BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Kimono merupakan pakaian tradisional Jepang. Kata kimono berasal dari kata ki yang berarti memakai dan mono yang berarti barang, secara harafiah kimono berarti sesuatu yang dipakai atau pakaian. Pada zaman dulu, masyarakat Jepang memakai kimono dalam kesehariannya. Pada zaman monarki, feudal hingga modern, bentuk kimono mengalami perubahan yang cukup pesat hingga akhirnya menjadi bentuk kimono yang sekarang ini. Lowry (2014), menjelaskan bahwa pada masa Jomon dan Yayoi (660SM-552), sejarah tertulis Jepang tidak begitu jelas, tetapi para arkeologis menyimpulkan bahwa sekitar tahun 300 SM, Jepang menggunakan serat kayu dan sayuran untuk membuat kain, kemudian memadukannya sebagai pakaian berlapis dua dengan tali diikat. Bentuk kimono pada masa ini masih sangat sederhana yang berlengan pendek dengan celana yang diikat seperti tas. Di Jepang, zaman monarki terdapat dua fase yaitu monarki awal dan akhir. Zaman monarki awal terdapat periode Yamato, Asuka, Hakuho, dan Nara, sedangkan monarki akhir terdapat periode Heian. Pada periode Asuka (552-695), Jepang melakukan transaksi perdagangan antara China dan Korea. Dari perdagangan ini, Jepang mendapat masukan barang berharga berupa pakaian dari China yang merupakan bentuk dasar dari kimono dan juga masuknya agama Buddha dari Korea yang memberikan pengaruh besar terhadap bidang kebudayaan terutama pada kesenian di Jepang. Pada periode Hakuho (695-710), bentuk kimono pada periode ini tidak terlalu berbeda dari kimono yang ada di periode Asuka. Pada periode Nara (710-785), bentuk kimono pada periode ini mengikuti bentuk original dari China yang memiliki potongan lurus dengan lengan baju yang lembut dan lebar yang jatuh dari bahu hingga ke pergelangan tangan serta ditambahkan aksesoris seperti syal atau ikat pinggang. Kimono jenis ini bertahan selama lebih dari dua abad. Pada periode Heian (785-1185), para bangsawan mempunyai ketertarikan dalam bidang pakaian. Pada masa ini, Jepang berinisiatif menciptakan ‘gaya’ sendiri dan kimono yang paling terkenal di zaman ini adalah kimono yang dipakai oleh kaum wanita bangsawan yang disebut sebagai jyuuni-

1

2

hitoe atau kimono yang terdiri dari 12 lapis. Masing-masing dari lapisan kimono ini lebih besar dan ringan dari lapisan sebelumnya. Kimono ini juga masih dalam bentuk kotak, namun ukurannya sangat besar dan ditambah lipatan ekor yang panjang. Zaman feodal di Jepang juga mengalami dua fase, yaitu feodal awal dan akhir. Zaman feodal awal terdapat periode Kamakura, Muromachi, dan Azuchi-Momoyama, sedangkan feodal akhir terdapat periode -Tokugawa. Pada periode Kamakura (1185-1333), kebudayaan aristokrat masa Heian turun dan diganti dengan kelas samurai yang mengontrol pemerintahan. Perpindahan ibukota juga terjadi pada masa ini yaitu dari Kyoto ke Kamakura. Kimono pada periode ini mengalami perubahan pada bagian lengannya. Jenis kimono pada periode ini lebih praktis dan nyaman untuk menyelaraskan kesederhanaan kehidupan samurai. Para wanita bangsawan juga tidak lagi memakai jyuuni-hitoe dikarenakan terlalu besar dan tidak praktis serta lengan kimono yang lebar. Wanita bangsawan pada periode ini memakai kosode yang merupakan kimono dengan lebar lengannya lebih pendek, serta memakai hakama yang merupakan celana panjang yang tergerai dan biasanya berwarna merah. Kimono jenis ini juga dipakai oleh rakyat jelata. Kimono pada zaman ini bertahan berabad-abad sebagai baju formal wanita bangsawan yang sampai sekarang masih dipakai oleh miko (penjaga kuil wanita) ketika mengadakan upacara ritual Shinto. Untuk upacara ritual juga terdapat beberapa pakaian yang terbuka di atas kimono yang dipakai yaitu uchikake . Setelah itu, keshogunan Kamakura diambil alih oleh keshogunan Ashikaga yang kemudian terjadi perpindahan ibukota kembali ke Kyoto. Klan Ashikaga terkenal sebagai klan yang memiliki citarasa dan semangat dalam mempertahankan bidang kesenian. Pada periode Muromachi (1333-1573), wanita harus tunduk pada suaminya. Bentuk kimono pada masa ini terlihat sederhana, terutama pada kaum laki- laki dikarenakan mereka sering pergi berperang. Pada periode Azuchi-Momoyama (1573-1615), terjadi penyatuan seluruh Jepang oleh Daimyo atau tuan tanah . Setelah Nobunaga terbunuh, kekuasaannya diwariskan kepada Toyotomi Hideyoshi. Kematian Hideyoshi juga menandakan akhir perseteruan antara keturunannya yang telah berjuang selama 17 tahun dengan . Dalam periode ini, para seniman dan pemahat mendapatkan kesempatan untuk menunjukkan ketrampilan yang mereka miliki. 3

Kimono pada masa ini juga masih merupakan kosode , tetapi mengalami banyak perubahan seperti pada sulaman, hiasan, motif, dan warnanya. Pada zaman Edo, sistem pemerintahan berpusat pada kaum samurai di bawah pimpinan dari Shogun Tokugawa. Para wanita memiliki peran penting dalam sebuah klan yang ingin mempengaruhi politik di istana. Karena itu, wanita dipakai sebagai alat politik, yaitu melalui perkawinan politik. Dengan cara perkawinan politik, wanita dipakai untuk memberikan keturunan kepada kaisar. Keturunan tersebut akan memiliki hak waris dalam kekuasaan kerajaan. Kaum wanita pada periode ini, dididik agar taat dan setia kepada keluarga. Para wanita dari golongan bangsawan juga diajarkan tentang etika tradisional untuk melayani tamu. Pada periode ini, terdapat berbagai jenis pakaian yang dapat mencerminkan status ekonomi, sosial, jenis kelamini, usia, dan pekerjaan dari pemakainya. Anggota kelas militer yang menduduki tingkat teratas pada zaman ini, semakin dibatasi secara eknomi. Bagi anggota kelas pedagang dan juga kalangan bangsawan, perbedaan posisi sosial dan kekayaan mereka dapat dilihat dari pakaian mereka. Kemudian pemerintah Tokugawa mengeluarkan undang-undang untuk mengatur jenis pakaian yang cocok untuk kelas masyarakat tertentu. Undang-undang tersebut mencerminkan upaya pemerintah untuk mempertahankan perbedaan sosial dengan melarang individu melanggar batas kelas yang dapat mengganggu hierarki sosial yang berlaku (Hartono, 2007). Pada awal tahun 1617, di Edo terdapat sebuah undang-undang yang dikeluarkan untuk melarang penggunaan warna emas dan perak pada pakaian para pelacur. Kemudian pada tahun 1656, pemerintah Tokugawa mengancam penangkapan pada siapa pun yang memakai pakaian mewah atau berpenampilan lancang. Kemudian setelah kebakaran besar di Edo pada tahun 1657, dikeluarkan peraturan ketat tentang warna dan gaya dekorasi yang diizinkan untuk dikenakan oleh pedagang. Pada tahun 1663, Shogun mengeluarkan perintah yang membatasi jumlah uang yang dapat dihabiskan untuk pakaian yang dikenakan oleh janda permaisuri, para putri kekaisaran, selir shogun dan juga pelayan wanita di istana. Perintah serupa juga dikeluarkan pada tahun 1713 untuk mengatur pakaian istri daimyo (tuan feodal) (Milhaupt, 2014). Seiring perjalanan waktu sekitar zaman Meiji, budaya Barat masuk ke Jepang sehingga masyarakat Jepang mulai memakai pakaian bergaya Barat dalam

4

kesehariannya, sedangkan untuk menghadiri acara tertentu, masyarakat Jepang memakai kimono , misalnya pada acara pernikahan atau pemakaman dan lainnya. Kimono juga merupakan hasil dari kesenian tenun tradisional Jepang yang bernilai seni. Kimono formal hanya dibuat dari kain sutera kelas terbaik dan hanya dijahit dengan tangan. Umumnya kimono tidak pernah dijual dalam keadaan jadi, melainkan harus dipesan dan dijahit sesuai ukuran badan. Kimono untuk wanita sangat beragam dari segi jenis, warna, hingga motif. Warna dan motif yang digunakan selalu disesuaikan dengan umur dan gender, terutama di kalangan wanita. Selain itu, warna dan motif pada kimono juga memiliki makna dan arti filosofis. Dalam penggunaan warna, kimono wanita muda dihiasi dan berwarna cerah, sedangkan kimono wanita yang lebih tua menggunakan warna yang lebih halus serta motif yang lebih tenang. Penggunaan motif kimono berkaitan dengan status pemakai, mencerminkan emosi atau yang berhubungan dengan musim atau kesempatan.

1.1.1 Kimono Uchikake Hill (2011), menjelaskan bahwa pada periode Edo, wanita kelas atas atau kalangan bangsawan memakai kimono uchikake pada keseharian dan juga pada saat upacara khusus dan acara keluarga. Uchikake adalah kimono luar besar yang terbuat dari tekstil sutra mewah atau jubah formal yang menjuntai panjang dengan lengan lebar yang melapisi kosode polos dan hakama . Kosode (小袖) adalah kimono dasar yang dipakai untuk pria dan wanita. Kosode ini dapat dipakai sebagai pakaian dalam maupun pakaian luar. Secara harfiah kosode adalah kimono yang berlengan pendek. Dalam cuaca hangat, ikatan uchikake sering dilepaskan dari bahu sehingga lengan panjang dari uchikake menjuntai ke lantai. Uchikake juga merupakan kimono yang paling indah dan dipakai oleh wanita pada saat pernikahannya. Namun pada zaman modern seperti sekarang, dikarenakan pengaruh dari budaya barat, kimono uchikake hanya dipakai pada saat penikahan tradisional. Kimono ini juga tergolong sangat mahal, sehingga kebanyakan orang tidak membelinya, namun meminjam dengan harga yang sangat mahal. Korpus data yang digunakan untuk menggambarkan kimono uchikake pada zaman Edo adalah drama Atsu Hime .

5

1.1.2 Atsu Hime (((篤姫(篤姫)))

Gambar 1.1.2 Drama Atsu Hime (Sumber: http://www.dramafans.org/drama/azns_atsu_hime)

Atsu Hime (篤姫)merupakan drama sejarah Jepang yang dirilis pada tahun 2008 karya Motohiko Sano. Drama ini memiliki 50 episode yang ditayangkan dari tanggal 6 Januari 2008 sampai 14 Desember 2008. Drama ini menceritakan tentang kehidupan seorang putri yang bernama Atsuko dari wilayah Satsuma di Jepang selama tahun-tahun terakhir Keshogunan Tokugawa. Atsu Hime merupakan putri dari Lady Oyuki dan Shimazu Tadake, kepala cabang Shaizu Imaizumi dari Shimazu di Satsuma. Atsu Hime awalnya benama Okatsu. Kemudian demi mempengaruhi kebijakan Shogun mengenai ancaman baru dari Barat, Okatsu diadopsi oleh seorang daimyo bernama Shimazu Nariakira dari klan Shimizu Satsuma (yang sekarang telah menjadi Kagoshima, Jepang) dan namanya diganti menjadi Atsuko atau Atsu Hime. Kemudian Atsuko akan dipilih dan diposisikan untuk dikirim ke Istana Edo dengan tujuan membantu Shimazu Nariakira secara politik. Namun latar belakang keluarga Atsu Hime masih belum bisa diterima oleh beberapa daimyo , sehingga sebelum memasuki istana Edo, Atsu Hime diadopsi lagi oleh Konoe Tadahiro, seorang bangsawan Jepang pada akhir zaman Edo. Dari adopsi ini, Atsu Hime memiliki nama yaitu Fujiwara no Sumiko. Dengan Atsu Hime diadopsi di keluarga bangsawan, memungkinkan Atsu Hime untuk masuk ke istana Edo. Pada periode akhir Edo ini, pewaris shogun berikutnya dibagi antara pilihan Tokugawa Yoshinobu dan Tokugawa Yoshitomi, yang dikenal sebagai Tokugawa Iemochi. Untuk memastikan bahwa Yoshinobu menjadi penerus berikutnya, Atsu Hime diatur untuk

6

menikahi , yang merupakan Shogun ke-13 dari Keshogunan Tokugawa dan menjadi midaidokoro (御 台 所), yang merupakan istri resmi shogun dan tinggal di Ooku yang terdapat di Istana Edo dan terkadang memegang kekuasaan politik yang cukup besar di belakang layar. Kemudian pada tahun 1858, Tokugawa Iesada dan Shimazu Nariakira meninggal dunia. Lalu sepupu Iesada dan putra angkatnya yaitu Tokugawa Iemochi diputuskan untuk menjadi shogun ke-14. Setelah kematian suaminya, Atsuhime mengganti nama menjadi Tenshoin pada usia ke 22 tahun. Tenshoin menyerahkan diri untuk klan Tokugawa dan untuk bangsa selama kekacauan di Restorasi Meiji dan dipimpin oleh orang-orang dari Satsuma. Tenshoin atau Atsu Hime merupakan salah satu wanita paling berpengaruh di , hari-hari terakhir Keshogunan Tokugawa yang dibintangi oleh Aoi Miyazaki dalam drama Taiga NHK ke-47.

1.1.3 Motif Kimono Uchikake yang Dikenakan oleh Atsu Hime Motif dari kimono bermacam-macam misalnya seperti motif bunga, hewan, dan sebagainya. Tentunya motif-motif dalam kimono Jepang memiliki nilai filosofisnya. Seperti motif bunga peoni, tatewaku , bunga krisan, pinus, kipas, bunga empat musim dan burung bangau. Bunga peoni disebut sebagai raja bunga yang mekar di akhir musim semi. Awalnya diperkenalkan dari China ke Jepang pada periode Nara (710-785). Kecintaan pada bunga peoni terus bertahan dan tetap menjadi motif kimono favorit hingga hari ini. Tatewaku adalah motif Yusoku , yaitu desain yang secara tradisional dipakai oleh para bangsawan Jepang dan sering digambarkan menyerupai jam pasir. Sedangkan motif bunga empat musim adalah motif yang menampilkan bunga dari keempat musim. Motif tersebut cocok untuk sebagian besar tahun dan biasanya terdapat pada beberapa pakaian tradisional. Kemudian terdapat motif pinus. Motif pinus sering muncul dalam kimono Jepang yang memiliki karakteristik khusus yaitu bentuknya yang kerucut. Kipas adalah motif desain serba guna dalam kimono dan obi ataupun pakaian lainnya. Selain itu, motif kipas ini dapat tersebar dalam berbagai samaran untuk membentuk motif. Motif kipas juga dapat memenuhi peran kanvas sehingga berbagai desain dapat dimasukkan. Dalam motif kimono , tidak ada tanaman yang digunakan dalam banyak pola seperti bunga krisan. Motif bunga krisan dianggap sebagai motif paling eksklusif dikarenakan motif krisan yang memiliki enam belas kelopak merupakan 7

simbol dari kerajaan Jepang. Motif terakhir terdapat motif burung bangau. Burung bangau dikenal dengan berbagai nama dalam bahasa Jepang. Mereka dianggap sebagai burung mistis dan dipuji karena keanggunannya yang mulia. Biasanya motif burung bangau yang digabungkan dengan awan dipakai oleh kaum bangsawan dan pola tersebut disebut sebagai unkakumon . Penulis tertarik untuk meneliti filosofi motif kimono dikarenakan penulis ingin membagikan pengetahuan mengenai motif kimono kepada masyarakat, terutama masyarakat Indonesia bahwa setiap motif yang terdapat pada kimono tidak hanya mempercantik saja, tetapi motif tersebut juga memiliki arti.

1.2 Masalah Pokok Berdasarkan penjelasan yang terdapat pada latar belakang, penulis tertarik untuk meneliti filosofi motif yang terdapat pada kimono uchikake yang dipakai oleh Atsu Hime.

1.3 Formulasi Masalah Dari permasalahan yang tertera di atas, penulis ingin menganalisis mengenai filosofi motif yang terdapat pada kimono uchikake yang dipakai oleh Atsu Hime yang terdapat dalam drama Atsu Hime .

1.4 Ruang Lingkup Ruang lingkup dari penelitian yang penulis buat dalam laporan ini hanya dibatasi pada penelitian mengenai filosofi motif yang terdapat pada kimono uchikake yang terdapat dalam drama Atsu Hime yang bermotif bunga peoni, tatewaku , bunga empat musim, pinus, kipas, bunga krisan, dan burung bangau. Penulis memilih tokoh Atsu Hime karena tokoh utama pada drama ini merepresentasikan variasi motif kimono yang lebih banyak dari tokoh lainnya.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui makna filosofi motif pada kimono uchikake yang dikenakan oleh wanita bangsawan zaman Edo, yaitu pada tokoh Atsu Hime dalam drama Atsu Hime . Manfaat dari penelitian adalah masyarakat dapat memahami bahwa motif yang terdapat pada drama Atsu Hime tersebut mencerminkan budaya pakaian tradisional Jepang yang memiliki makna. Dengan mempelajari dan memperdalam

8

pengetahuan tentang budaya kimono zaman dulu, masyarakat dapat menambah wawasan mengenai kimono yang dipakai wanita bangsawan zaman dulu.

1.6 Tinjauan Pustaka Penulis melakukan tinjuan pustaka melalui artikel dalam jurnal, buku, dan media massa. Beberapa artikel dalam jurnal di antaranya adalah Kimono: Sarana Ekspresi Kecintaan Orang Jepang Terhadap Alam yang ditulis oleh Cittalaksmi (2014). Cittalaksmi (2014) menjelaskan tentang pengertian dari kimono dan sejarah mengenai kimono . Pada artikel ini, menjelaskan bahwa kimono sangat berkaitan dengan alam, baik dalam model, motif, warna, maupun pemakaiannya. Dalam artikel ini juga menunjukkan bahwa masyarakat Jepang sangat ingin mendekatkan alam ke dalam kehidupan mereka. Kombinasi dari warna serta motif pada kimono juga menunjukkan keindahan alam itu sendiri. Melalui kimono , dapat diketahui karakteristik dari masayarakat Jepang, yaitu kimono bukan hanya pakaian tetapi kimono juga dapat memancarkan rasa mencintai dan menghargai alam. Berdasarkan The Study of Philosophical Meaning of Batik and Kimono Motifs to Foster Collaborative Creative Industry yang ditulis oleh Saddhono (2012) menjelaskan mengenai peran penting sebuah kimono dan batik sebagai pakaian adat yang menjadi simbol suatu negara. Di artikel ini juga menjelaskan mengenai pemakain kimono tersebut, serta makna filosofi yang terdapat dalam motif kimono . Suddhono (2012) juga menjelaskan mengenai motif abstrak, hewan, bunga dan tanaman, serta kombinasi untuk motif-motifnya. Di artikel ini juga tidak hanya membahas mengenai motif saja, tetapi juga membahas mengenai peran warna dalam kimono . Warna dari kimono Jepang ini terinspirasi dari konsep Cina yang memiliki makna yang sangat kuat.