indeks kepekaan cekaman (IKC) dari 24 klon/ varietas ubijalar pada indeks cekaman (IC) rendah (0,10). Hasil Umbi (t/ha) Indeks Indeks Kehilangan Toleransi Kepekaan Klon/Varietas Kondisi Kondisi Prod Hasil (%) Cekaman Cekaman Normal Cekaman Rata KH Yp Ys PR (ITC) (IKC) MIS 0612-73 13,6 10,8 12,21 20,5 0,24 2,07 MIS 0660-15 12,7 12,1 12,41 4.6 0,25 0,46 MIS 0651-09 12,6 13,6 13,10 -7,4 0,27 -0,75 Cangkuang 16,1 12,4 14,28 23,0 0,32 2,33 MSU 06044-03 14,7 14,6 14,61 0,8 0,34 0,08 MIS 0656-220 17,7 18,6 18,14 -4,8 0,53 -0,49 MSU 06043-42 23,9 14,6 19,23 39,1 0,56 3,95 MSU 05036-17 21,2 16,9 19,04 20,1 0,57 2,03 MSU 06046-74 21,5 18,9 20,17 12,1 0,65 1,23 MSU 06028-71 23,7 19,1 21,42 19,5 0,73 1,98 MSU 06046-48 24,5 19,8 22,14 19,0 0,78 1,92 MIS 0614-02 23,6 24,3 23,93 -2,8 0,92 -0,29 MIS 0601-22 26,0 22,6 24,26 13,2 0,94 1,33 MSU 06039-21 26,4 23,6 25,01 10,5 1,00 1,07 MIS 0601-179 25,1 25,2 25,16 -0,6 1,01 -0,06 MIS 0651-15 26,5 24,5 25,48 7,4 1,04 0,75 Sari 28,5 25,6 27,05 10,4 1,17 1,05 MSU 06042-18 27,5 28,9 28,18 -5,2 1,27 -0,53 MSU 06044-05 32,4 24,9 28,65 23,1 1,29 2,34 MSU 05036-23 33,7 28,1 30,88 16,5 1,51 1,67 MSU 06014-51 37,1 26,3 31,68 29,0 1,56 2,94 Ayamurasaki 34,0 34,5 34,26 -1,6 1,88 -0,16 MSU 06039-07 31,8 38,5 35,17 -21,2 1,96 -2,14 Beta-2 45,7 42,3 44,01 7,5 3,09 0,76 Rataan 25,01 22,53 23,77 9,70 0,99 0,98 Keterangan*): Kriteria pengelompokan didasarkan pada nilai ITC ST: Sangat tahan, T: Tahan, AR: Agak Rentan, R: Rentan, SR: Sangat Rentan

KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada musim kemarau 2010 dapat disuimpulkan bahwa: 1. Dari analisis dan telaah toleransi klon ubijalar terhadap tungau puru di desa Wringin Songo kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang terlihat bahwa perlakuan infestasi hama menimbulkan indeks cekaman (IC) 0,10. 2. Dari 24 klon yang diuji terdapat 3 klon/varietas yang teridentifikasi tahan terhadap cekaman hama tungau puru dengan nilai ITC lebih besar dari 1, nilai IKC lebih kecil dari

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 315

1 dan memiliki rata-rata hasil umbi lebih dari 30 t/ha. Klon/varietas yang tergolong tahan dan memiliki produksi tinggi tersebut itu adalah MSU 06039-07, Ayamurasaki dan Beta 2. 3. Terdapat 2 klon yang berproduksi tinggi (rata-rata lebih 25 t/ha) dan kehilangan hasilnya sangat kecil yaitu MSU 06042-18 dan MIS 0601-22.

DAFTAR PUSTAKA Amalin, D.M. and Vasquez, E. A. 1993. A handbook on Philippine sweetpotato pests and their natural enemies. International Potato Center (CIP), Los Baños, Philippines. 82 p. Blum, A. 1980. Breeding and Selection for Adaptation to Stress; Genetic Improvement of Adaptation. P. 450-452. In : Turner, N. C., and P. J. Kramer. Adaptation of plants to Water and High Termperature Stress. John Willey & Sons, Inc. New York. Fernandez, G.C.J. 1992. Effective selection criteria for assessing plant stress tolerance. Hlm.257-270. Dalam C.G. Kuo (Ed.): Adaptation of Food Crops to Temperature and Water Stress. Proceeding of an Int. Symp. AVRDC-Inst. of Botany, Taiwan. Fischer, R. A., and R. Maurer. 1978. Drought resistance in spring wheat cultivar: I. Grain yield response. Aust. J. Agric. Res. 29:897-912. Indiati. S.W., W. Tengkano, M. Jusuf dan St. A. Rahayuningsih. 2007. Tungau Puru (Eriophyiidae), hama baru pada tanaman ubijalar di Indonesia. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Malang 8 September 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Hal 416- 422. ISBN: 978 979 115909 8. Rosielle, A. A., and J. Hamblin. 1981. Theoretical aspects of selection for yield in stress and non stress environments. Crop Sci. 21:943-946. Steel, R.G.D., and J. H. Torrie. 1981. Principles and procedures of statistics. A biometrical approach, 2 nd. McGraw-Hill International Book company. Tokyo, Japan Yulien, M.H. 1992. Biological control of weeds: a world catalogue of agents and their target weeds, 3rd ed.CSIRO, Brisbane, Australia 194 pp.

Notulensi Diskusi Seminar Upik Kusuma : Jawab : - Istilah puru : gall mites - IKC = ( 1 – (Ys / Yp) ) / Si ITC = (Yp x Ys) / (Yp)2 IKC : Indeks kemerataan terhadap cekaman ITC : Indeks toleransi cekaman Yp : Hasil pada kondisi optimum Ys : Hasil pada kondisi cekaman Yp : Rata-rata hasil semua klan pada rondisi optimum Kusharto : - Asal usul tunau puru?

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 316

- Bagaimana mencegahnya? - Apakah menurunkan kualitas dan kuantitas ubi? - Cekuman tinggi hasilnya tinggi, apa maksudnya? Jawaban : - Dari pertanaman ubi jalar yang ditanam dekat lingkungan kotor. Ada tanaman tembakau di Malang. - Belum diketahui karena belum dikaji lebih lanjut/detail. Hasil penelitian tidak memperlihatkan hasil yang nyata karena tingkat cekamannya tidak terlalu berat walaupun sudah diinfestasi. - Ada klon yang cekaman tinggi tapi hasilnya tinggi. Klon ini dikategorikan toleran. Indri (Balai Karantina) : Apakah ada gambar hama tungau puru ini? Jawab : Ada diposter penulis Sri Wahyuni Indiati, M. Jusuf, dan H. A. Rahayuningsih.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 317

OPH-27 Kajian Hasil Gabah Sembilan Padi Hibrida Dan Reaksinya Terhadap Hama Wereng Coklat Bambang Sutaryo1, Tri Martini1, dan Tri Sudaryono1 1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta PO BOX 1013 Karangsari, Wedomartani, Ngemplak, Sleman, DIY

Abstrak Penelitian untuk mengkaji hasil gabah sembilan padi hibrida dan reaksinya terhadap hama wereng coklat dilakukan di Sukoharjo (Jawa Tengah) pada MK 2007 dan MH 2007/2008, dengan menggunakan 12 genotipe terdiri atas sembilan genotipe padi hibrida, dan tiga varietas pembanding yaitu Batang Samo, Intani-2 dan Ciherang. Penelitian dirancang sesuai dengan rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan. Uji ketahanan terhadap hama wereng dilakukan di rumah kaca Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, pada MH2007/2008. Dua belas genotipe padi yang diuji dibandingkan dengan 5 varietas diferensial TN1, ASD7, Rathu Heenati, PTB33, dan Pokali. Data di rumah kaca menunjukkan bahwa Sembada B3, WCR137 dan Sembada B9 bersifat agak tahan terhadap wereng biotipe 1; Ciherang, WCR137 dan Sembada B9 agak tahan terhadap wereng biotipe 2; dan semua genotipe yang diuji bersifat rentan serta agak rentan terhadap wereng biotipe 3. Pada MK2007, hasil gabah tertinggi diraih oleh Sembada B9 dan Sembada B8 masing-masing sebesar 10,26 dan 9,60 t/ha, dengan standar heterosis terhadap Ciherang sebesar 26,70 dan 18,52%. Pada MH2007/2008, hasil gabah tertinggi juga dicapai oleh kedua genotipe tersebut sebesar 7,85 dan 7,80 t/ha dengan standar heterosis terhadap Ciherang 15,44 dan 14,71%. Di lapangan, pada MK2007, Sembada B9 dan Sembada B8 bersifat tahan. Sedangkan pada MH2007/2008, Sembada B9 bersifat tahan, dan Sembada B8 bersifat agak tahan. Rata-rata hasil yang diperoleh pada musim kemarau lebih tinggi dibandingkan dengan hasil gabah pada musim hujan, diduga disebabkan oleh wereng coklat. Kata kunci : reaksi, wereng coklat, hasil gabah, padi hibrida

ABSTRACT Research to evaluate grain yield of nine rice hybrids and its reaction to brown plant (BPH) hopper were conducted in Sukoharjo (central Java), during the dry-season (DS) 2007 and wet-season (WS) of 2007/2008, using 12 genotypes consisted of nine rice hybrids, and three checks: Batang Samo, Intani-2 and Ciherang. Experiments were designed using randomized complete block design with three replications. Reaction to brownplanthopper evaluation was observed in sreen house of Indonesian Center for Rice Research, in the wet- season (WS) of 2007/2008. Twelve rice genotypes were tested with 5 differential varieties i.e TN1, ASD7, Rathu Heenati, PTB33, and Pokali. Observation on resistance was also done during yield trial. Data in screen house indicated that, Sembada B3, WCR137 and Sembada B9 were moderate resistance to BPH 1; Ciherang, WCR137 and Sembada B9 were moderate resistance to BPH 2; and all genotypes tested were suscceptible and moderate resistance to BPH 3. In the DS of 2007, the highest yield was reached by Sembada B9 and Sembada B8 of 10.26 and 9.60 t/ha, respectively, with standard heterosis to Ciherang 26.70 and 18.52%, respectively. In the WS of 2007/2008, the highest yield was also obtained by those two genotypes above mentioned of 7.85 and 7.80 t/ha with standard heterosis to Ciherang 15.44 and 14.71%. In the field, during the DS of 2007, Sembada B9 and Sembada B8 were found to be resistant to BPH. Meanwhile, during the WS of2007/2008, Sembada B9 was resistant, and Sembada B8 was moderate resistant. In general, yield obtained in DS of 2007 was higher than that of in WS of 2007/2008, may be caused by BPH. Keywords: reaction, brown plant hopper, grain yield, hybrid rice.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 318

PENDAHULUAN Penampilan padi hibrida sangat ditentukan oleh tetua yang digunakan dalam persilangan. Penampilan padi hibrida akan makin baik bila kedua tetua pembentuk padi hibrida memiliki perbedaan ragam genetik yang besar sehingga mampu mewariskan keunggulan hasil gabah dan tahan terhadap hama penyakit utama (Virmani, 1994). Wereng cokelat merupakan hama penting utama dengan kelenturan genetik tinggi sehingga mampu beradaptasi dengan berbagai lingkungan dengan tempo yang relatif singkat. Hal ini terbukti dengan timbulnya biotipe/populasi baru yang dapat mengatasi sifat ketahanan tanaman atau hama tersebut menjadi resisten terhadap insektisida (Baehaki & Munawar, 2008). Setelah tahun 1994 wereng cokelat merupakan serangga yang menyerang tanaman padi baik di musim hujan maupun musim kemarau. Wereng cokelat juga merupakan hama laten, dan dapat memindahkan virus kerdil hampa dan virus kerdil rumput yang serangannya lebih berat dibandingkan dengan serangan wereng cokelat itu sendiri. Timbulnya biotipe wereng cokelat merupakan tantangan yang tidak akan mudah diatasi. Pengalaman menunjukkan bahwa untuk mengatasi wereng cokelat biotipe 1 telah digunakan IR26, ternyata hanya bertahan 4-5 musim saja, dan diganti dengan IR32,IR36 dan IR42 yang memiliki gen tahan bph2. Selanjutnya dilaporkan, di Sumatera Utara, IR42 diserang oleh wereng cokelat biotipe 3 (Baehaki, 2000). Luasan serangan hama wereng coklat di berbagai daerah adalah sebagai berikut: 1) di Pati 1 ha pada MK1994, dan sekitar 300 ha pada MK2005; 2) di Jalur Pantura 10 ha pada MK 1995, 60.000 ha pada MK1998, dan 5.342 ha pada MK1999; 3) di Jawa Timur 80.000 ha di Jawa Timur pada MK1999; 4) di Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta lebih dari 1.000 ha (Baehaki & Abdullah, 2008). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji hasil gabah sembilan padi hibrida dan reaksinya terhadap hama wereng cokelat, sehingga dapat dipilih kombinasi padi hibrida yang dapat dikembangkan untuk tingkat petani.

BAHAN DAN METODE Pengujian galur padi hibrida introduksi dari Cina (WCR021, WCR032, WCR041, WCR073, WCR107, WCR115, WCR137, WCR140, WCR 152) terhadap wereng coklat biotipe 1, biotipe 2 dan biotipe 3 dilakukan di rumah kasa dan laboratorium Balai Besar Penelitian Tanaman Padi pada MH 2007/2008.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 319

Perbanyakan wereng coklat biotipe 1 pada varietas Pelita I/1, wereng coklat biotipe 2 pada varietas IR26 (bph1) dan wereng coklat biotipe 3 pada varietas IR42 (bph2). Perbanyakan wereng dilakukan pada varietas padi yang berumur 30 hst. Untuk mendapatkan nimfa wereng yang seragam, dimasukkan pada satu rumpun padi tersebut beberapa pasang wereng selama 1-2 malam dalam suatu kurungan, setelah itu wereng induknya diambil lagi, dan telur yang diletakkan di dalam tanaman dipelihara sampai instar 2-3. Instar ini akan dipakai untuk diinfestasikan pada tanaman yang akan diuji. Uji ketahanan varietas padi terhadap wereng coklat dilakukan di rumah kasa Balai Penelitian Tanaman Padi. Galur padi yang diuji dibandingkan dengan 5 varietas diferensial TN1, ASD7, Rathu Heenati, PTB33, dan Pokali yang disemaikan dalam box berukuran 60 cm X 40 cm X 10 cm yang berisi tanah Lembang. Tanah dalam kotak dibagi dua sehingga setiap bagian ada 20 cm. Tiap-tiap galur disemaikan sebanyak 25 biji pada alur sepanjang 20 cm. Di baris pinggir ditempatkan varietas TN1 yang peka untuk menjaga escape dari serangan wereng coklat. Varietas diferensial yang tahan ditempatkan di baris tengah sebagai fokus tekanan wereng coklat. Di lain pihak galur dan varietas lain ditempatkan acak di antara varietas peka. Tujuh hari setelah semai diadakan penjarangan dengan disisakan 20 batang setiap galur/varietas. Kemudian bibit tersebut diinfestasi dengan wereng biotipe 2 atau biotipe 3 disebar secara merata dan tiap-tiap batang diinfestasi dengan 8 ekor nimfa. Oleh karena itu jumlah nimfa yang diinfestasikan tergantung dari banyaknya varietas dan banyaknya batang padi. Perhitungan atau skoring kerusakan dilakukan pada 7-10 hari setelah infestasi, karena pada saat tersebut 90% varietas cek peka TN1 mati. Skor keparahan berdasarkan Standard Evaluation System for Rice (1996) dari IRRI: Sangat tahan (ST, Skor 0) = 0 - < 1 %; Tahan (T, Skor 1) = >1- 5 %; Agak Tahan (AT, Skor 3) = > 6-12 %; Agak rentan (AR, Skor 5) = >13- 25 %; Rentan (R, Skor 7) = > 26-50 %; Sangat Rentan (SR, Skor 9) = > 51-100%. Rata –rata skor diperoleh dengan menggunakan rumus:

RP = E {(ni xi) / N} (Ahn dkk., 1976) di mana:

RP = rata-rata plot ni = jumlah rumpun dengan skala i

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 320 i = skala keparahan (1-9)

N = jumlah rumpun yang diamati

Rata-rata skor plot dikonversikan ke dalam persen keparahan dengan cara mengambil nilai rata-rata dari setiap kategori. Sebagai contoh, apabila skor rata-rata plot = 5, artinya bahwa keparahan penyakit pada plot tersebut adalah 19% {(13% +25%)/2}. Skoring ketahanan padi dan gejala serangan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Skoring ketahanan padi dan gejala serangan hama wereng

Skor Gejala serangan

0 Tidak ada kerusakan 1 Kerusakan sangat sedikit 3 Kebanyakan daun pertama dan kedua dari tanaman menguning sebagian. 5 Tanaman menguning dan kerdil atau 10-25% tanaman layu. 7 Lebih dari setengah tanaman layu atau mati dan tanaman yang sisa sangat kerdil atau mengering 9 Semua tanaman mati

HASIL DAN PEMBAHASAN Pada Tabel 2 dapat dilihat, bahwa secara umum semua galur hibrida menunjukkan sifat tidak tahan terhadap wereng coklat. Varietas Sembada B3 bersifat agak tahan terhadap wereng batang coklat biotipe 1 tetapi agak rentan terhadap biotipe 2 dan 3 ; Sembada B5 memberikan sifat agak rentan terhadap wereng batang coklat biotipe 1, 2 dan 3; Sembada B8 bersifat agak peka biotipe 1, 2 tetapi peka terhadap wereng coklat biotipe 3 ; Sedangkan Sembada B9 menunjukkan sifat agak tahan wereng coklat biotipe 1, 2 tetapi agak rentan biotipe 3. Apabila dibandingkan dengan varietas kontrol terlihat bahwa Sembada B8 ketahanannya terhadap wereng coklat sebanding dengan Batang Samo; Sembada B9 ketahanannya sebanding dengan Ciherang; sedangkan Sembada B5 ketahanannya dibandingkan dengan Intani-2 sedikit lebih baik khususnya terhadap wereng coklat biotipe 2. Ketahanan pada kondisi di rumah kaca belum tentu menunjukkan tahan pada kondisi di lapangan. Akan tetapi informasi ketahanan pada kondisi di rumah kaca diperlukan untuk pedoman ketahanan di lapangan.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 321

Pada Tabel 3 dapat dilihat, bahwa keparahan hama wereng di lapangan berkisar antara 4,0 % untuk Sembada B9 sampai 11,8% WCR115 pada MK2007 dan 4,7 % untuk Sembada B9 sampai 41,4%, untuk WCR021 pada MH 2007/2008. Data tersebut memberi indikasi bahwa keparahan hama wereng pada MH2007/2008 lebih tinggi dibandingkan dengan keparahan pada MK2007. Keadaan tersebut diduga karena faktor lingkungan yaitu kelembaban sangat berpengaruh terhadap perkembangan hama wereng seperti dilaporkan oleh Baehaki dkk. (1991). Pada Tabel 3 juga dapat dilihat, bahwa pada MK2007, genotipe yang menunjukkan ketahanan terhadap hama wereng adalah Sembada B3, Sembada B5, Sembada B8 dan Sembada B9, Batang Samo, Intani-2 dan Ciherang. Genotipe-genotipe lainnya menunjukkan sifat agak tahan terhadap hama wereng. Sifat ketahanan yang dimiliki oleh tujuh genotipe tersebut disebabkan oleh gen ketahanan terhadap hama wereng yang diwariskan dari tetua pembentuk genotipe tersebut, gen ketahanannya bisa bersifat resesif, heterosigot dominan, atau homosigot dominan. Pada MH2007/2008, Sembada B9 menunjukkan sifat tahan terhadap hama wereng, artinya genotipe ini memiliki konstitusi genetik yang ketahanannya homosigot dominan (Virmani, 1994).

Tabel 2. Hasil uji ketahanan padi hibrida terhadap wereng coklat, di screen house, MH2007/2008

Wereng Coklat

No Galur / Varietas Biotipe 1 Biotipe 2 Biotipe 3

Keparahan Kriteria Keparahan Kriteria Keparahan Kriteria

1 WCR021 6,5 AT 23,5 AR 20,0 AR

2 WCR032 24,5 AR 21,5 AR 21,7 AR

3 Sembada B3 11,5 AT 22,0 AR 22,4 AR

4 WCR073 22,0 AR 21,5 AR 23,5 AR

5 Sembada B5 24,5 AR 24,5 AR 22,5 AR

6 WCR115 21,5 AR 25,0 AR 21,5 AR

7 WCR137 11,5 AT 10,5 AT 21,6 AR

8 Sembada B8 24,5 AR 20,5 AR 40,9 R

9 Sembada B9 9,6 AT 5.0 AT 21,7 AR

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 322

10 Batang Samo 8,2 AT 22,0 AR 22,4 AR

11 Intani-2 20,6 AR 9.0 R 23,5 AR

12 Ciherang 9,7 AT 11,0 AT 23,0 AR

13 TN 1 76,0 R 9.0 R 42,5 R

14 ASD7 7,8 AT 22,5 AR 22,5 AR

15 R. Heenati 3,0 T 4,0 T 4,5 T

16 PTB 33 4,0 T 4,5 T 3.5 T

17 Pokali 4,5 T 3.0 T 3.0 T

Keterangan : keparahan 0-1 % =Sangat tahan (ST), >1-5 % = Tahan (T), >6-12 % = agak tahan (AT), >13- 25 % = Agak rentan (AR), >26-50 % = Rentan (R) , >51-100% = Sangat Rentan (SR).

Genotipe tersebut tidak terpengaruh oleh faktor kelembaban yang memicu keparahan hama wereng. Sedangkan Sembada B3, Sembada B5 dan Sembada B8 menunjukkan sifat agak tahan. Genotipe-genotipe yang menunjukkan kerentanan terhadap hama wereng pada MH2007/2008 adalah WCR 021, WCR032, WCR073, WCR115, WCR137, Batang Samo dan Intani-2, pada umumnya disebabkan oleh konstitusi genetik yang sifat ketahanannya bersifat resesif dan heterosigot dominan.

Tabel 3. Rata-rata keparahan hama wereng pada pengujian daya hasil di lapangan, Sukoharjo MK 2007 dan MH 2007/2008

MK2007 MH2007/2008

No. Hibrida/varietas Keparahan (%) Reaksi Keparahan (%) Reaksi

1. WCR021 11,6 AT 41,4 R

2. WCR032 10,9 AT 39,8 R

3. SEMBADA B3 4,9 T 11,4 AT

4. WCR073 10,7 AT 37,8 R

5. SEMBADA B5 4,8 T 10,5 AT

6. WCR115 11,8 AT 42,3 R

7. WCR137 10,6 AT 22,8 AR

8. SEMBADA B8 5,0 T 11,5 AT

9. SEMBADA B9 4,0 T 4,7 T

10. Batang Samo 4,6 T 47,2 R

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 323

11. Intani-2 4,7 T 24,1 AR

12. Ciherang 5,0 T 11,1 AT

Keterangan : keparahan 0-1 % =Sangat tahan (ST), >1-5 % = Tahan (T), >6-12 % = agak tahan (AT), >13- 25 % = Agak rentan (AR), >26-50 % = Rentan (R) , >51-100% = Sangat Rentan (SR).

Pada Tabel 4 dapat dilihat, bahwa rata-rata hasil gabah sembilan padi hibrida dan tiga varietas pembanding. Pada MK2007, hasil gabah tertinggi diraih oleh Sembada B9 sebesar 10,26 t/ha, dan diikuti oleh Sembada B8, Sembada B3 dan WCR 137 berturut-turut sebesar 9,60; 8,95 dan 8,70 t/ha. Sembada B9 dan Sembada B8 memberikan keunggulan terhadap varietas pembanding terbaik Ciherang (standar heterosis) masing-masing sebesar 26,70 dan 18,52%. Tiga padi hibrida yang pertama tersebut berdasarkan hasil pengujian ketahanan di lapangan terhadap hama wereng memiliki sifat tahan, sedangkan WCR137 bersifat agak tahan. Sedangkan pada MH2007/2008 hasil gabah tertinggi ternyata juga dicapai oleh Sembada B9 dan Sembada B8 masing-masing sebanyak 7,85; dan 7,80 t/ha, dengan standar heterosis berturut-turut sebesar 15,44 dan 14,71%. Secara keseluruhan rata- rata hasil yang diperoleh pada musim kemarau lebih banyak dibandingkan dengan hasil gabah pada musim hujan. Pengamatan di Jalur Pantura menunjukkan bahwa hasil infeksi alam di lapangan lebih parah pada musim hujan dibandingkan dengan pada musim kemarau (Baehaki dkk., 1991).

Tabel 4. Rata-rata hasil gabah dan derajat heterosis padi hibrida, Sukoharjo MK 2007 dan MH 2007/2008.

MK2007 MH2007/2008 No. Galur / Varietas Hasil gabah (t/ha) Heterosis (%) Hasil gabah (t/ha) Heterosis (%) 1. WCR021 8,24 b 1,73 6,80 ab 0,00 2. WCR032 7,70 bc -4,94 6,80 ab 0,00 3. Sembada B3 8,95 ab 10,49 7,65 a -0,56 4. WCR073 8,20 b 1,23 6,80 ab 0,00 5. Sembada B5 8,30 b 2,47 6,70 b -1,47 6. WCR115 8,15 b -0,62 6,65 b -2,21 7. WCR137 8,70 ab 7,41 6,95 b 2,21 8. Sembada B8 9,60 ab 18,52 7,80 a 14,71 9. Sembada B9 10,26 a 26,70 7,85 a 15,44 10. Batang Samo 8,05 b - 5,80 c - 11. Intani-2 7,05 c - 6,70 b -

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 324

12. Ciherang 8,10 b - 6,80 ab - Rata-rata 8,44 6,94 Angka-angka yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 %

Untuk hama wereng cokelat selain menilai perkembangan hama di pertanaman, kerusakan dan tingkat ketahanan varietas dan perubahan biotipe di lapangan dipandang perlu mengkaji penurunan hasil (Baehaki, 2010). Dalam kajian kehilangan hasil, insiden dan perhitungan hama digunakan dalam menentukan pengaruh penggunaan pestisida atau introduksi hama (Teng & Shane, 1984; Walker, 1987).

Pada Tabel 5 dapat dilihat hasil analisis regresi antara keparahan hama wereng dan hasil gabah, koefisien regresi b0 mempunyai nilai negatif dan bervariasi dari -21,58 untuk hibrida WCR137 pada MH2007/2008 sampai -1,99 untuk Ciherang pada MK2007. Nilai negatif dari koefisien regresi b0 pada MH2007/2008 ditemukan lebih besar bila dibandingkan dengan nilai negatif dari koefisien regresi b0 pada MK2007, artinya bahwa keparahan hama wereng yang terjadi pada MH2007/2008 lebih tinggi daripada MK2007.

Tabel 5. Koefisien regresi dan koefisien determinasi persen penurunan hasil gabah terhadap keparahan hama wereng

2 No. Galur/varietas Musim B0 b1 R 1. WCR021 MK2007 -11,27 0,56 0,68 MH2007/2008 -20,35 0,72 0,72 2. WCR032 MK2007 -14,47 0,47 0.70 MH2007/2008 -21,40 0,68 0,58 3. Sembada B3 MK2007 -4,50 0,28 0,89 MH2007/2008 -3,42 0,16 0,96 4. WCR073 MK2007 -9,32 0,66 0,61 MH2007/2008 -20,29 0,82 0,79 5. Sembada B5 MK2007 -3,90 0,45 0,90 MH2007/2008 -4,15 0,38 0,95 6. WCR115 MK2007 -9,35 0,68 0,79 MH2007/2008 -19,62 0,77 0,70 7. WCR137 MK2007 -10,35 0,56 0,75 MH2007/2008 -21,58 0,85 0,82 8. Sembada B8 MK2007 -3,40 0,24 1,54

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 325

MH2007/2008 -4,63 0,18 1,25 9. Sembada B9 MK2007 -2,92 0,25 1,00 MH2007/2008 -3,45 0,14 0,95 10. Batang Samo MK2007 -8,72 0,52 0,84 MH2007/2008 -19,45 0,76 0,65 11. Intani-2 MK2007 -9,92 0,50 0,68 MH2007/2008 -18,23 0,85 0,72 12. Ciherang MK2007 -1,99 0.64 0,75 MH2007/2008 -4,65 0,76 0,64 2 Keterangan : koefisien regresi (b0 dan b1) dan koefisien determinasi r untuk persamaan Y = b0 + b1 (X), di mana Y = kehilangan hasil gabah, dan X = keparahan hama wereng.

Hibrida-hibrida yang menunjukkan b0 kecil adalah Sembada B9 sebesar -2,92 dan - 3,45; Sembada B8 sebesar -3,40 dan -4,63; Sembada B3 sebesar -3,42 dan -4,50; dan Sembada B5 sebesar -3,90 dan -4,15. Keadaan tersebut memberikan indikasi bahwa penurunan hasil gabah sebagai akibat adanya hama wereng adalah kecil, hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa keempat padi hibrida tersebut memiliki ketahanan khususnya terhadap hama wereng pada MK2007, dan agak tahan pada MH2007/2008, kecuali Sembada B9 bersifat tahan, seperti terlihat pada Tabel 3.

Pada Tabel 5 juga dapat dilihat nilai koefisien regresi b1 pada MH2007/2008, bernilai positif. Secara umum, besarnya nilai dari koefisien regresi b1 yang terdapat pada MK2007 dan MH2007/2008 adalah sama, artinya tingkat keparahan hama wereng yang terjadi pada dua musim tersebut adalah tidak berbeda. Sembada B8, Sembada B9, Sembada B3 dan

Sembada B5 memiliki nilai koefisien regresi b1 kecil, berturut-turut sebesar 0,24 dan 0,18; 0,25 dan 0,14; 0,28 dan 0,16; 0,45 dan 0,38.

Pada Tabel 5 juga dapat dilihat bahwa keempat padi hibrida tersebut memiliki koefisien determinasi hampir sama dengan 1, artinya bahwa tingkat ketelitian dari koefisien regresi yang diperoleh adalah tinggi, dengan kata lain koefisien determinasi tersebut mendukung kebenaran nilai koefisien regresi.

KESIMPULAN 1. Sembada B3, WCR137 dan Sembada B9 bersifat agak tahan terhadap wereng biotipe 1; Ciherang, WCR137 dan Sembada B9 agak tahan terhadap wereng biotipe 2; dan

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 326

semua genotipe yang diuji bersifat rentan serta agak rentan terhadap wereng biotipe 3. 2. Pada MK2007, hasil gabah tertinggi diraih oleh Sembada B9 dan Sembada B8 masing- masing sebesar 10,26 dan 9,60 t/ha, dengan standar heterosis terhadap Ciherang sebesar 26,70 dan 18,52%. Pada MH2007/2008, hasil gabah tertinggi juga dicapai oleh kedua genotipe tersebut sebesar 7,85 dan 7,80 t/ha dengan standar heterosis terhadap Ciherang 15,44 dan 14,71%. 3. Di lapangan, pada MK2007, Sembada B9 dan Sembada B8 bersifat tahan. Sedangkan pada MH2007/2008, Sembada B9 bersifat tahan, dan Sembada B8 bersifat agak tahan. Rata-rata hasil yang diperoleh pada musim kemarau lebih tinggi dibandingkan dengan hasil gabah pada musim hujan, diduga disebabkan oleh wereng coklat.

DAFTAR PUSTAKA Baehaki, S.E. 2010. Peranan varietas dan galur padi dan predator dalam mengendalikan wereng coklat. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Padi 2009. Inovasi Teknologi Padi untuk Mempertahankan Swasembada dan Mendorong Ekspor Beras. Buku 1. BB Padi. Badan Litbang Pertanian. Kemtan Pertanian. p.285-295. Baehaki, S.E., dan B. Abdullah. 2008. Evaluasi karakter ketahanan galur padi terhadap wereng cokelat biotipe 3 melalui uji penapisan dan uji peningkatan populasi. Prosiding Seminar Apresiasi Hasil Penelitian Padi Menunjang P2BN. Buku 1. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Litbang Pertanian. p. 367-382. Baehaki, S.E., dan D. Munawar. 2008. Identifikasi biotipe wereng cokelat di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi dan reaksi ketahanan kultivar padi. Prosiding Seminar Apresiasi Hasil Penelitian Padi Menunjang P2BN. Buku 1. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. p. 351-366. Baehaki, S.E. 2000. Tenologi pengendalian wereng cokelat, Nilaparvata lugens (stal) dengan rekayasa dinamika populasi pada tanaman padi di Indonesia. Disampaikan pada seminar review pertimbangan kepangkatan Badan Litbang Pertanian. Jakarta. Baehaki, S.E., A. Rifki, dan A.S. Yahya. 1991. Penentuan biotipe wereng cokelat di daerah sentra produksi padi. Media Penelitian Sukamandi. No. 9. p.: 26-30. Hoan, N.T., N.N. Kinh, B.B. Bong, N.T. Tram, T.D. Qui, and N.V. Bo. 1998. Hybrid rice research and development in Vietnam. In : Virmani, S.S., E.A. Siddiq, and K. Muralidharan (ed.). Advances in hybrid rice technology. Proc. 3rd Intl. Sym. Hybrid Rice. 14-16 Nov. 1996. Hyderabad, India. Intl. Rice Res. Inst. Manila Philippines. pp. 325-340. IRRI, 1996. Standard Evaluation System for Rice (3rd ed.). IRRI, Philippines‘ 54 pp. Teng, P.S. and W.W. Shane. 1984. Crop Loss Due to Plant Phatogen. CRC. Crit.Rev. Plant Sci. 2:21-47. Virmani, S.S. 1994. Heterosis and hybrid rice breeding. In. Frankel et al. (Ed), Monograph on Theoritical and Applied Genetics 22. Springer-Verlag, Berlin, NY, London, Paris, Tokyo, Hongkong, Barcelona, Budapest-IRRI. Philipp. 189 p. Walker, P.T. 1987. Measurement of insect pest population and injury. In Crop Loss

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 327

Assessment and Pest Management. American Phytophatological Society, St. Paul. Minnesota. P. 19-29

Notulensi Diskusi Seminar Haerusalam (PT. BISI) : - Maintenance hama wereng coklat? Untuk screening? - Kenapa ada perubahan status ketahanan? Jawab : Wereng diambil dilapangan. Pembiakan di lab, wereng dari Sukoharjo (biotipe 3), pengujian 1 generasi, galur belum mantap, perlu uji multi lokasi. Analisis lanjutan tidak dilaksanakan, perubahan iklim. Dalam screening tetap diuji coba dari biotipe 1, 2, 3, meskipun muncul biotipe 4.

Ussy S (HPT UNPAD) : Klasifikasi (criteria tahan, rentan, agak tahan)? Jawab : Metode IRRI, Evaluation system for Rice (1996), ST = 0 (sangat tahan) Semua tanaman mati = 9

Sudrajat (HPT UNPAD) : - Kenapa mudah berubah ketahanan? - Predator yang baik di padi? Jawab : - Wereng mudah sekali beradaptasi, biotipenya mudah berubah. Tidak ada yang tahan terhadap wereng batang coklat. - Baru dicoba predator Menocillus Sp.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 328

OPH-28 Serangga Potensial Pengendali Hama Ulat Api Setothosea asigna di Perkebunan Kelapa Sawit Ahmad P Dongoran1), Agus Susanto1), Corry F A Sinaga2), Nena C Daeli2) 1) Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), Jl. Brigjen Katamso No. 51, Medan 20158 2) Universitas Sumatera Utara, Medan Email: [email protected]

ABSTRAK Setothosea asigna merupakan hama utama diperkebunan kelapa sawit saat ini. Pengendaliannya selama ini dengan menggunakan insektisida kimia. Dengan adanya isu lingkungan dan RSPO di kelapa sawit, penggunaan insektisida kimia mulai dikurangi. Oleh sebab itu pengendalian biologi sangat dibutuhkan, salah satunya dengan musuh alami berupa serangga predator. Penelitian ini bertujuan untuk melihat kemampuan serangga imago Sycanus dan Eocanthecona furcellata dalam mengendalikan ulat api S. asigna. Penelitian dilaksanakan di Insektarium Pusat Penelitian Kelapa Sawit-Marihat. Metodologi penelitian terdiri dari tingkat pemangsaan Sycanus dan E. furcellata terhadap ulat api S. asigna. Untuk tingkat pemangsaan Sycanus terdiri dari 4 perlakuan yaitu 1 ekor jantan; 1 ekor betina; 1 pasang; dan 3 pasang Sycanus, dengan dua kepadatan ulat api yaitu 5 dan 10 ulat, sedangkan tingkat pemangsaan E. furcellata terdiri dari 4 perlakuan yaitu 1 pasang imago, 2 pasang imago; 3 pasang imago dan kontrol (tanpa imago Eocanthecona). Hasil pengamatan pertama setelah pelepasan serangga predator menunjukkan bahwa serangga imago betina Sycanus memiliki rerata jumlah ulat api yang dimangsa lebih tinggi dari imago jantan yaitu sebesar 1,96 ulat/hari pada jumlah ulat sampel 10 dan 1,65 ulat/hari pada jumlah ulat sampel 5. Serangga imago E. furcellata mampu memangsa ulat api tertinggi sebanyak 0,63 ulat/hari dan terendah sebanyak 0,19 ulat/hari. Imago serangga Sycanus mampu memangsa ulat api lebih banyak dibandingkan dengan imago serangga E. furcellata. Serangga Sycanus dan E. furcellata memiliki potensi dan kemampuan mengendalikan ulat api di perkebunan kelapa sawit. Kata kunci : Setothosea asigna, Eocanthecona furcellata, Sycanus, tingkat predasi

ABSTRACT Recently, Setothosea asigna is the main pest in oil palm plantation. Until now, this pest was controlled by chemical insecticide. The environmental issues and RSPO in oil palm plantation had impact in decreasing used of chemical insecticide. Therefore, biological control using the natural enemies such as insect predator is needed. The purposed of this trial was to know the capability of Sycanus and Eocanthecona furcellata adult controlled the Setothosea asigna caterpillar. The research conducted in insectariums of Marihat - Indonesian Oil Palm Research Institute. The research methodology consist of Sycanus predation with 4 treatments were 1 male, 1 female, 1 pairs adult, and 3 pairs adult with 2 caterpillar density were 5 and 10 caterpillar, whereas the E. furcellata predation with 4 treatments were 1 pairs adult, 2 pairs adult, 3 pairs adult and control (no E. furcellata adult). At first day insect predator application, the result showed that the Sycanus female had average number of prey was higher than the male that was 1,96 caterpillar/day at 10 caterpillar and 1,65 caterpillar/day at 5 caterpillar. E. furcellata adult had the highest average number of prey was 0,63 caterpillar/day and the lowest was 0,19 caterpillar/day. Sycanus adult could preyed the S. asigna caterpillar was much more than E. furcellata adult. Sycanus and E. furcellata was the potential and beneficial insect in oil palm plantation to control the caterpillar pest.

Keywords: Setothosea asigna, Eocanthecona furcellata, Sycanus, predation

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 329

PENDAHULUAN Kelapa sawit di Indonesia merupakan primadona dan penghasil devisa negara yang cukup tinggi. Walaupun demikian, ada beberapa hal yang menjadi kendala dalam pemeliharaannya yaitu serangan hama ulat. Ada banyak jenis hama ulat pemakan daun kelapa sawit salah satunya ulat api Setothosea asigna yang menimbukan masalah dan penurunan produksi. Kemampuannya mengkonsumsi daun kelapa sawit hingga 300-500 cm2/ulat. Tingkat populasi yang masih ditolerir 5-10 ulat/pelepah (TBM = 5, TM = 10) (Soehardjo, dkk., 1999). Larva muda mengikis daun mulai dari permukaan bawah dan meninggalkan epidermis daun bagian atas. Mulai instar ke-3, ulat memakan semua helaian daun dan meninggalkan lidinya saja (Buana & Siahaan, 2003). Larva S. asigna menyukai daun mulai agak tua-agak muda. Akibat serangan ulat ini dapat menyebabkan penurunan produksi pada tahun kedua setelah serangan (Prawirosukarto dkk., 2003). Teknik pengendalian hama yang paling diandalkan adalah insektisida kimia. Namun penggunaan insektisida kimia ini sudah mulai dikurangi penggunaannya dikarenakan adanya suatu program RSPO (Rountable Sustainable Palm Oil) yang menginginkan minyak kelapa sawit yang bebas dari bahan kimia termasuk insektisida kimia. Selain itu insektisida ini membutuhkan biaya cukup mahal. Sebagai alternatif, pengendalian hayati yang paling tepat, berupa entomopatogenik, serangga predator (Prawirosukarto dkk., 2008). Serangga predator yang banyak dan dominan di perkebunan kelapa sawit berupa serangga kepik yaitu E. furcellata dan Sycanus. E. furcellata merupakan predator ulat pemakan daun kelapa sawit yang potensial, dan perlu dikembangkan dan disebarluaskan di perkebunan kelapa sawit (de Chenon, 1989b; Sipayung dkk., 1992). E. furcellata dapat memangsa larva beberapa famili serangga yaitu Lepidoptera, Coleoptera, and Heteroptera (Yasuda, 1999; Nyunt, 2008). Sycanus spp diketahui mampu memangsa berbagai ulat pemakan daun antara lain ulat kantong, ulat api, Plutella xylostella, Eterusia magnifica. Sycanus juga dapat dibiakkan di laboratorium dengan memberi pakan rayap (Captotermes sp.) untuk perbanyakan Sycanus (Mukhopadhyay & Sarker, 2009). Serangga Sycanus spp juga umum menjadi pengendali hama ulat kantong di perkebunan kelapa sawit dikarenakan memiliki rostrum (alat mulut) yang lebih panjang yang memungkinkan dapat memakan larva ulat kantong (Zulkefli, 1996; Singh, 1992). Sycanus spp merupakan pemburu yang ganas (assasin bug). Sewaktu mencari mangsa geraknya

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 330 lamban, tetapi jika mangsa telah ditemukan pada jarak tertentu akan menyergap dengan tiba- tiba dan mengisap habis cairan tubuh mangsa (Susilo, 2007). Sycanus spp memerlukan waktu 4-5 jam untuk memangsa satu larva dewasa (de Chenon dkk., 1989). Kemampuan dan daya predasi serangga E. furcellata dan Sycanus spp mengendalikan ulat api S. asigna belum diketahui keefektifannya di pertanaman kelapa sawit. Oleh sebab itu, dilakukan penelitian untuk membandingkan kemampuan membunuh E. furcellata dan S. croceovittatus untuk mengendalikan hama ulat api S. asigna di perkebunan kelapa sawit.

BAHAN DAN METODA Penelitian ini dilaksanakan di insektarium Kelti Proteksi Tanaman, Pusat Penelitian Kelapa Sawit, yang berlangsung untuk melihat kemampuan membunuh serangga E. furcellata dan Sycanus terhadap ulat api S. asigna. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah tanaman kelapa sawit muda dengan ketinggian ± 1 m, imago predator E. furcellata dan Sycanus, dan ulat api S. asigna instar 3-5. Alat yang digunakan adalah kotak pemeliharaan serangga yang terbuat dari kawat kasa berukuran 60x60x100 cm, kotak transparan berukuran 20x20 cm, stoples, polibag berdiameter ± 20 cm, kamera digital dan lainnya. Metodologi Penelitian ini dilakukan secara terpisah yaitu melihat kemampuan membunuh ulat api S. asigna dari serangga predator E. furcellata dan Sycanus. Setiap percobaan serangga predator dilakukan pada masing-masing kotak pengujian. Metodologi serangga E. furcellata Dalam penelitian ini menggunakan 4 perlakuan yaitu 1 pasang imago, 2 pasang imago, 3 pasang imago, dan kontrol (tanpa imago E. furcellata). Setiap perlakuan dilakukan pengulangan 3 kali. Metodologi serangga Sycanus Dalam penelitian ini menggunakan 4 perlakuan yaitu 1 ekor jantan, 1 ekor betina, 1 pasang imago, dan 3 pasang imago, yang dilakukan pada dua kepadatan populasi S. asigna yaitu 5 dan 10 ulat. Setiap perlakuan diulang 3 kali. Pelaksanaan Penelitian Penyediaan serangga imago E. furcellata dan Sycanus spp

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 331

Imago predator diperoleh dari lapangan dimasukkan ke dalam kotak pemeliharaan serangga beberapa pasang. Kotak pemeliharaan serangga digunakan adalah kotak yang berukuran 60x60x100 cm. Kemudian dimasukkan beberapa jumlah ulat api sebagai pakannya. Kemudian imago tersebut dipelihara hingga menghasilkan telur hingga membentuk imago kembali. Persiapan dan pelepasan ulat api S. asigna Ulat api diperoleh dari lapangan instar 3-5 dalam keadaan sehat. Selanjutnya diletakkan di permukaan atas daun kelapa sawit muda yang telah dimasukkan ke dalam kotak pemeliharaan/percobaan serangga dengan jumlah disesuaikan dengan perlakuan. Pelepasan serangga imago predator Serangga imago predator yang merupakan hasil rearing dilepaskan ke dalam kotak percobaan/pemeliharaan serangga yang telah dimasukkan tanaman kelapa sawit muda dan ulat api. Jumlah imago predator disesuaikan dengan perlakuan. Pengamatan Parameter Serangga imago Sycanus dan E. furcellata Pengamatan hari pertama setelah pelepasan imago predator, diamati jumlah ulat api yang mampu dibunuh oleh masing-masing imago predator yang digunakan. Kemudian dicatat dan dibandingkan satu dengan yang lainnya. Serangga imago E. furcellata Diamati kemampuan imago E. furcellata dalam membunuh seluruh ulat api sampel yang dimasukkan sebanyak 10 ulat. Selanjutnya dianalisa dan dibandingkan seluruh perlakuan dengan kontrol (tanpa serangga predator).

HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam percobaan ini melihat kemampuan serangga Sycanus dan E. furcellata dalam mengendalikan dan membunuh ulat api S. asigna di insektarium. Kemampuan predator membunuh ulat api S. asigna Hasil pengamatan daya predasi Sycanus memangsa hama ulat api S. asigna di insektarium dapat dilihat pada Tabel 1 dan untuk daya predasi E. furcellata dapat dilihat pada Tabel 2. Mortalitas dan rerata jumlah ulat api yang mampu dimangsa masing-masing serangga predator dilakukan di hari pertama saat setelah pelepasan.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 332

Tabel 1 menunjukkan rerata jumlah dan mortalitas ulat api S. asigna yang mampu dimangsa Sycanus. Dari rerata jumlah ulat api S. asigna (untuk jumlah ulat api 5 atau 10 ulat sampel) yang mampu dimangsa menunjukkan bahwa imago betina lebih banyak membunuh ulat api dibandingkan imago jantan. Untuk jumlah ulat sampel 5, rerata imago betina mampu memangsa ulat sebanyak 1,10 ulat dan imago jantan sebanyak 1 ulat. Untuk jumlah ulat sampel 10, rerata imago betina mampu memangsa ulat sebanyak 1,24 ulat dan imago jantan sebanyak 1,11 ulat. Rerata ulat api yang mampu dimangsa Sycanus paling banyak pada perlakuan jumlah imago Sycanus 3 pasang sebanyak 1,95 ulat/hari pada jumlah ulat sampel 10. Dari rerata jumlah ulat api yang mampu dimangsa imago Sycanus dalam waktu 1 hari jumlah tertinggi sebanyak 1.96 ulat/hari dan terendah sebanyak 1 ulat/hari. Hal ini disebabkan karena aktivitas makan predator yang lambat sehingga dalam 1 hari tidak banyak mangsa yang termangsa. Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Sipayung dkk. (1989) bahwa aktivitas makan Sycanus lambat dan berlangsung pada siang hari. Ketika ulat api tersedia, kepik ini akan menusuk dengan segera dan mengisap cairan tubuh ulat dalam waktu 4 sampai 5 jam (de Chenon dkk., 1989a). Untuk mortalitas ulat api yang mampu dimangsa imago Sycanus menunjukkan bahwa, mortalitas paling tinggi pada kepadatan ulat api 5 adalah 46.8% dengan jumlah imago Sycanus 3 pasang. Untuk mortalitas predator jantan dan betina Sycanus, mortalitas ulat api sebesar 20%. Untuk kepadatan ulat api sebanyak 10, mortalitas tertinggi sebesar 30% dengan jumlah imago Sycanus sebanyak 3 pasang. Mortalitas terendah sebesar 16.7% dengan jumlah imago Sycanus 1 ekor jantan, dan imago betina mortalitas ulat api sebesar 23,3%. Tabel 1. Rerata jumlah dan mortalitas ulat api S. asigna yang dimangsa imago Sycanus di insektarium pada pengamatan hari pertama saat pelepasan predator Jumlah serangga predator Rerata jumlah ulat api Mortalitas ulat api S. asigna Sycanus yang dimangsa sesuai kepadatannya (%) 5 ulat 10 ulat 5 ulat 10 ulat 1 ekor imago ♂ Sycanus 1 1.11 20 16.7 1 ekor imago ♀ Sycanus 1.10 1.24 20 23.3 1 pasang imago Sycanus 1.20 1.42 33.4 26.7 3 pasang imago Sycanus 1.65 1.96 46.8 30

Tabel 2 menunjukkan rerata jumlah dan mortalitas ulat api S. asigna yang mampu dimangsa E. furcellata. Dari rerata jumlah ulat api S. asigna (jumlah ulat api sebanyak 10) yang mampu dimangsa menunjukkan bahwa pada perlakuan C1 dengan jumlah E. furcellata

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 333

1 pasang menunjukkan rerata jumlah ulat api sampel yang terbanyak yang mampu dimangsa pada pengamatan pertama saat pelepasan di insektarium sebanyak 0,63 ulat/hari. Sementara yang terendah pada perlakuan C2 (2 pasang E. furcellata) sebanyak 0,19 ulat/hari. Untuk mortalitas ulat api S. asigna yang mampu dimangsa menunjukkan bahwa mortalitas tertinggi pada perlakuan C3 (3 pasang E. furcellata) sebesar 24,16%, dan untuk mortalitas ulat api terendah pada perlakuan C2 (2 pasang E. furcellata) sebesar 11,95%. Tabel 2. Rerata jumlah dan mortalitas ulat api S. asigna yang dimangsa imago E. furcellata di insektarium pada pengamatan hari pertama saat pelepasan predator (jumlah ulat sampel 10) Rerata jumlah ulat api Mortalitas ulat api Perlakuan yang dimangsa S. asigna (%) C0 (tanpa E. furcellata) 0.00 1.40 C1 (1 pasang E. furcellata) 0.63 15.64 C2 (2 pasang E. furcellata) 0.19 11.95 C3 (3 pasang E. furcellata) 0.29 24.16

Tabel 1 dan 2 menunjukkan mortalitas dan rerata jumlah ulat api S. asigna dengan jumlah ulat sampel 10 yang mampu dimangsa masing-masing serangga predator. Dari rerata jumlah ulat api (jumlah ulat sampel 10) yang mampu dimangsa menunjukkan bahwa serangga Sycanus lebih banyak memangsa ulat api dibandingkan dengan E. furcellata pada hari pertama saat pelepasan serangga predator pada jumlah serangga predator 1 dan 3 pasang. Pada jumlah imago predator 1 pasang, rerata jumlah ulat api yang mampu dimangsa Sycanus sebanyak 1,42 ulat/hari dan E. furcellata sebanyak 0,63 ulat/hari. Pada jumlah imago predator 3 pasang, rerata jumlah ulat api yang mampu dimangsa Sycanus sebanyak 1,65 ulat/hari dan E. furcellata sebanyak 0,29 ulat/hari. Dari mortalitas ulat api yang mampu dimangsa masing-masing serangga predator menunjukkan bahwa, serangga Sycanus memiliki mortalitas lebih tinggi dibandingkan dengan E. furcellata pada jumlah predator 1 dan 3 pasang. Untuk jumlah imago predator 1 pasang, mortalitas ulat api yang dimangsa Sycanus sebanyak 26,7% dan E. furcellata sebanyak 15,64%. Jumlah imago predator 3 pasang, mortalitas ulat api yang dimangsa Sycanus sebanyak 30% dan E. furcellata sebanyak 24,16%. Kemampuan membunuh E. furcellata Dalam percobaan ini diamati kemampuan dari serangga imago E. furcellata dalam membunuh seluruh ulat api S. asigna sampel sebanyak 10 ulat di insektarium yang dilakukan setiap harinya. Hasil dari beberapa kali pengamatan hingga seluruh ulat api S. asigna habis dimangsa dapat dilihat pada Tabel 3.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 334

Tabel 3 menunjukkan bahwa mortalitas ulat api pada setiap pengamatan untuk masing-masing perlakuan sangat berbeda satu sama lainnya. Pada pengamatan ke-1 menunjukkan bahwa mortalitas ulat api tertinggi pada perlakuan C3 yaitu sebesar 17,50% dan terendah pada perlakuan C2 sebesar 7,50%. Hingga pada pengamatan ke-6 perlakuan C3 mortalitas ulat api telah mencapai 100% yang menunjukkan bahwa seluruh ulat api telah dimangsa seluruhnya. Untuk keseluruhan ulat api yang berhasil dimangsa untuk seluruh perlakuan ditunjukkan pada pengamatan ke-IX, di mana yang terakhir seluruh ulat dimangsa pada perlakuan C1.

Tabel 3. Rerata mortalitas ulat api S. asigna yang dimangsa oleh serangga predator E. furcellata di insektarium

Pengamatan hari ke- (%) Perlakuan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 C0 (No E. furcellata) 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 C1 (1 psg E.furcellata) 12.5 22.5 42.5 57.5 65.0 75.0 92.5 97.5 100.0 C2 (2 psg E.furcellata) 7.5 17.5 32.5 65.0 82.5 90.0 95.0 100.0 100.0 C3 (3 psg E.furcellata) 17.5 37.5 55.0 77.5 92.5 100.0 100.0 100.0 100.0

Hasil data pada tabel 3 dapat dilihat fluktuasi perkembangan mortalitas ulat api yang berhasil dimangsa oleh E. furcellata di insektarium yang ditampilkan pada Gambar 1. Pada Gambar 1 menunjukkan bahwa untuk pengamatan ke-I serangga E. furcellata telah mampu memangsa ulat api sampel dengan mortalitas tertinggi pada perlakuan C3 (berwarna ungu) dan terendah pada perlakuan C2 (berwarna hijau). Untuk pengamatan ke-VI, perlakuan C3 mortalias telah mencapai 100% yang berarti seluruh ulat sampel telah berhasil dimangsa. Hingga pengamatan ke-IX seluruh perlakuan telah mencapai mortalitas ulat api sebanyak 100 %. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah serangga E. furcellata yang digunakan sebagai predator maka semakin cepat untuk dapat membunuh sekaligus mengendalikan ulat api S. asigna. Hal ini dapat menjadi dasar dalam menentukan jumlah imago E. furcellata yang akan digunakan untuk mengendalikan ulat api S. asigna di perkebunan kelapa sawit. Sipayung dkk. (1992), pelepasan imago E. furcellata di lapangan sebanyak 3-4 ekor/pohon dalam keadaan padat populasi ulat yang masih rendah (3-6 ulat api/pelepah) akan dapat menjaga populasi hama berada di bawah ambang populasi ekonomis.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 335

100.00 80.00 60.00 C0 40.00 C1 20.00 C2

0.00 C3 Mortalitas Ulat Api (%) Api Ulat Mortalitas I II III IV V VI VII VIII IX Pengamatan ke-

Gambar 1. Grafik histogram mortalitas ulat api S. asigna yang dimangsa oleh serangga imago E. furcellata di insektarium

Gambar 2. Cara serangga imago E. furcellata (kiri) dan Sycanus (kanan) memangsa ulat api S. asigna di insektarium

Pada pengamatan ulat api yang dimangsa oleh kedua predator menunjukkan bahwa ciri-cirinya berupa tampak tubuh ulat api kisut dan semakin lama menjadi berkerut hingga cairan tubuh menjadi kering. Hal ini disebabkan karena serangga predator memangsa dengan cara menusuk permukaan tubuh ulat api kemudian menghisap cairan tubuhnya dengan menggunakan bagian mulutnya yang menyerupai tanduk (Gambar 2). Hal ini sesuai dengan literatur Miller (1956) dan Kalshoven (1981) yang menyatakan bahwa Scutellum besar pada sisi kanan dan kiri pronotum terdapat suatu struktur yang menyerupai tanduk yang disebut humeral tooth (gigi yang membujur), yang mencirikan sifat predator dari serangga tersebut.

KESIMPULAN 1. Imago betina Sycanus memiliki rerata jumlah ulat api S. asigna yang mampu dimangsa lebih banyak dibandingkan dengan jantan. 2. Rerata jumlah ulat api S. asigna yang dimangsa oleh imago Sycanus betina sebanyak 1,96 ulat/hari dan jantan 1,11 ulat/hari (jumlah ulat 10); betina 1,65 ulat/hari dan jantan 1 ulat/hari (jumlah ulat 5). Rerata jumlah ulat api S. asigna tertinggi yang dimangsa imago E. furcellata sebanyak 0,63 ulat/hari dan terendah 0,19 ulat/hari.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 336

3. Untuk jumlah serangga predator 1 pasang dan 3 pasang, serangga imago Sycanus memiliki rerata jumlah ulat api S. asigna yang dimangsa lebih banyak dibandingkan dengan serangga imago E. furcellata. 4. Serangga imago E. furcellata mampu memangsa ulat api seluruhnya paling cepat dalam waktu 6 hari (jumlah predator 3 pasang) dan paling lama 9 hari (jumlah predator 1 pasang). 5. Seranga Sycanus dan E. furcellata memiliki potensi sebagai pengendali hama ulat api S. asigna khususnya bahkan jenis ulat api lainnya pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA Buana dan Siahaan, 2003. Ulat Pemakan Daun Kelapa Sawit. Prosiding Pertemuan Teknis Kelapa Sawit 2003. 21 : 56-77. de Chenon, R.D., A. Sipayung and P.S. Sudharto. 1989a. The importance of natural enemies on leaf eating caterpillars in oil palm in Sumatra, Indonesia – uses and possibilities. Proc. Of the PORIM International Palm Oil Development Conference. PORIM, Bangi. p. 245-262. de Chenon, R.D. 1989b. Summary of Technical Assistance Activities in Crop Protection of the Marihat Oil Palm Research Center. Pusat Penelitian Marihat. Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pest of Crops in Indonesia. Revised and Translated by P.A Van der Laan. PT. Ichtiar Baru – Van Hoeve, Jakarta: 43. Miller, N.C.E. 1956. The Biology of the Heteroptera. Leonard Hill Limited, London. Mukhopadhyay, A. dan M. Sarker. 2009. Natural Enemies of Some Tea Pests with Special Reference to Darjeeling, Terai and The Doors. A National Tea Research Foundation Publication. p. 37 Nyunt, K.T., 2008. Potential of the pentatomid Eocanthecona furcellata (Wolff) as a biocontrol agent on American bollworm in cotton in Myanmar. Doctoral Dissertation to obtain the Ph. D. degree in the Faculty of Agricultural Sciences, :11. http://webdoc.sub.gwdg.de/diss/2008/khin/khin.pdf Prawirosukarto, S., R.Y. Purba, C. Utomo dan A. Susanto, 2003. Pengenalan dan Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan. Sumatera Utara. p. 2 – 9. Prawirosukarto, S., A. Susanto, R.Y. Purba, dan B. Drajat, 2008. Teknologi Pengendalian Hama dan Penyakit pada Kelapa Sawit : Siap Pakai dan Ramah Lingkungan. Diunduh dari www.pustaka-deptan.go.id/publikasi/wr271058.pdf. (10 Maret 2009). Singh, G., 1992. Management of Oil Palm Pests and Disease in Malaysia in 2000. Pest Management and the Environment in 2000 (eds. Aziz dkk). p. 195 – 212. Diunduh dari palmoilis.mpob.gov.my/publications/joprv16n2-zulkefli.pdf. (27 Februari 2009). Sipayung, A., R. D. de Chenon dan P. Sudharto, 1989. Natural Enemies of Leaf-Eating Lepidoptera in Oil Palm Plantations, North Sumatera. In Symposium on Biological Control of Pests in Tropical Agricultural Ecosystems, Bogor. Biotrop Special Publication 36: 99 – 121. Sipayung, A., Sudharto, De Chenon. 1992. Study of the Eocanthecona - Cantheconidea (Hemiptera : Pentatomidae, Asopinae) predator complex in Indonesia. International Conference on Plant Protection in the Tropics, Pahang (Malaysia). 9(1): 86-103.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 337

http://www.fao.org/agris/search/display.do?f=./1993/v1904/MY9305079.xml;MY930 5079. Soehardjo, H., H. Habib, I. Razali, P. Asmah, L. Elvidiana, B. Sri, dan Kusmahadi, 1999. Vademécum Kelapa Sawit. PT. Perkebunan Nusantara IV, Bah Jambi – Pematang Siantar, Sumatera Utara Indonesia. Hal. 25-28. Susilo, F.X., 2007. Pengendalian Hayati dengan Memberdayakan Musuh Alami Hama Tanaman. Graha Ilmu, Yogyakarta. Hal. 95 – 96. Yasuda, T., 1999. Studies on chemical cues in prey-locating behavior of the predatory stink bug, Eocanthecona furcellata. Bulletin of the National Institute of Sericultural and Entomological Science. 21(21): 13-80. http://sciencelinks.jp/j-east/article/199915/000019991599A0509622.php Zulkefli, M., 1996. The Effect of Selected Insecticides on the Oil Palm Bagworm Metisa plana Walker(Lepidoptera: Psychidae) and Predatory Bug Cantheconidea sp. (Hemiptera: Pentatomidae). Life Cycle of Sycanus dichotomus (Hemiptera: Reduviidae) – A Common Predator of Bagworm in Oil Palm. Journal of Oil Palm Research 16(2): 50 – 56.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 338

OPH-29 Pengaruh Warna Feromon-Pbp Terhadap Intensitas Serangan Scirpophaga incertulas pada Padi

Tri Martini1 dan I Made Samudra2 1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta 2Balai Besar Bioteknologi dan Genetika Pertanian Bogor

ABSTRAK Peningkatan populasi dan tingkat serangan penggerek batang padi (PBP) salah satunya dikarenakan dampak perubahan iklim yaitu terjadinya anomali iklim La-Nina yang ditandai dengan turunnya hujan di musim kemarau (kemarau basah). Hal ini menjadikan kondisi iklim yang sangat baik untuk perkembangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dimana terdapat suhu yang cukup tinggi disertai dengan kelembaban yang tinggi. Kondisi yang cukup banyak tersedia air menyebabkan tanam tidak serempak dalam satu hamparan. Selain itu, terjadinya perubahan pola tanam bagi sebagian daerah/petani yang biasanya setelah padi menanam palawija/horti saat ini beralih menanam padi lagi, menyebabkan siklus hidup OPT tidak terputus. Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh berbagai warna bahan cetakan plastik Feromon-PBP (Penggerek Batang Padi) sebagai agen perangkap pengendali hama padi. Penelitian ini menggunakan metode percobaan dengan Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat serangan PBP pada pengamatan umur tanaman 3 – 10 minggu setelah tanam (MST) pada 10 lokasi tempat pemasangan feromon menunjukkan tingkat serangan yang rendah di bawah ambang kendali (< 10 ekor per minggu). Pada minggu ke 5-8 perangkap feromon yang terisi PBP meningkat menjadi 8 lokasi dari 10 lokasi tempat peletakkan sampel feromon. Pengaruh warna feromon memberikan respon nyata pada umur 4, 6, 7 dan 8 MST, dimana yang terbanyak pada warna putih dan hitam untuk umur 4 MST, tetapi selanjutnya warna yang paling banyak merangkap pada warna putih dan merah, sedangkan warna coklat dan hitam tidak ada imago yang tertangkap. Kata kunci : Feromon, Penggerek Batang Padi, Padi

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 339

OPH-30 Pembungaan dan Serangan Hama pada Ixora amboinica DC. dalam Upaya Domestikasi Sebagai Tanaman Hias R. Subekti Purwantoro1 dan Sumanto1 1Pusat Konservasi Tumbuhan – Kebun Raya Bogor, LIPI Jl. Ir.H. Juanda 13 Bogor 16122 Email: [email protected], [email protected]

ABSTRAK Telah dilakukan penelitian biologi bunga dan pengaruh serangan hama pada Ixora amboinica DC. di Kebun Raya Bogor pada bulan April-Mei 2010 menggunakan 8 sampel karangan bunga untuk mengamati pertumbuhan bunga dan bulan Januari 2011 menggunakan sampel 10 infloresensia untuk mengamati produktivitas bunga, karakter pemekaran bunga, dan pengaruh kutu perisai, Parthenolecanium corni Bouche pada pembungaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan dari calon bunga menjadi bunga mekar membutuhkan waktu 7 minggu. Proses pemekaran bunga hingga bunga gugur terdiri atas 3 perubahan warna korola yaitu warna kuning, kuning kemerahan, dan warna jingga. Jumlah bunga mekar setiap hari secara kumulatif pada pemekaran secara eksponensial berlangsung pada hari ketiga (3-19 kuntum s.d. hari ke-11(11-38 kuntum). Persentase bunga kuncup yang mekar rata-rata 75,64 % dan yang mencapai pembentukan calon buah rata-rata 37,99 %. Kata kunci: Ixora amboinica DC., produktivitas bunga, pemekaran bunga, pembentukan calon buah, P. corni

ABSTRACT The study of flowering and the influence of pests on Ixora amboinica DC. has been carried out at the Bogor Botanic Garden in April-May 2010 using 8 samples to observe the growth of flowers and January 2011 using 10 samples of infloresences observed flower productivity, the character of blooming, and the influence of Parthenolecanium corni Bouche on its flowering. The results showed that the growth and development of buds to the blooming takes 7 weeks. The process of flower opening until fall consists of 3 color changes corolla are yellow, reddish yellow, and orange colors. The number of flowers bloom each day cumulatively at an exponential expansion took place on the third day (3-19 petals up to eleventh day (11-38 petals). The percentage of flower buds that bloom on average 75.64% and reaching to form into a fruit average of 37.99%. Keywords: Ixora amboinica DC., blooming productivity, flower opening, fruit stage

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 340

PENDAHULUAN Upaya konservasi ex situ tumbuhan di Kebun Raya pada prinsipnya sebagai langkah awal domestikasi untuk diaklimatisasikan tumbuhan liar agar supaya dapat terbiasa hidup dengan perawatan secara yang pada akhir memudahkan masyarakat memanfaatkan tanaman sesuai potensi tumbuhan liar yang diaklimatisasi, a.l. berpotensi sebagai tanaman hias, tanaman obat, tanaman pangan, maupun tanaman yang berpotensi sebagai bahan bangunan. Dalam proses upaya aklimatisasi di Kebun Raya Bogor timbul gangguan-gangguan pertumbuhan dari berbagai faktor lingkungan termasuk fase dalam siklus kehidupan tanaman dari upaya perawatan bibit paska pengambilan dari habitat aslinya, ketika diaklimatisasikan di kebun koleksi yang harus beradaptasi dengan faktor lingkungan yang baru yang akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya untuk menyelesaikan seluruh siklus hidup yang pertama di lingkungan yang baru. Proses tersebut memaksa kepada tumbuhan yang didomestikasi untuk beradaptasi dengan perubahan-perubahan lingkungan yang sangat berbeda ketika tumbuhan masih hidup pada habitat asilnya. Salah satu gangguan yang tidak dapat dibiarkan adalah gangguan oleh serangga hama a.l. seperti serangan kutu daun, serangan rayap, atau serangan jamur akar, keadaan demikian merupakan konsekuansi dari upaya aklimatisasi tumbuhan liar untuk dapat dimanfaatkan oleh masyarakat nantinya. Salah satu tumbuhan yang sedang dalam proses aklimatisasi adalah Ixora amboinica DC. I. amboinica merupakan tumbuhan liar anggota suku kopi-kopian (Rubiaceae) yang telah dikoleksi di Kebun Raya Bogor. Menurut hasil penelusuran dokumen registrasi oleh Sumanto dan Purwantoro (2010) didapatkan informasi bahwa I. amboinica berasal dari kawasan hutan Cagar Alam Biak Utara Manukwari Papua. Tumbuhan ini prospektif sebagai tanaman hias di masa depan. Belum banyak penelitian dari berbagai aspek pada I. amboinica. Sementara itu pengembangan Ixora jenis-jenis lain yang telah populer sebagai tanaman hias a.l.: I. paludosa, I. fynlaysoniana, I. macrothyrsa, I. chinensis, I. coccinea yang telah dikembangkan sebagai tanaman iduk silangan di Negara-negara Asia maupun Amerika (Anonimous, 2011). Dari gambaran sepintas di atas penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beberapa aspek biologi bunga dan pengaruh gangguan hama terhadap dampak produktivitas calon buah pada I. amboinica.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 341

METODE Bahan dipilih jenis Ixora amboinica yang dikoleksi di Kebun Raya Bogor pada areal Vak Nomor V.E.31 dan V.E.31a pada bulan Maret 2010 – Januari 2011. Dari tanaman koleksi tersebut diambil sampel sebanyak 8 calon infloresensia dan pengamatan diawali pada calon bunga yang bagian ibu tangkai bunga dan infloresensia belum dapat dipisahkan untuk dilakukan pengukuran (ukuran calon infloresensia kurang dari 1 cm). Pengamatan dilakukan setiap minggu sampai kuntum bunga yang ada di dalam infloresensia seluruhnya mekar. Untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan infloresensia dilakukan pengukuran panjang pedunkel (ibu tangkai bunga), panjang infloresensia (diukur dari ujung pedunkel sampai ujung infloresensia), lebar infloresensia. Pada infloresensia I. amboinica lebar dari 2 sisi mempunyai perbedaan ukuran, yaitu sisi yang sejajar dengan duduk daun (lebar 1) dan sisi yang bertolak belakang dengan duduk daun (lebar 2). Sepuluh sampel infloresensia yang bunganya masih kuncup diamati waktu mekarnya setiap hari dengan menggunakan parameter jumlah bunga mekar setiap hari, kemudian dilakukan pencatatan kuncup yang tidak dapat mencapai bunga mekar dan kuncup yang tidak dapat mencapai fase buah muda.

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Deskripsi Ixora amboinica DC. I. amboinica berupa tanaman semak/perdu masing berdaun berpasangan, berhadapan dengan sepasang daun penumpu, perbungaan bersifat terminalis, hermafrodit, kelopak terdiri atas 4 cuping, mahkota terdiri atas 4 petal yang berlekatan berbentuk seperti terompet diakhiri oleh 4 cuping, Panjang ibu tangkai bunga 0,7 – 1,4 cm, warna ibu tangkai bunga kemerah- merahan; bentuk daun pelindung segi tiga memanjang, pangkal lebar, warna daun pelindung kemerah-merahan; warna dasar bunga hijau memudar, warna kelopak kemerah-merahan, warna tabung mahkota merah pucat, posisi cuping mahkota membentuk sudut 90º terhadap tabung mahkota, cuping sedikit memutar ke samping, warna cuping merah jingga, ujung menumpul, kepala sari merah kecoklatan, tangkai putik kemerah-merahan, kepala putik kemerah-merahan, terbagi dua (Sumanto & Purwantoro 2010).

2. Perkembangan dan pertumbuhan bunga Pertumbuhan dan perkembangan perbungaan pada I. amboinica dapat dilihat pada Gambar 1. Panjang karangan bunga menggambarkan fase bunga kuncup dari calon bunga

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 342 yang terletak terminalis hingga mencapai bunga kuncup menjelang mekar memerlukan waktu 4 minggu, kemudian ketika terjadi pemekaran bunga ukuran panjang dan lebar infloresensia naik dengan tajam hingga seluruh bunga dalam infloresensia mekar seluruhnya dari minggu ke-5 s.d. minggu ke-7, sementara itu grafik panjang infloresensia mulai turun oleh gugurnya bunga mekar setelah mengalami perubahan 3 kali warna korola yaitu kuning (ketika lembar korola terbuka), kuning kemerahan (masih berlangsungnya pemasakan stigma yang ditandai oleh kunjungan serangga penyerbuk) dan kemudian menjadi berwarna jingga, Gambar 2. Pada Gambar 1 juga dapat dilihat pertumbuhan maksimal pada minggu ke 5. Menurut Sumanto dan R.S. Purwantoro (2010) umur infloresensia I. amboinica dari calon infloresensia s.d. mekar bunga 28-42 hari.

8 6 pltb 4 2 pkrb

ukuran (cm)ukuran 0 lk1 M1 M2 M3 M4 M5 M6 M7 lk2 pengamatan minggu ke:

Gambar 1. Perkembangan dan pertumbuhan infloresensia I. amboinica, pitb = panjang ibu tangkai bunga, pkrb = panjang infloresensia, lk 1=lebar infloresensia

Adapun bunga kuncup mengalami pemekaran secara kumulatif dapat dilihat pada Gambar 2.

30 25 20 15 10 5

jumlah bunga mekarbungajumlah 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 pengamatan hari ke:

Gambar 2. Produktivitas bunga pada I. amboinica

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 343

Serangga yang berkunjung pada bunga (anthopylous) terdiri dari kelompok: kumbang (Coleoptera), lalat (Diptera), lebah dan semut (Hymenotera), thrips (Thysanoptera), dan kupu-kupu (Lepidoptera) dan di antara kelompok serangga tersebut, lebah merupakan polinator yang paling penting karena kemampuan lebah dalam mengumpulkan polen dan nektar dalam jumlah yang banyak untuk dikonsumsi bersama dalam koloninya. Diperkirakan lebah sebagai polinator berjumlah sekitar 20.000 spesies (Gulland & Cranston, 2000). Pada I. amboinica ketika bunga mulai terbuka telah berdatangan serangga-serangga penyerbuk meliputi Bombus sp (Hymenoptera). Trigona beccarii (Hymenoptera), dan jenis-jenis Lepidoptera.ada 3 yang belum sempat diidentifikasi. Menurut Melati (2009) serangga polinator sangat berperan dalam membantu penyerbukan bunga hermafrodit yang umumnya posisi kepala putik di atas antera, posisi demikian sama seperti pada I. amboinica. Dari seluruh pollinator I. amboinica yang paling sering dijumpai adalah lebah Trigona beccarii, sedangkan yang hanya berkunjung sekali selama penelitian berlangsung adalah Bombus sp.

3. Pengaruh serangga hama terhadap perkembangan bunga I. amboinica Serangga hama yang menyerang I. amboinica telah diidentifikasi oleh Sumanto dan Purwantoro (2010) yaitu jenis kutu perisai, Parthenolecanium corni Bouche seperti terlihat pada Gambar 3. Serangga ini diidentifikasi sebagai serangga betina yang dewasa berwarna coklat, halus, tubuh berbentuk cembung (hemisfer) panjang . 3.0-6.5 mm dan lebar 2.0-4.0 mm Selama pertumbuhan tubuh lunak dan plastis, tetapi pada waktu serangga sudah mati menjadi keras, berwarna coklat, segera lepas dari permukaan ibu tangkai bunga/pucuk ranting Ixora, dan mulai ditutupi oleh ratusan telur. Yang belum dewasa berwarna coklat terang, lebih kecil, dan lebih gepeng dari pada betina yang telah dewasa.

Gambar 3. Parthenolecanium corni (Sumanto dan Purwantoro 2010) Setelah pemasakan individu bunga dengan adanya gangguan pertumbuhan dan perkembangan infloresensia I. amboinica oleh kutu perisai menyebabkan banyak bunga

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 344 kuncup yang gugur tidak dapat mencapai fase bunga mekar dan mencapai buah muda seperti terlihat pada Tabel 1. Dari bunga kuncup yang berhasil megalami antesis dan reseptivitas bunga berkisar 42,85-100 % (rata-rata 75,64 %), sedangkan keberhasilan bunga kuncup hingga proses pembuahan berkisar 4,44-64,01 % (rata-rata 37,99 %). Tabel 1. Perkembangan bunga kuncup I. amboinica s.d. fase calon buah bunga kuncup bunga mekar calon buah No. % % (kuntum) (kuntum) (buah) 1. 18 11 61,11 2 11,11 2. 78 36 46,11 12 15,38 3. 22 22 100 16 72,72 4. 56 24 42,85 15 26,78 5. 39 39 100 25 64,01 6. 38 22 57,9 20 52,63 7. 38 38 100 20 52,63 8. 26 23 88,46 14 53,85 9. 45 27 60 2 4,44 10. 38 38 100 10 26,31 Rata-rata 28 75,64 13,6 37,99

Pada pengamatan 2 minggu setelah kuntum mekar pertama kali. Ratusan anak-anak P. corni tinggal bersama inangnya bertempat di dalam infloresensia terdiri 2 generasi, generai pertama ketika infloresensia masih calon bunga yang masih masih dilindungi oleh sepasang daun yang masih muda berwarna hijau, sedangkan anak-anak geberasi ke dua ketika kebanyakan bunga telah mekar terletak tersebar di seluruh ibu tangkai bunga dan percabangannya bersama-sama induknya, juga terletak dipermukaan tabung mahkota bagian luar. Daur hidup generasi kedua ini bertahan hingga fase pertumbuhan calon buah, buah muda, hingga buah tua. Buah tua pada I. amboinica ini hanya ditemukan 1-2 setiap infloresensia, dan kebanyakan infloresensia gugur sebelum stadium pertumbuhan dan perkembangan calon buah.

KESIMPULAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1. Pertumbuhan dan perkembangan dari calon bunga menjadi bunga mekar membutuhkan waktu 7 minggu. 2. Proses pemekaran bunga hingga bunga gugur terdiri atas 3 perubahan warna korola yaitu warna kuning, kuning kemerahan, dan warna jingga. 3. Persentase bunga kuncup yang mekar rata-rata 75,64 % dan yang mencapai pembentukan calon buah rata-rata 37,99 %.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 345

4. Pertumbuhan dan perkembangan infloresensia hingga stadium calon buah hanya mencapai 50 %. 5. Serangga pengunjung yang ditemukan pada I. amboinica meliputi Trigona beccarii (Hymenoptera), 3 jenis kupu (Lepidoptera) yang masih diidentifikasi. 6. Pencapaian bunga untuk memproduksi buah masak menemui kendala oleh serangan kutu perisai, P. cornei.

DAFTAR PUSTAKA Gulland & Cranston. 2000. The Insect. An Outline of Entomology. Second Edition. Blackwell Science Ltd. USA Dalam Sejati, R.W. 2010. Studi Jenis Dan Populasi Serangga- serangga Yang Berasosiasi Dengan Tanaman Berbunga Pada Pertanaman Padi (Skripsi tidak dipublikasi). Fakultas Pertanian Univerasitas Sebelas Maret, Surakarta. http://digilib.uns.ac.id/upload/dokumen/2801201108191.pdf Melati. 2009. Pembungaan dan penyerbukan pada jambu mete (Anacardium occidentale L.). Perkembangan Teknologi TRO 21(2): 56-63. Sumanto dan R.S. Puwantoro. 2010. Deskripsi Kutu Perisai Yang Menyerang Ixora amboinica DC. Dan Ixora paludosa (Bl.) Kurz. Dan Pengaruhnya Terhadap Produktivitas Bunga. Prosiding Seminar Nasional VI Perhimpunan Entomologi Indonesia, 24 Juni 2010. ISBN: 978-979-95399-8-4.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 346

OPH-31 Efek Minyak Cengkeh terhadap Viabilitas dan Vigor Benih Dua Varietas Sorghum (Sorghum bicolor L.) yang Diinfeksi Hama Gudang Sitophillus oryzae Setelah Penyimpanan Dua Bulan Wieny H. Rizky1, Anne Nuraini1 dan Rifki Amrullah1 1Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian UNPAD Email: [email protected]

ABSTRAK Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dosis minyak cengkeh terhadap viabilitas dan vigor benih dua varietas sorghum yang diinfeks hama gudang Sitophillus oryzae setelah penyimpanan dua bulan. Percobaan dilakukan di Laboratorium Teknologi Benih Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran dari bulan Agustus sampai Oktober 2007. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Petak Terbagi yang terdiri atas varietas benih sorghum sebagai petak utama yang terdiri dari dua taraf (Badik dan Sangkur) dan dosis minyak cengkeh sebagai anak petak yang terdiri dari enam taraf ( 0 mL/kg, 0,5 mL/kg, 1 mL/kg, 1,5 mL/kg, 2 mL/kg, dan 2,5 mL/kg. Hasil percobaan menunjukkan bahwa interaksi antara varietas dan dosis minyak cengkeh hanya berpengaruh terhadap populasi hama gudang Sitophillus oryzae setelah disimpan 1 bulan. Varietas Badik lebih tahan terhadap serangan hama dibandingkan varietas sangkur. Minyak cengkeh 2,5 mL/kg merupakan dosis terbaik untuk mempertahankan viabilitas dan vigor benih terhadap aerangan hama gudang setelah disimpan 2 bulan. Kata Kunci : minyak cengkeh, Viabilitas, vigor, Sitophilus oryzae

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 347

OPH-32 Kajian Pengetahuan Petani Kelapa Sawit terhadap Pengelolaan dan Pengendalian Darna catenata Menggunakan Beauveria bassiana Vuill dan Apanteles spp Itji Diana Daud1, Melina Idham1 dan Suleha Thamrin1 1Fakultas Pertanian Unhas

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengetahuan, sikap dan pengalaman petani dalam pengelolaan hama. Data menggambarkan realitas permasalahan tentang teknologi pengendalian yang dilakukan akan mampu menekan populasi Darna catenata. Perbanyakan parasitoid Apanteles spp dan pathogen Beauveria bassiana, dilanjutkan pelepasan parasitoid dan pathogen secara demplot di desa Sukaraya Kabupaten Luwu. Penelitian tentang pengetahuan, sikap dan pengalaman petani dalam pengelolaan hama dilakukan dengan menebarkan questioner/angket terhadap petani. Questioner melalui wawancara langsung terhadap 150 petani responden. Penentuan responden dilakukan melalui random sampling pada setiap desa. Analisis data dengan menggunakan statistik sederhana yakni interpretasi kualitatif terhadap jawaban yang dikemukakan oleh petani responden. Percobaan untuk mengetahui kemampuan parasitasi dari parasitoid Apanteles spp. dan patogen Beauveria bassiana dilakukan menggunakan demplot aplikasi terdiri dari: aplikasi Beauveria bassiana, aplikasi Apantheles spp, aplikasi Beauveria bassiana + Apantheles spp, kontrol yaitu tanpa aktivitas penglepasan Terdapat korelasi antara tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku dalam pengendalian hama D. catenata, dimana makin tinggi pengetahuan petani maka cenderung akan bersikap positif, dan makin positif sikap petani maka cenderung akan berperilaku baik dalam praktek pengendalian hama D. catenata. Umumnya petani membutuhkan sosialisasi/penyuluhan yang intensif tentang metode pengendalian hama D. catenata, dengan pendekatan PHT karena penggunaan pstisida masih sangat tinggi. Petani memerlukan pembuktian tentang pemamfaatan parasitoid dan pathogen. Populasi Darna catenata di pertanaman kelapa sawit di Luwu sangat rendah. Tidak ditemukan parasitoid Apanteles spp di ekosistem kelapa sawit di Luwu. Aplikasi Beauveria bassiana dan pelepasan Apanteles spp dilakukan pada demplot percobaan menunjukkan bahwa parasitoid dan pathogen dapat efektif memarasit dan menginfeksi inang Darna catenata walaupun pada populasi yang rendah. Pelepasan parasitoid dan patogen secara nyata berbeda dengan demplot tanpa perlakuan. Tingkat parasitisme Apanteles spp. walaupun hanya sebesar 25% merupakan tingkat parasitisme cukup tinggi sebab pada populasi inang yang cukup rendah yaitu hanya 12 ekor pada 40 tanaman sampel. Diana Daud, I,.(2000) mengemukakan bahwa parasitoid yang efektif bila dapat memarasit dalam kondisi inang yang rendah. Pada demplot pelepasan patogen Beauveria bassiana jumlah larva yang terinfeksi oleh patogen sebanyak 28% pada populasi inang 25 ekor dari 40 tanaman kelapa sawit. Kemampuan patogen ini cukup tinggi karena spora mampu menginfeksi inang larva Darna catenata. Pada demplot dengan pelepasan patogen dan parasitoid terdapat 42% larva terinfeksi dan terparasitasi. Kemampuan awal patogen dan parasitoid yaitu 25%, 28%, dan 42% terhadap D. catenata cukup menunjukkan keberhasilan usaha inokulasi musuh alami di pertanaman. Diharapkan parasitoid dan patogen yang telah dilepas dipertanaman kelapa sawit desa Sukaraya akan dapat lulus hidup sehingga diharapkan populasinya secara alami akan berkembang. Kata kunci: Kelapa Sawit, Darna catenata, Beauveria bassiana

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 348

PENDAHULUAN Darna catenata Sn. merupakan hama kelapa sawit terpenting di Sulawesi Selatan. Daud dkk. (2006), mengemukakan bahwa serangan D. catenata. pada daun kelapa sawit rata-rata 60% setiap pohon. Usaha-usaha pengendalian masih tergantung pada penggunaan pestisida bahkan penggunaan pestisida merupakan hal yang rutin dilakukan. Aplikasi pestisida secara terus menerus akan berdampak negative sepert pencemaran lingkungan, timbulnya hama sekunder dan timbulnya populasi hama yang resisten terhadap pestisida tertentu. Pengkajian pengetahuan petani khususnya menyangkut pengenalan terhadap agroekosistem, keberadaan hama, peranannya dalam ekosistem serta praktek-praktek pengelolaan ekosistem perludilakukan. Perlu dilakukan percobaan secara demplot pelepasan parasitoid Apanteles spp dan pathogen Beauveria bassiana sehingga petani dapat melihat langsung mekanisme parasitasi dan infeksi terhadap inang larva D. catenata Sn.

TEMPAT DAN WAKTU Penelitian ini dilakukan di pertanaman Kelapa Sawit di Kabupaten Luwu. Perbanyakan massal pathogen di laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian. Perbanyakan massal parasitoid Apanteles spp dilakukan di desa Kanreapia Kabupaten Gowa. Penelitian ini dilaksanakan selama dua tahun.yaitu tahun 2009 sampai tahun 2010.

METODE Penelitian tentang pengetahuan, sikap dan pengalaman petani dalam pengelolaan hama dilakukan dengan menebarkan questioner/angket terhadap petani. Questioner melalui wawancara langsung terhadap 150 petani responden. Penentuan responden dilakukan melalui random sampling pada setiap desa. Analisis data dengan menggunakan statistik sederhana yakni interpretasi kualitatif terhadap jawaban yang dikemukakan oleh petani responden. Percobaan untuk mengetahui kemampuan parasitasi dari parasitoid Apanteles spp. dan patogen B. bassiana dilakukan menggunakan demplot aplikasi terdiri dari : aplikasi B. bassiana, aplikasi Apantheles spp, aplikasi B. bassiana + Apantheles spp, kontrol yaitu tanpa aktivitas penglepasan parasitoid dan patogen.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 349

HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam melakukan usaha tani perkebunan umumnya petani menerapkannya dengan pola tumpang sari dalam satu hamparan dengan berbagai pola tumpang sari. Jenis tanaman yang ditanam disela-sela tanaman kelapa sawit adalah tanaman kelapa, pisang, sagu. Sesungguhnya para petani sudah berfikir rasional dengan asumsi memaksimalkan penggunaan sumberdaya lahan, mngurangi kegagalan usaha dan efisiensi produksi. Luas lahan pengusahaan berkisar antara 0,5-2 ha dengan rata-rata pengusahaan 0,8 ha hektar yang ditanami dengan kelapa sawit sebanyak 52,67%. Berdasarkan luas lahan yang ditanami kelapa sawit dan hasil panen yang diperoleh rata-rata hasil panen yang diperoleh dari 86% petani responden sebanyak 1-2 ton/ha. Ini menunjukkan bahwa sebanyak 86% petani responden memperoleh hasil panen yang relatif rendah dari yang dibutuhkan. Sementara tingkat kebutuhan suplai kelapa sawit di Luwu Utara, Sulawesi Selatan pada 2 pabrik minyak kelapa sawit yang mengelolah bahan baku kelapa sawit sebanyak 60 ton/jam. Hasil analisis serangan hama yang banyak merugikan petani kelapa sawit adalah Hama Ulat api (D. catenata) dan hama Kumbang Oryctes rhinocerus. Berdasarkan hasil survei terlihat keberadaan ulat api meningkat hanya periode waktu tertentu yakni pada bulan Juli sampai bulan September, yang diduga dipengaruhi oleh kondisi iklim dengan tingginya curah hujan. Namun untuk hama kumbang kelapa O. rhinocerus dan hama tikus dapat ditemui sepanjang waktu atau setiap saat. Sehingga keberadaan kedua hama tersebut tidak dapat diabaikan dalam usaha peningkatan produktivitas kelapa sawit. Rendahnya tingkat pengetahuan petani dalam hal pengendalian hama D. catenata tentunya akan berdampak terhadap tingkat serangan dan perilaku petani dalam mengendalikan hama tersebut. Hal ini berkaitan dengan tingkat pendidikan petani responden yang rata-rata berpendidikan Sekolah Dasar (35%) dan Sekolah Lanjutan Pertama (47%). Dengan demikian langkah awal yang harus dilakukan dalam hal pengendalian hama ulat api adalah sosialisasi memberikan pemahaman kepada petani tentang bioekologi dan gejala kerusakan yang ditimbulkan oleh hama ulat api beserta dampak kerugian apabila tanaman kelapa sawit sampai terserang berat. Setelah itu dilanjutkan dengan metode pengendalian hama ulat api dengan pendekatan prinsip PHT. Rata-rata jumlah D. catenata yang ditemukan berkisar antara 5 ekor/ tanaman sampai 18 ekor/ tanaman. Populasi tertinggi yang ditemukan pada desa Sukaraja yaitu 18 ekor/ tanaman. Populasi D. catenata dikategorikan rendah disebabkan karena curah hujan cukup

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 350 tinggi pada saat pengamatan. Fatahuddin dkk (1992) mengemukakan bahwa populasi D. catenata setiap bulan sangat berfluktuasi. Pada bulan Juni populasi berkisar 3 sampai 7 ekor/pohon rendahnya populasi disebabkan oleh adanya factor lingkungan yang tidak mendukung perkembangan serangga tersebut sebagai contoh adanya curah hujan yang tinggi. D. catenata dikumpulkan lalu dipelihara sampai membentuk pupa dan imago ternyata semua larva tidak satu pun yang terparasit. Oleh sebab itu disimpulkan bahwa Apanteles spp. tidak ada di ekosistem tanaman kelapa sawit. DeBach P. (1973) mengemukakan bahwa imago seekor parasitoid sejak keluar dari pupa akan langsung menjalankan fungsinya sebagai parasitoid mencari inang. Tahapan pencarian inang dimulai dari pencarian habitat, tanaman inang, inang yang cocok. Pelepasan parasitoid dan patogen secara nyata berbeda dengan demplot tanpa perlakuan. Tingkat parasitisme Apanteles spp. walaupun hanya sebesar 25% merupakan tingkat parasitisme cukup tinggi sebab pada populasi inang yang cukup rendah yaitu hanya 12 ekor pada 40 tanaman sampel. Diana Daud, I,.(2000) mengemukakan bahwa parasitoid yang efektif bila dapat memarasit dalam kondisi inang yang rendah. Pada demplot pelepasan patogen Beauveria bassiana jumlah larva yang terinfeksi oleh patogen sebanyak 28% pada populasi inang 25 ekor dari 40 tanaman kelapa sawit. Kemampuan patogen ini cukup tinggi karena spora mampu menginfeksi inang larva D. catenata. Pada demplot dengan pelepasan patogen dan parasitoid terdapat 42% larva terinfeksi dan terparasitasi. Kemampuan awal patogen dan parasitoid yaitu 25%, 28%, dan 42% terhadap D. catenata cukup menunjukkan keberhasilan usaha inokulasi musuh alami di pertanaman. Diharapkan parasitoid dan patogen yang telah dilepas dipertanaman kelapa sawit desa Sukaraya akan dapat lulus hidup sehingga diharapkan populasinya secara alami akan berkembang.

KESIMPULAN Terdapat korelasi antara tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku dalam pengendalian hama D. catenata, dimana makin tinggi pengetahuan petani maka cenderung akan bersikap positif, dan makin positif sikap petani maka cenderung akan berperilaku baik dalam praktek pengendalian hama D. catenata. Populasi D. catenata di pertanaman kelapa sawit di Luwu

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 351 cukup rendah. Penggunaan B. bassiana dan Apanteles spp merupakancara yang cukup efektif dan efisien untuk menekanp opulasi.

SARAN Untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku petani dalam pengendalian hama D. catenata hal yang perlu diperhatikana dalah mengintensifkan sosialisasi/penyuluhan tentang metode pengendalian hama D. catenata dengan pendekatan PHT disertai dengan praktek lapang atau disertai dengan pengujian langsung di lapangan, agar petani dapat langsung melihat hasilnya. Perlu dilakukan augmentasi dan kolonisasi pathogen B. bassiana dan Apanteles spp.

DAFTAR PUSTAKA De Bach, Paul. 1973. The Scope of Biological Control. In : De Bach P, editor. Biological Control of Insect Pests and Weeds. London: Chapman and Hall. p 3 - 20. De Bach, Paul. 1979. Biological Control by natural enemies. Cambridge University Press, London. 323 pp. Daud, Itji Diana, Saranga Annie, Nursalam Syamsuddin, 1992. Biologi dan Beberapa Atribut Populasi Darna catenata Sn. (Lepidoptera : Limacodidae) pada Tanaman Kelapa Sawit di PT Perkebunan XXVIII Kabupaten Luwu. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Ujung Pandang. Daud, Itji Diana, 1995. Pengembangan Jamur Beauveria bassiana Vuill Sebagai Biopestisida Untuk Mengendalikan Serangga Hama Darna catenata Snellen Pada Tanaman Kelapa Sawit. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Ujung Pandang. Daud, Itji Diana, Ade Rosmana, Andarias Rapa, 1995. Uji Patogenitas Spora Cendawan Beauveria bassiana Vuill (Deuteromycetes; Moniliaceae) yang Dibiakkan Pada Empat Jenis Media Tumbuh Terhadap Mortalitas Larva Instar IV Darna catenata Snellen (Lepidoptera; Limacodidae). Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Ujung Pandang. Daud, Itji Diana, 2000. Perilaku dan Biologi Apanteles spp. terhadap inang Plutella xylostella dalam Tesis S2. Fak. MIPA Biologi ITB. Bandung. Fatahuddin, Saranga Annie, Adriana Bura, 1992. Fluktuasi Populasi Darna catenata Snell. (Lepidoptera : Limacodidae) Dan Inventarisasi Musuh Alami Serta Kemampuan Merusaknya Pada Pertanaman Kelapa Sawit Di PTP XVIII Kabupaten Luwu. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Ujung Pandang.

Notulensi Diskusi Seminar Tanya : Jawab :

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 352

OPH-33

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 353

OPH-34 Jamur Entomopatogenik Potensial Sebagai Agen Pengendali Hayati Migratory Locust (Locusta migratory) di Timor Barat Lince Mukkun1 1Program Studi Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Faperta Universitas Nusa Cendana Kupang, Jln. Adisucipto Penfui Kupang, NTT, phone: 0380 881085 Email: [email protected]

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menginventarisasi dan mengidentifikasi jamur-jamur yang potensial sebagai agen pengendali hayati untuk Locusta migratory. Spesies jamur potensial diperoleh dengan cara mengumpulkan belalang kembara yang mati dari pertanaman diikuti isolasi dan identifikasi. Untuk memastikan bahwa jamur tersebut benar merupakan jamur patogenik pada belalang kembara, dilakukan reinokulasi pada serangga dewasa belalang kembara yang sehat. Ada 4 spesies jamur yang berhasil diidentifikasi yaitu Metarhizium anisopliae, Aspergillus sp., Mucor sp., dan Fusarium sp. Fusarium sp. merupakan spesies dengan LT50 terpendek yaitu 4.3 hari (3.62-4.91 hari), yang menunjukkan bahwa spora jamur tersebut bersifat letal dan menyebabkan mortalitas cukup tinggi dalam populasi locust. M. anisopliae dan Metarhizium yang diisolasi dari Green Guard® menghasilkan nilai LT50 tidak signifikan yaitu 6.18 (5.30-7.04) dan 7.54 (6.73-8.30) hari. Fusarium sp., Metarhizium sp. dan Metarhizium dari Green Guard® mematikan 100% serangga yang diinokulasi, sedang Mucor sp. dan Aspergillus sp. hanya mencapai 60% dan 70% pada akhir pengamatan. Perlu dilakukan studi lebih intensif untuk mengetahui spesifikasi inang yang sesuai dan isolat Fusarium dengan kemampuan entomopatogenik yang kuat sehingga dapat digunakan sebagai agen pengendali hayati.

ABSTRACT The objective of this study was to collect and identify existing fungal entomopathogenic that could potentially be used as biological control agent of migratory locust. Potential fungal species pathogenic for the Migratory Locust were determined through collection of dead locusts from the field, followed by isolation and identification of potential fungi. Four different fungal species were identified from the dead locusts, i.e. Metarhizium anisopliae, Aspergillus sp., Mucor sp., and Fusarium sp. The shortest LT50 of about 4.3 (3.62-4.91) days recorded for Fusarium sp. suggests that its spores are lethal to locust and could cause significantly high mortality in population of locust. M. anisopliae and Metarhizium from Green Guard® inoculation produced non significant LT50 values, 6.18 (5.30-7.04) and 7.54 (6.73-8.30) days, respectively. Fusarium sp., Metarhizium sp. and Metarhizium from Greenguard achieved 100% of kill at the end of the bioassay, but Mucor sp. and Aspergillus sp. could only achieved 60% and 70% of kill, respectively, at the end of bioassay. Therefore, highly host specific and strongly entomopathogenic Fusarium isolates should be more extensively studied and tested for their possible use in biological control. Keywords: entomopathogenic fungi, Locusta migratoria, biopesticide.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 354

INTRODUCTION The Migratory Locust (Locusta migratoria) can be a devastating pest of agriculture due to its ability to form dense and highly mobile swarms in gregarious phase. The Migratory Locust, and other locust species, can cause widespread and severe damage to pastures, cereal and forage crops. In closely settled areas they may also cause considerable damage to vegetable and orchard crops. Losses due to locusts may amount to several million dollars unless effective control action is taken. In Australia, during a major outbreak of the Australian Plague Locust which developed in 1984, estimated crop loss was of US$5 million. A cost-benefit analysis estimated that without locust control over $100 million of crop losses may have occurred. More recently an economic analysis of APLC1 during the 1999-2004 period concluded that the cost-benefit ratio is approximately of 1:8 (Department of Agriculture, Fisheries and Forestry, Australia, 2008). In order to control Migratory Locust populations during outbreak in Belu and TTU district in 2007, chemical pesticides were applied. Nevertheless, this technique was not a powerful tool to control the locust populations. The applications of pesticide during an outbreak need more labor and equipment. Furthermore, pesticide has negative side effects on human health and the environment, such as non target insects, natural enemies, soil and water. It is considered that lower risk is related to the use of less environmentally harmful pesticides such as bio-pesticides compared to chemical ones. Nevertheless, no bio-pesticide was registered for locust control in Indonesia until October 2009. Green Guard® had been tested in 2000 providing unsatisfactory results and further studies were needed in order to provide the government with adequate information. Entomopathogenic fungi have been used in many successful control programmes for use integrated pest management (Kannan et al., 2008; Lord, 2005; Scholte et al., 2004). Metarhizium anisopliae var acridum has been used commercially in China as a bioinsecticide. Bacillus thuringiensis also has toxicity effect against Locusta migratoria manilensis (Song et al., 2008). Entomopathogenic fungi kill the insect by physically invading its body and consuming the insects nutritional reserves and also producing toxins (Kannan et al., 2008). Entomophthorales are consider to be suitable for use as biopesticide since they have a relative narrow host range. The fungal isolate does not kill many different species and does not have

1 APLC: Australian Plague Locust Commissions, Canberra, Australia

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 355 a significantly negative impact on biodiversity or natural enemies (Butt, 2001; Kannan et al., 2008). Entomopathogenic fungi can affect and invade insect when they are in an infective spore stage. When the spores germinate on the host‘s cuticle a germ tube is formed that panetrate the cuticle and invade the hemocoel of the insect. The fungus multiplies within the insect, and if the condition are favorable, it can grow out of the insect, form conidiophores or analogous structures and sporolate (Kannan et al., 2008). The objective of this activity was to collect and identify existing entomopathogenic fungi that could potentially be used as an environmentally friendly management option against Migratory Locust (L. migratoria).

MATERIALS AND METHODS This research was carried out in two districts, Timor Tengah Utara (TTU) and Belu Districts, East Nusa Tenggara Province, Indonesia (Fig.1) during a 10-month period, from November 2008 to August 2009. Preliminary field observations were conducted in TTU and Belu Districts to gather general information on the occurrence of locust outbreaks, areas that were mostly affected by locusts and other information related to locust outbreak. Field observations were conducted by visiting the areas (farmers‘ fields) reported to be infested by locusts as well as the nearby grassland areas as potential breeding sites for locusts.

Equipment and materials required Equipment and material needed for the experiment included bottle, magnifying glass, petridishes, aluminium foil, cotton, ethanol 75%, PDA medium, steril water, camera, and stationeries.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 356

Figure 1. Distribution of sample villages in Belu and TTU districts, NTT Province.

Potential fungal species pathogenic for the Migratory Locust were determined through collection of dead locusts from the field, followed by isolation and identification of potential fungi in Laboratory of Plant Pathology, Faculty of Agriculture, the University of Nusa Cendana. Details of the procedures are presented below.

1) Dead locusts were collected in the locust outbreak areas where no pesticide was applied for locust control. 2) The locust‘s body surface was first sterilized using 70% ethanol and rinsed with sterile water. 3) The locusts were cut into pieces, and placed on top of moist cotton already prepared inside Petri dishes. 4) The Petri dishes containing the locust pieces were then incubated in the laboratory for several days until the fungal mycelia appeared. 5) Mycelium of the fungi that grew on the locust surface was picked with a sterile toothpick or sterile wire loop, and was streaked onto Potato Dextrose Agar (PDA) medium.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 357

6) The Petri dishes were wrapped in aluminum foil to avoid direct exposure to light that may delay the colony growth. 7) The Petri dishes containing fungal mycelium were then incubated at 27oC. 8) The colony growth was observed daily. Fungal identification was performed both macroscopically (based on fungal colony appearance: color and diameter) and microscopically (based on conidia size and shape). 9) The isolated fungi were re-inoculated to the locust to ensure that the fungi remain pathogenic on locust. The isolated fungi that remain pathogenic on locust are considered potential natural enemies of locust. Data obtained from laboratory examinations on entomopathogenic fungi were descriptively analyzed and the identified entomopathogenic fungi were presented in forms of pictures. Data obtained from re-inoculation and bioassay of identified fungal entomopathogens on locusts was subjected to probit analysis to determine LT50 of the locust inoculated with the isolated fungi.

RESULT AND DISCUSSION Dying and dead migratory locusts with specific symptoms (dying locust clings upright underside a destroyed corn leaf and dead adult clings on a grass panicle) were found in the field (Fig. 2). Specimens were collected and later examined in the laboratory. Examination was also carried out on healthy locust specimens to find out parasitic nematodes inside their bodies.

Four different fungal species were identified from the dead locusts, i.e. Metarhizium anisopliae, Aspergillus sp., Mucor sp., and Fusarium sp. Colonies culture and isolated fungi are presented in Fig. 3.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 358

(a) (b) Figure 2. Dying and dead migratory locust found in the field: (a) dying locust clings upright underside a destroyed corn leaf and (b) dead adult clings on a grass panicle

Metarhizium anisopliae M. anisopliae was able to cover the PDA surface in seven days after planting. The colony color was white at first and then became green. The colony texture was flat and filamentous, and the hyphae were septate. The conidiophore was erect and the conidia were formed in chains, elliptical and green.

Aspergillus sp. On PDA, the colony surface color was white at first and then turned light green. The colony growth covered the media in six days. The texture of the colony was downy to powdery. Hyphae were septate and hyaline. The conidiophore originated from the basal foot cell located on the supporting hyphae and terminated in a vesicle at the apex. The vesicle was covered by phialides. Conidia were spherical, light green and smooth.

Mucor sp. Colony of Mucor sp grew rapidly and quickly covered the PDA surface in five days. The colony was cottony to fluffy, white at first and became dark with the development of sporangia. Hyphae were nonseptate or sparsely septate and broad. The sporangiophores, sporangia, and spores were visualized. Sporangiophores were short and erect. Columella was hyaline and hardly visible if the sporangium had not been ruptured. Sporangia were round, black, and filled with sporangiospores. After the rupture of the sporangia, sporangiospores were freely spread.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 359

Fusarium sp. Fusarium sp. expanded swiftly on PDA and produced woolly to cottony, flat, spreading colony. The colony faced the surface of PDA in five days. The colour of the colony was white and pink. Fusarium sp has hyaline septate hypahe, conidiophores, phialides, macroconidia, and microconidia. Macroconidia were produced from phialides and they were 2-celled, thick-walled, and canoe-shaped. Microconidia were formed on conidiophores and they were 1-celled, smooth, hyaline, ovoid to cylindrical.

Colony culture of Colony culture of Colony culture of Colony culture of Aspergillus sp Mucor sp Fusarium sp Metarhizium sp

Aspergillus sp Mucor sp Fusarium sp Metarhizium sp

Figure 3. Colonies culture and Isolated Fungi To prove that a certain fungal isolate was the causative agent in locust death, the isolated fungi were then re-inoculated to the locust (L. migratoria) to ensure that the fungi remained pathogenic for locusts. A fungal spores suspension in sterile water was prepared and the spore concentration was determined using haemocytometer. Before the bioassay was carried out, 20 individuals of nymph instar III were prepared and conditioned to their plastic jar for one week. Then, 1 ml of the spores suspension ([10-5 spores/ml]) was sprayed carefully on the locust surface. For the control experiment, sterile water without spores was applied on the locust surface. Metarhizium isolated from Greenguard was also tested. Daily mortality was recorded and the resulting probit analysis on mortality data is presented in Table 1.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 360

Table 1. Probit analysis results of L. migratory response to entomopathogen fungal inoculation. Estimated lethal time, slopes and goodness-of-fit tests of probit lines of the locust inoculated with different entomopathogenic fungi.

2 Fungi No. of locust tested Slope ± SE LT50 (95% FL) (day) LT99.9 (day) df χ P A 20 6.0 8± 1.09 4.30 (3.62-4.91) 10.38 12 1.56 0.99 B 20 4.94`± 1.13 12.33 (10.77-15.74) 36.45 12 0.95 1.00 C 20 5.33 ± 1.06 10.55 (9.39-12.27) 28.84 12 1.51 1.00 D 20 4.74 ± 0.72 6.18 (5.30-7.04) 19.22 12 6.67 0.88 E 20 6.99 ± 1.11 7.54 (6.73-8.30) 16.22 12 2.92 0.99 F 20 ------Notes: A= Fusarium sp, B= Mucor sp, C= Aspergillus sp, D= Metarhizium sp, E=Metarhizium from Greenguard, F= Control (no mortality was observed after 14 days of inoculation). * Significant (P<0.05); ** significant (P<0.01); *** significant (P<0.001).

Probit analysis performed on mortality data presented in Table 1 shows that the shortest LT50 (50% lethal time) of the test locust was 4.30 (3.62-4.91) days obtained from inoculation with Fusarium sp. and the longest LT50 was 12.33 (10.77-15.74) days obtained from for Mucor sp. inoculation. M. anisopliae and Metarhizium from Greenguard inoculations showed the second and the third shortest LT50, respectively, 6.18 (5.30-7.04) and

7.54 (6.73-8.30) days, while Aspergillus sp. inoculation ranked the second longest LT50 {10.55 (9.39-12.27) days}. Fusarium sp., Metarhizium sp. and Metarhizium from Greenguard achieved 100% of kill at the end of the bioassay, but Mucor sp. and Aspergillus sp. could only achieved 60% and 70% of kill, respectively, at the end of bioassay.

The high fungal infection incidence recorded on locust suggests that the identified entomopathogens fungal isolates are important pathogens in the population of the locust in the present study. Entomopathogenic potency of Fusarium sp isolated in this study agrees with the observation of Balogun and Fagade (2004) on Zonocerus variegatus (L), the same order (Order: Orthoptera) as locusts.

Fusarium species are known for their abundance in nature and their diverse associations with both living and dead plants and . Among animals, Fusarium is found primarily in relationship with insects. A large number of Fusarium spp. both pathogenic and non pathogenic, are entomopathogenic, some are weak, facultative pathogens and they will colonize their dead host as saprophytes (Teetor-Barsch and Roberts, 1983). Teetor-Barsch and Roberts (1983) also stated that there are some potential Fusarium isolates which cause high insect mortalities also show high host specificity and no damage to crop

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 361 plants. Therefore, highly host specific and strongly entomopathogenic Fusarium isolates should be more extensively studied and tested for their possible use in biological control.

Aspergillus sp. isolated in this study have previously been observed by Hernandez Crespo and Santiago Alvares (1997) with significantly frequent incidence rates. Balogun and

Fagade (2004) also stated that Aspergillus niger had LT50 of four days for Zonocerus variegatus. Mucor sp, which belongs to the famili Mucoraceae, and Lomer and Lomer (1996) had reported the isolation of members of this family from grasshoppers. Isolation of Mucor sp (incidence of 13%) from Zonocerus variegatus has also been reported by Balogun and

Fagade (2004). The lowest LT50 of 12.33 (10.77-15.74) days and 60% of kill at the end of bioassay for Mucor sp suggests that this fungus might not be a strict entomopathogen of locust. In addition, the use of Mucor sp as a control agent for locust might not be desirable due to the fact that this fungus is a known pathogen of plants (Duggar, 1989).

M. anisopliae is an imperfect, entomopathogenic fungus found in soils throughout the world. It was first recognized as a biocontrol agent in the 1880's. Four groups of insect pests (termites, locusts, spittlebugs and beetles) are currently being targeted for control by M. anisopliae (Zimmermann, 1993). M. anisopliae infects insects that come in contact with it. Once the fungus spores attach to the outer surface of the insect, they germinate and begin to grow. After penetrating the outside skeleton of the insect, they grow rapidly inside the insect, causing the insect to die. Insects that come in contact with infected insects also become infected (Butts, 2003).

In this study, M. anisopliae was able to kill 100% of the test locusts at the end of the bioassay. The high virulent Metarhizium sp. to grasshoppers and locusts had been reported by Bateman et al, 1997. Furthermore, Bateman (2007) affirmed that Metarhizium sp. has little or no adverse environmental impact, benefiting not only humans but also other animals: including the natural enemies of the pests themselves. So this study suggests that it could be used as an environmentally friendly control agent for locust.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 362

CONCLUSION Based on results obtained in the context of this study rom November 2008 to June 2009 the following conclusions are drawn:

1. Four different fungal species were identified from the dead locusts, i.e. M. anisopliae, Aspergillus sp., Mucor sp., and Fusarium sp.

2. The shortest LT50 of about 4.3 (3.62-4.91) days recorded for Fusarium sp. suggests that its spores are lethal to locust and could cause significantly high mortality in population of locust. 3. M. anisopliae and Metarhizium from Green Guard® inoculation produced non

significant LT50 values, 6.18 (5.30-7.04) and 7.54 (6.73-8.30) days, respectively, each of both with 100% of kill.

REFERENCES Balogun, S.A and O.E. Fagade. Entomopathogenic Fungi in Population of Zonocerus variegatus (L) in Ibadan, Southwest, Nigeria. African Journal of Biotechnology Vol.3, No. 8, August 2004. Bateman,R.P., 2007. Metarhizium anisopliae and Locust Control. www.dropdata.net/ biopesticides/Sporgoil.jp. Accessed date 20 May 2009. Butts, E., 2003. Metarhizium anisopliae strain F52 (029056) Bipoesticide Fact Sheet. www.epa.gov/opp00001/biopesticides/ingredients/factsheets/factsheet_029056.htm. Accessed date 20 May 2009. Butt, T.M., Jackson, C.W., and Megan, N. (Eds). 2001. Fungi as biocontrol agent: Progress, Problems and Potential, Wallingford, Oxon: CAB International. Department of Agriculture, Fishery, Forestry Australia, 2009. Locust and Grasshopper Identification Guide. http://www.daff.gov.au/animal-plant-health/locusts/about/ id- guide, Accessed date15 January 2009 Duggar, B.M., 1989. Fungus Diseases of Plants. Agro Botanical Publisher India. Hermandez-Crezpo P and Santiago-Alvarez P., 1997. Entomopathogenic Fungi Associated with Natural Population of the Morrocan Locust. Dociostarus maroccanus (Thumberg) (Orthoptera: Gomphocerinae) and other Acridoidea in Sapin. Biocontrol Sci. Technol. 7: 353-363. Kannan, S., Kamala, Murugan, K., Kumar, A., Naresh, Ramasubramanian, N., and Mathiyazhagan, P., 2008. Adulticidal effect of fungal pathogen, Metharizium anispliae on malarial vector, Anopheles stephensi (Diptera: Culicidae). African Journal of Biotechnology, 7 (6): 838-841. Lomer Cecile and Lomer Chris., 1996. Lubilosa technical Bulletins 1-7. Scholte, Ernst-Jan, Knols, Bart, G.J and Takken, Willem, 2004. Autodissemination of the entomopathogenic fungus Metarhizium anisopliae amongst adults of themalaria vector Anopheles gambiae s.s Malaria Journal, 3:1-7.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 363

Song, L., Gao, M., Dai, S., Wu, Y., Yi, D., Li, R., 2008. Specific activity of a Bacillus thuringiensis strain against Locusta migratoria manilensis. Journal of Invertebrata Pathology 98, 169-176. Teetor-Barsch, G.H and D.W. Roberts., 1983. Entomogenous Fusarium spesies. Mycopathologia 84,3-16. Zimmermann, G., 1993. The Entomopathogenic Fungus Metarhizium anisopliae and its Potential as a Biocontrol Agent. Pestic. Science, 37, 375-379.

Notulensi Diskusi Seminar Maryani : Diperoleh dari mana? Jawab : Green guard : dari Australia, didaftarkan di komisi pestisida (belum terdaftar). Di Australia khusus untuk Lo Custa tapi belum diujicobakan di Indonesia. Dilihat dari waktu 4 – 5 hari = Fusarium mati 70% Green guara waktu 6 – 7 hari = Mati 100% Yang penting daya simpan. Ana Irawati : - Mengapa pengujian dilakukan pada instar – 3? - Cara inokulasi jamur dan pengamat Jawab : Inokulasi  Instar 3 Jamur konsentrasi 10-5 Pengamatan tiap hari terhadap serangga yang mati. Untuk jamur pengamatan dilakukan secara mirroropis dan marroropis.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 364

OPH-35 Identifikasi dan Uji Lapang Feromon Seksual Etiella zinckenella Treitscke (Lepidoptera : Pyralidae) di Jawa Barat - Indonesia Agus D. Permana1, G. Suhaedi, D. Buchari, dan H. Lionita 1Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB Jl. Ganesha 10 Bandung 40132 Indonesia Email: [email protected]

ABSTRAK Etiella zinckenella Treitscke (Lepidoptera : Pyralidae) adalah serangga penggerek polong kedelai di kebun maupun gudang kedelai. Telah dilakukan analisa feromon seksual dari kelenjar feromon E. zinckenella betina menggunakan gas chromatografi (GC), gas chormatografi-spektorskopi massa (GC-MS). Kemudian dilakukan bioassay menggunakan tabung olfaktometri-Y serta uji lapang di kebun dan gudang kedelai di Banjaran, Jawa Barat. Hasil kajian tersebut menunjukkan bahwa kandungan feromon seksual E. zinckenella adalah : tetradecenyl acetate (14Ac), (Z)-9-tetradecenyl acetate (Z9-14Ac), (E)-11-tetradecenyl acetate (E11-14Ac), (Z)- 11-tetradecenyl acetate (Z11-14Ac), and (Z)-11-hexadecenyl acetate (Z11-16Ac). Hasil bioassay di laboratorium mingindikasikan bahwa kelima komponen tersebut sangat atraktif terhdap E. zinckenella. Akan tetapi, uji lapang di kebun kedelai menunjukkan bahwa tiga (3) komponen, yaitu 14Ac, Z9-14Ac, and E11-14Ac dengan komposisi 62 : 24 : 14 memberikan tangkapan terbaik dilihat dari Indeks Tangkapan. Campuran tersebut lebih atraktif dibandingkan dengan campuran lain serta komponen utamanya. Walaupun demikian, di gudang kedelai, campuran 14Ac, Z9-14Ac, E11-14Ac, and Z11-14Ac dengan komposisi 2 : 73 : 18 : 7 memberikan hasil tangkapan E. zinckenella jantan lebih banyak dari campuran lainnya. Perangkap feromon seks E. zinckenella sangat tepat untuk digunakan dalam monitoring populasi serangga ini di gudang kedelai dan untuk mengetahui periode kemunculan serangga ini. Kata Kunci : Etiella zinckenella, Pyralidae, Lepidoptera, feromon seksual

Notulensi Diskusi Seminar Arif (East West Seed Indonesia) : - Membuat Feromon praktis, skala petani? - Cara menangkap, ciri-ciri serangga betina atau jantan? Jawab : - Tahu perilaku kawin. - Mengetahui pupa jantan atau betina. - Jantan : pada lateral ada tonjolan (abdomen). Betina : Datar pada abdomen. - Dibuat pada kapas, feromon jangan terlalu banyak, terlalu banyak tidak direspon.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 365

OPH-36 Potensi Metarhizium sp. Dan Beauveria bassiana Dalam Pengendalian Orchidopphyllus aterrimus pada Dendrobium Ana F.C. Irawati1 dan Yudi Sastro1 1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta Jl. Raya Ragunan No.30, Pasar Minggu-Jakarta Selatan (12540), Telp. 021- 78839949, Fax. 021-7815020, Email: [email protected]; [email protected]; [email protected]

ABSTRAK Metharhizium sp. dan Beauveria bassiana telah banyak diketahui perannya sebagai agensia hayati dalam pengendalian beberapa jenis hama. Metharhizium sp. sering digunakan dalam pengendalian serangga hama dari famili Coleoptera, sedangkan B. bassiana umumnya potensi pengendaliannya bersifat lebih luas. Meski demikian, B. bassiana kebanyakan digunakan dalam pengendalian serangga hama dari famili Lepidoptera. Orchidophyllus attrimus atau juga dikenal dengan nama Kumbang Gajah, merupakan jenis Coleoptera hama anggrek, terutama pada Dendrobium. Pemanfaatan kedua jenis entomopatogen tersebut dalam pengendalian O. atterimus belum banyak diketahui. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui potensi Metharhizium sp. dan B. bassiana dalam upaya pengendalian O. atterimus. Penelitian dilakukan dalam skala rumah kasa dan lapangan, dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok, dan dianalisis menggunakan uji Duncan‘t pada taraf 5%. Uji rumah kasa dilakukan dengan menggunakan 4 (empat) perlakuan, dan 16 ulangan. Sedangkan uji lapangan dilakukan dengan menggunkan 3 (tiga) perlakuan, dan 15 ulangan. Parameter pengamatan berupa intensitas serangan kumbang pada bulb dan daun Dendrobium. Hasil uji rumah kasa dengan perlakuan menggunakan pestisida kimia sintetik, memberikan tingkat intensitas serangan hama terendah, yaitu 30% pada bulb. Perlakuan dengan menggunakan Metharhizium sp. memberikan intensitas serangan terendah sebesar 81,3% pada daun, sedangkan pada perlakuan B. bassiana sebesar 77,6% pada bulb. Namun demikian berdasarkan hasil uji lapangan, Metharhizium sp. dan B. bassiana cukup potensial untuk digunakan sebagai agensia hayati untuk mengendalikan kumbang gajah karena mampu mengimbangi kemampuan pestisida kimia sintetik. Pada perlakuan menggunakan Metharhizium sp. intensitas serangan kumbang terendah adalah sebesar 44,5% pada daun, sedangkan pada penggunaan pestisida kimia sintetik sebesar 15,6% pada daun, dan pada perlakuan B. bassiana sebesar 19,3% pada bulb. Kata kunci: Metharhizium sp., Beauveria bassiana, Orchidophyllus attrimus, Dendrobium

ABSTRACT Role of Metharhizium sp. and Beauveria bassiana as biological agents of pests have been widely known. Metharhizium sp. often used in controlling kinds of Coleoptera insect pests, whereas B. bassiana control in abroadspread target. However, B. bassiana used in controlling insect pests of the Lepidoptera family. Orchidophyllus attrimus or also known as the ‗Elephant Weevils‘, a pest (Coleoptera) on orchids, especially in Dendrobium. Utilization of both entomopathogenic types are in controlling O. atterimus not well known yet. Therefore, the aim of the study was to assess the potention of Metharhizium sp. and B. bassiana to control O. atterimus. The study was conducted in a screen house and field scale, used a block randomized design, and be analyzed by using Duncanst test at level 5%. Test screen house was done by using four treatments and 16 replications. While field testing done by using three treatments and 15 replications. Parameters of observation were the intensity of weevils attacks on the bulb and leaf of Dendrobium. Results of the screen house test showed that treatment of synthetic chemical pesticide gave the lowest intensity level of pest attack, which was 30% in the bulb. Treatment using Metharhizium sp. gave the lowest intensity of the attacks amounted to 81.3% in leaves, while on treatment B. bassiana amounted to 77.6% in the bulb. However, based on the field tests results, Metharhizium sp. and B. bassiana has good potential as biological agents control for the weevils, because its can countbalance the ability of synthetic chemical pesticides. In the treatment using Metharhizium sp., the lowest intensity of weevils attack amounted to 44.5% in the leaves, while the use of synthetic chemical pesticides by 15.6% in leaf, and on treatment B. bassiana amounted to 19.3% in the bulb. Keywords: Metharhizium sp., Beauveria bassiana, Orchidophyllus attrimus, Dendrobium

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 366

PENDAHULUAN Dendrobium kebanyakan tumbuh di daerah tropis, seperti di daerah Indonesia bagian timur. Sudah banyak hibrida-hibrida Dendrobium yang telah dihasilkan dan didaftarkan ke Sander List (Santoso 1988 dalam Solvia 2008). Berbagai jenis anggrek Dendrobium sangat diminati oleh masyarakat, karena menghasilkan bunga yang cantik dan warna yang menawan. Disamping itu mahkota bunganya tidak mudah rontok, dibandingkan dengan jenis anggrek lainnya.

Salah satu faktor pembatas pengembangan Dendrobium adalah Orchidophillus atterimus. Menurut Susniahti, dkk. (2005), O. atterrimus Woll. disebut kumbang gajah atau kumbang moncong (Anonim 2010a). Kumbang ini termasuk ordo Coleoptera, familia Curculionidae dan mempunyai daerah penyebaran di Jawa. Kumbang gajah merupakan hama utama anggrek, terutama Dendrobium. Bila petani lalai mewaspadai kumbang ini, dapat dipastikan tanaman anggrek mati semua. Di samping itu, kumbang juga mempunyai inang: Vanda, Phalaenopsis, Renanthera, Angraecum, Saccolobium, Cymbidium, Spathoglottis (Swezey, 1945 dalam Tenbrink & Hara, 2010). Kumbang gajah dapat mengakibatkan kerusakan pada anggrek Dendrobium hingga 100%.

Usaha pengendalian kumbang gajah dengan penyemprotan insektisida, baik terhadap kumbang dewasa maupun larva sering gagal karena butiran semprotan pestisida sulit mencapai sasaran. Hal ini karena pada siang hari kumbang jarang menampakkan diri pada permukaan tanaman. Pada siang hari, kumbang biasanya bersembunyi pada media tanam. (Anonim, 2010b). Di samping itu letak larva yang tersebunyi dalam batang juga menyebabkan hama ini sulit diatasi. Pengendalian secara preventif atau pencegahan ternyata lebih efektif dan lebih murah dibandingkan dengan pengendalian kuratif atau setelah tanaman terserang. Pengendalian kumbang hama dapat dilakukan dengan (Susniahti dkk., 2005): 1) Mengambil, mengumpulkan serta memusnahkan hama tersebut, 2) Batang yang telah digerek, dipotong lalu dibakar, dan 3) Penyemprotan insektisida sistemik. Masih sedikit informasi mengenai cara pengendalian kumbang ini. Beberapa cara pengendalian yang telah dilakukan adalah pengendalian secara mekanik, kimiawi, dan kultur teknis. Pengendalian menggunakan agensia hayati belum banyak dilakukan.

Peran musuh alami sebagai salah satu agen hayati semakin penting sejalan dengan penerapan konsep pengendalian hama terpadu. Cendawan entomopatogen merupakan salah

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 367 satu agen hayati yang potensial untuk mengendalikan hama tanaman. Beberapa jenis cendawan entomopatogen yang telah dimanfaatkan untuk mengendalikan hama tanaman perkebunan dan sayuran adalah Metarhizium anisopliae, Beauveria bassiana, Paecilomyces sp., Verticillium sp., dan Spicaria sp. (Rauf, 1996; Pendland & Boucias, 1998; Sumartini dkk., 2001 dalam Anonim 2011). Metarhizium sp. dan B. bassiana diketahui memiliki enzim- enzim yang dapat membantu mereka mereduksi tubuh serangga inangnya. Seperti yang dijelaskan oleh Ahmad (2010), Metarhizium sp. dan B. Bassiana dalam membunuh serangga inangnya memerlukan enzim kitinase dan protease.

Metarhizium sp. Sering disebut dengan green muscardine disease, karena mempunyai spora berwarna hijau. Mempunyai kemampuan tumbuh yang baik dalam tanah di alam dan menyebabkan penyakit pada berbagai jenis serangga dengan cara memarasit. Selain berperan sebagai entomopatogen, diketahui pula bahwa Metarhizium anisopliae mampu memproduksi lipase yang dapat digunakan sebagai alternatif biodisel. Hal ini diteliti oleh para ilmuan dari Indian Institute of Chemical Technology (Anonim, 2011). B.bassiana pertama kali diidentifikasi oleh Agustinus Bassi pada tahun 1835 sebagai entomopatogen yang menyerang ulat sutera Bombyx mori. Miselium berwarna putih (sehingga sering disebut juga dengan white muscardine disease), dengan konidiofor fertil yang bercabang-cabang secara zig-zag dan di ujungnya berspora (konidia) dengan bentuk bulat hingga oval, hialin berukuran 2-3 mikron (Haryono, 1993 dalam Atmadja, dkk., 2009).

Beberapa kelebihan pemanfaatan cendawan entomopatogen dalam pengendalian adalah mempunyai kapasitas reproduksi yang tinggi, siklus hidupnya pendek, dapat membentuk spora yang tahan lama di alam walaupun dalam kondisi yang tidak menguntungkan, relatif aman, bersifat selektif, relatif mudah diproduksi, dan sangat kecil kemungkinan terjadi resistensi (Hall, 1973 dalam Anonim 2011). Berdasarkan pengalaman- pengalaman tersebut maka perlu dilakukan penelitian dan pengkajian potensi Metarhizium sp. dan B. bassiana sebagai agensia hayati dalam pengendalian O. atterimus pada Dendrobium.

BAHAN DAN METODA Penelitian dilakukan di Taman Anggrek Ragunan (TAR) Jakarta Selatan, pada bulan April-November 2010. Kegiatan dilakukan dalam dua skala pengujian, yaitu skala rumah kasa dan lapangan, serta disusun dalam rancangan acak kelompok. Dendrobium yang dipergunakan adalah jenis Airy Beauty fase seedling.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 368

Pengujian skala rumah kasa dilakukan dengan menggunakan empat perlakuan, yaitu pengendalian menggunakan: 1) pestisida kimia sintetik (profenofos), 2) Metarhizium sp., 3) B. Bassiana, dan 4) tanpa pestisida (= Kontrol). Setiap perlakuan menggunakan dua kotak kasa ulangan dengan masing-masing terdiri dari delapan pot Dendrobium. Kotak kasa dibuat dengan panjang dan lebar masing-masing 100 cm dan 50 cm, serta tinggi 50 cm. Inokulasi kumbang dilakukan setelah tanaman diinkubasi selama dua hari, dengan jumlah tiga ekor (dua betina dan satu jantan), di setiap kotak kasa. Aplikasi pengendalian dilakukan pertama kali pada empat hari setelah inokulasi kumbang, kemudian diulang setiap seminggu sekali selama empat bulan. Pengujian skala lapangan dilakukan dengan menggunakan tiga perlakuan, yaitu pengendalian menggunakan: 1) pestisida kimia sintetik (profenovos), 2) Metarhizium sp., dan 3) B. Bassiana Setiap perlakuan menggunakan tiga blok ulangan, yang dipilih sedemikian sehingga mewakili kondisi kavling (kebun), dengan masing-masing terdiri dari lima pot Dendrobium. Antar perlakuan diberi barier berupa tanaman non Dendrobium. Aplikasi pengendalian dilakukan dengan interval satu minggu, selama enam bulan. Konsentrasi pestisida kimia sintetik adalah sebesar 2 ml/L dengan dosis satu liter per 200 pot Dendrobium, sedangkan aplikasi Metarhizium sp. dan B. Bassiana masing-masing menggunakan kerapatan 109 cfu (20 ml/L/), dan dosis satu liter per 200 pot Dendrobium. Perlakuan kontrol pada uji rumah kasa dilakukan dengan menggunakan air. Tanaman disiram setiap dua kali sehari, dan diberi pupuk daun setiap seminggu sekali. Parameter pengamatan berupa pengukuran intensitas serangan kumbang pada daun dan bulb, yang dihitung dengan menggunakan modifikasi rumus yang digunakan oleh Omoy, dkk. (1994). Intensitas serangan pada bulb dihitung dengan rumus: b1 IS = ------X 100% b2 Di mana: IS = intensitas kerusakan tanaman (%) b1 = jumlah bulb yang terserang b2 = jumlah bulb dalam 1 pot

Sedangkan intensitas kerusakan pada daun dihitung dengan rumus: ∑ (n.v) IS= ------X 100%

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 369

Z.N Di mana: IS = intensitas kerusakan tanaman (%) N = jumlah tanaman yang diamati Z = nilai serangan tertingi n = jumlah daun yang memiliki nilai serangan yang sama v = skor serangan, yaitu: 0 = tanaman sehat (tidak terserang) 1 = 1-15 % luas daun terserang 2 = 16-40 % luas daun terserang 3 = > 40 % luas daun terserang

Di samping itu juga dilakukan pengamatan keragaman populasi O. atterimus pada uji rumah kasa. Data pengamatan dianalisis secara statistik menggunakan uji ANOVA, dilanjutkan dengan uji Duncan‘s pada taraf kepercayaan 95%. Pengukuran suhu dilakukan tiga kali sehari, yaitu pagi (09.00), siang hari (14.00), dan sore hari (17.00).

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji rumah kasa menunjukkan bahwa secara statistik, semua perlakukan memberikan perbedaan yang nyata dalam menekan intensitas serangan O. atterimus, terutama pada daun. Pestisida kimia sintetik dengan bahan aktif profenofos mempunyai kemampuan menekan intensitas serangan kumbang yang berbeda nyata dengan Metarhizium sp. dan B. bassiana, baik pada bulb maupun pada daun. Antara penggunaan Metarhizium sp., B.bassiana, dan kontrol juga tampak ada perbedaan yang nyata pada kerusakan di daun, namun tidak berbeda pada serangan di bulb. Hal ini menunjukkan bahwa pada kondisi tanaman yang sudah terserang sejak awal, alternatif penggunaan kedua jenis entomopatogen ini bukan merupakan cara yang tepat. Kemungkian besar akan lebih efektif jika aplikasi digunakan sebagai usaha pencegahan (aplikasi sebelum ada serangan hama). Kerusakan yang disebabkan oleh O. atterimus berakibat fatal bagi tanaman jika terjadi pada bulb. Kadang kala kerusakan pada bulb tidak langsung mematikan tanaman, namun dapat menghambat perkembangan tanaman, atau tanaman menjadi tidak berproduksi (Omoy, 1994; Tenbrink & Hara, 2010).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 370

Pengukuran suhu di sekitar rumah kasa menunjukkan bahwa: suhu terendah pada pagi hari adalah sebesar 25OC, dan suhu tertinggi sebesar 34oC; pada siang hari suhu terendah sebesar 26oC, dan suhu tertinggi sebesar 38oC; sedangkan pada sore hari suhu terendah sebesar 25oC dan tertinggi sebesar 35oC. Tabel 1. Intensitas serangan O. atterimus pada daun dan bulb pada uji rumah kasa Rerata Intensitas Serangan (%) Perlakuan Bulb Daun Pestisida kimia 30,04 a 45,80 a Metarhizium sp. 81,81 b 81,25 b B. bassiana 77,60 b 89,60 c Kontrol 96,25 b 97,90 d Keterangan: Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%.

Secara deskriptif dapat dijelaskan pula bahwa penggunaan Metarhizium sp. dan B. bassiana memiliki kemampuan yang lebih rendah dibanding pestisida kimia dalam melindungi Dendrobium dari serangan O. atterimus. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena serangan O. atterimus telah melampaui ambang ekonominya (aplikasi populasi awal tiga ekor per delapan pot tanaman). Menurut Omoy (1994), ambang ekonomi O. atterimus adalah satu ekor per 10 pot tanaman anggrek (Dendrobium), sehingga penggunaan agensia hayati menjadi kurang efektif. Tabel 2. Keragaman populasi O. atterimus pada uji rumah kasa Rerata Jumlah Populasi (ekor/kotak kasa) Perlakuan Imago Larva Pupa Hidup Mati Hidup Mati Hidup Mati Pestisida kimia - 3 (100%) - - - - Metarhizium sp. 5 (71,4%) 2 (28,6%) 13 (100%) - 2 (100%) - B. bassiana 7 (77,8%) 2 (22,2%) 7 (87,5%) 1 (12,5%) - - Kontrol 5 (100%) - 17 (100%) - 1 (100%) - Keterangan: Populasi awal O. atterimus di setiap perlakuan sebesar tiga ekor imago. Dari hasil pengamatan keragaman populasi O. atterimus (Tabel 2), di masing-masing kotak perlakuan menunjukkan bahwa perlakuan pestisida kimia sintetik mampu mengendalikan populasi hama, yaitu mengendalikan jumlah populasi imago sebesar 100%. Hal ini menyebabkan kumbang tidak mempunyai peluang dalam berkembang (tidak ditemukan adanya larva maupun pupa). Sedangkan penggunaan kedua jenis entomopatogen belum mampu mengendalikan perkembangan populasi hama. O. atterimus masih dapat berkembang biak, meskipun beberapa diantaranya mengalami kematian, baik dalam bentuk imago maupun larva. Meski demikian ada kemungkinan kedua jenis entomopatogen ini masih cukup potensial digunakan untuk skala lapangan. Tampak dari hasil pengamatan bahwa penggunaan

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 371

B. bassiana masih mampu mengimbangi kemampuan pestisida kimia sintetik dalam menekan serangan kumbang di lapangan, yaitu ditunjukkan dengan tidak ada beda nyata kerusakan bulb antar perlakukan. Namun antara Metarhizium sp. dan B. bassiana pada kerusakan di daun juga tidak berbeda nyata.hal ini menunjukan bahwa kedua jenis entomopatogen masih berpotensi sebagai agensia hayati dalam mengendalikan O. atterimus. Tabel 3. Intensitas serangan O. atterimus pada daun dan bulb pada uji lapangan Rerata Intensitas Serangan (%) Perlakuan Bulb Daun Pestisida kimia 21,06 a 15,57 a Metarhizium sp. 51,67 b 44,47 b B.bassiana 19,33 a 37,67 b Keterangan: Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%.

Pengukuran suhu di lapangan menunjukkan bahwa: suhu terendah pada pagi hari adalah sebesar 24OC, dan suhu tertinggi sebesar 35OC; pada siang hari suhu terendah sebesar 25OC, dan suhu tertinggi sebesar 37OC; sedangkan pada sore hari suhu terendah sebesar 24OC dan tertinggi sebesar 36C.

KESIMPULAN DAN SARAN 1. Pada uji rumah kasa perlakuan pestisida kimia sintetik memberikan intensitas serangan O. atterimus yang terendah, yaitu sebesar 30,04% pada bulb, dan 45,80% pada daun.

2. Meskipun dalam uji rumah kasa Metarhizium sp. dan B. bassiana mempunyai kemampuan lebih rendah dalam melindungi tanaman dari serangan O. atterimus, namun pada uji lapangan kedua entomopatogen ini mampu mengimbangi kemampuan pestisida kimia sintetik, yaitu dengan intensitas serangan kumbang berturut-turut sebesar: 51,67% pada bulb dan 44,47% pada daun, serta 19,33% pada bulb dan 37,67% pada daun.

3. Penggunaan Metarhizium sp. dan B. bassiana lebih sesuai jika dilakukan sebelum populasi O. atterimus mencapai ambang ekonominya (AE: satu ekor per 10 pot tanaman Dendrobium). Sedangkan pestisida kimia sintetik sebaiknya digunakan jika populasi O. Atterimus telah melewati AE.

DAFTAR PUSTAKA Ahmad, R.Z. 2010. Aktivitas Enzim Kitinase dan Protease yang Terkandung pada Beauveria bassiana dan Metarhizium anisopliae. Prosiding Semnas V Pemberdayaan

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 372

Keanekaragaman Serangga untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat-PEI: 520- 526. Anonim. 2010a. Mengenal Kumbang Penggerek Anggrek. http://ditlin.hortikultura.deptan.go.id. Diakses tanggal 16 Agustus 2010. Anonim. 2010b. Mengapa Kumbang Moncong Ditakuti Petani Anggrek?. http://www.pustaka-deptan.go.id. Diakses tanggal 16 Agustus 2010: 10-11 Anonim, 2011. Metarhizium sp. http://pangerancakeb.wordpress.com. Diakses tanggal 14 Februari 2011. Atmadja, W.R., T.E. Wahyono, dan N. Tarigan. 2009. Efektivitas Patogen Serangga sebagai Agensia Hayati untuk Mengendalikan Maenas maculifascia pada Tanaman Ylang- Ylang (Canangium odoratum). Bul. Littro. Vol. 20 No. 1: 68-76. Omoy, T.R., D. Sihombing, Purbadi, dan D. Widiastoety. 1994. Preferensi Inang Kumbang Gajah (Orchidophilus atterimus Wat) pada Beberapa Kultivar Anggrek Dendrobium. Bul. Penel. Tan. Hias. 2 (2): 71-79. Solvia, N. 2009. Mengenal dan Memelihara Anggrek Dendrobium. http://wawaorchid.wordpress.com. Diakses tangal 4 Agustus 2010. Susniahti, N., H. Sumeno, dan Sudarjat. 2005. Bahan Ajar Ilmu Hama Tumbuhan. Unpad. Fak. Pertanian. Jur. Hama Penyakit Tumbuhan. Bandung. 81p. Tenbrink, V.L. and A.H. Hara. 2010. Orchidophilus atterimus. http://www.extento.hawaii.edu. Diakses tanggal 16 Agustus 2010.

Notulensi Diskusi Seminar

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 373

.OPH-37 Efektivitas Insektisida Nabati Untuk Mengendalikan Kumbang Gajah pada Anggrek Ana F.C. Irawati1, Yudi Sastro1, dan Ikrarwati1 1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta Jl. Raya Ragunan No.30, Pasar Minggu-Jakarta Selatan (12540), Telp. 021- 78839949, Fax. 021-7815020, Email: [email protected]; [email protected]; [email protected]

ABSTRAK Pemanfaatan mimba (Azadirachta indica), cengkeh, maupun sereh sebagai pestisida nabati telah banyak dilaporkan. Namun pemanfaatannya dalam pengendalian kumbang gajah (Orchidophyllus atterimus) pada anggrek, khususnya Dendrobium, belum diketahui. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui efektivitas Azadirachtin dan kombinasinya dengan Eugenol-Sitronela dalam upaya mengendalikan O. atterimus. Penelitian dilakukan dalam skala rumah kasa dan lapangan, dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok, dan dianalisis menggunakan uji Duncan‘t pada taraf 5%. Uji rumah kasa dilakukan dengan menggunakan 6 (enam) perlakuan, dan 2 ulangan, dengan masing-masing ulangan terdiri dari 8 (delapan) pot sampel Dendrobium. Sedangkan uji lapangan dilakukan dengan menggunkan 3 (tiga) perlakuan, dan 3 ulangan, dengan masing-masing ulangan menggunakan 5 (lima) pot sampel Dendrobium. Hasil pengujian di rumah kasa menggunakan perlakuan pestisida kimia sintetik, memberikan tingkat intensitas serangan hama terendah, yaitu 30% pada bulb, dan 45,8% pada daun. Perlakuan dengan menggunakan Azadirachtin memberikan intensitas serangan terendah sebesar 68,5% pada bulb, sedangkan pada perlakuan kombinasi Azadirachtin-Eugenol-Sitronela sebesar 51,9% pada bulb. Namun demikian berdasarkan hasil uji lapangan, Azadirachtin dan kombinasi Azadirachtin-Eugenol-Sitronela cukup potensial untuk digunakan sebagai pestisida nabati untuk mengendalikan kumbang gajah karena mampu mengimbangi kemampuan pestisida kimia sintetik. Pada perlakuan menggunakan Azadirachtin intensitas serangan kumbang terendah adalah sebesar 18,7% pada bulb, sedangkan pada penggunaan pestisida kimia sintetik sebesar 15,6% pada daun, dan pada perlakuan Azadirachtin-Eugenol-Sitronela i sebesar 21,3% pada bulb. Di samping itu adanya fenomena berupa banyak terbentuknya populasi kumbang jantan pada anggrek yang diaplikasi dengan Azadirachtin juga menjadikan potensi bahan aktif ini sebagai pengendali kumbang gajah. Kata kunci: Azadirachtin, kumbang gajah, Dendrobium

ABSTRACT Utilization of neem (Azadirachta indica), clove, and lemongrass as biopesticides have been widely reported. But their use in controlling waterhouse/elephant weevills (Orchidophyllus atterimus) on the orchid, Dendrobium particular, is unknown. Therefore, this study was aimed to examine the effectiveness of Azadirachtin and its combination with Eugenol-Sitronela in an attempt to control O. atterimus. The study was conducted in a screen house and field scale, using a randomized block design, and analyzed using Duncan's test at level 5%. Test screen house is done by using 6 (six) treatment, and 2 replications, with each test consisting of 8 (eight) potted Dendrobium samples. While field testing done by using 3 (three) treatment, and 3 replications, with each repetition using the 5 (five) potted Dendrobium samples. The test results on the home screen using synthetic chemical pesticide treatment, providing the lowest level of intensity of pest attack, which is 30% in the bulb, and 45.8% in the leaves. Azadirachtin treatment provide using the lowest intensity of the attacks amounted to 68.5% in the bulb, whereas the treatment of Azadirachtin-Eugenol-Sitronela amounted to 51.9% in the bulb. However, based on the results of field tests, and a combination of Azadirachtin Azadirachtin-Eugenol-Sitronela considerable potential for use as a biopesticide to control the weevills because it can countbalance the ability of synthetic chemical pesticides. In treatments using beetle attacks Azadirachtin lowest intensity was 18.7% in the bulb, while the use of synthetic chemical pesticides by 15.6% in leaf, and the treatment of Azadirachtin- Eugenol-Sitronela i by 21.3% in the bulb.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 374

PENDAHULUAN Kumbang gajah (Orchidophillus atterimus). Pertama kali di laporkan di Hawaii, yaitu pada anggrek rumahan di Honolulu tahun 1910. Masuk ke Asia melalui perpindahan tanaman dan berkembang akibat adanya upaya budidaya anggrek dalam rumah kaca (Tenbrink Hara, 2010). Kumbang ini termasuk ordo Coleoptera, familia Curculionidae dan merupakan hama utama Dendrobium. Bila petani lalai mewaspadai kumbang ini, dapat dipastikan tanaman anggrek mati semua.

Larva dan imago kumbang mempunyai tipe mulut pengunyah. Mereka memakan jaringan tanaman anggrek yang lunak, seperti bunga, batang, daun, dan akar. Imago betina biasanya meletakan telur pada bekas gerekan lubang pada pseudobulb. Setelah telur menetas larva akan melanjutkan gerekannya dan kemudian berpupa dengan membuat tempat khusus. Setelah melewati stadium pupa, imago akan mencari jalan keluar dengan mengerek pseudobulb kembali (Tenbrink & Hara, 2010).

Usaha pengendalian kumbang gajah dengan penyemprotan insektisida, baik terhadap kumbang dewasa maupun larva sering gagal karena butiran semprotan pestisida sulit mencapai sasaran. Hal ini karena pada siang hari kumbang jarang menampakkan diri pada permukaan tanaman. Pada siang hari, kumbang biasanya bersembunyi pada media tanam. (Anonim 2010). Di samping itu letak larva yang tersebunyi dalam batang juga menyebabkan hama ini sulit diatasi. Masih sedikit informasi mengenai cara pengendalian kumbang ini. Beberapa cara pengendalian yang telah dilakukan adalah pengendalian secara mekanik, kimiawi, dan kultur teknis. Pengendalian menggunakan pestisida nabati belum banyak dilakukan.

Secara umum pestisida nabati diartikan sebagai suatu pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhaan. Oleh karena itu pestisida ini biasanya bersifat mudah terurai. Pestisida nabati dapat mengandung bahan aktif tunggal atau majemuk yang dapat mengendaliakan organisme penggangu tanaman. Selain itu dapat juga berfungsi sebagai penolak, penarik, antifertilitas, dan bentuk lainnya (Soetopo, 1994; Nurawan & Haryati, 2010). Salah satu pestisida nabati yang telah banyak diteliti adalah mimba (bahan aktif Azadiractin). Azadiractin dilaporkan berpengaruh dalam menghambat perkembangan beberapa jenis hama, seperti dari genus Spodoptera, Helicoverpa, dan Nilaparvata (Koswanudin, dkk., 2010a, 2010b).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 375

Berdasarkan pengalaman-pengalaman tersebut maka perlu dilakukan penelitian dan pengkajian efektifitas Azadiractin (beserta bahan aktif tambahan lainnya, yaitu Eugenol dan Sitronella), dalam mengendaliakan O. atterimus pada Dendrobium.

BAHAN DAN METODA Penelitian dilakukan di Taman Anggrek Ragunan (TAR) Jakarta Selatan, pada bulan April-November 2010. Kegiatan dilakukan dalam dua skala pengujian, yaitu skala rumah kasa dan lapangan, serta disusun dalam rancangan acak kelompok. Dendrobium yang dipergunakan adalah jenis Airy Beauty fase seedling. Pengujian skala rumah kasa dilakukan dengan menggunakan enam perlakuan, yaitu pengendalian menggunakan: 1) pestisida kimia sintetik (profenofos), 2) Azadiractin konsentrasi 3 ml/L ., 3) Azadiractin konsentrasi 5 ml/L, 4) Azadiractin + Eugenol + Sitronela konsentrasi 2 ml/L, 5) Azadiractin + Eugenol + Sitronela konsentrasi 4 ml/L dan 6) tanpa pestisida (= Kontrol). Setiap perlakuan menggunakan dua kotak kasa ulangan dengan masing-masing terdiri dari delapan pot Dendrobium. Kotak kasa dibuat dengan panjang dan lebar masing-masing 100 cm dan 50 cm, serta tinggi 50 cm. Inokulasi kumbang dilakukan setelah tanaman diinkubasi selama dua hari, dengan jumlah tiga ekor (dua betina dan satu jantan), di setiap kotak kasa. Aplikasi pengendalian dilakukan pertama kali pada empat hari setelah inokulasi kumbang, kemudian diulang setiap seminggu sekali selama empat bulan. Pengujian skala lapangan dilakukan dengan menggunakan tiga perlakuan, yaitu pengendalian menggunakan: 1) pestisida kimia sintetik (profenofos), 2) Azadiractin konsentrasi 5 ml/L, dan 3) Azadiractin + Eugenol + Sitronela konsentrasi 4 ml/L. Setiap perlakuan menggunakan tiga blok ulangan, yang dipilih sedemikian sehingga mewakili kondisi kavling (kebun), dengan masing-masing terdiri dari lima pot Dendrobium. Antar perlakuan diberi barier berupa tanaman non Dendrobium. Aplikasi pengendalian dilakukan dengan interval satu minggu, selama enam bulan. Konsentrasi pestisida kimia sintetik adalah sebesar 2 ml/L dengan dosis satu liter per 200 pot Dendrobium, sedangkan aplikasi Metarhizium sp. dan B. Bassiana masing-masing menggunakan kerapatan 109 cfu (20 ml/L/), dan dosis satu liter per 200 pot Dendrobium. Perlakuan kontrol pada uji rumah kasa dilakukan dengan menggunakan air. Tanaman disiram setiap dua kali sehari, dan diberi pupuk daun setiap seminggu sekali.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 376

Parameter pengamatan berupa pengukuran intensitas serangan kumbang pada daun dan bulb, yang dihitung dengan menggunakan modifikasi rumus yang digunakan oleh Omoy, dkk. (1994). Intensitas serangan pada bulb dihitung dengan rumus: b1 IS = ------X 100% b2 Di mana: IS = intensitas kerusakan tanaman (%) b1 = jumlah bulb yang terserang b2 = jumlah bulb dalam 1 pot

Sedangkan intensitas kerusakan pada daun dihitung dengan rumus: ∑ (n.v) IS= ------X 100% Z.N Di mana: IS = intensitas kerusakan tanaman (%) N = jumlah tanaman yang diamati Z = nilai serangan tertingi n = jumlah daun yang memiliki nilai serangan yang sama v = skor serangan, yaitu: 0 = tanaman sehat (tidak terserang) 1 = 1-15 % luas daun terserang 2 = 16-40 % luas daun terserang 3 = > 40 % luas daun terserang

Di samping itu juga dilakukan pengamatan keragaman populasi O. atterimus pada uji rumah kasa. Data pengamatan dianalisis secara statistik menggunakan uji ANOVA, dilanjutkan dengan uji Duncan‘s pada taraf kepercayaan 95%. Pengukuran suhu dilakukan tiga kali sehari, yaitu pagi (09.00), siang hari (14.00), dan sore hari (17.00).

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji rumah kasa menunjukkan bahwa pestisida kimia sintetik dengan bahan aktif profenofos mempunyai kemampuan menekan intensitas serangan kumbang yang berbeda nyata dengan kelima perlakuan lainnya, baik pada bulb maupun pada daun. Hal ini tampak

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 377 dari hasil analisis statistik pengamatan terakhir, yaitu setelah perlakuan selama empat bulan (Tabel 1). Antara penggunaan azadirachtin secara,tunggal maupun majemuk dengan konsentrasi rendah ternyata memberikan hasil intensitas serangan kumbang yang berbeda nyata dengan yang berkonsentrasi tinggi dan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan bahan aktif pestisida pada konsentrasi tinggi tidak selalu lebih efektif dalam mengendalikan hama. Penggunaan konsentrasi pestisida yang tepat memberikan efisiensi usaha budidaya tanaman.

Tabel 1. Intensitas serangan kumbang gajah pada daun dan bulb pada uji rumah kasa Rerata Intensitas Serangan (%) Perlakuan Bulb Daun Pestisida kimia 30,04 a 45,80 a Azadirachtin 3 m/L 68,50 b 79,20 b Azadirachtin 5 m/L 96,90 c 97,90 c Azadirachtin plus 2 ml/L 51,90 b 72,90 b Azadirachtin plus 4 ml/L 95,60 c 93,80 c Kontrol 96,25 c 97,90 d Keterangan: Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%.

Pestisida kimia sintetik mampu menurunkan intensitas serangan kumbang gajah lebih tinggi, yaitu sebesar 66,21% pada bulb, dan 52,10%. Sedangkan penggunaan azadirachtin dengan konsentrasi rendah (baik tunggal maupun majemuk), rata-rata menurunkan intensitas serangan kumbang sebesar 27,75% hingga 44,35% pada bulb, dan sebesar 17,05% hingga 23,35% pada daun. Penggunaan azadiracatin dengan konsentrasi yang lebih tinggi ternyata kurang dapat menekan intesitas serangan kumbang. Tabel 2. Keragaman populasi kumbang gajah pada uji rumah kasa Rerata Jumlah Populasi (ekor/kotak kasa) Perlakuan Imago Larva Pupa Hidup Mati Hidup Mati Hidup Mati Pestisida kimia - 3 (100%) - - - - Azadirachtin 3 m/L 5 (71,4%) 2 (28,6%) 9 (100%) - 2 (100%) - Azadirachtin 5 m/L 9 (100%) - 6 (100%) - 5 (83,3%) 1 (16,7%) Azadrct. plus 2 ml/L 3 (60%) 2 (40%) 6 (100%) - 3 (100%) - Azadrct. plus 4 ml/L 4 (80%) 1 (20%) 10 (83,3%) 2 (16,7%) 3 (100%) - Kontrol 5 (100%) - 17 (100%) - 1 (100%) - Keterangan: Populasi awal kumbang gajah di setiap perlakuan sebesar tiga ekor imago. Di samping itu diketahui pula bahwa populasi imago kumbang gajah pada perlakuan pestisida kimia sintetik mampu ditekan hingga 100%. Meskipun penggunaan azadirachtin (baik tunggal maupun majemuk), mampu menurunkan gejala kerusakan pada tanaman, namun kemampuannya dalam menekan populasi imago hanya sebesar 28,6% hingga 40%, dengan total populasi hama yang tidak jauh berbeda dengan penggunaan azadiractin dengan

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 378 konsentrasi lebih tinggi (baik tunggal maupun majemuk), dan kontrol (Tabel 2). Hal ini menunjukkan adanya kemungkinan terjadinya penurunan daya cerna kumbang akibat bahan aktif pestisida nabati ini, sehingga meskipun jumlah populasinya cukup tinggi namun kemampuan merusak tanaman rendah. Seperti yang disampaikan oleh Koswanudin, dkk. (2010a), bahwa azadirachtin apabila kontak atau termakan melalui sistem pencernaan serangga dapat menimbulkan gejala kelumpuhan, sehingga berpengaruh pada fisiologisnya. Serangga menjadi malas makan. Disampaikan pula oleh (Soetopo, 1994), bahwa azadirachtin mempengaruhi serangga melalui berbagai macam cara, di antaranya: (1) menghambat perkembangan telur, larva atau pupa; (2) memblokir proses ganti kulit selama stadium larva; (3) gangguan terhadap proses kawin serangga, terutama gangguan dalam proses komunikasi seksual; (4) penolakan makan terhadap larva dan dewasa; (5) mencegah betina untuk meletakkan telur; (6) membuat serangga mandul; (7) meracuni larva dan imago; dan (8) menghambat chitinase. Penggunaan pestisida nabati sebaiknya digunakan secara terus menerus atau dengan frekuensi yang lebih tinggi, agar lebih efektif. Cara ini kecil kemungkinan menyebabkan pencemaran lingkungan, karena sifat bahan yang mudah terurai,

Pengukuran suhu di sekitar rumah kasa menunjukkan bahwa: suhu terendah pada pagi hari adalah sebesar 25oC, dan suhu tertinggi sebesar 34oC; pada siang hari suhu terendah sebesar 26oC, dan suhu tertinggi sebesar 38oC; sedangkan pada sore hari suhu terendah sebesar 25oC dan tertinggi sebesar 35oC.

Tabel 3. Intensitas serangan kumbang gajah pada daun dan bulb pada uji rumah kasa Rerata Intensitas Serangan (%) Perlakuan Bulb Daun Pestisida kimia 21,06 a 15,57 a Azadiractin 5 ml/L 18,67 a 31,30 b Azadiractin plus 4 ml/L 21,31 a 26,47 b Keterangan: Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%.

Pada uji lapangan (Tabel 3), konsentrasi azadirachtin yang dipergunakan adalah yang lebih tinggi, dengan asumsi bahwa faktor lingkungan sangat berpengaruh pada aplikasi bahan. Namun konsentrasi untuk pestisidan kimia sintetik tidak dinaikkan karena hasil uji rumah kasa menunjukkan konsentrasi ini dapat mengendalikan kumbang hingga 100%. Hasil pengujian menunjukkan tidak ada beda intensitas serangan kumbang pada bulb untuk semua perlakuan, namun ada perbedaan pada daun. Hal ini masih menunjukkan bahwa azadirachtin

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 379

(baik tunggal maupun majemuk), berpotensi untuk dikembangkan sebagai pestisida nabati dalam pengendalian kumbang gajah pada anggrek Dendrobium. Pengukuran suhu di lapangan menunjukkan bahwa: suhu terendah pada pagi hari adalah sebesar 24OC, dan suhu tertinggi sebesar 35OC; pada siang hari suhu terendah sebesar 25OC, dan suhu tertinggi sebesar 37OC; sedangkan pada sore hari suhu terendah sebesar 24OC dan tertinggi sebesar 36C. KESIMPULAN DAN SARAN 4. Pada uji rumah kasa pestisida kimia sintetik memberikan penurunan intensitas serangan kumbang gajah terbesar, yaitu 66,21% pada bulb, dan 52,10%.

5. Penggunaan azadirachtin dengan konsentrasi rendah (baik tunggal maupun majemuk), di rumah kasa juga menurunkan intensitas serangan kumbang, yaitu sebesar 27,75% hingga 44,35% pada bulb, dan sebesar 17,05% hingga 23,35% pada daun. Sedangkan penggunaan azadiracatin dengan konsentrasi yang lebih tinggi kurang menekan intesitas serangan kumbang.

6. Pada uji lapangan azadirachtin mampu mengimbangi kemampuan pestisida kimia sintetik, sehingga memberikan peluang untuk dikembangkan dalam pengendalian kumbang gajah.

7. Penggunaan azadirachtin (baik tunggal maupun majemuk), sebagai pestisida nabati memberikan efektifitas yang lebih tinggi jika digunakan secara terus menerus. Hal ini dikarenakan cara kerjanya yang relatif lambat dan sifatnya yang mudah terdegradasi.

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2010. Mengapa Kumbang Moncong Ditakuti Petani Anggrek?. http://www.pustaka- deptan.go.id. Diakses tanggal 16 Agustus 2010: 10-11. Koswanudin, D., Harnoto, dan I.M. Samudra. 2010a. Kompatibilitas Ekstraks Biji Azadirachta indica dengan Ranting Aglaia odorata terhadap Perkembangan Hama Ulat Grayak Spodoptera litura FAB. (Lepidoptera; Noctuidae) pada Tanaman Kedelai. Prosiding Semnas V Pemberdayaan Keanekaragaman Serangga untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat-PEI: 567-575. Koswanudin, D., Harnoto, dan I.M. Samudra. 2010b. Kompatibilitas Ekstraks Biji Azadirachta indica dengan Ranting Aglaia odorata terhadap Perkembangan Hama Ulat Penggerek Tongkol Helicoverpa armigera Hubn. (Lepidoptera; Noctuidae) pada Tanaman Jagung. Prosiding Semnas V Pemberdayaan Keanekaragaman Serangga untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat-PEI: 576-585. Nurawan, A., dan Y. Haryati. 2010. Pengaruh Beberapa Insektisida Nabati terhadap Intensitas Serangan Helopeltis antonii pada Tanaman Teh. Prosiding Semnas V Pemberdayaan Keanekaragaman Serangga untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat-PEI: 612-618.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 380

Omoy, T.R., D. Sihombing, Purbadi, dan D. Widiastoety. 1994. Preferensi Inang Kumbang Gajah (Orchidophilus atterimus Wat) pada Beberapa Kultivar Anggrek Dendrobium. Bul. Penel. Tan. Hias. 2 (2): 71-79. Soetopo, D., 1994. Potensi Mimba (Azadirachta indica A. Juss.) sebagai Insektisida dan Penolak Makan Serangga Penggerek Batang Lada (Lophobaris piperis Marsh.). Prosiding Simpsium Penelitian Bahan Obat Alami VIII. Bogor: 116-118. Tenbrink, V.L. and A.H. Hara. 2010. Orchidophilus atterimus. http://www.extento.hawaii.edu. Diakses tanggal 16 Agustus 2010.

Notulensi Diskusi Seminar Kusumawati (Bogor) : - Famili? - Yang menyerang jantan atau betina? - Pestisida sintetik golongan apa? - Azatiractin ertrasi sendiri? - AE? Jawab : - Tergolong ordo coleopteran, family curculionidae. - Semua jenis kumbang gajah (Jantan dan betina) mempunyai kemampuan merusak. Namun kumbang betina dapat memgakibatkan kerusakan lebih berat karena dapat menghasilkan larva yang awalnya berupa telur yang kemudian menetas dan menggorok bulb. Kerusakan pada bulb dapat berakibat fatal (penghambatan pertumbuhan produksi bahkan kematian). - Pestisida sintetik berbahan aktif protenofos. - Azadirachtin (tunggal dan majemuk) sudah diproduksi oleh Badan Litbang Kementrian Pertanian. - A E Kumbang = 1 ekor per 10 pot tanaman. Kusyanto (IPB) : Eugenol bertindak sebagai insektisida-kah? Jawab : Azadiractin majemuk (ditambah eugenol dan Sitronella) menjadikan sifat bahan menjadi sistemik. Andra (UGM) : - Fase apa? - Aplikasi? Jawab : - Kumbang yang digunakan untuk uji rumah kaca = 3 ekor imago yaitu 2 betina dan 1 jantan - Aplikasi pestisida dengan cara disemprotkan pada seluruh bagian tanaman dengan asumsi : * Pestisida kimia sintetik dan Azadiractin majemuk yang bersifat sistemik. * Azadiractin tunggal bersifat kontak untuk menguji kemampuan mengendalikannya.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 381

.OPH-38 Seleksi Awal Isolat Bt Indigenus Terhadap Hama Umbi Kentang, Phthorimaea operculella Zell. (LEPIDOPTERA ; GELECHIIDAE) Berdasarkan Respon Time-Mortality (LT50) Syarif Hidayat1,2, Intan Ahmad, Pingkan Aditiwati, dan Wardono Niloperbowo

ABSTRAK Hama umbi kentang, Phthorimaea operculella Zell. merupakan hama penting di tempat penyimpanan maupun di pertanaman. Di tempat penyimpanan, hama diketahui telah resisten terhadap beberapa insektisida sintetik. Di bebrapa negara Bt merupakan salah satu bahan aktif bioinsektisda yang sampai saat ini dianggap paling efektif terhadap P. operculella, namun di Indonesia Bt yang efektif terhadap P. operculella masih belum diketahui.Evaluasi awal mengetahui keefektifan isolat Bt untuk terhadap P. operculella. telah dilakukan terhadap 39 isolat Bt yang diperoleh dari ekosistem hutan dan pertanian dataran rendah, menengah, dan dataran 8 tinggi Evaluasi dilakukan berdasarkan respon time-mortality (LT50) pada konsentrasi tunggal (10 cfu/ml). Hasil evaluasi menunjukkan bahwa terdapat lima isolat yang mempunyai keefektifan yang cukup baik terhadap P. operculella, yaitu isolat PNd1-k (asal Hutan Lindung Pananjung), Prg1 (ekosistem Kebun Kelapa Parigi), Pwk dan Pwk1 (asal ekosistem Hutan Rakyat Purwakarta) dan MH1-2 (asal Hutan Lindung Malabar). Kelima isolat tersebut mempunyai nila LT50 yang relatif hampir sama, yaitu masing-masing sebagai berikut 5,904; 5,852; 5,510; 5,431; dan 5,662 hari. Kata kunci : seleksi awal, isoalt Bt, Phthorimaea operculella, respon time-mortality

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 382

OPH-39 Preferensi Hama Umbi Kentang, Phthorimaea operculella Zell. (Lepidoptera: Gelechiidae) Terhadap Warna Cahaya di Tempat Penyimpanan Syarif Hidayat dan Fazli Al Hadi

ABSTRAK Phthorimaea operculella Zell. merupakan hama penting di tempat penyimpanan. Kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh hama ini di penyimpanan dapat mencapai 100%. Penggunaan insektisida untuk mengendalikan hama ini selain kurang aman, khususnya bagi operator quality control, juga seringkali memberikan hasil yang kurang efektif. Salah satu metode pengendalian berkelanjutan yang prospektif untuk digunakan dalam pengendalian P. operculella adalah pemanfaatan perilaku serangga yang tertarik terhadap cahaya. Hasil evaluasi terhadap hasil tangkapan pada perangkap dengan enam jenis warna cahaya berberbeda, menunjukkan bahwa imago P. operculella lebih tertarik terhadap cahaya berwarna kuning dan bening dibanding terhadap warna hijau, biru dan putih, sedangkan cahaya merah merupakan cahaya yang paling kurang menarik bagi P. operculella. Dilihat dari ketertarikan berdasarkan jenis kelamin, terlihat bahwa baik imago jantan maupun imago betina juga sama-sama lebih tertarik pada cahaya warna kuning dan bening, sedangkan warna merah, hijau, biru dan putih sama-sama kurang menarik bagi imago jantan maupun imago betina. Kata kunci : preferensi, warna cahaya, Phthorimaea operculella, tempat penyimpanan

Notulensi Diskusi Seminar Ai (Faperta UNPAD) : - Mengapa tidak menghitung intensitas cahaya dengan lux? - Pengaruh warna biru? Jawab : - Yang mengendalikan adalah trapnya, cahaya untuk menarik saja. - Warna biru apabila terlalu terang akan berakibat penumpukkan klorofil, sehingga kentang menghijau. Arif (East West Seed Indonesia) : Hama tersebut terbang atau merayap? Jawab : Imago terbang dan bisa merayap, bertelur dekat mata tunas, biasanya imago akan terbang dahulu, lalu merayap menuju dekat mata tunas, bertelur, pada instrat 3, akan menggerek kentang.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 383

.OPH-40 Pengendalian Hama Sayuran Ramah Lingkungan di Lahan Rawa Pasang Surut Mahrita Willis1, S.Asikin1, dan M.Thamrin1 1Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa

ABSTRAK Selain tanaman pangan di lahan rawa ditemukan juga bebepa jenis tumbuhan hortikultura seperti nenas, kueni, asam, hambawang, kasturi, hampalam, rambutan, maritam dan jeruk; tanaman perkebunan antara lain kelapa; serta tanaman sayuran antara lain lombok, tomat, kacang panjang, timun, dan bayam. Masalah yang cukup serius dalam budidaya sayuran adalah gangguan organisme pengganggu terutama serangga hama. Hasil observasi menunjukkan bahwa hama utama hortikultura (buah-buahan dan sayuran) adalah lalat buah, ulat jengkal, ulat plutella dan ulat grayak. Akibat serangan dari hama tersebut kerusakan dapat mencapai 75-90%, bahkan dapat menimbulkan kegagalan panen. Dari beberapa hasil penelitian diketahui bahwa telah ditemukan beberapa komponen pengendalian yang dapat digunakan dalam mengendalikan hama tersebut seperti pengendalian hama lalat buah memanfaatkan predator semut rangrang (Oecophylia smaragdina), intensitas kerusakan buah hanya 1-2%. Sedangkan dengan cara pembungkusan buah intensitas serangan dapat ditekan antara 2-5%. Pemanfaatan perangkap lalat yang mengandung zat methyl eugenol cukup efektif dalam menekan serangan hama lalat buah. Pengendalian hama ulat jengkal, ulat tritip, ulat grayak dan ulat buah dengan memanfaatkan ekstrak flora rawa dari tanaman tanaman Cambai karuk (Piper sarmentosum), rumput minjangan/krinyu (Chromolaena odorata), mamali (Leea indica), jelatang (Nesmone javanica Miq), lua (Ficus glomeratha), jingah (Glutha rengas), galam (Melaleuca cajuputi), kapayang (Pangium edule), kalampan (Cerbera odollam), maya (Amorphophallus campanulatus), kumandrah (Croton tiglium), sungkai (Peronea canecens), jalukap (Centella asiatica), gulinggang (Cassia sp), mengkudu (Morinda citrifolia), dan Kacang parang (Canavalia ensiformis) yang berfungsi sebagai insektisida nabati. Dengan demikian pemanfaatan predator semut rangrang, pembungkusan buah, pemasangan zat atraktan (Methyl eugenol) dan penggunaan insektisida nabati dari flora rawa cukup efektif untuk mengendalikan hama-hama sayuran ramah lingkungan. Kata kunci: Pengendalian hama., ramah lingkungan, lahan rawa

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 384

PENDAHULUAN Luas areal lahan rawa di Indonesia oleh Widjaya-Adhi dkk. (1992) diperkirakan mencapai 33,4 juta hektar, terdiri dari 20,11 juta hektar lahan pasang surut dan 13,29 juta hektar lahan lebak. Dari luas tersebut sekitar 4,186 juta hektar lahan pasang surut sudah direklamasi dan sekitar 0,73 juta hektar lahan lebak diusahakan sebagai areal pertanian. Di lahan rawa pasang surut diusahakan berbagai komoditas tanaman seperti tanaman pangan (padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau), tanaman hortikultura (sayuran dan buah- buahan) dan tanaman perkebunan serta industri. Hama utama hortikultura (buah-buahan dan sayuran) adalah lalat buah, ulat jengkal, ulat plutella dan ulat grayak. Akibat serangan dari hama tersebut kerusakan dapat mencapai 75-90%, bahkan dapat menimbulkan kegagalan panen (Asikin, 2005a). Sampai sekarang insektisida sintetis masih merupakan andalan bagi petani untuk mengendalikan hama. Penggunaan insektisida sintetis sering tidak menyelesaikan masalah, karena penggunaannya yang kurang bijak akan menyebabkan percemaran terhadap lingkungan, membunuh makhluk bukan sasaran, terjadinya resistensi dan resurgensi sehingga menyebabkan munculnya hama sekunder. Oleh karena itu untuk mengatasi hama dan penyakit tanaman perlu dikembangkan alternatif teknologi pengendalian hama dan penyakit yang sesuai dengan konsep PHT. Salah satu teknologi pengendalian hama dan penyakit yang sesuai dengan konsep PHT adalah pengendalian hama dengan memanfaatkan pestisida nabati. Dalam rangka mengembangkan konsep PHT tersebut, maka peranan pengendali alami yang ramah lingkungan perlu dikaji seperti penggunaan tanaman perangkap, ekstrak bahan nabati sebagai attraktan maupun insektisisida nabati dan penggunaan musuh alami parasitoid, predator dan patogen hama. Tulisan ini merupakan informasi beberapa hasil penelitian pengendalian hama sayuran ramah lingkungan, sebagai pedoman dalam mengendalikan hama di lahan rawa.

TEKNOLOGI PENGENDALIAN Pemanfaatan Parasitoid Ulat jengkal (Plusia sp.) adalah hama serangga yang banyak menyerang tanaman sayuran di lahan rawa pasang surut. Hama ini dalam waktu singkat dapat merusak tanaman sayuran 70-80% seperti yang terjadi di daerah pasang surut Kabupaten Kapuas (Kalteng).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 385

Mengatasi hal ini tersebut maka strategi pengendalian untuk budidaya tanaman sayuran dapat dilakukan, salah satunya penggunaan parasitoid. Lalat Tachinid adalah salah satu parasitoid yang populasinya cukup tinggi di daerah rawa pasang surut dan berpotensi menekan populasi ulat jengkal. Hasil penelitian yang dilakukan di laboratorium hama dan penyakit Balittra diketahui bahwa tingkat parasitasi cukup tinggi, namun bervariasi pada setiap generasi (Tabel 1). Tingkat parasitasi tertinggi terjadi pada generasi II kemudian turun pada generasi III dan IV (Najib dan Gazali, 1997).

Tabel 1. Persentase ulat jengkal yang terparasit oleh lalat tachinid, Balittra Banjarbaru Generasi Jumlah larva dikoleksi Parasitasi (%) II 200 78 III 400 56 IV 200 52 Sumber: Najib & Gazali (1997)

Pemanfaatan Predator Semut Rangrang Semut rangrang (Oecophylla smaragdina F), memiliki sifat morfologik sebagai pemangsa, keberadaan rangrang sebagai pemangsa juga tampak apabila rangrang bertemu dengan ulat pemakan daun atau mangsa lainnya. Hasil pengamatan intensitas kerusakan akibat lalat buah pada pare atau gambas, yang diberi perlakuan semut rangrang dimana intensitas kerusakan relatif jauh lebih rendah dibandingkan tanpa perlakuan (kontrol). Dimana pare atau gambas yang diberi semut rangrang intensitas kerusakan berkisar antara 1-2% (Gambar 1). Hal ini dikarenakan rangrang sangat aktif mencari mangsa terutama dari lalat buah berupa telur yang diletakkan pada pare tersebut. Dimana telur-telur tersebut tidak sempat menetas untuk menjadi larva, dan telur- telur yang diambil dimakan dan sebagian dibawa ke dalam sarang sebagai makanan anak- anaknya. Dan disamping itu pula rangrang tersebut kalau menggigit kebiasaannya selalu mengeluarkan cairan yang berbau langu. Sehingga dengan cairan yang berbau langu ini diduga dapat menggangu keberadaan lalat buah. (Hamijaya & Asikin, 2003).

Pembungkusan buah/Cara Mekanik Hasil penelitian menunjukkan bahwa buah pare yang diperlakukan dengan cara pembungkusan ini dapat menekan intensitas kerusakan berkisar antara 2-5% (Gambar 1) (Hamijaya, 2003a). Tetapi kelemahan dari cara pembungkusan buah ini adalah memerlukan

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 386 waktu yang banyak, warna buah kurang menarik. Di samping itu pula cara mengikat pembungkus dapat mempengaruhi tingkat pemkembang buah (kadang-kadang buah jadi layu) akibat terlalu kuat mengikat tangkai buah.

80

60 Semut rangrang 40 Dibungkus Insektisida

Kerusakan (%) Kerusakan 20 Kontrol 0 perlakuan

Gambar 1. Tingkat kerusakan buah pare oleh hama lalat buah pada MH 2002/03, di Inlittra Banjarbaru (Hamijaya, 2003; Hamijaya & Asikin, 2003)

Pemanfaatan Atraktan methyl eugenol Hamijaya (2003b), melaporkan bahwa pengendalian lalat buah dengan menggunakan zat atraktan berbahan methyl eugenol dapat menurunkan intensitas kerusakan lalat buah. Hal ini disebabkan bahwa hama lalat buah banyak yang terperangkap pada perlakuan methyl eugenol (Gambar 2). Dengan banyaknya lalat buah yang terperangkap sehingga mengakibatkan intensitas kerusakan menurun yaitu dibawah 10%. Sedangkan pada tanaman yang bebas zat attraktan intensitas kerusakan cukup tinggi berkisar antara 50-85%, bahkan sampai 100%.

80

60 M.Eugenol 40 Insektisida

20 Kontrol Kerusakan (%) Kerusakan 0 perlakuan

Gambar 2. Tingkat kerusakan buah lombok oleh hama lalat buah pada MH 2002/03, Kebun Percobaan Banjarbaru (Hamijaya, 2003)

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 387

Pengaturan Waktu Tanam/Kultur Teknis Berdasarkan hasil pengamatan terhadap intensitas kerusakan yang disebabkan hama plutella, ulat grayak, dan ulat tanah sangat bervariasi yaitu dari 10% hingga 95%, Tingginya tingkat kerusakan tanaman ini disebabkan jadwal tanam yang keliru, padahal serangan hama ini dapat dihindari dengan melakukan pengaturan waktu tanam. Menurut Asikin dan Thamrin (2009a), diketahui bahwa dengan melakukan waktu tanam pada bulan Juni Minggu I - bulan Juli Minggu I serangan hama-hama sayuran sawi tersebut dapat dihindari (Gambar 3).

Pengaruh Waktu Tanam Terhadap Hama Saw i

120

100

80

60

40 (%)Kerusakan

20

0 Juni Ming I Juni Ming III Juli Ming I Juli Ming III Agus Ming Agus Ming I III Waktu Tanam

Gambar 3. Waktu Tanam Sawi Terhadap Serangan Hama. Sumber : Asikin dan Thamrin (2009).

Pemanfaatan Abu Sekam/Dapur Abu sekam dan abu dapur sebagai pupuk memberikan tanbahan unsur hama bagi tanaman. Abu sekam tersebut mengandung bahan silikat yang cukup tinggi, kalium dioksida, magnesium oksida, fosfat oksida, sulfat oksida dan karbon (Badan Pengendali Bimas, 1983). Menurut Ritonga (1991), pengaruh silikat terhadap tanaman yaitu dapat memperbaiki daya tumbuh, meningkatkan ketahanan terhadap serangan hama dan penyakit, memperlancar penyerapan hara, dan dapat juga membantu penghematan pemakaian air pada tanaman. Penggunaan bahan amelioran dari abu sekam/abu dapur diaplikasikan pada saat semai dan tanam. Selain dapat memperbaiki daya tumbuh tanaman, pemberian abu sekam/abu dapur secara khusus dapat mengendalikan hama-hama dalam tanah seperti ulat tanah, dan beberapa jenis siput. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa semaian yang diberi abu sekam pertumbuhannya agak baik dan tanaman terhindar dari serangan ulat tanah dan siput.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 388

Sedangkan semaian yang tidak diberikan abu sekam sebagian besar terserangan hama yang intensitasnya dapat mencapai 70-80% (Asikin, 2005b).

Pemanfaatan Atraktan Warna Selain zat atraktan yang berasal dari bahan tumbuhan atau kimia lainnya ternyata warna juga dapat digunakan sebagai bahan atraktan. Hasil penelitian terhadap daya tarik serangga dengan menggunakan plastik dan kertas berwarna dengan ukuran 30 cm x 40 cm ternyata plastik warna kuning sangat disenangi oleh lalat buah atau yang paling efektif digunakan sebagai perangkap (Gambar 4). Diduga bahwa plastik warna kuning lebih kontras bahkan kelihatan mengkilat dibandingkan warna kuning bahan kertas. Tetapi teknologi ini sulit berkembang dikarenakan di lahan rawa pasang surut tersebut angin yang bertiup cukup kencang sehingga mengakibatkan kertas/plastik warna yang dipasang tersebut menjadi rebah bahwa ada yang hancur atau sobek.

Populasi Lalat Buah Terperangkap 30

25

20

15

Jlh.Pop(ekor) 10

5

0 Plastik kuning Karton manila Karton manila Karton w arna Kertasgarsing Kertas kuning kuning pucat kotoran kerbau sampulbatang padi Perlakuan

Gambar 4. Lalat Buah yang terperangkap. Sumber: Nurdin dkk. (1999)

Pemanfaatan Atraktan Nabati Zat atraktan ini tidak berdampak negatif terhadap lingkungan atau organisme lainnya termasuk manusia. Cara membuatnya mudah dan harga bahan utamanya murah. Zat atraktan ini telah dicobaan di Kebun Percobaan Banjarbaru, ternyata dengan menggunakan zat atraktan tersebut intensitas kerusakan yang disebabkan oleh lalat buah sekitar pertanaman gambas sangat rendah yang hanya berkisar 2-5% dan tidak berbeda dengan menggunakan

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 389 methyl eugenol, sedangkan untuk kontrol (tanpa pengendalian) kerusakan dapat mencapai antara 75-85%.(Gambar 5) (Asikin dan Thamrin, 2003).

Kerusakan Gambas olah Lalat Buah

100

80

60

40 Kerusakan (%) Kerusakan 20

0 Methyl eugenol Atraktan Buatan Insektisida Kontrol Perakuan

Gambar 5. Kerusakan Buah Gambas

Insektisida Bahan Flora Rawa Terhadap Ulat grayak Menurut Asikin (2008 dan 2009) (Gambar 6 dan 7) telah didapatkan beberapa jenis tumbuhan rawa yang berpotensi sebagai insektisida nabati antara lain seperti tanaman Kapayang (Pangium edule) mengandung asam sianida dalam jumlah besar, obat anti septik, pemusnah hama dan pencegah parasit yang manjur. Kulit kayu pohon ini yang diremas-remas dan ditaburkan di perairan akan mematikan ikan atau sejenis tuba ikan. Daunnya dapat mematikan ulat dan organisme hewani lainnya. Menurut Rumphius (1992) dalam Wardhana (1997) bahwa seluruh bagian pohon kapayang mengandung asam sianida yang sangat beracun dan dapat digunakan sebagai bahan pencegah busuk dan senyawa pembunuh serangga. Adapun sifat astiri dari racunnya memiliki keuntungan apabila digunakan tidak ada bau atau rasa apapun yang tertinggal pada tanaman yang diperlakukan. Sedangkan tumbuhan liar lainnya seperti galam mempunyai bau aroma yang baik, kumadrah dapat digunakan sebagai bahan obat-obatan, cambai dapat digunakan sebagai bahan ramuan ginjal dan maag, sedangkan tumbuhan meron dapat juga digunakan sebagai fumigan dalam mengendalikan hama-hama padi terutama walang sangit. Cara kerja (metode of action) insektisida nabati dalam membunuh atau mengganggu pertumbuhan hama sasaran adalah: (1) mengganggu/mencegah perkembangan telur, larva dan pupa, (2) mengganggu/mencegah aktifitas pergantian kulit dari larva, (3) mengganggu proses

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 390 komunikasi seksual dan kawin pada serangga, (4) meracun larva dan serangga dewasa imago, (5). Mengganggu/mencegah makan serangga, (6) menghambat proses metamorfosis pada berbagai tahap, (7) menolak serangga larva dan dewasa, dan (8) menghambat pertumbuhan penyakit. (Anonymous dalam Saraswati (2004). Asikin dan Thamrin (2009b), melaporkan bahwa tanaman kapayang (P. edule) mengandung beberapa komponen kimia yang salah satu kandungannya adalah seperti piretrin. Senyawa piretrin bekerja dengan cara mengganggu jarigan saraf serangga. Piretrin bekerja dengan cepat dan dapat langsung membuat pingsan serangga. Namun sebagian besar serangga bangun kembali setelah sempoyongan beberapa saat. Hal ini disebabkan banyak jenis serangga yang mampu menguraikan dan menetralisir piretrin dengan cepat melalui proses metabolisme yang terjadi di dalam tubuhnya. Piretrin cepat terurai oleh sinar matahari dan kelembabab udara. Penguraian yang lebih cepat terjadi pada kondisi asam dan basa. Karena itu bahan yang mengandung piretrin tidak boleh dicampur dengan kapur atau sabun pada saat aplikasi. Formulasi piretrin dapat disimpan untuk waktu yang lama jika tidak dilarutkan.

Efikasi Tumbuhan Rawa Terhadap Ulat grayak

120 100 80 60

40 Mortalitas 20 0

L.indica P.edule Kontrol C.odorata N.javanica G.rengas M.cajuputi Sihalotrin F.glomerata P.sarmentosum Jenis Tumbuhan

Gambar 6. Efikasi jenis tumbuhan rawa terhadap ulat grayak Sumber : Asikin (2008).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 391

Efikasi Tumbuhan Rawa Terhadap Ulat grayak

120 100 80 60

Mortalitas 40 20 0

Konrol C.tiglium C.oblata C.asiatica Cassia sp Costus sp Sihalotrin P.Cenecens C.asiaticum E.subumbran Jenis Tumbuhan

Gambar 7. Efikasi jenis tumbuhan rawa terhadap ulat grayak Sumber : Asikin (2009).

Asikin dan Thamrin (2008), melaporkan bahwa didapatkan 7 jenis tumbuhan rawa yang berpotensi sebagai insektisida nabati terhadap ulat grayak pada gambar 8. Ketujuh jenis tumbuhan rawa tersebut adalah Rumput minjangan (Chromolaena odorata), Tanaman Maya (A. campanulatus), Cambai karuk (Piper sarmentosum), Sungaki (P. canecens), Pegagan (C. asiatica), Gulinggang (Cassia sp.), Kapayang (P. edule), dan Kumandrah (C.tiglium) dengan tingkat kematian ulat grayak berkisar antara 65-90%, dengan persentase tingat kematian tertinggi adalah pada perlakuan ekstrak rumput minjangan (C. odorata) yaitu sebesar 90%. Rumput minjangan (C. odorata), tumbuhan ini dapat digunakan sebagai obat luka tanpa menimbulkan bengkak, tumbuhan ini berfungsi juga sebagai bahan insektisida nabati untuk mengendalikan beberapa jenis hama sayuran. Biller dkk. (1994), melaporkan tumbuhan rumput minjangan juga dapat digunakan sebagai pakan ternak, namun harus melalui proses pengolahan seperti pengeringan dan penumbukan. Rumput minjangan mengandung Pas (Pryrrolizidine Alkaloids) sebagai racun, dan kandungan ini menyebabkan tanaman ini berbau menusuk, rasa pahit, sehingga bersifat repelen dan juga mengandung allelopati. Rumput minjangan ini cukup efektif dalam mengendalikan hama ulat grayak, ulat jengkal dan ulat buah Ekstrak cambai karuk (P. sarmentosum) persentase kematian dapat mencapai 85%. Tumbuhan P. sarmentosum dapat juga digunakan sebagai pengobatan tradisional sebagai obat maag dan ginjal. Tumbuhan cambai karuk (P. sarmentosum Roxb.Ex Hunter) mengandung saponin, polifenol, fvanoid dan minyak atsiri (Permadi 2005). Menurut Pittaya (2006), tumbuhan cambai karuk juga mengandung berbagai kandungan senyawa seperti pyrrolidinel amide, betasitosterol, methylenedioxybencena, guineensine, alkene, sarmintine, pellitorine, sarmentosine dan polifenol.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 392

Efikasi Tumbuhan Rawa Terhadap Ulat Grayak

120 100 80 60

40 (%)Mortalitas 20 0

Maya Kontrol Pegagan C.odorata Kapayang Cassia sp Sihalotrin P.cenescens P.sarmentosum Jenis Tumbuhan Raw a

Gambar 8. Efikasi jenis tumbuhan rawa terhadap ulat grayak Sumber : Asikin dan Thamrin (2008).

Terhadap Ulat Jengkal Menurut Asikin dan Thamrin (2005a), bahwa telah didapatkan beberapa jenis tumbuhan rawa yang berpotensi sebagai insektisida nabati terhadap ulat jengkal dengan daya racun antara 65-80%, salah satunya adalah tumbuhan galam (Maleleuca cajuputi) (Gambar 9). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak tumbuhan galam dan rumput minjangan mempunyai daya rarun yang tinggi yaitu dapat mencapai 80% . Menurut Duke (1991) bahwa daun galam mengandung kira–kira 1,3% minyak atsiri dengan kandungan 14-27% sineol dan aldehid. Disamping itu komponen lain minyak atsirinya mengandung 1-limonena, dipentena, seskueterpena, azulen, seskueterpen alkohol, valeraldehid dan benzaldehida. Kulit kayunya mengandung asam betulinat (melaleusin). Daun galam juga mengandung terpinoel, pinena, dan limonena yang diduga dapat menjadi bahan pengusir nyamuk (Kardinan, 2003). Berdasarkan penelitian terlebih dahulu dari Asikin pada tahun 2005 pada ekstrak etanol daun galam diperoleh senyawa Trans caryophyllena, β-

Selinena, Germacrena (C15H26O), Neopitadiena, Sikloheksakarboksaldehida, 3,3,6,9,9- Pentametil-2,10-diaz, Etanona 1-(4,6-dihidroxy), dan Stigmast-5-en-3-ol. Berdasarkan penelitian Syahmani dkk. (1997) daun galam mengandung β-Caryophylena; 3-metoksi asam benzoat trimetilsilan; limonena; 1,4 Naftaquinon-5,8-dihidroksi-2-metoksi; 3-Carena; α- Caryophylena; Unknow seskuiterpen; Sineol; Patchulin; Etil benzena; Benzena 1-metil- 3(metiletil); dan Copeena. Minyak atsiri yang dihasilkan oleh tumbuhan galam mengandung 1,8-sineol, linalool, alfa-terpineol, terpinen-4-ol, terpinil asetat, pinena, nerolidol, leavo- pinena, farnesol, fitol, squalena, allaromadendrena, ledena, palustrol, viridiflorol, ledol,

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 393 betulinaldehid, asam betulinat, asam platanat, limonena, dipentena, azulen, sesquiterpen, valerianik aldehid dan benzaldehid (Putro,2008).

Jenis Tumbuhan Rawa Terhadap Kematian Ulat Jengkal (Plusia sp)

120 100 24 jam 80 60 36 jam 40 48 jam 20 (%) (%) Kematian 0

GalamMerconMimba Salasih Kontrol SungkaiKuringkit Kayu SapatKumandrah Deltametrin Cambai karuk JalatangRpt.minjangan tulang Jenis Tumbuhan Rawa

Gambar 9. Efikasi ekstrak tumbuhan rawa terhadap ulat buah. Sumber : Asikin dan Thamrin (2005)

Terhadap Ulat Buah (Diaphania indica) Hasil penelitian ekstrak tumbuhan rawa terhadap ulat buah (Diaphania indica) diketahui bahwa telah didapatkan 11 jenis tumbuhan rawa yang berpotensi sebagai insektisida nabati (Gambar 10 dan 11). Kesebelas jenis tumbuhan rawa tersebut adalah tumbuhan Lukut, Kapayang, Maya, Galam, Kumandrah, Jingah, Lua, Mamali, Kalalayu, Kacang parang, dan Sirsak. Pada umumnya jenis tumbuhan rawa yang berpotensi sebagai insektisida nabati tersebut juga berfungsi sebagai bahan obat-obatan tradisional. Misalnya seperti Kumandrah dapat digunakan sebagai obat cahar perut atau perlancar buang air.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 394

EfikasiEkstrak Flora Rawa Terhadap Ulat Buah (Diaphania indica)

120 100 80 60

40 (%) (%) Kematian 20 0

Lua Lukut Maya Galam Jingah Sirsak Kontrol Mamali Kalalayu Kapayang Kumandrah Kac.parang Delta metrin Landa sihalotrin Flora rawa

Gambar 10. Efikasi beberapa jenis tumbuhan terhadap ulat buah (Diapania indica) pada MT.2005. Sumber :Asikin dan Thamrin 2005 b.

Efikasi Tumbuhan Rawa Terhadap

120 100 80 60

40 %Kematian 20 0

C.tiglium Konrtol C.odolum C.asiatica Cassia sp Sihalotrin P.canecens A.campanulatus Jenis Flora Raw a

Gambar 11. Efikasi beberapa jenis tumbuhan terhadap ulat buah (D. indica) pada MT.2005. Sumber : Asikin dan Thamrin 2006.

Terhadap Ulat Tritip (Plutella sp) Menurut Asikin (2005c), ditemukan tiga jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai insektisida nabati dalam mengendalikan hama daun kubis (Plutella sp), yaitu Pegagan, Mengkudu dan Kacang Parang dengan tingkat kematian antara 60-75% pestisida nabati tersebut diduga bersifat racun perut, karena pada hari pertama terjadi kontak belum memperlihatkan gejala keracunan, tetapi setelah larva-larva tersebut makan sehingga mengakibatkan gejala keracunan bagi larva tersebut (Gambar 12). Pada perlakuan ekstrak mengkudu dengan tingkat kematian 75% dan diikuti oleh perlakuan ekstrak pegagang dengan persentase kematian plutella 70%. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian terdahulu bahwa perlakuan ekstrak tanaman mengkudu cukup tinggi daya racunnya dalam membunuh hama ulat kubis tersebut. Menurut Gazali (1999) perlakuan ekstraksi tumbuhan Mengkudu,

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 395

Bawang putih, Alamanda, Kamboja, Lada dan Gadung terhadap kematian larva Ulat kubis (P. xylostella) dapat mencapai 90-100%.

Efikasi tumbuhan terhadap kematian ulat Plutella

80 70 60 50 40 30

(%) kematian (%) 20 10 0

Morinda Centella Canavalia Deltametrin

Gambar 12. Efikasi tumbuhan rawa terhadap ulat tritip (iaPlutella sp) pada MT.2005 Sumber : Asikin (2005c).

Buah mengkudu mengandung minyak atsiri, alkaloid, triperpenoid, acubin, asperuloside, alizarin, asam karbon,asam kaproat, asam kaprik (penyebab bau busuk pada buah) asam kaprilat (penyebab buah tidak enak), antrakuinon, protein, proxeronin, xeronine, scolopetin, dan damnachantal (zat antikenker). Sementara bunganya mengandung glykosida antrakinon (Hariana, 2005). Kulit akar dan kulit kayu mengandung antrakuinon, kulit akar juga mengandung moridin, moridon, dan soranjidol dan daun mengandung alkaloid dan minyak atsisi (http://pkukmweb.ukm.htm). Karena pada daunnya mengandung alkaloid, maka hama tanaman kurang menyenangi dan tanaman terhindar dari serangan hama.

KESIMPULAN Dari hasil di atas dapat disimpulkan bahwa dari beberapa hasil penelitian diketahui bahwa telah ditemukan beberapa komponen pengendalian yang dapat digunakan dalam mengendalikan hama tersebut seperti pengendalian hama lalat buah memanfaatkan predator semut rangrang (O. smaragdina), intensitas kerusakan buah hanya 1-2%. Sedangkan dengan cara pembungkusan buah intensitas serangan dapat ditekan antara 2-5%. Pemanfaatan perangkap lalat yang mengandung zat methyl eugenol cukup efektif dalam menekan serangan hama lalat buah. Pengaturan waktu tanaman sayuran daun seperti sawi yang ditanam pada bulan Juni sampai bulan Juli dapt menghindari serangan hama perusak daun sawi. Pengendalian hama ulat tritip, ulat jengkal, ulat grayak dan ulat buah dengan memanfaatkan ekstrak flora rawa dari tanaman Cambai karuk (Piper sarmentosum), rumput

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 396 minjangan/krinyu (Chromolaena odorata), mamali (Leea indica), jelatang (Nesmone javanica Miq), lua (Ficus glomeratha), jingah (Glutha rengas) , galam (Melaleuca cajuputi), kapayang (Pangium edule), kalampan (Cerbera odollam), maya (Amorphophallus campanulatus), kumandrah (Croton tiglium), sungkai (Peronea canecens), Jalukap (Centella asiatica) dan gulinggang (Cassia sp), Mengkudu (Morinda citrifolia), dan Kacang parang (Canavalia ensiformis) yang berfungsi sebagai insektisida nabati. Dengan demikian pemanfaatan predator semut rangrang, pembungkusan buah, pemasangan zat atraktan (Methyl eugenol) dan penggunaan insektisida nabati dari flora rawa cukup efektif untuk mengendalikan hama-hama sayuran ramah lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA Asikin, S. 2005a. Hama dan Penyakit Sayuran di Lahan Rawa Pasang Surut. Laporan Hasil Penelitian Balittra. Banjarbaru. Asikin, S. 2005b. Pemanfaatan Abu Sekam/Dapur dalam Mengendalikan Hama Sayuran. Laporan Hasil Penelitian Balittra. Banjarbaru. Asikin, S. 2005c. Efikasi Ekstrak Efikasi Ekstrak Tumbuhan Rawa Terhadap Ulat Tritip (Plutella sp). Laporan Kegiatan Hama Penyakit Balittra. Banjarbaru. Asikin, S. 2008. Efikasi Tumbuhan Liar Rawa Yang Berpotensi Sebagai Pestisida Nabati Terhadap Ulat Grayak. Laporan Kegiatan Hama Penyakit. Balittra. Banjarbaru. Asikin, S. 2009. Efikasi Bahan Tumbuhan Terhadap Ulat Grayak di Laboratorium. Laporan Kegiatan Hama Penyakit Balittra. Banjarbaru Asikin, S. dan M. Thamrin. 2003. Bahan Nabati Yang Berfungsi Sebagai Attraktan Bagi Lalat Buah (Bactrocera dorsalis). Laporan Hasil Penelitian Balittra. Banjarbaru. Asikin, S dan M. Thamrin. 2005a. Efikasi Bahan Tumbuhan Terhadap Ulat Jengkal (Plusia sp). Laporan Kegiatan Hama Penyakit Balittra. Banjarbaru. Asikin, S. dan M. Thamrin. 2005b. Efikasi Bahan Tumbuhan Terhadap Ulat Buah (Diaphania indica). Laporan Kegiatan Hama Penyakit Balittra. Banjarbaru. Asikin, S. dan M. Thamrin. 2006. Efikasi Bahan Tumbuhan Terhadap Ulat Buah (Diaphania indica). Laporan Kegiatan Hama Penyakit Balittra. Banjarbaru. Asikin, S. dan M. Thamrin. 2008. Uji Efikasi Beberapa Jenis Tumbuhan Rawa Terhadap Ulat Grayak. Laporan Kegiatan Hama dan Penyakit. Balittra. Banjarbaru. Asikin, S. dan M. Thamrin. 2009a. Pengaturan Waktu Tanam Sayuran Sawi Terhadap Serangan Hama. Laporan Kegiatan Hama dan Penyakit. Balittra. Banjarbaru. Asikin, S. dan M. Thamrin. 2009b. Efikasi Tumbuhan Rawa Terhadap Ulat Grayak di Laboratorium Hama Penyakit Balittra. Laporan Kegiatan Hama dan Penyakit. Balittra. Banjarbaru. Badan Pengendali Bimas. 1983. Pedoman Bercocok Tanam Padi, Palawija, dan Sayur- Sayuran. Deptan. Jakarta. Biller, A., M. Boppre, L. Witte and T. Hertman. 1994. Pyrrolizidine alkaloids in Chromolaena odorata. Phytochemistry. http//www.ens.cau.au//Chromolaena/o/o mod.html. Diakses 26 Agustus 2005 Duke, J. A. 1991. CRC Handbook Of MidiCinal Herb. Florida.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 397

Gazali, A. 1999. Kerusakan daun sawi oleh Plutella xylostella yang diberi perasan Umbi Gadung. Kalimantan Agrikultura Vol.6 No.1 April 1999. Jurnal Ilmiah Fak.Pertanian UNLAM Banjarbaru. Hamijaya, M.Z. dan S.Asikin. 2003. Predator Semut Rangrang Oecophylia smaragdina (F) Dalam Mengendalikan Hama Lalat Buah Pare (Momordica charantina L). Hasil Penelitian Balittra. Banjarbaru. Hamijaya, M.Z. 2003a. Pengendalian Dengan Cara Pembungkusan Buah Terhadap Lalat Buah. Laporan Hasil Penelitian Balittra. Banjarbaru. Hamijaya, M.Z. 2003b. Daya Tarik Attraktan Methyl Eugenol Dalam Mengendalikan Lalat Buah pada Tanaman Lombok. Laporan Hasil Penelitian Balittra. Banjarbaru. Hariana, A. 2005. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya Seri 2. Penebar Swadaya. Jakarta. http://pkukmweb.ukm.htm. Diakses 4 Desember 2008. Kardinan, A. 2001. Pestisida Nabati Ramuan dan Aplikasi. PT. Penebar Swadaya. Jakarta. Kardinan, A. 2003. Tanaman Pengusir dan Pembasmi Nyamuk. PT. Penebar Swadaya. Jakarta. Nurdin, F., Gani, dan Z.B. Kiman. 1993. Pengaruh Beberapa Konsentrasi Insektisida Biologi Thuricid HP. Terhadap Mortalitas Ulat Grayak (Spodoptera litura) Pada Tanaman Kedelai. Fak. Pertanian Univ. Andalas Padang. Prosiding Makalah Patologi Serangga I. Yogyakarta. Najib., M dan A. Gazali. 1997. Widjaya-Adhi., IPG., K. Nogroho., Didi Ardi,S., dan A.S. Karama. 1992. Sumber Daya Lahan Pasang Surut, Rawa dan Pantai Keterbatasan dan Pemanfaatan dalam S. Partohaodjono dan M. Syam (Ed). Pengembangan Terpadu Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak. Risalah Pertemuan Nasional Pengembangan Lahan Pasang Surut dan Rawa. Cisarua 3-4 Maret 1992. Bogor. Wardhana, A., Gt. 1997. Penetapan LC 50 Ekstrak Pucuk Daun Kapayang (Pangium edule Rein W.) Terhadap Ulat Pemakan Daun Kubis (Plutella xylostella Linn.) Skripsi. Fak.Pertanian Unlam. Banjarbaru. Ritonga, L. 1991. Pengaruh Silikat Terhadap Perkembangan Wereng Coklat (Nilaparvata lugens Stall) pada Tanaman Padi (Oryza sativa). Tesis Fak.Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Soptrapto, M. 1999. Asosiasi Rangrang Oecopylia smaragdina (F) (Hymenoptera : Formicidae) dengan Serangga Lain dalam Syarif, H. Sadel, N., E. Santosa., Sumeno., Delon. S., N. Susniati dan E. Rosmania. Pengelolaan Serangga Secara Berkelanjutan. Prosiding Kongres Perhimpunan Entomologi Indonesia V dan Symposium Entomologi. Bandung 24-26 Juni 1997. Syahmani, A. dan Herdiansyah. 1997. Isolasi dan Penentuan Kadar Sineol Minyak Atsiri Daun Galam (Mellaleuca leucadendron Linn) di Kalimantan Selatan. Banjarmasin. FKIP Unlam. Saraswati. 2004. Pengaruh Konsentrasi Filtrat Biji Bengkuang (Pachyrrhizus erosus L) Terhadap Mortalitas Larva Nyamuk Aedes aegypti L. Skripsi. UMM.Malang. Thamrin, M. 2002. Hama Sayuran di Lahan Rawa Pasang Surut. Laporan Hasil Penelitian Balittra. Banjarbaru. Permadi, A. 2005. Tanaman Obat Pelancar Air Seni. Penebar Swadaya. Bekasi. Pittaya. 2006. Chemical Constituents of the Roots of Piper sarmentosum. Japan. Putro. D.S. 2008. Kayu Putih (Melaleuca leucadendra L). http://desputrohome.wordprees.com. Diakses 28 Desember 2009.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 398

.OPH-41 Pengendalian Hama Penggerek Batang Padi Ramah Lingkungan di Lahan Rawa Pasang Surut Mahrita Willis1, S.Asikin1, dan M.Thamrin1 1Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa

ABSTRAK Di lahan rawa pasang surut Kalimantan Selatan dan Tengah jenis penggerek batang padi yang sering menyerang dan menimbulkan kerusakan adalah jenis penggerek batang padi putih. Beberapa hasil penelitian diketahui bahwa taktik pengendalian penggerek batang padi yang dilakuan di lahan rawa pasang surut yang cukup efektif adalah seperti cara bercocok tanam padi yang biasa dilakukan oleh petani di lahan pasang surut yang dapat menekan populasi penggerek batang padi,yaitu memotong turiang padi dan membiarkannya sampai membusuk, tanam pindah yang dilakukan beberapa kali, memotong daun pada saat tanaman akan dipindahkan. Cara-cara tersebut dapat menggagalkan penggerek batang yang berdiapause untuk menjadi imago, membunuh larva yang ada di dalam batang dan menggagalkan telur menetas menjadi larva, memanfaatkan tumbuhan liar purun tikus (E. dulcis) sebagai tanaman perangkap. Tumbuhan liar purun tikus juga bermanfaat sebagai perumahan musuh alami hama padi (parasitoid dan predator), bahan attraktan. Pemanfaatan musuh alami seperti laba-laba dan parasitoid telur berpotensi dalam menekan populasi telur penggerek batang padi yaitu berkisar antara 12,5- 60%. Adapun pemanfaatan bahan amileoran (abu sekam/dapur) sebagai sumber sikika (Si) dapat menekan serangan antara 5-14%. Pemanfaatan flora rawa yang berfungsi sebagai insektisida nabati seperti tumbuhan kapayang (Pangium edule), lukut (Patycerium bifurcatum), lua (Ficus glomerata), kalalayu (Erigioseum rubiginosum), galam (Melaleuca leucandra), jingah (Glutha rengas), mamali (Leea sp), maya (Amorphophallus campanulatus) dan rumput minjangan (Chromolaena odorata) dengan daya racun berkisar antara 55-85%, sedangkan tumbuhan liar ribu-ribu (Lycodium flexuosum), kulit buah jeruk (Citrus maxima) dan tumuhan mercon sebagai zat penolak bagi hama padi. Kata kunci: Penggerek batang, pengendalian, rawa pasang surut.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 399

PENDAHULUAN Di lahan rawa pasang surut Kalimantan Selatan dan Tengah jenis penggerek batang yang dominan ditemukan adalah penggerek batang padi putih (PBPP). Penggerek batang padi putih ini dapat menyerang tanaman padi pada semua fase pertumbuhan tanaman, menimbulkan gejala sundep pada fase pertumbuhan vegetatif dan gejala beluk pada fase pertumbuhan generatif. Menurut Asikin (2002), melaporkan bahwa tingkat serangan hama penggerek batang padi di lahan pasang surut cukup bervariasi dimana lokasi pertamanan padi yang berdekatan dengan banyaknya pertumbuhan Eleocharis dulcis kerusakan padi berkisar antara 0,1-0,5% sedangkan lokasi pertanaman padi yang tidak ditemui adanya pertumbuhan E. dulcis tingkat kerusakan padi berkisar antara 25-50%, bahkan dapat mencapai 80% apabila tidak dikendalikan. Pengendalian penggerek batang padi merupakan tantangan yang sangat besar, karena hama tersebut sukar diramalkan. Pada umumnya petani dalam mengendalikan hama selalu bertumpu pada penggunaan insektisida. Berdasarkan konsep pengendalian hama terpadu (PHT), pengendalian dengan menggunakan insektisida merupakan alternatif terakhir apabila komponen-komponen lainnya tidak mampu lagi menekan serangan hama tersebut. Dalam rangka mengembangkan konsep PHT tersebut, maka peranan pengendali alami yang ramah lingkungan perlu dikaji seperti penggunaan tumbuhan purun tikus (E. dulcis) sebagai tanaman perangkap, penggunaan bahan amelioran abu sekam arau abu dapur sebagai sumber silikat, cara tanam dan bahan tumbuhan sebagai pestisida nabati. Makalah ini bertujuan untuk menginformasikan alternatif pengendalian hama penggerek batang ramah lingkungan di lahan rawa pasang surut.

TEKNOLOGI PENGENDALIAN Pemanfaatan bahan amelioran (Abu sekam) Pemberian abu sekam sebagai pupuk memberikan tambahan unsur hara bagi tanaman. Abu sekam tersebut mengandung bahan silikat yang cukup tinggi, kalium dioksida, magnesium oksida, fosfat oksida, sulfat oksida dan karbon (Badan Pengendali Bimas, 1983). Menurut Ritonga (1991), pengaruh silikat terhadap tanaman yaitu dapat memperbaiki daya tumbuh, meningkatkan ketahanan terhadap serangan hama dan penyakit, memperlancar penyerapan hara dan dapat juga membantu penghematan pemakaian air pada tanaman.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 400

Menurut Husni (1990) dengan pemupukan kalium dapat menekan perkembangan larva penggerek batang padi putih. Selain itu kalium juga dapat memperkuat batang dan mempertinggi tingkat ketahanan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit. Asikin dan Thamrin (1994), melaporkan bahwa pemupukan kalium yang dikombinasikan dengan abu sekam dapat menekan intensitas serangan penggerek batang padi putih, dengan takaran pupuk kalium 120 kg K2O dan abu sekam 0,5 t/ha, intensitas serangan sebesar 5,16%. Menurut Pathak (1977), kepekaan tanaman padi terhadap serangan penggerek batang ditentukan juga oleh sukar atau mudahnya larva penggerek masuk kedalam batang. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sunjaya (1981) dalam Asikin (2006), bahwa varietas yang mempunyai jaringan sklerenkim yang tebal dan banyak mengandung lignin sukar digerek oleh larva penggerek batang. Penelitian membuktikan bahwa pemberian silikat dapat menekan serangan hama seperti penggerek batang, wereng coklat, wereng hijau, dan hama punggung putih (Ma dan Takahashi 2002 dalam http://pangan.litbang.deptan.go.id). Larva yang memakan tanaman yang mengandung SiO2 kadar tinggi mengakibatkan alat mulutnya aus, sehingga tanaman terhindar dari serangannya (Sasamoto 1961 dalam http://pangan.litbang.deptan.go.id). Penelitian di Kebun Percobaan Belandean pada musin tanam 2005/2006 menunjukkan bahwa pengendalian dengan mengaplikasikan abu sekam cukup efektif dalam mengendalikan hama penggerek batang padi di lahan pasang surut. Rata-rata intensitas kerusakan hanya berkisar antara 2-5%, sedangkan pada perlakuan tanpa pengendalian dapat mencapai 35-50% (Gambar 1) (Asikin, 2006). Varietas yang digunakan adalah varietas Margarasi, dimana varietas tersebut batangnya lemah dibandingkan varietas padi unggul lainnya. Dengan pemberian abu sekam 0,5-1,5 t/ha batangnya lebih kuat dibandingkan tanpa pemberian abu sekam. Dengan lebih kuatnya batang tanaman tersebut dapat mempengaruhi tingkat ketahanan serangan penggerek batang tersebut. Tanaman padi yang memperoleh cukup silikat pertumbuhannya akan lebih baik dan hasilnya cukup tinggi, sedangkan tanpa silikat daunnya akan lemah dan melengkung ke bawah.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 401

Pengaruh Abu Sekam Terhadap Peng.Batang

4 3.5 3 2.5 2 Sundep 1.5 Beluk

Kerusakan/Hasil 1 Hasil (T/ha) 0.5 0 0.5 1 1.5 Dosis/Takaran

Gambar 1. Intensitas kerusakan Penggerek Batang Padi pada Vareitas Margasari di KP. Belandean pada MT. 2005/2006. Sumber : Asikin (2006)

Kultur teknis Sebagian besar lahan pasang surut ditanami varietas local yang umurnya kurang lebih 240 hari dengan masa vegetatif berkisar 180-200 hari. Cara tanam padi varietas lokal biasanya dilakukan dengan beberapa kali tanam pindah. Tanam pertama (dalam bahasa Banjar disebut ampak) dilakukan pada saat semaian (teradakan) berumur 21-30 hari, dan tanam kedua (lacak) dilakukan kurang lebih 30 hari setelah tanam pertama kemudian tanam ketiga dilakukan kurang lebih 60 hari setelah tanam kedua. Beberapa kali tanam pindah ini sangat menggangu larva penggerek padi yang berada di dalam batang bahkan dapat mengakibatkan kematian bagi larva instar satu dan dua. Bersamaan dengan tanam pindah, pemotongan daun padi juga dilakukan, sehingga dengan cara memotong daun-daun tersebut maka kelompok telur penggerek batang yang ada di daun-daun akan gagal menjadi larva. Jumlah telur yang paling banyak adalah pada saat tanam kedua (lacakan), karena pada saat ini adalah stadia yang paling disenangi oleh penggerek batang padi untuk meletakkan telurnya. Tingkat kerusakan yang disebabkan oleh penggerek batang padi pada saat 30 hari setelah tanam kedua hanya berkisar 0-1,0%, sedangkan di daerah lain yang tidak melakukan pemotongan daun padi pada saat tanam, kerusakannya berkisar antara 4,5-6,0%. Pemotongan daun padi pada saat tanam hanya salah satu faktor penyebab rendahnya tingkat kerusakan padi yang disebabkan oleh penggerek batang, namun faktor lain seperti musuh alami dan keberadaan inang alternatif juga turut menentukan (Thamrin, 2006). Beberapa hasil penelitian mengemukakan bahwa tanaman yang dipupuk nitrogen dengan dosis tinggi kerusakannya yang disebabkan oleh hama juga tinggi. Penggunaan pupuk

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 402 nitrogen di lahan pasang surut masih rendah, berkisar 40-50 kg N/ha bahkan sebagian petani tidak menggunakannya untuk varietas lokal (Rina & Djamhuri, 1998). Menurut Israel (1967), jumlah telur penggerek batang padi lebih banyak dan perkembangan larvanya lebih baik daripada tanaman yang tidak dipupuk. Pemupukan nitrogen meningkatkan pertumbuhan dan kandungan air tanaman, namun tanaman menjadi lebih sukulen sehingga lebih rentan terhadap hama serangga. Pemupukan nitrogen merangsang pertumbuhan anakan, pertanaman padi yang jumlah anakannya banyak akan mengakibatkan kelembaban nisbi menjadi tinggi dan sangat berpengaruh terhadap jumlah telur yang menetas dimana keberhasilan telur menjadi larva akan lebih tinggi pula. Menurut Soejitno (1991), larva penggerek batang padi yang hidup pada tanaman yang diberi pupuk nitrogen dengan dosis tinggi memperlihatkan peningkatan bobot dan daya bertahan hidup lebih tinggi serta lebih cepat menjadi dewasa. Tanaman Perangkap Asikin (2008), melaporkan bahwa tumbuhan E. dulcis sangat disenangi oleh penggerek batang dalam meletakkan telurnya yaitu dapat mencapai 6.459 kelompok telur/ha dibandingkan tanaman padi serta tanaman gulma lainnya. Dengan demikian E. dulcis dapat dijadikan sebagai tanaman pengendali alami bagi penggerek batang dan habitat serangga musuh alami hama padi. (Gambar 2).

Kelompok Telur Penggerek Batang

8000 7000 E.dulcis 6000 Pragmites 5000 Stenoch 4000 Scirpus 3000 Leperonea 2000 Jumlah Kel.telur Kel.telur Jumlah Padi 1000

0

1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 1995 Pengamatan

Gambar 2. Jumlah Kelompok Telur penggerek batang padi putuh pada beberapa jenis gulma di lahan rawa pasang surut. Sumber : Asikin (2008).

Rosa dkk. (2007), melaporkan bahwa hasil analisis kromatografi gas semua ekstrak yang digunakan (heksana, klorofrom dan metanol) menunjukkan bahwa tumbuhan purun tikus (E. dulcis) mengandung komponen kimia yang termasuk beberapa golongan yaitu

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 403 steroid, alkaloid, methyldiena, dan vitamin dan disamping itu ditemukan juga golongan lainnya seperti alkohol, karboksilat, alkenon, alkil benzena, esiensial oil, asam lemak, hidrokarbon, azole, analina dan penol. Menurut Rosa dkk. (2007), melaporkan bahwa hasil analisis kromatografi gas semua ekstrak yang digunakan (heksana, klorofrom dan metanol) menunjukkan bahwa tumbuhan purun tikus (E. dulcis) mengandung komponen kimia yang termasuk beberapa golongan yaitu steroid, alkaloid, methyldiena, dan vitamin dan disamping itu ditemukan juga golongan lainnya seperti alkohol, karboksilat, alkenon, alkil benzena, esiensial oil, asam lemak, hidrokarbon, azole, analina dan penol.

Bahan Attraktan Ada lima jenis rumputan yang disenangi oleh penggerek batang padi putih meletakkan telurnya yaitu rumput purun tikus (E. dulcis), kelakai (Stenochlaena palutris), perupuk (Phragmites karka), rumput bundung (Scirpus grosus), rumput purun kudung (Lepironea articulata). Tetapi dari kelima jenis rumputan tersebut yang paling disenangi dan paling banyak ditemukan kelompok telurnya hanya pada E. dulcis. (Gambar 3 dan 4). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak purun tikus (E. dulcis), dan kemudian diikuti prupuk (P. karka) mempunyai potensi sebagai attraktan bagi penggerek batang padi putih.

Pengaruh Ekstrak Tum.Rawa Terhadap Peng.Batang

60 50 40 30

20 JJlh.Kel.Telur 10 0 E.dulcis S.grosus L.articulata S.palutris P.karka Kontrol Jenis Ekstrak

Gambar 3. Jumlah Kelompok Telur Penggerek Batang yang Terperangka Inlitra Banjarbaru MT.2001. Sumber : Asikin (2002).

Insektisida Nabati Menurut Asikin dan Thamrin (2002), bahwa hasil inventarisasi beberapa tanaman yang berpotensi sebagai pestisida nabati terhadap hama ulat kubis dan penggerek batang yaitu Lukut (Patycerium bifurcatum), Kapayang (Pangium edule), Kalalayu (Eriogiosum rubiginosum), Lua (Ficus glomerata), Galam (Melaleuca leucandra), rump(Chromolaema

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 404 odoratum), Sarigading (Nyctanthes arbor-tritis), tanaman Jingah (Glutha rengas), Mamali, dan tanaman maya. Daya toksisitas bahan tumbuhan ini terhadap ulat kubis dan penggerek batang padi dapat mencapai antara 55-85% dan bahkan dapat mencapai 100% (Gambar 5). Pada pestisida nabati tersebut diduga bersifat racun perut, karena pada hari pertama terjadi kontak belum memperlihatkan gejala keracunan, tetapi setelah larva-larva tersebut makan sehingga mengakibatkan gejala keracunan bagi larva tersebut. Daya toksisitas/racun tertinggi yaitu pada bahan tumbuhan P. edule, P. bifurcatum dan E. rubiginosum yaitu daya racunnya berkisar antara 70-85%. Menurut Nunik dkk. (1997), melaporkan bahwa P. edule (buah kapayang/pucung) dapat digunakan sebagai bahan pengawetan ikan, hal ini diduga bahwa buah kapayang tersebut mengeluarkan bau spesifik yang dapat mempengaruhi syaraf lalat, sehingga lalat kurang menyukai ikan yang diberi buah kapayang tersebut. Dan disamping itu pula ikan yang diawetkan dengan buah kapayang tidak dijumpai adanya mikroflora seperti Aspergillus niger, A.ochraceus, Mucor sp. dan Rhizopus sp.

Efikasi Tumbuhan Rawa Terhadap Peng.Batang Padi

120 100 80 60

40 (%)Kematian 20 0

Lua Jingah Galam Mamali Kontrol Kalalayu Sihalotrin Kapayang Sarigading Rpt.minjangan Jenis Tumbuhan Raw a

Gambar 5. Efikasi flora rawa terhadap penggerek batang padi. Sumber : S.Asikin dan Thamrin (2004)

Menurut Asikin (2005), melaporkan bahwa kebiasaan petani dalam mengendalian hama tanaman padi pada fase generatif salah satunya adalah menggunakan tumbuhan liar jenis ribu-ribu, terutama untuk mengendalikan hama penggerek batang dan walang sangit. Adapun aplikasinya yaitu dengan cara adalah dengan menaburkan daun ribu-ribu tersebut pada lahan pertanaman padi yang masih ada airnya. Dengan perlakuan tersebut serangan penggerek batang (beluk) dan walang sangit dapat dihindari.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 405

Tumbuhan mercon ini digunakan petani pada saat tanaman padi pada fase generatif yaitu dengan cara dibakar digalangan disamping sawah. Dengan cara pembakaran ini dapat mengekluarkan asap. Taktik pengendalian dengan menggunaan asap sudah seringkali dilakukan oleh petani rawa lebak maupun tadah hujan, tetapi hasilnya kurang memuaskan. Tetapi dengan mengganti bahan pengasapan tersebut dengan menggunaan tumbuhan mercon hasil yang cukup memuaskan, karena bahan tumbuhan tersebut kalau dibakar dapat mengeluarkan bau yang menusuk sehingga dapat mempengaruhi kunjungan dari imago penggerek batang. Hal ini sudah dilakukan petani dalam mengendalikan hama padi pada fase generatif. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pengasapan dengan menggunakan bahan tumbuhan mercon intensitas kerusakan dari serangan penggerek batang dapat ditekan yaitu berkisar antara 5-10%. Adapun waktu pengasapan kebiasaanya dilakukan pada sore hari menjelang malam. Menurut Sanjaya (1970), mengemukakan banyak diantara jenis-jenis serangga tertarik atau menolak oleh bau-bauan dipancarkan oleh bagian tanaman yaitu bunga ataupun buah atau benda lainnya. Zat yang berbau tersebut pada hakekatnya adalah senyawa kimia yang mudah menguap seperti pada pengasapan bahan mercon tersebut.

Musuh Alami Menurut Gabriel dkk. (1986), Asikin dan Thamrin (2003) di lahan rawa pasang surut ditemukan kurang lebih 62 yang terdiri dari ordo Arachnida, Orthoptera, Coloptera, Odonata, Hemiptera, Dirmeptera. Tetapi yang paling dominan ditemukan di lahan rawa pasang surut adalah dari ordo Odonata, Arachnida dan Coleptera.

Populasi Parasitoid Diketahui bahwa populasi parasitoid masih banyak ditemukan di daerah pasang surut (Tabel 2), karena penggunaan pestisida relatif sedikit bahkan ada di beberapa derah yang tidak menggunakannya. Jumlah parasitoid Telenomus rowani dan Tetrastichus schoenobii dalam satu kelompok telur penggerek batang padi putih berkisar antara 8-29 ekor dengan tingkat parasitasi berkisar antara 10-36%.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 406

Tabel 2. Parasitoid penggerek batang padi pada purun tikus di lahan pasang surut Kalimantan Selatan Spesies Famili Populasi

Ischnojoppa luteator Ichneumonidae ++ Xanthopimpla punctata Ichneumonidae ++ Goryphus sp Ichneumonidae + Trathala sp Ichneumonidae + Cremnops sp Ichneumonidae + Telenomus rowani Scelionidae +++ Tetrastichus schoenobii Scelionidae ++ Trichogramma sp Trichogrammatidae ++ Elasmus sp Eulophidae + Apanteles sp Braconidae + +++ = tinggi, ++ = sedang, + = rendah Sumber : Asikin dan Thamrin (2003)

Menurut Asikin dan Thamrin (2000) pada tumbuhan purun tikus (E. dulcis) dan tumbuhan lainnnya ditemukan cukup bervasiasi jenis musuh alami yang terdiri dari jenis parasitoid dan predator. Adapun jenis parasitoid yang paling dominan adalah parasitoid telur (T. rowani, Trichogramma sp., dan T. schoenobii), sedangkan parasitoid larva hanya jenis Apenteles sp. Ketertarikan serangga hidup pada purun tikus tersebut diduga pada tanaman tersebut cukup banyak tersedianya makanan bagi musuh-musuh alami tersebut. Seperti parasitoid telur, dimana pada purun tikus tersebut cukup banyak tersedianya telur-telur penggerek batang, sehingga dapat mempertahankan hidupnya. Menurut Asikin (2008), kelompok-kelompok telur yang terperangkap pada purun tikus terparasit oleh parasitoid berkisar antara 7,5-58% bahkan dapat mencapai 66%.(Gambar 6).

Parasitisasi Parasitoid

60

50

40 T.rowani 30 T.schoenobii Trichogramma

% Prasitisasi 20

10

0

Th.2000Th.2001Th.2002Th.2003Th.2004Th.2005Th.2006Th.2007Th.2008 Tahun Pengamatan Gambar 6. Parasitisasi Parasitoid terhadap kelompok telur PBPP. Sumber : Asikin (2008).

Populasi Predator Di lahan rawa pasang surut dijumpai beberapa jenis predator pemakan serangga (Tabel 1), diantaranya ordo Arachnida (laba-laba) yang paling banyak dijumpai. Kehadiran

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 407 laba-laba pada pertanaman padi merupakan syarat utama, karena predator ini mampu memangsa 2-3 serangga per hari dan dalam waktu yang relatif singkat dapat menghasilkan turunan yang banyak sehingga dapat mengimbangi populasi hama serangga. Menurut Shepard dkk. (1987), Lycosa pseudoanulata mampu menghasilkan 200-400 keturunan dalam masa 3-5 bulan, Oxyopes javanus dan Oxyopes lineatipes menghasilkan 200-350 keturunan dalam masa 3-5 bulan sedang Tetragnatha hidup selama 1-3 bulan dan dapat bertelur 100-200 butir. Seperti halnya laba-laba, capung juga merupakan predator yang cukup tinggi populasinya terutama Agrionemis femina femina, Ischnura segegalensis dan Orthetrum sabina sabina, namun data tentang perkembangbiakannya dan kemampuannya dalam menekan hama serangga belum banyak diketahui. Populasi O.ishii ishii, P.fuscipes dan Hapalochros rufofasciatus termasuk populasi yang tinggi namun muculnya tidak setiap saat. Dilaporkan bahwa jenis predator ini lebih banyak memakan larva penggulung daun, dalam satu hari mampu memangsa 3-5 larva (Shepard dkk., 1987).

Tabel 1. Jenis Predator Penggerek Batang Padi pada tumbuhan purun tikus di Lahan Pasang Surut Kalimantan Selatan. No Ordo/Spesies Famili Populasi Diptera Anatrichus pygmaeus Chloroipidae +++ Poecilotraphera taeniata Platysomatidae ++ Coleoptera Ophionea indica Carabidae ++ Ophionea ishii ishii Carabidae +++ Paederus fuscipes Staphylinidae +++ Hapalochrus rufofasciatus Malachiidae ++ Orthoptera Conosephalus longipennis Tettigoniidae +++ Metioche vittaticollis Gryllidae +++ Anaxipha longipennis Gryllidae ++ Odonata Agriocnemis femina femina Agrionidae +++ Ischnura senegalensis Agrionidae ++ Orthetrum sabina sabina Libellulidae ++ Tholymis tillarga Libellulidae + Neorothemis fluctuans Libellulidae + Rhodothemis rufa Libellulidae + Rhyothemis phyllis phyllis Libellulidae + Hemiptera Mesovelia sp Mesovelidae ++ Hydrometra sp Hydrometridae + Microvelia sp Veliidae ++ Paraplea sp Pleidae + Micronecta sp Corixidae + Limnogonus fossarum Gerridae + Limnogonus nitidus Gerridae +

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 408

Arachnida Araneus inustrus Araneidae + Argiope catenulate Araneidae ++ Neoscona mukerjei Araneidae + Neoscona theisi Araneidae + Oxyopes javanus Oxyopidae +++ Oxyopes lineatipes Oxyopidae + Leucage decorata Tetragnathidae + Tetragnatha mandibulata Tetragnathidae +++ Tetragnatha javana Tetragnathidae ++ Tetragnatha maxillosa Tetragnathidae ++ Tetragnatha nitens Tetragnathidae + Tetragnatha virecens Tetragnathidae + Tetragnatha japonica Tetragnathidae ++ Lycosa pseudoannulata Lycosidae +++ Pardosa sumatrana Lycosidae + Pardosa sp Lycosidae + Oxyopes javanus Oxyopidae ++ Oxyopes lineatipes Oxyopidae ++ Clubiona sp Clubiodae + Bianor sp Salticidae + Auophyrs sp Salticidae + Phidipus sp Salticidae ++ Phlegra sp Salticidae + Plexippus sp Salticidae + Zygoballus sp Salticidae + Callitrichia sp Linyphiidae ++ +++ = tinggi, ++ = sedang, + = rendah Sumber : Asikin dan Thamrin (2003)

Pathogen Asikin dan Thamrin (2001), melaporkan bahwa pemberian atau aplikasi cendawan Beauveria bassiana pada konsentrasi 107 konidia/ml dapat menekan intensitas serangan oleh larva penggerek batang hanya dengan tingkat kerusakan sebesar 5,4%. Rendahnya intensitas seragan penggerek batang padi yang diberi cendawan Beauveria bassiana karena cendawan tersebut besifat parasit terhadap larva dan cendawan toksin seperti yang dilaporkan oleh Steinhause (1963), bahwa dengan adanya produksi toksin pada pertumbuhan cendawan B.bassiana dengan cepat dapat membunuh jenis serangga tertentu. Dengan demikian cendawan Beauveria bassiana berpotensi sebagai agensia pengendali penggerek batang padi. Cendawan B. bassiana masuk ke tubuh serangga inang melalui kulit, saluran pencernaan, spirakel dan lubang lainnya. Inokulum cendawan yang menempel pada tubuh serangga inang akan berkecambah dan berkembang membentuk tabung kecambah, kemudian masuk menembus kulit tubuh. (http://distan.pemda-diy.go.id) Selain itu cendawan ini dapat juga digunakan untuk mengendalikan tungau pada tanaman menunjukkan hasil yang sangat baik. Populasi tungau mulai menurun setelah

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 409

penyemprotan pertama. Beberapa hari setelah disemprot, aktivitas makan tungau menurun dan gerakannya menjadi lamban. Pada percobaan tersebut B. bassiana mempunyai efektivitas yang sama dengan insektisida sintetis berbahan aktif flufenoksisuron.

KESIMPULAN 1. Pengendalian secara kultur teknis yaitu cara tanam (tanam pindah atau ampan-lacak- tanam), dengan cara ini dapat mengurangi intensitas kerusakan tanaman padi oleh serangan penggerek batang. 2. Penggunaan bahan amelioran (abu sekam), serangan penggerek batang padi dapat ditekan yaitu intensitas kerusakan hanya mencapai 10%. 3. Pemanfaatan flora rawa yang berfungsi sebagai insektisida nabati seperti tumbuhan kapayang (P. edule), lukut (P. bifurcatum), lua (F. glomerata), kalalayu (E. rubiginosum), galam (M. leucandra), jingah (G. rengas), mamali (Leea sp.), maya (A. campanulatus) dan rumput minjangan (C. odorata) dengan daya racun berkisar antara 55-85%, 4. Penggunaan tumbuhan mercon sebagai bahan pengasapan untuk mengusir hama-hama padi. Penggunaan tumbuhan ribu-ribu, dan kulit buah jeruk bali (C. maxima) yaitu dengan cara menaburkan dipetakan pertanaman yang berpotensi sebagai pengusir hama penggerek batang. 5. Pemberian atau aplikasi cendawan B.bassiana pada konsentrasi 107 konidia/ml dapat menekan intensitas serangan oleh larva penggerek batang hanya dengan tingkat kerusakan sebesar 5,4%. 6. Tumbuhan liar golongan teki purun tikus (E. dulcis) berfungsi sebagai tanaman perangkap penggerek batang padi di lahan rawa pasang surut. Dan ekstrak dari purun tikus berpotensi sebagai zat attraktan bagi hama penggerek batang padi putih kompleks. 7. Di lahan pasang surut ditemukan sangat beragam jenis musuh alami yaitu dari ordo Arachnida, Orthoptera, Odonata, Coleoptera, Diptera dan ordo Hemiptera yang berperan sebagai predator dan parasitoid dan untuk cendawan B. bassiana berpotensi sebagai agensia pengendali penggerek batang padi 8. Kelompok telur yang terperangkap pada tanaman purun tikus (E. dulcis) terparasit oleh T. rowani dapat berkisar antara 7,5-58% bahkan dapat mencapai 66%.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 410

DAFTAR PUSTAKA Asikin, S. dan M.Thamrin. 2000. Pengendalian Hama Penggerek Batang Padi Dengan Pemupukan K dan Abu Sekam. Laporan Hasil Penelitian Balittra. Banjarbaru. 6p. Asikin, S. dan M.Thamrin. 2000. Peranan Purun tikus (Eleocharis dulcis) Sebagai Tanaman Perangkap Hama Penggerek Batang Padi Putih. Disampaikan pada Seminar 27-28 Juli. Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa. Banjarbaru. 9p. Asikin, S dan M. Thamrin. 2001. Pengendalian Penggerek Batang Padi dengan Beauveria bassiana. Laporan Hasil Penelitian Balittra. Banjarbaru. Asikin, S. 2002. Pemantauan Kerusakan Padi Oleh Penggerek Batang Padi di Lahan pasang Surut. Laporan Hasil Penelitian Balittra. Banjarbaru. Asikin, S dan M.Thamrin. 2002. Bahan Tumbuhan Sebagai Pengendali Hama Ramah Lingkungan. Disampaikan pada Seminar Nasional Lahan Kering dan Lahan Rawa 18- 19 Desember 2002. BPTP Kalimantan Selatan dan Balittra. Banjarbaru. Asikin., S. 2002. Daya Tarik Attraktan dari Tumbuhn liar Rawa Terhadap Imago Penggerek atang Padi. Laporan Hasil Penelitian. Balittra Banjarbaru. Asikin, S. 2003. Pengaruh Solven Purun tikus Terhadap Penggerek Batang Padi. Laporan Hasil Penelitian Balittra. Banjarbaru. Asikin, S. dan M. Thamrin. 2003. Serangga Musuh Alami di Lahan Rawa Pasang Surut. Laporan Hasil Penelitian. Balittra. Banjarbaru. Asikin, S. dan M. Thamrin. 2003. Potensi Tumbuhan Mercon Sebagai Pengendali Hama Padi.di Lahan Rawa Pasang Surut. Laporan Hasil Penelitian. Balittra. Banjarbaru. Asikin, S. 2005. Observasi Pengendalian Hama Padi di Tingkat Petani. Laporan Hasil Penelitian. Balittra. Banjarbaru. Asikin, S. 2006. Pengendalian Penggerek Batang Padi Dengan Tanaman Perangkap dan Bahan Ameliorandi Lahan Pasang Surut. Laporan Hasil Penelitian. Balittra. Banjarbaru. Asikin, S. 2008. Kemampuan Parasitoid Memarasit Kelompok Telur Penggerek Batang Padi di Lahan Rawa Pasang Surut. Laporan Kegiatan Hama Penyakit Balittra. Banjarbaru Badan Pengendali Bimas. 1983. Pedoman Bercocok Tanam Padi, Palawija dan sayur-Sayuran. Deptan. Jakarta. Gabriel, B.P., M. Willis and S.Asikin. 1986. Parasites and Predatorof Insect Pest of Rice in Swamplands of South and Central Kalimantan. Applied Agricultural Resarch Project. BARIF. Banjarbaru. Husni, H. 1990. Pengaruh pemupukan terhadap kerusakan malai oleh penggerek batang padi putih pada tanaman padi varietas IR36. Tesis Sarjana Fak. Pertanian Unlam. Banjarbaru. http//:pangan.litbang.deptan.go.id. Hara Penting pada Sistem Produksi Padi. Diakses pada tanggal 28 April 2010. http://distan.pemda-diy.go.id. Pengendalian Hayati. Diakses tanggal 29 April 2010. Israel. 1967. Varietal resistance to rice stem borer in India. p. 391-403. In: The major insect pests of the rice plant. John Hopkins Press. Baltimore. Nunik St.Aminah, Enny. W. Lestari, dan Supraptini. 1997. Penggunaan Ekstrak Buah Pucung Pangium edule Sebagai Penghambat Serangan Lalat pada Ikan Tongkol (Auxis thazard). Prosiding Seminar Nasional Tantangan Entomologi pada Abad XXI. PEI Cabang Bogor. Steinhaus, A. E. 1963. Insect pathology an advanced treatise. Vol.2. Academic Press. New York. P. 134-151.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 411

Shepard, B.M., A.T. Barion and J.A. Litsinger. 1987. Helpful Insects, Spider and Pathogens. IRRI. 127p. Sunjaya, P.I. 1970. Dasar-Dasar Serangga. Bagian Ilmu Hama Tanaman Pertanian. IPB. Bogor. Soejitno, J. 1991. Bionomi dan pengendalian penggerek batang padi. Pp 713-735 dalam E. Soenarjo, D.S. Damardjati dan M. Syam (Eds). Padi. Puslitbangtan. Bogor Pathak, M.D. 1977. Insect Pest Rice. IRRI. Los Banos. Philippines. Thamrin, M. 2006. Pengendalian Penggerek Batang Padi Dengan Cara Bercocok Tanam. Laporan Hasil Kegiatan Hama dan Penyakit. Balittra. Banjarbaru. Ritonga, L. 1991. Pengaruh Silikat Terhadap Perkembangan Wereng Coklat (Nilaparvata lugens Stall) pada Tanaman Padi (Oryza sativa). Tesis Fak.Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Rina, Y dan M. Djamhuri. 1998. Strategi alternatif menekan senjang hasil padi di lahan rawa pasang surut. P.354-365. dalam Tarmudji, M.Sabran, M. Hamda, D.I.Ismadi dan Istiana (Eds). Prosiding Lokakarya Strategi Pembangunan Pertanian Wilayah Kalimantan. Rosa., H.O., S. Asikin, dan M. Thamrin. 2007. Identifikasi Kandungan Senyawa Aktif Tumbuhan Purun Tikus (E.dulcis). Laporan Hasil Penelitian Hibah Bersaing. Fak.Pertanian UNLAM Banjarbaru.

Notulensi Diskusi Seminar Tanya : Tidak ada pertanyaan. Jawab :

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 412

.OPH-42 Inventarisasi Serangga Hama pada Tanaman Manggis di Jawa Barat Agus Susanto1, Danar Dono1, dan Faizal Tedy Nugraha1 1Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Unpad Email: [email protected]

ABSTRAK Manggis (Garcinia mangostana L.) merupakan salah satu buah yang menjadi komoditas ekspor unggulan Indonesia. Buah yang dijuluki ―Queen of Fruits‖ ini memiliki rasa yang khas dan warna yang menarik sehingga permintaan manggis baik dari dalam negeri maupun luar negeri terus meningkat seiring dengan kebutuhan konsumen. Kabupaten Tasikmalaya merupakan salah satu sentra tanaman manggis di Jawa Barat yang banyak dilirik oleh perusahaan eksportir manggis. Salah satu faktor penghambat dalam budidaya manggis ini adalah adanya serangan hama dan penyakit. Sampai saat ini belum ada penelitian yang menginventarisasi serangga hama menyerang manggis. Penelitian ini bertujuan untuk menginventarisasi dan mengidentifikasi serangga hama pada tanaman manggis. Penelitian ini dilakukan dengan metode survei, pengamatan utama dilakukan secara langsung pada tanaman sampel. Inventarisasi serangga hama dilakukan dengan penangkapan secara langsung, pemasangan perangkap cahaya dan pemasangan perangkap warna kuning. Hasil penelitan menunjukkan, serangga hama yang terdapat dipertanaman manggis di lapangan adalah penggorok daun (Phyllocnictic citrella), Hyposidra talaca Walker (Lepidoptera: Geometridae), Ulat kantung (Lepidoptera: Psychidae), Geol atau kumbang moncong (Coleoptera: Curcullionidae), Kumbang Phyllophaga sp. (Coleoptera: Scarabaeidae), dan Kutu putih Ferrisia virgata Ckll. (Homoptera: Pseudococidae). dan patogen yang terdapat dipertanaman manggis di lapangan adalah Pestalotiopsis sp., Helminthosporium sp. (Bercak daun), Phanerochaete salmonicolor (Jamur upas), Capnodium sp. (Embun jelaga), Fomes sp. (Busuk akar), dan Cephaleuros virescens (Algae leaf spot). Kata kunci : inventarisasi, serangga hama, manggis

ABSTRACT

Mangosteen (Garcinia mangostana L.) was one fruit that became Indonesia's main export commodity. The fruit was called the "Queen of Fruits" has a distinctive taste and attractive color that mangosteen demand both from domestic and overseas continues to increase along with consumer demand. Tasikmalaya Regency is a center of the mangosteen plant in West Java that many exporters mangosteen ogled by the company. One of the inhibiting factors in the cultivation of mangosteen is the existence of pests and diseases. Until now there has been no research that an inventory of insect pests and diseases that attack the mangosteen and the extent of damage caused. This study aimed to inventory and identify insect pests on mangosteen. This research was conducted by survey method, the main observations made directly on the plant samples. Inventory of insect pests by direct capture, trapping and trapping light yellow color. The results showed, insect pests of mangosteen in the field were leaves borer (Phyllocnictic citrella), Hyposidra talaca Walker (Lepidoptera: Geometridae), Caterpillar sacs (Lepidoptera: Psychidae), Geol or Snout beetle (Coleoptera: Curcullionidae), Phyllophaga sp . (Coleoptera: Scarabaeidae), and Mealybug, Ferrisia virgata. (Homoptera: Pseudococidae).

Keywords : diversity, insect pests, magosteen, west java

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 413

PENDAHULUAN

Manggis (Garcinia mangostana L.) merupakan salah satu buah yang menjadi komoditas ekspor unggulan Indonesia. Pada tahun 2005 volume ekspor manggis tercatat sebanyak 4.638 ton dengan nilai US$ 3.915.670 dan pada tahun 2006 meningkat menjadi 5.698 ton dengan nilai US$ 3.611.995 atau sekitar 42% dari total ekspor buah-buahan di Indonesia (Deptan, 2010). Buah ini telah di ekspor ke beberapa negara seperti Taiwan, Hongkong, China, Timur Tengah dan Belanda. Buah yang dijuluki ―Queen of Fruits‖ ini memiliki rasa yang khas dan warna yang menarik sehingga permintaan manggis baik dari dalam negeri maupun luar negeri terus meningkat seiring dengan kebutuhan konsumen (Anonim, 2004). Salah satu faktor penghambat dalam budidaya manggis ini adalah adanya serangan hama dan penyakit. Serangan hama dan penyakit dapat mengakibatkan gagal panen, turunnya produksi dan tertolaknya eksport. Pemerintah melalui PP No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman, menetapkan bahwa sistem perlindungan tanaman dilaksanakan melalui sistem pengendalian hama secara terpadu (PHT). Pengenalan jenis hama dan patogen yang menyerang, merupakan salah satu aspek penting dalam PHT. Sampai saat ini belum ada penelitian yang menginventarisasi serangga hama dan penyakit yang menyerang manggis dan sejauh mana tingkat kerusakan yang disebabkannya. Untuk mengatasi semua itu kiranya sangat diperlukan suatu penelitian yang menginventarisasi serangga hama dan patogen yang menyerang manggis dan sejauh mana tingkat kerusakannya, sehingga kualitas dan kualitas manggis sebagai komoditas unggulan nasional dapat terjaga. Penelitian ini bertujuan untuk menginventarisasi dan mengidentifikasi serangga hama dan patogen pada tanaman manggis dan tingkat kerusakan yang ditimbulkannya. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai jenis OPT yang menyerang tanaman manggis, sehingga menjadi rujukan yang sangat penting untuk keberhasilan pengendalian yang efektif dan efisien, untuk menunjang keberlanjutan sistem pertanian sehingga diharapkan produksi manggis dapat dipertahankan, pendapatan petani meningkat, penggunaan insektisida dapat dikurangi, dan kelestarian lingkungan dapat dipelihara demi mengamankan produktivitas pertanian nasional.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 414

METODE PENELITIAN Penelitian akan dilakukan di Lab. Entomologi, Jurusan HPT Unpad, dan di sentra produksi manggis di Kecamatan Puspahiang, Tasikmalaya – Jawa Barat. Lokasi penelitian difokuskan di 5 desa yang merupakan sentra produksi manggis, yaitu : Puspahiang, Puspa Rahayu, Puspa Jaya, Luyu Bakti, dan Cimanggu pada ketinggian + 700 m dpl. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei, pengamatan utama dilakukan secara langsung pada tanaman sampel. Selain melakukan pengamatan langsung pada tanaman sampel, dilakukan juga pemasangan perangkap cahaya, perangkap warna kuning untuk menangkap jenis hama yang terdapat disekitar lokasi pengamatan. Identifikasi dilakukan dengan menggunakan kunci identifikasi Pengenalan pelajaran serangga (Borror dkk., 1992), The Insects of Australia (Carver dkk., 1996), True Bugs Of The World (Schuh & Slater, 1995) dan identifikasi juga dilakukan dengan mencocokkan serangga dengan gambar dan keterangan dari buku The pest of crops in Indonesia (Kalshoven, 1981), serta membandingkan dengan spesimen yang ada di laboratorium Entomologi. Pengamatan terhadap serangga hama dilakukan langsung di lapangan dengan cara menangkap semua serangga hama baik secara langsung (insect net) maupun dengan pemasangan perangkap warna dan perangkap cahaya, kemudian dilihat gejala serangan yang ditimbulkan dan didokumentasikan. Tanaman yang terserang oleh hama berikut serangga yang merusak diambil dan dikemas dalam stoples/kantong plastik, untuk diamati dan diidentifikasi lebih lanjut di laboratorium.

HASIL DAN PEMBAHASAN Serangga Hama

Dari hasil pengamatan langsung di lapangan ditemukan serangga hama dan gejala yang ditimbulkannya, yaitu penggorok daun (Phyllocnistis citrella), ulat pemakan daun (Hyposidra talaca), ulat kantung, Geol atau kumbang moncong (Coleoptera:Curcullionidae), katimumul atau kumbang Phyllophaga, dan kutu putih Ferrisia virgata Ckll. (Homoptera : Pseudococcidae).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 415

Identifikasi serangga hama

Hama yang teridentifikasi diantaranya dari ordo Lepidoptera, ordo Coleoptera dan ordo Homoptera. Hama yang diidentifikasi kebanyakan hasil dari tangkapan langsung dibandingkan yang tertangkap melalui perangkap (Tabel 1). Tabel 1. Hasil pengamatan serangga hama Tangkapan Perangkap Perangkap Jenis hama langsung warna cahaya Phyllocnistis citrella + - - Hyposidra talaca + - - Ulat kantung + - - Geol / kumbang moncong + + - Kumbang Phyllophaga sp. - - - Ferrisia virgata + - - Keterangan + = ditemukan - = tidak ditemukan

Famili Curculionidae Serangga ini berukuran 8-14 mm, berwarna hijau kecoklatan, sewarna batang tanaman dan serasah daun. Serangga ini termasuk ke dalam ordo Coleoptera atau kumbang karena sayap depan yang keras, kumbang ini disebut kumbang moncong, dan petani setempat menyebutnya Geol, karena moncongnya yang membengkok menyiku.semua kumbang moncong (kecuali yang terdapat disarang-sarang semut) adalah pemakan tumbuh-tumbuhan, dan banyak sebagai hama-hama yang serius (Borror et al., 1992). Kata kunci identifikasi famili; seperti kumbang, berelitra; koksa-koksa belakang tidak begitu meluas; trokanter belakang kecil; protoraks tanpa sutura notopleura; labrum tidak ada, kepala sering memanjang menjadi satu probosis atau moncong; sungut menyiku dan bergada. Probosis melengkung agak ke bawah; ruas dasar sungut tertampung pada lekukan-lekukan moncong; trokanter-trokanter pendek, segitiga, femora berdekatan atau bersinggungan dengan koksa-koksa; probosis berlekuk dangkal sungut.

Kata kunci identifikasi subfamili; moncong dengan lekuk sungut; ruas tarsus ketiga bergelambir dua kuat; probosis lebih ramping dan biasanya lebih panjang daripada protoraks; ruas dasar sungut timbul dekat mata, funikulus 6 ruas; duapertiga dasar atau lebih dari gada sungut gelap, dan tidak beranulasi, sisanya pucat dan tidak mengkilat. Famili Scarabaeidae

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 416

Serangga pada Gambar merupakan kumbang yang tertangkap pada perangkap cahaya disekitar tanaman manggis. Kumbang ini berwarna coklat gelap dengan panjang 14-22 mm. Ujung antena membentuk gada, elytra menutupi abdomen, kuku-kuku tarsus bergeligi. Kata kunci Identifikasi famili; seperti kumbang, berelitra; koksa-koksa belakang tidak terlalu meluas; sternum abdomen pertama yang terlihat tidak terbagi oleh koksa-koksa belakang; batas posterior sternum meluas secara sempurna melalui abdomen; trokanter- trokanter belakang kecil; protorak tanpa sutura-sutura notopleura; kepala tidak memanjang; elitra menutupi ujung abdomen; ujung antena membentuk gada; palpus maksila lebih pendek daripada antenanya; tarsi 5-5-5; ruas-ruas ujung antena meluas pada satu sisi membentuk satu gada yang berisi seperti potongan; ruas tarsus yang pertama ukurannya normal; antena seperti kipas; tibia depan mengembang, bergerigi sepanjang tepi luar; tubuh gendut. Kata kunci identifikasi subfamili; elitra halus dengan titik-titik kecil; abdomen dengan 5 sterna yang kelihatan; panjang tubuh 16 mm; sungut <11 ruas; ujung elitra tumpul; tungaki- tungkai belakang terletak kira-kira di tengah tubuh, lebih dekat dengan tungkai-tungkai tengah daripada ujung abdomen; pemakan tumbuh-tumbuhan; tidak mempunyai tanduk- tanduk di bagian kepala.

Famili Pseudococcidae

Serangga ini disebut kutu putih karena tubuhnya diliputi tepung lilin yang berwarna putih. Species ini tubuhnya berbentuk oval, berwarna abu-abu gelap dan tungkai berwarna coklat gelap serta diselimuti lapisan lilin yang berwarna putih.

Species ini dikenal dengan kutu putih dengan ciri khas dari jenis kutu ini adalah perbedaan tubuh antara yang jantan dan betina, seluruh tubuh betina diliputi sejenis tepung lilin, bentuknya lonjong dan pada bagian sisi tubuhnya berbulu-bulu, serta benang-benang lilin yang panjang menyerupai ekor (Natawigena, 1990).

Kata kunci identifikasi famili; serangga yang seringkali tidak aktif; tidak bersayap; spirakel abdomen tidak ada; tidak ada duri dorsal besar di tengah abdomen; lubang anal tidak ditutupi oleh keping segitiga; tidak terdapat keping penutup lubang dubur; punggung tanpa lubang-lubang berbentuk seperti angka 8, hama pada berbagai tanaman inang; lubang dubur terdapat setaeostiol-ostiol lubang dorsal dan biasanya terdapat 1 – 4 lingkaran ventral; pada waktu hidup, tubuhnya tertutup dengan sekresi bubuk putih.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 417

Famili Psychidae

Ulat kantung (Lepidoptera:Psychidae), dinamakan ulat kantung karena ulat ini membuat sarangnya seperti kantung dengan menggunakan bahan-bahan dari daun, ranting dan serasah-serasah lain dari tanaman. Makanan ulat ini berupa daun, bunga dan kulit kayu pada batang. Kepompong terjadi pada stadia larva dimana ulat yang betina menetap pada sarangnya (kantung) hingga meletakkan telur di dalam kantung tersebut (Chu, 1949). Ulat ini menempelkan kantungnya pada sebuah daun atau cabang sebuah tanaman. Imago jantan biasanya lebih kecil, dengan sayap yang berkembang baik. Akan tetapi imago betina tidak bersayap, tidak bertungkai, seperti cacing dan secara normal tidak meninggalkan kantung tempat mereka berkepompong. Perkawinan dilakukan dengan cara yang jantan berputar-putar dan mencari sebuah kantung yang terdapat betinanya. Perkawinan terjadi tanpa betina meninggalkan kantung, hingga telur-telurnya kemudian diletakkan di dalamnya (Borror dkk., 1992). Kata kunci identifikasi famili; Kaki di bagian dada dan bersegmen; Tubuh berseta; Sedikit proleg yang diindikasikan mempunyai crochets yang belum sempurna; Tubuh tidak berumbai; Terdapat proleg pada segmen abdomen ke-6; Crochet dari proleg berbentuk lingkaran; Kutil prespiracular pada protorak dengan 3 seta; Rambut abdomen IV dan V saling berdekatan; Mesotorak dengan 2 setae yang berada di atas kaki (abdomen VII); Spirakel protorak dengan sumbu horisontal yang panjang. Famili Geometridae

Serangga ini memakan daun, terutama daun-daun yang masih muda dan meninggalkan tulang-tulang daunnya saja. Larva dari ulat ini biasa disebut ulat jengkal atau ulat kilan, berwarna coklat, dengan bagian punggung atau dorsal ada garis melintang dengan bintik putih. Mempunyai dua atau tiga pasang proleg pada ujung posterior dan tidak satupun di tengah. Banyak dari ulat famili ini yang bila diganggu dapat berdiri dengan tegak di atas tungkai-tungkai posteriornya dan tetap tegak tidak bergerak, menyerupai ranting- ranting tanaman yang kecil. Stadia imago menjadi ngengat yang aktif dimalam hari dan menyukai lingkungan yang terang (Borror dkk., 1992). Terdapat kira-kira 2000 spesies telah diketahui pada famili ini. Ulat ini sering dinamakan ulat cungkir balik (loopers), ulat ukur ataupun ulat jengkal karena cara ulat ini

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 418 dalam berjalan sangat unik, yaitu seperti jari manusia dalam mengukur sesuatu. Ulat ini biasa hidup dan makan pada tanaman inang yang masih hidup, namun ada sedikit yang dapat bertahan hidup pada sayuran yang telah dipanen (Chu, 1949). Famili Phyllocnistidae

Phyllocnistis citrella (Lepidoptera: Phyllocnistidae) atau penggorok daun, hama ini biasanya menyerang daun muda yang helaian daunnya baru membuka dan bibit-bibit di persemaian. Pada helaian daun muda yang terserang terdapat korokan kecil sebesar jarum dengan arah korokan yang berliku-liku. Bekas korokan berwarna putih kekuningan. Akibat korokan ini pertumbuhan daun mengecil dan agak keriting. Serangan berat menyebabkan daun-daun muda tidak berkembang, sehingga tanaman tumbuh merana, karena daun tidak bisa menjalankan proses fotosintesis dengan sempurna.

Larva yang keluar akan memakan lapisan epidermis daun, mengakibatkan gejala serangan sangat khas. Larva tumbuh lengkap dengan panjang 3 mm, berubah menjadi pupa. Masa pupa dilalui dalam daun. Siklus hidup serangga adalah ± 16 hari.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Serangga hama yang terdapat dipertanaman manggis di lapangan adalah penggorok daun (Phyllocnictic citrella), Hyposidra talaca Walker (Lepidoptera: Geometridae), Ulat kantung (Lepidoptera:Psychidae), Geol atau kumbang moncong (Coleoptera: Curcullionidae), Kumbang Phyllophaga sp. (Coleoptera:Scarabaeidae), dan Kutu putih Ferrisia virgata Ckll. (Homoptera: Pseudococidae). Saran Beberapa patogen yang menyebabkan penyakit belum teridentifikasi. Oleh karena itu diperlukan penelitian lebih lanjut untuk identifikasi penyebab penyakit yang belum teridentifikasi dengan metode yang berbeda.

Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kemeterian Pendidikan Nasional yang telah mendanai penelitian ini melalui Penelitian Fundamental. Kepada Pak Sumpena atas bantuannya selama di lapangan.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 419

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2004. Program Peningkatan Produksi dan Kualitas Kebun Manggis Rakyat Cengal Leuwiliang. Pusat Kajian Buah-buahan Tropika LP2M-IPB. Bogor Borror, DJ., Triplehorn dan Johnson. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga. 6th. Yogyakarta: Gajah Mada Univ. Press. Carver, M., Gross, G.F., and Woodword, T.E. 1991. The Insect Of Australia. CSIRO. Australia. Chu, H. F. 1949. How to Know the Immature Insect. Wm. C. Brown Company Publishers. Dubuque, Iowa. Deptan. 2010. Basis Data Ekspor Impor Komoditi Pertanian. Tersedia di http://database.deptan.go.id/eksim/index.asp# . Diakses tanggal 14 Agustus 2010. Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pest of Crops in Indonesia. PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta. Natawigena, H. 1990. Entomologi Pertanian. Orba Sakti. Bandung. Schuh RT and Slater JA. 1995. True Bugs Of The World ( Hemiptera ; Heteroptera). London: Cornell Univ. Press.

Notulensi Diskusi Seminar Topan (Karantina Pertanian) : Ekspor manggis ditolak karena ditemukan lalat buah, apakah pada makalah ini ditemukan lalat buah dan apakah telah diidentifikasi? Jawab : Untuk penelitian kali ini, tanaman manggis belum menghasilkan buah, oleh karena itu belum ditemukan lalat buah.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 420

.OPH-43 Perilaku Memanggil dan Respon Cylas formicarius Fabricius (Coleoptera: Curculionidae) terhadap Ekstrak Feromon Seks di Laboratorium Agus Susanto1, Nenet Susniahti1 dan Dewi Darsita1 1Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Unpad Email: [email protected]

ABSTRAK Feromon seks merupakan salah satu alternatif pengendalian yang berpotensi untuk mengurangi penggunaan insektisida. Sebagai salah satu aspek dasar yang perlu diketahui dalam kajian awal mengenai pemanfaatan feromon seks adalah perlunya kajian mengenai perilaku memanggil serangga untuk menentukan waktu ekstraksi feromon seks yang tepat. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan mengetahui perilaku memanggil dan respon imago jantan terhadap ekstrak feromon seks. Penelitian ini dilakukan mulai bulan November 2009 sampai Juli 2010 di Laboratorium Entomologi, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran. Metode yang digunakan adalah metode eksperimen dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Percobaan terdiri dari 5 perlakuan dengan 4 ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku memanggil C. formicarius terjadi pada malam hari. Pencapaian maksimum aktivitas memanggil pada C. formicarius terjadi pada 6-9 jam setelah fase gelap dan yang paling banyak melakukan aktivitas memanggil adalah C. formicarius umur 4 hari. Ekstrak feromon seks betina belum kawin memberikan respon terhadap jumlah imago jantan yang tidak signifikan. Ekstrak feromon seks betina belum kawin umur 1-5 hari dapat menarik imago jantan. Kata kunci: Perilaku memanggil, Cylas formicarius, dan Feromon seks

ABSTRACT Sex pheromone is an alternative in controlling C. formicarius in Indonesia. As one of the basic aspects that need to be known in early studies on the use of sex pheromones as a means of control is the need to study about calling behavior of insect to determine the sex pheromone extraction time. This experiment aims to study the calling behavior and responses adult male to sex pheromone extract. This experiment was carried out from November 2009 to July 2010 at Laboratory of Entomology, Department of Plant Protections, Faculty of Agriculture, University Padjadjaran. The experiment methode was arranged in Completely Randomized Design (CRD) with 5 treatments and 4 replications. The result showed that the calling behavior of C. formicarius occur at scotophase. Maximum calling activity of C. formicarius occured at 6-9 hours after scotophase and are the most call activity is C. formicarius age of 4 days. Extract of virgin female sex pheromone age of 1-5 days to attract adult males. Keywords: Calling behavior, response, Cylas formicarius, sex pheromone

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 421

PENDAHULUAN Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) merupakan salah satu makanan pokok masyarakat Indonesia. Ubi jalar dapat dijadikan salah satu bahan pangan karbohidrat alternatif pengganti beras (Zuraida & Supriatin, 2001). Ubi jalar cilembu juga berpotensi besar untuk menjadi komoditas ekspor. Untuk dalam negeri saja, komoditas ubi jalar cilembu sudah dipasarkan ke beberapa daerah antara lain; Riau, Pontianak, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Jakarta dan Sukabumi (Rukmana, 1997). Sedangkan untuk ekspor ke luar negeri antara lain ke Jepang, Amerika Serikat, Korea Selatan, Malaysia, Vietnam dan Singapura sebagai bahan baku berbagai industri (Prihatman, 2000). Kumbang Cylas formicarius merupakan hama utama tanaman ubi jalar. Pada musim kemarau, kehilangan hasil akibat serangan hama ini berkisar antara 10-80%. Kerusakan yang ditimbulkan ditandai dengan adanya lubang-lubang kecil di permukaan kulit ubi (Supriyatin, 2001). Supriyatin (2001) mengemukakan bahwa warna jaringan di sekitar lubang gerekan pada ubi akan berubah menjadi lebih gelap dan membusuk sehingga mengeluarkan bau busuk yang khas. Ubi yang terserang akan menghasilkan terpenoid yang menyebabkan rasa pahit sehingga tidak layak untuk dikonsumsi dan berbahaya bagi kesehatan hati dan paru-paru mamalia (Dalip, 2000). Pada umumnya, pengendalian hama ini dilakukan dengan menggunakan insektisida. Akan tetapi, jika aplikasi insektisida dilakukan dengan tidak bijaksana, akan menimbulkan dampak negatif dari penggunaan insektisida tersebut, diantaranya mengakibatkan resistensi hama, resurjensi, terbunuhnya organisme yang menguntungkan seperti predator dan parasitoid, meninggalkan residu insektisida pada hasil dan mencemari lingkungan, menimbulkan biomagnifikasi biologik, dan sering menimbulkan kecelakaan bagi pengguna (Oka, 1995; Zuraida dkk., 2005). Oleh karena itu, diperlukan upaya pengendalian hama yang ramah lingkungan antara lain dengan memanfaatkan senyawa-senyawa kimia alami seperti feromon yang terdapat dalam serangga (Nurnasari, 2009). Feromon adalah senyawa kimia yang dilepaskan oleh suatu organisme ke lingkungannya sehingga organisme tersebut mampu mengadakan komunikasi secara intraspesifik dengan individu lain (Nation, 2002). Apabila feromon digunakan dalam sistem perilaku kawin maka feromon tersebut digolongkan sebagai feromon seks (Samudra, 2006). Pengendalian dengan memanfaatkan feromon seks merupakan salah satu pilihan yang berpotensi untuk mengurangi penggunaan insektisida. Sebagai salah satu aspek dasar yang

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 422 perlu diketahui dalam kajian awal mengenai pemanfaatan feromon seks sebagai alat pengendali adalah perlunya kajian mengenai perilaku memanggil (Calling Behavior) serangga untuk menentukan waktu ekstraksi feromon seks yang tepat (Kirsch, 1996).

BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Entomologi, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Jatinangor pada ketinggian tempat ±700 meter di atas permukaan laut (m dpl). Penelitian dilaksanakan mulai bulan November 2009 sampai dengan bulan Juli 2010. Perbanyakan C. formicarius Tahap persiapan dilakukan dengan mengoleksi C. formicarius dari Desa Cilembu, Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Sumedang dengan mencari ubi jalar yang terserang dan masih terdapat C. formicarius di dalam liang gerekan. Ubi jalar yang terserang disimpan di dalam toples besar yang tutupnya diganti dengan menggunakan kain kassa. Toples yang berisi ubi jalar tersebut kemudian dibiarkan hingga dihasilkan generasi berikutnya. Setelah muncul kumbang C. formicarius yang masih muda yaitu berwarna coklat kehitaman, segera dipindahkan ke toples lain yang sebelumnya telah diisi ubi jalar menggunakan kuas halus untuk pembiakan massal selanjutnya. Kumbang dipelihara dengan tujuan untuk memperoleh jumlah serangga uji yang cukup dan umur yang relatif seragam. Perbanyakan dilakukan di Laboratorium Entomologi, Jurusan HPT pada kondisi temperatur 26oC - 28oC dan kelembaban relatif 70% – 80% serta periode gelap – terang 12 : 12. Menurut Nonci (2005), siklus hidup C. formicarius membutuhkan waktu 1-2 bulan. Untuk mendapatkan pupa C. formicarius, maka dibutuhkan waktu 30-45 hari untuk menginfestasi imago C. formicarius ke dalam ubi jalar. Ubi jalar yang telah diinfestasi kemudian dibongkar untuk mengumpulkan pupa. Pupa yang terkumpul kemudian dipelihara di dalam toples hingga terbentuk kumbang. Kumbang dengan umur yang seragam dipelihara dan diberi pakan ubi jalar serta larutan madu 10%. Kumbang yang berumur 1-5 hari dikumpulkan sebanyak 20 ekor setiap umurnya untuk bahan perlakuan (Susanto 2001; Susanto & Permana, 2007). Ekstraksi Feromon Seks Kelenjar feromon seks diperoleh dengan memotong abdominal tip C. formicarius betina yang belum kawin (virgin) yang berumur 1 - 5 hari. Masing-masing umur sebanyak

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 423

20 ekor. Pemotongan dilakukan pada pukul 22.00-23.00 berdasarkan hasil dari perilaku memanggil. Selanjutnya kelenjar feromon tersebut dimasukkan ke dalam botol gelas kecil (ukuran 5 ml) dengan tutup teflon dan diekstraksi dengan larutan heksan sebanyak 200 µl selama 10 menit. Kemudian botol tersebut diberi label dan ditutup dengan parafilm dan disimpan dalam freezer dengan suhu -10oC (Ono dkk., 1990; Susanto, 2001) untuk keperluan analisis maupun pengujian baik di laboratorium maupun di lapangan.

Perilaku Memanggil (Calling Behavior) Kajian perilaku memanggil dilakukan dengan mengamati 20 C. formicarius betina yang belum kopulasi selama 5 hari berturut-turut. Kumbang betina dimasukkan kedalam vial silindris (Volume 200 ml) dan diberi pakan ubi jalar. Tiap vial terdapat 1 ekor C. formicarius betina. Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap aktivitas/perilaku memanggil dari C. formicarius betina setiap jam sepanjang malam, dalam periode gelap yakni pukul 18.00 – 06.00 (Kamimura & Tatsuki, 1993; Susanto & Santosa, 2001). Perilaku memanggil yang diamati adalah gerakan-gerakan yang dilakukan C. formicarius pada saat memanggil. Respon C. formicarius terhadap Ekstrak Feromon Seks Respon C. formicarius terhadap ekstrak feromon seks dilakukan dengan menggunakan tabung olfaktometer cabang lima. Senyawa uji berupa ekstrak kelenjar feromon seks kumbang betina belum kawin umur 1-5 hari. Ekstrak feromon seks sebanyak 20 µl diteteskan pada kertas saring berdiameter 4 cm dan dimasukkan ke dalam cabang tabung secara terpisah berdasarkan umur. Sebanyak 100 ekor C. formicarius jantan dimasukkan ke dalam tabung yang berada di tengah. Tiap pelepasan 100 ekor kumbang jantan merupakan satu ulangan. Tiap C. formicarius jantan yang telah melalui satu kali uji, tidak digunakan lagi untuk ulangan berikutnya. Perlakuan respon C. formicarius jantan ini diulang sebanyak 4 kali. Jumlah C. formicarius jantan yang masuk ke setiap tabung senyawa uji dicatat.

HASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku Memanggil C. formicarius Pengamatan perilaku memanggil dilakukan pada C. formicarius betina sebanyak 20 ekor selama 5 hari. Perilaku memanggil ini berhubungan dengan feromon seks yang dihasilkan. Semakin aktif C. formicarius betina memanggil maka feromon seks yang dihasilkan makin tinggi. Kebanyakan C. formicarius yang akan melakukan aktivitas memanggil bergerak menuju permukaan kassa.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 424

Perilaku memanggil C. formicarius ditunjukkan dengan posisi ujung abdomen menekuk ke bawah (menempel pada permukaan dinding atau kassa) dan tampak menekan- nekan ke permukaan seperti akan bertelur. Diduga feromon seks dikeluarkan pada saat ujung abdomen ditekuk ke permukaan dinding. Bagian kepala diangkat ke atas dengan antena yang direntangkan. Kepala dan antena kadang-kadang bergerak-gerak ke atas dan ke bawah seperti sedang berinteraksi. Perilaku memanggil tersebut hampir sama dengan perilaku memanggil Phthorimaea operculella yang diamati Susanto dan Santosa (2001) yaitu ditunjukkan dengan menekuknya ujung abdomen dan ujung posterior tampak menekan-nekan kebawah. Perilaku Memanggil C. formicarius berdasarkan Umur Pengamatan perilaku memanggil berdasarkan umur dilihat dari banyaknya perilaku memanggil yang dilakukan C. formicarius betina umur 1 hari hingga umur 5 hari. Perilaku memanggil C. formicarius terus meningkat seiring dengan bertambahnya umur dan mengalami penurunan setelah mencapai puncaknya (Gambar 10). Hal ini diduga karena C. formicarius membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memproduksi feromon seksnya kembali.

30 25,20 25 22,90 23,30 19,00 20

15 9,60 10

5

0

Jumlah Perilaku Memanggil (%)Memanggil Perilaku Jumlah 1 2 3 4 5 Umur C. formicarius betina (hari)

Gambar 1. Grafik perilaku memanggil C. formicarius betina umur 1-5 hari (n = 20 betina)

C. formicarius betina umur 1 hari sudah mulai melakukan aktivitas memanggil sebesar 9,60%. Menurut McNeil (1991), perilaku memanggil pada umumnya terjadi setelah 24 jam sejak munculnya serangga dewasa. Perilaku memanggil C. formicarius mencapai puncaknya

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 425

pada umur 4 hari yaitu sebesar 25,20%. Pada umur 5 hari, jumlah C. formicarius yang melakukan perilaku memanggil sebesar 23,30%. Perilaku memanggil mengalami penurunan pada umur 5 hari disebabkan oleh faktor umur yang bertambah. Ono dkk. (1990) dan Susanto (2001) menyatakan bahwa rata-rata jumlah feromon harian cenderung menurun seiring dengan bertambahnya umur. Sedangkan menurut Happ (1984) umur betina menentukan jumlah bahan feromon yang dikeluarkannya. Pada umur tertentu, bahan feromon yang dilepaskan mencapai konsentrasi maksimal dan selanjutnya turun kembali. Tabel 1. Perilaku Memanggil Berdasarkan Umur. Umur Persentase Perilaku Memanggil (hari) C. formicarius Betina Belum Kawin (%) 1 9,60 2 19,00 3 22,90 4 25,20 5 23,30

Perilaku memanggil berhubungan dengan feromon seks yang dihasilkan. Semakin aktif serangga betina memanggil maka feromon seks yang dihasilkan semakin tinggi (Sanjaya, 2008). Jika dihubungkan dengan penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa pelepasan feromon seks C. formicarius betina mencapai puncaknya pada umur 4 hari, dan mengalami penurunan pada hari selanjutnya. Perilaku Memanggil berdasarkan Fase Gelap Perilaku memanggil C. formicarius betina dilakukan pada malam hari. Pengamatan perilaku memanggil berdasarkan fase gelap dilihat dari banyaknya C. formicarius betina yang melakukan perilaku memanggil dari 1 jam setelah fase gelap (7 malam) hingga 12 jam setelah fase gelap (6 pagi). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa C. formicarius betina mulai aktif memanggil pada 1 jam setelah fase gelap. Aktifitas memanggil pada jam berikutnya menurun hingga 4 jam setelah fase gelap. C. formicarius paling banyak melakukan perilaku memanggil pada 6-9 jam setelah fase gelap. Selanjutnya aktivitas memanggil akan kembali menurun sampai berakhir fase gelap. Hal ini terjadi diduga karena intensitas cahaya yang bertambah. C. formicarius termasuk ke dalam serangga nocturnal atau serangga yang melakukan aktivitasnya pada malam hari termasuk aktivitas memanggil. Sehingga intensitas cahaya berperan penting dalam pelepasan feromon seks.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 426

12 10.4 10.2 9.6 10 9.4 9.2 8.6 8.4 7.6 7.8 8 7.4 6.3 6 5.1

4

2

0

Jumlah Perilaku Memanggil (%)Memanggil Perilaku Jumlah 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 Fase Gelap (Jam)

Gambar 2. Grafik perilaku memanggil C. formicarius betina 1-12 jam setelah fase gelap (n = 20 betina)

Tabel 2. Perbandingan Perilaku Memanggil berdasarkan Fase Gelap. Sureda et Yasuda Hasil al. et al. Penelitian (2006) (1992) Puncak Perilaku 6-9 jam 4-8 jam 19.00- Memanggil (24.00- (22.00- 21.00 (Fase 03.00) 02.00) Gelap)

Berdasarkan fase gelap, perilaku memanggil mencapai puncaknya pada 6-9 jam setelah fase gelap atau pukul 24:00-03.00. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Sureda dkk. (2006) menunjukkan bahwa C. formicarius jantan banyak tertarik pada 4-8 jam setelah fase gelap. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perilaku memanggil pada penelitian tersebut maksimum perilaku memanggilnya terjadi pada 4-8 jam setelah fase gelap atau pukul 22:00-02:00. Sedangkan menurut Yasuda dkk. (1992) serangga jantan tertarik oleh perangkap feromon pada pukul 19:00-21:00, sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku memanggilnya terjadi pada pukul tersebut. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan periode gelap. Penelitian Sureda dkk. (2006) dan Yasuda dkk. (1992) dilakukan pada periode gelap 16L:8D sedangkan pada penelitian ini dilakukan pada periode 12L:12D. Waktu yang dibutuhkan untuk aktivitas memanggil akan meningkat dan menurun dan terjadi pada malam hari secara berurutan (Proshold, 1983 dalam Sakuratani dkk., 1994). Menurut Raina (1993) dan Susanto (2001) produksi dan pelepasan feromon seks dipengaruhi

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 427 oleh fisiologi dan parameter-parameter lingkungan, seperti umur, periodisitas harian, masa perkawinan, intensitas cahaya, temperatur, kecepatan angin dan kehadiran vegetasi disekitarnya. Perilaku Respon C. formicarius Jantan terhadap Ekstraksi Feromon Seks Betina Belum Kawin

Pada pengujian dengan Tabung Olfaktometer, C. formicarius jantan memberikan respon terhadap semua senyawa uji yang diujikan. Gerakan yang ditunjukkan C. formicarius jantan sebagai respon terhadap ekstrak feromon seks adalah dengan mengangkat antena, lalu bergerak maju menuju sumber feromon seks. Gerakan C. formicarius jantan di dalam tabung cenderung mengikuti pola spiral. Sewaktu berjalan antena tetap digerak-gerakkan. Kadang- kadang berhenti berjalan untuk sesaat, namun antena tetap digerakkan. Gerakan respon jantan terjadi karena senyawa volatil dari heksan membawa molekul-molekul feromon seks sehingga mampu dideteksi oleh antena C. formicarius jantan dan memicu respon untuk mencari-cari sumber feromon tersebut. C. formicarius jantan mampu mendeteksi pada bagian mana kandungan molekul feromon lebih tinggi (Asmanizar dkk., 1997). Feromon seks dilepaskan oleh serangga betina dapat diterima oleh serangga jantan melalui sensilia kimia. Organ tersebut sangat sensitif sehingga dapat mendeteksi keberadaan feromon seks, meskipun dalam konsentrasi rendah. Antena serangga merupakan salah satu organ serangga yang berfungsi dalam mendeteksi bau-bauan di udara, termasuk feromon. Fungsi antena sebagai alat penciuman sangat jelas sekali dilihat dari susunan otot dan sambungannya yang memungkinkan antena dapat bergerak ke segala arah (MetCalf dkk., 1990; Susanto, 2001). Respon C. formicarius Jantan terhadap Ekstrak Feromon Seks Betina Belum Kawin Ekstrak feromon seks diperoleh dengan mengekstrak kelenjar feromon seks imago betina belum kawin. Pengumpulan kelenjar feromon seks dilakukan dengan memotong abdominal akhir imago betina. Proses pemotongan abdominal akhir dilakukan pada pukul 22:00-23:00 WIB. Hal ini didasarkan pada hasil penelitian perilaku memanggil imago betina yang belum kawin sebelumnya yaitu pukul 24:00 yang merupakan puncak dari perilaku memanggil. Kemudian kelenjar feromon seks diekstraksi dengan larutan heksan dan dishaker selama 10 menit. Ekstraksi kelenjar feromon seks dengan larutan heksan dilakukan untuk mengeluarkan feromon seks yang terkandung didalamnya.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 428

Untuk mengetahui respon kumbang jantan terhadap ekstrak feromon seks, maka dilakukan uji menggunakan tabung olfaktometer. Senyawa uji yang digunakan yaitu ekstrak feromon seks betina belum kawin umur 1 hari, 2 hari, 3 hari, 4 hari dan 5 hari. Sebanyak 100 ekor imago jantan dimasukkan ke dalam tabung dan dibiarkan memilih untuk bergerak ke tabung yang mana. Hasil pengujian respon C. formicarius jantan terhadap ekstrak feromon seks betina belum kawin umur 1-5 dapat dilihat pada gambar 12 berikut ini.

25 21,75a 19,00a 20 18,00a 17,50a 16,25a

15 Rata Jantan Jantan Rata

- 10 yang Terarik yang

Rata Rata 5

0 A B C D E Ekstrak Feromon Seks Betina Umur 1-5 hari

Gambar 3. Grafik Respon C. formicarius Jantan terhadap Feromon Seks yang diekstraksi berdasarkan umur imago betina (n=100 ekor jantan)

Berdasarkan Gambar 3, semua perlakuan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Ekstrak feromon seks betina belum kawin umur 1 hingga 5 hari secara non signifikan dapat menarik C. formicarius jantan. Perlakuan D (Ekstrak feromon seks umur 4 hari) paling banyak menarik serangga jantan sebesar 21,75±11,67. Hal ini sesuai dengan pernyataan McNeil (1991) feromon seks dikeluarkan oleh betina virgin yang aktif memanggil. Berdasarkan data perilaku memanggil sebelumnya (Gambar 1), aktivitas memanggil C. formicarius mencapai puncaknya pada umur 4 hari. Sehingga dapat disimpulkan bahwa C. formicarius umur 4 hari paling banyak mengeluarkan bahan feromon seks dan dapat menarik kumbang jantan lebih banyak. Pelepasan feromon seks merupakan proses yang kompleks yang berhubungan dengan kematangan seksual dari kumbang betina, fotoperiode dan intensitas cahaya (Metcalf & Luckman, 1982; Susanto, 2001) Menurut Happ (1984) molekul-molekul feromon menempati udara. Pada saat dilepas dari sumbernya konsentrasinya tinggi, namun selanjutnya terjadi difusi di udara dan konsentrasinya semakin kecil dengan semakin jauh jarak yang ditempuhnya. Pada jarak

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 429 tertentu tidak ada kumbang jantan yang merespon karena molekul-molekul feromon tidak mencapai konsentrasi ambang untuk membangkitkan respon. Alouw (2007) mengemukakan bahwa penggunaan feromon dipengaruhi oleh kepekaan penerima, jumlah dan bahan kimia yang dihasilkan dan dibebaskan persatuan waktu, penguapan bahan kimia, kecepatan angin dan temperatur. KESIMPULAN Perilaku memanggil C. formicarius ditunjukkan dengan bagian ujung abdomen yang ditekuk ke dinding tabung atau permukaan kassa dan bagian kepala menengadah ke atas dengan antena yang direntangkan. Perilaku memanggil ini terjadi pada scotophase, pukul 18.00-06.00. Perilaku memanggil C. formicarius maksimum dicapai pada 6-9 jam setelah fase gelap atau pukul 24.00-03.00, dan paling banyak melakukan aktivitas memanggil pada hari ke 4. Ekstrak feromon seks betina belum kawin umur 1-5 hari dapat menarik jantan.

UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini didanai oleh Hibah Kompetitif Batch I Dikti, untuk Pak Aceng terima kasih atas ijin koleksi C. formicarius dari kebun ubinya. Terima kasih juga untuk Leli Wasliawati atas bantuan analisis data.

DAFTAR PUSTAKA

Alouw, J. C. 2007. Feromon dan Pemanfaatannya dalam Pengendalian Hama Kumbang Kelapa Oryctes rhinocerus (Coleoptera: Scarabaeidae). Buletin Palma. No. 32. Asmanizar. E. Martono, A. Sulthoni. 1997. Kajian Daya Tarik Ekstrak Kasar Feromon Seks Hama Ubi Jalar Cylas formicarius di Laboratorium. BPPS-UGM. 10(2B): 203-225. Dalip, K. M. 2000. Major Pest of Sweetpotato, Ipomoea batatas (L.). Caribbean Agricultural Research and Development Institute. Workshop on the Integrated Pest Management of Sweetpotato. 26 - 30 November 2000. Happ, G.M. 1984. Pheromone and Allomone. In H. E. Evans (ed.) Insect Biology. A Text Book of Entomology. Addison-Wesley Publishing Company., pp. 114-140. Kamimura, M. & S. Tatsuki, 1993. Diel Rythms of Calling Behavior and Pheromone Production of Oriental Tobacco Budworm Moth, Helicoverpa assulta (Lepidoptera : Noctuidae). J. Chem. Ecol. 19 (12) : 2953 – 2956. Kirsch, P., 1996. Old Wine in New Skin : Evolution in Pheromone Commercialization. Proceedings. International. Symposium. Insect Pest Control with Pheromones. Pp : 165 – 174. Metcalf, R., M. Berewbaun and D. Siegler, 1990. Principles and Components of Chemical Communication in Chemical Ecology. Dept of Entomology University of Illinois Urbana – Champaign. Illinois – USA.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 430

Metcalf, R.L. and W.H. Luckmann, 1982. Introduction to Insect Pest Management. A Wiley Interscience Publication, John Wiley & Sons. New York. Chichester. Brisbane. Toronto. Singapore. Nation, L.N. 2002. Insect physiology and biochemistry. CRC Press. New York. 485 p. Nonci, N. 2005 Bioekologi dan Pengendalian Kumbang Cylas formicarius Fabricius (Coleoptera : Curculionidae). Jurnal Litbang Pertanian. 24(2): 63-69. Nurnasari, E. 2009. Pemanfaatan Senyawa Kimia Alami Sebagai Alternatif Pengendalian Hama Tanaman. http://www.chem-is-try.org/artikel_kimia/kimia_pangan/pemanfaatan-senyawa- kimia-alami-sebagai-alternatif-pengendalian-hama-tanaman.html Oka, IN. 2005. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta. Prihatman, Kemal. 2000. Ubi Jalar atau Ketela Rambat (Ipomoea batatas). Sistim Informasi Manajemen Pembangunan di Pedesaan, Proyek PEMD, BAPPENAS. Raina, A.K. And J.J. Menn, 1987. Endocrine Regulation of Pheromone Production in Lepidoptera. Dalam Pheromone Biochemistry (GD. Presswich & GC. Blomquist, eds.), Academic Press, Orlando & New York. Pp : 159 – 172. Rukmana, R. 1997. Ubi Jalar. Kanisius, Yogyakarta. 66 hlm. Sakuratani, Y., T. Sugimoto, O. Setokuchi, T. Kamikado, K. Kiritani and T. Okada. 1994. Diurnal changes in microhabitat usage and a behavior of Cylas formicarius (Fabricius) (Coleoptera: Curculionidae) adults. Appl. Entomol. Zool. 29: 307–315. Samudera, M. 2006. Pengendalian Ulat Bawang Ramah Lingkungan. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol. 28, No. 6. Sanjaya, Y. 2008. Pengujian Feromon Seks pada Lalat Hijau Lucilia sericata Meigen (Diptera: Calliphoridae). Jurnal Bionatura. Vol. 10 (1): 49-57. Supriyatin. 2001. Hama boleng pada ubi jalar dan cara pengendaliannya. Palawija (no. 2): 22−29. Sureda, T., C. Quero, M. P. Bosch, A. Guererro, R. Aviles, F. Coll, M. Renou. 2006. Electrophysiological and Behavioral Responses of a Cuban Population of Sweetpotato Weevil to Its Sex Pheromon. J. Chem. Ecol. 32: 2177-2190. Susanto, A. 2001. Kajian Feromon Seks pada Serangga Penggerek Umbi Kentang Phthorimaea operculella Zell. (Lepidoptera: Gelechiidae). Tesis Magister Bidang Khusus Entomologi Program Studi Biologi Program Pasca Sarjana, ITB. Susanto, A. dan E. Santosa., 2001 Siklus Hidup dan Perilaku Memanggil Phthorimaea operculella Zell. (Lepidoptera : Gelechiidae). J. Agrikultura, 12 (3) : 20-27. Yasuda, K., H. Sugie, and R. R. Heath. 1992. Field Evaluation of Synthetic Sex Attrachtan Pheromon of the Sweetpotato Weevil Cylas formicarius Fabricius (In Japan). J. Appl. Entomol. Zool. 36:81-87. Zuraida, N dan Y. Supriatin. 2001. Usahatani Ubi Jalar sebagai Bahan Pangan Alternatif dan Diversifikasi Sumber Karbohidrat. Buletin AgroBio 4(1):13-23. Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, Bogor. Zuraida, N., Minantyorini dan Dodin Koswanudin. 2005. Penyaringan Ketahanan Plasma Nutfah Ubi Jalar terhadap Hama Lanas. Buletin Plasma Nutfah Vol.11 No.1. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 431

Notulensi Diskusi Seminar Ade Saliman : Segmen keberapa yang diambil ? Jawab : Feromon diambil dari segmen 9 – 10. Tanya : Bagaimana membuktikan bahwa itu bukan daya tarik heksan ? Jawab : Saya juga tidak tahu pasti karena saya melanjutkan penelitian yang sudah ada.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 432

.OPH-44 Identifikasi Hama pada Beberapa Tanaman Hutan di Hutan Penelitian Rumpin, Bogor Tati Suharti1 dan Nurin Widyani1 1Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor Jl. Pakuan Ciheuleut P.O. BOX. 105. Bogor 16001 Telp. (0251) 8327768

ABSTRAK Pembangunan kehutanan yang saat ini dikembangkan lebih mengarah kepada hutan tanaman dengan sistem monokultur. Salah satu dampak negatif dari sistem monokultur adalah kerentanan terhadap hama dan penyakit. Gangguan hama pada tanaman hutan dapat menimbulkan kerusakan secara biologi dan ekonomi. Identifikasi hama pada tanaman hutan sangat penting sehingga dapat diketahui teknik pengendalian yang efektif dan efisien. Serangga hama yang ditemukan dikoleksi kemudian diidentifikasi. Jenis-jenis serangga hama yang menyerang Octomeles sumatrana (benuang bini) adalah Coptotermes sp., Hypomeces squamosus, Pseudococcus sp., Pteroma sp.; Pterygota alata adalah Indarbela quadrinotata, Helopeltis sp., Icerya sp.; Tectona grandis (jati) adalah Neotermes tectonae, Indarbela quadrinotata, Hypomeces squamosus, Pyrausta machaeralis, Valanga nigricornis, Myzus persicae, Acrocercops sp., Cercopidae, Pteroma sp., Pseudococcus sp., Lawana candida. Kata kunci : hama, tanaman hutan

ABSTRACT Forestry development is more directed to forests plantation with monoculture systems. One of the negative impacts of monoculture systems is susceptibility to pests and diseases. Pests in forests can cause biological and economic damages. Identification of pests in forests is very important to obtain an effective and efficient control techniques. The found pests were collected and identified. The insect pests that attack Octomeles sumatrana trees were Coptotermes sp., Hypomeces squamosus, Pseudococcus sp., Pteroma sp.; Pterygota alata were Indarbela quadrinotata, Helopeltis sp., Icerya sp.; teak were Neotermes tectonae, Indarbela quadrinotata, Hypomeces squamosus, Pyrausta machaeralis, Valanga nigricornis, Myzus persicae, Acrocercops spp., Cercopidae, Pteroma sp., Pseudococcus sp., Lawana candida. Keywords: pests, forest plant

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 433

PENDAHULUAN A. Latar belakang Pembangunan kehutanan yang saat ini dikembangkan lebih mengarah kepada hutan tanaman dengan sistem monokultur. Salah satu dampak negatif dari sistem monokultur adalah kerentanan terhadap hama dan penyakit, hal ini terjadi karena sumber pakan tersedia dengan melimpah dan dalam wilayah yang luas. Hama adalah semua organisme hewan yang merusak tanaman yang dibudidayakan. Kerusakan yang ditimbulkan tidak bersifat terus-menerus. Jenis yang sering menjadi hama adalah dari golongan serangga. Gangguan hama pada tanaman hutan dapat menimbulkan kerusakan secara biologi dan ekonomi. Kerusakan hama merupakan kerusakan fisik dan harus tetap dipantau perkembangannya mengingat akan berpengaruh pada kerugian ekonomi. Identifikasi hama pada tanaman hutan sangat penting sehingga dapat diketahui teknik pengendalian yang efektif dan efisien. Dengan demikian, kerusakan tegakan tanaman dapat diminimalisir dan dapat tertangani lebih dini sehingga diharapkan harga jual tanaman lebih meningkat. B. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi jenis-jenis hama yang menyerang tegakan beberapa jenis tanaman hutan.

METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Hutan Penelitian Rumpin yang secara administratif termasuk ke dalam wilayah Desa Rumpin, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor. Secara geografis, hutan penelitian Rumpin terletak di antara 106o38‘50‖ BT–106o39‘15‖ BT dan 06o26‘30‖ LS–06o26‘50‖ LS dengan ketinggian ± 140 mdpl. Identifikasi hama dan penyakit dilaksanakan di laboratorium Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor. B. Bahan dan Alat Penelitian Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alkohol 70%, kertas koran, kertas label, kantong plastik, jaring serangga, botol-botol koleksi, gelas preparat, mikroskop dan kamera.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 434

C. Metoda 1. Pengamatan gejala serangan, yaitu pengamatan penampakan luar bagian tanaman yang terserang hama. 2. Tegakan tanaman yang diamati sebanyak 10% dari populasi keseluruhan. 3. Menghitung persentase serangan yaitu dengan menggunakan rumus : jumlah tanaman yang terserang Persentase serangan = x 100% jumlah tanaman yang diamati 4. Hama diidentifikasi menggunakan mikroskop stereo dengan cara membandingkan morfologi serangga yang ditemukan dengan buku identifikasi hama (Borror et al. 1989).

HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis-jenis serangga hama yang menyerang tegakan beberapa jenis tanaman hutan di hutan penelitian Rumpin, Bogor disajikan pada Tabel 1. Pada penelitian ini, intensitas serangan hama dilakukan pada serangan rayap dan penggerek batang (Indarbela quadrinotata). Serangan hama daun tidak dilakukan karena tegakan tanaman tinggi dan gejala serangan hama pemakan daun relatif sama.

Tabel 1. Jenis-jenis serangga hama yang menyerang beberapa jenis tanaman hutan No. Jenis Tanaman Serangga Hama 1. Benuang bini Coptotermes sp., Hypomeces squamosus, Pseudococcus sp., (Octomeles sumatrana) Pteroma sp. 2. Pterygota alata Indarbela quadrinotata, Helopeltis sp., Icerya sp. 3. Jati (Tectona grandis) Neotermes tectonae, Indarbela quadrinotata, Hypomeces squamosus, Pyrausta machaeralis, Valanga nigricornis, Myzus persicae, Acrocercops sp., Cercopidae, Pteroma sp., Pseudococcus sp., Lawana candida

Ciri-ciri morfologi serangga hama yang menyerang tanaman benuang bini, Pterygota alata dan jati antara lain : 1. Coptotermes spp. (Isoptera: Rhinotermitidae) Rayap ini dapat menyerang baik kayu yang masih hidup maupun yang sudah mati (Gambar 1). Serangan Coptotermes sp. pada pohon yang masih hidup biasanya dimulai pada luka-luka akar atau cabang batang yang membusuk. Adanya serangan Coptotermes spp. umumnya dicirikan dengan adanya kerak tanah yang menutupi kulit batang mulai dari permukaan tanah sampai beberapa meter ke atas. Kayu bagian dalam umumnya habis

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 435 dimakan dan tinggal selapisan tipis gubal di bawah kulit hingga pohon mudah patah atau tumbang bila kena angin (Natawiria, 1992). Apabila diganggu, prajurit mengeluarkan cairan berupa susu (Tarumingkeng, 2004). Persentase serangan pada benuang bini sebesar 5,6%.

Gambar 1. Coptotermes sp. (Sumber : www.tolweb.org)

2. Hypomeces squamosus (Coleoptera: Curculionidae) Serangga ini dikenal sebagai kumbang kuning karena warna seluruh tubuhnya kuning cerah (Gambar 2). Kumbang panjangnya 14 mm. Imago yang tua warnanya berubah menjadi kehitaman. Daun yang dimakan kumbang ini berlubang-lubang. Serangga ini sulit ditemukan di lapangan karena aktif terbang tetapi dapat dikenali dengan adanya kotoran yang silindris berwarna hitam disamping daun-daun yang berlubang. Larva memakan akar tanaman (Kalshoven, 1981). Daun yang dimakan kumbang ini berlubang-lubang. Pada penelitian ini sulit untuk membedakan gejala daun yang dimakan serangga karena gejala yang timbul yang disebabkan serangga pemakan daun lebih dari satu jenis.

Gambar 2. Hypomeces squamosus

3. Pseudococcus sp. (Homoptera: Pseudococcidae) Hama ini dikenal dengan nama kutu dompolan. Hama ini menyerang bagian pucuk, batang muda sampai daun sehingga menyebabkan daun mengkerut dan mengering. Bagian dorsal kutu ini tertutup oleh lilin putih yang tebal, tetapi ruas-ruas tubuhnya masih terlihat jelas batas antara kepala, toraks dan abdomen (Gambar 3). Sepanjang sisi tubuhnya terdapat

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 436 jonjot lilin yang pendek, semakin ke belakang jonjot lilin ini semakin panjang (Kalshoven, 1981). Kutu ini mengeluarkan madu dan sering berasosiasi dengan semut.

4. Pteroma sp. (Lepidoptera: Psychidae) Ulat kantong memakan daun hingga meninggalkan urat-urat daun. Ulat kantong memakan daun dari bagian bawah daun dengan sedikit menyembulkan kepala dari kantong (Gambar 4). Saat akan berpupa, ulat kantong menempelkan benangnya pada permukaan bawah daun dan bergelantungan.

Gambar 3. Pseudococcus sp. (Sumber : Fera (www. bnhs.co.uk))

Gambar 4. Pteroma sp.

Gambar 5. Gejala serangan Indarbela quadrinotata

5. Indarbela quadrinotata (Lepidoptera: Indarbelidae) Indarbela quadrinotata menyerang pada kayu di lapangan. Serangan dimulai dari celah pangkal batang yang rusak. Larva menggerek dari pangkal cabang ke dalam ke arah empulur. Larva aktif pada malam hari dan menggerek kulit kayu bagian luar dengan gerekan yang sangat tipis. Larva membuat lubang yang pendek di dalam kayu ke arah bawah. Lubang

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 437 tersebut berfungsi sebagai tempat perlindungan. Lubang-lubang tersebut ditutupi rajutan benang sutera bercampur dengan kotoran dan fragmen kulit kayu (Gambar 5). Larva berukuran relatif besar ± 3,5 – 5 cm (Kalshoven, 1981). Tubuh beruas-ruas dan berwarna coklat kehitam-hitaman. Pada jati, persentase serangan sebesar 5,10% sedangkan pada Pterygota alata sebesar 8,11%.

6. Helopeltis sp. (Hemiptera: Miridae) Panjang serangga ini ± 7-9 mm dan lebarnya 2 mm (Gambar 6). Mempunyai kaki yang panjang dan antena yang sangat panjang. Warnanya bermacam-macam ada yang cokelat, merah,oranye sampai kuning. Cara makan nimfa yang dewasa dengan menusukkan bagian mulutnya yang bentuknya seperti tabung ke dalam jaringan daun dan batang yang berwarna hijau dan lunak. Sebelum makan dimasukkan lebih dulu ludah yang sangat beracun pada sel- sel tanaman. Pucuk yang terserang dapat mati dan daunnya kering (Pracaya, 2003).

Gambar 6. Helopeltis sp.

Gambar 7. Icerya sp.

7. Icerya sp. (Homoptera: Margarodidae) Serangga ini pada umumnya hidup bergerombol. Serangan serangga ini sebagian besar terjadi pada daun terutama pada daun bagian bawah. Ciri khas serangga ini adalah tubuh yang ditutupi oleh lapisan lilin yang tebal (Gambar 7). Bagian tubuh yang tidak dilapisi lilin berwarna merah kecoklatan.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 438

8. Neotermes tectonae (Isoptera: Kaloteritidae) Rayap jati atau inger-inger (Neotermes tectonae) menyerang mulai dari bagian akar, pangkal batang sampai seluruh batang yang mengakibatkan batang keropos. Serangan inger- inger pada batang jati dicirikan dengan adanya lorong-lorong tanah (tunnel). Jika pada sebatang pohon telah terbentuk tunnel, tidak berarti pohon yang diserangnya mati (Gambar 8). Selain itu terdapat juga lubang-lubang pada batang yang jika dikorek akan keluar koloni rayap. Serangan inger-inger ini dapat menurunkan kualitas kayu dan batang mudah patah oleh angin. Pohon yang terserang biasanya berumur 3 tahun ke atas, tinggi serangan dapat mencapai ketinggian 10 m dari tanah. Serangan berat terjadi pada tegakan umur 25 – 55 tahun (Suharti dan Intari, 1974; Suratmo, 1979). Imago bersayap (laron; sulung; siraru) berwarna coklat mengkilat, bagian bawah kepala dan batang berwarna lebih muda (Husaeni, 2001). Prajurit berupa imago tidak bersayap, kepala memanjang berwarna kecoklatan, mandibulanya berwarna hitam. Dilihat dari arah dorsal kepalanya berbentuk U. Nimfa berwarna krem dengan kepala kuning agak tua. Persentase serangan rayap ini sebesar 46,91%.

Gambar 8. Gejala serangan rayap Neotermes tectonae

9. Pyrausta machaeralis (Lepidoptera: Pyralidae) Pyrausta machaeralis merupakan serangga yang menyerang daun jati. Bagian daun yang diserang yaitu parenkim yang berwarna hijau di antara tulang-tulang daun sedangkan urat-urat dan tulang-tulang daun tetap utuh. Dengan demikian bila parenkim daun sudah habis maka helaian daun merupakan struktur kerangka yang berwarna kekuningan sehingga hama ini disebut ―teak leaf skeletonizer‖. Ulat yang baru menetas berwarna putih kotor. Ulat instar lanjut berukuran 22-25 mm, berwarna hijau dan kepala berwarna kuning berbintik- bintik coklat tua. Stadium ulat lamanya 8-12 hari. Pupa berukuran kecil, coklat kekuningan,

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 439 panjang 10-13 mm. Pupasi terjadi pada daun-daun yang masih hijau, daun yang telah gugur, pada celah-celah batang dan pada tanah di bawah batu (Kalshoven, 1981). Ngengat berwarna kuning cerah, pada sayap depan terdapat garis-garis melintang yang berwarna jambon atau kemerahan yang berbentuk zig-zag. Pada pinggiran sayap belakang terdapat garis yang berwarna kemerahan (Gambar 9).

10. Valanga nigricornis (Orthoptera: Acrididae) Belalang dewasa berwarna hijau kekuning-kuningan atau merah keabu-abuan dengan bercak hitam (Gambar 10). Pangkal sayap depan berwarna lebih tua, sedangkan pangkal sayap belakang kemerah-merahan. Ujung abdomen belalang pada jantan berbentuk runcing, sedangkan pada yang betina membentuk sudut. Belalang aktif pada waktu siang hari dan menyukai tempat-tempat yang banyak mendapat sinar matahari.

Gambar 9. Pyrausta sp. (Sumber : www.bugguide.net)

Gambar 10. Valanga nigricornis (Sumber : Redzian A.R (www.pbase.com))

11. Myzus persicae (Homoptera: Aphididae) Myzus persicae (kutu daun) ini terutama menyerang daun-daun pucuk, sehingga daun menjadi mengkerut. Di lapangan kutu daun ini dapat dikendalikan secara alamiah oleh kumbang lady bird (Coleoptera: Coccinellidae). Pada saat pengamatan sering dijumpai kumbang Coccinellidae. Kutu daun ini (Gambar 11) bentuknya seperti persik, berwarna kehijauan, berukuran 1-2 mm. Kutu ini tak bersayap. Pada ujung posterior abdomen terdapat sepasang kornikel. Kutu daun mengeluarkan embun madu, sehingga sering dijumpai berasosiasi dengan semut.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 440

12. Acrocercops sp. (Lepidoptera: Gracillaridae) Larva Acrocercops spp. memakan bagian epidermis daun dan membuat lorong yang panjang dan berkelok-kelok mulai dari tepi daun sampai ke bagian tengah daun (Gambar 12). Daun-daun yang terserang biasanya daun muda sampai daun tua. Larva berwarna kecoklatan dengan panjang 1-2 mm. Pupasi pada bagian tepi daun dengan sedikit melipat dan di bawah epidermis daun. Imago berwarna keperakan dengan rumbai-rumbai di seluruh tubuhnya.

Gambar 11. Myzus persicae

Gambar 12. Gejala serangan Acrocercops sp (Sumber:www.mothphotographersgroup.com)

13. Cercopidae (Homoptera) Cercopidae merupakan serangga yang menyerang daun (Gambar 13). Imago berwarna kehitaman dengan bintik putih dan berpasangan. Nimfa menghisap cairan daun, daun akan tampak menguning secara lokal, kemudian pertumbuhan daun menjadi abnormal, mengerut, kering dan akhirnya mati.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 441

14. Lawana candida (Homoptera: Flatidae) Lawana candida merupakan serangga yang menghisap cairan tanaman (Gambar 14). Waktu istirahat bentuknya mirip kupu-kupu karena sayapnya lebar dan sering mempunyai warna yang mencolok pada sayapnya. Serangga ini jika diganggu akan bergerak ke samping. Tubuhnya berwarna putih, hinggap bergerombol pada batang, cabang atau daun.

Gambar 13. Cercopidae (Sumber: www.tolweb.org)

Gambar 14. Lawana candida

KESIMPULAN

Hasil identifikasi di lapangan menunjukkan bahwa jenis-jenis serangga hama yang menyerang benuang bini (Octomeles sumatrana) adalah Coptotermes sp., Hypomeces squamosus, Pseudococcus sp., Pteroma sp.; Pterygota alata adalah Indarbela quadrinotata, Helopeltis sp., Icerya sp.; jati (Tectona grandis) adalah Neotermes tectonae, Indarbela quadrinotata, Hypomeces squamosus, Pyrausta machaeralis, Valanga nigricornis, Myzus persicae, Acrocercops spp., Cercopidae, Pteroma sp., Pseudococcus sp., Lawana candida. Persentase serangan Coptotermes sp. pada benuang bini sebesar 5,6%. Pada jati, persentase serangan Indarbela quadrinotata sebesar 5,1% sedangkan pada Pterygota alata sebesar 8,11%. Persentase serangan Neotermes tectonae pada jati ini sebesar 46,91%.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 442

DAFTAR PUSTAKA Borror, D.J., C.A. Triplehorn and N.F. Johnson. 1989. An Introduction to The Study of Insect. Sixth Edition. Harcourt Brace College Publishers. Florida. The United States of America. Kashoven, L.G.E. 1981. Pest of Crops in Indonesia. P.T. Ichtiar Baru – Van Hoeve. Jakarta. Natawiria, D. 1992. Teknik Pengenalan Hama Hutan Tanaman Industri. Informasi Teknis No 30. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Bogor. Pracaya. 2003. Hama dan Penyakit Tanaman. Penebar Swadaya. Jakarta. Tarumingkeng, R.C. 2004. Pengenalan Rayap Perusak Kayu yang Penting di Indonesia. http://www.rudyct.com/dethh/4_termite_identification.htm. Diakses tanggal 21 Januari 2011.

Notulensi Diskusi Seminar Tofan (Karantina Pertanian) : Apakah hama tanaman hutan merugikan secara ekonomi? Jawab : Untuk tanaman Jati merugikan pada umumnya akan tetapi pada penelitian ini belum merugikan. Dikatakan merugikan apabila telah melebihi 70% ambang ekonomi. Pak Agus Susanto (Dosen HPT UNPAD) : Penentuan tingkat kerusakan? Jawab : Dilihat dari populasi keseluruhan 10% dari populasi, dibuat blok (20 blok) diambil secara acak.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 443

.OPH-45 Pengaruh Populasi Siput Setengah Cangkang (Parmarion sp.) Terhadap Kerusakan dan Produksi Kubis Bunga Maryani Cyccu Tobing1, Yuswani P. Ningsih1 dan Dhiky Agung Endika1 1Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian USU- Medan 20155

ABSTRAK Siput setengah cangkang Parmarion sp. dilaporkan banyak merusak tanaman kubis bunga sehingga menurunkan pendapatan petani. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh populasi Parmarion sp. terhadap kerusakan dan produksi kubis bunga. Penelitian dilaksanakan di Desa Dolat Rakyat-Tongkoh, Kabupaten Karo, Sumatera Utara pada bulan Juli-Desember 2010. Metode yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok faktorial yang terdiri dari 2 faktor: umur tanaman (2,4,6 minggu setelah tanam) dan jumlah siput (0,3,6,9 ekor siput) dengan tiga ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pada umur tanaman 6 minggu dengan 9 ekor Parmarion sp. berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan lainnya, yaitu: tingkat kerusakan tertinggi (45,05%), tanaman teserang tertinggi (42,22%), kelompok telur sebesar 3 kelompok dan kehilangan hasil produksi tertinggi (32,22%). Semakin tinggi jumlah siput pada fase generatif mengakibatkan produksi kubis bunga menurun. Kata kunci: Parmarion sp., kerusakan, produksi, kubis bunga

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 444

PENDAHULUAN Kubis bunga merupakan salah satu komoditi sayuran yang banyak dikonsumsi di Indonesia. Selain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, kubis bunga juga dipasarkan secara meluas ke luar negeri antara lain Jepang, Singapura, Malaysia, dan Taiwan. Bahkan kubis bunga telah menduduki jajaran kelompok 6 besar sayuran segar yang menjadi andalan komoditi ekspor Indonesia ke beberapa negara (Cahyono, 2001). Namun, produksi kubis bunga di Indonesia masih terkendala oleh beberapa permasalahan. Harga jual yang tidak stabil serta gangguan dari hama dan penyakit merupakan kendala terpenting dalam budidaya kubis bunga ini. Beberapa hama penting tanaman kubis bunga yaitu ulat daun Plutella xylostela, ulat tanah Agrotis ipsilon, ulat grayak Spodoptera litura dan ulat krop Crocidolomia pavonata (Tindall, 1983). Sedangkan penyakit yang umum menyerang tanaman kubis bunga adalah penyakit mati bujang Phytium ultimum, busuk daun Xanthomonas campetris dan busuk pangkal batang Rhizoctonia solani (Ashari, 1995). Namun demikian, di sentra tanaman sayur Rejang Lebong, Bengkulu diketahui terjadi kerusakaan kubis bunga yang cukup parah akibat serangan respo atau siput setengah cangkang Parmarion puppilaris. Populasi P. puppilaris ini ditemukan lebih tinggi pada tanaman tua dari pada tanaman muda. Sehingga petani setempat menganggap siput setengah cangkang merupakan hama utama pada tanaman kubis bunga (Apriyanto, 2003). Siput setengah cangkang ini juga dilaporkan banyak ditemukan di pegunungan Tengger menyerang pertanaman sayur-sayuran dan menimbulkan kerusakan pada tanaman muda. Di Jawa Tengah jenis siput ini juga menyebabkan kerusakan pada pertanaman tembakau, bahkan pernah terjadi kerusakan pada persemaian milik rakyat seluas 1,5 ha (Rahayu dkk., 2000). Selanjutnya, Tim Laboratorium Moluska Bidang Zoologi memfokuskan penelitian pada jenis siput yang menjadi hama. Di Jawa Tengah, lokasi pertama yang dikunjungi adalah perkebunan teh Kaligua Kecamatan Paguyangan, Kabupaten Brebes. Di hamparan kebun teh terdapat kebun sayur, terutama kubis & kacang-kacangan, pada kubis ditemukan siput Parmarion pupillaris. Siput itu ditemukan pula menyerang labu siam. Melihat kondisi penyerangan pada tanaman kubis diperkirakan tingkat kerusakannya sedang (Mujiono, 2009). Siput setengah cangkang ini juga memiliki sifat mampu mengakumulasi logam berat (Cu, Mn, Sn dan Zn), mudah diperoleh, mobilitas yang rendah, aktifitas sepanjang tahun dan daerah penyebarannya luas (Nugroho & Notosoedarmo, 2002).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 445

Hasil pengamatan di lapangan dan wawancara dengan petani sayuran yang dilakukan baru-baru ini di Kabupaten Karo khususnya di Brastagi, diperoleh bahwa siput setengah cangkang Parmarion sp. banyak ditemukan pada pertanaman kubis dan kubis bunga. Bahkan petani setempat menyatakan siput setengah cangkang merusak krop kubis bunga sehingga menurunkan harga jual. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keberadaan Parmarion sp. pada tanaman kubis bunga ini cukup merugikan, namun informasi mengenai Parmarion sp. ini belum ada di Sumatera Utara. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh populasi Parmarion sp. dan umur tanaman terhadap kerusakan dan produksi kubis bunga

BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di lahan milik petani di Desa Dolat Rakyat-Tongkoh, Kabupaten Karo, Sumatera Utara (1.340m dpl) dan dimulai bulan Agustus hingga Desember 2010. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) Faktorial terdiri dari dua faktor. Faktor I: umur tanaman (2, 4 dan 6 minggu setelah tanaman) dan faktor II: jumlah siput (0, 3, 6 dan 9 ekor siput/plot) masing-masing dengan tiga ulangan. Pelaksanaan Penelitian

Benih kubis bunga varitas lokal disemai dalam bedengan, setelah berumur 1 bulan bibit siap dipindahkan ke lapangan. Bibit ditanam di lapangan dengan ukuran petak masing- masing 2 x 4 m, jarak antar petak 50 cm, jarak antar ulangan 1 m, jarak tanam 45 x 65 cm dan jumlah populasi kubis bunga 30 tanaman/petak Pemupukan dilakukan sesuai dengan rekomendasi Pengendalian Hama Terpadu-Sayuran Dataran Tinggi (PHT-SDT) untuk tiap tanaman adalah 4 gram Urea + 9 gram ZA, 9 gram TSP dan 7 gram KCl. Pemupukan sebelum tanam diberikan pupuk kandang (1 kg), setengah dosis pupuk N (Urea 2 gram + 4,5 gram ZA), TSP (9 gram) dan KCl (7 gram) dengan cara diletakkan di dalam lubang tanam. Sisa pupuk N (Urea 2 gram + 4,5 gram ZA) diberikan pada saat tanaman berumur ± 4 minggu dengan cara menaburkannya dalam lubang setengah lingkaran yang dibuat di sekitar pangkal batang kemudian ditutup tanah tipis-tipis (Sastrosiswojo, 1993). Inokulasi Parmarion sp.

Siput setengah cangkang yang akan diinokulasi berasal dari pertanaman kubis bunga milik petani. Siput dikumpulkan dengan cara memilih stadia paling merusak yaitu berukuran

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 446

± 3-5 cm dan sehat, kemudian diinokulasi ke tanaman kubis bunga sesuai dengan masing- masing perlakuan. Pengamatan Pengamatan dilakukan seminggu sekali satu minggu setelah inokulasi Parmarion sp.dan diamati sebanyak delapan kali berturut-turut. Peubah Amatan Persentase kerusakan tanaman Persentase kerusakan tanaman diperoleh dengan rumus di bawah ini. ∑ n x v P = X 100 % Z x N P = kerusakan tanaman (%) n = jumlah tanaman yang memiliki nilai v yang sama Z = nilai kategori serangan tertinggi (v = 9) N = jumlah tanaman yang diamati Nilai (skor) kerusakan (v) berdasarkan luas daun seluruh tanaman terserang, yaitu : 0 = tidak ada kerusakan sama sekali 1 = luas kerusakan > 0 - ≤ 20 % 3 = luas kerusakan > 20 - ≤ 40 % 5 = luas kerusakan > 40 - ≤ 60 % 7 = luas kerusakan > 60 - ≤ 80 % 9 = luas kerusakan > 80 - ≤ 100 % (Sumber: Sastrosiswojo dkk, 1993)

Persentase tanaman yang terserang Persentase tanaman kubis bunga yang terserang diperoleh dengan rumus a P = N X 100 % P = Persentase tanaman terserang ( % ) N = a + b a = Jumlah tanaman yang terserang/plot b = Jumlah tanaman yang diamati/plot (Sumber: Sastrosiswojo dkk, 1993)

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 447

Hasil produksi Hasil produksi diperoleh dengan cara menimbang bobot atau hasil panen setiap petak percobaan dengan rumus : Kehilangan hasil produksi = Bobot tanaman yang terserang X 100 % Bobot hasil panen / plot Jumlah populasi siput Parmarion sp. Pengamatan populasi siput setengah cangkang Parmarion sp. dilakukan dengan menghitung jumlah kelompok telur dan siput pradewasa yang baru menetas di lapangan.

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Persentase kerusakan tanaman Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pengaruh umur tanaman (U) terhadap tingkat kerusakan akibat siput Parmarion sp. pada pengamatan I-VIII berpengaruh sangat nyata pada kubis bunga sedangkan pengaruh jumlah siput (S) menunjukkan hasil tidak berbeda nyata (Tabel 1).

Tabel 1. Beda uji rataan pengaruh interaksi antara umur tanaman (U) dengan jumlah siput (S) terhadap persentase kerusakan akibat Parmarion sp. Pengamatan U/S S0 S1 S2 S3 Total Rataan U1 0.00h 3.05g 4.61f 8.20c 15.86 3.96c I U2 0.00h 3.85f 7.23d 9.80b 20.87 5.22b U3 0.00h 6.14e 8.35c 11.37a 25.86 6.46a Total 0.00 13.04 20.18 29.37 62.59 Rataan 0.00 4.35 6.73 9.79 5.22 U/S S0 S1 S2 S3 Total Rataan U1 0.00f 6.26e 10.22d 12.15c 28.63 7.16c II U2 0.00f 6.90e 11.13d 13.47b 31.50 7.88b U3 0.00f 10.49d 12.52c 16.54a 39.56 9.89a Total 0.00 23.65 33.88 42.16 99.69 Rataan 0.00 7.88 11.29 14.05 8.31 U/S S0 S1 S2 S3 Total Rataan U1 0.00e 9.20d 14.0c9 16.12b 39.41 9.85c III U2 0.00e 10.07d 16.08b 17.54a 43.69 10.92b U3 0.00e 14.15c 17.18b 19.21a 50.54 12.63a Total 0.00 33.41 47.35 52.86 133.63 Rataan 0.00 11.14 15.78 17.62 11.14 U/S S0 S1 S2 S3 Total Rataan U1 0.00e 12.64d 17.60c 20.49b 50.73 12.6c IV U2 0.00e 14.08d 19.85b 23.03a 56.97 14.24b U3 0.00e 17.91c 21.90b 25.19a 65.00 16.25a Total 0.00 44.63 59.35 68.72 172.69 Rataan 0.00 14.88 19.78 22.91 14.39 U/S S0 S1 S2 S3 Total Rataan

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 448

U1 0.00e 16.36d 21.83c 27.59b 65.78 16.45c V U2 0.00e 17.85d 26.56b 29.33a 73.74 18.43b U3 0.00e 22.37c 28.57a 30.75a 81.69 20.42a Total 0.00 56.58 76.96 87.67 221.21 Rataan 0.00 18.86 25.65 29.22 18.43 U/S S0 S1 S2 S3 Total Rataan U1 0.00f 20.00e 25.58d 31.82b 77.40 19.35c VI U2 0.00f 21.66e 30.90c 33.49b 86.05 21.51b U3 0.00f 27.18d 32.08b 37.10a 96.36 24.09a Total 0.00 68.84 88.56 102.40 259.81 Rataan 0.00 22.95 29.52 34.13 21.65 U/S S0 S1 S2 S3 Total Rataan U1 0.00f 23.59e 29.49d 34.42b 87.50 21.88c VII U2 0.00f 25.61e 33.66c 36.09b 95.36 23.84b U3 0.00f 30.67d 35.24b 41.18a 107.09 26.77a Total 0.00 79.87 98.39 111.70 289.95 Rataan 0.00 26.62 32.80 37.23 24.16 U/S S0 S1 S2 S3 Total Rataan U1 0.00e 29.93d 35.44c 39.17b 104.54 26.13c VIII U2 0.00e 32.04d 38.35b 41.28b 111.67 27.92b U3 0.00e 36.46c 40.15b 45.05a 121.66 30.42a Total 0.00 98.44 113.94 125.49 337.87 Rataan 0.00 32.81 37.98 41.83 28.16

Keterangan : U1 = 2 minggu setelah tanam (mst) U2 = 4 minggu setelah tanam (mst) U3 = 6 minggu setelah tanam (mst) S0 = Tanpa siput S1 = 3 ekor siput / plot S2 = 6 ekor siput / plot S3 = 9 ekor siput / plot

Tabel 1 menunjukkan persentase kerusakan pada pengamatan I perlakuan U3S3 (umur tanaman 6 minggu diinfestasi dengan 9 ekor siput Parmarion sp.) berbeda sangat nyata terhadap perlakuan lainnya, perlakuan U2S3 (umur tanaman 4 minggu diinfestasikan 9 ekor siput setengah cangkang) berbeda nyata dengan perlakuan U1S3 (umur tanaman 2 minggu diinfestasi dengan 9 ekor siput setengah cangkang) dan U2S2 (umur tanaman 4 minggu diinfestasi dengan 6 ekor siput). Hal ini disebabkan kondisi lingkungan lembab dan umur tanaman tua lebih disukai siput. Infestasi siput Parmarion sp. pada umur tanaman 6 minggu menunjukkan bahwa siput ini cenderung bersembunyi di sela-sela daun pada siang hari dan aktif makan pada malam hari, sedangkan pada tanaman muda bersembunyi di dalam tanah dan aktif makan jika kondisi lembab sehingga kerusakan lebih tinggi terjadi pada tanaman tua. Seperti yang dinyatakan oleh Clement dan May (2002) bahwa siput Parmarion sp. aktif pada malam hari dan menyukai kondisi lingkungan yang lembab.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 449

Pada pengamatan VIII persentase tingkat kerusakan tanaman tertinggi diperoleh pada perlakuan U3S3 (umur tanaman 6 minggu diinfestasi dengan 9 ekor siput) sebesar 45,05% dan yang terendah pada perlakuan tanpa siput (kontrol) sebesar 0,00%. Siput setengah cangkang menyerang bagian daun pada fase perkembangan vegetatif dan terus meningkat hingga pembentukan krop pada tanaman kubis bunga. Kerusakaan ditandai oleh adanya daun yang berlubang yang disertai bekas lintasan siput berupa lendir (mucus). Hal ini tidak berbeda dengan pernyataan Hooks & Hinds (2009) bahwa siput setengah cangkang memakan daun, batang, bunga dan buah pada tanaman. Kerusakan pada tanaman biasanya terlihat dari adanya lubang dan bekas gigitan pada permukaan buah, sayuran dan daun. 2. Persentase Tanaman Yang Terserang Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pengaruh umur tanaman (U) terhadap persentase tanaman yang terserang akibat siput setengah cangkang pada pengamatan I - VIII berpengaruh sangat nyata pada kubis bunga sedangkan pengaruh jumlah siput yang diinfestasi ke tanaman menunjukkan hasil tidak berbeda nyata. Hasil beda uji rataan pengaruh interaksi antara umur tanaman dengan jumlah siput terhadap persentase tanaman yang terserang akibat siput setengah cangkang (Parmarion sp) pada tanaman disajikan pada Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Beda uji rataan pengaruh interaksi antara umur tanaman (U) dengan jumlah siput Parmarion sp.(S) terhadap persentase tanaman terserang. Pengamatan U/S S0 S1 S2 S3 Total Rataan U1 0.00f 3.33e 6.67d 11.10b 21.10 5.28b I U2 0.00f 3.33e 6.67d 11.10b 21.10 5.28b U3 0.00f 6.67d 7.78c 13.33a 27.78 6.94a Total 0.00 13.33 21.12 35.54 69.98 Rataan 0.00 4.44 7.04 11.85 5.83 U/S S0 S1 S2 S3 Total Rataan U1 0.00f 5.56e 8.88d 14.44b 28.88 7.22c II U2 0.00f 6.67e 9.99c 14.44b 31.10 7.78b U3 0.00f 8.88d 11.10c 16.67a 36.66 9.16a Total 0.00 21.11 29.98 45.56 96.64 Rataan 0.00 7.04 9.99 15.19 8.05 U/S S0 S1 S2 S3 Total Rataan U1 0.00f 7.78e 12.22c 17.78b 37.77 9.44c III U2 0.00f 9.99d 12.22c 18.89b 41.10 10.27b U3 0.00f 11.10d 14.44c 22.22a 47.77 11.94a Total 0.00 28.87 38.88 58.89 126.64 Rataan 0.00 9.62 12.96 19.63 10.55 U/S S0 S1 S2 S3 Total Rataan U1 0.00g 9.99f 14.44d 20.00b 44.43 11.11c

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 450

IV U2 0.00g 13.33e 15.56d 23.33a 52.22 13.05b U3 0.00g 13.33e 17.78c 24.44a 55.55 13.89a Total 0.00 36.65 47.78 67.77 152.20 Rataan 0.00 12.22 15.93 22.59 12.68 U/S S0 S1 S2 S3 Total Rataan U1 0.00g 13.33f 16.67d 26.67b 56.67 14.17c V U2 0.00g 15.56e 17.78d 27.78b 61.12 15.28b U3 0.00g 15.56e 22.22c 30.00a 67.78 16.94a Total 0.00 44.44 56.67 84.45 185.56 Rataan 0.00 14.81 18.89 28.15 15.46 U/S S0 S1 S2 S3 Total Rataan U1 0.00f 15.56e 18.89d 28.89b 63.34 15.83c VI U2 0.00f 16.67e 20.00d 30.00b 66.67 16.67b U3 0.00f 17.78d 23.33c 33.33a 74.44 18.61a Total 0.00 50.01 62.22 92.22 204.45 Rataan 0.00 16.67 20.74 30.74 17.04 U/S S0 S1 S2 S3 Total Rataan U1 0.00h 16.67g 22.22e 32.22c 71.11 17.78c VII U2 0.00h 18.89f 23.33e 34.44b 76.66 19.17b U3 0.00h 18.89f 26.67d 37.78a 83.34 20.84a Total 0.00 54.45 72.22 104.44 231.11 Rataan 0.00 18.15 24.07 34.81 19.26 U/S S0 S1 S2 S3 Total Rataan U1 0.00g 18.89f 24.44e 35.56b 78.89 19.72c VIII U2 0.00g 20.00f 27.78d 37.78b 85.56 21.39b U3 0.00g 22.22e 31.11c 42.22a 95.55 23.89a Total 0.00 61.11 83.33 115.56 260.00 Rataan 0.00 20.37 27.78 38.52 21.67 Keterangan : U1 = 2 minggu setelah tanam (mst) U2 = 4 minggu setelah tanam (mst) U3 = 6 minggu setelah tanam (mst) S0 = Tanpa siput S1 = 3 ekor siput / plot S2 = 6 ekor siput / ploS3 = 9 ekor siput / plot

Tabel 2 menunjukkan bahwa pada pengamatan I-VIII perlakuan U3S3 (umur tanaman 6 minggu diinfestasikan 9 ekor siput) dan perlakuan U2S3 (umur tanaman 4 minggu diinfestasikan 9 ekor siput) berbeda nyata terhadap perlakuan U1S3 (umur tanaman 2 minggu diinfestasikan 9 ekor siput). Hal ini terjadi karena pada umur tanaman 6 minggu, jumlah daun kubis bunga semakin bertambah dan lebar. Keadaan tersebut memungkinkan siput untuk bersembunyi di sela-sela daun. Dalam kondisi lembab seperti ini siput dapat aktif makan walaupun pada siang hari, sedangkan pada tanaman berumur 2 minggu, siput masuk ke dalam tanah pada siang hari atau bersembunyi diantara gulma di sekitar tanaman. Pada tanaman muda siput aktif makan malam hari jika dalam kondisi lembab. Berdasarkan Tabel 2 di atas dapat diketahui bahwa persentase tanaman terserang yang tertinggi pada pengamatan VIII perlakuan U3S3 (umur tanaman 6 minggu

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 451 diinfestasikan 9 ekor siput) sebesar 42,22 % dan yang terendah pada perlakuan tanpa infestasi siput (kontrol) sebesar 0,00%. Serangan pada kubis bunga lebih tinggi terjadi pada tanaman tua daripada tanaman muda. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Isnaningsih (2008) bahwa siput setengah cangkang menyebabkan kerusakaan lebih tinggi pada fase perkembangan generatif. 3. Perkembangan populasi siput setengah cangkang

Kelompok Telur Perkembangan populasi siput setengah cangkang dapat diketahui dengan ditemukannya kelompok telur di sekitar pertanaman kubis bunga. Semakin banyak jumlah siput yang diinfestasikan ke dalam plot semakin berpengaruh terhadap banyaknya jumlah kelompok telur yang ditemukan. Jumlah kelompok telur yang ditemukan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 menunjukkan bahwa kelompok telur siput Parmarion sp. telah ditemukan pada pengamatan III (3 minggu setelah infestasi siput). Jumlah kelompok telur tertinggi ditemukan pada perlakuan U3S3 (umur tanaman 6 minggu diinfestasi 9 ekor siput) pada pengamatan VIII yaitu sebanyak 3 kelompok telur. Hal ini menunjukkan bahwa dalam keadaan lingkungan tertentu siput dewasa (berukuran 3-5 cm) sudah dapat menghasilkan telur. Semakin banyak siput yang diinfestasikan semakin banyak kelompok telur ditemukan. Kelompok telur siput Parmarion sp. yang ditemukan berada pada tanah bagian bawah naungan daun kubis bunga dan terdiri dari ± 30 butir telur, berwarna kuning keemasan serta terlihat bening. Hal ini sesuai dengan pernyataan Jones (2002) bahwa siput setengah cangkang dewasa menghasilkan sampai 300 butir telur, yang terdiri dari 10-50 butir setiap kelompoknya.

Tabel 3. Jumlah kelompok telur Parmarion sp. yang ditemukan pada tiap perlakuan mulai dari pengamatan I-VIII. Perlakuan I II III IV V VI VII VIII U1S0 0 0 0 0 0 0 0 0 U2S0 0 0 0 0 0 0 0 0 U3S0 0 0 0 0 0 0 0 0 U1S1 0 0 0 0.33 0.67 0.67 0.67 1 U2S1 0 0 0 0 0.33 0.67 1 1.33 U3S1 0 0 0.33 0.33 0.67 0.67 0.67 1.67 U1S2 0 0 0.67 1 1 1 1 1 U2S2 0 0 0 0.33 0.67 1 1.33 1.67

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 452

U3S2 0 0 0.33 1 1.323 1.67 1.67 2 U1S3 0 0 0.33 1 1.33 1.33 1.67 1.67 U2S3 0 0 0.33 0.67 1 1.33 1.67 2 U3S3 0 0 1.33 1.33 2.33 2.33 2.67 3

Perkembangan siput pradewasa (ekor) Perkembangan populasi siput juga ditandai dengan banyaknya telur yang menetas menjadi siput pradewasa. Jumlah siput pradewasa yang ditemukan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Perkembangan siput Parmarion sp. pradewasa pada masing-masing perlakuan mulai pengamatan I-VIII. Perlakuan I II III IV V VI VII VIII U1S0 0 0 0 0 0 0 0 0 U2S0 0 0 0 0 0 0 0 0 U3S0 0 0 0 0 0 0 0 0 U1S1 0 0 0 0 0 1 2 2.33 U2S1 0 0 0 0 0 0 1.33 2 U3S1 0 0 0 0 0 0.67 2 2.67 U1S2 0 0 0 0 0.67 2 2.33 2.67 U2S2 0 0 0 0.33 0.33 1.67 2.33 2.33 U3S2 0 0 0 0 0.33 2 2.33 3 U1S3 0 0 0 0.33 1 2.33 3.33 3.67 U2S3 0 0 0 0.33 0.67 2 3 4.67 U3S3 0 0 0 1.33 2.67 4 3.67 6.67

Tabel 4 menunjukkan bahwa siput Parmarion sp. pradewasa mulai ditemukan pada 4 minggu setelah aplikasi siput dan populasi tertinggi ditemukan pada perlakuan U3S3 (umur tanaman 6 minggu diinfestasi 9 ekor siput) sebesar 6,67 ekor. Hal ini menunjukkan kelompok telur yang menetas menjadi siput pradewasa masih dalam jumlah yang kecil dibandingkan jumlah kelompok telur yang ditemukan. Pada kondisi tertentu telur siput terlihat menetas 1 minggu setelah ditemukan. Hal ini berbeda dengan yang diutarakan Jones (2002) bahwa telur siput akan menetas menjadi siput pradewasa lebih kurang selama 10 hari pada cuaca hangat atau sampai 100 hari pada cuaca dingin. Rata-rata pematangan telur adalah sekitar 1 bulan. Perbedaan keadaan lingkungan atau iklim merupakan faktor yang mempengaruhi lama pematangan telur. Cuaca yang hangat akan mempercepat proses pematangan telur siput Parmarion Sp.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 453

Siput pradewasa yang ditemukan berwarna coklat-kehitaman mengkilat, dengan ukuran tubuh yang kecil (≤1 cm), namun menyerupai siput dewasa. Hal ini sama dengan yang dinyatakan oleh Jones (2002) bahwa stadia siput pradewasa lebih kecil dalam ukuran dan warnanya lebih cerah, tetapi menyerupai dewasa dalam bentuk. Produksi kubis bunga (kg)

Hasil beda uji rataan pengaruh umur tanaman dengan jumlah siput terhadap produksi kubis bunga disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil beda uji rataan pengaruh umur tanaman dengan jumlah siput Parmarion sp. terhadap produksi kubis bunga (kg) U/S S0 S1 S2 S3 Total Rataan U1 23.90f 21.37e 20.03d 16.97b 82.27 20.57c U2 23.03f 20.70d 19.20c 16.30b 79.23 19.81b U3 23.53f 20.87d 18.50c 15.47a 78.37 19.59a Total 70.47 62.93 57.73 48.73 239.87 Rataan 23.49 20.98 19.24 16.24 19.99 Keterangan: Angka dengan huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan pengaruh berbeda tidak nyata pada taraf 5 % menurut Uji Jarak Duncan (UJD

Tabel 5 menunjukkan bahwa produksi terendah terjadi pada perlakuan U3S3 (umur tanaman 6 minggu diinfestasikan 9 ekor siput ) dan yang tertinggi pada kontrol (U1S0, U2S0, U3S0) (tanpa siput). Hal ini menunjukkan semakin tinggi jumlah siput diinfestasikan pada tanaman tua akan menyebabkan produksi kubis bunga menurun. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa kehilangan hasil produksi akibat siput setengah cangkang pada masa panen berpengaruh sangat nyata pada kubis bunga yang diaplikasi dengan siput. Hasil beda uji rataan pengaruh interaksi antara umur tanaman dengan jumlah siput Parmarion sp. terhadap kehilangan hasil produksi kubis bunga disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 dapat dilihat bahwa perlakuan U3S3 (umur tanaman 6 minggu diinfestasikan 9 ekor siput) berbeda sangat nyata terhadap perlakuan lainnya. Hal ini dsebabkan siput setengah cangkang cenderung merusak pada fase pertumbuhan generatif (pembentukan krop).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 454

Tabel 6. Beda uji rataan pengaruh interaksi antara umur tanaman (U) dengan jumlah siput Parmarion sp. (S) terhadap kehilangan produksi kubis bunga (%) U/S S0 S1 S2 S3 Total Rataan U1 0.00f 8.89e 14.44d 25.56b 48.89 12.22 U2 0.00f 12.22d 16.67c 28.89b 57.78 14.44 U3 0.00f 11.11e 18.89c 32.22a 62.22 15.56 Total 0.00 32.22 50.00 86.67 168.89 Rataan 0.00 10.74 16.67 28.89 14.07 Keterangan: Angka dengan huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan pengaruh berbeda tidak nyata pada taraf 5 % menurut Uji Jarak Duncan (UJD)

Pada perlakuan U3S3 jumlah siput yang diinfestasi 9 ekor atau lebih tinggi daripada perlakuan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi populasi siput maka semakin besar kehilangan hasil produksi. Hal ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Apriyanto (2003) bahwa pada kerapatan populasi siput setengah cangkang > 5 ekor per tanaman kubis bunga yang sedang membentuk bunga menyebabkan kehilangan hasil (yang siap dipasarkan) > 50%. Persentase kehilangan hasil produksi tertinggi terdapat pada perlakuan U3S3 sebesar 32.22%. Parmarion sp. menyerang bagian krop kubis bunga yang menyebabkan kehilangan hasil produksi. Pernyataan ini sesuai dengan yang dikemukakan Donahue dan Brewer (1998) serta Glen (2005) bahwa siput setengah cangkang merusak bagian kepala atau krop yang telah masak, pada akhirnya kehilangan hasil panen dan tidak dapat diterima oleh konsumen karena telah terkontaminasi lendir siput dan kotorannya.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Persentase tertinggi kerusakan tanaman oleh siput Parmarion sp. terdapat pada perlakuan umur tanaman 6 minggu diinfestasikan 9 ekor siput (U3S3) sebesar 45,05 % dan terendah pada perlakuan kontrol (U1S0 , U2S0 dan U3S0) sebesar 0,00%. 2. Persentase tanaman terserang tertinggi terdapat pada perlakuan U3S3 sebesar 42,22 % dan terendah pada perlakuan kontrol sebesar 0,00%. 3. Kelompok telur siput Parmarion sp. paling banyak terdapat pada perlakuan U3S3 sebanyak 3 kelompok dan mulai tampak terlihat pada pengamatan III sedangkan siput pradewasa paling banyak terdapat pada perlakuan U3S3 sebanyak 6,67 ekor dan pertama sekali terlihat pada pengamatan IV.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 455

4. Kehilangan hasil produksi kubis bunga akibat siput Parmarion sp. yang tertinggi terdapat pada perlakuan U3S3 sebesar 32,22% dan terendah pada perlakuan kontrol sebesar 0,00%. 5. Semakin tinggi populasi siput Parmarion sp. pada fase generatif akan meningkatkan persentase kerusakaan tanaman sehingga produksi menurun. Saran Perlu dilakukan pengendalian siput setengah cangkang Parmarion sp. dengan mengedepankan konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT).

DAFTAR PUSTAKA Apriyanto, D. 2003. Konsoidensi 2 Spesies Respo di Sentra Produksi Sayur Rejang Lebong, Bengkulu. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. 5 (1):7–11. Ashari, S. 1995. Hortikultura Aspek Budidaya. UI Press. Jakarta. Cahyono, B. 2001. Kubis Bunga dan Brocolli. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Clement, D. L & L. May. 2002. Slugs & Snails. Maryland Cooperative extension. College Park–Eastern Shore. Donahue, J. D & M. J. Brewer. 1998. Slugs, Snails and Slug Sawflies. University of Wyoming. Laramie. Glen, D. 2005. Slugs in Arable Crops. Bayer Crop Science Ltd. Slugs. Cambridge. Hooks, C. R. R & J. Hinds. 2009. Managing Slugs in the Garden and Beyond. University of Maryland Cooperative Extension Entomology. College Park–Eastern Shore. Isnaningsih, N. R. 2008. Siput Telanjang (SLUG) Sebagai Hama Tanaman Budidaya. Fauna Indonesia. 8(2):21–24. Jones, S. 2002. Snails and Slug. www. aos. org. Diunduh pada 14 Januari 2010. Mujiono, N. 2009. Siput Hama Pertanian. www. biologi. lipi. go. id.(Diunduh 14 Januari 2010). Nugroho, R. A & S. Notosoedarmo. 2002. Konsentrasi logam berat Cu, Mn, Sn dan Zn pada siput terestrial Parmarion puppilaris Humb. di Gintungan, Jawa Tengah. www. uajy. ac. id. Diunduh pada 14 Juli 2010. Rahayu, B., S. Indarti & T. Harjaka. 2000. Beberapa Catatan Mengenai Hama Baru : Penggulung Daun Teh Siput Tanpa Cangkang, Parmarion pupillaris. Jurnal Perlindungan Tanaman. 6(1):61–64. Sastrosiswojo, S. T.K. Moekasan, W. Setiawati, A. Adinata A. Sutiadi. 1993. Panduan Teknis Pengendalian Hama Terpadu Sayuran Dataran Tinggi (PHT-SDT). Program Nasional Pelatihan dan Pengembangan PHT. 1993. Eds.(II). Balai Penelitian Hortikultura Lembang. Bandung. 85 hlm. Tindall, H. D. 1983. Vegetables in the Tropics. The Macmillan Press. London.

Notulensi Diskusi Seminar Ana F. C. Irawati : Tentang grafik fluktuasi? Jawab : Kerusakan tertinggi 6 MST dengan 9 ekor siput berbeda nyata.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 456

.OPH-46 Pengujian Lapang Efikasi Fumigan Alumunium Phospida Terhadap Kumbang Bubuk Kayu Kering pada Proyek Rekonstruksi Aceh Mustika Dewi1 dan Yudi Rismayadi1 1SITH-Institut Teknologi Bandung, Jatinangor Email: [email protected]

ABSTRAK Peningkatan kebutuhan kayu untuk konstruksi tidak diimbangi oleh pasokan kayu dengan kelas awet yang baik sehingga rentan terhadap serangan serangga perusak kayu. Kasus rumah rekonstruksi Aceh menunjukkan 65% kayu konstruksi terserang kumbang bubuk kayu kering. Teknik fumigasi merupakan salah satu cara untuk untuk membunuh investasi serangga yang terdapat di dalam kayu. Pengujian lapangan efikasi fumigan Alumunium Phospida dilakukan pada material kayu bangunan dengan teknik fumigasi sungkup. Hasil pengujian menunjukkan bahwa teknik fumigasi dengan fumigan Alumunium Phospida mampu membunuh 100% Hetrobostricus sp sebagai serangga kontrol.

ABSTRACT. Increasing demand for wood construction is not matched by supply of durable wood so suscebtible to attack wood destroying insects. The case of housing reconstruction in Aceh showed 66% of construction attacked by post powder beetle. Fumigation technique is one way to eridication insects investment contained in the timber. Field testing the efficacy of fumigant aluminum phospida done on wood as building material with tarpauline fumigation. The results show that the tarpauline fumigation with Aluminum Phospida able to kill 100% of Heterobostrichus sp. as insect control.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 457

PENDAHULUAN Proyek rekonstruksi Aceh menyebabkan peningkatan kebutuhan kayu yang sangat tinggi sebagai kayu konstruksi. Kebutuhan tersebut tidak diimbangi oleh kemampuan pasokan kayu, khususnya kayu yang berkualitas baik sebagai bahan bangunan. Eksploitasi hutan yang berlebihan di masa lalu, telah menyebabkan kayu-kayu awet semakin menipis persediaannya sehingga terjadi kelangkaan dan harganya menjadi sangat mahal. Oleh karena itu yang tersedia adalah kayu-kayu kelas rendah yang memiliki kelas awet III-IV yang sangat rentan terhadap serangan rayap. Kondisi tersebut tidak dapat dihindari dan akibatnya kayu tersebut banyak digunakan sebagai bahan bangunan pada proses rekonstruksi rumah tinggal di Propinsi Aceh. Penggunaan kayu kelas awet rendah menyebabkan bangunan menjadi sangat rentan terhadap serangan organisme perusak kayu, khususnya rayap dan kumbang bubuk kayu kering. Hasil survey menunjukkan bahwa 65% kayu konstruksi pada rumah tinggal di kawasan Calang dan Aceh Besar Provinsi Aceh terserang oleh kumbang bubuk kayu kering (Rismayadi, 2008). Serangan kumbang menyebabkan kayu struktural (struktur atap) dan kayu non struktural seperti kusen, jendela, pintu, dan lain-lain mengalami kerusakan yang sangat parah. Serangan kumbang terdeteksi setelah kayu terpasang dan sebagian besar setelah umur bangunan lebih dari tiga bulan. Kondisi tersebut menunjukkan investasi kumbang telah terjadi sebelum kayu terpasang. Fumigasi merupakan cara yang umum digunakan untuk pengendalian hama kayu di samping upaya pemberian perlindungan kayu dengan pengawetan. Dibandingkan dengan teknik pengendalian hama lainnya, fumigasi merupakan cara yang paling efektif untuk tindakan eradikasi hama yang sudah terinvestasi di dalam produk kayu. Kelebihan teknik fumigasi adalah kemampuan penetrasi ke dalam kayu melalui pori-pori kecil yang terdapat di dalam kayu. Arinana dkk. (2008) menyebutkan aplikasi fumigan dapat membunuh kumbang bubuk kayu kering 100% yang berada di dalam kayu pada kedalaman 1 cm, 2 cm, 3 cm dan 5 cm dari bagian luar permukaan. Tinggi serangan kumbang bubuk kayu kering pada bangunan rumah tinggal pada Proyek rekonstruksi Aceh mengharuskan dilakukannya eradikasi hama kumbang bubuk kayu kering pada bahan bangunan yang digunakan dalam proyek tersebut. Aluminium Phosfida merupakan fumigan yang dengan air di udara (lembab) menjadi PH3 (gas). Gas ini hampir

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 458 sama beratnya dengan udara (berat jenis 1,18), tidak menyala, dan sangat beracun sehingga sangat ampuh mengendalikan hama. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efikasi Aluminium Phosfida terhadap kumbang bubuk kayu kering melalui teknik fumigasi sungkup. Diharapkan melalui penelitian ini diperoleh informasi terkait efikasi fumigan Alumunium Phosfida dan rekomendasi teknik penggunaan fumigasi dalam pengendalian hama

METODE Bahan dan Alat Fumigan yang digunakan adalah degsch plate dengan bahan aktif Alumunium Phosfida. Alumunium Phosfida merupakan bahan fumigan berbentuk padat (tablet) yang akan bereaksi dengan uap air membentuk gas fosfin yang beracun (PH3). Serangga uji yang digunakan dalam pengujian efikasi adalah kumbang bubuk kayu kering Heterobostrychus sp. Peralatan yang digunakan terdiri dari peralatan keselamatan kerja, plastik poly ethylene yang memiliki ketabalan 150 mikron dan lakban untuk membuat sungkup sebagai ruang fumigasi, peralatan monitoring gas (accuro pump, tube pengukur paparan gas, dan selang), botol film dan kain kasa untuk penyimpanan serangga uji.

PROSEDUR PENELITIAN Pembuatan Sungkup Sungkup merupakan ruang fumigasi kedap gas (tarpauline fumigation) untuk pelaksanaan fumigasi material bangunan. Sungkup terbuat dari plastik poly ethylene (PE) yang memiliki ketebalan 150 mikron. Tahap pembuatan sungkup adalah 1) lembar plastik PE dihamparkan di atas permukaan bantalan kayu seluas kurang lebih 12 m2 disesuaikan dengan jumlah material kayu yang akan difumigasi; 2) material kayu yang akan difumigasi diletakkan di atas hamparan plastik PE disusun sedemikian rupa dengan memberikan bantalan antar material kayu untuk memudahkan distribusi gas fumigan; 3) setelah material kayu ditumpuk dilakukan penyungkupan dengan plastik PE dan dipastikan bahwa sungkup yang dibuat akan kedap gas (Gambar 1).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 459

Gambar 1. Sungkup Fumigasi Pada Pengujian Lapang Efikasi Fumigan Alumunium Phosfida

Pemasangan Selang Monitor dan Peletakan Serangga Uji Sebelum sungkup ditutup sempurna dipasang instalasi selang monitor fumigan dan diletakkan serangga uji di dalam sungkup sebagai kontrol. Ujung selang monitor di dalam sungkup diletakkan berjauhan dari titik peletakan fumigan sedangkan ujung selang lainnya dikeluarkan dari sungkup atau ruang fumigasi untuk pengukuran gas fumigan. Ujung selang ditutup agar gas fumigan tidak keluar dari selang monitor dan hanya dibuka pada saat pengukuran gas. Setiap sungkup dibuat dua selang monitor. Peletakkan serangga uji di dalam sungkup dilakukan dengan menempatkan serangga uji Heterobostrychus sp ke dalam botol film yang ditutup kain kasa sehingga serangga uji tidak dapat keluar. Selanjutnya botol film berisi lima ekor serangga uji diletakkan pada bagian tengah dan empat bagian tepi setiap sungkup. Pelepasan Gas Sebelum pelepasan gas terlebih dahulu dilakukan pengukuran volume sungkup untuk menghitung dosis aplikasi fumigan yang digunakan. Pelepasan gas pada setiap sungkup dilakukan dengan cara memasukan fumigan dengan dosis aplikasi 1,5 gram/m3 area fumigasi. Setelah dilakukan pelepasan gas, dilakukan penutupan lubang dan menempelkan tanda peringatan pada sungkup fumigasi. Proses fumigasi dilakukan empat hari atau kurang lebih 96 jam.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 460

Gambar 2. Pelepasan Gas Fumigan Pada Pengujian Lapang Efikasi Fumigan Alumunium Phosfida

Pengukuran Konsentrasi Gas Pengukuran konsentrasi gas di dalam sungkup fumigasi sangat penting supaya selama berlangsungnya fumigasi konsentrasi gas dapat selalu terpantau berada di dalam konsentrasi yang diperlukan. Monitoring gas fumigan dalam ruangan dilakukan pada jam ke- 6, jam ke- 12, jam ke-24, jam ke-48, jam ke-72, dan jam ke-96. Monitoring ini dilakukan dengan alat Accuro Pump yang dihubungkan dengan ujung selang plastik monitor (Gambar 3)

Gambar 3. Pengukuran Konsentrasi Gas di Dalam Ruang Fumigasi

Pembebasan Ruang fumigasi (Aerasi) Pembebasan gas (aerasi) dilakukan setelah proses pemaparan gas fumigas 96 jam. Aerasi dilakukan dengan membuka sungkup setelah dipastikan bahwa lingkungan tempat

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 461 fumigasi aman. Sisa residu fumigasi yang masih terdapat pada kantung fumigan ditenggelamkan pada air di dalam drum sampai tidak menimbulkan gelembung udara. Perhitungan Mortalitas Serangga Uji Serangga uji pada botol film yang diletakan di dalam sungkup dikumpulkan untuk dihitung mortalitas. Perhitungan mortalitas serangga uji adalah sebagai berikut: Mortalitas kumbang (%) = [(N1 – N2)] x 100% N1 Dengan : N1 = Jumlah kumbang hidup awal (ekor) N2 = Jumlah kumbang hidup akhir (ekor)

HASIL DAN PEMBAHASAN Konsentrasi Gas Fosfin Hasil pengukuran gas fosfin pada ruang fumigasi sungkup menunjukkan perkembangan konsentrasi gas fosfin sebagaimana disajikan pada Gambar 4.

900 800 700 600 500 400 300 200

Konsentasi (ppm) Gas Konsentasi 100 0 6 12 24 48 72 96 Gas (ppm) 475 800 800 650 200 Waktu Pemaparan (Jam ke-)

Gambar 4. Perkembangan Konsentrasi Gas Selama Proses Fumigasi

Gas fosfin (PH3) terbentuk akibat reaksi kimia bahan aktif fumigan Alumunium

Phosfida dengan uap air (H2O). Pada umumnya senyawa Alumunium Phosfida mulai bereaksi dengan uap air dan menghasilkan gas fosfin setelah jam ke-2. Hasil pengukuran gas menunjukkan bahwa pada jam ke-6 konsentrasi gas fosfin sudah mencapai 475 ppm dan meningkat pada jam ke-12 dan jam ke 24 menjadi 800 ppm selanjutnya mulai mengalami

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 462 penurunan konsentrasi pada pengukuran jam ke-48 dan jam ke-72 yaitu menjadi 650 ppm dan 200 ppm. Penggunaan fumigasi sungkup mampu mencapai batas ambang konsentrasi gas 200 ppm selama waktu pemaparan gas fumigan. Konsentrasi 200 ppm merupakan batas ambang minimal konsentrasi gas yang harus dicapai selama proses fumigasi. Karena pelepasan gas fosfin yang berlangsung lambat (menjadi efektif setelah 2-3 jam) maka fumigan Alumunium Phosfida dianggap fumigan yang aman (Tarumingkeng, 1992) Mortalitas Serangga Uji Hasil pengujian efikasi fumigan Alumunium Phospida terhadap serangga uji kumbang bubuk kayu kering (Heterobostrychus sp) menunjukan bahwa mortalitas kumbang pada dosis aplikasi 1,5 gram/m3 dengan waktu pemaparan 96 jam mencapai 100%, sementara itu pada serangga kontrol (yang tidak difumigasi) mengalami kematian 16 % Alumunium Phospida yang bereaksi dengan uap air membentuk gas fosfin yang bersifat racun terhadap kumbang bubuk kayu kering Heterobostrychus sp. Fumigan tersebut masuk melalui sistem pernapasan serangga dimana gas fosfin masuk melalui sistem trakea yaitu sistim saluran kutikula yang dari bagian luar bermuara pada spirakel-spirakel dan pada bagian dalam meluas keseluruh tubuh. Selanjutnya gas tersebut akan mempengaruhi sistem syaraf kumbang bubuk kayu kering sehingga serangga yang terpapar oleh gas tersebut akan mengalami masa eksitasi, yaitu bergerak cepat secara tidak beraturan, kemudian akan mengalami kelumpuhan (paralisis) dan akhirnya mengalami kematian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gas fosfin mampu menyebar pada ruang fumigasi sehingga dapat menjangkau serangga uji yang diletakkan berjauhan dari titik peletakan fumigan. Hasil pengujian efikasi laboratorium fumigan Alumuniun Phospida menunjukkan hasil yang sama dimana tingkat kematian serangga uji mencapai 100%. Pengujian laboratorium menunjukkan pula bahwa gas fosfin mampu membunuh serangga uji yang berada dalam kedalaman 1 cm, 2cm, 3 cm dan 5 cm (Arinana dkk., 2008).

KESIMPULAN Teknik fumigasi sungkup dapat digunakan untuk mengelimasi serangga perusak kayu dengan tingkat kematian 100%.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 463

DAFTAR PUSTAKA Arinana, Rismayadi Y, Dewi M. 2008. Efikasi Fumigan Aluminium Phosphida Terhadap Rayap Kayu Kering Cryptotermes curvignathus (Blattodea: Kalotermitidae). Prosiding Seminar Nasional Sains FMIPA IPB.

Arinana, Rismayadi Y, Dewi M. 2008. Efikasi Fumigan Aluminium Phosphida Terhadap Kumbang Bubuk Kayu Kering Heterobostricus aequalis Wat. Seminar MAPEKI XI di Palangkaraya Kalimantan Tengah.

Arinana, Rismayadi Y, Haneda NF. 2008. Karakterisasi Serangan Kumbang Bubuk Kayu Kering pada Kayu Konstruksi Rumah Tinggal. Prosiding Perhimpunan Entomologi Indonesia LIPI-Bogor.

Rismayadi Y dan Arinana. 2007. Kajian Faktor Perusak Bangunan Gedung Milik Pemerintah Kota Depok. Prosiding MAPEKI X Pontianak Kalimantan Barat.

Rismayadi Y dan Rudi, 2002. Pengujian Efikasi Mebrom 98 LG Terhadap Kumbang Bubuk Kayu Kering Heterobostrycus aequalis dan Dinoderus minutus (Fam. Bostricidae) Serta Rayap Kayu Kering Cryptotermes cynocephalus (Fam. Kalotermitidae). Laporan Percobaan. Fakultas Kehutanan – Unwim

Notulensi Diskusi Seminar

Tita : Alumunium menganggu kumbang bubuk kayu, apakah mengganggu untuk manusia juga? Jawab : Iya menganggu, makanya disarankan menggunakan masker.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 464

.OPH-47 Relationship Between Population of Bemisia tabaci Genn. With Disease Incidence of cowpea mild mottle virus (CMMV) After BPMC (500 g a.i. / l) Application On Soybean. Wartono1 dan. I Wayan Laba da1

Notulensi Diskusi Seminar Kusharto : 1. Konsentransi yang dianjurkan berapa? Dan patokannya apa? 2. Bagaimana penggunaan pestisida di Indonesia? Apakah Bapak mengikutkan perusahaan. Jadi perusahaan yang mendapat keuntungan ? Jawab : 1. Konsentrasi yang dianjurkan adalah 2 – 3 ml/l. Jika di bawah angka tersebut, maka dapat dikurangi konsentrasinya. 2. Penggunaan pestisida di Indonesia terus meningkat, dan jumlah formulasi dari tahuin ke tahun terus bertambah, sehingga petani menggunakan berbagai jenis pestisida, bahkan dicampur. Tidak ada peranan dari perusahaan, hanya saya/kami meneliti untuk memberikan informasi jenis insektisida yang efektif. Pada tanaman kedelai, sekaligus mengendalikan virus. PHT seharusnya ditingkatkan implementasinya untuk mengurangi dampak negatif penggunaan pestisida Chandra : Bagaimana dengan produksi, apakah dengan peningkatan konstrasi juga meningkatkan produksi ? Jawab : Produksi kedelai meningkat sesuai dengan meningkatnya konsentrasi insektisida uji.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 465

PPH-1 Pengaruh Penggunaan Insektisida Nabati Ekstrak Biji Sirsak, Daun Mindi, Daun Suren Terhadap Serangan Empoasca sp dan Hasil Pucuk Tanaman Teh (Camellia sinensis L) Merry Antralina1 dan Tien Turmuktini 1Faculty Of Agriculture Bale Bandung University

ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan insektisida nabati ekstrak biji sirsak, daun mindi dan daun suren terhadap serangan Empoasca (Empoasca sp) dan hasil pucuk tanaman teh. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung, Juni sampai September 2007 dan menggunakan metode eksperimen dengan pola Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri dari 7 perlakuan dan 4 ulangan. Susunan perlakuannya adalah : A = Ekstrak biji sirsak konsentrasi 0,5 %. B = Ekstrak biji sirsak konsentrasi 1 %, C = Ekstrak daun mindi, konsentrasi 0,5 %, D = Ekstrak daun mindi konsentrasi 1 %, E = Ekstrak daun suren, konsentrasi 0,5 %, F = Ekstrak daun suren, konsentrasi 1 %, F = Talstar 25 EC, konsentrasi 0,125 %. Hasil yang didapat pada percobaan ini adalah bahwa penggunakan ekstrak biji sirsak, daun mindi dan daun suren dengan konsentrasi 0,5 % dan 1 % dapat menurunkan populasi dan intensitas serangan Empoasca sp, tetapi penurunannya lebih kecil dari pada perlakuan insektisida Talstar 25 EC. Sedangkan terhadap peningkatan hasil pucuk teh ke-3 perlakuan insektisida nabati tidak memberikan pengaruh yang nyata. Kata-kata kunci : Insektisida nabati. Empoasca.Tanaman Teh

ABSTRACT The aim from this research was to fine out The Effect of Biological Insecticide Seed Extract of Soursop, Mindi Leaves, and Suren Leaves to Attack of Empoasca sp and Yield of Tea Buds (Camellia sinensis L.). The experiment was carried out in Research Institute for Tea and Cinchoa Gambung, This experiment was arranged in Randomized Block Design (RBD) consisted of seven treatment and four replications. The treatment are : A= Extract of Soursop 0.5 %, B = Extract of Soursop 1 %, C = Extract of Mindi Leaves 0.5 %, D = Extract of Mindi Leaves 1 %, E = Extract of Suren Leaves 0.5 %, and F = Extract of Suren Leaves 1 %, and F = Talstar 25 EC 0,125 %. The result of this experiment showed that concentration biological insecticide (extract of soursop, mindi leaves, and suren leaves ) 0,5 % and 1 % can decrease populations and attack intensity of Empoasca sp., but the decrease lower than Talstar insecticide 25 EC. To yield of tea buds concentration biological insecticide (extract of soursop, mindi leaves, and suren leaves ) 0,5 % and 1 % do not showed the significant effect. Keywords: biological incectiside, Empoasca, Tea buds.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 466

PENDAHULUAN Hama pada tanaman teh merupakan salah satu penghambat dalam meningkatkan produktivitas tanaman. Empoasca sp. awalnya dikenal sebagai hama utama pada tanaman kapas, akan tetapi sejak awal bulan Mei 1998. Empoasca diketahui telah menyerang tanaman teh di Perkebunan Gunung Mas (Jawa Barat). Serangan dan penyebaran hama ini sangat cepat meluas, sehingga mengganggu pertumbuhan pucuk dan menurunkan produksi. Pucuk daun teh merupakan bagian utama yang diserang selanjutnya daun muda. Gejala yang ditimbulkan adalah warna tulang daun berubah menjadi coklat karena ditusuk dan cairannya dihisap. Pada daun terserang timbul noda-noda berwarna kemerahan seperti daun terbakar (leaf burn), kemudian mongering dan selanjutnya tepi daun menggulung ke bawah. Gejala selanjutnya yang terlihat adalah pertumbuhan daun menjadi roset dan pucuk tidak tumbuh normal serta banyak terbentuk cakar ayam. Akibat serangan ini di Indonesia dapat menurunkan produksi pucuk teh sekitar 50 % dalam waktu 45 hari (Dharmadi, 1999). Empoasca mulai menyerang pada stadia nympa (instar 3), sampai dewasa (Widayat & Sucherman, 2001). Menurut Dharmadi (1999) Empoasca ini menyerang tanaman teh disebabkan oleh beberapa faktor seperti : 1. Keseimbangan di kebun teh terganggu dengan rendahnya populasi dan keragaman serangga (musuh alami) 2. Penggunaan insektisida sintetik yang tidak tepat dan berlebihan (tidak bijaksana) 3. Kondisi iklim yang panas dan lembab 4. Kesehatan tanaman yang menurun. Tanaman inang yang menjadi tempat berkembang biak serangga ini diantaranya, beberapa jenis tanaman Leguminosa, tanaman pupuk hijau, dadap, terong jawa, cabe, rosella, kapas dan kembang sepatu (Dharmadi 1999). Pengendalian Empoasca yang selama ini dilakukan adalah dengan menggunakan insektisida sintetik, salah satunya adalah Talstar 25 EC. Penggunaan insektisida sintetik secara intensif, selain mahal juga dapat menimbulkan berbagai dampak negative yang serius seperti timbulnya resistensi , resuegensi hama, timbulnya jenis hama baru, bahaya residu bagi konsumen, pencemaran lingkungan dan terbunuhnya musuh-musuh alami atau hewan bukan sasaran (Widayat, 1993). Keadaan ini mendorong untuk mencari alternatif pengendalian hama yang lebih aman digunakan dibanding insektisada sintetik.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 467

Salah satu alternatif pengendalian Empoasca adalah dengan menggunakan Insektisida nabati yang merupakan produk alam yang berasal dari tanaman yang mempunyai kelompok metabolit sekunder yang mengandung senyawa bioaktif seperti alkaloid, tetrapoid, fenolik dan zat-zat kimia sekunder lainnya (Sianipar & Suryadi, 1998). Sifat umum insektisida nabati antara lain mudah terdegradasi di alam baik yang disebabkan oleh sinar matahari, oksidasi ataupun oleh waktu. Sifat ini sangat menguntungkan bagi manusia dan lingkungan karena residunya sangat kecil atau bahkan tidak ada (Widayat, 1994 ). Bagian tanaman seperti daun, bunga, biji dan akar dapat digunakan untuk pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) dalam bentuk bubuk atau larutan hasil ekstrak, baik ekstrak bahan segar dengan air, ekstrak bahan kering dengan air ataupun ekstrak dengan pelarut Alkohol. Senyawa yang diekstrak dari tumbuh-tumbuhan dapat berfungsi sebagai insektisida nabati yang dikenal sebagai bioaktif yang dapat berpengaruh sebagai bahan beracun insektisida (insecticide), mencegah makan (anti feedant), penolak (repellent), mengganggu perkembangan, mencegah peletakan telur atau mengganggu sistem hormonal serangga (anti hormonal) (Morallo Rajesus dalam Sina 1998). Beberapa jenis tanaman yang memiliki senyawa alami serta mempunyai efek sebagai insektisida organik (bio insektisida) antara lain biji sirsak (Annona muricata) yang mengandung bahan aktif murikatasin yang termasuk kedalam golongan asetogenin yang dapat menekan populasi tungau jingga (Sina, 1998) dan Helopeltis antonii (Rayati dkk.,2001) pada tanaman teh, ekstrak daun mindi (Melia azadirach) mengandung bahan aktif azadirachtin yang dapat mengurangi tingkat kehilangan produksi akibat serangan ulat jengkal (Widayat,1993). Rayati dkk., (2001) menyatakan bahwa daun mindi efektif mengendalikan hama ulat jengkal dengan efektivitas yang sebanding dengan insektisida kimia.dan daun suren (Toona sureni) mengandung suatu senyawa organik alam yang disebut Surenolaktone yang terdiri dari Tetranortri terpenoid A /B Dolactone. Pengendalian dengan menggunakan ekstrak daun suren menurut Morallo Rajesus dalam Sina (1998) dapat membunuh tungau jingga dalam waktu 3 x 24 jam, sedangkan Daliarana (1990) menyatakan bahwa kandungan senyawa kimia yang terdapat pada daun suren dapat menimbulkan tingkat kematian yang tinggi pada hama H. antonii.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 468

Berdasarkan hal tersebut di atas maka perlu kiranya dilakukan penelitian mengenai kemampuan ke-3 insektisida nabati tersebut dalam menurunkan populasi dan intensitas serangan Empoasca pada tanaman teh sebagai alternatif pengendalian untuk mengurangi penggunaan insektisida sintetik.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK) Gambung, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, dengan ketinggian tempat 1300 m di atas permukaan laut, Curah hujan rata-rata 261,63 mm per tahun (PPTK, 2001). Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni sampai September 2007

Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan adalah: Tanaman teh asal biji (Sedling), biji sirsak, daum mindi, daun suren, Insektisida Talstar 25 EC, tali rapia, bambu dan bahan untuk membuat label. Alat yang digunakan adalah ember untuk merendam bahan insektisida nabati, blender dan penggiling biji, knap sack sprayer, gelas ukur untuk mengukur kebutuhan larutan, kantong plastik untuk menyimpan pucuk hasil petikan, Jaring (diameter 54 cm) dan pemukul kayu untuk mengumpulkan Empoasca.

Pengamatan Untuk mengetahui keberhasilan perlakuan dalam penelitian, dilakukan pengamatan terhadap : 1. Populasi Empoasca Pengamatan ini dilakukan setiap minggu (7 hari). Dengan cara menghitung jumlah Empoasca semua stadia yang terjaring dan yang terbang dari setiap perdu teh, tiap plot diamati 5 perdu teh. 2. Intensitas Serangan Pengamatan ini dilakukan pada saat pemetikan, yaitu setiap 7 hari sekali, dan dihitung berdasarkan persentase jumlah pucuk yang terserang dari 100 sampel pucuk yang diambil secara acak pada setiap plot percobaan.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 469

3. Hasil Pucuk Tanaman Teh Pengamatan ini dilakukan dengan cara menimbang hasil pucuk setiap kali pemetikan (2 hari sekali) pada setiap plot.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan terhadap fitotoksisitas selama percobaan menunjukkan bahwa tidak terjadi keracunan yang diakibatkan oleh penggunaan insektisida nabati terhadap tanaman. Hal ini menunjukkan bahwa insektisida yang digunakan aman dan tidak mengakibatkan keracunan (fitotoksis) terhadap tanaman teh. Pengamata tingkah laku Empoasca menunjukkan bahwa hama ini tidak menyukai sinar matahari dan menyerang pucuk tanaman pada pagi dan sore hari.Pada siang hari dimana sinar matahari terik hama ini berada di bawah daun pemeliharaan.

Populasi Empoasca Hasil pengamatan pengaruh penggunaan insektisida nabati terhadap populasi Empoasca dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengaruh Penggunaan Insektisida Nabati Terhadap Populasi Empoasca Pada Setiap Kali Pemetikan Populasi ( ekor/perdu) Perlakuan p1 p2 p3 p4 p5 p6 p7 p8 A = Ekstrak biji sirsak, konsentrasi 0,5 % 11,40 c 9,85 a 7,95 a 6,45 b 5,00 b 5,13 c 4,25 b 5,60 b B = Ekstrak biji Sirsak, konsentrasi 1 % 10,45 b 10,60 a 8,35 a 6,40 b 4,90 b 4,95 b 4,60 b 5,70 bc C = Ekstrak daun mindi, konsentrasi 0,5 % 10,65 b 10,45 a 8,10 a 6,45 b 4,85 b 5,58 c 4,60 b 5,40 b D = Ekstrak daun mindi, konsentrasi 1 % 11,90 c 10,38 a 8,45 a 6,80 c 4,85 b 4,85 b 4,40 b 5,15 b E = Ekstrak daun suren, konsentrasi 0,5 % 9,90 b 11,00 a 8,15 a 6,10 b 4,35 a 4,45 b 4,55 b 5,20 b F = Ekstrak daun Suren, konsentrasi 1 % 10,55 b 10,95 a 9,25 a 5,50 ab 5,20 b 4,15 b 4,55 b 5,95 c G = Talstar 25 EC 8,50 a 10,30 a 7,10 a 4,50 a 3,05 a 3,00 a 3,05 a 3,30 c Keterangan : - Angka rata-rata yang diikuti oleh hutuf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5 % menurut Uji jarak berganda Duncan. - p1 – p8 = Pemetikan ke-1 sampai dengan ke-8.

Selama percobaan berlangsung pada semua perlakuan terjadi penurunan populasi namun penurunan populasi pada perlakuan yang menggunakan insuktisida nabati lebih kecil dibandingkan dengan perlakuan yang menggunakan insektisida kimia Talstar 25 EC. Hal ini menunjukkan bahwa semua jenis insektisida nabati yang digunakan dapat menurunkan populasi Empoasca tetapi efektivitasnya lebih rendah jika dibandingkan dengan insektisida

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 470

Talstar 25 EC, karena insektisida nabati tidak bersifat membunuh tetapi berpengaruh sebagai penolak (repellent), mencegah makan (anti feedant) atau mengganggu system hormone serangga (anti hormonal) saja, sedangkan insektisada Talstar 25 EC bersifat racun kontak dan lambung, sehingga jika kontak dengan serangga akan mengakibatkan serangga tersebut mati.

Intensitas Serangan Empoasca Hasil pengamatan pengaruh penggunaan insektisida nabati terhadap intensitas serangan Empoasca dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Pengaruh Penggunaan Insektisida Nabati Terhadap Intensitas Serangan Empoasca Pada Setiap Kali Pemetikan IntensitasSerangan (%) Perlakuan p1 p2 p3 p4 p5 p6 p7 p8 A = Ekstrak biji sirsak, konsentrasi 0,5 % 79,50 a 74,50 a 76,00 b 71,75 c 53,50 b 56,50 b 55,75 b 58,75 b B = Ekstrak biji Sirsak, konsentrasi 1 % 76,50 a 70,25 a 73,25 a 75,00 c 49,75 b 61,75 b 57,75 b 52,75 b C = Ekstrak daun mindi, konsentrasi 0,5 % 82,25 a 76,50 a 74,75 b 73,25 c 57,75 b 63,00 b 60,75 b 55,00 b D = Ekstrak daun mindi, konsentrasi 1 % 76,75 a 72,25 a 70,00 a 72,00 b 49,50 b 62,00 b 63,00 b 55,00 b E = Ekstrak daun suren, konsentrasi 0,5 % 84,25 a 85,50 b 76,50 b 72,75 c 53,50 b 62,50 b 58,50 b 58,50 b F = Ekstrak daun Suren, konsentrasi 1 % 81,50 a 70,00 a 64,25 a 72,75 c 51,75 b 58,50 b 53,75 b 49,25 b G = Talstar 25 EC 77,50 a 66,50 a 54,00 a 46,50 a 19,00 a 16,25 a 17,75 a 21,00 a Keterangan : - Angka rata-rata yang diikuti oleh hutuf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5 % menurut Uji jarak berganda Duncan. - p1 – p8 = Pemetikan ke-1 sampai dengan ke-8.

Selama percobaan berlangsung terlihat bahwa terjadi perbedaan intensitas serangan Empoasca yang nyata antara perlakuan insektisida nabati dan insektisida Talstar 25 EC, hal ini menurut Sastrodihardjo (1988) adalah karena sifat dari insektisida nabati yang mudah terdegradasi di alam terlebih dengan adanya pengaruh sinar matahari yang terik, sehingga pengaruhnya terhadap intensitas serangan menjadi berkurang jika insektisida tersebut sudah terkena sinar matahari yang terik, selain itu insektisida nabati tidak bersifat membunuh tetapi berpengaruh sebagai penolak (repellent), mencegah makan (anti feedant) atau mengganggu system hormon serangga (anti hormonal) saja, sedangkan insektisada Talstar 25 EC bersifat racun kontak dan lambung, sehingga jika kontak dengan serangga akan mengakibatkan serangga tersebut mati.

Hasil Pucuk Tanaman Teh Hasil pengamatan pengaruh penggunaan insektisida nabati terhadap hasil pucuk tanaman teh dapat dilihat pada Tabel 3.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 471

Tabel 3. Pengaruh Penggunaan Insektisida Nabati Terhadap Hasil Pucuk Tanaman Teh Pada Setiap Kali Pemetikan Hasil Pucuk (g) Perlakuan p1 p2 p3 p4 p5 p6 p7 p8 A 620,00 a 1443,75 a 520,00 a 632,50 a 750,00 a 785,00 a 887,50 a 1142,50 a B 765,00 a 1500,00 a 880,00 a 580,00 a 825,00 a 752,50 a 875,00 a 899,00 a C 675,00 a 1446,25 a 640,00 a 792,50 a 622,50 a 945,00 a 887,50 a 1037,50 a D 642,50 a 1585,00 a 768,75 a 742,50 a 542,50 a 767,50 a 612,50 a 865,00 a E 625,00 a 1275,00 a 627,50 a 675,00 a 650,00 a 747,50 a 775,00 a 735,00 a F 637,50 a 1535,00 a 655,00 a 615,00 a 680,00 a 770,00 a 975,00 a 885,00 a G 616,25 a 2390,00 b 1165,00 b 1595,00 b 1487,50 b 1880,00 b 1600,00 b 1950,00 b Keterangan : - Angka rata-rata yang diikuti oleh hutuf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5 % menurut Uji jarak berganda Duncan. - p1 – p8 = Pemetikan ke-1 sampai dengan ke-8.

Pada pengamatan terhadap hasil pucuk tanaman teh terlihat bahwa penggunaan insektisida nabati memberikan pengaruh yang sama terhadap kenaikan hasil pucuk, tetapi kenaikan hasil pucuk tersebut lebih kecil dibanding dengan penggunaan insektisida Talstar 25 EC pada konsentrasi 125 %. Menurut Dharmadi (1993) hal ini terjadi karena penyemprotan insektisida [@ bukan merupakan satu-satunya faktor yang mempengaruhi hasil pucuk, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti pemupukan, jenis tanaman, dan faktor lingkungan abiotis seperti curah hujan. Selain itu menurut Tobroni dan Hikmat (1987) lamanya periode pucuk burung akan mengakibatkan peluang untuk menghasilkan daun yang dipetik semakin sedikit, sehingga produksi pucuk akan menurun.

KESIMPULAN Berdasarkan hasil percobaan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Penggunaan insektisida nabati ekstrak biji sirsak, daun mindi dan daun suren dengan konsentrasi 0,5% dan 1% dapat menurunkan populasi dan intensitas serangan Empoasca, tetapi penurunannya lebih kecil jika dibandingkan dengan penggunaan insektisida Talstar 25 EC. 2. Ekstrak biji nimba, daun mindi dan daun suren dengan konsentrasi 0,5% dan 1% tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan hasil pucuk tanaman teh.

DAFTAR PUSTAKA Dharmadi,A. 1999. Empoasca sp. Hama Baru di Perkebunan The Indonesia.Prosiding Pertemuan Teknis The Nasional.Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK) Gambung.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 472

Rayati,D,J.,Widayat,W., dan Sabur A. 2001. Strategi Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dalam Budidaya Teh Organik.Seminar Budidaya Teh Organik, Gambung 22 Agustus 2001. Sastrodihardjo,S. 1988.Evaluasi Daya Insektisida dari Ekstrak Daun Nimba. Seminar Hasil Penelitian Pangan dan Gizi.Ilmu Hayati dan Bioteknologi PAU Yogyakarta 14-17 Desember 1988. Sianipar,M,S dan Supriyadi Y. 1998. Pestisida Botani.Pusat Pengembangan Pendidikan Politeknik Pertanian. Bandung. Sina,I. 1998. Pengaruh Cairan Perasan biji Sirsak (Annona muricata) dan Akar Tuba (Deris elliptica Robxb.Benth) terhadap Mortalitas Tungau Jingga (Brevipalphus pheonnicsis geijakes) hama pada tanaman Teh (Camellia sinensis (Lukas) O Kuntze) di Labolatorium. Jurusan Hama penyakit Tanaman Faperta UNINUS. Bandung. Tobroni,M dan Hikmat. 1987. Pengaruh Umur Pangkasan dan Cara Pemetikan terhadap Kadar Pati di Akar dan Produksi Tanaman Teh (Camellia sinensis (L) O Kuntze) Asal Biji.Warta BPTK Gambung. Bandung. Widayat,W. 1993. Daya Bunuh Serbuk Daun dan Biji Nimba (Azadirachta indica) terhadap Ulat Jengkal (Hyposidra talaca) Hama Utama Tanaman Teh. Prosiding Seminar Penelitian dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati. Bogor 1-2 Desember 1993. Widayat,W. 1994. Prospek Penggunaan Pestisida Nabati di Perkebunan Teh dan Kina dan Strategi Pengembangannya. Kolokium Mingguan Pusat Penelitian Teh dan KIina (PPTK) Gambung.Bandung. Widayat,W dan Sucherman, O. 2001. Studi Biologi Hama Empoasca sp di Laboratorium.Laporan Hasil Penelitian Pengelolaan Ekosistem Tanaman Teh Rakyat berdasarkan Teknologi PHT. PPTK Gambung.Bandung.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 473

PPH-2 Pengaruh Konsentrasi Insektisida Alami Terhadap Intensitas Serangan Empoasca sp. dan Hasil Pucuk Tanaman Teh (Camellia sinensis L.) KlonGambung 4 Merry Antralina1 and Endang Kantikowati1 1Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan konsentrasi insektisida alami Tracer 120 SC yang terbaik pengaruhnya terhadap intensitas serangan Empoasca sp. dan hasil pucuk tanaman teh. Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung dari bulan Oktober sampai Desember 2008. Ketinggian tempat sekitar 1300 m di atas permukaan laut, dengan tipe curah hujan B (basah) menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson (1951), dengan curah hujan rata-rata 2385,35 mm per tahun. Penelitian ini menggunakan metode percobaan dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri dari 6 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuannya terdiri dari :A=Tracer 120 SC 0 mL/L air, B=Tracer 120 SC 0,4 mL/L air, C=Tracer 120 SC 0,8 mL/L air, D=Tracer 120 SC 1,2 mL/L air,E=Tracer 120 SC 1,6 mL/L air,F=Arrivo 30 EC 0,5 mL/L air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan Tracer 120 EC dengan konsentrasi 0,4 ml/liter air sudah dapat menurunkan populasi dan intensitas serangan Empoasca sp., tetapi tidak memberikan pengaruh terhadap peningkatan hasil pucuk tanaman teh. Kata kunci : Insektisida nabati. Empoasca.Tanaman Teh.

ABSTRACT The aim from this research was to fine out of concentration who could give the best effect on attack intencitas Empoasca sp., and yield of tea buds. We hope this research can give information or priceple for farmer. The experiment was carried out in Research Institute for Tea and Cinchoa Gambung from October to December 2008, with altitude about 1300 m above sea level, average of raifall 2385,35 mm for year with according to Schmidt and Fergusson (1951), with average rain. This experiment was arranged in Randomized Block Design (RBD) consisted of six treatment and four replications. The treatment are : A= Tracer 120 SC 0 mL/L of water, B = Tracer 120 SC 0,4 mL/L of water, C = Tracer 120 Sc 0,8 mL/L of water, D = Tracer 120 SC 1,2 mL/L of water, E = Tracer 120 SC 1,6 mL/L of water, and F = Arrivo 30 EC 0,5 mL/L of water. The result of this experiment showed that concentration natural insecticide 0,4 mL/L of water can decrease populations and attack intensity of Empoasca sp., but do not showed the significant effect to yield of tea buds. Key words : natural insecticide. Empoasca. Tea buds.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 474

PENDAHULUAN Tanaman teh merupakan salah satu komoditas perkebunan yang mempunyai arti penting bagi perekonomian Indonesia sebagai penghasil devisa negara. Di samping itu, perkebunan teh dapat menampung tenaga kerja dalam jumlah yang cukup banyak serta berfungsi untuk mempertahankan kelestarian lingkungan. Tanaman teh dibudidayakan untuk menghasilkan pucuk, yaitu daun muda dengan tunas apikalnya. Usaha peningkatan produktivitas terus ditingkatkan dengan menerapkan teknik budidaya secara optimal. Pengendalian hama pada tanaman teh selalu dilakukan, karena tanaman teh memerlukan kondisi yang sehat untuk menyusun pertumbuhan vegetatif berupa pucuk yang selalu dipetik secara teratur. Sejak musim kemarau tiba sekitar awal September 1998, Empoasca sp., diketahui telah menyerang tanaman teh di Perkebunan Gambung. Serangan dan penyebaran serangga ini sangat cepat meluas sehingga mengganggu pertumbuhan pucuk dan menurunkan hasil. Diduga hama ini juga merupakan vektor virus, sehingga pucuk daun teh yang terserang berat sulit pulih kembali (Widayat, 2000). Empoasca sp. mulai menyerang pada stadia nymfa (instar 3), sampai dewasa (Sucherman & Widayat, 2001). Untuk menyelamatkan produksi dari gangguan hama, penggunaan bahan kimia atau racun serangga telah banyak digunakan, terutama bila populasi serangga tersebut menimbulkan kerusakan sampai batas ambang ekonomi (Widayat, 2000). Di perkebunan teh pengendalian hama pada umumnya dilakukan dengan menggunakan insektisida kimia, di antaranya Arrivo 30 EC karena insektisida ini dikenal efektif serta hasilnya cepat dan dapat dilihat. Arrivo 30 EC dengan bahan aktif sipermetrin merupakan insektisida golongan piretroid yang telah dipakai diperkebunan teh untuk penanggulangan hama-hama penting seperti Helopeltis antonii. Cara tersebut memberikan hasil yang sangat nyata dan cepat bila dibandingkan dengan cara lain sehingga kerugian yang lebih besar dapat dihindarkan (Danthanarayana, 1967), meskipun hasilnya hanya bersifat sementara dan harus dilakukan berulang-ulang. Penggunaan insektisida kimia mempunyai beberapa efek samping, yaitu: (1) terjadi resistensi terhadap hama, (2) beberapa jenis insektisida mempunyai residu sangat lama sehingga berbahaya pada manusia dan hewan ternak (Metcalf & Mc Kelvery, 1974), dan (3) kemungkinan timbulnya jenis hama baru, akibat dari matinya parasit dan predator (Cranham, 1966).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 475

Di masa kini dan yang akan datang kita akan semakin dituntut untuk mengurangi penggunaan insektisida kimia. Mengingat semakin meningkatnya kesadaran manusia akan pentingnya pemeliharaan kesehatan dan lingkungan. Peraturan pemerintah akan semakin memperketat penggunaan insektisida. Dalam Undang-Undang RI No.12 tahun 1992 dicanangkan pelaksanaan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang melarang penggunaan sarana atau cara yang dapat mengganggu kesehatan dan keselamatan manusia yang menimbulkan gangguan dan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Salah satu alternatif untuk mengurangi penggunaan insektisida kimia dalam pengendalian hama adalah dengan memanfaatkan musuh-musuh alami, baik parasit, maupun predatornya. Tracer 120 SC merupakan salah satu insektisida alami yang berbahan aktif Spinosad (Saccharopolyspora spinosa) sebagai parasit (racun perut) bagi Empoasca sp yang tidak mematikan serangga berguna lainnya, karena insektisida ini dapat masuk ke dalam jaringan daun, sehingga hanya yang memakan daunnya saja yang akan mati (Dow Agro Sciences Indonesia, 2002). Sifat umum dari insektisida alami ini adalah mudah terdegradasi di alam baik yang disebabkan oleh sinar matahari, oksidasi ataupun oleh waktu. Sifat ini sangat menguntungkan bagi manusia dan lingkungan karena residunya sangat kecil atau bahkan tidak ada (Widayat, 1994). Tracer 120 EC bersifat sistemik lokal artinya bahan aktifnya dapat masuk sampai ke jaringan daun. Selain itu, sebagai racun perut lebih efektif membunuh serangga yang memakan bagian tanaman yang disemprot dibandingkan sebagai racun kontak. Dengan demikian musuh alami akan aman dan berkembang biak. Tracer 120 SC adalah produk pengendali serangga yang sangat selektif dengan potensi tinggi bagi serangga sasaran, namun berdaya racun rendah terhadap mamalia dan organisme lain bukan sasaran serta tidak bersifat racun secara akut terhadap mamalia dan pada dasarnya tidak berbahaya secara oral, dermal, mata dan saluran pernafasan. LD 50 Oral > 5000 mg / kg berat badan untuk tikus besar betina dan jantan. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian mengenai kemampuan Insektisida alami Tracer 120 SC dalam menurunkan populasi dan intensitas serangan Empoasca sp. pada tanaman teh sebagai alternatif pengendalian untuk mengurangi penggunaan insektisida kimia.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 476

Empoasca sp. merupakan hama baru yang berbahaya bagi tanaman teh, karena dapat menurunkan produksi pucuk daun teh. Menurut Dharmadhi (1999), serangan dan penyebarannya sangat cepat meluas sehingga mengganggu pertumbuhan pucuk dan menurunkan produksi sekitar 50% dalam waktu 45 hari. Hama ini pada tanaman teh ada sepanjang tahun. Faktor kondisi iklim yang panas dan lembab, merupakan faktor penunjang perkembangan populasi dan intensitas penyerangan pada tanaman teh. Selanjutnya dikemukakan bahwa hama ini menyerang tanaman teh disebabkan oleh beberapa faktor seperti: 1. keseimbangan ekosistem di kebun teh terganggu dengan rendahnya populasi dan keragaman serangga (musuh alami) 2. penggunaan insektisida sintetik yang berlebihan dan tidak tepat 3. kondisi iklim yang panas dan lembab 4. kesehatan tanaman yang menurun Untuk penanggulangan hama tersebut, maka dilakukan pengendalian dengan menggunakan insektisida. Penggunaan insektisida di bidang pertanian telah menunjukkan kemampuannya dalam menanggulangi merosotnya hasil akibat serangan jasad pengganggu tersebut. Penggunaan insektisida yang tidak teratur dan berlebihan dapat mengakibatkan timbulnya resistensi dan resurjensi hama, serta terbunuhnya musuh alami (Natawiguna, 1990). Anjuran penggunaan insektisida alami ini yaitu 0,5 mL sampai 1 mL/L air. Menurut hasil penelitian Dow AgroSciences Indonesia tahun 2000 penggunaan insektisida alami ini dengan konsentrasi 0,8 mL/L air mampu mengendalikan hama Liriomyza pada tanaman hortikultura, serta memberikan efek yang baik terhadap pertumbuhan tanaman, karena walaupun konsentrasi yang diberikan lebih dari anjuran tidak akan menyebabkan tanaman menjadi toksik.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Percobaan Percobaan ini dilaksanakan di Kebun Pusat Penelitian Teh dan Kina, Kabupaten Bandung. Ketinggian tempat sekitar 1300 m dpl. Curah hujan rata-rata 2385,35 mm/tahun (tipe B) menurut klasifikasi Schmidt dan Fergusson (1951). Jenis tanah Andosol dan sedikit tanah Grumosol dengan derajat keasaman (pH) 5,6. Penelitian dilakukan dari bulan Oktober – Desember 2008.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 477

Bahan dan Alat percobaan Bahan yang dipakai dalam penelitian ini adalah: Tanaman teh menghasilkan Klon Gambung 4 umur pangkas 25 bulan, Insektisida Tracer 120 SC, Arrivo 30 EC, dan Air sebagai pelarut. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Timbangan analitik untuk menimbang hasil pucuk tanaman teh, Gelas ukur untuk mengukur banyaknya insektisida dan air yang dipakai, Ember untuk tempat menyimpan larutan insektisida yang telah jadi dan untuk tempat air penyiraman, Tali rafia sebagai pembatas plot percobaan, Knapsak Sprayer SOLO sebagai alat penyemprotan insektisida, Ajir untuk tanda pada tiap-tiap plot percobaan, Waring untuk menyimpan hasil petikan, Kantong plastik untuk memisahkan hasil petikan guna analisa petik, Jaring (diameter 45 cm) untuk menjaring Empoasca, Pemukul kayu untuk menggiring Empoasca, Label untuk tanda hasil pengamatan pada tiap-tiap plot dan tanda pada plastik yang akan dianalisa petik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK), yang terdiri dari enam perlakuan dan empat ulangan. Jumlah plot seluruhnya 24 plot, masing-masing plot terdiri dari 80 tanaman. Keenam perlakuan insektisida adalah sebagai berikut: A = Tracer 120 SC 0 mL / L air, B = Tracer 120 SC 0,4 mL / L air, C = Tracer 120 SC 0,8 mL / L air, D = Tracer 120 SC 1,2 mL / L air, E = Tracer 120 SC 1,6 mL /L air dan F = Arrivo 30 EC 0,5 mL / L air. Uji Statistik dilakukan dengan uji F yang dilanjutkan dengan uji Jarak Berganda Duncan, masing-masing pada taraf 5% . Sebelum percobaan dimulai, pada seluruh petak percobaan dilakukan pemetikan pendahuluan, untuk mengetahui jumlah pucuk, populasi awal Empoasca sp., intensitas serangan dan rasio pucuk peko terhadap pucuk burung. Selanjutnya dilakukan pemetikan dengan daur petik 7 hari. Perlakuan dilakukan dengan cara menyemprotkan insektisida yang dipakai 1 hari setelah pemetikan, pada pagi hari dengan konsentrasi yang telah ditentukan untuk masing- masing plot. Aplikasi dilakukan dengan cara menyemprotkan larutan insektisida secara merata pada permukaan bidang petik. Volume larutan sebanyak 4 liter (hasil kalibrasi) untuk setiap petak percobaan dengan menggunakan knapsack sprayer.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 478

Pengamatan 1. Populasi Empoasca sp. Dilakukan dengan cara menghitung populasi Empoasca sp yang terjaring dan terbang pada semua stadia, di mana dari setiap plot diambil lima tanaman sampel untuk diamati. Pengamatan ini dilakukan setiap 1 hari sebelum pemetikan dengan menggunakan jaring berdiameter 45 cm. 2. Intensitas serangan Empoasca sp. Menurut Sucherman dan Widayat, (2001) intensitas serangan hama ini dihitung berdasarkan rata-rata persentase jumlah pucuk yang terserang dari 100 gram yang diambil secara acak dari tiap petak percobaan yang dilakukan pada saat pemetikan sebelum perlakuan. 3. Hasil pucuk Dilakukan setiap kali pemetikan dengan cara menimbang hasil pucuk yang dihasilkan setiap pemetikan dari setiap plot percobaan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan tingkah laku memperlihatkan bahwa Empoasca sp. tidak menyukai sinar matahari dan menyerang pucuk tanaman teh pada pagi dan sore hari. Pada siang hari di mana sinar matahari terik hama ini berada di bawah daun pemeliharaan mencari tempat teduh.

1. Populasi Empoasca sp Hasil pengamatan pengaruh konsentrasi insektisida alami Tracer 120 SC terhadap populasi Empoasca sp dapat dilihat pada Tabel 1 . Pada Tabel 1 terlihat bahwa konsentrasi Insektisida alami Tracer 120 SC 0,4 ; 1,2 dan 1,6 mL/L air memperlihatkan populasi Empoasca sp yang lebih rendah daripada perlakuan yang menggunakan insektisida kimia Arrivo pada 42 HSP.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 479

Tabel 1. Pengaruh konsentrasi insektisida alami terhadap populasi Empoasca sp. (ekor/perdu) pada umur 7, 14, 21, 28, 35, 42 HSP. Populasi (ekor / perdu) Perlakuan 7 HSP 14 HSP 21 HSP 28 HSP 35 HSP 42 HSP A = Tracer 0 mL/L 3,45 a 4,25 a 4,10 ab 5,18 b 5,15 b 4,33 ab B = Tracer 0,4 mL/L 3,40 a 3,80 a 3,95 ab 4,45 ab 4,05 ab 3,65 a C = Tracer 0,8 mL/L 3,70 a 3,50 a 4,05 ab 3,45 a 3,85 a 4,10 ab D = Tracer 1,2 mL/L 3,50 a 4,65 a 3,80 ab 3,55 a 3,95 ab 3,35 a E = Tracer 1,6 mL/L 3,50 a 5,35 a 3,40 a 4,00 ab 3,05 a 3,45 a F = Arrivo 0,5 mL/L 4,05 a 6,55 a 6,45 b 5,15 b 5,20 b 5,10 b Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji jarak berganda Duncan HSP : Hari Setelah Pengamatan

Hal tersebut menunjukkan bahwa insektisida alami Tracer 120 SC pada konsentrasi 0,4 ml/L air sudah dapat mengendalikan populasi Empoasca sp menggantikan penggunaan insektisida kimia Arrivo.

2. Intensitas serangan Empoasca sp. Hasil pengamatan pengaruh konsentrasi insektisida alami Tracer 120 SC terhadap intensitas serangan Empoasca sp dapat dilihat pada Tabel 2 . Pada Tabel 2 terlihat bahwa konsentrasi insektisida alami Tracer 120 SC 1,2 mL/L air, memperlihatkan intensitas serangan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan perlakuan insektisida kima Arrivo.

Tabel 2. Pengaruh konsentrasi insektisida alami terhadap intensitas serangan Empoasca sp. (%) pada umur 7, 14, 21, 28, 35, 42 HSP

Intensitas serangan (%) Perlakuan 7 HSP 14 HSP 21 HSP 28 HSP 35 HSP 42 HSP A =Tracer 0 mL/L 78,50 b 69,10 b 52,43 c 56,30 c 52,74 a 63,07 c B =Tracer 0,4 mL/L 61,00 a 36,00 a 28,48 a 24,83 a 36,82 a 37,47 ab C =Tracer0,8 mL/L 55,23 a 33,40 a 35,15 ab 42,23 abc 41,42 a 32,55 ab D =Tracer 1,2 mL/L 55,25 a 35,53 a 24,80 a 32,58 ab 41,74 a 27,08 a E =Tracer 1,6 mL/L 85,28 b 31,75 a 28,40 a 31,09 ab 38,86 a 34,76 ab F =Arrivo 0,5 mL/L 85,68 b 43,30 a 49,55 bc 47,93 bc 53,32 a 49,87 bc Keterangan : - Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji jarak berganda Duncan. - HSP : Hari Setelah Pengamatan

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 480

3. Hasil pucuk tanaman teh Hasil pengamatan pengaruh konsentrasi insektisida alami Tracer 120 SC terhadap hasil pucuk tanaman teh dapat dilihat pada Tabel 3. Pada Tabel 3 terlihat bahwa insektisida alami Tracer 120 SC tidak memperlihatkan perbedaan terhadap hasil pucuk tanaman teh.

Tabel 3. Pengaruh konsentrasi insektisida alami terhadap hasil pucuk tanaman teh (g) pada umur 7, 14, 21, 28, 35, 42 HSP

Hasil pucuk (g) Perlakuan 7 HSP 14 HSP 21 HSP 28 HSP 35 HSP 42 HSP A= Tracer 0 mL/L 372,50 a 2610,00 a 4857,50 a 3887,50 a 1762,50 a 1325,00 a B=Tracer 0,4 mL/L 307,50 a 2422,50 a 5440,00 a 4502,50 a 2800,00 ab 1175,00 a C=Tracer 0,8 mL/L 287,50 a 2260,00 a 4390,00 a 3975,00 a 2487,50 ab 1497,50 a D= Tracer 1,2 mL/L 265,00 a 2377,50 a 5332,50 a 3550,00 a 2600,00 ab 1182,50 a E= Tracer 1,6 mL/L 370,00 a 1420,00 a 4052,50 a 4200,00 a 3212,50 b 1392,50 a F= Arrivo 0,5 mL/L 320,00 a 2645,00 a 5662,50 a 5112,50 a 2725,00 ab 1175,00 a Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji jarak berganda Duncan. HSP : Hari Setelah Pengamatan

Menurut Curtis dan Clark (1949) pertumbuhan dari suatu tanaman dapat dicirikan dari total bobot basah (segar) masing-masing bagiannya, sementara itu bobot segar pada tanaman teh merupakan hasil pucuk basah dari setiap pemetikan yang sekaligus merupakan ciri keadaan vigor tanaman yang senantiasa dipengaruhi oleh faktor luar dan dalam tanaman. Faktor luar dan dalam yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman teh selama percobaan diduga relatif sama, hal ini menyebabkan ketersediaan dan translokasi hara ke dalam jaringan tanaman terutama pada daerah titik pertumbuhan pucuk juga relatif sama, sehingga mengakibatkan bobot segar pucuk teh yang dihasilkan relatif sama pada setiap plot. Menurut Dharmadi (1983) penyemprotan insektisida bukan merupakan satu-satunya faktor yang mempengaruhi hasil pucuk tetapi juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti pemupukan, jenis tanaman, dan faktor lingkungan abiotis seperti curah hujan. Tobroni dan Hikmat (1987) menyatakan bahwa lamanya periode pucuk burung akan mengakibatkan peluang untuk menghasilkan daun yang dipetik semakin sedikit, sehingga produksi pucuk akan menurun.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 481

KESIMPULAN DAN SARAN 1. Konsentrasi insektisida alami Tracer 120 SC 0,4 ml / liter air sudah dapat menurunkan populasi dan intensitas serangan Empoasca sp . 2. Pemberian konsentrasi insektisida alami Tracer 120 SC yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap hasil pucuk tanaman teh .

DAFTAR PUSTAKA Cranham, JE. 1966. Monographs on tea production in Ceylon. Insect and mite pest on in Ceylon and their control. The Tea Res. Inst. Ceylon 6 : 1-12. Danthanarayana, 1967. Tea entomology in perspective. The Tea Quart. 38 (2) : 1530178. Dharmadi, A. 1999. Insektisida Nimba dan Sirsak, Suatu Hasil Proses Ekstrak Formulasi dan Uji Efektifitas terhadap Helopeltis dan Empoasca sp di Perkebunan Teh. Prosiding Pertemuan Teknis Teh Nasional, PPTK Gambung hal 265-280. Dow Agro Sciences Indonesia, 2002. Buletin Teknis Spinosad. Jakarta. Metcalf, R. L. and J. J. McKelvery Jr. 1974. The future for insecticides nedds and prospects. A. Willey Interscience Publ. John Wiley and Sons. 513 p. Natawigena, H. 1990. Pestisida dan Penggunaannya. Universitas Padjajaran Bandung. Sucherman,O dan Widayat, W. (2001). Organisasi dan cara monitoring serangan Empoasca sp., Helopeltis antonii dan tungau jingga hama utama pada tanaman teh,9 hal. Schmidt and Fergusson. 1951. Rainfall, types based on Wet and Dry Period Area For Indonesia With western New Guuinea, Kementrian Perhubungan Jawatan Metereologi dan Geofisika Jakarta. Widayat W, 2000. Ambang kendali Empoasca sp. Hama pada tanaman teh. Laporan Hasil Penelitian 2000. Hal 151-160. PPTK Gambung.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 482

PPH-3 Serangan Aphis sp dan Keragaan Agronomis Penangkaran Kebun Induk Mini Lada dengan Bahan Tanaman Berbeda Suprapto1 dan Dewi Rumbaina Mustikawati1 1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung Jln. Hi Z.A. Pagaralam No Ia, Rajabasa, Bandar Lampung

ABSTRAK Penelitian serangan Aphis spp dan keragaan agronomis kebun induk mini lada dengan bahan tanaman bibit lada yang berbeda telah dilakukan BPTP Lampung di KP Natar pada tahun 2010. Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancanagan Randomize Blok Design (RBD) dengan 4 perlakuan dari bahan tanaman bibit ladayang berbeda. Perlakuan yang diuji adalah (a) Stek lada 3 ruas asal sulur panjat dengan satu daun tunggal ditanam di guludan, (b) Stek satu ruas asal sulur panjat berdaun tunggal di tanam langsung di guludan,(c) Stek satu ruas asal sulur panjat berdaun tunggal di tanam di polibag dengan media campuran pupuk kompos dan tanah langsung di tanam di guludan dan (d) Bibit lada umur 7 bulan dalam polibag ditanam di guludan. Pengamatan dilakukan terhadap keragaan agronomis dan serangan Aphis spp pada tiap perlakuan. Jarak tanam lada diguludan dikebun induk mini 15 cm x 20 cm.Hasil penelitian menunjukkan serangan Aphis spp dan keragaan agronomis tanaman lada dengan bahan tanaman yang berbeda cukup beragam. Keragaan pertumbuhan agronomik paling menonjol menggunakan bibit lada umur 7 bulan dan stek lada 3 ruas berdaun tunggal dibanding bahan tanaman lainnya. Penggunaan bibit lada di polibag umur 7 bulan menunjukkan serangan Aphis spp dan biaya penangkaran tinggi (Rp. 14.14,5 / bibit) dibanding stek 3 ruas ditanam langsung (Rp 450/ stek 3 ruas), stek satu ruas di polibag (Rp 200,-) dan stek satu ruas langsung ditanam (Rp 200,). Diantara perlakuan 1 (stek 3 ruas ditanam langsung), perlakuan 2 (stek satu ruas di tanam langsung diguludan) dan perlakuan 3 (stek satu ruas ditanam di polibag) yang menunjukkan pertumbuhan menonjol dan serangan Aphis spp rendah serta biaya tergolong murah adalah Perlakuan 1 yaitu perlakuan stek 3 ruas ditanam langsung diguludan. Kata kunci : Perbanyakan, lada, bahan tanaman, pertumbuhan, Aphis spp, biaya.

ABSTRACT The studi of Aphis spp attack and agronomic performance on pepper propagation with defference pepper cutting has been conducted in Natar Experimental Garden at 2010 by AIAT Lampung. The studi was arranged in Randomize Blok Design (RBD) with 4 replication and 4 tratment as (a) pepper cutting 3 node with one leaved planting on bed, (b) pepper cutting 1 node with one leaved planting on bed, (c) pepper cutting 1 node with one leaved planting in polibag and planting on bed, (d) pepper seedling 7 mounth age planting on bed. Number plants per plot about 125 plat, Agronomic performance and Aphis spp attack observation on 60 sample pepper plants per plots. The research result showed that Aphis spp attack and agronomic variation performance on all treatment. Higher pepper growth and aphis attack on treatment pepper seedling 7 mounth,age and than pepper cutting 3 node with one leave planting, pepper cutting 1 node with one leaved planting in polibag and pepper cutting 1 node with one leaved planting respectively. Higher coast on treatment pepper seedling 7 mounth, and than pepper cutting 3 node with one leaved planting, pepper cutting 1 node with one leaved planting in polibag and pepper cutting 1 node with one leaved planting respectively. Treatment were showed lower Aphis spp attack, lower coast, higher growth were treatment pepper cutting 3 node with one leaved planting. Key Words : Propagation, pepper, pepper cutting, growth, Aphis spp, cost.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 483

PENDAHULUAN Dalam mengusahakan lada banyak mengalami kendala, antara lain karena hama. Hama pada tanaman lada yang telah dikenal ada sekitar 25 jenis (Kheng, 1979), diantaranya adalah Aphis spp. Jenis serangga ini termasuk ordo Homoptera dari anggota family Aphididae (Toerngadi dkk., 1974). Serangga ini disamping merusak tanaman lada juga merupakan vector yang dapat menularkan virus (Metcalf & Flint, 1979). Serangga Aphis spp pada tanaman lada dapat mengakibatkan daun lada mengeriting dan tanaman kerdil. daun gugur, pertumbuhan lada terhambat, pada serangan berat tanaman layu kemudian mati (Cottier, 1953). Pada tanaman lada, Aphis spp. ditemukan merusak pada bagian tanaman yang masih muda. Tanaman terserang daun-daunnya mengeriting, klorosis dan pertumbuhan terhambat (Kheng, 1979). Sebaran serangga ini terdapat di daerah tropika dan di beberapa daerah sub tropika (Eastop, 1977). Di Serawak serangga ini telah diketahui merusak tanaman lada sejak tahun 1979 (Kheng, 1979). Di Lampung hama ini diketahui merusak beberapa varietas lada di pembibitan, antara ditemukan pada varietas lada belantung, Kerinci, LDL, Jambi, Kalluvally dan Panniyur (Suprapto, 1990). Aphis termasuk serangga polifag, mempunyai tanaman inang secara taksonomik sangat beragam (Kogan, 1975). Namun demikian respon biologi Aphis spp. pada tanaman lada yang mempunyai sekitar 41 varietas (Wahid, 1987) sampai saat ini belum sepenuhnya di ketahui. Hama ini juga ditemukan dikebun induk mini lada yang digunakan sebagai bahan tanaman untuk pembibitan lada di Lampung. Sehubungan dengan hal tersebut maka dilakukan penelitian serangan Aphis spp. di kebun induk mini lada dengan bahan tanaman berbeda. Penelitian bertujuan untuk memperoleh cara perbanyakan bahan tanaman lada di kebun induk mini yang efisien, murah dan serangan Aphis spp. rendah.

BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan tahun 2010 di Kebun Percobaan Natar, Lampung. Penelitian menggunakan varietas Natar 1, karena varietas ini mempunyai beberapa keunggulan antara lain mempunyai daya adaptasi terhadap cekaman air dan kelebihan air sedang, kurang peka terhadap penggerek batang, nematoda dan busuk pangkal batang, serta mempunyai potensi produksi tinggi dan sebagai varietas lada spesifik lokasi Lampung (Balitro, 2005; Suprapto & Yani, 2008). Penelitian menggunakan rancangan Randomize Blok Design (RBD) dengan 4 perlakuan bahan tanaman lada yang berbeda. Perlakuan yang diteliti terdiri atas: (a) Stek lada

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 484

3 ruas asal sulur panjat dengan satu daun tunggal langsung dua ruas ditanam didalam tanah guludan dengan jarak tanam 15 cm x 20 cm. (b) Stek satu ruas asal sulur panjat berdaun tunggal ditanam langsung di guladan dengan jarak tanam 15 cm x 20 cm, satu ruas berakar panjat ditanam di dalam tanah dengan daun tunggal dipermukaan tanah, kedalaman tanam di dalam tanah 1-0,5 cm. (c) Stek satu ruas asal sulur panjat berdaun tunggal di tanam langsung di polibag dengan media campuran pupuk kompos dan tanah perbandingan (1 : 1) langsung polibag di susun di guludan dengan jarak tanam 15 cm x 20 cm. (d) Bibit lada umur 7 bulan dalam polibag dengan media campuran pupuk kompos dan tanah perbandingan (1 : 1) langsung di ditanam di guladan,jarak tanam 15 cm x 20 cm. Ukuran plot tiap perlakuan 125 tanaman (5 tanaman x 25 tanaman ) ukuran luas plot 1,0 m x 3,75 m diulang 4 kali. Ukuran tiap plot 125 tanaman lada yang ditanam pada guludan ukuran 1,0m x 3,75 m. Tiap guludan ukuran 1,0 m x 3,75 m di beri pupuk kandang kotoran sapi sebanyak 75 kg dan diaduk dengan tanah guludan sampai merata. Tinggi guludan 20 cm dengan diberi batas pinggir guludan dengan anyaman bambu, jarak antar guludan 0,75 m. Setelah guludan diberi pupuk kandang kotoran sapi 75 kg per plot kemudian diaduk merata, selanjutnya disiram air sampai basah dan disemprot fungisida Dithane M45 merata dengan konsentrasi 0,1%. Selanjutnya guludan disungkup plastik selama 20 hari, kemudian dibuka dan gulma yang tumbuh di guludan disiang bersih. Kemudian bibit lada dari masing-masing perlakuan ditanam diguludan. Perlakuan a,b dan c setelah selesai ditanam disungkup kembali selama 1,5 bulan sampai bahan tanaman lada tumbuh tunas baru 2-3 ruas, sementara perlakuan d tidak disungkup karena bibit telah tumbuh normal. Setelah 1,5 bulan di sungkup perlakuan a, b, dan c dibuka dan bibit lada dipelihara dengan menyiram setiap 2 minggu sekali, memberikan pupuk organik 20 kg / m2 dengan ditebar merata diantara tanaman lada, pemupukan inorganik NPK ( 15 : 15: 15 ) sebanyak 1250 gr / 125 tanaman / plot. Pengamatan dilakukan terhadap keragaan pertumbuhan tanaman dan serangan hama Aphis sp. pada tanaman sample dari tiap perlakuan. Keragaan pertumbuhan dan serangan Aphis sp. diamati tiap 20 hari sekali setelah tanam. Jumlah tanaman sampel keragaan agronomik ditentukan secara acak sebanyak 60 tanaman lada. Keragaan pertumbuhan tanaman lada yang diamati mencakup (jumlah daun, jumlah ruas, tinggi tanaman) sedangakan serangan Aphis sp mencakup populasi pada tanaman sample. Selanjutnya data di tabulasi dan dianalisis menggunakan rancangan Randomize Blok Design (RBD) dan dianalisis dengan DMRT pada taraf beda nyata 5 %.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 485

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian serangan Aphis spp. dan keragaan agronomis penangkaran kebun induk mini lada dengan menggunakan bahan tanaman lada yang berbeda menunjukkan bahwa populasi Aphis spp. dan jumlah daun keriting akibat serangan Aphis spp., kematian dan keberhasilan hidup tanaman lada, serta pertumbuhan bibit dan jumlah ruas pada tiap perlakuan beragam (Tabel 1, 2 dan 3). Populasi Aphis spp. pada umur 100 hari pada tiap perlakuan sangat beragam. Populasi Aphis spp. paling menonjol pada perlakuan bibit lada di polibag umur 7 bulan (Perlakuan d) dengan populasi 147,91 ekor, kemudian diikuti perlakuan stek tiga ruas asal sulur panjat berdaun tunggal (Perlakuan a) sebanyak 12,6 ekor, perlakuan stek satu ruas asal sulur panjat berdaun tunggal di polibag ditanam diguludan (Perlakuan c) sebanyak 8,7 ekor, dan paling rendah perlakuan stek satu ruas asal sulur panjat berdaun tunggal yang ditanam langsung diguludan (Perlakuan b) hanya 6,9 ekor (Tabel 1).

Tabel 1. Keragaan populasi Aphis spp dan jumlah daun yang keriting tiap perlakuan Populasi Aphis spp pada tanaman umur Jumlah daun pucuk mengeriting pada tanaman Perlakuan (ekor) lada umur (daun) bahan Umur Umur No Umur Umur Umur Umur Umur Umur Umur Umur tanaman 100har 100har 20hari 40har 60hari 80hari( 20hari 40hari 60hari 80hari lada i i (ekor) (ekor) (ekor) (ekor) (daun) (daun) (daun) (daun) (ekor) (daun) 1 Stek 3 ruas 0,0 a 0,0 a 0,0a 3,5a 12,6a 0,0a 0,0a 0,0a 3,1a 11,8 a 2 Stek 1 ruas 0,0 a 0,0 a 0,0a 2,6a 6,9a 0,0a 0,0a 0,0a 2,4a 6,6a 3 Stek 1 ruas 0,0 a 0,0 a 0,0a 2,9a 8,7a 0,0a 0,0a 0,0a 2,4a 8,5a di polibag 4 Bibit umur 7 48,6 b 28,6b 35,0b 42,3b 147,9b 3,0b 3,0b 11,5b 38,5b 198,5b bulan KK (CV) % 12,4 16,2 15,8 14,8 14,7 10,8 12,9 13,9 13,9 14,3 Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada tiap kolom tidak berbeda nyata pada taraf 5 %.

Kerusakan daun akibat serangan Aphis spp. yang ditunjukkan dengan jumlah daun lada keriting pada umur 100 hari setelah tanam cukup beragam tiap perlakuan. Jumlah daun lada keriting akibat serangan Aphis spp. paling menonjol pada perlakuan bibit lada di polibag umur 7 bulan (Perlakuan d) mencapai 198,5 daun (76,97%), kemudian diikuti perlakuan stek tiga ruas asal sulur panjat berdaun tunggal (Perlakuan a) sebanyak 11,8 daun (7,31%), perlakuan stek satu ruas berdaun tunggal di polibag ditanam di guludan (Perlakuan c) sebanyak 8,5 daun (6,2%), dan paling rendah daun keriting pada perlakuan stek satu ruas berdaun tunggal ditanam langsung di guludan (Perlakuan b) hanya 6,6 daun (5,1%) (Tabel 1).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 486

Kematian bibit lada dihitung secara komulatif sejak ditanam sampai bibit berumur 100 hari setelah tanam. Kematian bibit lada paling tinggi pada perlakuan stek satu ruas berdaun tunggal (Perlakuan b), kemudian diikuti stek satu ruas berdaun tunggal di polibag ditanam diguludan (Perlakuan c), perlakuan stek tiga ruas berdaun tunggal di tanam langsung di guludan (Perlakuan a) dan paling rendah perlakuan bibit lada umur 7 bulan siap tanam di lapang (Perlakuan d) (Tabel 2). Kematian bibit lada paling tinggi pada perlakuan stek satu ruas ditanam langsung di guludan dengan jumlah kematian 5 batang (2,1%), kemudian diikuti perlakuan stek satu ruas di polibag ditanam diguludan kematian 4 batang (1,7%), perlakuan stek 3 ruas berdaun tunggal ditanam langsung di guludan kematian 3 batang (1,25%) dan paling rendah kematian pada perlakuan bibit lada umur 7 bulan dalam polibag ditanam langsung di guludan dengan kematian 1 batang (0,42%) (Tabel 2).

Tabel 2. Keragaan kematian dan keberhasilan hidup tanaman lada pada tiap perlakuan

Kematian bibit lada Keberhasilan hidup bibit lada Perlakuan umur (hari) umur (hari) No bahan Umur Umur Umur Umur Umur Umur Umur Umur Umur Umur tanaman lada 20hari 40hari 60hari 80hari 100hari 20hari 40hari 60hari 80hari 100hari 1 Stek 3 ruas 0,75ab 0,75ab 0,75ab 0,75ab 0,75ab 59,25a 59,25ab 59,25ab 59,25ab 59,25ab 2 Stek 1 ruas 1,0a 1,25c 1,25c 1,25c 1,25c 59,0 b 58,75b 58,75b 58,75b 58,75b Stek 1 ruas di 3 0,75a 1,0b 1,0b 1,0b 1,0b 59,25ab 59,0b 59,0b 59,0a 59,0b polibag Bibit umur 7 4 0,25a 0,25a 0,25a 0,25a 0,25a 59,75a 59,75a 59,75a 59,75a 59,75a bulan KK (CV) % 10,5 13,8 12,6 15,7 14,2 11,8 12,9 12,4 15,6 14,4 Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada tiap kolom tidak berbeda nyata pada taraf 5 %.

Keberhasilan hidup bibit lada di kebun induk mini sampai dengan umur 100 hari paling tinggi pada perlakuan bibit lada umur 7 bulan dalam polibag ditanam langsung di guludan yaitu 99,58%, kemudian diikuti perlakuan stek 3 ruas berdaun tunggal ditanam langsung diguludan 98,75%, perlakuan stek satu ruas di polibag ditanam langsung di guludan mencapai 98,33% dan paling rendah keberhasilan hidup pada perlakuan stek satu ruas berdaun tunggal ditanam langsung di guludan dengan keberhasilan hidup 97,92% (Tabel 2). Kematian dan keberhasilan hidup bibit lada dikebun induk mini dengan bahan tanaman bibit lada di polibag umur 7 bulan lebih tinggi diduga karena bibit lada telah tumbuh normal dan siap ditanam langsung di lapang dibanding dengan perlakuan lainnya. Hal tersebut diduga karena bahan tanaman lada lainnya berasal dari stek langsung ditanam di

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 487

lapang mengalami stagnasi setelah stek ditanam, bahan tanaman stek lada 1 ruas dan 3 ruas yang ditanam langung di guludan mengalami stagnasi selama 1,5 bulan sampai sistem perakarannya mulai tumbuh, sementara dengan penggunaan bibit lada siap tanam umur 7 bulan yang ditanam langsung di guludan bibit lada mampu langsung tumbuh dengan baik dan tidak mengalami stagnasi pertumbuhan, akibatnya keberhasilan hidup lebih baik dibanding perlakuan lainnya yang menggunakan bahan tanaman lada stek 1 sampai dengan 3 ruas yang ditanam langsung di guludan. Hal tersebut menurut Suparman dkk, 1992) disebabkan karena bibit lada asal stek satu ruas berdaun tunggal yang telah umur 7 bulan didalam polibag siap ditanam di lapang, kematian di lapang sangat rendah hanya sekitar 0,5-19% dibanding dengan menggunakan stek lada yang langsung ditanam di lapang kematian mencapai 73,81- 83,33 %. Penggunaan bahan tanaman dari bibit lada dalam polibag umur 7 bulan siap tanam tergolong biaya mahal, karena setiap bibit lada dalam polibag siap tanam umur 7 bulan harganya mencapai Rp. 1.414,5 per batang, sementara penggunaan stek 1-3 ruas tergolong murah dengan harga Rp 350/stek ( Suprapto & Ernawati, 2010). Pertumbuhan tinggi bibit lada di kebun induk mini dengan bahan tanaman yang berbeda sangat beragam. Pertumbuhan tinggi tanaman lada paling menonjol pada perlakuan bibit lada di polibag umur 7 bulan yang telah siap tanam di lapang ( Perlakuan d) mencapai 326,7 cm, kemudian diikuti perlakuan stek tiga ruas asal sulur panjat berdaun tunggal di tanam langsung di guludan (Perlakuan a) 190,6 cm, perlakuan stek satu ruas asal sulur panjat berdaun tunggal di polibag ditanam diguludan (Perlakuan c) 166,1 cm, dan paling rendah pertumbuhan pada perlakuan stek satu ruas asal sulur panjat berdaun tunggal yang ditanam langsung diguludan (Perlakuan b) hanya 145,7 cm.

Tabel 3. Keragaman Pertumbuhan bibit dan jumlah ruas pada tiap perlakuan No Perlakuan Tinggi tanaman lada (cm) pada umur (hari) Jumlah ruas tanaman lada pada umur (hari) (ruas) bahan Umur Umur Umur Umur Umur Umur Umur Umur Umur Umur tanaman lada 20hari 40hari 60hari 80hari( 100hari 20hari 40hari 60hari 80hari 100hari (cm) (cm) (cm) cm) (cm) (ruas) (ruas) (ruas) (ruas) (ruas) 1 Stek 3 ruas 4,7b 17,6ab 48,5b 133,9b 190,6b 0,8b 3,4 b 9,2b 38,4b 161,4b 2 Stek 1 ruas 3,0b 11,8bc 35,2c 102,1c 145,7c 0,1c 2,8 c 6,9c 28,9c 129,4c Stek 1 ruas di 3 4,2b 7,3c 35,4c 117,3c 166,1c 0,6 bc 2,1 c 6,3c 29,8c 137,1c polibag Bibit umur 7 4 19,3a 30,2a 83,7a 230,9a 326,7a 3,1a 7,1 a 13,4 a 58,7a 257,9 a bulan KK (CV) % 11,5 12,2 12,7 15,6 14,9 15,8 12,9 14,4 13,6 16,4 Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada tiap kolom tidak berbeda nyata pada taraf 5 %.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 488

Pertumbuhan ruas tanaman lada pada berbagai tingkatan umur di kebun induk mini lada dengan menggunakan bahan tanaman bibit lada yang berbeda sangat beragam. Jumlah ruas tanaman lada pada umur 100 hari paling tinggi pada perlakuan bibit lada di polibag umur 7 bulan (Perlakuan d) sebanyak 257,9 ruas, kemudian berturut-turut diikuti perlakuan stek tiga ruas asal sulur panjat berdaun tunggal (Perlakuan a) 161,4 ruas, stek satu ruas asal sulur panjat berdaun tunggal di polibag ditanam di guludan (perlakuan c) 137,1 ruas dan paling rendah pada stek satu ruas asal sulur panjat berdaun tunggal ditanam langsung di guludan (Perlakuan b) 129,4 ruas (Tabel 3). Penggunaan bibit lada di polibag umur 7 bulan biaya paling mahal (Rp. 14.14,5/bibit) dan serangan Aphis spp. paling tinggi (Perlakuan d) dibanding stek 3 ruas ditanam langsung (Rp 450/stek 3 ruas) (perlakuan a), stek satu ruas di polibag (Rp 200,-) (perlakuan c) dan stek saturuas langsung ditanam (Rp 200,-)(Perlakuan b). Diantara perlakuan stek 3 ruas ditanam langsung (perlakuan a), stek satu ruas di polibag ditanam di guludan (Perlakuan b) dan stek satu ruas ditanam di polibag (Perlakuan c) yang menunjukkan keragaan pertumbuhan menonjol dan serangan Aphis sp rendah serta biaya relatif murah adalah perlakuan stek 3 ruas ditanam langsung di guludan (perlakuan a).

KESIMPULAN Serangan Aphis spp dan keragaan agronomis kebun induk mini lada dengan bahan tanaman lada yang berbeda menunjukkan beragam, keragaan pertumbuhan agronomik paling baik dengan menggunakan bibit lada umur 7 bulan dan stek lada 3 ruas berdaun tunggal dibanding bahan tanaman lainnya. Penggunaan bibit lada di polibag umur 7 bulan biaya paling mahal (Rp. 14.14,5/bibit), serangan Aphis spp. paling tinggi dan dibanding stek 3 ruas ditanam langsung (Rp 450/stek 3 ruas), stek satu ruas di polibag (Rp 200,-) dan stek saturuas langsung ditanam (Rp 200,-). Diantara perlakuan stek 3 ruas ditanam langsung (perlakuan a), stek satu ruas di tanam langsung di guludan (Perlakuan b) dan stek satu ruas ditanam di polibag (Perlakuan c) yang menunjukkan pertumbuhan menonjol dan serangan Aphis spp. rendah serta biaya tergolong murah adalah perlakuan stek 3 ruas ditanam langsung (perlakuan a).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 489

DAFTAR PUSTAKA Cottier,W.1953. Aphid of New Zealand. Dept. Sci. Indust Res. Wellington New Zealand. P. 382. Eastop. 1977. Worldwide importance of Aphis as virus vectors. In. Harris, K.F. and K. Maramorosch, Aphis as virus vectors. Academic Press. New York. 6-15 p. Kheng, T.K.1979. Pest, desease and disorders of black pepper in Serawak. 88 p. Kogan, M. 1975. Plant resistance in pest management. In Metclaf, R.Land W.H. Luckman. Introduction to insect pest management. John Willey and Sons. New York. P. 105-146 p. Metcalf. C.L. and W.P. Flint. 1979. Destructive and useful their habits and control. Tata Mc. Grawhill. P. 648. Suparman, A. Sopandi dan A. Burhan,. 1992. Beberapa keuntungan penggunaan bibit lada . Bul Littro VII (1) : 5-9. Suprapto dan Alvi Yani. 2008. Teknologi Budidaya Lada. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 23 Halaman. Suprapto. 1990. Preferensi hama Aphis sp terhadap beberapa varietas lada. Pemberitaan Penelitian Tanaman Industri. Volume XVI,/ No. 2. Oktober-Desember 1990. 70-76 p. Suprapto dan Rr Ernawati. 2010. Analisis pendapatan penangkaran bibit lada Natar 1 Prima Tani Lampung Utara. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan. Volume 10, no. 2. Mei 2010. Hal 86-89 Toerngadi,A., Suroto, Manuwoto,S., dan N.G. Bambang. 1974. Penuntun Praktikum ilmu hama Tumbuhan umum dan Bagian Ilmu Hama tumbuhan, IPB Bogor. P.172. Wahid, P. 1987. Masalah dan Prospek pembudidayaan pertanaman lada di Indonesia. Khususnya propinsi Lampungh. Makalah Khusus Fakultas Pertanian UNILA, Lampung. P. 14.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 490

PPH-4 Stabilitas Ketahanan Dua Varietas Kedelai Terhadap Penggerek Polong (Etiella spp.) di Lampung Dewi Rumbaina Mustikawati1 1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung

ABSTRAK Penggerek polong (Etiella spp.) termasuk salah satu hama utama pada pertanaman kedelai, karena hama ini dapat menurunkan produksi kedelai. Penggunaan varietas tahan merupakan pemecahan masalah jangka panjang dalam pengendalian hama tanaman karena mudah dan ramah lingkungan, tetapi ketahanan suatu varietas terhadap hama sering berubah, tergantung kepada genotype dan stadia pertumbuhan tanaman, serta perilaku makan serangga hama. Pengkajian ini bertujuan mengetahui stabilitas ketahanan dua varietas kedelai terhadap penggerek polong. Pengkajian dilakukan di dua lokasi yaitu di Desa Gondang Rejo, Kecamatan Pekalongan, Kabupaten Lampung Timur dan di Desa Fajar Baru, Kecamatan Jati Agung, Kabupaten Lampung Selatan. Perlakuan terdiri dari dua varietas kedelai yaitu varietas Grobogan dan varietas Wilis. Penanaman kedelai di Desa Gondang Rejo dilakukan mulai bulan Mei-Agustus 2010, sedangkan penanaman kedelai di Desa Fajar Baru dilakukan mulai bulan Juli-Oktober 2010. Pengamatan penggerek polong dilakukan saat panen, dengan menghitung jumlah polong terserang per tanaman. Jumlah sampel 3 tanaman per varietas diulang 7 kali yang ditentukan secara acak. Hasil kajian menunjukkan bahwa varietas Grobogan dan varietas Wilis memiliki ketahanan yang stabil terhadap penggerek polong. Varietas Grobogan termasuk kategori peka terhadap hama penggerek polong, sedangkan varietas Wilis termasuk kategori agak tahan terhadap hama penggerek polong. Kata kunci: Kedelai, varietas, ketahanan, penggerek polong.

ABSTRACT Pod borer (Etiella spp) includes one of the main pest in soybean, because this pest can reduce soybean production. The use of resistant varieties is the long-term problem solving in plant pest control because it is easy and friendly environment, but the resistance of a variety to pests often become different, depends on genotype and stage of plant growth, and feeding behavior of insect pests. This assessment to aim the stability of two soybean varieties resistance to pod borer. The assessment was conducted at two locations: in the Gondang Rejo village, Pekalongan Sub-district, East Lampung District and in the Fajar Baru village, Jati Agung Sub-district, South Lampung District. Treatments consisted of two varieties of soybean i.e Grobogan and Wilis varieties. Soybean planting in Gondang Rejo village was conducted from May-August 2010, while soybean planting in Fajar Baru village was conducted from July to October 2010. Observations of pod borer at harvest time by counting the number of pod attacked one plant. The number of sample 3 plants per variety with 7 replications determined randomly. The results showed that the Grobogan and Willis varieties have a stable resistance to pod borer. Grobogan variety including category sensitive to the pod borer, while Wilis variety including category moderately resistant to the pod borer Keywords: Soybean, variety, resistance, pod borer.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 491

PENDAHULUAN Penggerek polong (Etiella spp.) termasuk ordo Lepidoptera dari famili Pyralidae, merupakan salah satu hama utama pada pertanaman kedelai, karena hama ini dapat menurunkan produksi kedelai (Tengkano dkk., 2007). Kerugian akibat serangan hama penggerek polong dapat menyebabkan kehilangan hasil kedelai hingga 80% (Marwoto, 2002). Hingga kini, upaya pengendalian masih mengandalkan insektisida kimia, namun kehilangan hasil akibat serangan penggerek polong masih belum teratasi.Penggunaan varietas tahan hama merupakan salah satu taktik yang tergolong efektif dalam pengendalian hama karena mudah diaplikasikan, ramah lingkungan, dan dapat diaplikasikan dalam jangka panjang. Akan tetapi, ketahanan suatu varietas terhadap hama sering berubah, tergantung kepada genotype dan stadia pertumbuhan tanaman, serta perilaku makan serangga hama (Prasadja, 1993 dalam Mustikawati, 2007). Upaya untuk mendapatkan varietas kedelai tahan penggerek polong telah lama dilakukan. Beberapa hasil penelitian ketahanan varietas/galur kedelai terhadap penggerek polong menunjukkan bahwa reaksi ketahanan tinggi adalah kedelai No.29 dan varietas Guntur (Akib & Baco, 1985; Honma dkk., 1986). Evaluasi ketahanan kedelai generasi R1 hasil transformasi dengan gen pinII menunjukkan bahwa tanaman transgenic WP1 (varietas Wilis) dan AT1 (varietas Tidar) memiliki ketahanan terhadap Etiella. Zinckenella, yang diperlihatkan oleh rendahnya kerusakan pada polong dan Biji (Herman dkk., 2001 dalam Baliadi, 2008). Pengkajian ini bertujuan mengetahui reaksi ketahanan dua varietas kedelai terhadap penggerek polong di dua lokasi di Lampung.

BAHAN DAN METODE Pengkajian dilakukan di dua lokasi yaitu di Desa Gondang Rejo, Kecamatan Pekalongan, Kabupaten Lampung Timur dan di Desa Fajar Baru, Kecamatan Jati Agung, Kabupaten Lampung Selatan.Pengujian dilakukan dengan menggunakan dua varietas kedelai yaitu varietas Grobokan dan varietas Wilis yang berasal dari BBI Lawang Malang. Penanaman kedelai di Desa Gondang Rejo dilakukan mulai bulan Mei-Agustus 2010, sedangkan penanaman kedelai di Desa Fajar Baru dilakukan mulai bulan Juli-Oktober 2010.Tanaman dipupuk dengan 50 kg urea, 75 kg SP36 dan 100 kg KCl/ha. Jarak tanam kedelai 40 cm x 15 cm. Pengamatan penggerek polong dilakukan saat panen, dengan menghitung jumlah polong terserang per tanaman. Jumlah sampel 3 tanaman per varietas

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 492 diulang 7 kali yang ditentukan secara acak. Persentase serangan ditentukan berdasarkan rumus: A dimana: I = Persentase serangan I = X 100% A = Jumlah polong terserang A+B B = Jumlah Polong sehat

Untuk menilai reaksi ketahanan varietas kedelai terhadap penggerek polong digunakan metode Chiang dan Talekar (Atman dkk., 1995; Mustikawati, 2001) yaitu: < X – 2 SD = Sangat Tahan (ST) X – 2 SD sampai X – 1 SD = Tahan (T) X – 1 SD sampai X = Agak Tahan (AT) X sampai X + 1 SD = Peka (P) >X + 1 SD = Sangat Peka (SP) Dimana : X = rata-rata SD = Standar Deviasi HASIL DAN PEMBAHASAN Serangan penggerek polong pada tanaman kedelai di Desa Gondang Rejo antar varietas ada perbedaan yang nyata. Persentase serangan penggerek polong pada varietas Grobogan 7,68% sedangkan pada varietas Wilis hanya 0,78%. Akan tetapi, serangan penggerek polong pada tanaman kedelai di Desa Fajar Baru antar varietas tidak berbeda nyata. Persentase serangan penggerek polong pada varietas Grobogan di Desa Fajar Baru 5,93%, dan pada varietas Wilis 4,46% (Tabel 1). Serangan penggerek polong baik di Desa Gondang Rejo maupun di Desa Fajar Baru secara angka lebih tinggi pada varietas Grobogan dibanding pada varietas Wilis. Hal ini diduga karena varietas Grobogan berbiji besar (bobot 18 gr/100 biji), sedangkan varietas Wilis termasuk berbiji kecil ((bobot 10 gr/100 biji) (Marwoto dkk., 2009). Hasil pengujian di Lampung Tengah pada beberapa varietas kedelai yang berbiji besar (bobot ± 14 gr/100 biji) dan kedelai berbiji kecil (bobot 8,5 gr-10,1 gr/100 biji), menunjukkan bahwa serangan penggerek polong lebih tinggi pada varietas kedelai berbiji besar (Mustikawati dkk., 2006).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 493

Tabel 1. Serangan penggerek polong pada varietas kedelai di dua lokasi

Lokasi

Varietas Kedelai Desa Gondang Rejo Desa Fajar Baru Kriteria Serangan Kriteria Serangan (%) ketahanan (%) ketahanan Grobogan 7.68 a P 5.93 a P Wilis 0.78 b AT 4.46 a AT Standar Deviasi (SD) 4.88 1.04 Rata-rata (X) 4.23 5.19 X - 2SD -5.53 3.11 X - 1SD -0.65 4.15 X + 1SD 9.11 6.23 Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% (DMRT). P = peka, AT = agak tahan

Reaksi ketahanan varietas Grobogan dan varietas Wilis terhadap penggerek polong masing-masing menunjukkan stabil di dua lokasi, artinya ketahanan dari setiap varietas tidak berubah, walaupun ditanam pada daerah yang berbeda yaitu di Desa Gondang Rejo dan di Desa Fajar Baru. Varietas Grobogan menunjukkan reaksi peka terhadap penggerek polong, sedangkan varietas Wilis menunjukkan reaksi agak tahan terhadap serangan penggerek polong (Tabel 1). Varietas Wilis diintroduksi lebih dari 10 tahun lalu, yang dijadikan varietas kontrol atau acuan dari varietas yang dikembangkan kemudian (Republik Indonesia, 2008). Hasil pengujian pada tahun 1996 dan 1997 di Kebun Percobaan Natar Lampung, varietas Wilis menunjukkan reaksi ketahanan yang stabil pada dua musim tersebut dengan kriteria agak tahan terhadap penggerek polong (Mustikawati, 2001).

KESIMPULAN Hasil kajian menunjukkan bahwa reaksi varietas Grobogan dan varietas Wilis terhadap penggerek polong menunjukkan stabil di dua lokasi Desa Gondang Rejo dan Desa Fajar Baru. Di dua lokasi tersebut varietas Grobogan termasuk kategori peka terhadap hama penggerek polong, sedangkan varietas Wilis termasuk kategori agak tahan terhadap hama penggerek polong.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 494

DAFTAR PUSTAKA Atman, F. Kasim, dan Dahono. 1995. Reaksi Ketahanan Genotipe Kedelai Terhadap Serangan Penggerek Polong (Etiella spp.) pada Lingkungan Berbeda. Risalah Seminar Vol. VIII. Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukarami. p. 134-142. Akib, W. dan D. Baco. 1985. Ketahanan Varietas Kedelai Terhadap Penggerek Polong Etiella zinckenella (Treitschke). Prosiding Simposium Hama Palawija. Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Bandung dan Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi. p. 56-82. Baliadi, Y., W. Tengkano, dan Marwoto. 2008. Penggerek Polong Kedelai, Etiella zinckenella Treitschke (Lepidoptera: Pyralidae), dan Strategi Pengendaliannya di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian, 27(4), 2008. p. 113 – 123. Honma, K., Harnoto, and A. Iqbal. 1986. Mechanism of resistance to pod borers in soybean variety No.29. Penelitian Pertanian 6 (1). p. 40-43. Mustikawati, D.R. 2001. Stabilitas Ketahanan Beberapa Galur Kedelai Terhadap Serangan Hama. Jurnal Penelitian. Sains dan Teknologi Vol. 7 (1). p. 87 – 92. Mustikawati, D.R., D.M. Arsyad dan A. Nazar. 2006. Keragaan Pertumbuhan dan Hasil Beberapa Varietas Kedelai di Lahan Masam Lampung. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan. Vol.VI (2), Mei 2006. p. 139-144. Mustikawati, D.R. 2007. Serangan Hama Pada Tanaman Padi di Musim Gadu. Prosiding Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Mendukung Hari Pangan Sedunia 2007. Bandar Lampung, 25-26 Oktober 2007. p. 170-177 Marwoto. 2002. Daya Parasitasi Parasitoid Telur Trichogrammatidae sebagai Pengendali Hama Penggerek Polong Kedelai. Teknologi Inovatif Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Mendukung Ketahanan Pangan. Puslitbangtan. Badan Litbang Pertanian. p. 349-355. Marwoto, Subandi, T. Adisarwanto, Sudaryono, A. Kasno, S. Hardaningsih, D. Setyorini, dan M. Muchlish Adie. 2009. Pedoman Umum PTT Kedelai. Departemen Pertanian. Badan Litbang Pertanian. 20 p. Republik Indonesia. 2008. Keunggulan Varietas Kedelai Lokal. http://www.ristek.go.id/ (diakses tanggal 22-12-2009). Tengkano, W., Supriyatin, Suharsono, Bedjo, Y. Prayogo dan Purwantoro. 2007. Status Hama Kedelai dan Musuh Alami di Lahan Kering Masam Lampung. Iptek Tanaman Pangan 2(1). p. 93-109

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 495

PPH-5 Parasitoid Hama Eurema blanda pada Sengon (Falcataria Mollucana (Miq.) Barneby & J.W. Grimes) di Bogor Illa Anggraeni1 dan Agus Ismanto2 1 Peneliti Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan, Bogor 2 Peneliti Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan & Pengolahan Hasil Hutan, Bogor E-mail: [email protected]

ABSTRAK Sengon saat ini menjadi primadona, banyak diusahakan dan dikembangkan di kawasan hutan tanaman, perkebunan maupun di kebun-kebun milik rakyat (hutan rakyat). Kenyataan di lapangan dalam pengembangan sengon masih terkendala oleh adanya serangan hama. Salah satu hama yang kerapkali menyerang sengon baik itu di persemaian maupun tanaman muda di lapangan adalah hama Eurema blanda atau lebih dikenal dengan nama hama kupu kuning. Salah satu agensia pengendali hayati pada E. blanda adalah parasitoid. Parasitoid yang memarasit E. blanda yang ditemukan di hutan rakyat daerah Cijeruk, Bogor adalah Apanteles sp (Hymeroptera: Braconidae). Parasitoid ini menyerang stadium larva serta bersifat endoparasit, karena meletakkan telur-telurnya di dalam larva. Telur yang menetas kemudian memakan organ dan cairan tubuh larva E. blanda. Dari dalam tubuh larva muncul larva-larva parasitoid yang kemudian berubah menjadi kokon-kokon berwarna putih yang berkelompok di atas larva E. blanda yang sudah mati. Beberapa hari kemudian (3 – 5 hari) dari dalam kokon keluar imago parasitoid. Kata kunci: Parasitoid hama Eurema blanda, Apanteles sp, tanaman sengon

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 496

PENDAHULUAN Sengon (Falcataria mollucana (Miq.) Barneby & J.W. Grimes) merupakan salah satu jenis tanaman hutan dengan berbagai nama daerah seperti albizia, jeungjing, jeungjing laut, salawaku, sengon laut, sika, wai, sikas, dan wiekkie. Di Indonesia penyebarannya di Pulau Jawa, Maluku dan Irian jaya. Sengon saat ini menjadi primadona, banyak diusahakan dan dikembangkan di kawasan hutan tanaman, perkebunan maupun di kebun-kebun milik rakyat (hutan rakyat). Kelebihan sengon ialah pertumbuhannya yang sangat cepat, sehingga tanaman ini pernah dijuluki sebagai pohon ajaib (miracle tree). Selain itu tanaman bersifat multifungsi, memberikan dampak ganda, baik sebagai tanaman produksi maupun sebagai tanaman konservasi dan reboisasi. Kenyataan di lapangan dalam pengembangan sengon masih terkendala oleh adanya serangan hama. Salah satu hama yang kerapkali menyerang sengon baik itu di persemaian maupun tanaman muda di lapangan adalah hama Eurema blanda, hama ini disebut pula kupu kuning. Kupu-kupu aktif pada siang hari, meletakkan telur secara berkelompok pada permukaan daun sengon, larva yang keluar dari telur (instar 1) segera memakan daun-daun muda. Makin tinggi instarnya makin mampu memakan daun-daun yang lebih tua. Pada saat akan berkepompong larva turun dan berkepompong pada tumbuhan lain yang bukan inangnya dengan cara menggantung. Selama hidupnya kupu kuning mengalami beberapa perubahan bentuk yang disebut dengan metamorfosa. Kupu kuning mengalami metamorfosa sempurna artinya mempunyai empat bentuk mulai dari telur menjadi larva, kepompong kemudian imago atau serangga dewasa. Siklus hidup kupu kuning menurut Hardi dan Darwiati (1996) adalah stadium telur 3-4 hari, stadium larva 17 hari dalam lima instar, stadium kepompong 5-6 hari dan lama stadium kupu 10 hari. Selain menyerang tanaman sengon hama ini juga dilaporkan menyerang tanaman lain yang masuk kelompok Leguminosae seperti Erythrina variegata, Sesbania grandiflora, S. sesban, Cassia siamea, Parkia speciosa, Calliandara tetragona, Acacia mangium, dan Pithecelobium lobatum (Hardi & Darwiati, 1996; Husaeni 2001). Akibat serangan hama kupu kuning ini sangat merugikan, karena terjadi penggundulan daun sehingga pertumbuhan tanaman terhambat (proses fotosintesa terhambat) dan dapat mematikan bibit di persemaian. Status hama yang menyerang daun tanaman hutan pada beberapa tahun yang lalu belum mendapat perhatian serius, karena serangannya masih relatif rendah sehingga belum mendapatkan prioritas penelitian. Akan tetapi dengan terjadinya ledakan di beberapa daerah

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 497 seperti di Batu Ampar-Kalimantan Timur dapat terjadi 1-2 kali dalam setahun menyerang semua umur tanaman sengon (Suhendi & Sembiring, 1998 dalam Husaeni, 2001). Oleh karena itu hama kupu kuning pada sengon saat ini perlu mendapat perhatian, dan perlu diwaspadai karena keterlambatan mengantisipasi akan mengakibatkan ledakan populasi hama kupu kuning tersebut. Berbagai upaya pengendalian terhadap hama kupu kuning tersebut telah dilakukan, dan umumnya menggunakan pestisida kimia sintetik. Penggunaan insektisida kimia sintetik apabila dilakukan secara tidak bijaksana artinya tidak dilakukan secara tepat, baik tepat dosis maupun tepat waktu maka akan menimbulkan dampak negatif seperti tercemarnya lingkungan ataupun residu yang tertinggal pada tanaman cukup tinggi sehingga berbahaya bagi manusia maupun makhluk hidup lainnya. Untuk itu diperlukan metode pengendalian hama yang lebih ramah lingkungan, salah satunya adalah dengan penerapan ambang kendali sebagai salah satu komponen Pengelolaan Hama Terpadu (PHT). Pengelolaan hama terpadu muncul dan dikembangkan sebagai koreksi terhadap kebijakan pengendalian hama yang berbasis insektisida kimia sintetis. PHT merupakan strategi mengkombinasikan berbagai metode pengelolaan agroekosistem secara optimal dengan mempertimbangkan aspek ekologis, ekonomis dan sosial (Untung, 2000). Untuk menekan resiko yang berbahaya dengan penggunaan pestisida kimia sintetik maka digunakan pengendalian hayati (biological control) dan pengendalian alam (natural control) yang seringkali dilakukan bersama. Pengendalian hayati merupakan taktik pengelolaan hama secara sengaja memanfaatkan atau memanipulasikan musuh alami untuk menurunkan atau mengendalikan populasi hama. Sedangkan pengendalian alami merupakan proses pengendalian yang berjalan sendiri tanpa ada kesengajaan yang dilakukan oleh manusia. Pengendalian alami terjadi tidak hanya oleh karena bekerjanya musuh alami, tetapi juga oleh komponen ekosistem lainnya seperti makanan dan cuaca (Untung, 2000). Komponen terpenting dari faktor biologi adalah parasitoid, predator dan entomopatogen. Ketiga komponen ini berpengaruh terhadap populasi karena makin tinggi faktor biologi tersebut maka makin menurun populasi hama. Salah satu agensia pengendali hayati adalah parasitoid pada E. blanda yang ditemukan di pertanaman sengon rakyat desa Palasari, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor.Informasi tentang parasitoid pada E. blanda yang menyerang sengon sangat diperlukan dalam perencanaan PHT dengan penggunaan pengendalian hayati secara alami kedepan.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 498

BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di laboratorium hama dan penyakit Kelompok Peneliti Perlindungan Hutan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan, Bogor pada bulan April tahun 2010. Pengambilan contoh E. blanda yang terserang parasitoid dilakukan di pertanaman sengon rakyat Desa Palasari, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor. Parasitoid dipelihara pada wadah plastik (stoples) yang bagian tutupnya telah dilubangi dan diberi kain kasa. Parasitoid yang keluar dari kepompong dikoleksi dalam botol yang berisi alkohol 70% untuk diidentifikasi. Ciri-ciri fisik dan morfologi serangga kemudian dibandingkan dan dicocokkan dengan ciri-ciri yang terdapat pada kunci determinasi serangga dalam buku Pengenalan Pelajaran Serangga (Borror dkk.,1989).

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil identifikasi diketahui bahwa jenis parasitoid yang menyerang E. blanda pada tanaman sengon di pertanaman sengon rakyat di Desa Palasari, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor ialah Apanteles sp., parasitoid termasuk dalam ordo Hymenoptera, subordo Apocrita (Clitogastra, Petiolata), superfamili Ichneumonoidea, famili Braconidae. Kalshoven (1981) menemukan parasit pada E. blanda dan E. hecabe adalah Brachymeria femorata, B. euploeae, Theronia zebra, Palexorista inconspicuoides dan Argyrophylax fransseni. Parasitoid Brachymeria sp. menyerang E. blanda pada stadia larva. Hasil pengamatan, larva E. blanda yang terserang parasitoid berwarna hitam dan tubuhnya mengeras (mumi). Parasitoid bersifat endoparasit, karena meletakkan telur-telurnya di dalam larva, telur menetas kemudian memakan organ dan cairan tubuh larva. Dari dalam tubuh larva muncul larva-larva parasitoid yang kemudian berubah menjadi kokon-kokon berwarna putih yang berkelompok di atas larva E. blanda yang sudah mati (Gambar 1). Beberapa hari kemudian (3-5 hari) dari dalam kokon keluar imago parasitoid (Gambar 2). Borror dkk. (1989) menyebutkan bahwa jenis Apanteles adalah sangat umum dan seringkali dikenal karena larva yang berkelompok dari beberapa jenis muncul dalam jumlah yang besar dan memintal kokon mereka dalam satu massa yang besar pada tubuh inang.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 499

Gambar 1. Kokon parasitoid yang berkelompok diantara larva E. blanda yang sudah mati

Gambar 2. Imago parasitoid Apantelessp.

Parasitoid adalah serangga yang memarasit serangga (Insecta) yang lain. Parasitoid berukuran lebih kecil dan mempunyai waktu perkembangan lebih pendek dari inangnya serta menumpang hidup pada atau di dalam tubuh hama. Telur yang dihasilkan oleh induk parasitoid diletakkan pada permukaan kulit inang, atau dimasukkan langsung ke dalam tubuh inang dengan tusukan ovipositornya. Kemudian larva yang keluar dari telur tersebut mengisap cairan tubuh atau memakan jaringan bagian dalam tubuh inang. Parasitoid yang hidup dalam tubuh inang disebut endoparasit dan yang menempel di luar tubuh inang disebut ektoparasit. Parasitoid bersifat parasitik pada fase pradewasanya sedangkan pada fase dewasa hidup bebas tidak terikat inangnya. Larva keluar dari tubuh inang yang sudah mati dan membuat kokon untuk memasuki fase pupa, beberapa hari kemudian imago parasitoid muncul dari kokon, imago memakan nektar, embun madu atau cairan lain. Parasitoid umumnya mempunyai inang yang spesifik, sehingga dalam keadaan tertentu parasitoid

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 500 efektif mengendalikan hama. Untung (2000) menggambarkan siklus hidup parasitoid sederhana adalah sebagai berikut,

IMAGO JANTAN X BETINA

TELUR DIINFESTASIKAN KE IMAGO MUNCUL DARI DALAM INANG DENGAN KOKON OVIPOSITOR BETINA

LARVA DEWASA KELUAR DARI

TUBUH INANG (INANG MATI) PERKEMBANGAN LARVA DI LARVA MEMBENTUK KOKON DALAM TUBUH INANG

Gambar 3. Siklus hidup parasitoid

KESIMPULAN Hama sengon E. blanda yang menyerang tanaman sengon di pertanaman sengon rakyat di Desa Palasari, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor diketahui diparasiti oleh parasitoid. Parasitoid yang menyerangnya teridentifikasi sebagai jenis Apanteles sp. (Hymenoptera: Braconidae). Parasitoid ini menyerang stadium larva serta bersifat endoparasit, karena meletakkan telur-telurnya di dalam larva. Telur yang menetas kemudian memakan organ dan cairan tubuh larva E. blanda. Dari dalam tubuh larva muncul larva-larva parasitoid yang kemudian berubah menjadi kokon-kokon berwarna putih yang berkelompok di atas larva E. blanda yang sudah mati. Beberapa hari kemudian (3-5 hari) dari dalam kokon keluar imago parasitoid.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 501

DAFTAR PUSTAKA Borror, D. J., C. A. Triplehorn and N. F. Johnson. 1989. Pengenalan Pelajaran Serangga. Partosoedjono, S., penerjemah. Brotowidjoyo, M.D., penyunting. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Terjemahan dari: An Introduction to The Study of Insects. 1083 pp. Hardi, T. T.W. dan W. Darwiati. 1996. Pengendalian Hama Kupu Kuning Secara Biologi. Info Hutan. No. 66. Pusat Litbang Hutan dan konservasi Alam. Bogor. 7 hal. Husaeni. E. A. 2001. Hama Hutan Tanaman. Fak. Kehutanan. IPB. Bogor. 100 hal. Kalshoven, L. G. E. 1981. Pest of Crops in Indonesia. P.T. Ichtiar Baru – Van Hoeve. Jakarta.701 pp. Untung, K. 2000. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 502

PPH-6 Serangan Hama Tungau Puru (Eriophyes gastrotrichus) pada Beberapa Klon-Klon Harapan Ubijalar Sri Wahyuni Indiati1, M. Jusuf1 dan St. A. Rahayuningsih1 1Balai PenelitianTanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian Jalan Raya Kendal Payak Km 8, Malang 65162 P.O.Box 66, Malang 65101

ABSTRAK Sejak pertama kali ditemukannya pada awal bulan Juni 2006 di Desa Wringinsongo, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, serangan hama tungau puru pada tanaman ubijalar sekarang telah menyebar di beberapa daerah baik di Jawa Timur maupun Jawa Tengah. Hampir semua klon atau varietas ubijalar yang ditanam dapat terserang tungau puru hanya keparahannya yang berbeda. Oleh sebab itu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui ketahanan beberapa klon ubijalar terhadap hama tungau puru (E. gastrotrichus). Penelitian dilaksanakan di desa Wringinsongo, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, pada musim kemarau (MK) 2010. Penelitian disusun berdasarkan Rancangan strip plot dengan 3 ulangan. Faktor vertikal dua aras P0 (dengan infestasi tanaman sumber) dan P1 (tanpa infestasi tanaman sumber); faktor horizontal : 24 klon harapan ubijalar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa klon yang diuji semua tertular puru, dengan jumlah puru terbanyak terdapat pada helai daun. Adanya tanaman sumber berpengaruh nyata terhadap intensitas luas serangan puru, jumlah puru pada batang (sulur), tangkai dan helai daun, serta hasil tanaman ubijalar. Serangan tungau puru secara tidak langsung berdampak terhadap perolehan hasil ubijalar, dengan nilai kehilangan hasil sekitar 11,04 %. Dari 24 klon yang diuji MSU 06046-48 memberikan intensitas serangan puru terendah namun potensi hasilnya rendah 22 t/ha, sedangkan Beta-2 potensi hasilnya tinggi (44 t/ha) akan tetapi memiliki intensitas serangan puru dan jumlah puru pada daun dan sulur lebih tinggi dari MSU 06046-48 namun secara statistik tidak berbeda nyata. Selain Beta-2, ada dua klon seperti MSU 06039-07 dan MSU 06014-51, yang mempunyai potensi hasil 31-34 t/ha (dibawah Beta-2) tapi mempunyai ketahanan terhadap tungau puru setara dengan MSU 06046-48 Kata Kunci : Evaluasi, Ubijalar, Tungau puru

ABSTRACT Gall mites (Eriophyesgastrotrichus) at thebeginning was found in early June 2006 in the village of Wringinsongo, Tumpang District, Malang regency. Now, gall mite on sweet potato has spread out in some sweetpotato production areas of East and Central Java. Most of clones or varieties of sweetpotato in these two provinces are being attacked by gall mites but at different severities. The research was carried out to determine the resistance of sweetpotato clones against gall mites (E. gastrotrichus). The trial was conducted in the village Wringinsongo, District Tumpang, Malang regency, during the dry season 2010. The trial was arranged in Strip Plot Design with 3 replications. Vertical factors were consist of with two treatments: P0 (with infestations of plant sources) and P1 (without infestation of plant sources) while horizontal factors were 24 sweet potato clones. The results showed that all tested clones infected gall mites, with the largest number of gall present in the leaf blade. The presence of infected plants around the trial was significantly affected the intensity of gall mites attacks on P0 treatment, gall number on stems (shoots), stalks and leaves, and sweet potato yield. Gall mites attacks indirectly affect the yield of sweet potato, with a value loss of approximately 11.04%. Among 24 clones tested, MSU 06046-48 gave the lowest infection but yield potential of this clone was low (22 t/ha). On the other hand, Beta 2 variety with potential yield 44 t/ha had more severe gall mites infection that than MSU 06046-48 clone but not significantly different. Clones that had higher yield and low gall mites infections were found on MSU 06039-07 and MSU 06014-51. These two clones had potential yield of 31-34 t/ha. Keywords: Evaluation, sweet potatoes, Gall Mite

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 503

PENDAHULUAN Sejak pertama kali ditemukannya pada awal bulan Juni 2006 di Desa Wringinsongo, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, gejala serangan hama tungau puru pada tanaman ubijalar sekarang telah menyebar di beberapa daerah baik di Jawa Timur maupun Jawa Tengah. Gejala serangan dicirikan dengan terbentuknya puru (gall) pada daun, tangkai daun, dan batang. Pada serangan yang parah, puru bisa saling tumpang tindih sehingga membentuk segerombol puru dengan tiga sampai empat puncak (Indiati dkk., 2006). Menurut Amalin dan Vasques (1993) gejala serangan tersebut disebabkan oleh tungau yang termasuk Klas: Arachnida, ordo: Acarina, famili: Eriophyiidae, dan spesies: Eriophyes gastrotrichus.. Tanaman ubijalar yang terserang tungau puru pada umumnya mempunyai tampilan yang kurang menarik, karena hampir semua helai daun, tangkai daun, maupun sulur dipadati dengan puru. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa hampir semua klon atau varietas ubijalar yang ditanam dapat terserang tungau puru hanya keparahannya yang berbeda. Oleh sebab itu pada tulisan ini akan dilaporkan hasil evaluasi ketahanan beberapa klon harapan ubijalar terhadap serangan tungau puru.

BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di desa Wringinsongo, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, pada musim kemarau (MK) 2010. Penelitian disusun berdasarkan Rancangan strip plot dengan 3 ulangan. Faktor vertikal dua aras P0 (dengan infestasi tanaman sumber) dan P1 (tanpa infestasi tanaman sumber); faktor horizontal: 24 klon harapan ubijalar yang terdiri dari MSU 06014-51, MSU 06028-71, MSU 06044-05, MSU 06046-48, MSU 06046-74, MIS 601-22, MIS 0601-179, MIS 0612-73, CANGKUANG, MIS 0614-02, MIS 0656-220, Ayamurasaki, MSU 05036-17, MSU 05036-23, MSU 06039-07, MSU 06042-18, MSU 06043-42, MSU 06039-21, MIS 0651-09, MIS 0651-15, MSU 06044-03, MIS 0660-15, Beta- 2, dan Sari. Masing-masing klon ubijalar uji ditanam sebanyak 2 gulut sepanjang 5 m. Pemupukan 200 kg Urea + 100 kg SP36 + 100 kg KCl/ha, 1/3 dosis Urea dan KCl + seluruh SP36 diberikan pada saat tanam, sedangkan 2/3 Urea dan KCl diberikan pada saat tanaman berumur 1,5 bulan. Stek pucuk-1/pucuk-2 ditanam secara miring pada guludan 40-60 cm, dengan jarak tanam dalam baris 20-30 cm. Jarak antar guludan 80-100 cm. Parameter yang diamati meliputi bobot umbi, Jumlah puru/5 tanaman sampel, (pada sulur sepanjang 50 cm dari pucuk), letak puru (batang, daun atau tangkai).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 504

HASIL DAN PEMBAHASAN Pada saat tanaman berumur 1,5 bulan, beberapa klon telah tertular puru dari tanaman sumber yang ada disetiap dua klon yang diuji. Setelah tanaman berumur 4 bulan semua klon telah tertular puru kecuali MSU 06044-03. Berdasarkan gejala yang ditimbulkan, puru bisa terbentuk pada batang (sulur), tangkai daun, dan helai daun. Namun pada umumnya dari ketiga bagian tanaman yang diserang tersebut jumlah puru terbanyak dijumpai pada helai daun.

a

100 90 80 70 60 50 40 b

30 Intensitas(%) LS 20 10 0 P0 P1

Gambar 1. Intensitas serangan tungau puru antara perlakuan tanpa infestasi (P1) dan dengan infestasi (P0). Tumpang, MT. 2010.

Adanya perlakuan tanpa infestasi (P1) dan dengan infestasi (P0) berpengaruh nyata terhadap intensitas luas serangan, jumlah puru pada batang (sulur), tangkai dan helai daun, serta hasil tanaman ubijalar. Intensitas luas serangan puru saat panen pada P0 mencapai 97 %,berbeda nyata dengan P1 yang hanya 18 % (Gambar 1). Jumlah puru pada batang (sulur), helai dan tangkai daun pada P0 berturut-turut 11, 30, dan 10 puru/tanaman berbeda nyata dengan jumlah puru pada batang (sulur), helai dan tangkai daun pada P1 yang hanya 1, 2, dan 1 puru/tanaman (Gambar 2). Adanya perbedaan antara P0 dan P1 ini mengisyaratkan bahwa puru dapat berkembang biak secara cepat bila ada tanaman sumber didekat tanaman yang dibudidayakan yang juga merupakan inangnya. Semakin dekat tanaman dengan sumber semakin cepat tanaman tertular, begitu juga sebaliknya. Selain adanya tanaman sumber, iklim terutama suhu yang panas sangat menunjang perkembangan puru, sedang curah hujan yang tinggi akan menghambat perkembangan puru. Oleh sebab itu sanitasi tanaman yang

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 505 merupakan inang atau sumber puru perlu dilakukan untuk mencegah timbulnya serangan tungau puru.

35 a 30 P0 P1 25

20

15 a a 10

Jumlahpuru/tanaman 5 b b b 0 Puru bt Puru daun Puru tangkai Letak puru

Gambar 2. Jumlah puru pada batang (sulur), helai dan tangkai daun antara perlakuan tanpa infestasi (P1) dan dengan infestasi (P0). Tumpang, MT. 2010.

Dari sisi perolehan bobot umbi, bobot umbi pada perlakuan tanpa infestasi (P1) umumnya lebih tinggi ( 25,018 t/ha) dan berbeda nyata dengan bobot umbi pada dengan infestasi (P0 = 22,513 t/ha) (Gambar 3). Dengan adanya perbedaan yang nyata antara perolehan bobot umbi pada P0 dan P1 dapat diartikan bahwa serangan tungau puru secara tidak langsung akan berdampak terhadap perolehan hasil ubijalar. Selisih perolehan bobot umbi antara P1 dan P0 sebesar 3,405 t/ha atau sekitar 11,04 %, yang merupakan nilai kehilangan hasil ubijalar akibat serangan tungau puru.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 506

b 25.5 25 24.5

24 23.5 a 23

Hasil (t/ha) Hasil 22.5

22 21.5 21 P0 P1 Gambar 3. Perbedaan bobot umbi antara perlakuan tanpa infestasi (P1) dan dengan infestasi (P0). Tumpang, MT. 2010

Respon 24 klon yang diuji terhadap serangan tungau puru sangat beragam antara 33 - 100 %, berbeda nyata antar klon yang diuji. MSU 06046-48 memberikan intensitas serangan puru terendah (Tabel 1). Jumlah puru yang terbentuk pada batang (sulur) juga bervariasi dari 2 – 11 puru, dan berbeda nyata antar klon yang diuji. Dari 24 klon yang diuji, jumlah puru pada batang (sulur) terendah terdapat pada klon MSU 06046-48. Hal yang sama juga terjadi pada helai daun, MSU 06046-48 memberikan jumlah puru pada daun terendah yaitu sebanyak 6 puru, dengan kisaran antara 6-41 puru, berbeda nyata antara klon yang diuji (Tabel 1). Dari ke tiga bagian tanaman yang diamati, jumlah puru pada daun paling banyak, sedang jumlah puru pada bagian tangkai daun ( 2-10 puru) hampir setara dengan jumlah puru pada batang (sulur). Rendahnya intensitas serangan puru dan jumlah puru pada MSU 06046- 48 kemungkinan disebabkan karena struktur jaringan batang maupun daun yang lebih keras atau tebal bila dibanding klon yang lain, sehingga kurang disenangi tungau. Tidak disenangi dicirikan dengan sifat hama yang cenderung tidak hadir, tidak makan atau tidak bertelur pada tanaman inang. Penolakan tanaman dapat dibagi menjadi penolakan kimiawi dan penolakan morfologis. Penolakan kimiawi terjadi karena tanaman mengandung allelo-khemik yang menolak kehadiran serangga pada tanaman. Penolakan morfologis merupakan mekanisme ketahanan yang terbawa oleh adanya sifat-sifat struktur atau morfologik tanaman yang menghalangi proses makan dan peletakan telur yang normal (Painter 1951 dalam Horber 1980).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 507

Tabel 1. Tanggap 24 klon harapan ubijalar terhadap intensitas serangan tungau puru, kepadatan puru pada batang (sulur), helai dan tangkai daun, serta bobot umbi yang dihasilkan. Tumpang, MT. 2010 Int ser Jumlah puru Jumlah puru Jumlah puru NAMA KLON Hasil t/ha puru (%) pada batang pada daun pd tangkai MSU 06014-51 50 cd 5,8 bcdef 15,33 bcde 6,39 31,68 bc MSU 06028-71 60 bcd 5,0 cdef 10,56 cde 3,67 21,42 fghij MSU 06044-05 50 cd 4,1 ef 10,56 cde 4,56 28,65 bcde MSU 06046-48 33.3 d 2,7 f 6,390 e 2,61 22,15 efghi MSU 06046-74 100 a 9,4 abc 41,50 a 9,11 20,17 ghijk MIS 0601-22 83.3 ab 7,1 abcdef 19,78 bcde 6,33 24,27 defghi MIS 0601-179 56.6 bcd 5,1 cdef 15,28 bcde 4,22 25,17 cdefghi MIS 0612-73 50 cd 4,7 def 10,56 cde 2,67 12,22 l CANGKUANG 50 cd 3,7 f 10,72 cde 5,28 14,28 kl MIS 0614-02 50 cd 10,1 ab 23,50 bc 7,89 23,93 defghi MIS 0656-220 50 cd 8,8 abcd 20,67 bcd 6,61 18,15 ijkl Ayamurasaki 50 cd 8,2 abcde 23,28 bc 7,27 34,27 b MSU 05036-17 66.6 bc 5,2 cdef 11,89 cde 5,16 19,05 hijkl MSU 05036-23 63.3 bc 6,5 abcdef 14,84 bcde 6,11 30,88 bcd MSU 06039-07 50 cd 4,8 def 17,17 bcde 6,22 35,17 b MSU 06042-18 96.6 a 10,8 a 28,83 ab 10 28,18 bcdef MSU 06043-42 50 cd 5,8 bcdef 13,50 cde 4,67 19,23 hijkl MSU 06039-21 66.6 bc 6,5 abcdef 16,17 bcde 3,94 25,02 cdefghi MIS 0651-09 50 cd 4,6 def 11,72 cde 4 13,10 kl MIS 0651-15 50 cd 5,0 def 16,11 bcde 5,22 25,50 cdefgh MSU 06044-03 50 cd 3,7 f 9,610 cde 4,61 14,62 jkl MIS 0660-15 56.6 bcd 3,8 ef 7,723 de 3,44 12,42 l Beta-2 50 cd 3,8 ef 10,83 cde 3,94 44,02 a Sari 63.3 bc 6,1 bcdef 16,94 bcde 5,39 27,05 cdefg LSD 27,52 4,43 14,15 tn 7,049

Bobot umbi yang dihasilkan bervariasi antara 12 – 44 t/ha tergantung potensi hasil dari masing-masing klon dan berbeda nyata antar klon yang diuji. Bobot umbi tertinggi 44 t/ha dicapai oleh Beta-2 berbeda nyata dengan semua klon yang diuji (Tabel 1). Tingginya perolehan bobot umbi pada Beta-2 kemungkinan disebabkan karena potensi hasil Beta-2 memang lebih tinggi daripada klon yang lain atau Beta-2 sangat sesuai bila ditanam di daerah dataran tinggi seperti Tumpang dengan jenis lahan yang gembur karena agak berpasir sehingga perkembangan umbi bisa maksimal. Dari sisi serangan tungau puru, intensitas serangan puru dan jumlah puru pada daun dan sulur pada Beta-2 tidak berbeda nyata bila

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 508 dibanding dengan MSU 06046-48 yang memiliki intensitas serangan puru dan jumlah puru paling rendah. Namun dari sisi hasil MSU 06046-48 hanya memberikan hasil 22,15 t/ha. Untuk meningkatkan ketahanan Beta-2 terhadap tungau puru disarankan agar Beta-2 disilangkan dengan MSU 06046-48, sehingga nantinya dapat diperoleh suatu varietas dengan potensi hasil tinggi dan mempunyai toleransi yang tinggi terhadap tungau puru. Selain Beta-2, ada dua klon seperti MSU 06039-07 dan MSU 06014-51, yang mempunyai potensi hasil 31-34 t/ha (dibawah Beta-2) tapi mempunyai ketahanan terhadap tungau puru setara dengan MSU 06046-48

KESIMPULAN  Klon yang diuji semua tertular puru, puru bisa terjadi pada batang (sulur), tangkai daun, dan helai daun. Namun jumlah puru terbanyak pada helai daun.  Adanya tanaman sumber berpengaruh nyata terhadap intensitas luas serangan puru, jumlah puru pada batang (sulur), tangkai dan helai daun, serta hasil tanaman ubijalar.  Serangan tungau puru secara tidak langsung berdampak terhadap perolehan hasil ubijalar, dengan nilai kehilangan hasil sekitar 11,04 %.  Dari 24 klon yang diuji MSU 06046-48 memberikan intensitas serangan puru terendah namun potensi hasilnya rendah 22 t/ha, sedangkan Beta-2 potensi hasilnya tinggi (44 t/ha) dengan intensitas serangan puru dan jumlah puru pada daun dan sulur tidak berbeda nyata bila dibanding dengan MSU 06046-48. Selain Beta-2, ada dua klon seperti MSU 06039-07 dan MSU 06014-51, yang mempunyai potensi hasil 31-34 t/ha (dibawah Beta- 2) tapi mempunyai ketahanan terhadap tungau puru setara dengan MSU 06046-48

DAFTAR PUSTAKA Amalin, D.M. and Vasquez, E. A. 1993. A handbook on Philippine sweetpotato pests and their natural enemies. International Potato Center (CIP), Los Baños, Philippines. 82 p. Charles Turner, USDA Agricultural Research Service, www.insectimages.org Rosenthal, S.S. and Platts, B.E. 1990. Host specificity of Aceria (Eriophyes) malherbae (Acari: Eriophyidae), a biological control agent for weed, Convolvulus arvensis (Convolvulaceae). Entomophaga 35 459–463. Horber, E. 1980. Type and classification of resistance. Dalam F.G. Maxwell and P.R. Jennings (eds.) Breeding plants resistant to insects. John Wiley & Sons, New York:15-21. Kogan, M. 1975. Plant resistance in pest management. In Introdution to insect pest management. R.L. Metcalf, and W. Luckmann (Eds). John Wiley & Sons, Inc., New York. pp. 103-146.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 509

Masomoto, M. 2000. National Institute of Agro-Environmental Siences. Tsukuba, Japan. Painter, R.H., 1951. Insect Resistance in Crop Plants. The Macmillan Co., New York, 520 pp.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 510

PPH-7 Potensi Biji Bengkuang Sebagai Bahan Pestisida Nabati Wieny H. Rizky1, Sofiya Hasani2, Agung Karuniawan3 1 Staf Pengajar Teknologi Benih/ Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran 2 Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran 3Staf Pengajar Pemuliaan Tanaman, Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Email: [email protected]

ABSTRAK Penelitian dilaksanakan dengan tujuan untuk mengevaluasi hasil dan toksisitas biji delapan genotip bengkuang terhadap larva Spodoptera litura instar I yang dapat dikembangkan sebagai pestisida nabati. Percobaan lapangan dilakukan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Unpad Jatinangor, sedangkan pengujian toksisitas dilakukan di Laboratorium Pestisida Faperta Unpad, mulai Januari sampai Desember 2010. Percobaan lapangan disusun dalam rancangan yang diperbesar (Augmented design). Hasil penelitian adalah jumlah biji terbanyak dihasilkan genotip B-10/EC550 x AC216-139d, bobot 100 biji terberat pada B-1/EC033 x AC208-72h, rendemen ekstrak metanol terbanyak dihasilkan B-10/EC550 x B-56/CJ, dan LC50 terendah dihasilkan B-10/EC550 x B-56/CJ. Jumlah benih berkorelasi positif dengan bobot benih, rendemen dan nilai LC50, bobot benih berkorelasi positif dengan rendemen. Nilai LC50 berkorelasi negatif dengan bobot benih dan rendemen. Kata kunci : Bengkuang, Biji, Rendemen, LC50

ABSTRACT The research carried out in order to evaluate yield and toxicity of eight genotypes yam bean seed on Spodoptera litura larval instar I, which can be developed as a bio-pesticide. Field trial conducted at the experimental station of Faculty of Agriculture, Universitas Padjadjaran Jatinangor, while toxicity test conducted at Pesticide Laboratory of Agriculture Faculty, Universitas Padjadjaran, from January to December 2010. Field trial was arranged in augmented design. The results showed that the highest number of seeds produced by genotypes B- 10/EC550 x AC216-139d, the heaviest 100 seed weight on B-1/EC033 x AC208-72h, the highest methanol extract concentrate produced by B-10/EC550x B-56/CJ, the lowest LC50 produced by B-10/EC550 x B-56/CJ. The number of seeds positively correlated with seed weight, methanol extract concentrate and LC50. Seed weight correlated positively with methanol extract concentrate. LC50 values negatively correlated with seed weight and yield. Key words: Yam bean, Seeds, Methanol Extract Concentrate, LC50

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 511

PENDAHULUAN

Bengkuang (Pachyrhisuz spp.) dapat diperbanyak secara vegetatif melalui ubi, maupun secara generatif dengan biji. Biji bengkuang tidak hanya berfungsi sebagai bahan perbanyakan, namun pada bagian ini terdapat bahan kimia khas dapat digunakan untuk bahan insektisida dan piscisida alami yaitu rotenon (Sørensen, 1996). Zat ini terakumulasi terutama pada biji yang sudah masak, dan sedikit pada ubi dan polong muda namun tidak beracun. Rotenon termasuk ke dalam metabolit sekunder golongan flavonoid. Pada tumbuhan golongan flavonoid memiliki banyak peranan, antara lain sebagai pigmen, pengaturan tumbuh, pengaturan fotosintesis, kerja antimikroba dan antiviurs, juga terhadap serangga (Robinson, 1991). Rotenon dapat diekstrak menggunakan eter atau aseton yang menghasilkan 2-4% resin rotenon yang dapat diolah sehingga berbentuk tepung. Rotenon merupakan penghambat respirasi sel, berdampak pada jaringan saraf dan sel otot yang menyebabkan serangga berhenti makan. Rotenon sangat beracun bagi ikan dan sering dipakai sebagai racun ikan. Beberapa produk komersial menambahkan bahan sinergis seperti piretrin, tembaga atau belerang untuk meningkatkan kinerja rotenon (Novizan, 2002). Kandungan rotenon dalam biji bengkuang P. erosus pada genotip EC033 adalah 0,03% dan genotip EC550 adalah 0,11%, dan pada P. ahipa genotip AC102 adalah 0,16% (Sørensen, 1996). Namun, penggunaan biji P. ahipa sebagai bahan pestisida nabati tidak didukung dengan hasil biji karena spesies ini menghasilkan biji yang paling rendah. Dengan demikian, persilangan antara P. ahipa dengan P. erosus diharapkan akan menghasilkan genotip baru yang menghasilkan biji yang banyak dengan kandungan rotenon yang tinggi pula. Penelitian mengenai aplikasi rotenon di beberapa negara Amerika Latin menunjukkan bahwa rotenon dapat mengendalikan serangga pemakan daun, larva dan kumbang penghisap pada penanaman kubis, demikian juga pada penanaman tembakau zat ini dapat mengontrol ulat (Sørensen, 1996). Desi Askitosari dkk. (tanpa tahun), menyatakan bahwa ekstrak etanol biji bengkuang cukup efektif digunakan untuk mengendalikan larva ulat grayak instar II.

Widyastuti (1997) memperoleh hasil LC50 ekstrak biji bengkuang yang berasal dari Banyumas (Jawa Tengah) terhadap Helicoverpa armigera sebesar 2,4%. Rotenon hanya beracun pada ikan dan serangga karena zat ini lipofilik, mudah terserap melalui insang atau trakea, tetapi tidak dengan mudah melalui kulit atau melalui saluran pencernaan.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 512

Rotenon diklasifikasikan oleh USDA Program Organik Nasional sebagai bahan non- sintetik dan boleh digunakan untuk pertanian organik (Anonim, 2009). Penggunaan pestisida sintetik selain akan menimbulkan resistensi hama dan resurgensi hama, juga akan tertinggal lebih lama baik pada tubuh manusia maupun di lingkungan tempat penanaman (Untung, 1993). Pestisida nabati dapat mengendalikan serangga hama dengan efek kerja yang spesifik, selektif, dan sifatnya yang mudah terurai di alam (Guntung, 2008). Salah satu hama target yang dapat dijadikan bahan studi toksisitas biji bengkuang adalah ulat grayak (Spodoptera litura F.). Menurut Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan (1985), ulat ini merupakan salah satu hama penting karena mempunyai kisaran inang yang luas meliputi kedelai, kacang tanah, kubis, ubi jalar, kentang, dan lain-lain. Bahkan ulat ini dapat menyerang pertanaman bengkuang seperti yang dilaporkan Nusifera (2007) dan Susilardi (2009). Dengan demikian, studi untuk mengevaluasi hasil serta kualitas biji bengkuang sebagai bahan pestisida nabati akan bermanfaat baik bagi kesehatan konsumen, lingkungan serta dari segi keseimbangan alami.

BAHAN DAN METODE Percobaan lapangan dilaksanakan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Unpad unit Ciparanje Jatinangor mulai Januari hingga Oktober 2010, dilanjutkan dengan uji toksisitas biji bengkuang di Laboratorium Pestisida Faperta Unpad mulai Oktober sampai Desember 2010. Pada percobaan ini digunakan sepuluh genotip bengkuang koleksi Agung Karuniawan (Lab. Pemuliaan Tanaman Unpad) yang terdiri dari empat genotip tetua dan enam genotip baru hasil persilangan. Bahan yang digunakan untuk uji toksisitas adalah larva Spodoptera litura instar I. Percobaan lapangan disusun dalam rancangan yang diperbesar (Augmented Design) yang terdiri atas empat genotip tetua sebagai cek (3 genotip P. erosus dan 1 genotip P. ahipa) yang masing-masing ditanam pada enam blok penanaman, sedangkan genotip hasil persilangan yang ditanam terdiri dari 15 genotip hasil persilangan intraspesifik P. erosus dan 27 genotip hasil persilangan interspesifik P. erosus x P. Ahipa yang ditanam dalam satu baris penanaman (one row plot). Pelaksanaan pecobaan terdiri dari penyiapan lahan, pemupukan dasar (urea 50 kg ha-1, SP-36 75 kg ha-1, dan KCL 75 kg ha-1), penanaman, penyulaman dan penjarangan, pemeliharaan tanaman (pengendalian hama dan penyakit, penyiangan gulma serta

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 513 pemasangan ajir) dan pemanenan ajir. Dilanjutkan dengan pengujian toksisitas yang terdiri dari pembuatan ekstrak metanol biji Pachyrhizus spp., perbanyakan serangga uji dan pengujian. Sebanyak 100 g biji bengkuang dihaluskan hingga berbentuk serbuk ekstrak kasar, kemudian diekstraksi dengan pelarut organik metanol perbandingan 1 : 10 (w/v) direndam selama 6 x 24 jam. Selanjutnya larutan disaring dan hasil penyaringan diuapkan dengan rotary evaporator pada suhu 50oC dan penghampaan pada tekanan 580-600 mmHg sehingga diperoleh ekstrak metanol biji bengkuang. Serangga uji yang digunakan adalah larva instar I Spodoptera litura yang berasal dari Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang, kemudian diperbanyak di ruang rearing serangga Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Faperta Unpad. Larva diperbanyak dalam kotak plastik berukuran 34 cm x 28 cm x 7 cm yang dialasi dengan kertas tisu. Pemberian pakan disesuaikan perkembangan larva, pada instar I dan II pemberian pakan dilakukan 2 hari sekali, memasuki instar III dan IV pemberian pakan dilakukan setiap hari. Setelah larva membentuk pupa, dimasukkan pupa ke dalam wadah plastik berisi tanah untuk membentuk imago. Imago dipelihara dalam kurungan serangga berukuran 50 cm x 50 cm x 50 cm dan diberi makan cairan madu 10% yang diserapkan pada segumpal kapas. Imago kemudian akan bertelur. Tempat peletakan telur yang digunakan berupa daun talas. Kelompok telur yang diperoleh dipelihara kembali sehingga menetas, dan menghasilkan larva S. litura instar I untuk diuji. Pengujian toksisitas dilakukan pada 2 taraf konsentrasi yaitu 0,1 % dan 0,5 % ekstrak metanol biji bengkuang. Larutan uji 0,1% dan 0,5% dibuat dengan mencampur ekstrak metanol biji bengkuang sebanyak 0,1g dan 0,5g dengan 100 ml akuades masing-masing sebagai pelarut yang sudah diberi agristik sebagai perata sebanyak 0,025ml/L. Cara pengujian adalah mencelupkan daun talas ukuran 4 cm x 4 cm ke dalam larutan ekstrak berbagai taraf selama 10 detik kemudian disimpan dalam cawan Petridish yang telah berisi 10 larva S. litura per cawan. Pengujian diulang sebanyak 3 kali. Nilai toksisitas diperoleh dengan cara menghitung jumlah total ulat grayak yang mati.

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis varians pada empat genotip cek bengkuang menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari blok terhadap variabel hasil dan komponen hasil biji,

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 514 sedangkan genotip cek memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah polong per tanaman, jumlah biji per tanaman dan bobot 100 biji.

Tabel 1. Analisis varians hasil dan komponen hasil biji pada empat genotip cek Sumber variasi Variabel Blok Genotip cek F-hit Prob F-hit Prob Jumlah polong per tanaman 0,80 0,546 3,69* 0,004 Bobot polong per tanaman 1,10 0,400 2,45 0,114 Jumlah biji per tanaman 3,07 0,059 7,68** 0,004 Jumlah biji per polong 1,36 0,304 1,63 0,233 Bobot 100 biji 0,95 0,470 4,13* 0,032 Keterangan : * Signifikan pada α 0,05 ** Signifikan pada α 0,01

Berdasarkan hasil uji lanjut, genotip B-56/CJ menghasilkan jumlah polong per tanaman dan jumlah biji per tanaman terbanyak yaitu 14,43 polong dan 121,33 biji. Selain itu, genotip -56/CJ menghasilkan bobot 100 biji yang paling besar yaitu 107,59 g. Sedangkan genotip B- 10/EC550, B-1/EC033 dan AC 216-139d, memiliki nilai tengah yang tidak berbeda nyata satu sama lain pada variabel jumlah polong per tanaman dan bobot 100 biji. Keempat genotip cek memiliki nilai tengah yang tidak berbeda nyata pada bobot polong per tanaman dan jumlah biji per polong.

Tabel 2. Pengaruh genotip terhadap variabel hasil dan komponen hasil Jumlah Bobot polong Jumlah biji Jumlah biji polong per Bobot 100 biji Genotip per tanaman per tanaman per polong tanaman g g B -10/EC550 9,37 b 2,91 a 83,78 ab 8,82 a 41,90 b B -1/EC033 7,40 b 2,14 a 51,56 bc 6,65 a 58,28 b B -56/CJ 14,43 a 2,31 a 121,33 a 7,60 a 107,59 a AC 216-139 d 5,10 b 1,48 a 32,23 c 5,67 a 57,57 b Keterangan : * Angka yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Beda Nyata Terkecil pada taraf nyata 0,5% Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 3, genotip yang menghasilkan rendemen ekstrak metanol paling banyak yaitu genotip hasil persilangan intraspesifik EC 550 x B-56 / CJ sebanyak 20,47%. Hasil rendemen merupakan kandungan zat-zat aktif yang terdapat dalam biji. Dengan demikian semakin banyak rendemen yang diperoleh maka zat aktif yang dikandung dalam biji tersebut.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 515

Tabel 3. Data komponen hasil biji dan komponen toksisitas biji delapan genotip bengkuang terhadap Spodoptera litura instar I

JB BB Rend Toksisitas LC50 Kode Genotip Gen g (%) K M N Po (%) Pt (%) % - Kontrol - 0,0 1 30 3,33 0,00 0,1 8 32 25,00 22,41 T2 B-1/EC033 51,56 58,28 13,49 0,909 0,5 7 26 26,92 24,40 0,1 6 27 22,22 19,54 T3 B-56/CJ 121,33 107,59 14,79 0,956 0,5 7 28 25,00 22,41 0,1 6 27 22,22 19,54 AK1-7 EC 550 x AC 216-139 d 358,18 146,02 13,93 1,407 0,5 7 30 23,33 20,69 0,1 8 27 29,63 27,20 AK2-2 EC 033 x B-56 / CJ 139,54 176,30 15,90 0,527 0,5 14 31 45,16 43,27 0,1 8 30 26,67 24,14 AK3-2 EC 550 x AC 208-72h 115,90 152,46 16,11 0,435 0,5 16 29 55,17 53,63 0,1 14 29 48,28 46,49 AK4-4 EC 550 x B-56 / CJ 153,18 150,77 20,47 0,377 0,5 17 30 56,67 55,17 0,1 8 34 23,53 20,89 AK5-3 AC216-139d x B-56 /CJ 239,50 87,93 17,56 0,380 0,5 20 31 64,52 63,29 0,1 6 28 21,43 18,72 AK6-3 EC 033 x AC 208-72h 255,77 177,19 19,27 0,642 0,5 11 30 36,67 34,48 Ket : JB = Jumlah biji per tanaman; BB = Bobot 100 biji; K = konsentrasi ekstrak metanol biji bengkuang; M = Mortalitas (jumlah ulat grayak yang mati); N = jumlah ulat grayak yang diuji; Po = Persentase mortalitas; Pt = Persentase mortalitas yang telah dikoreksi

Tingkat mortalitas ulat grayak pada setiap genotip dengan konsentrasi yang 0,1% dan 0,5% menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Pada konsentrasi 0,1%, tingkat mortalitas ulat grayak tertinggi terjadi pada genotip EC550 x B-56/CJ sebesar 48,28%. Tingkat mortalitas tertinggi pada konsentrasi 0,5%, dihasilkan oleh genotip AC 216-139 d x B-56/CJ sebesar 64,52%. Tingkat kematian menunjukkan tingkat efektivitas biji bengkuang untuk digunakan sebagai bahan pestisida nabati. Perbedaan tingkat mortalitas dari berbagai genotip yang dievaluasi terutama berkaitan dengan genetik. Faktor lingkungan kemungkinan tidak berpengaruh terlalu besar, karena seluruh genotip yang diuji ditanam pada waktu, tempat serta mendapat perlakuan yang sama.

Nilai LC50 tertinggi yaitu pada genotip EC 550 x AC 216-139 d sebesar 1,407%, sedangkan nilai LC50 terrendah dihasilkan oleh genotip EC550 x B-56/CJ sebesar 0,377% dan AC216-139d x B-56/CJ sebesar 0,380%. Nilai ini lebih rendah dari dilaporkan

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 516

Widyastuti (1997), yang memperoleh hasil LC50 ekstrak biji bengkuang yang berasal dari

Banyumas (Jawa Tengah) terhadap Helicoverpa armigera sebesar 2,4%. Nilai LC50 diharapkan lebih kecil, karena semakin kecil nilai LC50 suatu pestisida maka semakin efektif pestisida tersebut dalam mengendalikan hama. Hal ini tidak hanya berkaitan dengan jumlah pestisida yang diperlukan, tetapi juga berkaitan dengan biaya pengendalian. Semakin rendah nilai LC50, pestisida yang digunakan semakin sedikit dan tentu saja biaya yang dikeluarkan akan semakin rendah. Dengan demikian, genotip-genotip yang dievaluasi memiliki potensi untuk terus dikembangkan sebagai bahan pestisida nabati untuk mengendalikan ulat grayak. Ulat grayak sering ditemukan sebagai hama yang menyerang pada penelitian tanaman bengkuang. Hal ini dilaporkan oleh Nusifera (2007) dan Susilardi (2009) bahwa ditemukan ulat grayak pada pertanaman bengkuang baik bengkuang budidaya (Pachyrhizus erosus) maupun bengkuang hasil persilangan intraspesifik dan interspesifik generasi F2. Namun tidak dilakukan pengendalian terhadap hama tersebut, karena intensitas serangan tidak terlalu tinggi. Namun menurut Adisarwanto dan Widianto (1999) biasanya serangan ulat grayak bisa menyebabkan kerusakan sekitar 12,5% hingga 20%. Bahkan serangan pada fase vegetatif menyebabkan tanaman yang muda tinggal tulang daun saja dan pada fase generatif dengan menggerek polong muda (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, 1985). Rendahnya intensitas serangan ulat grayak pada bengkuang, kemungkinan besar dikarenakan tanaman ini memiliki zat aktif aktif rotenon yang merupakan racun bagi hama tersebut. Berdasarkan uji korelasi yang tertera pada Tabel 4, jumlah benih berkorelasi positif dengan bobot benih, rendemen ekstrak metanol biji dan nilai LC50. Peningkatan jumlah benih yang dihasilkan akan meningkatkan juga bobot 100 biji dan juga rendemen ekstrak metanol biji. Hal ini, diperkirakan selain berkaitan dengan genetik juga dengan kondisi tanaman itu di lapangan, dimana bila tanaman tumbuh subur maka tanaman tersebut akan menghasilkan biji banyak dengan dengan ukuran besar, semakin banyak dan besar biji, tentu saja memiliki kandungan kimia yang banyak pula. Namun, jumlah biji yang banyak, menyebabkan nilai

LC50 meningkat, atau toksisitas berkurang. Nilai LC50 berasosiasi negatif dengan bobot benih dan rendemen ekstrak metanol biji. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin besar biji dan tinggi kadar rendemen biji bengkuang, maka nilai LC50 akan semakin turun atau genotip tersebut semakin beracun.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 517

Tabel 4. Korelasi Pearson antara jumlah biji per tanaman, bobot 100 biji, kadar rendemen ekstrak metanol dan LC50 Jumlah biji per tanaman Bobot 100 biji Rendemen Bobot 100 biji 0,359 Rendemen 0,143 0,460

LC50 0,375 -0,178 -0,704

KESIMPULAN Kesimpulan dari penelitian ini adalah: 1. Genotip B-56/CJ menghasilkan jumlah polong per tanaman, jumlah biji per tanaman dan bobot 100 biji yang paling besar dibandingkan genotip cek lain. 2. Genotip B-1/EC550 x B-56/CJ menghasilkan rendemen ekstrak metanol biji bengkuang

paling banyak dan nilai LC50 ekstrak biji bengkuang terhadap larva ulat grayak (Spodoptera litura) instar I paling rendah

3. Jumlah benih berkorelasi positif dengan bobot benih, rendemen dan nilai LC50, bobot benih berkorelasi positif dengan rendemen ekstrak metanol biji. 4. Terdapat korelasi negatif signifikan antara rendemen ekstrak metanol biji bengkuang

dengan nilai LC50 ekstrak biji bengkuang terhadap larva ulat grayak instar I.

UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada Hibah I-MHERE UNPAD untuk dukungan finansial. Juga kepada, Rizki Rohmanian atas kerjasamanya dalam pada penelitian ini

DAFTAR PUSTAKA Adisarwanto & Widianto, R. 1999. Meningkatkan Hasil Panen Kedelai di Lahan Sawah- Kering-Pasang Surut. Jakarta:Swadaya. Anonim. 2009. Rotenone. Melalui wikipedia.com. [7/12/09]. Desi Askitosari, Rifai Rahman Saputro dan Gator Nugroho. (tanpa tahun). Pemanfaatan Biji Bengkuang sebagai Insektisida Alami Ulat Grayak. Laporan Penelitian. Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. (tidak dipublikasikan). Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. 1985. Pengenalan Jasad Pengganggu Tanaman Palawija. Jakarta: Dirjen Pertanian Tanaman Pangan. (tersedia di www.unri.ac.id/jurnal/jurnal_natur/vol5(2). [Diunduh tanggal 10 Januari 2011). Guntung. 2008. Bioaktif Pestisida. Melalui www.rct/bogor/pestisida [26/12/2010]. Novizan. 2002. Membuat dan Memanfaatkan Pestisida Ramah Lingkungan. Agromedia pustaka, Jakarta.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 518

Nusifera, S. 2007. Interaksi Genotip x Lingkungan untuk Karakter Kualitas Hasil, Komponen Hasil dan Hasil Ubi 27 Genotip Bengkuang (Pachyrhizus Erosus L. Urban) pada Dua Musim Tanam dengan dan tanpa Pemangkasan Sink Reproduktif. Tesis Pascasarjana Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. Tidak dipublikasikan. Robinson, T. 1991. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Penerjemah Kosasih Padmawinata. Penerbit ITB. Bandung. Sørensen, M. 1996. Yam Bean Pachyrhizus DC. Promoting the Conservation and Use of Underutilized and Neglected Crops. IPGRI. Rome. Susilardi, D. 2009. Variabilitas Fenotipik, Kekerabatan Genetik dan Pola Pewarisan Karakter Morfologi Daun dan Agronomi Beberapa Populasi Hasil Persilangan Interspesifik dan Intraspesifik Bengkuang (Pachyrhizus spp) Generasi F2. Skripsi Unpad Jurusan Ilmu Pemuliaan Tanaman. Tidak dipublikasikan. Untung, Kasumbogo. 1993. Konsep Pengendalian Hama Terpadu. Yogyakarta. Penerbit Andi. Widyastuti, S. 1997. Pengujian Toksisitas Ekstrak Biji Bengkuang, Biji Selasih, dan Rimpang Bangle terhadap Larva H. Armigera. Skripsi Unpad Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan. Tidak dipublikasikan.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 519

OFTBM-01 Pengaruh Ekstrak Daun Suren (Toona sureni) terhadap Perkembangan Hama Pengisap Polong (Riptortus linearis) dan Predator Coccinella sp. pada Tanaman Kedelai Dodin Koswanudin1, I Made Samudra1, dan Wida Darwiati2 1Balitbang Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian, Bogor 2Pusat Penelitian Hasil Hutan, Bogor Email : [email protected]

ABSTRAK Pengisap polong (Riptortus linaeris) termasuk salah satu hama utama pada tanaman kedelai yang sering menimbulkan kerugian, sehinga harus dikelola dengan baikagar terhambat perkembangannya. Peneltian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak daun suren terhadap perkembangan ham pengisap polong dan predator Coccinella sp. Penelitian dilakukan di rumah kaca Balitbang Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian, Bogor pada bulan Agustus sampai Desember 2009. Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap terdiri dari 5 (lima) perlakuan dan 5 (lima) ulangan. Sebagai perlakuan adalah ekstrak daun suren dengan konsentrasi 0,25; 0,5; 0,75; dan 1,0% serta kontrol. Tanaman kedelai varietas Burangrang ditanam pada pot ember pada umur 50 (sudah berpolong) diinfestasi dengan nimfa R. linearis sebanyak 10 ekor, selanjutnya disemprot dengan larutan ekstrak daun suren dengan volume semprot 7,5 ml. Kemudian tanaman dikurung dengan kasa nilon, hal yang sama dilakukan terhadap predator Coccinella sp. Tanaman disimpan di rumah kaca, parameter yang diamati meliputi mortalitas R. linearis dan predator, serta perkembangan R. linearis. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa campuran ekstrak suren konsentrasi 1% menyebabkan mortalitas R. linearis 50- 60%, menghambat perkembangan nimfa dan menurunkan keperidian tetapi tidak berpengaruh negatif terhadap predator Coccinella sp. Kata kunci: ekstrak daun suren, R. linearis, Coccinella sp., padi

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 520

PENDAHULUAN

Kedelai termasuk tanaman pangan yang mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi karena mengandung protein nabati yang cukup tinggi sekitar 35% sehingga banyak digunakan sebagai bahan makanan, minuman dan pakan ternak (Arsyad & Syam, 1998). Upaya peningkatan produksi kedelai terus dilakukan dengan program ekstensifikasi, intensifikasi dan diversifikasi, hal ini dilakukan untuk menekan impor kedelai yang rata-rata mencapai 1 juta ton/tahun. Dalam upaya meningkatkan produksi kedelai terdapat beberapa masalah yang dihadapi antara lain serangan hama penyakit. Beberapa jenis hama yang potensial menimbulkan kerusakan pada tanaman kedelai antara lain lalat kacang atau lalat bibit (Ophiomyia phaseoli), ulat perusak daun (Lamprosema indicata, Spodoptera litura, Chrysodeicis chalcites, Helicoperva armigera), pengisap daun (Bemisia tabaci, Aphis glycines, Tetranichus sp.), pengisap polong (Riptortus linearis, Pyezodorus hybneri dan Nezara viridula) serta penggerek polong (Etiella zinckenella) (Harnoto dkk., 1985; Harnoto dkk., 1993). Dengan beragam jenis hama yang menyerang tanaman kedelai, maka dalam budi daya kedelai masalah penanganan hama memerlukan perhatian yang serius. R. linearis termasuk salah satu hama kedelai yang sering menimbulkan serangan pada tanaman kedelai dengan cara mengisap polong dan biji sehingga biji kedelai berkembang tidak sempurna yang mengakibatkan hasil menurun baik jumlah maupun kualitasnya. Biji kedelai yang sudah terserang pengisap polong tidak dapat dijadikan benih karena bijinya kempis. Oleh karena itu, hama pengisap polong harus dikendalikan dengan bijaksana dan terpadu. Untuk mengatasi serangan hama pada kedelai sebaiknya menggunakan konsep pengendalian hama terpadu (PHT), yaitu dengan menggunakan varietas tahan, kultur teknik, pemanfaatan musuh alami, penggunaan biopestisida dan insektisida sintetik apabila diperlukan. Dalam prakteknya di lapangan sering kali penggunaan insektisida merupakan alternatif pertama, karena pengendalian hama dengan insektisida hasilnya cepat diketahui, selain cara-cara lain yang lebih murah dan aman belum tersedia di lapangan. Agar pengendalian hama pada kedelai tidak selalu mengandalkan insektisida sintetis, perlu dilakukan pergiliran cara pengendalian dengan teknologi yang efektif dan ramah lingkungan. Penggunaan biopestisida seperti Spodoptera litura Nuclear Polyhidro Virus (SlNPV) untuk

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 521 pengendalian ulat grayak Spodoptera litura sudah mulai digunakan (Arifin dkk., 1999) dan pemanfaatan tumbuhan yang mengandung senyawa insektisida (insektisida nabati) merupakan alternatif yang dapat dikembangkan (Dadang, 1998; Syahputra & Prijono, 2008). Tanaman suren (Toona sureni) merupakan tanaman yang berupa pohon dan banyak ditanam di Indonesia, pada bagian daun, ranting dan biji mengandung senyawa aktif yang bersifat sebagai insektisida meliputi phenobarbitone, azadirachtan dan amitriptilyne (Darwiati & Koswanudin, 2006), sehingga banyak dimanfaatkan dalam mengurangi serangan serangga hama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daun suren, ranting dan biji suren dapat menghambat perkembangan hama daun Eurema spp. (Darwiati & Koswanudin, 2006) dan ekstrak daun suren dilaporkan efektif terhadap hama pengisap daun Empoasca sp. pada tanaman teh (Nurawan, 2006). Makalah ini menyampaikan hasil penelitian pengaruh ekstrak daun suren terhadap perkembangan hama pengisap plong (R. linearis) dan predator Coccinella sp. pada tanaman kedelai.

BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu penelitian

Penelitian dilakukan di rumah kaca Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian Bogor, pada bulan Agustus sampai Desember 2009. Metode penelitian

Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap yang terdiri atas 5 (lima) perlakuan dan 5 (lima) ulangan. Data diolah dengan analisis varians yang dilanjutkan dengan uji selang berganda Duncan pada taraf 5%. Persiapan tanaman

Benih kedelai varietas Burangrang ditanam pada pot ember plastik berdiameter 20 cm dan tinggi 30 cm dengan media tanah dan pupuk kandang. Tujuh hari setelah tanam dipupuk dengan Urea, SP-36 dan KCl sesuai dosis anjuran, tanaman dipelihara sebaik- baiknya tanpa diaplikasi insektisida.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 522

Persiapan serangga uji

Serangga R. linearis dikoleksi dari lapangan pada tanaman kedelai di daerah Bogor dan Cianjur, Jawa Barat, selanjutnya dipelihara dan diperbanyak di laboratorium dengan media pakan kacang panjang sampai mencukupi untuk percobaan, serangga yang digunakan nimfa instar empat generasi kedua. Predator Coccinella sp. dikoleksi dari lapangan dipelihara pada tanaman kedelai dengan media pakan telur-telur pengisap polong sampai mencukupi untuk percobaan. Persiapan ekstrak

Daun suren dibungkus kertas koran dan dipanaskan dalam oven dengan suhu 70◦C selama dua hari sampai kering. Selanjutnya daun diblender sampai halus sehingga didapat serbuk daun, kemudian ditimbang sebanyak 50 gram dan dibungkus dengan kertas whatman no. 41. Kemudian dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer sebagai alat ekstraksi yang sudah dicampur dengan pelarut methanol sebanyak 250 ml.

Tabel 1. Susunan perlakuan ekstrak yang diuji Perlakuan Konsentrasi (%) Cara aplikasi Ekstrak daun suren 0,25 Penyemprotan Ekstrak daun suren 0,5 Penyemprotan Ekstrak daun suren 0,75 Penyemprotan Ekstrak daun suren 1 Penyemprotan Kontrol - -

Infestasi serangga uji dan aplikasi ekstrak

Tanaman kedelai berumur 50 hari setelah tanam (sudah berpolong) diinfestasi dengan nimfa R. linearis instar empat sebanyak 10 ekor/perlakuan kemudian diaplikasi dengan campuran larutan daun suren sesuai konsentrasi yang digunakan dengan volume semprot 7,5 ml/perlakuan. Tanaman kemudian dikurung dengan dengan kasa nilon dan disimpan di rumah kaca. Tanaman kedelai berumur 50 hari setelah tanam diinfestasi dengan predator Coccinella sp. sebanyak 10 ekor/perlakuan kemudian diaplikasi dengan larutan ekstrak daun suren sesuai konsentrasi yang digunakan dengan volume semprot 7,5 ml/perlakuan. Tanaman kemudian dikurung dengan kasa nilon dan disimpan di rumah kaca. Parameter yang diamati meliputi mortalitas nimfa pengisap polong dan predator dan perkembangan serangga R. linearis.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 523

HASIL DAN PEMBAHASAN

Mortalitas nimfa R. linearis

Berdasarkan hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan ekstrak daun suren berpengaruh terhadap mortalitas nimfa pengisap polong. Perlakuan yang menyebabkan kematian nimfa adalah ekstrak daun suren konsentrasi 0,75 dan 1,0% dengan tingkat kematian nimfa 30,0-60,0% (Tabel 2), sedangkan perlakuan ekstrak daun suren konsentrasi 0,25 dan 0,5% serta kontrol tidak menyebabkan mortalitas nimfa pengisap polong. Kematian nimfa pengisap polong pada perlakuan ekstrak daun suren konsentrasi 0,75-1,0% disebabkan penyemprotan ekstrak yang kontak dengan tanaman dan nimfa secara tidak langsung akan menimbulkan gangguan fisiologis terhadap serangga. Bahan aktif yang terkandung dalam ekstrak suren (phenobarbitone, azadirachtan dan amitriptilyne) akan bekerja sebagai penghambat makan dan atau berpengaruh langsung terhadap serangga yang kontak, sehingga menimbulkan gangguan fiologis dan metabolisme. Mortalitas nimfa ditandai dengan terjadinya paralisis yang disebabkan oleh bahan aktif yang berpenetrasi melalui kutikula dan masuk ke dalam tubuh serangga akan terjadi akumulasi sehingga mengakibatkan kelumpuhan, menggangu pernafasan yang berakibat kejang-kejang dan kematian nimfa R. linearis. Pada perlakuan ekstrak daun suren konsentrasi 0,25 dan 0,5% tidak menyebabkan mortalitas nimfa pengisap polong, hal ini disebabkan pada konsentrasi yang rendah daya penetrasi bahan aktif ekstrak yang melalui kutikula rendah, sehingga tidak pernah mencapai kadar yang beracun. Biasanya hal tersebut terjadi akibat cepatnya proses sekresi atau metabolisme bahan aktif dalam tubuh serangga (Prijono, 2003). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang terdahulu yang melporkan bahwa perlakuan ekstrak daun, ranting dan biji suren yang aplikasikan secara kontak pada larva Eurema spp. dapat meyebabkan mortalitas larva hama tersebut (Darwiati & Koswanudin, 2006) dan aplikasi ekstrak daun suren pada tanaman teh di lapangan efektif terhadap hama pengisap daun Empoasca sp. (Nurawan, 2006). Perlakuan ekstrak daun konsentrasi 1,0% merupakan perlakuan yang cukup efektif terhadap nimfa R. linearis, sebagai bahan biopestisida dengan tingkat efektifitas menacapai 60% maka mempunyai prospek dapat digunakan sebagai agen pengendalian hayati.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 524

Perkembangan Nimfa R. linearis

Hasil percobaan menunjukkan bahwa ekstrak daun suren berpengaruh terhadap perkembangan nimfa menjadi imago. Pada perlakuan ekstrak daun suren nimfa yang berkembang menjadi imago berkisar antara 40,0-100% dan pada kontrol 100% (Tabel 2). Pada perlakuan ekstrak konsentrasi 1,0% nimfa yang berkembang menjadi imago paling rendah sebesar 40,0% dan pada konsentrasi 0,25% paling tinggi sebesar 100%. Persentase nimfa yang mampu berkembang menjadi imago berkorelasi dengan tingkat mortalitas nimfa, hal ini ditunjukkan dengan mortalitas nimfa yang tinggi maka persentase nimfa yang berkembang jadi imago rendah. Terhambatnya perkembangan nimfa menjadi imago dapat disebabkan pengaruh bahan aktif (antara lain azadirachtan) yang dikandung dalam daun suren. Senyawa azadirachtan dapat menghambat perkembangan serangga terutama pada stadia larva dan nimfa, hal tersebut sama seperti senyawa azadirachtin yang terkandung dalam ekstrak mimba yang berpengaruh menghambat perkembangan hama pengisap polong Nezara viridula, kutudaun Aphis cracivora dan penggerek polong Maruca testulais (Koswanudin dkk., 1999; Koswanudin dkk., 2009) dan mengambat perkembangan serangga hama kutu loncat Heteropsyla cubana (Sudarmadji & Irianto, 1990).

Jumlah Telur dan Keperidian

Jumlah telur yang dihasilkan oleh serangga betina R. linearis menunjukkan perbedaan yang nyata antara perlakuan ekstrak daun suren dengan kontrol. Jumlah telur pada perlakuan ekstrak daun suren berkisar antara 346,0-670,0 butir dan pada kontrol 702,0 butir (Tabel 2). Berdasarkan hasil percobaan tersebut menunjukkan bahwa perlakuan ekstrak daun suren berpengaruh terhadap reproduksi serangga R. linearis. Senyawa aktif yang bersifat insektisidal yang terkandung dalam ekstrak daun suren apabila kontak dan masuk kedalam tubuh serangga melalui kutikula maka akan meningkatkan daya racunnya sehingga menggangu proses metabolisme dan fisioligis termasuk menggangu kerja hormon reproduksi. Hal tersebut mirip dengan kerja bahan aktif azadirachtin yang terkandung dalam ekstrak mimba yang menghambat reproduksi serangga S. litura (Karsono, 2004), menurunkan keperidian serangga hama pengisap buah lada (Suprapto, 1994), dan ulat buah kapas, H. armigera (Winarno & Amir, 2004).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 525

Tabel 2. Rata-rata mortalitas nimfa dan perkembangan R. linearis. Bogor. 2009 Konsentrasi Mortalitas Perkembangan R. linearis Perlakuan (%) nimfa (%) Nimfa ke Jumlah telur Keperidian imago (%) (butir) (%) Ekst. Suren 0,25 0,0c 100,0a 670,0a 98,5b Ekst. Suren 0,5 0,0c 80,0b 669,0a 95,4b Ekst. Suren 0,75 30,0b 70,0b 560,0b 95,2b Ekst. Suren 1,0 60,0a 40,0c 346,0c 80,2c Kontrol - 0,0c 100,0a 702,0a 100,0a Angka-angka dalam satu kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan uji Duncan

Mortalitas Predator Coccinella sp.

Berdasarkan hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan ekstrak daun suren konsentrasi 1,0% berpengaruh terhadap mortalitas predator Coccinella sp. dengan tingkat mortalitas 5,0-10,0% (Tabel 3). Walaupun ekstrak suren menyebakan mortalitas predator Coccinella sp., tetapi tingkat mortalitasnya masih dibawah ambang batas. Suatu bahan pestisida dikatagorikan berbahaya terhadap musuh alami (parasitoid dan predator) apabila menyebabkan kematian >30%, berdasarkan hasil percobaan tersebut menunjukkan bahwa ekstrak daun suren tidak menimbulkan pengaruh negatif terhadap predator Coccinella sp. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa perlakuan insektisida nabati relatif aman terhadap musuh alami, seperti senyawa azadirachtin yang tidak menimbulkan efek samping terhadap serangga bukan target (Schmutterer, 1990), sedangkan ekstrak minyak cengkeh tidak menimbulkan pengaruh negatif terhadap parasitoid Ooencyrtus spp. yang memarasit telur pengisap polong Nezara viridula (Koswanudin dkk., 2010).

Tabel 3. Rata-rata mortalitas predator Coccinella sp. Bogor. 2009 Konsentrasi Mortalitas Coccinella sp. (%) Perlakuan (%) 5 hsa 10 hsa Ekstrak Suren 0,25 0,0b 0,0b Ekstrak Suren 0,5 0,0b 0,0b Ekstrak Suren 0,75 0,0b 0,0b Ekstrak Suren 1,0 5,0a 10,0a Kontrol - 0,0b 0,0b Angka-angka dalam satu kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan uji Duncan hsa = hari setelah aplikasi

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 526

KESIMPULAN

Ekstrak daun suren mempunyai potensi dapat dikembangkan sebagai bahan pestisida nabati. Ekstrak daun suren konsentrasi 1,0% efektif menghambat perkembangan hama Riptortus linearis dan tidak menimbulkan pengaruh negatif terhadap predator Coccinella sp.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, M., I. Vilayanti, dan A. Alwi. 1999. Keefektifan SlNPV pada berbagai bahan formulasi terhadap ulat grayak Spodoptera litura (F.) pada kedelai. Hal. 149-158. Dalam: I. Prasadja dkk. (Ed.). Seminar Nasional peranan Entomologi dalam Pengendalian Hama yang Ramah Lingkungan dan Ekonomis. Perhimpunan Entomologi Indonesia. Bogor. Arsyad, D.M., dan M. Syam. 1998. Kedelai: Sumber pertumbuhan produksi dan budi daya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 30 hlm. Dadang. 1998. Botanical Insecticides as An alternative Pest Control Agent. Proceed. Scientific Writing Contest III. Hiroshima, Japan. Darwiati, W. & D. Koswanudin. 2006. Uji Efikasi Ekstrak Daun, Ranting dan Biji Suren (Toona sureni Merr: Meliaceae) terhadap Hama Daun Eurema spp. (Lepidoptera; Pyralidae) di Laboratorium. Hal: 186 – 190. Dalam: Kardinan, A., O. Rostiana, R. Balfas, R. Djiwanti dan R. Rosman (Ed). Prosiding Seminar Nasional dan Pameran Pestisida Nabati III. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Bogor. Karsono, D.B. 2004. Pengaruh Kontak Ekstrak Biji Mimba (Azadirachta indica) terhadap Penetasan Telur dan Perkembangan Larva Spodoptera litura di Laboratorium. Hal. 307 – 314. Dalam: M. Arifin, E. Karmawati, IW Laba, IW Winasa, Pudjianto, Dadang, S. Santoso, U. Kusumawati, D. Koswanudin & Mulyawan (Ed.). Seminar Nasional IV Entomologi dalam Perubahan Lingkungan dan Sosial, Perhimpunan Entomologi Indonesia. Bogor. Koswanudin, D, & Harnoto. 1999. Pengaruh Ekstrak Biji Mimba terhadap Beberapa Aspek Biologi Pengisap Polong Kedelai Nezara viridula L. (Hemiptera; Pentatomidae). Hal. 247 – 254. Dalam: I. Prasadja, M. Arifin, IW Laba, E.A. Wikardi, D. Soetopo, Wiratno, E. Karmawati & I.M. Trisawa (Ed.). Prosiding Seminar Nasional II Peranan Entomologi dalam Pengendalian Hama yang Ramah Lingkungan dan Ekonomis. Perhimpunan Entomologi Indonesia. Bogor. Koswanudin, D., I M Samudra & Harnoto. 2010. Pengaruh Ekstrak Biji Mimba (Azadirachta indica A Juss.) terhadap Perkembangan Penggerek Polong (Maruca testulalis Gejer) dan Kutudaun (Aphis cracivora Koch.) pada Tanaman Kacang Hijau Hal. 519 - 528. Dalam: Nawangsih, A., Dadang, D. Sartiami, D. Prijono, E. Nurhayati, I.S. Harahap, IW Winasa, K.H. Mutaqin & Pudjianto (Ed.). Prosiding Seminar Nasional Perlindungan Tanaman, Strategi Perlindungan Tanaman Menghadapi Perubahan Iklim Global dan Sistem Perdagangan Bebas. Pusat Kajian Pengendalian Hama Terpadu, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Koswanudin D., I Made Samudera & A Ismanto, 2010. Potensi Ekstrak Sereh Wangi dan Minyak Cengkeh terhadap Hama Penggerek Polong Etiella zinckenella dan Pengaruhnya

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 527

Terhadap Parasitoid Trichogrammatoidea bactrai-bactrai pada Tanaman Kedelai. Konferensi dan Seminar Nasional Dewan Atsiri Indonesia. Bandung. 20 – 21 Oktober 2010. 10 Hal. Nurawan, A. 2006. Perkembangan Penggunaan Pestisida Nabati dan Agesia hayati untuk Pengendalian OPT di Perkebunan Teh Rakyat . Hal: 151 – 157. Dalam: Kardinan, A., O. Rostiana, R. Balfas, R. Djiwanti dan R. Rosman (Ed). Prosiding Seminar Nasional dan Pameran Pestisida Nabati III. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Bogor. Harnoto, A. Iqbal, dan K. Honma. 1985. Hama kedelai: hal 41-73. Dalam: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan dan JICA. Petunjuk bergambar untuk identifikasi hama dan penyakit kedelai. Harnoto, T. Djuwarso, dan D. Koswanudin. 1993. Bioekologi dan pengendalian lalat kacang Ophiomyia phaseoli. Hal. 1373-1382. Dalam: M. Syam, dkk. (Ed.) Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Prijono, D. 2003. Teknik Ekstraksi, Uji hayati, dan Uji Senyawa Bioaktif Tumbuhan. Bahan Pelatihan Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Pelaksana PHT Perkebunan Rakyat. Bag. Pro. PHT – PR. Schmuterrer, H. 1990. Properties and Potential of Natural Pesticides From the Neem Tree, Azadirachta indica. Annu. Rev. Ent. 35: 271 – 297. Sudarmadji, D. & R.S.B. Irianto. 1990. Peranan Ekstrak Biji Mimba, Azadirachta indica A. Juss, Sebagai Senyawa Insektisida terhadap Kutu Loncat Lamtoro Heteropsylla cubana Crawford. Seminar Pengelolaan Serangga Hama dan Tungau dengan Sumber Hayati di PAU-Ilmu Hayati, ITB, 22 Mei 1990. Suprapto. 1994. Toksisitas Ekstrak Mimba dan Bengkuang terhadap Pengisap Buah Lada. Hal. 216 – 221. Dalam: D. Sitepu, P. Wahid, M. Soehardjan, S. Rusli, E.A. Wikardi, I. Mustika & D. Soetopo (Ed.). Prosiding Seminar Hasil Penelitian dalam rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. Syahputra, E. & D. Prijono. 2008. Pembuatan Formulasi Ekstrak Kulit Batang Calophyllum soulattri dan Aktivitas Residu terhadap Larva Crocidolomia pavonana. J. Entomol. Indon. 5 (2): 61 – 70. Winarno, D. & A.M. Amir. 2004. Efektivitas SBM Azadirachta indica A. Juss terhadap Ulat Buah Kapas Helicoverpa armigera (Lepidoptera; Noctuidae). Hal. 285 – 306. Dalam: M. Arifin, E. Karmawati, IW Laba, IW Winasa, Pudjianto, Dadang, S. Santoso, U. Kusumawati, D. Koswanudin & Mulyawan (Ed.). Seminar Nasional IV Entomologi dalam Perubahan Lingkungan dan Sosial, Perhimpunan Entomologi Indonesia. Bogor.

Notulen Diskusi Seminar 1. Tanya : Nismah (UNILA) : Bagaimana LC 50 nya? Jawab : Dengan pelarut non-organik (air), belum ada penelitian lebih lanjut mengenai LC-50 nya 2. Tanya : Mengapa suren tidak berpengaruh akan tetapi Beauveria berpengaruh terhadap mortalital Coccinella Jawab : B. bassiana bersifat broad spectrum. Jadi berpengaruh. 3. Tanya : Aplikasi penggunaan di lapangan ? Insektisidanya sudah ada ? Bagaimana kalau di Jambu

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 528

Jawab : Belum ada uji lapangan/semi lapangan, masih dalam skala laboratoium (masih dalam tahap I) Tanya : Kenapa gamal? Jawab : Mudah tumbuh dimana-mana, di stek tumbuh, di Lampung gamal berfungsi sebagai penyangga lada, di stek terus menerus. 4. Tanya : Prof. Dr. Siti Salmah (Universitas Andalas Padang). Makalah mesti dilengkapi dengan metode persiapan ekstrak, perlu dilakukan pengujian di lapangan dan musuh alami yang diamati lebih banyak? Jawab : Pada makalah sudah dilengkapi dengan metode persiapan ekstrak. Memang masih diperlukan penelitian di lapangan, sehingga data yang diperoleh lebih lengkap.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 529

OFTBM-02 Pengaruh Faktor Ekologi dan Sosial terhadap Penyebaran Penyakit Malaria di Daerah Endemis Kampung Laut Cilacap Hery Pratiknyo1 dan Rahmad Santosa, M1 1Fakultas Biologi Unsoed Jl. Mahoni V/182 Perumnas Teluk Purwekerto 53145 08132475719 Email : [email protected]

ABSTRAK Penyakit malaria merupakan masalah serius di daerah endemis Kampunglaut, meskipun berbagai usaha telah dilakukan namun sampai sekarang belum mendapatkan hasil optimal. Berbagai faktor diduga sebagai penyebab penyebaran penyakit ini di daerah endemis tersebut, dua diantaranya adalah faktor ekologi dan sosial, namun sejauh mana kedua faktor ini berkorelasi dengan penyebaran malaria sampai saat ini belum diketahui pasti. Penelitian ini diadakan sejak Agustus sampai dengan November 2010, dengan tujuan untuk memastikan spesies nyamuk sebagai agen utama, mendiskripsi faktor ekologi dan ekonomi serta menentukan mana yang mempunyai korelasi positif dengan penyebaran malaria. Metode yang digunakan dalam penelitian ini survei dengan sistem sampling bertingkat, dimana masing-masing dari tiga desa yang ada di bedakan dua grumbul kemudian masing masing grumbul diambil dua RT secara acak. Setiap RT kemudian diamati faktor ekologinya yang meliputi kolam, daerah lembab-terlindung, rumah penduduk serta kebiasaaan harian penduduk yang dituangkan ndalam kustioner. Ulangan sebanyak 12 kali pada rentang 4 bulan dan selanjutnya data dianalisis menggunakan korelasi multivariat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa spesies nyamuk yang bertindak sebagai agen utama adalah Anopheles sundaicus, dengan masing-masing lokasi pembiakan desa ujungalang terdapat pada gua air tawar di pulau Nusakambangan berjarak 300 m dari perumahan penduduk, desa ujung gagak terdapat di kolam buangan bekas kandang babi berjarak 200 m dari Sekolah Dasar,desa Bugel lokasi pembiakan terdapat di sumur tua di masjid berjarak 20 m dari perumahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebiasaan harian penduduk yang diduga menyebabkan penyebaran malaria yaitu menonton bersama TV di malam hari dan tidur tanpa kelambu pengaman nyamuk ataupun lotion anti nyamuk, ternyata tidak berkorelasi nyata. Namun biota air, kelembaban udara dan jarak dari hutan sangat nyata berkorelasi. Kata kunci: faktor ekologi, faktor sosial, lokasi pembiakan.

ABSTRACT Malaria dissease is the serious problem in endemic area of Kampunglaut, although many efforts had been done but it is not optimal. Many factors caused the spread of that dissease in that area, one of them are ecological and economical social factor. This research had been done since August until November 2010. The aims of the research are to identify of mosquitoes species as agent, to describe the ecological and social factor also the correlation between them. The method used is survey with stratified random sampling, where each of three villages over there was divided two grumbuls, then each grumbul taken two RT randomly. Each RT was observed the ecological factor consist of ponds, humid area and the houses, also habitual action of the citizens written in questioner. The replication was 12 times for four months then data analysis used multivariate correlation. The result showed that Anopheles sundaicus is the species of mosquitoes as agent of the malaria dissease, each village has breeding area : Ujung Alang in water cane in Nusakambangan Island (300 m from seatlement), Ujung Gagak in former of pig nest (200 m from school), Bugel in the old mosque room bath (20 m from seatlement). The dominant habitual action of citizen are watching TV program in night and sleeping without casa screen saver. The conclusion are that species A. sundaicus as main agent of the spread of malaria disease, the breeding area in 20-300 m from seatlement, then water biota, humidity and the distance from the forest is significant correlation while watching TV program and sleeping without casa screen saver is not significant. Keywords: ecological factor, economical factor, breeding area.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 530

PENDAHULUAN Kampung laut merupakan kawasan permukiman penduduk di sekitar laguna Segara Anakan Kabupaten Cilacap, yang sudah sejak lama dikenal sebagai daerah endemis penyakit malaria. Kawasan Kampung Laut terdiri dari tiga Desa yang tersebar di Pantai Selatan Pulau Jawa dan Pulau Nusakambangan, dengan air pasang surut secara periodik, sehingga air di sekitar permukiman cenderung payau. Ketiga desa ini sebagian besar wilayahnya dikelilingi oleh tumbuhan mangrove (Rhizophora sp). Pada awalnya di tahun 1984-1985 pernah terjadi wabah penyakit malaria dalam kategori KLB yang sempat menelan korban 116 jiwa, kejadian ini bersamaan waktunya dengan terjadinya penebangan besar-besaran tumbuhan hutan bakau di sekitar wilayah Kampung Laut, untuk dijadikan kawasan budidaya tambak ikan. Diduga adanya penebangan tumbuhan hutan bakau secara besar-besaran ini menyebabkan terdedahnya lingkungan berair payau yang selama ini berada dalam naungan tumbuhan hutan bakau, sehingga berakibat penetrasi sinar matahari secara langsung mampu meningkatkan temperatur air payau. Akibat penetrasi sinar matahari ini maka banyak biota perairan Spyrogyra sp. (ganggang hijau) dan Echornia crasipes (eceng gondok) berkembang biak secara cepat serta berfungsi sebagai perlindungan larva nyamuk Anophles sp. dan pada gilirannya menjadikan air payau ini sebagai ‖inkubator‖ yang sangat sesuai bagi perkembangan larva nyamuk Anopheles sp., sehingga akhirnya terjadilah ‖out break‖ populasi nyamuk Anopheles sp. yang bertindak sebagai vektor penyakit malaria di daerah Kampung laut ini. Data tahun 2010 Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap menyatakan bahwa di kawasan Kampung Laut sampai bulan April 2010 masih terdapat 142 penderita penyakit malaria. Keadaan ini menunjukkan bahwa pembukaan lahan tambak ikan dengan membabat habis tanaman hutan bakau bukanlah satu-satunya penyebab terjadinya KLB atau menyebarnya penyakit malaria di Kampung laut, karena saat ini pembabatan hutan mangrove sudah tidak terjadi lagi. Dengan demikian patut diduga terdapat area di Kampung Laut yang bertindak sebagai area perindukan (breeding place) larva nyamuk Anopheles sp. ataupun terdapat area yang dipergunakan sebagai area peristirahatan (resting place) bagi nyamuk Anopheles sp. dewasa. Area ini potensial sebagai pendukung berkembang dan menyebarnya penyakit malaria.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 531

Selain faktor ekologi, diduga pula faktor sosial berupa perilaku penduduk yang berperan sama dalam mendukung penyebaran malaria ini. Faktor sosial antara lain aktifitas manusia dalam berhubungan dengan manusia lainnya atau dalam memperlakukan alam sekitarnya dalam rangka mempertahankan kehidupannya. bahwa faktor lingkungan rumah, lingkungan luar rumah, dan faktor perilaku yang tidak baik menunjukan hubungan yang bermakna dengan kejadian malaria (Harmendo, 2008). Menurut Kusumawati (2008), jenis nyamuk, kelimpahan relatif, umur dan perilaku vektor sangat dipengaruhi oleh lingkungan abiotik (fisik, kimia, hidrologis, klimatologis), biotik (tumbuhan, biota predator), dan kondisi sosial ekonomi penduduk di daerah endemik malaria. Menurut Mardihusodo (2007), timbulnya suatu penyakit dalam diri manusia dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yaitu inang (host), bibit penyakit (agent), dan lingkungan (environment). Faktor lingkungan fisik dengan tipe permanen merupakan tempat perkembangbiakan vektor malaria antara lain hutan, perkebunan, rawa-rawa, kolam, pemukiman (Depkes, 2006) disamping faktor fisik tersebut faktor abiotis juga mempunyai peranan penting terhadap perkembangbiakan parasit, seperti: suhu udara, pada suhu yang lebih hangat nyamuk berkembangbiak lebih cepat dan pada suhu tinggi akan memperpendek masa inkubasi sporogoni, suhu optimun berkisar antara 20-30 ºC, kelembaban udara akan mempengaruhi aktifitas dan tingkat survival dari nyamuk Anopheles pada kelembaban di bawah 60% hidup nyamuk akan diperpendek dengan masa inkubasi eksternal sekitar 2 minggu sehingga tidak akan terjadi transmisi malaria dan curah hujan akan mempermudah perkembangbiakan nyamuk dan terjadinya epidemi malaria (Rumbiak, 2007). Pada penelitian ini yang dimaksud dengan istilah penyebaran adalah jumlah penderita pada setiap grumbul di tiga desa lokasi sampling, sedangkan untuk mengetahui aktifitas sosial diketahui dengan memberikan questioner sistem tertutup melalui isian terkait masalah yang diduga berhubungan dengan penyebaran penyakit malaria di Kampung laut. Penelitian ini bertujuan 1.Mengidentifikasi nyamuk Anopheles yang bertindak sebagai vektor penyakit malaria di Kawasan Kampung Laut Cilacap 2.Menentukan area perindukan (breeding place) dan area peristirahatan (resting place) nyamuk Anopheles vektor penyakit malaria di Kampung Laut Cilacap 3.Mendeskripsikan faktor ekologi dan sosial Kampung Laut dan mengukur seberapa pengaruhnya terhadap penyebaran penyakit malaria di wilayah ini.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 532

3. Manfaat penelitian yang diharapkan: 1.Memberikan informasi kepada penduduk Kampung laut tentang karakteristik nyamuk yang menjadi vektor penyebaran penyakit malaria 2.Memberikan masukan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap tentang area perindukan dan area peristirahatan nyamuk vektor penyebaran penyakit malaria 3.Memberikan masukan kepada penduduk Kampung laut tentang lingkungan dan perilaku yang harus dirubah agar penyebaran penyakit malaria dapat diminimalkan.

METODE PENELITIAN DAN ANALISIS Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di tiga desa dalam Kawasan Kampung Laut yang meliputi desa-desa : Ujung Alang, Ujung Gagak dan Panikel Bahan dan Alat Penelitian ini menggunakan alat-alat: refraktometer, PH meter, termometer, higrometer, perangkap nyamuk sistem vacum cleaner, ember plastik dan gayung plastik volume 1 Liter. Bahan habis pakai adalah alkohol 70% dan kloroform. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode survei dengan teknik pengambilan sampel secara bertingkat (stratified sampling), dimana Kampung Laut diambil tiga desa (Ujung Alang, Ujung Gagak dan Bugel) setiap desa diambil dua Grumbul (Desa Ujung Alang diambil Grumbul Klaces dan Mangun Jaya, Desa Ujung Gagak diambil Grumbul Karang Anyar dan Sidamulya sedangkan Desa Bugel diambil Grumbul Bugel dan Grumbul Muara Dua). Pada setiap RT terpilih diamati 12 kolam berair dengan jenis biota di dalamnya, 12 tempat lembab dibawah naungan pohon, di halaman rumah penduduk secara acak. Perilaku dan kebiasaan hidup penduduk, dibagikan quetioner sistem tertutup (memilih jawaban) berisi 12 item pertanyaan dibagikan kepada warga RT yang dipilih secara acak. Ulangan dilakukan 12 kali selama rentang penelitian untuk setiap lokasi. Cara Kerja Karakteristik Perindukan Pada setiap wilayah RT terpilih dilakukan pengamatan secara langsung pada 12 tempat genangan berupa kolam, pengamatan larva ataupun pupa dilakukan dengan mengambil air

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 533 menggunakan gayung yang ditenggelamkan perlahan-lahan dan di amati di bawah mikroskop binokuler perbesaran lemah dihitung jumlah larva dan pupanya. Pengukuran temperatur air dilakukan dengan cara menenggelamkan termometer pada genangan/kolam/tambak selama 3 menit di amati angkanya, Kelembaban udara diukur dengan menggantungkan higrometer selama 10 menit, dan diamati angkanya. Salinitas air diukur dengan memasukkan contoh air pada refraktometer, sedangkan untuk keasaman air diukur dengan kertas lakmus kemudian dicocokkan dengan kertas standar. Karakteristik tempat peristirahatan Pada wilayah RT terpilih diadakan pengamatan secara langsung terhadap 12 tempat terdiri dari gua mata air, tempat dibawah naungan pohon sekitar rumah penduduk. Di tempat- tempat tersebut kepadatan relatif nyamuk dewasa diperoleh dengan cara menghisap menggunakan baling-baling isap berkekuatan baterai 2,5 volt selama satu menit. Diukur pula suhu dan kelembaban udara. Perilaku dan kebiasaan hidup penduduk. Perilaku dan kebiasaan hidup penduduk di ketahui dengan menyebar kuestioner metode tertutup (memilih jawaban) dari pertanyaan yang telah disiapkan. Analisis data Data spesies nyamuk dipaparkan dengan cara identifikasi.. Hubungan antara jumlah penderita malaria dengan faktor ekologi dan sosial dianalisis dengan hubungan regresi multivariat antara variabel bebas dan variabel tergantungnya. Sebagai variabel tergantung adalah jumlah penderita malaria sedangkan variabel bebasnya adalah faktor lingkungan dan sosial (salinitas air, suhu air, kelembaban udara, kelimpahan relatif jentik, kelimpahan relatif nyamuk, dan 12 perilaku dalam questioner).

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Nyamuk vektor penyakit 1.a...... 1.b.Sayap dengan area bersisik yang pucat...... 4 4.a………………………………………………………………………………. 4.b. Tepi bagian depan sayap dengan empat atau lebih daerah gelap………...... 18 18.a……………………………………………………………………………… 18.b.Tarsus bagian belakang dengan lima segmen yang keseluruhannya gelap.29 29.a. Tarsus bagian depan dengan pita pucat yang melebar………………...….30 31.a. …………………………………………………………………….………32 32.a………………………………………………………………………......

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 534

32.b.Sayap dengan sektor area yang pucat tepat di atas costa, titik gelap prehumeral tanpa sisik pucat pula……………...... Anopheles sundaicus

Faktor Ekologi dan sosial Dari seluruh faktor yang meliputi: kelimpahan relatif larva nyamuk Anopheles sundaicus di area perindukan dan jarak dengan pemukiman, kelimpahan relatif nyamuk dewasa A. sundaicus, jenis biota air, jarak dari hutan, suhu udara, kelembaban udara, salinitas dan faktor sosial yang meliputi 12 perilaku masyarakat, ternyata memberikan korelasi beragam terhadap faktor penyebaran malaria dengan parameter jumlah penderita di setiap grumbul. Analisis statistik menunjukkan bahwa kelimpahan relatif larva nyamuk, jenis biota, jarak dari hutan, kelembaban udara dan salinitas merupakan faktor yang berkorelasi nyata atau sangat nyata, sedangkan faktor kelimpahan imago, suhu udara dan perilaku sosial tidak berkorelasi nyata. Dari seluruh faktor yang diduga berkorelasi nyata ternyata kelimpahan relatif nyamuk dewasa, dan perilaku sosial tidak nyata berkorelasi dengan jumlah penderita. Hal ini sangat menarik. Kelimpahan relatif nyamuk dewasa memang bukan jaminan penyebab utama sebab pada hakekatnya tidak semua nyamuk A. sundaicus secara otomatis bertindak sebagai agen penyebar, hanya nyamuk A. sundaicus yang sudah terkontaminasi saja yang menyimpan plasmodium. Hal ini sesuai pendapat Kusmintarsih (1999) bahwa nyamuk dewasa yang sudah menghisap darah penderita malaria akan bertindak sebagai agen penyebar penyakit malaria karena dalam air liurnya menjadi terkontaminasi dengan plasmodium, sedangkan individu yang tidak menghisap penderita masih tetap steril. Namun demikian faktor kelimpahan nyamuk ini perlu diwaspadai, sebab setiap saat siap menghisap darah penderita yang menjadikan namuk menjadi terkontaminasi. Faktor sosial perilaku penduduk menonton TV bersama atau mengobrol bersama teman di luar rumah waktu malam hari dan tidur tanpa kelambu/lotion anti nyamuk merupakan perilaku paling banyak dilakukan penduduk kampung laut namun demikian faktor ini tidak berkorelasi nyata dengan jumlah penderita malaria hal ini diduga disebabkan adanya pola penyebaran nyamuk yang mengelompok, dengan demikian tidak semua grumbul terdapat populasi nyamuk terkontaminasi, sehingga meskipun penduduk mempunyai perilaku yang demikian, tetap saja faktor ini tidak berkorelasi nyata. Namun demikian perilaku sosial ini sangat rawan penularan penyakit. Sebaliknya faktor yang tidak pernah diduga sebelumnya adalah jarak hutan. Jarak dari hutan dari penelitian ini

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 535

menunjukkan korelasi yang nyata, hal ini diduga bahwa hutan merupakan habitat yang sesuai bagi perlindungan diri dan perkembangan nyamuk penyebab A.sundaicus ini. Dengan jarak yang sangat terjangkau, nyamuk dewasa dapat pulang dan pergi setiap saat tanpa harus mengarungi laut Segara Anakan untuk mencapai Grumbul Klaces Desa Kedungalang. Hutan yang dimaksud adalah hutan di Nusakambangan yang masih sangat lebat.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: 1.Jenis Nyamuk yang bertindak sebagai vektor penyebar penyakit malaria di Kawasan Kampung Laut adalah A. sundaicus. 2.Area perindukan dan peristirahatan berada di dalam permukiman (kolam bekas buangan limbah babi yang dimanfaatkan sebagai tempat pembuangan sampah, kolam-kolam ikan yang tidak dimanfaatkan) dan dalam hutan (gua-gua air tawar). 3.Kebiasaan dan perilaku yang yang paling mendukung penyebaran adalah menonton tv bersama di rumah tetangga dan tidur tanpa kelambu/lotion anti nyamuk. Saran Saran yang dapat berikan adalah : 1.Petambak ikan di Kampunglaut Cilacap sebaiknya jangan menelantarkan tambaknya. 2.Penduduk Kampung laut sebaiknya mengurangi kebiasaan kumpul bersama di malam hari guna kepentingan apapun, dan membiasakan tidur menggunakan kelambu pengaman dan lotion anti nyamuk, karena kebiasaan ini potensial menyebarkan penyakit malaria dengan cepat. DAFTAR PUSTAKA Bernadus, B.2002 Manajemen Program Pemberantasan Penyakit Malaria di Puskesmas Kabupaten Sumba Barat. Universitas Gajah mada, Yogyakarta. Damar T, 2008. Mata Kuliah Pengendalian Vektor Nomenklatur, Klasifikasi dan Toxonomi Nyamuk, Pasca Sarjana Undip, Semarang. Departemen Kesehatan RI. 2001 Modul Manajemen Malaria, Gebrak Malaria. Direktorat Jenderal PPM-PL Depkes RI Jakarta Departemen Kesehatan RI. 2003 Pedoman Ekologi dan Aspek Perilaku Vektor, Direktorat Jenderal PPM-PL, Depkes RI Jakarta. Departemen Kesehatan RI .2006. Epidemiologi Malaria, Direktorat Jenderal PPM-PL, Depkes RI, Jakarta.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 536

Harijanto, P. N. 2000. Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis, dan Penanganan EGC. Jakarta. Harmendo, 2008. Faktor Resiko Kejadian Malaria di Wilayah Kerja Puskesmas Kenanga Kecamatan Sungailiat Kabupaten Bangka. Tesis S2 Magister Lingkungan Universitas Diponegoro, Semarang. Husin, H.2007. Analisis Faktor Faktor Resiko Kejadian Malaria di Puskesmas Sukamerindu Kecamatan Sungaiserut Kota Bengkulu Propinsi Bengkulu. Tesis S2 Magister Lingkungan Universitas Diponegoro, Semarang. Kusmintarsih E, Hery Pratiknyo, Edi Riwidiharso, Retno Widiastuti, 1999. Epidemiologi Malaria di Kampunglaut Cilacap. Laporan Hasil Penelitian, Lembaga Penelitian Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Kusumawati. 2008. Studi Efikasi Kelambu Olyset di Kabupaten Bangka, Bagian Parasitologi dan Entomologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Kuswantoro,2010.Awas Malaria Kembali Jangkit di Cicacap. Http:///www.antarajateng.com/detail/index php?id.283328. Nurjazuli. 2002. Manajemen Pengendalian Vektor. Badan Pendidikan dan Pelatihan Pemerintahan Provinsi Jawa Tengah, Semarang. Mardihusodo, J. S, dkk. , 2004 Differensiasi Spesies Sibling Anopheles farautiLaveran 1902 Vektor Malaria Di Jayapura Dengan Scrutiny Morphometry Vena Sayap.Sains Kesehatan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Masra Ferizal, 2002. Hubungan Tempat Perindukan Nyamuk dengan Kejadian Malaria di Kecamatan Teluk Betung Barat Kota Bandar Lampung, Thesis Program Pasca Sarjana, FKM-UI Depok. Pratjojo H, 2001. Studi faktor internal dan eksternal sebagai bahan penyusunan renstra Gebrak Malaria di Kampung Laut Kabupatem Cilacap. Raharjo, M. 2003. Studi Karakteristik Wilayah Sebagai Determinan Penyebaran Malaria di Lereng Barat dan Timur Pegunungan Muria Jawa Tengah, Tesis Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Rumbiak, H. 2007. Analisis Manajemen Lingkungan terhadap Kejadian Malaria Di Kecamatan Biak Timur Kabupaten Biak Numfor Papua. Tesis S2 Magister Lingkungan Universitas Diponegoro, Semarang. Raharjo, M. 2003. Studi Klimatografi Perubahan Cuaca dan Kebangkitan Malaria di Kabupaten Banjanegara Dalam Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia. Penerbit Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro, Semarang.

Notulensi Diskusi Seminar Tanya : Jawab :

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 537

OFTBM-03 Pengaruh Pupuk Organik Terhadap Serangan Hama Putih Palsu (Cnaphalocrosis medinalis Guenee) pada Tanaman Padi Amrizal Nazar1, Soraya1, dan Solamer PM1 1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung Email : [email protected]

ABSTRAK Provinsi Lampung telah dicanangkan sebagai Bumi Agribisnis dengan komoditas unggulan padi. Rata-rata produktivitas padi di Lampung masih rendah yaitu 4,3 ton/ha dan cenderung melandai. Penyebab rendahnya produksi padi adalah adanya hama dan penyakit. Salah satu hama yang sering menyerang tanaman padi yaitu hama putih palsu (Cnaphalocrosis medinalis Guenee). Usaha penanggulangan hama ini telah banyak dilakukan baik secara kimia maupun hayati, namun serangan hama tersebut masih di jumpai pada tanaman padi. Pengkajian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pupuk organik terhadap serangan hama putih palsu pada tanaman padi varietas Mekongga. Pengkajian ini dilaksanakan di Desa Padang Manis, Kecamatan Way Lima, Kabupaten Tanggamus sejak bulan Mei sampai Agustus 2009. Pengkajian dilaksanakan dengan menggunakan rancangan acak kelompok terdiri atas 3 perlakuan dengan 5 ulangan Perlakuan yang dikaji adalah (1) 100% NPK + 0% BO), (2) 50% B.O + 50% NPK (3) 100% B-O + 0% NPK. Pengamatan dilakukan terhadap persentase serangan Cnaphalocrosis medinalis Guenee, Hasil pengkajian menunjukkan bahwa serangan Cnaphalocrosis medinalis Guenee, tertinggi ditemukan pada perlakuan 100% BO + 0% NPK (17.21%), Sedangkan.serangan terendah ditemukan pada perlakuan 100% NPK+0% BO (10.36%). Berdasarkan tingkat serangan Cnaphalocrosis medinalis Guenee tersebut maka tanaman padi yang diperlakukan dengan 100% NPK+0% BO, toleran terhadap hama perusak daun, memberikan hasil sebesar 6.3 t/ha, ternyata produksi tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan dua perlakuan lainya. Kata kunci: serangan, varietas, padi, Cnaphalocrosis medinalis Guenee

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 538

PENDAHULUAN Provinsi Lampung telah dicanangkan sebagai Bumi Agribisnis dengan komoditas unggulannya adalah padi. Rata-rata produktivitas padi masih rendah yaitu 4,3 ton/ha dan cenderung melandai. Salah satu penyebab rendahnya produksi padi adalah akibat adanya serangan hama dan penyakit. Hama putih palsu (Cnaphalocrosis medinalis Guenee) merupakan salah satu hama perusak daun yang dapat menimbulkan kerugian pada tanaman padi. Gejala serangan hama tersebut terlihat dengan adanya warna putih pada daun tanaman padi. Larva memakan jaringan hijau daun dari dalam lipatan daun, sehingga permukaan daun menjadi berwarna putih. Serangan hama dan penyakit pada tanaman padi di Aceh sangat tinggi, serangan yang paling dahsyat disebabkan oleh tikus 6.959 ha, diikuti oleh hama putih palsu 4.125 ha, keong mas = 2.804 ha, walang sangit = 2.859 ha, penggerek batang = 2.434 ha, kepiding tanah = 1.906 ha dan burung = 1.459 ha. (http://serambinew.com/news/2696/ serangan-hama-di Aceh). Sedangkan di daerah Kabupaten Gorontalo serangan hama putih palsu mencapai = 104.95 ha dari total luas 6.336 Kerusakan tanaman oleh hama dapat mencapai lebih dari 50%, tetapi belum pernah ada dalam sejarah bahwa suatu spesies tanaman musnah dari alam, yang disebabkan oleh hama. Hal ini menggambarkan bahwa secara alamiah tanaman mempunyai sistem perlindungan terhadap serangan sehingga menjadi tahan. Suatu varietas disebut tahan apabila : (1) memiliki sifat-sifat yang memungkinkan tanaman itu menghindar, atau pulih kembali dari serangan hama pada keadaan yang akan mengakibatkan kerusakan pada varietas lain yang tidak tahan, (2) memiliki sifat-sifat genetik yang dapat mengurangi tingkat kerusakan yang disebabkan oleh serangan hama, (3) memiliki sekumpulan sifat yang dapat diwariskan, yang dapat mengurangi kemungkinan hama untuk menggunakan tanaman tersebut sebagai inang, atau (4) mampu menghasilkan produk yang lebih banyak dan lebih baik dibandingkan dengan varietas lain pada tingkat populasi hama yang sama (Sumarno, 1992). Pertanaman padi di Aceh Timur mengalami gagal panen (puso), seluas 2644 ha dari total luas 241.416 ha, .akibat serangan hama dan bencana alam yang terjadi di wilayah tersebut, dengan rincian sebagai berikut: 2.265 ha akibat kekeringan, sisanya 296 ha akibat banjir, 83 ha serangan hama putih. (http:// www.waspada.co.id.)

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 539

Mekanisme pertahanan varietas terhadap hama, secara umum dapat digolongkan menjadi 3 macam (Panda dan Kush, 1995; Anonim, 2007) yaitu: (1) antixenosi (nonpreference), (2) toleran, dan (3) antibiosis. Sedangkan menurut Morrill (1995), ketahanan tanaman terhadap hama dapat berupa : (1) avoidance (tanaman menyelesaikan siklus hidupnya sebelum munculnya hama), (2) tolerance (tanaman mampu recovery dari serangan hama), (3) antibiosis (tanaman menghasilkan toksin yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan hama). Ketahanan tanaman inang, dapat bersifat : (1) genetik, sifat tahan diatur oleh sifat genetik yang dapat diwariskan, (2) morfologik, sifat tahan yang disebabkan oleh sifat morfologi tanaman yang tidak menguntungkan hama, dan (3) kimiawi, ketahanan yang disebabkan oleh zat kimia yang dihasilkan oleh tanaman. Berdasarkan susunan dan sifat gen, ketahanan genetik dapat dibedakan menjadi : (1) monogenik, sifat tahan diatur oleh satu gen dominan atau resesif, (2) oligenonik, sifat tahan diatur oleh beberapa gen yang saling menguatkan satu sama lain, (3) polygenik, sifat tahan diatur oleh banyak gen yang saling menambah dan masing-masing gen memberikan reaksi yang berbeda-beda terhadap biotipe hama sehingga mengakibatkan timbulnya ketahanan yang luas. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengendalikan hama tersebut, baik secara kimia dan hayati, namun masih ditemukan adanya serangan pada tanaman padi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pupuk organik berbahan baku lokal terhadap serangan hama putih palsu (Cnaphalocrosis medinalis Guenee), pada tanaman padi

BAHAN DAN METODA Pengkajian ini dilakukan dengan pendekatan peningkatan produksi komoditas dan efisiensi penggunaan input khususnya pupuk dalam proses produksi padi melalui upaya pemanfaatan sumberdaya lokal berupa limbah pertanian berbasis komoditas. Proses pencapaiannya melalui produksi dan pengelolaan pupuk organik berbahan baku lokal dengan mengoptimalkan sumberdaya lokal di lapangan sesuai dengan basis komoditas yang dikembangkan. Produksi pupuk organik dari bahan baku yang tersedia di lokasi dilakukan dengan menggunakan teknologi pengomposan dipercepat dan dimanfaatkan sebagai sumber hara/pupuk yang peranannya menggantikan sebagian kebutuhan hara dari pupuk anorganik yang dirasakan petani semakin mahal dan langka ketersediaannya.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 540

Rancangan yang digunakan adalah Rancangan acak kelompok terdiri atas 3 perlakuan dengan 5 ulangan dengan perlakuan adalah : (1) 100% B-O + 0% NPK (2) 50% B.O + 50% NPK (3) 0% B.O + 100% NPK. Penelitian dilakukan di lahan petani Desa Bandar kejadian, Kecamatan Wonosobo, Kabupaten Tanggamus sejak bulan Agustus sampai Nopember 2010. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok, tiga ulangan. Luas plot perlakuan 2000 m2. Total luas perlakuan seluruhnya = 1 ha. Data yang dikumpulkan dianalisis sidik ragam dan dilanjutkan dengan DMNRT untuk membedakan galur-galur yang diuji. Variabel pengamatan dilakukan terhadap persentase serangan C. medinalis Guenee

Persentase serangan hama dihitung dengan rumus : I = Jumlah tanaman terserang bulai X 100% Populasi tanaman

HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa, varietas Mekongga dengan pemberian 100% BO+0% NPK, menunjukkan serangan tertinggi (17.21%), dibandingkan kedua perlakuan lainya. Kemudian diikuti perlakuan pemberian 50% NPK+50% BO (15.77%), terendah perlakuan pemberian 100% NPK+0% BO (10.36%). Berarti pemberian 100% NPK+O% BO mampu meningkatkan ketahanan tanaman padi terhadap serangan hama perusak daun (C. medinalis Guenee). Perlakuan 100% B0+0% NPK tidak berbeda nyata dengan perlakuan 50% NPK+50% B0, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan 100% NPK+0% B0, sedangkan perlakuan 100% NPK+0% B0, tidak berbeda nyata dengan perlakuan 50% NPK+50% B0.

Tabel 1. Tingkat serangan hama putih palsu dan produksi pada tanaman padi.

No Perlakuan Hama putih palsu (%) Produksi (t/ha) 1 100% NPK+0% B0 10.36 b 6.3 a 2 50% NPK+50% B0 15.77 ab 5.5 ab 3 100% B0+0% NPK 17.21 a 4.0 c KK (%) 29.72 17.50 Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak bebeda nyata pada taraf 5% menurut uji DMRT.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 541

Pada perlakuan 100% NPK+0% BO, menunjukkan sifat ketahanan yang tinggi dengan persentase serangan ulat perusak daun paling rendah. Hal ini kemungkinan perlakuan 100% NPK, mempertebal jaringan daun, sehingga membuat tanaman padi tergolong toleran/ rentan terhadap serangan hama perusak daun tanaman padi yang disebabkan oleh C. medinalis Gueene. Berarti serangan C. medinalis Gueene, berpengaruh dalam menentukan hasil, ternyata hasil bijinya juga tergolong tinggi. Produksi tertinggi terlihat pada perlakuan 100% NPK+0% B0 (6.3 t/ha), kemudian diikuti oleh perlakuan 50% NPK+50% B0 (5.5 t/ha). Kedua perlakuan tersebut tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan 100% BO+0% NPK. Produksi terendah adalah perlakuan 100% B0+0% NPK (4.0 t/ha).

KESIMPULAN DAN SARAN. KESIMPULAN Varietas Mekongga dengan pemberian 100% NPK+0% BO, mampu meningkatkan ketahanan terhadap serangan hama putih palsu. SARAN Varietas Mekongga dengan pemberian 100% NPK+0% BO, dapat disaran untuk digunakan

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2007. Resistensi Tanaman. Bahan Kuliah Interaksi Tanaman Serangga Semester I, 2007/2008. Sekolah Pasca Sarjana IPB. 9 hal. (http:// www.waspada.co.id.). Diakses tanggal 15 Nopember 2010. (http://serambinew.com/news/2696/ serangan-hama-di Aceh). Diakses tanggal 15 Nopember 2010 Morrill, W.L., 1995. Insect pests of small grains. APS Press. St. Paul, Mineasota.Painter, R.H. 1951. Panda N. dan G.S. Kush, 1995. Host Plant Resistance to Insects. Cabinternational- IRRI. Los- Banos, Philippines. Sumarno, 1992. Pemuliaan untuk ketahanan terhadap hama. Prosiding symposium Pemuliaan Tanaman I. Perhimpunan Pemuliaan Tanaman Indonesia, Komisariat Daerah Jawa Timur.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 542

Notulensi Diskusi Seminar Fani – HPT UNPAD : Pengaruh langsung/tidak langsung? Taksisitas tanaman? Jawab : Dari pupuk organic pengaruhnya sangat sedikit sekali. Dari 3 perlakuan tadi dengan + NPK adalah yang paling baik karena dapat mempertebal jaringan padi. Yuliati : Pada 3 kontrol mana yang paling efektif? Jawab : S. J. Londonuwa : Kira-kira bahan organic apa? Dan mengapa yang 100% organic justru yang kurang baik? Jawab : Yang paling efektif berdasarkan 100% NPK tanpa pupuk organic yang paling baik. Mungkin dikarenakan takaran pupuk organic yang terlalu sedikit sehingga kebutuhan tanaman kurang terpenuhi. S. Asikin : Bagaimana jika abu sekam + pupuk organic? Jawab : Terimakasih untuk masukkannya, nanti akan ditambahkan. Tanya : 100% bahan organic + NPK? Jawab : Serangannya tinggi produksi rendah.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 543

OFTBM-04 Pengaruh Pupuk Organik Terhadap Serangan Ulat Perusak Daun (Spodoptera litura F) pada Tanaman Kedelai. Amrizal Nazar1 1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung Email : [email protected]

ABSTRAK Di Lampung kedelai merupakan salah satu komoditas unggulan tanaman pangan. Produktivitas tanaman kedelai masih relatif rendah, 0.95 t/ha jauh dibawah potensi genetiknya yaitu 2-3 ton/ha. Serangan hama dan penyakit merupakan salah satu penyebab rendahnya produktivitas tersebut. Salah satu hama yang sering menyerang tanaman kedelai yaitu ulat grayak (Spodoptera litura F). Usaha penanggulangan hama ini telah banyak dilakukan baik secara kimia maupun hayati, namun serangan hama tersebut masih di jumpai pada tanaman kedelai. Pengkajian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pupuk organik terhadap serangan S. litura F, pada tanaman kedelai. Pengkajian ini dilakukan di Desa Dharma Agung, Kecamatan Seputih Mataram, Kabupaten Lampung Tengah sejak bulan April sampai Juli 2010. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan acak kelompok tiga ulangan, dengan perlakuan sebagai berikut: (1) 100% NPK + 0% BO), (2) 50% B.O + 50% NPK (3) 100% B-O + 0% NPK. Pengamatan dilakukan terhadap persentase serangan S. litura F, Hasil pengkajian menunjukkan bahwa serangan S. litura F, tertinggi ditemukan pada perlakuan 100% BO + 0%NPK (32.40%), serangan terendah ditemukan pada perlakuan 100% NPK+0% BO (22.60%). Berdasarkan tingkat serangan S.litura F tersebut maka tanaman kedelai yang diperlakukan dengan 100% NPK+0% BO, toleran terhadap hama perusak daun, memberikan hasil sebesar 2.31 t/ha, ternyata produksi tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan dua perlakuan lainya. Kata kunci : serangan, genotipe, kedelai, Spodoptera litura F

ABSTRACT In Lampung, soybean is one of the leading commodity food crops. Productivity of soybean plants in Lampung was still relatively low, 0.95 t / ha. Productivity is far below the genetic potential of 2-3 tons / ha. The presence of pests and diseases is one of the causes of low productivity. One pest that often infects soybean plants namely armyworm (Spodoptera litura F). This pest control business has been done either chemically or biologically, but the pest is still in the encounter on soybean plants. The assessment aims to determine the effect of organic fertilizer by attack S. F litura, on soybean plants. The research was conducted in the Village of the DharmaAgung, District Seputih Mataram, Central Lampung District, from April to July 2010. The design used was randomized block design of three replications, with treatments as follows: (1) 100% NPK + 0% BO), (2) 50% BO + 50% NPK (3) 100% BO + 0% NPK. Observations were carried out against an attack percentage of S. Litura F, The assessment indicated that the attack S. Litura F, the highest found in the treatment of 100% BO + 0% NPK (32.40%), the lowest was found in 100% NPK treatment +0% BO (22.60%). Based on the level of S.litura Fthat attack soybean plants treated with 100% NPK +0% BO, tolerant to damaging pest of leaves, giving yield was 2.31 t / ha, production was higher than the other two treatments. Keywords: attack, genotype, soybean, Spodoptera litura F,

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 544

PENDAHULUAN Pada tahun 2010, Pemda Lampung menargetkan pertumbuhan produksi kedelai sebesar 220,46%. Hal tersebut dilakukan dalam rangka peningkatan produksi kedelai, guna untuk mengurangi import kedelai dari luar, sehingga kebutuhan kedelai dapat terpenuhi. Salah satu penyebab rendahnya produksi kedelai adalah akibat adanya serangan hama dan penyakit. Hama yang tidak kalah pentingnya menyerang tanaman kedelai yaitu ulat grayak (Spodoptera litura F.). Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengendalikan hama tersebut, baik secara kimia dan hayati, namun masih ditemukan adanya serangan pada tanaman kedelai, cara pengendalian secara hayati dengan menggunakan SINPV dan cendawan Beuveria bassiana. Selain itu dapat juga digunakan insektisida jenis huldog, sumo, lavin dan dimasit. (http/www tribun kaltim co.id read/artikel/30822). Serangan berat terjadi pada musim kemarau, menyebabkan defoliasi berat pada daun. Tanaman inang selain kedelai adalah tanaman cabai, kubis dan padi. Hasil pengkajian dari empat varietas padi umur genjah yaitu: Inpari-1, Celebes, Situ Patenggang dan Conde, menunjukkan bahwa serangan S. litura, terendah ditemukan pada perlakuan varietas Impari-1, (18.37%), dengan produktivitas sebesar 5,50 t/ ha. Sedangkan serangan tertinggi ditemukan pada varietas Situpatenggang (54.75%) dengan produktivitas sebesar 3,75 t/ ha (Nazar A dkk., 2010). Hasil pengkajian 10 galur harapan kedelai: U-505-1-1, U-805-1-1, V-92-1-2, V-129- 1-2, V-284-2-2, V-426-1-2, V-421-1-2, V-933-2-2, termasuk dua varietas pembanding yaitu Anjasmoro dan Grobogan, menunjukkan bahwa galur harapan V-421-1-2, toleran terhadap serangan hama perusak daun S. litura (Nazar A, 2010). Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pupuk organik berbahan baku lokal terhadap serangan S. litura, pada tanaman kedelai.

BAHAN DAN METODA Pengkajian ini dilakukan dengan pendekatan peningkatan produksi komoditas dan efisiensi penggunaan input khususnya pupuk dalam proses produksi kedelai melalui upaya pemanfaatan sumberdaya lokal berupa limbah pertanian berbasis komoditas. Proses pencapaiannya melalui produksi dan pengelolaan pupuk organik berbahan baku lokal dengan mengoptimalkan sumberdaya lokal di lapangan sesuai dengan basis komoditas yang

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 545 dikembangkan. Produksi pupuk organik dari bahan baku yang tersedia di lokasi dilakukan dengan menggunakan teknologi pengomposan dipercepat dan dimanfaatkan sebagai sumber hara/pupuk yang peranannya menggantikan sebagian kebutuhan hara dari pupuk anorganik yang dirasakan petani semakin mahal dan langka ketersediaannya. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan sederhana dengan perlakuan adalah: (1) 100% B-O + 0% NPK (2) 50% B.O + 50% NPK (3) 0% B.O + 100% NPK. Penelitian dilakukan di lahan petani Desa Dharma Agung, Kecamatan Seputih Mataram, Kabupaten Lampung tengah sejak bulan April sampai Agustus 2010. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok, tiga ulangan. Luas plot perlakuan 2000 m2. Total luas perlakuan seluruhnya = 1 ha. Data yang dikumpulkan dianalisis sidik ragam dan dilanjutkan dengan DMNRT untuk membedakan galur-galur yang diuji. Variabel pengamatan dilakukan terhadap persentase serangan S. litura. Persentase serangan hama dihitung dengan rumus : I = Jumlah tanaman terserang bulai X 100% Populasi tanaman

HASIL DAN PEMBAHASAN Rataan serangan hama S. litura (perusak daun tanaman kedelai), umur 30 hari setelah tanam (Tabel 1). Dari hasil pengamatan, menunjukkan bahwa serangan ulat grayak tertinggi ditemukan pada perlakuan 100% BO + 0% NPK, (32.40 %), kemudian diikuti perlakuan 50% NPK + 50 % BO, (28.00 %), terendah perlakuan 100% NPK (22.60%). ketiga perlakuan tersebut memperlihatkan perbedaan yang nyata. Pada perlakuan 100% + O% BO, menunjukkan sifat ketahanan yang tinggi dengan persentase serangan ulat perusak daun paling rendah. Hal ini kemungkinan perlakuan 100% NPK + O% BO, mempertebal jaringan daun sehingga membuat tanaman kedelai toleran/ rentan terhadap serangan ulat perusak daun kedelai yang disebabkan oleh S. litura. Berarti serangan S. litura, berpengaruh dalam menentukan hasil, ternyata hasil bijinya juga tergolong tinggi. Produksi tertinggi terlihat pada perlakuan 100% NPK + 0% B0 (1.85 t/ha), kemudian diikuti oleh perlakuan 50% NPK + 50% B0 (1.71 t/ha) dan terendah adalah perlakuan 100% B0 + 0% NPK (1.62 t/ha). Ketiga perlakuan tersebut memperlihatkan perbedaan yang nyata.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 546

Tabel 1. Tingkat serangan ulat grayak dan produksi tanaman kedelai. No Perlakuan Ulat Grayak (%) Produksi (t/ha) 1 100% B0+0% NPK 32.40 a 1.62 c 2 50% NPK+50% B0 28.00 b 1.71 b 3 100% NPK+0% B0 22.60 c 1.85 a KK (%) 7.84 3.17 Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak bebeda nyata pada taraf 5% menurut uji DMRT.

Selain itu variasi kerusakan tersebut diduga erat kaitannya dengan distribusi kandungan bahan kimia pengenal nutrisi yang sesuai untuk kelangsungan hidup generasi S. litura. Hal ini disebabkan karena serangga pada umumnya memakan bagian tanaman yang mengandung nutrisi yang sesuai dengan kelangsungan hidup generasi (Zwolfer & Haris 1971, Thorsteinton 1960). Perbedaan jumlah yang dimakan pada setiap perlakuan diduga karena adanya variasi kandungan bahan kimia penolak, pada tiap varietas. Menurut Hoo dan Frangkel (1965), jenis tanaman yang dekat hubungan toxonominya pada umumnya mengandung bahan kimia penolak yang sama, sedangkan menurut Mahyudin (1969) jumlahnya bervariasi pada masing-masing taxon.

KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN.  Perlakuan 100% NPK + 0% BO membuat tanaman kedelai, toleran terhadap serangan hama perusak daun (Spodoptera litura F). SARAN  Perlakuan 100% NPK + 0% BO, dapat disarankan untuk dikaji lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA BPS, 200. Laporan Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung. Murni, A.M., Y. Barus., Kiswanto., Slameto., D. Suherlan., A. Sopandi, dan Sunaryo. 2006. Agronomic survey for maize in Lampung Data. Nazar, A., Kiswanto., A. Irawati., Endriyani dan Walyono. 2006. Pengkajian sistem usaha tani kedelai di lahan sawah. Laporan hasil pengkajian BPTP Lampung. 2006. Nazar A, Kiswanto, Arfi Irawati, Endryani dan Walyono 2004. Pengkajian sistem usaha tani kedelai di lahan sawah. Laporan hasil pengkajian BPTP Lampung. 2004. Nazar A dan Ratna Wilis, 2010. Kajian tingkat serangan ulat perusak daun (Spodoptera litura F) pada beberapa varietas padi umur genjah. http/www tribun kaltim co.id read/artikel/30822)

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 547

Notulensi Diskusi Seminar Dedin : - Minimal ukuran 5 perlakuan 5 berdasar statistic. - Betulkah 100% npk jadi lebih tahan tanpa bahan organic? - Mekanisme yang terjadi? Jawab : - Ubi kayu sangat menjatuhkan tanaman kedelai. - Untuk penambahan ulangan menemui kendala. Seperti curah hujan tinggi sehingga petani enggan menggarap. - Kombinasi peningkatan bahan organic sangat diharapkan. Tetapi dosis yang digunakan masih jauh. - Perlu meningkatkan takaran dari pupuk organic. - Unsur K dapat mempertebal unsur tanaman sehingga meminimalisir kerusakan oleh hama. - Jangan meninggalkan bahan organic, karena dapat memperbaiki stuktur tanah. Wiwin : 50 kg urea + 36 sp36 Jawab : Diharapkan bahan organic lebih ditingkatkan dan mengurangi bahan anorganik. Tanya : Adakah perlakuan dan pengendalian terhadap hama? Dengan kimia. Jawab : - Kita pantau dengan pengendalian kimia yang sama. - Sifatnya tidak preventif. - Insektisida turut dicernakan.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 548

OFTBM-05 Produksi Helicoverpa armigera Nuclear Polyhedrosis Virus pada Kelompok S. Litura sebagai Inang Pengganti

Mia Miranti1, Ratu Safitri1, dan Melanie1 1 Jurusan Biologi, FMIPA- Universitas Padjadjaran Jl. Raya Bandung Sumedang Km 21 Jatinagor-Sumedang

ABSTRAK Spodoptera litura ideal untuk digunakan sebagai inang pengganti pada produksi Helicoverpa armigera Nuclear Polyhedrosis Virus. Hal ini karena ukuran tubuh larva S. litura lebih besar daripada ukuran tubuh larva H. armigera dan larva S. litura lebih mudah dipelihara secara berkelompok, hingga penyebaran virus akan lebih cepat tersebar antar individu larva. Pada penelitian ini dilakukan produksi HaNPV pada larva S. litura instar empat yang dikelompokan sebanyak 10 ekor, 20 ekor, 30 ekor, 40 ekor, 50 ekor dan 60 ekor. Kelompok larva S. litura diinfeksi virus secara oral dengan cara memberi pakan campuran 1 ml suspensi HaNPV dengan konsentrasi 4 X 105 polihedra/ml yang ditambahkan pada 30 gram pipilan jagung manis. Selanjutnya, HaNPV dipanen pada hari ke tiga setelah larva diinfeksi. Semua polihedra virus dari kadaver larva dalam satu kelompok dihitung, setelah sediaan virus dimurnikan menggunakan metode Indrayani (1993) yang telah dimodifikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa S. litura yang dipelihara secara berkelompok 10 larva akan menghasilkan produksi virus tertinggi yaitu sebesar 0,18 X 108 Polihedra/ ekor. Akan tetapi, produksi virus akan menurun seiring dengan semakin banyak jumlah larva dalam satu kelompok perlakuan. Produksi HaNPV pada larva S. litura juga ternyata lebih rendah daripada produksi virus pada larva H. armigera yaitu sebesar 0,84 X108 Polihedra/ekor. Kata Kunci : Helicoverpa armigera Nuclear Polyhedrosis Virus (HaNPV), Helicoverpa armigera, Spodoptera litura, Polihedra

Notulensi Diskusi Seminar Unand : Apakah virus yang kita temukan di lapangan dapatkan kita bedakan antara Spodoptera dengan Helicoperva? Jawab : Yang dicari sebenarnya tanaman inangnya, jadi apakah bisa menyerang inang lain itu dasarnya.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 549

OFTBM-06 Infeksi Helicoverpa armigera Nuclear Polyhedrosis Virus (HaNPV) Secara Transmisi Vertikal pada Telur Spodoptera litura Yasmi Purnamasari Kuntata1, Asti Rahmiati1, dan Mia Miranti Rustama1 1 Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran Email : [email protected]

ABSTRAK Telah dilakukan penelitian mengenai infeksi Helicoverpa armigera Nuclear Polyhedrosis Virus (HaNPV) secara transmisi vertikal pada telur Spodoptera litura. Penelitian ini bertujuan untuk menetahui adanya transmisi vertikal HaNPV secara transovarial pada telur S. litura sebagai inang pengganti. Metode yang digunakan adalah eksperimental dengan 4 taraf perlakuan yang meliputi perkawinan imago S. litura Jantan Sehat (JS) X Betina Sehat (BS) (p0), Jantan Sehat (JS) X Betina Terinfeksi (BT) (p1), Jantan terinfeksi (JT) X Betina Sehat (BS) (p2) dan Jantan Terinfeksi (JT) X Betina Terinfeksi (BT) (p3). Sediaan HaNPV diberikan secara oral dengan konsentrasi subletal 4 X 102 polihedra/ml. Parameter yang diamati adalah morfometri telur meliputi jumlah dan luas koloni telur serta keberadaan polihedra pada apusan telur melalui pewarnaan Giemsa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah telur yang signifikan dari pasangan imago terinfeksi atau salah satu terinfeksi hingga 69-79% dibandingkan dengan jumlah telur yang dihasilkan dari pasangan imago sehat (P < 0,05). Demikian pula dengan luas koloni telur berbeda nyata. Luas koloni telur dari pasangan imago p1, p2 dan 2 p3 adalah 0,378, 0,4067 dan 0,2450 cm sedangkan luas koloni telur dari pasangan imago sehat adalah 0,5783 2 cm (P < 0,05). Hasil apusan telur dari pasangan imago p1, p2 dan p3 memperlihatkan adanya polihedra. Dengan demikian adanya telur atau larva yang terinfeksi HaNPV menunjukkan bahwa virus ini dapat berperan sebagai agen mortalitas bagi serangga hama secara alami (natural control). Kata kunci : Helicoverpa armigera Nuclear Polyhedrosis Virus (HaNPV), polihedra, transmisi vertikal, Spodoptera litura, telur

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 550

PENDAHULUAN Penggunaan insektisida sintetik menimbulkan dampak yang merugikan terhadap lingkungan seperti menimbulkan resistensi, membunuh serangga non target dan menghasilkan residu pada produk pertanian. Salah satu cara yang lebih ramah bagi lingkungan adalah dengan menggunakan agensia biologis seperti parasitoid atau virus. Diketahui Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV) dari ordo Baculovirus merupakan virus yang dapat menginfeksi larva serangga dari ordo Lepidoptera, Diptera dan Coleoptera sehingga virus ini berpotensi besar untuk dapat digunakan sebagai agensia biologis.Secara spesifik, NPV yang menyerang larva serangga Helicoverpa armigera adalah Helicoverpa armigera Nuclear Polyhedrosis Virus (HaNPV). Larva serangga ini merupakan salah satu hama yang paling dominan menyerang tanaman pertanian. Produksi virus serangga untuk digunakan secara komersial sebagai agensia hayati dapat dilakukan melalui metode in vivo yaitu menggunakan inang alami sebagai media perbanyakan virus. Hingga saat ini, metode tersebut masih merupakan cara produksi yang paling ekonomis akan tetapi, produksi HaNPV melalui metode ini sulit diterapkan. Hal tersebut karena larva H. armigera sebagai inang tidak dapat dipelihara secara berkelompok.Larva ini bersifat kanibal, dan berukuran kecil sehingga produksi virus kurang maksimal.Pemeliharaan larva secara individual dapat meningkatkan biaya produksi dan tenaga kerja.Diketahui larva S. litura dapat digunakan sebagai inang pengganti.Hal tersebut karena Polyhera Inclusion Body (PIB) dapat terbentuk sempurna dalam tubuh larva terbut.Larva ini juga berukuran besar dan tidak bersifat kanibal. Menurut Miranti (2008) produksi polihedra virus tertinggi terjadi pada larva instar empat. Aplikasi NPV dalam skala besar (Perkebunan sayur) ternyata tidak menyebabkan kematian larva seluruhnya. Terdapat larva yang lolos hidup. Menurut Indrayani dkk.(2003) larva S. litura yang lolos hidup dari infeksi Spodoptera litura Nuclear Polyhedrosis Virus (SlNPV) ternyata mampu bertahan hidup hingga menjadi imago. Hal tersebut terjadi melalui mekanisme resistensi fisiologis seperti pengeluaran virus secara detoksifikasi, insensitivitas larva target, laju penetrasi virus yang lebih lambat dalam larva target atau virus dikeluarkan melalui feces (Hadiyani, 2005). Rothman dan Myers (1996) menunjukkan bahwa ukuran pupa dari larva terinfeksi lebih kecil dibandingkan dengan pupa normal dengan fekunditas imago yang lebih rendah.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 551

Khurad dkk. (2004) menemukan bahwa NPV dapat ditransmisikan pada generasi berikutnya melalui mekanisme transmisi vertikal secara transovarial pada waktu oogenesis. Indrayani dkk. (2003) menemukan sebanyak 16,3% telur S. litura telah terinfeksi oleh SlNPV secara transovarial dengan daya tetas telur yang lebih rendah dibandingkan dengan telur sehat. Produksi telur menurun dari 1.668 menjadi 855 butir. Transmisi vertikal mempengaruhi morfometri telur terutama pada jumlah dan warnanya. Jumlah telur terinfeksi yang dihasilkan lebih rendah dengan warna yang lebih gelap dibandingkan dengan telur sehat (Fuxa & Richter, 1993). Penelitian Goulson dan Cory (1995) pada Mamestra brassicae yang diinfeksi oleh suspense NPV konsentrasi subletal 1 X 103 polihedra/ml telah menyebabkan masa hidup imago betina terinfeksi lebih singkat sehingga jumlah telur yang dihasilkan menjadi lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah telur imago betina sehat. Adanya telur maupun larva yang terinfeksi NPV menunjukkan bahwa virus ini dapat berperan sebagai factor mortalitas serangga hama secara alami (natural control). Fenomena transmisi vertikal NPV pada generasi serangga hama berikutnya berpotensi untuk mengendalikan serangga hama secara langsung sehingga kepadatan populasi serangga hama dapat berkurang. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini dilakukan.

BAHAN DAN METODE Bahan yang digunakan adalah botol spesimen, pipilan jagung manis, larutan madu 10%, dan pewarna Giemsa.Hewan percobaan yang digunakan adalah larva H. armigera dan S. litura yang diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) Lembang. Selama percobaan kedua jenis larva dipelihara di laboratorium dalam pot zalp berukuran 75 g dengan pemberian pakan pipilan jagung manis. Serangga dewasa diberi pakan larutan madu 10%.Larva H. armigera dipelihara sebagai bahan sediaan virus HaNPV.Sediaan virus disiapkan dengan menggunakan metode Indrayani dkk. (1993) yang telah dimodifikasi. Peneltian ini menggunakan metode eksperimental dengan 4 taraf perlakuan yaitu perkawinan imago yang terdiri dari p0 : Jantan Sehat (JS) X Betina Sehat (BS) P1 : Jantan Sehat (JS) X Betina Terinfeksi (BT) P2 : Jantan Terinfeksi (JT) X Betina Sehat (BS) P3 : Jantan Terinfeksi (JT) X Betina Terinfeksi (BT) Sediaan HaNPV konsentrasi subletal sebesar 4 X 102 polihedra/ml diberikan secara oral .parameter yang diamati adalah morfometri telur meliputi jumlah dan luas koloni telur

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 552 serta keberadaan polihedra diamati melalui pembuatan preparat apusan segar telur menggunakan pewarnaan Giemsa. Data jumlah dan luas koloni telur dianalisis dengan Analisis Variance (ANAVA) dan keberadaan polihedra HaNPV dianalisis dengan t-test (Paired samples) sedangkan warna telur dan beludru dianalisis secara deskriptif. Uji Jarak Berganda Duncan dilakukan apabila hasil uji ANAVA menunjukkan perbedaan yang nyata.

HASIL DAN PEMBAHASAN Morfometri Telur S. litura Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat penurunan yang signifikan pada jumlah telur yang dihasilkan dalam satu koloni. Pasangan imago sehat (p0) menghasilkan 106-695 butir telur dalam satu koloni sedangkan pasangan imago terinfeksi menghasilkan 89-538 butir telur.Menurut Sastrosiswojo (1981) dan Natawigena (1998) rata-rata koloni telur S. litura berkisar antara 25-500 butir dengan jumlah telur mencapai 2000-3000 butir selama masa bertelur. Selengkapnya hasil uji Jarak Berganda Duncan dapat dilihat pada table 1.

Tabel 1. Jumlah Telur Imago S. litura pada Satu Koloni Perlakuan Jumlah Telur (butir) ± SE Signifikansi (α 5%) P0 1963,83 ± 50,125 a P1 643,50 ± 16,008 b P2 664,17 ± 5,828 b P3 416,50 ± 10,285 c Keterangan : p0 : control, p1: JS X BT, p2: JT X BS, p3: JT X BT JS/BS : Jantan/Betina Sehat; JT/BT: Jantan/Betina Terinfeksi

Pasangan imago p1, p2 dan p3 menghasilkan jumlah telur dalam satu koloni lebih sedikit dibandingkan dengan pasangan imago p0. Terjadi penurunan jumlah telur hingga 69- 79% dibandingkan dengan jumlah telur dari pasangan imago sehat. Pasangan imagop1 dan p2 menghasilkan jumlah telur dalam satu koloni yang tidak berbeda nyata. Pasangan imago p3 menghasilkan jumlah telur dalam satu koloni yang paling rendah. Terjadi penurunan hingga sebesar 21,21% dibandingkan dengan pasangan imago p0. Hal tersbut dapat dijelaskan karena sel gamet baik sperma dan ovum telah terinfeksi oleh HaNPV. Proses infeksi ini terjadi saat gametogenesis berlangsung. Infeksi HaNPV pada spermatogenesis dimulai ketika virion-virion HaNPV telah berhasil melewati membran peritrofik dan masuk dalam sel epitel kolumnar saluran midgut. Virion-virion ini bereplikasi

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 553 dalam inti sel epithel kolumnar.Lisisnya sel epitel kolumnar menyebabkan virion-virion aktif tersebar secara sporadis pada seluruh jaringan tubuh larva S. litura. Penelitian Salim (2010) menyatakan bahwa 8 jam setelah infeksi maka HaNPV akan tersebar secara sporadic hingga masuk dalam pembuluh darah larva. Proses spermatogenesis terjadi dalam tubulus testiscular dan berlangsung dimulai pada bagian ujung distal (anterior). Proses ini dipengaruhi oleh hormone ecdysteroid yang disintesis oleh kelenjar prothoraks dan testis dan masuk dalam sperma melalui pembuluh darah. Polihedra yang telah tersebar dalam pembuluh darah akan menghambat spermatogenesis dengan mengganggu sintesis dan kinerja hormone tersebut (Fievet dkk., 2006; Nijhout, 2003). Menurut Vilaplana dkk. (2008) infeksi virus akan menurunkan kuantitas dan kualitas sperma. Jumlah telur dalam satu koloni dari pasangan p2 memperlihatkan penurunan hingga 33,75% dibandingkan dengan pasangan imago p0. Transmisi virus terjadi saat kopulasi. Sperma yang terinfeksi mentransmisikan virus HaNPV dalam ovum yang sehat sehingga polihedra HaNPV akan menginfeksi ovum (Fuxa dkk., 2002). Berdasarkan hal tersebut maka imago jantan S. litura berperan dalam proses transmisi vertikal secara transovarial. Proses oogenesis terjadi dalam ovary yang terdiri atas ovariol-ovariol. Proses ini dipengaruhi oleh hormone juvenile dan egg development neurohormone (EDNH) yang dihasilkan oleh corpora alata. Hormon EDNH berperan dalam produksi telur dan proses vitelogenesis. Adanya HaNPV dalam pembuluh darah menyebabkan produksi telur menjadi terganggu sehingga jumlah telur mengalami penurunan. Hormon EDNH menstimulus sel folikel untuk menghasilkan hormone ecdysteroid yang berperan dalam vitelogenin bahan pembentuk membrane vitelin. Bahan tersebut berasal dari badan lemak. Kondisi badan lemak yang telah terinfeksi menyebabkan proses ini menjadi terhambat sehingga pembentukkan telur menjadi tidak sempurna (Borror dkk., 1996; Gilbert, 1997; Martinez dkk., 2007). Jumlah telur dalam satu koloni dari pasangan p1memperlihatkan penurunan hingga 31,79% dibandingkan dengan pasangan p0. Berdasarkan hasil uji jarak berganda Duncan menunjukkan bahwa jumlah telur dalam satu koloni dari pasangan p1 dan p2 tidak berbeda nyata.Hal tersebut karena imago jantan dan betina terinfeksi yang lolos hidup memiliki potensi yang sama untuk mentrasmisikan virus pada generasi berikutnya. Berdasarkan hal tersebut maka imago S. litura betina juga berperan dalam proses transmisi vertikal secara transovarial.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 554

Jumlah telur yang dihasilkan oleh imago S. litura betina membentuk luas koloni yang tidak sama. Hasil uji jarak berganda Duncan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan. Selengkapnya dapat dilihat pada table 2.

Tabel 2. Luas Koloni Telur Imago S. litura Perlakuan Luas Koloni Telur (cm2) ± SE Signifikansi α 5% P0 0,5783 ± 0,059 a P1 0,3783 ± 0,055 bc P2 0,4067 ± 0,040 b P3 0,2450 ± 0,026 c Keterangan : p0 : control; p1 : JS X BT; p2 : JT X BS; p3 : JT X BT JS/BS : Jantan/Betina Sehat; JT/BT : Jantan/Betina Terinfeksi

Berdasarkan Tabel 2 di atas, terlihat bahwa pasangan p1, p2 dan p3 menghasilkan luas koloni telur yang lebih kecil dibandingkan dengan pasangan p0. Luas koloni telur dari pasangan p1 dan p2 tidak berbeda nyata begitu pula dengan pasangan p1 dan p3 akan tetapi pasangan p3 berbeda nyata dengan pasangan p2. Luas koloni telur dari pasangan p3 menghasilkan luas koloni telur terkecil.Kondisi tersebut sedikit berbeda dengan jumlah telur yang dihasilkan. Pasangan p1 dan p2 membentuk koloni telur yang tersusun dari 1-2 lapis dengan jumlah telur yang relative sama akan tetapi berbeda dengan pasangan p1 dan p3. Kedua pasangan ini walaupun tidak berbeda nyata dalam luas koloni telur ternyata berbeda nyata dalam jumlah telur. Hal tersebut karena koloni telur dari pasangan p3 hanya tersusun dari satu lapis sehingga jumlah telur yang dihasilkan pun lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah telur dari pasangan p1. Koloni telur S. litura dilindungi oleh serabut-serabut halus seperti beludru yang berasal dari bagian vagina imago betina. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tidak terdapat pada kerapatan dan warna beludru antara pasangan p0 dengan pasangan p1, p2 dan p3. Hal tersebut karena beludru dihasilkan oleh vagina setelah proses oogenesis selesai dan telur siap untuk diletakkan di luar tubuh betina sedangkan infeksi virus terjadi saat oogenesis berlangsung. Borror dkk. (1996) menyatakan bahwa terdapat kelenjar asesoris yang terbentuk setelah menjadi pupa di bagian genitalia betina yang memproduksi serabut-serabut halus untuk melindungi koloni telur saat akan diletakkan di luar tubuh betina. Warna telur yang dihasilkan memperlihatkan perbedaan antara pasangan imago p0 dengan pasangan imago p1, p2 dan p3. Warna telur dari pasangan imago p0 berwarna putih kekuning-kuningan sedangkan warna telur dari pasangan imago p1 dan p2 berwarna kuning

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 555 kecoklat-coklatan dan pasangan imago p3 menghasilkan warna telur coklat tua hingga hitam. Hal tersebut karena adanya polihedra yang terdapat di dalamnya. Fuxa dan Richter (1993) menyatakan bahwa warna telur yang dihasilkan dari pasangan imago yang salah satu terinfeksi ataupun keduanya terinfeksi berwarna lebih gelap dan pekat dibandingkan dengan warna telur dari pasangan imago sehat. Hasil pengamatan histologist Khurad dkk. (2004) pada pupa Bombyx mori yang lolos hidup menemukan adanya polihedra dalam ovari dan testisnya. Fenomena ini memperkuat adanya proses transmisi verikal secara transovarial dari virus HaNPV. Keberadaan Polihedra pada Apusan Telur S. litura Apusa telur dengan pewarnaan Giemsa pada pasangan imago p1, p2 dan p3 menunjukkan keberadaan polihedra. Hasil uji t-test memperlihatkan bahwa transmisi vertikal berpengaruh nyata terhadap keberadaan polihedra pada apusan telur. Transmisi vertikal secara transovarial merupakan kelanjutan dari proses infeksi HaNPV secara oral.

KESIMPULAN Terjadi transmisi verikal HaNPV pada S. litura yang dicirikan dengan jumlah, warna dan luas koloni telur. Keberadaan polihedra pada hasil apusan telur dari pasangan yang salah satu terinfeksi ataupun keduanya terinfeksi HaNPV memperkuat pendapat tersebut. Dengan demikian HaNPV dapat berperan sebagai agen mortalitas bagi serangga hama secara alami (natural control).

DAFTAR PUSTAKA Borror, D.J., C.A. Triplehorn and N.F. Johnson. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Edisi Ke-6. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Fievet, J., D. Tencheva, L. Gauthier, J. de Miranda, F. Cousserans, M.E. Colin and M.Bergoin. 2006. Localization od Deformed Wing Virus Infection in Gueen and Drone Apis mellifera L. Virology Journal 3:16. Fuxa, J.R. and A.R. Richter. 1993. Polyhedra without Virions in a Vertically Transmitted Nuclear Polyhedrosis Virus. Journal Invertebrate Pathology 60:53-58. Fuxa, J.R., A.R. Richter, A.O. Ameen and B.D. Hammock. 2002. Vertical Transmission of TnSNPV, TnCPV, AcMNPV and Possibly Recombinant NPV in Trichoplusia ni. Journal of Invertebrate Pathology 79:44-50. Gilbert, S.F. 1997. Developmental Biology.Sinaver Associates. USA. 754-757. Goulson, D. and J.S. Cory. 1995. Sublethal Effects of Baculovirus in The Cabbage Moth, Mamestra brassicae. Biological Control 5: 361-367. Hadiyani, S. 2005. Resistensi Hama Tembakau Cerutu. Prosiding Diskusi Teknologi Ramah Lingkungan untuk Tembakau Ekspor Besuki. 57-62.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 556

Indrayani, I.G.A.A. dan Subiyakto. 1993. Teknik Perbanyakan Helicoverpa armigera Nuclear Polyhedrosis Virus.Prosiding Simposium Patologi Serangga.12-13 Oktober 1993.UGM Yogyakarta.163-170. Indrayani, I.G.A.A., T. Hadiastono dan G. Mudjiono. 2003. Dosis Sublethal Sl NPV dan Pengaruhnya Terhadap Transmisi Vertical pada Larva Spodoptera litura F. Journal Penelitian Tanaman Industri 9(2):55-62. Khurad, A.M., A. Mahulikar, M.K. Rathod, M.M. Rai, S. Kanginakudru and J. Nagaraju. 2004. Vertical Transmission of Nucleopolyhedrosis in The Silkworm, Bombyx mori L. Journal of Invertebrate Pathology 87:8-15 Martinez, S.H., J.G. Mayoral, Y. Li, F.G. Noriega. 2007. Role of Juvenile Hormon and Allatotropin on Nutrient Allocation, Ovarian Development and Survivorship in Mosquitoes. Journal of Insect Physiology 53(2007): 230-234. Natawigena, H.H. 1998. Entomologi Pertanian. Bandung: Orba Sakti. 122-125. Nijhout, H.F. 2003.The Control of Body Size in Insects.Developmental Biology 261: 1-9. Salim, M.R. 2010.Profil Kerusakan Jaringan Saluran Pencernaan Bagian Tengah (Midgut) Larva Spodoptera litura Fabricius Akibat Infeksi Helicoverpa armigera Nuclear Polyhedrosis Virus (HaNPV).Skripsi. Unpad. Tidak dipublikasikan. Sastrosiswojo, S. 1981. Pengendalian Hama-hama Kubis Secara Terpadu. Balai Penelitian Holtikultura Lembang. 80.

Notulensi Diskusi Seminar Tanya : Tidak ada pertanyaan Jawab :

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 557

OFTBM-07 Pengaruh Ekstrak Minyak Cengkeh dan Kayu Manis terhadap Perkembangan Wereng Coklat (Nilaparvata lugens) dan Predator Paederus fuscifes dan Coccinella sp. pada Tanaman Padi Dodin Koswanudin1, I Made Samudra1, dan Agus Ismanto2 1Balitbang Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian, Bogor 2Pusat Penelitian Hasil Hutan, Bogor Emali : [email protected]

ABSTRAK Wereng coklat (Nilaparvata lugens) termasuk salah satu hama utama pada tanaman padi yang sering menimbulkan kerugian, sehinga harus dikelola dengan baik terutama dalam menghambat perkembangannya. Peneltian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak minyak cengkeh dan kayu manis terhadap perkembangan hama wereng coklat dan predator P. fuscifes dan Coccinella sp. Penelitian dilakukan di rumah kaca Balitbang Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian, Bogor pada bulan Januari sampai Juli 2010. Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap terdiri dari 5 (lima) perlakuan dan 5 (lima) ulangan. Sebagai perlakuan adalah campuran ekstrak minyak cengkeh dan kayu manis dengan konsentrasi 0,25; 0,5; 0,75; dan 1,0% serta kontrol. Tanaman padi varietas Ciherang ditanam pada pot ember pada umur 15 hari setelah tanam diinfestasi dengan nimfa wereng coklat sebanyak 5 pasang, selanjutnya disemprot dengan larutan campuran ekstrak minyak cengkeh dan kayu manis dengan volume semprot 7 ml. Kemudian tanaman dikurung dengan palstik milar. Hal yang sama dilakukan terhadap predator P. fucifes dan Coccinella sp. kemudian tanaman disimpan di rumah kaca. Parameter yang diamati meliputi mortalitas wereng dan predator, serta perkembangan wereng coklat. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa campuran ekstrak minyak cengkeh dan kayu manis konsentrasi 1% menyebabkan mortalitas wereng coklat 60-70%, menghambat perkembangan nimfa wereng coklat, tetapi tidak berpengaruh negatif terhadap predator P. fuscifes dan Coccinella sp. Kata kunci: ekstrak minyak cengkeh dan kayu manis, N. lugens, predator, padi

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 558

PENDAHULUAN

Padi termasuk tanaman pangan yang mempunyai arti strategis karena merupakan bahan makanan pokok yang penting bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Produksi padi selalu menjadi prioritas untuk ditingkatkan, antara lain dengan adanya Program Peningkatan Beras Nasional, yang bertujuan untuk mencapai keamanan pangan beras. Untuk mendukung keberhasilan peningkatan produksi beras tersebut, berbagai masalah dalam budi daya tanaman padi harus diatasi. Salah satu masalah yang dihadapi dalam bercocok tanam padi antara lain serangan hama yang dapat menyebabkan kehilangan hasil 15,6% dan karena penyakit 13,2% (Oerke dkk., 1994). Wereng coklat (Nilaparvata lugens) termasuk salah satu hama yang menyerang tanaman padi dan dapat menimbulkan kerugian ekonomi karena menurunkan produksi bahkan menyebabkan kegagalan panen (fuso). Pada tahun 2005 terjadi serangan wereng coklat dengan luas serangan mencapai 68.241 ha dan tahun 2006 seluas 27.513 ha (Dir Perlintan, 2006; Dir Perlintan, 2010). Pada tahun 2009 dan 2010 terjadi serangan hama wereng coklat di beberapa sentra produksi padi, sehingga ancaman serangan hama wereng coklat selalu diwaspadai oleh petani. Peningkatan populasi dan serangan wereng coklat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain perubahan iklim, penggunaan varietas yang peka, pola tanam tidak teratur, perubahan biotipe (Baehaki, 2010), dan aplikasi insektisida yang tidak bijaksana sehingga menekan populasi musuh alami, menimbulkan resistensi dan resurjensi. Dalam rangka mengantisipasi serangan wereng coklat dan mengurangi penggunaan insektisida sintetik serta menerapkan konsep pengendalian hama terpadu (PHT) maka perlu dicari teknologi alternatif yang efektif dan ramah lingkungan. Penggunaan varietas tahan merupakan metode yang tepat, tetapi dalam kurun waktu tertentu varietas tahan tersebut dapat patah ketahanannya karena hama wereng coklat mampu beradaptasi (Baehaki, 2005). Oleh karena itu, mengatasi serangan hama wereng coklat harus menggabungkan beberapa teknologi yang diterapkan secara terpadu, yang meliputi varietas tahan (Kartohardjono dkk., 2010), pemanfaatan musuh alami (Koswanudin dkk., 2009; Priyatno & Samudra, 2010) penggunaan biopestisida (Koswanudin dkk., 2010), kultur teknik dan insektisida sintetik bila diperlukan. Beberapa senyawa yang berasal dari tumbuhan telah diketahui berpengaruh menghambat perkembangan serangga hama, termasuk ekstrak minyak cengkeh dan kayu

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 559 manis. Ekstrak cengkeh dilaporkan dapat menghambat perkembangan hama ulat grayak (Spodoptera litura) (Atmaja, 2010; Suriati & Atmaja, 2010). Bahan akktif eugenol dalam formulasi cairan berpengaruh menghambat perkembangan serangga hama gudang Stegobium paniceum dan Aerecenus fasciculatus (Wiratno dkk., 1993a; Wiratno dkk., 1993b) dan menyebabkan mortalitas larva hama lundi Exopholis hypolleuca (Darwis & Baringbing, 2006). Makalah ini menyampaikan hasil penelitian pengaruh ekstrak minyak cengkeh dan kayu manis terhadap perkembangan wereng coklat dan predator Coccinella sp. dan Paederus fuscifes pada tanaman padi.

BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu penelitian

Penelitian dilakukan di rumah kaca Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian Bogor, pada bulan Januari sampai Juli 2010. Metode penelitian

Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap yang terdiri atas 5 (lima) perlakuan dan 5 (lima) ulangan. Data diolah dengan analisis varians yang dilanjutkan dengan uji selang berganda Duncan pada taraf 5%. Persiapan tanaman

Benih padi varietas Ciherang disemai pada bak plastik, pada umur 21 hari setelah semai bibit padi dipindah tanam pada pot ember plastik berdiameter 20 cm dan tinggi 30 cm. Lima hari setelah tanam dipupuk dengan Urea, SP-36 dan KCl serta pupuk kandang sesuai dosis anjuran, tanaman dipelihara sebaik-baiknya tanpa diaplikasi insektisida. Persiapan serangga uji

Serangga wereng coklat dikoleksi dari lapangan (Klaten, Jawa Tengah) kemudian dipelihara dan diperbanyak dengan media pakan tanaman padi varietas Ciherang di rumah kaca sampai mencukupi untuk percobaan, serangga yang digunakan generasi kedua. Predator Coccinella sp. dan Paederus fuscifes dikoleksi dari lapangan dipelihara pada tanaman padi Ciherang dengan media pakan wereng coklat, sampai mencukupi untuk percobaan. Persiapan ekstrak

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 560

Ekstrak yang digunakan adalah campuran minyak cengkeh dan kayu manis dengan susunan perlakuan sebagai berikut:

Tabel 1. Susunan perlakuan ekstrak yang diuji Perlakuan Konsentrasi (%) Cara aplikasi Minyak cengkeh + Kayu manis 0,25 Penyemprotan Minyak cengkeh + Kayu manis 0,5 Penyemprotan Minyak cengkeh + Kayu manis 0,75 Penyemprotan Minyak cengkeh + Kayu manis 1 Penyemprotan Kontrol - -

Infestasi serangga uji dan aplikasi ekstrak

Tanaman padi berumur 15 hari setelah tanam diinfestasi dengan nimfa wereng coklat instar empat sebanyak 5 pasang/perlakuan kemudian diaplikasi dengan campuran larutan ekstrak minyak cengkeh dan kayu manis sesuai konsentrasi yang digunakan dengan volume semprot 7 ml/perlakuan. Tanaman kemudian dikurung dengan dengan plastik milar dan disimpan di rumah kaca. Tanaman padi berumur 15 hari setelah tanam diinfestasi dengan predator Coccinella sp. dan P. fuscifes masing-masing 10 ekor/perlakuan kemudian diaplikasi dengan campuran larutan ekstrak minyak cengkeh dan kayu manis sesuai konsentrasi yang digunakan dengan volume semprot 7 ml/perlakuan. Tanaman kemudian dikurung dengan dengan plastik milar dan disimpan di rumah kaca. Parameter yang diamati meliputi mortalitas wereng coklat dan predator dan perkembangan populasi wereng coklat generasi pertama, kedua dan ketiga.

HASIL DAN PEMBAHASAN Mortalitas wereng coklat (N. Lugens)

Hasil percobaan menunjukkan bahwa ekstrak minyak cengkeh dan kayu manis berpengaruh terhadap mortalitas nimfa wereng coklat, hal ini ditunjukkan dengan tingkat mortalitas berkisar antara 60,0-70,0% (Tabel 1). Perlakuan campuran ekstrak minyak cengkeh dan kayu manis yang menyebabkan mortalitas wereng coklat adalah konsentrasi 0,75 dan 1%, sedangkan konsentrasi 0,25 dan 0,5% serta kontrol tidak mengakibatkan mortalitas wereng coklat. Terjadinya mortalitas nimfa wereng coklat menunjukkan bahwa

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 561 campuran ekstrak minyak cengkeh dan kayu manis bersifat sebagai insektisida. Bahan ekstrak tersebut dapat berpengaruh langsung mematikan nimfa wereng coklat atau bekerja sebagai senyawa yang menghambat nafsu makan serangga terhadap tanaman inangnya. Akibat terjadi penghambatan nafsu makan maka serangga akan mengalami ganguan fisiologis antara lain pertumbuhan tidak normal yang akhirnya menyebabkan kematian. Sebagaimana dilaporkan bahwa ekstrak cengkeh dengan bahan akktif eugenol dalam formulasi cairan berpengaruh menghambat perkembangan serangga hama gudang S. paniceum dan A. fasciculatus (Wiratno dkk., 1993a; Wiratno dkk., 1993b) dan menyebabkan mortalitas larva hama lundi E. hypolleuca (Darwis & Baringbing, 2006). Dilaporkan juga bahwa ekstrak cengkeh yang diaplikasikan secara tunggal dilaporkan dapat menghambat perkembangan hama ulat grayak (S. litura) (Atmaja, 2010; Suriati & Atmaja, 2010). Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan ekstrak cengkeh yang dicampurkan dengan ekstrak kayu manis dapat meningkatkan pengaruh dan keefektifannya terhadap hama wereng coklat. Perkembangan wereng coklat

Hasil percobaan menunjukkan bahwa perkembangan populasi wereng coklat generasi pertama, kedua, dan ketiga pada setiap perlakuan ekstrak minyak cengkeh dan kayu manis dan kontrol terdapat perbedaan yang nyata. Populasi wereng coklat generasi pertama pada perlakuan ekstrak konsnetrasi 0,25-1% berkisar antara 247,0-675,0 ekor dan kontrol 725,0 ekor (Tabel 1). Populasi wereng coklat generasi kedua pada perlakuan ekstrak konsnetrasi 0,25-1% berkisar antara 225,0-595,0 ekor dan kontrol 679,0 ekor (Tabel 1). Populasi wereng coklat generasi ketiga pada perlakuan campuran ekstrak konsentrasi 0,25-1% berkisar antara 263,0 ekor dan kontrol 712,0 ekor (Tabel 1). Berdasarkan hasil percobaan tersebut menunjukkan bahwa mortalitas wereng coklat berkorelasi dengan perkembangan populasi wereng coklat generasi pertama, kedua dan ketiga. Peningkatan konsentrasi campuran ekstrak minyak cengkeh dan kayu manis berkorelasi dengan tingkat mortalitas larva dan perkembangan populasi wereng coklat, hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya konsentrasi yang digunakan menyebabkan mortalitas lebih tinggi dan perkembangan populasi wereng coklat lebih rendah. Hasil analisis uji Duncan taraf 5% menunjukkan bahwa perlakuan campuran ekstrak minyak cengkeh dan kayu manis lebih rendah dan berbeda nyata dengan kontrol. Aplikasi campuran ekstrak minyak cengkeh dan kayu manis berpengaruh terhadap perkembangan populasi wereng coklat, dengan mortalitas nimfa yang cukup tinggi pada perlakuan campuran ekstrak konsentrasi 0,75 dan 1%, menyebabkan populasi wereng coklat

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 562 pada tiga generasi menurun. Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa keperidian atau banyaknya telur hama S. litura yang menetas menurun setelah diberi perlakuan minyak cengkeh (Atmaja, 2010) dan meningkatkan mortalitas larva S. litura (Suriati dkk., 2010). Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa ekstrak cengkeh yang mengandung eugenol formulasi cair menyebabkan serangan hama lundi E. hypolleuca terhambat perkembangannya (Darwis & Baringbing, 2006). Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa perlakuan ekstrak minyak cengkeh dan kayu manis dapat menekan perkembangan populasi hama wereng coklat sampai tiga generasi, sehingga mempunyai prospek untuk dikembangkan sebagai agen pengendali hayati (biopestisida).

Tabel 2. Rata-rata mortalitas wereng coklat dan populasi generasi I, II dan III. Bogor. 2010 Konsentrasi Mortalitas N. lugens Populasi N.lugens generasi ke: Perlakuan (%) (%) 1 2 3 Ekstrak CK 0,25 0,0 c 675,0 b 595,0 b 712,0 b Ekstrak CK 0,5 0,0 c 557,0 c 475,0 c 569,0 a Ekstrak CK 0,75 60,0 b 547,0 d 456,0 d 556,0 d Ekstrak CK 1 70,0 a 247,0 e 225,0 e 263,0 e Kontrol - 0,0 c 725,0 a 679,0 a 751,0 a Angka-angka dalam satu kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan uji Duncan CK = ekstrak minyak cengkeh dan kayu manis

Mortalitas predator

Salah satu persyaratan suatu bahan pestisida sintetik dan organik dapat dikembangkan adalah harus ramah lingkungan antara lain tidak menimbulkan pengaruh samping terhadap musuh alami. Pada tanaman padi sering ditemukan serangga berguna berupa musuh alami hama (parasitoid dan predator) yang berasosiasi dengan serangga hama tanaman. Kehadiran musuh alami tersebut sangat membantu dalam menurunkan populasi hama, sehingga perkembangannya harus dioptimalkan. Untuk mengetahui pengaruh campuran ekstrak minyak cengkeh dan kayu manis terhadap musuh alami wereng coklat, dilakukan pengujian terhadap predator Coccinella sp. dan P. fuscifes. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan campuran ekstrak minyak cengkeh dan kayu manis konsentrasi 1% berpengaruh terhadap mortalitas Coccinella sp. dan P. fuscifes dengan tingkat kematian masing-masing sebesar 20% dan 10% (Tabel 2). Dengan tingkat mortalitas predator Coccinella sp. dan P. fuscifes yang hanya 10-20% menunjukkan

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 563 bahwa perlakuan campuran ekstrak minyak cengkeh dan kayu manis tidak berpengaruh negatif terhadap predator tersebut. Suatu bahan pestisida dikatagorikan berpengaruh negatif terhadap musuh alami jika menyebabkan mortalitas musuh alami (parasitoid atau predator) >30%. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bahan pestisida nabati (biopestisida) pada umumnya tidak menimbulkan pengaruh negatif terhadap musuh alami dan tidak menimbulkan pencemaran terhadap lingukungan (Kardinan, 2010). Hasil penelitian ekstrak sereh wangi dan minyak cengkeh tidak berpengaruh negatif terhadap parasitoid Trichogrammatoidea spp. dan Ooencyrtus sp. (Koswanudin dkk., 2010), sedangkan campuran ammonium cuper boron tidak menimbulkan pengaruh samping terhadap predator Coccinella sp. dan P. fuscifes pada tanaman padi (Koswanudin dkk., 2010).

KESIMPULAN

Ekstrak minyak cengkeh dan kayu manis konsentrasi 0,75-1,0% berpengaruh menghambat perkembangan populasi hama wereng coklat (Nilaparvata lugens) dan tidak menimbulkan pengaruh negatif terhadap musuh alami (predator) Coccinella sp. dan P. fuscifes. Campuran ekstrak tersebut berpotensi dapat digunakan sebagai bahan pestisida nabati.

DAFTAR PUSTAKA

Atmadja. W.R., 2010. Pemanfaatan Insektisida Nabati Nilam, Cengkeh dan Serai Wangi Untuk Mengendalikan Ulat Grayak (Spodoptera litura). Hal 191 – 200. Dalam : A. Kardinan., I W Laba., A Kartohadjono., Harnoto., Pudjianto., I W Winasa., Dadang., M Rizal., R Ubaidillah., I M Samudera. E.S. Ratna., U. Kusumawati., D. Gunandini., P. Sukartana., Wiratno., Siswanto (Ed.). Prosiding Seminar Nasional VI. Perhimpunan Entomologi Indonesia. Baehaki S.E., 2005. Keganasan dan penentuan biotipe wereng coklat Jawa Tengah (Kasus Pati dan Demak) terhadap varietas padi yang dilepas. Prosiding Seminar Nasional dan Kongres Biologi XIII. PBI & Fak. Biologi UGM. Yogyakarta 16 – 17 September : 726 – 731. Baehaki S.E., 2010. Perubahan Biotipe Wereng Coklat Pada Beberapa Sentra Produksi Padi di Indonesia. Hal 53 – 62. Dalam : H. Sutrisno, D. Peggie, W.A. Nurdjito, E.S. Ratna, U. Kusumawati, D. Gunandini, Harnoto, P. Sukartana, Pudjianto, Dadang, I W Laba, I W Winasa, I.S. Harahap, A. Kartohardjono, I M Samudera, D. Koswanudin, R. Yuniawati (Ed.). Prosiding Seminar Nasional V. Perhimpunan Entomologi Indonesia. Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. 2006. Dalam .http://www.ditlin.deptan.go.id. Accessed Agustus 2006.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 564

Direktorat Bina Perlindungan Tanaman Pangan. 2010. http://www.deptan.go.id/ditjentan/dpi/optpadi06.pdf. diakses 4 Mei 2010 Darwis, M. & B. Baringbing, 2006. Pengaruh Beberapa Konsentrasi Eugenol Terhadap Mortalitas Larva Exopholis hypoleuca. Hal 275 – 279. Dalam: A. Kardinan., O. Rostiana., R. Balfas., R. Djiwanti., R. Rosman (Ed.). Prosiding Seminar Nasional Pestisida Nabati III. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan. Kardinan, A, 2010. Prospek dan Kendala dalam Pengembangan dan Penerapan Penggunaan Biopestisida di Indonesia. Hal. 1-13. Dalam: A. Kardinan, I W Laba, A. Kartohadjono, Harnoto, Pudjianto, I W Winasa, Dadang, M. Rizal, R. Ubaidillah, I M Samudera, E.S. Ratna, U. Kusumawati, D. Gunandini, P. Sukartana, Wiratno, Siswanto (Ed.). Prosiding Seminar Nasional VI. Perhimpunan Entomologi Indonesia. Kartohardjono, A., Trinaningsih & B Abdullah, 2010. Reaksi Ketahanan Varietas Differensial terhadap Wereng Batang Coklat, Nilaparvata lugens Stal, Koloni IR 64 dibanding Biotipe 3. Hal 84 – 90. Dalam : H. Sutrisno, D. Peggie, W. A. Nurdjito, E.S. Ratna, U. Kusumawati, D. Gunandini, Harnoto, P. Sukartana, Pudjianto, Dadang, I W Laba, I W Winasa, I.S. Harahap, A. Kartohardjono, I M Samudera, D. Koswanudin, Yuniawati (Ed.). Prosiding Seminar Nasional V. Perhimpunan Entomologi Indonesia. Koswanudin D., I Made Samudera & A Ismanto, 2010. Potensi Ekstrak Sereh Wangi dan Minyak Cengkeh terhadap Hama Penggerek Polong Etiella zinckenella dan Pengaruhnya Terhadap Parasitoid Trichogrammatoidea bactrai-bactrai pada Tanaman Kedelai. Konferensi dan Seminar Nasional Dewan Atsiri Indonesia. Bandung. 20 – 21 Oktober 2010. 10 Hal. Koswanudin D., I Made Samudera & A Ismanto, 2010. Potensi Ammonium Cooper Boron Untuk Pengendalian Hama Perusak Polong Helicoverpa armigera Hubn. (Lepidoptera; Noctuidae) dan Pengaruhnya Terhadap Parasitoid Trichogrammatoidea spp. Pada Tanaman Kedelai. Hal 205 – 212. Dalam : Soesanto L., E. Mugiastuti, R.F. Rahayuniati & A. Manan (Ed.). Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Organisme Pengganggu Tanaman Ramah Lingkungan. Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Koswanudin D., I Made Samudera & Harnoto, 2010. Peranan Predator Coccinella sp., Lycosa pseudoannulata dan Paederus fuscifes Dalam Menekan Perkembangan Hama Wereng Coklat Nilaparvata lugens Stal Pada Tanaman padi Sawah. Dalam : A. A. Nawangsih, Dadang, D. Sartiami, D. Prijatno, E. Nurhayati, I. S. Harahap, I W Winasa, K H. Mutaqin, Pudjianto (Ed.). Prosiding Seminar Nasional Perlindungan Tanaman. Pusat Kajian Pengendalian Hama Terpadu. Institut Pertanian Bogor. Oerke, E.C., Dehne D.W., Schonbeck F., Weber A, 1994. Crop Production and Crop Protection: Estimated Losses in Major Food and Cash Crops. In Global Yield Loss, Economic Impact. Crop Protetion Compendium. CAB International. 2001 Edition. Priyatno. T.P. & I. M Samudera, 2010. Pemarasitan Parasitoid Anagrus dan Oligosita Terhadap Telur Wereng Batang Coklat Pada Aplikasi Miselium Jamur Patogen Hirsutella citriformis Spear. Hal 220-226. Dalam : Soesanto L., E. Mugiastuti., R.F. Rahayuniati & A. Manan (Ed). Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Organisme Pengganggu Tanaman Ramah Lingkungan. Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Suriati S. & Atmadja. W.R., 2010. Efikasi Beberapa Macam Insektisida Nabati Terhadap Ulat Grayak (Spodoptera litura). Hal 227 – 232. Dalam : A. Kardinan, I W Laba, A. Kartohadjono, Harnoto, Pudjianto, I W Winasa, Dadang, M. Rizal, R. Ubaidillah, I M Samudera, E.S. Ratna, U. Kusumawati, D. Gunandini, P. Sukartana, Wiratno, Siswanto (Ed.). Prosiding Seminar Nasional VI. Perhimpunan Entomologi Indonesia.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 565

Trinaningsih., Supartopo & A Kartohardjono, 2010. Sifat Ketahanan Galur Padi Rawa terhadap Wereng Batang Coklat (Nilaparvata lugens Stal). Hal 171 – 178. Dalam : A. Kardinan, I W Laba, A. Kartohadjono, Harnoto, Pudjianto, I W Winasa, Dadang, M. Rizal, R. Ubaidillah, I M Samudera, E.S. Ratna, U. Kusumawati, D. Gunandini, P. Sukartana, Wiratno, Siswanto (Ed.). Prosiding Seminar Nasional VI. Perhimpunan Entomologi Indonesia. Wiratno, 1993. Penelitian Pendahuluan Pengaruh Beberapa konsentrasi Eugenol Terhadap Mortalitas Stegobium paniceum. Dalam : Prosiding Seminar Hasil Penelitian Dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati. Bogor 1 – 2 Desember 1993. Wiratno, Siswanto dan E.A. Wikardi, 1993. Penelitian Pendahuluan Pengaruh Eugenol Terhadap Serangga Dewasa Araecenus fasciculatus. Dalam Prosiding Seminar Hasil Penelitian Dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati. Bogor 1 – 2 Desember 1993.

DISKUSI

1. Penanya : Ir. Amrizal, MS. (BPTP Lampung) Pertanyaan : Apakah penelitian dilakukan di rumah kaca atau lapangan dan bagaimana prospek penggunaan di lapangan? Jawab : Penelitian dilakukan di rumah kaca dan laboratorium, hasil percobaan ekstrak yang digunakan berpengaruh menghambat perkembangan wereng coklat. Untuk mengetahui prospeknya di lapangan perlu penelitian terlebih dahulu. 2. Penanya : Dr. Reflinaldo (Universitas Andalas, Padang) Pertanyaan : Apakah secara ekonomi penggunaan bahan ekstrak yang diuji akan lebih murah dibandingkan bahan sintetis? Jawab : Untuk menilai tingkat ekonomi perlu perhitungan yang pasti karena penelitian ini masih tahap awal belum ke lapangan. Suatu hal positif bahwa ekstrak yang digunakan tidak berdampak negatif terhadap predator. 3. Penanya : Ir. Wiwin Setiawi, MS. (Balit Sayuran, Lembang) Pertanyaan : Untuk membuat larutan ekstrak bisa bercampur dengan air ditambahkan apa? dan apakah konsentrasi 1% tidak menimbulkan toksisitas pada tanaman? Jawab : Agar ekstrak larut dalam air ditambahkan teepol (bahan baku deterjen), konsnetrasi 1% tidak menimbulkan gejala toksisitas pada tanaman. 4. Penanya : Heri (Dinas Perkebunan Jawa Barat) Pertanyaan : Apakah ekstrak yang digunakan mempunyai prospek untuk hama perkebunan? Sebaiknya dilakukan penelitian terhadap hama tanaman perkebunan? Bisakah melakukan kerjasama? Jawab : Kemungkinan bisa digunakan untuk serangga hama pada tanaman perkebunan, untuk mebuktikannya harus dilakukan penelitian terlebih dahulu. Kerjasama penelitian dan pengkajian sangat mungkin dapat dilakukan melalui komunikasi yang baik.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 566

OFTBM-08 Bioekologi vector malaria nyamuk Anopheles sundaicus di Kec. Nongso, Batam Yusniar Ariati1, HerryAndris1, dan S. Sukowati1. 1Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Dep. Kesehatan, Jakarta Email: [email protected]

ABSTRAK Malaria merupakan salah satu penyakit tular vektor yang masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia, dan berhubungan erat dengan kondisi lingkungan. Kasus malaria di Kecamatan Nongsa masih tinggi dengan angka Annual Parasit Incidens (API) tahun 2007 tertinggi di Kelurahan Sambau yaitu 34 permil, sedangkan di Kelurahan Batu Besar 2,3 permil. Tujuan penelitian untuk mengetahui bionomik vektor malaria An. sundaicus di Kecamatan Nongsa, yang meliputi pemetaan habitat larva, kepadatan nyamuk vektor, aktifitas menggigit, parous rate, inkriminasi vektor serta status kerentanannya terhadap insektisida. Hasil pemetaan habitat di Desa Teluk Mata Ikan dan Batu Besar ditemukan satu jenis habitat larva An. sundaicus yaitu di kolam bekas galian pasir dengan salinitas air antara 5-12‰, pH 7 dan suhu air berkisar antara 29-33°C. Hasil penangkapan An. sundaicus pada Bulan Juli, didapat MBR (Man Biting Rate) di luar rumah 4,7 dan didalam rumah 3,0. Bulan Oktober nilai MBR diluar rumah 2,8 dan didalam rumah 0,8, sedangkan di Bulan Desember, kepadatan An. sundaicus yang tertangkap diluar rumah yaitu 35,5 dan didalam rumah 18,7. Aktifitas menghisap darah An. sundaicus yang dinyatakan dalam MHD (Man Hour Density), pada bulan Juli di dalam rumah tertinggi antara jam 02.00-03.00, di luar rumah antara jam 04.00-05.00. Pada bulan Oktober diluar rumah tertinggi antara jam 04.00-05.00, di dalam rumah antara jam 03.00-04.00, dan 01.00-02.00. Bulan Desember didalam rumah tertinggi antara jam 23.00-24.00 dan di dalam rumah antara jam 01.00-02.00 dan jam 03.00-04.00. Hasil uji elisa terhadap protein circum sporozoit Plasmodium sp ditemukan 14,01% mengandung P. falciparum dan sebesar 5,68% P. vivax. Selain itu ditemukan juga An. sundaicus yang mengandung 2 jenis Plasmodium sp (mix). Hasil pengujian kerentanan An. sundaicus terhadap insektisida bahwa An. sundaicus masih rentan terhadap insektisida bendiocarb (0,1%) dan deltametrin (0,05%). Kata kunci : Bioekologi, vektor, An. Sundaicus

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 567

OFTBM-09 Genus Aedes yang Ditemukan pada Tempat Penampungan air di Tingkat Rumah Tangga. M.Hasyimi1, Pangestu2, Nanny Harmani3 dan Astrid Berlian Utami4 1Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat, Balitbangkes, Kemkes,RI 2Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Jakarta II, Kemkes.RI 3Universitas Muhammadiyah Prof.Dr. HAMKA Jakarta, 4 Sekolah Tinggi Kesehatan KHARISMA Karawang Jawa Barat.

ABSTRAK Nyamuk Aedes mempunyai habitat dan aktifitas yang dekat dengan rumah tangga. Ae.agypti merupakan nyamuk yang aktifitasnya di dalam rumah sementara Ae. albopictus di sekitar rumah yang berada di daerah urban. Di Indonesia, kedua spesies nyamuk ini dikenal sebagai vektor Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Chikungunya. Aedes berkembangbiak khusus pada tempat penampungan air antara lain dimana air-air tersebut relatif jernih dan berada di lingkungan rumah ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan genus Aedes di rumah tangga yang mempunyai risiko penularan DBD dan Chikungunya. Pengambilan data jentik dilakukan dengan mengunjungi rumah yang telah ditentukan, dengan tujuan untuk melihat keberadaan jentik pada bak mandi, tempayan, tampungan air kulkas, AC dan dispenser. Jika ditemukan jentik pada tempat dimaksud, kemudian diidentifikasi spesies. Survei dilakukan di beberapa rumah yang berada di DKI Jakarta, Tangerang, Depok, Bekasi dan 1 lokasi di Karawang Barat sebagai pembanding. Survei dilakukan secara cross sectional, pada tahun 2009. Hasil menunjukkan bahwa dari 494 tempat penampungan air rumah tangga ternyata 252 ditemukan jentik nyamuk, terdiri dari 128 (50,8%) Aedes aegypti dan 6 (2,4%) Aedes albopictus selainnya non Aedes. Aedes aegypti ditemukan pada bak mandi 98 (76,6%), tempayan 22 (17,2%), pada AC 3 (2,3%), kulkas 6 (4,7%) dan dispenser 8(6,2%). Sedangkan Aedes albopictus pada bak mandi 4 (66,6%), pada tampungan air AC 2 (33,3%) sedangkan pada tempayan, kulkas dan dispenser tidak ditemukan. Kata kunci : Aedes dan rumah tangga.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 568

OFTBM-10 Isolasi Senyawa Flavonoid dari Ekstrak Air Serbuk Daun Gamal (Gliricidia maculata ) dan Uji Toksisistasnya Terhadap Hama Kutu Putih Pepaya (Paracoccus marginatus). Nismah1, Nurul Utami2, dan Gina Dania Pratami1 1 Jurusan Biologi, 2 Jurusan Kimia FMIPA Unila, JL. Sumantri Brojonegoro No.1 Gedong Meneng Bandar Lampung 35145

ABSTRAK Penurunan produktivitas tanaman pepaya akhir-akhir ini, akibat serangan hama kutu putih yang telah menyebar lebih dari 13 provinsi di Indonesia, maka perlu adanya pengendalian terhadap hama tersebut. Salah satu pengendalian yang lebih ramah lingkungan adalah menggunakan insektisida nabati. Serbuk daun gamal (Gliricidia maculata) yang diketahui mengandung senyawa flavonoid berpotensi sebagai insektisida nabati. Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi senyawa flavonoid dari estrak air serbuk daun gamal dan mengetahui daya toksiknya terhadap kematian hama kutu putih pepaya (Paracoccus marginatus) pada waktu dan konsentrasi yang berbeda. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok dengan faktorial 4x5. Sebagai perlakuan digunakan empat jenis ekstrak air serbuk daun gamal (AMTB, AMB, AMTBH, dan AMBH) dengan lima konsentrasi yang berbeda (0%, 5%, 10%, 15%, dan 20%), dan 3 kali ulangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan Analisis Ragam pada taraf signifakasi 5% dan diuji lanjut dengan uji Tukey‘s. Untuk menentukan nilai LC50 dari masing-masing ekstrak yang digunakan data dianalisis dengan analisis Probit. Hasil uji Anara menunjukkan adanya perbedaan pengaruh ekstrak terhadap rata-rata kematian serangga uji PF 19 = 7,86 < 0,001. Keempat isolat yang diujikan berpotensi sebagai insektisida nabati untuk mengendalikan hama kutu putih papaya kerena memiliki Nilai LC50;48 jam dibawah 5% (0,75% - 1,82%). Ekstrak AMB lebih efektif mematikan hama kutu putih dibandingkan dengan ketiga ekstrak lainnya karena memiliki nilai LC50;48jam yang paling rendah (0,75%). Kata kunci: Flavonoid, isolat, serbuk, daun, gamal, kutu putih pepaya

ABSTRACT The decreasing productivity of papaya in the last years due to distribution and out breaks of papaya mealybug throughout 13 provinces of Indonesian. Therefore it should be controlled. Alternatives pest control of the insecticide has been widely searched. Gliricidia maculata leaves known consist of rich flavonoid that potency as botanical insecticide. In order to isolate of flavonoid and test its toxicity to papaya mealybug, the powder leaf of G. maculata were extracted by using water and various organic solvents from non-polar to polar (n-hexane, dichloromethane, methanol, and water). A set of experimental design was conducted by using completely randomized design with factorials (4x5), 4 different water extracts of G. maculata powder leaves, named AMTB, AMB, AMTBH, and AMBH and 5 different concentrations (0%, 5%, 10%, 15%, dan 20%) with each of 3 replication. ANOVA was conducted to obtain the means and standard error means of the experimental study and Tukey‘s test at α=5% was performed in order to obtain the different among the experimental groups. Probit analysis was also conducted to obtain the LC50. The result indicated the fourth extracts have different effect to kill the means number of the testing insect PF 19 = 7,86 < 0,001. The fourth extracs have potency as botanical insecticide to control the papaya mealybug with LC50; 48h < 5% (0,75% - 1,82%), but the isolate named AMB was more effective compare to the others, due to the lowest LC50; 48h value (0,75%). Keywords: Flavonoid, isolate, powder, leaf, G. maculata, papaya mealybug

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 569

PENDAHULUAN Pepaya merupakan komoditas buah yang digemari oleh kebanyakan lapisan masyarakat. Produksi pepaya selama lima tahun terakhir termasuk kelompok lima besar produksi buah-buahan dan buah ini tersedia sepanjang tahun. Budidaya tanaman pepaya tidak memerlukan kondisi yang spesifik, sehingga komoditas ini dapat berkembang hampir di seluruh wilayah Indonesia. Akhir-akhir ini pada 13 provinsi di Indonesia ditemui adanya serangan hama kutu putih pepaya (Paracoccus marginatus) yang mengakibatkan adanya potensi kerugian ekonomis yang dialami petani (Dirjen Hortikultura, 2008). Hama kutu putih (P. marginatus) bersifat polifagus, biasanya hidup bergerombol sampai puluhan ribu ekor. Berdasarkan hasil pemantauan, diduga kuat inang utama kutu putih tersebut adalah tanaman pepaya, mengingat pada tanaman tersebut populasi kutu ditemukan dalam jumlah paling banyak dan dampak serangan paling parah. Hama merusak dengan cara mengisap cairan tanaman dari buah sampai pucuk. Hama ini juga menghasilkan embun madu yang kemudian ditumbuhi cendawan jelaga, sehingga permukaan tanaman pepaya yang diserang menjadi berwarna hitam (Walker dkk., 2008). Hama kutu putih pepaya sangat penting untuk dikendalikan segera, karena hama yang bersal dari Mesiko ini sudah menyebar ke 13 provinsi di Indonesia termasuk propinsi Lampung (Korantempo.com, 2009). Di Bandar Lampung, tanaman pepaya pada pekarangan rumah di 8 kecamatan terserang berat oleh hama kutu putih ini sehingga mengakibatkan kematian tanaman pepaya. Hasil pengamatan Susilo, dkk. (2009) di Lampung hama kutu putih ini selain menyerang tanaman pepaya ditemukan juga menyerang 53 jenis tanaman lain, termasuk tanaman hias dan palawija, seperti jagung, kedele dan singkong. Untuk itu perlu ditangani sesegera mungkin agar dampak penyebarannya tidak semakin meluas. Untuk mengatasi permasalahan ini banyak usaha pengendalian yang telah dilakukan, namun belum diketahui insektisida apa yang paling cocok untuk membasmi hama ini. Salah satu alternatif untuk mengendalikan hama dengan cara yang lebih aman dan ramah lingkungan yaitu dengan menggunakan insektisida nabati. Insektisida nabati berasal dari tanaman yang berupa bahan alami yang memenuhi beberapa kriteria seperti; aman, murah, mudah diterapkan, dan efektif membunuh hama. Bahan dari tanaman ini juga murah terurai (biodegradable) sehingga tidak mencemari lingkungan dan relatif aman bagi manusia dan ternak karena residunya mudah hilang. Di Indonesia, penelitian tentang pengendalian hama kutu putih dengan menggunakan insektisida nabati masih terbatas, meskipun beberapa jenis

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 570 tanaman sudah banyak diketahui kandungan dan daya racunnya terhadap serangga (Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura, 2009). Salah satu tanaman yang dapat digunakan sebagai insektisida nabati adalah daun gamal (Gliricidia maculata), karena daun dan kulit batang gamal sejak lama sudah dikenal sebagai rodentisida di central Amerika dan ekstrak gamal juga bersifat antijamur (Elevitch and Francis, 2006). Ekstrak air tanaman gamal yang dicampurkan dengan detergen dan minyak tanah dapat menekan hama kutu daun kapas setelah 24 jam penyemprotan dan mampu membunuh hama kutu daun sebesar 70% setelah 48 jam pada skala laboratorium (Tukimin dan Rizal , 2002). Hasil penelitian Nismah dkk. (2009) menunjukkan ekstrak etanol dan air daun gamal segar dapat menyebabkan kematian 100% pada imago hama bisul dadap (Quadrastichus erythrinae) setelah perlakuan 72 jam pada skala laboratorium. Sedangkan ekstrak air serbuk daun gamal hasil maserasi bertingkat dengan konsentrasi terendah 2,19 % dapat mematikan 50 % hama penghisap buah lada (Dasynus piperis) setelah 72 jam perlakuan uji bioassay pada skala laboratorium (Nukmal dkk, 2010). Hasil analisis fitokimia ekstrak air serbuk daun gamal memperlihatkan ekstrak ini mengandung senyawa metabolit sekunder golongan alkaloid, terpenoid, steroid dan flavonoid dengan kandungan flavonoid yang paling banyak. Adanya flavonoid ini diduga sebagai senyawa toksik yang dapat mematikan hama kutu putih (Nukmal dkk., 2010). Untuk membuktikan hal tersebut diperlukan penelitian ini guna mengisolasi senyawa flavonoid dari estrak air serbuk daun gamal dan uji bioaassay isolat yang didapat terhadap hama kutu putih pepaya (P. marginatus) untuk mengetahui tingkat toksisitasnya.

BAHAN DAN METODE Pembuatan ekstrak air serbuk daun gamal yang dipakai dalam penelitian ini dilalakukan melalui 2 cara yaitu; tanpa maserasi bertingkat (AMTB) menggunakan pelarut air, dan melalui maserasi bertingkat (AMT) menggunakan berturut-turut pelarut nonpolar – polar (n-heksana, diklorometana/DCM, metanol dan air). Pelarut yang digunakan dalam penelitian ini berkualitas p.a (Baker). Plat kromatografi lapis tipis yang digunakan adalah plat aluminium dengan adsorben Silika Gel 60 F254 (Merck). Adsorben yang digunakan sebagai fasa diam adalah Silika Gel 60 (Merck, 0.063-0,200 mm) dan Sephadex LH-20 (Merck).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 571

Untuk menguapkan pelarut pada ekstrak yang diperoleh digunakan vacuum rotary evaporator (Buchii/R205). Untuk melihat kandungan flavonoid dalam kedua ekstrak dilakukan analisis dengan metode Kromatografi lapis tipis (KLT). Larutan pengembang yang digunakan adalah diklorometana dan metanol (7:2). Untuk melihat keberadaan golongan flavonoidnya, kromatogram disemprotkan larutan AlCl3, SbCl3 dan CeSO4. Selanjutnya untuk memutuskan ikatan glikosida yang ada dalam senyawa flavonoid dilakukkan dengan hidrolisis. Hasil ekstrak air dihidrolisis dengan pelarut metanol dan HCl, kemudian dipanaskan selama 1 jam pada suhu 60°C dan dipisahkan dalam corong pemisah dengan larutan heksana. Uji toksisitas senyawa flavonoid yang diperoleh dilakukan terhadap 10 ekor imago betina hama kutu putih pepaya (P. marginatus) di dalam botol uji. Media uji yang digunakan adalah putik pepaya yang telah direndam dengan 5 tingkatan kosentrasi berbeda (0%, 5%, 10%, 15%, dan 20%) senyawa yang diujikan. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan faktorial 4 x 5 dan 3 kali ulangan. Sebagai faktor adalah empat jenis senyawa flavonoid dari ekstrak air serbuk daun gamal yang diberinama AMTB (ekstrak air tanpa maserasi bertingkat), AMB (ekstrak air dengan maserasi bertingkat), AMTBH (ekstrak air tampa maserasi bertingkat hasil hidrolisis, dan AMBH (ekstrak air dengan maserasi bertingkat hasil hidrolisis), dan konsentrasi (0%, 5%, 10%, 15%, dan 20%). Parameter yang diamati adalah kematian serangga uji pada 1, 3, 6, 12, 24, 48, dan 72 jam setelah perlakuan. Data yang diperoleh dianalis dengan uji Anara dan uji lanjut dengan Tukey‘s test. Analisis probit digunakan untuk menentukan nilai LC50 masing-masing ekstrak. Ekstrak dikatakan efektif bila memiliki nilai LC50 ≤ 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN Penentuan senyawa golongan flavonoid dilakukan dengan cara memaparkan kromatogram hasil analisis KLT pada sinar lampu UV, dan mereaksikan dengan pelarut visualisasi AlCl3, SbCl3, dan CeSO4. Adanya kandungan senyawa flavonoid pada ekstrak air serbuk daun gamal telihat dari hasil analisis KLT yang menunjukkan adanya warna kuning kecoklatan pada plat KLT setelah disemprotkan dengan 3 pelarut visualisasi (Gambar 1).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 572

a b c Gambar 1. Kromatogram hasil analisis KLT ekstrak air serbuk daun gamal tanpa maserasi bertingkat dan dengan maserasi bertingkat dengan pelarut visualisasi a) AlCl3, b) SbCl3, dan c) CeSO4 Hasil ini diperkuat dengan nilai Rf (Retention factor) yang terdapat pada kedua ekstrak berkisar antara 0 – 0,60 untuk ekstrak AMTB dan 0 - 0,56 untuk ekstrak AMB, dapat diketahui bahwa sebagian besar senyawa yang terkandung dalam ekstrak air serbuk daun gamal adalah senyawa metabolit sekunder golongan flavonoid mulai dari semi polar sampai dengan sangat polar. Kemungkinan senyawa-senyawa flavonoid ini terdiri dari bentuk glukosidanya (sangat polar) dan aglikon flavonoid (semi polar). Sedangkan untuk kedua ekstrak air setelah hidrolisis AMTBH dan AMBH, nilai Rf = 0 karena sampel tidak terelusi dengan baik (Tabel 1). Hal ini terjadi mungkin karena proses hidrolisis yang dilakukan tidak seluruhnya memutuskan ikatan glikosida pada senyawa glukosida flavonoid. Sehingga endapan ekstrak AMTBH dan AMBH masih mengandung glukosida flavonoid dan sedangkan aglikon flavonoidnya terkadung dalam metanol yang digunakan saat hidrolisis. Oleh sebab itu, diperlukan adanya penelitian lebih lanjut untuk mengetahui komponen lain yang terdapat pada ekstrak AMTBH dan AMBH.

Tabel 1. Nilai Rf senyawa flavonoid dengan metode KLT dari ekstrak air serbuk daun gamal dengan larutan pengembang DCM dan metanol 7:2 Nilai Rf dengan pelarut visual Nama ekstrak AlCl3 SbCl3 CeSO4 Air tanpa maserasi bertingkat (AMTB) 0 – 0,60 0 – 0,60 0 – 0,44 Air dengan maserasi bertingkat (AMB) 0 – 0,40 0 – 0,56 0 – 0,47 Air tanpa maserasi bertingkat setelah hidrolisis (AMTBH) 0 0 0 Air dengan maserasi bertingkat setelah dihidrolisis (AMBH) 0 0 0

Hasil uji toksisitas menunjukkan keempat jenis ekstrak (AMTB, AMB, AMTBH, dan AMBH), memberikan effek yang mematikan terhadap hama kutu putih pepaya dengan waktu kematian berbeda. Ekstrak AMBH mematikan srangga uji 3 jam lebih cepat dibandingkan 3

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 573 ekstrak lain (AMB, AMBTH, dan AMTB). Kematian serangga uji yang diperlakukan dengan ekstrak AMBH dengan 4 konsentrasi yang berbeda sebanyak 3,33% - 16,7% terjadi setelah 3 jam perlakuan, sedangkan ketiga ekstrak yang lain memberikan efek mematikan setelah 6 jam perlakuan. Ekstrak AMB mempunyai daya bunuh lebih rendah antara 3,3% - 26,7% dibandingkan ke 3 ekstrak yang lain untuk semua konsentrasi perlakuan, kecuali konsentrasi 15% daya bunuhnya sama dengan ekstrak AMTB setelah 6 jam perlakuan (Tabel 2). Hal ini didukung oleh hasil uji Anara yang menunjukkan adanya perbedaan antar perlakuan terhadap rata-rata kematian serangga uji PF19 = 7,86 < 0,001. Peningkatan persentase kematian serangga uji sejalan dengan bertambahnya waktu perlakuan. Persentase kematian serangga uji ekstrak AMTBH konsentrasi 5% setelah 6 jam perlakuan, lebih banyak 6,7% - 20% dibandingkan dengan tiga ekstrak lainnya. Ekstrak ini juga mampu mematikan 100% serangga uji 24 jam lebih cepat dibandingkan dengan ekstrak lainnya (72 jam : 96 jam) setelah perlakuan. Bahkan dengan konsentrasi 20%, ekstrak ini sudah mampu mematikan 100% serangga uji setelah 48 jam perlakuan (Tabel 2). Hasil analisis ragam keempat jenis ekstrak air serbuk daun gamal menunjukkan adanya perbedaan nyata terhadap rata-rata kematian hama kutu putih pepaya (PF19= 48,79 < 0,001). Hasil uji lanjut dengan Tukey‘s pada taraf α = 5% pada keempat jenis ekstrak air serbuk daun gamal setelah 48 jam perlakuan menunjukkan adanya perbedaan nyata antara konsentrasi ekstrak air yang digunakan terhadap kematian imago hama kutu putih. Ekstrak AMTB 5% menunjukkan perbedaan nyata dengan konsentrasi lainnya, tetapi pada konsentrasi 10% - 20% ekstrak ini tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata. Hal ini dapat dijelaskan karena nilai fiducial limit LC50;48 jam ekstrak AMTB berkisar antara 1,38% - 18,11% (Tabel 4), yang berarti dengan kosentrasi terendah 1,38% dan tertinggi 18,11% ekstrak AMTB sama kemampuannya mematikan serangga uji 50% setelah 48 jam perlakuan. Rata-rata kematian imago hama kutu putih yang diperlakukan dengan ekstrak AMBH pada konsentrasi 10%, - 20% tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dengan rata-rata kematian hama kutu putih pada konsentrasi 0% dan 5% (Tabel 2). Hal ini diperkuat dengan nilai LC50 ekstrak AMBH yang diperoleh adalah 1,82% dengan nilai fiducial limit antara 0,50% - 6,68% (Tabel 4). Penggunaan konsentrasi lebih dari 10% tidak memberikan efek yang berbeda terhadap kematian hama kutu putih. Hal ini juga menjadi faktor mengapa ekstrak ini juga mampu mematikan serangga uji dalam waktu 3 jam lebih cepat dibandingkan ekstrak lainnya.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 574

Ekstrak AMB lebih efektif mematikan serangga uji dibandingkan dengan 3 ekstrak lain, karena memiliki nilai LC50 2,01 – 2,43 kali lebih rendah disbanding ke 3 ekstrak lain.

Meskipun ekstrak AMB memiliki nilai LC50 yang paling rendah dibandingkan dengan ekstrak lainnya, namun nilai fiducial limit teratasnya paling tinggi yaitu 24,40%, yang berarti untuk mematikan serangga uji 50%, ekstrak AMB membutuhkan kosentrasi 24,40% (Tabel 4). Keempat jenis ekstrak air serbuk daun gamal yang diujikan berpotensi dan efektif sebagai insektisida nabati untuk hama kutu putih papaya, karena memiliki nilai LC50 < dari

5%. Insektisida nabati dengan pelarut organik dikatakan efektif apabila memiliki nilai LC50 ≤ 5% (Prijono, 2005).

Tabel 2. Persentase kematian hama kutu putih dengan perlakuan 4 jenis ekstrak air serbuk daun gamal pada konsentrasi dan waktu pengamatan yang berbeda

Waktu Konsentrasi Kematian serangga uji (%) dengan ekstrak Pengamatan (%) AMTB AMB AMTBH AMBH 0 0,0 0,0 0,0 0,0 5 0,0 0,0 0,0 0,0 1 jam setelah 10 0,0 0,0 0,0 0,0 perlakuan 15 0,0 0,0 0,0 0,0 20 0,0 0,0 0,0 0,0 0 0,0 0,0 0,0 0,0 5 0,0 0,0 0,0 10,0 3 jam setelah 10 0,0 0,0 0,0 3,33 perlakuan 15 0,0 0,0 0,0 16,7 20 0,0 0,0 0,0 13,3 0 0,0 0,0 0,0 0,0 5 23,3 10,0 30,0 23,3 6 jam setelah 10 23,3 20,0 26,7 30,3 perlakuan 15 23,3 23,3 33,3 30.3 20 40,0 33,3 60,0 43,3 0 0,0 0,0 0,0 0,0 5 40,0 36,7 36,7 53,3 12 jam setelah 10 30,0 40,0 40,0 70,0 perlakuan 15 23,3 50,0 50,0 70,0 20 46,7 53,3 73,3 83,3 0 0,0 0,0 0,0 0,0 5 63,3 56,7 53,3 53,3 24 jam setelah 10 56,7 70,0 53,3 76,7 perlakuan 15 56,7 76,7 76,7 80,0 20 73,3 90,0 86,7 83,3 0 0,0 0,0 0,0 0,0 5 66,7 83,3 80,0 76,7 48 jam setelah 10 83,3 83,3 86,7 93,3 perlakuan 15 76,6 90,0 93,3 93,3 20 86,7 96,7 100 96,7 72 jam setelah 0 0,0 0,0 0,0 0,0

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 575

perlakuan 5 96,7 93,3 100,0 90,0 10 86,7 93,3 100,0 100,0 15 80,0 100,0 100,0 96,7 20 90,0 100,0 100,0 100,0 Keterangan: Setelah 96 jam perlakuan kematian kutu putih mencapai 100% untuk semua ekstrak air dengan semua tingkatan konsentrasi.

Tabel 3. Rata-rata jumlah kematian hama kutu putih pepaya pada empat jenis ekstrak air serbuk daun gamal pada 5 kosentrasi yang berbeda setelah 48 jam perlakuan Konsentrasi Rata-rata jumlah imago kutu putih yang mati (ekor) ± SD pada ekstrak (%) AMTB AMB AMTBH AMBH 0 0,00 ± 0,00 aA 0,00 ± 0,00 aA 0,00 ± 0,00 aA 0,00 ± 0,00 aA 5 6,67 ± 1,15 bA 8,33 ± 0,58 bcB 8,00 ± 1,00 bB 7,67 ± 1,53 bB 10 8,33 ± 1,15 cA 8,33 ± 1,15 bA 8,67 ±1,15 bcA 9,33 ± 0,57 cB 15 7,67 ± 1,52 cA 9,00 ± 1,00 bdB 9,33 ± 1,15 cdB 9,33 ± 1,15 cB 20 8,67 ± 0,58 cdA 9,67 ± 0,58 cdB 10,00 ± 0,00 dB 9,97 ± 0,57 cB Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom yang sama dan huruf besar pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada taraf α = 5% dengan uji Tukey‘s

Tabel 4. Hasil analisis probit 4 jenis ekstrak air daun gamal pada 48 jam setelah perlakuan

Ekstrak air Nilai LC50 (%) Fiducial limit (%) Slope Standar error slope AMTB 1,51 0,13 - 16,60 0,91 0,44 AMB 0,75 0,02 – 24,40 1,03 0,56 AMTBH 1,80 0,41 - 7,91 1,72 0,83 AMBH 1,82 0,50 – 6,68 1,74 0,32 Keterangan : Fiducial limit : batas atas dan batas bawah nilai LC50

Kemampuan daya bunuh ekstrak air serbuk daun gamal disebabkan karena adanya kandungan senyawa metabolit sekunder yang bersifat toksik. Salah satunya adalah senyawa flavonoid, senyawa ini diketahui berpotensi sebagai insektisida. Golongan isoflavonoid seperti rotenon misalnya telah dimanfaatkan manusia untuk insektisida (Robinson, 1995). Senyawa flavonoid paling banyak ditemukan dalam ekstrak air serbuk daun gamal hasil maserasi bertingkat (Nukmal, dkk. 2010). Sehingga diduga senyawa inilah yang mempunyai sifat tosik terhadap hama kutu putih papaya. Hal ini didukung oleh pendapat Robinson (1995) yang menyatakan bahwa senyawa flavonoid dapat mengiritasi kulit setelah serangga melakukan kontak langsung dengan ekstrak. Senyawa flavonoid memberikan efek yang bermacam-macam terhadap berbagai macam organisme. Flavonoid dapat bekerja sebagai inhibitor yang kuat pada proses pernafasan. Beberapa flavonoid menghambat fosfodiesterase, aldoreduktase, monoamina oksidase, protein kinase, baik transkriptase, maupun DNA polymerase. Flavonoid juga merupakan senyawa pereduksi yang baik karena menghambat reaksi oksidasi baik secara enzim maupun nonenzim.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 576

Hama kutu putih papaya yang mati akibat diperlakukan dengan ekstrak air serbuk daun gamal diduga mengalami keracunan karena mengisap cairan dari media uji yang telah direndam dengan keempat jenis ekstrak. Menurut Walker dkk. (2008), hama kutu putih pepaya merupakan Hemiptera pengisap cairan tanaman inangnya. Oleh sebab itu, hama kutu putih pepaya yang mati karena ekstrak air serbuk daun gamal diduga mengalami keracunan perut yang ikut terhisap saat kutu putih menghisap makannya berupa putik yang digunakan sebagai media uji. Sinaga (2009) menyatakan bahwa kandungan metabolit sekunder dalam tanaman seperti glikosida flavonoid bersifat racun perut (stomach poisoning), yang bekerja apabila senyawa tersebut masuk dalam tubuh serangga maka akan mengganggu organ pencernaannya. Selain meracuni perut, senyawa golongan flavonoid juga dapat mengiritasi kulit dan menghambat transportasi asam amino leusin. Diduga senyawa flavonoid menghambat leusin yang berperan dalam proses pembentukan asetil koA pada Siklus Kreb. Menurut Nugroho (2008) leusin merupakan asam amino ketogenik yang hanya dapat masuk ke intermediet asetil koA atau asetoasetil koA. Pada saat proses ini terhambat, asetil koA tidak dapat menambahkan fragmen nya pada oksaloasetat dan akibatnya siklus kreb terganggu dan tidak dapat menghasilkan ATP. Senyawa toksik yang masuk ke dalam tubuh serangga akan mempengaruhi metabolisme dalam tubuhnya. Lu (1994) mengatakan bahwa senyawa yang bersifat racun yang masuk ke tubuh akan mengalami biotransformasi menghasilkan senyawa yang larut dalam air dan lebih polar. Proses metabolisme tersebut membutuhkan energi, semakin banyak senyawa racun yang masuk ke tubuh serangga menyebabkan energi yang dibutuhkan untuk proses netralisir semakin besar. Banyaknya energi yang digunakan untuk menetralisir senyawa racun tersebut menyebabkan penghambatan terhadap metabolisme yang lain sehingga serangga akan kekurangan energi dan akhirnya mati.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah, senyawa flavonoid dari keempat jenis ekstrak air serbuk daun gamal (AMTB, AMB, AMTBH, dan AMBH) bersifat toksik terhadap hama kutu putih pepaya. Karena nilai LC50;48jam keempat jenis ekstrak < 5% (0,75% - 1,82%), maka estrak ini dikatakan efektif sebagai insektisida nabati untuk hama kutu putih pepaya (P. marginatus). Pemurnian dan penentuan struktur senyawa yang

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 577 potensial, serta uji bioassaynya terhadap organisme target dan non target baik skala laboratorium atau semilapangan/lapangan diperlukan sebelum senyawa ini dapat digunakan sebagai insektisida nabati.

UCAPAN TERIMAKASIH Makalah ini merupakan hasil penelitian yang dibiayai oleh DP2M Dikti melalui Hibah Kompetisi Strategis Nasional tahun 2010.

DAFTAR PUSTAKA Direktoral Jendral Hortikultura. 2008. Waspada serangan Kutu Putih pada Tanaman Pepaya. Departemen Kehutanan. Dalam:http://www.hortikultura.deptan.go.id/index.php?option=com_content&task=vi ew&id=200&Itemid=1. Diakses tanggal 21 Januari 2010 pukul 09.55 WIB. Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura. 2009. Kutu Putih Meksiko Sulit Dibasmi. Diakses 08 Maret 2010, 14:35 WIB. http://www.regional kompas.com. Elevitch, C. R. dan J.K. Francis, 2006. Gliricidia sepium (Gliricidia) Fabaceae (legume family). Species Profiles For Pacific Island Agroforestry www.traditionaltree. Org. Diakses 16 Februari 2008, 11.36 WIB. http://www.agroforestry.net/tti/Gliricidia- gliricidia.pdf gamal . Korantempo.com. 2009. Wuih… Kutu Putih Meksiko Sulit Dibasmi. http://www.korantempo.com. Selasa 10 November 2009. 19:04 WIB. Diakses 5 Maret 2010: 15:15 WIB. Lu, F. C. 1994. Toksikologi Dasar: Asas, Organ Sasaran dan Penilaian Resiko. Edisi ke-2. Penerbit U.I.P. Hal 412. Nismah. E.L.Widiastuti dan E. Sumiyani. 2009. Uji Efikasi Ekstrak Daun Gamal (Gliricidia maculata) Terhadap Imago Hama Bisul Dadap (Quadrastichus erythrinae). Prosiding Seminar Nasional XX dan Kongres Biologi Indonesia XIV. Malang 24 -25 Juli 2009. Nugroho HSW. 2008. Metabolisme Asam Amino. Diakses 31 Juli 2008, 10.15 WIB. http://209.85.175.104/search?q=cache:X3S_DWx-c cJ:static.Schoolrack.Com/files/14204/34774/6-metabolisme-asam- amino.doc+leusin+toksik&hl=id&ct=clnk&cd=2&gl=id Nukmal, N, N.Utami, dan Suprapto. 2010. Skrining Potensi Daun Gamal (Gliricidia maculata Hbr.) Sebagai Insektisida Nabati. Laporan Penelitian Hibah Strategi Unila. Universitas Lampung. 2010 Prijono, D. 2005. Pemanfaatan dan Pengembangan Pestisida Nabati. Makalah Seminar Ilmiah. Jurusan Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. 3 Agustus 2005. Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Diterjemahkan oleh K. Padmawinata. ITB. Bandung. Sinaga, R. 2009. Uji Efektivitas Pestisida Nabati Terhadap Hama Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae )pada Tanaman Tembakau (Nicotiana tabaccum L.). Skripsi. Departemen Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 578

Susilo, F.X., Purnomo dan Swibawa, I. 2009. Infestation of The Papaya Mealybug in Home Plants in Bandar Lampug. Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Lampung. Tukimin dan Rizal. 2002. Pengaruh Ekstrak Daun Gamal Terhadap (Gliricidia sepium) Terhadap Mortalitas Kutu Daun Kapas (Aphis gossypii) Glover. Balittas. Litbang. Deptan. Walker, A., Hoy, M and Meyerdirk. 2008. Papaya Mealybug, Paracoccus marginatus (Insecta : Hemiptera : Pseudococcidae). Diakses 10 Maret 2010, 13:45 WIB. http://entnemdept.ifas.ufl.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 579

OFTBM-11 Efikasi Tanaman Kapayang (Pangium edule) Sebagai Insektisida Terhadap Wereng Coklat (Nilavarpata lugens) Syaiful Asikin1 1Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa

ABSTRAK Wereng batang coklat (Nilaparvata lugens Stal.) merupakan hama penting tanaman padi di Indonesia. Hama ini mampu membentuk populasi cukup besar dalam waktu singkat dan merusak tanaman pada semua fase pertumbuhan. Kerusakan tanaman disebabkan oleh kegiatan makan dengan menghisap cairan pelepah daun. Tetapi pengendalian yang paling banyak dilakukan adalah penggunaan insektisida sintetik. Penggunaan insektisida sintetik pada umumnya kurang aman karena berdampak samping yang merugikan terhadap kesehatan dan lingkungan hidup. Untuk itu insektisida sintetik yang merupakan komponen penting dalam pengendalian hama terpadu perlu dicari penggantinya. Alternatif yang perlu dikembangkan produk alam hayati (Secondary metabolite) yang pada umumnya merupakan senyawa kimia berspektrum sempit terhadap organisme sasaran. Untuk mengurangi penggunaan pestisida sintetik salah satunya adalah menggantinya dengan pestisida dari bahan nabati, karena beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak bagian tanaman ada yang bersifat toksik terhadap hama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa insektisida nabati dari bahan flora/tumbuhan kapayang (Pangium edule) cukup manjur dan berpotensi sebagai insektisida nabati untuk mengendalikan wereng coklat (Nilavarpata lugens Stall). Salah satu bahan aktif dari tumbuhan/flora rawa kapayang adalah Pyrethrin. Pyrethrin merupakan racun kontak yang tidak meninggalkan residu, sehingga pestisida ini sering disebut sebagai pestisida yang aman bagi lingkungan. Musuh alami yang paling banyak ditemukan adalah dari ordo Arachnida (jenis laba-laba). Kata kunci : Potensi, Flora rawa, Kapayang (Pangium edule), wereng coklat

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 580

PENDAHULUAN Wereng batang coklat (Nilaparvata lugens Stal.) merupakan hama penting tanaman padi d Indonesia. Hama ini mampu membentuk populasi cukup besar dalam waktu singkat dan merusak tanaman pada semua fase pertumbuhan. Kerusakan tanaman disebabkan oleh kegiatan makan dengan menghisap cairan pelepah daun (Baehaki, 1989; Pathak, 1988). Wereng batang coklat (WBC) sulit diatasi dengan satu cara pemberantasan. Hal ini disebabkan WBC mempunyai daya perkembangbiakan cepat dan segera dapat menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan. Untuk mengatasi dengan aman, dilakukan pengendalian secara terpadu sehingga memberi peranan penting pada musuh alami sebagai komponen yang tidak dapat ditinggalkan (Westen, 1990). Usaha pengendaliannya telah banyak dilakukan seperti penggunaan varietas tahan, pemakaian insektisida dan pengaturan cara bercocok tanam. Pengalaman menunjukkan bahwa penggunaan varietas tahan tidak dapat dilakukan terus menerus, sehingga perlu dicari cara pengendalian lain, seperti penggunaan musuh alami (Kartoharjono, 1990). Tetapi pengendalian yang paling banyak dilakukan adalah penggunaan insektisida sintetik. Penggunaan insektisida sintetik pada umumnya kurang aman karena berdampak samping yang merugikan terhadap kesehatan dan lingkungan hidup. Untuk itu insektisida sintetik yang merupakan komponen penting dalam pengendalian hama terpadu perlu dicari penggantinya. Alternatif yang perlu dikembangkan produk alam hayati (Secondary metabolite) yang pada umumnya merupakan senyawa kimia berspektrum sempit terhadap organisme sasaran (Sastrodiharjo dkk., 1992) Untuk mengurangi penggunaan pestisida sintetik salah satunya adalah menggantinya dengan pestisida dari bahan nabati, karena beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak bagian tanaman ada yang bersifat toksik terhadap hama (Balfas, 1994; Mudjiono dkk., 1994). Sedikitnya 2000 jenis tumbuhan dari berbagai famili telah dilaporkan dapat berpengaruh buruk terhadap organisme pengganggu tanaman (Prakash & Rao, 1977), diantaranya terdapat paling sedikit 850 jenis tumbuhan yang aktif terhadap serangga (Prakash & Rao, 1977). Selama dekade terakhir terdapat peningkatan minat yang besar dalam pencarian senyawa insektisida dari tumbuhan (Schmutterer, 1995). Di lahan rawa Kalimatan Selatan dan Tengah ditemukan beberapa jenis tumbuhan jenis flora yang jumlahnya cukup banyak, sangat beragam dan bervariasi yaitu kurang lebih 1.000 jenis tumbuhan. Tumbuhan tersebut terdiri atas kelompok rumput-rumputan, temu-

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 581 temuan herba, perdu, dan pohon berkayu. Dari beberapa jenis tumbuhan liar tersebut ada yang berfungsi sebagai, inang alternatif hama dan sebagai tempat berlindungnya/habitat dari musuh-musuh alami, biopestisida, biofilter, biofertilizer, bahan obat tradisional, dan bahan kosmetik (Asikin, 2002). Menurut Asikin dan Thamrin (2002), bahwa hasil inventarisasi beberapa tanaman yang berpotensi sebagai pestisida nabati terhadap hama ulat kubis dan penggerek batang. Hasil penelitian yang dilakukan di Laboratorium Hama dan Penyakit Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa, diperoleh tiga jenis tumbuhan rawa yang berpotensi sebagai insektitisida nabati karena mampu membunuh ulat grayak, plutella dan penggerek batang padi dengan mortalitas masing-masing 50-65%, 60-70% dan 60-75% yaitu Lukut (Patycerium bifurcatum), Kapayang (Pangium edule), Kalalayu (Eriogiosum rubiginosum), Lua (Ficus glomerata), Galam (Melaleuca leucandra), rumput minjangan (Chromolaema odoratum), Sarigading (Nyctanthes arbor-tritis), tanaman Jingah (Glutha rengas), Mamali, dan tanaman maya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan tanaman kapayang (Pangium edule) dalam mengendalikan hama wereng coklat.

METODELOGI PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di wilayah lahan rawa lebak dangkal Kandangan Desa Sungai Kecil (Kabupaten Hulu sungai Selatan, Kalimantan Selatan) pada MH. 2005/2006. Metode penelitian adalah menggunakan acak kelompok dengan 5 ulangan. Adapun perlakuan adalah: A. Insektisida Aplaud (buprofezin), B. Insektisida nabati dari flora P. edule dan C. Kontrol (Tanpa dikendalikan). Dengan masing-masing luas petakkan 50 m2. Parameter yang diamati adalah intensitas kerusakan padi oleh wereng coklat dan keadaam musuh alami.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan terhadap wereng coklat yang ditemukan dilapangan di Wilayah daerah lahan lebak dangkal adalah adalah biotipe 2. Hal ini sesuai dengan laporan Asikin (2003) bahwa dari hasil uji identifikasi biotipe hama wereng dengan menggunakan varietas defrensial ternyata wereng coklat di daerah Kalimantan Selatan terutama di Kabupaten Hulu Sungai Selatan/Kandangan adalah wereng coklat biotipe 2. Hal ini sesuai dengan hasil

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 582 pengamatan dilapangan, dimana varietas yang terserang adalah IR 42 dan beberapa jenis varietas lokal lainnya seperti jenis Siam dan Pandak. Hasil pengamatan terhadap intensitas kerusakan tanaman akibat serangan hama wereng coklat menunjukkan bahwa aplikasi insektisida nabati dari bahan tumbuhan/flora rawa kapayang (P. edule) intensitas kerusakan tanaman dapat ditekan, begitu pula pada perlakuan insektisida sintetik berbahan aktif buprofezin tidak menunjukkan perbedaan dengan insektisida nabati dari bahan tumbuhan kapayang (P.edule) (Gambar 1). Dengan demikian insektisida nabati dari bahan tumbuhan kapayang berpotensi sebagai insektisida nabati dalam mengendalikan hama wereng coklat. Sedangkan pada perlakuan kontrol tanpa pengendalian terjadi hupper burn (terbakar) akibat wereng coklat mengisap cairan sel tanaman sehingga tanaman mengalami kekurangan cairan yang akhirnya kuning dan kering. Insektisida sintetik buprofezin, yang dihasilkan Jepang, mampu menahan telur wereng menetas dan nimfanya berganti kulit. Karena tidak bisa berganti kulit, padahal nimfa ini perlu bertambah besar untuk menjadi dewasa, maka nimfa tersebut akan mati (www.tanindo.com/abdi4/hal3801.htm) Tanaman Kapayang (P. edule) mengandung asam sianida dalam jumlah besar, obat anti septik, pemusnah hama dan pencegah parasit yang manjur. Kulit kayu pohon ini yang diremas-remas dan ditaburkan diperaian akan mematikan ikan atau sejenis tuba ikan. Daunnya dapat mematikan ulat dan organisme hewani lainnya. Menurut Rumphius (1992) dalam Wardhana (1997) bahwa seluruh bagian pohon kapayang mengandung asam sianida yang sangat beracun dan dapat digunakan sebagai bahan pencegah busuk dan senyawa pembunuh serangga. Adapun sifat astiri dari racunnya memiliki keuntungan apabila digunakan tidak ada bau atau rasa apapun yang tertinggal pada tanaman yang diperlakukan. Kapayang (P. edule), mempunyai daya racun tertinggi berkisar 70-85%. Menurut Asikin (2005), bahwa tumbuhan kapayang tersebut berpotensi sebagai insektisida nabati dalam mengendalikan hama penggerek batang padi, ulat kubis, ulat jengkal, ulat grayak dan ulat buah. Berdasarkan informasi masyarakat Dayak bahwa tumbuhan Kapayang (P. edule) dapat digunakan dalam mengobati cacing pada manusia. Menurut Nunik dkk. (1997), bahwa P. edule atau kapayang dapat juga digunakan sebagai bahan pengawet ikan hal ini diduga bahawa ekstrak kapayang atau bagain dari buah kapayang tersebut mengeluarkan bau spsifik yang dapat mempengaruhi syaraf lalat, sehingga lalat kurang menyukai ikan yang diberi ekstrak buah kapayang tersebut. Disamping itu pula

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 583 buah kapayang mengadung senyawa-senyawa sianida yang dapat mempengaruhi enzem pernapasan sitokron oksedase sehingga proses oksidasi serta fosforitas dihambat. Serangga- serangga maupun mikroflora mati karena jaringan/sel-sel tidak mampu menggunakan oksegen sehingga ikan awet tidak dirusak oleh serangga dan mikroflora tersebut. Disamping itu pula ikan yang diawetkan dengan buah kapayang tidak dijumpai adanya mikroflora seperti Aspergillus niger, A.ochraceus, Mucor sp. dan Rhizupos sp. Menurut Campbell (1933) dan Burkill (1935) dalam Nunik dkk. (1997) jenis tumbuhan yang telah diketahui berfungsi sebagai bahan obat, insektisidal dan repelen atau attraktan mengandung senyawa bioaktif seperti alkaloid, terpenoid, steroid, asetogenin, fenil propan, dan tanin.

Intensitas Serangan Wereng Coklat

100 80 60 40

(%)Kerusakan 20

0 Buprofezin P.Edule Kontrol Perlakuan

Gambar 1. Intensitas Kerusakan Tanaman Padi akibat wereng coklat

Identifikasi Bahan Kimia Aktif Hasil identifikasi bahan aktif dari tumbuhan/flora kapayang salah satunya mengandung Pyrethrin (Tabel 1). Piretrum sangat beracun terhadap serangga dan bekerja dengan cepat (Goodwin, 1956) tetapi aman terhadap manusia dan hewan (Bailey, 1959; Lellan, 1963). Tumbuhan/flora rawa kapayang (P. edule) yang salah satu bahan aktifnya adalah dari Pyrethrin. Bahan aktif dari senyawa Pyrethrin bekerja dengan cara mengganggu jaringan saraf serangga. Pyrethrin bekerja dengan cepat dan dapat langsung membuat pingsan serangga. Pyrethrin mempunyai daya racun yang rendah pada manusia dan mamalia, pyrethrin lebih beracun bagi mamalia jika tercium (inhalasi), karena proses inhalasi menyediakan lebih

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 584 banyak jalur bagi pyrethrin mencapai aliran darah yang menuju keotak. Pyrethrin merupakan racun kontak yang tidak meninggalkan residu, sehingga pestisida ini sering disebut sebagai pestisida yang aman bagi lingkungan. Pyrethrin cepat terurai oleh sinar matahari dan kelembaban udara, penguraian yang lebih cepat terjadi pada kondisi asam dan basa. Oleh sebab itu bahan yang mengandung pyrethrin tidak boleh dicampur dengan kapur.

Tabel 1. Hasil analisis senyawa kimia aktif pada tumbuhan kapayang Pelarut Etanol Pelarut Aceton Senyawa aktif Areal (%) Senyawa aktif Areal (%) Hexadecanoic Acid 7.23 1.6-Anhydro-beta-D-Gucopyranos 1.11 Linoleic acid 9.29 Linoleic acid 19.82 2,6,10,14,18,22-Tetracosahexaen 8.55 Oxtadecadienoic acid 2.76 Stigmasta-5,22-dien-3-ol 5.4 Stigmast-5-en-3-ol 1.05 D:A-Friedoleanan-3-one 23.81 Stigmasta-5,22-dien-3-ol 1.30 Ledane 1H-Cycloprop (e) Ezulen 7.37 D:A-Friedoleanan-3-one 1.78 Pyrethrin I Cyclopropane carh 5.89 Spiro (1-methylene Cyclopropane) 2.84 Trans-2-1(i-hydroxy cycloheptyl) 1.58

Keadaan Musuh alami Menurut Gabriel dkk. (1986), Asikin dan Thamrin (2003) di lahan rawa ditemukan kurang lebih 62 yang terdiri dari ordo Arachnida, Orthoptera, Coloptera, Odonata, Hemiptera, Dirmeptera. Tetapi yang paling dominan ditemukan dilahan rawa pasang surut adalah dari ordo Odonata, Arachnida dan Coleptera. Populasi Parasitoid Diketahui bahwa populasi parasitoid masih banyak ditemukan di daerah rawalebak dangkal (Tabel 2), karena penggunaan pestisida relatif sedikit bahkan ada di beberapa daerah yang tidak menggunakannya. Adapun jenis parasitoid yang paling dominan adalah parasitoid telur (T.rowani, Trichogramma sp. dan T. Schoenobii), sedangkan parasitoid larva hanya jenis Apenteles sp. Jenis predator yang ditemukan adalah jenis laba-laba, capung, kumbang karabit dan belalang

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 585

Tabel 2. Parasitoid Pada Pertanaman Padi di Lahan Rawa Lebak Kal-Sel

Spesies Famili Populasi Ischnojoppa luteator Ichneumonidae ++ Xanthopimpla punctata Ichneumonidae ++ Goryphus sp Ichneumonidae + Trathala sp Ichneumonidae + Cremnops sp Ichneumonidae + Telenomus rowani Scelionidae +++ Tetrastichus schoenobii Scelionidae ++ Trichogramma sp Trichogrammatidae ++ Elasmus sp Eulophidae + Apanteles sp Braconidae + +++ = tinggi, ++ = sedang, + = rendah

Populasi Predator Di lahan rawa pasang surut dijumpai beberapa jenis predator pemakan serangga (Tabel 3), diantaranya ordo Arachnida (laba-laba) yang paling banyak dijumpai. Kehadiran laba-laba pada pertanaman padi merupakan syarat utama, karena predator ini mampu memangsa 2-3 serangga per hari dan dalam waktu yang relatif singkat dapat menghasilkan turunan yang banyak sehingga dapat mengimbangi populasi hama serangga. Menurut Shepard dkk. (1990), Lycosa pseudoanulata mampu menghasilkan 200-400 keturunan dalam masa 3-5 bulan, Oxyopes javanus dan Oxyopes lineatipes menghasilkan 200-350 keturunan dalam masa 3-5 bulan sedang Tetragnatha hidup selama 1-3 bulan dan dapat bertelur 100- 200 butir. Seperti halnya laba-laba, capung juga merupakan predator yang cukup tinggi populasinya terutama Agrionemis femina femina, Ischnura segegalensis dan Orthetrum sabina sabina, namun data tentang perkembangbiakannya dan kemampuannya dalam menekan hama serangga belum banyak diketahui. Populasi O. ishii ishii, P. fuscipes dan Hapalochros rufofasciatus termasuk populasi yang tinggi namun muculnya tidak setiap saat. Dilaporkan bahwa jenis predator ini lebih banyak memakan larva penggulung daun, dalam satu hari mampu memangsa 3-5 larva (Shepard dkk., 1990).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 586

Tabel 3. Jenis Predator Pada Pertanaman Padi Di Lahan Rawa Lebak Kal-Sel Ordo/Spesies Famili Populasi Diptera Anatrichus pygmaeus Chloroipidae +++ Poecilotraphera taeniata Platysomatidae ++ Ropalidia fasciata Vispidae ++ Coleoptera Ophionea indica Carabidae ++ Ophionea ishii ishii Carabidae +++ Paederus fuscipes Staphylinidae +++ Hapalochrus rufofasciatus Malachiidae ++ Orthoptera Conosephalus longipennis Tettigoniidae +++ Metioche vittaticollis Gryllidae +++ Anaxipha longipennis Gryllidae ++ Odonata Agriocnemis femina femina Agrionidae +++ Ischnura senegalensis Agrionidae ++ Orthetrum sabina sabina Libellulidae ++ Tholymis tillarga Libellulidae + Neorothemis fluctuans Libellulidae + Rhodothemis rufa Libellulidae + Rhyothemis phyllis phyllis Libellulidae + Hemiptera Mesovelia sp Mesovelidae ++ Hydrometra sp Hydrometridae + Microvelia sp Veliidae ++ Paraplea sp Pleidae + Micronecta sp Corixidae + Limnogonus fossarum Gerridae + Limnogonus nitidus Gerridae + Cytorhinos livipennis Cetorhinidae ++ Arachnida Araneus inustrus Araneidae + Argiope catenulate Araneidae ++ Neoscona mukerjei Araneidae + Neoscona theisi Araneidae + Oxyopes javanus Oxyopidae +++ Oxyopes lineatipes Oxyopidae + Leucage decorata Tetragnathidae + Tetragnatha mandibulata Tetragnathidae +++ Tetragnatha javana Tetragnathidae ++ Tetragnatha maxillosa Tetragnathidae ++ Tetragnatha nitens Tetragnathidae + Tetragnatha virecens Tetragnathidae + Tetragnatha japonica Tetragnathidae ++ Lycosa pseudoannulata Lycosidae +++ Pardosa sumatrana Lycosidae + Pardosa sp Lycosidae + Oxyopes javanus Oxyopidae ++ Oxyopes lineatipes Oxyopidae ++ Clubiona sp Clubiodae + Bianor sp Salticidae + Auophyrs sp Salticidae + Phidipus sp Salticidae ++

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 587

Phlegra sp Salticidae + Plexippus sp Salticidae + Zygoballus sp Salticidae + Callitrichia sp Linyphiidae ++ +++ = tinggi, ++ = sedang, + = rendah Sumber : Asikin dan Thamrin (2003)

Sementara itu, Cyrtorhinus lividipennis dan Conocephalous longipennis hanya mampu memangsa N. lugens masing 0,38 dan 0,57ekor/hari sehingga mempunyai potensi rendah untuk dijadikan predator dalam usaha pengendalian WBC. Intensitas serangan N. lugens rendah bila kemampuan memangsa predator tinggi, yaitu pada Paradosa pseudoannulata, Tetragnatha maxillosa dan Ophionea nigrofasciata, masing-masing sebesar 17,05%, 18,89%, dan 21,84%. Seekor laba-laba Tetragnatha maxillosa dapat memangsa 2-3 ekor WBC per hari (Shepard dkk., 1990). Sebaliknya intensitas serangan WBC akan tinggi jika kemampuan memangsa dari predator rendah, yaitu Cyrtorhinus lividipennis dan Conocephalous longipennis, masing– masing sebesar 52,67 % dan 52,87%.

KESIMPULAN Dari makalah ini dapat disimpulkan bahwa insektisida nabati dari bahan flora/tumbuhan kapayang (P. edule) cukup manjur dan berpotensi sebagai insektisida nabati untuk mengendalikan wereng coklat (N. lugens Stal). Salah satu bahan aktif dari tumbuhan/flora rawa kapayang adalah Pyrethrin. Pyrethrin merupakan racun kontak yang tidak meninggalkan residu, sehingga pestisida ini sering disebut sebagai pestisida yang aman bagi lingkungan. Musuh alami yang paling banyak ditemukan adalah dri ordo Arachnida (jenis laba-laba).

DAFTAR PUSTAKA Asikin.,S. 2000. Manfaat Beberapa Tumbuhan Rawa. Laporan Hasil Kegiatan Hama dan Penyakit. Balittra. Banjarbaru. Asikin. S. dan M.Thamrin. 2002. Bahan Tumbuhan Sebagai Pengendali Hama Ramah Lingkungan. Disampai pada Seminar Nasional Lahan Kering dan Lahan Rawa 18-19 Desember 2002. BPTP Kalimantan Selatan dan Balittra. Banjarbaru. Asikin. S. dan M.Thamrin. 2003. Keadaan Musuh Alami di Lahan Rawa. Disampai pada Seminar Mingguan 16-18 Desember 2003. Balittra. Banjarbaru.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 588

Asikin., S. 2003. Uji Biotipe Wereng Coklat. Laporan Hasil Penelitian. Balittra. Asikin., S. 2005. Potensi Tumbuhan Kapayang Dalam Mengndalikan Hama. Laporan Hasil Penelitian. Balittra. Baehaki, S.E. 1989. Dinamika Populasi Wereng Batang Coklat. 1: 16-30. Balfas, R. 1994. Pengaruh ekstrak air dan etanol biji mimba terhadap mortalitas dan pertumbuhan ulat pemakan daun handeuleum, Doleschalia polibete. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati. p. 203-207. Bailey, K.F. 1959. Field trials of wheat and shelled corn protection. Pyrethrum Post. 5 (2): 25-26. Burkill, J.H. 1935. A dictionary of economic products of the Malay Peninculla. Government of the Straits Settlement. Milbank. London S.W. 340 hal. Campbell, F.L. and W.W. Sullivan. 1933. The relative toxicity of nicotine, methyl anabasine and lupinine for culicine mosquito larvae. J.Con. Entomol. 26 (3) : 910-918. Goodwin, K.F. 1956. Pyrethrum and allethrin in insecticides and aerosol. Pyrethrum Post 4 (1): 3-10. Gabriel., B.P., M.Willis, and S.Asikin. 1986. Parasites and Predatorof Insect Pest of Rice in Swamplands of South and Central Kalimantan. Applied Agricultural Resarch Project. BARIF. Banjarbaru. Lellan, R.H. 1963. The use of pyrethrum dip as protection for drying fish in Uganda. Pyrethrum Post 7 (1): 8-10. Mudjiono, A., Suyanto, dan W. Prihayana. 1994. Kemampuan insektisida nabati, mikroba dan kimia sintetis terhadap ulat Plutella xylostella. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati. p. 86-90. Nunik St.Aminah, Enny. W. Lestari, dan Supraptini. 1997. Penggunaan Ekstrak Buah Pucung Pangium edule Sebagai Penghambat Serangan Lalat pada Ikan Tongkol (Auxis thazard). Prosiding Seminar Nasional Tantangan Entomologi pada Abad XXI. PEI Cabang Bogor. p.282-288. Prakash, A and J. Rao. 1997. Botanical Pesticides in Agriculture. Boca Raton: Lewis Publishers. Shepard, M.B., Barrion, A.T., and Litsinger, J. 1990. Mitra Petani Padi, Serangga- Serangga, Laba-laba dan Patogen yang Membantu. Los Banos: IRRI.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 589

Sastrodiharjo, S., I. Achmad., T. Kusumaningtyas, dan S. Manaf. 1992. Penggunaan produk alam dalam pengendalian hama terpadu. PAU. Ilmu Hayati ITB. 29p. Schmutterer, H. 1995. The neem tree, Azadirachta indica A. Juss. And other Meliaceous plants: Source of Unique Natural Products for Integrated Pest Management, Medicine, Industry and Other Pusposes. Weinham: VCH. Wardhana, A., Gt. 1997. Penetapan LC 50 Ekstrak Pucuk Daun Kapayang (Pangium edule Rein W.) Terhadap Ulat Pemakan Daun Kubis (Plutella xylostella Linn.) Skripsi. Fak.Pertanian Unlam. Banjarbaru. Kartoharjono, A. 1990. Hubungan antara wereng batang coklat dan predatornya pada tanaman padi varietas Simeru di Jawa Tengah. Di dalam: Padi dan Palawija. Bogor: Bogor: Seminar Balittan. Pathak, A.D. 1988. Insect Pest of Rice. Los Banos: IRRI. Westen, N. 1990. Perilaku predator Cyrtorhinus lividipennis Reuter (Hemiptera: Miridae) terhadap tiga jenis wereng Nilaparvata lugens Stal., Sogatella furcifera Hovath (Homoptera: Delphacidae), dan Nephotetix virescens Distant (Homoptera: Cicadellidae). Tesis Pascasarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Sastrodihardjo,S., I. Ahmad., Tri Koesumaningtyas, dan S. Manaf. 1992. Penggunaan Produk alam dalam pengendalian hama terpadu. PAU Ilmu Hayati ITB.

Notulen Diskusi Seminar S. J. Londonuwa :Dalam kapayang yang digunakan hanya crude atau ekstrak kasarnya? Jawab : Pernah menggunakan ekstrak kasar dengan kulit batang yang di blender juga efektif. Dalam kapayang itu ada Cianida. Tanya : Kadar Cianida berapa? Apakah berbahaya? Jawab : Untuk kadar kurang di uji tapi menurut literature beda tempat itu berbeda kadar mungkin dipengaruhi oleh tempat

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 590

OFTBM-12 Penggunaan Jamur Entomopatogen Paecilomyces fumusoroseus Bain. (PFR) terhadap Mortalitas Ulat Jengkal (Hiposydra talaca Wlk.) Hama pada Tanaman Teh (Camellia sinensis (L.) O. Kuntze Yenny Muliani1, Wahyu Widayat2, dan Agus Solihin1 1Fakultas Pertanian Universitas Islam Nusantara, 2 Balai Penelitian Teh dan Kina Gambung Email: [email protected]

ABSTRAK Tanaman teh (Camellia sinensis (L.) O. Kuntze) merupakan komoditas perkebunan yang menghasilkan devisa negara setelah karet, kopi, minyak sawit dan lada. Pada daun teh terkandung berbagai macam vitamin dan mineral penting yang sangat bermanfaat bagi tubuh manusia, seperti vitamin C, vitamin E, Mangan, Flourida, Asam amino, serat dan Phenol. Dalam budidaya tanaman teh, faktor yang dapat menurunkan produksi maupun mutu daun teh adalah kerusakan yang diakibatkan oleh serangan hama dan penyakit. Pada musim kemarau ulat jengkal (Hyposidra talaca Wlk.) merupakan hama yang bisa mengakibatkan kerugian mencapai 40-100%. Berbagai cara pengendalian terhadap ulat jengkal ini terus dilakukan, diantaranya dengan penggunaan klon yang tahan, cara kultur teknis,dan penggunaan pestisida. Adanya residu pestisida dalam daun teh dapat menjadi alasan bagi pembeli dari luar negri untuk menjatuhkan harga teh tersebut. Mengingat hal tersebut maka perlu dicari alternatif cara pengendalian yang lebih aman bagi manusia dan lingkungan. Salah satu cara untuk mengurangi penggunaan pestisida kimia dalam mengendalikan hama adalah dengan menggunakan cara pengendalian biologis dengan menggunakan entomopatogen Paecilomyces fumosoroseus Bain.

Kata kunci: entomopatogen, Paecilomyces fumosoroseus

ABSTRACT Tea plant is one of the plantation commodities which can give ―devisa‖ for our country after rubbers, coffee beans, palm oils and peppers. In the tea leaf contains vitamin and mineral which are very important and useful for our body, such as vitamin C, vitamin E, Mangan, Fluoride, Amino acid, fiber and Phenol. In the tea plantation, the factors that can reduce the production or the quality of the leaves is damage which is caused by pest and diseases. In the dry season Hiposydra talaca is the pest which can damage the plants until 40 – 100%. There are many ways to control the population of Hiposydra talaca such as the use of plant resistant, culture technique and pesticide. The remnant or the residue of the pesticide on the tea leaves can be the reason or can make the price of the tea decrease. Therefore we need to search alternative ways to control it which are saver for human being and environment. One way of reducing the use of chemical pesticide for pest control is the usage of biological control with Entomopathogen Paecilomyces fumosoroseus. From the research it showed that treatments of which used Entomopathogen Paecilomyces fumosoroseus was effective to controlling mortality of Hiposydra talaca.

Key words: entomopatogen, Paecilomyces fumosoroseus

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 591

PENDAHULUAN Tanaman teh (Camellia sinensis (L.) O. Kuntze) merupakan tanaman tahunan yang banyak dikenal orang sebagai tanaman penghasil minuman penyegar dan merupakan salah satu komoditas perkebunan yang mempunyai arti penting bagi perekonomian Indonesia. Tanaman teh sebagai bahan untuk komoditas ekspor yang dapat menambah devisa negara nomor 5 setelah tanaman karet, kopi, minyak sawit dan lada (Anonim, 1992 dalam Martono, 1995). Tanaman teh berasal dari daerah sub tropik, oleh karena itu tanaman ini akan lebih cocok apabila ditanam di daerah pegunungan. Ketinggian yang ideal untuk tanaman ini adalah 1200-1800 meter di atas permukaan laut, dengan curah hujan rata-rata antara 2000-2500 mm/tahun dan temperatur ideal 13-35oC, kelembaban pada siang hari 70% dengan sinar matahari yang cukup (Darmawidjaya, 1985). Tanaman teh diketahui mengandung kafein, vitamin C, vitamin E, Mangan, Flourida, Asam amino, serat dan Phenol. Polifenol merupakan komponen terbanyak dalam teh yang larut dalam air. Polifenol teh terutama merupakan katekin mempunyai banyak khasiat, antara lain efektif untuk mencegah pembusukan makanan, keracunan makanan, mencegah pertumbuhan kanker, menangkal kolesterol, mencagah tekanan darah tinggi, mencegah infeksi atau penyakit saluran pernafasan pada manusia, mengurangi penyakit jantung kardiovaskular, serta mencegah pembentukan tumor. Disamping itu, Mangan yang terkandung dalam teh dapat mengoptimalkan metabolisme gula, sedangkan unsur flourida dapat membantu memperkuat gigi dan mencegah karies pada gigi. (Hara, 1991 dalam Martosupono, 1995). Dalam budidaya tanaman teh, faktor yang dapat menurunkan produksi maupun mutu daun teh adalah kerusakan yang diakibatkan oleh serangan hama dan penyakit. Pada musim kemarau ulat jengkal (Hyposidra talaca Wlk.) merupakan hama yang bisa mengakibatkan kerugian mencapai 40-100% apabila tidak dilakukan pengendalian. Tingkat kerusakan tersebut dimulai dari berkurangnya produksi pucuk sampai serangan pada perdu yang baru dipangkas sehingga dapat menyebabkan kematian pada tanaman teh. Gejala yang terlihat akibat serangan hama tersebut adalah adanya pohon teh yang tinggal ranting-rantingnya saja, sedangkan pucuk dan daunnya habis dimakan oleh ulat jengkal tersebut. Pada musim penghujan, intensitas serangan hama ini lebih rendah dibandingkan dengan serangan di musim kemarau (Anonim, 1997). Menurut Sukasman (1996) berbagai cara pengendalian terhadap ulat jengkal ini terus dilakukan, diantaranya dengan penggunaan klon yang tahan, seperti klon Gambung 1-5 cara

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 592 kultur teknis dengan membersihkan serasah dan gulma di sekitar dan dibawah perdu teh supaya apabila ada kepompong mudah dilihat dan dimusnahkan. Penggunaan pestisida menyebabkan adaya residu dalam daun teh, hal ini menjadi alasan bagi pembeli dari luar negri untuk menjatuhkan harga teh tersebut. Mengingat hal tersebut maka perlu dicari alternatif cara pengendalian yang lebih aman bagi manusia dan lingkungan. Salah satu alternatif untuk mengurangi penggunaan pestisida kimia dalam mengendalikan hama adalah dengan menggunakan cara pengendalian biologis memanfaatkan musuh-musuh alami baik berupa parasitoid, predator maupun patogen, salah satu entomopatogen adalah sejenis jamur yang dapat menyerang hama pada tanaman teh, yaitu Paecilomyces fumosoroseus Bain. (PFR) isolat asli dari Indonesia yang ditemukan di alam dapat menginfeksi dan menimbulkan kematian pada ulat api (Setora nitens) di kebun teh. Selain itu PFR juga ditemukan menginfeksi ulat penggulung daun (Hommona coffearia) dan menginfeksi ulat bubruk (Metanastria hyrta) (Rayati & Widayat, 1993). Oleh karena itu perlu diuji pengaruh PFR ini terhadap perkembangan ulat jengkal (Hyposidra talaca Wlk.), karena ulat jengkal ini merupakan serangga yang sangat berbahaya bagi tanaman teh.

METODOLOGI PENELITIAN Pelaksanaan percobaan dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu : 1. Perbanyakan secara massal (Rearing) ulat jengkal Hiposydra talaca Wlk. 2. Pembuatan Media Potato Dextrose Agar (PDA) 3. Pembuatan media jagung 4. Perbanyakan jamur entomopatogen 5. Pembuatan suspensi jamur Rancangan Percobaan Percobaan yang akan dilaksanakan dengan metode eksperimental, dan Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) (Completely Randomized Design), sedangkan rancangan perlakuan terdiri dari 6 diulang 3 kali. Perlakuan tersebut adalah : A = konsentrasi PFR 2 x 106 spora/ml B = konsentrasi PFR 2 x 107 spora/ml C = konsentrasi PFR 2 x 108 spora/ml D = konsentrasi PFR 2 x 109 spora/ml E = konsentrasi PFR 2 x 1010 spora/ml

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 593

F = kontrol (tanpa perlakuan) Rancangan Parameter yang diamati untuk data pengamatan adalah: mortalitas Hiposydra talaca pada masing-masing perlakuan, menggunakan rumus :

푀 = 푗푢푚푙푎 ℎ 푢푙푎푡 푦푎푛𝑔 푚푎푡푖 (푒푘표푟 ) 푥 100% 퐽푢푚푙푎 ℎ 푢푙푎푡 푦푎푛𝑔 푑푖푢푗푖 (푒푘표푟 ) Apabila pada perlakuan kontrol terdapat serangga yang mati dan kurang dari 20% maka dikoreksi dengan menggunakan rumus Abbot (Bushive, 1971) yaitu : 푃표−푃푐 Pt(%) = 푥 100% 100−푃푐 Keterangan : Pt = Persentase mortalitas serangga uji yang telah dikoreksi Po = Persentase mortalitas serangga uji karena perlakuan entomopatogen Pc = Persentase mortalitas serangga uji pada kontrol

HASIL PERCOBAAN Tabel 1. Pengaruh entomopatogen Paecilomyces fumosoroseus Bain.(PFR) terhadap Mortalitas Hyposidra talaca Walker.

Perla- Rata-rata Mortalitas Hyposidra talaca Pada Pengamatan ke- kuan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 A 0.00a 0.00a 0.25a 3.50bc 3.50bc 5.25b 5.25b 6.25b 7.75b 11.75c 13.75a 14.00a 16.50a 18.00a B 0.00a 0.00a 1.00a 5.25ab 5.25b 5.75b 7.75b 6.00b 8.75ab 13.75bc 14.75a 14.75a 17.00a 18.00a C 0.00a 0.00a 1.25a 8.25ab 8.50ab 8.50b 9.00b 9.00b 9.00ab 10.50c 15.00a 16.50a 17.50a 19.50a D 0.00a 0.00a 0.00a 8.00ab 9.00ab 10.00ab 10.75ab 11.75ab 13.00a 19.00a 19.00a 19.25a 19.50a 19.75a E 0.00a 0.00a 1.25a 13.75a 14.50a 14.50a 14.75a 15.00a 15.25a 17.25ab 18.25a 18.25a 19.75a 20.00a F 0.00a 0.00a 0.00a 0.00c 0.00c 0.00c 0.00c 0.00c 0.00c 0.00d 0.00b 0.00b 0.00b 0.00b Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf uji nyata 5%. Perlakuan A = konsentrasi PFR 2 x 106 spora/ml, B = konsentrasi PFR 2 x 107 spora/ml, C = konsentrasi PFR 2 x 108 spora/ml, D = konsentrasi PFR 2 x 109 spora/ml, E = konsentrasi PFR 2 x 1010 spora/ml, F = kontrol (tanpa perlakuan)

Dari hasil uji analisis statistik, menunjukkan pada pengamatan hari ke-1 sampai hari ke-3 diantara semua perlakuan tidak berbeda nyata (non-significant). Hal ini disebabkan proses infeksi suatu agensia hayati yang berupa entomopatogen memerlukan waktu untuk menginfeksi serangga sasarannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Martosupono dkk., 1996, bahwa proses infeksi sampai terjadinya kematian serangga hama berlangsung sekitar 4 – 10 hari setelah terjadinya kontak. Pada pengamatan hari ke-11 sampai hari ke-14, menunjukkan semua perlakuan PFR berbeda nyata dengan kontrol dan tidak berbeda nyata diantara semua perlakuan.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 594

KESIMPULAN Konsentrasi jamur Paecilomyces fumosoroseus Bain.(PFR) 2 x 106 konidia / ml merupakan konsentrasi yang paling baik dalam menekan perkembangan ulat jengkal Hyposidra talaca Walker.

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1997. Petunjuk Teknis Tanaman Teh. Edisi kedua. Asosiasi Penelitian Perkebunan Teh Indonesia. Pusat Penelitian Teh dan Kina. Gambung. Bandung. Biro Pusat Statistik. 2000. Statistik The. BPS. Jakarta Darmawidjaya. 1985. Teknik dan Budidaya Tanaman The. BPTK Gambung. Bandung. Jawa Barat. Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pest of Crops In Indonesia, Revised and Translated By P.A.Van der laan. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta. Martosupono, M, Wahyu Widayat dan Dini Jamia Rayati. 1996. Penggunaan Jamur Paecilomyces fumosoroseus (PFR) Sebagai Teknologi Alternatif Pengendalian Hama non-kimiawi Pada Tanaman Teh. Makalah Pada Posiding Seminar Sehari ―Alternatif Pengendalian Hama Teh Secara Hayati‖. Gambung 5 Desember 1996. PPTK Gambung. Sukasman. 1996. Entomopatogenk Insektisida. Seminar Sehari ―Alternatif Pengendalian Hama Teh Secara Hayati‖. Gambung 5 Desember 1996. PPTK Gambung.

Notulensi Diskusi Seminar Wulan : Apakah namanya sama ulat jengkal yang hijau dan yang hitam? Apa kelebihan dan kekurangannya? Jawab : Kelebihan dan kekurangan lebih pada cara persiapannya. Tidak boleh diaplikasikan saat matahari terik. Hama ini tidak bisa dihubungkan dengan pemetikan.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 595

OFTBM-13 Ketersediaan Mikrohabitat dan Efek Perilaku Masyarakat Terhadap Keberadaan Aedes ageptii di Lingkungan Perkotaan Andrio Adiwibowo1 1Fakultas matematika & Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia

ABSTRAK Distribusi dari Aedes agepty sangat tergantung dari kesesuiaian habitatnya. Di lingkungan perkotaan, tingkat suitabilitas habitat itu menjadi semakin kompleks. Hal itu mengingat nyamuk dapat hidup di luar rumah dan berpindah serta menempati berbagai tempat di dalam rumah. Selanjutnya, perilaku masyarakat dalam mengelola lingkungannya juga turut menentukan keberadaan nyamuk itu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui asosiasi dari mikrohabitat dan perilaku masyarakat terhadap keberadaan nyamuk di lingkungan perkotaan. Survei dilakukan di perumahan dengan mengamati parameter mikrohabitat yang meliputi pakaian yang tergantung, vegetasi di sekitar rumah, dan ventilasi yang dilengkapi dengan tirai. Sedangkan faktor perilaku yang diamati adalah menguras penampungan air, membuang sampah, dan membersihkan halaman. Mikrohabitat berupa pakaian yang tergantung ditemukan di sebagian besar lokasi pengamatan (80%) dan sekitar 50% dari pakaian pada lokasi itu ditemukan nyamuk. Keberadaan vegetasi di sekitar rumah juga berkorelasi positif dengan adanya A. agepty (p < 0.05). Selanjutnya, juga terdapat pengaruh (p < 0.05) antara pemakaian tirai di jendela dengan keberadaan A. agepty. Aktivitas menguras penampungan air dan membuang sampah dengan frekuensi lebih dari 3 kali dalam seminggu lebih sering dilakukan di lingkungan yang tidak terdapat A. agepty daripada di lingkungan yang terdapat A. agepty. Dapat disimpulkan bahwa keberadaan A. agepty di perumahan dipengaruhi oleh mikrohabitat dan perilaku terhadap kebersihan. Sehingga dengan memperhatikan faktor – faktor tersebut, nyamuk dapat dibatasi penyebarannya dan demam berdarah dapat dicegah.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 596

OFTBM-14 Pengaruh Varietas Unggul Baru Terhadap Perkembangan Wereng Coklat Brakiptera dan Makroptera Biotipe 2 dan 3 Endang Sri Ratna1, Wahyu Fitriningtyas1, Rahmini1, dan Arifin Kartohardjono2 1Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Jalan Kamper, Lingkar Kampus IPB, Darmaga, Bogor., Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. KP. Muara, Jl. Raya Ciapus, Bogor 2Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. KP. Muara, Jl. Raya Ciapus, Bogor

ABSTRAK Populasi wereng batang cokelat (WBC) Nilaparvata lugens merupakan hama utama tanaman padi. Peledakan populasi umumnya terjadi pada varietas padi yang sesuai untuk habitat, kelangsungan hidup, dan berkembang biak wereng. Penggunaan varietas tanaman padi tahan dalam pengendalian hama ini dianggap cara yang paling murah dan ramah lingkungan. Penelitian ini bertujuan meneliti perkembangan populasi WBC biotipe 2 dan 3 pada beberapa varietas padi, untuk mendapatkan varietas durable resistance. Sembilan varietas tanaman yang digunakan pada pengujian ini adalah IR 64, IR 74, Inpari 4, Inpari 6, dan Inpari 13, termasuk varietas pembanding standard rentan TN1, IR 26, dan IR 42 yang berturut-turut merupakan inang biakan WBC biotipe 2 dan 3 serta varietas pembanding tahan PTB 33. Masing-masing setiap tanaman uji umur 35 hari dilepas sepasang dan 10 pasang imago brakhiptera yang berada di dalam kurungan plastik. Setiap perlakuan diulang 3 kali. Jumlah individu WBC keturunannya dihitung setiap interval 2 hari, termasuk jumlah populasi induk G2 makroptera dan brakhiptera yang terbentuk serta fenologi setiap tanaman diamati hingga tanaman mati. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa IR 64 merupakan varietas yang paling sesuai untuk tempat hidup dan berkembang biak populasi WBC biotipe 2 maupun biotipe 3 dengan jumlah total individu berturut-turut mencapai 267-502 ekor/rumpun dan 282-528 ekor/rumpun, sebaliknya Inpari 13 adalah varietas yang relatif paling tahan terhadap serangan wereng kedua biotipe tersebut dengan jumlah individu berturut-turut hanya mencapai 21-81 ekor/rumpun dan 52-56 ekor/rumpun. Puncak populasi dicapai pada varietas IR 64 hari ke 59- 68 hari setelah tanam pada biotipe 2 dan 62 hari setelah tanam pada biotipe 3. Pada Inpari 13 ; 59-68 hst pada biotipe 2 dan 62-67 pada biotipe 3. Pembentukan makroptera dan brakhiptera pada IR 64 terjadi pada hari ke 59-68 HST dengan jumlah 4 makroptera dan 47 barakiptera pada biotipe 2 dan 63-67 hst dengan jumlah 6 makroptera dan 132 brakiptera pada biotipe 3. Pada Inpari 13 pembentukan makroptera dan brakhiptera terjadi pada hari ke 57-57 HST dengan jumlah 1 makroptera dan 8 barakiptera pada biotipe 2 dan 72 hst dengan jumlah 4 makroptera dan 10 brakiptera pada biotipe 3. Mulai terjadi kelayun/tanaman mati hari IR 64yaitu 82 -84 hst untuk biotipe 2 dan 91 hst untuk biotipe 3. Sedang pada Inpari 13 tanaman belum mati untuk biotipe 2 dan biotipe 3. Kata kunci: wereng batang cokelat, populasi, makroptera, brakhiptera

ABSTRACT Population of brown plathopper (BPH) Nilaparvata lugens is the major pest in rice field. Explosion of the population on rice plant is usually caused by the suitability of the habitat, life cycle and development of this BPH. Using the resistant rice variety to control this pest is efficient and does not contaminate the environment. The objective of these studies were to observe population development of BPH biotype 2 and 3 on some rice varieties, to obtain durable resistant varieties. Nine rice varieties used in these studies were IR 64, IR 74, Inpari 4, Inpari 6, and Inpari 13 including TN1 as susceptible check and IR 26, IR 42 as host plants on rearing of BPH biotype 2 and 3 also PTB 33 as resistant check. Each tested variety 35 days after transplanting (dat) were inoculated with a pair and 10 pairs of adult BPH brachyptera in plastic mylar cage. Each treatment was replicated 3 times. The number of individual generation of BPH were counted in 2 day-interval including parents population of G2 macroptera and brachyptera found and every plant phenology until the plant died. Result from the observation show that IR 64 is a variety which is suitable for the life and development of BPH biotype 2 and 3 with number of individual respectively 267-502 BPH/plant and 282-528 BPH/plant. While Inpari 13 is relatively resistant to the infestation of both biotype with number of individual respectively 21-81 BPH/plant and 52-56 BPH/plant. The peak of population on IR 64 are 59-68 dat for biotipe 2 and 62 dat for biotype 3. In Inpari 13 59-68 dat for biotype 2 and 62-67 dat for biotype 3. The macroptera and brachyptera on IR 64 was found at 59-68 dat with a total number of 4 macroptera and 47 brachyptera for biotype 2 and 63-67 dat with a total number of 6 macroptera and 132 brachyptera for biotype 3. In Inpari 13 found at 57 dat with total number 1 macroptera and 8 brachyptera for biotype 2 and 72 dat with total number 4 macroptera and 10

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 597 brachyptera for biotype 3. The rice plant died for IR 64 at 82-84 for biotype 2 and 91 for biotype 3. While Inpari 13 there were no dead plant. Keywords: born planthopper (BPH), population, macroptera, brachyptera.

PENDAHULUAN Wereng batang cokelat (WBC) (Nilapavarta lugens Stål) merupakan hama utama pada tanaman padi. Hama ini menyerang berbagai varietas tanaman padi khususnya padi tipe baru (PTB), padi hibrida yang diketahui rentan terhadap serangan organisme pengganggu tanaman, serta padi varietas unggul baru (VUB) (Baehaki, 2008). Status hama ini dilaporkan menjadi destruktif pada tanaman padi di Indonesia, yaitu saat terjadi peledakan hama di Jawa Tengah dan Jawa Timur pada tahun 1991–1992 yang menyebabkan kehilangan hasil panen, sehingga menghambat keberhasilan peningkatan produksi beras nasional (Baehaki dkk., 1992 dalam Laba & Atmadja, 1992). Gejala tanaman ―hopperburn‖ dan timbulnya kerdil hampa dan kerdil rumput sering terjadi akibat serangan langsung maupun tidak langsung oleh WBC (Baehaki dkk., 1992 dalam Laba & Atmaja 1992). Akibat serangan hama ini yaitu menurunkan produktivitas tanaman sehingga kehilangan hasil mencapai sekitar 10–30% dari potensial produksi padi nasional (DEPTAN, 1983). Pada tahun 2008, peledakan populasi wereng kembali dilaporkan menyebar di 26 provinsi di Indonesia yang meliputi luasan 24.152 ha dan jumlah ini meningkat 58,5% hingga mencapai 38.280 ha (Iriana, 2009). Peledakan WBC dipengaruhi oleh pola pertumbuhan populasi r-strategi (Baehaki, 2008). Serangga ini juga memiliki plastisitas genetik yang tinggi, sehingga dengan mudah akan membentuk biotipe baru. Hal ini ditunjukkan saat mengatasi WBC biotipe 1 telah digunakan varietas tahan IR26 yang ditanam secara luas namun hanya dapat bertahan pada waktu 4-5 musim saja. Peran individu makroptera di dalam populasi memiliki potensi pencar dan migrasi. Makroptera ini dapat memencar dalam jarak pendek antar pertanaman dan jarak jauh atau emigrasi (Baehaki, 1985). Pemencaran maksimum terjadi sebelum panen, namun pemencaran dari tanaman vegetatif dapat dilakukan bila tanaman tersebut mati kering (IRRI, 1979). Penelitian ini bertujuan meneliti perkembangan populasi WBC biotipe 2 dan 3 dengan memantau potensi pembentukan imago makroptera dan brakhiptera WBC pada tingkat kepadatan populasi tertentu pada beberapa varietas padi, untuk mendapatkan varietas tahan (―durable resistance‖).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 598

BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan BB Padi Muara-Bogor dari bulan November 2010 sampai dengan Februari 2011. Varietas tanaman yang digunakan adalah IR26 dan IR42 yang merupakan inang WBC biotipe 2 dan 3; TN1 dan Ptb33 yaitu varietas standar rentan dan tahan dari IRRI; dan IR64, IR74 serta varietas unggul baru (VUB) Inpari3, Inpari4, Inpari6, dan Inpari13 yaitu varietas yang banyak ditanam di lapangan oleh petani. Benih-benih tersebut diperoleh dari Balitpa Sukamandi. Benih padi uji disemai pada ember plastik kecil diameter 10 cm yang diisi dengan tanah secukupnya. Setiap dua bibit tanaman berumur dua minggu, dipindahkan ke dalam ember plastik besar berdiameter 25 cm berisi tanah dan digenangi air secukupnya. Tanaman tersebut selanjutnya digunakan sebagai inang perbanyakan wereng uji dan tanaman perlakuan. Perbanyakan Stok WBC Serangga uji WBC diambil dari perbanyakan stok WBC yang dipelihara secara terus-menerus pada varietas padi inang. WBC biotipe 2 dibiakkan pada tanaman varietas IR26 dan biotipe 3 pada varietas IR42. Tanaman dan wereng perbanyakan dikurung dengan kurungan kasa berkerangka besi, berbentuk silinder, berdiameter 25 cm dan tinggi 85 cm yang pada bagian permukaan atasnya ditutup kain kasa dan di bagian samping pangkal kurungan diberi ventilasi dengan membuat sebuah lubang segi empat bertutup kain kasa, berukuran 10 cm x 10 cm. Proporsi pembentukan makroptera dan brakhiptera Pemeliharaan stok WBC pada penelitian ini dilakukan dengan cara melepas satu pasang imago makroptera biotipe 2 dan biotipe 3 dari populasi stok pada kedua bibit tanaman inang berumur 35 hari dengan cara pemeliharaan diatas. Pelepasan tersebut identik dengan investasi awal wereng yang ditemukan pada tanaman padi di lapang. Wereng dipelihara hingga membentuk imago brakhiptera populasi generasi pertama dan selanjutnya digunakan sebagai wereng uji. Setiap ember berdiameter 25 cm ditanami satu bibit tanaman yang akan dipelihara sebagai media tanam selama percobaan berlangsung. Satu pasang WBC brakhiptera diambil dengan menggunakan aspirator kemudian dilepas pada 9 varietas padi uji diuraikan di atas. Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Tanaman yang telah diinfestasi wereng diberi kurungan kasa berbentuk silinder berkerangka besi dengan diameter 25 cm, tinggi 85 cm. Wereng uji tersebut dipelihara dan jumlah wereng yang menetas diamati setiap interval 2 hari sekali

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 599 hingga terbentuk imago makroptera. Penelitian berakhir sampai tanaman memasuki akhir musim tanam. Metode yang sama juga dilakukan pada pelepasan 10 pasang WBC brakhiptera pada 9 varietas padi uji di atas. Parameter yang diamati adalah fluktuasi populasi WBC selama satu musim, waktu pembentukan makroptera, jumlah populasi brakhiptera dan makroptera.

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambar 1 menunjukkan bahwa pelepasan WBC biotipe 2 pada tanaman berumur 35 hari menghasilkan dua puncak generasi populasi dalam 1 musim tanam. Puncak populasi generasi pertama umumnya terjadi ketika tanaman berumur 57–68 hari setelah tanam (hst). Saat pelepasan 10 pasang induk pada tanaman rentan, rata-rata jumlah populasi wereng meningkat 2 hingga 3 kali lipat lebih tinggi dibandingkan pada pelepasan 1 pasang induk. Jumlah WBC pada puncak populasi generasi pertama pada pelepasan 10 dan 1 pasang induk tertinggi dijumpai pada varietas padi IR64 berturut-turut 206 dan 81 ekor/rumpun, sedang terendah pada Inpari13 yang hanya mencapai 17 dan 24 ekor/rumpun. Rata-rata jumlah populasi WBC pada puncak populasi generasi berikutnya dengan pelepasan sama seperti di atas pada IR64 meningkat menjadi 491 dan 242 ekor/rumpun, sebaliknya pada Inpari13 mencapai 131 dan 61 ekor/rumpun. Dengan demikian, rata-rata jumlah populasi total WBC pada varietas IR64 adalah 502 dan 267 ekor/rumpun/musim tanam dan pada varietas Inpari13 adalah 81 dan 21 ekor/rumpun/musim tanam. Jumlah populasi WBC pada Ptb33 yang merupakan varietas standard tahan hanya mencapai 64 dan 27 ekor/rumpun pada puncak populasi generasi ke-dua. Sebaliknya, jumlah populasi biotipe 2 meningkat pesat saat pelepasan 10 pasang induk pada tanaman inang asal yaitu IR26 mencapai 693 ekor/rumpun pada generasi pertama dan selanjutnya menurun hingga 40 ekor/rumpun dan meningkat kembali pada puncak populasi generasi ke-dua mencapai 248 ekor/rumpun. Peningkatan populasi pada pelepasan 10 pasang induk juga terjadi pada varietas TN1 yang mencapai 508 ekor/rumpun pada puncak populasi generasi kedua. Jumlah populasi yang tinggi ini menyebabkan pelepah batang serta daun kedua tanaman varietas IR26 dan IR64 mulai layu kemudian menjadi kering kecokelatan pada 59–61 hst dan seluruh rumpun tanaman mati lebih awal yaitu pada 83–85 hst, diikuti TN1 pada 91 hst. Setelah ketiga tanaman tersebut, Inpari3 menjadi urutan kerentanan terhadap WBC biotipe 2 ditunjukkan dengan gejala awal mengeringnya tanaman saat populasi WBC mencapai 212–294 ekor/rumpun pada 81 hst. Hal

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 600 yang berbeda dengan fenologi tanaman Ptb33 dan Inpari13 yang masih tetap tumbuh dengan baik hingga panen.

Gambar 1. Kurva pertumbuhan populasi WBC pada satu musim tanam padi.

Keadaan yang berbeda pada perkembangan populasi WBC biotipe 3, pelepasan 1 pasang induk menghasilkan dua puncak generasi populasi, sedangkan pelepasan 10 pasang induk menghasilkan satu puncak generasi populasi dalam 1 musim tanam (Gambar 1). Secara umum peningkatan jumlah populasi WBC biotipe 3 relatif jauh lebih tinggi, begitu pula gejala kerusakannya lebih nyata dibandingkan dengan WBC biotipe 2, terutama tanaman

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 601 mati lebih cepat pada pelepasan 10 pasang WBC biotipe 3 (Gambar 1). Pelepasan 1 pasang induk WBC biotipe 3 pada IR64 mengawali pengeringan pelepah batang dan helaian daun pada 61 hst saat populasi puncak mencapai 224 ekor/rumpun dan terjadi puso lebih dini yaitu pada 79 hst setelah dicapai puncak populasi generasi kedua pada 75 hst sebanyak 419 ekor/rumpun. Kerusakan yang lebih parah pada pelepasan 10 pasang induk WBC mengakibatkan kematian tanaman IR42 dan IR64 berturut-turut pada 63 dan 77 hst, setelah puncak populasi generasi pertama dicapai pada 53 dan 61 hst dengan jumlah populasi sebesar 1000 dan 253 ekor/rumpun. Rata-rata jumlah populasi total WBC biotipe 3 pada varietas IR64 adalah 528 dan 282 ekor/rumpun/musim tanam dan pada TN1 adalah 1440 dan 954 ekor/rumpun/musim tanam, sedangkan pada varietas Inpari13 hanya 56 dan 53 ekor/rumpun/musim tanam masing-masing pada pelepasan 10 dan 1 pasang induk. Kematian tanaman varietas Inpari4, Inpari3, dan Inpari6 yang relatif lebih lambat dari kedua varietas diatas berturut-turut terjadi pada 83, 87, dan 91 hst. Tiga varietas yang tersisa masih dianggap tahan dan tetap tumbuh dengan baik hingga akhir musim tanam, walaupun jumlah populasi WBC biotipe 3 pada IR74 relatif jauh lebih tinggi dibandingkan kedua varietas Ptb33 dan Inpari13; yakni jumlah populasi tertinggi pada ketiga varietas tersebut berturut-turut 282 ekor/rumpun terjadi pada populasi generasi pertama dan 97 dan 74 ekor/rumpun terjadi pada populasi generasi ke-dua. Hasil perlakuan di atas menunjukkan bahwa IR64 dan Inpari3 bereaksi rentan terhadap koloni biotipe 2; IR64, Inpari3, dan Inpari4 bereaksi rentan terhadap koloni biotipe 3; sebaliknya Inpari13 dan Ptb33 bereaksi tahan terhadap kedua biotipe 2 dan 3. Baehaki dan Munawar (2009) melaporkan bahwa, rendahnya jumlah populasi WBC yang berkembang pada varietas Ptb33 disebabkan oleh keberadaan kandungan 2 gen ketahanan yaitu Bph2 dan Bph3 sehingga menyebabkan WBC tidak berkembang pada varietas tersebut. Pada pelepasan 10 pasang WBC biotipe 3 terutama pada IR42 dan IR64, jumlah populasi generasi pertama relatif sangat tinggi, selanjutnya populasi generasi kedua menurun drastis. Hal ini diduga karena tanaman layu dan kering akibat dari serangan wereng yang cukup tinggi pada generasi pertama di awal pertumbuhannya, kemudian pada pertumbuhan selanjutnya tanaman merana atau mati, sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan nutrisi untuk seluruh keturunan populasi berikutnya. Tingginya populasi wbc pada varietas IR64 dan IR74 pada pelepasan 10 pasang dapat dijadikan sebagai indikator bahwa kedua varietas tersebut telah patah ketahanannya terhadap WBC biotipe 3. Kartohardjono dkk. (2010)

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 602 melaporkan bahwa varietas IR64 bereaksi agak rentan terhadap populasi WBC biotipe 3. Menurut Baehaki (2008), keberadaan wereng cokelat biotipe 3 yang cukup lama disebabkan adanya IR64 yang memiliki gen tahan Bph1+ yang bersifat durable resistance sebagai penyangga perubahan wereng cokelat ke biotipe yang lebih tinggi. Keadaan kini dengan berkembangnya penggunaan varietas IR74 yang memiliki gen tahan Bph3 diduga akan menyulut terbentuknya biotipe baru, seperti yang telah dilaporkan adanya temuan serangan WBC biotipe 4 di Asahan, Sumatera Utara (Baehaki, 2007). Tingginya populasi WBC biotipe 3 pada varietas IR42 diduga karena terjadi adaptasi kelangsungan hidup wereng yang sangat baik pada tanaman inang perbanyakan. Menurut Baehaki (2009) IR42 merupakan varietas yang telah dikembangkan oleh IRRI dan mengandung gen tahan Bph 2 yang diharapkan dapat mencegah timbulnya WBC biotipe 3, namun penelitian yang dilakukan oleh Baehaki dan Munawar (2009) menunjukkan bahwa varietas ini diketahui sudah patah ketahanannya terhadap WBC biotipe 2 sehingga rentan terhadap WBC biotipe 3. Selain itu IR42 (bph 2) adalah varietas yang monogenic resistance atau vertical resistance yang tekanan seleksinya kuat terhadap wereng cokelat sehingga biotipe baru wereng cokelat muncul sangat cepat. Pembentukan imago makroptera dan brakhiptera Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa WBC biotipe 2 relatif lebih cepat berkembangbiak dibandingkan WBC biotipe 3. Puncak populasi generasi I WBC biotipe 2 dicapai pada waktu 62 dan 58 hari bagi masing-masing pelepasan induk 1 dan 10 pasang relatif lebih pendek dibandingkan WBC biotipe 3 yang keduanya dicapai dalam waktu 63 hari. Penggunaan dikelompokkan menjadi varietas rentan, tahan dan uji. Pelepasan 10 pasang WBC biotipe 3 ada varietas rentan (TN1, IR 42 dan IR 64), menghasilkan imago dengan kisaran 704–1263 ekor perbandingan 90–92% brakiptera: 8–10% makroptera. Varietas tahan (Ptb 33 dan Inpari 13) menghasilkan imago dengan kisaran 13–92 ekor perbandingan 76–78% brakiptera dan 22–24% makroptera. Varietas uji (IR 74, Inpari 3, Inpari 4, Inpari 6) menghasilkan imago dengan kisaran 324–654 ekor perbandingan 89–96% brakiptera dan 4–11% makroptera (Gambar 2 dan Tabel 1). Pada WBC biotipe 2 varietas rentan (TN1, IR 42 dan IR 64),

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 603

1400 1200 1 pasang brakhip 1000 800 1 pasang Makrop 600 1 pasang Total 400 200 10 pasang brakhip 0 10 pasang Makrop 10 pasang Total

600 500 1 pasang brakhip 400 1 pasang Makrop 300 200 1 pasang Total 100 10 pasang brakhip 0 10 pasang Makrop 10 pasang Total

Gambar 2. Populasi WBC brakiptera dan makroptera pada beberapa VUB (A Biotipe 3 dan B 2) menghasilkan imago dengan kisaran 139-504 ekor perbandingan 86-92 % brakiptera: 8-14% makroptera. Varietas tahan (Ptb 33 dan Inpari 13) menghasilkan imago dengan kisaran 7-103 ekor perbandingan 80-100 % brakiptera dan 10-0 % makroptera. Varietas uji (IR 74, Inpari 3, Inpari 4, Inpari 6) menghasilkan imago dengan kisaran 84-297 ekor perbandingan 77-92 % brakiptera dan 8-23 % makroptera (Gambar 2 dan Tabel 1). Pada VUB yang digunakan WBC brakiptera lebih banyak terbentuk, mengakibatkan serangga tersebut akan menghisap tanaman sehingga lebih cepat menyebabkan pertanaman layu. Sedang WBC makroptera yang terbentuk meskipun lebih sedikit, tetapi serangga tersebut akan terbang atau bermigrasi kepertanaman lain. Jika ada pertanaman yang terserang virus kerdil rumput atau kerdil hampa maka serangga yang bermigrasi ini cenderung akan berperan sebagai vektor.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 604

Tabel 1. Komposisi WBC makroptera dan brakiptera pada beberapa VUB A. biotipe3 Varietas 1 pasang (%) 10 pasang (%) brakhiptera Makroptera brakhiptera Makroptera TN1 82.23 17.77 90.48 9.52 IR 42 84.98 15.02 97.31 2.69 IR 64 95.43 4.57 96.02 3.98 IR 74 85.11 14.89 94.75 5.25 Inpa 3 80.18 19.82 89.19 10.81 Inpa 4 80.26 19.74 92.29 7.71 Inpa 6 92.15 7.85 91.74 8.26 Inpa 13 74.42 25.58 78.26 21.74 PTB 33 100 0 76.92 23.08 B. biotipe2 Varietas 1 pasang 10 pasang brakhiptera Makroptera brakhiptera Makroptera TN1 91.54 8.46 92.50 7.5 IR 42 86.06 13.94 86.71 13.29 IR 64 92.21 7.79 92.81 7.19 IR 74 72.09 27.91 84.18 15.82 Inpa 3 84.21 15.79 85.71 14.29 Inpa 4 76.14 23.86 77.77 22.23 Inpa 6 77.77 22.23 81.42 18.58 Inpa 13 84.38 15.62 80.59 19.41 PTB 33 0 0 100 0

Pada beberapa serangga, polimorfisme sayap sebagian dikendalikan oleh faktor genetis, seperti contohnya pada WBC, selain pengaruh genetis, faktor lingkungan juga berperanan penting dalam pembentukan sayap makroptera (Yamada, 1990). Penentuan bentuk sayap ini bergantung pada perubahan kerapatan populasi saat nimfa tumbuh dan berkembang. Bila kerapatan populasi tinggi sebelum akhir nimfa instar 3 berkembang, maka pada ganti kulit berikutnya berkembang populasi yang memiliki bantalan sayap panjang yang merupakan cikal bakal makroptera. Saxena dkk. (1981) melaporkan bahwa kemunculan makroptera lebih banyak pada tanaman tua dibandingkan dengan tanaman muda dan kemunculan makroptera lebih banyak pada tanaman setengah rusak dibandingkan tanaman yang sehat. Sesuai dengan hasil di atas menunjukkan bahwa banyaknya makroptera yang dihasilkan pada IR64 terjadi akibat tingginya populasi WBC dan meluasnya kerusakan tanaman oleh aktifitas makan wereng. Menurut Kisimoto (1965 dalam Baehaki, 1985), berkurangnya jumlah makroptera yang terbentuk pada varietas tahan disebabkan oleh kepadatan nimfa yang rendah dengan kualitas makanan yang baik.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 605

Ratio seks imago WBC Gambar 3 menunjukkan bahwa pelepasan 1 pasang maupun 10 pasang induk makroptera pada semua 9 varietas tanaman uji dapat menghasilkan keturunan bentuk brakhiptera maupun makroptera. Proporsi jumlah betina yang lebih tinggi dibandingkan jantan umum dijumpai pada WBC brakhiptera, sebaliknya jumlah jantan yang lebih tinggi dijumpai pada bentuk makroptera. Pada varietas tahan Ptb33, jumlah imago yang berkembang sangat sedikit dan seluruhnya berbentuk brakhiptera, selain itu ratio wereng jantan lebih banyak dibandingkan betina kecuali pada pelepasan 10 pasang induk WBC biotipe 3 (Gambar 2). Hal ini berarti bahwa wereng

100 TN1 IR26/IR42 80 IR64 IR74 60 Inpari3

40 Inpari4 Inpari6

20 Inpari13 Puncak populasi(hst) Puncak WBC Ptb33 0 bio 2, 1 ps bio 2, 10 ps bio 3, 1 ps bio 3, 10 ps

100 TN1 IR26/IR42 80 IR64 IR74 60 Inpari3 40 Inpari4 Inpari6 20 Inpari13 Ptb33 0 (hst) makroptera pembentukan Waktu bio 2, 1 ps bio 2, 10 ps bio 3, 1 ps bio 3, 10 ps

Gambar 2. Puncak populasi generasi I dan waktu pembentukan imago WBC makroptera brakhiptera sangat berperan mempercepat peningkatan pertumbuhan populasi pada rumpun tanaman padi dan memberikan kontribusi yang tinggi sebagai pemicu peledakan populasi. Walaupun proporsi betina rendah pada makroptera, wereng ini memiliki kemampuan memencar dengan jarak tempuh yang tinggi untuk menemukan inang baru dan berpotensi sebagai penerus keturunan serta membentuk pertumbuhan populasi awal pada tanaman inang

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 606 yang dihinggapinya. Hal ini telah diuraikan sebelumnya bahwa 1 pasang WBC yang hidup dan berkembang biak pada inang yang sesuai atau rentan yaitu IR64 (dalam kondisi uji semi lapang) berpotensi menyebabkan puso pada satu rumpun tanaman. Menurut Baehaki (2008), hasil kopulasi antara WBC jantan brakhiptera dengan betina brakhiptera atau betina makroptera dan sebaliknya hasil kopulasi antara WBC jantan makroptera dengan betina makroptera atau betina brakhiptera pada generasi pertama dapat menghasilkan jenis kelamin jantan dan betina jantan dari kedua bentuk makroptera maupun brakhiptera. Betina brakhiptera diproduksi pada kerapatan populasi rendah, sedangkan jantan brakhiptera diproduksi pada kerapatan populasi sedang (Kishimoto, 1965 dalam Yamada, 1990). Dengan demikian dapat difahami bahwa jantan makroptera maupun brakhiptera tidak mudah terbentuk pada populasi koloni rendah.

3.50 B Bio 2 1 psng

3.00 B Bio 2 10 psng

2.50 B Bio 3 1 psng

2.00 B Bio 3 10 psng M Bio 2 1 psng 1.50 M Bio 2 10 psng 1.00

M Bio 3 1 psng Ratio seks betina:jantan Ratioseks 0.50 M Bio 3 10 psng

0.00

TN1 IR64 IR74

Ptb33

Inpari3 Inpari4 Inpari6 Inpari13 IR26/IR42

Gambar 3. Perbandingan jenis kelamin pada WBC brakhiptera (B) dan makroptera (M)

KESIMPULAN 1. Padi VUB Inpari13 paling berpeluang memiliki sifat durable resistance terhadap serangan WBC biotipe 2 maupun 3. 2. IR64 adalah varietas padi paling rentan terhadap serangan WBC biotipe 2 dan 3. 3. Puncak populasi WBC generasi pertama terbentuk berkisar antara 20–33 hari, dengan rata-rata 26 hari setelah WBC diinfestasikan. 4. Inisiasi bentuk makroptera lebih cepat pada varietas rentan dibandingkan varietas tahan.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 607

5. Serangga brakiptera lebih banyak terbentuk khususnya pada kepadatan WBC yang tinggi. 6. Komposisi betina lebih tinggi pada populasi WBC brakhiptera, sebaliknya jantan lebih tinggi pada populasi makroptera.

DAFTAR PUSTAKA Baehaki SE. 1985. Studi perkembangan populasi wereng coklat Nilaparvata lugens Stal asal imigran dan pemencarannya di pertanaman [disertasi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Baehaki SE. 2007. Perkembangan wereng coklat biotipe 4. http://sirine.uns.ac.id [19 Mei 2009]. Baehaki SE. 2008. Perubahan wereng coklat biotipe 4 di beberapa sentra produksi padi [Abstrak]. Di dalam: Pemberdayaan keanekaragaman serangga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Buku panduan seminar nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI). LIPI Cibinong, 18-19 Maret 2008. Bogor: PEI. Abstrak-O1. Baehaki SE, Munawar D. 2009. Uji biotipe wereng cokelat, Nilaparvata lugens STAL. di sentra produksi padi. Di dalam: Suprihatno B et al., editor. Inovasi teknologi padi mengantisipasi perubahan iklim global mendukung ketahanan pangan. Prosiding Seminar Nasional Padi 2008; Sukamandi, 23-24 Juli 2008. Sukamandi: BBPTP. hlm 347-359. [DEPTAN] Departemen Pertanian. 1983. Pedoman Bercocok Tanam Padi, Palawija, Sayur- Sayuran. Jakarta: DEPTAN. Iriana DW. 2009. Lampu merah swasembada beras. Agrina 25 November-8 Desember 2009: 6 (2). IRRI. 1979. Annual report for 1978. Los Banos: Philippines. Kartohardjono A, Trisnaningsih, Abdullah B. 2010. Reaksi Ketahanan varietas differensial terhadap wereng cokelat, Nilaparvata lugens STAL, koloni IR 64 dibanding biotipe 3. Di dalam: Sutrisno H et al., editor. Pemberdayaan keanekaragaman serangga untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Prosiding Seminar Nasional V Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI); Bogor 18 Maret 2008. Bogor: PEI. hlm 84-90. Laba IW, Atmadja WR. 1992. Potensi parasit dan predator dalam mengendalikan wereng cokelat Nilaparvata lugens Stal pada tanaman padi. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 9(4): 65-71. Saxena RC, Okech SH, Liquido NJ. 1981. Wing morphism in the brown planthopper, Nilaparvata lugens. Insect Sci. Applications, 1(4): 343-348. Yamada S. 1990. The relation of adult wing-form in the brown planthopper, Nilaparvata lugens Stål. (Homoptera: Delphacidae) to wing-pad length of last instar nymphs. Appl. Ent. Zool. 25 (4): 439-446. * Ucapan terima kasih kepada Badan Litbang Pertanian, Kementrian Pertanian RI yang telah memberikan dana penelitian melalui proyek KKP3T tahun anggaran 2010.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 608

OFTBM-15 Sitotoksisitas Andrografolida Terhadap Sel Epitel dan Sel Regeneratif Usus Tengah Larva Plutella xylostella Linnaeus. Erine Sofie Alamanda1, Madihah1, dan Wawan Hermawan1 1Jurusan Biologi, FMIPA UNPAD Jl. Raya Bandung-Sumedang KM. 21 Jatinangor Email : [email protected]

ABSTRAK Penelitian mengenai sitotoksisitas andrografolida sebagai antifidan dari tanaman sambiloto (Andrographis paniculata) terhadap sel epitel dan sel regeneratif usus tengah larva Plutella xylostella L. telah dilakukan. Larva dipelihara di laboratorium dengan pakan daun kol. Sebagai kontrol, daun kol dicelupkan ke dalam metanol 90%. Untuk perlakuan digunakan andrografolida konsentrasi 1000, 1600, 2500, 4000 dan 6500 ppm. Setiap perlakuan diulang sebanyak empat kali. Setelah pendedahan selama 24 jam, larva difiksasi dan dibuat sediaan histologis sayatan memanjang dengan pewarnaan Haematoksilin-Eosin. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terjadi kerusakan lapisan epitel berupa kematian sel secara apoptosis dan nekrosis pada semua perlakuan andrografolida. Kematian sel terbesar pada sel epitel dan sel regeneratif terjadi pada konsentrasi 6500 ppm. Frekuensi apoptosis pada sel epitel sebesar 0,14 dan frekuensi nekrosis sebesar 0,20. Pada sel regeneratif, frekuensi kematian sel yang terjadi sebesar 0,40. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu cara kerja andrografolida sebagai antifidan pada P. xylostella adalah menyebabkan kematian sel pada sel epitel dan sel regeneratif usus tengah larva. Kata kunci: andrografolida, sel epitel, sel regeneratif, apoptosis, nekrosis, larva Plutella xylostella

ABSTRACT The research about cytotoxicity andrographolide as antifeedant from sambiloto (Andrographispaniculata) against epithelial and regenerative cells of Plutella xylostella L. larvae‘s midgut has been done. Larvae were reared in laboratory by feeding cabbage leaves. As a control, cabbage leaves was dipped into methanol 90%. Andrographolide concentration 1000, 1600, 2500, 4000, 6500 ppm was used as treatment. Each treatment was repeated four times. After exposure for 24 hours, larvae were fixed and histological preparation were made by Haematoxylin-Eosin staining. The result showed that epithelial layer was damaged in the form of cell death by apoptotic and necrotic in all treatment andrographolide. Highest frequency of cell death in epithelial cells and regenerative cells occurred at concentration 6500 ppm. The frequency of apoptosis in epithelial cells was 0,14 and the frequency of necrosis was 0,20. For regenerative cells, frequency of cell death was 0,40. This result showed one way mode of action of andrographolide as antifeedantcaused cell death in epithelial cells and regenerative cells larvae‘s midgut. Keywords: andrographolide, epithelial cells, regenerative cells, apoptosis, necrosis, Plutella xylostella larvae

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 609

PENDAHULUAN Ulat kol atau larva Plutella xylostella L. (Lepidoptera: Yponomeutidae) adalah salah satu hama utama tanaman famili Cruciferae seperti kol, sawi, petsai dan brokoli yang tersebar di seluruh dunia (Shelton, 2001). Upaya pengendalian hama ini umumnya dilakukan secara kimia yaitu dengan insektisida sintetis, namun ulat ini sulit untuk dikendalikan karena sifatnya yang mudah resisten terhadap berbagai jenis insektisida sintetik (Miyata dkk., 1986). Penggunaan insektisida sintetis ini sangat berbahaya terhadap kelangsungan hidup musuh- musuh alami yang penting, antara lain Diadegma semiclausum, dan juga dapat menimbulkan resistensi hama terhadap insektisida yang digunakan (Talekar & Shelton, 1993; Chen & Kao, 1999). Penggunaan insektisida sintetik juga dapat menyebabkan ledakan hama sekunder serta meninggalkan residu yang terakumulasi di lingkungan dan tubuh hewan sehingga berbahaya bagi konsumen jika termakan melalui rantai makanan (Nakasuji, 1997). Salah satu cara untuk mengurangi frekuensi penggunaan insektisida sintetik adalah menggantinya dengan insektisida alami dari tanaman. Hasil penelitian Asikin dkk. (2002) menunjukkan bahwa ekstrak bagian tanaman ada yang bersifat toksik terhadap hama. Berbagai jenis tumbuhan seperti Gadung, Kapayang dan Tuba telah diketahui mengandung senyawa bioaktif antara lain alkaloid, terpenoid, steroid, asetogenin, fenilpropan, dan tannin yang dapat berfungsi sebagai insektisida (Campbell, 1993 dalam Thamrin dkk., 2006). Salah satu jenis tumbuhan yang mengandung senyawa bioaktif terpenoid adalah sambiloto (Andrographis paniculata Nees.). Zat aktif dari A. paniculata yang berhasil diisolasi dilaporkan sebagai andrografolida (Chakravarti & Chakravarti, 1952). Dalam bidang entomologi, efek andrografolida terhadap larva P. xylostella sebagai antifidan (senyawa penghambat nafsu makan) dan penghambat peletakan telur (oviposisi) pertama kali ditemukan oleh Hermawan dkk. (1994, 1997, 1998). Penelitian mengenai andrografolida sebagai antifidan telah diketahui tidak langsung membunuh larva P. xylostella, tetapi sebatas menghambat laju makan larva. Hermawan dkk. (1998) melaporkan bahwa efek antifidan dari andrografolida hanya sebatas menghambat aktivitas makan larva P. xylostella, namun mekanisme kerja (mode of action) andrografolida terhadap larva P. xylostella belum diketahui. Penelitian yang dilakukan Agresti (2001) menunjukkan bahwa pendedahan andrografolida konsentrasi 1000 dan 2500 ppm menyebabkan diameter lumen usus larva membesar. Selain itu, pada konsentrasi 2500 ppm,

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 610 andrografolida menyebabkan lapisan epitel mengalami ketidakteraturan. Pada pendedahan andrografolida dengan konsentrasi 6500 ppm lapisan epitel menjadi tidak teratur, membran peritrofik terlepas dari lapisan epitel dan menimbulkan kerusakan sel epitel usus tengah larva P. xylostella. Usus tengah larva tersusun sebagian besar oleh sel epitel yang berperan aktif dalam proses sekresi enzim dan absorpsi makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. Jika sel epitel mengalami kerusakan maka sel regeneratif yang berada di bawah lapisansel epitel silindris akan memperbaharui sel-sel epitel yang rusak (Richards & Davies, 1957), namun tidak menutup kemungkinan sel regeneratif pun dapat mengalami kerusakan karena pendedahan toksikan. Salah satu indikator dari kerusakan sel di usus tengah larva adalah kematian sel. Diduga kematian sel baik secara apoptosis maupun nekrosis pada sel epitel dan sel regeneratif usus tengah larva merupakan salah satu mekanisme kerja dari andrografolida. Kerusakan sel akan mempengaruhi proses makan pada larva P. xylostella karena fungsi dari saluran pencernaan menjadi terganggu. Oleh karena itu pada penelitian ini akan diamati sitotoksisitas andrografolida sebagai antifidan terhadap sel epitel dan sel regeneratif usus tengah larva P. xylostella.

BAHAN DAN METODE Bahan Bahan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah andrografolida dalam bentuk kristal murni (Wako Research Chemical Ltd. Jepang).Hewan uji pada penelitian ini adalah larva P. xylostella instar 4 yang diperoleh dari stock culture yang dibiakkan di laboratorium Taksonomi Hewan Jurusan Bologi FMIPA-UNPAD dan diberi makan berupa daun kol. Metode penelitian Penelitian ini dilakukan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan metode eksperimental di laboratorium terhadap enam kelompok larva P. xylostella dan empat kali pengulangan. Lima kelompok diberi perlakuan dengan andrografolida konsentrasi 1000, 1600, 2500, 4000 dan 6500 ppm serta satu kelompok larva P. xylostella sebagai kontrol diberi metanol 90% sebagai pelarut andrografolida. Sebanyak 24 ekor larva instar 4 awal dipilih dengan kriteria antara lain memiliki kondisi baik, yaitu mempunyai umur serta ukuran yang relatif sama. Andrografolida

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 611 diberikan dengan uji tanpa pilihan terhadap hambatan makan (no-choice antifeedant test). Setiap kelompok perlakuan disimpan di tempat (cawan petri plastik) terpisah. Daun kol yang telah dicetak sama (diameter 3 cm) direndam dalam larutan andrografolida pada konsentrasi 1000, 1600, 2500, 4000 dan 6500 ppm. Untuk kelompok kontrol direndam di dalam metanol 90%. Setelah perendaman masing-masing sekitar satu menit, daun kol dikering-anginkan pada suhu kamar. Daun yang telah dikering-anginkan tersebut selanjutnya diletakkan ke dalam cawan petri dan diberi alas berupa kertas saring yang sudah ditetesi akuades hingga jenuh. Hal ini dilakukan untuk menghindari kekeringan pada daun kol. Setelah itu larva instar 4 yang telah dipuasakan selama tiga jam ditempatkan di atas daun kol dalam cawan petri tersebut. Setelah 24 jam seluruh larva difiksasi untuk pembuatan preparat jaringan usus tengah. Sediaan jaringan usus tengah larva dibuat dengan metode parafin dan digunakan pewarnaan Hematoksilin-Eosin. Parameter yang diamati adalah frekuensi sel epitel silindris dan sel regeneratif yang mengalami kematian sel (apoptosis dan nekrosis) terhadap 200 sel epitel silindris dan 100 sel regeneratif yang diamati (Puspawardani, 2000). Data yang diperoleh dianalisis dengan ANAVA dengan tingkat kepercayaan 95% dan jika terdapat perbedaan nyata antar perlakuan maka dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan (Gomez & Gomez, 1995).

HASIL DAN PEMBAHASAN Sitotoksisitas andrografolida terhadap sel epitel silindris usus tengah larva Plutella xylostella L. Hasil pengamatan sediaan histologis usus tengah larva P. xylostella menunjukkan bahwa andrografolida pada setiap konsentrasi yang diberikan menyebabkan kerusakan usus tengah yang disertai dengan terjadinya kematian sel epitel dan sel regeneratif. Kerusakan yang terjadi adalah lapisan epitel menjadi tidak teratur dan membran peritrofik terlepas dari lapisan tersebut. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil yang dikemukakan oleh Agresti (2001). Sediaan histologis pada kelompok kontrol (Gambar 1A), kelompok yang didedahkan andrografolida konsentrasi 1000 ppm (Gambar 1B) dan 1600 ppm (Gambar 1C) menunjukkan keberadaan lumen, membran peritrofik dan lapisan epitel yang terdiri dari sel epitel silindris, sel regeneratif, dan sel goblet. Pada konsentrasi 2500-6500 ppm (Gambar 1D- F) lapisan epitelmenjadi tidak teratur dan membran peritrofik pun mengalami kerusakan.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 612

Kerusakan yang teramati pada larva yang didedahkan andrografolida konsentrasi 2500 dan 4000 ppm adalah membran peritrofik terdegradasi akibat lapisan epitel yang tidak teratur, sedangkanpada konsentrasi 6500 ppm selain terdegradasi, membran peritrofik pun lepas dari lapisan epitel. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil yang dikemukakan Agresti (2001).

G r e r G P e P L L A B r r e G G e P P L L C D

r r G e e G P P L L E F F

Gambar 1. Sayatan memanjang usus tengah larva P. xylostella. A = kontrol, B = andrografolida 1000 ppm, C = andrografolida 1600 ppm, D = andrografolida 2500 ppm, E = andrografolida 4000 ppm, F = andrografolida 6500 ppm. e = epitel silindris, G = sel goblet, r = sel regeneratif, L = lumen, P = membran peritrofik. Pewarnaan Haematoksilin-Eosin. Perbesaran 400×.  : membran peritrofik yang lepas dan terdegradasi.

Andrografolida yang diberikan bersamaan dengan makanan larva menimbulkan kerusakan pada membran peritrofik, terutama pada pendedahan andrografolida konsentrasi 2500 – 6500 ppm. Fungsi dari membran peritrofik adalah untuk melindungi sel-sel epitel silindris yang berada di bawahnya dari pengaruh mekanik makanan dan mencegah zat asing yang terbawa oleh makanan masuk ke dalam sel (Hoover, 1997 dalam Utari, 2000). Apabila terdapat zat asing masuk bersama makanan, membran peritrofik akan melakukan penyaringan terlebih dahulu sebelum makanan tersebut diabsorpsi oleh sel epitel silindris sehingga sel

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 613 tersebut tidak akan mengalami kerusakan. Membran peritrofik yang mengalami kerusakan menyebabkan makanan yang diberi andrografolida langsung terserap oleh sel epitel silindris tanpa melalui penyaringan terlebih dahulu, sehingga menimbulkan kerusakan sel-sel pada lapisan epitel. Kerusakan yang terjadi pada sel epitel silindris menyebabkan makanan yang mengandung andrografolida mencapai sel regeneratif yang terletak dibawahnya. Semakin tinggi konsentrasi andrografolida yang didedahkan,maka kerusakan pada lapisan epitel pun menjadi semakin parah. Kerusakan ini dapat menyebabkan sel mengalami kematian, yaitu apoptosis dan nekrosis. Pada penelitian ini ditemukan sel epitel dengan morfologi normal dan sel epitel yang mengalami kematian secara apoptosis dan nekrosis. Sel yang normal (Gambar 2A) memperlihatkan morfologi sel berbentuk silindris dengan inti sel ovoid dan berada di tengah sel. Sel yang mengalami kematian secara apoptosis (Gambar 2B-C) menunjukkan morfologi sel dengan kondensasi kromatin pada inti (marginalisasi kromatin dan kromatin berbentuk bulan sabit) dan penonjolan membran sel (blebbing membrane) akibat kondensasi sitoplasma. Untuk sel yang mengalami kematian secara nekrosis, beberapa morfologi yang dapat teramati yaitu edema (pembengkakan sel), piknotik (inti sel mengecil), dan kariolisis (hilangnya inti sel) (Gambar 2D-F).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 614

A

B C

normal piknotik

D E F piknotik

Gambar 2. Morfologi sel normal, sel apoptosis dan nekrosis pada sel epitel usus tengah Kematianlarva P.sel xylostella epitel secara. apoptosis merupakan proses yang telah terprogram untuk A = sel normal, B = sel apoptosis dengan kondensasi kromatin (marginalisasi inti dan mengganti kromatin sel-sel yang berbentuk rusak, bulan namun sabit), menurut C = sel apoptosis Hengartner dengan (2000) penonjolan apoptosis membran merupakan serta fenomena yangpengerutan mampu sel, D dihambat = sel nekrosis dan dengan diaktifkan. (pembengkakan Berdasarkan sel), E = hal sel tersebut,nekrosis dengan maka inti diduga sel piknotik, F = sel nekrosis berupa kariolisis (hilangnya inti). Pewarnaan Haematoksilin-Eosin. peningkatanPerbe jumlahsaran sel 1200×. yang mati secara apoptosis pada kelompok perlakuan andrografolida terjadi karena sel terinduksi untuk melakukan apoptosis lebih cepat. Kontrol terjadinya apoptosis pada serangga belum diketahui, namun pada mammalia berkaitan dengan gen p53 dan kelompok protein Bcl-2. Hasil penelitian Sukardiman (2009) menunjukkan bahwa andrografolida konsentrasi 0,05 – 250 µg/ml dapat menginduksi terjadinya apoptosis pada lini sel HeLa yang ditunjukkan dengan adanya fragmentasi DNA berukuran 200kb yang merupakan indikator terjadinya apoptosis. Diduga bahwa andrografolida dapat menginduksi apoptosis melalui jalur aktivasi gen p53 dan protein Bax (kelompok protein Bcl-2).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 615

Hasil penelitian Sukardiman dkk. (2000) dalam Sukardiman dkk. (2005) menunjukkan bahwa andrografolida memiliki aktivitas sebagai inhibitor terhadap enzim DNA topoisomerase II yang berfungsi untuk mencegah kekusutan DNA pada saat replikasi DNA. Senyawa terpenoid yang terkandung dalam andrografolida menurut Yang dkk. (2010) mampu menghambat proliferasi sel dan menginduksi kematian sel dengan menghambat protein anti-apoptotis Bcl 2.Senyawa terpenoid lain, yaitu salvicina, juga memiliki aktivitas yang sama. Hasil penelitian Miao dkk. (2003) dalam Sukardiman dkk. (2005)menunjukkan bahwa salvicina mampu membunuh sel kanker leukimia dengan mekanisme apoptosis yang ditandai dengan meningkatnya aktivitas gen p53, menurunnyaaktivitas Bcl-2 yang merupakan protein anti-apoptosis dan meningkatnya aktivasi caspase 3. Apabila kematian sel secara apoptosis terjadi karena dipengaruhi secara genetis, kematian sel secara nekrosis terjadi karena adanya tekanan atau stress dari lingkungan. Stimulus dari lingkungan yang terlalu berat akan berpengaruh terhadap adaptifitas sel yang akan menyebabkan kematian sel karena sel tidak memiliki cukup waktu untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan (Abhique, 2009). Pada penelitian ini, sel yang mati secara nekrosis terjadi akibat pengaruh berbagai faktor lingkungan baik saat diberi perlakuan maupun setelah diberi perlakuan. Stimulus yang diberikan kepada pakan larva saat perlakuan adalah andrografolida. Andrografolida yang masuk ke dalam tubuh larva bersamaan dengan makanan direspons sebagai zat asing yang bersifat toksik oleh sel-sel yang berada pada jaringan tersebut. Pemberian konsentrasi andrografolida yang semakin tinggi menyebabkan sel tidak mampu merespons tingginya perubahan yang mempengaruhi sel di usus tengah larva tersebut sehingga terjadi kematian secara nekrosis. Rata-rata jumlah sel epitel normal, sel yang mati secara apoptosis dan nekrosis ditampilkan pada Tabel 1. Dari hasil pengamatan terlihat bahwa peningkatan konsentrasi andrografolida sejalan dengan meningkatnya jumlah sel epitel yang mati.Setelah diberi perlakuan selama 24 jam, ternyata pada kelompok kontrol ditemukan kematian sel baik secara apoptosis maupun nekrosis. Kematian sel secara apoptosis yang ditemukan pada kelompok kontrol terjadi secara terprogram apabila telah mencapai masa hidup tertentu. Sedangkan penyebab kematian sel secara nekrosis yang terjadi pada kelompok kontrol diduga pada saat larva dimasukkan kedalam larutan fiksatif untuk dibuat sediaan histologis, karena pada saat itu larva masih dalam keadaan hidup sehingga larutan fiksatif menyebabkan stress dan larva tidak mampu beradaptasi dengan keadaan tersebut. Pada kelompok perlakuan pun

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 616 terjadi peningkatan jumlah sel yang mengalami kematian baik secara apoptosis maupun nekrosis. Uji statistik dengan ANAVA dan uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa setiap kelompok perlakuan dengan berbagai konsentrasi andrografolida berbeda nyata terhadap kontrol (p < 0,05). Namun antara kelompok perlakuan 1000 dan 1600 ppm tidak terdapat perbedaan nyata meskipun terjadi peningkatan jumlah sel yang mati, baik secara apoptosis maupun nekrosis. Pada konsentrasi 2500 hingga 6500 ppm peningkatan jumlah kematian sel menunjukkan perbedaan yang nyata pada setiap konsentrasinya. Frekuensi sel yang mengalami kematian secara apoptosis meningkat seiring dengan penambahan konsentrasi andrografolida (Tabel 1). Pada kontrol frekuensi sel yang mati secara apoptosis adalah 0,03 dan pada kelompok perlakuan andrografolida konsentrasi 1000, 1600, 2500, 4000 dan 6500 ppm berturut-turut adalah 0,05, 0,06, 0,08, 0,11 dan 0,14. Pada sel nekrosis pun terjadi kenaikan frekuensi sejalan dengan peningkatan konsentrasi andrografolida yang diberikan. Pada kontrol, frekuensi sel nekrosis adalah 0,04, sedangkan pada pendedahan andrografolida konsentrasi 1000, 1600, 2500, 4000 dan 6500 ppm berturut- turut adalah 0,08. 0,10, 0,13, 0,17 dan 0,20. Dilihat dari nilai frekuensi tersebut, jumlah sel epitel silindris yang mati secara apoptosis tidak sebanyak sel yang mati secara nekrosis. Hal ini disebabkan karena sel yang mati secara apoptosis terjadi pada sel tunggal dan membran selnya tidak pecah sehingga tidak menyebabkan peradangan ke sel lain disekitarnya. Walaupun pada sel yang mati secara nekrosis terjadi pada sel tunggal, namun karena membran selnya pecah maka isi selnya berhamburan keluar dan menyebabkan peradangan kepada sel lain disekitarnya sehingga kematian sel terjadi pada sekelompok sel yang berdekatan (Langlois et al., 2000).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 617

Tabel 1. Rata-rata jumlah sel epitel normal, sel apoptosis dan sel nekrosis pada usus tengah larva P. xylostellakontrol dan kelompok perlakuan Konsentrasi Frekuensi Frekuensi Jumlah Rata-rata jumlah sel ± SD No. Andrografolida Sel Sel Larva (ppm) Normal Apoptosis Nekrosis Apoptosis Nekrosis 186,50 ± 5,50 ± 8,00 ± 1 0 (kontrol) 4 0,03 0,04 3,70a 1,00a 3,16a 173,25 ± 10,50 ± 16,25 ± 2 1000 4 0,05 0,08 2,99bc 1,29bc 1,71bc 168,25 ± 12,50 ± 19,25 ± 3 1600 4 bc bc bc 0,06 0,10 3,50 1,29 2,22 157,25 ± 16,00 ± 26,75 ± 4 2500 4 0,08 0,13 3,10d 1,63d 2,87d 144,25 ± 22,00 ± 33,75 ± 5 4000 4 0,11 0,17 4,19e 1,41e 2,87e 132,75 ± 27,75 ± 39,50 ± 6 6500 4 0,14 0,20 5,80f 3,40f 3,51f Ket.: Diuji dengan ANAVA dan uji jarak berganda Duncan dengan tingkat kepercayaan 95% Huruf yang berbeda dalam satu kolom menunjukkan perbedaan nyata antar perlakuan.

Sitotoksisitas andrografolida terhada sel regeneratif usus tengah larva Plutella xylostella Sel regeneratif merupakan sel yang terletak dibawah sel epitel silindris dan melekat pada membran basal berfungsi untuk menggantikan sel epitel silindris yang rusak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kematian sel yang teramati pada sel regeneratif terjadi secara nekrosis yang ditandai dengan kariolisis yaitu sel kehilangan intinya. Kematian sel secara apoptosis sulit diamati dikarenakan ukuran sel regeneratif yang relatif kecil. Inti merupakan komponen sel yang sangat fundamental karena seluruh kegiatan sel diatur oleh materi genetik yang berada di dalam inti. Jika suatu sel tidak memiliki inti, seluruh aktivitas sel tersebut akan terganggu. Morfologi sel regeneratif yang normal dan yang mengalami kematian secara nekrosis dapat dilihat pada Gambar 3. Hasil uji statistik (Tabel 4.2) menunjukkan bahwa jumlah sel regeneratif yang mati pada kelompok kontrol dan 1000 ppm tidak berbeda nyata. Sedangkan pada kelompok andrografolida 1600 hingga 6500 ppm terdapat perbedaan yang nyata terhadap kontrol dan antar perlakuannya. Nilai frekuensi kematian sel regeneratif, sama seperti halnya pada sel epitel, meningkat seiring dengan bertambahnya konsentrasi andrografolida yang diberikan. Pada kontrol, frekuensi kematian sel adalah 0,04, sedangkan pada pendedahan andrografolida 1000, 1600, 2500, 4000 dan 6500 ppm berturut-turut adalah 0,08, 0,13, 0,18, 0,29 dan 0,40.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 618

A

B

Gambar 3. Morfologi sel normal dan sel mati pada sel regeneratif usus tengah larva P. xylostella. A = sel normal, B = sel mati. Pewarnaan Haematoksilin-Eosin. Perbesaran 1200×.  : sel regeneratif normal. : sel regeneratif nekrosis yang ditandai dengan kariolisis

Tabel 2. Rata-rata jumlah sel regeneratif hidup dan sel regeneratif mati pada usus tengah

larva P. xylostella kontrol dan kelompok perlakuan

Konsentrasi Rata-rata jumlah sel ± SD Jumlah Frekuensi No Andrografolida Larva Sel Hidup Sel Mati Sel Mati (ppm) 1 0 (kontrol) 4 96,00 ± 2,71ab 4,00 ± 2,71ab 0,04 2 1000 4 92,25 ± 2,06ab 7,75 ± 2,06ab 0,08 3 1600 4 87,00 ± 1,15c 13,00 ± 1,15c 0,13 4 2500 4 82,50 ± 2,08d 17,50 ± 2,08d 0,18 5 4000 4 70,75 ± 3,20e 29,25 ± 3,20e 0,29 6 6500 4 59,50 ± 5,07f 40,50 ± 5,07f 0,40

Ket. : Diuji dengan ANAVA dan uji lanjut Duncan dengan tingkat kepercayaan 95% Huruf yang berbeda dalam satu kolom menunjukkan perbedaan nyata antar perlakuan.

Frekuensi kematian sel regeneratif yang tinggi berhubungan dengan rusaknya membran peritrofik dan kematian pada sel epitel silindris. Rusaknya membran peritrofik menyebabkan sel epitel dibawahnya mengalami kerusakan karena pengaruh mekanik

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 619 makanan yang masuk kedalam usus dan pengaruh andrografolida yang terbawa oleh makanan. Sel epitel yang mengalami kerusakan memudahkan andrografolida yang terbawa oleh makanan tersebut dapat mencapai sel regeneratif. Apabila nilai frekuensi kematian sel di konversikan ke dalam bentuk persen maka terdapat sekitar 40% sel regeneratif mengalami kematian pada perlakuan andrografolida 6500 ppm. Dengan demikian, hanya tersisasekitar 60% sel regeneratif yang masih dapat melaksanakan fungsinya. Sel regeneratif yang masih tersisa ini yang akan mengganti kerusakan sel epitel diatasnya (Richard & Davies, 1957). Apabila sel epitel silindris yang mengalami kerusakan berupa kematian sel secara apoptosis dan nekrosis tidak segera diganti oleh sel yang baru maka saluran pencernaan larva akan mengalami kerusakan yang pada akhirnya diduga akan menyebabkan kematian pada larva P. xylostella. Dalam keadaan normal, sel-sel tubuh dapat berfungsi secara normal. Apabila terjadi kerusakan berupa kematian sel, sel tidak dapat berfungsi seperti keadaan sebelumnya. Oleh karena itu kematian sel yang terjadi pada sel epitel dan sel regeneratif usus tengah larva akibat andrografolida telah menyebabkan disfungsi usus tengah yang mengakibatkan penurunan nafsu makan larva bahkan sampai larva berhenti makan. Dari lima konsentrasi andrografolida yang diberikan (1000, 1600, 2500, 4000 dan 6500 ppm), kematian sel paling besar baik pada sel epitel maupun sel regeneratif terjadi pada konsentrasi 6500 ppm. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Hermawan dkk. (1998) bahwa semakin tinggi konsentrasi andrografolida yang diberikan maka semakin efektif untuk mengurangi nafsu makan larva.Meskipun banyak sel yang mengalami kematian pada konsentrasi andrografolida 6500 ppm namun penelitian yang dilakukan Hermawanet al. (1998) mengenai andrografolida menyatakan bahwa konsentrasi 5000 – 10000 ppm (termasuk kedalamnya 6500 ppm) masih bersifat antifidan karena tidak menyebabkan kematian selama 24 jam perlakuan. Kematian larva tidak terjadi karena masih ada sekitar 60% sel regeneratif yang dapat menggantikan sel-sel epitel yang rusak sehingga fungsi dari usus tengah larva masih dapat dipertahankan untuk mencerna makanan.

KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa andrografolida menyebabkan kematian sel secara apoptosis dan nekrosis pada sel epitel usus tengah larva P. xylostella sedangkan pada sel regeneratif hanya teramati kematian sel secara nekrosis dan berbagai

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 620 konsentrasi andrografolida (1000, 1600, 2500, 4000 dan 6500 ppm) menyebabkan kematian sel secara apoptosis dan nekrosis pada sel epitel dan sel regeneratif usus tengah larva P. xylostella. Frekuensi kematian sel tertinggi terjadi pada pendedahan andrografolida konsentrasi 6500 ppm. Saran dari penulis adalah kematian sel secara apoptosis akan lebih baik jika dilakukan dengan menggunakan metode imunohistokimia seperti TUNEL agar sel yang mengalami apoptosis dapat diketahui secara spesifik. Selain itu penelitian terhadap enzim pencernaan pada usus tengah larva P. xylostella akibat pemberian andrografolida dapat dilakukan sebagai penelitian lanjutan.

DAFTAR PUSTAKA Agresti, A.T., Hikmat Kasmara dan Wawan Hermawan. 2001. Efek Andrografolida terhadap Jaringan Saluran Pencernaan Larva Plutella xylostella L. Makalah Simposium Pengendalian Hayati Serangga. PEI Cabang Bandung. Asikin, S., M. Thamrin, Mukhlis dan A. Budiman. 2002. Potensi Ekstrak Flora Lahan Rawa Sebagai Pestisida Nabati. http://balittra.litbang.deptan.go. id/eksotik/Monograf %20-%204.pdf. Diakses tanggal 12 Februari 2010. Chakravarti, D. dan R.M. Chakravarti. 1952. Antifeedant and Growth Inhibitory Effects on The Limonoid Toosendanin andMelia toosendanExtracts on the Variagated Cutworm, Peridroma saucia (Lepidoptera: Noctuidae). J.Appl.Ent.119:367-370. Chen, E. Y. and C. H. Kao. 1999. Recent Studies on Insecticide Resistance in Taiwan. In Challenges to Development of Insecticide Resistance. Proceedings of the International Symposium on Insecticide Resistance (T. Miyata. ed.) Nagoya. Japan. Pp. 16-22 Dadang,K. and Ohsawa. 2000. Penghambatan Aktivitas Makan Larva Plutella xylostella L. (Lepidoptera: Yponomeutidae) yang Diperlakukan Ekstrak Biji Sweitenia mahagoni Jacq(Meliaceae). Buletin Hama dan Penyakit Tumbuhan.12(1):27-32 (2000). Gomez, K. A. dan A. A. Gomez. 1995. Prosedur Statistik Untuk Penelitian Pertanian. Ed ke- 2. Jakarta. UI Press. Hal 214-224 Hengartner, M.O. 2000. The Biochemistry of Apoptosis. Nature. 407: 770-776 Hermawan, W., K. Nagai, T. Yamaoku, S.I. Kajiyama, K. Fujisaki, dan F. Nakasuji. 1998. Control of Cruciferous Insect Pest in A Cabbage Field Using Andrographolide. Jpn. J. Appl. Entomol. Zool. Chogoku Branch 40 : 1 – 10 Hermawan, W., S.I. Kajiyama, R. Tsukuda, K. Fujisaki, A. Kobayashi, dan F. Nakasuji. 1994. Antifeedant and Antioviposition Activities of The Fraction of Extract from A Tropical Plant, Andrographis paniculata (Acanthaceae),Against The Diamondback Moth, Plutella xylostella L. (Lepidoptera). Appl. Entomol. Zool. 29 : 533 – 538. Hermawan, W., S.I. Nakajima, R.Tsukuda, K. Fujisaki dan F. Nakasuji. 1997. Isolation of Antifeedant Compound from Andrographis paniculata (Acanthaceae) Against The Diamondback Moth, Plutella xylostella L. (Lepidoptera : Yponomeutidae).Appl. Entomol. Zool. 32 (4): 51 – 559.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 621

Langlois, N.E.I., O. Eremin and S.D. Heys. 2000. Apoptosis and Prognosis in Cancer. Rationale and Relevance. J.R.Coll.Surg.Edinb. 45: 211-219 Miyata, T., T. Saito dan V. Noppun. 1986. Studies Mechanism of Diamondback Moth Resistence to Insecticides. In Diamondback Moth Management(N.S. Takelar Ed.). Taipe: AVDRC publication. Pp. 347 – 457. Nakasuji, F. 1997. Integrated Pest Management. Yokendo Ltd. Tokyo, Japan. pp. 1-42. Puspawardhani, I. 2000. Kematian Sel dengan Cara Apoptosis dan Nekrosis Pada Jaringan Epidermis Ekor Larva Bufo Selama Metamorfosis. Jatinangor. Skripsi. Jurusan Biologi. FMIPA-UNPAD. Richards, O.W. dan R.G. Davies. 1957. A General Textbook of Entomology including the anatomy, physiology, development and classification of insect. Ed ke-11. London. Methuen and Co.Ltd. Hal: 123-128. Shelton, A. M. (2001). Management of the diamondback moth: déjá vu all over again? In Program and Abstract. Fourth International Workshop on the Management of Diamondback Moth and Cruciferous Pest. Melbourn, Australia. P. 5 Sukardiman, A. Rahman, W. Ekasari, dan Sismindari. 2005. Induksi Apoptosis Senyawa Andrografolida dari Sambiloto (Andrographis paniculataNess) terhadap Kultur Sel Kanker. http://journal.unair.ac.id/filerPDF/MKH-21-3-24.pdf. Diakses tanggal 24 Maret 2010. Sukardiman. 2009.Mekanisme Induksi Apoptosis Pinostrobin dari Kaempferia pandurata Roxb. dan Andrografolida dari Andrographis paniculata Nees. Terhadap Sel Kanker Manusia Secara In Vitro dan Implikasinya pada Penggunaan Secara In Vivo .http://www.adln.lib.unair.ac.id/go.php?id= gdlhub-gdl-s3-2009-sukardiman- 11112&node=755&start=6&PHPSESSID =4d9e6854b26 a3b0353f1f5b9088f1031. Diakses tanggal 17 September 2010. Talekar, N. S and A. M. Shelton. 1993. Biology, Ecology, and Management of the Diamondback Moth. Ann. Rev. Entomol. 38: 275-301 Thamrin, M., S. Asikin, Mukhlis dan A.Budiman. 2006. Potensi Ekstrak Flora Lahan Rawa Sebagai Pestisida Nabati. http://balittra.litbang.deptan.go.id/eksotik/Monograf%20- %204.pdf. Diakses tanggal 12 Februari 2010. Utari, E. 2000. Pengaruh Infeksi HaNPV Terhadap Kerusakan Membran Peritropik dan Indeks Nutrisi Larva Instar V Helicoverpa armigera Hubner. Bandung. Tesis. Institut Teknologi Bandung.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 622

OFTBM-16 Pengujian Laboratorium Efikasi Umpan Rayap Berbahan Aktif Hexaflumuron dan Bistreifluron Terhadap Rayap Tanah Coptotermes curvignathus (Rhinotermitidae) Yudi Rismayadi1 1Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, ITB Jatinangor

ABSTRAK Coptotermes curvignathus (Isoptera: Rhinotermitidae) merupakan serangga yang sangat penting secara ekonomis karena banyak menyebabkan kerusakan pada struktur kayu bangunan dan bahan lignoselulose lainnya. Pengujian laboratorium efikasi hexaflumuron dan Bistrifluron sebagai umpan racun terhadap rayap tanah Coptotermes curvignathus (Isoptera: Rhinotermitidae) dilakukan dengan menggunakan metode uji tanpa pilihan (no choice test method). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kematian rayap pekerja yang diberi perlakuan kontrol pada periode pengamatan minggu ke-1, 2 dan 6 secara berturut-turut adalah 5,75%, 31,32% dan 34,84%. Mortalitas rayap pekerja yang diberi umpan racun bistrifluron rata-rata telah mencapai 92,5% pada minggu ke-3, sedangkan yang diberi umpan racun hexaflumuron baru tereliminasi pada minggu k- 6 (100%). Penelitian ini menunjukkan bahwa umpan racun bistrifuron mampu mengeliminasi rayap lebih cepat dibandingkan umpan racun hexaflumuron.

ABSTRACT Coptotermes curvignathus (Isoptera : Rhinotermitidae) is the most economically destroying termite in wooden structures and other lignoselulose materials. In the laboratory evaluation described here, Hexaflumuron andBistrifluron as bait toxicant was evaluated with regard to its efficacy against subterranean Termite Coptotermes curvignathus (Isoptera: Rhinotermitidae) by using no choice test method. The result show that the mortality of workers in control treatment over time periods 1, 2, and 6 week respectivelly was 5,75%; 31,32% and 34,84%. Termites that had been exposed to bistrifluron as bait toxicant were eliminated (92,5%) within over time period 3 week, while the termite exposed to hexaflumuron eliminated (100%) within over time period 6 week. The mortality of bistrifuron-treated termites was signicantlly faster speed of action than hexaflumuron.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 623

PENDAHULUAN Rayap merupakan hama yang sangat penting secara ekonomis di berbagai negara, khususnya di daerah tropika karena banyak menyebabkan kerusakan pada struktur kayu bangunan dan bahan lignoselulo selainnya. Menurut Jones (2003) di Amerika Serikat serangan rayap menyebabkan kerugian ekonomis dua juta US dollar setiap tahun. Di Australia kerugian dan biaya pengendalian rayap sebesar 100 juta US dollar. Di Jepang, ratusan juta US dollar per tahun dikeluarkan untuk tindakan pencegahan dan pengendalian rayap (Yoshimura, 2001; Tsunoda, 2003). Sementara itu di Indonesia menurut Rakhmawati (1995) kerugian ekonomis akibat serangan rayap diperkirakan mencapai lebih dari 1,6 trilyun per tahun. Pada saat ini, terdapat dua pendekatan yang berbeda dalam pengendalian rayap, yaitu pengendalian rayap dengan aplikasi formulasi termitisida cair dan pengendalian rayap dengan menggunakan formulasi umpan racun rayap. Meskipun penggunaan termitisida cair saat ini masih yang paling banyak digunakan, namun penggunaan umpan racun rayap mulai digunakan secara luas khususnya pada bangunan-bangunan gedung yang secara teknis sulit dikendalikan dengan aplikasi termitisida cair. Termitisida dalam bentuk umpan racun bersifat lebih ramah lingkungan, karena target umumnya bersifat spesifik dan bahan aktif tidak dipaparkan secara luas. Umpan racun yang dikembangkan adalah umpan rayap yang disukai rayap yang ditambah bahan aktif yang bersifat racun terhadap rayap namun tidak bersifat menghambat tingkat kesukaan rayap terhadap media umpan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa beberapa umpan racun dapat mengeliminasi anggota koloni rayap tanah (Esenther & Gray 1968; Su dkk., 1982; Su, 1994; Su dkk., 1995b; Su and Scheffrahn 1996a; Su dkk., 1997; Tsunoda dkk., 1998). Eliminasi koloni terjadi karena racun yang dicerna bekerja lambat sehingga rayap pekerja yang mengkonsumsi umpan racun kembali ke sarang dan mentranfer bahan racun ke anggota koloni lainnya sebelum rayap tersebut mengalami kematian. Di Indonesia, penggunaan umpan racun diawali secara komersial pada tahun awal tahun 2000 ditandai dengan munculnya produk umpan racun berbahan aktif hexaflumuron dan menyusul dipasarkan umpan racun bistrifluron. Untuk mengetahui efikasi umpan racun tersebut diperlukan pengujian secara laboratorium. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui perbandingan efikasi hexaflumuron dan bistrifluron sebagai umpan racun

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 624 terhadap rayap tanah Coptotermes curvignathus. Disamping itu untuk mengetahui tingkat palatabilitas rayap terhadap produk umpan rayap tersebut.

BAHAN DAN METODE Bahan dan alat yang digunakan adalah sebagai berikut; media hidup rayap (tanah dan pasir steril); aquadestilata; wadah uji (termitarium); umpan rayap bistrifluron dan umpan rayap hexaflumuron, rayap tanah c. curvignathus, kertas saring whatman (kerta selulosa) dan timbangan satorius.

Prosedur Penelitian 1. Penyiapan Unit Pengamatan Unit pengamatan adalah termitarium berbentuk tabung yang terbuat dari gelas (diameter 6 cm) dan diletakkan pada ruang kultur rayap. Media hidup rayap berupa tanah pasir yang telah disterilisasi dan ditambah air untuk memberikan kelembaban yang cukup bagi kehidupan rayap. Selanjutnya termitarium ditetapkan sebagai satuan contoh pengamatan.

2. Pemberian Perlakuan/Aplikasi Umpan Umpan rayap diletakkan dalam termitiarium. Dalam satu unit termitarium dimasukkan 220 rayap (90% rayap pekerja dan 10% rayap prajurit) yang berasal dari biakan rayap Laborarium Hama Hasil Hutan. Masing-masing perlakuan diulang empat kali. Pengamatan dilakukan pada minggu pertama, ketiga, dan minggu keenam untuk mengamati aktivitas makan rayap dan mortalitasnya. Jika umpan sudah hampir habis (2/3 bagian) dan rayap masih aktif, wadah umpan yang berisi umpan rayap diganti dengan wadah umpan baru dan pengataman dilanjukan sampai koloni rayap tereliminasi (Gambar 1).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 625

Gambar 1. Unit Pengamatan Pengujian Efikasi Umpan Racun

3. Pengumpulan Data a. Mortalitas Rayap Mortalitas rayap dihitung pada saat pembongkaran termitarium yaitu pada minggu pertama, minggu ketiga, dan minggu ke enam. Mortalitas rayap dihitung dengan menggunakan rumus Sornnuwat dkk. (1995). Mortalitas rayap (%) = [(N1 – N2)] x 100% N1 Dengan : N1 = Jumlah awal rayap pekerja (ekor) N2= Jumlah akhir rayap pekerja (ekor)

b. Kehilangan berat umpan Setelah masa pemaparan umpan berakhir, termitarium dibongkar. Umpan dikeringkan. Umpan selanjutnya ditimbang untuk menentukan persentase kehilangan berat. Kehilangan berat (%) = [(W1 – W2)] x 100 % W1 Dengan ; W1= Berat kering kayu uji sebelum diumpankan ke rayap (gr) W2= Berat kering kayu uji setelah diumpankan ke rayap (gr)

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 626

3. Analisis Data Analisis varian (ANOVA) digunakan untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap mortalitas rayap dan kehilangan berat umpan racun selama waktu pengujian. Perlakuan yang diberikan adalah umpan racun hexaflumuron dan bistrifluron yang diulang sebanyak 4 ulangan setiap perlakuan. Apabila hasil ANOVA menunjukkan terdapat pengaruh perlakuan maka dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Mortalitas Rayap Hasil penelitian menunjukkan perbedaan laju mortalitas rayap tanah C. curvignathus akibat perlakuan umpan racun hexaflumuron dan bistrifluron pada minggu pertama dan minggu ketiga, walaupun pada minggu ke-6 mortalitas rayap pada kedua perlakuan mencapai 100% (totaly elimination) (Gambar 2).

Gambar 2. Perkembangan Mortalitas Rayap pada Setiap Waktu pengamatan

Tabel 1. Mortalitas Rayap setelah Perlakuan Umpan Racun Umpan Racun Perkembangan mortalitas rayap (%) (rataan + SE) Minggu-1 Minggu-3 Minggu-6 Bistrifluron 4,89 + 2,99a 92,95 + 14,09a 100 + 0,0a Hexaflumuron 3,41 + 1,31a 45,43 + 8,11b 100 + 0,0a Kontrol 5,75 + 2,88a 31,32 +3,23b 34,84 + 8,32b Nilai yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata (P < 0.05)

Mortalitas rayap yang dipaparkan umpan racun pada minggu ke-1 menunjukkan perbedaan tidak nyata di setiap perlakuan. Secara berturut-turut mortalitas rayap minggu ke-1

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 627 pada perlakuan Hexaflumuron, Bistrifluron, dan kontrol adalah 5,75%, 4,89%, dan 3,41%. Umpan rayap hexaflumuron dan bistrifluron termasuk golongan pengatur tumbuh serangga (insect growth regulator, IGRs), khususnya yang menghambat sintesa khitin. Proses umpan tersebut bersifat slow action sehingga memerlukan waktu untuk membunuh rayap tanah. Sementara itu, pada minggu ke-3 menunjukkan perbedaan mortalitas rayap yang nyata antara perlakuan Bistrifluron (92,95%) dengan Hexaflumuron (45,43%) dan kontrol (31,32%). Sunichi dkk. (2006) menunjukkan bahwa umpan racun Bistrifluron berkerja lebih cepat membunuh rayap tanah C. formosanus pada berbagai konsentrasi dibandingkan umpan racun Hexaflumuron (Tabel 1). Su dan Scheffrahn (1994), pada pengujian umpan racun hexaflumuron terhadap rayap tanah Reticulitermes flavipes menunjukkan bahwa diperlukan waktu 9 minggu untuk mencapai mortalitas rayap >90%. Penelitian ini menunjukkan bahwa umpan racun Bistrifluron lebih cepat membunuh rayap tanah C. curvignathus.

B. Kehilangan Berat Umpan Kehilangan berat umpan sebanding dengan tingkat konsumsi makan rayap terhadap umpan. Pengamatan kehilangan berat (Tabel 2) menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan kehilangan berat umpan rayap yang nyata antar perlakuan baik pada minggu ke-1 maupun minggu ke-2.

Tabel 2. Kehilangan Berat Umpan Racun Perkembangan mortalitas rayap (%) (rataan + SE) Umpan Racun Minggu-1 Minggu-3 Minggu-6 Bistrifluron 0,092 + 0,079a 0,158+ 0,105a - Hexaflumuron 0,099 + 0,022a 0,178 + 0,057a - Kontrol 0,038 + 0,023a 0,102+0,015a - Nilai yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata (P < 0.05)

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata tingkat kehilangan berat umpan racun rayap dengan kontrol. Dengan demikian pada konsentrasi umpan racun Hexaflumuron dan Bistrifluron yang digunakan tidak terjadi penghambatan makan rayap (feeding deterrence) terhadap umpan.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 628

Kesukaan makan rayap terhadap umpan sangat penting dalam pengendalian rayap dengan teknik umpan racun. Keberhasilan pengendalian rayap dengan teknik pengumpanan diperlukan umpan yang disukai rayap. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa umpan racun Bistrifluron dan Hexaflumuron pada konsentrasi yang digunakan potensial untuk mengeliminasi koloni rayap tanah karena bersifat slow action dantidak menghambat proses makan rayap. Umpan rayap yang dimakan oleh pekerja memungkinkan untuk dapat transfer ke anggota koloni lainnya melalui perilaku tropalaksis sehingga anggota koloni lain dapat pula terpapar umpan racun rayap melalui perilaku tersebut.

DAFTAR PUSTAKA Myles, T.G,. 1994. Use of Disodium octobrate tetrahydrate to protect aspen waterboard from termite. Forest Product Journal 44. Nandika, D, Rismayadi Y, dan Diba F. 2003. Rayap: Biologi dan Pengendaliannya. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta. Sornnuwat Y. 1996. Resistance of commercial timber and fast growing timber of Thailand for building construction to Coptotermes gestroi Wasmann. Proc. The 1996 Annual Meeting of The International Research Group on Wood Preservation, Stocholm Sweden. Su NY, Ban RM, and Scheffrahn RH. 1991. Suppression of foraging population of the subterranean termites (Isoptera: Rhinotermitidae) by field application of a slow acting toxicants bait. Journal of Economical Entomology No. 84: 1525-1531. USA. Su NY and Sheffrachn, R.H. 1990. Potential of insect Growth Regulators. Sociobiology 17 Su NY and Sheffrachn, R.H. 1994. Field Evaluation of a Hexaflumuron bait for population Supression of Subteranean termite (Isoptera: Rhinotermitidae). J. of Economic Entomology 87 Shunichi K., Y. Shono, T. Matsunaga and K. Tsunoda. 2006. Laboratory Evaluation of Bistrifluron, a BenzoylphenylureaCompound, as a Bait Toxicant Against Coptotermes formosanus(Isoptera: Rhinotermitidae). J. of Economic Entomology 99 No 4

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 629

OFTBM-17 Efek Biopestisida Cendawan Entomopatogen Beauveria bassiana Terhadap Serangga Predator Menochillus sexmaculatus Silvia Permata Sari1, Trizelia1, dan Yaherwandi 1 Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Faperta Unand, Kampus Limau Manis Padang 25163 Email : [email protected]

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk melihat efek biospestisida cendawan entomopatogen Beauveria bassiana terhadap serangga predator Menochillus sexmaculatus. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengendalian Hayati, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Faperta Unand bulan Januari sampai Juni 2010. Perlakuan tersebut adalah biopestisida cendawan entomopatogen yang disemprotkan ke imago predator M. sexmaculatus (lima isolat cendawan entomopatogen B bassiana dengan konsentrasi 108 konidia/ml). Hasil penelitian menunjukkan bahwa biopestisida cendawan entomopatogen B. bassiana berdampak negatif terhadap serangga predator M. sexmaculatus, dimana mortalitas serangga predator berkisar antara 62,50 – 82,50 % dengan nilai LT50 6,85 – 4,27 hari. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa serangga predator M. sexmaculatus rentan terhadap cendawan entomopatogen B. bassiana. Kata kunci: Beauveria bassiana, kompatibilitas, Menochillus sexmacultus

ABSTRACT The purpose of this research was to study the effect biopesticide entomopatogen fungi Beauveria bassiana to predator insect of Menochilus sexmaculatus. This experiment was conducted at Laboratory of Biological Control, Plant pest and diseases Department, Faculty of Agriculture, Andalas University from Januari to June 2010. The treathment is biopesticideof fungi entomopatogen B. bassiana that spray to adult of predator insect M. sexmaculatus (five of isolat fungi entomopatogen with 108 conidia/ml). The results showed is biopesticide entomopatogen fungi B. bassiana that negatif effect to predator insect of M. sexmaculatus, at 62,50 – 82,50% mortality of predator with LT50 6,85-4,27 days. It is conclusion that predator insect of M. sexmaculatus sensitive with fungi entomopatogen B. bassiana. Keywords: Beauveria bassiana, compatibility, Menochillus sexmacultus

PENDAHULUAN Salah satu biopestisida dari golongan patogen serangga yang banyak terdapat di alam dan seringkali digunakan untuk pengendalian hama baru Neotoxoptera sp hama adalah cendawan entomopatogen Beauveria bassiana (Bals.) (Deuteromycotina: Hyphomycetes). Pemanfaatan biopestisida cendawan entomopatogen B. bassiana untuk pengendalian hama telah banyak dilaporkan, antara lain dapat menyebabkan mortalitas nimfa Bemisia argentifolii (Homoptera: Aleyrodidae) sampai 77% (Wraight dkk., 2000) dan nimfa Bemisia tabaci sampai 90% (Vicentini dkk., 2001). Hasil penelitian Nelly dkk. (2009) melaporkan bahwa dari 11 isolat cendawan entomopatogen B. bassiana menunjukkan bahwa 5 isolat dengan konsentrasi 108 konidia/ml dapat menyebabkan mortalitas Neotoxoptera sp. berkisar antara 55-100%. Salah satu informasi penting yang harus dipertimbangkan dalam penggunaan biopestisida B. bassiana sebagai agen pengendalian hayati dalam skala luas adalah kompatibilitasnya dengan agen pengendalian hayati lain seperti predator, karena cendawan

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 630 ini dapat menginfeksi berbagai jenis serangga baik serangga hama maupun serangga predator. Faktor keamanan predator tersebut merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk aplikasi cendawan ini secara luas. Salah satu jenis predator yang berpotensi mengendalikan serangga hama adalah Menochilus sexmaculatus (Coleoptera: Coccinellidae). Predator ini mampu memangsa 200- 400 ekor nimfa kutu kebul (Ditlintan, 2008) dan kutudaun Neotoxoptera sp mencapai 171 ekor (Hutagaol, 2010). Keberhasilan pengendalian hama dengan menggunakan dua agens hayati sangat tergantung kepada kompatibilitas kedua musuh alami tersebut (cendawan entomopatogen dan predator). Pemahaman tentang interaksi antara biopestisida cendawan entomopatogen B. bassiana dan serangga predator M. sexmaculatus tersebut sangat diperlukan pada ekosistem pertanian. Hal itu bertujuan untuk dapat memprediksi dampak negatif yang terjadi akibat dari aplikasi biopestisida cendawan entomopatogen B. bassiana terhadap predator. Berdasarkan hal tersebut diatas telah dilakukan penelitian tentang kompatibilitas biopestisida cendawan entomopatogen B. bassiana terhadap predatorM. sexmaculatus sebagai agens hayati pengendalian hama baru Neotoxoptera sp. Secara umum manfaat hasil penelitian adalah diperoleh informasi baru tentang kompatibilitas antara cendawan entomopatogen B. bassiana dan predator M. sexmaculatus sebagai agen pengendalian hayati hama kutu daun Neotoxoptera sp. Informasi yang didapat dari penelitian ini merupakan landasan penting dalam pelaksanaan pengendalian hama terpadu, berbasis pengendalian hayati yang berkelanjutan dan ramah lingkungan serta ekonomis.

METODE PENELITIAN Koleksi Biopestisida Cendawan Entomopatogen B. bassiana Biopestisidan cendawan entomopatogen B. bassiana yang digunakan merupakan koleksi isolat dari Laboratorium Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Universitas Andalas Padang (Nelly dkk., 2009) (Tabel 1).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 631

Tabel 1. Koleksi biopestisida cendawan entomopatogen B. bassiana yang digunakan dalam penelitian (isolat)

Pengadaan predator M. sexmaculatus Imago betina dan jantan predator M. sexmaculatus dikumpulkan di kelurahan Koto Panjang Kecamatan Pauh Kota Padang). Predator M. sexmaculatus berupa imago yang diperoleh di lapangan dibawa ke laboratorium untuk dibiakkan. Sebagai pakan M. sexmaculatus dimasukkan hama kutu daun Neotoxoptera sp. yang ditambah setiap setelah 24 jam. Setiap kelompok telur yang dihasilkan imago diambil dan dipelihara terpisah. Setelah menetas dan menjadi larva dipindahkan ke tanaman bawang daun yang sudah disiapkan dan dipelihara sampai menjadi imago. Imago ini dijadikan sebagai serangga uji. Pengadaan hama kutu daun Neotoxoptera sp. Kutu daun Neotoxoptera sp. diperoleh dari pertanaman bawang daun daerah Padang Luar, Kab. Agam. Bagian tanaman bawang daun yang terserang Neotoxoptera sp. dipotong dan kemudian dipelihara dalam kotak pemeliharaan (berukuran 30x20x7cm). Selanjutnya kutu daun Neotoxoptera sp. yang didapatkan dari lapangan dipelihara pada tanaman bawang daun yang telah disiapkan di laboratorium. Jika populasi Neotoxoptera sp. sudah berkurang, maka akan dilakukan penambahan dengan cara mengumpulkan dari lapangan. Kutu daun Neotoxoptera sp. ini akan diperlakukan sebagai sumber pakan bagi perbanyakan predator M. sexmaculatus dan perlakuan untuk pengujian. Perbanyakan Biopestisida Cendawan Entomopatogen B. bassiana Perbanyakan biopestida B. bassiana dilakukan dengan cara memindahkan biakan murni cendawan B. bassiana seluas 1 cm2 ke dalam cawan petri yang berisi media SDAY (Sabouraud Dextrosa Agar Yeast) dan dibiakkan selama 3 minggu. Suspensi cendawan

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 632 didapatkan dengan menambahkan akuades sebanyak 5 ml dan ditambahkan agristik 0,05 % sebagai bahan perekat ke dalam cawan petri yang berisi biakan B. bassiana. Konidia dilepas dari biakan cendawan dengan menggunakan kuas halus, lalu dimasukkan ke dalam tabung reaksi.Untuk mendapatkan konsentrasi cendawan yang diinginkan, dilakukan perhitungan konsentrasi konidia di bawah mikroskop dengan bantuan haemocytometer. Perlakuan Biopestisida B. bassiana terhadap Predator M. sexmaculatus Pengujian kompatibilitas biopestisida B. bassiana tersebut diaplikasikan melalui cara penyemprotan suspensi konidia cendawan entomopatogen dengan handsprayer pada bagian dorsal tubuh imago predator M. sexmaculatus, sedangkan untuk kontrol hanya disemprot dengan akuadest. Kemudian imago M. sexmaculatus diberi makan dengan hama baru kutudaun Neotoxoptera sp. Setiap satuan percobaan terdiri dari 10 ekor imago. Data dianalisis dengan analisis sidik ragam dan di uji lanjut dengan DNMRT pada taraf 5 %.

HASIL DAN PEMBAHASAN Mortalitas imago predator M. sexmaculatus Hasil uji patogenisitas lima isolat biopestisida cendawan entomopatogen B. bassiana terhadap imago predator M. sexmaculatus menunjukkan bahwa ada pengaruh isolat B. bassiana terhadap mortalitas predator. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut DNMRT 5% terhadap mortalitas predator M. sexmaculatus setelah aplikasi beberapa isolat cendawan entomopatogen B. bassiana menunjukkan hasil yang berbeda nyata (Tabel 2).

Tabel 2. Mortalitas imago predator M. sexmaculatus tujuh hari setelah aplikasi5 isolat cendawan entomopatogen B. bassiana

Dari Tabel 2 terlihat bahwa predator M. sexmaculatus dapat terinfeksi oleh cendawan entomopatogen B. bassiana. Mortalitas imago bervariasi tergantung pada jenis isolat. Isolat BbHhTK1 menghasilkan mortalitas tertinggi pada imago. Pada imago berkisar antara 47,50

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 633 sampai 82,50%. Isolat BbHhTK1 merupakan isolat yang mempunyai patogenisitas tertinggi terhadap predator M. sexmaculatus sedangkan isolat BbTS merupakan isolat yang mempunyai patogenisitas terendah dengan mortalitas rata-rata 47,50-60,00 %. Terjadinya kematian predator M. sexmaculatus setelah aplikasi B. bassiana disebabkan karena cendawan entomopatogen mempunyai kisaran yang luas tidak hanya mematikan serangga hama tetapi juga dapat mematikan serangga predator. Hasil penelitian Elizabeth dkk. (2008) juga menunjukkan bahwa cendawan entomopatogen B. bassiana dapat mematikan imago serangga predator C. maculata berkisar antara 20-70% tergantung pada isolat cendawan B. bassiana yang digunakan. Adanya perbedaan patogenisitas antar isolat merupakan hal yang sudah umum terjadi pada cendawan entomopatogen. Adanya perbedaan patogenisitas dari 5 isolat cendawan B. bassiana yang diuji diduga disebabkan karena adanya perbedaan karakter fisiologi antar isolat seperti daya kecambah konidia, laju pertumbuhan koloni, kemampuan bersporulasi dan metabolisme sekunder yang dihasilkan yaitu berupa kemampuan menghasilkan enzim dan toksin. Tanada dan Kaya (1993) mengemukakan bahwa adanya perbedaan patogenisitas antar isolat disebabkan karena adanya perbedaan kemampuan menghasilkan enzim dan mikotoksin selama berjalannya proses infeksi pada serangga seperti pada saat kontak dengan kutikula dan di dalam hemosoel. Dari data mortalitas imago pada Tabel 2 dapat dilihat laju mortalitas kumulatif imago predator M. sexmaculatus yang mati. Laju mortalitas kumulatif imago predator M. sexmaculatus yang mati setelah aplikasi 5 isolat cendawan entomopatogen B. bassiana pada konsentrasi 108 konidia/ml dapat dilihat pada Gambar 1.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 634

Gambar 1. Laju mortalitas kumulatif imago predator M. sexmaculatus yang terinfeksi cendawan entomopatogen B. bassiana

Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa mortalitas imago akibat infeksi cendawan entomopatogen B. bassiana untuk sebagian besar isolat sudah mulai terjadi pada hari pertama dan peningkatan mortalitas imago terjadi setelah tiga hari. Mortalias terus meningkat sampai hari ke-7 pengamatan. Hal ini mengindikasikan bahwa cendawan B. bassiana memiliki cara kerja yang cepat dalam mematikan imago. Salah satu penyebab kematian predator M. sexmaculatus akibat infeksi Beauveria diduga disebabkan oleh toksin yang diproduksinya.Toksin yang diproduksi cendawan entomopatogen Beauveria dapat menyebabkan gangguan pada fungsi hemolimfa dan nukleus serangga sehingga mengakibatkan pembengkakan yang disertai pengerasan pada serangga yang terinfeksi.Imago predator M. sexmaculatus yang mati akibat infeksi cendawan entomopatogen B. bassiana dapat dilihat pada Gambar 2. Pada penelitian ini, predator M. sexmaculatus yang terinfeksi cendawan entomopatogen B. bassiana menunjukkan gejala awal yang hampir sama yaitu kurang aktif ketika disentuh dan kemudian mati. Imago predator M. sexmaculatus yang mati akibat infeksi cendawan entomopatogen B. bassiana ditandai dengan adanya miselia atau konidia yang berwarna putih pada permukaan tubuh imago predator M. sexmaculatus tiga hari setelah serangga mati. Selanjutnya miselia yang berwarna putih mulai menembus kutikula keluar dari tubuh serangga, kemudian berkembang terus dan pada akhirnya menutupi seluruh tubuh imago.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 635

Gambar 2. A. Imago predator M. sexmaculatus normal; B. Imago predator M. sexmaculatus yang terinfeksi cendawan entomopatogen B. bassiana

Nilai LT50

Hasil analisis probit menunjukkan bahwa adanya variasi nilai LT50 antara masing- masing isolat cendawan entomopatogen B. bassiana dan umumnyamemiliki nilai LT50 yang singkat. Hal ini mengindikasi bahwa biopestisida cendawan entomopatogen ini memiliki tingkat patogenisitas yang tinggi sehingga mampu mematikan imago predator M. sexmaculatus dalam waktu singkat. Nilai LT50 masing-masing isolat cendawan entomopatogen B. bassiana untuk imago berkisar antara 4,27 – 7,99 hari (Tabel 3).

Tabel 3. Nilai LT50 beberapa isolat cendawan entomopatogen B. bassiana terhadap imago predator M. Sexmaculatus

Dari Tabel 3. terlihat bahwa nilai LT50 dari masing-masing isolat cendawan B. bassiana paling singkat adalah isolat BbHhTK1 yaitu 4,27 hari untuk imago. Sedangkan nilai

LT50 yang paling lama adalah isolat BbTS yaitu 7,99 hari untuk imago. Perbedaan nilai LT50 antar isolat berhubungan dengan faktor patogenisitas dari masing-masing isolat cendawan entomopatogen. Amiri-Besheli dkk. (2006) menyatakan cendawan entomopatogen harus cocok dengan inangnya dan menghasilkan kombinasi enzim yang baik untuk dapat

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 636 berpenetrasi ke dalam kutikula inang. Hal ini memberi kesan bahwa berhasilnya infeksi tergantung kepada beberapa faktor patogenisitas, diantaranya faktor kesesuaian inang dan sifat fisiologis masing-masing cendawan. Bervariasinya waktu kematian imago predator M. sexmaculatus akibat infeksi oleh cendawan B.bassiana membutuhkan proses beberapa tahap untuk sampai menginfeksi dan mematikan serangga, yaitu penempelan konidia pada tubuh serangga, perkecambahan, penetrasi, invasi dan kolonisasi dalam hemosul, jaringan dan organ. Waktu untuk masing- masing tahap ini bervariasi tergantung pada jenis cendawan, inang dan lingkungan (Alves 1998, dalam Neves & Alves 2004). Selanjutnya Neves dan Alves (2004) menambahkan bahwa waktu dari infeksi sampai kematian serangga dipengaruhi oleh dosis aplikasi dan virulensi dari isolat. Adanya variasi antara isolat B. bassiana dalam kecepatan mematikan serangga juga dilaporkan oleh Kassa dkk. (2002) yang mengemukakan bahwa isolat cendawan B. bassiana yang berbeda mempunyai kecepatan mematikan yang berbeda terhadap Sitophilus zeamais (Motsch.) (Coleoptera: Curculionidae).

KESIMPULAN Secara umum hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa biopestisida cendawan entomopatogen B. bassiana berdampak negative terhadap serangga predator M. sexmaculatus, dimana mortalitas predator M. sexmaculatus berkisar antara 47.50-82.50% dengan nilai LT50 6,85 – 4,27 hari. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa predator M. sexmaculatus rentan terhadap cendawan entomopatogen B. bassiana. Kemudian, semakin tinggi patogenisitas cendawan entomopatogen B. bassiana maka semakin cepat waktu yang dibutuhkan dalam mematikan predator M. sexmaculatus. Sebaliknya semakin rendah daya patogenisitas cendawan, maka waktu yang dibutuhkan untuk mematikan predator semakin lama. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai LT50.

SARAN Berdasarkan hasil penelitian ini ternyata biopestisida cendawan entomopatogen B. bassiana menyebabkan mortalitas terhadap serangga predator M. sexmaculatus. Oleh karena itu penggunaan cendawan entomopatogen pada ekosistem pertanaman harus memperhatikan aspek keamanan untuk populasi predator.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 637

DAFTAR PUSTAKA Amiri-Besheli, B., Khambay, B., Cameron, S., Deadman, M.L., dan Butt T.M. 2006. Inter and intra-spesific variation in destruxin production by insect pathogenic Metarhizium spp., and its significance to pathogenesis, crop protection unit. University of Reading United Kingdom. Journal of The Mycophatologi 104 (4); 447-452 hal. Ditlintan. 2008. Pedoman pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) pada tanaman bawang merah. http.//www.ditlintan.go.id. Elizabeth, H.R., Peter M. J., Remy L.W., and Michael E.N. 2008. Interactions between the fungal pathogen Beauveria bassianaand three species of Coccinellid: Harmonia axyridis, Coccinella septempunctata and Adalia bipunctata. 266-276. International Organization for Biological Control (IOBC), Volume 53, 266-276. Hutagaol, M. 2010. Preferensi kumbang predator Menochillus sexmaculatus Fabricius (Coleoptera : Coccinellidae) terhadap beberapa jenis kutudaun. [Skripsi]. Fakultas Pertanian, Universitas Andalas. Padang. 21 hal. Kassa A, Zimmermann G, Stephan D, dan Vidal S. 2002. Susceptibility of Sitophilus zeamais (Coleoptera: Curculionidae) and Prostephanus truncates (Horn) (Coleoptera: Bostrichidae) to entomopathogenic fungi from Ethiopia. Biocontr Sci & Technol 12: 727-736 hal. Neves PMOJ, dan Alves SB. 2004. External events related to the infection process of Cornitermes cumulans (Kollar) (Isoptera: Termitidae) by the entomopathogenic fungi Beauveria bassiana and Metarhizium anisopliae. Neotropical Entomology 33 (1): 051-056. Nelly, N., Trizelia, dan Firdos N. 2009. Interaksi antara cendawan entomopatogen B. bassiana dan predator Coccinellid sebagai agens pengendalian hayati hama kutudaun Neotoxoptera sp. pada tanaman bawang merah. Laporan hasil penelitian KKP3T. Universitas Andalas. Padang. 22 hal. Tanada Y, dan Kaya H.K. 1993. Insect Pathology. San Diego: Academic Press, INC. Harcourt Brace Jovanovich, Publisher. Vicentini, S., Faria, M., dan de Oliveira, M.R.V. 2001. Screening of Beauveria bassiana (Deuteromycotina:Hyphomycetes) isolates against nymphs of Bemisia tabaci (Genn.) Biotype B (Hemiptera: Aleyrodidae) with discription of a new bioassay method. Neotropical Entomology 30 (1): 97-103 hal Wraight SP et al. 2000. Evaluation of the entomopathogenic fungi Beauveria bassiana and Paecilomyces fumosoroseus for microbial control of the silverleaf whitefly, Bemisia argentifolii. Biol Contr 17:203-21.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 638

OFTBM-18 Resistensi Crocidolomia pavonana Populasi Lembang Terhadap Insektisida Sintetik Profenofos dan Kepekaannya Terhadap Ekstrak Biji Azadirachta indica (Meliaceae) Danar Dono1, Syafri Ismayana2, Idar2, dan Yogas Dwi Pratiwi1 1 Jurusan Hama dan Penyakit Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran 2Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas Padjadjaran

ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk mengetahui status dan mekanisme biokimia resistensi Crocidolomia pavonana terhadap insektisida sintetik profenofos dan mengetahui potensi ekstrak biji Azadirachta indica dalam mengelola resistensi C. pavonana. Pengujian resistensi dilakukan bertahap, yaitu penentuan tingkat kepekaan acuan, diagnosis resistensi, dan penentuan tingkat resistensi. Masing-masing tahap diuji dengan metode perlakuan pakan dan metode kontak. Nisbah resistensi (NR) ditentukan dengan membandingkan nilai LC50 populais lapangan dengan populasi standar. C. pavonana populasi lapangan dikatakan telah resisten jika mempunyai NR ≥ 4. Analisis biokimia mekanisme resistensi dilakukan dengan metode spektrofotometer terhadap aktivitas asetilkolinesterase (AChE), esterase, serta Glutasion S-transferase. Serangga yang resisten terhadap insektisida sintetik profenofos diuji kepekaannya terhadap ekstrak biji mimba, sehingga diketahui alternatif penanganan serangga resisten. Larva C. pavonana yang digunakan berasal dari populasi Lembang yang diambil dari Desa Cibogo, Cikole dan Kayu Ambon. Sebagai serangga pembanding digunakan larva C. pavonana standar yang telah dipelihara lebih dari 20 generasi di laboratorium. Hasil percobaan menunjukkan bahwa C. pavonana populasi Desa Cikole telah resisten terhadap insektisida sintetik profenofos, dengan nilai Nisbah Resistensi (NR) sebesar 4,83 (Metode pengujian efek residu pada daun pakan). Hal ini menunjukan bahwa mekanisme resistensi yang terjadi di ketiga desa yang diuji, merupakan mekanisme resistensi yang dominannya terjadi pada saluran pencernaan serangga. Mekanisme biokimia resistensi C. pavonana menunjukkan adanya variasi aktivitas enzim detoksifikasi dari masing-masing populasi lapangan, karena kemungkinan adanya variasi paparan insektisida yang beragam pada daerah tersebut. Hasil pengujian toksisitas ekstrak biji A. indica terhadap ketiga populasi C. pavonana lapangan menunjukkan adanya kepekaan terhadap insektisida botani pada ketiga populasi C. pavonana lapangan tersebut dengan nilai NR kurang dari satu. Dengan demikian ekstrak biji A. indica dapat digunakan untuk mengelola resistensi C. pavonana terhadap insektisida sintetik profenofos populasi Lembang. Kata kunci: Azadiracta indica, Crocidolomia pavonana, resistensi, profenofos, Lembang

Notulensi Diskusi Seminar

Wiwin (Balitsa) : - Kenapa pada pengujian lapangan populasinya lebih peka dibandingkan dengan standar yang telah ada? - Perbedaan persisten protenotose dengan nilai yang nabati? Mana yang lebih peka? Jawab : - Karena untuk yang lapangan terseleksi organo fosfat. - Lebih peka yang nabati, karena lebih banyak yang dimakan daripada yang mati. Tati : Mana yang paling resisten dari semua desa jika dilihat dari NR? Jawab : Desa Cikole lebih rentan. Umi (BPTPH – Jawa Barat) : Pengaplikasiannya kapan? Kapan waktu untuk menyemprot? Jawab : Waktu aplikasi untuk melihat crop terbuka atau tidak itu tidak pentin, yang terpenting adalah factor lingkungan lain yang mendukung. Gunakan/diaplikasikan sebelum pembentukkan crop.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 639

OFTBM-19 Profil Hemocyt Oxya japonica (Orthoptera : Acrididae) yang Terinfeksi Jamur Entomopatogen Metarhizium anisopliae

Melanie1, Hikmat Kasmara1, dan Tjandra Anggraeni2 1Jurusan Biologi FMIPA UNPA2Sekolah Ilmu Teknologi Hayati ITB

ABSTRAK Pengendalian populasi serangga hama diantaranya melalui pemanfaatan jamur entomopatogen Metarhizium anisopliae yang dikenal sebagai musuh alami serangga. Dalam upaya pengembangan M. anisopliae varietas lokal sebagai pengendali hama padi Oxya japonica dibutuhkan informasi mengenai efek patogenitasnya terhadap sistem imun serangga. Hemocyt berperan penting dalam sistem pertahanan seluler O. japonica. Respon imun O. japonica yang terinfeksi M. anisopliae salah satunya diamati melalui profil hemocyt. Terjadinya respon pertahanan seluler yang melibatkan aktivitas hemocyt dalam melawan patogen, ditandai dengan terjadinya penurunan jumlah konsentrasi total hemocyt. Tingkat dosis infeksi tidak berpengaruh terhadap perubahan jumlah dan tipe hemocyt, namun berpengaruh terhadap kecepatan penurunan jumlah hemocyt dan perubahan persentase Granulosit - Plasmatosit. Persentase Granulosit meningkat pada 0-12 jam, selanjutnya menurun pada 12- 24 jam dan 48 jam. Persentase Plasmatosit menurun pada 0-12 jam dan meningkat pada 12-24 jam dan 48 jam. Kata kunci : Metarhizium anisopliae, Oxya japonica, patogenesitas, respon imun, hemocyt, Granulosit, Plasmatosit

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 640

OFTBM-20 Kerusakan Anatomi Sebagai Penyebab Kematian Plutella xylostella yang Diinfeksi Jamur Paecilomyces fumosoroseus Tjandra Anggraeni1 1Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB Jl. Ganesa No. 10 Bandung Email : [email protected]

ABSTRAK Paecilomyces fumosoroseus merupakan jamur yang diketahui dapat berperan sebagai insektisida mikroba dan mampu mengendalikan serangga hama pertanian Plutella ylostella. Penelitian dilakukan untuk mengetahui penyebab kematian serangga yang disebabkan oleh infeksi jamur. Larva P. xylostella dikoleksi dari desa Mekarwangi Lembang dan dipelihara di laboratorium Entomologi SITH, sedangkan jamur P. fumosoroseus diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Teh dan Kina Gambung Ciwidey. Metoda aplikasi secara topikal pada instar 3 menunjukkan bahwa LC-50 dari suspensi konidia jamur P. fumosoroseus dengan konsentrasi 5,8 x 104 konidia/mL dapat membunuh P. xylostella dalam waktu 96 jam. Pengamatan terhadap anatomi serangga dilakukan dengan membuat sayatan histologi menggunakan metoda paraffin yang kemudian diwarnai dengan pewarnaan hematoxylin-Eosin. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa penetrasi konidia P. fumosoroseus melalui kutikula P. xylostella terjadi antara 24 jam dan 48 jam setelah infeksi. Tujuh puluh dua jam setelah infeksi, miselium sudah memasuki hemosol dan 96 jam setelah infeksi, miselium menyebar ke seluruh hemosol dan merusak jaringan. Kata Kunci : P. fumosoroseus; P. xylostella; insektisida mikroba

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 641

PENDAHULUAN Salah satu agen pengendali serangga dari kelompok mikroorganisma adalah kelompok jamur (Capinera, 2010). Dua spesies jamur yang paling banyak digunakan adalah Metarhizium anisopliae dan Beauveria bassiana. Penelitian untuk mencari jamur lain sebagai agen pengendali serangga perlu dilakukan. Secara umum, ada 2 tipe jamur pengendali serangga yaitu kelompok yang spesifik menyerang serangga dan kelompok yang kurang spesifik dan dapat menyerang serangga atau materi organik lainnya (Tanada & Kaya, 1993). Kelompok yang disebut terakhir kurang efektif bila digunakan sebagai agen pengendali. Untuk menyelesaikan siklus hidupnya, jamur memerlukan kondisi kelembaban dan temperatur yang tertentu, disamping faktor nutrisi sebagai bahan untuk energinya. Jamur masuk ke dalam tubuh inang dari arah luar tubuh setelah sebelumnya terjadi kontak dan penetrasi kutikula (Bosch dkk., 1985). Kematian serangga dapat diakibatkan oleh adanya kerusakan yang disebabkan oleh tumbuhnya miselium atau dapat diakibatkan oleh adanya racun yang dikeluarkan oleh jamur. Paecilomyces fumosoroseus adalah jamur dari subdivisi Deuteromycotina (Tanada & Kaya, 1993) yang diketahui dapat berperan sebagai agen pengendali serangga, namun sejauh ini belum diketahui penyebab kematian serangga secara pasti. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyebab kematian serangga Plutella xylostella yang diinfeksi P. fumosoroseus melalui pengamatan anatomi serangga.

BAHAN DAN METODA Uji pendahuluan dilakukan untuk mengetahui nilai LC-50 larva P. xylostella yang diinfeksi konidia jamur P. fumosoroseus. Lima buah vial berisi 10 ekor larva disemprot dengan suspensi perlakuan (konsentrasi 102, 104, 106, atau 107 konidia/mL) atau kontrol (NaCl 0,85%). Jumlah larva yang mati karena infeksi jamur dihitung setiap 24 jam selama 4 hari. Kematian ditandai dengan kakunya tubuh larva dan adanya pertumbuhan miselium berwarna putih di permukaan tubuhnya. Selanjutnya, data kematian diolah dengan bantuan program probit untuk mendapatkan nilai LC-50. Nilai LC-50 yang diperoleh pada uji pendahuluan digunakan untuk uji pengamatan perkembangan miselium P. fumosoroseus dalam tubuh serangga P. xylostella. Larva yang telah diinfeksi pada waktu tertentu kemudian difiksasi dalam larutan fiksatif Bouin selama 24 jam dilanjutkan dengan pencucian menggunakan alkohol 70% (Utari, 2000). Proses

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 642 berikutnya adalah dehidrasi dengan larutan NBA seri serta infiltrasi yang dilakukan dengan paraffin cair di dalam oven bersuhu 56˚C. Selanjutnya larva ditanam dalam blok paraffin dan disayat dengan menggunakan microtom ―American Optical‖ setebal 6 μm. Hasil sayatan ditempel pada kaca objek dengan perekat albumin meyer dan diberi pewarnaan Hematoksilin- eosin (Rachmawati, 1994). Setelah proses pewarnaan, hasilnya ditutup dengan kaca penutup yang diberi entelan dan diamati menggunakan mikroskop. Pengamatan morfologi dan pembuatan sayatan dilakukan untuk larva yang telah diinfeksi selama 24 jam, 48 jam, 72 jam, dan 96 jam.

HASIL DAN PEMBAHASAN Uji pendahuluan menunjukkan bahwa LC-50 dari suspensi konidia jamur P. fumosoroseus dengan konsentrasi 5,8 x 104 konidia/mL dapat membunuh larva P. xylostella dalam waktu 96 jam. Kematian ditandai dengan kakunya tubuh larva yang dilanjutkan dengan tumbuhnya miselium jamur yang menyelubungi seluruh tubuh larva. Sayatan melintang dibuat di bagian tengah tubuh larva yang diperkirakan merupakan bagian midgut atau usus tengah larva. Gambar 1 adalah anatomi larva P. xylostella yang tidak diinfeksi (kontrol), terlihat bahwa lapisan terluar merupakan kutikula (a) yang utuh. Beberapa lekukan yang terlihat diperkirakan merupakan kotoran atau pengganggu lain yang terbawa saat proses pembuatan sayatan dilakukan. Midgut (b) terlihat utuh, demikian pula halnya dengan membran peritofik (c) Membran peritrofik merupakan membran pelindung midgut dari kemungkinan adanya mikroorganisma atau materi lain yang terbawa oleh makanan yang masuk (Pedigo, 1999; Chapman, 2003). Di antara midgut dan kutikula adalah hemosol (d) yang merupakan rongga dalam tubuh serangga.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 643

Gambar 1. Penampang melintang larva tanpa perlakuan (kontrol) – a) kutikula; b) midgut; c) membran peritrophic; d) hemosol

Pada 24 jam setelah larva diinfeksi, kondisi larva mulai melemah dan aktivitas makan mulai berkurang. Meskipun tidak dengan jelas terlihat dari luar, namun pada sayatan 24 jam (Gambar 2) terlihat bahwa banyak terjadi pelekukan di bagian kutikula serangga (a) Pelekukan-pelekukan tersebut terjadi karena adanya penetrasi konidia yang telah bergerminasi (b) bahkan telah terjadi pula perkembangan jamur di dalam rongga tubuh/hemosol (c) Menurut Tanada dan Kaya (1993) perkembangan mikosis pada serangga diawali dengan fase penempelan dan germinasi spora pada kutikula serangga, dilanjutkan dengan penetrasi ke dalam hemosol, dan diakhiri dengan perkembangan jamur yang menyebabkan kematian serangga. Pada fase-fase tersebut, juga melibatkan enzim yang dikeluarkan oleh jamur.

Gambar 2. Penampang melintang larva setelah 24 jam infeksi – a) kutikula; b) penetrasi jamur; c) perkembangan jamur dalam hemosol

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 644

Pelekukan yang diakibatkan oleh penetrasi jamur terlihat semakin dalam bahkan sudah mencapai midgut pada 48 jam setelah infeksi (Gambar 3ga mendesak midgut kearah luar (d). Tekanan pada midgut tidak hanya dari arah dalam midgut tetapi juga dari arah kutikula (c) sehingga merusak midgut (b). Sel-sel penyusun midgut mulai terdegradasi dan membran peritrofik mulai lepas kearah lumen. Hal ini dapat terjad karena kemungkinan adanya enzim yang dikeluarkan oleh jamur berkaitan dengan nutrisi yang diperlukan untuk perkembangan jamur. Sementara itu kondisi larva sudah tidak bergerak.

Gambar 3. Penampang melintang larva setelah 48 jam infeksi – a) kutikula; b) midgut; c) membran peritrofik; d) bagian trakea; e) penetrasi jamur; f) perkembangan jamur di dalam hemosol

Kerusakan yang diakibatkan oleh penetrasi dan perkembangan jamur semakin jelas terlihat pada 72 jam setelah infeksi (Gambar 4). Bentuk kutikula dan midgut sudah tidak sempurna dan kerusakan sudah parah. Pada keadaan ini, materi organik larva sudah terserap oleh jamur untuk menunjang perkembangannya. Secara morfologi, tubuh sangat lembek karena jaringan ikat sudah rusak dan tidak berfungsi. Serangga sudah mulai menunjukkan mumifikasi.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 645

Gambar 4. Penampang melintang larva setelah 72 jam infeksi – a) kutikula; b) midgut; c) perkembangan jamur di dalam hemosol

Pada 96 jam setelah infeksi, jaringan internal tubuh sudah tidak terorganisasi dengan baik, miselium sudah memenuhi hemosol serangga. Penampakan dari luar memperlihatkan bahwa tubuh serangga mulai mengeras yang diakibatkan oleh akumulasi miselium. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Tanada dan Kaya (1993).

Gambar 5. Penampang melintang larva setelah 96 jam infeksi – a) kutikula; b) jaringan hemosol yang telah hancur

Sejauh ini, meskipun P. fumosoroseus merupakan jamur yang berpotensi untuk digunakan sebagai agen pengendali hayati (Azevedo dkk., 2000), namun sediaan komersial belum dilakukan.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 646

KESIMPULAN Jamur P. fumosoroseus dengan konsentrasi 5,8 x 104 konidia/mL terbukti dapat membunuh larva P. xylostella dalam waktu 96 jam. Kematian diakibatkan oleh adanya kerusakan pada organ internal larva yang diawali dengan adanya penetrasi konidia pada 24 – 48 jam setelah infeksi.

DAFTAR PUSTAKA Azevedo, A.C.S, Furlaneto, M.C., Sosa-Gómez, D.R., and Fungaro, M.H.P. 2000. Molecular Characterization of Paecilomyces fumosoroseus (Deuteromycotina: Hyphomycetes) isolates. Scientia Agricola Vol 57 no. 4 Bosch, R, Messenger, P.S., and Gutierrez, A.P. 1985. An Introduction to Biological Control. Plenum Press. New York. pp. 247. Capinera, J.L. 2010. Insects and Wildlife . p 259-262. Wiley-Blackwell. Florida. Chapman, R.F. 2003. The Insects Structure and Function. Cambridge University Press. Cambridge. p. 38-93. Pedigo, L.P. 1999. Entomology and Pest Management. Prentice Hall. New Jersey. P. 35-78. Rachmawati, M.R. 1994. Pengaruh Jamur Beauveria bassiana (Balsamo) Vuill terhadap Efisiensi Makan dan Penyebarannya dalam Tubuh Larva Crocidolomia binotalis Zell. Skripsi Sarjana Biologi. ITB. Bandung Tanada, Y and Kaya, H.K. 1993. Insect Pathology p. 318-387. Academic Press. San Diego. Utari, 2000. Pengaruh Infeksi HaNPV terhadap Kerusakan Membran Peritrofik dan Indeks Nutrisi Larva Instar Lima Helicoverpa armigera Hubner. Tesis Magister ITB, Bandung.

Notulensi Diskusi Seminar Rizal – HPT UNPAD : Lebih efektif mana dengan pengujian jamur lain? Kerusakan anatominya merusak karena apa? Jawab : Kurang mengetahui karena ingin mengetahui jamur lain. Untuk toksisitas kemungkinan ada tapi saya tidak mengujinya karena memang hanya ingin melihat anatomi. Amrizal Nazar : Bagaimana jika diaplikasikan di lapangan? Jawab : Agen biologis itu rentan terhadap factor lingkungan seperti matahari sehingga harus ada perlindungan. S. Asikin : Dicampur dengan pestisida sintetik? Jawab : Untuk formula menurut saya tidak bisa dicampur karena jamur ini memang rentan terhadap lingkungan.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 647

OFTBM-21 Uji Efikasi Fungi Entomopatogen Beauveria bassiana (Balsamo) dan Cordyceps sp. Terhadap Crocidolomia pavonana (Fabr.) (Lepidoptera: Pyralidae) dalam Kondisi Laboratorium

Agus Dana Permana1 dan Salli Marindha1 1Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB Jl. Ganesa No. 10 Bandung Email : [email protected]

ABSTRAK Fungi Entomopatogen adalah salah satu agensia pengendalian biologis yang potensial dan banyak digunakan untuk pengendalian serangga hama. Beberapa spesies sperti, Beauveria bassiana dan Cordyceps sp. Telah diketahui memiliki kemampuan dalam menginfeksi serangga. Telah dilakukan penelitian awal mengenai efektivitas spora fungi B. bassiana dan Cordyceps sp. Terhadap larva Crocidolomia pavonana (Fabr.) (Lepidoptera: Pyrilidae) dengan metode penyemprotan ke permukaan tubuh larva. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Cordyceps sp. lebih efektif terhadap larva C. pavonana dibandingkan dengan B. Bassiana. Cordyceps sp. dapat menyebabkan kematian hingga 100%, sedangkan B. bassiana hanya 98,33%. Walaupun hasil analisa probit menunjukkan bahwa LC-90 Cordyceps sp. terhadap C. Pavonana lebih tinggi daripada spora B. Bassiana. Dari hasil kajian ini, Cordyceps sp. memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan, akan tetapi duperlukan kajian lebih mendalam. Kata kunci : Fungi entomopatogen, Crocidolomia pavonana, Beauveria bassiana, Cordyceps sp.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 648

OFTBM-22 Perkembangan Larva Boktor (Xystrocera festiva) Pada Artificial Diet Laura Flowrensia1 dan Noor Farikhah Haneda1

1 Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor Kampus IPB Darmaga, Bogor 16001 E-mail: [email protected]

ABSTRAK Tanaman sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) merupakan jenis kayu yang banyak digunakan sebagai bahan baku industri pulp, kertas dan kayu pertukangan. Masalah terbesar dalam pengusahaan hutan sengon adalah serangan boktor (Xystrocera festiva Pascoe). Bahan makanan yang disukai larva boktor adalah bagian permukaan kayu gubal (xylem) dan bagian permukaan kulit bagian dalam. Aktivitas makan dari larva boktor ini terjadi di bagian dalam dari pohon sengon sehingga pengamatan perkembangan larva sulit dilakukan dilapangan. Oleh karena itu untuk memudahkan pengamatan bio- fisiologinya adanya artificial diet dapat digunakan untuk berbagai tujuan seperti pengamatan siklus hidup larva, pengujian resistensi pohon terhadap boktor, pengujian pertisida dan lainnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perkembangan larva boktor pada artificial diet. Parameter yang diamati adalah berat, diameter kepala, panjang dan konsumsi pakan. Berdasarkan hasil rataan pada masing-masing parameter menunjukkan bahwa larva dapat berkembang biak pada artificial diet yang menggunakan serbuk kulit dari serbuk sengon yang sakit dibandingkan serbuk kulit dari pohon yang sehat. Hal ini menunjukkan bahwa pada pohon yang sehat kemungkinan terdapat senyawa yang menghambat perkembangan larva boktor sehingga artificial diet. perkembangannya tidak optimal. Kata kunci: sengon, artificial diet, boktor

ABSTRACT Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) is one type of tree that mostly used as raw materials of pulp industry, paper and timber. The biggest problem in sengon plantation is boktor larvae (Xystrocera festiva) attack. The boktor larvae consume sap wood (xylem) and the inner surface of the bark. Mostly activity of larvae was inside the sengon tree; therefore it is difficult to observe in the field. Hence, to make easy for observation, artificial diet is needed. Artificial diet can used to several purposes such as life circle observation, selection of plant resistant, bioassay of pesticide, etc. The purpose of this study is to investigate the growth of boktor larvae in artificial diet. Parameters that observed were weight, head diameter, body length and food consumption of boktor larvae. The results show that boktor larvae could grow up optimally in artificial diets that compose from infected bark, compare to uninfected bark. Uninfected bark might contain inhibitor compound that could inhibit the growth of boktor larvae. Keywords: sengon, artificial diet, boktor

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 649

PENDAHULUAN Tanaman sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) merupakan jenis kayu yang banyak digunakan sebagai bahan baku industri pulp, kertas dan kayu pertukangan. Penanaman jenis ini banyak diminati karena daur tidak terlalu panjang, harga kayu sengon relatif membaik dan tanaman tidak terlalu menuntut persyaratan tempat tumbuh yang sulit. Salah satu masalah terbesar dalam pengusahaan hutan sengon adalah serangan kumbang boktor (Xystrocera festiva Pascoe). Kumbang ini termasuk dalam ordo Coleoptera dan famili Cerambycidae. Hama ini menyerang batang sengon sejak tegakan berumur 3-4 tahun, terjadi di Indonesia (pulau Jawa, Sumatra dan Kalimantan) ataupun di luar Indonesia (Malaysia, Filipina dan Thailand). Larva boktor menyerang batang sengon pada bagian permukaan kayu gubal (xylem) dan bagian permukaan kulit bagian dalam (floem) (Anonim, 2011). Sebagian besar aktifitas larva dilakukan di dalam batang sehingga sulit dilakukan pengamatan di lapangan. Hal ini menyebabkan usaha pengendalian juga sulit dilakukan. Sampai saat ini pengendalian hama boktor belum menunjukkan hasil yang maksimal. Beberapa usaha pengendalian yang pernah dilakukan adalah secara konvensional, biologi dan secara kimia. Usaha pengendalian yang mempunyai peluang untuk mengurangi kerusakan akibat serangan hama ini yaitu dengan menanam pohon sengon yang resisten terhadap hama boktor. Di dalam mendukung kepentingan ini diperlukan pengetahuan yang cukup tentang biologi dan fisiologi serta perilaku larva boktor. Namun informasi yang diperoleh dari lapangan masih sangat terbatas, terutama dalam hal biologi hama boktor. Hal ini dikarenakan aktivitas makan larva boktor terjadi di bagian dalam dari pohon sengon sehingga sulit untuk melakukan pengamatan kondisi biologi secara spesifik. Salah satu cara untuk memudahkan pengamatan digunakan artificial diet. Artificial diet merupakan makanan buatan yang terdiri dari bahan alami dan bahan kimia dengan dosis tertentu yang dibuat untuk mempertahankan hidup dari larva boktor. Pengamatan ini akan memberi informasi tentang pertumbuhan larva boktor yang mencakup siklus hidup dan aktivitas makannya. Informasi ini sangat berguna dalam kegiatan pemuliaan pohon sengon yang resisten terhadap hama boktor. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perkembangan larva boktor dalam artificial diet.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 650

BAHAN DAN METODE Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah artificial diet dan larva boktor berukuran kecil (1-1,5 cm). Bahan artificial diet terdiri dari dua bahan yaitu bahan I, dengan komposisi serbuk kulit kayu sengon telah diproses freeze dry (5 g), yeast extract (0,75 g), streptomycin (0,5 g), Ascorbic acid (0,5 g), natrium benzoat (0,5 g), sukrosa (5 g) dan aquades (50 ml), sedangkan bahan II adalah agar (1,75 g) dan aquades (50 ml). Kulit kayu diambil dari kondisi pohon sengon yang berbeda yaitu sehat dan terserang boktor. Alat yang digunakan yaitu freeze drier timbangan digital, kompor listrik, kaliper digital, tabung reaksi dengan diameter 3 cm, gelas ukur, refrigerator, oven, sendok pengaduk, sudip, cawan petri, pinset, gunting, kain kasa, tissue, label, karet, piring, alat tulis dan kamera digital. Pembuatan artificial diet diawali dengan memasukan aquades dan sukrosa kedalam gelas kimia lalu diaduk sampai larut. Kemudian masukan yeast extract sambil diaduk masukkan streptomycin, natrium benzoat dan ascorbic acid lalu diaduk sampai larut semuanya. Selanjutnya, memasukan serbuk kulit sengon sesuai dengan kondisi lalu diaduk lagi sampai tercampur semua. Bahan II dibuat dengan cara menuangkan aquades ke dalam gelas kimia dan melarutkan agar ke dalamnya lalu diaduk dan dipanaskan dengan kompor listrik. Setelah kedua bahan siap, agar (bahan II) dicampurkan ke dalam campuran serbuk kulit dan bahan kimia lainnya (bahan I). Percobaan dilakukan dengan memasukan larva X. festiva satu persatu ke dalam tabung reaksi yang telah berisi makanan buatan (Artificial Diet), kemudian ditutup dengan kain kasa lalu diikat dengan karet gelang. Tabung-tabung percobaan ini disimpan di rak dengan suhu kamar dan memperoleh udara yang cukup. Parameter yang diamati yaitu berat larva, diameter kepala larva, panjang larva dan konsumsi larva. Pengukuran dan penggantian makanan dilakukan setiap dua minggu sekali selama 6 kali pengamatan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian meunjukkan bahwa pada keempat parameter yaitu berat, diameter kepala, panjang dan konsumsi pakan larva menunjukkan perbedaan antara perlakuan pada kulit sehat dan kulit sakit (Gambar 1). Parameter berat larva kecil pada

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 651 kulit sengon sehat rataannya sebesar 0,441 g sedangkan pada kulit sengon sakit sebesar 0,502 g. Parameter konsumsi makanan buatan (artificial diet) juga memberikan perbedaaan yang cukup besar, konsumsi pada kulit sengon sehat sebesar 2,029 g dan pada kulit sengon sakit sebesar 2,521 g. Dari hasil ini, diketahui konsumsi larva pada kulit sengon sakit lebih besar daripada konsumsi kulit sengon sehat dan hal ini berpengaruh positif terhadap berat larva. Kedua parameter ini saling berhubungan, jika konsumsi larva semakin bertambah maka akan menaikkan berat tubuh larva itu sendiri. Pada diameter kepala larva yang mengkonsumsi kulit sehat sebesar 4,153 mm sedangkan pada kulit sakit sebesar 4,317 mm. Pada parameter panjang larva di kulit sehat juga lebih kecil yaitu 2,503 cm sedangkan pada kulit sakit lebih besar yaitu 2,667 cm.

Berat Larva (g) Diameter Kepala Larva (mm) 4.317 0.550 0.502 4.400 0.500 4.300 0.441 4.200 4.153 0.450 4.100 0.400 4.000 Kulit Sehat Kulit Sakit Kulit Sehat Kulit Sakit

Panjang Larva (cm) Konsumsi Pakan (g) 2.700 3.000 2.600 2.000 2.500 1.000 2.400 0.000 Kulit Sehat Kulit Sakit Kulit Sehat Kulit Sakit

Gambar 1. Rekapitulasi rataan parameter perkembangan larva boktor pada makanan buatan (artificial diet) kulit sengon kondisi sehat dan sakit.

Menurut Matsumoto dan Irianto (1998), kelompok larva muda yang baru menetas, terdiri dari puluhan sampai lebih dari 200 ekor yang berasal dari satu kelompok telur yang diletakkan seekor serangga betina, segera memakan kulit pohon bagian dalam, kambium dan bagian luar dari kayu gubal, membentuk saluran gerek yang saling bertemu, menuju ke arah bawah dari tempat peletakan telur.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 652

Berdasarkan hasil uji T-test pada Gambar 2 nilai peluang (probabilitas) menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata diantara ke-empat parameter yaitu berat larva sebesar 0,186, diameter kepala sebesar 0,315, panjang larva sebesar 0,234 dan pada konsumsi artificial diet sebesar 0,076. Namun pada parameter konsumsi pakan memiliki nilai p yang paling kecil dibandingkan parameter lainnya. Meskipun tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara pohon yang sehat dan yang sakit tetapi berdasarkan data menunjukkan adanya kecenderungan (trend) bahwa pohon yang sakit lebih didisukai dan sesuai untuk pertumbuhan larva boktor.

0.400 0.315 0.234 0.300 0.186 0.200 0.076 0.100 0.000

Gambar 2 Nilai peluang (probabilitas) pada T-test antara kondisi kulit sehat dan sakit pada parameter perkembangan larva boktor kecil.

Pohon yang mengalami stress dapat mempengaruhi kepekaan pohon terhadap serangan hama, biasanya lebih rentan terhadap serangan hama bila dibandingkan dengan pohon yang sehat. Stress pada pohon biasanya disebabkan oleh adanya faktor biotik (hama, penyakit, dan persaingan antar pohon) dan faktor abiotik (suhu, kelembaban dan kebakaran) (Barbosa & Wagner, 1989). Berdasarkan hasil keempat parameter perkembangan larva pada Gambar 1 memperlihatkan bahwa pohon yang terserang memberikan kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan larva boktor dibandingkan pada pohon sengon yang sehat. Prasetya (2007) menyebutkan bahwa dalam pencernaan boktor terdapat enzym trypsin. Selain itu dalam pohon sengon juga terdapat senyawa yang bersifat inhibitor terhadap enzym trypsin yang terdapat pada pencernaan boktor (Winarni, 2003). Hal ini membuktikan bahwa kandungan trypsin inhibitor pada kulit yang sehat menyebabkan pertumbuhan larva boktor pada pohon yang sehat mengalami hambatan pertumbuhan. Djati (2007) membuktikan bahwa aktivitas trypsin inhibitor tertinggi ada pada bagian

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 653 kulit sengon. Kandungan trypsin inhibitor yang besar pada kulit mengindikasikan bahwa kulit adalah perlindungan utama pada sengon dari serangan boktor.

KESIMPULAN Parameter yang dapat dilihat dalam perkembangan larva boktor adalah berat larva, diameter kepala larva, panjang larva dan konsumsi pakan. Kemampuan hidup larva boktor pada artificial diet lebih sesuai pada kulit sengon sakit dibandingkan hidup pada kulit sengon sehat. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2011. Hama Boktor (Xystrocera festiva, ordo Coleoptera) pada Sengon. http://bumiku-menangis.blogspot.com/2009/04/hama-boktor-xystrocera- festiva-ordo.html [28-Januari-2011]. Barbosa, P and M. R. Wagner. 1989. Introduction to forest and shade tree entomology. Academic Press Inc. New York Djati, FDH. 2009. Studi trypsin inhibitor dan alfa-amylase inhibitor pada pohon sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) provenan Banjarnegara dan Subang [skripsi]. Bogor : Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. Matsumoto, K. 1994. Studies on the ecological characteristics and methods of control of insect pests of trees in reforested areas in Indonesia. AFRD Bogor . Prasetya, A. 2007. Studi tentang enzim trypsin dan α-amylase pada hama boktor (Xystrocera festiva Pascoe) serta inhibitor trypsin pada pohon sengon [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. Winarni, I. 2003. Studi keragaman trypsin inhibitor dan keragaman genetik isoenzim pohon plus sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) pada hutan rakyat di Jawa Barat [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan.

Notulensi Diskusi Seminar Akbar Reza (Biologi UGM) : Atas dasar apa diameter kepala sebagai parameter? Jawab : Dalam pertumbuhan fisik lebih mudah diamati karena kepala Boktor tetap. Sinta (UGM) : Karakteristik sampel sakit? Jawab : Pohon sakit yang dimaksud adalah yang pernah diserang Boktor. Inhibitor yang sudah ada yang sakit lebih rentan diserang penyakit.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 654

OFTBM-23 Aktifitas Enzim Detoksifikasi Pada Kecoa Jerman, Blattella germanica yang Resisten Insektisida dari Beberapa Lokasi di Indonesia Resti Rahayu1,2, Intan Ahmad2, Marselina I. Tan2, dan Endang S. Ratna3 1Jurusan Biologi, FMIPA, Univesitas Andalas, Padang 2Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH), Institut Teknologi Bandung 3Jurusan Hama Penyakit Tanaman IPB Email : [email protected]

ABSTRAK Kecoa Jerman, Blattella germanica merupakan salah satu dari serangga hama penting pemukiman di banyak negara termasuk Indonesia. Pengujian tingkat resistensi kecoa Jerman dari beberapa lokasi di Indonesia menunjukkan bahwa tingkat resistensi kecoa Jerman Indonesia sudah sangat tinggi. Tingkat resistensi kecoa Jerman di Indonesia terhadap Permetrin dan Fipronil merupakan tingkat resistensi tertinggi di dunia dalam penelitian yang sama.Untuk mengetahui mekanisme resistensi yang berkembangkan pada kecoa Jerman di Inonesia telah dilakukan pengukuran aktifitas enzim detoksifikasi (alfa esterase, beta esterase dan oksidase). Hasil pengukuran menunjukkan bahwa semua strain kecoa lapangan memiliki rata-rata aktifitas enzim detoksifikasi lebih tinggi dibandingkan kecoa standar. Mekanisme resistensi yang terlibat pada kecoa Jerman lapangan yang di uji adalah multi mekanisme resisten karena terlibatnya ketiga enzim detoksifikasi. Namun terdapat korelasi yang lemah antara tingkat resistensi dengan ketiga aktifitas enzim tersebut dan ini menunjukkan ada mekanisme lain yang juga berperan pada kasus resistensi kecoa di Indonesia seperti menurunnya sensitifitas target-site pada sel syaraf serangga terhadap insektisida piretroid yang dikenal dengan knockdown resistance (Kdr). Hasil pengujian terhadap strain GFA-JKT positif menunjukkan mekanisme Kdr mutasi juga terlibat, sedangkan pengujian terhadap strain kecoa lapangan lainnya sedang dalam proses. Kata kunci: Resistensi, Kecoa Jerman, enzim detoksifikasi, alfa dan beta esterase

Notulensi Diskusi Seminar Hamda (Biologi UGM) : Bagaimana diujinya? Jawab : Kecoa dihancurkan dan di ekstrak dengan huffer dan ekstrak kasar yang diuji. Tanya : Bagaimana test resisten atau tidak? Jawab : Dibuat beberapa konsentrasi. Diamati keliatan, tropical digunakan.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 655

OFTBM-24 Pengaruh Permetrin Dosis Sub-lethal Terhadap Konsumsi Makan Kecoa Jerman, Blattella german Strain Rentan dan Resisten Resti Rahayu1,3, Karl_Martin V. Jansen2, Michael Kristensen2, dan Intan Ahmad3 1Jurusan Biologi, FMIPA , Univesitas Andalas, Padang 2Danish Pest Infestation Laboratory (DPIL), Aarhus University, Danmark 3Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH), Institut Teknologi Bandung, Indonesia Email : [email protected]

ABSTRAK Kecoa Jerman, Blattella germanica merupakan salah satu dari serangga hama penting pemukiman yang menjadi masalah dibanyak negara termasuk Indonesia. Hasil penelitian sebelumnya terhadap beberapa parameter biologi untuk melihat fitness dari kecoa resisten menunjukkan hasil bahwa kecoa resisten memiliki fitness yang kurang menuntungkan dibandingkan kecoa rentan sebagai standar, hasil ini di dukung oleh teori Crow, 1957 yang mengatakan bahwa fitness serangga resisten tidak sebaik fitness serangga rentan. Berdasarkan hasil di atas dilakukan penelitian lanjutan dengan tujuan melihat apakah ada perbedaan respon dilihat dari konsumsi makan antara kecoa resisten dan rentan setelah didedahkan insektisida permetrin sub-lethal melalui metoda residu/kontak yang di amati selama tiga hari. Hasil menunjukan bahwa pemberian permetrin dengan konsentrasi 0,0010 dan 0,0013 µg/cm2 menyebabkan konsumsi makan menurun pada kecoa jantan strain rentan, masing-masing sebesar (-)8,66 dan (-)30,82%, sedangkan untuk strain resisten konsumsi makan meningkat 50,79 dan 25,09 dibandingkan kontrol (tanpa permetrin). Pada kecoa betina pemberian permetrin 0,0013 µg/cm2 menyebabkan konsumsi makan menurun baik pada strain rentan maupun betina, masing-masing 59,94 dan 20,85%. Kata kunci: Blattella germanica, kecoa jerman, strain rentan, strain resisten, konsumsi makan

Notulensi Diskusi Seminar Tanya : Saran saya untuk penelitian selanjutnya tentang ―fitnessnya‖ setelah perlakuan- perlakuannya lebih ke fenotipnya. Jawab : Iya Terimakasih. Andi : Jika menggunakan bold power index akan lebih bagus. (tambahan) Jawab : Terimakasih.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 656

OFTBM-25 Respon Rayap Tanah Coptotermes curvignathus (Isoptera: Rhinotermitidae) Terhadap Ekstraktif Kayu Eboni Eko Kuswanto1, Wasrin Syafii2, dan Dodi Nandika2

1IAIN Raden Intan Lampung, Jalan Endro Suratmin 1 Bandar Lampung 2Fakultas Kehutanan – Institut Pertanian Bogor, Jalan Raya Dramaga – Bogor

ABSTRAK Kayu eboni Diospyros polisanthera (Blanco) mengandung ekstraktif sebanyak 1,15%. Mortalitas rayap tanah Coptotermes curvignathus (Holmgren) (Isoptera: Rhinotermitidae) setelah empat minggu masa pengumpanan mencapai 100% pada konsentrasi 6%, 8%, dan 10% fraksi terlarut n-heksana. Sedangkan kisaran kehilangan berat kertas uji pada penambahan ekstraktif kayu eboni adalah 6,82% hingga 31,64%. Penentuan komponen utama ekstraktif kayu eboni yang bersifat toksik terhadap rayap tanah C. curvignathus dari fraksi terlarut n-heksana dilakukan menggunakan kromatografi gas spektra massa (GC- MS). Terdapat dua senyawa yang diduga merupakan komponen utama ekstraktif kayu eboni yaitu 1-(2- propeniloksi)-2-propanol dan sikloheksanon. Kedua komponen tersebut memiliki persentase tertinggi di dalam fraksi terlarut n-heksana. Kata kunci: kayu eboni, rayap tanah, Coptotermes curvignathus, 1-(2-propeniloksi)-2-propanol, sikloheksanon

ABSTRACT The loss weight varied from 6,82% to 31,64% when subterranean termite Coptotermes curvignathus (Holmgren) (Isoptera: Rhinotermitidae) fed on selected solvent-extracted heartwood sawdust prepared from eboni wood on filter paper treated with the corresponding extracts. The 6-8% of n-hexane solvent system produced 100% mortality after four weeks. Wood extractive analysis by GC-MS resulted two main chemical compounds are 1-(2-propenyloxy)-2-propanol and cyclohexanone. Keywords: eboni wood, subterranean termite, Coptotermes curvignathus, 1-(2-propenyloxy)-2-propanol, cyclohexanone

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 657

PENDAHULUAN Kayu telah lama memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, baik digunakan sebagai bahan bangunan (konstruksi), perabotan rumah tangga, furniture, maupun dalam penggunaan lainnya. Kayu sebagai produk biologis mempunyai keunggulan sifat-sifat tertentu daripada bahan lainnya, antara lain kekuatan cukup tinggi, mudah dikerjakan, daya hantar panas yang rendah dan mempunyai nilai dekoratif yang beraneka ragam. Kayu dari hutan alam dengan berbagai keunggulan yang dimilikinya seperti tingkat keawetan yang tinggi dan keragaman produk yang dapat dihasilkannya menyebabkan kebutuhan akan kayu ini semakin meningkat, sementara itu persediaan kayu semakin terbatas. Berdasarkan keputusan kongres ITTO pada 1990 di Bali, pada tahun 200 semua hasil hutan yang diperdagangkan atau diekspor harus berasal dari hutan-hutan yang telah dikelola secara lestari (ecolabelling) (Manan, 1998). Hal ini menyebabkan kayu berkeawetan tinggi akan semakin langka diperoleh dan harganya semakin tinggi pula. Di samping itu keberhasilan pemerintah menggalakkan hutan tanaman industri akan mengubah kecenderungan konsumsi kayu di masa mendatang beralih ke hutan-hutan tanaman tersebut. Masalah baru muncul karena jenis kayu dari hutan tanaman ini umumnya merupakan jenis tanaman cepat tumbuh (fast growing species) yang memiliki keawetan alami yang rendah (Febrianto, 1992). Hal ini menjadikan perlunya memperbaiki keawetan kayu-kayu tersebut agar masa pakainya dapat bertahan lama. Keawetan kayu secara alami ditentukan oleh peranan ekstraktif yang terdapat di dalam kayu (Syafii dkk., 1987). Ekstraktif dapat berfungsi sebagai bahan pengawet alami kayu dan terbukti mampu menghambat dan mencegah serangan organisme perusak kayu. Untuk perlu mengetahui kandungan ekstraktif kayu hutan tropis sebagai bahan pengawet alami dan kemungkinan menjadikan ekstraktif ini sebagai bahan pengawet sintetis sebagai upaya pengawetan kayu-kayu cepat tumbuh dari hutan tanaman industri. Eboni atau Diospyros polishantera (Blanco) termasuk ke dalam famili Ebenaceae, tersebar di hutan-hutan Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, hingga Papua. Kayu teras berwarna hitam dengan garis-garis berwarna coklat kemerah- merahan. Kayu gubal berwarna coklat kemerahan dan mempunyai batas yang jelas

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 658 dengan kayu teras. Kayu gubal berwarna putih-kuning sampai coklat muda. Teksturnya halus sampai sangat halus dan merata dengan arah serat lurus atau agak berpadu. Permukaan kayu licin dan mengkilap dengan gambar berupa garis-garis dekoratif. Sifat fisika dan kimia kayu eboni D. polisanthera dapat didekati dengan membandingkannya dengan jenis D. celebica yang termasuk ke dalam kelas awet I dan kelas kuat I dengan berat jenis 1,09 (1,01—1,27). Nilai penyusutan dalam arah radial dan tangensial berturut-turut 6,2 dan 7,8. Kegunaan kayu eboni antara lain banyak dipakai untuk mebel mewah, ukiran, alat-alat dekoratif, dan finir mewah (Heyne, 1987; Martawijaya & Kartasujana, 1975). Rayap tanah atau subterranean termite umumnya hidup di dalam tanah yang mengandung banyak bahan kayu yang telah mati atau membusuk, atau bahan organik lainnya yang mengandung selulosa seperti serasah dan humus. Rayap Coptotermes curvignathus (Holmgren) termasuk ke dalam ordo Isoptera dan famili Rhinotermitidae, rayap ini merupakan perombak yang penting dan menyerang kayu struktur bangunan serta benda-benda yang mengandung selulosa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komponen utama ekstraktif kayu eboni Diospyros polisanthera (Blanco) serta respon rayap tanah C. curvignathus (Holmgren) terhadap ekstraktif kayu eboni tersebut.

BAHAN DAN METODA Persiapan ekstrak kayu Bagian teras (heartwood) kayu eboni digiling menjadi serbuk (woodmill) dengan menggunakan penggiling Willey dan dilewatkan pada mesh screen berukuran 40-60 lalu dikeringanginkan hingga kadar air serbuk kayu sekitar 15%. Sebanyak 2.100 gram sampel serbuk yang telah dikeringanginkan diekstraksi dengan cara direndam dengan 10 liter aseton pada suhu ruang dengan perbandingan tinggi serbuk dan pelarut ±1:3. Campuran ini diaduk sesering mungkin menggunakan pengaduk (spatula) dan setelah 48 jam larutan ekstraksi disaring dan disimpan dalam wadah tertutup. Ekstraksi ini dilakukan berulang kali hingga diperoleh larutan ekstraktif yang jernih. Ekstrak aseton yang diperoleh kemudian diuapkan hingga diperoleh volume sebanyak 100 ml ekstrak pekat menggunakan rotary evaporator pada suhu maksimum 40 ºC dengan kecepatan

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 659 putaran 30-40 rpm. Dari jumlah tersebut diambil sebanyak 10 ml untuk mengetahui kadar ekstraktif dan dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer yang kering dan telah diukur beratnya, untuk diuapkan hingga kering. Selanjutnya dilakukan pengeringan dengan oven pada suhu ±105 ºC selama tiga jam (hingga beratnya tetap), setelah dingin ditimbang sehingga diketahui berat kering ekstrak aseton yang diperoleh. Dari sebanyak 90 ml larutan ekstrak aseton yang tersisa diambil sebanyak 50 ml dan dilakukan fraksinasi bertingkat. Pertama, larutan ekstrak aseton tersebut dimasukkan funnel separator dan ditambahkan air destilata 20 ml dan pelarut n-heksana sebanyak 75 ml. Campuran ini dikocok dan dibiarkan hingga terjadi pemisahan, selanjutnya fraksi terlarut n-heksana dipisahkan dari residu. Fraksi terlarut n-heksana yang diperoleh dimasukkan ke dalam tabung tertutup. Fraksinasi ini dilakukan sampai tiga kali atau hingga pelarut bening. Perlakuan serupa dilakukan pada lanjutan fraksinasi menggunakan etil eter dan etil asetat hingga diperoleh fraksi tak terlarut (residu). Perhitungan kandungan ekstraktif Larutan hasil ekstraksi dengan pelarut aseton, n-heksana, etil eter, dan etil asetat dikeringkan pada suhu 40-60ºC. Kandungan ekstraktif dari hasil fraksinasi masing- masing pelarut tersebut dihitung berdasarkan berat kering oven serbuk kayu dengan rumus:

Kandungan ekstraktif (%) = Wa / Wb x 100%

Wa = berat kering oven padatan ekstraktif (gram)

Wb = berat kering oven serbuk (gram). Uji efikasi ekstraktif terhadap rayap tanah C. curvignathus. Pengujian antirayap dilakukan dengan metode yang telah dilakukan Ohmura dkk. (1997). Untuk pengujian ini, pengumpanan kertas saring pada rayap tanah C. curvignathus dilakukan setelah perendaman kertas uji dalam larutan bioaktif pada berbagai tingkat konsentrasi yaitu 0, 2, 4, 6, 8, dan 10% (berat/berat). Sampel uji yang telah direndam dikeringanginkan dan diletakkan ke dalam botol uji, setelah itu diletakkan rayap yang sehat dan aktif sebanyak 50 ekor (45 pekerja dan 5 prajurit), bagian atas botol uji ditutup dengan kain kasa. Pengumpanan dilakukan selama empat minggu di ruang gelap. Respon yang diukur adalah mortalitas rayap dan kehilangan berat kertas uji.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 660

Perhitungan mortalitas rayap dan kehilangan kertas uji Dilakukan pengamatan terhadap mortalitas rayap setiap minggu selama empat minggu dan dilakukan perhitungan dengan menggunakan rumus:

Mortalitas rayap (%) = Jb / Ja x 100%

Ja = jumlah rayap awal

Jb = jumlah rayap yang mati. Sedangkan perhitungan kehilangan berat kertas uji dilakukan pada akhir minggu keempat dengan menggunakan rumus:

Kehilangan berat (%) = (B0 – B1) / B0 x 100%

B0 = berat kering sampel sebelum pengumpanan (mg)

B1 = berat kering sampel setelah pengumpanan (mg). Penentuan komponen kimia ekstraktif Dilakukan identifikasi dan analisis dengan gas chromatography mass spectra (GCMS). Kolom yang digunakan berupa kolom Hewlett Packard 5, panjang kolom 50 m dan diameter 0,25 cm, suhu awal 40 ºC, dan suhu akhir 230 ºC. Hasil spektrometer massa dan bentuk fragmentasinya dibandingkan dengan pustaka dari NIST (National Institute of Standard and Technology). Analisis data Pengaruh jenis fraksi dan konsentrasi dianalisis keragamannya dengan menggunakan uji F, jika Fhitung lebih besar dari Ftabel maka faktor perlakuan dinyatakan berpengaruh nyata dan dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Total kandungan ekstraktif (ekstrak aseton) yang diperoleh dari teras (heartwood) kayu eboni adalah 1,15% berdasarkan berat kering oven. Rangkaian fraksinasi terhadap ekstrak aseton kayu eboni menghasilkan fraksi terlarut n-heksana, etil eter, etil asetat berturut-turut sebanyak 0,50%, 0,21%, dan 0,26% berdasarkan berat kering oven. Hasil fraksinasi ekstrak aseton kayu eboni tersaji pada Tabel 1.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 661

Tabel 1. Hasil fraksinasi bertingkat terhadap ekstrak aseton kayu eboni Fraksi Berat padatan (gram) Persentase ekstraktif Terlarut n-heksana 9,13 0,50 Terlarut etil eter 3,83 0,21 Terlarut etil asetat 4,75 0,26 Residu 3,28 0,18 Ekstrak aseton 20,99 1,15

Kandungan ekstrak aseton yang diperoleh dalam penelitian ini relatif rendah apabila dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian lainnya. Menurut Syafii dkk. (1987), persentase ekstrak aseton kayu ulin, gonzalo, dan rasamala masing-masing sebesar 8,18%, 3,34%, dan 2,64% berdasarkan berat kering oven. Syafii dkk. (1994) menyebutkan bahwa persentase ekstrak aseton kayu sonokeling, keranji, damar laut, dan tembesu masing-masing adalah 8,06%, 4,70%, 4,52%, dan 1,65% berdasarkan berat kering oven. Kandungan ekstraktif kayu jati, menurut Rosamah (1990), juga relatif tinggi yaitu sebesar 5,15% ekstrak aseton. Hal tersebut menunjukkan bahwa kandungan ekstraktif pada setiap jenis kayu sangat berbeda dan beragam. Menurut Sjostrom (1993), kandungan dan komposisi ekstraktif dalam batang yang sama pada satu jenis kayu pun dapat berbeda. Ekstraktif kayu eboni menunjukkan pengaruh yang beragam terhadap mortalitas rayap tanah Coptotermes curvignathus (Holmgren) setelah pengumpanan selama empat minggu. Kisaran mortalitas rayap tanah pada perlakuan penambahan konsentrasi fraksi- fraksi adalah 48,7-100%, sedangkan pada kontrol adalah 14-17,3%. Berdasarkan uji statistik yang dilakukan pada pengamatan mortalitas rayap tanah setelah empat minggu pengumpanan, perlakuan jenis fraksi terlarut dan konsentrasi berpengaruh terhadap mortalitas rayap tanah serta terdapat interaksi antarfaktor. Hasil uji lanjut dengan uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa fraksi terlarut n-heksana kayu eboni pada konsentrasi 6% telah menyebabkan mortalitas rayap mencapai 100%, yang berarti bahwa komponen-komponen utama di dalam fraksi terlarut n-heksana kayu eboni bersifat racun terhadap rayap tanah.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 662

Tabel 2. Persentase mortalitas rayap tanah Coptotermes curvignathus (Holmgren) pada kertas uji mengandung ekstraktif kayu eboni setelah empat minggu masa pengumpanan

Konsentrasi (b/b) Fraksi terlarut n-Heksana Etil eter Etil asetat Residu 0 (Kontrol) 14,0f 16,7f 17,3f 17,3f 2% 80,0abcd 92,7ab 48,7e 53,3de 4% 93,3ab 94,7ab 52,0e 58,7de 6% 100,0a 98,0a 56,0de 62,0cde 8% 100,0a 86,7abc 58,7de 66,0cde 10% 100,0a 86,7abc 58,7de 69,3bcde Keterangan: Nilai yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf nyata 5%.

Selain fraksi terlarut n-heksana, fraksi terlarut etil eter secara umum juga mempengaruhi mortalitas rayap tanah. Pada konsentrasi 6%, mortalitas rayap tanah telah mencapai 98% pada pengumpanan selama empat minggu. Fraksi terlarut etil asetat dan residu juga mampu menurunkan tingkat ketahanan hidup rayap berturut-turut mencapai 48,7% dan 69,3%. Mortalitas rayap selama pengumpanan diduga terjadi akibat aksi racun yang terdapat di dalam ekstrak yang diberikan pada kertas uji. Pada mulanya rayap akan melakukan penyesuaian diri dengan lingkungannya. Rayap yang mampu menyesuaikan diri akan tetap hidup dan mulai memakan bahan makanan (kertas uji) yang ada dan akan terus memakannya bila bahan makanan terasa cocok. Secara fisiologis, dengan masuknya ekstraktif yang bersifat racun ke dalam tubuh rayap maka akan menyebabkan aktivitas protozoa (sebagai perombak selulosa) menjadi lemah, hal ini secara tidak langsung akan menyebabkan suplai energi menjadi berkurang sehingga menimbulkan kelaparan dan kematian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase kehilangan berat media uji oleh rayap tanah cenderung menurun dengan meningkatnya konsentrasi fraksi terlarut n- heksana kayu eboni. Kisaran kehilangan berat kertas uji pada perlakuan dengan ekstrak kayu eboni adalah 6,82-31,64%. Tabel 3 menunjukkan bahwa secara umum fraksi terlarut n-heksana merupakan fraksi yang memiliki derajat proteksi tertinggi terhadap kertas uji. Berdasarkan Sornnuwat (1996), kertas uji yang ditambah fraksi terlarut n- heksana kayu eboni pada konsentrasi 6-10% termasuk ke dalam kelas ketahanan cukup kuat terhadap serangan rayap tanah. Ini berarti bahwa penambahan fraksi terlarut n- heksana kayu eboni mulai konsentrasi 6% menghasilkan kelas ketahanan lebih baik

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 663 dibandingkan konsentrasi lebih rendah dan kontrol. Dibandingkan kontrol, fraksi terlarut n-heksana kayu eboni mampu menahan kehilangan berat kertas uji hingga empat kali lipat.

Tabel 3. Persentase kehilangan berat kertas uji mengandung ekstraktif kayu eboni setelah empat minggu masa pengumpanan

Fraksi terlarut Konsentrasi (b/b) n-Heksana Etil eter Etil asetat Residu 0 (Kontrol) 31,64g 21,70f 21,58f 20,98f 2% 14,10de 5,16a 9,44b 10,26bc 4% 10,86bcd 5,26a 15,60c 12,30bcde 6% 7,30a 7,46a 13,26cde 11,72bcd 8% 7,28a 12,94cde 11,44bcd 9,44b 10% 6,82a 13,66cde 10,92bcd 12,42bcde Keterangan: Nilai yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf nyata 5%.

Mekanisme menurunnya laju konsumsi terhadap kertas uji diduga akibat daya racun dari fraksi-fraksi, pemberian konsentrasi yang semakin meningkat pada kertas uji menyebabkan rayap memilih untuk tidak makan sehingga kehilangan berat kertas uji menjadi berkurang. Peningkatan konsentrasi ekstraktif akan mengurangi serangan rayap tanah terhadap kertas uji. Hal ini sesuai dengan pendapat Martawijaya (1962) yang menyatakan bahwa semakin meningkat kandungan ekstraktif yang masuk ke dalam bahan uji maka kerusakan yang terjadi oleh faktor perusak biologis akan semakin rendah. Fraksi teraktif kayu eboni (fraksi terlarut n-heksana) diduga mengandung golongan-golongan senyawa terpenoid, alkaloid, dan fenolat. Pengujian dengan pereaksi Lieberman-Buchard untuk mendeteksi monoterpena dan seskuiterpena menunjukkan hasil negatif tetapi dengan pereaksi H2SO4 pekat (untuk mendeteksi terpenoid lainnya) menunjukkan hasil positif dengan terjadinya warna merah-coklat. Hasil positif juga diperoleh dalam pendeteksian golongan senyawa alkaloid. Semua pereaksi pendeteksi (Dragendorff, Meyer, dan Wegner) mengindikasikan adanya alkaloid, hal ini terlihat dari terbentuknya endapan kuning ungu (dengan pereaksi Dragendorff), endapan putih (dengan pereaksi Meyer), dan endapan coklat tua (dengan pereaksi Wegner). Fraksi terlarut n-heksana kayu eboni juga mengandung golongan senyawa fenolat. Senyawa fenol dan fenol hidrokuinon berturut-turut terdeteksi dengan pereaksi FeCl3 1% dan

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 664

NaOH 10% yang menghasilkan perubahan warna menjadi ungu (positif mengandung fenol) dan merah (positif mengandung fenol hidrokuinon). Golongan senyawa flavonoid diduga tidak terdapat dalam fraksi terlarut n-heksana kayu eboni dengan hasil negatif pendeteksian.

Tabel 4. Hasil uji kualitatif (fitokimia) fraksi teraktif ekstraktif kayu eboni

Fraksi teraktif Golongan senyawa Pereaksi pendeteksi ekstrak kayu eboni Terpenoid  Terpena H2SO4 pekat +  Monoterpena Lieberman-Buchard -  Seskuiterpena Lieberman-Buchard - Dragendorff + Alkaloid Meyer + Wegner + Fenolat  Fenol FeCl3 1% +  Fenol hidrokuinon NaOH 10% + Flavonoid H2SO4 pekat -

Dari hasil di atas dapat diduga bahwa terpenoid, alkaloid, dan fenolat merupakan golongan-golongan senyawa yang berperan dalam menentukan keawetan alami kayu dalam menurunkan laju konsumsi rayap tanah terhadap kertas uji yang berdampak pada mortalitasnya. Seperti dikemukakan Tsoumis (1968) bahwa keawetan alami kayu ditentukan oleh jenis dan banyaknya ekstraktif di dalam kayu yang bersifat racun terhadap organisme perusak kayu seperti tanin, alkaloid, fenol, dan kuinon. Hasil penelitian lainnya menyebutkan bahwa senyawa alkaloid dari Hopea mengarawan adalah metabolit sekunder yang berpotensi menahan serangan serangga (Hastaningsih dkk., 1995). Senyawa terpenoid, menurut Harborne (1987), berpotensi sebagai insektisida biologis khususnya melindungi tanaman dari serangga pemangsa dan serangan mikroba. Identifikasi komponen kimia, formula molekul, dan berat molekul dilakukan dengan GC-MS menghasilkan 27 komponen kimia utama yang terdapat di dalam fraksi terlarut n-heksana kayu eboni. Komponen yang diidentifikasi sebagai 1-(2- propeniloksi)-2-propanol merupakan komponen utama yang paling mendominasi fraksi ini (sebesar 27%) dan diikuti sikloheksanon (sebesar 17%). Komponen 1-(2-

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 665 propeniloksi)-2-propanol terdiri dari enam atom karbon, dua belas atom hidrogen, dan dua atom oksigen dengan berat molekul 116. Sikloheksanon terdiri dari enam atom karbon, sepuluh atom hidrogen, dan satu atom oksigen dengan berat molekul 98. Keduanya diduga merupakan kelompok terpenoid yang masing-masing bergugus fungsional OH dan C=O, kedua komponen diduga menjadikan kayu eboni tahan terhadap serangan rayap tanah C. curvignathus (Holmgren).

KESIMPULAN DAN SARAN Kandungan ekstraktif kayu eboni sebesar 1,15%. Fraksi terlarut n-heksana dari kayu eboni berperan dalam menghambat serangan rayap tanah Coptotermes curvignathus (Holmgren) dibandingkan fraksi terlarut etil eter, fraksi terlarut etil asetat, dan fraksi tak terlarut (residu). Komponen kimia utama yang terdapat dalam kayu eboni diduga 1-(2- propeniloksi)-2-propanol dan sikloheksanon, keduanya dari golongan terpenoid. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengisolasi dan memurnikan komponen yang diduga berperan dalam menentukan keawetan alami kayu eboni dan mengetahui struktur kimia komponen utama dengan menggunakan C-NMR, H-NMR, dan peralatan pendeteksi struktur kimia lainnya.

DAFTAR PUSTAKA Febrianto, F. 1992. Analisis bahan pengawet dalam proses pengawetan pada beberapa jenis kayu perdagangan Indonesia. Tidak dipublikasikan. Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia. Bandung: ITB. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Beguna Indonesia Jilid I—IV. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta: Departemen Kehutanan. Manan, S. 1998. Hutan, Rimbawan, dan Masyarakat. Bogor: IPB Press. Martawijaya, A. 1962. Keawetan Kayu. Brosur No. 1. Bogor: Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Martawijaya, A. dan I. Kartasujana. 1975. Kayu perdagangan Indonesia, sifat dan kegunaannya. Laporan Lembaga Penelitian Hasil Hutan No. 56. Bogor. Ohmura, W., S. Ohara, dan A. Kato. 1997. Synthesis of triterpenoid saponins and their antitermic activities. Journal of the Japan Wood Research Society. Volume 43 Number 10. Rosamah, E. 1990. Peranan zat ekstraktif terhadap keawetan kayu jati (Tectona grandis LF). Tidak dipublikasikan. Sjostrom, E. 1993. Kimia Kayu, Dasar-dasar dan Penggunaan (Edisi 2). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 666

Syafii, W., K. Sofyan, D. Nandika, dan F. Febrianto. 1994. Kemungkinan Pemanfaatan Zat Ekstraktif Kayu Tropis Indonesia sebagai Bahan Pengawet. Laporan Penelitian IPB Bogor. Syafii, W., M. Samejina, dan T. Yoshimoto. 1987. The role of extractive in decay resistance of ulin wood (Eusideroxylon zwageri T. Et B). Bulletin of The Tokyo University Forest. No. 77. Tsoumis, G. 1968. Wood as Raw Material. London: Pergamon Press Ltd.

Notulensi Diskusi Seminar Tanya : Kenapa kesimpulan bahasannya masih pembahasan, harusnya masih bisa diekstraksi. Jawab : Saya hanya ingin mengingatkan hasilnya kembali, makasih atas sarannya. Tjandra : Bagaimana tahu ite ekstraktif teraktif ? Jawab : Disimpulkan dari kehilangan beratnya rendah (terendah) yang terlarut lainnya tidak konstan.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 667

OFTBM-26 Rasio Resistensi 5 Strain Kecoa Jerman Blatella germanica Terhadap Fipronil Dengan Metoda Topikal Aplikasi dan Glass Jar Nova Hariani1, Intan Ahmad1, Maelita Ramdhani M.1, Chow-Yang Lee2 1Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH), Institut Teknologi Bandung, Indonesia 2Urban Entomology Laboratory, Vector Control Research Unit, School of Biological Sciences, Universiti Sains Malaysia, 11800 Penang, Malaysia. Email: [email protected]

ABSTRAK Sudah didapatkan rasio resistensi dari 5 sampel kecoa jerman Blattella germanica dari 3 kota (Jakarta, Bandung dan Surabaya) terhadap Fipronil. Data rasio resistensi tersebut didapatkan dengan dua metoda bioassay yaitu Topical Application dan Glass Jar. Resistensi rasio dihitung dari 50% kecoa Jerman dari lapangan (resisten) yang knockdown dibandingkan dengan kecoa Jerman yang rentan (VCRU). Rasio resistesi 50 % (RR50) yang didapatkan dari kelima strain lapangan adalah 3.60 X – 95.38 X dengan metoda Topical bioassay dan 3.70 X – 10. 28 X dengan metoda Glass Jar. Terdapat perbedaan hasil antara metoda Topical bioassay dengan metoda Glass Jar. Dari hasil yang didapat diketahui bahwa strain kecoa Jerman lapangan sudah ada yang resisten terhadap fipronil walaupun masih tergolong rendah. Metoda Glass Jar mirip dengan perlakuan dilapangan (efek residu) sedangkan Topical bioassay sangat bagus digunakan untuk kecoa Jerman yang mengalami peningkatan resisten (resisten mulai tinggi).

Notulensi Diskusi Seminar Dini : Menyolok di fisiologi behavior nya? Jawab : Diatas 10x dikategorikan resisten. Dengan glass jar lebih simple.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 668

OFTBM-27 Pengaruh Fraksi Ekstrak Daun Cocor Bebek (Kalanchoe Daigremontiana Hammet&Perrier) Terhadap Fekunditas dan Lolos Hidup Kumbang Koksi (Epilachna Vigintioctopunctata Fabricius) Wawan Hermawan1, Melanie1, Tri Mayanti2, Meilani Nurdamayanti3 1Staf pengajar Jurusan Biologi FMIPA UNPAD, 2Staf Pengajar Jurusan Kimia FMIPA UNPAD, 3Sarjana (S1) Alumnus Biologi FMIPA UNPAD Email : [email protected]

ABSTRAK Telah dilakukan penelitian mengenai pengaruh fraksi-fraksi ekstrak daun cocor bebek (Kalanchoe daigremontiana Hammet&Perrier) terhadap fekunditas dan lolos hidup kumbang koksi (Epilachna vigintioctopunctata Fabricius. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fraksi aktif ekstrak daun K. daigremontiana yang berpengaruh menghambat fekunditas dan lolos hidup E. vigintioctopunctata. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimental dengan Development Bioassay yang dimodifikasi dengan uji fekunditas serta lolos hidup, dianalisis dengan Anava dua arah. Konsentrasi ekstrak yang digunakan pada masing-masing fraksi adalah 0 ppm (kontrol), 1.250 ppm, 2.500 ppm dan 5.000 ppm. Hasil pengujian menunjukkan bahwa fraksi aktif etil asetat secara nyata berpengaruh menghambat secara total terhadap fekunditas E. Vigintioctopunctata pada konsentrasi dibawah 5.000 ppm, sedangkan fraksi heksan dan fraksi air berpengaruh meningkatkan fekunditas E. vigintioctopunctata dengan semakin meningkatnya kadar konsentrasi uji pada konsentrasi dibawah 5.000 ppm. Fraksi heksan dan fraksi air berpengaruh menghambat secara nyata lolos hidup larva serta lolos hidup pupa pada konsentrasi dibawah 5.000 ppm. Kata kunci: Epilachna vigintioctopunctata Fabricius, Kalanchoe daigremontiana Hammet & Perrier, fekunditas, Lolos Hidup, fraksi heksan, fraksi etil asetat, fraksi air

ABSTRACT A research the effect of leaves Devil‘s backbone extract fraction (Kalanchoe daigremontiana Hammet and Perrier) on fecundity and survivorship of Koksi beetle (Epilachna vigintioctopunctata Fabricius) has been done. The aim of the research was to find out an actived leaves extract fractions K. daigremontiana on fecundity and survivorship of E. vigintioctopunctata. Experimental methode used on this research was Development Bioassay modified with fecundity tested and survivorship, analized with Anava. Concentrations on the fractions were 0 ppm (control), 1.250 ppm, 2.500 ppm and 5.000 ppm. The results showed that an ethil acetate actived fraction significantly had to detterent totalized on fecundity E. vigintioctopunctata, precisely on hexan and water extract fractions had to rised on fecundity under 5.000 ppm. Hexan and water extract fractions significantly detterent on larvae and pupal survivorship under 5.000 ppm. Key words :Epilachna vigintioctopunctata, Kalanchoe daigremontiana, fecundity, survivorship, hexan fraction, ethil acetate fraction, water fraction.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 669

PENDAHULUAN Penggunaan insektisida sintetis secara berkesinambungan dapat menimbulkan proses seleksi yang mengakibatkan resistensi serangga hama terhadap insektisida sintetis (Georghiu & Taylor, 1976 dalam Chen & Nakasuji, 2004). Resistensi mengakibatkan insektisida menjadi tidak efektif dan menimbulkan resurjensi serangga hama, yaitu populasi hama meningkat menjadi beberapa kali lipat setelah diberi insektisida sintetis (Oka, 1993). Peningkatan yang disebabkan matinya musuh alami dan munculnya populasi hama sekunder. Selain itu, insektisida sintetis mengandung racun yang mengakibatkan pencemaran, akumulasi dalam rantai makanan karena senyawa kimia sintetik membutuhkan waktu untuk terurai di alam. Dalam upaya mengatasi permasalahan tersebut dimanfaatkan senyawa metabolit sekunder untuk mengendalikan populasi serangga hama. Insektisida alami yang berasal dari tumbuhan, selain daya racunnya yang tinggi juga mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan insektisida sintetis. Keuntungan tersebut diantaranya memperkecil kemungkinan terjadinya resistensi dan aman bagi lingkungan karena senyawa penyusunnya terdiri dari senyawa organik yang mudah terurai. Pengendalian hama pada salah satu fase siklus hidup serangga hama adalah salah satu cara yang dianggap efektif dalam mengurangi populasi hama, misalnya jika fase telur dapat dikendalikan, maka investasi populasi serangga hama dapat dibatasi. Fekunditas dan kualitas telur menentukan kepadatan populasi, merupakan kunci paling penting terhadap dinamika (fluktuasi atau stabilitas) populasi selanjutnya (Iwao, 1970; Nakamura, 1976; Nakamura dkk., 1981; Hirano, 1985; Shirai, 1987 dalam Shirai, 1992) terutama pada musim kawin. Kualitas telur yang buruk akan mempengaruhi perkembangan serangga dari mulai larva sampai menjadi dewasa. Menurunnya kebutuhan nutrisi dapat berpengaruh terhadap perkembangan larva juga mempengaruhi fekunditas dan kualitas telur (Thalib dkk., 1997). Epilachna vigintioctopunctata adalah serangga ordo Coleoptera, merupakan hama utama tanaman familia Solanaceae seperti kentang (Solanum tuberosum), terung (Solanum melongena), tomat (Lycopersicum esculentum) dan leunca (Solanum nigrum) (Nakamura dkk., 2001). Pada fase larva, E. vigintioctopunctata merupakan hewan yang rakus memakan jaringan daun, maka E. vigintioctopunctata pada tingkat populasi tinggi

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 670 dapat merusak produktivitas tumbuhan bernilai ekonomi tinggi. Berdasarkan hasil uji fitokimia ekstrak kasar metanol daun K. daigremontiana mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, polifenol, tanin, saponin, steroid, triterpenoid, sterol (Kalinoskwa dkk., 1990; Pawestri, 2003) dan bufadienolida (Wagner dkk., 1984; Supratman dkk., 2001). Uji hayati ekstrak kasar metanol daun K. daigremontiana mempunyai aktivitas antifidan terhadap larva instar 4 awal E. vigintioctopunctata pada konsentrasi di bawah 5000 ppm (Hermawan dkk., 2005). Dilaporkan pengaruh antifidan ekstrak kasar metanol berpengaruh menurunkan perkembangan larva instar 4 awal, lolos hidup, fekunditas dan volume telur E. vigintioctopunctata (Hermawan dkk., 2005; Ambarwati, 2006). Pengujian ekstrak kasar metanol daun K. daigremontiana sejauh ini telah dilakukan terhadap serangga hama E. vigintioctopunctata, sedangkan golongan senyawa aktif yang berpengaruh belum banyak diketahui. Hal ini, mendorong dilakukannya penelitian lebih lanjut untuk mengetahui golongan senyawa metabolit sekunder ekstrak metanol daun K. daigremontiana yang berpengaruh terhadap fekunditas dan lolos hidup serangga hama E. vigintioctopunctata. Menurut Harborne (1987), bahwa senyawa aktif metabolit sekunder tumbuhan tidak berinteraksi sendiri serta menunjukkan pengaruh bioaktivitas yang berbeda terhadap beberapa serangga (Harborne, 1987). Pencarian senyawa aktif dari ekstrak tanaman yang mengandung metabolit sekunder, dilakukan melalui pemisahan (partisi) dan pemurnian jaringan tanaman segar maupun tanaman kering ke dalam fraksi-fraksi berdasarkan tingkat kepolarannya (Harborne, 1987). Ekstraksi bertahap bahan tanaman menggunakan sederetan pelarut secara berganti-ganti, misalnya dimulai dengan heksan untuk senyawa yang tidak polar (untuk memisahkan lipid, steroid, alkaloid dan terpenoid), kemudian digunakan etil asetat untuk senyawa yang semi polar (misalnya terpenoid, alkoloid) dan air untuk senyawa lebih polar (misal flavonoid, polifenol dan tanin). Untuk mengetahui golongan senyawa yang efektif mempengaruhi bioaktivitas di atas, maka penelitian akan dikembangkan dengan memisahkan (partisi) ekstrak kasar metanol daun K. daigremontiana ke dalam tiga fraksi, yaitu fraksi heksan, fraksi etil asetat dan fraksi air. Lebih lanjut, masing-masing fraksi kemudian diuji fitokimia untuk mengetahui golongan senyawa yang terkandung di dalamnya.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 671

Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut akan dilakukan untuk mengetahui senyawa aktif dari metabolit sekunder daun K. daigremontiana terhadap serangga hama E. vigintioctopunctata dengan parameter uji lolos hidup keturunan dan fekunditas. Pencarian senyawa aktif dilakukan dengan partisi ekstrak kasar metanol daun K. daigremontiana menjadi beberapa fraksi berdasarkan tingkat kepolarannya (Harborne, 1987), yaitu fraksi heksan, fraksi etil asetat dan fraksi air.

METODE PENELITIAN Desain penelitian menggunakan rancangan acak lengkap 2 faktor yaitu fraksi partisi dan konsentrasi uji, dengan pola faktorial 3 x 4, parameter yang diukur adalah fekunditas dan lolos hidup keturunan. Pengujian terhadap serangga hama E. vigintioctopunctata dengan parameter hitung lolos hidup keturunan dan fekunditas menggunakan uji perkembangan hayati ‖Development Bioassay‖ (Banaag dkk., 1997) yang dimodifikasi dengan metode penelitian Seko dan Nakasuji (2004) serta Fujiwara dkk. (2002). Penelitian dilakukan dengan empat kali pengulangan. Penelitian menggunakan fraksi-fraksi hasil partisi ekstrak kasar metanol daun K. daigremontiana yaitu fraksi heksan, fraksi etil asetat dan fraksi air, masing-masing dengan konsentrasi kontrol (0 ppm), 1250 ppm, 2500 ppm dan 5000 ppm. Kemudian dilakukan uji fitokimia untuk mengetahui kandungan golongan senyawa dari masing-masing fraksi ekstrak. Analisis statistika digunakan untuk mengolah data hasil dengan menggunakan analisis varians (Ritonga, 1987) yang dilanjutkan Uji Jarak Berganda Duncan.

A. Pemeliharaan (rearing) E. vigintioctopunctata Fab Pemeliharaan dilakukan dalam wadah berupa kotak plastik (22 x 15 x 6,5 cm3) yang diberi lubang (2 x 1 cm2) pada tutupnya. Sepasang imago yang telah kawin dipindahkan pada wadah plastik silinder (Ø = 7 cm, t = 4,5 cm) yang sudah diberi lubang-lubang kecil pada tutupnya. Imago betina dan jantan E. vigintioctopunctata Fab. yang telah kawin dipisahkan, jika bertelur dan menetas maka dipindahkan ke wadah lain, sehingga diperoleh sediaan biakan imago, telur, instar 1 hingga instar 4 dan pupa. Pakan yang digunakan adalah daun leunca (S. nigrum).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 672

B. Ekstraksi danPartisi Fraksi-fraksi Ekstrak Daun K. daigremontianaHam. & Per.

Dilakukan pemisahan dan pemurnian kandungan tanaman pertama kali melalui ekstraksi. Proses maserasi atau perendaman dalam metanol dilakukan untuk mendapatkan ekstrak selama 7 hari dengan perbandingan 1:3 yaitu satu bagian potongan tumbuhan dengan tiga bagian metanol. Hasil maserasi disaring untuk memperoleh filtrat larutan yang kemudian dievaporasi menghasilkan ekstrak dalam bentuk pasta. Langkah selanjutnya ekstrak metanol K. daigremontiana dipisahkan (partisi) menggunakan corong pemisah, menjadi beberapa fraksi yaitu fraksi heksan, fraksi etil asetat dan fraksi air. 1 gram ekstrak metanol ini dilarutkan dalam 10 ml pelarut aquades sehingga terbentuk 10 ml larutan metanol-air. Kemudian larutan metanol-air dipisahkan (partisi) menggunakan sederetan pelarut secara berganti-ganti. Pertama larutan di partisi menggunakan pelarut heksan dalam corong pemisah sehingga diperoleh filtrat fraksi heksan dan filtrat metanol-air. Kedua, filtrat metanol-air di partisi kembali seperti di atas menggunakan pelarut etil asetat sehingga didapatkan filtrat fraksi etil asetat dan filtrat metanol-air. Filtrat metanol-air merupakan fraksi air. Kemudian, masing-masing fraksi dipekatkan dengan menggunakan vakum evaporator pada suhu 40ºC sehingga diperoleh fraksi-fraksi ekstrak daun K. daigremontiana berupa pasta yaitu fraksi heksan, fraksi etil asetat dan fraksi air.

C. Uji Fekunditas

Dilakukan uji Development Bioassay terhadap larva uji (Banaag dkk., 1997). Larva instar 1 dilaparkan selama 3 jam, kemudian didedahkan pada daun yaitu daun leunca (d = 1,8 cm) yang telah diberi perlakuan (dicelup pada ekstrak selama 5 detik dan dibiarkan menguap pada suhu ruangan). Larva dibiarkan memakan daun 1 x 24 jam, kemudian uji perkembangan dilanjutkan pada perkembangan larva instar 2, instar 3 dan instar 4. Perlakuan menggunakan partisi ekstrak daun K. daigremontiana yaitu fraksi heksan, fraksi etil asetat dan fraksi air dengan konsentrasi 1.250 ppm, 2.500 ppm dan 5.000 ppm serta kontrol berupa larutan metanol teknis. Daun ditempatkan dalam wadah plastik yang dialasi kertas saring yang diberi air hingga jenuh agar daun tidak kering, yang diatasnya diletakkan kain kasa. Kemudian dewasa hasil developmentbioassay yang

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 673 kawin diamati dan dihitung fekunditasnya (Seko & Nakasuji, 2004). Hasil uji perkembangan hayati, dewasa yang kawin (mating) dicuplik atau dipisahkan, dihitung jumlah telur (fekunditas) yang diproduksi pada setiap periode kawin tersebut di saat masa reproduksinya sampai fekunditas mencapai optimum yaitu periode kawin kelima.

D. Uji Lolos Hidup

Setelah uji fekunditas, telur yang dihasilkan dari 48 pasang dewasa E. vigintioctopunctata yang diuji kawin, di amati dan di hitung persentase lolos hidup keturunan pada fase immature (larva) dan fase pupa (Fujiwara dkk., 2002). Hasil dianalisis dengan analisis varians dan jika nilai rata-rata yang diperoleh berbeda nyata, analisis di uji lanjut jarak berganda Duncan untuk mengetahui efektifitas pengaruh masing-masing fraksi ekstrak daun K. daigremontiana yang diujikan.

E. Uji Fitokimia Fraksi-fraksi Ekstrak Daun K. daigremontiana Ham. & Per. Uji fitokimia dilakukan terhadap fraksi-fraksi ekstrak daun K. daigremontiana untuk mengetahui senyawa kimia yang terkandung dalam masing-masing fraksi. Prosedur pengujian fitokimia diantaranya sebagai berikut :

1. Alkaloid. Fraksi-fraksi ekstrak daun K. daigremontiana ditambah dengan 10 ml

kloroform amoniak 1/20 N. kemudian disaring. Filtrat ditambah dengan 0,5 H2SO4 2N, kemudian dikocok. Fasa asam sulfat ditetesi dengan larutan Dragendorf (reaksi positif bila terbentuk endapan jingga hingga coklat), larutan Mayer (reaksi positif bila terbentuk endapan putih), dan larutan Wagner (reaksi positif bila terbentuk endapan coklat-merah) (Culvenor & Fitzgerald, 1963 dalam Pawestri, 2003). 2. Saponin, Triterpenoid, dan Steroid. Fraksi-fraksi ekstrak daun K. daigremontiana ditambah etanol, lalu dipanaskan, disaring, dan diuapkan sehingga diperolah ekstrak pekat. Ekstrak pekat dicuci dengan eter. Residu hasil pencucian dengan eter ditambah dengan air, kemudian dikocok kuat-kuat sampai terbentuk busa. Busa yang terbentuk dan tidak hilang selama 3-10 menit menunjukkan adanya saponin. Setelah terbentuk busa stabil dilanjutkan hidrolisis dengan HCl 2N, kemudian disaring. Endapannya ditetesi dengan asam asetat anhidrat (reaksi positif bila terjadi warna

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 674

ungu yang menunjukkan adanya senyawa triterpenoid) dan asam sulfat pekat (reaksi positif jika terbentuk warna hitam-biru yang menunjukkan adanya steroid) (Lajis dkk., 1995 dalam Pawestri, 2003). 3. Fenolik. Larutan ekstrak metanol daun K. daigremontiana ditempatkan pada plat tetes dan ditambahkan beberapa tetes larutan besi (III) klorida 1%. Perubahan warna yang terjadi diamati (Harborne, 1987). Terbentuk warna hijau atau biru menandakan adanya senyawa fenol dan fenolik.

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Uji Fitokimia Fraksi-fraksi Ekstrak Daun K. daigremontiana Hasil uji fitokimia untuk senyawa aktif metabolit sekunder golongan alkaloid, saponin, steroid, triterpenoid dan fenolik terhadap fraksi-fraksi ekstrak daun K. daigremontiana, diketahui bahwa fraksi heksan mengandung senyawa aktif golongan triterpenoid, fraksi etil asetat mengandung senyawa aktif golongan steroid dan golongan triterpenoid, sedangkan fraksi air mengandung senyawa aktif golongan triterpenoid (Tabel 1).

Tabel 1. Hasil uji fitokimia fraksi-fraksi ekstrak daun K. daigremontiana Kandungan Metabolit Sekunder Ekstrak Alkaloid Saponin

Fenolik Steroid Triterpenoid AT D H M W S T Etil asetat ------+ + -

Heksan ------+ -

Air ------+ -

Keterangan : -) tidak terdeteksi, +) terdeteksi, AT) Asam tanat, D) Dragendorff, W) Wagner, H) Hager, M) Mayer, S) Steroid, T) Triterpenoid.

A. Hasil Uji Fekunditas Pengaruh perlakuan fraksi heksan dan fraksi air menunjukkan peningkatan fekunditas imago E. vigintioctopunctata, sedangkan pemberian fraksi etil asetat berpengaruh menghambat secara total fekunditas yaitu tidak dihasilkan telur pada imago E. vigintioctopunctata (Tabel 2. dan Gambar 1.).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 675

Tabel 2. Rata-rata fekunditas imago E. vigintioctopunctata dengan perlakuan masing- masing fraksi ekstrak daun K. daigremontiana Perlakuan Fekunditas Konsentrasi Fraksi Uji (butir) Uji Fraksi Heksan Kontrol 17c 1.250 ppm 17c 2.500 ppm 24de 5.000 ppm 27e Fraksi Etil Kontrol 17c asetat 1.250 ppm 0a 2.500 ppm 0a 5.000 ppm 0a Fraksi Air Kontrol 17c 1.250 ppm 12b 2.500 ppm 22d 5.000 ppm 24de Keterangan : huruf kecil yang sama pada kolom fekunditas menunjukkan tidak berbeda nyata antar pasangan perlakuan pada taraf nyata Anava 5 % (Uji Jarak Berganda Duncan).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 676

30 20 25 15 20

15 10

(butir)

(butir) rata Fekunditas rata Fekunditas

rata Fekunditas rata Fekunditas 10

- -

5 5 Rata Rata 0 0 Kontrol 1250 ppm 2500 ppm 5000 ppm Kontrol 1250 ppm 2500 ppm 5000 ppm (0ppm) (0ppm) Konsentrasi (ppm) Konsentrasi (ppm) a b

30 25 20 15

(butir) 10 rata Fekunditas rata Fekunditas

- 5

0 Rata Kontrol 1250 ppm 2500 ppm 5000 ppm (0ppm) Konsentrasi (ppm) c Gambar 1. Diagram batang rata-rata fekunditas E. vigintioctopunctata dengan perlakuan fraksi-fraksi ekstrak daun K. daigremontiana. Keterangan: a) fraksi heksan, b) fraksi etil asetat dan c) fraksi air

B. Hasil Uji Lolos Hidup Hasil uji menunjukkan fraksi heksan dan fraksi air ekstrak daun K. daigremontiana memiliki kemampuan menghambat lolos hidup larva E. vigintioctopunctata. Hal ini ditunjukkan dengan semakin berkurangnya persentase larva perlakuan yang bertahan hidup dibandingkan larva kontrol. Fraksi heksan berpengaruh paling menghambat lolos hidup larva dibandingkan fraksi air. Oleh karena fraksi etil asetat pada setiap konsentrasinya menghambat fekunditas secara total yaitu imago tidak bertelur, maka pengamatan hanya dilakukan terhadap larva dengan perlakuan fraksi heksan dan fraksi air yang berhasil lolos hidup (Tabel 3. dan Gambar 2.).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 677

Tabel 3. Rata-rata persentase lolos hidup larva E. vigintioctopunctata masing-masing fraksi ekstrak daun K. Daigremontiana Perlakuan Lolos hidup larva (%) Fraksi Uji Konsentrasi Uji Fraksi Heksan Kontrol 92,10c 1.250 ppm 66,67b 2.500 ppm 61,23b 5.000 ppm 43,11a Fraksi Air Kontrol 92,10c 1.250 ppm 58,51b 2.500 ppm 59,52b 5.000 ppm 62,13b Keterangan : huruf kecil yang sama pada kolom fekunditas menunjukkan tidak berbeda nyata antar pasangan perlakuan pada taraf nyata Anava 5 % (Uji Jarak Berganda Duncan).

100 100 80 80 60 60 40 40

20 20

Lolos Hidup Hidup Lolos Larva (%) Lolos Hidup Hidup Lolos Larva (%) 0 0 Kontrol 1250 ppm 2500 ppm 5000 ppm Kontrol 1250 ppm 2500 ppm 5000 ppm (0ppm) (0ppm) Konsentrasi (ppm) konsentrasi (ppm) a b Gambar 2. Diagram batang persentase rata-rata lolos hidup larva E. vigintioctopunctata dengan perlakuan fraksi-fraksi ekstrak daun K. daigremontiana. Keterangan: a) fraksi heksan dan b) fraksi air

Hasil uji partisi ekstrak dalam tiga fraksi, menunjukkan pengaruh menghambat dan meningkatkan fekunditas serta menghambat lolos hidup serangga E. vigintioctopunctata. Fraksi etil asetat pada konsentrasi di bawah 5.000 ppm menunjukkan efek menghambat secara total fekunditas E. vigintioctopunctata yaitu imago tidak bertelur. Fraksi heksan dan fraksi air menunjukkan pengaruh berbeda, yaitu meningkatkan fekunditas serta menghambat lolos hidup larva E. vigintioctopunctata. Pengaruh menghambat atau meningkatkan fekunditas dapat diakibatkan oleh efek antagonis-sinergis senyawa aktif dalam metabolit sekunder. Efek yang berbeda ini

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 678 didasarkan kenyataan bahwa beberapa jenis tanaman mempunyai senyawa aktif bersifat antagonis karena bagian-bagian tertentu tanaman tersebut mengandung senyawa racun dan menghambat terhadap serangga hama (Gommers, 1973, 1981, Grainge & Ahmed, 1988 dalam Sitepu dkk., 1993; Schmutterer, 1985), sebaliknya memiliki sifat sinergis dimana senyawa aktif atau kombinasi senyawa aktif dalam tanaman tersebut memiliki efek meningkatkan aktifitas fisiologik serangga hama bahkan lebih dari perkiraan (Schmutterer, 1985). Salah satu aktivitas fisiologik spesifik dari senyawa metabolit sekunder diketahui mampu menginduksi proses dalam reproduksi serangga. Penurunan atau peningkatan rata-rata fekunditas serangga betina dewasa dipengaruhi oleh nutrisi dalam makanan yang dikonsumsi serangga. Pada penelitian ini larva E. vigintioctopunctata diberi perlakuan terhadap makanan yang dikonsumsinya. Pada serangga kelompok Coleoptera, fekunditas dipengaruhi oleh kualitas makanan pada fase larva dan dewasa (Awmack & Leather, 2002), berbeda pula pada serangga kelompok lainnya seperti pada kelompok Lepidoptera kualitas makanan selama masa pertumbuhan dan perkembangan larva mempengaruhi fekunditas serangga dewasa (Awmack & Leather, 2002; Stevens dkk., 2002). Perbedaan akumulasi energi pada saat fase larva awal ini dapat mempengaruhi reproduksi serangga saat dewasa (Falconer & Mackay, 1996; Fox dkk., 1999; Heath dkk., 1999; Potti, 1999 dalam Seko & Nakasuji, 2004), misalnya pada Ctenopseustis obliquana diet larva merupakan faktor penting yang mempengaruhi fekunditasnya (Barrington dkk., 1993 dalam Seko & Nakasuji, 2004). K. daigremontiana fraksi heksan mengandung senyawa aktif golongan triterpenoid, fraksi etil asetat mengandung senyawa aktif golongan steroid dan golongan triterpenoid, dan fraksi air mengandung senyawa aktif golongan triterpenoid. Menurut sejumlah laporan hasil penelitian senyawa triterpenoid berfungsi sebagai insektisida, dapat menstimulasi proses bertelur serangga, sedangkan senyawa golongan steroid berperan sebagai hormon serangga ekdison dan ekdisteron untuk mengatur pertumbuhan dan perkembangan serangga (Schmutterer, 1985, Banaag, 1997, Fujiwara dkk., 2002). Hasil menunjukkan fraksi-fraksi ekstrak daun K. daigremontiana menunjukkan tanaman ini memiliki potensi yang dapat dikembangkan pemanfaatannya sebagai bahan pestisida nabati melalui pengisolasian senyawa aktifnya terhadap fekunditas dan lolos

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 679 hidup serangga hama. Fekunditas serangga E. vigintioctopunctata dalam penelitian ini dipengaruhi oleh senyawa semi non-polar yang terdapat dalam fraksi etil asetat tanaman ini, sedangkan lolos hidup larva dan lolos hidup pupa dipengaruhi oleh kombinasi senyawa golongan steroid dan triterpenoid, dapat juga dipengaruhi oleh senyawa aktif atau kombinasi senyawa aktif lainnya yang terkandung dalam fraksi heksan dan fraksi air K. daigremontiana.

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan sebagai berikut, ekstrak daun cocor bebek K. daigremontiana fraksi etil asetat berpengaruh menghambat fekunditas secara total, sedangkan fraksi heksan dan fraksi air meningkatkan fekunditas imago betina E. vigintioctopunctata. Meskipun ekstrak daun cocor bebek K. daigremontiana fraksi heksan dan fraksi air meningkatkan fekunditas E. vigintioctopunctata, namun larva E. vigintioctopunctata hasil keturunannya memiliki kemampuan lolos hidup rendah dan terhambat.

DAFTAR PUSTAKA Ambarwati, S.C. 2006. Pengaruh Ekstrak Daun Sosor Bebek (Kalanchoe daigremontiana Hammet & Perrier) Terhadap Periode Perkembangan, Lolos Hidup, Fekunditas dan Ukuran Telur Kumbang Koksi (Epilachna vigintioctopunctata fabricius). Laporan Skripsi yang tidak dipublikasikan. FMIPA Unpad. Jatinangor. Awmack, C.S & S.R. Leather. 2002. Host plant quality and fecundity in herbivorousinsects. Annu rev. Entomol. 47 : 817-827 Banaag, A., H. Honda & T. Shono. 1997. Effects of Alkaloids from Yam, Dioscoreahispida Schlussel, on feeding and development of larvae of the Diamondback Moth, Plutella xylostella (Lepidoptera: Yponomeutide). Appl.Entomol.Zool. 32 (1): 119-126 Chen, X.D & F. Nakasuji. 2004. Diminished egg size in fenvalerate resistant strains of the Diamondback moth Plutella xylostella (Lepidoptera: Yponomeutidae). Appl. Entomol. Zool. 39(2) : 335-341. Fujiwara, Y., T. Takahashi, T. Yoshioka & F. Nakasuji. 2002. Changes in egg size of the diamondback moth Plutella xylostella (Lepidoptera: Yponomeutidae) treated with fenvalerate at sublethal doses and viability of the eggs. Appl. Entomol. Zool. 37 (1): 103-109 Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Terbitan kedua. ITB Bandung. Bandung: 4-7, 69-72,102-109,123-127, 147-154, 234-243

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 680

Hermawan, W., Melanie, H. Kasmara dan U. Supratman. 2005. Pengaruh ekstrak daun Kalanchoe daigremontiana terhadap aktivitas makan larva Epilachna vigintioctopunctata Fabricius. Jurnal Bionatura Vol. 7 No. 2 : 101-110 Kalinowska, M., W.R. Nes, W.D. Nes & F.G.Crumley. 1990. Stereochemical differences in the anatomical distribution of C-24 Alkylated Sterols in Kalanchoe daigremontiana. Phytochemistry. Nakamura, K., I. Abbas & A. Hasyim. 1988. Population dynamics of the phytophagous lady beetle, Epilachna vigintioctopunctata, in an eggplant field in Sumatra. Popul. Ecol. 30: 25-41 Oka, I. N. 1993. Prosiding Seminar Hasil Penelitian dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati: Penggunaan, permasalahan serta prospek pestisida nabati dalam pengendalian hama terpadu. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor : 4 Pawestri, H.A. 2003. Pengaruh Ekstrak Daun Sosor Bebek (Kalanchoe daigremontiana Hammet dan Perrier) Terhadap Aktivitas Antifidan, Periode Perkembangan dan Lolos Hidup Larva Plutella xylostella L. Laporan Skripsi yang tidak dipublikasikan. FMIPA Unpad. Jatinangor. Ritonga, A. 1987. Statistika Terapan Untuk Penelitian. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi-Universitas Indonesia. Jakarta: 235, 320-321 Schmutterer, H. 1995. The Neem Tree Azadirachta indica A. Juss. And Other Meliaceous Plants: Source of Unique Natural Products for Integrated Pest Management, Medicine, Industry and Other Purposes. VCH Published, Inc. New York (USA) : 199-209, 299-314 Seko, T. & F. Nakasuji. 2004. Effect of egg size variation on survival rate, develpoment and fecundity of offspring in a migrant skipper, Parnara guttata guttata (Lepidoptera: Hesperiidae). Appl. Entomol Zool.39 (1) : 171-176. Shirai, Y. 1992. Host plant suitability to the potato-feeder lady beetle, Epilachna vigintioctomaculata (Coleoptera: Coccinellidae) on some cultivated and wild solanaceous plants. Bull. Natl Res. Inst. Veg. Ornam. Plants & Tea. 5 : 45-60 Sitepu, D., Wahid, P., Soehardjan, M., Rusli, S., Ellyda, Mustika, I, Soetopo, D., Siswanto, Trisawa, I.M., Wahyuno, D., Nuhardiyati, M. 1999. Prosiding Seminar : Hasil penelitian dalam rangka pemanfaatan pestisida nabati. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor: 1-11,49-50, 77-90 Supratman, U., T. Fujita, K. Akiyama & H. Hayashi. 2001. Insectisidal compounds. from Kalanchoe daigremontiana x tubiflora. Pergamon. Phytochemistry : 311-314 Wagner,H., M. Fischer & H. Lotter. 1984. Isolation and structure determination of Daigremontianin, a novel Bufadienolide from Kalanchoe daigremontiana. Planta Medica.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 681

PFTBM-1 Hubungan Kondisi TempatPenampungan Air Minum dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Provinsi DKI Jakarta dan Bali M.Hasyimi1,Yusniar Ariati1, Eny Wahyu Lestari1, dan Miko Hananto1 1Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat, Badan Litibangkes. Jl.Percetakan Negara 29 Jakarta Pusat. E-mail : [email protected].

ABSTRAK Hubungan kondisi penampungan air minum (TPAM) dan kejadiann demam berdarah dengue (DBD) pada Riskesdas 2007 penting untuk dianalisis, mengingat vektor DBD, Aedes sp dapat berkembang biak pada TPAM. Hingga saat ini, belum ditemukan obat yang spesifik sementara vaksinnya belum bisa diaplikasikan, sehingga pencegahan dan penanggulangannya sangat tergantung pada upaya pengendalian vektor utamanya, Ae. aegypti. Walaupun demikian, jumlah kasus DBD di Indonesia selalu meningkat dari tahun ke tahun. Analisis lanjut ini menganalisis hubungan antara kondisi TPAM dengan kejadian DBD di daerah endemis Provinsi DKI Jakarta (Tanpa Kab.Kepulauan Seribu) dan Provinsi Bali. Variabel utama adalah kondisi TPAM yang digunakan dalam rumah tangga, kemudahan mendapatkan air bersih, serta faktor pengganggu jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan, tingkat ekonomi (kuintil), klasifikasi tempat tinggal, kepadatan hunian, kemudahan mendapatkan air minum dan sumber air minum. Hasil analisis di ke dua daerah endemis DBD menunjukkan bahwa keberadaan TPAM, begitu pula hubungan antara TPAM yang terbuka dan yang tertutup tidak ada perbedaan yang bermakna bila dikaitkan dengan kejadian/kasus DBD. Kata kunci : Demam berdarah dengue (DBD), Tempat penampungan air minum

ABSTRACT The relationship of condition of drinking container and Dengue Hemorrhagic fever (DHF) cases on Riskesdas 2007 data is important for analysis, because the DHF vector Aedes sp. could bread at this containers. Right now, it has not specific drugs found and the vaccine could not be implicated yet, so for DHF control very depend on effort the main vector Aedes aegypti control. How ever number of DHF cases in Indonesia, shown increasing years to years. The article, to analysis of drinking containers condition and DHF cases in Province of DKI Jakarta (without Kep. Seribu district) and Province of Bali, both as the endemic areas. Main variable is the condition of drinking containers which used in family, easily to get cleaning water, founding factors like gender, age, education, their jobs, quintile, resident classification, people density. The result shown that existence of drinking container, both of opened and closed clean water and drinking container is not significant difference with DHF cases. Key Words : Dengue hemorrhagic fever (DHF), drinking container.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 682

PENDAHULUAN Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) merupakan penyakit akut, bersifat endemik tetapi secara periodik dapat mendatangkan kejadian luar biasa (KLB) bahkan epidemik. Sejak kasus DBD dilaporkan pertama kali tahun 1968 di Surabaya dan di Jakarta, kasus DBD terus meningkat tajam dan memperlihatkan KLB yang cenderung terjadi setiap tahun. Hingga saat ini belum ditemukan obat spesifik yang dapat digunakan untuk pengobatan maupun vaksin untuk pencegahan DBD, sehingga pencegahan dan penanggulangannya sangat tergantung pada upaya pengendalian vektor utama yaitu Aedes aegypti. Menurut Harwood & James (1979) kebiasaan hidup stadium pra dewasa Ae. aegypti adalah pada bejana buatan manusia yang berada di dalam dan di luar rumah.Hasil penelitian (Garjito, T.A. dkk,2005) bahwa Ae. aegypti lebih suka meletakkan telurnya pada kontainer di dalam rumah daripada di luar rumah. Ketersediaan habitat yang berpotensi sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk vektor menyebabkan tingginya populasi vektor, sehingga berpeluang untuk terjadinya penularan. Jumlah kasus DBD di Indonesia pada tahun 2007 sebesar 158 115 (Incidence rate,IR 71,78) dengan jumlah meninggal dunia 1599 orang, Case fatality rate (CFR) 1,01 dan pada tahun 2008 sebesar 74063 orang (IR 4,24) dengan jumlah meninggal 554 orang, dengan CFR 0,75 (Dep.Kes.RI, 2008). Jumlah penderita DBD di DKI Jakarta pada tahun 2007 penderita sebesar 31 836 dan yang meninggal 86 orang.Sedangkan jumlah penderita DBD di Provinsi Bali pada tahun 2007 sebesar 6 375 dan yang meninggal 14orang ( Dep.Kes., 2008). Untuk kota Denpasar sendiri, penderita berjumlah 3 264 orang dan yang meninggal 9 orang (Depkes., 2008). DBD hampir ditemukan di semua provinsi di Indonesia, kabupaten dan kota terutama di daerah urban. Tahun 2006, Kab./kota yang memiliki IR antara 100-200 /penduduk sebanyak 38. Daerah yang memiliki IR lebih besar 200/ 100 000 penduduk adalah DKI Jakarta, dan Denpasar (Depkes, 2007). Tujuan penulisan makalah untuk memberikan informasi hasil analisis lanjut hubungan tempat penampungan air minum ( TPAM) dengan kejadian DBD berdasarkan data Riskesdas 2007. Berdasarkan data Ditjend PP PL, Dep.Kes.RI (2008) dan hasil Riskesdas 2007 analisis difokuskan pada 2 (dua) daerah endemis yaitu DKI Jakarta

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 683

( tanpa Kab.Kep.Seribu, karena tidak pernah dilaporkan adanya kasus) dan Provinsi Bali.

BAHAN DAN CARA KERJA Dalam makalah ini dilakukan analisis hubungan antara kondisi TPAM yang berisiko (terbuka) dan tertutup terhadap kejadian DBD di DKI Jakarta dan Bali. Variabel yang diambil dari data Riskesdas 2007 adalah kondisi TPAM yang digunakan dalam rumah tangga, dalam keadaan terbuka atau tertutup, serta confounding factor lainnya. Data-data tersebut dianalisis dandikaitkan dengan kejadian DBD berdasarkan pengakuan responden baik yang pernah didiagnosis petugas kesehatan maupun yang pernah merasakan gejala DBD dalam 12 bulan terakhir (RKD.IND). Variabel yang dianalisis adalah faktor kondisi TPAM terhadap kejadian DBD pada daerah endemis tersebut. Sebagai faktor pengganggu (confounding factor) adalah 1. Karakteristik individu yang meliputi jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan. 2. Klasifikasi desa, 3. Jumlah anggota rumah tangga.4. Kepadatan hunian. Variabel- variabel ini di hubungkan dengan kejadian DBD berdasarkan data Riskesdas 2007. Penelitian merupakan analisis lanjut dengan menggunakan data Riskesdas 2007 dan Kor Susenas 2007, jenis analisis tanpa intervensi, dengan uji Chi square (Kai kuadrat).

HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam Riskesdas 2007, kejadian DBD diperoleh dengan cara menanyakan tentang diagnosis oleh petugas kesehatan dan gejala klinis yang dirasakan responden. 1. Kejadian DBD berdasarkan Riskesdas 2007 Jumlah sampel di Provinsi DKIJakarta sebanyak 17.726 responden dan ditemukan 205 (1,2%) menderita DBD, sedangkan di Provinsi Bali ada 1.156 responden, sebanyak 7 responden (0,6%) diantaranya menderita DBD. Secara rinci disajikan pada Tabel 1. Terlihat bahwa presentase kejadian DBD di Provinsi DKI Jakarta(1,2%) lebih besar t dua kali lipat dibandingkan di Provinsi Bali (0,6%), dengan angka rata-rata keduanya 1,1%.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 684

Tabel 1.Kejadian DBD di Provinsi DKI Jakarta dan Bali, Riskesdas, 2007

Propinsi Kejadian DBD Jumlah

DKI Jakarta 205 (1,2%) 17.726 (100%) Bali 7 (0,6%) 1.156 (100%) Rata-rata 212 (1,1%) 18. 882 (100%)

2. Kondisi TPAM TPAM yang berisiko terhadap kejadian DBD didefinisikan sebagai tempat air yang memungkinkan/dapat sebagai tempat perkembangbiakan (breeding places), Aedes aegypti. Pada Tabel 2 terlihat bahwa 1328 responden yang memiliki TPAM berisiko, sebanyak 18 responden (1,4%) diantaranya pernah menderita DBD. Sementara pada TPAM yang tidak berisiko, kejadian DBD 1,1%.

Tabel 2. TPAM terhadap Kejadian DBD di Provinsi DKI Jakarta dan Bali, Riskesdas 2007

TPAM* Jumlah Kejadian DBD Persentase (%) Berisiko 1.328 18 1,4 Tidak Berisiko 17.512 194 1,1 18.840 212 1,2 *Keterangan :TPAM = tempat penampungan air minum Dianggap berisiko : bila responden memiliki TPAM yang terbuka.

3. Kepadatan Hunian Kepadatan hunian dianggap berisiko terhadap penularan DBD apabila luas rumah < 8 m2 per satu anggota keluarga. Dari 11.592 responden yang mempunyai luas rumah berisikosebanyak 133 responden (1,1%) mengalami kejadian DBD. Apabila dibandingkan dengan kepadatan hunian yang tidak berisiko, maka besarannya seimbang (mempunyai persentase yang sama) yaitu 1,1%.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 685

Tabel 3. Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian DBD di Provinsi DKI Jakarta dan Bali, Riskesdas 2007

Kepadatan hunian Jumlah Kejadian DBD Persentase Berisiko (< 8 m2) 11.592 133 1,1 Tidak Berisiko (≥ 8 m2) 7.253 79 1,1 Jumlah 18.845 212 1,1

4. Karakteristik Individu Karakteristik responden yang berkaitan dengan kejadian DBD meliputi umur responden, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan dan tingkat ekonomi (kuintil). Dari sisi umur, kejadian DBD yang paling banyak terjadi pada kelompok umur 13-15 tahun yaitu 2,1 %; diikuti kelompok umur 7-12 tahun, yaitu 1,6%. Rata – rata tiap kelompok umur adalah 1,1%. Dilihat dari penularan, kedua kelompok umur tersebut adalah usia sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP). Kedua kelompok umur tersebut adalah usia potensial penularan DBD sebab disamping mereka berkumpul pada jam-jam dimana nyamuk Ae. aegyptiaktif menggigit, selain itu mereka tidak menggunakan pakaian lengan panjang/ celana panjang sehingga nyamuk lebih leluasa memindahkan virus. Kejadian DBD tidak menunjukkan perbedaanpada laki-laki dan perempuan, sedangkan pada tingkat pendidikan, kejadian DBD paling banyak pada mereka yang sudah tamat SLTA, diikuti mereka yang tidak tamat SD, tamat SD dan tamat SLTP. Berdasarkan jenis pekerjaan responden, kejadian DBD paling banyak pada mereka yang tidak bekerja (termasuk Ibu rumah tangga dan mereka yang masih duduk di sekolah yaitu 1,2%. Diikuti kelompok pegawai (1,1%) dan kelompok petani/nelayan/buruh/lainnya yaitu 0,9%.Secara keseluruhan rata-rata presentase tiap kelompok 1,1%. Berdasarkan kuintil responden, ada kecenderungan semakin tinggi kuintil mereka semakin besar kejadian DBD, dengan rata-rata tiap kelompok adalah 1,1 % .

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 686

5. Hubungan TPAM dengan Kejadian DBD . TPAM berisiko adalah tempat penampungan air yang terbuka (tanpa tutup) sedangkan yang tidak berisiko adalah TPAM yang tertutup sesuai pengakuan responden.

Tabel 4. Hubungan TPAM denganKejadian DBD di Provinsi DKI Jakarta dan Bali, Riskesdas 2007

Kejadian DBD OR TPAM Nilai P Ya Tidak (95% CI) 1.Terbuka 18 (1,4) 1310(98,6) 0,486 1,2 (0,69-2,18) 2.Tertutup 194 (1,1) 17318(98,9) 1 Jumlah 212 (1,1) 18628(98,9)

Dengan uji chi square didapatkan nilai p = 0,486, berarti pada α = 5% dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara TPAMdengan kejadian DBD di DKI Jakarta dan Bali. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hubungan antara TPAM yang terbuka dengan TPAM yang tertutup tidak ada perbedaan yang bermakna bila dikaitkan dengan kejadian/kasus DBD. Dengan confident interval (tingkat kepercayaan) 95 %, responden dengan tempat penampungan air yang terbuka mempunyai risiko terjangkit penyakit DBD hampir sama dengan responden dengan TPAM yang tertutup (OR 1,2 dan 1). Dapat dijelaskan sebagai berikut : jika dikaitkan dengan vektor DBD hal tersebut akan menunjukkan hasil yang berbeda, karena kondisi TPAM yang terbuka akan memberikan peluang yang besar bagi nyamuk DBD untuk berkembang biak, sehingga dikhawatirkan dengan tersedianya tempat perkembangbiakan nyamuk DBD akan memperbesar kemungkinan nyamuk tersebut menularkan penyakit DBD. Namun ternyata dalam analisis data Riskesdas ini tidak terbukti, hal tersebut mudah dimengerti jika TPAM terbuka tersebut sering dikuras dan disikat minimal 1 minggu sekali sehingga nyamuk tidak dapat berkembang biak.Perlu ditambahkan, bahwa pengakuan responden yang menyatakan menutup TPAM ternyata diantaranya hakekatnya terbuka karena nyamuk masih dapat bertelur didalamnya.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 687

6. Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian DBD Kepadatan hunian dikatagorikan risiko apabila luas hunian tidak mencapai 8 m2 per orang, dan tidak berisiko apabila huniannya ≥ 8 m2 per anggota keluarga.

Tabel 5. Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian DBD di Provinsi DKI Jakarta dan Bali, Riskesdas 2007

Kejadian DBD OR Kepadatan Hunian Nilai P Ya Tidak (95% CI) Berisiko (< 8 m2) 133 (1,1) 11459(98,9) 0,752 1,05 (0,76-1,47) Tidak Berisiko (≥ 8 m2) 79 (1,1) 7174(98,9) 1

Jumlah 212(1,1) 18633(98,9)

Hasil uji chi square didapatkan nilai p = 0,752, berarti pada α = 5% tidak ada perbedaan yang bermakna antara dua variable tersebut. Dapat dikatakan bahwa hubungan antara kepadatan hunian berisiko (<8m²) dan yang tidak berisiko (≥ 8m²) tidak ada perbedaan yang bermakna bila dikaitkan dengan kejadian/kasus DBD. Dengan confident interval (tingkat kepercayaan) 95 %, responden dengan kepadatan hunian <8m² mempunyai risiko terjangkit penyakit DBD hampir sama dengan responden dengan kepadatan hunian >8m² (OR 1,05 dan 1). Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : jika dalam satu rumah tangga ada yang menderita DBD maka pada kepadatan hunian tinggi diasumsikan akan lebih besar peluang untuk terjadinya penularan penyakit DBD diantara anggota rumah tangga tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan rumah tangga dengan kepadatan hunian yang rendah. Namun ternyata hal tersebut tidak terbukti, hal ini dimungkinkan bila si penderita DBD tersebut terinfeksi virus DBD/digigit nyamuk DBD di tempat lain.

7. Hubungan antara Umur dengan Kejadian DBD Hubungan antara umur dengan kejadian DBD di daerah endemis digambarkan pada tabel 7.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 688

Tabel 6. Hubungan antara Umur dengan Kejadian DBD di Provinsi DKI Jakarta dan Bali, Riskesdas 2007

OR Kelompok Umur Kejadian DBD Jumlah Nilai P (95% CI) < 7 tahun 28 (1,1) 2471 1,14 (0,75-1,76)

7 - 12 tahun 33 (1,6) 2015 1,66 (1,09-2,51)

13 -15 tahun 18 (2,1) 866 0,014 2,17 (1,26-3,73)

16 – 19 tahun 13 (1,1) 1182 1,09 (0,60-1,98)

>19 tahun 12` (1,0) 12349 1 Jumlah 213 (1,1) 18883

Hasil uji chi square didapatkan nilai p = 0,014, berarti bahwa ada perbedaan yang bermakna antara kelompok umur responden dengan kejadian DBD di daerah endemis : a. Responden kelompok umur kurang dari 7 tahun mempunyai peluang untuk terjangkit DBD 1,14 kali (0,75-1,76) dibandingkan dengan responden kelompok umur lebih dari 19 tahun b. Responden kelompok umur 7-12 tahun mempunyai peluang untuk terjangkit DBD sebesarb 1,66 kali (1,09-2,51) dibandingkan dengan umur lebih dari 19 tahun c. Responden kelompok umur 13-15 mempunyai peluang untuk terjangkit DBD 2,17 kali (1,26-3,73) dibandingkan dengan responden kelompok umur lebih dari 19 tahun d. Responden kelompok umur 16-19 mempunyai peluang untuk terjangkit DBD 1,09 kali (0,60-1,98) dibandingkan dengan responden kelompok umur lebih dari 19 tahun

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 689

8. Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Kejadian DBD di Daerah Endemis

Tabel 7. Hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian DBD di Provinsi DKI Jakarta dan Bali, Riskesdas 2007.

Kejadian OR Jenis Kelamin Jumlah Nilai P DBD (95% CI) Laki-laki 101 (1,1) 9094 1 0,897 Perempuan 111 (1,1) 9787 0,98 (0,72-1,33)

Jumah 212 (1,1) 18881

Hasil uji chi square didapatkan nilai p = 0,897, berarti pada α =0,05 tidak ada perbedaan yang bermakna antara dua variabel tersebut. Dapat dikatakan bahwa hubungan antara jenis kelamin dan kejadian DBD tidak berbeda nyata/bermakna. Dengan confident interval (tingkat kepercayaan) 95 %, responden dengan jenis kelamin laki-laki mempunyai risiko terjangkit penyakit DBD hampir sama dengan responden berjenis kelamin perempuan {OR 1 dan 0,98 (0,72-1,33)}. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : laki-laki dan perempuan mempunyai peluang yang sama untuk terjangkit DBD sama.

9. Hubungan Pendidikan dengan Kejadian DBD Tabel 8. Hubungan antara Pendidikan dengan Kejadian DBD diProvinsi DKI Jakarta dan Bali, Riskesdas 2007

OR Tingkat Pendidikan Kejadian DBD Jumlah Nilai P (95% CI) Tidak Tamat SD ke Bawah 27 (1,1) 2348 0,94 (0,57-1,53) Tamat SD 28 (0,9) 3116 0,74 (0,47-1,18) 0,570 Tamat SLTP 30 (1,0) 3084 0,81 (0,52-1,27) Tamat SLTA ke Atas 83 (1,2) 6812 1

Jumlah 168 (1,1) 15360

Hasil uji chi square didapatkan nilai p = 0,570, berarti tidak ada perbedaan yang bermakna antara tingkat pendidikan responden dengan kejadian DBD. Dapat dikatakan

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 690 bahwa hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian DBD di daerah endemis tidak berbeda nyata/bermakna. Dengan confident interval (tingkat kepercayaan) 95 %, responden dengan tingkat pendidikan : tidak tamat SD, tamat SD, tamat SLTP maupun tamat SLTA ke atas mempunyai risiko terjangkit penyakit DBD yang hampir sama atau tidak berbeda nyata, dengan OR : 0,94 (0,57-1,53) ; 0,74 (0,47-1,18) ; 0,81 ( 0,52-1,27) dan 1.

10. Hubungan Pekerjaan dengan Kejadian DBD Hasil uji chi square didapatkan nilai p = 0,260, berarti pada α = 5% dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara pekerjaan responden dengan kejadian DBD di daerah endemis. Hasil uji chi square didapatkan nilai p = 0,260, berarti pada tidak ada perbedaan yang bermakna antara dua variabel tersebut.

Tabel 9. Hubungan Pekerjaan dengan Kejadian DBD di Provinsi DKI Jakarta dan Bali,Riskesdas 2007

OR Pekerjaan Kejadian DBD Jumlah Nilai P (95% CI) Tidak kerja/sekolah/Ibu 97 (1,2) 7815 0,260 RT 1,10 (0,72-1,69) Petani/Nelayan/Buruh/ 5 (0,9) 580 Lainnya 0,76 (0,27-2,09) Wiraswasta 23 (0,8) 2933 0,70 (0,41-1,98) Pegawai 34 (1,1) 3022 1 Jumlah 159 (1,1) 14350

Dapat dikatakan bahwa hubungan antara pekerjaan dengan kejadian DBD tidak berbeda nyata/bermakna. Dengan confident interval (tingkat kepercayaan) 95 %, responden dengan pekerjaan: tidak bekerja/masih sekolah/ibu rumah tangga; petani/nelayan/buruh, wiraswasta maupun pegawai mempunyai risiko yang tidak berbeda bermakna terhadap penyakit DBD .

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 691

11. Hubungan Kuintil dengan Kejadian DBD Hasil uji chi square hubungan kuintil dengan kejadian DBD didapatkan nilai p = 0,169, berarti pada α = 5% dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat pengeluaran perkapita dengan kejadian DBD. Dengan confident interval (tingkat kepercayaan) 95 %, responden dengan tingkat kuintil 1, 2, 3, maupun tingkat kuintil 4 dan 5 mempunyai risiko terjangkit penyakit DBD yang hampir sama (OR 0,60 (0,35-1,01) sampai dengan 1.

KESIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan dalam analisis ini maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Prevalensi kejadian DBD yang merupakan hasil analisis Provinsi DKI Jakarta saja (1,2%) lebih besar bila dibandingkan prevalensi hasil analisis di Provinsi DKI Jakarta dan Bali (1,1%) 2. Antara TPAM dengan kejadian DBD tidak menunjukkan ada hubungan yang bermakna. Kejadian DBD pada responden yang memiliki TPAM yang berisiko (terbuka) sebesar 1,4% 3. Dari sisi umur, kejadian DBD paling banyak pada kelompok umur 13-15 tahun yaitu 2,1 %, berpeluang untuk terkena DBD sebesar 2,17 kali (1,26-3,73) dibandingkan dengan umur > 19 tahun. 4. Peluang untuk terkena DBD antara laki-laki dan perempuan tidak beda nyata. 5. Kejadian DBD paling banyak pada mereka yang sudah tamat SLTA dan yang tidak tamat SD. 6. Dari aspek status pekerjaannya, kejadian DBD paling banyak pada mereka yang tidak bekerja/Ibu RT/masih sekolah. 7. Berdasarkan kuintil, menunjukkan adanya kecenderungan semakin meningkat kuintil (ekonomi) semakin besar presentase kejadian DBD. 8. Presentase kejadian DBD pada kepadatan yang berisiko seimbang dengan dengan presentase kepadatan yang tidak berisiko, yaitu 1,1%.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 692

SARAN Melihat kecilnya prevalensi DBD di daerah endemis berdasarkan Riskesdas 2007, yang tidak sesuai dengan angka kesakitan nampaknya ada faktor waktu pengumpulan data. Mungkin 12 bulan terakhir merupakan waktu yang cukup lama untuk mengingat suatu kejadian kecuali kematian seseorang.

UCAPAN TERIMAKASIH Dengan selesainya penulisan analisis lanjut Riskesdas 2007 ini , penulis mengucapkan terima kasih kepada : Kepala Badan Litbangkes, Dep. Kes. RI dan Kepala Puslitbang Ekologi dan Status Kesehatan,. Dep.Kes.RI., yang memberikan kesempatan, fasilitas dan pendanaan sehingga penelitian dapat berjalan dengan lancar.

DAFTAR PUSTAKA Nelson, MS (1986). Aedes aegypti : Biology and Ecology. Washington DC Pan.America Health Org. Dep.Kes., 2008.Data mentah/Raw Data (Tidak dipublikasi). Garjito, T.A., Jastal ,Rosmini, Y., Wijaya, Y., Labajito Y., Srikandi, Samarang A., Erlan Y., Udin dan Puryadi (2005). Investigation Tempat Perindukan Aedes aegypti (L) pada tiga daerah dengan tingkat endemisitas yang berbeda (Endemisitas, Sporadis dan non endemisitas) di wilayah Kota Palu, Sulawesi Tengah.JEK, Vol. 5 No.2 , hal. 423-431. Hasyimi, M dan Mardjan Soekirno.Pengamatan Tempat Perindukan Aedes aegypti Pada Tempat Penampungan Air Rumah Tangga Pada Masyarakat Pengguna Air Olahan. JEK. Vol.3 No.1 Hal. 37-42. 2004 Hasyimi, M., Pangestu, Astrid Berlian Utami . Analisis Perbandingan Karakteristik Habitat Perkembangbiakan Nyamuk Aedes Di Daerah Endemis Dan Non Endemis Demam Berdarah Dengue (DBD).Sem. Nas. KKL IV, Depok 27 Agustus 2008. Harwood R.F & M.T. James (1979). Entomology and Human and Animal Health. 4thEd. Mac Millan Publishing Co.Inc.New York.p. 169. Depkes (2007). Bahan Work Shop Antisipasi KLB DBD 2008. Ditjen PP PL. Depkes. 2007. (Tidak dipublikasi) Surtees, G.,. Mosquito breeding in the Kucing area, Serawak with special reference to the epidemiology of dengue fever.J.Med.Ent. 7(2). 1970 Suwasono, H dan S.Nalim. Korelasi antara evaluasi kepadatan Aedes aegypti (L) dengan ovitrap terhadap kasus demam berdarah di Jakarta. Sem. Parasit. Nas.V.Bogor, 1988. Nelson, MS (1986). Aedes aegypti : Biology and Ecology. Washington DC Pan. America Health Org.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 693

Hasyimi, M dan Mardjan Soekirno.Pengamatan Tempat Perindukan Aedes aegypti Pada Tempat Penampungan Air Rumah Tangga Pada Masyarakat Pengguna Air Olahan. JEK. Vol.3 No.1 Hal. 37-42. 2004.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 694

PFTBM-2 Aktivitas Nokturnal Nyamuk Vektor Demam Berdarah Dengue di Beberapa Daerah di Indonesia Upik K. Hadi, S. Soviana, dan D.J. Gunandini

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 695

PFTBM-3

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 696

PFTBM-4 Efikasi Insektisida Benzyl Alkohol Terhadap Kutu Rambut Pediculus humanus capitis D.J. Gunandini, S.Soviana, Upik K. Hadi, dan Supriyono

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 697

PFTBM-5 Infestasi Kutubusuk (Cimicidae: Cimex hemipterus) di Asrama TPB IPB Bogor S. Soviana, Sugiarto, M. Chalidaputra, dan Upik K. Hadi

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 698

PFTBM-6 Efektivitas Helicoverpa armigera NUCLEAR POLYHEDROSIS VIRUS (HaNPV) Hasil Subkultur pada Spodoptera litura Fabricius Terhadap Mortalitas Ulat Kubis ( Plutella xylostella Linnaeus ) Dicky Budi Sugiarto1, Wawan Hermawan1, dan Mia Miranti1 1Jurusan Biologi, FMIPA UNPAD, Jl.Raya Bandung Sumedang Km 21 Jatinangor-Sumedang

ABSTRAK Penelitian mengenai Efektivitas HaNPV hasil subkultur pada.Spodoptera litura terhadap mortalitas ulat kubis (Plutella xylostella) telah dilakukan. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok satu faktor perlakuan dengan empat taraf konsentrasi virus (0 PIB/ml, 4×103PIB/ml, 4×105PIB/ml, 4×107PIB/ml) dengan delapan pengulangan. Aplikasi infeksi virus dilakukan dengan penyemprotan virus 12 jam sebelum larva P. xylostella didedahkan pada tanaman kubis dan diulang setiap empat hari hingga rentang waktu 20 hari. Hasil penelitian menunjukan bahwa mortalitas P. xylostella terjadi sebesar 98,75% pada konsentrasi infeksi 4×107PIB/ml. Kerusakan pada kubis setelah pendedahan larva tidak terlalu berpengaruh pada pembentukan krop kubis. Dengan demikian, HaNPV cukup efektif mengendalikan populasi P. xylostella pada tanaman kubis. Kata Kunci : Helicoverpa armigera Nuclear Polyhedrosis Virus (HaNPV), Plutella xylostella, Mortalitas, Kubis.

ABSTRACT The research on Effectivity of subcultures HaNPV in S. litura against mortality of cabbage cartepillar Plutella xylostella was conducted. The research methode was experimental used factorial pattern Randomized Block Design which consisted of one factor with four levels of virus consentration (0 PIB/ml, 4×103 PIB/ml, 4×105 PIB/ml, 4×107 PIB/ml) with eight replication. The applications of virus infection to larva P. xylostella has been given by spraying the suspension 12 hours before the larva infested in cabbage and repeated every four days until 20 days treatment respectively. The result showed that the larva mortality of P. xylostella occurred at 98.75% at 4×107 PIB/ml level of concentration. Cabbage damaging of P. xylostella affect were not significanttly effect to formation of cabbage crops. Thus, HaNPV was effective to control the population of P. xylostella in cabbage. Keywords : Helicoverpa armigera Nuclear Polyhedrosis Virus (HaNPV), Plutella xylostella, Mortality, Cabbage

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 699

PENDAHULUAN Petani umumnya menggunakan insektisida sintetik untuk mengendalikan populasi larva P. xylostella. Penggunaan insektisida sintetik secara berlebihan dapat memberikan dampak negatif seperti terbunuhnya organisme bukan sasaran, akumulasi zat kimia pada tanaman kubis, bahaya langsung terhadap manusia, resistensi serangga hama dan menimbulkan pencemaran bagi lingkungan udara dan perairan (Prayogo & Suharsono, 2005). Oleh karena itu, perlu dicari alternatif pengendalian populasi hama dengan cara yang lebih aman Salah satunya adalah dengan menggunakan agensia biologis Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV). HaNPV adalah NPV yang diisolasi dari larva H. armigera. Miranti dan Wardono (2009) menemukan bahwa HaNPV dapat diproduksi pada larva S. litura dengan hasil produksi tertinggi 15,5×1010 PIB per ekor. HaNPV dapat diproduksi pada larva S. litura karena lebih ekonomis dan larva dapat dipelihara secara bekelompok dalam jumlah besar. Hasil produksi HaNPV dalam larva S. litura lebih banyak yaitu sebesar 2,65×1010 PIB per ekor dibandingkan produksi HaNPV pada H. armigera sebesar 0,25×1010 PIB per ekor. Sutanto (2007), menyatakan bahwa HaNPV hasil subkultur yang diinfestasikan pada larva S. litura instar dua yang didedahkan pada tanaman kedelai, dapat mengurangi populasi larva S. litura sebesar 62,03% dan persentase pupa yang berhasil menjadi imago sebesar 58,82%. Adapun konsentrasi infeksi virus yang digunakan sebesar 4×107 PIB / ml. Berdasarkan uraian tersebut, maka dilakukan penelitian mengenai efektifitas H. armigera Nuclear Polyhedrosis Virus (HaNPV) hasil subkultur pada S. litura dengan berbagai konsentrasi terhadap mortalitas serangga hama larva P. xylostella. Sebagai data pendamping juga diukur efektifitas perlindungan HaNPV pada tanaman kubis dengan mengukur persentase kerusakan tanaman kubis yang diakibatkan oleh serangga hama P. xylostella.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 700

BAHAN DAN METODE PENELITIAN Bahan Bahan-bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah Akuades, Benih kubis (B. oleracea), daun kubis (B. oleracea), larutan madu 10%, larutan triss buffer 1 mMol pH 7,6 + Sodium Duodecyl Sulphate (SDS) 0,1%, Na Azida 0.02%, pupuk kandang, sediaan Polihedra virus HaNPV hasil subkultur pada S. litura, tanah, Serangga uji P. xylostella L. larva instar dua dengan induk didapat dari Perkebunan kubis milik masyarakat di Desa Pasigaran, Tanjung Sari, Sumedang, Jawa Barat. Alat Alat-alat yang dipergunakan adalah baki, batang pengaduk, beaker glass, botol kaca, cawan petri, cutter, gelas plastik, gelas ukur, gunting, hemositometer, jara, kain lap, kain tile, kapas, kertas label, kertas tissue, kotak kaca berukuran 25 cm × 20cm × 30 cm, kotak plastik berukuran 20 cm × 15 cm × 6 cm, kuas, lemari pendingin, mikroskop cahaya, pipet tetes, plastik, polybag berukuran 35 cm × 35 cm, tabung reaksi, selotip, dan sprayer 500 ml. Metodologi Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode eksperimental, menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktor tunggal dengan empat taraf faktor perlakuan dan delapan kali ulangan. Faktor perlakuan (P) adalah penyemprotan sediaan virus terhadap larva P. xylostella instar dua yang didedahkan pada tanaman kubis. Faktor perlakuan terdiri dari 4 taraf, yaitu : P0 : Kontrol ( kubis tanpa penyemprtotan virus ) P1 : Aplikasi HaNPV dengan konsentrasi 4×103 PIB/ml P2 : Aplikasi HaNPV dengan konsentrasi 4×105 PIB/ml P3 : Aplikasi HaNPV dengan konsentrasi 4×107 PIB/ml Jumlah tanaman kubis yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 32 tanaman. Setiap tanaman didedahkan 10 ekor larva P. xylostella instar dua, sehingga jumlah larva yang digunakan pada penelitian ini mencapai 320 ekor. Penyemprotan virus pertama kali dilakukan setelah larva didedahkan selama 24 jam pada tanaman kubis pada waktu sore hari. Penyemprotan selanjutnya dilakukan tiap

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 701 empat hari sekali selama 20 hari waktu pengamatan. Penyemprotan dilakukan menggunakan sprayer pada daun kubis secara merata. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian dilakukan di gambarkan oleh tahapan bagan alir sebagai berikut

:

HASIL DAN PEMBAHASAN Mortalitas P. xylostella merupakan parameter utama yang diukur dalam penelitian ini. Mortalitas diukur berdasarkan jumlah individu P. xylostella yang mati terinfeksi oleh virus HaNPV dari stadia larva hingga stadia imago dalam satu siklus hidup yang didedahkan pada tanaman uji. Perhitungan Nilai Mortalitas P. xylostella ini adalah gabungan nilai mortalitas pada saat stadia larva, pupa dan imago. Perhitungan Mortalitas dilakukan menggunakan rumus persentase mortalitas. Hasil perhitungan tersebut dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut :

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 702

Tabel 4.1 Mortalitas dan jumlah lolos hidup P. xylostella pada tanaman kubis

Mortalitas Individu yang lolos hidup Perlakuan Jumlah total Jumlah total Persentase Persentase individu individu 0 PIB/ ml 25 31.25% 55 68.75% 4×103 PIB/ml 41 51.25% 39 48.75% 4×105PIB/ml 71 88.75% 9 11.25% 4×107 PIB/ml 79 98.75% 1 1.25% Pada Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa mortalitas P. xylostella nilainya berbanding terbalik dengan nilai jumlah P. xylostela yang lolos hidup. Hal ini disebabkan perhitungan nilai mortalitas mengacu pada jumlah imago yang lolos hidup. Imago lolos hidup yang ditemukan pada setiap perlakuan ini menunjukkan bahwa sisa larva yang didedahkan pada tanaman kubis sebagian besar mati. Nilai mortalitas P. xylostella tertinggi sebesar 98,75%, terjadi pada perlakuan infeksi dengan konsentrasi 4×107 PIB/ml. Hal ini karena pada konsentrasi 4×107 PIB/ml jumlah polihedra yang terkandung pada sediaan virus lebih banyak daripada sediaan dengan konsentrasi lainnya. Sediaan virus yang disemprotkan setiap empat hari sekali pada permukaan krop akan menyebabkan menempelnya polihedra yang siap menginfeksi larva. Waktu pendedahan larva P. xylostella dilakukan setelah 12 jam virus disemprotkan, cairan virus telah menempel pada permukaan daun kubis. Larva yang memakan daun tersebut secara tidak langsung memakan polihedra virus yang siap menginfeksi jaringan tubuh larva. Larva yang terinfeksi memiliki ciri kemampuan bergerak lebih lemah dibandingkan larva yang tidak terinfeksi. Selain itu, larva yang terinfeksi virus memiliki ciri integumen tubuh yang berwarna merah dengan tubuh melunak dan mudah hancur. Selanjutnya larva yang sudah mati karena terinfeksi virus tubuhnya akan kering dan hancur. Tingkat mortalitas ini baru diketahui setelah imago muncul yaitu sekitar 12 hari setelah penyemprotan ketiga. Hai ini terjadi karena Virus HaNPV tidak dapat menyebabkan kematian pada larva secara langsung seperti penggunaan insektisida sintetik. Dikarenakan virus menginfeksi P. xylostella secara oral karena HaNPV yang

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 703 disemprotkan ke permukaan daun akan menempel hingga termakan oleh larva P.xylostella. Proses awal infeksi virus serangga ini terjadi di daerah saluran pencernaan bagian tengah. Polihedrin yang membungkus virion larut dan membuat partikel-partikel virus bebas (Flipsen, 1995). Infeksi pada tingkat seluler ditandai dengan terjadin fusi (binding) antara partikel virus dengan membran mikrovili sel-sel kolumner. Partikel virus ini kemudian masuk ke dalam sitoplasma secara endositosis, kemudian nukleokapsid akan dilepaskan dalam sitoplasma. Setelah selubung lipoprotein berfusi dengan membran prolisozim nukleokapsid akan memasuki bagian dalam nukleus melalui mekanisme yang belum diketahui (Flipsen,1995). Satu jam setelah proses infeksi, virus akan dilepaskan dari nukleokapsid dan berubah menjadi stroma virogenik yang siap melakukan replikasi dengan menggunakan sistem replikasi sel inang (O‘reilly & Miller, 1989). Setelah terinfeksi selama 8 jam, progeni virus dalam bentuk nukleokapsid sudah dapat terlihat didalam nukleus dan selanjutnya 12 jam setelah infeksi, sebagian progeni virus ini melakukan Budding melalui membran nukleus dan membran sel. Virus hasil budding ini akan dilepaskan keluar dari sel. Virus ini bersifat aktif dan akan menginfeksi jaringan lain dalam tubuh larva terutama sel-sel hemosit, sel-sel dan badan lemak, sel-sel endodermis, jaringan otot dan ganglion saraf sehingga sel-sel yang diserang menjadi lisis atau hancur (Hawtin dkk.,1992). Hasil replikasi lain dari stroma virogenik adalah partikel virus atau virion yang tetap berada di dalam inti sel. Virion yang tetap berada dalam nukleus ini akan mulai membentuk polihedra (Kawamoto dkk., 1977) Pada stadia infeksi yang lebih lanjut, jumlah polihedra di dalam nukleus menjadi sangat banyak sehingga mengakibatkan disintegrasi sel (Flipsen, 1995; Kawamoto dkk., 1977). Larva H. armigera yang mengalami infeksi lanjut atau mengalami kematian, sel- sel tubuhnya akan lisis dan hal ini mengakibatkan polihedra keluar dari dalam tubuhnya. Perubahan fisik larva yang terinfeksi akan mulai terlihat setelah multiplikasi virus dalam tubuh larva. Perubahan warna akan terjadi pada integumen menjadi lebih gelap. Perubahan warna ini terjadi karena sebagian besar sel-sel pada jaringan larva telah mengalami kerusakan. Polihedra yang terbentuk telah menyebar ke dalam cairan hemocoel, sehingga menyebabkan cairan tubuh serangga berubah menjadi berwarna putih ke abu-abuan ( Fuxa, 1991; Subiyakto & Indriyani, 1993).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 704

Selain dalam bentuk larva, P. xylostella yang disemprot HaNPV banyak ditemukan mati dalam bentuk pupa. Hal ini karena pupa tersebut juga sudah terinfeksi virus pada stadia larva sebelumnya. Pupa yang terinfeksi virus memiliki ciri kering dan mudah hancur. Sedangkan kerusakan pada kubis dilihat berdasarkan kerusakan pada krop yang sudah siap panen. Hasil dan penelitian ini menunjukan bahwa kerusakan pada tanaman kubis terjadi pada lapisan atas daun. Selanjutnya untuk lebih menunjukan skala kategori kerusakan pada daun kubis dapat dilihat pada Gambar 4.1 berikut

Gambar 4.1 Kerusakan pada krop kubis pada perlakuan konsentrasi virus terhadap larva P. xylostella

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 705

Selanjutnya diuji statistik dengan Kruskal wallis terhadap pengaruh dari perlakuan. Hasil uji kruskal wallis dapat dilihat pada Tabel berikut :

Tabel 4.2 Uji Kruskal Wallis Kerusakan Pada Krop Kubis

Test Statisticsa,b kerusakan Keterangan a. Kruskal Wallis Test Chi-Square b. Grouping Variable: 9.552 perlakuan df 3 Asymp. Sig. .023

Pada Tabel 4.2 didapat chi-square pada kerusakan sebesar 9,522. Derajat kebebasan 3 didapat pada Tabel chi-square 7.81, chi-square pada kerusakan (9,522) > chi-square pada tabel (7,81). Hal ini menunjukan pengaruh yang nyata perlakuan terhadap kerusakan pada tanaman uji. Dengan demikian penyemprotan tanaman kubis dengan sediaan virus dapat mengurangi kerusakan pada tanaman kubis akibat serangan larva P. xylostella.

KESIMPULAN Helicoverpa armigera Nuclear Polyhedrosis Virus (HaNPV) hasil subkultur dari S. litura dengan konsentrasi 4×107 PIB/ml menyebabkan mortalitas sebesar 98,75% terhadap larva P. xylostella yang didedahkan pada tanaman kubis dan P.xylostella yang didedahkan pada tanaman kubis yang telah di disemprotkan HaNPV hanya merusak bagian luar daun kubis dengan kategori ringan dan sedang serta tidak menyebabkan kerusakan pada krop kubis.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim1, 2010. Pengendalin dengan insektisida. http://forum.upi.edu/v3/index.php?topic=15675.msg49748#msg49748. Diakses pada tanggal 24 februari 2010.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 706

Anonim2, 2010. Plutella xylostela. http://www.ag.ndsu.edu/pubs/plantsci/pests/e1346.htm Diakses pada tanggal 24 februari 2010. Anonim3, 2010. Plutella xylostela . http://www.infonetbiovision.org/default/ct/90/pests. Diakses pada tanggal 24 februari 2010. Bedjo. 2005. Potensi, Peluang dan Tantangan Pemanfaatan Spodoptera litura Nuclear Polyhedrosis Virus (SlNPV) Untuk Pengendalian Spodoptera litura Fabricius Pada Tanaman Kedelai. Makalah. Balitkabi. Dewayanti dan Hariyadi, 2005. Virus. Jakarta : Penerbit Erlangga. Capinera, J.L. 2009. Diamondback Moth. http://www.entnemdept.ufl.edu/ creatures/veg/leaf/Dewayanti dan Hariyadi, 2005. Virus. Jakarta : Penerbit Erlangga. Engelhard, E.K., and L.E. Volkman. 1995. Development Resistance in Fourth Instar Trichoplusia in Oraly Inoculated with Autographa californica M Nuclear Polyhedrosis Virus. Virology.2009. 384-389. Flipsen, H. 1995. Pathogenesis Induce by (Recombinant) Baculoviruses in Insect. Thesis. Wageningen. 13-24. Hermawan, W.,S. Nakajima, R.Tsukuda, K.Fujisaki, and F. Nakasuji (1997) Appl. Entomolo. Zool.32:551-559. Ignoffo, C.M., B.S. Shasha, and M. Shapiro. 1991. Sunlight Ultraviolet Protection of the Heliothis Nuclear Polyhedrosis Virus Through Starch-Encapsulation technology. Journal of Invertebrate Pathology. 57. 134-136 Indrayani, I.G.G.A., Subiyakto dan G. Kartono.1993. Teknik Perbanyakan Helicoverpa armigera Nuclear Polyhedrosis Virus ( HaNPV). Prosiding simposium Patologi Serangga : 163-170. Indriyani, L. 2006. Kajian Tentang Produksi Helicoverpa armigera Nuclear Polyhedrosis Virus (HaNPV) Pada Spodoptera litura : Pengaruh Umur Larva Terhadap Tingkat Produksi HaNPV.Skripsi UNPAD. Kalmakoff and Ward. 2003.Baculoviruses. University of Otago, Dunedin, New Zealand. Http://microbes.otago.ac.nz/. Diakses pada tanggal 25 april 2010. Kalshoven, L.G.E. 1989. The Pest of Crops in Indonesia ; PT Ichtiar Baru. Kawamoto, F. N. Kumada, and M. Kobayashi. 1977. Envelopment of Nuclear Polyhedrosis Virus of The Oriental Tussock Moth, Euproctis subleta. Virology. 77. 867-871. Hawtin, R.E., L.A King and R D.Possee, 1992, Prospects for Development of a Genetically Engineered Baculovirus Insecticide. Pesticides Sciences 34. 9-15. Kirkpatrick, B.A., J.O. Washburn, E.K. Engelhard, and L.E. Volkman. 1994. Primary Infection of Insect Tracheae by Autographa californica M Nuclear Polyhedrosis Virus. Virology. 203. 184-186. LeBlanc, B.D., and R.M. Overstreet. 1991. Effect of Desiccation, pH, Heat, and Ultraviolet Irradiation on Viability of Baculovirus penaei. Journal of Invertebrate Pathology. Mangoendihardjo, S., M. Saragih., E. Mahrub dan A. Pollet. 1993. Uji Efikasi NPV Mamestra Terhadap Ulat Grayak Spodoptera litura F. Pada Kedelai dan Tembakau. Simposium Patologi Serangga. Yogyakarta. Hlm 215-222.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 707

Maramorosch, K. And K.E. Sherman. 1985. Viral Insecticides for Biological Control. London : Academic Press Inc. Mazzone, H.M. 1985. Pathology Associated with Baculovirus infection. In : Viral insecticides for Biological Control. K. Maramorosch and K.E. Sherman (eds). London : Academic Press,inc. 81-120. Miranti, M. 2001. Pengaruh dosis Helicoverpa armigera Nuclear Polyhedrosis Virus (HaNPV) dan stadia larva terhadap sifat fisiologis dan mortalitas larva helicoverpa armigera. Tesis magister. Universitas Padjadjaran. Miranti, M. 2008. Produksi Helicoverpa armigera Nuclear Polyhedrosis Virus (HaNPV) secara In Vivo pada inang Pengganti. Disertasi. Tidak dipublikasikan. Miranti, M dan Wardono N. 2009. Pengaruh Konsentrasi Infeksi Helicoverpa armigera Nuclear Polyhedrosis Virus pada Tingkat Kematian, waktu Kematian dan Produktivitas Produksi Polihedra dalam Larva Spodoptera litura F. Sebagai inang pengganti. 20(1). Jurnal Agrikultura 2009. Nurhadi, I. 2007. Uji potensi Helicoperva armigera Nuclear polyhedrosis virus (HaNPV) terhadap jumlah individu larva Helicoverpa armigera Hubner yang didedahkan pada tanaman tomat (Lycopersicum esculentum Mill.) Pada berbagai stadia larva. Skripsi. UNPAD. Nissin,K.D dan Miyata, T. 2003.Monitoring acetamiprid in the Plutella xylostella. Appl. Entomol. Zool.38 (4):517-421 (2003). Ordish, G. 1967. Biological Methods in Crop Pest Control. Constable. London. 242 hlm. Oshawa, K., dan Dadang, 2000. Penghambatan Aktifitas Makan Larva Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera : Yponomeutidae) yang Diperlakukan Ekstrak Biji Swietenia mahogani JACQ. (Meliaceae). Buletin Hama dan Penyakit Tumbuhan 12 (1) : 27-32. Padhi, S.B. 1985. Viral Proteins for Identification of Insect Viruses. In Viral Insecticides for Biological Control. K. Maramorosch and K.E. Sherman (eds). London : Academic Press. Parrella MP, Keil CB. 1984. Insect pest management: the lesson of Liriomyza. Bull Entomol Soc Amer 30:22-25. Pelczar, M.J. dan E.C.S. Chan. 2005. Dasar-dasar Mikrobiologi Jilid 1, diterjemahkan oleh Ratna Siri Hadioetomo. Jakarta : Penerbit UI-Press. Hlm. 264-299. Prayogo, Y. dan Suharsono. 2005. Optimalisasi Pengendalian Hama Pengisap Polong Kedelai Riptortus linearis dengan Cendawan Entomopatogen Verticilium lecanii. Jurnal Litbang Pertanian 24 4. Rukmana,R. 1997. Kubis Bunga dan Kol. Jakarta: PT Penebar Swadaya Sitompul, S.M., dan Bambang Guritno. 1995. Analisis pertumbuhan tanaman. Gadjah mada University press. Yogyakarta. Stair, G.R 1989. Effects of nuclear polyhedrosis virus isolate from Malacosoma disstria on lymantria dispar larval growth pattern. Journal of invertebrata pathology. 53.247-250. Stair. G.R 1991. Quantitative Studies on the infection of Galleria mellonella wih Nuclear Polyhedrosis Virus Bombyx mori.journal of invertebrata pathology. 57. 402-405. Sutanto, R. 2007. Toksisitas HaNPV dan HaNPV passase terhadap Spodopera litura F. Pada tanaman kedelai. Skripsi. Universitas Padjadjaran.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 708

Sudhakar, S., and Mathavan. 1999. Electron Microscopical Studies and Restriction Analysis of Helicoverpa armigera Nuclear Polyhedrosis Virus. Melalui http: www.iisc.ernet.in/~academy/jbiosci/sept1999/article 13. Diakses 22 November 2009 pukul 13.50. Tanada, Y. dan H. K. Kaya, 1993. Insect Pathology. USA: Academic Press. Hlm: 500- 507. Vlak, J.M., and G.F. Rohrmann. 1985. The Nature of Polyhedrin. In : Viral Insecticides for Biological Control. K, Maramorosch and K.E. Shennan (eds.). London : Academic Press, Inc. 489-544. Wahyuni, W. 2007. Pengaruh dosis Helicoverpa armigera Nuclear polyhedrosis virus terhadap produksi HaNPV pada Spodoptera litura F. Skripsi S1 Universitas Padjadjaran. Wulandari, R. 2006. Kajian tentang produksi HaNPV pada Spodoptera litura F. Pengaruh tingkat subkultur HaNPV terhadap patogenitas pada larva Helicoverpa armigera H. Skripsi S1 Universitas Padjadjaran.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 709

PFTBM-7 Pengaruh Biopestisida Aglaia harmsiana dan Parasitoid Eriborus argenteopilosus Terhadap Profil Imun Seluler dan Humoral Larva Helicoverpa armigera Tjandra Anggraeni1 1Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung Jalan Ganesa 10 Bandung Email: [email protected]

ABSTRAK Penelitian-penelitian yang telah dilakukan saat ini menyatakan bahwa baik ekstrak tanaman Aglaia harmsiana yang berperan sebagai biopestisida maupun Eriborus argenteopilosus yang berperan sebagai parasitoid dapat digunakan sebagai agen pengendali dalam PHT Helicoverva armigera. Penelitian mengenai kombinasi pemakaian kedua hal tersebut yang berkaitan dengan sistem imun serangga perlu dilakukan untuk meyakinkan bahwa penggunaan keduanya sekaligus tidak saling melemahkan. Secara umum, tidak seperti mamalia yang diperantarai oleh antibodi pada sistem imunnya, serangga memanfaatkan sistem imun seluler dan humoralnya sebagai strategi yang efisien untuk menghilangkan benda asing yang masuk. Penelitian yang dilakukan ini bertujuan untuk mengetahui jumlah total hemosit dan tipe hemosit yang berkaitan dengan kemampuan membentuk kapsul (sistem imun seluler) serta profil protein dan aktivitas enzim profenoloksidase (sistem imun humoral) serangga H. armigera setelah diberi pakan yang mengandung bioinsektisida A. harmsiana dan diparasiti oleh E. argenteopilosus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah beberapa tipe hemosit serta penurunan ketebalan profil protein hemolimfa yang diduga merupakan penyebab parasitoid dapat tetap berada dalam tubuh inang tanpa terenkapsulasi; meskipun aktivitas enzim prophenoloxidase tidak terpengaruh secara nyata. Hasil ini menunjukkan bahwa penggunaan biopestisida secara bersama dengan pemarasitan dapat melemahkan sistem imun H. armigera dan meningkatkan parasitasi. Kata Kunci : H. armigera; A. harmsiana; E. argenteopilosus; sistem imun serangga

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 710

PENDAHULUAN Aktivitas imun serangga merupakan faktor yang penting untuk suksesnya pengendalian dengan menggunakan parasitoid (Beckage, 2008). Secara umum, aktivitas imun serangga dikelompokkan dalam 2 bagian yaitu aktivitas imun seluler yang melibatkan pembekuan darah, fagositosis, dan pembentukan kapsul/nodul, serta aktivitas imun humoral yang melibatkan enzim prophenoloksidase, lektin, dan protein antimikroba (Anggraeni dkk., 2011). Pada program Pengendalian Hama Terpadu (PHT), kombinasi cara pengendalian merupakan cara yang sangat dianjurkan. Diketahui bahwa pengendalian serangga hama Helicoverpa armigera dapat dikendalikan antara lain dengan kombinasi penggunaan biopestisida Aglaia harmsiana dan penggunaan parasitoid Eriborus argentiopilosus. Penelitian mengenai kombinasi pemakaian kedua hal tersebut yang berkaitan dengan sistem imun serangga yang dilakukan ini, sangat diperlukan untuk meyakinkan bahwa penggunaan keduanya sekaligus tidak saling melemahkan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Biopestisida A. harmsiana dan Parasitasi E. argentiopilosus Terhadap Jumlah dan Tipe Hemosit Larva H. armigera Sepuluh μl hemolimf yang diambil dari setiap perlakuan dengan cara menggunting kaki semu ditampung dalam tabung reaksi dan diencerkan dengan laruran buffer fosfat klorida (0,15 M NaCl; 0,5 mM KH2PO4; pH 6,5) (Stoltz & Guzo, 1986 dalam Anggraeni, 1991). Selanjutnya, jumlah total dan jumlah setiap tipe hemosit dalam hemolimf dihitung dengan menggunakan Improved Neubaeur Haemocytometer.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 711

25

18.6 20 17.8 16 15 PR

10.2 PL 10 GR 7 6.2 5.8 5.2 5.2 5.6 5.6 5 3.4 4 3.4 2.6 2.2 2 2.2

Jumlah dan tipe hemosit 1.6 1 1 1 1 1 1 1.2 1 0.8 1 1.2 0 KA-T KA-TT Kas-T Kas-TT LC 10-T LC 10-TT LC 50-T LC 50-TT LC 90-T LC 90-TT Perlakuan

Gambar 1. Jumlah dan tipe hemosit larva H. armigera (KA-T = Kontrol Air Terparasit; KA-TT = Kontrol Air Tidak Terparasit; KAs-T = Kontrol Aseton Terparasit; KAs-TT = Kontrol Aseton Tidak Terparasit; LC 10-T = 7,383 ppm Terparasitasi; LC 10-TT = 7,383 ppm Tidak Terparasi; LC 50-T = 25,708 ppm Terparasitasi; LV 50-TT = 25,708 ppm Tidak Terparasitasi; LC 90-T = 89,519 ppm Terparasit; LC 90-TT = 85,519 ppm Tidak Terparasitasi)

Terlihat bahwa terjadi kecenderungan terjadinya penurunan jumlah sel granular seiring dengan meningkatnya konsentrasi biopestisida yang diujikan, lebih lanjut terlihat bahwa dibandingkan dengan yang tidak terparasiti, jumlah sel granular yang terparasiti cenderung lebih banyak. Sel granular adalah sel yang sangat sensitif, sehingga masuknya biopestisida dapat menyebabkan terjadinya kerusakan sel yang diasumsikan sebagai pemberi sinyal pada sel lain bahwa telah terjadi pemasukan benda asing ke dalam tubuh. Penurunan jumlah plasmatosit dan sel prohemosit pada aliran darah mengindikasikan bahwa sel-sel ini telah keluar dari aliran dan mengarah pada proses enkapsulasi benda asing. Pengaruh Biopestisida A. harmsiana dan Parasitasi E. argentiopilosus Terhadap Profil Protein Hemolimf Larva H. armigera Sepuluh µl hemolimf dimasukkan kedalam 500 µl buffer fosfat klorida (0,15M NaCl;

0,5 mM KH2PO4 ; pH 6,5), kemudian disentrifuga pada 10.000 rpm selama 10 menit pada suhu 4oC. Supernatan dianalisis dengan teknik elektroforesis gel poliakrilamida dengan konsentrasi gel 7,5%. Pendugaan bobot molekul protein plasma dilakukan dengan menggunakan protein penanda Sigma wide molekular weight range dan high molekular weight calibration kit for SDS electroforesis.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 712

Gambar 2. Profil protein hemolimf H. armigera. M : Marker; 1 : Kontrol tidak terparasit; 2 : Kontrol terparasit; 3 : Biopestisida LC10 tidak terparasit; 4 : Biopestisida LC10 terparasit; 5 : Biopestisida LC50 tidak terparasit; 6 : Biopestisida LC50 terparasit; 7 : Biopestisida LC90 tidak terparasit; 8 : Biopestisida LC90 terparasit.

Masuknya parasit ke dalam tubuh H. armigera telah memicu terbentuknya protein pada kontrol terparasit (kolom 2) dibandingkan dengan kontrol yang tidak terparasiti (kolom 1). Protein juga terlihat terbentuk pada perlakuan biopestisida yang terparasit, namun semakin tinggi konsentrasi biopestisida yang diberikan, maka protein yang terbentuk juga semakin kecil.

Pengaruh Biopestisida A. harmsiana dan Parasitasi E. argentiopilosus terhadap Aktivitas Enzim Prophenoloksidase pada Kutikula Larva H. armigera Permukaan kutikula ditetesi 10 μl larutan biopestisida. Hal yang sama juga untuk natriun azida 2% dan trikloro asetat (TCA) 40% serta kontrol yang diteteskan pada permukaan kutikula. Proses melanisasi diamati hingga 24 jam. Menurut Longkumar dkk. (1996), waktu yang diperlukan untuk terjadinya melanisasi sempurna adalah 16 jam. Tingkat atau derajat melanisasi diukur dengan mengamati perubahan warna kecoklatan yang terjadi pada kutikula. Natriun azida merupakan senyawa penghambat fenoloksidase (Longankumar dkk., 1996).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 713

120 100 100 98 100 90 84 86 84 80 72 4 jam 56 58 60 54 6 jam 18 jam 40

melanisasi (%) 26

20 8 10 0

0 Waktu pengamatan dan derajat dan derajat pengamatan Waktu Kontrol air Kontrol Ekstrak Natrium TCA 40% aseton 300 ppm azida 2% Perlakuan Gambar 3. Aktivitas enzim profenoloksidase pada melanisasi kutikula larva H. Armigera pada 4 jam, 6 jam, dan 18 jam setelah perlakuan

Dibandingkan dengan kontrol, pemberian biopestisida pada serangga tidak mempengaruhi secara nyata aktivitas enzim prophenoloksidase yang tetap dalam kondisi yang optimum.

KESIMPULAN Perlakuan biopestisida A. harmsiana menyebabkan terjadinya penurunan jumlah hemosit. Penurunan tersebut mungkin berkaitan dengan protein hemolimf yang semakin kecil terbentuk saat H. armigera terparasiti namun telah diberi perlakuan biopestisida yang konsentrasinya semakin besar. Sementara aktivitas enzim prophenoloksidase tetap dalam kondisi optimum saat diaplikasikannya biopestisida.

DAFTAR PUSTAKA Anggraeni, T., Ratcliffe, NA. 1991. Studies on cell-cell co-operation during phagocytosis by purified haemocyte populations of the wax moth, Galleria mellonella. Journal of insect Physiology 37 : 453-460. Anggraeni, T., Melanie, Putra RE. 2011. Cellular and humoral immune defenses of Oxya japonica (Orthoptera : Acrididae) to entomopathogenic fungi Metarhizium anisopliae. Entomological Research 41 : 1-6. Beckage, NE. 2008. Insect Immunology. Elsevier. Amsterdam. 348 pp. Longankumar, K., Thangaraj, T., Manemegalai, M., Aruchami, M., Vinayakam, A. 1996. Latent larval cuticular phenoloxidase in the coconut pest, Oryctes rhinoceros. Archives of Insect Biochemistry and Physiology. 33 : 27-38.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 714

PFTBM-8 Efektivitas Helicoverpa armigera Nuclear Polyhedrosis Virus (HaNPV) Terhadap Mortalitas Populasi Larva Crocidolomia pavonana Fabricius yang Didedahkan pada Tanaman Kubis (Brassica oleracea var. capitata L) Rahman Perdana Hadi, Mia Miranti, dan Melanie

ABSTRAK Penelitian mengenai efektivitas Helicoverpa armigera Nuclear Polyhedrosis Virus (HaNPV) subkultur pada Spodoptera litura terhadap mortalitas populasi larva Crocidolomia pavonana Fabricius yang didedahkan pada tanaman kubis (Brassica oleracea var. capitata L) telah dilakukan. Metode yang digunakan yaitu metode eksperimental rancangan acak kelompok satu perlakuan penyemprotan virus dengan empat taraf (kerapatan virus 0 PIB/ml, 4x103 PIB/ml, 4x105 PIB/ml, dan 4x107 PIB/ml) dan 10 ulangan. Mortalitas larva C. pavonana yang diakibatkan oleh infeksi HaNPV subkultur yaitu pada kerapatan 4x103 PIB/ml sebesar 87%, kerapatan 4x105 PIB/ml sebesar 96%, dan kerapatan 4x107 PIB/ml sebesar 97%. Mortalitas larva C. pavonana tertinggi disebabkan oleh kerapatan HaNPV subkultur sebesar 4x107. PIB/ml. Persentase imago lolos hidup yaitu pada kerapatan 4x103 PIB/ml sebesar 11%, kerapatan 4x105 PIB/ml sebesar 2%, dan kerapatan 4x107 PIB/ml sebesar 3%. Kerusakan yang terjadi pada perlakuan dengan penyemprotan HaNPV termasuk kedalam kategori kerusakan ringan (1-3 daun berlubang), sehingga penggunaan HaNPV dapat melindungi tanaman kubis dari serangan larva C. pavonana yang didedahkan di dalamnya. Kata kunci : Brassica oleracea, Crocidolomia pavonana, Helicoverpa armigera Nuclear Polyhedrosis Virus, HaNPV, Kubis

ABSTRACT Research on effectivity of Helicoverpa armigera Nuclear Polyhedrosis Virus (HaNPV) subculture on Spodoptera litura larvae againts mortality of Crocidolomia pavonana Fabricius population that exposed at cabbage plants (Brassica oleracea var. capitata L.) was conducted. The methods is experimental methods one treatment randomized block design with four extent and 10 repetition. Mortality of C. pavonana larvae caused by HaNPV infection that is 4x103 PIB/ml with 87%, 4x105 PIB/ml with 96%, and 4x107 PIB/ml with 97%. The damage that occurred on treatment with sprayed HaNPV was categorized to minor damage (1-3 damaged leaf), so the HaNPV application can protect cabbage plants from the attack of C. pavonana larvae that exposed on it. Keywords : Brassica oleracea, Cabbage, Crocidolomia pavonana, Helicoverpa armigera Nuclear Polyhedrosis Virus, HaNPV

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 715

PENDAHULUAN Salah satu tanaman sayuran yang memiliki nilai ekonomi penting di Indonesia adalah sayuran dari familia Cruciferae seperti kubis Brassica oleracea var. capitata L. Permasalahan dalam pertanian kubis yaitu keberadaan serangga hama ulat krop atau Crocidolomia pavonana Fabricius yang berpotensi menurunkan tingkat produksi kubis (Sastrosiswojo, 1981). Saat ini, upaya yang paling banyak dilakukan oleh petani sayuran untuk mengendalikan populasi C. pavonana adalah menggunakan insektisida sintetik. Namun penggunaan insektisida sintetik secara berlebihan diketahui dapat memberikan berbagai dampak negatif seperti pencemaran lingkungan, akumulasi racun insektisida dalam rantai makanan, terbunuhnya organisme lain selain organisme sasaran, dan menyebabkan serangga hama menjadi lebih resisten. Salah satu mikroorganisme yang berpotensi sebagai agensia biologis pengendali serangga hama yaitu Helicoverpa armigera Nuclear Polyhedrosis Virus (HaNPV) yang mana merupakan jenis NPV yang spesifik menyerang serangga Helicoverpa armigera. Pada penelitian Miranti (2008), telah diketahui bahwa HaNPV dapat diproduksi pada larva S. litura (subkultur) dan diketahui pula HaNPV subkultur infrktif terhadap C. pavonana. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan kerapatan virus HaNPV yang mengakibatkan mortalitas C. pavonana paling tinggi dan menekan kerusakan pada tanaman kubis bila diaplikasikan di perkebunan kubis.

BAHAN DAN METODA Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah aquades, Na Azida 0.02%, sediaan virus HaNPV hasil subkultur pada S. litura, larutan tris buffer 1 mMol pH 7,6 + Sodium Duodecyl Sulphate (SDS) 0,1%, larva C. pavonana F. Instar 2, dan Tanaman Kubis. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah botol kaca, hemositometer, mikroskop cahaya, kotak kaca untuk pemeliharaan imago berukuran 25 cm × 20 cm × 30 cm, kotak plastik untuk pemeliharaan larva berukuran 20 cm × 15 cm × 6 cm, kuas, kurungan kassa, polybag berukuran 35 cm × 35 cm, dan sprayer 500 ml. Metode yang digunakan yaitu metode eksperimental rancangan acak kelompok satu perlakuan

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 716 penyemprotan virus dengan empat taraf (kerapatan virus 0 PIB/ml, 4x103 PIB/ml, 4x105 PIB/ml, dan 4x107 PIB/ml) dan 10 ulangan.

Gambar 1. Alur Prosedur Penelitian.

Gambar 2. Perlakuan Penyemprotan HaNPV pada Tanaman kubis yang telah didedahkan C. pavonana didalamnya.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 717

Penyemprotan (Gambar 2.) dilakukan dengan cara menyemprotkan suspensi virus pada bagian krop kubis dan sekitarnya. Penyemprotan dilakukan pada saat sore hari saat paparan sinar matahari tidak terlalu terik. Kemudian didedahkan larva C.pavonana instar 2 masing-masing 10 ekor untuk setiap tanaman kubis. Ketika larva sudah didedahkan pada tanaman, setiap polybag ditutupi oleh kurungan kassa. Parameter yang dihitung adalah mortalitas larva pada masing-masing perlakuan. Parameter penunjang yaitu hasil panen kubis, sehingga bisa didapat perkiraan tingkat kerusakan hasil panen yang disebabkan oleh C. pavonana.

HASIL DAN PEMBAHASAN Mortalitas C. pavonana F. merupakan parameter utama yang diukur dalam penelitian ini, yaitu menghitung jumlah serangga C. pavonana yang mati akibat infeksi HaNPV hasil subkultur pada Spodoptera litura dari stadia larva hingga stadia imago. Pengamatan terhadap mortalitas dilakukan selama 20 hari pengamatan.

Mortalitas pada setiap perlakuan 120 100 80 60 40

Mortalitas% 20 0 Kontrol P1 P2 P3

Konsentrasi Perlakuan

Gambar 3. Diagram batang mortalitas C. pavonana pada setiap perlakuan HaNPV Keterangan P1 = Kerapatan 4 × 103 PIB/ml; P2 = Kerapatan 4 × 105 PIB/ml; P3 = Kerapatan 4 × 107 PIB/ml

Gambar 3. menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat kerapatan HaNPV, semakin tinggi pula mortalitas C. pavonana. Perlakuan 4×107 PIB/ml menyebabkan mortalitas C. pavonana tertinggi. Hal tersebut disebabkan karena banyaknya polihedra HaNPV yang terdapat pada kubis yang mendapat perlakuan, sehingga polihedra banyak tertelan oleh larva. Semakin banyak polihedra yang tertelan oleh larva, maka kematian larva akan

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 718 lebih tinggi, karena semakin banyak virion yang menginfeksi jaringan tubuh larva sampai akhirnya menyebabkan kematian. Jumlah kematian larva terus meningkat pada setiap periode pengamatan. Semakin bertambah waktu, infeksi HaNPV pada larva C. pavonana akan bersifat kronis. Menurut Flipsen (1995), Partikel virion yang lepas setelah polihedra larut pada bagian midgut larva kemudian akan melewati membran peritrofik sampai akhirnya bereplikasi di dalam sel kolumner. Pada infeksi tahap lanjut, virus hasil replikasi ini kemudian keluar dari dalam sel dan siap menginfeksi jaringan lain dalam tubuh larva, terutama sel-sel hemosit, sel-sel endodermis, badan lemak, ganglion syaraf dan jaringan otot. Ketika seluruh jaringan tubuh larva sudah terinfeksi maka larva akan mengalami kematian.

Tabel 1. Kerusakan pada krop kubis hasil panen pada setiap perlakuan (dalam skala Calderon dan Hare, 1986)

Kerapatan HaNPV Ulangan Kontrol 4 × 103 4 × 105 4 × 107 1 2 1 1 1 2 3 1 2 0 3 1 2 0 1 4 3 1 1 2 5 1 1 1 1 6 4 1 0 1 7 2 1 1 0 8 2 1 1 0 9 1 1 0 1 10 1 1 0 1

Setelah proses pengamatan terhadap mortalitas larva dilakukan, kubis kemudian dipanen pada hari ke-21, tepat pada saat kubis berumur 3,5 bulan. Dari total 40 kubis yang digunakan dalam penelitian, 30 kubis dapat dipanen kropnya, sedangkan 10 kubis sisanya dikategorikan gagal panen atau sangat rusak. Tabel 1 menunjukan bahwa kerusakan yang terjadi pada semua perlakuan dengan penyemprotan HaNPV dapat dikategorikan kerusakan ringan (Kerusakan skala 1 dan 2), sedangkan kerusakan kubis paling banyak terjadi pada perlakuan kontrol (Kerusakan skala 3 dan 4). Skala kerusakan kubis menurut Calderon dan Hare (1986) dalam Hermawan dkk. (1997) dapat dilihat pada Gambar berikut ini :

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 719

Gambar 4. Skala kerusakan pada krop kubis

KESIMPULAN HaNPV pada tingkat kerapatan virus 4×107 PIB/ml merupakan kerapatan yang paling efisien untuk mengendalikan populasi C. pavonana yang didedahkan pada tanaman kubis. Penggunaan HaNPV dapat mengendalikan populasi larva Crocidolomia pavonana yang didedahkan pada tanaman kubis dengan mortalitas larva antara 87% - 97% dan dapat mengurangi kerusakan pada tanaman kubis.

DAFTAR PUSTAKA Flipsen, H. 1995. Pathogenesis Induced by (Recombinant) Baculoviruses In Insect. Dutch : Wageningen. Hermawan, H., Nagai, K., Yamaoku, T. and Nakajima, S. 1998. Control of Cruciferous Insect Pests in a Cabbage Field Using Andrographolide. Jpn. J. Appl. Entomol. Zool. Chugoku Branch 40: 1-10. Miranti, M. 2008. Produksi Helicoverpa armigera Nuclear Polyhedrosis Virus (HaNPV) Secara In Vivo pada Inang Pengganti. Disertasi. Tidak Dipublikasikan. Sastrosiswojo, S. H. 1981. Pengendalian Hama-hama Kubis Secara Terpadu. Departemen Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Sub Balai Penelitian Tanaman Pangan. Berastagi.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 720

OEB-01 Dinamika Populasi Hama Perusak Daun Pada Beberapa Varietas Kedelai Di Desa Gondang Rejo Kabupaten Lampung Timur Dewi Rumbaina Mustikawati1, Ratna Wylis Arief1, dan Endriani1 1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung Jl. Z.A. Pagar Alam No. 1A. Rajabasa, Bandar Lampung

ABSTRAK Hama pada tanaman kedelai cukup banyak dan beragam. Pengkajian ini bertujuan mengetahui populasi hama perusak daun pada tiga varietas kedelai. Pengkajian dilakukan di Desa Gondang Rejo, Kabupaten Lampung Timur dari bulan Juni – Agustus 2010. Menggunakan Rancangan Acak Kelompok diulang 7 kali, dengan 3 perlakuan varietas kedelai yaitu varietas Anjasmoro, Grobogan dan Wilis. Luas petak pengamatan 5 m x 2 m. Jarak tanam kedelai 40 cm x 15 cm. Tanaman dipupuk dengan 50 kg urea, 75 kg SP36 dan 100 kg KCl/ha. Pengamatan hama perusak daun dilakukan sejak tanaman berumur satu bulan dengan interval waktu tiga hari sekali selama 10 kali pengamatan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa hama perusak daun yang menyerang tanaman kedelai selama pengamatan ada lima jenis yaitu belalang (Valanga nigricornis), kutu daun (Aphis glycines), ulat grayak (Spodoptera litura.), ulat penggulung daun (Lamprosema indicata), dan ulat jengkal (Chrysodeixis chalcites). Pada tanaman kedelai varietas Anjasmoro populasi hama perusak daun yang dominan adalah belalang (98,13 ekor) dan kutu daun (79,8 ekor). Pada tanaman kedelai varietas Grobogan populasi hama perusak daun yang dominan adalah belalang (157,53 ekor) dan ulat grayak (65 ekor), kemudian pada tanaman kedelai varietas Wilis populasi hama perusak daun yang dominan adalah belalang (196,38 ekor) dan ulat penggulung daun (88,8 ekor). Kata kunci: Kedelai, varietas, hama perusak daun, populasi

ABSTRACT Pests on soybean plants and diverse enough. This assessment aims to identify the leaf damaging pest populations on the three soybean varieties. Assessments conducted in the Gondang Rejo village, East Lampung District from June - August 2010. Used randomize block design with 3 treatments and 7 replications. The treatments varieties of soybean were Anjasmoro, Grobogan and Wilis. Observation plots was 5 m x 2 m. Soybean planting distance 40 cm x 15 cm. Plants fertilized with 50 kg urea, 75 kg SP36 and 100 kg KCl / ha. Observations carried out since a month old plant with time interval of three days once a month. The results showed that the destructive pest that attacks the leaves of soybean plants during the observation there are five types of grasshoppers (Valanga nigricornis), aphids (Aphis glycines), armyworm (Spodoptera litura.), leaf roller caterpillars (Lamprosema indicata), and caterpillars span (Chrysodeixis chalcites). In Anjasmoro variety of soybean damaging pest population is the dominant grasshoppers (98.13 tail) and aphids (79.8 tail). In soybean varieties Grobogan damaging pest population is the dominant grasshoppers (157.53 tail) and armyworm (65 heads), then the soybean crop Wilis damaging pest population is the dominant grasshoppers (196.38 tail) and leaf roller caterpillars (88.8 tail). Keywords: Soybean, variety, leaf damaging pest, population.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 721

PENDAHULUAN Latar belakang Provinsi Lampung telah dicanangkan sebagai Bumi Agribisnis dengan komoditas unggulannya adalah padi. Rata-rata produktivitas padi masih rendah yaitu 4,3 ton/ha dan cenderung melandai. Salah satu penyebab rendahnya produksi padi adalah akibat adanya serangan hama dan penyakit. Hama putih palsu (Cnaphalocrosis medinalis Guenee) merupakan salah satu hama perusak daun yang dapat menimbulkan kerugian pada tanaman padi. Gejala serangan hama tersebut terlihat dengan adanya warna putih pada daun tanaman padi. Larva memakan jaringan hijau daun dari dalam lipatan daun, sehingga permukaan daun menjadi berwarna putih. Serangan hama dan penyakit pada tanaman padi di Aceh sangat tinggi, serangan yang paling dahsyat disebabkan oleh tikus 6.959 ha, diikuti oleh hama putih palsu 4.125 ha, keong mas 2.804 ha, walang sangit 2.859 ha, penggerek batang 2.434 ha, kepiding tanah 1.906 ha, dan burung 1.459 ha (http://serambinew.com/news/2696/ serangan- hama-di Aceh). Sedangkan di daerah Kabupaten Gorontalo serangan hama putih palsu mencapai 104.95 ha dari total luas 6.336 Kerusakan tanaman oleh hama dapat mencapai lebih dari 50%, tetapi belum pernah ada dalam sejarah bahwa suatu spesies tanaman musnah dari alam, yang disebabkan oleh hama. Hal ini menggambarkan bahwa secara alamiah tanaman mempunyai sistem perlindungan terhadap serangan sehingga menjadi tahan. Suatu varietas disebut tahan apabila: (1) memiliki sifat-sifat yang memungkinkan tanaman itu menghindar, atau pulih kembali dari serangan hama pada keadaan yang akan mengakibatkan kerusakan pada varietas lain yang tidak tahan, (2) memiliki sifat-sifat genetik yang dapat mengurangi tingkat kerusakan yang disebabkan oleh serangan hama, (3) memiliki sekumpulan sifat yang dapat diwariskan, yang dapat mengurangi kemungkinan hama untuk menggunakan tanaman tersebut sebagai inang, atau (4) mampu menghasilkan produk yang lebih banyak dan lebih baik dibandingkan dengan varietas lain pada tingkat populasi hama yang sama (Sumarno, 1992). Pertanaman padi di Aceh Timur mengalami gagal panen (puso) seluas 2644 ha dari total luas 241.416 ha akibat serangan hama dan bencana alam yang terjadi di

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 722 wilayah tersebut, dengan rincian sebagai berikut: 2.265 ha akibat kekeringan, sisanya 296 ha akibat banjir, dan 83 ha serangan hama putih (http:// www.waspada.co.id.). Mekanisme pertahanan varietas terhadap hama, secara umum dapat digolongkan menjadi 3 macam (Panda & Kush, 1995; Anonim, 2007) yaitu: (1) antixenosi (nonpreference), (2) toleran, dan (3) antibiosis. Sedangkan menurut Morrill (1995), ketahanan tanaman terhadap hama dapat berupa: (1) avoidance (tanaman menyelesaikan siklus hidupnya sebelum munculnya hama), (2) tolerance (tanaman mampu recovery dari serangan hama), (3) antibiosis (tanaman menghasilkan toksin yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan hama). Ketahanan tanaman inang, dapat bersifat: (1) genetik, sifat tahan diatur oleh sifat genetik yang dapat diwariskan, (2) morfologik, sifat tahan yang disebabkan oleh sifat morfologi tanaman yang tidak menguntungkan hama, dan (3) kimiawi, ketahanan yang disebabkan oleh zat kimia yang dihasilkan oleh tanaman. Berdasarkan susunan dan sifat gen, ketahanan genetik dapat dibedakan menjadi: (1) monogenik, sifat tahan diatur oleh satu gen dominan atau resesif, (2) oligenonik, sifat tahan diatur oleh beberapa gen yang saling menguatkan satu sama lain, (3) polygenik, sifat tahan diatur oleh banyak gen yang saling menambah dan masing- masing gen memberikan reaksi yang berbeda-beda terhadap biotipe hama sehingga mengakibatkan timbulnya ketahanan yang luas. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengendalikan hama tersebut, baik secara kimia dan hayati, namun masih ditemukan adanya serangan pada tanaman padi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pupuk organik berbahan baku lokal terhadap serangan hama putih palsu (C. medinalis), pada tanaman padi

BAHAN DAN METODA Pengkajian ini dilakukan dengan pendekatan peningkatan produksi komoditas dan efisiensi penggunaan input khususnya pupuk dalam proses produksi padi melalui upaya pemanfaatan sumberdaya lokal berupa limbah pertanian berbasis komoditas. Proses pencapaiannya melalui produksi dan pengelolaan pupuk organik berbahan baku lokal dengan mengoptimalkan sumberdaya lokal di lapangan sesuai dengan basis komoditas yang dikembangkan. Produksi pupuk organik dari bahan baku yang tersedia di lokasi

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 723 dilakukan dengan menggunakan teknologi pengomposan dipercepat dan dimanfaatkan sebagai sumber hara/pupuk yang peranannya menggantikan sebagian kebutuhan hara dari pupuk anorganik yang dirasakan petani semakin mahal dan langka ketersediaannya.

Rancangan yang digunakan adalah Rancangan acak kelompok terdiri atas 3 perlakuan dengan 5 ulangan dengan perlakuan adalah: (1) 100% B-O + 0% NPK (2) 50% B.O + 50% NPK (3) 0% B.O + 100% NPK. Penelitian dilakukan di lahan petani Desa Bandar kejadian, Kecamatan Wonosobo, Kabupaten Tanggamus sejak bulan Agustus sampai Nopember 2010. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok, tiga ulangan. Luas plot perlakuan 2000 m2. Total luas perlakuan seluruhnya = 1 ha. Data yang dikumpulkan dianalisis sidik ragam dan dilanjutkan dengan DMNRT untuk membedakan galur-galur yang diuji. Variabel pengamatan dilakukan terhadap persentase serangan C. medinalis.

Persentase serangan hama dihitung dengan rumus : I = Jumlah tanaman terserang bulai X 100% Populasi tanaman

HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa, varietas Mekongga dengan pemberian 100% BO+0% NPK, menunjukkan serangan tertinggi (17.21%), dibandingkan kedua perlakuan lainya. Kemudian diikuti perlakuan pemberian 50% NPK+50% BO (15.77%), terendah perlakuan pemberian 100% NPK+0% BO (10.36%). Berarti pemberian 100% NPK+O% BO mampu meningkatkan ketahanan tanaman padi terhadap serangan hama perusak daun (C. medinalis). Perlakuan 100% B0+0% NPK tidak berbeda nyata dengan perlakuan 50% NPK+50% B0, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan 100% NPK+0% B0, sedangkan perlakuan 100% NPK+0% B0, tidak berbeda nyata dengan perlakuan 50% NPK+50% B0.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 724

Tabel 1. Tingkat serangan hama putih palsu dan produksi pada tanaman padi. No Perlakuan Hama putih palsu Produksi (t/ha) (%) 1 100% NPK+0% B0 10.36 b 6.3a 2 50% NPK+50% B0 15.77 ab 5.5ab 3 100% B0+0% NPK 17.21 a 4.0c KK (%) 29.72 17.50 Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak bebeda nyata pada taraf 5% menurut uji DMRT.

Pada perlakuan 100% NPK+0% BO, menunjukkan sifat ketahanan yang tinggi dengan persentase serangan ulat perusak daun paling rendah. Hal ini kemungkinan perlakuan 100% NPK, mempertebal jaringan daun, sehingga membuat tanaman padi tergolong toleran/rentan terhadap serangan hama perusak daun tanaman padi yang disebabkan oleh C. medinalis. Berarti serangan C. medinalis, berpengaruh dalam menentukan hasil, ternyata hasil bijinya juga tergolong tinggi. Produksi tertinggi terlihat pada perlakuan 100% NPK + 0% B0 (6.3 t/ha), kemudian diikuti oleh perlakuan 50% NPK + 50% B0 (5.5 t/ha). Kedua perlakuan tersebut tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan 100% BO + 0% NPK. Produksi terendah adalah perlakuan 100% B0 + 0% NPK (4.0 t/ha).

KESIMPULAN DAN SARAN. KESIMPULAN  Varietas Mekongga dengan pemberian 100% NPK+0% BO, mampu meningkatkan ketahanan terhadap serangan hama putih palsu. SARAN  Varietas Mekongga dengan pemberian 100% NPK+0% BO, dapat disaran untuk digunakan

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2007. Resistensi Tanaman. Bahan Kuliah Interaksi Tanaman Serangga Semester I, 2007/2008. Sekolah Pasca Sarjana IPB. 9 hal. (http:// www.waspada.co.id.). Diakses tanggal 15 Nopember 2010. (http://serambinew.com/news/2696/ serangan-hama-di Aceh). Diakses tanggal 15 Nopember 2010

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 725

Morrill, W.L., 1995. Insect pests of small grains. APS Press. St. Paul, Mineasota.Painter, R.H. 1951. Panda N. dan G.S. Kush, 1995. Host Plant Resistance to Insects. Cabinternational- IRRI. Los-Banos, Philippines. Sumarno, 1992. Pemuliaan untuk ketahanan terhadap hama. Prosiding symposium Pemuliaan Tanaman I. Perhimpunan Pemuliaan Tanaman Indonesia, Komisariat Daerah Jawa Timur.

Notulensi Diskusi Seminar Ihsan – UGM : Varietas ada 3 lalu mengapa tiap varietas berbeda-beda hamanya? Jawab : Karena perbedaan ketahanan pada tiap varietas. Hery Pratiknyo : Penghitungan menggunakan indeks jadi bisa membandingkan populasi antar varietas Jawab : Semua hama yang diamati belum mencapai ambang kendali. Yuliati : Rekomendasi dari penelitian ini? Jawab : Untuk pertanaman kedelai, dinamika populasi tiap varietas itu berbeda-beda dapat menjadi ―ancer-ancer‖ untuk pengendalian kedelai.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 726

OEB-02 Hamuli Apis (Hymenoptera: Apidae) pada Beberapa Ketinggian di Sumatera Barat Jasmi1,2 dan Siti Salmah1 1Prodi Biologi STKIP PGRI Sumatera Barat, Padang 2Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Andalas, Padang

ABSTRAK Penelitian hamuli Apis dilakukan pada beberapa lokasi di Sumatera Barat dari bulan Desember 2009-Juli 2010. Pengambilan sampel lebah dilakukan pada daerah sentra buah-buahan atau tanaman perkebunan yang berbunga pada setiap ketinggian yang berjarak 200 meter. Penelitian laboratorium dilakukan di Laboratorium Taksonomi Hewan Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Andalas Padang. Lebah madu dari genus Apis yang ditemukan terdiri dari tiga subgenus dan empat spesies. Subgenus Micrapis terdiri dari satu spesies yaitu A. andreniformis Smith. Subgenus Sigmatapis terdiri dari dua spesies yaitu A. cerana Enderlein dan A. koschevnikovi Enderledin.Subgenus Megapis terdiri dari satu spesies yaitudan A. dorsata Fabr. Jumlah hamuli lebah pekerja bervariasi pada berbagai jenis lebah dan habitat. Jumlah hamuli A. cerana berkisar dari 13-22 (rata-rata 17,7), A. dorsata berkisar dari 22-30 (rata-rata 26,53) dan A. andreniformis berkisar dari 8-12 (rata-rata 9,84). Kata kunci: Apis, keanekaragaman, hamuli

ABSTRACT Research of hamuli Apis done at some locations in West Sumatra from December 2009-July 2010. Bee sampling done at area centre blooming fruits or plantation crop in each height aparting 200 metre. Research of laboratory is done in at Laboratory of Animal , Departement of Biology, Faculty of Matematics and Sciences, Andalas University Padang. Honeybee from genus Apis found consisted of three subgenus and four specieses. Subgenus Micrapis consisted of one specieses that is A. andreniformis Smith. Subgenus Sigmatapis consisted of two specieses that is A. cerana Enderlein and A. koschevnikovi Enderlein. Subgenus Megapis consisted of one species that is A. dorsata Fabr. Number of hamuli worker bee varies at various bee types and habitat. Number of hamuli A. cerana between 13-22 (average 17.7), A. dorsata between 22-30 (average 26.53) and A. andreniformis between 8-12 (average 9.84).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 727

PENDAHULUAN Indonesia memiliki keanekaragaman lebah madu alam terbanyak didunia (megadiversity). Menurut Hadisosesilo (2001) Indonesia paling sedikit mempunyai lima jenis lebah madu, yaitu Apis andreniformis, Apis dorsata, Apis cerana, Apis koschevnikovi dan Apis nigrocincta. Selain itu, lebah madu Apis mellifera yang diintroduksi dari Australia sudah mulai dibudidayakan dari tahun 1955 di Irian Jaya (Kasno, 1989). Di Sumatera Barat ditemukan empat spesies lebah madu A. andreniformis, A. cerana dan A. dorsata (Salmah, 1987, 1989, 1990) dan A. koschevnikovi (Otis, 1996). Sayap berperan penting dalam penyebaran lebah madu. Sayap lebah madu terdiri atas dua pasang. Sayap depan dan sayap belakang berbeda dalam hal ukuran dan strukturnya. Salah satu struktur yang membedakan sayap depan dengan sayap belakang adalah hamuli (wing-hooks). Hamuli merupakan kait-kait kecil yang terdapat pada anterior sayap belakang. Fungsi hamuli adalah untuk menempelkan sayap belakang pada satu lipatan pada tepi posterior sayap depan. Menurut Hepburn dan Radloff (2004) struktur-struktur ini ditempatkan berdekatan dengan akhir dari anterior tepi setiap sayap belakang dan dipasangkan (dikaitkan) pada sayap depan untuk membentuk suatu aerofoil yang berfungsi selama penerbangan. Jumlah hamuli dapat mempengaruhi kemampuan terbang lebah madu (O‘Toole & Raw, 1991). Salah satu pengaruh faktor fisis dan geografis terhadap lebah madu dapat dilihat melalui karaktermorfologi seperti hamuli (Matu & Verma, 1983, 1984; Rinderer dkk., 1989; Raffiuddin dkk., 1999; Hepburn & Radloft, 2004; Hadisoesilo dkk., 2008). Lebah madu A. andreniformis, A. dorsata, dan A. cerana dapat ditemukan pada habitat yang terganggu (disturbance area), hutan sekunder, dan hutan primer di Sumatera Barat (Salmah, 1987, 1989, 1990) dan A. koschevnikovi baru dilaporkan oleh Otis (1996) yang ditemukan pada hutan di Tanjung Ampalu Sijunjung. Apis memiliki lokasi penyebaran pada berbagai ketinggian di Sumatera Barat, diduga jumlah hamuli pada setiap spesies Apis bervariasi. Sehubungan dengan itu telah dilkukan penelitian untuk mengetahui jumlah hamuli lebah pekerja dari berbagai spseies Apis pada berbagai ketinggian dan lokasi yang berbeda.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 728

BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan pada beberapa lokasi di Sumatera Barat dari bulan Desember 2009-Juli 2010. Lokasi pengambilan sampel adalah daerah sentra buah- buahan atau tanaman perkebunan yang berbunga pada beberapa lokasi. Pengambilan sampel dilakukan pada setiap ketinggian yang berjarak 200 meter. Penelitian laboraturium dilakukan di Laboraturium Taksonomi Hewan Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Andalas Padang. Koleksi lebah pekerja dilakukan dengan cara menangkap lebah pekerja pada bunga atau pada tempat lain dengan menggunakan jala serangga. Koleksi lebah pekerja lapangan juga dilakukan dengan mengambil lebah pekerja yang ada di sarang. Untuk menghindari agar koloni tidak kabur, pengambilan lebah pekerja A. dorsata dan A. andreniformis dilakukan pada malam hari dengan bantuan pawang lebah. Koleksi lebah A. cerana dengan cara memasang kantong plastik bening pada gerbang sarang sehingga lebah pekerja yang akan terbang keluar sarang terjebak dalam kantong. Jumlah individu lebah yang dikoleksi kira-kira 100 ekor dan diawetkan dengan alkohol 70%. Pengamatan hamuli dilakukan dengan cara memotong sayap belakang dengan bantuan pinset gunting pada persendian sayap dengan dada. Potongan sayap lebah diletakan di atas kaca objek, tetesi dengan alkohol 70 % dan tutup dengan kaca penutup. Pengamatan jumlah hamuli dengan bantuan mikroskop binokuler plus opticlab versi profesional. Jumlah hamuli masing-masing sayap lebah dihitung sebanyak 20 ekor dari setiap spesies lebah pada setiap lokasi pengambilan sampel.

HASIL DAN PEMBAHASAN Dari pengoleksian lebah pada berbagai lokasi dan ketinggian di Sumatera Barat didapatkan empat spesies Apis yaitu, A. andreniformis, Apis cerana, A. dorsata dan A. koschevnikovi (Tabel 1). Dua spesies Apis yang ditemukan pada ruang terbuka yaitu A. andreniformis dan A. dorsata. Apis andreniformis hanya ditemukan pada dataran rendah sedangkan A. dorsata tersebar dari dataran rendah sampai ketinggian 1200 m dpl. Kedua spesies tersebut ditemukan dalam bentuk koloni dan lebah pekerja. Apis yang ditemukan dalam rongga terdiri dua spesies yaitu A. cerana dan A. koschevnikovi. Apis cerana ditemukan pada berbagai ketinggian dalam bentuk koloni dan lebah pekerja

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 729 sedang A. koschevnikovi hanya ditemukan hanya satu ekor lebah pekerja pada bunga. Lebah pekerja A. koschevnikovi yang ditemukan ukuran tubuhnya lebih besar dari A. cerana dan pada sebagian besar bagian tubuh berwarna kuning-oranye, abdomen lebih didominasi warna orange dengan lima buah pita coklat muda dan akhir abdomen berwarna orange. Menurut Woyke (1997) kasta pekerja lebah A. koschevnikovi yang berasal dan Sabah, Malaysia, berwarna kuning-oranye pada sebagian besar bagian tubuhnya.

Tabel 1. Tempat bersarang dan keragaman Apis yang ditemukan di Sumatra Barat Tempat bersarang Subgenus Spesies Ruang terbuka (open area) Megapis A. dorsata Micrapis A. andreniformis Rongga (cavity) Sigmatapis (Apis) A. cerana A. koschevnikovi

Jumlah hamuli lebah pekerja A. dorsata yang ditemukan bervariasi antar lokasi (Tabel 2). Dalam hal ini tidak ada pengaruh ketinggian lokasi terhadap jumlah hamuli. Jumah hamuli terbanyak ditemukan pada ketinggian <200 m dengan kisaran jumlah 23- 30 buah (rata-rata 27,80) sedangkan yang sedikit pada ketinggian 600-800 m yaitu dengan kisaran 25-29 hamuli (rata-rata 25,26). Hasil analisis statistik perbedaan jumlah rata-rata hamuli Apis antar lokasi yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 3. Rata-rata jumlah hamuli lebah pekerja A. dorsata tidak berhubungan dengan ketinggian lokasi. Jumlah hamuli dataran rendah (<200 m dpl) tidak berbeda dengan jumlah hamuli pada dataran tinggi (1000-1200 m dpl) pada taraf nyata 5% sedangkan pada ketinggian lokasi yang relatif sama (600-800 m dpl) jumlah hamuli berbeda pada taraf nyata 5%. Rata-rata jumlah hamuli A. dorsata yang ditemukan dalam penelitian ini berbeda dengan temuan Heroriki (1991). Pada laporan Heroriki (1991) rata-rata jumlah hamuli (terkecil adalah 24,43 dan terbesar 25,17) yang ditemukan berhubungan linier dengan ketinggian tatapi secara statistik tidak berbeda nyata antar ketinggian. Hepburn dan Radloft (2004) melaporkan rata-rata jumlah hamuli A. dorsata di India adalah 25,31 dan di Central Myanmar adalah 24,43. Selain itu, kisaran jumlah hamuli yang ditemukan juga berbeda, dalam penelitian ini ditemukan kisaran jumlah hamuli 23-30

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 730 buah sedangkan pada temuan Heroriki (1991) kisaran jumlah hamuli yang ditemukan adalah 18-29 buah. Berbedanya rata-rata jumlah hamuli A. dorsata pada berbagai lokasi dikarenakan berbedanya kondisi faktor lingkungan fisik dan geografis lokasi penelitian. Perbedaan geografis juga mempengaruhi pola distribusi lebah madu. Menurut Cox dan Moore (2000) perubahan geografi dan iklim bumi mempengaruhi pola distribusi dan kehidupan organisme seperti hewan dan tumbuhan. Perubahan pola distribusi dapat menyebabkan keragaman organisme. Wongsiri dkk. (1996) dan Koeniger dkk. (2000) melaporkan perubahan geografis juga mempengaruhi pola distribusi lebah madu. Akibatnya, lebah madu genus Apis tersebar di beberapa benua dan pulau. Distribusi sembilan spesies dan genus Apis adalah sebagai berikut) A. andreniformis Smith di Cina, India, Myanmar, Laos, Vietnam. Thailand, Malaysia, Fihpina dan Indonesia. Menurut Maa (1953) lebah A. florea di Iran, Iraq, Arab Saudi, Pakistan, India, Srilanka, Thailand, Malaysia, dan Indonesia. A. cerana di Cina, Jepang, Iran, India, Myanmar, Laos, Vietnam, Thailand, Malaysia, Filipina, dan Indonesia. A. nigrocincta di Sulawesi. A. nuluensis di Pegunungan Kinibalu, Malaysia. A. koschevnikovi terdistribusi di Malaysia, Brunei Darussalam, dan Indonesia. A. dorsata terdistribusi di India, Vietnam, Thailand, Malaysia, Indonesia, dan Filipina. Ruttner (1988) menambahkan A. laboriosa terdistribusi di Nepal, India, Cina, Myanmar dan Laos. A. mellifera terdistribusi di Eropa, Afrika dan Timur Tengah.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 731

Tabel 2. Rata-rata jumlah hamuli lebah madu Apis pada beberapa ketinggian lokasi di Sumatera Barat. Spsies Altitude (m dpl) Lokasi Tempat Kisaran Rata-rata ± sd Koleksi A. dorsata 0-200 ma Kali Air Koloni 23-30 27,80 ± 2,29 0-200 mu Kuliek Bunga * 24-28 26,13 ± 1,55 600-800 mu Surian Bunga 25-29 25,26 ± 2,15 600-800 mr Batu Basa Koloni 22-28 27,53 ± 1,18 1000-1200 mu Andaleh I Bunga 23-29 25,47 ± 2,29 1000-1200 mu Andaleh II Bunga 24-29 25,80 ± 3,20 A. cerana 0-200 mc Kali Air Koloni 14-18 16,47 ± 1,64 0-200 mj Kali Air Koloni 13-19 16,40 ± 1,29 1000-1200 mu Andaleh I Bunga 17-20 18,67 ± 1,05 1200-1400 mu Andaleh III Bunga 17-22 19,00 ± 1,69 A. andreniformis 0-200 mk Tanjung basung Koloni 8-11 9,60± 2,98 0-200 mk Kuliek Koloni 8-12 10,08± 4,61 A. koschevnikovi 0-200 mu Kuliek Bunga 15** u= lebah pekerja dikoleksi pada berbagai bunga, a= koloni bersarang pada pohon alpokad (P. americana), r= koloni bersarang pada pohon rambutan (N. lappacium), c= koloni bersarang pada pohon kelapa (C. nucifera), j= koloni bersarang pada pohon jambak (S. malaccense), k= koloni bersarang pada pohon katimaka (Moraceae). *= lebah pekerja dikoleksi pada berbagai bunga di dekat sarang. **= individu lebah pekerja hanya tertangkap satu ekor.

Rata-rata jumlah hamuli A. cerana yang ditemukan pada beberapa lokasi di Sumatera Barat (Tabel 2) berbeda dengan rata-rata jumlah hamuli pada berbagai lokasi lain. Jumlah hamuli yang ditemukan di Sumatera Barat berkisar 13-22 (Rata-rata dataran rendah 16,40 dan dataran tinggi 19,00) sedangkan beberapa lokasi lain seperti di Borneo kisarannya 15-21 (rata-rata 17,20) di Jepang kisarannya 16-19 (rata-rata 18,50). Berbedanya jumlah rata-rata hamuli A. cerana di Sumatera Barat dibandingkan dengan lokasi-lokasi lain di dunia karena berbeda subspesies. Menurut Salmah (1989) subspesies A. cerana yang ditemukan di Sumatera Barat adalah A. cerana javana Enderlinein sedangkan Ruttner (1988) menggolongkan A. cerana menjadi empat subspesies, yaitu A. c. cerana yang menyebar di Afganistan, Pakistan, India Utara, Cina dan Vietnam Utara, A. c. indica yang menyebar di India, Srilanka, Bangladesh, Burma, Malaysia, Thailand, Indonesia dan Filipina, A. c. japonica yang menyebar di Jepang dan A. c. himalaya yang terdapat di Himalaya.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 732

Tabel 3. Uji beda statistik jumlah hamuli tiga spesies Apis pada beberapa lokasi di Sumatera Barat. Antar lokasi Uji beda (t) Spesies Lokasi (Altitude) Lokasi (Altitude) Interkoloni Apis dorsata Kali Air (0-200) Andaleh I (1000-1200) 2,964b Kali Air (0-200) Batubasa (600-800) 3,333b Kali Air (0-200) Surian, Solok (600-800) 0,443a Kali Air (0-200) Kuliek (0-200) 2,544b Kali Air (0-200) Andaleh II (1000-1200) 2,887b Andaleh I (1000-1200) Batubasa (600-800) 0,246a Andaleh I (1000-1200) Surian, Solok (600-800) 3,098b Andaleh I (1000-1200) Kuliek (0-200) 0,932a Andaleh I (1000-1200) Andaleh II (1000-1200) 0,444a Batubasa (600-800) Surian, Solok (600-800) 3,570b Batubasa (600-800) Kuliek (0-200) 1,264a Batubasa (600-800) Andaleh II (1000-1200) 0,739a Surian, Solok (600-800) Kuliek (0-200) 5,499b Surian, Solok (600-800) Andaleh II (1000-1200) 5,676b Kuliek (0-200) Andaleh II (1000-1200) 0,896a Apis cerana Andaleh I (1000-1200) Andaleh III (1200-1400 ) 0,649a Andaleh I(1000-1200) Kali Air (0-200) 5,264b Andaleh I(1000-1200) Kali Air (0-200) 4,376b Andaleh III (1200-1400) Kali Air (0-200) 4,724b Andaleh III (1200-1400) Kali Air (0-200) 4,164b Kali Air (0-200) Kali Air (0-200) 0,123a A. andreniformis Tanjung Basung (0-200 ) Kuliek (0-200) 1,297a a= tidak terdapat perbedaan antar koloni pada α 5%. b= terdapat perbedaan antar koloni pada α 5%.

Dari Tabel 2 terlihat bahwa rata-rata jumlah hamuli lebah pekerja A. cerana pada dataran tinggi lebih banyak dibandingkan dengan jumlah hamuli pekerja pada dataran rendah. Hasil analisis statistik perbedaan jumlah rata-rata hamuli A. cerana antar ketinggian dan lokasi yang berbeda menunjukkan semakin tinggi lokasi semakin banyak jumlah hamuli (Tabel 3). Rata-rata jumlah hamuli dataran redah (<200 m dpl) berbeda dengan rata-rata jumlah hamuli dataran tinggi (1200-1400 m dpl) pada taraf nyata 5%. Dalam hal ini, semakin tinggi lokasi semakin banyak jumlah hamuli. Lebih banyaknya rata-rata jumlah hamuli pekerja A. cerana pada dataran tinggi berhubungan dengan fungsi hamuli dalam penerbangan lebah. Pada dataran tinggi kecepatan angin lebih tinggi dibandingkan dengan dataran rendah. Dengan jumlah hamuli yang lebih banyak tentu sayap belakang lebih kuat terkait pada sayap depan. Hasil yang sama juga

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 733 ditemukan Matu dan Verma (1984) pada jenis lebah yang sama di pergunungan Himalaya yang menemukan semakin tinggi lokasi semakin banyak jumlah hamulinya. Dari Tabel 2 terlihat bahwa rata-rata jumlah hamuli lebah pekerja A. andreniformis yang ditemukan pada dua lokasi adalah 10,8 (kisaran 8-12 hamuli) dan 9,60 (kisaran 8-11 hamuli). Hasil analisis statistik menunjukan bahwa rata-rata jumlah hamuli lebah pekerja A. andrenifomis pada ketinggian yang sama dan lokasi yang berbeda tidak berbeda secara nyata pada taraf nyata 5% (Tabel 3). Tidak berbedanya rata-rata jumlah hamuli lebah pekerja pada kedua lokasi tersebut karena kondisi lingkungan pada kedua lokasi penelitian relatif sama. Lokasi Tanjung Basung dan Kuliek berjarak ± 5 km dengan ketinggian lokasi dari permukaan laut juga relatif sama. Secara administratif kedua lokasi masih termasuk dalam Kecamatan Batang Anai. Hasil penelitian ini relatif sama dengan temuan Putra (1994) pada jenis lebah yang samadi Padang Sarai, Sumatera Barat. Dalam temuan Putra (1994) pada ketinggian 2 m dpl kisaran jumlah hamuli lebah pekerja adalah 9-12 (rata-rata 9,96) dan pada ketinggian 210 m dpl adalah 9-13 (rata-rata 10,53). Jumlah hamuli lebah pekerja berbanding lurus dengan ukuran tubuh lebah. Hamuli lebah pekerja dari spesies Apis yang paling banyak jumlahnya adalah A. dorsata dan yang sedikit adalah A. andreniformis. Lebih banyaknya jumlah hamuli pada A. dorsata karena ukuran tubuhnya lebih besar (lebah madu raksasa) sedangkan A. andreniformis memiliki ukuran tubuhnya yang relatif kecil (lebah kerdil atau dwarf honeybee). Dengan ukuran tubuh yang relatif kecil tentu struktur bagian tubuhnya seperti sayap juga relatif kecil. Ukuran sayap yang relatif kecil menyebabkan penyebaran lebah kerdil tersebut menjadi terbatas pada dataran rendah. Keterbatasan penerbangan dalam aktifitas mencari makan berdampak terhadap perkembangan koloni sehingga jumlah koloni lebah kerdil tersebut semakin berkurang ditemukan di Sumatera Barat. Menurut Ruttner (1988) ukuran lebah pekerja mencerminkan adaptasi terhadap kondisi lingkungan. Roubik dan Ackerman (1987) menambahkan bahwa untuk lebah sosial ukuran tubuh pekerja umumnya telah dianggap sebagai adaptasi untuk aktivitas mencari makan dan mengeksploitasi sumber daya bunga. Hasil penelitian tersebut didukung oleh Araújo dkk. (2004) yang menyatakan bahwa resiko kepunahan lebih besar pada Meliponinae yang berukuran lebih kecil sedangkan spesies yang berukuran

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 734 lebih besar secara teoritis memiliki kapasitas lebih besar untuk bermigrasi antara fragmen hutan untuk bertahan. Jumlah hamuli lebah pekerja A. koschevnikovi yang ditemukan dalam penelitian ini adalah 15 (Tabel 2). Sehubungan dengan jumlah individu lebah pekerja A. koschevnikovi yang ditemukan hanya satu ekor sehingga rata-rata jumlah hamuli tidak dapat dianalisis. Menurut Rinderer dkk. (1989) dalam Hepburn dkk. (2004) rata-rata jumlah hamuli lebah pekerja A. koschevnikovi yang ditemukan di Borneo adalah 17,70 ± 0,60. KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap hamuli Apis pada berbagai ketinggian dan lokasi di Sumatera Barat dapat disimpulkan: 1. Lebah madu dari genus Apis yang ditemukan terdiri dari tiga subgenus dan empat spesies. Subgenus Micrapis terdiri dari satu spesies yaitu A. andreniformis Smith. Subgenus Sigmatapis terdiri dari dua spesies yaitu A. cerana Enderlein dan A. koschevnikovi Enderlein.Subgenus Megapis terdiri dari satu spesies yaitudan A. dorsata Fabr.

2. Jumlah hamuli lebah pekerja bervariasi pada berbagai jenis lebah dan ketinggian. Jumlah hamuli A. cerana berbanding lurus dengan ketinggian lokasi sedangkan pada A. dorsata secara acak.

DAFTAR PUSTAKA Araújo, E.D., M. Costa, J. Chaud-Netto and H.G. Fowler. 2004. Body size and flight distance in stingless bees (Hymenoptera: Meliponini): inference of flight range and possible ecological implications. Braz. J. Biol. vol.64 no.3b Sao Carlos. Cox, C.B. and P.D. Moore. 2000. Biogeography An Ecological and Evolutionary Approach. London: Blackwell Science. Cox, C.B. and P.D. Moore. 2000. Biogeography An Ecological and Evolutionary Approach. London: Blackwell Science. Hadisoesilo, S. 2001. Keanekaragaman Spesies Lebah Madu Asli Indonesia. Bioddiversitas. Volume 2, Nomor 1 (123-128).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 735

Hadisoesilo,S., R. Raffiudin, W. Susanti, T. Atmowidi, C. Hepburn, S.E. Radloff, S. Fuchs, H. R. Hepburn. 2008. Morphometric analysis and biogeography of Apis koschevnikovi Enderlein. Apidologie. 39 p. 1-9. Hepburn, H. R and S.E. Radloff. 2004. The wing coupling apparatus and the morphometric analysis of honeybee populations. Rhodes Centenary South African. Journal of Science 100, November/December 2004. Heroriki. 1991. Ukuran karakter morfologi lebah pekerja Apis dorsata Fabr. pada beberapa ketinggian. Tesis Sarjana Biologi. FMIPA. Universitas Andalas Padang. Kasno, 1989. Wabah kutu lebah madu di Irian Jaya. Media Konservasi Vol. II (4) . p 21-24. Maa, T. 1953. An Inquiry into the systematics of the tribus Apidini or honeybees (Hym.). Treubia. 21: 526-640. Mattu V.K. and L. R. Verma. 1983. Comparative morphometric studies on the Indian honeybee of the North-West Himalayas. L Tongue and Antenna. J. Apic. Res. 22(2):79-85. Mattu V.K. and L. R. Verma. 1984. Comparative morphometric studies on the Indian honeybee of the North West Himalayas. 2. Wing. J. Apic. Res. 23 (1):3-10. Michener, C. D. 1974. The Social Behavior of the Bees a Comparative Study. The Belknap Press of Havard University. Cambridge. Massachusetts. Otis, G.W. 1996. Distribution of recently recognized spesies of honey bee (Hymenoptera: Apidae- Apis) in Asia. Journal of the Kansas Entomological Sociaty. 69: 311-333. O Toole, C. and A. Raw. 1991. Bees of the World. Biandford. London. Putra, K. H. 1994. Karakter morfologi lebah madu Apis andreniformis Smith. Tesis Sarjana Biologi. FMIPA. Universitas Andalas Padang. Raffiuddin, R., S. Sasromarsono, E. S. Ratna, D. D. Solihin. 1999. Keragaman Morfologi Lebah Apis cerana (Fabr.) (Hymenoptera: Apidae) di Jawa Barat. Buletin Hama ddan Penyakit Tmbuhan. Jurusan HPT IPB, Bogor, Indonesia. Volume 11(1):20-25.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 736

Rinderer, T.E., B. P. Oldroyd, L. I. de Guzman and S. Wongsiri, H. A. Sylvester, J. A. Stelzer and R. M. Riggio. 1995. A morphological comparison of the dwarf honey bees of southeastern Thailand and Palawan, Philippines. Apidologie. 26: 387-394. Ruttner, F. 1988. Bioqography and Taxonomi of Honeybees. Springer-Verlag. Berlin, Heidelberg. Roubik, D. W., and J. D. Ackerman. 1987. Long-term ecology of euglossine orchid- bees (Apidae: Euglossini) in Panama. Oecologia73:321-333. Salmah, S. 1987. Jenis-jenis Lebah Pengahasil Madu dan Potensinya di Sumatera Barat. Laporan penelitian. BKS-B dan USAID Pusat Penelitian Universitas Andalas. Padang. Salmah, S. 1989. Tempat dan Volume Beberapa Jenis Lebah yang Terdapat di Sumatera (Hymenoptera: Apidae). Seminar dan Kongres Biologi Nasional IX di Padang. Padang, 10-11 Juli 1989. Salmah, S. 1990. Jenis Lebah Sosial (Apidae) dan Distribusinya di Taman Nasional Kerinci Seblat. Laporan penelitian. Departemen Pendi dikan dan Kebudayaan. Pusat Penelitian Universitas Andalas Padang. Wongsiri, S., C. Lekprayoon, R. Thapa, K. Thirakupt, T. E. Rinderer, H. A. Sylvester, B. P. Oldroyd and U. Booncham. 1996. Comparative biology of Apis andreniformis and Apis florea in Thailand. Bee World. 77: 24-35.

Notulensi Diskusi Seminar Herawati (Unila) : - Definisi Hamuli? - Besarnya sarang? Jawab : - Hamuli semacam kait-kait yang terdapat di sayap belakang lebah (seperti duri) - Besarnya sarang sebesar batok kelapa. Kecil, karena hanya berupa lebah alam.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 737

OEB-03 Keragaman Serangga Pollinator Pada berbagai Habitat Imam Widiono1 1Fakultas Biologi UNSOED

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 738

OEB-04 Keanekaragaman Jenis kumbang (Ordo Coleoptera) di Taman Nasional Bali Barat 1 1 1 1 Ichsan Luqman Indra Putra , Ibnu Fadilatussar‘I , Reza Aditya Kuniawan Usetiono , Siti Sumarmi , dan Angga Putra Kusumastianto1 1Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada (UGM) Jl. Teknika Selatan, Sekip Utara, Yogyakarta 55281 Telp: +62-274-580839, 6492350 fax: +62-274-580839 Email: [email protected]

ABSTRAK Taman Nasional Bali Barat merupakan salah satu taman nasional yang berada di Pulau Bali yang mempunyai berbagai kawasan wilayah. Beberapa wilayah tersebut di antaranya hutan homogen, hutan heterogen, savana, dan perairan. Dari berbagai wilayah tersebut dimungkinkan terdapat perbedaan serangga yang terdapat di masig-masing kawasan tersebut. Serangga adalah salah satu kelompok kelas dalam filum Arthropoda yang mendominasi filum tersebut. Jumlah serangga yang telah diidentifikasi kurang lebih 1.956.000 jenis. Salah satu ordo yang terkenal pada kelas insekta adalah Coleoptera karena memiliki jumlah anggota kira-kira 40% dari kesuluruhan anggota insekta. Ordo Coleoptera diperkirakan mempunyai 1.400.000 spesies dan 350.000 spesies telah diidentifikasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keanekaragaman jenis kumbang anggota ordo Coleoptera di empat kawasan Taman Nasional Bali Barat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penangkapan langsung dengan sweepnet dan jebakan atau pith fall dengan menggunakan kantong plastik bening yang berisi cairan gliserin dan alkohol dengan perbandingan 1:1 liter per volum. Penangkapan langsung kumbang menggunakan metode jelajah, sedangkan metode trap digunakan pada malam hari dan hasilnya diambil sehari setelah pemasangan. Metode jelajah dilakukan di hutan homogen, hutan heterogen, perairan, dan savana yang berada di kawasan Taman Nasional Bali Barat. Hasil sampling kemudian diidentifikasi di laboratorium Entomologi Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada. Kelompok anggota famili dari ordo Coleoptera yang diperoleh adalah Coccinellidae, Cerambycidae, Dytiscidae, Scarabaeidae, Buprestidae, Elateridae, Oedementidae, Rhipiceridae, Carabidae ,Curculionidae, Meloidae, Lucanidae, Dascillidae, Cicindellidae. Hasil dari penelitian ini adalah pada kawasan hutan heterogen, hutan homogen dan perairan ditemukan 5 famili dari ordo Coleoptera, sedangkan pada savana hanya ditemukan 3 famili dari ordo Coleoptera yang masih perlu diidentifikasi lebih lanjut. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pada padang savana ditemukan anggota famili dari ordo Coleoptera paling sedikit dari area sampling lainnya. Famili yang paling banyak ditemukan adalah Scarabaaeidae. Kata kunci : Coleoptera, Taman Nasional Bali Barat

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 739

PENDAHULUAN Taman Nasional Bali Barat (TNBB) merupakan salah satu taman nasional yang terletak di Pulau Bali. Taman nasional ini berupa kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi, yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. TNBB memiliki sumber daya alam melimpah dan pemandangan alam yang indah. Potensi TNBB meliputi berbagai jenis flora dan fauna liar yang berstatus langka dan dilindungi maupun yang keberadaannya masih melimpah. Beberapa kawasan yang terdapat di TNBB diantaranya savana, daerah perairan, hutan heterogen, hutan homogen. Oleh karena itu, kawasan TNBB sangat menarik untuk diteliti keanekaragaman serangga penghuninya, khususnya yang mencakup ordo Coleoptera. Serangga merupakan golongan hewan yang dominan di muka bumi. Jumlahnya melebihi jumlah hewan melata darat lainnya, sehingga serangga dapat ditemukan di berbagai tempat (Borror dkk., 1992). Serangga adalah salah satu class dalam filum Arthropoda. Jumlah spesies serangga 11 kali lebih banyak daripada jumlah spesies Arthropoda kelompok lain (Ross dkk., 1982). Banyak taksiran jumlah spesies serangga yang diungkapkan oleh berbagai ilmuwan, salah satunya menyatakan bahwa serangga yang sudah dideskripsi sebanyak lebih kurang 1.956.000 spesies, sehingga anggota filum Arthropoda mengisi 67,4% dari seluruh spesies hewan di seluruh dunia dan 59,5% diantaranya adalah serangga (Kalshoven, 1981). Serangga juga mempunyai peranan penting bagi kehidupan manusia, diantaranya sebagai penyerbuk bunga, pengendali hama hayati, serta berperan sebagai dekomposer (Minga, 2010). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkap keanekaragaman kumbang (ordo: Coleoptera) di Taman Nasional Bali Barat. Data yang diperoleh diharapkan dapat dimanfaatkan untuk penelitian lebih lanjut mengenai dinamika populasi serangga yang berada di Taman Nasional Bali Barat.

BAHAN DAN METODE Bahan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu alkohol 70%, klorofom 70%, kapas 1 bungkus, karet gelang, kertas asturo, stereofoam ukuran 60 cm x 60 cm dan gliserin 5 ml.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 740

Alat yang digunakan pada penelitian ini, yaitu sweepnet ukuran 10 cm x 10 cm, killing bottle ukuran 200 ml, pinset, jarum pentul, botol flakon, tool box plastic, plastik putih ukuran 1 kg, sekop dan sendok makan. Lokasi penelitian dilakukan di savana, daerah perairan, hutan heterogen, dan hutan homogen yang berada di dalam wilayah Taman Nasional Bali Barat. 1. Savana Kawasan ini berada di daerah Tegal Bunder dengan suhu udara 35°C, suhu air 32°C dan berada pada koordinat S 08° 10.106‘ E114°28.976‘. Kawasan ini berupa padang rumput dengan rawa di bagian pinggir yang digenangi air berwarna merah kecokelatan dan tanah berlumpur. Semakin ke arah selatan semakin banyak ditumbuhi tumbuhan pandan berduri dibagian pinggir jalan dengan lantainya yang tergenang air. 2. Daerah perairan Kawasan ini berupa lokasi pariwisata yang berada di Desa Blimbingsari, dengan suhu udara 26°C dan koordinat S 08° 13.709‘ E114° 30.685‘. Kanopinya rapat pada bagian luarnya, semakin kedalam ditemui banyak bebatuan besar dan di bagian pinggir tumbuh pepohonan. Pada kawasan ini terdapat air terjun yang tidak deras dan memiliki beberapa tingkat serta pada tiap tingkatannya terdapat cekungan dalam seperti genangan dengan warna air yang bening. 3. Hutan heterogen Lokasi kajian di kawasan ini ada tiga, yaitu daerah Cekik, dekat aliran sungai Tukad Teluk Terima dan di sekitar Pura Sumur Kembar. Kawasan ini berada pada koordinat S 08° 09.229‘ E114°31.555‘. Hutan di daerah Cekik mempunyai suhu udara 35oC dengan keadaan lantai hutan kering dan tingkat kelembabannya rendah. Daerah ini tidak jauh dari bibir pantai sehingga dekat dengan hutan mangrove. Hutan yang berada di dekat aliran sungai Tukad Teluk Terima mempunyai suhu udara 29°C dan suhu air 26°C dengan keadaan sungai berupa aliran kecil serta lumpur tebal dibagian pinggirnya. Semakin menuju hulu, aliran airnya semakin habis dan hanya air tanah yang mengalir, sedangkan air permukaannya berupa genangan dengan warna yang keruh dan payau serta kanopinya semakin rapat dan lembab. Lantai hutan didominasi oleh tumbuhan widuri. Hutan yang berada di sekitar Pura Sumur Kembar mempunyai suhu udara 31oC dan suhu air 27oC dengan keadaan kanopi sangat padat, daerahnya lembab, terdapat

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 741 mata air yang berupa sumur dan genangan air tawar. Lokasinya dekat dengan pertemuan air tawar dengan pantai. 4. Hutan homogen Hutan ini didominasi oleh pepohonan sawo kecik (Manilkara kauki) yang terdapat di Desa Sumber Kelampok dengan suhu udara 32oC dan berada pada koordinat S 08°14.421‘ E114°28.913‘. Luas area sekitar 1 hektar. Lantai hutannya agak lembab, ditumbuhi semak dan beberapa tumbuhan talas. Kawasan hutan homogen yang lain berupa kawasan mangrove yang terletak di Pantai Karang Sewu dengan suhu udara 30oC Pengambilan data pada penelitian ini melalui penangkapan langsung dan tidak langsung yang dilakukan dari tanggal 19-24 Januari 2010. Penangkapan langsung dilakukan dengan mengunakan metode jelajah pada keempat lokasi dari pagi hingga sore hari dengan menggunakan sweepnet seperti yang ditulis oleh Steyskal dkk. (2005) dengan modifikasi berupa jaring sweepnet yang digunakan berukuran 10 cm x 10 cm. Sweepnet digunakan untuk menangkap kumbang yang sudah berbentuk imago dan terbang. Hasil tangkapan kemudian dimasukkan ke dalam killing bottle berukuran 200 ml. Penangkapan secara tidak langsung menggunakan pitfall trap yang dipasang pada sore hari sekitar pukul 16.00 WITA di area hutan homogen sebanyak 3 buah dengan jarak antar trap ± 10 meter seperti yang ditulis oleh MacGown (2009). Modifikasi yang dilakukan berupa tanah dilubangi menggunakan sekop dengan diameter 5 cm dan menggunakan plastik putih ukuran 1 kg yang ditanam dengan posisi mulut plastik sejajar dengan permukaan tanah. Setelah itu serasah daun kelapa yang telah mengering disebar di sekitar mulut plastik. Plastik putih yang ditanam tersebut diisi dengan air kurang lebih sepertiga bagian plastik ditambah dengan campuran gliserin dan alkohol (1:1). Hasil dari pitfall trap dapat diamati satu hari kemudian. Setelah satu hari, pitfall trap dikeluarkan kemudian disimpan dalam tool box plasic. Kumbang yang diperoleh tersebut diidentifikasi menggunakan kunci identifikasi berdasarkan buku Borror dkk. (1992). Tahap identifikasi dilakukan melalui pengamatan bentuk khusus pada kumbang yang ditemukan berupa bentuk kepala, bentuk antena, warna tubuh, jumlah tarsus, segmentasi antena, habitat asal kumbang, bentuk elytra dan rostrum. Setelah itu

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 742 dicocokkan pada buku identifikasi hingga ditemukan famili kumbang tersebut. Tahap ini dilakukan di Laboratorium Entomologi, Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1. Anggota Coleoptera yang diperoleh di kawasan savana

No. Famili Deskripsi Keterangan 1 Scarabaeidae Tubuh oval atau memanjang; elytra Diperoleh di dalam tidak begitu kasar; beragam dalam kotoran sapi; ukuran dan warna, tetapi umumnya kemelimpahan banyak berwarna cokelat tua atau kehitaman; panjang tubuh 2-62 mm; antena berbentuk gada, 8-11 ruas, melebar; tarsus 5-5-5; umumnya larva membentuk huruf C 2 Coccinellidae Tubuh lebar, oval, mendekati bulat; Diperoleh di semak- sebagian kepala atau seluruhnya semak; kemelimpahan tertutupi oleh pronotum; antena banyak pendek, 3-6 segmen; tarsus 4-4-4; telur berwarna kuning, biasanya di permukaan daun; imago umumnya bewarna cerah 3 Buprestidae Tubuh keras; warna metalik; ujung Diperoleh di pohon kepala persegi; panjang tubuh 2-40 widuri; kemelimpahan mm; antena serrate; sternit abdomen sedikit menyatu dengan suture; tarsus 5-5-5; larva tidak berkaki dan pipih

Tabel 2. Anggota Coleoptera yang diperoleh di daerah perairan

No. Famili Deskripsi Keterangan 1 Dytiscidae Bentuk tubuh oval memanjang; Diperoleh di sungai yang panjang tubuh 1,2-40 mm; coxa aliran airnya tidak deras; termodifikasi untuk berenang; tarsus kemelimpahan sedikit 5-5-5; memiliki satu pasang mata majemuk; antena panjang dan ramping 2 Rhipiceridae Bentuk bulat telur memanjang; Diperoleh di dedaunan; berwarna kecokelatan; antena kemelimpahan banyak biasanya berwarna oranye; mempunyai mandibula yang menonjol; antena berupa lembaran; 3 Meloidae Tubuh lunak, ramping, memanjang, Diperoleh di pohon yang kadang-kadang ada yang membulat; berbunga; kemelimpahan pronotum lebih sempit dari kepala banyak atau sayap depan; antena ada yang filiform, ada yang moniliform; tarsus

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 743

5-5-4; warna menarik (hitam dengan bagian tertentu berwarna cerah) 4 Silphidae Mempunyai warna tubuh yang Diperoleh di bebatuan cemerlang; antena clubbed; panjang dekat dengan air; tubuh 3-35 mm; tarsus 5-5-5 kemelimpahan sedikit 5 Oedementidae Tubuh lunak dan ramping; panjang Terdapat di pohon yang tubuh 5-20 mm; tarsus 5-5-4; warna berbunga; kemelimpahan tubuh hitam dengan pronotum yang banyak berwarna oranye, sedangkan beberapa berwarna pucat; pada mata terdapat pinggiran yang melekuk

Tabel 3. Anggota Coleoptera yang diperoleh di kawasan hutan heterogen

No. Famili Deskripsi Keterangan 1 Scarabaeidae Tubuh oval atau memanjang; elytra Diperoleh di pohon tidak begitu kasar; beragam dalam (balik kayu); ukuran dan warna, tetapi umumnya kemelimpahan Banyak berwarna cokelat tua atau kehitaman; panjang tubuh 2-62 mm; antena berbentuk gada, 8-11 ruas, melebar; tarsus 5-5-5; umumnya larva membentuk huruf C 2 Cerambycidae Tubuh memanjang silindris; antena Diperoleh di pohon; sangat panjang; panjang tubuh 2-60 kemelimpahan sedikit mm; tarsus 4-4-4; memiliki warna dan pola yang beragam 3 Dascillidae Memilki tubuh yang lunak; bentuk Diperoleh di pohon dan tubuh bulat telur sampai memanjang; tanah; kemelimpahan panjang tubuh 3-14 mm; kepala terlihat banyak dari atas; beberapa anggota mempunyai mandibel yang besar dan terlihat jelas 4 Curculionidae Umumnya berwarna gelap (cokelat Diperoleh di pohon hitam atau hitam); mempunyai rostrum (balik kayu) dan tanah; yang bervariasi dalam panjang, bentuk kemelimpahan banyak dan ketebalan; rostrum biasanya membengkok; tubuh tidak banyak berambut; panjang tubuh 0,6-35 mm; antena clubbed, 3 segmen, menyiku; tarsus 4-4-4; larva berwana putih berkepala kuat 5 Cicindellidae Clypeus ke arah samping melampaui Diperoleh di tanah; pangkal antena; mata dan kepala kemelimpahan sedikit selebar atau lebih lebar dari pronotum; pronotum lebih sempit dari sayap depan; antena filiform, terdapat di atas mandibula; tarsus 5-5-5; panjang tubuh 6-40 mm; warna tubuh kecoklatan, hijau, metalik, dan sering bercorak warna-warni

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 744

Tabel 4. Anggota Coleoptera yang diperoleh di kawasan hutan homogen

No. Famili Deskripsi Keterangan 1 Scarabaeidae Tubuh oval atau memanjang; elytra Diperoleh di pohon balik tidak begitu kasar; beragam dalam kayu) dan tanah; ukuran dan warna, tetapi umumnya kemelimpahan banyak berwarna cokelat tua atau kehitaman; panjang tubuh 2-62 mm; antena berbentuk gada, 8-11 ruas, melebar; tarsus 5-5-5; umumnya larva membentuk huruf C 2 Dascillidae Memilki tubuh yang lunak; bentuk Diperoleh di pohon tubuh bulat telur sampai memanjang; (balik kayu) dan tanah; panjang tubuh 3-14 mm; kepala terlihat kemelimpahan banyak dari atas; beberapa anggota mempunyai mandibula yang besar dan terlihat jelas 3 Carabaeidae Tubuh pipih dengan alur-alur Diperoleh di tanah dan membujur pada sayap depan; berwarna pohon (balik kayu); hitam tetapi ada beberapa anggota kemelimpahan banyak famili yang berwarna metalik; kepala dan mata lebih sempit dari pronotum; antena seperti benang; kaki panjang dan ramping; tarsus 5-5-5 4 Curculionidae Umumnya tubuh berwarna gelap Diperoleh di balik kayu; (cokelat hitam atau hitam) dan tidak kemelimpahan banyak banyak rambut; panjang tubuh 0,6-35 mm; mempunyai rostrum yang bervariasi dalam panjang, bentuk dan ketebalan; rostrum biasanya membengkok; antena clubbed, 3 segmen, menyiku; tarsus 4-4-4; larva berwana putih, kepala kuat 5 Elateridae Bagian muka kepala tidak mampat dan Diperoleh di pohon; membulat; warna kebanyakan metalik; kemelimpahan sedikit prothorax dan mesothorax menyatu; tubuh memanjang; antena serrate, tetapi ada beberapa anggota yang mempunyai antena berbentuk filiform atau pectinate; panjang tubuh 12-30 mm; tarsus 5-5-5; ujung belakang pronotum memanjang dan meruncing di bagian belakang seperti duri; larva ramping dan bertubuh keras

a. Savana Kawasan savana berupa padang rumput yang diselingi berbagai macam jenis herba maupun semak. Anggota famili dari ordo Coleoptera yang ditemukan di kawasan savana, yaitu: Scarabaeidae, Buprestidae dan Coccinellidae seperti yang terdapat pada Tabel 1. Secara umum anggota famili yang diperoleh di kawasan savana memiliki

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 745 kemelimpahan yang cukup tinggi untuk famili Scarabaeidae dan Coccinellidae, kecuali anggota famili Buprestidae yang diperoleh dalam jumlah sedikit. Kemelimpahan anggota Scarabaeidae di kawasan ini karena terdapat kotoran sapi yang melimpah. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Shahabuddin dkk. (2005) bahwa kotoran mamalia dapat menjadi salah satu pakan atau tempat tinggal bagi anggota dari famili Scarabaeidae. Anggota dari ordo Coleoptera yang paling sedikit diperoleh di kawasan ini adalah Buprestidae. Hal ini dikarenakan kawasan ini hanya terdapat sedikit pakan utama bagi anggota dari famili tersebut. Menurut penelitian yang dilakukan oleh FAO tahun 2007 di Sudan bahwa anggota dari famili Buprestidae banyak ditemukan di pohon Acacia nilotica dan Betula allegheniensis (Forestry Departement, 2007). b. Daerah perairan Kawasan ini berupa daerah aliran air yang di sekelilingnya terdapat berbagai macam jenis herba, semak dan pohon. Anggota famili dari ordo Coleoptera yang diperoleh di daerah perairan, yaitu Dytiscidae, Meloidae, Oedementidae, Silphidae, dan Rhipiceridae seperti yang terdapat pada Tabel 2. Secara umum famili Meloidae, Oedementidae dan Rhipiceridae memiliki kemelimpahan yang cukup tinggi di daerah ini. Namun, anggota famili Dytiscidae dan Silphidae yang diperoleh hanya dalam jumlah sedikit. Kemelimpahan dari tiga ordo tersebut dikarenakan tanaman yang merupakan host plant ketiga famili tersedia melimpah. Famili Dytiscidae dan Silphidae yang ditemukan hanya sedikit karena habitat yang berada pada area kajian tersebut kurang mendukung dalam bertahan hidup, selain itu habitat perairan ini berupa sungai tadah hujan sehingga saat hujan air sungai akan meluap menyebabkan kumbang perairan (famili Dytiscidae) hanyut. Habitat yang cocok untuk famili Dytiscidae adalah genangan air yang tenang seperti kolam, danau atau area persawahan (Foltz1, 2001), sedangkan untuk famili Silphidae habitat yang cocok berupa bebatuan di sekitar perairan (Foltz2, 2001). c. Hutan Heterogen Kawasan ini berupa hutan yang terdiri dari berbagai jenis pohon. Anggota famili dari ordo Coleoptera yang ditemukan di kawasan hutan heterogen, yaitu: Scarabaeidae, Cerambycidae, Cicindellidae, Curculionidae, dan Dascillidae seperti yang terdapat pada Tabel 3. Secara umum anggota famili yang diperoleh di kawasan hutan heterogen

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 746 memiliki kemelimpahan yang cukup tinggi untuk famili Scarabaeidae, Cerambycidae, Curculionidae, dan Dascillidae kecuali anggota famili Cicindellidae, yang diperoleh dalam jumlah sedikit. Kemelimpahan tersebut disebabkan pepohonan yang berada di hutan ini merupakan habitat yang sesuai bagi anggota famili Cerambycidae, Scarabaeidae, Curculionidae dan Dascillidae untuk hidup dan bereproduksi, sehingga tingkat kesuksesan anggota dari famili tersebut cukup tinggi (Booth dkk., 1990). Famili Cerambycidae dapat ditemukan dalam jumlah banyak di hutan yang pohonnya telah ditebang (coppice woodland) (Leksono dkk., 2003). Famili Cicindellidae hanya terdapat sedikit pada area kajian karena area berupa pepohonan tinggi yang menutupi cahaya tersebut tidak mendukung untuk hidup. d. Hutan Homogen Kawasan ini berupa hutan buatan yang di tanami pohon sawo kecik (Manilkara kauki) dan area yang berupa hutan mangrove. Anggota famili dari ordo Coleoptera yang diperoleh di kawasan ini, yaitu: Scarabaeidae, Carabidae, Curculionidae, Dascillidae dan Elateridae seperti yang terdapat pada Tabel 4. Secara umum anggota famili yang diperoleh di kawasan hutan homogen memiliki kemelimpahan yang cukup tinggi untuk famili Scarabaeidae, Carabaeidae, Curculionidae dan Dascillidae kecuali anggota famili Elateridae yang diperoleh dalam jumlah sedikit. Kemelimpahan tersebut karena pohon sawo kecik merupakan habitat yang sesuai bagi anggota famili Scarabaeidae, Carabidae, Curculionidae dan Dascillidae untuk hidup dan bereproduksi, sehingga tingkat kesuksesan anggota dari famili tersebut cukup tinggi. Selain itu, menurut penelitian dari Apigian dkk. (2006) bahwa hutan konifer campuran yang berada di Sierra Nevada juga menunjukan adanaya kemelimpahan yang tinggi dari anggota famili Carabidae disamping beberapa ordo lainnya. Anggota Elateridae yang diperoleh dalam penelitian ini hanya dalam jumlah sedikit pada area mangrove karena area tersebut bukan area asli atau area yang dapat mendukung kehidupan anggota famili tersebut, selain itu kemungkinan anggota dari famili tersebut hanya singgah di area mangrove. Menurut Macintosh and Elizabeth (2002), anggota dari ordo Coleoptera hampir tidak ada yang hidup maupun berkembang biak pada tanaman mangrove. Dalam penelitian di kawasan ini juga ditemukan anggota famili Scarabaeidae yang sedang melakukan perkawinan pada tumbuhan Lantana camara.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 747

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa keanekaragaman kumbang (Ordo Coleoptera) di Taman Nasional Bali Barat (TNBB), secara kualitatif masih cukup banyak. Disarankan, dari data awal ini bisa dilakukan penelitian lebih lanjut sehingga bisa diketahui keanekaragaman hingga tingkat spesies, kuantitas, perilaku dan data biologi lainnya secara lebih akurat.

Ucapan Terima Kasih Terima kasih diucapkan kepada Bapak Ganda Diarsa Utara, S.Hut yang telah berperan sebagai Pembimbing Lapangan selama penelitian berlangsung di Taman Nasional Bali Barat dan Ibu Dr. Siti Sumarmi atas bimbingannya selama penelitian hingga pembuatan laporan.

DAFTAR PUSTAKA

Apigian KO, Dahlsten DL, Stephens SL. 2006. Biodiversity of Coleoptera and the Importance of Habitat Strucure Features in a Sierra Nevada Mixed-Cornifer Forest. Com and Ecosyst Ecol. 35(4): 964-975. Booth RG, Command ML, Madge RB. 1990. IIE Guides to Insect of Importance to Men. 3. Coleoptera. United Kingdom: International Institute of Entomology. Borror DJ, Triplehorn CA, Jhonson NF. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga. Edisi ke-6. Terjemahan Soedjono SP dan Brotowidjojo MD. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Foltz1 JL. 2001. Coleoptera: Dytiscidae. http://www.entomology.ifas.ufl.edu/foltz/eny3005/lab1/coleoptera/Dytiscid.htm. [diakses 11 Juni 2010]. Foltz2 JL. 2001. Coleoptera: Silphidae. http://www.entomology.ifas.ufl.edu/foltz/eny3005/lab1/coleoptera/Silphid.htm. [diakses 11 Juni 2010]. Foresty Departement. 2007. Overview of Forest Pest - Sudan. Rome: FAO of The United Nations. Kalshoven LGE. 1981. Pest of Crop in Indonesia. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve. Leksono AS, Takada K, Nakagoshi N, Nakamura K. 2003. Spesies Composition of Modellidae and Cerambycidae (Coleoptera) in a Coppice Woodland. J For Res. 11(1):61-64. MacGown J. 2009. Pitfall Traps. http://www.mississippientomologicalmuseum.org.msstate.edu//collecting.preparati on.methods/Pitfalls.htm. [diakses 27 Juli 2010].

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 748

Macintosh DJ, Ashton EC. 2002. A Review of Mangrove Biodiversity Conservation and Management. Denmark: Center for Tropical Ecosystem Research (cenTER Aarhus). Universty of Aarhus. Minga, H. 2010. Beneficial Insect. USA: Departement of Natural Resources Science. Cooperative Extension Washington State University. Ross H, Ross CA, Ross JRP. 1982. A Textbook of Entomology. 4thed. New York: John Wiley & Sons, Inc. Shahabuddin, Hidayat P, Noerdjito WA, Manuwoto S. 2005. Penelitian Biodiversitas Serangga di Indonesia: Kumbang Tinja (Coleoptera: Scarabaeidae) dan Peran Ekosistemnya. Biodiv. 6(2): 141-146. Steyskal GC, Murphy WL, Hoover EM. 2005. Part 1: Equipment and Collecting Methods. http://www.ars.usda.gov/Main/site_main.htm?docid=10141&page=2.

Notulensi Diskusi Seminar Galang (Biologi UNPAD) : - Alasan penggunaan tricotrap? - Alasan penggunaan perangkap berbahan dasar plastic? Jawab : - Karena ingin mengetahui bahwa salah satu daerah tersebut terdapat larva serangga atau tidak (sifat dari serangga). - Untuk estimasi waktu dan efisiensi tenaga mengingat medan percobaan yang jauhdan sulit dijangkau. Tapi hasilnya sama dengan alat yang lain (Botol gen)  Indersbias

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 749

OEB-05 Pengaruh Vegetasi Liar Berbunga Terhadap Parasitoid Anastatus dasyni FERR. (Hymenoptera: Eupelmidae) IM. Trisawa, A. Rauf, U. Kartosuwondo, N. Maryana, dan A. Nurmansyah

ABSTRAK Pada pertanaman lada tumbuh beberapa jenis vegetasi liar berbunga sebagai sumber nektar. Penelitian bertujuan mengkaji pengaruh bunga berbagai vegetasi liar terhadap kehidupan A. dasyni asal inang alternatif. Penelitian mencakup lama hidup dan reproduksi, pilihan parasitoid lapar dan kenyang, dan tingkat parasitisasi parasitoid. Hasil penelitian menunjukkan bahwa parasitoid betina yang mengonsumsi nektar hidup antara 1,8 hari sampai 9,6 hari, sedangkan parasitoid jantan 1,6 hari sampai 3,4 hari. Lama hidup terpanjang terjadi pada parasitoid yang dikurung bersama bunga Cleome aspera dan Asystasia gangetica. Betina A. dasyni yang mengonsumsi nektar C. aspera meletakkan telur 13,80 butir dan 68,55% telur tersebut menjadi imago betina, sedangkan yang mengonsumsi nektar A. gangetica meletakkan telur 12,20 butir dan 71,94% telur tersebut menjadi imago betina. Parasitoid A. dasyni yang lapar memilih secara acak semua bunga, tetapi kunjungan lebih banyak terjadi pada bunga berwarna kuning cerah (Arachis pintoi) meskipun bunga tersebut tidak mendukung kehidupan parasitoid. Imago betina yang kenyang lebih banyak memilih inang (66,67%) untuk oviposisi. Rataan tingkat parasitisasi A. dasyni di kebun lada yang ditumbuhi C. aspera dan A. gangetica (56,23%) lebih tinggi dibandingkan di kebun lada yang dilakukan penyiangan (28,57%). Kata kunci: Anastatus dasyni, Dasynus piperis, vegetasi liar berbunga

Notulensi Diskusi Seminar Mike – Jakarta : Mengapa yang dipilih adalah jenis A. Dasyni dan kenapa lada? Jawab : A. Dasyni adalah parasitoid telur, karena dari telur hama ini ada 3 jenis parasitoid dan jenis ini yang paling dominan. Dipilih lada karena memang A. Dasyni merupakan parasitoid bagi tanaman tersebut. Dewi R – BPTP Lampung : saran selanjutnya? Daya hidup Anastatus tidak meningkat? Jawab : Arahisphyto tidak menunjang untuk keperindihan hama di tanaman lada. Strategi : Arahis dijadikan sebagai penarik dan digabungkan dengan Achistacia tetapi sumber nectar dari gulma tersebut. Jika hama  dan parasitoid  dilakukan dengan tumpang sari kedelai agar tanaman kedelai jadi reservoir, sehingga hama tersebut diharapkan merusak tanaman kedelai

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 750

OEB-06 Kajian Tabel Kehidupan Belalang Kembara (Locusta migratoria Meyen) Pada Kondisi Agroklimat Timor Barat Yosep Seran Mau1, Titik Sri Harini1, dan Lince Mukkun1 1Program Studi Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana, Kupang, NTT

ABSTRAK Belalang kembara merupakan salah satu hama yang sangat merusak tanaman pertanian jika terjadi ledakan populasi yang tidak terkendali. Ledakan populasi (outbreak) belalang kembara sering kali terjadi di daerah NTT, dan yang terakhir terjadi pada tahun 2007. menyebabkan kerusakan sekitar 7000 ha lahan jagung dan sawah di Kabupaten TTU dan Belu, Timor Barat, yang kemudian berlanjut hingga tahun 2008-2009. Sering terjadinya ledakan populasi di NTT mengindikasikan cocoknya kondisi agroklimat dan eksosistem pertanain di daerah ini bagi perkembangan populasi belalang kembara. Penentuan tindakan pengendalian yang tepat dan efektif membutuhkan informasi yang akurat tentang aspek bioekologi belalang kembara pada kondisi agroklimat setempat. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan memperoleh informasi tentang bioekologi, khususnya siklus hidup, belalang kembara melalui suatu kajian tabel kehidupan. Metode penelitian yang digunakan adalah percobaan kajian tabel kehidupan berbasis umur (horizontal life table) yang dilakukan di lapang dan di laboratorium yang berlangsung pada Maret – Juni 2009. Hasil kajian menunjukkan hahwa total lama siklus hidup (satu generasi) adalah 77,52±3,54 hari di lapang dan sekitar 77,20±1,09 di Laboratorium. Lama waktu perkembangan adalah 45,59±1,80 hari di lapang dan 44,75±1,54 hari di laboratorium. Faktor yang menyebabkan mortalitas pada serangga coba adalah semut merah dan suhu yang tinggi (maksimum 33ºC) baik untuk percobaan lapang maupun laboratorium. Mortalitas tertinggi diamati pada fase instar 1 baik di lapang dan laboratorium, berturut-turut sebesar 21% dan 48%, yang berarti bahwa nimfa instar I adalah fase yang paling peka dan tepat untuk dilakukan tindakan pengendalian. Kata kunci: Tabel kehidupan, belalang kembara, siklus hidup, Timor Barat.

ABSTRACT Migratory Locust is one of the most devastating pests of agriculture crops when an uncontrolled population buildup (outbreak) does occur. The Locust outbreak have frequently occurred in NTT Province, and the last outbreak occurred in 2007, devastated about 7000 ha of corn and rice fields in TTU and Belu Districts, West Timor. This outbreak continued to occur during 2008-2009 with almost the same level of devastation. Frequent outbreaks occurred in this region may imply that agro-climatic condition and agro-ecosystems in this region favored development of the Locust population. Determination of effective and efficient control measures requires accurate information on bio-ecology of the Locust in the local agro-climatic condition. This study was, therefore, carried out to gather information on locust bio-ecology, especially life cycle, through a life table analysis. The method employed was horizontal life table analysis experiment, carried out in the field and in laboratory from March to May 2009. Results of the study reveal that total generation time (duration of one generation) was 77.52±3.54 days in the field and 77.20±1.09 days in the Laboratory. Duration of nymph development in the field was 45.59±1.80 days and in the Laboratory was 44.75±1.54 days. Factors causing mortality of the test insects were ant and high temperature (33ºC maximum) both in the field and in laboratory. The highest mortality was observed in nymph instar I in the field and laboratory, respectively, 21% and 48%, implying that this phase of the locust is the most susceptible phase and appropriate for carrying out control measure. Key words: Life table, Migratory Locust, life cycle, West Timor

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 751

INTRODUCTION Migratory Locust (Locusta migratoria L.) is one of the most devastating pests of agriculture crops when an uncontrolled population buildup (outbreak) does occur. Locust population outbreaks in Indonesia have frequently occurred in the past, including those that occurred in Lampung, West Kalimantan, Java, Sulawesi, Sumba, etc.(Lecoq & Sukirno, 1999; Taek, 2007). In NTT Province, Locust outbreaks have also frequently occurred, covering Sumba, Flores, and Timor Islands (Lecoq et al., 2000; Taek, 2007). The last locust outbreak in NTT Province occurred in 2007, devastated about 7000 ha corn and rice fields in TTU and Belu Districts, West Timor (UPTD Proteksi Tanaman, 2008). During the 2007 locust outbreak, crop damage occurred during April and May where many of the crops were almost at the harvest stage (Taek, 2008). The locust outbreak could hamper agricultural production due to total defoliation caused by the locust, which in turn rendered the crops unable to recover to resume its growth and production. In addition, the locust not only devastated staple food crops such as corn and rice but also other crops including horticulture and plantation crops. Following the last outbreak (2007) in TTU and Belu Districts, a further outbreak was reported to commence at the end of 2008 in the same regions. Frequent locust outbreaks occurred in NTT Province region may imply that agro-climatic and agro-ecosystems conditions in this region favored development of the Locust population. Long rainfall period provided favorable conditions for growth and development of grasses, the main locust habitat.The longer the rainy period is during the previous year, which means also a longer growing period for crops and grasses, the longer is the available period for egg laying. It is, therefore, suggested that eggs laid at the onset of the rainfall in the previous year and the crops/grasses growing during the onset of the current year determine whether there an outbreak will develop or not. Timor Island is one of only a few of Indonesian isles that have quite different climatic conditions, i.e. semi-arid climate characterized by a short rainy season (3-4 months) and a long dry season (8-9 months). Rainy season in West Timor occurred from November/December to March/April, while the other months of the year correspond to dry season. Climatic conditions of Timor Island strongly determined kinds of trees that can grow as well as kinds of crops that can be cultivated. Two main

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 752 staple food crops for people of West Timor, corn and rice, can only be grown during the short rainy season except in case of permanent irrigation, which is very limitedly available in the island. Migratory Locust populations during outbreak in Belu and TTU districts in 2007 was controlled by insecticide spray. This control measure, however, was not successful to control the locust population. Applications of pesticide during an outbreak are very costly due to both expensive equipment and huge number of labor forces required. In addition, insecticide application has hazardous effect on both human health and the environment, especially for thenon target insects, natural enemies, soil and water. Insecticide also can trigger resistance mechanism to develop in the target insects, which may renders them to be more difficult to control in the future using the same control measure. Bio-ecology of the Migratory Locust is one of the important factors contributing to the effectiveness of locust management.One aspect of locust bio-ecology, the locust life cycle in this area, need to be investigated to obtained information that may be important for development of more efficient and effective locust management. This study was therefore carried out with the objective to compile information on Migratory Locust bio-ecology, especially the life cycle, under agro-climatic condition of West Timor both in the field and in laboratory.

MATERIALS AND METHODS

Experimental Design and Procedures

Life cycle study of L. migratoriawas carried out in the field and in laboratory. Life cycle study in the field was carried out in locust outbreak area of TTU district, in Humusu B Village, Insana Utara Sub-District. Meanwhile, laboratory life cycle study was carried out in a green house in Faculty of Agriculture, University of Nusa Cendana. It followed Life Table method (Poole, 1974; Untung, 2006). The horizontal life table method was employed, in which development of a group of individuals (100) all hatched at almost the same time, i.e. a cohort, was followed/observed from the beginning of a generation to the following one within the same life cycle.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 753

The experiments, both in the field and in laboratory, were started with mass rearing of L. migratoria. Imagos used for mass rearing were collected from the surrounding corn fields and grassland/bushes in HumusuBVillage, InsanaUtaraSub-District, TTU District. The imagoswere mass reared to obtain relatively homogeneous eggs. In the field, a rearing cage of 200 cm x 100 cm x 100 cm size was firstly set in corn field, while in laboratory; a rearing cage of 50 cm x 50 cm x 50 cm sizewas firstly prepared in green house. Rearing cage in the field was set to cover several corn plants as locust feeding source, while free-pesticide and freshly prepared corn leaves were provided daily as feed for the locusts in laboratory, followed by introduction of 20 imago pairs (20 males and 20 females) into each rearing cage (in the field and in laboratory). After egg-laying, imagoswere taken out from the rearing cage, and once enough egg-pods were laid, the eggs were used for life table analysis. Life table procedures in the field Two insect cages (200 cm x 100 cm x 100 cm) was set to cover several corn plants in the field. About 100 eggs (± 4 egg-pods of L. migratoria were introduced into each of the cages (total of 200 eggs). Observation was performed daily starting from the first day after introduction of egg-pods.Temperature and humidity in the field were recorded regularly during the experiment. Life table procedures in laboratory For life table analysis in laboratory, four insect cages (50 cm x 50 cm x 50 cm size) wereprepared, two cages provided with pesticide-free and fresh corn leaves and the other two were provided with free-pesticide and fresh rice leaves. About 50 eggs (± 2 egg-pods) of L. migratoria were introduced into each rearing cage. In total, 200 eggs were introduced into four rearing cages as follows: two cages (100 eggs) for corn leave feed source, and two cages (100 eggs) for rice leave feed source. Temperature and humidity in the green house were recorded regularly during the experiment, and locust food was also replaced daily. Variable Observed and Data Analysis Observation was performed daily starting from the first day after introduction of eggs.Variables measured during the experiment were similar to both life table study in the field and in laboratory.Variables measured included: oviposition period, duration of

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 754 egg development (period between egg-laying and egg-hatching), duration of nymph development of each nymph instar, number of individuals in each nymph instar, number of dead individual in each nymph instar, mortality factors affecting each nymph instar, number of imagos emerging from nymph stage, average number of surviving individuals at each nymph instar and at imago stage, total number of individuals during observations, and life duration. Data obtained from the experiment was analyzed quantitatively and qualitatively analyzed to obtain values of duration of each age interval/phase, number of individuals surviving each phase, percent mortality in each phase, mortality factor, life expectancy, etc, and was then entered into a standard life table.

RESULTS AND DISCUSSION General agro-climatic condition of the research location. Agro-climatic data recorded during the research period included average monthly rainfall in TTU District where the field life cycle study was carried out and the average temperature as well as humidity in the field and in laboratory. The research was carried out during the rainy season with monthly average rainfall during March, April and May was 170, 120, and 80 mm. This amount of average rainfall was a bit less than that of the 10 years average between 1999-2008, especially during March to May, respectively, 200, 145, and 85 mm. The research was also carried out when the main staple food (corn and rice) were grown in the field. The maximum daily temperature in the field during March to May 2009 ranged between 28.3ºC to 31.3ºC while that in laboratory ranged between 29.7 ºC – 33.2ºC. Average daily relative humidity during the same period in the field ranged between 79% - 86% while that in laboratory ranged between 70% - 82%. Variability of life cycle Life tables of Migratory Locust both in the field and under green house conditions during the second part of the 2008/09 rainy season are presented in Table 1. It can be immediately seen in Table 1 that durations of nymph instars in the field (corn field) differ a bit from that of green house. Duration of nymph instars in the field ranged from 6.02 (± 1.77) to 10.30 (± 1.030) days while that in the green house ranged from

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 755

5.26 (± 1.59) to 15.31 (± 1.70) days. Average time to egg hatching was higher in the green house (17.19 ± 1.49 days) than that in the field (16.32 ± 0.85 days), although the two were not significantly different, which is indicated by overlapping data. In total, the duration of this rainy-season generation (from the first egg laying until the next one) in the field (77.52 ± 3.54 days) was not substantially different from that in the green house (77.20 ± 1.09 days). Similarly, oviposition duration was also not significantly different (approximately 14 days). Table 1demonstrates that percent mortality of the locust varies a lot among the locust stages. The highest proportion of mortality was observed during the nymph instar I, where mortality in the green house was much higher (48.00%) than in the field (26.67%). Higher percent mortality in the nymph instar I indicates that this nymph instar is the most susceptible locust stage to mortality causing factors. Percent mortality in the other nymph instars ranged from 15 to 28% in the green house and 5-9% in the field, which may imply that field conditions were more suitable than green house conditions for nymphs‘ survival (and also for nymph development but only for the earlier instars).

Table 1. Life table of Locust Migratory in the field and in the green house during rainy season (March – May 2009).

X Start date End date lx dx dxF 100qx Lx Tx ex

Stage (x1) Locat Duration/day (%) -ion (x2) Egg CF 16.32 ± 0.85 04-04-09 21-04-09 100 0 - 0 89 426 4.3 GH 17.19 ± 1.49 28-03-09 19-04-09 100 0 - 0 100 374 3.7 Nymph Instar CF 10.30± 1.03 20-04-09 05-05-09 78 21 T, P(a) 27 67 326 4.2 I GH 15.31 ± 1.70 14-04-09 03-05-09 100 48 T, P(a) 48 76 274 2.7 Nymph Instar CF 10.18 ± 1.40 28-04-09 15-05-09 57 3 T, P(a) 5.2 55 248 4.4 II GH 11.18 ± 2.21 26-04-09 23-05-09 52 8 T, P(a) 15 48 174 3.4 Nymph Instar CF 9.07 ± 1.78 08-05-09 23-05-09 53 3 T, P(a) 5.6 51 191 3.6 III GH 6.98 ± 2.06 08-05-09 20-05-09 44 9 T, P(a) 20 40 122 2.8 Nymph Instar CF 8.03 ± 1.92 18-05-09 30-05-09 50 4 T, P(a) 9 47 138 2.8 IV GH 6.02 ± 1.77 15-05-09 26-05-09 35 10 T, P(a) 29 30 78 2.2 Nymph Instar CF 8.01 ± 1.92 28-05-09 10-06-09 45 4 T, P(a) 8.2 44 88 2 V GH 5.26 ± 1.59 21-05-09 30-05-09 25 7 T, P(a) 28 22 43 1.7 Nymph CF 45.59 ± 1.80 20-04-09 10-06-09 45 55 T, P(a) development GH 44.75 ± 1.54 14-04-09 30-05-09 25 75 T, P(a) Immature CF NFD 07-06-09 33 0 - 0 43 43 1 Imago* GH NFD 27-05-09 13 0 - 0 13 13 1

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 756

Mature Imago CF 15.61 ± 2.75 07-06-09 21-06-09 10 0 - 0 10 10 1 GH 15.26 ± 1.18 27-05-09 16-06-09 5 0 - 0 5 5 1 Total CF 77.52 ± 3.54 04-04-09 30-06-09 43 57 22 Generation GH 77.20 ± 1.09 28-03-09 16-06-09 18 82 18 time (from egg-to-egg) Oviposition CF 14.67 ± 0.58 21-03-09 06-04-09 duration GH 14.33 ± 0.58 15-03-09 30-03-09 Notes: Location: CF=corn field and GH=green house, x1 = age interval/stage (egg, nymph, imago), x2 = days of observation (NFD=not fully documented), lx = number of surviving individual at the beginning of x age interval, dx = number of dead individual during x age interval, dFx = mortality factor for dx (T=temperature, P(a)=predator (ant)), 100qx = Percent mortality at x age interval, Lx = average number of surviving individual between x and x+1 age interval, Tx = Total number of individual during observations, ex = life expectancy (ratio between Txand lx, ex = Tx/lx). *Development of immature imagos was not followed until the end of their life.

Table 1 also indicates that factors that caused mortality in the nymph stages included high temperature (and dry condition) and predators (ant). No imago mortality was observed in both locations (conditions), which may indicate that imago is the most resistant locust stage to mortality causing factors in both conditions. In terms of life expectancy, there is a bit differences between the two locations, where life expectancy in the field was slightly higher than that in the green house, more specifically during egg to nymph instar II. Difference in life expectancy between the two locations decreases along with increase of locust age. Overall, life expectancy in the field (22.11 days) was higher than that in the green house (17.55 days). Besides life table of L. migratoria in corn field and green house, similar experiment was also carried out in the green house to compare life cycle of the locust provided with two different feed sources, i.e. rice leaves and corn leaves. Life table of the locust provided with different feed sources in the green house is presented in Table 2. It is demonstrated in Table 2 that durations of locust stages are substantially different between the two feed sources, especially concerning egg development and nymph instars I and II. The table reveals that locust stage durations (from egg laying to nymph instar II) fed with corn leaves is significantly higher than those of the locusts fed with rice leaves. Despite significant difference observed in early stages, durations of the following nymph instars and of the imago stage, however, are not significantly different

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 757 between feed sources. This is indicated by overlapping data when the standard deviation is included. Durations of nymph instars fed with rice leaves ranged from 4.88 (± 1.92) to 8.71 (± 1.89) days while that of the locusts fed with corn leaves ranged from 5.26 (± 1.59) to 15.31 (± 1.70) days. Overall, duration of nymph development with corn leave feed source (44.75 ± 1.54 days) is much higher than that of rice leaves feed sources (33.63 ± 1.80 days). Similarly, total generation time from the first egg laying until the next egg laying with corn leave feed sources (77.2 ± 1.09 days) is also much higher than with rice leave feed source (62.67 ± 0.58 days. Duration between imago emergence and the first egg laying (mature imago) was higher with corn leave feed source (15.26 ± 1.18 days) than with rice leave feed source (14.29 ± 1.23 days) while oviposition periods with the two feed sources are not substantially different (approximately 14 days).

Table 2. Life table of the Migratory Locust fed with rice and corn leaves in green house during rainy season (March – May 2009).

X Start date End date lx dx dxF 100qx Lx Tx ex Stage (x1) Feed Duration/day ( % ) source (x2) Egg RL 14.74 ± 1.58 28-03-09 16-04-09 100 0 - 0 100 386 3.86 CL 17.19 ± 1.49 28-03-09 19-04-09 100 0 - 0 100 374 3.74 Nymph Instar RL 7.15 ± 1.66 15-04-09 26-04-09 100 36 T, P(a) 36 82 286 2.86 I CL 15.31 ± 1.70 14-04-09 03-05-09 100 48 T, P(a) 48 76 274 2.74 Nymph Instar RL 4.88 ± 1.92 20-04-09 03-05-09 64 20 T, P(a) 31.3 54 186 2.91 II CL 11.18 ± 2.21 26-04-09 14-05-09 52 8 T, P(a) 15.4 48 174 3.35 Nymph Instar RL 5.50 ± 2.10 26-04-09 08-05-09 44 11 T, P(a) 25 39 122 2.77 III CL 6.98 ± 2.06 08-05-09 20-05-09 44 9 T, P(a) 20.5 40 122 2.77 Nymph Instar RL 7.38 ± 2.00 03-05-09 17-05-09 33 7 T, P(a) 21.2 30 78 2.36 IV CL 6.02 ± 1.77 15-05-09 26-05-09 35 10 T, P(a) 28.6 30 78 2.23 Nymph Instar RL 8.71 ± 1.89 11-05-09 24-05-09 26 7 T, P(a) 26.9 23 45 1.73 V CL 5.26 ± 1.59 21-05-09 30-05-09 25 7 T, P(a) 28 22 43 1.72 Nymph RL 33.63 ± 1.80 15-04-09 24-05-09 development CL 44.75 ± 1.54 14-04-09 30-05-09 Immature RL NFD 29-05-09 16 0 - 0 19 19 1 Imago* CL NFD 27-05-09 13 0 - 0 18 18 1 Mature Imago RL 14.29 ± 1.23 29-05-09 07-06-09 3 0 - 0 3 3 1 CL 15.26 ± 1.18 27-05-09 16-06-09 5 0 - 0 5 5 1 Total RL 62.67 ± 0.58 01-04-09 07-06-09 19 81 - 17.5 Generation CL 77.20 ± 1.09 28-03-09 16-06-09 18 82 17.5 time (from egg-to-egg) Oviposition RL 14.67 ± 0.58 21-03-09 04-05-09 duration CL 14.33 ± 0.58 15-03-09 26-03-09

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 758

Notes: Feed source: RL=rice leaves and CL=corn leaves, x1 = age interval/stage (egg, nymph, imago), x2 = days of observation (NFD=not fully documented), lx = number of surviving individual at the beginning of x age interval, dx = number of dead individual during x age interval, dFx = mortality factor for dx (T=temperature, P(a)=predator (ant)), 100qx = Percent mortality at x age interval, Lx = average number of surviving individual between x and x+1 age interval, Tx = Total number of individual during observations, ex = life expectancy (ratio between Txand lx, ex = Tx/lx). *Development of immature imagos was not followed until the end of their life.

It is clearly shown in Table 2that percent mortality of the locust varies between the two feed sources during the five nymph instars. Percent nymph mortality between the two feed sources differs substantially during nymph instar I and II. The difference in percent mortality between the two feed sources becomes smaller in the following nymph instars. The highest mortality was observed in nymph instar I, where nymph mortality with corn leave feed source (48.00%) is higher than with rice leave feed source (36.00%). This indicates that nymph instar I is the most susceptible locust stage to mortality factors, i.e. high temperature and predator (ant). By contrast with nymph instar I, percent mortality in other nymph instars with corn leave feed source is lower (ranged between 15-28%) than with rice leave feed source (ranged between 21-31%), which may imply that different feed sources result in different effects on locust survival depending on the locust stage. Although durations of locust life cycle both in the field and laboratory could be approximately determined through this study, the data collected can not provide information about the durations of locust life cycles during another period of the year since the study was only carried out during the rainy season; different results would probably have been obtained if the research had been done during the dry season. Therefore, information obtained from thisstudy can not provide information on the number of locust generations that can be produced within a year in the research areas.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 759

CONCLUSION AND RECOMMENDATION Based on results and discussion, the following conclusion can be drawn: 1) Total duration of locust life cycle (generation time) as observed in the green house during March-June 2009 was 77.2 days and that of nymph development was 44.75 days. 2) In the field, total duration of locust life cycle (generation time) during March-June 2009 was 77.52 days and that of nymph development was 45.59 days. 3) Total duration of locust feed with corn leaves in laboratory during March to June 2009 in laboratory was 77.2 days and that of nymph development was 44.75 days while that of locust fed with rice leaves was 62.67 days and 33.63 days, respectively. 4) Nymph instar I is the most susceptible phase of the locust for mortality factors such as predator (ant) and high temperature. Since the life table analysis presented in this paper was carried out only during rainy season, it is recommended that similar study be carried out during dry season so that total number of generation that is likely to be produced during a year can be reliably predicted.

Acknowledgment This paper was part of Migratory Locust Bio-Ecology study, carried out by The Research Team of University of Nusa Cendana in collaboration with The Food and Agriculture Organization (FAO) of the United Nation. Funding support from the UN- FAO is, therefore, highly acknowledged.

References Lecoq M., M. H. Luong-Skovmand, and T. Rachadi, 2001. Improving survey and application methods for controlling of the Oriental Migratory Locust in Indonesia. A basis for a guideline for Pest Observers and Field Extension Workers.Montpellier, France : CIRAD-AMIS-ProgrammeProtection des Cultures-Prifas, Centre de coopération internationale en recherchéagronomique (CIRAD) n° CIRAD-AMIS-66,.49 p.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 760

Lecoq M, Sukirno (1999) Drought and exceptional outbreak of the oriental migratory locust, Locusta migratoria manilensis (meyen 1835) in Indonesia (Orthoptera: Acrididae). Journal of Orthoptera Research, 8, 153–161. Luong-Skovman, M.H., 1999. Oriental Migratory Locust Biology and Ecology. Seminar For Technology Transfer, Locust Survey and Control. CIRAD-Dpt. AMIS. Poole. R.W., 1974. An Introduction to Quantitative Ecology. McGraw-Hill Kogakusila, Ltd. Taek, P, 2007. Diagnosa tentang populasi Locusta migratoria. Suatu kajian ekologis. Unpublished book. 350p. Tambunan, H., 2007. Belalang Kembara di Sumba, NTT. UPTD Proteksi Tanaman Propinsi Nusa Tenggara Timur. Kupang. Untung, K., 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Edisi Kedua-revisi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Indonesia. UPTD Proteksi Tanaman, 2008. Laporan Tahunan. Unit Pelaksana Teknis Proteksi Tanaman, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Kupang.

Notulensi Diskusi Seminar Ichsan (UGM) : Alasan pengamatan tidak dilakukan pada lama fase soliter dan gregarious? Jawab : Lamanya fase tidak bisa dihitung karena fase-fase tersebut tergantung pada besarnya populasi. Fase-fase hanya bisa diketahui dengan pengamatan warna dan morfologi.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 761

OEB-07 Lepidopteran Diversity in Kars Ecosystem, Luweng Jomblang, Semanu, Gunung Kidul RC Hidayat Soesilohadi1 dan N. Tristianti1 1Laboratory of Entomology Faculty of Biology UGM

ABSTRACT Luweng Jomblang is an vertically cave at Karst Ecosystem sited in Semanu, Gunung Kidul. The preliminary study in this area indicated there were highly diversity of plant species which are as producen in the ecosystem. The physical factors such as temperature, humidity and the light intensity and light periodicity support the continuity of the whole trophic level in the ecosystem. One of the second trophic level in the area were lepidopteran which consumes nectar and polen. Assumnig they have important role as a polinator. The objective of the research was inventory the species belong to Ordo Lepidoptera in Luweng Jomblang. The research was conducted in March and April 2009 by obeservations method. The lepidopteran sample were catch by sweeping net during 08.00 to 15.00, where they were active. The ranges of air temperatures in the mid day was between 26 to 27 oC and supported by good light intensity in the whole day.There are 11 species butterly identified, Catopsilia pomona, Catopsilia pyranthe, Eurema hecabe, Parantica vitrina, Hebomoia glaucippe, Phaedyma columella, Hypolimnas bolina, Phalanta phalanta, Papilio memnon, Graphium sarpedon, dan Graphium doson. These species‘ belong to Family Papilionidae, Nymphalidae, dan Pieridae

Notulensi Diskusi Seminar Hery Pratiknyo : Bunga lonceng, bamboo, beluntas, cemara dll kurang disenangi kupu- kupu. Apa yang membuat kupu-kupu jadi tertarik? Jawab : Interaksi ada spesialis dan generalis-generalis diminati tapi tidak berserela. Bagian pakan dari serangga walaupun bukan pangan utama. Masing-masing spesies punya kecenderungan tanaman inang yang berbeda. Lepidoptera itu datang dari tempat lain (migrasi) karena daerah asalnya kurang adanya pakan yang cukup. Hari Purwakarta (Perusahaan Hortikultura) : Apa ada ciri-ciri khusus kupu-kupu bahwa dia hama tanpa liat gejala? Jawab : Hama itu status organism dan populasinya, jika secara ekonomi masih di bawah maka bukan kategori hama. Jika Lepidoptera dewasa alat mulutnya bukan mengigit dan mengunyah dengan ini akan diketahui jenis makanannya. Jika yan dimakan tanaman budidaya dan statusnya meningkat maka hama. Stadium larva mengigit dan mengunyah maka serangga penganggu tanaman.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 762

OEB-08 Kesamaan dan Peringkat Spesies dalam Komunitas di Berbagai Agroekologi Baehaki S.E1 1Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Jl. Raya No.9, Sukamandi. Subang 14256, Jawa Barat. Telp.(0260) 520157, Fax. (0260) 520158. Email: [email protected]

ABSTRAK Peringkat pertama dari artropoda yang ada di Subang pada saat sebelum tanaman dan rerumputan berturut-turut adalah predator Atypena formosana dan Sepedon senex (serangga pembersih lingkungan). Pada saat 21 hst dan menguning peringkat pertanamanya adalah berturut-turut pelipat daun (Cnaphalocrosis medinalis) dan walang sangit (Leptocorisa oratorius). Pada saat premordia dan padi berbunga peringkat pertanamanya adalah predator Tetragnatha maxillosa dan serangga yang belum teridentifikasi. Pada lahan sawah di Cianjur, komunitas artropoda yang dominan pada saat sebelum pengolahan tanah, saat padi berumur 21 hst, stadia premordia, stadia berbunga dan padi menguning adalah fitofag. Keanekaragaman artropoda termasuk rendah (H<3.0) pada saat pengolahan tanah, tetapi padi berumur 21 hst, premordia, berbunga, dan menguning keragaman artropoda tinggi (H>3.0). Stabilitas artropoda termasuk cukup tinggi (E>0.6-0.7) pada saat pengolahan tanah dan padi premordia, tetapi pada padi berumur 21 hst, padi berbunga, dan menguning stabilitas artropoda tinggi (E>0.7). Peringkat pertama dari artropoda yang ada di Cianjur pada saat sebelum tanaman, padi premordia, dan menguning adalah Oxya chinensis. Pada saat 21 hst dan berbunga peringkat pertanamanya adalah Tetragnatha maxillosa. Pada lahan sawah di Garut, komunitas artropoda yang dominan pada saat sebelum pengolahan tanah, padi premordia, berbunga, dan menguning adalah fitofag. Pada penyusun artropoda paling tinggi saat padi berumur 21 hst adalah serangga lain selain (selain fitofag, parasit dan predator). Keanekaragaman (diversitas) artropoda termasuk rendah (H<3.0) pada saat pengolahan tanah dan padi berbunga, tetapi pada saat padi berumur 21 hst, saat premordia, dan menguning keragaman artropoda tinggi (H>3.0). Stabilitas artropoda termasuk cukup tinggi (E>0.6-0.7) pada saat pengolahan tanah dan padi menguning, di lain pihak stabilitasnya rendah (E<0.6) pada saat padi berbunga. Sebaliknya pada saat padi berumur 21 hst dan pada saat premordia stabilitas artropoda tinggi (E>0.7). Peringkat pertama dari artropoda yang ada di Garut pada saat sebelum tanaman Hydrellia sp. Pada saat 21 hst peringkat pertamanya adalah merupakan makanan predator, pada saat preomordia peringkat pertamanya adalah predator Agriocnemis pygmaea. Pada saat berbunga dan padi menguning peringkat pertanamanya hama thrips. Serangga yang hilang dari pesawahan adalah Thaia oryzicola dan Recilia dorsalis, hal ini dapat menganggu alir rantai makanan di alam

ABSTRACT The first ranking of species in Subang at before cultural practices and grasses area was Atypena formosana (predator) and Sepedon senex (Scavenger) resvectively. At 21 dat and ripening the first ranking was phytophage leaf folder (Cnaphalocrosis medinalis) and sting bug (Leptocorisa oratorius) respectively, but at premordian and flowering phase was predator (Tetragnatha maxillosa) and unidentified insect resvectively. In Cianjur agroecological zone the arthropod communities at before cultural practices, 21 dat, premordian, flowering, and ripening is dominated phytophage. The arthropod diversity at before cultural practices was low (H<3.0), but at 21 dat, flowering and ripening was highs (H>3.0). The stability of arthropod community was enough highs (E=0.6-0.7) at before cultural practices and premordian, but at 21 dat, flowering, and ripening was highs (E>0.7). The first ranking of arthropod species in Cianjur at before cultural practices, premordian, and ripening was phytophage Oxya chinensis. At 21 dat andpremordian the first ranking was Tetragnatha maxillosa. In Garut agroecological zone the arthropod communities at before cultural practices, premordian, flowering, and ripening is dominated by phytophage, but at the 21 dat was the other insects besides phytophage, predator, and parasitoid. The arthropod diversity at before cultural practices and flowering was low (H<3.0), but at 21 dat, premordian, and ripening was highs (H>3.0). The stability of arthropod community was enough highs (E=0.6-0.7) at before cultural practices and ripening, but was low (E<0.6) at flowering phase. On the other hand at 21 dat and flowering was highs (E>0.7). The first ranking of arthropod species in Garut at before cultural practices was Hydrellia sp. At 21 dat the first ranking was Nilobezzia acanthopus as food of spiders and

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 763 premordian the first ranking was predator agriocnemis pygmaea. In the flowering and ripening the first ranking was thrips as a new rice pest. The lost species of agricultural field of Subang, Cianjur, and Garut was Thaia oryzicola and Recilia dorsalis. Loosing both above species will disturb to level tropic of food chain in the agroecology zone

PENDAHULUAN Penerapan PHT berjalan mendekati sempurna, hal ini disebabkan PHT yang ada sekarang belun diselaraskan dengan zona agroekologi (AEZ). Perkembangan peta AEZ memperlihatkan situasi zona secara fisik dan sosial budaya (Basit dkk., 200). AEZ telah membagi zona mulai code Iax sampai IVbx yang diselaraskan dengan fisik daerah. Setiap zona pada setiap topografi mempunyai karakter berbeda walaupun codenya sama. Oleh karena itu pengembangan PHT harus mengikuti AEZ, karena komponen PHT (varietas tahan, pola tanam, tanam serempak, manipulasi musuh alami, dan pestisida) harus dikembangkan berdasar zona. Dari uraian tersebut di atas menyiratkan bahwa bagaimana pentingnya data biodiversitas komunitas yang akan menjadi dasar pengendalian hama terpadu. Namun demikian di antara Biodiversitas komunitas sebagai dasar PHT masih ada rantai yang hilang (terputus) yang sangat perlu dicari. Perkiraan rantai yang hilang tersebut berada di setiap zona argoekologi. Dari faktor yang hilang tersebut perlu dikaji komponen pendukungnya seperti informasi matematik biodiversitas arthropoda, pemakaian pupuk organik, pengurangan pestisida, tanaman alternatif, dan tanaman tempat berlindung (shelter) spesies komunitas. Komponen pendukung PHT masih banyak yang belum tersedia datanya secara akurat dan dapat dipertanggungjawabkan, seperti halnya struktur komunitas spesies serangga hama, predator, parasitoid, dan serangga netral pada berbagai zona agroekologi, menganalisis kemampuan komunitas predator dan parasitoid dalam meminimumkan populasi serangga hama, mempelajari level tropik serangga netral sebagai mangsa predator, mempelajari pengaruh pupuk organik terhadap komunitas spesies serangga, mempelajari peningkatan komunitas serangga hama pada tanaman padi dan tanaman alternatif, mempelajadi pengaruh tanaman tempat berlindung komunitas spesies serangga

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 764

Penelitian kali ini ditekankan kepada kesamaan dan peringkat spesies dalam komunitas di berbagai agroekosistem dengan tujuan untuk mempelajari ada tidaknya perbedaan komposisi arthropoda di setiap pola pertanaman, dan untuk mengetahui perbedaan komunitaspada fase pertumbuhan tanaman.

METODE PENELITIAN Penelitian biodiversitas kumunitas arthropoda yang menyangkut kesamaan dan peringkat spesies pada berbagai agroekologi dilakukan di Jawa Barat pada MT 2002. Penelitian lapangan ditempatkan di agroekologi Subang dengan tipe horizontal topografi (0-200 mdpl) di beberapa golongan air, Cianjur pada topgrafi vertikal (200- 500 mdpl), dan Garut pada topografi vertikal (>700 mdpl) Pada setiap agroekologi bibit padi Ciherang umur 21 hss ditanam pada lahan seluas 0.5 ha, dengan jarak tanam 25x25cm. Pertanaman tidak diaplikasi pestisida. Pupuk N diberikan 3 kali yaitu saat tanam, saat padi berumur 25 hari, dan saat premordia. Pupuk fospat dan kalium diberikan 1 kali pada saat tanam. Dosis pupuk Urea adalah 200 kg, pupuk TSP 100 kg, dan pupuk Kalium 50 kg/ha.

Contoh arthropoda Dari tiap agroekologi contoh arthropoda diambil pada saat sebelum tanam, tiga minggu setelah tanam, anakan maksimum, premordia, dan berbunga. Arthropoda diambil menggunakan perangkap jaring dengan 5 ayunan/titik dari 4 titik pada setiap tempat, materi disimpan dalam vial berakohol 70%. Pengambilan contoh arthropoda selain pada tanaman padi dilakukan juga pada vegetasi rumput-rumputan. Setelah data terkumpul dianalisis peringkat dan tingkat kesamaan antar pola tanam, level tropik, dan peranan musuh alami mengimbangi populasi hama.

Analisis data Dalam fungsi Shanon-Weaner ada dua komponen diversitas yang digabungkan yaitu jumlah spesies dan stabilitas, yang merupakan pembagian yang serasi dari individu-individu spesies. Fungsi Shanon-Weaner menunjukkan bahwa makin tinggi jumlah spesies makin tinggi pula diversitasnya. Sebaran diantara spesies yang lebih

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 765 merata akan menaikan diversitas spesies. Stabilitas dapat dihitung dengan berbagai cara, misalnya dengan H maksimum (Hmaks). Analisis biodiversitasnya telah disampaikan pada Seminar Ilmiah Hasil Penelitian Padi Nasional di Sukamandi pada 24 November 2010 (Baehaki, 2010). Di lain pihak perhitungan kesamaan antara dua komunitas menggunakan formula koefisien kesamaan Bray-Curtis (Oey, 1966). Rumus ini selain digunakan untuk melihat ada tidaknya perbedaan komposisi arthropoda di setiap pola pertanaman, juga untuk mengetahui perbedaan komunitas antara waktu pengamatan. Dalam penelitian ini komunitas yang dibandingkan dianggap berbeda jika harga koefisien kesamaan S<75%. Perhitungan koefisien kesamaan sebagai berikut:

2W S = x 100% pva + pvb

pv = CF ½ Yang mana S = Koefisien kesamaan pv = Nilai penting W = Jumlah pv yang terdapat di kedua komunitas yang dibandingkan pva = jumlah pv pada komunitas a pvb = Jumlah pv pada komunitas b C = Kepadatan rata-rata takson F = Frkuensi kehadiran tiap takson

Untuk melihat peranan musuh alami menekan perkembangan serangga fitipatofag akan dianalisis dengan nalar sintesis data.

HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai Kesamaan Antar Komunitas 1. Sebelum pengolahan tanah Perhitungan kesamaan antara dua komunitas menggunakan formula koefisien kesamaan Bray-Curtis (Oey, 1966). Komunitas serangga sebelum pengolahan tanah di

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 766

Subang golongan air-1 dan 4 mempunyai kesamaan yaitu dicirikan dengan nilai kesamaan sebesar 137.7%. Komunitas serangga sebelum pengolahan tanah di Subang golongan air-1 dan Cianjur mempunyai kesamaan yaitu dicirikan dengan nilai kesamaan sebesar 82.0%, sedangkan komunitas serangga sebelum pengolahan tanah di Subang golongan air-1 dan Garut mempunyai perbedaan yaitu dicirikan dengan nilai kesamaan sebesar 67.7.0% (Tabel 1). Komunitas serangga sebelum pengolahan tanah di Subang golongan air-4 dan Cianjur serta antara Subang golongan air-4 dan Garut mempunuai kesamaan yaitu dicirikan dengan nilai kesamaan berturut-turut 105.0 dan 139.2%.

Tabel 1. Kesamaan komunitas antar zona agroekologi sebelum pengolahan tanah

Kesamaan komunitas antar AEZ (%)* AEZ Subang-1 Subang-2 Cianjur Garut Subang-1 - - - - Subang-2 137.7 - - - Cianjur 82.0 105.0 - - Garut 67.7 139.2 64.5 - *Komunitas yang dibandingkan dianggap berbeda jika harga koefisien kesamaan S75% Subang-1= Pengambilan contoh pada lahan sawah bekas panen Golongan air-1 Subang-2 = Pengambilan contoh pada lahan sawah bekas panen Golongan air-4

Komunitas serangga sebelum pengolahan tanah di Garut dibanding Cianjur, Subang golongan air-1 berbeda dengan nilai kesamaan berturut-turut 64.5 dan 67.7% (Tabel 1).

2. Saat tanaman umur 21 hari setelah tanam dan Premordia Komunitas serangga pada 21 hst di Subang golongan air-1 dan Cianjur mempunyai kesamaan dengan nilai S=88.4%. Demikian juga komunitas serangga pada 21 hst di Subang golongan air-1 dan Garut mempunyai kesamaan dengan nilai S=77.7% (Tabel 2) Komunitas serangga pada 21 hst di Garut dan Cianjur mempunyai kesamaan dengan nilai S=80.4% (Tabel 2). Pada saat premordia antara komunitas serangga di

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 767

Subang golongan air-1, Cianjur, dan Garut tidak mempunyai kesamaan satu sama lainnya dengan nilai S<75%. Ketidaksamaan ini menunjukkan karakter AEZ sesudah padi memasuki stadia generatif.

Tabel 2. Kesamaan komunitas antar zona agroekologi pada tanaman padi umur 21 hari setelah tanam dan premordia Kesamaan komunitas antar AEZ (%)* AEZ Saat 21 hst Saat premordia Subang-1 Cianjur Garut Subang-1 Cianjur Garut Subang-1 ------Cianjur 88.4 - - 26.6 - - Garut 77.7 80.4 - 35.1 30.4 - *Komunitas yang dibandingkan dianggap berbeda jika harga koefisien kesamaan S75% Subang-1= Subang golongan air-1

2. Saat tanaman stadia berbunga dan menguning Pada saat berbunga antara komunitas serangga di Subang golongan air-1, Cianjur, dan Garut tidak mempunyai kesamaan satu sama lainnya dengan nilai S<75%, demikian juga pada saat padi menguning diantara AEZ tersebut tidak mempunyai kesamaan kemunitas artropoda (Tabel 3). Ketidaksamaan ini menunjukkan karakter AEZ sesudah padi memasuki stadia generatif, seperti halnya saat premordia

Tabel 3. Kesamaan komunitas antar zona agroekologi pada tanaman padi pada stadia berbunga dan menguning Kesamaan komunitas (S) antar AEZ (%)* AEZ Berbunga Menguning Subang-1 Cianjur Garut Subang-1 Cianjur Garut Subang-1 ------Cianjur 29.7 - - 28.1 - - Garut 29.7 31.3 - 35.2 33.2 - *Komunitas yang dibandingkan dianggap berbeda jika harga koefisien kesamaan S75% Subang-1= Subang golongan air-1

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 768

Peringkat Kelimpahan Spesies Spesies peringkat pertama yang ada di pesawahan Subang golongan air-1 pada sebelum pengolahan tanah adalah Atypena (Calitrichia) formosana sebesar 28.6% (dari 377 individu, 17 spesies) yang merupakan predator dari bangsa laba-laba. Peringkat kedua adalah Micraspis inops yang termasuk pada famili Coccinelidae-Coleoptera yang merupakan predator pada wereng coklat. Peringkat selanjutnya adalah Nephotettix malayanus, Sepedon senex, Oxya chinensis, Conocephalus longipennis (Gambar 1).

A. A.

, 28.6 ,

, 22.3 , Series1, M. inops M.

formosana

N.

, 13.5 ,

, 9.0 ,

Series1,

, , 3.4 , 2.4 ,

Series1, senex S.

, 1.1 , 5.0

malayanus 5.6 C. O.

N. , 4.8 ,

S. oculatus S.

2, 1.6 2,

- 3, 0.8 3,

Series1, N.parpus

7, 0.3 7, -

T. T. 0.3 ,

A. A. -

T. rowani T. 0.3 ,

Dominasi (%)Dominasi

Series1, Series1,

chinensis, Series1,

longipennis, virescens

Series1,

Series1,

Series1,

Series1, X Series1,

Series1,

Series1,

Series1, X Series1,

Series1, Ophionea, 0.5 Ophionea,Series1, Series1, Paederus,Series1, 0.5

schoenobii crenulata X Series1,

Gambar 1. Kurva peringkat kelimpahan spesies pada Gol. Air-1, sebelum pengolahan tanah. Subang, MP 2002

Pada rerumputan di Subang golongan air-1 pada sebelum pengolahan tanah spesies yang menjadi peringkat pertama adalah S. senex sebesar 25.8% (dari 617 individu, 19 spesies) yaitu serangga pembersih lingkungan yang memakan sisa organisme. Peringkat selanjutnya adalah C. longipennis, A. formosana, O. chinensis, dan N. parpus (Gambar 2).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 769

, 15 ,

, 15 , , 25.8 ,

C. C. 16.7 ,

, 10.9 ,

.4 .6 S. senex S.

A.formoana O.chinensis Series1,

longipennis N.parpus

, 4.5 ,

Series1,

, 1. ,

Series1, Series1,

, 0. ,

, , 0. Series1,

M. inops M. 5

N. A. 1.5 2,

, 1.9 ,

, 2.1 ,

6

-

11, 11, 1.0

, 0.5 ,

4, 0.5 4,

- 2

N. 0.3 9, 7, 0.2 7,

C.medinalis -

- - T.schoenobii

S.incertulas

Series1,

Dominasi (%)Dominasi

Series1, Series1, virescens

crenulata Series1,

Series1,X

Series1,

Series1, X Series1,

Series1, Ophionea, 0.8 Ophionea, Series1, Series1,

malayanus X Series1,

Series1, X Series1,

Series1,X

Series1, Paederus,Series1, 0.2 Series1,

Gambar 2. Kurva peringkat kelimpahan spesies pada rerumputan Gol. Air-1. Subang MP 2002

Spesies peringkat pertama yang ada di pesawahan Subang golongan air-4 pada sebelum pengolahan tanah adalah A. formosana sebesar 23.3% (dari 377 individu, 28 spesies) yang merupakan predator dari bangsa laba-laba. Peringkat selanjutnya adalah M. inops, X-15, X-2, N. parpus Hydrelia (Gambar 3). Spesies X-15 dan X-2 adalah parasitoid yang belun teridentifikasi.

A. A.

, 23.3 ,

, 18.3 ,

15, 15, 14.1 -

Series1, M.inops

formosana

, 6.1 ,

, 3.4 ,

Series1, X Series1,

Series1,

2, 6.6 2,

-

, 0. ,

, 0.5 ,

, 2.4 , , , 0.5

N.parpus

, 0.3 , , 4.2 ,

C. C. 4.5

N. , , 0.3 N. 3.2 ,

O.chinensis 14, 14, 1.3

S.senex 1.3 5,

-

-

Series1, X Series1,

5

17, 17, 0.8

4, 0.8 4,

3, 0.5 3,

, 0.3 ,

-

-

Series1,

10, 10, 0.3 13, 0.3 16, 0.3 9, 0.3 9,

A. A. -

, 0.5 ,

- - -

-

Series1, Dominasi (%)Dominasi

Series1, C.medinalis G.mitratus T.schoenobii ta

Series1,Hydrelia, 4.8 S.furcifera litura S. L.pseudoannula virescens,

longipennis Series1,

Series1, malayanus

Series1,

Series1,

Series1, X Series1,

Series1, X Series1,

Series1, X Series1,

Series1, X Series1,

Series1,

Series1, Series1, X Series1,

crenulata Series1,

Series1, Ophionea, 0.3 Ophionea,Series1,

Series1,

Series1, X Series1, X Series1, X Series1,

Series1, X Series1, Series1, - Gambar 3. Kurva peringkat kelimpahan spesies pada gol air-4. Subang MP 2002

Pada rerumputan di Subang golongan air-4 pada sebelum pengolahan tanah species yang menjadi peringkat pertama adalah Wereng hijau mata merah (Athysanini

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 770 baehaki) sebesar 93.7% (dari 4332 individu, 23 spesies) yaitu serangga yang hidup pada rerumputan dan fungsinya belum diketahui. Serangga ini sangat mendominasi, sehingga serangga lain sangat rendah (Gambar 4).

A. A.

, 93.7 , Series1,

baehaki

, ,

, ,

, 0. ,

, 0.1 ,

, 0.0 ,

, 0.4 ,

, 0.05 , , 0.2 ,

L. L. , 0.5 ,

C. C. N.

18, 18, 0.6 0.02 ,

, 0.9 ,

24, 24, 0.4

20, 20, 0.4 21, 0.4

2, 0.1 2,

4, 0.05 4,

9, 0.02 9, 19, 19, 0.1

A. A. 23, 0.1

-

2

-

- -

- -

-

- -

A. A. 02

, 0.3 , 0.3 M.inops O.chinensis 0.4 A.crenulata N.lugens S.senex

Dominasi (%)Dominasi S.furcifera T.rowani

Series1,

Series1,

Series1,

Series1, Series1, Series1,

formosana Hydrelia,Series1, 0.9

Series1, X Series1,

Series1,

Series1, X Series1,

Series1,

Series1, X Series1, X Series1,

longipennis Series1,

Series1, Series1,

Series1,

Series1, X Series1, X Series1,

Series1, X Series1,

Series1, Series1, X Series1, pygmaea X Series1, pseudoannulata malayanus Series1,

Gambar 4. Kurva peringkat kelimpahan spesies pada rerumputan gol air-4. Subang MP 2002

Kurva spesies peringkat pertama yang ada di pesawahan Cianjur pada sebelum pengolahan tanah adalah O. chinensis sebesar 52.5% (dari 80 individu, 8 spesies)yang merupakan hama padi minor. Peringkat selanjutnya adalah Atractomorpha crenulata, C. longipennis, dan N. malayanus (Gambar 5).

, ,

O.chinensis 52.5 Series1, Series1,

A.crenulata 20.0 , ,

C. C. , 11.3

N. N. , 8.8 , , 3.8

Dominasi (%) Dominasi A.

Series1, Series1,

, 1.3 , M.

S.furcifera 1.3

longipennis Series1, , , 1.3

malayanus Series1,

formosana

inops

Series1,Tetragnatha

Series1, Series1,

Gambar 5. Kurva peringkat kelimpahan spesies sebelum pengolahan tanah. Cianjur, MP 2002

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 771

Kurva species peringkat pertama yang ada di pesawahan Garut pada sebelum pengolahan tanah adalah Hydrellia sp. sebesar 30.8% (dari 169 individu, 18 spesies) yang merupakan hama padi minor. Peringkat selanjutnya adalah Tetragnatha maxillosa, wereng punggung putih dan A. formosana (Gambar 6). Species peringkat pertama yang ada di pesawahan Subang golongan air-1 pada tanaman padi umur 21 hari adalah Pelipat daun (Cnaphalocrosis medinalis) sebesar 32.0% (dari 456 individu, 21 spesies) yang merupakan hama minor pada tanaman padi. Populasi hama ini terus meningkat dan pada beberapa tahun belakangan ini merupakan hama yang cukup serius untuk ditangani. Peringkat kedua adalah Micraspis inops yang termasuk pada famili Coccinelidae-Coleoptera yang merupakan predator pada wereng coklat. Peringkat selanjutnya adalah X-2, A. formosana, C. longipennis, dan Telenomus rowani (Gambar 7).

4.9

, 8.3 ,

, 3. ,

Series1,Hydrelia, 30.8

, 4.7 ,

Series1, Tetragnatha,Series1,2

, 1.8 ,

, 0 ,

, , 0.6 , 1.2 ,

S.furcifera , 5.9 ,

A. A. 0.6 ,

, 5.3 , , 0.6 ,

3, 5.3 3, N. -

S. senex S. 0 1.8 O.

, 3.0 , C.

C.medinalis 2, 0.6 2,

N. .6

Series1, - A.pygmaea 1.2 ,

N.parpus Series1,

Dominasi (%)Dominasi L.oratorius inops M. T.schoenobii T.rowani Series1,

formosana

Series1, X Series1, malayanus

Series1,

Series1, Series1,

Series1, chinensis Series1,

longifennis, Series1,

virescens Series1,

Series1, X Series1,

Series1, Series1,

Series1, Series1,

Gambar 6. Kurva peringkat kelimpahan spesies sebelum pengolahan tanah. Garut, MP 2002

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 772

C.

, 32.0 ,

, 20.4 , Series1, M. inops M.

medinalis

2, 13.6 2,

, 5.9 ,

-

Series1,

, 2 ,

, 3.1 ,

, 5.5 ,

, 1.5 ,

, 0.4 ,

, 1.1 ,

, , 0.4

, , 0.2

, 5.5 , Series1, X Series1,

C. C. , 0.2

, 0.2 , , 0.7 , A.formosana

T.rowani .6

T.schoenobii N. 1.5 ,

Trichogramma Dominasi (%)Dominasi O.chinensis Series1, S.furcifera S. senex S.

Scirpophaga N.virescens L.oratorius G.mitratus N.lugens S.oculatus

Series1, sp, 0.4 sp,

longipennis Series1,

Series1,

Series1, Hydrelia,Series1, 3.1

Series1, Series1,

Series1, Series1, malayanus

Series1,

Series1, Paederus,Series1, 1.1

Series1,

Series1,Ophionea, 0.4

Series1, Series1, Series1,

Series1,

Series1, Series1,

Gambar 7. Kurva peringkat kelimpahan spesies pada 21 hst di gol air-1. Subang MP 2002 Kurva species peringkat pertama yang ada di pesawahan Cianjur pada tanaman padi umur 21 hari adalah T. maxillosa sebesar 13.60% (dari 440 individu, 26 spesies) yang merupakan predator dari bangsa laba-laba. Peringkat selanjutnya adalah W.p. putih, O. chinensis, C. longipennis, N. malayanus, dan Paederus sp. (Gambar 8).

, 13 ,

O.

, 13.4 , , 12.7 ,

C. C. 10.7 ,

Series1, .6

chinensis

Series1, , 7.5 , Tetragnatha S.furcifera N.

longipennis

, 2. ,

, , 2.7

18, 18, 4.8

, 1.8 ,

Series1,

Series1,

-

Series1, , 0.7 ,

malayanus 0.9

, , 0.5

, 0.5 ,

Series1, Paederus,Series1, 7.5

5, 3.2 5,

-

, 0.7 ,

, 0.2 ,

3 30, 30, 2.3

P. taeniata P. -

T.schoenobii

2, 1.4 2, -

Series1, Hydrelia,Series1, 5.0 N.parpus A.

, 1.4 ,

Series1, X Series1, , 0.7 ,

T.rowani, ta 24, 0.2 S. senex S. L.pseudoannula N.virescens - L.oratorius N.viridula

N.lugens

Series1, X Series1,

Dominasi (%)Dominasi

Series1, Ophionea, 2.7 Ophionea, Series1,

Series1, Series1,

Series1, X Series1,

Series1,

Series1,

Series1, Tipulidae,Series1, 1.8 Series1,

crenulata Series1,X

Series1, M.inops, 0.9 M.inops, Series1,

Series1,

Series1, Series1,

Series1,

Series1,

Series1,

Series1, X Series1, Series1,

Gambar 8. Kurva peringkat kelimpahan spesies pada 21 hst. Cianjur, MP 2002

Kurva species peringkat pertama yang ada di pesawahan Garut pada tanaman padi umur 21 hari adalah Nilobezzia acanthopus sebesar 30.7% (dari 590 individu, 25 spesies) yang merupakan serangga makanan laba-laba. Peringkat selanjutnya adalah Hydrelia, W.p. putih, Sepedon senex, T. maxillosa, N. malayanus (Gambar 9).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 773

Spesies peringkat pertama yang ada di pesawahan Subang golongan air-1 pada tanaman padi stadia premordia adalah predator dari jenis laba-laba yaitu T. maxillosa sebesar 62.5% (dari 280 individu, 16 spesies). Kejadian predator mendominasi komunitas adalah sangat langka, karena hal ini menunjukkan bahwa predator mampu untuk menekan populasi hama tanaman padi. Peringkat kedua adalah O. chinensis dengan populasi. Hama ini belum pernah dilaporkan secara nyata merusak tanaman padi (Gambar 10). Peringkat selanjutnya adalah predator wereng coklat dari M. inops dan Paederus fuscifes.

N. 30.7 ,

Series1, , 7. ,

acanthopus 8.1 ,

, 8.0 ,

, 4. ,

, , 2.5

, , 1.

, 1. ,

, 2.9 ,

, 0.7 ,

, 1.0 ,

3

, 0.5 , , 6.4 , S.furcifera 1.4 , S.senex N. 0.8 ,

Tetragnatha 0.8 ,

30, 30, 4.7

2 -

T.schoenobii 2.7 2,

-

7

2

Series1, Hydrelia,Series1, 9.7 1.4

T. rowani T. 27, 1.2

P. taeniata P. -

N. 23, 0.2 Series1,

S.incertulas 1.0 ,

Series1, Series1,

N.lugens - C.medinalis A.pygmaea

Series1, M.ismere inops M. Dominasi (%)Dominasi O.chinensis G.africana

malayanus

Series1,X

Series1, Series1,

Series1,

Series1, X Series1,

Series1,

Series1,

Series1,

Series1,

Series1, Trichogramma,Series1,

Series1, Series1, X Series1,

Series1, virescens

Series1,

Series1,

Series1,

Series1, Ophionea, 0.5 Ophionea, Series1,

Series1,

Series1, Paederus,Series1, 0.3 Series1, X Series1,

Gambar 9. Kurva peringkat kelimpahan spesies pada 21 hst. Garut, MP 2002

a, 62.5 a,

, , Series1,Tetragnath

O. , , 13.6

M. M.

.9 L.

, 2.9 , C. T.

, , 0.4 , , 7.9

, , 1.1 G.

Series1,

.4 , , 0.7

1.8 S.furcifera S. S. 0.7 M.

chinensis

, , 0.4

Dominasi (%)Dominasi

nis, 0.7 nis, , , 0.7

inops

Series1,

Series1,

Series1, Series1,

Series1, Series1, Paederus, Paederus, Series1, 3

oratorius Series1, Series1, Tipulidae, Series1,Tipulidae,

Series1, X2, Series1,X2, 1.8 medinalis litura

Series1,

Series1,C.longipen Series1,X21, 0.7

Series1, mitratus Series1, schoenobii ismene Hydrelia, Series1, 0

Gambar 10. Kurva peringkat kelimpahan spesies pada saat premordia. Subang, MP 2002

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 774

Kurva spesies peringkat pertama yang ada di pesawahan Cianjur pada tanaman padi stadia premordia adalah O. chinensis sebesar 34.9% (dari 504 individu, 29 spesies), diikuti oleh C. longipennis (predator), N. malayanus, T. maxillosa yang merupakan predator wereng, dan Hydrelia yang merupakan hama padi (Gambar 11). Kurva spesies peringkat pertama yang ada di pesawahan Garut pada tanaman padi stadia premordia adalah Agriocnemis pygmaea (capung jarum) sebesar 26.9% (dari 197 individu, 21 spesies) merupakan predator wereng dan hama lainnya, diikuti oleh kelimpahan predator T. maxillosa (Gambar 12). Spesies peringkat pertama yang ada di pesawahan Subang golongan air-1 pada tanaman padi stadia berbunga adalah parasitoid X29 sebesar 31.1% (dari 226 individu, 16 spesies) yang belum teridentifikasi, diikuti oleh hama Thrips padi sebanyak 17.8%. Thrips ini hama baru pada tanaman padi yang dilaporkan pertama kali pada penelitian ini. Di lain pihak di IRRI, hama ini sudah dilaporkan sejak lama. Peringkat selanjutnya adalah Tetragnatha sp. sebagai predator hama tanaman padi (Gambar 13)

1

O.

, 34.9 ,

, 1 , Series1,

chinensis 7.9

C.longipennis,

, 4.4 , 2.3

N.malayanus

, 1.2 ,

3

Series1,

, , 1.8

, , 0.6

, 0.8 ,

, , 0.2

, , 0.2

, 0.2 ,

, , 0.4

, 0.4 ,

, 1.4 ,

, 0.2 ,

, 0.2 ,

, 0.6 ,

0.2 Series1, A. crenulata A.

T. T. 2.4 ,

Dominasi (%)Dominasi P.taeniata Series1, Tetragnatha,Series1,8. inops M. C. N.virescens 0.2 , S. furcifera S. senex S. coarctata S.

R. dorsalis R. ismene M. N.lugens N.viridula oratorius L. Lycosa, T.rowani G.mitratus

Series1, Hydrelia,Series1, 6.0

jarum, 2.6 jarum,

Series1,

Series1, besar, 0.4 besar,

Series1, CapungSeries1, schoenobii

Series1,

Series1,

Series1,

Series1,

Series1, Tipulidae,Series1, 1.0

Series1,

Series1, X2, X2, Series1, 0.8

Series1,

Series1,

Series1,

Series1,

Series1, CapungSeries1,

Series1, Series1,

Series1, Paederus,Series1, 0.2

Series1, Ophione, 0.2 Ophione,Series1,

Series1, TenoderaSeries1, 0.2 sp, Series1,

Series1, Series1, medinalis Series1,

Gambar 11. Kurva peringkat kelimpahan spesies pada saat premordia. Cianjur, MP 2002

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 775

A. A.

, 26.9 ,

12 Series1,

pygmaea

.2 , 5.6 ,

Tetragnatha,

, 4.6 ,

4.1

Series1, Tipulidae,Series1, 19.8

, , 0.5

Series1,

, 6.1 , , 0.5 , Oxya

N.virescens , 0.5

S. furcifera S.

N.parvus,

.0

5 , 1.5 , T. T. 1.0 ,

C. C.

, 1.5 , , 1.0 ,

M.leda Micraspis 1.0 , Series1, X2, X2, Series1, 6.6

Dominasi (%)Dominasi Sepedon chinensis

Series1, N.lugens O.Sabina litura S. Series1,

Series1, inops Series1, senex

Series1, Hydrelia,Series1, 3.0 ismene

Series1,

Series1,

Series1, Telenomus,1.5 Series1,

Series1,

Series1, Series1,Conocephalus, 1

medinalis schoenobii Series1,

Series1,

Series1, X4, Series1, 0.5

Series1, Series1, Trichigrama,Series1, 0.

Gambar 12. Kurva peringkat kelimpahan spesies pada saat premordia. Garut, MP 2002

Kurva spesies peringkat pertama yang ada di pesawahan Cianjur pada tanaman padi stadia berbunga adalah T. maxillosa sebesar 13.8% (dari 94 individu, 23 spesies). Laba-laba ini banyak memangsa wereng (wereng coklat, wereng punggung putih, maupun wereng hijau). Peringkat kedua dan ketiga adalah S. furcifera diikuti dan hama O. chinensis berturut turut sebesar 12.8% yang tidak berbeda dengan laba-laba peringkat pertama (Gambar 14). Kurva spesies peringkat pertama yang ada di pesawahan Garut pada tanaman padi stadia berbunga adalah thrips padi sebesar 59.5% (dari 437 individu, 26 spesies). Hama thrips ini yang paling dominan, sedangkan jenis arthropoda lainnya sangat rendah (Gambar 15). Spesies peringkat pertama yang ada di pesawahan Subang golongan air-1 pada tanaman padi stadia menguning adalah hama Leptocorisa oratorius sebesar 56.9% (dari 378 individu, 18 spesies) yang menghisap bulir padi sampai saat pengisian buah. Hama ini paling dominan menyerang bulir padi. Di lain pihak kehadiran arthropoda lainnya sangat rendah (Gambar 16).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 776

Series1, X29, X29, Series1, 31.1

, 7.6 ,

, , 6.2

7

Series1,Thrips, 17.8

, , 0.4 , 7.1 ,

A. pygmaea A. , 0.9 Oxya

L. oratorius L.

1

Series1, Tetragnatha,Series1,10. , 3.6 ,

Sepedon Dominasi (%)Dominasi

Series1, chinensis Series1, Series1, O.sabina S. incertulas S.

Series1, senex

Series1, Hispa, Hispa, Series1, 4.4

inops, 0.9 inops,

Series1,

Series1, Conocephalus,Series1, 3.

Series1, X27, X27, Series1, 2.2

Series1, Hydrelia,Series1, 1.3 X2, Series1, 1.3

Series1, Paederus,Series1, 1.3

Series1, Micraspis Micraspis Series1,

Series1, Series1, Series1,

Gambar 13. Kurva peringkat kelimpahan spesies pada saat berbunga. Subang, MP 2002

12.8

, 12.8 ,

, 6.4 ,

18, 18, 9.6 -

S. furcifera S.

O.chinensis,

, 4.3 ,

, 3.2 ,

Series1, X24, X24, Series1, 9.6 Series1, X Series1,

N.malayanus

, 2.1 ,

, 3.2 ,

, 2.1 ,

Series1,

Series1,

Series1, Tetragnatha,Series1,13.8

, 2.1 ,

, 1.1 , , 2.1 ,

A. pymaea A.

30, 30, 3.2

1.1

Series1,

, 1.1 , -

A. crenulata A. rowani T.

L. L.

C. medinalis C. N.lugens schoenobii T. S.senex

5, 1.1 5,

23, 23, 1.1

Series1, Hydrelia,Series1, 4.3

Series1,

- -

N.virescens inops M.

Dominasi(%)

Series1,

Series1,

Series1, X Series1,

Series1,

Series1, Series1,

Series1,

Series1,

Series1, X Series1,

Series1, Paederus,Series1, 1.1

Series1, Ophionea, 1.1 Ophionea,Series1,

Series1,

Series1, Tipulidae,Series1, 1.1 Series1, X Series1, Series1, pseudoannulata,

Gambar 14. Kurva peringkat kelimpahan spesies pada saat bunga. Cianjur, MP 2002

Kurva spesies peringkat pertama yang ada di pesawahan Cianjur pada tanaman padi stadia menguning adalah O. chinensis sebesar 33.3% (dari 294 individu, 21 spesies). Peringkat selanjutnya adalah C. longipennis, diikuti oleh L. oratorius, dan T. maxillosa (Gambar 17).

Kurva spesies peringkat pertama yang ada di pesawahan Garut pada tanaman padi stadia menguning adalah Thrips sebesar 35% (dari 140 individu, 14 spesies). Peringkat selanjutnya adalah Hispa padi, diikuti oleh N. malayanus (Gambar 18).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 777

Series1, Thrips, 59.5 Thrips, Series1,

, ,

, , 0.5 , , 0.2

T. T. 2.1 ,

L. L. .4 , 2.7 ,

Series1, X32, X32, Series1, 15.8 N. , 0.2 , , 1.4 , N.

A. A. 0.2

0.2 , 0.5 ,

Dominasi (%)Dominasi S.

, 0.2 ,

, 0.5 , , 0.5 ,

Oxya Sepedon taeniata P. 0.2 , N.malayanus, N.nigripictus litura S. leda M. inops, 0.9 inops,

senex

Series1,

Series1, Series1, Hispa, Hispa, Series1, 4.8

ismene Series1,

oratorius Series1,

Series1, X2, X2, Series1, 2.3

Series1, Series1, Hydrelia,Series1, 2.1

schoenobii Series1,

Series1, Tetragnatha,Series1,1 virescens

Series1, Telenomus,1.1 Series1,

Series1, X31, X31, Series1, 1.1

Series1, Micraspis Micraspis Series1,

Series1, Lycosa, 0.7 Lycosa, Series1, Series1, Tipulidae,Series1, 0.5

chinensis Series1, Series1,

pygmaea Series1,

Series1,

Series1, X18, X18, Series1, 0.2

Series1, Paederus,Series1, 0.2

Series1, Series1, furcifera Series1, aenescens

Gambar 15. Kurva peringkat kelimpahan spesies pada saat berbunga. Garut, MP 2002

L. L.

, 56.9 , Series1, Series1,

oratorius

,

, 7 ,

, 0. ,

, 2.4 ,

, 0.3 ,

7.7

.4 7.4

C.longipennis O.chinensis 8 S. S. 5

S. senex S. A.

0.3 , 1.1 ,

N.virescebs N.lugens 0.3 ,

Dominasi (%)Dominasi

Series1,

Series1, Tetragnatha,Series1,

Series1,

Series1, X2, X2, 7.1 Series1,

Series1, X34, X34, Series1, 2.9

Series1,

Series1,

Series1, X13, X13, Series1, 2.1

Series1, Series1, Tipulidae,Series1, 1.3

furcifera 1.1 Thrips, Series1,

Series1,

Series1, Telenomus,0. Series1,

Series1,

Series1, Hispa, Hispa, Series1, 0.3 Tetrastichus, Series1, pygmaea X33, Series1, 0.3

Gambar 16. Kurva peringkat kelimpahan spesies pada saat padi menguning. Subang, MP 2002

O. 33.3

Series1, , 8. ,

chinensis, 15.3

C.longipennis, , 4.1 ,

L. L.

8

, 10.2 , , 1.0 ,

Tetragnatha P. 0.7 ,

Series1,

, 8.2 ,

, , 0.3

6.5 , 0.3 ,

N.malayanus, Series1,

S. furcifera S. oratorius

N.

, 2.0 , Series1, Series1,

Series1, A. , 1.0 , T. T. 0.3 , taeniata A. P.

N.viridula 0.7 , M. ismene M. 0.3 ,

O.sabina inops M.

Series1,

Dominasi (%)Dominasi

Series1,

Series1, Hydrelia,Series1, 3.4

Series1, Series1, Tipulidae,Series1, 2.4

virescens Series1,

Series1,

Series1, Series1,

crenulata Series1,

pygmaea Series1,

Series1,

Series1, Ophione, 0.3 Ophione,Series1,

Series1, X13, X13, Series1, 0.3 Series1, Lycosa, 0.3 Lycosa, Series1, coarctata Series1, schoenobii

Gambar 17. Kurva peringkat kelimpahan spesies pada saat padi menguning. Cianjur, MP 2002

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 778

, ,

Series1, Thrips, 35 Thrips, Series1, , 4.3 ,

N. 10 ,

, 2.1 ,

8.6

4 7.1

T.schoenobii , 2.1 ,

Series1, Hispa, Hispa, Series1, 12.9 L.

N. C. , 3.6 ,

S. senex S. 3.6 ,

Series1, O.

Mlayanus M.inops 1.4 ,

Series1, Tetragnatha,Series1,

Dominasi (%)Dominasi

Series1,

Series1, Telenomus,6. Series1,

Series1,

Series1,

Series1, Series1,

virescens oratorius

Series1, Series1, longipennis Series1, X21, 2.1

chinensis Series1,Tipulidae, 0.7

Gambar 18. Kurva peringkat kelimpahan spesies pada saat padi menguning. Garut, MP 2002 DISKUSI UMUM Pada MP2002 peringkat artropoda mulai sejak sebelum tanam sampai tanaman padi menguning tidak sama dan tidak didominasi oleh satu serangga. Dinamika perkembangan artropoda silih berganti berlomba untuk suksesi, sehingga dapat terjadi peringkat pertama oleh fitopag, predator, parasitod, atau artropoda lainnya. Perkembangan dinamika suksesi di pesawahan Subang golongan air-1 pada awalnya yaitu sebelum pengolahan tanah dikuasai oleh A. formosana, kemudian pada rerumputan di sekitar sawah dikuasai oleh pemakan sisa organisme yaitu Sepedon senex (Tabel 4). Saat tanaman padi umur 12 hst komunitas artropoda dikuasi oleh hama C. medinalis, sedangkan pada saat premordia dikuasai oleh predator T. maxillosa. Pada saat padi berbunga dan menguning komunitas artropoda berturut-turut dikuasai oleh parasitoid X29 (unidentified) dan hama kungkang (L. oratorius). Dinamika suksesi di Cianjur pertama diawali oleh hama O. chinensis pada saat sebelum pengolahan tanah. Pada saat padi umur 21 hst dan berbunga justru predator T. maxillosa yang menguasai komunitas. Pada saat preomordia dan padi menguning kembali lagi dikuasai oleh O. chinensis (Tabel 4). Pada pesawahan Cianjur suksesi tersebut hanya antara O. chinensis dan T. maxillosa atau anta fitofag dan predator.

Dinamika suksesi di Garut pertama diawali oleh hama Hydrellia sp. pada saat sebelum pengolahan tanah. Saat tanaman padi umur 12 hst komunitas artropoda dikuasi oleh Nilobezzia acanthopus yang merupakan serangga makanan laba-laba. Daerah ini

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 779 menyediakan makan persiapan (bauffer) untuk perkembangan predator laba-laba. Predator laba-laba sendiri diperdiapkan untuk menekan hama tanaman padi. Pada saat premordia dikuasai oleh predator Agriocnemis pygmaea suatu predator yang banyak memangsa jenis wereng. Pada saat padi berbunga dan menguning komunitas artropoda dikuasai oleh thrips padi (Tabel 4). Thrips padi meningkat, karena tidak dimangsa oleh laba-laba.

Tabel 4. Perubahan suksesi artropoda pada berbagai stadia pertumbuhan tanaman padi di berbagai agroecological zone (AEZ) Keadaan Agroecological zone (AEZ) Subang gol 1ir-1 Cianjur Garut Sebelum pengolahan tanah Atypena formosana Oxya chinensi Hydrellia sp Rerumputan Sepedon senex - - Padi 21 hst C. medinalis Tetragnatha maxillosa Nilobezzia acanthopus Padi premordia Tetragnatha maxillosa Oxya chinensis Agriocnemis pygmaea Padi berbunga X29 (unidentified) Tetragnatha maxillosa Thrips Padi menguning Leptocorisa oratorius Oxya chinensis Thrips

Dari uraian peringkat beserta anggota komunitas lainnya ternyata ada serangga yang hilang di jalur Pantura dan Garut, yang pada awalnya merupakan serangga pada tanaman padi yang dominan. Serangga yang hilang dari pesawahan adalah Thaia oryzicola dan Recilia dorsalis. Suharjan (1970) melaporkan bahwa dua serangga T. oryzicola dan R. dorsalis keberadaannnya di pertanaman padi sangat banyak, bahkan T. oryzicola merupakan serangga yang paling dominan. Di Cianjur masih ditemukan R. dorsalis, namun tidak ditemukan T. oryzicola. Dengan hilangnya dua serangga tersebut akan mengganggu terhadap pola rantai makanan (food chain) dalam satu ekosistem pesawahan. Pada lahan sawah di Subang, komunitas artropoda yang dominan pada saat sebelum pengolahan tanah dan rumput-rumput berturut-turut adalah predator dan fitofag. Pada penyusun artropoda paling tinggi saat padi berumur 21 hst, stadia premordia dan padi menguning adalah fitofag, sedangkan pada saat padi berbunga adalah predator. Keanekaragaman (diversitas) artropoda termasuk tinggi (H>3.0) pada saat pengolahan

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 780 tanah, rerumputan, padi berumur 21 hst, dan padi berbunga, tetapi pada saat premordia dan menguning keragaman artropoda rendah (H<3.0). Stabilitas artropoda termasuk tinggi (E>0.7) pada saat pengolahan tanah, rerumputan, padi berumur 21 hst, dan padi berbunga, tetapi pada saat premordia dan menguning stabilitas artropoda rendah (E<0.6). Peringkat pertama dari artropoda yang ada di Subang pada saat sebelum tanaman dan rerumputan berturut-turut predator A. formosana dan S. senex (serangga pembersih lingkungan). Pada saat 21 hst dan menguning peringkat pertamanya adalah berturut- turut pelipat daun (C. medinalis) dan walang sangit (Leptocorisa oratorius). Pada saat premordia dan padi berbunga peringkat pertanamanya adalah predator Tetragnatha maxillosa dan serangga yang belum teridentifikasi (Tabel 5).

Tabel 5. Komunitas dominan, keanekaragaman, stabilitas komunitas, dan suksesi spesies di agroekologi pesawahan. Subang, MP2002 Keadaan (fase) di Besaran Ekologi pertanaman Komunitas Keanekaragaman* Stabilitas Suksesi spesies dominan* komunitas* Sebelum pengolahan Predator Tinggi (H=3.0262) Tinggi Atypena tanah (51.99 %) (E=0.7403) formosana Rerumputan Fitofag Tinggi (H=3.0454) Tinggi Sepedon senex (49.11%) (E=0.7046) Padi 21 hst Fitofag Tinggi (H=3.1037) Tinggi C. medinalis (46.49%) (E=0.7066) Padi premordia Fitofag Rendah (H=2.0524) rendah Tetragnatha (43.75%) (E=0.5131) maxillosa Padi berbunga Predator Tinggi (H=3.1671) Tinggi X29 (50.00) (E=0.7918) (unidentified) Padi menguning Fitofag Rendah (H=2.4001) rendah Leptocorisa (38.89%) (E=0.5756) oratorius *Baehaki (2010), H=diversitas (keanekaragaman), E=stabilitas

Pada lahan sawah di Cianjur, komunitas artropoda yang dominan pada saat sebelum pengolahan tanah, saat padi berumur 21 hst, stadia premordia, stadia berbunga dan padi menguning adalah fitofag. Keanekaragaman artropoda termasuk rendah (H<3.0) pada saat pengolahan tanah, tetapi padi berumur 21 hst, premordia, berbunga, dan menguning keragaman artropoda tinggi (H>3.0). Stabilitas artropoda termasuk cukup tinggi (E>0.6-0.7) pada saat pengolahan tanah dan padi premordia, tetapi pada padi berumur 21 hst, dan padi berbunga, tetapi pada saat premordia dan menguning stabilitas artropoda tinggi (E>0.7). Peringkat pertama dari artropoda yang ada di Cianjur

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 781 pada saat sebelum tanaman, padi premordia, dan menguning adalah O. chinensis. Pada saat 21 hst dan berbunga peringkat pertamanya adalah T. maxillosa (Tabel 6).

Pada lahan sawah di Garut, komunitas artropoda yang dominan pada saat sebelum pengolahan tanah, padi premordia, berbunga, dan menguning adalah fitofag. Pada penyusun artropoda paling tinggi saat padi berumur 21 hst adalah serangga lain selain (selain fitofag, parasit dan predator). Keanekaragaman (diversitas) artropoda termasuk rendah (H<3.0) pada saat pengolahan tanah dan padi berbunga, tetapi pada saat padi berumur 21 hst, saat premordia, dan menguning keragaman artropoda tinggi (H>3.0).

Tabel 6. Komunitas dominan, keanekaragaman, stabilitas komunitas, dan suksesi spesies di agroekologi pesawahan. Cianjur, MP2002 Keadaan (fase) Besaran Ekologi di pertanaman Komunitas Keanekaragaman* Stabilitas Suksesi dominan* komunitas* spesies Sebelum pengolahan tanah Fitofag Rendah Cukup tinggi Oxya chinensi (93.75%) (H=2.0293) (E=0.6764) Rerumputan - - - - Padi 21 hst Fitofag Tinggi (H=3.9402) Tinggi Tetragnatha (54.55%) (E=0.8383) maxillosa Padi premordia Fitofag Tinggi (H=3.1318) Cukup tinggi Oxya (40.91%) (E=0.6423) chinensis Padi berbunga Fitofag Tinggi (H=3.9484) Tinggi Tetragnatha (43.48%) (E=0.8728) maxillosa Padi menguning Fitofag Tinggi (H=3.1861) Tinggi Oxya (40.91%) (E=0.7144) chinensis *Baehaki (2010), H=diversitas (keanekaragaman), E=stabilitas

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 782

Tabel 7. Komunitas dominan, keanekaragaman, stabilitas komunitas, dan suksesi spesies di agroekologi pesawahan. Garut, MP2002 Keadaan (fase) di Besaran Ekologi pertanaman Komunitas Keanekaragaman* Stabilitas Suksesi spesies dominan* komunitas* Sebelum pengolahan Fitofag Rendah (H=2.8579) Cukup tinggi Hydrellia sp. tanah (56.14%) (E=0.6728) Rerumputan - - - - Padi 21 hst Lain-lain Tinggi (H=3.6302) Tinggi Nilobezzia (38.65%) (E=0.7817) acanthopus Padi premordia Fitofag Tinggi (H=3.3908) Tinggi Agriocnemis (44.84%) (E=0.7604) pygmaea Padi berbunga Fitofag Rendah Rendah Thrips (46.15%) (H=2.3417) (E=0.5251) Padi menguning Fitofag Tinggi Cukup tinggi Thrips (42.86%) (H=3.1061) (E=0.6689) *Baehaki (2010), H=diversitas (keanekaragaman), E=stabilitas

Stabilitas artropoda termasuk cukup tinggi (E>0.6-0.7) pada saat pengolahan tanah dan padi menguning, di lain pihak stabilitasnya rendah (E<0.6) pada saat padi berbunga. Sebaliknya pada saat padi berumur 21 hst dan pada saat premordia stabilitas artropoda tinggi (E>0.7). Peringkat pertama dari artropoda yang ada di Garut pada saat sebelum tanaman Hydrellia sp. Pada saat 21 hst peringkat pertamanya adalah merupakan makanan predator, pada saat preomordia peringkat pertamanya adalah predator A. pygmaea. Pada saat berbunga dan padi menguning peringkat pertamanya hama thrips (Tabel 7).

KESIMPULAN 1. Pada saat sebelum pengolahan tanah ada kesamaan komunitas serangga yang ada di Subang dengan komunitas serangga yang ada di Cianjur. Komunitas serangga yang ada di Cianjur berbeda dengan komunitas serangga yang ada di Garut, demikian juga ada perbedaan komunitas serangga yang ada di Subang dengan komunitas serangga yang ada di Garut.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 783

2. Pada saat tanaman padi berumur 21 hari antara komunitas serangga yang ada di Subang, Cianjur, dan Garut tidak berbeda. Di lain pihak komunitas artropoda yang ada di Subang, Cianjur, dan Garut pada saat padi premordia, berbunga, dan menguning berbeda nyata antara daerah satu dengan yang lainnya. 3. Pada saat sebelum pengolahan tanah, peringkat pertama spesies serangga berbeda di setiap tempat. Di Subang pada pesawahan golongan air-1 dan 3 peringkat pertama komunitas adalah Atypena (Callitrichia) formosana. Pada rumput di golongan air-1 dan 3 peringkat pertamanya berturut-turut adalah Sepedon senex dan wereng hijau mata merah. Di Cianjur dan Garut berturut-turut Oxya chinensis dan Hydrellia sp.. 4. Pada saat 21 hst peringkat pertama spesies serangga di Subang, Cianjur, dan Garut berturut-turut Pelipat daun, Tethragnatha maxillosa dan Nilobezzia acanthopus. 5. Pada premordia peringkat pertama spesies serangga di Subang, Cianjur, dan Garut berturut-turut Tetragnatha maxillosa, Oxya chinensis, dan Agriocnemis pygmaea 6. Pada berbunga peringkat pertama spesies serangga di Subang, Cianjur, dan Garut berturut-turut X29 (unidentified), Tetragnatha maxillosa, dan Thrips 7. Pada menguning peringkat pertama spesies serangga di Subang, Cianjur, dan Garut berturut-turut Leptocorisa oratorius, Oxya chinensis, dan Thrips 8. Serangga yang hilang dari pesawahan adalah Thaia oryzicola dan Recilia dorsalis, hal ini dapat menganggu alir rantai makanan di alam. DAFTAR PUSTAKA Alimoeso, S, S.W. Yassis, S. Gaib, M. Siswanto, dan E. Budianto. 2000. Sistem peramalan dan pengendalian OPT dalam mendukung sistem produksi padi berkelanjutan. Lokakarya Padi. Balitpa, 26p. Arifin K, Baehaki, Nurhayati. 2000. Teknik perbanyakan agens hayati Metarhizium anisopliae dan Beauveria bassiana pada media padat dan effektivitas umur biakan terhadap wereng coklat. Seminar Hasil Kegiatan Managemen/Operasional melalui Dana ARMP. 19p. Baehaki S.E dan A. Hasanuddin. 1995. Situasi wereng coklat dan tungro di beberapa daerah Jawa pada 10 tahun terakhir. Seminar Balai Penelitian Tanaman Padi. 29p. Baehaki S.E dan A. Rifki. 2001. Simulasi sistem pertanaman multivarietas sebagai alternatif teknik pengendalian wereng coklat. Laporan hasil penelitian 2000.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 784

Baehaki S.E, Baskoro, dan A. Rifki. 2000. Penetapan ambang ekonomi ganda hama dan penyakit pada varietas berbeda umur masak di peranaman. Seminar Hasil Kegiatan Managemen/Operasional melalui Dana ARMP. 29p. Baehaki S.E, P. Sasmita, dan D. Kertoseputro. 1997. Pengendalian hama berdasar ambang ekonomi dengan memperhatikan musuh alami serta anlisis usaha tani dalam PHT. Kumpulan makalah Seminar Hasil Penelitian Pendukung PHT. Program Nasional PHT. Departement Pertanian. 54p. Baehaki S.E. 1986. Dinamika populasi wereng coklat Nilaparvata lugens Stal. Edisi Khusus No1. Wereng Coklat. Baehaki S.E. 1999. Strategi pengendalian hama wereng coklat. Hasil Penelitian Teknologi Tepat Guna menunjang Geme Palagung. Puslitbang-Blitpa. 54-63p. Baehaki S.E. 1999. Strategi pengendalian wereng coklat. Prosiding Hasil Penelitian Teknologi Tepat Guna Mendukung Gema Palagung. Balitpa. 54-63. Baehaki S.E. 2001. Peningkatan pean agens hayati dalam pengelolaan ekosistem secara kuantitatif. Simposium Pengendalian Hayati Serangga. Sukamandi. 23p. Baehaki S.E. 2010. Kelimpahan dan Karakteristik Komunitas Arthropoda Pada Berbagai Agroekologi. Seminar Ilmiah Hasil Penelitian Padi Nasional di Sukamandi pada 24 November 2010. 17p Basit A. H. Supriyadi, A. Ruswandi, Darmawan, E. Bekti, dan B. Asmara. 2000. Karakterisasi dan analisis agroekologis wilayah Jawa Barat. Seminar hasil penelitian/pengkajian BPTP Lembang. 32p. BPS. 1998. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Indonesia. 158p. Cheng J. 1995. Arthropod community structures in rice ecosystem in China. Workshop Sustainable Insect Pest Management in Tropical Rice, Bogor-Indonesia.14p. Hendarsih, S. dan A. Rahayu. 1996. Pengujian Ambang Kendali Berdasarkan Pemantauan Dengan Seks Feromon Pada Penggerek Batang Padi Kuning. Balitpa. Laporan Hasil Penelitian. 16 Hal. Heong K. L, G.B. Aquino, and A.T. Barrion. 1991. Arthropod Community structure of rice ecosystem in the Philippines. Bulletin of Entomological Research, 81:407- 416. Herlina S. 2000. Analisis komunitas arthropoda predator penghuni lansekap pesawahan di daerah Cianjur, Jawa Barat. Ringkasan Disertasi IPB. 33p. Hung N.Q and L.P. Lan. 1995. Progress study on the arthropod community on rice ecosystems in the Mekong Delta, Vietnam. Workshop Sustainable Insect Pest Management in Tropical Rice, Bogor-Indonesia. 18p. Palis F., P.L. Pingali, and J.A. Litsinger. A multiple-pest economic threshold for rice (a case study in the Philippines). Crop loss assessment in Rice. IRRI. 334p. Pathak M.D. and V.A. Dyck. 1973. Developing an integrated method of rice insect pest control. PANS 19(4): 534-544. Puslitbangtan. 1999. Dekripsi varietas unggul padi dan palawija 1993-1998. Puslitbangtan. 66h.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 785

Soehardjan M. 1970. Observation on leaf and planthopper on rice in West Java. Contribution No.3, 10p.CRIA, Bogor. Untung K. 2001. Perpaduan pengendalian hayati, biodiversitas, bioteknologi dalam kerangka pengelolaan hama terpadu. Seminar sehari UGM. 6p. Waibel H. 1986. The economics of integrated pest control in irrigated rice. Crop protection monograph. Springer-Verlag, Berlin.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 786

OEB-09 Populasi Hama Kutu Loncat (Heteropsylla cubana Crawford) pada Beberapa Jenis Lamtoro (Leucaena sp) di Ciawi Bogor Sajimin1 1Balai Penelitian Ternak P.O.Box 221 Bogor 16002

ABSTRAK Heteropsylla cubana Crawford, merupakan anggota dari kelompok serangga yang dikenal sebagai kutu loncat. Serangga ini berasal dari daerah Amerika tropis. Kutu loncat ini sulit dilihat dengan mata telanjang karena ukurannya yang sangat kecil yaitu serangga dewasa sekitar 2 mm. Kutu loncat ini berwarna hijau hingga kuning. Serangga muda mirip dengan serangga dewasa, tetapi ukurannya lebih kecil dan tidak bersayap sehingga tidak bisa terbang. Tanaman lamtoro termasuk jenis pohon serbaguna (JPSG) dan sering digunakan dalam pertanian sebagai hijauan pakan ternak, penaung, konservasi lahan, dan tanaman penghijauan. Semenjak adanya serangan kutu loncat tahun 1986 tanaman lamtoro banyak yang mati. Hasil seleksi tanaman lamtoro tahan serangan hama kutu loncat di Balitnak yaitu: Leucaena diversifolia, Leucaena KX2 hibrids, L. leucocephala K28 dan L. glauca. Tanaman lamtoro tersebut sebagai koleksi plasma nutfah dan diamati tingkat serangan hama kutu loncat dengan metode pengamatan langsung untuk menentukan densitas nimfa dan imago pada daun pucuk. Penentuan tingkat kerusakan secara empiris dengan nilai 1-3 (rusak ringan), 3-6 (rusak sedang), dan 6-9 (rusak berat). Hasil pengamatan pada tanaman lamtoro yang dikoleksi menunjukkan L. diversifolia dan Leucaena KX2 termasuk tanaman tahan dengan tingkat kerusakan ringan 1-3 (populasi nimfa per pucuk 53,6 – 109,2), sedangkan pada tanaman L. leucocephala K28 dan L. galuca termasuk tanaman tidak tahan serangan hama kutu loncat dengan populasi nimfa 81,6-114,6 per pucuk telah rusak berat dengan kerontokan daun mencapai 80 %. Kata kunci: Leucaena sp, H.cubana, populasi hama, kerusakan tanaman

ABSTRACT

Aproximately in two decade after the report of the psyllid infestation in Indonesia, certain species of Leucaena planted at Balitnak appeared to be unaffected. Leucaena germplasm, however suffered a minor damage. They were Leucaena diversifolia and Leucaena KX2. In this study, those Leucaena were tested against leucaena psyllid to confirm whether were truly resistant or not. The degree of the plant damage was expressed in an empirical scale and the psyllid population. Damage of the Leucaena trees due to the psyllid attack appeared as chlorotic leaves fallowed by curling drying and falling of leaves. Tiny pits appeared on the surface of leaflets. The degree of damages of Leucaena species varied from low, moderate and heavy. Results indicate that L.diversifolia was resistant, Leucaena KX2 was tolerant while L. leucocephala and L. glauca were susceptible. Psyllid counts per shoot had a positive correlation with degrees of host damage. Higher psyllid number caused heavier damages and psyllid nymphs appeared to be the main cause.

Keywords: Leucaena, psillid, population, damage

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 787

PENDAHULUAN Tanaman Lamtoro (Leucaena leuchocephala Lam deWit) menjadi popular hampir di setiap daerah di Indonesia. Lamtoro termasuk jenis legume yang serbaguna (JPSG) karena mempunyai kegunaan yang banyak antara lain sebagai penutup tanah, pencegah erosi, penaung, pakan ternak dan beberapa penduduk memanfaatkan buah, biji dan daun sebagai makanan. Tanaman ini berasal dari Meksiko, kemudian tersebar luas di Amerika Latin. Sejak tahun 1960 menjadi tanaman pan tropik (Brewbaker, 1986). Pada awal abad ke 19 tersebar ke Indonesia, Malysia, Australia dan Kepulauan Karibia (McFadden, 1986). Hingga saat ini telah tersebar di Negara-negara yang iklimnya tidak terlalu dingin. Lamtoro telah tersebar diseluruh dunia, hal ini dapat dilihat dalam pemberian nama yaitu lino criolo dan granadillo bobo (Republic Dominika), uaxin (Meksiko), vi-vi (Afrika selatan), ipil-ipil, lapile, bayani dan santa Elena (Philipina), lamtoro, kemladingan, petai cina (Indonesia), guaje dan yaje (Amerika Latin), koa haole (Hawai), hediondillo, tantan (Virgin Island), jumbie bean (Bahama), graindelin pays, tohai-tohai dan marron (Haiti) dan kubabul (India). Seperti halnya tanaman lain lamtoro banyak disukai oleh serangga hama yang menyerang daun, buah, cabang dan batang. Lamtoro memilki ketahanan yang tinggi terhadap hama penyakit karena pertumbuhannya cepat. Hama yang menyerang pernah dilaporkan yaitu kutu putih (Psudococcus citri) dan kutu lamtoro (Ferrisia virgata). Namun serangan hama tersebut tidak menyebabkan kerusakan berarti karena terkendali musuh alami. Kutu loncat lamtoro (Heteropsylla cubana Crawford) telah diketahui sebagai hama di Indonesia tahun 1986. Hama tersebut menghisap batang muda, daun sehingga tanaman mengalami kerusakan dan laju pertumbuhan tanaman berhenti dan mati (Sajimin, 1991). Potensi sebagai hama tanaman lamtoro sangat besar karena kemmpuannya menyerang ujung-ujung tanaman yang muda. Beberapa musuh alami telah didatangkan untuk menanggulangi yaitu sejenis Curinus coeruleus sebagai upaya pengendalian hama kutu loncat lamtoro. Namun musuh alami tersebut belum optimal sehingga beberapa jenis Leucana masih banyak terserang hama kutu loncat.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 788

Beberapa hasil seleksi jenis lamtoro yang tahan serangan hama kutu loncat lamtoro telah dikoleksi di kebun hijauan pakan. Antara lain jenis Leucaena diversifolia,dan Leucaena KX2. Jenis lamtoro tersebut telah muali dikembangkan dengan produksi hijauan hampir sama dengan Leucaena leucocephala. Produksi hijauan KX2 lebih tinggi dan mencapai 4 kali dari lamtoro biasa (Austin, 1995; Brewbaker, 2006; Purwantari, 2005; Shi, 2006). Melalui makalah ini dilaporkan tingkat ketahanan beberapa jenis lamtoro terhadap serangan hama kutu loncat setelah mewabah di Indonesia lebih dari 20 tahun.

MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan di kebun hijauan Balitnak dengan ketinggian tempat 500 dari muka laut, rataan temperature 24 0C dan kelembaban relative 84.7 %. Tanaman yang digunakan adalah tanaman koleksi Leucaena diversifolia, Leucaena KX2, L. leucocephala (K28) dan Leucaena glauca (lokal). Tanaman tersebut ditanam ditanam dipetak koleksi masing-masing 10 tanaman setiap jenisnya. Pelaksanaan penelitian didasarkan pada pengamatan daun pucuk lamtoro dilakukan pada musim kering (bulan Juli-Oktober) dengan waktu pengamatan setap 14 hari dengan menentukan tingkat kerusakan berdasarkan urutan empiris tingkat kerusakan yang dinyatakan dengan skala:

Tidak ada kerusakan Skala - Tidak ada kerusakan 0 - Terdapat lekukan pada anak daun muda 1 - Pucuk tanaman melungker 2 - Anak daun ada yang gugur 3 - Daun muda rontok sampai ibu tangkai daun 4 - Daun rontok sampai tangkai daun 5 - Seperempat daun tajuk gugur 6 - Separuh daun tajuk gugur 7 - Tiga perempat tajuk gugur 8 - Keseluruhan daun gugur 9

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 789

Dari skala tersebut kemudian dikelompokan berdasarkan Mullen (1997) menjadi : - Tanaman rusak ringan skala: 1-3 (keadaan tanaman daunnya mulai terdapat lekukan pada anak daun sampai daun pucuk melungker) - Tanaman rusak sedang skala : 4-6 (keadaan tanaman dari ibu tangkai daun ada yang rontok mencapai 25-50%) - Tanaman rusak berat : 7-9 ( kerontokannya dari 50% sampai keseluruhan daun tajuk gugur. Setiap pengamatan tingkat kerusakan dilanjutkan dengan pengambilan sampel secara acak untuk perhitungan populasi serangga. Tiap jenis diambil 3 pucuk yang hanya memiliki satu tunas ujung. Pengambilan dengan cara menyungkupkan kantong plastic. Untuk mematikan nimfa dan imago dihitung langsung dengan membuka tiap helaian anak daun. Analisa data dengan korelasi antara populasi hama dan tingkat kerusakan dihitung tepat tanaman inang mencapai kerusakan berat.

HASIL DAN PEMBAHASAN Serangan hama kutu loncat dari tahun 1986 sampai 2010 telah menyebabkan hampir seluruh tanaman lamtoro mengalami kerusakan baik ringan maupun berat. Hasil pengamatan tanaman koleksi lamtoro yang diseleksi di kebun hijauan Balitnak menunjukkan ketahanannya terhadap terhadap serangan hama kutu loncat seperti yang tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Rataan tingkat kerusakan beberapa jenis Leucaena sp pengamatan Pengamatan Jenis tanaman I II III IV V Leucaena diversifolia 2 2 3 4 5 Leucaena KX2 2 2 3 2 3 Leucaena leucocephala 6 5 8 5 6 Leucaena glauca 7 7 8 7 7

Pada Tabel 1 tersebut terlihat bahwa tanaman L. diversifolia dan Leucaena KX2 menunjukkan tingkat kerusakan ringan dengan skala 2.6 dan 2.4. Kerusakan tanaman ditandai pada helaian daun terdapat lekukan tapi masih dapat tumbuh normal.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 790

Sedangkan L. leucocephala dan L. glauca tingkat kerusakannya rata-rata 6.0 dan 7.2. Pucuk tanaman daunnya telah gugur mencapai lebih dari 75% dengan pucuk tunas ditumbuhi jamur jelaga. Jika dibandingkan waktu pengamatan nampaknya populasi hama tidak banyak perbedaan sepanjang waktu. Hal ini disebabkan serangga dewasa meletakkan telur di ujung tunas atau pada daun muda yang belum terbabar kemudian setelah menjadi nimfa selalu membentuk koloni diujung dan aktif menghisap cairan dari tanaman. Untuk hidupnya serangga betina 10.9-14.5 hari dan menghasilkan telur 176-338 butir (Beardsley, 2006). Sehingga dalam waktu singkat menghasilkan generasi yang tumpang tindih setiap tahunnya. Perbedaan tingkat kerusakan ini menunjukkan adanya perbedaan ketahanan antar spesies, hal ini menunjukkan L. diversifolia dan Leucaena KX2 mempunyai imunitas terhadap hama kutu loncat. Populasi nimfa 53,6-109,2 per pucuk (Tabel 2) tanaman tetap tumbuh walaupun pada petak yang populasi hama kutu loncatnya tinggi. Resistensi tanaman tersebut bekerja pada saat terjadinya kontak antara hama dan inang. Walaupun hama dapat berkembang karena tanaman mempunyai ketahan yang tinggi maka tetap tumbuh dan tingkat kerusakannya rendah. Ketahanan tanaman terhadap serangga akan ditentukan oleh kekaran melalui mekanisme tanaman bertahan dari serangan hama dan tumbuh tetap tegar. Ketegaran tanaman mampu mengurangi kerusakan yang lebih tinggi (Indrayani, 2008; Samsudin, 2008). Sifat ketegaran tanaman L. diversifolia dan Leucaena KX2 yang menyebabkan lebih tahan. Sedangkan jenis L. leucocephala dan L. glauca tidak demikian maka dengan populasi yang sama dengan skala tingkat kerusakannya 7 dengan daun tanaman lebih dari 75% rontok.

Tabel 2. Rataan populasi nimfa per pucuk kutu loncat Pengamatan Jenis tanaman I II III IV V Leucaena diversifolia 134 237 32 88 55 Leucaena KX2 50 81 41 87 9 Leucaena leucocephala 95 66 42 58 107 Leucaena glauca 18 18 128 121 288

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 791

Tabel 3. Rataan populasi imago kutu loncat lamtoro per pucuk Pengamatan Jenis tanaman I II III IV V Leucaena diversifolia 19 56 66 9 17 Leucaena KX2 10 14 37 17 11 Leucaena leucocephala 26 30 20 28 33 Leucaena glauca 27 44 65 10 35

140 Skala kerusakan populasi nimfa 120 100 80 60 40 20 0 L.diversifolia Leucaena KX2 L.leucocephala L.glauca

Gambar 1. Rataan populasi H.cubana pada tingkat kerusakan dan populasi nimfa, dan imago.

Pada Tabel 2, 3 dan Gambar 3 terlihat populasi nimfa dan imago yang sama tingkat kerusakannya lebih tinggi. Hal tersebut nampaknya ketahanannya L. leucocephala dan L. glauca lebih rendah. Rendahnya ketahanan nampaknya dipengaruhi oleh morfologi tanaman terutama pucuk daun lebih lunak dan lebih halus sehingga disukai hama dibanding L. diversifolia dan Leucaena KX2. Menurut Mullen dkk. (1998), ketahanan leucaena terhadap kutu loncat adalah tanaman yang mempunyai permukaan daun lebih keras sehingga serangga sulit memakannya. Kemudian Castillo (1997) juga melaporkan dengan tingginya kandungan NDF dan ADF sehingga tidak disukai kutu loncat. Keadaan tanaman demikian juga dilaporkan Indrayani (2008) bahwa sifat morfologi tanaman erat hubungannya dengan ketahanan tanaman terhadap serangga antara lain ketebalan daun, bentuk daun. Pada Tabel 2 dan 3 jika dibandingkan populasi hama lebih banyak nimfa daripada imago pada semua jenis leucaena yang terserang hama kutu loncat. Hal demikian menunjukkan bahwa tingkat serangan hama terhadap tingkat kerusakan

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 792 tanaman lamtoro lebih dipengaruhi oleh nimfa daripada imago. Nimfa yang belum memiliki saya sehingga tidak berpindah-pindah dari pucuk tanaman dan aktif mengisap tanaman yang masih muda untuk pertumbuhannya. Hasil yang serupa juga dilaporkan Laba dkk. (2007) bahwa nimfa pada tanaman lada di lapangan maupun di laboratorium akibat serangan nimfa kepik renda (Diconocoris hewetti) mengakibatkan kerusakan tanaman mencapai 85.3% - 93.3% dan imago 82.89% - 83.04% sehingga mengakibatkan kerugian hasil lada.

KESIMPULAN Kerusakan tanaman leucaena akibat serangan hama kutu loncat lamtoro menyebabkan kerusakan ringan, sedang dan berat. Tanaman L. diversifolia termasuk tanaman tahan dengan tingkat kerusakannya ringan, Leucaena KX 2 termasuk tahan. L. leucocephala dan L. glauca termasuk peka. Populasi hama berhubungan positif terhadap kerusakan tanaman dan lebih disebabkan oleh nimfa daripada imago.

DAFTAR PUSTAKA Austin, M.T., C.T. Sorensson, J.L.Brewbaker, W.G.Sun, and H.M. Shelton. 1995 Forage dry matter yields and psyllid resistance of thirty-one leucaena selection in Hawaii. In (eds). Brewbaker,J.l. 2008. registration of KX2- Hawaii,Interspecific-Hybrid Leucaena. Journal of Plant registration 2: 190 -193. Crop Science Society of America. USA. Brewbaker,J.l. 2008. Registration of KX2-Hawaii,Interspecific-Hybrid Leucaena. Journal of Plant registration 2: 190 -193. Crop Science Society of America. USA. Beardsley, S. 1986. Psyllidae or jumping plant lice : Notes on Biology and Control. LRR. 7(2) : 1 – 5. Castillo, A.C., Guyaga, D.C. Fogarty, S and Shelton, H.M. 1997. Growth, Psyllid resistance and forage quality of L.leucocephala, L.palida, L.diversifolia and F1 hibrid 9eds) Mullen, B.F., F. Gabunada, H.M. Shelton, W.W. Stur dan B.Napompeth. 1978. Psyllid resistance in Leucaena. Leucaena-Adaptation, Quality and Farming systems. Aciar Proceedings. No. 86. P 51 – 60. Brewbaker,J.l. 1986. Leucaena Psyllids. Problem and proposed solution. Univ. of Hawaii at Manoa. Call of Tropical Agri. 2 p. Indrayani, IG.A.A. 2008. Peranan morfologi tanaman untuk mengendalikan pengisap daun Amrasca biguttula (Ishida) pada tanaman kapas. Perspektif Vol 7(1). P 47 – 54. http://perkebunan.litbang.deptan.go.id. Access ; 7/2 20011 Laba. I.W., A. Rauf, U. Kartosuwondo dan Soehardjan. 2007. Hubungan Antara Kerapatan populasi Kepik Renda, Diconocoris hewetti ( Dist ) (Hemiptera :

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 793

Tingidae ) Dan Kehilangan Hasil Pada Tanaman Lada. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. http://digilib.biologi.lipi.go.id. 7/2/2011 Mullen, B.F., F. Gabunada, H.M. Shelton, W.W. Stur dan B.Napompeth. 1997. Psyllid resistance in Leucaena. Leucaena-Adaptation, Quality and Farming systems. Aciar Proceedings. No. 86. P 51 – 60. McFadden, M.W. 1986. Evaluation of Leucaena/Heteropsylla problem in Hawaii The Philippins and New Caledonia. US.USDA. Forest service. Washington D.C. 23 p. Purwantari,N.D, 2005. forage Production of some lesser-known Leucaena species grown on acid soil. Indonesian Journal of Agricultural sciensce. 6(2): 46 – 51. Sajimin dan J. Darma. 1991. Uji ketahanan beberapa kultivar Leucaena spp terhadap kutu loncat lamtoro (Heteropsylla cubana) Makalah disampaikan pada seminar ilmiah dan kongres Biology X. Bogor 24-26 September 1991. Perhimpunan Biologi Indonesia dan PAU IPB. Shi,X.B., and J.L. Brewbaker. 2006. Vegetative propagation of Leucaena hybrids by cutting. Brewbaker,J.l. 2008. registration of KX2-Hawaii,Interspecific-Hybrid Leucaena. Journal of Plant registration 2: 190 -193. Crop Science Society of America. USA. Samsudin 2008. Resistensi tanaman terhadap serangan hama. http://www.pertanian sehat.or.id. 7/2/2011

Notulensi Diskusi Seminar Yuliati : Kaitan kutu loncat dengan tingkat kerusakan? Jawab : Skala kerusakan 1 - 9 adalah metode moten. Wulan : Pengamatan berapa kali setiap 4 bulan sekali? Pada umur berapa diteliti? Jawab : Pengamatan dilakukan 14 hari sesuai siklus kutu loncat. Ada pohon yang dipangkas, karena selalu terserang hama. Iwa : Faktor apa dengan populasi yang tahan? Jika ada analisis akan mendukung hasil penelitian. Jawab : Tanaman tetap tumbuh dengan baik walaupun populasi hama tinggi atau rendah. Kutu loncat meresap nutrisi daun, permukaan daun akan lebih kasar.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 794

OEB-10 Dinamika Populasi Belalang Kembara (Locusta migratoria) di Kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur Lince Mukkun1 1Program Studi Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Faperta Undana Kupang, Jln. Adisucipto Penfui Kupang, NTT, phone: 0380 881085 Email: [email protected]

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang perkembangan populasi dan perubahan perilaku belalang kembara pada waktu dan tempat berbeda. Penelitian dilakukan di dua lokasi yaitu desa Oekolo, Kecamatan Insana Utara dan Desa Oelpuah, Kecamatan Biboki Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT dari bulan Januari sampai Mei 2009. Pengamatan terhadap besarnya populasi nimfa dan imogo dilakukan sekali sebulan dengan metode menurut Lecoq (2001), sedang determinasi fase menggunakan skala morfometrik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa populasi locust sangat bervariasi menurut stadia. Populasi nimfa pada kedua lokasi pada akhir Pebruari sampai minggu pertama bulan Maret tergolong tinggi berkisar dari 49 sampai 60 individu/m2, namun menurun secara drastis hingga minggu ketiga bulan Maret sampai minggu pertama bulan April tidak ditemukan nimfa. Sebaliknya, imago hanya ditemukan pada minggu pertama pengamatan (akhir Pebruari 2009) di desa Oekolo, dengan densitas 16 ekor/m2 dan tergolong tinggi. Namun pada minggu ketiga bulan Maret 2009, densitas populasi meningkat tajam dengan rata-rata densitas masing-masing 80 dan 65 individu/m2 di desa Oekolo dan Oepuah. Selama periode tersebut, nimfa tidak ditemukan hingga akhir April 2009 karena semua nimfa berkembang menjadi imago dan terus menurun hingga akhir pengamatan. Di desa Oekolo, sebagian besar populasi locust berada pada fase soliter, dan sebagian kecil transien. Sedang di desa Oepuah, jumlah individu soliter dan transien hampir seimbang. Walaupun densitas populasi transien dan gregarius rendah, namun sangat penting untuk dikendalikan karena fase tersebut merupakan fase yang sangat merusak. Oleh karena itu dari segi pengelolaan hama, munculnya locust fase transien perlu dimonitor karena fase ini merupakan langkah awal menuju ledakan populasi.

ABSTRACT Locust population density during the observation period from late February to early May 2009 varied a lot according to the locust stage. The nymph densities in both locations were high (49-60 individuals/ m2) during the last week of February until the first week of March, then dramatically decreased afterward. By contrast, adult locust was only found in Oekolo at the first observation with a density of 16 individuals/m2 and no adult was found in Oepuah Utara and it is also considered high. However, in the third week of March 2009, adult locusts were found in both locations in very high density (80 and 65 individuals/m2) but no nymphs were present until early April 2009. The majority of Migratory Locust population in Oekolo was in solitary phase, and only a few individuals were in transient and no gregarious individual was observed. Meanwhile, in Oepuah Utara, solitary and transient individuals were in quite similar proportion. Although number of gregarious individuals was limited, they are as significantly important as the high individual numbers of solitary and transient phases because the gregarious phase is the most damaging one. Nevertheless, in terms of locust management, appearance of transient individuals has to be carefully monitored because it reveals the first step towards a possible outbreak.

Keywords: population density, Locusta migratoria, soliter, transient, gregarious

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 795

INTRODUCTION Indonesia is a huge country consisting of many islands, each with its own agro- ecological conditions. In general, from climatic perspective, most parts of Indonesian archipelago share almost similar wet-tropical climatic conditions. Timor Island is one of only a few of Indonesian isles that have quite different climatic conditions, i.e. semi- arid climate characterized by a short rainy season (3-4 months) and a long dry season (8-9 months). Rainy season in West Timor occurred from November/December to March/April, while the other months of the year correspond to dry season. Climatic conditions of Timor Island strongly determined kinds of trees that can grow as well as kinds of crops that can be cultivated. Two main staple food crops for people of West Timor, corn and rice, can only be grown during the short rainy season except in case of permanent irrigation, which is very limitedly available in the island. The Migratory Locust (Locusta migratoria) is a devastating pest of corn and rice, due to its ability to form dense and highly mobile swarms in gregarious phase (Pener, 1991; Pener and Yerushalmi, 1998; Applebaum and Heifetz, 1999; Simpson et al., 1999). Locust shows density dependent phase polimorphism. Under crowding or under isolation, they respectively develop characteristics of the gregarious or solitary phase (Uvarov, 1966; Skaf, 1990; Hagale et al., 2004). Population density during development of locust affects many aspect of their behaviour, physiology, morphology and ecolgy (Hagale et al., 2004).

In Indonesia, a recent outbreak of Migratory Locust was reported from Belu and Timor Tengah Utara District, Nusa Tenggara Timur Province (NTT), in early March 2007 (Fig. 1). During the successive attacks, the locust devastated about 7,000 ha of corn plantation. Long rainfall period in 2006 provided favorable conditions for growth and development of grasses, the main locust habitat (Mukkun et al., 2009). The longer the rainy period is during the previous year –which means also a longer growing period for grasses– the longer is the available period for egg laying. It is, therefore, suggested that eggs laid at the onset of the rainfall in the previous year and grasses growing during the onset of the current year determine whether there an outbreak will develop or not. In order to control Migratory Locust populations during outbreak in Belu district in 2007,

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 796 chemical pesticides were applied. Nevertheless, this technique was not a powerful tool to control the locust populations. The applications of pesticide during an outbreak need more labor and equipment. Furthermore, pesticide has negative side effects on human health and the environment, such as non target insects, natural enemies, soil and water. The information about bioecology such as biology, life cycle, population dynamic, and natural enemies of Migratory Locust need to be investigated to support efective locust management.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 797

Figure 1. Map of the Indonesian archipelago, including NTT Province and Eastern part of West Timor (TTU and Belu districts). Yellow circles indicate locations of locust outbreak occurred in 2007.

The objective of this activity was to gather information on Migratory Locust population density and phase determination over time and space. Population dynamics is a branch of life sciences that studies and describes short- and long-term changes in the size and age composition of populations, and the biological and environmental processes influencing those changes such as food availability, temperature, precipitation, predators/parasites, etc. influencing those changes. Population dynamics deals with the way populations are affected by birth and death rates, and by immigration and emigration.

MATERIALS AND METHOD

This research was carried out in two locations, i.e. Oekolo, Insana Utara sub-district, and Oepuah Utara, Biboki Utara sub-district, Timor Tengah Utara (TTU) District, Nusa Tenggara Timur Province, during a 10-month period, from November 2008 to August 2009.

Equipment and materials required

Equipment and material needed for the experiment included insect net, bottle, magnifying glass, ruler, camera, and stationeries.

Experimental design and procedures a. Population density

Population dynamics study of L. migratoria has been based on the monitoring of the nymph and adult densities, which were measured according to the method described by Lecoq et al. (2001).

1) Nymph Density a) Delimit mentally of square 1 m2 at 5 m ahead

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 798

b) Then carefully walk to that area, count all the hoppers jumping from that 1 m2. c) Once arriving in the area, search by feet or hand all those hidden in the vegetation. d) Replicated at least 10 times in each survey site. Nymph density is then calculated using the following formula: Average density/m2 = Number of nymphs counted/number of m2 scouted

2) Adult Density Adult density of the Migratory Locust was assessed using Foot Transect Method (Scovmand, 1999; Soedarsono, 2000). The procedures were as follows: a) Along a foot transect of 1 m wide and several hundred meters long, count the number of locusts flushing out and while walking. b) Repeat several times to get an evaluation over a total distance of at least 400 m. Adult density is then calculated using formula: Density / hectare = (Number of adults counted/area surveyed in m2) x 10 000 (m2). b. Phase determination

To determine whether the hoppers and adults were in solitary or gregarious phase, their color and morphology were observed.

1) The color of solitary adults are green or light brown, brownish, while gregarious adult are background brown-orange with black or blackish maculation. The solitary hoppers are green or light brown, while gregarious hopper are black in early stage and becoming yellow-orange and white spots in later instars. 2) Morphological observations consist of measuring femur and hind wing lengths as well as caput width. Ratio between wing and femur lengths (E/F), and between femur length and caput width (F/C) are then inserted into the below scale (Fig. 2.) to determine the phase of hoppers and adults.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 799

F/C G 2.85

2.95

T ♀ 3.46 ♂ 3.67 S 4.00 1.79 1.81 2.09 2.18 E/F

Figure 2. Morphometric scale of L. migratoria. Notes: S (Solitary), T (transiens), G (Gregarious), F/C ratio between lengths of Femur and Caput, E/F (ratio between lengths of Elytra and Femur).

RESULT AND DISCUSSION

1. Population density

Data on locust and grasshopper densities in two locations in TTU district from late February to early May are presented in Figure 3. Fig. 3 shows that locust population density during the observation period from late February to early May 2009 varied a lot according to the locust stage. This figure shows that nymph densities in both locations were high (ranges from 49-60 individuals/ m2) during the last week of February until the first week of March, then dramatically decreased afterward until zero in the third week of March until the first week of April 2009. This low locust nymph population density lasted until the end of observation (first week of May 2009). By contrast, adult locust was only found in Oekolo at the first observation (end of February 2009) with a density of 16 individuals/m2 and no adult was found in Oepuah Utara. Similar to nymph density in both locations, adult densities in

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 800 this location (Oekolo) is also considered high. No adult was found in both locations in the second observation (week I of March). However, in the third week of March 2009, adult locusts were found in both locations in very high density (80 and 65 individuals/m2) but no nymphs were present until early April 2009. The absence of nymph was mostly due to the development of the hopper into imago stage (last moult or fledging). Meanwhile, the density of imago decreased steadily until the end of observation in both locations (Fig. 3a). Almost the same situation occurred for grasshoppers but their density was lower than the locust one and no adult was seen from the first to the third observations in Oekolo and the first to the second observations in Oepuah Utara (Fig. 3b). Nymph population of grasshoppers was high in both locations at the first two observations (week 4 of February and week I of March), then decreased sharply in the following observations. On the other hand, adult grasshopper density was low in both locations during the first to the third observations, then increased a bit during the fourth and the fifth observations and again decreased in the last observation (Fig. 3b). Density of either locusts or grasshoppers seemed not to be influenced by the habitat or place where it was measured. It was noted that locusts were in higher densities than grasshoppers. In addition, number of locust nymphs was not substantially different between the two locations but adult number was quite different between the two locations. By contrast, either nymph or adult grasshopper densities in both locations exhibited similar pattern of fluctuations (Fig. 3b).

90 80 80 75 70 69 64 65 Nymph 60 Imago 50 52 49 40 42 30 20 Numeber/m2 16 15 15 10 1013 13 5

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

I I

I I

- -

- -

wk wk

- -

wk I wk I wk

- -

wk IV wk IV wk

wk IV wk IV wk

III III

- -

- -

May wkMay wkMay

March March

Aprilwk Aprilwk

Feb Feb

March March

April April

(a)

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 801

60

50 51

40 36 Nymph 32 31 30 Imago

20

Numeber/m2 15 15 15 10 10 10 8 4 5 2

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

I I

I I

- -

- -

wk I wk I wk

- -

wk IV wk wk IV wk

wk IV wk wk IV wk

wk III wk III wk

- -

- -

- -

May wkMay wkMay

Aprilwk Aprilwk

Feb Feb

March March

April April

March March

(b) Figure 3. Migratory Locust (a) and grasshopper (b) densities (per m2) in two locations in TTU District from late February to early May 2009. Habitat of locust and grasshopper in Oekolo was grassland and rice field while that in Oepuah Utara was grassland and corn field.

The availability of food (corn and grass) was probably the main factor influencing the fluctuation of population density. In the beginning of observation, the food was abundant because it was the rainy season which ended in late March. In the next period, the rice was planted after corn harvest. The vegetation conditions in Oekolo and Oepuah Utara during the study are presented in Fig. 4.

(a) (b)

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 802

(c) (d) Figure 4. Vegetation conditions: (a) Rice field in Oepuah Utara in April 2009, (b) Rice field in Oekolo in April 2009, (c) Grass vegetation in Oekolo in early May 2009, and (d) Dry leaves of corn in the field in Oepuah Utara in early May 2009.

2. Migratory Locust Phase

Phase status of the Migratory Locust in TTU district was observed every two weeks from the end of January until the end of April 2009. It was determined based on morphometric analysis as described in the method. Whether an individual locust is in solitary, transiens or gregarious phase can be revealed through morphometric analysis. Detailed analysis of locust phases during the first observation (the fourth week of January 2009) in two TTU district locations based on E/C and E/F ratios is presented in Fig. 5 while numbers of each locust phase during the following observations are presented in Fig. 6.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 803

E/F

(a)

G

E/F

(b)

Figure 5. Distribution of L. migratoria individuals into Solitary, Transiens and Gregarious phases in two locations in TTU District based on, during the last week of January, 2009: (a) Oekolo, and (b) Oepuah Utara.

Based on Fig. 5, it is known that the majority of Migratory Locust population in Oekolo during the end of January 2009 was in solitary phase, and only a few individuals were in transiens and no gregarious individual was observed (Fig. 5a). During the same time,

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 804 solitary and transiens individuals in Oepuah Utara were in quite similar proportion, and as with Oekolo, no gregarious individual was observed (Fig. 5b). Results of this observation (Fig. 6) reveal high number of individuals either in solitary or transiens phase found in the two locations during observations. Although number of gregarious individuals was limited, they are as significantly important as the high individual numbers of solitary and transiens phases because the gregarious phase is the most damaging one. The experiance of crowding during lifetime of an individual locusts is transmitted to the next generation. Even when crowding is experianced by solitarious females very shortly before egg laying, a significant increase in gregarious characteristics occurs in the offspring (Islami et al., 1994; McCaffery et al., 1998; Hagele et al., 2000), while isolation of gregarious females during egg laying leads to production of partially solitarized hatchings (Islami et al., 1994). These transgeneration effects of maternal experience of crowding have been shown to be mediated by a gragarizing substance deposited in the egg foam at oviposition (McCaffery et al., 1998; Hagele et al., 2000; Hagele et al., 2004).

100

90 Solitary

80 Transien t 70 Gregario us 60

50

individual 40 of of 30

Number 20

10

0

IV IV

- -

wk II wk II wk

wk II wk II wk

wk II wk II wk

wl IV wl IV wl

wk IV wk IV wk

- -

wk IV wk wk IV wk

- -

- -

- -

- -

- -

Feb Feb

Jan Jan

Feb Feb

April April

Aprilwk Aprilwk

March March

March March

Oekolo Oepuah Utara

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 805

Figure 6. Number of Solitary, Transient and Gregarious phases of L. migratoria in Oekolo and Oepuah Utara, TTU district, during January to April 2009.

Based on this study finding, in terms of locust management, appearance of transiens individuals has to be carefully monitored because it reveals the first step towards a possible outbreak. Locust densities indicate that the trend is a steady decrease in locust populations after rainy season and during dry season. Nevertheless, gregarious individuals in both locations and the equal ratio between solitary and transiens phase in Oepuah Utara need to be investigated in order to prevent any population outbreak during the next rainy season. Previous laboratory study on biology and phase change of the Migratory Locust (Sudarsono et al., 2005) revealed that locust phase change was determined by its density. The authors found that the locust remained in solitary phase at density of 2-5 couples per cage (45 x 45 x 90 cm) whereas the transiens phase occurred at the density of 10-20 couples per cage. The colonies change to gregarious phase when their density were of 30 couples per cage or higher.

CONCLUSION

Based on results obtained in the context of this study carried out from November 2008 to June 2009 the following conclusions are drawn:

1. The majority of locust population found in two locations (Oekolo and Oepuah Utara) in TTU district was in solitary Phase (66.71%), and the rest were in transiens phase (34.36%) and gregarious phase (1.07%). 2. Locust population was found in high density in two locations in TTU district from late February to early May 2009 which may lead to outbreak during the next years.

REFERENCES

Applebaum, S.W., Heifetz, Y., 1999. Density-dependent physiological phase in insect. Annual Review of Entomology 44,317-341.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 806

Hagale, B.F., Wang, F.H., Sehnal, F., Simpson, S.J., 2004. Effect of crowding, isolation, and transfer from isolation to crowding on total ecdysteroid content of eggs in Schistocera gregaria. Journal of Insect Physiology 50, 621-628. Hagele, B.F., Oag, V., Bouaichi, A., McCaffery, A.R.,Simpson, S.J., 2000. The role of famale accessory glands in maternal inheritance of phase in the dessert locust (Schistocera gregaria). Journal of Insect Physiology 46, 275-280. Islami, M.S., Roessingh, P., Simpson, S.J., McCafferi, A.R., 1994. Effects of population densityexperienced by parents during mating and oviposition on the phase of hatching desert locusts, Schistocera gregaria. Proceeding of the Royal Society London B 257, 93-98. Lecoq M., M. H. Luong-Skovmand, and T. Rachadi, 2001. Improving survey and application methods for controlling of the Oriental Migratory Locust in Indonesia. A basis for a guideline for Pest Observers and Field Extension Workers. Montpellier, France : CIRAD-AMIS-Programme Protection des Cultures-Prifas, Centre de coopération internationale en recherché agronomique (CIRAD) n° CIRAD-AMIS-66,.49 p. McCafferi, A.R., Simpson, S.J., Islami, M.S., Roessingh, P., 1998. A gregarizing factor present in the egg pod foam of the dessert locust Schistocera gregaria. Journal of Experimental Biology 201, 347-363. Mukkun, L., Pakan, S., Mudita, I.W, Seran Mau, Y. Simamora, A., Lawalu, H. dan Nik, N., Harini, T.S, and Taek, P. 2009. Bioecology of Migratory Locust (Locusta migratoria) in East Nusa Tenggara, Indonesia. Final Report of Research, in collaboration between FAO of United Nation and Nusa Cendana University, Kupang, NTT. Pener, M.P., 1991. Locust phase polymorphism and its endocrine relations. Advances in Insect Physiology 23, 1-79 Pener, M.P., Yerushalmi, Y., 1998. The physiology of locust phase polimorphism: an update. Journal of Insect Physiology 44, 365-377. Simpson, S.J., McCafferi, A.R., Hagele, B.F., 1999. A behavioural analysis of phase change in the dessert locust. Biological Reviews of the Cambridge Philosophical Society 74, 461-480. Skovmand, My H. L. 1999. Oriental Migratory Locust Biology and Ecology. Seminar For Technology Transfer Locust Survey and Control, Lampung, 12-16 July 1999. CIRAD-Dept AMIS, Programme Protection des Cultures, Prifas- Acridologie operationnelle Soekirno. 2000. Report of The Training on Locust Management (Laporan Latihan Pengelolaan Belalang Kembara). Individual Training conducted in CIRAD- Prifas, Montpellier, France 19 October – 8 December 2000. Centre de cooperation internationale en recherché agronomique pour le development (CIRAD), Montpellier, France. Sudarsono, H., R. Hasibuan, and D. Buchori, 2005. Biology and transformation of the Migratory locust Locusta migratoria manilensis Meyen (Orthoptera: Acrididae) at several laboratory density levels. Journal of HPT Tropica 5 (1): 24-31.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 807

Taek, P, 2007. Diagnosa tentang populasi locusta migratoria. Suatu kajian ekologis. Unpublished book. 350p. Uvarov, B., 1966. Grasshopper and Locusts vol. 1. Cambridge University Press, Cambridege.

Notulensi Diskusi Seminar Ayu (UGM) : Perubahan perilaku belalang kembara/fase? Jawab : Penyebab perubahan fase soliter ke gregarious adalah densitas populasi. Densitas populasi renan (2 – 5 ekor/m2) biasanya soliter 10 – 20 ekor/m2  transien, 30ekor/m2 masuk fase gregrarius. Ichan (UGM) : Perubahan warna nimfa (Hijau  Soliter, Orange Hitam  Gregrarius) karena apa dan funsinya? Jawab : Perubahan warna soliter yaitu hijau berubah menjadi orange kehitaman karena ada sintesis zat warna selama perubahan fase. Tapi fungsinya belum diketahui secara pasti. Diduga warna orange menjadi indicator bagi belalang kembara lain ikut bergabung

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 808

OEB-11 Penyebaran dan Potensi Kepik Hitam (Pachybracius pallicornis) pada Ekosistem Tanaman Padi di Sulawesi Selatan

Itji Diana Daud1 dan Abdul Gaffar2

1Jurusan Plant Pests and Diseases Faculty of Agriculture, Hasanuddin University 2Dinas Food Crops and Horticulture

ABSTRACT Sulawesi is one of the national food buffer. Since 2008 has been proclaimed program of 2 million tons of surplus rice and corn 1. 5 million tons, on the other hand plant pests (OPT) is still a risk that must be faced and taken into account in any crop cultivation to increase production of the appropriate target. Climate changes caused the decline of planting time in a production center that is mice, Stem Borer, Rod Brown planthopper, disease and pest attack which Tungro new Black Ladybug (Pachybracius pallicornis). Observations made on the spread and population rice cultivation by watching 50 family of plants diagonally 5 points/10 clusters. How to calculate the criterion that is counting the number of attacks damaged grain/cluster versus the number of panicles / clump. Criteria values obtained from the total value of offensive attack each clump. The results showed that the average ratio of broad attack on Black Ladybug 2003/2004-2007/2008 planting season is still 0 (zero), whereas in the planting season 2009/20010, extensive attack was 555 ha and the planting season in 2010 covering an area of 3473 ha. The spread of black ladybirds have been found in the eastern sector of dipertanaman in Bone, Soppeng, Wajo, Siinjai, Bulukumba, Bantaeng, Sidrap, and Pinrang. Consecutive 145 Ha, 45 Ha, 33 Ha, 1Ha, 10 Ha, 16 Ha, 180 Ha, and 165 ha. While black ladybugs attack on the sector is very broad transition in the region of 2375 ha Luwu compared with other regions of North Luwu, Luwu Palopo City, Tator, North Toraja, Enrekang consecutive 20 ha, 53 ha, 15 ha, 174 ha , 7 ha, and 42 ha. Ladybug black to be a potential pest is important because in addition to high mobility, the damage it causes is very dangerous because the grain becomes hollow and bitter taste.

Notulensi Diskusi Seminar Jesayas A : Kenapa keberadaan kepik hitam tinggi? Kerusakan pada fase generative? Gejala dengan walang sangit sama atau beda? Habitat dimana? Jawab : Dalam satu ekosistem banyak OPT, awalnya tidak jadi hama penting tapi pada 2008/2009 menjadi penting dikarenakan musim hujan yang terlalu tinggi dan lama. Yuliati : Topografi di sidiak bagaimana? Kenapa lebih banyak? Jawab : Sidiak itu di sector timur. Topografinya datar tapi areal pertanaman lebih luas karena merupakan sentra penanaman padi. Kultur teknis. System legowo 2 : 1. Menanam 2 kali dalam setahun (semusim) untuk menutup kekurangan. 2x lipat jumlah benih yang ditanam.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 809

OEB-12 Pola Aktivitas Makan Tiga Biotipe Wereng Batang Cokelat Pada Tanaman Padi Rahmini1 ; Endang Sri Ratna1 ; Arifin Kartohardjono3 1Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Jalan Kamper, Lingkar Kampus IPB, Darmaga, Bogor. 2Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. KP. Muara Jl. Raya Ciapus, Bogor

ABSTRAK Wereng batang cokelat (WBC) Nilaparvata lugens adalah serangga penghisap cairan tanaman padi. Kerusakan tanaman yang ditimbulkan bergantung pada tingkat ketahanan tanaman yang dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangannya. Respon ketahanan tanaman ini seringkali digunakan untuk mengidentifikasi biotipe WBC. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti pola aktivitas makan tiga biotipe WBC pada berbagai varietas padi introduksi yang diduga rentan maupun tahan. Respon pengisapan cairan makanan oleh WBC biotipe 1, 2, dan 3 pada tanaman uji diukur melalui metode kualitatif pewarnaan ninhidrin dengan mengamati luasan bercak protein pada embun madu yang diekskresikan. Lima belas varietas padi yang digunakan pada pengujian ini adalah TN1, IR42, IR26, IR64, IR74, Pelita, Mudgo, TN1, ASD7, PTB 33, Rathu Heenathi, Membramo, Mudgo, Inpari 2, dan Inpari 6. Setiap tanaman berumur 35 hari dipaparkan pada enam ekor WBC betina yang baru ganti kulit selama 24 jam. Setiap perlakuan diulang enam kali. Hasil ekskresi WBC tersebut ditampung pada selembar kertas saring Whatmann yang telah diberi penanda ninhidrin. Luasan bercak protein yang terbentuk pada kertas tersebut diukur dan dihitung. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa secara umum pengisapan cairan makanan oleh WBC biotipe 3 berturut-turut nyata lebih tinggi dibandingkan dengan WBC biotipe 1 dan WBC biotipe 2 terutama pada tanaman yang diduga tahan. Pola pengisapan cairan tanaman oleh ketiga biotipe WBC 1, 2, dan 3 yang diintroduksikan pada varietas padi rentan (TN1 dan Pelita) relatif cenderung tinggi yaitu berturut-turut berkisar antara 667-999 mm2 dan 492-710 mm2, dan relatif rendah pada varietas padi introduksi dan differensial yang tahan WBC, yaitu PTB 33, IR74, dan RH, berturut- turut berkisar antara 64-106 mm2, 45-56 mm2, dan 99-166 mm2. Perilaku makan WBC biotipe 3 pada IR64 cukup tinggi yaitu mencapai 519 mm2, yang sebelumnya diketahui bahwa IR64 merupakan padi yang memiliki ketahanan terhadap biotipe ini. Hal ini menandakan bahwa pola ketahanan varietas IR64 terhadap WBC biotipe 3 kini telah menurun. Kata kunci: wereng batang cokelat, respon ketahanan tanaman, ninhidrin

ABSTRACT Brown planthopper (BPH) Nilaparvata lugens is a pest which consume rice plant sap. The damage of rice plant caused by this pest depends on the level of plant resistant which can support the growth and development. Respons of this resistant plant often used to identify the biotype of BPH. The objective of these studies were to observe feeding activity of three BPH biotype on several introduced rice varieties which are expected to be susceptible or resistant. Consumption respons of plant sap by BPH biotype 1,2 and 3 on plant test were measured by ninhidrin colour qualitative method by observing spotted protein area of honey dew which excreted. Fifteen rice varieties used in these studies were TN1, IR42, IR26, IR64, IR74, Pelita, Mudgo, TN1, ASD7, PTB 33, Rathu Heenathi, Membramo, Mudgo, Inpari 2, and Inpari 6. Each plant at 35 days after transplanting (dat) is infested with six female BPH just emerged for 24 hours. Each treatment were replicated 6 times. Results excretion of BPH were placed on Whatman filter paper which has already been given ninhidrin mark. Protein spot area found on those paper were measured and counted. Results from the observations show that in general food sap consumption by BPH biotype 3 were respectively higher as compared to BPH bitype 1 and 2 especially on plant which is expected resistant. Consumption of plant sap by the three BPH biotype 1,2 and 3 which is introduced to susceptible rice plant (TN1 and Pelita) were relatively higher respectively higher in range 667-999 mm2 and 492-710 mm2, and relatively low on introduced and different rice varieties which is resistant to BPH were PTB 33, IR 74 and RH respectively in range 64-106 mm2, 45-56 mm2, and 99-166 mm2. BPH feeding on IR 64 are high there is 519 mm2, as known that IR 64 is resistant to this biotype. It‗s shown that IR 64 that is resistant to BPH biotype 3 now already decreased Keywords: brown planthopper (BPH), respons of pant resistant, ninhidrin

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 810

Notulensi Diskusi Seminar Fatimah – Univ. Islam (Jakarta) : Biotipe 1, 2, 3? Jawab : Penggolongan serangga, yang dapat dilihat berdasarkan resistensi tanaman. Penggolongan serangga yang bukan berdasarkan taksonomi. Sebutan biotipe tiap serangga berbeda. Bila biotipe WBC berdasarkan gen ketahanan. Ihsan – UGM : IR-64 kenapa bisa tinggi untuk biotipe 3? Apakah WBC sampai biotipe 4? Jawab : IR-64 punya ketahanan yang lama, baru 2004 ada kepatahan dari biotipe 3 hal yang menyebabkan ini adalah keturunan dan gen ketahanan. Biotipe 4 baru dugaan karena kita harus mengujinya dengan gen-gen padi dengan ketahanan tinggi terdapat di Jawa Tengah, Jawa Timur dan sekitar Sumatera.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 811

OEB-13 Keragaman OPT pada Pertanaman Padi Organik di Kec. Rancakalong Kulon Kab. Cianjur Ichsan Nurul Bari1 1Jurusan Hama Penyakit & Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran Email: [email protected]

ABSTRAK Trend pertanian organik telah merubah praktek budidaya sebagian petani padi di Indonesia. Perubahan cara budidaya tersebut secara langsung maupun tidak langsung telah merubah struktur dan komposisi ekosistem di lingkungan persawahan. Identifikasi keanekaragaman organisme pengganggu tumbuhan pada pertanaman padi organik telah dilakukan di Desa Sukagalih, Kecamatan Cikalongkulon, Kabupaten Cianjur (S06o42.850‘ ; E107o12.358‘). Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode survei, keragaman spesies OPT diamati secara langsung dengan cara sampling secara sistematis. Sampling ini dilakukan di lima titik lokasi sampel dan diamati masing-masing 10 rumpun. Pengamatan dilakukan pada pertanaman padi organik dan pertanaman non organik sebagai pembanding. OPT yang ditemukan di lokasi penelitian selanjutnya diidentifikasi di Laboratorium Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Faperta, Unpad. Pengamatan dilakukan sebanyak tiga kali, yaitu: (1) fase vegetatif, (2) fase generatif, dan (3) fase pematangan bulir. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa keanekaragaman OPT pada pertanaman padi organik lebih heterogen, namun intensitas serangan berupa gejala kerusakan lebih rendah jika dibandingkan dengan pertanaman padi non organik. Kata kunci: Padi organik, Hama, Penyakit, Gulma

ABSTRACT The trend of organic farming has changed the practice of some farmers cultivating rice in Indonesia. Changes in how culture is directly or indirectly, has changed structure and composition of the ecosystem in the rice field. The identification of plant pests diversity In organic paddy crop has been done in the Desa Sukagalih, Kecamatan Cikalongkulon, Kabupaten Cianjur (S06o42.850'; E107o12.358'). The method applied in this research is survey method, the diversity of pest species observed directly by way of systematic sampling. Sampling was conducted at five points of sample locations and observed each 10 families. Observations were made on organic rice cultivation and planting of non-organic as a comparison. Pests that are found at the site identified for further research in the Laboratory. Observations were carried out three phase, There was: (1) vegetative phase, (2) generative phase, and (3) phase of grain maturation. The research concluded that the diversity of pests in organic paddy crop is more heterogeneous, but the pests intensity was lower when compared with non-organic rice field. Keywords: Paddy, pests, diseases, weeds

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 812

PENDAHULUAN Ketersediaan pangan merupakan salah satu kebutuhan primer bagi manusia, disamping ketersediaan sandang dan papan. Sumber pangan utama bagi masyarakat Indonesia adalah beras. Sudarmo (1991) mengungkapkan bahwa beras merupakan bahan makanan pokok bagi hampir 200 juta jiwa masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, beras memegang peranan penting di dalam bidang ekonomi Masyarakat Indonesia. Beras mempunyai nilai gizi yang tinggi, yaitu antara lain: protein 8%, lemak 0,6% dan hidrat arang 75%, oleh karena itu, program swasembada beras menjadi hal yang sangat penting diupayakan oleh pemerintah. Pencetakan sawah baru dan program intensifikasi merupakan upaya pemerintah agar Indonesia mampu swasembada beras (Soemartono dkk., 1994). Meningkatnya taraf kehidupan masyarakat Indonesia dewasa ini telah membuat sebagian masyarakat menyadari pentingnya hidup yang berkualitas. Informasi yang lebih terbuka turut memperluas wawasan berpikir masyarakat. Sebagian anggota masyarakat mulai mengubah salah satu pola kehidupannya yaitu pola makan. Konsumen mulai mencari dan memilih produk pangan yang berkualitas dengan sesedikit mungkin menggunakan bahan-bahan non alami. Saat ini, masyarakat semakin menyadari bahwa penggunaan bahan-bahan kimia non-alami, seperti pupuk dan pestisida kimia sintetis serta hormon pertumbuhan dalam produksi pertanian ternyata menimbulkan efek negatif terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Kesadaran masyarakat ini mendorong produsen pangan untuk menghasilkan produk yang diinginkan oleh konsumen seperti aman dikonsumsi (food safety attributes), memiliki kandungan nutrisi tinggi (nutritional attributes) dan ramah lingkungan (eco-labelling attributes). Produk pangan yang memiliki ketiga atribut tersebut adalah produk yang dihasilkan sistem pertanian organik (Sulaeman, 2008). Trend padi organik telah melanda beberapa lokasi penghasil beras di Indonesia, baik Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan Nusa Tenggara Barat. Tahun 2007 Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudoyono melakukan panen raya beras organik di Kabupaten Cianjur Jawa Barat dan mengajak masyarakat untuk mengembangkan padi organik (www.cianjurkab.go.id)

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 813

Kabupaten Cianjur memiliki jumlah penduduk sebanyak 2.138.465 jiwa. Lapangan pekerjaan utama penduduk Kabupaten Cianjur di sektor pertanian yaitu sekitar 52,00% dan sektor pertanian ini merupakan penyumbang terbesar terhadap PDRB Kabupaten Cianjur yaitu sekitar 42,80% (BPS, 2008). Kondisi tersebut menjadikan daerah ini sangat potensial menjadi penghasil beras organik terbesar di Indonesia. Kecamatan Cikalongkulon memiliki luas wilayah 17.876.665 Ha, lokasi kurang lebih berjarak 17 km dari pusat kota Kabupaten Cianjur, memiliki ketinggian 221-285 di atas permulaan laut (dpl), suhu antara 39°C- 40°C, curah hujan rata-rata 2.300 mm/tahun, keadaan alam mendatar dan berbukit. Wilayah sebelah utara dan barat merupakan daerah dataran tinggi dan sebelah timur dan selatan merupakan dataran rendah yang merupakan pesawahan. Dilihat dari potensi sumberdaya manusia, sebagian besar memiliki karakteristik masyarakat religius tradisional, sipat gotong-royong masih kuat dengan propesi mayoritas petani dan wiraswasta. Dalam proses budidaya padi, salah satu faktor pembatas pertumbuhan dan produksi adalah keberadaan hama, penyakit dan gulma. Kerusakan tanaman padi karena hama dan penyakit pada umumnya berkisar antara 5-10%, tetapi dalam kondisi tertentu dapat mengakibatkan kerusakan sampai 100%. Terdapat beberapa perbedaan praktek budidaya antara sistem konvensional dengan sistem organik. Hal yang paling mencolok adalah dalam sistem pertanian konvensional, penanganan hama, penyakit dan gulma selalu melibatkan penggunaan bahan kimia baik berupa pupuk ataupun pestisida sintetik. Sedangkan dalam sistem pertanian organik penggunaan bahan bahan tersebut ‗haram‘ untuk dilakukan. Berbedanya praktek budidaya tersebut akan mengakibatkan kondisi ekosistem yang berbeda pula. Dalam penelitian ini akan diidentifikasi keanekaragaman organisme pengganggu tumbuhan (OPT) pada pertanaman padi organik, sehingga dapat memberikan gambaran tentang keanekaragaman hama, penyakit dan gulma yang berpotensi menurunkan produktifitas padi organik.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 814

METODA PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di pertanaman padi organik, Desa Sukagalih, Kecamatan Cikalongkulon, Kabupaten Cianjur (S06o42.850‘ ; E107o12.358‘) (Gambar 1). Jarak lokasi penelitian dari kampus Universitas Padjadjaran adalah 65 km (off road). Lokasi tersebut berada pada ketinggian 285 meter dpl. Daerah ini merupakan salah satu sentra pertanaman padi organik yang dibina oleh Badan Penyuluhan Pertanian (BPP) Kecamatan Naringgul, Kabupaten Cianjur. Lahan tempat melaksanakan penelitian merupakan milik Bapak H. Didin, yaitu petani yang konsisten menerapkan sistem budidaya organik pada pertanaman padi miliknya.

Gambar 1. Peta lokasi penelitian

Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode survei, keragaman spesies OPT diamati secara langsung dengan cara sampling secara sistematis (Untung, 2006). Sampling ini dilakukan di lima titik lokasi sampel dan diamati masing-masing 10 rumpun (Gambar 2). Pengamatan dilakukan pada pertanaman padi organik dan pertanaman non organik sebagai pembanding. OPT yang ditemukan di lokasi penelitian selanjutnya diidentifikasi di Laboratorium Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 815

Faperta, Unpad. Setiap pengamatan dilakukan sebanyak tiga kali, yaitu: (1) fase vegetatif, (2) fase generatif, dan (3) fase pematangan bulir.

Gambar 2. Titik lokasi pengambilan sampel Penilaian terhadap kerusakan tanaman dilakukan berdasarkan gejala serangan hama yang sifatnya sangat beragam. Kerusakan tanaman oleh serangan penyakit dapat berupa kerusakan mutlak (dianggap mutlak) dan tidak mutlak (Direktorat Perlindungan Tanaman, 2000).

Kerusakan Mutlak Untuk menghitung intensitas serangan dari penyakit yang menyebabkan kerusakan mutlak dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

푎 퐼 = 푥 100% 푎 + 푏 Keterangan: I = Intensitas Serangan (%) a = Banyaknya contoh yang rusak mutlak atau dianggap rusak mutlak b = Banyaknya contoh yang tidak rusak/tidak terserang

Kerusakan Tidak Mutlak Untuk menilai serangan hama yang menimbulkan kerusakan tidak mutlak digunakan rumus sebagai berikut :

푍 (푛 . 푣 ) 퐼 = 푖=0 푖 푖 푥 100% 푍. 푁 Keterangan :

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 816

I = Intensitas serangan ni = Jumlah tanaman atau bagian tanaman contoh dengan skala kerusakan vi vi = Nilai skala kerusakan contoh ke-i N = Jumlah tanaman atau bagian tanaman contoh yang diamati Z = Nilai skala kerusakan tertinggi

Skala : 0 = Tidak ada serangan (0%) 1 = Serangan ringan bila tingkat serangan (0% < x ≤ 25%) 2 = Serangan sedang bila tingkat serangan (25% < x ≤ 50%) 3 = Serangan berat bila tingkat serangan (50% < x ≤ 90%) 4 = Sangat berat bila tingkat serangan (x > 90%)

Sampling gulma dilakukan secara sistematik dengan pola diagonal, yaitu dengan menempatkan kotak-kotak (1 m x 1 m) pada sudut-sudut petakan. Jumlah kotak masing- masing petak adalah lima buah (Gambar 2.). Sampel gulma dipisahkan menurut spesiesnya kemudian diidentifikasi jenisnya dengan menggunakan buku klasifikasi gulma. Setiap spesies gulma dibungkus dengan kertas dan diberi label untuk keperluan koleksi. Dominasi gulma dilapangan ditentukan dengan metode Summed Dominance Ratio (SDR).

푖푛푑푖푣푖푑푢 푠푝푒푠푖푒푠 푡푒푟푡푒푛푡푢 퐾푀 = 퐿푢푎푠 푃푒푡푎푘 퐶표푛푡표ℎ Keterangan : KM = Kerapatan Mutlak, yaitu menyatakan jumlah individu spesies gulma tertentu pada petak contoh.

푝푒푡푎푘 푐표푛푡표ℎ 푦푎푛𝑔 푡푒푟푑푎푝푎푡 푠푝푒푠푖푒푠 푡푒푟푡푒푛푡푢 퐹푀 = 푠푒푙푢푟푢ℎ 푃푒푡푎푘 푐표푛푡표ℎ Keterangan : FM = Frekuensi Mutlak, yaitu menyatakan jumlah petak contoh yang berisi spesies gulma tertentu.

퐾푀 푠푝푒푠푖푒푠 푡푒푟푡푒푛푡푢 퐾푅 = 푥100% 퐾푀 푠푒푚푢푎 푠푝푒푠푖푒푠 Keterangan : KR = Kerapatan Relatif KM = Kerapatan Mutlak

퐹푀 푠푝푒푠푖푒푠 푡푒푟푡푒푛푡푢 퐹푅 = 푥100% 퐹푀 푠푒푚푢푎 푠푝푒푠푖푒푠 Keterangan : FR = Frekuensi Relatif FM = Frekuensi Mutlak

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 817

퐾푅 + 퐹푅 푆퐷푅 = 푥100% 2 Keterangan : SDR = Summed Dominance Ratio KR = Kerapatan Relatif FR = Frekuensi Relatif

HASIL DAN PEMBAHASAN Musim tanam padi periode Juli-Oktober 2010 di Desa Sukagalih, Kecamatan Cikalongkulon, Kabupaten Cianjur tengah terjadi wabah penyakit kresek (Xanthomonas oryzae) dan serangan hama tikus (Rattus sp.). Berdasarkan informasi kantor Badan Penyuluhan Pertanian (BPP) dinyatakan bahwa kedua jenis OPT tersebut dilaporkan menyerang secara luas pada daerah pertanaman padi di hampir seluruh Wilayah Kabupaten Cianjur. Tikus belum menyerang areal pertanaman padi pada fase vegetatif, sehingga pada fase ini, gejala serangan tidak ditemulkan (Tabel 4.1). Pada periode ini tikus biasanya menyerang komoditas lain atau bahkan menyerang dapur di perumahan penduduk yang dekat dengan lokasi persawahan. Fase awal stadia vegetatif merupakan fase yang sangat disukai oleh hama tikus ini. Tidak ada makanan alternatif yang lebih menarik bagi hama tikus dari pada bulir padi yang baru tumbuh (fase bunting/matang susu). Data hasil pengamatan yang telah dilakukan (Tabel 4.1) menunjukan bahwa intensitas serangan hama tikus pada padi organik lebih rendah daripada intensitas serangan hama tikus pada padi non organik. Kondisi tersebut diakibatkan faktor kondisi pertanaman yang berbeda, sehingga hama tikus tidak menyukai berada dan menyerang pertanaman padi organik. Kondisi yang berbeda tersebut adalah akibat aroma bahan organik yang dipergunakan dalam kegiatan budidaya padi organik. Pupuk dan pestisida yang dipergunakan merupakan hasil racikan mandiri (Terlampir) yang dibuat oleh pemilik lahan. Bahan tersebut mengeluarkan aroma khas (fermentasi/busuk) dan dimungkinkan berdampak repellent atau pengusir terhadap tikus di pertanaman padi organik. Dalam kajian ekologi perilaku, Tikus memiliki sifat neophobia, yaitu takut terhadap sesuatu yang baru (Barnett, 1975). Akibat sifat tersebut, dalam kondisi pakan yang melimpah maka tikus cenderung memilih makanan dan lingkungan yang terbaik

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 818 dan teraman baginya. Namun jika kondisi pakan terbatas, maka tikus cenderung memakan apa saja yang ada di sekitarnya dan bahkan memasuki lingkungan yang berbahaya. Tikus diinformasikan juga sebagai hewan yang memiliki indra penciuman yang berkembang sangat baik (Meehan, 1984). Sehingga kondisi pertanaman organik yang berbau akibat penggunaan bahan-bahan organik yang dibusukkan mengganggu aktivitas tikus dan bahkan menurunkan selera makan dari tikus di lokasi tersebut. Hama burung ditemukan pada areal persawahan baik yang dibudidayakan secara organik maupun non organik. Kondisi intensitas serangan burung pada lahan non organik yang lebih kecil daripada lahan organik merupakan kompensasi dari tingginya intensitas serangan hama tikus pada pertanaman padi non organik. Dalam ekologi perilaku, burung cenderung untuk bertahan (territorial defend) di lokasi pertanaman yang memiliki potensi makanan yang paling melimpah (Krebs & Davies, 1991). Oleh karena itu intensitas serangan burung lebih tinggi pada pertanaman padi yang organik jika dibandingkan pada areal pertanaman non organik. Keragaman arthropoda atau serangga hama secara umum adalah sama, baik pada padi organik maupun padi non organik. Perbedaan adalah pada kondisi intensitas serangan. Dalam Tabel 4.1. tampak bahwa intensitas seranggan hama pada pertanaman organik tampak lebih rendah jika dibandingkan pada areal pertanaman padi non organik. Hal tersebut dikarenakan tingginya nilai biodiversitas pada pertanaman organik. Di areal pertanaman padi organik, selain terdapat serangga hama terdapat serangga lainnya yang berperan sebagai musuh alami dari hama-hama tersebut. Dalam kajian dimasa yang akan datang penulis menyarankan dilakukannya penelitan sejenis dengan mengamati spesies lain yang berperang selain sebagai OPT.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 819

Tabel 4.1 Intensitas serangan hama pada areal penelitian Intensitas Serangan (%) Awal Fase Awal Fase Awal Fase Spesies Vegetatif Genertif Pematangan O NO O NO O NO 1. Rattus sp. - - 10,0 46,0 2,5 52,0 2. Burung (Lenchura sp./ Passer - - 12,5 2,5 17,5 5,0 mentanus) 3. Scirpophaga sp. 5,0 12,5 5,0 15,0 7,5 16,1 4. Orseolia oryzae 2,5 7,5 5,0 2,5 5,0 5,0 5. Spodoptera sp. 5,0 - 2,5 - - - 6. Leptocorisa oratorius - - 5,0 12,5 5,0 17,5 7. Cnaphalocrosis medinalis 10,0 7,5 7,5 10,0 7,5 12,5 8. Valanga sp. 12,5 15 15 17,5 16,1 17,5 Keterangan: - tidak ada hama, OOrganik ; NONon Organik

Di daerah lokasi penelitian sedang terjadi epidemi penyakit kresek yang diakibatkan oleh serangan Xanthomonas oryzae. Hasil perbandingan intensitas serangan penyakit kresek pada padi organik dan non organik tersaji pada Tabel 4.2. Data intensitas serangan penyakit ini pada areal non organik antara 27,5% – 35% dan pada areal organik memiliki intensitas serangan antara 5,0% - 12,5%. Pada pertanaman padi organik tampak bahwa intensitas serangan penyakit kresek ini lebih rendah jika dibandingkan dengan intensitas pada pertanaman padi non organik. Begitu pula dengan serangan penyakit Blas yang disebabkan oleh Cendawan Pyricularia oryzae. Alasan yang sama dengan kondisi intensitas serangan serangga hama, bahwa lebih rendahnya intensitas serangan penyakit Xanthomonas oryzae dan Pyricularia oryzae disebabkan oleh tingginya biodiversitas pada ekosistem pertanaman padi organik. Keragaman spesies yang tinggi membentuk keseimbangan dalam ekosistem sawah, sehingga tampak bahwa walaupun ada sumber inokulumnya tetapi tidak berkembang dan mengakibatkan kerusakan yang parah.

Tabel 4.2 Intensitas serangan penyakit pada areal penelitian Intensitas Serangan (%) Awal Fase Spesies Awal Fase Vegetatif Awal Fase Genertif Pematangan O NO O NO O NO 1. Xanthomonas oryzae - 27,5 12,5 32,5 5,0 35,0 2. Pyricularia oryzae - 12,5 - 20,0 2,5 21,1 Keterangan: - tidak ada penyakit, OOrganik ; NONon Organik

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 820

Akibat tidak dipergunakannya pestisida sintetik dalam kegiatan budidaya padi organik, maka keragaman spesies yang ada di ekosistem sawah tersebut menjadi lebih heterogen. Akibatnya adalah populasi hama akan tertekan oleh populasi musuh alaminya di dalam ekosistem sawah tersebut. Sehingga kelimpahan spesies-spesies dalam ekosistem tersebut berada pada suatu kondisi keseimbangan. Oleh karena itu, dalam kajian di masa yang akan datang perlu dilakukan pengukuran keragaman spesies secara umum, disamping keragaman OPT yang telah dilakukan. Sehingga peran dan fungsi masing-masing spesies dapat diketahui dengan komprehensif. Dominasi gulma tergambar pada Tabel 4.4. Pada awal fase vegetatif belum ditemukan adanya gulma. Hal tersebut dikarenakan lahan pertanaman baru diolah sehingga gulma belum tampak tumbuh. Pada fase generatif dan fase pematangan bulir jenis gulma yang mendominasi adalah sama, yaitu seperti tampak pada Tabel 4.4. dibawah. Fimbristylis miliacea merupakan gulma yang paling dominan baik di lahan organik maupun non organik, lalu selanjutnya adalah spesies Echinochloa crusgalli. Spesies-spesies ini merupakan jenis teki-tekian. Terjadinya dominasi gulma yang tergolong ke dalam teki-tekian karena gulma teki-tekian tidak hanya berkembang biak dengan biji saja, tetapi dapat juga berkembang biak dengan umbinya. Hal ini menyebabkan peluang teki-tekian untuk tumbuh dan mendominasi persaingan lebih besar. Seperti yang dikemukakan oleh Bangun (1996) bahwa cara perkembangbiakan yang komplek (rhizoma, umbi, biji) merupakan faktor utama penyebab dominannya gulma dari golongan teki-tekian. Moenandir (1988), menambahkan bahwa tumbuhan yang mempunyai stolon, rhizoma akan lebih cepat berkembang biak dan akan mempunyai sifat sebagai pesaing yang sangat kuat dikarenakan tumbuhan ini bersifat cepat menyerap nutrisi yang diperlukan dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Dalam Tabel 4.4, tampak bahwa jenis spesies gulma di areal pertanaman organik lebih beragam jika dibandingkan dengan jenis spesies gulma di areal pertanaman non organik. Hal tersebut diakibatkan tumbuhnya gulma yang rentan terhadap perlakuan- perlakuan non organik, sehingga pada lahan organik gulma tersebut dapat tumbuh dengan baik.

Tabel 4.3 Nilai Summed Dominance Ratio (SDR) gulma pada areal penelitian

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 821

SDR Awal fase Awal fase Awal Fase Spesies vegetatif generatif pematangan O NO O NO O NO 1. Fimbristylis miliacea - - 26,7 31,3 22,6 33,5 2. Echinochloa crusgalli - - 14,3 21,4 13,7 17,1 3. Commelina diffusa - - 13,3 19,7 13,5 14,6 4. Monochorria hastata - - 11,2 12,3 10,1 13,2 5. Frimbristylis alboviridis - - 9,5 6,8 9,3 9,5 6. Cyperus diformis - - 4,7 3,6 5,2 7,1 7. Ludwigia parennis - - 4,7 3,3 4,1 3,3 8. Cyperus pilosus - - 4,5 1,6 3,6 1,7 9. Leptocholoa chinesis - - 3,6 - 3,2 - 10. Monochorria viginalis - - 2,7 - 3,2 - 11. Ludwigia hysopifolia - - 2,5 - 2,7 - 12. Comelina nudiflora - - 2,3 - 2,5 - 13. Elatine triandra schkuhr - - - - 2,5 - 14. Rotala leptopetela - - - - 2,3 - 15. Echinochloa colanum - - - - 1,5 - Jumlah 100 100 100 100 Keterangan: - tidak ada gulma, OOrganik ; NONon Organik

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Keanekaragaman OPT Pada Pertanaman Padi Organik lebih heterogen, namun intensitas serangan berupa gejala kerusakan lebih rendah jika dibandingkan dengan pertanaman padi non organik. Dalam kajian di masa yang akan datan, penulis menyarankan dilakukannya analisis ekosistem secara komprehensif yang membandingkan keragaman spesies secara umum pada pertanaman padi organik di lokasi yang sama.

UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini dibiayai oleh Dana DIPA Universitas Padjadjaran, Tahun Anggaran 2010. Terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Rektor, Tim LPPM,Dekan Fakultas pertanian dan Ketua Jurusan HPT, Universitas Padjadjaran.

DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2007. Paddy-Disease. Department of Agriculture. Government of Andhra Pradesh. Available at: http://agri.ap.nic.in/. Diakses Januari 2010 Bangun, P. 1996. Masalah dan Prospek Pengendalian Gulma Secara Kimia Pada Tanaman Padi Sawah di Masa Depan. Balai Penelitian Tanaman Pangan. Bogor. Jurnal Litbang Pertanian.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 822

BPS, 2008. Kabupaten Cianjur dalam angka. Direktorat Perlindungan Tanaman, 2000. Pedoman Pengamatan dan Pelaporan Perlindungan Tanaman Pangan. Direktorat Jendral Produksi Tanaman Pangan. Jakarta FAO, 1998. Organic Farming: demand for organic products has created new export opportunities for developing world. FAO committe on Agriculture, Rome 25-26 January. Moenandir, J. 1988. Pengantar Ilmu Dan Pengendalian Gulma (Ilmu Gulma-Buku I). Rajawali. Jakarta. Soemartono, Bahrin S dan Harjono. 1994. Bercocok Tanam: Padi. Jakarta. Yasaguna. 228 hal. Sudarmo. 1991. Pengendalian Hama Penyakit dan Gulma Padi. Yogyakarta, Kanisius. 87 hal. Sulaeman, Dede. 2008. Mengenal Sistem Pangan Organik Indonesia Subdit Pengelolaan Lingkungan, Dit. Pengolahan Hasil Pertanian, Ditjen PPHP-Deptan Syam, M, S Hermanto, dan D Wuryandari S. 2007. Masalah Lapang, Hama, Penyakit, Hara Pada Padi. Cetakan Ketiga. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Available at: http://www.knowledgebank.irri.org/. Diakses Januari 2010. www.cianjurkab.go.id, diakses pada tanggal 18 Januari 2010. Keputusan Menteri Pertanian, Nomor : 134/Kpts/SR.120/3/2006. tentang Pelepasan Galur Mutan Padi Sawah OBS-1688/PsJ sebagai Varietas Unggul dengan Nama MIRA – 1. Barnett, S.A. 1975. The rat – A Study in Behaviour. The Universiti of Chicago Press. United States of America Meehan, A.P. 1984. Rats and mice. Their biology and control. The Rentokil Library, Rentokil Limited, East Grinstead. pp. 383. Krebs J. R. & N. B. Davies, 1999. An Introduction to Behavioural Ecology. Thrid Edition. Oxford. Blackwell Scientific Publication,

Notulensi Diskusi Seminar Dewi Rumbaina – BPTP Lampung : Dilakukan penyiangan/tidak? Jawab : Dalam teknik budidaya dilakukan pada periode awal tanam dan waktu sebelum berbulir. Penelitian diamati sebelum dan setelah penyiangan namun waktu relative lama. Tanya : Air irigasi padi organic dari mana? Sertifikasi?

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 823

Jawab : Sumber pengairan organic dan non-organik sama, mungkin terkontaminasi. Sertifikasi dilakukan dengan melakukan pengujian berdasar bahan-bahan yang dipakai (mis. Pupuk) di lab di Lembang dan lembaga tertentu. Tanya : Ihsan – UGM : Hama WBC yang sering menyerang padi tidak ada, kenapa? Jawab : WBC tidak ditemukan, pada saat periode musim tanam tersebut hama yang ditemukan tikus (dominan) dan penyakit blas dan kresek.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 824

OEB-14 Inventarisasi Serangga Hama Gudang Pada Tanaman Obat: Studi Kasus DKI dan Sukoharjo (Jawa Tengah) M. Rizal1, A. Kardinan1, T. L. Mardiningsih1, Michelia Darwis1, dan C. Sukmana1 1Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Bogor Email: [email protected]

ABSTRAK Gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT) merupakan kendala yang sering dihadapi dalam budidaya tanaman obat di lapang maupun di tempat penyimpanan produk di gudang. Dalam industri JAMU, gangguan hama dan penyakit pada bahan baku simplisia dalam penyimpanan di gudang bisa menyebabkan penurunan kualitas produk. Serangan hama secara tidak langsung juga bisa menimbulkan pencemaran akibat kotoran dan sisa-sisa tubuh hama yang justru dapat membahayakan pekerja dan konsumen JAMU. Telah dilakukan inventarisasi serangga hama yang menyerang simplisia tanaman obat di tempat penyimpanan di Pasar Senen (DKI Jakarta) dan Pasar Nguter (Sukoharjo, Jawa Tengah) pada bulan Juli sampai dengan Nopember 2010. Contoh simplisia tanaman obat dari kedua lokasi tersebut dibawa ke laboratorium untuk diamati jenis dan jumlah serangga hama yang menyerang masing-masing jenis simplisia. Hasil dua kali survey menunjukkan bahwa sedikitnya terdapat 10 jenis hama yang menyerang 14 jenis simplisia yang diperdagangkan di Pasar Senen (DKI) dan Pasar Nguter (Jateng). Jenis hama yang ditemukan menyerang simplisia antara lain: Rhyzopertha sp, Oryzaephilus sp, Lasioderma sp, Stegobium sp, Tribolium sp, Sitophilus sp, Carpophilus sp, Araecerus sp, Cryptolestes sp, Lyctidae, sedangkan jensi-jenis simplisia yang terserang antara lain: Jahe putih, Kedawung, Kunyit, Temu kunci, Peka, Kembang pala, Temu putih, Biji Mahoni, Lempuyang wangi, Umbi dewa, Kecipir, Kayumanis,Temu mangga, Purwoceng. Total jumlah serangga hama yang ditemukan adalah 807 ekor, sebanyak 456 ekor (56.50%) berasal dari DKI, sedangkan 351 ekor (43.49%) ditemukan di Jawa Tengah. Jumlah simplisia yang terserang serangga hama Jawa Tengah lebih banyak yaitu 9 dari 14 jenis (64.28%) simplisia yang diamati, sementara di DKI hanya 8 jenis (57%) dari 9 jenis simplisia yang terserang hama. Serangga hama yang dominan di DKI Jakarta adalah kumbang Oryzaephilus spp., sedangkan di Jawa Tengah adalah kumbang Lasioderma spp. Secara agregat, populasi kumbang Oryzaephilus spp., dan Lasioderma spp merupakan 52.79 dan 32.46 persen dari jumlah serangga yang dikumpulkan dari kedua lokasi survey tersebut. Kata kunci: Tanaman obat, simplisia, serangga hama, penyimpanan

Notulensi Diskusi Seminar

Septi (Biologi UGM) : - Apa bapak meneliti factor lingkungan? - Mengapa terdapat hama tersebut dalam kunyit? - Dari sampel yang diambil sehingga dapat dihitung berapa ekor? - Preventif apa yang bapak bisa tanamkan untuk pengelolaan gudang? - Nutrisi mana yang paling memenuhi kebutuhan mereka? - Ada senyawa sekunder dan perilaku sehingga adanya factor repellant Jawab :

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 825

OEB-15 Hama pada Tanaman Kelapa dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya (Studi Kasus di Pulau Sumba, NTT) Agnes V. Simamora1 1Fakultas Pertanian, Universitas Nusa Cendana Jl. Adisucipto Penfui, Kupang, NTT, 85011 E-mail: [email protected]

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis hama pada tanaman kelapa, wilayah sebaran, intensitas kerusakan, dan faktor-faktor yang mempengaruhinya di empat kabupaten di pulau Sumba, NTT. Metode yang digunakan adalah metode survey dengan teknik pengamatan langsung di lapangan. Pengumpulan data primer di lapangan dilakukan dengan pengamatan langsung dan wawancara petani, sedangkan pengumpulan data sekunder dari instansi terkait. Lokasi pengamatan dan petani yang diwawancarai ditetapkan melalui proses pemercontohan/sampling. Pemercontohan lokasi pengamatan dan petani responden di setiap kecamatan dilakukan dengan menggunakan rancangan percontohan sistematik bertingkat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat empat jenis hama yang menyerang tanaman kelapa di pulau Sumba, yaitu Aspidiotus destructor, Aleurodicus destructor, Brontispa longissima, dan Oryctes rhinoceros. Aspidiotus destructor dan Oryctes rhinoceros mempunyai intensitas kerusakan ringan sampai berat dan dikategorikan sebagai hama penting, sedangkan Aleurodicus destructor dan Brontispa longissima mempunyai intensitas kerusakan ringan sampai sedang dan dikategorikan sebagai hama kurang penting. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan hama pada tanaman kelapa di empat kabupaten di pulau Sumba adalah sumber daya petani, pemeliharaan tanaman dan pengendalian hama, ketergantungan petani kepada pemerintah, tenaga penyuluh lapangan/pengamat hama yang sangat terbatas, dan kebijakan otonomi daerah. Kata kunci: kelapa, Aspidiotus destructor, Aleurodicus destructor, Brontispa longissima, Oryctes rhinoceros.

ABSTRACT This research was intended to find out the pest variety on coconut palm, geographical distribution, damage intensity, and its influencing factors in Sumba Island, NTT province. Method occupied in this study was survey method through straight examination in the field. Primary data were collected directly by interviewing the farmers whereas secondary data were accumulated from their related departments. Observed locations were settled on by sampling process. Determination of locations and respondent farmers in every sub district was based on multy-stage systematic sampling. The results disclosed that there were four pest varieties found on coconut palm in Sumba island, i.e.: Aspidiotus destructor, Aleurodicus destructor, Brontispa longissima, and Oryctes rhinoceros. Aspidiotus destructor and Oryctes rhinoceros had damage intensity ranged from low to severe, and were categorized as key/major pest; while Aleurodicus destructor and Brontispa longissima had damage intensity ranged from low to moderate, and were categorized as minor pest. Factors influenced the pests existing and status were farmer‘s resources, crop maintenance and pest management, a smaller amount of extensionist, and regional autonomy policy. Keywords: Coconut palm, Aspidiotus destructor, Aleurodicus destructor, Brontispa longissima, Oryctes rhinoceros.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 826

PENDAHULUAN Kelapa merupakan tanaman perkebunan yang beradaptasi dengan baik di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) termasuk di pulau Sumba. Luas areal pertanaman kelapa di NTT adalah 159.600,09 ha sedangkan luas tanam kelapa di pulau Sumba adalah 56.365 ha. Tanaman kelapa yang dibudidayakan sebagian besar merupakan perkebunan rakyat yang diusahakan di kebun maupun di pekarangan secara monokultur dan campuran. Sebagai tanaman rakyat maka kelapa berperan penting dalam menyumbang pendapatan petani di daerah. Dalam perkembangan selanjutnya, posisi kelapa menjadi semakin strategis, antara lain sebagai tanaman pelindung untuk kakao, kopi, vanili, dan lada; bahan baku industri untuk kerajinan rumah tangga; sumber pakan ternak; serta sebagai bahan bangunan (Dinas Perkebunan Provinsi NTT, 2008). Hama merupakan salah satu faktor pembatas dalam budidaya tanaman kelapa di pulau Sumba. Informasi mengenai jenis-jenis hama, intensitas kerusakan dan faktor- faktor yang mempengaruhi perkembangannya tidak tersedia. Padahal informasi mengenai keberadaan dan sebaran hama pada tanaman kelapa ini sangat diperlukan sebagai dasar perencanaan dan pengambilan keputusan pengelolaan hama di tempat tersebut.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di 40 kecamatan pada empat kabupaten di pulau Sumba yaitu kabupaten Sumba Timur, kabupaten Sumba Barat, kabupaten Sumba Tengah, dan kabupaten Sumba Barat Daya. Waktu penelitian adalah bulan Juni sampai September 2009. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanaman kelapa, sedangkan peralatan yang digunakan adalah GPS, stoples plastik, kertas label, counter, loup, kuas halus, dan alat tulis menulis. Pengumpulan data sekunder dari instansi sumber data dilakukan dengan menghubungi instansi yang bersangkutan. Pengumpulan data primer di lapangan dilakukan dengan pengamatan langsung dan wawancara dengan petani. Lokasi pengamatan dan petani yang akan diwawancarai (responden) ditetapkan melalui proses pemercontohan. Pemercontohan lokasi pengamatan dan petani responden di setiap kecamatan dilakukan dengan menggunakan rancangan pemercontohan

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 827 sistematik bertingkat (multi-stage systematic sampling). Pertama, didaftar seluruh kecamatan yang mempunyai areal tanam tanaman kelapa dan selanjutnya dari setiap kecamatan ditentukan desa-desa yang mempunyai areal tanam tanaman kelapa terluas. Jumlah desa yang akan diambil disesuaikan luas areal kecamatan, luas areal tanam tanaman kelapa di kecamatan yang bersangkutan, dan posisi geografis desa. Pengamatan lapangan dilakukan untuk menentukan: 1) Jenis hama yang terdapat di setiap lokasi pengamatan. 2) Intensitas kerusakan. Metode dan teknik pengamatan intensitas kerusakan disesuaikan dengan jenis hama yang terdapat pada jenis tanaman perkebunan tertentu sebagaimana disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Teknik Pengamatan Penentuan Intensitas Kerusakan yang Disebabkan oleh Hama pada Satuan Percontoh OPT Satuan Satuan Penentuan Intensitas Percontoh Pengamatan Kumbang kelapa Tanaman Pelepah daun Jumlah pelepah terserang (x) dan jumlah pelepah total (X) Kumbang janur Tanaman Pelepah daun Jumlah pelepah terserang (x) dan jumlah pelepah total (X) Kutu perisai Tanaman Pelepah Jumlah pelepah terserang (x) dan jumlah pelepah total (X) Kutu kapuk Tanaman Pelepah Jumlah pelepah terserang (x) dan jumlah pelepah total (X) Ngengat malai Malai Anak malai Jumlah anak malai terserang (x) dan jumlah anak malai total (X) Keterangan: x dan X digunakan untuk menghitung intensitas kerusakan dengan menggunakan persamaan: x IK= X Wawancara dengan petani responden dilakukan dengan panduan daftar pertanyaan yang memuat pertanyaan mengenai keadaan budidaya tanaman, pengetahuan petani mengenai hama, kegiatan pemeliharaan tanaman dan pengendalian hama, produksi tanaman dan nilai hasil tanaman tanpa dan dengan adanya hama, dan pengetahuan dan kesediaan petani melakukan pengendalian hama. Data intensitas kerusakan tanaman ditabulasi untuk menghitung rerata kerusakan tanaman oleh setiap OPT di setiap kecamatan. Rerata kerusakan tanaman oleh setiap OPT di setiap kecamatan tersebut selanjutnya dikategorikan menjadi ringan, sedang, dan berat dengan kriteria yang didasarkan pada kategori yang berlaku secara nasional.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 828

Berdasarkan kategori kerusakan yang ditimbulkan oleh setiap OPT ditentukan status OPT tersebut menjadi penting dan kurang penting berdasarkan kriteria sebagai berikut: 1) Penting, bila kategori kerusakan di salah satu kecamatan adalah berat atau bila tidak ada yang tergolong berat, kategori kerusakan di beberapa kecamatan adalah sedang dan/atau OPT pernah mengalami eksplosi. 2) Kurang penting, bila keterori di seluruh kecamatan adalah ringan atau kalau ada yang sedang, hanya di beberapa kecamatan.

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Jenis-jenis Hama yang Ditemukan, Kategori Kerusakan, dan Sebarannya a. Kutu Perisai (Aspidiotus destructor) Aspidiotus destructor ditemukan di kabupaten Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat, dan Sumba Barat Daya. Sebaran kutu perisai ini pada kecamatan-kecamatan di setiap kabupaten wilayah penelitian dan kategori kerusakan yang ditimbulkannya disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Wilayah Sebaran Kutu Perisai (Aspidiotus destructor) dan Kategori Kerusakan yang Ditimbulkan pada Tanaman Kelapa di Kecamatan-kecamatan di Kabupaten-kabupaten Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat, dan Sumba Barat Daya Kabupaten Kategori Kecamatan Sebaran Sumba Timur Absen Kahaungu Eti, Kambera, Karera, Kota Waingapu, Mahu, Matawai La Pawu, Paberiwai, Pahunga Lodu, Pandawai, Pinu Pahar, Rindi, Tabundung, Umalulu, Wulla Waijilu Ringan Lewa, Lewa Tidas, Sedang Ngadu Ngala Berat Hahar, Kambata Mapambuhang, Kanatang, Katala Hamulingu, Nggaha Ori Angu, Sumba Tengah Absen Mamboro, Umbu Ratu Nggai Barat Ringan Katikutana, Katikutana Selatan, Umbu Ratu Nggai Sedang Berat Sumba Barat Absen Lamboya, Loli, Tana Righu, Wanokaka Ringan Kota Waikabubak Sedang Berat Sumba Barat Daya Absen Loura Ringan Kodi, Kodi Bangedo, Kodi Utara Sedang Wewewa Barat, Wewewa Utara Berat Wewewa Selatan, Wewewa Timur

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 829 b. Kutu Kapuk (Aleurodicus destructor). Sebaran kutu kapuk pada kecamatan-kecamatan di setiap kabupaten wilayah penelitian dan kategori kerusakan yang ditimbulkannya disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Wilayah Sebaran Kutu Kapuk (Aleurodicus destructor) dan Kategori Kerusakan yang Ditimbulkan pada Tanaman Kelapa di Kecamatan- kecamatan di Kabupaten-kabupaten Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat, dan Sumba Barat Daya Kabupaten Kategori Kecamatan Sebaran Sumba Timur Absen Kahaungu Eti, Kambata Mapambuhang, Kanatang, Katala Hamulingu, Kota Waingapu, Lewa, Lewa Tidas, Matawai La Pawu, Paberiwai, Ringan Hahar, Kambera, Karera, Ngadu Ngala, Nggaha Ori Angu, Pahunga Lodu, Pandawai, Pinu Pahar, Rindi, Tabundung, Umalulu, Wulla Waijilu Sedang Mahu Berat Sumba Tengah Absen Katikutana, Mamboro, Umbu Ratu Nggai, Umbu Ratu Nggai Barat Ringan Katikutana Selatan Sedang Berat Sumba Barat Absen Lamboya, Loli, Tana Righu Ringan Kota Waikabubak Sedang Wanokaka Berat Sumba Barat Daya Absen Kodi, Kodi Utara , Loura Ringan Kodi Bangedo, Wewewa Barat, Wewewa Selatan, Wewewa Timur, Wewewa Utara Sedang Berat

c. Kumbang Janur (Brontispa longissima) Di wilayah penelitian B. longissima ditemukan di kabupaten Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat, dan Sumba Barat Daya. Sebaran kumbang janur pada kecamatan-kecamatan di setiap kabupaten wilayah penelitian dan kategori kerusakan yang ditimbulkannya disajikan pada Tabel 4.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 830

Tabel 4. Wilayah Sebaran Kumbang Janur (Brontispa longissima) dan Kategori Kerusakan yang Ditimbulkan pada Tanaman Kelapa di Kecamatan-kecamatan di Kabupaten-kabupaten Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat, dan Sumba Barat Daya Kabupaten Kategori Kecamatan Sebaran Sumba Timur Absen Kahaungu Eti, Kambera, Karera, Kota Waingapu, Lewa, Lewa Tidas, Mahu, Matawai La Pawu, Ngadu Ngala, Nggaha Ori Angu, Paberiwai, Pahunga Lodu, Pandawai, Rindi, Tabundung, Umalulu Ringan Hahar, Kambata Mapambuhang, Kanatang, Katala Hamulingu, Pinu Pahar, Wulla Waijilu Sedang Berat Sumba Tengah Absen Katikutana, Mamboro, Umbu Ratu Nggai, Umbu Ratu Nggai Barat Ringan Katikutana Selatan Sedang Berat Sumba Barat Absen Lamboya, Loli, Tana Righu, Wanokaka Ringan Kota Waikabubak Sedang Berat Sumba Barat Daya Absen Loura Ringan Kodi, Kodi Bangedo, Kodi Utara, Wewewa Barat, Wewewa Selatan, Wewewa Timur, Wewewa Utara Sedang Berat d. Kumbang Kelapa (Oryctes rhinoceros L.) Di wilayah penelitian O. rhinoceros ditemukan di semua kabupaten. Sebaran kumbang kelapa pada kecamatan-kecamatan di setiap kabupaten wilayah penelitian dan kategori kerusakan yang ditimbulkannya disajikan pada Tabel 5.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 831

Tabel 5. Wilayah Sebaran Kumbang kelapa (Oryctes rhinoceros L.) dan Kategori Kerusakan yang Ditimbulkan pada Tanaman Kelapa di Kecamatan- kecamatan di Kabupaten-kabupaten Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat, dan Sumba Barat Daya Kabupaten Kategori Kecamatan Sebaran Sumba Timur Absen Ringan Matawai La Pawu, Tabundung Sedang Hahar, Kahaungu Eti, Kambata Mapambuhang, Kambera, Kanatang, Karera, Kota Waingapu, Lewa, Lewa Tidas, Mahu, Ngadu Ngala, Nggaha Ori Angu, Paberiwai, Pandawai, Pinu Pahar Berat Katala Hamulingu, Pahunga Lodu, Rindi, Umalulu, Wulla Waijilu Sumba Tengah Absen Mamboro Ringan Katikutana Sedang Katikutana Selatan, Umbu Ratu Nggai, Umbu Ratu Nggai Barat Berat Sumba Barat Absen Ringan Kota Waikabubak, Tana Righu, Wanokaka Sedang Lamboya, Loli Berat Sumba Barat Daya Absen Loura Ringan Kodi, Kodi Bangedo, Kodi Utara, Wewewa Barat, Wewewa Selatan, Wewewa Timur, Wewewa Utara Sedang Berat

Data pada Tabel 2-Tabel 5 menunjukkan bahwa yang tergolong hama penting adalah Kumbang kelapa (O. rhinoceros) dan Kutu perisai (A. destructor), sedangkan yang tergolong hama kurang penting adalah Kutu kapuk (A. destructor) dan Kumbang janur (B. longissima). 2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Hama Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan lapangan, secara ringkas dapat dijelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan berbagai jenis hama pada tanaman kelapa di semua kabupaten di pulau Sumba adalah: a. Sumber daya petani yakni: tingkat pendidikan dan usia b. Pemeliharaan tanaman dan pengendalian hama c. Ketergantungan petani kepada pemerintah d. Keterbatasan tenaga penyuluh/Pengamat hama e. Kebijakan otonomi daerah Hasil wawancara ditemukan bahwa rata-rata petani yang membudidayakan tanaman perkebunan di empat kabupaten tersebut berpendidikan SD dan SMP, bahkan ada yang tidak berpendidikan/tidak tamat SD. Hal ini berhubungan dengan pengetahuan

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 832 dan kepeduliannya dalam merawat dan membersihkan kebun. Petani jarang membersihkan gulma dan bagian-bagian tanaman non produktif. Alasanya juga bahwa banyak pekerjaan yang lain. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah usia petani yang rata-rata 44 tahun ke atas. Banyak masyarakat yang berusia produktif mencari pekerjaan lain, bahkan sebagian bermigrasi ke kota. Hal ini menyebabkan berkurangnya tenaga kerja. Pembersihan/sanitasi tanaman dan pengendalian gulma tidak dilakukan, pengendalian hama yang dilakukan petani pada umumnya adalah pengendalian secara mekanik dan fisik. Umumnya limbah kelapa seperti batang dan kulit kelapa tetap dibiarkan saja di sekitar tanaman sehingga dapat menjadi inang alternatif bagi perkembangan hama seperti O. rhinoceros. Dalam pengendalian hama, petani lebih banyak bergantung pada bantuan pemerintah. Sebagian petani masih beranggapan bahwa pengendalian hama dan penyakit adalah tanggung jawab pemerintah. Peristiwa ledakan hama kutu perisai dan kutu kapuk di NTT merupakan contoh kasus dimana sepenuhnya dikerjakan oleh pemerintah provinsi dan kabupaten. Hasil wawancara dengan instansi terkait, dengan adanya otonomi daerah, struktur kelembagaan perlindungan tanaman mempengaruhi kebijakan perlindungan tanaman. Contohnya di NTT dengan perda No. 10 tahun 2008 bidang perlindungan tanaman pada tingkat provinsi baik perkebunan, pangan, dan hortikultura dipangkas/dihilangkan dan dijadikan satu satu seksi di bawah kendali bidang sarana prasarana. Hal ini dirasakan sangat menyulitkan kegiatan rutinitas dalam perlindungan tanaman. Tenaga penyuluh atau tenaga pengamat hama sangat terbatas sehingga informasi tentang perlindungan tanaman khususnya seperti jenis hama yang menyerang tanaman kelapa, gejala kerusakan serta intensitas kerusakan yang ditimbulkan tidak diketahui oleh petani. Hal ini umumnya dialami hampir di semua kabupaten wilayah penelitian bahkan juga di daerah-daerah lain di NTT.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 833

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Hama penting yang ditemukan pada tanaman kelapa di empat kabupaten di pulau Sumba adalah Kumbang kelapa (Oryctes rhinoceros) dan Kutu perisai (Aspidiotus destructor), sedangkan hama kurang penting yang ditemukan adalah Kutu kapuk (Aleurodicus destructor) dan Kumbang janur (Brontispa longissima). 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan hama pada tanaman kelapa di empat kabupaten di pulau Sumba adalah sumber daya petani, pemeliharaan tanaman dan pengendalian hama, ketergantungan petani kepada pemerintah, kurangnya tenaga penyuluh lapangan/pengamat hama, dan kebijakan otonomi daerah. Saran Mengacu kepada hasil yang telah dicapai dan kendala yang dihadapi selama pelaksanaan penelitian maka disarankan: 1) Sebaran geografis hama-hama tanaman kelapa di pulau Sumba dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam penyusunan strategi pengendalian hama di setiap kecamatan yang bersangkutan. 2) Petugas dan petani harus sungguh-sungguh diberdayakan baik dari aspek pengetahuan maupun keterampilan dalam upaya pengelolaan OPT. 3) Perlu diberikan pemahaman kepada petani tentang batasan tanggung jawab masyarakat (petani) dan pemerintah dalam perlindungan tanaman. 4) Perlu adanya peningkatan sarana dan prasarana pendukung pengambilan keputusan pengendalian hama melalui pengadaan sarana dan parasarana pemantauan iklim dan pengembangan koordinasi antar kelembagaan provinsi dan kabupaten/kota dalam pengambilan keputusan tindakan perlindungan tanaman.

DAFTAR PUSTAKA Anonim 1986. Petunjuk Pelaksanaan Pengamatan Hama Penyakit Tanaman Perkebunan. Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Perkebunan, Direktorat Perlindungan Tanaman Perkebunan. Jakarta. Dinas Perkebunan NTT, 2008. Statistik Perkebunan NTT. 2008. Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi NTT 2010. Peluang Usaha Sektor Perkebunan. Website Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 834

Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Revised and translated by P.A. van der Laan with the assistant of G.H.L. Rothschild. PT Ichtiar Baru-van Hoeve, Jakarta. Londingkene, J.A. I W Mudita, M.V. Hahuly, dan T.S. Harini. 2004. Evaluasi Efektivitas dan Dampak Pengendalian Kimiawi Kutu perisai dan Kutu kapuk pada Tanaman Kelapa di NTT. Londingkene, J.A., A.V. Simamora, dan M.V. Hahuly. 2009. Pemetaan OPT Perkebunan Di Kabupaten Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat, danSumba Barat Daya, Provinsi NTT. Kerjasama Dinas Perkebunan Provinsi dan Fakultas Pertanian UNDANA. Mohan, C. 2005. Global Invasive Species Database: Oryctes rhinoceros (Insect). Website: http://www.issg.org/database/species/ecology.asp?si=173&fr=1&sts= Monk, K.A., Y. de Fretes, & G. Reksodihardjo-Lilley 1997. The Ecology of Nusa Tenggara and Maluku. Periplus Edition, Singapore. Setyamidjaja, D. 1995. Bertanam Kelapa Budidaya dan Pengelolaannya. Kanisisus, Yogyakarta. Subdin Perlintan Perkebunan Dinas Perkebunan Provinsi NTT, 2003. Laporan Kegiatan Pengendalian Hama Kelapa Aspidiotus sp. dan Aleurodicus sp. Di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun Anggaran 2002. Laporan Akhir April 2003. Dinas Perkebunan Provinsi NTT. Suhardiyono, 1988. Tanaman Kelapa. Budidaya dan Pemanfaatannya. Kanisius. Yogyakarta.

Notulensi Diskusi Seminar Hari – Purwakarta : Cara untuk mengatasi Oryctes? Jawab : Umumnya dilakukan dengan pengasapan. Sumba, NTT pernah ada ledakan dan dikendalikan dengan baklo virus tetapi menurut saya kurang efektif. Karena kenyataannya masih banyak hama oryctes. Jika untuk horticultura jangan pakai pestisida, utamakan dengan PHT, dengan pengamatan dini (monitoring).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 835

OEB-16 Keberadaan dan Prediksi Perkembangan Helopeltis antonii pada Pertanaman Jambu Mente di Kabupaten Flores Timur, NTT Agnes V. Simamora1 1Fakultas Pertanian, Universitas Nusa Cendana Jl. Adisucipto Penfui, Kupang, NTT, 85011 E-mail: [email protected]

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan Helopeltis antonii dan prediksi perkembangannya di kabupaten Flores Timur, NTT. Metode yang digunakan adalah metode survey dengan teknik pengamatan langsung di lapangan. Pengumpulan data primer di lapangan dilakukan dengan pengamatan langsung dan wawancara petani, sedangkan pengumpulan data sekunder dari instansi terkait. Lokasi pengamatan dan petani yang diwawancarai ditetapkan melalui proses pemercontohan/sampling. Pemercontohan lokasi pengamatan dan petani responden di setiap kecamatan dilakukan dengan menggunakan rancangan percontohan sistematik bertingkat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Helopeltis antonii terdapat pada 13 kecamatan di kabupaten Flores Timur dengan kategori kerusakan ringan, sedang, dan berat. Tingkat resiko rendah (R1) untuk peningkatan terjadinya kerusakan tanaman terdapat di kecamatan-kecamatan Ile Mandiri, Larantuka, Tanjung Bunga, Wulanggitang, tingkat resiko sedang (R2) terdapat di kecamatan-kecamatan Adonara Barat, Klubanggolit, Titehena, Witihama, Wotan Ulumado, sedangkan tingkat resiko tinggi (R3) terdapat di kecamatan-kecamatan Adonara Timur, Ile Boleng, Solor Barat, Solor Timur. Kata kunci : Helopeltis antonii, Jambu Mente, Flores Timur

ABSTRACT This research was aimed to detect the existence of Helopeltis antonii of cashew and its damage intensity prediction in Flores Timur district, East Nusa Tenggara. Method employed in this study was survey method through direct observation in the field. Primary data was gathered directly by interviewing the farmers whereas secondary data was collected from its related department. Observed locations were determined by sampling process. Determination of locations and respondent farmers in every sub district was based on multy-stage systematic sampling. The results revealed that H. antonii of cashew was found in all sub districts in Flores Timur in low, moderate, and severe categories. H. antonii damage intensity was predicted low in Ile Mandiri, Larantuka, Tanjung Bunga, Wulanggitang sub districts; moderate in Adonara Barat, Klubanggolit, Titehena, Witihama, Wotan Ulumado sub districts; and high in Adonara Timur, Ile Boleng, Solor Barat, Solor Timur sub districts. Keywords: Helopeltis antonii, cashew, East Flores

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 836

PENDAHULUAN Wilayah Flores merupakan sentra tanaman perkebunan Di Nusa Tenggara Timur (NTT). Tanaman perkebunan yang dominan terdapat di wilayah tersebut adalah kelapa, kakao, kopi, vanili dan jambu mente. Jambu mete (Anacardium occidentale) adalah komoditi andalan bagi masyarakat petani di kabupaten Flores Timur. Total luas areal tanaman jambu mete di NTT adalah 170.847.00 ha, dan merupakan populasi tanaman perkebunan terbanyak setelah tanaman kelapa. Luas tanam tanaman mente di kabupaten Flores Timur sebesar 28.782,00 ha dengan produksi pertahun 10.424,00 ton (Dinas Perkebunan NTT 2009). Jambu mente di kabupaten Flores Timur sudah ditetapkan sebagai varietas unggul nasional dan merupakan sumber benih melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian, bahkan berdasarkan SK Dirjen Perkebunan RI tahun 2008, kabupaten Flores Timur dan Ende ditetapkan sebagai kabupaten sumber benih jambu mete nasional. Dengan demikian Flores Timur dan Ende kini menjadi rujukan bagi wilayah lain di NTT dan di luar NTT untuk pengembangan jambu mente dan juga untuk mendapatkan benih unggul jambu mente. Organisme pengganggu tumbuhan yang utama pada tanaman jambu mente adalah hama. Salah satu hama utama adalah penghisap buah dan pucuk (Helopeltis antonii) yang terdapat di mana pun mente dibudidayakan (Karmawati, 2008; Karmawati, 2010). Sebaran Helopeltis spp. di dunia mencakup negara-negara pengekspor mente di Asia maupun di Afrika. Di Indonesia, Helopeltis spp. terdapat di seluruh pusat produksi mente, yaitu di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara (NTB dan NTT) (Daras , 2007). Di NTT, H. antonii terdapat di semua wilayah pertanaman mente dengan tingkat kerusakan sedang sampai berat (Mudita dkk., 2005, 2006; Londingkene dkk. 2009, 2010). Berbagai faktor yang mempengaruhi perkembangan hama tersebut diantaranya pemeliharaan/perawatan tanaman, teknik budidaya, topografi, dan pemanenan. Umumnya petani tidak melakukan perawatan dan pembersihan tanaman/bagian tanaman yang tidak produktif (pemupukan dan pemangkasan) dengan baik. Di wilayah Flores Timur topografi lahan perkebunan khususnya tanaman mente di tanam pada kondisi lahan yang sebagian besar curam. Hal ini tentunya selain mempengaruhi perawatan juga

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 837 penanganan/pengendalian hama dan penyakit serta cara pemanenan. Kendala-kendala tersebut memungkinkan tetap berkembangnya hama dan peningkatan populasi hama yang diikuti dengan kerusakan tanaman mente yang semakin besar. Karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui keberadaan H. antonii dan prediksi perkembangannya di kabupaten Flores Timur, NTT.

METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di 13 kecamatan di Kabupaten Flores Timur pada bulan Agustus sampai Oktober 2008. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanaman jambu mente, sedangkan peralatan yang digunakan adalah GPS, stoples plastik, kertas label, counter, loup, kuas halus, dan alat tulis menulis. Rancangan Pengambilan sampel (Sampling Design) dilakukan dengan pengumpulan data primer di lapangan meliputi pengamatan langsung dan wawancara dengan petani responden. Pengumpulan data sekunder diperoleh dari instansi teknis. Lokasi pengamatan dan petani sebagai responden ditetapkan melalui mekanisme pemercontohan. Pemercontohan lokasi pengamatan dan petani responden di setiap kecamatan dilakukan dengan menggunakan rancangan pemercontohan sistematik bertingkat (multi stage systematic sampling) yaitu pertama-tama didaftar seluruh kecamatan yang mempunyai areal tanam tanaman jambu mente, kemudian dari setiap kecamatan ditentukan desa-desa yang mempunyai areal tanaman jambu mente, selanjutnya ditentukan desa sampel yang menjadi target pengamatan dan wawancara. Pengamatan lapangan dilakukan untuk menentukan:1) Pola pertanaman jambu mente (monokultur/campuran), tanaman lain (jika pola pertanaman campuran) dan keadaan budidaya lainnya, 2) Gejala kerusakan yang ditimbulkan H. antonii, 3) Intensitas kerusakan (IK), dan 4) Prediksi perkembangan H. antonii.

IK H. antonii dihitung dengan rumus: Jumlah pucuk & bunga terserang IK = ------x 100% Jumlah pucuk & bunga total

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 838

Data intensitas kerusakan tanaman ditabulasi untuk menghitung rerata kerusakan tanaman di setiap kecamatan, selanjutnya data kerusakan dikategorikan menjadi rendah, sedang, dan tinggi dengan kriteria yang didasarkan pada kategori yang berlaku secara nasional. Wawancara dengan petani responden dilakukan dengan panduan daftar pertanyaan yang memuat pertanyaan mengenai identitas petani, keadaan budidaya tanaman, pengetahuan petani mengenai H. antonii, kegiatan pemeliharaan tanaman, dan pengendalian H. antonii. Prediksi perkembangan H. antonii ditentukan dengan melihat faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan OPT tersebut meliputi antara lain curah hujan dan hari hujan (tahunan dan rerata harian), kultivar tanaman (tahan atau tidak tahan), sanitasi kebun (baik atau buruk), keberadaan musuh alami (ada atau tidak ada), dan keberadaan tanaman lain sebagai inang alternatif (ada atau tidak ada). Faktor-faktor yang berpengaruh berbeda untuk setiap OPT, sehingga yang digunakan untuk membuat kriteria prediksi (peubah) disesuaikan dengan faktor yang mempengaruhi OPT yang bersangkutan. Untuk memprediksi H. antonii dicari informasi mengenai faktor-faktor dominan yang mempengaruhi perkembangannya yang kemudian digunakan sebagai peubah prediksi. Kriteria dibuat dengan menentukan keadaan peubah menjadi sesuai untuk terjadinya peningkatan kerusakan (nilai 1) atau tidak sesuai untuk terjadinya peningkatan kerusakan (nilai 0). Nilai prediksi untuk seluruh peubah kemudian dijumlahkan dan hasilnya digunakan untuk menentukan resiko terjadinya peningkatan kerusakan yang kemudian dikategorikan berdasarkan jumlah nilai 1 yang diperoleh (R). Semakin banyak peubah yang bernilai 1, maka semakin tinggi resiko terjadinya peningkatan kerusakan oleh H. antonii. R dibedakan menjadi R1 (resiko) rendah untuk terjadinya peningkatan kerusakan, R2 (resiko sedang) untuk terjadinya peningkatan kerusakan, dan R3 (resiko tinggi) untuk terjadinya peningkatan kerusakan.

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Pola pertanaman dan pemeliharaan jambu mente Padat populasi tanaman mente di kabupaten Flores Timur adalah 188 pohon/ha dengan rata-rata umur tanaman 14,75 tahun. Padat populasi tanaman ini tergolong

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 839 rendah. Menurut Cahyono (2001) dan Djarijah dan Mahedaiswara (1994), padat populasi mente monokultur adalah 69-208 pohon/ha. Padat populasi tanaman yang rendah tersebut terjadi karena budidaya pada umumnya dilakukan secara campuran (81,82%), bukan hanya campuran dua jenis tanaman tetapi sampai 5 jenis tanaman sekaligus. Petani yang menanam jambu mente-kelapa adalah sebesar 9,09%; mente- kakao-kalapa sebesar 45,45% dan campuran 5 jenis tanaman sebesar 9,09%. Pemeliharaan tanaman jambu mente yang dilakukan petani terbatas pada pemangkasan cabang yang mati dan pengendalian gulma yang umumnya dilakukan hanya sekali dalam setahun, bahkan banyak petani yang tidak memangkas cabang- cabang kering. Kegiatan pemupukan tidak dilakukan secara rutin terhadap seluruh tanaman, melainkan hanya bila diperoleh bantuan pemerintah dengan alasan harga pupuk yang mahal, kurang tenaga kerja, dan kesulitan membaga pupuk ke lokasi pertanaman yang umumnya lereng yang curam. Pengendalian OPT yang dilakukan petani pada umumnya adalah pengendalian secara mekanik dan fisik. Pengendalian secara budidaya melalui pemupukan dan pemeliharaan tanaman pada umumnya dilakukan sekali setahun. 2. Gejala Kerusakan H. antonii pada Tanaman Jambu Mente Pada daun, tunas muda, bunga, buah, dan biji terdapat bekas tusukan atau bercak memanjang (pada tunas) atau melebar (pada buah dan biji), bercak rapuh dan agak cekung, cokelat kemerah-merahan atau hitam bersisik, pucuk dan bunga mengering ke arah pangkal (mati pucuk), buah dapat tetap bertahan atau gugur. Di permukaan buah dan pucuk hinggap nimfa cokelat muda-cokelat dengan abdomen melengkung ke atas, imago hitam-kehijauan dengan garis putih pada bagian belakang, nimfa bersembunyi dan imago terbang bila didekati.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 840

a B c D e Gambar: 1. Gejala dan Tanda Kerusakan H. antonii pada Tanaman Jambu Mente di Kabupaten Flores Timur : (a) bercak pada pucuk, (b) bercak pada daun, (c) tangkai bunga mengering dan bercak pada buah, (d) tanaman yang terserang parah (e) Kepik dewasa

3. Intensitas Kerusakan H. antonii dan Prediksi Perkembangannya Di kabupaten Flores Timur, H. antonii ditemukan di semua kecamatan dengan kategori kerusakan ringan, sedang, dan berat. Intensitas dan kategori kerusakan yang ditimbulkan H. antonii pada tanaman jambu mente di Flores Timur disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Intensitas dan Kategori Kerusakan yang Ditimbulkan pada Tanaman Jambu Mente di Kecamatan-kecamatan di Kabupaten Flores Timur No Kecamatan Intensitas Kategori Kerusakan (%) 1 Adonara Barat 67 Berat 2 Adonara Timur 20 Ringan 3 Ile Boleng 20 Ringan 4 Ile Mandiri 25 Sedang 5 Klubanggolit 70 Berat 6 Larantuka 54 Berat 6 Solor Barat 21,11 sedang 8 Solor Timur 22,34 Sedang 9 Tanjung Bunga 71 Berat 10 Titehena 40 Berat 11 Witihama 66 Berat 12 Wotan Ulumado 72 Berat 13 Wulanggitang 35,04 Berat Sumber: Hasil pengamatan lapangan dan analisis data

Tingkat risiko perkembangan kerusakan tanaman jambu mente karena serangan H. antonii diprediksi menggunakan peubah elevasi, curah hujan tahunan, hari hujan tahunan, kultivar tanaman, sanitasi kebun, dan keberadaan musuh alami disajikan pada Tabel 3.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 841

Tabel 3. Wilayah Sebaran Tingkat Risiko Perkembangan Intensitas Kerusakan karena Serangan H. antonii pada Tanaman Jambu Mente pada Kecamatan-kecamatan di Kabupaten Flores Timur Tingkat Risiko Kecamatan Sebaran R1 (rendah) Ile Mandiri, Larantuka, Tanjung Bunga, Wulanggitang R2 (sedang) Adonara Barat, Klubanggolit, Titehena, Witihama, Wotan Ulumado R3 (tinggi) Adonara Timur, Ile Boleng, Solor Barat, Solor Timur Sumber: Hasil Analisis Data Untuk mengurangi tingkat risiko peningkatan kerusakan tanaman yang akan terjadi diperlukan upaya pengendalian sebagai berikut: 1) Mekanik. Pengendalian secara mekanis dilakukan dengan penangkapan dengan tangan atau dengan menggunakan bambu yang diberi perekat (getah) pada ujungnya tetapi hasilnya kurang efektif karena membutuhkan tenaga kerja (Atmaja 2003). 2) Fisik. Pengendalian secara fisik dengan melakukan pembakaran serasah (pengasapan). 3) Alami dan Hayati. Pengendalian hayati dilakukan dengan pemerliharaan semut hitam (Dolichoderus bituberculatus dan D. thoracicus), terutama dengan semut D. thoracicus. Pemeliharaan semut hitam dilakukan dengan membuat sarang menggunakan daun kelapa kering yang ditempatkan pada pohon kakao. Pengendalian Helopeltis spp. oleh semut hitam terjadi karena aktivitas semut hitam dalam mengambil madu hasil sekresi Planococcus sp. yang hidup di permukaan buah akan membuat Helopeltis spp. takut untuk hinggap di permukaan buah (Karmawati, 2008). 4) Budidaya. Pengendalian secara budidaya dilakukan dengan pengaturan pola pertanaman, pemangkasan tanaman, dan pemupukan berimbang. Pada tanaman jambu mete, pemberian pupuk secara tepat dan teratur akan menyebabkan tanaman tumbuh dengan baik dan memiliki daya tahan yang lebih tinggi terhadap hama. Pemberian unsur hara yang tidak seimbang akan mempengaruhi kondisi tanaman. Pemupukan N yang berlebihan mengakibatkan kandungan asam amino yang tinggi, sehingga jaringan tanaman lunak dengan disenangi oleh H. antonii. Pemangkasan tunas air (wiwilan) yang tumbuh di sekitar cabang-cabang utama perlu dilakukan karena tunas air akan menganggu pertumbuhan tanaman karena menjadi pesaing dalam pengambilan zat hara dan air. Selain itu H. antonii suka meletakkan telur pada jaringan tanaman yang lunak termasuk tunas air. Perlu pembuangan tunas ini

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 842

secara teratur setiap 2 minggu, karena akan mengurangi populasi H. antonii dan telur yang terdapat pada tunas air akan terbuang. Pada budidaya tanaman jambu mete, pohon pelindung diperlukan waktu tanaman masih di pembibitan atau pada awal penanaman di lapang. Pohon pelindung sebaiknya tidak terlalu lebat, sehingga sirkulasi udara dan sinar matahari berlangsung lancar terutama pada tempat yang sering diserang oleh H. Antonii karena serangga ini tidak tahan terhadap angin dan sinar matahari langsung. Hasil penelitian mengindikasikan varietas yang tahan terhadap serangan H. antonii adalah varietas Balakrisnan yang berasal dari India (Atmadja, 2008). 5) Kimiawi. Pengendalian secara kimiawi dilakukan bila diperlukan, dengan menggunakan beberapa jenis insektisida secara bergantian. Insektisida yang dianjurkan untuk mengendalikan H. antonii adalah dari golongan karbamat, terutama untuk pembibitan dan kebun-kebun produksi, atau insektisida dengan bahan aktif monokrotofos, siodosulfan, siflurin, tiodikarb, asefat, sipermetrin, dekametrin, klorpirifos, fention, metomil dan formation. Pada pembibitan dan pertanaman muda, aplikasi insektisida diarahkan pada daun muda dan pucuk tanaman. Pada tanaman produktif dilakukan pada bunga dan buah muda. 6) Insektisida nabati. Berdasarkan hasil penelitian di laboratorium dan rumah kaca kelompok peneliti Hama dan Penyakit Balittro, insektisida nabati yang efektif menekan H. antonii adalah mimba, tembakau, CNSL, masoyi, selasih, cengkeh, jahe merah dan pala. Ekstrak biji mimba konsentrasi 10% mampu menekan populasi H. antonii 80-90%, ekstrak tembakau dengan konsentrasi 10% menekan populasi H. antonii 80-100%, ekstrak CNSL yang berasal dari kulit biji mete dengan konsentrasi 5-10% mampu menekan populasi H. antonii 80-100%, minyak masoyi konsentrasi 1-2% mampu menekan populasi H. antonii 80-90%, minyak selasih jenis Ocimum basilicum dan gratisimum konsentrasi 6-10% mampu menekan populasi H. antonii 80-90%, minyak cengkeh yang berasal dari daun, gagang, dan bunga dengan konsentrasi 2-4% mampu menekan populasi H. antonii 80-90%, minyak jahe merah dan pala konsentrasi 6% mampu menekan populasi H. antonii 80-90% (Atmadja, 2008).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 843

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. H. antonii merupakan hama penting pada tanaman jambu mente di kabupaten Flores Timur yang tersebar di semua kecamatan dengan tingkat kerusakan ringan sampai berat. 2. Prediksi tingkat resiko perkembangan kerusakan tanaman oleh H. antonii dari rendah sampai tinggi Saran Sebaran geografis H. antonii saat penelitian dan sebaran geografis H. antonii prediksi dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam penyusunan strategi pengendalian H. antonii di setiap kecamatan di kabupaten Flores Timur. DAFTAR PUSTAKA Anonim 1986. Petunjuk Pelaksanaan Pengamatan Hama Penyakit Tanaman Perkebunan. Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Perkebunan, Direktorat Per- lindungan Tanaman Perkebunan. Jakarta. Atmadja, W.R. 2003. Status Helopeltis antonii sebagai hama pada beberapa tanaman perkebunan dan pengendaliannya. Jurnal Litbang Pertanian 22(2):57-63. Atmadja, W.R. 2008. Kerusakan Tanaman Jambu Mete Akibat Serangan Helopeltis antonii dan Pengendaliannya. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, 14(2), Agustus 2008. BPS Kabupaten Flores Timur, 2008. Kabupaten Flores Timur dalam Angka. Cahyono, B. 2001. Jambu Mete. Teknik Budi Daya dan Analisis Usaha Tani. Kanisius, Yogyakarta. Daras, U. 2007. Strategi dan Inovasi Teknologi Peningkatan Produktivitas Jambu Mete di Nusa Tenggara. Jurnal Litbang Pertanian, 26(1), 2007. Dinas Perkebunan NTT, 2009. Statistik Perkebunan NTT. 2009. Djarijah, N.M., & D. Mahedalswara. 1994. Jambu Mete dan Pembubidayaannya. Kanisius, Yogyakarta. Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Revised and translated by P.A. van der Laan with the assistant of G.H.L. Rothschild. PT Ichtiar Baru-van Hoeve, Jakarta. Karmawati, E. 2008. Perkembangan Jambu Mete dan Strategi Pengendalian Hama Utamanya. Perspektif Vol 7 No. 2/ Desember 2008, 102-111. Karmawati, E. 2010. Pengendalian Hama Helopeltis spp. pada Jambu Mete berdasarkan Ekologi: Strategi dan Implikasinya. Perkembangan Inovasi Pertanian 3(2), 2010:102-119. Mudita IW, J.A. Londingkene, dan A.V. Simamora, 2005. Pemetaan OPT Perkebunan Di Kabupaten-kabupaten Ende, Sikka, dan Flores Timur. Kerjasama Dinas Perkebunan Provinsi dan PS-IHPT Fakultas Pertanian UNDANA.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 844

Mudita IW, J.A. Londingkene, dan A.V. Simamora, 2006. Pemetaan OPT Perkebunan Di Kabupaten-kabupaten Manggarai, Manggarai Barat, Ngada, dan Lembata. Kerjasama Dinas Perkebunan Provinsi dan Fakultas Pertanian UNDANA. Londingkene, J.A., A. V. Simamora dan M.V. Hahuly. 2009. Pemetaan OPT Perkebunan Di Kabupaten-kabupaten Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat, dan Sumba Barat Daya. Kerjasama Dinas Perkebunan Provinsi dan Fakultas Pertanian UNDANA. Londingkene, J.A., A. V. Simamora dan M.V. Hahuly. 2010. Pemetaan OPT Perkebunan Di Kabupaten-kabupaten Belu, TTU, TTS, Kupang, Kota Kupang, dan Sabu Raijua. Kerjasama Dinas Perkebunan Provinsi dan Fakultas Pertanian UNDANA. Muhammad, A., D. Judawi, D. Priharyanto, G.C. Luther, G.N.R. Purnayasa, J. Mangan, M. Sianturi, P. Mundy, & Riyatno 2001. Musuh Alami, Hama dan Penyakit Tanaman Jambu Mete. Direktorat Perlindungan Perkebunan, Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. Departemen Pertanian, Jakarta. Untung, K. 2006. Pengantar Pengendalian Hama Terpadu.(Edisi revisi), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Wahyono, T.E. 2005. Deskripsi Hama Utama dan Musuh Alami pada Tanaman Jambu Mete di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Buletin Teknik pertanian Vol. 10 Nomor 1, 2005.

Notulensi Diskusi Seminar Hari – Purwakarta : Cara untuk mengatasi Oryctes? Jawab : Umumnya dilakukan dengan pengasapan. Sumba, NTT pernah ada ledakan dan dikendalikan dengan baklo virus tetapi menurut saya kurang efektif. Karena kenyataannya masih banyak hama oryctes. Jika untuk horticultura jangan pakai pestisida, utamakan dengan PHT, dengan pengamatan dini (monitoring).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 845

OEB-17 Keanekaragaman Hymenoptera Parasitoid pada Berbagai Ekosistem Pertanian di Sumatera Barat Hasmiandy Hamid1, Yunisman1 dan Yaherwandi1 1Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Faperta Universitas Andalas, Kampus Limau Manih, Padang, 25163 Email: [email protected]

ABSTRACT

Understanding how the landscape structure affect the interaction between crops, pests and their natural enemies is a complex problem that can significantly impact on the success or failure of insect biological control. Hymenoptera parasitoid are particularly important natural enemies because of their great diversity and effectiveness as agents of biological control. The objective of this research is to study the diversity of Hymenoptera parasitoid on some vegetables and rice ecosystem in West Sumatera. Hymenoptera parasitoid were sampled using three trapping techniques (farmcop, insect net and yellow pan trap). Indices of diversity were applied to analyze the data. Results indicated that there were 1522 specimen consist of 22 family and 148 species of Hymenoptera parasitoid on agricultural ecosystem in West Sumatera. Braconidae and Ichneumonidae were dominance of Hymenoptera parasitoid family in vegetables ecosystem. Contrast, Mymaridae, Diapriidae, and Eulophidae were dominance of Hymenoptera parasitoid family in rice ecosystem. Diversity of Hymenoptera parasitoid were found to be influenced by the landscape structure. Species richness and diversity were higher in polyculture ecosystem than monoculture. Key words: Monoculture, polyculture, Hymenoptera, parasitoid, landscape

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 846

PENDAHULUAN

Pada lanskap pertanian moderen struktur spasial, keanekaragaman habitat dan komposisi habitat sangat bervariasi dari satu lanskap ke lanskap yang lain (Marino & Landis, 2000; Kruss, 2003). Lanskap pertanian yang sangat sederhana hanya terdiri dari satu jenis ekosistem (monokultur) dan habitat tumbuhan liar, sedangkan lanskap pertanian yang kompleks tidak hanya terdiri dari berbagai ekosistem (polikultur), tetapi juga terdapat banyak habitat tumbuhan liar (Marino & Landis, 1996; Menalled, 1999). Eoksistem pertanian di Sumatera Barat mempunyai struktur lanskap yang bervariasi dari yang sederhana sampai yang kompleks. Lanskap pertanian yang sederhana hanya terdiri dari ekosistem padi dan tumbuhan liar atau ekosistem sayuran dan tumbuhan liar (ekosistem monokultur), sedangkan lanskap pertanian yang kompleks terdiri dari ekositem padi, sayuran, palawija dan berbagai habitat tumbuhan liar (ekosistem polikultur). van Emden (1991) mengatakan peningkatan keanekaragaman struktur lanskap pertanian dapat meningkatkan keanekaragaman serangga hama dan serangga bermanfaat dan seringkali kerusakan tanaman oleh hama berkurang. Selanjutnya Kruss dan Tscharntke (2000) menambahkan bahwa type dan kualitas habitat, susunan spasial dan hubungan (connectivity) antar habitat di dalam suatu lanskap dapat mempengaruhi keanekaragaman hayati dan fungsi ekosistem. Hipotesis tersebut di dukung oleh Marino dan Landis (2000) bahwa keanekaragaman struktur lanskap pertanian tidak hanya mempengaruhi keanekaragaman musuh alami di dalam pertanaman, tetapi juga kelimpahan dan keefektifannya. Selanjutnya Kruss (2003) memperkuat hipotesis tersebut, dengan mengemukakan hasil penelitiannya yaitu kekayaan spesies dan laju parasitisme parasitoid dari Melanogromyza aeneoventris (Diptera: Agromyzidae) meningkat dengan meningkatnya keanekaragaman habitat di dalam lanskap. Hasil yang sama juga ditemukan oleh Yaherwandi dkk. (2007) yang melaporkan keanekaragaman Hymenoptera lebih tinggi pada lanskap pertanian yang kompleks yang terdiri dari pertanaman padi, sayuran, palawija dan habitat tumbuhan liar daripada lanskap sederhana yang hanya tediri dari pertanaman padi (padi monokultur). Memahami bagaimana struktur lanskap mempengaruhi interaksi antara tanaman, hama dan musuh alami merupakan masalah yang kompleks dan pada akhirnya

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 847 mempengaruhi kesuksesan dan kegagalan pengendalian hayati (Landis, 1994). Hymenoptera parasitoid merupakan salah satu kelompok serangga yang kaya spesies. Dari 38 famili Hymenoptera parasitoid yang ditemukan pada ekosistem padi 28 famili diantaranya adalah Hymenoptera parasitoid (Yaherwandi dkk., 2007). Hal ini menunjukan bahwa Hymenoptera parasitoid sangat umum dan berlimpah pada ekosistem teresterial dan kebanyakkan spesiesnya berkembang sebagai parasitoid penting berbagai serangga hama tanaman pertanian (LaSalle, 1993). Sayangnya, sampai saat ini penelitian Hymenoptera parasitoid masih terkonsentrasi pada biologi dan siklus hidup parasitoid serangga hama tertentu (outekologi), akan tetapi data tentang keanekaragaman, kelimpahan dan komposisi spesies Hymenoptera parasitoid (sinekologi) sehubungan dengan perubahan struktur lanskap sangat terbatas. Padahal studi tentang pengaruh struktur lanskap terhadap Hymenoptera parasitoid dapat memberikan informasi untuk pengelolaan lanskap pertanian yang lebih baik dan berkelanjutan. Oleh karena itu, kajian keanekaragaman spesies pada skala lanskap dianggap penting karena berpengaruh terhadap peran parasitoid dalam menekan serangga hama. Selain itu, strategi Pengendalian Hama Terpadu (PHT) masih ditumpukan pada penggunaan pengendalian hayati secara alami, karena itu informasi tentang keanekaragaman serangga terutama Hymenoptera parasitoid pada struktur lanskap pertanian berbeda merupakan informasi yang sangat diperlukan dalam perencanaan PHT ke depan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh struktur lanskap terhadap komposisi, keanekaragaman, kelimpahan dan distribusi Hymenoptera parasitoid yang mendiami berbagai ekosistem pertanian di Sumatera Barat

METODE PENELITIAN

Lokasi penelitian Penelitian dilakukan pada tiga lokasi, yaitu Padang Pariman, ketinggian 10-20 meter diatas permukaan laut (m dpl) dengan pola tanaman padi monokultur dan Alahan Panjang, ketinggian sekitar 1300 m dpl dengan pola tanam sayuran monokultur. Kedua lokasi ini mewakili lansekap sederhana. Koto Baru dengan ketinggian sekitar 850 m dpl mewakili lanskap pertanian yang kompleks (ekosistem padi, sayuran, palawija dan

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 848 habitat tumbuhan liar). Ekosistem yang dipilih pada penelitian ini adalah pertanaman padi dan sayuran. Penelitian dilakukan antara bulan Februari sampai November 2007. Pelaksanaan penelitian Pada masing-masing lokasi ditentukan satu lanskap pertanian. Pada tiap lanskap dibuat satu jalur transek dengan panjang lebih kurang 1000 m pada sepanjang pertanaman yang ada. Sepanjang jalur transek ditentukan titik pengambilan sampel yang berjarak 100 m dan terdapat 10 titik sampel. Pengambilan sampel pada ekosistem sayuran dan habitat tumbuhan liar bersamaan dengan pengambilan sampel pada pertanaman padi yaitu awal musim tanam, fase pertumbuhan vegetatif dan fase pertumbuhan geratif. Hal ini berdasarkan pertimbangan keadaan pertanaman dan pola tanam di lapangan. Pola tanam padi di lapangan lebih teratur / serempak daripada pertanaman sayuran. Pengambilan sampel serangga pada setiap titik sampel pada jalur transek dilakukan dengan menggunakan mesin pengisap serangga farmcop, jaring ayun dan nampan kuning. Farmcop terbuat dari mesin pengisap debu (vacum cleaner) yang dilengkapi dengan aki, kabel, selang dan wadah penampung serangga (Heong dkk., 1991; Schonenly dkk., 1998; Yaherwandi dkk., 2007). Pengambilan sampel serangga dengan farmcop dilakukan dengan menyungkup tanaman terlebih dahulu dengan kurungan kain kasa berbingkai (alas 50x 50 cm dan tinggi 90 cm), kemudian dihisap dengan farmcop selama 5 menit untuk setiap titik sampel (Heong dkk., 1991) Jaring ayun berbentuk kerucut, mulut jaring terbuat dari kawat melingkar berdiameter 30 cm dan jaring terbuat dari kain kasa. Pengambilan sampel serangga setiap titik sampel dilakukan dengan mengayunkan jaring ke kiri dan ke kanan secara bolak balik sebanyak 20 kali sambil berjalan. Nampan kuning terbuat dari wadah plastik yang berukuran alas 15 X 25 cm dan tinggi 7 cm. Nampan kuning dipasang di tempat terbuka agar mudah terlihat oleh serangga. Serangga yang tertarik warna kuning akan mendatangi nampan tersebut. Untuk membunuh serangga yang hinggap pada nampan, terlebih dahulu ke dalam nampan dimasukkan larutan air sabun. Air sabun digunakan untuk mengurangi tegangan permukaan, sehingga serangga yang masuk akan tenggelam dan akhirnya mati. Setiap titik sampel dipasang satu nampan dan dibiarkan selama 24 jam.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 849

Serangga yang tertangkap dengan farmcop, jaring ayun dan nampan kuning dibersihkan dari kotoran. Selanjutnya disimpan dalam tabung film berisi alkohol 70% untuk diidentifikasi di laboratorium (Yaherwandi dkk., 2007) Identifikasi serangga dilakukan di Laboratorium Bioekologi Serangga Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian, Universitas Andalas. Semua serangga yang diperoleh dipisahkan berdasarkan ordonya. Khusus bagi ordo Hymenoptera parasitoid, identifikasi dilanjutkan sampai tingkat famili dan morfospesies (hanya diberi kode). Kami memilih bekerja sampai tingkat famili karena kunci identifikasi Hymenoptera sampai tingkat Genus dan spesies di indonesia belum banyak diketahui dan refrensi untuk tingkat tersebut tidak tersedia. Identifikasi serangga untuk tingkat famili dilakukan dengan mengacu buku Goulet dan Huber (1993) dan Noyes (2003). Analisis data

Keanekaragaman dan kelimpahan morfospesies Hymenoptera parasitoid dianalisis dengan menggunakan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wienner, kemerataan morfospesies dianalisis dengan indeks kemerataan Simpson (Magurran, 1988; Spellerberg, 1995; Krebs, 1999). Untuk menghitung kekayaan morfospesies, indeks Shannon-Wienner dan indeks kemerataan Simpson digunakan program Ecological metodology 2nd edition (Krebs, 2000).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jumlah individu, spesies, dan famili Hymenoptera parasitoid yang dikoleksi pada beberapa ekosistem pertanian di Sumatera Barat Jumlah keseluruhan Hymenoptera parasitoid yang telah dikumpulkan pada ekosistem padi dan sayuran di Sumatera Barat adalah 1522 individu yang termasuk dalam 22 famili dan 148 spesies. Jumlah famili yang dikumpulkan ini jika dibandingkan dengan pertanaman padi di Philipina dan Cianjur Jawa Barat berturut-turut jumlahnya lebih sedikit yaitu 31 dan 26 famili (Heong dkk., 1991; Yaherwandi dkk., 2007). Kelimpahan dan jumlah spesies Hymenoptera parasitoid yang telah dikoleksi pada ekosistem sayuran polikultur lebih tinggi daripada sayuran dan padi moanokultur (Tabel 1). Hasil ini mirip dengan yang temukan oleh Settle dkk. (1996) yaitu kelimpahan dan

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 850 jumlah spesies parasitoid lebih tinggi pada ekosistem padi polikultur di Jawa Tengah daripada padi monokultur di Pantura (Jawa Barat). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Hole dkk. (2005) yang mereview 20 artikel yang membandingkan kelimpahan dan kekayaan spesies musuh alami pada sistem pertanian organik/polikultur dengan sistem konvensional/monokultur. Hole dkk. (2005) menemukan 14 artikel menyatakan kelimpahan dan kekayaan spesies musuh alami lebih tinggi pada sistem polikutur daripada sistem monokultur. Dari 22 famili Hymenoptera parasitoid yang telah dikumpulkan, dua famili yaitu Braconidae dan Ichneumonidae adalah famili yang mempunyai kelimpahan relatif tertinggi (> 15%) atau dengan kata lain merupakan famili Hymenoptera parasitoid yang dominan pada ekosistem sayuran monokultur dan polikultur (Gambar 1). Sebelumnya Yaherwandi (2007) juga menemukan hal sama dengan hasil penelitian ini yaitu Braconidae dan Ichniumonidae adalah famili Hymenoptera parasitoid yang dominan pada eksositem sayuran di Sumatera Barat. Hal ini disebabkan spesies parasitoid yang umum ditemukan pada ekosistem sayuran yang didominasi oleh tanaman Cruciferae di Sumatera Barat adalah Diadegma sp (Ichneumonidae) dan Apanteles sp (Braconidae). Sebaliknya, pada ekosistem padi monokultur famili Hymenoptera parasitoid yang dominan adalah Mymaridae, Eulophidae, dan Diapriidae (Gambar 1). Hasil penelitian ini mirip dengan yang dilaporkan Heong et al (1991) dan Yaherwandi dan Syam (2007) bahwa Diapriidae, Eulophidae, Mymaridae, Scelionidae dan Trichogrammatidae merupakan famili yang dominan pada pertanaman padi. Hal ini karena sebagian besar spesies dari famili-famili tersebut merupakan parasitoid dari serangga hama padi dari ordo Homoptera seperti wereng batang dan wereng daun dan ordo Lepidoptera seperti penggrek batang dan ulat pemakan daun (Heong dkk., 1991; Yaherwandi & Syam, 2007).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 851

Tabel 1. Jumlah individu, spesies, dan famili Hymenoptera parasitoid pada beberapa ekosistem pertanian di Sumatera Barat

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 852

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 853

Gambar 1. Kelimpahan relatif tiap famili Hymenoptera parasitoid pada beberapa ekosistem pertanian di Sumatera Barat

Tabel 2. Jumlah individu, spesies, dan famili Hymenoptera parasitoid yang dikoleksi dengan Farmcop, Jaring ayun, dan Nampan kuning pada beberapa ekosistem pertanian di Sumatera Barat

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 854

Berdasarkan metode atau alat koleksi yang digunakan terdapat perbedaan kelimpahan, spesies, dan famili yang terkumpul untuk tiap-tiap metode. Metode farmcop total jumlah parasitoid yang tertangkap adalah 477 individu, 80 spesies, dan 16 famili (Tabel 2). Metode jaring ayun jumlah individu yang dikoleksi adalah 338 individu, 54 spesies, dan 13 famili (Tabel 2). Metode nampan kuning total jumlah parasitoid yang tertangkap 564 individu, 79 spesies, dan 15 famili (Tabel 2). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa metode farmcop dan nampan kuning adalah metode yang paling efektif untuk mengkoleksi Hymenoptera parasitoid pada ekosistem pertanian sayuran dan padi. Farmcop yang dimodifikasi dari alat pengisap debu berukuran kecil dan mudah dibawa menjadi alat yang efektif untuk koleksi Hymenoptera parasitoid yang berukuran kecil seperti parasitoid telur dari famili Mymaridae, Trichogramma, dan Scelionidae karena ujung selang pengisap dapat langsung diarahkan ke pangkal tanaman padi dan sayuran (Yaherwandi dkk., 2007; Yaherwandi & Syam, 2007). Nampan kuning juga alat yang efektif untuk koleksi

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 855

Hymenoptera parasitoid, karena banyak Hymenoptera parasitoid yang tertarik terhadap warna kuning, sehingga alat ini cukup efektif digunakan untuk mempelajari keanekaragaman parasitoid (Noyes, 1989; Yaherwandi dkk., 2007). Kekayaan, Keanekaragaman dan Kemerataan Spesies Hymenoptera Parasitoid Keanekaragaman habitat dan struktur lanskap pertanian berpengaruh terhadap kekayaan, kemerataan, dan keanekaragaman spesies Hymenoptera parasitoid. Keanekaragaman spesies Hymenoptera parasitoid lebih tinggi di ekosistem sayuran polikultur daripada ekosistem sayuran dan padi monokultur, sedangkan keanekaragaman spesies di ekosistem sayuran dan monokultur tidak berbeda jauh (Tabel 3). Hal ini karena struktur lanskap pertanian kedua eksositem tersebut hampir sama yaitu padi dan sayuran monokultur, sehingga kekayaan dan kemerataan spesies Hymenoptera parasitoid kedua ekosistem tersebut tidak jauh berbeda dibandingkan dengan ekosistem sayuran polikultur. Nilai keanekaragaman spesies adalah resultante dari nilai kekayaan dan kemerataan spesies. Dengan demikian jelas bahwa tidak berbedanya keanekaragaman spesies pada ekosistem sayuran dan padi polikultur adalah karena kekayaan dan kemerataan spesiesnya juga tidak berbeda. Ekosistem sayuran polikultur yang terdiri dari berbagai habitat (padi, sayur- sayuran dan tumbuhan liar) membentuk struktur lanskap pertanian yang lebih kompleks daripada ekosistem sayuran dan padi monokultur. Habitat-habitat tersebut menyediakan berbagai sumberdaya seperti inang alternatif, makanan serangga dewasa seperti serbuk sari dan nektar, habitat tanaman lain sebagai tempat berlindung, kontinuitas ketersediaan makanan dan iklim mikro yang sesuai bagi kelangsungan hidup dan keanekaragaman parasitoid. Semua sumberdaya tersebut hanya diperoleh pada sistem pertanian yang polikultur (Dryer & Landis, 1996, 1997). Hasil yang sama juga pernah dilaporkan Idris dkk. (2002), Hooks dan Johnson (2003), Menalled dkk. (2003), Stephens dkk. (2006), dan Bianchi dkk. (2006) bahwa keanekaragaman parasitoid dipengaruhi oleh tipe lanskap pertanian, yaitu lanskap pertanian dengan struktur yang kompleks memiliki kelimpahan, kekayaan, dan keanekaragaman spesies parasitoid yang lebih tinggi daripada lanskap dengan struktur yang lebih sederhana.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 856

Tabel 3. Kekayaan, kemerataan, dan keanekaragaman spesies Hymenoptera parasitoid pada ekosistem sayuran monokultur, sayuran polikultur, dan padi monokultur di Sumatera Barat

KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu (1) Total jumlah Hymenoptera parasitoid yang telah dikoleksi adalah 1552 individu, yang terdiri dari 22 famili, dan 148 spesies, (2) Kelimpahan, jumlah spesies, dan famili yang dikoleksi pada ekosistem sayuran polikultur lebih tinggi daripada ekosistem sayuran dan padi polikultur, (3) Famili Braconidae dan Ichneumonidae adalah famili Hymenoptera parasitoid yang dominan baik pada ekosistem sayuran monokultur maupun polikultur, sedangkan pada eksosistem padi monokultur yang dominan adalah Mymaridae, Diapriidae, dan Eulophidae, (4) Kekayaan, kemerataan, dan keanekaragaman spesies Hymenoptera parasitoid pada ekosistem sayuran polikultur lebih tinggi daripada ekosistem sayuran dan padi monokultur.

DAFTAR PUSTAKA

Bianchi, FJJA, Booij, CJH., Tscharntke, T. 2006. Sustainable pest regulation in agriculture landscape: a review on landscape composition, biodiversity and natural pest control. Proc. R. Soc. B 273: 1715 – 1727. Colwell RK, Coddington JA. 1994. Estimating terrestrial biodiversity through extrapolation. Philosophical Transactions of Royal Society London 345: 101-118. Colwell RK. 2006. EstimateS: Statistical estimate of spesies richness and shared spesies from samples. Version 8.00. http://www.viceroy.eeb.uconn.edu/estimates [download 13 Januari 2006]. Dryer LE, Landis DA. 1996. Effect of habitat, temprature and sugar availability on longevity of Eriborus terebrans (Hym: Ichneumonidae). Environ. Entomol. 25: 1192 –1201.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 857

Dryer LE, Landis DA. 1997. influence of non-crop habitat on distribution of Eriborus terebrans (Hym: Ichneumonidae) in cornfields. Environ. Entomol. 26: 924 - 932. Goulet H, Huber JT. 1993. Hymenoptera of The world: An Identification Guide to Families. Ottawa: Research Branch Agruculture Canada Publication. Heong KL, Aquino GB, Barrion AT. 1991. Arthropod community structure of rice ecosystem in the Philippines. Bulletin of Entomological Research 81: 407-416. Hole, AG., Perkins, AJ., Wilson, JD. Alexander, IH., Grice, PV. and Evan, AD. 2005. Does organic farming benefit biodiversity ?. Biological Conservation 122: 113 – 130. Hooks, CRR and Johnson, MW. 2003. Impact of agriculture diversification on the insect community of cruciferous crops. Crop Protection 22: 223 – 238. Idris, AB., Nor, SMd and Rohaida, R. 2007. Study on diversity of insect community at different altitudes of Gunung Nuang in Selangor, Malaysia. Journal of Biological Sciences 2 (7): 505 – 507. Krebs CJ. 1999. Ecological Metodology. Second Edition. New York: An imprint of Addison Wesley Longman, Inc. Krebs JC. 2000. Program for ecological methodology [software]. Second Edition. New York: An imprint of Addison Wesley Longman, Inc. Kruess A, Tschartntke T. 2000. Spesies richness and parasitism in a fragmented landscape: experiments and field studies with insects on vicia sepium. Oecologia 122: 129-137. Kruess A. 2003. Effects of landscape structure and habitat type on a plant-herbivore- parasitoid community. Ecography 26: 283-290. LaSalle J, Gauld ID. 1993. Hymenoptera: Their diversity, and their impact on the diversity of other organisms. Di dalam. LaSalle J, Gauld ID, editor. Hymenoptera and Biodiversity. Wallingfor, UK: CAB International. p 1-26. Landis DA. 1994. Arthropod sampling in agricultural landscapes : Ecological considerations. Di dalam: Pedigo LP, Butin GD. Editor. Handbook of Sampling Methods for Pests in Agriculture. London: CRC Press. Magurran AE. 1996. Ecological Diversity and Its Measurement. London: Chapman and Hall. Marino PC, Landis DA. 1996. Effect of lanscape structure on parasitoid diversity and parasitism in agroecosystem. Ecological Application 6(1); 276-284. Marino PC, Landis DA. 2000. Parasitoid community structure: implications for biological control in agricultural landscapes. Di dalam: Ekbon B, Irwin ME, Robert Y, editor. Interchanges of Insects between Agriculturan and Surrounding Landscapes. Boston: Kluwer Academic Publishers. Menalled FD, Marino PC, Gage SH, Landis DA. 1999. Does agricultural landscape structure affect parasitism and parasitoid diversity?. Ecological Application 9(2): 634-641. Menalled, FD., Costamagna, AC., Marino, PC and Landis, DA. 2003. Temporal variation in the response of parasitoids to agriculture landscape structure. Agriculture, Ecosystem and environment 96: 29 – 35. Noyes JS. 1989. A study of methods of sampling Hymenoptera (Insecta) in tropical rainforest, with special reference to the parasitica. Journal Of Nature History 23: 285-298

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 858

Noyes JS. 2003. Universal Chalcidoidea Database. http://www.nhm.ac.uk/entomology [donwload 15 Juni 2004]. Schoenly K, Justo HD, Barrion AT, Harris MK, Bottrell DG. 1998. Analysis of invertebrate biodiversity in a Philipine farmer‘s irrigated rice field. Environ. Entomol. 21(5): 1125-1136. Settle, W.H., Ariawan, H., Astuti, E.T., Cahaya, W., Hakim, A.L., Hindayana, D., Lestari, A.S. and Fajarningsih. 1996. Managing tropical rice pest through conservation of generalis natural enemies and alternative prey. Ecology 77 (7): 1975 – 1988. Spellerberg IF. 1995. Monitoring Ecological Change. Melbourne: Cambridge University Press. Stephens, CJ., Schellhorn, NA. Wood, GM and Austin, AD. 2006. Parasitic wasp assemblages assosiated with native and weedy plant species in an agriculture landscape. Australian Journal of Entomology 45: 176 – 184. van Emden HF. 1990. Plant diversity and natural enemy efficiency in agroecosystems. Di dalam: Mackkauer M, Ehler LE, Roland J, editor. Critical Issues in Biological Control. Great Britain: Atheneum Press. hlm 63-80. Yaherwandi. 2006. Struktur komunitas Hymenoptera parasitoid pada ekosistem sayuran dan habitat non-crop di Sumatera Barat. Laporan Penelitian Doktor Muda. Lembaga Penelitian Unand. Padang. Yaherwandi, Manuwoto S, Buchori D, Hifayat P, Budiprasetyo L. 2007. Keanekaragaman Komunitas Hymenoptera Parasitoid pada Ekosistem Padi. Jurnal HPT Tropika vol 7 (1): 10 – 20 Yaherwandi dan U. Syam. 2007. Keanekaragaman dan Biologi Reproduksi Parasitoid Telur Wereng coklat Nillaparvata lugens Stall. (Homoptera: Delphacidae) pada Struktur Lanskap Pertanian Berbeda. Jurnal Acta Agrosia 10 (1): 76 – 86

Notulensi Diskusi Seminar Ichsan (UGM) : Apakah semua semut yang dikorelasi merupakan predator? Jawab : Peranan semut pada pertanaman kakao dapat dilihat dari berbagai sisi. Di satu pihak semut tersebut dapat berfungsi sebagai predator. Trophobiont/bersimbiosis dengan homoptera. Dari jenis yang ditemukan ada beberapa yan bersimbiosis dengan homoptera seperti Dolichoderus dan crematogaster namun demikian dari penelitian BOS (2007) pada pertanaman padi di DAS cianjur spesies Anoplolepsis, dolichoderus, paratrectiina, polylachis, dan crematogaster merupakan spesies yang umum dan merupakan predator. Dian (UGM) : Apakah oecophylla menyumbangkan kemerataan pada lokasi yang diamati?

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 859

Jawab : Kemerataan ditentukan oleh adanya dominasi dan spesies tertentu pada suatu lokasi. Jumlah individu yang tinggi hanya pada spesies tertentu mengakibatkan nilai kemerataan daerah tersebut menjadi rendah.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 860

OEB-18 Pengaruh Tanaman Penutup Tanah (Arachis pintoi) pada Tanaman Teh Belum Menghasilkan Terhadap Jenis dan Populasi Serangga Hama Serta Musuh Alami Wahyu Widayat1 1Pusat Penelitian Teh dan Kina PT Riset Perkebunan Nusantara

ABSTAK Penelitian ―Pengaruh tanaman penutup tanah (Arachis pintoi) pada tanaman teh belum menghasilkan (TBM) terhadap jenis dan populasi serangga hama serta musuh alami‖; telah dilaksanakan di blok A-1 Afdeling Gambung Utara, Jenis tanah Andisol, Kebun Percobaan Gambung Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung Bandung, Jawa Barat; dari bulan Januari s/d Desember 2008. Luas petak penelitian 0,5 ha TBM ditanami A. pintoi dan 0,5 ha TBM tidak ditanami A pintoi. Klon teh yang ditanam GMB 7. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penanaman tanaman penutup tanah A. pintoi pada TBM terhadap perkembangan jenis dan populasi serangga hama serta musuh alami. Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen, membandingkan besarnya populasi serangga hama dan musuh alami antara petak penelitian yang ditanami A. pintoi dengan petak penelitian tanpa ditanami A. pintoi. Petak pengamatan berukuran 10 m X 10 m. Dalam satu petak penelitian terdapat 5 petak pengamatan. Parameter yang diamati adalah jenis dan populasi serangga hama serta musuh alami yang ada di lokasi tersebut, dan besarnya erosi pada petak penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa A. pintoi efektif mengendalikan serangga hama dan menarik berbagai jenis musuh alami dari jenis tabuhan. Ternyata A pintoi juga dapat memperkecil erosi tanah pada petak penelitian dengan A pintoi sebagai tanaman penutup tanah pada TBM sampai lebih dari seperempatnya dibandingkan dengan erosi yang terjadi pada petak penelitian tanpa A. Pintoi. Kata kunci : Arachis pintoi, musuh alami, pengendalian erosi tanah.

ABSTRACT A study of :‖The effect of using A. pintoi as a cover crop on young tea plantation to the kinds and insect pests population and natural enemies”; was carried out at Blok A-1, Afdeling Gambung Utara, Eksperimental Garden of Research Institute for Tea and Cinchona, Bandung. West Java, 1.300 m a.s.l., the tipe of soil was Andisol, from January up to Desember 2008. The measure of plot was 0,5 ha using A. pintoi as acover crop on young tea plantation and 0,5 ha on young tea plantation withoutA. pintoi. The objective of this study were toknow the growth of kinds and insect pests population and natural enemies and olso to know the soil erosion. Experimental methodewas used in this study, compare level of kinds and the growth insect pest population and natural enemies on plot with A. pintoi and without A. pintoi. The measure of observed plot was 10 m X 10 m. There were 5 observed plot in each plot. The parameter wereobserved :the kinds and insect pests population and natural enemies; and also soil erosion. The result of this research showed thatA. pintoi effective to control insect pest and attracted many kinds of natural enemies; and olso effective to control soil erosion 4,25 times compare with tea area without A. pintoi. Key words : Arachis pintoi, and natural enemies, soil orosion control,.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 861

PENDAHULUAN Tanaman teh di Indonesia telah diusahakan sejak abad 19, yang pada umumnya berada di daerah pegunungan, dengan curah hujan yang tinggi menyebabkan tingginya erosi tanah, penurunan kesuburan tanah, dan habisnya lapisan top soil sehingga daya dukung lahan rendah, yang berakibat mekanisme biologi tanah tidak aktif, dan akan mengancam keberlanjutan produksi pucuk serta potensi produksi tidak tercapai. Kan- dungan debu dan pasir pada tekstur tanah sudah menjadi tinggi, sedangkan bahan organik dan lempung (liat) sangat rendah disertai daya ikat air dan nilai tukar kation yang rendah (Sukasman, 1997). Bahan organik yang dibutuhkan sebaiknya yang banyak mengandung N, yaitu dari famili Leguminosae, karena teh dipanen pucuknya atau bagian vegetatifnya.Suhu optimal yang diperlukan yaitu antara 12o–250C, dengan intensitas sinar matahari berkisar 70-80% dan kelembapan nisbi tidak kurang dari 60%. Pemeliharaan TBM memerlukan banyak tenaga kerja, dengan ratio 1-2 orang per ha untuk pengendalian gulma (Anonim, 1995). Pengendalian gulma pada TBM dengan herbisida, drifnya akan menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat, ruas atau internodus memendek (terjadinya roset), menyebabkan masa TBM akan semakin lama, lebih dari 3 tahun atau bahkan dapat mematikan tanaman tehnya. Disamping itu areal TBM rawan terhadap erosi, bila musim hujan tiba. Tanaman penutup tanah A. pintoi merupakan tanaman legum yang banyak mengandung nitrogen (N), selalu berbunga kuning, dan menghasilkan polen yang sang- at dibutuhkan oleh parasitoid, serta bersimbiose dengan jamur Michoriza arbuscula, sebagai penyedia unsur pospor (P) yang terikat dalam tanah. Dengan penanaman A. pintoi selain dapat menekanan pertumbuhan gulma, meningkatkan musuh alami, mengurangi timbulnya serangan hama pada tanaman teh, memperkecil terjadinya erosi, dan sebagai sumber bahan organik. Hasil penelitian pada tanaman lada, tanaman penutup tanah A. pintoi dapat meningkatkan parasitasi parasitoid Spanthius piperis terhadap serangga hama penghisap buah lada mencapai 50% lebih tinggi dibandingkan dengan tidak menggunakan penutup tanah A. pintoi (Suprapto, 2000). Oleh karena itu perlu dicoba pada tanaman teh belum menghasilkan (TBM). Selain itu penanaman A. pintoi dipertanaman teh dapat dilakukan pada batas blok kebun atau jalan kontrol, atau

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 862 pada areal yang tidak di tanami teh, untuk mengendalikan erosi dan menstimlir musuh alami. Produksi bahan organik A. pintoi pada TBM sebesar 40-50ton//ha/tahun bahan organik segar. Pengelolaan A. pintoi sebagai tanaman penutup tanah pada TBM lebih efisien dari pada penyiangan gulma pada TBM secara manual (Widayat, 2004). Ekanayake 1996 dalam Prematilake, 2003 menjelaskan bahwa A. pintoi sangat berpe- luang untuk menjadi tanamanpenutup tanah di perkebunan teh, karena pertumbuhannya cepat, penghasil bahan organik, bila dikelola dengan baik tidak berpengaruh negatif pada pertumbuhan tenaman teh. Fungsi tanaman penutup tanah adalah melindungi tanah terhadap erosi akan semakin baik dengan semakin rapatnya tanaman menutupi permukaan tanah dan semakin pendeknya jarak antara tajuk dengan permu-kaan tanah tersebut (Hudson, 1981 dalam Darmawijaya dkk., 1989). Erosi di lahan terbuka dapat mencapai 100 kali lebih besar dari pada di lahan tertutup. Dengan menghilangkan mulsa atau tanaman penutup tanah erosi akan meningkat menjadi 15-50 kali lebih besar (Wiersum, 1979 dalam Darmawijaya dkk., 1989). Di pertanaman teh dengan lahan miring 67% fungsi tanaman leguminoceae yang merambat dapat mengurangi besarnya erosi tanah sampai separuhnya dibanding dengan lahan terbuka, sedangkan tamanan penutup tanah yang ditanam berbaris kurang efektif tetapi masih lebih baik dari pada tanaman tanpa penutup tanah. Perbaikan kutur teknis merupakan cara yang sangat disukai petani karena biaya- nya lebih murah. Penanaman tanaman penutup tanah dalam jangka panjang selain dapat meningkatkan musuh alami, menekan gulma, menjaga kelembaban tanah, sumber bahan organik dan lain-lain. Disamping itu A. pintoi juga dapat sebagai sumber bahan organik yang kaya akan nitrogen (N). Tanah yang mempunyai kandungan bahan organik yang cukup dan sehat merupakan media hidup mikroba yang sangat baik, yang akhirnya akan dicapai keseimbangan kimia dan biologis yang saling menyehatkan sehingga penggunaan pestisida akan sangat dikurangi (Karama, 2002). Pertanaman polikultur dapat digunakan sebagai salah satu strategi pengendalian hama yang ramah lingkungan. Hal ini disebabkan karena: 1) Serangga cenderung men- cari dan tinggal pada inang yang tumbuh pada pertanaman monokultur dibandingkan pada pertanaman polikultur; 2) Zat yang dikeluarkan oleh tanaman non inang akan

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 863 mengacaukan bau yang dikeluarkan oleh tanaman inang, sehingga mengganggu kemam- puan serangga untuk menemukan tanaman inang; 3) Keanekaragaman dan kelimpahan musuh alami biasanya lebih tinggi pada pertanaman polikultur dibandingkan monokultur; karena pada tanaman polikultur ditemukan makanan tambahan yang berupa embun madu, nektar, dan polen serta lebih banyak tempat berlindung dari pengaruh panas dan faktor lingkungan yang lain, lebih banyak mangsa alternatif khususnya bila makanan utama tidak banyak; 4) Tanaman perangkap dapat menarik serangga hama sehingga tanaman utama terhindar dari serangan hama tersebut (Nurdin, 2001). Hal ini sejalan dengan pendapat Sosromarsono dan Untung, 2001 yang menyatakan bahwa mediakan tanaman yang dapat berfungsi sebagai tempat perlindung- an, inang alternatif, menghasilkan nektar atau tepung sari dapat meningkatkan musuh alami. Pada perkebunan teh rakyat, agar musuh alami dapat berkembang dengan baik tahapan yang sebaiknya dilakukan adalah: 1) Peningkatan keanekaragaman hayati (biodiversity), 2) Penggunaan bahan organik sebagai mulsa, 3) Penggunaan pohon pelindung sementara pada TBM, 4) Penggunaan tanaman penutup tanah yang berbunga kuning untuk menarik datangnya parasitoid. Tujuan penelitian ini adalah: 1) Untuk mengetahui jenis dan populasi serangga hama dan musuh alami pada TBM yang menggunakan A. pintoi sebagai tanaman penutup tanah. 2) Meminimalkan terjadinya erosi tanah; dan 3) Menghasilkan bahan organik.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen, membandingkan besarnya populasi serangga hama dan musuh alami antara petak penelitian yang ditanami A. pintoi dengan petak penelitian tanpa ditanami A. pintoi. Bersamaan dengan penanaman bibit teh, tanam A. pintoi pada gawangan dengan jarak tanam 25 X 25 cm seluas 0,5 ha. Satu petak lagi dengan ukuran yang sama tanpa ditanami A. pintoi. Pertumbuhan tanaman penutup tanah A.pintoi cukup cepat, dalam waktu 1,5 bulan sudah menutup. Parameter yang diamati adalah jenis dan populasi serangga hama, musuh alami yang ada di lokasi tersebut, besarnya erosi tanah pada petak penelitian, dan produksi bahan organik. Pengamatan serangga hama dilakukan secara langsung pada 5

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 864

perdu teh di 5 unit petak pengamatan seluas 10 X 10 m. Pengamatan musuh alami dilakukan dengan menggunakan jaring perangkap yang ditempatkan dibawah perdu teh, selanjunya perdu teh digoyang-goyang agar serangga yang ada di perdu teh dapat jatuh dan tertampung pada jaring. Pengmatan dilakukan tiap 2 minggu. Pengukuran besarnya erosi tanah dengan menggunakan metode USLE (Universal Soil Loss Equation) (Pasaribu, 1998). Pengamatan rosi tanah dilakukan setiap habis turun hujan, dicatat banyaknya tanah dan air yang tertampung pada bak penampung. Pengamatan produksi bahan organik dilakukan dengan memotong atau memanen A. pintoi pada luas plot 1 X 1m, selanjutnya ditimbang.

HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Pertumbuhan A.pintoi dan gulma di lokasi percobaan Pertumbuhan tanaman penutup tanah A. pintoi pada lokasi percobaan cukup baik, hal ini terlihat dari penutupan (covered) permukaan tanah yang sebesar 70%, setelah 5 minggu. Kematian A. pintoi sedikit sekali, hal ini karena akarnya yang cukup dalam mencapai 1,5–2,0 m. Penutupan gulma pada petak penelitian tanpa tanaman penutup tanah A. pintoi mencapai 45%.

b. Pertumbuhan tanaman teh dan tingkat kematiannya

Tabel 1. Pertumbuhan tanaman teh (cm) dan tingkat kematiannya (%) Dengan A. pintoi Tanpa A. pintoi No. Diameter Lebar Tinggi Diameter Lebar Tinggi Mati Mati batang tajuk tanaman batang tajuk tanaman 1. 1,45 20,50 25,50 7,50 1,40 19,50 30,00 8,75 2. 1.40 22,40 30,60 9,50 1,43 20,75 25,75 9,25 3. 1,35 24,50 27,50 7,25 1,35 22,50 24,75 8,25 4. 1,40 20,50 25,75 8,00 1,25 19,75 20,25 11,0 5. 1,35 22,60 24,50 10,00 1,30 21,75 21,75 10,5 Rata-rata 1,39 22,10 26,77 6,65 1,35 20,85 24,5 11,75

Dari data pada Tabel 1, pertumbuhan tanaman teh pada lokasi penelitian dengan A. pintoi menunjukkan rata-rata diameter batang 1,39 cm, lebar tajuk 22,10 cm dan tinggi tanaman 26,77 cm. Sedangkan pada lokasi penelitian tanpa A. pintoi menun-

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 865 jukkan rata-rata diameter batang sedikit lebih kecil yaitu 1,35 cm lebar tajuk 20,85 cm dan tinggi tanaman 24,5 cm. Namun kalau dilihat dari nilai kematian tanaman teh dari dua lokasi, menujukkan angka yang cukup besar perbedaannya. Hal ini berarti bahwa A. pintoi dapat mengurangi resiko kematian akibat kekeringan. c. Jenis dan populasi serangga hama serta musuh alami Hasil pengamatan jenis dan populasi serangga hama serta musuh alami tertera pada tabel 2.

Tabel 2. Parasitoid, Predator, serangga lain, dan serangga hama (ekor/pohon)

Parasitoid Dengan A. Pintoi Tanpa A. Pintoi 1. Lalat Bangau 0,78 0,39 2. Tilichinidae 0,44 0,37 3. Macrocentrus 0,60 0,17 4. Lebah kecil 0,49 0,34 5. Apanteles 0,51 0,20 6. Shirpidae 0,69 0,37 7. Scelionidae 0,59 0,29 Jumlah 4,11 2,13 Rata-rata 0,59 0,30 Predator 1. Laba-laba 1,19 0,67 2. Semut hitam 1,90 0,76 3. Curinus 1,10 0,58 Jumlah 4,19 2,01 Rata-rata 1,40 0,67 Serangga lain 1. Homoptera 1,03 0,52 2. Procidochares 1,13 0,32 Jumlah 2,16 0,84 Rata-rata 1,08 0,42 Serangga Hama 1. Empoasca 1,12 1,75 2. Ulat Jengkal 0,69 1,28 3. Kutu putih 0,69 1,58 4. Ulat bulu 0,44 0,86 Jumlah 2,94 5,47 Rata-rata 0,74 1,37

Dari data pada Tabel 2, ternyata menunjukkan angka rata-rata populasi parasitoid, predator dan serangga lain yang lebih besar pada lokasi yang menggunakan A. pintoi sebagai tanaman penutup tanah, dengan jumlah serangga hamanya lebih sedikit, dibandingkan dengan pada lokasi penelitian tanpa A. pintoi. Hal ini dapat

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 866

dimengerti karena A. pintoi selalu berbunga kuning tiap hari dan menyediakan polen yang cukup untuk kehidupan musuh alami, akibatnya serangga hama lebih sedikit. d. Tingkat erosi Tanah Pengamatan erosi tanah baru dapat dilaksanakan pada akhir bulan Nopember dan awal bulan Desember 2006, karena adanya musim kemarau yang panjang dari Juli - Nopember 2006. Data pengamatan erosi tanah tertera pada tabel 1 di bawah ini.

Tabel 3. Tingkat erosi tanah Curah hujan Dengan Arachis pintoi Tanpa Arachis pintoi No. (mm) Tanah Air Tanah Air 1. 98,10 100 5.200 300 5.000 2. 109,10 200 5.200 2.500 5.000 3. 98,20 200 3.000 1.700 4.300 4. 73.10 500 2.500 700 2.000 5. 107,90 300 2.000 3.000 4.000 Jumlah 1.300 17.900 8.200 20.300 19.200 28.500 6,77 % 28,77 %

Dari gambaran sementara ternyata tanaman penutup tanah A. pintoi, dapat mengendalikan erosi tanah sebesar 4,25 kali lipat dibandingkan dengan vegetasi gulma yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman ini berpotensi untuk mengendalikan erosi tanah. Kebun teh yang kondisinnya baik dapat mengurangi kekuatan pukulan air hujan yang menetes dibawah perdu teh sebesar 76,7 % (Dalimoenthe, 2006), apalagi dengan tanaman penutup tanah A. pintoi yang merambat di permukaan tanah, dengan daun yang rapat, dapat mengurangi pukulan air hujan lebih besar dari tanaman teh tersebut. Sehingga perkebunan teh yang dilengkapi dengan tanaman penutup tanah untuk konservasi tanahnya, dapat berfungsi sebagai konservator tanah dan air. e. Bahan organik yang dihasilkan Bahan organik yang dihasilkan diambil pada lokasi penelitian yang mengguna- kan A. pintoi sebagai tanaman penutup tanah dan yang tidak menggunakan tanaman pe- nutup tanah. Dari tiga kali pengambilan biomasa pada luasan 1 m2 tertera pada Tabel 4.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 867

Tabel 4. Bahan organik yang dihasilkan (kg) A. pintoi Tanpa A. Pintoi No. Berat Basah Berat kering Berat basah Berat kering 1. 2,50 0,50 1,00 0,20 2. 2,70 0,60 0,90 0,15 3. 2.40 0,45 0,56 0,11 Rata-rata 2,52 0,52 0,82 0,15

Dari data pada Tabel 4, terlihat bahwa bahan organik hasilkan lebih dari 3 kali lipat dari yang tanpa tanaman penutup tanah A. pintoi. Hal ini memberikan indikasi bahwa penanaman tanaman penutup tanah selain dapat mengendalikan erosi tanah, juga dapat sebagai sumber bahan organik. Dari Tabel 1, 2, 3 , 4, dapat disimpulkan bahwa A. pintoi berpotensidapat meningkatkan musuh alami serta menurunkan intensitas serangan serangga hama; berpotensi untuk mengendalikan erosi tanah sebesar 4,25 kali lipat dari pada tanpa A. pintoi, dapat sebagai sumber bahan organik yang juga.

KESIMPULAN 1. Penggunan tanaman penutup tanah A.pintoi dapat meningkatkan musuh alami, menurunkan intensitas serangan serangga hama, dapat sebagai sumber bahan organik sebesar 2,5 kg/m2,dan berpotensi 4,25 kali lipat mengendalikan erosi tanah dari pada tanpa A. Pintoi . 2. Pemanfaatan tanaman penutup tanah A. pintoi pada tanaman teh belum mengha- silkan (TBM) dapat terus dikembangkan di perkebunan teh, namun pemeliharaan- nya harus dilakukan agar manfat A. pintoi dapat maksimal, diantaranya pembuatan bokoran atau piringan pasda setiap perdu teh harus dilakukan agar kompetisi hara antara tanaman penutup tanah tidak terjadi atau minimal.

DAFTAR PUSTAKA Anonim, 1995. Petunjuk Kultur teknik tanaman teh . Pusat Penelitian Teh dan Kina, Gambung. Bandung . Aryantha N.P, 1998. Penyelamatan ekosistem pertanian secara hayati. Prosiding seminar Tantangan dan Prospek Hayati Dalam Meningkatkan Ketahanan Ekonomi Nasional. PAU Hayati ITB. LP ITB. Bandung. Jerome J.J., 2002. Bio dynamic farming system. Planters‘ Cronical. Upasi. India.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 868

Karama A.S., 2001. Pertanian organik di Indonesia kini dan nanti. Seminar Penggunaan Cendawan Mikoriza dakam Sistem Pertanian Organik dan Rehabilitasi Lahan Kritis. Fakultas Pertanian Universitas Pajajaran. Bandung, 23 - 24 April 2001. Margino S. dan S. Mangundihardjo, 2002. Pemanfaatan keanekaragaman hayati untuk biopestisida di Indonesia. Lokakarya " Pemanfaatan Keanekaragaman Hayaati Untuk Perlindungan Tanaman". Universitas Gajah Mada. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Departemen Pertanian. Departemen Kehutanan. Yogyakarta, 7 Agustus 2002. Mubiar, 2005. Kesehatan Kawasan Lindung Jawa Barat. Tea Festival. Dinas Perkebunan Propinsi Jawa Barat; Asosiasi Teh Indonesia; Gabungan Perusahaan Perkebunan Jawa Barat; Pusat Penelitian Teh dan Kina; Koptindo; Aptehindo. Hotel Horison Bandung, 2 - 4 Nopember 2005. Senapati B.K., P. Lavelle, P.K. Panigrahi, S. Giri, G.G. Brown, 2002. Restoring soil fertility and enhanching productivity in India tea plantations with earthworms and organic fertilizers. School of Life Sciences. Sambalpur University. Sambalpur. Orissa India. Soemarwoto O., 1996. Pembangunan pertanian berkelanjutan. Orasi Ilmiah. Peringatan Setengah Abad Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada. Yogyakarta, 27 September 1996. Subarna N., A.I. Rosyadi, S. Bahri, Setiawan, R. Purnama, Riyanto, A.M. Subur, D. Suryadi, M. Sudjatmoko, dan D.S. Wahyu, 2003. Penerapan corporate farming dalam sistem agribisnis perkebunan teh rakyat untuk meningkatkan pendapatan petani. Simposium Teh Nasional. Pusat Penelitian Teh dan Kina. Bandung, 15 Oktober 1993. Sukasman, 1996. Pengujian Pohon lamtoro tahan kutu (hantu) sebagai sarana pengendalian hayati Helopeltis pada perkebunan teh sekaligus meningkatkan keuntungan 40 % atau lebih bagi perkebunan. Prosiding seminar sehari alternatif pengendalian hama teh secara hayati. Pusat Penelitian teh dan kina, Gabung. Bandung. Suprapto, 2000. Manfaat penggunaan Arachis pintoi terhadap perkembangan musuh alami organisme pengganggu tanaman utama pada tanaman lada. Workshop Nasional Pengendalian Hayati OPT Tanaman Perkebunan. Cipayung, 15-17 Pebruari 2000. Widayat W., 2004. Pengelolaan ekosistem perkebunan teh rakyat berdasarkan teknologi pengendalian hama terpadu (PHT). Pusat Penelitian Teh dan Kina. Lambaga Riset Perkebunan Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Proyek Penelitian PHT Perkebunan Rakyat. Bandung.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 869

OEB-19 Spatial Dynamic of Species Diversity and Abundance in Bukit Barisan National Park, Sumatera Nur Hasanah1, Heri Tabadepu1, Bandung Sahari1, dan Damayanti Buchori1 1Peka Indonesia Foundation Jl Uranus Blok H no 01 Kompleks IPB Sindang Barang II Bogor Jawa Barat Email: [email protected]

ABSTRAK Penelitian keanekaragaman kupu-kupu di taman Nasional bukit barisan selatan di lakukan antara September 2005 sampai Mei 2006. Penelitian ini di lakukan di lima tempat yang berbeda yaitu Kubu Perahu, Way Sepuntih, Way Canguk, Danau Ranau, Linau, yang meliputi hutan primer dan hutan sekunder. Sampling kupu-kupu di lakukan dengan menggunakan line transek. Specimen yang tidak dapat di indentifikasi di lapangan, di tangkap menggunakan sweep net, untuk kemudian di identifikasi di laboratorium. Kami menemukan 1825 individu meliputi 185 species pada lokasi yang berbeda. Dalam penelitian ini, hutan sekunder memiliki kekayaan jenis kupu-kupu lebih tinggi di banding dengan kekayaan kupu-kupu di hutan primer. Sementara itu jika di lihat dari skala ruang, kekayaan species dan kelimpahan di Way Sepuntih paling tinggi di banding dengan lokasi lainnya. Penemuan tersebut dari sites yang berbeda di Taman nasional Bukit Barisan Selatan menunjukkan bahwa komposisi species sangat erat hubungannya dengan tipe habitat kupu-kupu di masing-masing lokasi, dengan kata lain, transformasi hutan sangat berpengaruh terhadap struktur komunitas kupu-kupu, tetapi bukan pada kekayaan species. Hasil tersebut, mengindikasikan bahwa ada site khusus komposisi species pada komunitas kupu-kupu dan transformasi hutan yang mungkin berkontribusi pada kehadiran single species.

ABSTRACT Butterfly diversity in Bukit Barisan Selatan National Park was investigated between September 2005 and May 2006. Ecological research was conducted at five different locations covering two different habitats, primary forest and secondary forest. Butterflies were surveyed by conducting transect walks. Specimens that could not be designated to species in the field were caught with a sweep net and identified subsequently in the laboratory. Species richness in secondary forest was found to be higher than in primary forest. Species number and abundance of Butterfly in spatial scale are quite different for different location. Number of species and abundance were found to be higher in Way Sepuntih than other locations. The findings from different sites at BBSNP showed that species composition of butterfly communities significantly related to habitat type. Our analyses showed that forest transformation significantly affects the structure of butterfly communities but not for species richness. Our data indicated that there is a site- specific species composition of butterfly communities and forest transformation that may contribute significantly to the presence of single species.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 870

INTRODUCTION Tropical rainforest harbors the highest diversity of life in terrestrial habitats (e.g. Wilson 1988), unfortunately this evidence will not stay longer since this ecosystem is highly threatened by habitat destruction. In fact, human activities, for example, logging, landuse change, and landscape modification have been widely identified as the main cause of disturbance to tropical forests (Kruess & Tscharntke, 1994; Andren, 1997; Steffan-Dewenter & Tscharntke, 1999; Kruess & Tscharntke, 2000; Rogo & Odulaja, 2001; Klein et al. 2002). Indonesia, has been widely recognized as megadiversity tropical country in the world, that is now facing those kind of the threats that may be capable of causing extensive biodiversity loss. This is particularly true for many areas, for example Java and Sumatera, in which many parts of these areas are modified and converted, for example to agricultural land-use, industries, and houses. Today, only a small fraction of the terrestrial environment is represented by undisturbed tropical rainforest and the remaining forests are only patchily distributed in most tropical landscapes (Rogo & Odulaja, 2001). Bukit Barisan Selatan National Park (BBSNP) is one of few last remaining forested areas in Indonesia that is now facing a tremendous threat of forest conversion activities that increase from year to year. As one of the largest protected area in Sumatera (see O‘brien at al.1998), BBSNP holds a very important and strategic position in the conservation of many species living in and around it, including butterfly. Several records and research on higher animal, for example Asian elephant and tiger were established (O‘brien at al. 1998, 2003 and Hedges et al. 2005), but no record on arthropod community from BBSNP has been made yet, for example butterfly. Butterfly play a very important role in maintaining and conserving ecosystem functions, as well as providing many critically important services through numerous mechanisms such as pollination, herbivory and as key taxon group for many species of parasitic wasp, predator arthropod, birds, small reptiles and many others which depend their life on it. Many butterflies specialize on specific plant species for oviposition or feeding (Ehrlich, 1984, Oostermeijer and van Swaay, 1998), consequently, they are very sensitive to changes in floral diversity, vegetation structure, and structural component of the habitat. With this behavior, butterfly can be used as ecological indicator species for

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 871 habitat destructions. The rapid destruction of natural habitats may cause the extinction of many species of butterfly. In fact, this condition may lead to the situation where extinction precedes discovery by humans. Unfortunately, today, there is very limited information on butterfly species richness and diversity available in Indonesia and no study on butterfly has been conducted in BBSNP. As such, baseline information on butterfly community structure with respect to habitat type can provide insights into effective conservation strategies for the maintenance of butterfly diversity. In this paper, we present findings regarding the butterfly diversity in the BBSNP in Lampung Province, Sumatra. METHOD Study Area and Study Sites The study was carried out in Southern part of Sumatera at the Bukit Barisan National Park. The BBSNP is very important protected area in Indonesia since it has been widely established as the third largest protected area (3,568 km2) in Sumatra (O‘brien at al. 1998). The National Park is located in the extreme south west of Sumatra (4° 5‘ to 5° 57‘ S and 103° 34‘ to 104° 43‘ E), the park be astride the Provinces of Bengkulu (in the southern part) and Lampung (in the western part), extending 720 km in a narrow band along the Barisan mountain range from Tanjung Belimbing northward (see O‘brien et al., 1998, 2003). The park‘s long shape results in a 700 km boundary, and extensive development activity, especially small scale agriculture and logging, is occurring on the boundary and within the park (O‘brien et al., 1998, 2003). Rainfall is seasonal and completely high ranging from 3000 mm to more than 4000 mm per year, meanwhile temperature ranges from 22°C to 35 °C (see O‘brien at al 1998, 2003). A dry season used to two to four months that occurs between May and October (Hedges et al. 2005). The border of the margin of the national park is characterized by extensively managed agricultural systems. Butterfly samplings were conducted in five different selected locations of BBSNP, Kubu Perahu, Linau, Ranau, Way Sepuntih, and Way Canguk. At each selected location, two different habitat types, primary and secondary forest were picked out for insect samplings. Butterfly observations were conducted along transect line that is situated inside the forest area. There were two transect lines for each forest type.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 872

Butterfly sampling Field research was conducted between September 2005 and January 2006. Butterflies were surveyed by conducting transect walks along 1800 m. Each transect line was divided into 18 point, and the distance between points was about 100 m. At each selected site, transect walk were replicated for six times. Overall, there were 120 transect units (2 transect lines x 2 forest types x 5 locations x 6 six times replication). The surveys were restricted to condition where the weathers were most favorable for flight. Butterflies were collected using a time-constrained area search during peak flight periods (09.00 to 15.00 hours). Specimens that could not be designated to species in the field were caught with a sweep net and identified subsequently in the laboratory. All specimens that were brought into the laboratory were handled and mounted using conventional procedures. Identification was conducted by referring to standard references including Morrel (1968), Tsukada (1981), Tsukada (1982), Tsukada (1985), dan Tsukada (1991). Data Analyses To calculate ACE estimates, we used the computer program of Colwell (2000) by not shuffling individuals among samples within species and randomizing samples 50 times. Spearman rank correlations, multidimensional scaling, Scheffé test and one-way ANOVA were performed using Statistica 6.0 (StatSoft 2001). The computed ANOVA was always of a one-way type. Means are given with standard deviation if not mentioned otherwise. Scheffé test was used for multiple comparisons of means. If necessary, data were log- or square root-transformed to achieve normal distribution.

RESULT AND DISCUSSION Spatial dynamic of species diversity and abundance. Species number and abundance of butterfly in spatial scale are quite different for different location. The number of species and abundance were found to be higher in Way Sepuntih than other locations (Table 1).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 873

Table 1. Butterfly sampling results in each selected location. Kubu Way Items Perahu Linau Ranau Way Canguk Sepuntih Total Families 5 5 5 5 5 5 Species 81 55 61 80 106 185 Number of individu 324 354 282 349 516 1825 H (Shannon index) 3.687 3.597 3.467 3.953 3.864 4.420 E (Evenness) 0.840 0.898 0.843 0.902 0.829 0.847

However, high number of individual specimen was not always followed by high number of species. At the spatial scale, one location, for example Linau area showed a poor number of butterfly species, in contrast, Way Canguk and Way Sepuntih were recorded to have a high number of butterfly species. In Way Canguk, there was 349 specimens and 80 recorded species, but different fact was found in Linau, where from 354 (higher than in Way Canguk), there was only 55 species recorded. This may be related to the condition of Linau area, which is fragmented from other forested areas. Most of the margin of the remaining forest in Linau have been destructed and converted into open areas (by illegal logging), coffee plantations, and other plantations. Even after 20 transect lines of sampling in different habitats the accumulative number of transect, butterfly species is still showing a pronounced increase with increasing sampling effort (Fig. 1). This study recorded approximately 185 butterfly species, however since the accumulative number of species still increasing, it can be predicted that actual number of species existing in BBSNP more than that has been recorded.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 874

110 100 90 80 Kubu Perahu 70 Linau 60 Ranau 50 Way Canguk 40 Way Sepuntih

30 Number of Species 20 10 0 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 Number of transect unit

Fig 1. Species accumulation curve on the total number of recorded species for the assemblage of Butterfly species in five selected locations of BBSNP.

In several places of South East Asia, a survey for 26 months in Makiling Mountain Philippines only recorded 145 butterfly species (Cayabyab 2000), survey in Bromo- Tengger-Semeru National Park only documented 31 species (Suharto et al. 2005), and butterfly study in Ton Nga-Chang Wildlife Sanctuary, Thailand only identified 147 butterfly species (Boonvanno et al. 2000). This means that BBSNP was higher in butterfly species richness than in other places of South East Asia. Butterfly Communities: Location or habitat specific pattern? Comprehensive studies covering a wide variety of taxonomic groups clearly documented that generally forest modification and transformation to land-use systems have a negative effect on diversity and species richness (Lawton et al. 1998), although changes in species richness of single taxonomic groups do not reflect such anthropogenic disturbance (e.g. Schulze & Fiedler 2003). With respect to species composition, two dimensional scalling plot did not show a clear change of butterfly community structure. Based on Sørensen values, we performed non-linear

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 875 multidimensional scalling. This result confirmed that species composition of butterfly community was not affected by location (Fig. 2).

Scatterplot 2D Final Configuration, dimension 1 vs. dimension 2 2.0 RNpfA Stress : 0.20

1.5

1.0 RNsfARNsfB

0.5 LNsfB WSsfA KPsfA WCsfB LNsfA WSsfB KPpfB 0.0 Dimension 2 Dimension WCsfA WSpfB KPsfB RNpfB LNpfA LNpfB WCpfB -0.5 WSpfA WCpfA -1.0 KPpfA

-1.5 -1.5 -1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 Dimension 1 Fig 2. Two-dimensional scaling plot based on Soerensen indices for measuring similarity of species composition between single transect lines. KP=Kubu Perahu, LN = Linau, RN = Ranau, WC = Way Canguk, WS = Way Sepuntih, pf = primary forest, sf = secondary forest A = transect in site A, B = transect in site A. Connecting lines indicates defined groups of habitats.

Sørensen indices were used to quantify the similarity of species composition between transect lines. This can also be interpreted that the type of habitats may contribute to the conservation of many species, but, it can not work to preserve several species that only can live in a certain habitat, for example primary forest or only secondary forest. Wootton (1998) stated that habitat disturbance at a certain level may increase species richness. Several species may only be found in one habitat type with large number of individual, in contrast, at the other one, it can not be found. Our survey indicated that forest transformation may result in species loss, conversely, new species would replace (species turn over).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 876

The occurrence of an endangered species may provide important information for conservation, but a more accurate and rapid assessment of the condition of the habitat may be obtained by monitoring a carefully selected group of locally common species (Boonvanno et al. 2000 ). Also, monitoring a common species that would be important for conservation efforts to assess and predict habitat condition.

REFERENCES Andren H. 1997. Effects of habitat fragmentation on birds and mammals in landscapes with different proportion of suitable habitat: A review. Oikos 71:355-366. Baltazar CR. 1991. An Inventory of Philippine Insects. II. Order Lepidoptera (Rhopalocera). University of the Philippines at Los Banos, Laguna. Beck J, Schulze CH, Linsenmair KE, Fiedler K. 2002. From forest to farmland: diversity of geometer moths along two habitat gradients on Borneo. J Trop Ecol 8:33-51 Boonvanno K, Watanasit S, Permkam S. 2000. Butterfly Diversity at Ton Nga-Chang Wildlife Sanctuary,Songkhla Province, Southern Thailand. ScienceAsia 26: 105- 110 Cayabyab BF. 2000. A Survey of the Lopharocera of Mt. Makiling, Laguna, Philippines. ThePhilippines Entomology 14(2) : 106-119 Hedges S, Tyson MJ, Sitompul AF, Kinnaird MF, Gunaryadi D, Aslan. 2005. Distribution, status, and conservation needs of Asian elephants (Elephas maximus) in Lampung Province, Sumatra, Indonesia. Biological Conservation 124: 35–48 Klein A-M, Steffan-Dewenter I, Tscharntke T. 2002. Predator-prey ratios on cocoa along a land-use gradient in Indonesia. Biodiv Conserv 11:683-693. Kruess A, Tscharntke T. 1994. Habitat fragmentation, species loss, and biological control. Science 264:1581-1584. Kruess A, Tscharntke T. 2000. Species richness and parasitism in a fragmented landscape: experiments and field studies with insects on Vicia sepium. Oecologia 122: 129-137. Lawton JH, Bignell DE, Bolton B, Bloemers GF, Eggleton P, Hammond PM, Hodda M, Holt RD, Larsen TB, Mawdsley NA, Stork NE, Srivastava DS, Watt AD. 1998. Biodiversity inventories, indicator taxa and effects of habitat modification in tropical forest. Nature 391:72-76. Morrel R. 1982. Malaysian Nature Handbooks: Common Malayan Butterflies. Logman Malaysia SDN. Berhad, Kuala Lumpur: xii + 64 hlm O‘Brien TG, Kinnaird MF, Sunarto, Dwiyahrehni AA, Rimbang WM, Anggraini K. 1998. Effects of the 1997 Fires on the Forest and Wildlife of the Bukit Barisan Selatan. National Park, Sumatra. Working Paper No. 13. Wildlife Conservation Society, New York NY. 16 pp. O‘Brien TG, Kinnaird MF, Wibisono HT. 2003. Crouching tigers, hidden prey: Sumatran tiger and prey populations in a tropical forest landscape. Animal Conservation. 6:131-139.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 877

Primack RB et al. 1998. Biologi Konservasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Rogo L, Odulaja A. 2001. Butterfly populations in two forest fragments at the Kenya coast. Afr J Ecol 39:266-275. Saarinen K. 2002. Butterfly communities in relation to changes in the management of agricultural environments. [PhD Report]. Findland: University of Joensuu. Schulze CH, Fiedler K. 2003. Hawkmoth diversity in Northern Borneo does not reflect the influence of anthropogenic habitat disturbance. Ecotropica 9:99-102 StatSoft. 2001. Statistica for Windows, 6.0. StatSoft Inc., Tulsa Steffan-Dewenter I, Tscharntke T. 1999. Effects of habitat isolation on polinator communities and seed set. Oecologia 121:432-440. Suharto, Wagiyana, Zulkarnain R. 2005. A Survey Of The Butterflies ( Rhopalocera: Lepidoptera) In Ireng-Ireng ForestOf Bromo Tengger Semeru National Park. Jurnal ILMU DASAR 6 (1): 62-65 Tsukada, E. 1981. Butterflies Of The South East Asian Islands. Part II. Plapac Co., Ltd. Tsukada, E. 1982. Butterflies Of The South East Asian Islands. Part III. Plapac Co., Ltd. Tsukada, E. 1985. Butterflies Of The South East Asian Islands. Part IV. Plapac Co., Ltd. Tsukada, E. 1991. Butterflies Of The South East Asian Islands. Part V. Plapac Co., Ltd. Wilson EO. 1988. Biodiversity. Washington D.C.: National Academy Press. Wootton T. 1998. Effects of disturbance on species diversity: A multithropic perspective. Am Nat 152:803-825.

Notulensi Diskusi Seminar Henny – Univ. Andalas : Spesies tertentu yang jadi indicator tiap habitat? Unit samping? Jawab : Ragadia macuta : Nymphalidae lebih dari 50% kupu-kupu yang ada dan di tiap lokasi selalu ada ragadia macuta. 6 bulan dan tiap 2 minggu pindah lokasi, mulai dari primary forest dan secondary forest. Tiap habitat dibagi 2 transek dan tiap transek ada pengambilan 6 kali. Total 81 transek unit. Lingkungan dan cuaca juga sangat mempengaruhi. Ragadia macuta dibilang unique spesies karena terdapat di dua habitat (primary dan secondary forest).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 878

OEB-20 Ukuran Morfologi dan Keperidian Hemiptarsenus varicornis (Hymenoptera: Eulophidae) dari Geografi Berbeda di Sumatera Barat Reflinaldon1 1Jurusan Hama dan Penyakit, Fakultas Pertanian Universitas Andalas Kampus Limau Manis, Padang Email: [email protected]

ABSTRAK H. varicornis merupakan parasitoid bersifat ektoparasit pada larva hama pengorok. Distribusi parasitoid ini cukup luas terutama pada daerah pertanaman sayuran dataran tinggi di Indonesia. Studi ini bertujuan mendapatkan ukuran morfologi betina dan potensi keperidian betina H. varicornis sekaligus membandingkannya dari dua daerah sentra sayuran di Sumatera Barat. Bagian kepala, sayap dan tibia diukur menggunakan program tps dig sedangkan untuk penentuan keperidian dilakukan dengan menghitung jumlah telur yang diletakkan betina selama masa hidupnya. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak berbeda signifikan ukuran kepala, sayap dan tibia antara populasi Alahan Panjang dan Pandai Sikek. Demikian pula dengan jumlah peletakkan telur juga tidak menunjukkan perbedaan nyata antara kedua populasi. Keperidian berkorelasi paling tinggi dengan ukuran sayap baik pada populasi Alahan Panjang maupun Pandai Sikek.

Notulensi Diskusi Seminar Tanya : - Bagaimana korelasi lebar sayap dengan reproduksi? - Apakah ukuran inang berpengaruh? - Dilihat misbah kelamin yang dihasilkan? - Atas dasar apa bapak mengambil kesimpulan? Jawab : - Kepala dan sayap memiliki korelasi kuat, berdasarkan penelitian Beneh dan Hoffman. - Korelasi yang kuat ditemukan pada sayap belakang. - Pakan mempengaruhi nektar yang didapatkan dari kemampuan terbang parasitoid

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 879

OEB-21 Brontispa longissima Hama Penting Tanaman Kelapa di Kabupaten Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur Jesayas A. Londingkene1 1Fakultas Pertanian, Universitas Nusa Cendana Jl. Adisucipto Penfui, Kupang, NTT, 85011 Email: [email protected]

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebaran kumbang janur (Brontispa longissima), tingkat kerusakan pada tanaman kelapa di Kabupaten Kupang dan prediksi perkembangannya. Penelitian menggunakan metode survei dengan daftar pertanyaan terstruktur. Pengumpulan data primer di lapangan dilakukan dengan pengamatan langsung dan wawancara dengan petani. Lokasi pengamatan dan petani yang diwawancarai (responden) ditetapkan melalui proses pemercontohan (sampling). Pemercontohan lokasi pengamatan dan petani responden pada kecamatan percontoh dilakukan dengan menggunakan rancangan pemercontohan sistematik bertingkat (multi-stage systematic sampling) yaitu kabupaten Kupang secara purposif ditentukan 9 kecamatan yang memiliki lahan pertanaman kelapa terluas. Dari kecamatan sampel diambil masing-masing 4 desa sampel, dan masing-masing desa ditentukan/diambil 20 petani pemilik yang diperoleh secara acak (random sampling). Pengumpulan data sekunder dari instansi sumber data Variabel penelitian meliputi, luas serangan, dan intensitas kerusakan tanaman kelapa oleh kumbang janur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kumbang janur terdapat/menyebar di semua kecamatan di semua kecamatan sampel dengan kategori kerusakan sedang sampai berat (45% - 95 %). Prediksi tingkat resiko sedang (R2) untuk peningkatan terjadinya kerusakan tanaman terdapat di kecamatan-kecamatan Kupang Timur, Kupang Barat, Amfoang Utara, Amfoang Selatan, Fatuleu, dan Takari. Sedangkan tingkat resiko tinggi (R3) terdapat di kecamatan-kecamatan Amarasi, Amarasi Selatan, dan Amarasi Barat. Kata kunci: Brontispa longisima, Sebaran, Tingkat kerusakan, dan Prediksi Perkembangan

Notulensi Diskusi Seminar Akbar – UGM : Saran untuk mengatasi masalah ini? Jawab : Perlu dilakukan pengendalian terpadu dan kimia tidak bisa hanya dengan agen hayati. Sudah disarankan ke dinas tapi memang wilayahnya sangat luas. Ada juga dengan suntik batang melalui insektisida (murni tanpa peralut). Yuliati : Bagaimana kaitannya dengan hama kelapa? Jawab : Penelitian besar berupa GIS (pemetaan). Ihsan – UGM : Hama ini tidak menyerang pulau yang terpisah laut, apa endemic? Jawab : Hama ini kumbang jalur dulu juga pernah terjadi tapi masih bisa dikendalikan, awalnya tidak endemis tapi penelitian ini (sept. 2010) menjadi ada dan endemis karena tidak dikendalikan. Saran : Serangan brontispa selalu berulang di tasik (jabar) dan dengan suntik injeksi bisa teratasi dan memang susah untuk memberitahu petani melakukan monitoring jika memang berulang di tiap tahun.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 880

OEB-22 Berbagai Jenis Hama Pada Tanaman Perkebunan Kopi dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya di Kabupaten Manggarai, NTT Jesayas A. Londingkene1 1Fakultas Pertanian, Universitas Nusa Cendana Jl. Adisucipto Penfui, Kupang, NTT, 85011 Email: [email protected]

ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk menginventarisir dan menentukan keberadaan dan status (existance and status) OPT perkebunan utama dan faktor-faktor yang mempengaruhinya di kabupaten Manggarai. Lokasi penelitian ditetapkan melalui proses pemercontohan sistematik bertingkat dengan kecamatan sebagai basis pengumpulan data. Pengumpulan data lapangan dilakukan untuk menentukan jenis OPT dan mengamati faktor-faktor yang mempengaruhinya. Data pendukung/sekunder diperoleh mealui wawancara dengan responden dan instansi terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tanaman kopi ditemukan OPT: Hypothenemus hampei, Xyleborus compactus /Xylosandrus morigerus, Planococcus citri, Coccus viridis, Ferrisia virgata, dan Zeuzera sp. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan OPT selain faktor fisik suhu, kelembaban dan curah hujan, juga faktor non fisik meliputi sumber daya dan partisipasi petani, (tingkat pendidikan dan kesadaran petani), keterbatasan tenaga kerja, pola penanaman yang tidak sesuai, ketergantungan kepada pemerintah, kebijakan otonomi daerah, dan topografi lahan yang umumnya berbukit dan curam. Kata kunci : Hama Penting, Tanaman Kopi, dan faktor penyebabnya

Notulensi Diskusi Seminar Nika – Jakarta : Keanekaragaman hayati dari predator? Apakah ada penelitian yang jadi musuh alami? Jawab : Khusus di Manggarai belum ada penelitian musuh alami. Untuk predator burung tidak ditemukan untuk hama-hama perkebunan. Hery Pratiknyo : Standarisasi serangan? Jawab : Ada. Standarisasi untuk penyerangan. Seperti PBKO untuk buah kopi, penggerek batang jelas untuk batangnya. Dengan rumus mutlak sesuai dengan kondisi lapangan. Fitia – UGM : Spesies khas di NTT? Proses percontohan sistematik bertingkat? Jawab : Untuk PBKO ordo Coleoptera itu selalu ada dimana-mana di tanaman kopi. Tidak ada hama khas di NTT sama saja. Sistematik bertingkat : Kabupaten – Kecamatan – Desa – Koresponden petani Hari – Purwakarta : Ada perbedaan pengendalian hama Jawa dan NTT? Eksplorasi musuh alami pada golongan jamur? Jawab : Ada perbedaan, lebih maju di Jawa karena ada factor penghambat seperti di Manggarai lokasinya curam sehingga susah untuk perawatannya. Musuh alami, cutunius coreleus untuk PBKO dilakukan pembiakan masal terjadi salatiga. Ada banyak faktor yang mempengaruhi. Belum dilakukan di lapangan untuk pengendalian dengan musuh alami pada daerah NTT.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 881

OEB-23 Perilaku Kawin Kupu-Kupu Troides helena di Kandang Penangkaran Herawati Soekardi1, Amelia Oktarini1, dan Achmad Nugraha1 1Jurusan Biologi UNILA

ABSTRAK Penelitian tentang perilaku kawin kupu-kupu Troides helena telah dilaksanakan di kandang penangkaran Taman Kupu-kupu Gita Persada pada bulan Juni-Agustus 2010. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui perilaku kawin kupu-kupu T. helena di kandang penangkaran. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode pengamatan langsung. Parameter pengamatan meliputi posisi, gerakan dan durasi masing-masing tahapan kawin. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tahapan menemukan dan mengenali pasangan diawali dengan posisi kupu-kupu jantan mengikuti arah terbang kupu-kupu betina. Kupu-kupu jantan terbang linier, sesekali berputar mengelilingi kupu-kupu betina. Tahapan ini berlangsung selama 14,54 ± 1,35 menit. Kemudian kupu-kupu bercumbu dengan posisi jantan menunggangi betina. Tahapan bercumbu memerlukan waktu 2,82 ± 1,16 menit. Selanjutnya, kupu-kupu T. helena melakukan kopulasi/kawin dengan waktu 267 ± 52,38 menit. Pada saat terbang maupun hinggap, posisi kupu-kupu betina berada di atas dan kupu-kupu jantan di bawah. Pada tahapan kawin, kupu-kupu lebih banyak hinggap pada tanaman, sesekali terbang untuk berpindah tempat. Setelah selesai melakukan kopulasi, masing-masing kupu-kupu melanjutkan aktivitas hariannya. Kupu-kupu T. helena betina mulai meletakkan telurnya 1 – 2 hari setelah kawin pada tanaman inangnya yaitu Aristolochia tagala. Persentase kupu-kupu T. helena melakukan perkawinan di kandang penangkaran sebesar 57%. Pola perkawinan kupu-kupu T. helena adalah monogami. Kata kunci : Troides helena, perilaku kawin, kupu-kupu

ABSTRACT Research about butterfly Troides helena mating behavior had been conducted in breeding house of Gita Persada Butterfly Park in June-August 2010. The aim of this research is to acknowledge butterfly T. helena mating behavior. The method was using observation method. Observation parameters include position, movement and duration in each stage of mating. Observation result showed finding and identifying mate stage started by male butterfly position followed flying movement of female butterfly. Male butterfly flew linier, once a while flew around the female butterfly. This stage took 14,54 ± 1,35 minutes. Then, male butterfly position was on the female butterfly. This stage took 2,82 ± 1,16 minutes. The next stage, butterflies T. helena were mating that took 267 ± 52,38 minutes. When they were flying or staying, the position of the female was upper and the male was bottom. In mating stage, butterflies prefer to stay on plants, once a while flying to move. Finished the mating, each butterfly continued the daily activities. The female butterflyT. helena betina started to lay eggs in 1-2 days after mating on food plants, Aristolochiatagala. Percentage of mating butterfly T. helena in breeding house was 57%. The mating pattern butterfly T. helena is monogamy. Keywords :Troides helena, mating behaviour, butterfly

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 882

PENDAHULUAN Kupu-kupu Troides helena (kupu-kupu raja Helena) termasuk dalam famili Papilionidae dan kelompok kupu-kupu sayap burung (birdwing butterflies). Kupu-kupu ini merupakan kupu-kupu terbesar yang ditemukan di Gunung Betung Lampung (Soekardi, 2005). Kupu-kupu T. helena termasuk ke dalam kupu-kupu yang bersifat dimorfis karena kupu-kupu ini mempunyai ukuran dan warna yang berbeda antara kupu-kupu yang jantan dengan yang betina. Kupu-kupu jantan mempunyai rentang sayap 13,16 cm dan kupu-kupu betina mempunyai rentang sayap 16-21cm (Soekardi dkk., 2000). Bentuk upaya konservasi kupu-kupu Sumatera adalah pendirian Taman kupu- kupu Gita Persada sebagai taman kupu-kupu terbuka hasil rekayasa habitat. Taman ini berada di kawasan register 19, di desa Tanjung Manis, Gunung Betung, Bandar Lampung. Konservasi kupu-kupu Troides helena telah berhasil dilakukan sejak tahun 2000. Perbaikan mikrohabitat dilakukan dengan menanam tumbuhan inang pakan larva Aristolochia tagala dan tumbuhan berbunga penghasil nektar telah mengundang T. helena dari Tahura Gunung Betung datang ke Taman Kupu-kupu Gita Persada dan bereproduksi di taman tersebut (Soekardi dkk., 2001). Di Indonesia T. helena merupakan salah satu spesies kupu-kupu yang dilindungi, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.576/Kpts/Um/1980 dan No.761/Kpts/Um/8/1980. Dasar dari perlindungan tersebut karena langka dan penyebarannya terbatas pada habitat tertentu di hutan primer dan sekunder serta keberadaannya yang terancam punah (Dirjen PHPA, 1990), sehingga diperlukan upaya- upaya untuk melindungi spesies ini dari kepunahan. Pada Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 43 tahun 1978, T. helena termasuk daftar CITES II berarti merupakan satwa yang perdagangannya harus dilengkapi sertifikat dan sesuai dengan aturan dalam Konvensi CITES (Soehartono dkk., 2003). Untuk mencegah kepunahannya, maka ketersediaan pakan alami yang ada di alam pun harus dipertahankan. Informasi ilmiah mengenai preferensi makan kupu-kupu T. helena sudah didapatkan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Wulandari (2009). Dari hasil penelitian tersebut ternyata diperoleh pakan yang paling disukai

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 883 kupu-kupu T. helena adalah bunga soka dan pagoda. Keberhasilan kawin pada kupu- kupu menentukan juga kelangsungan hidupnya.

BAHAN DAN METODA Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui perilaku kawin kupu-kupu T. helena di kandang penangkaran Taman Kupu-kupu Gita Persada, Lampung. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-Agustus 2010 di Taman Kupu-kupu Gita Persada Gunung Betung, Lampung. Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap yang meliputi penangkaran kupu-kupu T. helena, pemindahan hewan uji dari laboratorium ke kandang penangkaran dan pengamatan perilaku kawin T. helena. Tahap pertama adalah penangkaran kupu-kupu T. helena dilakukan untuk mendapatkan hewan uji. Tahapan penangkaran dimulai dengan survei pencarian larva T. helena di tanaman inang A. tagala. Setelah itu larva dipelihara dalam laboratorium penangkaran sampai fase imago yang kemudian digunakan sebagai hewan uji. Tahap kedua adalah pelepasan hewan uji ke dalam kandang penangkaran. Jumlah hewan uji yang dilepas ke dalam kandang penangkaran adalah sepasang untuk satu kali pengamatan. Pada penelitian ini, pelepasan hewan uji ke dalam kandang penangkaran diulang sebanyak tujuh kali dengan pasangan yang berbeda. Tahap ketiga adalah pengamatan perilaku kawin T. helena. Pengamatan dilakukan di kandang penangkaran berukuran 8 m x 4 m x 3 m yang dilengkapi tanaman inang sebagai pakan larva dan pakan imago. Metode yang digunakan adalah pengamatan langsung pada objek yang diamati. Pengamatan dilakukan pada cuaca cerah antara pukul 07.00-17.00 WIB. Selama pengamatan dilakukan dokumentasi dan pencatatan untuk tiap tahapan kawin, antara lain menemukan dan mengenali pasangan, percumbuan, kawin dan pasca kawin. Parameter yang digunakan yaitu posisi, gerakan dan durasi dari masing-masing tahapan kawin. Setelah semua hewan uji diamati, kemudian dilakukan pengamatan tambahan, yaitu uji poliandri, dengan tujuan untuk mengetahui sistem perkawinan pada kupu-kupu T. helena.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 884

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan perilaku kawin kupu-kupu T. helena di kandang penangkaran diketahui terdapat empat tahap perilaku kawin, yaitu menemukan dan mengenali pasangan, percumbuan, kawin dan pasca kawin. Parameter yang diamati dari masing- masing tahapan kawin adalah posisi, gerakan dan durasi yang disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Hasil pengamatan perilaku kawin kupu-kupu T. helena Parameter Tahapan Kawin Durasi (menit ± Posisi Gerakan sd) Menemukan dan ♂ mengikuti arah ♂ terbang linier mengikuti ♀, sesekali ♂ 14,54 ± 1,35 mengenali terbang ♀ berputar mencari ♀ (n = 7) pasangan ♂ terbang di tempat, berada tepat diatas 2,82 ± 1,16 Percumbuan ♂ menunggangi ♀ ♀. Sedangkan ♀ hinggap (n = 7) ♂ dan ♀ diam, hinggap di daun. Sesekali ♀ di atas, ♂ 267 ± 52,38 Kawin terbang untuk berpindah ke tempat yang dibawah (n = 4) teduh Masing-masing ♂ dan ♀ melakukan aktivitas masing- Pasca kawin - melakukan aktivitas masing, seperti makan dan terbang

Tahapan kawin pada kupu-kupu T. helena di kandang penangkaran sesuai dengan tahapan kawin serangga pada umumnya yang dikemukakan oleh Smithsonian (2010). Masing-masing serangga menunjukkan perilaku yang khas pada saat melakukan perkawinan. Dari hasil pengamatan, perilaku kawin kupu-kupu T. helena di kandang penangkaran yaitu sebagai berikut : 1. Menemukan dan Mengenali Pasangan Kupu-kupu T. helena memulai aktivitas kawinnya dengan mencari, menemukan dan mengenali pasangannya yang memerlukan waktu 14,54 ± 1,35. Waktu tersebut diperkirakan digunakan kupu-kupu T. helena jantan mendeteksi adanya feromon yang dilepaskan oleh kupu-kupu T. helena betina. Hal ini sesuai dengan pernyataan Smithsonian (2010), bahwa atraktan feromon dihasilkan oleh serangga betina dideteksi oleh serangga jantan. Pada saat kupu-kupu betina mengepakkan sayapnya, saat itulah feromon disebarkan ke udara dan mengundang lawan jenisnya untuk mendekat secara seksual (Wikipedia, 2010).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 885

a

(a)

b

(b)

Gambar 1. Sketsa arah terbang kupu-kupu saat mengenali pasangannya. Ket : a = linier, b = tidak beraturan

Pada tahapan ini, posisi kupu-kupu T. helena jantan selalu mengikuti arah terbang kupu-kupu T. helena betina. Arah terbang kupu-kupu T. helena jantan lurus atau linier mengikuti kupu-kupu T. helena betina terbang tetapi terkadang tidak beraturan. Posisi kupu-kupu T. helena jantan yang tidak beraturan diduga karena atraktan feromon dilepaskan secara tak beraturan ke udara oleh kupu-kupu T. helena betina. Berbeda dengan lebah yang menyebarkan feromon melalui kontak tubuh, makanan dan udara di sekitar sarang (Nugroho, 2009). Sehingga lebah lainnya mudah untuk mendeteksi adanya feromon. Dari sketsa Gambar 1, kupu-kupu T. helena tidak mempunyai pola tarian tertentu. Berbeda dengan lebah yang memiliki semacam pola tarian yang disebut tarian mengibas-ngibas (waggle dance). Menurut Campbell (2005), tarian khas pada lebah bertujuan untuk menginformasikan kepada lebah pekerja lainnya bahwa telah

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 886 ditemukan sumber makanan yang baru. Selain itu, tarian tersebut dapat mengirimkan informasi bahwa ditemukannya petunjuk bau (feromon) dan suara. 2. Percumbuan Tahap awal percumbuan terlihat pada saat pasangan kupu-kupu T. helena melakukan gerakan terbang dimana jantan mengikuti arah terbang betina dengan jarak yang berdekatan. Ketika kupu-kupu T. helena betina mulai hinggap, kupu-kupu T. helena jantan tetap terbang mendekati kupu-kupu T. helena betina. Proses percumbuan pada kupu-kupu T. helena memerlukan waktu 2,82 ± 1,16 menit. Tahapan ini memiliki durasi yang singkat. Hal ini diperkirakan kupu-kupu T. helena betina menerima keberadaan kupu-kupu T. helena jantan dan siap untuk kawin. Pada saat kaki jantan menyentuh sayap betina, maka kupu-kupu T. helena jantan langsung menunggangi kupu-kupu T. helena betina. Perilaku bercumbu pada kupu-kupu hampir sama dengan serangga lainnya. Contohnya pada lalat. Pada awal percumbuan, lalat melakukan tarian, sedangkan pada nyamuk mengeluarkan dengungan yang khas dari kepakan sayapnya (Hadley, 2010). Pada saat penunggangan, posisi kupu-kupu T. helena jantan berada diatas sedangkan kupu-kupu T. helena betina berada dibawah. Dalam posisi ini, masing- masing kupu-kupu T. helena hinggap dan diam. Hal ini diperkirakan karena masing- masing kupu-kupu T. helena mempersiapkan diri untuk kopulasi. Tahapan kawin pada kupu-kupu T. helena merupakan tahap yang paling lama, yang membutuhkan waktu rata-rata 267 ± 52,38 menit. Hal ini diperkirakan digunakan kupu-kupu T. helena jantan menginjeksi spermanya ke dalam spermateka hingga penuh. Sehingga kecil kemungkinannya kupu-kupu T. helena betina untuk kawin kembali dengan pasangan yang lain. Proses kawin yang lama pada kupu-kupu terkait dengan proses penyampaian spermatozoa ke dalam spermateka di dalam tubuh kupu- kupu betina. Kupu-kupu jantan akan terus menginjeksikan spermatozoa ke dalam vagina sebanyak-banyaknya untuk memenuhi spermateka, yaitu tempat penyimpanan sperma sementara yang berada pada vagina. Pada serangga, spermatozoa ditransfer oleh kupu- kupu jantan ke dalam spermataka yang terdapat di vagina (Hidayat, 2010). Proses ini menyebabkan kupu-kupu membutuhkan waktu yang lama saat kawin atau kopulasi.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 887

Pada saat akan kawin, kupu-kupu T. helena jantan dan betina terbang mencari tempat yang teduh atau hinggap di daun supaya bisa melakukan kopulasi. Hal ini sesuai dengan Animal Corner (2010) yang menyebutkan bahwa ketika kupu-kupu jantan dan kupu-kupu betina siap untuk kawin, mereka hinggap di daun atau permukaan lainnya dan saling menempelkan abdomennya. Saat kopulasi, pasangan kupu-kupu T. helena hinggap di tepi daun. Posisi kupu-kupu T. helena betina berada diatas dengan sayap terbuka, sedangkan posisi kupu-kupu T. helena jantan berada di bawah dengan sayap tertutup. Diperkirakan posisi sayap yang berbeda mempengaruhi keseimbangan pada saat kopulasi. Pada saat kopulasi berlangsung, kupu-kupu T. helena masing-masing diam. Namun, dalam pengamatan menunjukkan sesekali pasangan kupu-kupu T. helena terbang bersama tanpa melepaskan abdomennya untuk berpindah tempat. Tahapan paska kawin adalah perilaku kupu-kupu T. helena setelah terjadinya kopulasi. Pada tahapan ini tidak ditentukan durasinya, karena pada tahapan ini menunjukkan aktivitas harian kupu-kupu, seperti makan, terbang, dan bertelur. Berdasarkan hasil pengamatan, setelah kopulasi kupu-kupu T. helena jantan dan betina melakukan aktivitasnya masing-masing. Aktivitas yang dilakukan antara lain adalah makan. Kupu-kupu T. helena langsung mencari bunga untuk menghisap nektarnya. Setelah itu, kupu-kupu T. helena betina bersiap diri untuk meletakkan telur. Peletakkan telur baru terjadi setelah 1-2 hari setelah kopulasi. Sebelum bertelur, kupu- kupu T. helena betina berputar-putar mengelilingi tanaman A. tagala. Setelah berputar, kupu-kupu hinggap di tepi daun yang masih muda dan membengkokkan abdomennya ke bagian bawah permukaan daun. Letak telur yang berada di bawah permukaan daun bertujuan agar telur tersebut tidak dimangsa oleh predator. Selain pada daun, telur juga ditemukan pada batang yang masih muda. Telur diletakkan satu persatu untuk tiap daun yang muda. Hal ini bertujuan untuk mengurangi kompetisi makanan yang terjadi apabila telur-telur tersebut menetas menjadi larva. Uji poliandri bertujuan untuk mengetahui bentuk perkawinan kupu-kupu T. helena. Pada penelitian ini, kupu-kupu T. helena betina yang sudah kawin dimasukkan ke dalam kandang penangkaran kembali, yang di dalamnya sudah berisi tiga ekor kupu- kupu T. helena jantan yang belum pernah kawin. Hasil pengamatan, diketahui kupu-

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 888 kupu T. helena betina tidak melakukan perkawinan kembali walaupun di dalam kandang penangkaran tersebut terdapat kupu-kupu T. helena jantan yang belum pernah kawin. Pola perkawinan seperti ini disebut monogami, suatu bentuk perkawinan dimana jantan dan betina tidak melakukan perkawinan kembali jika sebelumnya sudah terjadi perkawinan. Hal ini terjadi juga pada serangga yang lain seperti lebah. Lebah melakukan perkawinan hanya satu kali semasa hidupnya pada saat lebah ratu memasuki hari ke 23. Setelah kawin lebah jantan mati karena kantong spermanya tertinggal di dalam spermateka ratu (Nugroho, 2009). 3. Keberhasilan Kawin Kupu-kupu T. helena di Kandang Penangkaran Dari tujuh pasang kupu-kupu T. helena yang diamati, hanya empat pasang atau 57% yang melakukan kopulasi. Sedangkan tiga pasang lainnya atau 43% tidak melakukan kopulasi (Gambar 2). Namun, ke tiga pasang kupu-kupu tersebut awalnya telah melakukan perilaku pra kawin, yaitu menemukan dan mengenali pasangan serta percumbuan (Tabel 2). Diperkirakan hal ini terjadi karena ada beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan kawin kupu-kupu.

43%

57%

Kawin Tidak kawin

Gambar 2. Persentase keberhasilan kawin kupu-kupu T. helena di kandang penangkaran

Faktor yang menyebabkan kupu-kupu T. helena tidak melakukan kopulasi adalah kondisi alam seperti hujan dalam jangka waktu yang cukup lama. Pada saat hujan turun lebat, aktivitas kupu-kupu menjadi terhambat, termasuk perilaku kawin kupu-kupu T. helena. Menurut Soekardi (2007) kupu-kupu akan melakukan aktivitas

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 889 pada cuaca yang cerah, apabila cuaca berkabut atau mendung maka kupu-kupu akan menunda aktivitasnya sampai cuaca cerah kembali. Faktor lain yang menyebabkan kupu-kupu T. helena tidak melakukan kopulasi adalah ketidaksesuaian bobot tubuh antara kupu-kupu jantan dan betina. Menurut Makee (2001), bobot tubuh jantan lebih mempengaruhi keberhasilan kawin. Apabila bobot tubuh jantan terlalu ringan atau terlalu berat, tentu akan berpengaruh terhadap keberhasilan kawinnya. Diperkirakan bobot tubuh jantan terkait dengan kemampuan jantan dalam menginjeksikan spermatozoa ke dalam spermateka.

KESIMPULAN 1. Perilaku kawin kupu-kupu Troides helenaterdiri dari empat tahap, yaitu menemukan dan mengenali pasangan, percumbuan, kawin dan pasca kawin. 2. Posisi kupu-kupu jantan pada tahap menemukan dan mengenali pasangan adalah mengikuti arah terbang kupu-kupu betina. Awalnya kupu-kupu jantan terbang linier, sesekali berputar mengelilingi kupu-kupu betina. Tahap ini berlangsung 14,54 ± 1,35 menit. Kemudian kupu-kupu jantan terbang mendekati kupu-kupu betina yang hinggap, setelah itu jantan menunggangi betina dengan posisi jantan di atas dan betina di bawah. Tahapini berlangsung 2,82 ± 1,16 menit. Pada saat kawin, pasangan kupu-kupu T. helenalebih banyak hinggap di tanaman, sesekali berpindah tempat. Waktu kopulasi kupu-kupu T. helena selama 267 ± 52,38 menit dengan posisi jantan di bawah dan betina di atas. Setelah selesai kawin, kupu-kupu jantan maupun betina melakukan aktivitasnya masing-masing. Kupu-kupu T. helena mulai meletakkan telurnya 1 – 2 hari setelah kawin pada tanaman inangnya yaitu Aristolochia tagala. 3. Pola perkawinan kupu-kupu T. helena adalah monogami. 4. Persentase kupu-kupu T. helena yang melakukan perkawinan di kandang penangkaran sebesar 57%.

UCAPAN TERIMA KASIH Dengan selesainya tulisan ini, kami menyampaikan terima kasih kepada seluruh staf dan karyawan Taman Kupu-Kupu Gita Persada atas bantuan dan fasilitas yang diberikan

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 890

DAFTAR PUSTAKA Animal Corner. 2010. Butterflies Lifecycles. http://www.animalcorner.co.uk /insects/ butterflies/butterflies_lifecycle.html. Diakses pada tanggal 13 Maret 2010 pukul 12:09 WIB. Campbell, N. A., J. B. Reece and L. G. Mitchell. 2005. Biologi Jilid 3. Diterjemahkan Oleh Wasmen Manalu. Edisi Kelima. Erlangga. Jakarta. Hadley, D. 2010. Courtship Ritual in Insect Mating. http://insects.about.com/od/matingreproduction/p/courtship_rituals.htm. Diakses pada tanggal 23 April 2010 pukul 8:14 WIB. Hidayat. 2010. Reproduksi dan Pertumbuhan. http://web.ipb.ac.id/~phidayat /entomologi/bab- 04%20REPRODUKSI%20DAN%20PERTUMBUHAN %20edited%20fin.htm. Diakses pada tanggal 28 Oktober 2010 pukul 10.55 WIB. Makee, H and G. Saour. 2001. Factors Influencing Mating Succes, Mating Frequency, and Fecundity in Phthorimaea operculella (Lepidoptera : Gelechiidae). http://www.bioone.org/doi/abs/10.1603/0046-225X-30.1.31?journalCode=enve . Diakses pada tanggal 31 Oktober 2010 pukul 22:43 WIB. Nugroho, E. 2009. Sejarah Kehidupan Lebah Madu. http://pusathaba.com/index .php?view=article&catid=1%3Alatest- news&id=6%3Asejarah-kehidupan-lebah- madu&format=pdf&option=com_content. Diakses tanggal 20 Desember 2010 pukul 20:03 WIB. Smithsonian. 2010. Smithsonian Encyclopedia, Bug Info. http://www.si.edu/ encyclopediasi/nmnh/buginfo/mating.htm. Diakses pada tanggal 26 April 2010 pukul 11:13 WIB. Soehartono, T., and A. Mardiastuti. 2003. Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia. Jakarta, Indonesia. Soekardi, H. 2000. Keterkaitan Keanekaragaman Spesies Kupu-kupu dengan Tumbuhan Inang. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Biologi XVI yang diselenggarakan oleh Mahasiswa Biologi FMIPA ITB ITB Tanggal 25 – 26 Juli 2000. Soekardi, H., A. Djausal dan T. Subahar. 2001. Conservation of Troides helena in Betung Mountain Lampung. Makalah The 4thAsia Pacific Conference of Entomology. Kuala Lumpur. Malaysia. Soekardi, H. 2005. Keanekaragaman Papilionidae di Hutan Gunung Betung Lampung, Sumatera : Penangkaran Serta Rekayasa Habitat sebagai Dasar Konservasi. Disertasi Doktor Entomologi Institut Teknologi Bandung. Bandung. Soekardi, H. 2007. Kupu-kupu di Kampus Unila. Universitas Lampung. Lampung. Wikipedia. 2010c. Feromon. http://en.wikipedia.org/feromon. Diakses pada tanggal 26 April 2010 pukul 10:34 WIB. Wulandari, B.F. 2009. Preferensi dan Perilaku Makan Kupu-kupu Troides helena Terhadap Bunga di Taman Kupu-kupu Gita Persada Gunung Betung, Lampung. Skripsi FMIPA Biologi Universitas Lampung. Universitas Lampung. Lampung.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 891

Notulensi Diskusi Seminar Rachmi : - Apa harus melakukan perkawinan baru bertelur? - Jantan bisa kawin lebih dari 1x? Jawab : - Jika tidak terjadi perkawinan tidak akan ditelurkan, tetapi telur pasti sudah ada. - Keunikan kupu-kupu tidak dapat kawin lebih dari 1x. Jasmi : Apakah kupu-kupu ini sudah dikonservasi? Jawab : Meneliti kupu-kupu karena langka. Widra (ITB) : - Peletakkan telur? - Uji poliandri dengan 3 jantan 1 betina terjadi kompetisi Jawab : - Kupu-kupu secara umum monofagus saat dia larva. - Kupu-kupu akan memilih tanaman inang mana untuk menyimpan larva.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 892

OEB-24 Diversitas Semut (Hymenoptera: Formicidae) Arboreal Sebagai Predator pada Perkebunan Kelapa Sawit di Sumatera Selatan Irham Falahudin1 dan Siti Salmah2

1Jurusan PMIPA Prodi Biologi, Fak. Tarbiyah IAIN Palembang, Jl. Jend. Sudirman KM 3.5 Palembang 30126. Telp. 071135466 dan Mhs Program Doktor Jur. Biologi Universitas Andalas-Padang 2Guru Besar Biologi Fak. MIPA Universitas Andalas, Kampus Unand Limau Manis, Padang 25163, Telp. 07517108 Email: [email protected]

ABSTRAK Perilaku sosial semut sebagai predator, pengurai dan herbivor dalam ekosistem telah menjadi subjek penelitian secara intensif yang sangat menarik untuk diteliti dalam segala aspeknya. Interaksi antara komunitas semut dengan lingkungan sangat beragam, dalam hal ini dapat dikatakan bahwa komposisi perubahan lingkungan yang penting dalam struktur ekosistem direfleksikan dalam komposisi komunitas semut tersebut. Adanya aktivitas manusia dalam program agrikultur seperti perkebunan kelapa sawit dengan pola monokultur akan dapat mengancam kepunahan sebagian Arthropoda Selain itu dapat menyebabkan ketidakstabilan biodiversitas di alam, seperti penurunan keragaman Arthropoda predator salah satu contohnya adalah famili formicidae. Dari penelitian yang telah dilakukan tentang Diversitas semut (Hymenoptera: Formicidae) arboreal pada perkebunan kelapa sawit di Sembawa Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan, dengan metoda bait trap hasilnya adalah sebelum panen tertangkap 437 individu, sembilan spesies dan lima subfamili, sedangkan pascapanen 294 individu, tujuh spesies dan tiga subfamili. Nilai indeks keanekaragaman (H) semut pada waktu pascapanen (1,505-1,357) lebih besar dibandingkan pra panen (0,743-1,122). Indeks keragaman (E) semut pascapanen (0,798-0,966) dan prapanen (0,708-0,711) dan tingkat keragamannya tidak jauh berbeda. Kata kunci: Diversitas semut arboreal, semut predator dan perkebunan kelapa sawit

ABSTRACT Social behavior of ants as predators, decomposers and herbivore in the ecosystem has been the subject of intensive research is very interesting to be studied in all its aspects. Interactions between ant community with very diverse environment, in this case can be said that the composition of important environmental changes in ecosystem structure is reflected in the composition of ant communities. The existence of human activity in agricultural programs such as oil palm plantations with monocultures pattern will be able to threaten the extinction of some arthropods. Moreover, it can cause instability of biodiversity in nature, such as decreasing predator diversity of arthropods as like is the family formicidae. From the research that has been done about the Diversity of Ants (Hymenoptera: Formicidae) arboreal in oil palm plantations in South Sumatra-Sembawa Banyuasin Regency, with bait trap method the result is before harvest captured 437 individuals, nine species and five subfamily, while postharvest 294 individuals, seven species and three subfamily. Diversity index (H) ant at the time of postharvest (1.505 to 1.357) was higher than the preharvest (0.743 to 1.122). Diversity index (E) ant postharvest (0.798 to 0.966) and the pre (0.708 to 0.711) and the level of diversity is not much different. Keywords: Diversitas semut arboreal, semut predator dan perkebunan kelapa sawit

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 893

PENDAHULUAN Semut (Formicidae: Hymenoptera) merupakan salah satu model yang ideal untuk mengukur dan memonitor keanekaragaman hayati karena beberapa alasan. Semut merupakan serangga yang tergolong ke dalam famili Formicidae dan ordo Hymenoptera ini sangat banyak dan dominan di dalam ekosistim, baik sebagai predator atau bersimbiosis dengan tumbuhan dan berbagai organisme lain, mudah dikoleksi dengan cara yang bisa distandardisasi, cukup menyebar pada suatu lokasi, memungkinkan untuk diidentifikasi, dan sebagainya (Wilson, 1976; Hölldobler & Wilson, 1990). Sebagian besar semut mempunyai lokasi yang tertentu dan mempunyai sarang perenial dengan wilayah untuk mencari makan yang terbatas, sehingga mereka dapat pula digunakan sebagai indikator bagi kondisi lingkungan (Chung & Mohamed, 1996; Peck dkk., 1998; Hashimoto dkk., 2001, Andersen dkk., 2002; Longino dkk., 2002). Selain itu semut merupakan kelompok hewan yang berdasarkan jumlah keragaman jenis, sifat biologi dan ekologinya sangat penting dalam suatu ekosistem. Perilaku sosial semut sebagai predator, pengurai dan herbivor dalam ekosistem telah menjadi subjek penelitian secara intensif yang sangat menarik untuk diteliti dalam segala aspeknya (Hölldobler & Wilson, 1990). Dari beberapa penelitian tentang konversi lahan terhadap perubahan organisme terutama semut dapat dilihat dari penelitian Guo dan Brown (1996), Wagner (1997) serta Pfeiffer (2007). Diantara invertebrata maka, semut yang berlimpah dan menyebar di beberapa hutan dan menunjukkan interaksi yang kuat dengan banyak proses ekosistem dan organisme. Ragam interaksi ini menyatakan bahwa komposisi perubahan lingkungan yang penting dalam struktur ekosistem direfleksikan dalam komposisi komunitas semut (Andersen, 1997, 2003). Indonesia adalah satu diantara negara tropis, kaya akan keanekaragaman hayati. Dengan tanah yang subur, maka bermunculanlah perkebunan besar seperti perkebunan kelapa sawit. Tercatat luas perkebunan sawit dalam 10 tahun terakhir di Indonesia terus meningkat dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 8,7% per tahun dari hanya seluas 3.902.000 hektar pada 1999 meningkat menjadi 7.321.000 hektar tahun 2009. Menurut data Ditjen Perkebunan, tahun 2005 wilayah Sumatera merupakan yang terbesar yaitu sebesar 4.280.094 hektar atau 76,46% dari total areal perkebunan kelapa sawit nasional.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 894

Di pulau Sumatera ini, provinsi Riau tercatat memiliki areal terbesar yaitu 1.383.477 hektar dan selanjutnya diikuti provinsi Sumatera Utara seluas 964.257 hektar, serta Sumatera Selatan 640.000 hektar yang terdiri dari lahan inti sekitar 420.000 hektar dan lahan plasma seluas 240.000 hektar (Dinas Perkebunan Sumsel, 2009). Aktivitas manusia seperti agrikultur dengan pola monokultur akan dapat mengancam kepunahan sebagian Arthropoda (Tilman dkk., 2002). Perkebunan kelapa sawit yang menggunakan lahan secara intensif dan berlebihan mengakibatkan adanya penurunan keragaman dan meningkatkan dominansi (MacArthur, 1972). Selain itu dapat menyebabkan ketidakstabilan biodiversitas di alam, seperti penurunan keragaman Arthropoda predator (Klein dkk., 2002) salah satunya Formicidae sebagai pengontrol biologi (Ballinas, 1999). Dengan melihat perubahan yang cukup besar terhadap pembukaan hutan ini menjadikan hal yang menarik untuk diteliti, karena hingga saat ini belum ada penelitian di Indonesia yang meneliti keanekaragaman semut arboreal. Dan selain itu belum banyak data yang dilaporkan tentang semut arboreal khususnya di perkebunan kelapa sawit di Sumatera Selatan yang berperan sebagai predator, sehingga dalam hal ini penulis tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai diversitas semut arboreal pada perkebunan kelapa sawit terhadap perubahan lahan yang menyebabkan dominansi ekologis semut arboreal pada perkebunan tersebut. Dalam penelitian ini akan melihat keanekaragaman komunitas semut arboreal pada perkebunan kelapa sawit di Sumatera Selatan dan selain itu untuk melihat pengaruh pemanenan terhadap dominansi ekologi komunitas semut arboreal pada perkebunan kelapa sawit.

BAHAN DAN METODE Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Oktober sampai dengan Desember 2010, bertempat di perkebunan kelapa sawit sembawa dan Tanjung api-api, Kabupaten Banyuasin. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah perangkap umpan (bait trap), termometer air raksa, parang, palu, kaca arloji, tali plastik, meteran, petridis, kantong plastik, botol sampel, jarum ose, kuas kecil, kertas label, mikroskop binokuler, camera digital 10 MP, kotak specimen, gunting, nampan putih dan plastik, buku-buku

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 895 identifikasi, dan alat tulis. Bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini Alkohol 70%, formalin 4%, aquades, kapur barus, ikan, madu. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey dan untuk pengambilan data semut arboreal secara purposive sampling dengan menggunakan metode perangkap umpan (bait trap) dan Hand shorting (Agosti, 2000). Perangkap yang dipasang tersebar sebanyak 60 perangkap dan setiap satu pohon sawit di pasang tiga perangkap yaitu pada bagian batang, dekat tandan buah dan pelepah daun. Pengambilan dilakukan dua kali yaitu masa sebelum panen dan setelah panen dengan waktu berbeda yaitu pagi hari (07.00 wib) dan sore hari (17.00 wib). Kemudian sampel hewan tanah diidentifikasi secara morphospesies sampai tingkat spesies di laboratorium Universitas Andalas dengan menggunakan buku acuan antara lain buku identifikasi Holldobler dkk Wilson (1990), Borror dkk. (1992), Bolton (1994), Wenying dkk. (2000), Eguchi (2001, 2001, 2006); Yamane (2009), Hosoishi dan Ogata (2009). Semut arobreal yang telah diindentifikasi kemudian dihitung jumlahnya menggunakan angka kepadatan dan frekuensi relatif, sedangkan untuk mengetahui keanekaragaman semut tersebut, maka digunakan nilai indeks keanekaragaman Shanon- Winner serta indeks keseragamannya.

S H' =   pi ln pi i 1 Keterangan : H'= indeks diversitas S = jumlah jenis Jumlah individu suatu jenis Pi= , (Odum, 1998; Suin, 2003) Jumlah individu seluruh jenis

E= H‘/Hmax Keterangan: H‘= nilai indeks diversitas

Hmax=nilai pi ln pi

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 896

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Dari hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan didapatkan hasilnya sebagai berikut: bahwa jumlah semut yang terperangkap di areal perkebunan kelapa sawit di Sembawa Kabupaten Banyuasin terdapat 11 spesies dan enam subfamili dengan total individu sebanyak 731. Dari hasil keseluruhan ternyata pengambilan pada sebelum panen tertangkap 437 individu, 10 spesies dan lima subfamili, sedangkan pascapanen 294 individu, 10 spesies dan tiga subfamili. Berdasarkan subfamili, jenis semut arboreal yang terperangkap pada pagi dan sore hari di perkebunan kelapa sawit hasil perhitungan nilai indeks keanekaragaman Shanon- Winner (H) dan keseragaman (E) terlihat pada Tabel 1 berikut ini: Tabel 1. Nilai Indeks Keragaman (H) Shanon-Wiener dan Kesamaan (E) Sorensen Semut Arboreal (Hymenoptera: Formicidae) pada Perkebunan Kelapa sawit di Kabupaten Banyuasin.

Pagi Sore

No Subfamili/Spesies Pasca Pra Pasca Pra

H E H E H E H E A. Cerapachyinae ------1. Chrerapacys (ceraphycila) sp - - 0,021 0,071 - - - - B. Dolichderinae ------2. Tapinoma melanocephalum Sh. - - 0,076 0,076 - - 0,069 0,089 C. Formicinae ------3. Anoplolepis gracilepis 0,361 0,017 0,051 0,066 0,074 0,082 0,128 0,111 4. Componotus (Tanaemyrmex) sp 0,154 0,170 0,157 0,109 0,151 0,113 0,086 0,095 5. Oecophylla smaragdinaSmith 0,365 0,102 0,366 0,158 0,160 0,116 0,177 0,072 Oecophylla smaragdina Ratu - - - - 0,025 0,082 - - D. Leptanillinae ------6. Monomorium floricolaMayr ------0,029 0,097 E. Ponerinae ------7. Diacamma sp 0,251 0,199 0,097 0,085 0,312 0,164 - - 8. Leptogenys diminuta ------0,029 0,097 9. Odontoponera denticulata 0,154 0,170 0,352 0,147 0,324 0,136 0,225 0,147 10. Pachycondyla sp 0,126 0,162 - - 0,238 0,143 - - F. Mymicinae ------11. Pheidole sp 0,095 0,157 - - 0,074 0,082 - - Jumlah 1,505 0,978 1,122 0,711 1,357 0,916 0,743 0,708

Dari Tabel 2 terlihat bahwa semut Oecophylla, Anoplolepis Componotus mendominasi pada dua waktu pengambilan. Kemudian Semut yang jarang di dapat

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 897 antara lain Pheidole sp, Monomorium, Tapinoma, Cerapacyhs yang kesemuanya memang bukan semut arboreal absolut. Faktor ada tidaknya di temukan spesies tersebut di pengaruhi oleh beberapa faktor, seperti terganggunya habitat (Rizali, 2000). Tabel 2. Kepadatan (K) dan Frekuensi Relatif (FR:%) Semut Arboreal (Hymenoptera: Formicidae) pada Perkebunan Kelapa sawit Kabupaten Banyuasin. Pagi Sore

No Subfamili/Spesies Pasca Pra Pasca Pra K FR K FR K FR K FR (m2) (%) (m2) (%) (m2) (%) (m2) (%) A. Cerapachyinae 1. Chrerapacys (ceraphycila) sp 1,47 1,67

B. Dolichderinae 2. Tapinoma melanocephalum Sh. 7,37 3,33 4,42 5 C. Formicinae 3. Anoplolepis gracilepis 33,91 21,67 4,42 5 5,90 3,33 10,32 5 4. Componotus (Tanaemyrmex) sp 5,90 6,67 20,64 5 16,22 8,33 5,90 3,33 5. Oecophylla smaragdinaSmith 13,27 50 154,81 33,33 17,69 6,67 209,37 68,33 Oecophylla smaragdina Ratu 1,47 1,67 2,95 1,67 D. Leptanillinae 6. Monomorium floricolaMayr 1,47 1,67 E. Ponerinae 7. Diacamma sp 5,90 11,67 10,32 6,67 58,98 28,33 8. Leptogenys diminuta 1,47 1,67 9. Odontoponera denticulata 47,18 5 184,30 45 179,88 43,33 25,06 13,33 10. Pachycondyla sp 4,42 3,33 33,91 6,67 F. Mymicinae 11. Pheidole sp 2,95 1,67 1,84 1,67 Jumlah 113,53 100 383,34 100 315,89 100 260,97 100

PEMBAHASAN Perubahan jumlah spesies semut arboreal yang didapatkan antar perkebunan kelapa sawit pada masing-masing tingkatan saat pasca-panen dan pra panen dapat disebakan oleh beberapa faktor, satu diantaranya adalah perpindahan (mobilisasi) karena adanya faktor prilaku predasi dan aktivitas manusia (Kaspari, 1996; Hirosawa dkk., 2000). Tempat bersarang dan ketersediaan makanan juga ikut mempengaruhi (Herber, 1989; Byrne, 1994; Kaspari, 1996). Selain itu juga dapat dipengaruhi oleh struktur dan komposisi tanaman (Wilson, 1958; Bestelmeyer & Wiens, 2001). Kepadatan spesies pada areal perkebunan kelapa sawit dari hasil penelitian yang telah dilakukan antara pascapanen dan prapanen, berbeda (Tabel 1 dan 2). Hasil perhitungan terlihat dominansi spesies Oecophylla smaragdina, Odontoponera dalam

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 898 struktur komunitas semut arboreal pada perkebunan kelapa sawit. Dominansi Oecophylla telah banyak dilaporkan oleh beberapa peneliti antara lain Inouye dan Taylor (1979), Stephenson (1982), Barton (1986), Olivera (1997), Ozaki dkk. (2000). Potensi spesies ini sebagai agen biologi kontrol yang sangat mendukung dan dapat digunakan pada area perkebunan. Beberapa studi tentang spesies ini telah banyak dilaporkan bahwa semut Oecophylla sebagai spesies predator diperkebunan kelapa, kelapa sawit, kopi dan lain-lain (Way dan Khoo, 1992; Peng dkk., 1997). Pada penelitian semut arboreal lainnya di perkebunan kelapa sawit yang dilaporkan oleh Pfeiffer dkk. (2007) yang melakukan pengambilan sampel berdasarkan tajuk pohon dengan sampel secara keseluruhan didapatkan 52 jenis semut di tajuk, dimana 23 spesies terbagi dua antara di Borneo dan Semenanjung Malaysia. Tujuh belas spesies terdapat di Borneo dan 24 jenis di Semenanjung Malaysia. Ada 61% dari semua semut di Serawak, Sabah, Kalimantan (Borneo) dan Semenanjung Malaysia mempunyai 12 jenis semut pengembara dengan distribusi di daerah Tropis. Selain itu 40% dari semua semut di semananjung malaysia adalah semut eksotis. Enam spesies dominan yang ditemukan di Kalimantan, lima di Semenanjung. Tiga spesies yang paling melimpah, Anoplolepis gracilipes, Oecophylla smaragdina dan Technomyrmex albipes yang dominan di kedua lokasi. Pada hasil penelitian ini terlihat perbedaan spesies semut yang terperangkap antara pengambilan sore dan pagi hari. Kepadatan (K) semut pasca panen antara pagi (113,53 ind/m2) hari lebih sedikit di bandingkan dengan pengambilan sore hari (315,89 ind/m2), dengan jumlah spesies yang ditemukan hampir sama yaitu tujuh spesies. Kemudian kepadatan (K) semut pada pra panen antara pagi hari (383,34 ind/m2) lebih banyak di bandingkan sore hari (260,97 ind/m2), dengan jumlah spesies yang ditemukan pada pagi hari delapan spesies dan sore hari tujuah spesies. Selain itu jumlah spesies yang banyak terdapat pada daerah perkebunan yang belum di panen yaitu 10 spesies dan pasca panen delapan spesies. Namun hasil ini juga tidak berpengaruh nyata terhadap semut-semut predator di perkebunan tersebut. Nilai indeks keragaman semut arboreal antara di daerah perkebunan yang pasca panen dengan pra panen juga berbeda walau tidak terlalu signifikan. Nilai indeks keragaman antara sore hari dengan pagi hari berbeda yaitu (1,505 dan 1,122) dan (1,357

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 899 dan 0,793) dengan kriteria indeks keragaman tipe sedang yaitu 1-3. Kesamaan spesies antara kedua pengambilan adalah relatif sama yaitu 0,978-0,916 dan 0,711-0,793. Menurut Philpott dan Ambrectht (2006) yang menggaris bawahi fakta bahwa pemahaman hilanngya keberagaman semut mempengaruhi predasi oleh semut. Komplesitas vegetasi dan konsekuensinya dapat jika dipertimbangkan hubungan antara keberagaman spesies semut tersebut dengan aktivitasnya. Dalam kasus tertentu dimana keberagamana vegetasi tidak menyebabkan kendali biologis yang lebih baik seperti yang telah dilaporkannya, bahwa keberagaman vegetasi dan kendali biologis adalah dua hal yang harmonis. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa tidak semua semut yang tertangkap dalam perangkap adalah semut arboreal murni. Pada hasil kedua perlakuan dalam perangkap yang sama ternyata semut arboreal yang dominan dihuni oleh O. smragdina, selain itu terdapat juga semut permukaan tanah yang terperangkap seperti Tapinoma, Camponotus yang habitatnya selain bersarang di tanah juga dalam kayu yang mati, akar dan bersifat pemakan umum. Ada juga Cerapachys merupakan semut tentara predator pada semut lainnya, Anoplolepis merupakan jenis semut invasiv yang bersarang di tanah dan pemakan segalanya. Pheidole sp. yang merupakan semut yang terdistribusi merata di permukaan tanah, akar, atau kayu yang telah mati. Kemudian semut Monomorium merupakan kelompok afrotropikal yang bersarang di bawah batu-batuan, ranting atau cabang pohon yang busuk atau mati dan bersifat scavenger (semut pemulung) dan pemakan biji. Ada juga semut predator seperti Diacamma, Leptogenys dan Odontomachus, tetapi bukan semut arboreal melainkan semut tanah yang terperangkap dalam bait trap. Habitat utamanya adalah bersarang di tanah, kayu atau ranting yang busuk dan merupakan predator bagi semut lain. Pengaruh aktivitas panen pada perkebunan tersebut juga mempengaruhi aktivitas semut tersebut. Adanya mobilisasi beberapa semut arboreal dan non arboreal terlihat dari jenis yang tertangkap. Terganggunya habitat mereka sehingga mencari sarang yang baru di sekitar area perkebunan. Keberagaman semut tersebut secara temporal muncul secara spasial yaitu akan kembali normal disaat tidak ada faktor pengganggu dalam hal ini adalah waktu panen dan aktivitas penyemprotan pestisida. Secara umum faktor lingkungan yang juga dapat mempengaruhi keberadaan semut tersebut. Dari hasil

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 900 pengukuran suhu dan kelembaban udara di perkebunan kelapa sawit tersebut, ternyata normal tidak terlalu ekstrim yaitu kisaran 24-26 oC dengan kelembaban 59-65%, kondisi ini dimungkinkan semut untuk tetap beraktivitas. Kekayaan spesies tertinggi pada pagi hari waktu pasca panen sebesar 1,505 berdasarkan indeks Shanon-Winner dan terendah 0,793 pada waktu sore hari sebelum panen. Keragaman spesies di didominasi oleh genus Oecophylla pada vegetasi arboreal dan Componotus, Anoplepis terdapat di tumbuhan, tanah atau serasah. Sejalan dengan penelitian Brown (2000) ketiga genus tersebut merupakan hewan yang dapat hidup di tumbuhan, serasah dan tanah. Dari hasil penelitian ini juga di dapatkan semut invasif (A. gracilepis), menurut McGlynn (1999) jenis semut ini merupakan semut pendatang dan termasuk kedalam spesies eksotik invasif dan keberadaanya dipengaruhi oleh keberadaan manusia. Keragaman spesies dan penambahan jumlah spesies akan dapat dicapai dan meningkat jika pengambilan sampel semut secara terus menerus pada tiap periode musim dan dengan berbagai metode pengoleksian yang tepat (Wolda, 1987). Sedikit banyaknya hasil yang didapatkan dalam penelitian ini perlu dilanjutkan dengan penambahan metode dan lama pengambilannya sehingga dapat menggambarkan secara keseluruhan spesies semut arboreal pada perkebunan kelapa sawit tersebut.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan dapat diambil simpulan sebagai berikut: 1. Keanekaragaman semut arboreal pada area perkebunan didominasi oleh semut Oecophylla smaragdina, Componotus sp, Anoplepis gracilepis dan Odontoponera denticulata. Ada 11 spesies, enam subfamili dengan total 731 individu. Berdasarkan analisis nilai indeks keanekaragaman Shannon-winner (H), semut pada perkebunan kelapa sawit berkisar 1-3 dengan kriteria diversitas sedang. Nilai indeks shannon-winner sebesar 1,505-1,357 (pasca panen) dan 1,122-0,743 (pra panen). Nilai indeks keragaman spesies antara keduanya relatif sama (0,708-0,966).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 901

2. Kepadatan tertinggi terdapat di area perkebunan sawit yang prapanen sebesar 260,97 ind/m2-383,34 ind/m2 dan pasca panen sebesar 112,53 ind/m2 -315,89 ind/m2 yang di dominasi oleh semut Oecophylla smaragdina (33%-50%) diikuti oleh Anoplelepis gracilepis Mayr (21,667%) dan Diacamma sp (6,667%-11,667%) pada pagi hari sedangkan pada sore hari Odontoponera denticulata (13,33%- 43,33%) dan Oecophylla smaragdina(1,667%-68,33%).

Saran Untuk hasil yang maksimal perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan metoda teknik pengambilan sampel yang tepat. Selain itu hasil penelitian ini mencerminkan bahwa jika suatu perkebunan terganggu misalnya penggunaan pestisida dan proses pemanenan yang kurang tepat dapat mengganggu aktivitas semut- semut arboreal. Dimana semut-semut arboreal tersebut dapat digunakan sebagai bioindikator lingkungan yaitu agen pengendali hayati. Terutama semut-semut arboreal sejati sebagai predator alami di area perkebunan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA Adisoemarto, S. 1998. Kemungkinan Penggunaan Serangga Sebagai Indikator Pengelolaan Keanekaragaman Hayati. Jurnal Biota, Vol III (1):p. 29-33. Agosti D, Majer JD, Alonso LE, Schultz TR. 2000. Ants: Standar Methods For Measuring and Monotoring Biodiversity. Washington: Smithsonian Institution Pr. Andersen, A. N. 1993. Ants as indicators of restoration success at a uranium mine in tropical Australia. Restoration Ecology. 1 : 156–167. Bestelmeyer BT. And Wiens JA. 1996. The Effect of Land Use on the Structure of Ground Foraging Ants Communities in the Argentine Chaco. Ecol Appl 6: 1225- 1240. Bolton B. 1994. Identification Guide to the Ants of the World. Cambridge Messachusetts: Harvard Univ Press. Borror DJ. Triplehorn CA, Johnson NF. 1992. An Introduction to the Study of Insects. Philadelphia: WB. Saunders Bruhl CA, Gunsalam G, Linsenmair KE. 1998. Stratification of Ants (Hymenoptera: Formicidae) in Primary Foreston Mount Kinabalu, Sabah Malaysia. Trop Ecol 15: 285-297 Hashimoto, Y.S. Yamane and M. Mohamed. 2001. How to Design an Inventory Method for Ground Level Ants in tropical Forest. Nature and Human Activities 6:25-30 Hölldobler, B. and Wilson, E. O. 1990. The Ants. Cambridge, Massachusetts: Harvard Univ. Press.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 902

Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pests of Crops In Indonesia. Pt. Ikhtiar Baru Van Hoeve : Jakarta Kaspari M. 1996. Litter Ants Patchiness at the 1m2 scale: Disturbance Dynamics in three Neotropical Forest. Oecologia (Berl) 107: 379-404 Majer, J. D. 1990. The role of ants in land reclamation seeding operations. pp. 544–554 in Vander Meer, R. K., Jaffe, K., Cedeño, A. Applied Myrmecology: A world perspective. Boulder, Colorado : Westview Press. 741 pp. Morley, D.W., 1946. The interspecific relations of ants. The Journal of Animal Ecology 15: 150 – 154. Lee, Y. C. 2002. Tropical Household Ants: Pest status, Species Diversity, Foraging Behavior and Baiting Studies. Proceeding of the 4th International Conference On Urban Pests. Mele, P. V dan N. T. T. Cuc. 2004. Semut Sahabat Petani. http://www.blueboard.com/kerengga/pdf/rahuya.pdf.20 November 2010. Odum, E. P. 1993. Dasar Dasar Ekologi Edisi Kedua. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Paris, C.I., M.G. Polo, C. Garbagnoli, P. Martinez, G. S. de Ferre, & P.J. Folgarait. 2008. Litter decomposition and soil organisms within and outside of Camponotus punctulatus nests in sown pasture in Northeastern Argentina. Applied Soil Ecology 40: 271 – 282. Peck, S.L. McQuaid, B. And Campbell, C.L. 1998. Using Ant Species )Hymenoptera: Formicidae) as Biological Indicator of Agroecosystem Condition. Environtmental Entomology 27:1102-1110. Peeters, C. and Andersen, A. N. 1989. Cooperation between dealate queens during colony foundation in the green tree ant, Oecophylla smaragdina. Psyche 96: 39- 44. Perfecto, I. 1990. Indirect and direct effects in a tropical agroecosystem: The maize- pest-ant system in Nicaragua. Ecology 7: 2125-2134. Pfeiffer, M and Karls Eduard Linsenmair. 2007. Trophobiosis in a tropical rainforest on Borneo: Giant ants Camponotus gigas (Hymenoptera: Wilson, E.O., 1987. Causes of ecological success: The case of the ants. The Journal of Animal Ecology 56: 1 – 9. Wolda, H. 1987. Causes of Ecological Success: The case of the Ants. Bio J Linn Society 30: 313-323

Notulensi Diskusi Seminar Eko Kustanto : Sosial insect yang diamati yang worker? Jawab : Yang diamati adalah worker. Pada koloni tertangkap para pekerja yang tertarik dengan umpan. Ratu pun sempat tertangkap. Semut yang tertangkap tergantung umpan yang di pasang. Wulan : - Dari ketiga umpan (madu, ikan, gula) mana yang paling bagus?

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 903

- Sejauh mana pemanfaatan semut di kebun sawit? Namun sulit dalam pemanenan Jawab : - Berdasarkan frekuensi relative semua perangkap bagus. Dihitung secara kolektif. - Sampai saat ini belum ada penelitian dan publikasinya. Diversitas semut hanya ada di kakao dan sayuran, di sawit belum. - Saran : Menurut Wilson, jika kita bisa mengaktifkan peromon semut agar kita tidak digigit. Heny (Andalas) : Diversivitas rendah, sejauh apa semut mendominasi? Jawab : - Berdasarkan frekuensi relative, semut yang tertangkap dominasinya penuh. - Dominasi ocepila tinggi karena perilakunya yang tidak mau turun ke bawah.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 904

OEB-25 Interaksi Tumbuhan Berbunga dan Lebah di Lembah Zontan, Restorasi Satoyama, Kanazawa, Jepang Windra Priawandiputra1, Ramadhani Eka Putra1, Agus Dana Permana1,dan Koji Nakamura2

1School of Life Science and Technology, Bandung Institute of Technology, Bandung, Indonesia 2Division of Biodiversity, Institute of Nature and Environment Technology, Kanazawa University, Kanazawa, Ishikawa, Japan Email: [email protected]

ABSTRAK Zontan yang berada di dekat Kakuma kampus Universitas Kanazawa, Kanazawa, Jepang, merupakan lembah yang telah mengalami restorasi menjadi health satoyama. Satoyama merupakan suatu bentang alam pertanian traditional yang dimiliki oleh Jepang dan berfungsi sebagai zona peralihan antara gunung dan daerah pemukiman. Pada satoyama area terdapat berbagai macam interaksi antar komunitas salah satunya penyerbukan. Penelitian mengenai penyerbukan di Zontan ini ditinjau sangat penting karena memiliki peranan dalam ecosystem service untuk keuntungan manusia. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai Juli 2010 dengan menggunakan modifikasi metode Pollard transect dalam pengambilan sampel. Kekayaan jenis dan kelimpahan tumbuhan berbunga dan lebah penyerbuk berhasil didapatkan. Sebanyak 54 species (27 famili) tumbuhan berbunga ditemukan di zontan walaupun hanya 17 species (14 famili) dikunjungi oleh lebah. Famili Asteraceae merupakan famili yang paling banyak dikunjungi oleh lebah dengan species Erigeron philadelphictus sebagai anggota yang paling banyak dikunjungi oleh lebah penyerbuk. Sedangkan lebah yang berhasil dikoleksi sebanyak 227 individu dari 26 species (6 famili). Species lebah Ceratina japonica berhasil didapatkan sebanyak 51 individu dan menjadi species yang dominan di Zontan. Total tumbuhan berbunga dan lebah sebanyak 43 species memperlihatkan 64 interaksi. Zontan merupakan tempat yang tepat bagi habitat lebah karena terdapatnya komposisi tumbuhan berbunga yang dapat memberikan sumber daya untuk lebah. Kata kunci: Satoyama, Kanazawa, Lebah, Tumbuhan Berbunga, Restorasi

ABSTRACT Zontan which located near Kakuma Campus of Kanazawa University, Kanazawa, Japan, was health satoyama of restorated valley. Satoyama was Japanese traditional agriculture landscape with a functions as buffer area between natural mountain and urban area. There were many kind of communities interactions in Satoyama area such as pollination. In Zontan, the pollination research showed very important because their role in ecosystem service. The research used modification of pollard transect methods and conducted from May s/d July 2010. Richness and abundance of flowering plants and flower visiting bees were recorded. As much 54 species (27 families) of flowering plant were founded in Zontan, although just 17 species (14 families) were visited by bee. Asteraceae was flowering plant family that most visited by bee with Erigeron philadelphictus was most visited. At the same time, bees were collected as much 227 individuals from 26 species (6 families). Ceratina japonica was collected 51 individuals and known as dominant species in Zontan. Total linkages from 43 species of flowering plants and flower visiting bee were showed 64 linkages. Zontan was suitable place for bee habitat due to flowering plant composition provides resource for bee. Keywords : Satoyama, Kanazawa, Bees, Flowering plants, Restoration

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 905

PENDAHULUAN Jepang memiliki suatu bentang alam traditional yang berfungsi sebagai zona peralihan antara gunung dan daerah pemukiman yaitu Satoyama (Iwatsuki, 2008). Bentang alam ini terdiri dari berbagai macam habitat didalamnya yaitu sawah, hutan sekunder, kolam, padang rumput, dan lain-lain (Katoh dkk., 2009). Zontan yang berada di dekat Kakuma kampus Universitas Kanazawa, Kanazawa, Jepang, merupakan lembah yang telah mengalami restorasi menjadi health satoyama (Gambar 1). Satoyama merupakan suatu bentang alam pertanian traditional dan menjadi sumber daya alam yang sangat potensial dalam mendukung keanekaragaman flora maupun fauna dengan adanya berbagai macam interaksi antara keduanya (Iwatsuki, 2008). Sumberdaya di satoyama dapat menyediakan makanan, air, kayu, udara segar, dll (Yokohari dkk., 2006). Zona Satoyama mengalami degradasi yang disebabkan oleh perkembangan jaman seperti perubahan sistem pertanian, urbanisasi, dan lain-lain, sehingga pemerintah jepang berusaha untuk mengembalikan dan menjaga daerah satoyama. Pada satoyama area terdapat berbagai macam interaksi penting antar komunitas salah satunya penyerbukan. Penyerbukan merupakan pemindahan pollen dari anther bunga jantan ke stigma bunga betina dengan bantuan hewan maupun faktor abiotik seperti angin. Salah satu penyerbuk yang sangat berperan penting adalah serangga terutama lebah (Holzschuh, 2007; Potts, 2003). Penyerbukan tersebut merupakan interaksi mutualisme antara 2 organisme (tumbuhan dan lebah). Tumbuhan memberikan sumber makanan pada serangga dan mendapatkan jasa penyerbukan dari serangga.

Gambar 1 Satoyama di Lembah Zontan

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 906

Penelitian mengenai penyerbukan di Zontan ini ditinjau sangat penting karena memiliki peranan dalam ecosystem service. Zontan menjadi salah satu kawasan yang menyediakan sumber makanan berupa bunga dan habitat hidup bagi berbagai macam serangga termasuk lebah. Di lain pihak, sebagian besar tumbuhan berbunga memerlukan penyerbukan dari serangga terutama lebah. Keberadaan lebah yang populasinya semakin berkurang menjadi fokus tertentu untuk dilakukannya konservasi. Oleh karena itu, lembah Zontan yang telah mengalami restorasi perlu untuk diteliti dari segi sistem penyerbukan yang dilakukan oleh berbagai macam lebah.

II. Bahan dan Metode Sensus: Penelitian ini dilakukan di Zontan, dekat Universitas Kanazawa, Kanazawa, Ishikawa, Jepang. Metode pengambilan lebah dilakukan menggunakan metode Pollard dari survey kupu-kupu. Sepanjang 240 m rute sensus dibuat di Zontan dengan dibagi menjadi 54 segmen dengan tiap segmen sepanjang 5 meter (Gambar 2).

Gambar 2 Peta lokasi dan segmen penelitian

Periode Sensus: Sensus dilakukan selama 2 kali perbulan dari Mei dampai Juli 2010. Pengambilan sampel dilakukan dari jam 08:00 sampai jam 16:00. Observasi dilakukan ketikan cuaca

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 907 cerah dan tidak hujan. Data yang diambil meliputi tumbuhan bunga dan lebah yang mengunjungi tumbuhan tersebut per plot.

1. Tumbuhan Berbunga

Seluruh tumbuhan berbunga diidentifikasi sampai level spesies dengan jumlah bunga dihitung ketika berjalan dalam rute sensus. Bunga yang memproduksi bunga tunggal dihitung secara langsung sedangkan perbungaan dihitung sebagai FN dengan penghitungan sebagai berikut: FN = AF x I dimana AF merupakan rata-rata jumlah bunga per perbungaan dari 10 sampel dan I merupakan jumlah dari perbungaan per tumbuhan.

2. Lebah

Lebah dikoleksi dengan menggunakan sweeping net sejalan dengan penghitungan jumlah bunga. Lebah yang didapatkan diambil ke laboratorium dan diidentifikasi menggunakan buku. Kelimpahan dari spesies lebah diartikan sebagai jumlah individu lebah yang berhasil dikoleksi.

3. Data Analisis

Indeks Keanekaragaman Indeks keanekaragaman menggunakan Keanekaragaman Shannon-Wiener (D) denganperhitungan statistik sebagai berikut (Kreb, 1999):

dengan S merupakan kekayaan spesies; Pi merupakan proporsi dari jumlah spesies I di plot sampel.

Indeks Keragaman spesies Tumbuhan berbunga dan lebah dihitung menggunakan indeks keragaman spesies (J). Indeks keragaman spesies (J) dilakukan menggunakan rumus sebagai berikut:

dengan H‘ merupakan jumlah yang didapatkan dari Indeks Shannon dan H‘ max merupakan nilai maksimum H‘, didapatkan dari rumus berikut:

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 908

dengan S merupakan total jumlah spesies dan , variasi di komunitas antara spesies diperlihatkan dengan tingginya nilai E.

Kuantitatif Jaring makanan Serangga yang mengunjungi bunga pada spesies tumbuhan diartikan sebagai interaksi mutalisme. Pada penelitian ini, satu interaksi didefinisikan dari satu kunjungan dari lebah ke satu bunga (Olesen dkk., 2007). Interaksi ini dianalisis dengan menggunakan suatu diagram matrik antara tumbuhan berbunga dan lebah. Interaksi ini dianalisis untuk mengetahui tingkatan generalisasi dari tumbuhan berbunga dan lebah. Tingkatan generalisasi diukur dari hasil koneksi menggunakan informasi dari interaksi dan jumlah besaran jaringan. Keterangan analisis dari interaksi tumbuhan berbunga dan lebah diperlihatkan sebagai berikut: A Ukuran Komunitas Penyerbuk No. Spesies penyerbuk didalam jaringan P Ukuran Komunitas Tumbuhan No. Spesies tumbuhan didalam jaringan S 2-mode ukuran jaringan =A+P I Jumlah interaksi No. Interaksi antara A dan P C Koneksi = I/(AP) x 100% Lp Tingkatan interaksi penyerbuk No. Interaksi antara spesies penyerbuk a dan komunitas tumbuhan Rata-rata tingkatan interaksi lebah = I/A La Tingkatan interaksi tumbuhan No. Interaksi antara tumbuhan p dan komunitas penyerbuk Rata-rata tingkatan interaksi tumbuhan = I/P (Olesen dkk., 2007).

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian yang telah dilakukan di Lembah Zontan didapatkan 3 hasil utama yaitu tumbuhan berbunga, lebah pengunjung, dan interaksi antara keduanya. ketiga hasil tersebut akan dipaparkan sebagai berikut:

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 909

a. Tumbuhan berbunga Aktivitas restorasi yang diadakan di Zontan dapat mempengaruhi keberadaan, keanekaragaman, dan komposisi tumbuhan berbunga. Kekayaan jenis dan kelimpahan tumbuhan berbunga dan lebah penyerbuk berhasil didapatkan. Jumlah bunga mekar yang berhasil dihitung adalah sebanyak 107.519 bunga secara total, dengan sebanyak 54 species (27 famili) tumbuhan berbunga ditemukan di zontan walaupun hanya 17 species (14 famili) dikunjungi oleh lebah.

a)

b) Gambar 3 Grafik dari tumbuhan berbunga: a) Jumlah bunga dan jumlah spesies dari setiap famili b) Jumlah bunga dari setiap spesies

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 910

Famili Asteraceae merupakan famili yang paling banyak ditemukan dan dikunjungi oleh lebah baik dari segi jumlah spesies (10 spesies) maupun jumlah bunga (40.000 bunga). Asteraceae merupakan suatu perbungaan berupa involucrum dengan terdiri dari bunga tabung dan bunga pita serta dapat menarik banyak serangga. Hasil tersebut didukung oleh penelitian Hisamatsu dan Yamane (2006) dan Putra dan Nakamura (2009) yang menunjukkan bahwa lebah memiliki pilihan yang kuat untuk mengunjungi spesies dari anggota Asteraceae. Salah satu species dari famili Asteracea yang banyak dikunjungi oleh lebah adalah spesies Erigeron philadelphictus, walaupun jumlah bunga paling banyak ditunjukan oleh spesies Rorippa indica dari famili Brassicaceae. Setiap spesies bunga tersebut memiliki ciri yang dapat menarik lebah. Hal tersebut seperti terdapatnya beberapa tumbuhan berbunga yang memiliki jumlah bunga dominan menyebabkan adanya nilai indeks yang tidak seragam dengan nilai indeks keanekaragaman yang sedang. Hasil indeks keanekaragaman Shannon-wiener pada tumbuhan berbunga tersebut adalah sebesar 2,02 dengan indeks keragaman sebesar 0,14.

b. Lebah pengunjung Aktivitas restorasi yang dilakukan di Zontan dapat mempengaruhi komposisi dar tumbuhan berbunga yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi keberadaan komunitas lebah. Lebah yang berhasil dikoleksi sebanyak 229 individu dari 26 species (6 famili). Jumlah individu dan spesies terbanyak diperlihatkan oleh famili Halictidae. Halictidae merupakan famili soliter yang memiliki anggota spesies yang cukup banyak. Zontan merupakan tempat yang cocok untuk famili Halictidae dikarenakan adanya komposisi tumbuhan berbunga yang tepat dalam menyediakan sumber daya makanan. Walaupun jumlah individu dan spesies banyak didapatkan dari famili Halictidae, ternyata species lebah Ceratina japonica dari famili Anthopodidae lebih banyak didapatkan yaitu sebanyak 51 individu dan menjadi spesies yang dominan di Zontan. Hal tersebut diikuti oleh Lasioglossum occidens (Halictidae) dengan jumlah individu sebanyak 32 individu. Spesies tersebut memiliki kemampuan terbang yang terbatas sehingga spesies tersebut lebih memilih tumbuhan dengan jumlah bunga yang dominan (Putra dan Nakamura, 2009).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 911

Banyaknya jumlah spesies yang didapatkan terjadi karena adanya dukungan dari lingkungan untuk kehidupan lebah tersebut, hal tersebut tergantung oleh beberapa faktor biotik (tumbuhan berbunga) dan abiotik (keadaan tanah sebagai tempat sarangnya). Faktor lingkungan dan struktur vegetasi dapat menyebabkan perubahan dari komposisi lebah. Faktor utama yang mempengaruhi keberadaan lebah adalah keberadaan komposisi bunga. Hasil dari perhitungan dari indeks keanekaragaman yaitu sebesar 2,50 dan indeks keragaman sebesar 0,47. Hasil keanekaragaman menunjukkan nilai yang sedang sedangkan keragaman menunjukkan nilai yang kecil. Hal tersebut dikarenakan oleh terdapatnya beberapa lebah yang memiliki jumlah individu dominan dengan diperlihatkan oleh famili Halictidae. Famili Halictidae di dominasi oleh Lasioglossum occidens sedangkan famili Anthoporidae didominasi oleh Ceratina japonica.

a)

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 912

b) Gambar 4 Grafik dari lebah pengunjung: a) Jumlah individu dan jumlah spesies dari setiap famili b) Jumlah individu dari setiap spesies

c. Interaksi Tumbuhan Berbunga dan Lebah Penyerbukan berkaitan dengan adanya interaksi antara tumbuhan berbunga dan lebah. Total tumbuhan berbunga dan lebah sebanyak 43 species memperlihatkan 64 interaksi. Zontan merupakan tempat yang tepat bagi habitat lebah karena terdapatnya komposisi tumbuhan berbunga yang dapat memberikan sumber daya untuk lebah.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 913

Gambar 5 Diagram interaksi antara tumbuhan berbunga dan lebah di Zontan

Spesies yang memiliki interaksi terbanyak adalah Erigeron philadelphictus dan Ceratina japonica. Nilai Connectance sebanyak 13,67% yang didapatkan menunjukkan bahwa interaksi antara tumbuhan berbunga dan lebah lebih generalist. Level interaksi antara tumbuhan dan lebah diperlihatkan sebagai berikut: = 2,46 dan = 3,55. Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkatan rata-rata interaksi dari lebah lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata tingkatan interaksi tumbuhan berbunga. Zontan merupakan tempat yang tepat bagi habitat lebah karena terdapatnya komposisi tumbuhan berbunga yang dapat memberikan sumber daya untuk lebah. Tumbuhan liar seperti E. philadelphictus, E. annuus, dan Rorippa indica dapat dikunjungi oleh lebah karena memiliki jumlah bunga yang melimpah dengan ciri bunga yang dapat menarik lebah.

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Tumbuhan berbunga yang paling banyak ditemukan baik spesies maupun individu di Zontan (restorasi area) adalah dari famili Asteraceae, sedangkan bunga yang

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 914

paling banyak mekar adalah spesies Rorippa indica (Crucifera). 2. Halictidae merupakan famili lebah yang paling banyak ditemukan baik dilihat secara individu ataupun spesies, sedangkan jumlah spesies yang paling banyak ditangkap adalah Ceratina japonica (Anthoporidae). 3. Interaksi yang terjadi antara 18 spesies tumbuhan berbunga dan 26 spesies lebah adalah sebanyak 63 interaksi. 4. Aktivitas restorasi dapat mempengaruhi struktur dari komunitas tumbuhan berbunga dan lebah, secara tidak langsung akang mempengaruhi interaksinya

B. Saran Perlu dilakukan penelitian jangka panjang terhadap interaksi tumbuhan berbunga dengan lebah di Lembah Zontan, Kanazawa, Ishikawa, Jepang sehingga didapat data yang lebih akurat. Hasil dari penelitian tersebut dapat digunakan sebagai dasar pembuatan peraturan perundang-undangan dalam menjaga dan melestarikan system penyerbukan dari lebah.

DAFTAR PUSTAKA Hisamatsu M, Yamane S (2006) Fauna makeup of wild bees and their flower utilization in a semi-urbanized area in central Japan. Entomological Science 9: 137–145. Holzschuh, A., I. Steffan-Dewenter., D. Kleijn., and T. Tscharnthe. 2007. Diversity of flower-visiting bees in cereal fields: effect of farming system, landscape composition and regional context. Journal of Applied Ecology 2007 44, 41-49 Iwatsuki, K. 2008. Conserving Nature a Japanese Perfective: Sustainable Use of Biodiversity, with Reference to the Japanese Spirit of Worshipping Nature. Biodiversity Network Japan : Japan Katoh, K., S. Sakai, and T. Takahashi. 2009. Factors maintaining species diversity in satoyama, a traditional agricultural landscape of Japan. Biological Conservation 142;1930–1936 Krebs, C. J. 1999. Ecological Methodology, 2nd edn. Addison-Wesley Longman, Menlo Park Olesen, J. M., J. Bacompte, Y. L. Dupont, and P. Jordano. 2007. The Modularity of Pollination Networks. Á Proc. Natl Acad. Sci. USA, 104. Potts, S. G., B. Vulliamy, A. Dafni, G. Ne‘eman, and P. Willmer. 2003. Linking Bees and Flowers: How Do Floral Communities Structure Pollinator Communities. Ecology Vol 84 No 10 pp. 2628-2642 Putra, R. E. & Nakamura, K. 2009. Foraging Ecology of Local wild Bees Community in Abandoned Satoyama System in Kanazawa, Central Japan. Entomological Research, 39: 99-106

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 915

Yokohari, M., T. Terada., and N. Tanaka. 2006. Restoring the Maintenance of Satoyama by Utilizing Harvested Organic Materials as a Biomass Resource. IUFRO 8.01.03 Landscape ecology

Notulensi Diskusi Seminar Tanya : Tidak ada pertanyaan. Jawab :

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 916

OEB-26 Faktor Lingkungan yang Berasosiasi dengan Distribusi Temporal Larva Culex dan Anopheles pada Area Pesawahan Organik di Kota Kaga, Jepang Didot Budi Prasetyo1,2, Tjandra Anggraeni1, Tuno Nobuko2 1Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung, Indonesia 2Division of Biological Science, Graduate School of Natural Science and Technology, Kanazawa University, Kanazawa, Ishikawa Prefecture, Japan Email: [email protected]

ABSTRAK Sawah merupakan salah satu habitat yang ideal untuk perkembangbiakan nyamuk dari genus Anopheles dan Culex. Kondisi fisika dan kimia air sawah diketahui berpengaruh terhadap perkembangan maupun dinamika populasi nyamuk tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati distribusi temporal nyamuk Culex maupun Anopheles, dan mengamati faktor-faktor lingkungan yang berasosiasi dengan larva nyamuk tersebut pada area pesawahan organik di Kota Kaga, Prefektur Ishikawa, Jepang pada tahun 2010. Penelitian dilakukan di daerah pesawahan organik tanpa pestisida, dan menggunakan sistem pengairan winter flooding (pengairan sejak musim dingin). Selama periode April-Juli, Larva dikoleksi 2 kali setiap bulan menggunakan metoda standar dipping, dengan 10 dip (total 5 liter air) untuk setiap kali pengambilan sampel. Sampel air dikoleksi dengan menggunakan dipper dan disaring dengan menggunakan saringan 2mm. Larva diidentifikasi kemudian diklasifikasikan berdasarkan ukuran tubuh dan tahapan instar. Faktor fisika kimia sawah yang diukur adalah tinggi tanaman padi, derajat penutupan air, kedalaman air, klorofil-a, turbiditas, Chemical Oxygen Demand (COD), kadar ammonium, dan pH. Hasil menunjukkan bahwa ditemukan sebanyak 3 spesies Culex (Cx. orientalis, Cx. tritaeniorhynchus, Cx. pseudovishnui) dan 4 spesies Anopheles (An. sineroides, An. koreicus, An. lindesay japonicus, An. sinensis) pada lokasi studi selama periode April- Juli 2010. Hasil Canonical Correspondence Analysis menunjukkan bahwa tinggi tanaman padi, kadar klorofil-a, dan turbiditas air merupakan faktor lingkungan yang signifikan (p<0.05) mempengaruhi kelimpahan dan distribusi temporal larva Culex dan Anopheles. Cx. orientalis dan Cx. pseudovishnui berasosiasi dengan tanaman padi yang rendah (tahap awal kultivasi), kadar klorofil-a dan turbiditas air yang tinggi, sedangkan Cx. tritaeniorhynchus, An. sineroides, An. koreicus, An. lindesay japonicus, dan An. sinensis berasosiasi dengan tanaman padi yang tinggi (tahap akhir kultivasi), dengan klorofil-a dan turbiditas air yang cenderung lebih rendah. Hasil mengindikasikan bahwa faktor fisika kimia tersebut dapat digunakan untuk memprediksi kelimpahan dan distribusi temporal larva nyamuk di area pesawahan organik Kota Kaga. Kata kunci : Sawah, pesawahan, organik, Kaga, Jepang, Cx. orientalis, Cx. tritaeniorhynchus, Cx. pseudovishnui, An. sineroides, An. koreicus, An. lindesay japonicus, An. sinensis

PENDAHULUAN Nyamuk dari genus Anopheles dan Culex merupakan nyamuk yang dianggap penting dalam bidang kesehatan. Beberapa anggota dari genus Anopheles dikenal merupakan vektor utama dalam menyebarkan penyakit Malaria. Beberapa anggota dari genus Culex seperti Cx. tritaeniorhynchus, Cx. vishnui, Cx. quinquefasciatus, dikenal merupakan vektor potensial yang dapat menyebarkan arbovirus seperti virus Japanese Enchepalitis (JE), Virus West Nile, dan virus Rift valley fever (IRRI, 1998). Nyamuk ini tersebar di berbagai wilayah mulai dari tropis hingga wilayah subtropis. Terjadinya wabah penyakit yang diakibatkan oleh nyamuk ini amat bergantung kepada dinamika populasi dan ketersediaan tempat perkembangbiakan yang potensial. Berbeda dengan larva Aedes yang memiliki preferensi terhadap air bersih, larva Culex dan Anopheles dapat ditemukan di segala jenis air termasuk perairan sawah

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 917

(Sutherland & Wayne, 2000). Area pesawahan termasuk salah satu tempat perkembangbiakan yang efisien bagi larva Anopheles dan Culex. Aplikasi fertilizer pada sawah dapat menyebabkan melimpahnya alga, mikroorganisme, dan nutrien lain sebagai pakan larva yang potensial (Lawler & Dritz, 2005). Kondisi air pada sawah sebagai tempat perkembangbiakan larva nyamuk Culex dan Anopheles diketahui dapat berubah secara signifikan bergantung kepada aktivitas agronomi. Perubahan ini menyebabkan terjadinya variasi dalam kemunculan larva-larva nyamuk tersebut. Mogi dan Miyagi (1990) serta Klinkenberg (2003) mengamati bahwa larva Cx. vishnui dan Anopheles gambiae muncul di awal masa kultivasi padi ketika tanaman padi mulai ditanam di lahan. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa Larva Anopheles diketahui memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi dan dapat muncul di semua tahap kultivasi padi, mulai dari penanaman padi, tahap pematangan, hingga tahap pemanenan (Amusan dkk., 2005). Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi lingkungan air dan tahapan kultivasi padi menentukan variasi kemunculan nyamuk Culex dan Anopheles di lingkungan sawah. Berdasarkan manajemen air, Jepang memiliki metoda baru dalam kultivasi padi, yaitu sawah winter flooding (Fuyumizu tanbo dalam bahasa Jepang). Berbeda dengan sawah konvensional, sawah winter-flooded digenangi air semenjak musim dingin dan tidak menggunakan pestisida selama masa kultivasi padi. Beras yang dihasilkan dari sawah winter flooded ini dianggap sebagai produk organik dan memiliki harga yang tinggi di pasaran. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati distribusi temporal (fenologi) larva nyamuk Culex dan Anopheles pada sawah winter flooded dan menentukan faktor-faktor fisika kimia air yang berkaitan dengan distribusi temporal larva nyamuk di sawah tersebut.

METODA KERJA Lokasi Studi Lokasi studi terletak di Kota Kaga, Prefektur Ishikawa dengan kordinat GPS 360 19‘ 42.99‘‘ N, 1360 17‘ 32.1‘‘ E. Lokasi studi merupakan sawah dengan metoda pengairan winter flooding dan digenangi air mulai dari musim dingin Desember 2009.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 918

Pada area pesawahan ini, tanaman padi mulai ditanam pada awal Mei, akan tetapi pengambilan sampel air dan larva nyamuk dilakukan semenjak bulan April.

Pengambilan sampel air dan larva nyamuk Pengambilan sampel air dan larva nyamuk dilakukan sebanyak 2 kali dalam satu bulan selama masa kultivasi padi pada periode April 2010 – Juli 2010. Pada setiap kali pengambilan, dikoleksi sebanyak 6 sampel dengan titik pengambilan yang dipilih secara acak. Pada setiap titik pengambilan diukur beberapa faktor lingkungan seperti tinggi tanaman padi, kedalaman air, derajat penutupan air. Sampel air disaring dengan menggunakan saringan 2 mm, dan ditransfer ke dalam botol plastik 50 ml. Botol sampel disimpan dalam coolbox dan dianalisis di laboratorium. Beberapa faktor fisika kimia yang diukur meliputi klorofil-a, turbiditas, chemical oxygen demand (COD), ammonium, dan pH. Klorofil-a dan turbiditas diukur dengan menggunakan alat fluorometer AquafluorTM dari Turner Design, pH diukur dengan menggunakan kertas indikator pH dari Whatman, COD dan ammonium diukur dengan menggunakan Kit Pack Test Ion selective dari Kyoritsu Chemical-Check Lab. Corporation. Larva nyamuk dikoleksi menggunakan standar dipping method, dengan 500 ml dipper. Pada setiap titik pengambilan, sebanyak 10 dip (5 liter) air diambil. Larva nyamuk yang berhasil dikoleksi dipindahkan ke dalam 200 ml wadah plastik (Diameter: 77 mm dan tinggi: 57 mm), dan diawetkan di laboratorium dengan menggunakan 0.5% formalin.

Analisis Data Larva nyamuk diidentifikasi dengan menggunakan kunci identifikasi dari Clifford (1991) dan Kawai (1985). Jumlah larva nyamuk pada penelitian ini diekspresikan dalam satuan jumlah individu per 5 liter air pada setiap waktu pengambilan sampel. Larva diklasifikasikan ke dalam tahapan instar dengan melihat ukuran dan karakteristik morfologis. Faktor fisika kimia air dan data kelimpahan larva nyamuk dianalisis dengan menggunalan Canonical Correspondence Analysis (Canoco software). Hasil yang

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 919 didapat digunakan untuk melihat hubungan antara kelimpahan larva nyamuk dengan faktor fisika kimia air. Hanya faktor fisika kimia yang telah dinyatakan signifikan oleh Monte Carlo Permutation Test digunakan dalam analisis ini.

HASIL PENELITIAN Selama masa studi, total larva Anopheles yang dikoleksi adalah sebanyak 34 individu per 5 liter yang terdiri dari An. lindesayi japonicus (12 ind/5 liter), An. sineroides (n=9 ind/5 liter), An. koreicus (n=7 ind/5 liter), dan An. sinensis (n=6 ind/5 liter). Larva Culex yang berhasil dikoleksi adalah sebanyak 73 individu per 5 liter, yang terdiri dari Cx. tritaeniorhynchus (n=43 ind/5 liter), Cx. orientalis (n=24 ind/5 liter), dan Cx. pseudovishnui (n=6 ind/5 liter). Jumlah kelimpahan larva Culex dan Anopheles pada setiap waktu pengambilan sampel dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3. An. sineroides merupakan Larva Anopheles yang ditemukan paling awal, yaitu pada bulan Juni. Sebagian besar larva spesies Anopheles lainnya ditemukan pada bulan Juli (Gambar 1). Cx. orientalis merupakan larva Culex yang ditemukan paling awal, yaitu pada bulan Mei, sedangkan spesies Culex lainnya mulai ditemukan sejak bulan Juni (Gambar 1). Adapun pada awal bulan pengambilan sampel, yaitu bulan April, tidak ditemukan adanya larva Culex maupun Anopheles.

Gambar 1. Gambar skematis kemunculan larva Culex dan Anopheles selama masa studi

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 920

Gambar 2. Distribusi temporal spesies Culex pada area pesawahan Kota Kaga

Gambar 3. Distribusi temporal spesies Anopheles pada area pesawahan Kota Kaga

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 921

Gambar 4. Hasil Canonical Correspondence Analysis : korelasi antara kelimpahan Culex dan Anopheles dengan faktor fisika kimia sawah

Hasil Canonical Correspondence Analysis (CCA) dapat dilihat pada Gambar 4. Monte Carlo permutation test menunjukkan bahwa sedikitnya ada 3 faktor fisika kimia yang signifikan mempengaruhi distribusi dan kelimpahan larva Culex dan Anopheles. Faktor-faktor tersebut adalah tinggi tanaman padi, klorofil-a, dan turbiditas air. Cx. orientalis dan Cx. pseudovishnui berasosiasi dengan tanaman padi yang rendah, kandungan klorofil-a, dan turbiditas air yang tinggi. Cx. tritaeniorhynchus, An. sinensis, An. sineroides, An. coreicus, dan An. lindesayi japonicus berasosiasi dengan tanaman padi yang tinggi, kandungan klorofil-a, dan turbiditas yang cenderung rendah.

DISKUSI Hasil penelitian menunjukkan bahwa Cx. tritaeniorhynchus dan An. lindsayi japonicus merupakan spesies nyamuk yang predominan di area pesawahan Kota Kaga (Gambar 2 dan Gambar 3). Cx. tritaeniorhynchus merupakan spesies nyamuk yang dominan dan bereproduksi secara produktif di kawasan pesawahan (Amerasinghe & Ariyasena, 1990; Sunish & Reuben, 2001). Berbeda dengan Cx. tritaeniorhynchus, An. lindesayi japonicus sebenarnya merupakan spesies yang jarang ditemui di area pesawahan karena bukan merupakan habitat utamanya (Kim dkk., 2009). An. lindesayi

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 922 japonicus biasanya ditemukan di daerah dengan level penutupan kanopi yang menengah hingga tinggi. Pada penelitian ini, An. lindesayi ditemukan pada tahap akhir kultivasi padi ketika tanaman padi telah tinggi dan rimbun. Hal ini sejalan dengan penelitian Devi dan Jauhari (2008) yang menyatakan bahwa An. lindesayi dapat berkembang biak pada lingkungan sawah asalkan memiliki vegetasi yang rimbun. Hasil CCA menunjukkan bahwa tinggi padi, klorofil-a, dan turbiditas adalah faktor-fator yang signifikan mempengaruhi distribusi dan kelimpahan larva Culex dan Anopheles. Tinggi tanaman padi merupakan indikator tahapan kultivasi padi. Tanaman padi yang masih rendah merepresentasikan tahapan awal kultivasi, sedangkan tanaman padi yang telah tinggi merepresentasikan tahapan akhir kultivasi. Tahap awal kultivasi ditandai dengan penetrasi cahaya yang tinggi dan jumlah produsen primer (alga) yang melimpah sebagai akibat dari aktivitas pemupukan oleh petani (Watanabe & Roger, 1985). Tahap akhir kultivasi ditandai dengan penetrasi cahaya yang rendah sebagai akibat dari penutupan oleh tanaman padi yang telah rimbun (Fores & Commin, 1992). Pada tahap ini laju fotosintesis oleh fitoplankton mengalami penurunan. Klorofil-a pada penelitian ini merepresentasikan jumlah fitoplankton (alga) selama masa kultivasi padi. Mwangangi dkk. (2007), menyatakan bahwa fitoplankton merupakan sumber pakan yang potensial untuk larva nyamuk. Klorofil a berkorelasi positif dengan turbiditas. Hal ini disebabkan karena klorofil-a merepresentasikan sel-sel fitoplankton, yang keberadaannya dapat meningkatkan jumlah partikulat di lingkungan air (turbiditas). Selain sel-sel fitoplankton, turbiditas air juga dapat merepresentasikan partikulat lainnya. Kling dkk. (2007) menyatakan bahwa turbiditas dapat pula mengindikasikan jumlah detritus di suatu perairan. Spesies nyamuk yang berkorelasi negatif dengan tinggi tanaman padi, Klorofil-a, dan turbididtas (Cx. orientalis dan Cx. pseudovishnui) diduga merupakan spesies- spesies yang lebih menyukai kondisi pencahayaan dan kandungan fitoplankton yang tinggi. Hal ini sesuai dengan deskripsi yang diberikan oleh Sirivanakarn (1976). Larva Cx. orientalis dan Cx. pseudovishnui merupakan spesies nyamuk yang umum ditemukan di daerah terbuka dengan intensitas cahaya dan kandungan alga yang cukup tinggi (Sirivanakarn, 1976).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 923

Berbeda dengan kedua spesies di atas, Cx. tritaeniorhynchus dan 4 spesies Anopheles (An. sinensis, An. sineroides, An. coreicus, An. lindesayi japonicus) lebih berasosiasi terhadap tanaman padi yang lebih tinggi (rimbun) dan kandungan Klorofil-a serta turbiditas yang rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa pada area pesawahan Kota Kaga, spesies-spesies tersebut cenderung memiliki preferensi terhadap kondisi perairan yang teduh. IRRI (1998) menyatakan bahwa Cx tritaeniorhynchus merupakan spesies yang lebih menyukai kondisi sawah sebelum padi ditanam. Walaupun demikian, larva Cx tritaeniorhynchus masih dapat bertahan selama beberapa minggu setelah transplantasi tanaman padi. An. sinensis juga memiliki preferensi yang sama dengan Cx. tritaeniorhynchus, akan tetapi An. sinensis lebih dapat beradaptasi pada kondisi perairan dengan tanaman padi yang telah rimbun. Seperti telah dijelaskan sebelumya, An. lindesayi japonicus merupakan spesies yang telah diketahui membutuhkan kondisi perairan yang teduh dan tanaman padi yang telah rimbun, sedangkan preferensi An. sineroides dan An. koreicus belum begitu jelas diketahui. Hal ini disebabkan karena sawah bukan merupakan habitat utama kedua spesies tersebut. Sirivanakarn (1976) menyatakan bahwa habitat utama An. sineroides dan An. koreicus adalah daerah rawa, kolam, dan perairan yang mengalir lambat.

KESIMPULAN Kelimpahan dan distribusi temporal larva Culex dan Anopheles pada area pesawahan Kota Kaga bergantung kepada faktor fisika kimia sawah seperti tinggi tanaman padi, klorofil-a, dan turbiditas. Faktor-faktor tersebut merupakan faktor yang potensial digunakan untuk memprediksi kemunculan larva Culex dan Anopheles di area pesawahan Kota Kaga.

DAFTAR PUSTAKA Amerasinghe, F.P., dan Ariyasena, T.G. (1990): Larval survey of surface water- breeding mosquitoes during irrigation development in the Mahaweli project, Sri Lanka. J Med Entomol 27:789–802. Amusan, A. A. S., Mafiana, C. F., Idowu, A. B., Olatunde, G. O. (2005): Sampling Mosquitoes with CDC Light Trap in Rice Field and Plantation Communities in Ogun State, Nigeria. Tanzania Health Research Bulletin 7: 111-116. Clifford, H. F. (1991): Aquatic Invertebrates of Alberta. University of Alberta Press: Alberta.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 924

Devi, N. P., dan Jauhari, R. K. (2008): Reapprisal on Anopheline Mosquitoes of Garhwal Region, Uttarakhand, India. Journal of Vector Borne Disease 45: 112-123. Fores E., and Commin, F. A. (1992): Ricefields, A Limnological Perspective. Limnetica, 10: 101-109. IRRI. (1998) : Vector Borne Disease Control in Humans Through Rice Agroecosystem Management. International Rice Research Institute. Philippines. Kawai, T. (1985): An Illustrated Book of Aquatic Insects of Japan. Tokai University Press: Tokyo. Kim, H.C., Sames, W.J., Chong, S.T., Lee, I.Y., Lee, D.K., Kim, H.D., Rueda, L.M., Klein, T.A. (2009): Overwintering of Anopheles lindesayi japonicus larvae in the Republic of Korea. J Am Mosquito Contr Assoc 25:32-37. Kling, L. J., Juliano, S. A., Yee, D. A. (2007): Larval mosquito communities in discarded vehicle tires in a forested and unforested site: detritus type, amount, and water nutrient differences. Journal of Vector Ecology 32 (2): 207-217. Klinkenberg, E., Takken, W., Huibers, F., Toure, Y. (2003): The phenology of malaria mosquitoes in irrigated rice fields in Mali. Acta Trop. 85: 71–82. Lawler, S. P., dan Dritz, D. A. (2005): Straw and Winter Flooding Benefit Mosquitoes and Other Insects in Rice Agroecosystem. Ecological Application, 15: 2052- 2059. Mogi, M., dan Miyagi, I. (1990): Colonization of rice fields by mosquitoes (Diptera: Culicidae) and larvivorous predators in asynchronous rice cultivation areas in the Philippines. J. Med. Entomol. 27: 530-536. Mwangangi, J. M., Mbogo, C. M., Muturi, E. J., Nzovu, J. G., Githure, J. I., Yan, G., Minakawa, N., Novak, R., Beier, J. C. (2007): Spatial distribution and habitat characterisation of Anopheles larvae along the Kenyan coast. Joural of Vector Borne 44: 44–51. Sirivanakarn, S. (1976): A Revision of The Subgenus Culex in Oriental Region (Diptera: Culicidae). Medical Entomology Project, Smithsonian Institution, Washington D. C. Sunish, I. P., dan Reuben, R. (2001): Factors influencing the abundance of Japanese Enchepalitis vectors in ricefields in India. Med Vet Entomology 15(4): 381- 92. Sutherland D.J., dan Wayne, C. J. (2000): Mosquito in Your Life, In Aryani, N., Apsari, I. A. P., Utama, I. H. (2008): Proporsi dan Dinamika Larva Aedes, Anopheles, dan Culex yang Ditemukan di Denpasar. Jurnal Veteriner 9(1) : 41-44. Watanabe, I., dan Roger, P. A. (1985): Ecology of flooded ricefields. In Proceedings of the Workshop on Wetland Soils: Characterization, Classification, and Utilization. IRRI. Philippines.

Notulensi Diskusi Seminar Tanya : Tidak ada pertanyaan. Jawab :

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 925

OEB-27 Pengaruh Ketinggian Lokasi Pemeliharaan Terhadap Pertumbuhan Populasi dari Koloni Lebah Madu Lokal (Apis cerana) Ramadhani Eka Putra1 dan Soelaksono Sastrodihardjo1 1Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung, Indonesia Email: [email protected]

ABSTRAK Dalam proses pengembangan peternakan lebah madu tradisional menuju kepada industri lebah madu maka diperlukan suatu usaha untuk melakukan standarisasi dari koloni lebah madu. Beberapa pendekatan dapat dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, salah satu diantaranya adalah dengan memperdalam pengetahuan seputar biologi dari lebah madu. Pada penelitian ini dilakukan pengamatan pada efek dari ketinggian lokasi pemeliharaan terhadap perkembangan koloni madu dengan mengambil lokasi penelitian pada desa Kebasen, (10 m dpl), desa Lambur (225 m dpl), dan desa Serang (750 m dpl). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa secara rata-rata koloni yang dipelihara di desa Serang tumbuh lebih pesat dibandingkan koloni yang dipelihara di daerah lain (176,41 sel per minggu dibandingkan dengan 52,93 sel dan 45,14 sel per minggu pada desa Lambur dan Kebasen). Pengamatan lebih lanjut menunjukkan pada produksi madu pada desa Serang juga jauh lebih tinggi dibandingkan kedua desa lainnya walaupun kadar gula yang dimilikinya jauh lebih rendah (66,45% dibandingkan dengan 69,27% dan 73,26% pada desa Lambur dan Kebasen). Dengan membandingkan hasil ini dengan kondisi daerah pemeliharaan koloni maka dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan koloni, produksi madu, dan kadar gula yang dimilikinya berkaitan erat dengan suhu harian lingkungan dan sumber-sumber nektar yang tersedia. Kata kunci: Lebah madu, pertumbuhan koloni, kadar gula, madu

ABSTRACT In order to developed traditional bee farming into modern and industrialized bee farming one key factor is standardization. Various approach have been carrying out to achieve this purpose, one of the most important is developed sufficient biological knowledge of local honey bees. This research tries to answer one of questions on local honey bee knowledge about the effect of altitude to the development of honey bee colonies. The location of this research are desa Kebasen (10m above sea level), desa Lambur (225 m above sea level), and desa Serang (750 m above sea level). The result of this research showed that development of desa Serang‘s honey bee colonies (176.41 cell/week) higher than honey bee colonies placed at desa Lambur and desa Kebasen (52.93 and 45.14 cell, respectively). Further observation showed that honey production as desa Serang also much higher than other areas even though the sugar content of the honey produced lower than other areas (66.45% compared with 69.27% and 73.26% at Lambur dan Kebasen, respectively). By comparing this results with the condition of area surround bee farming, we conculed that colony development, honey production, and sugar content of the honey highly correlated with nectar sources and daily temperature caused by effect of altitude. Keywords: honey bees, colony development, sugar content, honey

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 926

PENDAHULUAN Lebah atau tawon madu (Apis indica atau Apis cerana) telah sejak lama dipelihara oleh masyarakat pedesaan sebagai usaha untuk mendapatkan hasil tambahan. Catatan sejarah untuk lebah asli Indonesia sangat jarang ditemukan (lihat Franssen, 1931) meskipun untuk lebah madu Eropa (Apis mellifica atau Apis mellifera) terdapat catatan yang membuktikan pemeliharaannya di Mesir jauh sebelum masehi. Bahwa pemeliharaan lebah madu sendiri merupakan suatu usaha yang menguntungkan. Di samping manfaat berupa produk primer berupa madu dan malam, terdapat pula produk sekunder yang dapat diperoleh dalam bentuk penyerbukan bunga-bunga tanaman komoditi (McGregor, 1976; Kevan & Baker, 1983; Crane, 1983). Tergugah oleh kenyataan tersebut, maka perlu dipikirkan suatu usaha pengembangan lebah madu untuk lingkungan kita dengan pendekatan ilmiah. Sasaran utama adalah suatu usaha pemeliharaan lebah madu untuk masyarakat pedesaan yang berperan sebagai agen penyerbuk tanaman komoditi dimana pada saat bersamaan penduduk setempat mendapatkan manfaat dari madu dan malam. Penelitian ini sendiri akan menitikberatkan pada perkembangan dari koloni lebah madu pada saat koloni tersebut dipelihara pada daerah dengan ketinggian lokasi yang berbeda. Hal ini didasarkan oleh sebaran daerah pertanian Indonesia pada berbagai tingkatan ketinggian.

BAHAN DAN METODA 1. Pemilihan lokasi penelitian Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan beberapa pertimbangan, antara lain: a. Terdapat peternakan lebah madu local (A. cerana) yang dipelihara dalam kotak- kotak pemeliharaan b. Terdapat lokasi pertanian di sekitar peternakan lebah c. Mengingat kehidupan lebah yang dipengaruhi lingkungan maka lokasi peternakan lebah dipilih yang mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda satu sama lain, seperti perbedaan pada ketinggian dari permukaan laut, temperatur harian, kepadatan tanaman, dan lain-lain. Hasil survey awal mendapatkan tiga lokasi penelitian, yaitu a. Desa Kebasen, Kecamatan Kebasen/Banyumas yang merupakan dataran rendah

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 927

dengan ketinggian 10 meter dari permukaan laut. b. Desa Lambur, Kecamatan Mrebet/Purbalingga yang merupakan dataran berbukit dengan ketinggian 225 m dari permukaan laut. c. Desa Serang Kecamatan Karangreja/Purbalingga merupakan daerah pegunungan dengan ketinggian 750 m dari permukaan laut. Pada lokasi ditemukan beberapa jenis tanaman yang sering dikunjungi oleh lebah. Daftar dan kelimpahan dari tanaman tersebut terdapat pada tabel 1.

Tabel 1. Jenis tanaman yang sering dikunjungi oleh lebah pada lokasi pengamatan. (I) Di sekitar area pemeliharaan lebah, (II) Sisi utara area pemeliharaan, (III) Sisi selatan area pemeliharaan, (IV) Sisi barat area pemeliharaan, (V) Sisi timur area pemeliharaan Lokasi Tanaman Desa Kebasen Desa Lambur Desa Serang I II III IV V I II III IV V I II III IV V Kelapa (Cocos nucifera) 2 1 1 2 1 1 2 1 2 2 1 2 1 1 1 Kopi (Coffea robusta) 1 1 1 1 1 1 3 2 1 2 1 1 1 1 1 Mangga (Mangifera indica) 2 2 1 1 1 1 ------Kaliandra (Caliandra spp.) ------2 2 2 4 1 Pisang (Musa paradisiaca) 3 2 3 2 3 2 1 2 1 2 1 1 1 2 1 Jeruk (Citrus spp.) 2 2 2 - 2 ------Sengon (Albazia chinensis) - - - 2 1 - 1 - - 1 2 1 - 2 1 Keterangan : (-) sangat jarang (10%) (1) Jarang (10-30%) (2) Cukup banyak (30-50%) (3) Banyak (50-70%) (4) Banyak sekali (70-90%)

2. Pemilihan koloni Menentukan koloni lebah yang akan diteliti didasarkan atas beberapa pertimbangan antara lain: a. Perkembangan sudah mantap, yaitu dengan interval antara sisiran penuh dengan lebah. Ratu dalam keadaan baik, yaitu dengan melihat bentuknya yang masih padat dan tidak langsing, sel-sel pada sisiran berisi telur dan lebah jantan tidak begitu banyak, masing-masing sisiran dalam keadaan baik. Aktivitas lebah berjalan normal b. Semua individu dalam koloni sudah beradaptasi dengan lingkungan yang ada. Koloni yang baru memindah dari glodog atau dari daerah lain tidak diambil

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 928

c. Besar koloni masing-masing kotak pemeliharaan yang digunakan adalah sama, yaitu dengan melihat sisiran yang terdapat di dalam kotak pemeliharaan 3. Pengukuran kuantitas produksi a. Pertama-tama kotak pemeliharaan dibuka, kemudian masing-masing bingkai yang ada sisirannya diambil, lalu sisiran madu dipanen dengan menggunakan pisau dan sisiran tempayak dibiarkan melekat pada bingkai. b. Setelah itu bingkai-bingkai yang hanya memiliki sisiran tempayak dimasukkan kembali ke dalam kotak pemeliharaan. c. Setiap 7 hari diadakan perawatan dengan membersihkan kotak pemeliharaan. d. Setelah 30 hari, sisiran madu dipanen kembali dengan menggunakan pisau, kemudian ditampung dalam baskom dan diperas dengan menggunakan kain penyaring. e. Volume madu yang diperoleh diukur dengan menggunakan gelas ukur dan panen berikutnya dilakukan 30 hari kemudian. f. Pengamatan ini dilakukan selama 3 bulan. 4. Pengukuran kadar gula dari madu Pengukuran kadar gula ini dilakukan sebab berkaitan dengan cadangan energi yang dimiliki oleh koloni lebah madu. Pada proses pengerjaannya madu diambil dari sel madu yang telah tertutup lilin kemudian dikupas menggunakan pisau, lalu madu diambil dengan menggunakan pipet dan ditampung dalam botol gelas. Metode penentuan kadar gula yang dipakai adalah metoda Luff-Schoeri (Winarno, 1982), yaitu a. Tiga sampai 5 gram madu ditimbang dengan teliti menggunakan timbangan analitis, kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 250 mL, diencerkan dengan

air suling dan ditambah 5 mL Al(OH)3. b. Setelah pengendapan terjadi sempurna, maka larutan diencerkan dengan air suling hingga batas garis, dikocok, kemudian dibiarkan selama 30 menit dan selanjutnya disaring menggunakan kertas saring. c. Lima mL filtrate dipipet dengan menggunakan pipet ukuran 5 mL ke dalam labu Erlenmeyer 250 mL, ditambah air suling 15 mL, batu didih, dan 25 mL larutan Luff dengan menggunakan pipet berukuran 25 mL.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 929

d. Erlenmeyer dihubungkan dengan pendingan tegak dan dipanaskan sampai mendidih (2 menit) untuk kemudian dididihkan terus dengan nyala api kecil selama 10 menit. e. Larutan diangkat dan segera didinginkan dengan air yang mengalir. Larutan yang telah mendingin ditambahkan 10 mL sampai 15 mL larutan KI 30% dan 25

mL H2SO4 25%, kemudian dititar dengan larutan NA-thiosulfat 0,0949 N. f. Penetapan blanko dilakukan menggunakan 25 mL aquades dan 25 mL larutan Luff yang dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 250 mL. Erlenmeyer dihubungkan dengan pendingan tegak, dipanaskan sampai mendidih (2 menit) dan dididihkan terus dengan nyala api kecil selama 10 menit. g. Kandungan glukosa + fruktosa dapat dihitung sebagai berikut mL thio yang digunakan oleh contoh = mL titar blanko dikurangi mL titar contoh. Hasil perhitungan dijabarkan menjadi mL thio yang normalitasnya 0,1 N. Selanjutnya dengan menggunakan daftar Luff-Schoeri dapat ditentukan berat (mg) gula yang setara dengan mL thio yang digunakan. 5. Pembentukan sarang Karena kondisi lingkungan pemeliharaan lebah madu yang tidak pernah konstan, terutama bila berkaitan dengan area pertanian, maka perlu diperhatikan tentang kemampuan koloni lebah madu yang akan digunakan untuk tumbuh dan berkembang. Pertumbuhan dan perkembangan koloni lebah madu ditentukan dengan mengamati perubahan pada ukuran sarang yang dibentuk. a. Pertama-tama disiapkan 9 buah kotak pemeliharaan (stup) pada ketiga desa sampel. Stup yang dipiliha adalah stup dengan jumlah populasi yang sama dengan cara menghitung jumlah sisiran yang berisi larva. b. Masing-masing stup dipanen madunya, sisiran sisanya diukur panjang dan lebarnya. Stup No. 1, 2, dan 3 pada masing-masing desa sampel hanya diisi dengan 3 sisiran sebagai perlakuan A, 4 sisiran sebagai perlakuan B, dan 5 sisiran sebagai perlakuan C. c. Penghitungan pertambahan sel baru dilakukan dengan membuka stup dan mengambil sisiran. Masing-masing sisiran pada stup diberi nomor, juga nomor

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 930

stup dicatat. Untuk membedakan sel baru dan sel lam dapat dibedakan dari warnanya, untuk sel baru berwarna putih sedangkan sel lama berwarna coklat. Setelah penghitungan setiap 7 hari, maka panjang lebar sisiran diberi tanda dengan spidol tahan air. 6. Pengukuran temperatur lokasi penelitian Pengukuran temperature dari ketiga lokasi dilakukan dengan menggunakan 3 buah thermometer. Pengukuran dilakukan tiga kali sehari, yaitu pagi hari pada pukul 06.00-07.00, siang hari pada pukul 13.00-15.00, dan sore hari pada pukul 17.00- 18.00. Setelah data temperatur masing-masing tempat didapatkan, data tersebut dirata- ratakan untuk setiap waktu pengamatan, kemudian dibuat rata-rata mingguan, dan rata-rata selama pengamatan. 7. Uji statistik Untuk membedakan hasil dari tiap perlakuan dan tiap blok maka digunakan analisa sisik ragam, dan LSD dengan rancangan dasar RCBD dengan blok adalah tempat, perlakuan adalah jumlah sisiran. Setelah analisa LSD menunjukkan perbedaan dilajutkan dengan analisa korelasi antara penambahan sel dengan jumlah sisiran dan antara penambahan sel dengan blok (ketinggian tempat). Untuk mencari korelasi antara suhu dengan penambahan sel, maka analisa korelasi antara penambahan sel mingguan dengan suhu rata-rata mingguan. Jika ditemukan korelasi nyata maka dilakukan analisa lanjutan dengan menggunakan regresi.

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil pengamatan kuantitas produksi madu Produksi madu dari Kebasen diukur dengan mengambil 4 stup untuk setiap bulan selama 3 bulan diperoleh hasil rata-rata bulanan sebagai berikut: (1) Bulan I = 45,25 ml/stup, (2) Bulan II = 62,25 ml/stup, dan (3) Bulan III = 50,75 ml/stup (Tabel 2).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 931

Tabel 2. Produksi madu Desa Kebasen Bulan Stup ke- I II III 1 33,00 54,00 32,5 2 42,00 59,00 46,50 3 51,50 67,00 58,00 4 54,50 69,00 66,00 Jumlah 181,00 249,00 203,00 Rata-rata 45,25 62,25 50,75 Keterangan: Produksi dalam ml

Produksi madu dari Desa Lambur diukur dengan mengambil 4 stup untuk setiap bulan selama 3 bulan diperoleh hasil rata-rata bulanan sebagai berikut: (1) Bulan I = 266,63 ml/stup, (2) Bulan II = 174,25 ml/stup, dan (3) Bulan III = 152,25 ml/stup (Tabel 3).

Tabel 3. Produksi madu Desa Lambur Bulan Stup ke- I II III 1 296,00 190,00 165,00 2 217,00 143,00 128,00 3 283,00 185,00 162,00 4 270,00 178,00 153,00 Jumlah 1066,00 697,00 609,00 Rata-rata 266,63 174,25 152,25 Produksi dari Desa Serang dengan mengambil 4 stup untuk setiap bulan selama 3 bulan diperoleh hasil rata-rata bulanan sebagai berikut: (1) Bulan I = 802,75 ml/stup, (2) Bulan II = 569,25 ml/stup, dan (3) Bulan III = 291,50 ml/stup (Tabel 4).

Tabel 4. Produksi madu Desa Serang Bulan Stup ke- I II III 1 847,00 627,00 314,00 2 765,00 516,00 268,00 3 783,00 530,00 278,00 4 816,00 604,00 306,00 Jumlah 3211,00 2277,00 1166,00 Rata-rata 802,75 569,25 291,50

Hasil analisa data dengan menggunakan uji LSD menunjukkan bahwa rata-rata produksi madu bulanan pada setiap daerah berbeda secara nyata. Kami menduga bahwa

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 932 perbedaan pada hasil produksi madu disebabkan oleh perbedaan pada kondisi lingkungan pada setiap lokasi pengamatan. Menurut Soemarsono dan Ahmad (1977), madu yang dihasilkan oleh suatu koloni lebah tergantung dari kesuburan dari kehidupan koloni lebah tersebut. Kesuburan ini dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti sumber makanan, faktor biotik, dan faktor fisik. Dari segi makanan, kami menemukan bahwa waktu yang paling produktif untuk daerah Serang dan Lambur adalah pada 30 hari yang pertama dimana pada saat itu tanaman Kaliandra (di desa Serang) dan kopi sedang berbunga (di desa Lambur), sedangkan pada desa Kebasen waktu yang paling produktif adalah pada bulan kedua yang bertepatan dengan masa berbunga dari tanaman mangga. Hasil ini mendukung pernyataan dari Phillips (1955), Rismunandar (1981), dan Winarno (1982) yang menyatakan bahwa produktivitas lebah madu sangat dipengaruhi oleh kepadatan dari bunga yang menjadi sumber utama produksi madu. Untuk pengaruh dari faktor fisik, penelitian tentang produktivitas lebah madu yang dilakukan oleh Hambelton (1925) dalam Phillips (1955) serta Darjanto dan Satifah (1982) menunjukkan bahwa produktivitas dari lebah madu sangat dipengaruhi oleh temperatur udara, fluktuasi temperatur harian, kelembaban udara, dan lama penyinaran matahari.

B. Hasil pengukuran kadar gula Hasil pengukuran kadar gula madu yang dihasilkan menunjukkan bahwa madu yang dihasilkan oleh koloni yang dipelihara pada Desa Kebasen memiliki kadar gula lebih tinggi (73,26%) dibandingkan dengan Desa Lambur (69,27%) dan Desa Serang (66,45%) (Tabel 5)

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 933

Tabel 5. Kadar gula dari madu yang dihasilkan pada desa percobaan Stup ke Kebasen Lambur Serang I 73,33 69,17 66,44 II 73,24 69,32 66,40 III 73,21 69,33 66,50 Jumlah 219,78 207,82 199,34 Rata-rata 73,26 69,27 66,45 Keterangan: - Kadar gula dalam % - Kadar gula rata-rata/stup

Salah satu komponen penting bagi penentuan kualitas madu adalah kandungan dari gula-gula sederhana yang terdapat pada madu tersebut. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa, walaupun terdapat perbedaan yang nyata dari konsentrasi gula yang ditemukan pada madu dari koloni lebah pada ketiga daerah pengamatan, madu yang dihasilkan dari koloni yang diternakkan pada ketiga desa telah memenuhi Standar Industri Indonesia (SII 0156-77) yaitu memiliki kadar gula diatas 60%. Perbedaan pada kandungan dan komposisi gula tersebut sangat ditentukan oleh asal dari nektar yang menjadi sumber utama pada proses pembentukan madu (Soerodjotanojo, 1980; Rismunandar, 1982). Sementara itu, Winarno (1982) menyatakan bahwa konsentrasi gula pada madu dapat dipengaruhi oleh mikroklimat yang terdapat pada daerah lokasi pemeliharaan koloni lebah madu dan Vansell (1952) lebih lanjut lagi menyatakan bahwa temperatur udara memiliki korelasi positif dengan konsentrasi gula pada madu dimana madu yang dihasilkan oleh koloni yang hidup pada daerah dengan temperatur lebih tinggi akan menghasilkan madu dengan kandungan gula lebih tinggi pula.

C. Hasil pengamatan pertumbuhan ukuran sarang Dari hasil pengamatan, kami menemukan bahwa secara rata-rata pertumbuhan sarang lebih cepat pada koloni lebah yang dipelihara pada Desa Serang (Tabel 6).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 934

Tabel 6. Penambahan sel setiap minggu Perlakuan Minggu ke Desa Kebasen Desa Lambur Desa Serang A B C A B C A B C 1 240 - 300 280 392 734 2466 2158 2660 2 200 120 240 300 416 668 876 1598 1870 3 140 60 450 124 256 574 480 424 602 4 280 348 450 178 298 580 708 1634 1752 5 300 504 1108 130 234 444 140 654 502 1160 1032 2548 1012 1596 3000 4670 6468 7386 Rata-rata per stup 232 206.4 509.6 202.4 309.2 600 934 1293.6 1477.2 Rata-rata/sisiran/minggu 77.33 51.6 101.9 67.46 77.3 120 311.3 323.4 294.44

Hasil dari analisa data tentang hubungan antara perbedaan jumlah sisiran dengan penambahan jumlah sel selama pengamatan menunjukkan bahwa jumlah sisir yang paling produktif adalah 5 (Tabel 7).

Tabel 7. Penambahan sel selama pengamatan Blok Perlakuan Total I II III A 1160 1012 4670 6842a B 1032 1546 6468 9046ab C 2548 3000 7386 12934c Total blok 4740 5558 18524 28822 Keterangan : angka dengan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan secara signifikan dengan tingkat kepercayaan P < 0.05

Penelitian dengan mengurangi jumlah sisiran pada stup lebah madu adalah untuk melihat kemampuan koloni lebah madu berkembang pada kondisi normal yaitu pada awal musim bunga dan pada kondisi tidak normal dimana koloni memiliki ratu baru atau mengalami paceklik (Smith, 1960; Hadiwiyoto, 1978). Dari hasil pengamatan, tampak bahwa 5 buah sisir merupakan jumlah sisir yang optimum untuk pertumbuhan dan dapat dikatakan sebagai ambang batas jumlah sisir minimum untuk mendapatkan koloni lebah madu yang dapat berkembang secara kontinyu. Hasil ini sendiri mendukung pernyataan dari Smith (1960) yang menyatakan bahwa jumlah sisir minimum yang dibutuhkan untuk mendapatkan koloni lebah yang baik adalah setengah dari jumlah sisiran pada saat keadaan bungan melimpah dimana pada ketiga desa tersebut pada waktu musim berbunga jumlah sisiran yang terdapat pada stup berkisar

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 935 antara 8-10 buah. Smith (1960) lebih jauh menyatakan bahwa jumlah sisir minimum ini dapat memberikan keuntungan pada pemeliharaan lebah madu sebab dapat membantu koloni dalam mempercepat penimbunan makanan pada saat sumber makanan melimpah.

Tabel 8. Temperatur udara rata-rata mingguan Minggu ke Desa Kebasen Desa Lambur Desa Serang 1 26,90 25,09 22,59 2 27,00 24,78 21,73 3 27,33 25,40, 21,88 4 27,71 15,60 21,28 5 27,90 25,60 21,11 Rata-rata 27,35 25,29 21,71 Keterangan : Temperatur udara dalam oC.

Hasil dari pengamatan temperatur udara harian menunjukkan bahwa suhu pada a. Desa Kebasen adalah 24,62oC (pagi); 29,91oC (siang); 27,64oC (sore). b. Desa Lambur adalah 22,20oC (pagi); 28,34oC (siang); dan 25,80oC (sore). c. Desa Serang adalah 19,25oC (pagi); 23,80oC (siang); dan 21,31oC (sore). Pada analisa LSD didapatkan bahwa desa Serang dengan temperatur udara rata-rata mingguan 21,71oC adalah daerah yang paling produktif sedangkan pada kedua desa lainnya tidak terdapat perbedaan nyata pada tingkat kesalahan 0,05. Bila diperhatikan lebih lanjut, temperatur udara di desa Serang pada siang hari tidak pernah melebihi 26oC dan pada pagi hari tidak pernah lebih rendah dari 18oC. Menurut Rismunandar (1980) lebah sangat aktif pada kisaran suhu antara 20,3-26,3oC. Smith (1960) menyatakan bahwa pada daerah dengan temperatur udara harian rata-rata lebih besar dari 24,0oC maka sekresi nectar oleh tumbuhan berlangsung antara pukul 05.00-08.00 dan pukul 17.00-18.00. Kondisi ini menyebabkan waktu pengumpulan makanan menjadi relatif sempit

KESIMPULAN 1. Ketinggian dan kondisi sumber pakan pada daerah sekitar peternakan lebah madu mempengaruhi perkembangan dari koloni lebah madu. 2. Temperatur udara mempengaruhi produktivitas madu yang dapat dihasilkan oleh koloni

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 936

3. Koloni lebah madu memiliki ambang batas jumlah koloni minimum untuk dapat berkembang tanpa melarikan diri dari sarang pemeliharaan.

DAFTAR PUSTAKA Crane, E. 1983. Beelines for development, International Agricultural Development May/June: 9-11 Darjanto dan Siti Satifah. 1982. Biologi bunga dan teknik penyerbukan silang buatan. Jakarta: 104-107 Franssen, C.J.H. 1931. Aanteekeningen over de Biologies van Apis indica F. De Tropische Natuur XX: 187-193 Hadiwiyoto, S. 1978. Pedoman pemeliharaan tawon madu. Jakarta: 28 Kevan, P.G. dan H.G. Baker. 1983. Insect as flower visitors and pollinators. Annual Review of Entomology 28: 407-453 McGregor, S.E. 1976. Insect pollination of cultivated crop plants. Washington, D.C.: 10, 21-23 Phullips, E.F. 1955. Beekeeping: A discussion of the life of the honey bee and the production of honey. The Macmillan Company, New York Rismunandar. 1981. Berwiraswasta dengan beternak lebah. Sinar Baru. Cetakan ke IV, Bandung Smith, F.G. 1960. Beekeeping in the Tropics. Longmars, London Soerodjotanojo. 1980. Membina usaha industri ternak lebah madu. Balai Pustaka No. 2832, Jakarta Winarno. 1982. Teknologi khasiat dan analisa madu, Ghalia Indonesia. Indonesia

Notulensi Diskusi Seminar Wahyu Darajat – HPT UNPAD : Parameter kenapa cuma satu hanya kadar gula? Kenapa suhu bisa mempengaruhi kualitas? Jawab : Bisa ditemukan dengan kuantitatif, karena penelitian untuk mengetahui efek fisiologis dan kuantitatif dan sebagai serangga penyerbuk bukan penghasil madu. Suhu dapat mempengaruhi kualitas karena saat fermentasi butuh suhu diatas 300C. Ihsan – Entomologi UGM : Perbedaan fisiologis lebah dataran tinggi dan dataran rendah? Jawab : Perilaku lebah berubah tidak kaku tetapi fleksibel dengan menstabilkan jumlah koloni yang minimal.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 937

OEB-28 Komposisi Serangga Tanah (Diptera) pada Sistem Satoyama di Kawasan Kampus Kakuma Universitas Kanazawa, Jepang Ida Kinasih1 dan Koji Nakamura2 1Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung 2Division of Biodiversity, Institute of Nature and Environment Technology, Kanazawa University, Kanazawa, Ishikawa, Japan

ABSTRAK Satoyama merupakan suatu lanskap pertanian yang dikelola secara tradisional di Jepang. Satoyama terdiri atas beberapa jenis habitat yang memiliki karakteristik tanah yang berbeda karena perbedaan pada komposisi tanaman dan pengelolaan tanah. Pada penelitian ini, kami mengamati kelimpahan dan keanekaragaman dari hewan tanah dan seresah (Diptera) pada suatu kawasan satoyama di Kampus Universitas Kanazawa, kota Kanazawa, provinsi Ishikawa, Jepang pada tahun 2005. Sepuluh daerah sampling dipilih, enam diantaranya terletak di suatu daerah dimana terdapat persawahan padi yang masih dalam proses restorasi dan empat daerah lainnya terletak di hutan pinus (Quercus serrata, Q. variabialis, dan Cryptomeria japonica) dan hutan bambu (Phyllostachys sp.). Total jumlah individu Diptera larva dan imago yang tercatat dari semua daerah pencuplikan adalah 1.538 individu (736 dan 802 pada seresah dan tanah), berasal dari 14 famili (15 dan 10 famili pada seresah dan tanah). Sciaridae, Dolichopodidae dan Phoridae merupakan famili yang paling banyak tercatat pada penelitian ini. Tidak ada perbedaan yang berarti pada jumlah Diptera baik di seresah maupun tanah pada semua daerah pencuplikan. Akan tetapi, hasil ordinasi CCA menunjukkan perbedaan komposisi Diptera pada seresah dan tanah dengan kondisi lingkungan yang spesifik. Ketebalan serasah, kelembaban tanah serta suhu tanah kemungkinan dapat mempengaruhi hasil tersebut. Kata kunci: satoyama, pengaruh pengelolaan, Diptera, kmposisi, tanah dan seresah.

ABSTRACT In Japan, satoyama is a typical example of such traditional agricultural landscape maintaining high biodiversity. Traditional landscape management like Satoyama may develop various habitat patches in small area with different soil characteristic due to differences in plant composition and soil management. We surveyed the abundance and diversity of soil and litter fauna (Diptera) in a satoyama Kanazawa University`s Campus, Kanazawa City, Ishikawa, Japan in 2005. A total of ten sampling sites were established; six were located in the cultivated area with terraced paddies under restoration and four in the forested area with deciduous oaks Quercus serrata and Q. variabialis, Japanes cedar Cryptomeria japonica plantations, and bamboo Phyllostachys sp. A total 1,538 individuals Diptera larvae and adults (736 and 802 from litter and soil, respectively) from 14 families (15 and 10 in litter and soil, respectively) were recorded in the whole samples. Sciaridae, Dolichopodidae and Phoridae was major families recorded from this study. All sampling site showed no differences on total number of soil and litter fauna among them. However, CCA ordination revealed a clear separation of soil and litter fauna composition among layers (soil and litter) with specific environmental condition. The thickness of litter, soil moisture and soil temperature may were influence, affecting the composition of the Diptera soil dwelling. Keywords : satoyama, effects of management, Diptera, composition, soil and litter.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 938

PENDAHULUAN Di Jepang, satoyama merupakan suatu contoh dari bentang alam pertanian tradisional yang mempertahankan tingginya keanekaragaman. Satoyama terdiri dari beberapa jenis habitat, seperti persawahan, hutan sekunder, kolam-kolam, dan perairan (Kobori & Primack, 2003; Takeuchi dkk., 2003; Kato, 2001). Satoyama perlu diperhitungkan karena sistem ini menyediakan berbagai macam `servis ekosistem` seperti sebagai sumber daya alam (makanan, kayu), pengaturan lingkungan (iklim dan air), sebagai tempat aktifitas sosial (penghargaan keindahan alam serta tempat rekreasi), dan mendukung proses ekologi (siklus nutrisi dan pembentukan tanah). Akan tetapi dengan seiring berkurangnya jumlah penduduk usia muda, sistem satoyama semakin lama semakin ditinggalkan. Tidak adanya campur tangan manusia untuk mempertahankan ekosistem satoyama ini menyebabkan suksesi vegetasi sekunder pada hampir sebagian besar satoyama yang ditinggalkan tersebut. Industrialisasi juga menyebabkan perubahan hubungan antara manusia dengan alam, dimana sistem penanaman padi juga berubah (Kato, 2001). Satoyama yang ditinggalkan tersebut, keanekaragaman spesies didalamnya kemungkinan dapat terjadi perubahan. Untuk itu sangatlah diperlukan untuk memonitor perubahan keanekaragaman dan interaksi secara biologi pada sistem satoyama yang telah berubah tersebut, salah satunya adalah hewan tanah. Hewan tanah, khususnya invertebrata, memiliki peran yang penting dalam siklus nutrisi di dalam satoyama dan ekosistem lainnya (Kazunori dkk., 2009). Organisme tanah terdiri dari spesies-spesies dalam jumlah yang sangat banyak yang juga memiliki peran penting dalam berbagai fungsi ekosistem seperti pembentukan bahan organik atau struktur tanah atau dikenal juga sebagai ecosystem engineers (Jones dkk. 1994). Invertebrata tanah juga merupakan organisme yang sangat penting dalam hal mempertahankan karakter biologi, kimia dan fisika ekosistem tanah. Lebih lanjut lagi, ternyata hewan tanah ini juga berhubungan dengan pengendalian hama dan detosifikasi tanah (Dindal, 1990). Penelitian tentang hewan tanah pada sistem satoyama di Kampus Kakuma, Universitas Kanazawa, Jepang, masih sedikit dilakukan. Untuk itu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendata kelimpahan dan keanekaragaman taksonomi dari hewan tanah

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 939 dan seresah yang tinggal di beberapa macam habitat pada kawasan satoyama di Kakuma Kampus tersebut. Dengan beraneka ragam sistem penggunaan tanah, seperti satoyama, spesies tumbuhan dan sistem pengolahan tanah yang berbeda memungkinkan kondisi tanah yang berbeda pula untuk tempat hidup hewan tanah dan seresah. Dalam makalah ini hanya dibahas dari ordo Diptera, sedangkan untuk ordo-ordo lainnya secara umum telah dipublikasikan dalam Kinasih dan Nakamura (2010). Dalam penelitian ini hanya terbatas pada taksonomi tingkat tinggi (tingkat famili). Menurut Paoletti dan Bressan (1996), taksonomi invertebrata tanah pada tingkat tinggi ini dapat juga digunakan sebagai indikator.

BAHAN DAN METODE Lokasi Penelitian ini dilakukan di kawasan satoyama (74 ha, 60-150 m altitude, 5 km arah tenggara dari pusat kota Kanazawa, provinsi Ishikawa) di Kampus Kakuma, Universitas Kanazawa (N36°32`E136°42`) (Gambar 1.). Di Kanazawa, rata-rata suhu udara berkisar antara 14,5oC dengan rata-rata suhu terendah 3,5oC (Januari) dan tertinggi 26,8oC (Agustus). Curah hujan berkisar 2442,9 mm (dari data selama 30 tahun: 1977-2006) (Japan Meteorological Agency, http://www.data.jma.go.jp). Lokasi penelitian ada di dua tempat yaitu hutan atau bukit Kakuma dan lembah Kitadan (Kitadan valley). Hutan Kakuma merupakan hutan sekunder, utamanya terdiri dari hutan deciduous yang didominasi oleh dua spesies oak, Quercus serrata dan Q. variabilis, sebagian ditanami oleh pohon pinus Jepang (Sugi), Cryptomeria japonica serta bambu moso, Phyllostachys. Sebelum awal tahun 80-an, hutan Kakuma dimanfaatkan oleh penduduk sekitar sebagai satoyama, dan lembah Kitadan dimanfaatkan untuk pertanian yaitu secara terraced paddies. Ketika dijual ke pihak Universitas Kanazawa pada awal tahun 80-an, pengelolaan satoyama terabaikan hingga tahun 2002 secara bertahap dilakukan restorasi oleh para sukarelawan lokal untuk kepentingan pendidikan lingkungan serta penelitian keanekaragaman hayati (Kinasih & Nakamura, 2010).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 940

Gambar 1. Peta lokasi penelitian. (A) Peta Jepang; (B) Lokasi penelitian. Garis putus- putus menunjukkan lokasi penelitian di hutan Kakuma (Kakuma forest). KA: konara abemaki, BM: bambu, KO: konara, CD: pinus; (C) Lokasi penelitian di lembah Kitadan (Kitadan valley). SA: Sasa sp., PF: lahan yang ditanami padi; ME: lahan yang ditanami milet.

Pengambilan sampel Sepuluh lokasi pengambilan sampel ditentukan pada vegetasi dan pengelolaan tanah yang berbeda. Enam diantaranya terletak di lembah Kitadan (Gambar 1.C) yaitu: (1) SA1, SA2 dan SA3 yang terletak diantara tepian hutan dan pertanian, didominasi oleh bambu (dwarf bamboo), Sasa, sp., (2) PF1 dan PF2 yang terletak di guludan di lahan yang ditanami padi, (3) ME, terletak pada lahan yang ditanami millet. Penanaman padi dan millet terjadi pada bulan Mei hingga September, sehingga pada bulan tersebut terdapat aktivitas pengolahan tanah dan pengairan. Empat lokasi pengambilan sampel lainnya terletak di hutan Kakuma (Gambar 1.B), yaitu: (1) BM, terletak di daerah yang didominasi oleh bambu moso, (2) KO, didominasi oleh Q. serrata (Konara), (3) KA, didominasi oleh Q. variabilis (Konara Abemaki), dan (4) CD, didominasi oleh C. japonica (Japanese cedar). Lebih lanjut lagi, BA, KO, KA, CD dapat digolongkan sebagai daerah hutan; SA1, SA2 dan SA3 digolongkan sebagai daerah tepian hutan; sedangkan PF1, PF2 dan ME digolongkan dalam daerah pertanian. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Juli, September dan November 2005. Setiap tempat dipilih 3 titik sampel secara acak, dengan jarak 3-5 meter pada setiap titik. Masing-masing titik sampel diambil seresah terlebih dahulu, ukuran 25x25 cm, selanjutnya diambil sampel tanah dengan ukuran yang sama dengan kedalaman 10 cm. Sampel tanah dan seresah ditempatkan pada kantong kain secara terpisah dan dibawa ke

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 941 laboratorium. Masing-masing tempat pengambilan sampel juga diambil kondisi lingkungan fisiknya, yaitu suhu tanah, kelembaban tanah, berat seresah dan ketebalan seresah. Sampel organisme tanah dan seresah selanjutnya didapat dengan cara menggunakan tangan (hand sorted) dan selanjutnya diekstrak dengan menggunakan alat Berlese funnel (lampu 40 watt, selama 3 hari). Sampel tanah dan seresah kemudian dikembalikan ke tempat asalnya agar tidak terjadi degredasi pada daerah tersebut. Semua sampel organisme terkoleksi, dihitung dan diidentifikasi dengan menggunakan beberapa buku identifikasi (Dindal, 1990; Triplehorn & Johnson, 2005; Frouz, 1999; Frouz dkk., 2001).

Analisis data Canonical Correspondence Analysis (CCA) digunakan untuk menganalisa komposisi Diptera pada berbagai habitat, kemudian hubungan Diptera dengan parameter lingkungannya, menggunakan program CANOCO untuk Windows versi 4.5. Pada analisa ini juga dilakukan uji Monte Carlo (499 permutations) untuk melihat apakah taxa secara signifikan berkorelasi atau tidak dengan parameter lingkungannya.

HASIL DAN PEMBAHASAN Secara umum daerah yang lebih terbuka, seperti ME, PF1 dan PF2 di Kitadan, memiliki suhu tanah yang lebih tinggi dibanding daerah yang lainnya. ME, BM, KO dan KA memiliki kelembaban tanah yang cukup rendah. PF1 memiliki kelembaban tanah yang cukup tinggi, dikarenakan adanya aktifitas pertanian yaitu pengelolaan tanah pada bulan Juni. Berat seresah paling tinggi ditemukan pada BM, SA1, SA2 dan SA3, sedangkan yang paling rendah pada ME, PF1 dan PF2. Ketebalan seresah paling rendah pada ME, sedangkan yang paling tinggi adalah BM dan CD (Gambar 2).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 942

Gambar 2. Kondisi fisik tanah dari masing-masing tempat pengambilan sampel pada bulan Juni (J), September (S) dan November (N) 2005.

Dari jumlah total 1538 individu Diptera, ditemukan 14 famili dari ordo Diptera larva dan dewasa. Dari sampel tanah ditemukan 10 famili, sedangkan pada seresah ditemukan 14 famili (Tabel 1.). Komposisi famili dari ordo Diptera pada tanah sedikit berbeda dengan tanah pada semua tempat. Jumlah individu larva dari Sciaridae paling banyak ditemukan, terutama pada sampel seresah dari hutan Kakuma, diikuti oleh larva Dolichopodidae. Larva Dolichopodidae paling banyak terdistribusi pada sampel tanah dari daerah Kitadan, terutama di lahan pertanian (ME, PF1 dan PF2). Larva Phoridae juga lebih banyak ditemukan di sampel tanah dari daerah Kitadan (ME, PF1, PF2, dan SA3 ditepian hutan). Demikian juga Syrphidae dewasa, lebih banyak ditemukan pada semua daerah di Kitadan. Dari Tabel 1. dapat dilihat bahwa jumlah famili di daerah Kitadan, yaitu daerah pertanian dan tepian hutan (ME, PF1, PF2, SA1, SA2 dan SA3), memiliki jumlah famili dari ordo Diptera yang lebih banyak dibandingkan dengan hutan Kakuma (BM, KO, KA dan CD). Adanya jumlah famili yang tinggi di Kitadan dimungkinkan karena adanya aktivitas pertanian seperti pengelolaan tanah, menyebabkan kelembaban tanahnya lebih tinggi yang ternyata kondisi tersebut lebih menguntungkan beberapa famili seperti Chironomidae, Dolichopodidae dan Phoridae (Frouz dkk., 1999).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 943

Tabel 1. Jumlah individu dan famili Diptera pada setiap daerah pengambilan sampel Daerah Pengambilan Sampel Jumlah Famili Diptera BM KO KA CD ME PF1 PF2 SA1 SA2 SA3 Individu L S L S L S L S L S L S L S L S L S L S L S Sciaridae (L) 1 20 94 70 20 1 17 20 16 3 8 1 1 12 3 148 139

Dolichopodidae (L) 21 7 1 25 25 21 1 7 12 2 8 2 42 90

Phoridae (L) 1 1 1 7 2 13 1 37 1 4 26 31 63

Sciaridae (D) 4 15 15 2 4 1 1 3 2 6 3 5 4 1 2 1 3 21 51

Syrphidae (D) 1 1 1 7 4 5 2 9 3 20 35 18

Drosophilidae (L) 3 1 7 13 1 2 1 1 1 16 2 1 44 5

Psychodidae (D) 1 2 1 3 5 1 1 6 2 1 6 5 2 1 20 17

Cecidomyiidae (D) 1 1 4 2 3 2 2 4 1 3 1 2 1 2 3 4 17 19

Chironomidae (L) 3 4 1 2 2 4 3 4 7 9 21

Phoridae (D) 4 8 6 4 1 1 1 1 20 6

Psychodidae (L) 24 24

Cecidomyiidae (L) 4 3 3 2 11 1 18 6

Chironomidae (D) 1 2 2 1 3 2 2 1 1 1 10 6

Drosophilidae (D) 3 1 1 1 1 2 6 3

Ceratopogonidae (D) 2 2 1 2 3

Muscidae (D) 1 1 1 2 1

Tipulidae (D) 2 2

Dolichopodidae (D) 1 1 1 1

Culicidae (D) 1 1

Ephydridae (D) 1 1

Mycetophilidae (D) 1 1

Muscidae (L) 1 1

Diptera (L) lainnya 12 211 19 1 6 2 106 32 3 3 17 39 49 14 22 20 31 25 16 5 281 352 Jumlah Individu 26 249 140 100 45 16 153 73 48 73 41 84 69 89 75 55 51 44 88 19 736 802 Jumlah Famili 5 4 4 6 6 6 7 7 7 8 8 7 7 7 9 7 7 9 6 4 14 10 Keterangan: D: Dewasa; L: Larva; S: Seresah; T: Tanah. Kode daerah pengambilan sampel dapat dilihat pada Gambar 1

Gambar 3. Ordinasi CCA yang menunjukkan variasi komposisi Diptera pada tempat pengambilan sampel (kode tempat sama dengan Gambar 1) dan pada tanah (●) dan seresah (○). Tanda panah menunjukkan parameter lingkungan (A: suhu tanah, B: berat seresah, C: kelembaban tanah, dan D: ketebalan seresah)

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 944

Gambar 4. Ordinasi CCA yang menunjukkan distribusi famili dari ordo Diptera dengan parameter lingkungannya (A: suhu tanah, B: berat seresah, C: kelembaban tanah, D: ketebalan seresah). (A): larva, (L): dewasa. Kode famili: Ephy: Ephydridae; Cera: Ceratopogonidae; Syrp: Syrphidae; Myce: Mycetophilidae; Pho: Phoridae; Scia: Sciaridae; Chir: Chironomudae; Ceci: Cecidomyiidae; Dros: Drosophilidae; Musc: Muscidae; Doli: Dolichopodidae; Psy: Psychodidae; Culi: Culicidae; Tipu: Tipulidae.

Ordinasi CCA (Gambar 3 dan 4) menunjukkan hubungan komposisi famili dari ordo Diptera pada habitat yang berbeda. Hasil analisa juga menunjukkan bahwa suhu tanah, kelembaban tanah dan ketebalan seresah secara signifikan mempengaruhi komposisi famili Diptera. Pada Gambar 3. Dapat dilihat sebagian besar Diptera dari hutan Kakuma (BA, ABE, KO dan CD) serta tepi hutan (SA1, SA2 dan SA3) berada disebelah kanan diagram, dimana dipengaruhi oleh ketebalan dan berat seresah. Sedangkan Diptera dari daerah pertanian (PF1, PF2 dan PF3) sebagian besar berada disebelahh kiri diagram, dimana dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban tanah. Apabila dilihat pada Gambar 4. dapat diketahui beberapa famili memerlukan lingkungan tertentu sebagai tempat tinggalnya, seperti larva Sciaridae berkorelasi positif dengan ketebalan seresah, Chironomidae dewasa berasosiasi dengan suhu dan kelembaban tanah, Phoridae dewasa berasosiasi dengan suhu tanah.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 945

KESIMPULAN 1. Komposisi keanekaragaman dan kelimpahan famili dari ordo Diptera pada seresah dan tanah berbeda antara hutan, tepi hutan, dan sistem pertanian walaupun tidak signifikan. 2. Keberadaan aktivitas manusia, seperti restorasi dan kegiatan pertanian, menghasilkan perbedaan pada kondisi fisik dari lapisan serasah dan tanah yang memberikan respon berbeda bagi takson yang berbeda (negatif atau positif).

DAFTAR PUSTAKA Dindal, D. L. 1990. Soil Biology Guide. John Wiley & Sons, Inc. Frouz, J. 1999. Use of soil dwelling Diptera (Insecta, Diptera) as bioindicators : a review of ecological requirements and response to disturbance. Agric. Ecosys. Environ. 74, 167-186. Frouz, J., B. Keplin, V. Pizl, K. Tajovsky, J. Stary, A. Lukesova, A. Novakova, V. Balik, L. Hanel, J. Materna, C. Duker, J. Chalupsky, J. Rusek, and T. Heinkele. 2001. Soil biota and upper soil development in two post mining chronosequences. Ecol. Eng. 17: 275D284. Jones, C. G., Lawton, J. H. and Shachak, M. 1994. Organisms as ecosystem engineers. Oikos 69: 373-386. Kato, M. 2001. ‗Satoyama‘ and biodiversity conservation : ‗Satoyama‘ as important insect habitats. Global Environment Research 5: 135-149. Kazunori, T., Miyake, J., Karita, M., Okumura, H. and Wakatsuki, T. 2009. Dynamics of soil mesofauna in relation to the decomposition rate of leaf litter of Quercus serrata, Chamaecyparis obtuse, Clethra barvinervis, and Bamboo in Satoyama forest the Nara campus, Kinki University. Memoirs of the Faculty of Agriculture of Kinki University 42: 127-144. Kinasih, I and Nakamura, K. 2010. Abundance and Diversity of Soil and Litter Invertebrate Macrofauna in Satoyama in Kanazawa, Japan: A Higher Taxonomic Level Analysis. Far Eastern Entomologist 207:1-20. Kobori, H. and Primack, R. B. 2003. Conservation for Satoyama, the Traditional Landscape of Japan. Arnoldia 62(4): 2-10. Paoletti, M.G. and Bressan, M. 1996. Soil invertebrates as bioindicators of human disturbance. Critical Reviews in Plant Sciences 15: 21-62. Takeuchi, K., Brown, R. D., Washitani, I., Tsunekawa, A. and Yokohari, M. (Eds.). 2003. Satoyama: The traditional rural landscape of Japan. Springer, Berlin, Heidelberg, New York. Triplehorn, C. A. and Johnson, N. F. 2005. Borror and Delong's Introduction to the Study of Insects 7th Edition. Brooks/Cole. Belmont, CA., U.S.A. 864 pp.

Notulensi Diskusi Seminar Ihsan – UGM : Metode yang dipakai saat pengambilan sampel ?

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 946

Jawab : Metode yang digunakan adalah dengan metode langsung dengan 25x25 dan tinggi 10 meter. Galang – Entomologi UNPAD : Contoh Diptera ? Spesiesnya apa? Free Trap? Jawab : Tidak dilakukan penelitian sampai spesies. Hanya sampai family seperti Claride, dll. Biasanya penangkapan dengan emergen trap.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 947

OEB-29 Komposisi dan kepadatan spesies semut (Hymenoptera:Formicidae) yang dikoleksi dengan beberapa metoda pada tiga tipe habitat di Pulau Marak Sumatra Barat Henny Herwina1, Siti Salmah1, Rijal Satria1, Yaherwandi2 1Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas 2Jurusan Hama dan Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian Universitas Andalas Email: [email protected], phone: +62-85263293706

ABSTRAK Penelitian tentang spesies semut di Pulau Marak Sumatra Barat dengan menggunakan beberapa metoda (perangkap jebak, litter shifter-Winkler extraction, koleksi langsung, koleksi koloni and perangkap umpan) telah dilakukan. Semut dari tiga habitat (mangrove, hutan and pingir hutan) telah dikoleksi pada awal Januari 2010. Sebanyak 46 spesies semut yang tergolong ke dalam 24 genera dan lima subfamily telah teridentifikasi. Jumlah spesies terbanyak ditemukan pada habitat hutan (42 spesies), diikuti dengan semut pada mangrove (33 spesies) dan yang terendah ditemukan pada pinggir hutan (27 spesies). Metoda koleksi langsung dan metoda litter shifter-Winkler extraction terlihat mampu mengoleksi spesies semut dalam jumlah yang lebih besar (57 % dan 33 % di mangrove, 70 % dan 39 % di hutan serta 41 % dan 26 % di pinggir hutan). Kata kunci: Semut, komposisi spesies, habitat, metoda, Pulau Marak

ABSTRACT Study on ant species in Marak Island West Sumatra by using several methods (pitfall traps, litter shifter- Winkler extraction, hand collection, colony collection and baited traps) was conducted. Ants from three kind of habitat (mangrove, forest and forest edge) were sampled on the early January of 2010. Most species of the ants was collected in the forest site (42 species), followed by ants in mangrove (33 species) and the lowest one was collected at the forest edge (27 species). Hand collection and litter shifter-Winkler extraction methods were found as the methods with the ability to collect more ant species (57% and 33% in mangrove, 70% and 39% in forest as long as 41% and 26% in forest edge). The species accumulation curves also showed that hand collection was able to collect more species compared to other methods in all habitat types. Keywords: Ants, species composition, habitat, method, Marak Island.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 948

PENDAHULUAN Semut memiliki potensi biodiversitas yang lebih dari organisme lainnya. Karena potensi ini, mengetahui jenis dan kepadatan semut sangat penting untuk mempelajari biodiversitas dan konservasi di kawasan tropika (Agosti dkk., 2000). Selain itu, semut mempunyai fungsi ekologis dalam membantu tumbuhan untuk menyebarkan biji (dispersal), menggemburkan tanah, predator atau memangsa serangga lain (Schultz & McGlynn, 2000; Dun, 2005; Sitthicharoenchai & Chantarasawat, 2006), pengurai atau detritus (Yamane dkk., 1996), mempengaruhi keanekaragaman hayati (Bolton, 1994; Ito dkk., 2001), bioindikator dari kondisi hutan (Brhul dkk., 2002) dan mengendalikan hama pertanian (Mele & Cuc., 2004). Pada sisi lain semut juga dapat merugikan manusia yaitu sebagai hama terutama pada pemukiman penduduk atau sebagai hama gedung dan rumah tangga (Lee, 2002). Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, akan tetapi publikasi yang dapat ditemukan mengenai hal itu masih sangat terbatas. Khusus mengenai keanekaragaman semut di Indonesia, baru pada tahun 2001, Ito dkk. melaporkan bahwa telah ditemukan 216 jenis semut di Kebun Raya Bogor. Pada tahun 2007, selama meneliti fluktuasi semut pada sebuah area di dalam Kebun Raya Bogor, ditemukan pula 10 spesies semut lainnya (Herwina & Nakamura, 2007). Asyifa dkk. (2008), melaporkan telah ditemukan 56 spesies semut pada penelitian di kepulauan Krakatau, Sebesi dan Sebuku. Pada penelitian di 18 pulau Kepulauan Seribu, dilaporkan bahwa telah ditemukan 49 spesies semut (Rijali dkk., 2009). Pulau Marak merupakan salah satu pulau yang terdapat di provinsi Sumatera Barat. Jarak pulau Marak dari pesisir pantai pulau Sumatera (desa Sungai Pinang) adalah 3,125 mil (5 kilometer), sedangkan dari pantai painan sekitar 15 mil. Pulau ini memiliki luas sekitar 1000 Ha (sekitar 2471 acre). Batas dan wilayah Pulau Marak sebelah Utara bersebelahan dengan Pulau Pagang, sebelah Selatan bersebelahan dengan Pulau Babi, sebelah Timur bersebelahan dengan Pulau Sumatera khususnya jorong Pulau Pinang, dan sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia. Pulau Marak memiliki ketinggian berkisar antara 0 sampai dengan 115 m dpl dimana terdapat hutan sekunder dan mangrove.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 949

Mempelajari keanekaragaman jenis semut pada berbagai tipe vegetasi yang berbeda merupakan hal yang penting dalam survei ekologi. Apabila tipe vegetasi hutan berbeda maka jumlah dan keanekaragaman semut yang terdapat di dalamnya kemungkinan juga akan berbeda (Yamane dkk., 1996). Pemakaian berbagai metoda pengoleksian untuk mengetahui keberadaan semut pada suatu wilayah telah dilakukan beberapa peneliti (Vele dkk., 2009) bahkan sudah ada yang distandarisasi (Agosti dkk., 2000). Adapun di Indonesia, belum banyak dilaporkan adanya pilihan metoda tertentu untuk mengetahui jenis-jenis semut pada berbagai tipe habitat. Jenis-jenis semut secara keseluruhan di Pulau Marak telah dilaporkan (Satria dkk., 2010), namun belum ada informasi mengenai bagaimana efektifitas pemakaian metoda pengoleksian pada beberapa habitat di Pulau Marak.

METODE PENELITIAN Pengambilan sampel semut dilakukan pada tanggal 1 sampai dengan 4 Januari 2010 di Pulau Marak dengan menggunakan lima metoda pengoleksian yaitu colony collection, hand collection, bait trap, pitfall traps dan litter shifter-winkler extraction. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan tiga transek yang mewakili tiga tipe habitat, yaitu mangrove, dalam hutan dan pinggir hutan. Pada masing-masing transek sepanjang 200 m, dipasang 20 pitfall trap (gelas plastik dengan tinggi 10 cm, diameter mulut 7 cm dan diameter dasar 5 cm) dengan jarak antara pitfall traps sebanyak 10 m. Masing-masing pitfall traps diisi dengan alkohol 70 % sebanyak 25 % dari volume gelas. Sampel pitfall trap diambil setelah 48 jam. Serasah dengan jarak 1- 2 m dari transek yang sama diambil dalam kisaran 1 m2. Serasah juga diambil pada 20 titik, diayak dan dikoleksi semutnya, lalu dimasukkan ke dalam karung kain untuk dibawa ke laboratorium. Selanjutnya dilakukan pengoleksian langsung sepanjang transek. Semut yang ditemukan dikoleksi menggunakan pinset atau aspirator. Semut yang dikoleksi pada setiap titik pengambilan, masing-masingnya disimpan dalam vial yang telah berisi alkohol 70% dan diberi label. Metoda bait trap dipasang di atas kertas ukuran A4, semut yang datang ke umpan dikoleksi menggunakan pinset dan dimasukkan ke dalam botol vial yang berisi alkohol 70%. Observasi dilakukan selama 60-90 menit, dipasang masing-masing lima

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 950 buah pada masing-masing transek. Waktu pemasangan perangkap dilakukan pada pukul 08.00 WIB dan pukul 12.00 WIB. Pengumpulan koloni semut dan koleksi langsung di tiga habitat yang berbeda juga dilakukan diluar area transek. Di laboratorium dilakukan winkler extraction untuk sampel sarasah (lihat Agosti, 2000) selama 48 jam. Selanjutnya dilakukan proses penyortiran, pemountingan, identifikasi dan pelabelan. Semut yang didapatkan dikelompokkan berdasarkan subfamili, genus dan spesies. Program Primer 5 dipergunakan untuk menganalisa akumulasi spesies pada setiap habitat, begitu pula untuk melihat perbandingan indeks diversitas pada setiap habitat dan setiap metode yang digunakan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Dari pengoleksian dan identifikasi semut di Pulau Marak yang telah dilakukan, didapatkan sebanyak 46 spesies semut yang tergolong ke dalam 24 genera dan lima subfamili (Satria dkk., 2010). Pada Tabel 1 dapat kita lihat bahwa jumlah spesies terbanyak ditemukan pada habitat hutan (42 spesies), diikuti dengan semut pada mangrove (33 spesies) dan yang terendah ditemukan pada pinggir hutan (27 spesies). Salah satu penyebabnya adalah adanya perbedaan kondisi vegetasi antara ketiga habitat yang diamati. Tabel 1. Jumlah spesies dan jumlah individu semut yang dikoleksi dengan beberapa metoda pada tiga habitat di Pulau Marak. cc: colony collection, hc: hand collection, bt: bait trap, pt: pitfall trap dan w: litter shifter-wingkler extraction. Mangrove Dalam Hutan Pinggir Hutan Total Metoda c.c h.s b.t p.t w T c.c h.s b.t p.t w T c.c h.s b.t p.t w T Jumlah spesies 9 26 8 9 15 33 7 32 11 10 18 42 3 19 7 4 12 27 46 % 20 57 17 20 33 72 15 70 24 22 39 91 7 41 15 9 26 59 Jumlah individu 1195 414 144 54 86 1893 723 295 81 65 237 1401 392 469 213 21 206 1301 4595 % 65 23 8 3 5 100 52 21 6 5 17 100 30 36 16 2 16 100

Habitat hutan memiliki pepohonan yang cukup rimbun dan bervariasi (Anacardiaceae, Annonaceae, Euphorbiaceae, dan Gutiferae), sehingga sarasah juga banyak ditemukan di lantai hutan. Lapisan sarasah dipermukaan tanah merupakan tempat yang disukai semut untuk mencari makan maupun bersarang. Hal ini juga didukung dengan adanya data tentang jumlah spesies semut yang dikoleksi dengan

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 951 metoda pengayakan dan penyaringan sarasah (litter shifter-Winkler extraction) pada habitat dalam hutan yang memperlihatkan jumlah spesies terbesar (18 spesies atau 39%) setelah hand collection (32 spesies atau 70%). Habitat maggrove yang didominasi oleh jenis Lumnitzia littorea dan ditumbuhi beberapa tumbuhan Pandanaceae (Taufiq, unpublish) memiliki sedikit jenis tumbuhan dan lebih berpasir, namun beberapa spesies semut ditemukan bersarang pada tumbuhan maggrove sehingga jumlah spesies yang ditemukan lebih banyak dari habitat pinggir hutan. Habitat pinggir hutan yang didominasi oleh rumput dan semak diperkirakan merupakan alasan dari lebih sedikitnya jumlah spesies semut yang ditemukan di area ini.

Gambar 1. Akumulasi jumlah spesies semut yang ditemukan pada beberapa habitat dengan beberapa metoda di Pulau Marak. cc: colony collection, hc: hand collection, bt: bait trap, pt: pitfall trap dan w: litter shifter-wingkler extraction.

Penelitian mengenai diversitas semut pada beberapa habitat yang berbeda juga telah dilakukan di Sabah, Malaysia oleh Yahya (2000) yang melaporkan bahwa

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 952 diversitas semut lebih tinggi pada hutan primer dan hutan sekunder dibanding perkebunan sawit. Penelitian di Thailand juga melaporkan bahwa hutan dengan vegetasi beragam memiliki diversitas lebih tinggi dibanding perkebunan jati dan perkebunan buah-buahan (Torchote, 2010). Perbedaan ini dapat dijelaskan dengan adanya informasi bahwa perbedaan diversitas semut antara habitat yang berbeda juga dapat disebabkan oleh beberapa faktor lainnya, seperti perbedaan temperatur dan kelembaban (Kaspari,

1996), tempat bersarang dan ketersediaan makanan (Byrne, 1994; Kaspari, 1996), kuantitas dan kualitas sarasah (Kaspari,1996), topografi (Vasconcelos dkk., 2003), dan perilaku predasi (Kaspari,1996).

Secara keseluruhan, ditemukan bahwa metoda koleksi langsung (hand collection) dan metoda litter shifter-Winkler extraction mampu mengoleksi spesies semut dalam jumlah yang lebih besar (57% dan 33% di mangrove, 70% dan 39% di hutan serta 41% dan 26% di pinggir hutan). Kecendrungan efektifitas setiap metoda dapat dilihat pada Gambar 1, dimana kurva akumulasi spesies semut yang dikoleksi dengan beberapa metoda pada setiap habitat memperlihatkan bahwa metoda hand collection (hc) berhasil mengoleksi spesies semut paling banyak dibandingkan dengan metoda lainnya.

Indeks diversitas semut pada pengoleksian dengan metoda hand collection (hc) pada ketiga habitat adalah yang terbesar dibandingkan dengan indeks diversitas semut yang dikoleksi dengan metoda lainnya, terutama di dalam hutan (2.95). Indeks diversitas dengan metoda litter shifter-wingkler extraction (w) di dalam hutan juga tinggi (2.23) jika dibandingkan dengan indeks diversitas dengan pemakaian metoda lainnya pada ketiga habitat yang tergolong rendah dengan nilai di bawah 2 (nilai terendah adalah 0.75 dengan metoda colony collection pada habitat pinggir hutan)

(Tabel 2).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 953

Untuk individu semut, jumlah terbanyak ditemukan pada habitat mangrove

(1839 individu atau 41% dari total individu yang ditemukan). Persentase jumlah individu semut yang ditemukan di dalam dan dipinggir hutan tidak terlalu berbeda, yaitu

28 dan 30%. Tingginya jumlah individu semut pada mangrove sangat dipengaruhi oleh pegoleksian dengan metoda colony collection yang berhasil mengumpulkan semut

Crematogaster rogenhofferi sebanyak 65% dari total individu semut di habitat mangrove (lihat juga Satria dkk., 2010). Spesies ini juga didapatkan pada kedua tipe habitat lainnya namun jumlah individu yang cukup signifikan hanya ditemukan pada habitat mangrove. Ditemukannya beberapa koloni Crematogaster rogenhofferi yang bersarang pada tumbuhan mangrove menyebabkan jumlah individu yang terkoleksi dari jenis ini menjadi tinggi.

Tabel 2. Jumlah spesies, jumlah individu dan indeks diversitas semut yang dikoleksi dengan berbagai metoda pada tiga habitat di Pulau Marak. S: Jumlah Spesies, N: Jumlah individu, H: Indekss Diversitas, cc: colony collection, hc: hand collection, bt: bait trap, pt: pitfall trap dan w: litter shifter-wingkler extraction. Habitat Metoda S N H Manggrove cc 9 1195 1.39 hc 26 414 2.53 bt 8 144 1.35 pt 9 54 1.44 w 15 86 1.96 Dalam hutan cc 7 723 1.16 hc 32 295 2.95 bt 11 81 1.97 pt 10 65 1.87 w 18 237 2.23 Pinggir hutan cc 3 392 0.75 hc 19 469 2.09 bt 7 213 0.72 pt 4 21 0.96 w 12 206 1.88

Berbeda dengan hasil yang didapatkan pada penelitian ini dimana metoda colony collection, pitfall trap dan bait trap memperlihatkan hasil pengoleksian jenis semut

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 954 yang rendah pada setiap habitat, Vele dkk., (2009) yang menggunakan beberapa metode pengumpulan semut pada hutan spruce (Picea abies L) di Republik Ceko menemukan bahwa metoda bait dan pitfall trap memperlihatkan jumlah jenis semut yang tinggi dibanding soil sampling. Kecilnya area pengambilan sampel pada soil sampling dilaporkan merupakan salahsatu alasan dari rendahnya jumlah spesies yang didapatkan.

Sementara itu Sakchoowong dkk., (2009) yang mengoleksi semut dengan metoda pitfall trap pada hutan alami dan hutan yang telah terganggu menyimpulkan bahwa variable lingkungan mikro seperti tutupan kanopi dan sarasah merupakan faktor yang berpengaruh pada kekayaan jenis dan kepadatan semut di Thong Pha Phum National

Park, Thailand. Bervariasinya jumlah jenis dan kepadatan semut yang didapatkan dengan berbagai metoda pada ketiga habitat yang diamati pada penelitian ini merupakan informasi penting yang diharapkan dapat berkontribusi dalam merancang metoda dalam berbagai penelitian semut di Indonesia.

KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa jumlah spesies semut terbanyak ditemukan pada habitat hutan diikuti dengan semut pada mangrove dan yang terendah ditemukan pada pinggir hutan. Metoda hand collection dan metoda litter shifter-Winkler extraction mampu mengoleksi spesies semut dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan tiga metoda lain dalam penelitian ini sehingga disarankan untuk selalu digunakan sebagai salahsatu metoda dalam pengoleksian jenis-jenis semut, khususnya di hutan.

UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kami ucapkan kepada Prof. Seiki Yamane dari Kagoshima University atas kerjasamanya melalui diskusi dan pengidentifikasian semut di Laboratorium Taksonomi Hewan Jurusan Biologi FMIPA Universitas Andalas.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 955

DAFTAR PUSTAKA Agosti, D., Majer, J. D., Alonso L. E. dan Schultz, T. R. 2000. Ants Standard Methods for Measuring and Monitoring Biodiversity. Smithsonian Institution Press. Washington, U. S. A. Asyifa, W., Ubaidillah, R. dan Yamane, S. 2008. Ants (Hymenoptera: Formicidae) of the Krakataus, and Sebesi dan Sebuku Island. Treubia 36: 1-9 Byrne, M.M. 1994. Ecology of twig dwelling ants in a wet lowland tropical forest. Biotropical 26:61-72. Bolton, B. 1994. Identification Guide to the Ant Genera of the World. Harvard University Press. London. Brühl, A. C., Eltz, T. dan Linsenmair, K. E. 2002. Size Does Matter- Effects Of Tropical Rainforest Fragmentation On The Leaf Litter Ant Cmmunity In Sabah, Malaysia. Biodiversity and Conservation 12: 1371-1389, Kluwer Academic Publisher, Netherlands. Dunn, R. R. 2005. Jaws of Life. Natural History 114 : 30-35 Herwina, H dan Nakamura, K. 2007. Ant Species Diversity Study Using Pitfall Traps In A Small Yard In Bogor Botanic Garden, West Java, Indonesia. Treubia 35: 99- 116. Hölldobler, B dan Wilson, E. O. 1990. The Ants. Harvard University Press. Cambridge. U. S. A. Ito, F., Yamane, S., Egucchi, K., Noerdjito, W. A., Kahono, S., Tsuji, K., Ohkawa, K., Yamauchi, K. dan Nishida, T. 2001. Ants Spesies Diversity in the Bogor Botanic Garden, West Java, Indonesia, with Description of Two New Species of the Genus Leptanilla (Hymenoptera, Formicidae). Tropics 10 (3): 379-404. Kaspari M. 1996. Litter Ant Patchiness at the 1-m2 scale: Disturbance Dynamics in Three Neotropical forests. Oecologia (Berl.) 107: 265-273. Lee, Y. C. 2002. Tropical Household Ants: Pest Status, Species Diversity, Foraging Behavior and Baiting Studies. Proceeding of the 4th International Conference On Urban Pests. Mele, P. V. dan Cuc, N. T. T. 2004. Semut Sahabat Petani : Meningkatkan Hasil Buah- Buahan Dan Menjaga Kelestarian Lingkungan Bersama Semut Rang Rang. (Alih bahasa: Subekti Rahayu). Word Agroforestry Centre (ICRAF). Rijali, A, Lohman, D. J., Damayanti, B., Prasetyo, L. B., Triwidodo, H., Bos, M. M., Yamane, Sk., and Schulse, C.H. Ant Communities on small tropical islands; effect of island size and isolation are obscured by habitat disturbance and ‗tramp‖ ant species. J. biogeogr; 1-8. Sakchoowong, W., Jaitrong, W., Ogata, K. 2009. Comparison of Ground-Ants Diversity Between Natural Forests and Disturbed Forest Along a Natural Gas Pipeline Transect in Thong Pha Phum National Park, Kanchanaburi Province. Journal kasetsrat (Nat.Sci). 43:64-73 Satria, R., Herwina, H dan Salmah, S. 2010. Jenis-jenis Semut (Hymenoptera: Formicidae) di Pulau Marak, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Proseeding Semirata PTN Barat Bidang Ilmu MIPA ke 23: 772-779 Schultz, T. R. dan Mc Glynn, T. P. 2000. The Interaction of Ants with Other Organisms, pp.35-44 in Agosti, D., Majer, J. D., Alonso L. E. dan Schultz, T. R. 2000. Ants.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 956

Standar Methods for Measuring and Monitoring Biodiversity. Smithsonian Institution Press. Washington and London. Sitthicharoenchai, D., dan Chantarasawat, N. 2006. Ants Species Diversity in the Establishing Area for Advanced Technology Institute at Lai Nan Sub District Wiang Sa District Nan Provivce Thailand. The Natural History Journal of Chulalongkorn University 6(2) : 67-74. Torchote,P., Sitthicharoenchai, D. dan Chaisuekul, C. 2010. Ant Species Diversity and Community Compotition in the Three different Habitat : Mixed Deciduous Forest, Teak Plantation and Fruit Orchad. Tropical Natural History 10(1):37-51. Vasconcelos, H. L. 1999. Effect Forest Disturbance On The Structure Of Ground- Foraging Ant Communities In Central Amazonia. Biodiversty conservation 8 : 409- 420. Vele, A., Holusa, J., Frouz, J. 2009. Sampling for ants in Different aged Spruce forest : A Comparison of Methods. European Journal of Soil Biology 45: 301-305 Yahya, B. E. B. 2000. The Use Of Three Insect Group As Biological Indicator In Three Ecohabitats Of Sabah. School of Science and Technology, Universiti Malaysia Sabah, Malaysia. Yamane, S., Itino, T. dan Rahman, N. A. 1996. Ground Ant Fauna In The A Bornean Dipterocarp Forest. The Raffles Buletin Of Zoology 44 (1): 253-262. Yamane, S. 2009. Odontoponera denticulata (F. Smith) (Formicidae: Ponerinae), a distinct species inhabiting disturbed areas. ARI No. 32 (2009).

Notulensi Diskusi Seminar Yoga – UGM : Jangka waktu penelitian? Kondisi yang menyebabkan individu memperbanyak koloni? Jawab : Hanya 3 hari. Menurut metode yang di standarisasi dengan 48 jam sudah dapat dilakukan/injeksi. Untuk tiap penelitian berbeda. Masa reproduksi semut berbeda di tiap spesies dan tergantung kebiasaan si semut. Ihsan – UGM : Ada kisaran ketinggian habitat semut? Jawab : Semut punya kondisi lingkungan yang menyukai habitat yang hangat. Wahyu Darajat – HPT UNPAD : Bagaimana menurunkan populasi ? Semut, urban pest? Jawab : Semut menjadi urban pest, terutama di Australia. Untuk menurunkan populasinya masih dengan pestisida, ada juga dengan zat kimia alami seperti bau cengkeh. Wahyu : Mau dibawa kemana hasil penelitian ini? Jawab : Untuk pemanfaatan biolingkungan.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 957

OEB-30 Tumbuhan yang Di kunjungi oleh Lebah Pekerja (Hyemnoptera: Apidae) di Sumatra Barat Siti Salmah1 dan Jasmi2 1Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Andalas, Padang 2Mahasiswa S3 PPs Universitas Andalas / Prodi Biologi STKIP PGRI Sumatera Barat, Padang

ABSTRAK Penelitian tentang tumbuhan yang dikunjungi lebah pekerja Apis dilakukan pada ketinggian <500 m dan 600-1400 m dpl. di Sumatera Barat dari bulan Desember 2009-Juli 2010. Pengambilan sampel tumbuhan yang dikunjungi lebah pekerja dilakukan pada radius 500 m dari sarang di kebun buah-buahan, perkebunan kopi dan kayu manis serta pinggir hutan. Lebah madu dari genus Apis yang berkunjung pada tumbuhan terdiri dari empat spesies yaitu A. andreniformis, A. cerana, A. dorsata dan A. koschevnikovi. Tumbuhan yang dikunjungi oleh lebah pekerja Apis terdiri dari 61 spesies termasuk dalam 26 famili. Sebanyak 36 spesies tumbuhan ditemukan pada dataran rendah dan tinggi, 20 spesies hanya pada dataran rendah dan lima spesies pada dataran tinggi. Spesies tumbuhan terbanyak yang dikunjungi lebah pekerja Apis adalah dari famili Asteraceae dan Leguminoceae. Sebanyak 29 spesies tumbuhan yang dikunjungi termasuk tanaman budidaya dan 32 spesies non budidaya. Lebah pekerja A. andreniformis mengunjungi sebanyak 29 spesies, A. cerana sebanyak 56 spesies, A.dorsata sebanyak 57 spesies dan A. koschevnikovi sebanyak 1 spesies tumbuhan. Cucumis sativus dikunjungi oleh empat spesies lebah, spesies Galiansoga farviflora hanya dikunjungi oleh A.cerana, lima spesies tumbuhan (Rorippa indica, Cinnamomum burmanii, Nasturrium indicum, Rorippa indica dan Eryngium foetidum) hanya dikunjungi oleh A. dorsata, sebanyak 3 spesies tumbuhan (Mangifera indica, Cytrus aurantifolia dan Oryza sativa) dikunjungi A. cerana dan A. andreniformis, sebanyak 31 spesies tumbuhan dikunjungi oleh A. cerana dan A. dorsata, sebanyak 21 spesies dikunjungi oleh A. andreniformis, A. cerana dan A. dorsata. Kata kunci: tumbuhan, kunjungan, lebah pekerja Apis

ABSTRACT Research about plant visited by Apis forager was conducted at altitude < 500 m and 600-1400 m of West Sumatra from December 2009-July 2010. The plant visited by forager was collected at radius 500 m from nests in fruits cropping, coffea and cinnamom plantation and forest edge. Honeybee from genus Apis visit on plant consisted of four species, those are A. andreniformis, A. cerana, A. dorsata and A. koschevnikovi. Plant visited by forager Apis consisted of 61 species belong to 26 families. The number of 36 plant species found at lowland and highland, 20 species only at lowland and five species at highland. Most of plant species visited by Apis forager are Asteraceae and Leguminoceae. About 29 plant species visited by Apis were agriculture crop and 32 species of non agriculture. Apis andreniformis visited 29 plant species, A. cerana 56 species, A. dorsata 57 species and A. koschevnikovi one plant species. Cucumis sativus was visited by four bee species, Galiansoga farviflora was visited only by A. cerana. Five plant species (Rorippa indica, Cinnamomum burmanii, Nasturrium indicum, Rorippa indica and Eryngium foetidum) were visited by only A. dorsata. Other three plants species (Mangifera indica, Cytrus aurantifolia and Oryza sativa) were visited by A. cerana and A. andreniformis, 31 plant species were visited by A. cerana and A. dorsata, 21 species were visited by A. andreniformis, A. cerana and A. dorsata. Keywords: plant, visit, Apis forager.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 958

PENDAHULUAN

Lebah madu merupakan serangga polinator pada berbagai jenis tanaman budidaya dan non budidaya (Notodimedjo, 1990; MacKanzie, 1994; Dag and Eisikowitch, 1995; Manaan, 1997; Klein dkk., 2003). Selain sebagai polinator, lebah madu telah dimanfaatkan secara langsung dari produk koloni, yaitu sebagai penghasil madu, royal jelly, malam (lilin), tepung sari, racun lebah, larva juga digunakan sebagai bahan sambal atau makanan lainnya serta untuk industri kepariwisataan (Michener, 1974; Free, 1983; Mahmood & Furgala, 1983; Salmah, 1987; 1989; 1990; O‘ Toole & Raw, 1991; Mardan, 1995). Empat dari lima spesies lebah madu yang ada di Indonesia ditemukan di Sumatera Barat, yaitu A. andreniformis, A. cerana dan A. dorsata (Salmah, 1987, 1989, 1990) dan A. koschevnikovi (Otis, 1996). Kunjungan lebah madu pada tumbuhan adalah untuk mendapatkan makanan. Ketersediaan makanan merupakan faktor penting dari keberadaan koloni pada suatu habitat. Makanan dari lebah madu adalah polen dan nektar tumbuhan. Polen dan nektar dikumpulkan oleh lebah pekerja dari berbagai spesies tumbuhan berbunga. Spesies tumbuhan dapat menghasilkan nektar, polen atau nektar dan nektar. Tumbuhan sumber polen dan nektar bagi lebah madu dapat dikelompokkan atas tanaman budidaya dan non budidaya. Selain itu, tumbuhan pakan lebah dapat pula dikelompokan berdasarkan waktu ketersediaan yaitu tumbuhan yang berbunga sepanjang waktu dan waktu tertentu saja. Pentingnya ketersediaan makanan terhadap keberadaan koloni lebah madu yang telah dilaporkan oleh beberapa peneliti seperti; Pemanfaatan sumber tumbuhan oleh spesies Melipona (Apidae, Meliponinae) (Ramaldho dkk., 1989); Rumput Bermuda (Cynodon dactylon) sebagai sumber polen untuk koloni lebah madu pada Agroecosystem dataran rendah Sungai Clorado (Erickson & Atmowidjoyo, 1997); Aktifitas mengumpulkan polen stingless bees dan hubungannya dengan dinamika berbunga pada hutan hujan tropis Asia Tenggara (Eltz dkk., 2001); Identifikasi tumbuhan dan analisis dari nektar yang dikoleksi dari sumber tumbuhan yang berbeda (Bhuiyan dkk., 2002); Aktifitas mengumpulkan polen Apis cerana di hutan Bali (Munthamah, 2008); Sumber makan untuk Rock bee (Apis dorsata) di Garhwal

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 959

Himalaya India (Tiwari dkk., 2010) sedangkan sampai saat ini informasi tentang tumbuhan yang dikunjungi lebah pekerja Apis di Sumatera Barat belum ada dilaporkan.

BAHAN DAN METODA

Penelitian dilakukan pada ketinggian <500 m dan 600-1400 m dpl. di Sumatera Barat dari bulan Desember 2009-Juli 2010. Pengambilan sampel tumbuhan yang dikunjungi lebah pekerja Apis dilakukan pada radius 500 m dari sarang di kebun buah- buahan, perkebunan kopi dan kayu manis serta pinggir hutan. Identifikasi lebah dan tumbuhan dilakukan di Laboratorium Taksonomi Hewan dan Tumbuhan, Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Andalas Padang.

HASIL DAN PEMBAHASAN Apis yang berkunjung pada berbagai spesies tumbuhan di Sumatera Barat terdiri dari empat spesies yaitu, A. andreniformis, Apis cerana, A. dorsata dan A. koschevnikovi. Dua spesies Apis ditemukan pada ruang terbuka yaitu A. andreniformis dan A. dorsata. Apis andreniformis hanya ditemukan pada dataran rendah sedangkan A. dorsata tersebar dari dataran rendah sampai ketinggian 1200 m dpl. Kedua spesies tersebut ditemukan dalam bentuk koloni dan lebah pekerja. Apis yang ditemukan dalam rongga terdiri dua spesies yaitu A. cerana dan A. koschevnikovi. Apis cerana ditemukan pada berbagai ketinggian dalam bentuk koloni dan lebah pekerja sedangkan A. koschevnikovi ditemukan hanya satu ekor lebah pekerja pada tanaman ketimun (Cucumis sativus). Hasil temuan ini disokong oleh temuan (Salmah, 1987, 1989, 1990) dan (Otis, 1996). Tumbuhan yang dikunjungi lebah pekerja Apis pada dua lokasi di Sumatera Barat terdiri dari 61 spesies dan termasuk dalam 26 famili. Spesies tumbuhan terbanyak dikunjungi oleh lebah pekerja Apis termasuk dalam famili Asteraceae dan Leguminoceae (Tabel 1). Jumlah spesies dari famili Asteraceae yang dikunjungi oleh lebah pekerja adalah sembilan spesies dan Leguminoceae adalah delapan spesies. Tjitrosoepomo (2000) menyatakan Asteraceae memeiliki spesies yang relatif banyak dan tersebar dari dataran rendah sampai dataran tinggi. Habitus tumbuhan yang termasuk dalam Asteraceae adalah berupa terna, semak-semak kecil dan jarang berupa

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 960 kayu. Ditaksir Asteraceae memiliki 14.000 spesies yang tersebar di seluruh dunia. Leguminoceae termasuk salah satu suku terbesar dari Angiospermae yang terdiri dari 11.500 spesies termasuk dalam 500 marga. Habitus dari Leguminoceae adalah terna, semak, perdu dan pohon. Spesies-spesies tersebar pada daerah yang beriklim panas.

Tabel 1. Tumbuhan yang dikunjungi lebah pekerja Apis pada berbagai ketinggian di Sumatera Barat Famili Sebaran (m) Status Apis pengunjung Spesies <500 600-1400 B Nb A. a A. c A. d A. k 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Anacardiaceae

1. Mangifera indica √ √ √ - √ √ - - 2. Mangifera sp. √ √ √ - - √ √ - 3. Mangifera sp. √ √ √ - - √ √ - Arecaceae 4. Areca catecu √ - √ - √ √ √ - 5. Cocos nucifera √ - √ - √ √ √ - Asteraceae 6. Bidens pilosa L. √ √ - √ - √ √ - 7. Clibadium surinamens √ √ - √ √ √ √ - 8. Eupatorium inulifolium √ √ - √ √ √ √ - 9. Eupatorium odoratum √ √ - √ √ √ √ - 10. Galiansoga parviflora. - √ - √ - √ - - 11. Helianthus sp. √ √ - √ - - √ - 12. Mikania micrantha √ √ - √ √ √ √ - 13. Siplanthes iabadicensis √ √ - √ - √ √ - 14. Siplanthes paniculata √ √ - √ - √ √ - Bombacaceae 15. Durio zibetinus √ - √ - - √ √ - Brassicaceae 16. Brassica sp. - √ √ - - √ √ - 17. Nasturrium indicum √ √ - √ - - √ - 18. Rorippa indica √ √ - √ - - √ - Caricaceae 19. Carica papaya √ √ √ - √ √ √ - Convolvulaceae 20. Calystegia sapium √ - - √ - √ √ - Cucurbitaceae 21. Citrulus vulgaris √ - √ - √ √ √ - 22. Momordica charantia √ - √ - √ √ √ - 23. Cucumis sativus √ - √ - √ √ √ √ Euphorbiaceae 24. Aleurites moluccana √ - - √ - √ √ - 25. Hevea brasiliensis √ - √ - - √ √ - Graminae 26. Oryza sativa √ √ √ - √ √ - - 27. Zea mays √ - √ - - √ √ - Labiatae 28. Hyptis brevipes √ √ - √ - √ √ - 29. Hyptis capitata √ √ - √ - √ √ - Lauraceae 30. Cinnamomum burmanii √ √ √ - - - √ - 31. Persea americana √ √ √ - - √ √ - Leguminoceae 32. Acasia auriculiformis √ - √ - √ √ √ -

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 961

33. Crotalaria striata √ √ - √ - √ √ - 34. Leucaena glauca √ √ - √ - √ √ - 35. Mimosa invisa √ √ - √ √ √ √ - 36. Mimosa pigra √ √ - √ - √ √ - 37. Mimosa pudica √ √ - √ √ √ √ - 38. Phaseolus sp. √ - √ - - √ √ - 39. Phithocellobium lobatum √ - √ - - √ √ - Lythraceae 40. Cupea sp. √ √ √ - - √ √ - Malvaceae 41. Sida rhombifolia √ √ - √ - √ √ - 42. Urena lobata √ √ - √ - √ √ - Melastomataceae 43. Melastoma polianthum √ √ - √ - √ √ - Meliaceae 44. Lansium domesticum √ - √ - - √ √ - Musaceae 45. Musa paradisiaca √ √ √ - √ √ √ - Myrtaceae 46. Syzygium aqueum √ - - √ - √ √ - 47. Syzygium jambos √ - - √ √ √ √ - 48. Psidium guajava √ √ √ - - √ √ - Passifloraceae 49. Passiflora foetida √ √ - √ √ √ √ - Rubiaceae 50. Coffea canephora - √ √ - - √ √ - 51. Coffea arabica - √ √ - - √ √ - Rutaceae 52. Cytrus aurantifolia √ √ √ - √ √ - - Sapindaceae 53. Nephelium lappaceum √ - √ - √ √ √ - Solanaceae 54. Physalis angulata √ √ - √ - √ √ - 55. Solanum turvum √ √ - √ √ √ √ - Sterculiaceae 56. Theobroma cacao √ - √ - √ √ √ - Tiliaceae 57. Muntingia calabura √ - - √ √ √ √ - Umbelliferae 58. Eryngium foetidum - √ - √ - - √ - Verbenaceae 59. Tectona grandis √ - √ - √ √ √ - 60. Stachytarpheta indica √ √ - √ - √ √ - 61. Stachytarpheta jamaicensis √ √ - √ - √ √ - 56 41 29 32 24 56 57 1 √= ada ditemukan, - tidak ditemukan. A.a= Apis andreniformis, A.c= Apis cerana, A.d= Apis dorsata. A.k= Apis koschevnikovi. B= budidaya. Nb= non budidaya.

Selain Asteraceae, famili yang memiliki spesies terbanyak adalah Leguminoceae. Spesies-spesies Leguminoceae ditemukan pada dataran rendah sampai dataran tinggi (Tabel 1). Bunga termasuk bunga bongkol dengan jumlah polen yang relatif banyak. Warna bunga bervariasi seperti ungu dan kuning. Menurut Ramaldho dkk. (1989) Leguminoceae merupakan sumber polen yang penting bagi lebah madu. Polen Leguminoceae mengandung protein yang dibutuhkan untuk perkebangan larva lebah.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 962

Polen dapat dihasilkan sepanjang tahun. Leguminoceae termasuk salah satu famili yang banyak dikunjungi oleh species Melipona (Apidae, Meliponinae) di hutan hujan dan vegetasi dataran rendah Atlantik. Tumbuhan yang dikunjungi lebah pekerja Apis tersebar dari dataran rendah sampai tinggi (Tabel 1). Jumlah spesies tumbuhan yang dikunjungi lebah lebih banyak pada dataran rendah (< 500 m dpl) dari pada dataran tinggi (600-1400 m dpl). Lebih banyaknya jumlah spesies tumbuhan yang tersebar pada dataran rendah dikarenakan habitat dataran rendah secara ekologis lebih mendukung untuk kehidupan berbagai spsesies tumbuhan. Sundaland memiliki luas sekitar 1,6 juta kilometer persegi, didominasi oleh pulau Kalimantan dan Sumatera. Sumatera berukuran panjang 1.800 kilometer dan lebar 400 kilometer. Kawasan ini merupakan pusat lokasi yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati tertinggi namun tingkat ancaman paling tinggi. Sebagian besar spesies tumbuhan endemis Sumatera ditemukan di hutan-hutan dataran rendah yang berada di bawah 500 meter, meskipun sampai saat ini baru sekitar 15% dari keseluruhannya yang telah tercatat (Anonim, 2001). Tumbuhan budidaya yang dikunjungi oleh lebah pekerja Apis sebanyak 29 spesies dan 27 spesies terdapat pada dataran rendah (Tabel 1). Lebih banyaknya tanaman budidaya yang dikunjungi oleh lebah pekerja pada dataran rendah berkaitan dengan keragaman pemanfaatan lahan pada dataran rendah. Pada dataran rendah tanaman yang dibudidayakan lebih bervariasi dibandingkan dataran tinggi. Selain itu, tanaman yang dibudidayakan oleh masyarakat terdiri tanaman semusim dan tanaman menahun yang memiliki periode berbunga yang bervariasi. Sama seperti yang dinyatakan Erickson dan Atmowidjoyo (1997) bahwa lebah pekerja pada agroecosystem dataran rendah di Sungai Clorado dapat menemukan sumber polen sepanjang tahun. Sumber polen yang dikunjungi oleh lebah pekerja dapat dikelompokan atas tiga group yaitu Non Poacea, Poacea selain rumput Bermuda dan Rumput Bermuda (Poacea). Jumlah spesies tumbuhan yang tidak dibudidayakan (liar) lebih banyak dikunjungi oleh lebah pekerja dibandingkan tumbuhan budidaya (Tabel 1). Spesies tumbuhan yang tidak dibudidayakan dapat tumbuh liar atau sebagai gulma pada berbagai tipe habitat. Selain variasi spesies yang relatif banyak, setiap spesies tumbuhan yang tidak dibudidayakan juga memiliki waktu berbunga yang relatif berbeda. Menurut

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 963

Bhuiyan (2002) tumbuhan berbunga sebagai pakan lebah yang ditemukan di Pakistan terdiri dari 63 spesies. Tumbuhan tersebut terdiri dari 29 spesies tumbuhan sebagai sumber nektar dan polen yang berbunga periode Desember-Maret. Pada periode April- Juli ditemukan 34 jenis tumbuhan pakan lebah. Jumlah spesies tumbuhan yang dikunjungi oleh lebah pekerja Apis bervariasi. Lebah pekerja A. andreniformis mengunjungi sebanyak 29 spesies, A. cerana sebanyak 56 spesies, A.dorsata sebanyak 57 spesies dan A. koschevnikovi sebanyak 1 spesies tumbuhan (Gambar 1). Cucumis sativus dikunjungi oleh empat spesies lebah, spesies G. farviflora hanya dikunjungi oleh A. cerana, lima spesies tumbuhan Helianthus sp., C. burmanii, N. indicum, R. indica dan E. foetidum hanya dikunjungi oleh A. dorsata, sebanyak 3 spesies tumbuhan M. indica, C. aurantifolia dan O. sativa dikunjungi A. cerana dan A. andreniformis, sebanyak 31 spesies tumbuhan dikunjungi oleh A. cerana dan A. dorsa, sebanyak 21 spesies dikunjungi oleh A. andreniformis, A. cerana dan A. dorsata.

Gambar 1. Jumlah spesies tumbuhan yang dikunjungi lebah pekerja Apis. a= tumbuhan dikunjungi oleh empat spesies Apis (hanya satu spesies). b= tumbuhan yang dikunjungi tiga spesies Apis; A. anrdeniformis, A. cerana dan A. dorsata (21 spesies), A. anrdeniformis, A. cerana dan A. koschevnikovi (0 spesies). c= tumbuhan yang dikunjungi oleh dua spesies Apis; A. anrdeniformis dan A. cerana (3 spesies), A. anrdeniformis dan A. dorsata (0 spesies), A. cerana dan A. dorsata (30 spesies), A. anrdeniformis dan A. koschevnikovi (0 spesies), A. dorsata dan A. koschevnikovi (0 spesies), A. cerana dan A. koschevnikovi (0 spesies), A. cerana dan A. koschevnikovi (0 spesies), d= tumbuhan hanya dikunjungi satu spesies Apis;

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 964

A. anrdeniformis (0 spesies), A. cerana (satu spesies), A. koschevnikovi (0 spesies) dan A. dorsata (5 spesies).

Jumlah spesies tumbuhan yang dikujungi oleh masing-masing spesies Apis bervariasi. Apis cerana di Hutan Bali mengunjungi 28 spesies tumbuhan termasuk dalam 12 famili sebagai sumber polen (Muntamah, 2009). Apis dorsata di Kalimantan Timur mengunjungi 39 spesies yang termasuk dalam kelompok tanaman serbaguna, pertanian, buah-buahan, tanaman bunga dan hias (Yusliansyah dkk., 1990) sedangkan di Garhwal Himalaya India dilaporkan sebanyak 194 spesies termasuk 64 famili (Tiwari dkk., 2010). Jumlah spesies tumbuhan yang dikunjungi lebah pekerja Apis masih relatif sedikit dari perkiraan Liferdi (2008) yang menyatakan bahwa Indonesia merupakan daerah tropis yang ditumbuhi sekitar 25.000 tanaman berbunga yang potensial menghasilkan nektar. Pada umumnya semua tanaman berbunga merupakan sumber pakan lebah, karena menghasilkan nektar dan polen. Jenis tanaman penghasil nektar antara lain, tanaman hortikultura, pangan, perkebunan, kehutanan dan rumput.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan tentang tumbuhan yang dikunjungi lebah pekerja Apis di Sumatera Barat dapat disimpulkan: 1. Lebah madu dari genus Apis yang ditemukan terdiri dari empat spesies dan termasuk dalam tiga subgenus. Subgenus Micrapis terdiri dari satu spesies yaitu A. andreniformis Smith. Subgenus Sigmatapis terdiri dari dua spesies yaitu A. cerana Enderlein dan A. koschevnikovi Enderlein. Subgenus Megapis terdiri dari satu spesies yaitu dan A. dorsata Fabr.

2. Tumbuhan yang dikunjungi oleh lebah pekerja Apis terdiri dari 61 spesies termasuk dalam 26 famili. Sebanyak 36 spesies ditemukan pada dataran rendah dan tinggi, 20 spesies hanya pada dataran rendah dan lima spesies pada dataran tinggi. Sebanyak 29 spesies termasuk pada kelompok tanaman budidaya dan 32 spesies non budidaya. Spesies tumbuhan terbanyak yang dikunjungi lebah pekerja Apis adalah dari famili Asteraceae dan Leguminoceae.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 965

3. Apis andreniformis mengunjungi tumbuhan sebanyak 29 spesies, A. cerana sebanyak 56 spesies, A. dorsata sebanyak 57 spesies, A. koschevnikovi sebanyak 1 spesies. Cucumis sativus dikunjungi oleh empat spesies lebah. Galiansoga farviflora hanya dikunjungi oleh A.cerana. Rorippa indica, C. burmanii, N. indicum, R. indica dan E.foetidum hanya dikunjungi oleh A. dorsata. Tumbuhan M. indica, C. aurantifolia dan O. sativa dikunjungi A. cerana dan A. andreniformis. Sebanyak 31 spesies tumbuhan dikunjungi oleh A. cerana dan A. dorsa. Sebanyak 21 spesies dikunjungi oleh A. andreniformis, A. cerana dan A. dorsata.

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2001. Profil Ekosistem: Ekosistem hutan Sumatera di dalam ―Hotspot‖ keanekaragaman hayati sundaland Indonesia. (versi terakhir) 11 Desember, 2001. Bhuiyan, K.H., M.M., Hossain, M.N. Bari and M.R. Khanan. 2002. Identification of bee plants and analysis of honey collected from different plant souerces. Pakistan Journal of Biological Sciences 5 (11): 1199-1201. Free, J. B. and A. W. Furson. 1983. Foraging behavior of honey bee on oil seed rape. Beeword. Vol. 64. No. 1. p. 22-24. Dag, A and D. Eisikowitch. 1995. The influence of hive location on honeybee foraging activity and fruit set in melons grownin plastic greenhouses. Apidologie. 26: 512-519. Eltz, T., C.A. Bruhl, S. van der Kaars, V.K. Cey and K.E. Linsensmair. 2001. Pollen foraging and resource partitioning of stingless bees in relation in flowering dynaimics in a Southeast Asian Tropical raintforest. Insectes Sociaux. p. 273-289). Erickson, E.H. And A. H. Atmowidjoyo. 1997. Bermuda grass (Cynodon dactylon) as a pollen resource for honey bee colonies in the lower Clorado river agroecosystem. Apidologie. 28. p 57-52. Liferdi. 2008. Lebah polinator utama pada tanaman hortikultura. Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika. Iptek hortikultura. No. 4 - Agustus 2008. Klein, A-M., I. Steffan-Dewenter and T. Tscharntke. 2003. Bee pollination and fruit set of Coffea arabica and C. canephora (Rubiaceae). American Journal of Botany. 90 (1): 153-157. MacKenzie, K. E. 1994. The foraging behaviour of honey bees (Apis mellifera L) and bumble bees (Bombus spp) on cranberry (Vaccinium macrocarpon Ait). Apidologie. 25: 375-383. Mahmood, A. N. and B. Furgala. J983. Effect of polination by insects on seed oil perentage of oilseed sunflower. American Bee Juornal. Vol. 123. No. 9. p. 663-666. Manaan, A. 1997. The role honeybees on the polination of coconut mixed-croping. Indonesian Agriculture Risearch & Development Jurnal. Volume 19, No. 3.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 966

Mardan, M. 1995. Apis dorsata honey hunting/gathering ecotour in tropical Asia. Beenet Online. Vol. 1. No. 3. p. 10-12. Michener, C. D. 1974. The social behavior of the bees a comparative study. The Belknap Press of Havard University. Cambridge. Massachusetts. Muntamah, L. 2009. Aktifitas Apis cerana mencari polen dan identifikasi polen diperlebahan tradisional di Bali. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Notodirnedjo, S. 1990. Pengaruh pengadaan lebah, penyerbukan buatan dan pernberian GA3 terhadap pertumbuhan peneratif tanaman apel (Malus sylvestris Mill) varietas rome beaty. Agrivita. Vol. 3. No.3. p. 65-69. O Toole, C and A. Raw. 1991. Bees of the world. Biandford. London. Ramaldho,M., A. Kleinert-Giovenini and V. L. Imperatriz-Fenzeca. 1989. Utilization of floral resources by spesies of Melipona (Apidae, Meliponinae): floral preferences. Apidologie. 20: 185-195. Salmah, S. 1987. Jenis-jenis lebah pengahasil madu dan potensinya di Sumatera Barat. Laporan penelitian. BKS-B dan USAID Pusat Penelitian Universitas Andalas. Padang. Salmah, S. 1989. Tempat dan volume beberapa jenis lebah yang terdapat di Sumatera (Hymenoptera: Apidae). Seminar dan Kongres Biologi Nasional IX di Padang. Padang, 10-11 Juli 1989. Salmah, S. 1990. Jenis lebah sosial (Apidae) dan distribusinya di Taman Nasional Kerinci Seblat. Laporan penelitian. Departemen Pendi dikan dan Kebudayaan. Pusat Penelitian Universitas Andalas Padang. Tiwari, P., J. K. Tiwari and R. Ballabha. 2010. Studies on sources of bee-forage for rock bee (Apis dorsata F.) from Garhwal Himalaya, India: a Melissopalynogaical Approach. Natural and Science. 8 (6). Tjitrosoepomo, G. 2000. Morfologi tumbuhan. Gajah Mada University Press.

Notulensi Diskusi Seminar Reza (Biologi UGM) : Hanya homosatifus yang dikunjungi lebah? Jawab : A jenis lebah semuanya mengunjungi ketimun. Keempatnya dari dataran rendah dengan ukuran sarang sebesar batok kelapa. Yang diteliti disini semuanya lebah alam. Galang (Biologi UNPAD) : - Jenis apis mendominasi dataran rendah atau tinggi? - Faktor nutrisi atau biotic apa saja yang mempengaruhi? Spesifik tumbuhan? Jawab : - Kebiasaan lebah, sekali mengunjungi satu tanaman seterusnya akan mengunjungi tanaman tersebut. - Ketimun didatangi semua jenis lebah walaupun penuh dengan pestisida.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 967

OEB-31 Peningkatan Produksi Madu Lebah Jenis Lokal Apis indica di Desa Langensari Lembang Bandung Dengan Penggunaan Desain Stup Modern W. Darajat Natawigena

ABSTRAK Dewasa ini penggunaan stup modern cenderung hanya diperuntukkan bagi pengembangan lebah jenis unggul saja (Apis mellifera), sedangkan penggunaan stup modern yang diperuntukkan bagi lebah jenis lokal (Apis indica) masih belum banyak dilakukan. Padahal sebagian besar rakyat pedesaan di Indonesia khususnya di Jawa Barat masih banyak yang memelihara lebah jenis lokal. Penelitian bertujuan untuk melihat sejauhmana produksi madu yang dihasilkan oleh lebah jenis lokal di desa Langensari Lembang Bandung apabila menggunakan stup modern yang bahan, bentuk dan ukurannya disesuaikan dengan preferensi lebah lokal. Stup modern dibuat dari dua jenis kayu: kayu Albasia dan kayu Pinus, Masing- masing stup terdiri dari sembilan bagian yang dimodifikasi. Penelitian menggunakan metoda Rancangan Acak Kelompok, dengan enam perlakuan dan empat ulangan. Pengamatan meliputi: produksi madu setiap perlakuan, intensitas cahaya matahari, suhu, kecepatan angin, dan pola aktivitas harian lebah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Dengan menggunakan desain stup modern produksi madu di Desa Langensari dapat meningkat; Desain stup yang paling baik digunakan adalah Stup tipe 3 (Vertikal lebih panjang dibanding horizontal), dapat meningkatkan produksi madu sebanyak 341 %. Frekuensi pemanenan madu dapat ditingkatkan sebanyak 200%; Bahan kayu albasia lebih disukai dibandingkan kayu pinus; lokasi yang paling baik untuk pemeliharaan lebah madu adalah intensitas cahaya matahari 38200 lux dengan kecepatan angin antara 0 sampai 10 meter/menit. Bunga dominan yang dijadikan sumber pakan lebah lokal desa Langensari Lembang adalah bunga Kaliandra (Calliandra callothyrsus). Kata kunci : lebah madu lokal, Aphis indica, desain stup modern

ABSTRACT Today the use of modern hive tends to only cater for the development of superior bee species only (Apis mellifera), whereas the use of modern hive that is for local bee species (Apis indica) is still not much done. Though most of the rural people in Indonesia especially in West Java are still many who maintain local species of bees. The study aims to see how far the production of honey produced by bees of local species in Langensari Lembang Bandung when using modern hive materials, shapes and sizes must be match with the preferences of local bees. Modern hive is made from two types of wood: Albasia and pine wood, Each hive consists of nine parts are modified. Research using randomized block design method, with six treatments and four replications. Observations include: the production of honey each treatment, the intensity of sunlight, temperature, wind speed, and daily activity patterns of bees. The results show that: By using modern hive design in the Village langensari honey production increased; hive design that is best used is the hive type 3 (Vertical longer than horizontal), can increase honey production as much as 341%. The frequency of harvesting honey can be increased as much as 200%; Materials albizia wood was preferred over pine wood; the best location for the maintenance of the honey bee is 38 200 lux light intensity with wind speeds between 0 to 10 meters / minute. Flowers are used as the dominant source of local bee forage langensari village of Lembang is Kaliandra flower (Calliandra maculata). Keywords: local honey bee, Apis indica, modern hive design

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 968

PENDAHULUAN Desa Langensari merupakan salah satu desa tempat dimana banyak dipelihara lebah madu jenis lokal. Jenis madu yang dihasilkan tergolong ke dalam madu berkualitas tinggi (Dines, 1976) tetapi produksi madu di Desa tersebut masih tergolong rendah, sebab masih menggunakan stup tradisional, Masyarakat desa Langensari yang memelihara lebah belum pernah mendapat kesempatan bagaimana cara memelihara lebah dengan teknologi tinggi yang disertai dengan kemajuan pengetahuan tentang biologi lebah, sebab usaha peternakan lebah modern bukan saja ditujukan untuk memperoleh madu, tetapi juga produk lainnya seperti, lilin lebah, sari madu, dan tepung sari. Apabila kita dapat mengintroduksikan cara pemeliharaan lebah yang modern untuk diterapkan di Desa Langensari maka diharapkan desa tersebut akan merupakan penghasil madu dan produk samping madu yang berpotensi untuk wilayah Jawa Barat. Selain itu apabila koloni lebah meningkat maka secara tidak langsung akan meningkatkan produksi hasil pertanian disana sehingga pada akhirnya akan menambah inkam perkapita. Jenis lebah madu yang terdapat di Desa Langensari adalah lebah madu dari jenis lokal (Apis cerana), ukuran tubuhnya lebih kecil dari A. mellifera. Lebah ini asalnya dari hutan sekitar Desa Langensari, kemudian ditangkap dan dipindahkan ke dalam stup-stup sederhana. Stup kuno umumnya terbuat dari kayu kelapa, kayu randu atau pohon-pohon lainnya yang lunak dengan tehnik pembuatan yang sederhana. Tetapi stup kuno tersebut ternyata kurang praktis dan lebih banyak kerugian dari pada keuntungannya. Stup modern merupakan perkembangan dari stup kuno, lebih praktis, memudahkan pemeliharaan dan perawatan lebah, juga memudahkan dalam pengambilan hasilnya. Keuntungan lain yang diperoleh dengan menggunakan stup modern adalah induk lebah tidak dapat meninggalkan stupnya. Stup modern terbuat dari kayu, terdiri dari beberapa bagian, yaitu: Bagian Dasar, Bagian Kotak Sarang Peneluran (pengeraman), Penyekat ratu, Bagian kotak sarang madu, Penyekat kasa untuk pengontrolan dan tutupnya, serta dilengkapi dengan frame yang diberi pondasi serta alat perangkap tepungsari. Dewasa ini penggunaan stup modern cenderung hanya diperuntukkan untuk pengembangan lebah jenis unggul saja, sedangkan penggunaan stup modern yang diperuntukkan bagi lebah jenis lokal masih belum banyak dilakukan. Padahal sebagian besar rakyat pedesaan di Indonesia khususnya di Jawa Barat masih menggunakan lebah

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 969 jenis lokal. Hal inilah yang mendorong penelitian sejauh mana produksi madu yang dihasilkan oleh lebah jenis lokal apabila menggunakan stup modern yang bahan, bentuk dan ukurannya disesuaikan dengan preferensi lebah lokal tersebut.

BAHAN DAN METODA PENELITIAN Desain stup terbuat dari dua jenis bahan kayu dan terdiri dari tiga macam bentuk, dengan mempertahankan volume tetap sama. Penelitian meliputi: pembuatan desain stup modern, kegiatan cara beternak lebah modern, pengamatan faktor fisis, inventarisasi pakan lebah dan pengamatan produksi madu yang dihasilkan oleh masing-masing desain stup. Penelitian ini dilakukan berdasarkan Rancangan Acak Kelompok. Perlakuan terdiri dari enam macam desain stup modern dan satu stup tradisional sebagai control, dengan empat kali ulangan pada empat lokasi yang terpisah.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Analisa Inventarisasi pakan Lebah Dengan membatasi inventarisasi pakan lebah radius 500 m dari plot percobaan dapat diidentifikasi bunga-bunga yang digunakan sebagai sumber bahan makanan untuk lebah berupa tepung sari dan sumber madu di sekitar stup tiap lokasi percobaan tanpa dikuantifikasi tertera pada Tabel I.

Tabel 1. Hasil analisa inventarisasi pakan lebah No Nama spesies bunga sebagai pakan lebah Keberadaan 1 Calliandra callothyrsus (Kaliandra) ++++++ 2 Duranta erecta (Sinyobangor/sianak nakal) ++++ 3 Eupatorium inulifolium (Kirinyuh) ++++ 4 Malvaviscus arboreus (Kembang Wera/lalampuan) +++ 5 Citrus Sp. (Jerus purut) +++ 6 Ocimum sanctum (Surawung, Kemangi) ++ 7 Cassia grandis ++ 8 Rosa hybrida (Ros/mawar) ++ 9 Zea mays (Jagung) ++ 10 Lycopersicum lycopersicon (Tomat) ++ 11 Brassica chnensis (Sosin/sawi) ++ 12 Rhododendron ledifolium (Azalea) + 13 Beloperone guttata (loli pop) + 14 Eriobotryum loquat (Lokat) +

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 970

Dari pengamatan yang dilakukan ternyata bunga Kaliandra (Calliandra callothyrsus) merupakan bunga yang paling banyak terdapat dan merupakan bunga utama (dominan) sebagai pakan lebah madu di desa Langensari

Hasil Pengamatan Faktor Fisis Pengamatan faktor fisis dilakukan terhadap plot-plot percobaan yang tersebar di empat lokasi yang berbeda. pengamatan faktor fisis dimaksudkan untuk melihat sejauh mana pengaruh faktor fisis dapat mempengaruhi produksi madu yang dihasilkan. Sehingga dapat menentukan pada kondisi/faktor fisis yang bagaimanakah penempatan sarang (stup) yang dapat menunjang peningkatan produksi madu bagi bagi lebah local strain desa Langensari. Hasil pengamatan dan pengukuran faktor fisis dari ke empat lokasi plot percobaan tertera padaTabel 2.

Tabel 2. Hasil Pengamatan faktor fisis pada empat lokasi penempatan penelitian desain sarang lebah Lokasi Ketinggian Suhu Udara Kelembaban Kecepatan Intensitas Percobaan Tempat (oC) Udara Angin Cahaya (dpl) (%) (m/menit) (LUX) I 998 27 61 30,5 81700 II 1000 27 60,5 34,5 82600 III 1000 25 88 10 38200 IV 1000 23,5 72 10,5 9780

Secara statistik produksi madu antar lokasi (sebagai ulangan) tidak berbeda nyata tapi dari hasil pengamatan selintas terlihat bahwa pada lokasi III jumlah pendapatan produksi madu untuk semua stup adalah yang tertinggi. Hal ini mempunyai indikasi bahwa pada lokasi III faktor fisis lebih mendukung dibandingkan pada lokasi- lokasi lain, pada lokasi III intensitas cahaya matahari tidak terlampau tinggi: 38200 LUX (sedikit ternaungi), disamping kecepatan angin tidak terlalu kencang (0 sampai l0 meter/menit). Sehingga dapat disimpulkan awal bahwa sarang lebah yang diusahakan harus ditempatkan pada tempat yang sedikit terlindung tapi diusahakan sinar matahari tetap dapat masuk dengan keadaan angin yang tidak terlampau kencang. Alat-alat yang digunakan dalam pengukuran faktor fisis adalah sebagai berikut : Untuk mengukur intensitas cahaya matahari digunakan alat lux meter LX 101 Lux Meter; untuk mengukur ketinggian tempat dari permukaan laut menggunakan alat

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 971

Altitude Meter; untuk mengukur kecepatan angin digunakan alat Anemometer OTA Tokyo, alat yang digunakan untuk mengukur kelembaban udara digunakan compact whirling Hygrometer Ertco cat : P.S. 100 C, Suhu udara diukur menggunakan alat Thermometer.

Hasil Pengamatan Produksi Madu Pengamatan produksi madu hanya dapat dilaksanakan satu kali pengamatan yang dilakukan pada akhir bulan Desember 1994, itupun dari stup bagian bawah saja (tidak sesuai rencana), hal ini akibat dari keadaan musim paceklik bunga. Hasil produksi madu dari enam macam desain stup dibandingkan dengan stup tradisional (control), dari empat lokasi percobaan tertera pada Tabel 3. Hasil rata-rata yang didapatkan secara visual diperlihatkan pada Gambar l.

Tabel 3. Data rata-rata produksi madu per stup per 2 bulan dari awal November sampai akhir Desember (saat paceklik Bunga) LOKASI SEBAGAI ULANGAN Rata-rata Perlakuan I II III IV Produksi Madu Kontrol 0,7 0,6 1,1 0,5 0,725 A 2,1 1,7 2,5 1,5 1,950 B 2,3 2,1 2,6 1,5 2,125 C 2,6 2,5 3,0 1,8 2,475 D 2,0 1,5 2,0 1,4 1,725 E 2,1 2,0 2,4 1,4 1,975 F 2,4 2,3 2,9 0,7 2,325 Keterangan: Nlai rata-rata produksi madu yang diikuti oleh huruf yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji LSR pada taraf nyata pengujian lima persen

K = Stup Kontrol (Stup tradisional Desa Langensari). A = Desain stup A (stup modern terbuat dari albasia dengan desain vertikal sama panjang dengan horizontal). B = Desain stup B (Stup modern terbuat dari albasia dengan desain vertikal lebih pendek dari horizontal). C = Desain stup C (Stup modern terbuat dari albasia dengan desain vertikal lebih panjang dari horizontal). D = Desain stup D (stup modern terbuat dari pinus dengan desain vertikal sama panjang dengan horizontal). E = Desain stup E (Stup modern terbuat dari pinus dengan desain vertikal lebih pendek dari horizontal). F = Desain stup F (Stup modern terbuat dari pinus dengan desain vertikal lebih panjang dari horizontal).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 972

Dari hasil pengujian secara statistik ternyata stup modern dapat meningkatkan hasil produksi madu dibandingkan stup tradisional (kontrol). Stup yang paling baik untuk meningkatkan produksi madu adalah stup tipe C yaitu stup modern dengan bentuk frame vertikal lebih panjang dari horizontal. Kelebihan lain penggunaan stup modern adalah juga dalam hal prekuensi pengambilan hasil produksi madu yang dapat mencapai 200% dibandingkan penggunaan stup tradisional. Sehingga dapat diperkirakan peningkatan hasil produksi madu pertahun akan meningkat menjadi 6,8 kali lipat.

KESIMPULAN 1) Dengan menggunakan desain stup modern produksi madu di Desa Langensari dapat meningkat. 2) Desain stup yang paling baik digunakan untuk lebah madu strain Langensari adalah Stup tipe 3 (Vertikal lebih panjang dibanding horizontal), meningkatkan produksi madu sebanyak 341% per dua bulan. Frekuensi pemanenan madu dapat ditingkatkan sebanyak 200% per dua bulan. 3) Bahan kayu dari albasia lebih disukai dibandingkan bahan kayu dari pinus. 4) Dari hasil pengamatan di Desa Langensari, lokasi yang paling baik untuk pemeliharaan lebah madu adalah intensitas cahaya matahari 38200 lux (sedikit ternaungi) dengan kecepatan angin antara 0 sampai 10 meter/menit. 5) Bunga dominan yang dijadikan sumber pakan lebah Desa Langensari adalah bunga Kaliandra (Calliandra callothyrsus).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 973

Gambar 1. Stup Lebah Madu Desain 1

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 974

Gambar 2. Stup Lebah Madu Desain 2

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 975

Gambar 3. Stup Lebah Madu Desain 3

DAFTAR PUSTAKA Athur M. Dines, The Complete Handbook of Bee-Keeping, Van Nostrand Reinhold Company. New York, 1976. Detroy, B.F. Types of Hives and Hive Equipment, dalam Beekeeping in The United States. E.C.Martin, et al, Agriculture Hand Book No 335. U.S. Department of Agriculture Mace, Herbert, The complete Handbook of Bee-Keeping, Van Nostrand Reinhold Company, 144-145, 1976. Michener, C.D. The Social Behaviour of Bees; A Comparative Study. The Belknap Press of Harvard University Press. Cambridge, Massachusetts

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 976

Morse, R.A. Sicies of Apis, dalam Honeybee Pest predators and Diseases, Cornell University Press. London, 1978. Natawigena, Wahyu Daradjat dan Abdurachman, Maman. Ceranation of physic characteries qualitative analysis and quantitative components from honey distribution marketing in West Java Indonesia, Secon Asian Apicultural Association Conference, Yogyakarta, Indonesia 1994 Norris, P.E. 1970, About Honey; Nature's elixir for health and energy. Thorsons Publisers Limited. Wellingborough, Northamptonshire. Nouruzhan. H. Honey and its properties. Seker, 26(98), 11-19, 1976. Oertel, E. History of Beekeeping in The United States dalam Beekeeping in The United States. E.C.Martin, et al. Agriculture Hand book no. 335 (revised) U.S. Department of Agriculture Saubolle, B.R., dan A. Bachmann, Beekeeping: An introduction to modern beekeeping in Nepal. Sahayogi Press. Nepal, 1979. Sumeno, W. Daradjat Natawigena, Yadi S., Hubungan Faktor Lingkungan Fisis Dengan Aktifitas Lebah Apis cerana F. Mencari Makanan Pada Habitat Kaliandra Di Kecamatan Bojongpicung Kabupaten Cianjur. Fakultas Pertanian, Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran, Bandung, 1993. Sumeno, W. Daradjat Natawigena, Yadi S., PengaruhCampuran Belerang Dengan Kamper Terhadap Jumlah Mortalitas Varroa jacobsoni (Oudemans) Pada Peternakan Lebah Apis mellifera L. Di Kabupaten Sukabumi, Fakultas Pertanian, Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran. Bandung, 1993. Sumeno, W. Daradjat Natawigena,Yadi Supriadi, Hubungan faktor lingkungan fisis dengan aktifitas lebah Apis cerana F. Mencari makanan pada habitat kaliandra di kecamatan Bojongpicung kabupaten Cianjur, Bandung 1993. Szabp,T.J. dan D.L.Nelson. Beekeeping in Western Canada,Publication 1542. Minister of Supply and Services. Canada, 1981. W.Sinclair, Life of The Honey-bee, A lady bird Natural History Book, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1977. Wootton, M., Faraji-Haremi, R. dan Johnson, A.T. Effect of accelerated storage conditions on the chemical composition and properties of Australian honeys. J. Apic. Res., 15(1), 23-8. 1976.

Notulen Diskusi Seminar Windra – ITB : Kenapa albasia lebih baik dari pinus? Kualitas madu bagaimana? Jawab : Aroma albasia lebih disukai dari pinus karena aroma lebih menyengat yang pinus. Kualitas ditentukan oleh bunga yang ada disana jadi kualitas tetap sama. Dengan stup modern kualitas lebih baik karena lebih jernih. Ihsan – UGM : Pada paceklik biasanya pake gula jawa, kenapa? Jawab : Betul, pada paceklik terpaksa digunakan. Sebenarnya gula putih juga disukai agar lebah tidak pergi. Pada saat pakai gula bisa dibilang madu yang dihasilkan ―madu palsu‖ karena bukan dari nectar.

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 977

Yuli : Bagaimana dari segi rasa madu dari control dan perlakuan lain? warna madu berbeda, dari pohon kenapa lebih mahal? Jawab : Rasa yang dihasilkan tetap sama karena yang menentukan rasa adalah dari sumber nectar (bunga). Warna bermacam-macam tergantung dari nectar. Bagus tidaknya tergantung dari royal jelinya di campur atau tidak. Wahyu : Harga berapa? Jawab : Jika sedikit lebih mahal diperkirakan untuk stup modern  Rp. 100.000,-

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 978

PEB-1 Pola Komunitas Kupu-kupu pada Lima Hutan Kota DKI Jakarta Dieka Pertiwi1 1Jurusan Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam As-Syafi`iyah Jakarta Email: [email protected]

ABSTRAK Penelitian tentang pola komunitas kupu-kupu di lima hutan kota DKI Jakarta telah dilakukan pada bulan Mei-Juli 2010. Tujuannya adalah untuk mendapatkan informasi mengenai keanekaragaman kupu-kupu dan mengetahui hubungan antara struktur komunitas kupu-kupu dengan struktur vegetasi. Sampling kupu-kupu dilakukan dengan metode titik hitung (Point Count) (Bibby et al. 2000) sedangkan untuk sampling vegetasi menggunakan metode Transect Cara Garis Berpetak (Soerianegara, 2005). Hasil penelitian diperoleh 32 spesies kupu-kupu di lima hutan kota DKI Jakarta dari 366 individu yang mewakili lima famili yaitu Pieridae, Nymphalidae, Lycaenidae, Hesperiidae dan Papilionidae. Jenis yang paling umum dijumpai adalah Eurema hecabe (66 individu), Leptosia nina (65 individu), Delias hyparete (35 individu), Appias libythea (25 individu) dan Euploea mulciber (24 individu). Keanekaragaman kupu- kupu di hutan kota DKI Jakarta secara keseluruhan tergolong sedang (H‘=2,789). Keanekaragaman kupu- kupu terendah dimiliki hutan kota Cijantung Jakarta Timur (H‘=1,607) dan tertinggi dimiliki hutan kota Ragunan Jakarta Selatan (H‘=2,807). Ada hubungan antara jumlah spesies kupu-kupu dengan jumlah spesies vegetasi di lima hutan kota DKI Jakarta yaitu sebesar 33% (r=0,329). Tutupan kanopi memiliki hubungan yang signifikan dengan jumlah spesies kupu-kupu sebesar 64% (r=-0,643). Kupu-kupu menyukai area dengan tutupan kanopi terbuka seperti yang diperlihatkan pada hutan kota Ragunan dan Srengseng yang ditunjang oleh komposisi semai yang mendukung bagi habitat kupu-kupu yang disukai. Secara keseluruhan ada hubungan yang cukup kuat antara spesies kupu-kupu dengan struktur vegetasi (R2=0,655), walaupun hubungan keduanya tidak signifikan (P=0,533).

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 979

KESIMPULAN DAN SARAN

Kami sebagai panitia dari Seminar Nasional PEI Bandung tahun 2011 sangat berbahagia dengan antusiasme dari para entomolog dari berbagai daerah di Indonesia untuk berpartisipasi dalam acara ini. Berbagai hasil penelitian baik dalam hal penelitian pendahuluan, penelitian lanjutan, dan penelitian masa depan menunjukkan perkembangan dari ilmu entomologi. Kedatangan pembicara tamu dengan topik-topik pembicaraan seputar berbagai hal-hal fundamental dan terapan juga telah memberikan masukan yang besar bagi perkembangan ilmu entomologi. Kami sebagai panitia juga merasa optimis dengan kemajuan dari ilmu entomologi di Indonesia dengan penampilan dari peneliti-peneliti muda baik sebagai pribadi yang melakukan penelitian maupun sebagai perantara bagi supervisor dan pembimbing. Peneliti-peneliti muda ini diharapkan akan menjadi motor penggerak dari ilmu entomologi di masa depan. Penampilan dari peserta-peserta di luar daerah tradisional ilmu pengetahuan menunjukkan perkembangan dari ilmu entomologi pada berbagai daerah dengan kondisi yang berbeda. Pengetahuan yang disajikan oleh para entomologis ini memungkinkan perkembangan ilmu entomologi dengan terjalinnya kerja sama dengan peserta-peserta dari daerah tradisional ilmu pengetahuan di Indonesia Kami sebagai panitia menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penyelenggaraan seminar nasional ini terutama dalam menginformasikan hasil-hasil penelitian yang disajikan selama seminar. Oleh karena itu kami menyarankan pada pelaksanaan seminar nasional atau internasional berikutnya yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Entomologi Indonesia dapat dikemas dalam edisi khusus dari publikasi yang diterbitkan oleh Perhimpunan Entomologi Indonesia Kami sebagai panitia juga mengucapkan apresiasi sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu teselenggaranya Seminar Nasional PEI sebab tanpa perannya maka acara ini mustahil untuk diadakan. Kami harap ilmu entomologi dapat terus berkembang dan memberikan kontribusi besar dalam pengembangan pengetahuan dan pembangunan bangsa Indonesia.

Bandung, 16 – 17 Pebruari 2011

Panitia

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia,16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaan 980