Jurnal Penyakit Bersumber Binatang, Vol. 2, No. 1, Juni 2014: 1 - 14

Kajian Aspek Epidemiologi Taeniasis dan Sistiserkosis di

Semuel Sandy

Balai Litbang Biomedis Papua Alamat: Jl. Kesehatan Dok II. E-mail: [email protected]

Aspects of Epidemiology Studies Taeniasis and Cysticercosis in Papua

Abstract. Taeniasis is an infection of the digestive tract by adult worm Taenia solium, Taenia saginata, and Taenia asiatica. Cysticercosis is a disease infection of the soft tissue caused by Taenia solium larvae. The diseases were found in especially Bali, North Sumatra and Papua Province , with prevalence range of 2- 48%. Epidemiology analysis taeniasis and cysticercosis were very necessary to understood the distribution pattern, prevalence and transmission of diseases (T. solium life cycle). The results of Seroepidemiology survey conducted in 2007 by the Health Departement of Papua Office in Paniai , , , and The Pegunungan Bintang regency were found cases of taeniasis and cysticercosis. Survey conducted in 2009 by the Research and Development UPF Papua in Jayapura city and Keerom District also found diseases taeniasis and cysticercosis. The Risk factors and patterns spread of taeniasis-cysticercosis there were the mobility of the population of carriers from endemic areas to non-endemic areas. Poor environmental sanitation, socio-economic, cultural and low education were also a factor affecting the spread of taeniasis and cysticercosis in Papua. Intervention required by the Department of Health for the provision of mass de- worming and health education for the community. The Departemen of Husbandry were gave education and the right to counseled raised and vaccinated pigs.

Keywords: Taeniasis, Cysticercosis, Taenia solium, Taenia asiatica, Taenia saginata.

Abstrak. Taeniasis merupakan infeksi pada saluran pencernaan oleh cacing dewasaTaenia solium, Taenia saginata dan Taenia asiaticasedangkan sistiserkosis merupakan penyakit/infeksi pada jaringan lunak yang disebabkan oleh larva Taenia solium. Penyakit ini masih ditemukan di Indonesia khusunya Provinsi Bali, Sumatra Utara dan Papua dengan kisaran prevalensi 2œ48%. Analisis data epidemiologi penyakit taeniasis dan sistiserkosis sangat diperlukan untuk memahami pola distribusi, prevalensi dan cara penularan penyakit (siklus hidup T. solium).Hasil survei seroepidemiologi yang dilakukan tahun 2007 oleh Dinas Kesehatan Provinsi Papua di Kabupaten Pegunungan tengah (Kab. Paniai, Kab. Jayawijaya, Kab. Puncak Jaya, dan Kab. Peg. Bintang) masih ditemukan kasus taeniasis dan sistiserkosis. Sedangkan survei yang dilakukan oleh UPF litbangkes Papua di Kota Jayapura dan

1 KajianAspekEpidemiologi……. (Sandy et. al)

Kab. Keerom juga ditemukan penyakit taeniasis dan sistiserkosis. Faktor risiko pola penyebaran taeniasis dan sistiserkosis adanya mobilitas penduduk yang merupakan carriers dari daerah endemi ke daerah non-endemik. Sanitasi lingkungan yang masih buruk , sosial ekonomi, budaya masyarakat dan pendidikan yang masih rendah juga merupakan faktor yang mempengaruhi penyebaran penyakit taeniasis dan sistiserkosis di Papua. Diperlukan intervensi oleh Dinas Kesehatan berupa pemberian obat cacing secara massal dan penyuluhan kesehatan bagi masyarakat sedangkan Dinas Peternakan memberikan penyuluhan berternak yang benar dan memberikan vaksinasi ternak babi.

Kata Kunci: Taeniasis, Sistiserkosis, Taenia solium, Taenia asiatica, Taenia saginata.

PENDAHULUAN

aeniasis dan sistiserkosis Deseases(NTDs) atau Neglected merupakan penyakit zoonosis Zoonotic Deseases (NZDs) (2). Tyang disebabkan oleh spesies Taeniasis dan sistiserkosis tersebar di cestoda Taenia solium.Taeniasis negara berkembang dengan faktor risiko merupakan infeksi pada saluran pada system sanitasi dan pemeliharaan pencernaan oleh cacing Taenia solium yang buruk. Taeniasis merupakan dewasa sedangkan sistiserkosis penyakit infeksi endemik di negara merupakan penyakit/infeksi pada Amerika Tengah dan Amerika Selatan, jaringan lunak yang disebabkan oleh di Asia seperti Korea, Cina, Filipina, larva Taenia solium. Manusia merupakan Thailand, Afrika, Eropa Timur, Nepal, hospes defenitif utama penyakit Taenia Buthan, India dan Indonesia(3). solium(1). Sedangkan hospest perantara Prevalensi tertinggi ditemukan di penyakit ini adalah hewan babi. Manusia Amerika Latin, Asia dan Afrika(4). terinfeksi penyakit taeniasis dikarenakan Daerah endemik memiliki persentase mengkomsumsi daging babi yang penyakit neurosistiserkosis (NCS) yang terinfeksi larva Taenia solium. Taenia tinggi dengan gejala kejang-kejang solium menginfeksi sekitar 50 juta (epilepsi) dan gangguan saraf lainnya (5). manusia diseluruh dunia dan merupakan Hal ini disebabkan karena larva cacing salah satu permasalahan kesehatan di sistiserkus menginfasi jaringan otak negara sedang berkembang. Tingginya sehingga menyebabkan kejang (epilepsi), mobilitas migrasi penduduk dari hydrocephalus dan manifestasi gangguan negaraendemik ke negara maju (negara saraf (6). industri) menyebabkan kompleksnya Taeniasis merupakan masalah pola penyebaran taeniasis-sistiserkosis, kesahatan yang penting di Indonesia. sehingga menjadi issue permasalahan Terdapat tiga jenis cestoda yang banyak kesehatan diseluruh dunia. Taeniasis dan menginfeksi masyarakat yaitu T.solium, sistiserkosis dikategorikan oleh WHO T.saginata dan T.asiatica. Taeniasis sebagai Neglected Tropical yang disebabkan oleh cestoda

2 Jurnal Penyakit Bersumber Binatang, Vol. 2, No. 1, Juni 2014: 1 - 14

T.soliumdan T. saginata banyak cacing (cisticercus cellulosae) terdapat ditemukan di daerah Bali, taeniasis yang dalam bentuk kista di dalam jaringan disebabkan oleh T.asiatica banyak organ babi (hospes perantara). Cacing ditemukan di Pulau Samosir Sumatra dewasa akan melepaskan segmen gravid Utara dan taeniasis yang disebabkan oleh dan pecah di dalam usus sehingga telur T.solium banyak ditemukan di Irian Jaya dapat di temukan dalam tinja penderita (sekarang Papua)(7). dan dapat bertahan beberapa bulan di Daerah endemik taeniasis dan lingkungan. Telur yang keluar bersama sistiserkosis di Indonesia yaitu Bali, tinja jika termakan oleh babi, di dalam Papua dan Sumatra Utara (8). Prevalensi usus babi telur akan pecah dan onskofer penyakit taeniasis dan sisitiserkosis akan terlepas. Onskofer memiliki kait berada pada rentang 2% œ 48%, dimana sehingga dapat menembus dinding usus prevalensi tertinggi di daerah Papua pada dan masuk dalam sirkulasi darah. tahun 1997 (9). Subahar (2001) Onskofer menyebar ke jaringan dan melaporkan prevalensi di Jayawijaya organ tubuh babi yaitu lidah, otot leher, 50,1% (160 sampel darah) positif otot jantung, dan otot gerak. Dalam sistiserkosis pada uji immunoblot(10). Di waktu 60-70 hari onskofer akan berubah daerah Bali ditemukan 1,65% (363 menjadi larva sistiserkus.Infeksi pada sampel) positif sistiserkosis pada uji manusia terjadi karena mengkomsumsi immunoblot(11). Sejak tahun 2002-2009 daging babi mentah atau kurang matang survey taeniasis dan sistiserkosis pada yang mengandung larva sistiserkus. Di 660 orang menggunakan metode deteksi saluran cerna skoleks mengalami mitokondria DNA di temukan 80 kasus eksvaginasi dan melekatkan diri dengan positif terinfeksi T.saginata dan alat isap di dinding usus. Skoleks akan T.solium, juga ditemukan 12 kasus tumbuh menjadi cacing dewasa dan neurosistiserkosis(12). kemudian membentuk strobila. Dalam waktu 2-3 bulan telah tumbuh menjadi METODE cacing dewasa yang mampu menghasilkan telur untuk meneruskan Bahan penulisan artikel ini daur hidupnya(13). Taenia solium panjang merupakan kajian dari beberapa pustaka sekitar 7 meter dan dapat menghasilkan dan artikel jurnal yang terkait dengan 50.000/tiap proglotid. epidemiologi penyakit taeniasis dan sistiserkosis di Indonesia dan beberapa B. Gejala Klinis Negara yang terjadi kasus tersebut. Gejala penderita taeniasis umumnya PEMBAHASAN yaitu berupa rasa tidak enak pada perut, gangguan pencernaan, diare, konstipasi, A. Siklus HidupTaenia solium sakit kepala dan anemia.Pemeriksaan darah tepi terdapat gambaran Manusia merupakan definitivehost peningkatan eosinofil. Sistiserkosis pada cacing pita dewasa, sedangkan larva otak (neurosistiserkosis) dengan gejala

3 KajianAspekEpidemiologi……. (Sandy et. al)

gangguan motorik, kelainan saraf D. Epidemiologi Taeniasis dan sensorik maupun gangguan mental Sistiserkosis di Papua penderita. Sistiserkosis pada bola mata menyebabkan nyeri bola mata, gangguan Kasus taeniasis di Indonesia pertama pengelihatan dan kebutaan. Sedangkan kali dilaporkan berasal dari Irian Jaya pada otot jantung menyebabkan tahun 1970, dimana ditemukan 9% fases takikardia, sesak napas, sinkop dan dari 170 pasien RS gangguan irama jantung (13). menggandung telur Taenia spp. Seluruh pasien kemungkinan terinfeksi Taenia C. Metode Diagnosis Taeniasis dan solium dikarenakan semua pasien Sistiserkosis memiliki hewan ternak babi sedangkan hewan ternak sapi hanya sedikit dan (21) Diagnosis taeniasis pada penderita hanya dimiliki oleh para pendatang . untuk menemukan telur Taenia solium, Survey di Desa Obano dekat Enarotali menggunakan metode konsentrasi pada pemeriksaan 350 sampel tinja formol-eter. Sampel tinja di ditemukan sebanyak 2% positif telur (22) awetkan/fiksasi dalam formalin 10% Taenia spp . Pada saat tersebut dan untuk menemukan proglotid ditemukan outbreak banyak masyarakat menggunakan saringan kawat tahan karat yang mengalami luka bakar akibat 40 mesh(14,15). Diagnosis juga dapat terjatuh di perapian akibat kejang-kejang (23) dilakukan menggunakan coproantigen (epilepsi) . Pada tahun 1978 Subianto test yaitu menggunakan ELISA untuk dkk. melaporkan kasus luka bakar yang mendeteksi antigen taenia di fases disebabkan oleh gejala kejang-kejang dengan capture antibodypoliclonal IgG (epilepsy). Jumlah kasus luka bakar di dari rabbit metode ini dikembangkan RS Enarotali tahun 1973 sangat sedikit, oleh Allan (1990) dan Rodriguez-Canul namun priode 1973-1976 terjadi (1999). Identifikasi proglotid pada tinja peningkatan kasus 275 orang. Pada mengunakan metode multiplex PCR yang kelompok umur 11 tahun keatas dikembangkan Yamasaki (2004)(16,17,18). ditemukan 88 kasus gejala kejang- Diagnosissistiserkosis kejang, adanya nodul subkutan (benjolan menggunakanEnzyme-Linked kecil di bawah kulit) 33,1% dan Immunoelectrotransfer Blot (EITB) pemeriksaan fases ditemukan proglotid (24) Assayyang dikembangkan oleh Tsang dan telur Taenia spp 16,6% . (1989) dan diproduksi oleh Immunetics Tahun 1991 dilaporkan terdapat 95 (Cambridge, MA)(19). Sistiserkosis di kasus serangan kejang-kejang di distrik jaringan otak atau jaringan lunak dapat Jayawijaya (sekarang Kab. Jayawijaya) juga didiagnosis mengunakan Computed bagian timur Distrik Paniai (sekarang Tomography (CT) scanning, Magnetic Kab. Paniai) yang mirip kasusnya seperti Resonance Imaging (MRI) dan X-ray di Desa Obano. Tahun 1994-1995 jika sistisersi mengalami kalsifikasi (20). terdapat 638 kasus dan 945 kasus baru yang dilaporkan oleh 20 unit pelayanan kesehatan (Puskesmas). Angka kematian

4 Jurnal Penyakit Bersumber Binatang, Vol. 2, No. 1, Juni 2014: 1 - 14

dalam dua tahun terakhir tersebut yaitu duayang parah akibat serangan epilepsi. 6-8 orang(24). Penyebaran ini terjadi Penyakit taeniasis dan sistiserkosis karena masyarakat umumnya berjalan berdampak pada masyarakat khususnya kaki bersama hewan ternak babi untuk bidang kesehatan karena akan terjadi tujuan berdagang ke Distrik Jayawijaya, gangguan penyerapan nutrisidan zat besi sehingga babi yang terinfeksi larva pada usia anak-anak. Penduduk yang Taenia solium dan orang yang menjadi terinfeksi sistiserkosis jika mengalami carriers taeniasis juga beremigrasi kejang dan tidak sadar sehingga terjatuh menyebarkan penyakit taeniasis, diperapian pada saat tidur malam hari. sistiserkosis dan neurosistiserkosis. Penderita yang sedang Penelitian seroepidemiologi yang memancing/menjala di sungai atau danau dilakukan Subahar (2001) menggunakan dapat tercebur akibat serangan kejang metode immonoblot menyebutkan dari mendadak sehingga penderita tenggelam 160 sampel dari 18 kampung di Distrik (23).Hasil survey penelitian terakhir Jayawijaya ditemukan 81 positif menyebutkan bahwa prevalensi penyakit (50,6%)(10). taeniasis 42,7% di daerah Kabupaten Papua terletak dibagian Timur Jayawijaya.Data terbaru hasil survei Indonesia dengan topografi pegunungan seroepidemiologi menggunakan Enzyme- dan daerah pantai. Penduduk umumnya Linked Immunoelectrotransfer Blot hidup dari bertani, pedangan (EITB) yang dilakukan oleh Dinas (wiraswasta) dan bekerja di Instansi Kesehatan Provinsi tahun 2007 di empat Pemerintah (PNS). Kasus taeniasis dan Kabupaten yaitu Kab. Jayawijaya, Kab. sistiserkosis di provinsi ini pertama kali Paniai, Kab.Peg.Bintang, Kab. Puncak ditemukan di Distrik Enarotali Paniai, Jaya dapat dilihat pada Tabel 1. diawali kasus luka bakar stadium

Tabel 1. Distribusi Jumlah Kasus Taeniasis dan Sistiserkosis di Beberapa Kabupaten di Provinsi Papua Menggunakan Metode Survey SerologiEnzyme-Linked Immunoelectrotransfer Blot (EITB).

Persentase (%) Kab. Kab. Paniai Kab. Pegunungan Kab. Puncak Penyakit Jayawijaya (N = 631) Bintang (N= 385) Jaya (N= 647) (N= 1251) Sistiserkosis 20,8 27,5 2,0 1,6 Taeniasis 7,5 9,9 10,2 1,6 Sumber : Laporan Survey Kesehatan Daerah Penyakit Taeniasis dan Sistiserkosis di Papua,Dinas Kesehatan Propinsi Papua Tahun 2007

Dari survei tersebut jumlah kasus Kab.Jayawijaya dengan prevalensi masih taeniasis dan sistiserkosis masih banyak tinggi. Prevalensi taeniasis dan ditemukan di Kab. Paniai dan sistiserkosis masih rendah di Kabupaten

5 KajianAspekEpidemiologi……. (Sandy et. al)

Puncak Jaya dan Kab. Peg. Bintang hal Provinsi telah membuktikan bahwa ini disebabkan karena topografi penyakit taeniasis dan sistiserkosis telah kabupaten tersebut merupakan daerah ada di Kab. Pegunungan Bintang(25,26). pegunungan di banding Kab. Paniai yang Masih tingginya prevalensi kasus merupakan topografi daratan dan daerah taeniasis dan sistiserkosis di daerah Danau Enarotali, sedangkan Kab. pegunungan tengah disebabkan masih Jayawijaya merupakan kawasan dengan rendahnya tingkat pendidikan topografi Lembah Balliem di mana masyarakat, sanitasi lingkungan dan masyarakat lebih mudah berimigrasi higiene personal yang masih kurang, antar daerah tersebut untuk berdagang. tingkat pengetahuan terhadap penyakit Walaupun demikian terdapat pola ini masih kurang, sosial-ekonomi dan pergerakan penyebaran taeniasis dan budaya yang berbeda-beda, cara sistiserkosis di daerah pegunungan memelihara hewan ternak yang masih tengah (Kab. Puncak Jaya) menuju Kab. tradisional (tidak dikandangkan) PegununganBintang dan perbatasan sehingga penyakit ini terus dapat Papua Nugini.Penelitian oleh Bangs bertahan di daerah tersebut. (1996) melaporkan tidak terjadi Servei seroepidemiologi tahun 2009 penularan taeniasis dan sistiserkosis di yang dilakukan oleh UPF Litbangkes daerah tersebut. Kontras dengan Papua (sekarang Balai Litbang Biomedis penelitian Gajdusek (1978) yang Papua) di Kota Jayapura dan Kabupaten menyebutkan terdapat kasus taeniasis di Keerom diperoleh jumlah kasus taeniasis Oksibil Kab. Pegunungan Bintang. Data dan sistiserkosis dapat dilihat pada Tabel survei terbaru oleh Dinas Kesehatan 2.

Tabel 2. Distribusi jumlah kasus taeniasis dan sistiserkosis di Kota Jayapura dan Kabupaten Keerom Provinsi Papua menggunakan metode survei serologi enzyme-linked immunoelectrotransfer blot(EITB).

Persentase (%) Kota Jayapura Kab. Keerom Penyakit (N = 1251) (N = 631) Sistiserkosis 0.8 6,1 Taeniasis 0,9 4,2 Sumber: UPF Litbangkes Papua (Balai Litbang Biomedis Papua) Tahun 2009

Dari hasil penelitian tersebut dapat dapat dihindari. Di daerah perkotaan juga disimpulkan bahwa daerah perkotaan masih ditemukan beberapa hewan ternak juga telah terkena dampak pola babi yang tidak di kandangkan sehingga penyebaran taeniasis dan sistiserkosis. bebas berkeliaran sehingga untuk Hal ini karenakan mobilitas penduduk memutuskan rantai penyebaran penyakit dari daerah endemik dan juga hewan akan sulit. Jika dibandingkan dengan ternak babi yang terinfeksiTaenia solium survey penelitian yang dilakukan tahun antar daerah di Provinsi Papua tidak 2002-2005 pada beberapa daerah di

6 Jurnal Penyakit Bersumber Binatang, Vol. 2, No. 1, Juni 2014: 1 - 14

Provinsi Bali (Gianyar, Badung, Karang menyebutkan beberapa faktor yang Asem, Denpasar) taeniasis lebih banyak mempengaruhi terjadinya sistiserkosis disebabkan oleh T.saginata. Hal ini yaitu: jenis kelamin, kebiasaan mencuci berbeda dengan taeniasis dan tangan, kebiasaan mandi, tingkat sistiserkosis yang disebabkan oleh pendidikan, jenis penerjaan, penyajian T.solium sudah jarang ditemukan, karena daging babi, kebiasaan buang air besar, adanya perbaikan sanitasi lingkungan sumber air minum, dan masak air dan ternak babi sudah minum(27,28,29). dikandangkan.Survey yang dilakukan Hasil penelitian yang dilakukan oleh tahun 2002-2006, dari 590 orang dari Dinas Kesehatan Provinsi Papua dan empat desa di Bali yang diperiksa tidak UPF Litbangkes Papua diperoleh ditemukan adanya taeniasis yang gambaran mengenai keadaan masyarakat disebabkan T.solium, riwayat kejang, dan secara umum dapat di lihat pada table 3. nodul subkutan. Sedangkan di daerah Tabel 3 menunjukkan bahwa sumber Sumatra Utara survey air utama untuk keperluan masak dan taeniasis/sistiserkosis tahun 2003-2006 minum di empat kabupaten tersebut yaitu pada 240 orang masyarakat lokal, air sungai dan mata air. Pengolahan air ditemukan taeniasis yang disebabkan untuk keperluan minum dapat menjadi oleh T.asiaticadan hasil survei tidak sumber penularan penyakit parasitik ditemukan bukti keberadaan T.solium apalagi ditunjang oleh kebiasaan dan T.saginata(7). membuang air besar di sungai. Dari data tersebut juga terlihat masyarakat masih E. Faktor risiko yang mempengaruhi memiliki kebiasaan buang air besar Penyebaran Taeniasis dan disembarang tempat. Sehingga jika Sistiserkosis hewan ternak babi yang tidak di kandangkan dapat memakan kotoran Penelitian yang dilakukan oleh manusia terinfeksi taeniasis sehingga Carrique-Mas (2001) menyebutkan siklus hidup Taenia solium tetap bahwa faktor risiko penyebara taeniasis bertahan lama. Riwayat keluar cacing dan sistiserkosis adalah umur, sanitasi Taenia spp masih tinggi dimasyarakat yang buruk, tingkat pendidikan yang tapi untuk memastikan spesies cacing rendah dan tidak mampu mengenal tersebut masih dibutuhkan penelitian daging babi yang terinfeksi larva Taenia lebih lanjut. Juga masih ditemukan kista solium.Fan (1992) menyebutkan di badan dan riwayat kejang pada kebiasaan komsumsi makanan juga responden sehingga untuk memastikan merupakan faktor risiko terjadinya apakah terinfeksi sistiserkosis dan penyakit taeniasis. Orang asia timur neurosistiserkosis memerlukan skrining memiliki kebiasaan mengkomsumsi lanjutan berupa CT scan atau RMI makanan mentah/setengah matang sehingga dapat memperkuat diagnosis. daging atau usus hewan.Penelitian yang dilakukan oleh Purba (2002)

7 KajianAspekEpidemiologi……. (Sandy et. al)

Tabel 3. Analisis deskriptif responden di empat kabupaten lokasi penelitian di Provinsi Papua(32).

Uraian Kondisi Responden Kab. Kab. Kab. Kab. Jayawijaya Paniai Pegunun Puncak (N = 1.252) (N = 631) gan Jaya Bintang (N = 647) (N = 385)

Perempuan (%) 48.5 56.3 47.1 50.1 Laki-Laki (%) 51.5 43.7 52.9 49,9

Kelompok Umur (%) ≤ 12 tahun 18.8 28.5 16.3 21.1 13 œ 18 tahun 13.2 16.5 14.4 11.0 18 œ 59 tahun 60.6 53.6 69.0 64.5 ≥60 tahun 7.4 1.4 0.3 3.4

Sumber Air Minum (%) ñ sumur 20.3 1.8 1.6 0.2 ñ sungai 44.1 19.6 70.5 9.9 ñ mata air 17.3 11.6 6.6 77.1 ñ penampung air hujan 10.9 54 21.3 6.8 ñ lainnya 7.3 13 0 6

Tempat Buang Air Besar (%) ñ Kakus 25.1 82.1 31.8 45.2 ñ Ladang 14.4 8.2 54.8 8.1 ñ Sembarang 60.5 9.7 13.4 46.7

Riwayat Keluar (%) Cacing Taenia sp. 22.4 11.1 38.1 7.8 Riwayat Kejang (%) 8.9 11.9 6.3 2 Riwayat Pingsan (%) 19.2 25.5 29.6 2.9 Kista di badan (%) 4.3 14.6 2.6 1.2 Sumber: Laporan Survey Kesehatan Daerah Penyakit Taeniasis dan Sistiserkosis di Papua, Dinas Kesehatan Provinsi Papua Tahun 2007

Analisis deskriptif mengenai keadaan masih banyak ditemukan responden responden survei seroepidemiologi dengan riwayat keluar cacing pita pada taeniasis dan sistiserkosis di Kota saat buang air besar sedangkan riwayat Jayapura dapat di lihat pada table 4. kejang dan kista di badan hanya Hasil analisis deskriptif menujukkan ditemukan pada responden di Kota

8 Jurnal Penyakit Bersumber Binatang, Vol. 2, No. 1, Juni 2014: 1 - 14

Jayapura. Responden di perkotaan sudah matang yang dicampur bersama memiliki jamban dan sarana air bersih darahnya (pork lawar). Sedangkan di sehingga tingkat pencemaran tinja di daerah Sumatra utara yang menjadi tanah dan sungai menjadi rendah. faktor risiko penularan taeniasis yaitu Mobilitas penduduk dari daerah endemik kebiasaan masyarakat yang (Kab. Paniai dan Kab. Jayawijaya) ke mengkomsumsi jeroan babi yang kurang Kota Jayapura baik yang mencari matang. Sedangkan kejadian pekerjaan atau melanjutkan pendidikan taeniasis/sistiserkosis di papua lebih tidak dapat dihindari sehingga banyak disebabkan oleh tingkat penyebaran penyakit ini juga tidak dapat pendidikan, sanitasi lingkungan, terkendali. Manusia yang menjadi kebiasaan mencuci tangan sebelum carriers penyakit taeniasis dapat saja makan (7). menjadi sumber penularan penyakit ini di kota atau daerah lain di Papua jika F. Upaya Pengobatan didukung oleh sosial budaya masyarakat, sanitasi lingkungan yang buruk, tingkat pengobatan taeniasis dan pendidikan yang rendah, tingkat sistiserkosis dapat dilakukan dengan ekonomi yang rendah. Menurut Sancez menggunakan praziquantel. Praziquantel (1997) menyebutkan faktor risiko dari dapat membunuh dan menghacurkan kejadian taeniasis dan sistiserkosis yaitu cacing dewasa Taenia solium di saluran kemiskinan (faktor ekonomi), pencernaan usus atau sistisersi pada ketersediaan air bersih, ketersediaan jaringan parental. Dosis praziquantel 50 jamban, pendidikan dan juga lantai mg/kg BB dosis tunggal atau dosis rumah yang masih terbuat dari tanah(30). terbagi tiga selama 15 hari efektif untuk Jika dibandingkan dengan provinsi sistiserkosis. Obat pilihan lain adalah lain (Bali dan Sumatra Utara) kejadian albendazole 15 mg/kg BB/hari dalam taeniasis di kedua provinsi tersebut lebih dosis tunggal atau terbagi tiga selama 7 disebabkan oleh kebiasaan masyarakat hari; Mebendazole 2 x 200 mg/hari setempat dalam mengkomsumsi daging. selama 4 hari (13). Di daerah Bali faktor risiko penularan taeniais di masyarakat yaitu mengkomsumsi daging babi yang kurang

9 KajianAspekEpidemiologi……. (Sandy et. al)

Tabel 4. Analisis deskriptif keadaan responden di Kota Jayapura dan Kabupaten Keerom Provinsi Papua(33)

Uraian Kondisi Kota Jayapura Kab. Keerom Responden (N = 632) (N = 262) Perempuan 358 124 Laki-Laki 274 128

Kelompok Umur ñ 6-15 thn 207 108 ñ 16-35 thn 274 102 ñ 36-45 thn 72 33 ñ 46-55 thn 52 10 ñ ≥56 thn 27 9

Pendidikan ñ Tidak sekolah 182 78 ñ SD 204 111 ñ SMP 88 44 ñ SMA 143 26 ñ Sarjana 15 3

Beternak Babi 91 43

Sumber air minum ñ Sungai 9 4 ñ Sumur galian 80 47 ñ Air hujan 27 31 ñ Air PAM 66 0 ñ Mata air 8 0

Tempat Buang Air Besar Jamban +air 140 58 Jamban tanpa air 5 8 Sungai 7 6 Kebun/sembarang tempat 20 4 Riwayat keluar cacing Taenia spp 76 41 Riwayat kejang 12 0 Kista di badan 2 1 Sumber: Laporan Penelitian UPF Litbangkes Papua 2009

10 Jurnal Penyakit Bersumber Binatang, Vol. 2, No. 1, Juni 2014: 1 - 14

G. Upaya Pencegahan

Upaya pencegahan penularan masyarakat, distibusi dan pravalensi penyakit taeniasis dan sistiserkosis dapat penderita di daerah perkampungan dan di lakukan dengan cara antara lain(13,31): kota di Provinsi Papua. Praktik sanitasi 1. Mengobati penderita (praziquantel, yang buruk, faktor sosial-ekonomi dan mebendazole, albendazole, cara memelihara hewan ternak yang niclosamide dan atabrin) untuk kurang baik, tingkat pendidikan yang menghilangkan sumber infeksi dan rendah, pengetahuan akan penyakit mencegah terjadinya autoinfeksi taeniasis dan sistiserkosis di masyarakat dengan larva cacing. Papua masih rendah. Intervensi terhadap 2. Pengawasan terhadap penjualan faktor-faktor risiko dengan cara daging babi agar tidak tercemar oleh meningkatkan pengetahuan melalui larva cacing (sistiserkus). penyuluhan kesehatan,pemberian obat 3. Memasak daging babi di atas suhu cacingpraziquantel secara massal baik 50˘C selama 30 menit untuk pada penderita (masyarakat)oleh Dinas mematikan larva sistiserkus atau Kesehatan Papua danpemberian vaksin menyimpan daging babi pada suhu dan obat pada ternak babioleh Dinas 10 ˘C selama 5 hari. Peternakan Papua dapat menurunkan 4. Menjaga kebersihan lingkungan penularan taeniasis dan sistiserkosis. dengan tidak buang air besar di sembarang tempat (pemakaian DAFTAR PUSTAKA jamban keluarga) agar tidak mencemari tanah dan rumput 1. Yanagida, T, Sako Y, Nakao, M, 5. Menjaga higiene personal dengan Nakaya, K, Ito, A. Taeniasis And rajin mandi, mencuci tanggan Cysticercosis Due To Taenia sebelum makan atau mengolah Solium In Japan. Parasites & makanan. Vectors 2012, 5:18 6. Memberikan vaksin pada hewan 2. WHO. The Control of Neglected ternakbabi (penggunaan crude Zoonotic DiseasesœCommunity- antigen yang berasal dari onkosfer, basedinterventions for Prevention sistisersi, atau cacing dewasa Taenia And Control.ISBN 9789241502528. solium) 2011 7. Memberikan Cestosida (praziquantel, 3. Rajshekar, V, Joshi, D.D, Doanh dan oxfendazole) pada hewan ternak N.Q, Nguyen, van De, Xiaonong, Z. babi. Taenia solium taeniosis/cysticercosis in Asia: KESIMPULAN epidemiology,impact and issues. Acta Tropica 2003, (87)53-60 Studi epidemiologi penyakit 4. Del Brutto, O.H., taeniasis dan sistiserkosis untuk Neurocysticercosis–a review. Rev. memperoleh data dasar mengenai kondisi Neurol. 1999, 29 (5); 456-466.

11 KajianAspekEpidemiologi……. (Sandy et. al)

5. GarcÛ´a-Noval, J, Allan, J.C, Fletes, Jayawijaya District. Trans. R. Soc. C, Moreno, E, DeMata, F, Torres- Trop. Med. Hyg. 2001,95; 388-390. A´ lvarez, R, Soto de Alfaro, H, 11. Sutisna, I.P, Fraser, A, Kapti, I.N, Yurrita, P, Higueros-Morales, H, Rodriguez-Canul, R, Puta Widjana, Mencos, F, Craig, P.S. D, Craig, P.S, Allan, J.C. Epidemiology of Taenia solium Community Prevalence Study Of Taeniasis And Cysticercosis In Two Taeniasis and Cysticercosis in Bali, Rural Guatemalan Communities. Indonesia. Trop. Med. Int. Health Am. J. Trop. Med. Hyg. 1996, 55 1999, 4; 288-294. (3); 282-289. 12. Wandra, T, Swadewi, A.A. 6. Cook, G.C. Neurocysticercosis: Swastika I.K, Sutisna, P, Darmawan Parasitology, Clinical Presentation, N.S, Yulfi, H, Darlan D.M. Kapti Diagnosis And Recent Advances In I.N, Samaan, G, Sato M.O, Management, Q. J. Med. 1988, 68; Akamoto, M, Sako,Y, A, 575-583. Ito.Taeniasis/Cystisercosis in Bali. 7. Wandra, T, Sri S Margono, S.S, Indonesia. Southeast Asian J Trop Gafar, M.S, Saragih, J.M, Sutisna, Med Public Health. 2011, 42(4); P, Nyoman, S, Dharmawan, N.S. et 793-802 al. Taeniasis/Cysticercosis in 13. Soedarto. Buku Ajar Parasitologi Indonesia 1996-2006. Kedokteran (Hand Book of Medical http://www.tm.mahidol.ac.th/seame Parasitology). Sagung Seto o/2007-38-suppl-1/38suppl1- Surabaya. 2011 140.pdf diakses tanggal 19 Februari 14. Ritchie, L.S. An Ether 2014. Sedimentation Technique For 8. Handojo I, Margono S.S. Cacing Routine Stool Examination. Bull. Pita Yang Penting Di Indonesia. US Army Med. Depart. 1948, 8; Dalam: Buku 326. ParasitologiKedokteran. Ed. 3. 15. Melvin, D, Brooke, M. Laboratory Jakarta: Balai Penerbit FKUI,2002; Procedures For the Diagnosis of 92-96. Intestinal Parasites. HHS 9. Simanjuntak, G.M, Margono, S.S, Publication No. CDC85-8282, 3rd Okamoto, M, Ito, A. ed., 1982, reprint 1985. US Taeniasis/cysticercosis in Indonesia Department of Health and Human As An Emergent Disease. Parasitol Services. C.D.C. Atlanta Georgia, 1997, 13; 321-323. 1985; 105œ107, 116œ123. 10. Subahar, R, Hamid, A, Purba, W, 16. Allan, J.C, Avila, G, Garcia, N.J, Wandra, T., Karma, C., Sako, Y., Flisser, A, Craig, P.S. Margono, S.S, Craig, P.S, Ito, A. Immunodiagnosis Of Taeniasis By Taenia Solium Infection In Irian Coproantigen Detection. Jaya (West Papua), Indonesia: Parasitology, 1990, 101; 473œ477. APilot Serological Survey Of 17. Rodriguez-Canul, R, Fraser, A, Human And Porcine Cysticercosisin Allan, J.C, Dominguez-Alpizar,

12 Jurnal Penyakit Bersumber Binatang, Vol. 2, No. 1, Juni 2014: 1 - 14

J.L,Argaez-Rodriguez, F, Craig, Cysticercosis In Indonesia : P.S. Epidemiological Study of Epidemiological Aspects. Southeast Taenia solium Asian J Trop Med Public Health. Taeniasis/Cysticercosis In A Rural 2001. 32(Supp 2);79-84 Village In Yucatan State, Mexico. 25. Bangs, M.J, Purnomo, Andersen, Ann. Trop. Med. Parasitol. 1999, E.M, Anthony, R.L,Intestinal 93;57œ67. parasites of humans in a highland 18. Yamasaki, H, Allan, J.C, Sato, M.O, community of Irian Jaya, Indonesia. Nakao, M, Sako, Y, Nakaya,K, Qiu, Ann Trop Med Parasitol 1996, D, Mamuti,W, Craig, P.S, Ito, A. 90(1); 49 œ 53. DNA Differential Diagnosis Of 26. Gajdusek, D.C. Introduction of Taeniasis/Cysticercosis By Taenia solium into west New multiplex PCR. J. Clin.Microbiol. Guinea with a note on an epidemic 2004a, 42; 548œ553. of burns from cysticercus epilepsy 19. Tsang V.C, Brand J.A, Boyer, A.E. in the Ekari people of the Wissel An Enzyme-Linked Lakes area. P N G Med J 1978, Immunoelectrotransfer Blot Assay 21(4); 329-42. And Glycoprotein Antigens For 27. Carrique-Mas, J, Iihosi, N, Diagnosing Human Cysticercosis Widdowson M.A, Roca, Y, Morales (Taenia solium). J Infect Dis. 1989, G, Quiroga, J, Cejas, F, Caihuara, 159;50-59. M, Ibarra, R, Edelsten, M. An 20. Chin, J, Kandun I.N. editor. Manual Epidemiological Study of Taenia Pemberantasan Penyakit Menular solium Cysticercosis In A Rural (P2M). Edisi-17, Departemen Population In The Bolivian Chaco. Kesehatan. 2000 Acta Tropica. 2001, (80); 229œ235. 21. Tumada L.R, Margono S.S. 28. Fan, P.C, Chung, W.C, Cysticercosis in The Area Of The Sociocultural Factors And Local Wissel Lakes, West Irian. Southeast Customs Related To Taeniasis In Asian J Trop Med Public Health East Asia. Kaohsiung J. MedSci. 1973a, 4; 371-6. 1997; 13, 64-652. 22. Margono S.S et al. Intestinal 29. Purba, W.H.W, Miko, Y.T, Ito parasites in Obano, Irian Jaya, A.Faktor-Faktor Yang Berhubungan Indonesia. Majalah Kedokteran Dengan Kejadian Sistiserkosis Pada Indonesia. 1979, 29; 56œ58. Penduduk Kecamatan 23. Subianto, D.B, Tumada, L.R, Wamena,Kabupaten Jayawijaya, Margono, S.S. Burns and Epileptic Propinsi Papua Tahun 2002,Makara, Fits Associated With Cysticercosis Kesehatan, 2003; 7(2)56-62 Inmountain People Of Irian Jaya. 30. Sancez, A.L, Medina, M.T, Trop geogr Med. 1978, 30; 275-278. Ljungstorm, I. Prevalence of 24. Margono, S.S, Subahar, R, Hamid, Taeniasis And Cysticercosis In A A, Wandra, T, Raka Sudewi, S.S, Population Of Urban Residence In Sutisna, P, and Akira Ito, A.

13 KajianAspekEpidemiologi……. (Sandy et. al)

Honduras, Acta Tropica,1998(69) Paniai, Kab. Puncak Jaya dan Kab. 141œ149 Pegunungan Bintang Tahun. Dinas 31. Flisser, A, Pe´rez-Montfort, R, Kesehatan Provinsi Papua. 2007 Larralde, C. The Immunology Of 33. Salim, L, Juliana, A.M, Hasanah, N. Human And Animal Cysticercosis. Laporan Penelitian Prevalensi dan A review. Bull. World Health Faktor yang Berpengaruh Terhadap Organ. 1979; 57, 839 -/856. Kejadian Sistiserkosis Dan 32. Salim L, Ang, A, Handali, S, Taeniasis di Daerah Perbatasan Laporan Survei Kesehatan Tahun Kota Jayapura dan Kab. Keerom 2007; Penyakit Sistiserkosis dan provinsi Papua 2009. UPF Taeniais Kab. Jayawijaya, Kab. Litbangkes Papua.2009.

14