Vol. 10 No. 1 Maret 2020

p-ISSN : 1979-634X e-ISSN : 2686-0252 http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/Kalangwan

PERUBAHAN PANGAKSAMA ISTA DEWATA DALAM SASTRA JAWA KUNA KAJIAN TEOLOGI-SASTRA

Oleh : Gede Agus Budi Adnyana Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar E-mail: -

Diterima 04 Januari 2020, direvisi 09 Januari 2020, diterbitkan 31 Maret 2020

Abstract

Pangaksama dalam sastra Jawa Kuna, menunjukan ista dewata yang dipuja oleh rakawi Jawa Kuna di dalam menuliskan karya sastranya. Secara pasti pangaksama merubah seluruh teologi sastra dari paham Waishnawa menjadi paham Siwaisme yang kenal akan kekuatan magis. Perkembangan dari fase- fase sastra Jawa Kuna, secara keseluruhan merujuk pada keyakinan Siwa sebagai ista dewata yang utama. Bagian terpenting dari sastra itu sendiri adalah untuk menemukan kebijaksanaan dan sastra di sini sebagai penuntun serta petunjuk untuk mengarah kepada kesadaran rohani.

Keywords: Pangaksama dan Sastra Jawa Kuna.

I. PENDAHULUAN keinginan kuat untuk menuliskan hal-hal agung. Dalam Kamus Bahasa Jawa Kuna kata Pola pangaksama akan dapat “pangaksama” memiliki arti pernyataan diri ditemukan secara mendasar dalam bagian sebagai pembuka (Warna, 1988:210) pertama pada setiap karya sastra Jawa Kuna. Pangaksama jika diartikan dalam Pangaksama secara harfiah berarti sebuah padanan bahasa , akan memiliki “permakluman”. Permakluman di sini tentu pengertian “atur piuning”. Yakni sebuah saja ditulis oleh rakawi (pujangga Jawa Kuna) keadaan dimana seseorang akan mengatakan kepada para Dewata, kepada raja-raja yang tujuan dirinya sendiri, kemudian memerintah ketika karya sastra itu dibuat atau menghaturkan sembah. Tentu saja, “atur digubah, serta pernyataan diri sebagai seorang piuning” ini dilakukan oleh pujangga Jawa “rendah tidak berilmu” namun memiliki Kuna untuk menyatakan diri sebagai orang

13 Vol. 10 No. 1 Maret 2020

“tidak terpelajar” sebagai bagian etika serta Dewata yang diyakini sebagai pencipta dunia. sebagai bagian dari rasa rendah hati yang Pola Pangaksama tersebut akan didahului dimiliki oleh orang Jawa terdahulu. dengan stava (penghormatan) kepada sosok Kemudian pangaksama dengan arti sebagai astral seperti Dewata, roh leluhur serta sembah bhakti dari rakawi kepada Dewata kekuatan alam. pola ini berlaku di seluruh yang dipujanya, menjadi bagian utama untuk karya sastra Jawa Kuna, baik dalam bentuk mengetahui, mazab mana yang dianut rakawi puisi, prosa ataupun dalam bentuk prasi tersebut di dalam menuliskan karya sastranya. (gambar berkisah). Untuk lebih memperjelas, Maka ini akan tergantung dari mazab maka di bawah ini akan dikutip pangaksama keyakinan apa yang dianut oleh rakawi di sastra Jawa Kuna dalam bentuk prosa, dari dalam menuliskan karya sastranya. kitab Adi Parwa I.1, sebagai berikut. “Yayati, Parasarasunus II. PEMBAHASAN Satyawati hrdaya nandano byasah Keyakinan terhadap Tuhan dan cara Terjemahannya pandang rakawi terhadap Tuhan, menjadi “Kepada Maharaja Yayati, kepada sebuah bagian utama dalam membedah Bhagawan Parasara dan Dewi Satyawati, pangaksama dari sudut pandang teologi serta puteranya bernama Maharesi sastra. Sebab ketuhanan dalam sastra Jawa Wyasa”. (Adi Parwa. I.1) Kuna, sangat kompleks, dari paham totemisme, animesmi, dinamisme, politeisme, monotheisme, hingga pantheisme dirangkum Pangaksama di atas dalam kitab Adi dalam pangaksama beragam jenis oleh para Parwa I.1, secara terang menyatakan sembah pujangga sastra Jawa Kuna. penulis kepada Bhagawan Parasara, Seluruh cara pandang mengenai kemudian Maharaja Yayati, kemudian Dewi kebenaran hakiki oleh para rakawi tersebut, Satyawati, kemudian Bhagawan Wyasa. Hal secara nyata tidak langsung memberikan ini menunjukan bahwa pangaksama ditujukan sebuah penekanan akan karakter penulis di era kepada roh leluhur dan insan yang diyakini Jawa Kuna. Tidak semua karya sastra Jawa dalam agama Hindu sudah berada di alam- Kuna menerakan secara langsung nama alam dewata. Maharaja Yayati disebutkan penulisnya. Sebagian besar karya sastra Jawa dalam Purana dan kitab lainnya Kuna adalah anonim (tanpa nama) serta sebagai luhurnya para Pandawa dan Kaurawa. kendatipun ada karya sastra yang memiliki Dalam pandangan agama Hindu, leluhur yang nama, itu hanya beberapa bagian saja dan sudah sangat jauh tingkatannya diyakini itupun nama samaran. Dalam pangaksama mendiami alam-alam dewata. Maka tidak karya sastra Jawa Kuna, tidak terteranya nama mengherankan jika penulis prosa Jawa Kuna penulis yang asli, bukan dikarenakan sebuah dalam kitab Adi Parwa ini memandang alasan karena penulis merasa tidak percaya Maharaja Yayati sebagai personalitas yang diri dengan karya sastranya, melainkan karena wajib untuk dihormati. sebuah kerendahan hati serta beberapa faktor Pandangan ini mengarah pada rasa politik yang ada di jaman ketika karya sastra segan dan hormat kepada tetua dan mereka itu ditulis. yang memang sepantasnya untuk dihormati. Faktor politik secara nyata memang Kemudian pangaksama berada pada ada, namun sisi ini dikesampingkan untuk penghormatan untuk Maharesi Parasara dan melihat secara detail, bagaimana penghayatan Maharesi Wyasa. Sejatinya gelar Wyasa ini penulis terhadap Tuhan serta realisasi dirinya adalah diperuntukan bagi setiap Brahmana sendiri secara nyata dalam kerendahan hati yang telah berhasil mengkodifikasi dan yang tersirat pada setiap pangaksama dalam mengumpulkan mantra kitab Veda (Dipavali, karya sastra Jawa Kuna. Penulis sastra Jawa 2000: 69). Dalam catatan sejarah Hindu yang Kuna, akan mengucapkan doa secara disusun oleh Visvanathan, ada tercatat 24 mendalam kepada Tuhan sekaligus kepada

14 Vol. 10 No. 1 Maret 2020 orang Brahmana yang menerima gelar Wyasa. (Adi Parwa. I.1) Gelar ini diberikan oleh guru dalam sebuah geneologi garis perguruan guru suci Kata “jagatam Siwa itim” secara rohani yang disebut dengan guru parampara harfiah berarti “Jagat” dunia, kemudian dalam agama Hindu. Secara gari besar, gelar “Siwa” merujuk pada Bhatara Siwa, dan kata ini disematkan kepada personalitas yang “itim” artinya adalah “ini”. Dengan demikian memiliki kompetensi serta pengaruh besar dapat diartikan sebagai “Seluruhnya kepada bagi kemajuan peradaban sastra suci di Bhatara Siwa, yang mengadakan dunia ini”. Bharatawarsa (). Mengingat karya Pangaksama ini kemudian merujuk pada sastra Jawa Kuna, juga bersumber dari India, sebuah pola penghormatan kepada Bhatara maka gelar ini pun juga akan mengikuti dalam Siwa, yang diyakini sebagai personalitas pola penghormatan kepada para orang suci Dewata yang mengadakan seluruh dunia. Pola yang layak untuk dihormati. Beberapa penghormatan ini adalah sebuah stava dalam Brahmana yang menerima gelar Wyasa tradisi Hindu, yakni sebuah tata cara adalah Bhagawan Bhrgu, Bhagawan memuliakan Dewata dengan memberikan Parasara, Bhagawan Yajnawalya, Bhagawan pujian dan sanjungan yang indah. Krsna Dwaipayana. Karya sastra Jawa Kuna, hampir Pangaksama yang terdapat di dalam secara keseluruhan mengikuti pola demikian. prosa Jawa Kuna kitab Adi Parwa, Artinya dalam pangaksamanya dimulai menyebutkan nama Bhagawan Parasara, dengan penghormatan kepada roh leluhur, kemudian menyebutkan juga nama Bhagawan orang suci dan raja-raja besar, barulah Wyasa. Tentu saja ini diperuntukan bagi dua penghormatan kepada para Dewata. orang dengan personalitas yang berbeda. Demikian pula dengan karya sastra berbentuk bhagawan Parasara akan berbeda dengan . Pola ini ditemukan hampir sama, Bhagawan Wyasa yang disebutkan dalam Adi berikut kutipan dari Kakawin Arjuna Wiwaha Parwa vesi Jawa Kuna ini. meskipun dalam Sargah I, Pada 1, sebagai berikut. literatur Siva Purana, Bhagawan Parasara “Ambek Sang Paramartha Pandhita juga menerima gelar Wyasa, akan tetapi Huwus limpad saking sunyata, Bhagawan Wyasa yang disebutkan dalam Tan saking wisaya prayojana nira pangaksama ini adalah Bhagawan Krsna Lwir sanggraheng lokika, Dwaipayana Wyasa. Dalam tradisi Jawa, Sidhaning yasa wirya de nira, lebih dikenal dengan sebutan Bhagawan Sukaning rat kiningkinira Abhyasa. Santosa helatan kelir sira, Pola pangaksama ini menunjukan Saking Sang Jagatdakara” bahwa penghormatan yang dilakukan oleh Terjemahannya penulis sastra Jawa Kuna, bukan hanya untuk “Keinginan orang yang bijaksana, meninggikan Tuhan, namun juga roh leluhur seorang Pandhita terlepas dan menyatu dan orang suci yang dipandang memiliki andil dengan alam sunya. Bukan lantaran besar dalam peradaban Hindu. Setelah ingin terkenal, tetapi hanya mengutarakan penghormatan kepada roh leluhur dan orang hal-hal yang seharusnya diketahui suci, maka berlanjut pada penghormatan oleh masyarakat umum. Hanya kesucian kepada para Dewata. Seperti pada penggalan diri dan kemakmuran dunia yang berikut ini. menjadi tujuannya. Hanya menyembah “Wamadakya sakalam kepada Bhatara Siwa sajalah Jagatam Siwa iti” tujuannya”. (Kakawin Arjuna Wiwaha. I.1) Terjemahanya “Seluruhnya kepada Bhatara Siwa Kutipan di atas dalam sastra Jawa yang mengadakan semua ini”. Kuna berbentuk kakawin, memiliki kesamaan, yakni memuja Bhatara Siwa.

15 Vol. 10 No. 1 Maret 2020

Beberapa teks yang masuk dalam teks sastra itu masuk dalam jajaran sastra rohani Waisnawa-pun, kemudian berubah menjadi atau tidak. Meskipun ada beberapa pandangan Siwaisme ketika masuk ranah Jawa Kuna. mengenai Tuhan. Konsep ketuhanan dalam Terlebih teks Adi Parwa yang berbahasa Jawa sastra Jawa Kuna, merupakan sebuah Kuna. Seperti yang kita ketahui bersama, paradigma yang beragam. Tidak secara bahwa Adi Parwa yang dibahasa Jawa keseluruhan, sastra asli yang berbahasa Kunakan pada proyek Mangjawaken Wyasa Sansekerta dari India, kemudian di adaptasi Mata, ini merupakan Adi Parwa yang adalah utuh menjadi bagian sastra penuh. buku pertama dari Astadasa parwa Rakawi dalam kebudayaan Jawa berbahasa Sansekerta yang Kuna, sebagian besar menganut paham murni berasal dari India. Dalam pujian Bhairawa dan Siwasiddhanta secara murni. Mahabharata, pangaksama merujuk pada Maka tidak mengherankan jika karya sastra Narayana, dan Nara sebagai personalitas klasik seperti dan Mahabharata Tuhan. Ini bisa dilihat dalam sloka pembuka yang memang ditulis oleh Dwaipayana Vyasa yang berbunyi. dan Bhagawan walmiki di India dengan Narayanam Namaskrtya paham Waishnawanya, harus berubah ketika Naran Caiva’narottamam sampai di Jawa. Pengelompokan para rakawi Sarasvati Vyasa jaman Jawa Kuna, bisa kita cermati dalam Tatho jaya udirayet uraian berikut ini. 1. Mpu Kanwa. Adalah seorang yang Terjemahannya menuliskan Kakawin Arjuna Wiwaha “Dengan menghormat kepada Nara tahun 1030. dan Narayana, beserta dewi dan 2. Mpu Dharmaja, yang menggubah Maharesi Vyasa, Hamba berseru Jaya”. cerita dalam kitab Siva Purana kedalam sebuah kitab berjudul . Sudah sangat jelas, pangaksama yang 3. Mpu Sedah dan Mpu panuluh, di ditujukan kepada Narayana (Vishnu) dan ini tahun 1157 menyelesaikan kitab menjadi istadewata Maharesi dalam garis . Yang tentu saja perguruan Vyasa (Guru Parampara) dari merupakan gubahan langsung dari Vyasa sendiri, kemudian Vaisampayana, kitab Mahabharata.Mpu Panuluh ini hingga Bhagawan Suta Ugrasrawa. Kemudian juga yang menuliskan kitab ketika teks ini di terjemahkan kedalam Bahasa Hariwangsa, kitab Gatotkacasraya Jawa Kuna, pangaksamanya berubah, menuju 4. Mpu Triguna tahun saka 1026 (1104 pada pemuliaan Siwa. Ini memberikan sebuah Masehi) menuliskan sebuah kitab indikasi bahwa Dharmawangsa Teguh berjudul Krsnayana. Anantawikrama Tunggadewa, kemungkinan 5. Mpu Manoguna menulis kitab besar memiliki keyakinan Siwa. Terlepas dari berjudul Sumanasantaka. itu semua, yang jelas sastra Jawa Kuna, dari Jadi sebagian sebar pujangga adalah seorang periode Kadiri, Mataram, I dan viprah. Dengan demikian kita akan Majapahit II, hingga ke Bali, seluruhnya mengetahui bahwa tidak sembarangan orang memberikan gambaran mengenai kemuliaan mampu menggubah kitab yang datang dari spiritual Hindu. Maka ini juga memberikan Purana dan juga Itihasa dalam sebuah gambaran bahwa sastra itu sangat demokratis, adaptasi yang baik. perlu seseorang yang dan membebaskan para rakawinya untuk benar-benar memiliki kualifikasi semacam mengambil jalan spiritual sesuai dengan ini. kematangan intuisinya. Menggubah karya sastra yang hanya Masa-masa era Mataram Hindu, bersifat normative dan juga dalam tataran Kadiri dan Singasari, sebagian besar mazab immanen adalah sangat mudah. Namun jika Siwasime menjadi penentu apakah karya kita berdiri dan berhadapan dengan sebuah

16 Vol. 10 No. 1 Maret 2020 naskah yang merupakan narasi agung dalam untuk selamanya. Sebab ada sebuah bingkai rohani, maka kebersihan jiwa kita dan usaha untuk masih melestarikannya di juga ketajaman intuisi sangat mutlak wilayah Merbabu dan Merapi. diperlukan untuk dapat memahami secara Menurut hemat penulis, ada beberapa benar dalam bingkai spiritual. Karena itu perubahan dalam fase pembaharuan, dimana tidak mudah memberikan hal ini kepada narasi Kakawin Arjuna Wiwaha akan tampak sembarangan orang. Perubahan pangaksama berbeda dengan narasi yang terdapat dalam dalam tataran ini dipengaruhi keyakinan naskah Mahabharata versi aslinya yang rakawi di dalam menuliskan karya sastranya. datang dari India. Kakawin ini yang Pembabakannya sendiri dari periode- diciptakan oleh Mpu Kanwa pada abad ke-11 ke periode menghasilkan pangaksama (Poerbatjaraka, dalam Suarka, 2002: 33). berbeda-beda terkait dengan ista dewata yang Jika kita melihat narasi kitab dipuja. Sejarah perkembangan kesusastraan Mahabharata ketika Arjuna bertempur itu sendiri tidak dapat dipisahkan dari melawan Nivatikavaca bukanlah sebuah perkembangan situasi yang melipusi keadaan pertempuran yang dilakukan personal dengan sosiologi, periode kerajaan, keyakinan dan personal. Melainkan personal dengan juga keadaan politik dari masa ke masa. komunal. Sebab versi Mahabharata (The Karena itu, jika kita kembali pada sejarah Mahabharata of Krsna Dvaipayana Vyasa: kesusastraan Jawa Kuna, maka kita akan Ishvara Candra Sharma with English menemukan satu jalinan rangkaian sebuah Translation) menyatakan bahwa perkembangan kerajaan Hindu dan Buddha Nivatikavaca sebenarnya adalah kumpulan yang masing-masing membawa keyakinan dari beberapa personal yang berjumlah sangat tersendiri dan menjadi nafas bagi karya sastra banyak (Nivatikavaca Yuddha Parva – Vana Jawa Kuna itu sendiri. Parva). Suarka (2002:31) menyatakan bahwa Tampaknya ada banyak perubahan ada beberapa pembabakan sejarah yang dapat penokohan, setting, dan juga alur dalam di bagi menjadi beberapa bagian, yakni: Mahabharata aslinya menuju pada Kakawin 1. Periode Awal. Periode awal ini Arjuna Wiwaha. Kemudian penurunan akan dimana karya sastra Jawa Kuna seperti kualifikasi mahluk surgawi (para dewa, kakawin mengikuti kaidah atau , dan juga gandharwa) sangat kentara prosodi dari tanah India. Misalnya dalam kakawin ini. Berbeda dengan adalah yang Nivatikavaca Yuddha Parva versi aslinya tercipta pada abad ke-9. yang senantiasa menempatkan dewata dan 2. Periode Pembaharuan. Dalam fase ini mahluk surgawi yang lain sebagai satu bentuk sudah ada banyak perubahan yang sosok yang immenensi namun tetap berada terdapat dalam bangun cipta karya dalam wilayah yang transedensi secara sastra Jawa Kuna. Kosa kata yang proporsional. digunakan juga tidak lagi kental Ini tampaknya di latar belakangi oleh dengan nuansa asli India, namun perkembangan agama Hindu dan Buddha sudah berbaur dengan kebiasaan hingga ke tanah Nusantara dengan berbagai manusia Jawa kala itu. Salah satu macam pola adaptasinya yang sangat contohnya menurut Suarka (2002:33) kompleks. Pola adaptasi ini juga yang adalah Kakawin Arjuna Wiwaha. menghasilkan banyak perbedaan narasi antara 3. Periode Kegelapan. Dalam paruh ini cerita aslinya yang ada di India dengan yang adalah terkait dengan kemunduran sudah di gubah di tanah Jawa. Setidaknya Majapahit dan ini sekaligus hanya untuk mengakrabkan tokoh, lattar dan menandakan adanya sebuah juga alur sehingga manusia Jawa saat itu kehancuran dalam sastra Jawa Kuna. menjadi tidak asing dengan kitab Hindu Namun hal ini tidak begitu membuat tersebut. sastra Jawa Kuna menjadi hilang

17 Vol. 10 No. 1 Maret 2020

Menurut perkembangannya, Wasihnawa menjadi Siwaisme secara murni. kesusastraan ini dapat juga kita lihat dari bahkan Ramayana yang dengan jelas pembabakan jaman kerajaan yang masing- menyatakan adalah awatara Wishnu, masing menghasilkan susastra yang bermutu. kemudian di dalam bentuk kakawinnya, justru Kerajaan itu adalah: penulis menggaungkan Siwa sebagai dewata 1. Jaman Mataram. Sekitar abad ke-9 yang utama. Dalam ranah ini, pangaksama dan 10. sangat menentukan secara psikologis, paham 2. Jaman Kadiri, ini berlangsung sekitar apakah yang dimiliki oleh penulis. abad ke-11 dan ke-12. Perbedaan ini tidaklah menjadi 3. Jaman Majapahit I, ini berlangsung penting, ketika merujuk pengertian dan tujuan sekitar abad ke-14 terakhir dari sastra Jawa Kuna itu sendiri yang 4. Jaman Majapahit II, ini berlangsung mengarah kepada kebijaksanaan. Akan tetapi sekitar abad ke- 15 sampai 16. paling tidak, dari seluruh fase perkembangan Menurut Soekmono ( 1994: 105) bahwa karya sastra Jawa Kuna yang ada, dapat sampai dengan Jaman Majapahit I, bahasa diketahui bahwa sesungguhnya pahamn yang digunakan adalah Bahawa Jawa Kuna. ketuhanan dalam karya sastra Jawa Kuna, Sedangkan untuk sesudah itu, maka memperlihatkan bahwa Siwaisme tumbuh bahasanya adalah Jawa Tengahan. Termasuk pesat dan berkembang di tanah Jawa dan jaman Majapahit II, juga adalah hasil kebudayaannya hingga ke Bali. kesusastraan yang berkembang di Bali (Jaman kerajaan Samprangan – kerajaan Gelgel). III. KESIMPULAN Sedangkan untuk kitab lontar yang Berdasarkan uraian tersebut di atas, ditulis dalam bentuk prosa, puisi ataupun maka dapat disimpulkan bahwa pangaksama tembang, maka kita akan menemukan dalam kesusastraan Jawa Kuna berubah, dari beberapa pilahan bahwa tembang sendiri Waishnawa menjadi Siwaisme, merupakan lebih termasyur pada jaman Majapahit I. Ini sebuah pentunjuk mengenai paham dan menggunakan bahasa Jawa Kuna, kemudian keyakinan Siwa yang dominant dianut oleh sastra jaman Majapahit II, menggunakan para rakawi Jawa Kuna. Kemudian dalam bahasa Jawa Tengahan. Selanjutnya untuk fase perkembangan sastra Jawa Kuna, dapat tembang Bahasa Jawa Kuna disebut dengan dilihat paham Siwaisme menjadi paham Kakawin dan untuk jaman Jawa Tengahan ketuhanan di dalam sastra dan mempengaruhi disebut dengan kidung. kebudayaannya hingga sekarang. Untuk jaman Mataram Hindu, maka kita akan menemukan kitab Ramayana. DAFTAR PUSTAKA Sebuah kitab yang sangat termasyur. Kakawin Anon. 1994/1995. Semaradahana. Denpasar: ini adalah kakawin yang terpanjang diantara Dinas Pendidikan Dasar Propinsi kakawin periode Jawa-Hindu Daerah I Bali. (Zoetmulder,1994: 277). Dalam beberapa hal, terutama oleh Anon. 1988/1989. Mayadhanawa. Denpasar : tradisi Bali yang menyatakan bahwa kakawin Dinas Pendidikan Propinsi Bali. Ramayana ini digubah oleh Mpu Yoghiswara 1016 Saka. Namun pendapat Poerbatjaraka Anon. 1977. Kakawin Arjuna Wiwaha. (1952;2) menyatakan bahwa kitab kakawin Denpasar : Dinas Pendidikan dasar Ramayana ini dibuat pada masa pemerintahan Propinsi daerah Tingkat I Bali. Dyah Balitung, seorang raja yang menguasai wilayah Jawa Tengah dan Timur kira-kira Anon. tanpa tahun terbit. . tahun 820-832 Saka. Koleksi Pribadi. Keseluruhan paruh perkembangannya, paling banyak kentara Anon. 2001. Kakawin Ramayana. Denpasar : adalah perubahan pangaksama dari paham Dinas Pendidikan Propinsi Bali

18 Vol. 10 No. 1 Maret 2020

Daerah I Bali. Tim. 2002. Austronesia, Bahasa, Budaya dan sastra. Denpasar : Anon. tanpa tahun terbit. Kakawin Udayana University Press. BharataYudhha. Koleksi Pribadi. Widnya, I Ketut. 2004. Yaksa Prasna: Anom, Gusti Putu. Tanpa tahun terbit. Pertanyaan Yaksa Kepada Kakawin Aji Palayon. Koleksi Pribadi. Yudhisthira. Surabaya : Paramita.

Anon. tanpa tahun terbit. Wirata Parwa. Zoetmulder, P.J. 1994. Kalangwan : Sastra Koleksi Pribadi. Jawa Kuna Selayang pandang. Jakarta : Djembatan. ------. Wana Parwa. Koleksi Pribadi. Dipavali, Debroy dan Bibek Debroy. 2000. Siva Purana. Surabaya: Paramita Adi Soeripto. 2006. Nilai-nilai Hindu Dalam Publisher. Budaya Jawa : serpihan yang Tertinggal. Jakarta : Media Hindu. Warna, I Wayan. 1988. Kamus Bahasa Kawi. Denpasar: Dinas Pendidikan Dasar Agastia, Ida Bagus. 1994. Kesusastraan Provinsi Daerah Tingkat I Bali. Hindu (Sebuah Pengantar) Denpasar : Yayasan Dharma Sastra. Warna, I Wayan. 1987. Kakawin Arjuna Wiwaha. Denpasar: Dinas Pendidikan Tim. 2009. Pemikiran Kritis Guru Besar Dasar Daerah Tingkat I Bali. Universitas Udayana. Denpasar : Udayana University Press. Zoetmulder, P.J. 1968. Adi Parwa Jawa Kuna. Jogjakarta: Spring.

19 Vol. 10 No. 1 Maret 2020