SISTEM PENATAAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM KERANGKA REFORMASI BIROKRASI

The System of Civil Servant Management in the Framework of Reformation

HALIM

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013

SISTEM PENATAAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM KERANGKA REFORMASI BIROKRASI

Disertasi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Doktor

Program Studi Ilmu Hukum

Disusun dan diajukan oleh

HALIM

kepada

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013

DISERTASI

SISTEM PENATAAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM KERANGKA REFORMASI BIROKRASI

Disusun dan diajukan oleh:

HALIM Nomor Pokok P0400308003

telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Disertasi pada tanggal 2 Mei 2013 dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Menyetujui Komisi Penasihat,

______Prof.Dr. Syamsul Bachri, S.H., M.S. Promotor

______Prof.Dr. Aminuddin Ilmar, S.H., M.H. Prof.Dr. Marthen Arie, S.H., M.H. Kopromotor Kopromotor

Plt.Ketua Program Studi Direktur Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Hasanuddin,

______Prof.Dr. Ahmadi Miru, S.H., M.S. Prof.Dr.Ir. Mursalim

PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI

Yang bertanda tangan di bawah ini

Nama : Halim

Nomor mahasiswa : P0400308003

Program studi : Ilmu Hukum

Menyatakan dengan dengan sebenarnya bahwa disertasi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan disertasi ini karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, 2 Mei 2013 Yang menyatakan,

Halim

PRAKATA

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa dengan selesainya disertasi ini. Penulis menyadari bahwa disertasi ini mustahil dapat diselesaikan sekiranya tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak yang berjasa bagi penulis dalam penyusunan disertasi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya, diiringi doa semoga

Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang memberikan pahala yang berlipat ganda kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof.Dr.Syamsul Bachri,S.H.,M.S. selaku Promotor, Bapak

Prof.Dr.Aminuddin Ilmar,S.H.,M.H. selaku Ko-Promotor, dan Bapak

Prof.Dr.Marthen Arie, S.H.,M.H. selaku Ko-Promotor, atas bimbingan, dorongan,

saran, dan wawasan keilmuan yang tercurah disela-sela kesibukan beliau-beliau.

2. Alm.Bapak Prof.Dr.Mas Bakar,S.H.,M.H. selaku Promotor terdahulu, atas

bimbingan, dorongan, saran, dan wawasan keilmuan yang tercurah disela-sela

kesibukan beliau.

3. Bapak Prof.Dr.Abdul Razak,S.H.,M.H., Bapak Prof.Dr.Faisal Abdullah,S.H.,M.Si.,

Ibu Prof.Dr.Marwati Riza,S.H.,M.Si., Bapak Prof.Dr.Achmad Ruslan,S.H.,M.H.,

dan Bapak Prof.Dr.Muhammad Guntur Hamzah,S.H.,M.H., selaku tim penguji

yang telah banyak memberikan masukan sehingga mendorong perbaikan teknis

dan memperkaya substansi penulisan disertasi penulis.

4. Bapak Dr.Sukardi,S.H.,M.H. selaku penguji eksternal dari Universitas Airlangga,

yang telah bersedia meluangkan waktunya yang berharga ke Makassar dan

memberikan masukan sehingga memperkaya substansi penulisan disertasi

penulis.

5. Bapak Prof.Dr.Aswanto,S.H.,M.Si.,DFM. selaku Dekan Fakultas Hukum yang

bertindak atas nama Rektor sebagai ketua sidang dan sebagai penguji pada ujian

promosi doktor penulis, yang telah memberikan pertanyaan filosofis sehingga

memantapkan wawasan keilmuan penulis.

6. Bapak dan ibu informan serta responden, atas informasi yang sangat berharga

terkait substansi penulisan disertasi penulis.

7. Teman-teman partisipan seminar disertasi atas kehadirannya dan telah turut

memperkaya substansi penulisan disertasi ini. Demikian pula, Bapak dan Ibu

yang telah meluangkan waktu menghadiri sidang ujian promosi doktor penulis.

8. Bapak dan Ibu dosen pengampu mata kuliah pada program studi S3 ilmu hukum,

Bapak dan Ibu dosen serta guru penulis terdahulu, atas wawasan keilmuan yang

telah diberikan.

9. Bapak Prof.Dr.dr.Idrus A. Paturusi selaku Rektor Universitas Hasanuddin, Bapak

Prof.Dr.Ir.Mursalim selaku Direktur Program Pascasarjana beserta jajarannya,

serta Bapak Prof.Dr.dr.A.Razak Thaha,M.Sc. selaku Direktur Program

Pascasarjana terdahulu, Bapak Prof.Dr.Aswanto,S.H.,M.Si.,DFM. selaku Dekan

Fakultas Hukum dan Bapak Prof.Dr.Ahmadi Miru,S.H.,M.S. selaku Plt.Ketua

Program Studi S3 Ilmu Hukum, beserta jajarannya, serta Alm.Bapak Prof.Dr.Mas

Bakar,S.H.,M.H. dan Ibu Prof.Dr.Badriyah Rifai,S.H. selaku Ketua Program Studi

S3 Ilmu Hukum terdahulu, atas segala fasilitas yang disediakan dan bantuannya

dalam proses pendidikan S3 penulis.

10. Bapak Prof.Dr.Agus Dwiyanto,MPA selaku Kepala Lembaga Administrasi

Negara, serta Bapak Dr.Asmawi Rewansyah,M.Sc, Bapak Sunarno,S.H.,M.Sc.

dan Bapak Drs.Anwar Suprijadi,M.Sc. selaku Kepala Lembaga Administrasi

Negara terdahulu, Bapak Drs.Panani,M.A. selaku Sekretaris Utama, beserta

segenap jajarannya, serta Bapak Dr.Sudiman Dalim,MPA. dan Ibu Dra.Elis

Kantiningsih,M.Si. selaku Sekretaris Utama terdahulu, atas kesempatan untuk

berkarya pada LAN dan atas kesempatan untuk mengikuti program pendidikan

S3.

11. Bapak Prof.Dr.Makmur,M.Si. selaku Ketua STIA-LAN Makassar, serta Bapak

Prof.Dr.Ismail Said,S.H.,M.H. dan Alm.Bapak Drs.Van Deuw Agustinus,M.Si.

selaku Ketua STIA-LAN Makassar terdahulu, Bapak Prof.Drs.Amir

Imbaruddin,MDA,Ph.D. selaku Pembantu Ketua I, Bapak Drs.Wahidin,M.Si.

selaku Pembantu Ketua II, Bapak Prof.Dr.Muhammad Basri,M.Si. selaku

Pembantu Ketua III, dan Bapak Drs.Sudirman,M.Si. selaku Ketua Program Studi

S1 Manajemen Pembangunan Daerah, beserta segenap jajarannya, atas

kesempatan untuk berkarya pada STIA-LAN Makassar serta atas kesempatan

dan keleluasaan yang diberikan selama mengikuti pendidikan S3.

12. Bapak Dr.Muhammad Idris DP,M.A. selaku Kepala PKP2A II LAN, Bapak

Dr.Muhammad Aswad,M.Si. selaku Kabid.Diklat, Bapak Drs.Muhammad

Firdaus,MBA,Ph.D. selaku Kabid.KMKPOA, dan Bapak Dr.Muttaqin,MBA. selaku

Kabid.K3SDA, beserta segenap jajarannya, atas kesempatan yang diberikan

untuk turut berkarya pada PKP2A II LAN.

13. Sahabat-sahabat penulis pada program studi S3 Ilmu Hukum, angkatan 2008,

yakni Ibu/Bapak: Dr.Rosmini,S.H.,M.H., Prof.Dr.Fenty U. Puluhuwala,S.H.,M.H.,

Dr.Zainuddin,S.Ag.,S.H.,M.H., Dr.Abdul Salam Siku,S.H.,M.H., Nam

Rumkel,S.H.,M.H., Dr.Laode Abdul Gani,S.H.,M.H., Suprapto,S.H.,M.H.,

Dr.Muhammad Syafei,S.H.,M.H., Dr.Adnan Madjid,S.H.,M.H., Dr.Muhammad

Akbar,S.H.,M.H., Dr.Jamaluddin Rustam,S.H.,M.H., Dara Indrawati,S.H.,M.H.,

Dr.Nelman Kusuma,S.H,M.H., dan Muhammad Said Hamid,S.H.,M.H, atas

bantuan dan dukungannya selama proses pendidikan S3.

14. Pihak-pihak yang tidak disebutkan tetapi telah berjasa dalam proses dan

penyelesaian studi S3 penulis.

Akhirnya secara khusus penulis ucapkan terima kasih kepada yang terkasih

Ayahanda Fernan Chandean dan Ibunda Maria Sheinal, yang dengan penuh kasih membesarkan dan mendidik penulis. Terima kasih kepada adik-adik penulis, atas dorongannya untuk segera merampungkan disertasi ini.

Makassar, 2 Mei 2013

Halim

CURICULUM VITAE

A. Data Pribadi 1. Nama : Halim 2. Tempat, Tanggal Lahir : Pare-pare, 30 Maret 1979 3. Alamat : Jl. Todopulli 22 Blok 35 No.24, Kec.Manggala, Makassar. 4. e-mail : [email protected] 5. Face Book : Halim Recht

B. Riwayat Pendidikan dan Pelatihan 1. Pendidikan: a. Tamat SD tahun 1991 di SD Negeri 2, Sengkang. b. Tamat SLTP tahun 1994 di SMP Negeri 1, Sengkang. c. Tamat SLTA tahun 1997 di SMUK Rajawali, Ujung Pandang. d. Sarjana Hukum (S-1) tahun 2001 di Universitas Hasanuddin, Makassar. e. Magister Hukum (S-2) tahun 2004 di Universitas Hasanuddin, Makassar.

2. Pelatihan: a. Diklat Prajabatan Gol.III, Kerjasama PKP2A II LAN Makassar dengan Pemkab Takalar, 2005. b. Diklat Analisis Kebijakan Publik, pada PKP2A II LAN Makassar, 2005. c. Pelatihan Metodologi Penelitian, pada STIA-LAN Makassar, 2005. d. Training of Trainer Media Pembelajaran, pada PKP2A II LAN Makassar, 2006. e. Bimbingan Teknis Penyusunan GBPP dan SAP, pada STIA-LAN Makassar, 2006. f. Diklat Manajemen Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, pada Pusdiklat SPIMNAS bidang TMKP LAN Jakarta, 2007. g. Diklat Legal Drafting, pada Pusdiklat SPIMNAS bid.TMKP LAN Jakarta, 2007. h. Penataran dan Lokakarya Dosen Pendidikan Kewarganegaraan, pada Kodam VII/Wirabuana, 2010. i. Training of Trainer Fasilitasi Penguatan Kapasitas DPRD, Kerjasama LAN dan US AID-drsp, 2010.

C. Pekerjaan dan Riwayat Pekerjaan 1. Pekerjaan: a. Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil. b. NIP. : 19790330 200501 1 001. c. Pangkat, Gol/Ruang : Pembina, IV/a, tmt.1 April 2012. d. Profesi : Dosen Tetap, tersertifikasi oleh PTP-Serdos UGM. e. Jabatan : Lektor Kepala dalam bidang Hukum Administrasi Negara, Sistem Hukum Indonesia, Etika Birokrasi dan Bisnis. f. Instansi : Lembaga Administrasi Negara RI. g. Unit Kerja : STIA-LAN Makassar.

2. Riwayat Jabatan: a. Asisten Ahli, tmt 1 September 2006. b. Lektor, tmt 1 September 2007. c. Lektor Kepala, tmt 1 Februari 2011.

3. Riwayat Tugas Tambahan: a. Sekretaris Prodi S-1 MSDM (2008-2010). b. Sekretaris Prodi S-2 MPD (2008-2010). c. Sekretaris Prodi S-1 MPD (sejak 2010).

4. Pengampu Mata Kuliah: a. Mata kuliah S-1: Sistem Hukum Indonesia, Hukum Administrasi Publik (Prodi MSDM), Etika Birokrasi dan Bisnis (Prodi MEP), Etika dan Hukum Administrasi Publik (Prodi MPD). b. Mata kuliah S-2: Hukum Administrasi Negara (Konsentrasi APD dan AKP), dan Hukum Kepegawaian (Konsentrasi MSDA).

5. Mata Kuliah Opsional/Pernah Diampu: a. Mata kuliah S-1: Pancasila, Kewarganegaraan, Pemerintahan Daerah, Seminar Masalah Pemerintahan Daerah, Kapita Selekta Bidang Kesejahteraan Rakyat. b. Mata kuliah S-2: Kebijakan Pemberdayaan Aparatur (2008-2009), dan Metode Penelitian Administrasi (2008).

6. Pemateri/Fasilitator Bimtek, Diklat, dan Lokakarya: a. Bimtek Penulisan Skripsi (2009), Bimtek Pembuatan Tesis (2010), dan Bimtek Penyusunan Skripsi (2011), Tim STIA-LAN Makassar. b. Diklat Prajabatan Gol.I, II, dan III pada Kerjasama PKP2A II LAN dengan Kementerian maupun Pemerintah Daerah (Sejak 2010), pada Balai Diklat PU Makassar (sejak 2011), dan pada Balai Diklat Keagamaan Makassar (Sejak 2011). c. Lokakarya Peningkatan Kompetensi Tenaga Kependidikan dan Administrasi ATIM (Akademi Teknik Industri Makassar), 2013.

D. Karya Ilmiah yang dipublikasikan dalam Jurnal ber-ISSN 1. Pembaharuan Birokrasi dengan Memfungsikan Kaidah, dalam Jurnal Administrasi Negara, Vol.11, No.2, Juni 2005. 2. Kekuatan Mengikat Memorandum of Understanding, dalam Jurnal Administrasi Publik, Vol.II, No.3, September 2006. 3. Penerapan dan Peranan Prinsip-prinsip Good Corporate Governance dalam Pengelolaan Perusahaan di Indonesia, dalam Jurnal Administrasi Negara, Vol.12, No.4, Desember 2006. 4. Struktur Ketatanegaraan Indonesia; dari Pembagian Kekuasaan menuju Pemisahan Kekuasaan, dalam Jurnal Administrasi Publik, Vol.III, No.3, September 2007. 5. Dinamika Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik di Indonesia, dalam Jurnal Administrasi Negara, Vol.14, No.1, Maret 2008. 6. Refleksi Peranan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik dalam Mewujudkan Perlindungan Hukum bagi Masyarakat, dalam Jurnal Administrasi Publik, Vol.IV, No.3, September 2008. 7. Hak Asasi Manusia dan Penegakannya dalam Hukum Internasional dan Hukum Indonesia, dalam Jurnal Administrasi Negara, Vol.15, No.3, September 2009. 8. Pembentukan Keputusan Tata Usaha Negara yang Layak, dalam Jurnal Administrasi Negara, Vol.15, No.4, Desember 2009. 9. Konstruksi Positivisasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia, dalam Jurnal Administrasi Publik, Vol.V, No.4, Desember 2009.

10. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Layak (Dalam Perspektif Utama Konseptual dan Teoritis), dalam Jurnal Administrasi Negara, Vol.16, No.4, Desember 2010. 11. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam Perspektif Prinsip Utilitarianisme, dalam Jurnal Administrasi Publik, Vol.VII, No.2, Juni 2011. 12. Studi Teoritis terhadap Urgensi Manajemen Kepegawaian Negeri Sipil dalam Konstruksi Negara Hukum, dalam Jurnal Administrasi Negara, Vol.17, No.4, Desember 2011. 13. Esensi Prinsip Equal Pay For Equal Work dalam Reformasi Remunerasi Kepegawaian Negeri Sipil di Indonesia, dalam Jurnal Administrasi Negara, Vol.18, No.2, Juni 2012. 14. Model Penilaian Kinerja dalam Reformasi Birokrasi Kepegawaian Negeri Sipil di Indonesia, dalam Jurnal Administrasi Negara, Vol.18, No.4, Desember 2012.

E. Penelitian 1. Pendayagunaan Teknologi Informasi pada Pemerintah Daerah di Kawasan Indonesia Timur, Tim STIA-LAN Makassar, 2006. 2. Struktur Informal dalam Birokrasi di Indonesia, Tim STIA-LAN Makassar, 2007. 3. Analisis Penerapan Sistem Penganggaran Berbasis Kinerja pada Pemerintahan Kabupaten dan Kota di Indonesia, Tim STIA-LAN Makassar, 2008. 4. Implikasi Kepuasan Kerja Pegawai Rawat Inap terhadap Kualitas Pelayanan RS Labuang Baji, oleh Najmi Kamariah dan Halim, Penelitian Mandiri pada STIA- LAN Makassar, 2008. 5. Kapasitas Otonomi Daerah (Pemekaran Wilayah di Indonesia), Tim STIA-LAN Makassar, 2009. 6. Pengaruh Pemilihan Kepala Daerah Langsung terhadap Otonomi Daerah di Indonesia, Tim STIA-LAN Makassar, 2010. 7. Strategi dan Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia, Tim STIA-LAN Makassar, 2011. 8. Capacity Building Birokrasi Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Indonesia, Tim STIA-LAN Makassar, 2012.

F. Pengabdian Pada Masyarakat 1. Pembinaan Kelurahan pada Kelurahan Batangkaluku dan Kelurahan Kalegowa, Tim STIA-LAN Makassar, 2005.

2. Pembinaan Kelurahan pada Kelurahan Bonto-Bontoa dan Kelurahan Buakana, Tim STIA-LAN Makassar, 2006. 3. Pembinaan Desa pada KecamatanTinggi Moncong, Tim STIA-LAN Makassar, 2007. 4. Penataan Organisasi Perangkat Daerah Maluku Tengah, Tim STIA-LAN Makassar, 2008-2009. 5. Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan melalui Fungsi Street Level Bureaucracy, Tim STIA-LAN Makassar, 2011. 6. Pengembangan Kapasitas Desa di Sulawesi Selatan dan Barat (Penguatan Kemampuan Analisis Kebutuhan Desa), Tim STIA-LAN Makassar, 2012.

G. Peserta Kegiatan Ilmiah 1. Workshop: Perpu Anti Teroris, Kerjasama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Ujung Pandang dan Yayasan TIFA Jakarta, 2001. 2. Seminar: Pengkajian Komprehensif tentang Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, Kerjasama Komisi Konstitusi MPR-RI dan UNHAS, 2003. 3. Workshop: Konstruksi Ilmu/Teori, pada STIA-LAN Makassar, 2005. 4. Seminar dan Workshop: Reformasi Kelembagaan Pemerintah Daerah melalui Penataan Organisasi Perangkat Daerah; Konsep Pengganti PP No.8 Tahun 2003, pada PKP2A II LAN Makassar, 2005. 5. Temu Wicara Nasional: Penegakan Hukum di Bidang Pendidikan, oleh Kopertis Wilayah IX, Sul-Sel, 2005. 6. Temu Wicara Ilmiah: Prospek dan Tantangan Pengembangan Sumber Daya Aparatur di Daerah, pada STIA-LAN Makassar, 2005. 7. Workshop: Manajemen Penanganan Keluhan Masyarakat dalam Pelayanan Publik, pada PKP2A II LAN Makassar, 2005. 8. Seminar: Pilkada Langsung yang Berkualitas dalam SANKRI, Kerjasama STIA- LAN Makassar dan IKLUM, 2005. 9. Workshop: Pengawasan Legislatif Daerah, Kerjasama STIA-LAN Makassar dan DPRD Bantaeng, 2006. 10. Workshop: Metodologi Penelitian, pada STIA-LAN Makassar, 2006. 11. Sosialisasi: Pedoman Penulisan Skripsi, pada STIA-LAN Makassar, 2006. 12. Pembahasan: RUU Kementerian Negara, pada STIA-LAN Makassar, 2006.

13. Seminar: Reformasi Manajemen PNS, pada STIA-LAN Makassar, 2006. 14. Temu Wicara Ilmiah: Rethinking Administrasi Negara, pada STIA-LAN Makassar, 2006. 15. Seminar: Pemberdayaan Perempuan dalam Birokrasi Pemerintah, pada STIA-LAN Makassar, 2006. 16. Seminar: Komplesitas dan Akuntabilitas Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, pada STIA-LAN Makassar, 2007. 17. Temu Wicara Internasional: Rethinking Regional Autonomy Desentralization in a Unitary State, pada STIA-LAN Makassar, 2007. 18. Workshop: Penilaian Kualitas Kinerja Pelayanan Publik, Kerjasama STIA-LAN Makassar dan DPRD Kab.Bantaeng, 2007. 19. Bedah Buku: Filsafat Administrasi; Karya Prof.Dr.Makmur,M.Si., STIA-LAN Makassar, 2007 20. Sosialisasi: Penulisan Karya Tulis Ilmiah, STIA-LAN Makassar, 2007. 21. Workshop: Penyusunan Buku Teks, STIA-LAN Makassar, 2007. 22. Semiloka: Penyusunan RUU Sistem Akuntabilitas Kinerja Penyelenggara Negara, oleh P3M STIA-LAN Jakarta, 2007. 23. Seminar: Implikasi Pilkada Langsung terhadap Akuntabilitas Politik Pemda, STIA- LAN Makassar, 2007. 24. Sosialisasi: RUU Administrasi Pemerintahan, Kerjasama LAN, Kemenpan RI, dan SfGG GTZ, 2008. 25. Seminar: Otonomi Khusus Papua, pada PKP2A II LAN Makassar, 2008. 26. Temu Wicara Ilmiah: Primordialisme Administrasi dalam Birokrasi, STIA-LAN Makassar, 2008. 27. Seminar: Sertifikasi Dosen dan Sistem Remunerasinya, STIA-LAN Makassar, 2008. 28. Seminar Nasional: Ketahanan Nasional, Kerjasama SEMA STIA-LAN Makassar dan LEMHANNAS RI, 2010.

29. Forum Diskusi: Penyempurnaan Kerangka Umum Hukum Administrasi Negara (KUHAN), Kedeputian Bid.Litbang Adm.Pembangunan dan Otomasi Adm.Negara LAN, 2011.

30. Lokakarya Nasional: Perumusan Konten Mata Kuliah Kepemimpinan dan Pengambilan Keputusan, Kerjasama STIA-LAN Makassar dan Indonesian Association for (IAPA), 2012. 31. Lokakarya Nasional: Perumusan Konten Mata Kuliah Hukum Administrasi Negara dan Sistem Administrasi Negara, Kerjasama FISIP Universitas Lampung dan Indonesian Association for Public Administration (IAPA), 2012. 32. Seminar Nasional: Reformasi Birokrasi, Pascasarjana Universitas Negeri Makassar, 2012. 33. Seminar Isu Aktual: Prospek Penerapan Desentralisasi Asimetris dalam Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia, PKP2A I LAN Bandung, 2012. 34. Sosialisasi tentang Hasil-Hasil DPD RI: Urgensi Perubahan Kelima UUD 1945, Kelompok Anggota DPD di MPR RI, Universitas Hasanuddin, 2013.

Demikian curiculum vitae ini dibuat dengan sebenar-benarnya.

Makassar, 2 Mei 2013

Halim

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Gagasan negara hukum telah dikemukakan oleh Plato, ketika ia mengintroduksi konsep Nomoi, sebagai karya tulis ketiga yang dibuat di usia tuanya. Dalam Nomoi,

Plato mengemukakan bahwa penyelenggaraan negara yang baik ialah didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik. Gagasan tersebut kemudian didukung oleh

Aristoteles yang menuliskannya dalam buku Politica,1 walaupun konsep negara dalam perumusannya masih terikat pada bentuk “Polis” yang berupa kota dengan penduduk yang minim.2

Menurut Aristoteles, yang dimaksud sebagai negara hukum adalah negara yang berdiri atas dasar hukum yang menjamin keadilan bagi warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup warga negaranya, dan sebagai dasar dari keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Demikian pula peraturan hukum yang sebenarnya hanya ada jika peraturan hukum itu mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup antarwarganegaranya. Yang memerintah dalam negara bukanlah manusia sebenarnya, melainkan pikiran yang adil, sedangkan penguasa hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja. Kesusilaan yang akan menentukan baik dan tidaknya suatu ketentuan Undang-Undang dan membuat Undang-Undang merupakan sebagian dari kecakapan menjalankan pemerintahan negara. Oleh

1 M.Tahir Azhary. 1992. Negara Hukum. Jakarta: Bulan Bintang. hlm.66, dalam Ridwan HR. 2006. Hukum Administrasi Negara. Cet.ke-2. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Hlm.2.

2 Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim.1988. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Cet.ke-7. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH-UI. hlm.153.

karena itu, yang penting adalah mendidik manusia menjadi warga negara yang baik, karena dari sikapnya yang adil akan menjamin kebahagiaan hidup warga negaranya.3

Gagasan negara hukum tersebut masih bersifat samar-samar dan tenggelam dalam waktu yang sangat panjang, kemudian muncul kembali secara lebih eksplisit pada abad ke-19, dengan munculnya konsep rechtsstaat.4 Konsep Rechtstaat diawali oleh pemikiran Immanuel Kant tentang negara hukum dalam arti sempit

(formal) yang menempatkan fungsi “recht” pada “staat” hanya sebagai alat bagi perlindungan negara secara pasif, yakni hanya bertugas sebagai pemeliharaan ketertiban dan keamanan masyarakat. Konsep Kant ini terkenal dengan sebutan

“Nachtwakerstaat” atau “Nachtwachterstaat”.5 Immanuel Kant menguraikan unsur- unsur negara hukum formal tersebut ke dalam 2 unsur pokok, yakni: (1) Adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia dan (2) Adanya pemisahan kekuasaan dalam negara. Freidrich Julius Stahl kemudian melengkapi 2 unsur pokok tersebut dengan menambahkan 2 unsur pokok berikutnya, yakni: (1) Setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan undang-undang yang dibuat terlebih dahulu dan

(2) Terdapat peradilan administrasi untuk menyelesaikan perselisihan antara penguasa dengan rakyat, dengan persyaratan, peradilan tersebut tidak memihak dan pelaksanaannya dilaksanakan oleh ahli hukum dalam bidang tersebut.6

3 Ibid.

4 Ridwan HR. Op.cit. hlm.3.

5 M.Tahir Azhary. 1992. Negara Hukum. Jakarta: bulan Bintang. hlm.72, dalam Abdul Razak. 2005. Kedudukan dan Fungsi Peraturan Kebijakan di Bidang Perizinan dalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintahan. Disertasi. Makassar: PPs-Unhas. hlm. 35.

6 S.F. Marbun, et.all (eds.). 2001. Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara. Cet.ke-1. Yogyakarta; UII Press. hlm. 62-63.

Pada saat yang hampir bersamaan, muncul pula konsep negara hukum (rule of law) oleh A.V.Dicey. Dicey mengemukakan unsur-unsur rule of law, sebagai berikut:7

1. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law), yaitu tidak adanya

kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary power), dalam arti bahwa

seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum.

2. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). Dalil

ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat.

3. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara lain oleh undang-

undang dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan.

Konsep rule of law tersebut bertumpu pada sistem hukum “common law” dan berkembang secara evolusioner, sedangkan konsep rechtsstaat bertumpu pada sistem hukum “civil law” dan lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme sehingga bersifat revolusioner. Walaupun terdapat perbedaan antara konsep rule of law dengan konsep rechtsstaat, namun dalam perkembangannya tidak dipermasalahkan lagi perbedaannya karena kedua konsep tersebut mengarahkan dirinya pada satu sasaran utama yaitu pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, dengan tetap berjalan sesuai tumpuan sistem hukum masing- masing.8

Konstruksi pemikiran negara sebagai penjaga ketertiban kemudian bergeser ke arah negara hukum yang hendak mewujudkan kesejahteraan rakyat.9

Perkembangan pemahaman mengenai negara hukum tersebut terjadi pada abad ke-

7 Miriam Budiardjo. 1982. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia. hlm.57-58, dalam Ridwan HR. Loc.cit.

8 Philipus M.Hadjon. 2007. Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia; Sebuah Studi tentang Prinsip- Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi. Edisi Khusus. Cet.ke-1. Surabaya: Peradaban. hlm.67.

9 Faisal Abdullah. 2009. Jalan Terjal Good Governance; Prinsip, Konsep, dan Tantangan dalam Negara Hukum. Makassar: Pukap-Indonesia. hlm.28.

20. Menurut P. De Haan,10 bahwa: “De moderne staats it niet alleen rechtsstaat in de negentiende eeuwse zin, maar ook verzorgingsstaat – of zomen wil – sociale rechtsstaat” (negara modern bukan saja negara hukum penjaga malam, tetapi juga negara hukum kesejahteraan atau negara hukum sosial).

Konsep negara kesejahteraan yang disebut oleh P.de Haan, sebagai verzorgingsstaat atau sociale rechtsstaat merupakan perkembangan dari konsep negara hukum sebagai “penjaga malam” (nachtwakerstaat) yang tindakannya sebatas menjaga ketertiban dan keamanan, di mana negara tidak dapat lagi bersikap netral dan membiarkan individu-individu atau masyarakat menyelesaikan sendiri permasalahan-permasalahan sosial yang besar, melainkan harus turut campur tangan sehingga aktivitasnya meluas. Perubahan tersebut sangat mengubah pekerjaan-pekerjaan yang biasa dilakukan oleh negara sebagaimana yang diatur dalam hukum administrasi tradisional.11

Menurut Abdul Hamid S. Attamimi,12 dalam rechtsstaat material/rechtstaat sosial yang sering juga disebut negara kesejahteraan (welfare state) atau verzorgingsstaat atau negara berdasar atas hukum moderen, negara berkewajiban menyelenggarakan kesejahteraan rakyat sehingga campur tangan pemerintah dalam mengurusi kepentingan ekonomi rakyat, kepentingan politik dan sosial, kepentingan budaya dan lingkungan hidupnya, serta masalah-masalah lainnya tidak dapat dielakkan karena negara bertugas mengurusi rakyat. Dalam konsep negara kesejahteraan, ketaatan terhadap hukum sudah lebih dilonggarkan dengan

10 Irfan Fachruddin. 2004. Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah. Cet.ke-1. Bandung: Alumni.hlm.115.

11 Satjipto Rahardjo. 2009. Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya. Cet.ke-2. Yogyakarta: Genta Publishing. hlm.26-27.

12 Maria Farida Indrati Soeprapto. 1998. Ilmu Perundang-undangan. Yogyakarta: Kanisius.hlm.125-126.

pengakuan terhadap freies ermessen bagi tindakan pemerintah meskipun disertai imbangan dalam bentuk peradilan administrasi.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) pada Pasal 3 Ayat (3) menyatakan bahwa: “Negara

Indonesia adalah negara hukum”.

Konsepsi negara hukum yang dianut Negara Indonesia tersebut secara spesifik tidak lain adalah negara hukum kesejahteraan. Hal ini termuat dalam UUD NRI

Tahun 1945 pada Pembukaan, tepatnya Alenia Keempat, yang menyatakan bahwa:

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka.....”

Sejalan dengan hal tersebut, dengan cara berbeda beberapa pakar memandang bahwa Negara RI menganut konsep negara hukum Pancasila.

Menurut Philipus M. Hadjon, Negara Indonesia menganut konsep negara hukum yang elemen-elemennya digali dari pemikiran kenegaraan para pendiri Republik ini dan dikembalikan kepada Pancasila sebagai dasar falsafah negara sehingga dinamakan Negara Hukum Pancasila. Dalam Konsep Negara Hukum Pancasila dikedepankan prinsip keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasar atas asas kerukunan.13

Sjachran Basah memandang Negara Indonesia adalah Negara Hukum berdasarkan Pancasila yang bertujuan mencapai masyarakat adil dan makmur, spiritual dan material yang merata, tidak hanya bertugas memelihara ketertiban

13 Philipus M.Hadjon. Op.cit. hlm.209-210.

masyarakat saja, akan tetapi lebih luas dari pada itu, sebab berkewajiban turut serta dalam semua sektor kehidupan dan penghidupan.14

Rukmana Amanwinata dan Ashary mengemukakan bahwa negara hukum

Indonesia adalah negara hukum Pancasila, yang memiliki karakteristik mandiri.

Kemandirian itu terlihat dari penerapan teori atau pola negara hukum yang dianutnya. Artinya, meskipun masih tetap beranjak dari teori negara hukum pada umumnya, namun teori atau pola tersebut disesuaikan dengan kondisi Indonesia, yaitu dengan menggunakan cara pandang bangsa Indonesia, yakni Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia.15

Upaya mewujudkan tujuan negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat sangat tergantung pada kapasitas birokrasi. Menurut Eko Prasojo, birokrasi adalah mesin negara. Birokrasi sangat menentukan kesinambungan baik atau tidak urusan negara dalam berbagai hal, termasuk membangun ekonomi masyarakat untuk kesejahteraan rakyat. 16

Sistem penataan aparatur negara dalam birokrasi dimuat dalam Undang-

Undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No.43 Tahun 1999, yang dijabarkan lebih lanjut dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Peraturan yang sangat terkait dengan kapasitas birokrasi, adalah: (1) Peraturan Pemerintah No.98 Tahun

2000 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil, sebagaimana diubah dengan

14 Sjachran Basah.1997. Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia. Cet.ke-3. Bandung: Alumni. hlm.11.

15 Rukmana Amanwinata dan Ashary, dalam Marwati Riza. 2009. Perlindungan Hukum Pekerja Migran Indonesia di Luar Negeri. Cet.ke-1. Makassar: AS Publishing. hlm.46.

16 Paparan Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi/Wakil Menteri PAN dan RB (Eko Prasojo) dalam Deklarasi Birokrasi Bersih dan Melayani (BBM) di Mamuju, Sulawesi Barat, 15 Februari 2012, dalam Eko Prasojo Official Website. Eko Prasojo: Kunci Investasi Ada pada Birokrasi yang Bersih. 25 April 2012. http://ekoprasojo.com/2012/04/25/eko-prasojo-kunci-investasi-ada-pada-birokrasi-yang- bersih/

Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2002; (2) Peraturan Pemerintah No.100

Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan Struktural, sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah No.13 tahun 2002;

(3) Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri

Sipil, yang diubah empat belas kali, terakhir dengan Peraturan Pemerintah No.15

Tahun 2012; (4) Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai

Negeri Sipil; dan (5) Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan

Reformasi Birokrasi No. 63 Tahun 2011 tentang Pedoman Penataan Sistem

Tunjangan Kinerja Pegawai Negeri.

Krisis ekonomi global yang sedang terjadi tidak saja akan menyebabkan lambatnya pertumbuhan ekonomi nasional, tetapi juga mempengaruhi kesejahteraan masyarakat. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sebagai antisipasi terhadap dampak krisis ekonomi global pada umumnya bersifat fiskal dan atau moneter. Akan tetapi, ada yang selalu terlupakan oleh pemerintah bahwa pelaksana kebijakan itu tidak lain adalah aparatur negara. Efisiensi dan efektivitas keberhasilan pelaksanaan kebijakan negara akan amat ditentukan oleh kualitas aparatur negara yang dimiliki. Jika bercermin dengan kualitas aparatur negara yang ada saat ini, tampaknya sulit dicapai efisiensi dan efektivitas kebijakan pemerintah mengatasi krisis ekonomi global.17

Hal tersebut sejalan dengan pandangan Budi Winarno bahwa birokrasi merupakan salah satu badan yang paling sering, bahkan secara keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan.18

17 Eko Prasojo Official Website. Aparatur dalam Krisis Ekonomi. 18 Februari 2012. http://ekoprasojo.com/2012/02/18/aparatur-dalam-krisis-ekonomi/

18 Budi Winarno. 2011. Kebijakan Publik; Teori, Proses, dan Studi Kasus. Edisi Revisi dan Terbaru. Yogyakarta: CAPS. hlm. 205.

Perhatian terhadap krisis ekonomi global secara khusus maupun terhadap tidak optimalnya pembangunan di Indonesia secara umum selalu menunjukkan keharusan membangun aparatur negara. Bahkan, hingga kini aparatur negara belum dianggap sebagai aset penting dalam proses pembangunan. Keberadaannya lebih dirasakan sebagai beban negara dan masyarakat daripada sebagai faktor produksi dinamis yang dapat memacu pertumbuhan bangsa. Jawaban atas persoalan ini bermuara pada dua hal pokok, yaitu pertama, aparatur negara yang tidak kompeten sulit diharapkan untuk menciptakan efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kedua, rendahnya perhatian dan komitmen pemerintah terhadap profesionalisme aparatur negara membuat penyakit moral dan mental aparatur untuk memanfaatkan setiap jabatan dan kebijakan bagi kepentingan diri dan kelompoknya.19

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan

Jangka Panjang Nasional 2005-2025, pada lampiran Bab II.1 huruf G angka 2 menguraikan bahwa:

“Hingga saat ini, pelaksanaan program pembangunan aparatur negara masih menghadapi berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Permasalahan tersebut, antara lain masih terjadinya praktik- praktik penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk KKN dan belum terwujudnya harapan masyarakat atas pelayanan yang cepat, murah, manusiawi, dan berkualitas. Upaya yang sungguh-sungguh untuk memberantas KKN dan meningkatkan kualitas pelayanan publik sebenarnya telah banyak dilakukan. Walaupun demikian, hasil yang dicapai belum cukup menggembirakan. Kelembagaan pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, masih belum terlihat efektif dalam membantu pelaksanaan tugas dan sistem manajemen pemerintahan juga belum efisien dalam menghasilkan dan menggunakan sumber-sumber daya. Upaya-upaya untuk meningkatkan profesionalisme birokrasi masih belum sepenuhnya dapat teratasi mengingat keterbatasan dana pemerintah”.

19 Eko Prasojo Official Website. Aparatur dalam Krisis Ekonomi. Loc.cit.

Menurut Eko Prasojo, suatu negara maju di dunia, karena memiliki birokrasi yang bersih dan melayani, setelah melakukan reformasi birokrasi.20 Hal tersebut sejalan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025, pada Lampiran Bab IV.1.2 huruf E. Angka 35 menyatakan bahwa:

“Pembangunan aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparatur negara dan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, di pusat maupun di daerah agar mampu mendukung keberhasilan pembangunan di bidang-bidang lainnya”.

Grand Design dan Road Map Reformasi Birokrasi telah ditetapkan sebagai rancangan induk dan peta jalan untuk mewujudkan amanat tersebut. Kebijakan dan program reformasi birokrasi yang tertuang dalam Grand Design dan Road Map, antara lain, mencakup berbagai langkah perubahan di semua aspek manajemen pemerintahan dari aspek organisasi, tata laksana, sumber daya manusia aparatur, peraturan perundang-undangan, pengawasan, akuntabilitas, pelayanan publik dengan melakukan perubahan budaya kerja aparatur (culture-set dan mind-set).

Adapun pelaksanaan dari kebijakan dan program reformasi birokrasi dilakukan melalui proses yang terdesentralisasi, serentak, dan bertahap serta terkoordinasi.21

Peraturan Presiden RI No.81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi

Birokrasi 2010-2025 pada bagian Lampiran Bab I, menguraikan bahwa reformasi birokrasi merupakan perubahan besar dalam paradigma dan tata kelola pemerintahan Indonesia, reformasi birokrasi juga bermakna sebagai sebuah pertaruhan besar bagi bangsa Indonesia dalam mengarungi abad ke-21. Jika berhasil dilaksanakan dengan baik, reformasi birokrasi akan mencapai tujuan yang diharapkan, di antaranya adalah mengurangi dan akhirnya menghilangkan setiap

20 Eko Prasojo Official Website. Eko Prasojo: Kunci Investasi Ada pada Birokrasi yang Bersih. Loc.cit.

21 Paparan Deputi Program dan Reformasi Birokrasi Kementerian PAN dan RB (Ismail Mohammad), pada Seminar MEP-UGM, dimuat dalam UGM. Pertaruhan Reformasi Birokrasi di Indonesia. 5 Juni 2012. http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=4702

penyalahgunaan kewenangan publik oleh pejabat di instansi yang bersangkutan, menjadikan negara yang memiliki most-improved bureaucracy, meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat, meningkatkan mutu perumusan dan pelaksanaan kebijakan/program instansi, meningkatkan efisiensi (biaya dan waktu) dalam pelaksanaan semua segi tugas organisasi, menjadikan birokrasi Indonesia antisipatif, proaktif, dan efektif dalam menghadapi globalisasi dan dinamika perubahan lingkungan strategis. Akan tetapi, jika gagal dilaksanakan, reformasi birokrasi hanya akan menimbulkan ketidakmampuan birokrasi dalam menghadapi kompleksitas yang bergerak secara eksponensial di abad ke-21, antipati, trauma, berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, dan ancaman kegagalan pencapaian pemerintahan yang baik (good governance), bahkan menghambat keberhasilan pembangunan nasional.

Ironi yang terjadi di banyak negara, baik di negara maju maupun negara berkembang, menurut Gerald Caiden adalah bahwa reformasi sistem administrasi

(birokrasi) tidak pernah mencapai inti permasalahan tetapi hanya formalitas semata.

Reformasi tersebut tidak cukup luas dan mendalam. Bahkan cukup banyak negara yang tidak memberikan perhatian yang cukup memadai pada reformasi sistem administrasi. Barulah setelah terlambat dan kondisi negara sudah amat buruk pemerintah menyadari perlunya reformasi administrasi. Oleh karena itu, Caiden mengingatkan:

“By the time it was realized that defective administrative system were a serious obstacle to progress, that what was wrong with them was fundamental, and hihger priority should be to putting them right, the prevailing gales were fast blowing into huricanes.”22

22 Gerald Caiden. 1991. Administrative Reform Comes of Age, dimuat dalam Sofian Effendi. Reformasi Aparatur Negara untuk Melaksanakan Tata Pemerintahan yang Baik. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional AIPI “Reformasi Birokrasi dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia”, di Medan, 3-4 Mei 2006.hlm.1.

Keberhasilan pembangunan dan daya saing suatu negara amat ditentukan oleh komitmen dan usaha sistematik untuk membenahi aparatur negara. Tidak bisa tidak karena aparatur negara bukan saja pelaksana kebijakan, tetapi adalah juga fasilitator pembangunan bagi masyarakat. Sudah banyak keluhan dan kritik terhadap kualitas aparatur negara dalam pemerintahan dan pembangunan. Namun, rasanya tidak pernah ada upaya sungguh-sungguh dan sistematik untuk meningkatkan profesionalisme aparatur negara.23

Agus Dwiyanto menilai reformasi birokrasi di Indonesia telah gagal sebelum lahir. Penilaian ini didasarkan beberapa hal, khususnya semakin kronis dan kompleksnya permasalahan birokrasi di Indonesia. Kompleksitas dan kegagalan reformasi birokrasi tersebut menyebabkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah terus menurun. “Obat” yang diberikan untuk mengobati penyakit kronis di birokrasi hanya bermanfaat sementara, seperti sebuah “analgesik”.

Rusaknya birokrasi di Indonesia, selain karena persoalan korupsi, juga karena perekrutan PNS masih diwarnai dengan ketidakjelasan aturan dan permainan oknum tertentu di pemerintah.24

Menurut Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi

(selanjutnya disebut Menteri PAN dan RB), dari 4,7 juta Pegawai Negeri Sipil

(selanjutnya disebut PNS) yang ada di Indonesia, tidak semua memiliki kompetensi yang sesuai standar. Hanya lima persen dari para PNS itu yang berkemampuan baik, sisanya tidak kompeten.25

23 Eko Prasojo Official Website. Aparatur dalam Krisis Ekonomi. Loc.cit.

24 Agus Dwiyanto pada Acara bedah bukunya yang berjudul “Mengembalikan Kepercayaan Publik melalui Reformasi Birokrasi” yang dilaksanakan di Magister Administrasi Publik (MAP) UGM, pada 28 Mei 2011, dimuat dalam UGM. Pakar UGM: Reformasi Birokrasi SBY Telah Gagal Sebelum Lahir. 29 Mei 2011. http://ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=3803

25 Pernyataan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Azwar Abubakar), sebagai dimuat dalam Detik News. Hanya Lima Persen PNS yang Kompeten, Lakukan Reformasi Sistem Rekrutmen!. 2

Sejalan dengan pandangan tersebut, Wakil Menteri PAN dan RB menjelaskan bahwa lima persen PNS yang kompeten tersebut merupakan perkiraan. Sebenarnya belum ada hitungan pasti terkait jumlah PNS yang tidak sesuai kompetensi karena hingga kini masih dilakukan verifikasi dan uji kompetensi pegawai. Hal tersebut merupakan gambaran umum karena memang sistem rekrutmen kurang baik, di mana yang masuk PNS itu cenderung mereka yang second class (kelas dua), yang tidak mampu terserap di pasar.26

Pernyataan Menteri PAN dan RB mengenai tidak kompetennya PNS tidaklah mengherankan, karena selama puluhan tahun dari zaman orde baru sudah seperti itu. Reformasi yang dilakukan belum sampai pada sistem dasar, belum sampai pada reformasi sistem rekrutmen. Proses rekrutmen PNS selama ini terlalu longgar sehingga sumber daya manusia (SDM) yang didapatkan pun sering tidak kompeten.

Jika ingin memperbaiki kompetensinya, maka pemerintah harus memulai dari akarnya, yakni merekrut Sumber Daya Manusia yang benar-benar kompeten.27

Penerimaan pegawai kerap menjadi salah satu janji kampanye kepala daerah yang kemudian dipenuhi saat menjabat. Akibatnya, pegawai yang dihasilkan tidak profesional, bermutu rendah, dan membebani birokrasi.28

Masalah yang selalu muncul berkaitan dengan Sumber Daya Manusia Aparatur di antaranya, rekrutment yang tidak objektif, tidak sesuai kompetensi dan KKN,

Maret 2012. http://news.detik.com/read/2012/03/02/092820/1856110/10/hanya-5-persen-pns-yang-kompeten- lakukan-reformasi-sistem-rekrutmen?nd992203605

26 Pandangan Wakil Menteri PAN dan RB, sebagaimana dimuat dalam merdeka.com. Eko Prasojo (1): Orang Masuk PNS Warga Kelas Dua. 9 Maret 2012. http://www.merdeka.com/khas/eko-prasojo-1-orang-masuk-pns- warga-kelas-dua.html

27 Penjelasan Andrinof Chaniago (pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia), sebagaimana dimuat dalam Detik News. Loc.cit.

28 Sorotan Oce Madril (Akademisi Hukum UGM), dimuat dalam Kompas.com. Reformasi Birokrasi Mandek. 3 Mei 2012. http://nasional.kompas.com/read/2012/05/03/23404717/Reformasi.Birokrasi.Mandek

promosi jabatan yang masih tertutup dan KKN. Kemudian, level remunerasi yang rendah dan tidak terkait dengan kinerja. Oleh karena itu, pembangunan aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparatur negara dan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik.29 Diharapkan, dalam kelanjutannya reformasi birokrasi dapat mengoptimalkan pemberantasan patologi birokrasi30 dan pemberantasan korupsi.31

Menurut Oce Madril, Birokrasi pemerintahan di Indonesia yang tidak sesuai kebutuhan, tidak produktif, dan boros menunjukkan reformasi birokrasi selama ini

“mandek”. Masih lemahnya komitmen dari pemerintah di bawah Presiden Susilo

Bambang Yudhoyono untuk menata ulang birokrasi pemerintahan yang efektif, efisien, transparan, dan bertanggung jawab. Hal tersebut tampak dari agenda reformasi birokrasi yang tak bisa jalan dengan baik di lapangan, pemerintah tak konsisten untuk menjalankan penataan ulang aparatur negara, dan muncul juga perlawanan dari dalam birokrasi itu sendiri.32

Wakil Menteri PAN dan RB mengakui masih banyak pihak yang menginginkan terbentuknya birokrasi abu-abu di Indonesia, karena birokrasi abu-abu menjadi pemicu dan membuka jalan masuk dari korupsi.33 Sejalan dengan itu, Agus

29 Paparan Wakil Menteri PAN dan RB (Eko Prasojo), dalam Eko Prasojo Official Website. Eko Prasojo: Reformasi Birokrasi Harga Mati. 7 Mei 2012. http://ekoprasojo.com/2012/05/07/eko-prasojo-reformasi- birokrasi-harga-mati/

30 Paparan Wakil Menteri PAN dan RB (Eko Prasojo) sebagaimana dimuat dalam Unhas.ac.id. Kuliah Umum Reformasi Birokrasi. http://unhas.ac.id/fisip/index.php/mahasiswa/ukm/26-fisip-news/29-kuliah-umum- reformasi-birokrasi: Patologi birokrasi di Indonesia terjadi dimana birokrasi di Indonesia masih tidak bisa terlepas dari berbagai kebijakan yang membebani kinerja birokrasi dan akhirnya menjadi sumber korupsi dan pemborosan keuangan negara, sehingga perlu dilakukan reformasi birokrasi melalui berbagai program.

31 Eko Prasojo Official Website. Korupsi Berawal dari Masalah Sepele. 25 April 2012. http://ekoprasojo.com/2012/04/25/korupsi-berawal-dari-masalah-sepele/: Salah satu cara untuk mengoptimalkan pemberantasan korupsi adalah pemerintah harus melakukan reformasi birokrasi.

32 Sorotan Oce Madril, dimuat dalam Kompas.com. Reformasi Birokrasi Mandek. Loc.cit.

33 Pandangan Wakil Menteri PAN dan RB (Eko Prasojo), dalam Eko Prasojo Official Website. Birokrasi Abu- abu Masih Disukai. 2 Juli 2012. http://ekoprasojo.com/2012/07/02/birokrasi-abu-abu-masih-disukai/

Dwiyanto memandang bad governance yang selama ini terjadi dalam birokrasi publik merupakan hasil dari sebuah proses interaksi yang kompleks dari akumulasi masalah yang telah lama melekat dalam kehidupan birokrasi publik. Mindset yang salah dan budaya birokrasi yang salah perlu diubah menjadi mindset dan budaya yang baru dalam mereformasi birokrasi yakni tidak lagi menempatkan birokrasi publik atau para pejabatnya sebagai penguasa melainkan sebagai pelayan masyarakat. Untuk mempercepat pembentukan mindset dan budaya baru maka insentif dan disentif perlu diberikan kepada para pejabat birokrasi yang telah berhasil maupun gagal mewujudkan sikap dan perilaku baru yang sesuai dengan mindset dan budaya baru.34

Tingkat kesejahteraan yang dimiliki para PNS selama ini sangat kecil.

Sementara itu, pemerintah terlalu banyak menuntut padahal tidak pernah untuk berusaha memperbaiki kesejahteraan pegawai. Namun demikian, perbaikan kesejahteraan pegawai mesti diikuti berbagai kondisi perubahan, sehingga mampu meningkatkan performance (prestasi kerja) yang lebih baik. Sebaliknya, bagi para pegawai yang tidak memenuhi standar prestasi kerja, maka akan diberi sanksi atau rela diberhentikan.35

Sarlito W.Sarwono sudah sejak lama menyarankan agar kesejahteraan PNS ditingkatkan secara drastis (minimal menyamai sektor swasta) dengan disertai peningkatan profesionalismenya untuk mencegah kolusi, karena kolusi ini pada gilirannya akan memacu berbagai pemicu keresahan sosial. Akan tetapi, saran

34 Agus Dwiyanto (ed.) 2005. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Cet.ke-1. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hlm. 27-29.

35 Pandangan Agus Dwiyanto, sebagaimana diimuat dalam UGM. Pemerintah Dituntut Menaikkan Kesejahteraan Pegawai. 30 Nov 2007. http://ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=1047

tersebut tidak pernah dipedulikan dan kolusi berjalan terus dengan segala dampaknya.36

Sejalan dengan itu, Sofian Effendi mengungkapkan bahwa sistem penggajian

PNS ternyata belum menjamin tingkat kesejahteraan yang mampu mendukung kinerja PNS. Total penerimaan PNS jauh di bawah gaji dan tunjangan yang diterima oleh para pegawai BUMN dan anggota legislatif. Bahkan berada dibawah gaji para anggota dan pegawai berbagai komisi yang tumbuh bak jamur selama masa pemerintahan SBY-MJK. Oleh karena itu reformasi birokrasi harus memberikan prioritas pertama pada sistem penggajian PNS. Oleh karena itu, reformasi birokrasi harus diarahkan untuk menciptakan sistem kepegawaian meritokratik.37

Miftah Thoha juga berpandangan serupa dengan mengungkapkan bahwa:

“Kesejahteraan pegawai perlu ditinjau kembali sistem penggajian yang selama ini dilakukan. Gaji pegawai dan kesejahteraannya membuat status pegawai negeri ini tergolong kaum dhuafa. Dan keadaan ini tali temali dengan profesionalisme pegawai. Pelayanan kepada masyarakat yang diharapkan dilakukan secara profesional, terhambat karena kesejahteraan mereka tidak mampu memberikan pelayanan yang prima”.38

Bagi Miftah Thoha, penataan aparatur sangat menentukan dalam menciptakan aparatur yang menghargai tegaknya hukum, profesional, kompeten, dan akuntabel, di mana merit system lebih dekat ke arah cita-cita tersebut.39 Penataan aparatur merupakan bagian dari pembangunan aparatur negara. Dalam pembangunan aparatur negara ada beberapa arah reformasi yang dapat menjadi pengungkit

36 Sarlito W.Sarwono. 2005. Psikologi dalam Praktek. Edisi Revisi. Jakarta: Restu Agung. hlm.71.

37 Sofian Effendi. Reformasi Aparatur Negara untuk Melaksanakan Tata Pemerintahan yang Baik. Op.cit. hlm.3-5.

38 Miftah Thoha. 2008. Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi. Cet.ke-1. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. hlm.112.

39 Ibid. hlm.110.

utama, sebagaimana dikemukakan oleh Eko Prasojo,40 di mana salah satunya adalah penerapan sistem merit dalam birokrasi. Selama ini, administrasi aparatur negara tidak berbasis kompetensi. Membangun sistem merit berarti menjadikan kompetensi dan kinerja sebagai ukuran utama penilaian aparatur negara. Ukuran ini harus dijadikan sebagai dasar dalam sistem rekrutmen, remunerasi, dan promosi jabatan. Bukan sebaliknya, berdasarkan hubungan-hubungan kekeluargaan, pertemanan, dan afiliasi politik. Aparatur negara hanya akan berfungsi secara profesional dan independen jika kompetensi dan kinerja menjadi dasar dalam semua proses pengukuran. Ini berarti, pemerintah harus melakukan perombakan secara fundamental terhadap sistem kepegawaian negara.

Kementerian Keuangan, salah satu instansi yang pertama menerapkan reformasi birokrasi dan memberikan remunerasi seiring dengan kebijakan reformasi birokrasi masih mengalami permasalahan, pada tahun 2012 beberapa hasil temuan menunjukkan masih terdapat kelemahan dalam reformasi birokrasi.41

Keraguan terhadap peningkatan remunerasi sebagai insentif dalam mendorong peningkatan prestasi PNS pada Kementerian Keuangan pun muncul dikalangan legislatif. Anis Matta pernah mendesak dilakukannya evaluasi secara menyeluruh terhadap proses reformasi di Kementerian Keuangan menyusul mencuatnya kasus

Gayus Tambunan. Bahkan menurut Anis Matta, para pegawai Kementerian

Keuangan sudah mendapatkan gaji beberapa kali lipat jauh lebih tinggi dibandingkan

40 Eko Prasojo Official Website. Aparatur dalam Krisis Ekonomi. Loc.cit.

41 Keterangan Kepala Biro Humas Kemenkeu (Yudi Pramadi): Kementerian Keuangan menemukan 33 laporan transaksi keuangan mencurigakan. Temuan itu berasal dari laporan transaksi keuangan mencurigakan dari PPATK. Dugaan penyelewengan dana tak cuma di Kementerian Keuangan. PPATK juga mengungkapkan adanya pensiunan pegawai negeri sipil yang memiliki rekening mencurigakan, jumlah Rp35 miliar yang sudah dilaporkan ke KPK, dimuat dalam Eko Prasojo Official Website. Rekening Gendut PNS, Bagaimana Modusnya?. 6 Maret 2012. http://ekoprasojo.com/2012/03/06/rekening-gendut-pns-bagaimana-modusnya/

pegawai negeri lainnya. “Ongkosnya” tidak berbanding lurus dengan hasilnya.

Terlalu mahal tapi tidak efektif.42

Menurut Harry Azhar Azis, munculnya kasus pajak setelah kasus Gayus

Tambunan, memperlihatkan masih lemahnya pengawasan internal di Kementerian

Keuangan khususnya Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak. Tunjangan tambahan

(remunerasi) yang diberikan untuk pegawai pajak tampaknya belum bisa mendorong perbaikan moral PNS di pajak, yang terbukti dari munculnya kasus-kasus baru.

Konektivitas moral yang harusnya tumbuh karena adanya remunerasi itu ternyata tidak ada.43

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mengungkapkan bahwa kebijakan remunerasi yang memberikan tambahan gaji kepada PNS berprestasi dinilai gagal dalam era reformasi birokrasi. Remunerasi, tidak selalu berkorelasi positif dengan perbaikan mindset para PNS. Kalau tidak ada mindset yang bersih dan setia melayani masyarakat, digaji berapa ratus juta pun “hancur-jebol”. Dengan demikian, kebijakan remunerasi harus dievaluasi karena dinilai menimbulkan kecemburuan instansi lain terhadap instansi pajak “mencicipi” remunerasi lebih dulu. Sudah saatnya kebijakan remunerasi tidak dilakukan secara parsial karena kebijakan parsial dengan penegakan hukum yang terbatas tidak akan menghasilkan apa-apa, terlebih sistem rekrutmen pegawai negeri juga masih kacau. Dengan

42 Pandangan Wakil Ketua DPR Bidang Koordinasi Ekonomi dan Keuangan (Anis Matta), sebagaimana dimuat dalam vivanews.com, dalam Ibid.

43 Pandangan Wakil Ketua Komisi XI DPR (Harry Azhar Azis), dalam detik Finance. PNS ingin Usaha Sampingan, Ini Tips dari Anggota DPR. 27 Februari 2012. http://finance.detik.com/read/2012/02/27/103233/1852195/4/pns-ingin-usaha-sampingan-ini-tips-dari-anggota- dpr

demikian, kebijakan remunerasi seharusnya diiringi dengan peningkatan penegakan hukum.44

Menteri PAN dan RB mengingatkan agar pelaksanaan reformasi birokrasi gelombang kedua tidak mengulangi kesalahan yang terjadi dalam reformasi birokrasi gelombang pertama.45 Pada reformasi birokrasi gelombang pertama terjadi disorientasi karena motivasinya cenderung pada perbaikan remunerasi melalui tunjangan kinerja. Untuk menghindari terulangnya disorientasi, Menteri PAN dan RB akan menolak usulan reformasi birokrasi dari instansi pemerintah yang hanya mengedepankan perbaikan remunerasi.46

Berdasarkan hasil analisis Kementerian PAN dan RB, reformasi birokrasi gelombang pertama telah kelihatan hasilnya, namun di sana-sini masih terdapat kekurangan. Pelaksanaan reformasi birokrasi pada gelombang pertama lebih menyentuh pada aspek mikro, yang berfokus pada pengembangan internal manajemen instansi yang bersangkutan dan belum menyentuh aspek makro yang

44 Penjelasan Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Siti Zuhro) yang disampaikan di Dewan Perwakilan Daerah pada 7 April 2010, dimuat dalam Kompas.com. Remunerasi Gagal Mereformasi Birokrasi. 7 April 2010. http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/04/07/18454996/Remunerasi.Gagal.Mereformasi.Birokrasi

45 Lampiran Peraturan Presiden RI No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025, Bab I, 1.1: Pada reformasi birokrasi gelombang pertama (2004-2009), reformasi birokrasi yang dilaksanakan bersifat instansional, dengan sasaran mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, dengan area perubahan pada: (1) kelembagaan (organisasi); (2) budaya organisasi; (3) ketatalaksanaan; (4) peraturan-deperaturan; dan (5) sumber daya manusia. Sedangkan, pada reformasi birokrasi gelombang kedua (2010-2014), reformasi birokrasi yang dilaksanakan bersifat nasional dan institusional, dengan sasaran: (1) terwujudnya pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme; (2) terwujudnya kualitas pelayanan publik kepada masyarakat, dan (3) meningkatkan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi. Di mana area perubahannya pada: (1) organisasi; (2) tata laksana; (3) peraturan perundang-undangan; (4) sumber daya manusia aparatur; (5) pengawasan; (6) akuntabilitas; (7) pelayanan publik; (8) pola pikir (mindset) dan budaya kerja (culture set) aparatur.

46 Penegasan Menteri PAN dan RB (E.E. Mangindaan) dalam Roundtable Seminar Reformasi Birokrasi bersama Australian (APS) Commision di Jakarta, 8 Juni 2010, dimuat dalam Jawa Pos National Network Mobile. Diakui, Banyak Rapor Merah Reformasi Birokrasi. 8 Juni 2010. http://www.jpnn.com/m/news.php?id=65418

menyangkut kerangka regulasi nasional di bidang pendayagunaan aparatur negara.47

Hal tersebut diakibatkan karena reformasi birokrasi gelombang pertama, belum memiliki grand design. Miftah Thoha48 memandang bahwa ketiadaan rancang bangun (grand design) reformasi birokrasi menyebabkan reformasi yang dilaksanakan oleh pemerintah adalah reformasi yang tidak menyeluruh. Jika hanya memperbaiki satu atau dua departemen pemerintah itu berarti tidak memiliki grand design reformasi yang menyeluruh terhadap birokrasi pemerintah. Reformasi tidak dapat dilakukan part by part pelaksanaan reformasi harus didasarkan pada grand design yang lengkap.

Kekurangan dan kendala lain yang terjadi dalam reformasi gelombang pertama, antara lain belum maksimalnya pencapaian sasaran pembenahan pada aspek kelembagaan, tata laksana, manajemen sumber daya manusia aparatur, akuntabilitas, pengawasan, pelayanan publik, reward and punishment, serta perubahan mindset dan culture set. Selain itu, belum dikembangkan sistem monitoring dan evaluasi yang komprehensif dan terpadu secara nasional. Di mana masih banyak pemimpin instansi pemerintah yang tidak berani memberikan punishment kepada jajarannya yang melakukan kesalahan atau penyimpangan.49

Uraian-uraian tersebut menunjukkan bahwa reformasi birokrasi harus menjadi prioritas, mengingat birokrasi merupakan motor penggerak pemerintahan dan pembanguna

47 Ibid.

48 Miftah Thoha. Op.cit. hlm.97-99.

49 Penegasan Menteri PAN dan RB (E.E. Mangindaan), dimuat dalam Jawa Pos National Network Mobile. Loc.cit.

n. Bahkan birokrasi menjadi faktor penentu bagi kemajuan suatu bangsa. Kapasitas birokrasi yang lemah tidak saja menjadi sumber korupsi, tetapi juga tidak dapat dihandalkan untuk memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.

Berdasarkan urgensi penelitian yang bersumber dari kesenjangan das Sollen dan das Sein, maka fenomena kapasitas birokrasi yang lemah terjadi sebagai dampak dari peraturan sistem rekrutmen, remunerasi, dan penegakan disiplin PNS.

Berdasarkan fenomena tersebut di atas, maka issu penelitiannya adalah sistem penataan PNS belum menjadi sarana yang optimal dalam meningkatkan profesionalisme PNS yang handal, dalam hal itu maka sorotan difokuskan pada sistem penataan PNS dalam kerangka reformasi birokrasi guna mendorong optimalisasi profesionalisme PNS.

B. Rumusan Masalah

Permasalahan yang melingkupi sistem penataan PNS dalam kerangka reformasi birokrasi tentunya sangat luas dan menarik untuk dibahas, namun dalam penelitian ini hasilnya akan diarahkan berkisar pada tiga hal yang dianggap sangat urgen dan aktual.

Adapun rumusan masalahnya dapat diidentifikasi sebagai berikut:

1. Seberapa jauh peraturan sistem rekrutmen pegawai negeri sipil menjadi sarana

yang optimal dalam menemukan pegawai negeri sipil yang berkualitas sesuai

kebutuhan pemerintah?

2. Seberapa jauh peraturan sistem remunerasi pegawai negeri sipil mendorong

peningkatan optimal kinerja pegawai negeri sipil?

3. Seberapa jauh peraturan sistem penegakan disiplin menjamin kedisiplinan

pegawai negeri sipil?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan menjelaskan seberapa jauh peraturan sistem rekrutmen

pegawai negeri sipil menjadi sarana yang optimal dalam menemukan pegawai

negeri sipil yang berkualitas sesuai kebutuhan pemerintah.

2. Untuk mengetahui dan menjelaskan seberapa jauh peraturan sistem remunerasi

pegawai negeri sipil mendorong peningkatan optimal kinerja pegawai negeri sipil.

3. Untuk mengetahui dan menjelaskan seberapa jauh peraturan sistem penegakan

disiplin menjamin kedisiplinan pegawai negeri sipil.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam pengembangan keilmuan hukum dan diharapkan berguna pula secara praktis. Kegunaan penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat memberi sumbangan konsep pemikiran

bagi pengembangan ilmu hukum, terutama hukum administrasi dan hukum tata

negara.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan dan informasi

bagi pemerintah dalam menata pegawai negeri sipil dalam kerangka reformasi

birokrasi, guna mendorong optimalisasi profesionalisme pegawai negeri sipil.

E. Orisinalitas Penelitian

Penelitian mengenai kepegawaian negeri sipil kemungkinan telah ada yang melakukannya. Oleh karena itu untuk menjamin orisinalitas penelitian ini, telah

dilakukan penelusuran di berbagai literatur dan ditemukan beberapa penelitian yang telah dilakukan dengan variabel yang berbeda, sebagai berikut:

1. Sudiman Dalim, 2009, Politisasi Birokrasi; Netralitas dan Mobilitas PNS dalam

Pilkada (disertasi S3 Ilmu Politik pada Universitas Indonesia). Diterbitkan dalam

bentuk buku pada Januari 2010 (cetakan pertama) dan September 2010 (cetakan

kedua) oleh Global Sosiatama, Jakarta. Objek penelitian tersebut terkait dengan

aspek politisasi PNS dam pemilihan gubernur, serta aspek netralitas dan mobilitas

PNS dalam pemilihan kepala daerah.

2. Ismail Said, 2001, Pemberdayaan Sumber Daya Aparatur Pemerintah; Ditinjau

dari Sudut Hukum Kepegawaian (disertasi S3 Ilmu Hukum pada Universitas

Hasanuddin). Objek penelitian tersebut terkait dengan aspek pemberdayaan

pegawai sebagai variabel terikat, serta aspek pengadaan, pengembangan,

pembinaan, penggajian, dan pengawasan sebagai variabel bebas.

3. A.A.Gde Putra Agung, 1996, Peralihan Sistem Birokrasi Kerajaan Karangasem

1890-1838 (disertasi S3 di bidang sejarah pada Universitas Gadjah Mada).

Diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Peralihan Sistem Birokrasi dari

Tradisional ke Kolonial pada tahun 2001 (cetakan pertama) dan tahun 2006

(cetakan kedua) oleh penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Objek penelitian

tersebut terkait dengan aspek perkembangan birokrasi tradisional, birokrasi

tradisional di bawah pemerintah kolonial Belanda, dan birokrasi kolonial.

Menurut penulis, unsur pembeda yang fundamental antara penelitian ini dengan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya adalah bahwa penelitian ini mengkaji secara khusus sistem penataan pegawai negeri sipil dalam kerangka reformasi birokrasi, terutama sejak reformasi birokrasi gelombang kedua di Indonesia, dengan berfokus pada aspek peraturan sistem rekrutmen, remunerasi, penegakan disiplin,

dengan menggunakan pendekatan komparatif terhadap sistem sejenis yang diatur oleh Pemerintah Amerika Serikat dan Pemerintah Jerman. Dengan demikian, penelitian disertasi ini dapat dipandang orisinil dan aktual.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Fungsi Negara Hukum Kesejahteraan

Menurut Hans Kelsen,50 untuk mewujudkan tujuan negara, negara menggunakan kekuasaannya. Pelaksanaan kekuasaan negara harus dilaksanakan berdasarkan hukum. Negara adalah suatu masyarakat yang diorganisasikan secara politik karena negara merupakan sebuah komunitas yang dibentuk oleh suatu tatanan yang bersifat memaksa, dan tatanan pemaksa ini adalah hukum. Negara hanya dapat menjadi kekuasaan yang membebankan kewajiban jika ia merupakan tatanan norma, khususnya jika kekuasaan itu dianggap berdaulat, karena kedaulatan hanya dapat dipahami di dalam bidang tatanan norma. Kekuasaan menurut pengertian sosial hanya dimungkinkan dalam kerangka tatanan norma yang mengatur perbuatan manusia. Kekuasaan sosial pada dasarnya berkaitan dengan kewajiban sosial, dan kewajiban sosial mensyaratkan adanya tatanan sosial atau organisasi sosial. Kekuasaan sosial hanya dimungkinkan dalam organisasi sosial. Ini diketahui terutama bila kekuasaaan tidak terletak pada satu orang individu saja, tetapi seperti yang biasanya terjadi dalam kehidupan sosial, terletak pada sekelompok individu. Kekuasaan sosial selalu berupa kekuasaan yang diorganisasikan. Kekuasaan negara adalah kekuasaan yang diorganisasikan oleh hukum positif, yakni kekuasaan hukum.

Selanjutnya menurut Hans Kelsen, tatkala orang berbicara tentang tiga kekuasaan negara, kekuasaan dipahami sebagai suatu fungsi kekuasaan negara,

50 Pandangan Hans Kelsen mengenai Karakter Normatif dari Negara, dalam Hans Kelsen. 2006. Teori Umum tentang Hukum dan Negara (General Theory of Law and State). Penerjemah: Raisul Muttaqin. Cet.ke-1. Bandung: Nusamedia dan Nuansa.hlm.272-274.

dan terdapat pembedaan tiga fungsi kekuasaan negara yang berlainan, yakni eksekutif (melaksanakan norma-norma hukum umum, konstitusi, dan hukum-hukum yang dibuat oleh kekuasaan legislatif, yang dalam sudut pandang hukum, keseluruhan domain kekuasaan eksekutif dimaknai sebagai administratif), legislatif

(pembuatan undang-undang), dan yudikatif (melaksanakan norma-norma hukum umum dalam mengadili).51

Pembedaan tiga macam kekuasaan negara secara teoritik dikenal luas sebagai

Trias Politica (Tiga Poros Kekuasaan). Trias Politica yang dimaksudkan oleh

Immanuel Kant adalah pemisahan kekuasaan negara sebagaimana dimaksud dalam teori separation de pouvoir/separation of power yang merupakan teori yang dikemukakan oleh Montesquieu52 dalam bukunya yang berjudul L’Esprit des Lois

(1748) yang memisahkan kekuasaan negara ke dalam kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif (yang mencakup juga kekuasaan federatif), dan kekuasaan yudikatif (mengadili jika terjadi pelanggaran terhadap undang-undang). Teori separation de pouvoir tersebut dikembangkan dari pandangan John Locke dalam bukunya yang berjudul Second Treaties of Civil Goverment (1690), yang mengajarkan pemisahan kekuasaan negara yang terdiri atas legislatif (membuat undang-undang), eksekutif (melaksanakan undang-undang yang juga mencakup kekuasaan yudikatif karena mengadili berarti melaksanakan undang-undang), dan federatif (melakukan hubungan diplomatik d engan negara-negara lain).53

51 Ibid. hlm.360-364.

52 Moh.Mahfud MD. 2009. Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu. Edisi ke-1.Jakarta: RajaGrafindo Persada.hlm.362.

53 Moh. Mahfud MD. 2001. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Edisi Revisi. Cet.ke-2. Rineka Cipta. hlm.73.

Dalam buku L’Esprit des Lois (The Spirit of Laws) tersebut, Montesquieu menuliskan argumentasinya, sebagai berikut:54

“When the legislative and executive powers are united in the same person, or in the same body of magisrate, there can be no liberty; because apprehensions may arise, lest the same monarch or senate should enact tyrannical laws, to execute them in a tyrannical manner”. “Again, there is no liberty, if the judiciary power be not separated from the legislative and executive. Were it joined with the legislative, the life and liberty of subject would be exposed to arbitrary control; for the judge would be then the legislator. Were it joined to the executive power, the judge might behave with violence and oppression”. “There would be an end of everything, were the same man or the same body, whether of the nobles or of the people, to exercise those three powers, that of enacting laws, that of executing the public resolutions, and of trying the causes of individuals”.

Sehubungan dengan teori tersebut, Jimly Asshiddiqie mengungkapkan bahwa dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, konsep pembagian kekuasaan (division of power) yang dikaitkan dengan sistem supremasi MPR yang secara mutlak menolak ide pemisahaan kekuasaan ala trias politica Montesquieu, namun demikian setelah

UUD 1945 mengalami empat kali amandemen, dapat dikatakan sistem konstitusi kita telah menganut doktrin pemisahan kekuasaan itu secara nyata, yakni pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip checks and balances yakni terdapat hubungan antara lembaga tinggi negara untuk saling mengendalikan satu sama lain, tetapi tidak dipahami dalam konteks trias poltica Montesquieu.55

Kekuasaan negara tersebut, dalam era globalisasi perlu mengembang empat fungsi negara, yang menurut Wolfgang Friedmann, adalah:56

1. fungsi penyedia (provider).

2. fungsi pengatur (regulator).

54 Jimly Asshiddiqie. 2009. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Edisi ke-1. Jakarta: RajaGrafindo Persada. hlm.284-286.

55 Ibid. hlm.290-294.

56 Wolfgang Friedmann.1971. The State and The Rule of Law in a Mixed Economy. London: Stevens and Sons.

3. fungsi pengusaha (entrepreneur).

4. fungsi wasit (umpire).

Fungsi negara sebagai penyedia, seringkali dihubungkan dengan konsep negara kesejahteraan. Dalam kapasitas ini, negara menjadikan dirinya bertanggung jawab untuk menyediakan pelayanan sosial untuk menjamin standar minimun bagi kehidupan semua orang, dalam menanggulangi kekuatan ekonomi pasar bebas.

Dalam fungsi negara sebagai pengatur, negara menggunakan berbagai manfaat dari pengendalian (kontrol), terutama kekuatan untuk mengatur untuk menciptakan keseimbangan (balance).

Fungsi sebagai pengusaha, beroperasi khususnya disektor ekonomi, baik melalui departemen-departemen pemerintah yang semi-otonom, atau melalui perusahaan milik negara.

Dalam fungsi sebagai wasit, negara yang terdiri atas kekuasaan legislatif, administratif, dan yudisial, harus mengembangkan beberapa standar keadilan, seperti antara sektor ekonomi yang berbeda, beberapa diantaranya adalah ekonomi.

Oleh karena itu harus dipisahkan antara fungsi wirausaha dan fungsi arbitrase.

Dengan demikian, dalam kajian ini, fungsi negara sebagai penyedia dan fungsi negara sebagai pengatur sangat relevan menjelaskan urgensi sistem penataan PNS untuk mendorong optimalisasi profesionalisme PNS dalam mewujudkan tujuan negara hukum kesejahteraan.

B. Reformasi Birokrasi

Dalam rangka penyelenggaraan fungsi-fungsi negara (kekuasaan negara) dan mewujudkan tujuan-tujuan negara, dibutuhkan birokrasi yang mengoperasikannya secara riil. Oleh karena itu, birokrasi seringkali dikenali sebagai mesin negara.

Hegel memandang administrasi negara (birokrasi) sebagai suatu jembatan yang menghubungkan antara negara dengan masyarakatnya. Adapun masyarakat itu terdiri dari kelompok-kelompok profesional, usahawan, dan lain kelompok yang mewakili bermacam-macam kepentingan partikular (khusus). Diantara keduanya itu, birokrasi merupakan medium yang bisa dipergunakan untuk menghubungkan kepentingan partikular dengan kepentingan general (umum).57

Sejalan dengan pandangan tersebut, Max Weber memandang birokrasi sebagai sebuah mesin (the bureau as a machine) yang disiapkan untuk menjalankan seperangkat prosedur dan proses. Dengan demikian, setiap individu PNS merupakan penggerak dari sebuah mesin, tanpa kepentingan pribadi. Setiap pegawai negeri hanya mempunyai tanggung jawab sesuai sesuai proses dan prosedur organisasi. Menurut Keith Dowding: 58

“The model Weber has in mind is a machine, set up andready to go: when given a task the machine mindlessly pursues the goals following set procedures and processes. Thus each individual civil servant is a cog in the machine, with no personality or interests. No civil servant need have any creative input to the process and hence no individual has accountability except to the degree that they carry out their proper function according to the rules and processes of the organization’’.

Pemikiran seperti itu menjadikan birokrasi bertindak sebagai kekuatan netral dari pengaruh kepentingan atas kelas atau kelompok tertentu. Negara dapat mewujudkan tujuan-tujuannya melalui mesin birokrasi yang dijalankan oleh para pejabat birokrasi. Netralitas birokrasi dimaknai bukan sebagai dalam hal lebih condong menjalankan kebijakan atau perintah dari pejabat politik yang sedang memerintah sebagai “master”nya, akan tetapi lebih mengutamakan kepada kepentingan negara dan rakyat secara keseluruhan, sehingga kekuatan politik

57 Filsafat Hegel tentang Negara, dalam Miftah Thoha.2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia.Cet.ke-7. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Hlm.22-23.

58 Keith Dowding. 1995. The . First Publised. London and New York: Routledge.hlm.11-12.

apapun yang memerintah, birokrasi memberikan pelayanan yang terbaik kepadanya.59

Menurut Martin Albrow, suatu ketika “birokrasi” tampak menunjuk pengertian efisiensi administrasi, pada saat yang lain berarti sebaliknya. Istilah ini mungkin nampak sangat bersahaja sebagai sinonim bagi pegawai negeri, atau mungkin merupakan sesuatu yang sama kompleksnya dengan gagasan yang meringkas ciri- ciri khusus struktur organisasi moderen. Istilah tersebut dapat merujuk pada sosok para pejabat, atau pada kerutinan administrasi perkantoran.60

Istilah birokrasi dapat ditelusuri dari surat Baron de Grimm (Filsuf Prancis) tertanggal 1 Juli 1764, yang menulis bahwa: “Kita tergoda oleh gagasan pengaturan, dan Master of Request kita menolak untuk memahami bahwa ada sosok ketidakterbatasan (infinitas) di suatu negara besar yang dengannya pemerintah itu sendiri tidak mampu memperhatikan”. Selanjutnya, Baron de Grim menulis bahwa

M.de Gournay pada suatu ketika mengatakan bahwa di Prancis, kita mendapati sebuah penyakit yang jelas-jelas merusak kita, penyakit ini disebut bureaumania.61

Sejak M.de Gournay menggunakan istilah tersebut, bermacam-macam gagasan telah menggunakan judul birokrasi. Keluhan-keluhan tentang pemerintahan yang buruk sudah ada seusia dengan pemerintahan itu sendiri. Pemikiran bahwa penguasa tertinggi harus dilayani oleh pejabat yang cerdas dan dapat dipercaya, telah lazim dalam pemikiran politik, jauh sebelum abad ke-18. Gagasan tentang efisiensi administrasi tidak juga merupakan sesuatu yang khas bagi pemikiran

59 Miftah Thoha. 2008. Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi. Edisi ke-1. Cet.ke-1. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm.21-22.

60 Martin Albrow. 1989. Birokrasi (Bureaucracry). Terjemahan: M.Rusli Karim dan Totok Daryanto. Cet.ke-2. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. hlm.xvi.

61 Ibid. hlm.1.

moderen atau benar-benar pemikiran Barat. Sejak tahun 165 S.M. para pejabat

Kerajaan China telah dipilih melalui ujian. Administrasi Kerajaan China sangat akrab dengan gagasan-gagasan senioritas, penilaian menurut keahlian, statistik-statistik dan laporan-laporan tertulis pejabat, serta tulisan karya Shen Puhai (meninggal 337

S.M.) yang memberikan seperangkat prinsip yang mirip dengan teori-teori administrasi abad ke-20.62

Gagasan-gagasan pemerintahan semacam itu tidak harus menunggu hingga dilontarkannya pengamatan tajam M.de Gournay karena gagasan itu telah muncul sebelumnya, tetapi ada dua hal yang menyebabkan pandangan M.de Gournay dipandang penting. Pertama, ia tidak memandang pemerintah pemerintah Prancis abad ke-18 sebagai beberapa bentuk cacat dari monarki, seperti tirani, ia mengidentifikasi adanya kelompok penguasa dan suatu metode memerintah yang baru. Keluhan terhadap mereka bukanlah karena mereka bertindak tidak berdasarkan hukum sepenuhnya, diluar wewenang mereka sebagaimana mestinya, tetapi bahwa memerintah nampaknya telah menjadi tujuan itu sendiri. Kedua, dalam perbendaharaan bahasa abad ke-18, “biro” (bureau) yang berarti meja tulis, selalu diartikan sebagai tempat yang digunakan para pejabat bekerja, sehingga tambahan sisipan yang diturunkan dari kata Yunani yang berarti “memerintah” (rule), kemudian dengan mudah mengalami transliterasi sama seperti halnya kata “demokrasi” maupun “aristorkasi”. Dengan cepat kata tersebut menjadi bagian dari perbendaharaan istilah politik internasional. Bureaucratie dalam bahasa Prancis segera menjadi bureaukratie dalam bahasa Jerman (yang akhirnya menjadi

62 Ibid. hlm.2.

burokratie), burocrazia dalam bahasa Italia, dan bureaucracy dalam bahasa

Inggris.63

Selain itu, terdapat pula gagasan yang menyatakan bahwa istilah birokrasi berasal dari Jerman. Selama revolusi Prancis, surat kabar Jerman melaporkan peristiwa-peristiwa di Prancis dan menyebut istilah “birokrasi” tanpa penjelasan lebih lanjut. Di luar pers, acuan birokrasi paling awal dikenal dalam bahasa Jerman dimunculkan oleh Christian Kraust dalam surat yang ditulis tahun 1799 dimana ia memperbandingkan Prussia dengan Inggris.64

Pada awal abad ke-19, pertentangan antara teori dari Inggris dan Jerman tentang birokrasi besar sekali. Para penulis Inggris merasa lebih nyaman mengambil jarak terhadap tipe pemerintahan kontinental, dengan sendirinya tidak memperhatikan teknis penyelenggaraannya. Sistem administrasi Inggris tidak membutuhkan buku teks teknis, atau derajat tertentu dalam ilmu pengetahuan tentang negara, dan kritik terhadap sistem (birokrasi) ini tidak berdampak langsung pada kebebasan personal seorang penulis. Sebaliknya, Negara Jerman yang sangat terpusat diperintah oleh pejabat-pejabat profesional yang bekerja berdasarkan doktrin-doktrin pejabat tentang administrasi. Oleh karena itu, tulisan tentang tema birokrasi merupakan salah satu hal penting daripada sekadar bersifat teknis dan pelengkap bagi ilmu hukum, dan kritik terhadap sistem (birokrasi) dipandang sebagai tindakan subversif terhadap negara.65

Pada tahun 1870, kepercayaan diri para penulis Inggris tentang birokrasi mulai berkurang. Pembaharuan kepegawainegerian Inggris khususnya pada 1870

63 Budi Setiyono. 2004. Birokrasi dalam Perspektif Politik dan Administrasi. Edisi ke-2. Semarang: Puskodak- Undip.hlm.10.

64 Martin Albrow. Op.cit. hlm.4.

65 Ibid. hlm.12-13.

cenderung mendekat pada pekerjaan-pekerjaan (birokrasi) yang ada di Kontinental.

Bahkan diakui bahwa birokrasi telah “tiba”. Teori birokrasi Inggris paling jelas tersimpul dalam tulisan sejarahwan Ramsay Muir pada tahun 1910 yang berjudul

“Bureaucracy in England”. Baginya birokrasi berarti penyelenggaraan kekuasaan oleh administrator yang profesional.66

Perkembangan selanjutnya, terdapat perbedaan antara teori yang memandang birokrasi sebagai organisasi rasional dengan teori yang memandang birokrasi sebagai inefisiensi organisasi. Selain itu, terdapat teori yang memandang birokrasi sebagai kekuasaan yang dijalankan oleh pejabat, birokrasi sebagai administrasi negara (publik), birokrasi sebagai administrasi yang dijalankan oleh pejabat, birokrasi sebagai sebuah organisasi, dan birokrasi sebagai masyarakat moderen.67

Namun demikian, gagasan netral dari Francis dan Stone mencapai popularitas pada dekade terakhir ini, karena bagaimanapun juga pertimbangan-pertimbangan terhadap inefisiensi adalah evaluatif, sedangkan pertimbangan terhadap efisiensi adalah bebas nilai. Francis dan Stone menegaskan bahwa birokrasi mengacu pada mode pengorganisasian yang terutama disesuaikan untuk menjaga stabilitas dan efisiensi dalam organisasi-organisasi yang besar dan kompleks. Kenyataannya konsep ini nampak memiliki otoritas dibalik nama Max Weber.68

Max Weber yang terkemuka dengan teori tipe ideal birokrasinya ternyata tidak pernah mendefinisikan birokrasi. Sebagaimana telah dikenal betapa sering ia menutupnya dengan tanda-tanda kurung untuk menunjukkan bahwa kata “birokrasi” diangkat dari bahasa sehari-hari. Apa yang dikerjakannya secara hati-hati adalah

66 Ibid. hlm.12.

67 Suparto Wijoyo. 2005. Laku Lika-Liku Ilmu Hukum. Cet.ke-1. Surabaya: Airlangga University Press. hlm.147-151.

68 Martin Albrow. Op.cit. hlm.83-84.

memerinci segi-segi apa yang dipandangnya sebagai bentuk/tipe birokrasi yang paling rasional.69

Untuk mengetahui unsur pokok dalam teori birokrasi rasional, perlu dipahami latar belakang konseptualisasi Max Weber mengenai birokrasi rasional. Max Weber telah dilatih sebagai seorang hakim dan ia menulis sebuah karya sosiologi hukum yang monumental. Pengetahuannya yang amat “dekat” dengan teori administrasi

Jerman, yang merupakan bagian dari suatu kurikulum hukum yang normal, dapat terjamin. Karena itu tidak mengherankan, banyak ciri tipe yang diidealkan menggemakan teori itu.70

Pada dasarnya, Max Weber melihat pentingnya hukum sebagai mekanisme untuk mengantarkan perkembangan masyarakat menuju masyarakat moderen, disamping memperlihatkan hubungan timbal balik yang erat antara perkembangan masyarakat dengan keadaan hukumnya. Perhatian utama Max Weber sesungguhnya tidaklah untuk menjelaskan perkembangan hukum dalam kaitannya dengan pertumbuhan masyarakat pada umumnya, melainkan hanya tertuju kepada masalah perkembangan masyarakat Barat atau Eropa yang moderen. Dalam rangka usahanya tersebut ternyata perhatiannya cukup banyak disita untuk menganalisa lembaga-lembaga dalam masyarakat tersebut, diantaranya adalah lembaga hukum.

Suatu hal yang kiranya perlu dikemukakan terlebih dahulu adalah Max Weber tidak mengajukan suatu tesis bahwa perkembangan masyarakat seharusnyalah menuju kepada masyarakat yang moderen dan rasional. Max Weber hanya menganalisa dan menjelaskan perkembangan masyarakat Eropa dari bahan-bahan sejarahnya dan dalam pengkajiannya itu menemukan bahwa perkembangan masyarakat Eropa

69 Ibid. hlm.29-30.

70 Ibid. hlm.40.

menuju kepada tingkat-tingkat pengorganisasian yang semakin terpusat, rasional, dan birokratis.71

Max Weber melihat perkembangan di dunia Barat bergerak menuju kepada pemunculan negara yang moderen. Perkembangan ini bermula pada bentuk-bentuk pemerintahan tradisional, yang patrimonial (berdasarkan kebapakan) dan feodalistis

(berdasarkan kekesatrian militer). Bentuk-bentuk tradisional tersebut kemudian berkembang menjadi monarki absolut serta lembaga-lembaga perwakilan. Proses tersebut menunjukkan makin meningkatnya monopoli pemerintah dalam menggunakan kekuasaannya untuk memaksa yang diiringi oleh perkembangan sistem hukum yang rasional dan yang memuncak pada konsep tertib hukum moderen.72

Sehubungan dengan tertib hukum moderen, Max Weber dalam teori organisasinya73 memandang kenyataan bahwa tingkah laku manusia biasanya diorientasikan pada seperangkat aturan (ordnung) yang berdasarkan analisis sosiologis. Adanya seperangkat peraturan yang berbeda yang mengarahkan tingkah laku adalah intrinsik (sesuatu yang hakiki) bagi konsep organisasi. Tanpa aturan- aturan itu tidak mungkin untuk mengatakan apakah suatu tingkah laku itu organisasional atau tidak organisasional. Aturan-aturan organisasi oleh Max Weber disebut tatanan administrasi (verwaltungsordung). Staff Administratif

(verwaltungsstab) memiliki hubungan ganda dengan aturan-aturan tersebut. Di satu

71 Satjipto Rahardjo. 2009. Hukum dan Perubahan Sosial; Suatu Tinjauan Teoretis serta Pengalaman- Pengalaman di Indonesia. Cet.ke-3. Yogyakarta: Genta Publishing. hlm.65-66.

72 Reinhard Bendix. 1962. Max Weber; An Intellectual Portrait. New York: Anchor Books. hlm. 390, dalam Ibid. hlm.66.

73 Martin Albrow. Op.cit. hlm.27: Max Weber mengartikan organisasi sebagai suatu tatanan hubungan- hubungan sosial, suatu pemeliharaan yang dengannya individu-individu tertentu memiliki tugas-tugas khusus. Kehadiran seorang pemimpin dan biasanya juga seorang staf administrasi merupakan suatu ciri tetap suatu organisasi.

pihak tingkah lakunya sendiri diatur oleh aturan-aturan tersebut. Di lain pihak ia bertugas melihat bahwa anggota selebihnya taat pada aturan-aturan tersebut.74

Menurut Max Weber, aspek terpenting dari tatanan administratif ditentukan oleh siapa yang memberikan perintah kepada siapa. Administrasi dan otoritas

(herrschaft) berhubungan erat. Setiap bentuk otoritas menyatakan dirinya sendiri dan berfungsi sebagai administrasi. Setiap bentuk administrasi dengan beberapa cara memerlukan otoritas, karena aturannya menghendaki beberapa tipe kekuasaan untuk memerintah diberikan kepada seseorang.75

Kepatuhan terhadap perintah terutama tergantung pada keyakinan terhadap legitimasi, yakni suatu keyakinan bahwa tatanan tersebut dibenarkan dan bahwa sebaiknya dipatuhi.76 Keyakinan semacam itu dapat diidentifikasikan dalam tiga jenis. Pertama, kepatuhan dibenarkan (sah) karena orang yang memberikan tatanan memiiki beberapa kesucian atau semua karakteristik yang terkenal, yang disebut otoritas karismatik. Kedua, semua perintah mungkin dipatuhi karena hormat terhadap pola-pola tatanan lama yang telah mapan, yang disebut otoritas tradisional.

Ketiga, manusia mungkin percaya bahwa seseorang yang memberikan tatanan adalah berbuat sesuai dengan tugas-tugasnya sejak ditetapkan di dalam suatu kitab undang-undang dan peraturan, yang disebut otoritas legal ala Max Weber, yang ditambahkannya ciri rasional. Itulah tipe otoritas yang menandai organisasi moderen.77

74 Ibid.

75 Ibid. hlm.27-28.

76 Pandangan Max Weber, dalam Ibid. hlm.28.

77 Pandangan Max Weber, dalam Budi Setiyono. Op.cit. hlm.49-50.

Berdasarkan uraian tersebut, tampak betapa Max Weber menghubungkan kehadiran hukum moderen itu dengan negara moderen yang dicirikannya dalam bentuk pengadministrasian yang rasional birokratis. Karakteristik suatu komunitas politik yang moderen menurut Max Weber adalah:78

1. Adanya suatu tertib administrasi dan hukum yang tunduk pada perubahan yang

dilakukan oleh badan pembuat undang-undang.

2. Suatu perlengkapan administrasi yang mengatur pekerjaannya sesuai peraturan

perundang-undangan.

3. Terdapatnya otoritas yang mengikat setiap orang yang melakukan perbuatan-

perbuatan dalam wilayah yurisdiksinya.

4. Penggunaan kekuasaan yang hanya disahkan apabila memang diatur dan

diizinkan oleh peraturan yang berlaku.

Pertumbuhan karakteristik negara moderen tersebut berhubungan erat dengan perkembangan dalam tertib hukumnya yang mendasarkan efektivitas kekuasaan hukum atas pertalian ide-ide79 sebagai berikut:80

1. Orang bebas untuk menentukan apa yang akan merupakan norma bagi hubungan

di antara mereka, yaitu apakah akan mendasarkan pada peraturan yang ada

ataukah perjanjian yang mereka buat sendiri. Jika telah ditentukan, maka para

pihak yang bersangkutan wajib mentaatinya.

2. Suatu satuan hukum itu terdiri dari peraturan-peraturan yang abstrak dan tersusun

dalam suatu sistem yang konsisten serta dibuat dengan sengaja.

78 Reinhard Bendix. 1962. Max Weber; An Intellectual Portrait. New York: Anchor Books. hlm. 417-418, dalam Satjipto Rahardjo. Hukum dan Perubahan Sosial. Op.cit. hlm.66-67.

79 Disebut juga oleh Max Weber sebagai konsepsi legitimasi atau keyakinan yang padanya otoritas yang sah bergantung, dalam Martin Albrow. Op.cit. hlm.32.

80 Max Weber. 1969. The Theory of Social and Economic Organization. New York: The Free Press. hlm.329- 330, dalam Satjipto Rahardjo. Hukum dan Perubahan Sosial. Op.cit. hlm.66-67.

Penyelenggaraan hukum tidak bisa lain kecuali menyelesaikan perkara-perkara

yang timbul berdasarkan peraturan-peraturan tersebut di atas, yaitu dengan cara

menerapkan peraturan yang abstrak itu terhadap perkara-perkara yang terjadi.

3. Setiap orang yang menduduki jabatan tertentu tunduk pada ketentuan-ketentuan

yang tak-personal yang berlaku untuk jabatan tersebut. Ide itu mengarah kepada

kedudukan seorang pejabat negara yang tidak boleh dianggap sebagai penguasa

pribadi yang terlepas dari peraturan-peraturan yang berlaku baginya.

4. Seseorang yang mentaati kekuasaan hanyalah dalam kedudukannya sebagai

anggota suatu kelompok tertentu, seperti: anggota perkumpulan, penduduk suatu

daerah tertentu, atau warga negara. Sesuai dengan ide-ide yang disebutkan

terdahulu, maka ditaatinya adalah semata-mata hukum.

Berdasarkan ide-ide tersebut di atas, dijumpailah beberapa hal fundamental yang berlaku bagi kekuasaan hukum,81 sebagai berikut: 82

1. Suatu pengorganisasian jabatan-jabatan yang kontinyu berdasarkan peraturan-

peraturan.

2. Terdapat suatu wilayah kompetensi yang diperinci dengan jelas. Perincian

tersebut meliputi: (a) pembatasan yang jelas mengenai kewajiban-kewajiban yang

harus dilakukan sebagai bagian dari suatu pembagian kerja yang sistematis; (b)

penyediaan kekuasaan yang dibutuhkan bagi pejabat yang bersangkutan dalam

menjalankan fungsinya.

3. Pengorganisasian jabatan-jabatan tersebut tunduk pada prinsip hierarki.

81 Disebut juga sebagai prinsip otoritas atau proposisi tentang penyusunan sistem otoritas legal, dalam Martin Albrow. Op.cit. hlm.32.

82 Max Weber. 1969. The Theory of Social and Economic Organization. New York: The Free Press. hlm.330- 332, dalam Satjipto Rahardjo. Hukum dan Perubahan Sosial. Op.cit. hlm.67-68.

4. Peraturan-peraturan yang mengatur tindakan suatu jabatan berupa norma-norma

yang bersifat teknis. Untuk mencapai tingkat penerapannya yang benar-benar

rasional dibutuhkan suatu pendidikan khusus dan oleh karena itu hanya dapat

diduduki oleh orang-orang yang memiliki kualitas khusus.

5. Dalam rangka penyelenggaraan hukum yang rasional, maka merupakan suatu

prinsip bahwa keanggotaan administrasi itu sama sekali dipisahkan dari pemilikan

atas sarana-sarana produksi dan administrasi. Dalam hubungan ini, terdapat

suatu azas pemisahan yang memisahkan antara apa yang merupakan milik

organisasi dan milik masing-masing pejabat.

6. Suatu jabatan tidak boleh dilihat sebagai milik pribadi yang mendudukinya.

Dengan demikian, pengisiannya tidak tergantung dari kemauan pejabat yang

bersangkutan, melainkan semata-mata didasarkan persyaratan-persyaratan yang

ditentukan oleh hukum.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, Max Weber menunjukkan betapa hukum yang tersusun secara logis-rasional (moderen) itu mampu memberikan dukungan kepada pengorganisasian negara dalam bentuk suatu birokrasi dengan segala ciri- ciri dan perlengkapannya83 yang disebutnya sebagai tipe ideal birokrasi. Tipe ideal birokrasi ingin menjelaskan bahwa suatu birokrasi atau administrasi itu memiliki suatu bentuk yang pasti dimana semua fungsi dijalankan dengan cara-cara yang rasional. Tipe ideal birokrasi yang rasional itu dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:84

1. Individu pejabat secara personal bebas, dalam arti mereka hanya menjalankan

tugas-tugasnya apabila diberi tanggung jawab dan wewenang oleh peraturan.

83 Satjipto Rahardjo. Hukum dan Perubahan Sosial. Op.cit. hlm.68.

84 Max Weber. 1978. Economic and Society: an Outline of Interpretive Sociology. Berkerly: University of California Press, dalam Miftah Thoha. Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi. Op.cit. hlm.17-19; Budi Setiyono. Op.cit. hlm.52-53.

2. Jabatan-jabatan itu disusun dalam tingkatan hierarki dari atas ke bawah dan ke

samping. Konsekuensinya ada jabatan atasan dan bawahan, dan ada pula yang

menyandang kekuasaan yang lebih besar dan ada yang lebih kecil.

3. Tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki itu secara spesifik

berbeda satu sama lain.

4. Setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan. Uraian tugas

(job description) masing-masing pejabat, merupakan domain yang menjadi

wewenang dan tanggung jawab yang harus dijalankan sesuai dengan kontrak.

5. Setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya atas dasar merit

system, idealnya hal tersebut dilakukan melalui ujian yang kompetitif.

6. Setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk menerima pensiun sesuai

dengan tingkatan hierarki jabatan yang disandangnya, setiap pejabat bisa

memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan jabatannya sesuai dengan

keinginannya dan kontraknya bisa diakhiri dalam keadaan tertentu.

7. Terdapat struktur pengembangan karier yang jelas dengan promosi berdasarkan

senioritas, merit (prestasi) sesuai dengan pertimbangan yang objektif, atau

kemampuan menurut pertimbangan keunggulan (superior).

8. Setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya dan

resources intansinya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.

9. Setiap pejabat berada di bawah pengendalian dan pengawasan suatu sistem

yang dijalankan secara disiplin yang seragam.

Max Weber mengistilahkan peraturan itu “rasional” sepanjang dimaksudkan untuk membantu pencapaian tujuan-tujuan (peraturan-peraturan teknis) atau untuk merealisasikan nilai-nilai (norma-norma). Istilah rasional tidak hanya cocok untuk peraturan-peraturan demi maksud yang terkandung dibalik aturan itu, tetapi juga

dapat digunakan untuk menunjukkan prosedur penerapan peraturan pada kasus tertentu. Prosedur semacam itu pada hakikatnya adalah rasional. Dalam dunia moderen segala sesuatunya menjadi semakin rasional, dan memang begitulah seharusnya, baik dengan peraturan-peraturan teknis maupun dengan norma-norma untuk mempekerjakan orang-orang berkualifikasi yang memiliki keahlian untuk menerapkan peraturan-peraturan dan norma-norma tadi. Inilah jenis rasionalitas yang terutama ada dalam benak Max Weber ketika membahas birokrasi.85

Dua pernyataan terpisah yang dibuat oleh Max Weber tentang sifat khusus rasionalitas birokrasi mendukung interpretasi tersebut di atas, yakni: “administrasi birokratis berarti otoritas yang berdasarkan pengetahuan”, hal ini merupakan ciri rasionalnya yang khas, dan “otoritas birokratis adalah rasional dalam arti terbatas pada peraturan yang dapat dianalisis secara terpisah”. Hanya jika orang menyadari bahwa Max Weber memandang implementasi peraturan-peraturan dalam organisasi moderen sebagai pandangan seorang pakar, maka orang dapat memahami kesesuaian pertimbangan yang nampaknya berbeda itu. Prosedur penerapan peraturan berdasarkan keahlian ini dipusatkan pada apa yang oleh Max Weber disebut sebagai rasionalitas formal birokrasi.86

Penekanan Max Weber terhadap rasionalitas dan efisiensi sebenarnya dapat dilacak dari kondisi sosial budaya yang melatarbelakangi kehidupan Max Weber pada saat itu. Rasionalitas dan efisiensi dicerminkan dengan susunan hierarki merupakan kebutuhan yang amat mendesak saat itu. 87

85 Martin Albrow. Op.cit. hlm.54.

86 Ibid. hlm.53-54.

87 Miftah Thoha. Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi. Op.cit, hlm.19.

Menurut David Beetham,88 Max Weber memperhitungkan tiga elemen pokok dalam tipe ideal birokrasinya. Tiga elemen itu adalah: (1) birokrasi dipandang sebagai instrumen teknis (technical instrument); (2) birokrasi dipandang sebagai kekuatan yang independen dalam masyarakat, sepanjang birokrasi mempunyai kecenderungan yang melekat (inherent tendency) pada penerapan fungsi sebagai instrumen teknis tersebut; (3) pengembangan dari sikap ini karena para birokrat tidak mampu memisahkan perilaku mereka dari kepentingannya sebagai suatu kelompok masyarakat yang partikular, sehingga birokrasi dapat keluar dari fungsinya yang tepat karena anggotanya cenderung datang dari kelas sosial yang partikular tersebut.

Elemen kedua dan ketiga dari birokrasi Weberian di atas mengandung pandangan Max Weber terhadap peranan politik dalam birokrasi. Ada faktor politik yang dapat mempengaruhi proses tipe ideal birokrasi. Kehidupan birokrasi tampaknya sudah diperhitungkan tidak terpisahkan dari politik.89

Tiga elemen pokok tersebut diperhitungkan oleh Max Weber dalam tipe ideal birokrasinya, setelah Max Weber mengidentifikasi jenis birokrasi lain yang berbeda dengan tipe yang paling rasional, yakni birokrasi patrimonial. Birokrasi patrimonial berbeda dengan tipe rasional terutama karena para pejabat yang bekerja tidak bebas/netral/independen dibandingkan orang-orang yang diangkat secara kontraktual. Max Weber menemukan contoh-contoh tersebut dalam Imperium

Romawi yang terakhir, dalam Mesir Kuno, dan dalam Imperium Bizantium. Hakikat gagasan birokrasi patrimonial adalah keberadaan suatu badan. Konsep tentang pejabat () merupakan dasar bagi konsep birokrasi. Max Weber dalam

88 Ibid. hlm.20.

89 Ibid.

berbagai kesempatan menggunakan istilah beamtentum (staf pegawai) sebagai suatu alternatif bagi sebutan birokrasi.90

Meskipun terdapat berbagai kritik terhadap tipe ideal birokrasi Max Weber yang pada hakikatnya memperselisihkan rasionalitas tipe ideal birokrasi Max Weber, namun demikian terdapat banyak penulis yang menganggap benar bahwa pengertian rasionalitas menurut Max Weber adalah kesesuaian dengan tujuan tertentu. N.Mouzelis mengemukakan bahwa menurut pengertian Max Weber, rasionalitas menujukkan pada kesesuaian alat (cara) dengan tujuan. Dalam konteks birokrasi, hal ini berarti efisiensi. Sehubungan dengan hal itu, Renate Mayntz menegaskan bahwa satu-satunya kritik yang relevan terhadap tipe ideal birokrasi harus mengarah pada pertanyaan bisa atau tidaknya mencapai efisiensi maksimun.91

Jika kita mendefinisikan efisiensi secara konvensional yang lazim sebagai

“suatu pencapaian tujuan khusus dengan pengorbanan yang sesedikit mungkin dalam hubungannya dengan tujuan-tujuan yang lain”, maka kita dapat melihat bahwa hal itu tidak berhubungan dengan kategori-kategori rasionalitas Max Weber.

Gagasan rasionalitasnya yang bertujuan (Zweck rationalitat) dapat dianggap sebagai efisiensi, tetapi lebih dari itu melibatkan rangkaian tujuan dan cara. Hubungan rasionalitas formal dan efisiensi yang sesungguhnya dapat dipahami secara lebih baik dengan mempertimbangkan cara yang dengannya efisiensi pada umumnya diukur melalui kalkulasi biaya, atau pengorbanan dalam arti uang, atau waktu, atau tenaga yang dihabiskan. Kalkulasi semacam ini merupakan prosedur-prosedur formal yang tidak dapat dengan sendirinya menjamin efisiensi, tetapi merupakan

90 Martin Albrow. Op.cit. hlm.30.

91 Ibid. hlm.52-53.

beberapa syarat untuk menentukan tingkat efisiensi yang bisa dicapai. Inti gagasan rasionalitas Max Weber adalah gagasan tentang kalkulasi yang benar, baik menurut istilah numerik seperti pada akuntan, maupun menurut istilah logika sebagaimana dilakukan para ahli hukum.92 Max Weber sering mengacu pada kenyataan bahwa rasionalitas formal tidak menjamin apa yang ia sebut rasionalitas materiil. Sistem formal yang paling sempurna pun dalam pelaksanaannya dapat menggagalkan tujuan-tujuan dan nilai-nilai yang menggerakkannya.93

Namun demikian, Weber percaya bahwa birokrasi adalah bentuk organisasi yang paling efisien. Bahkan, Weber percaya birokrasi menjadi bentuk yang paling rasional formal organisasi. Dengan demikian, Weber memahami birokrasi sebagai bentuk yang lebih efektif daripada bentuk-bentuk alternatif. Perhatian utamanya adalah untuk menetapkan cara berperilaku yang menghindari korupsi, ketidakadilan, dan nepotisme sebagai karakteristik utama organisasi abad ke-19.94 Hingga kini

Birokrasi Weberian merupakan kenyataan yang dominan dalam praktik pemerintahan di Amerika Serikat.95

Birokrasi seperti itu memiliki banyak kelebihan yang dapat digambarkan secara sederhana. Pembagian kerja akan menghasilkan efisiensi. Hierarki wewenang memungkinkan pengendalian atas berbagai ragam jabatan dan memudahkan koordinasi yang efektif. Aturan-aturan “main” itu menjamin kesinambungan dalam

92 Ibid. hlm.55-56.

93 Ibid. hlm.54.

94 Max Weber.1947. The Theory of Social and Economic Organization. Translated by A. M. Henderson & Talcott Parsons. The Free Press, dalam HRM Guide UK. 2012. Classical Organization Theory: Bureaucracy, Power and Control. http://www.hrmguide.co.uk/history/classical_organization_theory.htm

95 H.George Frederickson. 2003. Administrasi Negara Baru (New Public Administration). Terjemahan: Al- Ghozei Usman. Cet.ke-5. Jakarta: LP3ES.hlm.31-32; Demikian pula, Jane E. Fountain. Bureaucratic Reform and E-Government in the United States: An Institutional Perspective. Center for and Administration, Department of Political Science, University of Massachusetts, Amherst. NCDG Working Paper No. 07-006. Submitted September 18, 2007. hlm.4.

pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, walaupun pejabatnya berubah-ubah, dan dengan demikian dapat menimbulkan keajegan perilaku. Impersonalitas hubungan menjamin perlakuan adil bagi semua anggota masyarakat dan mendorong timbulnya pemerintahan yang demokratik. Kemampuan teknis menjamin bahwa hanya orang- orang yang ahli yang akan menduduki jabatan pemerintahan. Jaminan keberlangsungan jabatan membuat para pejabat itu tidak mudah dijatuhkan oleh tekanan-tekanan dari luar. Singkatnya, dengan karakteristik seperti itu birokrasi akan berfungsi sebagai sarana yang mampu melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan secara efektif dan efisien.96

Selain itu, karena model birokrasi menurut Max Weber ini menyiratkan pemisahan “politik” (pembuatan peraturan) dari administrasi (pelaksanaan peraturan), dengan asumsi sebagai birokrasi yang secara politik netral, maka diharapkan “cabang” administratif ini akan dengan patuh mengabdi kepada rakyat, melalui pengabdian mereka kepada pejabat eksekutif yang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Birokrasi menurut model Max Weber tersebut sangat ideal. Akan tetapi, praktik yang terjadi seringkali berbeda/melenceng dari model tersebut.97

Menurut Fred N. Riggs, hingga kini struktur organisasi modern tetap dipandang sebagai model birokrasi yang tepat buat melaksanakan pembangunan. Oleh para ahli kekurang berhasilan yang terjadi di banyak negeri sering dihubungkan dengan bentuk birokrasi ini. Tetapi, yang menyebabkan model tersebut kurang berhasil bukanlah bentuknya itu tetapi adalah karena adanya nilai-nilai dan struktur organisasi yang tradisional yang menyebabkan tumbuhnya distorsi bentuk organisasi modern menjadi sistem yang patrimonial. Pada sistem ini prinsip-prinsip

96 Mohtar Mas’oed. Efektifitas dan Tanggungjawab pada Masyarakat: Dilema Birokrasi?, dalam Mohtar Mas’oed dan Colin MacAndrews (eds.). 2006. Perbandingan Sistem Politik. Cet.ke-17. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hlm.99.

97 Ibid.

nepotisme dan partikularistik berlaku. Kalau pada sistem ekonomi kita mengenal adanya dualisme antara ekonomi tradisional-agraris dan ekonomi modern-industrial, maka dalam sistem administrasi kita dikenal adanya dualisme antara sistem administrasi tradisional yang menekankan ritualisme administratif yang tidak efisien dan sistem administrasi modern yang menekankan rasionalisme administratif yang efisien.98

Pada birokrasi di Indonesia, corak birokrasi yang menjadi partisan dari kepentingan politik praktis menyebabkan ciri birokrasi moderen yang digagas oleh

Max Weber tentang rasionalisme birokrasi sulit untuk diwujudkan. Birokrasi bahkan telah mengubah dirinya bagikan “monster raksasa” (Leviaathan) yang mengerikan sebagai perwujudan nyata dari kekuasaan negara.99

Adanya pengaruh aspek politik terhadap hukum memang sudah dipahami dalam pemikiran sentral Roberto Mangabeira Unger melalui tawaran “the critical legal studies movement”-nya.100

Bahkan Donald Black menjelaskan bahwa dalam berlakunya hukum dalam masyarakat, terdapat lima variabel yang sangat menentukan, yakni:101

“Social live has several variable aspects, including stratification, morphology, culture, organization, and social control. Stratification is the vertical aspect of social life, or any uneven distribution of the conditions of exsistence, such as food, acces to land or water, and money. Morphology is the horizontal aspects or the distribution of people in relation to each other, including their division of labor, integration, and intimacy. Culture is the simbolis aspect such as religion decoration, and folklore. Organization is the corporate aspect or the capacity for

98 W. J. Siffin (Ed.). 1957. Toward the Comparative Study of Public Administration. Bloomington: Indiana University Press. hlm.59, dalam Sofian Effendi. 1990. Perspektif Administrasi Pembangunan Kualitas Manusia dan Kualitas Masyarakat, dalam Seminar Ilmu-ilmu Sosial "Membangun Martabat Manusia". hlm.7.

99 Agus Dwiyanto, dkk. 2006. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Cet.ke-2. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hlm. 9.

100 Roberto Mangabaire Unger. 1986. The Critical Legal Studi Movement. Cambridge, Massachussetts, and London, England: Harvad University Press.hlm 1.

101 Donald Black. 2010. The Behavior of Law. Special Edition. UK:Emerald Group Publishing Limited. hlm.1- 2.

collective action. Finally, social control is the normative aspect of social life, or the defenition of deviant behavior and the respon to it such as prohibition, accusations, punishment, and compensation”.

Lima variabel tersebut merupakan aspek yang menimbulkan diskriminasi dalam bekerjanya hukum. Dalam kehidupan sosial, terdapat fakta-fakta bahwa ada orang yang lebih kaya atau lebih terhormat ketimbang orang lain, ada orang-orang yang memiliki hubungan lebih dekat, ada orang yang memiliki lebih banyak status kultural

(termasuk pendidikan) dibandingkan orang lain, ada organisasi yang lebih besar dibandingkan organisasi lainnya/individu, ada lingkungan yang memiliki lebih banyak pengendalian sosial dibandingkan lingkungan yang lain.

Untuk mengungkapkan unsur-unsur yang berpengaruh dalam pelaksanaan maupun penegakan suatu peraturan hukum, konsep unsur sistem hukum yang dikemukakan oleh Friedman, dapat digunakan. Menurut Lawrence M. Friedman,

Elements of Legal System, terdiri atas:102

“a. The structure of a system is its skeletal framework; it is the permanent shape, the institutional body of the system, the tough, rigid bones that keep the process flowing within bounds. We describe the structure of judicial system when we talk about the number of judges, the jurisdiction of courts, how higher courts are stacked on top of lower courts, what persons are attached to various courts, and what their roles consist of. b. The substance is composed of substantive rules and rules about how institutions should be have. c. ....the legal culture....It is the element of social attitude and value. Legal culture refers, then, to those parts general culture-customs, opinions, ways of doing and thinking-that bend social forces toward of away from the law and in particular ways”.

Dalam menjelaskan bekerja sistem hukum dalam konsep Elements of Legal

System, Friedman mengemukakan bahwa:103

“Whatever character one assigns to the legal system, it will have features common to every system or process. First, there will be inputs, raw materials

102 Lawrence M. Friedman. 1975. The Legal System; a Social Science Perspective. New York: Russell Sage Foundation. hlm.14-15.

103 Ibid. hlm.11-12.

which enter at one end of the system. A court, for example, does not begin to work, unless someone makes the effort to file a complaint and set off all lawsuit. Even earlier, some concrete act has served as atrigger: A policeman arrest a man; a landlord harasses a tenant; a man is defamed by his neighbor, injured by a speesing car, deserted by his wife. Physically, lawsuits begin with pieces of paper, pleading filed in court; without these no trial is possible in our society. What happens next is that the court, its staff and the parties begin to process the materials put in. Judges and official do something; they work on the raw materials in a systematic way. They deliberate, argue, make orders, file papers, and hold a trial. The parties and lawyers also play their parts. Next, the court produces an output – a verdict or decision; sometimes the court hands down a general rule as well. The court may decide for the plaintiff; or for defendant, or reach some compromise. The result is in any even an output, even if the court simply refuses to hear the case. Moreover, the output may be ignored or not, may have a large or a small effect. Information about this effect flows back into the system. This process bears the name of feedback. One can speak of feedback more generally to mean the way the product or output of a system turn back on and effects the system it self...... ”

Sejalan dengan Friedman, Kees Schuit (Bruggink, 1999:140) mengemukakan mengenai Teori Sistem Hukum yang pada intinya terdapat kesamaan dengan konsep yang dikemukakan Friedman, bahwa sebuah Sistem Hukum terdiri atas tiga unsur yang memiliki kemandirian tertentu (memiliki identitas dengan batas-batas yang jelas) yang saling berkaitan, dan masing-masing dapat dijabarkan lebih lanjut.

Unsur-unsur yang mewujudkan sistem hukum itu adalah:104 a. Unsur Idiil. Unsur ini terbentuk oleh sistem makna dari hukum, yang terdiri atas

aturan-aturan, kaidah-kaidah, dan asas-asas. Unsur inilah yang oleh para yuris

disebut “Sistem Hukum”. Bagi para penganut hukum empiris, masih ada unsur

lainnya: b. Unsur aktual. Unsur ini adalah keseluruhan putusan-putusan dan perbuatan-

perbuatan konkret yang berkaitan dengan sistem makna dari hukum, baik dari

para pengemban jabatan maupun dari warga masyarakat, yang didalamnya

terdapat sistem hukum itu.

104 J.J.H.Bruggink. 1999. Refleksi Tentang Hukum (Rechts-Reflecties). Terjemahan Arief Sidharta. Cet.ke-2. Bandung: Citra Aditya Bakti. hlm. 140.

c. Unsur Operasional. Unsur ini terdiri atas keseluruhan organisasi-organisasi dan

lembaga-lembaga, yang didirikan dalam suatu sistem hukum. Yang termasuk

didalamnya adalah juga para pengemban jabatan (ambtsdrager) yang berfungsi

dalam kerangka suatu organisasi atau lembaga.

Selanjutnya, dalam membahas mengenai reformasi birokrasi, perlu terlebih dahulu diuraikan mengenai kata reformasi. Dalam Merriam-Webster Encyclopaedia

Britannica, makna kata “reform” (reformasi) dapat ditinjau dari tiga bentuk, sebagai kata kerja (kata kerja transitif dan intransitif), kata benda, dan kata sifat.

Kata reform (verb/kata kerja) sebagai transitive verb105 (kata kerja transitif), diartikan sebagai:

1. to put or change into an improved form or condition (untuk menempatkan atau

mengubah ke dalam bentuk peningkatan atau kondisi), to amend or improve by

change of form or removal of faults or abuses (untuk mengubah atau memperbaiki

dengan perubahan bentuk atau penghapusan kesalahan atau pelanggaran).

2. to put an end to (an evil) by enforcing or introducing a better method or course of

action (untuk mengakhiri (kejahatan) dengan menegakkan atau memperkenalkan

metode yang lebih baik atau tindakan).

3. to induce or cause to abandon evil ways (reform a drunkard) (untuk membujuk

atau menyebabkan untuk meninggalkan cara-cara jahat (reformasi pemabuk)).

4. to subject (hydrocarbons) to cracking (untuk subjek (hidrokarbon) terhadap retak),

to produce (as gasoline or gas) by cracking (untuk menghasilkan (sebagai bensin

atau gas) dengan meretakkan).

105 Merriam-Webster.com. An Enclopaedia Britannica Company. Reform. http://www.merriam- webster.com/dictionary/reform, diakses 8 Juni 2012.

Kata reform (verb/verba) sebagai intransitive verb106 (kata kerja intransitif), diartikan sebagai to become changed for the better (untuk melakukan perubahan menjadi lebih baik).

Kata “reform” (verb) berasal dari Inggris Pertengahan, yang berasal dari kata refurmer (Anglo-Perancis). Kata refurmer berasal dari kata reformare (bahasa Latin) yakni gabungan kata re- + formare, dimana kata forma berarti form (bentuk), sehingga reformare berarti to form (untuk membentuk). Sebagai kata kerja transitif dan intransitif, kata “reform” diketahui pertama kali digunakan pada Abad ke-14.

Kata reform (noun/kata benda)107, diartikan sebagai:

1. amendment of what is defective, vicious, corrupt, or depraved

(mengubah/perubahan terhadap apa yang rusak, kejam, korup, atau bejat).

2. a removal or correction of an abuse, a wrong, or errors (penghapusan atau

koreksi dari penyalahgunaan, sesuatu yang salah atau kesalahan).

3. capitalized : REFORM JUDAISM (dikapitalisasi: REFORMASI YUDAISME).

Sebagai kata benda, kata “reform” diketahui pertama kali digunakan pada tahun1663.

Kata reform (adjective/kata sifat)108 diartikan sebagai relating to or favoring reform (berhubungan dengan atau mendukung reformasi). Sebagai kata sifat, kata

“reform” diketahui pertama kali digunakan pada tahun 1819.

Selain itu, dalam Encyclopedia Britanica, reformasi dimaknai sebagai gerakan pembaharuan yang dilancarkan oleh kekuatan tertentu di dalam masyarakat sebagai reaksi atau koreksi total dan fundamental terhadap kekuasaan yang sedang berjalan

106 Ibid.

107 Ibid.

108 Ibid.

berdasarkan pertimbangan moral, politik, ekonomi, dan doktrinal. Dengan lebih sederhana dalam Oxford Advanced Learner’s Dictonary, reformasi (reform) diartikan sebagai “make or became better by removing obstacles or putting right what is bad or wrong”.109

Di Eropa Barat, kata “reformasi” pertama kali muncul pada abad ke-16 ketika sedang terjadi religious revolution yang dilancarkan oleh kalangan yang menamakan dirinya kelompok “protestant” terhadap gereja katolik dan kemudian menjalar ke berbagai penjuru dunia. Kata “reformasi” kemudian digunakan sebagai sebutan bagi upaya kolektif dan korektif terhadap penyimpangan, ketimpangan, ketidakadilan, dan tindakan penguasa yang bertentangan dengan akal sehat yang dilancarkan oleh kelompok atau pihak yang merasa tertindas.110

Dengan demikian, kata reformasi (reform) dapat diartikan sebagai gerakan untuk melakukan perubahan untuk membentuk sesuatu menjadi lebih baik dengan melakukan koreksi terhadap suatu kondisi yang buruk melalui metode atau tindakan yang lebih baik.

Adapun kata “birokrasi” dalam bahasa Inggris, secara umum disebut dengan

“Civil Service”. Selain itu juga sering disebut sebagai , public service, atau public administration.111 Tujuan reformasi birokrasi antara lain adalah menyelesaikan berbagai permasalahan yang muncul dalam penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana pandangan Mark Schacter bahwa:112

“Public sector reform is strengthening the way that public sector is managed. The public sector may over extended-attempting to do too much with few

109 Asmawi Rewansyah. 2010. Reformasi Birokrasi dalam Rangka Good Governance. Cet.ke-1. Jakarta: Yusaintanas. hlm.117-118.

110 Ibid. hlm.117.

111 Menurut Setiyono, dalam Ibid. hlm.122.

112 Mark Schacter. 2000. Public Sector Reform in Developing Countries, dalam Ibid. hlm.122-123.

resources. It may be poorly organized; its decision making process may be irrational; staff may be mis-managed; accountability may be weak; public program may be poorly designed and public services poorly delivered. Public sector reform is the attempt to fix these problems”.

Menurut Asmawi Rewansyah, reformasi birokrasi merupakan bagian integral dari reformasi administrasi negara/reformasi nasional. Di mana inti dari reformasi nasional adalah reformasi birokrasi, karena tidak ada reformasi bidang lain yang tidak bersentuhan dan tersentuh oleh para birokrat. Oleh karena posisi aparatur/birokrasi sangat strategis dan sentral maka reformasi birokrasi harus didahulukan atau diprioritaskan.113

Reformasi birokrasi pada akhirnya sangat terkait dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Max Weber melihat bahwa birokratisasi merupakan prasyarat bagi pembangunan ekonomi dan upaya penciptaan industri modern. Tanpa birokrasi tidak mungkin dicapai ekonomi modern yang berkelanjutan, industrialisasi yang cepat dan "take-off into selfsustained growth".114 Oleh karena itu, tanpa birokrasi yang baik, niscaya kesejahteraan rakyat tidak akan terwujud.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut, reformasi birokrasi dapat dimaknai sebagai gerakan untuk melakukan perubahan dalam birokrasi untuk membentuk birokrasi menjadi lebih baik dengan melakukan koreksi terhadap kondisi birokrasi yang buruk melalui metode atau tindakan yang lebih baik.

C. Sistem Penataan Pegawai Negeri Sipil

113 Ibid. hlm.123-124.

114 Uraian Giddens, dalam Sofian Effendi. Op.cit. hlm.2.

Menurut Kranenburg, pegawai negeri adalah pejabat yang ditunjuk, tidak termasuk mereka yang memangku jabatan mewakili seperti anggota parlemen, presiden, dan sebagainya.115

Logemann menggunakan kriteria yang bersifat materiil dalam mencermati hubungan antara negara dengan pegawai negeri, dengan merumuskan pegawai negeri sebagai tiap pejabat yang mempunyai hubungan dinas dengan negara.116

Menurut Philipus M.Hadjon, dewasa ini, kajian hukum administrasi lebih memandang hubungan hukum kepegawaian dimaksud sebagai suatu openbare dienstbetrekking (hubungan dinas publik) terhadap negara (pemerintah). Adapun openbare dienstbetrekking yang melekat pada hubungan hukum kepegawaian itu lebih merupakan hubungan sub-ordinatie antara atasan dengan bawahan.117

Hubungan dinas publik yang melekat pada pegawai negeri, menurut Logemann, adalah bilamana seseorang mengikat dirinya untuk tunduk pada perintah dari pemerintah untuk melakukan sesuatu atau beberapa macam jabatan yang dalam melakukan sesuatu atau beberapa macam jabatan itu dihargai dengan pemberian gaji dan beberapa keuntungan lainnya. Di mana hubungan dinas publik yang dimaksud oleh Logemann itu adalah kewajiban bagi pegawai negeri untuk tunduk pada pengangkatan dalam beberapa macam jabatan tertentu yang berakibat pegawai yang bersangkutan tidak menolak (menerima tanpa syarat) pengangkatannya dalam suatu jabatan yang telah ditentukan oleh pemerintah.118

115 Muchsan. 1982. Hukum Kepegawaian. Jakarta: Bina Aksara, hlm. 12, dalam Sri Hartini, et.all. 2008. Hukum Kepegawaian di Indonesia. Ed.ke-1. Cet.ke-1. Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 31.

116 Ibid.

117 Philipus M.Hadjon, et.all. 2002. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Cet.ke-8. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hlm.214.

118 E.Utrecht.1960. Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia. Bandung: Fak Hukum dan PM Unpad, hlm.142-143, dalam S.F.Marbun dan Moh.Mahfud MD. 2004. Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara. Ed.ke-1. Cet.ke-2. Yogyakarta: Liberty, hlm. 98.

Staffan Synnerstron, dkk menjelaskan inti dari status kepegawaian negeri sipil, sebagai berikut:119

“The essence of civil servant status is that the legal basis for employment--the laws and regulations that shape the nature of employment contracts--is different from that found elsewhere in the economy as defined by the general labor law. It also is generally different from that found elsewhere in the public sector, such as in the health or education sectors or in state-owned enterprises”.

Ditinjau dari aspek kesejarahan kepegawaian negeri sipil, Staffan Synnerstron, dkk menjelaskan bahwa: 120

“Historically, civil service employment was not a formal agreement between two equal parties, but rather a decision of the State. Today, civil service employment tends to share some features that are typical of a voluntary arrangement between an employer and employee in the private sector. However, several criteria continue to distinguish civil servant status from other employment arrangements. These criteria can be summarized as follows: 1. Civil servants are "appointed" by decision of an authorized public institution in accordance with the civil service law. A decision by a representative of the State to "appoint" a civil servant must conform with established rules that structure the hiring process. 2. Once appointed, there are many constraints on dismissal. This is because civil servants are not simply employees of the state; they also have a constitutional role. The intent of civil service legislation is to balance the requirement these employees be responsive to the government of the day, with the parallel requirement that they respect and maintain state institutions over time. In other words, additional job security is provided in order to prevent short-term political pressures from leading to inappropriate personnel changes. 3. There are more constraints on the actions of civil servants than on other groups. Again, this is because of the strategic and constitutional role of civil servants. The Labour Relations (Public Service) Convention, 1982 (No. 151) provides details of the fundamental labour rights of civil servants (the right to organize, to participate in consultations or negotiations in relation to their terms of employment and to settlement of disputes). Article 1 of the Convention states that its provisions apply to "all persons employed by public authorities" but permits exemptions for "high-level employees whose functions are normally considered as policy-making or managerial, or employees whose duties are of a highly confidential nature."

119 Staffan Synnerstron, dkk. Civil Service Law & Employment Regimes. The World Bank. Administrative and Civil Service Reform. http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/TOPICS/EXTPUBLICSECTORANDGOVERNANCE/EXTA DMINISTRATIVEANDCIVILSERVICEREFORM/0,,contentMDK:20133489~menuPK:286372~pagePK:1489 56~piPK:216618~theSitePK:286367~isCURL:Y,00.html, diakses 10 Juni 2012.

120 Ibid.

4. The employees concerned are within civilian central government or subnational government. There are many other employment arrangements in the public sector that provide something akin to civil servant status, under judicial career laws etc. However, common usage requires that civil servant status refers to employees within civilian central government, or subnational government. The judiciary can often be employed under arrangements that also provide constitutionally-based constraints on dismissal, but are rarely known as civil servants”.

Posisi PNS sebagai pejabat yang ditunjuk tersebut, sejalan dengan pandangan

Jimly Asshiddiqie yang mengusulkan agar dibedakan antara istilah pejabat negara dengan pejabat negeri. Salah satu kriteria yang dapat dipakai untuk membedakan pejabat negara dari pejabat negeri adalah mekanisme rekrutmen atau pengisian jabatannya. Pejabat negara pada pokoknya dipilih secara politis, sedangkan pejabat negeri diangkat secara administratif oleh atasannya. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa pejabat negara merupakan “politically elected officials” atau setidaknya diangkat secara politis (political appointee), sedangkan pejabat negeri merupakan

“administratively appointed officials”.121

Menurut Jimly Asshiddiqie, pegawai negeri dapat menduduki jabatan-jabatan negeri, dan dalam kedudukan semacam itu, ia disebut pegawai negeri. Ada jabatan negeri yang bersifat struktural seperti Direktur Jenderal sebagai Pejabat Eselon I.

Oleh karena itu, harus dibedakan dari pejabat negara. Pejabat negeri merupakan subjek Hukum Administrasi Negara, sedangkan pejabat negara merupakan subjek

Hukum Tata Negara.122

Berdasarkan uraian-uraian tersebut dapat dipahami bahwa titik berat kategori sebagai PNS adalah pada bentuk cara pengangkatan melalui penunjukkan, yakni sebagai pejabat sipil yang ditunjuk (bukan pejabat yang dipilih) dan memiliki

121 Jimly Assiddiqie. 2008. Pokok-pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi. Cet.ke-2. Jakarta Barat: Bhuana Ilmu Populer. hlm.388-389.

122 Ibid.

hubungan dinas publik sipil (hubungan sub ordinat antara bawahan dan atasan) terhadap pemerintah.

Konsep moderen yang lazim digunakan dalam menjelaskan hubungan antara

PNS sebagai bawahan dan pemerintah sebagai atasannya adalah konsep manajemen sumber daya manusia ataupun manajemen personalia.

Menurut Gary Dessler,123 manajemen sumber daya manusia adalah proses memperoleh, melatih, menilai, dan memberikan kompensasi kepada karyawan, memperhatikan hubungan kerja mereka, kesehatan, keamanan, dan masalah keadilan.

Hubungan antara PNS sebagai bawahan dan pemerintah sebagai atasan tentunya memerlukan pengaturan hukum agar keberadaan PNS senantiasa sejalan dengan tujuan penyelenggaraan pemerintahan dan negara. Dalam hal ini konstruksi pemikiran “penataan” dan “hukum” memiliki hubungan yang sangat erat. Menurut

D.Schindler,124 hukum adalah suatu penataan, yang mencoba mempengaruhi perilaku manusia sedemikian rupa, sehingga pemenuhan keperluan-keperluan dan kebutuhan-kebutuhan vital dapat diupayakan dengan cara adil. Demikian pula pandangan Roberto Mangabeira Unger125 bahwa sistem hukum moderen berdiri di atas semua golongan, bukan hanya untuk golongan tertentu.

Dengan demikian dikonstruksikan sistem penataan sebagai bentuk yang menegaskan pengaturan oleh hukum moderen, yang memperlakukan sama bagi setiap orang.

123 Gary Dessler. 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia (Human Resource Management). Jilid 1. Edisi ke- 10. Cet.ke-2. Terjemahan: Paramita Rahayu. Jakarta: Indeks.hlm.5.

124 Meuwissen. 2007. Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum. Terjemahan: Arief Sidharta. Cet.ke-1. Bandung: Refika Aditama. hlm.39-40.

125 Roberto Mangabeira Unger.1976. Law in Modern Society. New York: The Free Press, dalam Satjipto Rahardjo. Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya. Op.cit. .hlm.14.

Hukum bukanlah suatu gejala sewenang-wenang (sekehendak hati) atau subjektif, menurut pemahaman Meuwissen, hukum memperlihatkan beberapa ciri objektif, sebagai berikut:126

1. Hukum itu untuk bagian terbanyak ditetapkan oleh kekuasaan atau kewibawaan yang berwenang. Ini hampir selalu berupa perlengkapan penguasa (overheids-orgaan) dari suatu tatanan hukum dan tatanan negara yang kongkret. 2. Hukum memiliki sifat lugas dan objektif. Itu berarti bahwa ia secara jelas dapat dikenali dan tidak tergantung pada kehendak bebas yang subjektif. Kita juga dapat mengatakan bahwa hukum positif moderen itu rasional. Rasionalitas dari hukum terutama mengandung arti bahwa orang-orang berupaya untuk saling meyakinkan berdasarkan argumen-argumen yang masuk akal. Hal menetapkan hukum adalah bukan begitu saja suatu keputusan dari otoritas, tetapi membutuhkan suatu motivasi lebih jauh. 3. Hukum itu berkaitan dengan tindakan-tindakan dan perilaku manusia yang dapat diamati. Ia primer tidak berminat pada pertimbangan-pertimbangan atau perasaan-perasaan subjektif, meskipun hal itu juga khususnya dalam hukum pidana kadang-kadang penting. Dalam segi ini, hukum itu dibedakan dari etika. Untuk etika, suatu pertimbangan pribadi yang murni, niat, atau sikap memegang peranan penting. untuk hukum hal ini baru akan terjadi (menjadi penting), bila disposisi demikian diwujudkan dalam suatu perilaku. 4. Hukum itu memiliki suatu cara keberadaan tertentu, yang dinamakan keberlakuan yang memiliki tiga aspek, yakni aspek moral, aspek sosial, dan aspek yuridik. 5. Hukum itu memiliki suatu bentuk tertentu, suatu struktur formal. Struktur formal tersebut dapat dibedakan dalam bentuk kaidah-kaidah hukum, figur- figur hukum, dan lembaga-lembaga hukum (pranata hukum). Termasuk ke dalam kaidah-kaidah hukum adalah aturan-aturan umum (misalnya undang- undang), keputusan-keputusan kongkret (misalnya vonis-vonis, keputusan- keputusan pemerintah), dan asas-asas hukum (misalnya itikad baik, tuntutan kecermatan kemasyarakatan, pacta sunt servanda, asas persamaan). Figur- figur hukum memiliki suatu sifat yang lebih majemuk. Mereka adalah perangkat-perangkat aturan-aturan dan keputusan-keputusan atas dasar suatu substrat ideal atau kemasyarakatan spesifik (misalnya hak milik, kontrak, perbuatan melanggar hukum, hak-hak dasar). Lembaga hukum jauh lebih majemuk lagi. Dalam banyak hal ia mengenal suatu pengaturan kewenangan-kewenangan yang terjabar masing-masing dengan organ tersendiri (misalnya perkumpulan-perkumpulan, perusahaan-perusahaan, perseroan-perseroan, dan yang terpenting adalah negara). 6. Ciri terakhir dan terpenting dari hukum adalah menyangkut objek dan isi dari hukum. Hukum memiliki pretensi untuk mewujudkan atau mengabdi pada tujuan tertentu. Dalam arti sangat formal, tujuan ini dapat ditunjuk sebagai idea hukum (cita hukum). Tentang isi dari idea hukum itu di dalam filsafat hukum terdapat perbedaan. Sebagai tujuan dari hukum ditunjuk ketertiban,

126 Ibid. hlm.35-37.

perdamaian, harmoni, prediktabilitas, hal dapat diperhitungkan, kepastian hukum. Oleh yang lain juga persamaan dan keadilan dipandang penting. Dalam hubungan ini kebebasan memiliki arti penting secara primer. Hukum memiliki perkaitan hubungan-hubungan antarmanusia bertalian dengan penentuan atas benda-benda langka. Justru dalam hubungan-hubungan intersubjektif untuk sebagian tentu saja hukum bertujuan merealisasikan kebebasan.

Fungsi hukum adalah membentuk tingkah laku dalam masyarakat agar selaras dengan sasaran-sasaran yang diterapkan oleh mereka yang mempunyai pengaruh di dalamnya, sebagaimana menurut Antony N.Allot:127

While the ultimate function of law is variable, viz, the shaping of behaviour in society to correspond to the goals set by those having influences with in it, the function of particular laws can vary according as the law seeks to impose a primary rule or conduct, setablish institution, or regulate a process.

Fungsi hukum yang dikemukakan oleh Antony N.Allot, dimaksudkan sebagai sarana social engineering.128

Sejak Thomas Hobbes mengemukakan bahwa tujuan hukum adalah menciptakan ketertiban sosial, sejak itu pula ketertiban dipandang sebagai sesuatu yang mutlak harus diciptakan oleh hukum. Pandangan demikian tidak tepat sebab yang dimaksudkan keadaan tidak kacau balau sebenarnya bukannya tertib (order) melainkan damai sejahtera (peace). Damai sejahtera sebagai tujuan hukum dapat ditelusuri kembali makna sebenarnya dalam bagian akhir kode Hammurabi yang pernah hidup kurang lebih 2000 tahun Sebelum Masehi, yang diterjemahkan sebagai berikut:129

“...in my bosom I have carried the people of the land of Shumer and Accad, they have become abundantly rich under my guardian spirit, I bear their charge in

127 Antony N. Allot. 1980. The Limits of Law. London: Butterworth. hlm.12, dalam Syamsul Bachrie. 2002. Perlindungan Hukum terhadap Lingkungan Hidup Melalui Sarana Keputusan Tata Usaha Negara; Suatu Analisis Perizinan di Bidang Pengelolaan Lingkungan Hidup di Propinsi Sulawesi Selatan. Disertasi: Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. hlm.54.

128 Ibid.

129 Peter Mahmud Marzuki. 2008. Pengantar Ilmu Hukum.Edisi ke-1. Cet,ke-1. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. hlm.147.

peace and my profound wisdom I protect them. That the strong may not oppress the weak and so to give justice to the orphan and the widow, I have inscribed my precious words on my monument...”.

Menurut Peter Mahmud Marzuki,130 dalam kutipan itu jelas bahwa keadaan damai sejahtera (peace) terdapat kelimpahan, yang kuat tidak menindas yang lemah, yang berhak mendapatkan haknya dan adanya perlindungan hukum bagi rakyat. Akan tetapi, apa yang dikemukakan itu agaknya terlalu berlebih-lebihan.

Dalam suatu masyarakat sekecil apa pun dan dalam keadaan berlimpah sekalipun, masih saja terdapat perbedaan yang bukan tidak mungkin mengarah ke perselisihan. Hanya saja perbedaan itu dikelola sedemikian rupa sehingga harmoni tetap terjaga dan perselisihan diselesaikan dengan mempertimbangkan keadaan masing-masing pihak. Hal ini berbeda dengan situasi tertib (order) yang bermakna tidak kacau. Situasi semacam itu dapat dijumpai meskipun didalamnya terdapat penindasan oleh yang kuat terhadap yang lemah atau adanya ketidakseimbangan perlindungan. Dalam situasi tertib, mungkin secara agregat masyarakat itu makmur tetapi kemakmuran itu tidak dinikmati secara seimbang oleh individu yang menjadi warga masyarakat itu.

Tujuan hukum untuk mencapai damai sejahtera itu baru dapat terwujud apabila hukum sebanyak mungkin memberikan pengaturan yang adil, yaitu suatu pengaturan yang didalamnya terdapat kepentingan-kepentingan yang dilindungi secara seimbang sehingga setiap orang sebanyak mungkin memperoleh apa yang menjadi bagiannya.131

Hal tersebut sejalan dengan pandangan Radbruch bahwa: “Est autem jus a justitia, sicut a matre sua ergo prius fuit justitia quam jus” (Akan tetapi hukum berasal

130 Ibid.147-148.

131 Ibid. hlm.151.

dari keadilan seperti lahir dari kandungan ibunya). Pandangan tersebut dapat ditelusuri lebih lanjut pada pandangan Aristoteles bahwa: “ius suum cuique tribuere”

(setiap orang mendapatkan bagiannya).132

Aristoteles membedakan dua jenis keadilan, yakni keadilan sebagai keutamaan umum, yang kemudian melahirkan konsep keadilan umum (iustitia universalis) dan keadilan sebagai keutamaan moral khusus, yang kemudian melahirkan konsep keadilan komutatif (iustitia communtativa) dan keadilan distributif (iustitia distributiva).133

Keadilan sebagai keutamaan umum menurut Aristoteles yakni ketaatan dan kepatuhan terhadap hukum alam dan hukum positif. Di mana hukum alam adalah hukum yang berlaku secara universal dan berlangsung terus-menerus dalam hubungannnya dengan aturan-aturan alam. Sedangkan hukum positif adalah hukum yang ditentukan oleh penguasa negara. Hukum positif harus ditaati, meskipun kemudian ada diantara hukum-hukum itu yang tidak adil. Oleh karena itu, prinsip- prinsip keadilan dapat menuntut suatu koreksi dalam hukum positif, tetapi tidak dapat meniadakannya.134

Keadilan sebagai keutamaan moral khusus menurut Aristoteles ditandai dengan sifat-sifat antara lain adanya hubungan baik antara orang satu dengan orang lainnya, yang untuk itu diupayakan tercipta keseimbangan melalui ukuran kesamaan geometris dan arismetis. Pengukuran keadilan berdasarkan kesamaan geometris dapat diterapkan pada pembagian jabatan dan harta benda publik yang harus sesuai

132 Ibid. hlm.153-156.

133 Theo Huijbers OSC. 1982. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Kanisius. hlm. 29, dalam Muh.Guntur Hamzah. 2002. Pengaturan Hukum dan Pelaksanaan Tata Niaga Produk Pertanian. Disertasi. Surabaya: Program Pascasarjana Universitas Airlangga. hlm. 298.

134 Ibid. hlm. 298-299.

dengan bakat dan kedudukan seseorang dalam negara. Sedangkan pengukuran keadilan berdasarkan kesamaan arismetis, dapat diterapkan pada transaksi jual beli dan bidang privat pada umumnya.135

Thomas Aquinas yang dengan mengikuti pandangan Aristoteles, kemudian menjelaskan mengenai iustitia distributiva (keadilan distributif) yang berdasarkan kesamaan geometris dan iustitia commutativa (keadilan komutatif) yang berdasarkan kesamaan arismetis. Keadilan distributif merujuk pada adanya persamaan di antara manusia berdasarkan prinsip proporsionalitas yang harus diwujudkan, dimana terdapat hubungan superordinasi (yang membagi) dan subordinasi (yang menerima), yang berarti kepada orang-orang harus dibagikan (misalnya oleh penguasa) berdasarkan kriteria tertentu, yakni jasa, prestasi, kebutuhan, dan fungsi.136 Keadilan distributif berintikan kesebandingan dalam pembagian sesuatu oleh superordinasi.137 Keadilan komutatif berkaitan dengan tukar-menukar, yakni keseimbangan yang harus diwujudkan dalam hubungan-hubungan keperdataan

(misalnya jual-beli, persewaan, tukar menukar, dan lain-lain),138 di mana terdapat pada hubungan yang bersifat koordinatif antara para pihak. Dalam hubungan antara dua orang yang bersifat kordinatif tersebut, persamaan diartikan sebagai

135 Ibid. hlm. 299-300.

136 Peter Mahmud Marzuki. Op.cit. hlm.152.

137 Asep Warlan Yusuf. Memuliakan Hukum yang Berkeadilan dalam Alam Demokrasi yang Berkeadilan, dalam Sri Rahayu Oktoberina dan Niken Savitri (eds.). 2008. Butir-Butir Pemikiran dalam Hukum; Memperingati 70 Tahun Prof.Dr.B.Arief Sidharta. Cet.ke-1. Bandung: Refika Aditama. hlm. 221.

138 Meuwissen. Op.cit. hlm.83.

ekuivalensi, harmoni, dan keseimbangan.139 Keadilan komutatif berintikan kesenilaian dalam tukar-menukar.140

Pola keadilan distribusi diungkapkan dalam Ensiklopedia Filsafat Hukum, sebagai berikut:

“Theories of distributive justice, depending on how egalitarian they are, fill differently the gap in the “to each according to his...” dictum. As a criterion for a just distribution among the subjects of justice, a focus on merit, desert, talents, and issues concerning the need for incentives tend to induce inegalitarian theories of justice, while focus on needs and inetersts tends to allow for more equality in distribution”.141

Selanjutnya, dalam Ensiklopedia Filsafat Hukum, dijelaskan bahwa pengaruh teori keadilan distributif yang bersaing adalah utilitarianisme, yakni teori John Rawls mengenai justice as fairness (keadilan sebagai kewajaran), dengan teori-teori terkait lainnya.142

Bagi John Rawls,143 keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi sosial, sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran. Suatu teori, betapa pun elegan dan ekonomisnya, harus ditolak atau direvisi jika tidak benar, demikian juga hukum dan institusi, tidak peduli betapapun efisien dan rapinya, harus direformasi dan dihapuskan jika tidak adil. Setiap orang memiliki kehormatan yang berdasar pada keadilan sehingga seluruh masyarakat tidak bisa membatalkannya. Atas dasar ini keadilan menolak jika lenyapnya kebebasan bagi sejumlah orang dapat dibenarkan oleh hal lebih besar yang didapatkan orang lain. Keadilan tidak membiarkan

139 Peter Mahmud Marzuki. Op.cit. hlm.153.

140 Asep Warlan Yusuf. Memuliakan Hukum yang Berkeadilan dalam Alam Demokrasi yang Berkeadilan, dalam Sri Rahayu Oktoberina dan Niken Savitri (eds.). Op.cit. hlm. 221.

141 Christoper Berry Gray (ed.). 1999. The Philosophy of Law; An Encyclopedia. London and New York: Garland Publishing. hlm.221-222.

142 Ibid.

143 John Rawls. 2006. A Theory of Justice (Teori Keadilan). Terjemahan: Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm.3-4.

pengorbanan yang dipaksakan pada segelintir orang diperberat oleh sebagian besar keuntungan yang dinikmati banyak orang, karena itu, dalam masyarakat yang adil, kebebasan warga negara dianggap mapan. Hak-hak yang dijamin oleh keadilan tidak tunduk pada tawar-menawar politik atau kalkulasi kepentingan sosial. Satu- satunya hal yang mengijinkan kita menerima teori yang salah adalah karena tidak adanya teori yang lebih baik. Secara analogis, ketidakadilan bisa dibenarkan hanya ketika kebutuhan untuk menghindari ketidakadilan yang lebih besar sebagai kebajikan utama umat manusia, kebenaran dan keadilan tidak dapat diganggu- gugat.

Justice as fairness mengatur distribusi egaliter "barang primer". Digambarkan sebagai apa yang setiap orang butuhkan dalam rangka untuk berkembang dan untuk mewujudkan rencana hidup. Ini adalah hak dan kebebasan, kesempatan, dan kekuasaan, pendapatan, kekayaan dan kehormatan diri. Rawls juga mengartikulasikan dan berlindung dengan sebuah "prinsip perbedaan" yang membentuk pola keseluruhan distribusi dengan menyatakan bahwa ketidaksetaraan dalam distribusi diperbolehkan jika dan hanya jika mereka bekerja untuk manfaat paling baik dari anggota masyarakat, sebagaimana diungkapkan Christoper Berry

Gray (ed.):144

..... John Rawls' justice as fairness is a contractarian conception which finds its inspiration in Jean-Jacques Rousseau and Immanuel Kant, it prescribes an egalitarian distribution of "primary goods". Described as what every one needs in order to conceive and to realize a life plan. These are rights and liberties, opportunities and powers, income, wealth and self-respect. Rawls also articulates and defens a "difference principle" that shapes an overall pattern of distribution by stating that inequalities in distribution are permissible if and only if they work to the benefits of the least well-of members of society. Rawls principles of justice are introduced by means of a hypothetical contractarian procedure of decision under a "veil ignorance" (hence, "justice as fairness). By

144 Christoper Berry Gray (ed.). Loc.cit.

contrast with utilitarian principles, Rawls' principles appeal neither to a measure of utilities nor to substantive subjective preferences.

Keadilan sebagai kewajaran (justice as fairness) bagi John Rawls didasarkan pada dua prinsip, yakni:145

(a) Each person has the same indefeasible claim to a fully adequate scheme of equal basic liberties, which scheme is compatible with the same scheme of liberties for all; and (b) Social and economic inequalities are to satisfy two conditions: first, they are to be attached to offices and positions open to all under conditions of fair equality of opportunity; and second, they are to be to the greatest benefit of the least-advantaged members of society (the difference principle).

Adapun keadilan korektif menurut Aristoteles, correct any disequilibrium in the community by restoring whatever equality exited before wrong was commited.146

Pandangan Aristoteles mengenai keadilan dapat ditelusuri lebih lanjut pada pandangan Ulpianus. Ulpianus memandang bahwa: Iustitia est parpetua et constans voluntas ius suum cuique tribuendi (keadilan adalah suatu keinginan yang terus menerus dan tetap untuk memberikan kepada orang apa yang menjadi bagiannya).

Dengan demikian jika ditelaah, keadilan yang masih abstrak harus diwujudkan dalam situasi kongkrit yaitu dalam alokasi kepentingan-kepentingan warga masyarakat yang sedemikian rupa melalui kepatutan sehingga kehidupan masyarakat yang harmonis dapat dipertahankan.147

Berdasarkan uraian-uraian tersebut, menurut penulis, sistem penataan PNS merupakan suatu bentuk pengaturan oleh hukum moderen yang rasional dan berlaku sama terhadap PNS agar dapat mewujudkan tujuan penyelenggaraan negara yakni kesejahteraan rakyat, di mana keduanya sangat erat kaitannya dengan

145 John Rawls. 2001. Justice as Fairness; a Restatement. Edited: Erin Kelly. Cambridge, Massachussetts, and London, England: The Belknap Press of Harvard University Press. hlm.42-43.

146 L.B. Curzon. 1979. Jurisprudence. Estover: M&E Handbooks. hlm.38.

147 Peter Mahmud Marzuki. Op.cit. hlm.153-156.

aspek keadilan. Dalam hal ini, Miftah Thoha148 memandang penataan birokrasi

(aparatur) harus dilakukan dengan menggunakan prinsip merit system.

Kata “merit” diketahui pertama kali digunakan pada abad ke-14 di Inggris pertengahan. Kata “merit” berasal dari kata “merite” (Anglo-French), yang berasal dari kata “meritum” (Latin). Kata “meritum” yang berasal dari kata “meritus” yang bersifat netral, merupakan bentuk past participle dari kata “merēre” yang berarti layak atau mendapatkan gaji/bayaran, mirip dengan kata meirethai dalam bahasa

Yunani yang berarti “menerima sebagai bagian seseorang”. “Meirethai” berasal dari kata “meros” yang berarti “bagian”.149

Dalam Merriam-Webster Encyclopaedi Britannica, kata “merit” dapat dimaknai sebagai kata benda dan kata kerja. Sebagai kata benda, “merit” (manfaat) berarti

“reward or punishment due” (hadiah atau hukuman yang sesuai), the qualities or actions that constitute the basis of one's deserts, a praiseworthy quality: virtue

(kualitas-kualitas atau tindakan-tindakan yang menunjukkan seseorang layak, kualitas terpuji: kebajikan), ataupun character or conduct deserving reward, honor, or esteem, also: achievement (karakter atau perilaku yang layak mendapat penghargaan, kehormatan, atau harga diri: prestasi). Sebagai kata kerja, “merit”

(jasa) berarti to be entitled to reward or honor (untuk menjadi berhak terhadap penghargaan atau penghormatan), deserve (layak), ataupun to be worthy of or entitled or liable to: earn (untuk menjadi layak atau berhak atau bertanggung jawab untuk: mendapatkan).150

148 Miftah Thoha. Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi. Op.cit. hlm.110.

149Merriam-Webster.com. An Encyclopaedia Britannica Company. Merit. http://www.merriam- webster.com/dictionary/merit, diakses 8 Juni 2012.

150 Ibid.

Selanjutnya dalam Ensiklopedia Merriam-Webster, kata “merit system” dimaknai sebagai “a system by which appointments and promotions in the civil service are based on competence rather than political favoritism” (suatu sistem dimana pengangkatan dan promosi dalam kepegawaian negeri sipil didasarkan pada kompetensi bukan favoritisme politik). Kata “merit system” diketahui pertama kali dipergunakan pada 1879.151

Hal tersebut menunjukkan bahwa kata merit dalam bahasa Inggris dimaknai sebagai reward and punishment yang sesuai, dan kata merit system dimaknai sebagai sistem pengangkatan dan promosi dalam kepegawaian negeri sipil yang didasarkan pada kompetensi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa merit system mencakup sistem rekrutmen, serta sistem reward and punishment.

Agus Dwiyanto, dkk menjelaskan sistem reward and punishment dengan menggunakan istilah sistem insentif dan disentif. Menurut Agus Dwiyanto, dkk,152 sistem insentif merupakan elemen penting dalam suatu organisasi untuk memotivasi karyawan mencapai prestasi kerja yang diinginkan. Insentif yang diberikan kepada karyawan yang berprestasi berupa penghargaan materi dan non materi, sedangkan karyawan yang tidak berprestasi mendapatkan disentif.

Selain kata “merit system”, terdapat pula kata “meritocracy”. Menurut Wyn

Grant, meritocracy (meritokrasi) adalah: “An elite selected on the basis of ability rather than social background”.153 (Elit dipilih berdasarkan kemampuan, bukan latar belakang sosial).

151 Merriam-Webster.com. An Encyclopaedia Britannica Company. Merit System. http://www.merriam- webster.com/dictionary/merit%20system, diakses 8 Juni 2012.

152 Agus Dwiyanto, dkk. Op.cit. hlm. 206-213.

153 Oxford Dictionary of Politic. Meritocracy. http://www.answer.com/library/Political+Dictonary-cid-51074, diakses 8 Juni 2012.

Dalam Oxford Dictionary of Politic, Meritocracy diartikan sebagai:

“A government or society in which citizens who display superior achievement are rewarded with positions of leadership. In a meritocracy, all citizens have the opportunity to be recognized and advanced in proportion to their abilities and accomplishments. The ideal of meritocracy has become controversial because of its association with the use of tests of intellectual ability, such as the Scholastic Aptitude Test, to regulate admissions to elite colleges and universities. Many contend that an individual's performance on these tests reflects his or her social class and family environment more than ability.154 (Sebuah pemerintahan atau masyarakat di mana warga yang menampilkan prestasi unggul dihargai dengan posisi kepemimpinan. Dalam meritokrasi, semua warga negara memiliki kesempatan untuk diakui dan maju secara proporsional dengan kemampuan dan prestasi. Cita-cita meritokrasi telah menjadi kontroversial karena hubungannya dengan penggunaan tes kemampuan intelektual, seperti Scholastic Aptitude Test, untuk dapat masuk ke sekolah dan universitas elit. Banyak yang berpendapat bahwa kinerja seseorang pada tes ini mencerminkan kelas sosial dan lingkungan keluarganya lebih daripada kemampuannya).

Menurut konsensus ilmiah, contoh awal dari sebuah meritokrasi administrasi, berdasarkan ujian seleksi pejabat sipil, terjadi pada masa China Kuno oleh seorang filsuf bernama Konfusius.155 Dinasti Qin dan Han mengembangkan sistem meritokrasi dalam rangka mempertahankan kekuasaan atas sebuah kerajaan besar, luas, dan menjadi perlu bagi pemerintah untuk mempertahankan jaringan kompleks pejabat. Calon pejabat bisa datang dari latar belakang pedesaan dan jabatan dalam pemerintahan, tidak terbatas pada kaum bangsawan. Peringkat ditentukan oleh prestasi, melalui ujian pejabat sipil, dan pendidikan menjadi kunci untuk mobilitas sosial.156

Setelah masa Konfusius, muncul seorang filsuf bernama Han Fei Zi yang mengembangkan filsafat Xun Zi ke dalam doktrin legalisme. Filosofinya berpusat

154 Ibid.

155 Kazin, Michael, Rebecca Edwards, and Adam Rothman (eds.). 2010. The Princeton Encyclopedia of American Political History. Volume 2. Princeton: Princeton University Press. hlm. 142.

156 Jane Burbank and Frederick Cooper. 2010. Empires in World History: Power and the Politics of Difference. Princeton: Princeton University Press. hlm.51.

pada penguasa. Dalam filsafat Han Fei Zi, penguasa tegas mengontrol negara dengan bantuan dari tiga konsep: posisinya kekuasaan, teknik-teknik tertentu, dan hukum. Filosofi Han Fei Zi mengasumsikan bahwa setiap orang bertindak sesuai dengan satu prinsip: menghindari hukuman sekaligus berusaha untuk mencapai keuntungan. Dengan demikian, hukum berat harus menghukum tindakan yang tidak diinginkan, sementara pada saat yang sama menghargai mereka yang mengikutinya.157

Dengan demikian, sistem penataan PNS dalam kerangka reformasi birokrasi dalam tulisan ini dimaknai sebagai bentuk pengaturan oleh hukum moderen yang rasional dan berlaku sama terhadap PNS untuk menyelesaikan suatu permasalahan birokrasi dalam mencapai tujuan negara, dimana terfokus pada peraturan sistem rekrutmen, peraturan sistem reward and punishment PNS yang sejalan dengan prinsip merit system.

Dalam sistem rekrutmen, pegawai merupakan sumber daya yang paling penting dalam organisasi publik. Pegawai yang baik dan memenuhi standard kualifikasi hanya akan dapat diperoleh melalui upaya yang efektif. Supaya dapat melakukan proses rekrutmen yang efektif, harus tersedia informasi akurat dan berkelanjutan mengenai jumlah dan kualifikasi individu yang diperlukan untuk melaksanakan fungsi dan tugas pokok dalam organisasi.158

Dalam Merriam Webster Encyclopaedia Britannica, kata “recruitment”159

(rekrutmen) dimaknai sebagai “the action or process of recruiting” (tindakan atau

157 China.com. Cultural China: Profile of Han Fei Zi. http://history.cultural-china.com/en/167History9532.html, diakses 9 Juni 2012: everyone acts according to one principle: avoiding punishment while simultaneously trying to achieve gains. Thus, the law must severely punish any unwanted action, while at the same time reward those who follow it. 158 Ambar Teguh Sulistiyani. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia; Konsep, Teori, dan Pengembangan dalam Konteks Organisasi Publik. Edisi ke-1. Cet.ke-1. Yogyakarta: Graha Ilmu. hlm.133-134.

159 Merriam-Webster.com. An Encyclopaedia Britannica Company. Recruitment. http://www.merriam- webster.com/dictionary/recruitment, diakses 8 Juni 2012.

proses perekrutan). Kata “recruitment” diketahui pertama kali digunakan sekitar tahun 1828.

Untuk memahami makna kata “rekruitmen”, perlu pula ditinjau kata “rekruit”. Kata

“recruit”160 (rekrut) dalam Merriam Webster Encyclopaedia Britannica, dimaknai sebagai sebagai kata kerja (transitif dan intransitif) dan kata benda.

Kata “recruit”161 sebagai kata kerja transitif, dimaknai sebagai:

1. to fill up the number of (as an army) with new members: reinforce (untuk mengisi

jumlah (sebagai tentara) dengan anggota baru: memperkuat), to enlist as a

member of an armed service (untuk mendaftar sebagai anggota layanan

bersenjata); to increase or maintain the number of (America recruited her

population from Europe) (untuk meningkatkan atau mempertahankan jumlah

(America merekrut populasinya dari Eropa)); to secure the services of: engage,

hire (untuk mengamankan layanan: terlibat, mempekerjakan); to seek to enroll

(recruit prospective students) (untuk mencari untuk mendaftar (merekrut calon

mahasiswa)).

2. replenish (mengisi).

3. to restore or increase the health, vigor, or intensity of (untuk memulihkan atau

meningkatkan kesehatan, kekuatan, atau intensitas).

Kata “recruit”162 sebagai kata intransitive (kerja transitif), dimaknai sebagai: to enlist new members (untuk mendaftarkan anggota baru).

160 Merriam-Webster.com. An Encyclopaedia Britannica Company. Recruit. http://www.merriam- webster.com/dictionary/recruit, diakses 8 Juni 2012.

161 Ibid.

162 Ibid.

Kata “recruit”163 (rekrut/merekrut) sebagai noun (kata benda) dimaknai sebagai:

1. a newcomer to a field or activity; specifically: a newly enlisted or drafted member

of the armed forces (pendatang baru untuk bidang atau kegiatan; secara khusus:

anggota baru terdaftar atau disusun dari angkatan bersenjata).

2. a fresh or additional supply (pasokan segar atau tambahan).

3. a former enlisted man of the lowest rank in the army (seorang tamtama mantan

peringkat terendah di tentara).

Kata “recruit”164 berasal dari Perancis, yakni “recrute”, yang berasal dari kata

“recru” yang berarti “pertumbuhan segar, retribusi baru tentara”. Kata “recru” berasal dari Perancis Tengah yakni dari kata “recroistre” yang berarti “untuk tumbuh lagi”.

Kata “recroistre” berasal dari bahasa Latin “recrescere” yang merupakan gabungan dari kata “re- + crescere” yang berarti untuk tumbuh–yang makin membesar/bertambah/berbentuk sabit (Crescent). Kata ini diketahui pertama kali digunakan sekitar tahun 1640.

Menurut Harvey dan Robert Bruce Bowin, recruiting may be defined as the process of seeking, attracting and identifying a pool of qualified candidates in sufficient numbers to fill current and future workforce needs.165

Sejalan dengan pandangan tersebut, menurut Bernadin dan Russel, rekrutmen merupakan proses penemuan dan penarikan para pelamar yang tertarik dan memiliki kualifikasi terhadap lowongan yang dibutuhkan saat ini atau kebutuhan di masa depan.166

163 Ibid.

164 Ibid.

165 Harvey, Don dan Robert Bruce Bowin. 1996. Human Resource Management; An Experiental Approach. New Jersey: Prentice Hall. hlm.90.

166 Ambar Teguh Sulistiyani. Op.cit. hlm.134.

Dengan demikian, kata “rekrutmen” dapat dimaknai sebagai tindakan atau proses mencari, menarik, dan mengidentifikasi calon-calon berkualitas dari sejumlah calon-calon dalam jumlah yang cukup, untuk mengisi pekerjaan lowong pada saat sekarang atau kebutuhan di masa depan.

Sistem rekrutmen birokrasi berubah dari waktu ke waktu mengikuti perkembangan bentuk dan penyelenggaraan negara. Perubahan bentuk dari negara tradisional-patrimonial menjadi negara republik-demokrasi telah merubah pola rekrutmen dari pola yang berdasarkan “hubungan personal” (personal links) dengan penguasa ke pola yang berdasarkan seleksi terbuka berdasarkan kemampuan (merit system). Jabatan dan pekerjaan birokrasi menjadi tersedia, setidaknya dalam teori, untuk seluruh anggota masyarakat bukan hanya kerabat penguasa belaka. Akan tetapi, meskipun proses perubahan negara patrimonial ke demokrasi telah terjadi puluhan bahkan ratusan tahun lalu, dan hampir sebagian besar negara di dunia saat ini mengklaim sebagai negara demokratis, persoalan rekrutmen masih menjadi tema besar dalam pembahasan topik politik dan birokrasi. Pemahaman tentang “merit” pada praktiknya berbeda-beda disetiap negara.167

Menurut Musanef, secara teoritis dalam rekrutmen pegawai negeri maupun karyawan perusahaan dikenal sistem rekrutmen yang pernah dan sedang digunakan, sebagai berikut:168

1. Spoils system, yakni sistem pengangkatan pegawai berdasarkan atas pemilihan

oleh penduduk. Sistem ini baik pada negara-negara yang baru merdeka, namun

lambat laun setelah negara mapan ternyata sistem ini tidak mampu lagi bertahan

karena jika semua pegawai dipilih melalui pemilihan lalu kemudian terjadi mosi

167 Budi Setiyono. Op.cit. hlm.41-42.

168 Musanef.1984. Manajemen Kepegawaian di Indonesia. Cet.ke-2. Jakarta: Gunung Agung, hlm.48-56, dalam Faisal Abdullah. 2012. Hukum Kepegawaian Indonesia. Cet.Ke-1. Yogyakarta: Rangkang Education Yogyakarta dan PuKAP-Indonesia. hlm.45-46.

tidak percaya kepada semua pegawai yang diangkat, maka dapat menimbulkan

instabilitas organisasi negara.

2. Patronage system, yakni pengangkatan pegawai didasarkan atas hubungan

subjektif yaitu hubungan yang diperhitungkan antara subyek-subyeknya. Dalam

sistem ini pada dasarnya terdapat hubungan-hubungan subyektif, antara lain: a)

hubungan yang bersifat politik; b) hubungan yang bersifat non politik (nepotisme).

3. Merit System, yakni sistem pengangkatan pegawai berdasarkan kecakapan,

pengalaman, dan kesehatan sesuai dengan kriteria yang telah digariskan. Dalam

menentukan kualitas ini harus dibuktikan dengan ujian, izin yang dimiliki, dan

keterangan-keterangan yang diperlukan untuk itu. Kebaikan sistem ini, antara lain:

a) kesempatan bekerja selalu terbuka untuk umum; b) dapat diperoleh tenaga-

tenaga yang cakap; c) mendorong untuk maju bagi calon-calon yang belum

memenuhi syarat.

4. Carrier system, yakni sistem meningkat, yang memberikan kesempatan bagi

pegawai-pegawai untuk mengembangkan bakat serta kecakapannya selama yang

bersangkutan mampu bekerja dengan harapan secara bertahap dapat naik

pangkat hingga mencapai tingkat kedudukan yang setinggi mungkin berdasarkan

batas-batas kemampuan yang bersangkutan, sebab bila hanya menggunakan

merit system saja masih kurang memuaskan para pegawai dan pegawai tidak

mendapatkan kesempatan untuk lebih maju lagi. Varian carrier system adalah

sebagai berikut: a) program carrier; b) organization carrier; c) closed carrier

system; d) open carrier system; e) the personnel rank consept; f. the position

concept.

5. Sistem karir dan sistem prestasi kerja, yakni pembinaan karier pada asasnya

mempunyai sasaran timbal balik, sebagai berikut: a) pembinaan karier harus

ditujukan agar fungsi-fungsi dan tujuan organisasi dapat dicapai secara efektif dan

efisien; b) memberikan prospek yang baik bagi masa depan pegawai, antara lain:

hidup yang layak, kenaikan pangkat, jabatan yang jelas profesinya, tempat

pekerjaan yang menyenangkan, dan jaminan-jaminan sosial lainnya.

Serupa dengan pandangan tersebut di atas, A.W. Widjaja mengemukakan bahwa dalam sejarah penggunaan tenaga kerja manusia dan terutama dikembangkan dikalangan pemerintahan, terdapat beberapa sistem:169

1. sistem kawan (patronage system), yang dibedakan atas: spoils system dan

nepotism.

2. sistem prestasi kerja atau jasa (merit system).

3. sistem karir (career system), yang dapat dibedakan atas: sistem karir terbuka dan

sistem karir tertutup.

Dalam sistem kawan (patronage system), pengangkatan pegawai untuk memangku jabatan didasarkan pada hubungan pribadi (hubungan subjektif) antara yang mengangkat dan yang diangkat. Pada spoils system, hubungan pribadi itu bersifat politis. Pada nepotism (nepos=kemenakan), hubungan priadi itu bersifat non politis yakni berdasarkan hubungan darah, pertemanan.170

Dalam sistem prestasi kerja atau jasa (merit system) dasar pertimbangan yang digunakan untuk pengangkatan/penempatan seseorang menduduki suatu jabatan tertentu adalah kecakapan atau prestasi yang dicapainya, oleh karena itu sistem tersebut objektif. Syarat untuk menentukan apakah seseorang memenuhi syarat kecakapan guna memangku suatu jabatan adalah ijazah yang diperolehnya atau lulus ujian penyaringan/ujian dinas. Sistem prestasi kerja/jasa tidak menyangkut soal

169 A.W.Widjaja. 1986. Administrasi Kepegawaian; Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali, hlm.66.

170 Ibid.

pengangkatan saja, tetapi juga proses kepegawaian berikutnya (kenaikan gaji, pangkat, dan sebagainya).171

Sistem karier (career system) dikembangkan atas dasar pokok pikiran bahwa seseorang akan tetap bekerja dalam suatu bidang tertentu, sehingga karenanya ia diharapkan memperoleh pengalaman yang cukup banyak dan pengetahuan serta keahlian yang bertambah.172

Untuk batas tertentu spoil system dan patronage system seringkali dimodifikasi menjadi satu sama lain. Dalam Encyclopaedia Britannica; Facts Matter,173 dijelaskan bahwa:

“Spoils system, also called patronage system, practice in which the political party winning anelection rewards its campaign workers and other active supporters by appointment to government posts and by other favours. The spoils system involves political activity by public employees in support of their party and the employees’ removal from office if their party loses the election. A change in party control of government necessarily brings new officials to high positions carrying political responsibility, but the spoils system extends personnel turnover down to routine or subordinate governmental positions. The term was in use in American politics as early as 1812.

Spoils system (noun/kata benda) dalam merriam-webster dictionary,174 dimaknai sebagai: “a practice of regarding public offices and their emoluments as plunder to be distributed to members of the victorious party” (sebuah praktik kantor publik dan honorarium mereka sebagai rampasan untuk didistribusikan kepada anggota partai yang menang). Diketahui pertama kali digunakan pada tahun 1838.

171 Ibid.

172 Ibid.

173Encyclopaedia Britannica; Facts Matter, Spoils System. http://global.britannica.com/EBchecked/topic/560744/spoils-system, diakses 17 Januari 2012.

174 Merriam-webster.com; An Encyclopaedia Britannica Company. Spoil System. http://www.merriam- webster.com/dictionary/spoils%20system, diakses 17 Januari 2012.

Spoils system (noun/kata benda) berdasarkan Concise Encyclopedia dalam merriam-webster dictionary,175 dijelaskan sebagai berikut:

“In U.S. politics, the practice by political parties of rewarding partisans and workers after winning an election. Proponents claim it helps maintain an active party organization by offering supporters jobs and contracts. Critics charge that it awards appointments to the unqualified and is inefficient because even jobs unrelated to public policy change hands after an election. In the U.S., the Pendleton Civil Service Act (1883) was the first step in introducing the merit system in the hiring of government workers. The merit system has almost completely replaced the spoils system” (Dalam politik Amerika Serikat, dipraktekkan oleh partai-partai politik dengan memanfaatkan partisipan dan pekerja setelah memenangkan pemilihan. Pendukung mengklaim hal ini membantu mempertahankan organisasi partai yang aktif dengan menawarkan pekerjaan dan kontrak bagi pendukung. Kritikus menuduh bahwa itu pengangkatan berdasarkan penghargaan tidak memenuhi syarat dan tidak efisien karena bahkan pekerjaan tidak berhubungan dengan perubahan kebijakan publik berpindah tangan setelah pemilu. Di AS, Undang-Undang Kepegawaian Negeri Sipil Pendleton (1883) adalah langkah awal dalam memperkenalkan sistem merit dalam mempekerjakan pegawai pemerintah. Sistem merit telah hampir sepenuhnya menggantikan sistem rampasan). Varian dari spoils system adalah patronage system.

Adapun patronage (noun/kata benda), dalam merriam-webster dictionary,176 dimaknai sebagai:

1. the support or influence of a patron (dukungan atau pengaruh pelindung). 2. kindness done with an air of superiority (kebaikan dilakukan dengan suasana superior). 3. business or activity provided by patrons (usaha atau kegiatan yang disediakan oleh pelanggan ). 4. a. the power to make appointments to government jobs especially for political advantage (kekuatan untuk mengangkat dalam pekerjaan pemerintah terutama untuk keuntungan politik). b. the distribution of jobs on the basis of patronage (distribusi pekerjaan atas dasar patronase). c. jobs distributed by patronage (pekerjaan didistribusikan oleh patronase). Diketahui pertama kali digunakan pada Abad ke-14.

175 Ibid.

176 Merriam-webster.com; An Encyclopaedia Britannica Company. Patronage. http://www.merriam- webster.com/dictionary/patronage, diakses 17 Januari 2012.

Merit system jelas sangat bertolak belakang dengan patronage system, sebagaimana dijelaskan oleh Evans dan Rauch, bahwa: 177

“The merit principle in the civil service entails the appointment of the best person for any given job, made through recruitment or promotion based on explicit merit rules that are publicly understood and can be challenged if a breach is suspected. Merit appointments seem to improve bureaucratic capability. A merit-based system is in direct contrast to one based on patronage.”

Nick Manning dan Dove Suzanne memandang merit system “secara luas” dapat dibagi menjadi "sistem karir" (career systems) dan "sistem berbasis posisi” (position- based systems). Dalam “sistem karir”, tujuannya adalah untuk memastikan bahwa awal masuk ke layanan sipil didasarkan pada pengetahuan yang dimiliki oleh calon, umumnya ditandai dengan gelar universitas yang relevan atau kemampuan akademis. Mobilitas berikutnya dan promosi dimungkinkan dalam kepegawaian negeri sipil. Sedangkan, dalam “sistem berbasis posisi”, penekanannya pada memilih calon terbaik yang cocok untuk setiap posisi yang akan diisi, apakah dengan perekrutan eksternal atau melalui promosi internal atau mobilitas

(pemindahan/distribusi).178

“Sistem karir tertutup” (closed career systems) menjanjikan promosi dari dalam kepegawaian negeri sipil, sedangkan “sistem berbasis posisi” (position-based systems) memungkinkan akses yang lebih terbuka, dengan masuknya sisi yang relatif umum sebagai penilaian. Kriteria merit dalam kedua sistem tersebut dapat

177 Nick Manning dan Dove Suzanne. Recruitment and Promotion. The World Bank. Administrative and Civil Service Reform. http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/TOPICS/EXTPUBLICSECTORANDGOVERNANCE/EXTA DMINISTRATIVEANDCIVILSERVICEREFORM/0,,contentMDK:20134008~menuPK:286372~pagePK:1489 56~piPK:216618~theSitePK:286367,00.html, diakses 7 Juni 2012.

178 Ibid.

mencakup kualifikasi akademik. Sistem karir menambahkan kriteria tersebut dengan senioritas atau lamanya waktu di posisi lain.179

Max Weber dalam tipe ideal birokrasi yang rasional sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, menghendaki agar rekrutmen dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya, idealnya hal

tersebut dilakukan melalui ujian yang kompetitif.

2. Terdapat struktur pengembangan karier yang jelas dengan promosi berdasarkan

senioritas dan merit sesuai dengan pertimbangan yang objektif.

Dalam uraian-uraian diatas tampak bahwa sistem rekrutmen yang dimaksudkan bukan hanya meliputi rekrutmen pegawai baru, tetapi juga rekrutmen pegawai berpengalaman pada level tinggi, yang seringkali dianggap sebagai promosi apabila suatu negara menganut carrier system maupun kombinasinya.

Secara historis, penyelenggaraan seleksi pegawai pemerintah (pejabat sipil) yang didasarkan pada merit system, pertama kali digunakan di China. Derk Bodde mengungkapkan hal itu sebagai berikut:180

“Today civil service is an accepted institution in all modern democracies. In the year 1941, for example, nearly 2,500,000 men and women took examinations for positions in the United States government. So fundamental is the principle of choosing public servants on the basis of fitness that one might almost suppose it had been a cornerstone of our national thinking ever since our nation’s beginnings. Yet, though few people stop to consider it, the fact is that this matter of efficiency in government is a relatively new idea in America. The first hundred years of our nation’s history were racked with scandalous corruption as a result of the notorious spoils system. Not until 1883, two years after a president of the United States had been assassinated by a disgruntled office seeker, did the public wake up and demand a system of civil service examinations that would ensure the selection of most government employees on the basis of merit rather than party loyalty.

179 Ibid. 180 Derk Bodde. 2004. China and Europe, 1500-2000 and Beyond (What is “Modern”?): Chinese Ideas in The West. Asia for Educators. Columbia University. hlm.1.

The civil service idea did not originate in our country, however, nor in Europe, though it is true that in passing this legislation, Congress followed the immediate lead of Great Britain and France, both of which had taken similar action a few decades earlier. The first county to install the merit system was China. In the year 165 B.C., China inaugurated what later became a widespread system of competitive government examinations. And during the greater part of the time from that early date until 1905, shortly before the Empire passed out of existence, the majority of Chinese applicants for public office had to prove their ability by passing one of these tests”.

Konsep tersebut setidaknya berasal dari abad ke-6 SM, ketika dianjurkan oleh

Konfusius (filsuf China), yang menemukan gagasan bahwa mereka yang memerintah harus melakukannya karena prestasi, bukan karena status keturunan.

Konsep ini mendorong penciptaan ujian kekaisaran dan birokrasi terbuka hanya untuk mereka yang lulus tes.181

Ujian pejabat sipil pra-modern, dipandang oleh beberapa pihak sebagai hambatan menuju pembangunan Negara Cina yang Moderen, justru sebenarnya memberikan kontribusi positif bagi munculnya Cina di dunia modern. Sebuah pendidikan klasik didasarkan pada teori moral dan politik non-teknis sebenarnya cocok untuk pemilihan elit untuk melayani negara kekaisaran pada eselon tertinggi, seperti humanisme dan pendidikan klasik yang melayani elit di negara berkembang- negara Eropa awal moderen. Lebih dari itu, pemeriksaan klasik adalah suatu konstruksi budaya, sosial, politik, dan pendidikan yang efektif yang memenuhi kebutuhan birokrasi dinasti sekaligus secara berkelanjutan mendukung keberlanjutan kekaisaran. Kelompok bangsawan dan pedagang elit diketahui merupakan bagian dari lulusan ujian kredensial (credentials).182

181 Thomas J. Sienkewicz. 2003. Encyclopedia of the Ancient World. Massachusetts:Salem Press. hlm. 434: "Confucius invented the notion that those who govern should so because of merit and not inherited status, setting in motion the creation of of the imperial examinations and open only to those who passed tests".

182 Civil Service Examinations dalam Lin Sun Cheng (ed.). 2009. Berkshire Encyclopedia of China. First Edition. Great Barrington Massachusetts: Berkshire Publishing Group. hlm.405.

Meskipun antusiasme Eropa mengenai China mereda setelah 1789, namun telah meninggalkan salah satu warisan praktis yang sangat penting, yakni sistem kepegawaian negeri sipil yang modern (the modern civil service system) yang saat ini berlaku di banyak negara Barat.183

Sistem ujian pejabat sipil di China, yang darinya kemudian berbagai sistem kepegawaian negeri sipil Eropa akhirnya diturunkan, tampaknya telah dimulai pada tahun 165 SM, ketika calon tertentu untuk jabatan publik dipanggil ke ibukota China untuk mengikuti ujian yang dilaksanakan oleh kaisar terhadap keunggulan moral mereka. Dalam abad berikutnya, sistem tersebut tumbuh sampai akhirnya hampir semua orang yang ingin menjadi pejabat harus membuktikan kemampuannya dengan melulusi ujian tertulis pemerintah.184

Sistem ujian pejabat sipil, suatu metode merekrut pejabat-pejabat sipil berdasarkan prestasi (merit) daripada koneksi keluarga atau politik (family or political connections), memainkan peran sangat penting dalam kehidupan sosial dan intelektual China pada tahun 650-1905. Lulus ujian ketat, yang didasarkan pada literatur klasik dan filsafat, menganugerahkan status yang sangat dicari, dan budaya sastrawan yang kaya di kekaisaran China terjadi.185

Salah satu konsekuensi yang tidak diinginkan dari pemeriksaan adalah komunitas besar yang gagal ujian yang menggunakan bakat linguistik dan sastra mereka dalam berbagai peran tidak resmi (non-official): Seseorang harus melihat melampaui meritokrasi resmi (the official meritocracy) untuk melihat tempat yang lebih besar dari jutaan kegagalan ujian pejabat sipil. Salah satu konsekuensi yang

183 Derk Bodde. Op.cit. hlm.8.

184 Ibid.

185 Lin Sun Cheng (ed.). Op.cit. hlm. 405.

tidak diinginkan dari ujian adalah penciptaan legiun klasik laki-laki melek huruf yang menggunakan bakat linguistik mereka untuk berbagai tujuan tidak resmi (non- official): dari dokter untuk pettifoggers, dari penulis fiksi kepada guru pemeriksaan esai, dan dari spesialis ritual garis untuk agen. Meskipun wanita dilarang mengikutiujian, mereka mengikuti kegiatan pendidikan mereka sendiri jika hanya untuk bersaing dalam peran pendukung, baik sebagai anak perempuan bersaing untuk pasangan atau sebagai ibu mendidik anak-anak mereka.186

Pu Songling (1640-1715), sendiri mengalami beberapa kali kegagalan, kemudian mengabadikan kerja keras dari mereka yang terperangkap dalam “mesin tanpa henti” dalam ujian pejabat sipil pada masa akhir kekaisaran dalam banyak cerita yang memparodikan sistem pemeriksaan. Gambaran sketsanya yang paling terkenal adalah "Tujuh Kesamaan Calon/Kandidat":187

A licentiate taking the provincial examination may be likened to seven things. When entering the examination hall, bare- footed and carrying a basket, he is like a beggar. At roll- call time, being shouted at by officials and abused by their subordinates, he is like a prisoner. When writing in his cell, with his head and feet sticking out of the booth, he is like a cold bee late in autumn. Upon leaving the examination hall, being in a daze and seeing a changed universe, he is like a sick bird out of a cage. When anticipating the results, he is on pins and needles; one moment he fantasizes success and magnificent mansions are instantly built; another moment he fears failure and his body is deduced to a corpse. At this point he is like a chimpanzee in captivity. Finally the messengers come on galloping horses and confirm the absence of his name on the list of successful candidates. His complexion becomes ashen and his body stiffens like a poisoned fly no longer able to move. Disappointed and discouraged, he vilifies the examiners for their blindness and blames the unfairness of the system. Thereupon he collects all his books and papers from his desk and sets them on fire; unsatisfied, he tramples over the ashes; still unsatisfied, he throws the ashes into a filthy gutter. He is determined to abandon the world by going into the mountains, and he is resolved to drive away any person who dares speak to him about examination essays. With the passage of time, his anger subsides and his aspiration rises. Like a turtle dove just hatched, he rebuilds his nest and starts the process once again.

186 Ibid.

187 Ibid. hlm.406.

Gambaran ini, tentu saja, fiksi, namun konten budaya menjabarkan secara lugas mengenai ketegangan psikologis yang dialami calon dalam dan di luar ujian.

Perempuan bersama dengan Biksu dan pendeta Taois tidak termasuk, sehingga komunitas kandidat di masa akhir kekaisaran Cina (seperti dalam lingkaran pendidikan kontemporer di seluruh dunia) adalah eksklusif. Karena kebutuhan untuk menguasai teks-teks klasik nonvernacular, hambatan pendidikan adalah kurikulum tersembunyi yang terpisah mereka yang berlisensi untuk mengikuti ujian dan mereka yang tidak bisa karena mereka buta huruf klasik. Sirkulasi sebagian sastrawan non elit dan lampu kecil (lesser lights) sebagai penulis-penulis yang disewa merupakan produk sampingan yang tidak diinginkan dari proses pendidikan ujian pejabat sipil dan menjelaskan nilai ujian-ujian banyak orang dan tidak hanya beberapa di Cina pra-modern.188

Sejak tahun 1370 M dan seterusnya, sistem telah disesuaikan dengan memasukkan tiga tahap pemeriksaan, tahap pertama, diadakan di kabupaten setempat, tahap kedua diadakan di ibukota provinsi, dan tahap ketiga (pemeriksaan tertinggi dari semua) diadakan di Peking (Ibu Kota Kerajaan). Tahap pertama dan kedua dilakukan setiap tahun, dan tahap ketiga dilaksanakan setiap tiga tahun sekali. Penghormatan terhadap lulusan itu dapat disebandingkan dengan derajat

B.A., M.A., dan Ph.D. Sistem ini dioperasikan dengan keteraturan yang besar sampai akhirnya dihapuskan pada tahun 1905. Bahkan saat ini pemerintah China telah resmi berjanji untuk kembali mendirikannya, meskipun dalam bentuk yang sangat dimodifikasi.189

188 Ibid. hlm.406.

189 Derk Bodde. Op.cit. hlm.8.

Pemeriksaan berlangsung dalam tempat yang berdinding besar, yang di dalamnya ribuan sel berbata kecil, diposisikan dalam baris lurus seperti rumah- rumah kota. Setiap sel berisi bangku dan meja, dan digunakan oleh para calon dengan gugup. Setiap tindakan pencegahan dilakukan untuk mencegah kecurangan.

Kandidat digeledah sebelum memasuki kandang, ujian yang sedang berlangsung diawasi secara hati-hati, dan kandidat tidak diizinkan untuk pergi sampai ujian itu berakhir. Setiap ujian rata-rata berlangsung selama beberapa hari dan memiliki tingkat kesulitan yang luar biasa. Pada tahun 1889, misalnya, dari lebih dari 14.000 kandidat mengikuti ujian di Peking, namun hanya kurang lebih 300 kandidat yang lulus. Penghargaan untuk yang sukses, bagaimanapun, adalah masuk ke jajaran terhormat dari penguasa-penguasa yang memerintah negara itu.190

Kekurangan utama dalam sistem ini adalah penekanan pada gaya sastra dan pengetahuan rinci tentang China klasik, dengan mengorbankan hal-hal yang lebih praktis. Kegagalan lain pemerintah China adalah untuk memberikan sesuatu yang mendekati sistem nasional dari pendidikan gratis. Oleh karena itu, sebagian besar calon harus mempersiapkan diri untuk ujian dengan biaya sendiri dan hasil yang tak terelakkan adalah bahwa sebagian besar dari mereka mampu membawa mereka keluar dari kebaikan untuk melakukan (the well-to-do). Namun demikian, sistem ini memiliki dua keuntungan penting. Pertama, sistem ini terbuka kepada semua anggota masyarakat, dengan sedikit pengecualian, sehingga sistem itu mewujudkan maksud/keinginan dunia yang paling demokratis, sebelum zaman modern, untuk memilih pejabat pemerintah. Kedua, sistem itu memastikan kehadiran dalam pemerintahan oleh orang-orang yang berpendidikan tinggi.191

190 Ibid. hlm.8-9.

191 Ibid. hlm.9.

Tidak seperti sistem yang tampaknya telah dikenal di antara peradaban besar lainnya dari zaman kuno, di universitas Eropa, ujian tertulis tampaknya telah terdengar sebelum 1702. Adapun pemerintah mengadakan ujian PNS, dilakukan jauh setelah waktu Itu, tidak mengherankan, karena itu, bahwa Ujian Kerajaan China berulang kali dijelaskan dalam literatur Barat tentang China dari abad XVII dan XVIII, dan membangkitkan kekaguman intens antara orang-orang seperti Voltaire dan

Quesnay.192

Di Perancis sistem kepegawaian negeri sipil yang paling awal tampaknya telah didirikan pada tahun 1791 tak lama setelah pecahnya Revolusi. Setelah sepuluh tahun, bagaimanapun, dibolehkan untuk berlanjut, tetapi dibentuk kembali di tahun

1840-an. Meskipun sedikit perhatian tampaknya telah diberikan kepada sejarah awal, beberapa penulis tentang sejarah Perancis mempertahankan bahwa itu berasal pada Kerajaan China yang dijadikan contoh.193

Asal-usul kepegawaian negeri sipil Inggris lebih dikenal. Selama abad kedelapan belas sejumlah orang Inggris menulis pujian tentang sistem ujian

Kerajaan China, beberapa dari mereka terlalu jauh untuk mendesak penerapan untuk Inggris dari sesuatu yang mirip. Langkah konkret pertama dalam arah ini dilakukan oleh The British East India Company pada tahun 1806. Pada tahun itu perusahan mendirikan sebuah perguruan tinggi kecil di dekat London yang tujuannya adalah untuk melatih karyawan perusahaan untuk layanan administrasi di

India, Inggris (The British) dikendalikan bagian yang pada saat itu masih diperintah oleh Perusahaan atas nama Kerajaan Inggris. Proposal untuk mendirikan perguruan tinggi ini datang, secara signifikan, dari para anggota pos perdagangan East India

192 Ibid.

193 Ibid.

Company (the East India Company's trading post) di Kanton, China. Dengan demikian prinsip didirikan untuk menggunakan orang-orang yang memiliki kualifikasi persiapan tertentu.194

Selama beberapa dekade ke depan banyak orang Inggris merujuk China sebagai contoh sebagai argumen untuk membangun sistem kepegawaian negeri sipil yang umum di Inggris sendiri. Kebanyakan di antara mereka yang gigih adalah

Thomas Taylor Meadows, seorang pria berbakat yang menjabat selama bertahun- tahun sebagai pegawai diplomatik Inggris di China. Pada tahun 1847 ia menerbitkan sebuah buku, Catatan Penentu pada Pemerintahan dan Rakyat China (Desultory

Notes on the Government and People of China), yang tujuan utamanya, dalam kata- katanya sendiri, adalah "untuk mendesak The Institution of Public Service

Competitive Examinations (Lembaga Ujian Kompetitif Kepegawaian Negeri Sipil) untuk semua hal mengenai Inggris dengan maksud untuk Peningkatan Eksekutif

Inggris dan Uni Kerajaan Inggris (The Union of the British Empire)”. Di dalamnya ia menggambarkan sistem Kerajaan China dan berpendapat bahwa "durasi panjang kekaisaran China adalah semata-mata dan semuanya berkat pemerintahan yang baik yang terdiri dalam kemajuan orang-orang berbakat dan prestasi (merit) saja”.195

Pernyataan publik tersebut akhirnya mengarahkan pemerintah Inggris untuk membuat sebuah komite untuk menyelidiki masalah ini. Dalam tahun 1853 usulan pembentukan komite ini disampaikan kepada Parlemen dalam sebuah laporan berjudul "The Organization of the Permanent Civil Service” (Organisasi

Kepegawaian Negeri Sipil Permanen). Laporan itu merekomendasikan bahwa “a central board of examiners” (Dewan Pimpinan Pusat Penguji) akan dibentuk untuk

194 Ibid.

195 Ibid.

mempersiapkan ujian-ujian terhadap pengetahuan umum dari calon, bahwa pemeriksaan harus diadakan secara berkala dan harus terbuka untuk semua, dan bahwa promosi (promotion) dalam kepegawaian pemerintah harus didasarkan pada prestasi bukan favoritisme. Semua ini adalah prinsip-prinsip yang telah diatur sistem

Kerajaan Cina selama berabad-abad. Meskipun “diserang” di Parlemen, laporan menghasilkan suatu penciptaan “Britain's first civil service commission” (Komisi

Kepegawaian Negeri Sipil Inggris yang pertama) pada tahun 1855.196

Inggris sebagai contoh, tidak diragukan lagi terutama bertanggung jawab untuk pembentukan sistem kepegawaian negeri sipil serupa di Amerika. Namun demikian, pengaruh China juga jelas. Ketika, misalnya, Thomas A. Jenckes of Rhode Island pertama kali merekomendasikan usulan I 868 kepada Kongres mengenai sistem kepegawaian negeri sipil Amerika yang kemudian dibentuk, laporannya memuat sebuah bab tentang PNS di China. Pada tahun yang sama Emerson tertarik terhadap China, dengan berpidato di Boston pada resepsi untuk menghormati kunjungan kedutaan China, di mana ia memuji sistem ujian Kerajaan Cina dan mendesak agar usulan Jenckes diadopsi. Namun demikian banyak orang yang memperoleh keuntungan pribadi dari “the old spoils system” sangat menentang ide baru. Beberapa memprotes bahwa penggunaan ujian-ujian untuk menentukan kesesuaian kandidat terhadap kantor adalah China, asing, dan, karena itu, bukan

Amerika. Akibatnya, menjelang tahun 1883 barulah usulan l 868 akhirnya disahkan oleh Kongres.197

Tradisi patronage memudar didorong oleh kejadian pada 1881 ketika Charles

Guiteau, seorang pelamar pekerjaan yang kecewa, membunuh Presiden James

196 Ibid.

197 Ibid.

Garfield karena ia tidak diberikan pekerjaan dalam pemerintahan. Setelah pembunuhan Garfield, Kongres meloloskan Undang-Undang Pendleton, yang menciptakan layanan pegawai sipil federal berbasis merit (prestasi). Hal itu dimaksudkan untuk menggantikan patronase dengan prinsip kerja federal atas dasar terbukaan, melalui ujian kompetitif.198

Dengan berlakunya Undang-Undang Pendleton tahun 1883 tersebut, konsolidasi 40 tahun kemudian oleh Undang-Undang Klasifikasi Personil pada tahun

1923 (menyempurnakan Undang-Undang Pendleton yang telah berlaku 40 tahun sebelumnya).199

Apabila ada kenyataan yang dominan dalam praktek administrasi negara

Amerika, hal itu adalah teguhnya dan awetnya model birokrasi klasik. Model birokrasi ini mempunyai dua komponen dasar, yang pertama adalah struktur atau kerangka suatu organisasi, yang kedua adalah cara-cara yang digunakan untuk mengatur orang-orang dan pekerjaan dalam kerangka organisasi. Tipe ideal Max

Weber adalah titik mula yang umum untuk setiap pemahaman aspek-aspek struktural birokrasi. Dalam pemerintahan nasional Amerika, hierarki dan birokrasi terlihat asyik dengan bagan-bagan organisasi dan penempatan orang-orang ke dalam bagan-bagan organisasi itu (bahkan bagan-bagan itu secara resmi ditandatangani oleh para “yang berwenang”) bersamaan dengan pengembangan deskripsi pekerjaaan, klasifikasi personalia, dan skala gaji. Weber juga memikirkan dalam deskripsi hierarkinya beberapa pada perilaku yang ditunjukkan oleh mereka yang berada dalam organisasi-organisasi, seperti kecenderungan untuk merawat

198 American Government. 8a. The Development of the Bureaucracy. http://www.ushistory.org/gov/8a.asp, diakses 11 Agustus 2012.

199 Hans-Urlich Derlien and B.Guy Peters (eds). 2008. The State at Work, Volume 2: Comparatives Public Service Systems. Gloss: Edward Elgar. hlm. 195.

rekaman-rekaman secara rapi, untuk mengusahakan keseragaman dalam perintah, dan semacamnya.200

Menurut Frederickson, Undang-Undang Reformasi Kepegawaian Sipil (The Civil

Service Reform Act) tahun 1978 merupakan perubahan paling penting dalam administrasi negara federal selama beberapa dasawarsa. Reformasi ini menunjukkan suatu sudut pandang administrasi negara yang baru dalam bidang administrasi personalia. Selama lebih dari sembilan puluh tahun sistem kepegawaian sipil berlaku dalam pemerintahan nasional, sistem personalia telah bergerak jauh melampaui kebutuhan untuk meniadakan “spoils system”.

Kepegawaian sipil telah menjadi sangat besar, bergerak sangat lamban dan dipenuhi dengan perlindungan pegawai pemerintahan dari kebutuhan-kebutuhan pemerintah akan kebijakan dan manajemen. Semua teknik administrasi personalia

(pengujian, deskripsi posisi, daftar kelaikan, jadwal pembayaran, bayaran yang sama untuk pekerjaan yang sama.201

Sistem kepegawaian negeri Amerika Serikat yang berdasarkan merit system yang kemudian menjadi meritokrasi keberhasilannya dapat ditelusuri pada pemahaman terhadap The American Dream. Menurut Jane Burbank and Frederick

Cooper, bahwa:202

“While “merit” is a characteristic of individual, “meritocracy” is a characteristic of societies as a whole. Meritocracy refers to a social system as whole in which individuals get ahead and earn rewards in direct proportion to their individual efforts and abilities. The term meritocracy, coined by British sociologist Michael Young in his satirical novel The Rise of the Meritocracy, 1870-2033: An Essay on Education and Equality (1961), is closely linked with the idea of the American

200 H.George Frederickson. 2003. Administrasi Negara Baru (New Public Administration). Terjemahan: Al- Ghozei Usman. Cet.ke-5. Jakarta: LP3ES.hlm.31-32.

201 Prinsip equal pay for equal work.

202 Stephen J.McNamee and Robert K.Miller Jr. 2009.The Meritrocracy Myth. Second Edition. Maryland: Rowman and Littlefield Publisher.hlm.1-2.

Dream. Although Young envisioned a fictional and futuristic society operating as a meritocracy, the opportunity to achieve the American dream implies a society that in fact already operates on those principles. The term American Dream was first popularized by histrorian James Truslow Adams in his 1931 best selling book, The Epic of America. Adam defined it as “the dream of land which life should be better and richer and fuller for every man, with opportunity for each according to his ability or achievement” (1931, 404). In a general way, people understand the idea of the American Dream as the fulfillment of the promise of meritocracy”.

Jane Burbank and Frederick Cooper menggambarkan The American Dream, sebagai berikut:203

“In the image of the American Dream, America is the land of opportunity. If you work hard enough and are talented enough, you can over came any obstacle and achieve success. No matter where you start out in life, the sky is the limit. You can go as far as your talents and abilities can take you”.

Namun demikian, dalam perkembangannya, sistem ini dilengkapi dengan affirmative action. Menurut John Stuart Mill,204 pemerintahan yang baik, selain harus memiliki kemampuan (competence) juga harus memiliki kemampuan dalam mengorganisir partisipasi (participation). Partisipasi dapat berjalan maksimal apabila komposisi organisasi birokrasi dapat merepresentasikan seluruh kelompok masyarakat. Oleh karena itu, selain pejabat dan pegawai pemerintah harus memiliki kemampuan dalam pengelolaan pemerintahan, mereka seharusnya terdiri dari berbagai macam orang yang berasal dari berbagai macam kelompok yang ada dalam masyarakat, serta dapat dan bersedia melibatkan masyarakat dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Pejabat dan pegawai pemerintah haruslah merepresentasikan keberagaman sosial masyarakat suatu negara, dan tidak boleh hanya dimonopoli oleh suatu kelompok atau golongan saja. Dalam konteks ini, pejabat dan pegawai birokrasi seharusnya dipilih dan diseleksi bukan semata-mata

203 Ibid.

204 John Stuart Mill. 1861. Considerations on Representative Government, dalam Budi Setiyono. Op.cit. hlm.43- 44.

berdasarkan kemampuan personal, melainkan juga mempertimbangkan komposisi kelompok yang ada pada masyarakat berdasarkan pada ras, suku, agama, maupun ideologi politik. Pemikiran inilah kemudian menjadi salah satu dasar terbentuknya teori representative bureaucracy.

Teori representative bureaucracy mengklaim bahwa: 205

“that a civil service recruited from all section of society will produce policies that are responsive to the public and, in that sense, democratic”. Passive representation exixts when the demographic profile of the bureaucracy matches that of the population. Active representation occurs when civil servants take the same decisions as would be made by represented”.

Dalam teori representative bureaucracy, apabila kuota populasi kelompok minoritas belum terwakili dalam birokrasi, maka calon dari kelompok minoritas itu harus diutamakan, dan ini berarti calon dari kelompok mayoritas yang kemampuannya sama, tidak direkrut.206

Dalam perkembangannya, prinsip merit system dalam sistem kepegawaian negeri sipil telah diterima di hampir semua negara demokratis. Semakin banyak, orang-orang yang menjadi pegawai pemerintah karena “personal merit” (prestasi pribadi) daripada favoritisme politik. Akibatnya, banyak korupsi politik (political corruption) yang begitu umum terjadi pada abad yang lalu telah menghilang. Sistem kepegawaian negeri sipil tidak diragukan lagi sebagai salah satu hadiah intelektual yang paling berharga dari China kepada Dunia Barat.207

Menurut Jørgen Grønnegaard Christensen dan Robert Gregory,208 di berbagai negara Barat, rekrutmen berdasarkan merit system telah digunakan. Demikian pula

205 R.Haque, M.Harrop, dan S.Breslin. 1998.Comparative Government and Politics. London: MacMillan Press. hlm.222, dalam Ibid.

206 Ibid. hlm.46.

207 Derk Bodde. Op.cit.

208 Jørgen Grønnegaard Christensen dan Robert Gregory. Public Personnel Policies and Personnel Administration, dalam Hans-Urlich Derlien and B.Guy Peters (eds.). Op.cit. hlm.193-194: “For many decades

dalam hal promosi telah menggunakan merit system, akan tetapi terdapat pula yang mengkombinasikannya dengan pengembangan karier berdasarkan senioritas.

Sebagai pegawai publik yang telah memiliki pengalaman lebih mereka akan diberikan tanggung jawab yang lebih besar, dengan gaji yang tinggi. Akan tetapi, untuk promosi pada pimpinan puncak, penilaian merit dipergunakan untuk memperoleh orang pilihan dengan kualifikasi terbaik.

Dengan demikian, penggunaan merit system dalam rekrutmen dimaksudkan untuk memperoleh pejabat sipil yang kompeten melalui ujian seleksi yang terbuka bagi setiap orang. Keterbukaan ujian bagi semua orang akan memberi peluang bagi pemerintah untuk memilih kandidat yang paling sesuai kualifikasi yang dibutuhkan.

Pada awalnya merit system dalam rekrutmen dimaknai sebagai memperoleh kualitas melalui kesamaan kesempatan bagi setiap kandidat. Namun demikian, dalam perkembangannya merit system dalam negara demokratis dimaknai sebagai kualitas dan kesamaan kesempatan (kesetaraan), di mana keduanya memiliki kedudukan yang sama-sama pentingnya.

Kesempatan yang sama merupakan aspek yang menunjukkan keberadaan sistem hukum moderen sebagaimana pandangan Roberto Mangabeira Unger209 bahwa sistem hukum moderen berdiri di atas semua golongan, bukan hanya untuk golongan tertentu.

western countries have built their public personnel policies on civil service principles. Recruitment to a government job has been determined by merit criteria, with selection procedures based on either competitive tests or on a requirement for applicants to meet specific educational criteria. Promotion has also been merit- based, though to some extent also semi-automatic, with career advancement depending on seniority. As public employees have gained more experience they have been given more responsibility, with higher salaries. However, for promotions to top managerial positions merit evaluations were undertaken to select persons with the best qualifications”.

209 Roberto Mangabeira Unger.1976. Law in Modern Society. New York: The Free Press, dalam Satjipto Rahardjo. Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya. Op.cit. .hlm.14.

Konsepsi Aristoteles mengenai keadilan distributif210 yang berdasarkan kesamaan geometris dapat diterapkan pada pembagian jabatan dan harta benda publik yang harus sesuai dengan bakat dan kedudukan seseorang dalam negara, merupakan konsep yang sejalan dengan sistem rekrutmen yang bertumpu pada merit system, karena sistem rekrutmen tersebut menggunakan kriteria jasa atau prestasi sebagai dasar rekrutmennya. Sejalan pula konsepsi keadilan distributif ala

Thomas Aquinas211 yang memandang keadilan distributif merujuk pada adanya persamaan di antara manusia berdasarkan prinsip proporsionalitas yang harus diwujudkan, dimana terdapat hubungan superordinasi (yang membagi) dan subordinasi (yang menerima), yang berarti kepada orang-orang harus dibagikan

(misalnya oleh penguasa) berdasarkan kriteria tertentu, yakni jasa, prestasi, kebutuhan, dan fungsi. Keadilan distributif berintikan kesebandingan dalam pembagian sesuatu oleh superordinasi. Sejalan pula dengan keadilan ala John

Rawls,212 yakni keadilan sebagai kewajaran. Justice as fairness mengatur distribusi egaliter "barang primer". Digambarkan sebagai apa yang setiap orang butuhkan dalam rangka untuk berkembang dan untuk mewujudkan rencana hidup. Ini adalah hak dan kebebasan, kesempatan, dan kekuasaan, pendapatan, kekayaan dan kehormatan diri.

Untuk mengetahui apakah suatu sistem rekrutmen sejalan dengan prinsip merit system, ada dua hal yang perlu diperhatikan, yakni pertama, sumber rekrutmen untuk menilai apakah terdapat kesempatan yang sama dalam mengikuti rekrutmen, dan kedua, model seleksi yang diterapkan untuk apakah seleksi dapat menghasilkan pegawai-pegawai yang berkualitas (terbaik).

210 Naskah Disertasi ini. hlm.60.

211 Ibid. hlm.61. 212 Ibid.hlm.63.

Sumber rekrutmen dapat berasal dari internal dan ekternal. Baik perekrutan internal maupun perekrutan eksternal memiliki keuntungan dan kerugian masing- masing. Dalam hal ini rekrutmen tidak hanya dimaknai sebagai rekrutmen baru tetapi juga rekrutmen dalam bentuk promosi. Keuntungan dan kerugian tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini:213

Tabel 1 Keuntungan dan Kerugian dari Sumber Rekrutmen

Sumber Keuntungan Kerugian Perekrutan Internal 1. Semangat dari orang yang 1. “Perkawinan sedarah”. dipromosikan. 2. Kemungkinan menyebabkan turunnya 2. Penilaian kemampuan yang lebih baik. semangat bagi mereka yang tidak 3. Motivator kinerja yang baik. dipromosikan. 4. Menyebabkan pergantian 3. Persaingan “politis” untuk kepemimpinan melalui promosi. mendapatkan promosi. 5. Hanya perlu merekrut staf dari tingkat 4. Kebutuhan akan program paling dasar. pengembangan manajemen. Eksternal 1. “Darah baru” membawa perspektif baru. 1. Mungkin orang yang terpilih “cocok” 2. Lebih murah dan cepat dari pada dengan pekerjaan atau organisasi. melatih profesional. 2. Dapat menyebabkan turunnya 3. Tidak ada kelompok pendukung politis semangat bagi kandidat internal yang dalam organisasi. tidak terpilih. 4. Dapat membawa wawasan industri 3. “Penyesuaian” atau waktu orientasi baru. yang lebih lama. Sumber: Robert L. Mathis dan John H.Jackson (2009:237).

Sumber rekrutmen internal dapat diperoleh melalui job posting, basis data organisasional, serta promosi dan transfer pekerjaan. Job posting (pengumuman pekerjaan) dilakukan dengan mengumumkan posisi jabatan yang kosong dalam organisasi sehingga memberi peluang kepada semua pegawai untuk bersaing secara sehat dengan mengajukan lamaran secara formal.214 Pada basis data organisasional yang merupakan bagian dari sistem informasi manajemen sumber

213 Robert L. Mathis dan John H.Jackson. 2009. Human Resource Management (Manajemen Sumber Daya Manusia). Terjemahan: Diana Angelica. Edisi ke-10. Jakarta: Salemba Empat. hlm.236-237.

214 Ike Kusdyah Rachmawati. 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi ke-1. Yogyakarta: Andi. hlm.92.

daya manusia memungkinkan spesialis SDM untuk mengakses data dengan memasukkan kebutuhan-kebutuhan pekerjaan dan kemudian menerima daftar mengenai karyawan yang memenuhi kebutuhan tersebut, sehingga kesempatan internal untuk individu-individu dapat diidentifikasi. Pada promosi dan transfer pekerjaan, meskipun sering kali berhasil mengisi lowongan yang dibutuhkan, namun dapat pula terjadi kinerja seseorang pada suatu pekerjaan belum tentu dapat menjadi prediktor yang baik pada kinerja di pekerjaan lain, karena pada pekerjaan baru mungkin membutuhkan keterampilan-keterampilan lain.215

Berbeda dengan sumber rekrutmen internal, sumber rekrutmen eksternal dapat diperoleh antara lain melalui:216

1. Pelamar datang sendiri (walk-ins). 2. Surat-surat lamaran yang masuk (write-ins). 3. Lamaran karena informasi orang dalam (employee referrals). 4. Iklan. 5. Balai latihan kerja. 6. Lembaga pendidikan formal. 7. Instansi pemerintah yang menangani ketenagakerjaan secara nasional. 8. Perusahaan yang bergerak dalam pencarian tenaga kerja profesional. 9. Serikat pekerja. 10. Organisasi profesi. 11. Menyelenggarakan “open-house”. 12. Organisasi lain.

Kebanyakan pemberi kerja menggabungkan penggunaan dari metode internal dan eksternal. Organisasi yang menghadapi lingkungan dan kondisi kompetitif yang berubah dengan cepat mungkin harus menempatkan penekanan lebih besar pada sumber-sumber eksternal sebagai tambahan pada pengembangan sumber-sumber internal. Tetapi, untuk organisasi yang berada dalam lingkungan yang berubah

215 Robert L. Mathis dan John H.Jackson. Op.cit. hlm.237-239.

216 Pandangan Sondang P. Siagian sebagaimana dikutip Sri Yuliani. Rekrutmen Pegawai di Lingkungan Birokrasi, dalam Ambar Teguh Sulistiyani (ed.). 2004. Memahami Good Governance dalam Perspektif Sumber Daya Manusia. Cet.ke-1. Yogyakarta: Gava Media. hlm.143.

dengan perlahan, melakukan promosi dari dalam akan lebih cocok.217 Namun demikian, organisasi tidak selalu mendapatkans semua karyawan yang mereka butuhkan dari staf mereka saat ini, dan terkadang mereka juga tidak ingin.218

Menurut penulis, semakin banyak sumber rekrutmen dan semakin banyak pelamar, semakin besar peluang untuk memperoleh pegawai yang berkualitas, namun demikian dalam sistem rekrutmen yang bertumpu pada prinsip merit system, sumber rekrutmen tersebut diperlakukan sama yakni diberi kesempatan yang sama

(kesetaraan) untuk direkrut untuk suatu jabatan lowong yang dibutuhkan.

Selanjutnya, seleksi akan menentukan kualitas pegawai yang berhasil direkrut.

Menurut Robert L. Mathis dan John H.Jackson, 219 seleksi (selection) adalah proses pemilihan orang-orang yang memiliki kualifikasi yang dibutuhkan untuk mengisi lowongan pekerjaan di sebuah organisasi. Tanpa karyawan-karyawan yang berkualitas, sebuah organisasi memiliki kemungkinan kecil untuk berhasil. Terdapat dua kebenaran yang tidak dapat disangkal mengenai seleksi pekerjaan yang efektif, yakni:

1. Pelatihan yang baik tidak mampu mengkompensasi penyeleksian yang buruk.

Ketika orang-orang yang tepat dengan kapabilitas-kapabilitas yang sesuai tidak

dipilih untuk suatu pekerjaan, para pemberi kerja nantinya akan menemui

kesulitan dalam melatih orang yang dipilih.

2. Rekrut dengan ketat, kelola dengan mudah. Jumlah waktu dan usaha yang

dihabiskan untuk menyeleksi orang-orang yang tepat untuk suatu pekerjaan

217 Robert L. Mathis dan John H.Jackson. Op.cit. hlm.236.

218 Gary Dessler. 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia (Human Resource Management). Jilid 1. Edisi ke- 10. Cet.ke-2. Terjemahan: Paramita Rahayu. Jakarta: Indeks.hlm. 168.

219 Robert L. Mathis dan John H.Jackson. Op.cit. hlm.261.

mungkin tidak begitu menyulitkan pemberi kerja dalam mengatur mereka karena

ada lebih banyak masalah yang akan ditiadakan.

Gary Dessler mengungkapkan bahwa terdapat tiga alasan utama untuk memilih karyawan yang tepat, yakni: 220

1. Prestasi organisasi sebagian selalu bergantung pada bawahan. Karyawan

dengan keterampilan dan kemampuan yang tepat akan melakukan pekerjaan

yang lebih baik bagi organisasi. Karyawan tanpa keterampilan, kasar atau

pengganggu tidak akan berprestasi secara efektif. Prestasi anda dan organisasi

akan menderita. Waktu untuk menyaring calon yang tidak dibutuhkan adalah

sebelum mereka di dalam, bukan sebaliknya.

2. Merekrut dan mempekerjakan karyawan adalah mahal.

3. Akan ada dampak hukum dari mempekerjakan orang yang tidak kompeten.

Apakah pemberi kerja menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan tertentu atau pendekatan yang lebih umum, penyeleksian para karyawan yang efektif melibatkan kriteria dan prediktor kinerja pekerjaa. Dasar dari sistem penyeleksian yang efektif adalah pengetahuan mengenai apa yang merupakan kinerja pekerjaan yang tepat dan karakteristik karyawan apa saja yang berhubungan dengan kinerja. Pertama, pemberi kerja mendefinisikan keberhasilan

(kinerja) karyawan, dan kemudian dengan menggunakan definisi itu sebagai dasar, menentukan kualifikasi karyawan yang dibutuhkan untuk mencapai keberhasilan.

Kriteria penyeleksian (selection criterion) adalah karakteristik yang harus dimiliki seseorang untuk melakukan sebuah pekerjaan dengan sukses. Kemampuan yang sudah ada sebelumnya merupakan kriteria penyeleksian, seperti kemampuan, motivasi, kecerdasan, sifat berhati-hati, risiko yang pantas untuk pemberi kerja dan

220 Gary Dessler. Op.cit. hlm.200.

ketetapan yang sesuai, mungkin merupakan kriteria penyeleksian yang baik untuk banyak pekerjaan.221

Untuk memprediksi apakah terdapat kriteria penyeleksian, para pemberi kerja berusaha menyebutkan prediktor sebagai indikator penyeleksian yang dapat diukur.

Informasi yang dikumpulkan mengenai seorang pelamar harus berfokus pada pencarian prediktor-prediktor atas kemungkinan bahwa pelamar tersebut mampu melakukan pekerjaan dengan baik. Prediktor dapat berupa banyak bentuk, tetapi alat penyelesaian manapun yang digunakan (sebagai contoh, formulir lamaran, tes, wawancara, persyaratan pendidikan, atau pengalaman bertahun-tahun yang dibutuhkan) hanya akan berguna apabila merupakan prediktor kinerja pekerjaan yang valid. Penggunaan prediktor-prediktor yang tidak valid dapat menyebabkan dipilihnya kandidat yang “tidak sesuai” dan ditolaknya kandidat yang “tepat”.222

Dengan demikian, dalam sistem rekrutmen yang bertumpu pada prinsip merit system, tes/ujian merupakan suatu hal mutlak digunakan dalam menilai kualitas seseorang, apakah sesuai dengan kebutuhan pekerjaan atau tidak.

Tes ditujukan untuk melihat kemampuan sebenarnya dari pelamar. Hal ini dapat pula untuk menguji respon pelamar yang sebenarnya terhadap pekerjaan dan tugas yang akan dijalani.223 Beberapa jenis tes yang berbeda digunakan sebagai bagian proses penyeleksian. Berikut ini adalah jenis-jenis yang paling umum, yakni: tes kemampuan, tes kepribadian, dan tes kejujuran/integritas.224

Tes Kemampuan adalah tes-tes untuk menilai kemampuan individual untuk bekerja dalam cara tertentu. Tes ini dapat dikelompokkan, sebagai berikut:

221 Robert L. Mathis dan John H.Jackson. Op.cit. hlm.265-266.

222 Ibid. hlm.267.

223 Ike Kusdyah Rachmawati. Op.cit. hlm.101.

224 Robert L. Mathis dan John H.Jackson. Op.cit. hlm.267-279.

a. Tes kemampuan kognitif (cognitive ability test) mengukur pemikiran, ingatan,

pertimbangan, serta kemampuan verbal dan matematis dari seseorang. Tes

seperti ini dapat digunakan untuk menguji pengetahuan dasar para pelamar

tentang terminologi dan konsep-konsep, kefasihan berbicara, orientasi ruang,

pemahaman, dan rentang ingatan, serta pertimbangan umum dan konseptual.

Pertimbangan yang penting ketika menggunakan tes ini adalah memastikan

bahwa konsep-konsep yang diuji benar-benar berhubungan dengan pekerjaan. b. Tes kemampuan fisik (physical ability test) mengukur kemampuan individual

seperti kekuatan, daya tahan, dan gerakan otot. Pengujian mobilitas, kekuatan,

dan atribut fisik lainnya dari para pelamar merupakan pengujian yang

berhubungan dengan pekerjaan. c. Tes psikomotor (psychomotor test) yang mengukur ketangkasan, koordinasi

tangan-mata, kestabilan lengan-tangan, dan faktor-faktor lain untuk mengukur

ketangkasan manual untuk pekerjaan yang menggunakan keterampilan

psikomotor secara tetap. d. Tes contoh kerja (work sample test) atau tes situasional, menghasruskan

seorang pelamar untuk mengerjakan tugas pekerjaan simulasi yang merupakan

bagian dari pekerjaan target. Kunci dari tes kerja apa pun adalah konsistensi

perilaku antara kriteria pekerjaan dan syarat-syarat untuk tes tersebut. e. Pusat penilaian (assessment center) terdiri atas serangkaian latihan dan tes

evaluatif yang digunakan untuk penyeleksian dan pengembangan. Pusat

penilaian menggunakan banyak latihan dan banyak penilai, yang paling sering

digunakan dalam proses penyeleksian ketika mengisi lowongan manajerial.

Dalam pusat penilaian, para kandidat melewati wawancara yang komprehensif,

tes tertulis, simulasi individual dan kelompok, serta latihan-latihan kerja. Kinerja

para kandidat kemudian dievaluasi oleh panel penilai yang terlatih. Merupakan hal

yang sangat penting bagi pusat penilaian bahwa tes dan latihan untuk individu-

individu yang disaring mencerminkan isi pekerjaan dan jenis masalah yang

dihadapi dalam pekerjaan.

Tes Kepribadian dibutuhkan karena kepribadian merupakan paduan yang unik dari karakteristik-karakteristik individual yang mempengaruhi interaksi dengan lingkungan dan membantu mendefiniskan seseorang. Pendekatan ciri-ciri kepribadian pokok yang paling banyak diterima secara luas ini (walaupun bukan satu-satunya) sering dirujuk sebagai ciri-ciri kepribadian “Lima Besar”, yakni sifat berhati-hati, ekstrovert, keramahtamahan, keterbukaan pada pengalaman, dan stabilitas emosional. Dari “Lima Besar”, sifat berhati-hati dirasa berhubungan dengan pekerjaan disebagian besar organisasi. Ekstrovert dirasa dapat memprediksi keberhasilan dalam pekerjaan yang membutuhkan interkasi sosial. Sedangkan tiga ciri kepribadian yang lainnya berubah-ubah tergantung pada jenis pekerjaan dan organisasi.

Tes Kejujuran/Integritas dapat dianggap valid sebagai alat penyaringan yang luas untuk organisasi-organisasi apabila digunakan dengan baik. Tes ini memiliki dua bentuk, yakni tes terbuka dan tes integritas yang berorientasi pada kepribadian.

Tes terbuka menanyakan kejujuran, sikap, dan perilaku individual sehubungan dengan pencurian secara spesifik, sedangkan tes kepribadian menggunakan konsep-konsep psikologis yang dapat dipercaya, rasa hormat terhadap otoritas, dan konsep-konsep lainnya untuk mengenali individu yang profil psikologisnya menunjukkan orientasi integritas. Akan tetapi, merupakan hal yang penting bahwa tes-tes itu dipilih, digunakan, dan dievaluasi untuk memastikan tes-tes ini memang valid dan tetap valid serta dapat dipercaya. Tes tersebut harus digunakan sebagai

satu bagian proses penyeksian bersamaan dengan surat lamaran, wawancara, dan data lainnya. Sebuah persoalan yang terbukti kebenarannya tentang tes ini adalah adanya “kemampuan palsu” dari tes tersebut. Penelitian menunjukkan bahwa kemampuan para pengikut tes untuk “memalsukan” kejujuran dan lulus tes ternyata lebih tinggi pada tes terbuka, dibandingkan dengan tes integritas yang berorientasi pada kepribadian.

Selain itu, wawancara merupakan instrumen sering digunakan dalam seleksi.

Menurut John Benardin dan Joyce E.A.Russell:225

1. Wawancara merupakan subjective evaluation mengenai kemampuan pelamar

berdasarkan penilaian manusia.

2. Wawancara digunakan untuk mendapatkan kecocokan antara pelamar dengan

pegawai yang dibutuhkan.

3. Wawancara digunakan untuk memperoleh informasi mengenai palamar, pegawai,

dan organisasi.

Tujuan utama dari wawancara adalah untuk memperoleh dan menyatukan informasi mengenai kemampuan individu terhadap lowongan yang ada. Informasi yang digunakan dalam pembuatan keputusan dari hasil wawancara harus bersifat selektif agar tidak menimbulkan bias penilaian. Pelaksanaan wawancara terkadang menimbulkan bias apabila pertanyaan yang diajukan tidak ada relevansinya dengan kebutuhan rekrutmen. 226

Menurut R. Haque, M. Harrop, dan S. Breslin, secara garis besar, terdapat dua jenis model ujian seleksi dalam rekrutmen birokrasi yang dipakai diberbagai negara, yakni model rekrutmen tunggal dan model rekrutmen departemental. Model

225 Ambar Teguh Sulistiyani. Op.cit. hlm.164.

226 Ibid. hlm.164-165.

rekrutmen tunggal (unified atau generalist recruitment model) adalah model dimana rekrutmen dilaksanakan melalui satu pintu masuk (entry point) untuk semua pekerjaan birokrat. Seorang calon birokrat direkrut melalui ujian seleksi berdasarkan intelektualitas (intelligence), pendidikan (education), dan kemampuan personal

(personal skill). Selanjutnya seorang kandidat birokrat yang terseleksi akan dibagi- bagi ke berbagai instansi, masing-masing instansi pemerintah akan memberikan training penempatan (specialized post entry training). Negara-negara yang menganut model ini misalnya Jerman, Prancis, Jepang, dan Inggris. Sedangkan pada model rekrutmen departemental (departemental atau specialist recruitment) adalah model dimana rekrutmennya dilaksanakan oleh masing-masing departemen atau unit birokrasi. Model ini cenderung untuk mengambil orang yang telah memiliki spesialisasi pengetahuan untuk departemen atau jabatan tertentu, sehingga ujian seleksi dilaksanakan berdasarkan spesifikasi keahlian dan pengetahuan tertentu.

Sejak awal perekrutan, seorang calon birokrat telah ditentukan untuk bekerja pada bidang-bidang tertentu saja dan kecil kemungkinan untuk bekerja diluar bidang- bidang tertentu tersebut. Negara-negara yang menganut model ini adalah Amerika

Serikat, Australia, Selandia Baru, dan Belanda.227

Berdasarkan uraian-uraian tersebut, menurut penulis, sistem rekrutmen adalah tindakan atau proses mencari, menarik, dan mengidentifikasi calon-calon berkualitas dari sejumlah calon-calon dalam jumlah yang cukup, untuk mengisi pekerjaan lowong pada saat sekarang atau kebutuhan di masa depan. Dalam hal ini terdapat dua aspek penting dalam sistem rekrutmen, yakni persyaratan kualifikasi dan model seleksi. Persyaratan kualifikasi merupakan aspek yang penting untuk mengetahui

227 R.Haque, M.Harrop., dan S.Breslin. 1998. Comparative Government and Politics. London: Macmillan Press. hlm.221, dalam Budi Setiyono. 2004. Birokrasi dalam Perspektif Politik dan Administrasi. Edisi ke-2. Puskodak-Undip. hlm.42.

apakah terdapat kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk mengikuti rekrutmen. Sedangkan, model seleksi yang diterapkan merupakan aspek yang penting untuk mengetahui apakah seleksi dapat menghasilkan pegawai-pegawai yang berkualitas sesuai kebutuhan.

Selanjutnya, dalam membahas mengenai sistem remunerasi, perlu terlebih dahulu dijelaskan mengenai kata “remunerasi”. Dalam Merriam-Webster

Encyclopaedia Britannica dijelaskan bahwa kata “remuneration” (remunerasi) pertama kali digunakan pada abad ke-15. Remuneration dimaknai sebagai

“something that remunerates: recompense, pay” (suatu pembayaran- pembayaran/penggajian-penggajian: imbalan jasa, bayaran), ataupun sebagai “an act or fact of remunerating” (suatu tindakan atau fakta penggajian). Sinonim dengan kata “compensation, disbursement, giving, paying, remittance, payment”

(kompensasi, pencairan, memberi, membayar, uang pembayaran, pembayaran), dan antonim dengan kata ”nonpayment” (dilunasinya).228

Dalam wordreference.com, remuneration (remunerasi) diartikan sebagai “the total compensation that an employee receives in exchange for the service they perform for their employer. Typically, this consists of monetary rewards, also referred to as wage or salary”229 (seluruh kompensasi di mana karyawan/pegawai menerima dalam pertukaran untuk layanan yang mereka lakukan untuk majikan mereka. Biasanya, ini terdiri dari hadiah dalam bentuk uang, juga disebut sebagai upah atau gaji).

228 Merriam-Webster, An Encyclopaedia Britannica Company. Remuneration. http://www.merriam- webster.com/dictionary/remuneration, diakses 8 Juni 2012.

229 Wordreference.com. Remuneration. http://www.wordreference.com/definition/remuneration, , diakses 8 Juni 2012.

Menurut Charles T. Schmidt. Jr. and Richard W.Scholl, sistem kompensasi

(compensation system) adalah sebuah sistem yang dirancang untuk menentukan jumlah gaji mengingat banyaknya individu dalam suatu organisasi. Pada tingkat yang paling sederhana, manajer membuatnya sederhana dengan tebakan terbaik seperti apa seorang individu harus dibayar dan apa yang dia akan menerima. Dalam bentuk yang paling kompleks, sistem kompensasi berisi keputusan berdasarkan aturan yang berbeda, pedoman, dan proses untuk menentukan tingkat gaji/upah dan struktur gaji/upah. Berbagai komponen dari sistem kompensasi adalah sebagai berikut:230

1. Struktur Gaji (Pay Structure) yakni perbedaan relatif gaji antara berbagai

pekerjaan dalam organisasi dan bagaimana ini ditentukan.

2. Level Gaji (Pay Level) yakni jumlah relatif gaji yang dibayarkan sesuai tugas untuk

setiap pekerjaan dibandingkan dengan pasar kerja.

3. Bentuk Gaji (Pay Form) yakni bentuk dari gaji yang diterima individu. Jumlah

relatif yang terjamin vs gaji berisiko.231

4. Dasar Peningkatan Gaji (Basis for pay increases) yakni cara perubahan gaji dari

tahun ke tahun merupakan aspek penting dari sebuah sistem kompensasi.

Berbagai dasarnya adalah:

a. Senioritas dan masa kerja (Seniority and longevity).

b. Biaya hidup.

c. Kinerja/prestasi (Performance/merit).

230 Charles T. Schmidt. Jr. and Richard W.Scholl. 2006. Reward and Evaluation Systems. Labour Research Center. The University of Rhode Island. http://www.uri.edu/research/lrc/scholl/webnotes/Reward_Systems.htm, diakses 8 Juni 2012.

231 Eisenhardt memandang bahwa terdapat dua model pembayaran pegawai, yakni: (1) behavior-oriented contract, yakni sistem penggajian pegawai berdasarkan pada gaji tetap (fixed salaries) dan penetapan alokasi anggaran (frame budget), dan (2) outcome-oriented contract, yakni sistem penggajian pegawai yang berdasarkan pada komisi (commissions) dan pengaturan harga (price management), dalam Budi Setiyono. Op.cit. hlm115.

d. Perubahan lingkup pekerjaan.

e. Peningkatan kualifikasi individu seperti gelar baru atau sertifikasi.

f. Perubahan di pasar untuk pekerjaan dan /atau individu. Sebuah bentuk khusus

dari jenis ini meningkat adalah untuk mencocokkan tawaran pekerjaan

bersaing.

Sistem kompensasi bertujuan untuk:232

1. Menarik pegawai-pegawai (employees) yang berkualitas tinggi.

2. Mempertahankan pegawai-pegawai yang berkualitas tinggi.

3. Menjamin keberlangsungan peran perilaku memadai yang ditunjukkan antara

pegawai-pegawai.

4. Motivasi ekstra bagi peran perilaku pegawai-pegawai.

Para pemberi kerja harus agak kompetitif dengan beberapa jenis kompensasi agar tujuan kompensasi tercapai. Beberapa jenis kompensasi, yakni:233 a. Gaji pokok (base pay) merupakan kompensasi yang diterima seorang karyawan,

biasaya berupa upah (wage) sebagai imbalan kerja yang dihitung langsung

berdasarkan jumlah waktu kerja, ataupun gaji (salary) sebagai imbalan kerja yang

besarnya tetap untuk setiap periode tanpa menghiraukan jumlah jam kerja. b. Penghasilan tidak tetap (variable pay) merupakan jenis kompensasi yang

dihubungkan dengan kinerja individual, tim, atau organisasional, berupa: bonus,

insentif, maupun opsi saham. Dengan mengombinasikan gaji pokok dengan

penghasilan tidak tetap, organisasi telah memindahkan sebagian risiko

perusahaan kepada karyawan ketika organisasi tersebut sedang tidak berjalan

dengan baik;

232 Charles T. Schmidt. Jr. and Richard W.Scholl. Loc.cit.

233 Robert L.Mathis dan John H.Jackson. Op.cit. hlm.419-424.

c. Tunjangan (benefit) merupakan sebuah penghargaan tidak langsung yang

diberikan untuk seorang karyawan atau sekelompok karyawan sebagai bagian

dari keanggotaan organisasional, berupa: asuransi kesehatan/jiwa, cuti berbayar,

dana pensiun, kompensasi pekerja, dan lain-lain.

Menurut Robert L.Mathis dan John H.Jackson, sistem kompensasi dalam organisasi harus dihubungkan dengan tujuan dan strategi organisasi. Namun demikian, kompensasi juga mengharuskan adanya penyeimbangan kepentingan dan biaya pemberi kerja yang memiliki harapan atas para karyawan. Pemberi kerja harus menyeimbangkan biaya kompensasi pada suatu tingkat yang menjamin daya saing organisasional dan memberikan penghargaan yang memadai untuk para karyawan atas pengetahuan, keterampilan, kemampuan, dan kinerja mereka.234

Filosofi kompensasi yang dapat digunakan oleh suatu organisasi adalah filosofi pemberian hak pada suatu sudut kontinum, dan filosofi yang berorientasi pada kinerja pada sudut kontinum lain. Namun demikian, sebagian besar sistem kompensasi berada pada suatu tempat diantara keduanya.235

Filosofi yang berorientasi pemberian hak dipraktikkan oleh banyak organisasi tradisional dengan memberikan kenaikan untuk karyawan-karyawan mereka setiap tahunnya. Para karyawan dan manajer yang menganut filosofi ini yakin bahwa individu yang telah bekerja satu tahun berhak atas kenaikan gaji pokok. Mereka juga yakin bahwa semua program insentif dan tunjangan harus berlanjut dan ditingkatkan, tanpa menghiraukan kondisi industri atau ekonomi yang berubah-ubah.

Biasanya, dalam organisasi yang menganut filosofi ini, kenaikan imbalan kerja dimaksudkan untuk mengimbangi kenaikan biaya hidup, bahkan apabila mereka tidak terikat secara khusus pada indikator ekonomi. Dengan mengikuti filosofi ini

234 Ibid. hlm.419.

235 Ibid. hlm.422-423.

pada akhirnya berarti bahwa ketika para karyawan meneruskan kehidupan pekerjaan mereka, biaya pemberi kerja meningkat, tanpa menghiraukan kinerja karyawan atau tekanan kompetitif organisasional.

Filosofi yang berorientasi kinerja membutuhkan pendekatan imbalan kerja yang tidak tetap di mana gaji naik dan turun berdasarkan pada kinerja. Tidak semua orang dalam pekerjaan yang sama akan mendapatkan gaji yang sama persis, dan tidak semua orang menyukai pendekatan tersebut. Beberapa organisasi sepenuhnya mempraktikkan filosofi ini, bahkan dalam sektor pemerintah beberapa organisasi telah mengakui kebutuhan untuk berpindah ke praktik kompensasi yang lebih berorientasi pada kinerja.

J. Winardi memandang bahwa imbalan berupa upah atau gaji merupakan salah satu imbalan ekstrinsik yang dapat dicapai orang-orang melalui kegiatan bekerja.

Imbalan dapat membantu organisasi-organisasi mencapai pekerja-pekerja yang sangat kapabel dan imbalan dapat membantu memberikan kepuasan serta memotivasi pekerja-pekerja tersebut untuk bekerja keras dalam upaya meraih kinerja tinggi.236

Kepuasan dan motivasi merupakan dua perspektif konstruksi perilaku yang dapat digunakan untuk mengevaluasi setiap inducement system237. Kepuasan mengacu sejauh mana inducement system memenuhi dan harapan individu dan memvalidasi identitas dirinya. Motivasi mengacu pada sejauh mana inducement system mampu memunculkan perilaku peran ekstra dari karyawan.238

236 J. Winardi. 2004. Motivasi dan Pemotivasian dalam Manajemen. Cet.ke-3. Jakarta: RajaGrafindo Persada. hlm.155.

237 Inducement system dapat diterjemahkan sebagai sistem bujukan, sistem dorongan, atau sistem pancingan.

238 Charles T. Schmidt. Jr. and Richard W.Scholl. Loc.cit.

Kepuasan terhadap gaji merupakan faktor penentu dari keanggotaan organisasi

(menarik dan mempertahankan). Individu yang puas dengan gaji mereka cenderung tetap berada dalam organisasi dan menunjukkan setidaknya perilaku peran yang memadai. Namun demikian, Kepuasan terhadap gaji saja tidak memotivasi seorang individu untuk menunjukkan perilaku peran ekstra. Di sisi lain, ketidakpuasan merupakan penyebab utama dari penurunan absensi dan penurunan kemauan untuk memperlihatkan perilaku ekstra peran yang sebelumnya didorong oleh sistem penghargaan (reward) lainnya.239

Ada dua faktor penentu utama dari kepuasan gaji. Pertama, pay adequacy

(kecukupan gaji) adalah sejauh mana tingkat gaji seseorang memenuhi kebutuhan keuangannya. Kedua, pay equity (keadilan gaji) adalah sejauh mana seorang invidu merasakan bahwa tingkat gajinya adil dibandingkan dengan orang lain.240

Pada proposisi kebutuhan manusia, gaji/upah dalam pandangan A.H.Maslow merupakan suatu imbalan untuk dapat memenuhi aneka macam kebutuhan yang berbeda-beda. Imbalan digunakan secara langsung untuk memenuhi kebutuhan- kebutuhan pada tingkat yang lebih rendah, misalnya kebutuhan fisiologis, imbalan bernilai simbolik dalam hal memenuhi kebutuhan-kebutuhan pada tingkat yang lebih tinggi.241

Teori Ekuitas (Equity242 Theory) merupakan teori penting terkait kepuasan dan motivasi yang merupakan dasar fundamental dari desain kebanyakan sistem kompensasi modern. Hal ini didasarkan pada premis bahwa pegawai mengevaluasi

239 Ibid.

240 Ibid.

241 J.Winardi. Op.cit. hlm.156.

242 Equity dapat diterjemahkan sebagai keadilan, kewajaran, atau hak menurut keadilan.

tingkat gaji mereka dengan membandingkan kontribusi mereka (input) dan penghargaan (hasil) dibanding dengan dengan kontribusi dan penghargaan yang dilakukan orang lain, atau acuan-acuan. Sementara penghargaan (reward) dapat dibayangkan terdiri dari gaji, tunjangan, status, peluang untuk maju, keamanan kerja, atau apa pun yang merupakan nilai-nilai pegawai, dalam hal ini penerapan teori ekuitas dikonsentrasikan untuk menggaji. Premis mayor teori ekuitas adalah bahwa individu berusaha untuk mencapai keseimbangan antara rasio kontribusi mereka terhadap penghargaan dengan rasio kontribusi dan penghargaan yang diterima orang lain.243

Konsep keadilan (equity) dalam teori ekuitas selanjutnya dapat dikaji dalam konsep keadilan internal dan konsep keadilan eksternal. Konsep keadilan internal yang membandingkan kontribusi dan penghargaan yang diterima dengan kontribusi dan penghargaan yang diterima orang lain yang berada dalam organisasi.

Sedangkan, konsep keadilan eksternal membandingkannya dengan penghargaan yang diterima atas pekerjaan yang sama dengan pekerjaan yang ada pada organisasi lain.244

Menurut Robert L.Mathis dan John H.Jackson, konsep keadilan internal berhubungan dengan konsep keadilan prosedural dan keadilan distributif. Keadilan prosedural (prosedural justice) adalah keadilan yang dirasakan dari proses dan prosedur yang digunakan untuk membuat keputusan mengenai para karyawan, termasuk imbalan kerja mereka, seperti proses penentuan gaji pokok untuk

243 Charles T. Schmidt. Jr. and Richard W.Scholl. Loc.cit: “It is based on the premise that employees evaluate the level of their pay by comparing their contributions (inputs) and rewards (outcomes) to the contributions and rewards of comparison others, or referents. While rewards can conceivably consist of pay, fringe benefits, status, opportunities for advancement, job security, or anything else that the employee values, we will concentrate on Equity Theory's applicability to pay. Equity Theory's major premise is that individuals seek to achieve a balance between the ratio of their contributions to rewards to the ratio of contributions and rewards of others”.

244 Robert L.Mathis dan John H.Jackson. Op.cit. hlm.430-432.

pekerjaan, alokasi kenaikan gaji, dan penilaian kinerja harus dirasa adil. Sedangkan keadilan distributif (distributive justice) adalah merujuk pada keadilan yang dirasakan dalam distribusi hasil. Segi keadilan ini menguji bagaimana imbalan kerja berhubungan dengan kinerja, misalnya apabila seorang karyawan yang suka bekerja keras dan kinerjanya sangat baik menerima kenaikan yang sama seperti karyawan yang memiliki kehadiran dan kinerja yang biasa saja, ketidakadilan mungkin dirasakan.245

Dasar untuk semua sistem kompensasi yang efektif adalah struktur gaji yang adil (equitable pay structure). Tujuan pengembangan seperti sistem gaji adalah upaya untuk memaksimalkan kepuasan terhadap gaji. Sebuah struktur gaji yang sama adalah sebuah sistem untuk menentukan gaji relatif diberikan kepada individu- individu yang menempati berbagai posisi dengan organisasi. Sementara persepsi ekuitas (equity) sangat subjektif, dan tidak ada satu sistem akan dipandang sebagai sistem yang equitable (memberikan keadilan) oleh semua orang, dan struktur gaji yang sama adalah salah satu yang dirancang sedemikian rupa sehingga sebagian besar pegawai memandang kesamaan gaji mereka. Ini berarti ketika mereka membuat perbandingan internal dan eksternal ada kemungkinan besar bahwa mereka akan melihatnya sebagai ekuitas (adil). Pada umumnya ada tiga langkah dalam mengembangkan struktur kompensasi. Dalam setiap langkah, sejumlah alat kompensasi yang digunakan untuk membantu memastikan ekuitas. Tiga Langkah- langkahnya adalah sebagai berikut:246

1. Tentukan gaji relatif antara berbagai pekerjaan.langkah ini dibutuhkan untuk

menilai kontribusi pekerjaan mengacu pada berapa banyak tanggung jawab,

245 Ibid. hlm.430-431.

246 Charles T. Schmidt. Jr. and Richard W.Scholl. Loc.cit.

keterampilan, usaha, dan kondisi kerja yang diperlukan oleh pekerjaan. Ini disebut

faktor compensable. Alat kompensasi yang digunakan untuk melakukan analisis

ini disebut evaluasi pekerjaan. Sebagian besar perusahaan/organisasi

menggunakan sistem evaluasi pekerjaan untuk menentukan berapa banyak point

pekerjaan (bukan individu tertentu menempati pekerjaan).

2. Tentukan tingkat gaji dalam perusahaan/organisasi. Gaji relatif mengacu pada

bagaimana posisi struktur gaji relatif perusahaan/organisasi terhadap

pesaingnya. Apakah kompensasi pegawai pada perusahaan/organisasi, di atas,

atau di bawah rata-rata pasar. Hal ini tergantung pada faktor-faktor lain yang

digunakan untuk menarik dan mempertahankan pegawai. Dalam rangka untuk

menentukan rata-rata pasar, sebagian besar perusahaan bergantung pada survey

upah dan gaji sebagai alat ukurnya.

3. Tentukan tingkat gaji individu dalam rentang gaji dalam pekerjaan. Dalam

sebagian besar perusahaan/organisasi, setiap individu melakukan pekerjaan yang

sama tidak mendapatkan jumlah gaji yang sama. Dalam rangka mengakomodasi

perbedaan dalam kontribusi pribadi dan kinerja, perusahaan-

perusahaan/organisasi-organisasi ini mengembangkan kisaran gaji untuk setiap

pekerjaan. Pada langkah ini, perusahaan/organisasi harus mengembangkan

sistem untuk menempatkan setiap individu dalam kisaran gaji. Dua strategi utama

untuk melakukan ini adalah untuk menempatkan individu dalam kisaran

berdasarkan: (1) kinerja, atau (2) senioritas. Ketika gaji ditetapkan dalam kisaran

didasarkan pada kinerja, perusahaan harus mengembangkan sistem evaluasi

kinerja untuk tujuan ini.

Setelah struktur gaji telah dikembangkan, organisasi/perusahaan dapat memutuskan apakah ingin atau tidak ingin mencoba untuk menggunakan gaji

sebagai sumber memotivasi perilaku peran ekstra di kalangan pegawai. Ini sering merupakan tugas sulit yang sering menimbulkan lebih banyak masalah daripada yang permasalahan yang ingin dipecahkan. Dalam banyak kasus, organisasi/perusahaan berusaha untuk mengembangkan sebuah sistem gaji yang memotivasi sering menghasilkan rasa ketidakadilan (inequity) tingkat tinggi, yang mengalahkan tujuan dari sistem penggajian tersebut dan bertentangan dengan setiap nilai positif dicapai.247

Berdasarkan Teori Harapan (Expectancy Theory), persyaratan sistem gaji untuk memiliki potensi dalam memotivasi perilaku peran ekstra, adalah sebagai berikut:248

1. Gaji relatif diterima lebih tinggi untuk yang berkinerja tinggi dibandingkan

berkinerja rendah. Pemberian gaji dimaksudkan untuk mendorong kinerja tinggi.

2. Perbedaan antara gaji yang berkinerja rendah dan gaji yang berkinerja tinggi

merupakan hal yang signifikan bagi individu.

3. Kinerja yang baik didefinisikan secara jelas dan berada di bawah

pengaruh/kendali individu (harapan).

Ada banyak sistem penggajian berpotensi untuk memotivasi ekstra peran perilaku pegawai, metode yang umumnya digunakan adalah sistem gaji berdasarkan kinerja (merit pay system), komisi (commision), rencana-rencana insentif (incentive plans), bonus-bonus (bonuses), pembagian keuntungan (profit sharing), pembagian hasil (gainsharing), opsi saham (stock option).249

Charles T. Schmidt. Jr. and Richard W.Scholl mengungkapkan bahwa salah satu bentuk yang paling umum dari gaji berbasis kinerja adalah merit pay (gaji

247 Ibid.

248 Ibid.

249 Ibid.

berdasarkan prestasi). Merit Pay System merupakan sistem penggajian yang menggunakan beberapa bentuk evaluasi kinerja (umumnya tahunan) sebagai dasar untuk menentukan ukuran relatif dari kenaikan tahunan gaji individu.250

Sejalan dengan hal tersebut, J. Winardi memandang upah/gaji berdasarkan prestasi sebagai sebuah sistem imbalan yang mendasarkan kenaikan gaji/upah seseorang individu atas kinerjanya dalam periode waktu tertentu. Maksudnya, upah/gaji yang didasarkan atas prestasi merupakan upaya untuk mengaitkan upah/gaji dengan kinerja yang dihasilkan. Agar dapat berhasil dengan baik, maka suatu sistem upah/gaji berdasarkan prestasi harus: 251

1. Didasarkan atas pengukuran realistik dan akurat dari kinerja individu.

2. Menciptakan suatu keyakinan antara para karyawan, bahwa cara untuk meraih

upah/gaji tinggi adalah melaksanakan pekerjaan dengan kinerja tinggi.

3. Melaksanakan pembedaan jelas antara para pelaksana pekerjaan yang

berprestasi tinggi, dan yang berprestasi rendah sehubungan dengan jumlah

imbalan yang diberikan kepada mereka.

4. Menghindari dicampuradukkannya aspek-aspek prestasi dalam kenaikan

upah/gaji dengan penyesuaian-penyesuaian upah/gaji karena meningkatnya

biaya hidup.

Kinerja (performance) adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh karyawan. Kinerja karyawan secara umum pada berbagai pekerjaan meliputi elemen-elemen: kuantitas dari hasil, kualitas dari hasil, ketepatan waktu dari hasil, kehadiran, dan kemampuan bekerjasama. Dimensi lain dari kinerja adalah kriteria pekerjaan (job criteria) yakni dimensi yang spesifik dari kinerja pekerjaan yang akan

250 Ibid.

251 J. Winardi. Op.cit. hlm.158.

mengidentifikasi elemen paling penting dari pekerjaan tersebut. Kriteria pekerjaan merupakan faktor yang paling penting yang dilakukan orang dalam pekerjaan mereka karena mendefinisikan apa yang dibayar organisasi untuk dilakukan oleh karyawan. Oleh karena itu, kinerja individu pada kriteria pekerjaan harus diukur dan dibandingkan terhadap standar kinerja, dan kemudian hasilnya dikomunikasikan kepada karyawan. Proses mengevaluasi seberapa baik karyawan melakukan pekerjaan mereka jika dibandingkan dengan seperangkat standar tersebut disebut penilaian kinerja (performance appraisal).252

Standar kinerja (performance standars) mendefinisikan tingkat yang diharapkan dari kinerja, dan merupakan “pembanding kinerja” (benchmarks), atau “tujuan”, atau

“target”, tergantung pendekatan yang digunakan. Standar kinerja yang realistis, dapat diukur, dipahami dengan jelas, akan bermanfaat baik bagi organisasi maupun karyawannya. Hal-hal tersebut harus ditetapkan sebelum pekerjaan dilakukan.

Standar-standar yang didefiniskan dengan baik akan memastikan setiap orang yang terlibat mengetahui tingkat pencapaian yang diharapkan.253

Evaluasi kinerja yang dilakukan dengan adil diharapkan dapat meningkatkan produktivitas karyawan.254 Oleh karena itu, karyawan memerlukan umpan balik yang spesifik seputar kinerja, sehingga dapat diketahui saat mana kinerja yang baik dan dapat ditingkatkan.255 Penilaian kinerja yang dilakukan dengan buruk akan membawa hasil yang mengecewakan bagi semua pihak terkait. Akan tetapi, tanpa penilaian kinerja formal akan membatasi pilihan pemberi kerja yang berkaitan

252 Robert L.Mathis dan John H.Jackson. Op.cit. hlm. 378-382.

253 Ibid. hlm. 380.

254 Ike Kusdyah Rachmawati. Op.cit. hlm.125.

255 Pandangan Robert Bacal, dalam A.A.Anwar Prabu Mangkunegara. 2007. Evaluasi Kinerja SDM. Cet.ke-3. Bandung: Refika Aditama. hlm.23.

dengan pendisiplinan dan pemecatan. Penilaian kinerja dapat menjawab pertanyaan mengenai apakah pemberi kerja telah bertindak adil atau bagaimana pemberi kerja mengetahui bahwa kinerja karyawan tersebut tidak memenuhi standar. Untuk itu, terdapat beberapa metode untuk menilai kinerja, yakni metode penilaian kategori, metode komparatif, metode naratif, metode perilaku/tujuan, manajemen berdasarkan tujuan, dan kombinasi dari berbagai metode.256

Metode penilaian kategori merupakan metode yang paling sederhana untuk menilai kinerja. Dalam hal ini dibutuhkan seorang manajer untuk menandai tingkat kinerja karyawan pada formulir khusus yang dibagi ke dalam kategori kinerja.

Metode penilaian kategori, yang paling umum adalah skala penilaian grafis (graphic rating scale) dan daftar periksa (checklist). Skala penilaian grafis, memungkinkan penilai untuk menandai nilai yang sesuai pada skala untuk setiap tugas yang tercantum. Daftar periksa, memungkinkan penilai memberi tanda pada pernyataan yang paling representatif dari karakteristik dan kinerja karyawan.

Metode komparatif memerlukan manajer untuk membandingkan secara langsung kinerja karyawan mereka terhadap satu sama lain. Metode ini dapat berupa penentuan peringkat (ranking) dan distribusi paksa (forced distribution).

Dengan penentuan peringkat, kinerja semua karyawan diurutkan dari yang tinggi sampai terendah dalam sebuah daftar. Dengan distribusi paksa, penilaian kinerja karyawan didistribusikan sepanjang kurva lonceng.

Metode naratif digunakan oleh manajer untuk menguraikan tindakan karyawan dan juga dapat digunakan untuk mengindikasikan penilaian aktual selama periode penilaian. Metode ini dapat berupa metode kejadian penting, esai, dan tinjauan lapangan. Dalam metode kejadian penting, manajer menyimpan catatan mengenai

256 Robert L.Mathis dan John H.Jackson. Op.cit. hlm.392-402.

tindakan dalam kinerja karyawan yang menguntungkan maupun merugikan. Metode penilaian esai mengharuskan manajer menuliskan esai pendek yang menguraikan kinerja setiap karyawan. Metode tinjauan lapangan lebih berfokus peninjau dari luar yang mewawancarai manajer terhadap kinerja setiap karyawan, kemudian menghimpunnya dalam catatan.

Metode perilaku/tujuan (behavioral rating approaches) digunakan untuk mengatasi beberapa kesulitan dari metode naratif. Metode ini lebih berusaha untuk menilai perilaku karyawan dibandingkan karakteristik lainnya. Beberapa dari pendekatan perilaku adalah skala perilaku yang diharapkan (behaviorally anchored rating scales-BARS), skala observasi perilaku (behavioral observation scales-BOS), dan skala perilaku yang diharapkan (behavioral expectation scales-BES). BARS membandingkan apa yang dilakukan karyawan terhadap kemungkinan perilaku yang ditunjukkan pada suatu pekerjaan. BOS menghitung jumlah berapa kali perilaku tertentu diperlihatkan, sedangkan BES mengurutkan perilaku pada rangkaian kesatuan untuk mendefinisikan kinerja yang menonjol, rata-rata, dan tidak dapat diterima.

Manajemen berdasarkan tujuan (management by objectives-MBO), menentukan tujuan kinerja yang telah disepakati oleh seorang karyawan dan manajernya untuk dicapai dalam jangka waktu tertentu. Setiap manajer menentukan tujuan yang didapatkan dari keseluruhan tujuan dan sasaran organisasi, tetapi MBO seharusnya tidak menjadi cara terselubung dari atasn untuk memaksakan tujuan dari manajer dan karyawan secara individual. Proses MBO tampaknya paling berguna untuk personel dan karyawan manajerial yang mempunyai fleksibilitas dan kendali yang cukup besar atas pekerjaan mereka. ketika dipaksakan pada sistem manajemen yang kaku dan otokratis, MBO sering kali gagal. Penekanan pada hukuman akibat

tidak memenuhi tujuan akan meniadakan pengembangan dan sifat partisipatif dari

MBO.

Kombinasi dari berbagai metode, dimaksudkan untuk menyeimbangkan keuntungan dan kerugian dari masing-masing metode dengan melakukan kombinasi dari berbagai metode karena tidak ada metode penilaian terbaik untuk semua situasi. Metode penilaian kategori mudah dikembangkan tetapi biasanya tidak dapat berbuat banyak dalam mengukur pencapaian strategis. Metode komparatif membantu mengurangi kesalahan kelunakan, tendensi sentral, dan kekakuan yang membuatnya berguna untuk keputusan administratif seperti kenaikan gaji, tetapi buruk untuk menghubungkan kinerja pada tujuan organisasional dan tidak memberikan umpan balik sebaik metode lainnya. Metode naratif merupakan yang terbaik untuk pengembangan karena berpotensi menghasilkan lebih banyak informasi umpan balik, tetapi tanpa definisi yang baik dari kriteria atau standar, metode ini dapat sangat tidak terstruktur sehingga hanya memberikan sedikit kegunaan. Metode perilaku/tujuan dapat dengan baik menghubungkan kinerja pada tujuan organisasional, tetapi memerlukan banyak usaha dan waktu untuk mendefinisikan harapan dan menjelaskan prosesnya kepada karyawan, sehingga kurang sesuai untuk pekerjaan tingkat rendah.

Menurut penulis, penilaian kinerja dengan berbagai metode yang telah diuraikan tersebut merupakan basis dari merit pay sistem, yang memiliki potensi motivasional.

Potensi motivasional merit pay system adalah bahwa rencana gaji berdasarkan prestasi memotivasi individu untuk melakukan perilaku peran ekstra ketika mereka menginginkan gaji meningkat, mereka percaya bahwa ukuran relatif kenaikan gaji

adalah bergantung pada kinerja yang baik, dan mereka percaya bahwa mereka mampu kinerja yang baik.257

Merit pay system hanya akan berhasil dilaksanakan apabila tersedia kondisi- kondisi dibawah ini:258

1. Individu menilai bahwa peningkatan gaji tinggi dan bersedia untuk bekerja lebih

keras atau menghabiskan lebih banyak waktu untuk mencapai tujuan kinerja.

2. Perbedaan dalam kenaikan gaji untuk kinerja tinggi harus jauh lebih tinggi

daripada yang diberikan kepada individu yang berkinerja rata-rata atau rendah.

Ketika diferensial rendah (misalnya, 3% untuk rata-rata, 4% untuk tinggi), banyak

orang tidak merasakan perlunya meningkatkan usahanya.

3. Kriteria kinerja yang baik harus jelas dan dikomunikasikan kepada pegawai

(Harapan, Harapan Peran/ Expectancy; Role Expectations). Ketika standar kinerja

tidak jelas, pegawai selalu menebak-nebak apa yang harus mereka lakukan atau

apa yang mereka harus selesaikan untuk mendapatkan penilaian kinerja yang

baik.

4. Pegawai harus percaya manajer. Harus ada kepercayaan dalam sistem evaluasi

sehingga pegawai tidak merasakan adanya pilih kasih (Harapan/Expectancy) dan

kepercayaan dalam sistem alokasi, yaitu, mereka harus percaya bahwa jika

mereka memenuhi standar kinerja organisasi akan ada kenaikan gaji yang lebih

tinggi.

5. Hal ini sangat membantu jika alokasi adalah non-zero sum, yaitu setiap orang

yang memenuhi harapan kinerja tinggi menerima peningkatan gaji yang

tinggi. Ketika sistem adalah nol sum (hanya karyawan terbaik menerima kenaikan

257 Charles T. Schmidt. Jr. and Richard W.Scholl. Loc.cit.

258 Ibid.

tertinggi, seperti kurva), sebagian besar pegawai berperingkat menengah dan

rendah akan kehilangan motivasinya karena bahkan jika mereka meningkatkan

kinerja mereka, mereka tidak percaya bahwa mereka akan dinilai lebih tinggi

daripada "sang bintang" (the stars).

Jika kondisi-kondisi tersebut tidak tersedia, maka berpeluang terjadinya masalah sebagai berikut:259

1. Sistem zero sum versus non zero sum. Banyak perusahaan/organisasi merasa

terdorong untuk membuat sistem mereka zero sum secara alamiah. Mereka

melakukan ini dengan mengalokasikan sejumlah biaya tetap untuk meningkatkan

setiap departemen atau manajer. Sebagai contoh, seorang manajer mungkin

dapat memberikan setiap karyawan kenaikan gaji 3%. Untuk setiap 5%

penghargaannya, ia harus memberi seseorang kenaikan 1%. Jika pegawainya

memiliki kinerja merata ini mungkin bekerja, tetapi dalam kebanyakan kasus,

manajer mengambil jalan keluar yang mudah dan memberikan semuanya

kenaikan 3%, mengubah rencana prestasi (merit plan) menjadi rencana biaya

hidup di mata karyawan.

2. Ketidakadilan. Ketika manajer mengevaluasi kinerja pegawai tidak sesuai

evaluasi pegawai, ketidaksamaan/ketidakadilan (inequity) terjadi. Salah satu

masalah yang paling sering dikutip dalam rencana merit pay adalah persepsi

ketidakadilan. Ketika ketidakadilan tersebar luas, rencana merit (merit plan) lebih

sering menciptakan demotivasi kinerja daripada motivasi kinerja.

3. Kecemburuan. Sangat erat terkait dengan ketidakadilan (inequality) adalah

masalah kecemburuan pegawai yang berakar pada konsep diri yang lemah

Dalam banyak kasus mereka yang menerima kenaikan gaji yang rendah,

259 Ibid.

mengembangkan atomicity terhadap mereka yang menerima kenaikan gaji

tertinggi. Hal ini menyebabkan konflik interpersonal dan sulit dalam pelaksanaan

pekerjaan memerlukan kerjasama antar anggota kelompok kerja.

4. Penurunan dalam kekompakan kelompok dan kerjasama. Kinerja tinggi dari

kerjasama tim berasal dari kekompakan unit-unit kerja, fokus pada tujuan dasar

tim. Mereka bekerja sama dan berbagi dalam pekerjaan, tanggung jawab, dan

prestasi. Ketika beberapa anggota terpilih menerima kenaikan gaji yang lebih

tinggi daripada anggota tim yang tersisa, kekompakan kerja ini sering menurun.

5. Waktu yang tepat (Timing). Dalam kebanyakan rencana merit (merit plan),

kenaikan gaji diberikan setiap tahun. Hal ini menyebabkan sering sulit untuk fokus

pada sumber motivasi selama sepanjang tahun. Juga, karena banyak manajer

tidak menilai kinerja di sepanjang tahun, mereka bergantung pada pengamatan

mereka dari kinerja dalam beberapa minggu sebelum penilaian kinerja (efek

recency). Ketika karyawan menyadari hal ini, kinerja mereka menjadi tidak

stabil/merata, kinerja tinggi pada saat menjelang penilaian/evaluasi.

6. Rendahnya motivasi untuk melakukan tindakan yang tidak dinilai atau hasil

kinerja. Dalam banyak kasus, sistem evaluasi kinerja tidak mengukur semua

perilaku pekerjaan penting atau hasilnya. Diberi pilihan, banyak karyawan

cenderung berfokus pada perilaku yang paling mungkin untuk memberikan

mereka kenaikan gaji, sering mengabaikan aspek-aspek lain dari kinerja.

7. Penurunan motivasi intrinsik. Menurut sebuah teori yang disebut "Teori

Pembenaran Tidak Mencukupi” (Insufficient Justification Theory) dalam banyak

kasus tugas yang secara intrinsik memotivasi sering kehilangan motivasi intrinsik

ini setelah dihargai dengan hadiah ekstrinsik seperti gaji. Jika motivator ekstrinsik

(gaji) dihapus, individu merasa tidak ada lagi pembenaran yang cukup untuk terus

melakukan tugas.Dengan kata lain, ketika kinerja tinggi dihargai dengan gaji, ia

mengubah sumber motivasi individu menjadi instrumental.

Dengan demikian, menurut penulis, sistem remunerasi adalah cara penggajian/pengupahan kepada pegawai karena kinerjanya, yang dapat pula meliputi jabatan, tanggung jawab, maupun kemampuannya. Terdapat dua aspek penting dalam remunerasi yang sejalan dengan prinsip merit system. Pertama, basis pemenuhan hak yang digunakan untuk menilai kecukupan remunerasi terhadap kebutuhan hidup, dan yang kedua, aspek basis orientasi kinerja untuk mengetahui apakah basis orientasi kinerja yang digunakan mampu mendorong kinerja yang optimal.

Selanjutnya, dalam membahas mengenai sistem penegakan disiplin, perlu terlebih dahulu dibahas mengenai kata “disiplin”. Dalam Merriam-Webster

Encyclopaedia Britannica,makna kata “discipline” (disiplin) dapat ditinjau dari dua bentuk, yakni sebagai kata benda dan kata sifat.

Kata “discipline” (noun/kata benda), 260 diartikan sebagai:

1. punishment (hukuman).

2. instruction (instruksi).

3. a field of studi (bidang/lapangan dari metode studi).

4. training that corrects (pelatihan yang mengoreksi), molds (cetakan), or perfects

the mental faculties or moral character (menyempurnakan kemampuan mental

atau karakter moral).

5. control gained by enforcing obedience or order (kontrol diperoleh dengan

menegakkan kepatuhan atau perintah).

260 Merriam-Webster.com. An Enclopaedia Britannica Company. Discipline. http://www.merriam- webster.com/dictionary/discipline, diakses 8 Juni 2012.

6. orderly or perscribed conduct or pattern of behavior (teratur atau perilaku

preskriptif atau pola perilaku).

7. self-control (penguasaan diri).

8. a rule or system of rules governing conduct or activity (aturan atau sistem aturan

yang mengatur perilaku atau kegiatan).

Kata “discipline” berasal dari Inggris Pertengahan, yang jika ditelusuri berasal dari Anglo-Perancis. Anglo-Prancis mengadopsi kata tersebut dari bahasa Latin, yakni “diciplina teaching” (ajaran disciplina), learning (belajar). Kata “diciplina” berasal dari kata “discipulus pupil” (murid discipulus). Kata “discipline” sebagai kata benda diketahui pertama kali digunakan pada Abad ke-13.

Kata “discipline” (transitive verb/kata kerja)261, diartikan sebagai:

1. to punish or penalize for the sake of enforcing obedience and perfecting moral

character (untuk menghukum atau menghukum pidana demi menegakkan

ketaatan dan menyempurnakan karakter moral).

2. to train or develop by instruction and exercise especially inself-control (untuk

melatih atau mengembangkan dengan instruksi dan latihan terutama

pengendalian diri sendiri).

3. to bring (a group) under control (discipline troops) (untuk membawa (kelompok) di

bawah kendali (disiplin pasukan tentara), to impose order upon (serious

writers discipline and refine their writing styles) untuk menegakkan ketertiban

(disiplin penulis serius dan memperbaiki gaya penulisan mereka).

Kata “discipline” sebagai kata kerja diketahui pertama kali digunakan pada

Abad ke-14.

261 Ibid.

Menurut M.T. Miklave dan J.A. Trafimon, disiplin (discipline) adalah bentuk pelatihan yang menjalankan peraturan-peraturan organisasional. Yang paling dipengaruhi oleh sistem disiplin dalam organisasi adalah karyawan yang menyusahkan. Apabila para pemberi kerja gagal menangani karyawan yang menyusahkan, sering terjadi efek-efek negatif pada karyawan dan kelompok kerja lainnya.262

Sistem displiner tersebut dapat dianggap sebagai sebuah penerapan dari modifikasi perilaku terhadap karyawan-karyawan yang menyusahkan atau tidak produktif. Disiplin yang paling baik sudah jelas adalah disiplin diri. Ketika sebagian besar orang memahami apa yang dibutuhkan di tempat kerja, mereka biasanya dapat diharapkan melakukan pekerjaannya dengan efektif.263

Dengan demikian, disiplin dapat dimaknai sebagai aturan atau sistem aturan yang mengatur perilaku atau kegiatan dalam bentuk instruksi yang dimaksudkan sebagai pelatihan yang mengoreksi perilaku untuk menciptakan kondisi teratur atau pola perilaku dalam bekerja secara efektif dengan memberikan hukuman terhadap pelanggaran aturan tersebut.

Robert L.Mathis dan John H.Jackson menjelaskan bahwa terdapat dua pendekatan pada disiplin, yakni: pendekatan disiplin positif dan pendekatan disiplin progresif.264

Pendekatan disiplin positif bergantung pada filosofi bahwa pelanggaran adalah tindakan yang biasanya dapat dikoreksi secara konstruktif tanpa hukuman. Dalam pendekatan ini, para manajer berfokus pada pencarian fakta dan bimbingan untuk

262 M.T. Miklave dan J.A. Trafimon. Measuring Discipline. Workforce. September 2000. hlm.124-126, dalam Robert L.Mathis dan John H.Jackson. Op.cit. hlm. 511.

263 Pandangan Robert L.Mathis dan John H.Jackson, dalam Ibid. hlm. 511.

264 Ibid. hlm. 512-514.

mendorong perilaku yang diinginkan, daripada menggunakan hukuman untuk mencegah perilaku yang tidak diinginkan. Berikut ini empat langkah menuju disiplin positif: a. Konseling, yakni supervisor meningkatkan kesadaran karyawan akan kebijakan

dan peraturan organisasional melalui percakapan. b. Dokumentasi tertulis, yakni karyawan dan supervisor mengembangkan solusi-

solusi yang didokumentasikan secara tertulis untuk mencegah masalah-masalah

yang lebih lanjut. c. Peringatan terakhir, yakni konferensi peringatan terakhir dimana supervisor

menekankan pentingnya pengoreksian tindakan yang tidak pantas kepada

karyawan. Ada pula yang memberi satu hari libur bagi karyawan untuk

mengembangkan rencana tegas dan tertulis guna memperbaiki perilaku-perilaku

yang menyusahkan. d. Pemberhentian, dilakukan apabila karyawan gagal untuk mengikuti rencana

tindakan yang dikembangkan dan tetap ada masalah yang lebih lanjut.

Keunggulan dari pendekatan displin yang positif adalah berfokus pada penyelesaian masalah, akan tetapi kesulitan yang paling besar adalah jumlah pelatihan yang dibutuhkan oleh para supervisor dan manajer untuk menjadi konselor-konselor efektif dan membutuhkan lebih banyak waktu, daripada pendekatan disiplin progresif.

Pendekatan disiplin progresif menggabungkan serangkaian langkah, dimana setiap langkah menjadi lebih keras secara progresif dan dirancang untuk mengubah perilaku karyawan yang tidak pantas. Dalam suatu sistem progresif yang umum, sebagian besar prosedur disiplin progresif menggunakan teguran-teguran verbal, teguran tertulis, dan penskoran sebelum pemecatan. Penskoran mengirimkan pesan

yang kuat kepada seorang karyawan bahwa perilaku pekerjaan yang tidak diinginkan harus diubah, atau mungkin sekali akan terjadi pemberhentian. Tidak semua langkah dalam prosedur disiplin progresif dituruti dalam setiap kasus.

Beberapa pelanggaran yang serius dibebaskan prosedur progresif dan mungkin berakhir pada pemberhentian dengan segera.

Robert Bacal berpandangan bahwa disiplin harus dilakukan secara bertahap.

Menurut Robert Bacal, mendisiplinkan karyawan bukan berarti menghukum karyawan, tetapi merupakan proses untuk menjaga agar karyawan tetap bertanggung jawab terhadap tindakannya dengan menerapkan konsekuensi, seperti percobaan, penurunan pangkat, atau skorsing secara bertahap sesuai dengan jenis pelanggaran yang dilakukan.265

Dalam hal sistem penegakan disiplin, terdapat model “Peraturan Kompor

Panas” yang telah dikenal bertahun-tahun untuk mengajari para supervisor tentang disiplin melalui analogi untuk membantu mengingat dasar-dasar disiplin. Dalam model “Peraturan Kompor Panas”, disiplin yang baik bagaikan kompor panas, karena:266

1. Memberikan sebuah peringatan. Sebuah kompor panas mengirimkan peringatan

karena Anda merasakan panasnya dan Anda tahu apabila Anda menyentuhnya

Anda akan mendapatkan luka bakar. Para karyawan juga membutuhkan

peringatan sebelum terjadi disiplin.

2. Konsisten. Sebuah kompor panas selalu membakar. Displin yang baik

menyelesaikan pelanggaran yang sama dibawah keadaan yang sama setiap kali

ia muncul.

265 Pandangan Robert Bacal, dalam A.A.Anwar Prabu Mangkunegara. Op.cit. hlm.23.

266 Robert L.Mathis dan John H.Jackson. Op.cit. hlm. 515.

3. Terjadi dengan cepat. Kompor panas membakar dengan cepat apabila disentuh.

Semakin lama jeda setelah terjadinya pelanggaran disiplin, semakin tidak efektif

dalam mengubah perilaku.

4. Tidak personal. Kompor panas membakar setiap orang yang menyentuhnya.

Disiplin yang baik tidak emosional atau sembarangan, dan memberikan pengaruh

yang sama terhadap setiap pelanggar.

Tingkat terakhir dalam proses disipliner adalah pemberhentian. Seorang manajer mungkin merasa bersalah ketika memecat karyawan, dan terkadang rasa bersalah ini dapat dibenarkan. Apabila seorang karyawan gagal, mungkin karena manajer tersebut gagal menciptakan lingkungan kerja yang layak. Mungkin karyawan itu tidak mendapatkan pelatihan yang memadai, atau mungkin manajemen lalai membentuk kebijakan-kebijakan yang efektif. Para manajer bertanggung jawab atas karyawan mereka, dan pada suatu tingkatan tertentu, mereka sama-sama menanggung kesalahan atas kegagalan tersebut. Baik pendekatan disiplin yang positif maupun yang progresif sudah nyata memberikan peringatan kepada para karyawan.267

Dalam teori paksaan dijelaskan bahwa kepatuhan seseorang terhadap hukum dipaksakan oleh sanksi, sedangkan dalam teori persetujuan dijelaskan bahwa kepatuhan seseorang terhadap hukum diberikan atas dasar persetujuan oleh masyarakat terhadap hukum yang diberlakukan untuk mereka.268

Menurut Peter Mahmud Marzuki269 bagi kaum positivisme, unsur paksaan dikaitkan dengan pengertian tentang hierarki perintah secara formal. Positivisme

267 Ibid. hlm. 514.

268 Pandangan Schuyt, dalam Satjipto Rahardjo. 2000. Ilmu Hukum. Cet.ke-5. Bandung: Citra Aditya Bakti. hlm155.

269 Peter Mahmud Marzuki. Op.cit. hlm.73-77.

memandang hukum sebagai perintah dan menempatkan sanksi sebagai sesuatu yang memang melekat pada hukum. Pandangan ini juga dianut oleh Hart yang berpangkal pada pemikiran empiris-positivisme, bahwa salah satu karakter hukum adalah perintah yang dibuat oleh supremasi dan kekuasaan yang mempunyai kekuasaan itu bersifat merdeka artinya tidak tunduk pada a general habit of disobedience. Oleh Hart dikatakan bahwa dimana pun ada sistem hukum, pasti ada orang-orang atau lembaga-lembaga tertentu yang menerbitkan perintah yang didukung dengan ancaman. Tidak dapat dibantah bahwa ancaman memang menunjang ketaatan, bahkan jika dilakukan perhitungan statistik.

Hal tersebut berbeda dengan pandangan van Apeldoorn yang menyatakan bahwa sanksi bukanlah elemen esensial dalam hukum, melainkan elemen tambahan. Menurut van Apeldoorn, hukum suatu negara dalam banyak hal merupakan penuangan dari asas-asas dan norma-norma agama, moral, dan sosial yang didukung kesadaran masyarakat.270

Beberapa pihak percaya bahwa pada saat sekarang, pengenaan hukuman/sanksi merupakan cara yang paling efektif dan efisien untuk mengubah perilaku, dari hal yang buruk ke arah yang lebih baik.271

Menurut J. Winardi, terdapat studi yang menunjukkan bahwa penghukuman yang diterapkan kepada para karyawan karena prestasi mereka buruk, justru menyebabkan kinerja mereka meningkat, tanpa adanya dampak penting atas kepuasan mereka. Tetapi, penghukuman yang dirasakan sebagai tindakan yang

270 Ibid. hlm.77-78.

271 Agus Dwiyanto, dkk. Op.cit. hlm. 214.

bersifat arbitrer dan “semau gue” justru menyebabkan kepuasan menyusut dan kinerja turut pula berkurang.272

Hukuman sebaiknya berfokus pada respon spesifik, tidak pada pola perilaku umum. Semakin sedikit hukuman impersonal (tidak pada pribadi tertentu) semakin sedikit seseorang yang dihukum mengalami akibat emosional yang tidak diinginkan dan ketegangan hubungan dengan pimpinan menjadi permanen. Meskipun hukuman kontroversial, hukuman dapat menjadi efektif kalau pimpinan memperhatikan waktu, intensitas, jadwal, klarifikasi alasan, dan impersonal. Hukuman/sanksi menjadi efektif bila dilakukan secara terus-menerus atau hukuman harus konsisten. Pimpinan sebaiknya menerapkan sistem sanksi yang sama untuk setiap karyawan dengan kesalahan yang sama atau yang menunjukkan perilaku yang tidak diinginkan.273

Disiplin yang efektif harus diarahkan pada perilaku, bukan pada karyawan secara pribadi, karena maksud dari disiplin adalah memperbaiki kinerja. Disiplin dapat dihubungkan secara positif dengan kinerja, yang mengejutkan orang-orang merasa bahwa disiplin hanya berhubungan dengan perilaku. Keadilan distributif dan prosedural274 menyarankan bahwa apabila seorang manajer menoleransi perilaku yang tidak dapat diterima, kelompok tersebut mungkin merasa tersinggung terhadap ketidakadilan tersebut.275

272 J.Winardi. Op.cit. hlm.153.

273 Michael Domjan dan Barbara Burkhard. 1982. The Principles of Learning and Behavior. California: Brooks/Cole, dalam Agus Dwiyanto, dkk. Op.cit. hlm. 214.

274 Robert L.Mathis dan John H.Jackson. Op.cit. hlm. 514: memandang keadilan distributif adalah keadilan yang dirasakan dalam distribusi hasil, yang menguji bagaimana imbalan berhubungan dengan kinerja, sedangkan keadilan prosedural adalah keadilan yang dirasakan dari proses untuk membuat keputusan mengenai para karyawan.

275 Ibid.

Menurut penulis, konsep Aristoteles mengenai keadilan korektif sebagaimana telah dibahas sebelumnya, sangat relevan dengan hasil yang hendak dicapai dalam sistem penegakan disiplin.

Dengan demikian, menurut penulis, sistem penegakan disiplin adalah sistem aturan yang mengatur perilaku atau kegiatan dalam bentuk instruksi yang dimaksudkan sebagai pelatihan yang mengoreksi perilaku untuk menciptakan kondisi teratur atau pola perilaku dalam bekerja secara efektif dengan memberikan hukuman terhadap pelanggaran aturan tersebut. Ada dua aspek yang dapat digunakan untuk menilai apakah suatu sistem penegakan disiplin telah sejalan dengan prinsip merit system. Pertama, aspek sanksi disipliner dapat digunakan untuk menilai apakah penegakan disiplin mengatur hukuman yang berimplikasi terhadap remunerasi yang setimpal atas pelangaran-pelanggaran tertentu, dan kedua, aspek prosedur korektif dapat digunakan dalam menilai apakah penegakan disiplin yang berimplikasi terhadap remunerasi bersifat progresif terhadap pelanggaran kedisiplinan individu agar terkoreksi dan berubah menjadi lebih baik.

D. Kerangka Pemikiran

Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, dalam Pembukaan pada Alenia keempat dan dalam Pasal 1 ayat (3) mengimplikasikan dianutnya konsepsi negara hukum kesejahteraan dalam penyelenggaraan Negara Indonesia.

Dalam konsepsi negara hukum kesejahteraan, negara bertujuan untuk mewujudkan keamanan, ketertiban, dan kesejahteraan rakyat. Di mana dalam upaya mencapai tujuan tersebut, negara hukum kesejahteraan menjalankan fungsi sebagai penyedia dan pengatur dengan menggunakan birokrasi sebagai mesin negara.

Namun demikian, dalam kenyataannya birokrasi sebagai mesin negara belum berfungsi sebagaimana mestinya. Berbagai aspek menghambat terwujudnya birokrasi yang ideal.

Reformasi birokrasi merupakan jawaban terhadap keberadaan hambatan tersebut. Bentuk reformasi birokrasi yang paling utama adalah sistem penataan

PNS, yang berdasarkan prinsip merit system mencakup tiga hal yang sangat penting, yakni peraturan sistem rekrutmen, remunerasi, dan penegakan disiplin

PNS.

Peraturan sistem penataan PNS yang sejalan dengan prinsip merit system memberikan kesempatan yang sama (kesetaraan) bagi setiap orang untuk mengikuti rekrutmen dan menyeleksi orang-orang berkualitas sesuai kebutuhan. Peraturan sistem remunerasi memberikan penggajian yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dan memberikan penggajian yang sesuai dengan tanggung jawab dan hasil kerja sehingga mendorong kinerja yang optimal. Peraturan sistem penegakan disiplin yang berimplikasi terhadap remunerasi mampu menjamin kedisiplinan PNS.

Peraturan sistem rekrutmen, remunerasi, dan penegakan disiplin, dimaksudkan untuk menjalankan fungsi hukum sebagai sarana social engineering, yakni hanya mengangkat PNS yang berkualitas, mendorong kinerja dan kedisiplinan PNS untuk mendorong optimalisasi profesionalisme PNS.

Berlandaskan konstruksi pemikiran tersebut, dibangun variabel dan sub variabel yang menjadi dasar untuk mengumpulkan data guna menjawab rumusan masalah, mencapai tujuan penelitian, dan kegunaan penelitian.

Sistem penataan PNS dalam kerangka reformasi birokrasi merupakan variabel yang hendak digambarkan dan dijelaskan melalui sub variabel peraturan sistem

rekrutmen PNS, peraturan sistem remunerasi PNS, dan peraturan sistem penegakan disiplin PNS.

Sub variabel peraturan sistem rekrutmen PNS digambarkan dan dijelaskan melalui indikator persyaratan kualifikasi dan model seleksi. Persyaratan kualifikasi digunakan untuk mengetahui ada-tidaknya kesetaraan dalam rekrutmen, sedangkan indikator model seleksi digunakan untuk mengetahui apakah digunakan jenis tes/ujian yang mampu menyeleksi para pelamar yang berkualitas sesuai kebutuhan pemerintah.

Sub variabel peraturan sistem remunerasi PNS digambarkan dan dijelaskan melalui indikator basis pemenuhan hak dan basis orientasi kinerja. Basis pemenuhan hak digunakan untuk mengetahui kecukupan penggajian dalam memenuhi kebutuhan hidup PNS, sedangkan basis orientasi kinerja basis digunakan untuk mengetahui apakah penggajian mendorong optimalisasi kinerja PNS.

Sub variabel peraturan sistem penegakan disiplin PNS digambarkan dan dijelaskan dengan indikator sanksi disipliner dan prosedur korektif yang berimplikasi terhadap remunerasi dalam menjamin kedisiplinan PNS. Sanksi disipliner digunakan untuk mengetahui apakah telah ditetapkan jenis-jenis tindakan korektif yang sesuai/setimpal dengan pelanggaran, sedangkan prosedur korektif digunakan untuk mengetahui apakah telah ditetapkan prosedur yang progresif dalam arti segera dan bertahap dalam pengenaan hukuman guna memungkinkan pelanggar untuk mendisiplinkan diri.

Adapun variabel optimalisasi profesionalisme PNS merupakan variabel yang hendak diwujudkan oleh variabel sistem penataan PNS.

Kerangka pemikiran ini secara sederhana digambarkan dalam bentuk diagram kerangka pikir, sebagai berikut:

Diagram Kerangka Pikir

Peraturan Sistem Rekrutmen - Persyaratan Kualifikasi

- Model Seleksi

Peraturan Sistem Remunerasi Sistem Penataan - Basis Pemenuhan Hak Optimalisasi PNS dalam - Basis Orientasi Kinerja Profesionalism Kerangka Reformasi e PNS Birokrasi

Peraturan Sistem Penegakan Disiplin - Sanksi Disipliner - Prosedur Korektif

E. Definisi Operasional Variabel

Penelitian ini menggunakan definisi operasional variabel, sebagai berikut:

1. Reformasi birokrasi adalah gerakan untuk melakukan perubahan dalam birokrasi

untuk membentuk birokrasi menjadi lebih baik dengan melakukan koreksi

terhadap kondisi birokrasi yang buruk melalui metode atau tindakan yang lebih

baik.

2. Sistem penataan PNS dalam kerangka reformasi birokrasi adalah bentuk

pengaturan oleh hukum moderen yang rasional dan berlaku sama terhadap PNS

untuk menyelesaikan suatu permasalahan birokrasi dalam mencapai tujuan

negara, dimana terdapat peraturan sistem rekrutmen, sistem remunerasi, dan

sistem penegakan disiplin PNS, yang sejalan dengan prinsip merit system, teori

keadilan distributif, dan teori keadilan korektif.

3. Peraturan sistem rekrutmen PNS adalah bentuk pengaturan terhadap proses

menemukan calon-calon berkualitas dari sejumlah calon-calon dalam jumlah yang

cukup, untuk mengisi jabatan kepegawaian negeri sipil yang lowong pada saat

sekarang atau kebutuhan di masa depan, baik sebagai CPNS maupun pejabat

struktural.

4. Persyaratan kualifikasi adalah kriteria yang diberlakukan dalam seleksi pengisian

jabatan kepegawaian negeri untuk memberikan kesempatan yang sama dan

seluas-luasnya bagi para kandidat.

5. Model seleksi adalah cara yang digunakan untuk menyeleksi pelamar yang

berkualifikasi dan berkompeten dalam pengisian jabatan kepegawaian negeri

sipil.

6. Peraturan sistem remunerasi PNS adalah bentuk pengaturan hukum terhadap

cara penggajian kepada PNS atas pekerjaannya.

7. Basis pemenuhan hak adalah bentuk penggajian diberikan dengan pertimbangan

pemenuhan kebutuhan kesejahteraan PNS atas pekerjaannya.

8. Basis orientasi kinerja adalah bentuk penggajian diberikan dengan pertimbangan

mendorong kinerja optimal PNS.

9. Peraturan sistem penegakan disiplin PNS adalah bentuk pengaturan hukum

terhadap perilaku PNS yang dimaksudkan sebagai pelatihan yang mengoreksi

perilaku untuk menjamin kedisiplinan dengan memberikan hukuman yang

berimplikasi remunerasi atas pelanggaran aturan kedisiplinan.

10. Sanksi disipliner adalah bentuk tindakan koreksi terhadap suatu perilaku PNS

untuk melatih pelanggar kedisiplinan dalam memperbaiki diri dengan

memberikan hukuman yang berimplikasi terhadap remunerasi yang setimpal

terhadap suatu pelanggaran.

11. Prosedur korektif adalah bentuk tahapan koreksi dan kesegeraan tindakan

koreksi yang bersifat progresif yang dikenakan terhadap suatu perilaku PNS

untuk melatih pelanggar dalam memperbaiki diri dengan memberikan hukuman

yang berimplikasi terhadap remunerasi atas suatu pelanggaran.

12. Optimalisasi profesionalisme PNS adalah wujud pencapaian atas keberadaan

PNS yang berkualitas, peningkatan optimal kinerja PNS, dan jaminan

kedisiplinan PNS.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe dan Pendekatan Penelitian

Tipe penelitian ini adalah socio-legal research, diorientasikan pada aspek hukum

(normatif) dan didukung aspek non hukum (empirik), yakni aspek pengaturan hukum dan bekerjanya hukum dalam masyarakat tersebut (kelompok yang rentan terhadap suatu ketentuan hukum).

Penelitian ini sebagian besar merupakan penelitian hukum normatif276 yang berkaitan dengan sistem penataan PNS dalam kerangka reformasi birokrasi. Inti dari penelitian hukum normatif277 adalah pada langkah-langkah kajian yang harus berlandaskan pada teori kebenaran koherensi dan pragmatis secara traceable

(controleebaar dan konsensus). Kekuatan kajian normatif terletak pada langkah- langkah sekuensial yang mudah ditelusuri oleh ilmuwan hukum lainnya.

Penelitian ini mengkaji isu penelitian dalam tiga lapisan ilmu hukum278, yakni rechtsdogmatiek (dogmatik hukum), rechtsteorie (teori hukum), dan rechtsfilosofie

(filsafat hukum).

276 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2007. Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan Singkat. Ed.ke-1. Cet.ke-10. Jakarta: RajaGrafindo Persada, hlm.13-14: mengemukakan bahwa penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan.

277 Aminuddin Ilmar. 2009. Konstruksi Teori dan Metode Kajian Ilmu Hukum. Cet.ke-1. Makassar: Hasanuddin University Press. hlm 87.

278 Jan Gijssels dan Mark van Hoecke mengemukakan bahwa berdasarkan sifat keilmuan hukum terdapat tiga lapisan ilmu hukum, yakni rechtsdogmatiek (dogmatik hukum), rechtsteorie (teori hukum), dan rechtsfilosofie (filsafat hukum). Dalam penelitian pada tataran dogmatik hukum, sesuatu menjadi isu hukum apabila di dalam masalah itu tersangkut ketentuan hukum yang relevan dengan fakta yang dihadapi. Dalam penelitian pada tataran teori hukum, isu hukum harus mengandung konsep hukum. Dalam penelitian hukum dalam tataran filosofis, isu hukum harus menyangkut asas-asas hukum, sebagaimana dikutip dalam Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Cet.ke-1. Jakarta: Prenada Media, hlm.25.

Pendekatan yang digunakan dalam menjawab isu penelitian ini adalah pendekatan komparatif (comparative approach),279 dengan melakukan peninjauan terhadap sistem kepegawaian negeri sipil Indonesia, Amerika Serikat, dan Jerman.

Sistem kepegawaian negeri sipil Amerika Serikat dipilih mengingat bahwa Presiden

Soekarno pernah mengundang akademisi dari Amerika Serikat untuk memberikan saran pengembangan dan perbaikan sistem administrasi negara RI yang kemudian dilaksanakan melalui reformasi birokrasi pemerintah pada masa itu.280 Selain itu,

Amerika Serikat281 merupakan negara terkemuka dalam reformasi birokrasinya, dan memiliki kemiripan dengan Indonesia282 dalam hal wilayah yang luas, jumlah penduduk yang besar, dan memiliki keragaman penduduk. Sistem kepegawaian negeri Jerman dipilih mengingat bahwa Jerman terkemuka dalam reformasi birokrasinya dan memiliki tradisi sistem hukum yang mirip dengan Indonesia, yakni

Civil Law System.

B. Daerah Penelitian

279 Ibid. hlm.94 dan hlm.133: pendekatan komparatif dilakukan dengan membandingkan hukum suatu negara dengan hukum dari satu atau lebih negara lain mengenai hal yang sama. Kegunaan pendekatan ini adalah memperoleh persamaan dan perbedaan diantara hukum tersebut. Hal ini untuk menjawab mengenai isu antara ketentuan hukum dengan filosofi yang melahirkan hukum itu. Penyingkapan ini dapat dijadikan rekomendasi bagi penyusunan atau perubahan undang-undang.

280 Miftah Thoha. 2008. Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi. Edisi ke-1. Cet.ke-1. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm.102.

281Amerika Serikat memiliki wilayah yang luas yakni 9.161.966 (luas daratan) km2 dan 664.709 km2 (luas laut territorial), terdiri dari 50 negara bagian dan 1 distrik federal, sebagaimana dimuat dalam Central Intelligence Agency. The World Factbook. https://www.cia.gov/library/publications/the-world- factbook/geos/us.html, diakses 10 September 2012; dan Amerika Serikat memiliki jumlah penduduk yang besar yakni 311.600.000 jiwa berdasarkan U.S. Cencus Bureau Pada tahun 2011, sehingga berada pada peringkat ke-3 di dunia, dan memiliki keragaman penduduk yang multietnis dan multikultural disebabkan oleh masuknya para imigran dari berbagai negara lain, sebagaimana dimuat dalam US. Cencus Bureau. American Factfinder; Population and Housing Narrative Profile 2011. http://factfinder2.census.gov/faces/tableservices/jsf/pages/productview.xhtml?pid=ACS_11_1YR_NP01&prodT ype=narrative_profile, diakses 10 September 2012.

282 Indonesia memiliki wilayah yang luas yakni 1.910.931,32 km2 (luas daratan) dan 284.210,90 km2 (luas laut territorial), terdiri dari 33 propinsi, dengan jumlah penduduk yang besar yakni 237,641,326 jiwa berdasarkan hasil sensus penduduk oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 2010, sehingga berada pada peringkat ke-4 di dunia Badan Pusat Statistik. 2011. Pengembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia. Katalog BPS 3101015, hlm.3 dan 11; dan memiliki keragaman suku bangsa, etnis, dan budaya.

Penelitian ini secara empirik diadakan di Kawasan Timur Indonesia, daerah yang dipilih sebagai daerah sampel adalah Makassar, karena terdapat unit-unit kerja

Lembaga Administrasi Negara. Lembaga Administrasi Negara dipilih karena merupakan salah satu instansi pemerintah yang sedang melaksanakan reformasi birokrasi dan telah memperoleh tunjangan kinerja pada tahun 2012, serta merupakan salah satu leading sector dalam paguyuban Kementerian PAN dan RB, yakni sebagai instansi yang menjalankan fungsi pembinaan aparatur.

C. Jenis Data dan Instrumen Pengumpulan Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer. Pengumpulan data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer,283 bahan hukum sekunder,284 dan bahan hukum tertier,285 diperoleh melalui studi dokumen atau arsip-arsip resmi yang dihimpun oleh instansi pemerintah yang berkaitan dengan materi penelitian. Pengumpulan data primer dilakukan secara langsung terhadap responden dengan menggunakan kuesioner dan terhadap pejabat terkait menggunakan panduan wawancara (intervieuw guide).

D. Populasi dan Sampel

283 Gregory Churchill, sebagaimana dikutip dan diadaptasi dalam Soerjono Soekanto. 2007. Pengantar Penelitian Hukum. Cet.2007. Jakarta: UI-Press, hlm.52: bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari: a.norma atau kaidah dasar yakni pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, b. peraturan dasar yakni batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945, c. peraturan perundang-undangan, d. bahan hukum yang tidak dikodifikasikan seperti misalnya hukum adat, e. yurisprudensi, f. traktat, dan g. bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku.

284 Ibid: bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti misalnya, rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya.

285 Ibid: bahan hukum tertier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya kamus, ensiklopedis indeks kumulatif, dan seterusnya.

Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan PNS pada unit-unit kerja

Lembaga Administrasi Negara yang ada di Kawasan Indonesia Timur, yakni PNS pada Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur II Lembaga Administrasi

Negara (PKP2A II LAN) yang berjumlah 61 orang dan PNS pada Sekolah Tinggi

Ilmu Administrasi–Lembaga Administrasi Negara, Makassar (STIA-LAN Makassar) yang berjumlah 42 orang. Oleh karena jumlah populasi adalah 103 orang dari 2 unit kerja tersebut, maka sampel ditetapkan secara sensus, dengan menetapkan jumlah seluruh populasi sebagai sampel.

E. Analisis Data

Data sekunder dan data primer dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan menggunakan landasan teori dalam menafsirkan data atau informasi yang diperoleh dalam penelitian ini.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Reformasi Birokrasi

Krisis ekonomi yang dialami Indonesia tahun 1997, pada tahun 1998 telah berkembang menjadi krisis multidimensi. Kondisi tersebut mengakibatkan adanya tuntutan kuat dari segenap lapisan masyarakat terhadap pemerintah untuk segera diadakan reformasi penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejak itu, telah terjadi berbagai perubahan penting yang menjadi tonggak dimulainya era reformasi di bidang politik, hukum, ekonomi, dan birokrasi, yang dikenal sebagai reformasi gelombang pertama. Perubahan tersebut dilandasi oleh keinginan sebagian besar masyarakat untuk mewujudkan pemerintahan demokratis dan mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat yang didasarkan pada nilai-nilai dasar sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.286

Dalam perkembangan pelaksanaan reformasi gelombang pertama, reformasi di bidang birokrasi mengalami ketertinggalan dibanding reformasi di bidang politik, ekonomi, dan hukum. Oleh karena itu, pada tahun 2004, pemerintah telah menegaskan kembali akan pentingnya penerapan prinsip-prinsip clean government dan good governance yang secara universal diyakini menjadi prinsip yang diperlukan untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, program utama yang dilakukan pemerintah adalah membangun aparatur negara melalui penerapan reformasi birokrasi. Dengan demikian, reformasi

286 Lampiran Peraturan Presiden RI No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025, Bab I, 1.1.

birokrasi gelombang pertama pada dasarnya secara bertahap mulai dilaksanakan pada tahun 2004.287

Dalam Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025, dijelaskan bahwa reformasi birokrasi bermakna sebagai sebuah perubahan besar dalam paradigma dan tata kelola pemerintahan Indonesia. Selain itu, reformasi birokrasi juga bermakna sebagai sebuah pertaruhan besar bagi bangsa Indonesia dalam menyongsong tantangan abad ke-21.288

Pada tahun 2011, seluruh kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah ditargetkan telah memiliki komitmen dalam melaksanakan proses reformasi birokrasi. Pada tahun 2014 secara bertahap dan berkelanjutan, kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah telah memiliki kekuatan untuk memulai proses tersebut, sehingga pada tahun 2025, birokrasi pemerintahan yang profesional dan berintegritas tinggi dapat diwujudkan.289

Sementara itu, pada pidato kenegaraan dalam rangka memperingati ulang tahun ke-64 Kemerdekaan RI di depan Sidang DPR RI tanggal 14 Agustus 2009,

Presiden menegaskan kembali tekad pemerintah untuk melanjutkan misi sejarah bangsa Indonesia untuk lima tahun mendatang, yaitu melaksanakan reformasi gelombang kedua, termasuk reformasi birokrasi. Reformasi gelombang kedua bertujuan untuk membebaskan Indonesia dari dampak dan ekor krisis yang terjadi sepuluh tahun yang lalu. Pada tahun 2025, Indonesia diharapkan berada pada fase yang benar-benar bergerak menuju negara maju.290

287 Ibid.

288 Lampiran Peraturan Presiden RI No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025, Bab I, 1.1

289 Ibid.

290 Ibid.

Reformasi birokrasi berkaitan dengan ribuan proses tumpang-tindih

(overlapping) antarfungsi-fungsi pemerintahan, melibatkan jutaan pegawai, dan memerlukan anggaran yang tidak sedikit. Selain itu, reformasi birokrasi pun perlu menata ulang proses birokrasi dari tingkat (level) tertinggi hingga terendah dan melakukan terobosan baru (innovation breakthrough) dengan langkah-langkah bertahap, konkret, realistis, sungguh-sungguh, berfikir di luar kebiasaan/rutinitas yang ada (out of the box thinking), perubahan paradigma (a new paradigm shift), dan dengan upaya luar biasa (business not as usual). Oleh karena itu, reformasi birokrasi nasional perlu merevisi dan membangun berbagai regulasi, memodernkan berbagai kebijakan dan praktek manajemen pemerintah pusat dan daerah, dan menyesuaikan tugas fungsi instansi pemerintah dengan paradigma dan peran baru.

Upaya tersebut membutuhkan suatu grand design dan road map reformasi birokrasi yang mengikuti dinamika perubahan penyelenggaraan pemerintahan sehingga menjadi suatu living document.291

Grand Design Reformasi Birokrasi adalah rancangan induk yang berisi arah kebijakan pelaksanaan reformasi birokrasi nasional untuk kurun waktu 2010-2025.

Sedangkan Road Map Reformasi Birokrasi adalah bentuk operasionalisasi Grand

Design Reformasi Birokrasi yang disusun dan dilakukan setiap 5 (lima) tahun sekali dan merupakan rencana rinci reformasi birokrasi dari satu tahapan ke tahapan selanjutnya selama lima tahun dengan sasaran per tahun yang jelas. Grand Design

Reformasi Birokrasi 2010-2025 ditetapkan dengan Peraturan Presiden, sedangkan

Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014 ditetapkan dengan Peraturan Menteri

Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi agar dapat

291 Ibid.

memiliki sifat fleksibilitas sebagai suatu living document.292 Grand Design Reform

Reformasi Birokrasi 2010-2025 ditetapkan dalam Peraturan Presiden No.81 Tahun

2010, sedangkan Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014 ditetapkan dalam

Peraturan Menteri PAN dan RB No.20 Tahun 2010.

Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 dan Road Map Reformasi

Birokrasi 2010-2014 merupakan penyempurnaan dari Peraturan Menteri PAN dan

RB Nomor:PER/15/M.PAN/7/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi dan

Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor:PER/04/M.PAN/4/2009 tentang Pedoman

Pengajuan Dokumen Usulan Reformasi Birokrasi di Lingkungan Kementerian/

Lembaga/ Pemerintah Daerah.

Pada reformasi birokrasi gelombang pertama (2004-2009), reformasi birokrasi yang dilaksanakan bersifat instansional, dengan sasaran mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, dengan area perubahan pada: (1) kelembagaan

(organisasi); (2) budaya organisasi; (3) ketatalaksanaan; (4) regulasi-deregulasi; dan

(5) sumber daya manusia.

Pada reformasi birokrasi gelombang kedua (2010-2014), reformasi birokrasi yang dilaksanakan bersifat nasional dan institusional, dengan sasaran:

(1) terwujudnya pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme; (2) terwujudnya kualitas pelayanan publik kepada masyarakat, dan (3) meningkatkan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi. Di mana area perubahannya pada: (1) organisasi; (2) tata laksana; (3) peraturan perundang- undangan; (4) sumber daya manusia aparatur; (5) pengawasan; (6) akuntabilitas;

(7) pelayanan publik; (8) pola pikir (mindset) dan budaya kerja (culture set) aparatur.

292 Ibid.

Reformasi birokrasi merupakan upaya berkelanjutan yang setiap tahapannya memberikan perubahan atau perbaikan birokrasi ke arah yang lebih baik. Grand design reformasi birokrasi dan road map reformasi birokrasi merupakan bagian dari rencana pembangunan aparatur negara yang holistik sudah dituangkan dalam

Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka

Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 dan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun

2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-

2014. Di mana salah satu prioritas peraturan tersebut adalah pemantapan reformasi birokrasi instansi. Oleh karena itu, ruang lingkup Grand Design Reformasi Birokrasi

2010-2025 difokuskan pada reformasi birokrasi pemerintah.

Pada tahun 2014 diharapkan perubahan birokrasi sudah berhasil mencapai penguatan dalam beberapa hal berikut: 293

a. penyelenggaraan pemerintahan yang baik, bersih, bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme; b. kualitas pelayanan publik; c. kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi; d. profesionalisme SDM aparatur yang didukung oleh regulasi sistem rekrutmen dan promosi aparatur yang berbasis kompetensi, transparan, dan mampu mendorong mobilitas aparatur antardaerah, antarpusat, dan antara pusat dengan daerah, serta memperoleh gaji dan bentuk jaminan kesejahteraan yang sepadan.

Pada tahun 2019, diharapkan dapat diwujudkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan yang baik, bersih, dan bebas korupsi, kolusi, serta nepotisme. Selain itu, diharapkan pula dapat diwujudkan pelayanan publik yang sesuai dengan harapan masyarakat, harapan bangsa Indonesia yang semakin maju dan mampu bersaing dalam dinamika global yang semakin ketat, kapasitas dan akuntabilitas

293 Lampiran Peraturan Presiden RI No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025, Bab I, 1.3.

kinerja birokrasi semakin baik, SDM aparatur semakin profesional, serta mind-set dan culture-set yang mencerminkan integritas dan kinerja semakin tinggi.294

Pada tahun 2025, diharapkan telah terwujud tata pemerintahan yang baik dengan birokrasi pemerintah yang profesional, berintegritas tinggi, dan menjadi pelayan masyarakat dan abdi negara.295

Dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan

Jangka Panjang Nasional 2005-2025, ditetapkan bahwa visi pembangunan nasional adalah Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur. Oleh karena itu, arah kebijakan reformasi birokrasi adalah:

a. Pembangunan aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparatur negara dan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, baik di pusat maupun di daerah agar mampu mendukung keberhasilan pembangunan di bidang lainnya (UU No. 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025). b. Kebijakan pembangunan di bidang hukum dan aparatur diarahkan pada perbaikan tata kelola pemerintahan yang baik melalui pemantapan pelaksanaan reformasi birokrasi (Perpres No. 5 tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014).

Berdasarkan arah kebijakan reformasi birokrasi tersebut, visi reformasi birokrasi adalah “Terwujudnya Pemerintahan Kelas Dunia”. Visi tersebut menjadi acuan dalam mewujudkan pemerintahan kelas dunia, yaitu pemerintahan yang profesional dan berintegritas tinggi yang mampu menyelenggarakan pelayanan prima kepada masyarakat dan manajemen pemerintahan yang demokratis agar mampu menghadapi tantangan pada abad ke-21 melalui tata pemerintahan yang baik pada tahun 2025.296

294 Ibid.

295 Ibid.

296 Lampiran Peraturan Presiden RI No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025, Bab I, 2.4.

Pola pikir pencapaian visi reformasi birokrasi adalah bahwa penyempurnaan kebijakan nasional di bidang aparatur akan mendorong terciptanya kelembagaan yang sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi masing-masing

Kementerian/Lembaga dan Pemda, manajemen pemerintahan dan manajemen

SDM aparatur yang efektif, serta sistem pengawasan dan akuntabilitas yang mampu mewujudkan pemerintahan yang berintegritas tinggi. Implementasi hal-hal tersebut pada masing-masing Kementerian/Lembaga dan Pemda akan mendorong perubahan mind set dan culture set pada setiap birokrat ke arah budaya yang lebih profesional, produktif, dan akuntabel.297

Untuk mewujudkan visi tersebut, reformasi birokrasi memiliki beberapa misi sebagai berikut:298

a. membentuk/menyempurnakan peraturan perundang-undangan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik; b. melakukan penataan dan penguatan organisasi, tatalaksana, manajemen sumber daya manusia aparatur, pengawasan, akuntabilitas, kualitas pelayanan publik, mind set dan culture set; c. mengembangkan mekanisme kontrol yang efektif; d. mengelola sengketa administratif secara efektif dan efisien.

Reformasi birokrasi bertujuan untuk menciptakan birokrasi pemerintah yang profesional dengan karakteristik adaptif, berintegritas, berkinerja tinggi, bersih dan bebas KKN, mampu melayani publik, netral, sejahtera, berdedikasi, dan memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur negara. Adapun area perubahan yang menjadi tujuan reformasi birokrasi meliputi seluruh aspek manajemen pemerintahan, yakni:299

1. Pada area Organisasi, diharapkan terwujud organisasi yang tepat fungsi dan tepat ukuran (rightsizing);

297 Ibid, Bab I, 2.5.

298 Ibid, Bab I, 2.6.

299 Ibid, Bab I, 2.7.

2. Pada area Tatalaksana, diharapkan terwujud sistem, proses, dan prosedur kerja yang jelas, efektif, efisien, terukur, dan sesuai prinsip-prinsip good governance; 3. Pada area Peraturan Perundang-undangan, diharapkan terwujud regulasi yang lebih tertib, tidak tumpang tindih, dan kondusif. 4. Pada area Sumber Daya Manusia Aparatur, diharapkan terwujud Sumber Daya Manusia Aparatur yang berintegritas, netral, kompeten, capable, profesional, berkinerja tinggi, dan sejahtera. 5. Pada area Pengawasan, diharapkan terwujud peningkatan penyelenggaraan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme. 6. Pada area Akuntabilitas, diharapkan terwujud peningkatan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi. 7. Pada area Pelayanan Publik diharapkan terwujud pelayanan prima sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat. 8. Pada area Pola Pikir dan Budaya Kerja Aparatur, diharapkan terwujud birokrasi dengan integritas dan kinerja yang tinggi.

Selanjutnya, pengorganisasian pelaksanaan reformasi birokrasi nasional, diatur dalam Keputusan Presiden No.14 Tahun 2010 tentang Pembentukan Komite

Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional dan Tim Reformasi Birokrasi Nasional.

Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional bertugas:

1. Menetapkan acuan nasional untuk tata kelola pemerintahan yang baik sebagai landasan pelaksanaan reformasi birokrasi nasional; 2. Menetapkan kebijakan, strategi, dan standar-standar bagi pelaksanaan program reformasi birokrasi dan kinerja operasi birokrasi; 3. Mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menegakkan kepatuhan atas standar-standar bagi pelaksanaan program reformasi birokrasi dan kinerja operasi birokrasi; 4. Menetapkan program-program unggulan dalam pelaksanaan reformasi birokrasi; 5. Membentuk dan menetapkan Tim Independen dan Tim Penjaminan Kualitas (Quality Assurance); 6. Melakukan kerja sama dengan pihak ketiga dalam melaksanakan tugasnya; 7. Menyampaikan laporan secara berkala atau sewaktu-waktu apabila diperlukan kepada Presiden.

Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional tersebut diketuai oleh Wakil

Presiden yang bertanggung jawab kepada Presiden, dengan beranggotakan:

1. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan; 2. Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat; 3. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian; 4. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi; 5. Menteri Keuangan; 6. Menteri Dalam Negeri;

7. Kepala Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan; 8. Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid, M.A. (Anggota Dewan Pertimbangan Presiden).

Di samping itu, terdapat Tim Reformasi Birokrasi Nasional bertanggung jawab kepada Ketua Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional, dengan tugas:

1. Menyusun rancangan Grand Design dan Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2025; 2. Merumuskan kebijakan dan strategi operasional reformasi birokrasi nasional; 3. Memantau dan mengevaluasi kemajuan pelaksanaan reformasi birokrasi nasional; 4. Melaksanakan komunikasi secara berkala dengan para pemangku kepentingan (stakeholders); 5. Membentuk dan menetapkan Unit Pengelola Reformasi Birokrasi Nasional; 6. Memberikan arahan kepada Unit Pengelola Reformasi Birokrasi Nasional; 7. Mengusulkan penetapan pelaksanaan dan keberlanjutan reformasi birokrasi untuk Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah kepada Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional; 8. Melaporkan secara berkala kemajuan pelaksanaan reformasi birokrasi nasional kepada Ketua Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional.

Tim Reformasi Birokrasi Nasional diketuai oleh Menteri Pendayagunaan

Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dengan beranggotakan:

1. Menteri Keuangan; 2. Menteri Dalam Negeri; 3. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional; 4. Menteri Sekretaris Negara; 5. Sekretaris Kabinet.

Tim Reformasi Birokrasi Nasional dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh

Unit Pengelola Reformasi Birokrasi Nasional, serta didukung oleh Tim Independen dan Tim Penjaminan Kualitas (Quality Assurance).

Secara garis besar, dasar hukum pelaksanaan reformasi birokrasi secara nasional adalah terutama berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok- pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43

Tahun 1999.

Selain itu, terdapat pula peraturan perundang-undangan lainnya yang tidak secara eksplisit menyebutkan reformasi birokrasi, ataupun peraturan pelaksanaan, tetapi dibentuk dalam rangka reformasi birokrasi secara reaktif oleh Kementerian

PAN dan RB serta BKN.

Apabila ditinjau secara historis, departemen keuangan, dalam hal ini Direktorat

Jenderal Pajak merupakan instansi yang pertama kali melakukan reformasi birokrasi, dan sejak tahun 2007 berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No.

289/KMK.01/02007 telah menerima tunjangan khusus pembinaan keuangan negara sebesar 100 persen.

Meskipun Undang-Undang Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 dalam

Lampirannya menjelaskan bahwa reformasi birokrasi terdiri dari 2 gelombang, yakni gelombang I (2004-2009) dan gelombang II (2010-2014), dalam kenyataannya reformasi birokrasi secara institusional dengan langkah kecil yang disebut dengan reformasi administrasi perpajakan telah dimulai sejak 2002 pada Dirjen Pajak dan sejak 2004 ditetapkan pilot project reformasi birokrasi secara institusional oleh

Departemen Keuangan. Demikian pula pada tahun 2007, reformasi birokrasi baru dimulai secara institusional pada kementerian keuangan. Bahkan reformasi birokrasi secara nasional pada 3 kementerian baru dilaksanakan pada tahun 2008. Grand design reformasi birokrasi secara nasional barulah ada pada tahun 2010.

Tahap awal sebagai percontohan remunerasi tahun 2007 dipilih pegawai

Departemen Keuangan.300 Menteri Keuangan (Sri Mulyani) pada waktu itu berpandangan bahwa dipilihnya Kementerian Keuangan sebagai percontohan program remunerasi dengan alasan hampir 75 persen penerimaan negara dikelola

300 Departemen Keuangan diubah menjadi Kementerian Keuangan sesuai Undang-Undang No.38 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.

kementerian keuangan (Tempo.co, 5 Maret 2012). Selain itu, Departemen Keuangan merupakan instansi yang strategis, karena hampir seluruh aspek perekonomian negara berhubungan langsung dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Depkeu.

Depkeu bersifat holding type organization dengan permasalahan yang sangat kompleks. Instansi ini memiliki kantor vertikal terbesar dan tersebar di seluruh

Indonesia yang memberikan pelayanan langsung kepada publik. Tuntutan masyarakat juga sangat tinggi akan profesionalisme birokrasi Depkeu. Otoritas fiskal di dunia internasional pada umumnya telah memberikan pelayanan kepada publik secara efektif dan efisien dengan jumlah pegawai yang cukup besar sekitar 62 ribu orang (Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan, 26 Juli 2012).

Namun demikian, patut diketahui sejak tahun 1971, berdasarkan Keppres No 15

Tahun 1971 tentang tundjangan chusus pembinaan keuangan negara kepada pegawai departemen keuangan, gaji pegawai departemen keuangan dinaikkan sampai sembilan kali lipat.

Bahkan sebelumnya telah ada pemberian biaya khusus berdasarkan Keputusan

Presiden Kabinet Republik Indonesia tanggal 16 Maret 1966 Nomor A3/D/44a/1966 tentang biaja chusus pengamanan pemasukan penerimaan padjak, bea dan tjukai.

Menteri PAN dan RB (Azwar Abubakar) menjelaskan dalam Ceramah Umum kepada Peserta Diklat PIM II dan Diklat PIM III di PKP2A II LAN (24 April 2012), bahwa pada 2009 ada dua lagi instansi yang mendapat remunerasi, yakni

Sekretariat Negara dan Sekretariat Kabinet dengan nilai remunerasi 45-50 persen.

Pada 2010 remunerasi menjangkau sembilan Kementerian/Lembaga, sedangkan pada 2011 mencakup 22 Kementerian/Lembaga. Pada tahun 2012 memberikan kesempatan 40 Kementerian/Lembaga dan 99 Pemerintah Daerah untuk mengikuti program reformasi birokrasi.

B. Peraturan Sistem Rekrutmen PNS

Peraturan sistem rekrutmen PNS adalah bentuk pengaturan terhadap proses menemukan calon-calon berkualitas dari sejumlah calon-calon dalam jumlah yang cukup, untuk mengisi pekerjaan kepegawaian negeri sipil yang lowong.

Peraturan sistem rekrutmen PNS digambarkan dan dijelaskan melalui persyaratan kualifikasi dan model seleksi. Pembahasan mengenai persyaratan kualifikasi digunakan untuk mengetahui ada-tidaknya kesetaraan dalam pengaturan mengikuti rekrutmen, sedangkan pembahasan model seleksi digunakan untuk mengetahui apakah jenis tes/ujian yang ditetapkan mampu menyeleksi para pelamar yang berkualitas.

1. Persyaratan Kualifikasi

Persyaratan kualifikasi dalam tulisan ini dibahas dalam dua perspektif, yakni persyaratan kualifikasi CPNS dan persyaratan kualifikasi dalam jabatan struktural. a. Persyaratan Kualifikasi CPNS

Persyaratan kualifikasi dapat menunjukkan seberapa jauh pemerintah telah menciptakan kesetaraan kesempatan bagi setiap pelamar CPNS.

Persyaratan kualifikasi dalam rekrutmen CPNS di Indonesia pada tahun 2012 diatur secara berbeda, terdiri dari jalur: a. pelamar umum; b. tenaga honorer yang telah bekerja di lembaga pemerintah pada atau sebelum

tanggal 1 Januari 2005 dan penghasilannya dibiayai APBN/APBD; c. lulusan ikatan dinas.

Rekrutmen CPNS pada tahun 2012 dari jalur pelamar umum dilakukan secara terbatas hanya untuk pengisian jabatan tertentu, yakni: tenaga pendidik, tenaga kesehatan, dan tenaga mendesak lainnya. Bahkan pada tahun 2011, pemerintah tidak melaksanakan rekrutmen CPNS dari pelamar umum.

Hal tersebut merupakan implikasi dari kebijakan moratorium rekrutmen CPNS diatur dalam Peraturan Bersama Menteri PAN dan RB, Menteri Dalam Negeri, dan

Menteri Keuangan, Nomor:02/SPB/M.PAN-RB/8/2011, Nomor:800-632 Tahun 2011,

Nomor:141/PMK.01/2011 tentang Penundaan Sementara Penerimaan Calon

Pegawai Negeri Sipil, pada Pasal 1 menegaskan maksud dari penundaan sementara tambahan formasi, sebagai berikut:

(1) Dalam rangka penataan PNS dan penghematan anggaran belanja pegawai dilakukan penundaan sementara tambahan formasi untuk penerimaan CPNS. (2) Penundaan sementara tambahan formasi untuk penerimaan CPNS sebagai dimaksud dalam Ayat (1) diberlakukan sejak 1 September 2011 hingga 31 Desember 2012.

Selanjutnya dalam Pasal 2 mengatur mengenai pengecualian dari penundaan sementara tambahan formasi, sebagai berikut:

(1) Penundaan sementara tambahan formasi untuk penerimaan CPNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dikecualikan bagi: a. Kementerian/lembaga yang: 1. membutuhkan PNS untuk melaksanakan tugas sebagai: a) Tenaga Pendidik; b) Dokter dan Perawat pada UPT Kesehatan; c) Jabatan yang bersifat khusus dan mendesak. 2. memiliki lulusan ikatan dinas sesuai Peraturan Perundang-undangan. b. Pemerintah daerah yang besaran anggaran belanja pegawai di bawah atau kurang dari 50% total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2011 untuk memenuhi kebutuhan pegawai yang melaksanakan tugas sebagai: 1. Tenaga Pendidik; 2. Dokter, Bidan, dan Perawat; 3. Jabatan yang bersifat khusus dan mendesak. c. Tenaga honorer yang telah bekerja di lembaga pemerintah pada atau sebelum tanggal 1 Januari 2005 dan telah diverifikasi dan divalidasi berdasarkan kriteria yang diatur dalam PP No.48 Tahun 2005 jo. PP No.43 Tahun 2007, sesuai kebutuhan organisasi, redistribusi, dan

kemampuan keuangan negara yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah. (2) Jabatan yang bersifat khusus dan mendesak sebagaimana dimaksud ditetapkan oleh Tim Reformasi Birokrasi Nasional dengan arahan yang ditetapkan oleh Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional.

Terkait mengenai moratorium PNS di Indonesia, Agus Dwiyanto sebagaimana dimuat dalam Kompas.com (24 Agustus 2011) memandang moratorium perekrutan

PNS sangat diperlukan. Namun, pemerintah harus konsisten dengan kebijakan ini.

Selama ini, pemerintah tidak konsisten. Zaman Faisal Tamim (Menteri PAN 1999-

2004) sudah dilakukan kebijakan moratorium itu, tetapi zaman Taufiq Effendi malah diangkat pegawai honorer yang banyak sekali dan mengakibatkan banyak daftar tunggu tenaga honorer fiktif.

Menurut Deputi SDM Aparatur Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dalam sosialisasi reformasi birokrasi pemerintah daerah (24

April 2012) semangat moratorium PNS adalah:

1. Pada prinsipnya semangat moratorium adalah tidak ada penambahan pegawai. 2. Jika ada kebutuhan pegawai yang mendesak agar diupayakan melalui redistribusi antar unit atau antar instansi yang dikoordinasikan oleh Menpan RB dan BKN. 3. Apabila redistribusi telah dilakukan tetapi masih kekurangan pegawai dan kekurangan tersebut akan menyebabkan terbengkalainya pelayanan dasar dapat mengajukan usul sepanjang jabatan tersebut dikecualikan dari moratorium, dengan tetap melampirkan hasil analisis jabatan dan beban kerja.

Penghentian dan pembatasan perekrutan PNS dari jalur umum dirasakan sangat mendesak sebab komposisi belanja daerah pada umumnya tidak sehat.

Belanja pegawai umumnya jauh lebih besar ketimbang belanja publik atau anggaran yang digunakan untuk pelayanan publik dan pembangunan.

Pada tahun 2011, Gamawan Fauzi sebagaimana dimuat dalam Kompas.com

(24 Agustus 2011) menyebutkan bahwa belanja pegawai pada 294 kabupaten/kota lebih dari 50 persen APBD, ada pula 116 kabupaten/kota malah mencapai lebih dari

60 persen. Bahkan, ada daerah yang mengalokasikan belanja pegawai lebih dari 70 persen dari APBD.

Menurut Menteri PAN dan RB dalam Sosialisasi Reformasi Birokrasi pada

Pemerintah Daerah Regional II (9 April 2012), pada kurun 2007-2010 Belanja

Pegawai selalu lebih tinggi dibandingkan jenis belanja lainnya. Besarnya persentase total belanja Pegawai menunjukkan bahwa orientasi birokrasi masih ke pada inward looking (kepentingan internal birokrasi) belum ke pada output/outcomes untuk kepentingan publik (outward looking), dan juga menimbulkan beban berat pada anggaran. Besarnya belanja pegawai tersebut tampak dalam diagram berikut:

Sumber : Ditjen Keuangan Daerah, Kementerian Dalam Negeri, April 2011.

Menurut Wakil Menteri PAN dan RB (Wawancara yang publikasikan oleh

Merdeka.com, 9 Maret 2012), dengan moratorium itu, pemerintah berkomitmen membenahi segala sesuatu terkait penerimaan PNS di seluruh Indonesia. Berbagai aturan terkait kepegawaian akan ditata kembali. Terdapat beberapa pengecualian

dalam moratorium ini, seperti tenaga medis, dokter dan perawat, petugas keselamatan publik, dan tenaga pengajar.

Ada 3 (tiga) tujuan moratorium menurut Wakil Menteri PAN dan RB. Pertama, menghentikan praktek-praktek bad governance (tata kelola buruk), misalnya praktek- praktek KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme) dalam rekrutmen yang banyak terjadi, di daerah utamanya, ketika sebagian besar masyarakat dijadikan sebagai voter

(pemilih), sehingga akhirnya ada semacam transaksi ekonomi politik antara voter dengan politisi. Kedua, kita ingin menghitung berapa persis kebutuhan PNS di

Indonesia, pusat dan daerah, sampai kira-kira lima tahun akan datang. Ketiga, untuk membuat peraturan sistem rekrutmen lebih bagus, dengan membuat computer system test (tes berbasis komputer) yang bisa dilakukan setiap hari, setiap saat, tidak perlu setahun sekali.

Selanjutnya, menurut Wakil Menteri PAN dan RB, apabila berdasarkan tiga tujuan tadi, moratorium relatif tercapai sesuai harapan. Artinya, selama tahun 2011 tidak ada rekrutmen, sehingga tidak ada praktek-praktek memasukkan kepentingan pribadi politik di dalam rekrutmen. Kementerian PAN dan RB sedang meminta seluruh kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah mengusulkan apa yang disebut analisis jabatan dan analisis beban kerja untuk menghitung berapa kebutuhan mereka tehadap PNS. Ini masih ditunggu, hasilnya memang belum semua. Tapi beberapa sudah menyampaikan. Kalau tidak ada data itu Kementerian

PAN dan RB tidak akan memberikan formasi. Formasi hanya akan diberikan kalau kementerian/lembaga bisa menghitung berapa kebutuhan mereka sebenarnya untuk setiap sektor.

Lebih lanjut, menurut Wakil Menteri PAN dan RB, sebelum moratorium, rekrutmen berbasis anggaran pemerintah yang ada. APBN (Anggaran Pendapatan

dan Belanja Negara) 2 triliun dikucurkan, formasi pegawai disebarkan kepada seluruh kementerian, lembaga, dan pemda. Mau tidak mau, ada tidak ada, suka tidak suka, butuh tidak butuh, mereka mengambil formasi itu. Hal itu mengakibatkan rusaknya peraturan sistem rekrutmen PNS, karena kita tidak tahu persis berapa kebutuhan PNS. Oleh karena itu, Kementerian PAN dan RB menghentikan hal itu.

Adanya rekrutmen CPNS pada tahun 2012 dari jalur pelamar umum dalam masa moratorium menurut Wakil Menteri PAN dan RB dibatasi dengan persyaratan, yakni instansi pengusul harus memiliki postur anggaran yang kurang dari 50 persen untuk gaji pegawai. Syarat berikutnya adalah menyiapkan analisis jabatan (anjab), analisis beban kerja (abk), serta analisis kebutuhan pegawai lima tahun ke depan.

Bukti dari tidak gagalnya program moratorium CPNS baru adalah pihaknya mampu menekan kecenderungan pengadaan CPNS baru. Setiap tahun rata-rata pegawai atau PNS yang pensiun mencapai 200 ribu orang, tetapi pada tahun 2012 pemerintah membuka perekrutan CPNS hanya untuk 14.540 orang.

Hal tersebut menunjukkan penataan peraturan sistem rekrutmen mengalami negative growth. Wakil Menteri PAN dan RB sebagaimana dimuat dalam Jawa Pos

National Network (2 Mei 2012) semula memang mengharapkan melalui instrumen tersebut, penerimaan CPNS memiliki sistem zero growth. Artinya, jumlah usulan

CPNS baru sama persis dengan pegawai yang pensiun. Bahkan pemerintah berharap penerimaan CPNS bisa negative growth. Maksudnya, jumlah CPNS baru yang diusulkan lebih sedikit dibandingkan dengan PNS yang pensiun.

Menurut penulis, uraian-uraian tersebut mengungkap ketidakidealan peraturan sistem rekrutmen yang dilaksanakan pada tahun-tahun sebelumnya, dimana rekrutmen dilakukan tanpa disertai perencanaan berupa analisis jabatan, analisis beban kerja, dan analisis kebutuhan pegawai. Pada tahun 2012, sudah mulai

dilakukan perbaikan peraturan sistem rekrutmen dengan berdasarkan perencanaan sesuai kebutuhan masa kini sampai dengan lima tahun ke depan.

Undang-Undang No.8 Tahun 1974 sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang No.43 Tahun 1999 pada Pasal 16 ayat (2), yang masih dijadikan dasar peraturan pemerintah dalam rekrutmen CPNS di era reformasi birokrasi, sesungguhnya menghendaki agar rekrutmen CPNS memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh WNI berdasarkan syarat-syarat objektif dan tanpa diskriminasi, menegaskan bahwa setiap warga negara Republik Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk melamar menjadi PNS setelah memenuhi syarat- syarat yang ditentukan. Demikian pula dalam Penjelasan Pasal 16 Ayat (2), menjelaskan bahwa:

Ketentuan ini menegaskan bahwa pengadaan Pegawai Negeri Sipil harus didasarkan atas syarat-syarat obyektif yang telah ditentukan, dan tidak boleh didasarkan atas jenis kelamin, suku, agama, ras, golongan, atau daerah.

Pengaturan terhadap rekrutmen dari jalur pelamar umum, lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan Pegawai

Negeri Sipil, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun

2002, yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Kepala BKN No. 22 Tahun 2005 tentang Pedoman Pelaksanaan Calon Pegawai Negeri Sipil Tahun 2005, Peraturan

Kepala BKN Nomor 30 Tahun 2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan

Calon Pegawai Negeri Sipil, dan kemudian diatur lebih lanjut dengan Peraturan

Kepala BKN Nomor 9 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan

Calon Pegawai Negeri Sipil.

Persyaratan untuk mengajukan lamaran pekerjaan sebagai PNS diatur dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2002 pada Pasal 6, sebagai berikut:

(1) Syarat yang harus dipenuhi oleh setiap pelamar adalah : a. warga negara Indonesia;

b. berusia serendah-rendahnya 18 (delapan belas) tahun dan setinggi- tingginya 35 (tiga puluh lima) tahun; c. tidak pernah dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, karena melakukan suatu tindak pidana kejahatan; d. tidak pernah diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil atau diberhentikan tidak dengan hormat sebagai pegawai swasta; e. tidak berkedudukan sebagai calon/Pegawai Negeri; f. mempunyai pendidikan, kecakapan, keahlian dan keterampilan yang diperlukan; g. berkelakuan baik; h. sehat jasmani dan rohani; i. bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau negara lain yang ditentukan oleh pemerintah; dan j. syarat lain yang ditentukan dalam persyaratan jabatan. (2) Pengangkatan sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil dapat dilakukan bagi mereka yang melebihi usia 35 (tiga puluh lima) tahun berdasarkan kebutuhan khusus dan dilaksanakan secara selektif.

Selanjutnya dalam Penjelasan Ayat (2), dijelaskan bahwa:

Pengangkatan sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil yang melebihi usia 35 (tiga puluh lima) tahun dilaksanakan berdasarkan kebutuhan, khususnya bagi mereka yang telah mengabdi kepada instansi yang menunjang kepentingan nasional sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun, sebelum Peraturan Pemerintah ini ditetapkan.

Peraturan Pemerintah tersebut selanjutnya diatur dalam Peraturan Kepala BKN

Nomor 9 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan CPNS, pada

Lampiran II, Bagian B.1, yang pada intinya mengatur persyaratan untuk dapat mengajukan lamaran bagi pelamar umum, adalah sebagai berikut:

a. Fotokopi sah ijazah yang sesuai dengan kualifikasi pendidikan yang dibutuhkan; b. Bagi yang usianya lebih dari 35 tahun sampai dengan 40 tahun dan mempunyai masa pengabdian pada lnstansi pemerintah/ lembaga swasta yang berbadan hukum sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2002, harus melampirkan fotokopi sah surat keputusan/bukti pengangkatan pertama sampai dengan terakhir. c. Setiap instansi Pusat dan Daerah wajib mengakomodasi pelamar penyandang cacat sesuai dengan tingkat dan jenis kecacatannya serta jabatan atau tugas yang akan didudukinya. d. Khusus bagi lulusan terbaik dengan predikat paling kurang cum laude dari perguruan tinggi negeri atau swasta yang terakreditasi dengan peringkat A, untuk mendapat perhatian khusus dalam penerimaan CPNS.

Dalam rekrutmen CPNS, ijazah menjadi syarat untuk dapat mengikuti tes seleksi bagi pelamar CPNS. Hal ini jelas ditunjukkan dalam ketentuan Pasal 11 Ayat

(4) Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2002 yang mensyaratkan ijazah tingkatan pendidikan tertentu yang digunakan melamar untuk memperoleh golongan dan ruang tertentu dalam kepegawaian negeri sipil, sebagai berikut:

Golongan ruang yang ditetapkan untuk pengangkatan sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil, adalah: a. Golongan ruang I/a bagi yang pada saat melamar serendah-rendahnya memiliki dan menggunakan Surat Tanda Tamat Belajar/Ijazah Sekolah Dasar atau yang setingkat; b. Golongan ruang I/c bagi yang pada saat melamar serendah-rendahnya memiliki dan menggunakan Surat Tanda Tamat Belajar/Ijazah Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama atau yang setingkat; c. Golongan ruang II/a bagi yang pada saat melamar serendah-rendahnya memiliki dan menggunakan Surat Tanda Tamat Belajar/Ijazah Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, Diploma I, atau yang setingkat; d. Golongan ruang II/b bagi yang pada saat melamar serendah-rendahnya memiliki dan menggunakan Surat Tanda Tamat Belajar/Ijazah Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa atau Diploma II; e. Golongan ruang II/c bagi yang pada saat melamar serendah-rendahnya memiliki dan menggunakan Ijazah Sarjana Muda, Akademi, atau Diploma III; f. Golongan ruang III/a bagi yang pada saat melamar serendah-rendahnya memiliki dan menggunakan Ijazah Sarjana (S1) atau Diploma IV; g. Golongan ruang III/b bagi yang pada saat melamar serendah-rendahnya memiliki dan menggunakan Ijazah Dokter, Ijazah Apoteker dan Magister (S2) atau Ijazah lain yang setara, h. Golongan ruang III/c bagi yang pada saat melamar serendah-rendahnya memiliki dan menggunakan Ijazah Doktor (S3).

Menurut penulis, kedua peraturan tersebut menekankan pada kewarganegaraan

Indonesia, batas usia, dan ijazah tertentu, tanpa memperhatikan aspek-aspek subjektif sebagai syarat untuk dapat mengajukan lamaran CPNS. Walaupun dibuat dalam rangka reformasi birokrasi, ketentuan Peraturan Kepala BKN Nomor 9 Tahun

2012 tersebut dibuat berlandaskan Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil sebagaimana telah diubah dengan

Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2002. Kemajuannya adalah dalam

Peraturan Kepala BKN Nomor 9 Tahun 2012 tersebut diberikan prioritas bagi lulusan

terbaik dengan predikat minimal cum laude dan diwajibkannya setiap instansi pemerintah untuk mengakomodir penyandang cacat untuk mengajukan lamaran pekerjaan.

Dalam pelaksanaan seleksi pelamar umum pada tahun 2012, sebagaimana diumumkan oleh Kementerian PAN dan RB melalui website menpan.go.id, berbagai instansi yang menerima pendaftaran CPNS, secara umum menerapkan ketentuan tersebut, yakni pada 20 Instansi Pusat dan 21 Instansi Daerah.

20 Instansi pusat tersebut adalah Kementerian Luar Negeri, Kementerian

Hukum dan HAM, Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, Kementerian

Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Sekretariat Negara, Sekretariat Jenderal Badan

Pemeriksa Keuangan, Sekretariat Mahkamah Agung, Badan Koordinasi Penanaman

Modal (BKPM), Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Badan

Narkotika Nasional (BNN), Badan Nasional Penempatan & Perlindungan Tenaga

Kerja Indonesia (BNP2TKI), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan

(BPKP), Badan Pertanahan Nasional (BPN), Badan Pengawasan Obat dan

Makanan (BPOM), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan

Pusat Statistik (BPS), dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

(LKPP).

21 instansi daerah tersebut adalah Kabupaten Badung, Kabupaten Bangka

Barat, Kabupaten Bangka Tengah, Kabupaten Banyuasin, Kabupaten Bogor,

Kabupaten Empat Lawang, Kabupaten Kep.Anambas, Kabupaten Lebong,

Kabupaten Manggarai Timur, Kabupaten Musi Rawas, Kabupaten Tojo Una Una,

Kabupaten Tulang Bawang, Kabupaten Kubu Raya, Kota Balikpapan, Kota

Bandung, Kota Lubuk Linggau, Kota Sungai Penuh, Provinsi Bali, Provinsi Bangka

Belitung, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Kalimantan Tengah.

Menurut Wakil Menteri PAN dan RB (Eko Prasojo) (Seminar Reformasi Birokrasi di UNM, 26 Mei 2012), bahan tes CPNS tahun 2012, disesuaikan dengan kemampuan daerah masing-masing. Sehingga akan ada kategori masing-masing kabupaten/kota, dan provinsi. Misalnya untuk Surabaya tingkat kesulitannya A, sedangkan Gorontalo C, dan Papua D.

Menurut penulis, penetapan kategori tersebut berdasarkan pada daerah tempat tinggal dan tidak berdasarkan suku merupakan hal yang menarik dan merupakan suatu terobosan karena memiliki argumentasi yang kuat yakni yang diberikan perlakuan khusus adalah keterbatasan orang-orang yang disebabkan ketidakseimbangan kemajuan daerahnya dengan daerah lain, bukan berdasarkan kesukuan. Namun hal tersebut berbeda dengan model di luar negeri, karena affirmative action secara teoritik dan pada penerapannya diberbagai negara, tidaklah memperlakukan berbeda terhadap standar nilai tes seleksi, tetapi memberikan prioritas bagi golongan tertentu yang memiliki nilai tes yang sama/setingkat.

Affirmative action tidak dilaksanakan pada saat tes dan sebelum tes, tetapi setelah nilai tes seleksi diperoleh, tentunya dengan telah menyampaikan kebijakan affirmative action yang akan dilaksanakan, sebelum tes seleksi.

Dalam praktiknya pada tahun 2012, misalnya Kementerian Hukum dan HAM melalui Pengumuman Pengadaan CPNS di Lingkungan Kementerian Hukum dan

HAM RI Tahun Anggaran 2012 Nomor: SEK.KP.02.01-303, mencoba melakukan affirmative action terhadap nilai rata-rata ijazah dan tinggi badan bagi pelamar dari papua dan papua barat. Standar umumnya nilai rata-rata ijazah yang disyaratkan adalah minimal 7,0 untuk lulusan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) dan minimal

IPK 2,75 untuk lulusan Sarjana, tetapi untuk pelamar dari papua dan papua barat diberlakukan minimal 6,5 untuk lulusan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) dan minimal IPK 2,50 untuk lulusan Sarjana. Selanjutnya, Standar umum untuk tinggi badan adalah minimal 165 cm untuk pria dan minimal 155 cm untuk wanita, tetapi khusus untuk pelamar dari papua dan papua barat diberlakukan standar untuk tinggi badan adalah minimal 160 cm untuk pria dan minimal 150 cm untuk wanita. Selain itu, membatasi lamaran untuk kantor wilayahnya hanya untuk putra-putri dari provinsi di mana kanwil tersebut berada dengan mewajibkan melamar sesuai Kartu

Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) yang dimiliki. Adapun untuk kantor pusatnya menerima lamaran dari seluruh wilayah Indonesia dan tidak dibatasi oleh asal KTP dan KK yang dimiliki.

Menurut penulis, tindakan tersebut sebuah terobosan karena tidak melakukan affirmative action atas nama kesukuan, yang dapat terkesan “diskriminatif-terbalik”.

Namun demikian, tindakan menurunkan standar nilai dan tinggi badan justru dapat merupakan tindakan “diskriminatif-terbalik” jika standar nilai dan tinggi badan yang ditetapkan secara umum justru merupakan standar untuk menjalankan fungsi pekerjaan. Jika standar nilai dan tinggi badan yang diberlakukan secara umum ternyata tidak memiliki fungsi tertentu dan dapat ditoleransi dengan standar yang lebih rendah, maka lebih baik standar yang lebih rendah tersebut yang diberlakukan secara umum. Penetapan standar tertentu seharusnya dimaksudkan untuk menjalankan fungsi tertentu, jika tidak demikian maka merupakan suatu tindakan diskriminatif karena memunculkan ketidaksetaraan kesempatan bagi para pelamar.

Demikian pula pembatasan terhadap pelamar untuk hanya boleh melamar pada kantor wilayah tertentu pada satu sisi untuk menjamin affirmative action bagi orang- orang yang berasal dari daerah tertentu yang “tertinggal”, tetapi jika kebijakan

tersebut tidak disertai maksud pembedaan passing grade berdasarkan wilayah, maka ttindakan tersebut dapat merupakan tindakan diskriminatif-terbalik karena tidak memberikan kesempatan sama sekali bagi pelamar dari daerah lain untuk melamar pada kanwil tertentu. Padahal maksud dari affirmative action adalah menciptakan kesetaraan, di mana kesetaraan tersebut barulah dapat terwujud apabila ada perlakuan khusus dalam bentuk prioritas tanpa mengorbankan kualitas.

Jika merujuk pada kelaziman, maka idealnya setiap kantor wilayah menerima lamaran dari seluruh Indonesia, tetapi dapat memprioritaskan pelamar dari daerahnya jika memiliki nilai yang sama dengan pelamar dari daerah lain.

Di Jerman, persyaratan untuk melamar menjadi PNS diatur dalam

Bundesbeamtengesetz/BBG (Undang-Undang Kepegawaian Negeri Sipil Federal) pada Pasal 7, 9, dan 11. Pasal 7 mengatur persyaratan PNS, sebagai berikut:301

(1) Dalam pelayanan sipil harus ditunjuk yang: 1. orang Jerman atau berkebangsaaan Jerman dalam pengertian Pasal 116 Undang-Undang Dasar atau kebangsaan yang: a) dari Negara lain Anggota Uni Eropa atau b) dari Negara lain pihak pada Persetujuan di Wilayah Ekonomi Eropa atau c) negara ketiga, Republik Federal Jerman dan Uni Eropa telah memberikan persetujuan/kontrak berhak atas pengakuan yang sesuai kualifikasi profesional, memiliki, 2. Jaminan kesediaan, setiap saat untuk membela tatanan dasar demokrasi liberal dalam arti Undang-Undang Dasar, dan 3. a) memiliki pendidikan sesuai dengan karir yang ditentukan atau

301 § 7 Voraussetzungen des Beamtenverhältnisses (1) In das Beamtenverhältnis darf berufen werden, wer 1. Deutsche oder Deutscher im Sinne des Artikels 116 des Grundgesetzes ist oder die Staatsangehörigkeit a) eines anderen Mitgliedstaates der Europäischen Union oder b) eines anderen Vertragsstaates des Abkommens über den Europäischen Wirtschaftsraum oder c) eines Drittstaates, dem die Bundesrepublik Deutschland und die Europäische Union vertraglich einen entsprechenden Anspruch auf Anerkennung der Berufsqualifikationen eingeräumt haben, besitzt, 2. die Gewähr dafür bietet, jederzeit für die freiheitliche demokratische Grundordnung im Sinne des Grundgesetzes einzutreten, und 3. a) die für die entsprechende Laufbahn vorgeschriebene Vorbildung besitzt oder b) die erforderliche Befähigung durch Lebens- und Berufserfahrung erworben hat. (2) Wenn die Aufgaben es erfordern, darf nur eine Deutsche oder ein Deutscher im Sinne des Artikels 116 des Grundgesetzes in ein Beamtenverhältnis berufen werden. (3) Das Bundesministerium des Innern kann Ausnahmen von Absatz 1 Nr. 1 und Absatz 2 zulassen, wenn für die Berufung der Beamtin oder des Beamten ein dringendes dienstliches Bedürfnis besteht.

b) kualifikasi yang diperlukan diperoleh melalui kehidupan dan pengalaman kerja. (2) Jika diperlukan oleh tugas, hanya orang Jerman atau berkebangsaaan Jerman dalam pengertian Pasal 116 Undang-Undang Dasar yang akan ditunjuk untuk pengangkatan permanen. (3) Kementerian Dalam Negeri Federal dapat mengecualikan dari ayat (1) Angka1 dan ayat (2), jika penunjukan pejabat atau petugas adalah untuk alasan profesional yang mendesak.

Pasal 9 mengatur kriteria seleksi yang harus dilakukan secara objektif terlepas dari aspek-aspek subjektif, dimana pemilihan calon pejabat dan kandidat (pelamar) didasarkan pada kesesuaian, kemampuan/kompetensi, dan kinerja profesional terlepas dari jenis kelamin,asal-usul, ras atau etnis, kecacatan, agama atau kepercayaan, keyakinan politik, asal-usul hubungan dan identitas seksual. Tindakan hukum ini untuk menegakkan kesetaraan de facto dalam angkatan kerja, terutama dalam penilaian individu dan promosi dengan tidak mencegah orang cacat parah.302

Sebelum dilakukan perubahan terhadap BBG pada Pasal 11 yang tidak lagi menetapkan batas usia tertentu untuk pelamaran sebagai CPNS dan pengangkatan

PNS, pada awalnya dalam persyaratan pengangkatan Calon PNS menjadi PNS diatur dalam BBG pada Pasal 9 Ayat (1) angka 2, dengan mensyaratkan usia minimal 27 tahun untuk pengangkatan dalam jabatan seumur hidup.303

Berbeda dengan pengaturan di Indonesia yang hanya menerima warga negara

Indonesia sebagai Calon PNS, penerimaan calon PNS di Jerman pada umumnya

302 § 9 Auswahlkriterien Die Auswahl der Bewerberinnen und Bewerber richtet sich nach Eignung, Befähigung und fachlicher Leistung ohne Rücksicht auf Geschlecht, Abstammung, Rasse oder ethnische Herkunft, Behinderung, Religion oder Weltanschauung, politische Anschauungen, Herkunft, Beziehungen oder sexuelle Identität. Dem stehen gesetzliche Maßnahmen zur Durchsetzung der tatsächlichen Gleichstellung im Erwerbsleben, insbesondere Quotenregelungen mit Einzelfallprüfung sowie zur Förderung schwerbehinderter Menschen nicht entgegen.

303 BBG § 9 Voraussetzungen für die Ernennung der Beamten auf Lebenszeit: (1) Beamter auf Lebenszeit darf nur werden, wer 1. die in § 7 bezeichneten Voraussetzungen erfüllt, 2. das siebenundzwanzigste Lebensjahr vollendet hat,

menerima warga negara Jerman, warga negara dari Negara Anggota Masyarakat

Eropa, maupun Uni Eropa sebagai kandidat karir dan yang non karir.

Tingkat pendidikan formal tertentu dipersyaratkan untuk melamar sebagai Calon

PNS. Syarat untuk masuk dalam kepegawaian negeri sipil dalam posisi layanan

(PNS) sebagaimana dipublikasikan oleh Bundeministerium der Innern (11 Agustus

2012), sebagai berikut:

a. layanan sederhana (einfachen Dienst), berhasil menyelesaikan sekolah menengah atau tingkat pendidikan setara yang diakui, b. layanan tengah (mittleren Dienst), berhasil menyelesaikan kelas tingkat sekolah menengah (10 tahun sekolah) atau sekolah menengah dan pelatihan kejuruan atau tingkat pendidikan setara yang diakui, c. layanan peningkatan/atas (gehobenen Dienst), berhasil menyelesaikan matrikulasi atau kualifikasi pendidikan universitas atau tingkat pendidikan setara yang diakui, d. layanan tinggi/senior (höheren Dienst), berhasil menyelesaikan perguruan tinggi dengan pendidikan tinggi Master atau gelar setara (misalnya, gelar universitas).

Uraian persyaratan untuk melamar dalam layanan tersebut di atas diatur terutama dalam ketentuan Bundesbeamtengesetz pada Pasal 15a, bahwa persyaratan pendidikan, dengan menyatakan bahwa untuk masuk ke jalur karir, pendidikan dan derajat mereka ditugaskan ke trek sesuai dengan prinsip pamong praja dengan penilaian penugasan (peringkat) berdasarkan fungsi spesifik/prinsip

PNS diberi peringkat penugasan sesuai. Penerapan prinsip ini akan terlihat dalam pengaturan penggajian. Aturan kompetisi menentukan kursus dan tes/ujian memenuhi persyaratan untuk karier, dengan mempertimbangkan peraturan penggajian. Persyaratan pendidikan harus sesuai untuk melayani (jabatan), dalam kaitannya dengan pelatihan praktis yang ditentukan untuk karir atau persyaratan pekerjaan dengan kualifikasi untuk karir. Menurut ini, mereka harus memenuhi kualifikasi gleichzubewertende (proses evaluasi) yang setara satu sama lain.304

304 §15a Bildungsvoraussetzungen

Civil service career law (hukum karir PNS) Jerman sebagaimana dipublikasikan oleh Bundeministerium der Innern (11 Agustus 2012), menganut Laufbahnprinzip, terjemahan yang mungkin memadai adalah prinsip prestasi/merit, yaitu konsep penempatan dalam layanan tertentu (rendah, menengah, atas, atau senior) sesuai dengan pendidikan akademik seseorang dan hasil seleksi.

Selain itu, terdapat golongan (group/kelas) masuk sesuai jabatan pekerjaan yang diduduki, yang dapat meningkat sampai batas golongan tertentu, hanya jabatan manajerial yang dapat masuk dalam golongan yang tinggi. Untuk masuk ke golongan yang lebih tinggi pada jabatan yang berbeda dimungkinkan apabila kembali mengikuti tes/ujian seleksi secara terbuka dengan pelamar lain atau berdasarkan pemeriksaaan karir setelah bekerja dalam masa tertentu dan/atau mengikuti pendidikan kedinasan. Kalau tidak, maka berdasarkan masa kerja yang dimiliki hanya terjadi peningkatan tahap/tingkat (stufe). Akan tetapi, dapat pula terjadi perpindahan pegawai untuk tingkatan yang sama. Kenaikan stufe hanya berlaku bagi pegawai grup A (PNS). Adapun stufe tersebut sangat mirip dengan

KGB (Kenaikan Gaji Berkala) di Indonesia.

Dalam Bundesbesoldungsgesetz/BBesG (Undang-Undang Gaji Federal) pada

Pasal 23 ayat (1) diatur mengenai posisi grup/kelas masuknya pelamar dalam

(1) Für die Zulassung zu den Laufbahnen werden die Bildungsgänge und ihre Abschlüsse den Laufbahnen in Übereinstimmung mit dem beamtenrechtlichen Grundsatz der funktionsbezogenen Bewertung zugeordnet. Die Anwendung dieses Grundsatzes im Besoldungsrecht ist dabei zu beachten. (2) Die Laufbahnvorschriften bestimmen in Übereinstimmung mit Absatz 1 unter Berücksichtigung der besoldungsrechtlichen Regelungen, welche Bildungsgänge und Prüfungen nach den §§ 16 bis 19 die Voraussetzungen für die Laufbahn erfüllen. Die Bildungsvoraussetzungen müssen geeignet sein, in Verbindung mit der für die Laufbahn vorgeschriebenen berufspraktischen Ausbildung oder Tätigkeit die Anforderungen der Befähigung für die Laufbahn zu erfüllen. Mit dieser Maßgabe müssen sie für gleichzubewertende Befähigungen einander gleichwertig sein. § 13 Abs. 3 Satz 4 des Beamtenrechtsrahmengesetzes gilt entsprechend.

kedudukan CPNS, bahwa kantor input bagi para pejabat untuk ditetapkan dalam kelas, berikut:305

1. dalam karir layanan sederhana, kelas A 2, A 3, atau A 4, 2. dalam karir layanan tengah, bukan teknis pada kelas A6, dalam jalur teknis pada kelas layanan tengah, kelas A 6 atau 7 A, 3. dalam karir layanan atas, kelas A 9, 4. dalam karir layanan senior, kelas A13.

Di samping itu, posisi masuk tersebut sangat tergantung pada jenis jabatan pekerjaan yang dilamar. Kelas untuk masing-masing jabatan pekerjaan diuraikan dalam Lampiran Bundesbesoldungsgesetz/BBesG (Undang-Undang Gaji Federal).

Bandingkan di Indonesia, terdapat kemiripan, di mana terdapat posisi masuk pada golongan/ruang tergantung pada tingkatan ijazah yang digunakan, tetapi golongan/ruang dapat meningkat bagi yang tidak memiliki ijazah pendidikan tertentu apabila mengikuti ujian dinas atau apabila mengikuti ujian penyesuaian kenaikan pangkat bagi telah memiliki ijazah pendidikan tertentu. Namun seringkali tidak di tes untuk berpindah jabatan, hanya ditransfer (dipindahkan) saja.

Kenaikan pangkat PNS di Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah No.99

Tahun 2000 tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No.12 Tahun 2002.

Pasal 1 PP No.99 tahun 2000 didefinisikan mengenai kenaikan pangkat, sebagai berikut:

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 2. Kenaikan pangkat adalah penghargaan yang diberikan atas prestasi kerja dan pengabdian Pegawai Negeri Sipil terhadap negara.

305 § 23 Eingangsämter für Beamte (1) Die Eingangsämter für Beamte sind folgenden Besoldungsgruppen zuzuweisen: 1. in Laufbahnen des einfachen Dienstes der Besoldungsgruppe A 2, A 3 oder A 4, 2. in Laufbahnen des mittleren nichttechnischen Dienstes der Besoldungsgruppe A 6, in Laufbahnen des mittleren technischen Dienstes der Besoldungsgruppe A 6 oder A 7, 3. in Laufbahnen des höheren Dienstes der Besoldungsgruppe A 13.

3. Kenaikan pangkat reguler adalah penghargaan yang diberikan kepada Pegawai Negeri Sipil yang telah memenuhi syarat yang ditentukan tanpa terikat pada jabatan. 4. Kenaikan pangkat pilihan adalah kepercayaan dan penghargaan yang diberikan kepada Pegawai Negeri Sipil atas prestasi kerjanya yang tinggi.

Dalam Pasal 8 PP No.12 Tahun 2002 diatur mengenai batas kenaikan pangkat bagi PNS yang memiliki ijazah tertentu tetapi tidak menduduki jabatan struktural maupun fungsional tertentu, sebagai berikut:

Kenaikan pangkat reguler bagi Pegawai Negeri Sipil diberikan sampai dengan: a. Pengatur Muda, golongan ruang II/a bagi yang memiliki Surat Tanda Tamat Belajar Sekolah Dasar; b. Pengatur, golongan ruang II/c bagi yang memiliki Surat Tanda Tamat Belajar Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama; c. Pengatur Tingkat I, golongan ruang II/d bagi yang memiliki Surat Tanda Tamat Belajar Sekolah Lanjutan Kejuruan Tingkat Pertama; d. Penata Muda Tingkat I, golongan ruang III/b bagi yang memiliki Surat Tanda Tamat Belajar Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, Sekolah Lanjutan Kejuruan Tingkat Atas 3 (tiga) tahun, Sekolah Lanjutan Kejuruan Tingkat Atas 4 (empat) tahun, Ijazah Diploma I, atau Ijazah Diploma II; e. Penata, golongan ruang III/c bagi yang memiliki Ijazah Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa, Ijazah Diploma III, Ijazah Sarjana Muda, Ijazah Akademi, atau Ijazah Bakaloreat; f. Penata Tingkat I, golongan ruang III/d bagi yang memiliki Ijazah Sarjana (S1) atau Ijazah Diploma IV; g. Pembina, golongan ruang IV/a bagi yang memiliki Ijazah Dokter, Ijazah Apoteker dan Ijazah Magister (S2) atau Ijazah lain yang setara; h. Pembina Tingkat I, golongan ruang IV/b bagi yang memiliki Ijazah Doktor (S3).

Demikian pula, dimungkinkan kenaikan pangkat bagi PNS sebagaimana diatur dalam PP No.99 Tahun 2000 pada Pasal 30 dan PP No.12 Tahun 2002 pada Pasal

32, sebagai berikut:

Pasal 30 PP No.99 tahun 2000 (1) Pegawai Negeri Sipil yang berpangkat Pengatur Tingkat I, golongan ruang II/d dan Penata Tingkat I, golongan ruang III/d, untuk dapat dinaikkan pangkatnya setingkat lebih tinggi, disamping harus memenuhi syarat yang ditentukan harus pula lulus ujian dinas, kecuali ditentukan lain dalam Peraturan Pemerintah ini atau ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (2) Ujian dinas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dibagi dalam 2 (dua) tingkat yaitu: a. Ujian dinas Tingkat I untuk kenaikan pangkat dari Pengatur Tingkat I, golongan ruang II/d menjadi Penata Muda, golongan ruang III/a;

b. Ujian dinas Tingkat II untuk kenaikan pangkat dari Penata Tingkat I, golongan ruang III/d menjadi Pembina, golongan ruang IV/a.

Pasal 32 PP No.12 Tahun 2002 Dikecualikan dari ujian dinas, bagi Pegawai Negeri Sipil yang: a. akan diberikan kenaikan pangkat karena telah menunjukkan prestasi kerja yang luar biasa baiknya; b. akan diberikan kenaikan pangkat karena menemukan penemuan baru yang bermanfaat bagi negara; c. diberikan kenaikan pangkat pengabdian karena: 1) mencapai batas usia pensiun; 2) dinyatakan cacat karena dinas dan tidak dapat bekerja lagi dalam semua jabatan negeri oleh Tim Penguji Kesehatan. d. telah memperoleh: 1) Ijazah Sarjana (S1) atau Diploma IV untuk ujian dinas Tingkat I; 2) Ijazah Dokter, Ijazah Apoteker, Magister (S2), dan Ijazah lain yang setara atau Doktor (S3), untuk ujian dinas Tingkat I atau ujian dinas Tingkat II.

Di Amerika Serikat, persyaratan untuk pengangkatan menjadi pegawai negeri diatur dalam Section 2301, Title 5, United States Code pada huruf b mengatur mengenai manajemen personil federal harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip- prinsip merit sistem, berikut:306

(1) Rekrutmen harus berasal dari individu-individu yang berkualitas dari sumber yang tepat dalam upaya untuk mencapai tenaga kerja dari semua segmen masyarakat, dan seleksi dan kemajuan harus ditentukan semata-mata atas dasar kemampuan relatif, pengetahuan dan keterampilan, setelah persaingan yang adil dan terbuka yang menjamin bahwa semua menerima kesempatan yang sama. (2) Semua karyawan dan pelamar kerja harus menerima perlakuan yang adil dan merata di semua aspek manajemen personil tanpa memperhatikan afiliasi politik, ras, warna kulit, agama, asal negara, jenis kelamin, status perkawinan, usia, atau kondisi cacat, dan dengan hal yang tepat untuk privasi dan hak konstitusional.

306 § 2301 Merit System Principles (b) Federal personnel management should be implemented consistent with the following merit system principles: (1) Recruitment should be from qualified individuals from appropriate sources in an endeavor to achieve a work force from all segments of society, and selection and advancement should be determined solely on the basis of relative ability, knowledge and skills, after fair and open competition which assures that all receive equal opportunity. (2) All employees and applicants for employment should receive fair and equitable treatment in all aspects of personnel management without regard to political affiliation, race, color, religion, national origin, sex, marital status, age, or handicapping condition, and with proper regard for their privacy and constitutional rights.

Section tersebut menunjukkan bahwa Amerika Serikat sangat menekankan kesetaraan bagi seluruh warga negaranya dan kualitas rekrutmen. Hal tersebut mirip dengan pengaturan di Jerman. Namun lebih luas penekannya dibandingkan pengaturan di Indonesia, yang secara umum menekankan tanpa diskriminasi.

Bahkan di Amerika Serikat ada Equal Employment Opportunity Commission (EEOC) untuk menjamin kesetaraan bagi pegawai dan pelamar. EEOC menerima laporan mengenai dugaan tindakan diskriminasi maupun whistleblower atau tindakan pelanggaran terhadap hukum yang berlaku, dengan memberikan perlindungan terhadap pelapornya di bawah Undang-Undang No Fear 2002 (No Fear Act 2002).

EEOC akan mengenakan tindakan disipliner bagi pelanggarnya.

Di samping itu, dalam hal kewarganegaraan, agen (institusi) harus mematuhi pembatasan berikut mengenai warga negara Amerika Serikat. Ketika mengevaluasi orang mencari pekerjaan layanan federal sipil. Executive Order 11935, yang memerlukan kewarganegaraan bagi pegawai negeri yang kompetitif, yaitu, hanya warga negara Amerika Serikat atau nasional dapat ditunjuk untuk layanan kompetitif.

Persyaratan ini berlaku untuk semua jenis pengangkatan. Dalam konversi dari layanan tidak kompetitif yang dikecualikan, persyaratan kewarganegaraan harus dipenuhi pada tanggal efektif tindakan.

Di bawah Title 5 U.S.C. Section 3301, U.S. Office of Personnel Management

(OPM) berwenang untuk menetapkan standar yang berkaitan dengan usia masuk minimum bahwa pelamar harus memenuhi harus dilatih atau dinilai dalam ujian.

Suatu persyaratan usia minimum memastikan bahwa pelamar memiliki kedewasaan yang diperlukan untuk kinerja pekerjaan yang sukses dan bahwa praktek mempekerjakan Pemerintah Federal tidak bertentangan dengan tujuan umum mendorong siswa untuk menyelesaikan pendidikan dasar mereka. Persyaratan usia

minimal masuk harus dibebaskan bagi orang berhak untuk preferensi veteran, kecuali OPM menentukan bahwa seperti pembatasan usia sangat penting untuk kinerja tugas posisi.

Umumnya, kecuali usia minimum rekrutmen yang berbeda terkandung dalam pengumuman standar atau pemeriksaan untuk posisi tertentu, pelamar untuk posisi apapun dalam pelayanan kompetitif harus: (1) minimal 18 tahun, atau (2) paling sedikit 16 tahun, dan telah lulus dari sekolah tinggi atau telah mendapat sertifikat setara untuk lulus dari sekolah tinggi, atau telah menyelesaikan program pelatihan formal kejuruan; atau telah menerima pernyataan dari pihak sekolah setuju dengan preferensi mereka untuk bekerja daripada melanjutkan pendidikan mereka, atau saat ini terdaftar di sekolah menengah dan bekerja hanya selama masa liburan sekolah atau bekerja paruh waktu selama tahun ajaran di bawah program kerja mahasiswa formal. Aplikasi dapat dipertimbangkan dari individu yang memenuhi salah satu kondisi di atas dan akan mencapai usia 16 tahun sebelum atau pada tanggal yang mereka melaporkan untuk bekerja.

Title 5 U.S.C. Section 3307 (a), melarang penetapan usia masuk maksimum untuk posisi pegawai federal, kecuali sebagaimana ditentukan di bawah ini.

Larangan membangun batas masuk usia maksimum berlaku untuk tindakan kompetitif serta pengangkatan kompetitif, dengan dikecualikan serta layanan yang kompetitif, dan untuk semua instansi, termasuk OPM. Akibatnya, badan tidak dapat menerapkan batas usia maksimum rekrutmendi bawah prosedur promosi jasa atau dalam pemilihan melalui jenis tindakan tidak bersaing, kecuali sebagaimana ditentukan dalam Bagian yang berlaku dari United States Code. Tidak ada batasan usia maksimal masuk untuk posisi yang paling kompetitif dalam pelayanan, kecuali sebagai berikut:

a. Title 5 U.S.C. 3307, kewenangan kepada Menteri Perhubungan dan Menteri Pertahanan untuk mendirikan usia masuk maksimum untuk penunjukan asli untuk posisi pengendali lalu lintas udara di Departemen masing-masing. Sekretaris Dalam Negeri berwenang untuk mendirikan sebuah usia masuk maksimum untuk penunjukan asli ke polisi AS posisi taman. Kepala badan setiap berwenang untuk mendirikan sebuah usia masuk maksimum untuk penunjukan asli untuk posisi aparat penegak hukum atau petugas pemadam kebakaran, dan b. Title 29 U.S.C. 633a memungkinkan lembaga untuk mendirikan sebuah persyaratan usia maksimal hanya dalam kasus di mana mereka telah membuktikan kepada Komisi Equal Employment Opportunity bahwa usia adalah kualifikasi pekerjaan bonafid yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas dari posisi tertentu. c. Batasan umur maksimum yang ditetapkan di bawah 29 USC 633a atau di bawah kewenangan khusus dalam 5 U.S.C. 3307 tidak membatasi untuk orang yang berhak dengan preferensi veteran.

Menurut Penulis, berbeda dengan di Indonesia yang membatasi umur minimal,

Jerman dan Amerika Serikat pada umumnya tidak membatasi umur minimal kecuali apabila umur minimal akan mengganggu fungsi pekerjaan.

Di Amerika Serikat, terdapat standar kelompok kualifikasi cakupan, terkait persyaratan kerja individu (Individual Occupation Requirements/IOR), dan standar kualifikasi individu yang mencakup pekerjaan kerah putih (white collar) di layanan/kepegawaian kompetitif federal. Standar ini menjelaskan persyaratan kualifikasi minimal (misalnya, pendidikan, medis, usia, pengalaman, dll) untuk setiap seri kerja.

Standar ditulis secara luas untuk aplikasi pemerintahan secara luas dan tidak dimaksudkan untuk memberikan informasi rinci tentang persyaratan kualifikasi tertentu untuk posisi individu pada suatu instansi tertentu. Informasi tersebut (yaitu, deskripsi persyaratan pengalaman khusus untuk posisi tertentu) harus dimasukkan dalam pengumuman lowongan kerja yang dikeluarkan oleh badan tersebut.

Informasi tentang pekerjaan yang dilakukan dalam serangkaian Daftar Umum

(General Schedule/GS) terkandung dalam Handbook of Occupational Groups &

Families and the Introduction to the Position Classification Standards.

Banyak pekerjaan atau posisi yang meliputi standar cakupan kelompok juga memiliki kualifikasi Persyaratan Pekerjaan individu (Individual Occupation

Requirements/IOR). Beberapa seri dilindungi oleh sebuah standar yang berdiri sendiri terpisah kualifikasi individu. Setiap Standar Kualifikasi Grup Cakupan berikut berisi daftar pekerjaan meliputi:

a. Professional and Scientific Positions; b. Administrative and Management Positions; c. Technical and Medical Support Positions; d. Clerical and Administrative Support Positions; and e. Competitive Service Student Trainee Positions.

Uraian di bawah ini merangkum karakteristik umum dari pekerjaan diklasifikasikan dalam GS sebagaimana ditegaskan oleh U.S. Office of Personnel

Management dalam Introduction to the Position Classification Standards (TS-134

July 1995 yang telah direvisi pada Augustus 2009).

Pekerjaan profesional membutuhkan pengetahuan dalam bidang ilmu pengetahuan atau pelajaran khas yang diperoleh melalui pendidikan atau setara pelatihan untuk sarjana atau gelar yang lebih tinggi dengan studi utama dalam atau berkaitan dengan bidang khusus, yang dibedakan dari pendidikan umum. Pekerjaan profesional ketika memerlukan pelaksanaan kebijaksanaan, penilaian, dan tanggung jawab pribadi untuk aplikasi badan terorganisasi, belajar pengetahuan yang terus- menerus untuk membuat penemuan baru dan interpretasi, dan untuk meningkatkan data, bahan, dan metode. Ada situasi di mana seorang karyawan memenuhi persyaratan pendidikan formal untuk bidang profesional tertentu, tetapi tidak melakukan pekerjaan profesional. Hal ini mungkin karena kurangnya kerja profesional yang harus dilakukan, atau mungkin karena organisasi dan struktur tugas tidak memerlukan karyawan berkualifikasi profesional. Dalam situasi seperti itu, posisi diklasifikasikan dalam seri nonprofesional yang tepat, berdasarkan tugas

dan tanggung jawab yang diberikan dan kualifikasi yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan itu. Seri kerja profesional mengikuti pola interval dua kelas dan diidentifikasi sebagai profesional dalam definisi seri. Jika definisi seri tidak menyatakan bahwa pekerjaan tertutup profesional, seharusnya tidak dianggap profesional untuk tujuan klasifikasi.

Pekerjaan administratif melibatkan latihan kemampuan analitis, penilaian, kebijaksanaan, dan tanggung jawab pribadi, dan aplikasi dari tubuh besar pengetahuan tentang prinsip-prinsip, konsep, dan praktek-praktek yang berlaku untuk satu atau lebih bidang administrasi atau manajemen. Sementara posisi ini tidak membutuhkan pendidikan khusus, mereka melakukan jenis keterampilan

(analitis, penelitian, penulisan, penghakiman) biasanya diperoleh melalui perguruan tinggi tingkat pendidikan, atau melalui pengalaman semakin bertanggung jawab.

Pekerjaan administratif dapat dilakukan sebagai bagian dari misi utama atau program dari lembaga atau subkomponen, atau dapat dilakukan sebagai fungsi layanan yang mendukung misi lembaga atau program. Karyawan terlibat dalam pekerjaan administrasi prihatin dengan menganalisis, mengevaluasi, memodifikasi, dan mengembangkan program dasar, kebijakan, dan prosedur yang memfasilitasi pekerjaan badan-badan federal dan program-program mereka. Mereka menerapkan pengetahuan analisis administrasi, teori, dan prinsip-prinsip dalam beradaptasi praktek untuk kebutuhan yang unik dari program tertentu. Seri kerja administrasi biasanya mengikuti pola interval dua kelas.

Pekerjaan teknis biasanya terkait dengan dan mendukung bidang profesional atau administratif. Ini melibatkan pengetahuan praktis yang luas, diperoleh melalui pengalaman dan /atau pelatihan khusus kurang dari yang diwakili oleh lulus kuliah.

Bekerja di pekerjaan ini mungkin melibatkan elemen-elemen penting dari pekerjaan

profesional atau administrasi lapangan, tetapi membutuhkan kurang dari pengetahuan penuh bidang yang terlibat. Karyawan teknis melaksanakan tugas, metode, prosedur, dan/atau perhitungan yang ditata baik dalam instruksi dipublikasikan atau lisan dan ditutupi oleh preseden didirikan atau pedoman.

Tergantung tingkat kesulitan pekerjaan, prosedur ini sering membutuhkan tingkat tinggi keterampilan teknis, perawatan, dan presisi. Beberapa pekerjaan teknis mungkin tampak mirip dengan yang dilakukan oleh karyawan melakukan pekerjaan awal profesional atau administrasi di bidang pekerjaan umum yang sama. Pekerjaan teknis, bagaimanapun, biasanya mengikuti pola interval satu kelas dan tidak memerlukan penerapan pengetahuan dan keterampilan setara dengan yang dibutuhkan untuk dua kelas pekerjaan interval. Klasifikasi keputusan didasarkan pada tugas dan tanggung jawab, kualifikasi yang diperlukan, pola karir, niat manajemen dalam merancang posisi, tujuan pekerjaan, dan sumber perekrutan.

Pekerjaan sekretaris/klerikal melibatkan pekerjaan terstruktur dalam mendukung kantor, bisnis, atau operasi fiskal. Pekerjaan administratif dilakukan sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan, prosedur, atau teknik, dan membutuhkan pelatihan, pengalaman, atau pengetahuan yang terkait dengan tugas-tugas yang akan dilakukan. Seri kerja klerikal mengikuti pola interval satu kelas. Pekerjaan klerikal biasanya melibatkan tugas dukungan umum kantor atau program seperti mempersiapkan, menerima, mengkaji, dan memverifikasi dokumen, transaksi pengolahan, memelihara catatan kantor, mencari dan mengumpulkan data atau informasi dari file, menjaga kalender dan memberitahu orang lain tentang tenggat waktu dan tanggal penting lainnya, dan menggunakan keyboard untuk mempersiapkan materi diketik atau untuk menyimpan atau memanipulasi informasi untuk digunakan pengolahan data. Pekerjaan memerlukan pengetahuan tentang

aturan organisasi, beberapa tingkat pengetahuan materi pelajaran, dan keterampilan dalam melaksanakan proses administrasi dan prosedur.

Selain itu, terdapat jenis pekerjaan lain. Ada beberapa pekerjaan dalam GS yang tidak jelas masuk ke dalam salah satu kelompok di atas. Di antaranya seri seperti Seri Perlindungan dan Pencegahan Api, GS-081, dan Seri Kepolisian, GS-

083. Definisi seri atau standar klasifikasi harus menunjukkan apakah seri adalah satu-atau dua-kelas interval.

Berikut contoh dari jenis-jenis pekerjaan yang telah diuraikan sebelumnya, sebagaimana diatur oleh U.S. Office of Personnel Management dalam Clasifier

Handbook, yakni:

a. Pekerjaan profesional, misalnya, pengacara, petugas medis, ahli biologi; b. Pekerjaan administrasi, misalnya, spesialis manajemen personalia, analis anggaran, spesialis suplai umum; c. Pekerjaan teknis, misalnya, kehutanan teknisi, teknisi akuntansi, farmasi teknisi; d. Pekerjaan administrasi, misalnya, sekretaris, otomatisasi kantor panitera, Transcriber data, petugas mail; dan e. Pekerjaan lainnya, misalnya, petugas pemadam kebakaran, pekerjaan hukum berbagai penegakan hukum.

Selain pekerjaan-pekerjaan itu, terdapat seri kerja yang belum ditetapkan oleh

U.S. Office of Personnel Management sebagaimana dijelaskan dalam Standards

Qualifications, yakni:

a. Supervisory Guide; b. Policy Analysis and Administrative Analysis Positions; c. Positions Involving Equal Employment Opportunity Collateral Assignments; and d. Positions Requiring Collateral Correctional Skills.

Dalam Standards Qualifications tersebut dijelaskan bahwa mereka harus digunakan bersama dengan standar kualifikasi yang sesuai untuk seri pekerjaan tertentu. Sebagai contoh, sebuah instansi mungkin berencana untuk merekrut untuk posisi ilmuwan komputer pengawasan. Dalam situasi ini, lembaga harus

menggunakan standar kualifikasi untuk seri 1550 kerja dalam hubungannya dengan

Panduan Pengawas. Selain itu terdapat, sebagai jabatan PNS tertinggi terdapat

Jabatan Eksekutif dan Eksekutif Senior, dan jabatan yang setara lainnya.

Ketentuan atau Persyaratan Pendidikan dan Pelatihan. Ketentuan-ketentuan pendidikan yang disebutkan dalam standar kualifikasi biasanya berhubungan dengan baik lulus SMA atau setara, atau untuk pendidikan di atas tingkat sekolah menengah (pendidikan sekolah tinggi). Baik di sekolah tinggi atau pasca tingkat sekolah tinggi, Title 5 USC § 3308 melarang penetapan pendidikan tertentu untuk posisi di layanan kompetitif, kecuali OPM telah menetapkan bahwa tugas dari posisi ilmiah, teknis, atau profesional tidak dapat dilakukan oleh seorang individu yang tidak memiliki pendidikan minimal yang ditentukan. Dalam tindakan penempatan penataran, badan tidak bisa memaksakan persyaratan pendidikan minimum di atas yang ditetapkan oleh OPM.

Tabel 2 Penetapan Grade Berdasarkan Kualifikasi Pendidikan atau Pelatihan

Grade Qualifying Education

GS-1 None GS-2 High school graduation or equivalent GS-3 1 academic year above high school 2 academic years above high school, GS-4 or Associate's degree 4 academic years above high school leading to a bachelor's degree, GS-5 or Bachelor's degree Bachelor's degree with Superior Academic Achievement for two-grade interval positions, GS-7 or 1 academic year of graduate education (or law school, as specified in qualification standards or individual occupational requirements) Master's (or equivalent graduate degree such as LL.B. or J.D. as specified in qualification standards or individual occupational requirements), GS-9 or 2 academic years of progressively higher level graduate education Ph.D. or equivalent doctoral degree, GS-11 or

3 academic years of progressively higher level graduate education, or For research positions only, completion of all requirements for a master's or equivalent degree (See information on research positions in the qualification standard for professional and scientific positions.) For research positions only, completion of all requirements for a doctoral or GS-12 equivalent degree (See information on research positions in the qualification standard for professional and scientific positions.) Sumber: Dokumen Educational and Training Provisions or Requirements, U.S. Office of Personnel Management, 2012.

Di Amerika Serikat digunakan Kompetensi Berbasis Standar Kualifikasi

(Competency-Based Qualification Standard). Standar ini mengidentifikasi seperangkat kompetensi yang dibutuhkan dan tingkat kemahiran terkait dengan kelas. Kompetensi mungkin umum (misalnya, Problem Solving), yang berarti mereka mungkin diperlukan untuk pekerjaan banyak, atau teknis, yang berarti mereka dituntut untuk seri tertentu. OPM telah mengidentifikasi tingkat kemahiran yang dibutuhkan untuk semua kompetensi umum. Sebagai persyaratan kompetensi teknis berbeda dari agen ke agen, dan posisi ke posisi, lembaga yang bertanggung jawab untuk mengidentifikasi tingkat kemahiran yang diperlukan untuk setiap kompetensi teknis yang diidentifikasi dalam standar.

Pelamar harus menunjukkan tingkat kemahiran yang diperlukan pada semua kompetensi yang diperlukan dan pengalaman yang dibutuhkan dan/atau pendidikan.

Jika pemohon gagal untuk memenuhi tingkat kemahiran yang diperlukan pada salah satu kompetensi, pemohon tidak memenuhi syarat dan secara otomatis didiskualifikasi dari pertimbangan lebih lanjut untuk posisi itu.

Tabel berikut menunjukkan jumlah pendidikan dan/atau pengalaman yang diperlukan untuk memenuhi syarat untuk posisi yang dicakup oleh standar ini.

Tabel 3 Persyaratan Pendidikan dan Pengalaman General Schedule

Experience Grade Education General Specialized GS-5 4-year course of study leading to a 3 years, 1 year of which None

bachelor's degree was equivalent to at least GS-4 1 full year of graduate level education None 1 year equivalent GS-7 or to at least GS-5 superior academic achievement master's or equivalent graduate degree None 1 year equivalent or to at least GS-7 2 full years of progressively higher level GS-9 graduate education leading to such a degree or LL.B. or J.D., if related Ph.D. or equivalent doctoral degree None 1 year equivalent or to at least GS-9 3 full years of progressively higher level GS-11 graduate education leading to such a degree or LL.M., if related GS-12 None None 1 year equivalent and to at least next above lower grade level Sumber: Dokumen Educational and Training Provisions or Requirements, U.S. Office of Personnel Management, 2012.

Selain harus memenuhi persyaratan masuk kualifikasi dasar, pelamar harus memiliki pengalaman khusus dan/atau pendidikan terkait langsung dalam jumlah yang ditampilkan dalam tabel di bawah ini:

Tabel 4 Persyaratan Pengalaman dan Pendidikan untuk GS-7 dan Diatasnya

GRADE/ SPECIALIZED POSITIONS EDUCATION EXPERIENCE 1 year of graduate-level education or superior academic 1 year equivalent to at GS-7 achievement least GS-5 2 years of progressively higher level graduate education 1 year equivalent to at GS-9 leading to a master's degree or master's or equivalent least GS-7 graduate degree 3 years of progressively higher level graduate education 1 year equivalent to at GS-11 leading to a Ph.D. degree or Ph.D. or equivalent doctoral least GS-9 degree GS-12 1 year equivalent to at and least next lower grade above level Research Positions GS-11 Master's or equivalent graduate degree 1 year equivalent to at research least GS-9 positions GS-12 Ph.D. or equivalent doctoral degree 1 year equivalent to at research least GS-11 positions GS-13 and 1 year equivalent to at above least next lower grade research level

positions Sumber: Dokumen Educational and Training Provisions or Requirements, U.S. Office of Personnel Management, 2012.

Tabel-tabel tersebut menunjukkan perhatian pemerintah Amerika Serikat terhadap kebutuhan akan PNS yang berkualitas dengan merujuk pada aspek tingkat pendidikan maupun pengalaman, sebelum mengikuti tes seleksi kompetitif.

Di Indonesia, berbeda dengan rekrutmen CPNS jalur pelamar umum yang dibatasi, rekrutmen dari tenaga honorer masih dilakukan untuk menyelesaikan kebijakan pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS yang telah dilaksanakan sejak tahun 2005, yang semula dijadwalkan untuk selesai pada tahun 2009.307

Namun kemudian, dijadwalkan selesai pada tahun 2012.308 Akan tetapi, sampai dengan februari 2013 masih bermasalah.

Pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS dilakukan melalui peraturan- peraturan berikut:

a. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang pengangkatan CPNS dari

Tenaga Honorer yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Kepala BKN Nomor

21 Tahun 2005 tentang Pedoman Pendataan dan Pengolahan Tenaga Honorer

Tahun 2005. b. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan

Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tetang pengangkatan CPNS dari Tenaga

Honorer, yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Kepala BKN Nomor 30 Tahun

2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil. c. Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas

Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tetang pengangkatan CPNS dari

307 Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang pengangkatan CPNS dari Tenaga Honorer.

308 Pasal 6 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tetang pengangkatan CPNS dari Tenaga Honorer

Tenaga Honorer, yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Kepala BKN Nomor 9

Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Calon Pegawai Negeri

Sipil.

Menurut Wakil Menteri PAN dan RB (Wawancara yang publikasikan oleh

Merdeka.com, 9 Maret 2012), sebanyak 900 ribu tenaga honorer yang dibiayai

APBN dan APBD sudah diangkat dan tersisa 70 ribu. Sebenarnya Kementerian PAN dan RB menginginkan ke depan tidak boleh mengangkat tenaga honorer secara otomatis, semua harus melalui seleksi. Pengangkatan tanpa seleksi terjadi karena keputusan politik masa lalu antara pemerintah dan legislatif, yang sebenarnya kontradiktif dengan tujuan reformasi birokrasi. Seseorang tidak boleh diangkat secara otomatis tanpa tes menjadi PNS dengan alasan apapun, karena itu tidak sesuai kualifikasi yang dibutuhkan.

Selanjutnya, Wakil Menteri PAN dan RB menjelaskan bahwa tenaga honorer sebanyak 70 ribu orang yang belum diangkat itu masuk kategori satu, yaitu tenaga honorer yang dibiayai APBN dan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah). Padahal, masih ada kategori dua (yang tidak dibiayai APBN dan APBD) sebanyak 650 ribu orang yang “digadang-gadang” ingin diangkat otomatis, padahal tugas Menteri PAN dan RB adalah menjaga supaya orang-orang yang menjadi PNS adalah orang-orang berkualitas. Untuk itu Kementerian PAN dan RB tetap konsisten

“menjaga”. Kalaupun itu menjadi komitmen pemerintah mengangkat 70 ribu honorer menjadi CPNS, harus benar-benar teridentifikasi memiliki hak diangkat dan untuk selebihnya tidak akan diangkat. Dengan demikian honorer kategori dua tidak akan diangkat secara otomatis, tetapi harus dengan seleksi. Hanya mereka yang sebelum

1 Januari 2005 sudah dianggap tenaga honorer akan dipertimbangkan, tetapi sekarang banyak “masuk angin”. Honorer yang baru diangkat dua tahun lalu juga

sudah dimasukkan ke dalam kategori satu karena pemerintah tidak punya data base. Pemerintah daerah seenaknya memasukkan orang-orang ke dalam sistem data base, sehingga banyak sekali di antara mereka sebenarnya tidak layak diangkat, malah diangkat. Oleh karena itu telah dibuatkan peraturan agar kategori satu akan verifikasi lagi. Mana layak, mana tidak dari 70 ribu itu. Kalau kategori dua,

650 ribu, mereka akan diseleksi, dites lagi, dan harus siap kalau ditempatkan di seluruh Indonesia.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang pengangkatan CPNS dari Tenaga Honorer, ditegaskan bahwa:

Pasal 6 (1) Pengangkatan tenaga honorer yang penghasilannya dibiayai dari Anggaran pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah menjadi Calon pegawai Negeri Sipil berdasarkan peraturan pemerintah ini dilakukan secara bertahap dan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan keuangan negara mulai formasi Tahun Anggaran 2005 sampai dengan formasi Tahun Anggaran 2012. (2) Pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil untuk formasi Tahun Anggaran 2012 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan pada tahun anggaran berjalan, (3) Tenaga honorer yang bekerja pada instansi pemerintah dan penghasilannya tidak dibiayai dari Anggaran pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran pendapatan dan Belanja Daerah dapat diangkat menjadi Calon pegawai Negeri Sipil sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan keuangan negara berdasarkan formasi sampai dengan Tahun Anggaran 2014.

Pasal 6A (1) Pengangkatan: tenaga honorer sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (3) dilakukan melalui pemeriksaan kelengkapan administrasi dan lulus seleksi ujian tertulis kompetensi dasar dan kompetensi bidang sesama tenaga honorer.

Tenaga honorer yang penghasilannya dibiayai APBN/APBD tersebut disebut

K1, sedangkan tenaga honorer yang penghasilannya tidak dibiayai APBN/APBD

tersebut disebut K2.309 Ketentuan tersebut di atas mengatur bahwa tenaga honorer

K1 akan diangkat pada tahun 2012 tanpa tes seleksi, sedangkan tenaga honorer K2 akan diangkat dengan tes seleksi dengan persaingan sesama tenaga honorer dan dijadwalkan sudah selesai dalam tahun 2014.

Peraturan Kepala BKN No.9 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan

Pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil dalam Lampiran I, Bagian II.B. mengatur persyaratan tenaga honorer yang dibiayai APBN/APBD untuk dapat diangkat menjadi CPNS meliputi:

1. usia paling tinggi 46 (empat puluh enam) tahun dan paling rendah 19 (sembilan belas) tahun pada 1 Januari 2006; 2. mempunyai masa kerja sebagai tenaga honorer paling sedikit 1 (satu) tahun pada 31 Desember 2005 dan sampai saat pengangkatan CPNS masih bekerja secara terus-menerus; 3. penghasilannya dibiayai dari APBN/APBD; 4. dinyatakan memenuhi kriteria (MK) berdasarkan hasil verifikasi dan validasi yang dilakukan oleh Tim Verifikasi dan Validasi yang dibentuk oleh Kepala Badan Kepegawaian Negara; dan 5. syarat lain yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

Adapun persyaratan tenaga honorer yang tidak dibiayai APBN/APBD untuk dapat diangkat menjadi CPNS diatur dalam Peraturan Kepala BKN No. 9 Tahun

2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil dalam

Lampiran I, Bagian III.B. sebagai berikut:

1. usia paling tinggi 46 (empat puluh enam) tahun dan paling rendah 19 (sembilan belas) tahun pada 1 Januari 2006; 2. mempunyai masa kerja sebagai tenaga honorer paling sedikit 1 (satu) tahun pada 31 Desember 2005 dan sampai saat pengangkatan CPNS masih bekerja secara terus-menerus; 3. penghasilannya tidak dibiayai dari APBN/APBD; 4. bekerja pada instansi pemerintah; 5. dinyatakan lulus seleksi Tes Kompetensi Dasar (TKD) dan Tes Kompetensi Bidang (TKB); dan 6. syarat lain yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

309 Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tetang pengangkatan CPNS dari Tenaga Honorer

Menurut Sekretaris Kementerian PAN dan RB (Tasdik Kinanto) (Kementerian

PAN dan RB, 4 Juni 2012), keberadaan PP No.56 Tahun 2012 merupakan dasar pengangkatan tenaga honorer kategori I, atau yang disebut honorer tertinggal atau tercecer, secara adil dan transparan. Prinsipnya, mereka yang berhak harus diangkat, tetapi yang tidak berhak tidak diangkat. Sejalan dengan prinsip itu, konsekuensinya tidak semua yang sudah lolos verifikasi pasti diangkat menjadi

CPNS, karena setelah diuji publik ternyata banyak aduan, laporan, serta keluhan dari berbagai pihak, terkait dengan kebenaran honorer dimaksud. PP ini dapat mengakhiri pengangkatan honorer secara langsung menjadi CPNS, sehingga manajemen PNS dapat ditata sesuai dengan prinsip-prinsip merit system, dan tidak dijadikan komoditi politik dan ajang KKN, yang mengakibatkan rendahnya kualitas birokrasi di tanah air.

Sehubungan dengan banyaknya aduan, Deputi bidang SDM Aparatur

Kementerian PAN dan RB (Ramli E. Naibaho) (Kementerian PAN dan RB, 4 Juni

2012) menjelaskan bahwa Menteri PAN dan RB telah memerintahkan agar dibentuk tim verifikasi bersama dengan BKN dan BPKP, untuk memperoleh data yang benar- benar akurat. Setelah diperoleh data akurat, barulah ditetapkan formasinya. Namun demikian, meski sudah diberi NIP sekalipun, apabila dikemudian hari terbukti palsu, akan dibatalkan.

Menurut Wakil Menteri PAN dan RB (Seminar Reformasi Birokrasi di UNM, 26

Mei 2012), dalam menyelesaikan warisan yang lalu-lalu, dilakukan secara selektif juga. Benarkah itu K1? Begitu kita publikasi, orang-orang yang “bermain” sudah ketakutan. Saya tahu ini sistemik dan konspiratif, dan itu berlanjut sampai sekarang.

Sudah ada 1200 pengaduan yang mesti di follow up mengenai kategori 1. Kategori 2 semuanya harus di-passing grade, lulus ujian baru diangkat. Tidak boleh lagi ada

pengawai honorer secara otomatis sebagai CPNS. Di dewan itu selalu ada fraksi balkon, yang menekan kita sewaktu diskusi dengan dewan niat baik kita untuk memperbaiki Negara ini butuh perjuangan yang besar. Keperluan masyarakat untuk diangkat jadi PNS dan keperluan dewan untuk pemilihan legislatif. Tidak semua, tapi ini bisa jadi tekanan politik bagi pemerintah, tapi kita sepakat tidak boleh lagi ada pengangkatan otomatis.

Dalam penjelasannya dihadapan DPR RI (Risalah Rapat Kerja DPR RI, 16

Oktober 2012), terkait banyaknya honorer fiktif, Menteri PAN dan RB mengemukakan bahwa:

“...... untuk diketahui kita bersama, bahwa K1 itu sudah diselesaikan sebanyak 860.781 sudah selesai diangkat tanpa testing selesai sudah. 860.781. Jadi, kerja pemerintah sebelum saya mungkin sudah bagus sekali. Saya harus bela itu, 860.781, tetapi harus diketahui bahwa banyak juga yangterangkut yang tidak benar. Saya tidak akan korek-korek itu lagi, sama dengan mengangkat batang terendam, habis waktu kita lihat ke belakang. Tersisa 150.000 di cek sama 72.000, karena saya tidak mau dituduh nanti macam-macam, yang 72.000 ini kita uji publik, eh kasih ke daerah, dari 400 daerah atau instansi, 203 itu protes Bapak, nah ini yang kita jalani, inikan unpredictable, tambah waktu kita verifikasi. Waktu kita verifikasi ini kadang-kadang abu-abu, sudahlah Pak, jangan dibungkuslah, Pak, jangan lagi masalah, ini buat orang sini, tetapi tidak memenuhi syarat, kriteria kita yang buat, K1 seperti apa, K2 seperti apa. Menyalahi kriteria itu BPK ambil saya, kita buat, itulah kita yang ubah lagi. Ada, dan ditulis dalam PPnya, PP baru keluar 2012, itulah yang mau kita angkat sisa yang 72.000. Dan K2 prosesnya seperti apa? Waktu kita uji, mau uji habis- habisan mungkin tinggal 20.000, di uji-uji begitu saja, nanti orang protes lagi, yang mana kita mau ambil. Yang mana Bapak, susah betul ini Pak. Orang Aceh bilang, ngono yo ngono tapi ojo ngono tenan, inikan dimana batasnya itu? Terlalu gampang, kok dia masukan yang penipuan, terlalu ketat kok orang mau cari makan susah sekali dengan Menpan yang baru ini , ini sulit Bapak. Yang kita pegang bukan pembicaraan, aturan yang sudah kita pegang, ini harap dimaklumi...... ”.

Disebabkan banyaknya data fiktif, dalam tahun 2013 tim gabungan dari

Kementerian PAN dan RB dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan

(BPKP) akan segera mendatangi pemerintah kabupaten/kota. Tim Terpadu ini akan melakukan pengecekan data tenaga honorer kategori satu (K1) di 32 kabupaten/kota

itu, yang diindikasikan banyak yang bermasalah (Publikasi Kementerian PAN dan

RB, 11 Januari 2013).

Menurut Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Eko Sutrisno, sebagaimana dipublikasikan oleh Jawa Pos National Network (15 Januari 2013), hingga tanggal 15

Januari 2013 baru 52 ribu honorer K1 yang telah mendapatkan formasi. Sisanya

18.839 honorer sedang dalam tahap quality assurance dan audit tujuan tertentu/audit investigasi. Dari jumlah 18.839 orang itu, ada 8.371 orang yang sedang diaudit ke lapangan untuk dicocokkan kebenaran dokumennya. Sebab banyak laporan yang mengatakan, data honorernya palsu artinya mereka bukan honorer yang dibayarkan dengan APBN/APBD. Selain dari 8.371 orang tersebut, hanya diperiksa dokumennya saja dan tidak diaudit ke lapangan lagi. Konsekuensi dari hasil audit investigasi ini, bila datanya valid dan dinyatakan “clear” maka bisa diproses lanjut (pemberkasan NIP). Sebaliknya bila datanya tidak benar, maka honorer K1 di daerah bersangkutan dibatalkan menjadi CPNS. Adapun terhadap

Ambon di audit investigasi, karena dari pengaduan, di Ambon justru ada honorer K1 tapi tidak ada dalam data.

Sebanyak 8.371 honorer K1 yang tersebar di 32 daerah dalam tahun 2013 tengah diinvestigasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Hasil audit investigasi ke 32 daerah ini, akan dilaporkan BPKP kepada Menteri PAN dan RB. Berikut ini tabel yang menunjukkan pemerintah daerah yang terkena diaudit investigasi:

Tabel 5 Audit Investigasi Dokumen Honorer K1 pada Pemerintah Daerah

No. Audit Investigasi terhadap Dokumen Honorer K1 pada Pemerintah Jumlah Honorer K1 Daerah 1 2 3 1 Kabupaten Nganjuk 1.296 orang 2 Kabupaten Jeneponto 280 orang 3 Kabupaten Luwu Utara 71 orang

4 Kota Bau-Bau 91 orang 5 Provinsi Sulawesi Barat 65 orang 6 Kabupaten Aceh Besar 383 orang 7 Kota Sabang 103 orang 8 Kabupaten Aceh Tamiang 77 orang 9 Kabupaten Kab Aceh Tenggara 393 orang 10 Kabupaten Aceh Singkil 203 orang 11 Kabupaten Simeuleu 99 orang 12 Kota Medan 251 orang 1 2 3 13 Kota Kotamobagu 13 orang 14 Kabupaten Bolaang Mongondow 149 orang 15 Provinsi Gorontalo 42 orang 16 Kabupaten Purworejo 336 orang 17 Provinsi DKI Jakarta 162 orang 18 Kabupaten Tulang Bawang 81 orang 19 Kabupaten Ogan Komering Ulu 604 orang 20 Provinsi Kalimantan Timur 70 orang 21 Provinsi Papua 479 orang 22 Kabupaten Mimika 496 orang 23 Provinsi Bali 31 orang 24 Kabupaten Manggarai Barat 232 orang 25 Kabupaten Rote Ndap 131 orang 26 Provinsi Kepulauan Riau 181 orang 27 Kabupaten Toli-Toli 300 orang 28 Kabupaten Bekasi 278 orang 29 Kota Bekasi 192 orang 30 Kabupaten Seram Bagian Timur 1.165 orang 31 Kabupaten Seram Bagian Barat 144 orang 32 Kota Ambon 0 Jumlah 8.371 orang Sumber: Publikasi Data BKN oleh Jawa Pos National Network, 2013. Adapun kasus honorer K2 belum tersedia, karena berdasarkan Surat Menteri

PAN dan RB Nomor B/751/M/PAN-RB/03/2013 tertanggal 18 Maret 2013, uji publik terhadap daftar tenaga honorer ketogori II (K2) berlangsung selama tiga pekan, yakni pada 27 Maret sampai dengan 16 April 2013, sehingga belum diketahui respon masyarakat terhadap daftar tersebut.

Miftah Thoha dalam bukunya yang berjudul Birokrasi Pemerintah Indonesia di

Era Reformasi (2008:89), pada dasarnya menilai pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS tidak rasional. Miftah Thoha memandang bahwa:

“Pengangkatan tenaga honorer memberikan kesan pada saya bahwa lima tahun ke depan atau lebih, dapat kita perkirakan profesionalitas pegawai negeri sipil tidak bisa dijamin. Mengapa demikian, asal mulanya tenaga honorer itu sama sekali penerimaannya tidak mendasarkan pada prinsip kompetensi dan profesionalitas calon melainkan berdasarkan rasa iba dan bahkan berdasarkan pertimbangan politik”.

Pemerintah sendiri menganggap pengangkatan tenaga honorer tanpa tes seleksi menjadi CPNS merupakan tindakan untuk memenuhi kebutuhan pemerintah.

Kebutuhan terhadap keberadaan tenaga honorer tersebut tampak dari masa kerja yang lama, sebagaimana termuat dalam PP No. 48 Tahun 2005 tentang pengangkatan CPNS dari Tenaga Honorer pada Pasal 2, sebagai berikut:

Pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil berdasarkan Peraturan Pemerintah ini, dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga tertentu pada instansi pemerintah.

Demikian pula dalam Penjelasan Umum, dijelaskan bahwa:

Untuk kelancaran pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, baik pada pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah, sebagian dilakukan oleh tenaga honorer. Di antara tenaga honorer tersebut ada yang telah lama bekerja kepada pemerintah dan keberadaannya sangat dibutuhkan oleh pemerintah. Mengingat masa bekerja mereka sudah lama dan keberadaannya sangat dibutuhkan oleh pemerintah, dalam kenyataannya sebagian tenaga honorer tersebut telah berusia lebih dari 35 (tiga puluh lima) tahun dan berdasarkan peraturan perundang-undangan tidak dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, maka bagi mereka perlu diberikan perlakuan secara khusus dalam pengangkatan menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil.

Selanjutnya, dalam Pasal 10 ayat (1) dan penjelasannya diatur mengenai pembuatan materi pertanyaan yang hanya digunakan untuk mengetahui tingkat pemahaman tenaga honorer mengenai tata pemerintahan/kepemerintahan yang baik, digunakan sebagai bahan dalam melakukan pembinaan, bukan merupakan ujian penyaringan untuk penentuan kelulusan.

Menurut Agus Dwiyanto (UGM, 16 Maret 2007), kebijakan Pemerintah mengangkat tenaga honorer menjadi PNS merupakan kemunduran dalam reformasi birokrasi. Dalam agenda reformasi birokrasi, yang diperlukan adalah perampingan birokrasi, bukan malah menambah jumlah pegawai dari tenaga honorer yang kualitasnya masih dipertanyakan. Sangat boleh jadi, mereka yang diangkat sebagai tenaga honorer adalah hasil dari kolusi selama 30 tahun lebih. Bukan berarti

Pemerintah tidak memerlukan tenaga pegawai, namun proses rekrutmen harus memenuhi strandar kualifikasi tertentu. Agus Dwiyanto mengakui kebijakan merampingkan birokrasi merupakan kebijakan yang tidak populer, namun dalam rangka peningkatan sistem pelayanan publik, hal ini justru mutlak dilakukan.

Pengangkatan sebagai tenaga honorer dalam pelaksanaan tugas pemerintahan sebenarnya diatur dalam Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang No.43 Tahun 1999, yang sebelumnya belum diakui keberadaannya dalam Pasal 2 Undang-Undang No.8

Tahun 1974. Dalam Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang No.43 Tahun 1999 tersebut diakui keberadaan pegawai tidak tetap yang diangkat untuk jangka waktu tertentu guna melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan yang bersifat teknis profesional dan administrasi sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan organisasi, di mana pegawai tersebut tidak berkedudukan sebagai Pegawai Negeri.

Walaupun terdapat ketentuan yang memungkinkan pengangkatan langsung seseorang menjadi PNS, namun hal tersebut hanya boleh apabila dilakukan secara selektif dan dimaksudkan untuk memperlancar tugas umum pemerintahan dan pembangunan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.43 Tahun 1999 pada

Pasal 16 A, sebagai berikut:

(1) Untuk memperlancar pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan, pemerintah dapat mengangkat langsung menjadi Pegawai Negeri Sipil bagi mereka yang telah bekerja pada instansi yang menunjang kepentingan Nasional. (2) Persyaratan, tata cara, dan pengangkatan langsung menjadi Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 16 A Ayat (1) dijelaskan bahwa:

Pengangkatan langsung menjadi Pegawai Negeri Sipil, dilaksanakan secara sangat selektif bagi mereka yang dipandang telah berjasa dan diperlukan bagi Negara.

Menurut penulis, diantara tenaga honorer tersebut boleh jadi memang ada yang dibutuhkan oleh pemerintah yang ditunjukkan dengan masa kerjanya yang lama, dan ada pula yang memang diangkat tidak berdasarkan kebutuhan pemerintah, sehingga sudah selayaknya semua pelamar CPNS mendapat perlakuan yang setara dalam hal rekrutmen.

Di Jerman, PNS direkrut secara terbatas, hanya jika benar-benar dibutuhkan, sedangkan untuk hal lain diangkat pegawai dengan status non PNS. Kebutuhan untuk melakukan pengangkatan sebagai PNS diatur dalam Bundesbeamtengesetz

(Undang-Undang Kepegawaian Negeri Sipil Federal) pada Pasal 5, bahwa pengangkatan sebagai pegawai negeri hanya diperbolehkan untuk melakukan:

(1) Tugas yang memperihatinkan Negara, atau (2) Tugas tersebut untuk alasan keamanan tokoh Negara atau kehidupan publik, tidak dapat ditransfer secara eksklusif untuk individu yang berada dalam hubungan kerja hukum privat.310

Dengan demikian untuk pekerjaan yang tidak termasuk dalam kategori tersebut, diangkat pegawai dengan status bukan sebagai pegawai negeri, yakni pegawai publik. Perlu diketahui bahwa di Jerman, ada dua kategori pegawai pemerintah

(Beschäftigten) sebagaimana publikasi Bundesministerium des Innern (11 Agustus

2012), yakni: a. PNS (Beamte) atau biasa juga disebut secara terpisah, PNS wanita

(Beamtinnen);dan b. pegawai publik (Tarifbeschäftigte).

310 § 5 Zulässigkeit des Beamtenverhältnisses Die Berufung in das Beamtenverhältnis ist nur zulässig zur Wahrnehmung: 1. hoheitsrechtlicher Aufgaben oder 2. von Aufgaben, die zur Sicherung des Staates oder des öffentlichen Lebens nicht ausschließlich Personen übertragen werden dürfen, die in einem privatrechtlichen Arbeitsverhältnis stehen.

Di Amerika Serikat, seorang individu dapat digunakan dalam pelayanan sipil di departemen eksekutif di “kursi Pemerintah” hanya untuk jasa/prestasi benar-benar diberikan/dibutuhkan sehubungan dengan dan untuk tujuan pengangkatan dari mana dia dibayar. Seorang individu yang melanggar bagian ini harus dihapus dari layanan (kepegawaian negeri sipil), sebagaimana diatur dalam Section 3103, Title 5,

United States Code.311

Selain itu, untuk pekerjaan yang memang bersifat sementara diangkat pegawai sementara (tidak lebih dari satu tahun) tanpa pengangkatan dalam layanan yang kompetitif, sebagaimana diatur dalam Section 3109, Title 5, United States Code.312

Pekerjaan Berbagi dan Pekerjaan selain dari Posisi Permanen Full-time, diatur

U.S. Office of Personnel Management dalam Dokumen Human Resources

Flexibilities and Authorities in the Federal Government, sebagai pengangkatan dalam berbagai jadwal kerja seperti paruh waktu (yang mungkin termasuk pekerjaan pengaturan pembagian), intermiten, dan musiman adalah pilihan yang layak untuk mengelola fluktuasi dan kurang dari penuh waktu tenaga kerja kebutuhan. Jadwal kerja intermiten digunakan hanya jika sifat dari pekerjaan adalah sporadis dan tak terduga. Kerja musiman melibatkan setiap tahun periode berulang pekerjaan yang yang diperkirakan berlangsung setidaknya enam bulan selama satu tahun kalender.

311 § 3103 Employment at seat of Government only for services rendered. An individual may be employed in the civil service in an Executive department at the seat of Government only for services actually rendered in connection with and for the purposes of the appropriation from which he is paid.

312 § 3109 Employment of experts and consultants; temporary or intermittent. (b) When authorized by an appropriation or other statute, the head of an agency may procure by contract the temporary (not in excess of 1 year) or intermittent services of experts or consultants or an organization there of, including stenographic reporting services. (1) the provisions of this title governing appointment in the competitive service. (2) chapter 51 and subchapter III of chapter 53 of this title; and (3) section 6101(b) to (d) of title 41, except in the case of stenographic reporting services by an organization.

Penggunaan berbagai pekerjaan jadwal dapat menarik pelamar yang lebih suka bekerja kurang dari penuh-waktu.

Dalam Rancangan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (RUU ASN) pada

Pasal 6 diatur mengenai keberadaan Pegawai Tidak Tetap Pemerintah, dengan menegaskan bahwa Pegawai ASN terdiri dari: a. PNS; dan b. Pegawai Tidak Tetap

Pemerintah. Di mana yang dimaksud dengan “Pegawai Tidak Tetap Pemerintah” antara lain tenaga ahli, dokter, perawat, guru, dan dosen yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja.

Selanjutnya dalam Pasal 7, ditegaskan bahwa:

(1) PNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a merupakan pegawai yang berstatus pegawai tetap dan memiliki Nomor Induk Pegawai. (2) Pegawai Tidak Tetap Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b merupakan pegawai yang diangkat dengan perjanjian kerja dalam jangka waktu paling singkat 12 (dua belas) bulan pada Instansi dan Perwakilan.

Rancangan pengaturan dalam Pasal 6 dan 7 tersebut tampaknya ingin menegaskan keberadaan status pegawai yang dikenal luas dengan sebutan pegawai berstatus honorer sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah, yang dalam Undang-Undang Pokok-pokok Kepegawaian disebut sebagai Pegawai Tidak

Tetap. Akan tetapi, memberikan kesan bahwa Pegawai Tidak tetap Pemerintah diangkat berdasarkan fungsinya/profesionalismenya.

Dalam Naskah Akademik RUU ASN dijelaskan mengenai argumentasi keberadaan Pegawai Tidak Tetap Pemerintah, sebagai berikut:

Selanjutnya perlu dilakukan pemilahan yang tegas antara pegawai ASN yang menjalankan tugas dan fungsi manajemen kebijakan pemerintahan Negara dengan pegawai yang menjalankan fungsi pelayanan publik dasar seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, serta fungsi pendukung manajemen kebijakan pemerintahan. Pegawai Aparatur Sipil Negara yang menjalankan fungsi manajemen kebijakan pemerintahan Negara dalam RUU ini disebut Pegawai Sipil Negara. Pegawai ASN yang menjalankan fungsi pelayanan publik dalam RUU ini disebut Pegawai Tidak Tetap Pemerintah.

Dalam Naskah Akademik tersebut juga tercantum pada footnote mengenai berbagai usulan nama yang hendak digunakan sebelumnya, sebagai berikut:

Dalam rapat rapat Panja muncul usulan nama lain seperti Pegawai Negeri Tidak Tetap (PNTT), dan Pegawai Pemerintah (PP). Tetapi Panja RUU ASN sepakat menggunakan nama Pegawai Tidak Tetap Pemerintah (PTTP) untuk jenis pegawai ASN yang ditetapkan dengan UU Guru dan Dosen, serta undang undang lainnya.

Rancangan pengaturan mengenai keberadaan Pegawai Tidak Tetap

Pemerintah yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja dalam RUU ASN tersebut secara esensi mirip dengan posisi pegawai publik di Jerman yang tidak diangkat melalui Surat Keputusan, berbeda dengan posisi pegawai tidak tetap di Amerika

Serikat, misalnya pegawai musiman yang memang diadakan untuk pekerjaan yang sifatnya temporer yang tidak lebih dari satu tahun masa kerjanya.

Adapun rekrutmen dari jalur ikatan dinas pada tahun 2012 masih dilakukan pada beberapa sekolah kedinasan, namun demikian terdapat pula sekolah kedinasan yang mulai mengubah kebijakannya dengan tidak lagi memberlakukan rekrutmen tanpa tes bagi lulusan ikatan dinasnya, misalnya Kementerian Keuangan.

Pada tahun 2012 sejalan dengan kebijakan moratorium CPNS menghentikan penerimaan mahasiswa STAN sebagaimana publikasi Badan Pendidikan dan

Pelatihan Keuangan – Kementerian Keuangan (11 September 2012). Bahkan, sejak tahun 2011, kementerian keuangan mewajibkan lulusannya untuk mengikuti ujian penerimaan CPNS. Hal tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor

215/PMK.01/2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor

94/PMK.01/2010 tentang Tata Cara Penyaringan dan Penerimaan Calon Pegawai

Negeri Sipil Golongan II dari Lulusan Program Diploma I dan III Keuangan Sekolah

Tinggi Akuntansi Negara Program Pendidikan Diploma Pasal 5 Ayat (3), bahwa mahasiswa yang dinyatakan lulus dari Prodip I dan III Keuangan Sekolah Tinggi

Akuntansi Negara wajib mengikuti ujian penerimaan CPNS sesuai ketentuan yang mengatur mengenai pengadaan Pegawai Negeri Sipil.

Berbeda dengan kebijakan sebelumnya, Peraturan Menteri Keuangan Nomor

94/PMK.01/2010 tentang Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara

Penyaringan dan Penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil Golongan II dari Lulusan

Program Diploma I dan III Keuangan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, pada Pasal

5 Ayat (3) menegaskan bahwa mahasiswa yang dinyatakan lulus dari Prodip I

(Program Diploma I) dan Prodip III (Program Diploma III) Sekolah Tinggi Akuntansi

Negara dipersamakan dengan peserta yang lulus ujian penerimaan CPNS.

Berbeda dengan Kementerian Keuangan yang telah memberlakukan tes bagi para lulusan ikatan dinas STAN, Kementerian Dalam Negeri melalui Institut

Pemerintahan Dalam Negeri bahkan mengangkat secara otomatis mahasiswa ikatan dinasnya pada semester 5. Hal tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Dalam

Negeri No. 36 Tahun 2009 tentang Statuta Institut Pemerintahan Dalam Negeri pada

Pasal 53.

Namun demikian, walaupun telah ada lulusan ikatan dinas yang diwajibkan mengikuti tes CPNS, lulusan ikatan dinas tetap memiliki keunggulan yang menyebabkan tidak terwujudnya kesetaraan, yakni di tes secara terbatas (tidak memungkinkan pelamar dari luar ikatan dinas) untuk mengisi jalur ikatan dinas tersebut.

Di Jerman, pendidikan kedinasan hanya disiapkan bagi PNS dalam meningkatkan karirnya, bukan bagi mahasiswa yang dipersiapkan menjadi CPNS.

Publikasi Bundeministerium der Innern (11 Agustus 2012) menjelaskan bahwa untuk berkarir dalam pelayanan non-teknis yang lebih tinggi daripada tingkatan layanan persiapan, sebagian besar ditempuh melalui perguruan tinggi administrasi

internal. Pelatihan ini terdiri dari studi khusus di perguruan tinggi dan periode praktek profesional studi di otoritas pendidikan. Dalam tujuan federal, sudah disediakan

College of Public Administration, yang memiliki bidang-bidang berikut:

a. Administrasi Internal Umum/Allgemeine innere Verwaltung b. Luar Negeri/ Auswärtige Angelegenheiten c. Polisi Federal/ Bundespolizei d. Administrasi Pertahanan / Bundeswehrverwaltung e. Keuangan/Finanzen f. Polisi Kriminal /Kriminalpolizei g. Pertanian Sosial/Landwirtschaftliche Sozialversicherung h. Intelijen (intelijen domestik departemen, departemen BND)/Nachrichtendienste (Abteilung Verfassungsschutz, Abteilung Bundesnachrichtendienst) i. Jaminan sosial/Sozialversicherung j. Layanan Cuaca/Wetterdienst

Berdasarkan uraian-uraian tersebut, menurut penulis, rekrutmen CPNS di

Indonesia memperlakukan perbedaan (ketidaksetaraan) pada tiga jalur sumber rekrutmen dengan hanya memberlakukan tes bagi pelamar umum. Sementara untuk tenaga honorer K1 dinas diterima secara otomatis sebagai CPNS tanpa melalui tes pada tahun 2012 dan masih terdapat lulusan ikatan dinas yang langsung diangkat sebagai CPNS. Selanjutnya, masih melakukan pengangkatan tenaga honorer K2 sampai dengan tahun 2014 melalui tes untuk bersaing sesama tenaga honorer tersebut, demikian pula terdapat lulusan ikatan dinas yang akan di tes untuk bersaing sesama lulusan ikatan dinas tersebut menjadi CPNS.

Hal tersebut menunjukkan bahwa hingga tahun 2014, pemerintah Indonesia sebagian rekrutmen CPNS belum bertumpu pada teori keadilan distributif dan belum sejalan dengan prinsip merit system dalam aspek persyaratan kualifikasi CPNS, karena belum terwujud kesetaraan (equality) terhadap sumber rekrutmen.

Ketidaksetaraan yang dimunculkan dalam penerimaan melalui jalur tenaga honorer maupun ikatan dinas, jelas bukanlah tindakan affirmative action

sebagaimana dalam teori representative bureaucracy, yang banyak diterapkan di negara-negara lain.

Menurut John Stuart Mill, pemerintahan yang baik, selain harus memiliki kemampuan (competence) juga harus memiliki kemampuan dalam mengorganisir partisipasi (participation). Partisipasi dapat berjalan maksimal apabila komposisi organisasi birokrasi dapat merepresentasikan seluruh kelompok masyarakat. Oleh karena itu, selain pejabat dan pegawai pemerintah harus memiliki kemampuan dalam pengelolaan pemerintahan, mereka hendaknya terdiri dari berbagai macam orang yang berasal dari berbagai macam kelompok yang ada dalam masyarakat, serta dapat dan bersedia melibatkan masyarakat dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Pejabat dan pegawai pemerintah haruslah merepresentasikan keberagaman sosial masyarakat suatu negara, dan tidak boleh hanya dimonopoli oleh suatu kelompok atau golongan saja. Dalam konteks ini, pejabat dan pegawai birokrasi hendaknya dipilih dan diseleksi bukan semata-mata berdasarkan kemampuan personal, melainkan juga mempertimbangkan komposisi kelompok yang ada pada masyarakat berdasarkan pada ras, suku, agama, maupun idiologi politik. Pemikiran inilah kemudian menjadi salah satu dasar terbentuknya teori representative bureaucracy.

Dalam teori representative bureaucracy, apabila kuota populasi kelompok minoritas belum terwakili dalam birokrasi, maka calon dari kelompok minoritas itu harus diutamakan, dan ini berarti calon dari kelompok mayoritas yang kemampuannya sama, tidak direkrut.

Terkait hal ini, menurut Anggota Dewan Pertimbangan Presiden bidang

Pemerintahan dan Reformasi (M. Ryaas Rasyid) dalam Seminar Reformasi Birokrasi di Universitas Negeri Makassar (UNM) pada 26 Mei 2012, kebanyakan negara-

negara maju melakukan affirmative action berdasarkan ras atau kesukuan ataupun jenis kelamin, bukan agama, karena agama tidak bersifat permanen. Seseorang dapat berpindah agama setiap minggu kalau ia mau, berbeda dengan ras atau suku yang tidak dapat berubah.

Di Jerman, affirmative action diberlakukan terutama terhadap perempuan.

Bundesgleichstellungsgesetz/BgleiG (Undang-Undang Kesetaraan) mengatur kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam pemerintahan federal.

Dalam Pasal 6 Bundesgleichstellungsgesetz diatur mengenai cara menawarkan pekerjaan, sebagai berikut:313

(1) Departemen dapat mengiklankan pekerjaan, baik secara umum maupun dalam organisasi ini hanya untuk laki-laki atau hanya bagi perempuan. Dokumen penawaran keseluruhan harus sedemikian rupa sehingga tidak hanya disesuaikan dengan orang-orang dari satu jenis kelamin. Pekerjaan harus diiklankan, termasuk fungsi pengawas dan tugas manajemen untuk mengisi bagian-waktu, kecuali ada masalah tugas utama. (2) Apabila perempuan kurang terwakili di daerah tertentu, dengan pendudukan tempat kerja yang bebas diiklankan untuk meningkatkan jumlah pelamar. Penawaran harus di depan umum, jika tujuan ini dengan layanan in- house atau antar-penawaran tidak bisa dihubungi. Pengecualian karena peraturan sesuai dengan Pasal 8 Ayat 1 huruf 3 Undang-Undang Layanan Federal Sipil akan tetap tidak terpengaruh (3) Tempat Kerja yang ditawarkan harus memenuhi persyaratan dari pekerjaan lowong dan dalam hal fungsi kemungkinan masa depan calon termasuk persyaratan prasyarat dan kualifikasi karir atau bidang fungsional.

313 § 6 Arbeitsplatzausschreibung (1) Die Dienststelle darf einen Arbeitsplatz weder öffentlich noch innerhalb der Dienststelle nur für Männer oder nur für Frauen ausschreiben. Der gesamte Ausschreibungstext muss so ausgestaltet sein, dass er nicht nur auf Personen eines Geschlechts zugeschnitten ist. Die Arbeitsplätze sind einschließlich der Funktionen mit Vorgesetzten- und Leitungsaufgaben zur Besetzung auch in Teilzeit auszuschreiben, soweit zwingende dienstliche Belange nicht entgegenstehen. (2) Sind Frauen in einzelnen Bereichen unterrepräsentiert, soll die Besetzung eines freien Arbeitsplatzes ausgeschrieben werden, um die Zahl von Bewerberinnen zu erhöhen. Die Ausschreibung soll öffentlich erfolgen, wenn dieses Ziel mit einer hausinternen oder dienststellenübergreifenden Ausschreibung nicht erreicht werden kann. Ausnahmen auf Grund der Rechtsverordnung nach § 8 Abs. 1 Satz 3 des Bundesbeamtengesetzes bleiben unberührt (3) Arbeitsplatzausschreibungen müssen mit den Anforderungen der zu besetzenden Arbeitsplätze übereinstimmen und im Hinblick auf mögliche künftige Funktionen der Bewerberinnen und Bewerber auch das vorausgesetzte Anforderungs- und Qualifikationsprofil der Laufbahn oder der Funktionsbereiche enthalten

Di Amerika Serikat, U.S. Office of Management Personnel melalui Dokumen

Government Wide-Diversity and Inclusion Strategic Plan dijelaskan bahwa affirmative action pertama kali diberlakukan pada tahun 1961 oleh John F.Kennedy melalui Executive Order 10925, dan terus berlanjut dan diperluas cakupannya oleh presiden-presiden berikutnya. Kini, affirmative action telah diberlakukan pada lebih banyak aspek yang meliputi asal-usul kebangsaan, bahasa, ras, warna kulit, cacat, etnis, jenis kelamin, usia, agama, orientasi seksual, identitas gender, status sosial ekonomi, status veteran, dan struktur keluarga. Konsep ini juga mencakup perbedaan antara orang-orang tentang di mana mereka berasal dan di mana mereka telah tinggal dan perbedaan pemikiran mereka dan pengalaman hidup.

President Obama melalui Executive Order 13583 mengungkapkan bahwa:

“Our Nation derives strength from the diversity of its population and from its commitment to equal opportunity for all. We are at our best when we draw on the talents of all parts of our society, and our greatest accomplishments are achieved when diverse perspectives are brought to bear to overcome our greatest challenges”.

Bagi Presiden Obama, Amerika Serikat memiliki kekuatan yang berasal dari keragaman penduduk dan dari komitmennya untuk memberikan kesempatan yang sama bagi semua. Amerika Serikat menjadi yang terbaik jika mampu menarik bakat dari semua bagian masyarakat Amerika Serikat, dan prestasi terbesar Amerika

Serikat dicapai bila beragam perspektif yang dibawa untuk menanggung mengatasi tantangan terbesar Amerika Serikat.

Oleh karena itu, tiga tujuan utama U.S. Office of Management Personnel (OPM) adalah: Diversity Tenaga (merekrut dari beragam dan tenaga kerja yang berkualitas), Inklusi Tempat Kerja (menumbuhkan budaya yang mendorong kerjasama dan keadilan), dan Keberlanjutan (mengembangkan struktur untuk memungkinkan manajer untuk mengelola keragaman).

Affirmative action di Amerika tidak hanya berlaku untuk pekerjaan dalam pemerintahan tetapi juga bagi swasta, untuk memberikan kesempatan kerja yang setara bagi semua orang. Misalnya hanya karena cacat, tidak begitu saja membuat seseorang memenuhi syarat untuk pekerjaan. Sebaliknya, hukum melarang diskriminasi terhadap orang yang memenuhi syarat, mereka yang dengan atau tanpa akomodasi yang sesuai dapat menjalankan fungsi penting dari suatu pekerjaan. Orang tersebut harus memiliki keterampilan yang dibutuhkan, latar belakang pendidikan, dan pengalaman untuk melakukan pekerjaan itu. Fungsi pekerjaan adalah penting, karena fungsi tersebut merupakan alasan adanya posisi tersebut, atau keahlian yang dibutuhkan sangat khusus sehingga orang yang dipekerjakan dengan keahlian atau kemampuannya adalah untuk melaksanakan fungsi khusus tersebut.

Dengan demikian, affirmative action tidaklah menghapus keberadaan ujian seleksi bagi para pelamar CPNS, tetapi memberikan prioritas bagi golongan minoritas/lokalitas tertentu apabila memiliki kualitas yang sama dengan golongan mayoritas, dengan memperhatikan tingkat representasinya dalam pemerintahan.

Penetapan sebagai golongan minoritas maupun mayoritas tentunya dapat ditinjau dari berbagai aspek, dalam hal ini pemerintah dapat menentukan aspek mana yang hendak digunakan untuk menciptakan kesetaraan dan tidak malah terjerumus dalam diskriminasi-terbalik.

Secara eksplisit, affirmative action sudah tampak dalam Peraturan Kepala BKN

No.9 Tahun 2012 pada Lampiran II.B.1.f, sebagai berikut:

Setiap instansi Pusat dan Daerah wajib mengakomodasi pelamar penyandang cacat sesuai dengan tingkat dan jenis kecacatannya serta jabatan atau tugas yang akan didudukinya.

RUU ASN pada Pasal 54, juga merencanakan mengatur mengenai kesetaraan bagi para pelamar CPNS, sebagai berikut:

(1) Setiap warga negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk melamar menjadi calon PNS setelah memenuhi persyaratan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan menteri dengan pertimbangan KASN.

Dalam Naskah Akademik RUU ASN, dijelaskan bahwa seleksi calon pegawai dalam pengadaan dilakukan dengan menerapkan prinsip merit melalui perbandingan obyektif antara kualifikasi dan kompetensi yang dipersyaratkan untuk setiap jabatan dengan kualifikasi dan kompetensi yang dimiliki oleh calon. Prinsip dasar yang harus dipegang teguh dalam pengadaan PNS dan PTTP baru adalah:

1) Kebijakan tentang pengadaan tidak boleh menguntungkan sekelompok orang atau pribadi tertentu. 2) Seluruh proses pengadaan harus dilakukan secara transparan. 3) Semua calon memiliki hak yang sama dalam proses pengadaan. 4) Semua calon yang memenuhi syarat kualifikasi dan kompetensi memiliki hak yang sama untuk diterima sebagai calon pegawai ASN. 5) Tidak diskriminatif baik terhadap suku, agama, ras, gender, dan tempat tinggal. 6) Tim penilai harus berlaku adil dan dibuktikan dengan sumpah.

Menurut penulis, rancangan pengaturan tersebut dapat semakin mendorong terwujudnya kesetaraan dalam penerimaan CPNS maupun PTTP di masa yang akan datang.

Dengan demikian, berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, persyaratan kualifikasi CPNS dalam peraturan sistem rekrutmen CPNS diperbandingkan dalam tabel berikut:

Tabel 6 Persyaratan Kualifikasi CPNS dalam Peraturan Sistem Rekrutmen PNS

No. Indonesia Amerika Serikat Jerman 1. CPNS: WNI: CPNS: WN AS: CPNS: WN Jerman dan 1. Pelamar Umum: ijazah 1. Pelamar Umum Masyarakat Eropa yang dan usia. 2. PNS melamar sebagai Pelamar 2. Tenaga Honorer: ijazah, Umum. SK, dan usia (18-35 Mensyaratkan: Ijazah dan usia tahun, tapi kondisi tertentu (sesuai fungsi Mensyaratkan: Ijazah dan usia

khusus s.d. 46 tahun). pekerjaan). Selain itu, boleh tertentu (sesuai fungsi 3. Lulusan Kedinasan: pula dipersyaratkan pekerjaan). Ijazah dan usia. pengalaman. Sumber: data sekunder, diolah 2012.

Dalam tabel tersebut di atas tampak jelas bahwa aspek persyaratan kualifikasi

CPNS di Indonesia belum sepenuhnya mewujudkan aspek kesetaraan, dengan demikian sebagian besar belum bertumpu pada teori keadilan distributif yang menghendaki pengangkatan dalam jabatan memberikan kesempatan yang seluas- luasnya sehingga peluang untuk memperoleh CPNS yang berkualitas semakin terbuka luas. Dengan demikian sebagian besar belum sejalan dengan prinsip merit system.

Berbeda dengan di Jerman dan Amerika Serikat yang sangat menekankan pewujudan kesetaraan dalam sumber rekrutmen CPNS, sehingga bertumpu pada teori keadilan distributif dan sejalan dengan prinsip merit system.

Dalam RUU ASN dan Naskah Akademik telah ada upaya pihak pemerintah

Indonesia dan legislatif untuk menghasilkan kebijakan kesetaraan yang sejalan dengan prinsip merit system.

b. Persyaratan Kualifikasi Pejabat Struktural

Wakil Menteri PAN dan RB (Seminar Reformasi Birokrasi di UNM, 26 Mei 2012), menilai jabatan eselon tiga dan eselon empat tidak diperlukan dalam hierarki birokrasi, sehingga perlu dihapus untuk mengurangi hierarki dalam birokrasi. Hal tersebut untuk memindahkan orientasi agar bukan pada jabatan, tapi pada pekerjaan, dengan tujuannya untuk mengefektifkan birokrasi.

Hal ini mengungkap mengapa selama ini rekrutmen jabatan struktural yang dilakukan oleh Kementerian PAN dan RB berfokus pada jabatan struktural eselon I dan II.

Pada tahun 2012, Kementerian PAN dan RB melalui Pengumuman

Kementerian PAN dan RB Nomor:B.2816/S.PAN-RB/10/2012 membuka rekrutmen untuk pengisian tiga Jabatan Eselon I.a di lingkungan kementeriannya, yakni:

a. Deputi Bidang Kelembagaan; b. Deputi Bidang SDM Aparatur; c. Deputi Bidang Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur.

Dalam pengumuman tersebut, Kementerian PAN dan RB memberikan kesempatan kepada PNS pusat dan daerah untuk mendaftarkan diri mengikuti seleksi dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil; 2. Sekurang-kurangnya memiliki pangkat Pembina Utama Madya (IV/d) dan telah menduduki jabatan Eselon I atau Eselon II selama minimal 2 (dua) tahun; 3. Berusia setinggi-tingginya 57 (lima puluh tujuh) tahun pada bulan Januari 2013; 4. Kualifikasi pendidikan minimal magister/pasca sarjana (S2); 5. Telah lulus Diklat Kepemimpinan Tingkat II (Diklat PIM Tk.II), diutamakan telah mengikuti Diklat PIM Tk.I; 6. Semua unsur penilaian prestasi kerja sekurang-kurangnya bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir; 7. Tidak sedang menjalani hukuman disiplin tingkat sedang atau berat; 8. Memiliki kompetensi jabatan yang diperlukan; 9. Sehat jasmani dan rohani; dan 10. Telah menyerahkan LHKPN dan SPT Tahunan.

Sebelumnya, Pada tahun 2011, Kementerian PAN dan RB juga telah mengadakan rekrutmen314 dengan cara yang serupa untuk pengisian jabatan Kepala

Lembaga Administrasi Negara, Kepala Badan Kepegawaian Negara, dan Deputi

Bidang Pembinaan Kearsipan ANRI, dan Staf Ahli Bidang Hukum Kementerian PAN dan RB.

Pengisian jabatan Kepala BKN maupun Kepala LAN merupakan hasil seleksi melalui promosi jabatan secara terbuka (open carier promotion) di lingkungan

Kementerian PAN dan RB serta LPNK di bawah koordinasinya yang memungkinkan

314 Rekrutmen pengisian jabatan struktural, apabila ditinjau dari sistem karir disebut sebagai promosi. Sedangkan istilah rekrutmen lebih mengarah pada sistem prestasi.

bagi seluruh PNS di Indonesia untuk melamar, sebagaimana publikasi Kementerian

PAN dan RB (22 Juni 2012). Dengan demikian hal ini masih termasuk dalam kategori sistem karir tertutup dalam arti PNS, karena hanya boleh “dimasuki” oleh

PNS.

Persyaratan tersebut sebenarnya secara eksplisit belum memberikan kesempatan kepada PNS yang menduduki jabatan yang setara dengan eselon II untuk ikut dalam seleksi, padahal seharusnya jabatan yang setara dapat pula diterima, sebagaimana di Amerika Serikat, Eksekutif Senior dapat dilamar bagi mereka yang pernah menduduki jabatan yang memimpin organisasi dalam besaran tertentu, fakultas misalnya.

Menurut Wakil Menteri PAN dan RB (Seminar Reformasi Birokrasi di UNM, 26

Mei 2012), promosi PNS dipindahkan dari closed carier system menjadi open carier system.315 Belum pada open system. Jabatan eselon I dan II dibuka secara nasional dari sabang sampai marauke. Problemnya, DPR minta agar hanya eselon I yang berjumlah 700 jabatan yang dibuka, tetapi dalam pikiran kami “critical mass reform” ada pada eselon II. Kooptasi politik tidak hanya ada di eselon I tetapi juga eselon II.

Targetnya adalah meniadakan kooptasi politik ke birokrasi dalam proses pengisian jabatan, memperbanyak posisi-posisi jabatan yang kompetitif, perpindahan knoelwdge, dan memperkuat konsep NKRI yang selama ini merupakan kelemahan otonomi daerah.

Walaupun merupakan sebuah terobosan terhadap praktik rekrutmen pengisian jabatan struktural di Indonesia, persyaratan tersebut kelihatannya dibuat masih berdasarkan Peraturan Pemerintah No.100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan

315 Open carier system dalam perespektif institusional yang dimaksudkan Wakil Menteri PAN dan RB tersebut dalam teori dan ketentuan kepegawaian di Indonesia disebut sebagai closed carier system dalam lingkup PNS ataupun dalam konteks negara.

Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural sebagaimana telah diubah dalam

Peraturan Pemerintah No.13 Tahun 2002.

Peraturan Pemerintah No.100 Tahun 2000 pada Pasal 5 mengatur persyaratan rekrutmen jabatan struktural, sebagai berikut:

Persyaratan untuk dapat diangkat dalam jabatan struktural, adalah: a. berstatus Pegawai Negeri Sipil; b. serendah-rendahnya menduduki pangkat 1 (satu) tingkat di bawah jenjang pangkat yang ditentukan; c. memiliki kualifikasi dan tingkat pendidikan yang ditentukan; d. semua unsur penilaian prestasi kerja sekurang-kurangnya bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir; e. memiliki kompetensi jabatan yang diperlukan; dan f. sehat jasmani dan rohani.

Selanjutnya dalam Pasal 6 diatur bahwa:

Di samping persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat dan Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah perlu memperhatikan faktor senioritas dalam kepangkatan, usia, pendidikan dan pelatihan jabatan, dan pengalaman yang dimiliki.

Di samping itu, Peraturan Pemerintah No. No.13 Tahun 2002 pada Pasal 7, mengatur persyaratan rekrutmen dalam jabatan struktural, sebagai berikut:

(1) Pegawai Negeri Sipil yang akan atau telah menduduki jabatan struktural harus mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan kepemimpinan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan untuk jabatan tersebut. (2) Pegawai Negeri Sipil yang telah memenuhi persyaratan kompetensi jabatan struktur tertentu dapat diberikan sertifikat sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh instansi pembina dan instansi pengendali serta dianggap telah mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan kepemimpinan yang dipersyaratkan untuk jabatan tertentu.

Adapun Jenjang Pangkat, Golongan/Ruang terendah dan tertinggi untuk pengangkatan dalam jabatan struktural, sebagai berikut:

Tabel 7 Persyaratan Jenjang Pangkat, Golongan/Ruang untuk Pengangkatan Dalam Jabatan Struktural

Jenjang Pangkat, Golongan / Ruang Ese- No Terendah Tertinggi lon Pangkat Gol/ Ruang Pangkat Gol/ Ruang 1. Ia Pembina Utama Madya IV/d Pembina Utama IV/e 2. Ib Pembina Utama Muda IV/c Pembina Utama IV/e

3. IIa Pembina Utama Muda IV/c Pembina Utama Madya IV/d 4. IIb Pembina Tingkat I IV/b Pembina Utama Muda IV/c 5. IIIa Pembina IV/a Pembina Tingkat I IV/b 6. IIIb Penanta Tingkat I III/d Pembina IV/a 7. IVa Penata III/c Penata Tingkat I III/d 8. IVb Penata Muda Tingkat I III/b Penata III/c 9. Va Penata Muda III/a Penata Muda Tingkat I III/b Sumber: Lampiran PP No.13 Tahun 2002.

Tabel tersebut menegaskan adanya pembatasan dari segi kepangkatan bagi

PNS untuk menduduki jabatan struktural. Dengan demikian, penghargaan terhadap aspek sistem karier nampak jelas dalam tabel tersebut.

Ketentuan dalam berdasarkan Peraturan Pemerintah No.100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural, sebagaimana telah diubah dalam Peraturan Pemerintah No.13 Tahun 2002 tersebut merupakan pendelegasian dari ketentuan dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang No.43 Tahun 1999.

Dalam Undang-Undang No.43 Tahun 1999 pada Pasal 12 ditegaskan mengenai manajemen PNS yang dilaksanakan berdasarkan sistem prestasi kerja dan sistem karier yang dititikberatkan pada sistem prestasi kerja. Namun demikian, dengan memaknai sistem karir yang digunakan adalah sistem karir tertutup, sebagai berikut:

(1) Manajemen Pegawai Negeri Sipil diarahkan untuk menjamin penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan secara berdayaguna dan berhasilguna. (2) Untuk mewujudkan penyelenggaraan tugas pemerintah dan pembangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diperlukan Pegawai Negeri Sipil yang profesional, bertanggung jawab, jujur, dan adil melalui pembinaan yang dilaksanakan berdasarkan sistem prestasi kerja dan sistem karier yang dititikberatkan pada sistem prestasi kerja.316

316 Penjelasan Ayat (2): Dalam rangka usaha untuk meningkatkan mutu dan ketrampilan serta memupuk kegairahan bekerja, maka perlu dilaksanakan pembinaan Pegawai Negeri Sipil dengan sebaik-baiknya atas dasar sistem prestasi kerja dan sistem karier yang dititikberatkan pada sistem prestasi kerja. Dengan demikian akan diperoleh penilaian yang obyektif terhadap kompetensi Pegawai Negeri Sipil. Untuk dapat meningkatkan daya guna dan hasil guna yang sebesar-besarnya, maka sistem pembinaan karier yang harus dilaksanakan adalah sistem pembinaan karier tertutup dalam arti negara.

Selanjutnya, terungkap pula bahwa pengangkatan dalam pangkat dan jabatan

PNS diatur Undang-Undang No.43 Tahun 1999 dalam Pasal 17 menekankan pada prinsip profesionalisme sesuai kompetensi, prestasi kerja, dan jenjang pangkat yang ditetapkan serta syarat objektif lainnya, tanpa diskriminasi, dengan demikian lebih menitikberatkan pada sistem prestasi secara terbatas, yakni hanya diperuntukkan diantara PNS, sebagai berikut:

(1) Pegawai Negeri Sipil diangkat dalam jabatan dan pangkat tertentu.317 (2) Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam suatu jabatan dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalisme sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja, dan jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan itu serta syarat obyektif lainnya tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras, atau golongan.318 (3) Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam pangkat awal ditetapkan berdasarkan tingkat pendidikan formal.

Lebih lanjut, Undang-Undang No.43 Tahun 1999 pada Pasal 20 menegaskan bahwa dalam mempertimbangkan pengangkatan dalam jabatan dan kenaikan pangkat diadakan penilaian prestasi kerja untuk menjamin objektivitas.

Namun demikian, terjadi keterlambatan dalam pengaturan lebih lanjut Pasal 20

Undang-Undang No.43 Tahun 1999, sehingga daftar penilaian pelaksanaan

Dengan sistem karier tertutup dalam arti negara, maka dimungkinkan perpindahan Pegawai Negeri Sipil dari Departemen/ Lembaga/ Propinsi/ Kabupaten/ Kota yang satu ke Departemen/ Lembaga/ Propinsi/ Kabupaten/ Kota yang lain atau sebaliknya, terutama untuk menduduki jabatan-jabatan yang bersifat manajerial.

317 Penjelasan Ayat (1): Yang dimaksud Jabatan adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seseorang Pegawai Negeri Sipil dalam suatu satuan organisasi Negara. Jabatan dalam lingkungan birokrasi pemerintahan adalah Jabatan Karier. Jabatan Karier adalah jabatan dalam lingkungan birokrasi pemerintah yang hanya dapat diduduki oleh Pegawai Negeri Sipil atau Pegawai Negeri yang telah beralih status sebagai Pegawai Negeri Sipil. Jabatan Karier dapat dibedakan dalam 2 (dua) jenis yaitu jabatan struktural dan jabatan fungsional. Jabatan struktural adalah jabatan yang secara tegas ada dalam struktur organisasi. Jabatan fungsional adalah jabatan yang tidak secara tegas disebutkan dalam struktur organisasi, tetapi dari sudut fungsinya diperlukan oleh organisasi, seperti Peneliti, Dokter, Pustakawan, dan lain-lain yang serupa dengan itu. Yang dimaksud dengan Pangkat adalah kedudukan yang menunjukkan tingkat seseorang Pegawai Negeri Sipil berdasarkan jabatannya dalam rangkaian susunan kepegawaian dan digunakan sebagai dasar penggajian.

318 Penjelasan Ayat (2): Yang dimaksud dengan syarat obyektif lainnya antara lain adalah disiplin kerja, kesetiaan, pengabdian, pengalaman, kerjasama, dan dapat dipercaya.

pekerjaan masih digunakan hingga kini berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor

10 Tahun 1979 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil yang sesungguhnya merupakan pengaturan lebih lanjut dari Pasal 20 Undang-Undang

No. 8 Tahun 1974. Adapun penilaian prestasi kerja sebagaimana dikehendaki oleh

Pasal 20 Undang-Undang No.43 Tahun 1999 barulah diatur lebih lanjut dalam

Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai

Negeri Sipil yang baru diberlakukan untuk seluruh instansi pemerintah pada 1

Januari 2014.

Menurut Kepala Sub Direktorat Pengadaan pada BKN Jakarta (Heru Sulistyono

Hermadi) (Wawancara, 7 Agustus 2012), sebagai pilot project, BKN sejak 2012 sudah mencoba menerapkan Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2011, yakni dengan menggunakan SKP (Sasaran Kerja Pegawai).

Berdasarkan uraian-uraian tersebut, menurut penulis, persyaratan kualifikasi bagi PNS tersebut menunjukkan bahwa pemerintah melalui Kementerian PAN dan

RB pada tahun 2012 dan 2011 sudah mulai melakukan terobosan dengan memberikan kesempatan kepada setiap PNS untuk dapat melamar pada instansi pemerintah lainnya, yang dalam hal ini adalah dapat melamar pada Kementerian

PAN dan RB serta instansi yang berada di bawah koordinasinya. Pemberian kesempatan seperti ini secara konseptual disebut sebagai kombinasi sistem karir tertutup dalam arti negara/PNS (sistem karir terbuka dalam arti antar institusi pemerintah) dan sistem prestasi, karena mempertimbangkan senioritas dalam karir

PNS dan juga mempertimbangkan prestasi yang dimiliki melalui ijazah, pelatihan kepemimpinan, dan terutama hasil tes seleksi dari antara PNS yang melamar. Hal ini merupakan kemajuan, karena merupakan penerapan Undang-Undang No.43 Tahun

1999 yang mensyaratkan kombinasi sistem karir tertutup dalam arti negara/PNS dan

sistem prestasi dalam rekrutmen pengisian jabatan struktural, berbeda dengan penerapan sebelumnya yang hanya didasarkan pada sistem karir tertutup, yakni diangkat dalam jabatan struktural pada instansi asalnya tanpa disertai tes seleksi.

Berbeda dengan sistem karir tertutup yang mengangkat pejabat melalui promosi dari dalam kepegawaian negeri sipil (civil service), dalam sistem berbasis posisi

(position-based systems), misalnya negara-negara Nordic, negara-negara

Commonwealth OECD, Amerika Serikat memungkinkan akses yang lebih terbuka terhadap jabatan, sebagaimana publikasi The World Bank (7 Juni 2012).

Di Amerika Serikat, jabatan puncak bagi karir PNS adalah Jabatan eksekutif senior. Title 5 United States Code pada Section 3132 mengatur sebagai berikut:

Definitions and exclusions (a) For the purpose of this subchapter— (2) “Senior Executive Service position” means any position in an agency which is classified above GS–15 pursuant to section 5108 or in level IV or V of the Executive Schedule, or an equivalent position, which is not required to be filled by an appointment by the President by and with the advice and consent of the Senate, and in which an employee— (A) directs the work of an organizational unit; (B) is held accountable for the success of one or more specific programs or projects; (C) monitors progress toward organizational goals and periodically evaluates and makes appropriate adjustments to such goals; (D) supervises the work of employees other than personal assistants; or (E) otherwise exercises important policy-making, policy-determining, or other executive functions; but does not include— (i) any position in the Foreign Service of the United States; or (ii) an administrative law judge position under section 3105 of this title;

Section 3132 tersebut menegaskan bahwa "posisi Layanan Executive Senior" berarti setiap posisi di lembaga yang klasifikasinya di atas GS-15 berdasarkan pasal

5108 atau di tingkat IV atau V dari Jadwal Eksekutif (Executive Schedule/ES), atau posisi yang setara, yang tidak wajib diisi oleh pengangkatan oleh Presiden dan dengan nasihat dan persetujuan dari Senat, dan di mana seorang karyawan:

(A) mengarahkan pekerjaan unit organisasi;

(B) yang bertanggung jawab atas keberhasilan satu atau lebih program tertentu atau proyek; (C) memantau kemajuan menuju tujuan organisasi dan secara berkala mengevaluasi dan membuat penyesuaian yang tepat untuk tujuan tersebut; (D) mengawasi kerja karyawan selain asisten pribadi, atau (E) jika latihan penting pembuatan kebijakan, kebijakan-menentukan, atau fungsi eksekutif lainnya; tetapi tidak termasuk: (i) setiap posisi di Dinas Luar Negeri Amerika Serikat, atau (ii) seorang hakim posisi hukum administrasi menurut pasal 3105 dari judul ini;

Secara praktis, kualifikasi yang dibutuhkan untuk melamar dalam jabatan eksekutif senior dimuat dalam Guide to Executive Senior Service Qualifications, sebagai berikut:

Competencies are the personal and professional attributes that are critical to successful performance in the SES. They are based on extensive research of Government and private sector executives and input from agency Senior Executives and human resources managers. There are 28 competencies. Twenty-two of the competencies are the specific competencies for the Executive Core Qualifications (ECQs). The remaining six are the fundamental competencies and are the attributes that serve as the foundation for each of the ECQs. Experience and training that strengthen and demonstrate the competencies will enhance a candidate’s overall qualifications for the SES.

The ECQ Competencies tersebut secara garis besar terdiri dari empat kompetensi, yakni:

1. Leading Change.

2. Leading People

3. Business Acumen

4. Fundamental Competencies

Leading Change, terdiri atas kemampuan, sebagai berikut:

a. Creativity and Innovation – Develops new insights into situations; questions conventional approaches; encourages new ideas and innovations; designs and implements new or cutting edge programs/processes. b. External Awareness – Understands and keeps up-to-date on local, national, and international policies and trends that affect the organization and shape stakeholders’ views; is aware of the organization’s impact on the external environment. c. Flexibility – Is open to change and new information; rapidly adapts to new information, changing conditions, or unexpected obstacles.

d. Resilience – Deals effectively with pressure; remains optimistic and persistent, even under adversity. Recovers quickly from setbacks. e. Strategic Thinking – Formulates objectives and priorities, and implements plans consistent with long-term interests of the organization in a global environment. Capitalizes on opportunities and manages risks. f. Vision – Takes a long-term view and builds a shared vision with others; acts as a catalyst for organizational change. Influences others to translate vision into action.

Leading People, terdiri atas kemampuan sebagai berikut: a. Conflict Management – Encourages creative tension and differences of opinions. Anticipates and takes steps to prevent counter-productive confrontations. Manages and resolves conflicts and disagreements in a constructive manner. b. Leveraging Diversity – Fosters an inclusive workplace where diversity and individual differences are valued and leveraged to achieve the vision and mission of the organization. c. Developing Others – Develops the ability of others to perform and contribute to the organization by providing ongoing feedback and by providing opportunities to learn through formal and informal methods. d. Team Building – Inspires and fosters team commitment, spirit, pride, and trust. Facilitates cooperation and motivates team members to accomplish group goals. e. Results Driven f. Accountability – Holds self and others accountable for measurable high- quality, timely, and cost-effective results. Determines objectives, sets priorities, and delegates work. Accepts responsibility for mistakes. Complies with established control systems and rules. g. Customer Service – Anticipates and meets the needs of both internal and external customers. Delivers high-quality products and services; is committed to continuous improvement. h. Decisiveness – Makes well-informed, effective, and timely decisions, even when data are limited or solutions produce unpleasant consequences; perceives the impact and implications of decisions. i. Entrepreneurship – Positions the organization for future success by identifying new opportunities; builds the organization by developing or improving products or services. Takes calculated risks to accomplish organizational objectives. j. Problem Solving – Identifies and analyzes problems; weighs relevance and accuracy of information; generates and evaluates alternative solutions; makes recommendations. k. Technical Credibility – Understands and appropriately applies principles, procedures, requirements, regulations, and policies related to specialized expertise.

Business Acumen, terdiri atas kemampuan sebagai berikut: a. Financial Management – Understands the organization’s financial processes. Prepares, justifies, and administers the program budget. Oversees

procurement and contracting to achieve desired results. Monitors expenditures and uses cost-benefit thinking to set priorities. b. Human Capital Management – Builds and manages the workforce based on organizational goals, budget considerations, and staffing needs. Ensures that employees are appropriately recruited, selected, appraised, and rewarded; takes action to address performance problems. Manages a multi-sector workforce and a variety of work situations. c. Technology Management – Keeps up-to-date on technological developments. Makes effective use of technology to achieve results. Ensures access to and security of technology systems. d. Building Coalitions e. Partnering – Develops networks and builds alliances, collaborates across boundaries to build strategic relationships and achieve common goals. f. Political Savvy – Identifies the internal and external politics that impact the work of the organization. Perceives organizational and political reality and acts accordingly. g. Influencing/Negotiating – Persuades others; builds consensus through give and take; gains cooperation from others to obtain information and accomplish goals.

Fundamental Competencies, adalah kompetensi dasar untuk berhasil dalam setiap kualifikasi inti jabatan Eksekutif, terdiri atas kemampuan:

a. Interpersonal Skills – Treats others with courtesy, sensitivity, and respect. Considers and responds appropriately to the needs and feelings of different people in different situations. b. Oral Communication – Makes clear and convincing oral presentations. Listens effectively; clarifies information as needed. c. Integrity/Honesty – Behaves in an honest, fair, and ethical manner. Shows consistency in words and actions. Models high standards of ethics. d. Written Communication – Writes in a clear, concise, organized, and convincing manner for the intended audience. e. Continual Learning – Assesses and recognizes own strengths and weaknesses; pursues self-development. f. Public Service Motivation – Shows a commitment to serve the public. Ensures that actions meet public needs; aligns organizational objectives and practices with public interests.

Di samping itu, dalam Guide to Executive Senior Service Qualifications beberapa diberi contoh model-model aplikasi dari kualifikasi tersebut di atas.

Misalnya, dibutuhkan tingkat pendidikan tertentu serta pengalaman memimpin pada tingkatan tertentu dengan jenjang jabatan tertentu (seringkali dipersyaratkan tingkatan GS-15), dan keberhasilan yang telah dicapai dalam empat garis besar kualifikasi tersebut diatas.

Namun demikian, terdapat penyimpangan terhadap position-based systems sebagai varian dari merit system tersebut di atas. Penyimpangan tersebut adalah masuknya jabatan politik pada tingkat manajerial yang dimaksudkan untuk menjaga agar PNS tetap responsif terhadap kebutuhan dan tuntutan eksekutif-politik.

Pengisian jabatan eksekutif senior dari non karir (politik/pengangkatan terbatas) yang hanya berlaku untuk masa jabatan 3 tahun atau kurang dari tiga tahun, sebagaimana diatur dalam Title 5 United States Code USC Section 3132.

Selanjutnya, pengangkatan terbatas tersebut diatur dalam Title 5 United States

Code, Section 3134, bahwa:

Limitations on noncareer and limited appointments (a) During each calendar year, each agency shall— (1) examine its needs for employment of noncareer appointees for the fiscal year beginning in the following year; and (2) submit to the Office of Personnel Management, in accordance with regulations prescribed by the Office, a written request for authority to employ a specific number of noncareer appointees for such fiscal year. (b) The number of noncareer appointees in each agency shall be determined annually by the Office on the basis of demonstrated need of the agency. The total number of noncareer appointees in all agencies may not exceed 10 percent of the total number of Senior Executive Service positions in all agencies. (c) Subject to the 10 percent limitation of subsection (b) of this section, the Office may adjust the number of noncareer positions authorized for any agency under subsection (b) of this section if emergency needs arise that were not anticipated when the original authorizations were made.

Dalam Publikasi The World Bank (7 Juni 2012) dijelaskan bahwa pengaturan untuk memastikan bahwa jabatan politik murni (pure political appointment) dibatasi, di Amerika Serikat jumlahnya dibatasi oleh rumus sederhana yakni tidak lebih dari

10% dari semua jabatan pegawai eksekutif senior (senior executive service) yakni sekitar 800 dan posisi tertentu pada tingkat daftar eksekutif (executive schedule) yakni kira-kira 550 lebih). Sedangkan di Jerman, tidak ada jabatan politik murni.

Di Amerika Serikat, dalam beberapa kasus patronase politik bersifat legal.

Pejabat yang terpilih, seperti Presiden, Gubenur, dan Walikota, diperbolehkan

menggunakan “spoil system” untuk menunjuk pendukung-pendukung loyalisnya menduduki berbagai posisi politik dan pemerintahan. Namun demikian, hak untuk menggunakan spoil system ini dilakukan secara tertib dan diawasi secara ketat.

Melalui tindakan tersebut, para pejabat sebagai patron membalas jasa para pendukung setianya sehingga mereka memiliki posisi yang lebih baik untuk mengatur arah politik dan pemerintahan sesuai yang mereka inginkan, serta mengusahakan perolehan suara yang lebih banyak lagi. Sebagai patron, mereka bertanggung jawab atas kinerja orang-orang pilihannya. Oleh karena itu, patron semacam ini bersifat demokratis dan fungsional.

Pada kebanyakan kasus, patronase politik berjalan secara tidak demokratis dan fungsional. Para patron politik menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan bagi para pendukungnya, dan sekelompok kecil pendukung menerima distribusi sumber daya publik. Hal ini dilakukan untuk tujuan meningkatkan perolehan suara pada pemilihan berikutnya. Loyalitas politik klien lebih menjadi faktor pertimbangan daripada persoalan kompetensi, serta hak-hak dan kebutuhan warga negara.

Di sebagian besar negara-negara OECD, jabatan politik cenderung terkonsentrasi pada tingkat manajemen puncak, atau di antara posisi “sensitif”

(misalnya, the secretarial staff of a minister). Hal ini kontras dengan realitas pada sebagaian dunia berkembang, di mana afiliasi politik kemungkinan merupakan kriteria utama seleksi untuk menjabat di seluruh hirarki organisasi. Dalam perkembangannya, bagaimanapun, adalah menuju karir administratif berdasarkan prestasi (administrative career based on merit).

Dengan demikian, berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, secara sederhana digambarkan persyaratan kualifikasi jabatan struktural dalam peraturan sistem

rekrutmen dalam jabatan struktural yang diperbandingkan sebagaimana tampak dalam tabel berikut:

Tabel 8 Persyaratan Kualifikasi Eselon dalam Peraturan Sistem Rekrutmen PNS

No. Indonesia Amerika Serikat Jerman 1. 1. Karir (Pangkat) A. Pengangkatan Kompetitif 1. Karir (Pangkat) 2. Pendidikan (minimal 90%): 2. Pendidikan 3. Pengalaman Eselon 1. Karir (Pangkat) 3. Pengalaman Eselon 4. Keunggulan Kompetitif 2. Pendidikan 4. Keunggulan Kompetitif 3. Pengalaman Eselon/Setara 4. Keunggulan Kompetitif B. Pengangkatan Politik (maksimal 10%) Sumber: data sekunder, diolah 2012.

Tabel tersebut di atas menunjukkan bahwa dalam rekrutmen jabatan struktural/eselon (promosi) di Indonesia sudah mulai memberlakukan sistem karier terbuka dalam arti antar institusi pemerintah atau dikenal sebagai sistem tertutup dalam arti negara/PNS. Hal tersebut mirip dengan pengaturan di Jerman untuk posisi puncak manajemennya. Namun demikian, di Jerman setiap PNS yang memenuhi syarat objektif memiliki kesempatan yang sama untuk melamar dalam jabatan pegawai senior, berbeda dengan di Indonesia yang pada umumnya belum memberikan kesempatan yang sama bagi semua PNS untuk mengikuti seleksi.

Namun demikian sejak 2011, Kementerian PAN dan RB sudah mulai memberikan kesempatan yang sama bagi semua PNS untuk mengikuti seleksi. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa persyaratan kualifikasi eselon I dan II di Indonesia sudah mulai mewujudkan kesetaraan. Di Jerman, sumber rekrutmen pegawai seniornya sudah mewujudkan kesetaraan. Berbeda dengan di Amerika Serikat, yang paling sedikit 90% sumber rekrutmen eksekutif seniornya sudah mewujudkan kesetaraan.

Dengan tidak menegaskan perbedaan jabatan politis dengan jabatan negeri, dalam Naskah Akademik RUU ASN dijelaskan mengenai sumber rekrutmen

Aparatur Eksekutif Senior (AES) yang bersumber dari PNS maupun Pegawai Tidak tetap Pemerintah, bahkan dapat bersumber dari golongan non karier, sebagai berikut:

Pengadaan pegawai AES dilakukan terpisah dari pengadaan PNS dan PP.319 PNS yang menduduki jabatan Administrasi dan PP yang menduduki jabatan Fungsional yang memenuhi persyaratan dapat mengikuti seleksi pegawai AES. PNS dan PP yang memenuhi kualifikasi dan memiliki kompetensi yang diperlukan dapat mengikuti seleksi calon pegawai AES yang lowong. Sesuai peraturan yang berlaku, calon dari dunia bisnis atau organisasi non-pemerintah yang memiliki kualifikasi dan kompetensi yang sesuai juga dapat mengikuti seleksi calon pegawai AES. Jumlah pegawai AES pada jabatan struktural eksekutif lebih kurang berjumlah 6.500 orang (Gol IV/c sampai IV/e) yang menduduki eselon 1 dan 2. Disamping itu pegawai Jabatan Fungsional yang menjalankan tugas penelitian dan perekayasa, perencanaan, analisis kebijakan, analisis anggaran, dan yang sejenis, dapat ditetapkan sebagai pegawai AES non-struktural. Jumlah total pejabat yang dikategorikan sebagai pegawai AES pada instansi di Pusat dan daerah kira-kira berjumlah 30.000 orang.

Dengan demikian, naskah akademik tersebut menganut konsepsi open system, dengan memberikan kesempatan yang luas bagi berbagai kandidat untuk melamar dalam jabatan Eksekutif Senior melalui seleksi kompetitif.

Dalam RUU ASN ditegaskan mengenai kesempatan yang sama bagi PNS untuk direkrut dalam jabatan Eksekutif Senior, bahkan bagi non PNS pada jabatan- jabatan eksekutif senior tertentu, sebagaimana diatur dalam Pasal 19 berikut:

(1) Pengisian Jabatan Eksekutif Senior pada jabatan struktural tertinggi kementerian, kesekretariatan lembaga negara, lembaga pemerintah non kementerian, staf ahli, dan analis kebijakan dilakukan melalui promosi dari PNS yang berasal dari seluruh Instansi dan Perwakilan. (2) Pengisian Jabatan Eksekutif Senior, khusus pada jabatan struktural tertinggi lembaga pemerintah non kementerian, staf ahli, dan analis kebijakan dapat berasal dari Non PNS yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. (3) Pengisian Pejabat Eksekutif Senior sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh KASN. (4) Pejabat yang Berwenang atau pimpinan Instansi dan Perwakilan mengajukan permintaan pengisian jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan mengajukan kompetensi dan kualifikasi serta jabatan yang lowong kepada KASN.

319 Pegawai Tidak Tetap Pemerintah.

(5) KASN mengumumkan lowongan jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ke seluruh Instansi dan Perwakilan disertai dengan kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan lain yang dibutuhkan. (6) Calon Pejabat Eksekutif Senior yang memenuhi kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan lain yang dibutuhkan berhak mengajukan lamaran kepada KASN. (7) KASN melakukan seleksi untuk memilih 1 (satu) orang calon Pejabat Eksekutif Senior sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Dengan demikian, RUU ASN tersebut menganut konsepsi open system secara terbatas, dengan memberikan kesempatan yang luas bagi berbagai kandidat untuk melamar dalam jabatan Eksekutif Senior melalui seleksi kompetitif, khususnya pada jabatan struktural tertinggi lembaga pemerintah non kementerian, staf ahli, dan analis kebijakan.

RUU ASN tersebut, jika diberlakukan di masa depan maka Indonesia akan mampu menciptakan kesetaraan dalam rekrutmen jabatan eselon/struktural sehingga bertumpu pada teori keadilan distributif dan sejalan dengan prinsip merit system.

2. Model Seleksi

Model seleksi adalah cara yang digunakan untuk menemukan pelamar yang berkualifikasi untuk diangkat menjadi CPNS.

Model seleksi yang digunakan dapat menunjukkan sejauhmana tes seleksi/materi seleksi dapat “menjaring” pelamar-pelamar yang berkualitas.

a. Model Seleksi CPNS

Pengadaan CPNS pada prinsipnya mengacu pada ketentuan Peraturan

Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan

Pemerintah Nomor 11 Tahun 2002 dan ketentuan pelaksanaannya sebagaimana diatur dalam Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 11 Tahun 2002.

Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara No.9 Tahun 2012 tentang

Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil, Lampiran II. Bagian

II.A.1, kecuali mengenai hal-hal berikut: a. Penyiapan dan pengolahan materi ujian dilakukan oleh Konsorsium Perguruan

Tinggi Negeri atau dapat menggunakan Computer Assisted Test (CAT) apabila

infrastruktur, sarana, dan prasarana telah siap dan tersedia; b. Pengolahan hasil ujian dengan komputer; dan c. Bagi instansi yang melakukan seleksi CPNS dengan materi ujian yang memiliki

spesifikasi khusus dan pola seleksi tersendiri baik prosedur, materi, maupun

metodologinya, agar mendapat persetujuan tertulis dari Menteri PAN dan RB

setelah mendapat pertimbangan teknis Kepala Badan Kepegawaian Negara.

Menurut Kepala Sub Direktorat Pengadaan pada BKN Jakarta (Heru Sulistyono

Hermadi) (Wawancara, 7 Agustus 2012), CAT sudah digunakan pada tahun 2009 saat penerimaan CPNS BKN, tetapi pada saat itu belum menggunakan passing grade. Tes dengan menggunakan CAT untuk menjaga objektivitas karena jarak antara waktu tes dengan hasil tesnya sangat singkat.

Pelaksanaan seleksi CPNS tahun 2012 belum menggunakan CAT. Penyiapan dan pengolahan materi ujian dilakukan oleh Konsorsium Perguruan Tinggi Negeri, yang dipimpin oleh Universitas Gadjah Mada.

Wakil Menteri PAN dan RB (Seminar Reformasi Birokrasi di UNM, 26 Mei 2012) menyatakan bahwa reformasi birokrasi dimulai dari proses seleksi. Kementerian

PAN dan RB berharap bisa mendapatkan pegawai yang kompeten dengan pola seleksi yang baik. Mulai tahun 2013, Kementerian PAN dan RB mencari cara yang

baik, transparan, efektif, dan efisien. Salah satunya dengan menerapkan seleksi

CPNS berbasis komputer. Dengan metode seleksi tersebut, peserta bisa melakukan tes setiap harinya. Untuk tahap awal, akan diterapkan pada tenaga honorer. Saat ini,

Kementerian PAN dan RB sedang menyiapkan perangkatnya di seluruh provinsi di

Tanah Air. Tahun 2012 ini sudah dibangun di delapan provinsi dengan kapasitas 50 orang, sedangkan 25 sisanya, akan dibangun pada 2013. Adapun anggaran yang dibutuhkan untuk tiap perangkat yakni Rp2,5 miliar untuk kapasitas 50 orang dan

Rp3,7 miliar untuk kapasitas 100 orang. Untuk soal tes, Kementerian PAN dan RB akan bekerja sama dengan perguruan tinggi. Setidaknya ada 12 jenis soal di dalam satu perangkat komputer. Dengan sistem komputerisasi tersebut, peserta bisa mengetahui lulus atau tidaknya pada hari yang sama.

Sesungguhnya, ketentuan mengenai tes seleksi diatur dalam PP No.98 Tahun

2000 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil pada Pasal 7 ayat (3), yang meliputi:

a. Test kompetensi; b. Psikotes

Berdasarkan ketentuan tersebut, model seleksi/materi seleksi dalam rekrutmen

CPNS dari jalur pelamar umum pada tahun 2012 diatur dalam Peraturan Kepala

BKN Nomor 9 Tahun 2012 pada Lampiran II, Bagian A.3-4, sebagai berikut:

3. Dalam upaya mendapatkan sumber daya Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang berkualitas di instansi pusat maupun daerah dilakukan Tes Kompetensi Dasar (TKD) bagi semua pelamar. 4. Di samping TKD sebagaimana dimaksud dalam angka 3, instansi pusat dan daerah dapat melakukan Tes Kompetensi Bidang (TKB) sesuai dengan kebutuhan jabatan masing-masing instansi.

Selanjutnya, Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara No.9 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil, Lampiran II.

Bagian II.B.2.a-b, mengatur materi dan pelaksanaan ujian, yakni: Tes Kompetensi

Dasar dan Tes Kompetensi Bidang.

Tes Kompetensi Dasar (TKD), terdiri dari Tes Wawasan Kebangsaan, Tes

Intelegensi Umum, dan Tes Karakteristik Pribadi dibuat oleh Konsorsium Perguruan

Tinggi Negeri.

TKD dimaksudkan untuk menggali pengetahuan, keterampilan, dan sikap/perilaku peserta ujian yang meliputi wawasan nasional, regional, dan internasional maupun kemampuan verbal, kemampuan kuantitatif, kemampuan penalaran, kemampuan beradaptasi, pengendalian diri, semangat berprestasi, integritas, dan inisiatif.

Tes Wawasan Kebangsaan untuk menilai penguasaan pengetahuan dan kemampuan mengimplementasikan nilai-nilai 4 (empat) Pilar Kebangsaan Indonesia yang meliputi :

a. Pancasila; b. Undang Undang Dasar 1945; c. Bhineka Tunggal Ika; dan d. Negara Kesatuan Republik Indonesia (sistem tata negara Indonesia, baik pada pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, sejarah perjuangan bangsa, peranan Bangsa Indonesia dalam tatanan regional maupun global,kemampuan berbahasa indonesia secara baik dan benar).

Tes Intelegensi Umum dimaksudkan untuk menilai :

a. Kemampuan verbal yaitu kemampuan menyampaikan informasi secara lisan maupun tulis; b. Kemampuan numerik yaitu kemampuan melakukan operasi perhitungan angka dan melihat hubungan diantara angka-angka; c. Kemampuan berpikir logis yaitu kemampuan melakukan penalaran secara runtut dan sistematis; dan d. Kemampuan berpikir analitis yaitu kemampuan mengurai suatu permasalahan secara sistematik.

Tes Karakteristik Pribadi untuk menilai :

a. Integritas diri; b. Semangat berprestasi; c. Orientasi pada pelayanan; d. Kemampuan beradaptasi; e. Kemampuan mengendalikan diri; f. Kemampuan bekerja mandiri dan tuntas; g. Kemauan dan kemampuan belajar berkelanjutan;

h. Kemampuan bekerja sama dalam kelompok; i. Kemampuan menggerakkan dan mengkoordinir orang lain; j. Orientasi kepada orang lain; dan k. Kreativitas dan inovasi.

Penentuan kelulusan pelamar umum yang mengikuti TKD ditetapkan berdasarkan nilai ambang batas (passing grade) kelulusan yang ditetapkan oleh

Menteri PAN dan RB atas pertimbangan Mendikbud dengan memperhatikan pendapat dari Konsorsium Perguruan Tinggi Negeri.

Adapun Tes Kompetensi Bidang (TKB) dimaksudkan untuk mengukur kemampuan dan/atau keterampilan peserta ujian yang berkaitan dengan kompetensi jabatan atau pekerjaan.

Dalam menyusun materi soal TKB harus disesuaikan dengan formasi jabatan atau pekerjaan. Dengan demikian, materi soal TKB untuk jabatan yang satu berbeda dengan jabatan yang lain.

PPK Pusat/Provinsi/Kabupaten/Kota menetapkan soal TKB untuk lowongan formasi jabatan fungsional tertentu berdasarkan materi ujian yang disusun oleh instansi pembina jabatan fungsional tertentu. Contoh:

a. Bagi pelamar Perancang Peraturan Perundang-undangan, materi ujian pengetahuan substansi yang berkaitan dengan teknik penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan, disusun oleh instansi pembina jabatan fungsional Perancang Peraturan Perundangundangan; b. Bagi pelamar profesi Perawat, materi ujian pengetahuan substansi yang berkaitan dengan keperawatan, disusun oleh instansi pembina jabatan fungsional Perawat; c. Bagi pelamar Penyuluh Perikanan, materi ujian pengetahuan substansi yang berkaitan dengan perikanan, disusun oleh instansi pembina jabatan fungsional Penyuluh Perikanan.

PPK Pusat/Provinsi/Kabupaten/Kota menyiapkan materi ujian dan menetapkan soal TKB untuk lowongan formasi jabatan fungsional umum.

Pelaksanaan TKB pada instansi Pusat dan Provinsi/Kabupaten/Kota diselenggarakan oleh masing-masing PPK, sedangkan untuk Kabupaten/Kota dikoordinasikan oleh Gubernur selaku Wakil Pemerintah.

TKB dilakukan secara tertulis sesuai dengan lowongan formasi jabatan. Di samping itu dapat dilakukan tes psikologi lanjutan, wawancara, atau ujian praktek.

Contoh ujian praktek:

a. Untuk jabatan di bidang SAR harus memiliki kemampuan berenang dan mendaki gunung. b. Untuk jabatan Pranata Komputer harus memiliki kemampuan mengoperasionalkan dan atau membangun aplikasi komputer.

Menurut Menteri PAN dan RB dalam Ceramah Umum kepada Peserta Diklat

PIM II dan Diklat PIM III di PKP2A II LAN (24 April 2012), dimasukkannya materi empat pilar, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika dalam materi ujian kompetensi dasar, merupakan arahan Menteri PAN dan RB. Menurut

Menteri PAN dan RB, hal tersebut mutlak, karena PNS merupakan perekat NKRI.

Materi seleksi tersebut berbeda dengan materi sebelumnya yang didasarkan pada Peraturan Kepala BKN Nomor 30 Tahun 2007 tentang Pedoman Pelaksanaan

Pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil menggunakan Tes Kompetensi Dasar

(terdiri dari Tes Pengetahuan Umum dan Tes Skala Kematangan), serta dapat pula dilakukan Tes Kompetensi Bidang. Bahkan sebelumnya, berdasarkan pada

Keputusan Kepala BKN No.22 Tahun 2005 tentang Pedoman Pelaksanaan

Pengadaan Calon PNS Tahun 2005, yang menggunakan Tes Pengetahuan Umum dan Tes Bakat Skolastik, serta dapat pula menggunakan Tes Substansi.

Menurut Kepala Sub Direktorat Pengadaan pada BKN Jakarta (Wawancara, 7

Agustus 2012), pelaksanaan ujian seleksi penerimaan CPNS menurut rencana akan dilaksanakan serentak pada tanggal 8 September 2012 di sekitar 90 tempat. Hal ini untuk mencegah peserta melulusi lebih dari satu ujian CPNS sehingga akan

mencegah kekosongan formasi dan mencegah kebocoran soal. Ujian tersebut untuk memperebutkan sebanyak 14.560 kursi CPNS yang dibutuhkan oleh 48 instansi pemerintah. Selain itu, untuk CPNS dari pendidikan kedinasan sebanyak 4.126.

Pada tahun 2012 hanya 23 instansi pemerintah pusat dan 25 pemerintah daerah yang memenuhi syarat melakukan penerimaan CPNS untuk jabatan yang dikecualikan dari moratorium. Padahal, anggaran dari APBN 2012 dialokasikan untuk penerimaan 61.560 CPNS, tetapi ternyata hanya terserap 14.560 orang.

Jumlah itu terdiri dari 11.870 untuk instansi pusat, dan hanya 2.681 itu pemerintah daerah. Semula, ada 119 instansi yang mengusulkan permohonan CPNS untuk tahun 2012 ini. Untuk pusat sebanyak 59 instansi, sebanyak 47 daerah, sehingga jumlahnya mencapai 76 ribu lebih. Namun berdasarkan kebijakan moratorium, setiap instansi harus melengkapi usulan itu dengan analisis jabatan dan analisis beban kerja sesuai ketentuan yang berlaku. Bagi daerah yang sudah kelebihan pegawai, juga tidak boleh. Selain itu, untuk pemda, anggaran belanja pegawainya tidak boleh lebih dari 50 persen dari APBD. Dalam hal ini, acuannya adalah data di Kementerian

Keuangan. Jadi meskipun ada daerah yang menyampaikan data baru, tetapi yang dipakai tetap data di Kementerian Keuangan.

Setelah ujian seleksi dilaksanakan secara serentak pada 8 September 2012, pengumuman hasil pemeriksaan ujian seleksi tersebut ternyata mengalami keterlambatan. Pengumuman hasil TKD tertunda dua kali, bahkan selanjutnya terjadi ketidakjelasan mengenai TKB. Dalam Kompas.com pada 28 September 2012, dimuat bahwa Kementerian PAN dan RB, bekerja sama dengan Kompas.com, mengumumkan hasil tes kemampuan dasar (TKD) Calon Pengawai Negeri Sipil

(CPNS) 2012. Sedianya pengumuman hasil TKD ini diumumkan pada Senin 17

September 2012. Namun, hal ini dimundurkan hingga 21 September 2012.

Menteri PAN dan RB menghendaki agar sebelum mengumumkan hasil test kompetensi dasar (TKD) CPNS, yang semula direncanakan 17 September 2012,

Kementerian PAN dan RB terlebih dahulu akan menyerahkan hasil test dimaksud kepada Pejabat pembina Kepegawaian (PPK) masing-masing instansi, yang akan dilaksanakan pada 19 September 2012. Hal itu dilakukan untuk menghormati instansi pemerintah penyelenggara test CPNS 2012, mengingat yang berwenang mengumumkan memang PPK di masing-masing instansi. Setelah diserahkan, pada sore hari itu juga akan diumumkan di www.menpan.go.id, dan www.kompas.com (17

September 2012). Namun demikian, pengumuman hasilTKD tersebut akhirnya dilakukan pada tanggal 21 September 2012 sebagaimana dimuat dalam situs www.kompas.com dan www.menpan.go.id , yang bisa diakses dengan memasukkan nomor tes peserta. Tampilan yang muncul, adalah nilai hasil TKD tanpa ada penjelasan apakah peserta test tersebut lolos atau tidak. Hal ini disebabkan pihak yang berwenang mengumumkan lulus tidaknya peserta TKD adalah pejabat pembina kepegawaian masing-masing instansi. Namun demikian, kelulusan didasarkan pada nilai ambang batas atau passing grade hasil ujian kompetensi dasar.

Deputi SDM Aparatur pada Kementerian PAN dan RB (Ramli E. Naibaho) sebagaimana publikasi Kementerian PAN dan RB (25 September 2012) menjelaskan bahwa pasca penyerahan hasil pengolahan lembar jawaban komputer

(LJK) tes kompetensi dasar (TKD) pada tanggal 19 September 2012, instansi penyelenggara rekrutmen CPNS diharapkan segera mengumumkan hasilnya.

Namun ternyata sejumlah instansi menyikapinya secara beragam. Ada yang langsung bereaksi, karena banyak lembar jawaban komputer (LJK) yang tidak valid

dan melayangkan surat ke Kementerian PAN dan RB. Namun ada juga instansi yang sama sekali belum menyentuh hasil pengolahan LJK tersebut.

Menteri PAN dan RB dalam rapat dengan Komisi II DPR menjelaskan mengenai penyebab keterlambatan pengumuman hasil tes CPNS (Risalah DPR RI, 16 Oktober

2012), sebagai berikut:

“...... Nah, sedikit saya jelaskan kenapa tertunda kemarin, cetakan itu kita serahkan kepada masing-masing karena kita tidak punya dana untuk cetak soal, jadi waktu masuk jawaban yang sebanyak 165.000, itu lembaran jawaban masuk ke BPPT, mereka bantu kita, dananya setengah miliar mereka siapkan alatnya, ternyata ada 9.000 lembar yang beda ukurannya, sehingga nggak bisa masuk dipindai, discanning, jadi itu harus dimanualkan, jadi bergeserlah satu hari, yang heboh itu satu hari bergeser, tidak bergerak di situ Pak, semuanya di situ, selesai. Setelah selesai banyak sekali yang yang masih invalid nah kita minta diperiksa balik. Ini kan baru pertama kali, kita juga patut ada memang mungkin kesilapan memberikan nomor, kode kepada si peserta X,Y,Z kepada kita Z, Y dan sebagainya, ini kan bisa berubah tidak keluar angkanya, sisir semuanya, sudah bisa dapatlah, tetapi kalau kesalahan pribadi di sini tulis angkanya, nomornya 234 tetapi yang dibulatkan 235 ya tidak keluar, itu kesalahan pribadi ya kita tetap ada yang gugur seperti itu. Jadi yang ingin saya sampaikan terbuka sekali pada pengumuman itu instansi dapat angka, BKN dapat urutan angka, urutan itu, dan yang bersangkutan tahu persis nilainya berapa...... ”.

Menurut penulis, hal tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan terhadap penggunaan CAT dalam seleksi penerimaan CPNS semakin urgen, karena CAT menggunakan perangkat komputer yang langsung terlihat hasil tesnya seketika dan bagi yang lulus seketika pula tercetak sertifikat hasil tesnya. Selain itu, dilakukannya konsultasi balik oleh pihak konsorsium perguruan tinggi dan kementerian PAN dan

RB kepada pejabat pembina kepegawaian memberi kesan tidak adanya kemandirian konsorsium perguruan tinggi dan Kementerian PAN dan RB dalam melakukan tes seleksi.

Pada saat pengumuman hasil pemeriksaan terhadap TKD sebagaimana publikasi Kementerian PAN dan RB (25 September 2012), diketahui bahwa hanya sekitar 40 ribu atau sekitar 35 persen dari sekitar 165 ribu peserta tes kompetensi

dasar (TKD) CPNS tahun 2012 yang memenuhi ambang batas (passing grade) kelulusan yang, sehingga diperkirakan terdapat sejumlah formasi yang tidak terisi.

Menurut Kepala Sub Direktorat Pengadaan pada BKN Jakarta (Wawancara, 7

Agustus 2012), bahwa berbeda dengan ujian penerimaan CPNS dahulu yang menggunakan rangking, untuk tes tahun 2012 ujian penerimaan CPNS menggunakan passing grade. Soal TKD akan dibuat oleh konsorsium 10 perguruan tinggi negeri. Sepuluh PTN yang bergabung dalam konsorsium dimaksud adalah

Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Pendidikan

Indonesia (UPI), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Gadjah Mada (UGM),

Institut Teknologi Surabaya (ITS), Universitas Airlangga (UNAIR), Universitas

Sumatera Utara (USU), Universitas Andalas (UNHAD), dan Universitas Hasanuddin

(UNHAS).

Menurut Menteri PAN dan RB dalam publikasi Kementerian PAN dan RB (26

Januari 2012), Universitas Gadjah Mada (UGM) ditunjuk menjadi Ketua Konsorsium sepuluh perguruan tinggi negeri (PTN) yang dilibatkan dalam penyelenggaraan seleksi CPNS secara transparan, bersih, dan obyektif. Penunjukan itu dilakukan dalam rapat di Kementerian PAN dan RB, 26 Januari 2012. Hal itu dilakukan sebagai tindak lanjut dari sembilan program penajaman dan percepatan reformasi birokrasi. Konsorsium 10 PTN yang direkomendasikan Mendikbud diharapkan mampu mengubah citra pelaksanaan seleksi CPNS yang belakangan ini diwarnai dengan banyaknya kasus KKN. Bahkan ada sinyalemen bahwa hal itu merupakan salah satu “ATM” bagi pimpinan daerah. Dalam prakteknya, pemda memang bekerjasama dengan perguruan tinggi negeri dalam menyelenggarakan seleksi

CPNS. Tetapi pada saat pengumuman hasil ujian, bukan PTN yang melakukan, tetapi pejabat pembina kepegawaian (PPK) daerah itu sendiri, yang dapat

mengubah rangking nilai peserta. Hal yang menyedihkan, ada sejumlah Rektor PTN yang tidak tahu bahwa PTN yang dipimpinnya ikut menyelenggarakan test CPNS.

Hasil ujian yang diselenggarakan PTN, seharusnya selain diserahkan ke PPK, juga disampaikan kepada Menteri PAN - RB dan Kepala BKN. Hal itu bisa menghindari terjadinya kecurangan.

Dalam Peraturan Menteri PAN dan RB No. 233 Tahun 2012 tentang Perubahan

Atas Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi

Nomor 197 Tahun 2012 tentang Kebijakan Pengadaan Calon Pegawai Negeri bagi

Jabatan yang Dikecualikan dalam Penundaan Sementara Penerimaan CPNS, ditegaskan bahwa apabila jumlah yang memenuhi nilai ambang batas melebihi jumlah formasi jabatan yang telah ditetapkan, maka penetapan selanjutnya berdasarkan rangking nilai tertinggi berurutan nilai berikutnya, sampai dengan jumlah alokasi formasi masing-masing jabatan.

Untuk instansi yang hanya menyelenggarakan TKD, jika jumlah peserta yang mencapai nilai ambang batas kelulusan sama atau kurang dari jumlah alokasi formasi, maka peserta TKD yang mememuhi passing grade dinyatakan lulus. Bisa jadi, ada formasi yang tidak terisi, kalau ternyata jumlah peserta TKD yang lulus passing grade pada posisi dimaksud kurang dari jumlah formasi yang ditetapkan. Jika peserta yang nilai TKD-nya lebih dari jumlah alokasi formasi yang ditetapkan, maka penentuan kelulusan berdasarkan peringkat nilai tertinggi, mulai dari karakteristik pribadi, intelegensia umum dan wawasan kebangsaan.

Namun, apabila jumlah pelamar yang memenuhi passing grade kurang dari jumah alokasi formasi yang ditetapkan, kekurangan itu dapat diisi dari pelamar jabatan lain yang kualifikasi pendidikannya sama, tetapi juga harus

memenuhi passing grade.320 Untuk SLTA/sederajat, passing grade-nya 25 untuk tes karakteristik pribadi, dan masing-masing nilainya 5 untuk intelegensia umum, dan wawasan kebangsaan. Sedangkan untuk DII/DIII/sederajat, kartakteristik pribadi ditetapkan 27,5, intelegensia umum dan wawasan kebangsaan masing-masing minimal 7,5. Sementara untuk S1/ DIV ke atas, karakteristik pribadi minimal 30; intelegensia umum minimal 15, dan wawasan kebangsaan minimal 10. Dari 200 soal dalam TKD, setiap jawaban yang benar mendapatkan nilai 0,5, sehingga kalau benar seluruhnya, total nilainya 100.

Menurut Asisten Deputi SDM Aparatur pada Kementerian PAN dan RB

(Nurhayati) sebagaimana publikasi Kementerian PAN dan RB (25 September 2012), bagi instansi yang menyelenggarakan ujian kompetensi bidang atau test psikologi lanjutan, peserta yang sudah memenuhi passing grade, dan memenuhi urutan rangking nilai, belum tentu lulus CPNS. Nilai kelulusan ditentukan berdasarkan peringkat nilai tertinggi dari gabungan nilai TKD dan TKB. Kalau setelah digabung, ternyata ada yang nilainya sama, maka yang lulus adalah peserta yang hasil TKD- nya lebih tinggi. Ada beberapa instansi yang sebelum melaksanakan TKD sudah menyelenggarakan TKB. Misalnya, Kementerian Hukum dan HAM yang menyelenggarakan tes kesamaptaan/tes fisik. Dalam hal ini, meski sudah lulus TKB, tetapi ternyata tidak lolos TKD, maka pelamar dimaksud harus dinyatakan tidak lulus.

Penulis meragukan keberadaan tes kesamaptaan sebagai TKB karena tes tersebut tidak akan mampu menyeleksi bidang tugas tertentu. Tes kesamaptaan lebih tepat digunakan sebagai tes kesiapan fisik, bukan TKB karena tidak mampu menunjukkan kemampuan bidang jabatan tertentu secara rasional.

320 Passing grade ditetapkan dalam Peraturan Menteri PAN dan RB No.241 Tahun 2012 tentang Nilai Ambang Batas (Passing Grade) Kelulusan Ujian Kompetensi Dasar Seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil Tahun 2012.

Secara lebih maju, Badan Pemeriksa Keuangan RI dalam seleksi CPNS tahun

2012, melakukan Tes Kompetensi Bidang yang disampaikan melalui Pengumuman

Nomor: 04/S.Peng/X-X.3/09/2012 tentang Hasil Seleksi Tes Kompetensi Dasar

(TKD) Penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil Golongan III Pada Pelaksana Badan

Pemeriksa Keuangan RI Tahun Anggaran 2012. Bentuk TKB yang dilakukan terdiri dari: 1) ujian tertulis; serta 2) diskusi kelompok dan wawancara.

Menurut penulis, bentuk materi dari ujian tertulis maupun diskusi kelompok dan wawancara tersebut pun belum jelas bentuknya. Hal inilah yang seharusnya ditegaskan secara lebih spesifik oleh pemerintah, sebagaimana ditegaskannya materi-materi seleksi pada tes kemampuan dasar.

Menurut Kepala Sub Direktorat Pengadaan pada BKN Jakarta (Wawancara, 7

Agustus 2012), dalam rencana sebelumnya, BKN menghendaki agar TKB diadakan apabila yang peserta yang lulus TKD lebih banyak daripada formasi yang tersedia.

Apabila sebaliknya terjadinya, yakni peserta yang lulus TKD sama dengan jumlah formasi yang tersedia, maka TKB tidak diadakan. Namun demikian, tampaknya hal tersebut tidak terealisasi, karena keputusan untuk melaksanakan TKB atau tidak, diserahkan kepada masing-masing instansi.

Menurut penulis, pengaturan tersebut menunjukkan bahwa tes substansi/tes kompetensi bidang masih dipandang sebagai materi seleksi tambahan yang tidak bersifat fundamental. Berbeda dengan Amerika Serikat dan Jerman yang melakukan tes tersebut. Walaupun tes kemampuan bidang barulah diberlakukan di Jerman setelah CPNS berkarir dalam layanan persiapan, dalam bentuk ujian karir.

Dengan demikian, menjadi jelaslah penyebab terjadinya kekurangan jumlah dan kualitas PNS yang menjalankan fungsi sebagai fungsional tertentu.

Hal mana diungkapkan oleh Menteri PAN dan RB dalam Ceramah Umum

Menteri kepada Peserta Diklat PIM II dan Diklat PIM III pada PKP2A II LAN (24 April

2012), bahwa yang menjadi permasalahan di Indonesia adalah PNS over staff dan under staff.

Sejalan dengan hal tersebut, menurut Wakil Menteri PAN dan RB (Seminar

Reformasi Birokrasi di UNM, 26 Juli 2012), birokrasi Indonesia menderita kelebihan dan kekurangan pegawai. Birokrasi memiliki sejumlah aparat yang signifikan, namun ketika kompetensi tertentu yang dibutuhkan, sulit untuk menemukan seseorang dalam struktur yang memenuhi persyaratan. Kalau melihat profil SDM Aparatur, mayoritas adalah pengadministrasi umum, bisa melakukan apa saja, bahkan mungkin tidak bisa melakukan apa saja juga bisa. Itulah profil SDM Aparatur

Indonesia secara umum. Kalau dilihat dari segi jumlahnya banyak, tetapi kalau pemerintah butuh orang yang spesifik, misalnya tenaga auditor, tenaga akuntansi pemerintah, tenaga analisis kebijakan, tidak tersedia. Ini juga terkait “core” kompetensi yang sifatnya inti, misalnya LAN yang harusnya 80% adalah peneliti dan pendidik tapi tidak sampai 20% jumlahnya, BKN yang harusnya 80% adalah analis kepegawaian tapi terbalik, yang lebih banyak adalah pengadministrasi umum.

Apalagi, kalau bicara mengenai SDM Aparatur di daerah, dengan rekrutmen yang tidak objektif, tidak transparan, penuh korupsi, kolusi, dan nepotisme, menghasilkan profil SDM Aparatur yang jumlahnya banyak tapi kualifikasinya tidak memadai.

Paparan tersebut didukung pula oleh data dari BKN per 1 Oktober 2011 mengenai distribusi PNS berdasarkan jenis jabatan yang dapat diketahui melalui tabel berikut:

Tabel 9 Distribusi PNS berdasarkan Jenis Jabatan dan Jenis Kelamin

Jenis Jabatan Pria Wanita Jumlah Persen

Struktural 173.944 55.197 229.141 4,932 Fungsional Tertentu 886.556 1.108.003 1.994.559 42,927 Fungsional Umum 1.394.572 1.028.079 2.422.651 52,141 Jumlah 2.455.072 2.191.279 4.646.351 100 Sumber: Data Badan Kepegawaian Negara, per 1 Oktober 2011, diolah 2012.

Data dalam tabel tersebut menunjukkan jumlah pengadministrasi umum

(fungsional umum) yang berjumlah 2.422.651 orang (52,141%) lebih besar dibandingkan dengan jumlah fungsional tertentu yang berjumlah 1.994.559 orang

(42,927%). Komposisi tersebut jelas tidak ideal bagi penyelenggaraan pemerintahan.

Adapun terkait dengan pelaksanaan CPNS, Ombudsman Republik Indonesia

(ORI) pada 16 Oktober 2012, merilis data per 15 Oktober 2012, bahwa terdapat 60 laporan yang masuk ke Pos Pengaduan Penerimaan CPNS, baik di daerah maupun di kantor pusat Ombudsman di Jakarta. Pengaduan tersebut bersumber dari 7 wilayah seperti, Jawa Timur, Jawa Barat, NTT-NTB, DIY-Jateng, Sumatera Utara,

Maluku, dan Sulawesi Selatan, dengan rincian, sebagai berikut:

Tabel 10 Pengaduan CPNS Tahun 2012

No. Pos Pengaduan Jenis Laporan

1. ORI Pusat 2 laporan soal tindakan diskriminatif, 1 laporan soal praktek curang/dugaan suap, 8 laporan soal hasil pengumuman invalid, 2 laporan soal penundaan pengumuman hasil TKD, 2 laporan passing grade, 1 laporan perbedaan kuota, 4 laporan lainnya. 2. Jawa Timur 1 laporan tindakan diskriminatif, dan 2 laporan tidak menerima kartu ujian. 3. Jawa Barat Tidak ada laporan pengaduan. 4. NTT-NTB 4 laporan tidak lulus administrasi, 1 laporan tidak menerima kartu ujian, 1 laporan manipulasi dokumen, dan 2 laporan lainnya. 5. DIY-Jateng 2 laporan tidak lulus administrasi, 1 laporan praktek curang/dugaan suap, 1 laporan tidak menerima kartu ujian, dan 1 laporan lainnya.

6. Sumatera Utara 9 laporan tidak lulus administrasi, 3 laporan tidak menerima kartu ujian, 5 laporan tidak bisa mengikuti

ujian, 2 laporan kekeliruan penulisan nama, dan 2 laporan yang lainnya. 7. Maluku 2 laporan soal praktek curang/dugaan suap. 8. Sulawesi Selatan 1 laporan praktek curang/dugaan suap. Sumber: Berita Ombudsman RI,16 Oktober 2012, diolah 2012.

Dari data tersebut, jumlah pengaduan yang paling banyak terdapat di Provinsi

Sumatera Utara dengan jumlah 21 satu pengaduan. Selain itu, dari sisi jumlah laporan berdasar atas substansi, tidak lulus administrasi memiliki pengaduan yang paling banyak dengan jumlah 15 pengaduan.

Hal ini menunjukkan adanya kelemahan pada pelaksanaan penyortiran pemenuhan persyaratan kualifikasi, mengingat pengawasan oleh KPK, ICW, dan

BIN hanya dilakukan setelah pendaftaran CPNS dilakukan. Sementara penyortiran tersebut dilakukan oleh masing-masing instansi, belum masuk dalam sistem yang digunakan oleh konsorsium perguruan tinggi.

Demikian pula, pemantauan yang dilakukan oleh pihak Badan Kepegawaian

Negara, berdasarkan Surat Kepala BKN tertanggal 3 September 2012, perihal pemantauan tes CPNS tahun 2012 kepada seluruh pejabat yang ditunjuk dilingkungan BKN, ternyata hanya memerintahkan pemantauan penyimpanan dan penggandaan soal ujian sampai dengan penyerahan LJK dengan Konsorsium

Perguruan Tinggi Negeri, sama sekali tidak memerintahkan pemantauan pada saat pendaftaran CPNS.

Di samping itu, dalam publikasi Balipublika (21 Februari 2013), terkuak kasus dugaan kecurangan perekrutan CPNS Badung tahun 2012. Kasus ini berawal dari adanya perbedaan pengumuman antara yang dikeluarkan oleh Badan Kepegawaian

Daerah (BKD) Badung dengan yang dikeluarkan oleh Kementerian PAN dan RB secara online. Karena merasa dirugikan beberapa peserta melaporkan kecurangan ini ke Komisi Ombudsman Provinsi Bali. BKD Badung pun pada tanggal 10

Desember 2012 telah melakukan pengumuman ulang sesuai dengan hasil dari

Kementerian PAN dan RB. Sekitar 70 persen dari nama-nama peserta yang lolos yang pertama kali diumumkan oleh BKD Badung tidak ada di pengumuman kedua.

Artinya, ada 70 persen peserta merupakan titipan.

Kecenderungan terjadinya kecurangan, menurut Kepala Sub Direktorat

Pengadaan pada BKN Jakarta (Heru Sulistyono Hermadi) (Wawancara, 7 Agustus

2012), disebabkan rekrutmen CPNS dijadikan alat politik. Pemerintah daerah minta jatah CPNS yang banyak untuk memasukkan orang-orang dekatnya.

Bahkan, menurut Kepala Seksi Status Kepegawaian pada BKN Kanreg IV

(Samsiana Sappari) (Wawancara, 7 Agustus 2012), dalam pengalamannya sering berdiskusi dengan pihak Badan Kepegawaian Daerah (BKD) terkait pengadaan

CPNS, terungkap bahwa BKD sering ditekan secara politis oleh kepala daerah, dimana kalau dalam penetapan kelulusan “orang-orangnya” gagal, maka pejabat

BKD kemungkinan besar dicopot.

Disinilah keutamaan tes seleksi yang dilakukan secara kompetitif menjadi semakin urgen. Nick Manning dan Dove Suzanne dalam publikasi World Bank (7

Juni 2012) memandang seleksi berdasarkan merit (merit-based selection) dapat dilakukan melalui sistem universitas yakni gaya pemeriksaan kompetitif, atau dengan meneliti kualifikasi pendidikan. Metode tersebut adalah adil dan membangkitkan kepercayaan publik. Namun demikian, banyak negara OECD321 yang menggunakan tes seleksi komputer canggih yang diproduksi secara komersial.

Di Amerika Serikat, tes dilakukan sesuai dengan kebutuhan rekrutmen. Alat tes harus sesuai dengan persyaratan dalam Title 5 CFR (Code of Federal

Regulations) part 300, and the Delegated Examining Operations Handbook,

321 OECD adalah Organisation for Economics Co-operation and Development (organisasi untuk kerjasama ekonomi dan pembangunan).

2007 (DEOH, 2007) Chapter 2 Section C, dan konsisten dengan standar teknis dalam the Uniform Guidelines on Employee Selection Procedures (Uniform

Guidelines) Title 29 CFR part 1607. Beberapa contoh penggunaan alat tes sebagai berikut:

a. tes pengetahuan pekerjaan (job knowledge tests) b. daftar-daftar peringkat (rating schedules). c. tes kemampuan tes (ability tests). d. sampel kerja (work samples). e. tes penilaian situasional (situational judgment tests). f. wawancara terstruktur (structured interviews).

Selain itu, terdapat The Administrative Careers With America (ACWA)/ujian karir administrasi terdiri dari tes tertulis dan daftar-daftar peringkat ACWA adalah dua alat penilaian yang memenuhi persyaratan di atas, dan validas untuk digunakan dengan posisi profesional dan administrasi yang ditemukan di Lampiran D di the Delegated

Examining Operations Handbook (the DEOH), 2007.

Bagian ini hanya berisi daftar ringkasan cakupan tes, dan tidak mencerminkan ketentuan pemeriksaan khusus, seperti "sarjana luar biasa" yang langsung diangkat, keringanan berdasarkan kondisi pasar, kekurangan tenaga kerja, atau keadaan khusus lainnya yang memungkinkan pelamar untuk menjadi dikecualikan dari persyaratan tes tertulis.

Berikut contoh sederhana tes untuk beberapa pekerjaan/posisi tertentu. Ada tes tertulis (written test), tes kinerja atau sertifikasi (performance test or self certification), ujian karir administrasi (ACWA), pengalaman kerja, tergantung jenis pekerjaan yang dilamar, sebagai berikut:

Tabel 11 Tes Tertulis dan/atau Kinerja yang dibutuhkan untuk Pekerjaan/Posisi

SERIES/TITLE/POSITIONS GRADE REMARKS 1 2 3 0011 Bond Sales Promotion 5/7 ACWA 0018 Safety and Occupational Health Management 5/7 ACWA

0023 Outdoor Recreation Planning 5/7 ACWA 0025 Park Ranger 5/7 ACWA 0028 Environmental Protection Specialist 5/7 ACWA 0080 Security Administration 5/7 ACWA 0082 United States Marshal 5/7 written test 0083 Police 2 written test 0083 Park Police 5 written test 0083 Federal Protective Officer 4/5 written test 0083 Police (Secret Service) 4/5 written test 0085 Smithsonian Police 4/5 written test 0085 Security Guard 2 written test 0105 Social Insurance Administration 5/7 ACWA 0106 Unemployment Insurance 5/7 ACWA 1 2 3 0107 Health Insurance Administration 5/7 ACWA 0132 Intelligence 5/7 ACWA 0142 Manpower Development 5/7 ACWA 0187 Social Services 5/7 ACWA 0201 Human Resources Management 5/7 ACWA 0244 Labor Mgmt Relations Examining 5/7 ACWA 0249 Wage & Hour Compliance 5/7 ACWA 0301 Misc Administration & Program 5/7 ACWA 0312 Clerk-Stenographer 3/4/5 performance test or self certification 0312 Reporting Stenographer 5/6 Performance test mandatory for competitive appointment & inservice placement 0312 Shorthand Reporter 6/7/8/9 Performance test mandatory for competitive appointment & inservice placement 0319 Closed Microphone Reporting 6/7/8/9 Performance test mandatory for competitive appointment & in- service placement; also outside certification 0322 Clerk-Typist 2/3/4 performance test or self certification 0326 Office Automation Clerical and Assistance 2/3/4 performance test or self certification 0341 Administrative Officer 5/7 ACWA 0343 Management and Program Analysis 5/7 ACWA 0346 Logistics Management 5/7 ACWA 0356 Data Transcriber 2/3/4 performance test or self certification 0391 Telecommunications 5/7 ACWA 0501 Financial Administration & Program 5/7 ACWA 0512 Internal Revenue Agent 5/7 written test 0526 Tax Specialist 5/7 ACWA Sumber: Dokumen U.S. Office of Personnel Management. Test Requirements, diolah 2012.

Tes tertulis dan tes kerja yang akan digunakan sebagai berikut:

a. Pengangkatan awal. Pengujian diperlukan untuk beberapa seri kerja, baik untuk semua pemohon atau bagi mereka pelamar yang tidak memenuhi persyaratan khusus ditunjukkan dalam standar. Jika tes diperlukan, pelamar yang menjadi subyek tes yang harus melulusinya atau sebelumnya melulusinya untuk memenuhi persyaratan untuk pengangkatan awal. Ini

termasuk pengangkatan kompetitif322, dan pengangkatan di bawah otoritas menunjuk paling tidak kompetitif. b. Penataran penempatan.323 Pengujian yang diperlukan oleh OPM. Ada serangkaian kerja yang beberapa tes diperlukan oleh OPM untuk penempatan penataran. Untuk seri seperti, lembaga harus menggunakan dan pelamar harus lulus tes OPM yang sesuai. Seri kerja dengan persyaratan tersebut juga diidentifikasi di bagian Uji Persyaratan. c. Pengujian yang diperlukan oleh lembaga. Untuk posisi yang OPM tidak memerlukan tes, lembaga dapat mengembangkan dan menggunakan tes tanpa persetujuan OPM, selama tes ini adalah bagian dari seperangkat prosedur penilaian yang digunakan dalam karyawan peringkat. Penggunaan dan ketepatan tes tersebut adalah tanggung jawab agen. Agen tidak bisa, bagaimanapun, menggunakan tes yang ada OPM untuk posisi tersebut, kecuali jika persetujuan khusus telah diterima dari OPM. d. Bagaimana pelamar penataran dapat diperiksa. Dalam pekerjaan selain yang mana OPM membutuhkan tes untuk penempatan penataran, jika agen lebih suka menggunakan alternatif untuk pengujian (misalnya, evaluasi pelatihan dan pengalaman, wawancara, penilaian kinerja) untuk mengukur kualifikasi, dapat melakukannya, atau mungkin menggunakan tes sebagai salah satu alat dalam mengevaluasi beberapa pelamar. Pengujian dapat digunakan untuk menentukan kelayakan dasar (yaitu, atas dasar lulus-gagal) atau sebagai satu-satunya dasar bagi pelamar penempatan penataran peringkat, hanya jika persetujuan khusus telah diterima dari OPM. e. Tes Kerja. Sebagai panduan umum, tes kerja (misalnya, tes kemahiran mengetik) dapat digunakan untuk mengevaluasi pelamar penempatan penataran ketika, dalam 3 tahun terakhir, mereka belum berhasil dilakukan dalam posisi bahwa kemampuan yang diperlukan dalam keterampilan yang dibutuhkan untuk posisi yang akan diisi. f. Lisensi, sertifikasi, dan persyaratan lainnya atau ketentuan - Pelamar untuk posisi di beberapa seri kerja harus memenuhi sertifikasi, lisensi, atau persyaratan pendaftaran selain pengalaman pertemuan dan / atau persyaratan pendidikan, jika demikian diperlukan oleh hukum. Dalam seri lainnya, pelamar dapat memenuhi syarat sepenuhnya atas dasar lisensi, sertifikasi, registrasi, atau khusus pelatihan sebagai alternatif untuk mengalami dan / atau persyaratan pendidikan. Persyaratan atau ketentuan yang tercantum dalam standar kualifikasi atau persyaratan kerja individu untuk seri tersebut. g. Agen dapat menetapkan persyaratan untuk kredensial tertentu (misalnya, pendaftaran, lisensi, atau sertifikat) ketika mandat tersebut diperlukan untuk kinerja yang memuaskan. Namun, penting bahwa lembaga tidak terlalu

322 U.S. Office of Personnel Management. Explanation of Terms. Washintong D.C.: Pengangkatan Kompetitif adalah pengangkatan untuk posisi di layanan kompetitif mengikuti ujian kompetitif yang terbuka atau di bawah langsung-menyewa otoritas. Pemeriksaan kompetitif, yang terbuka untuk semua pelamar, dapat terdiri dari tes tertulis, evaluasi pendidikan pemohon dan pengalaman, dan / atau evaluasi terhadap atribut lainnya yang diperlukan untuk kinerja yang sukses dalam posisi untuk diisi.

323 Ibid: Penataran Penempatan mencakup tindakan tidak kompetitif di mana posisi diisi dengan kerja karyawan atau mantan kompetitif melalui promosi, penugasan kembali, mengubah untuk menurunkan kelas, mentransfer, pemulihan, pasca-cuti, atau restorasi. Penempatan penataran juga termasuk konversi tidak kompetitif dari yang ditunjuk federal posisi dikecualikan dibawa ke dalam layanan yang kompetitif dengan Titel 5 CFR 316,702.

menekankan kepemilikan mandat sebagai sarana untuk menentukan apakah pelamar memenuhi persyaratan kualifikasi minimal dalam serangkaian mana standar memungkinkan kualifikasi atas dasar pengalaman atau pendidikan. Personil staf harus memeriksa latar belakang semua pemohon dan memberikan kredit penuh untuk pengalaman diterima, serta pendidikan atau pelatihan.

Dengan demikian, tampak jelas bahwa Amerika Serikat menyiapkan berbagai bentuk tes seleksi terutama terkait dengan kompetensi bidang dalam melakukan rekrutmen. berbeda dengan pemerintah Indonesia yang masih menjadikan tes kemampuan bidang sebagai opsional dan belum memberikan bentuk yang jelas.

Di Jerman, dalam Bundesgleichstellungsgesetz pada Pasal 9 diatur mengenai cara penilaian kualifikasi dan larangan diskriminasi. Penilaian kualifikasi ditentukan semata-mata oleh persyaratan pekerjaan lowong, terutama setelah persyaratan pendidikan/pelatihan dan pengalaman profesional. Senioritas, usia, dan tanggal promosi terakhir hanya sebatas diperhitungkan bagi mereka untuk kinerja, kesesuaian, dan kemampuan penting calon. Spesifikasi, diakuisisi oleh perawatan dan tugas pemeliharaan, memperoleh pengalaman dan kemampuan diperhitungkan, kecuali mereka adalah untuk pelaksanaan pekerjaan penting. Alasan berikut ini tidak dimasukkan dalam evaluasi komparatif:324

324 § 9 Qualifikation; Benachteiligungsverbote (1) Die Feststellung der Qualifikation bestimmt sich ausschließlich nach den Anforderungen der zu besetzenden Arbeitsplätze, insbesondere nach den Ausbildungsvoraussetzungen und den beruflichen Erfahrungen. Dienstalter, Lebensalter und der Zeitpunkt der letzten Beförderung finden nur insoweit Berücksichtigung, als ihnen für die Eignung, Leistung und Befähigung der Bewerberinnen und Bewerber Bedeutung zukommt. Spezifische, durch Betreuungs- und Pflegeaufgaben erworbene Erfahrungen und Fähigkeiten sind zu berücksichtigen, soweit sie für die Ausübung der jeweiligen Tätigkeit von Bedeutung sind. (2) Folgende Gründe sind bei der vergleichenden Bewertung nicht zu berücksichtigen: 1. Unterbrechungen der Erwerbstätigkeit, geringere aktive Dienst- oder Beschäftigungsjahre, Reduzierungen der Arbeitszeit oder Verzögerungen beim Abschluss einzelner Ausbildungsgänge auf Grund der Wahrnehmung von Familienpflichten, 2. Die Einkommenssituation des Ehepartners oder der Ehepartnerin, des Lebenspartners oder der Lebenspartnerin, des Lebensgefährten oder der Lebensgefährtin, 3. Zeitliche Belastungen durch die Betreuung von Kindern oder pflegebedürftigen Angehörigen und die Absicht, von der Möglichkeit der Arbeitsreduzierung Gebrauch zu machen.

1. Istirahat/jeda karir, mengurangi dinas aktif atau pekerjaan, pengurangan jam kerja atau keterlambatan dalam penyelesaian program pelatihan individu berdasarkan persepsi tanggung jawab keluarga, 2. Pendapatan dari pasangan atau mitra pasangan, pasangan hidup, atau hidup, pasangan atau pasangan, 3. Beban sementara merawat anak-anak atau tanggungan, dan niat untuk memanfaatkan kemungkinan untuk mengurangi penggunaan tenaga kerja.

Hal tersebut menunjukkan bahwa di Jerman pun, seleksi dilakukan berdasarkan persyaratan pekerjaan lowong, disamping persyaratan pendidikan/pelatihan dan pengalaman profesional

Sebagai upaya perbaikan, dalam RUU ASN pada Pasal 55, dirancang pengaturan model seleksi CPNS, sebagai berikut:

(1) Seleksi penerimaan calon PNS dilaksanakan oleh Instansi atau Perwakilan untuk mengevaluasi secara obyektif kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang dibutuhkan oleh jabatan, dan yang dimiliki oleh pelamar. (2) Seleksi calon PNS terdiri dari 3 (tiga) tahap, yaitu seleksi administrasi, seleksi umum, dan seleksi khusus. (3) Seleksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh Instansi atau Perwakilan masing-masing untuk memeriksa kelengkapan persyaratan. (4) Instansi atau Perwakilan yang menerima pendaftaran calon PNS memberikan nomor peserta penyaringan bagi pelamar yang sudah lulus persyaratan administrasi. (5) Seleksi umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh Instansi atau Perwakilan masing-masing dengan materi yang disusun oleh BKN. (6) Seleksi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diselenggarakan oleh Instansi atau Perwakilan dilakukan dengan membandingkan secara obyektif kualifikasi dan kompetensi yang dipersyaratkan oleh jabatan dengan kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang dibutuhkan oleh pelamar.

Dalam Naskah Akademik RUU ASN, dijelaskan mengenai tahapan seleksi nasional, sebagai berikut:

Seleksi penerimaan calon Pegawai ASN dilaksanakan secara nasional oleh BKN untuk mengevaluasi secara obyektif kualifikasi dan kompetensi yang dimiliki oleh pelamar secara jujur, objektif, transparan, akuntabel, dan melalui kompetisi yang sehat. Peserta seleksi calon Pegawai ASN yang lulus berhak menerima tanda lulus sebagai calon Pegawai Aparatur Sipil Negara. Calon Pegawai ASN yang mendapatkan tanda lulus dari BKN berhak mendaftarkan diri untuk mengikuti seleksi calon Pegawai ASN yang diselenggarakan oleh Instansi dan Perwakilan yang terdiri dari 3 (tiga) tahap, yaitu seleksi administrasi, seleksi umum, dan seleksi khusus. Seleksi administrasi dilaksanakan oleh Instansi masing masing

untuk memeriksa kelengkapan persyaratan. Seleksi khusus diselenggarakan oleh Instansi dan Perwakilan dilakukan dengan membandingkan secara obyektif kualifikasi dan kompetensi yang dipersyaratkan jabatan dengan kualifikasi dan kompetensi yang dimiliki pelamar untuk mendapatkan pelamar yang memiliki kualifikasi dan kompetensi yang paling sesuai dengan yang diperlukan untuk jabatan yang hendak diisi.

Tiga tahapan seleksi dalam RUU ASN dan Naskah Akademik tersebut sebenarnya sudah mulai diselenggarakan secara opsional melalui Peraturan Kepala

BKN. Namun demikian, RUU ASN tersebut memiliki keunggulan dalam menetapkan keberadaan tahapan seleksi khusus tersebut tidak secara opsional. Akan tetapi, baik pada RUU ASN maupun pada Peraturan Kepala BKN belum memberi bentuk yang jelas terhadap seleksi khusus tersebut.

Dengan demikian, berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, digambarkan secara sederhana model seleksi CPNS dalam peraturan sistem rekrutmen PNS diperbandingkan sebagaimana tampak dalam tabel berikut:

Tabel 12 Model Seleksi CPNS dalam Peraturan Sistem Rekrutmen PNS

No. Indonesia Amerika Serikat Jerman 1. Dilakukan Tes Kompetensi Dilakukan Tes Kompetensi Dilakukan Tes Kompetensi Dasar, boleh ditambah Tes Umum dan Tes Keterampilan Umum , yang ketika akan Kompetensi Bidang, dimana Spesifik. diangkat menjadi PNS dilakukan Tes Kompetensi Bidang Ujian Karir yang menguji ternyata belum spesifik keterampilan spesifik. modelnya. Sudah menggunakan perangkat Belum menggunakan Sudah menggunakan tes komputer. perangkat tes komputer perangkat tes komputer. Hal ini menunjukkan seudah (CAT). sejalan dengan leistungprinzip Hal ini menunjukkan belum (prinsip merit system). sejalan dengan prinsip merit Hal ini menunjukkan sudah system. sejalan dengan prinsip merit system. Sumber: data sekunder, diolah 2012.

Tabel tersebut menunjukkan bahwa model seleksi di Amerika Serikat dan

Jerman tersebut mampu menyeleksi kandidat CPNS yang berkualitas, sehingga telah bertumpu pada teori keadilan distributif dan sejalan dengan prinsip merit system karena materi seleksinya disesuaikan dengan kebutuhan pengisian jabatan yang lowongan. Berbeda dengan di Indonesia yang secara umum materi seleksinya

masih menekankan pada Tes Kompetensi Dasar (TKD) yang sifatnya menguji kemampuan umum, walaupun pada tahun 2012 telah pula dimungkinkan pelaksanaan Tes Kompetensi Bidang (TKB) secara opsional, namun belum diatur secara jelas bentuknya, sehingga dalam pelaksanaannya belum benar-benar berfungsi untuk menguji kemampuan bidang tertentu. Demikian pula, rencana pengaturan dalam RUU ASN belum memberikan bentuk yang jelas terhadap model seleksi khusus untuk menguji kemampuan bidang.

Adapun mengenai pengangkatan tenaga honorer yang penghasilannya tidak dibiayai APBN/APBD menjadi CPNS akan dilakukan melalui pemeriksaan kelengkapan administrasi dan lulus seleksi ujian tertulis kompetensi dasar dan kompetensi bidang sesama tenaga honorer, sebagaimana ditegaskan dalam

Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara No.9 Tahun 2012 tentang Pedoman

Pelaksanaan Pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil, Lampiran I. Bagian III.A.

Selanjutnya dalam Lampiran I. Bagian III.E-F, mengatur pokok-pokok materi seleksi bagi K2, yang sama dengan pokok-pokok materi seleksi bagi pelamar umum.

Menurut Wakil Menteri PAN dan RB sebagaimana publikasi Eko Prasojo Official

Website (25 Juni 2012), honorer K2 akan diangkat CPNS sesuai kebutuhan dan kemampuan keuangan negara berdasarkan formasi sampai tahun 2014.

Pengangkatannya dilakukan melalui pemeriksaan kelengkapan administrasi dan lulus seleksi ujian tertulis kompetensi dasar dan kompetensi bidang sesama tenaga honorer. Pelaksanaannya dilakukan serentak mulai tahun 2013 dan hanya satu kali dengan materi tes kompetensi dasar berdasarkan kisi-kisi yang ditetapkan pemerintah. Sedangkan soal dan pengolahan hasil ujian kompetensi dasar dilakukan konsorsium PTN. Untuk penentuan kelulusan bagi honorer yang mengikuti seleksi ujian tertulis kompetensi dasar ditetapkan berdasarkan nilai ambang batas kelulusan

yang ditetapkan Menteri PAN dan RB, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan

Konsorsium PTN. Untuk pengumuman kelulusan ujian tertulis kompetensi dasar dilakukan oleh Menpan-RB berdasarkan nilai hasil ujian yang diolah oleh konsorsium

PTN dan mempertimbangkan masa pengabdian tenaga honorer yang bersangkutan.

Selanjutnya menurut Wakil Menteri PAN dan RB, tenaga honorer yang lulus tes kompetensi dasar, dapat mengikuti tes kompetensi bidang (profesi) dengan mempertimbangkan dedikasi yang ditetapkan masing-masing instansi berdasarkan materi ujian dari instansi pembina jabatan fungsional. Setelah lulus ujian tertulis kompetensi dasar dan kompetensi bidang, honorer K2 diangkat sebagai CPNS sesuai jumlah dan formasi yang ditetapkan Menteri PAN dan RB sampai tahun 2014.

Jadi, honorer K2 diangkat bertahap mulai 2013 dan 2014. Kalau diangkat sekaligus, dikhawatirkan anggaran negara tidak mencukupi dan akan mengganggu formasi pelamar umum.

Menurut penulis, materi TKD dan TKB yang diberlakukan bagi tenaga honorer

K2 sama mencakup hal yang sama dengan TKD dan TKB yang diberlakukan bagi pelamar umum, hanya saja diberlakukan sesama tenaga honorer K2 dengan mempertimbangkan pengabdiannya dan hanya boleh diikuti oleh tenaga honorer K2 yang ada dalam daftar nama (listing) tenaga honorer yang telah diuji publik dan memenuhi persyaratan yang ditentukan. Dengan demikian, walaupun pengaturan cakupan materi yang diujikan telah pula meliputi TKD dan TKB tetapi belum sepenuhnya sejalan dengan prinsip merit system, karena masih menjadikan aspek pengabdian sebagai dasar pertimbangan penilaian dan hanya diuji diantara sesama

K2 dengan passing grade yang lebih rendah dari pada yang diberlakukan pada pelamar umum.

2) Model Seleksi Untuk Rekrutmen Jabatan Struktural

Pada Tahun 2012, untuk merekrut pejabat Eselon I.a di lingkungan Kementerian

PAN dan RB, Kementerian PAN dan RB sebagaimana dimuat dalam Pengumuman

Kementerian PAN dan RB Nomor: B.2816/S.PAN-RB/10/2012 menyiapkan model tes, sebagai berikut:

1. Assessment Center. 2. Pembuatan Makalah Oleh Para Calon (Tulisan Tangan). 3. Presentasi Makalah Oleh Calon dan Wawancara Kepada Calon oleh Pansel (Panitia Seleksi). 4. Penilaian oleh Tim Penilai Akhir terhadap 3 calon yang memenuhi syarat untuk masing-masing jabatan.

Kesulitan dalam melakukan promosi dan mutasi muncul karena seringkali dilakukan secara subjektif. Akan tetapi, sebetulnya ada semacam rangkaian tes untuk meminimalisasi subjektivitas itu, bila organisasi berencana menyeleksi seseorang untuk jabatan tertentu, sebagaimana dijelaskan dalam publikasi

Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan (27 Juli 2012).

Tes itu dikenal sebagai Metode Assessment Center (MAC) yang sudah lazim dipergunakan di luar negeri. Di Indonesia, sejumlah perusahaan besar mulai mempraktikkan MAC ini. MAC adalah sebuah sistem seleksi terintegrasi yang terdiri dari beragam teknik dengan pendekatan perilaku (termasuk simulasi, tes, dan wawancara), yang dirancang untuk menilai sejumlah keterampilan, pengetahuan, dan kemampuan terpenting yang dibutuhkan seseorang agar sukses dalam suatu pekerjaan tertentu.

Untuk jabatan managerial, Assesmet Center di gunakan di Jerman dan Amerika

Serikat. Pada awalnya Assesment Center digunakan untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara. Di Amerika Serikat telah digunakan pada tahun 1920-an, sedangkan di Jerman telah digunakan pada tahun 1930-an.

Assessment Center tidaklah merujuk kepada sebuah tempat (center), tetapi merupakan salah satu metode pengukuran kompetensi. Metode ini pertama kali

diperkenalkan tahun 1920-an, di mana asesment didesain untuk memilih dan mempromosikan personil dalam berbagai jabatan, dari insinyur dan ilmuwan hingga sekretaris, personil militer, bahkan mata-mata. Pemanfaatan assessment center telah digunakan untuk seleksi pegawai dilakukan oleh tentara Jerman dan Inggris selama perang dunia ke-2. Setelah Perang Dunia ke-II metode ini diadaptasi dan digunakan oleh British Civil Service untuk merekrut pegawai staf administrasi. Lalu pada tahun 1950-an American Telephone and Telegraph Company (AT&T) memakainya untuk pertama kali demi kepentingan dunia bisnis. Sejak itu metode assessment center digunakan oleh berbagai negara diberbagai belahan dunia.

Pengukuran yang dilakukan dalam assessment center ini ditujukan untuk memotret kompetensi seorang pegawai secara objektif dan memetakan profil kompetensi seluruh pegawai dalam organisasi. Oleh sebab itu assessment center yang dilakukan bukanlah sesuatu hal yang perlu ditakuti oleh pegawai, melainkan perlu disikapi secara positif sebagai cara untuk mengukur kemampuan diri.

Menurut Fredy Joko sebagaimana dimuat dalam publikasi Badan Pemeriksa

Keuangan dan Pembangunan (3 Maret 2012), Assesment Center sebagai proses sistematis untuk menilai keterampilan, pengetahuan dan kemampuan individu yang dianggap kritikal bagi keberhasilan kinerja yang unggul. Assessment Center, sebagai metodologi, merupakan evaluasi terstandar mengenai perilaku individu dengan menggunakan beragam simulasi dan instrumen tes perilaku. Melalui beragam materi tes, instrumen evaluasi kepribadian dan wawancara, para asesor yang terlatih melakukan obsevasi terhadap perilaku para peserta asesmen dan kemudian memberikan penilaian akhir asesmen serta umpan balik pengembangan.

Hasil nilai asesmen dan umpan balik diharapkan akan memberikan sumbangan berharga bagi peningkatan mutu pegawai.

Keandalan metode AC ini terbukti dari lebih 50 studi keandalan yang mengindikasikan bahwa Assessment Center dalam memprediksi perfomance dan kesuksesan yang akan datang lebih baik dibanding dengan tool lainnya. Validitas metode assessment center sudah teruji dari waktu ke waktu seperti yang diungkap oleh Smith, Greggs and Andrews (1989), seperti terlihat pada tabel berikut ini:

Tabel 13 Keandalan Metode Assesment Center

Teknik Pengukuran Validity Assessment Centers (promotion) 0.63 Work Sample Test 0.55 Ability Tests 0.53 Personality Tests (combined) 0.41 Researched Bio-data 0.38 Structured Interviews 0.31 Typical Industry Interview 0.15 References 0.13 Sumber: Publikasi BPKP, 2012.

Tabel tersebut menunjukkan keunggulan MAC dibandingkan metode lain, dengan tingkat validitas yang hampir melampaui angka 0,50. Dengan demikian,

MAC memiliki tingkat keakuratan sekitar 63%.

Penggunaan MAC sangat didukung oleh Kementerian PAN dan RB. Menurut

Wakil Menteri PAN dan RB (Seminar Reformasi Birokrasi di UNM, 26 Mei 2012), seluruh jabatan eselon I dan II yang disebut Eksekutif Senior akan ditarik ke pusat, demikian pula gajinya. Berdasarkan informasi dari Kepala BKN bahwa rata-rata dalam 1 tahun terdapat 300 jabatan eselon I dan II yang kosong. Dengan demikian, jika 1 jabatan dilamar oleh 10 orang, dengan biaya assesment center untuk 1 orang adalah 10 juta, maka untuk 1 jabatan dibutuhkan 100 juta rupiah. Ini akan dibiayai melalui APBN.

Selanjutnya, menurut Wakil Menteri PAN dan RB, Eselon I dan II sebagai pasukan “elit nasional” yang dapat digerakkan dari sabang sampai merauke,

dipromosikan secara terbuka, kinerjanya diukur, gajinya dan tunjangannya diperbaiki. Ini merupakan jumlah minimal yang secara dibutuhkan untuk perubahan birokrasi pusat dan daerah. hal ini akan membawa perubahan signifikan. Namun, ini tidaklah mudah, pertama dari internal birokrasi yang tidak siap bersaing melalui

Assesment Center dan yang kedua, kepala daerah akan merasa kehilangan akses dalam proses pengisian suatu jabatan.

Lebih lanjut, menurut Wakil Menteri PAN dan RB, cengkeraman kooptasi politik pada birokrasi sangat kuat. Di daerah, Jabatan kepala dinas, kepala badan, dan asisten di sekretariat daerah hanya diberikan kepada pendukung calon kepala daerah terpilih. Pejabat yang memberikan dukungan penuh terhadap calon kepala daerah yang memenangi pilkada, dipastikan akan mendapat kedudukan empuk sebagai balas jasa. Di sini, barangkali jangan lagi bicara soal kualitas kinerja dan latar pendidikan karena pada umumnya hal-hal seperti itu menjadi pertimbangan nomor dua. Dengan kooptasi seperti itu, politik yang menciptakan sistem di birokrasi, bukan sebaliknya. Birokrasi menjadi tidak netral, susah bekerja profesional, apalagi melayani rakyat secara sepenuhnya. Birokrasi malah lebih banyak melayani kepentingan-kepentingan politik.

Sejalan dengan hal tersebut, Anggota Dewan Pertimbangan Presiden bidang

Pemerintahan dan Reformasi (M. Ryaas Rasyid) (Seminar Reformasi Birokrasi di

UNM, 26 Mei 2012), mengungkapkan bahwa para kepala daerah betul-betul memecah PNS atau birokrasi. Berdasarkan hasil pemilukada, langsung keluar rumusan dari tim sukses, membuat daftar siapa-siapa yang mendukung dan tidak.

Tindakan pertama adalah membersihkan birokrasi dari orang-orang yang tidak setia.

Ada juga daerah yang hobby mutasi, setiap enam bulan ada mutasi karena kepentingan partai. Bagaimana bisa mengabdi kepada rakyat, kalau kondisi tidak

tenang. Jadi ada suatu suasana psikologis yang tidak kondusif untuk memberikan pengabdian kepada masyarakat, karir tidak aman. Oleh karena itu, promosi nasional bukan sekadar hanya untuk berbagi pengetahuan, tapi menyebarkan virus perubahan.

Oleh karena itu, menurut Wakil Menteri PAN dan RB (Seminar Reformasi

Birokrasi di UNM, 26 Mei 2012), dibutuhkan komitmen politik. Coba dibayangkan kalau tidak ada komitmen politik, maka akan sulit melakukan perubahan. Selama ini reform kita seperti orang makan bubur, belum menyentuh persoalan dasar, dan pengalaman kalau kita tidak berani mengambil resiko maka kita tidak akan kemana- mana, mampunya ya segitu-gitu aja, dan 30 tahun kemudian, kita akan bicara hal yang sama. Saya hanya membantu Presiden dengan memberikan gagasan- gagasan. Reformasi butuh dukungan politik masyarakat dan seluruh stake holder.

Tapi, masyarakat kita seperti bayi, bisa mengeluh tapi tidak tahu dimana sakitnya.

Dukungan masyarakat harus menekan pengambil keputusan di pemerintah dan parlemen. Masyarakat membutuhkan reform sebagai perubahan yang signifikan, kalau tidak maka kita akan tergulung oleh reformasi birokrasi itu.

Dalam Peraturan Pemerintah No.100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan

Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural sebagaimana telah diubah dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002, tidak diatur mengenai Model Seleksi yang digunakan untuk pengisian jabatan struktural, yang diatur adalah mengenai pihak yang berwenang memberi penilaian dan pertimbangan pengangkatan dalam jabatan struktural.

Penilaian dan pertimbangan pengangkatan dalam jabatan struktural diatur dalam Peraturan Pemerintah No.100 Tahun 2000, sebagai berikut:

Pasal 13

Pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dalam dan dari jabatan struktural Eselon I pada instansi Pusat ditetapkan oleh Presiden atas usul pimpinan instansi dan setelah mendapat pertimbangan tertulis dari Komisi Kepegawaian Negara.

Pasal 14 (1) Untuk menjamin kualitas dan obyektifitas dalam pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dalam dan dari jabatan struktural Eselon II ke bawah di setiap instansi dibentuk Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan, selanjutnya disebut Baperjakat. (2) Baperjakat terdiri dari : a. Baperjakat Instansi Pusat; b. Baperjakat Instansi Daerah Propinsi; c. Baperjakat Instansi Daerah Kabupaten/Kota. (3) Pembentukan Baperjakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh: a. pejabat pembina kepegawaian pusat untuk instansi pusat; b. pejabat pembina kepegawaian daerah Propinsi untuk instansi daerah Propinsi; c. pejabat pembina kepegawaian daerah Kabupaten/Kota untuk instansi daerah Kabupaten/Kota. (4) Tugas pokok Baperjakat Instansi Pusat dan Baperjakat Instansi Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota memberikan pertimbangan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat dan Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota dalam pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dalam dan dari jabatan struktural Eselon II ke bawah. (5) Disamping tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), Baperjakat bertugas pula memberikan pertimbangan kepada pejabat yang berwenang dalam pemberian kenaikan pangkat bagi yang menduduki jabatan struktural, menunjukkan prestasi kerja luar biasa baiknya, menemukan penemuan baru yang bermanfaat bagi negara dan pertimbangan perpanjangan batas usia pensiun Pegawai Negeri Sipil yang menduduki jabatan struktural Eselon I dan Eselon II.

Adapun susunan keanggotan Baperjakat diatur dalam Pasal 15, sebagai berikut:

(1) Susunan keanggotaan Baperjakat terdiri dari: a. seorang Ketua, merangkap anggota; b. paling banyak 6 (enam) orang anggota; dan c. seorang sekretaris. (2) Untuk menjamin obyektifitas dan kepastian dalam pengambilan keputusan, anggota Baperjakat ditetapkan dalam jumlah ganjil.

Untuk mengantisipasi ketiakberadaan Komisi Kepegawaian Negara, maka dalam Pasal 21 ditegaskan bahwa:

Sebelum Komisi Kepegawaian Negara dibentuk, pertimbangan pangangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dalam dan dari jabatan

struktural Eselon I dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku

Selanjutnya, penilaian dan pertimbangan pengangkatan dalam jabatan struktural diatur dalam Peraturan Pemerintah No.13 Tahun 2002 pada Pasal 16, sebagai berikut:

(1) Ketua dan Sekretaris Baperjakat Instansi Pusat adalah pejabat Eselon I dan pejabat Eselon II yang secara fungsional bertanggung jawab dibidang kepegawaian anggota pejabat Eselon I lainnya. (2) Bagi Instansi Pusat yang hanya terdapat 1 (satu) pejabat Eselon I, Ketua dan Sekretaris Baperjakat adalah pejabat Eselon II dan pejabat Eselon III yang secara fungsional bertanggung jawab di bidang kepegawaian dengan anggota pejabat Eselon II. (3) Ketua Baperjakat Instansi Daerah Provinsi adalah Sekreatris Daerah Provinsi dengan anggota dari pejabat Eselon II dan Sekretaris dijabat oleh pejabat Eselon III yang membidangi kepegawaian. (4) Ketua Baperjakat Instansi Daerah Kabupaten/Kota adalah Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota dengan anggota para pejabat Eselon II dan Sekretaris dijabat oleh pejabat Eselon III yang membidangi kepegawaian. (5) Masa keanggotaan Baperjakat adalah paling lama 3 (tiga) tahun, dan dapat diangkat kembali untuk masa keanggotaan berikutnya.

Ketiadaan Komisi Kepegawaian Negara yang hingga kini tidak dibentuk, mengakibatkan fungsinya diambil alih oleh Tim Penilai Akhir (TPA). Keberadaan dan fungsi TPA ini diatur dalam Peraturan Presiden No.5 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Tim Penilai Akhir Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian

Dalam dan Dari Jabatan Struktural Eselon I pada Pasal 2, 3, dan 8.

Pasal 2 Tim Penilai Akhir mempunyai tugas melakukan penilaian atas hasil pertimbangan Komisi Kepegawaian Negara mengenai pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dalam dan dari jabatan struktural Eselon I yang penetapannya dilakukan oleh atau dengan persetujuan Presiden.

Pasal 3 Susunan keanggotaan Tim Penilai Akhir terdiri dari: a. Ketua: Presiden b. Wakil Ketua: Wakil Presiden c. Sekretaris: Sekretaris Kabinet merangkap Anggota Tetap d. Anggota Tetap: 1. Menteri Dalam Negeri 2. Menteri Sekretaris Negara 3. Menteri Negara PendayagunaanAparatur Negara

4. Kepala Badan Kepegawaian Negara e. Anggota Tidak Tetap: Menteri dan Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen selain yang menjadi Sekretaris dan Anggota Tetap Tim Penilai Akhir, Jaksa Agung, dan/atau Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tinggi Negara.

Pasal 8 Sebelum terbentuknya Komisi Kepegawaian Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Tim Penilai Akhir melakukan tugas penilaian sesuai dengan tugas Badan Pertimbangan Jabatan Tingkat Nasional yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 47 Tahun 1994 tentang Badan Pertimbangan Jabatan Tingkat Nasional sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 51 Tahun 1998.

Menurut penulis, kondisi tersebut mengakibatkan masuknya aspek politik dalam peraturan sistem rekrutmen struktural, karena Tim Penilai Akhir dijabat oleh pejabat- pejabat politik, sehingga dalam menentukan calon yang diangkat, yang mempertimbangkan adalah orang-orang politik. Sementara itu, di daerah aspek politis masuk pada saat penentuan pejabat oleh pejabat pembina kepegawaian yang dijabat oleh kepala daerah.

Untuk mengatasi terkooptasinya PNS di daerah oleh aspek-aspek politis, Wakil

Menteri PAN dan RB (Seminar Reformasi Birokrasi di UNM, 26 Juli 2012) merencanakan agar pejabat pembina kepegawaian bagi eselon I dan II adalah

Presiden, sedangkan pejabat eselon III dan IV ditentukan oleh eselon I dan II, sehingga aspek politisnya dapat diminimalisir dan menjaga keutuhan pemerintahan.

Oleh karena itu, menurut penulis, perlu didorong segera dibentuknya Komisi

Kepegawaian Negara, yang keanggotaannya adalah golongan independen, profesional, dan berintegritas.

Bandingkan dengan RUU ASN pada Pasal 19 menegaskan pengisian jabatan

Eksekutif Senior dilakukan oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), sebagai berikut:

(1) Pengisian Jabatan Eksekutif Senior pada jabatan struktural tertinggi kementerian, kesekretariatan lembaga negara, lembaga pemerintah non

kementerian, staf ahli, dan analis kebijakan dilakukan melalui promosi dari PNS yang berasal dari seluruh Instansi dan Perwakilan. (2) Pengisian Jabatan Eksekutif Senior, khusus pada jabatan struktural tertinggi lembaga pemerintah non kementerian, staf ahli, dan analis kebijakan dapat berasal dari Non PNS yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. (3) Pengisian Pejabat Eksekutif Senior sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh KASN. (4) Pejabat yang Berwenang atau pimpinan Instansi dan Perwakilan mengajukan permintaan pengisian jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan mengajukan kompetensi dan kualifikasi serta jabatan yang lowong kepada KASN. (5) KASN mengumumkan lowongan jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ke seluruh Instansi dan Perwakilan disertai dengan kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan lain yang dibutuhkan. (6) Calon Pejabat Eksekutif Senior yang memenuhi kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan lain yang dibutuhkan berhak mengajukan lamaran kepada KASN. (7) KASN melakukan seleksi untuk memilih 1 (satu) orang calon Pejabat Eksekutif Senior sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ditetapkan dengan Keputusan Presiden. (8) Sebelum menduduki jabatannya, calon Pejabat Eksekutif Senior sebagaimana dimaksud pada ayat (7) mengucapkan sumpah/janji di hadapan pimpinan Instansi atau Perwakilan.

Menurut penulis, rancangan pengaturan tersebut dapat semakin mendorong terwujudnya seleksi eselon secara kompetitif yang mampu menemukan pegawai eselon yang berkualitas.

Ditinjau dari segi kemandiriannya, dalam Pasal 32 Ayat (1) ditetapkan bahwa

KASN terdiri atas:

a. 1 (satu) orang ketua merangkap anggota; b. 1 (satu) orang wakil ketua merangkap anggota; dan c. 5 (lima) orang anggota.

Di mana keanggotaan KASN terdiri dari unsur wakil pemerintah, akademisi, tokoh masyarakat, wakil organisasi ASN, dan wakil daerah, sebagaimana diatur dalam Pasal 35, sebagai berikut:

(1) Anggota KASN terdiri dari unsur sebagai berikut: a. wakil pemerintah sebanyak 1 (satu) orang; b. akademisi sebanyak 2 (dua) orang; c. tokoh masyarakat sebanyak 1 (satu) orang; d. wakil organisasi ASN sebanyak 1 (satu) orang; dan

e. wakil daerah sebanyak 2 (dua) orang. (2) Anggota KASN harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. warga negara Indonesia; b. setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c. berusia sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan setinggi- tingginya berusia 60 (enam puluh) tahun; d. tidak menjadi anggota partai politik dan/atau tidak sedang menduduki jabatan politik; e. sehat jasmani dan rohani; f. memiliki kemampuan, pengalaman, dan/atau pengetahuan di bidang manajemen ASN; g. berpendidikan paling rendah pascasarjana (strata dua) di bidang administrasi negara, manajemen publik, ilmu hukum, dan/atau ilmu pemerintahan; dan h. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.

Seleksi anggota KASN tersebut dilakukan oleh tim seleksi yang dibentuk oleh

Menteri, sebagaimana diatur dalam Pasal 36 diatur sebagai berikut:

(1) Anggota KASN diseleksi dan diusulkan oleh tim seleksi yang beranggotakan 5 (lima) orang yang dibentuk oleh Menteri. (2) Tim seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh Menteri. (3) Anggota tim seleksi harus memiliki pengalaman dan pengetahuan di bidang ASN. (4) Tim seleksi menyampaikan 7 (tujuh) orang anggota KASN terpilih kepada Presiden.

Pengangkatan dan pemberhentian anggota KASN ditetapkan oleh Presiden, sebagaimana diatur dalam Pasal 37 bahwa:

(1) Presiden menetapkan Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota KASN dari anggota KASN terpilih yang diusulkan oleh tim seleksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (4). (2) Ketua, Wakil Ketua, dan anggota KASN ditetapkan dan diangkat oleh Presiden untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan hanya dapat diperpanjang untuk 1 (satu) kali masa jabatan. (3) Anggota KASN berhenti atau diberhentikan oleh Presiden pada masa jabatannya, apabila: a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri; c. tidak sehat jasmani atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai anggota KASN;

d. dihukum penjara berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun; atau e. menjadi anggota partai politik dan/atau menduduki jabatan negara.

Dengan demikian, RUU ASN tersebut menjamin kemandirian KASN dalam melaksanakan seleksi pegawai eselon. Hal tersebut terkesan kembali mengatur keberadaan Komisi Kepegawaian Negara, yang dalam kenyataannya belum terbentuk dan diambil alih tugasnya oleh Baperjakat maupun Tim Penilai Akhir.

Keberadaan aspek politis dalam Baperjakat maupun Tim Penilai Akhir pada tahap akhir seleksi, jika dibandingkan sistem hybrid yang berlaku di Jerman, terdapat kemiripan, dimana unsur politis bekerja pula pada tahap akhir, untuk jabatan Dirjen misalnya.

Dalam publikasi The World Bank (7 Juni 2012), dijelaskan bahwa sekitar 140 posisi paling senior di Jerman adalah jabatan campuran (hybrid appointments) secara efektif dikelola di bawah sistem kelompok (a pool system). Jabatan untuk posisi senior tersebut otomatis berubah pada perubahan pemerintahan, dengan opsi bagi pemerintah yang masuk untuk mengangkat kembali mereka. PNS (civil servants) yang diberhentikan dari posisi campuran (hybrid) kemudian dipertahankan di kelompok sebagai "pensiunan yang beristirahat”. Mereka menerima uang saku tetapi tidak pensiun atas dasar bahwa mereka dapat diangkat kembali setiap saat.

Keberadaan jabatan hybrid dijelaskan, sebagai berikut:

“Many countries have a significant number of hybrid appointments in which merit, defined by meeting explicit and contestable criteria, is accompanied by subjective political judgments. By contrast with "pure" political appointments, in which serving members of the government make hiring and firing decisions, in hybrid appointments merit is a necessary but insufficient condition for appointment. Hybrid appointments require careful management”.

Jabatan campuran (hybrid) umumnya diadakan untuk tingkatan manajemen atas (upper management levels). Namun demikian, ada dua masalah yang harus diselesaikan oleh jabatan hybrid yakni:

1. attracting the best, given that merit is not a sufficient criteria for appointment and so the best might be deterred by the threat of apparently arbitrary political dismissal. 2. balancing two conflicting sets of recruitment criteria.

Menurut Nick Manning dan Dove Suzanne sebagaimana dimuat dalam publikasi tersebut, bahwa solusi terhadap permasalahan itu adalah dilakukannya kombinasi, sebagai berikut:

The most common solution is a "pool system" which places the candidate in a pool upon satisfying the merit criteria. Those in the pool are then available for subsequent political selection.

Menurut Nick Manning dan Dove Suzanne, di negara manapun, bahkan jika jumlah pejabat politik kecil, tetap terdapat risiko bahwa jumlah kecil dapat digunakan untuk patronase (patronage) daripada tujuan kebijakan. Hanya terdapat sedikit pengetahuan tentang bagaimana politisi individu dibatasi untuk memastikan bahwa pejabat politik yang murni melayani tujuan pemerintah secara keseluruhan.

Di Amerika Serikat, kompetisi merit dijelaskan dalam Guide to Senior Executive

Service Qualifications, sebagai berikut:

Initial career appointments to the Senior Executive Service (SES) must be based on merit competition. The law (5 U.S.C. 3393) requires agencies to establish an Executive Resources Board to conduct the merit staffing process. Within this framework, an agency has considerable flexibility in structuring the SES merit staffing process to meet its unique needs. Generally, this process includes choosing a selection method, advertising the position, preliminary review of applications by a human resources specialist, rating and ranking of applicants by a panel with in-depth knowledge of the job’s requirements, evaluation of each candidate’s qualifications by an Executive Resources Board, and making recommendations to the appointing authority. After the agency merit staffing process is completed and the appointing authority has selected the candidate he or she believes is best qualified for the position, the agency forwards the candidate’s application to the Office of Personnel Management (OPM) for consideration by a Qualifications Review Board.

Selanjutnya dalam Guide to Senior Executive Service Qualifications dijelaskan mengenai Metode Seleksi Pengisian Jabatan berdasarkan Merit, sebagai berikut:

When hiring through a competitive vacancy announcement, agencies choose one of the following selection methods: a. Resume-based: The vacancy announcement directs applicants to submit only a resume. Applicants show possession of the ECQs and any technical qualifications via the resume. b. Accomplishment Record: The vacancy announcement directs applicants to submit a resume and narratives addressing selected competencies underlying the ECQs and any technical qualifications. c. Traditional: The vacancy announcement directs applicants to submit a resume and narratives addressing the ECQs and any technical qualifications.

Lebih lanjut, dijelaskan mengenai proses pengisian jabatan Senior Executive

Service (SES), sebagai berikut:

1. Agency advertises the position through the Governmentwide automated employment information system for a minimum of 14 days. The area of consideration is: a. All groups of qualified individuals within the Civil Service (only current Federal Civil Service employees may apply); or b. All groups of qualified individuals (anyone may apply). 2. Candidates submit their applications to the agency. 3. Agency rating panel reviews and ranks candidates. 4. Agency panel conducts structured interviews. 5. Agency Executive Resources Board recommends the best qualified candidates to the appointing authority. 6. Appointing authority makes a choice and certifies that the candidate meets both the technical and executive qualifications (ECQs) for the position. 7. Agency submits candidate’s application package to an OPM-administered Qualifications Review Board (QRB) for certification of executive qualifications. 8. Following QRB certification, agency appoints the candidate to the SES position.

Dengan demikian, berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, secara sederhana digambarkan model seleksi dalam jabatan struktural dalam peraturan sistem rekrutmen PNS yang diperbandingkan sebagaimana tampak dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 14 Model Seleksi dalam Jabatan Struktural dalam Peraturan Sistem Rekrutmen PNS

No. Indonesia Amerika Serikat Jerman 1. Seleksi Eselon I dan II Seleksi dengan Seleksi Pegawai Senior menggunakan Metode menggunakan Metode menggunakan Metode Assessment Center dan Assessment Center bagi Assessment Center dan bagi bagi yang lulus, dilanjutkan pengisian minimal 90% yang lulus, dilanjutkan dengan dengan seleksi oleh Executive Senior. Ini pemilihan oleh politisi. Ini TPA/Baperjakat. Dengan menunjukkan kombinasi dari menunjukkan kombinasi dari demikian menunjukkan sistem karir dan sistem merit. sistem karir dan sistem merit, kombinasi dari sistem karier yang dilanjutkan dengan aspek tertutup dalam arti PNS, Selain itu, terdapat politis. dikombinasikan dengan pengangkatan langsung sistem merit, dan dilanjutkan secara politis bagi maksimal dengan aspek politis.. 10% Executive Senior. Ini menunjukkan penerapan sistem patronage politik/spoil. Sumber: data sekunder, diolah 2012.

Tabel tersebut di atas menunjukkan bahwa Indonesia telah mulai menerapkan

Metode Assessment Center (MAC) dalam rekrutmen dalam jabatan struktural/eselon

I dan II merupakan suatu kemajuan. Dengan MAC, pemerintah dapat menilai kesesuaian para pelamar dengan jabatan yang lowong secara komprehensif.

Dengan demikian, pada aspek model seleksi sebelum tahap akhir seleksi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia mulai bertumpu pada teori keadilan distributif dan mulai sejalan dengan prinsip merit system. Hal mana mirip dengan penerapan

MAC di Jerman yang dilanjutkan dengan penilaian politis, tetapi berbeda dengan

Amerika Serikat yang menerapkan seleksi terhadap paling sedikit 90% jabatan eksekutif seniornya, sehingga bertumpu pada teori keadilan distributif dan telah sejalan dengan prinsip merit system untuk paling sedikit 90% kandidat tersebut.

C. Peraturan Sistem Remunerasi PNS

Peraturan sistem remunerasi PNS adalah bentuk pengaturan hukum terhadap cara penggajian kepada PNS atas tanggung jawab dan pekerjaannya.

Peraturan sistem remunerasi dapat ditinjau dari dua aspek, yakni basis pemenuhan hak dan basis orientasi kinerja. Aspek basis pemenuhan hak digunakan untuk mengetahui kecukupan penggajian dalam memenuhi kebutuhan hidup PNS,

sedangkan aspek basis orientasi kinerja digunakan untuk mengetahui apakah bentuk penggajian yang digunakan dapat mendorong kinerja PNS secara optimal.

1. Basis Pemenuhan Hak

Komponen remunerasi adalah unsur-unsur penggajian yang diberikan atas pekerjaan PNS. Komponen remunerasi PNS di Indonesia, terdiri dari: a. gaji pokok, tunjangan keluarga, dan tunjangan pangan, yang diterima setiap

bulan. b. tunjangan lain-lain, hanya dapat diberikan apabila ada alasan-alasan kuat, yakni

tunjangan kemahalan daerah, tunjangan penyesuaian index harga, tunjangan

karena risiko pekerjaan, dan lain-lain. c. gaji ke-13 yang diterima sekali setahun. d. tunjangan fungsional umum atau tunjangan fungsional tertentu atau tunjangan

struktural, yang diterima setiap bulan. e. uang makan yang diterima setiap bulan. f. honorarium kegiatan/vakasi/lembur, yang diterima sesuai dengan keikutsertaan/

penugasan dalam setiap kegiatan/ kepanitiaan tertentu. g. tunjangan sertifikasi profesional bagi fungsional tertentu, misalnya guru dan dosen

yang sudah tersertifikasi, yang diterima setiap bulan. h. tunjangan kinerja/tunjangan khusus pembinaan keuangan negara (yang sering

disebut sebagai remunerasi, padahal secara konseptual hal tersebut keliru), yang

diterima setiap bulan bagi pegawai pada instansi yang menerapkan reformasi

birokrasi. Dengan pemberian tunjangan ini, beberapa jenis tunjangan lainnya

dapat diintegrasikan kedalamnya melalui peningkatan grade dari grade

sebelumnya.

Selain itu, terdapat pula program kesejahteraan PNS, berupa:

a. pokok pensiun yang diterima setiap bulan. b. pokok pensiun ke-13 yang diterima sekali setahun. c. asuransi kesehatan sosial. d. tabungan hari tua diberikan sekali ketika pensiun. e. tabungan perumahan.

Pengaturan mengenai remunerasi PNS diatur dalam Undang-undang No.43

Tahun 1999 pada Pasal 7, sebagai berikut:

(1) Setiap Pegawai Negeri berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggungjawabnya. (2) Gaji yang diterima oleh Pegawai Negei harus mampu memacu produktivitas dan menjamin kesejahteraannya. (3) Gaji Pegawai Negeri yang adil dan layak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Selanjutnya dalam Penjelasan Ayat (1) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan gaji yang adil dan layak adalah bahwa gaji Pegawai Negeri harus mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, sehingga Pegawai Negeri yang bersangkutan dapat memusatkan perhatian, pikiran, dan tenaganya hanya untuk melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya.

Lebih lanjut dalam Penjelasan Ayat (3) dijelaskan bahwa pengaturan gaji

Pegawai Negeri yang adil dimaksudkan untuk mencegah kesenjangan kesejahteraan, baik antar Pegawai Negeri maupun antara Pegawai Negeri dengan swasta. Sedangkan gaji yang layak dimaksudkan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok dan dapat mendorong produktivitas dan kreativitas Pegawai

Negeri.

Bahkan, Undang-Undang No.43 Tahun 1999 pada Penjelasan Umum, Angka 7, menjelaskan bahwa:

Untuk meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan Pegawai Negeri, dalam undang-undang ini ditegaskan bahwa Pegawai negeri berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban kerja dan tanggung

jawabnya. Untuk itu Negara dan Pemerintah wajib mengusahakan dan memberikan gaji yang adil sesuai standar yang layak kepada Pegawai negeri. Gaji adalah sebagai balas jasa dan penghargaan atas prestasi kerja Pegawai Negeri yang bersangkutan. Pada umumnya sistem penggajian dapat digolongkan dalam 2 (dua) sistem, yaitu sistem skala tunggal dan sistem skala ganda. Sistem skala tunggal adalah sistem penggajian yang memberikan gaji yang sama kepada pegawai yang berpangkat sama dengan tidak atau kurang memperhatikan sifat pekerjaan yang dilakukan dan beratnya tanggung jawab pekerjaanya. Sistem skala ganda adalah sistem penggajian yang menentukan besarnya gaji bukan saja didasarkan pada pangkat, tetapi juga didasarkan pada sifat pekerjaan yang dilakukan, prestasi kerja yang dicapai, dan beratnya tanggung jawab pekerjaannya. Selain kedua sistem penggajian tersebut dikenal juga sistem penggajian ketiga yang disebut sistem skala gabungan, yang merupakan perpaduan antara sistem skala tunggal dan sistem skala ganda. Dalam sistem skala gabungan, gaji pokok ditentukan sama bagi Pegawai Negeri yang berpangkat sama, di samping itu diberikan tunjangan kepada Pegawai Negeri yang memikul tanggung jawab yang lebih berat, prestasi yang tinggi atau melakukan pekerjaan tertentu yang sifatnya memerlukan pemusatan perhatian dan pengerahan tenaga secara terus menerus.

Pengaturan Pasal 7 dan Penjelasan Umum dalam Undang-Undang No.43

Tahun 1999 tersebut menekankan pada aspek memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggungjawabnya serta mampu memacu produktivitas dan menjamin kesejahteraan pegawai negeri.

Roh pengaturan ketentuan tersebut sudah sejalan dengan prinsip merit pay system atau yang dikenal pula sebagai prinsip equal pay for equal work. Namun tidak demikian halnya dengan peraturan pelaksanaannya.

Pengaturan lebih lanjut mengenai gaji pokok PNS diatur dalam Peraturan

Pemerintah No.7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil, yang kemudian diubah empat belas kali, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 15

Tahun 2012. Di mana besaran gaji pokok berdasarkan pangkat, golongan/ruang dengan memperhitungkan masa kerja.

Dalam Peraturan Pemerintah tersebut, diatur mengenai gaji pokok PNS mulai dari golongan dan masa kerja terendah sampai dengan golongan dan masa kerja tertinggi, yang secara garis besar digambarkan sebagai berikut:

Tabel 15 Gaji Pokok PNS

Golongan/Ruang Masa Kerja Golongan (MKG) Gaji Pokok (Rp.) Terendah dan Tertinggi I/a 0 tahun 1,260,000 26 tahun 1,847,000 I/b 3 tahun 1,372,700 27 tahun 1,953,900 I/c 3 tahun 1,430,800 27 tahun 2,036,600 I/d 3 tahun 1,491,300 27 tahun 2,122,700 II/a 0 tahun 1,624,700 33 tahun 2,640,200 II/b 3 tahun 1,770,000 33 tahun 2,751,900 II/c 3 tahun 1,844,900 33 tahun 2,868,300 II/d 3 tahun 1,922,900 33 tahun 2,989,600 III/a 0 tahun 2,064,100 32 tahun 3,305,000 III/b 0 tahun 2,151,400 32 tahun 3,444,800 III/c 0 tahun 2,242,400 32 tahun 3,590,500 III/d 0 tahun 2,337,300 32 tahun 3,742,300 IV/a 0 tahun 2,436,100 32 tahun 3,900,600 IV/b 0 tahun 2,539,200 32 tahun 4,065,600 IV/c 0 tahun 2,646,600 32 tahun 4,237,600 IV/d 0 tahun 2,758,500 32 tahun 4,416,900 IV/e 0 tahun 2,875,200 32 tahun 4,603,700 Sumber: Lampiran Peraturan Pemerintah No.15 Tahun 2012, diolah 2012.

Menurut penulis, pada daftar gaji pokok tersebut terdapat ketidakrasionalan dalam penentuan masa kerja golongan, seharusnya hanya sampai golongan III/c

saja yang ditetapkan gaji pokok dengan masa kerja golongan 0, karena bagi pelamar yang menggunakan ijazah S3 diangkat dalam golongan ruang III/c, dimana tidak terdapat lagi kemungkinan pengangkatan sebagai CPNS diatas golongan III/c tersebut. Dengan demikian, penetapan gaji pokok dengan masa kerja golongan 0 untuk golongan III/d ke atas merupakan hal yang tidak perlu. Di samping itu, penetapan masa kerja 3 tahun bagi golongan II/c juga akan menyulitkan penetapan gaji pokok bagi pelamar yang menggunakan ijazah D3 tanpa pengalaman kerja pada bidang usaha yang menunjang pembangunan nasional, karena tidak memiliki pengalaman kerja yang dapat dikonversi sebagai masa kerja golongan CPNS, yang mengakibatkan masa kerja golongannya 0, padahal dalam daftar gaji pokok tersebut tidak ditetapkan masa kerja golongan 0 bagi golongan II/c.

Dalam Nota Keuangan RAPBN 2013, pemerintah menyatakan bahwa dari 2007 hingga 2012, kesejahteraan PNS terus meningkat. Gaji/THP (take home pay) untuk

PNS dengan pangkat terendah (golongan I/a tidak kawin) mengalami peningkatan dari sekitar Rp 1.285.400 dalam tahun 2007 (ekuivalen 214 kg beras) menjadi sekitar Rp 2.256.100 dalam tahun 2012 (ekuivalen 455 kg beras). Proporsi belanja pegawai terhadap total belanja negara juga meningkat dari 11,9% di 2007 menjadi

13,7% di 2012. Sebagian besar realisasi belanja pegawai tersebut antara lain digunakan untuk membayar gaji dan tunjangan serta honorarium, vakasi, lembur

(sekitar 66,5%), sedangkan sisanya (sekitar 33,5%) digunakan untuk kontribusi sosial yaitu iuran asuransi kesehatan dan pembayaran manfaat pensiun.

Meningkatnya alokasi dan realisasi belanja pegawai dalam periode tersebut antara lain berkaitan dengan langkah-langkah kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah dalam rangka memperbaiki penghasilan dan kesejahteraan PNS, anggota TNI/Polri dan para pensiunan. Kebijakan tersebut antara lain adalah:

a. Kenaikan gaji pokok bagi PNS dan TNI/Polri secara berkala. b. Pemberian gaji bulan ke-13. c. Kenaikan tunjangan fungsional dan tunjangan struktural. d. Kenaikan uang lauk pauk bagi anggota TNI/Polri. e. Pemberian uang makan kepada PNS mulai tahun 2007. f. Kenaikan pokok pensiun dan pemberian pensiun bulan ke-13. g. Selain itu, peningkatan alokasi belanja pegawai juga berkaitan dengan pemberian remunerasi/tunjangan kinerja dalam rangka reformasi birokrasi yang dimulai sejak tahun 2007 dan terus diperluas pelaksanaannya. Reformasi birokrasi yang semula hanya mencakup 3 Kementerian/Lembaga di 2007, dan di 2012 diharapkan telah mencakup sekitar 50 Kementerian/Lembaga.yang melaksanakannya.

Untuk mengetahui apakah gaji pokok tersebut berbasis pemenuhan hak, perlu dibandingkan misalnya dengan Nilai KHL (Kelayakan Hidup Layak) untuk tahun

2013 sebesar Rp 1.978.789 sesuai dengan notulensi antara Wakil Gubernur DKI

Jakarta bersama serikat pekerja pada 24 Oktober 2012, sebagai publikasi

Kementerian Dalam Negeri (5 November 2012). Akan tetapi, masih dianggap belum memadai dan pada akhirnya oleh Dewan Pengupahan Nasional dan Gubernur DKI

Jakarta disetujui bahwa Upah Minimun Provinsi sebesar Rp.2.200.000, sebagaimana penjelasan Gubernur DKI Jakarta (Joko Widodo) diberitakan Metro TV

(20 November 2012). Contoh lain misalnya, Upah Minimun Kabupaten/Kota (UMK) untuk buruh di Kabupaten Bekasi yang telah disetujui telah disepakati pengusaha

(sekitar 4.600 perusahaan di Kabupaten Bekasi), buruh, dan pemerintah sebesar

Rp.2.402.000, sebagaimana dipublikasikan oleh The Tempo.co (16 November

2012). Sementara itu, tuntutan UMK di Jawa Timur sebesar Rp.2.200.000 untuk lima daerah, yaitu Kota Surabaya, Kabupaten Gresik, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten

Mojokerto, dan Kabupaten Pasuruan (The Tempo.co, 13 November 2012).

Sementara itu, UMK tertinggi di Jawa Timur yaitu di Kota Surabaya sebesar

Rp.1.657.000 (The Tempo.co, 19 November 2012).

Hal tersebut menunjukkan bahwa besaran gaji pokok PNS tahun 2012 tersebut sudah berada di atas KHL maupun UMP DKI Jakarta untuk tahun 2013, namun perlu

disadari bahwa KHL maupun UMP tersebut merupakan upah minimal yang diperuntukkan bagi buruh/pekerja yang juga masih diperdebatkan kecukupannya.

Sesungguhnya gaji pokok PNS masih tergolong sangat rendah untuk membiayai kehidupan, apalagi untuk pegawai pemerintah yang telah berpendidikan diploma, sarjana, dan pascasarjana.

Gaji pokok tersebut dapat meningkat seiring dengan masa kerja PNS, yang dikenal sebagai kenaikan gaji berkala dan kenaikan gaji istimewa. Dalam Peraturan

Pemerintah No.7 Tahun 1977 Pasal 11, diatur bahwa kepada PNS diberikan kenaikan gaji berkala apabila dipenuhi syarat-syarat :

a. Telah mencapai masa kerja golongan yang ditentukan untuk kenaikan gaji berkala; b. Penilaian pelaksanaan pekerjaan dengan nilai rata-rata sekurang-kurangnya “cukup”.

Selanjutnya, dalam Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1977 Pasal 14 diatur bahwa:

(1) Kepada Pegawai Negeri Sipil yang menurut daftar penilaian pelaksanaan pekerjaan menunjukkan nilai “amat baik”, sehingga ia patut dijadikan teladan, dapat diberikan kenaikan gaji istimewa sebagai penghargaan dengan memajukan saat kenaikan gaji berkala yang akan datang dan saat- saat kenaikan gaji berkala selanjutnya dalam pangkat yang dijabatnya pada saat pemberian kenaikan gaji istimewa itu. (2) Pemberian kenaikan gaji istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga yang bersangkutan.

Selain gaji pokok, PNS dapat menerima tunjangan, sebagaimana diatur

Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri

Sipil, sebagaimana telah diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 15

Tahun 1985 pada Pasal 15, bahwa disamping gaji pokok kepada Pegawai Negeri

Sipil diberikan: a. tunjangan keluarga; dan b. tunjangan jabatan. Selain daripada tunjangan tersebut, kepada PNS dapat diberikan tunjangan pangan dan tunjangan- tunjangan lain.

Selanjutnya, dalam Pasal 16 diatur bahwa:

(1) Kepada Pegawai Negeri Sipil yang beristeri/bersuami diberikan tunjangan isteri/suami sebesar 10% (sepuluh persen) dari gaji pokok. (2) Kepada Pegawai Negeri Sipil yang mempunyai anak atau anak angkat, yang berumur kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, belum pernah kawin, tidak mempunyai penghasilan sendiri, dan nyata menjadi tanggungannya, diberikan tunjangan anak sebesar 2% (dua persen) dari gaji pokok tiap-tiap anak.

Adapun tunjangan Jabatan tersebut, antara lain berupa: tunjangan jabatan struktural, tunjangan jabatan fungsional tertentu, tunjangan yang dipersamakan dengan tunjangan jabatan (tunjangan fungsional umum).

Ketentuan pemberian tunjangan jabatan struktural diatur beberapa kali, terkini diatur dalam Peraturan Presiden No.26 Tahun 2007 tentang Tunjangan Jabatan

Struktural.

Tabel 16 Tunjangan Jabatan Struktural

No. Jabatan Tunjangan 1 ESELON IA 5.500.000 2 ESELON IB 4.375.000 3 ESELON IIA 3.250.000 4 ESELON IIB 2.025.000 5 ESELON IIIA 1.260.000 6 ESELON IIIB 980.000 7 ESELON IVA 540.000 8 ESELON IVB 490.000 9 ESELON VA 360.000 Sumber: Lampiran Peraturan Presiden No.26 Tahun 2007.

Berdasarkan PP No.16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional PNS, jabatan- jabatan fungsional dihimpun dalam rumpun jabatan fungsional dan disusun dalam suatu jenjang jabatan berdasarkan tingkat keahlian dan tingkat keterampilan.

Bagi pemangku jabatan fungsional tertentu diberikan tunjangan jabatan fungsional tertentu dengan besaran yang berbeda-beda, tetapi rasionya tidak lebih besar dari pada tunjangan jabatan struktural.

Adapun, bagi PNS yang tidak menduduki jabatan struktural maupun jabatan fungsional tertentu, diberikan tunjangan fungsional umum, sebagai berikut:

Tabel 17 Tunjangan Fungsional Umum

No. Golongan Besaran 1 IV 190.000 2 III 185.000 3 II 180.000 4 I 175.000 Sumber: Lampiran Peraturan Presiden No.12 Tahun 2006, diolah 2012.

Selain itu, terdapat pula pemberian gaji ke-13. Pada tahun 2012 pemberian gaji ke-13 diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No.89/PMK.05/2012 tentang

Petunjuk Teknis Pemberian Gaji/Pensiun/Tunjangan Bulan Ketiga Belas dalam

Tahun Anggaran 2012 kepada Pegawai Negeri, Pejabat Negara, dan Penerima

Pensiun/Tunjangan pada Pasal 3 ayat (1), mengatur bahwa besarnya gaji/pensiun/tunjangan bulan ketiga belas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah sebesar penghasilan sebulan yang diterima pada bulan Juni 2012.

Gaji pokok PNS tanpa disertai berbagai tunjangan-tunjangan maupun honorarium, ternyata sedikit lebih besar daripada tingkat Upah Minimun bagi Pekerja

Swasta.

Menurut Miftah Thoha dalam Seminar Fakultas Manajemen Pemerintahan di

IPDN (25 Mei 2010), bahwa kesejahteran PNS secara umum menyedihkan. Gaji

PNS kita yang paling jelek di seluruh dunia. Gaji PNS itu ditentukan pada gaji pokok yang kecil jumlahnya. Jadi kalau tunjangan-tunjanganya di copot maka jumlah pendapatan pegawai adalah kecil.

Hal yang serupa telah diungkapkan oleh Sofian Effendi dalam Seminar Nasional

AIPI (3-4 Mei 2006), bahwa skala penggajian yang saat ini terapkan mungkin merupakan sistem penggajian yang paling kompleks di dunia karena menggunakan

skala gabungan dan rasio antara gaji pokok tertinggi dan terendah terlalu tipis.

Selain itu, ada tunjangan fungsional untuk para pejabat fungsional dan tunjangan struktural untuk para pejabat eselon. Oleh karena itulah sistem penggajian ini disebut sebagai sistem yang menggunakan skala gabungan.

Selanjutnya, dijelaskan bahwa, sistem penggajian dengan skala gabungan tersebut ternyata belum menjamin tingkat kesejahteraan yang mampu mendukung kinerja PNS. Total penerimaan PNS jauh di bawah gaji dan tunjangan yang diterimakan pada para pegawai BUMN dan anggota legislatif. Bahkan berada dibawah gaji para anggota dan pegawai berbagai komisi yang tumbuh bak jamur selama masa pemerintahan SBY-MJK. Oleh karena itu reformasi birokrasi harus memberikan prioritas pertama pada sistem penggajian PNS.

Pandangan Miftah Thoha dan Sofian Effendi tersebut menunjukkan bahwa gaji pokok PNS tergolong rendah. Sejak dahulu kenaikan gaji pokok PNS hanya dilakukan untuk menyesuaikan tingkat inflasi yang terjadi di Indonesia, sebagaimana pandangan Sofian Effendi (Seminar Nasional AIPI, 3-4 Mei 2006), bahwa di masa orde baru, anggaran pemerintah untuk gaji pegawai memang meningkat sebesar 48 persen selama PELITA IV, tetapi pendapatan riil pegawai negeri sebenarnya menurun sebesar 24 persen (BIES, Survey of Recent Development, 23:2, 1987).

Gaji pegawai negeri golongan I misalnya hanya mencapai 30 persen dari Kebutuhan

Fisik Minimal keluarga dengan 2 anak (Effendi, dkk, 1989). Tingkat gaji pegawai yang rendah ini akhirnya telah menciptakan birokrasi tidak produktif dan tingkat efisiensi yang rendah. Dengan kata lain, peraturan sistem remunerasi yang dipakai oleh Indonesia telah menyimpang dari prinsip yang dipikirkan oleh Weber, dan karenanya sistem tersebut tidak akan mampu menumbuhkan birokrasi yang rasional

dan memiliki tingkat produktivitas dan efektivitas yang diperlukan untuk menopang pembangunan yang sedang meningkat.

Hal tersebut masih berlanjut, mengingat kenaikan gaji pokok PNS hanya untuk menutupi inflasi. Menurut Menteri PAN dan RB (Paparan Ceramah Umum kepada

Peserta Diklat PIM II dan III pada PKP2A II LAN, 24 April 2012), struktur gaji pokok

PNS pada tahun 2012 hanya dapat naik maksimal sebesar 10 persen karena keterbatasan anggaran pemerintah.

Dalam RUU Aparatur Sipil Negara (ASN) tunjangan lebih kecil dari gaji pokok.

Hal ini ideal, sepanjang gaji pokok dinaikkan secara signifikan, tetapi kemudian menjadi pertanyaan adalah bagaimana dengan kesanggupan pemerintah membayar gaji pokok tersebut, berikut pokok pensiun PNS.

Dalam RUU ASN pada pasal 75 diatur mengenai penggajian, sebagai berikut:

(1) Pemerintah wajib membayar gaji yang adil dan layak kepada PNS sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggung jawab PNS. (2) Gaji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memacu produktivitas dan menjamin kesejahteraan PNS. (3) Gaji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Selanjutnya dalam Pasal 76 diatur mengenai tunjangan PNS yang besarannya tidak boleh melebih gaji, sebagai berikut:

(1) Selain gaji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75, PNS juga menerima tunjangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh melebihi gaji.

Dalam Naskah Akademik RUU ASN, dijelaskan argumentasi mengenai besaran tunjangan yang tidak boleh melebihi gaji, sebagai berikut:

Disamping penghargaan, Pemerintah wajib membayar gaji yang adil dan layak kepada Pegawai ASN sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggung jawab Pegawai ASN. Gaji harus memacu produktivitas dan menjamin kesejahteraan Pegawai ASN. Gaji dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Selain gaji, Pegawai ASN juga menerima tunjangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Tunjangan tersebut tidak boleh melebihi gaji.

Menurut Vanda Sarundajang (Anggota Komisi II DPR RI) sebagaimana dimuat dalam Jawa Pos National Network (5 Desember 2010), sistem penggajian PNS di

Indonesia akan mengalami perubahan total. Dalam RUU Apatur Sipil Negara (ASN) disebutkan sistem penggajian ASN berbasis kinerja. Masing-masing ASN gajinya berbeda. Di samping gaji, ASN juga akan mendapatkan tunjangan kinerja.

Perubahan ini perlu karena sistem penggajian di Indonesia tidak benar. Di mana tunjangan seorang aparatur lebih besar daripada gaji pokok. Gaji pokok harus lebih besar dari tunjangan kinerja. Oleh karena itu di dalam pembahasan RUU ASN diwacanakan tunjangan kinerjanya tidak boleh lebih dari 15 persen.

Selain gaji pokok dan tunjangan-tunjangan, bagi PNS diatur pula mengenai kesejahteraannya, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.43 Tahun 1999 pada Pasal 32, sebagai berikut:

(1) Untuk meningkatkan kegairahan bekerja, diselenggarakan usaha kesejahteraan Pegawai Negeri Sipil. (2) Usaha kesejahteraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi program pensiun dan tabungan hari tua, asuransi kesehatan, tabungan perumahan, dan asuransi pendidikan bagi putra-putri Pegawai Negeri Sipil. (3) Untuk penyelenggaraan usaha kesejahteraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pegawai Negeri Sipil wajib membayar iuran setiap bulan dari penghasilannya. (4) Untuk penyelenggaraan program pensiun dan penyelenggaraan asuransi kesehatan, Pemerintah menanggung subsidi dan iuran. (5) Besarnya subsidi dan iuran sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. (6) Pegawai Negeri Sipil yang meninggal dunia, keluarganya berhak memperoleh bantuan.

Menurut penulis, Pasal 32 Undang-Undang No.43 Tahun 1999 mengatur mengenai keberadaan tanggungan subsidi dan iuran oleh pemerintah untuk penyelenggaraan program pensiun dan asuransi kesehatan, selain kewajiban PNS untuk membayar iuran setiap bulan dari penghasilannya untuk penyelenggaraan usaha kesejahteraannya.

Ketentuan mengenai program pensiun diatur lebih lanjut dalam Peraturan

Pemerintah No.18 Tahun 2012 tentang Penetapan Pensiun Pokok Pensiunan

Pegawai Negeri Sipil dan Janda/Dudanya, yang didasarkan pada Peraturan

Pemerintah No.15 Tahun 2012 tentang Perubahan Keempat Belas Atas Peraturan

Pemerintah No.7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil. Dengan demikian, setiap tahun pensiun pokok bagi pensiunan PNS juga ikut mengalami kenaikan apabila terjadi kenaikan pada gaji pokok PNS dan jumlahnya tidak lebih besar daripada gaji pokok PNS.

Namun demikian, dengan semakin bertambahnya jumlah pensiunan, pemerintah pada akhirnya mengalami kesulitan dalam membayar pokok pensiun.

Dalam RUU ASN pada Bab I, Bagian 3, Angka 3, dijelaskan mengenai rencana perubahan sistem pensiun agar tidak lagi membebani anggaran negara, sebagai berikut:

Rancangan Undang-Undang ini juga mengusulkan perubahan terhadap sistem pensiun pay as you go yang sangat membebani APBN dan APBD menjadi sistem fully funded yang akan dilaksanakan terhadap semua pegawai Aparatur Sipil Negara yang diangkat pada 1 Januari 2012. Pegawai Aparatur Sipil Negara yang diangkat sebelum 1 Januari 2012 akan tetap menggunakan sistem pay as you go sehingga Pemerintah tidak perlu menyediakan kapitalisasi Dana Pensiun yang sangat besar untuk membayar kewajiban yang lalai dipenuhi pemerintah untuk lebih kurang 2.4 juta pensiunan PNS dan untuk 4.7 juta PNS yang masih aktif pada saat ini.

Dalam Naskah Akedemik RUU ASN pada Bab II, Bagian C, angka 4, dijelaskan skema pensiun yang ditawarkan, sebagai berikut:

Salah satu masalah mendasar yang akan dihadapi Indonesia dalam reformasi Aparatur sipil Negara pada kurung waktu Tahun 2010-2024 adalah ancaman ledakan pensiun PNS yang diprediksi akan terjadi pada Tahun 2015. Laporan Misi Bank Dunia pada Tahun 2009 (World Bank, 2009) tentang Reformasi Aparatur Sipil Negara memperhitungkan antara Tahun 2010 sampai Tahun 2014 jumlah PNS yang akan memasuki usia pensiun akan mencapai 2,5 juta orang. Pensiunan PNS pada saat ini berjumlah 2,43 juta orang. Dengan demikian pada Tahun 2015 jumlah PNS akan mencapai 4,9 juta orang atau lebih besar dari jumlah total PNS pada 2010 yang sekarang berjumlah 4,7 orang.

Beban fiskal untuk pembayaran manfaat pensiun akan sangat berat apabila seluruhnya dibebankan kepada APBN. Menurut Dirut PT. Taspen pada presentasi di Ciloto pada tanggal 4 Desember 2010 dihadapan Komisi II DPR RI, manfaat pensiun yang dibayarkan pada Tahun 2010 berjumlah Rp39 triliun yang seluruhnya dibebankan kepada APBN. Tanpa reformasi pensiun pada Tahun 2015 beban fiskal manfaat pensiun yang mencapai Rp85 sampai 90 triliun, atau hampir mencapai seperdua dana belanja pegawai yang tersedia. Untuk meringankan beban fiskal Pemerintah untuk pembayaran manfaat pensiun PNS, RUU ini mengusulkan agar diadakan reformasi dari sistem pensiun dari sistem pay as you go yang dibebankan pada APBN menjadi sistem fully funded melalui pembayaran premi pensiun oleh pegawai negara sebesar 4,75% dari gaji setelah dikonsolidasi antara gaji pokok dan berbagai tunjangan, dan iuran oleh Pemerintah dan pemerintah daerah, sebagai majikan sebesar 1 ½ sampai 2 kali iuran pegawai. Akumulai tabungan pegawai negara dan Pemerintah sebagai pemberi kerja selama masa kerja 35-40 tahun diharapkan akan menghasilkan akumulasi dana pensiun yang cukup besar untuk menjamin kehidupan yang layak bagi pensiunan PNS.

Menurut penulis, skema pensiun di Indonesia memang perlu diubah agar tidak membebani APBN. Di samping itu, agar dapat terbuka peluang bagi pemerintah untuk menaikkan gaji pokok PNS secara signifikan tanpa khawatir dengan implikasinya terhadap besaran pokok pensiun. Namun demikian, rencana skema pensiun yang dibangun dengan menaikkan besaran potongan persiapan pensiun tersebut, nampaknya bukanlah skema yang tepat karena masih akan membebani pemerintah. Hal mana mirip kejadian di Jerman, yang awalnya membebankan seluruh biaya pensiun kepada pemerintah, namun kemudian mulai menetapkan potongan pensiun dari kenaikan gaji PNS dan pokok pensiun untuk dikelola oleh lembaga keuangan yang dibentuk oleh pemerintah. Bahkan dengan jumlah pemotongan yang kecil.

Pensiun PNS adalah bagian penting dari daya tarik layanan sipil (kepegawaian negeri sipil) di Jerman. Publikasi Bundesministerium des Innern (12 Agustus 2012) menjelaskan bahwa Sistem Pensiun PNS Jerman mengikuti prinsip konstitusional yang berbeda dari pensiun lainnya. Berbeda dengan asuransi, pensiun wajib dibiayai terutama melalui pekerja dan pengusaha, dalam hal ini pajak mendanai pensiun

PNS merupakan skema pensiun khusus bagi PNS. Hal ini berdasarkan

Alimentationsprinzips dalam Pasal 33 ayat (5) Konstitusi Federal, yang mengatur bahwa:

Pegawai negeri diatur oleh majikan mereka menuju arah tertentu, dalam mencapai sampai ke daerah hak-hak dasar dan hak-ikatan kewajiban terbatas yang jauh melampaui tenaga kerja umum biasa. Sebagai mitra dari Inpflichtnahme komprehensif majikan berutang bagiannya dari pejabat atau petugas untuk memberikan eksistensi material yang aman dan kesejahteraan.Tugas ini meluas, karena pegawai negeri umumnya dirancang untuk berlangsung lama, di samping masa tugas aktif, juga pada saat pensiun.

Pensiun dihitung dengan mengalikan gaji pokok saat pensiun ke tingkat pensiun. Tingkat pensiun yang dihitung berdasarkan masa kerja, jumlah saat selesai setidaknya 40 tahun pelayanan dengan maksimal 71,75%. Pada prinsipnya, gaji sebelum pensiun yang digunakan sebagai dasar perhitungan pokok pensiun adalah gaji pokok dua tahun terakhir sebelum pensiun, dengan pengecualian bonus dan tunjangan.

Namun demikian, sejak tahun 1999, untuk menjamin manfaat sehubungan dengan perubahan demografis dan peningkatan jumlah pensiunan, maka dari setiap kenaikan gaji dan pensiun dikurangi tetap sebesar 0,2% dan nilainya ditransfer ke cadangan pensiun. Dana ini dikelola oleh Bundesbank. Diharapkan pada tahun

2018, biaya pensiun akan didanai sebagian oleh modal yang ditangguhkan

(dicadangkan). Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Gaji Federal pada Pasal

14a ayat (1).325

Di Amerika Serikat, dalam Dokumen Human Resources Flexibilities and

Authorities in the Federal Government dijelaskan bahwa Thrift Savings Plan (TSP)

325 § 14a Versorgungsrücklage (1) Um die Versorgungsleistungen angesichts der demographischen Veränderungen und des Anstiegs der Zahl der Versorgungsempfänger sicherzustellen, werden Versorgungsrücklagen als Sondervermögen aus der Verminderung der Besoldungs- und Versorgungsanpassungen nach Absatz 2 gebildet. Damit soll zugleich das Besoldungs- und Versorgungsniveau in gleichmäßigen Schritten von durchschnittlich 0,2 vom Hundert abgesenkt werden.

memungkinkan karyawan untuk secara sukarela menabung dengan cara tangguhan untuk pensiun. TSP membutuhkan persetujuan karyawan untuk berkontribusi dalam

TSP. Peserta TSP dapat memberikan kontribusi sejumlah nilai dolar atau persentase

(1 sampai 100) dari gaji pokok. Namun, total dolar tahunan tidak bisa melebihi batas

Kode Internal Revenue, yaitu $ 15.000.

TSP adalah program iuran pasti. Pendapatan pensiun dari rekening TSP akan tergantung pada berapa banyak karyawan telah memberi kontribusi pada karyawan rekening selama tahun bekerjanya dan kontribusi dari pendapatan mereka.

Karyawan dapat memilih untuk berinvestasi dalam enam investasi dana, atau untuk menyebarkan investasi di enam jenis investasi dana yang semuanya dikelola oleh

“independent ” yang profesional dan aman, sebagai berikut:

a Government Securities Investment G Fund, a Fixed Income Index Investment F Fund, a Common Stock Index Investment C Fund, a Small Capitalization Stock Index Investment S Fund, an International Stock Index Investment I Fund, and several Lifecycle L Funds.

Berbeda dengan Jerman yang baru mulai menerapkan pemotongan gaji untuk pensiun untuk dikelola pemerintah, Amerika Serikat menerapkan model tabungan pensiun yang menarik karena memungkinkan pengelolaan dana pensiun melalui investasi tanpa membebani keuangan negara.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut, menurut penulis, sistem penggajian dan program kesejahteraan PNS Indonesia tersebut di atas belumlah membuat PNS dapat bekerja dengan baik, karena belum mencukupi kebutuhan dan kesejahteraan

PNS. Hal tersebutlah yang menurut Miftah Thoha (2008:122), telah menyebabkan

PNS disebut sebagai kaum dhuafa. Komponen remunerasi berupa honorariumlah yang selama ini dapat meningkatkan kesejahteraan PNS, namun belum dikelola dengan baik.

Sofian Effendi (Seminar AIPI, 3-4 Mei 2006) memandang bahwa salah satu ciri yang penting dari birokrasi rasional ala Weber adalah suatu sistem penggajian bagi pegawai sebagai alat untuk menumbuhkan birokrasi yang rasional dan memiliki tingkat produktivitas dan efektivitas. Dalam hal ini, birokrasi Indonesia mempunyai pola yang agak "unik" apabila dikaji dalam pola pemikiran Weber dan lebih mendekati pola imbalan dalam suatu birokrasi patrimonial yang lebih menyandarkan pada hubungan antar patron dan client atau yang secara populer dikenal sebagai

"bapakisme". Selama sistem penggajian dan honor seperti itu seimbang dengan beban tugas, maka ia dapat memacu produktivitas pegawai. Kalau tidak, sistem seperti diragukan kemampuannya untuk menghasilkan birokrasi yang berdayaguna dan berhasilguna seperti yang dipikirkan oleh Weber.

Bahkan menurut Wakil Menteri PAN dan RB (Seminar Reformasi Birokrasi di

UNM, 26 Mei 2012), pemberian honorarium pada beberapa PNS tergolong terlalu besar jumlahnya dan tidak diberikan secara adil, sehingga perlu diatur, dengan cara diintegrasikan ke dalam tunjangan kinerja. Tunjangan kinerja inilah yang dapat meningkatkan kesejahteraan PNS sehingga dapat bekerja dengan baik.

Tunjangan kinerja dapat dicermati penerapannya pada Kementerian Keuangan karena merupakan satu-satunya instansi yang sejak tahun 2007 telah menerima tunjangan khusus pembinaan keuangan negara/tunjangan kinerja sebesar 100%, bahkan dijadikan pilot project untuk instansi pemerintah lainnya. Berdasarkan

Keputusan Menteri Keuangan No.289/KMK.01/02007, tunjangan khusus pembinaan keuangan bagi pegawai kementerian keuangan, sebagai berikut:

Tabel 18 Tunjangan Khusus Pembinaan Keuangan

No Grade Tunjangan Gol/Ruang Eselon

1 27 46,950,000 2 26 41,550,000

3 25 36,770,000 IV/e Eselon I 4 24 32,540,000 5 23 24,100,000 6 22 21,330,000 IV/d Eselon II 7 21 18,880,000 8 20 16,700,000 9 19 12,370,000 IV/b Eselon III 10 18 10,760,000 11 17 9,360,000 12 16 6,930,000 III/d Eselon IV 13 15 6,030,000 14 14 5,240,000 15 13 4,370,000 III/b Eselon V 16 12 3,800,000 III/b Pelaksana 17 11 3,450,000 18 10 3,140,000 19 9 2,850,000 20 8 2,550,000 II/c Pelaksana 21 7 2,360,000 22 6 2,140,000 23 5 1,950,000 24 4 1,770,000 25 3 1,610,000 I/c Pelaksana 26 2 1,460,000 27 1 1,330,000 I/a Pelaksana Sumber: Lampiran Keputusan Menteri Keuangan No.289/KMK.01/02007.

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No.289/KMK.01/02007, tunjangan kegiatan dan tunjangan tambahan tidak diberikan lagi. Di samping itu, tunjangan fungsional diintegrasikan dalam tunjangan khusus pembinaan keuangan negara tersebut dengan kenaikan peringkat yang setingkat lebih tinggi dari pada grade tertinggi yang ditetapkan untuk pangkat yang dimilikinya.

Namun demikian, khusus pegawai Direktorat Jenderal Pajak terdapat tunjangan lain, yakni Tunjangan Kegiatan Tambahan (TKT) dan Imbalan Prestasi Kerja (IPK).

Berikut Tabel Tunjangan Kegiatan Tambahan (TKT) Dirjen Pajak berdasar

Keputusan Menteri Keuangan No.164/KMK.03/2007 tentang Pemberian Tunjangan

Kegiatan Tambahan Bagi Pegawai di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.

Tabel 19 Tunjangan Kegiatan Tambahan

No Jenis Tunjangan Gol/Eselon Besarnya TKT 1 Tunjangan Kegiatan Tambahan (TKT) Pelaksana a Pengatur Muda II/a 2.600.000 b Pengatur MudaTk I II/b 2.800.000

c Pengatur II/c 3.000.000 d Pengatur Tingkat I II/d 3.200.000 e Penata Muda III/a 4.800.000 f Penata Muda Tk I III/b 5.100.000 g Penata III/c 5.400.000 h Penata Tk I III/d 5.700.000 i Pembina IV/a 7.500.000 j Pembina Tk I IV/B 8.000.000 k Pembina Utama Muda IV/c 8.500.000 l Pembina Utama Madya IV/d 9.000.000 m Pembina Utama IV/e 9.500.000 2 Tunjangan Kegiatan Tambahan (TKT) Pejabat Struktural a Direktur Jenderal Ia 20.000.000 b Sekretaris Direktorat jenderal/Direktur/Kepala II a 16.600.000 Kanwil/Tenaga Pengkaji c Tenaga Pengkaji/Kepala Unit pelaksana Teknis II b 13.200.000 d Kepala Sub Direktorat/Kabag/Kabid/Kepala Kantor III a 10.800.000 Pelayanan/Kepala Unit Pelaksana Teknis e Kepala Sub bagian/Kepala Seksi/Kepala Kantor IV a 7.200.000 peayanan, Penyuluhan, dan Komunikasi Perpajakan 3 Tunjangan Kegiatan Tambahan (TKT) Fungsional a Pemeriksa Pajak Ahli: Pemeriksa Pajak Madya 10.400.000 Pemeriksa Pajak Muda 7.600.000 Pemeriksa Pajak Pertama 6.800.000 b Pemeriksa Pajak Terampil: Pemeriksa Pajak Penyelia 7.200.000 Pemeriksa Pajak Pelaksana Lanjutan 6.400.000 Pemeriksa Pajak Pelaksana 4.300.000 c Tunjangan Kegiatan Tambahan (TKT) Penelaah 5.600.000 Keberatan d Tunjangan Kegiatan Tambahan (TKT) Account 5.600.000 Representative Sumber: Lampiran Keputusan Menteri Keuangan No.164/KMK.03/2007.

Adapun Imbalan Prestasi Kerja diberikan pada bulan-bulan tertentu kepada pegawai Ditjen Pajak dalam rangka mendorong peningkatan prestasi, pengabdian dan gairah kerja dalam melaksanakan tugas sehari-hari. Besarnya insentif, sebagaimana tercantum dalam Surat Edaran Dirjen Pajak No.SE-05/PJ.1/2006 pada

Angka 3.1, adalah dua kali TKPN.

Hal menggembirakan menurut publikasi Reformasi Birokrasi Kementerian

Keuangan (30 Agustus 2012) adalah bahwa kini semakin sibuk pegawai menyelesaikan tugas yang diemban sejak masuk kantor sampai pulang sore hari, bahkan tidak jarang masih bekerja sampai malam atau dini hari. Hal ini membuktikan bahwa tambahan tunjangan atau penghasilan merupakan faktor kunci dalam memotivasi seseorang bekerja. Namun di sisi lain masih terdapat pegawai atau unit

kerja yang memperoleh tunjangan/penghasilan melebihi apa yang dikerjakannya.

Hal ini dapat terjadi karena tunjangan/penghasilan tersebut belum mempertimbangkan prestasi kerja (kinerja). Pegawai pada grade yang sama pasti memperoleh tunjangan sama walaupun effort yang mereka berikan berbeda. Untuk mengatasi hal demikian, pengembangan balanced scorecard adalah jawabannya dengan menetapkan indikator kinerja sampai pada level eselon II.

Menurut penulis, seharusnya yang menggembirakan adalah apabila pekerjaan dapat diselesaikan dengan baik sesuai target. Selain itu, besarnya nilai tunjangan kinerja dari pada gaji pokok PNS tentunya menjadi permasalahan tersendiri. Apalagi tanpa disertai indikator kinerja individu yang terstandarisasi.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, menurut penulis, peraturan sistem remunerasi PNS di Indonesia tampak bahwa aspek basis pemenuhan hak yakni kecukupan remunerasi PNS di Indonesia masih bersifat relatif, karena gaji pokok tanpa berbagai tunjangan dan honorarium akan menyebabkan PNS kesulitan mencukupi kebutuhannya untuk hidup sejahtera. Padahal tidak semua PNS memperoleh tunjangan maupun honorarium. Hal ini menunjukkan Indonesia belum bertumpu pada teori keadilan distributif dan belum sejalan dengan prinsip merit pay system.

Komponen remunerasi PNS Indonesia ternyata mirip dengan komponen remunerasi PNS Jerman. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 1 Ayat (3)

Bundesbesoldungsgesetz/BBesG (Undang-Undang Gaji Federal) yang mengatur mengenai Zur Besoldung (Remunerasi), sebagai berikut:

1. Grundgehalt (Gaji Pokok).

2. Leistungsbezüge für Professoren sowie hauptberufliche Leiter und Mitglieder von

Leitungsgremien an Hochschulen (Bonus Kinerja untuk Profesor dan Dosen,

Pimpinan dan Anggota Badan Pengelola Universitas yang bekerja Penuh Waktu).

3. Familienzuschlag (Tunjangan Keluarga).

4. Zulagen (Tunjangan/Bonus).

5. Vergütungen (Pemberian Upah).

6. Auslandsbesoldung (Gaji Luar Negeri).

Di samping itu, dalam Pasal 1 Ayat (2) Bundesbesoldungsgesetz (Undang-

Undang Gaji Federal), diatur bahwa Zur Besoldung (Remunerasi) juga mencakup manfaat lain, sebagai berikut:

1. Anwärterbezüge (calon pegawai)

2. Vermögenswirksame Leistungen (skema tabungan).

Dalam publikasi Bundesministerium des Innern (27 Agustus 2012), gaji terdiri dari gaji pokok, yang dilengkapi dengan tunjangan keluarga dan untuk kondisi tertentu yang diberikan tunjangan lainnya. Peningkatan kinerja dapat juga berupa bonus kinerja atau pembayaran insentif, serta tunjangan situasi kerja khusus. Selain itu, mereka mendapatkan keuntungan penerima skema tabungan. Bila bekerja diluar negeri, maka berlaku gaji internasional khusus.

Gaji pokok PNS Jerman pada umumnya masuk dalam grup A dan B.

Bundesbesoldungsgesetz dalam Lampirannya mengatur grup gaji pokok sebagai berikut, yakni: A untuk PNS (Beamte) pada umumnya dan tentara, walaupun tantara bukan beamte. Daftar gaji pokok PNS Jerman tahun 2012 diatur dalam Lampiran IV

(Anlage IV), Bundesbesoldungsgesetz, sebagai berikut:

Tabel 20 Gaji Federal A (Bundesbesoldungsordnung A)

Grundgehalt Besoldungs-gruppe (Monatsbeträge in Euro) Stufe 1 Stufe 2 Stufe 3 Stufe 4 Stufe 5 Stufe 6 Stufe 7 Stufe 8 A 2 1 802,38 1 844,50 1 887,75 1 920,15 1 953,66 1 987,16 2 020,64 2 054,14 A 3 1 874,77 1 919,07 1 963,37 1 999,03 2 034,70 2 070,35 2 106,01 2 141,66 A 4 1 915,85 1 968,77 2 021,73 2 063,87 2 106,01 2 148,15 2 190,29 2 229,20 A 5 1 930,96 1 996,87 2 049,81 2 101,69 2 153,57 2 206,51 2 258,37 2 309,16 A 6 1 974,18 2 050,91 2 128,70 2 188,13 2 249,72 2 309,16 2 375,07 2 432,34 A 7 2 076,84 2 144,91 2 234,62 2 326,45 2 416,14 2 506,91 2 574,98 2 643,04 A 8 2 202,18 2 284,31 2 399,93 2 516,63 2 633,32 2 714,36 2 796,49 2 877,54 A 9 2 383,71 2 464,76 2 592,27 2 721,93 2 849,43 2 935,89 3 023,42 3 108,77 A 10 2 557,68 2 668,98 2 829,99 2 989,90 3 149,83 3 261,15 3 372,42 3 483,74 A 11 2 935,89 3 101,22 3 265,45 3 430,79 3 544,24 3 657,70 3 771,16 3 884,62 A 12 3 147,69 3 343,26 3 539,92 3 735,49 3 871,65 4 005,63 4 140,71 4 277,94 A 13 3 691,19 3 874,89 4 057,51 4 241,20 4 367,63 4 495,14 4 621,55 4 745,82 A 14 3 796,02 4 032,65 4 270,38 4 507,02 4 670,17 4 834,43 4 997,59 5 161,84 A 15 4 639,93 4 853,88 5 017,04 5 180,21 5 343,38 5 505,46 5 667,54 5 828,54 A 16 5 118,61 5 367,15 5 555,16 5 743,18 5 930,12 6 119,23 6 307,23 6 493,10 Sumber: Bundesbesoldungsgesetz pada Lampiran IV, 2012.

Gaji dalam kelompok A diatur dalam beberapa level (stufe), yaitu semakin lama beamter telah bekerja, semakin baik ia dibayar. Kelompok-kelompok yang berbeda bergerak dari level A2 ke A16 (A1 dihapus pada 1970-an). A2 sampai A5 merupakan pegawai rendah, A6 sampai A9 merupakan pegawai tengah, A9 sampai A13 ke merupakan pegawai atas, dan A13 sampai A16 merupakan pegawai senior. Petunjuk lain, B, R, dan W, juga berlaku bagi Pegawai Senior tertentu, selain bagi jabatan diluar jabatan pegawai negeri (beamte).

Bundesbesoldungsgesetz pada Pasal 27 mengatur mengenai perhitungan gaji pokok, bahwa gaji pokok ditetapkan berdasarkan pengangkatan pertama pada group/kelas tertentu dari jabatan yang diembannya. Selain itu, promosi, transfer, pengambilalihan, dan perpindahan ke kantor lain yang membayar dengan skala berbeda akan mempengaruhi besaran gaji pokok. Tanpa itu, peningkatan gaji pokok didasarkan pengalaman. Gaji pokok meningkat apabila telah memiliki pengalaman dua tahun di stufe 1, apabila telah memiliki tiga tahun pengalaman pada masing-

masing stufe 2, 3, dan 4, maupun empat tahun pengalaman pada masing-masing stufe 5, 6, 7.326

Bandingkan dengan Indonesia yang menetapkan KGB (kenaikan gaji berkala) setiap dua tahun bagi PNS yang memiliki DP3 minimal bernilai baik selama dua tahun terakhir. Masa kerja (stufe) di Jerman ternyata lebih bervariasi dan lebih lama dibandingkan Indonesia.

Meskipun secara resmi tidak berstatus Beamte, Richter (hakim) dan Soldaten

(tentara) memiliki hak dan tugas yang sama untuk beamte pada umumnya. Dalam hal ini, mereka juga dibayar sesuai dengan Bundesbesoldungsgesetz, tentara menurut Grade A dan B, hakim dan jaksa menurut Grade R (jaksa penuntut umum adalah Beamte, sedangkan para tentara dan hakim tidak).

Gaji federal kelompok B yang berlaku untuk pejabat kementerian, atau setingkat, termasuk pula profesor yang sekaligus menjabat direktur, ditetapkan dalam tabel berikut:

Tabel 21 Gaji Federal B (Bundesbesoldungsordnung B)

326 § 27 Bemessung des Grundgehaltes (1) Das Grundgehalt wird, soweit nicht gesetzlich etwas Anderes bestimmt ist, nach Stufen bemessen. Dabei erfolgt der Aufstieg in eine nächsthöhere Stufe nach bestimmten Dienstzeiten, in denen anforderungsgerechte Leistungen erbracht wurden (Erfahrungszeiten). (2) Mit der ersten Ernennung mit Anspruch auf Dienstbezüge im Anwendungsbereich dieses Gesetzes wird ein Grundgehalt der Stufe 1 festgesetzt, soweit nicht bei Beamten nach § 28 Absatz 1 Erfahrungszeiten anerkannt werden oder bei Soldaten eine andere Bemessung des Grundgehaltes nach Absatz 4 Satz 4 erfolgt. Die Stufe wird mit Wirkung vom Ersten des Monats festgesetzt, in dem die Ernennung wirksam wird. Die Stufenfestsetzung ist dem Beamten oder Soldaten schriftlich mitzuteilen. Die Sätze 1 bis 3 gelten entsprechend für 1. die Versetzung, die Übernahme und den Übertritt in den Dienst des Bundes, 2. den Wechsel aus einem Amt der Bundesbesoldungsordnungen B, R, W oder C in ein Amt der Bundesbesoldungsordnung A sowie 3. die Einstellung eines ehemaligen Beamten, Richters, Berufssoldaten oder Soldaten auf Zeit in ein Amt der Bundesbesoldungsordnung A. (3) Das Grundgehalt steigt nach Erfahrungszeiten von zwei Jahren in der Stufe 1, von jeweils drei Jahren in den Stufen 2 bis 4 und von jeweils vier Jahren in den Stufen 5 bis 7. Abweichend von Satz 1 beträgt die Erfahrungszeit bei Soldaten in der Stufe 2 zwei Jahre und drei Monate und bei Beamten in den Laufbahnen des einfachen Dienstes in den Stufen 5 bis 7 jeweils drei Jahre. Zeiten ohne Anspruch auf Dienstbezüge verzögern den Aufstieg um diese Zeiten, soweit in § 28 Absatz 2 nicht etwas Anderes bestimmt ist. Die Zeiten sind auf volle Monate abzurunden.

Grundgehalt Besoldungsgruppe (Monatsbeträge in Euro) B 1 5 828,54 B 2 6 770,80 B 3 7 169,52 B 4 7 586,61 B 5 8 065,31 B 6 8 520,23 B 7 8 958,92 B 8 9 418,16 B 9 9 987,62 B 10 11 756,50 B 11 12 213,58 Sumber: Bundesbesoldungsgesetz pada Lampiran IV, 2012.

Gaji federal kelompok W untuk profesor dan dosen universitas yang tidak memangku jabatan lainnya, ditetapkan dalam tabel berikut:

Tabel 22 Gaji Federal W (Bundesbesoldungsordnung W)

Grundgehalt Besoldungsgruppe (Monatsbeträge in Euro) W 1 4 056,43 W 2 4 625,88 W 3 5 604,87 Sumber: Bundesbesoldungsgesetz pada Lampiran IV, 2012.

Gaji federal kelompok R untuk Jaksa penuntut umum dan semua hakim, ditetapkan dalam tabel berikut:

Tabel 23 Gaji Federal R (Bundesbesoldungsordnung R)

Grundgehalt Besoldungs-gruppe (Monatsbeträge in Euro) Stufe 1 Stufe 2 Stufe 3 Stufe 4 Stufe 5 Stufe 6 Stufe 7 Stufe 8 R 1 3 691,19 4 046,71 4 403,29 4 718,82 5 033,26 5 348,78 5 662,14 5 979,82 R 2 4 485,40 4 715,57 4 944,65 5 258,01 5 573,53 5 887,98 6 203,50 6 519,04 R 3 7 169,52 R 4 7 586,61

R 5 8 065,31 R 6 8 520,23 R 7 8 958,92 R 8 9 418,16 R 9 9 987,62 R 10 12 262,22 Sumber: Bundesbesoldungsgesetz pada Lampiran IV, 2012.

Selanjutnya, dalam Lampiran V (Anlage V) diatur mengenai tunjangan keluarga,

sebagai berikut:

Tabel 24 Tunjangan Keluarga (Familienzuschlag) (Monatsbeträge in Euro)

Stufe 1 Stufe 2 (§ 40 Absatz 1) (§ 40 Absatz 2) Besoldungsgruppen A 2 bis A 8 117,72 223,43 Übrige Besoldungsgruppen 123,64 229,35 Sumber: Bundesbesoldungsgesetz pada Lampiran IV, 2012.

Adapun Gaji bagi PNS yang ditempatkan di Luar Negeri, diatur dalam Lampiran

VI (Anlage VI ) sebagai berikut:

Tabel 25 Gaji Luar Negeri (Auslandszuschlag) (Monatsbeträge in Euro)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Grundgeha 1 938,03 2 194,22 2 485,33 2 816,05 3 191,88 3 618,86 4 104,02 4 655,26 5 281,58 5 993,25 6 801,85 7 720,57 8 764,47 ltsspanne bis bis bis bis bis bis bis bis bis bis bis bis bis bis ab 1 938,02 2 194,21 2 485,32 2 816,04 3 191,87 3 618,85 4 104,01 4 655,25 5 281,57 5 993,24 6 801,84 7 720,56 8 764,46 9 950,56 9 950,57 Zonenstufe 1 686,77 744,18 805,75 874,64 948,75 1 031,20 1 120,95 1 220,12 1 329,70 1 451,82 1 585,42 1 641,78 1 701,28 1 764,94 1 832,79 2 764,01 825,58 892,38 965,44 1 045,82 1 134,54 1 230,55 1 337,02 1 453,91 1 583,32 1 725,28 1 789,99 1 858,88 1 931,94 2 010,21 3 840,20 907,00 979,01 1 057,29 1 143,92 1 237,87 1 341,20 1 453,91 1 578,12 1 714,84 1 864,11 1 938,20 2 016,48 2 099,98 2 187,65 4 916,39 988,41 1 065,65 1 149,15 1 240,98 1 341,20 1 450,78 1 570,80 1 702,32 1 846,35 2 003,94 2 086,41 2 174,08 2 266,98 2 365,08 5 993,63 1 069,83 1 152,28 1 240,98 1 338,06 1 444,52 1 560,36 1 686,65 1 825,48 1 977,85 2 143,81 2 234,62 2 331,69 2 433,97 2 543,56 6 1 069,83 1 151,24 1 237,87 1 332,84 1 436,17 1 547,85 1 669,96 1 803,56 1 949,68 2 109,36 2 283,67 2 382,83 2 489,30 2 600,97 2 721,00 7 1 147,06 1 232,64 1 324,49 1 424,67 1 533,24 1 651,18 1 780,60 1 920,46 2 073,89 2 240,88 2 423,53 2 532,09 2 646,89 2 769,01 2 898,43 8 1 223,24 1 314,06 1 411,12 1 516,54 1 630,30 1 754,51 1 890,20 2 037,35 2 197,04 2 372,39 2 563,39 2 680,28 2 804,49 2 936,00 3 075,85 9 1 300,48 1 395,47 1 497,74 1 608,38 1 728,42 1 858,88 1 999,78 2 154,25 2 321,24 2 503,90 2 703,25 2 828,50 2 962,09 3 103,00 3 253,30 10 1 376,67 1 476,88 1 584,38 1 700,23 1 825,48 1 962,21 2 109,36 2 270,11 2 445,44 2 635,42 2 842,07 2 976,70 3 118,64 3 270,00 3 430,73 11 1 452,87 1 558,28 1 669,96 1 792,07 1 923,59 2 065,54 2 220,01 2 387,01 2 568,62 2 766,92 2 981,94 3 124,92 3 276,25 3 438,03 3 609,21 12 1 530,10 1 639,68 1 756,60 1 883,93 2 020,65 2 168,87 2 329,60 2 503,90 2 692,81 2 898,43 3 121,78 3 273,14 3 433,85 3 605,03 3 786,64 13 1 606,30 1 721,10 1 843,22 1 974,73 2 117,72 2 272,19 2 439,20 2 620,80 2 817,02 3 029,94 3 261,64 3 421,34 3 591,47 3 772,02 3 964,08 14 1 683,53 1 802,51 1 929,85 2 066,58 2 215,83 2 375,52 2 548,78 2 736,65 2 940,17 3 161,45 3 401,50 3 569,54 3 749,07 3 939,03 4 141,50 15 1 759,72 1 883,93 2 015,44 2 158,42 2 312,90 2 478,85 2 659,41 2 853,56 3 064,39 3 292,96 3 541,36 3 718,79 3 906,66 4 107,07 4 318,93 16 1 835,91 1 965,34 2 102,06 2 250,28 2 409,97 2 583,22 2 769,01 2 970,44 3 188,58 3 424,47 3 680,18 3 867,00 4 064,27 4 274,05 4 496,38 17 1 913,15 2 046,74 2 188,70 2 342,11 2 508,08 2 686,55 2 878,60 3 087,34 3 312,79 3 555,97 3 820,05 4 015,22 4 221,87 4 441,06 4 674,85 18 1 989,35 2 127,11 2 275,32 2 433,97 2 605,15 2 789,88 2 989,23 3 204,24 3 435,94 3 687,49 3 959,90 4 163,42 4 379,47 4 609,09 4 852,29 19 2 066,58 2 208,52 2 361,95 2 525,82 2 702,20 2 893,21 3 098,82 3 320,10 3 560,15 3 819,00 4 099,76 4 311,64 4 537,08 4 776,10 5 029,71

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Grundgeha 1 938,03 2 194,22 2 485,33 2 816,05 3 191,88 3 618,86 4 104,02 4 655,26 5 281,58 5 993,25 6 801,85 7 720,57 8 764,47 ltsspanne bis bis bis bis bis bis bis bis bis bis bis bis bis bis ab 1 938,02 2 194,21 2 485,32 2 816,04 3 191,87 3 618,85 4 104,01 4 655,25 5 281,57 5 993,24 6 801,84 7 720,56 8 764,46 9 950,56 9 950,57 20 2 142,77 2 289,93 2 447,53 2 617,67 2 800,32 2 996,53 3 208,41 3 436,99 3 684,36 3 950,51 4 239,62 4 459,84 4 694,68 4 943,09 5 207,15 Sumber: Bundesbesoldungsgesetz, 2012.

Apabila di bandingkan dengan biaya hidup yang dibutuhkan untuk tinggal di

Jerman antara 700-900 euro per bulan, sebagaimana publikasi Kompas.com (29

Maret 2012). Hal tersebut menunjukkan gaji pokok di Jerman tergolong memadai, untuk gaji terendah saja yakni 1.802,38 Euro, jumlahnya 2 sampai 2,5 kali lipat biaya hidup di Jerman. Bahkan besaran tunjangan di Jerman tidak lebih besar dari pada gaji pokok. Hal ini menunjukkan bahwa Jerman telah bertumpu pada teori keadilan distributif.

Gaji tersebut diperhitungkan sesuai kebutuhan PNS dan kondisi perekonomian dan keuangan nasional dengan mempertimbangkan tanggung jawab tugas pelayanan yang diatur oleh hukum. Hal tersebut diatur dalam Pasal 14 ayat (1)

Bundesbesoldungsgesetz.327

Di Jerman juga berlaku pengurangan gaji apabila PNS tidak masuk kerja ataupun meninggalkan pekerjaannya selama setengah hari. Hal ini diatur dalam

Pasal 9 Bundesbesoldungsgesetz, bahwa kehilangan gaji dalam kasus “absen bersalah”. Jika PNS bersalah tanpa izin layanan pergi, ia kehilangan gajinya untuk periode ketidakhadiran. Hal ini berlaku bahkan ketika dari pekerjaan untuk setengah dari total jam kerja, jelas terjadi kehilangan pendapatan.328

327 § 14 Anpassung der Besoldung. (1) Die Besoldung wird entsprechend der Entwicklung der allgemeinen wirtschaftlichen und finanziellen Verhältnisse und unter Berücksichtigung der mit den Dienstaufgaben verbundenen Verantwortung durch Gesetz regelmäßig angepasst.

328 § 9 Verlust der Besoldung bei schuldhaftem Fernbleiben vom Dienst. Bleibt der Beamte, Richter oder Soldat ohne Genehmigung schuldhaft dem Dienst fern, so verliert er für die Zeit des Fernbleibens seine Bezüge. Dies gilt auch bei einem Fernbleiben vom Dienst für Teile eines Tages. Der Verlust der Bezüge ist festzustellen.

Menurut penulis, ketentuan tersebut bukanlah dimaksudkan sebagai aspek motivasional kinerja tetapi sebagai bentuk tanggung jawab PNS terhadap pekerjaannya, karena Jerman mengutamakan loyalitas PNS terhadap Konstitusi

Federal sebagaimana akan dibahas lebih lanjut dalam pembahasan orientasi kinerja.

Di Amerika Serikat, dalam Dokumen General Schedule Classification and Pay, pegawai federal (federal employees), digaji berdasarkan jabatannya sesuai tabel gaji. Tabel gaji yang paling sering digunakan adalah the General Schedule (GS) ataupun tabel upah yang disebut the Federal Wage System (FWS). Selain itu masih terdapat tabel gaji lainnya untuk jabatan-jabatan tertentu.

Sistem klasifikasi dan gaji berdasarkan General Schedule (GS) meliputi mayoritas pegawai sipil federal kerah putih/PNS (sekitar 1,5 juta di seluruh dunia) dalam jabatan profesional, teknis, administratif, dan sekretariat/juru tulis. Standar klasifikasi GS, kualifikasi, membayar struktur, dan terkait kebijakan sumber daya manusia (misalnya, staf umum dan membayar administrasi kebijakan) yang dikelola oleh Kantor Manajemen Personalia/Office of Personnel Management (OPM)

Amerika Serikat secara luas. Masing-masing instansi mengklasifikasikan posisi GS dan menunjuk dan membayar/menggaji posisi GS yang mengisi posisi tersebut mengikuti undang-undang dan pedoman OPM.

GS memiliki 15 Grade, yakni GS-1 (terendah) ke GS-15

(tertinggi). Agen/instansi membangun (mengklasifikasikan) kelas dari setiap pekerjaan berdasarkan tingkat kesulitan, tanggung jawab, dan kualifikasi yang dibutuhkan. Individu dengan ijazah sekolah tinggi dan tidaknya ada pengalaman tambahan, biasanya memenuhi syarat untuk posisi GS-2, mereka dengan gelar

Sarjana memenuhi syarat untuk posisi GS-5, dan mereka dengan gelar Master memenuhi syarat untuk posisi GS-9.

Setiap kelas memiliki tingkat step 10 (langkah/berkala) yakni dari 1 sampai dengan 10, yang masing-masing bernilai sekitar 3 persen dari gaji karyawan. Dalam kelas peningkatan langkah didasarkan pada tingkat yang dapat diterima kinerja dan masa kerja (waktu tunggu dari 1 tahun pada langkah 1-3, 2 tahun pada langkah 4-6, dan 3 tahun di langkah 7-9). Biasanya membutuhkan waktu 18 tahun untuk maju dari langkah 1 sampai langkah 10 dalam kelas GS tunggal, jika karyawan tetap dalam kelas tunggal. Namun, karyawan dengan peringkat kinerja luar biasa (atau setara) dapat dipertimbangkan untuk tambahan, meningkatkan kualitas langkah/berkala (maksimum satu langkah/berkala per tahun).

Seorang pegawai GS baru biasanya dipekerjakan pada langkah (step) pertama dari kelas GS berlaku. Namun, dalam keadaan khusus, lembaga dapat mengijinkan sebuah tingkat langkah/berkala (step) yang lebih tinggi untuk karyawan federal yang baru diangkat didasarkan pada kebutuhan khusus dari kualifikasi badan atau unggul dari calon karyawan. Karyawan federal saat ini yang pindah ke posisi GS dan tidak dianggap baru diangkat mungkin ditetapkan digaji di atas langkah (step) 1 didasarkan hanya pada tingkat gaji kepegawaian sipil federal sebelumnya.

GS karyawan dapat maju ke nilai yang lebih tinggi dengan promosi pada interval tertentu (umumnya setelah setidaknya satu tahun), sebagaimana ditentukan oleh peraturan dan standar kualifikasi dan kebijakan lembaga OPM, sampai dengan potensi promosi penuh diiklankan dalam pengumuman pekerjaan. Setelah itu, kompetisi di bawah prinsip-prinsip merit system perlu untuk maju ke kelas yang lebih tinggi GS. Umumnya, promosi peningkatan GS sama dengan setidaknya dua langkah (step) di kelas GS segera sebelum promosi ke kelas yang lebih tinggi GS.

Nilai GS biasanya disesuaikan dengan meningkatkan gaji berdasarkan pada perubahan nasional dalam biaya upah dan gaji pekerja industri swasta. Kebanyakan

GS karyawan juga berhak untuk dibayar lokalitas, yang merupakan tingkat persentase berbasis geografis yang mencerminkan tingkat gaji untuk pekerja non-

Federal di daerah-daerah geografis tertentu sebagaimana ditentukan oleh survei yang dilakukan oleh Biro Statistik Tenaga Kerja AS. Saat ini ada 34 wilayah gaji lokalitas, yang meliputi sedikitnya 48 negara bagian dan Washington DC, ditambah

Alaska, Hawaii, dan the US territories and possessions. Tiga puluh satu dari wilayah gaji lokalitas mencakup wilayah metropolitan besar (misalnya, Los Angeles, New

York, Washington DC), dua penutup seluruh Amerika-Alaska dan Hawaii, dan sisanya dari the U.S. territories and possessions. Karyawan GS di daerah asing tidak dibayar berdasarkan lokalitas.

Menurut penulis, hal ini berbeda dengan Jerman, yang justru ada gaji luar negeri khusus, tapi Amerika Serikat membayar tunjangan bagi yang berada di luar negeri. Di Amerika Serikat, kesulitan serius dalam pekerjaan staf tertentu pada tingkat kelas GS di wilayah geografis tertentu, mengakibatkan OPM dapat menyetujui tarif khusus yang lebih tinggi dibandingkan tingkat GS normal.

Di Amerika Serikat, gaji pegawai kerah putih dalam tabel GS. Gaji untuk pegawai kerah putih dalam satu tahun, adalah sebagai berikut:

Tabel 26 Gaji GS Per Tahun berdasarkan Grade dan Step (Annual Rates By Grade And Step) Effective January 2012

Grade Step 1 Step 2 Step 3 Step 4 Step 5 Step 6 Step 7 Step 8 Step 9 Step 10 WGI 1 $17803 $18398 $18990 $19579 $20171 $20519 $21104 $21694 $21717 $22269 VARIES 2 20017 20493 21155 21717 21961 22607 23253 23899 24545 25191 VARIES 3 21840 22568 23296 24024 24752 25480 26208 26936 27664 28392 728 4 24518 25335 26152 26969 27786 28603 29420 30237 31054 31871 817 5 27431 28345 29259 30173 31087 32001 32915 33829 34743 35657 914 6 30577 31596 32615 33634 34653 35672 36691 37710 38729 39748 1019 7 33979 35112 36245 37378 38511 39644 40777 41910 43043 44176 1133 8 37631 38885 40139 41393 42647 43901 45155 46409 47663 48917 1254 9 41563 42948 44333 45718 47103 48488 49873 51258 52643 54028 1385 10 45771 47297 48823 50349 51875 53401 54927 56453 57979 59505 1526 11 50287 51963 53639 55315 56991 58667 60343 62019 63695 65371 1676 12 60274 62283 64292 66301 68310 70319 72328 74337 76346 78355 2009 13 71674 74063 76452 78841 81230 83619 86008 88397 90786 93175 2389 14 84697 87520 90343 93166 95989 98812 101635 104458 107281 110104 2823

15 99628 102949 106270 109591 112912 116233 119554 122875 126196 129517 3321 Sumber: Data U.S. Official of Personnel Management, 2012.

Dalam publikasi U.S. Official of Personnel Management (11 September 2012) mengenai Work Schedules, dijelaskan bahwa persyaratan dasar pekerjaan dari jadwal kerja yang dikompresi (CWS/Compressed Work Schedules) adalah jumlah jam, tidak termasuk jam lembur, seorang karyawan (pegawai) dituntut untuk bekerja atau untuk menjelaskan dengan pengisian cuti atau sebaliknya:

1. Seorang pegawai penuh-waktu diperlukan untuk bekerja 80 jam dalam periode

dua mingguan gaji. Pekerjaan ini harus dijadwalkan untuk kurang dari 10 hari

dalam periode gaji dua mingguan (5 U.S.C. 6121 (5) (A)).

2. Seorang karyawan paruh waktu bekerja kurang dari 80 jam dalam periode dua

mingguan gaji. Pekerjaan ini harus dijadwalkan kurang dari 10 hari kerja dalam

periode dua mingguan gaji (5 U.S.C. 6121 (5) (B)).

Para pimpinan instansi dapat memaafkan ketidakhadiran (absen) dengan tetap membayar pekerja yang berada di bawah program CWS dalam situasi yang sama seperti tidak adanya situasi dimaafkan absen yang akan diberikan kepada karyawan yang berada di bawah jadwal kerja lainnya.

Bagi pegawai/karyawan yang kesulitan bekerja dengan jadwal CWS, dapat melakukan hal-hal sebagai berikut:

1. Pasal 6127 (b) (2) dari judul 5, United States Code, mengharuskan setiap

karyawan yang berada dibawah jadwal kerja yang terkompresi/teratur (CWS)

untuk memaksakan kesulitan pribadi dikecualikan dari jadwal atau dipindahkan.

Setiap instansi harus memiliki prosedur bagi karyawan untuk meminta

pengecualian dari CWS berdasarkan kesulitan pribadi. Badan ini harus

menentukan apakah CWS telah membebankan kesulitan pribadi.

2. Baik hukum dan sejarah legislatif yang “diam” (tidak mengatur) sehubungan

dengan definisi "kesulitan pribadi." Namun, instansi harus peka terhadap

kemungkinan bahwa CWS bisa memiliki efek buruk pada karyawan tertentu,

khususnya karyawan cacat dan mereka yang bertanggung jawab atas perawatan

anggota keluarga cacat atau anak-anak yang memiliki ketergantungan.

Bergantung pada fakta dan keadaan dalam kasus individu, situasi kesulitan

pribadi lain yang valid dapat terjadi bisa menjadi alasan untuk mengecualikan

seorang karyawan dari bekerja di bawah program CWS.

Selain gaji pokok/dasar, dalam publikasi U.S. Office of Personnel Management.

(11 September 2012) mengenai Premium Pay, dijelaskan bahwa pegawai kerah putih dapat pula memperoleh gaji/uang lembur. Uang lembur atau kompensasi

“waktu off” umumnya diperoleh untuk jam kerja resmi yang diperintahkan atau disetujui lebih dari 8 jam dalam sehari atau 40 jam dalam sepekan untuk pekerjaan administratif. Untuk kerja lembur, ditetapkan gaji per jam dalam tabel berikut:

Tabel 27 Gaji GS Per Jam/Lembur Berdasarkan Grade dan Step (Hourly/Overtime Rates by Grade and Step) Effective January 2012

Grade B/O Step 1 Step 2 Step 3 Step 4 Step 5 Step 6 Step 7 Step 8 Step 9 Step 10 1 B $8.53 $8.82 $9.10 $9.38 $9.67 $9.83 $10.11 $10.39 $10.41 $10.67 O 12.80 13.23 13.65 14.07 14.51 14.75 15.17 15.59 15.62 16.01 2 B 9.59 9.82 10.14 10.41 10.52 10.83 11.14 11.45 11.76 12.07 O 14.39 14.73 15.21 15.62 15.78 16.25 16.71 17.18 17.64 18.11 3 B 10.46 10.81 11.16 11.51 11.86 12.21 12.56 12.91 13.26 13.60 O 15.69 16.22 16.74 17.27 17.79 18.32 18.84 19.37 19.89 20.40 4 B 11.75 12.14 12.53 12.92 13.31 13.71 14.10 14.49 14.88 15.27 O 17.63 18.21 18.80 19.38 19.97 20.57 21.15 21.74 22.32 22.91 5 B 13.14 13.58 14.02 14.46 14.90 15.33 15.77 16.21 16.65 17.09 O 19.71 20.37 21.03 21.69 22.35 23.00 23.66 24.32 24.98 25.64 6 B 14.65 15.14 15.63 16.12 16.60 17.09 17.58 18.07 18.56 19.05 O 21.98 22.71 23.45 24.18 24.90 25.64 26.37 27.11 27.84 28.58 7 B 16.28 16.82 17.37 17.91 18.45 19.00 19.54 20.08 20.62 21.17 O 24.42 25.23 26.06 26.87 27.68 28.50 29.31 30.12 30.93 31.76 8 B 18.03 18.63 19.23 19.83 20.43 21.04 21.64 22.24 22.84 23.44 O 27.05 27.95 28.85 29.75 30.65 31.56 32.46 32.90 32.90 32.90 9 B 19.92 20.58 21.24 21.91 22.57 23.23 23.90 24.56 25.22 25.89 O 29.88 30.87 31.86 32.87 32.90 32.90 32.90 32.90 32.90 32.90 10 B 21.93 22.66 23.39 24.13 24.86 25.59 26.32 27.05 27.78 28.51 O 32.90 32.90 32.90 32.90 32.90 32.90 32.90 32.90 32.90 32.90 11 B 24.10 24.90 25.70 26.50 27.31 28.11 28.91 29.72 30.52 31.32

O 32.90 32.90 32.90 32.90 32.90 32.90 32.90 32.90 32.90 32.90 12 B 28.88 29.84 30.81 31.77 32.73 33.69 34.66 35.62 36.58 37.54 O 32.90 32.90 32.90 32.90 32.90 33.69 34.66 35.62 36.58 37.54 13 B 34.34 35.49 36.63 37.78 38.92 40.07 41.21 42.36 43.50 44.65 O 34.34 35.49 36.63 37.78 38.92 40.07 41.21 42.36 43.50 44.65 14 B 40.58 41.94 43.29 44.64 45.99 47.35 48.70 50.05 51.40 52.76 O 40.58 41.94 43.29 44.64 45.99 47.35 48.70 50.05 51.40 52.76 15 B 47.74 49.33 50.92 52.51 54.10 55.69 57.29 58.88 60.47 62.06 O 47.74 49.33 50.92 52.51 54.10 55.69 57.29 58.88 60.47 62.06 Sumber: Data U.S. Office of Personnel Management, 2012.

Di samping gaji tahunan dan gaji per jam lembur tersebut, pegawai kerah putih dapat menerima tunjangan, tetapi tunjangan hanya diberikan untuk hal-hal khusus yang spesifik dan tidak semua pegawai kerah putih menerima tunjangan, tetapi menerima biaya pelaksanaan tugas, misalnya biaya perjalanan dinas.

Salah satu bentuk tunjangan yang dapat diterima secara terbatas misalnya pegawai sipil kerah putih menerima tunjangan biaya-hidup ketika ditempatkan di daerah tertentu di luar benua Amerika Serikat (yaitu, Alaska, Hawaii, Guam dan

Mariana Utara Islands, Puerto Rico, dan US Virgin Islands). Penyisihan ini didasarkan pada biaya hidup jauh lebih tinggi daripada di daerah Washington DC.

Beberapa karyawan di daerah tertentu menerima diferensial posting berdasarkan kondisi lingkungan yang berbeda secara substansial dari yang ada di benua Amerika

Serikat dan yang menjamin diferensial sebagai insentif perekrutan. Diferensial itu hanya tersedia untuk karyawan direkrut dari luar daerah diferensial. Jumlah maksimum tunjangan atau diferensial, atau total gabungannya, tidak dapat melebihi

25 persen dari tarif per jam dari gaji dasar, sebagaimana diatur dalam Title 5 U.S.C.

Section 5941 dan Title 5 C.F.R. Section 591, Sub Section b.

Dalam publikasi U.S. Office of Personnel Management melalui Federal

Classification and Job Grading System (11 September 2012), dijelaskan bahwa pegawai kerah putih (white collar) dapat mengajukan banding klasifikasi untuk kesesuaian tingkatan GS-nya dengan jenis pekerjaannya, bahkan dapat

memperoleh sistem pembayaran berdasarkan WFS jika memang jenis pekerjaannya ternyata termasuk dalam tabel WFS sebagaimana digunakan oleh pegawai kerah biru. Demikian pula sebaliknya.

Perlu diketahui bahwa pegawai federal di Amerika Serikat terdiri dari pegawai kerah putih dan pegawai kerah biru. Pegawai kerah putih memiliki pekerjaan yang mirip dengan PNS di Indonesia, sedangkan pegawai kerah biru memiliki pekerjaan yang mirip dengan tentara, petugas pemadam kebakaran, pegawai perusahaan milik negara, dan sejenisnya yang tidak bersifat administratif.

Penentuan cakupan oleh GS atau WFS ditentukan oleh tugas, tanggung jawab, dan persyaratan kualifikasi posisi, sebagaimana dijelaskan dalam dokumen

Introduction to the Position Classification Standards, berikut ini:

1. Title 5 U.S.C. 5102 (c) (7) mengecualikan dari cakupan di bawah General Schedule bagi mereka "karyawan yang diakui dalam perdagangan atau kerajinan, atau kerajinan mekanik yang terampil, atau tidak terampil, setengah terampil, terampil atau pengguna tenaga kerja pekerjaan, dan karyawan lainnya termasuk mandor dan pengawas dalam posisi yang memiliki perdagangan, kerajinan, atau bekerja berdasarkan pengalaman dan pengetahuan sebagai persyaratan penting." 2. "Kebutuhan penting" dari posisi mengacu pada pengetahuan, prasyarat penting, keterampilan, dan kemampuan yang dibutuhkan untuk melakukan tugas utama atau tanggung jawab yang posisinya telah ditetapkan. Apakah jenis tertentu adalah posisi perdagangan, kerajinan, atau pekerjaan tenaga kerja manual dalam arti Title 5 terutama tergantung pada fakta-fakta dari tugas, tanggung jawab, dan persyaratan kualifikasi; yaitu, kebutuhan yang paling penting, atau kepala, untuk kinerja primer tugas atau tanggung jawab yang posisi ada. Jika posisi jelas membutuhkan perdagangan, kerajinan, atau bekerja pengalaman dan pengetahuan sebagai persyaratan untuk kinerja tugas utamanya, dan kebutuhan ini adalah yang terpenting, posisi berada di bawah Sistem Upah federal terlepas dari lokasi organisasi atau sifat kegiatan di mana itu ada. a. Sebuah posisi dibebaskan dari General Schedule jika tugas utamanya melibatkan kinerja pekerjaan fisik yang membutuhkan pengetahuan atau pengalaman dari perdagangan, kerajinan, atau manual-tenaga alam. b. Sebuah posisi tunduk pada General Schedule, bahkan jika itu membutuhkan kerja fisik, jika tugas utamanya membutuhkan pengetahuan atau pengalaman dari administrasi, bersifat ilmiah, artistik, atau teknis yang tidak terkait dengan perdagangan, kerajinan, atau tenaga kerja manual dalam bekerja.

Sistem Upah Federal/Federal Wage System (FWS) adalah sistem bayar terutama bagi pegawai kerah biru (blue collar) federal yang dibayar per jam, sebagaimana dijelaskan dalam publikasi U.S. Office of Personnel Management (30

September 2012) mengenai Wage. Tujuan sistem adalah untuk memastikan bahwa perdagangan Federal, kerajinan, dan pekerja dalam area upah lokal yang melakukan tugas yang sama menerima tingkat upah yang sama. Keberhasilan kemitraan pekerja-manajemen adalah ciri khas dari FWS, dengan organisasi- organisasi tenaga kerja yang terlibat dalam semua tahap administrasi sistem gaji. Di bawah ini sistem membayar seragam:

a. Membayar Anda akan menjadi sama dengan gaji pekerjaan Federal lainnya

seperti Anda di daerah upah Anda, dan

b. Anda akan dibayar sesuai dengan gaji untuk pekerjaan sektor swasta seperti

Anda di daerah upah Anda.

Departemen Pertahanan Amerika Serikat merupakan lembaga utama yang bertanggung jawab untuk melaksanakan Sistem Upah Federal (FWS) survei upah dan mengeluarkan daftar upah.

Bagi pemangku jabatan eksekutif, diatur pemberian gaji diatur dalam tabel EX, sebagai berikut:

Tabel 28 Tingkat Dasar Gaji EX (The Executive Schedule) Per Tahun Effective January 2012

Level I 199700 Level II 179700 Level III 165300 Level IV 155500 Level V 145700 Sumber: Data U.S. Office of Personnel Management, 2012.

Baik pegawai yang dibayar dengan GS maupun dengan EX, pada umumnya tidak mendapatkan sumber penghasilan lainnya, kecuali apabila memiliki kondisi spesifik, misalnya ditugaskan di daerah terpencil, di luar negeri, dan lain-lain barulah diberikan tunjangan yang besarannya tidak lebih dari 25% dari gaji pokoknya.

Adapun gaji untuk pemangku jabatan eksekutif senior diatur dalam tabel SES, sebagai berikut:

Tabel 29 Tingkat Dasar Gaji untuk Anggota The Senior Executive Service (SES) Per Tahun Effective January 2012

Structure of the SES Pay System Minimum Maximum Agencies with a Certified SES Performance 119554 179700 Appraisal System Agencies without a Certified SES Performance 119554 165300 Appraisal System Sumber: Data U.S. Office of Personnel Management, 2012.

Di samping gaji, pegawai eksekutif senior memperoleh tunjangan dan insentif, sebagaimana diatur dalam Section 3131, Title 5, United States Code, bahwa merupakan tujuan dari sub chapter ini untuk membangun Layanan/Pegawai

Eksekutif Senior untuk memastikan bahwa manajemen eksekutif dari Pemerintah

Amerika Serikat responsif terhadap kebutuhan, kebijakan, dan tujuan bangsa dan merupakan kualitas tertinggi. Pemerintah harus menyediakan bagi Pegawai

Eksekutif Senior, hal-hal berikut:329

329 § 3131 - The Executive Service Senior It is the purpose of this sub chapter to establish a Senior Executive Service to ensure that the executive management of the Government of the United States is responsive to the needs, policies, and goals of the Nation and otherwise is of the highest quality. The Senior Executive Service shall be administered so as to— (1) provide for a compensation system, including salaries, benefits, and incentives, and for other conditions of employment, designed to attract and retain highly competent senior executives; (2) ensure that compensation, retention, and tenure are contingent on executive success which is measured on the basis of individual and organizational performance (including such factors as improvements in efficiency, productivity, quality of work or service, cost efficiency, and timeliness of performance and success in meeting equal employment opportunity goals); (3) assure that senior executives are accountable and responsible for the effectiveness and productivity of employees under them;

(1) menyediakan sistem kompensasi, termasuk gaji, tunjangan, dan insentif, dan untuk kondisi ketenagakerjaan lainnya, yang dirancang untuk menarik dan mempertahankan para eksekutif senior yang sangat kompeten; (2) memastikan bahwa kompensasi, retensi, dan masa yang bergantung pada keberhasilan eksekutif yang diukur berdasarkan kinerja individu dan organisasi (termasuk faktor-faktor seperti peningkatan efisiensi, kualitas, produktivitas pekerjaan atau jasa, efisiensi biaya, dan ketepatan waktu kinerja dan keberhasilan dalam memenuhi tujuan kerja kesempatan yang sama); (3) memastikan bahwa eksekutif senior bertanggung jawab dan bertanggung jawab atas efektivitas dan produktivitas karyawan di bawah mereka; (4) mengakui prestasi yang luar biasa; (5) memungkinkan kepala lembaga untuk menetapkan kembali eksekutif senior terbaik untuk mencapai misi lembaga; (6) menyediakan pesangon, pensiun dini, dan bantuan penempatan bagi para eksekutif senior yang akan dihapus dari Layanan Eksekutif Senior untuk alasan nondisciplinary; (7) melindungi eksekutif senior dari tindakan sewenang-wenang; (8) menyediakan kesinambungan program dan advokasi kebijakan dalam pengelolaan program publik; (9) mempertahankan sistem merit personil bebas dari praktek-praktek personil dilarang; (10) memastikan akuntabilitas Pemerintah untuk jujur, ekonomis, dan efisien; (11) memastikan kepatuhan terhadap semua undang-undang yang berlaku layanan sipil, aturan, dan peraturan, termasuk yang terkait dengan kesempatan kerja yang sama, aktivitas politik, dan konflik kepentingan; (12) menyediakan pengembangan sistematis awal dan berkelanjutan dari eksekutif senior yang sangat kompeten; (13) menyediakan sistem eksekutif yang dipandu oleh kepentingan umum dan bebas dari campur tangan politik yang tidak benar, dan (14) menunjuk eksekutif karir untuk mengisi posisi Layanan Eksekutif Senior yang lazim, konsisten dengan pelaksanaan yang efektif dan efisien dari kebijakan lembaga dan tanggung jawab.

(4) recognize exceptional accomplishment; (5) enable the head of an agency to reassign senior executives to best accomplish the agency’s mission; (6) provide for severance pay, early retirement, and placement assistance for senior executives who are removed from the Senior Executive Service for nondisciplinary reasons; (7) protect senior executives from arbitrary or capricious actions; (8) provide for program continuity and policy advocacy in the management of public programs; (9) maintain a merit personnel system free of prohibited personnel practices; (10) ensure accountability for honest, economical, and efficient Government; (11) ensure compliance with all applicable civil service laws, rules, and regulations, including those related to equal employment opportunity, political activity, and conflicts of interest; (12) provide for the initial and continuing systematic development of highly competent senior executives; (13) provide for an executive system which is guided by the public interest and free from improper political interference; and (14) appoint career executives to fill Senior Executive Service positions to the extent practicable, consistent with the effective and efficient implementation of agency policies and responsibilities.

Selain itu, terdapat pula tabel gaji untuk jabatan yang setara dengan senior eksekutif, yakni gaji untuk hakim banding administrasi, hakim hukum administrasi, anggota dewan banding kontrak, dan karyawan tingkat senior dan posisi ilmiah atau posisi profesional. Sebagai contoh berikut adalah tabel gaji karyawan tingkat senior dan posisi atau posisi profesional, sebagai berikut:

Tabel 30 Tingkat Dasar Gaji Pegawai dalam Posisi Senior-Level (SL) dan Scientific Or Professional (ST) Per Tahun Effective January 2012

Structure of the SL/ST Pay System Minimum Maximum Agencies with a Certified SL/ST 119554 179700 Performance Appraisal System Agencies without a Certified SL/ST 119554 165300 Performance Appraisal System Sumber: Data U.S. Office of Personnel Management, 2012.

Apabila diperhitungkan mengenai kecukupan gaji berdasarkan hal tersebut, maka akan tampak bahwa walaupun gaji GS (pegawai kerah putih) dan EX (pegawai eksekutif) di Amerika Serikat pada dasarnya tidak memiliki komponen yang lain, kecuali upah kelebihan jam kerja maupun tunjangan di daerah asing, tetapi gaji tersebut mencukupi kebutuhan hidup jika dihitung berdasarkan tingkat kebutuhan hidup di Amerika Serikat. Apalagi bagi penerima gaji sebagai SES (eksekutif senior) maupun jabatan yang setingkat dengan eksekutif senior, yang selain memperoleh gaji pokok, juga menerima berbagai tunjangan dan insentif yang tidak dibatasi, dibandingkan dengan GS dan EX yang dibatasi tunjangannya maksimal 25% dari gaji pokok.

Kebutuhan hidup di Amerika Serikat pada tahun 2010 menurut data dari kedutaan besar Amerika Serikat untuk Indonesia adalah sebesar $12,734 pertahun.

Pada tahun 2012, tingkat kebutuhan hidup di Amerika Serikat menurut data Global

One International (12 September 2012) adalah sebesar $7.000 sampai dengan

$15.000 per tahun. Biaya hidup tersebut jika diperhitungkan sebesar $15.000 pun masih lebih kecil dari pada jumlah gaji terendah bagi PNS Amerika Serikat, yakni

$17.803.

Kecukupan gaji untuk memenuhi kebutuhan hidup tersebut, walaupun pada umumnya kurang disertai komponen remunerasi lainnya, menunjukkan bahwa remunerasi PNS di Amerika Serikat telah bertumpu pada teori keadilan distributif dan dapat berfungsi sebagai alat untuk menumbuhkan birokrasi yang rasional dan dapat memacu produktivitas pegawai sehingga dapat mewujudkan birokrasi yang rasional ala Max Weber.

Dengan demikian, berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, secara sederhana digambarkan basis pemenuhan hak dalam peraturan sistem remunerasi PNS yang diperbandingkan sebagaimana tampak dalam tabel berikut:

Tabel 31 Basis Pemenuhan Hak dalam Peraturan Sistem Remunerasi PNS

No. Indonesia Amerika Serikat Jerman 1. Gaji Pokok kecil ditambah Bagi PNS dalam Jabatan Gaji Pokok Besar ditambah berbagai tunjangan dan General Schedule dan berbagai tunjangan yang honorarium yang totalnya Jabatan Executive diberikan totalnya lebih kecil dari gaji sering lebih besar dari gaji Gaji Pokok besar ditambah pokok. pokok, tapi tidak semua tunjangan besarnya maksimal PNS memperoleh. 25% gaji pokok hanya Untuk15% PNS terbaik diberikan bagi PNS tinggal mendapatkan Tunjangan kinerja diluar negeri atau pekerjaan yang besarnya maksimal 1 kali sulit . Kecuali Executive gaji pokok. Senior mendapatkan berbagai tunjangan yang bisa lebih besar dari 25% gaji pokok. Sumber: data sekunder, diolah 2012.

Tabel tersebut menunjukkan bahwa basis pemenuhan hak PNS relatif belum terpenuhi sehingga relatif belum sejalan dengan prinsip merit system. Berbeda dengan basis pemenuhan hak di Amerika Serikat sejalan dengan prinsip merit system, sedangkan Jerman yang sudah terpenuhi sejalan dengan alimentationprinzip. Di mana keduanya telah bertumpu pada teori keadilan distributif.

2. Basis Orientasi Kinerja

Bentuk remunerasi (penggajian) PNS di Indonesia didasarkan pada golongan/ruang, jabatan, maupun keikutsertaan dalam suatu kepanitiaan. Bentuk remunerasi berupa honorarium/insentif seringkali dianggap diberikan berdasarkan kinerja, tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak demikian. Seringkali keikutsertaan/penugasan dalam suatu kegiatan/kepanitiaan yang berkonsekuensi honorarium disebabkan aspek subjektif.

Rasio 1:3,65 dari gaji pokok terendah sebesar Rp.1.260.000 dan tertinggi PNS sebesar Rp.4.603.700, belum mampu memacu prestasi kerja, apabila dikaitkan dengan pandangan Sofian Effendi. Kecuali, apabila gaji yang dimaksudkan meliputi pula honorarium, maka dapat saja tercapai 1:20 tetapi dengan kondisi yang labil.

Menurut Sofian Efendi (Seminar AIPI, 3-4 Mei 2006), sistem penggajian PNS yang diterapkan terlalu menyimpang dari acuan teori penggajian yang berlaku.

Literatur manajemen SDM yang banyak dianut oleh banyak negara, skala penggajian yang baik dan yang mampu memacu prestasi kerja adalah yang memiliki rasio 1:20 antara gaji terendah dan gaji tertinggi. Pada masa-masa awal

Pemerintahan Indonesia, sistem penggajian PNS menggunakan skala seperti tersebut.

Di Jerman, gaji terendah pada Group A sebesar 1.802,38 Euro dibandingkan dengan gaji tertinggi pada Group B bagi PNS sebesar 12.213,58 Euro menunjukkan rasio 1:6,77, walaupun rasionya dua kali lipat dibanding Indonesia, rasio tersebut memang belum menunjukkan rasio yang memadai untuk mendorong kinerja sebagaimana pandangan Sofian Efendi yakni 1:20. Hal ini dapat dipahami dari prinsip loyalitas PNS yang dianut oleh Jerman, sehingga Jerman pada dasarnya tidak membayar PNS berdasarkan kinerja tetapi berdasarkan kedudukan/jabatan

dalam menjaga kesetiaan PNS terhadap Konstitusi. Akan tetapi perlu diketahui bahwa Jerman juga menerapkan gaji kinerja yang besarannya paling tinggi sebesar gaji pokok (satu kali gaji pokok) bagi sebanyak 15% PNS dari seluruh PNS di

Jerman, sebagaimana akan dibahas selanjutnya, sehingga dapat mencapai rasio

1:13,4, apalagi jika ditambah dengan tunjangan-tunjangan lainnya, maka unsur motivasional sudah terpenuhi lebih dari sebagian.

Di Amerika Serikat, gaji terendah dari GS (General Schedule) sebesar $ 17.803 dibandingkan gaji tertinggi pada EX (Executive Schedule) level I sebesar $ 199.700 memiliki rasio 1:11,21, sudah memenuhi sebagian rasio untuk memunculkan dorongan motivasi jika merujuk pada pandangan Sofian Efendi, apalagi jika dibandingkan dengan SES yang selain memiliki gaji pokok juga memiliki tunjangan lainnya selain gaji, dibandingkan GS yang pada umumnya tidak memiliki tunjangan.

Terkait dengan peraturan sistem remunerasi di Indonesia, Miftah Thoha

(2007:90-91) mengungkapkan hasil penelitiannya pada tahun 2003 yang menunjukkan hal-hal berikut:

a. remunerasi lebih banyak dinikmati oleh pemangku jabatan struktural. b. tidak ada kejelasan/standar kualifikasi bagi PNS untuk duduk dalam kepanitiaan atau proyek-proyek. Dalam hal ini, ada orang yang duduk diberbagai kepanitiaan/proyek, dan ada PNS yang sama sekali tidak ikut, padahal memiliki konsekuensi insentif atau honor. c. pemberian insentif lebih banyak didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan subjektif pimpinan, yang pada akhirnya dapat digunakan sebagai alat untuk mengooptasi pegawai dan menyuburkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Insentif berupa pemberian honorarium tersebutlah yang ingin digantikan dengan pemberian remunerasi330 (tunjangan kinerja) oleh Kementerian PAN dan RB.

330 Remunerasi yang dimaksudkan adalah tunjangan kinerja reformasi birokrasi berdasarkan Peraturan Menteri PAN dan RB No.63 Tahun 2011, sedangkan sebelumnya Kementerian Keuangan menyebutnya sebagai tunjangan khusus pembinaan keuangan negara.

Berbeda dengan bentuk remunerasi lainnya, tunjangan kinerja diberikan dengan memperhatikan berbagai aspek, dimana salah satunya adalah aspek kinerja, namun demikian belum sampai pada kinerja individu sehingga belum mencerminkan karakter prinsip equal pay for equal work ataupun prinsip merit pay system, karena ketiadaan standar kinerja yang spesifik untuk setiap jabatan tertentu.

Adapun rencana penggunaan sasaran kerja yang akan ditetapkan dalam kontrak kerja, tidak akan mencerminkan karakter prinsip equal pay for equal work sebagaimana diharapkan Kementerian PAN dan RB karena ketiadaaan standar kinerja yang spesifik untuk setiap jabatan tertentu pada akhirnya hanya menggunakan standar yang masih sangat umum sehingga tidak ada perbedaan signifikan antara berbagai jabatan dan pada akhirnya berpeluang masuknya penilaian yang bersifat subjektif. Berbeda dengan Amerika Serikat yang telah memiliki standar yang spesifik untuk hampir seluruh jabatan dalam pemerintahannya. Hal tersebut dapat dicermati pada modul-modul pekerjaan/jabatan yang memiliki standar kinerja yang disiapkan oleh Pemerintah Amerika Serikat.

Peraturan Menteri PAN dan RB No.63 Tahun 2011 tentang Pedoman Penataan

Sistem Tunjangan Kinerja Pegawai Negeri, mengatur sebagai berikut:

Pasal 1 Tunjangan kinerja dalam pelaksanaan reformasi birokrasi menggunakan prinsip- prinsip: a. Efisiensi/optimalisasi pagu anggaran belanja Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah. b. Equal pay for equal work, pemberian besaran tunjangan kinerja sesuai dengan harga jabatan dan pencapaian kinerja.

Pasal 2 (1) Tunjangan kinerja merupakan fungsi dari keberhasilan pelaksanaan reformasi birokrasi atas dasar kinerja yang dicapai oleh seseorang individu pegawai. (2) Kinerja individu pegawai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus sejalan dengan kinerja yang hendak dicapai oleh institusinya.

Pasal 3

Pemberian tunjangan kinerja kepada Pegawai Negeri didasarkan pada: a. Tingkat capaian pelaksanaan refromasi birokrasi instansi. b. Nilai dan kelas jabatan. c. Indeks harga nilai jabatan. d. Faktor pengimbang. e. Indeks tunjangan kinerja daerah provinsi (Locality-Based Comparability Payments/Locality Pay Rate).

Pasal 4 Pedoman Penataan Sistem Tunjangan Kinerja ini digunakan dalam menetapkan besaran tunjangan kinerja dilingkungan instansi pemerintah yang telah melaksanakan reformasi birokrasi.

Peraturan Menteri PAN dan RB No.63 Tahun 2011 tersebut didasarkan pada

Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No.43 Tahun tentang Perubahan atas Undang-

Undang No.8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian dan Peraturan

Presiden No.81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025.

Di mana Peraturan Presiden No.81 Tahun 2010 tersebut mengamanatkan seluruh

Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah yang telah melaksanakan reformasi birokrasi diberikan penghargaan dalam bentuk tunjangan kinerja.

Sebelum terbitnya Peraturan Menteri PAN dan RB No. 63 Tahun 2011, Deputi

SDM bidang Aparatur Kementerian PAN dan RB (Ramli Naibaho) sebagaimana publikasi Jawa Pos National Network (19 Maret 2012) telah mengemukakan bahwa terkait dengan penyempurnaan sistem penggajian pegawai negeri, Undang-Undang

Kepegawaian yang masih berlaku saat ini masih cukup memadai sebagai wadah untuk mengakomodasi penyempurnaan tersebut. Perumusan penggajian pegawai negeri salah satunya berpatokan pada konvensi ILO (International Labour

Organization) Nomor 100 yang menyatakan gaji yang sama dengan pekerjaan sama. Ini sejalan dengan Pasal 7 ayat (1) UU No 43 Tahun 1999 yang menyatakan setiap pegawai negeri berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggung jawabnya. Namun perlu dilakukan penyempurnaan dalam peraturan pelaksanaannya yaitu PP No 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji

PNS. Dalam menerapkan sistem penggajian yang ideal, perlu disiapkan penggajian berbasis kompetensi dan jabatan, penilaian pegawai untuk menduduki jabatan, serta capaian kinerja pegawai yang bersangkutan.

Hal tersebut menunjukkan bahwa sistem penggajian yang disiapkan adalah sistem penggajian berbasis kinerja yang memperhitungkan pula aspek kompetensi dan jabatan.

Bandingkan dengan tiga model pembayaran gaji pegawai oleh perusahaan sebagaimana publikasi Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan (30 Agustus

2012). Pertama adalah sistem pay for position dimana pegawai dihargai berdasarkan posisi atau jabatannya dalam perusahaan. Perusahaan menerapkan sistem ini untuk jenis pegawai dengan pekerjaan struktural, dan dikarenakan sistem ini paling mudah dilakukan kebanyakan perusahaan menerapkan sistem ini dalam penggajian pegawai mereka. Kedua adalah sistem pay for person yaitu karyawan dihargai berdasarkan keahlian atau kompetensi yang dimiliki. Umumnya sistem ini diberlakukan bagi pegawai fungsional, dimana pegawai dihargai atas keahlian atau kompetensi yang bersifat teknis atau khusus. Ketiga adalah sistem pay for performance di mana karyawan dihargai berdasarkan kinerjanya pada suatu periode tertentu. Kinerja setiap pegawai diukur sesuai dengan pencapaian indikator kinerja yang telah ditetapkan targetnya. Melalui mekanisme inilah, kemudian hasil kerja pegawai dapat dinilai dengan obyektif. Selanjutnya, hasil penilaiannya digunakan sebagai acuan dalam menentukan tunjangan yang harus diterima.

Selanjutnya dijelaskan bahwa sistem penggajian yang selama ini digunakan ternyata hanya mempertimbangkan jabatan dan kompetensi seseorang. Hal ini dapat dimaklumi karena kedua sistem tersebut relatif lebih mudah penerapannya

dibandingkan dengan menghitung capaian kinerja seseorang yang ditentukan berdasarkan sistem penilaian kinerja.

Menurut penulis, konsepsi sistem pay for performance tersebut tentu saja tidak sejalan dengan teori keadilan distributif ala Aristoteles yang menekankan peraturan sistem remunerasi yang didasarkan pada jabatan, tidak sejalan dengan teori keadilan distributif ala John Rawls yang dikenal sebagai justice as fairness yang menekankan aspek kewajaran dalam penyaluran barang-barang dalam institusi negara, dan juga tidak sejalan dengan konsepsi birokrasi ala Max Weber yang menghendaki suatu sistem penggajian bagi pegawai sebagai alat untuk menumbuhkan birokrasi yang rasional dan memiliki tingkat produktivitas dan efektivitas. Oleh karena itu, sistem tersebut perlu disempurnakan dengan memperhitungkan pula luasnya tanggung jawab yang diemban oleh seseorang pemangku jabatan.

Namun demikian, pemerintah belum berhasil menggunakan peraturan sistem remunerasi untuk mendorong aspek motivasional PNS, karena belum mampu memperhitungkan kinerja individu. Hal tersebut akan terurai dengan jelas dalam penjelasan Wakil Menteri PAN dan RB.

Wakil Menteri PAN dan RB (Seminar Reformasi Birokrasi di UNM, 26 Mei

2012) menjelaskan bahwa tunjangan kinerja yang ada sekarang baru sampai pada kinerja Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah yang melakukan reformasi, tetapi belum sampai kepada kinerja individu. Oleh karena itu, belum dapat disebut sebagai tunjangan kinerja. Untuk itu, diharapkan setiap Kementerian/Lembaga dan

Pemerintah Daerah mulai memikirkan bagaimana menurunkan kinerja organisasi sampai kepada kinerja individu. Sementara itu, Kementerian PAN dan RB berupaya untuk membangun Kontrak Kinerja Individu. Kontrak Kinerja Individu memberikan

peluang bagi PNS untuk mendapatkan tunjangan sesuai dengan kinerjanya.

Langkah ini sejalan dengan langkah Kementerian PAN dan RB yang akan lebih

“menggenjot” jabatan fungsional daripada jabatan struktural eselon tiga dan eselon empat, untuk lebih meningkatkan pelayanan publik.

Kementerian PAN dan RB dalam publikasi tanggal 29 desember 2011, menargetkan untuk memperbanyak jabatan fungsional di seluruh Indonesia dengan penghapusan struktur eselon III dan IV, sehingga yang tampak adalah tugas mereka, misalnya fungsi auditor, kebijakan, juru ukur, dan sebagainya. Jadi jabatan struktural dihapus lalu mereka diberikan jabatan baru berbasis fungsi. Pengalihan dari jabatan struktural ke jabatan fungsional dimaksudkan supaya orang lebih berorientasi kepada pekerjaan daripada jabatan. Dasar pertimbanganya adalah untuk meningkatkan kompetensi dan kinerja pegawai. Selama ini orang-orang lebih berorientasi mendapatkan jabatan struktural daripada pekerjaan dan biasanya orang yang duduk di jabatan struktural hanya berorientasi kepada struktur. Demikian pula, tunjangan struktural yang begitu banyak di seluruh Indonesia juga ingin dikurangi.

Dengan peralihan pejabat struktural ke fungsional, Kementerian PAN dan RB dapat menghitung apa kompetensi mereka dan bagaimana ukuran kinerja mereka. Dengan demikian Kementerian PAN dan RB dapat menerapkan tunjangan benar-benar berbasis kinerja dan fungsi yang mereka kerjakan.

Pemberian tunjangan kinerja pada Kementerian/Lembaga maupun pemerintah daerah didasarkan pada dokumen reformasi birokrasi. Menurut Kepala Lembaga

Administrasi Negara (Agus Dwiyanto) (Paparan Kuliah Umum di STIA-LAN

Makassar, 5 September 2012), reformasi birokrasi yang dirancang oleh pemerintah masih berupa dokumentasi, boleh saja sebagai langkah awal, tetapi harus diikuti

dengan perubahan sesungguhnya, karena bila tidak maka “cost-nya” semakin tinggi, karena sudah terlanjur memberikan remunerasi, tetapi tidak diikuti perubahan.

Sehubungan dengan hal tersebut, Menteri PAN dan RB (Paparan dalam

Ceramah Umum kepada Peserta Diklat PIM II dan III pada PKP2A II LAN Makassar,

24 April 2012), menjelaskan bahwa untuk instansi yang baru melakukan reformasi birokrasi, tunjangan reformasi sebesar 40 persen yang diberlakukan untuk semua instansi. Setelah 1 tahun baru digunakan Balance Score Card untuk menilai reformasi yang dilakukan dan tunjangan dibayar sesuai kinerja. Hal ini dilakukan untuk menghemat anggaran agar dapat digunakan pada kegiatan yang berdampak langsung ke masyarakat, misalnya membangun infrastruktur.

Dengan demikian, tunjangan kinerja yang diberikan dalam rangka reformasi birokrasi memang belum didasarkan pada penilaian kinerja individu, tetapi baru berdasarkan penilaian dokumen kesiapan melakukan reformasi birokrasi bagi instansi yang baru memulai reformasi birokrasi, dan didasarkan pada penilaian

Indikator Kinerja Utama (IKU) bagi instansi yang sedang melakukan reformasi birokrasi.

Sofyan Effendi sebagaimana publikasi Jawa Pos National Network (20 Mei

2012) menyoroti pelaksanaan reformasi birokrasi yang sudah dilaksanakan instansi pusat. Menurutnya, 16 Kementerian/Lembaga yang telah melaksanakan reformasi birokrasi lebih terfokus pada peningkatan remunerasi. Pada pemerintah daerah bahkan peningkatan remunerasi terjadi tanpa diikuti perbaikan kinerja birokrasi.

Akibatnya, terjadi gejala birokrasi biaya tinggi tetapi kinerja rendah, baik di instansi pusat dan daerah.

Pemberian tunjangan kinerja PNS di Indonesia yang belum didasarkan kinerja individu, terungkap pula dalam Peraturan Menteri PAN dan RB No. 63 Tahun 2011 pada Lampiran, Bab I, I.4, 4, yang menguraikan bahwa:

Tunjangan kinerja adalah tunjangan yang diberikan kepada Pegawai Negeri yang merupakan fungsi dari keberhasilan pelaksanaan reformasi birokrasi dan didasarkan pada capaian kinerja Pegawai Negeri tersebut yang sejalan dengan capaian kinerja organisasi di mana Pegawai Negeri tersebut bekerja. Oleh karena itu, tunjangan kinerja individu Pegawai Negeri dapat meningkat atau menurun sejalan dengan peningkatan atau penurunan kinerja yang diukur berdasarkan Indikator Kinerja Utama Instansi.

Selanjutnya, pada bagian Lampiran II.2, diuraikan bahwa pemberian tunjangan kinerja dilakukan melalui penataan sistem tunjangan kinerja dengan mekanisme sebagai berikut:

a. Tingkat capaian pelaksanaan reformasi birokrasi instansi. Pelaksanaan reformasi birokrasi pada suatu instansi pemerintah harus mengacu pada tahapan-tahapan sebagaimana yang sudah digariskan Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025. Tingkat capaian pelaksanaan refromasi birokrasi instansi tersebut ditetapkan dalam bentuk persentasi oleh Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional dan Tim Reformasi Birokrasi Nasional berdasarkan hasil evaluasi dan monitoring dari Tim Independen dan Tim Quality Assurance. b. Nilai jabatan (job value) dan kelas jabatan (job class) ditetapkan berdasarkan evaluasi jabatan dengan secara sistematis menggunakan kriteria-kriteria yang disebut faktor jabatan oleh setiap Kementerian, Lembaga Pemerintah Non Kementerian, dan Pemerintah Daerah, berdasarkan Peraturan Menteri PAN dan RB No.34 Tahun 2011 tentang Pedoman Evaluasi Jabatan. c. Indeks harga nilai jabatan merupakan nilai rupiah yang diberikan untuk setiap nilai jabatan (nilai rata-rata), yang ditetapkan berdasarkan Upah Minimun Regional Provinsi (UMRP).Di mana, nilai jabatan merupakan akumulasi poin faktor evaluasi jabatan struktural maupun jabatan fungsional yang digunakan untuk menentukan kelas jabatan. Adapun UMRP merupakan upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap yang berlaku di satu provinsi. UMRP ditetapkan berdasarkan standar peraturan perundang- undangan (dalam hal ini Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.PER- 01/MEN/1999 tentang Upah Minimun). UMRP ditetapkan setiap tahun dan peninjauan dilakukan selambat-lambatnya dua tahun sekali. UMRP ditetapkan dengan mempertimbangkan: 1) kebutuhan; 2) Indeks Harga Konsumen; 3) kemampuan, perkembangan, dan kelangsungan perusahaan; 4) upah pada umumnya yang berlaku didaerah tertentu dan antar daerah; 5) kondisi pasar kerja; 6) tingkat perkembangan perekonomian dan pendapatan per kapita. d. Faktor pengimbang merupakan angka yang dipakai untuk mencari keseimbangan perbandingan tunjangan kinerja Pegawai Negeri kelas tertinggi

dengan tunjangan kinerja Pegawai Negeri kelas terendah, untuk melandaikan pebedaan penghasilan tersebut. e. Indeks tunjangan kinerja daerah provinsi (Locality-Based Comparability Payments/Locality Pay Rate) ditetapkan untuk mewujudkan penghasilan yang adil bagi Pegawai Negeri yang bekerja di berbagai daerah provinsi dengan tingkat kemahalan yang berbeda-beda. Indeks tunjangan kinerja daerah provinsi dihitung berdasarkan UMRP yang berbeda-beda di daerah provinsi.

Selain itu, dalam paparan Menteri PAN dan RB pada Seminar Reformasi

Birokrasi di UNM (26 Mei 2012) terungkap bahwa banyak pejabat eselon I dan II yang dengan sengaja tidak mengikutkan instansinya dalam program reformasi birokrasi karena mempertimbangkan besaran tunjangan kinerja yang rata-rata besarannya hanya 40% dari tunjangan-tunjangan dan honorarium atau yang dikenal dengan take home pay yang diterimanya jika belum mengikuti program reformasi birokrasi. Berbeda dengan pegawai eselon III ke bawah dan non eselon yang sangat mengharapkan memperoleh tunjangan kinerja karena besarannya lebih dari pada take home pay yang diterimanya selama ini. Dengan demikian, tunjangan kinerja harus didasarkan pada kinerja individu yang terukur dengan baik dan dalam penetapan besaran tunjangan kinerja harus mempertimbangkan besaran take home pay yang sebelumnya diterima oleh PNS.

Hal tersebut menunjukkan bahwa pada level eselon I dan II terjadi keengganan untuk mengikuti program reformasi birokrasi, sedangkan pada level eselon III ke bawah dan non eselon tersebut dapat timbul kecemburuan dari pegawai yang instansinya belum mengikuti program reformasi birokrasi terhadap instansi yang telah mengikuti program reformasi birokrasi dan telah menerima tunjangan kinerja, sehingga dapat berdampak pada motivasinya untuk berkinerja.

Bandingkan dengan di Amerika Serikat, dalam Dokumen Introduction to the

Position Classification Standards ditegaskan bahwa untuk menetapkan besaran gaji dalam tabel GS berdasarkan kinerja, digunakan FES. Standar Primer berfungsi

sebagai "standard-for-standards" untuk Sistem Evaluasi Faktor/Factor Evaluation

System (FES). Deskripsi tingkat faktor untuk standar klasifikasi posisi yang titik dinilai terhadap Standar Primer. Dengan demikian, ia berfungsi sebagai alat dasar untuk menjaga keselarasan di seluruh pekerjaan. Standar Primer memiliki deskripsi dari masing-masing dari sembilan faktor FES dan tingkat dalam setiap faktor serta nilai-nilai titik yang tepat untuk setiap tingkat. Sembilan faktor tersebut adalah:

Faktor 1, Pengetahuan Diperlukan oleh Posisi Faktor 2, Kontrol Pengawas Faktor 3, Pedoman Faktor 4, Kompleksitas Faktor 5, Ruang Lingkup dan Efek Faktor 6, Kontak Pribadi Faktor 7, Tujuan Kontak Faktor 8, Tuntutan Fisik Faktor 9, Lingkungan Kerja

Selain itu, termasuk dalam Standar Primer adalah kelas utama konversi tabel yang menunjukkan rentang titik total (berdasarkan set faktor lengkap) untuk kelas

GS-1 sampai GS-15, sebagai berikut:

Tabel 32 Konversi Grade (Grade Conversion)

GS Grade Point Range

1 190-250 2 255-450 3 455-650 4 655-850 5 855-1100 6 1105-1350 7 1355-1600 8 1605-1850 9 1855-2100 10 2105-2350 11 2355-2750 12 2755-3150 13 3155-3600 14 3605-4050 15 4055-up Sumber: Data U.S. Office of Personnel Management, 2012.

Selanjutnya digunakan data survei gaji dari Bureau of Labor Statistics/BLS

(Departemen Tenaga Kerja AS), digunakan untuk mengatur dan menyesuaikan tingkat gaji General Schedule (GS). BLS adalah lembaga statistik independen yang bertanggung jawab untuk kegiatan kerja mengukur pasar, kondisi kerja, dan perubahan harga dalam perekonomian.

Dalam Pengaturan Pay GS (gaji GS), standar biaya hidup tidak digunakan.

Inilah yang sering disalapahami di antara beberapa karyawan Federal dan lain-lain bahwa kenaikan tingkat gaji GS didasarkan pada harga dan/atau biaya hidup. Ukuran tingkat harga, seperti the BLS Consumer Price Index/CPI (Indeks

Harga Konsumen BLS) tidak digunakan untuk mengatur gaji GS.

Indikator mengenai tingkat gaji non-Federal BLS termasuk the National

Compensation Survey (NCS) yang diproduksi oleh Kantor BLS mengenai kompensasi dan kondisi Kerja. NCS adalah survei gaji non-Federal, upah, dan keuntungan karyawan. Survei ini dirancang untuk menghasilkan data di tingkat lokal, di dalam wilayah yang luas, dan nasional.

NCS inilah yang digunakan untuk mengatur dan menyesuaikan membayar

Daftar Umum (General Schedule/GS):

a. Untuk membayar penyesuaian tahunan sebagai dasar GS berdasarkan ketentuan dari 5 USC 5303, dan b. Untuk wilayah membayar/gaji dalam wilayah geografis terpisah di bawah 5 USC 5304.

Berdasarkan mekanisme tersebut di atas, menurut penulis, penetapan grade tersebut mirip dengan model penetapan grade di Amerika Serikat. Keduanya menggunakan indikator yang mirip, termasuk tidak secara langsung menggunakan indikator biaya hidup/kebutuhan sebagai ukuran, tetapi indikator yang digunakan

Indonesia adalah UMRP yang merupakan standar upah minimun yang memiliki aspek lokalitas, sedangkan di Amerika Serikat menggunakan National

Compensation Survey (NCS) yang merupakan hasil survei gaji non federal (tingkat rata-rata gaji di swasta).

Adapun mengenai mekanisme pemberian tunjangan kinerja, diatur dalam

Peraturan Menteri PAN dan RB No.63 Tahun 2011 pada bagian Lampiran II.4. A, sebagai berikut:

Pemberian Tunjangan Kinerja untuk setiap jabatan yang ada di lingkungan instansi yang telah mendapatkan tunjangan kinerja Reformasi Birokrasi harus didasarkan pada Dokumen Berita Acara Hasil Validasi Job Grading yang ditandatangani oleh Deputi SDM Aparatur Kementerian PAN dan RB, Kepala BKN, dan Sekretaris Kementerian/Lembaga. Tunjangan Kinerja diberikan kepada Pegawai Instansi yang terdiri dari Pegawai Negeri dan Pegawai lain yang berdasarkan Keputusan Pejabat yang berwenang diangkat dalam suatu jabatan datau tugas dan bekerja secara penuh pada satuan organisasi di lingkungan instansi. Tunjangan Kinerja tidak diberikan kepada: 1) Pegawai Instansi yang nyata-nyata tidak mempunyai tugas/jabatan/pekerjaan tertentu pada instansi tersebut; 2) Pegawai Instansi yang diberhentikan untuk sementara atau dinonaktifkan; 3) Pegawai Instansi yang diberhentikan dengan hormat atau tidak dengan hormat; 4) Pegawai Instansi yang diperbantukan/dipekerjakan pada Badan/Instansi lain di luar lingkungan instansi; 5) Pegawai Instansi yang diberikan cuti di luar tanggungan negara atau dalam bebas tugas untuk menjalani masa persiapan pensiun.

Selanjutnya, dalam Peraturan Menteri PAN dan RB No.63 Tahun 2011 pada bagian Lampiran II.4. B, mengatur mengenai Penambahan Tunjangan Kinerja, sebagai berikut:

Pemberian Tunjangan Kinerja sebagaimana dimaksud dalam huruf A di atas tetap dilaksanakan apabila pegawai dapat mempertahankan kinerjanya dengan nilai paling rendah adalah nilai Baik. Jika pegawai mendapatkan nilai kinerja pada tahun berjalan adalah nilai Sangat (Amat) Baik, maka pada tahun berikutnya kepada pegawai tersebut diberikan penambahan tunjangan kinerja paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari selisih tunjangan kinerja antara kelas jabatan 1 (satu) tingkat di atas kelasnya dengan tunjangan yang diterimanya.

Selanjutnya, dalam Peraturan Menteri PAN dan RB No.63 Tahun 2011 pada bagian Lampiran II.4. C, mengatur mengenai Pengurangan Tunjangan Kinerja, sebagai berikut:

(1) Pegawai yang mendapatkan nilai kinerja pada tahun berjalan di bawah nilai Baik, sebagai berikut: a. Pegawai yang mendapatkan nilai kinerja pada tahun berjalan adalah nilai Cukup, maka pada tahun berikutnya kepada pegawai tersebut diberikan pengurangan tunjangan kinerja sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari tunjangan yang diterimanya. b. Pegawai yang mendapatkan nilai kinerja pada tahun berjalan adalah nilai Kurang (Sedang), maka pada tahun berikutnya kepada pegawai tersebut diberikan pengurangan tunjangan kinerja sebesar 50% (lima puluh persen) dari tunjangan yang diterimanya. c. Pegawai yang mendapatkan nilai kinerja pada tahun berjalan adalah nilai Buruk (Kurang),331 maka pada tahun berikutnya kepada pegawai tersebut diberikan pengurangan tunjangan kinerja sebesar 75% (dua puluh lima persen) dari tunjangan yang diterimanya.

Adapun Pelaksanaan Pemberian, Penambahan, dan Pengurangan Tunjangan

Kinerja dan Pagu Anggarannya, diatur dalam Peraturan Menteri PAN dan RB No.63

Tahun 2011 pada bagian Lampiran II.4. D dan E, sebagai berikut:

D. Pelaksanaan Pemberian, Penambahan, dan Pengurangan Tunjangan Kinerja. Mengingat kondisi dan situasi dari berbagai jenis jabatan di lingkungan intansi yang sangat beragam, maka Pelaksanaan Pemberian, Penambahan, dan Pengurangan Tunjangan Kinerja sebagaimana diuraikan pada Huruf A, Huruf B, dan Huruf C di atas, diatur lebih lanjut dalam peraturan instansi masing-masing.

E. Pagu Anggaran Tunjangan Kinerja. Pemberian, Penambahan, dan Pengurangan Tunjangan Kinerja sebagaimana diuraikan pada Huruf A, Huruf B, dan Huruf C di atas, tidak dapat melebihi pagu anggaran tunjangan kinerja yang ditetapkan pada instansi masing-masing. Penambahan tunjangan kinerja pada pegawai yang berkinerja Sangat (Amat) Baik diambil dari pengurangan tunjangan kinerja pegawai: 1) yang berkinerja Cukup, Kurang (Sedang), maupun Buruk (Kurang);332 2) yang tidak masuk kerja; 3) yang terlambat masuk kerja; dan 4) yang pulang kerja sebelum waktunya.

331 Pengulangan kata “Kurang” untuk dua kategori yang berbeda tersebut sesuai dengan naskah hasil scan, yang penulis download dari situs menpan.go.id. Hal tersebut semakin menimbulkan kesan bahwa penilaian kinerja individu memang belum dilakukan. 332 Pengulangan kata “Kurang” kembali termuat untuk dua kategori yang bebeda tersebut sesuai dengan naskahnya hasil scan yang penulis download dari situs menpan.go.id. Hal tersebut semakin menimbulkan kesan bahwa penilaian kinerja individu memang belum dilakukan.

Menurut penulis, walaupun Peraturan Menteri PAN dan RB No.63 Tahun 2011 tersebut telah mengatur mengenai penambahan dan pengurangan tunjangan kinerja sebagaimana tersebut di atas, tetapi hal tersebut baru didasarkan pada Indikator

Kinerja Utama Instansi, karena belum memiliki ukuran kinerja-kinerja individu.

Ketentuan mengenai penilaian kinerja PNS, sejak tahun 1979 telah diatur dalam

Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1979 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan

Pegawai Negeri Sipil. Namun demikian, kriteria-kriteria dalam menilai kinerja dalam ketentuan tersebut masih bersifat abstrak, tidak spesifik untuk pekerjaan tertentu, tidak terukur secara konsisten, dan hasil penilaian bersifat rahasia, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 6, sebagai berikut:

Pasal 4 (1) Hasil penilaian pelaksanaan pekerjaan Pegawai Negeri Sipil, dituangkan dalam daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan. (2) Dalam Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan unsur-unsur yang dinilai adalah: a. kesetiaan; b. prestasi kerja; c. tanggungjawab; d. ketaatan; e. kejujuran; f. kerjasama; g. prakarsa; dan h. kepemimpinan.

Penjelasan Pasal 4 Ayat (2) huruf b: Prestasi kerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh seorang Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya. Pada umumnya, prestasi kerja seorang Pegawai Negeri Sipil antara lain dipengaruhi oleh kecakapan, ketrampilan, pengalaman, dan kesungguhan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.

Pasal 5 (1) Nilai pelaksanaan pekerjaan dinyatakan dengan sebutan dan angka sebagai berikut: a. amat baik = 91 – 100. b. baik = 76 – 90. c. cukup = 61 – 75. d. sedang = 51 – 60. e. kurang = 50 ke bawah. (2) Pedoman dalam memberikan nilai pelaksanaan pekerjaan Pegawai Negeri Sipil, adalah sebagai tersebut dalam Lampiran Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 6 Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan adalah bersifat rahasia.

Untuk mengatasi kelemahan ketentuan tersebut, pemerintah telah menerbitkan

Peraturan Pemerintah No.46 Tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai

Negeri Sipil sebagai pengganti Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1979 tentang

Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil, yang akan mulai dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2014.333 Di mana pada saat Peraturan

Pemerintah No.46 Tahun 2011 mulai dilaksanakan, Peraturan Pemerintah No.10

Tahun 1979 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.334

Peraturan Pemerintah No.46 Tahun 2011 dibentuk untuk memenuhi ketentuan mengenai penilaian prestasi kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan

Pasal 20 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999.335 Mengingat selama ini,

Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1979 merupakan bentuk pelaksanaan dari ketentuan Pasal 20 Undang-Undang No. 8 Tahun 1974.

Dalam Peraturan Pemerintah No.46 Tahun 2011 pada Pasal 2 dan Pasal 3, diatur mengenai aspek-aspek penilaian prestasi kerja PNS, sebagai berikut:

Pasal 2 Penilaian prestasi kerja PNS bertujuan untuk menjamin objektivitas pembinaan PNS yang dilakukan berdasarkan sistem prestasi kerja dan sistem karier yang dititikberatkan pada sistem prestasi kerja.

Pasal 3 Penilaian prestasi kerja PNS dilakukan berdasarkan prinsip: a. objektif; b. terukur; c. akuntabel; d. partisipatif; dan e. transparan.

333 Peraturan Pemerintah No.46 Tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil, Pasal 33.

334 Ibid, pada Pasal 31.

335 Ibid, pada bagian Menimbang, huruf c.

Pasal 4 Penilaian prestasi kerja PNS terdiri atas unsur: a. SKP; dan b. perilaku kerja.

Selanjutnya, dalam Peraturan Pemerintah No.46 Tahun 2011 pada Pasal 5 sampai dengan Pasal 6, diatur mengenai kewajiban bagi PNS untuk menyusun

Sasaran Kerja Pegawai (SKP), sebagai berikut:

Pasal 5 (1) Setiap PNS wajib menyusun SKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a berdasarkan rencana kerja tahunan instansi. (2) SKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat kegiatan tugas jabatan dan target yang harus dicapai dalam kurun waktu penilaian yang bersifat nyata dan dapat diukur. (3) SKP yang telah disusun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disetujui dan ditetapkan oleh pejabat penilai. (4) Dalam hal SKP yang disusun oleh PNS tidak disetujui oleh pejabat penilai maka keputusannya diserahkan kepada atasan pejabat penilai dan bersifat final.

Penjelasan Pasal 5 Ayat (3) Dalam menetapkan SKP, pejabat penilai harus mempertimbangkan usul bawahan dan waktu penyelesaian beban kerja unit organisasi.

Pasal 6 PNS yang tidak menyusun SKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dijatuhi hukuman disiplin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai disiplin PNS.

Lebih lanjut, dalam Peraturan Pemerintah No.46 Tahun 2011 pada Pasal 7 sampai dengan Pasal 9, diatur mengenai aspek penilaian terhadap Sasaran Kerja

Pegawai (SKP), sebagai berikut:

Pasal 7 (1) SKP yang telah disetujui dan ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 menjadi dasar penilaian bagi pejabat penilai. (2) Penilaian SKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi aspek: a. kuantitas; b. kualitas; c. waktu; dan d. biaya.

(3) Penilaian SKP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit meliputi aspek kuantitas, kualitas, dan waktu, sesuai dengan karakteristik, sifat, dan jenis kegiatan pada masing-masing unit kerja. (4) Dalam hal kegiatan tugas jabatan didukung oleh anggaran maka penilaian SKP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), meliputi pula aspek biaya. (5) Berdasarkan aspek sebagaimana dimaksud pada ayat (2), setiap instansi menyusun dan menetapkan standar teknis kegiatan sesuai dengan karakteristik, sifat, jenis kegiatan, dan kebutuhan tugas masing-masing jabatan. (6) Instansi dalam menyusun standar teknis kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Kepala Badan Kepegawaian Negara.

Pasal 8 (1) Penilaian SKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a dilakukan dengan cara membandingkan antara realisasi kerja dengan target. (2) Dalam hal realisasi kerja melebihi dari target maka penilaian SKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) capaiannya dapat lebih dari 100 (seratus).

Pasal 9 Dalam hal SKP tidak tercapai yang diakibatkan oleh faktor diluar kemampuan individu PNS maka penilaian didasarkan pada pertimbangan kondisi penyebabnya.

Lebih lanjut, Peraturan Pemerintah No.46 Tahun 2011 pada Pasal 12 sampai dengan Pasal 13, diatur mengenai aspek penilaian terhadap perilaku kerja pegawai, sebagai berikut:

Pasal 12 (1) Penilaian perilaku kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b meliputi aspek: a. orientasi pelayanan; b. integritas; c. komitmen; d. disiplin; e. kerja sama; dan f. kepemimpinan. (2) Penilaian kepemimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f hanya dilakukan bagi PNS yang menduduki jabatan struktural.

Pasal 13 (1) Penilaian perilaku kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dilakukan melalui pengamatan oleh pejabat penilai terhadap PNS sesuai kriteria yang ditentukan. (2) Pejabat penilai dalam melakukan penilaian perilaku kerja PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mempertimbangkan masukan dari pejabat penilai lain yang setingkat di lingkungan unit kerja masing-masing.

(3) Nilai perilaku kerja dapat diberikan paling tinggi 100 (seratus).

Adapun tata cara penilaian diatur dalam Peraturan Pemerintah No.46 Tahun

2011 pada Pasal 15 dan Pasal 17, sebagai berikut:

Pasal 15 (1) Penilaian prestasi kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dilakukan dengan cara menggabungkan penilaian SKP dengan penilaian perilaku kerja. (2) Bobot nilai unsur SKP 60% (enam puluh persen) dan perilaku kerja 40% (empat puluh persen).

Pasal 17 Nilai prestasi kerja PNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dinyatakan dengan angka dan sebutan sebagai berikut: a. 91 – ke atas: sangat baik b. 76 – 90: baik c. 61 – 75: cukup d. 51 – 60: kurang e. 50 ke bawah: buruk

Namun demikian, SKP yang akan diterapkan ternyata belum disertai indikator- indikator kinerja untuk masing-masing pekerjaan, sehingga SKP hanya dibuat berdasarkan hasil negosiasi antara atasan dan bawahan, sehingga belum terstandar secara spesifik untuk jenis pekerjaan tertentu, sehingga setiap instansi perlu menyiapkan standar sesuai kebutuhan masing-masing jabatan yang ada. Selain itu, nilai perilaku kerja masih abstrak sehingga akan mengakibatkan penilaian prestasi kerja menjadi bias.

Hal ini mirip sekali dengan penerapan model evaluasi kinerja menggunakan kontrak untuk level manager yang dapat dinegosiasikan. Di Amerika Serikat dan

Jerman, kontrak kinerja hanya digunakan untuk level atas, sedangkan untuk level menegah ke bawah hampir seluruhnya sudah memiliki indikator-indikator kinerja, yang di Amerika Serikat ditetapkan dalam deskripsi pekerjaan, sebagaimana akan dibahas lebih lanjut.

Kebijakan pemberian tunjangan kinerja dilaksanakan dalam kaitan mendorong kinerja PNS tersebut ternyata belum mampu mendorong kinerja optimal PNS. Hal ini terekam dari hasil jajak pendapat Kompas pada awal Maret 2012 terhadap 810 responden di 12 kota, yang dipublikasikan oleh Kompas.com (5 Maret 2012). Hasil jajak pendapat publik tersebut menilai kebijakan pemerintah meningkatkan gaji dan remunerasi (tunjangan kinerja) pegawai negeri tidak menjamin perbaikan kinerja aparatur negara. Terdapat 78,4% responden yang meragukan kebijakan kenaikan gaji dan remunerasi mampu mengubah secara positif kinerja birokrasi.

Kinerja buruk mengakibatkan rendahnya kualitas layanan publik yang diberikan aparat birokrasi. Penilaian negatif tersebut dikemukakan 80,7% responden, yang menyatakan bahwa pemerintah belum berhasil meningkatkan kualitas layanan publik.

Berbeda dengan hal tersebut, remunerasi PNS di Jerman hanya didasarkan pada basis pemenuhan hak, yakni berdasarkan status/kedudukan sebagai PNS, namun demikian pemerintah Jerman juga telah mulai menetapkan gaji kinerja bagi

PNS secara terbatas.

Menurut Nick Manning dan Dove Suzanne dalam publikasi The World Bank (7

Juni 2012), di Jerman, remunerasi (remuneration) diberikan karena posisi/jabatan/kedudukan PNS (beamte) bukan karena kinerja. Ekspresi terkuat dari hal ini dapat ditemukan dalam kebijakan penggajian di Jerman bagi PNS

(Beamte). Untuk kelompok ini, gaji secara tradisional tidak dianggap sebagai imbalan atas pekerjaan yang dilakukan atau untuk kinerja dari fungsi, tetapi sebagai sarana dari mata pencaharian terkait jabatan. Remunerasi ini dimaksudkan untuk memungkinkan beamte untuk memberikan komitmen penuh untuk tugas pelayanan mereka kepada negara dan untuk hidup pada standar yang tepat untuk peringkat

mereka. Kinerja yang baik mengikuti kesadaran terhadap tugas mereka dan bukan dari gaji mereka.

Remunerasi dapat dibayarkan hanya atas dasar prinsip-prinsip hukum. Dalam menilai apa gaji yang sesuai, namun, legislatif memiliki diskresi luas.

Alimentationsprinzip ini adalah sebuah dasar pengukuran keseluruhan struktur dan besaran gaji, sebagaimana publikasi Bundesministerium des Innern (1 November

2012).

Kelas (Grade) didasarkan pada Alimentationsprinzip. Ini adalah salah satu prinsip tradisional yang dijamin konstitusional bagi PNS profesional (Pasal 33 ayat

(5) Undang-Undang Dasar/Grundgesetzes/GG). Gaji digunakan untuk memastikan bahwa pejabat atau petugas dapat berkonsentrasi sepenuhnya pada pekerjaan. Hanya layanan sipil yang mandiri secara ekonomi dapat melakukan tugas yang diberikan kepadanya oleh konstitusi. Tidak seperti karyawan publik, gaji PNS tidak merupakan remunerasi langsung untuk kerja individu yang dilakukan, tapi kembali untuk mereka dengan segala tenaga kerjanya kepada negara untuk menyediakan dan kewajiban layanan mereka.

Di Jerman, loyalitas PNS harus dipastikan dengan penerapan Undang-Undang

Dasar yang mempercayakan tugas yang harus dipenuhi untuk kepentingan warga dengan benar dan terus-menerus. Legalitas tindakan administratif dan keandalan kinerja tugas membutuhkan PNS, terutama di mana negara harus campur tangan dalam kepentingan publik terkait hak-hak individu, sehingga berfungsi dalam pelaksanaan monopoli negara.

Undang-Undang Dasar pada Pasal 33 ayat (4) mengamanatkan bahwa pelaksanaan otoritas publik ditransfer ke misi yang berkelanjutan, lazimnya oleh

PNS. Latar belakang aturan ini adalah tugas khusus dari loyalitas PNS. Hal ini

terutama di mana negara harus campur tangan dalam kepentingan publik terkait hak dan kewajiban individu, dalam pelaksanaan monopoli negara. Secara umum diterima bahwa dalam intervensi administrasi klasik (polisi, pemadam kebakaran, bea cukai dan administrasi pajak dan pemasyarakatan) pada dasarnya harus dikerjakan oleh PNS. Tingkat senior di lembaga federal dan negara tertinggi dan layanan diplomatik akan diisi oleh PNS.

Untuk hal tersebut terdapat argumen yang signifikan, yakni ini merupakan larangan pemogokan untuk PNS. Ini merupakan indikasi tugas fidusia khusus untuk majikan mereka dan memastikan bahwa misalnya polisi, pemadam kebakaran, dan pengadilan serta kementerian federal dan negara selalu mampu bekerja.

Selain itu ada rincian lebih lanjut, bahwa PNS tidak bekerja atas dasar kontrak kerja. Hubungan kerja mereka didirikan oleh pemerintah atas dasar Ernennungsakt sepihak, yaitu penerbitan surat penunjukan. Gaji mereka diatur oleh hukum dan tidak bisa ditawar. Untuk mengkompensasi hal ini tugas khusus mengikat mereka, setelah masa percobaan, diangkat seumur hidup. Ini memastikan secara simultan independensi tertentu PNS terhadap garis otoritas politik.

Pemenuhan kesejahteraan ini amanat Undang-Undang Dasar untuk kebutuhan posisi tugas yang kuat, tetapi juga bahwa para pejabat akan diangkat secara legal sehingga supremasi hukum dan tugas-tugas resmi terjaga independensinya tanpa terganggu pemenuhan kebutuhan hidup. Kemandirian resmi ini terletak terutama melalui perekrutan PNS pada umumnya, gaji yang wajar untuk hidup dan pensiun serta hak sesuai tugas resmi. Terutama "perlindungan kerja", yaitu pemberhentian jabatan hanya dapat terjadi dalam kasus hukum yang sudah memperoleh putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, sekalipun untuk hukuman pidana penjara minimal enam bulan apabila melakukan tindakan membahayakan hukum

konstitusi federal demokratis secara sengaja. PNS tidak boleh dipaksa dengan ancaman pemecatan yang tidak sesuai dengan Konstitusi Federal.336

Dengan demikian, PNS di Jerman harus setia kepada Konstitusi Federal berikut tugas resminya yang sejalan dengan Konstitusi Federal serta dilindungi dari ancaman pemecatan yang tidak sejalan dengan Konstitusi Federal. Hal tersebut berbeda dengan kondisi di Indonesia dimana PNS diwajibkan untuk setia kepada pemerintah, yang dapat menimbulkan sikap ambigu bagi PNS apabila ternyata pemerintah memberikan perintah yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan Pasal 27 Ayat (2) dan Pasal 42a Ayat (1)

Bundesbesoldungsgesetzes (Undang-Undang Gaji Federal) sebagaimana telah diubah pada tanggal 19 Juni 2009 (BGBl. I S. 1434) Dekrit Pemerintah Federal,

Order Federal untuk Membayar Melalui Instrumen Kerja (Verordnung des Bundes

über leistungsbezogene Besoldungsinstrumente/BLBV) pada Pasal 1 mengatur bahwa cakupan penerima bonus kinerja adalah berlaku untuk gaji-penerima dan penerima nilai gaji Federal di skala A.337

Selanjutnya dalam dalam pasal 4 BLBV diatur mengenai bonus kinerja, bahwa bonus kinerja dalam pengakuan kinerja khusus yang luar biasa, mereka harus

336§48 Verlust der Beamtenrechte auf Grund eines Strafurteils Das Beamtenverhältnis eines Beamten, der im ordentlichen Strafverfahren durch das Urteil eines deutschen Gerichts im Geltungsbereich dieses Gesetzes 1. wegen einer vorsätzlichen Tat zu Freiheitsstrafe von mindestens einem Jahr oder 2. wegen einer vorsätzlichen Tat, die nach den Vorschriften über Friedensverrat, Hochverrat, Gefährdung des demokratischen Rechtsstaates oder Landesverrat und Gefährdung der äußeren Sicherheit strafbar ist, zu Freiheitsstrafe von mindestens sechs Monaten verurteilt wird, endet mit der Rechtskraft des Urteils. Entsprechendes gilt, wenn dem Beamten die Fähigkeit zur Bekleidung öffentlicher Ämter aberkannt wird oder wenn der Beamte auf Grund einer Entscheidung des Bundesverfassungsgerichts gemäß Artikel 18 des Grundgesetzes ein Grundrecht verwirkt hat.

337§ 1 Geltungsbereich Diese Verordnung gilt für Besoldungsempfängerinnen und Besoldungsempfänger des Bundes in Besoldungsgruppen der Bundesbesoldungsordnung A.

berada dalam hubungan temporal yang erat dengan kinerja. Bonus kinerja akan dibayarkan sebagai lumpsum. Tingkat layanan ini disediakan untuk dimensi yang sesuai. Ini dapat diberikan suatu jumlah sampai dengan jumlah gaji pokok awal kelas milik penerima atau penerima kelas pada saat penetapan gaji.338

Lebih lanjut, dalam Pasal 5 BLBV diatur mengenai bonus insentif. Bonus Insentif diberikan sebagai pengakuan khusus prestasi. Jumlah dan durasi bonus dihitung sesuai dengan kinerja layanan. Itu adalah jumlah bulanan hingga 7 persen gaji pokok awal kelas dapat diberikan.339

Adapun alokasi pilihan pemberiannya diatur dalam Pasal 6 BLBV, dimana jumlah total yang diberikan dalam satu tahun kalender pada tingkat kinerja tidak boleh melebihi 15 persen dari jumlah karyawan pada 1 Januari untuk penerima kelas dan penerima gaji dalam skala gaji federal pada grup/kelas A yang belum mencapai akhir gaji pokok, tidak melebihinya. 340

338 § 4 Leistungsprämie (1) Die Leistungsprämie dient der Anerkennung einer herausragenden besonderen Leistung; sie soll in engem zeitlichen Zusammenhang mit der Leistung stehen. (2) Die Leistungsprämie wird als Einmalzahlung gewährt. Die Höhe ist der erbrachten Leistung entsprechend zu bemessen. Es kann ein Betrag bis zur Höhe des Anfangsgrundgehaltes der Besoldungsgruppe gewährt werden, der die Besoldungsempfängerin oder der Besoldungsempfänger zum Zeitpunkt der Entscheidung angehört.

339 § 5 Leistungszulage (1) Die Leistungszulage dient der Anerkennung einer herausragenden besonderen Leistung, die bereits über einen Zeitraum von mindestens drei Monaten erbracht worden ist und auch für die Zukunft erwartet wird. Zugleich ist sie Anreiz, diese Leistung auch künftig zu erbringen. Die Leistungszulage kann für bis zu drei Monate rückwirkend gewährt werden. Bei Leistungsabfall ist sie für die Zukunft zu widerrufen. (2) Die Höhe und die Dauer der Gewährung sind der erbrachten Leistung entsprechend zu bemessen. Es kann monatlich ein Betrag bis zur Höhe von 7 Prozent des Anfangsgrundgehaltes der Besoldungsgruppe gewährt werden, der die Besoldungsempfängerin oder der Besoldungsempfänger bei der Festsetzung der Leistungszulage angehört. Die Leistungszulage darf längstens für einen zusammenhängenden Zeitraum von einem Jahr gewährt werden; innerhalb dieses Zeitraums ist die Verlängerung der Zahlung zulässig. Eine weitere Leistungszulage darf frühestens ein Jahr nach Ablauf dieses Zeitraums gewährt werden. Die Leistungszulage wird nachträglich gezahlt.

340 § 6 Vergabemöglichkeiten (1) Die Zahl der in einem Kalenderjahr bei einem Dienstherrn vergebenen Leistungsstufen darf 15 Prozent der Zahl der bei dem Dienstherrn am 1. Januar vorhandenen Besoldungsempfängerinnen und Besoldungsempfänger in Besoldungsgruppen der Bundesbesoldungsordnung A, die das Endgrundgehalt noch nicht erreicht haben, nicht übersteigen. Bei Anstalten, Stiftungen und Körperschaften mit weniger als sieben Besoldungsempfängerinnen und Besoldungsempfängern in Besoldungsgruppen der Bundesbesoldungsordnung A, die das Endgrundgehalt noch nicht erreicht haben, kann in jedem

Tujuan dari bonus kinerja dan bonus insentif adalah untuk memperkuat

Eigenverantwortung (“rasa kepemilikan/tanggung jawab pribadi”), motivasi dan kinerja dalam pelayanan publik dan menghargai prestasi karyawan yang berkualitas dan finansial. Gaji kinerja ini didasarkan evaluasi kinerja menjelang kesepakatan target atau proses review terstruktur. Evaluasi kinerja harus memahami, tepat waktu, non-diskriminatif dan memperhitungkan waktu tertentu dan situasi yang tepat untuk mencapai penerimaan yang diperlukan antara para pemangku kepentingan dan tindakan yang sangat berdedikasi dan independen dari PNS. Oleh karena itu, The

“Guide to Performance" (Der "Leitfaden Leistungsbewertung") dimaksudkan sebagai panduan bagi kementerian dan untuk pertimbangan yang akan datang dan diskusi dengan staf mengenai: pengukuran kinerja dan evaluasi kinerja, proses evaluasi kinerja, alat pengukuran yang tersedia, dan hal-hal yang harus dipertimbangkan ketika memperkenalkan sistem penilaian kinerja yang baru (Bundesministerium des

Innern, 2 November 2012).

Di Amerika Serikat, remunerasi berbasis orientasi kinerja diatur Dalam Section

2301, Title 5, United States Code pada huruf (b), yang mengatur bahwa manajemen personil federal harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip merit sistem, diantaranya adalah gaji yang sesuai harus disediakan untuk pekerjaan yang sama nilainya, dengan pertimbangan yang tepat dari tingkat nasional dan lokal yang dibayarkan oleh pemberi kerja di sektor swasta, dan “insentif” yang tepat dan pengakuan harus disediakan untuk keunggulan dalam kinerja, sebagai berikut:

§ 2301 Merit System Principles (b) Federal personnel management should be implemented consistent with the following merit system principles:

Kalenderjahr einer Besoldungsempfängerin oder einem Besoldungsempfänger eine Leistungsstufe gewährt werden.

(3) Equal pay should be provided for work of equal value, with appropriate consideration of both national and local rates paid by employers in the private sector, and appropriate incentives and recognition should be provided for excellence in performance.

Bahkan, kinerja seseorang dapat menyebabkan perubahan kelas pekerjaan, sebagaimana diatur dalam Dokumen Introduction to the Position Classification

Standards.

Dalam Civil Service Reform Act of 1978 (Undang-Undang Reformasi

Kepegawaian Negeri Sipil Tahun 1978) pada Section 4302, diatur mengenai pembentukan sistem penilaian kinerja, sebagai berikut:341

(a) Setiap instansi harus mengembangkan satu atau lebih sistem penilaian kinerja yang: (1) menyediakan penilaian berkala kinerja karyawan; (2) mendorong partisipasi karyawan dalam menetapkan standar kinerja, dan (3) menggunakan hasil dari penilaian kinerja sebagai dasar untuk pelatihan, penghargaan, karyawan pemindahan, mempromosikan, mengurangi di kelas, mempertahankan, dan menghapus; (b) Berdasarkan peraturan yang Kantor Manajemen Personalia harus menetapkan, setiap sistem penilaian kinerja harus menyediakan: (1) menetapkan standar kinerja yang akan, semaksimal mungkin, memungkinkan evaluasi akurat dari kinerja pekerjaan atas dasar kriteria obyektif (yang mungkin termasuk tingkat kesopanan menunjukkan

341 Section 4302 Establishment of performance appraisal system (a) Each agency shall develop one or more performance appraisal systems which --, (1) provide for periodic appraisals of job performance of employees; (2) encourage employee participation in establishing performance standards; and (3) use the results of performance appraisals as a basis for training, rewarding, reassigning, promoting, reducing in grade, retaining, and removing employees; (b) Under regulations which the Office of Personnel Management shall prescribe, each performance appraisal system shall provide for --, (1) establishing performance standards which will, to the maximum extent feasible, permit the accurate evaluation of job performance on the basis of objective criteria (which may include the extent of courtesy demonstrated to the public) related to the job in question for each employee or position under the system; (2) as soon as practicable, but not later than October 1, 1981, with respect to initial appraisal periods, and thereafter at the beginning of each following appraisal period, communicating to each employee the performance standards and the critical elements of the employee's position; (3) evaluating each employee during the appraisal period on such standards; (4) recognizing and rewarding employees whose performance so warrants; (5) assisting employees in improving unacceptable performance; and (6) reassigning, reducing in grade, or removing employees who continue to have unacceptable performance but only after an opportunity to demonstrate acceptable performance.

kepada masyarakat) yang terkait dengan pekerjaan tersebut untuk masing-masing karyawan atau posisi di bawah sistem; (2) sesegera mungkin, tetapi tidak lebih dari 1 Oktober 1981, sehubungan dengan periode penilaian awal, dan setelah itu pada awal setiap periode penilaian berikut, berkomunikasi dengan setiap karyawan standar kinerja dan unsur-unsur penting dari karyawan Posisi; (3) mengevaluasi setiap karyawan selama periode penilaian pada standar tersebut; (4) mengakui dan menghargai karyawan yang kinerjanya tinggi; (5) membantu karyawan dalam meningkatkan kinerja tidak dapat diterima, dan (6) pemindahan, mengurangi di kelas, atau menghapus karyawan yang terus memiliki kinerja tidak dapat diterima tetapi hanya setelah kesempatan untuk menunjukkan kinerja yang dapat diterima.

Tugas dan tanggung jawab dari posisi dapat berubah dari waktu ke waktu.

Untuk sebagian besar perubahan ini terjadi akibat reorganisasi, tanggung jawab organisasi baru atau direvisi atau misi, dan perubahan teknologi. Kadang-kadang, bagaimanapun, kemampuan yang unik, pengalaman, atau pengetahuan karyawan tertentu membawa kepada pekerjaan juga dapat memiliki efek pada pekerjaan yang dilakukan dan karena itu pada klasifikasi posisi.

Sementara itu dalam posisi yang diklasifikasikan, hubungan karyawan dengan posisi dapat diakui pada saat kinerja incumbent memperluas sifat atau ruang lingkup dan efek dari pekerjaan yang dilakukan. Misalnya, kemampuan luar biasa dari karyawan dapat menyebabkan daya tarik tugas pekerjaan sangat sulit, kebebasan yang tidak biasa dari pengawasan, wewenang khusus untuk berbicara dan melakukan agen, kontribusi terus efisiensi organisasi dan ekonomi, pengakuan sebagai "pakar" mencari oleh teman sebaya, atau pertimbangan yang sama.

Perubahan tersebut mempengaruhi kesulitan pekerjaan atau tanggung jawab dan kewenangan yang diberikan karyawan dan dapat diakui dalam keputusan klasifikasi posisi.

Perubahan pekerjaan yang dihasilkan dari dampak individu karyawan harus dicatat untuk membedakan posisi dari deskripsi lain perubahan signifikan posisi.

Ketika dalam pekerjaan terjadi karena salah satu macam alasan yang disebutkan di atas, klasifikasi posisi (judul, seri, dan kelas) harus ditinjau ulang dan direvisi sesuai kebutuhan. Ketika posisi yang telah terkena dampak dari seorang individu dikosongkan, biasanya harus kembali ke klasifikasi aslinya.

Bagi yang merasa klasifikasi jabatan yang ditetapkan kepadanya ternyata tidak sesuai, dapat mengajukan banding klasifikasi. Sebelum mengajukan banding, seseorang harus memastikan bahwa deskripsi posisinya mengidentifikasikan tugas utamanya. Karena institusinya bertanggung jawab untuk menetapkan tugas untuk posisinya dan memasukkannya ke dalam deskripsi posisinya saat ini, dan mengklasifikasikan posisi yang sesuai, biasanya pemerintah tidak akan menerima banding sampai institusinya telah memenuhi tanggung jawab ini.

Jika uraian jabatan secara signifikan tidak akurat, ia harus mencoba untuk menyelesaikan masalah dengan membicarakannya dengan atasannya dan mungkin seorang wakil dari kantor sumber daya manusia. Jika ia tidak dapat menyelesaikan masalah pada tingkat ini, ia harus menggunakan prosedur penyampaian keluhan dinegosiasikan atau administratif. Jika ia tidak dapat memperoleh uraian jabatan akurat melalui prosedur keluhan, pemerintah dapat menerima bandingnya dan menentukan klasifikasi yang tepat berdasarkan tugas yang diberikan oleh manajemen dan dilakukannya.

Hal yang dapat dibanding adalah kelas dari posisi individu, seri kerja dari posisi individu, dan kadang-kadang judul posisi individu. Hal yang tidak dapat diajukan banding:

a. isi atau keakuratan uraian jabatan resmi; b. akurasi dari standar klasifikasi; c. sebuah instansi yang diusulkan klasifikasi keputusan; d. klasifikasi posisi yang Anda tidak resmi ditetapkan, atau e. klasifikasi posisi yang Anda rinci atau sementara dipromosikan untuk jangka waktu kurang dari dua tahun.

Terlebih jika yang terjadi adalah salah penurunan pangkat. Jika efek tindakan klasifikasi agen mengakibatkan kerugian aktual dari kelas atau membayar kepada karyawan, dan karyawan mengajukan banding klasifikasi tepat waktu dan bahwa tindakan klasifikasi kemudian ditemukan berada di kesalahan, karyawan berhak untuk tindakan korektif retroaktif. Badan Sistem Banding ini harus meninjau semua tindakan administratif diambil setelah seperti salah penurunan pangkat. Setiap tindakan harus direkonstruksi atas dasar klasifikasi yang benar sebagaimana ditentukan dalam keputusan banding dengan memperhatikan sepenuhnya dengan aturan yang mengatur tanggal efektif. Di kasus ini, karyawan harus diberikan informasi lengkap mengenai kondisi penjamin penyesuaian retroaktif.

Berdasarkan dokumen Introduction to the Position Classification Standards, pegawai kerah putih (PNS) yang dibayar berdasarkan GS menggunakan deskripsi jabatan. Sedangkan yang dibayar berdasarkan SES menggunakan kontrak jabatan.

Sebuah deskripsi jabatan merupakan pernyataan dari tugas utama, tanggung jawab, dan hubungan pengawasan dari posisi tertentu. Deskripsi setiap posisi harus tetap up to date dan termasuk informasi tentang pekerjaan yang signifikan untuk classification. Untuk posisi non pengawas, deskripsi harus mencakup informasi yang cukup sehingga klasifikasi yang tepat dapat dilakukan bila deskripsi yang dilengkapi dengan informasi lain tentang struktur organisasi, misi, dan prosedur. Uraian posisi harus mendefinisikan dengan jelas tugas utama yang ditugaskan dan sifat dan tingkat tanggung jawab untuk melaksanakan tugas tersebut. Persyaratan kualifikasi harus jelas dari membaca deskripsi, dan persyaratan khusus tidak nampak dari deskripsi harus secara spesifik disebutkan dan didukung oleh tugas dijelaskan.

Untuk posisi pengawas, deskripsi harus mengidentifikasi informasi yang diperlukan untuk mengevaluasi posisi dengan kriteria pengawasan yang tepat.

Ruang lingkup dan tingkat tanggung jawab pengawasan merupakan kepentingan utama. Gambaran posisi pengawas tidak perlu menyertakan pembahasan rinci dari pekerjaan yang dilakukan oleh karyawan bawahan. Hal ini penting, bagaimanapun, bahwa ada konsistensi antara atasan dan bawahan deskripsi posisi 'mengenai pengawasan yang diberikan dan diterima. Semua deskripsi posisi harus menyertakan pernyataan yang ditandatangani oleh atasan langsung untuk sertifikasi keakuratan deskripsi posisi.

Bagi eksekutif senior, dalam perkembangannya, bagaimanapun, “fixed term employment contracts” yang digunakan untuk menetapkan syarat kerja, pengaturan gaji dan untuk menentukan persyaratan kinerja. Meskipun bukti pasti mengenai efektivitas, kinerja yang berhubungan dengan gaji menjadi lebih umum. “Fixed term employment contracts” sangat umum untuk posisi senior (Director General,

Permanent Secretary or Agency Head). “Fixed term employment contracts” awalnya diperkenalkan untuk memberikan pejabat sipil senior (the senior civil service) keluwesan lebih (more flexibility). Dalam bentuknya yang lebih baru, yang telah cukup umum di negara-negara OECD, “fixed term employment contracts” juga menghubungkan gaji terhadap kinerja manajerial (The World Bank, 7 Juni 2012).

Dengan demikian, berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, secara sederhana digambarkan basis orientasi kinerja dalam peraturan sistem remunerasi PNS yang diperbandingkan sebagaimana tampak dalam tabel berikut:

Tabel 33 Basis Orientasi Kinerja dalam Peraturan Sistem Remunerasi PNS

No. Indonesia Amerika Serikat Jerman 1. Rasio gaji pokok terendah Rasio gaji pokok terendah Rasio gaji terendah dan tertinggi dan tertinggi adalah 1: 3,65, dan tertinggi adalah 1:11,21, adalah 1:6,77, dan maksimal bisa lebih jika ditambah bisa lebih bagi ES. 1:13,4. tunjangan dan honorarium, tetapi terbatas pada PNS Gaji pokok berdasarkan Gaji pokok ditetapkan tertentu. grade. Grade ditetapkan berdasarkan posisi sesuai berdasarkan posisi dan Alimentationprinzip (loyalitas Tunjangan kinerja diberikan, kinerja individu yang pada Konstitusi Federal). Akan berdasarkan kinerja institusi, diterapkan dengan prinsip tetapi, aspek kinerja sudah belum berdasarkan kinerja equal pay for equal work, mulai diperhitungkan secara individu. yang lazim dikenal sebagai terbatas, yakni 15% PNS terbaik merit (pay) system. mendapat tunjangan kinerja Dengan demikian belum yang besarnya maksimal 1 kali sepenuhnya sejalan dengan gaji pokok. prinsip merit system. Sumber: data sekunder, diolah 2012.

Tabel tersebut menunjukkan bahwa remunerasi PNS di Amerika Serikat telah bertumpu pada teori keadilan distributif dan sejalan dengan prinsip merit pay system ataupun prinsip equal pay for equal work, dengan menetapkan grade tertentu bagi pegawai maupun pelamar yang dinilai berprestasi, di mana grade tertentu tersebut berimplikasi pada besaran gaji PNS, di mana pada umumnya gaji pokok PNS tidak disertai tunjangan, kecuali bagi kondisi khusus yang diberi tunjangan yang besarannya tidak lebih dari 25% dari gaji pokoknya. Adapun bagi pegawai eksekutif senior diberikan berbagai macam tunjangan dan insentif yang dapat lebih besar dari

25% gaji pokok, berdasarkan luasnya tanggung jawabnya.

Berbeda dengan di Indonesia yang belum sepenuhnya bertumpu pada teori keadilan distributif dan belum sepenuhnya sejalan prinsip merit pay system/prinsip equal pay for equal work, karena belum memiliki standar kinerja untuk setiap jabatan pemerintahan, sehingga sulit mengukur kinerja individu sebagai dasar penggajian.

Adapun remunerasi PNS di Jerman walaupun telah bertumpu pada teori keadilan distributif tetapi cenderung tidak sejalan dengan prinsip merit (pay) system, karena berdasarkan alimentationprinzip, yakni remunerasi diberikan untuk menjamin

loyalitas PNS terhadap Konstitusi Federal. Oleh karena itu, besaran remunerasi sangat tergantung tanggung jawab dari tugas yang diemban oleh PNS, kebutuhan hidup, kemampuan keuangan nasional, serta kondisi perekonomian di Jerman.

Namun demikian, Jerman sudah mulai tertarik pula untuk menerapkan merit pay system dengan menerapkan secara terbatas, yakni hanya bagi 15% PNS yang berkinerja terbaik yang diberikan gaji kinerja yang besarnya tidak lebih dari satu kali gaji pokok.

Apabila dibandingkan dengan rancangan pengaturan penggajian dalam RUU

ASN menunjukkan bahwa RUU tersebut mulai mengarah pada perbaikan gaji pokok yang lebih besar dengan membatasi pemberian tunjangan yang tidak boleh lebih besar dari pada gaji pokok. Akan tetapi, rancangan tersebut barulah dapat berjalan apabila pemerintah memiliki kemampuan keuangan yang memadai atau jika pemerintah mampu membuat skema pensiun yang mampu mengatasi hal tersebut, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

Dalam RUU ASN pada Pasal 75 diatur mengenai penggajian, sebagai berikut:

(1) Pemerintah wajib membayar gaji yang adil dan layak kepada PNS sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggung jawab PNS. (2) Gaji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memacu produktivitas dan menjamin kesejahteraan PNS. (3) Gaji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Selanjutnya dalam Pasal 76 diatur mengenai tunjangan PNS sebagai berikut:

(1) Selain gaji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75, PNS juga menerima tunjangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh melebihi gaji.

Dalam mendorong produktivitas PNS, dalam RUU ASN dirancang pengaturan kontrak kinerja yang menggunakan sasaran kinerja individu sebagai turunan dari sasaran kinerja organisasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 73, bahwa:

(1) Penilaian kinerja PNS berada di bawah kewenangan Pejabat yang Berwenang pada Instansi masing-masing. (2) Penilaian kinerja PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didelegasikan secara berjenjang kepada atasan langsung dari PNS. (3) Penilaian kinerja PNS dapat juga dilakukan oleh bawahan kepada atasannya. (4) Penilaian kinerja PNS dilakukan berdasarkan perencanaan kinerja pada tingkat individu dan tingkat unit atau organisasi, dengan memperhatikan target, sasaran, hasil, dan manfaat yang dicapai. (5) Penilaian kinerja PNS dilakukan secara obyektif, terukur, akuntabel, partisipasi, dan transparan. (6) Hasil penilaian kinerja PNS disampaikan kepada Tim Penilai Kinerja PNS. (7) Hasil penilaian kinerja PNS dimanfaatkan untuk menjamin obyektivitas dalam pengembangan PNS, dan dijadikan sebagai persyaratan dalam pengangkatan jabatan dan kenaikan pangkat, pemberian tunjangan dan sanksi, mutasi, dan promosi, serta untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan.

Dalam Naskah Akademik RUU ASN dijelaskan hal yang sama dengan rancangan pengaturan tersebut di atas.

Menurut penulis, tanpa standar kinerja untuk tiap jabatan dalam pemerintahan, maka akan sulit untuk mendorong kinerja individu dalam menghasilkan kinerja yang optimal. Di Amerika Serikat, kontrak kinerja hanya digunakan untuk pemangku jabatan eksekutif senior, sedangkan pegawai kerah putih (white collar)/PNS menggunakan deskripsi pekerjaan yang ditetapkan oleh atasannya berdasarkan standar kinerja yang tersedia untuk hampir semua jabatan dalam pemerintahannya.

Adapun penggunaan kontrak kerja hanya untuk jabatan managerial (eksekutif senior) tersebut berdasarkan pertimbangan pemberian fleksibiltas dan kendali atas pekerjaannya. Secara teoritik MBO (Management by Objectives) yang wujudnya adalah kontrak kerja tidak cocok digunakan untuk jabatan non managerial dalam sistem kepegawaian negeri sipil. Penekanan pada hukuman akibat tidak terpenuhinya tujuan akan meniadakan pengembangan dan sifat partisipatif dari

MBO.

D. Peraturan Sistem Penegakan Disiplin PNS

Peraturan sistem penegakan disiplin PNS adalah bentuk pengaturan hukum terhadap cara mengoreksi perilaku PNS untuk menciptakan kondisi teratur atau pola perilaku dalam bekerja secara efektif dengan memberikan hukuman terhadap pelanggaran aturan tersebut.

Peraturan sistem penegakan disiplin PNS digambarkan dan diperjelas dengan aspek sanksi disipliner dan prosedur korektif. Aspek sanksi disipliner digunakan untuk mengetahui apakah telah ditetapkan jenis-jenis tindakan koreksi yang sesuai/setimpal dengan pelanggaran, sedangkan aspek prosedur korektif digunakan untuk mengetahui apakah telah ditetapkan prosedur yang progresif dalam arti segera dan bertahap dalam pengenaan hukuman guna memungkinkan pelanggar untuk memperbaiki diri.

Undang-Undang No.8 Tahun 1974 pada Pasal 29 mengatur mengenai disiplin

PNS, sebagai berikut:

Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam peraturan perundang-undangan pidana, maka untuk menjamin tata tertib dan kelancaran pelaksanaan tugas, diadakan Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Selanjutnya, pada bagian Penjelasan, dijelaskan bahwa peraturan disiplin adalah suatu peraturan yang memuat keharusan, larangan, dan sanksi, apabila keharusan tidak diturut atau larangan itu dilanggar. Untuk menjamin tata tertib dan kelancaran pelaksanaan tugas, maka dengan tidak mengurangi ketentuan dalam peraturan perundang-undangan pidana, diadakan Peraturan Disiplin PNS.

Lebih lanjut, dalam Pasal 30 didelegasikan peraturan disiplin PNS untuk diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Penjabaran ketentuan Pasal 30 UU No.43 Tahun 1999 tersebut, diatur dengan

Peraturan Pemerintah No.53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS, yang menggantikan

Peraturan Pemerintah No.30 Tahun 1980 tentang peraturan disiplin PNS yang

sesungguhnya merupakan penjabaran dari Pasal 29 Undang-Undang No.8 Tahun

1974. Pengaturan dalam Peraturan Pemerintah No.53 Tahun 2010 kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Kepala BKN No.21 tahun 2010 tentang

Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No.53 Tahun 2010 tentang Disiplin

PNS. Di samping itu, terdapat ketentuan dalam Peraturan Menteri PAN dan RB No.

63 Tahun 2011 tentang Pedoman Penataan Sistem Tunjangan Kinerja Pegawai

Negeri dan Peraturan Menteri Keuangan No.41/PMK.01/2011 tentang Penegakan

Disiplin dalam kaitannya dengan Pemberian Tunjangan Khusus Pembinaan

Keuangan Negara kepada Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Kementerian

Keuangan, yang mengaitkan antara disiplin dan pemberian tunjangan kinerja.

Peraturan sistem penegakan disiplin di Jerman secara khusus diatur dalam

Bundesdisziplinargesetzes/BDG (Undang-Undang Disipin Federal). Di Amerika

Serikat, peraturan sistem penegakan disiplin diatur dalam Title 5, United States

Code, Section 2301.

1. Sanksi Disipliner

Sanksi disipliner adalah bentuk tindakan koreksi terhadap suatu perilaku PNS dengan memberikan hukuman yang berimplikasi terhadap remunerasi untuk suatu pelanggaran. Tersedianya berbagai jenis disipliner dapat menunjukkan upaya pemberian sanksi yang sesuai dengan pelanggaran disiplin yang terjadi.

Jenis hukuman disiplin PNS diatur dalam Peraturan Pemerintah No.53 Tahun

2010 pada Pasal 7, sebagai berikut:

(1) Tingkat hukuman disiplin terdiri dari: a. hukuman disiplin ringan; b. hukuman disiplin sedang; dan c. hukuman disiplin berat. (2) Jenis hukuman disiplin ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri dari: a. teguran lisan;

b. teguran tertulis; dan c. pernyataan tidak puas secara tertulis. (3) Jenis hukuman disiplin sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri dari: a. penundaan kenaikan gaji berkala selama 1(satu) tahun; b. penundaan kenaikan pangkat selama 1 (satu) tahun; dan c. penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 1 (satu) tahun. (4) Jenis hukuman disiplin berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri dari: a. penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun; b. pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah; c. pembebasan dari jabatan; d. pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS; dan e. pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS.

Pengaturan jenis disipliner di Indonesia secara garis besar telah menyediakan tiga tingkatan disipliner. Upaya memberikan sanksi yang sesuai dengan besar- kecilnya pelanggaran telah ditunjukkan dengan berbagai jenis disipliner yang disediakan.

Penjabaran lebih lanjut terhadap jenis hukuman displin tersebut diuraikan dalam

Pasal 8 sampai dengan Pasal 10, yang mengatur jenis hukuman yang dikenakan atas pelanggaran terhadap kewajiban PNS, yang pada pokoknya mengatur mengenai:

1. Pengenaan hukuman disiplin ringan bagi setiap pelanggaran terhadap kewajiban

jika ternyata pelanggaran itu berdampak negatif pada unit kerja.

2. Pengenaan hukuman disiplin sedang bagi setiap pelanggaran terhadap kewajiban

jika ternyata pelanggaran itu berdampak negatif pada instansi yang bersangkutan.

3. Pengenaan hukuman disiplin berat bagi setiap pelanggaran terhadap kewajiban

jika ternyata pelanggaran itu berdampak negatif pada pemerintah dan/atau

negara.

Selanjutnya, Pasal 11 sampai dengan Pasal 13, mengatur jenis hukuman yang dikenakan atas pelanggaran terhadap larangan PNS, sebagai berikut:

1. Pengenaan hukuman disiplin ringan bagi setiap pelanggaran terhadap larangan

jika ternyata pelanggaran itu berdampak negatif pada unit kerja.

2. Pengenaan hukuman disiplin sedang bagi setiap pelanggaran terhadap larangan

jika ternyata pelanggaran itu berdampak negatif pada instansi yang bersangkutan.

3. Pengenaan hukuman disiplin berat bagi setiap pelanggaran terhadap larangan

jika ternyata pelanggaran itu berdampak negatif pada pemerintah dan/atau

negara.

Apabila dikaitkan dengan antara pelanggaran disiplin, hukuman disiplin, dan sanksi berupa pemotongan remunerasi (tunjangan kinerja), maka perlu diuraikan pula mengenai Peraturan Menteri PAN dan RB No.63 Tahun 2011 pada bagian

Lampiran II.4. C. pada Ayat (2), yang mengatur mengenai Pengurangan Tunjangan

Kinerja, sebagai berikut:

Pegawai yang tidak masuk kerja pada bulan berjalan, maka pada bulan berikutnya kepada pegawai tersebut diberikan pengurangan tunjangan kinerja: a. sebesar 3% (tiga persen) untuk tiap 1 (satu) hari tidak masuk kerja. b. paling banyak sebesar 100% (seratus persen) untuk tiap 1 (satu) bulan tidak masuk kerja.

Selanjut dalam Ayat (3) diatur bahwa pegawai yang terlambat masuk kerja pada bulan berjalan, maka pada bulan berikutnya kepada pegawai tersebut diberikan pengurangan tunjangan kinerja, sebagai berikut:

Tabel 34 Pengurangan Tunjangan Kinerja Karena Keterlambatan

Keterlambatan Lama Keterlambatan Persentase (TL) Pengurangan TL 1 1 menit s.d.<31 menit 0,5 % TL 2 31 menit s.d.<61 menit 1 % TL 3 61 menit s.d.<91 menit 1,25 % TL 4 >91 menit dan atau tidak mengisi daftar hadir 1,5 % masuk kerja Sumber: Peraturan Menteri PAN dan RB No.63 Tahun 2011 pada bagian Lampiran II.4. C

Lebih lanjut dalam Ayat (4) diatur bahwa pegawai yang pulang kerja sebelum waktunya pada bulan berjalan, maka pada bulan berikutnya pegawai tersebut diberikan pengurangan tunjangan kinerja sebagai berikut:

Tabel 35 Pengurangan Tunjangan Kinerja Karena Pulang Sebelum Waktunya

Pulang Sebelum Lama Meninggalkan Pekerjaan Sebelum Persentase Waktu Waktunya Pengurangan (PSW) PSW 1 1 menit s.d.<31 menit 0,5 % PSW 2 31 menit s.d.<61 menit 1 % PSW 3 61 menit s.d.<91 menit 1,25 % PSW 4 >91 menit dan atau tidak mengisi daftar hadir 1,5 % pulang kantor Sumber: Peraturan Menteri PAN dan RB No.63 Tahun 2011 pada bagian Lampiran II.4. C Menurut penulis, implikasi ketidakdisiplinan terhadap besaran remunerasi tampak pada pengurangan tunjangan kinerja yang secara nyata dapat terukur melalui ketidakhadiran, keterlambatan, dan cepat pulang. Di Jerman dan Amerika

Serikat ketidakpatuhan terhadap masuk kerja mengakibatkan pemotongan gaji. Di

Jerman pemotongan gaji akibat ketidakhadiran merupakan bentuk tanggung jawab kepada Konstitusi Federal, di Amerika pemotongan gaji akibat ketidakhadiran merupakan bentuk motivasional. Model pemotongan ala Amerika Serikat tersebut pada prinsipnya mirip dengan Indonesia, bedanya yang dipotong di Indonesia adalah tunjangan kinerja, bukan gaji pokok. Namun demikian, beberapa jabatan kepegawaian negeri sipil di Amerika Serikat dan Jerman memiliki kelonggaran dalam hal kehadiran dan jam kerja dengan bentuk pengaturan khusus yang lebih efektif dan efisien ataupun dengan mengajukan argumentasi tertentu.

Sebelum Peraturan Menteri PAN dan RB No.63 Tahun 2011 tersebut diterbitkan pada tanggal 28 Desember 2011, Menteri Keuangan telah mengatur hal serupa dan

lebih terinci yang berlaku di lingkungannya sendiri melalui Peraturan Menteri

Keuangan No.41/PMK.01/2011 tentang Penegakan Disiplin dalam kaitannya dengan

Pemberian Tunjangan Khusus Pembinaan Keuangan Negara kepada Pegawai

Negeri Sipil di Lingkungan Kementerian Keuangan, yang diterbitkan pada tanggal 4

Maret 2011.

Peraturan Menteri Keuangan No.41/PMK.01/2011 tersebut didasarkan pada

Peraturan Pemerintah No.53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, dengan mengganti dan mencabut Peraturan Menteri Keuangan No.86/PMK.01/2010 tentang Pemberian dan Pemotongan TKPKN kepada Pegawai di Lingkungan

Kementerian Keuangan dan Peraturan Menteri Keuangan No.87/PMK.01/2010 tentang Pemberian Peringatan Tertulis Kepada Pegawai Di Lingkungan Kementerian

Keuangan, yang keduanya didasarkan pada Peraturan Pemerintah No.30 Tahun

1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Bahkan sebelum Peraturan Menteri Keuangan No.86/PMK.01/2010 dan

Peraturan Menteri Keuangan No.87/PMK.01/2010, telah ada Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 71/PMK.01/2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 19/PMK.01/2007 tentang Pedoman Peningkatan Disiplin PNS di

Lingkungan Departemen Keuangan.

Peraturan Menteri Keuangan No.41/PMK.01/2011 pada Pasal 1 angka 4 menegaskan bahwa yang dimaksud dengan Tunjangan Khusus Pembinaan

Keuangan Negara, yang selanjutnya disingkat TKPKN, adalah penghasilan selain gaji yang diberikan kepada pegawai yang aktif berdasarkan kompetensi dan kinerja.

Selanjutnya dala Pasal 4, diatur sebagai berikut:

(1) Pegawai yang tidak masuk bekerja, terlambat masuk bekerja, dan/atau pulang sebelum waktunya tanpa Alasan yang sah, dinyatakan tidak mematuhi Jam Kerja.

(2) Kepada Pegawai yang tidak masuk bekerja, terlambat masuk bekerja, dan/atau pulang sebelum waktunya tanpa Alasan yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang secara kumulatif sama dengan tidak masuk bekerja selama 4 (empat) hari kerja, diberikan Peringatan Tertulis. (3) Penghitungan tidak masuk bekerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selain berdasarkan ketidakhadiran, juga dihitung dari setiap keterlambatan masuk bekerja dan/atau pulang sebelum waktunya dengan konversi 7 ½ (tujuh setengah) jam keterlambatan/pulang sebelum waktunya dihitung sama dengan 1 (satu) hari tidak masuk bekerja. (4) Pegawai yang tidak mengisi daftar hadir masuk bekerja atau daftar hadir pulang kerja tanpa alasan yang sah, diperhitungkan sebagai keterlambatan masuk bekerja atau pulang sebelum waktunya selama 3¾ (tiga tiga per empat) jam. (5) Penghitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dihitung secara kumulatif mulai bulan Januari sampai dengan bulan Desember tahun berjalan. (6) Dalam hal sebelum akhir tahun Pegawai telah memenuhi unsur secara kumulatif telah tidak masuk bekerja selama 4 (empat) hari, kepada Pegawai yang bersangkutan langsung diberikan Peringatan Tertulis. (7) Peringatan Tertulis dibuat sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.

Lebih lanjut dalam Pasal 9, diatur sebagai berikut:

(1) Pemotongan TKPKN diberlakukan kepada: a. Pegawai yang tidak masuk bekerja; b. Pegawai yang terlambat masuk bekerja; c. Pegawai yang pulang sebelum waktunya; d. Pegawai yang mendapat Peringatan Tertulis; e. Pegawai yang dijatuhi hukuman disiplin; dan/atau f. Pegawai yang dikenakan pemberhentian sementara dari jabatan negeri. (2) Pemotongan TKPKN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam % (perseratus).

Ketentuan tersebut kemudian diuraikan dalam Pasal 10, sebagai berikut:

(1) Kepada Pegawai yang tidak masuk bekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a diberlakukan pemotongan TKPKN sebesar 5% (lima perseratus) untuk tiap 1 (satu) hari tidak masuk bekerja. (2) Kepada Pegawai yang terlambat masuk bekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b, diberlakukan pemotongan TKPKN sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini. (3) Kepada Pegawai yang pulang sebelum waktunya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, diberlakukan pemotongan TKPKN sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.

(4) Pemotongan TKPKN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dihitung secara kumulatif yang dalam 1 (satu) bulan paling banyak sebesar 100% (seratus perseratus).

Adapun ketentuan mengenai persentase pemotongan Tunjangan Khusus

Pembinaan Keuangan Negara (TKPKN) dalam Lampiran III dan IV dalam Peraturan

Menteri Keuangan No.41/PMK.01/2011 tersebut di atas, sama ketentuan yang kemudian diatur dalam Peraturan Menteri PAN dan RB No.63 Tahun 2011 pada bagian Lampiran II.4.C. (3)-(4).

Menurut penulis, ketentuan Peraturan Menteri Keuangan No.41/PMK.01/2011 pada Pasal 4 ayat (4), disatu sisi dapat mengakomodir pegawai yang lupa mengisi daftar hadir, tetapi di sisi lain memberikan peluang untuk disalahgunakan. Adapun

Ketentuan Pasal 4 ayat (6) yang menentukan pemberian peringatan tertulis terhadap pegawai yang telah memenuhi unsur secara kumulatif telah tidak masuk bekerja selama 4 hari hanya dimaksudkan untuk pemotongan tunjangan khusus pembinaan keuangan negara, sedangkan hukuman disiplin berdasarkan Peraturan Pemerintah

No.53 Tahun 2010 akan dikenakan apabila pegawai memenuhi akumulasi 5 hari tidak masuk kerja. Peraturan Menteri Keuangan No.41/PMK.01/2011, hal tersebut dikenai pula pemotongan tunjangan kinerja, sebagaimana dimuat dalam Pasal 12 dan Pasal 13, sebagai berikut:

Pasal 12 Pegawai yang mendapat Peringatan Tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d selain dikenakan potongan TKPKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), juga dikenakan pemotongan TKPKN sebesar 10% (sepuluh per seratus) dari besaran jumlah TKPKN yang diterima Pegawai yang bersangkutan pada bulan berkenaan selama 1 (satu) bulan.

Pasal 13 Terhadap Pegawai yang telah mendapat Peringatan Tertulis namun masih melakukan hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) sehingga memenuhi akumulasi 5 (lima) hari tidak masuk kerja, dikenakan hukuman disiplin berdasarkan Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Keistimewaan dari Peraturan Menteri Keuangan No.41/PMK.01/2011 pada

Pasal 14 dan 15 tersebut dibandingkan Peraturan Menteri PAN dan RB No.63

Tahun 2011 adalah keberadaan pemotongan tunjangan khusus pembinaan keuangan negara bagi pegawai yang dikenai hukuman disiplin berdasarkan

Peraturan Pemerintah No.53 Tahun 2010.

Dalam Pasal 14, diatur mengenai implikasi hukuman disiplin ringan, sedang, dan berat terhadap tunjangan kinerja, sebagai berikut:

(1) Pegawai yang dijatuhi hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf e berdasarkan Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai disiplin Pegawai Negeri Sipil, dikenakan pemotongan TKPKN secara proporsional dengan ketentuan sebagai berikut: a. Hukuman disiplin ringan: 1) Sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) selama 2 (dua) bulan, jika Pegawai dijatuhi hukuman disiplin berupa teguran lisan; 2) Sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) selama 3 (tiga) bulan, jika Pegawai dijatuhi hukuman disiplin berupa teguran tertulis; dan 3) Sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) selama 6 (enam) bulan, jika Pegawai dijatuhi hukuman disiplin berupa pernyataan tidak puas secara tertulis. b. Hukuman disiplin sedang: 1) Sebesar 50% (lima puluh perseratus) selama 6 (enam) bulan, jika Pegawai dijatuhi hukuman disiplin berupa penundaan kenaikan gaji berkala selama 1 (satu) tahun; 2) Sebesar 50% (lima puluh perseratus) selama 9 (sembilan) bulan, jika Pegawai dijatuhi hukuman disiplin berupa penundaan kenaikan pangkat selama 1 (satu) tahun; dan 3) Sebesar 50% (lima puluh perseratus) selama 12 (dua belas) bulan, jika Pegawai dijatuhi hukuman disiplin berupa penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 1 (satu) tahun. c. Hukuman disiplin berat: 1) Sebesar 85% (delapan puluh lima perseratus) selama 12 (dua belas) bulan, jika Pegawai dijatuhi hukuman disiplin berupa penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun; 2) Sebesar 90% (sembilan puluh perseratus) selama 12 (dua belas) bulan, jika Pegawai dijatuhi hukuman disiplin berupa pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah; 3) Sebesar 95% (sembilan puluh lima per seratus) selama 12 (dua belas) bulan, jika Pegawai dijatuhi hukuman disiplin berupa pembebasan dari jabatan; dan 4) Sebesar 100% (seratus per seratus), jika Pegawai dijatuhi hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan

sendiri atau pemberhentian tidak dengan hormat dan mengajukan banding administratif ke Badan Pertimbangan Kepegawaian. (2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 1), angka 2), dan angka 3), bagi Pegawai yang dijatuhi hukuman disiplin tingkat berat karena melakukan pelanggaran terhadap Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, maka terhadap Pegawai yang bersangkutan diberlakukan pemotongan TKPKN sebesar 50% (lima puluh perseratus) selama 12 (dua belas) bulan. (3) Dalam hal banding administratif yang diajukan oleh Pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 4) diterima oleh Badan Pertimbangan Kepegawaian dan hukuman disiplinnya diubah menjadi selain pemberhentian atau hukuman disiplinnya dibatalkan, maka TKPKN Pegawai yang bersangkutan dibayarkan kembali terhitung sejak Pegawai yang bersangkutan diizinkan untuk tetap melaksanakan tugas.

Selanjutnya dalam Pasal 15 diatur mengenai implikasi hukuman pemberhentian sementara terhadap tunjangan kinerja, sebagai berikut:

(1) Kepada Pegawai yang dikenakan pemberhentian sementara dari jabatan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf f karena dilakukan penahanan oleh pihak yang berwajib, diberlakukan pemotongan TKPKN sebesar 100% (seratus perseratus) selama dalam masa pemberhentian sementara dari jabatan negeri. (2) Dalam hal berdasarkan pemeriksaan atau keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap Pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan tidak bersalah, maka TKPKN Pegawai yang dikenakan pemotongan selama masa pemberhentian sementara dari jabatan negeri dibayarkan kembali.

Dalam implementasinya pada Kementerian Keuangan, khususnya Direktorat

Jenderal Pajak, ternyata implikasi remunerasi dari hukuman disiplin ringan, sedang, dan berat belum menjamin kedisiplinan PNS.

Berdasarkan Laporan Tahunan 2011 yang dipublikasikan oleh Direktorat

Jenderal Pajak-Kementerian Keuangan RI. 2012, termuat mengenai pengenaan hukuman terhadap pegawai pada tahun 2010 dan 2011, sebagai berikut:

Tabel 36 Pengenaan Hukuman Terhadap Pegawai Ditjen PajakTahun 2010 – 2011

Jenis Pembinaan/Hukuman 2010 2011

1 2 3 Peringatan: 506 89 Surat Peringatan I 395 43 Surat Peringatan II 79 12 Surat Peringatan III 32 2 Peringatan Tertulis -- 32

Tingkat Ringan: 61 86 Teguran Lisan 23 26 Teguran Tertulis 19 27 Pernyataan Tidak Puas Secara Tertulis 19 33

Tingkat Sedang: 33 43 Penundaan Kenaikan Gaji Berkala 20 17 Penurunan Gaji sebesar 1 kali Kenaikan Gaji Berkala 5 0 Penundaan Kenaikan Pangkat 7 8 Penurunan Pangkat Setingkat Lebih Rendah selama 1 tahun 1 18

1 2 3 Tingkat Berat: 41 41 Penurunan Pangkat Setingkat Lebih Rendah selama 3 tahun 14 5 Penurunan Jabatan 0 0 Pembebasan Jabatan 0 5 Pemberhentian Dengan Hormat Tidak Atas Permintaan Sendiri 10 4 Pemberhentian Tidak Dengan Hormat 17 27

Pemberhentian Sementara (Skorsing) 16 4 Jumlah 657 263 Sumber: Data Laporan Tahunan 2011, Ditjen Pajak 2012.

Dibandingkan dengan jumlah pegawai DJP per awal tahun 2011 sebanyak

32.582 pegawai (100%), tabel di atas menunjukkan trend penurunan persentase

jumlah pegawai yang dijatuhi hukuman, yakni dari 657 orang (2,016%) menjadi 263 orang (0,807%).

Persentase jumlah pegawai yang dijatuhi hukuman disiplin peringatan (khusus hanya ada pada kementerian keuangan), mengalami penurunan signifikan, yakni dari 506 orang (1,553%) menjadi 89 orang (0.273%).

Persentase jumlah pegawai yang dijatuhi hukuman disiplin ringan, mengalami kenaikan, yakni dari 61 orang (0,187%) menjadi 86 orang (0,264%).

Persentase jumlah pegawai yang dijatuhi hukuman disiplin sedang, mengalami kenaikan, yakni dari 33 orang (0,101%) menjadi 43 orang (0,132%). Data tersebut menunjukkan bahwa terdapat trend penurunan penundaan kenaikan gaji berkala dari 20 orang (0,061%) menjadi 17 orang (0,052%), tetapi untuk hukuman penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 1 tahun, mengalami trend kenaikan dari 1 orang (0,003%) menjadi 18 orang (0,055%).

Persentase jumlah pegawai yang dijatuhi hukuman disiplin berat, tidak mengalami perubahan, yakni dari 41 orang (0,126%) menjadi 41 orang (0,126%).

Data tersebut menunjukkan bahwa terdapat trend penurunan untuk hukuman penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 tahun, yakni dari 14 orang

(0,043%) menjadi 5 orang (0,015%), akan tetapi untuk hukuman yang lebih berat yakni pemberhentian tidak dengan hormat, ternyata mengalami peningkatan, yakni dari 17 orang (0,003%) menjadi 27 orang (0,083%).

Apabila dianalisis data tersebut, menunjukkan bahwa terdapat trend penurunan signifikan untuk hukuman disiplin peringatan, tetapi terdapat trend peningkatan untuk hukuman disiplin ringan, sedang dan berat, terutama pada kategori hukuman yang lebih berat. Hal ini bermakna bahwa peraturan sistem penegakan disiplin yang berimplikasi terhadap remunerasi, mampu menekan secara signifikan pelanggaran

disiplin peringatan dengan mewujudkan ketaatan terhadap jam kerja, terutama fingerprint, tetapi belum menjamin ketaatan pada aspek disiplin yang lebih tinggi.

Trend tersebut didukung pula oleh hasil jajak pendapat Kompas pada awal

Maret 2012 terhadap 810 responden di 12 kota, yang dipublikasikan oleh

Kompas.com (5 Maret 2012). Hasil jajak pendapat publik tersebut menilai kebijakan pemerintah untuk meningkatkan disiplin melalui peningkatan gaji dan remunerasi

(tunjangan kinerja) pegawai negeri tidak menjamin perbaikan disiplin aparatur negara, terutama pelanggaran hukum berat. Sebanyak 83% responden menyatakan bahwa kebijakan tersebut tidak akan mengurangi perilaku pelanggaran hukum aparatur negara. Dibandingkan dengan lima tahun sebelumnya, perilaku pelanggaran hukum oleh aparat birokrasi saat ini dinilai makin buruk, diungkapkan oleh 60% responden. Sementara itu, 23,5% responden memandang perilaku pelanggaran hukum sama buruknya dengan masa sebelumnya. Bahkan 90% responden meragukan aparat perpajakan bersih dari tindakan pelanggaran hukum.

Demikian pula hasil rekapitulasi pendapat responden mengenai seberapa jauh peraturan sistem penegakan disiplin yang berimplikasi terhadap remunerasi

(tunjangan kinerja) menjamin kedisiplinan PNS. Dalam hal ini yang dimaksud kedisiplinan adalah ketaatan terhadap peraturan disiplin PNS dan tidak sekadar ketaatan dalam melakukan fingerprint, sebagai berikut:

Tabel 37 Pendapat Responden tentang Peraturan Sistem Penegakan Disiplin yang Berimplikasi terhadap Remunerasi (Tunjangan Kinerja) dalam Menjamin Kedisiplinan PNS

No. Kategori Jawaban Jumlah Persentase 1 Sangat Menjamin 7 6,79% 2 Cukup Menjamin 21 20,39% 3 Kurang Menjamin 29 28,16% 4 Tidak Menjamin 43 41,75% 5 Tidak Tahu 3 2,91% Jumlah 103 100%

Sumber: Data Primer, diolah 2013.

Tabel tersebut memperlihatkan bahwa terdapat 41,75% responden yang menyatakan peraturan tersebut tidak menjamin kedisiplinan PNS. Bahkan jika kemudian dijumlahkan dengan pandangan responden yang menyatakan kurang menjamin, maka terdapat 69,91% responden yang menilai negatif terhadap jaminan dari peraturan tersebut. Adapun yang menilai positif terhadap jaminan kedisplinan dari peraturan tersebut, adalah sebanyak 27,18% responden.

Analisis data ini menunjukkan bahwa terdapat rasio 1:2,57 antara responden yang menilai positif dan responden yang menilai negatif peraturan tersebut. Dengan demikian terdapat kecenderungan bahwa responden meragukan peraturan sistem penegakan disiplin yang berimplikasi terhadap remunerasi (tunjangan kinerja) dapat menjamin kedisiplinan PNS

Dengan demikian, terdapat kecenderungan bahwa peraturan sistem penegakan tersebut menjamin pada tataran disiplin berupa peringatan, yakni ketaatan terhadap pengisian daftar hadir masuk dan pulang (fingerprint) tetapi belum menjamin ketaatan terhadap kedisiplinan PNS pada tataran disiplin ringan, sedang, dan berat.

Sanksi Disipliner di Jerman yang diatur dalam Bundesdisziplinargesetz

(Undang-Undang Disiplin Federal) pada Pasal 5, yang mengatur jenis tindakan disipliner, berupa:342

342 § 5 Arten der Disziplinarmaßnahmen (1) Disziplinarmaßnahmen gegen Beamte sind: 1. Verweis (§ 6) 2. Geldbuße (§ 7) 3. Kürzung der Dienstbezüge (§ 8) 4. Zurückstufung (§ 9) und 5. Entfernung aus dem Beamtenverhältnis (§ 10) . (2) Disziplinarmaßnahmen gegen Ruhestandsbeamte sind: 1. Kürzung des Ruhegehalts (§ 11) und 2. Aberkennung des Ruhegehalts (§ 12). (3) Beamten auf Probe und Beamten auf Widerruf können nur Verweise erteilt und Geldbußen auferlegt werden. Für die Entlassung von Beamten auf Probe und Beamten auf Widerruf wegen eines Dienstvergehens gelten § 34 Abs. 1 Nr.1 und Abs. 3 sowie § 37 des Bundesbeamtengesetzes.

1. Tindakan disipliner terhadap para penjabat jabatan PNS/officer (beamte) adalah:

1) teguran; 2) denda; 3) pengurangan gaji; 4) penurunan pangkat; dan

5) pemecatan.

2. Tindakan disipliner bagi pensiunan PNS adalah: 1) pengurangan/pemotongan

pensiun; dan 2) pembatalan pensiun.

3. Pejabat percobaan dan Calon PNS hanya dapat diberikan teguran dan dikenakan

denda. Untuk pemberhentian seorang pejabat percobaan dan CPNS karena

kesalahan, dilakukan berdasarkan Pasal 34 ayat (1) angka 1 dan ayat (3) maupun

Pasal 37 dari Undang-Undang Kepegawaian Negeri Sipil Federal.

Berbeda dengan di Indonesia, pengaturan jenis disipliner di Jerman mengenakan tindakan pengurangan gaji bagi PNS dan Pensiunan PNS. Di

Indonesia, dilakukan pengurangan/pemotongan tunjangan kinerja apabila terjadi pelanggaran disiplin.

Bundesdisziplinargesetz mengatur lebih lanjut mengenai jenis hukuman disiplin di Jerman yang berimplikasi ada pemotongan gaji pokok.

Denda dapat dikenakan sampai dengan jumlah dari pekerjaan bulanan atau remunerasi pejabat yang akan dikenakan. Denda yang dikenakan terhadap calon penjabat PNS atau remunerasi yang akan dikenakan, denda yang akan dikenakan tidak boleh melebihi jumlah sebesar 500 Euro.343

Pengurangan gaji adalah pengurangan pecahan dalam gaji bulanan PNS sejumlah lebih dari seperlima yang dikenakan maksimal selama tiga tahun. Ini berlaku untuk semua pejabat (officials) yang tercantum dalam keputusan. Pejabat

343 § 7 Geldbuße Die Geldbuße kann bis zur Höhe der monatlichen Dienst- oder Anwärterbezüge des Beamten auferlegt werden. Hat der Beamte keine Dienst- oder Anwärterbezüge, darf die Geldbuße bis zu dem Betrag von 500 Euro auferlegt werden.

yang memiliki hak pensiun dari suatu pekerjaan publik sebelumnya, hal itu tidak terpengaruh oleh pengurangan gaji. Selama gajinya dikurangi, petugas tidak boleh dipromosikan. Periode ini dapat dipersingkat dalm keputusan, apabila merupakan hal yang tepat dalam proses disiplin.344

Demosi (penurunan pangkat) adalah perpindahan petugas dari kantor di jalur yang sama dengan gaji pokok yang lebih rendah. Petugas kehilangan semua hak dari kantor sebelumnya, termasuk gaji terkait dan kewenangan untuk melakukan judul (jabatan) sebelumnya. Sejauh keputusan dalam konteks lain, berakhir dengan degradasi kerja sukarela dan kegiatan luar, pejabat tersebut telah diambil sehubungan dengan kantor sebelumnya atau atas permintaan, usulan atau inisiatif dari atasannya.345

Penghapusan (pemberhentian) dari PNS mengakhiri hubungan kerja. Petugas kehilangan hak terhadap imbalan dan pensiun serta kewenangan untuk melakukan tugas dan sehubungan dengan gelar resmi yang diberikan dan untuk memakai seragam. Pembayaran remunerasi ditetapkan pada akhir bulan kalender di mana keputusan tersebut menjadi final. Jika petugas yang akan pensiun dikenakan

344 § 8 Kürzung der Dienstbezüge (1) Die Kürzung der Dienstbezüge ist die bruchteilmäßige Verminderung der monatlichen Dienstbezüge des Beamten um höchstens ein Fünftel auf längstens drei Jahre. Sie erstreckt sich auf alle Ämter, die der Beamte bei Eintritt der Unanfechtbarkeit der Entscheidung inne hat. Hat der Beamte aus einem früheren öffentlich- rechtlichen Dienstverhältnis einen Versorgungsanspruch erworben, bleibt dieser von der Kürzung der Dienstbezüge unberührt. (2) Die Kürzung der Dienstbezüge beginnt mit dem Kalendermonat, der auf den Eintritt der Unanfechtbarkeit der Entscheidung folgt. Tritt der Beamte vor Eintritt der Unanfechtbarkeit der Entscheidung in den Ruhestand, gilt eine entsprechende Kürzung des Ruhegehalts (§ 11) als festgesetzt. Sterbegeld sowie Witwen- und Waisengeld werden nicht gekürzt. (4) Solange seine Dienstbezüge gekürzt werden, darf der Beamte nicht befördert werden. Der Zeitraum kann in der Entscheidung abgekürzt werden, sofern dies im Hinblick auf die Dauer des Disziplinarverfahrens angezeigt ist.

345 § 9 Zurückstufung (1) Die Zurückstufung ist die Versetzung des Beamten in ein Amt derselben Laufbahn mit geringerem Endgrundgehalt. Der Beamte verliert alle Rechte aus seinem bisherigen Amt einschließlich der damit verbundenen Dienstbezüge und der Befugnis, die bisherige Amtsbezeichnung zu führen. Soweit in der Entscheidung nichts anderes bestimmt ist, enden mit der Zurückstufung auch die Ehrenämter und die Nebentätigkeiten, die der Beamte im Zusammenhang mit dem bisherigen Amt oder auf Verlangen, Vorschlag oder Veranlassung seines Dienstvorgesetzten übernommen hat.

keputusan final untuk menghapusnya dari kedudukan PNS, putusan tersebut harus dianggap sebagai perampasan pensiun. Penghapusan dari pejabat PNS berhak untuk jangka waktu enam bulan atas biaya pemeliharaan 50 persen dari gaji karena dia dari memasuki kekokohan keputusan. Apabila seorang petugas telah dihapus dari layanan sipil, ia tidak dapat diangkat kembali sebagai pejabat, juga tidak ada pekerjaan alternatif untuk dibenarkan.346

Pengurangan pensiun adalah pengurangan moderat pecahan dari pensiun bulanan dari pensiunan PNS oleh lebih dari seperlima sampai maksimal tiga tahun.347

Penarikan pensiun dari PNS pensiunan akan kehilangan hak untuk peduli, termasuk korban, dan kekuatan untuk melaksanakan jabatan dan gelar yang telah diberikan dalam kaitannya dengan kantor sebelumnya. Setelah penarikan pensiun dari pensiunan PNS akan menerima pensiun hingga pensiun atas dasar berlaku surut, tetapi untuk jangka waktu maksimal enam bulan, biaya pemeliharaan 70 persen dari uang pensiun yang ia berhak atas terbitnya keputusan yang bersifat final.348

346 § 10 Entfernung aus dem Beamtenverhältni (1) Mit der Entfernung aus dem Beamtenverhältnis endet das Dienstverhältnis. Der Beamte verliert den Anspruch auf Dienstbezüge und Versorgung sowie die Befugnis, die Amtsbezeichnung und die im Zusammenhang mit dem Amt verliehenen Titel zu führen und die Dienstkleidung zu tragen. (2) Die Zahlung der Dienstbezüge wird mit dem Ende des Kalendermonats eingestellt, in dem die Entscheidung unanfechtbar wird. Tritt der Beamte in den Ruhestand, bevor die Entscheidung über die Entfernung aus dem Beamtenverhältnis unanfechtbar wird, gilt die Entscheidung als Aberkennung des Ruhegehalts. (6) Ist ein Beamter aus dem Beamtenverhältnis entfernt worden, darf er nicht wieder zum Beamten ernannt werden; es soll auch kein anderes Beschäftigungsverhältnis begründet werden.

347 § 11 Kürzung des Ruhegehalts Die Kürzung des Ruhegehalts ist die bruchteilmäßige Verminderung des monatlichen Ruhegehalts des Ruhestandsbeamten um höchstens ein Fünftel auf längstens drei Jahre. § 8 Abs. 1 Satz 2 und 3 sowie Abs. 2 Satz 1 und 4 gilt entsprechend.

348 § 12 Aberkennung des Ruhegehalts (1) Mit der Aberkennung des Ruhegehalts verliert der Ruhestandsbeamte den Anspruch auf Versorgung einschließlich der Hinterbliebenenversorgung und die Befugnis, die Amtsbezeichnung und die Titel zu führen, die im Zusammenhang mit dem früheren Amt verliehen wurden. (2) Nach der Aberkennung des Ruhegehalts erhält der Ruhestandsbeamte bis zur Gewährung einer Rente auf Grund einer Nachversicherung, längstens jedoch für die Dauer von sechs Monaten, einen Unterhaltsbeitrag

Bundesdisziplinargesetz (Undang-Undang Disiplin Federal) berlaku bagi PNS maupun pensiunan PNS federal. Pasal 1 Bundesdisziplinargesetz mengatur hal tersebut mengatur bahwa Undang-Undang Disiplin Federal diberlakukan terhadap pejabat/petugas PNS yang melakukan kesalahan dan terhadap pensiunan PNS yang melakukan pelanggaran-pelanggaran, sebagai berikut:

§ 1 Persönlicher Geltungsbereich Dieses Gesetz gilt für Beamte und Ruhestandsbeamte im Sinne des Bundesbeamtengesetzes. Frühere Beamte, die Unterhaltsbeiträge nach den Bestimmungen des Beamtenversorgungsgesetzes oder entsprechender früherer Regelungen beziehen, gelten bis zum Ende dieses Bezuges als Ruhestandsbeamte, ihre Bezüge als Ruhegehalt.

Selanjutnya, dalam Pasal 2 diatur mengenai mengenai ruang lingkup pengenaan hukuman, yang mencakup: 1) Pejabat/petugas PNS yang melakukan kesalahan (Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Kepegawaian Negeri Sipil Federal); dan 2) Pensiunan PNS: a) dilakukan selama menjabat PNS (Pasal 77 ayat (1)

Undang-Undang Kepegawaian Negeri Sipil Federal); dan b) setelah pensiun melakukan pelanggaran (Pasal 77 ayat (2) Undang-Undang Kepegawaian Negeri

Sipil Federal). Bagi PNS dan Pensiunan PNS, yang sebelumnya telah bekerja di lain pekerjaan sebagai PNS, hakim, tentara profesional atau prajurit reguler, hukum ini juga berlaku dalam hal perbuatan tersebut dilakukan dalam pekerjaan sebelumnya atau sebagai pensiunan dari pekerjaan tersebut, bahkan ketika sebagai pegawai dari pekerjaan tersebut diberhentikan dengan menerapkan prosedur yang diuraikan dalam Pasal 77 ayat (2) Undang-Undang Kepegawaian Negeri Sipil Federal, sebagai pelanggaran.349

in Höhe von 70 Prozent des Ruhegehalts, das ihm bei Eintritt der Unanfechtbarkeit der Entscheidung zusteht; eine Kürzung des Ruhegehalts nach § 38 Abs. 3 bleibt unberücksichtigt. § 10 Abs. 3 Satz 2 bis 4 gilt entsprechend.

349 § 2 Sachlicher Geltungsbereich (1) Dieses Gesetz gilt für die

Pelanggaran-pelanggaran yang mengakibatkan PNS dan pensiunan PNS dikenakan hukuman disiplin adalah apabila mereka melakukan kesalahan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 Bundesbeamtengesetz (Undang-Undang

Kepegawaian Negeri Sipil Federal), sebagai berikut:350

(1) Petugas melakukan pelanggaran disiplin, jika ia bersalah melanggar kewajibannya. Suatu perilaku petugas yang tidak berdinas adalah pelanggaran disiplin, jika keadaan dari setiap kasus sangat sesuai, mengorbankan rasa hormat dan kepercayaan yang penting untuk kantor atau yang mempengaruhi reputasi pejabat secara signifikan. (2) Untuk PNS pensiun atau mantan pejabat dengan pensiun itu dianggap melakukan kesalahan, ketika ia: 1. melawan sistem ketatanegaraan demokrasi liberal yang dijalankan dalam arti Undang-Undang Dasar, atau 2. berpartisipasi dalam upaya yang bertujuan untuk mempengaruhi keberadaan atau keamanan dari Republik Federal, atau 3. Melakukan pelanggaran terhadap Pasal 61 (pelanggaran rahasia dinas), terhadap Pasal 69a (pelaporan hukum dan larangan kegiatan), atau terhadap Pasal 70 (melarang penerimaan gratifikasi atau hadiah), atau 4. bertentangan dengan

1. von Beamten während ihres Beamtenverhältnisses begangenen Dienstvergehen (§ 77 Abs. 1 des Bundesbeamtengesetzes) und 2. von Ruhestandsbeamten a) während ihres Beamtenverhältnisses begangenen Dienstvergehen (§ 77 Abs. 1 des Bundesbeamtengesetzes) und b) nach Eintritt in den Ruhestand begangenen als Dienstvergehen geltenden Handlungen (§ 77 Abs. 2 des Bundesbeamtengesetzes). (2) Für Beamte und Ruhestandsbeamte, die früher in einem anderen Dienstverhältnis als Beamte, Richter, Berufssoldaten oder Soldaten auf Zeit gestanden haben, gilt dieses Gesetz auch wegen solcher Dienstvergehen, die sie in dem früheren Dienstverhältnis oder als Versorgungsberechtigte aus einem solchen Dienstverhältnis begangen haben; auch bei den aus einem solchen Dienstverhältnis Ausgeschiedenen und Entlassenen gelten Handlungen, die in § 77 Abs. 2 des Bundesbeamtengesetzes bezeichnet sind, als Dienstvergehen. Ein Wechsel des Dienstherrn steht der Anwendung dieses Gesetzes nicht entgegen. (3) Für Beamte, die Wehrdienst im Rahmen einer Wehrübung, einer Übung, einer besonderen Auslandsverwendung, einer Hilfeleistung im Innern oder einer Hilfeleistung im Ausland leisten, gilt dieses Gesetz auch wegen solcher Dienstvergehen, die während des Wehrdienstes begangen wurden, wenn das Verhalten sowohl soldatenrechtlich als auch beamtenrechtlich ein Dienstvergehen darstellt.

350 § 77 Dienstvergehen, Bestrafung (1) Der Beamte begeht ein Dienstvergehen, wenn er schuldhaft die ihm obliegenden Pflichten verletzt. Ein Verhalten des Beamten außerhalb des Dienstes ist ein Dienstvergehen, wenn es nach den Umständen des Einzelfalles in besonderem Maße geeignet ist, Achtung und Vertrauen in einer für sein Amt oder das Ansehen des Beamtentums bedeutsamen Weise zu beeinträchtigen. (2) Bei einem Ruhestandsbeamten oder früheren Beamten mit Versorgungsbezügen gilt es als Dienstvergehen, wenn er: 1. sich gegen die freiheitliche demokratische Grundordnung im Sinne des Grundgesetzes betätigt, oder 2. an Bestrebungen teilnimmt, die darauf abzielen, den Bestand oder die Sicherheit der Bundesrepublik zu beeinträchtigen, oder 3. gegen § 61 (Verletzung der Amtsverschwiegenheit), gegen § 69a (Anzeigepflicht und Verbot einer Tätigkeit) oder gegen § 70 (Verbot der Annahme von Belohnungen oder Geschenken) verstößt, oder 4. entgegen § 39 oder § 45 Abs. 1 einer erneuten Berufung in das Beamtenverhältnis schuldhaft nicht nachkommt.

Pasal 39 atau Pasal 45 ayat (1) lalai tidak memenuhi pengangkatan kembali sebagai pegawai negeri sipil.

Berbeda di Indonesia, PNS yang sudah pensiun tidak lagi dikenai hukuman disiplin. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No.53 Tahun 2010 pada

Pasal 40, sebagai berikut:

(1) PNS yang meninggal dunia sebelum ada keputusan atas upaya administratif, diberhentikan dengan hormat sebagai PNS dan diberikan hak- hak kepegawaiannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan. (2) PNS yang mencapai batas usia pensiun sebelum ada keputusan atas: a. keberatan, dianggap telah selesai menjalani hukuman disiplin dan diberhentikan dengan hormat sebagai PNS serta diberikan hak-hak kepegawaiannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. banding administratif, dihentikan pembayaran gajinya sampai dengan ditetapkannya keputusan banding administratif. (3) Dalam hal PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) huruf b meninggal dunia, diberhentikan dengan hormat dan diberikan hak-hak kepegawaiannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Demikian pula dalam RUU ASN, penyelewenangan terhadap Pancasila dan

Undang-Undang Dasar 1945 diancam dengan hukuman pemberhentian, sebagaimana diatur dalam Pasal 86 ayat (2) dan (3) berikut:

(2) PNS diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri karena: a. melanggar sumpah/janji jabatan; b. tidak setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; atau c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun. (3) PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena: a. melakukan penyelewengan terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan; c. menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik; d. merangkap jabatan lain baik dalam jabatan negara maupun jabatan politik; atau e. melakukan pelanggaran disiplin tingkat berat.

Di Amerika Serikat, disiplin PNS diatur dalam Section 2301, Title 5, United

States Code, pada bagian (b), bahwa manajemen personil federal harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip merit sistem berikut:351

(4) Semua karyawan harus menjaga standar integritas yang tinggi, melakukan, dan kepedulian terhadap kepentingan umum. (5) Tenaga kerja federal harus digunakan secara efisien dan efektif. (6) Karyawan harus dipertahankan atas dasar kelayakan kinerja mereka, kinerja yang tidak memadai harus diperbaiki, dan harus dipisahkan karyawan yang tidak bisa atau tidak akan meningkatkan kinerja mereka untuk memenuhi standar yang dibutuhkan. (7) Karyawan harus diberikan pendidikan dan pelatihan yang efektif dalam kasus-kasus di mana pendidikan dan pelatihan semacam akan menghasilkan kinerja organisasi dan individu yang lebih baik. (8) Karyawan harus - (A) dilindungi dari tindakan sewenang-wenang, favoritisme pribadi, atau pemaksaan untuk tujuan politik partisan, dan (B) dilarang menggunakan otoritas resmi mereka atau pengaruh untuk tujuan mengganggu atau mempengaruhi hasil pemilu atau nominasi untuk pemilihan. (9) Karyawan harus dilindungi terhadap pembalasan untuk pengungkapan informasi dimana karyawan layak percaya bukti - (A) pelanggaran hukum, peraturan, atau regulasi, atau (B) salah urus, limbah kotor dana, penyalahgunaan wewenang, atau bahaya besar dan khusus untuk kesehatan atau keselamatan publik.

351 § 2301 Merit System Principles (b) Federal personnel management should be implemented consistent with the following merit system principles: (4) All employees should maintain high standards of integrity, conduct, and concern for the public interest. (5) The Federal work force should be used efficiently and effectively. (6) Employees should be retained on the basis of adequacy of their performance, inadequate performance should be corrected, and employees should be separated who cannot or will not improve their performance to meet required standards. (7) Employees should be provided effective education and training in cases in which such education and training would result in better organizational and individual performance. (8) Employees should be— (A) protected against arbitrary action, personal favoritism, or coercion for partisan political purposes, and (B) prohibited from using their official authority or influence for the purpose of interfering with or affecting the result of an election or a nomination for election. (9) Employees should be protected against reprisal for the lawful disclosure of information which the employees reasonably believe evidences-- (A) a violation of any law, rule, or regulation, or (B) mismanagement, a gross waste of funds, an abuse of authority, or a substantial and specific danger to public health or safety.

Section 2301 tersebut tidak hanya menekankan disiplin pegawai federal tetapi juga menekankan perlindungan bagi pegawai federal terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang.

Adapun jenis disipliner, yakni penghapusan (pemberhentian), penurunan pangkat, dan pengskorsan (pengskorsan). Dalam beberapa kasus, karyawan mengundurkan diri atau pensiun untuk menghindari tindakan disipliner, sebagaimana dijelaskan dalam Dokumen Disciplinary Best Practices and Advisory Guidelines

Under The No Fear Act.

Sanksi displiner informal dan formal yang digunakan di Amerika Serikat secara praktis dijelaskan dalam Human Resources Manual, Instruction 752: Discipline and

Adverse Action, Issuance Date: 03/20/2009, yang merupakan pelaksanaan dari Title

5, Code of Federal Regulations, Part 752, Adverse Actions, sebagai berikut:

1) Konseling atau Peringatan Verbal (Counseling or Verbal Warnings); 2) Surat pengingatan, peringatan, atau teguran (A Letter of Admonishment, Caution, or Warning) yang dikeluarkan oleh pengawas; 3) Surat Teguran; 4) Tindakan Disiplin berupa Pengskorsan 14 Hari Kalender atau Kurang (A Disciplinary Action for a Pengskorsanon of 14 Calendar Days or Less); 5) Aksi Merugikan berupa Pengskorsan Lebih dari 14 hari kalender (An Adverse Action for a Pengskorsanon of More Than 14 Calendar days).

Konseling atau Peringatan Verbal (Counseling or Verbal Warnings) harus digunakan oleh atasan ketika:

a) pelanggaran yang kecil dan jarang terjadi, dan b) Supervisor menentukan bahwa konseling dan/atau lisan peringatan kemungkinan akan menghalangi terulangnya pelanggaran tersebut. c) Disiplin formal tidak dibenarkan. d) Memperingatkan bahwa tindakan disipliner dapat mengakibatkan perilaku yang tidak dapat diterima jika terus. e) Bukan tindakan disiplin formal. f) Tidak masuk dalam Official Personnel Folder (OPF) karyawan. Bahwa dia menyesali penerbitan surat pengingatan, peringatan atau teguran, dengan mengikuti prosedur pengaduan di HHS Instruksi 771-3 atau prosedur negosiasi keluhan, tergantung yang terjadi.

Surat pengingatan, peringatan, atau teguran (A Letter of Admonishment,

Caution, or Warning) yang dikeluarkan oleh pengawas:

a) Berfungsi sebagai pemberitahuan tertulis, dan/atau konfirmasi konseling, dan/atau peringatan lisan bahwa perilaku tidak dapat diterima. b) Memperingatkan bahwa tindakan disipliner dapat mengakibatkan perilaku yang tidak dapat diterima jika terus. c) Bukankah tindakan disiplin formal (namun dapat dianggap tindakan korektif yang tepat). d) Tidak dimasukkan dalam OPF karyawan. e) Karyawan menyesali penerbitan surat pengingatan, peringatan atau teguran, dengan mengikuti prosedur pengaduan di HHS Instruksi 771-3 atau prosedur negosiasi keluhan, tergantung yang terjadi.

Surat Teguran:

a) merupakan tindakan disipliner formal. b) Dapat diterbitkan tanpa pemberitahuan terlebih formal dahulu atau usulan. c) Akan menginformasikan karyawan: (1) Dari tindakan spesifik yang dia sedang ditegur. (2) Bahwa salinan akan dipertahankan didalam OPF nya untuk masa waktu yang ditentukan tidak melebihi 2 tahun. (3) Bahwa ia menyesali penerbitan surat teguran, dengan mengikuti prosedur pengaduan di HHS Instruksi 771-3, atau prosedur negosiasi keluhan, tergantung yang terjadi. (4) Bahwa pengulangan pelanggaran atau perilaku yang tidak benar lainnya dapat menyebabkan tindakan disipliner lebih parah, hingga dan termasuk penghapusan dari layanan Federal.

Tindakan Disiplin berupa Pengskorsan 14 Hari Kalender atau Kurang (A

Disciplinary Action for a Pengskorsanon of 14 Calendar Days or Less), karyawan berhak untuk:

a) Sebuah pemberitahuan tertulis yang menyatakan materi-materi dan alasan- alasan untuk pengskorsan yang diusulkan secara khusus dan secara rinci. b) Diwakili oleh pengacara atau perwakilan yang memenuhi syarat lainnya. c) Sejumlah waktu resmi, hingga 4 jam atau sesuai dengan kesepakatan yang dinegosiasikan berlaku, untuk mengamankan keterangan tertulis dan menyiapkan jawaban tertulis dan/atau lisan. d) Kesempatan untuk meninjau semua bahan diandalkan untuk mendukung alasan-alasan untuk proposal. e) Kesempatan untuk menyampaikan jawaban tertulis dan/atau lisan, hingga 7 hari atau sesuai dengan kesepakatan yang dinegosiasikan berlaku, untuk usulan dan pertimbangan jawaban sebelum keputusan dibuat. f) Sebuah keputusan tertulis sebelum tanggal efektif pengskorsan (dan pada tanggal praktis paling awal) yang menyediakan alasan-alasan untuk pengskorsan, dan hak untuk mengajukan pengaduan atau EEO komplain.

Aksi Merugikan berupa Pengskorsan Lebih dari 14 hari kalender (An Adverse

Action for a Pengskorsanon of More Than 14 Calendar days), karyawan berhak untuk:

a) Sebuah pemberitahuan tertulis yang menyatakan semua biaya-biaya dan semua alasan-alasan untuk pengskorsan yang diusulkan setidaknya 30 hari kalender sebelum tanggal efektif keputusan apapun. b) Diwakili oleh pengacara atau perwakilan yang memenuhi syarat lainnya. c) Sejumlah waktu resmi, hingga 4 jam atau sesuai dengan kesepakatan yang dinegosiasikan berlaku, untuk mengamankan keterangan tertulis dan menyiapkan jawaban tertulis dan/atau lisan. d) Kesempatan untuk meninjau semua bahan diandalkan untuk mendukung alasan-alasan untuk usulan. e) Kesempatan untuk menyampaikan jawaban tertulis dan /atau lisan, hingga 14 hari atau sesuai dengan kesepakatan yang dinegosiasikan berlaku, untuk usulan dan pertimbangan jawaban sebelum keputusan dibuat. f) Keputusan tertulis sebelum pengskorsan efektif (dan pada tanggal praktis paling awal) yang memberitahukan satu alasan dalam pemberitahuan terlebih dahulu telah dipertahankan, dan yang belum berkelanjutan. g) Hak untuk mengajukan banding keputusan untuk menunda selama lebih dari 14 hari kalender untuk MSPB atau menyelesaikan masalah melalui prosedur negosiasi keberatan bila ada, tetapi tidak boleh menggabungkan keduanya. h) Hak untuk mengajukan EEO komplain jika karyawan percaya tindakan itu diambil sebagai akibat dari diskriminasi.

Selain itu terdapat, bentuk jenis disipliner yang lebih berat berupa pengurangan gaji dan grade maupun pemberhentian, yakni:

1. Pengurangan Grade dan Gaji (Reduction in Grade and Pay) dapat dibenarkan sebagai akibat dari kesalahan: a. Ketika karyawan tidak dapat dipertahankan dalam posisinya sekarang; b. Penggantian Gradenya tidak mungkin atau tidak praktis, dan c. Bila ada keyakinan memadai bahwa kesalahan tersebut tidak akan atau tidak dapat dilanjutkan pada tingkat kelas yang lebih rendah. Hal penting yang perlu diketahui adalah disiplin alternatif dapat dipertimbangkan dalam semua kasus di atas disiplin. 2. Tindakan penghapusan (pemberhentian) (removal action) hanya dapat dilakukan: a. Dimana penghapusan ditentukan oleh hukum; atau b. Diakibatkan oleh kesalahan yang bersangkutan. c. Tindakan Penghapusan diambil dengan mengikuti prosedur untuk Penskorsan lebih dari 14 Hari Kalender yang dijelaskan di atas. d. Dalam kasus-kasus tertentu, Perjanjian Last Chance (kesempatan terakhir) mungkin menjadi pilihan yang tepat untuk dipertimbangkan.

Hal penting yang perlu diketahui adalah persyaratan prosedural dijelaskan di atas untuk pengskorsan Lebih dari 14 Hari Kalender dan Penghapusan, berlaku dalam pengolahan demosi sebagai akibat dari pelanggaran.

Dalam RUU ASN, penegakan disiplin diserahkan pada Komisi ASN, sebagai mana diatur dalam Pasal 29 huruf g, tanpa pengaturan secara garis besar lebih lanjut, sebagai berikut bahwa KASN bertugas mengevaluasi sistem dan mekanisme kerja Instansi dan Perwakilan untuk menjamin pelaksanaan peraturan perundang- undangan mengenai disiplin ASN. Di samping itu, dalam Naskah Akademik RUU

ASN dijelaskan pula hal yang sama persis dengan Pasal 29 tersebut diatas.

Dengan demikian, berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, secara sederhana digambarkan sanksi disipliner yang berimplikasi terhadap remunerasi dalam peraturan sistem penegakan disiplin dalam menjamin kedisiplinan PNS yang diperbandingkan sebagaimana tampak dalam tabel berikut:

Tabel 38 Sanksi Disipliner yang berimplikasi terhadap Remunerasi dalam Peraturan Sistem Penegakan Disiplin dalam Menjamin Kedisiplinan PNS

No. Indonesia Amerika Serikat Jerman 1. Secara nasional, sanksi Sanksi disipliner yang Terdapat berbagai sanksi disipliner yang berimplikasi berimplikasi remunerasi disipliner yang berimplikasi remunerasi terbatas pada terbatas pada tidak masuk remunerasi, terutama sanksi ketidakpatuhan terhadap kantor, yakni sanksi pengurangan gaji pokok jam kerja, berupa pengurangan gaji pokok. terhadap tindakan tidak masuk pengurangan tunjangan kantor 50%. kinerja. Pengenaan sanksi yang berimplikasi terhadap gaji Pengenaan sanksi yang Secara institusional pada pokok dimaksudkan untuk berimplikasi terhadap gaji pokok Kementerian Keuangan mendorong kinerja PNS, dimaksudkan sebagai bentuk terdapat berbagai sanksi sejalan prinsip merit system. tanggung jawab konstitusional disipliner yang berimplikasi PNS, sejalan dengan remunerasi selain alimentationprinzip. kepatuhan terhadap jam kerja, berupa pengurangan tunjangan kinerja.

Pengenaan sanksi yang

berimplikasi terhadap gaji pokok dimaksudkan untuk mendorong kinerja PNS, sejalan prinsip merit system.

Sumber: data sekunder, diolah 2012.

Tabel tersebut menunjukkan bahwa sanksi disipliner di Indonesia untuk aspek kehadiran telah berimplikasi pada tunjangan kinerja. Secara nasional, berimplikasi pada tunjangan kinerja apabila terjadi pelanggaran jam kerja. Sedangkan secara institusional khususnya di Kementerian Keuangan, berimplikasi pada tunjangan kinerja jika terjadi pelanggaran pada berbagai tingkatan disiplin. Pengenaan sanksi yang berimplikasi terhadap gaji pokok dimaksudkan juga untuk mendorong disiplin

PNS, sejalan prinsip merit system. Namun demikian belum sepenuhnya bertumpu pada teori keadilan korektif karena pemotongan tidak dikenakan pada gaji pokok dan gaji pokok yang tergolong kecil. Demikian pula dalam implementasinya belum menjamin kedisiplinan dalam arti yang sesungguhnya, baru pada tataran pengisian daftar hadir (fingerprint).

Adapun pengaturan mengenai pemotongan remunerasi juga terdapat di Jerman dan Amerika Serikat, hanya saja yang dipotong adalah gaji pokoknya. Di Jerman, pemotongan gaji dilakukan apabila terjadi pelanggaran disiplin pada setiap jenisnya, yang mulai dihitung berdasarkan ketidakhadiran selama setengah hari dari total jam kerja selama sehari, kecuali untuk hukuman berupa teguran tidak berimplikasi pada pemotongan gaji, dimaksudkan sebagai bentuk tanggung jawab konstitusional PNS, sejalan dengan alimentationprinzip. Di Amerika Serikat, pemotongan gaji dilakukan apabila terjadi pelanggaran berupa ketidakhadiran dalam satu hari kerja, maupun pelanggaran disiplin yang berat dengan sanksi berupa penurunan grade maupun pemberhentian yang berimplikasi pada gaji pokok, dimaksudkan untuk mendorong kinerja PNS, sejalan prinsip merit system. Walaupun didasarkan pada prinsip yang

berbeda, keduanya bertumpu pada teori keadilan korektif karena mengenakan pemotongan pada gaji pokok, di mana gaji pokok tergolong besar.

2. Prosedur Korektif

Prosedur korektif adalah bentuk kesegeraan tindakan koreksi dan tahapan koreksi yang dikenakan terhadap suatu perilaku PNS dengan memberikan hukuman terhadap suatu pelanggaran, yang dalam hal ini berupa pemotongan remunerasi, dengan maksud agar pegawai memahami perilaku ataupun kinerja yang tidak sesuai dan kesempatan perbaikan yang ada.

Ketentuan disiplin PNS dalam Peraturan Pemerintah No.53 Tahun 2010 telah mengandung aspek korektif dengan memberikan hukuman secara bertahap sesuai jenis dan tingkat pelanggaran yang dilakukan oleh PNS sebagaimana tampak dalam berbagai tingkat dan jenis pelanggaran disiplin yang diatur. Akan tetapi ketentuan yang menunjukkan prosedur korektif paling tampak dalam ketentuan mengenai perhitungan kumulatif kewajiban masuk kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 14, sebagai berikut:

Pelanggaran terhadap kewajiban masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 angka 9, Pasal 9 angka 11, dan Pasal 10 angka 9 dihitung secara kumulatif sampai dengan akhir tahun berjalan.

Penjelasan Yang dimaksud dengan “dihitung secara kumulatif sampai dengan akhir tahun berjalan” adalah bahwa pelanggaran yang dilakukan dihitung mulai bulan Januari sampai dengan bulan Desember tahun yang bersangkutan.

Contoh: Seorang PNS dari bulan Januari sampai dengan bulan Maret 2011 tidak masuk kerja selama 5 (lima) hari maka yang bersangkutan dijatuhi hukuman disiplin berupa teguran lisan. Selanjutnya, pada bulan Mei sampai dengan Juli 2011 yang bersangkutan tidak masuk kerja selama 2 (dua) hari, sehingga jumlahnya menjadi 7 (tujuh) hari. Dalam hal demikian, maka yang bersangkutan dijatuhi hukuman disiplin berupa teguran tertulis. Selanjutnya, pada bulan September sampai dengan bulan Nopember 2011 yang bersangkutan tidak masuk kerja selama 5 (lima) hari, sehingga jumlahnya

menjadi 12 (dua belas) hari. Dalam hal demikian, maka yang bersangkutan dijatuhi hukuman disiplin berupa pernyataan tidak puas secara tertulis.

Demikian pula terhadap pelanggaran-pelanggaran disiplin lainnya berupa hukuman disiplin ringan, sedang, dan berat, pada kementerian keuangan dikenakan prosedur korektif yang progresif, terutama apabila dikaitkan dengan pemotongan tunjangan kinerja, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan

No.41/PMK.01/2011 dan Peraturan Menteri PAN dan RB No. 63 Tahun 2011, sebagaimana telah dibahas sebelumnya.

Di Jerman, prosedur korektif juga tampak dalam tingkat dan jenis pelanggaran disiplin sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Akan tetapi, pengaturan prosedur korektif paling tampak dalam ketentuan bahwa proses disipliner harus dilakukan dengan segera. Hal tersebut diatur Bundesdisziplinargesetzes pada Pasal 4.

§ 4 Gebot der Beschleunigung Disziplinarverfahren sind beschleunigt durchzuführen.

Di Indonesia, dalam Peraturan Pemerintah No.53 Tahun 2010 pada Pasal 3

Angka 11 mengatur mengenai kewajiban PNS masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja.

Selanjutnya pada bagian Penjelasan menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kewajiban untuk “masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja” adalah setiap PNS wajib datang, melaksanakan tugas, dan pulang sesuai ketentuan jam kerja serta tidak berada di tempat umum bukan karena dinas. Apabila berhalangan hadir wajib memberitahukan kepada pejabat yang berwenang. Keterlambatan masuk kerja dan/atau pulang cepat dihitung secara kumulatif dan dikonversi 7 ½ (tujuh setengah) jam sama dengan 1 (satu) hari tidak masuk kerja.

Di Jerman, ketentuan mengenai jam kerja diatur dalam Bundesbeamtengesetz pada Pasal 72, sebagai berikut:352

(1) Kerja normal seminggu tidak melebihi rata-rata empat puluh empat jam. (2) Petugas yang diperlukan untuk melakukan tanpa kompensasi luar layanan jam normal mingguan bekerja jika diminta oleh override kondisi bertugas sehingga dan lembur terbatas pada kasus-kasus yang luar biasa. Ia adalah dengan bisnis yang terletak atau disetujui lembur diklaim lebih dari lima jam per bulan pada jam kerja biasa, itu adalah dalam waktu satu tahun untuk pekerjaan yang dilakukan pada jam kerja biasa yang lebih tepat untuk bekerja memberikan cuti khusus. Cuti khusus tersebut dari override layanan terkait alasan, kemudian di tempatnya, pejabat masuk ke kelas dengan gaji naik untuk jangka waktu hingga 480 jam per kompensasi tahun. (3) Jika layanan ini dalam kesiapan, waktu kerja sesuai dengan resmi perlu diperpanjang, pada periode mingguan tidak melebihi lima puluh empat jam. (4) Pengaturan (lebih lanjut) akan dibuat oleh Pemerintah Federal melalui peraturan.

Di Amerika Serikat, berdasarkan dokumen Human Resources Manual,

Instruction 752: Discipline and Adverse Action, tindakan disipliner harus dikenakan untuk mengoreksi perilaku pegawai yang tidak tepat dan untuk menjaga ketertiban, moral dan keselamatan kerja seluruh tenaga kerja. Setelah menentukan kesalahan yang terjadi dan bahwa tindakan korektif dibenarkan, disiplin harus dimulai sesegera mungkin setelah kesalahan terjadi dan dilakukan secara progresif dan merata sebanyak mungkin. Aplikasi hukuman progresif dikenal sebagai disiplin progresif.

Konsep ini harus diterapkan dalam semua kasus, kecuali hukuman yang diatur oleh hukum, peraturan, atau regulasi, atau kasus di mana manajemen menganggap

352 § 72 Regelmäßige Arbeitszeit, Überstunden, Bereitschaftsdienst (1) Die regelmäßige Arbeitszeit darf wöchentlich im Durchschnitt vierundvierzig Stunden nicht überschreiten. (2) Der Beamte ist verpflichtet, ohne Vergütung über die regelmäßige wöchentliche Arbeitszeit hinaus Dienst zu tun, wenn zwingende dienstliche Verhältnisse dies erfordern und sich die Mehrarbeit auf Ausnahmefälle beschränkt. Wird er durch eine dienstlich angeordnete oder genehmigte Mehrarbeit mehr als fünf Stunden im Monat über die regelmäßige Arbeitszeit hinaus beansprucht, ist ihm innerhalb eines Jahres für die über die regelmäßige Arbeitszeit hinaus geleistete Mehrarbeit entsprechende Dienstbefreiung zu gewähren. Ist die Dienstbefreiung aus zwingenden dienstlichen Gründen nicht möglich, so können an ihrer Stelle Beamte in Besoldungsgruppen mit aufsteigenden Gehältern für einen Zeitraum bis zu 480 Stunden im Jahr eine Vergütung erhalten. (3) Soweit der Dienst in Bereitschaft besteht, kann die Arbeitszeit entsprechend den dienstlichen Bedürfnissen verlängert werden; im wöchentlichen Zeitraum dürfen vierundfünfzig Stunden nicht überschritten werden. (4) Das Nähere regelt die Bundesregierung durch Rechtsverordnung.

terjadi kesalahan yang cukup mengerikan untuk menjamin tindakan yang lebih serius hingga dan termasuk penghapusan (pemberhentian).

Dengan demikian, tampak jelas bahwa pemotongan gaji pokok dapat terjadi secara progresif sesuai dengan pelanggaran disiplin yang terjadi. Dimana pemotongan gaji pokok terjadi dimulai dari ketidakhadiran 50% dari total jam kerja dalam sehari. Berbeda dengan Amerika Serikat, yang hanya melakukan pemotongan gaji pokok apabila terjadi pelanggaran berupa tidak masuk dalam sehari dan pengenaan hukuman disiplin berat. Namun demikian, hukuman disiplin berat senantiasa dikaitkan dengan pengurangan grade ataupun pemberhentian yang berimplikasi terhadap keberadaan gaji.

Terkait dengan ketentuan jam kerja. Berbeda dengan di Indonesia yang belum mengatur mengenai keleluasaan jam kerja, di Jerman hal tersebut sudah diatur kemudahan-kemudahan yang ditawarkan pemerintah dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaiman diatur Bundesgleichstellungsgesetz (Undang-Undang Kesetaraan) pada

Pasal 12 sampai Pasal 13 mengenai rekonsiliasi pekerjaan dengan kehidupan keluarga bagi perempuan dan laki-laki.

Dalam Pasal 12 ditawarkan jam dan kondisi kerja yang ramah keluarga, yakni jam kerja dan kondisi lain untuk memudahkan bagi pria dan wanita untuk mengelola keluarga dan pekerjaan, kecuali apabila ternyata akan menyebabkan masalah dalam tugas utama.353

Dalam Pasal 13 diuraikan kemudahan bekerja melalui kerja paruh waktu, telecommuting, dan keluarga-terkait ketidakhadiran. Permintaan pegawai yang

353§ 12 Familiengerechte Arbeitszeiten und Rahmenbedingungen Die Dienststelle hat Arbeitszeiten und sonstige Rahmenbedingungen anzubieten, die Frauen und Männern die Vereinbarkeit von Familie und Erwerbstätigkeit erleichtern, soweit zwingende dienstliche Belange nicht entgegenstehen.

memiliki tanggung jawab keluarga untuk melaksanakan pekerjaan paruh waktu atau cuti harus dipenuhi bahkan untuk di tempat-tempat dengan pegawas dan tugas- tugas manajemen, kecuali bertentangan dengan kepentingan tugas wajib.secara resmi karyawan yang memiliki tanggung jawab keluarga ditawarkan bekerja di rumah atau jadwal kerja khusus, seperti “tabungan” waktu cuti atau bekerja. Pegawai yang mengajukan permohonan untuk bagian waktu kerja, jam kerja, atau cuti mencakup terutama para pejabat, tenaga kerja, manfaat, dan konsekuensi hukum pensiun paruh waktu kerja dan cuti,serta kemungkinan pembatasan dengan eksistensi dan konsekuensinya. Departemen harus memastikan pegawai mereka yang berkurang waktu kerjanya diberikan bantuan yang sesuai dengan tugas resmi mereka.354

Menurut penulis, jika kinerja dimaknai sebagai hasil kerja dan apabila hasil kerja dapat diukur dengan baik, maka PNS yang bertugas dalam bidang pengolahan informasi dapat bekerja melalui telework tanpa harus terikat kewajiban untuk hadir di kantor pemerintah.

Pada bulan Agustus 2009. U.S. Office of Management Porsonnel melaporkan dalam Dokumen Status of Telework in The Federal Government; Report to The

Congress, bahwa sampai dengan akhir tahun 2008 pada 78 lembaga, sekitar

102.900 dari 1.962.975 pegawai Federal melakukan telework. Selanjutnya, sampai

354 § 13 Teilzeitbeschäftigung, Telearbeit und familienbedingte Beurlaubung (1) Anträgen von Beschäftigten mit Familienpflichten auf Teilzeitbeschäftigung oder Beurlaubung ist auch bei Stellen mit Vorgesetzten- und Leitungsaufgaben zu entsprechen, soweit nicht zwingende dienstliche Belange entgegenstehen. Im Rahmen der dienstlichen Möglichkeiten sind Beschäftigten mit Familienpflichten auch Telearbeitsplätze oder besondere Arbeitszeitmodelle wie zum Beispiel Sabbatjahr oder Arbeitszeitkonto anzubieten. Die Dienststelle muss die Ablehnung von Anträgen im Einzelnen schriftlich begründen. (2) Beschäftigte, die einen Antrag auf Teilzeitbeschäftigung, andere Arbeitszeitmodelle oder Beurlaubung stellen, sind insbesondere auf die beamten-, arbeits-, versorgungs- und rentenrechtlichen Folgen von Teilzeitarbeit und Beurlaubung sowie auf die Möglichkeit einer Befristung mit Verlängerung und deren Folgen hinzuweisen. Die Dienststelle hat darauf zu achten, dass die Beschäftigten eine ihrer ermäßigten Arbeitszeit entsprechende Entlastung von ihren dienstlichen Aufgaben erhalten und dass sich daraus für die anderen Beschäftigten der Dienststelle keine dienstlichen Mehrbelastungen ergeben.

dengan akhir tahun 2010, jumlah pegawai yang melakukan telework meningkat menjadi 113.946 orang.

Bahkan John Berry menyampaikan keunggulan telework, sebagai berikut:

“Telework clearly has important implications for individuals and even entire communities. Programs have been shown to help individual employees successfully balance the responsibilities of work and family, increase the safety of neighborhoods, and reduce pollution. The potential benefits of a teleworking workforce are now more important than ever: with the cost of gas again on the rise it has become a critical tool in the struggle to balance stretched family budgets; with the threats of new strains of influenza, it provides an effective resource in the face of possible pandemic; as our Nation searches for ways to conserve energy, telework provides a valuable asset toward establishing green workplaces”.

Dalam dokumen Status of Telework in the Federal Government Report to the

Congress; A New Day for Federal Service pada tahun 2011 terungkap bahwa telework mendapat dukungan dari Presiden Amerika Serikat mengingat sejumlah kelebihannya, sebagaimana diungkapkan John Berry menjelaskan bahwa:

“Speaking at the March 31, 2010 White House Forum on Workplace Flexibility, President Barack Obama declared “work is what you do, not where you do it” emphasizing the integral role of telework in achieving flexible, resilient workplaces. The driving vision behind flexibility highlights the critical role that having a fulfilled, healthy workforce plays in reaching productivity goals and attaining agency mission objectives. Telework provides an effective tool to employees seeking to achieve the balance among personal, work, and community responsibilities. It ultimately allows employees to achieve peak performance and meet the goals of flexible workplaces. Moreover, telework programs are integral to advancing other important national initiatives such as building capacity in the Federal workforce to continue agency operations in the event of snowfall or emergency. Telework plays an instrumental role in realizing sustainable environmental policies and, with collaboration and transparency fundamental to telework, these programs can facilitate the goals of open government. Telework also provides necessary access to pools of skilled employees through wider employment opportunities for the disabled”.

Bahkan, pada tanggal 9 Desember 2010, Presiden Barack Obama menandatangani law H.R. 1722, The Telework Enhancement Act of 2010 – sekarang

Public Law 111-292. Peraturan tersebut mewajibkan federal agencies (lembaga federal) untuk menetapkan kebijakan Telework untuk pegawai yang memenuhi

syarat. Banyak lembaga telah mengambil langkah-langkah signifikan dalam menerapkan telework, dan dapat menawarkan rekomendasi perbaikan program telework.

Dengan demikian, fleksibilitas telework sebagaimana digunakan di Jerman dan

Amerika Serikat dapat pula digunakan di Indonesia bagi pekerjaan yang tidak selalu membutuhkan kehadiran PNS di kantor dan dapat terukur hasil kerjanya.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, secara sederhana digambarkan prosedur korektif yang berimplikasi terhadap remunerasi dalam peraturan sistem penegakan disiplin dalam menjamin kedisiplinan PNS yang diperbandingkan sebagaimana tampak dalam tabel berikut:

Tabel 39 Prosedur Korektif yang Berimplikasi terhadap Remunerasi dalam Peraturan Sistem Penegakan Disiplin dalam Menjamin Kedisiplinan PNS

No. Indonesia Amerika Serikat Jerman 1. Pengenaan sanksi bertahap Pengenaan sanksi bertahap Pengenaan sanksi bertahap dan dan semakin berat dan semakin berat semakin berat hukumannya dan hukumannya dan hukumannya jika tidak masuk berimplikasi pada remunerasi, berimplikasi pada kantor dan berimplikasi pada mulai dari pelanggaran ringan remunerasi secara remunerasi, yang sampai berat, yang institusional pada dimaksudkan untuk dimaksudkan sebagai bentuk kementerian keuangan, mendorong kinerja, sejalan tanggung jawab konstitusional tetapi secara nasional baru dengan prinsip merit system. PNS, sejalan dengan sebatas jam kerja yang juga alimentationprinzip. demikian, yang dimaksudkan untuk mendorong kinerja, sejalan dengan prinsip merit system

Sumber: data sekunder, diolah 2012.

Tabel tersebut menunjukkan bahwa aspek prosedur korektif terkait kedisiplinan yang berimplikasi pada remunerasi (tunjangan kinerja) sudah tersedia, secara nasional dalam bentuk implikasi pelanggaran jam kerja terhadap tunjangan kinerja, dan secara institusional yakni pada kementerian keuangan dengan adanya implikasi berbagai jenis pelanggaran disiplin terhadap tunjangan kinerja. Semakin banyak keterlambatan dan pulang sebelum waktunya maka semakin terakumulasi secara

progresif dan semakin progresif pula pemotongan tunjangan kinerja terjadi, serta terjadi dengan segera, yang dimaksudkan pula untuk mendorong kedisiplinan, sejalan dengan prinsip merit system. Namun belum sepenuhnya bertumpu pada teori keadilan korektif karena karena pemotongan bukan pada gaji pokok, di samping itu gaji pokok kecil jumlahnya, sehingga sekalipun dilakukan pemotongan terhadap gaji pokok maka tidak akan berdampak signifikan bagi PNS, sehingga belum menjamin kedisiplinan PNS. Dalam implementasinya juga belum menjamin terwujudnya kedisiplinan yang sebenar-benarnya, dengan melihat kenyataan pada

Direktorat Jenderal Pajak sebagai unit kerja andalan Kementerian Keuangan dimana terjadi peningkatan kedisiplinan formal dalam bentuk ketaatan melakukan fingerprint dan kehadiran tetapi hal ini tidak diiringi dengan penurunan hukuman disiplin ringan, sedang, dan berat.

Dalam publikasi Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan (27 Juli 2012),

Eddy Satriya menjelaskan bahwa peningkatan kesejahteraan melalui perbaikan struktur gaji, merupakan langkah reformasi birokrasi yang diambil oleh Departemen

Keuangan melalui Keputusan Menteri Keuangan No.30/KMK.01/2007 yang berujung dengan perbaikan tunjangan pegawai. Namun langkah tersebut perlu segera disempurnakan. Mestinya gaji pokok yang dinaikkan, bukan tunjangan. Menaikkan tunjangan akan menaikkan gaya hidup pegawai dan kemudian membuat mereka terhenyak ketika pensiun. Sebab besarnya pensiun mengacu pada gaji pokok, bukan tunjangan, kondisi ini justru bisa memicu pegawai melakukan korupsi.

Di Jerman, pemotongan gaji dikenakan hampir pada tiap tingkat pelanggaran yang dimaksudkan sebagai bentuk tanggung jawab sebagai PNS berupa kedisiplinan, sejalan dengan alimentationprinzip, sedangkan di Amerika Serikat, pemotongan gaji pokok hanya dilakukan pada aspek tidak masuk kantor dan

pelanggaran berat dan dimaksudkan pula sebagai unsur motivasional kedisiplinan bagi PNS sejalan dengan prinsip merit system. Walaupun didasarkan pada prinsip yang berbeda, keduanya bertumpu pada teori keadilan korektif karena mengenakan pemotongan pada gaji pokok, di mana gaji pokok tergolong besar.

Dengan demikian, jelas terungkap bahwa pemerintah perlu melakukan peningkatan gaji pokok secara signifikan, dengan terlebih dahulu memperbaiki skema pensiun yang hanya sekadar pemotongan gaji berubah menjadi skema pensiun dalam bentuk investasi, agar kenaikan gaji pokok nantinya tidak pula mengakibatkan kenaikan pokok pensiun. Dengan skema pensiun yang baik, maka pemerintah dapat menaikkan gaji pokok secara signifikan, sehingga PNS dapat terhindar dari melakukan tindakan korupsi karena tidak lagi mengkhawatirkan kehidupannya di masa kini dan masa pensiunnya.

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Peraturan sistem rekrutmen PNS belum sepenuhnya menjadi sarana yang

optimal dalam menemukan PNS yang berkualitas. Hal ini disebabkan peraturan

sistem rekrutmen CPNS belum mewujudkan kesetaraan bagi seluruh warga

negara dengan memberlakukan persyaratan yang lebih ringan bagi tenaga

honorer dan sebagian lulusan kedinasan. Dalam implementasinya, terjadi

kecurangan dalam rekrutmen dari pelamar umum dan honorer. Di samping itu,

menjadikan tes kemampuan bidang sebagai opsional dan belum memiliki

bentuk yang spesifik. Dalam hal itu, belum menggunakan Computer Assisted

Test. Adapun peraturan sistem rekrutmen struktural, sudah mulai mewujudkan

kesetaraan dan menyeleksi kandidat eselon yang berkualitas serta

menggunakan metode Assessment Center, walaupun masih dipengaruhi oleh

unsur politis pada tahap akhir seleksi. Berbeda dengan Amerika Serikat dan

Jerman yang dalam merekrut CPNS telah sejalan dengan prinsip merit

system/leistungprinzip dan teori keadilan distributif. Dalam rekrutmen jabatan

struktural tertinggi, Indonesia dan Jerman menggunakan sistem hybrid

(kombinasi merit system dan politis), sedangkan Amerika Serikat

memungkinkan pengisian maksimal 10% jabatan struktural tertinggi secara

politis tanpa seleksi kompetitif.

2. Peraturan sistem remunerasi PNS belum sepenuhnya mampu mendorong

peningkatan kinerja yang optimal, karena secara relatif belum mampu

memenuhi kebutuhan kesejahteraan sehingga dapat mengganggu

produktivitas. Selain itu, belum mampu mendorong kinerja secara optimal,

karena tunjangan kinerja baru diberikan berdasarkan penilaian kinerja

organisasi, belum berdasarkan kinerja individu. Berbeda dengan Jerman yang

memiliki gaji pokok yang cukup besar dan berbagai komponen remunerasi

lainnya mampu memenuhi kebutuhan kesejahteraan PNS. Remunerasi

tersebut secara umum berbasis pemenuhan hak, berdasarkan

alimentationsprinzip, yakni remunerasi diberikan karena jabatan PNS bukan

karena kinerja. Namun demikian, dalam perkembangan di Jerman terdapat

pula gaji kinerja yang diberikan bagi 15% PNS terbaik dan besarnya tidak

melebihi satu kali gaji pokok, untuk memperkuat eigenverantwortung (tanggung

jawab pribadi) dan kinerja. Adapun Amerika Serikat secara umum memenuhi

kesejahteraan PNS dengan gaji pokok yang besar dan pemberian tunjangan

secara terbatas. Remunerasi tersebut didasarkan pada prinsip merit pay

system dengan menetapkan grade sesuai kinerja, di mana grade tertentu

tersebut berimplikasi pada besaran gaji pokok. Namun demikian, Jerman dan

Amerika Serikat sejalan dengan teori keadilan distributif.

3. Peraturan sistem penegakan disiplin belum sepenuhnya menjamin kedisiplinan

PNS, karena secara nasional pengaturan sanksi dan prosedur progresifnya

yang berimplikasi remunerasi berfokus pada pengisian daftar hadir. Walaupun

secara institusional pada kementerian keuangan telah pula diterapkan berbagai

implikasi remunerasi yang bersifat progresif terhadap berbagai pelanggaran

disiplin, tetapi dalam kenyataannya tercipta kedisiplinan semu. Hal ini

terungkap dengan terjadinya trend peningkatan kepatuhan terhadap pengisian

daftar hadir, sedangkan pelanggaran disiplin ringan, sedang, dan berat

cenderung mengalami peningkatan. Kecenderungan tersebut terjadi

disebabkan gaji pokok yang tergolong kecil, sehingga PNS terdorong

melakukan pelanggaran karena mengkhawatirkan masa pensiunnya.

Pengaturan serupa dilakukan pula di Jerman dan Amerika Serikat walaupun

didasarkan pada prinsip yang berbeda. Di Jerman sejalan dengan

alimentationsprinzip, pemotongan gaji dikenakan hampir pada tiap tingkat

pelanggaran yang dimaksudkan sebagai bentuk tanggung jawab sebagai PNS,

sedangkan di Amerika Serikat sejalan dengan prinsip merit system,

pemotongan hanya dilakukan pada aspek tidak masuk kantor dan pelanggaran

berat yang dimaksudkan sebagai unsur motivasional disiplin bagi PNS. Namun

demikian, Jerman dan Amerika Serikat sejalan dengan teori keadilan korektif.

B. Saran-saran

1. Pemerintah hendaknya menata sistem rekrutmen PNS sejalan dengan prinsip

merit system dan teori keadilan distributif, dengan membentuk peraturan yang

tidak memberlakukan persyaratan yang berbeda terhadap sumber rekrutmen

dan menyiapkan model tes seleksi yang bersifat spesifik yang sesuai dengan

lowongan pekerjaan yang dibutuhkan serta memanfaatkan teknologi dalam

seleksi untuk rekrutmen CPNS, misalnya Computer Assisted Test. Selain itu,

pemerintah hendaknya segera melakukan pengisian Komisi Kepegawaian

Negara untuk mengawasi rekrutmen CPNS dari tahap pendaftaran sampai

dengan pengumuman, dan melakukan seleksi tahap akhir dalam rekrutmen

jabatan struktural, agar terbebas dari pengaruh politik.

2. Pemerintah hendaknya menata sistem remunerasi sejalan dengan prinsip merit

pay system dan teori keadilan distributif, dengan menyiapkan berbagai

peraturan yang mengatur standar kinerja untuk berbagai jabatan dalam

pemerintahan agar kinerja individu dapat diukur dengan baik, sehingga

remunerasi yang diberikan didasarkan kinerja individu untuk mendorong secara

optimal kinerja PNS. Selain itu, pemerintah hendaknya membentuk peraturan

untuk menaikkan besaran gaji pokok secara signifikan dengan

mengintegrasikan sebagian besar tunjangan ke dalam gaji pokok. Untuk itu,

pemerintah hendaknya menyiapkan peraturan skema pensiun yang

diinvestasikan sebagaimana dilakukan di Amerika Serikat untuk mengatasi

permasalahan pembayaran pokok pensiun.

3. Pemerintah hendaknya menata sistem penegakan disiplin yang berimplikasi

terhadap remunerasi sejalan dengan prinsip merit system dan teori keadilan

korektif, dengan menyiapkan peraturan yang berlaku nasional mengenai

berbagai pelanggaran disiplin yang berimplikasi terhadap gaji pokok secara

setimpal dan sangat progresif. Selain itu, pemerintah perlu membuat peraturan

sistem monitoring dan pengawasan yang objektif dan menyiapkan peraturan

yang memungkinkan fleksibilitas untuk pekerjaan-pekerjaan yang

menggunakan teknologi, sebagaimana penerapan telework di Jerman dan

Amerika Serikat.

DAFTAR PUSTAKA

Buku, Disertasi, Makalah:

A. A. Anwar Prabu Mangkunegara. 2007. Evaluasi Kinerja SDM. Cet.ke-3. Bandung: Refika Aditama.

A. A. Gde Putra Agung. 2006. Peralihan Sistem Birokrasi dari Tradisional ke Kolonial. Cet.ke-2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Abdul Razak. 2005. Kedudukan dan Fungsi Peraturan Kebijakan di Bidang Perizinan dalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintahan. Disertasi. Makassar: PPs- Unhas.

Agus Dwiyanto (ed.) 2005. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Cet.ke-1. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Agus Dwiyanto, dkk. 2006. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Cet.ke-2. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Albrow, Martin. 1989. Birokrasi (Bureaucracy). Terjemahan: M.Rusli Karim dan Totok Daryanto. Cet.ke-2. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Ambar Teguh Sulistiyani. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia; Konsep, Teori, dan Pengembangan dalam Konteks Organisasi Publik. Edisi ke-1. Cet.ke-1. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Ambar Teguh Sulistiyani (ed.). 2004. Memahami Good Governance dalam Perspektif Sumber Daya Manusia. Cet.ke-1. Yogyakarta: Gava Media.

Aminuddin. 1999. Privatisasi BUMN Persero. Disertasi. Surabaya: Program Pascasarjana Universitas Airlangga.

Aminuddin Ilmar. 2009. Konstruksi Teori dan Metode Kajian Ilmu Hukum. Cet.ke-1. Makassar: Hasanuddin University Press.

Asmawi Rewansyah. 2010. Reformasi Birokrasi dalam Rangka Good Governance. Cet.ke-1. Jakarta: Yusaintanas.

Black, Donald. 2010. The Behavior of Law. Special Edition. UK:Emerald Group Publishing Limited.

Bodde, Derk. 2004. China and Europe, 1500-2000 and Beyond (What is “Modern”?): Chinese Ideas in The West. Asia for Educators. Columbia University.

Bruggink, J.J.H. 1999. Refleksi Tentang Hukum (Rechts-Reflecties). Terjemahan Arief Sidharta. Cet.ke-2. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Budi Setiyono. 2004. Birokrasi dalam Perspektif Politik dan Administrasi. Edisi ke-2. Semarang: Puskodak-Undip.

Budi Winarno. 2011. Kebijakan Publik; Teori, Proses, dan Studi Kasus. Edisi Revisi dan Terbaru. Yogyakarta: CAPS.

Burbank, Jane and Frederick Cooper. 2010. Empires in World History: Power and the Politics of Difference. Princeton: Princeton University Press

Curzon, L.B. 1979. Jurisprudence. Estover: M&E Handbooks

Derlien, Hans-Urlich and B.Guy Peters (eds.). 2008. The State at Work, Volume 2: Comparatives Public Service Systems. Massachusetts: Edward Elgar.

Dessler, Gary. 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia (Human Resource Management). Jilid 1. Edisi ke-10. Cet.ke-2. Terjemahan: Paramita Rahayu. Jakarta: Indeks.

Dowding, Keith. 1995. The Civil Service. First Publised. London and New York: Routledge

Faisal Abdullah. 2007. Implementasi Prinsip-prinsip Tata Pemerintahan yang Baik (Good Governance) dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Disertasi. Makassar: Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

______. 2009. Jalan Terjal Good Governance; Prinsip, Konsep, dan Tantangan dalam Negara Hukum. Makassar: Pukap-Indonesia.

______. 2012. Hukum Kepegawaian Indonesia. Cet.Ke-1. Yogyakarta: Rangkang Education Yogyakarta dan PuKAP-Indonesia.

Frederickson, H. George. 2003. Administrasi Negara Baru (New Public Administration). Terjemahan: Al-Ghozei Usman. Cet.ke-5. Jakarta: LP3ES.

Friedman, Lawrence M. 1975. The Legal System; a Social Science Perspective. New York: Russell Sage Foundation.

Friedmann, Wolfgang.1971. The State and The Rule of Law in a Mixed Economy. London: Stevens and Sons.

Fountain, Jane E. Bureaucratic Reform and E-Government in the United States: An Institutional Perspective. Center for Public Policy and Administration, Department of Political Science, University of Massachusetts, Amherst. NCDG Working Paper No. 07-006. Submitted September 18, 2007.

Gray, Christoper Berry (ed.). 1999. The Philosophy of Law; An Encyclopedia. London and New York: Garland Publishing.

Harvey, Don dan Robert Bruce Bowin. 1996. Human Resource Management; An Experiental Approach. New Jersey: Prentice Hall.

Ike Kusdyah Rachmawati. 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi ke-1. Yogyakarta: Andi.

Irfan Fachruddin. 2004. Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah. Cet.ke-1. Bandung: Alumni.

Ismail Said. 2001. Pemberdayaan Sumber Daya Aparatur Pemerintah, Ditinjau dari Sudut Hukum Kepegawaian. Disertasi. Makassar: Universitas Hasanuddin.

Jimly Asshiddiqie. 2008. Pokok-pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi. Cet.ke-2. Jakarta Barat: Bhuana Ilmu Populer.

______. 2009. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Edisi ke-1. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

J. Winardi. 2004. Motivasi dan Pemotivasian dalam Manajemen. Cet.ke-3. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Kazin, Michael, Rebecca Edwards, and Adam Rothman (eds.). 2010. The Princeton Encyclopedia of American Political History. Volume 2. Princeton: Princeton University Press.

Kelsen, Hans. 2006. Teori Umum tentang Hukum dan Negara (General Theory of Law and State). Penerjemah: Raisul Muttaqin. Cet.ke-1. Bandung: Nusamedia dan Nuansa.

Lin Sun Cheng (ed.). 2009. Berkshire Encyclopedia of China. First Edition. Great Barrington Massachusetts: Berkshire Publishing Group.

Mathis, Robert L. dan John H.Jackson. 2009. Human Resource Management (Manajemen Sumber Daya Manusia). Terjemahan: Diana Angelica. Edisi ke- 10. Jakarta: Salemba Empat.

Maria Farida Indrati Soeprapto. 1998. Ilmu Perundang-undangan. Yogyakarta: Kanisius.

Marwati Riza. 2009. Perlindungan Hukum Pekerja Migran Indonesia di Luar Negeri. Cet.ke-1. Makassar: AS Publishing.

McNamee, Stephen J.dan Robert K.Miller Jr. 2009.The Meritrocracy Myth. Second Edition. Maryland: Rowman and Littlefield Publisher.

Meuwissen. 2007. Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum. Terjemahan: Arief Sidharta. Cet.ke-1. Bandung: Refika Aditama.

Miftah Thoha. 2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Cet.ke-7. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

______. 2007. Manajemen Kepegawaian Sipil di Indonesia. Cet.ke-2. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

______. 2008. Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi. Edisi ke-1. Cet.ke-1. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

______. Remunerasi dan Perspektif Kinerja Aparatur Negara. Makalah dalam Seminar Manajemen Pemerintahan di Institut Pemerintahan Dalam Negeri, pada 25 Mei 2010.

Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim.1988. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Cet.ke-7. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH-UI.

Moh. Mahfud MD. 2001. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Edisi Revisi. Cet.ke-2. Rineka Cipta.

______. 2009. Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu. Edisi ke- 1.Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Mohtar Mas’oed dan Colin MacAndrews (eds.). 2006. Perbandingan Sistem Politik. Cet.ke-17. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Muh.Guntur Hamzah. 2002. Pengaturan Hukum dan Pelaksanaan Tata Niaga Produk Pertanian. Disertasi. Surabaya: Program Pascasarjana Universitas Airlangga.

Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Cet.ke-1. Jakarta: Prenada Media,

______. 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Edisi ke-1. Cet,ke-1. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Philipus M.Hadjon, et.all. 2002. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Cet.ke-8. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,

Philipus M.Hadjon. 2007. Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia; Sebuah Studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi. Edisi Khusus. Cet.ke-1. Surabaya: Peradaban.

Rawls, John. 2001. Justice as Fairness; a Restatement. Edited: Erin Kelly. Cambridge, Massachussetts, and London, England: The Belknap Press of Harvard University Press.

______. 2006. Teori Keadilan (A Theory of Justice). Terjemahan: Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ridwan HR. 2006. Hukum Administrasi Negara. Cet.ke-2. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Sarlito W.Sarwono. 2005. Psikologi dalam Praktek. Edisi Revisi. Jakarta: Restu Agung.

Satjipto Rahardjo. 2000. Ilmu Hukum. Cet.ke-5. Bandung: Citra Aditya Bakti.

______. 2009. Hukum dan Perubahan Sosial; Suatu Tinjauan Teoretis serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia. Cet.ke-3. Yogyakarta: Genta Publishing.

______. 2009. Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya. Cet.ke-2. Yogyakarta: Genta Publishing.

Sienkewicz, Thomas. 2003. Encyclopedia of the Ancient World. Massachusetts: Salem Press.

S.F.Marbun dan Moh.Mahfud MD. 2004. Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara. Ed.ke-1. Cet.ke-2. Yogyakarta: Liberty

S.F. Marbun, et.all (eds.). 2001. Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara. Cet.ke-1. Yogyakarta; UII Press.

Sjachran Basah.1997. Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia. Cet.ke-3. Bandung: Alumni.

Sofian Effendi. 1990. Perspektif Administrasi Pembangunan Kualitas Manusia dan Kualitas Masyarakat, dalam Seminar Ilmu-ilmu Sosial "Membangun Martabat Manusia".

______. Reformasi Aparatur Negara untuk Melaksanakan Tata Pemerintahan yang Baik. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional AIPI “Reformasi Birokrasi dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia”, di Medan, 3-4 Mei 2006.

Soerjono Soekanto. 2007. Pengantar Penelitian Hukum. Cet.2007. Jakarta: UI-Press

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2007. Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan Singkat. Ed.ke-1. Cet.ke-10. Jakarta: RajaGrafindo Persada,

Sri Hartini, et.all. 2008. Hukum Kepegawaian di Indonesia. Ed.ke-1. Cet.ke-1. Jakarta: Sinar Grafika.

Sri Rahayu Oktoberina dan Niken Savitri (eds.). 2008. Butir-Butir Pemikiran dalam Hukum; Memperingati 70 Tahun Prof.Dr.B.Arief Sidharta. Cet.ke-1. Bandung: Refika Aditama.

Sudiman Dalim, 2010. Politisasi Birokrasi; Netralitas dan Mobilitas PNS dalam Pilkada. Cet. Ke-2. Jakarta: Global Sosiatama.

Suparto Wijoyo. 2005. Laku Lika-Liku Ilmu Hukum. Cet.ke-1. Surabaya: Airlangga University Press.

Syamsul Bachri. 2002. Perlindungan Hukum terhadap Lingkungan Hidup Melalui Sarana Keputusan Tata Usaha Negara; Suatu Analisis Perizinan di Bidang Pengelolaan Lingkungan Hidup di Propinsi Sulawesi Selatan. Disertasi. Makassar: Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

Unger, Roberto Mangabaire. 1986. The Critical Legal Studi Movement. Cambridge, Massachussetts, and London, England: Harvard University Press.

Dokumen-Dokumen:

Badan Pusat Statistik. 2011. Pengembangan Beberapa Indikator Utama Sosial- Ekonomi Indonesia. Katalog BPS 3101015.

Bundesbeamtengesetz/BBG.

Bundesbesoldungsgesetz/BBesG.

Bundesgleichstellungsgesetz/BGleiG.

Bundesdisziplinargesetzes/BDG.

Deputi SDM Aparatur Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Program Penataan SDM Aparatur. Power Point dalam Sosialisasi Reformasi Birokrasi Pemerintah Daerah pada tanggal 24 April 2012.

Direktorat Jenderal Pajak-Kementerian Keuangan RI. 2012. Laporan Tahunan 2011. Jakarta.

DPR RI. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara.

______. Rancangan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara.

______. Risalah Rapat Kerja/Rapat Dengar Pendapat Komisi II DPR RI dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, dan Badan Kepegawaian Negara (Bidang Pemerintahan Dalam Negeri, Otonomi Daerah, Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kepemiluan, Pertanahan Dan Reforma Agraria). Pada 16 Oktober 2012. Acara: Rekrutmen CPNS 2012 dan Laporan Perkembangan K1 dan K2. Ketua Rapat: Drs. Abdul Hakam Naja, M.Si (Wakil Ketua Komisi II DPR RI). Dengan Sekretaris: Drs. Hani Yuliasih.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Reformasi Birokrasi; Peluang dan Tantangan. Power Point disampaikan dalam Sosialisasi Reformasi Birokrasi pada Pemerintah Daerah Regional II (Provinsi/Kabupaten/Kota se-Jawa (Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur), Bali, NTT, NTB) di Mataram pada 9 April 2012.

Nota Keuangan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2013.

Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.

______. Undang-Undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No.43 Tahun 1999.

______. Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025.

______. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil, yang diubah empat belas kali, terakhir dengan Peraturan Pemerintah No.15 Tahun 2012.

______. Peraturan Pemerintah No.98 Tahun 2000 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil, sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2002.

______. Peraturan Pemerintah No.99 Tahun 2000 tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No.12 Tahun 2002.

______. Keputusan Presiden Kabinet No. A3/D/44a/1966 tentang biaja chusus pengamanan pemasukan penerimaan padjak, bea dan tjukai

______. Keputusan Presiden No. 15 Tahun 1971 tentang tundjangan chusus pembinaan keuangan negara kepada pegawai departemen keuangan

______.Peraturan Pemerintah No.100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan Struktural, sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah No.13 tahun 2002.

______.Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang pengangkatan CPNS dari Tenaga Honorer.

______.Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang pengangkatan CPNS dari Tenaga Honorer.

______. Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tetang pengangkatan CPNS dari Tenaga Honorer.

______. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014.

______. Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025.

______. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No.20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014.

______. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 63 Tahun 2011 tentang Pedoman Penataan Sistem Tunjangan Kinerja Pegawai Negeri.

______. Peraturan Bersama Menteri PAN dan RB, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Keuangan, Nomor:02/SPB/M.PAN-RB/8/2011, Nomor:800-632 Tahun 2011, Nomor:141/PMK.01/2011 tentang Penundaan Sementara Penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil.

______. Peraturan Menteri Keuangan No.41/PMK.01/2011 tentang Penegakan Disiplin dalam kaitannya dengan Pemberian Tunjangan Khusus Pembinaan Keuangan Negara kepada Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Kementerian Keuangan

______. Peraturan Kepala BKN No. 22 Tahun 2005 tentang Pedoman Pelaksanaan Calon Pegawai Negeri Sipil Tahun 2005.

______. Peraturan Kepala BKN Nomor 21 Tahun 2005 tentang Pedoman Pendataan dan Pengolahan Tenaga Honorer Tahun 2005.

______. Peraturan Kepala BKN Nomor 30 Tahun 2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil.

______. Peraturan Kepala BKN Nomor 9 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil.

U.S. United States Code.

___. No Fear Act 2002.

___. Executive Order 11935.

___. Executive Order 13583.

____. Human Resources Manual. Instruction 752: Discipline and Adverse Action. Issuance Date: 03/20/2009.

___. Office of Personnel Management. Clasifier Handbook.Washington D.C.

____. Office of Personnel Management. Handbook of Occupational Groups & Families and the Introduction to the Position Classification Standards. Washington D.C.

___. Office of Personnel Management. Educational and Training Provisions or Requirements. Washington D.C.

___. Office of Personnel Management. Standards Qualifications. Washington D.C.

___. Office of Personnel Management. Introduction to the Position Classification Standards. TS-134 July 1995, TS-107 August 1991. Revised: August 2009. Washington D.C.

___. Office of Personnel Management.2008.Human Resources Flexibilities and Authorities in the Federal Government. Washington D.C.

____. Office of Personnel Management. 2008. Disciplinary Best Practices and Advisory Guidelines Under The No Fear Act. Washington DC.

____. Office of Personnel Management.Human Resources Manual. Instruction 752: Discipline and Adverse Action. Issuance Date: 03/20/2009. Washington DC.

___. Office of Management Personnel. 2009. Status of Telework in The Federal Government; Report to The Congress. Washington D.C.

___. Office of Management Personnel - Office of Diversity and Inclusion.2011. Government Wide-Diversity and Inclusion Strategic Plan.Washington D.C.

___. Office Of Personnel Management. 2011. Status of Telework in the Federal Government Report to the Congress; A New Day for Federal Service. Washington D.C.

___. Office of Personnel Management. 2012. Guide to Executive Senior Service Qualifications. Washington D.C.

____. Office of Personnel Management. 2012. General Schedule Classification and Pay. Washington D.C.

Sumber lainnya:

American Government. 8a. The Development of the Bureaucracy. http://www.ushistory.org/gov/8a.asp, diakses 11 Agustus 2012.

Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan – Kementerian Keuangan. Ujian Saringan Masuk STAN. 11 September 2012. http://bppk.depkeu.go.id/index.php/id/usm-stan

Balipublika. Bola Liar Kecurangan Seleksi Amtenar. 21 Februari 2013. http://balipublika.com/bola-liar-kecurangan-seleksi-amtenar/

Badan Kepegawaian Negara. Distribusi PNS Berdasarkan Kelompok Jenis Jabatan dan Jenis Kelamin 1 Oktober 2011. http://www.bkn.go.id/in/profil/unit- kerja/inka/direktorat-pengolahan-data/profil-statistik-pns/distribusi-pns- berdasarkan-kelompok-jenis-jabatan-dan-jenis-kelamin-1-oktober-2011.html

Berita Ombudsman RI, Rubrik kerjasama Pedoman News dan Ombudsman RI. Ombudsman Catat Ada 60 Pengaduan dalam Seleksi CPNS Tahun 2012. 16 Oktober 2012. http://www.pedomannews.com/berita-ombudsman- ri/16955-ombudsman-catat-ada-60-pengaduan-dalam-seleksi-cpns-tahun- 2012

Bundeministerium der Innern. Einstellungsvoraussetzungen und berufliche Entwicklungsmöglichkeiten.http://www.bmi.bund.de/DE/Themen/OeffentlDie nstVerwaltung/OeffentlicherDienst/Beamte/Laufbahnrecht/laufbahnrecht_no de.html, diakses 11 Agustus 2012.

______. Die Besoldung der Beamtinnen und Beamten; Alle wichtigen Informationen zu den Regelungen bei der Besoldung im öffentlichen Dienst. http://www.bmi.bund.de/DE/Themen/OeffentlDienstVerwaltung/Oeffentlicher Dienst/Beamte/Besoldung/besoldung_node.html, diakses 27 Agustus 2012.

______. Versorgung. Leitfaden zur Leistungsbewertung. http://www.bmi.bund.de/DE/Themen/OeffentlDienstVerwaltung/Oeffentlicher Dienst/Personalmanagement/Leistungsbewertung/leistungsbewertung_node .html, 2 November 2012.

Central Intelligence Agency. The World Factbook. https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/us.html, diakses 10 September 2012

China.com. Cultural China: Profile of Han Fei Zi. http://history.cultural- china.com/en/167History9532.html, diakses 9 Juni 2012.

Detik News. Hanya Lima Persen PNS yang Kompeten, Lakukan Reformasi Sistem Rekrutmen!. 2 Maret 2012. http://news.detik.com/read/2012/03/02/092820/1856110/10/hanya-5-persen- pns-yang-kompeten-lakukan-reformasi-sistem-rekrutmen?nd992203605

Detik Finance. PNS ingin Usaha Sampingan, Ini Tips dari Anggota DPR. 27 Februari 2012. http://finance.detik.com/read/2012/02/27/103233/1852195/4/pns-ingin- usaha-sampingan-ini-tips-dari-anggota-dpr

Eko Prasojo Official Website. Aparatur dalam Krisis Ekonomi. 18 Februari 2012.http://ekoprasojo.com/2012/02/18/aparatur-dalam-krisis-ekonomi/

______. Rekening Gendut PNS, Bagaimana Modusnya?. 6 Maret 2012. http://ekoprasojo.com/2012/03/06/rekening-gendut-pns- bagaimana-modusnya/

______. Eko Prasojo: Kunci Investasi Ada pada Birokrasi yang Bersih. 25 April 2012. http://ekoprasojo.com/2012/04/25/eko-prasojo- kunci-investasi-ada-pada-birokrasi-yang-bersih/

______. Korupsi Berawal dari Masalah Sepele. 25 April 2012. http://ekoprasojo.com/2012/04/25/korupsi-berawal-dari-masalah- sepele/

______. Eko Prasojo: Reformasi Birokrasi Harga Mati. 7 Mei 2012. http://ekoprasojo.com/2012/05/07/eko-prasojo-reformasi-birokrasi- harga-mati/

______. Awal 2013 Honorer K1 Sudah Terima SK PNS. 25 Juni 2012. http://ekoprasojo.com/2012/06/25/awal-2013-honorer-k1-sudah- terima-sk-pns/

______. Birokrasi Abu-abu Masih Disukai. 2 Juli 2012. http://ekoprasojo.com/2012/07/02/birokrasi-abu-abu-masih-disukai/

______. Komitmen Politik dan Mesin Penggerak Reformasi Birokrasi Masih Mengkhawatirkan. 10 September 2012. http://ekoprasojo.com/2012/09/10/komitmen-politik-dan-mesin-penggerak- reformasi-birokrasi-masih-mengkhawatirkan/#more-406

______. Kemenpan Terapkan Komputerisasi dalam Seleksi CPNS. 21 September 2012. http://ekoprasojo.com/2012/09/21/kemenpan-terapkan-komputerisasi-dalam- seleksi-cpns/#more-410

______. Tunjangan Kinerja Harus Sampai ke Level Individu. 30 September 2012. http://ekoprasojo.com/2012/09/30/eko-prasojo- tunjangan-kinerja-harus-sampai-ke-level-individu/#more-417

Embassy of The United States. Lembar Informasi: Biaya Studi di Amerika Serikat yang Sebenarnya. http://indonesian.jakarta.usembassy.gov/biaya-studi.html, diakses 12 September 2012.

Fredy Joko. Management Assessment Center BPKP (MAC BPKP). http://pusdiklatwas.bpkp.go.id/artikel/namafile/8/mac.pdf, diakses 3 Maret 2012.

Encyclopaedia Britannica. Facts Matter: Spoils System. http://global.britannica.com/EBchecked/topic/560744/spoils-system, diakses 17 Januari 2012.

Global One International. Amerika Serikat. http://globaloneworld.com/destination- country/55-amerika-serikat, diakses 12 September 2012.

Jawa Pos National Network Mobile. Diakui, Banyak Rapor Merah Reformasi Birokrasi. 8 Juni 2010. http://www.jpnn.com/m/news.php?id=65418

______. Tunjangan Kinerja Maksimal 15 Persen. 5 Desember 2010. http://www.jpnn.com/read/2010/12/05/78849/Tunjangan- Kinerja-Maksimal-15-Persen-

______. Sistem Penggajian PNS Diubah. 19 Maret 2011. http://www.jpnn.com/read/2011/03/19/87149/Sistem-Penggajian-PNS- Diubah-

______. Reformasi Birokrasi 139 Instansi Dipantau Secara Online. 20 Juni 2012. http://www.jpnn.com/read/2012/06/20/131295/Reformasi-Birokrasi-139- Instansi-Dipantau-Secara-Online-

______. Kementerian PAN dan RB Tidak Khawatir Membebani APBN. 2 Mei 2012. http://www.jpnn.com/read/2012/05/02/126164/index.php?mib=berita.detail&i d=126700

______. Hanya Fokus Remunerasi, Kinerja Tetap Rendah. 20 Mei 2012. http://www.jpnn.com/read/2012/05/20/127895/Hanya- Fokus-Remunerasi,-Kinerja-Tetap-Rendah-

______. Inilah 32 Daerah yang Data Honorernya Bermasalah. 15 Januari 2013. http://www.jpnn.com/read/2013/01/15/154532/Inilah-32-Daerah-yang-Data- Honorernya-Bermasalah-

Kompas.com. Remunerasi Gagal Mereformasi Birokrasi. 7 April 2010. http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/04/07/18454996/Remunerasi. Gagal.Mereformasi.Birokrasi

______. Jalan Terjal Reformasi Birokrasi. 5 Maret 2012. http://nasional.kompas.com/read/2012/03/05/01594862/Jalan.Terjal.Reforma si.Birokrasi

______. SKB Moratorium PNS resmi dtandatangani. 24 Agustus 2011. http://nasional.kompas.com/read/2011/08/24/15160572/SKB.Moratorium.PN S.Resmi.Ditandatangani

______. Reformasi Birokrasi Mandek. 3 Mei 2012. http://nasional.kompas.com/read/2012/05/03/23404717/Reformasi.Birokrasi. Mandek

______. Birokrasi Terkooptasi Politik. 24 Juli 2012. http://cetak.kompas.com/read/2012/07/24/04340590/Birokrasi.Terkooptasi.P olitik

______. Hasil Tes CPNS 2012? 28 September 2012. http://nasional.kompas.com/read/2012/09/28/11323918/Ini.Hasil.Tes.CPNS. 2012?gclid=CJfL74nr17ICFUsb6wodSBAA1g

______. Jerman Negara Favorit Mahasiswa Indonesia. 29 Maret 2012. http://edukasi.kompas.com/read/2012/03/29/10552426/Jerman.Negara.Favo rit.Mahasiswa.Indonesia

Manning, Nick dan Dove Suzanne. Recruitment and Promotion. The World Bank. Administrative and Civil Service Reform. http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/TOPICS/EXTPUBLICSECTO RANDGOVERNANCE/EXTADMINISTRATIVEANDCIVILSERVICEREFORM /0,,contentMDK:20134008~menuPK:286372~pagePK:148956~piPK:216618 ~theSitePK:286367,00.html, 7 Juni 2012.

Max Weber.1947. The Theory of Social and Economic Organization. Translated by A. M. Henderson & Talcott Parsons. The Free Press, dalam HRM Guide UK. 2012. Classical Organization Theory: Bureaucracy, Power and Control. http://www.hrmguide.co.uk/history/classical_organization_theory.html

Menpan.go.id. Satu Juta PNS Fungsional Disiapkan. 29 Desember 2011. http://www.menpan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=6 7:satu-juta-pns-fungsional-disiapkan&catid=35:liputan-media

______. UGM Ketua Konsorsium 10 PTN Seleksi CPNS. 26 Januari 2012. http://www.menpan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=9 2:ugm-ketua-konsorsium-10-ptn-seleksi-cpns&catid=1:berita-terbaru

______. Terbitnya PP No.56/2012 Tuntaskan Masalah Honorer. 4 Juni 2012. http://www.menpan.go.id/index.php?view=article&catid=1%3Aberitaterbaru&i d=254%3Aterbitnya-pp-no-562012-tuntaskan-masalah honorer&format=pdf&option=com_content

______. Menteri PAN dan RB Lantik Kepala BKN dan Kepala LAN. 22 Juni 2012.http://www.menpan.go.id/index.php?option=com_content&view=article &id=270:menteri-pan--rb-lantik-kepala-bkn-dan-kepala-lan&catid=34:berita- foto

______. Ujian Seleksi CPNS Serentak Tanggal 8 September. 20 Juli 2012. http://www.menpan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=2 86:ujian-seleksi-cpns-serentak-tanggal-8-september&catid=1:berita-terbaru

______. Pengumuman Hasil Test CPNS Tanggal 19 September. 17 September 2012. http://www.menpan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=3 11:pengumuman-hasil-test-cpns-tanggal-19-september&catid=1:berita- terbaru

______. Passing Grade CPNS Tak Dapat Ditawar-tawar. 25 September 2012.http://www.menpan.go.id/index.php?option=com_content&view=article &id=356:passing-grade-tkd-cpns-tak-dapat-ditawar-tawar&catid=1:berita- terbaru

______. Cek Data Honorer, Tim Pusat Datangi 33 Daerah. 11 Januari 2013. http://menpan.go.id/liputan-media/86-bidang-pan/885-cek-data-honorer-tim- pusat-datangi-33-daerah

Merdeka.com. Eko Prasojo (1): Orang Masuk PNS Warga Kelas Dua. 9 Maret 2012. http://www.merdeka.com/khas/eko-prasojo-1-orang-masuk-pns-warga-kelas- dua.html

______. Eko Prasojo (3): Remunerasi Diberikan Kepada Kementerian Terbaik. 9 Maret 2012. http://www.merdeka.com/khas/eko-prasojo-3-remunerasi- diberikan-kepada-kementerian-terbaik.html

Merriam-Webster.com. An Enclopaedia Britannica Company. Discipline. http://www.merriam-webster.com/dictionary/discipline, diakses 8 Juni 2012.

______. An Encyclopaedia Britannica Company. Merit. http://www.merriam-webster.com/dictionary/merit, diakses 8 Juni 2012.

______. An Encyclopaedia Britannica Company. Merit System. http://www.merriam-webster.com/dictionary/merit%20system, diakses 8 Juni 2012. ______. An Encyclopaedia Britannica Company. Patronage. http://www.merriam-webster.com/dictionary/patronage, diakses 17 Januari 2012.

______. An Encyclopaedia Britannica Company. Recruitment. http://www.merriam-webster.com/dictionary/recruitment, diakses 8 Juni 2012.

______. An Encyclopaedia Britannica Company. Recruit. http://www.merriam-webster.com/dictionary/recruit, diakses 8 Agustus 2012.

______. An Enclopaedia Britannica Company. Reform. http://www.merriam-webster.com/dictionary/reform, diakses 8 Juni 2012.

______. An Encyclopaedia Britannica Company. Remuneration. http://www.merriam-webster.com/dictionary/remuneration, diakses 8 Juni 2012.

______. An Encyclopaedia Britannica Company. Spoil System. http://www.merriam-webster.com/dictionary/spoils%20system, diakses 17 Januari 2012.

Oxford Dictionary of Politic. Meritocracy .http://www.answer.com/library/Political+Dictonary-cid-51074, diakses 8 Juni 2012.

Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan. Pilot Project Reformasi Birokrasi Nasional. 2 Juni 2009. http://www.reform.depkeu.go.id/mainmenu.php?module=news&id=84

______. Reformasi Birokrasi Depkeu, Patutkah Didukung? http://www.reform.depkeu.go.id/mainmenu.php?module=news&id=12, diakses 26 Juli 2012.

______. Promosi dan Mutasi Tanpa Prasangka. http://www.reform.depkeu.go.id/mainmenu.php?module=news&id=38, diakses 27 Juli 2012.

______. Standard Operating Procedures. http://www.reform.depkeu.go.id/mainmenu.php?module=sop, diakses 28 Juli 2012.

______. Tak Terlihat Bukan Berarti Tak Berbuat.http://www.reform.depkeu.go.id/mainmenu.php?module=news&id=1 3, diakses pada 29 Juli 2012.

______. Tunjangan Kinerja Segera di Terapkan di Kemenkeu. http://www.reform.depkeu.go.id/mainmenu.php?module=news&id=108, diakses 30 Agustus 2012.

Schmidt. Jr, Charles T. and Richard W.Scholl. 2006. Reward and Evaluation Systems. Labour Research Center. The University of Rhode Island. http://www.uri.edu/research/lrc/scholl/webnotes/Reward_Systems.htm, diakses 8 Juni 2012.

Suara Karya Online. Pelantikan Agus Dwiyanto Jabat Kepala LAN. 22 Juni 2012. http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=305945

Synnerstron, Staffan. dkk. Civil Service Law & Employment Regimes. The World Bank. Administrative and Civil Service Reform. http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/TOPICS/EXTPUBLICSECTO RANDGOVERNANCE/EXTADMINISTRATIVEANDCIVILSERVICEREFORM /0,,contentMDK:20133489~menuPK:286372~pagePK:148956~piPK:216618 ~theSitePK:286367~isCURL:Y,00.html, diakses 10 Agustus 2012.

Tempo.co. Inilah Penghasilan Pegawai Pajak Golongan III. 5 Maret 2012. http://www.tempo.co/read/news/2012/03/05/063387980/Inilah-Penghasilan- Pegawai-Pajak-Golongan-III

The Jakarta Post. Opinion. Eko Prasojo (Deputy Administrative Reforms Minister). Indonesian Bureaucratic Reform in The Making. 8 Maret 2012.http://www.thejakartapost.com/news/2012/03/08/indonesian- bureaucratic-reform-making.html:

UGM. Pemerintah Dituntut Menaikkan Kesejahteraan Pegawai. 30 Nov 2007. http://ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=1047

_____. Selama Belum Ada Reformasi Birokrasi, PNS Akan Cenderung Korup. 19 Desember 2007. http://ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=1094

_____. Pakar UGM: Reformasi Birokrasi SBY Telah Gagal Sebelum Lahir. 29 Mei 2011. http://ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=3803

_____. Pertaruhan Reformasi Birokrasi di Indonesia. 5 Juni 2012. http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=4702

Unhas.ac.id. Kuliah Umum Reformasi Birokrasi. http://unhas.ac.id/fisip/index.php/mahasiswa/ukm/26-fisip-news/29-kuliah- umum-reformasi-birokrasi

U.S. Cencus Bureau. American Factfinder; Population and Housing Narrative Profile 2011.http://factfinder2.census.gov/faces/tableservices/jsf/pages/productview. xhtml?pid=ACS_11_1YR_NP01&prodType=narrative_profile, diakses 10 September 2012.

US. Office of Personnel Management. Explanation of Terms. http://www.opm.gov/qualifications/policy/Terms.asp, diakses 10 September 2012.

______.Standards.http://www.opm.go v/qualifications/, diakses 10 September 2012.

______. Test Requirements. www.opm.gov/qualifications/policy/test-reqs.asp, diakses 10 September 2012.

______. Other Requirements or Provisions. http://www.opm.gov/qualifications/policy/ApplicationOfStds- 09.asp, diakses 10 September 2012.

______. Work Schedules. http://www.opm.gov/oca/worksch/index.asp, diakses 11 September 2012.

______. Premium Pay. http://www.opm.gov/oca/pay/HTML/factindx.asp~~V, diakses 11 September 2012.

______. Federal Classification and Job Grading System. http://www.opm.gov/fedclass/html/fwsdocs.asp, diakses 11 September 2012.

______.Wage.http://www.opm.gov/oc a/Wage/index.asp, diakses 30 September 2012.

______. Rates Of Basic Pay For Employees In Senior-Level (SL) And Scientific Or Professional (ST) Positions. http://www.opm.gov/oca/12tables/html/SLST.asp, diakses 30 September 2012.

Wordreference.com.Remuneration.http://www.wordreference.com/definition/remuner ation, 8 Juni 2012.