UNIVERSITAS INDONESIA

PERAN SAKAMOTO RYŪICHI DALAM PERKEMBANGAN MUSIK POPULER JEPANG

MAKALAH NON-SKRIPSI

SEKAR HAYUNING GALIH NPM 1206248073

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI JEPANG DEPOK JANUARI 2016

Peran Sakamoto ..., Sekar Hayuning Galih, FIB UI, 2016

Peran Sakamoto ..., Sekar Hayuning Galih, FIB UI, 2016

Peran Sakamoto ..., Sekar Hayuning Galih, FIB UI, 2016

PERAN SAKAMOTO RYŪICHI DALAM PERKEMBANGAN MUSIK POPULER JEPANG

Sekar Hayuning Galih

Program Studi Jepang, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia [email protected]

Abstrak

Skripsi ini membahas peranan Sakamoto Ryūichi terhadap munculnya genre baru dan perkembangan musik populer Jepang. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peraj berpengaruh terhadap munculnya genre techno-pop di Jepang dan perkembangan musik jenis electronic dan semacamnya pada era selanjutnya. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya artis-artis baru yang mengusung genre techno dan festival musik dengan genre serupa, serta tempat-tempat seperti klub yang menyediakan instrumen elektronik seperti synthesizer bagi para penggemar musik techno.

THE ROLE OF SAKAMOTO RYŪICHI ON THE DEVELOPMENT OF POPULAR MUSIC IN JAPAN

Abstract

The study focuses on the role of Sakamoto Ryūichi for the born of new music genre and the development of popular music in Japan. This study is categorized as qualitative study with a description method. Result of the study reveals that Sakamoto Ryūichi has played a main role on the new music genre of techno-pop in Japan and the development of the other electronic-music for the following era. It can be seen from many artists who chose this new techno genre and many festival music were conducted with similar genre. Then it is followed by many music clubs which provide electronic instrument such as synthesizer to accommodate the need of techno-music lovers.

Keywords: Sakamoto, techno, music, popular, Japan

Pendahuluan

Musik populer Jepang mulai berkembang sejak industri musik Barat masuk ke Jepang pada tahun 1910-an. Perusahaan rekaman menghasilkan rekor baru dengan membangun industri di daerah-daerah yang menjanjikan keuntungan besar. Pada tahun 1910, the Gramophone Company mengoperasikan industri rekaman tidak hanya di Hayes (dekat London), Hanover, dan Paris, tetapi juga di Barcelona, Aussig (Austria-Hungaria), Riga, Moskow, St. Petersburg dan Tiflis (Rusia), Milan, bahkan Kalkuta (India). Perusahaan Amerika yang mensubsidi Gramophone, the Victor Talking Machine, mengontrol pasar Amerika Utara dari kantor pusat di Camden, New Jersey, dan Montreal, dan juga

Peran Sakamoto ..., Sekar Hayuning Galih, FIB UI, 2016

mengoperasikan agensi di Amerika Tengah dan Selatan, Cina, Jepang, dan Filipina (Tschmuck 2008). Kata populer dalam konteks ini perlu diperjelas karena memiliki arti yang luas. Kata populer yang merujuk pada musik berarti dikonsumsi dalam jumlah besar, dan dinikmati oleh banyak orang. Musik populer juga dapat diidentifikasi sebagai sesuatu yang simpel karena diproduksi secara massal, menyebar luas, dan dikonsumsi banyak orang. Genre-genre yang populer juga bisa didefinisikan dengan adanya perusahaan-perusahaan yang mencari pasar untuk menarik konsumen. Musik populer juga sering didefinisikan bukan sebagai genre yang lain, misalnya populer adalah populer ketika musik tersebut bukan genre tradisional, musik rakyat, atau art music, untuk menempatkannya dengan tepat dalam pasar musik. (Manuel 1988; Middleton 1990; Shepherd et al. 2003; Shuker 1994; Starr and Waterman 2007 dalam Matsue, 2009). Awalnya musik yang populer pada masa tersebut bergenre ryūkōka. Kemudian pada era 1950-an ryūkōka mengalami transformasi genre menjadi kayōkyoku. Perkembangan teknologi pada masa itu merupakan salah satu faktor pendukung perubahan genre tersebut serta perkembangan industri musik di Jepang. Industri musik Jepang pada era tersebut sudah mampu memproduksi hasil rekaman dalam bentuk piringan maupun kaset. Musik populer Jepang mengalami perkembangan yang cukup signifikan setelah masuknya music modern dari Barat. Hal ini terlihat dari banyaknya klasifikasi genre pada rak di toko-toko CD/ kaset pada masa itu1. Ketika musik populer Jepang mulai menjadi tren, idola-idola juga mulai bermunculan. Selain mulai munculnya para idola, musik populer Jepang mulai menyebar ke negara lain. Salah satu negara yang menerima musik populer Jepang dengan tanggapan positif adalah Hong Kong. Hong Kong sangat berpengaruh dalam penyebaran musik populer Jepang. Walaupun sebenarnya kemajuan teknologi dan pola konsumsi para pendengar dapat memicu industri untuk memproduksi hasil rekaman, namun kreativitas industri tidak mampu memenuhi permintaan konsumen. Mereka butuh jumlah lagu yang lebih banyak untuk menjual hasil rekaman. Awalnya, lagu-lagu Jepang yang dinyanyikan ulang oleh para penyanyi lokal digunakan untuk memenuhi kuantitas yang dibutuhkan oleh industri tersebut. Namun, para pendengar ternyata lebih tertarik dengan versi yang diperbarui tersebut, dan hal ini meningkatkan popularitas musik populer Jepang di Hong Kong. Hal ini yang awalnya

1www. romanchii.stripper.jp

Peran Sakamoto ..., Sekar Hayuning Galih, FIB UI, 2016

menjadi pemicu utama tingginya ketertarikan masyarakat luar Jepang terhadap musik populer Jepang. (Ogawa 2001:124 dalam Matsue 2009:147) Musik populer Jepang atau yang sekarang lebih dikenal dengan istilah J-pop mengalami peningkatan kepopuleran yang sangat drastis pada akhir tahun 1990-an sampai awal 2000-an. Hal ini dapat dikatakan sebagai suatu peristiwa yang paling penting dalam perkembangan musik populer di Asia2. Sebagai contoh, kita dapat melihat kondisi musik populer Jepang di Singapura. Pada tahun 1999 sampai 2002, penjualan musik Jepang di Singapura mengalami peningkatan. Dengan kata lain, kondisi musik populer Jepang pada masa tersebut sudah menyebar ke berbagai negara di Asia dan diminati oleh banyak orang. Penyebaran musik populer Jepang ke berbagai negara dipelopori oleh perusahaan rekaman besar di Jepang seperti Sony dan EMI yang membuka cabang di Hong Kong yang memproduksi secara resmi sekaligus memasarkan album J-pop untuk pasar Asia. Sony dan EMI merupakan perusahaan besar yang berpengaruh dalam perkembangan musik populer Jepang. Beberapa nama yang terlibat di dalamnya adalah Takahashi Yukihiro, Komuro Tetsuya, dan Sakamoto Ryūichi. Ketiganya merupakan musisi sekaligus produser yang bekerja pada salah satu perusahaan besar tersebut. Dari ketiga nama di atas, Sakamoto Ryūichi merupakan produser yang cukup aktif menyusun komposisi untuk mengisi soundtrack film. Selain sebagai musisi, komposer, dan produser, ia juga berakting dalam salah satu film yaitu Merry Christmas, Mr. Lawrence. Sakamoto Ryūichi bahkan disebut sebagai salah satu tokoh yang paling berpengaruh dalam perkembangan musik populer Jepang.3 Sakamoto Ryūichi sebagai salah satu pendiri , turut menciptakan lagu serta memproduseri proyek-proyek dari band tersebut. Band yang mengusung genre electronic, techno, dan ambient tersebut menjadi pelopor penggunaan instrumen musik elektronik seperti synthesizer, sampler, dan software dalam pembuatan sebuah proyek lagu. Ia juga bekerja sama dengan beberapa artis atau musisi Jepang lain seperti Yano Akiko yang merupakan seorang penyanyi dan pianis sekaligus istrinya, Imawano Kiyoshiro, dan Ijima Mari. Sakamoto Ryūichi mendapatkan penghargaan Oscar, Grammy Award, dan Golden Globe Award4 untuk komposisinya dalam mengisi soundtrack beberapa film, yaitu Merry Christmas, Mr. Lawrence (1983), the Last Emperor (1987), the Sheltering Sky (1990), serta

2 Ng, Benjamin Wai-Ming. Japanese Popular Music in Singapore and the Hybridization of Asian Music. Asian Music, Vol. 34, No. 1 (Autumn, 2002 - Winter, 2003), pp. 1-18 3 McClure, Steve. 1998. Nippon Pop. Singapore: Routledge. 4 McClure, Steve. 1998. Nippon Pop. Singapore: Routledge.

Peran Sakamoto ..., Sekar Hayuning Galih, FIB UI, 2016

the Little Buddha (1993). Selain itu, perjalanan kariernya memberikan Sakamoto kesempatan untuk berkolaborasi dengan beberapa musisi internasional seperti David Bowie, David Sylvian, dan David Byrne. Karya-karyanya beberapa kali menempati posisi teratas dalam penjualan album di Jepang. Pada tahun 2000, karyanya yang berjudul Energy Flow dalam album BTTB masih mampu menempati urutan kelima untuk kategori Song of the Year5. Berdasarkan latar belakang mengenai musik populer Jepang yang telah dipaparkan di atas, penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini yaitu peran musisi, komposer, sekaligus produser Sakamoto Ryūichi dalam perkembangan musik populer Jepang. Musik populer Jepang merupakan sebuah produk budaya populer Jepang yang sudah menyebar ke berbagai negara pada era globalisasi ini. Penelitian ini khususnya akan memaparkan peran Sakamoto Ryūichi sebagai produser, musisi, dan komposer dalam mendukung perkembangan musik populer Jepang. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka, yaitu dengan mengumpulkan data dari sejumlah buku dan sumber internet. Data-data yang valid kemudian dirangkai dan dianalisis.

Sejarah Singkat dan Perkembangan Musik Populer di Jepang

J-pop sebagai budaya populer Jepang tidak serta-merta muncul begitu saja. Lagu-lagu populer Jepang sudah ada sejak sebelum artis-artis besar muncul, bahkan sebelum teknologi rekaman berkembang luas. Namun, lagu-lagu tersebut merupakan lagu-lagu yang dinyanyikan ketika bekerja atau merayakan sebuah festival. Jenis tersebut dikenal dengan musik pop Jepang tradisional. Ketika Jepang membuka negara, budaya populer Barat masuk, tidak terkecuali bidang musik. Genre seperti pop, jazz, rock, bahkan tango dikenal luas di Jepang. Pembahasan tentang J-pop tidak lepas dari akar sejarah terbentuknya musik populer di Jepang. Setelah istilah J-pop muncul pada tahun 1980-an, lagu-lagu Jepang populer terus mengalami perkembangan dan penyebaran ke berbagai negara. Pada bab ini akan dibahas mengenai sejarah singkat dan perkembangan musik populer di Jepang, yang dibagi menjadi dua periode yaitu masa sebelum dan setelah Perang Dunia II. Secara harafiah, minyo (民よ; minyo) berarti lagu rakyat, yang juga bisa diartikan sebagai lagu populer pada masanya. Namun, studi tentang minyo lebih erat kaitannya dengan musik rakyat. Musik rakyat Jepang didefinisikan dalam berbagai jenis dan arti. Nakamura dalam Stevens menyatakan bahwa musik rakyat di Jepang paling tepat direpresentasikan

5 www.riaj.or.jp

Peran Sakamoto ..., Sekar Hayuning Galih, FIB UI, 2016

sebagai soran-bushi, yang secara harafiah berarti lagu pekerja. Genre soran-bushi ini tersusun atas melodi-melodi yang dinyanyikan secara spontan oleh para pelaut di daerah utara Jepang ketika sedang bekerja.6 Selain soran-bushi, terminologi yang paling sering digunakan untuk mendefinisikan musik rakyat Jepang adalah minyo (Malm 1996:221; Yano 2002:32 dalam Stevens, 2008). Namun, de Ferranti mendefinisikan minyo sebagai lagu daerah, berdasarkan asal masing-masing lagu. Kata minyo tercatat pertama kali digunakan pada era 1890-an, dan merupakan lagu yang dinyanyikan dengan iringan musik. Fujie dalam Stevens menyatakan bahwa minyo merupakan lagu-lagu bertemakan kegiatan bekerja, permainan, dan percintaan. Artinya, lirik dalam minyo dapat bertemakan kegiatan sehari-hari (Stevens 2008). Setelah Restorasi Meiji tahun 1868 ketika aturan pelarangan dalam dunia internasional meningkat, pemerintah Jepang berusaha meresmikan berbagai budaya urban yang baru tidak hanya untuk orang Jepang, tetapi juga para peneliti dari luar Jepang sehingga mengurangi kesan dan pandangan negatif terhadap budaya urban yang baru tersebut. Meningkatnya literasi media massa pada masyarakat semakin membuka jalan bagi para musisi untuk meminjam atau memasukkan tradisi daerah pinggiran sebagai bagian dari karya musik mereka (Malm dalam Stevens, 2008). Ketika budaya massa mulai menyebar, imbuhan taishu pada berbagai bentuk budaya mulai digunakan. Imbuhan ini digunakan untuk mendeskripsikan konsep baru atas budaya massa atau budaya publik yang menyebar melalui media komersil. Dalam hal ini, musik tidak luput dari perkembangannya yang berkaitan dengan budaya massa. Pada tahun 1920-an, frase taishu ongaku mulai digunakan untuk mendefinisikan musik yang diproduksi secara massal (Malm dalam Stevens, 2008). Permulaan kemajuan industri musik di Jepang berawal dari era ini. Proses Westernisasi di Jepang ikut membawa masuk teknologi dari Barat, salah satunya microphone. Sejak microphone masuk ke Jepang, penyanyi-penyanyi mulai banyak bermunculan. Selain didukung oleh teknologi tersebut, penyebaran musik populer di Jepang juga didukung oleh media massa, awalnya radio. Radio merupakan media awal yang menyiarkan acara musik sehingga dapat diakses oleh masyarakat Jepang pada waktu itu. Melalui media radio tersebut, perusahaan yang pertama kali mampu menyiarkan acara di radio adalah NHK7. Pada tahun 1930-an, terminologi ryūkōka digunakan untuk mendefinsikan jenis musik yang dibuat oleh industri sebagai sesuatu yang berbeda dengan musik atau lagu yang tersebar secara oral di jalanan atau pinggiran kota. Secara harafiah, ryūkōka (流行歌; ryuukouka) berarti lagu yang sedang populer di masyarakat. Perubahan atas munculnya ryūkōka ini tidak

6 Stevens, Carolyn S. 2008. Japanese Popular Music. hlm. 12 7 Nippon Hoso Kyokai. Perusahaan siaran Jepang pertama, berdiri pada bulan Maret 1925. www..or.jp.

Peran Sakamoto ..., Sekar Hayuning Galih, FIB UI, 2016

hanya pada terminologi yang digunakan saja tetapi juga terhadap konsumsi masyarakat, serta kemajuan teknologi untuk menciptakan, memperjual-belikan, dan mendengarkan musik (Stevens 2008). Lagu-lagu ryūkōka memiliki struktur seperti lagu Barat dan meniru rhythm jazz Eropa dan Amerika, namun warna suaranya sangat berciri khas Jepang. Lirik dari ryūkōka menggambarkan kesendirian para prajurit, percintaan, kehilangan, perpisahan, dan pertemuan kembali. Jenis lagu yang diciptakan pada era 1920-an dan 1930-an ini disebut- sebut sebagai pendahulu (Stevens 2008). Walaupun pada tahun 1930-an ryūkōka masih diproduksi, namun sebenarnya pada pertengahan 1920-an mulai terjadi perubahan. Terminologi ryūkōka mulai tidak digunakan dan berganti menjadi kayōkyoku ( 歌謡曲; kayoukyoku), yang artinya setara dengan mainstream pop. Fujie mendefinisikan kayōkyoku sebagai musik populer yang komposernya diketahui, membandingkan dengan musik-musik populer di era sebelumnya yang tidak tercatat atau tidak memiliki asal yang jelas. Terminologi ini digunakan oleh NHK untuk mengganti ryūkōka pada akhir tahun 1920-an. Awal munculnya kayōkyoku dipengaruhi oleh mulai diproduksinya CD yang berisi lagu-lagu cover jazz. 8 Transformasi genre antara ryūkōka dan kayōkyoku bukan terjadi pada masa 1940-an atau bahkan 1950-an, tetapi sangat dekat dengan masa-masa awal perkembangan musik populer Jepang itu sendiri. Setelah itu, tranformasi genre musik populer Jepang menjadi banyak genre didukung oleh kemajuan teknologi dan juga pertumbuhan ekonomi Jepang yang saat itu sedang bagus. Selain ryūkōka dan kayōkyoku, genre yang populer pada era tersebut adalah enka. Enka (演歌; enka) memiliki ciri khas dari teknik vokal yang digunakan oleh penyanyinya. Teknik yang digunakan adalah kobushi. Kobushi (小節; kobushi) merupakan teknik bernyanyi yang terfokus pada vibra atau getaran vokal penyanyi enka. Enka memiliki ciri khas yang unik sebagai genre populer, enka mendapat kedudukan yang setara dengan ryūkōka dan kayōkyoku pada masa itu. Perkembangan mengenai enka dapat terbagi menjadi dua periode, yaitu pada masa sebelum dan sesudah Perang Dunia II. Yano dalam Craig menyatakan bahwa enka yang sudah ada sejak awal abad ke-20, berkembang hingga sekarang, dengan ciri khas lirik yang melodramatis, sendu, dan sentimentil. Selain itu, dengan menggabungkan instrumen musik Barat dengan skala musik dan teknik vokal Jepang, enka terdengar kuno. Dalam industri komersil skala besar, enka menggunakan ciri khas lirik seperti yang sudah dijelaskan di atas supaya laku di pasar industri musik.

8 Stevens, Carolyn S. 2008. Japanese Popular Music. hlm. 15

Peran Sakamoto ..., Sekar Hayuning Galih, FIB UI, 2016

Pada masa perang antara Jepang dan Rusia, lagu-lagu yang populer juga di masyarakat pada waktu itu adalah gunka. Secara harafiah, gunka (軍歌; gunka) berarti lagu perang. Selama tahun 1930-an Kementrian Informasi dan Pendidikan ikut terlibat dalam produksi dan penyebaran musik populer sebagai proyek besar dalam propaganda perang (Wade dalam Stevens, 2008). Gunka berawal sejak akhir abad ke-19 dan menjadi populer hingga akhir dari periode Tokugawa. Lagu-lagu yang termasuk dalam kategori gunka ini mengandung musik gaya Barat dan Jepang, dengan menggunakan instrumen Barat, khususnya brass mars. Lirik dari gunka bernuansa patriotik; juga menggambarkan perasaan kesendirian para prajurit di medan perang (Stevens 2008). Secara bertahap, kategori musik ini dilarang pada era setelah perang. Pada awal 1940-an, lagu pop dan jazz Amerika dilarang oleh pemerintah Jepang, juga lagu-lagu Jepang yang menggunakan instrumen musik bergaya Barat seperti gitar (Yano dalam Stevens, 2008). Selain itu, gunka dan hougaku9 (邦楽; hougaku) juga disensor. Hal ini menunjukkan suatu keadaan bahwa hak masyarakat Jepang pada waktu itu sempat diatur oleh pemerintah. Tetapi kemudian peraturan tersebut tidak digunakan lagi dan masyarakat mendapatkan kembali haknya untuk menerima budaya luar, dalam hal ini adalah musik populer. Lagu yang menduduki peringkat atas adalah Ringo no Uta (1946). Lirik lagu ini dibuat oleh Hachiro Sato dan komposisi musiknya dibuat oleh Tadashi Manjome. Lagu yang dipopulerkan oleh Namiki Michiko tersebut diluncurkan pada Januari 1946 oleh Columbia Records. Lagu ini dikatakan sebagai sebuah lagu yang menggambarkan melodi yang cerah, walau pun menggunakan skala minor. Selain Ringo no Uta, lagu yang juga terkenal pada era tersebut adalah Tokyo Bugiugi (Tokyo Boogie Woogie). Lagu yang dipopulerkan oleh Kasagi Shizuka ini diluncurkan pada tahun 1948. Lirik lagu tersebut dibuat oleh Suzuki Katsu dan komposisi musiknya dibuat oleh Hattori Ryoichi. Tahun 1960-an akhir sampai dengan 1970-an awal dapat dikatakan sebagai era awal idoling di Jepang. Lahirnya idola baru yang semakin marak melalui acara-acara di televisi menandakan kemajuan industri musik di Jepang. Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa media massa berperan besar dalam perkembangan musik populer Jepang, di era ini yang merupakan faktor pendukung perkembangan tersebut adalah media televisi. Selain jazz, kayōkyoku masih sangat populer di kalangan masyarakat Jepang melalui Misora Hibari.

9 Memiliki dua arti. Pertama, merupakan musik tradisional Jepang yang menggunakan instrumen shakuhachi dan koto. Kedua, dapat diartikan sebagai musik populer Jepang yang dibuat, diproduksi, ditampilkan, dan dipasarkan untuk pendengar asal Jepang. Stevens, Carolyn S. 2008. Japanese Popular Music.

Peran Sakamoto ..., Sekar Hayuning Galih, FIB UI, 2016

Misora Hibari ( 美空ひばり; Hibari Misora) dikenal sebagai the Queen of Showa Era dan the Queen of Kayōkyoku. Pengaruh Misora Hibari terhadap musik populer Jepang tidak dapat dikategorikan hanya pada satu dekade atau satu genre saja karena karirnya dalam dunia musik mampu bertahan selama empat dekade, sehingga tidak dapat diketahui ciri mana yang paling melekat terhadap Misora. Setelah membawakan jenis-jenis lagu Barat, ia meninggalkan musik modern Jepang yang sedang berkembang dan lebih memilih genre enka. Selanjutnya, genre wasei pop, atau disebut juga sebagai “Made-in-Japan pop” mulai menyebar setelah televisi menyiarkan program siaran musik. Genre ini biasanya lebih terdengar sentimental tetapi juga menggabungkan beberapa genre, serta menggabungkan gaya Jepang dengan Amerika. Salah satu lagu yang mendunia dari era tersebut adalah Ue wo Muite Aruko yang dipopulerkan oleh penyanyi Sakamoto Kyū. Lagu ini berhasil menduduki posisi atas dalam peringkat musik di Amerika dengan judul internasional, Sukiyaki. Lirik lagu Ue wo Muite Aruko ini dibuat oleh tim penulis lagu Sakamoto yang terdiri dari dua orang, yaitu Ei Rokusuke dan Nakamura Hachidai. Lagu yang dirilis pada Desember 1961 ini memiliki konstruksi melodi seperti kayōkyoku; terdengar seperti lagu Barat bagi orang Jepang, padahal sebenarnya tersusun berdasarkan skala pentatonis Jepang10. Sebelum tahun 1960-an, semua musik populer Jepang disebut sebagai kategori kayōkyoku. Namun pada akhirnya, enka berdiri sendiri sebagai genre pada pertengahan 1960- an, setelah terminologi enka sudah dipakai sejak akhir abad ke-19. Bagi Yano, enka bukanlah sebuah style baru. Berdirinya enka sebagai genre merupakan bentuk peng-genre-an sebuah produk industri (Stevens 2008). Pada awal tahun 1970-an, terminologi enka digunakan oleh media untuk mendeskripsikan genre musik populer bagi orang-orang yang tidak cukup muda untuk merasa nyaman ketika mendengarkan musik rock dan folk di Jepang (Wade dalam Stevens, 2008). Kemudian pada tahun 1970-an, muncul sebuah genre baru yaitu new music. New Music merupakan terminologi yang digunakan untuk mendeskripsikan variasi musik dari folk, ke pop, kemudian ke rock. Selain itu, lagu-lagu dengan genre new music ditulis dan diaransemen oleh para musisinya sendiri. Pada genre-genre yang ada sebelumnya, lagu-lagu cenderung dibuat oleh orang yang berbeda dengan penyanyi yang mempopulerkannya. Istilah J-pop pertama kali digunakan pada tahun 1988 di sebuah acara siaran radio, J- Wave. J-pop merupakan lagu-lagu populer yang merujuk pada orang-orang muda di Jepang. Namun sebenarnya, istilah ini awalnya digunakan untuk mewakili genre yang populer di

10 Ibid hlm. 56

Peran Sakamoto ..., Sekar Hayuning Galih, FIB UI, 2016

Jepang. Setelah muncul istilah J-pop, hampir seluruh genre musik atau lagu populer di Jepang berada di bawah payung klasifikasi tersebut. Genre yang paling banyak diminati adalah pop, metal dan hard rock, electronic, dan dance music. Genre pop yang berada di bawah J-pop merupakan sebuah genre yang berdiri sendiri, bukan sekedar pop yang merupakan kependekan dari populer, tetapi sebuah komposisi musik yang umum, mudah diingat, ringan, easy-listening, dan mampu bertahan lama. Genre metal dan hard rock merupakan genre yang pengaruhnya paling besar dari Barat. Metal dan hard-rock memiliki komposisi melodi yang rumit pada gitar elektrik serta teknik vokal yang khas untuk beberapa sub-genre sehingga mampu menyedot perhatian masyarakat Jepang terutama para anak muda. Genre seperti electronic, dan dance music merupakan jenis musik yang biasanya berciri pada komposisi ketukan ritme yang memiliki principal masing-masing. Genre tersebut sangat kental dengan nuansa digital. Nuansa digital dalam genre tersebut maksudnya adalah pembuatan aransemen musik atau beberapa efek suara yang dihasilkan tidak dengan menggunakan instrumen musik yang sesungguhnya melainkan menggunakan sebuah alat musik saja, misalnya keyboard, synthesizer, atau DJ box, atau bahkan menggunakan software. Hal ini menunjukkan bahwa kemajuan teknologi yang masuk ke Jepang memberikan pengaruh pada berbagai hal, tidak luput di bidang musik. Genre-genre tersebut, terutama dance music, erat kaitannya dengan perusahaan . Pada tahun 1988, Avex yang bekerja sama dengan produser berhasil membawa dance music pada awal kesuksesannya. Awalnya, Avex merupakan sebuah label indie yang juga mengimpor lagu-lagu dengan genre dance music. Setelah berhasil mendapatkan posisi dalam persaingan, Avex mampu masuk dalam peringkat lima besar perusahaan rekaman di Jepang pada pertengahan tahun 1990-an. Setelah berhasil menjual seri CD Juliana’s, Avex mengorbitkan artis-artis dengan genre dance/pop seperti trf dan . Tahun 1980-an dikenal sebagai era awal idoling di Jepang. Pada era itu juga, dunia Barat mulai lebih memperhatikan perkembangan budaya populer Jepang, tidak terkecuali di bidang musik. Bagi dunia Barat, idol music merupakan salah satu perkembangan genre yang peling berpengaruh dalam musik populer Jepang di era setelah Perang Dunia II. Selain itu, genre yang berkembang pada awal era digital tersebut adalah techno-pop. Techno-pop merupakan variasi genre pop yang menggunakan alat-alat digital seperti synthesizer dan instrumen elektrik lainnya yang tidak mengindahkan chord standar yang biasa digunakan dalam lagu pop pada umumnya. Salah satu band yang paling berpengaruh adalah Yellow Magic Orchestra, atau yang dikenal juga dengan nama YMO. Walaupun dikenal dalam bentuk band, namun personil yang dapat dikatakan paling berpengaruh adalah sang pemegang

Peran Sakamoto ..., Sekar Hayuning Galih, FIB UI, 2016

keyboard, Sakamoto Ryūichi. Dengan berbekal pendidikan musik yang didapatkannya semasa kuliah, Sakamoto Ryūichi mampu menjadi seorang musisi, komposer, dan produser handal dalam mendukung perkembangan musik populer Jepang. Setelah popularitas YMO, mulai banyak bermunculan musisi-musisi yang juga mengusung genre musik techno, electronic, atau sejenisnya. Selain dilihat dari eksistensi YMO, Ryuichi Sakamoto juga bersolo karir sebagai musisi sekaligus komposer. Ia mengisi soundtrack beberapa film, dan juga menciptakan lagu untuk Misora Hibari. Kemunculan musisi-musisi yang mengusung genre techno pada tahun-tahun setelah terbentuknya YMO dan popularitas Sakamoto Ryūichi sendiri, menunjukkan adanya kaitan antara peran Sakamoto Ryūichi terhadap perkembangan musik populer Jepang. Nama-nama seperti Ken Ishii, Kitaro, the Eccentric Opera, dan Something Wonderful merupakan artis-artis yang juga mengusung genre techno dan sejenisnya. Pada tahun 1990-an mulai bermunculan idol group, penyanyi yang tampil sambil menari (dance diva) dan visual music11. Grup-grup seperti SMAP12 dan KAT-TUN merupakan boyband yang paling terkenal pada masanya. Selain grup idola semacam itu, grup dengan format band yang mengusung genre rock tetap tidak dilupakan oleh para pendengar. Nama- nama band seperti X-Japan, L’arc en Ciel, dan Glay sangat familiar bagi para penggemar musik rock Jepang.

Peran Sakamoto Ryūichi dalam Perkembangan Musik Populer Jepang

Sakamoto Ryūichi (坂本龍一; Sakamoto Ryuuichi) lahir di Nakano, Tokyo pada 17 Januari 1952. Ia menempuh pendidikan musik di Tokyo National University of Fine Arts and Music dan mencapai gelar master untuk musik etnik dan elektronik. Pada tahun 1978, ia membentuk band Yellow Magic Orchestra bersama Hosono Haruomi dan Takahashi Yukihiro. Sakamoto berada di posisi keyboard dan perkusi, Haruomi di bass dan keyboards, dan Takahashi di drum dan vokal. Pada tahun 1984 Yellow Magic Orhestra bubar, kemudian pada tahun 1990 mereka bergabung kembali dengan aktif mengeluarkan album-album baru, dan pada tahun 1993 mengadakan tur.13 Selama tahun 1985-1989, Sakamoto Ryūichi tetap berkarya dengan menciptakan komposisi dan mengeluarkan album sendiri tanpa Yellow Magic Orchestra. Ia memilih tetap

11 Artis yang mengusung penampilan eksentrik dalam hal gaya rambut, make-up, dan pakaian. 12 Nama boyband yang merupakan singkatan dari Sports Music Assemble People. 13 Stevens, Carolyn S. 2008. Japanese Popular Music.

Peran Sakamoto ..., Sekar Hayuning Galih, FIB UI, 2016

berkarir sebagai seorang producer, yaitu sebutan untuk profesi seorang musisi dari genre techno. Dalam perjalanan karirnya, ia juga menyusun komposisi untuk soundtrack beberapa film seperti Merry Christmas, Mr. Lawrence (1983), the Last Emperor (1987), the Sheltering Sky (1990), dan Little Buddha (1993). Selain itu, ia juga bekerja sebagai komposer dengan menulis lagu untuk penyanyi besar, salah satunya Matsutoya Yumi.14 Yellow Magic Orchestra atau yang juga dikenal dengan singkatan YMO, dibentuk pada tahun 1978 oleh Hosono Haruomi, Takahashi Yukihiro, dan Sakamoto Ryūichi. Takahashi Yukihiro merupakan seorang drummer yang sebelumnya bergabung dengan Sadistic Mika, sebuah band yang mengusung genre rock. Hosono Haruomi juga seorang musisi yang sebelumnya bekerja sama dengan Caramel Mama atau dikenal juga dengan nama Tin Pan Alley. Di antara ketiga musisi tersebut, Sakamoto merupakan anggota yang mempelajari komposisi klasik ketika kuliah. Selain itu, Sakamoto juga merupakan orang yang pertama kali menyebut istilah techno-pop untuk mendeskripsikan genre musik yang diusung oleh Yellow Magic Orchestra. Yellow Magic Orchestra aktif dalam berkarir pada tahun 1978 sampai dengan 1984. Walaupun sempat bubar, namun mereka bergabung lagi dan kembali ke industri musik Jepang pada tahun 1990, dan melakukan tur kembali pada tahun 1993. Selain itu, dapat dilihat bahwa mereka bekerja sama dengan beberapa label, seperti Alfa, Toshiba EMI, Victor, Sony Music, dan commmons. Album pertama Yellow Magic Orchestra dirilis pada tahun 1978 dengan label Alfa. Album kedua Yellow Magic Orchestra dirilis pada tahun 1979 dengan judul . Pada tahun yang sama, Yellow Magic Orchestra sudah mulai mendapatkan perhatian di dunia musik populer Jepang. Pada tahun 1980, album ini memenangkan Japan Record Award for Best Album. Kedua lagu dalam album Solid State Survivor, yaitu Rydeen dan Behind the Mask, menjadi hits dari album tersebut. 15 Seperti yang dinyatakan oleh Sakamoto sendiri, musik yang diusung oleh Yellow Magic Orchestra bergenre techno-pop. Beberapa lagu dalam album debutnya tersebut, mereka memasukkan beberapa lagu yang memiliki pola atau dasar seperti background music untuk video game. Pola atau dasar yang dimaksud di atas adalah efek suara seperti blip-bleep pada konsol game. Efek suara tersebut seperti menandakan bahwa si pemain telah kehabisan

14 Stevens, Carolyn S. 2008. Japanese Popular Music. 15 Bourdaghs, Michael K. 2012. Sayonara America, Sayonara Nippon.

Peran Sakamoto ..., Sekar Hayuning Galih, FIB UI, 2016

nyawa dalam game. Misalnya dalam lagu Circus, mereka memadukan Funeral March karya Friedrich Chopin16 dengan improvisasi. Dalam penampilan di studio atau di panggung, Yellow Magic Orchestra menghadirkan synthesizers, sequencers, dan musik yang sudah diatur secara digital. Mereka berdiri di belakang keyboard dengan menggunakan headphone berukuran besar, seolah-olah ingin menunjukkan bahwa mereka bertiga merupakan pengatur dari instrumen-instrumen teresebut yang terhubung dengan sebuah jaringan. Selain itu, nuansa yang dihadirkan oleh musik mereka dihasilkan dari eksistensi mereka sebagai tiruan musik itu sendiri. Ekspresi wajah yang kaku seperti robot ketika mereka berada di atas panggung sengaja ditampilkan untuk memenuhi ekspektasi orang-orang Barat yang biasanya beranggapan bahwa segala sesuatu yang bernuansa oriental merupakan suatu hal yang misterius.17 Musik yang menjadi ciri khas Yellow Magic Orchestra menghadirkan suatu hal yang unik. Ketika membawakan lagu Daytripper milik the Beatles, mereka membawakan dengan nuansa yang berbeda dengan lagu aslinya. Mereka mengolah sedemikian rupa sehingga lagu yang sebelumnya bernuansa romansa remaja, menjadi sebuah lagu yang menggambarkan penyerahan diri terhadap mesin atau teknologi. Mereka menggunakan suara dengungan mesin yang keras, efek suara menjerit dan mencicit, efek suara seperti robot, dan ketukan yang tidak wajar. Selain itu, melodinya dibuat seperti ketukan alarm yang hampir mati, yang kehabisan tenaga untuk menyala. Jenis musik yang terkesan mengganggu namun membuat penasaran untuk didengar ini menjadi ciri khas Yellow Magic Orchestra yang berani mendobrak tipikal musik pop yang ada pada waktu itu.18 Musik yang dihasilkan Yellow Magic Orchestra terinspirasi dari band asal Jerman, Kraftwerk. Lagu instrumental yang bernuansa techno-pop seperti Rydeen dan Circus mampu mengingatkan kita terhadap sebuah video game. Namun, bagaimana sebenarnya karakteristik dari musik jenis techno-pop tersebut? Musik techno agak sedikit berbeda dengan music techno-pop, namun, pada dasarnya kedua genre tersebut sama. Musik techno merupakan sebuah bentuk yang berasal dari musik electronic dance yang berkembang di kawasan Detroit, Amerika Serikat pada pertengahan 1980-an dengan pengaruh dari electro, New Wave, funk, dan tema-tema fiksi yang futuristik yang sebenarnya berkaitan atau menggambarkan budaya modern di industri Amerika selama masa-masa akhir Perang Dingin. Bersamaan dengan suksesnya Detroit Techno sebagai sebuah bentuk budaya musik, bentuk-bentuk sub-genre

16 Friedrich Chopin (1810-1849) adalah seorang komponis zaman romantik/ impresionis. Prier, Karl-Edmund, SJ. 2007. Sejarah Musik Jilid 2 17 Bourdaghs, Michael K. 2012. Sayonara America, Sayonara Nippon. hlm. 191 18 Ibid hlm. 191

Peran Sakamoto ..., Sekar Hayuning Galih, FIB UI, 2016

tersebut mulai menyebar pada tahun 1990-an. Di Amerika Utara dan Eropa, kata techno sebagai genre sering disalah-artikan sebagai semua bentuk musik electronic dance. Karena itu, akhirnya toko-toko CD/kaset akan membagi jenis musik techno menjadi kategori-kategori yang berdekatan berdasarkan alat musik yang dipakai, ketukan per menit (beat per minute), dan pembagian-pembagian dari sub-genre yang populer lainnya.19 Techno-pop, atau disebut juga synth-pop atau electro-pop merujuk pada genre rock yang dibentuk dengan menggunakan synthesizer, dan alat-alat elektronik seperti komputer yang memiliki musical input/ output. Beberapa musisi techno-pop bergantung pada penggunaan synthesizer untuk membuat komposisi musik. Sedangkan tipikal musisi yang lain menggunakan synthesizer untuk mereproduksi seluruh susunan perkusi atau suara manusia yang direkam. Dalam pertunjukan langsung baik di studio maupun panggung terbuka, musisi techno-pop terkadang juga menggunakan suara-suara yang sudah direkam sebelumnya yang disimpan dalam bentuk digital. Genre ini dipelopori oleh band-band asal Jerman seperti Tangerine Dream dan Kraftwerk pada awal tahun 1970-an. Lagu Autobahn dari band Kraftwerk menjadi hits pada awal tahun 1975. Melalui lagu inilah Yellow Magic Orchestra mulai terpengaruh oleh musik yang diusung oleh Kraftwerk. Musik techno menggunakan suara perkusi yang ramai dan kompleks, suara-suara sintetis atau buatan, birama 4/4, dan biasanya menggunakan tempo 130-140 ketukan per menit, terkadang juga dengan tempo yang lebih cepat namun sangat jarang menggunakan tempo yang lebih lambat dari rentang tersebut. Beberapa komposisi music techno menampilkan melodi dan bass yang dominan, namun sebenarnya komposisi yang seperti ini tidak terlalu penting dimasukkan ke dalam sebuah lagu bergenre techno. Selain itu, music techno juga familiar dan lebih mudah dipahami oleh orang yang memiliki pengetahuan dasar sebagai DJ karena musik techno sebagian besar menggunakan instrumen elektronik yang terkadang dihubungkan dengan DJ set. Tipikal produksi musik techno menggunakan teknik komposisi dari instrumen eletronik. Walau pun berasal dari musik Barat, namun musik techno tidak memasukkan skala musik atau jenis vokal tertentu sebagai ciri khas. Musik techno lebih menonjolkan kompleksitas perkusi. Musisi dari musik techno disebut juga sebagai produser. Seorang produser biasanya memperlakukan sebuah studio yang berisi instrumen elektronik sebagai sebuah instrumen yang besar dan kompleks. Dari uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa genre techno-pop merupakan derivat dari genre techno yang sudah lebih dulu berkembang.

19 Hoffmann, Frank. 2005. Encyclopedia of Recorded Sound.

Peran Sakamoto ..., Sekar Hayuning Galih, FIB UI, 2016

Persamaan penggunaan instrumen elektronik seperti synthesizer, keyboard, dan komputer yang menggunakan software pengolah suara. Pada era tersebut, belum ada musisi Jepang yang mengusung genre techno. Yellow Magic Orchestra merupakan band pertama yang mempopulerkan genre techno di Jepang. Dengan menggunakan instrumen musik elektronik seperti synthesizer, sequencer, sampler, dan analog percussion, Yellow Magic Orchestra mampu memberikan inovasi baru dalam dunia musik populer Jepang pada waktu itu. Anggota yang pertama kali menggunakan istilah techno-pop sebagai terminologi yang mendeskripsikan jenis musik dari Yellow Magic Orchestra adalah Sakamoto Ryūichi. Hal ini membuktikan bahwa peran Sakamoto sebagai leader band tersebut memberikan sebuah pengaruh besar, tidak hanya bagi Yellow Magic Orchestra itu sendiri, tetapi juga terhadap perkembangan musik populer Jepang. Pengaruh tersebut adalah dengan menciptakan sebuah genre dan istilah baru yang belum ada dalam dunia musik populer Jepang sebelumnya. Musik techno biasanya menggunakan instrumen elektronik seperti keyboard, synthesizer, drum elektrik, serta sampler. Synthesizer adalah instrumen musik elektronik yang didesain untuk menghasilkan suara elektronik atau sintetis. Synthesizer menghasilkan suara melalui manipulasi voltase elektrik, manipulasi matematis dalam diskresi menggunakan komputer, atau dengan menggunakan kedua metode tersebut secara bersamaan. Suara yang dihasilkan oleh synthesizer merupakan hasil dari generalisasi voltase elektrik yang kemudian menghasilkan getaran (suara) yang keluar melalui loudspeaker, headphone, dan sebagainya. Secara umum, synthesizer memiliki panel keyboard sebagai media untuk menyusun komposisi dengan suara-suara buatan tersebut, atau juga dapat digunakan sebagai keyboard biasa. Namun, ada juga synthesizer yang tidak memiliki keyboard pada struktur desainnya, melainkan dijual secara terpisah.20 Berdasarkan data-data di atas, dapat kita lihat bahwa musik techno diciptakan dari berbagai instrumen elektronik dan bukanlah suatu hal yang mudah dalam menyusun komposisi jenis musik tersebut. Perpaduan penggunaan antara keyboard, synthesizer, sampler, dan analog percussion mampu menghasilkan sebuah komposisi harmoni baru dalam ranah musik populer Jepang. Yellow Magic Orchestra sebagai pelopor genre techno di Jepang mampu mengemas musik techno sedemikian rupa sehingga menarik perhatian masyarakat Jepang terhadap genre baru tersebut pada waktu itu.

20 Jenkins, Mark. 2007. Analog Synthesizer.

Peran Sakamoto ..., Sekar Hayuning Galih, FIB UI, 2016

Pengaruh Sakamoto Ryūichi yang tergabung dalam Yellow Magic Orchestra dapat dikatakan yang paling kuat. Berdasarkan uraian di atas, instrumen elektrik utama yang digunakan dalam pembuatan musik techno adalah synthesizer. Maka otomatis, yang paling berperan dalam penggarapan sebuah proyek lagu merupakan personil yang menguasai instrumen seperti keyboard dan synthesizer. Dalam hal ini, personil Yellow Magic Orchestra yang menguasai instrumen tersebut tidak lain adalah Sakamoto Ryūichi. Ketika Yellow Magic Orchestra sempat bubar pada tahun 1984, Sakamoto Ryūichi tetap melanjutkan karir solonya sebagai musisi dan komposer. Ia menulis lagu-lagu untuk beberapa film. Film pertama yang sukses adalah Merry Christmas, Mr. Lawrence (1983). Selain itu, ia juga menulis komposisi untuk film the Last Emperor (1987), the Sheltering Sky (1990), the Little Buddha (1993), ketiganya merupakan arahan Bernardo Bertolucci. Komposisinya yang memenangkan penghargaan Oscar pada tahun 1988 untuk film the Last Emperor memiliki ciri khas menggunakan skala pentatonis Jepang. Selain itu, ia menggunakan instrumen berdawai Cina dalam komposisi untuk film The Last Emperor. Soundtrack untuk film Merry Christmas, Mr. Lawrence (1983) merupakan karya pertamanya yang berhasil memenangkan BAFTA Award for Best Film Music. Kemudian, dalam film the Last Emperor (1987), karyanya juga berhasil memenangkan beberapa penghargaan yaitu Academy Award for Best Original Score, Golden Globe Award for Best Original Score, dan Grammy Award for Best Score Soundtrack Album for a Motion Picture, Television or Other Visual Media. Setelah itu, pada film the Sheltering Sky (1990), ia juga memenangkan penghargaan Golden Globe Award.21 Berdasarkan keberhasilan tersebut, dapat kita lihat bahwa Sakamoto Ryūichi mampu memenangkan dua penghargaan Golden Globe Award untuk karya dalam film yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa Sakamoto merupakan seorang musisi yang profesional. Ia mampu menyusun komposisi selain musik techno dan bahkan mampu memenangkan beberapa penghargaan. Selain menulis komposisi untuk soundtrack film, Sakamoto juga melanjutkan karirnya dalam bermusik. Berikut ini diskografi karir solo dari Sakamoto Ryūichi. Sepanjang perjalanan karirnya, hampir setiap tahun ia mengeluarkan album baru. Selain itu, uniknya, selama masih tergabung dalam band Yellow Magic Orchestra, Sakamoto juga mengeluarkan album solo, yang berisi karya-karyanya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa produktivitas Sakamoto sebagai musisi tidak diragukan. Selain menjalani karir sebagai musisi, ia juga membuat komposisi untuk the Queen of Kayōkyoku, Misora Hibari. Salah satu

21 McClure, Steve. 1998. Nippon Pop. Singapore: Tuttle Publishing.

Peran Sakamoto ..., Sekar Hayuning Galih, FIB UI, 2016

lagu dari Misora Hibari yang komposisinya dibuat oleh Sakamoto adalah Waratte yo, Mu- nraito (1983). Waratte yo, Mu-nraito (笑ってよ、ムーンライト; Waratte yo, Mu-nraito) yang berarti “Tertawalah, Cahaya Bulan” dirilis pada tahun 1983 dan pembuatannya diproduseri oleh Sakamoto sendiri. Dengan jumlah karya yang tidak sedikit serta berbagai proyek tur ke luar Jepang, Sakamoto Ryūichi dapat dikatakan sebagai seorang musisi paling berpengaruh dari Jepang. Peranannya bersama Yellow Magic Orchestra menunjukkan eksistensinya sebagai seorang producer, seorang yang berkarya dalam genre techno. Selain itu, melalui peranannya sebagai leader dan pemegang posisi keyboard/ synthesizer, musik populer Jepang terutama berkembang dengan munculnya genre baru dengan menggunakan instrumen-instrumen elektronik yang pada waktu itu masih asing bagi masyarakat Jepang. Munculnya artis-artis lain yang musiknya dipengaruhi oleh genre yang dipopulerkan olehnya juga menunjukkan bahwa pengaruh Sakamoto sangat kuat dalam hal tersebut. Artis-artis yang mengusung genre sejenis techno seperti electronic, trance, maupun ambient mulai menunjukkan kiprahnya di dunia musik populer Jepang. Beberapa nama yang terkenal adalah Ken Ishii, Takkyu Ishino, Kitaro, Tokyo Techno Tribe, the Eccentric Opera, dan Something Wonderful. Mereka adalah orang-orang yang dapat dikatakan sebagai artis- artis yang mendapatkan pengaruh dari Yellow Magic Orchestra. Ketika genre techno berkembang di Jepang, tidak hanya nama-nama artis saja yang muncul, tetapi juga tempat- tempat yang menyediakan fasilitas musik dengan genre tersebut, serta acara atau festival yang diadakan khusus bagi para penggemar musik techno dan sejenisnya. Ken Ishii adalah seorang DJ dan produser yang berasal dari Sapporo. Ia memilih untuk berkarya di bidang musik karena menurutnya ia dapat menciptakan apapun yang ia mau sesuai dengan kreativitasnya. Keputusannya memilih musik techno karena ia tidak begitu suka bermusik dalam sebuah band. Selain itu, ia mengakui bahwa ia selalu tertarik pada musik yang diciptakan dari instrumen-instrumen elektronik seperti synthesizer, bahkan ia tidak tertarik dengan vokal manusia yang bernyanyi. Tetapi keunikan dari Ken Ishii adalah ia tidak hanya menciptakan karya yang terbatas pada suara-suara elektronik. Ia menggabungkan gagaku22 dengan beberapa karyanya. Namun, keunikannya tersebut awalnya kurang diterima oleh pendengar di Jepang. Setelah merilis album melalui sebuah label dari Belgia, akhinya pada tahun 1995 Sony Records merilis albumnya yang berjudul Jelly Tones. Dapat kita lihat bahwa Ken Ishii mengusung genre yang sejenis dengan Yellow Magic Orchestra namun

22 Alat musik perkusi tradisional Jepang.

Peran Sakamoto ..., Sekar Hayuning Galih, FIB UI, 2016

memiliki keunikan yang berbeda. Tetapi sayangnya keunikannya tersebut kurang diterima oleh pendengar asal Jepang. Setelah rekaman bersama Sony Records, barulah ia mulai diterima oleh para pendengar musik techno asal Jepang. Takkyu Ishino, sama seperti Ken Ishii, juga bekerja sama dengan label Sony Records. Selain berkarya dalam genre yang serupa, ia juga bekerja sebagai produser dan mengorbitkan beberapa artis, salah satunya adalah the Eccentric Opera. Selain musik techno pada umumnya, album debut the Eccentric Opera juga berisi versi techno dari komposisi-komposisi klasik seperti Hallelujah karya Handel23, Madame Butterfly karya Puccini24, dan Ave Maria karya Schubert25. Selain kontribusi para artis tersebut dalam mempopulerkan musik techno di Jepang, ada juga acara atau festival musik yang khusus diadakan untuk genre techno dan semacamnya. Acara seperti Rainbow 2000 dan the Labyrinth Festival merupakan contoh acara besar dengan tema musik tersebut. Pada bulan Agustus 1996, di kawasan Gotenba, Tokyo, diadakan sebuah festival musik dengan tajuk Rainbow 2000. Acara ini merupakan sebuah bentuk acara semalam suntuk yang dihadiri sekitar 15.000 orang. Artis-artis seperti Ken Ishii, Takkyu Ishino, dan Tokyo Techno Tribe juga tampil untuk menghibur para penggemarnya.26 Acara Rainbow 2000 ini dapat dikatakan sebagai pemicu untuk menaikkan musik techno di Jepang yang pada waktu itu popularitasnya sempat menurun. Tidak hanya acara seperti Rainbow 2000 tersebut, tempat seperti bar atau klub juga disediakan bagi para penggemar musik jenis ini. Salah satu klub yang paling populer dan dikenal sebagai pusat musik techno di Jepang adalah the Liquid Room. The Liquid Room terletak di Kabukicho, sebuah tempat yang sebenarnya merupakan kawasan lampu merah di Tokyo. Tidak hanya acara-acara khusus dan klub serupa, perkembangan selanjutnya dari genre tersebut juga didukung oleh label Avex Trax. Pada awal tahun 1990-an, Avex meluncurkan album kompilasi dengan judul Juliana yang berisi lagu-lagu techno dari berbagai negara. Album tersebut menjadi hits di masyarakat Jepang, menandakan bahwa masyarakat cukup antusias terhadap musik techno. Berdasarkan uraian di atas, perkembangan genre techno-pop di Jepang dapat dikatakan cukup signifikan. Munculnya artis-artis baru yang mengusung genre serupa seperti Ken Ishii, Takkyu Ishino, dan the Eccentric Opera pada tahun 1990-an menunjukkan adanya minat

23 G. F. Handel (1685-1759) adalah seorang komponis zaman klasik. Prier, Karl-Edmund, SJ. 2007. Sejarah Musik Jilid 2 24 G. Puccini (1858-1924) adalah seorang komponis zaman romantik/impresionis. Prier, Karl-Edmund, SJ. 2007. Sejarah Musik Jilid 2 25 Fr. Schubert (1797-1878) adalah seorang komponis zaman klasik. Prier, Karl-Edmund, SJ. 2007. Sejarah Musik Jilid 2 26 McClure, Steve. 1998. Nippon Pop. Singapore: Tuttle Publishing.

Peran Sakamoto ..., Sekar Hayuning Galih, FIB UI, 2016

terhadap genre tersebut. Dengan peranan dari label Avex Trax yang juga banyak mendukung arti atau penyanyi dengan genre techno, electronic, maupun ambient, menyebabkan genre- genre tersebut pada akhirnya menjadi mainstream. Peranan Sakamoto Ryūichi sebagai pemicu munculnya genre tersebut di Jepang mempengaruhi perkembangan genre yang ada.

Kesimpulan Musik populer Jepang mengalami perkembangan dalam waktu yang cukup lama. Sejak sebelum Perang Dunia II, musik yang populer di kalangan masyarakat Jepang ada beberapa macam, yaitu minyo atau musik rakyat, ryūkōka, kayōkyoku, enka, dan gunka atau lagu perang. Setelah Westernisasi terjadi, pada tahun 1910-an industri musik dan teknologi Barat yang masuk memberikan pengaruh terhadap musik Jepang, terutama dengan mulai berkembangnya industri musik Jepang. Yellow Magic Orchestra yang dibentuk oleh Hosono Haruomi, Takahashi Yukihiro, dan Sakamoto Ryūichi, memberikan gebrakan baru dalam industri musik Jepang dengan mengusung genre yang mereka deskripsikan sebagai techno-pop. Musik techno awalnya adalah musik yang berkembang di Amerika Utara dan merupakan turunan dari genre musik electronic. Kemudian musik techno menyebar dan terbagi lagi menjadi banyak sub-genre. Yellow Magic Orchestra menggunakan instrumen elektronik seperti synthesizer, sequencer, sampler, dan electronic modular system. Namun, instrumen utama yang biasanya digunakan untuk membuat musik techno adalah synthesizer. Instrumen-instrumen elektronikk tersebut merupakan produk luar Jepang, sehingga dapat dikatakan bahwa selain memperkenalkan musik techno sebagai genre baru di Jepang, Sakamoto Ryūichi dalam Yellow Magic Orchestra juga secara tidak langsung memperkenalkan instrumen-instrumen baru tersebut yang pada waktu itu merupakan sesuatu yang tidak umum di Jepang. Sebagai leader dari Yellow Magic Orchestra yang berada di posisi keyboard atau synthesizer, Sakamoto Ryūichi memegang peranan penting dalam pembuatan lagu-lagu mereka. Di antara ketiga anggota band tersebut, Sakamoto Ryūichi adalah anggota yang mempelajari piano klasik. Karena itulah, jenis musik techno yang pembuatannya bergantung pada synthesizer atau instrumen yang memiliki bentuk semacam keyboard lainnya sangat dipengaruhi oleh Sakamoto Ryūichi pada waktu itu. Sejak tahun 1983, sebelum Yellow Magic Orchestra sempat bubar, Sakamoto juga berkarya dengan menulis komposisi untuk soundtrack beberapa film. Soundtrack untuk film Merry Christmas, Mr. Lawrence (1983), the Last Emperor (1987), the Sheltering Sky (1990) memenangkan beberapa penghargaan. Hal ini menunjukkan bahwa Sakamoto merupakan

Peran Sakamoto ..., Sekar Hayuning Galih, FIB UI, 2016

seorang musisi jenius. Ia tidak hanya bermain musik dengan genre techno, electronic, atau sejenisnya, melainkan juga mampu membuat komposisi untuk nuansa yang berbeda-beda. Selain membawa nama Jepang di kancah internasional, ia juga menjadi pelopor munculnya genre baru di dalam Jepang, yaitu techno-pop. Kiprah Sakamoto Ryūichi dalam mendukung perkembangan musik populer Jepang sangat berpengaruh. Setelah popularitas Yellow Magic Orchestra maupun Sakamoto sendiri, mulai bermunculan musisi-musisi yang mengusung genre techno atau electronic juga. Nama-nama seperti Ken Ishii, the Eccentric Opera dan Takkyu Ishino juga merupakan bagian dari pelaku dalam perkembangan musik techno di Jepang. Diadakannya acara-acara musik techno besar-besaran menandakan antusiasme masyarakat terhadap genre tersebut tinggi. Selain itu, didirikannya klub-klub dengan panggung yang khusus menyediakan instrumen elektronik seperi synthesizer dan sebagainya dapat memfasilitasi masyarakat untuk menikmati musik techno secara langsung. Hal-hal ini membuktikan bahwa Sakamoto Ryūichi memberikan pengaruh terhadap genre yang berkembang dalam musik populer Jepang.

Daftar Referensi

Buku Bourdaghs, Michael K. (2012). Sayonara America, Sayonara Nippon. New York: Columbia University Press.

Craig, Timothy J. (2015). Japan Pop: Inside the World of Japanese Popular Culture. New York: Routledge.

Hoffmann, Frank. (2005). Encyclopedia of Recorded Sound. New York: Routledge.

Jenkins, Mark. (2007). Analog Synthesizer. United Kingdom: Focal Press.

Matsue, Jennifer Milioto. (2009). Making Music in Japan’s Underground: The Tokyo Hardcore Scene. New York: Routledge.

McClure, Steve. (1998). Nippon Pop. Singapore: Tuttle Publishing.

Mitsui, Toru. (2014). Made in Japan. New York: Routledge.

Stevens, Carolyn S. (2008). Japanese Popular Music. New York: Routledge.

Prier, Karl-Edmund. (2007). Sejarah Musik Jilid 2. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi

Tschmuck, Peter. (2006). Creativity and Innovation in the Music Industry. The Netherlands: Springer.

Artikel Jurnal

Ng, Benjamin Wai-Ming. Japanese Popular Music in Singapore and Hybridization of Asian Music. Asian Music, Vol. 34, No. 1 (Autumn, 2002 – Winter, 2003), pp. 1-18. (Dokumen diunduh pada 12 Oktober 2015, pukul 23.46 dari laman http://www.jstor.org/stable/834419)

Wai-Chung Ho. Between Globalisation and Localisation: A Study of Hong Kong Popular Music. Popular Music, Vol. 22, No. 2 (May, 2003), pp. 143-157.

Peran Sakamoto ..., Sekar Hayuning Galih, FIB UI, 2016

(Dokumen diunduh pada 1 Desember 2015, pukul 15.14 pada laman http://www.jstor.org/stable/3877607)

Publikasi elektronik

Natsumero.info. 2006. ”(Natsumero) Kategori no Seiritsu.” (Diakses pada 12 November 2015, pukul 20.16 dari laman http://www.natsumero.info/dai1shou.html)

Riaj.or.jp. Recording Industry Association of Japan Year Book 2000. (Diakses pada 24 November 2015, pukul 14.00 pada laman http://www.riaj.or.jp/riaj/pdf/issue/industry/RYB2000E01.pdf)

Romanchii.stripper.jp. J-POP ni Kan suru Jouhou Saito. (Diakses pada 12 Oktober 2015, pukul 16.08 dari laman romanchii.stripper.jp )

Wmeentertainment.com. William Morris Endeavor Entertainment: A Talent and Literary Agency. (Diakses pada 9 Januari 2015, pukul 15.00 pada laman http://www.wmeentertainment.com/ryuichi_sakamoto/Bio/ryuichi_sakamoto_bio.pdf)

Peran Sakamoto ..., Sekar Hayuning Galih, FIB UI, 2016