Menelisik Sastra Melayu Rendah Dan Kedudukannya Dalam Sejarah Sastra Indonesia Modern*)

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Menelisik Sastra Melayu Rendah Dan Kedudukannya Dalam Sejarah Sastra Indonesia Modern*) MENELISIK SASTRA MELAYU RENDAH DAN KEDUDUKANNYA DALAM SEJARAH SASTRA INDONESIA MODERN*) (Finding Popular Literature Malay and Position in the History of Modern Indonesia Literature) Ahmad Bahtiar1, Herman J. Waluyo2, Sarwiji Suwandi3, dan Budhi Setiawan4 Universitas Negeri Sebelas Maret Jalan Ir. Sutami 36, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia 57126 Telepon WA: +6285921585859 Pos-el: [email protected] *) Diterima: 15 April 2020, Disetujui: 18 Februari 2021 ABSTRAK Permasalahan penting dalam penulisan sejarah sastra Indonesia modern adalah menentukan masa awal sastra Indonesia lahir. Beberapa ahli berbeda argumen dalam menjelaskan awal Sastra Indonesia Modern yang menjadi titik tolak perkembangan Sastra Indonesia Modern. Berdasarkan kajian pustaka, peneliti melihat kekurangcermatan pengumpulan data serta sikap dan pandangan penulis Sejarah Sastra Indonesia Modern. Mereka tidak memasukkan pengarang dan karyanya dalam penulisan tersebut. Para pengarang tersebut produktif dan signifikan dalam perkembangan Sastra Indonesia Modern. Dengan teori runtutan perkembangan sastra Wellek dan Warren serta metode tinjauan pustaka, peneliti menafsirkan ulang masa awal sejarah Sastra Indonesia Modern dengan memasukkan Sastra Melayu Rendah yang sebelumnya tidak tercatat dalam buku-buku tersebut. Berdasarkan hal itu, awal sejarah sastra Indonesia hendaknya dimundurkan ke masa Sastra Melayu Rendah, yaitu sekitar 1850-an. Kata Kunci: sejarah sastra, sastra indonesia modern, sastra melayu rendah, sastra melayu tionghoa ABSTRACT An important issue in writing the history of modern Indonesian literature is to explain the inception of Indonesian literature. Some experts have different opinions regarding the beginning of Modern Indonesian Literature which became the starting point of the history of Modern Indonesian Literature. Researchers see the inaccuracies and attitudes and views of these authors. They do not include the author and his work in writing. These writers were productive and significant in the development of Modern Indonesian Literature. Sequential theory and library research methods were used to reinterpret early history by including Popular Malay Literature which was not previously recorded in these books. Based on this, the beginning of the history of Indonesian literature should have started in the 1850s during the era of Popular Malay Literature. Keywords: literary history, Modern Indonesian Literature, Popular Malay Literature, Chinese Malay Literature Keywords: women, Indigenous, subaltern, R.A. Moerhia PENDAHULUAN dan Pengantar Sejarah Sastra Indonesia (Yudiono K.S., 2007). Sastra suatu bangsa dari waktu ke Selain itu, ditulis sejarah sastra waktu selalu mengalami berdasarkan jenis sastranya, baik puisi perkembangan, begitu juga sastra (Suyatno, 2000; Rosidi, 2008), novel Indonesia. Sastra Indonesia (Faruk, 2002; (Sumardjo, 1999); berkembang subur hingga dewasa ini. (Damono, 1979), cerita pendek Bahkan, kemungkinan makin berjaya (Mujiningsih, 2000) (Atisah dkk., sampai masa depan tak terbatas 1999), maupun drama (McGlynn, (Pradopo, 2009: 2; Yudiono K.S. dkk., 2006). 2007: 16). Membicarakan Selain mencatat perkembangan perkembangan sastra suatu bangsa sastra Indonesia modern, beberapa ahli tentunya harus membicarakan sejarah sastra (Pradopo, 2009; Rosidi, 2013; sastra itu. Seperti hal kesusastraan Siregar, 1964; Teeuw, 1980; Yudiono yang lain, kesusastraan Indonesia K.S., 2007) memberikan argumen hadir tidak dapat lepas dari sejarah yang dijadikan landasan pijakan kapan yang melahirkan dan membesarkannya kelahiran sastra Indonesia modern. (Mahayana, 2005: 421) . Umumnya, mereka mengawali sastra Kehidupan sastra Indonesia Indonesia modern pada sekitar 1920- modern sejak kelahiran sampai an dengan berdasarkan masalah sekarang sangatlah marak. Banyak masyarakat, rasa kebangsaan, bentuk- sastrawan yang lahir pada setiap masa bentuk yang baru, dan dinamika sosial dan membawa bentuk-bentuk baru budaya masyarakat. yang berbeda dari masa sebelumnya. Berdasarkan kajian Bahtiar, dkk. Berbagai peristiwa kesusastraan (2018) buku-buku sejarah sastra datang silih berganti mewarnai Indonesia modern tersebut selain perjalanan sastra Indonesia modern. terputus kesinambungannya juga tidak Hasil sastra yang dilahirkan terus komprehensif karena banyak karya, bertambah setiap saat. Beberapa pengarang, dan peristiwa yang peneliti mencatat karya-karya sastra terlewatkan. Penulisan tersebut Indonesia modern yang muncul baik sekadar berdasarkan kronologis, tidak dalam bentuk buku (Teeuw, 1980; memasukan unsur intrinsik sebagai Sumardjo, 2004) maupun yang landasannya. Selain itu, terdapat dimuat dalam koran dan majalah ketidakcermatan dalam pengambilan (Kratz, 1988). data karena sudut pandang penulis Penelitian tersebut melengkapi terhadap kelompok tertentu. Para buku-buku Sejarah Sastra Indonesia penulis hanya memasukkan karya Modern, seperti Sejarah Sastra sastra Indonesia berbahasa Melayu Indonesia Modern (Siregar, 1964); Tinggi atau Melayu Balai Pustaka. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia Padahal, karya sastra yang ditulis (Rosidi, 2013); Lintasan Sejarah dengan bahasa Melayu Rendah atau Sastra Indonesia (Sumardjo, 1992); Sastra Melayu Rendah lebih dulu ada. 40 ALAYASASTRA, Volume 17, No. 1, Mei 2021 Sastra Melayu Rendah atau yang juga (Setijowati, 2012), representasi dikenal Sastra Melayu Tionghoa sudah pernyaian (Linda, 2010). Adapun, ada sejak 1870, sedangkan Balai kajian terhadap Kwee Tek Hoay, Pustaka baru ada 1920. Untuk pelaku teater, wartawan, dan memahami Sastra Indonesia Modern sastrawan paling produktif secara komprehensif, kita perlu kesusastraan ini dilakukan Hapsanti mengetahui tentang kesusastraan dan Hapsari (2015). Masalah religi tersebut. diangkat Pramono (2019) yang Sastra Melayu Rendah saat ini menunjukkan keanekaragaman agama belum masuk dalam buku-buku dalam kesusastraan ini. Kajian tersebut sejarah Sastra Indonesia Modern, melihat beberapa aspek dalam Kong tetapi penelitian tentang kesastraan ini Hu Chu, Hindu, Islam, dan telah dilakukan oleh Sumardjo (2004) Kepercayaan terhadap Tuhan Yang dan Salmon (2010). Sebelumnya, Nie Maha Esa. Penelitian-penelitian Joe lan (1930) menyebut kesusastraan tersebut belum meletakan Sastra ini dengan istilah Kesusastraan Indo- Melayu Rendah sebagai titik tolak Tionghoa sebagai sesuatu yang dalam perkembangan Sastra Indonesia penting dikaji secara psikologi, Modern. sejarah, dan kesusastraan. Kajian Untuk melengkapi kajian-kajian Sumardjo dan Salmon menjadi tersebut, penelitian ini bertujuan landasan penting dalam kajian mengetahui gambaran Sastra Melayu terhadap kesusastraan ini. Sumardjo Rendah secara komprensif untuk (2010) selain memberikan latar menegaskan kembali keberadaannya sosiogis munculnya sastra ini juga dalam sejarah Sastra Indonesia memberi gambaran beberapa karya Modern. Dengan demikian, sastra dalam bentuk syair, prosa, dan keberadaan kesusastraan ini akan teater. Salmon (2010) menjelaskan semakin diakui dalam khasanah secara komprehensif perkembangan Kesusastraan Indonesia Modern. dan pertumbuhan kesusastraan ini Setelah terbitnya Keppres No. 6/2000 serta bagaimana peran penulis dalam yang mencabut Inpres No. 24/1967, mengembangkan bahasa Melayu masyarakat Tionghoa yang merupakan Rendah sebagai lingua franca. Hal ini pendukung kesusastraan ini menyebabkan kesusastraan ini dikenal memperoleh kembali sebagian dari juga dengan sebutan kesusastraan hak-hak mereka sebagai warga negara lingua franca. Indonesia, yang selama lebih dari tiga Kajian terkini tentang dasawarsa dibatasi oleh Inpres tersebut kesusastraan ini lebih menyorot pada (Chusniatu dan Thoyibi, 2005). Oleh citra dan persoalan perempuan karena itu, penelitian ini merupakan (Nugroho dan Purnomo, 2017; sebuah apresiasi secara proporsional Cholifah, 2019), citra perempuan terhadap sumbangsih masyarakat peranakan (Chusniatin dan Thoyib, Tionghoa dalam bidang kesusastraan 2005), hibriditas masyarakat Tionghoa sehingga layak dibicarakan dalam Menelisik Sastra Melayu Rendah dan Kedudukannya:... (Ahmad Bahtiar dkk.) 41 Sastra Indonesia Modern khususnya Indonesia Modern ini didasarkan pada dalam studi sejarah Sastra Indonesia. pertimbangan aspek perkembangan Sejarah sastra dapat ditulis masyarakat dan metode pengurutan berdasarkan berbagai perspektif. perkembangan sastra. Penyusunan Damono (dalam Yudiono K.S., 2010: sejarah sastra Indonesia modern 42) menjelaskan bahwa penulisan disusun tidak sekadar berdasarkan sejarah Sastra Indonesia Modern urutan waktu (kronologis) terbitnya, selain melihat perkembangan stilistik, tetapi juga berdasarkan ciri-ciri tematik, ketokohan, atau konteks intrinsiknya. sosial, juga harus menempatkan sastra Selain menerapkan teori sedemikian rupa sehingga memiliki tersebut, penelitian ini menggunakan makna bagi masyarakatnya, terkait metode penelitian kepustakaan dengan berbagai permasalahan yang (library research). Kegiatan ini dihadapi oleh masyarakatnya. Untuk dilakukan dengan menelusuri buku- itu, perkembangan masyarakat buku sejarah sastra, jurnal-jurnal, menjadi acuan dalam melihat berbagai literatur, dan penelitian yang perkembangan sastra. Dalam mengkaji berkaitan dengan karya dan peristiwa sastra, perlu dilihat faktor-faktor di dalam perkembangan sejarah sastra luar karya sastra itu sendiri (Damono, Indonesia modern, khususnya 1979: 3). Karya sastra sastra Kesusastraan Melayu Rendah. Selain menyangkut setidaknya tiga hal, yakni itu, peneliti membaca karya-karya sastrawan, karya, dan pembaca. sastra Melayu rendah baik dalam Semuanya itu ada dalam sebuah antologi maupun karya sendiri.
Recommended publications
  • Surrealist Painting in Yogyakarta Martinus Dwi Marianto University of Wollongong
    University of Wollongong Research Online University of Wollongong Thesis Collection University of Wollongong Thesis Collections 1995 Surrealist painting in Yogyakarta Martinus Dwi Marianto University of Wollongong Recommended Citation Marianto, Martinus Dwi, Surrealist painting in Yogyakarta, Doctor of Philosophy thesis, Faculty of Creative Arts, University of Wollongong, 1995. http://ro.uow.edu.au/theses/1757 Research Online is the open access institutional repository for the University of Wollongong. For further information contact the UOW Library: [email protected] SURREALIST PAINTING IN YOGYAKARTA A thesis submitted in fulfilment of the requirements for the award of the degree DOCTOR OF PHILOSOPHY from UNIVERSITY OF WOLLONGONG by MARTINUS DWI MARIANTO B.F.A (STSRI 'ASRT, Yogyakarta) M.F.A. (Rhode Island School of Design, USA) FACULTY OF CREATIVE ARTS 1995 CERTIFICATION I certify that this work has not been submitted for a degree to any other university or institution and, to the best of my knowledge and belief, contains no material previously published or written by any other person, except where due reference has been made in the text. Martinus Dwi Marianto July 1995 ABSTRACT Surrealist painting flourished in Yogyakarta around the middle of the 1980s to early 1990s. It became popular amongst art students in Yogyakarta, and formed a significant style of painting which generally is characterised by the use of casual juxtapositions of disparate ideas and subjects resulting in absurd, startling, and sometimes disturbing images. In this thesis, Yogyakartan Surrealism is seen as the expression in painting of various social, cultural, and economic developments taking place rapidly and simultaneously in Yogyakarta's urban landscape.
    [Show full text]
  • Pramoedya's Developing Literary Concepts- by Martina Heinschke
    Between G elanggang and Lekra: Pramoedya's Developing Literary Concepts- by Martina Heinschke Introduction During the first decade of the New Order, the idea of the autonomy of art was the unchallenged basis for all art production considered legitimate. The term encompasses two significant assumptions. First, it includes the idea that art and/or its individual categories are recognized within society as independent sub-systems that make their own rules, i.e. that art is not subject to influences exerted by other social sub-systems (politics and religion, for example). Secondly, it entails a complex of aesthetic notions that basically tend to exclude all non-artistic considerations from the aesthetic field and to define art as an activity detached from everyday life. An aesthetics of autonomy can create problems for its adherents, as a review of recent occidental art and literary history makes clear. Artists have attempted to overcome these problems by reasserting social ideals (e.g. as in naturalism) or through revolt, as in the avant-garde movements of the twentieth century which challenged the aesthetic norms of the autonomous work of art in order to relocate aesthetic experience at a pivotal point in relation to individual and social life.* 1 * This article is based on parts of my doctoral thesis, Angkatan 45. Literaturkonzeptionen im gesellschafipolitischen Kontext (Berlin: Reimer, 1993). I thank the editors of Indonesia, especially Benedict Anderson, for helpful comments and suggestions. 1 In German studies of literature, the institutionalization of art as an autonomous field and its aesthetic consequences is discussed mainly by Christa Burger and Peter Burger.
    [Show full text]
  • Melahirkan Sastra Indonesia …………
    POTRET SASTRA INDONESIA Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) POTRET SASTRA INDONESIA Penulis : Drs. Harjito, M.Hum Editor : Dra. Sri Suciati, M.Hum. IKIP PGRI Semarang Press, 2007 vi, 102 / 16 X 24,5 cm ISBN: 978 – 602 – 8047 – 01 - 2 Hak cipta, 2007 Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku dengan cara apa pun termasuk menggunakan mesin fotokopi tanpa seizin penerbit. 2007 POTRET SASTRA INDONESIA IKIP PGRI Semarang Press Prakata Puja dan puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Bijaksana. Akhirnya, penulis dapat menyelesaikan dan menerbitkan buku ini. Buku ini berisi tentang sejarah sastra Indonesia. Terbagi atas sebelas bab, buku ini diawali dengan pembahasan tentang sastra lama dan foklor. Bab berikutnya berisi tentang sastra Indonesia dan sastra daerah. Bab-bab berikutnya membahas tentang periode Balai Pustaka hingga Periode Pasca 66. Sejarah adalah sesuatu yang bergerak dan selalu akan terus bergerak. Menulis sejarah sastra Indonesia adalah menuliskan sesuatu yang terus bergerak. Yang patut disadari adalah pada saat menuliskan sejarah, selalu dibutuhkan jarak waktu antara peristiwa dan penulisannya. Hal ini dilakukan agar terdapat jarak pandang dan objektivitas dalam memandang sebuah peristiwa, termasuk perisiwa dalam kesastraan. Tidak mudah menulis tentang sejarah sastra, terutama sejarah sastra Indonesia. Selalu ada keberpihakan atas satu peristiwa dan mengabaikan sudut pandang yang lain. Dalam satu sisi, itulah kelemahan penulis. Di sisi lain, di situlah secara sadar atau tidak penulis berdiri
    [Show full text]
  • Heirs to World Culture DEF1.Indd
    14 The capital of pulp fiction and other capitals Cultural life in Medan, 1950-1958 Marije Plomp The general picture of cultural activities in Indonesia during the 1950s emanating from available studies is based on data pertain- ing to the nation’s political and cultural centre,1 Jakarta, and two or three other main cities in Java (Foulcher 1986; Rhoma Dwi Aria Yuliantri and Muhidin M. Dahlan 2008). Other regions are often mentioned only in the framework of the highly politicized debate on the outlook of an Indonesian national culture that had its origins in the 1930s (Foulcher 1986:32-3). Before the war, the discussions on culture in relation to a nation were anti-colonial and nationalistic in nature, but after Independence the focus shifted. Now the questions were whether or not the regional cul- tures could contribute to a modern Indonesian national culture, and how they were to be valued vis-à-vis that national culture. What cultural life in one of the cities in the outer regions actually looked like, and what kind of cultural networks – national, trans- national and transborder – existed in the various regions has yet to be researched. With this essay I aim to contribute to a more differentiated view on the cultural activities in Indonesia in the 1950s by charting a part of the cultural world of Medan and two of its (trans)national and transborder cultural exchange networks in the period 1950- 1958. This time span covers the first eight years of Indonesia as an independent nation until the start of the insurrection against the central army and government leaders by North Sumatran army commander Colonel Maludin Simbolon on 22 December 1958 (Conboy 2003:37-51).
    [Show full text]
  • ASPECTS of INDONESIAN INTELLECTUAL LIFE in the 1930S
    PUDJANGGA BARU: ASPECTS OF INDONESIAN INTELLECTUAL LIFE IN THE 1930s Heather Sutherland Pudjangga Baru, the "New Writer," was a cultural periodical put out in the colonial capital of Batavia by a group of young Indonesian intellectuals from 1933 until the invasion of the Netherlands Indies by Japan in 1942.1 In Bahasa Indonesia, the term pudjangga means "literary man, man of letters; author, poet; linguist, philologist."2 34 The choice of this term for the title of the monthly was no doubt also influenced by an awareness of its historical connotations, for the word can be traced back through such Old Javanese forms as bhujanga to an original Sanskrit root associated with sacred and priestly learning. It implied nobility and integrity as well as literary ability; and it is therefore no accident that the writings appearing in it claimed high idealism and a sense of mission. The purpose proclaimed by Pudjangga Baru became more fervent as the years passed. In the beginning, it described itself simply as a literary, artistic, and cultural monthly. At the start of its third year it declared itself a "bearer of a new spirit in literature, art, culture, and general social affairs."^ At the beginning of its fifth year it claimed to be the "leader of the new dynamic spirit to create a new culture, the culture of Indonesian unity."1* In 1928, when the second All-Indonesia Youth Congress swore the famous oath to work for "one fatherland, one people, and one language" Pudjangga Baru pledged itself to work for the development of the national language and also to strive for a national culture, adding "one culture" to its 1.
    [Show full text]
  • Sejarah Sastra Indonesia
    0 | Sejarah Sastra Indonesia 1 | Sejarah Sastra Indonesia KATA PENGANTAR Sastra Indonesia saat ini mengalami perkembangan yang pesat dan dinamis. Hal itu tidak hanya mendapat perhatian dari pemerhati sastra, sastrawan maupun pengajar sastra melainkan juga masyarakat umum yang juga merupakan penikmat sastra. Membicarakan perkembangan sastra suatu bangsa tentunya harus membicarakan sejarah sastra itu. Kehadiran kesusastraan Indonesia tidak dapat lepas dari sejarah yang melahirkan dan membesarkannya. Beberapa ahli sastra memberikan argumen yang dijadikan landasan pijakan kapan kelahiran sastra Indonesia. Beberapa pendapat tersebut menyiratkan bahwa perjalanan sastra Indonesia belumlah panjang.Usia kesusastraan Indonesia tidaklah sepanjang kesusastraan Inggris, Amerika, Arab, Jepang, Cina atau kesusastraan negara lainnya. Namun demikian, dengan usia yang belum terlalu panjang tersebut bukan berarti sastra Indonesia sepi dari karya-karya yang monumental. Kehidupan sastra Indonesia sejak kelahiran sampai sekarang sangatlah marak. Banyak sastrawan yang lahir pada setiap masa dan membawa bentuk-bentuk yang berbeda dengan masa sebelumnya. Berbagai peristiwa kesusastraan datang silih berganti mewarnai perjalanan sastra Indonesia. Hasil sastra yang dilahirkan terus bertambah setiap saat. Fakta itulah yang harus diketahui oleh siapapun yang berminat terhadap kesusastraan Indonesia. Oleh sebab itu, perlu adanya sebuah buku sejarah sastra Indonesia yang bersifat komprehensif. Buku tersebut tidak hanya mengenai sastrawan dan karyanya tetapi juga mencakup berbagai peristiwa yang berkaitan dengan sastra Indonesia dari sejak kelahiran sampai sekarang. Banyak penulis yang telah melahirkan buku sejarah sastra Indonesia, seperti Sejarah Sastra Indonesia (Bakri Siregar, 1964), Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (Ajip Rosidi, 1968), Ikhtisar Kesusastraan Indonesia Modern (Pamusuk Eneste, 1988), Lintasan Sejarah Sastra Indonesia 1 (Jacob Sumardjo, 1992) dan Pengantar Sejarah Sastra Indonesia (Yudiono K.S., 2007).
    [Show full text]
  • Some Reconsiderations. with Comments by Taufik Abdullah In
    H. Aveling ýSitti Nurbaja'; Some reconsiderations. With comments by Taufik Abdullah In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 126 (1970), no: 2, Leiden, 228-245 This PDF-file was downloaded from http://www.kitlv-journals.nl Downloaded from Brill.com09/24/2021 12:18:45PM via free access "SITTI NURBAJA": SOME RECONSIDERATIONS arah Rusli's novel Sitti Nurbaja was published first by Balai Pustaka in. 1922.1 It was by far the most popular of Indonesian novels prior to the second world war and still retained a great deal of popularity after it. This is common knowledge. That it is also a novel which has, as yet, not had its fair critica! due, is rather less obvious. Most critics refer to it, after all, at one stage or another in their studies, even if, upon closer examination, rather briefly. (Drs H. B. Jassin refers to the novel nine times in his four volumes of Kruik dan Esei; none of the references are longer than one sentence.) Further, there seems to be a remarkably high degree of concensus as to the position, the themes, and the significance of the book within the structure of modern Indonesian literature.2 Conventionally it seems the following comments are considered necessary from the critic of Sitti Nurbaja. Firstly, a passing reference to the primacy, or the pioneering position, of the novel in the historica! development of Indonesian literature. To choose three examples: Takdir Alisjahbana's reference to "Marah 1 Marah Rusli was born in Padang, central Sumatra, 1889: son of Sutan Abu Bakar gelar Sutan Pangeran and a commoner, hence his title.
    [Show full text]
  • A Study of the Cultural Pages of Harian Rakjat in the Early 1950S
    The Communist Imagination: A Study of the Cultural Pages of Harian Rakjat in the Early 1950s Stephen Miller A thesis in fulfilment of the requirements for the degree of Doctor of Philosophy School of Humanities and Social Sciences, UNSW@ADFA, Canberra, Australia August 2015 2 Acknowledgements This dissertation would not have been possible without the enthusiasm, good humour, intelligence and patience of my primary supervisor, Paul Tickell. I cannot thank him enough for his continuing support and faith. He was well supported by my co-supervisors, Emeritus Professor Barbara Hatley and Dr. Edwin Jurriens. I want to especially thank Barbara for her patience in reading drafts in the final throes of thesis production. Dorothy Meyer saw the project through from the beginning of candidature until submission, providing companionship, coding advice, proof reading, and general editing support. Her enthusiasm and passion for my work were central to the thesis reaching the point of submission. The keen grammar sense of my mother, June Miller, helped improve the readability of many sections of the writing. Dr. Kaz Ross also deserves to be mentioned for a late reading of a complete draft and pushing me to submit. It is great to have good colleagues in your corner. I would also like to thank the administrative staff at UNSW at ADFA, especially Bernadette McDermott, who has always been flexible and helpful when dealing with a candidature that lasted far too long. During the prolonged revision process Rifka Sibarani’s support, enthusiasm, and affection was much appreciated, as it continues to be post-thesis. So many other people have also helped me out at various times—students, colleagues, friends, family, comrades.
    [Show full text]
  • Indonesia in the 1950S Nation, Modernity, and the Post-Colonial State
    Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Vol. 167, no. 4 (2011), pp. 386-404 URL: http://www.kitlv-journals.nl/index.php/btlv URN:NBN:NL:UI:10-1-101398 Copyright: content is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 License ISSN: 0006-2294 HENK SCHULTE NORDHOLT Indonesia in the 1950s Nation, modernity, and the post-colonial state My dream was about a clean and tidy country with beautiful trains. A country where everybody would be happy.1 Perspective, mobility, rootedness Since Soeharto’s New Order, the 1950s have been represented in Indonesian historiography as ‘the road to disaster’, when the country was torn apart by regional rebellions and rising political tensions between right and left, which were mainly attributed to the Partai Komunis Indonesia (PKI, Indonesian Communist Party).2 This image is now being challenged and much more work needs to be done to investigate the relatively unknown 1950s in more detail. Usually, the 1950s have been viewed in comparison with other eras – in a negative sense as a time of stagnation and a prelude to chaos and in contrast to order and development during the New Order, or, alternatively, in a posi- tive sense as a period of democracy, as opposed to New Order authoritarian- ism, and as the aborted pre-history of post-1998 decentralization. However, instead of using the 1950s as a kind of background to other periods, it is more interesting to assess this decade on its own terms and explore its particular dynamics and complexities.3 In this essay I want to focus on discussions 1 Suwarno, a former freedom fighter, who was 20 years old in 1949, in an interview with de Volkskrant, 21-12-2009.
    [Show full text]
  • The Position of Low Malay Short Stories in the History of Indonesian Literature
    HUMANIORA VOLUME 28 No. 1 Februari 2016 Halaman 97-105 THE POSITION OF LOW MALAY SHORT STORIES IN THE HISTORY OF INDONESIAN LITERATURE Pujiharto1, Sudibyo1 1 Indonesian Department, Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada Email: [email protected] ABSTRACT This article tries to determine the factors causing the Low Malay short stories became unaccounted, especially those that were collected in Miss Koelit Koetjing (2005), in the constellation of the history of modern Indonesian literature. To answer these problems, this paper explores the criteria applied by the author of the history of Indonesian literature, comparing it with the Low Malay short stories, and relates them to their cultural historical context. The results showed the reason that Low Malay short stories collected inMiss Koelit Koetjing were not accounted, are caused by the following factors. First, most of the short stories still retain the traditional genres, such as hikayat (saga) and fairy tales, which show the strength of the cultural orientation of the past. Second, the authors of short stories are not natives; the author is not in the sense of the creator, the creator, but a storyteller, just to recount a story that has been there before. Third, short stories were published in newspapers and not in the book form. Fourth, the world of their stories came from diverse cultures and not from the world of the Indonesian archipelago. With a similar reality, it can be concluded that the short stories collected in Miss Koelit Koetjing, in the broad realm of Low Malay literature, is a literary tradition of its own in the constelation history of Indonesian literature.
    [Show full text]
  • Lekra Dalam Perpolitikan Di Indonesia 1950-1965
    BAB III LEKRA DALAM PERPOLITIKAN DI INDONESIA 1950-1965 A. Sejarah Lahirnya Lekra Dalam perkembangan perpolitikan bangsa ini, unsur kebudayaan tidak dapat ditinggalkan, terutama fungsinya sebagai penarik simpati bagi masa yang ingin ditarik oleh sebuah partai politik. Hal demikian sangat berkembang pesat pada sekitar awal tahun 1960-an, di mana lembaga kebudayaan partai banyak tumbuh subur seperti, Lekra (PKI), Lesbumi (NU), LKN (PNI), Lesbi (Partindo), Laksmi (PSII), Leksi, LKKI (Partai Katolik), ISBM (Muhamadiyah). Saat itu seniman tidak bisa bersikap untuk netral, karena dituntut sikap loyalitas harus berpihak hanya kepada partai. Saat itu para seniman tidak bisa bersikap netral atas keadaan perpolitikan yang berkembang. Mereka harus berpihak kepada perdamaian dan kemanusiaan walaupun lewat sebuah wacana yang tercipta dari partai yang ia bela.67 Lekra yang menurut kalangan umun disebut sebagai underbouw PKI saat itu seakan menjadi sebuah corong politik untuk menarik simpati rakyat kecil.68 Lekra pun dikenal sebagai sebuah organisasi kebudayaan Indonesia yang paling massal anggotaannya dengan kegiatan yang merakyat, untuk 67 D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail (ed), Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk. (Bandung: Mizan dan Republika, 1995), hal. 205-207. 68Pada masa Orde Lama (1945-1965), Presiden Republik Indonesia yang pertama Bung Karno rupanya sangat faham, bahwa seni pertunjukan rakyat merupakan sarana yang sangat efektf bagi berbagai keperluan propaganda. Bukan saja untuk kepentingan pilitik dalam negeri seni, pertunjukan bisa difungsikan sebagai media propaganda, tetapi juga untuk kepentingan politik luar negeri 44 45 melaksanakan prinsip, Kebudayaan dari, dan untuk Rakyat, tidak dapat dipungkiri bahwa pada akhirnya berkat Lekra, PKI banyak mendapat simpati dari masyarakat terutama kalangan orang-orang kecil dan buruh.
    [Show full text]
  • Wacana Romantisme Dalam Sejarah Sastra Indonesia Periode Kolonial Belanda (1900-1942)
    KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa, Vol. 5, No. 1, April, 2019, Hlm: 40-52 Sastra, dan Pengajarannya ISSN : 2442-7632 print | 2442-9287 online 40 WACANA ROMANTISME DALAM SEJARAH SASTRA INDONESIA PERIODE KOLONIAL BELANDA (1900-1942) Dwi Susanto*, Rianna Wati Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidiakan, Universitas Sebelas Maret, Indonesia *Corresponding author: [email protected] INFORMASI ARTIKEL ABSTRAK Sejarah Artikel Sejarah sastra Indonesia didominasi oleh wacana estetik Diterima: 11/8/2018 romantik atau materialisme. Hal ini memengaruhi cara pandang Direvisi: 31/5/2019 terhadap kesastaraan Indonesia. Tulisan ini bertujuan untuk Disetujui: 2/6/2019 melihat pembentukan dan persebaran wacana estetika romantik Tersedia Daring: 9/6/2019 dalam sejarah sastra Indonesia. Teori yang digunakan adalah wacana dan kuasa dari Foucault. Objek kajian yang digunakan Kata Kunci: adalah wacana dan kuasa dalam sejarah sastra Indonesia, Estetika Romantisme terutama wacana estetika romantisme. Hasil yang diperoleh Sastra Indonesia adalah bahwa wacana estetika romantisme dan sejarah sastra Indonesia dibentuk dan digunakan oleh kuasa kolonialisme Kuasa Belanda. Hal ini ditujukan untuk membentuk masyarakat terjajah sesuai citra dirinya. Sebagai akibatnya, wacana estetika yang lain disingkirkan dan dianggap bukan sebagai kesastaraan sehingga tidak masuk dalam sejarah sastra. Hal ini berlanjut hingga pada masa sesudahnya dan Orde Baru yang menggunakan cara dan strategi yang serupa dengan periode kolonial. ABSTRACT Keywords: The history of Indonesian literature is dominated by romantic Romanticism Aesthetics aesthetic discourse or materialism. This affects the perspective Indonesia Literature on Indonesian literacy. This paper aims to look at the formation Power and distribution of romantic aesthetic discourses in the history of Indonesian literature. The theory used in this research is Foucault’s theory of discourse and power.
    [Show full text]