DI/TII PASCA KARTOSOEWIRJO (STUDI KASUS GERAKAN KOMANDO JIHAD 1976-1981)

Skipsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh Achmad Hasan NIM: 206033204323

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1432 H / 2011 M PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang be{'udul DI/TII PASCA KARTOSOEWIRJO (STUDI KASUS GERAKAN KOMANDO JIHAD TAHUN 1976-1981), telah diujikan dalarl Sidang Munaqosyah Fakultas llmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Isian.r Negeri Syarif Hidayatullah Pada Tanggal 13 Juni 2011. Skripsi ini telah diterinia sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Sosial.

Jakarta,13 Juni 2011

Sidang Munaqosyah

Sekertaris Penguji

1973092720051 1C08

Anggota

Penguji I Penguji II

/a\ -\ t \)all)V'Z-\ Dr. Sirojudin Aly. MA. NIP. 150253408 NrP. 9s406052001 I2I00t

Pembimbing

97309272005 1 1008 LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukanlah hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 25 Mei 2011

Achmad Hasan

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Achmad Hasan Tempat/Tanggal Lahir : Tangerang, 30 Maret 1985 Alamat : Ds. Cikupa, Rt: 004 / 02, Cikupa, Tangerang, Banten Kebangsaan : Agama : Islam Pendidikan : 1. TK Faqih Hasyim, Siwalan Panji, Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur. 2. SDN Cikupa III, Cikupa, Tangerang, Banten. 3. SLTPM 12 Sendang Agung, Paciran, Lamongan, Jawa Timur. 4. KMI Pondok Modern GONTOR Ponorogo, Jawa Timur. 5. Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. ABSTRAK

Judul : DI/TII PASCA KARTOSOEWIRJO (STUDI KASUS GERAKAN KOMANDO JIHAD 1976-1981)

Komando Jihad adalah salah satu gerakan radikal yang dilakukan oleh beberapa eksponen DI/TII Kartosoewirjo, kelompok Islam ini melakukan berbagai aksi teror di Indonesia sekitar tahun 1976-1981 atau pada masa pemerintahan Orde Baru. Aksi peledakan, pembajakan pesawat, pembunuhan dan berbagai aksi teror lainnya mewarnai masa kekuasaan Orde Baru ketika itu. Ada dua opsi untuk mengambarkan kronologis kemunculan istilah “Komando Jihad”. Pertama, pendapat dari pihak penguasa Orde Baru yang mengatakan bahwa gerakan Komando Jihad adalah sejumlah aksi teror yang dilakukan sekelompok umat Islam semenjak tahun 1967-1981 yang murni bertujuan untuk membentuk “Dewan Revolusi Islam Indonesia”, menentang Pancasila dan UUD 1945 dan berkeinginan membentuk Negara Islam Indonesia. Opsi kedua, kalangan tokoh Islam menganggap bahwa istilah Komando Jihad adalah rekayasa politik penguasa Orde Baru, tujuan pengungkapan kasus ini menimbulkan dugaan adanya kaitan erat antara maksud pengungkapan dengan Pemilu tahun 1977 yang akan diselenggarakan. Sejumlah tokoh masyarakat menduga bahwa tujuan pengungkapan kasus ini tidak lain adalah pemojokan gerakan Islam politik dan perolehan suara dari umat Islam dalam pemilu 1977 yang akan dilaksanakan. Untuk mengetahui tujuan utama dari gerakan Komando Jihad, dapat dilihat dari beberapa fakta persidangan Haji Ismail Pranoto yang dikenal sebagai tokoh sentral gerakan KOMJI. Dari keputusan hakim dalam persidangan, bisa diambil kesimpulan bahwa kasus KOMJI Jawa Timur belum terungkap, karena Hispran sendiri yang pada awalnya dituduh sebagai penggerak utama gerakan akhirnya tidak terbukti terkait dengan gerakan ini. Dengan menemukan beberapa fakta persidangan dan melihat semua fenomena teror dan gerakan Islam radikal selama kurun waktu 1976 sampai 1981 khususnya pada masa pemerintahan Orde Baru, di balik idealisme gerakan dan para tokoh eksponen DI/TII terdapat sekenario yang sengaja disusun oleh penguasa dengan kekuatan militer dan intelijennya dengan tujuan melanggengkan kekuasaan rezim Orde Baru. Tetapi di luar itu semua, tidak bisa dipungkiri bahwa terdapat pula perjuangan murni gerakan Islam yang benar-benar mencita-citakan berdirinya Negara Islam Indonesia.

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillahi Rabbil Alamin, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat, hidayah dan karuniaya yang senantiasa dilimpahkan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “DI/TII PASCA

KARTOSOEWIRJO, STUDI KASUS GERAKAN KOMANDO JIHAD 1976-

1981”.

Shalawat beriring salam penulis panjatkan kepada kekasih Allah, pemberi syafaat umat, Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat serta orang-orang yang senantiasa menjalankan sunnahnya.

Penulis menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ilmu Sosial dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sungguh pun begitu banyak rintangan dan hambatan dalam penulisan skripsi ini, Alhamdulillah berkat kerja keras serta dukungan dari semua pihak akhirnya skripsi ini dapat penulis rampungkan dengan baik.

Dengan segala hormat dan bakti penulis ingin menghaturkan ucapan terima kasih kepada orang-orang yang berjasa dan memiliki peran besar dalam proses pembelajaran hidup dan mempunyai andil besar dalam proses pendidikan di almamater tercinta:

1. Kepada orang tua tercinta, ibunda Hj. Muidah, dengan kesabarannya

menjalani hidup membesarkan putra-putrinya sendiri dan yang tak pernah

berhenti mencurahkan cinta dan kasih sayang sehingga penulis mampu berdiri tegar untuk menyelesaikan penulisan skripsi. Ayahanda H. Muhammad Rabin

yang begitu peduli, perhatian dan tak henti-hentinya memompa semangat

penulis agar secepat mungkin menyelesaikan kuliah. Adik-adikku; Ali, Neng

Milah, Dede Musriah, terima kasih telah memberikan simfoni yang indah

dalam hidup ini, adik-adikku yang telah memberikan hiburan di sela suntuk

jenuhnya penulisan skripsi. Semoga simfoni itu akan tetap indah selamanya,

terima kasih Tuhan telah menganugerahkan keluarga sebaik dan sesempurna

mereka.

2. Kepada Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, Bpk Prof. Dr. Bahtiar Efendi.

3. Kepada Ketua Jurusan Ilmu Politik Bpk. Dr. Ali Munhanif, Sekertaris Jurusan

Ilmu Politik dan Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP),

khususnya Dosen Prodi Ilmu Politik yang telah memberikan pengajaran,

pendidikan dengan berbagai ilmu selama masa kuliah penulis.

4. Kepada Dosen Pembimbing, Bpk M. Zaki Mubarak, M.Si yang telah bersedia

meluangkan waktu di tengah-tengah kesibukannya untuk memberikan arahan

dan bimbingan kepada penulis selama proses penulisan skripsi ini.

5. Kepada teman-teman sesama mahasiswa yang seperjuangan menuju titik

pencerahan dan kesuksesan, Okki Tirto, Rizki Aceh, Bahaudin, Badri, Sadri,

Huda, Waluyo dan semuanya, terimakasih sahabatku. 6. Kepada seseorang yang telah menjadi muara tempat energi cinta mengalir,

terimakasih telah memberiku rasa sayang, sayang yang sederhana, memberi

tanpa berharap tuk menerima.

Akhirnya penulis berharap semoga amal dan niat baik kalian dibalas dengan pahala yang berlimpah dan kebaikan dunia dan akhirat. Dalam penyusunan tugas akhir ini, penulis memahami bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan digunakan sebagaimana mestinya. Amin.

Jakarta, 25 Mei 2011

Achmad Hasan

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN………………………………………………… i

DAFTAR RIWAYAT HIDUP…………………………………………….. ii

ABSTRAK………………………………………………………………….. iii

KATA PENGANTAR……………………………………………………... iv

DAFTAR ISI……………...………………………………………………… vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah………………………………… 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…….…….……….. 4

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian………………………... 5

D. Kajian Pustaka………………………………………….. 5

E. Metode Penelitian……………………………………….. 7

F. Sistematika Penulisan……………………………………. 8

BAB II KOMANDO JIHAD SEBAGAI GERAKAN ISLAM

FUNDAMENTALIS: LANDASAN TEORI DAN KONSEP

A. Konsep Gerakan Sosial…………………………………. 10

B. Gerakan Massa………………………………………….. 11

C. Perilaku kolektif: Konteks Protes……………………….. 13

D. Komando Jihad Sebagai Gerakan Islam Fundamentalis… 13

BAB III LATAR BELAKANG MUNCULNYA GERAKAN KOMANDO

JIHAD: HUBUNGAN KOMJI DENGAN DI/TII

KARTOSOEWIRJO

A. Negara Islam Dalam Lintasan Sejarah…………………… 20

B. Terbentuknya NII-DI/TII……………………………...... 22

C. Tokoh Ideologi dan Pola-Pola Perjuangan NII-DI/TII….. 25

D. Penumpasan DI/TII…………………………………….... 33

E. Kemunculan Gerakan Komando Jihad (KOMJI) dan

Dinamika Politik Orde Baru……………………………… 37

F. Tokoh-Tokoh Penting Gerakan Komando Jihad………. . 41

1. Haji Ismail Pranoto…………………………... 41

2. Abu Bakar Ba‟asyir………………………….. 44

3. Abdullah Sungkar…………………………..... 47

G. Kronologi Gerekan Komando Jihad Menentang

Pancasila Sebagai Asas Tunggal………………………… 51

BAB IV IDEOLOGI DAN GERAKAN KOMANDO JIHAD

A. Ideologi…………………………………….……………. 58

B. Gerakan………………………………………………….. 61

C. Respon Pemerintah Terhadap Komando Jihad……..…… 69

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan………………………………….…………….… 81

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………..……….. 86

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam sejarah, Indonesia pernah mengalami suatu perubahan politik besar- besaran. Terjadinya sebuah proklamasi Negara Islam di Indonesia pada tahun 1949, sebuah negeri Jumhuriyah Indonesia yang kelak kemudian dikenal sebagai Darul

Islam atau Negara Islam Indonesia yang lebih dikenal oleh masyarakat sebagai

DI/TII, dengan Imamnya yaitu Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.

Pemerintah Indonesia merespon gerakan ini dengan berbagai penangkapan terhadap para tokoh-tokoh penting DI/TII termasuk Kartosoewirjo yang dieksekusi mati oleh pemerintah Indonesia.

Sejak ditangkapnya para aktifis NII (DI/TII) dan dieksekusinya Imam

Kartosoewirjo, lahirlah berbagai macam kelompok sempalan yang bertujuan untuk

“mengislamkan” Negara Indonesia. Dengan berbagai motif dan latar belakang kelompok-kelompok ini bertujuan menjadikan Islam sebagai prinsip dasar kehidupan kenegaraan.

Dengan tidak adanya titik temu yang menghasilkan kesepakatan antara kelompok NII (DI/TII) dengan pemerintahan Indonesia pasca penangkapan aktifis- aktifisnya di era 1970an menghasilkan berbagai sempalan kelompok radikal yang bertujuan mendirikan Negara Islam. Bahkan timbul berbagai konfrontrasi antara

Negara dengan kelompok Islam tersebut. Pada dasarnya perkembangan yang berlangsung di dalam gerakan-gerakan keagamaan radikal semakin kompleks. Seiring dengan berjalannya waktu maka dinamika gerakan Islam radikal juga semakin bervariasi. Terdapat berbagai gerakan sempalan yang memiliki karakteristik pemikiran dan orientasi gerekan yang berbeda- beda. Selain basis sosialnya juga beragam, mulai yang berkembang di tengah masyarakat umum sampai yang tumbuh di lingkungan kaum terpelajar, terutama di perguruan tinggi.1

Salah satu pecahan dari NII (DI TII) Kartosoewirjo adalah kelompok yang menamakan dirinya sebagai Komando Jihad. Kelompok pimpinan Haji Ismail

Pranoto. Kelompok ini tercatat melakukan konfrontasi dengan pemerintah dengan berbagai aksi terror di Indonesia sekitar tahun 1976.

Pada tahun 1976 sampai 1981, gerakan Islam radikal di Indonesia telah terpecah menjadi berbagai macam corak dan menyebar di seluruh plosok Negeri.

Kelompok-kelompok ini sebenarnya ingin mempertegas kembali hubungan agama dan Negara. Kalau ditelusuri kecenderungan dan gerakan Islam ini disebabkan oleh carut-marut permasalahan bangsa telah membangkkitkan semangat islam sebagai solusi alternatif. Islam diyakini memberikan jalan keluar dengan jargon “berlakunya syariat Islam secara kaffah”. Keyakinan ini adalah sebuah frustasi yang berkepanjangan terhadap problem bangsa, sehingga menimbulkan semangat kembali kepada Islam sebagai Idoelogi bangsa Indonesia.

1 M Zaki Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi, (Jakarta: LP3ES, 2008), hal. 71. Lahirnya gerakan Komando Jihad sebenarnya tidak lepas dari diproklamasikan berdirinya “Negara Islam Indonesia” oleh Sekarmadji Maridjan

Kartosoewirjo di desa Malambong, Kabupaten Tasik Malaya, Jawa Barat. Gerakan yang dikenal dengan nama lain Darul Islam ini berpusat di Jawa Barat dengan meluaskan pengaruhnya hingga ke Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan

Selatan, dan Aceh. Pimpinan Darul Islam ini adalah Kortosoewirjo adalah seorang pemimpin pergerakan umat islam yang semenjak zaman Hindia Belanda telah lama mencita-citakan berdirinya suatu Negara Islam di Indonesia. Ia telah dari sejak awal mengumpulkan para pengikutnya untuk melawan Belanda dan berjuan tidak secara ko-operatif dan tidak mau melalui parlemen atau partai politik yang pernah dimasukinya yaitu PSII (Partai Serikat Islam Indonesia) maupun Masyumi (Majelis

Syuro Muslimin Indonesia).2

Komando Jihad adalah aksi teror yang dilakukan gerakan Haji Ismail Pranoto, yang sebagian besar terjadi di wilayah Sumatera sekitar tahun 1976 dan aksi teror

Warman yang berlangsung di Jawa Barat dan Jawa Tengah sepanjang tahun 1978,

1979, 1980, mendapatkan sebutan yang sama sebagai kelompok Komando Jihad.

Setelah ditelusuri, sebenarnya ada beberapa pernyataan yang bertentangan tentang munculnya gerakan Komando Jihad pada era 70-an, opsi pertama dari pihak pemerintah yang mengatakan bahwa munculnya berbagai gerakan radikalisme Islam baik Komando Jihad, Teror Warman ataupun kelompok Imron adalah murni merupakan kelompok yang memiliki tujuan politis untuk mendirikan Negara

2 Al-Chaidar, Wacana Ideologi Negara Islam: Studi Harakah Darul Islam dan Moro National Liberation Front, (Jakarta: Darul Falah, 1999), hal. 50. berdasarkan Islam. Pemerintah Indonesia hususnya pada masa orde baru menampik isu-isu yang beredar di masyarakat umum bahwa kasus Komando Jihad merupakan sebuah rekayasa Militer untuk memojokkan gerakan Islam Politik pada saat itu.

Pendapat kedua mengatakan bahwa, ada kecurigaan pemerintah ikut bermain dalam kemunculan berbagai gerakan radikal Islam tersebut. Beberapa politisi muslim menafsirkan dalam perspektif yang berbeda, dalam pandangan elite PPP, tindakan itu dimaksudkan untuk menangkap sejumlah politisi Islam yang tidak disukai menjelang pelaksaan pemilu 1977.3

Kasus Komando Jihad sebenarnya juga bertujuan untuk sebagai peringatan terhadap Islam politik tentang pandangan angkatan bersenjata terhadap dukungan fanatik Negara Islam. Dalam peristiwa ini adalah Ali Moertopo yang sangat berperan penting dalam proyek Operasi Khusus (OPSUS). Ali Moertopo merekrut beberapa bekas petinggi DI/TII untuk kemudian dia bina dalam melaksanakan proyek OPSUS ini. Dengan isu kembalinya faham Komunis di Indonesia, ia membina dan melatih mereka, bahkan ia sengaja mempersenjatai mereka untuk melawan Komunisme.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berbicara tentang Komando Jihad, tidak bisa lepas dari gerakan NII (DI/TII) pimpinan SM. Kartosoewirjo (SMK). Karena, seluruh tokoh penting yang terlibat di dalam gerakan Komando Jihad ini, adalah petinggi NII (DI/TII) pimpinan SMK yang dieksekusi pada September 1962 di sebuah pulau di Teluk Jakarta.

3 M Zaki Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi, hal. 80. Perlu diketahui bahwa pembahasan tentang Gerakan Komando Jihad secara keseluruhan sangatlah luas, untuk itu penulis berinisiatif merumuskan permasalahan pada:

1. Apa latar belakang munculnya gerakan radikal Komando Jihad pada tahun

1976-1981?

2. Apa motifasi dan tujuan gerakan Komando Jihad pada tahun 1976-1981?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Secara akademis skripsi ini mencoba menampilkan obyektifitas kepada

pembaca tentang apa sebenarnya gerakan DI/TII khususnya pada kasus

gerakan Komando Jihad.

2. Secara praktis, skripsi ini bertujuan untuk menambah wawasan dan

pengetahuan tentang gerakan DI/TII dan melihat sejauh mana Komando Jihad

berperan dalam percaturan politik di Indonesia pada tahun 1976-1981an.

3. Tulisan ini diharapkan bisa memberikan tambahan wacana dan referensi bagi

kalangan akademisi untuk keperluan lebih lanjut tentang gerakan Komando

Jihad dan hubungannya dengan gerakan radikal di Indonesia.

D. Kajian Pustaka

Sejauh ini ada beberapa tulisan tentang DI/TII (NII) dan kasus Gerakan

Komando Jihad, diantaranya:

1. Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan Pemikiran dan Prospek

Demokrasi, buku terbitan LP3ES tahun 2008, yang ditulis oleh M. Zaki Mubarak. Buku ini menelusuri akar pemikiran gerakan islam radikal di

Indonesia. Dalam beberapa sub judulnya, penulis menerangkan latar belakang

kemunculan serangkaian peristiwa teror yang terjadi pada tahun 1976-1981/

era orde baru.

2. Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia ditulis oleh Ken Conboy, buku ini

menerangkan seluk beluk dunia intelijen Indonesia pada masa Orde Baru,

dibahas pula bagaimana kronologi munculnya gerakan Komando Jihad yang

tidak lepas dari unsur keterlibatan oknum intelijen di dalamnya.

3. Soeharto and His Generals: Indonesian Miitary Politics 1975-1983 sebuah

karya David Jenkins, diterbitkan oleh Cornell Modern Project tahun 1984.

Dalam buku ini dibahas bagaimana terjadinya konflik antara Jenderal-Jenderal

dalam badan intelijen Indonesia khususnya di era Orde Baru, para Jenderal ini

sengaja mengkoordinasi kekuatan militer dan intelijen untuk merekrut,

membina para mantan DI/TII dalam rangka kegiatan Komando Jihad

Dalam skripsi ini penulis mencoba memaparkan fakta baru yang berbeda dari karya-karya sebelumnya dengan cara menganalisa fenomena gerakan Islam radikal, khususnya kasus Komando Jihad tahun 1976-1981 dengan dasar teori-teori gerakan sosial, perilaku kolektif dan gerakan massa: protes.

Skripsi ini juga mencoba memaparkan fakta-fakta persidangan dari tokoh- tokoh yang terlibat langsung dengan gerakan ini, seperti haji Ismail Pranoto, Abu

Bakar Ba‟asyir dan Abdullah Sungkar. Dari fakta persidangan ini dapat diambil kesimpulan mengenai apa sebenarnya latar belakan dan tujuan utama gerakan

Komando Jihad ini.

E. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulisan menggunakan metode kualitatif dengan berfokus kepada deskriftif-analisis, yaitu memberikan gambaran yang menyeluruh dan komprehensif serta melakukan eksplorasi lebih jauh lagi menyangkut gerakan

DI/TII khususnya Gerakan Komando Jihad di era 1970an.

Adapun teknik pengumpulan data yang penulis tempuh adalah sebagai berikut:

1. Data Primer4

Data primer, adalah data yang penulis kumpulkan dari tulisan-tulisan mengenai gerakan Komando Jihad dari nara sumber pertama, baik yang sudah di bukukan, artikel yang masih tercecer dalam majalah, dan internet, maupun dengan wawancara langsung dengan pihak terkait.

2. Data Sekunder5

Data sekunder, adalah data yang penulis kumpulkan dari berbagai macam sumber, baik itu berupa buku, majalah, koran atau jurnal yang memiliki kaitan yang erat dengan petualangan politik gerakan Islam radikal di Indonesia khususnya tentang jejak politik gerakan Komando Jihad. Tulisan yang di maksud disini adalah karya- karya para akademisi, pengamat, dan data yang mengenai gerakan-gerakan tersebut.

4 Tim Penyusun Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2008-2009, (Jakarta: Biro Akademik dan Kemahasiswaan UIN, 2009), hal. 466. 5 Tim Penyusun Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2008-2009, hal. 466. Di samping itu penulis juga melakukan wawancara dengan tokoh yang terkait dengan masalah ini.

F. Sistematika Penulisan

Penulis merasa perlu menggunakan sistematika pada penulisan skripsi ini dengan tujuan pengaturan susunan pembahasan pada karya ilmiah ini agar dalam pembahasannya menjadi terarah. Dalam sitematika penulisan ini, penulis membagi pembahasan-pembahasan pokok menjadi lima bab.

Adapun penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab, masing-masing bab berisi sub-sub bab, secara sistematis bab-bab tersebut adalah sebagai berikut:

Tulisan didahulukan dengan bab I, merupakan bab pendahuluan yang berfungsi sebagai acuan pembahasan dalam bab-bab selanjutnya, sekaligus merefleksikan isi skripsi secara global. Bab ini mencakup latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian, serta sistematika penulisan.

Dalam bab II, akan di bahas tentang sejarah pergerakan NII (DI/TII) secara umum, Negara Islam dalam lintasan sejarah, bagaimana terbentuknya, siapa tokoh ideologi gerakan sampai bagaimana penumpasan gerakan oleh pemerintahan Orde

Baru.

Dilanjutkan dengan bab III, yang berisi tentang pembahasan secara umum tentang gagasan awal munculnya gerakan Komando Jihad, dinamika politik pada masa pemerintahan Orde Baru. Pada bab III penulis juga membahas tentang tokoh- tokoh penting Gerakan Komando Jihad seperti Haji Ismail Pranoto, Abu Bakar Basyir, Abdullah Sungkar dan yang lainnya. Penulis juga membahas tentang kronologi Gerekan Komando Jihad dalam menentang Pancasila sebagai Asas

Tunggal, kasus Gerakan Komando Jihad Haji Ismail Pranoto, teror Warman dan kasus Gerakan Imron.

Sementara pada bab IV, difokuskan pada pembahasan tentang ideologi dan

Gerakan Komando Jihad dan juga bagaimana sikap dan respon perintah Indonesia terhadap gerakan ini.

Penulisan ini akan diakhiri bab V, dalam bab penutup ini, penulis akan memberikan kesimpulan-kesimpulan mengenai apa sebenarnya latar belakang munculnya gerakan radikal Komando Jihad, peran dalam perpolitikan Indonesia dan apa sebenarnya tujuan dari gerakan ini.

BAB II

KOMANDO JIHAD SEBAGAI GERAKAN ISLAM FUNDAMENTALIS:

LANDASAN TEORI DAN KONSEP

A. Konsep Gerakan Sosial

Gerakan Sosial tidak bisa dipisahkan dari proses kehidupan bernegara di

Negara manapun juga. Hal ini terjadi sebagai efek dari perilaku kolektif dari sekelompok manusia yang bertujuan untuk menyampaikan opini-opini mereka terhadap individu atau sekelompok manusia lainnya.

Menurut John Lofland, ada lima komponen utama realitas publik yang banyak dijumpai saat melakukan studi tentang perilaku kolektif dan gerakan sosial.

Komponen tersebut adalah:6

1. Kumpulan manusia, peristiwa berkumpulnya manusia secara fisik dalam

jumlah besar.

2. Organisasi sipil, perkumpulan sipil di luar lembaga sentral.

3. Struktur makro, bentuk-bentuk perkumpulan ekonomi, demografi, politik,

kedaerahan dan perkumpulan besar lainnya sebagai tempat sekaligus jawaban

terhadap kelemahan organisasi dan aksi manusia.

4. Lembaga sentral, organisasi yang mengontrol tatanan publik dapat berupa

pemerintahan, militer dan polisi.

5. Opini massa, sentimen publik secara umum.

6 John Lofland, Protes: Studi Tentang Prilaku Kolektif dan Gerakan Sosial, (terj), (Yogyakarta: INSIST Press, 2003), hal. 12. Berdasarkan kelima elemen arena publik tersebut, maka dapat dirumuskan definisi konsep gerakan sosial, yaitu: Gerakan sosial merupakan lahirnya organisasi kekerasan atau protes baru dengan semangat muda yang dibentuk secara independen, bertambahnya jumlah dan peserta aksi kekerasan dan atau protes terencana dan tak terencana, kebangkitan opini massa, semua yang ditunjukan kepada oknum lembaga sentral, sebagai bentuk usaha untuk melahirkan perubahan pada struktur makro dan atau mikro dari lembaga-lembaga sentral.7

Gerakan sosial dapat diketahui terutama lewat banyaknya organisasi baru yang terbentuk, yang mana organisasi-oragnisasi ini ditandai dengan bertambahnya jumlah anggota dalam gerakan mereka, dan semakin banyak aksi kekerasan atau protes terencana dan tak terencana.

B. Gerakan Massa

Dewasa ini banyak Negara di dunia ini tidak luput dari gejala unjuk rasa kolektif, penuh luapan emosi, terkadang dibarengi dengan cara-cara terorisme.

Kekuatan dan naluri yang telah keluar dari puluhan, ratusan atau bahkan ribuan manusia dari seluruh pelosok kota dari berbagai latar belakang, pendidikan, pekerjaan, jenis kelamin, usia, lalu menyeret mereka dalam satu gerombolan, mengikat dan menyatukan mereka dalam satu semangat, bersatu jiwa, bersatu suara, bersatu bergerak berbondong-bondong mengikuti gerak-gerik dan pekikan, itulah mungkin gambaran suatu gerakan massa.

7 John Lofland, Protes: Studi Tentang Perilaku Kolektif dan Gerakan Sosial, hal. 25. Menurut Eric Hoffer dalam bukunya The True Believer mendalilkan bahwa semua gerakan massa, tak peduli apa sifatnya (agama, rasial, sosial, nasionalistis, atau ekonomis), tak peduli juga apa misi sucinya, memiliki sekelompok ciri-ciri tertentu yang sama: semua mampu membangkitkan pada diri pengikutnya kerelaan untuk berkorban sampai mati, kecenderungan untuk beraksi secara kompak, fanatisme, antusiasme, harapan berapi-api, kebencian dan intoleransi, kepercayaan buta, dan kesetiaan tunggal. Semua gerakan massa betapapun berbeda dalam doktrin dan aspirasinya, menarik pengikut-pengikutnya yang pertama dari satu jenis manusia, yakni manusia-manusia yang kecewa dan tidak puas atau frustasi.8

Hoffer mengambil pengertian etimologis dari kata frustasi yang mendorong manusia melakuakan aksi gerakan massa, (latin: frustration): kecewa, gagal). Orang yang frustrasi, menurut Hoffer sedang mengalami kekecewaan terhadap diri sendiri karena kegagalan-kegagalan, merasa hidupnya sia-sia, rusak, tak tertolong, tidak ada harapan lagi. Tipe orang inilah merupakan panen pertama dari gerakan massa yang mempu membangkitkan pada jiwa dari gerakan massa dengan cara mengutuk dan melempar jauh masa kini yang sudah bobrok dan busuk itu. Di lain pihak dengan memberi gambaran dan janji-janji akan hari depan yang gemilang, penuh kepuasan diri dan harapan.9

8 Eric Hoffer, Gerakan Massa, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988), hal. VII. 9 Eric Hoffer, Gerakan Massa, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988), hal. IX. C. Perilaku Kolektif: Konteks Protes

Dengan pengertian sederhana, protes diartikan sebagai sebuah aksi, kumpulan, peristiwa, atau bentuk perilaku kolektif kemunculannya didorong dan dihambat oleh beragam konteks perilaku kolektif dan muncul karena (disebabkan) atau tidak muncul

(dihalangi) oleh bentuk-bentuk perilaku kolektif lainnya. Menurut John Lofland aksi protes selalu melekat pada kegiatan-kegiatan yang bersifat rutin, berlangsung dalam situasi perilaku kolektif yang stabil, aman dan penuh dengan ketidakpastian terutama yang mengandung unsur kekerasan. Eisinger juga menggambarkan bahwa protes secara implisit memiliki potensi ancaman dan merupakan bentuk sederhana dari ancaman kekerasan.10

Menurut para sosiolog, istilah perilaku kolektif secara harfiah dapat diartikan dan mengacu pada perilaku serta bentuk-bentuk peristiwa sosial lepas atau emergent yang tidak dilembagakan (extra-institutional). Kalimat dan definisi ini digunakan untuk menyebut perilaku kolektif dan gerakan sosial, kepanikan, kekacauan, dan kerumunan suka ria.

Untuk menjelaskan fenomena gerakan Komando Jihad pada penulisan skripsi ini, maka penulis perlu memaparkan teori collective hostility yang dikemukakan oleh

John Lofland. Ia mengatakan bahwa ada tiga tingkatan collective hostility:11 yang pertama dan yang terendah adalah simbolik (symbolic). Pengelompokan ini didasarkan kepada cara bertindak dan berbicara seseorang dalam mengkomunikasikan ketidaksenangannya terhadap orang yang berniat jahat terhadap

10 John Lofland, Protes: Studi Tentang Perilaku Kolektif dan Gerakan Sosial, hal. 30-31. 11 John Lofland, Protes: Studi Tentang Perilaku Kolektif dan Gerakan Sosial, hal. 58. barang dan dirinya. Contohnya adalah: deklarasi tertulis, pidato di depan kerumunan orang, protes lewat unjuk rasa dan aksi jalan, provokasi lewat kata-kata dan mengadakan kerumunan (crowd baiting).

Kedua adalah tingkat collective hostility yang tertuju pada hak milik pribadi dan cara-cara yang dapat menghambat penggunaanya, misalnya: penyitaan barang, boikot terhadap barang atau orang, pemogokan, penguasaan atau pengambilalihan tempat.

Ketiga adalah tingkatan tertinggi tertuju pada bentuk perampasan dan penyerangan, contohnya: penyiksaan, pemukulan dan pembunuhan. Dengan ketiga gambaran ini dapat diambil kesimpulan bahwa gerakan Komando Jihad termasuk kedalam kategori collective hostility tingkatan yang ketiga karena Komando Jihad merupakan gerakan yang berupa teror, pengeboman dan pembunuhan.

D. Komando Jihad Sebagai Gerakan Islam Fundamentalis

Terdapat pemahaman yang berbeda dan berbagai definisi yang beragam di kalangan para ilmuwan tentang apa pengertian dan ruang lingkup fundamentalisme.

Para ilmuwan telah menafsirkan fundamentalisme Islam dalam berbagai pengertian.

Fundamentalisme sendiri merupakan faham dan gerakan yang menyejarah dan bersifat massif terutama dalam masyarakat agamis, yaitu masyarakat yang berpedoman dengan doktrin-doktrin keagamaan sebagai pijakan dalam segala urusan, baik keduniaan maupun keakhiratan. Nashr Hamid Abu Zayd menyebut fenomena ini sebagai karakteristik dari “peradaban teks” (hadlarat al-nash), sehingga membentuk masyarakat yang sangat menghargai teks.12

Dilihat dari cara penafsiran dan penghayatan terhadap teks, gerakan Islam fundamentalis dapat diklasifikasikan dalam tiga tipologi. Pertama, Fundamentalisme

Literal, mereka yang tergolong dalam ketegori ini melihat doktrin keagamaan secara literal dan tekstual. Apa yang disampaikan teks dipahami dan diterima secara taken for granted, tanpa proses penghayatan secara sosiologis dan antropologis, ini kecenderungan umum dari gerakan Islam fundamentalis.

Yang sangat menonjol dari gerakan mereka adalah penyatuan antara agama dan pemikiran keagamaan. Mereka meyakini bahwa pemikiran keagamaan adalah agama itu sendiri, sehingga perbedaan pandangan dianggap sebagai perbedaan agama. Nashr Hamid Abu Zayd dan Abdul Karim Soroush melihat persoalan tersebut adalah titik lemah pemikiran keislaman saat ini. Karena itu kedua pemikir tersebut menyerukan pentingnya pemisahan antara agama dan ilmu agama. Yang pertama bersifat sakral, sedangkan yang kedua bersifat profan.

Kedua, fundamentalisme moderat, ini sering disebut sebagai lokus paradoks fundamentalisme. Pandangan bahwa fundamentalisme adalah perlawanan terhadap modernitas tidak selamanya benar, sebab kalangan fundamentalis justru dilakoni oleh mereka yang secara intens dengan modernitas. Agama menurut mereka adalah dogma yang bersifat praktis, agama tidak perlu didiskusikan dan diinterpretasikan, apa yang datang dari agamwan mesti diyakini sebagai kebenaran absolut. Bahwa

12 Zuhairi Misrawi dan Khamami Zada, Islam Melawan Terorisme, (Jakarta: LSIP dan Yayasan TIFA, 2004), hal. 106. keberagamaan seseorang diukur secara simbolik, yaitu selama seseorang menggunakan simbol-simbol keagamaan dan melaksanakan ritual-ritualnya, maka keberagamaan orang tersebut dianggap benar dan sesuai dengan pakem, tatkala berhadapan dengan doktrin sikap yang muncul adalah ketundukan dan kepatuhan (al- khudlu’ wa al-inqiyad).13

Ketiga, fundamentalisme radikal, kelompok ini merupakan golongan yang selama ini mendapatkan sorotan. Apabila kelompok pertama dan kedua cenderung agak lunak, namun kelompok ketiga ini cenderung menggunakan pemaksaan dan kekerasan sebagai alternatif untuk menggolkan pandangan mereka, oleh karena itu mereka lebih dikenal sebagai kelompok radikal.

Dalam melaksanakan misinya, kelompok radikal mempunyai kecenderungan menolak, mengganti sistem dan membenarkan kekerasan. Klaim mayoritas dijadikan landasan oleh mereka, yaitu bahwa mayoritas umat Islam di Tanah Air dijadikan landasan untuk mendesak pandangan mereka untuk menerapkan hukum Islam

(syariat).

Klaim mayoritas dalam kognisi mereka mengakibatkan lahirnya imajinasi politik, bahwa untuk menegakkan hukum Islam diperlukan Negara. Karenanya bagi kalangan radikal, mendirikan Negara Islam adalah satu-satunya jalan untuk menerapkan hukum Islam. Mereka mempunyai harapan besar untuk mendirikan pemerintahan Islam, tanpa sistem Negara Islam, pesan-pesan keagamaan tidak akan tegak. Yang terjadi sebenarnya tidak hanya romantisme masa lalu, melainkan juga romantisme pada Negara. Akibatnya keinginan untuk memformalisasikan syariat

13 Zuhairi Misrawi dan Khamami Zada, Islam Melawan Terorisme, hal. 109. begitu besar, bahkan harus sampai pada titik pemhabisan dengan menggunakan cara apapun.

Mohammed Arkoun memberikan pengertian yang berbeda tentang diefinisi fundamentalisme. Ia menyatakan bahwa fundamentalisme Islam sebenarnya bukanlah merupakan bagian dari Islam, tetapi merupakan fenomena sosial dan politik semata.

Fundamentalisme tidak lebih merupakan hasil dari ideologisasi dan politisasi Islam.14

Demikian halnya keseluruhan faktor yang menggerakkan fundamentalisme Islam, baik oposisi, susunan ideologis, impian kolektif maupun halusinasi individual, tidaklah menuju kepada Islam sebagai agama dan tradisi pemikiran.

Adapun ciri-ciri dan karakteristik Islam fundamentalis dapat dilihat dari pendapat Nader Saidi, ia mengatakan bahwa gerakan Islam fundamentalis dapat ditandai dengan:

1. Mengajukan penafsiran yang bersifat absolut terhadap teks-teks Tuhan yaitu

penafsiran yang bersifat represif atas gagasan Tuhan.

2. Faham penyatuan antara agama dan Negara yang diwujudkan dalam ide

sistem pemerintahan teokrasi.

3. Metode penafsiran yang bersifat literal-skriptural.

4. Penolakan atas dominasi atas simbol-simbol modern dan barat.

14 Mohammed Arkoun, Membongkar Wacana Hegemonik dalam Islam dan Post Modernisme (terj), (Surabaya: Alfikr, 1999), hal. 209. 5. Penolakan atas sosialisme dan kapitalisme yang merupakan konsekuensi dari

keyakinan terhadap nilai kekhususan Islam. Islam memiliki konsepsi sendiri

yang meliputi keseluruhan aspek.

6. Pan-Islamisme, pemeluk Islam didefinisikan dalam satu kesatuan ummah

(ummat al-wahidah). Angan-angan mewujudkan satu kekhalifahan Islam

adalah merupakan satu perwujudan dari ide ini.15

Melihat karakteristik gerakan Islam Fundamentalis secara umum, maka

kecenderungan ini bisa dilihat pada aktivitas gerakan-gerakan Islam di Indonesia

dan di dunia Islam pada umumnya. Seperti Front Pembela Islam (FPI), Forum

Komunokasi Ahlu Sunah Waljamaah (FKSWJ), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI),

Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia

Islam (KISDI), Persatuan Pekerja Muslilm Indonesia (PPMI), Himpunan

Mahasiswa Antar Kampus (Hammas Indonesia), Ikhwanul Muslimin (IM), dan

Gerakan Tarbiyah. Terkadang kelompok-kelompok Islam begitu gencar

mengampanyekan penerapan syariat. Mereka memandang bahwa Piagam Jakarta

merupakan harta karun umat Islam yang tertunda.

Berbagai gerakan Islam pada kurun waktu 1976-1980 atau pada masa Orde

Baru adalah termasuk dalam gerakan Islam fundamentalis, karakteristik

fundamental dan radikal terdapat pada gerakan Komando Jihad Haji Ismail

Pranoto, kasus Gerakan Imran dan juga pada gerakan Teror Warman. Semua

15 Nader Saidi, “What is Islamic Fundamentalism” dalam Jeffrey K Hadden & Anson Shupe (eds.), Prophetic Religions and Politics: Religion and the Political order (New York: Paragon House, 1986), hal 182-189., sebagaimana dikutip dalam M Zaki Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi, hal. 19. gerakan ini bertujuan sama yaitu mendirikan Negara Islam Indonesia, faham penyatuan antara agama dan Negara diwujudkan dalam ide dan gerakan kelompok-kelompok ini. Dengan berbagai aksi teror, pembunuhan, pembajakan pesawat yang dilakukan, maka hal ini menyatakan bahwa gerakan mereka tergolong gerakan Islam fundamentalis radikal.

BAB III

LATAR BELAKANG MUNCULNYA GERAKAN KOMANDO JIHAD:

HUBUNGAN KOMJI DENGAN DI/TII KARTOSOEWIRJO

A. Negara Islam Dalam Lintasan Sejarah

Konsep Negara Islam (Darul Islam) adalah hasil penafsiran dari pemerintahan yang dipimpin oleh Nabi Muhammad dengan istilah madinah ketika itu. Menurut penafsiran ini mengatakan bahwa Rasulullah Muhammad SAW telah berjuang semaksimal mungkin dengan mengerahkan kekuatan dan pikiran, yang ditopang hidayah wahyu, untuk mendirikan Daulah Islam atau negara bagi dakwah beliau serta penyelamat bagi para pengikut beliau.

Negara adalah bentuk konkrit dari kekuatan dan kekuasaan, hanya dengan kekuasaan yang berdasarkan Islam sajalah yang dapat dijamin akan memuaskan semua orang. Mengutip istilah Yusuf Qardhawy, tidak ada bentuk kekuasaan yang diterapkan atas manusia kecuali “kekuasaan syariat”. Banyak tokoh termasuk Al-

Maududi menyebut kekuasaan berdasarkan syariat ini sebagai “theo-demokrasi” atau

“demokrasi Islam”.

Di Indonesia, penafsiran ini dianut oleh S. M. Kartosoewirjo, secara tegas ia menyatakan bahwa bentuk kongkrit kekuasaan itu adalah Negara Al-Jumhuriyah Al-

Indonesiah atau suatu Ad-Daulatul Islamiyah atau dengan sebutan Darul Islam yang secara nasional dikenal dengan nama Negara Islam Indonesia.

Madinah sebagai bentuk Negara Islam ketika itu, dengan Nabi Muhammad sebagai komandan tertinggi kaum Muslimin dan pemimpin mereka. Dengan menapak tilas semangat jihad Rasulullah SAW, di Indonesia, Darul Islam didirikan ulang oleh

S.M. Kartosoewirjo dengan nama Negara Islam Indonesia (NII) yang memiliki kekuatan asykariah bernama Tentara Islam Indonesia (TII) atau Angkatan Perang

Negara Islam Indonesia (APNII). Kartosoewirjo memproklamasikan NII pada tanggal

7 Agustus 1949 di Malambong, Jawa Barat.16

Konsep Negara Islam menurut Dr. M. Amien Rais berhubungan dengan istilah khilafah dan imamah. Khilafah menurut Amien Rais adalah suatu missi kaum muslimin yang harus ditegakkkan di muka bumi ini untuk memakmurkan sesuai dengan petunjuk dan peraturan Allah maupun Rasul-Nya. Adapun cara pelaksanaanya Al-Quran tidak menunjukkan secara terperinci tetapi dalam bentuk global saja. Kata imamah juga tidak terdapat secara tertulis dalam Al-Qur‟an. Tetapi kalau kata imamah dimaksudkan sebagai kepemimpinan yang harus diikuti oleh umat

Islam, hal itu jelas ada dalam Al-Qur‟an. Artinya Al-Qur‟an menyuruh kaum muslimin untuk mengikuti pemimpin yang benar, yang terdiri dari manusia-manusia atau pemimpin yang menggunakan Islam sebagai patokan kepemimpinannya, bukannya kepemimpinan orang-orang munafik dan kafir.17

Istilah paling umum untuk menggambarkan gerakan radikal adalah

“fundamentalisme”, guna menunjukkan sikap kalangan muslim yang menolak tatanan sosial yang ada dan berusaha menerapkan suatu model tatanan tersendiri yang berbasiskan nilai-nilai keagamaan. John L. Esposito melengkapi kategori ini dengan

16 C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, (terj.), (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987), hal. 84. 17 Panji Masyarakat, no. 376/1982., sebagaimana dikutip dalam Laksmi Pamuntjak & Djohan Agus Edy Santoso, Tidak Ada Negara Islam: Surat-Surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem, (Jakarta: Djambatan, 2004), hal. XXIII. menyatakan bahwa fundementalisme dicirikan pada sifat “kembali kepada kepercayaan fundamental agama”. Dalam semua praktik kehidupan Muslim, mereka mendasarkan pada Al-Qur‟an dan Sunnah secara literal. Pada gilirannya fundamentalisme sering menunjuk pada kelompok yang mengacu pada literalis dan berharap kembali kepada kehidupan masa lalu. Bahkan lebih jauh lagi, fundamentalisme sering disamakan dengan ekstremisme, fanatisme, aktivisme politik, terorisme dan anti-Amerika.18

Radikalisasi ditandai oleh tiga kecenderungan umum:19 Pertama, radikalisasi merupakan respons terhadap kondisi yang sedang berlangsung. Biasanya respons itu muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan atau bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak dapat berupa asumsi, ide, lembaga atau nilai-nilai yang dapat dipandang bertanggung jawab terhadap keberlangsungan terhadap kondisi yang ditolak.

Kedua, radikalisasi tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya mengganti tatanan tersebut dengan suatu bentuk tatanan yang lain. Kaum radikalis berupaya kuat untuk menjadikan tatanan tersebut sebagai ganti dari tatanan yang sudah ada.

Ketiga, kuatnya keyakinan kaum radikalis akan kebenaran program atau ideologi yang mereka bawa. Sikap ini pada saat yang sama dibarengi dengan penafian kebenaran dengan sistem lain yang akan diganti.

18 John L. Esposito, The Islamic Threat Myth or Reality?, (Oxford: Oxford University Press, 1992), hal. 7-8., sebagaimana dikutip dalam M Zaki mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi, hal. 20. 19 Bahtiar Effendy dan Hendro Prasetyo, Radikalisme Agama, (Jakarta: PPIM-IAIN, 1993), hal. Xvii-xviii. B. Terbentuknya NII-DI/TII

Sebelum Indonesia merdeka terjadi pergulatan ideologi dan faham yang telah banyak mengahasilkan banyak gerakan-gerakan politik. Organisasi-organisasi yang aktif memperjuangkan kemerdekaan dapat dipetakan menjadi beberapa bagian. Corak organisasi pasca kemerdekaan ada yang bercirikan Islam dan ada yang bercirikan

Sosialis. Kedua kelompok organisasi ini perlahan memperoleh pendukung yang semakin banyak.

Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia (DI/TII) terbentuk dari Partai

Sarikat Islam (SI) sebuah organisasi politik yang berasaskan Islam. Awal terbentuknya dimulai ketika Kartosoewirjo sebagai tokoh sentral dari DI/TII memasuki organisasi politik Sarikat Islam di bawah pimpinan H.O.S Tjokroaminoto.

Pemikiran-pemikiran Tjokroaminoto inilah yang kemudian banyak mempengaruhi sikap, tindakan dan orientasi Kartosoewirjo, terutama cita-citanya mendirikan Negara

Islam di Indonesia.

Kartosoewirjo terpilih sebagai komisaris partai untuk wilayah Jawa Barat pada kongres akhir tahun 1929. Tepatnya ia bertugas di Malambong, desa perbatasan

Garut dan Tasikmalaya yang sekaligus menjadi tempat tinggalnya sampai akhir hayat.

Ia menikah dengan Dewi Siti Kalsum, putri Ajengan Ardiwisastera. Di Malangbong inilah Kartosoewirjo kembali mempelajari dan memperdalam pengetahuan tentang

Islam.20

Kartosoewirjo terpilih menjadi sekertaris umum PSIHT (Partai Sjarikat Islam

Hindia Temoer) pada kongres di Pekalongan bulan Desember 1927. Dalam rangka

20 C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, hal. 19. melaksanakan disiplin partai, SI memberlakukan peraturan tidak memperbolehkan adanya keanggotaan yang ganda. Akhirnya terjadilah perpecahan dalam tubuh SI yang selanjutnya pada tahun 1930 SI mengganti nama menjadi PSII (Partai Sarekat

Islam Indonesia). Pada kongres berikutnya tahun 1931, Kartosoewirjo terpilih kembali untuk menduduki jabatan sekertaris umum partai. Keputusan ini memaksanya meniggalkan Malambong untuk kembali ke pusat.

Perpecahan dalam tubuh PSII menyeruak, krisis yang tengah terjadi kian bertambah, ajang perebutan kekuasaan dalam tubuh partai meramaikan suasana PSII ketika H.O.S Tjokroaminoto meninggal dunia pada tahun 1934. Pertentangan antara dua golongan kepemimpinan mewarnai gerak-gerik PSII: Dewan Eksekutif (Ladjnah

Tanfidzijah) dibawah pimpinan adik H.O.S Tjokroaminoto, Abikoesno

Tjokrosoejoso, berhadapan dengan Dewan Partai dibawah pimpinan H. Agus Salim.

Keduanya tidak menemukan kesepakatan mengenai kebijakan politik non-kooperatif, kebijakan yang sekian lama menjadi basis perjuangan partai.21

Sebagai solusi alternatif, pada tahun 1936 diadakanlah kongres partai ke-22 di

Batavia yang bertujuan untuk memilih ketua partai. Akhirnya Abikoesno

Tjokrosoejoso terpilih memangku jabatan tersebut dan menunjuk Kartosoewirjo sebagai wakilnya. Atas inisiatif Abikoesno muncullah kebijakan politik partai yang disebut “hijrah”, yang kemudian dikenal dengan politik hijrah PSII. Kemudian ia

21 C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, hal. 20. menugaskan Kartosoewirjo untuk menyusun brosur lengkap tentang kebijakan tersebut.22

Situasi dalam partai pada tahun-tahun berikutnya banyak berubah. Abikoesno

Tjokrosoejoso sebagai pimpinan partai yang semula gencar meneriakka politik hijrah, membela semangat non-kooperatif partai kini berbalik berhadapan dan bertentangan dengan Kartosoewirjo. Abikoesno beserta Dewan pimpinan yang lain berharap

Kartosoewirjo mau bergabung bersama satuan organisasi Islam GAPI (Gabungan

Politik islam). Namun Kartosoewirjo menolaknya dan tetap pada prinsip awalnya yaitu politik hijrah.23

Kongres PSII ke-22 bulan Juli 1936 menetapkan Abikusno sebagai ketua partai, ia memilih Kartosoewirjo sebagai wakilnya. Kartosoewirjo menjabat sebagai wakil ketua partai sampai ia keluar pada tahun 1939.24 Kartosoewirjo terpaksa dikeluarkan dari partai dan disepakati dalam kongres partai ke-25 pada bulan Januari

1940 di , dengan 134 suara setuju dan 9 suara netral.

Karena meyakini bahwa partainya adalah satu-satunya partai PSII yang benar,

Kartosoewirjo mengubah Komite Pembela Kebenaran PSII (KPK PSII) menjadi sebuah partai yang berdiri sendiri. Ia bekerja sama dengan Jusuf Taudjiri dan Kamran dalam membentuk anggaran dasar dan peraturan-peraturan partainya.25 Pada akhirnya

22 Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo, (Darul Falah, Juni 1999), hal. 10. 23 Holk H. Dengel, Darul Islam dan Kartosoewirjo : Angan-angan yang gagal, (Jakarta Pustaka Sinar Harapan, 1995), hal. 21. 24 Irfan S. Awwas, Menelusuri Perjalanan Jihad S.M. Kartosoewirjo : Proklamator Negara Islam Indonesia (Yogyakarta: Wihdah Press, 1995), hal. 34. 25 Holk H. Dengel, Darul Islam dan Kartosoewirjo : Angan-angan yang gagal, hal. 22. Ia memutuskan untuk mengubah KPK PSII menjadi sebuah partai yang bermarkas di

Malambong tetapi dengan tetap menggunakan haluan politik PSII.

Dengan berniat meneruskan cita-citanya untuk menciptakan tatanan masyarakat yang Islami, Kartosoewirjo memimpin pergerakan KPK PSIInya yang kelak kemudian dikenal dengan sebutan Darul Islam. Sebagaimana C. Van Dijk menegaskan bahwa “PSII kedua sendiri merupakan titik mula bagi perekrutan kader untuk Darul Islam”.26

C. Tokoh Ideologi dan Pola-Pola Perjuangan NII-DI/TII

Soekarmadji Maridjan Kartosoewirjo adalah tokoh sentral DI/TII, ia adalah tokoh ideologi DI/TII sekaligus sebagai proklamator berdirinya NII (Negara Islam

Indonesia). Ia lahir di Cepu sebuah kota kecil antara Blora dan Bojonegoro yang menjadi daerah perbatasan antara Jawa Timur dan Jawa Tengah.27 Ia dilahirkan ditengah-tengah keluarga cukup berada, hal ini membuatnya mampu mengenyam pendidikan yang berkualitas di masanya. Ayahnya adalah seorang pegawai pemerintah kolonial Belanda dalam menangani urusan distribusi perdagangan candu.

Saat berusia enam tahun Kartosoewirjo memulai pendidikan dasarnya di

Sekolah Rakyat, ia dikenal sebagai anak yang cerdas di sekolahnya. Pada jenjang berikutnya ia melanjutkan pendidikan di Hollandsch-Inlandsce School (Sekolah

26 C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, hal. 28. 27 Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo, hal. 14. Bumi Putera), ia meneruskan pendidikannya di Europesche Lagere School, keduanya termasuk sekolah elite bagi seorang putra pribumi pada saat itu.

Pada masa pendidikannya Islam politik adalah salah satu hal yang menarik dan cukup menjadi topik perhatian bagi Kartosoewirjo. Meskipun pada dasarnya Ia lahir di tengah-tengah keluarga priyayi Jawa, yang kurang mengenal tradisi, kultur dan pendidikan Islam dan bahkan latar belakang pendidikannya sarat dengan gaya pendidikan modern ala Belanda di masa itu.

Kartosoewirjo telah akrab dengan dunia aktifis dan politik praktis sejak masa mudanya. Ia pernah dikeluarkan dari sekolah kedokteran karena memiliki buku-buku yang berhubungan dengan sosialis dan komunisme, yang pada saat itu sangatlah tabu karena stigma negatif yang melekat pada dua ideologi tersebut.

Banyak tokoh yang mempengaruhi Kartosoewirjo dalam pemikiran Islam, salah satunya adalah perkenalannya dengan H.O.S Tjokroaminoto yang membawanya pada realistis politik di pentas nasional melalui Sarikat Islam (SI). Pengalaman- pengalamannya pun sangat mendukung untuk bisa menjadi seorang aktor intelektual di pentas pergerakan.

Satu hal yang menarik, Kartosoewiryo tidak hanya seorang aktifis yang berada di lapangan dan mengendalikan massa dan kondisi akan tetapi ia juga seorang wartawan, redaktur harian Fadjar Asia, ia juga berjuang dengan pena, menerbitkan artikel-artikel propaganda yang mengkritik dan menentang bangsawan Jawa yang bekerja sama dengan Belanda. Seorang dengan kapasitas sebagai aktifis sekaligus organisatoris, menggunakan senjata lembaga dan pena untuk melawan penjajah

Belanda pada waktu itu. Pada tahun 1940 dengan semangat keislamannya Kartosoewiryo membuka lembaga pendidikan kader “Suffah” di dekat Malambong. Lembaga ini adalah semacam pesantren tradsional yang disusun menurut sistem pesantren dan madrasah.

Pola pengajarannya mengikuti dan meniru gaya dan metode pengajaran H.O.S

Tjokroaminoto, para siswa disamping mendapat pengajaran pengetahuan umum dan pendidikan agama Islam, juga mendapatkan bimbingan politik. Lembaga ini menggunakan konsep yang terkenal dengan nama Daftar Usaha Hijrah. Siswa-siswa yang belajar berasal dari berbagai daerah di Indonesia, Jawa Barat, Jawa, Sulawesi

Selatan, Sumatera dan Kalimantan. Kartosoewirjo dan para siswa dari perguruan

Suffah ini lah yang di kemudian hari bersama-sama mencoba mendirikan sebuah

Negara Islam (Daulah Islamiyah).28

Karena dituduh menjadi mata-mata Jepang, Kartosoewirjo dihukum di penjara

Purwakarta selama satu setengah bulan. Ditinggalkan olehnya, perguruan Suffah masih tetap berjalan semestinya pada massa pendudukan Jepang di Indonesia.

Kemudian perguruan ini ditutup dan para siswanya kembali ke kampung halaman masing-masing, sampai pada akhirnya dibuka kembali pada akhir pendudukan

Jepang, ketika para pemuda Hizbullah latihan kemiliteran.29

Setelah vakum dalam kegiatan politiknya, Kartosoewirjo mulai masuk pada sebuah organisasi Islam MIAI (Madjlis Islam „Alaa Indonesia), sekaligus ia langsung menjadi sekretaris dalam Majelis Baitulmal pada organisasi tersebut di bawah

28 C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, hal. 29 29 Holk H. Dengel, Darul Islam dan Kartosoewirjo : Angan-angan yang gagal, hal. 26. pimpinan Wondoamiseno pada tahun 1943,30 sampai pada akhirnya semua unsur di kalangan pejabat militer Jepang sepakat bahwa kemerdekaan harus diberikan kepada rakyat Indonesia dalam waktu beberapa bulan kedepan. Hal ini telah disepakati oleh pejabat militer Jepang pada bulan Juli 1945.

Setelah diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus

1945, ternyata umat Islam mengalami kekalahan dalam percaturan politik di

Indonesia, yaitu diterimanya Pancasila sebagai Dasar dan Ideologi Negara dan dihapusnya “tujuh kata” dari Piagam Jakarta. Penghapusan ini membuat banyak kalangan tokoh Islam kecewa terhadap pemerintah Republik termasuk Kartosoewirjo yang akhirnya bertekad meneruskan cita-cita mendirikan Negara Islam di Indonesia.31

Pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 10-11 Februari 1948 semua pemimpin Islam daerah Priangan termasuk Kartosoewirjo mengadakan konferensi di desa Pangwedusan distrik Cisayong.32 Pertemuan ini untuk membahas

Perjanjian Renville antara pemerintah Republik dengan Belanda yang dilakukan di atas sebuah kapal. Kartosoewirjo sepakat bahwa pasukan-pasukan Islam harus tetap berada di Jawa Barat untuk melanjutkan perjuangan bersama-sama dengan rakyat melawan Belanda. Juga perjuangan melawan anggota Sabilillah dan Hizbullah yang berhianat harus dilucuti senjatanya dengan damai atau dengan paksa.

Konfrensi di Cisayong tersebut menghasilkan keputusan penting dalam terbentuknya Tentara Islam Indonesia (TII), memberlakukan Masyumi di Jawa Barat

30 Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo, hal. 55. 31 B.J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia : 1950-1970. Pent. Safroedin Bahar, (Jakarta: Grafiti Pers, 1985), hal. 95. 32 Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo, hal. 72. dan semua cabangnya, membentuk pemerintah daerah di Jawa Barat oleh Umat Islam di daerah tersebut. Pertemuan ini dihadiri oleh tokoh-tokoh penting, diantaranya

Kamran sebagai Komandan Teritorial Sabilillah, Sanusi Partawidjaja sebagai ketua

Masyumi daerah Periangan, Dahlan Lukman sebagai ketua GPII, Siti Murtadji‟ah sebagai ketua Poetri GPII, Abdullah Ridwan sebagai ketua Hizbullah untuk

Periangan dan Raden Oni sebagai pemimpin Sabilillah daerah Periangan.33

Pertemuan ini adalah cikal bakal terbentuknya Darul Islam dan Tentara Islam

Indonesia.

Cita-cita menuju tegaknya Negara Islam Indonesia semakin mantap setelah diadakannya pertemuan di Cisayong/Pangwedusan. Dalam pertemuan ini terbentuk suatu keputusan dan terlihat rencana yang telah tersusun rapih. Hal ini sesuai dengan apa yang ditulis Van Dijk “Walaupun tidak diucapkan secara terang-terangan, cita- cita suatu Negara Islam Indonesia tidak pernah lenyap dari pikiran mereka. Struktur militer dan pemerintah yang disusun Kartosoewirjo dan Oni yang secara resmi terbatas pada Jawa Barat, jelas dimaksudkan sebagai pemerintah bayangan, yang akan berfungsi jika pemerintah Republik kalah dalam perang melawan Belanda…”34

Dalam keputusan ini terjadi kesepakatan untuk membagi daerah operasi gerakan dalam tiga bagian, D.I, D. II dan D. III. Hal ini memperjelas bahwa kemudian hak untuk membentuk Darul Islam telah tercapai dengan adanya pembagian wilayah tersebut.

33 Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo, hal. 73. 34 C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, hal. 78. Persiapan menuju Negara Islam semakin bertambah lengkap dengan diadakannya pertemuan kembali pada 1-5 Mei 1948 di Cijoho. Pertemuan ini membahas suatu rancangan konstitusi persiapan di Negara Islam yang kemudian konstitusi itu berhasil disusun pada 27 Agustus 1948 yang dinamakan Qonun Azasi, serta dibentuk suatu Dewan Imamah, Dewan Penasehat atau Dewan Fatwa.

Kartosoewirjo sendiri ditunjuk sebagai Imam yang berarti menempati posisi di dalam

Dewan Imamah.35

Langkah selanjutnya yang dilakukan Kartosoewirjo adalah memberikan kabar akan niatnya mendirikan Negara Islam di Indonesia kepada para politikus Indonesia yang ketika itu berada di Yogyakarta pada tanggal 8 Juli 1949, mengingat situasi dan kondisi Indonesia dalam masa yang kritis dan fatal, hal yang sangat mendasar perlu secepatnya dilakukan. Ketika itu Pemerintah Republik diungsikan keberadaannya ke

Yogyakarta, menyusul dikosongkannya wilayah Jawa Barat sebagai wilayah kekuasaan Republik Indonesia oleh Belanda. Negara Islam Indonesia beserta kesatuan Tentara Islam-nya dibentuk sebagai solusi alternative yang keputusannya diambil dengan sangat mendesak oleh Kartosoewirjo beserta semua rekan-rekannya.

19 Desember 1948 meletuslah agresi militer Belanda ke-2 yang membuat bangsa dan Negara Republik Indonesia kian terpuruk. Pemerintah Republik yang telah jatuh ke tangan kekuasaan Belanda, menjadi alasan bagi tentara Republik atau

TNI untuk membatalkan perjanjian Renville dan kembali menuju Jawa Barat guna melawan Belanda. Hal ini otomatis mempertemukan TNI dengan satuan-satuan

35 Untuk lebih jelasnya lihat Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo, (Darul Falah, Juni 1999), hal. 75. gerilya tentara Islam pimpinan Kartosoewirjo yang telah terbentuk di daerah Jawa

Barat.

Tentara Islam Indonesia menyerukan kepada pihak TNI untuk bersatu dan sebaiknya menempatkan diri dibawah komando TII Jawa Barat. Tetapi pihak TNI tidak menggubris seruan ini dan menyatakan berhadapan dan berperang melawan pihak TII. Perang pun tak dapat dihindari lagi, peristiwa bentrokan ini terkenal dengan nama “peristiwa Antarlina” pada tanggal 25 Januari 1949 di Antarlina dekat dengan Malambong. Ini adalah perang segi tiga pertama di Indonesia, karena ada tiga pasukan yang siap siaga: TII (Tentara Islam Indonesia), TNI (Tentara Nasional

Indonesia) dan Pasukan Belanda.36

Perang Segi Tiga ini melahirkan perang-perang lain yang cukup panjang dan menjadikan keadaan Jawa Barat semakin rusuh dan kacau. Hingga pada saat terjalin perjanjian bersama antara pihak Belanda dan Republik, perjanjian yang dikenal dengan istilah “Perjanjian Roem-Van Royen” pada tanggal 7 Mei 1949. Dari perjanjian ini diperoleh kesepakatan untuk mengembalikan kedaulatan Republik

Indonesia.

Permusuhan antara Belanda dan Republik Indonesia terhenti untuk beberapa waktu lamanya. Tetapi tidak demikian halnya dengan kubu Darul Islam

Kartosoewirjo. Ia dan DI/TII-nya harus berhadapan secara fisik dengan kedua belah pihak, Belanda dan Tentara Republik.

36 Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo, hal. 84. Perjuangan senantiasa masih harus dilanjutkan, meski secara formal pihak

Belanda telah mengakui kembali kedaulatan Pemerintah Republik, namun sebenarnya

Belanda masih tetap sebagai musuh yang nyata selama berada di Bumi Indonesia.

Kartosoewirjo melihat bahwa beberapa perjanjian yang dilakukan kedua belah pihak antara Republik dengan Belanda adalah hanya siasat yang dilakukan Belanda untuk mengecoh pihak Republik.

Semua perjuangan ini harus mendapatkan perwujudan yang kongkrit, perjuangan ideologi menegakkan panji-panji Islam di Tanah Air masih terus berlanjut bahkan semenjak paska kemerdekaan 1945 dimana pihak penjajah kolonial menginjakkan kaki kembali di Bumi Pertiwi.

Tentera Islam Indonesia menawarkan diri bekerja sama dengan pihak

Republik untuk bergabung melawan penindasan Belanda. Akan tetapi tawaran ini disambut sebelah mata oleh pemerintah Republik, maka Kartosoewirjo beserta rekan- rekanya tidak mengulur-ngulur waktu lagi, saat yang ditunggu telah tiba, sehari setelah M. Hatta, sebagai wakit Presiden RI berangkat ke Den Haag untuk mengikuti sidang Konferensi Meja Bundar, Negara Islam Indonesia akhirnya diproklamasikan oleh Kartosoewirjo pada tanggal 7 Agustus 1949 di Malambong, Jawa Barat.37

Dua hal yang mengisyaratkan Kartosoewirjo mengambil keputusan untuk segera memproklamasikan Negara Islam Indonesia, yaitu pertama, kekecewaan terhadap pemerintah Republik dalam melayani setiap diplomasi yang menurutnya hanya menjadi akal-akalan musuh. Kedua, adanya kekosongan atau jatuhnya

37 C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, hal. 84. pemerintahan daulat Republik Indonesia selama diplomasi yang memaksanya harus memproklamasikan NII dengan segera di Jawa Barat.

D. Penumpasan DI/TII

Negara Islam Indonesia berdiri, semenjak itu pula keaadaan wilayah di

Indonesia, Jawa Barat khususnya dengan sendirinya menjadi tersibukkan dibanding sebelumnya, secara otomatis berarti bertambahnya satu urusan bagi Republik

Indonesia dan bisa dikatakan sebagai masalah baru bagi kedaulatan Republik.

DI/TII yang sengaja memanfaatkan situasi kosong di wilayah Jawa Barat untuk kemudian dijadikan wilayah kekuasaan mereka, tetapi sebenarnya ada fenomena lain selain Darul Islam, yaitu kemunculan tegas dari pasukan-pasukan bersenjata lain, yakni pasukan-pasukan yang tersisa secara kesatuan disaat pelaksaan keputusan perjanjian Renville, pasukan-pasukan ini kemudian mengambil inisiatif sendiri-sendiri untuk tetap di wilayah Jawa Barat menentang serangan pihak kolonial

Belanda.38

Pihak tentara Republik terus mengadakan operasi-operasinya di Jawa Barat hingga memasuki tahun 1950, dalam rangka membereskan situasi yang kacau tersebut. Dengan pertimbangan harus dengan cepat membersihkan wilayah dari gangguan-ganguan pasukan liar di luar TNI. Bahkan TNI menyebutkan di sekitar tahun 1950-1960 pasukan TII semakin besar jumlahnya, sampai mencapai 13.129 personil dengan kelengkapan senjata 3000 buah termasuk bren dan montir dan itu

38 C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan,hal. 92-98. berarti sangat merepotkan operasi yang dilakukan pihak TNI.39 Kartosoewirjo dan

DI/TII-nya tetap dianggap sebagai pemberontak terhadap kedaulatan Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

DI/TII ternyata berhasil memberikan pengaruh gerakan ideologi Islam, ini terbukti dengan adanya perluasan gerakan dan wilayah kekuasaan meliputi Jawa

Tengah yang berhasil pula memproklamasikan berdirinya Negara Islam di bawah komando Amir Fatah pada akhir April 1949, Sulawesi Selatan pada 7 Agustus 1953 menyatakan diri sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia di bawah komandan

Kahar Muzakkar, Kalimantan Selatan pada akhir tahun 1954 juga menjadi bagian dari

NII dengan tokohnya bernama Ibnu Hadjar Haderi, Aceh Darussalam yang hingga kini masih menjunjung Ideologi Islamnya juga ikut bergabung sekitar tahun 1953 dengan dipimpin oleh Tengku Muhammad Daud Beureuh. Bagi pemerintah Republik gerakan-gerakan ini tidaklah lebih dari perbuatan maker, represif dan kudeta terhadap kedaulatan Republik Indonesia dan harus segera diadakan perlawanan demi pencegahan terhadapnya.40

Tidak ada kata lain dari Pemerintah dan Tentara Republik untuk mengadakan operasi demi operasi demi mewujudkan cita-cita pencegahan tersebut, meski harus berperang dengan pihak pasukan liar terutama Darul Islam yang sebenarnya adalah kawan sebangsa, setanah air bahkan pula seagama. Berbagai upaya dilakukan hingga pergantian cabinet demi tercapainya ketertiban kondisi dan situasi dari wilayah pemberontakan.

39 C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan,hal. 92. 40 Lihat keputusan sidang perkara terhadap Kartosoewirjo yang dikutip dalam Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo, hal. 208. Secara teknis terdapat kesulitan yang dirasakan dalam operasi karena rumit dan repotnya menjelajah lapangan tempat para gerilyawan pemberontak bermarkas dan bergerak, pada umumnya menggunakan sarana hutan, semak belukar maupun gunung dan perbukitan untuk dijadikan tempat persembunyian mereka kelak.41

Diantara sekian banyak upaya yang dilakukan ialah melalui perundingan dengan pihak TII, perundingan yang sempat dilakukan oleh pihak pemerintah adalah pada masa kabinet Natsir. Pemerintah memberikan maklumat kepada pihak gerilyawan agar segera menghentikan pergerakan pemberontakannya, dan segera akan diberikan amnesty atau semacam ganti rugi dari pemerintah kepada mereka yang mau menyerahkan diri dan bergabung kembali menjadi anggota bangsa

Republik. Akan tetapi para gerilyawan tidak menghiraukan seruan itu sehingga hal yang dilakukan pemerintah mengalami kegagalan.42

Ketika perundingan demi perundingan yang diupayakan oleh pemerintah

Republik mengalami kegagalan, maka dicari jalan lain di luar perundingan untuk segera membereskan masalah ini. Maka ditempuhlah jalan perang dengan cara militer yang sesungguhnya, dikenalah kebijakan doktrin “perang wilayah” dan Pangdam

Siliwangi Ibrahin Adjie ditunjuk sebagai pelaksana dalam perang tersebut.43

Pada tanggal 1 April 1962, pihak TNI mengadakan operasinya kembali yang diberi nama “Operasi Brata Yudha”. Peperangan yang berlangsung sampai pada tanggal 24 April 1962 tercatat sebagai peperangan hebat yang terjadi di daerah

41 Lebih jelas lihat C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan. 42 C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, hal. 100. 43 Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo, hal. 201-202. Bandung Selatan yang banyak meminta korban. Akhirnya pada bulan mei 1962 berapa rekan dekat seperjuangan Kartosoewirjo berhasil ditangkap dan menyerahkan diri, Toha Machfoed dan Moehamad Danoe. Mereka pun meminta kapada

Kartosoewirjo dan rekan yang lain untuk segera menyerahkan diri kepada TNI.44

Keadaan ini membuat pasukan DI/TII-NII merasa terdesak dan menganggap tidak ada gunanya lagi untuk bersembunyi.

Pasukan TNI di bawah pimpinan Suhanda berhasil menemukan markas persembunyian pasukan DI/TII-NII pada tanggal 4 Juni 1962. Tepatnya di sekitar wilayah gunung Geber, Cicalengka Selatan, Bandung. Akhirnya Kartosoewirjo dapat ditemukan bersama rekan-rekan yang lain, ia berhasil ditangkap di usianya 59 tahun, ia tertangkap bersama istri dan Kurnia, pengawal pribadinya.45

Setelah tertangkap Kartosoewirjo disidang selama tiga hari yang berakhir pada 16 Agustus 1962. Ia didakwa melakukan tindakan makar, pemberontakan dan diduga merencanakan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno. Sebulan kemudian, tepatnya pada tanggal 4 September 1962 Kartosoewirjo dieksekusi dengan ditembak mati oleh para regu tembak pemerintah Republik.46

E. Kemunculan Gerakan Komando Jihad (KOMJI) dan Dinamika Politik

Orde Baru

44 Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo, hal. 201-202. 45 Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo, hal. 205. 46 Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo, hal. 205.

Politik Islam di masa Orde Baru mengalami dinamika yang berbeda selama tiga dekade lebih dari kekuasaannya. Rezim Orde Baru memerankan panggung politiknya sendiri, yakni: peminggiran politik Islam dan akomodasi politik Islam. Dua karakter inilah yang dialami umat Islam dalam mengahadapi rezim Orde Baru.

Di awal-awal rezim Orde Baru berkuasa, pemerintah menunjukkan kebijakan yang meminggirkan peran politik umat Islam, sehingga muncul sikap antagonistik dari umat Islam. Depolitisasi dan deideologisasi yang diterapkan Orde Baru adalah suatu rekayasa politik (politic enginering) untuk memperlemah potensi politik umat

Islam, yang bisa sangat membahayakan bagi pemerintah baru.47 Naiknya rezim Orde

Baru di panggung kekuasaan pasca-Soekarno sebenarnya telah memberikan harapan besar bagi umat Islam sejak dilarangnya Masyumi sebagai partai politik oleh

Soekarno. Politik Islam sepertinya akan kembali bergairah di bawah kekuasaan Orde

Baru. Harapan ini ternyata tidak terwujud setelah rezim Soeharto menunjukkan sikapnya yang berlawanan dengan aspirasi umat Islam ketika itu.

Sepeninggalan Kartosoewirjo terjadi perpecahan di tubuh Darul Islam, para penerus perjuangan Kartosoewirjo terlibat konflik internal yang mengakibatkan pecahnya Darul Islam (DI) atau Negara Islam Indonesia (NII). Pasca kematian

Kartosoewirjo kepemimpinan DI/TII (NII) dipegang secara kolektif oleh Agus

Abdullah, Kahar Sholihat dan Djaja Sujadi dan pada tahun 1976 kepemimpinan DI-

NII diserahkan kepada Daud Baureuh yang menjabat selama kurang lebih 2 tahun.48

47 Khamami Zada, Islam Radikal, Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia, (Jakarta: TERAJU, 2002), hal. 29. 48 Muhammad Sufyan Raji Abdullah, Mengenal Aliran-Aliran Islam dan Ciri-Ciri Ajarannya, (Jakarta: LPPI Riyadhus Sholihin, 2003), hal. 142. Dalam perkembangannya DI terpecah menjadi beberapa faksi, pada priode tahun 1979-1994 Djaja Sujadi yang tadinya menjadi wakil Imam disingkirkan oleh kelompok Adah Jaelani yang akhirnya membuat kelompok sendiri. Helmi Aminuddin bin Dani Muhammad Dahlan keluar dari Darul Islam dan membuat kelompok sendiri yang bernama tarbiyah pada tahun 1984. NII terpecah belah menjadi kelompok- kelompok kecil yang saling mengklaim kebenaran kelompoknya dan menyalahkan kelompok yang lain.

Setelah operasi penangkapan terhadap para anggota DI-TII yang jumlahnya cukup banyak, akhirnya pada Agustus 1962 pemerintah Republik Indonesia memberikan amnesti kepada para aktifis DI yang jumlahnya mencapai ribuan, termasuk, 32 petinggi NII (DI/TII) dari sayap militer. Dari 32 petinggi NII (DI/TII) yang telah menyerah kepada pihak Soekarno tanggal 1 Agustus 1962 itu, sebagian besar menyatakan ikrar bersama, yang isinya:

“Demi Allah, akan setia kepada Pemerintah RI dan tunduk kepada UUD RI

1945. Setia kepada Manifesto Politik RI, Usdek, Djarek yang telah menjadi

garis besar haluan politik Negara RI. Sanggup menyerahkan tenaga dan

pikiran kami guna membantu Pemerintah RI. Selalu berusaha menjadi warga

Negara RI yang taat baik dan berguna dengan dijiwai Pantja Sila.”49

Setelah ikrar bersama yang dilakukan oleh para petinggi DI, gerakan Islam

Radikal mengalami kevakuman dan jarang terdengar lagi, tetapi ada diantara petinggi

DI yang tidak mau melakukan ikrar dan mencoba bangkit kembali menperjuangkan

49 Heri Setiawan, “Gerakan Komando Jihad, sebuah catatan kecil”, artikel diakses pada 18 Maret 2010 dari http://www.Komando Jihad.com/2010/1803/. cita-cita semula namun dengan meninggalkan karakter militeristik dan mengabaikan struktur organisasi kenegaraan NII. Mereka inilah yang meski sudah menerima amnesti namun tidak mau bersumpah-setia sebagaimana dilakukan oleh sebagian besar mantan petinggi NII lainnya.

Dalam mengamankan kekuasaannya, pemerintah Indonesia cenderung mengembangkan stigma-stigma negatif terhadap kelompok yang dianggap menentang dan berbahaya bagi kekuasaan. Orde Lama menyebut kelompok “kontra Revolusi” terhadap mereka yang tidak sependapat dengan kebijakan pemerintah, Orde Baru menyebut dengan istilah “Anti-Pancasila”, “PKI” dan “Anti-Pembangunan”. Orde

Baru meluncurkan stigmasisasi untuk membuat masyarakat ketakutan. “Komando

Jihad” termasuk dianggap sebagai ekstrem kanan yang cenderung Islami dan

Komunis dianggap sebagai ekstrem kiri.50

Pada masa Orde Baru sekitar tahun 1976-1984 terjadi sejumlah aksi terror yang terkait dengan dengan suatu kelompok yang dikenal sebagai “Gerakan

Komando Jihad”, menurut penjelasan pemerintah, tujuan kelompok ini adalah membentuk “Dewan Revolusi Islam Indonesia”, menentang Pancasila dan UUD 1945 dan berkeinginan membentuk negara Islam Indonesia.

Ali Said, Jaksa Agung masa Orde Baru sempat menjelaskan tentang Gerakan

KOMJI pada acara dengar pendapat dengan Komisi III DPR akhir Juni 1977,

“Komando Jihad semakin popular. Dalam kegiatan bawah tanahnya KOMJI terkadang bernama “Jihad Fisabilillah”, “Pasukan Jihad”, “Barisan Jihad Sabilillah”,

50 Tim LIPI, Militer & Politik Kekuasaan Orde Baru. Soeharto di Belakang Peristiwa 27 Juli, (Jakarta: LIPI dan MIZAN, 2001), hal. 142. dan sebagainya. Ali Said juga mengatakan bahwa otak, pencetus dan perencana gerakan KOMJI adalah para mantan anggota dan pimpinan DI/TII.”51

Ali Said juga menjelaskan bahwa sesepuh “Komando Jihad” berada di Jawa

Barat. Dia menjadi Panglima Komando Wilayah Komandemen I, selain di Jawa

Barat, sesepuh KOMJI juga ada di Jawa Tengah. Pada 1976, mereka menetapkan wakil Panglima Komando Wilayah Besar dan 20 Komando Wilayah karesidenan.

Pada Maret 1977, mereka membentuk “Pasukan Jemaah Jihad”. Program jangka pendek mereka adalah menggagalkan Pemilu 1977, menumbuhkan keresahan sosial dan mengganggu umat beragama.52

Ada semacam kekhawatiran pemerintah Orde Baru terhadap kelompok yang dianggap akan mendongkel kekuasaaan penguasa, segala hal yang mengganggu stabilitas Orde Baru harus segera dimusnahkan karena stabilitas adalah titik pangkal untuk membangun Negara. Penguasa Orde Baru sengaja melindungi diri dari kemungkinan adanya ancaman, militer sebagai alat penguasa ketika itu sangat berperan dalam menemukan dan membasmi kelompok-kelompok yang menjadi ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan atau yang terkenal dengan istilah

ATHG.

Militer dengan cepat mengambil tindakan untuk menjaga kestabilan system

Orde Baru, beberapa kelompok yang muncul dengan mengatasnamakan semangat keagamaan ada yang dianggap sebagai ancaman terhadap kelangsungan system yang

51 Tim LIPI, Militer & Politik Kekuasaan Orde Baru. Soeharto di Belakang Peristiwa 27 Juli, hal. 103. 52 Tim LIPI, Militer & Politik Kekuasaan Orde Baru. Soeharto di Belakang Peristiwa 27 Juli, hal. 103. telah dibangun. Militer kemudian melindas Komando Jihad yang dianggap salah satu dari kelompok itu. Pelindasan ini menyangkut pembatasan ruang gerak atau penghilangan kemerdekaan kelompok tersebut.

Pengungkapan Komando Jihad menjelang Pemilu 1977 menimbulkan dugaan adanya kaitan erat antara maksud pengungkapan dan Pemilu. Ketika Sudomo menerangkan kepada tokoh-tokoh masyarakat tentang adanya kegiatan sekelompok orang yang ingin mengubah dasar Negara Indonesia pada 2 Februari 1977, sejumlah tokoh masyarakat langsung mempertanyakan kebenaran kelompok Komando Jihad.53

F. Tokoh-Tokoh Penting Gerakan Komando Jihad

1. Haji Ismail Pranoto

Ismail Pranoto lahir di Kampung Kedongo Desa Larangan, Brebes, Jawa

Tengah.54 Haji Ismail Pranoto yang juga dikenal dengan nama Hispran tinggal dengan istri keduanya yang dinikahi menjelang Pemilu 1977, ia tinggal bersama empat anaknya Kampung Kauman, Brebes Jawa Tengah.55

Di awal Revolusi ia berjuang di Jawa Tengah dan bergabung dengan gerakan

S. M. Kartoesoewirjo pada tahun 1948. Tetapi beberapa saat setelah “Imam Darul

Islam” itu tertangkap, ia menyerahkan diri dan akhirnya mendapat amnesti dari pemerintah.

53 Tim LIPI, Militer & Politik Kekuasaan Orde Baru. Soeharto di Belakang Peristiwa 27 Juli, hal. 113. 54 Irfan Suryahardi, Perjalanan Hukum di Indonesia, Sebuah Gugatan, (Yogyakarta: Ar- Risalah, 1982), hal. 26. 55 Tempo, 30 September 1978. Hispran dimata beberapa kenalannya di Brebes adalah seorang aktifis dalam kegiatan dagang dan dakwah Islam. Ia memang cukup berpengaruh di sana, meskipun tidak begitu pandai berpidato. Bahkan tiga tahun menjelang Pemilu 1971, ia menjadi seorang pemimpin Golkar setempat, dan kemudian pada tahun berikutnya ia menjabat menjadi pemimpin GUPPI, sebuah organisasi Islam dalam keluarga Golkar.

Dalam Pemilu 1971, Hispran sempat berkampanye untuk Golkar sampai akhirnya Golkar menang dalam Pemilu tersebut, tetapi meskipun demikian ia sendiri tidak sempat duduk sebagai anggota DPRD setempat ketika itu. Hispran tidak lagi aktif di Golkar pada pemilu 1977, ia memilih berdagang dan menghilang dari peredaran.56

Dalam kegiatan perdagangan itulah ia akhirnya bertemu dan berhubungan kembali dengan rekannya Danu Muhammad Hasan. Pada bulan Ramadhan 1

November 1976, Pangdam VI (Siliwangi) Himawan Sutanto menyelanggarakan silaturahmi dengan seluruh bekas DI/TII Jawa Barat. Dalam pertemuan itu Himawan

Sutanto menyatakan bahwa Hispran yang kembali menghilang harus disadarkan.

Ternyata secara diam-diam, Hispran juga hadir pada pertemuan itu, belum selesai

Panglima mengucapkan kalimat tersebut, seorang laki-laki tampak mengacungkan tangan di tengah para hadirin, “Saya Hispran, Pak,” kata laki-laki itu. Hal ini membuktikan bahwa kontak dan hubungan diantara mantan aktifis Darul Islam itu masih sangat erat.

Setelah muncul dalam silaturahmi di Bandung itu, Hispran kembali tak nampak batang hidungnya hingga kemudian ia nampak bertamu di rumah beberapa

56 Tempo, 30 September 1978. orang Islam di Jawa Tengah dan Jawa Timur, setelah itu kabarnya ia berangkat ke

Lampung sampai akhirnya ia tertangkap di sebuah desa Bondoringgit, kabupaten

Blitar.

Hispran ditangkap pada tanggal 8 Januari 1977 di desa Bendoringgit, Blitar,

Jawa Timur dan diadili di Pengadilan Negeri Surabaya sejak 5 April 1978 dan akhirnya divonis hukuman penjara seumur hidup pada Selasa 19 September 1978.

Mula-mula ia dituduh mengorganisir gerakan Komando Jihad untuk menghidupkan kembali DI/TII dan mendirikan Negara Islam.57

Menurut Majelis Hakim yang dipimpin oleh RM Soejono Koesoemosisworo,

Hispran dituduh membentuk wadah bagi mantan DI/TII dengan nama “Jemaah Bela

Diri” di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Karena wadah bentukan Hispran ini dianggap subversif maka pengadilan pun menerapkan pasal-pasal subversive seperti tercamtum dalam UU No. 11/PNPS/1963.

Tetapi ternyata mengherankan bahwa, Majelis Hakim sendiri menyatakan apa yang disebut Komando Jihad tidak ada di dalam gerakan terhukum. Ini cocok dengan keterangan Jaksa Agung Ali Said di depan Raker Komisi III (Hukum) DPR-RI akhir

Juni 1977. Ketika itu ia menyatakan bahwa “Komando Jihad” sebenarnya sebutan untuk bermacam-macam gerakan ekstrim yang dipimpin oleh bekas-bekas DI/TII.

Ali Said mengatakan bahwa gerakan ilegal yang terbentuk sejak 1970 itu bergerak terbatas di Jawa dan Sumatera saja dan ditokohi oleh bekas DI/TII Jawa

Barat. Ada beberapa macam-macam nama gerakan itu, misalkan: Gerakan Bawah

Tanah Komando Jihad Fisabilillah (DKI), Jihad Fillah, dan Jihad Fisabilillah (Jawa

57 Tempo, 30 September 1978. Barat), Pasukan Jihad (Sumatera Utara), Barisan Sabilillah (Jawa Timur). Tetapi menurut Ali Said seluruh gerakan tersebut belum terdapat tanda-tanda pergerakannya di bawah satu komando.58

Menurut Ateng Djaelani ketika bersaksi dalam persidangan, di kalangan bekas

DI/TII dikenal tiga orang sesepuh, yaitu Danu Muhammad Hasan, Ateng sendiri dan

Hispran. Dalam sebuah pertemuan di Bandung ketiga sesepuh itu bersepakat kembali ke Maklumat Komandemen Negara Islam Indonesia No. 1 yaitu membentuk

Komandemen Wilayah (Propinsi) dan Daerah (Karesidenan). Tahun 1976 Hispran diangkat menjadi Komandan Komandemen Pertempuran Wilayah Besar Jawa-

Madura. Hispran ditugaskan menghubungi beberapa orang di Jawa Tengah dan Jawa

Timur. Dalam persidangan Hispran mengakui hal itu, pertengahan 1976 delapan orang dari Jawa Timur dilantik oleh Ateng sendiri di rumah Danu di Bandung dan selanjutnya mereka pulang kampung ke Jawa Timur untuk mencari dan mengumpulkan rekan-rekan yang lain.

Dalam setiap pertemuan anggota ini mereka hanya menyebut-nyebut bahaya komunisme ketika itu, tetapi yang menjadi tujuan utama sebenarnya adalah menghidupkan kembali NII dan menggulingkan pemerintahan Soeharto ketika itu.

Ateng memaparkan tujuan gerakan ini di pengadilan dan ia juga mengakui bahwa dialah yang juga membentuk Komandemen Wilayah dan beberapa Komandemen

Daerah di Jawa Timur.

58 Tempo, 30 September 1978. 2. Abu Bakar Ba’asyir

Abu Bakar Ba‟asyir lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 17 Agustus 1938, dari seorang ayah berdarah Yaman, Abud Ahmad Ba‟asyir, atau nama lainnya Abu

Bakar Abud. Abu Bakar Ba‟asyir menjalani pendidikan keislamannya pertama-tama sebagai santri di pondok pesantren Gontor, Ponorogo (1959-1963). Selanjutnya ia belajar di Universitas Al-Irsyad, Surakarta, mengambil jurusan dakwah. Perjalanan karier Ba‟asyir dalam dunia gerakan Islam di mulai sejak tahun 1956 ketika ia menjabat ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) tingkat kecamatan, dan terpilih menjadi ketua GPII Pondok Pesantren Gontor.59

Dalam dunia kemahasiswaan Abu Bakar Ba‟asyir adalah seorang aktivis

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Surakarta, menjabat sebagai ketua

Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI) Cabang Surakarta pada tahun 1966.

Ba‟asyir kemudaian mendirikan Pesantren Al-Mukmin bersama rekannya Abdullah

Sungkar di Ngruki, Surakarta.

Dalam gerakan Islam radikal karier Ba‟asyir sangat menonjol bersama

Abdullah Sungkar terutama di era tahun 1970-an, ia bersama Abdullah Sungkar telah muncul dalam barisan tokoh utama NII sejak periode 1976 di bawah komando tertinggi poros Adah Djaelani Tirtapraja. Konon Adah Djaelani sendiri yang membaiat Abu Bakar Ba‟asyir dan Sungkar untuk masuk ke lingkaran NII. Dalam serangkaian sapu bersih terhadap kelompok-kelompok radikal Islam yang dilancarkan pemerintah Orde Baru pada pertengahan 1970-an yang terkenal dengan nama peristiwa Komando Jihad, nama Ba‟asyir maupun Sungkar berada dalam daftar

59 M Zaki Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia, hal. 210. mereka yang ditangkap oleh aparat keaamanan. Ba‟asyir dan Sungkar merupakan bagian dari sekitar 700 orang yang dianggap bagian dari kelompok Komando Jihad yang berhasil diringkus.

Abu Bakar Ba‟asyir dan Abdullah Sungkar dikenai dakwaan telah melanggar

UU No. 11/PNPS/1963, yakni dakwaan yang umumnya ditujukan pada mereka yang dituduh sebagai anggota komplotan Anggota Jihad (KOMJI), yaitu menentang pemerintah dan ingin mengganti dasar Negara Pancasila. Persidangan itu mulai digelar setelah Ba‟asyir meringkuk di penjara selama kurang lebih empat tahun sejak

1978.

Dari tuntutan 12 tahun yang diajukan, akhirnya Abu Bakar Ba‟asyir dan

Abdullah Sungkar divonis 4 tahun lebih ringan, yakni 9 tahun penjara potong masa tahanan. Menjelang putusan dijatuhkan, majelis hakim menyatakan kesepakatannya dengan jaksa penuntut umum mengenai latar belakang kegiatan terdakwa (Ba‟asyir dan Sungkar), yang menginginkan untuk membangun masyarakat yang berbeda dari yang telah digariskan dalam Pancasila dan UUD 45, yaitu ingin membentuk Negara

Islam Indonesia (NII). Setelah naik banding, akhirnya vonis yang dijatuhkan menjadi lebih ringan, yakni 4 tahun penjara.60

Selepas masa tahanan yang dijalaninya sejak 1978, Ba‟asyir tinggal di

Malaysia. Ia ditahan dengan tuduhan terlibat Komando Jihad dan akan mendirikan

Negara Islam Indonesia. April 1982, Pengadilan Negeri Sukoharjo menvonis Abu

Bakar Ba‟asyir dengan hukuman Sembilan tahun penjara, ia naik banding, Majelis

60 M Zaki Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi, hal. 212. hakim Pengadilan Tinggi Jawa Tengah pada Agustus 1982 memperingan hukumannya menjadi tiga tahun 10 bulan penjara. Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan penetapan Abu Bakar Ba‟asyir sebagai tahanan luar, karena masa tahanannya sudah melebihi vonis. Kemudian pihak Jaksa naik kasasi, saat menunggu proses kasasi ini, Ba‟asyir menghilang bersama Sungkar seniornya yang terlibat perkara yang sama. “Saya dan Pak Abdullah Sungkar dikejar-kejar Benny Moerdani,” katanya menyebut nama Panglima ABRI kala itu. “Kami menjadi target operasinya, karena itu kami lari ke Malaysia,” Ujarnya.61 Abu Bakar Ba‟asyir pulang ke

Indonesia pada tahun 1999, “Setelah Soeharto dijatuhkan Allah,” katanya. Tapi belakangan justru pemerintah Malaysia mengincarnya. Ia dianggap buron karena diduga terlibat kumpulan Mujahidin Malaysia yang dianggap subversif di sana.

3. Abdullah Sungkar

Abdullah Sungkar nama aslinya adalah Abdullah bin Ahmad bin Ali Sungkar, lahir di Surakarta pada tahun 1937. Bapaknya bernama Ahmad Sungkar merupakan imigran dari Hadramaut, sebelum kepindahanya ke Indonesia ia pernah menikah dengan wanita arab dan sempat dikaruniai seorang anak. Setelah berada di Indonesia,

Ahmad Sungkar menikah dengan seorang wanita Jawa asal Jombang. Dari pernikahan inilah lahir Abdullah Sungkar, Abdullah Sungkar merupakan anak tunggal dari pasangan Arab-Jawa tersebut, karena itulah Sungkar di Indonesia tidak memiliki saudara, akan tetapi di Arab Saudi ia memiliki saudara seayah.

61 GATRA, 1 September 2010. Dari segi ekonomi orang tuanya hidup dalam kesederhanaan, tetapi aspek pendidikan agama sangat diperhatikan. Abdullah Sungkar kecil sangat beruntung, karena selain tinggal di lingkungan religius (kampung Arab), orang tuanya sangat menekankan masalah agama. Itulah sebabnya Abdullah Sungkar belajar formal mulai

Taman Kanak-Kanak sampai SLTA selalu di lembaga pendidikan Islam. TK dan SD sekolah di Al-Irsyad, SMP dilangsungkan di Modern Islamic School, adapun SMA di

Muhammadiyah.

Satau kelebihan yang dimiliki Abdullah Sungkar adalah, ia sangat cerdas dan tekun dalam belajar. Dengan kelebihan itu, Abdullah Sungkar dapat menguasai bahasa Arab dan Inggris dengan sangat baik. Karenanya walaupun setelah SMA tidak sempat melanjutkan ke perguruan tinggi, Abdullah Sungkar dapat belajar agama secara otodidak.

Sungkar menghabiskan masa mudanya dalam aktifitas gerakan kepemudaan.

Untuk itu ia mulai menempa diri pada organisasi kepemudaan. Pertama-pertama bergabung dengan Kepanduan Al-Irsyad, kemudian Gerakan Pemuda Islam Indonesia

(GPII). Sedang dalam politik praktis Abdullah Sungkar menjadi anggota partai

Masyumi.

Untuk memperluas jangkauan dakwahnya, tahun 1969 Abdullah Sungkar bersama kawan-kawannya mendirikan Radio Dakwah Islamiyah (Radis) di jalan

Gading Solo. Abdullah Sungkar juga memiliki forum pengajian yang dilaksanakan di

Masjid Agung Solo. Bermula dari kuliah Dhuhur di serambi Masjid itulah, di tahun

1971 Abdullah Sungkar bersama lima kawannya sepakat mendirikan pondok pesantren Al Mukmin yang lebih dikenal dengan Pondok Ngruki. Pondok ini merupakan salah satu wadah pengkaderan generasi muda Islam. Pesantren al Mukmin

Ngruki ini juga merupakan basis koordinasi gerakan dakwah kalangan aktifis yang kritis dan menonjol dalam menyuarakan semangat penegakan Islam maupun mengkritisi Hegemoni politik penguasa Orde Baru. Dengan arti lain pesantren Ngruki akhirnya menjadi milik para pejuang dan aktifis dakwah Islam, yang tidak saja memiliki jaringan di Jawa Tengah, tetapi Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan

Timur, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan berbagai daerah lain di Indonesia.

Pada tahun 1975, pemerintah menilai Radio Dakwah Islamiyah (Radis) dianggap membahayakan negara dan dilarang oleh Laksusda Jawa Tengah. Sejak saat itu Abdullah Sungkar banyak menemui berbagai kesulitan dalam menjalankan kehidupan normalnya, karena ia telah diposisikan sebagai musuh oleh rezim Orde

Baru.

Karir Abdullah Sungkar sebagai Mubaligh (Juru Dakwah) justru meningkat, apalagi setelah Abdullah Sungkar diangkat sebagai Ketua Pembantu Perwakilan DDII

(Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) Surakarta. Sejak itu berbagai kritikannya kepada rezim Orde Baru kian menjadi- jadi, dan tentu saja memerahkan telinga penguasa. Hasilnya, Abdullah Sungkar berkali-kali keluar masuk penjara.

Pada tahun 1977, selama satu bulan (12 Maret-29 April) Abdullah Sungkar ditahan Laksusda Jateng, karerna mensosialisasikan GOLPUT pada pemilu saat itu.

Sejak 10 November 1978 hingga 3 April 1982 (4 tahun), Abdullah Sungkar kembali mendekam di tahanan Laksusda Jateng, dengan tuduhan merongrong Pancasila dan pemerintahan yang sah, melalui dakwah-dakwahnya yang tegas. Bahkan Abdullah Sungkar pun dituduh hendak mendirikan Negara Islam melalui berbagai dakwahnya itu.62

Keluar dari penjara bukannya berhenti melakukan dakwah yang menyinggung pemerintah, bahkan ia semakin keras dalam mengkritik penguasa orde baru, apalagi tahun 1982-1985, ada dua peristiwa yang sangat menggetirkan umat Islam, yaitu pembantaian Umat Islam Tanjung Priok dan pengasastunggalan pancasila.

Memperhatikan sepak terjangnya, tahun 1985 di komplek pesantren Al

Mukmin Ngruki Solo, di pagi buta puluhan tentara menggeledah rumah Abdullah

Sungkar dan lingkungan sekitar, akan tetapi tidak ditemukan orang yang dicari, sebab malam harinya Abdullah Sungkar telah meninggalkan rumah untuk kemudian Hijrah ke Malaysia. Di negeri Jiran, Abdullah Sungkar berganti nama dengan Abdul Halim, ia tinggal di kampung Air Bong, Serting tengah, Batu ulin, Negeri Sembilan.

Di tempat persembunyianya ini, jiwa Abdullah Sungkar sebagai Da‟i selalu terpanggil untuk menyiarkan agama, karena itu walaupun dihimbau oleh banyak orang untuk sementara menghentikan kegiatan dakwahnya demi keselamatan, tidak dipedulikannya. Abdullah Sungkar bahkan sempat mendirikan pesantren yang diberi nama “Ma'had Tarbiyah Islamiyah Lukman al Hakim” di Johor Malaysia.

Pelarian Abdullah Sungkar ke Malaysia ditemani oleh Abu bakar Ba‟asyir, pelarian ini dilakukan terpaksa untuk menghindari penangkapan kembali. Di

Malaysia dua pelarian politik itu mendapatkan tempat berlindung yang relatif aman.

Para pelarian politik Islam dari Indonesia yang berhimpun di Negeri itu diberi

62 Heri Setiawan, “Mengenal Ustadz Abdullah Sungkar”, artikel diakses pada tanggal 09 Januari 2011 dari http://risalahjihad.blogspot.com/2011/0901/. kesempatan untuk menyebarluaskan aktifitas dakwahnya, termasuk mendirikan dan mengelola pesantren. Tempat dimana Ba‟asyir dan Sungkar bermukim di Malaysia itu, lama-kelamaan menjadi semacam kampus bagi berkumpulnya para aktivis Islam radikal, baik yang berasal dari orang-orang Indonesia yang berada di sana, maupun warga Negara Malaysia. Lembaga pendidikan Ma‟had Ittiba‟us Sunnah dan Pondok

Pesantren Lukmanul Hakim yang dikelolanya menjadi sarana indoktrinasi dan kaderisasi. Namun bersamaan dengan dilangsungkannya operasi-operasi

“antiterorisme” yang digencarkan pemerintah Malaysia, pesantren itu ditutup karena dianggap menjadi sarana pendidikan dan kaderisasi kelompok Islam radikal.63

G. Kronologi Gerakan Komando Jihad Menentang Pancasila Sebagai Asas

Tunggal

Kasus Gerakan Komando Jihad mulai terungkap ketika tertangkapnya Haji

Ismail Pronoto atau lebih dikenal dengan nama Hispran yang dianggap tokoh

Komando Jihad Jawa Timur pada 19 September 1978 divonis hukuman penjara seumur hidup. Dia ditangkap 8 Januari 1978 di Bondoringgit, Blitar dan baru mulai diadili sejak 5 April 1978 oleh Pengadilan Negeri Surabaya.64

Hispran dituduh mengorganisasi gerakan Komando Jihad untuk menghidupkan kembali DI/TII dan mendirikan Negara Islam. Ia juga dituduh membentuk wadah bagi mantan anggota DI/TII di Jawa Timur dan Jawa Tengah dengan nama “Jemaah Bela Diri”. Karena dinggap melakukan tindakan subversi,

63 M Zaki Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi, hal. 213. 64 Tim LIPI, Militer & Politik Kekuasaan Orde Baru, hal.107. pengadilan menerapkan pasal-pasal subversi yang termuat dalam UU No.

11/PNPS/1963. Persidangan terhadap Hispran ini dipimpin oleh Majelis Hakim yang diketuai oleh R.M. Soejono Koesoemosisworo. Tetapi ada sebuah keganjilan dalam acara persidangan, ternyata Majelis Hakim membuat kesimpulan akhir bahwa Haji

Ismail Pranoto tidak terlibat dalam gerakan Komando Jihad.

Dari keputusan hakim tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa kasus KOMJI

Jawa Timur belum terungkap, karena Hispran sendiri yang pada awalnya dituduh sebagai penggerak utama gerakan akhirnya tidak terbukti terkait dengan gerakan.

Walaupun demikian, selama persidangan Hispran yang berlangsung 25 kali, terungkap berbagai hal yang berhubungan dengan Kasus KOMJI. Salah satu yang menarik adalah kesaksian dari Ateng Djaelani, 55 tahun, tokoh mantan anggota

DI/TII asal Garut. Menurut Ateng dikalangan mantan tokoh anggota DI/TII dikenal 3 orang sesepuh, yaitu Danu Muhammad Hasan, Ateng Djaelani, dan H. Ismail Pranoto

(Hispran). Dalam satu pertemuan mereka bertiga sepakat kembali ke “Maklumat

Komendemen Negara Islam Indonesia” No. 1, yakni membentuk Komandemen

Wilayah (Propinsi) dan Daerah (Karesidenan). Kemudian pada 1976, Hispran diangkat sebagai Komandan Komandemen Pertempuran Wilayah Besar Jawa-

Madura.65

Ateng Djaelani dalam kesaksiannya mengatakan bahwa tujuan utama dari gerakan mereka adalah menghidupkan kembali gerakan “Negara Islam Indonesia”

(NII) dan ada upaya penggulingan terhadap kekuasaan Orde-Baru yang dipimpin

Soeharto. H. Ismail Pranoto sendiri ketika itu ditugaskan untuk menghubungi

65 Tim LIPI, Militer & Politik Kekuasaan Orde Baru, hal. 108. beberapa orang di Jawa Tengah dan Jawa Timur dan Ateng melantik delapan orang dari Jawa Timur untuk masuk sebagai anggota kelompok ini yang bertempat di rumah

Danu di Bandung, Jawa Barat. Pada awalnya gerakan mereka hanya berupa jamaah dan belum mempunyai nama. Kesaksian Ateng ini membenarkan bahwa Hispran adalah tokoh penting di balik gerakan Komando Jihad pada era Orde Baru.

Akan tetapi ada bantahan yang dilontarkan oleh Hispran sendiri terhadap kesaksian Ateng tersebut, Hispran menuduh Ateng sengaja mengarang kesaksiannya itu. Hispran juga berani mengatakan bahwa Danu dan Ateng sebenarnya adalah orang pemerintah. “yang satu mendapat gaji dan mobil, yang satu menjadi penyalur minyak tanah untuk seluruh Jawa Barat,” kata Hispran dalam sidang 8 Mei 1978.66

Keterkaitan pihak penguasa dengan gerakan Komando Jihad diperjelas dengan pengakuan Haji Ismail Pranoto yang pernah berkunjung ke rumah Danu di

Senopati dan ia mengatakan Senopati adalah kantor Bakin tempat Danu bekerja. Ada skenario yang dibuat oleh pihak penguasa untuk menyudutkan kelompok Islam, dalam hal ini Bakin sebagai alat penguasa Orde Baru ketika itu bertugas mengawasi gerakan atau kelompok-kelompok yang cenderung membahayakan Negara.

Kasus pengadilan Hispran penuh adegan yang menimbulkan kecurigaan bahwa Komando Jihad adalah suatu rekayasa politik penguasa Orde Baru dengan alatnya Bakin. Posisi Ateng di persidangan juga sangat menimbulkan berbagai pertanyaan. Siapakah sebenarnya Ateng Djaelani tersebut?, Hispran sendiri juga pernah merasa tertipu karena ia mengaku menjadi korban diplomasi dari Ateng.

66 Tempo, 30 September 1978. Kasus Komando Jihad sedikit mereda setelah tokoh sentralnya Hispran yang akhirnya dijatuhi hukuman seumur hidup. Kemudian pada tahun 1980 kasus

Komando Jihad marak lagi dengan nama teror Warman. Kelompok Warman itu mulai terkuak sejak Pangkowilhan II, Letjen Widjojo Sujono memberi tahu ulama dan para cendekiawan Islam Jawa Timur bahwa Pemerintah tidak akan lagi menggunakan istilah “Komando Jihad” untuk menyebut kelompok Warman. Istilah yang dipakai pemerintah adalah “Kasus Teror Warman”. Hal ini menimbulkan kecurigaan kembali bahwa ada tujuan tertentu dalam penggunaan istilah “Komando Jihad”.

Warman adalah mantan anggota DI/TII Kartosoewirjo yang pindah ke

Sumatra Selatan. Di tempat itu, antara 1976-1978, Warman melakukan 16 aksi perampokan dan pembunuhan. Sejak 1979, ia mengalihkan operasinya ke Jawa

Tengah dan Jawa Timur. Operasi yang dilakukan Warman dan kelompoknya adalah pembunuhan terhadap Parmanto, Pembantu Rektor I Universitas Negeri Sebelas

Maret, 11 Januari 1979 dan pembunuhan mahasiswa IAIN Yogyakarta, Hasan Bauw.

Dengan nama samaran Musa, Warman dan dua anggota kelompoknya tertangkap di

Malang 4 April 1979 setelah mereka gagal merampok gaji IKIP Malang.67

Setelah mereka tertangkap, kelompok Warman jarang disebut dalam wacana publik. Tindakan secara hukum dengan memproses kelompok Warman ke pengadilan tidak terjadi. Dua tahun kemudian, terjadi operasi penyergapan terhadap Warman, di

Soreang Kolot, Bandung 23 Juli 1981. Dalam penyergapan itu Warman tewas

67 Tim LIPI, Militer & Politik Kekuasaan Orde Baru, hal. 110. tertembak. Di tempat persembunyiannya ditemukan sebuah granat tangan, sepucuk pistol FN 45 kaliber 9 mm, dua masin, 97 butir peluru dan uang Rp. 18.500,00.68

Sebelum penggerebekan di Soreang yang menewaskan Warman tersebut, kelompok itu pernah digerebek di desa Kadipaten, Kecamatan Ciawi, Tasikmalaya.

Pada waktu itu Warman berhasil meloloskan diri tetapi Ruch (55 tahun) anak buahnya tertembak mati serta Djuh Sun tertangkap.

Dalam berbagai operasinya, aparat keamanan berhasil menangkap dan menahan anak buah Warman. Pada April 1981, 49 orang anggota Warman yang ditahan aparat dibebaskan dalam suatu upacara yang dihadiri ketua MUI, K. H. E.Z.

Muttaqien. Mereka yang dilepas ini kemudian memberikan informasi yang dapat digunakan oleh aparat untuk melacak keberadaan Warman dan sampai akhirnya bisa ditemukan dan ditembak mati.

Kelompok lain yang dianggap ekstrim oleh penguasa Orde Baru selain

KOMJI dan Gerakan Warman adalah “Kelompok Imran”. Pemimpinnya adalah

Imran bin Muahammad Zein, kelompok ini menamakan dirinya sebagai “Dewan

Revolusi Islam Indonesia” dan bertujuan mendirikan Negara Islam Indonesia. Cara- cara yang digunakan kelompok ini cenderung tidak Islami karnanya banyak kalangan

Islam yang meragukan kelompok ini.

Ulah kelompok Imran yang cukup mendapatkan publikasi adalah penyerangan

Pos Poisi 8606 Pasir Kaliki, Cicendo, Bandung, 11 Maret 1981 dan pembajakan pesawat Garuda, DC-9, Woyla, 28-31 Maret 1981. Bahkan pada kasus Woyla, mereka mendapatkan publikasi internasional. Kelompok Imran menewaskan tiga

68 Tim LIPI, Militer & Politik Kekuasaan Orde Baru, hal. 110. Polisi ketika mereka menyerang Pos Polisi Cicendo. Dalam penyerangan mendadak di tengah malam buta itu, kelompok Imran berhasil membebaskan sejumlah tahanan dan merampas beberapa pucuk senapan. Para penyerang kemudian berhasil ditangkap oleh pihak aparat keamanan.69

Tidak lama setelah penyerangan itu, kelompok Imran membajak pesawat

Garuda yang tengah dalam penerbangan domestik. Dalam penerbangan Jakarta-

Medan, pesawat Garuda DC-9 Woyla dibajak. Sesuai jadwal penerbangan Jakarta-

Medan tersebut stop over di Palembang. Selepas tinggal landas dari bandara udara

Talangbetutu, Palembang, pesawat naas itu dibajak. Para pembajak meminta pilot langsung menerbangkan pesawat itu ke Kolombo, Sri Lanka. Permintaan itu tidak dapat dipenuhi mengingat persediaan bahan bakar yang hanya cukup untuk penerbangan domestik. Pilot menawarkan untuk mendaratkan pesawat di bandara terdekat di Singapura, tetepi pembajak menolaknya. Akhirnya disepakati pesawat mendarat di Penang, Malaysia. Dari Penang, pesawat Woyla itu terbang lagi dan mendarat di Don Muang, , Thiland.

Dalam pembajakan itu, kelompok Imran menuntut pemerintah untuk segera membebaskan rekan-rekan mereka yang ditahan karena terlibat kasus penyerangan

Pos Polisi Cicendo, teror Warman dan juga para tahanan kasus KOMJI juga harus dibebaskan. Kemudian pemerintah Indonesia diminta untuk menerbangkan para tahanan itu ke daerah aman di luar wilayah Indonesia yang belum ditentukan.

Pembajak akan meledakkan pesawat beserta sandera yang ada di dalamnya apabila

69 Tim LIPI, Militer & Politik Kekuasaan Orde Baru, hal. 112. tuntutan mereka tidak dipenuhi, mereka juga meminta tuntutan tambahan berupa uang sebesar 1,5 juta dolas AS.

Pihak militer Indonesia mengajak negosiasi kepada para pembajak yang berjumlah lima orang itu, dengan tujuan mengulur waktu untuk merencanakan sebuah penyergapan dan pembebasan terhadap Sandera. Setelah berusaha mengulur waktu akhirnya militer berhasil melaksanakan Operasi penyergapan dibawah komando

Jenderal (Purn.) L.B. Moerdani tepatnya pada tanggal 31 Maret 1981.70

70 Tim LIPI, Militer & Politik Kekuasaan Orde Baru, hal.113. BAB IV

IDEOLOGI DAN GERAKAN KOMANDO JIHAD

A. Ideologi

Ditemukan dimensi yang unik seputar kemunculan doktrin-doktrin radikal dalam diri gerakan-gerakan Islam pada masa Orde Baru, jalinan interaksi intelijen dengan eksponen bekas anggota DI/TII yang sangat mempengaruhi ideologi Gerakan

Komando Jihad ketika itu.

Ungkapan istilah Komando Jihad sejauh yang dapat diketahui pada awal mulanya justru dimunculkan oleh aparat pemerintah untuk menyebutkan beberapa kejadian atau peristiwa sepanjang tahun 1976 sampai dengan 1980 yang melibatkan kelompok muslim radikal.

Dalam pernyataan Sudomo sebagai Pangkopkamtib ketika itu dijelaskan bahwa lingkup gerakan Komando Jihad meliputi berbagai daerah, mulai berbagai peristiwa yang berlangsung di Medan, Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, sampai

Jawa Timur. Dapat dimengerti bahwa sebenarnya kelompok ekstrem yang disebut

Komando Jihad atau yang terkenal dengan Komji bersifat sangat cair. Namun demikian berbagai peristiwa yang dianggap melibatkan kelompok ini, baik yang berupa perampokan, pengeboman, pembunuhan, dan berbagai tindakan teror, meskipun dilakukan oleh orang-orang berbeda, dianggap memiliki tujuan yang sama yakni mendirikan Negara Islam Indonesia.71

71 M Zaki Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi, hal. 76. Penulis menemukan motif gerakan yang berbeda dari gerakan Komando Jihad ini dibanding dengan gerakan-gerakan Islam yang muncul masa pemerintahan

Soekarno, ada pergeseran motifasi dari cita-cita mewujudkan Negara Islam sampai perseteruan internal dari tokoh-tokoh Komji sendiri. Mengingat motivasi dan ideologi terkadang tersembunyi atau sengaja disembunyikan di balik gerakan, maka penulis akan mencoba menganalisa dari sisi penggerak utama gerakan dan motivasi akan terungkap ketika dia menjelaskan tujuan dan sebab utama dia menggerakkan gerakan ini.

Motif gerakan Komando Jihad bisa dilihat dari hasil persidangan Haji Ismail

Pranoto sebagai tokoh sentralnya. Dalam persidangan ini Ateng Djaelani memberikan kesaksian bahwa Hispran dengan Komando Jihadnya murni bertujuan menghidupkan kembali Negara Islam Indonesia (NII) dan ingin menggulingkan pemerintah

Soeharto,72 hal ini membuktikan bahwa gerakan ini adalah murni gerakan Islam yang cenderung radikal.

Pergeseran idealisme gerakan Komji bisa dilihat dari bantahan Hispran terhadap kesaksian Ateng Djaelani, Hispran mengatakan bahwa keterangan Ateng adalah karangan saja. Bahkan menurutnya Danu dan Ateng adalah orang pemerintah.

“Yang satu mendapat gaji dan mobil dan yang satu menjadi penyalur minyak tanah untuk seluruh Jawa Barat,” kata Hispran dalam sidang 8 Mei 1978.73

Ungkapan senada disampaikan oleh Abu Jibril aktifis Majelis Mujahidin

Indonesia dan sekaligus sahabat dekat tokoh Komando Jihad Abu Bakar Ba‟asyir, ia

72 Proses persidangan Haji Ismail Pranoto bisa di lihat di Tempo, 30 September 1978. 73 Tim LIPI, Militer & Politik Kekuasaan Orde Baru, hal.108. mengatakan bahwa kasus gerakan Komando Jihad tidak lain adalah rekayasa penguasa Orde Baru dengan menggunakan kekuatan intelijennya, semua rekayasa ini bertujuan untuk mendeskriditkan kekuatan Islam ketika itu, mengingat pemilihan

Umum akan diselenggarakan. Ini juga untuk mengacaukan dukungan warga terhadap gerakan-gerakan Islam ketika itu dengan menebar stigma-stigma negatif terhadap gerakan Islam yang muncul.74

Haji Ismail Pranoto yang pernah berkunjung ke rumah Danu di Senopati dan ia mengatakan Senopati adalah kantor Bakin tempat Danu bekerja. Ada skenario yang dibuat oleh pihak penguasa untuk menyudutkan kelompok Islam, dalam hal ini Bakin sebagai alat penguasa Orde Baru ketika itu bertugas mengawasi gerakan atau kelompok-kelompok yang cenderung membahayakan Negara.

Proses pengadilan Hispran penuh adegan yang menimbulkan kecurigaan bahwa Komando Jihad adalah suatu rekayasa politik penguasa Orde Baru dengan alatnya Bakin. Posisi Ateng di persidangan juga sangat menimbulkan berbagai pertanyaan.

Kesaksian Haji Ismail Pranoto dalam persidangan ini membuktikan bahwa ada pergeseran nilai dari gerakan Komando Jihad. Dari gerakan yang bermotiv Islam murni ke gerakan pragmatis para eksponen DI/TII yang bergabung dengan pihak penguasa Orde Baru. Hal ini diperkuat oleh kesaksian tokoh-tokohnya yang merasa dibina oleh Bakin dan penguasa Orde Baru ketika itu.75

74 Wawancara Pribadi dengan Abu Jibril (Majelis Mujahidin Indonesia). 75 Kesaksian para eksponen DI/TII bisa di lihat di Tempo, 30 September 1978. B. Gerakan

Gerakan Kelompok Komando Jihad cenderung bersifat radikal, berbagai teror dilakukan dalam gerakan kelompok ini, teror yang dilakukan gerakan ini antara lain, berbagai peledakan di Bukittinggi, Padang dan Medan.

Penulis akan coba mendiskripsikan tiga dari sejumlah kegiatan teror selama

1976-1981, sebagaimana penjelasan Pangkopkamtib Sudomo yang dimuat di majalah

Panji Masyarakat, No. 323, 1981, hal. 11. Kegiatan teror ini meliputi:

1. Komando Jihad H. Ismail Pranoto (1976)

2. Komando Jihad Teror Warman (1978-1980)

3. Gerakan Imran, Dewan Revolusioner Islam Indonesia Pimpinan Imran (1980-

1981)

Menurut penjelasan Sudomo, Komando Jihad Ismail Pranoto ketika itu melakukan percobaan peledakan R.S. Baptis Bukittinggi pada tanggal 11 Oktober

1976, melakukan aksi peledakan Masjid Nurul Iman di Padang, pada tanggal 11

November 1976, dan bertanggung jawab atas aksi teror dan peledakan Gereja Eka

Budi Murni, Gereja Methodis, Restoran Apollo dan Bioskop Riang, di Medan, pada tanggal 25 dan 26 Desember 1976. Semua aksi teror dan gerakan mereka bertujuan untuk mendirian Negara Islam Indonesia.

Pada kasus Komando Jihad Teror Warman, Sudomo menjelaskan gerakan ini melakukan aksi teror yang meliputi: Pembunuhan Djadja Soedjadi, sebagai eksponen dari gerakan DI/TII di Jawa Barat pada tahun 1978, aksi pembunuhan atas Parmanto

Pembantu Rektor I UNS pada tanggal 11 Januari 1979, aksi pembunuhan terhadap

Hasan Bauw, mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga, pada 19 Januari 1979, Kelompok Warman juga merencanakan pembunuhan atas hakim dan jaksa yang mengadili kasus

H. Ismail Pranoto pada tahun 1979, aksi perampokan gaji pegawai IAIN Yogyakarta, pada bulan Februari 1979, melakukan aksi perampokan uang belanja pegawai IKIP

Malang pada bulan Maret 1979, melakukan segenap tindakan teror dan aksi perampokan toko emas di Tasikmalaya, Subang dan Bandung dari tahun 1979 sampai tahun 1981, dan melakukan aksi pembunuhan terhadap 2 anggota Polri ketika penangkapan pada tanggal 22 Agustus 1980. Semua gerakan dan aksi teror yang dilakukan oleh gerakan Warman tersebut juga bertujuan untuk mendirikan Negara

Islam.

Pada kasus Gerakan Imran, Dewan Revolusioner Islam Indonesia Pimpinan

Imran pada tahun 1980 sampai 1981, Sudomo memaparkan sejumlah aksi teror yang dilakukan oleh gerakan ini yaitu: aksi penyerangan Kosekta 8606, Cicendo, Bandung, aksi ini menewaskan 3 anggota Polri dan mereka mencuri beberapa senjata, teror ini dilakukan pada tanggal 11 Maret 1981, aksi pembajakan Pesawat Terbang Garuda

DC-9 oleh 5 orang teroris yang menyebabkan 2 orang tewas: Pilot dan Pasukan khusus, pada tanggal 28 Maret 1981. Menurut keterangan Sudomo Gerakan Imran ini juga bertanggunga jawab atas tindakan teror dan kekerasan atas jamaah-jamaah di masjid sekitar Bandung pada sekitar bulan Juni November 1980, dan percobaan pembunuhan terhadap Dr. Samsudin, ketua Pengurus Masjid Istiqomah Bandung, pada tanggal 20 Februari 1981, juga bertanggung jawab atas percobaan pembakaran sebuah hotel besar di Jakarta, pada tanggal 29 Desember 1980. Semua aksi teror yang dilakukan baik Gerakan Komando Jihad, Teror Warman dan Gerakan Imran memiliki tujuan yang sama yaitu berdirinya Negara Islam Indonesia. Dalam penjelasan resmi pemerintah, teror yang dilakukan gerakan Haji Ismail

Pranoto, yang sebagian besar terjadi di wilayah Sumatera sekitar tahun 1976, dan aksi

Teror Warman yang berlangsung di Jawa Barat dan Jawa Tengah sepanjang tahun

1978, 1979, dan 1980, mendapatkan sebutan yang sama sebagai kelompok Gerakan

Komando Jihad. Dalam kronologi yang termuat dalam penjelasan pemerintah setidaknya terdapat tiga buah kejadian yang diduga melibatkan kelompok pimpinan

Haji Ismail Pranoto, yakni: pertama, percobaan peledakan Rumah Sakit Baptis di

Bukittinggi, tanggal 11 Oktober 1976; kedua, peledakan Masjid Nurul Iman di

Padang, tanggal 11 November 1976; dan ketiga, sejumlah peledakan di Medan yang meliputi Gereja Eka Budi Murni, Gereja Methodis, Restoran Apollo dan Bioskop

Riang serta penyebaran selebaran gelap “Momok Revolusi” tanggal 25-26 Desember

1976. Pada bagian terakhir dikemukakan juga bahwa dalam usahanya mencari pelaku kejadian itu maka pemerintah menangkap Haji Ismail Pranoto, yang kemudian diadili di Surabaya pada akhir tahun 1978, dan dijatuhi hukuman seumur hidup.76

Gerakan teror yang dilakukan oleh Kelompok Warman cs yang juga menamakan diri sebagai Komando Jihad, pemerintah merinci 13 peristiwa teror, baik pembunuhan maupun perampokan, yang diduga dilakukan oleh kelompok ini. Di antara beberapa aksi teror yang diungkapkan pemerintah adalah: pertama, pembunuhan terhadap Djadja Soedjadi yang merupakan bekas anggota DI/TII di

Jawa Barat tahun 1978; kedua, pembunuhan terhadap Pembantu Rektor I Universitas

Negeri Sebelas Maret, Parmanto pada 11 Januari 1979 yang dilakukan oleh 4 anggota

76 Semua aksi teror gerakan radikal pada masa Orde Baru bisa di lihat di Panji Masyarakat, No. 323, 1981, hal. 11., sebagaimana dikutip dalam M Zaki Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi, hal. 75. kelompok Warman; ketiga, pembunuhan yang menimpa Hassan Bauw, seorang mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga pada 19 Januari 1979. Keterangan berikutnya adalah mengenai bebarapa aksi penggarongan dan perampokan yang dilakukan kelompok ini yang terjadi di beberapa tempat di Jawa Timur, Yogyakarta, dan Jawa Barat.

Dalam keterangan resmi pemerintah disebutkan juga bahwa pada tanggal 4

April 1979 telah tertangkap salah seorang pelaku teror yang bernama Musa, yang sesungguhnya bernama Warman atau Marman. Dalam penjelasan itu disebutkan bahwa Warman atau Marman adalah seorang penjahat yang berasal dari Jawa Tengah yang bergabung dengan DI/TII Kartosoewirjo yang sudah ditumpas. Di tempat barunya di sebuah lokasi transmigrasi di Sumatera Selatan, ia melanjutkan aksi-aksi terornya.

Paparan Pangkopkamtib Sudomo yang bersifat kronologis tersebut tidaklah cukup memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai berbagai dimensi yang terdapat dalam kelompok ekstrem itu, termasuk apa sebenarnya yang merupakan motif dan landasan bagi gerakan itu dalam melakukan aksi-aksinya. Pada kenyataannya skala gerakan radikalisme Islam jauh lebih luas dari apa yang dijelaskan pemerintah. Selama periode tersebut, pemerintah melakukan beberapa penangkapan dan proses hokum terhadap orang-orang yang diduga terkait dengan

Kelompok Warman yang juga dinamakan Komando Jihad itu.77

Gerakan yang menamakan diri kasus Teror Warman atau Jamaah Islamiyah atau dengan nama lain yang merupakan gerakan illegal tanpa izin yang bertujuan

77 M Zaki Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi, hal. 78. mendirikan Negara Islam Indonesia dan berlakunya hokum Islam secara positif di

Indonesia dengan menggantikan atau mengubah dasar Negara Republik Indonesia

Pancasila dan UUD 1945 dengan cara kekerasan dan senjata.

Muncul beberapa interpretasi mengenai apa sebenarnya yang ada di balik munculnya berbagai kejadian radikalisme Islam, baik Komando Jihad, Teror

Warman, maupun Gerakan Imran. Dalam penjelasan pemerintah yang disampaikan

Sudomo dinyatakan bahwa kelompok-kelompok yang disebutkan sebagai pelaku berbagai teror itu murni merupakan kelompok yang memiliki tujuan politis untuk mendirikan Negara berdasarkan Agama, dan bahwa mereka memiliki kesamaan pendapat, khususnya dalam melihat segi-segi negatif dari hasil usaha pembangunan, seperti kemaksiatan, dekadensi dan demoralisasi. Pada bagian penutup penjelasan, dia menampik isu-isu yang berkembang di kalangan masyarakat luas mengenai peranan pemerintah yang justru merekayasa dan membuat gerakan-gerakan teror tersebut dengan tujuan memojokkan salah satu agama atau kelompok tertentu.

Kecurigaan bahwa pemerintah ikut bermain dalam kemunculan berbagai gerakan radikal Islam tidak dapat dihilangkan begitu saja. Beberapa tokoh muslim menafsirkannya dalam perspektif yang berbeda. Ada analisa yang mengatakan bahwa latar belakang dibali pembongkaran suatu persekongkolan anti pemerintah yang dinamakan Komando Jihad pada awal tahun 1977, selain bahwa tindakan itu dimaksudkan untuk menangkap sejumlah politisi Islam yang tidak disukai menjelang pelaksanaan pemilu 1977, tetapi juga, lebih luas lagi hal tersebut tampaknya untuk mengingatkan kalangan muslim politik tentang pandangan Angkatan Bersenjata terhadap mereka sebagai pendukung fanatik Negara Islam.78

Pemuka muslim garis keras berbendapat bahwa peristiwa radikalisme itu dilihat secara kritis lebih sebagai Proyek Operasi Khusus (Opsus), sebagai lembaga illegal atau tidak resmi yang memiliki kewenangan sangat luas, Opsus ini di bawah kendali Ali Moertopo. Natsir juga berpandangan bahwa orang-orang yang terlibat dalam beberapa kejadian teror tersebut merupakan bekas aktivis DI/TII yang direkrut dan dibina oleh Ali Moertopo, termasuk didalamnya Haji Ismail Pranoto yang terlibat peristiwa Komando Jihad. Isu yang dipakai agen-agen Ali Moertopo diantaranya adalah bahwa kaum komunis akan come back dan oleh karena itu para tokoh dan bekas tokoh DI/TII ditawari persenjataan untuk melawan kaum komunis tersebut.79

Jenderal Soemitro, yang ketika itu sebagai mantan Pangkopkamtib dan merupakan rival politik Ali Moertopo pada tahun 1970-an, menjelaskan secara lebih gamblang adanya keterkaitan Ali Moertopo dengan para bekas anggota DI/TII. Ali berhasil meyakinkan kelompok Islam radikal dengan memberikan janji-janji manis bahwa apabila dirinya berhasil menang, maka pintu untuk mendirikan sebuah Negara

Islam akan dibuka lebar. Dinyatakan oleh Soemitro bahwa:

Ali Moertopo telah lama menjalin kerja sama dengan sejumlah bekas tokoh

DI/TII. Garis kebijakan Ali Moertopo untuk mendekati para bekas DI/TII itulah yang menimbulkan permasalahan di dalam tubuh bakin, setelah ikut Opsus, para bekas DI

78 Panji Masyarakat, No. 323, 1981, hal. 11., sebagaimana dikutip dalam M Zaki Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi, hal. 76. 79 David Jenkins, Soeharto and His Generals: Indonesian Miitary Politics 1975-1983 (Ithaca: Cornell Modern Project, 1984), hal. 57. biasanya mendapat suplai keuangan secara rutin dari Opsus, maklum mereka umumnya hidup miskin. Opsus rupanya selalu memelihara ilusi mengenai kemungkinan mendirikan Negara Islam. Di mata para bekas DI, bila Ali Moertopo menang maka ia akan mendirikan Negara Islam. Tokoh-tokoh DI percaya betul atas

“ucapan” Ali Moertopo tersebut.80

Akhirnya Ali Moertopo dengan janji-janjinya berhasil memikat para eksponen bekas anggota DI/TII sehingga bersedia memberikan dukungan penuh kepada Opsus.

Katika itu santer diisukan bahwa Ali Moertopo berambisi kuat untuk menduduki jabatan Wakil Presiden dan selanjutnya merebut jabatan puncak sebagai Presiden.

Dalam pengadilan Haji Ismail Pranoto di Surabaya terungkap bahwa Ali

Moertopo yang memberikan perintah, mensuplai dana, dan berbagai fasilitas lain kepada Hispran untuk membentuk Front Pancasila anti Komunis. Ali Moertopo dengan Opsusnya sengaja merancang strategi untuk menjebak Hispran dan para bekas

DI/TII lainnya.

Menurut Jenkins dalam bukunya Soeharto and His Generals: Indonesian

Miitary Politics, menyatakan bahwa, petinggi Militer menyatakan pendapat yang sama tentang Ali Moertopo tersebut, demikian halnya Jendral Soemitro memiliki kecurugaan yang serupa. Ia menjelaskan bahwa taktik seperti ini dalam dunia intelijen lazim dinamakan sebagai taktik “pancing dan jarring”. Unsur permainan intelijen, menurut Soemitro juga kental sekali terlihat pada kasus pembajakan

80 Heru Cahyono, Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 74, (Jakarta: Sinar Harapan, 1998), hal. 195. pesawat terbang DC-9 Woyla yang dilakukan oleh Jemaah Imran tahun 1981.

Dikatakan oleh Soemitro:

Saya dapat informasi bahwa Woyla adalah rekayasa Opsus, lagi-lagi melalui teori “pancing dan jarring” memakai tokoh Imran yang aslinya bernama Amran.

Imran ini selama lima tahun dibiayai ke Libya untuk mempelajari ilmu terorisme dan tentang agama. Kemudian ia tiba-tiba muncul sebagai tokoh NII. Waktu tertangkap dari mulut Imran meluncur misi apa yang dibawanya.81

Mesipun berbagai analisis yang bermunculan kebanyakan mengarah kepada

“operasi intelijen” sebagai penggerak semua peristiwa tersebut, namun tidak berarti bahwa fenomena pemikiran dan keinginan beberapa gerakan Islam untuk menawarkan alternatif dasar Negara lain, yakni Islam, hanya sekedar isapan jempol belaka. Salah satu alasannya adalah bahwa dalam masa dimana operasi intelijen kurang popular, ternyata beberapa aksi yang hampir serupa meskipun dalam skala relatif kecil juga bermunculan pada saat yang bersamaan. Penjelasan konspirasional dalam peristiwa Komando Jihad dan beberapa gerakan ekstrem keagamaan lain kiranya lebih tepat untuk dijadikan dasar pemahaman bahwa kasus-kasus tersebut memiliki dimensi yang kompleks. Dengan kata lain kemunculan gerakan ini tidak semata-mata didasari oleh motivasi ideologis keagamaan.

C. Respon Pemerintah Terhadap Komando Jihad

81 Heru Cahyono, Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 74, hal. 299.

Secara garis besar kebijakan ideologis dan politis yang diterapkan oleh penguasa Orde Baru pada awal kekuasaannya adalah menghancurkan kaum komunis, menekan kaum nasionalis, dan mencegah naiknya kekuatan Islam, karena ketika

Soeharto menjabat sebagai Presiden, ia dihadapkan pada kondisi ideologi Nasakom hasil binaan rezim lama yang masih kuat dan masih dianggap sebagai sebuah ancaman besar bagi kekuasaannya.

Untuk melaksanakan kebijakan ini, Orde Baru mengerahkan kekuatan Inteijen sebagai motor utama. Setelah berhasil menuntaskan kebijakan terhadap kaum komunis dan nasionalis, maka target selanjutnya diarahkan pada kelompok Islam.

Kebijakan terhadap kelompok Islam terbilang unik dibandingkan dengan kebijakan terhadap kelompok komunis dan nasionalis. Walaupun tergabung dalam Nasakom tapi kelompok Islam memiliki peran dan jasa besar dalam menghancurkan kekuatan komunis dan meruntuhkan rezim Soekarno selain karena kenyataan bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah penganut agama Islam. Karena itu pemerintah memilih jalan yang lebih hati-hati untuk menghadapi kekuatan islam ini.

Untuk mencegah naiknya kekuatan Islam yang dari dulu sangat mencita- citakan tegaknya ideologi dan syariat Islam maka pemerintah harus memiliki alasan dulu untuk menekannya sekaligus menghalanginya. Kemudian intelijen sebagai perpanjangan tangan pemerintah untuk melaksanakan ini kemudian memilih untuk menggunakan tangan kaum radikal islam. Kelompok radikal walaupun memang berbahaya tapi justru membuatnya menjadi sangat mudah dikendalikan.

Orde Baru mengawali usahanya dalam peredaman kelompok Islam dengan cara melakukan pemanggilan terhadap para bekas anggota DI/TII, beberapa pentolan DI/TII yang mengaku dipanggil antara lain putra dari Kartosoewirjo yaitu Dodo

Muhammad Darda dan Tahmid Rahmad Basuki, juga Adah Djaelani Tirtapraja dari

Ma'had Al-Zaitun, Rahmat Basuki tersangka pengeboman BCA, Amir Fatah, H

Ismail Pranoto (Komando Jihad), Danu Muhammad Hasan, Helmy Aminuddin

(Gerakan Tarbiyah) dll. Upaya pemanggilan terhadap bekas aktivis DI/TII dilakukan dengan serius oleh pemerintah RI, pada tahun 1975, Sardjono Kartosoewiejo anak bungsu Kartosoewirjo yang baru kelas tiga menengah atas dipanggil ke kantor

Pelaksana Khusus Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Jawa

Barat. Bersama ibu, dua kakak dan pentolan Darul Islam seperti Danu Muhammad

Hasan, Ateng Jaelani, Adah Djaelani, dan Aceng Kurnia, Sardjono diterima Letnan

Kolonel Pitut Soeharto. Dengan gaya kalemnya, Direktur III Badan Koordinasi

Intelijen Negara (Bakin) tersebut menyodorkan kertas yang harus diteken 11 orang itu. Isinya ikrar kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berasas Pancasila.82

Karena tidak memperoleh dukungan dari para petinggi Bakin ketika itu, Ali

Moertopo pun membawa para mantan DI/TII ini dibawah pembinaan Opsus. Mereka kemudian mendapatkan fasilitas dan dukungan finansial yang sangat besar sehingga menimbulkan kemarahan sejumlah perwira ABRI pada masa itu terutama dari kalangan Siliwangi yang merasa berjasa menangkap mereka dengan susah payah bahkan bertaruh dengan nyawa. Tetapi berkat kedekatan Ali Moertopo pada Soeharto pada masa itu maka protes-protes itu berhasil diredam, sejumlah perwira yang menentang proyek itu pun dengan segera dimutasi dan disingkirkan.

82 Tempo, 22 Agustus 2010, hal. 74. Para mantan DI/TII ini kemudian mendapat binaan dan pelatihan-pelatihan intelijen, seperti pembentukan jaringan, teknik perekrutan anggota, penyamaran, pembuatan propaganda, operasi cuci otak , teknik teror dan intimidasi dan lain sebagainya, hal ini menjelaskan bahwa keahlian para kelompok radikal ini sebenarnya adalah dari hasil binaan Opsus dan Intelijen sendiri. Setelah dibina mereka pun diterjunkan ke tengah masyarakat untuk menerapkan ilmunya.

Peritiwa-peristiwa teror pun terjadi, pemboman BCA , penyerbuan kantor polisi di Cicendo, Bandung, pembajakan pesawat Garuda Woyla dan aksi teror lainnya, semua peristiwa ini dilakukan oleh para mantan DI/TII binaan opsus intelijen

RI, aparat pun menangkapi mereka lagi bahkan sebagiannya juga dikorbankan dan dibunu, tetapi setelah tertangkap mereka kemudian dilepas lagi untuk melakukan aksi-aksi lainnya. Berkat peristiwa-peristiwa itu pemerintah mendapat legimitasi serta alasan yang kuat untuk menekan kelompok-kelompok Islam.

Sejumlah aktivis masjid di Bandung ditangkapi bahkan organisasi remaja masjid Istiqamah Bandung pun dibubarkan dengan tuduhan terlibat peristiwa Cicendo dan pembajakan pesawat terbang Garuda DC-9 Woyla yang dilakukan oleh Jamaah

Imran yang diprovokasi oleh Najamuddin seorang anggota intelijen binaan Bakin dari

Batalyon Artileri Medan, sejumlah kyai NU di Jawa Timur ditangkapi bahkan dilenyapkan dengan tuduhan terlibat Komando Jihad yang dikomandani oleh Haji

Ismail Pranoto binaan Opsus.

Keterlibatan intelejen dalam kasus-kasus tersebut semakin kentara ketika dalam kasus persidangan Danu Mohammad Hassan misalnya, ia mengaku sebagai orang Bakin."Saya bukan pedagang atau petani, saya pembantu Bakin."83 Belakangan

Danu mati secara misterius, tak lebih dari 24 jam setelah ia keluar penjara, dan konon ia mati diracun, intelijen pun bergerak lebih jauh lagi untuk memprovokasi sejumlah kelompok melakukan perlawanan sehingga langsung bisa diambil tindakan penangkapan dan penumpasan dengan segera.

Rangkaian peristiwa teror yang terjadi ini kemudian menjadi legitimasi bagi aparat untuk melakukan sensor dan pengawasan yang ketat pada aktivitas dakwah dan semua gerakan Islam yang muncul pada era Orde Baru. Para da'i harus mempunyai surat izin untuk berceramah dan semua kegiatan dakwah harus dilaporkan dulu kepada aparat dengan alasan mencegah penyebaran paham radikal.

Orde Baru pun menetapkan kebijakan asas tunggal Pancasila dengan alasan untuk menekan penyebaran ideologi-ideologi yang menyimpang. Sejumlah kelompok

Islam yang menentang kebijakan ini pun segera dibekukan, HMI terpecah menjadi dua dengan munculnya HMI MPO yang menolak asas tunggal, Pelajar Islam

Indonesia (PII), BKPRMI dan beberapa ormas Islam lain dibubarkan.

Berkat militer dan dengan kekuatan Intelijennya, maka kekuatan oposisi pemerintah Orde Baru dari kelompok Islam berhasil dilumpuhkan. Pemerintah juga mendirikan sejumlah organisasi islam baru pendukung Asas Tunggal Pancasila yang rata-rata dibawah binaan Golkar.

Pemerintah juga seakan menggiring suara anggota Komando Jihad dan suara kaum muslim secara umum ketika itu kepada mesin politiknya yaitu Golkar, seperti yang dilakukan Opsus sebelum Pemilu 1971, Deputi III Bakin kembali mencoba

83 Lihat Tempo, 24 Desember 1983. memobilisasi suara dari Komando Jihad, tetapi kali ini tidak semua suara akan ditujukan untuk Golkar. Danu yang selama ini menjadi informan pemerintah, memberikan indikasi bahwa ia akan mendukung PPP. Walaupun hal ini berarti tidak akan membuat Golkar meraih kemenangan mutlak, tetapi fakta bahwa Danu lebih memilih Pemilu alih-alih tindakan kekerasan sangat dihargai Bakin.84

Orde Baru pun kemudian kehilangan kesabaran terhadap sisa-sisa Komando

Jihad. Pada Januari 1977, atau empat bulan sebelum Pemilu digelar, aparat keamanan melakukan penangkapan hingga mencapai 185 orang pada pertengahan tahun. Semua penangkapan ini berlangsung di Jawa dengan perincian: 105 orang di Jakarta, 38 orang di Jawa Barat, 19 orang di Jawa Tengah dan 23 orang di Jawa Timur.

Penangkapan yang terpisah juga dilakukan di Sumatera guna menjaring sel-sel

Momok Revolusioner selama lebih dari dua tahun.85

Paska turunnya L. B Moerdani strategi intelejen dalam menghadapi kekuatan

Islam pun berubah. Teknik tebar, pancing, jaring ala Ali Moertopo mulai ditinggalkan karena dianggap justru menambah instabilitas keamanan Negara.

Strategi yang kemudian dilakukan intelejen cenderung lebih soft bahkan dibuat seolah-olah pemerintah mendukung kekuatan Islam.

Pada masa itu gerakan-gerakan alternatif di luar ormas-ormas Islam dan kepemudaan Islam mulai marak. Sejumlah organisasi remaja masjid tumbuh pesat di masjid-masjid raya juga masjid-masjid kampus. Sebagian kalangan aktivis muda mulai mengubah konsep dakwah mereka menjadi dakwah kultural dan berusaha

84 Ken. Conboy, Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia, (Jakarta: Media Pressindo, 2009), hal. 152-153. 85 Ken. Conboy, Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia, hal. 152-153. membaurkan diri dengan masyarakat. Kekuatan dari kelompok-kelompok dakwah tersebut harus dan bisa dimanfaatkan untuk kepentingan rezim, bagi kalangan intelijen bila tidak mampu menundukkan sebuah kekuatan atau kelompok, maka kelompok itu harus disusupi kemudian dimanfaatkan akan tetapi mereka harus dikebiri terlebih dahulu kekuatannya untuk melumpuhkan potensi ancamannya.

Kekuatan utama dari gerakan Islam pada dasarnya bukanlah pada banyaknya jumlah anggota mereka melainkan pada kedekatan mereka pada ummat dan ukhuwwah mereka dengan kekuatan Islam yang lain. Dan dua aspek penting inilah yang menjadi target intelijen untuk dilumpuhkan. Bakin pun menugaskan Soeripto sebagai Ketua Tim Penanganan Masalah Khusus Kemahasiswaan DIKTI/Depdikbud pada tahun 1986-2000 dengan misi utama membentuk jaringan organisasi radikal

Islam baru di kalangan remaja masjid dan gerakan kampus yang berada dibawah binaan dan pengawasan intelijen.

Untuk menjalankan misinya Soeripto merekrut Helmy Aminuddin putra dari

Danu Muhammad Hasan. Helmi Aminuddin sebelumnya menjabat sebagai Mentri

Luar Negeri Daulah Islam sebelum akhirnya ditangkap oleh Kopkamtib pada tahun

1980 dan ditahan tanpa pengadilan di Rumah Tahanan Militer di Cimanggis dan dibebaskan antara tahun1983-1984.

Pada masa itu ada rumus utama untuk menentukan aktivis binaan intelijen yaitu semua anggota ekstrim kanan yang dipenjarakan dan dibebaskan antara tahun

1970-1988 atau di masa kekuasaan Ali Moertopo dan L.B Moerdani dua Jenderal yang paling anti Islam dan gerakan Islam sudah pasti telah menjadi kaki tangan intel untuk menghancurkan gerakan Islam. Selepasnya dari penjara Helmy Aminuddin berada di bawah binaan Soeripto lalu kemudian dikirim ke Timur Tengah untuk mempelajari dan mengadopsi ajaran dan manhaj serta berhubungan langsung secara organisasional dengan gerakan

Ikhwanul Muslimin faksi Qiyadah Syaikh Sa'id Hawwa pimpinan Ikhwanul

Muslimin cabang Suriah sekitar tahun 1985.

Intelijen RI kemudian membentuk kelompok jamaah Islam yang disebut jama'ah tarbiyah, tujuan utama pembentukan kelompok ini oleh intelijen adalah menghancurkan dan melumpuhkan semua kelompok dakwah pemuda dan remaja masjid yang tidak berada dalam kontrol pemerintah lalu menyatukan semuanya dalam satu kelompok besar yang bisa dikendalikan aparat intelejen. Selain itu, jama'ah tarbiyah juga diberi peran untuk memutus mata rantai hubungan kelompok-kelompok aktivis masjid dengan masyarakat juga dengan ormas islam lain.

Setelah berhasil mengambil alih kekuasaan, kelompok ini kemudian langsung melakukan aksi-aksi pembersihan dan penyeragaman. Seluruh aktivis yang tidak mengikuti kelompok mereka disingkirkan. Semua aktivitas dakwah yang berhubungan dengan masyarakat luas dihentikan demikian juga semua bentuk hubungan dengan organisasi dakwah lain dibekukan. Aktivitas masjid hanya diarahkan untuk pembinaan internal demi mencetak sebanyak-banyaknya kader militan dan radikal di masjid. Kelompok-kelompok diskusi dibubarkan dan metode pengkaderan digantikan dengan indoktrinisasi.

Dengan dilumpuhkannya kekuatan utama kelompok dakwah masjid ini maka aktivis dakwah masjid tidak lagi dianggap sebagai ancaman, maka tindakan represi terhadap kelompok ini pun dilonggarkan. Ketika sebuah masjid jatuh ke tangan radikal maka intelejen pun menghentikan operasi-operasi pengawasan yang ketat pada mereka. Itulah sebabnya aktivitas Jama'ah Tarbiyah tidak pernah mendapat gangguan dari aparat pada masa itu walaupun mereka menyebar paham radikal.

Kaum fanatik dan para mantan DI/TII menjadi kandidat paling sempurna untuk perekrutan dalam agenda kepentingan penguasa, mereka tidak dianggap terlalu berharga, terlalu bodoh dan tidak terlalu banyak bertanya, dan selalu rela mengorbankan diri dan nyawanya demi tujuan suci kelompoknya (yang bisa dengan mudah dibelokkan intelijen) Atas alasan inilah pihak intelijen memfasilitasi dan mensponsori pembentukan kelompok radikal Islam ini dengan memanfaatkan para mantan tahanan DI/TII yang merasa mereka memanfaatkan intelejen untuk mendukung cita-cita mereka.

Para anggota level bawah kelompok radikal Islam ini dibuat untuk tidak banyak tau bahkan tidak tau apa-apa tentang apa dan bagaimana keadaan di atas mereka. Sampai saat ini hanya sangat sedikit anggota Jama'ah Jarbiyah bahkan yang sudah belasan tahun bergabung sekalipun yang tau bahwa Helmy Aminuddin adalah mursyid 'aam gerakan mereka dari tahun 1991-1998, apalagi untuk tau latar belakangnya.

Tahun 1980, ketika kasus Komando Jihad marak lagi dengan nama teror

Warman, hal ini terkuak sejak Pangkowilhan II, Letjen Widjojo Sujono memberi tahu ulama dan para cendekiawan Islam Jawa Timur bahwa Pemerintah tidak akan lagi menggunakan istilah “Komando Jihad” untuk menyebut kelompok Warman. Istilah yang dipakai pemerintah adalah “Kasus Teror Warman”. Hal ini menimbulkan kecurigaan kembali bahwa ada tujuan tertentu dalam penggunaan istilah “Komando

Jihad”.

Warman yang diketahui sebagai bawahan Kartosoewirjo yang melakukan serangkaian teror antara 1976-1978, ahirnya dapat dilumpuhkan bersama dua anak buahnya di Malang 4 April 1979 setelah mereka gagal merampok gaji IKIP Malang.86

Setelah mereka tertangkap, kelompok Warman jarang disebut dalam wacana publik. Tindakan secara hukum dengan memproses kelompok Warman ke pengadilan tidak terjadi. Dua tahun kemudian, terjadi operasi penyergapan terhadap Warman, di

Soreang Kolot, Bandung 23 Juli 1981. Dalam penyergapan itu Warman tewas tertembak. Di tempat persembunyiannya ditemukan sebuah granat tangan, sepucuk pistol FN 45 kaliber 9 mm, dua masin, 97 butir peluru dan uang Rp. 18.500,00.87

Sebelum penggerebekan di Soreang yang menewaskan Warman tersebut, kelompok itu pernah digerebek di desa Kadipaten, Kecamatan Ciawi, Tasikmalaya.

Pada waktu itu Warman berhasil meloloskan diri tetapi Ruch (55 tahun) anak buahnya tertembak mati serta Djuh Sun tertangkap.

Dalam berbagai operasinya, aparat keamanan berhasil menangkap dan menahan anak buah Warman. Pada April 1981, 49 orang anggota Warman yang ditahan aparat dibebaskan dalam suatu upacara yang dihadiri ketua MUI, K. H. E.Z.

Muttaqien. Mereka yang dilepas ini kemudian memberikan informasi yang dapat digunakan oleh aparat untuk melacak keberadaan Warman dan sampai akhirnya bisa ditemukan dan ditembak mati.

86 Tim LIPI, Militer & Politik Kekuasaan Orde Baru, hal.110. 87 Tim LIPI, Militer & Politik Kekuasaan Orde Baru, hal.110. Kelompok lain yang dianggap ekstrim oleh penguasa Orde Baru selain

Komando Jihad dan Gerakan Warman adalah “Kelompok Imran”. Pemimpinnya adalah Imran bin Muahammad Zein, kelompok ini menamakan dirinya sebagai

“Dewan Revolusi Islam Indonesia” dan bertujuan mendirikan Negara Islam

Indonesia. Cara-cara yang digunakan kelompok ini cenderung tidak Islami karnanya banyak kalangan Islam yang meragukan kelompok ini.

Ulah kelompok Imran yang cukup mendapatkan publikasi adalah penyerangan

Pos Polisi 8606 Pasir Kaliki, Cicendo, Bandung, 11 Maret 1981 dan pembajakan pesawat Garuda, DC-9, Woyla, 28-31 Maret 1981. Bahkan pada kasus Woyla, mereka mendapatkan publikasi internasional. Kelompok Imran menewaskan tiga

Polisi ketika mereka menyerang Pos Polisi Cicendo. Dalam penyerangan mendadak di tengah malam buta itu, kelompok Imran berhasil membebaskan sejumlah tahanan dan merampas beberapa pucuk senapan. Para penyerang kemudian berhasil ditangkap oleh pihak aparat keamanan.88

Tidak lama setelah penyerangan itu, kelompok Imran membajak pesawat

Garuda yang tengah dalam penerbangan domestik. Dalam penerbangan Jakarta-

Medan, pesawat Garuda DC-9 Woyla dibajak. Sesuai jadwal penerbangan Jakarta-

Medan tersebut stop over di Palembang. Selepas tinggal landas dari bandara udara

Talangbetutu, Palembang, pesawat naas itu dibajak. Para pembajak meminta pilot langsung menerbangkan pesawat itu ke Kolombo, Sri Lanka. Permintaan itu tidak dapat dipenuhi mengingat persediaan bahan bakar yang hanya cukup untuk penerbangan domestik. Pilot menawarkan untuk mendaratkan pesawat di bandara

88 Tim LIPI, Militer & Politik Kekuasaan Orde Baru, hal.112. terdekat di Singapura, tetepi pembajak menolaknya. Akhirnya disepakati pesawat mendarat di Penang, Malaysia. Dari Penang, pesawat Woyla itu terbang lagi dan mendarat di Don Muang, Bangkok, Thailand.

Dalam pembajakan itu, kelompok Imran menuntut pemerintah untuk segera membebaskan rekan-rekan mereka yang ditahan karena terlibat kasus penyerangan

Pos Polisi Cicendo, teror Warman dan juga para tahanan kasus Komando Jihad juga harus dibebaskan. Kemudian pemerintah Indonesia diminta untuk menerbangkan para tahanan itu ke daerah aman di luar wilayah Indonesia yang belum ditentukan.

Pembajak akan meledakkan pesawat beserta sandera yang ada di dalamnya apabila tuntutan mereka tidak dipenuhi, mereka juga meminta tuntutan tambahan berupa uang sebesar 1,5 juta dolas AS.

Pihak militer Indonesia mengajak negosiasi kepada para pembajak yang berjumlah lima orang itu, dengan tujuan mengulur waktu untuk merencanakan sebuah penyergapan dan pembebasan terhadap Sandera. Setelah berusaha mengulur waktu akhirnya militer berhasil melaksanakan Operasi penyergapan dibawah komando

Jenderal (Purn.) L.B. Moerdani tepatnya pada tanggal 31 Maret 1981.89

Dari semua fenomena teror dan gerakan Islam radikal selama kurun waktu

1976 sampai 1984 khususnya pada masa pemerintahan Orde Baru, penulis menyimpulkan terdapat sekenario yang sengaja disusun oleh penguasa dengan kekuatan militer dan intelijennya di balik idealisme gerakan dan para tokoh eksponen

DI/TII dengan agenda besar kelanggengan kekuasaan rezim Orde Baru. Tetapi di luar

89 Tim LIPI, Militer & Politik Kekuasaan Orde Baru, hal.113. itu semua terdapat pula perjuangan murni gerakan Islam yang benar-benar mencita- citakan berdirinya Negara Islam Indonesia.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian dan penjelasan pada bab-bab terdahulu, maka penulis secara umum menyimpulkan bahwa:

Latar belakang kemunculan gerakan Komando Jihad, dimulai dengan situasi dan kondisi politik pada masa itu dengan bagaimana melihat hubungan antara pihak penguasa Orde Baru dengan gerakan-gerakan Islam. Secara garis besar penguasa

Orde Baru pada awal kekuasaan rezimnya mempunyai cara tersendiri dalam memerankan kekuasaannya khususnya pada panggung politik yang bersinggungan langsung dengan gerakan Islam. Rezim Orde Baru memerankan panggung politiknya sendiri, yakni dengan cara: peminggiran politik Islam dan akomodasi politik Islam.

Dua karakter inilah yang dialami umat Islam dalam mengahadapi rezim Orde Baru ketika itu.

Kekuatan militer dan inteligen yang dimiliki penguasa Orde Baru sangat berpengaruh kepada gerakan-gerakan Islam yang muncul pada waktu itu. Perekrutan dan pembinaan beberapa tokoh eksponen DI/TII adalah upaya deradikalisasi gerakan- gerakan Islam. Proses akomodasi berbagai gerakan ini mempunyai tujuan besar yaitu demi mengamankan kekuasaan itu sendiri.

Ada dua opsi untuk mengambarkan kronologis kemunculan istilah “Komando

Jihad”. Pertama, pendapat dari pihak penguasa mengatakan bahwa gerakan Komando

Jihad adalah sejumlah aksi teror yang dilakukan sekelompok umat Islam semenjak tahun 1967-1984, dan tujuan kelompok ini adalah membentuk “Dewan Revolusi Islam Indonesia”, menentang Pancasila dan UUD 1945 dan berkeinginan membentuk negara Islam Indonesia. Situasi ini mengarah kepada teori yang dikemukakan oleh

Eric Hoffer tentang gerakan massa yang bersifat teror, bahwa tak peduli apa sifatnya

(agama, rasial, sosial, nasionalistis, atau ekonomis), tak peduli juga apa misi sucinya, memiliki sekelompok ciri-ciri tertentu yang sama: semua mampu membangkitkan pada diri pengikutnya kerelaan untuk berkorban sampai mati, kecenderungan untuk beraksi secara kompak, fanatisme, antusiasme, harapan berapi-api, kebencian dan intoleransi, kepercayaan buta, dan kesetiaan tunggal. Semua gerakan massa betapapun berbeda dalam doktrin dan aspirasinya, menarik pengikut-pengikutnya yang pertama dari satu jenis manusia, yakni manusia-manusia yang kecewa dan tidak puas atau frustasi.

Opsi kedua, istilah Komando Jihad adalah rekayasa politik penguasa Orde

Baru, tujuan pengungkapan kasus ini menimbulkan dugaan adanya kaitan erat antara maksud pengungkapan dan Pemilu tahun 1977 yang akan diselenggarakan.

Untuk mengetahui motifasi dan tujuan utama dari gerakan Komando Jihad, penulis melihat dari teori collective hostility tingkat yang tertinggi yang dikemukakan oleh John Lofland, yaitu merupakan gerakan yang tertuju pada bentuk perampasan dan penyerangan, contohnya: penyiksaan, pemukulan dan pembunuhan, mengutuk dan melempar jauh masa kini dengan memberi gambaran dan janji-janji akan hari depan yang gemilang, penuh kepuasan diri dan harapan.

Setelah mengumpulkan data-data mengenai fenomena kemunculan gerakan radikal Komando Jihad, melihat kronologis gerakan dan beberapa fakta persidangan dari tokoh-tokoh yang terlibat langsung dengan gerakan radikal ini, penulis menemukan dimensi yang unik seputar kemunculan doktrin-doktrin radikal dalam diri gerakan-gerakan Islam pada masa Orde Baru, jalinan interaksi intelijen dengan eksponen bekas anggota DI/TII yang sangat mempengaruhi ideologi Gerakan

Komando Jihad ketika itu.

Dari semua fenomena teror dan gerakan Islam radikal selama kurun waktu

1976 sampai 1981 khususnya pada masa pemerintahan Orde Baru, penulis menyimpulkan terdapat sekenario yang sengaja disusun oleh penguasa dengan kekuatan militer dan intelijennya di balik idealisme gerakan dan para tokoh eksponen

DI/TII dengan agenda besar kelanggengan kekuasaan rezim Orde Baru. Tetapi di luar itu semua terdapat pula perjuangan murni gerakan Islam yang benar-benar mencita- citakan berdirinya Negara Islam Indonesia. Sampai sekarang pun masih banyak kelompok-kelompok Islam yang beranggapan bahwa Piagam Jakarta adalah harta karun yang tertunda bagi umat Islam Indonesia. Terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Raji Sufyan, Muhammad, Mengenal Aliran-Aliran Islam dan Ciri-Ciri Ajarannya, Jakarta: LPPI Riyadhus Sholihin, 2003.

Al-Chaidar, Wacana Ideologi Negara Islam: Studi Harakah Darul Islam dan Moro National Liberation Front, Jakarta: Darul Falah, 1999, cet. Ke-II.

------, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo, Darul Falah, Juni 1999, cet. Ke-I.

Arkoun, Mohammed, Membongkar Wacana Hegemonik dalam Islam dan Postmodernisme, Surabaya: Alfikr, 1999. Awwas, Irfan S., Menelusuri Perjalanan Jihad S.M. Kartosoewirjo: Proklamator Negara Islam Indonesia, Yogyakarta: Wihdah Press, 1995, cet. Ke-I.

Boland, B.J., Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1970, Jakarta: Grafiti Press, 1985. Cahyono, Heru, Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 74, Jakarta: Sinar Harapan, 1998.

Conboy, Ken., Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia, Jakarta: Media Pressindo, 2009.

Dengel, Holk H., Darul Islam dan Kartosoewirjo : Angan-angan yang gagal, Jakarta Pustaka Sinar Harapan, 1995, cet. Ke-I.

Dijk, C. Van, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, (terj.), Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987, cet. Ke-I.

Effendi, Bahtiar, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998, cet. Ke-I. Effendy, Bahtiar dan Hendro Prasetyo, Radikalisme Agama, Jakarta: PPIM-IAIN, 1993, cet. Ke-I Hakim, Luqman, Terorisme di Indonesia, Surakarta: Forum Studi Islam Surakarta, 2004, cet. Ke-I. Hoffer, Eric Gerakan Massa, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988. Jenkins, David, Soeharto and His Generals: Indonesian Miitary Politics 1975-1983, Ithaca: Cornell Modern Project, 1984. Kartowijoyo, Dinamika Sejarah Ummat Islam Indonesia, Yogyakarta: Shalahuddin Pers, 1985, cet. Ke-I. Lofland, Jhon Protes: Studi Tentang Prilaku Kolektif dan Gerakan Sosial, Yogyakarta: INSIST Press, 2003. Misrawi Zuhairi dan Khamami Zada, Islam Melawan Terorisme, Jakarta: LSIP dan Yayasan TIFA, 2004. Mubarak M Zaki, Genealogi Islam Radikal di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2008, cet. Ke-I. Muzaffar, Chandra, Muslim, Diaalog dan Teror, Jakarta: Profetik, 2004, cet. ke-I. Noer, Deliar, The Modernist Muslim Movement in Indonesia: 1900-1942, Singapore: Oxford University Press, 1973., (edisi terjemahan, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3S, 1989). Pinardi, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, Jakarta: Aryaguna, 1964. Soekarno, Lahirnya Pantjasila, Jakarta: Kementrian Penerangan Republik Indonesia, 1952. Suryahardi, Irfan, Perjalanan Hukum di Indonesia, Sebuah Gugatan, Yogyakarta: Ar-Risalah, 1982. Thoba, Abdul Aziz, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Tim LIPI, Militer & Politik Kekuasaan Orde Baru. Soeharto di Belakang Peristiwa 27 Juli, Jakarta: LIPI dan MIZAN, 2001.

Tim Peduli Tapol, Diskriminasi Rezim Soeharto Terhadap Umat Islam, Yogyakarta: Wihdah Press, 1998. Cet-III. Wahyono, Padmo, Prof., Negara Republik Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 1982. Yatim, Badri, Dr., Soekarno, Islam dan Nasionalisme, Jakarta: Logos, 1999. Yusanto, Ismail, Ir., Islam Ideologi: Refleksi Cendikiawan Muda, Jawa Timur: Al- Izzah, 1998. cet-I. Zada Khamami, Islam Radikal Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia, Jakarta: TERAJU, 2002.

Artikel dan Majalah:

Setiawan, Heri, “Gerakan Komando Jihad, sebuah catatan kecil”, artikel diakses pada 18 Maret 2010 dari http://www.Komando Jihad.com/2010/1803/.

Setiawan, Heri, “Mengenal Ustadz Abdullah Sungkar”, artikel diakses pada tanggal 09 Januari 2011 dari http://risalahjihad.blogspot.com/2011/0901/.

GATRA, 1 September 2010. Panji Masyarakat, No. 323, 1981. Panji Masyarakat, no. 376, 1982. Tempo, 22 Agustus 2010. Tempo, 24 Desember 1983. Tempo, 30 September 1978.

Dokumen-Dokumen:

Kuesener wawancara dengan Abu Jibril, tokoh gerakan Islam dan sahabat dari Abu Bakar Ba‟asyir.

Teks Proklamasi Negara Islam Indonesia.

Teks Bai‟at Negara Islam Indonesia.

Foto copy majalah-majalah tentang kasus gerakan Komando Jihad.

Foto acara wawancara dengan Abu Jibril, tokoh gerakan Islam dan sahabat dari Abu Bakar Ba‟asyir.

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukanlah hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 25 Mei 2011

Achmad Hasan

ABSTRAK

Judul : DI/TII PASCA KARTOSOEWIRJO (STUDI KASUS GERAKAN KOMANDO JIHAD 1976-1981)

Komando Jihad adalah salah satu gerakan radikal yang dilakukan oleh beberapa eksponen DI/TII Kartosoewirjo, kelompok Islam ini melakukan berbagai aksi teror di Indonesia sekitar tahun 1976-1981 atau pada masa pemerintahan Orde Baru. Aksi peledakan, pembajakan pesawat, pembunuhan dan berbagai aksi teror lainnya mewarnai masa kekuasaan Orde Baru ketika itu. Ada dua opsi untuk mengambarkan kronologis kemunculan istilah “Komando Jihad”. Pertama, pendapat dari pihak penguasa Orde Baru yang mengatakan bahwa gerakan Komando Jihad adalah sejumlah aksi teror yang dilakukan sekelompok umat Islam semenjak tahun 1967-1981 yang murni bertujuan untuk membentuk “Dewan Revolusi Islam Indonesia”, menentang Pancasila dan UUD 1945 dan berkeinginan membentuk Negara Islam Indonesia. Opsi kedua, kalangan tokoh Islam menganggap bahwa istilah Komando Jihad adalah rekayasa politik penguasa Orde Baru, tujuan pengungkapan kasus ini menimbulkan dugaan adanya kaitan erat antara maksud pengungkapan dengan Pemilu tahun 1977 yang akan diselenggarakan. Sejumlah tokoh masyarakat menduga bahwa tujuan pengungkapan kasus ini tidak lain adalah pemojokan gerakan Islam politik dan perolehan suara dari umat Islam dalam pemilu 1977 yang akan dilaksanakan. Untuk mengetahui tujuan utama dari gerakan Komando Jihad, dapat dilihat dari beberapa fakta persidangan Haji Ismail Pranoto yang dikenal sebagai tokoh sentral gerakan KOMJI. Dari keputusan hakim dalam persidangan, bisa diambil kesimpulan bahwa kasus KOMJI Jawa Timur belum terungkap, karena Hispran sendiri yang pada awalnya dituduh sebagai penggerak utama gerakan akhirnya tidak terbukti terkait dengan gerakan ini. Dengan menemukan beberapa fakta persidangan dan melihat semua fenomena teror dan gerakan Islam radikal selama kurun waktu 1976 sampai 1981 khususnya pada masa pemerintahan Orde Baru, di balik idealisme gerakan dan para tokoh eksponen DI/TII terdapat sekenario yang sengaja disusun oleh penguasa dengan kekuatan militer dan intelijennya dengan tujuan melanggengkan kekuasaan rezim Orde Baru. Tetapi di luar itu semua, tidak bisa dipungkiri bahwa terdapat pula perjuangan murni gerakan Islam yang benar-benar mencita-citakan berdirinya Negara Islam Indonesia.

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillahi Rabbil Alamin, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat, hidayah dan karuniaya yang senantiasa dilimpahkan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “DI/TII PASCA

KARTOSOEWIRJO, STUDI KASUS GERAKAN KOMANDO JIHAD 1976-

1981”.

Shalawat beriring salam penulis panjatkan kepada kekasih Allah, pemberi syafaat umat, Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat serta orang-orang yang senantiasa menjalankan sunnahnya.

Penulis menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ilmu Sosial dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sungguh pun begitu banyak rintangan dan hambatan dalam penulisan skripsi ini, Alhamdulillah berkat kerja keras serta dukungan dari semua pihak akhirnya skripsi ini dapat penulis rampungkan dengan baik.

Dengan segala hormat dan bakti penulis ingin menghaturkan ucapan terima kasih kepada orang-orang yang berjasa dan memiliki peran besar dalam proses pembelajaran hidup dan mempunyai andil besar dalam proses pendidikan di almamater tercinta:

1. Kepada orang tua tercinta, ibunda Hj. Muidah, dengan kesabarannya

menjalani hidup membesarkan putra-putrinya sendiri dan yang tak pernah

berhenti mencurahkan cinta dan kasih sayang sehingga penulis mampu berdiri tegar untuk menyelesaikan penulisan skripsi. Ayahanda H. Muhammad Rabin

yang begitu peduli, perhatian dan tak henti-hentinya memompa semangat

penulis agar secepat mungkin menyelesaikan kuliah. Adik-adikku; Ali, Neng

Milah, Dede Musriah, terima kasih telah memberikan simfoni yang indah

dalam hidup ini, adik-adikku yang telah memberikan hiburan di sela suntuk

jenuhnya penulisan skripsi. Semoga simfoni itu akan tetap indah selamanya,

terima kasih Tuhan telah menganugerahkan keluarga sebaik dan sesempurna

mereka.

2. Kepada Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, Bpk Prof. Dr. Bahtiar Efendi.

3. Kepada Ketua Jurusan Ilmu Politik Bpk. Dr. Ali Munhanif, Sekertaris Jurusan

Ilmu Politik dan Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP),

khususnya Dosen Prodi Ilmu Politik yang telah memberikan pengajaran,

pendidikan dengan berbagai ilmu selama masa kuliah penulis.

4. Kepada Dosen Pembimbing, Bpk M. Zaki Mubarak, M.Si yang telah bersedia

meluangkan waktu di tengah-tengah kesibukannya untuk memberikan arahan

dan bimbingan kepada penulis selama proses penulisan skripsi ini.

5. Kepada teman-teman sesama mahasiswa yang seperjuangan menuju titik

pencerahan dan kesuksesan, Okki Tirto, Rizki Aceh, Bahaudin, Badri, Sadri,

Huda, Waluyo dan semuanya, terimakasih sahabatku. 6. Kepada seseorang yang telah menjadi muara tempat energi cinta mengalir,

terimakasih telah memberiku rasa sayang, sayang yang sederhana, memberi

tanpa berharap tuk menerima.

Akhirnya penulis berharap semoga amal dan niat baik kalian dibalas dengan pahala yang berlimpah dan kebaikan dunia dan akhirat. Dalam penyusunan tugas akhir ini, penulis memahami bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan digunakan sebagaimana mestinya. Amin.

Jakarta, 25 Mei 2011

Achmad Hasan

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN………………………………………………… i

DAFTAR RIWAYAT HIDUP…………………………………………….. ii

ABSTRAK………………………………………………………………….. iii

KATA PENGANTAR……………………………………………………... iv

DAFTAR ISI……………...………………………………………………… vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah………………………………… 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…….…….……….. 4

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian………………………... 5

D. Kajian Pustaka………………………………………….. 5

E. Metode Penelitian……………………………………….. 7

F. Sistematika Penulisan……………………………………. 8

BAB II KOMANDO JIHAD SEBAGAI GERAKAN ISLAM

FUNDAMENTALIS: LANDASAN TEORI DAN KONSEP

A. Konsep Gerakan Sosial…………………………………. 10

B. Gerakan Massa………………………………………….. 11

C. Perilaku kolektif: Konteks Protes……………………….. 13

D. Komando Jihad Sebagai Gerakan Islam Fundamentalis… 13

BAB III LATAR BELAKANG MUNCULNYA GERAKAN KOMANDO

JIHAD: HUBUNGAN KOMJI DENGAN DI/TII

KARTOSOEWIRJO

A. Negara Islam Dalam Lintasan Sejarah…………………… 20

B. Terbentuknya NII-DI/TII……………………………...... 22

C. Tokoh Ideologi dan Pola-Pola Perjuangan NII-DI/TII….. 25

D. Penumpasan DI/TII…………………………………….... 33

E. Kemunculan Gerakan Komando Jihad (KOMJI) dan

Dinamika Politik Orde Baru……………………………… 37

F. Tokoh-Tokoh Penting Gerakan Komando Jihad………. . 41

1. Haji Ismail Pranoto…………………………... 41

2. Abu Bakar Ba’asyir………………………….. 44

3. Abdullah Sungkar…………………………..... 47

G. Kronologi Gerekan Komando Jihad Menentang

Pancasila Sebagai Asas Tunggal………………………… 51

BAB IV IDEOLOGI DAN GERAKAN KOMANDO JIHAD

A. Ideologi…………………………………….……………. 58

B. Gerakan………………………………………………….. 61

C. Respon Pemerintah Terhadap Komando Jihad……..…… 69

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan………………………………….…………….… 81

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………..……….. 86

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam sejarah, Indonesia pernah mengalami suatu perubahan politik besar- besaran. Terjadinya sebuah proklamasi Negara Islam di Indonesia pada tahun 1949, sebuah negeri Jumhuriyah Indonesia yang kelak kemudian dikenal sebagai Darul

Islam atau Negara Islam Indonesia yang lebih dikenal oleh masyarakat sebagai

DI/TII, dengan Imamnya yaitu Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.

Pemerintah Indonesia merespon gerakan ini dengan berbagai penangkapan terhadap para tokoh-tokoh penting DI/TII termasuk Kartosoewirjo yang dieksekusi mati oleh pemerintah Indonesia.

Sejak ditangkapnya para aktifis NII (DI/TII) dan dieksekusinya Imam

Kartosoewirjo, lahirlah berbagai macam kelompok sempalan yang bertujuan untuk

“mengislamkan” Negara Indonesia. Dengan berbagai motif dan latar belakang kelompok-kelompok ini bertujuan menjadikan Islam sebagai prinsip dasar kehidupan kenegaraan.

Dengan tidak adanya titik temu yang menghasilkan kesepakatan antara kelompok NII (DI/TII) dengan pemerintahan Indonesia pasca penangkapan aktifis- aktifisnya di era 1970an menghasilkan berbagai sempalan kelompok radikal yang bertujuan mendirikan Negara Islam. Bahkan timbul berbagai konfrontrasi antara

Negara dengan kelompok Islam tersebut. Pada dasarnya perkembangan yang berlangsung di dalam gerakan-gerakan keagamaan radikal semakin kompleks. Seiring dengan berjalannya waktu maka dinamika gerakan Islam radikal juga semakin bervariasi. Terdapat berbagai gerakan sempalan yang memiliki karakteristik pemikiran dan orientasi gerekan yang berbeda- beda. Selain basis sosialnya juga beragam, mulai yang berkembang di tengah masyarakat umum sampai yang tumbuh di lingkungan kaum terpelajar, terutama di perguruan tinggi.1

Salah satu pecahan dari NII (DI TII) Kartosoewirjo adalah kelompok yang menamakan dirinya sebagai Komando Jihad. Kelompok pimpinan Haji Ismail

Pranoto. Kelompok ini tercatat melakukan konfrontasi dengan pemerintah dengan berbagai aksi terror di Indonesia sekitar tahun 1976.

Pada tahun 1976 sampai 1981, gerakan Islam radikal di Indonesia telah terpecah menjadi berbagai macam corak dan menyebar di seluruh plosok Negeri.

Kelompok-kelompok ini sebenarnya ingin mempertegas kembali hubungan agama dan Negara. Kalau ditelusuri kecenderungan dan gerakan Islam ini disebabkan oleh carut-marut permasalahan bangsa telah membangkkitkan semangat islam sebagai solusi alternatif. Islam diyakini memberikan jalan keluar dengan jargon “berlakunya syariat Islam secara kaffah”. Keyakinan ini adalah sebuah frustasi yang berkepanjangan terhadap problem bangsa, sehingga menimbulkan semangat kembali kepada Islam sebagai Idoelogi bangsa Indonesia.

1 M Zaki Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi, (Jakarta: LP3ES, 2008), hal. 71. Lahirnya gerakan Komando Jihad sebenarnya tidak lepas dari diproklamasikan berdirinya “Negara Islam Indonesia” oleh Sekarmadji Maridjan

Kartosoewirjo di desa Malambong, Kabupaten Tasik Malaya, Jawa Barat. Gerakan yang dikenal dengan nama lain Darul Islam ini berpusat di Jawa Barat dengan meluaskan pengaruhnya hingga ke Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan

Selatan, dan Aceh. Pimpinan Darul Islam ini adalah Kortosoewirjo adalah seorang pemimpin pergerakan umat islam yang semenjak zaman Hindia Belanda telah lama mencita-citakan berdirinya suatu Negara Islam di Indonesia. Ia telah dari sejak awal mengumpulkan para pengikutnya untuk melawan Belanda dan berjuan tidak secara ko-operatif dan tidak mau melalui parlemen atau partai politik yang pernah dimasukinya yaitu PSII (Partai Serikat Islam Indonesia) maupun Masyumi (Majelis

Syuro Muslimin Indonesia).2

Komando Jihad adalah aksi teror yang dilakukan gerakan Haji Ismail Pranoto, yang sebagian besar terjadi di wilayah Sumatera sekitar tahun 1976 dan aksi teror

Warman yang berlangsung di Jawa Barat dan Jawa Tengah sepanjang tahun 1978,

1979, 1980, mendapatkan sebutan yang sama sebagai kelompok Komando Jihad.

Setelah ditelusuri, sebenarnya ada beberapa pernyataan yang bertentangan tentang munculnya gerakan Komando Jihad pada era 70-an, opsi pertama dari pihak pemerintah yang mengatakan bahwa munculnya berbagai gerakan radikalisme Islam baik Komando Jihad, Teror Warman ataupun kelompok Imron adalah murni merupakan kelompok yang memiliki tujuan politis untuk mendirikan Negara

2 Al-Chaidar, Wacana Ideologi Negara Islam: Studi Harakah Darul Islam dan Moro National Liberation Front, (Jakarta: Darul Falah, 1999), hal. 50. berdasarkan Islam. Pemerintah Indonesia hususnya pada masa orde baru menampik isu-isu yang beredar di masyarakat umum bahwa kasus Komando Jihad merupakan sebuah rekayasa Militer untuk memojokkan gerakan Islam Politik pada saat itu.

Pendapat kedua mengatakan bahwa, ada kecurigaan pemerintah ikut bermain dalam kemunculan berbagai gerakan radikal Islam tersebut. Beberapa politisi muslim menafsirkan dalam perspektif yang berbeda, dalam pandangan elite PPP, tindakan itu dimaksudkan untuk menangkap sejumlah politisi Islam yang tidak disukai menjelang pelaksaan pemilu 1977.3

Kasus Komando Jihad sebenarnya juga bertujuan untuk sebagai peringatan terhadap Islam politik tentang pandangan angkatan bersenjata terhadap dukungan fanatik Negara Islam. Dalam peristiwa ini adalah Ali Moertopo yang sangat berperan penting dalam proyek Operasi Khusus (OPSUS). Ali Moertopo merekrut beberapa bekas petinggi DI/TII untuk kemudian dia bina dalam melaksanakan proyek OPSUS ini. Dengan isu kembalinya faham Komunis di Indonesia, ia membina dan melatih mereka, bahkan ia sengaja mempersenjatai mereka untuk melawan Komunisme.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berbicara tentang Komando Jihad, tidak bisa lepas dari gerakan NII (DI/TII) pimpinan SM. Kartosoewirjo (SMK). Karena, seluruh tokoh penting yang terlibat di dalam gerakan Komando Jihad ini, adalah petinggi NII (DI/TII) pimpinan SMK yang dieksekusi pada September 1962 di sebuah pulau di Teluk Jakarta.

3 M Zaki Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi, hal. 80. Perlu diketahui bahwa pembahasan tentang Gerakan Komando Jihad secara keseluruhan sangatlah luas, untuk itu penulis berinisiatif merumuskan permasalahan pada:

1. Apa latar belakang munculnya gerakan radikal Komando Jihad pada tahun

1976-1981?

2. Apa motifasi dan tujuan gerakan Komando Jihad pada tahun 1976-1981?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Secara akademis skripsi ini mencoba menampilkan obyektifitas kepada

pembaca tentang apa sebenarnya gerakan DI/TII khususnya pada kasus

gerakan Komando Jihad.

2. Secara praktis, skripsi ini bertujuan untuk menambah wawasan dan

pengetahuan tentang gerakan DI/TII dan melihat sejauh mana Komando Jihad

berperan dalam percaturan politik di Indonesia pada tahun 1976-1981an.

3. Tulisan ini diharapkan bisa memberikan tambahan wacana dan referensi bagi

kalangan akademisi untuk keperluan lebih lanjut tentang gerakan Komando

Jihad dan hubungannya dengan gerakan radikal di Indonesia.

D. Kajian Pustaka

Sejauh ini ada beberapa tulisan tentang DI/TII (NII) dan kasus Gerakan

Komando Jihad, diantaranya:

1. Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan Pemikiran dan Prospek

Demokrasi, buku terbitan LP3ES tahun 2008, yang ditulis oleh M. Zaki Mubarak. Buku ini menelusuri akar pemikiran gerakan islam radikal di

Indonesia. Dalam beberapa sub judulnya, penulis menerangkan latar belakang

kemunculan serangkaian peristiwa teror yang terjadi pada tahun 1976-1981/

era orde baru.

2. Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia ditulis oleh Ken Conboy, buku ini

menerangkan seluk beluk dunia intelijen Indonesia pada masa Orde Baru,

dibahas pula bagaimana kronologi munculnya gerakan Komando Jihad yang

tidak lepas dari unsur keterlibatan oknum intelijen di dalamnya.

3. Soeharto and His Generals: Indonesian Miitary Politics 1975-1983 sebuah

karya David Jenkins, diterbitkan oleh Cornell Modern Project tahun 1984.

Dalam buku ini dibahas bagaimana terjadinya konflik antara Jenderal-Jenderal

dalam badan intelijen Indonesia khususnya di era Orde Baru, para Jenderal ini

sengaja mengkoordinasi kekuatan militer dan intelijen untuk merekrut,

membina para mantan DI/TII dalam rangka kegiatan Komando Jihad

Dalam skripsi ini penulis mencoba memaparkan fakta baru yang berbeda dari karya-karya sebelumnya dengan cara menganalisa fenomena gerakan Islam radikal, khususnya kasus Komando Jihad tahun 1976-1981 dengan dasar teori-teori gerakan sosial, perilaku kolektif dan gerakan massa: protes.

Skripsi ini juga mencoba memaparkan fakta-fakta persidangan dari tokoh- tokoh yang terlibat langsung dengan gerakan ini, seperti haji Ismail Pranoto, Abu

Bakar Ba’asyir dan Abdullah Sungkar. Dari fakta persidangan ini dapat diambil kesimpulan mengenai apa sebenarnya latar belakan dan tujuan utama gerakan

Komando Jihad ini.

E. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulisan menggunakan metode kualitatif dengan berfokus kepada deskriftif-analisis, yaitu memberikan gambaran yang menyeluruh dan komprehensif serta melakukan eksplorasi lebih jauh lagi menyangkut gerakan

DI/TII khususnya Gerakan Komando Jihad di era 1970an.

Adapun teknik pengumpulan data yang penulis tempuh adalah sebagai berikut:

1. Data Primer4

Data primer, adalah data yang penulis kumpulkan dari tulisan-tulisan mengenai gerakan Komando Jihad dari nara sumber pertama, baik yang sudah di bukukan, artikel yang masih tercecer dalam majalah, dan internet, maupun dengan wawancara langsung dengan pihak terkait.

2. Data Sekunder5

Data sekunder, adalah data yang penulis kumpulkan dari berbagai macam sumber, baik itu berupa buku, majalah, koran atau jurnal yang memiliki kaitan yang erat dengan petualangan politik gerakan Islam radikal di Indonesia khususnya tentang jejak politik gerakan Komando Jihad. Tulisan yang di maksud disini adalah karya- karya para akademisi, pengamat, dan data yang mengenai gerakan-gerakan tersebut.

4 Tim Penyusun Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2008-2009, (Jakarta: Biro Akademik dan Kemahasiswaan UIN, 2009), hal. 466. 5 Tim Penyusun Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2008-2009, hal. 466. Di samping itu penulis juga melakukan wawancara dengan tokoh yang terkait dengan masalah ini.

F. Sistematika Penulisan

Penulis merasa perlu menggunakan sistematika pada penulisan skripsi ini dengan tujuan pengaturan susunan pembahasan pada karya ilmiah ini agar dalam pembahasannya menjadi terarah. Dalam sitematika penulisan ini, penulis membagi pembahasan-pembahasan pokok menjadi lima bab.

Adapun penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab, masing-masing bab berisi sub-sub bab, secara sistematis bab-bab tersebut adalah sebagai berikut:

Tulisan didahulukan dengan bab I, merupakan bab pendahuluan yang berfungsi sebagai acuan pembahasan dalam bab-bab selanjutnya, sekaligus merefleksikan isi skripsi secara global. Bab ini mencakup latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian, serta sistematika penulisan.

Dalam bab II, akan di bahas tentang sejarah pergerakan NII (DI/TII) secara umum, Negara Islam dalam lintasan sejarah, bagaimana terbentuknya, siapa tokoh ideologi gerakan sampai bagaimana penumpasan gerakan oleh pemerintahan Orde

Baru.

Dilanjutkan dengan bab III, yang berisi tentang pembahasan secara umum tentang gagasan awal munculnya gerakan Komando Jihad, dinamika politik pada masa pemerintahan Orde Baru. Pada bab III penulis juga membahas tentang tokoh- tokoh penting Gerakan Komando Jihad seperti Haji Ismail Pranoto, Abu Bakar Basyir, Abdullah Sungkar dan yang lainnya. Penulis juga membahas tentang kronologi Gerekan Komando Jihad dalam menentang Pancasila sebagai Asas

Tunggal, kasus Gerakan Komando Jihad Haji Ismail Pranoto, teror Warman dan kasus Gerakan Imron.

Sementara pada bab IV, difokuskan pada pembahasan tentang ideologi dan

Gerakan Komando Jihad dan juga bagaimana sikap dan respon perintah Indonesia terhadap gerakan ini.

Penulisan ini akan diakhiri bab V, dalam bab penutup ini, penulis akan memberikan kesimpulan-kesimpulan mengenai apa sebenarnya latar belakang munculnya gerakan radikal Komando Jihad, peran dalam perpolitikan Indonesia dan apa sebenarnya tujuan dari gerakan ini.

BAB II

KOMANDO JIHAD SEBAGAI GERAKAN ISLAM FUNDAMENTALIS:

LANDASAN TEORI DAN KONSEP

A. Konsep Gerakan Sosial

Gerakan Sosial tidak bisa dipisahkan dari proses kehidupan bernegara di

Negara manapun juga. Hal ini terjadi sebagai efek dari perilaku kolektif dari sekelompok manusia yang bertujuan untuk menyampaikan opini-opini mereka terhadap individu atau sekelompok manusia lainnya.

Menurut John Lofland, ada lima komponen utama realitas publik yang banyak dijumpai saat melakukan studi tentang perilaku kolektif dan gerakan sosial.

Komponen tersebut adalah:6

1. Kumpulan manusia, peristiwa berkumpulnya manusia secara fisik dalam

jumlah besar.

2. Organisasi sipil, perkumpulan sipil di luar lembaga sentral.

3. Struktur makro, bentuk-bentuk perkumpulan ekonomi, demografi, politik,

kedaerahan dan perkumpulan besar lainnya sebagai tempat sekaligus jawaban

terhadap kelemahan organisasi dan aksi manusia.

4. Lembaga sentral, organisasi yang mengontrol tatanan publik dapat berupa

pemerintahan, militer dan polisi.

5. Opini massa, sentimen publik secara umum.

6 John Lofland, Protes: Studi Tentang Prilaku Kolektif dan Gerakan Sosial, (terj), (Yogyakarta: INSIST Press, 2003), hal. 12. Berdasarkan kelima elemen arena publik tersebut, maka dapat dirumuskan definisi konsep gerakan sosial, yaitu: Gerakan sosial merupakan lahirnya organisasi kekerasan atau protes baru dengan semangat muda yang dibentuk secara independen, bertambahnya jumlah dan peserta aksi kekerasan dan atau protes terencana dan tak terencana, kebangkitan opini massa, semua yang ditunjukan kepada oknum lembaga sentral, sebagai bentuk usaha untuk melahirkan perubahan pada struktur makro dan atau mikro dari lembaga-lembaga sentral.7

Gerakan sosial dapat diketahui terutama lewat banyaknya organisasi baru yang terbentuk, yang mana organisasi-oragnisasi ini ditandai dengan bertambahnya jumlah anggota dalam gerakan mereka, dan semakin banyak aksi kekerasan atau protes terencana dan tak terencana.

B. Gerakan Massa

Dewasa ini banyak Negara di dunia ini tidak luput dari gejala unjuk rasa kolektif, penuh luapan emosi, terkadang dibarengi dengan cara-cara terorisme.

Kekuatan dan naluri yang telah keluar dari puluhan, ratusan atau bahkan ribuan manusia dari seluruh pelosok kota dari berbagai latar belakang, pendidikan, pekerjaan, jenis kelamin, usia, lalu menyeret mereka dalam satu gerombolan, mengikat dan menyatukan mereka dalam satu semangat, bersatu jiwa, bersatu suara, bersatu bergerak berbondong-bondong mengikuti gerak-gerik dan pekikan, itulah mungkin gambaran suatu gerakan massa.

7 John Lofland, Protes: Studi Tentang Perilaku Kolektif dan Gerakan Sosial, hal. 25. Menurut Eric Hoffer dalam bukunya The True Believer mendalilkan bahwa semua gerakan massa, tak peduli apa sifatnya (agama, rasial, sosial, nasionalistis, atau ekonomis), tak peduli juga apa misi sucinya, memiliki sekelompok ciri-ciri tertentu yang sama: semua mampu membangkitkan pada diri pengikutnya kerelaan untuk berkorban sampai mati, kecenderungan untuk beraksi secara kompak, fanatisme, antusiasme, harapan berapi-api, kebencian dan intoleransi, kepercayaan buta, dan kesetiaan tunggal. Semua gerakan massa betapapun berbeda dalam doktrin dan aspirasinya, menarik pengikut-pengikutnya yang pertama dari satu jenis manusia, yakni manusia-manusia yang kecewa dan tidak puas atau frustasi.8

Hoffer mengambil pengertian etimologis dari kata frustasi yang mendorong manusia melakuakan aksi gerakan massa, (latin: frustration): kecewa, gagal). Orang yang frustrasi, menurut Hoffer sedang mengalami kekecewaan terhadap diri sendiri karena kegagalan-kegagalan, merasa hidupnya sia-sia, rusak, tak tertolong, tidak ada harapan lagi. Tipe orang inilah merupakan panen pertama dari gerakan massa yang mempu membangkitkan pada jiwa dari gerakan massa dengan cara mengutuk dan melempar jauh masa kini yang sudah bobrok dan busuk itu. Di lain pihak dengan memberi gambaran dan janji-janji akan hari depan yang gemilang, penuh kepuasan diri dan harapan.9

8 Eric Hoffer, Gerakan Massa, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988), hal. VII. 9 Eric Hoffer, Gerakan Massa, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988), hal. IX. C. Perilaku Kolektif: Konteks Protes

Dengan pengertian sederhana, protes diartikan sebagai sebuah aksi, kumpulan, peristiwa, atau bentuk perilaku kolektif kemunculannya didorong dan dihambat oleh beragam konteks perilaku kolektif dan muncul karena (disebabkan) atau tidak muncul

(dihalangi) oleh bentuk-bentuk perilaku kolektif lainnya. Menurut John Lofland aksi protes selalu melekat pada kegiatan-kegiatan yang bersifat rutin, berlangsung dalam situasi perilaku kolektif yang stabil, aman dan penuh dengan ketidakpastian terutama yang mengandung unsur kekerasan. Eisinger juga menggambarkan bahwa protes secara implisit memiliki potensi ancaman dan merupakan bentuk sederhana dari ancaman kekerasan.10

Menurut para sosiolog, istilah perilaku kolektif secara harfiah dapat diartikan dan mengacu pada perilaku serta bentuk-bentuk peristiwa sosial lepas atau emergent yang tidak dilembagakan (extra-institutional). Kalimat dan definisi ini digunakan untuk menyebut perilaku kolektif dan gerakan sosial, kepanikan, kekacauan, dan kerumunan suka ria.

Untuk menjelaskan fenomena gerakan Komando Jihad pada penulisan skripsi ini, maka penulis perlu memaparkan teori collective hostility yang dikemukakan oleh

John Lofland. Ia mengatakan bahwa ada tiga tingkatan collective hostility:11 yang pertama dan yang terendah adalah simbolik (symbolic). Pengelompokan ini didasarkan kepada cara bertindak dan berbicara seseorang dalam mengkomunikasikan ketidaksenangannya terhadap orang yang berniat jahat terhadap

10 John Lofland, Protes: Studi Tentang Perilaku Kolektif dan Gerakan Sosial, hal. 30-31. 11 John Lofland, Protes: Studi Tentang Perilaku Kolektif dan Gerakan Sosial, hal. 58. barang dan dirinya. Contohnya adalah: deklarasi tertulis, pidato di depan kerumunan orang, protes lewat unjuk rasa dan aksi jalan, provokasi lewat kata-kata dan mengadakan kerumunan (crowd baiting).

Kedua adalah tingkat collective hostility yang tertuju pada hak milik pribadi dan cara-cara yang dapat menghambat penggunaanya, misalnya: penyitaan barang, boikot terhadap barang atau orang, pemogokan, penguasaan atau pengambilalihan tempat.

Ketiga adalah tingkatan tertinggi tertuju pada bentuk perampasan dan penyerangan, contohnya: penyiksaan, pemukulan dan pembunuhan. Dengan ketiga gambaran ini dapat diambil kesimpulan bahwa gerakan Komando Jihad termasuk kedalam kategori collective hostility tingkatan yang ketiga karena Komando Jihad merupakan gerakan yang berupa teror, pengeboman dan pembunuhan.

D. Komando Jihad Sebagai Gerakan Islam Fundamentalis

Terdapat pemahaman yang berbeda dan berbagai definisi yang beragam di kalangan para ilmuwan tentang apa pengertian dan ruang lingkup fundamentalisme.

Para ilmuwan telah menafsirkan fundamentalisme Islam dalam berbagai pengertian.

Fundamentalisme sendiri merupakan faham dan gerakan yang menyejarah dan bersifat massif terutama dalam masyarakat agamis, yaitu masyarakat yang berpedoman dengan doktrin-doktrin keagamaan sebagai pijakan dalam segala urusan, baik keduniaan maupun keakhiratan. Nashr Hamid Abu Zayd menyebut fenomena ini sebagai karakteristik dari “peradaban teks” (hadlarat al-nash), sehingga membentuk masyarakat yang sangat menghargai teks.12

Dilihat dari cara penafsiran dan penghayatan terhadap teks, gerakan Islam fundamentalis dapat diklasifikasikan dalam tiga tipologi. Pertama, Fundamentalisme

Literal, mereka yang tergolong dalam ketegori ini melihat doktrin keagamaan secara literal dan tekstual. Apa yang disampaikan teks dipahami dan diterima secara taken for granted, tanpa proses penghayatan secara sosiologis dan antropologis, ini kecenderungan umum dari gerakan Islam fundamentalis.

Yang sangat menonjol dari gerakan mereka adalah penyatuan antara agama dan pemikiran keagamaan. Mereka meyakini bahwa pemikiran keagamaan adalah agama itu sendiri, sehingga perbedaan pandangan dianggap sebagai perbedaan agama. Nashr Hamid Abu Zayd dan Abdul Karim Soroush melihat persoalan tersebut adalah titik lemah pemikiran keislaman saat ini. Karena itu kedua pemikir tersebut menyerukan pentingnya pemisahan antara agama dan ilmu agama. Yang pertama bersifat sakral, sedangkan yang kedua bersifat profan.

Kedua, fundamentalisme moderat, ini sering disebut sebagai lokus paradoks fundamentalisme. Pandangan bahwa fundamentalisme adalah perlawanan terhadap modernitas tidak selamanya benar, sebab kalangan fundamentalis justru dilakoni oleh mereka yang secara intens dengan modernitas. Agama menurut mereka adalah dogma yang bersifat praktis, agama tidak perlu didiskusikan dan diinterpretasikan, apa yang datang dari agamwan mesti diyakini sebagai kebenaran absolut. Bahwa

12 Zuhairi Misrawi dan Khamami Zada, Islam Melawan Terorisme, (Jakarta: LSIP dan Yayasan TIFA, 2004), hal. 106. keberagamaan seseorang diukur secara simbolik, yaitu selama seseorang menggunakan simbol-simbol keagamaan dan melaksanakan ritual-ritualnya, maka keberagamaan orang tersebut dianggap benar dan sesuai dengan pakem, tatkala berhadapan dengan doktrin sikap yang muncul adalah ketundukan dan kepatuhan (al- khudlu’ wa al-inqiyad).13

Ketiga, fundamentalisme radikal, kelompok ini merupakan golongan yang selama ini mendapatkan sorotan. Apabila kelompok pertama dan kedua cenderung agak lunak, namun kelompok ketiga ini cenderung menggunakan pemaksaan dan kekerasan sebagai alternatif untuk menggolkan pandangan mereka, oleh karena itu mereka lebih dikenal sebagai kelompok radikal.

Dalam melaksanakan misinya, kelompok radikal mempunyai kecenderungan menolak, mengganti sistem dan membenarkan kekerasan. Klaim mayoritas dijadikan landasan oleh mereka, yaitu bahwa mayoritas umat Islam di Tanah Air dijadikan landasan untuk mendesak pandangan mereka untuk menerapkan hukum Islam

(syariat).

Klaim mayoritas dalam kognisi mereka mengakibatkan lahirnya imajinasi politik, bahwa untuk menegakkan hukum Islam diperlukan Negara. Karenanya bagi kalangan radikal, mendirikan Negara Islam adalah satu-satunya jalan untuk menerapkan hukum Islam. Mereka mempunyai harapan besar untuk mendirikan pemerintahan Islam, tanpa sistem Negara Islam, pesan-pesan keagamaan tidak akan tegak. Yang terjadi sebenarnya tidak hanya romantisme masa lalu, melainkan juga romantisme pada Negara. Akibatnya keinginan untuk memformalisasikan syariat

13 Zuhairi Misrawi dan Khamami Zada, Islam Melawan Terorisme, hal. 109. begitu besar, bahkan harus sampai pada titik pemhabisan dengan menggunakan cara apapun.

Mohammed Arkoun memberikan pengertian yang berbeda tentang diefinisi fundamentalisme. Ia menyatakan bahwa fundamentalisme Islam sebenarnya bukanlah merupakan bagian dari Islam, tetapi merupakan fenomena sosial dan politik semata.

Fundamentalisme tidak lebih merupakan hasil dari ideologisasi dan politisasi Islam.14

Demikian halnya keseluruhan faktor yang menggerakkan fundamentalisme Islam, baik oposisi, susunan ideologis, impian kolektif maupun halusinasi individual, tidaklah menuju kepada Islam sebagai agama dan tradisi pemikiran.

Adapun ciri-ciri dan karakteristik Islam fundamentalis dapat dilihat dari pendapat Nader Saidi, ia mengatakan bahwa gerakan Islam fundamentalis dapat ditandai dengan:

1. Mengajukan penafsiran yang bersifat absolut terhadap teks-teks Tuhan yaitu

penafsiran yang bersifat represif atas gagasan Tuhan.

2. Faham penyatuan antara agama dan Negara yang diwujudkan dalam ide

sistem pemerintahan teokrasi.

3. Metode penafsiran yang bersifat literal-skriptural.

4. Penolakan atas dominasi atas simbol-simbol modern dan barat.

14 Mohammed Arkoun, Membongkar Wacana Hegemonik dalam Islam dan Post Modernisme (terj), (Surabaya: Alfikr, 1999), hal. 209. 5. Penolakan atas sosialisme dan kapitalisme yang merupakan konsekuensi dari

keyakinan terhadap nilai kekhususan Islam. Islam memiliki konsepsi sendiri

yang meliputi keseluruhan aspek.

6. Pan-Islamisme, pemeluk Islam didefinisikan dalam satu kesatuan ummah

(ummat al-wahidah). Angan-angan mewujudkan satu kekhalifahan Islam

adalah merupakan satu perwujudan dari ide ini.15

Melihat karakteristik gerakan Islam Fundamentalis secara umum, maka

kecenderungan ini bisa dilihat pada aktivitas gerakan-gerakan Islam di Indonesia

dan di dunia Islam pada umumnya. Seperti Front Pembela Islam (FPI), Forum

Komunokasi Ahlu Sunah Waljamaah (FKSWJ), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI),

Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia

Islam (KISDI), Persatuan Pekerja Muslilm Indonesia (PPMI), Himpunan

Mahasiswa Antar Kampus (Hammas Indonesia), Ikhwanul Muslimin (IM), dan

Gerakan Tarbiyah. Terkadang kelompok-kelompok Islam begitu gencar

mengampanyekan penerapan syariat. Mereka memandang bahwa Piagam Jakarta

merupakan harta karun umat Islam yang tertunda.

Berbagai gerakan Islam pada kurun waktu 1976-1980 atau pada masa Orde

Baru adalah termasuk dalam gerakan Islam fundamentalis, karakteristik

fundamental dan radikal terdapat pada gerakan Komando Jihad Haji Ismail

Pranoto, kasus Gerakan Imran dan juga pada gerakan Teror Warman. Semua

15 Nader Saidi, “What is Islamic Fundamentalism” dalam Jeffrey K Hadden & Anson Shupe (eds.), Prophetic Religions and Politics: Religion and the Political order (New York: Paragon House, 1986), hal 182-189., sebagaimana dikutip dalam M Zaki Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi, hal. 19. gerakan ini bertujuan sama yaitu mendirikan Negara Islam Indonesia, faham penyatuan antara agama dan Negara diwujudkan dalam ide dan gerakan kelompok-kelompok ini. Dengan berbagai aksi teror, pembunuhan, pembajakan pesawat yang dilakukan, maka hal ini menyatakan bahwa gerakan mereka tergolong gerakan Islam fundamentalis radikal.

BAB III

LATAR BELAKANG MUNCULNYA GERAKAN KOMANDO JIHAD:

HUBUNGAN KOMJI DENGAN DI/TII KARTOSOEWIRJO

A. Negara Islam Dalam Lintasan Sejarah

Konsep Negara Islam (Darul Islam) adalah hasil penafsiran dari pemerintahan yang dipimpin oleh Nabi Muhammad dengan istilah madinah ketika itu. Menurut penafsiran ini mengatakan bahwa Rasulullah Muhammad SAW telah berjuang semaksimal mungkin dengan mengerahkan kekuatan dan pikiran, yang ditopang hidayah wahyu, untuk mendirikan Daulah Islam atau negara bagi dakwah beliau serta penyelamat bagi para pengikut beliau.

Negara adalah bentuk konkrit dari kekuatan dan kekuasaan, hanya dengan kekuasaan yang berdasarkan Islam sajalah yang dapat dijamin akan memuaskan semua orang. Mengutip istilah Yusuf Qardhawy, tidak ada bentuk kekuasaan yang diterapkan atas manusia kecuali “kekuasaan syariat”. Banyak tokoh termasuk Al-

Maududi menyebut kekuasaan berdasarkan syariat ini sebagai “theo-demokrasi” atau

“demokrasi Islam”.

Di Indonesia, penafsiran ini dianut oleh S. M. Kartosoewirjo, secara tegas ia menyatakan bahwa bentuk kongkrit kekuasaan itu adalah Negara Al-Jumhuriyah Al-

Indonesiah atau suatu Ad-Daulatul Islamiyah atau dengan sebutan Darul Islam yang secara nasional dikenal dengan nama Negara Islam Indonesia.

Madinah sebagai bentuk Negara Islam ketika itu, dengan Nabi Muhammad sebagai komandan tertinggi kaum Muslimin dan pemimpin mereka. Dengan menapak tilas semangat jihad Rasulullah SAW, di Indonesia, Darul Islam didirikan ulang oleh

S.M. Kartosoewirjo dengan nama Negara Islam Indonesia (NII) yang memiliki kekuatan asykariah bernama Tentara Islam Indonesia (TII) atau Angkatan Perang

Negara Islam Indonesia (APNII). Kartosoewirjo memproklamasikan NII pada tanggal

7 Agustus 1949 di Malambong, Jawa Barat.16

Konsep Negara Islam menurut Dr. M. Amien Rais berhubungan dengan istilah khilafah dan imamah. Khilafah menurut Amien Rais adalah suatu missi kaum muslimin yang harus ditegakkkan di muka bumi ini untuk memakmurkan sesuai dengan petunjuk dan peraturan Allah maupun Rasul-Nya. Adapun cara pelaksanaanya Al-Quran tidak menunjukkan secara terperinci tetapi dalam bentuk global saja. Kata imamah juga tidak terdapat secara tertulis dalam Al-Qur’an. Tetapi kalau kata imamah dimaksudkan sebagai kepemimpinan yang harus diikuti oleh umat

Islam, hal itu jelas ada dalam Al-Qur’an. Artinya Al-Qur’an menyuruh kaum muslimin untuk mengikuti pemimpin yang benar, yang terdiri dari manusia-manusia atau pemimpin yang menggunakan Islam sebagai patokan kepemimpinannya, bukannya kepemimpinan orang-orang munafik dan kafir.17

Istilah paling umum untuk menggambarkan gerakan radikal adalah

“fundamentalisme”, guna menunjukkan sikap kalangan muslim yang menolak tatanan sosial yang ada dan berusaha menerapkan suatu model tatanan tersendiri yang berbasiskan nilai-nilai keagamaan. John L. Esposito melengkapi kategori ini dengan

16 C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, (terj.), (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987), hal. 84. 17 Panji Masyarakat, no. 376/1982., sebagaimana dikutip dalam Laksmi Pamuntjak & Djohan Agus Edy Santoso, Tidak Ada Negara Islam: Surat-Surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem, (Jakarta: Djambatan, 2004), hal. XXIII. menyatakan bahwa fundementalisme dicirikan pada sifat “kembali kepada kepercayaan fundamental agama”. Dalam semua praktik kehidupan Muslim, mereka mendasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah secara literal. Pada gilirannya fundamentalisme sering menunjuk pada kelompok yang mengacu pada literalis dan berharap kembali kepada kehidupan masa lalu. Bahkan lebih jauh lagi, fundamentalisme sering disamakan dengan ekstremisme, fanatisme, aktivisme politik, terorisme dan anti-Amerika.18

Radikalisasi ditandai oleh tiga kecenderungan umum:19 Pertama, radikalisasi merupakan respons terhadap kondisi yang sedang berlangsung. Biasanya respons itu muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan atau bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak dapat berupa asumsi, ide, lembaga atau nilai-nilai yang dapat dipandang bertanggung jawab terhadap keberlangsungan terhadap kondisi yang ditolak.

Kedua, radikalisasi tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya mengganti tatanan tersebut dengan suatu bentuk tatanan yang lain. Kaum radikalis berupaya kuat untuk menjadikan tatanan tersebut sebagai ganti dari tatanan yang sudah ada.

Ketiga, kuatnya keyakinan kaum radikalis akan kebenaran program atau ideologi yang mereka bawa. Sikap ini pada saat yang sama dibarengi dengan penafian kebenaran dengan sistem lain yang akan diganti.

18 John L. Esposito, The Islamic Threat Myth or Reality?, (Oxford: Oxford University Press, 1992), hal. 7-8., sebagaimana dikutip dalam M Zaki mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi, hal. 20. 19 Bahtiar Effendy dan Hendro Prasetyo, Radikalisme Agama, (Jakarta: PPIM-IAIN, 1993), hal. Xvii-xviii. B. Terbentuknya NII-DI/TII

Sebelum Indonesia merdeka terjadi pergulatan ideologi dan faham yang telah banyak mengahasilkan banyak gerakan-gerakan politik. Organisasi-organisasi yang aktif memperjuangkan kemerdekaan dapat dipetakan menjadi beberapa bagian. Corak organisasi pasca kemerdekaan ada yang bercirikan Islam dan ada yang bercirikan

Sosialis. Kedua kelompok organisasi ini perlahan memperoleh pendukung yang semakin banyak.

Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia (DI/TII) terbentuk dari Partai

Sarikat Islam (SI) sebuah organisasi politik yang berasaskan Islam. Awal terbentuknya dimulai ketika Kartosoewirjo sebagai tokoh sentral dari DI/TII memasuki organisasi politik Sarikat Islam di bawah pimpinan H.O.S Tjokroaminoto.

Pemikiran-pemikiran Tjokroaminoto inilah yang kemudian banyak mempengaruhi sikap, tindakan dan orientasi Kartosoewirjo, terutama cita-citanya mendirikan Negara

Islam di Indonesia.

Kartosoewirjo terpilih sebagai komisaris partai untuk wilayah Jawa Barat pada kongres akhir tahun 1929. Tepatnya ia bertugas di Malambong, desa perbatasan

Garut dan Tasikmalaya yang sekaligus menjadi tempat tinggalnya sampai akhir hayat.

Ia menikah dengan Dewi Siti Kalsum, putri Ajengan Ardiwisastera. Di Malangbong inilah Kartosoewirjo kembali mempelajari dan memperdalam pengetahuan tentang

Islam.20

Kartosoewirjo terpilih menjadi sekertaris umum PSIHT (Partai Sjarikat Islam

Hindia Temoer) pada kongres di Pekalongan bulan Desember 1927. Dalam rangka

20 C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, hal. 19. melaksanakan disiplin partai, SI memberlakukan peraturan tidak memperbolehkan adanya keanggotaan yang ganda. Akhirnya terjadilah perpecahan dalam tubuh SI yang selanjutnya pada tahun 1930 SI mengganti nama menjadi PSII (Partai Sarekat

Islam Indonesia). Pada kongres berikutnya tahun 1931, Kartosoewirjo terpilih kembali untuk menduduki jabatan sekertaris umum partai. Keputusan ini memaksanya meniggalkan Malambong untuk kembali ke pusat.

Perpecahan dalam tubuh PSII menyeruak, krisis yang tengah terjadi kian bertambah, ajang perebutan kekuasaan dalam tubuh partai meramaikan suasana PSII ketika H.O.S Tjokroaminoto meninggal dunia pada tahun 1934. Pertentangan antara dua golongan kepemimpinan mewarnai gerak-gerik PSII: Dewan Eksekutif (Ladjnah

Tanfidzijah) dibawah pimpinan adik H.O.S Tjokroaminoto, Abikoesno

Tjokrosoejoso, berhadapan dengan Dewan Partai dibawah pimpinan H. Agus Salim.

Keduanya tidak menemukan kesepakatan mengenai kebijakan politik non-kooperatif, kebijakan yang sekian lama menjadi basis perjuangan partai.21

Sebagai solusi alternatif, pada tahun 1936 diadakanlah kongres partai ke-22 di

Batavia yang bertujuan untuk memilih ketua partai. Akhirnya Abikoesno

Tjokrosoejoso terpilih memangku jabatan tersebut dan menunjuk Kartosoewirjo sebagai wakilnya. Atas inisiatif Abikoesno muncullah kebijakan politik partai yang disebut “hijrah”, yang kemudian dikenal dengan politik hijrah PSII. Kemudian ia

21 C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, hal. 20. menugaskan Kartosoewirjo untuk menyusun brosur lengkap tentang kebijakan tersebut.22

Situasi dalam partai pada tahun-tahun berikutnya banyak berubah. Abikoesno

Tjokrosoejoso sebagai pimpinan partai yang semula gencar meneriakka politik hijrah, membela semangat non-kooperatif partai kini berbalik berhadapan dan bertentangan dengan Kartosoewirjo. Abikoesno beserta Dewan pimpinan yang lain berharap

Kartosoewirjo mau bergabung bersama satuan organisasi Islam GAPI (Gabungan

Politik islam). Namun Kartosoewirjo menolaknya dan tetap pada prinsip awalnya yaitu politik hijrah.23

Kongres PSII ke-22 bulan Juli 1936 menetapkan Abikusno sebagai ketua partai, ia memilih Kartosoewirjo sebagai wakilnya. Kartosoewirjo menjabat sebagai wakil ketua partai sampai ia keluar pada tahun 1939.24 Kartosoewirjo terpaksa dikeluarkan dari partai dan disepakati dalam kongres partai ke-25 pada bulan Januari

1940 di Palembang, dengan 134 suara setuju dan 9 suara netral.

Karena meyakini bahwa partainya adalah satu-satunya partai PSII yang benar,

Kartosoewirjo mengubah Komite Pembela Kebenaran PSII (KPK PSII) menjadi sebuah partai yang berdiri sendiri. Ia bekerja sama dengan Jusuf Taudjiri dan Kamran dalam membentuk anggaran dasar dan peraturan-peraturan partainya.25 Pada akhirnya

22 Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo, (Darul Falah, Juni 1999), hal. 10. 23 Holk H. Dengel, Darul Islam dan Kartosoewirjo : Angan-angan yang gagal, (Jakarta Pustaka Sinar Harapan, 1995), hal. 21. 24 Irfan S. Awwas, Menelusuri Perjalanan Jihad S.M. Kartosoewirjo : Proklamator Negara Islam Indonesia (Yogyakarta: Wihdah Press, 1995), hal. 34. 25 Holk H. Dengel, Darul Islam dan Kartosoewirjo : Angan-angan yang gagal, hal. 22. Ia memutuskan untuk mengubah KPK PSII menjadi sebuah partai yang bermarkas di

Malambong tetapi dengan tetap menggunakan haluan politik PSII.

Dengan berniat meneruskan cita-citanya untuk menciptakan tatanan masyarakat yang Islami, Kartosoewirjo memimpin pergerakan KPK PSIInya yang kelak kemudian dikenal dengan sebutan Darul Islam. Sebagaimana C. Van Dijk menegaskan bahwa “PSII kedua sendiri merupakan titik mula bagi perekrutan kader untuk Darul Islam”.26

C. Tokoh Ideologi dan Pola-Pola Perjuangan NII-DI/TII

Soekarmadji Maridjan Kartosoewirjo adalah tokoh sentral DI/TII, ia adalah tokoh ideologi DI/TII sekaligus sebagai proklamator berdirinya NII (Negara Islam

Indonesia). Ia lahir di Cepu sebuah kota kecil antara Blora dan Bojonegoro yang menjadi daerah perbatasan antara Jawa Timur dan Jawa Tengah.27 Ia dilahirkan ditengah-tengah keluarga cukup berada, hal ini membuatnya mampu mengenyam pendidikan yang berkualitas di masanya. Ayahnya adalah seorang pegawai pemerintah kolonial Belanda dalam menangani urusan distribusi perdagangan candu.

Saat berusia enam tahun Kartosoewirjo memulai pendidikan dasarnya di

Sekolah Rakyat, ia dikenal sebagai anak yang cerdas di sekolahnya. Pada jenjang berikutnya ia melanjutkan pendidikan di Hollandsch-Inlandsce School (Sekolah

26 C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, hal. 28. 27 Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo, hal. 14. Bumi Putera), ia meneruskan pendidikannya di Europesche Lagere School, keduanya termasuk sekolah elite bagi seorang putra pribumi pada saat itu.

Pada masa pendidikannya Islam politik adalah salah satu hal yang menarik dan cukup menjadi topik perhatian bagi Kartosoewirjo. Meskipun pada dasarnya Ia lahir di tengah-tengah keluarga priyayi Jawa, yang kurang mengenal tradisi, kultur dan pendidikan Islam dan bahkan latar belakang pendidikannya sarat dengan gaya pendidikan modern ala Belanda di masa itu.

Kartosoewirjo telah akrab dengan dunia aktifis dan politik praktis sejak masa mudanya. Ia pernah dikeluarkan dari sekolah kedokteran karena memiliki buku-buku yang berhubungan dengan sosialis dan komunisme, yang pada saat itu sangatlah tabu karena stigma negatif yang melekat pada dua ideologi tersebut.

Banyak tokoh yang mempengaruhi Kartosoewirjo dalam pemikiran Islam, salah satunya adalah perkenalannya dengan H.O.S Tjokroaminoto yang membawanya pada realistis politik di pentas nasional melalui Sarikat Islam (SI). Pengalaman- pengalamannya pun sangat mendukung untuk bisa menjadi seorang aktor intelektual di pentas pergerakan.

Satu hal yang menarik, Kartosoewiryo tidak hanya seorang aktifis yang berada di lapangan dan mengendalikan massa dan kondisi akan tetapi ia juga seorang wartawan, redaktur harian Fadjar Asia, ia juga berjuang dengan pena, menerbitkan artikel-artikel propaganda yang mengkritik dan menentang bangsawan Jawa yang bekerja sama dengan Belanda. Seorang dengan kapasitas sebagai aktifis sekaligus organisatoris, menggunakan senjata lembaga dan pena untuk melawan penjajah

Belanda pada waktu itu. Pada tahun 1940 dengan semangat keislamannya Kartosoewiryo membuka lembaga pendidikan kader “Suffah” di dekat Malambong. Lembaga ini adalah semacam pesantren tradsional yang disusun menurut sistem pesantren dan madrasah.

Pola pengajarannya mengikuti dan meniru gaya dan metode pengajaran H.O.S

Tjokroaminoto, para siswa disamping mendapat pengajaran pengetahuan umum dan pendidikan agama Islam, juga mendapatkan bimbingan politik. Lembaga ini menggunakan konsep yang terkenal dengan nama Daftar Usaha Hijrah. Siswa-siswa yang belajar berasal dari berbagai daerah di Indonesia, Jawa Barat, Jawa, Sulawesi

Selatan, Sumatera dan Kalimantan. Kartosoewirjo dan para siswa dari perguruan

Suffah ini lah yang di kemudian hari bersama-sama mencoba mendirikan sebuah

Negara Islam (Daulah Islamiyah).28

Karena dituduh menjadi mata-mata Jepang, Kartosoewirjo dihukum di penjara

Purwakarta selama satu setengah bulan. Ditinggalkan olehnya, perguruan Suffah masih tetap berjalan semestinya pada massa pendudukan Jepang di Indonesia.

Kemudian perguruan ini ditutup dan para siswanya kembali ke kampung halaman masing-masing, sampai pada akhirnya dibuka kembali pada akhir pendudukan

Jepang, ketika para pemuda Hizbullah latihan kemiliteran.29

Setelah vakum dalam kegiatan politiknya, Kartosoewirjo mulai masuk pada sebuah organisasi Islam MIAI (Madjlis Islam ‘Alaa Indonesia), sekaligus ia langsung menjadi sekretaris dalam Majelis Baitulmal pada organisasi tersebut di bawah

28 C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, hal. 29 29 Holk H. Dengel, Darul Islam dan Kartosoewirjo : Angan-angan yang gagal, hal. 26. pimpinan Wondoamiseno pada tahun 1943,30 sampai pada akhirnya semua unsur di kalangan pejabat militer Jepang sepakat bahwa kemerdekaan harus diberikan kepada rakyat Indonesia dalam waktu beberapa bulan kedepan. Hal ini telah disepakati oleh pejabat militer Jepang pada bulan Juli 1945.

Setelah diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus

1945, ternyata umat Islam mengalami kekalahan dalam percaturan politik di

Indonesia, yaitu diterimanya Pancasila sebagai Dasar dan Ideologi Negara dan dihapusnya “tujuh kata” dari Piagam Jakarta. Penghapusan ini membuat banyak kalangan tokoh Islam kecewa terhadap pemerintah Republik termasuk Kartosoewirjo yang akhirnya bertekad meneruskan cita-cita mendirikan Negara Islam di Indonesia.31

Pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 10-11 Februari 1948 semua pemimpin Islam daerah Priangan termasuk Kartosoewirjo mengadakan konferensi di desa Pangwedusan distrik Cisayong.32 Pertemuan ini untuk membahas

Perjanjian Renville antara pemerintah Republik dengan Belanda yang dilakukan di atas sebuah kapal. Kartosoewirjo sepakat bahwa pasukan-pasukan Islam harus tetap berada di Jawa Barat untuk melanjutkan perjuangan bersama-sama dengan rakyat melawan Belanda. Juga perjuangan melawan anggota Sabilillah dan Hizbullah yang berhianat harus dilucuti senjatanya dengan damai atau dengan paksa.

Konfrensi di Cisayong tersebut menghasilkan keputusan penting dalam terbentuknya Tentara Islam Indonesia (TII), memberlakukan Masyumi di Jawa Barat

30 Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo, hal. 55. 31 B.J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia : 1950-1970. Pent. Safroedin Bahar, (Jakarta: Grafiti Pers, 1985), hal. 95. 32 Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo, hal. 72. dan semua cabangnya, membentuk pemerintah daerah di Jawa Barat oleh Umat Islam di daerah tersebut. Pertemuan ini dihadiri oleh tokoh-tokoh penting, diantaranya

Kamran sebagai Komandan Teritorial Sabilillah, Sanusi Partawidjaja sebagai ketua

Masyumi daerah Periangan, Dahlan Lukman sebagai ketua GPII, Siti Murtadji’ah sebagai ketua Poetri GPII, Abdullah Ridwan sebagai ketua Hizbullah untuk

Periangan dan Raden Oni sebagai pemimpin Sabilillah daerah Periangan.33

Pertemuan ini adalah cikal bakal terbentuknya Darul Islam dan Tentara Islam

Indonesia.

Cita-cita menuju tegaknya Negara Islam Indonesia semakin mantap setelah diadakannya pertemuan di Cisayong/Pangwedusan. Dalam pertemuan ini terbentuk suatu keputusan dan terlihat rencana yang telah tersusun rapih. Hal ini sesuai dengan apa yang ditulis Van Dijk “Walaupun tidak diucapkan secara terang-terangan, cita- cita suatu Negara Islam Indonesia tidak pernah lenyap dari pikiran mereka. Struktur militer dan pemerintah yang disusun Kartosoewirjo dan Oni yang secara resmi terbatas pada Jawa Barat, jelas dimaksudkan sebagai pemerintah bayangan, yang akan berfungsi jika pemerintah Republik kalah dalam perang melawan Belanda…”34

Dalam keputusan ini terjadi kesepakatan untuk membagi daerah operasi gerakan dalam tiga bagian, D.I, D. II dan D. III. Hal ini memperjelas bahwa kemudian hak untuk membentuk Darul Islam telah tercapai dengan adanya pembagian wilayah tersebut.

33 Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo, hal. 73. 34 C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, hal. 78. Persiapan menuju Negara Islam semakin bertambah lengkap dengan diadakannya pertemuan kembali pada 1-5 Mei 1948 di Cijoho. Pertemuan ini membahas suatu rancangan konstitusi persiapan di Negara Islam yang kemudian konstitusi itu berhasil disusun pada 27 Agustus 1948 yang dinamakan Qonun Azasi, serta dibentuk suatu Dewan Imamah, Dewan Penasehat atau Dewan Fatwa.

Kartosoewirjo sendiri ditunjuk sebagai Imam yang berarti menempati posisi di dalam

Dewan Imamah.35

Langkah selanjutnya yang dilakukan Kartosoewirjo adalah memberikan kabar akan niatnya mendirikan Negara Islam di Indonesia kepada para politikus Indonesia yang ketika itu berada di Yogyakarta pada tanggal 8 Juli 1949, mengingat situasi dan kondisi Indonesia dalam masa yang kritis dan fatal, hal yang sangat mendasar perlu secepatnya dilakukan. Ketika itu Pemerintah Republik diungsikan keberadaannya ke

Yogyakarta, menyusul dikosongkannya wilayah Jawa Barat sebagai wilayah kekuasaan Republik Indonesia oleh Belanda. Negara Islam Indonesia beserta kesatuan Tentara Islam-nya dibentuk sebagai solusi alternative yang keputusannya diambil dengan sangat mendesak oleh Kartosoewirjo beserta semua rekan-rekannya.

19 Desember 1948 meletuslah agresi militer Belanda ke-2 yang membuat bangsa dan Negara Republik Indonesia kian terpuruk. Pemerintah Republik yang telah jatuh ke tangan kekuasaan Belanda, menjadi alasan bagi tentara Republik atau

TNI untuk membatalkan perjanjian Renville dan kembali menuju Jawa Barat guna melawan Belanda. Hal ini otomatis mempertemukan TNI dengan satuan-satuan

35 Untuk lebih jelasnya lihat Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo, (Darul Falah, Juni 1999), hal. 75. gerilya tentara Islam pimpinan Kartosoewirjo yang telah terbentuk di daerah Jawa

Barat.

Tentara Islam Indonesia menyerukan kepada pihak TNI untuk bersatu dan sebaiknya menempatkan diri dibawah komando TII Jawa Barat. Tetapi pihak TNI tidak menggubris seruan ini dan menyatakan berhadapan dan berperang melawan pihak TII. Perang pun tak dapat dihindari lagi, peristiwa bentrokan ini terkenal dengan nama “peristiwa Antarlina” pada tanggal 25 Januari 1949 di Antarlina dekat dengan Malambong. Ini adalah perang segi tiga pertama di Indonesia, karena ada tiga pasukan yang siap siaga: TII (Tentara Islam Indonesia), TNI (Tentara Nasional

Indonesia) dan Pasukan Belanda.36

Perang Segi Tiga ini melahirkan perang-perang lain yang cukup panjang dan menjadikan keadaan Jawa Barat semakin rusuh dan kacau. Hingga pada saat terjalin perjanjian bersama antara pihak Belanda dan Republik, perjanjian yang dikenal dengan istilah “Perjanjian Roem-Van Royen” pada tanggal 7 Mei 1949. Dari perjanjian ini diperoleh kesepakatan untuk mengembalikan kedaulatan Republik

Indonesia.

Permusuhan antara Belanda dan Republik Indonesia terhenti untuk beberapa waktu lamanya. Tetapi tidak demikian halnya dengan kubu Darul Islam

Kartosoewirjo. Ia dan DI/TII-nya harus berhadapan secara fisik dengan kedua belah pihak, Belanda dan Tentara Republik.

36 Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo, hal. 84. Perjuangan senantiasa masih harus dilanjutkan, meski secara formal pihak

Belanda telah mengakui kembali kedaulatan Pemerintah Republik, namun sebenarnya

Belanda masih tetap sebagai musuh yang nyata selama berada di Bumi Indonesia.

Kartosoewirjo melihat bahwa beberapa perjanjian yang dilakukan kedua belah pihak antara Republik dengan Belanda adalah hanya siasat yang dilakukan Belanda untuk mengecoh pihak Republik.

Semua perjuangan ini harus mendapatkan perwujudan yang kongkrit, perjuangan ideologi menegakkan panji-panji Islam di Tanah Air masih terus berlanjut bahkan semenjak paska kemerdekaan 1945 dimana pihak penjajah kolonial menginjakkan kaki kembali di Bumi Pertiwi.

Tentera Islam Indonesia menawarkan diri bekerja sama dengan pihak

Republik untuk bergabung melawan penindasan Belanda. Akan tetapi tawaran ini disambut sebelah mata oleh pemerintah Republik, maka Kartosoewirjo beserta rekan- rekanya tidak mengulur-ngulur waktu lagi, saat yang ditunggu telah tiba, sehari setelah M. Hatta, sebagai wakit Presiden RI berangkat ke Den Haag untuk mengikuti sidang Konferensi Meja Bundar, Negara Islam Indonesia akhirnya diproklamasikan oleh Kartosoewirjo pada tanggal 7 Agustus 1949 di Malambong, Jawa Barat.37

Dua hal yang mengisyaratkan Kartosoewirjo mengambil keputusan untuk segera memproklamasikan Negara Islam Indonesia, yaitu pertama, kekecewaan terhadap pemerintah Republik dalam melayani setiap diplomasi yang menurutnya hanya menjadi akal-akalan musuh. Kedua, adanya kekosongan atau jatuhnya

37 C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, hal. 84. pemerintahan daulat Republik Indonesia selama diplomasi yang memaksanya harus memproklamasikan NII dengan segera di Jawa Barat.

D. Penumpasan DI/TII

Negara Islam Indonesia berdiri, semenjak itu pula keaadaan wilayah di

Indonesia, Jawa Barat khususnya dengan sendirinya menjadi tersibukkan dibanding sebelumnya, secara otomatis berarti bertambahnya satu urusan bagi Republik

Indonesia dan bisa dikatakan sebagai masalah baru bagi kedaulatan Republik.

DI/TII yang sengaja memanfaatkan situasi kosong di wilayah Jawa Barat untuk kemudian dijadikan wilayah kekuasaan mereka, tetapi sebenarnya ada fenomena lain selain Darul Islam, yaitu kemunculan tegas dari pasukan-pasukan bersenjata lain, yakni pasukan-pasukan yang tersisa secara kesatuan disaat pelaksaan keputusan perjanjian Renville, pasukan-pasukan ini kemudian mengambil inisiatif sendiri-sendiri untuk tetap di wilayah Jawa Barat menentang serangan pihak kolonial

Belanda.38

Pihak tentara Republik terus mengadakan operasi-operasinya di Jawa Barat hingga memasuki tahun 1950, dalam rangka membereskan situasi yang kacau tersebut. Dengan pertimbangan harus dengan cepat membersihkan wilayah dari gangguan-ganguan pasukan liar di luar TNI. Bahkan TNI menyebutkan di sekitar tahun 1950-1960 pasukan TII semakin besar jumlahnya, sampai mencapai 13.129 personil dengan kelengkapan senjata 3000 buah termasuk bren dan montir dan itu

38 C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan,hal. 92-98. berarti sangat merepotkan operasi yang dilakukan pihak TNI.39 Kartosoewirjo dan

DI/TII-nya tetap dianggap sebagai pemberontak terhadap kedaulatan Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

DI/TII ternyata berhasil memberikan pengaruh gerakan ideologi Islam, ini terbukti dengan adanya perluasan gerakan dan wilayah kekuasaan meliputi Jawa

Tengah yang berhasil pula memproklamasikan berdirinya Negara Islam di bawah komando Amir Fatah pada akhir April 1949, Sulawesi Selatan pada 7 Agustus 1953 menyatakan diri sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia di bawah komandan

Kahar Muzakkar, Kalimantan Selatan pada akhir tahun 1954 juga menjadi bagian dari

NII dengan tokohnya bernama Ibnu Hadjar Haderi, Aceh Darussalam yang hingga kini masih menjunjung Ideologi Islamnya juga ikut bergabung sekitar tahun 1953 dengan dipimpin oleh Tengku Muhammad Daud Beureuh. Bagi pemerintah Republik gerakan-gerakan ini tidaklah lebih dari perbuatan maker, represif dan kudeta terhadap kedaulatan Republik Indonesia dan harus segera diadakan perlawanan demi pencegahan terhadapnya.40

Tidak ada kata lain dari Pemerintah dan Tentara Republik untuk mengadakan operasi demi operasi demi mewujudkan cita-cita pencegahan tersebut, meski harus berperang dengan pihak pasukan liar terutama Darul Islam yang sebenarnya adalah kawan sebangsa, setanah air bahkan pula seagama. Berbagai upaya dilakukan hingga pergantian cabinet demi tercapainya ketertiban kondisi dan situasi dari wilayah pemberontakan.

39 C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan,hal. 92. 40 Lihat keputusan sidang perkara terhadap Kartosoewirjo yang dikutip dalam Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo, hal. 208. Secara teknis terdapat kesulitan yang dirasakan dalam operasi karena rumit dan repotnya menjelajah lapangan tempat para gerilyawan pemberontak bermarkas dan bergerak, pada umumnya menggunakan sarana hutan, semak belukar maupun gunung dan perbukitan untuk dijadikan tempat persembunyian mereka kelak.41

Diantara sekian banyak upaya yang dilakukan ialah melalui perundingan dengan pihak TII, perundingan yang sempat dilakukan oleh pihak pemerintah adalah pada masa kabinet Natsir. Pemerintah memberikan maklumat kepada pihak gerilyawan agar segera menghentikan pergerakan pemberontakannya, dan segera akan diberikan amnesty atau semacam ganti rugi dari pemerintah kepada mereka yang mau menyerahkan diri dan bergabung kembali menjadi anggota bangsa

Republik. Akan tetapi para gerilyawan tidak menghiraukan seruan itu sehingga hal yang dilakukan pemerintah mengalami kegagalan.42

Ketika perundingan demi perundingan yang diupayakan oleh pemerintah

Republik mengalami kegagalan, maka dicari jalan lain di luar perundingan untuk segera membereskan masalah ini. Maka ditempuhlah jalan perang dengan cara militer yang sesungguhnya, dikenalah kebijakan doktrin “perang wilayah” dan Pangdam

Siliwangi Ibrahin Adjie ditunjuk sebagai pelaksana dalam perang tersebut.43

Pada tanggal 1 April 1962, pihak TNI mengadakan operasinya kembali yang diberi nama “Operasi Brata Yudha”. Peperangan yang berlangsung sampai pada tanggal 24 April 1962 tercatat sebagai peperangan hebat yang terjadi di daerah

41 Lebih jelas lihat C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan. 42 C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, hal. 100. 43 Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo, hal. 201-202. Bandung Selatan yang banyak meminta korban. Akhirnya pada bulan mei 1962 berapa rekan dekat seperjuangan Kartosoewirjo berhasil ditangkap dan menyerahkan diri, Toha Machfoed dan Moehamad Danoe. Mereka pun meminta kapada

Kartosoewirjo dan rekan yang lain untuk segera menyerahkan diri kepada TNI.44

Keadaan ini membuat pasukan DI/TII-NII merasa terdesak dan menganggap tidak ada gunanya lagi untuk bersembunyi.

Pasukan TNI di bawah pimpinan Suhanda berhasil menemukan markas persembunyian pasukan DI/TII-NII pada tanggal 4 Juni 1962. Tepatnya di sekitar wilayah gunung Geber, Cicalengka Selatan, Bandung. Akhirnya Kartosoewirjo dapat ditemukan bersama rekan-rekan yang lain, ia berhasil ditangkap di usianya 59 tahun, ia tertangkap bersama istri dan Kurnia, pengawal pribadinya.45

Setelah tertangkap Kartosoewirjo disidang selama tiga hari yang berakhir pada 16 Agustus 1962. Ia didakwa melakukan tindakan makar, pemberontakan dan diduga merencanakan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno. Sebulan kemudian, tepatnya pada tanggal 4 September 1962 Kartosoewirjo dieksekusi dengan ditembak mati oleh para regu tembak pemerintah Republik.46

E. Kemunculan Gerakan Komando Jihad (KOMJI) dan Dinamika Politik

Orde Baru

44 Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo, hal. 201-202. 45 Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo, hal. 205. 46 Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo, hal. 205.

Politik Islam di masa Orde Baru mengalami dinamika yang berbeda selama tiga dekade lebih dari kekuasaannya. Rezim Orde Baru memerankan panggung politiknya sendiri, yakni: peminggiran politik Islam dan akomodasi politik Islam. Dua karakter inilah yang dialami umat Islam dalam mengahadapi rezim Orde Baru.

Di awal-awal rezim Orde Baru berkuasa, pemerintah menunjukkan kebijakan yang meminggirkan peran politik umat Islam, sehingga muncul sikap antagonistik dari umat Islam. Depolitisasi dan deideologisasi yang diterapkan Orde Baru adalah suatu rekayasa politik (politic enginering) untuk memperlemah potensi politik umat

Islam, yang bisa sangat membahayakan bagi pemerintah baru.47 Naiknya rezim Orde

Baru di panggung kekuasaan pasca-Soekarno sebenarnya telah memberikan harapan besar bagi umat Islam sejak dilarangnya Masyumi sebagai partai politik oleh

Soekarno. Politik Islam sepertinya akan kembali bergairah di bawah kekuasaan Orde

Baru. Harapan ini ternyata tidak terwujud setelah rezim Soeharto menunjukkan sikapnya yang berlawanan dengan aspirasi umat Islam ketika itu.

Sepeninggalan Kartosoewirjo terjadi perpecahan di tubuh Darul Islam, para penerus perjuangan Kartosoewirjo terlibat konflik internal yang mengakibatkan pecahnya Darul Islam (DI) atau Negara Islam Indonesia (NII). Pasca kematian

Kartosoewirjo kepemimpinan DI/TII (NII) dipegang secara kolektif oleh Agus

Abdullah, Kahar Sholihat dan Djaja Sujadi dan pada tahun 1976 kepemimpinan DI-

NII diserahkan kepada Daud Baureuh yang menjabat selama kurang lebih 2 tahun.48

47 Khamami Zada, Islam Radikal, Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia, (Jakarta: TERAJU, 2002), hal. 29. 48 Muhammad Sufyan Raji Abdullah, Mengenal Aliran-Aliran Islam dan Ciri-Ciri Ajarannya, (Jakarta: LPPI Riyadhus Sholihin, 2003), hal. 142. Dalam perkembangannya DI terpecah menjadi beberapa faksi, pada priode tahun 1979-1994 Djaja Sujadi yang tadinya menjadi wakil Imam disingkirkan oleh kelompok Adah Jaelani yang akhirnya membuat kelompok sendiri. Helmi Aminuddin bin Dani Muhammad Dahlan keluar dari Darul Islam dan membuat kelompok sendiri yang bernama tarbiyah pada tahun 1984. NII terpecah belah menjadi kelompok- kelompok kecil yang saling mengklaim kebenaran kelompoknya dan menyalahkan kelompok yang lain.

Setelah operasi penangkapan terhadap para anggota DI-TII yang jumlahnya cukup banyak, akhirnya pada Agustus 1962 pemerintah Republik Indonesia memberikan amnesti kepada para aktifis DI yang jumlahnya mencapai ribuan, termasuk, 32 petinggi NII (DI/TII) dari sayap militer. Dari 32 petinggi NII (DI/TII) yang telah menyerah kepada pihak Soekarno tanggal 1 Agustus 1962 itu, sebagian besar menyatakan ikrar bersama, yang isinya:

“Demi Allah, akan setia kepada Pemerintah RI dan tunduk kepada UUD RI

1945. Setia kepada Manifesto Politik RI, Usdek, Djarek yang telah menjadi

garis besar haluan politik Negara RI. Sanggup menyerahkan tenaga dan

pikiran kami guna membantu Pemerintah RI. Selalu berusaha menjadi warga

Negara RI yang taat baik dan berguna dengan dijiwai Pantja Sila.”49

Setelah ikrar bersama yang dilakukan oleh para petinggi DI, gerakan Islam

Radikal mengalami kevakuman dan jarang terdengar lagi, tetapi ada diantara petinggi

DI yang tidak mau melakukan ikrar dan mencoba bangkit kembali menperjuangkan

49 Heri Setiawan, “Gerakan Komando Jihad, sebuah catatan kecil”, artikel diakses pada 18 Maret 2010 dari http://www.Komando Jihad.com/2010/1803/. cita-cita semula namun dengan meninggalkan karakter militeristik dan mengabaikan struktur organisasi kenegaraan NII. Mereka inilah yang meski sudah menerima amnesti namun tidak mau bersumpah-setia sebagaimana dilakukan oleh sebagian besar mantan petinggi NII lainnya.

Dalam mengamankan kekuasaannya, pemerintah Indonesia cenderung mengembangkan stigma-stigma negatif terhadap kelompok yang dianggap menentang dan berbahaya bagi kekuasaan. Orde Lama menyebut kelompok “kontra Revolusi” terhadap mereka yang tidak sependapat dengan kebijakan pemerintah, Orde Baru menyebut dengan istilah “Anti-Pancasila”, “PKI” dan “Anti-Pembangunan”. Orde

Baru meluncurkan stigmasisasi untuk membuat masyarakat ketakutan. “Komando

Jihad” termasuk dianggap sebagai ekstrem kanan yang cenderung Islami dan

Komunis dianggap sebagai ekstrem kiri.50

Pada masa Orde Baru sekitar tahun 1976-1984 terjadi sejumlah aksi terror yang terkait dengan dengan suatu kelompok yang dikenal sebagai “Gerakan

Komando Jihad”, menurut penjelasan pemerintah, tujuan kelompok ini adalah membentuk “Dewan Revolusi Islam Indonesia”, menentang Pancasila dan UUD 1945 dan berkeinginan membentuk negara Islam Indonesia.

Ali Said, Jaksa Agung masa Orde Baru sempat menjelaskan tentang Gerakan

KOMJI pada acara dengar pendapat dengan Komisi III DPR akhir Juni 1977,

“Komando Jihad semakin popular. Dalam kegiatan bawah tanahnya KOMJI terkadang bernama “Jihad Fisabilillah”, “Pasukan Jihad”, “Barisan Jihad Sabilillah”,

50 Tim LIPI, Militer & Politik Kekuasaan Orde Baru. Soeharto di Belakang Peristiwa 27 Juli, (Jakarta: LIPI dan MIZAN, 2001), hal. 142. dan sebagainya. Ali Said juga mengatakan bahwa otak, pencetus dan perencana gerakan KOMJI adalah para mantan anggota dan pimpinan DI/TII.”51

Ali Said juga menjelaskan bahwa sesepuh “Komando Jihad” berada di Jawa

Barat. Dia menjadi Panglima Komando Wilayah Komandemen I, selain di Jawa

Barat, sesepuh KOMJI juga ada di Jawa Tengah. Pada 1976, mereka menetapkan wakil Panglima Komando Wilayah Besar dan 20 Komando Wilayah karesidenan.

Pada Maret 1977, mereka membentuk “Pasukan Jemaah Jihad”. Program jangka pendek mereka adalah menggagalkan Pemilu 1977, menumbuhkan keresahan sosial dan mengganggu umat beragama.52

Ada semacam kekhawatiran pemerintah Orde Baru terhadap kelompok yang dianggap akan mendongkel kekuasaaan penguasa, segala hal yang mengganggu stabilitas Orde Baru harus segera dimusnahkan karena stabilitas adalah titik pangkal untuk membangun Negara. Penguasa Orde Baru sengaja melindungi diri dari kemungkinan adanya ancaman, militer sebagai alat penguasa ketika itu sangat berperan dalam menemukan dan membasmi kelompok-kelompok yang menjadi ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan atau yang terkenal dengan istilah

ATHG.

Militer dengan cepat mengambil tindakan untuk menjaga kestabilan system

Orde Baru, beberapa kelompok yang muncul dengan mengatasnamakan semangat keagamaan ada yang dianggap sebagai ancaman terhadap kelangsungan system yang

51 Tim LIPI, Militer & Politik Kekuasaan Orde Baru. Soeharto di Belakang Peristiwa 27 Juli, hal. 103. 52 Tim LIPI, Militer & Politik Kekuasaan Orde Baru. Soeharto di Belakang Peristiwa 27 Juli, hal. 103. telah dibangun. Militer kemudian melindas Komando Jihad yang dianggap salah satu dari kelompok itu. Pelindasan ini menyangkut pembatasan ruang gerak atau penghilangan kemerdekaan kelompok tersebut.

Pengungkapan Komando Jihad menjelang Pemilu 1977 menimbulkan dugaan adanya kaitan erat antara maksud pengungkapan dan Pemilu. Ketika Sudomo menerangkan kepada tokoh-tokoh masyarakat tentang adanya kegiatan sekelompok orang yang ingin mengubah dasar Negara Indonesia pada 2 Februari 1977, sejumlah tokoh masyarakat langsung mempertanyakan kebenaran kelompok Komando Jihad.53

F. Tokoh-Tokoh Penting Gerakan Komando Jihad

1. Haji Ismail Pranoto

Ismail Pranoto lahir di Kampung Kedongo Desa Larangan, Brebes, Jawa

Tengah.54 Haji Ismail Pranoto yang juga dikenal dengan nama Hispran tinggal dengan istri keduanya yang dinikahi menjelang Pemilu 1977, ia tinggal bersama empat anaknya Kampung Kauman, Brebes Jawa Tengah.55

Di awal Revolusi ia berjuang di Jawa Tengah dan bergabung dengan gerakan

S. M. Kartoesoewirjo pada tahun 1948. Tetapi beberapa saat setelah “Imam Darul

Islam” itu tertangkap, ia menyerahkan diri dan akhirnya mendapat amnesti dari pemerintah.

53 Tim LIPI, Militer & Politik Kekuasaan Orde Baru. Soeharto di Belakang Peristiwa 27 Juli, hal. 113. 54 Irfan Suryahardi, Perjalanan Hukum di Indonesia, Sebuah Gugatan, (Yogyakarta: Ar- Risalah, 1982), hal. 26. 55 Tempo, 30 September 1978. Hispran dimata beberapa kenalannya di Brebes adalah seorang aktifis dalam kegiatan dagang dan dakwah Islam. Ia memang cukup berpengaruh di sana, meskipun tidak begitu pandai berpidato. Bahkan tiga tahun menjelang Pemilu 1971, ia menjadi seorang pemimpin Golkar setempat, dan kemudian pada tahun berikutnya ia menjabat menjadi pemimpin GUPPI, sebuah organisasi Islam dalam keluarga Golkar.

Dalam Pemilu 1971, Hispran sempat berkampanye untuk Golkar sampai akhirnya Golkar menang dalam Pemilu tersebut, tetapi meskipun demikian ia sendiri tidak sempat duduk sebagai anggota DPRD setempat ketika itu. Hispran tidak lagi aktif di Golkar pada pemilu 1977, ia memilih berdagang dan menghilang dari peredaran.56

Dalam kegiatan perdagangan itulah ia akhirnya bertemu dan berhubungan kembali dengan rekannya Danu Muhammad Hasan. Pada bulan Ramadhan 1

November 1976, Pangdam VI (Siliwangi) Himawan Sutanto menyelanggarakan silaturahmi dengan seluruh bekas DI/TII Jawa Barat. Dalam pertemuan itu Himawan

Sutanto menyatakan bahwa Hispran yang kembali menghilang harus disadarkan.

Ternyata secara diam-diam, Hispran juga hadir pada pertemuan itu, belum selesai

Panglima mengucapkan kalimat tersebut, seorang laki-laki tampak mengacungkan tangan di tengah para hadirin, “Saya Hispran, Pak,” kata laki-laki itu. Hal ini membuktikan bahwa kontak dan hubungan diantara mantan aktifis Darul Islam itu masih sangat erat.

Setelah muncul dalam silaturahmi di Bandung itu, Hispran kembali tak nampak batang hidungnya hingga kemudian ia nampak bertamu di rumah beberapa

56 Tempo, 30 September 1978. orang Islam di Jawa Tengah dan Jawa Timur, setelah itu kabarnya ia berangkat ke

Lampung sampai akhirnya ia tertangkap di sebuah desa Bondoringgit, kabupaten

Blitar.

Hispran ditangkap pada tanggal 8 Januari 1977 di desa Bendoringgit, Blitar,

Jawa Timur dan diadili di Pengadilan Negeri Surabaya sejak 5 April 1978 dan akhirnya divonis hukuman penjara seumur hidup pada Selasa 19 September 1978.

Mula-mula ia dituduh mengorganisir gerakan Komando Jihad untuk menghidupkan kembali DI/TII dan mendirikan Negara Islam.57

Menurut Majelis Hakim yang dipimpin oleh RM Soejono Koesoemosisworo,

Hispran dituduh membentuk wadah bagi mantan DI/TII dengan nama “Jemaah Bela

Diri” di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Karena wadah bentukan Hispran ini dianggap subversif maka pengadilan pun menerapkan pasal-pasal subversive seperti tercamtum dalam UU No. 11/PNPS/1963.

Tetapi ternyata mengherankan bahwa, Majelis Hakim sendiri menyatakan apa yang disebut Komando Jihad tidak ada di dalam gerakan terhukum. Ini cocok dengan keterangan Jaksa Agung Ali Said di depan Raker Komisi III (Hukum) DPR-RI akhir

Juni 1977. Ketika itu ia menyatakan bahwa “Komando Jihad” sebenarnya sebutan untuk bermacam-macam gerakan ekstrim yang dipimpin oleh bekas-bekas DI/TII.

Ali Said mengatakan bahwa gerakan ilegal yang terbentuk sejak 1970 itu bergerak terbatas di Jawa dan Sumatera saja dan ditokohi oleh bekas DI/TII Jawa

Barat. Ada beberapa macam-macam nama gerakan itu, misalkan: Gerakan Bawah

Tanah Komando Jihad Fisabilillah (DKI), Jihad Fillah, dan Jihad Fisabilillah (Jawa

57 Tempo, 30 September 1978. Barat), Pasukan Jihad (Sumatera Utara), Barisan Sabilillah (Jawa Timur). Tetapi menurut Ali Said seluruh gerakan tersebut belum terdapat tanda-tanda pergerakannya di bawah satu komando.58

Menurut Ateng Djaelani ketika bersaksi dalam persidangan, di kalangan bekas

DI/TII dikenal tiga orang sesepuh, yaitu Danu Muhammad Hasan, Ateng sendiri dan

Hispran. Dalam sebuah pertemuan di Bandung ketiga sesepuh itu bersepakat kembali ke Maklumat Komandemen Negara Islam Indonesia No. 1 yaitu membentuk

Komandemen Wilayah (Propinsi) dan Daerah (Karesidenan). Tahun 1976 Hispran diangkat menjadi Komandan Komandemen Pertempuran Wilayah Besar Jawa-

Madura. Hispran ditugaskan menghubungi beberapa orang di Jawa Tengah dan Jawa

Timur. Dalam persidangan Hispran mengakui hal itu, pertengahan 1976 delapan orang dari Jawa Timur dilantik oleh Ateng sendiri di rumah Danu di Bandung dan selanjutnya mereka pulang kampung ke Jawa Timur untuk mencari dan mengumpulkan rekan-rekan yang lain.

Dalam setiap pertemuan anggota ini mereka hanya menyebut-nyebut bahaya komunisme ketika itu, tetapi yang menjadi tujuan utama sebenarnya adalah menghidupkan kembali NII dan menggulingkan pemerintahan Soeharto ketika itu.

Ateng memaparkan tujuan gerakan ini di pengadilan dan ia juga mengakui bahwa dialah yang juga membentuk Komandemen Wilayah dan beberapa Komandemen

Daerah di Jawa Timur.

58 Tempo, 30 September 1978. 2. Abu Bakar Ba’asyir

Abu Bakar Ba’asyir lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 17 Agustus 1938, dari seorang ayah berdarah Yaman, Abud Ahmad Ba’asyir, atau nama lainnya Abu

Bakar Abud. Abu Bakar Ba’asyir menjalani pendidikan keislamannya pertama-tama sebagai santri di pondok pesantren Gontor, Ponorogo (1959-1963). Selanjutnya ia belajar di Universitas Al-Irsyad, Surakarta, mengambil jurusan dakwah. Perjalanan karier Ba’asyir dalam dunia gerakan Islam di mulai sejak tahun 1956 ketika ia menjabat ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) tingkat kecamatan, dan terpilih menjadi ketua GPII Pondok Pesantren Gontor.59

Dalam dunia kemahasiswaan Abu Bakar Ba’asyir adalah seorang aktivis

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Surakarta, menjabat sebagai ketua

Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI) Cabang Surakarta pada tahun 1966.

Ba’asyir kemudaian mendirikan Pesantren Al-Mukmin bersama rekannya Abdullah

Sungkar di Ngruki, Surakarta.

Dalam gerakan Islam radikal karier Ba’asyir sangat menonjol bersama

Abdullah Sungkar terutama di era tahun 1970-an, ia bersama Abdullah Sungkar telah muncul dalam barisan tokoh utama NII sejak periode 1976 di bawah komando tertinggi poros Adah Djaelani Tirtapraja. Konon Adah Djaelani sendiri yang membaiat Abu Bakar Ba’asyir dan Sungkar untuk masuk ke lingkaran NII. Dalam serangkaian sapu bersih terhadap kelompok-kelompok radikal Islam yang dilancarkan pemerintah Orde Baru pada pertengahan 1970-an yang terkenal dengan nama peristiwa Komando Jihad, nama Ba’asyir maupun Sungkar berada dalam daftar

59 M Zaki Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia, hal. 210. mereka yang ditangkap oleh aparat keaamanan. Ba’asyir dan Sungkar merupakan bagian dari sekitar 700 orang yang dianggap bagian dari kelompok Komando Jihad yang berhasil diringkus.

Abu Bakar Ba’asyir dan Abdullah Sungkar dikenai dakwaan telah melanggar

UU No. 11/PNPS/1963, yakni dakwaan yang umumnya ditujukan pada mereka yang dituduh sebagai anggota komplotan Anggota Jihad (KOMJI), yaitu menentang pemerintah dan ingin mengganti dasar Negara Pancasila. Persidangan itu mulai digelar setelah Ba’asyir meringkuk di penjara selama kurang lebih empat tahun sejak

1978.

Dari tuntutan 12 tahun yang diajukan, akhirnya Abu Bakar Ba’asyir dan

Abdullah Sungkar divonis 4 tahun lebih ringan, yakni 9 tahun penjara potong masa tahanan. Menjelang putusan dijatuhkan, majelis hakim menyatakan kesepakatannya dengan jaksa penuntut umum mengenai latar belakang kegiatan terdakwa (Ba’asyir dan Sungkar), yang menginginkan untuk membangun masyarakat yang berbeda dari yang telah digariskan dalam Pancasila dan UUD 45, yaitu ingin membentuk Negara

Islam Indonesia (NII). Setelah naik banding, akhirnya vonis yang dijatuhkan menjadi lebih ringan, yakni 4 tahun penjara.60

Selepas masa tahanan yang dijalaninya sejak 1978, Ba’asyir tinggal di

Malaysia. Ia ditahan dengan tuduhan terlibat Komando Jihad dan akan mendirikan

Negara Islam Indonesia. April 1982, Pengadilan Negeri Sukoharjo menvonis Abu

Bakar Ba’asyir dengan hukuman Sembilan tahun penjara, ia naik banding, Majelis

60 M Zaki Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi, hal. 212. hakim Pengadilan Tinggi Jawa Tengah pada Agustus 1982 memperingan hukumannya menjadi tiga tahun 10 bulan penjara. Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan penetapan Abu Bakar Ba’asyir sebagai tahanan luar, karena masa tahanannya sudah melebihi vonis. Kemudian pihak Jaksa naik kasasi, saat menunggu proses kasasi ini, Ba’asyir menghilang bersama Sungkar seniornya yang terlibat perkara yang sama. “Saya dan Pak Abdullah Sungkar dikejar-kejar Benny Moerdani,” katanya menyebut nama Panglima ABRI kala itu. “Kami menjadi target operasinya, karena itu kami lari ke Malaysia,” Ujarnya.61 Abu Bakar Ba’asyir pulang ke

Indonesia pada tahun 1999, “Setelah Soeharto dijatuhkan Allah,” katanya. Tapi belakangan justru pemerintah Malaysia mengincarnya. Ia dianggap buron karena diduga terlibat kumpulan Mujahidin Malaysia yang dianggap subversif di sana.

3. Abdullah Sungkar

Abdullah Sungkar nama aslinya adalah Abdullah bin Ahmad bin Ali Sungkar, lahir di Surakarta pada tahun 1937. Bapaknya bernama Ahmad Sungkar merupakan imigran dari Hadramaut, sebelum kepindahanya ke Indonesia ia pernah menikah dengan wanita arab dan sempat dikaruniai seorang anak. Setelah berada di Indonesia,

Ahmad Sungkar menikah dengan seorang wanita Jawa asal Jombang. Dari pernikahan inilah lahir Abdullah Sungkar, Abdullah Sungkar merupakan anak tunggal dari pasangan Arab-Jawa tersebut, karena itulah Sungkar di Indonesia tidak memiliki saudara, akan tetapi di Arab Saudi ia memiliki saudara seayah.

61 GATRA, 1 September 2010. Dari segi ekonomi orang tuanya hidup dalam kesederhanaan, tetapi aspek pendidikan agama sangat diperhatikan. Abdullah Sungkar kecil sangat beruntung, karena selain tinggal di lingkungan religius (kampung Arab), orang tuanya sangat menekankan masalah agama. Itulah sebabnya Abdullah Sungkar belajar formal mulai

Taman Kanak-Kanak sampai SLTA selalu di lembaga pendidikan Islam. TK dan SD sekolah di Al-Irsyad, SMP dilangsungkan di Modern Islamic School, adapun SMA di

Muhammadiyah.

Satau kelebihan yang dimiliki Abdullah Sungkar adalah, ia sangat cerdas dan tekun dalam belajar. Dengan kelebihan itu, Abdullah Sungkar dapat menguasai bahasa Arab dan Inggris dengan sangat baik. Karenanya walaupun setelah SMA tidak sempat melanjutkan ke perguruan tinggi, Abdullah Sungkar dapat belajar agama secara otodidak.

Sungkar menghabiskan masa mudanya dalam aktifitas gerakan kepemudaan.

Untuk itu ia mulai menempa diri pada organisasi kepemudaan. Pertama-pertama bergabung dengan Kepanduan Al-Irsyad, kemudian Gerakan Pemuda Islam Indonesia

(GPII). Sedang dalam politik praktis Abdullah Sungkar menjadi anggota partai

Masyumi.

Untuk memperluas jangkauan dakwahnya, tahun 1969 Abdullah Sungkar bersama kawan-kawannya mendirikan Radio Dakwah Islamiyah (Radis) di jalan

Gading Solo. Abdullah Sungkar juga memiliki forum pengajian yang dilaksanakan di

Masjid Agung Solo. Bermula dari kuliah Dhuhur di serambi Masjid itulah, di tahun

1971 Abdullah Sungkar bersama lima kawannya sepakat mendirikan pondok pesantren Al Mukmin yang lebih dikenal dengan Pondok Ngruki. Pondok ini merupakan salah satu wadah pengkaderan generasi muda Islam. Pesantren al Mukmin

Ngruki ini juga merupakan basis koordinasi gerakan dakwah kalangan aktifis yang kritis dan menonjol dalam menyuarakan semangat penegakan Islam maupun mengkritisi Hegemoni politik penguasa Orde Baru. Dengan arti lain pesantren Ngruki akhirnya menjadi milik para pejuang dan aktifis dakwah Islam, yang tidak saja memiliki jaringan di Jawa Tengah, tetapi Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan

Timur, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan berbagai daerah lain di Indonesia.

Pada tahun 1975, pemerintah menilai Radio Dakwah Islamiyah (Radis) dianggap membahayakan negara dan dilarang oleh Laksusda Jawa Tengah. Sejak saat itu Abdullah Sungkar banyak menemui berbagai kesulitan dalam menjalankan kehidupan normalnya, karena ia telah diposisikan sebagai musuh oleh rezim Orde

Baru.

Karir Abdullah Sungkar sebagai Mubaligh (Juru Dakwah) justru meningkat, apalagi setelah Abdullah Sungkar diangkat sebagai Ketua Pembantu Perwakilan DDII

(Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) Surakarta. Sejak itu berbagai kritikannya kepada rezim Orde Baru kian menjadi- jadi, dan tentu saja memerahkan telinga penguasa. Hasilnya, Abdullah Sungkar berkali-kali keluar masuk penjara.

Pada tahun 1977, selama satu bulan (12 Maret-29 April) Abdullah Sungkar ditahan Laksusda Jateng, karerna mensosialisasikan GOLPUT pada pemilu saat itu.

Sejak 10 November 1978 hingga 3 April 1982 (4 tahun), Abdullah Sungkar kembali mendekam di tahanan Laksusda Jateng, dengan tuduhan merongrong Pancasila dan pemerintahan yang sah, melalui dakwah-dakwahnya yang tegas. Bahkan Abdullah Sungkar pun dituduh hendak mendirikan Negara Islam melalui berbagai dakwahnya itu.62

Keluar dari penjara bukannya berhenti melakukan dakwah yang menyinggung pemerintah, bahkan ia semakin keras dalam mengkritik penguasa orde baru, apalagi tahun 1982-1985, ada dua peristiwa yang sangat menggetirkan umat Islam, yaitu pembantaian Umat Islam Tanjung Priok dan pengasastunggalan pancasila.

Memperhatikan sepak terjangnya, tahun 1985 di komplek pesantren Al

Mukmin Ngruki Solo, di pagi buta puluhan tentara menggeledah rumah Abdullah

Sungkar dan lingkungan sekitar, akan tetapi tidak ditemukan orang yang dicari, sebab malam harinya Abdullah Sungkar telah meninggalkan rumah untuk kemudian Hijrah ke Malaysia. Di negeri Jiran, Abdullah Sungkar berganti nama dengan Abdul Halim, ia tinggal di kampung Air Bong, Serting tengah, Batu ulin, Negeri Sembilan.

Di tempat persembunyianya ini, jiwa Abdullah Sungkar sebagai Da’i selalu terpanggil untuk menyiarkan agama, karena itu walaupun dihimbau oleh banyak orang untuk sementara menghentikan kegiatan dakwahnya demi keselamatan, tidak dipedulikannya. Abdullah Sungkar bahkan sempat mendirikan pesantren yang diberi nama “Ma'had Tarbiyah Islamiyah Lukman al Hakim” di Johor Malaysia.

Pelarian Abdullah Sungkar ke Malaysia ditemani oleh Abu bakar Ba’asyir, pelarian ini dilakukan terpaksa untuk menghindari penangkapan kembali. Di

Malaysia dua pelarian politik itu mendapatkan tempat berlindung yang relatif aman.

Para pelarian politik Islam dari Indonesia yang berhimpun di Negeri itu diberi

62 Heri Setiawan, “Mengenal Ustadz Abdullah Sungkar”, artikel diakses pada tanggal 09 Januari 2011 dari http://risalahjihad.blogspot.com/2011/0901/. kesempatan untuk menyebarluaskan aktifitas dakwahnya, termasuk mendirikan dan mengelola pesantren. Tempat dimana Ba’asyir dan Sungkar bermukim di Malaysia itu, lama-kelamaan menjadi semacam kampus bagi berkumpulnya para aktivis Islam radikal, baik yang berasal dari orang-orang Indonesia yang berada di sana, maupun warga Negara Malaysia. Lembaga pendidikan Ma’had Ittiba’us Sunnah dan Pondok

Pesantren Lukmanul Hakim yang dikelolanya menjadi sarana indoktrinasi dan kaderisasi. Namun bersamaan dengan dilangsungkannya operasi-operasi

“antiterorisme” yang digencarkan pemerintah Malaysia, pesantren itu ditutup karena dianggap menjadi sarana pendidikan dan kaderisasi kelompok Islam radikal.63

G. Kronologi Gerakan Komando Jihad Menentang Pancasila Sebagai Asas

Tunggal

Kasus Gerakan Komando Jihad mulai terungkap ketika tertangkapnya Haji

Ismail Pronoto atau lebih dikenal dengan nama Hispran yang dianggap tokoh

Komando Jihad Jawa Timur pada 19 September 1978 divonis hukuman penjara seumur hidup. Dia ditangkap 8 Januari 1978 di Bondoringgit, Blitar dan baru mulai diadili sejak 5 April 1978 oleh Pengadilan Negeri Surabaya.64

Hispran dituduh mengorganisasi gerakan Komando Jihad untuk menghidupkan kembali DI/TII dan mendirikan Negara Islam. Ia juga dituduh membentuk wadah bagi mantan anggota DI/TII di Jawa Timur dan Jawa Tengah dengan nama “Jemaah Bela Diri”. Karena dinggap melakukan tindakan subversi,

63 M Zaki Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi, hal. 213. 64 Tim LIPI, Militer & Politik Kekuasaan Orde Baru, hal.107. pengadilan menerapkan pasal-pasal subversi yang termuat dalam UU No.

11/PNPS/1963. Persidangan terhadap Hispran ini dipimpin oleh Majelis Hakim yang diketuai oleh R.M. Soejono Koesoemosisworo. Tetapi ada sebuah keganjilan dalam acara persidangan, ternyata Majelis Hakim membuat kesimpulan akhir bahwa Haji

Ismail Pranoto tidak terlibat dalam gerakan Komando Jihad.

Dari keputusan hakim tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa kasus KOMJI

Jawa Timur belum terungkap, karena Hispran sendiri yang pada awalnya dituduh sebagai penggerak utama gerakan akhirnya tidak terbukti terkait dengan gerakan.

Walaupun demikian, selama persidangan Hispran yang berlangsung 25 kali, terungkap berbagai hal yang berhubungan dengan Kasus KOMJI. Salah satu yang menarik adalah kesaksian dari Ateng Djaelani, 55 tahun, tokoh mantan anggota

DI/TII asal Garut. Menurut Ateng dikalangan mantan tokoh anggota DI/TII dikenal 3 orang sesepuh, yaitu Danu Muhammad Hasan, Ateng Djaelani, dan H. Ismail Pranoto

(Hispran). Dalam satu pertemuan mereka bertiga sepakat kembali ke “Maklumat

Komendemen Negara Islam Indonesia” No. 1, yakni membentuk Komandemen

Wilayah (Propinsi) dan Daerah (Karesidenan). Kemudian pada 1976, Hispran diangkat sebagai Komandan Komandemen Pertempuran Wilayah Besar Jawa-

Madura.65

Ateng Djaelani dalam kesaksiannya mengatakan bahwa tujuan utama dari gerakan mereka adalah menghidupkan kembali gerakan “Negara Islam Indonesia”

(NII) dan ada upaya penggulingan terhadap kekuasaan Orde-Baru yang dipimpin

Soeharto. H. Ismail Pranoto sendiri ketika itu ditugaskan untuk menghubungi

65 Tim LIPI, Militer & Politik Kekuasaan Orde Baru, hal. 108. beberapa orang di Jawa Tengah dan Jawa Timur dan Ateng melantik delapan orang dari Jawa Timur untuk masuk sebagai anggota kelompok ini yang bertempat di rumah

Danu di Bandung, Jawa Barat. Pada awalnya gerakan mereka hanya berupa jamaah dan belum mempunyai nama. Kesaksian Ateng ini membenarkan bahwa Hispran adalah tokoh penting di balik gerakan Komando Jihad pada era Orde Baru.

Akan tetapi ada bantahan yang dilontarkan oleh Hispran sendiri terhadap kesaksian Ateng tersebut, Hispran menuduh Ateng sengaja mengarang kesaksiannya itu. Hispran juga berani mengatakan bahwa Danu dan Ateng sebenarnya adalah orang pemerintah. “yang satu mendapat gaji dan mobil, yang satu menjadi penyalur minyak tanah untuk seluruh Jawa Barat,” kata Hispran dalam sidang 8 Mei 1978.66

Keterkaitan pihak penguasa dengan gerakan Komando Jihad diperjelas dengan pengakuan Haji Ismail Pranoto yang pernah berkunjung ke rumah Danu di

Senopati dan ia mengatakan Senopati adalah kantor Bakin tempat Danu bekerja. Ada skenario yang dibuat oleh pihak penguasa untuk menyudutkan kelompok Islam, dalam hal ini Bakin sebagai alat penguasa Orde Baru ketika itu bertugas mengawasi gerakan atau kelompok-kelompok yang cenderung membahayakan Negara.

Kasus pengadilan Hispran penuh adegan yang menimbulkan kecurigaan bahwa Komando Jihad adalah suatu rekayasa politik penguasa Orde Baru dengan alatnya Bakin. Posisi Ateng di persidangan juga sangat menimbulkan berbagai pertanyaan. Siapakah sebenarnya Ateng Djaelani tersebut?, Hispran sendiri juga pernah merasa tertipu karena ia mengaku menjadi korban diplomasi dari Ateng.

66 Tempo, 30 September 1978. Kasus Komando Jihad sedikit mereda setelah tokoh sentralnya Hispran yang akhirnya dijatuhi hukuman seumur hidup. Kemudian pada tahun 1980 kasus

Komando Jihad marak lagi dengan nama teror Warman. Kelompok Warman itu mulai terkuak sejak Pangkowilhan II, Letjen Widjojo Sujono memberi tahu ulama dan para cendekiawan Islam Jawa Timur bahwa Pemerintah tidak akan lagi menggunakan istilah “Komando Jihad” untuk menyebut kelompok Warman. Istilah yang dipakai pemerintah adalah “Kasus Teror Warman”. Hal ini menimbulkan kecurigaan kembali bahwa ada tujuan tertentu dalam penggunaan istilah “Komando Jihad”.

Warman adalah mantan anggota DI/TII Kartosoewirjo yang pindah ke

Sumatra Selatan. Di tempat itu, antara 1976-1978, Warman melakukan 16 aksi perampokan dan pembunuhan. Sejak 1979, ia mengalihkan operasinya ke Jawa

Tengah dan Jawa Timur. Operasi yang dilakukan Warman dan kelompoknya adalah pembunuhan terhadap Parmanto, Pembantu Rektor I Universitas Negeri Sebelas

Maret, 11 Januari 1979 dan pembunuhan mahasiswa IAIN Yogyakarta, Hasan Bauw.

Dengan nama samaran Musa, Warman dan dua anggota kelompoknya tertangkap di

Malang 4 April 1979 setelah mereka gagal merampok gaji IKIP Malang.67

Setelah mereka tertangkap, kelompok Warman jarang disebut dalam wacana publik. Tindakan secara hukum dengan memproses kelompok Warman ke pengadilan tidak terjadi. Dua tahun kemudian, terjadi operasi penyergapan terhadap Warman, di

Soreang Kolot, Bandung 23 Juli 1981. Dalam penyergapan itu Warman tewas

67 Tim LIPI, Militer & Politik Kekuasaan Orde Baru, hal. 110. tertembak. Di tempat persembunyiannya ditemukan sebuah granat tangan, sepucuk pistol FN 45 kaliber 9 mm, dua masin, 97 butir peluru dan uang Rp. 18.500,00.68

Sebelum penggerebekan di Soreang yang menewaskan Warman tersebut, kelompok itu pernah digerebek di desa Kadipaten, Kecamatan Ciawi, Tasikmalaya.

Pada waktu itu Warman berhasil meloloskan diri tetapi Ruch (55 tahun) anak buahnya tertembak mati serta Djuh Sun tertangkap.

Dalam berbagai operasinya, aparat keamanan berhasil menangkap dan menahan anak buah Warman. Pada April 1981, 49 orang anggota Warman yang ditahan aparat dibebaskan dalam suatu upacara yang dihadiri ketua MUI, K. H. E.Z.

Muttaqien. Mereka yang dilepas ini kemudian memberikan informasi yang dapat digunakan oleh aparat untuk melacak keberadaan Warman dan sampai akhirnya bisa ditemukan dan ditembak mati.

Kelompok lain yang dianggap ekstrim oleh penguasa Orde Baru selain

KOMJI dan Gerakan Warman adalah “Kelompok Imran”. Pemimpinnya adalah

Imran bin Muahammad Zein, kelompok ini menamakan dirinya sebagai “Dewan

Revolusi Islam Indonesia” dan bertujuan mendirikan Negara Islam Indonesia. Cara- cara yang digunakan kelompok ini cenderung tidak Islami karnanya banyak kalangan

Islam yang meragukan kelompok ini.

Ulah kelompok Imran yang cukup mendapatkan publikasi adalah penyerangan

Pos Poisi 8606 Pasir Kaliki, Cicendo, Bandung, 11 Maret 1981 dan pembajakan pesawat Garuda, DC-9, Woyla, 28-31 Maret 1981. Bahkan pada kasus Woyla, mereka mendapatkan publikasi internasional. Kelompok Imran menewaskan tiga

68 Tim LIPI, Militer & Politik Kekuasaan Orde Baru, hal. 110. Polisi ketika mereka menyerang Pos Polisi Cicendo. Dalam penyerangan mendadak di tengah malam buta itu, kelompok Imran berhasil membebaskan sejumlah tahanan dan merampas beberapa pucuk senapan. Para penyerang kemudian berhasil ditangkap oleh pihak aparat keamanan.69

Tidak lama setelah penyerangan itu, kelompok Imran membajak pesawat

Garuda yang tengah dalam penerbangan domestik. Dalam penerbangan Jakarta-

Medan, pesawat Garuda DC-9 Woyla dibajak. Sesuai jadwal penerbangan Jakarta-

Medan tersebut stop over di Palembang. Selepas tinggal landas dari bandara udara

Talangbetutu, Palembang, pesawat naas itu dibajak. Para pembajak meminta pilot langsung menerbangkan pesawat itu ke Kolombo, Sri Lanka. Permintaan itu tidak dapat dipenuhi mengingat persediaan bahan bakar yang hanya cukup untuk penerbangan domestik. Pilot menawarkan untuk mendaratkan pesawat di bandara terdekat di Singapura, tetepi pembajak menolaknya. Akhirnya disepakati pesawat mendarat di Penang, Malaysia. Dari Penang, pesawat Woyla itu terbang lagi dan mendarat di Don Muang, Bangkok, Thiland.

Dalam pembajakan itu, kelompok Imran menuntut pemerintah untuk segera membebaskan rekan-rekan mereka yang ditahan karena terlibat kasus penyerangan

Pos Polisi Cicendo, teror Warman dan juga para tahanan kasus KOMJI juga harus dibebaskan. Kemudian pemerintah Indonesia diminta untuk menerbangkan para tahanan itu ke daerah aman di luar wilayah Indonesia yang belum ditentukan.

Pembajak akan meledakkan pesawat beserta sandera yang ada di dalamnya apabila

69 Tim LIPI, Militer & Politik Kekuasaan Orde Baru, hal. 112. tuntutan mereka tidak dipenuhi, mereka juga meminta tuntutan tambahan berupa uang sebesar 1,5 juta dolas AS.

Pihak militer Indonesia mengajak negosiasi kepada para pembajak yang berjumlah lima orang itu, dengan tujuan mengulur waktu untuk merencanakan sebuah penyergapan dan pembebasan terhadap Sandera. Setelah berusaha mengulur waktu akhirnya militer berhasil melaksanakan Operasi penyergapan dibawah komando

Jenderal (Purn.) L.B. Moerdani tepatnya pada tanggal 31 Maret 1981.70

70 Tim LIPI, Militer & Politik Kekuasaan Orde Baru, hal.113. BAB IV

IDEOLOGI DAN GERAKAN KOMANDO JIHAD

A. Ideologi

Ditemukan dimensi yang unik seputar kemunculan doktrin-doktrin radikal dalam diri gerakan-gerakan Islam pada masa Orde Baru, jalinan interaksi intelijen dengan eksponen bekas anggota DI/TII yang sangat mempengaruhi ideologi Gerakan

Komando Jihad ketika itu.

Ungkapan istilah Komando Jihad sejauh yang dapat diketahui pada awal mulanya justru dimunculkan oleh aparat pemerintah untuk menyebutkan beberapa kejadian atau peristiwa sepanjang tahun 1976 sampai dengan 1980 yang melibatkan kelompok muslim radikal.

Dalam pernyataan Sudomo sebagai Pangkopkamtib ketika itu dijelaskan bahwa lingkup gerakan Komando Jihad meliputi berbagai daerah, mulai berbagai peristiwa yang berlangsung di Medan, Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, sampai

Jawa Timur. Dapat dimengerti bahwa sebenarnya kelompok ekstrem yang disebut

Komando Jihad atau yang terkenal dengan Komji bersifat sangat cair. Namun demikian berbagai peristiwa yang dianggap melibatkan kelompok ini, baik yang berupa perampokan, pengeboman, pembunuhan, dan berbagai tindakan teror, meskipun dilakukan oleh orang-orang berbeda, dianggap memiliki tujuan yang sama yakni mendirikan Negara Islam Indonesia.71

71 M Zaki Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi, hal. 76. Penulis menemukan motif gerakan yang berbeda dari gerakan Komando Jihad ini dibanding dengan gerakan-gerakan Islam yang muncul masa pemerintahan

Soekarno, ada pergeseran motifasi dari cita-cita mewujudkan Negara Islam sampai perseteruan internal dari tokoh-tokoh Komji sendiri. Mengingat motivasi dan ideologi terkadang tersembunyi atau sengaja disembunyikan di balik gerakan, maka penulis akan mencoba menganalisa dari sisi penggerak utama gerakan dan motivasi akan terungkap ketika dia menjelaskan tujuan dan sebab utama dia menggerakkan gerakan ini.

Motif gerakan Komando Jihad bisa dilihat dari hasil persidangan Haji Ismail

Pranoto sebagai tokoh sentralnya. Dalam persidangan ini Ateng Djaelani memberikan kesaksian bahwa Hispran dengan Komando Jihadnya murni bertujuan menghidupkan kembali Negara Islam Indonesia (NII) dan ingin menggulingkan pemerintah

Soeharto,72 hal ini membuktikan bahwa gerakan ini adalah murni gerakan Islam yang cenderung radikal.

Pergeseran idealisme gerakan Komji bisa dilihat dari bantahan Hispran terhadap kesaksian Ateng Djaelani, Hispran mengatakan bahwa keterangan Ateng adalah karangan saja. Bahkan menurutnya Danu dan Ateng adalah orang pemerintah.

“Yang satu mendapat gaji dan mobil dan yang satu menjadi penyalur minyak tanah untuk seluruh Jawa Barat,” kata Hispran dalam sidang 8 Mei 1978.73

Ungkapan senada disampaikan oleh Abu Jibril aktifis Majelis Mujahidin

Indonesia dan sekaligus sahabat dekat tokoh Komando Jihad Abu Bakar Ba’asyir, ia

72 Proses persidangan Haji Ismail Pranoto bisa di lihat di Tempo, 30 September 1978. 73 Tim LIPI, Militer & Politik Kekuasaan Orde Baru, hal.108. mengatakan bahwa kasus gerakan Komando Jihad tidak lain adalah rekayasa penguasa Orde Baru dengan menggunakan kekuatan intelijennya, semua rekayasa ini bertujuan untuk mendeskriditkan kekuatan Islam ketika itu, mengingat pemilihan

Umum akan diselenggarakan. Ini juga untuk mengacaukan dukungan warga terhadap gerakan-gerakan Islam ketika itu dengan menebar stigma-stigma negatif terhadap gerakan Islam yang muncul.74

Haji Ismail Pranoto yang pernah berkunjung ke rumah Danu di Senopati dan ia mengatakan Senopati adalah kantor Bakin tempat Danu bekerja. Ada skenario yang dibuat oleh pihak penguasa untuk menyudutkan kelompok Islam, dalam hal ini Bakin sebagai alat penguasa Orde Baru ketika itu bertugas mengawasi gerakan atau kelompok-kelompok yang cenderung membahayakan Negara.

Proses pengadilan Hispran penuh adegan yang menimbulkan kecurigaan bahwa Komando Jihad adalah suatu rekayasa politik penguasa Orde Baru dengan alatnya Bakin. Posisi Ateng di persidangan juga sangat menimbulkan berbagai pertanyaan.

Kesaksian Haji Ismail Pranoto dalam persidangan ini membuktikan bahwa ada pergeseran nilai dari gerakan Komando Jihad. Dari gerakan yang bermotiv Islam murni ke gerakan pragmatis para eksponen DI/TII yang bergabung dengan pihak penguasa Orde Baru. Hal ini diperkuat oleh kesaksian tokoh-tokohnya yang merasa dibina oleh Bakin dan penguasa Orde Baru ketika itu.75

74 Wawancara Pribadi dengan Abu Jibril (Majelis Mujahidin Indonesia). 75 Kesaksian para eksponen DI/TII bisa di lihat di Tempo, 30 September 1978. B. Gerakan

Gerakan Kelompok Komando Jihad cenderung bersifat radikal, berbagai teror dilakukan dalam gerakan kelompok ini, teror yang dilakukan gerakan ini antara lain, berbagai peledakan di Bukittinggi, Padang dan Medan.

Penulis akan coba mendiskripsikan tiga dari sejumlah kegiatan teror selama

1976-1981, sebagaimana penjelasan Pangkopkamtib Sudomo yang dimuat di majalah

Panji Masyarakat, No. 323, 1981, hal. 11. Kegiatan teror ini meliputi:

1. Komando Jihad H. Ismail Pranoto (1976)

2. Komando Jihad Teror Warman (1978-1980)

3. Gerakan Imran, Dewan Revolusioner Islam Indonesia Pimpinan Imran (1980-

1981)

Menurut penjelasan Sudomo, Komando Jihad Ismail Pranoto ketika itu melakukan percobaan peledakan R.S. Baptis Bukittinggi pada tanggal 11 Oktober

1976, melakukan aksi peledakan Masjid Nurul Iman di Padang, pada tanggal 11

November 1976, dan bertanggung jawab atas aksi teror dan peledakan Gereja Eka

Budi Murni, Gereja Methodis, Restoran Apollo dan Bioskop Riang, di Medan, pada tanggal 25 dan 26 Desember 1976. Semua aksi teror dan gerakan mereka bertujuan untuk mendirian Negara Islam Indonesia.

Pada kasus Komando Jihad Teror Warman, Sudomo menjelaskan gerakan ini melakukan aksi teror yang meliputi: Pembunuhan Djadja Soedjadi, sebagai eksponen dari gerakan DI/TII di Jawa Barat pada tahun 1978, aksi pembunuhan atas Parmanto

Pembantu Rektor I UNS pada tanggal 11 Januari 1979, aksi pembunuhan terhadap

Hasan Bauw, mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga, pada 19 Januari 1979, Kelompok Warman juga merencanakan pembunuhan atas hakim dan jaksa yang mengadili kasus

H. Ismail Pranoto pada tahun 1979, aksi perampokan gaji pegawai IAIN Yogyakarta, pada bulan Februari 1979, melakukan aksi perampokan uang belanja pegawai IKIP

Malang pada bulan Maret 1979, melakukan segenap tindakan teror dan aksi perampokan toko emas di Tasikmalaya, Subang dan Bandung dari tahun 1979 sampai tahun 1981, dan melakukan aksi pembunuhan terhadap 2 anggota Polri ketika penangkapan pada tanggal 22 Agustus 1980. Semua gerakan dan aksi teror yang dilakukan oleh gerakan Warman tersebut juga bertujuan untuk mendirikan Negara

Islam.

Pada kasus Gerakan Imran, Dewan Revolusioner Islam Indonesia Pimpinan

Imran pada tahun 1980 sampai 1981, Sudomo memaparkan sejumlah aksi teror yang dilakukan oleh gerakan ini yaitu: aksi penyerangan Kosekta 8606, Cicendo, Bandung, aksi ini menewaskan 3 anggota Polri dan mereka mencuri beberapa senjata, teror ini dilakukan pada tanggal 11 Maret 1981, aksi pembajakan Pesawat Terbang Garuda

DC-9 oleh 5 orang teroris yang menyebabkan 2 orang tewas: Pilot dan Pasukan khusus, pada tanggal 28 Maret 1981. Menurut keterangan Sudomo Gerakan Imran ini juga bertanggunga jawab atas tindakan teror dan kekerasan atas jamaah-jamaah di masjid sekitar Bandung pada sekitar bulan Juni November 1980, dan percobaan pembunuhan terhadap Dr. Samsudin, ketua Pengurus Masjid Istiqomah Bandung, pada tanggal 20 Februari 1981, juga bertanggung jawab atas percobaan pembakaran sebuah hotel besar di Jakarta, pada tanggal 29 Desember 1980. Semua aksi teror yang dilakukan baik Gerakan Komando Jihad, Teror Warman dan Gerakan Imran memiliki tujuan yang sama yaitu berdirinya Negara Islam Indonesia. Dalam penjelasan resmi pemerintah, teror yang dilakukan gerakan Haji Ismail

Pranoto, yang sebagian besar terjadi di wilayah Sumatera sekitar tahun 1976, dan aksi

Teror Warman yang berlangsung di Jawa Barat dan Jawa Tengah sepanjang tahun

1978, 1979, dan 1980, mendapatkan sebutan yang sama sebagai kelompok Gerakan

Komando Jihad. Dalam kronologi yang termuat dalam penjelasan pemerintah setidaknya terdapat tiga buah kejadian yang diduga melibatkan kelompok pimpinan

Haji Ismail Pranoto, yakni: pertama, percobaan peledakan Rumah Sakit Baptis di

Bukittinggi, tanggal 11 Oktober 1976; kedua, peledakan Masjid Nurul Iman di

Padang, tanggal 11 November 1976; dan ketiga, sejumlah peledakan di Medan yang meliputi Gereja Eka Budi Murni, Gereja Methodis, Restoran Apollo dan Bioskop

Riang serta penyebaran selebaran gelap “Momok Revolusi” tanggal 25-26 Desember

1976. Pada bagian terakhir dikemukakan juga bahwa dalam usahanya mencari pelaku kejadian itu maka pemerintah menangkap Haji Ismail Pranoto, yang kemudian diadili di Surabaya pada akhir tahun 1978, dan dijatuhi hukuman seumur hidup.76

Gerakan teror yang dilakukan oleh Kelompok Warman cs yang juga menamakan diri sebagai Komando Jihad, pemerintah merinci 13 peristiwa teror, baik pembunuhan maupun perampokan, yang diduga dilakukan oleh kelompok ini. Di antara beberapa aksi teror yang diungkapkan pemerintah adalah: pertama, pembunuhan terhadap Djadja Soedjadi yang merupakan bekas anggota DI/TII di

Jawa Barat tahun 1978; kedua, pembunuhan terhadap Pembantu Rektor I Universitas

Negeri Sebelas Maret, Parmanto pada 11 Januari 1979 yang dilakukan oleh 4 anggota

76 Semua aksi teror gerakan radikal pada masa Orde Baru bisa di lihat di Panji Masyarakat, No. 323, 1981, hal. 11., sebagaimana dikutip dalam M Zaki Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi, hal. 75. kelompok Warman; ketiga, pembunuhan yang menimpa Hassan Bauw, seorang mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga pada 19 Januari 1979. Keterangan berikutnya adalah mengenai bebarapa aksi penggarongan dan perampokan yang dilakukan kelompok ini yang terjadi di beberapa tempat di Jawa Timur, Yogyakarta, dan Jawa Barat.

Dalam keterangan resmi pemerintah disebutkan juga bahwa pada tanggal 4

April 1979 telah tertangkap salah seorang pelaku teror yang bernama Musa, yang sesungguhnya bernama Warman atau Marman. Dalam penjelasan itu disebutkan bahwa Warman atau Marman adalah seorang penjahat yang berasal dari Jawa Tengah yang bergabung dengan DI/TII Kartosoewirjo yang sudah ditumpas. Di tempat barunya di sebuah lokasi transmigrasi di Sumatera Selatan, ia melanjutkan aksi-aksi terornya.

Paparan Pangkopkamtib Sudomo yang bersifat kronologis tersebut tidaklah cukup memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai berbagai dimensi yang terdapat dalam kelompok ekstrem itu, termasuk apa sebenarnya yang merupakan motif dan landasan bagi gerakan itu dalam melakukan aksi-aksinya. Pada kenyataannya skala gerakan radikalisme Islam jauh lebih luas dari apa yang dijelaskan pemerintah. Selama periode tersebut, pemerintah melakukan beberapa penangkapan dan proses hokum terhadap orang-orang yang diduga terkait dengan

Kelompok Warman yang juga dinamakan Komando Jihad itu.77

Gerakan yang menamakan diri kasus Teror Warman atau Jamaah Islamiyah atau dengan nama lain yang merupakan gerakan illegal tanpa izin yang bertujuan

77 M Zaki Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi, hal. 78. mendirikan Negara Islam Indonesia dan berlakunya hokum Islam secara positif di

Indonesia dengan menggantikan atau mengubah dasar Negara Republik Indonesia

Pancasila dan UUD 1945 dengan cara kekerasan dan senjata.

Muncul beberapa interpretasi mengenai apa sebenarnya yang ada di balik munculnya berbagai kejadian radikalisme Islam, baik Komando Jihad, Teror

Warman, maupun Gerakan Imran. Dalam penjelasan pemerintah yang disampaikan

Sudomo dinyatakan bahwa kelompok-kelompok yang disebutkan sebagai pelaku berbagai teror itu murni merupakan kelompok yang memiliki tujuan politis untuk mendirikan Negara berdasarkan Agama, dan bahwa mereka memiliki kesamaan pendapat, khususnya dalam melihat segi-segi negatif dari hasil usaha pembangunan, seperti kemaksiatan, dekadensi dan demoralisasi. Pada bagian penutup penjelasan, dia menampik isu-isu yang berkembang di kalangan masyarakat luas mengenai peranan pemerintah yang justru merekayasa dan membuat gerakan-gerakan teror tersebut dengan tujuan memojokkan salah satu agama atau kelompok tertentu.

Kecurigaan bahwa pemerintah ikut bermain dalam kemunculan berbagai gerakan radikal Islam tidak dapat dihilangkan begitu saja. Beberapa tokoh muslim menafsirkannya dalam perspektif yang berbeda. Ada analisa yang mengatakan bahwa latar belakang dibali pembongkaran suatu persekongkolan anti pemerintah yang dinamakan Komando Jihad pada awal tahun 1977, selain bahwa tindakan itu dimaksudkan untuk menangkap sejumlah politisi Islam yang tidak disukai menjelang pelaksanaan pemilu 1977, tetapi juga, lebih luas lagi hal tersebut tampaknya untuk mengingatkan kalangan muslim politik tentang pandangan Angkatan Bersenjata terhadap mereka sebagai pendukung fanatik Negara Islam.78

Pemuka muslim garis keras berbendapat bahwa peristiwa radikalisme itu dilihat secara kritis lebih sebagai Proyek Operasi Khusus (Opsus), sebagai lembaga illegal atau tidak resmi yang memiliki kewenangan sangat luas, Opsus ini di bawah kendali Ali Moertopo. Natsir juga berpandangan bahwa orang-orang yang terlibat dalam beberapa kejadian teror tersebut merupakan bekas aktivis DI/TII yang direkrut dan dibina oleh Ali Moertopo, termasuk didalamnya Haji Ismail Pranoto yang terlibat peristiwa Komando Jihad. Isu yang dipakai agen-agen Ali Moertopo diantaranya adalah bahwa kaum komunis akan come back dan oleh karena itu para tokoh dan bekas tokoh DI/TII ditawari persenjataan untuk melawan kaum komunis tersebut.79

Jenderal Soemitro, yang ketika itu sebagai mantan Pangkopkamtib dan merupakan rival politik Ali Moertopo pada tahun 1970-an, menjelaskan secara lebih gamblang adanya keterkaitan Ali Moertopo dengan para bekas anggota DI/TII. Ali berhasil meyakinkan kelompok Islam radikal dengan memberikan janji-janji manis bahwa apabila dirinya berhasil menang, maka pintu untuk mendirikan sebuah Negara

Islam akan dibuka lebar. Dinyatakan oleh Soemitro bahwa:

Ali Moertopo telah lama menjalin kerja sama dengan sejumlah bekas tokoh

DI/TII. Garis kebijakan Ali Moertopo untuk mendekati para bekas DI/TII itulah yang menimbulkan permasalahan di dalam tubuh bakin, setelah ikut Opsus, para bekas DI

78 Panji Masyarakat, No. 323, 1981, hal. 11., sebagaimana dikutip dalam M Zaki Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi, hal. 76. 79 David Jenkins, Soeharto and His Generals: Indonesian Miitary Politics 1975-1983 (Ithaca: Cornell Modern Project, 1984), hal. 57. biasanya mendapat suplai keuangan secara rutin dari Opsus, maklum mereka umumnya hidup miskin. Opsus rupanya selalu memelihara ilusi mengenai kemungkinan mendirikan Negara Islam. Di mata para bekas DI, bila Ali Moertopo menang maka ia akan mendirikan Negara Islam. Tokoh-tokoh DI percaya betul atas

“ucapan” Ali Moertopo tersebut.80

Akhirnya Ali Moertopo dengan janji-janjinya berhasil memikat para eksponen bekas anggota DI/TII sehingga bersedia memberikan dukungan penuh kepada Opsus.

Katika itu santer diisukan bahwa Ali Moertopo berambisi kuat untuk menduduki jabatan Wakil Presiden dan selanjutnya merebut jabatan puncak sebagai Presiden.

Dalam pengadilan Haji Ismail Pranoto di Surabaya terungkap bahwa Ali

Moertopo yang memberikan perintah, mensuplai dana, dan berbagai fasilitas lain kepada Hispran untuk membentuk Front Pancasila anti Komunis. Ali Moertopo dengan Opsusnya sengaja merancang strategi untuk menjebak Hispran dan para bekas

DI/TII lainnya.

Menurut Jenkins dalam bukunya Soeharto and His Generals: Indonesian

Miitary Politics, menyatakan bahwa, petinggi Militer menyatakan pendapat yang sama tentang Ali Moertopo tersebut, demikian halnya Jendral Soemitro memiliki kecurugaan yang serupa. Ia menjelaskan bahwa taktik seperti ini dalam dunia intelijen lazim dinamakan sebagai taktik “pancing dan jarring”. Unsur permainan intelijen, menurut Soemitro juga kental sekali terlihat pada kasus pembajakan

80 Heru Cahyono, Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 74, (Jakarta: Sinar Harapan, 1998), hal. 195. pesawat terbang DC-9 Woyla yang dilakukan oleh Jemaah Imran tahun 1981.

Dikatakan oleh Soemitro:

Saya dapat informasi bahwa Woyla adalah rekayasa Opsus, lagi-lagi melalui teori “pancing dan jarring” memakai tokoh Imran yang aslinya bernama Amran.

Imran ini selama lima tahun dibiayai ke Libya untuk mempelajari ilmu terorisme dan tentang agama. Kemudian ia tiba-tiba muncul sebagai tokoh NII. Waktu tertangkap dari mulut Imran meluncur misi apa yang dibawanya.81

Mesipun berbagai analisis yang bermunculan kebanyakan mengarah kepada

“operasi intelijen” sebagai penggerak semua peristiwa tersebut, namun tidak berarti bahwa fenomena pemikiran dan keinginan beberapa gerakan Islam untuk menawarkan alternatif dasar Negara lain, yakni Islam, hanya sekedar isapan jempol belaka. Salah satu alasannya adalah bahwa dalam masa dimana operasi intelijen kurang popular, ternyata beberapa aksi yang hampir serupa meskipun dalam skala relatif kecil juga bermunculan pada saat yang bersamaan. Penjelasan konspirasional dalam peristiwa Komando Jihad dan beberapa gerakan ekstrem keagamaan lain kiranya lebih tepat untuk dijadikan dasar pemahaman bahwa kasus-kasus tersebut memiliki dimensi yang kompleks. Dengan kata lain kemunculan gerakan ini tidak semata-mata didasari oleh motivasi ideologis keagamaan.

C. Respon Pemerintah Terhadap Komando Jihad

81 Heru Cahyono, Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 74, hal. 299.

Secara garis besar kebijakan ideologis dan politis yang diterapkan oleh penguasa Orde Baru pada awal kekuasaannya adalah menghancurkan kaum komunis, menekan kaum nasionalis, dan mencegah naiknya kekuatan Islam, karena ketika

Soeharto menjabat sebagai Presiden, ia dihadapkan pada kondisi ideologi Nasakom hasil binaan rezim lama yang masih kuat dan masih dianggap sebagai sebuah ancaman besar bagi kekuasaannya.

Untuk melaksanakan kebijakan ini, Orde Baru mengerahkan kekuatan Inteijen sebagai motor utama. Setelah berhasil menuntaskan kebijakan terhadap kaum komunis dan nasionalis, maka target selanjutnya diarahkan pada kelompok Islam.

Kebijakan terhadap kelompok Islam terbilang unik dibandingkan dengan kebijakan terhadap kelompok komunis dan nasionalis. Walaupun tergabung dalam Nasakom tapi kelompok Islam memiliki peran dan jasa besar dalam menghancurkan kekuatan komunis dan meruntuhkan rezim Soekarno selain karena kenyataan bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah penganut agama Islam. Karena itu pemerintah memilih jalan yang lebih hati-hati untuk menghadapi kekuatan islam ini.

Untuk mencegah naiknya kekuatan Islam yang dari dulu sangat mencita- citakan tegaknya ideologi dan syariat Islam maka pemerintah harus memiliki alasan dulu untuk menekannya sekaligus menghalanginya. Kemudian intelijen sebagai perpanjangan tangan pemerintah untuk melaksanakan ini kemudian memilih untuk menggunakan tangan kaum radikal islam. Kelompok radikal walaupun memang berbahaya tapi justru membuatnya menjadi sangat mudah dikendalikan.

Orde Baru mengawali usahanya dalam peredaman kelompok Islam dengan cara melakukan pemanggilan terhadap para bekas anggota DI/TII, beberapa pentolan DI/TII yang mengaku dipanggil antara lain putra dari Kartosoewirjo yaitu Dodo

Muhammad Darda dan Tahmid Rahmad Basuki, juga Adah Djaelani Tirtapraja dari

Ma'had Al-Zaitun, Rahmat Basuki tersangka pengeboman BCA, Amir Fatah, H

Ismail Pranoto (Komando Jihad), Danu Muhammad Hasan, Helmy Aminuddin

(Gerakan Tarbiyah) dll. Upaya pemanggilan terhadap bekas aktivis DI/TII dilakukan dengan serius oleh pemerintah RI, pada tahun 1975, Sardjono Kartosoewiejo anak bungsu Kartosoewirjo yang baru kelas tiga menengah atas dipanggil ke kantor

Pelaksana Khusus Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Jawa

Barat. Bersama ibu, dua kakak dan pentolan Darul Islam seperti Danu Muhammad

Hasan, Ateng Jaelani, Adah Djaelani, dan Aceng Kurnia, Sardjono diterima Letnan

Kolonel Pitut Soeharto. Dengan gaya kalemnya, Direktur III Badan Koordinasi

Intelijen Negara (Bakin) tersebut menyodorkan kertas yang harus diteken 11 orang itu. Isinya ikrar kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berasas Pancasila.82

Karena tidak memperoleh dukungan dari para petinggi Bakin ketika itu, Ali

Moertopo pun membawa para mantan DI/TII ini dibawah pembinaan Opsus. Mereka kemudian mendapatkan fasilitas dan dukungan finansial yang sangat besar sehingga menimbulkan kemarahan sejumlah perwira ABRI pada masa itu terutama dari kalangan Siliwangi yang merasa berjasa menangkap mereka dengan susah payah bahkan bertaruh dengan nyawa. Tetapi berkat kedekatan Ali Moertopo pada Soeharto pada masa itu maka protes-protes itu berhasil diredam, sejumlah perwira yang menentang proyek itu pun dengan segera dimutasi dan disingkirkan.

82 Tempo, 22 Agustus 2010, hal. 74. Para mantan DI/TII ini kemudian mendapat binaan dan pelatihan-pelatihan intelijen, seperti pembentukan jaringan, teknik perekrutan anggota, penyamaran, pembuatan propaganda, operasi cuci otak , teknik teror dan intimidasi dan lain sebagainya, hal ini menjelaskan bahwa keahlian para kelompok radikal ini sebenarnya adalah dari hasil binaan Opsus dan Intelijen sendiri. Setelah dibina mereka pun diterjunkan ke tengah masyarakat untuk menerapkan ilmunya.

Peritiwa-peristiwa teror pun terjadi, pemboman BCA , penyerbuan kantor polisi di Cicendo, Bandung, pembajakan pesawat Garuda Woyla dan aksi teror lainnya, semua peristiwa ini dilakukan oleh para mantan DI/TII binaan opsus intelijen

RI, aparat pun menangkapi mereka lagi bahkan sebagiannya juga dikorbankan dan dibunu, tetapi setelah tertangkap mereka kemudian dilepas lagi untuk melakukan aksi-aksi lainnya. Berkat peristiwa-peristiwa itu pemerintah mendapat legimitasi serta alasan yang kuat untuk menekan kelompok-kelompok Islam.

Sejumlah aktivis masjid di Bandung ditangkapi bahkan organisasi remaja masjid Istiqamah Bandung pun dibubarkan dengan tuduhan terlibat peristiwa Cicendo dan pembajakan pesawat terbang Garuda DC-9 Woyla yang dilakukan oleh Jamaah

Imran yang diprovokasi oleh Najamuddin seorang anggota intelijen binaan Bakin dari

Batalyon Artileri Medan, sejumlah kyai NU di Jawa Timur ditangkapi bahkan dilenyapkan dengan tuduhan terlibat Komando Jihad yang dikomandani oleh Haji

Ismail Pranoto binaan Opsus.

Keterlibatan intelejen dalam kasus-kasus tersebut semakin kentara ketika dalam kasus persidangan Danu Mohammad Hassan misalnya, ia mengaku sebagai orang Bakin."Saya bukan pedagang atau petani, saya pembantu Bakin."83 Belakangan

Danu mati secara misterius, tak lebih dari 24 jam setelah ia keluar penjara, dan konon ia mati diracun, intelijen pun bergerak lebih jauh lagi untuk memprovokasi sejumlah kelompok melakukan perlawanan sehingga langsung bisa diambil tindakan penangkapan dan penumpasan dengan segera.

Rangkaian peristiwa teror yang terjadi ini kemudian menjadi legitimasi bagi aparat untuk melakukan sensor dan pengawasan yang ketat pada aktivitas dakwah dan semua gerakan Islam yang muncul pada era Orde Baru. Para da'i harus mempunyai surat izin untuk berceramah dan semua kegiatan dakwah harus dilaporkan dulu kepada aparat dengan alasan mencegah penyebaran paham radikal.

Orde Baru pun menetapkan kebijakan asas tunggal Pancasila dengan alasan untuk menekan penyebaran ideologi-ideologi yang menyimpang. Sejumlah kelompok

Islam yang menentang kebijakan ini pun segera dibekukan, HMI terpecah menjadi dua dengan munculnya HMI MPO yang menolak asas tunggal, Pelajar Islam

Indonesia (PII), BKPRMI dan beberapa ormas Islam lain dibubarkan.

Berkat militer dan dengan kekuatan Intelijennya, maka kekuatan oposisi pemerintah Orde Baru dari kelompok Islam berhasil dilumpuhkan. Pemerintah juga mendirikan sejumlah organisasi islam baru pendukung Asas Tunggal Pancasila yang rata-rata dibawah binaan Golkar.

Pemerintah juga seakan menggiring suara anggota Komando Jihad dan suara kaum muslim secara umum ketika itu kepada mesin politiknya yaitu Golkar, seperti yang dilakukan Opsus sebelum Pemilu 1971, Deputi III Bakin kembali mencoba

83 Lihat Tempo, 24 Desember 1983. memobilisasi suara dari Komando Jihad, tetapi kali ini tidak semua suara akan ditujukan untuk Golkar. Danu yang selama ini menjadi informan pemerintah, memberikan indikasi bahwa ia akan mendukung PPP. Walaupun hal ini berarti tidak akan membuat Golkar meraih kemenangan mutlak, tetapi fakta bahwa Danu lebih memilih Pemilu alih-alih tindakan kekerasan sangat dihargai Bakin.84

Orde Baru pun kemudian kehilangan kesabaran terhadap sisa-sisa Komando

Jihad. Pada Januari 1977, atau empat bulan sebelum Pemilu digelar, aparat keamanan melakukan penangkapan hingga mencapai 185 orang pada pertengahan tahun. Semua penangkapan ini berlangsung di Jawa dengan perincian: 105 orang di Jakarta, 38 orang di Jawa Barat, 19 orang di Jawa Tengah dan 23 orang di Jawa Timur.

Penangkapan yang terpisah juga dilakukan di Sumatera guna menjaring sel-sel

Momok Revolusioner selama lebih dari dua tahun.85

Paska turunnya L. B Moerdani strategi intelejen dalam menghadapi kekuatan

Islam pun berubah. Teknik tebar, pancing, jaring ala Ali Moertopo mulai ditinggalkan karena dianggap justru menambah instabilitas keamanan Negara.

Strategi yang kemudian dilakukan intelejen cenderung lebih soft bahkan dibuat seolah-olah pemerintah mendukung kekuatan Islam.

Pada masa itu gerakan-gerakan alternatif di luar ormas-ormas Islam dan kepemudaan Islam mulai marak. Sejumlah organisasi remaja masjid tumbuh pesat di masjid-masjid raya juga masjid-masjid kampus. Sebagian kalangan aktivis muda mulai mengubah konsep dakwah mereka menjadi dakwah kultural dan berusaha

84 Ken. Conboy, Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia, (Jakarta: Media Pressindo, 2009), hal. 152-153. 85 Ken. Conboy, Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia, hal. 152-153. membaurkan diri dengan masyarakat. Kekuatan dari kelompok-kelompok dakwah tersebut harus dan bisa dimanfaatkan untuk kepentingan rezim, bagi kalangan intelijen bila tidak mampu menundukkan sebuah kekuatan atau kelompok, maka kelompok itu harus disusupi kemudian dimanfaatkan akan tetapi mereka harus dikebiri terlebih dahulu kekuatannya untuk melumpuhkan potensi ancamannya.

Kekuatan utama dari gerakan Islam pada dasarnya bukanlah pada banyaknya jumlah anggota mereka melainkan pada kedekatan mereka pada ummat dan ukhuwwah mereka dengan kekuatan Islam yang lain. Dan dua aspek penting inilah yang menjadi target intelijen untuk dilumpuhkan. Bakin pun menugaskan Soeripto sebagai Ketua Tim Penanganan Masalah Khusus Kemahasiswaan DIKTI/Depdikbud pada tahun 1986-2000 dengan misi utama membentuk jaringan organisasi radikal

Islam baru di kalangan remaja masjid dan gerakan kampus yang berada dibawah binaan dan pengawasan intelijen.

Untuk menjalankan misinya Soeripto merekrut Helmy Aminuddin putra dari

Danu Muhammad Hasan. Helmi Aminuddin sebelumnya menjabat sebagai Mentri

Luar Negeri Daulah Islam sebelum akhirnya ditangkap oleh Kopkamtib pada tahun

1980 dan ditahan tanpa pengadilan di Rumah Tahanan Militer di Cimanggis dan dibebaskan antara tahun1983-1984.

Pada masa itu ada rumus utama untuk menentukan aktivis binaan intelijen yaitu semua anggota ekstrim kanan yang dipenjarakan dan dibebaskan antara tahun

1970-1988 atau di masa kekuasaan Ali Moertopo dan L.B Moerdani dua Jenderal yang paling anti Islam dan gerakan Islam sudah pasti telah menjadi kaki tangan intel untuk menghancurkan gerakan Islam. Selepasnya dari penjara Helmy Aminuddin berada di bawah binaan Soeripto lalu kemudian dikirim ke Timur Tengah untuk mempelajari dan mengadopsi ajaran dan manhaj serta berhubungan langsung secara organisasional dengan gerakan

Ikhwanul Muslimin faksi Qiyadah Syaikh Sa'id Hawwa pimpinan Ikhwanul

Muslimin cabang Suriah sekitar tahun 1985.

Intelijen RI kemudian membentuk kelompok jamaah Islam yang disebut jama'ah tarbiyah, tujuan utama pembentukan kelompok ini oleh intelijen adalah menghancurkan dan melumpuhkan semua kelompok dakwah pemuda dan remaja masjid yang tidak berada dalam kontrol pemerintah lalu menyatukan semuanya dalam satu kelompok besar yang bisa dikendalikan aparat intelejen. Selain itu, jama'ah tarbiyah juga diberi peran untuk memutus mata rantai hubungan kelompok-kelompok aktivis masjid dengan masyarakat juga dengan ormas islam lain.

Setelah berhasil mengambil alih kekuasaan, kelompok ini kemudian langsung melakukan aksi-aksi pembersihan dan penyeragaman. Seluruh aktivis yang tidak mengikuti kelompok mereka disingkirkan. Semua aktivitas dakwah yang berhubungan dengan masyarakat luas dihentikan demikian juga semua bentuk hubungan dengan organisasi dakwah lain dibekukan. Aktivitas masjid hanya diarahkan untuk pembinaan internal demi mencetak sebanyak-banyaknya kader militan dan radikal di masjid. Kelompok-kelompok diskusi dibubarkan dan metode pengkaderan digantikan dengan indoktrinisasi.

Dengan dilumpuhkannya kekuatan utama kelompok dakwah masjid ini maka aktivis dakwah masjid tidak lagi dianggap sebagai ancaman, maka tindakan represi terhadap kelompok ini pun dilonggarkan. Ketika sebuah masjid jatuh ke tangan radikal maka intelejen pun menghentikan operasi-operasi pengawasan yang ketat pada mereka. Itulah sebabnya aktivitas Jama'ah Tarbiyah tidak pernah mendapat gangguan dari aparat pada masa itu walaupun mereka menyebar paham radikal.

Kaum fanatik dan para mantan DI/TII menjadi kandidat paling sempurna untuk perekrutan dalam agenda kepentingan penguasa, mereka tidak dianggap terlalu berharga, terlalu bodoh dan tidak terlalu banyak bertanya, dan selalu rela mengorbankan diri dan nyawanya demi tujuan suci kelompoknya (yang bisa dengan mudah dibelokkan intelijen) Atas alasan inilah pihak intelijen memfasilitasi dan mensponsori pembentukan kelompok radikal Islam ini dengan memanfaatkan para mantan tahanan DI/TII yang merasa mereka memanfaatkan intelejen untuk mendukung cita-cita mereka.

Para anggota level bawah kelompok radikal Islam ini dibuat untuk tidak banyak tau bahkan tidak tau apa-apa tentang apa dan bagaimana keadaan di atas mereka. Sampai saat ini hanya sangat sedikit anggota Jama'ah Jarbiyah bahkan yang sudah belasan tahun bergabung sekalipun yang tau bahwa Helmy Aminuddin adalah mursyid 'aam gerakan mereka dari tahun 1991-1998, apalagi untuk tau latar belakangnya.

Tahun 1980, ketika kasus Komando Jihad marak lagi dengan nama teror

Warman, hal ini terkuak sejak Pangkowilhan II, Letjen Widjojo Sujono memberi tahu ulama dan para cendekiawan Islam Jawa Timur bahwa Pemerintah tidak akan lagi menggunakan istilah “Komando Jihad” untuk menyebut kelompok Warman. Istilah yang dipakai pemerintah adalah “Kasus Teror Warman”. Hal ini menimbulkan kecurigaan kembali bahwa ada tujuan tertentu dalam penggunaan istilah “Komando

Jihad”.

Warman yang diketahui sebagai bawahan Kartosoewirjo yang melakukan serangkaian teror antara 1976-1978, ahirnya dapat dilumpuhkan bersama dua anak buahnya di Malang 4 April 1979 setelah mereka gagal merampok gaji IKIP Malang.86

Setelah mereka tertangkap, kelompok Warman jarang disebut dalam wacana publik. Tindakan secara hukum dengan memproses kelompok Warman ke pengadilan tidak terjadi. Dua tahun kemudian, terjadi operasi penyergapan terhadap Warman, di

Soreang Kolot, Bandung 23 Juli 1981. Dalam penyergapan itu Warman tewas tertembak. Di tempat persembunyiannya ditemukan sebuah granat tangan, sepucuk pistol FN 45 kaliber 9 mm, dua masin, 97 butir peluru dan uang Rp. 18.500,00.87

Sebelum penggerebekan di Soreang yang menewaskan Warman tersebut, kelompok itu pernah digerebek di desa Kadipaten, Kecamatan Ciawi, Tasikmalaya.

Pada waktu itu Warman berhasil meloloskan diri tetapi Ruch (55 tahun) anak buahnya tertembak mati serta Djuh Sun tertangkap.

Dalam berbagai operasinya, aparat keamanan berhasil menangkap dan menahan anak buah Warman. Pada April 1981, 49 orang anggota Warman yang ditahan aparat dibebaskan dalam suatu upacara yang dihadiri ketua MUI, K. H. E.Z.

Muttaqien. Mereka yang dilepas ini kemudian memberikan informasi yang dapat digunakan oleh aparat untuk melacak keberadaan Warman dan sampai akhirnya bisa ditemukan dan ditembak mati.

86 Tim LIPI, Militer & Politik Kekuasaan Orde Baru, hal.110. 87 Tim LIPI, Militer & Politik Kekuasaan Orde Baru, hal.110. Kelompok lain yang dianggap ekstrim oleh penguasa Orde Baru selain

Komando Jihad dan Gerakan Warman adalah “Kelompok Imran”. Pemimpinnya adalah Imran bin Muahammad Zein, kelompok ini menamakan dirinya sebagai

“Dewan Revolusi Islam Indonesia” dan bertujuan mendirikan Negara Islam

Indonesia. Cara-cara yang digunakan kelompok ini cenderung tidak Islami karnanya banyak kalangan Islam yang meragukan kelompok ini.

Ulah kelompok Imran yang cukup mendapatkan publikasi adalah penyerangan

Pos Polisi 8606 Pasir Kaliki, Cicendo, Bandung, 11 Maret 1981 dan pembajakan pesawat Garuda, DC-9, Woyla, 28-31 Maret 1981. Bahkan pada kasus Woyla, mereka mendapatkan publikasi internasional. Kelompok Imran menewaskan tiga

Polisi ketika mereka menyerang Pos Polisi Cicendo. Dalam penyerangan mendadak di tengah malam buta itu, kelompok Imran berhasil membebaskan sejumlah tahanan dan merampas beberapa pucuk senapan. Para penyerang kemudian berhasil ditangkap oleh pihak aparat keamanan.88

Tidak lama setelah penyerangan itu, kelompok Imran membajak pesawat

Garuda yang tengah dalam penerbangan domestik. Dalam penerbangan Jakarta-

Medan, pesawat Garuda DC-9 Woyla dibajak. Sesuai jadwal penerbangan Jakarta-

Medan tersebut stop over di Palembang. Selepas tinggal landas dari bandara udara

Talangbetutu, Palembang, pesawat naas itu dibajak. Para pembajak meminta pilot langsung menerbangkan pesawat itu ke Kolombo, Sri Lanka. Permintaan itu tidak dapat dipenuhi mengingat persediaan bahan bakar yang hanya cukup untuk penerbangan domestik. Pilot menawarkan untuk mendaratkan pesawat di bandara

88 Tim LIPI, Militer & Politik Kekuasaan Orde Baru, hal.112. terdekat di Singapura, tetepi pembajak menolaknya. Akhirnya disepakati pesawat mendarat di Penang, Malaysia. Dari Penang, pesawat Woyla itu terbang lagi dan mendarat di Don Muang, Bangkok, Thailand.

Dalam pembajakan itu, kelompok Imran menuntut pemerintah untuk segera membebaskan rekan-rekan mereka yang ditahan karena terlibat kasus penyerangan

Pos Polisi Cicendo, teror Warman dan juga para tahanan kasus Komando Jihad juga harus dibebaskan. Kemudian pemerintah Indonesia diminta untuk menerbangkan para tahanan itu ke daerah aman di luar wilayah Indonesia yang belum ditentukan.

Pembajak akan meledakkan pesawat beserta sandera yang ada di dalamnya apabila tuntutan mereka tidak dipenuhi, mereka juga meminta tuntutan tambahan berupa uang sebesar 1,5 juta dolas AS.

Pihak militer Indonesia mengajak negosiasi kepada para pembajak yang berjumlah lima orang itu, dengan tujuan mengulur waktu untuk merencanakan sebuah penyergapan dan pembebasan terhadap Sandera. Setelah berusaha mengulur waktu akhirnya militer berhasil melaksanakan Operasi penyergapan dibawah komando

Jenderal (Purn.) L.B. Moerdani tepatnya pada tanggal 31 Maret 1981.89

Dari semua fenomena teror dan gerakan Islam radikal selama kurun waktu

1976 sampai 1984 khususnya pada masa pemerintahan Orde Baru, penulis menyimpulkan terdapat sekenario yang sengaja disusun oleh penguasa dengan kekuatan militer dan intelijennya di balik idealisme gerakan dan para tokoh eksponen

DI/TII dengan agenda besar kelanggengan kekuasaan rezim Orde Baru. Tetapi di luar

89 Tim LIPI, Militer & Politik Kekuasaan Orde Baru, hal.113. itu semua terdapat pula perjuangan murni gerakan Islam yang benar-benar mencita- citakan berdirinya Negara Islam Indonesia.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian dan penjelasan pada bab-bab terdahulu, maka penulis secara umum menyimpulkan bahwa:

Latar belakang kemunculan gerakan Komando Jihad, dimulai dengan situasi dan kondisi politik pada masa itu dengan bagaimana melihat hubungan antara pihak penguasa Orde Baru dengan gerakan-gerakan Islam. Secara garis besar penguasa

Orde Baru pada awal kekuasaan rezimnya mempunyai cara tersendiri dalam memerankan kekuasaannya khususnya pada panggung politik yang bersinggungan langsung dengan gerakan Islam. Rezim Orde Baru memerankan panggung politiknya sendiri, yakni dengan cara: peminggiran politik Islam dan akomodasi politik Islam.

Dua karakter inilah yang dialami umat Islam dalam mengahadapi rezim Orde Baru ketika itu.

Kekuatan militer dan inteligen yang dimiliki penguasa Orde Baru sangat berpengaruh kepada gerakan-gerakan Islam yang muncul pada waktu itu. Perekrutan dan pembinaan beberapa tokoh eksponen DI/TII adalah upaya deradikalisasi gerakan- gerakan Islam. Proses akomodasi berbagai gerakan ini mempunyai tujuan besar yaitu demi mengamankan kekuasaan itu sendiri.

Ada dua opsi untuk mengambarkan kronologis kemunculan istilah “Komando

Jihad”. Pertama, pendapat dari pihak penguasa mengatakan bahwa gerakan Komando

Jihad adalah sejumlah aksi teror yang dilakukan sekelompok umat Islam semenjak tahun 1967-1984, dan tujuan kelompok ini adalah membentuk “Dewan Revolusi Islam Indonesia”, menentang Pancasila dan UUD 1945 dan berkeinginan membentuk negara Islam Indonesia. Situasi ini mengarah kepada teori yang dikemukakan oleh

Eric Hoffer tentang gerakan massa yang bersifat teror, bahwa tak peduli apa sifatnya

(agama, rasial, sosial, nasionalistis, atau ekonomis), tak peduli juga apa misi sucinya, memiliki sekelompok ciri-ciri tertentu yang sama: semua mampu membangkitkan pada diri pengikutnya kerelaan untuk berkorban sampai mati, kecenderungan untuk beraksi secara kompak, fanatisme, antusiasme, harapan berapi-api, kebencian dan intoleransi, kepercayaan buta, dan kesetiaan tunggal. Semua gerakan massa betapapun berbeda dalam doktrin dan aspirasinya, menarik pengikut-pengikutnya yang pertama dari satu jenis manusia, yakni manusia-manusia yang kecewa dan tidak puas atau frustasi.

Opsi kedua, istilah Komando Jihad adalah rekayasa politik penguasa Orde

Baru, tujuan pengungkapan kasus ini menimbulkan dugaan adanya kaitan erat antara maksud pengungkapan dan Pemilu tahun 1977 yang akan diselenggarakan.

Untuk mengetahui motifasi dan tujuan utama dari gerakan Komando Jihad, penulis melihat dari teori collective hostility tingkat yang tertinggi yang dikemukakan oleh John Lofland, yaitu merupakan gerakan yang tertuju pada bentuk perampasan dan penyerangan, contohnya: penyiksaan, pemukulan dan pembunuhan, mengutuk dan melempar jauh masa kini dengan memberi gambaran dan janji-janji akan hari depan yang gemilang, penuh kepuasan diri dan harapan.

Setelah mengumpulkan data-data mengenai fenomena kemunculan gerakan radikal Komando Jihad, melihat kronologis gerakan dan beberapa fakta persidangan dari tokoh-tokoh yang terlibat langsung dengan gerakan radikal ini, penulis menemukan dimensi yang unik seputar kemunculan doktrin-doktrin radikal dalam diri gerakan-gerakan Islam pada masa Orde Baru, jalinan interaksi intelijen dengan eksponen bekas anggota DI/TII yang sangat mempengaruhi ideologi Gerakan

Komando Jihad ketika itu.

Dari semua fenomena teror dan gerakan Islam radikal selama kurun waktu

1976 sampai 1981 khususnya pada masa pemerintahan Orde Baru, penulis menyimpulkan terdapat sekenario yang sengaja disusun oleh penguasa dengan kekuatan militer dan intelijennya di balik idealisme gerakan dan para tokoh eksponen

DI/TII dengan agenda besar kelanggengan kekuasaan rezim Orde Baru. Tetapi di luar itu semua terdapat pula perjuangan murni gerakan Islam yang benar-benar mencita- citakan berdirinya Negara Islam Indonesia. Sampai sekarang pun masih banyak kelompok-kelompok Islam yang beranggapan bahwa Piagam Jakarta adalah harta karun yang tertunda bagi umat Islam Indonesia. Terima kasih.