BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu Untuk Menghindari

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu Untuk Menghindari BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu Untuk menghindari adanya persamaan terhadap penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya dengan objek yang sama, sekaligus ulasan terdapat penelitian tersebut. Hal ini dipandang sebagai bahan kajian data tertulis, sebagai awal bagi penelitian ini. Sehingga diharapkan keaslian penelitian ini akan terjaga. Berikut adalah hasil penelitian yang menjadi bahan kajian terhadap data-data tertulis mngenai penelitian tentang kesenian Sisingaan. Skripsi Sarjana Jurusan Pendidikan Seni Tari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung dengan judul “ Sisingaan Wanita Lingkung Seni Setia Wargi 6 di Desa Tambakan Kecamatan Jalan Cagak Kabupaten Subang” (Perkembangan dan pola penyajian kesenian Sisingaan), yang ditulis oleh Rini Suciawati, pada tahun 2007. Tulisan ini menguraikan tentang arti Sisingaan, latar belakang, perkembangan Sisingaan hingga terbentuk grup Kesenian Sisingaan wanita. Meskipun uraian skripsi mengupas tentang Sisingaan tetapi lebih mengarah kepada bentuk penyajian Kesenian Sisingaan lingkung Seni Setia Wargi 6 yang diusung oleh perempuan. Skripsi Sarjana Jurusan Seni Tari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta tahun 2000 dengan judul “ Perkembangan Pertunjukan Kesenian Sisingaan Grup Setia Wargi 1 di Desa Tambak Mekar Kecamatan Jalan Cagak Kabupaten Subang” yang ditulis oleh Sri Pujiati. Pada penelitian ini Sri Pujiati mengupas tentang bagaimana bentuk pertunjukan kesenian Sisingaan di Subang, peranan Robot dalam perkembangan kesenian Sisingaan di Kabupaten Subang dan perkembangan bentuk pertunjukan dari kesenian Sisingan grup Setia Wargi 1yang berada di desa Tambak Mekar, kecamatan Jalan Cagak kabupaten Subang. Skripsi Sarjana Pendidikan Jurusan Pendidikan Sendratasik program Pendidikan Seni Tari Universitas Pendidikan Indonesia dengan judul “ Kesenian Rindianti Puspitasary,2013 Kemasan Sisingaan Pada Grup Setia Wargi Muda Kabupaten Subang Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu Singa Depok Puspa Kencana di Desa Sukamanah Kecamatan Majalaya Kabupaten Bandung”, yang ditulis oleh Supartini Permata pada tahun 2004. Pada penelitian ini, Supartini Permata mengupas tentang kesenian Singa Depok Puspa Kencana yang awalnya dibentuk oleh seseorang yang pernah tinggal di Subang. Walaupun dalam uraian dalam penulisan skripsi ini mengupas tentang Sisingaan, namun lebih mengarah tentang analisis pada proses penciptaan dan struktur penyajian Singa Depok Puspa Kencana yang berada di desa Sukamanah kecamatan Majalaya kabupaten Subang. Skripsi Sarjana Muda mahasiswa Jurusan Tari Akademi Seni Tari (ASTI) Bandung dengan judul “Tinjauan Deskriptif Pertunjukan Kesenian Sisingaan di Desa Tambak Mekar Kecamatan Jalan Cagak Kabupaten Subang (Pola penyajian kesenian Sisingaan)” yang diteliti dan ditulis oleh Mas Nanu Munajar pada tahun 1986. Skripsi ini mengupas dan menguraikan tentang arti Sisingaan, latar belakang dan perkembangan Sisingaan, bagaimana penyajian dan pelaksanaan kesenian Sisingaan lingkung seni Setiawargi. Walaupun mengupas tentang Sisingaan namun tulisan ini lebih mengarah pada bentuk penyajian kesenian Sisingaan pada lingkung seni Setiawargi 1 yang berada di desa Tambak Mekar. Skripsi Sarjana mahasiswa Jurusan Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara dengan judul “ Analisis Tabeuhan Kendang pada Penyajian Kesenian Sisingaan di Kabupaten Subang Jawa Barat “ yang diteliti oleh Endah Irawan pada tahun 1992. Skripsi ini merupakan tinjauan analisis musik terhadap bentuk-bentuk tabuhan kendang Sisingaan, yang dalam permainannya terdiri dari dua garapan tabuhan kendang, yakni tabuhan kendang I (kendang anak) dan tabuhan kendang II (kendang indung). Tulisan ini lebih mengarah pada analisis musiknya. Skripsi Sarjana mahasiswa Jurusan Pendidikan Seni Tari Universitas Pendidikan Indonesia dengan judul: “ Studi Komparasi Pertunjukan Sisingaan Lingkung Seni Tresna Wangi dan Lingkung Seni Pusaka Wangi di Kabupaten Subang “ yang diteliti oleh Mela Sri Wahyuni pada tahun 2012. Skripsi ini Rindianti Puspitasary,2013 Kemasan Sisingaan Pada Grup Setia Wargi Muda Kabupaten Subang Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu menguraikan dan mengupas tentang perbandingan pertunjukan Sisingaan pada Lingkung Seni Tresna Wangi dengan Lingkung Seni Pusaka Wangi. Melihat penjelasan di atas memang banyak yang sudah melakukan penelitian tentang Sisingaan, namun penelitian mengenai Kemasan Sisingaanpada grup Setia Wargi Muda Subang ini belum diteliti, oleh karena itu penelitian ini masih terjaga keasliannya. B. Pelestarian Seni Tradisi Pada zaman globalisasi sekarang ini, budaya luar menjadi tantangan bagi budaya daerah. Dalam hal ini, masyarakat dituntut untuk memiliki dan mengambil sikap yang tepat bagi eksistensi budaya daerah karena budaya daerah merupakan jati diri bangsa. Salah satu budaya daerah yang harus dijaga eksistensinya adalah kesenian, hal ini sejalan dengan pendapat Suwandono dalam Sedyawati (1984: 42), bahwa: Sikap selektif sangat diperlukan untuk: 1. Menjaga kelangsungan hidup seni tari kita memungkinkan terseretnya seni tari kita ke dalam arus penetrasi budaya dari luar lingkungan kita. 2. Menciptakan keseimbangan antara nilai-nilai seni tari kita dengan nilai-nilai seni tari dari luar lingkungan kita. 3. Memanfaatkan nilai-nilai seni dari luar lingkungan kita untuk memperkaya dan menyempurnakan perkembangan seni kita. Berdasarkan pendapat di atas merupakan cara untuk memerangi budaya global yang makin lama semakin menggerogoti kecintaan masyarakat terhadap seni tradisi. Sekarang ini banyak kesenian dari luar yang mampu menghipnotis masyarakat daerah kita, sehingga minat untuk mempelajari seni tradisional berkurang. Dengan terkikisnya kesadaran masyarakat akan seni tradisional ini akibatnyabanyak kesenian tradisional yang pada saat ini kurang diminati masyarakat.Hal tersebut sejalan dengan pendapat Taralamsyah Saragih dalam Edy Sedyawati (1984: 77) mengemukakan pendapat, bahwa: Bila kelestarian kurang mendapat perhatian selama ini disebabkan oleh tiadanya uraian dan sketsa dari pencipta yang bersangkutan, hal itu bukanlah semata-mata kesalahan pencipta tari, karena instansi yang berwenang pun Rindianti Puspitasary,2013 Kemasan Sisingaan Pada Grup Setia Wargi Muda Kabupaten Subang Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu tidak/belum berusaha untuk memintanya dari para pencipta dengan tentunya juga memberi bimbingan dan perbaikan pada bagian-bagian yang kurang tepat. Yang dimaksud dengan instansi-instansi yang berwenang ialah Bidang-bidang Kesenian Dep. P dan K dan dewan-dewan Kesenian lain. Sejalan dengan proses perubahan di dalam kesenian, terdapat individu- individu yang berusaha menciptakan dan mempertahankan kesenian tradisi sebagai kekayaan budaya untuk diwariskan kepada generasi selanjutnya sebagai nilai-nilai budaya yang secara inplisit tersirat nilai-nilai luhur kepribadian suatu bangsa. Kesenian tradisonal merupakan salah satu wujud budaya yang menjadi kebanggaan bangsa. Betapa kesenian tradisional ini merupakan harta karun bangsa Indonesia yang sarat dengan akar budaya sebagai pencerminan dari tata hidup masyarakat, seperti yang diungkapkan Ben Soeharto (1999:1) bahwa, ”tari tradisional sangat erat hubunganya dengan lingkungan dimana tarian itu lahir, ia tidak mandiri tapi ia luluh lekat dengan adaptasi setempat, pandangan hidup, tata masyarakat, agama/kepercayaan dan lain sebagainya”. Dengan demikian, kesenian daerah atau yang biasa disebut dengan kesenian tradisional harus dipelihara bahkan dikembangkan oleh masyarakat dengan didukung berbagai instansi yang terkait agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan bahwa seni budaya daerah yang dimiliki merupakan jati diri bangsa karena untuk menjaga, mempertahankan eksistensi seni tari tradisional di daerah kita menjadi permasalahan yang harus diatasi oleh kita semua. Ada hal penting untuk mengatasi permasalahan tersebut dengan melaksanakan beberapa tahapan, seperti yang diuraikan oleh Suwandono dalam Edy Sedyawati (1984: 43- 44) sebagai berikut: 1. Bahwa tari tradisi perlu mendapatkan pembinaan secara sungguh- sungguh, mantap dan terarah untuk kemudian dikembangkan mutunya selaras dengan alam pikiran dan pandangan hidup masyarakat bangsa Indonesia. 2. Bahwa tari tradisi yang dibina dan dikembangkan mutunya, memegang peran penting dalam perkembangan tari kita di masa yang akan datang, karena tari tradisi merupakan dasar sumber penciptaan tari di masa mendatang. Rindianti Puspitasary,2013 Kemasan Sisingaan Pada Grup Setia Wargi Muda Kabupaten Subang Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu 3. Bahwa identitas tari tradisi daerah perlu dipelihara, karena mencerminkan kekayaan harta warisan budaya bangsa Indonesia yang pada hakikatnya tetap mewujudkan kesatuan identitas bangsa Indonesia seperti tercermin dalam Bhineka Tunggal Ika. 4. Bahwa usaha untuk mengembangkan tari tradisi telah ada dilaksanakan, walaupun masih dalam taraf eksperimen dan masih penggarapan yang lebih mendalam. 5. Bahwa salah satu sarana untuk dapat melaksanakan pembinaan dan pengembangan tari tradisi, diperlukan satu wadah kegiatan yang antara lain berupa lokakarya yang berfungsi sebagai laboratorium tari. 6. Bahwa perkembangan atau kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan hendaknya dapat dimanfaatkan untuk menunjang usaha pembinaan dan pengembangan tari tradisi. Dengan melaksanakan pembinaan seperti yang telah diuraikan di atas, maka diharapkan kesenian tradisional akan tetap hidup dan terjaga kelestariannya, walaupun banyak kesenian modernyang menarik perhatian masyarakat. Hal ini dipertegas oleh pendapat
Recommended publications
  • Boran Dance, Between Identity and Dance of Lamongan Tradition in the Perspective of Cultural Studies
    Proceding - International Seminar Culture Change and Sustainable Development in Multidisciplinary Approach: Education, Environment, Art, Politic, Economic, Law, and Tourism BORAN DANCE, BETWEEN IDENTITY AND DANCE OF LAMONGAN TRADITION IN THE PERSPECTIVE OF CULTURAL STUDIES Desty Dwi Rochmania Hasyim Asy'ari University of Tebuireng Jombang East Java [email protected] ABSTRACT Boran Dance which was originally created with the aim of following the traditional art festival organized by the East Java art council currently transformed into a traditional dance Lamongan. Stunted Boran dance is transformed into a traditional dance Lamongan does not appear suddenly but the results of the ideology of the ruling class (government Lamongan) through various systems and institutions, ranging from media, advertising, educational institutions and so on. This practice the researchers consider as an unnatural problem because the context of the construction of dance is outside of the traditional aesthetic rules of dance. Referring to the phenomenon of the researcher will analyze this problem with the perspective of western philosophy that is by approach theories of cultural studies. Through the approach of theories of cultural studies researchers trying to peel the extent to which Boran dance is transforming into traditional dance Lamongan and become Lamongan dance identity. Through critical thinking Gramsci, researchers try to analyze how far Boran dance transform itself into traditional Lamongan dance, and is there any legality of hegemony also in it. So as to make dance boran, as the identity of traditional dance Lamongan. Boran Dance was born from an iven of traditional art performances organized by the East Java Arts Council. Because to the existence and success of this dance is transformed from festival dance into traditional Lamongan dance.
    [Show full text]
  • Apresiasi Masyarakat Terhadap Kesenian Burok Grup Pandawa Nada Di Desa Kemurang Wetan Kabupaten Brebes
    APRESIASI MASYARAKAT TERHADAP KESENIAN BUROK GRUP PANDAWA NADA DI DESA KEMURANG WETAN KABUPATEN BREBES SKRIPSI disajikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Seni Musik oleh M. Ricky Juliardi 2503407015 JURUSAN PENDIDIKAN SENI DRAMA, TARI, DAN MUSIK FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013 ii iii MOTTO DAN PERSEMBAHAN Motto: Ikutilah apa yang diwahyukan kepadamu dan bersabarlah (Q.S Yunus: 109) Persembahan: Kupersembahkan skripsi ini untuk orang-orang terkasih yang telah memberi warna dan makna dalam alur kehidupan yang telah terlalui dan yang akan dilalui: Ayahku yang tercinta Joko Irianto, Ibuku yang tersayang Lily Mulyati dan adikku Laras Nur Maulida yang cinta dan kasihnya tak pernah terbatas. Rekan-rekan Mahasiswa Pendidikan Seni Musik Angkatan Tahun 2007. Segenap Dosen Sendratasik Abdul Muklis, Lingling, dan teman-teman kos Tumpuk yang telah membantu dan memberikan inspirasi kepadaku. iv KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang selalu melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya. Hanya dengan anugerah dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Apresiasi Masyarakat Terhadap Kesenian Burok Grup Pandawa Nada Di Desa Kemurang Wetan Kabupaten Brebes”. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala bantuan dan ilmu yang telah diberikan kepada penulis baik secara langsung maupun tidak langsung dalam rangka penyusunan skripsi ini, terutama kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum., Rektor Universitas Negeri Semarang yang telah memberi kesempatan untuk menyelesaikan studi di Pendidikan Sendratasik FBS Universitas Negeri Semarang. 2. Bapak Prof. Dr. Agus Nuryatin, M.Hum., Dekan Fakultas Bahasa dan Seni yang telah memberikan ijin untuk melaksanakan penelitian.
    [Show full text]
  • Glossary.Herbst.Bali.1928.Kebyar
    Bali 1928 – Volume I – Gamelan Gong Kebyar Music from Belaluan, Pangkung, Busungbiu by Edward Herbst Glossary of Balinese Musical Terms Glossary angklung Four–tone gamelan most often associated with cremation rituals but also used for a wide range of ceremonies and to accompany dance. angsel Instrumental and dance phrasing break; climax, cadence. arja Dance opera dating from the turn of the 20th century and growing out of a combination of gambuh dance–drama and pupuh (sekar alit; tembang macapat) songs; accompanied by gamelan gaguntangan with suling ‘bamboo flute’, bamboo guntang in place of gong or kempur, and small kendang ‘drums’. babarongan Gamelan associated with barong dance–drama and Calonarang; close relative of palégongan. bapang Gong cycle or meter with 8 or 16 beats per gong (or kempur) phrased (G).P.t.P.G baris Martial dance performed by groups of men in ritual contexts; developed into a narrative dance–drama (baris melampahan) in the early 20th century and a solo tari lepas performed by boys or young men during the same period. barungan gdé Literally ‘large set of instruments’, but in fact referring to the expanded number of gangsa keys and réyong replacing trompong in gamelan gong kuna and kebyar. batél Cycle or meter with two ketukan beats (the most basic pulse) for each kempur or gong; the shortest of all phrase units. bilah Bronze, iron or bamboo key of a gamelan instrument. byar Root of ‘kebyar’; onomatopoetic term meaning krébék, both ‘thunderclap’ and ‘flash of lightning’ in Balinese, or kilat (Indonesian for ‘lightning’); also a sonority created by full gamelan sounding on the same scale tone (with secondary tones from the réyong); See p.
    [Show full text]
  • Strategi Kolaborasi Dalam Seni Pertunjukan Tradisional Di Kabupaten Subang
    1 STRATEGI KOLABORASI DALAM SENI PERTUNJUKAN TRADISIONAL DI KABUPATEN SUBANG COLLABORATION STRATEGIES IN TRADITIONAL PERFORMING ARTS IN SUBANG Oleh Irvan Setiawan Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung Jln. Cinambo No. 136 Ujungberung Bandung Email: [email protected] Naskah Diterima: 28 Februari 2013 Naskah Disetujui: 2 April 2013 E Abstrak Kesenian tradisional memegang peranan dalam pencirian dan menjadi kekhasan suatu daerah. Bagi wilayah administratif yang menjadi cikal bakal suatu kesenian daerah tentu saja tidak sulit untuk menyebut istilah kesenian khas dan menjadi milik daerah tersebut. Lain halnya dengan wilayah administratif yang tidak memiliki kesenian daerah sehingga akan berusaha menciptakan sebuah kesenian untuk dijadikan sebagai kesenian khas bagi daerahnya. Beruntunglah bagi Kabupaten Subang yang menjadi cikal bakal beberapa kesenian yang terlahir dan besar di daerahnya. Tidak hanya sampai disitu, Pelestarian dan pengembangan kesenian tradisional tampak serius dilakukan. Hal tersebut terlihat dari papan nama berbagai kesenian (tradisional) di beberapa ruas jalan dalam wilayah Kabupaten Subang. Seiring berjalannya waktu tampak jelas terlihat adanya perubahan dalam pernak pernik atau tahapan pertunjukan pada beberapa seni pertunjukan tradisional. Kondisi tersebut pada akhirnya mengundang keingintahuan mengenai strategi kolaborasi apa yang membuat seni pertunjukan tradisional masih tetap diminati masyarakat Subang. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif analisis yang didukung dengan data lintas waktu baik dari sumber sekunder maupun dari pernyataan informan mengenai seni pertunjukan tradisional di Kabupaten Subang. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa kolaborasi yang dilakukan meliputi kolaborasi lintas waktu dan lintas ruang yang masih dibatasi oleh seperangkat aturan agar kolaborasi tidak melenceng dari identitas ketradisionalannya. Kata kunci: Strategi kolaborasi, pertunjukan tradisional Abstract Traditional arts play a role in the characterization of a region.
    [Show full text]
  • Phd Thesis Tamara Aberle
    Socially-engaged theatre performances in contemporary Indonesia Tamara Alexandra Aberle Royal Holloway, University of London PhD Thesis 1 Declaration of Authorship I, Tamara Alexandra Aberle, hereby declare that this thesis and the work presented in it is entirely my own. Where I have consulted the work of others, this is always clearly stated. Signed: ______________________ Date: ________________________ 2 Abstract This thesis argues that performances of contemporary theatre in Indonesia are socially- engaged, actively creating, defining and challenging the socio-political environment, and that theatre practitioners are important members of a vibrant civil society who contribute and feel actively committed to democratic processes. Following an initial chapter about the history of modern theatre from the late 19th century until the fall of President Suharto in 1998, the four core chapters centre on four different aspects of contemporary Indonesian socio-politics: historical memory and trauma, violence and human rights, environmentalism, and social transition. Each of these chapters is preceded by an introduction about the wider historical and socio-political context of its respective discourse and is followed by an analysis of selected plays. Chapter 2 focuses on historical trauma and memory, and relates the work of two theatre artists, Papermoon Puppet Theatre and Agus Nur Amal (a.k.a. PM Toh), to processes seeking truth and reconciliation in Indonesia in the post-Suharto era. Chapter 3, on violence and human rights, discusses the works of Ratna Sarumpaet and B. Verry Handayani, with a specific focus on human trafficking, sexual exploitation, and labour migration. Chapter 4 discusses environmentalism on the contemporary stage. It investigates the nature of environmental art festivals in Indonesia, taking Teater Payung Hitam’s 2008 International Water Festival as an example.
    [Show full text]
  • B. Barendregt the Sound of Longing for Homeredefining a Sense of Community Through Minang Popular Music
    B. Barendregt The sound of longing for homeRedefining a sense of community through Minang popular music In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 158 (2002), no: 3, Leiden, 411-450 This PDF-file was downloaded from http://www.kitlv-journals.nl Downloaded from Brill.com09/23/2021 02:24:12PM via free access BART BARENDREGT The Sound of 'Longing for Home' Redefining a Sense of Community through Minang Popular Music Why, yes why, sir, am I singing? Oh, because I am longing, Longing for those who went abroad, Oh rabab, yes rabab, please spread the message To the people far away, so they'll come home quickly (From the popular Minangkabau traditional song 'Rabab'.) 1. Introduction: Changing mediascapes and emerging regional metaphors Traditionally each village federation in Minangkabau had its own repertoire of musical genres, tunes, and melodies, in which local historiography and songs of origin blended and the meta-landscape of alam Minangkabau (the Minangkabau universe) was depicted.1 Today, with the ever-increasing disper- sion of Minangkabau migrants all over Southeast Asia, the conception of the Minangkabau world is no longer restricted to the province of West Sumatra. 1 Earlier versions of this article were presented at the 34th Conference of the International Council of Traditional Music, Nitra, Slovakia, August 1996, and the VA/AVMI (Leiden Uni- versity) symposium on Media Cultures in Indonesia, 2-7 April 2001. Its present form owes much to critical comments received from audiences there. I would like to sincerely thank also my colleagues Suryadi, for his suggestions regarding the translations from the Minangkabau, and Robert Wessing, for his critical scrutiny of my English.
    [Show full text]
  • Uluwatu Temple & Kecak Dance 2.Pages
    Bali Transit Activity “Uluwatu Temple & Kecak Dance” Half Day Tour The Uluwatu Temple is one of Bali's most spectacular temples. It is built on a cliff top at the edge of a plateau about 75 meters / 250 feet above the waves of the Indian Ocean. Uluwatu lies at the southern tip of Bali. Dedicated to the spirits of the sea, the famous Uluwatu temple is an architectural wonder in black coral rock, beautifully designed with spectacular views. It is a popular place to enjoy the sunset. The Uluwatu Temple is important to the Balinese as it is one of Bali's directional temples, guarding Bali from evil spirits from the South- West, in which dwell major deities, in Uluwatu's case; “Bhatara Rudra” – the God of the elements and of cosmic force majeure. At this temple you will have the chance to watch one of Bali’s most famous dances, the Kecak Dance. The Kecak dance is unusual because it has no musical accompaniment like many other Indonesian dances do; the rhythm of the dance is produced by the chanting 'monkey' chorus. A troupe of over 150 bare-chested men serve as the chorus, making a wondrous cacophony of synchronized "chak-achak-achak" clicking sounds while swaying their bodies and waving their hands. From that chanting noise of "Cak- cak-cak", then it gave the dance its name Kecak. 1 of 2 Bali Transit Activity The dance is played in five acts and lasts roughly 45 minutes. It is taken from the Hindu epic Ramayana, which tells the story of Prince Rama and his rescue of Princess Sita, who has been kidnapped by the evil King of Lanka, Rahwana and somehow with the help of the white monkey army, Rama rescues his wife and defeats the evil Rahwana.
    [Show full text]
  • “Saweran Sebagai Bentuk Interaksi Simbolik Antara
    “SAWERAN SEBAGAI BENTUK INTERAKSI SIMBOLIK ANTARA PEMAIN DAN PENONTON DALAM TARI REOG GONDORIYO PADA KESENIAN BARONGAN SINGO LODRO DI DESA TODANAN KECAMATAN TODANAN KABUPATEN BLORA” SKRIPSI untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S1) Oleh: Nama : Selvi Widya A NIM : 2501412154 Program Studi : Pendidikan Seni Tari Jurusan : Pendidikan Seni Drama Tari dan Musik JURUSAN SENI DRAMA TARI DAN MUSIK (PENDIDIKAN TARI) FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2017 i PERSETUJUAN PEMBIMBING Skripsi dengan judul “Saweran Sebagai Bentuk Interaksi Simbolik Antara Pemain Dan Penonton Dalam Tari Reog Gondoriyo Pada Kesenian Barongan Singo Lodro Di Desa Todanan Kecamatan Todanan Kabupaten Blora” telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke Sidang Panitia Ujian Kripsi Semarang, 11 Agustus 2017 Pembimbing I Pembimbing II Drs. Bintang Hanggoro P. M. Hum.. Restu Lanjari, S.Pd, M.Pd. NIP. 196002081987021001 NIP. 196112171986012001 ii PENGESAHAN KELULUSAN Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan sidang Panitia Ujian Skripsi Jurusan Seni Drama, Tari dan Musik, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang pada hari : Jumat tanggal : 11 Agustus 2017 Panitia Ujian Skripsi Prof. Dr. Agus Nuryatin, M. Hum. (196008031989011001) Ketua Abdul Rachman, S.Pd.M.Pd (198001202006041002) Sekertaris Dra. Eny Kusumastuti, M.Pd (196804101993032001) Penguji I Restu Lanjari, S.Pd, M.Pd (196112171986012001) Penguji II/Pembimbing II Drs. Bintang Hanggoro P, M. Hum. (196002081987021001) Penguji III/Pembimbing I Prof. Dr. Agus Nuryatin, M. Hum. (196008031989011001) Dekan Fakultas Bahasa dan Seni iii PERNYATAAN Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi yang berjudul “Saweran Sebagai Bentuk Interaksi Simbolik Antara Pemain Dan Penonton Dalam Tari Reog Gondoriyo Pada Kesenian Barongan Singo Lodro Di Desa Todanan Kecamatan Todanan Kabupaten Blora” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan dari karya orang lain, baik sebagian atau seluruhnya.
    [Show full text]
  • Materi+DRAMA+JAWA 0.Pdf
    BAB I SELUK BELUK DRAMA A. Antara Drama, Sandiwara, dan Teater Banyak orang berasumsi, drama itu sekedar tontonan. Memang tidak keliru anggapan ini. Hampir semua drama dipentaskan memang untuk ditonton. Apalagi kalau dirunut dari aspek etimologi, akar tunjang dari istilah "drama" dari bahasa Greek (Yu- nani kuna) drau yang berarti melakukan (action) atau berbuat sesuatu (Muhsin, 1995). Berbuat berarti memang layak dilihat. Wiyanto (2002:1) sedikit berbeda, katanya drama dari bahasa Yunani dram, artinya bergerak. Kiranya, gerak dan aksi adalah mirip. Kalau begitu, tindakan dan gerak yang menjadi ciri drama. Tiap drama mesti ada gerak dan aksi, yang menuntun lakon. Aristoteles (Brahim, 1968:52) menyatakan bahwa drama adalah “a representation of an action”. Action, adalah tindakan yang kelak menjadi akting. Drama pasti ada akting. Dalam drama itu terjadi “a play”, artinya permainan atau lakon. Jadi ciri drama harus ada akting dan lakon. Permainan penuh dengan sandi dan simbol, ayng menyimpan kisah dari awal hingga akhir. Daya simpan kisah ini yang menjadi daya tarik drama. Drama yang terlalu mudah ditebak, justru kurang menarik. Dalam bahasa Jawa, drama sering disebut sandiwara. Kata sandi artinya rahasia, wara (h) menjadi warah berarti ajaran. Sandiwara berarti drama yang memuat ajaran tersamar tentang hidup. Sandiwara dan drama sebenarnya tidak perlu diperdebatkan. Keduanya memuat kisah, yang bercirikan dialog. Baik drama maupun sandiwara sama- sama menjadi guru kehidupan ini. Drama itu suguhan seni yang hidup, penuh fantasi. Drama menjadi tafsir kehidupan, yang kadang-kadang melebihi dunia aslinya. Siapapun sesungguhnya dapat bergulat dengan drama. Muhsin (1995) juga banyak mengetengahkan berbagai kelebihan drama. Biarpun bagi seseorang kadang-kadang enggan tampil dan malu-malu menjadi pemain, drama tetap genre sastra yang menarik.
    [Show full text]
  • Bali: So Many Faces--Short Stories and Other Literary Excerpts in Indonesian. INSTITUTION Western Sydney Univ., Macarthur (Australia)
    DOCUMENT RESUME ED 411 529 CS 215 987 AUTHOR Cork, Vern, Comp. TITLE Bali: So Many Faces--Short Stories and Other Literary Excerpts in Indonesian. INSTITUTION Western Sydney Univ., Macarthur (Australia). Language Acquisition Research Centre.; Australian National Languages and Literacy Inst., Deakin. ISBN ISBN-1-87560-40-7 PUB DATE 1996-00-00 NOTE 200p. PUB TYPE Collected Works General (020) Creative Works (030) LANGUAGE English, Indonesian EDRS PRICE MF01/PC08 Plus Postage. DESCRIPTORS Anthologies; *Audience Awareness; Cultural Background; *Cultural Context; Foreign Countries; *Indonesian; Literary Devices; Non Western Civilization; *Short Stories; *Social Change; Tourism IDENTIFIERS *Bali; *Balinese Literature; Indonesia ABSTRACT This collection of 25 short stories (in Indonesian) by Balinese writers aims to give Bali's writers a wider public. Some of the stories in the collection are distinctly and uniquely Balinese, while others are more universal in their approach and are self-contained. But according to the collection's foreword, in all of the stories, experiences of Bali are presented from the inside, from the other side of the hotels, tour buses, and restaurants of "tourist" Bali. The writers presented come from a range of backgrounds, reflecting the diversity cf Balinese society--different castes, differences between urban and rural baa4xiouncl.s, .and varieties of ethnicity are all important to the multiplicity of voices found in the collection. In addition, the collection draws from backgrounds of journalism, theater, cartoons, poetry, and academia, and from writers who may have been born in other parts of Indonesia but who have lived for decades in Bali and reflect Bali's inseparability from the Indonesian nation.
    [Show full text]
  • Analisis Partisipasi Kebudayaan
    ANALISIS PARTISIPASI KEBUDAYAAN KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN PUSAT DATA DAN STATISTIK PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN JAKARTA, 2016 ANALISIS PARTISIPASI KEBUDAYAAN KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN PUSAT DATA DAN STATISTIK PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN i KATALOG DALAM TERBITAN Indonesia. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Analisis Partisipasi Kebudayaan/Disusun oleh: Bidang Pendayagunaan dan Pelayanan. – Jakarta: Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan, Kemdikbud, 2016 xi, 101 hal, bbl, ilus, 23 cm ISSN 0216-8294 Pengarah: Bastari Siti Sofiah Dwi Winanta Hadi Penulis Indardjo Penyunting: Darmawati Desain Cover Abdul Hakim ii KATA PENGANTAR Buku “Analisis Partisipasi Kebudayaan” ini merupakan hasil pendayagunaan data budaya hasil survai BPS. Partisipasi budaya merupakan derajat tertentu tentang keterlibatan warga masyarakat dalam melakukan serangkaian aktivitas budaya. Data yang digunakan dalam menyusun Analisis Partisipasi Kebudayaan ini bersumber dari Susenas 2015. Variabel-variabel yang dianalisis khususnya yang menyangkut aktivitas budaya seperti memasang bendera merah putih, berbusana daerah, produksi budaya, menghadiri dan menyelenggarakan upacara adat dari responden rumah tangga. Selain itu, dianalisis pula aktivitas budaya di dalam rumah dan luar rumah dari responden angota rumah tangga. Sifat dari analisis ini adalah diskriptif dengan responden rumah tangga dan anggota rumah tangga yang masing-masing mengacu pada analisis nasional, antar wilayah (desa kota), dan antar provinsi. Pusat Data dan Statistik Pendidikan
    [Show full text]
  • Mapping the History of Malaysian Theatre: an Interview with Ghulam-Sarwar Yousof
    ASIATIC, VOLUME 4, NUMBER 2, DECEMBER 2010 Mapping the History of Malaysian Theatre: An Interview with Ghulam-Sarwar Yousof Madiha Ramlan & M.A. Quayum1 International Islamic University Malaysia It seems that a rich variety of traditional theatre forms existed and perhaps continues to exist in Malaysia. Could you provide some elucidation on this? If you are looking for any kind of history or tradition of theatre in Malaysia you won’t get it, because of its relative antiquity and the lack of records. Indirect sources such as hikayat literature fail to mention anything. Hikayat Raja-Raja Pasai mentions Javanese wayang kulit, and Hikayat Patani mentions various music and dance forms, most of which cannot be precisely identified, but there is no mention of theatre. The reason is clear enough. The hikayat generally focuses on events in royal court, while most traditional theatre developed as folk art, with what is known as popular theatre coming in at the end of the 19th century. There has never been any court tradition of theatre in the Malay sultanates. In approaching traditional theatre, my own way has been to first look at the proto- theatre or elementary forms before going on to the more advanced ones. This is a scheme I worked out for traditional Southeast Asian theatre. Could you elaborate on this? Almost all theatre activity in Southeast Asia fits into four categories as follows: Proto-Theatre, Puppet Theatre, Dance Theatre and Opera. In the case of the Philippines, one could identify a separate category for Christian theatre forms. Such forms don’t exist in the rest of the region.
    [Show full text]