Perubahan Pangaksama Ista Dewata Dalam Sastra Jawa Kuna Kajian Teologi-Sastra

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Perubahan Pangaksama Ista Dewata Dalam Sastra Jawa Kuna Kajian Teologi-Sastra Vol. 10 No. 1 Maret 2020 p-ISSN : 1979-634X e-ISSN : 2686-0252 http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/Kalangwan PERUBAHAN PANGAKSAMA ISTA DEWATA DALAM SASTRA JAWA KUNA KAJIAN TEOLOGI-SASTRA Oleh : Gede Agus Budi Adnyana Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar E-mail: - Diterima 04 Januari 2020, direvisi 09 Januari 2020, diterbitkan 31 Maret 2020 Abstract Pangaksama dalam sastra Jawa Kuna, menunjukan ista dewata yang dipuja oleh rakawi Jawa Kuna di dalam menuliskan karya sastranya. Secara pasti pangaksama merubah seluruh teologi sastra dari paham Waishnawa menjadi paham Siwaisme yang kenal akan kekuatan magis. Perkembangan dari fase- fase sastra Jawa Kuna, secara keseluruhan merujuk pada keyakinan Siwa sebagai ista dewata yang utama. Bagian terpenting dari sastra itu sendiri adalah untuk menemukan kebijaksanaan dan sastra di sini sebagai penuntun serta petunjuk untuk mengarah kepada kesadaran rohani. Keywords: Pangaksama dan Sastra Jawa Kuna. I. PENDAHULUAN keinginan kuat untuk menuliskan hal-hal agung. Dalam Kamus Bahasa Jawa Kuna kata Pola pangaksama akan dapat “pangaksama” memiliki arti pernyataan diri ditemukan secara mendasar dalam bagian sebagai pembuka (Warna, 1988:210) pertama pada setiap karya sastra Jawa Kuna. Pangaksama jika diartikan dalam Pangaksama secara harfiah berarti sebuah padanan bahasa Bali, akan memiliki “permakluman”. Permakluman di sini tentu pengertian “atur piuning”. Yakni sebuah saja ditulis oleh rakawi (pujangga Jawa Kuna) keadaan dimana seseorang akan mengatakan kepada para Dewata, kepada raja-raja yang tujuan dirinya sendiri, kemudian memerintah ketika karya sastra itu dibuat atau menghaturkan sembah. Tentu saja, “atur digubah, serta pernyataan diri sebagai seorang piuning” ini dilakukan oleh pujangga Jawa “rendah tidak berilmu” namun memiliki Kuna untuk menyatakan diri sebagai orang 13 Vol. 10 No. 1 Maret 2020 “tidak terpelajar” sebagai bagian etika serta Dewata yang diyakini sebagai pencipta dunia. sebagai bagian dari rasa rendah hati yang Pola Pangaksama tersebut akan didahului dimiliki oleh orang Jawa terdahulu. dengan stava (penghormatan) kepada sosok Kemudian pangaksama dengan arti sebagai astral seperti Dewata, roh leluhur serta sembah bhakti dari rakawi kepada Dewata kekuatan alam. pola ini berlaku di seluruh yang dipujanya, menjadi bagian utama untuk karya sastra Jawa Kuna, baik dalam bentuk mengetahui, mazab mana yang dianut rakawi puisi, prosa ataupun dalam bentuk prasi tersebut di dalam menuliskan karya sastranya. (gambar berkisah). Untuk lebih memperjelas, Maka ini akan tergantung dari mazab maka di bawah ini akan dikutip pangaksama keyakinan apa yang dianut oleh rakawi di sastra Jawa Kuna dalam bentuk prosa, dari dalam menuliskan karya sastranya. kitab Adi Parwa I.1, sebagai berikut. “Yayati, Parasarasunus II. PEMBAHASAN Satyawati hrdaya nandano byasah Keyakinan terhadap Tuhan dan cara Terjemahannya pandang rakawi terhadap Tuhan, menjadi “Kepada Maharaja Yayati, kepada sebuah bagian utama dalam membedah Bhagawan Parasara dan Dewi Satyawati, pangaksama dari sudut pandang teologi serta puteranya bernama Maharesi sastra. Sebab ketuhanan dalam sastra Jawa Wyasa”. (Adi Parwa. I.1) Kuna, sangat kompleks, dari paham totemisme, animesmi, dinamisme, politeisme, monotheisme, hingga pantheisme dirangkum Pangaksama di atas dalam kitab Adi dalam pangaksama beragam jenis oleh para Parwa I.1, secara terang menyatakan sembah pujangga sastra Jawa Kuna. penulis kepada Bhagawan Parasara, Seluruh cara pandang mengenai kemudian Maharaja Yayati, kemudian Dewi kebenaran hakiki oleh para rakawi tersebut, Satyawati, kemudian Bhagawan Wyasa. Hal secara nyata tidak langsung memberikan ini menunjukan bahwa pangaksama ditujukan sebuah penekanan akan karakter penulis di era kepada roh leluhur dan insan yang diyakini Jawa Kuna. Tidak semua karya sastra Jawa dalam agama Hindu sudah berada di alam- Kuna menerakan secara langsung nama alam dewata. Maharaja Yayati disebutkan penulisnya. Sebagian besar karya sastra Jawa dalam Vishnu Purana dan kitab lainnya Kuna adalah anonim (tanpa nama) serta sebagai luhurnya para Pandawa dan Kaurawa. kendatipun ada karya sastra yang memiliki Dalam pandangan agama Hindu, leluhur yang nama, itu hanya beberapa bagian saja dan sudah sangat jauh tingkatannya diyakini itupun nama samaran. Dalam pangaksama mendiami alam-alam dewata. Maka tidak karya sastra Jawa Kuna, tidak terteranya nama mengherankan jika penulis prosa Jawa Kuna penulis yang asli, bukan dikarenakan sebuah dalam kitab Adi Parwa ini memandang alasan karena penulis merasa tidak percaya Maharaja Yayati sebagai personalitas yang diri dengan karya sastranya, melainkan karena wajib untuk dihormati. sebuah kerendahan hati serta beberapa faktor Pandangan ini mengarah pada rasa politik yang ada di jaman ketika karya sastra segan dan hormat kepada tetua dan mereka itu ditulis. yang memang sepantasnya untuk dihormati. Faktor politik secara nyata memang Kemudian pangaksama berada pada ada, namun sisi ini dikesampingkan untuk penghormatan untuk Maharesi Parasara dan melihat secara detail, bagaimana penghayatan Maharesi Wyasa. Sejatinya gelar Wyasa ini penulis terhadap Tuhan serta realisasi dirinya adalah diperuntukan bagi setiap Brahmana sendiri secara nyata dalam kerendahan hati yang telah berhasil mengkodifikasi dan yang tersirat pada setiap pangaksama dalam mengumpulkan mantra kitab Veda (Dipavali, karya sastra Jawa Kuna. Penulis sastra Jawa 2000: 69). Dalam catatan sejarah Hindu yang Kuna, akan mengucapkan doa secara disusun oleh Visvanathan, ada tercatat 24 mendalam kepada Tuhan sekaligus kepada 14 Vol. 10 No. 1 Maret 2020 orang Brahmana yang menerima gelar Wyasa. (Adi Parwa. I.1) Gelar ini diberikan oleh guru dalam sebuah geneologi garis perguruan guru suci Kata “jagatam Siwa itim” secara rohani yang disebut dengan guru parampara harfiah berarti “Jagat” dunia, kemudian dalam agama Hindu. Secara gari besar, gelar “Siwa” merujuk pada Bhatara Siwa, dan kata ini disematkan kepada personalitas yang “itim” artinya adalah “ini”. Dengan demikian memiliki kompetensi serta pengaruh besar dapat diartikan sebagai “Seluruhnya kepada bagi kemajuan peradaban sastra suci di Bhatara Siwa, yang mengadakan dunia ini”. Bharatawarsa (India). Mengingat karya Pangaksama ini kemudian merujuk pada sastra Jawa Kuna, juga bersumber dari India, sebuah pola penghormatan kepada Bhatara maka gelar ini pun juga akan mengikuti dalam Siwa, yang diyakini sebagai personalitas pola penghormatan kepada para orang suci Dewata yang mengadakan seluruh dunia. Pola yang layak untuk dihormati. Beberapa penghormatan ini adalah sebuah stava dalam Brahmana yang menerima gelar Wyasa tradisi Hindu, yakni sebuah tata cara adalah Bhagawan Bhrgu, Bhagawan memuliakan Dewata dengan memberikan Parasara, Bhagawan Yajnawalya, Bhagawan pujian dan sanjungan yang indah. Krsna Dwaipayana. Karya sastra Jawa Kuna, hampir Pangaksama yang terdapat di dalam secara keseluruhan mengikuti pola demikian. prosa Jawa Kuna kitab Adi Parwa, Artinya dalam pangaksamanya dimulai menyebutkan nama Bhagawan Parasara, dengan penghormatan kepada roh leluhur, kemudian menyebutkan juga nama Bhagawan orang suci dan raja-raja besar, barulah Wyasa. Tentu saja ini diperuntukan bagi dua penghormatan kepada para Dewata. orang dengan personalitas yang berbeda. Demikian pula dengan karya sastra berbentuk bhagawan Parasara akan berbeda dengan Kakawin. Pola ini ditemukan hampir sama, Bhagawan Wyasa yang disebutkan dalam Adi berikut kutipan dari Kakawin Arjuna Wiwaha Parwa vesi Jawa Kuna ini. meskipun dalam Sargah I, Pada 1, sebagai berikut. literatur Siva Purana, Bhagawan Parasara “Ambek Sang Paramartha Pandhita juga menerima gelar Wyasa, akan tetapi Huwus limpad saking sunyata, Bhagawan Wyasa yang disebutkan dalam Tan saking wisaya prayojana nira pangaksama ini adalah Bhagawan Krsna Lwir sanggraheng lokika, Dwaipayana Wyasa. Dalam tradisi Jawa, Sidhaning yasa wirya de nira, lebih dikenal dengan sebutan Bhagawan Sukaning rat kiningkinira Abhyasa. Santosa helatan kelir sira, Pola pangaksama ini menunjukan Saking Sang Hyang Jagatdakara” bahwa penghormatan yang dilakukan oleh Terjemahannya penulis sastra Jawa Kuna, bukan hanya untuk “Keinginan orang yang bijaksana, meninggikan Tuhan, namun juga roh leluhur seorang Pandhita terlepas dan menyatu dan orang suci yang dipandang memiliki andil dengan alam sunya. Bukan lantaran besar dalam peradaban Hindu. Setelah ingin terkenal, tetapi hanya mengutarakan penghormatan kepada roh leluhur dan orang hal-hal yang seharusnya diketahui suci, maka berlanjut pada penghormatan oleh masyarakat umum. Hanya kesucian kepada para Dewata. Seperti pada penggalan diri dan kemakmuran dunia yang berikut ini. menjadi tujuannya. Hanya menyembah “Wamadakya sakalam kepada Bhatara Siwa sajalah Jagatam Siwa iti” tujuannya”. (Kakawin Arjuna Wiwaha. I.1) Terjemahanya “Seluruhnya kepada Bhatara Siwa Kutipan di atas dalam sastra Jawa yang mengadakan semua ini”. Kuna berbentuk kakawin, memiliki kesamaan, yakni memuja Bhatara Siwa. 15 Vol. 10 No. 1 Maret 2020 Beberapa teks yang masuk dalam teks sastra itu masuk dalam jajaran sastra rohani Waisnawa-pun, kemudian berubah menjadi atau tidak. Meskipun ada beberapa pandangan Siwaisme ketika masuk ranah Jawa Kuna. mengenai Tuhan. Konsep ketuhanan dalam Terlebih teks Adi Parwa yang berbahasa Jawa sastra Jawa Kuna, merupakan sebuah Kuna. Seperti yang kita ketahui bersama, paradigma yang beragam. Tidak secara bahwa Adi Parwa yang dibahasa Jawa keseluruhan, sastra asli yang berbahasa Kunakan pada proyek Mangjawaken Wyasa Sansekerta dari India, kemudian di adaptasi Mata,
Recommended publications
  • Kakawin Ramayana
    KAKAWIN RAMAYANA Oleh I Ketut Nuarca PROGRAM STUDI SASTRA JAWA KUNO FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA APRIL 2017 Pengantar Peninggalan naskah-naskah lontar (manuscript) baik yang berbahasa Jawa Kuna maupun Bali yang ada di masyarakat Bali telah lama menjadi perhatian para peneliti baik peneliti nusantara maupun asing. Mereka utamanya peneliti asing bukan secara kebetulan tertarik pada naskah-naskah ini tetapi mereka sudah lama menjadikan naskah-naskah tersebut sebagai fokus garapan di beberapa pusat studi kawasan Asia Tenggara utamanya di eropa. Publikasi-publikasi yang ada selama ini telah membuktikan tingginya kepedulian mereka pada bidang yang satu ini. Hal ini berbeda keadaannya dibandingkan dengan di Indonesia. Luasnya garapan tentang bidang ini menuntut adanya komitmen pentingnya digagas upaya-upaya antisipasi untuk menghindari punahnya naskah-naskah dimaksud. Hal ini penting mengingat masyarakat khususnya di Bali sampai sekarang masih mempercayai bahwa naskah- naskah tersebut adalah sebagai bagian dari khasanah budaya bangsa yang di dalamnya mengandung nilai-nilai budaya yang adi luhung. Di Bali keberadaan naskah-naskah klasik ini sudah dianggap sebagai miliknya sendiri yang pelajari, ditekuni serta dihayati isinya baik secara perorangan maupun secara berkelompok seperti sering dilakukan melalui suatu tradisi sastra yang sangat luhur yang selama ini dikenal sebagai tradisi mabebasan. Dalam tradisi ini teks-teks klasik yang tergolong sastra Jawa Kuna dan Bali dibaca, ditafsirkan serta diberikan ulasan isinya sehingga terjadi diskusi budaya yang cukup menarik banyak kalangan. Tradisi seperti ini dapat dianggap sebagai salah satu upaya bagaimana masyarakat Bali melestarikan warisan kebudayaan nenek moyangnya, serta sedapat mungkin berusaha menghayati nilai-nilai yang terkandung di dalam naskah-naskah tersebut. Dalam tradisi ini teks-teks sastra Jawa Kuna menempati posisi paling unggul yang paling banyak dijadikan bahan diskusi.
    [Show full text]
  • Kakawin Ramayana
    Paramita:Paramita: Historical Historical Studies Studies Journal, Journal, 30(2), 30(2), 2020, 2020 193 -207 ISSN: 0854-0039, E-ISSN: 2407-5825 DOI: http://dx.doi.org/10.15294/paramita.v30i2.23690 MANAGING DIVERSITY IN HISTORY LEARNING BASED ON THE PERSPECTIVE OF KAKAWIN RAMAYANA Nur Fatah Abidin1, Fakrul Islam Laskar2 1) History Education Department, Sebelas Maret University, Surakarta, Indonesia 2) History Department, Bahona College, Jorhat, Assam, India ABSTRACT ABSTRAK This research aims to build a framework of Penelitian ini bertujuan untuk membangun diversity management in history learning kerangka manajemen keberagaman dalam based on the reinterpretation of diversity from pembelajaran sejarah berbasis reinterpretasi the perspective of Kakawin Ramayana. The kebhinekaan dari perspektif Kakawin Rama- authors used a critical hermeneutic approach yana. Penulis menggunakan pendekatan her- to interpret the texts of Kakawin Ramayana, meneutik kritis untuk menafsirkan teks Ka- especially in the texts of Prěthiwi and Aṣṭabra- kawin Ramayana, terutama dalam teks ta. The text of Prěthiwi and Aṣṭabrata implicitly Prěthiwi dan Aṣṭabrata. Teks Prěthiwi dan elucidates that diversity should be acknowl- Aṣṭabrata secara implisit menjelaskan bahwa edged based on the moral and ethical attrib- keberagaman harus diakui berdasarkan atribut utes of an individual. There are no spaces for moral dan etis seseorang. Tidak ada ruang arbitrary prejudices based on social identities, untuk prasangka sewenang-wenang berdasar- such as ethnicity, race, or even religiosity
    [Show full text]
  • Ramayan Around the World Ravi Kumar [email protected]
    Ramayan Around The World Ravi Kumar [email protected] , Contents Acknowledgement.......................................................................................................2 The Timeless Tale .......................................................................................................2 The Universal Relevance of Ramayan .........................................................................2 Ramayan Scriptures in South East Asian Languages....................................................5 Ramayana in the West .................................................................................................6 Ramayan in Islamic Countries .....................................................................................7 Ramayan in Indonesia Islam is our Religion but Ramayan is our Culture..............7 Indonesia Ramayan Presented in Open Air Theatres ................................................9 Ramayan in Malaysia We Rule in the name of Ram’s Paduka.............................10 Ramayan among the Muslims of Philippines..........................................................11 Persian And Arabic Ramayan ................................................................................11 The Borderless Appeal of Ramayan.......................................................................13 Influence of Ramayan in Asian Countries..................................................................16 Influence of Ramayan in Cambodia .......................................................................17
    [Show full text]
  • Gagal Paham Memaknai Kakawin Sebagai Pengiring Upacara Yadnya Dan Dalam Menembangkannya: Sebuah Kasus Di Desa Susut, Bangli
    GAGAL PAHAM MEMAKNAI KAKAWIN SEBAGAI PENGIRING UPACARA YADNYA DAN DALAM MENEMBANGKANNYA: SEBUAH KASUS DI DESA SUSUT, BANGLI. I Ketut Jirnaya, Komang Paramartha, I Made wijana, I Ketut Nuarca Program tudi Sastra Jawa Kuno, akultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana E-mail: [email protected] Abstrak Karya sastra kakawin di Bali sering dipakai untuk mengiringi upacara yadnya. Dari itu banyak terbit dan beredar di masyarakat buku saku Kidung Pancayadnya. Isi setiap buku tersebut nyaris sama. Buku-buku ini membangun pemahaman masyarakat bahwa kakawin yang dipakai untuk mengiringi upacara yadnya telah baku tanpa melihat substansi makna filosofi bait-bait tersebut. Masalahnya beberapa anggota masyarakat berpendapat ada bait-bait kakawin yang biasa dipakai mengiringi upacara kematian, tidak boleh dinyanyikan di pura. Di samping itu juga cara menembangkan kakawin belum baik dan benar. Hal ini juga terjadi di desa Susut, Bangli. Setelah dikaji, ternyata mereka salah memahami makna filosofis bait-bait kakawin tersebut. Hasilnya, semua bait kakawin bisa dinyanyikan di pura karena salah satu fungsinya sebagai sarana berdoa. Setiap upacara yadnya diiringi dengan melantunkan bait-bait kakawin yang telah disesuaikan substansi makna dari bait-bait tersebut dengan yadnya yang diiringi. Demikian pula mereka baru tahu bahwa menembangkan kakawin ada aturannya. Kata kunci: kakawin, yadnya, doa, guru-lagu. 1.Pendahuluan Kakawin dan parwa merupakan karya sastra Jawa Kuna yang hidup subur pada zaman Majapahit. Ketika Majapahit jatuh dan masuknya agama Islam, maka karya sastra kakawin banyak yang diselamatkan di Bali yang masih satu kepercayaan dengan Majapahit yaitu Hindu (Zoetmulder, 1983). Dari segi bentuk, kakawin berbentuk puisi dengan persyaratan (prosodi) satu bait terdiri dari empat baris yang diikat dengan guru-lagu.
    [Show full text]
  • Sita Ram Baba
    सीता राम बाबा Sītā Rāma Bābā סִיטָ ה רְ אַמָ ה בָבָ ה Bābā بَابَا He had a crippled leg and was on crutches. He tried to speak to us in broken English. His name was Sita Ram Baba. He sat there with his begging bowl in hand. Unlike most Sadhus, he had very high self- esteem. His eyes lit up when we bought him some ice-cream, he really enjoyed it. He stayed with us most of that evening. I videotaped the whole scene. Churchill, Pola (2007-11-14). Eternal Breath : A Biography of Leonard Orr Founder of Rebirthing Breathwork (Kindle Locations 4961-4964). Trafford. Kindle Edition. … immortal Sita Ram Baba. Churchill, Pola (2007-11-14). Eternal Breath : A Biography of Leonard Orr Founder of Rebirthing Breathwork (Kindle Location 5039). Trafford. Kindle Edition. Breaking the Death Habit: The Science of Everlasting Life by Leonard Orr (page 56) ראמה راما Ράμα ראמה راما Ράμα Rama has its origins in the Sanskrit language. It is used largely in Hebrew and Indian. It is derived literally from the word rama which is of the meaning 'pleasing'. http://www.babynamespedia.com/meaning/Rama/f Rama For other uses, see Rama (disambiguation). “Râm” redirects here. It is not to be confused with Ram (disambiguation). Rama (/ˈrɑːmə/;[1] Sanskrit: राम Rāma) is the seventh avatar of the Hindu god Vishnu,[2] and a king of Ayodhya in Hindu scriptures. Rama is also the protagonist of the Hindu epic Ramayana, which narrates his supremacy. Rama is one of the many popular figures and deities in Hinduism, specifically Vaishnavism and Vaishnava reli- gious scriptures in South and Southeast Asia.[3] Along with Krishna, Rama is considered to be one of the most important avatars of Vishnu.
    [Show full text]
  • Teknik Penerjemahan Lisan Dalam Tradisi Bekayat Di Lombok
    TEKNIK PENERJEMAHAN LISAN DALAM TRADISI BEKAYAT DI LOMBOK (INTERPRETING TECHNIQUE APPLIED ON ORAL TRADITION BEKAYAT IN LOMBOK) Safoan Abdul Hamid Kantor Bahasa Provinsi NTB Jalan dr. Sujono, Kelurahan Jempong Baru, Sekarbela, Mataram, NTB, Indonesia Pos-el: [email protected] Diterima: 27 Oktober 2014; Direvisi: 20 November 2014; Disetujui: 3 Desember 2014 Abstract SasaN ethnic group‘s community in /omboN, Nusa Tenggara Barat Province, has an oral tradition of reciting hikayat namely bekayat. During the performance, step of the recitation is followed by interpretation from Melayu language to Sasak. As a part of literary work interpreting, the interpreter applies certain method, technique and ideology. This research is aimed at revealing interpreting technique applied in bekayat performance. Sample of this research is taken from Lombok Barat District, out of three other districts in Lombok. Data collection is conducted through recording and an interview technique. The data are transcribed and then analized by an interlinguistic and descriptive method. Result of the analysis shows that the interpreter of bekayat performance applied three techniques, namely paraphrase, contextual conditioning, and compensation. Keywords: technique, interpreting, bekayat, Lombok Abstrak Masyarakat suku Sasak di Pulau Lombok memiliki tradisi lisan pembacaan hikayat yang dikenal dengan bekayat. Dalam pelaksanaannya, tahap pembacaan hikayat dilanjutkan dengan penerjemahan lisan dari bahasa Melayu ke bahasa Sasak. Proses penerjemahan ini tergolong sebagai penerjemahan karya sastra yang memerlukan metode, teknik, dan ideologi tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk mengurai teknik penerjemahan lisan dalam pelaksanaan tradisi bekayat. Adapun pengambilan sampel penelitian dilakukan disalah satu kabupaten di Lombok yakni Kabupaten Lombok Barat. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik perekaman, wawancara, dan pencatatan.
    [Show full text]
  • Monkey-Ear Mushrooms.Pdf
    114 Telling Tales from Southeast Asia and Korea: Teachers’ Guide 115 Telling Tales from Southeast Asia and Korea: Teachers’ Guide Monkey-ear Mushrooms (Laos) Once, Queen Sida wanted to have a meal of tiger-ear mushrooms. But in the Northern Lao language this mushroom is called monkey-ear mushrooms. Queen Sida asked the Monkey King, Hanuman, to go search for the mushrooms for her from the mountain of Oudomxay. “Could you please go and get the mushrooms from Oudomxay Mountain for me?” said Queen Sida. “Yes, my Lady,” answered Hanuman. So Hanuman flew to Oudomxay Mountain and gathered some mushrooms for Queen Sida. He returned with a basket full of mushrooms for her. But Queen Sida looked at the mushrooms and said, “Oh no, this is not the kind of mushroom I would like to have. Please go and bring some others.” She did not want to say that she really wanted monkey-ear mushrooms for she thought that it would offend Hanuman, who is, after all, a monkey. “Yes, my Lady,” said Hanuman. He soared to the sky to pick up more mushrooms in Oudomxay Mountain. After awhile he returned with another basket full of mushrooms for Queen Sida. She again examined the mushrooms. “Oh no, this is still not the kind of mushrooms I would like to have. Please go bring some other kinds.” 116 Telling Tales from Southeast Asia and Korea: Teachers’ Guide “Yes, my Lady,” said Hanuman. He soared to the sky to pick more mushrooms in Oudomxay Mountain. After awhile he returned with another basket- full of mushrooms for Queen Sida.
    [Show full text]
  • Introduction to Old Javanese Language and Literature: a Kawi Prose Anthology
    THE UNIVERSITY OF MICHIGAN CENTER FOR SOUTH AND SOUTHEAST ASIAN STUDIES THE MICHIGAN SERIES IN SOUTH AND SOUTHEAST ASIAN LANGUAGES AND LINGUISTICS Editorial Board Alton L. Becker John K. Musgrave George B. Simmons Thomas R. Trautmann, chm. Ann Arbor, Michigan INTRODUCTION TO OLD JAVANESE LANGUAGE AND LITERATURE: A KAWI PROSE ANTHOLOGY Mary S. Zurbuchen Ann Arbor Center for South and Southeast Asian Studies The University of Michigan 1976 The Michigan Series in South and Southeast Asian Languages and Linguistics, 3 Open access edition funded by the National Endowment for the Humanities/ Andrew W. Mellon Foundation Humanities Open Book Program. Library of Congress Catalog Card Number: 76-16235 International Standard Book Number: 0-89148-053-6 Copyright 1976 by Center for South and Southeast Asian Studies The University of Michigan Printed in the United States of America ISBN 978-0-89148-053-2 (paper) ISBN 978-0-472-12818-1 (ebook) ISBN 978-0-472-90218-7 (open access) The text of this book is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivatives 4.0 International License: https://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/ I made my song a coat Covered with embroideries Out of old mythologies.... "A Coat" W. B. Yeats Languages are more to us than systems of thought transference. They are invisible garments that drape themselves about our spirit and give a predetermined form to all its symbolic expression. When the expression is of unusual significance, we call it literature. "Language and Literature" Edward Sapir Contents Preface IX Pronounciation Guide X Vowel Sandhi xi Illustration of Scripts xii Kawi--an Introduction Language ancf History 1 Language and Its Forms 3 Language and Systems of Meaning 6 The Texts 10 Short Readings 13 Sentences 14 Paragraphs..
    [Show full text]
  • The Era of Uncertainty and Ethical Arrangement In
    Al-Jāmi‘ah: Journal of Islamic Studies - ISSN: 0126-012X (p); 2356-0912 (e) Vol. 56, no. 2 (2018), pp.461-493, doi: 10.14421/ajis.2018.562.461-493 THE ERA OF UNCERTAINTY AND ETHICAL ARRANGEMENT IN JAVANESE CLASSICAL TEXTS Disseminating Ranggawarsita’s Works as Source of Islamic Ethics in Islamic Higher Education Zumrotul Mukaffa Sunan Ampel State Islamic University (UIN) Surabaya Email: [email protected] Abstract: This paper investigates the era of uncertainty and ethical arrangement as formulated in the Javanese classical text written by Ranggawarsita (1802-1873 M). Most of his works, especially Serat Kalatidha, Serat Sabdapranawa, and Serat Sabdatama, was situated during the era of uncertainty and the era of zaman edan (age of insanity), kalabendu (age of anger), owah or pakewuh (age of strangeness). The social structure in this era was seen the apparent rise of unethical behavior. Elite communities were seen to be lacking in self-respenct, meanwhile the general population were regarded as ignoring basic public morality. New ethical notion emerged to set society free from ‘uncertainty’ through the implementation of four ethical doctrines in social life, namely monotheism, purba wasesa ing astane Gusti (submission to God’s predestination), muhung mahas ing asepi (self-contemplation), and eling lan waspada (self-awareness and mindfulness). The current situation of the Indonesian nation is very similar to the age of kalabendu. Thus it is necessary to disseminate and transform of ethical doctrines in the Islamic Higher Education through Islamic Ethic, in the form of textbooks. [Artikel ini membahas zaman ketidakpastian dan respon etisnya di dalam naskah Jawa klasik karya pujangga Ranggawarsita.
    [Show full text]
  • Ramayan Ki Kathayen, Pandemic and the Hindu Way of Life and the Contribution of Hindu Women, Amongst Others
    Hindu Sevika Samiti (UK) Mahila Shibir 2020 East and South Midlands Vibhag FOREWORD INSPIRING AND UNPRECEDENTED INITIATIVE In an era of mass consumerism - not only of material goods - but of information, where society continues to be led by dominant and parochial ideas, the struggle to make our stories heard, has been limited. But the tides are slowly turning and is being led by the collaborative strength of empowered Hindu women from within our community. The Covid-19 pandemic has at once forced us to cancel our core programs - which for decades had brought us together to pursue our mission to develop value-based leaders - but also allowed us the opportunity to collaborate in other, more innovative ways. It gives me immense pride that Hindu Sevika Samiti (UK) have set a new precedent for the trajectory of our work. As a follow up to the successful Mahila Shibirs in seven vibhags attended by over 500 participants, 342 Mahila sevikas came together to write 411 articles on seven different topics which will be presented in the form of seven e-books. I am very delighted to launch this collection which explores topics such as: The uniqueness of Bharat, Ramayan ki Kathayen, Pandemic and the Hindu way of life and The contribution of Hindu women, amongst others. From writing to editing, content checking to proofreading, the entire project was conducted by our Sevikas. This project has revealed hidden talents of many mahilas in writing essays and articles. We hope that these skills are further encouraged and nurtured to become good writers which our community badly lacks.
    [Show full text]
  • Pluralisme Agama Dalam Kakawin Sutasoma
    48 PLURALISME AGAMA DALAM KAKAWIN SUTASOMA Hasan Irsyad; M. Ridlwan; Pheni Cahya Kartika Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Surabaya [email protected] ABSTRAK Penelitian ini berfokus pada pluralisme agama dalam Kakawin Sutasoma serta Bhinneka Tunggal Ika dalam konteks asli Kakawin Sutasoma. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan konsep pluralisme agama yang diajarkan Kakawin Sutasoma dan Bhinneka Tunggal Ika sesuai dengan konteks asli Kakawin Sutasoma. Untuk menemukan pluralisme agama dalam Kakawin Sutasoma, digunakan tiga prinsip pluralisme agama Coward. Penelitian ini berbentuk penelitian kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka, sedangkan analisis data dilakukan secara diskriptif. Dokumen yang digunakan adalah Kakawin Sutasoma terjemahan Dwi Woro Retno Mastuti dan Hastho Bramantyo yang diterbitkan Komunitas Bambu pada 2009. Penelitian berhasil mengidentifikasi adanya pluralisme agama Siwa- Buddha dalam Kakawin Sutasoma yang bercirikan toleransi dan saling menghormati antaragama, Tuhan dianggap sebagai hakikat tunggal yang berwujud jamak, agama- agama dianggap setara dan semuanya baik sebagai jalan menuju kebenaran, serta pengabsahan Buddha sebagai perwujudan Siwa lebih ditekankan daripada sebaliknya. Penelitian juga mendapati bahwa Bhinneka Tunggal Ika dalam Kakawin Sutasoma adalah ungkapan yang mengajarkan pluralisme agama. Bhinneka Tunggal Ika dalam Kakawin Sutasoma berbeda dengan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara. Sebagai semboyan negara, Bhinneka Tunggal Ika cakupannya diperluas dan tidak mengajarkan pluralisme agama. Kata Kunci: bhinneka tunggal ika, kakawin sutasoma, pluralisme agama PENDAHULUAN Dewasa ini agama-agama di dunia mendapat tantangan dari paham-paham beragama baru yang berkembang seperti sekularisme agama dan pluralisme agama. Di Indonesia, paham-paham tersebut mendapat perhatian serius dari tokoh-tokoh dan organisasi-organisasi keagamaan, salah satunya Majelis Ulama Indonesia (MUI).
    [Show full text]
  • 421 Reference
    420 Wacana, Vol. 12 No. 2 (October 2010) BOOK REVIEWS 421 in Indonesian might have been used. Then on page 163, there is mention of “toko P&D”, which is from the Dutch Provisiën en Dranken, meaning a "store selling daily necessities and drinks". Today it is the equivalent to a small supermarket. Then there are a few more little things that still need to be looked into. On page 191, for gadis Eurasia it is more common in Indonesian to use gadis Indo; pasangan penari, should be pasangan pedansa To conclude, this is a highly interesting book, telling in their own words the experiences of a variety of women who have one thing in common: they are, or are considered by others, ethnic Chinese in varying degrees, or as in Jane’s case, closely associated with an ethnic Chinese. Basically, the book explores the problem of identity and Chineseness, a topic that has become very important in view of the spread (some people see it as the threat) of globalism. Studies on this topic abound and many more will probably be written. Dewi Anggraeni’s book is a valuable contribution in this search for identity and I suggest a very readable one. Reference Tan, Mely G. 2007. “Ethnic Chinese women professionals in Indonesia; Tendency towards globalization?”, in: Leo Suryadinata (ed.), Chinese diaspora since Admiral Zheng He; With special reference to maritime Asia, pp. 279-295. Singapore: Chinese Heritage Centre. -------------------------------- Mpu Tantular, Kakawin Sutasoma. Translated by Dwi Woro Retno Mastuti and Hastho Bramantyo. Depok: Komunitas Bambu, 2009, xxiv + 544 pp.
    [Show full text]