PEMIKIRAN POLITIK M. AMIEN RAIS TENTANG DEMOKRASI DI INDONESIA PERSPEKTIF FIQH SIYASAH

Skripsi

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Dalam Ilmu Syari‟ah

Oleh: HENDRI SETIAWAN NPM : 1421020144

Jurusan : Hukum Tata Negara (Siyasah Syar’iyyah)

FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG 1439 H/2018 M

PEMIKIRAN POLITIK M. AMIEN RAIS TENTANG DEMOKRASI DI INDONESIA PERSPEKTIF FIQH SIYASAH

Skripsi

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Dalam Ilmu Syari‟ah

Oleh:

HENDRI SETIAWAN NPM : 1421020144

Jurusan : Hukum Tata Negara (Siyasah Syar’iyyah)

Pembimbing I : Prof. Dr. H. Faisal, S.H., M.H. Pembimbing II : Frenki, M.Si.

FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG 1439 H/2018 M

ABSTRAK

M. Amien Rais adalah salah seorang tokoh demokrat di negara Indonesia. Yang selalu memberi kritikan kepada para pemimpin bangsa dan negara terutama pada era Orde Baru (Orba) (pemerintahan Presiden Soeharto). Dimasa Orde Baru beliau berani membuat opini tentang “suksesi nasional” terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto, dimana pada waktu itu istilah suksesi kepemimpinan nasional adalah hal yang tabu dan jarang sekali yang berani mengeluarkan ide yang brilian tersebut di muka publik. Ide tersebut dalam pandangan M. Amien Rais bertujuan semata-mata adalah merasa prihatin dan ironis melihat mandegnya proses demokrasi di negara Indonesia, padahal sistem pemerintahan Indonesia adalah berasaskan demokrasi. M. Amien Rais menekankan sistem demokrasi yang sesuai dengan nasionalisme menurut ajaran Islam bukan nasionalisme yang tanpa landasan. Dengan demikian persoalan-persoalan demokrasi selalu dikaitkan dengan agama dan negara, sehingga menurutnya antara agama, negara dan demokrasi tidak dapat dipisahkan. Fiqh siyasah sebagai sebuah metode pemikiran melihat bahwa dikalangan ummat Islam telah terjadi perbedaan pemikiran dan pandangan dalam mensikapi masalah sistem, bentuk demokrasi yang diterapkan di Indonesia, sebagai masyarakat Indonesia menginginkan agar sistem, bentuk pemerintahan tersebut (demokrasi) diganti dengan sistem dan syariat Islam, sebagaimana tertuang dalam Tujuh Kata dalam Piagam , mengingat sebagian besar masyarakat Indonesia adalah menganut agama Islam. Diketahui bersama bahwa obyek fiqh siyasah adalah pembuat peraturan dan perundang-undangan yang dibutuhkan untuk mengurus suatu negara dengan menggunakan suatu sistem tertentu termasuk sistem demokrasi sesuai dengan pokok-pokok ajaran agama. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui analisis fiqh siyasah terhadap konsep pemikiran politik M. Amien Rais tentang demokrasi di Indonesia. Jenis penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan (Library Research). Penelitian kepustakaan adalah penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan bermacam-macam materi yang terdapat diruangan perpustakaan yang berkaitan dengan demokrasi. Adapun metode analisis data digunakan metode kualitatif dengan pendekatan berfikir deduktif. Dengan menggunakan beberapa metode diatas akhirnya ditemukan bahwa pandangan M. Amien Rais yang mensingkronkan nilai-nilai demokrasi secara umum dengan nilai-nilai demokrasi menurut Islam adalah sesuai dengan Al-Qur‟an dan Al-Hadis.

MOTTO

        

  

Artinya: Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. (QS. Asy-Syuura: 38).1

1Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tajwid & Terjemah (: Al-Karim, 2009), h. 487.

PERSEMBAHAN

Teriring do‟a dan rasa syukur kehadirat Allah SWT, penulis mempersembahkan skripsi ini sebagai tanda bukti cinta dan kasih sayang yang tulus kepada:

1. Orang tua saya tercinta, Bapak Abdi Suyanwi dan Ibu Dalimah, Bapak Agus

Suyono dan Ibu Siti Asnah yang selama ini sudah mendidik, membimbing

dan mendo‟akan saya disetiap langkah dan mengajarkan saya dari kecil yang

benar-benar polos maupun suci hingga dewasa saat ini untuk selalu menjadi

orang yang bisa bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain.

2. Kakak dan Adik saya tercinta yang selalu memberikan dukungan kepada

penulis untuk semangat menyelesaikan kuliah ini.

3. Keluarga besar saya yang selalu memberikan motivasi dan dukungan selama

menuntut ilmu di UIN Raden Intan Lampung, dan sabar menunggu akan

keberhasilanku.

4. Almamater UIN Raden Intan Lampung yang saya cintai.

RIWAYAT HIDUP

Nama lengkap penulis adalah Hendri Setiawan, lahir pada tanggal 08

Agustus 1996 di Desa Way Petai Kecamatan Sumber jaya, Kabupaten Lampung

Barat. Anak ketiga dari empat bersaudara. Adapun riwayat pendidikan adalah sebagai berikut:

1. SDN 02 Way Petai (Kecamatan Sumber Jaya, Kabupaten Lampung Barat)

lulus tahun 2008

2. SMP Negeri 02 Sumber Jaya (Kecamatan Sumber Jaya, Kabupaten Lampung

Barat) lulus tahun 2011

3. SMAN 01 Sumber Jaya Lampung Barat lulus tahun 2014

4. Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung pada Fakultas Syari‟ah

mengambil Jurusan Hukum Tata Negara (Siyasah Syar‟iyyah). Selama menjadi

mahasiswa penulis aktif di organisasi antara lain:

a. Bidang IT dan desain KOPMA UIN RIL 2017-2018

b. HMJ Fakultas Syari‟ah 2016-2017

c. BEM Fakultas Syari‟ah 2017-2018

d. Kader PMII UIN Komisariat UIN Raden Intan Lampung

e. Wakil Ketua bidang politik Hukum dan Ham Anak Muda Indonesia (AMI)

DPC Lampung Tengah 2018-2023

KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah yang tidak terkira dipanjatkan kehadirat Allah

SWT yang telah melimpahkan rahmat serta karunia-Nya berupa ilmu pengetahuan, kesehatan, dan petunjuk dalam berjuang menempuh ilmu. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada suri tauladan kita, Nabi Muhammad SAW.

Nabi yang mengispirasi bagaimana menjadi pemuda tangguh, pantang mengeluh, mandiri dengan kehormatan diri, yang cita-citanya melangit namun karya nyatanya membumi.

Skripsi ini berjudul “PEMIKIRAN POLITIK M. AMIEN RAIS

TENTANG DEMOKRASI DI INDONESIA PERSPEKTIF FIQH

SIYASAH”. Selesainya penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan, dorongan, uluran tangan, dari berbagai pihak. Untuk itu, sepantasnya disampaikan ucapan terimakasih yang tulus dan do‟a, mudah-mudahan bantuan yang diberian tersebut mendapatkan imbalan dari Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha

Penyayang. Ucapan terimakasih ini diberikan kepada:

1. Prof. Dr. Moh. Mukri, M, Ag., selaku Rektor UIN Raden Intan Lampung

2. Dr. Alamsyah, S.Ag., M.Ag, selaku Dekan Fakultas syari‟ah UIN Raden

Intan Lampung.

3. Drs. Susiadi AS, M. Sos. I. selaku ketua Jurusan Hukum Tata Negara (Siyasah

Syar‟iyyah) Fakultas Syari‟ah.

4. Prof. Dr. H. Faisal, S.H., M.H. selaku pembimbing I yang telah banyak

memberikan dorongan serta motivasi kepada mahasiswa.

5. Frenki, M.Si. selaku pembimbing II selalu memberikan semangat positif

kepada mahasiswa.

6. Bapak dan ibu dosen Staf Karyawan Fakultas Syari‟ah yang telah mendidik,

memberikan waktu dan layanannya dengan tulus dan ikhlas selama menuntut

ilmu di Fakultas Syari‟ah UIN Raden Intan Lampung.

7. Bapak dan ibu staf karyawan perpustakaan Fakultas Syari‟ah dan

perpustakaan pusat UIN Raden Intan Lampung.

8. Untuk Bapak dan Ibu, kakak, adik dan kekasih. Terimakasih atas dukungan

dan do‟a nya selama ini serta bantuan yang tak terkira baik yang bersifat

materi maupun non materi.

9. Kepada sahabat-sahabatku tercinta Wp Bro/sist yang selalu menemani dari

aku kecil hingga saat ini.

10. Untuk yang selalu mendorong serta memberikan semangat dalam

mengerjakan skripsi ini dari awal hingga selesainya skripsi ini yaitu sahabat

seperjuangan Pulung Riyanto, S.Sos., Slamet Wiyanto, S.H., Robert Nando,

S.H., Mery Hartanto S.H., Khairul Ramadhan S.H., Rahmad Reno, S.Sos.,

11. Keluarga besar Kopma UIN Raden Intan Lampung yang selalu memberikan

nilai-nilai positif.

12. Keluarga besar PMII Komisariat UIN RIL Rayon Syari‟ah.

13. Keluarga besar Siyasah A angkatan 2014.

14. Kelurga besar KKN 121 desa Pulau Tengah yang telah menemani selama 40

hari di desa Pulau Tengah.

15. Almamater tercinta UIN Raden Intan Lampung

Akhirnya, dengan iringan terimakasih do‟a dipanjatkan kehadirat Allah SWT, semoga segala bantuan dan amal baik bapak-bapak dan ibu-ibu serta teman-teman sekalian akan mendapatkan balasan yang sebaik-baiknya dari Allah SWT dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang menulis khususnya dan para pembaca pada umumnya. Amin

Bandar Lampung, 22 Juni 2018

Penulis

Hendri Setiawan NPM.1421020144

DAFTAR ISI

JUDUL ...... i

ABSTRAK ...... ii

PERSETUJUAN ...... iii

PENGESAHAN ...... iv

MOTTO ...... v

PESEMBAHAN...... vi

RIWAYAT HIDUP ...... vii

KATA PENGANTAR ...... viii

DAFTAR ISI ...... xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Penegasan Judul ...... 1 B. Alasan Memilih Judul ...... 3 C. Latar Belakang Masalah ...... 3 D. Rumusan Masalah ...... 9 E. Tujuan Penelitian ...... 10 F. Metode Penelitian...... 10

BAB II DEMOKRASI DI INDONESIA PERSPEKTIF FIQH SIYASAH

A. Pengertian Demokrasi ...... 14 B. Prinsip-prinsip Demokrasi ...... 27 C. Demokrasi di Indonesia...... 39 D. Perspektif Fiqh Siyasah Terhadap Demokrasi di Indonesia ...... 47

BAB III PEMIKIRAN POLITIK M. AMIEN RAIS TENTANG DEMOKRASI DI INDONESIA

A. Biografi M. Amien Rais 1. Riwayat Hidup M. Amien Rais ...... 58 2. Karya-Karya M. Amien Rais ...... 61 B. Pokok-pokok Pemikiran Politik M. Amien Rais Tentang Demokrasi ...... 68 C. Demokrasi di Indonesia Menurut M. Amien Rais 1. Negara dan Demokrasi ...... 70 2. Demokrasi dan Masyarakat Kontemporer ...... 74

BAB IV ANALISIS FIQH SIYASAH TENTANG DEMOKRASI DI INDONESIA MENURUT M. AMIEN RAIS

A. Pemikiran M. Amien Rais Tentang Demokrasi di Indonesia.....82 B. Pandangan Fiqh Siyasah Tentang Demokrasi di Indonesia Menurut M. Amien Rais...... 84

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ...... 87 B. Penutup ...... 88

DAFTAR PUSTAKA ......

LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Penegasan Judul

Sebelum penulis membahas lebih lanjut skripsi yang berjudul

“PEMIKIRAN POLITIK M. AMIEN RAIS TENTANG DEMOKRASI DI

INDONESIA PERSPEKTIF FIQH SIYASAH”, untuk menghindari kesalah

pahaman terhadap skripsi ini terlebih dahulu penulis akan menjelaskan

pengertian dari istilah-istilah yang terdapat pada judul tersebut adalah sebagai

berikut:

Pemikiran adalah memikirkan suatu kebenaran yang sudah ada untuk

mendapatkan kebenaran yang baru, jadi pemikiran berarti suatu pandangan

atau pendapat seseorang atau kelompok untuk melahirkan suatu gagasan.2

Politik adalah pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan,

segala urusan dan tindakan, kebijaksanaan, siasat mengenai pemerintahan

suatu negara atau terhadap negara lain.3

M. Amien Rais adalah seorang tokoh Demokrasi ulung dan Tokoh

Reformis, beliau lahir di Solo pada tanggal 26 April 1944. Beliau banyak

memberikan dampak yang signifikat terhadap perkembangan demokrasi di

Indonesia. Beliau adalah pendiri Partai Amanat Nasional (PAN) dan beliau

pernah menjabat sebagai ketua MPR RI pada tahun 1999-2004.4

2Hasbullah Bakry, Sistematika filsafat (Jakarta: Wijaya. 1979), h. 38. 3Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Kedua) (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 320. 4Muhammad Najib dan Kuat S, Amin Rais Sang Demokrat (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), h. 18.

Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut

serta memerintah dengan prantara wakilnya. Atau pandangan hidup yang

mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi

setiap warganya.5

Indonesia adalah Negara kepulauan di Asia Tenggara yang terletak di

antara benua Asia dan benua Australia.6

Perspektif ialah suatu tinjauan atau pandangan luas, dalam artian

pendapat seorang atau golongan tentang arti suatu peristiwa, baik dalam

keadaan sekarang maupun untuk masa yang akan datang.7

Fiqh Siyasah atau Siyasah Syar‟iyah adalah ilmu yang mempelajari hal

ihwal dan seluk beluk pengaturan urusan umat dan segala bentuk hukum,

peraturan dan kebijaksanaan yang di buat oleh pemegang kekuasaan yang

sejalan dengan dasar-dasar ajaran dan ruh syariat untuk mewujudkan

kemaslahatan ummat.8 Tetapi yang di maksud siyasah di sini adalah siyasah

syariyah yaitu sebagai ketentuan kebijaksanaan pengurusan masalah

kenegaraan yang berdasarkan syariat Islam dan sumber-sumber pokok

siyasah syar‟iyah adalah Al-Qur‟an dan Al-Sunnah, kedua sumber inilah yang

menjadi acuan bagi pemegang pemerintahan untuk menciptakan peraturan-

peraturan perundang-undangan yang mengatur kehidupan bernegara.9

5Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit., h. 37. 6 Ibid., h. 532. 7Tim Prima Pena, Kamus Ilmiah Popular (Edisi Lengkap), Cetakan Pertama (: Gita Media Press, 2006), h. 371. 8J. Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah, Ajaran Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 1997), h. 26. 9 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah (Jakarta: Prenada Media Group, 2014), h. 230.

Dengan demikian yang dimaksud dengan judul skripsi di atas adalah

suatu telaah tentang pemikiran politik M. Amin Rais tentang implementasi

demokrasi di Indonesia, kemudian dianalisa dengan pendekatan Fiqh Siyasah

atau siyasah syar‟iyah.

B. Alasan Memilih Judul

1. Alasan Objektif

M. Amien Rais adalah tokoh reformis dan “pendekar” demokrasi

yang ide-ide dan gagasanya khususnya dalam hal demokrasi diakui

banyak pihak memberi kontribusi bagi perkembangan proses

demokratisasi di Indonesia. Sehingga penulis berpendapat bahwa

mengetahui serta mengkaji pemikiran politik M. Amien Rais khususnya

dalam hal demokrasi.

2. Alasan Subjektif

a. Data dan literatur yang mendukung pembahasan skripsi ini cukup

tersedia, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

b. Masalah yang sedang dibahas dalam kajian ini sesuai dengan jurusan

yang sedang penulis tekuni, yaitu Hukum Tata Negara (Siyasah

Syar‟iyyah).

C. Latar Belakang Masalah

Demokrasi adalah suatu istilah yang bersifat universal. Namun tidak

ada satu sistem demokrasi yang berlaku untuk semua bangsa atau semua

negara. Istilah boleh sama, tetapi isi dan cara perwujudannya bisa berbeda-

beda dari negara yang satu kenegara yang lain. Itu yang terjadi dengan istilah

“demokrasi” dalam kehidupan masyarakat modern-kontemporer.

Secara etimologis, istilah “demokrasi” berarti pemerintahan oleh rakyat

(demos berarti rakyat; kratos berarti pemerintahan). Jadi “demos, cratein”

atau ”democratos” adalah keputusan rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan

rakyat dan kekuasaan rakyat.10 Menurut Meriam Boediarjo demokrasi adalah

Goverment Ruled by the people atau ungkapan umum yang populer yaitu

Goverment of the people, by the people and for the people atau pemerintahan

dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.

Demokrasi sebagai konsep ketatanegaraan dalam penggunaanya sebagai

ideologi negara mempunyai banyak makna dan nama, hal ini disebabkan

karena banyaknya implementasi nilai-nilai demokrasi yang seolah-olah

menjadi obsesi masyarakat di dunia. Meluasnya minat untuk menegakan

demokrasi terutama dikalangan negara-negara dunia ketiga sejak awal abad

ke-20 menunjukan bahwa partisipasi rakyat yang besar dalam pengambilan

keputusan politik adalah sesuatu hal yang sangat didambakan.11

Setidaknya, tuntutan demokratisasi beberapa wilayah Islam khususnya

Indonesia itu di dorong oleh dua faktor berikut : Pertama, secara faktual

dibeberapa kawasan ini, utamanya yang menganut sistem politik sentralistik

atau monarki, sistem politik yang ada cenderung represif dan bahkan korup.

Pada saat yang sama pertumbuhan ekonomi berjalan lamban dan tingkat

pengangguran semakin tinggi. Kenyataan ini tidak bisa tidak menimbulkan

10Miriam Budiarjo, Demokrasi di Indonesia, Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 50. 11Sumali, Reduksi Kekuasaan Eksekutif (Malang: UMM Pres, 2002), h. 15.

tuntutan baru, utamanya di kalangan muda yang ingin melihat negaranya lebih demokratis. Kedua, dibeberapa kawasan Islam itu muncul kelas-kelas intelektual yang secara serius dan konsisten memperjuangkan nilai-nilai demokrasi yang di anggap suatu keharusan bagi peradapan manusia. Kaum intelektual generasi baru itu tumbuh subur terutama di negara yang sistem politiknya relatif memberikan kebebasan kepada mereka untuk mengeluarkan pikiran dan pendapatnya.

Hal ini dapat dilihat pada penggunaan kata demokrasi dalam sistem ketatanegaraan Uni Soviet yang disebutnya sebagai demokrasi Soviet atau di

Indonesia yang pada awal kemerdekaanya menggunakan istilah demokrasi terpimpin yang setelah itu pada masa “orde baru” berubah menjadi demokrasi pancasila. Padahal istilah demokrasi menurut asal kata berarti rakyat berkuasa atau government by the people (kata yunani demos berarti rakyat, kratos/kratein berarti kekuasaan/berkuasa).12 Dan dari penggunaan istilah demokrasi pada kedua Negara tersebut berdasarkan catatan sejarah yang telah ada, di dua Negara tersebut sama sekali tidak menunjukan keterlibatan rakyat dalam pengambilan kebijakan yang dilakukan pemerintah dan demokrasi hanyalah menjadi slogan pemerintah untuk menarik simpati rakyat saja.

Mengenai model sistem pemerintahan negara, ada empat macam sistem pemerintahan negara, yaitu: sistem pemerintahan diktator (diktator borjuis

12Bagir Manan, Teori Dan Politik Konstitusi (Jakarta: Fh UII Press, 2003), h. 140.

dan proleter), sistem pemerintahan parlementer, sistem pemerintahan

presidentil, dan sistem pemerintahan campuran.13

Perbedaan itu dapat menunjukan kepada cara penunjukanya daripada

wakil-wakil rakyat, dapat pula mengenai cara penyusunanya daripada badan

perwakilanya, sehubungan antara badan perwakilan dengan badan-badan

lainya khususnya badan yang menyelenggarakan pemerintahanya, tugas dan

wewenangnya dari pada badan-badan perwakilan dan lainya. Semuanya itu

menunjukan bahwa jarang sekali ketatanegaraan suatu negara sepenuhnya

akan sama dengan ketatanegaraan yang lainya, walalupun asasnya sama yaitu

asas menyelenggarakan suatu sistem pemerintahan oleh rakyat (demokrasi)

dengan jalan perwakilan. Kesulitan yang dialami oleh banyak negara

demokrasi baru menunjukan bahwa membentuk suatu negara demokrasi

merupakan suatu hal yang sulit, dan hal lainya, yang sering kali lebih sulit

adalah tugas mempertahankanya, serta memberikan vitalitas dan makna

kepadanya.14

Gerakan demokratisi di negara-negara yang berpenduduk mayoritas

muslim juga terjadi di Indonesia, khususnya yang dipelopori oleh M. Amien

Rais. M. Amien Rais adalah salah satu tokoh politik terkemuka di Indonesia

saat ini, di samping KH. dan lain-lain. M. Amien Rais

namanya mulai melambung sebagai seorang “pendekar demokrasi” dan

seorang “kratikus politik” ketika melontarkan gagasan “suksesi nasional”

13Sumarsono, Pendidikan Kewarganegaraan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2015), h. 21. 14Larry Diamond, The Democratic Revolution, Diterjemahkan Oleh Matheos Nalle, Revolusi Demokrasi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), h. 22.

kepemimpinan Presiden Soeharto pada sidang Tanwir di

Surabaya tahun 1983. Setelah itu gagasanya yang cukup menggelitik dan membuat “gerah” pemerintah pada waktu itu, karena cukup sering di lontarkan hingga pada ahirnya digelindingkan bola reformasi ke tengah- tengah gelanggang politik Indonesia yang di sambut antusias oleh hampir seluruh lapisan dan elemen masyarakat Indonesia.15

Menurut pemikiran M. Amien Rais, mayoritas bangsa Indonesia yang memeluk Agama Islam pasti memilih sistem politik yang dinamakan demokrasi. Sebab, sistem ini yang paling indah, baik, bahkan mampu menghindari adanya tirani mayoritas terhadap minoritas dan sebaliknya.

Dalam konteks konstitusi Indonesia, menurut M. Amien Rais, soal demokrasi ini telah terkandung di dalam UUD 1945. Persoalanya adalah, antara teori yang mengatakan “melaksanakan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekum” ternyata bertabrakan dengan praktiknya yang tidak konsekuen dan penuh distirsi. M. Amien Rais memberikan penegasan bahwa demokrasi tidak hanya cocok untuk orang barat, untuk Indonesia pun merupakan yang paling baik.

Kegamangan yang M. Amien Rais rasakan bukan pada konstitusi

Indonesia, yang antara lain memuat soal demokrasi, tetapi pada dataran pelaksanaan atau praktik politik yang berjalan dimasa pemerintahan orde baru pada saat itu. Karena itu M. Amien Rais menekankan pentingnya tiga hal untuk diperhatikan dalam rangka membangun demokrasi yang sebenarnya,

15Muhammad Najib dan Kuat S, Op.Cit., h. 17.

yaitu pendidikan politik bagi rakyat. Ini dilakukan agar rakyat berani

menyatakan pendapat, sekalipun berbeda dengan pengusas. Kemudian pihak

penguasa perlu diyakinkan bahwa untuk mendapatkan legitimasi atau

keabsahan yang kuat, mereka perlu didukung rakyat, tetapi bukan dengan

cara menakut-nakuti atau menekan rakyat, melainkan dengan memberi

kepercayaan kepada rakyat.16

Peradigma pemikiran bahwa Islam adalah Agama yang memuat tentang

nilai-nilai dasar demokrasi seperti nilai keadilan („adalah), persamaan

(musawwah), musyawarah (musyawarah), kemerdekaan (hurriyah),

perdamaian dan kesejahteraan. Kesemuanya diinformasikan oleh Al-Qur‟an

yang terdapat dalam surah Al-Imran ayat 159.

             

             

       

Artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya (Al-Imran:159).17

16Ibid., h. 152. 17Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tajwid & Terjemah (Surakarta: Al-Karim, 2009), h. 71.

Ayat tersebut menjelaskan bahwa dalam menghadapi semua masalah

harus dengan lemah lembut melalui jalur musyawarah untuk mufakat, tidah

boleh dengan hati yang kasar dan prilaku kekerasan, mengutamakan

musyawarah untuk mufakat dalam menyelesaikan setiap urusan, apabila telah

tercapai suatu kesepakatan, maka setiap pihak harus menerima dan

bertawakal (menyerahkan diri dan segala urusan) kepada Allah, dan Allah

mencintai hambanya yang bertawakal.

Adanya pemikiran-pemikiran yang bernuansa Islam dalam

berdemokrasi dengan menerapkan metode-metode hukum yang dapat

difungsikan untuk menjawab berbagai masalah. Seperti halnya dengan

Pemikiran M. Amien Rais untuk menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan

berdemokrasi.

Oleh sebab itu penulis menyajikan dalam skripsi ini dengan maksud

memberikan gambaran secara detail dan jelas berkenaan dengan pemikiran

politik M. Amien Rais tentang Demokrasi di Indonesia Persfektif Fiqh

Siyasah.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat merumuskan

inti permasalahan yang perlu diselesaikan yaitu :

1. Bagaimana pemikiran politik M. Amien Rais tentang demokrasi di

Indonesia?

2. Bagaimana pemikiran politik M. Amien Rais tentang demokrasi di

Indonesia perspektif fiqh siyasah?

E. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui secara mendalam pemikiran politik M. Amien Rais

tentang demokrasi di Indonesia dan kiprahnya dalam bidang politik di

dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara.

2. Untuk mengetahui pemikiran politik M. Amien Rais tentang demokrasi

di Indonesia perspektif fiqh siyasah.

F. Metode Penelitian

Metode Penelitian adalah suatu cara atau jalan yang digunakan dalam

mencari, menggali, mengolah dan membahas data dalam suatu penelitian

untuk memperoleh kembali pemecahan terhadap permasalahan.18 Dan

membahas dalam penelitian penulis menggunakan metode-metode sebagai

berikut:

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan (Library

Research). Penelitian kepustakaan adalah penelitian yang bertujuan

untuk mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan bermacam-

macam material yang terdapat diruangan perpustakaan.

Data diperoleh dengan mengkaji literatur-literatur dari

perpustakaan yang mempunyai relevansi dengan penelitian ini, yaitu

literatur yang berhubungan pembahasan skripsi ini dan literatur lainnya

yang mempunyai relevansi dengan pembahasan yang akan dikaji.

18Joko Suvbagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktik (Jakarta: PT. Rineka Cipta 1994), h. 2.

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, yang dimaksud dengan

metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti suatu objek yang

bertujuan membuat deskripsi (gambaran), gambaran atau lukisan secara

sistematis dan objektif mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, ciri-ciri, serta

hubungan antara unsur-unsur yang ada atau fenomena tertentu.19

Sedangkan analisis yaitu suatu proses mengatur urutan data,

mengorganisasikanya kesuatu pola, kategori, dan suatu uraian dasar yang

kemudian melakukan uraian dasar yang kemudian melakukan

pemahaman, penafsiran dan interpretasi data.20

Berdasarkan jawaban di atas dapat disimpulkan bahwa yang

dimaksud dengan deskriptif analisis yaitu metode dalam meneliti suatu

objek yang bertujuan membuat deksripsi (gambaran), gambaran atau

lukisan secara sistematis dan objektif mengenai fakta-fakta, sifat-sifat,

ciri-ciri, serta hubungan antara unsur-unsur yang ada yang kemudian

melakukan uraian dasar dan melakukan pemahaman, penafsiran dan

interprestasi data, pola pemikiran politik M. Amien Rais tentang

demokrasi di Indonesia perspektif fiqh siyasah.

2. Data dan Sumber Data

Data adalah koleksi data-data atau nilai numerik (angka) sedangkan

sumber data adalah subjek dari mana data dapat diperoleh.21

19Kaelan, M.S, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (: Paradigma, 2015), h. 58 20Ibid., h. 68. 21Suharsimi Ariitkumto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Edisi Revisi IV) (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), h. 114.

Data ini termasuk data sekunder, karena sumber data pada

penelitian perpustakaan pada umumnya bersumber pada data sekunder

artinya bahwa penelitian memperoleh bahan dari tangan kedua dan bukan

data orisinil dari tangan pertama dilapangan. Yang terdiri dari:

a. Bahan hukum primer yang bersumber pada buku-buku pokok, Al-

Qur‟an, Hadist.

b. Bahan hukum sekunder yang bersumber pada buku, dan jurnal yang

berkaitan dengan penelitian ini.

c. Bahan hukum tersier yang bersumber pada kamus, ensiklopedia yang

berkaitan dengan penelitian ini.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini

adalah riset kepustakaan, yaitu mengumpulkan data penelitian dengan

cara membaca dan menelaah sumber-sumber data yang terdapat

diruangan perpustakaan. Dengan kata lain teknik ini digunakan untuk

menghimpun data-data yang bersumber dari data primer (Al-Qur‟an,

Hadist), sekunder (buku, majalah, hasil penelitian, makalah dalam

seminar, dan jurnal yang berkaitan dengan penelitian ini), maupun tersier

(kamus, ensiklopedia yang berkaitan dengan penelitian ini). Pada tahap

pengumpulan data ini, analisis telah dilakukan untuk meringkas data,

tetapi tetap sesuai dengan kajian dari isi sumber data yang relevan,

melakukan pencatatan objektif, membuat catatan konseptualisasi data

yang muncul kemudian membuat ringkasan sementara.

4. Pengelolah Data

Setelah data-data yang relevan dengan judul ini terkumpul,

kemudian diatas tersebut diolah dengan cara sebagai berikut:

a. Pemeriksaan data (editing) yaitu pembenaran apakah data yang

terkumpul melalui studi pustaka, studi lapangan dan dokumen yang

relevan dengan masalah, tidak berlebihan, jelas, dan tampak

kesalahan.

b. Sistem data (systematizing) yaitu menempatkan data menurut

kerangka sistematika bahasan berdasarkan uraian masalah.

5. Metode Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif

dengan pendekatan berfikir deduktif. Metode berfikir deduktif yaitu cara

berfikir dengan menggunakan analisis yang berpijak dari pengertian-

pengertian atau fakta-fakta yang bersifat umum, kemudian diteliti dan

kemudian hasilnya dapat memecahkan persoalan kasus.22

22Muhammad Abdul Kadir, Hukum dan Penelitian Hukum (Bandung: Citra Aditia Bakti, 2004), h. 127.

BAB II DEMOKRASI DI INDONESIA PERSPEKTIF FIQH SIYASAH

A. Pengertian Demokrasi

1. Pengertian Umum “Demokrasi”

Pengertian tentang demokrasi dapat dilihat dari tinjauan bahasa

(etimologis) dan istilah (terminologis). Secara etimologis “demokrasi”

terdiri dari dua kata yang berasal dari bahsa Yunani yaitu “demos” yang

berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan “cratein” atau “cratos”

yang berarti kekuasaan atau kedaulatan.23 Jadi secara bahasa demos-

cratein atau demos-cratos (demokrasi) adalah keadaan negara dimana

dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat,

kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat. Rakyat

berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.24

Pemerintahan oleh rakyat yang dimaksudkan di sini adalah oleh

wakil-wakil rakyat terbaik yang dipilih secara bebas dalam kesamaan hak

pilih politik yang diproses secara yuridis. Jadi, kebebasan dan kesamaan

dalam memilih the best rulers atau calon pemerintah yang dianggap

terbaik, yang benar-benar dapat mempresentasikan dan mewujudkan

kehendak rakyat mayoritas, sehingga rakyat merasa dirinya sendirilah

yang memerintah karena seluruh aspirasinya dapat terpenuhi atau paling

tidak terpahami sebagai kebenaran sikap oleh mayoritas maupun minoritas

23A. Ubaidillah, Demokrasi; Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (EdisiRevisi II) (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2006), h. 131. 24Frans Bona Sihombing, Demokrasi Pancasila Dalam Nilai-nilai Politik (Jakarta: Erlangga, 1984), h. 21.

dari rakyat. Ide for the people atau untuk seluruh rakyat, adalah ide untuk

menyatakan tujuan ahir dari demokrasi yang ditata melalui proses “dari

rakyat dan oleh rakyat” itu. “untuk rakyat” adalah tujuan atau skala

keberhasilan yang dapat menjadi ukuran bagi wakil terpilih yang menjadi

penguasa itu dalam menjalankan amanat kehendak rakyat. Bila “untuk

rakyat” ini tidak terwujud, rakyat berhak mengantikanya dengan pilihan

wakil yang lebih baik dan lebih memiliki moral dan skil yang cukup untuk

mewujudkan kehendak rakyat tersebut. Kehendak rakyat yang

dimanifestasikan dalam bentuk program-program pemerintah “untuk

rakyat” itu menjadi tekanan untuk melihat titik keberhasilan suatu rezim

pemerintahan yang berlangsung.

Adapun secara umum demokrasi adalah suatu pola pemerintahan

dimana kekuasaan untuk memerintah berasal dari mereka yang diperintah.

Dengan kata lain suatu pemerintahan yang mengikut sertakan secara aktif

semua anggota masyarakat dalam keputusan yang di ambil oleh mereka

yang diberi wewenang.25

Sedangkan menurut istilah demokrasi adalah suatu perencaan

institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu

memperoleh kekuasaan untuk memutuskan dengan cara perjuangan

kompetitif atas suara rakyat.26

25Ibid., h. 22. 26Abdul Ghofur, Demokrasi Dalam Perspek Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 12.

Ide demokrasi dalam perkembangan peradaban politik ummat manusia adalah suatu prinsip etika yang digunakan dalam bidang politik pemerintahan. Jadi, demokrasi itu sendiri di anggap mengandung napas substansi etik inheren di dalamnya, sehingga pada saat kita menegaskan bahwa kita memilih untuk menganut teori politik demokrasi, pada dasarnya kita telah memilih suatu kaidah sistemik dari etika tertentu, yaitu etika demokrasi atau ajaran moral demokrasi. Demokrasi bermuatan etis karena adanya rasionalitas pertanggung jawaban atas kekuasaan rakyat yang diberikan kepada wakil atau pemimpin yang dipilih secara bebas.

Demokrasi bermuatan etis juga tidak direstuinya cara pemaksaan untuk tunduk pada kekuasaan yang tidak disetujuinya. Demokrasi bermuatan etis karena mengakui kesamaan hak sebagai warga suatu polis (negara kota) atau dalam suatu nation-state (negara).27

Secara logis juga dapat di pahami lebih jauh, demokrasi atau tidaknya sistem pemerintahan negara diukir dari selaras tidaknya kebijakan pemerintahan dengan kehendak atau kepentingan rakyat agar terukur dengan suara mayoritas atau kesepakatan perwakilan.

Hendri B. Mayo juga menyatakan demokrasi adalah sebagai sistem politik merupakan suatu sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum di tentukan atas dasar mayoritas rakyat dalam pemilihan-pemilihan

27Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), h. 82.

berkala yang berdasarkan atas prinsip kesamaan politik dan

diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.28

Demokrasi mengandung tiga fenomena, yaitu fenomena politik

(kekuasaan), fenomena etika (ajaran moral), dan fenomena hukum, yang

saling berjalin kelindan membentuk teori ini dengan pendasaran teoritis

yang tegas-tegas menolak tatanan kekuasaan (politik) yang otoriter dan

totaliter. Ketiga prinsip eksistensial tersebut menjadi dasar dari semangat

(spirit) dan pelembagaan (institusionalisasi) yang diukur lewat majority

principle dan dijamin lewat perangkat hukum (hukum positif) oleh kaum

positivis, yang akhirnya menjadi keabsahan (legitimasi) kendali kekuasaan

yang senantiasa dapat dikontrol oleh rakyat secara efektif.29

Dari seluruh pemahaman di atas, dengan didasari oleh prinsip-

prinsip umum dan prinsip-prinsip eksistensial yang dikandung dalam

terminologi “demokrasi”, kita akan dapat menarik pengertian umum dari

demokrasi itu. Dalam ragam pendapat dan uraian yang dilontarkan oleh

berbagai pakar mengenai demokrasi, dapat kita klasifikasi adanya esensi

yang merupakan benang merah dari konsep demokrasi itu. Klasifikasi

pertama yang dapat kita pahami adalah bahwa demokrasi dapat dimasukan

kedalam konteks negara maupun yang bukan dalam konteks negara.

Selanjutnya klasifikasi kedua, demokrasi yang dicerna sebagai ide atau

semangat (spirit) yang membawa nilai-nilai pandangan hidup, way of life

28Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia (Jakarta: Rhineka Cipta, 2003), h. 19. 29Riza Noer Arfani, Demokrasi Indonesia Kontemporer (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), h. 71.

atau weltanschauung, dan yang bukan hanya sebagai semangat tetapi sebagai proses pelembagaan tatanan kekuasaan yang rasional, dan efektif dikontrol oleh rakyat.

Dalam konteks negara baik semangat (spirit and idea) maupun pelembagaan (institutionalization) kekuasaan rakyat, keduanya dilatarbelakangi oleh ide-ide bawaan yang merupakan nilai eksistensial berupa paham tentang kebebasan dan kesamaan (dengan seluruh derivatifnya) yang diimplementasikan lewat proses pengukuran suara mayoritas sebagai manifestasi dari aspirasi rakyat yang sesungguhnya.

Semuanya ini ditata di dalam suatu kerangka sistem hukum yang juga merupakan hasil dari kehendak rakyat mayoritas itu sendiri. Jadi, demokrasi selalu mengandalkan adanya sistem hukum atau secara sederhana adalah adanya ketentuan yang menjadi aturan main yang mengikat semua partisipan.30

Demokrasi merupakan suatu ide tentang tatanan politik. Lebih fokusnya adalah konsep kekuasaan yang di dasarkan atas kehendak rakyat, sehingga demokrasi adalah bagian dari perbincangan besar ilmu politik, filsafat politik dan etika sosial (tentunya pula masuk kedalam bahasa etika politik). Dalam hal ini kita dapat memasukan demokrasi dalam kategori

“fenomena kekuasaan”. Demokrasi merupakan konsep atau perangkat kekuasaan “struktur” yang dimasukan sebagai penghayatan, tatanan, dan pengelolaan bernegara yang dikehendaki dan disetujui oleh rakyat melalui

30Ibid., h. 83.

suara mayoritas.31 Jadi, demokrasi hanyalah salah satu fenomena pengelolaan kekuasaan dalam suatu institusi negara yang menempatkan suara rakyat mayoritas yang bebas dan kesamaan hak menjadi penentu.

Demokrasi kemudian dapat ditegaskan sebagai salah satu bentuk pemerintahan negara disamping bentuk-bentuk lain yang pernah kita kenal, seperti Monarki, Aristokrasi, Oligarki. Dalam derivasi dan variasi

“kekuasaan rakyat”nya yang berbeda-beda pada berbagai negara dan berbagai kurun waktu sejarah.

Hal yang paling signifikat dalam demokrasi adalah sebagai fenomena kekuasaan yang mencoba mengintrodusir substansi etis

(fenomena moralitas) kedalam lingkup teoretiknya, agar legitimasinya meluas tidak hanya pada legitimasi sosiologi (melalui prinsip mayoritas) melainkan juga mencapai legitimasi etis. Dengan kata lain demokrasi ingin mengawinkan (konvergensi) antara fenomena kekuasaan (politik) dengan fenomena moral (etika). Wajah kekuasaan yang beringas dilembutkan dengan memasukan substansi etis sebagai pemantas dan pembenaran atas kegiatan kekuasaan. Dari pemahaman tersebut dapat dilihat bahwa fenomena politik sering kali lebih kuat daripada fenomena moralitas. Hal ini dapat dicermati bahwa demokrasi lebih dikenal sebagai teori politik ketimbang sebagai teori etika.32

31Hendra Nurtjahjo, Op.Cit., h. 86. 32Riza Noer Arfani, Op.Cit., h. 58.

Jika dikontekskan dengan konvergensi, maka demokrasi itu mengandung fenomena politik dan fenomena moralitas sekaligus. Idealnya demokrasi hendak berada sebagai irisan (intersection) dari fenomena kekuasaan dan etika tersebut. Namun dengan demikian dalam kenyataannya, seringkali fenomena kekuasaan dimainkan dan mengalahkan restriksi dari fenomena moralitas atau etika itu. Fenomena etika menjadi lebih kecil dan berada dalam lingkup kekuasaan politik yang dominan. Hal inilah yang menyebabkan lahirnya kepincangan penyelenggaraan politik, karena politik cenderung mengabaikan etika dalam pencapaian tujuan-tujuan atau kepentingan-kepentinganya yang notabene adalah kepentingan-kepentingan elitis yang bersembunyi di balik suara orang banyak (atas nama rakyat mayoritas).

Ciri-ciri khas demokrasi adalah kekuasaan yang terpusat kepada rakkyat, kontekss modern menyebabkan kekuasaan ini ditranformasi terpusat pada dewan perwakilan rakyat. Dewan perwakilan inilah yang akan mewujudkan prinsip kedaulatan rakyat dan menunjukan efektif tidaknya kendali putusan atas nama rakyat itu. Dalam dimensi prulalis, kekuasaan tertinggi itu tidak ada di satu badan, kedaulatan atau kekuasaan itu tersebar dalam berbagai lembaga negara yang saling check and balances. Pemilihan umum menjadi signifikan untuk membentuk suatu dewan yang dipercayai, acountable, dan memiliki kemampuan sebagai mana yang dipersepsi oleh pemilih (rakyat/konstituen). Hal yang juga penting untuk diingat di sini adalah bahwa seluruh proses ini berada dalam

lingkup yuridis, ada rule of the game yang telah disepakati bersama

(melalui metode demokrasi) yang menjadi dasar legal (legalitas) dari

keputusan dan tindakan politik yang ada.33

Tujuan Demokrasi yaitu Suatu sistem menganut paham demokrasi

apabila para pemimpin atau wakil rakyat dipilih langsung oleh rakyat

dewasa melalui pemilihan umum yang dilaksanakan secara langsung,

umum, bebas dan rahasia, berdasarkan nilai-nilai keadilan dan kejujuran.

Yang mana dalam pelaksanaannya para calon bebas bersaing untuk

memperoleh suara dan semua penduduk yang telah memiliki hak pilih

berhak memberikan suaranya dan dijamin oleh negara melalui undang-

undang yang dijalankan secara adil.34

Abraham Lincoln menguraikan pengertian “kekuasaan rakyat itu

kedalam slogan yang sangat ringkas, yaitu “from the people, by the people,

and for the people”, yang kesemuanya itu berintikan ide “fule by the

peolpe”. Jika kita merenungi kata “dari rakyat” maka ini akan menunjuk

suatu pemilihan umum yang bebas atau kebebasan memilih yang dimiliki

secara sama (kesamaan) oleh seluruh rakyat sebagai partisipan kehidupan

politin (zoon politicon). Jadi, apa yang diharapkan oleh demokrasi dalam

hal ini adalah pemilihan bebas untuk mencari seluruh orang yang duduk

dalam tatanan kekuasaan politik pemerintahan negara. Proses politik

lainya diluar “pemilihan yang bebas” tidak semestinya diterapkan kecuali

bersandar dari proses dan hasil dari pemilihan bebas itu sendiri.

33Hendra Nuertjahjo, Op.Cit., h. 89. 34Budi Suryadi, Sosiologi Politik: Sejarah, Konsep, dan Perkembangan Konsep (Jogjakarta: IRCiSoD, 2007), h. 102.

Proses seperti penunjukan atau pengangkatan bukanlah hal yang

ideal bagi demokrasi, namun bukan pula suatu yang tidak mungkin dalam

demokrasi perwakilan. Para wakil yang arif-bijaksana hasil dari proses

pemilihan dapat melakukan penunjukan atau pengangkata bila hal tersebut

dinyatakan boleh secara yuridis oleh suara mayoritas rakyat.

Walaupun sering dikritik sebagai bukan bagian dari ide demokratis,

tak jarang pula ide pengangkatan dan penunjukan bisa jadi menghasilkan

pemimpin dan pemerintahan yang adil dan berwibawa. Bahkan di Eropa

dan Skandinavia praktek demokrasi dalam suatu monarki (pemerintahan

kerajaan) lebih terasa demokratis ketimbang negara-negara yang langsung

menyebut dirinya sebagai pemerintahan demokrasi (constitutional

government).

2. Konsep Kekuasaan dan Konsep Moralitas (Etika)

Sebelum masuk dalam pengertiaan filosofik, penulis perlu untuk

menjelaskan terlebih dahulu adanya perbedaan dan keterpilahan dari

konsep kekuasaan dan konsep moralitas (dalam hal ini etika). Hal ini

penting untuk melihat secara lebih dalam dan meluas (filosofis) tentang

hakikat demokrasi sebagai sebuah teori politik yang menjadi basis bagi

etika politik modern.

Aristoteles menyatakan bahwa berpolitik adalah ungkapan beretika.

Tanpa dimensi politik, manusia belum dapat tampak sebagai manusia.

Negara adalah suatu yang positif untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan

manusia sebagai zoon politicon (mahluk yang berpolitik). Hal ini ditempuh

untuk mencapai kebijaksanaan melaui pengalaman, yaitu hidup yang baik, yang membawa pada kebahagiaan (eudamonia). Kalaulah berpolitik itu sebagai ungkapan hidup beretika berarti dalam istilah “politik” itu sendiri sudah inheren ada etika. Artinya, politik itu pastilah etis. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa aristoteles memahami politik tidak bisa dilepaskan dari etika, atau kekuasaan tidak bisa dilepaskan melalui moralitas.

Lain halnya dengan Hannah Arendt mendefinisikan kekuasaan sebagai suatu yang terlepas dari kekerasan. Konsep kekuasaan Arendt memahami kekuasaan bukan sebagai alat untuk memaksa orang lain melaksanakan tujuan seseorang, melainkan sebagai pembentukan kehendak bersama dalam suatu komunikasi yang diarahkan pada saling memahami. Hal ini berlawanan dengan Weber yang menganggap bahwa kekuasaan dan kekerasan bagaikan sebuah mata uang yang berkeping dua.

Kekuasaan dianggap sebagai bentuk yang tersembunyi dari kekerasan dan kekerasan di anggap sebagai manifestasi kekuasaan yang paling mencolok.35 Arendt ingin menyangkal pendapat ini dan menyangkal seolah-olah dari kekerasan bisa muncul kekuasaan dan sebaliknya dari kekuasaan bisa muncul kekerasan.36

Jika kita beranggapan secara sederhana bahwa kekerasan adalah sesuatu yang tidak bermoral, dapat disimpulkan bahwa Arendt menginginkan adanya pengertian kekuasaan yang tidak mungkin terlepas dari moral. Hal-hal yang tidak bermoral semacam kekerasan dengan segala

35Ibid., h. 43. 36Ibid., h. 53.

bentuk pemaksaan kehendak lainya tidak boleh dilekatkan dan dipahami

inheren ada dalam konsep kekuasaan.

Para sosiolog umumnya mengambil titik tolak yang netral dalam

menelaah kekuasaan, artinya tidak akan menilai kekuasaan sebagai hal

yang baik atau buruk, kecuali dari sudut pelaksanaanya. Karakteristik

pokok hubungan kekuasaan (secara sosiologis), yang paling sering

dijumpai ada dua ciri. Oleh karena unsur tekanan atau konflik terwujud

pada penggunaan sangsi negatif, maka kekuasaan dapat dirumuskan

sebagai hubungan prosesual antara dua pihak yang terutama bercirikan: (1)

pengaruh asimetris, dengan kemungkinan pengambilan keputusan ada

pada salah satu pihak, walaupun pihak lain menentangnya. (2) penggunaan

sangsi-sangsi negatif sebagai prilaku menojol dari pihak yang dominan.

Jika dihubungkan dengan kekerasan, sangsi negatif itu dapat berwujud

kekerasan dan hal ini potensial dalam suatu relasi kekuasaan.

Sementara itu Michel Foucault memahami kekuasaan secara luas.

Kekuasaan menurut Foulcout bukan sesuatu yang dapat dipertukarkan,

diberikan, tetapi dilaksanakan. Kekuasaan hanya ada dalam pelaksanaan

dimana yang terpentinng adalah suatu hubungan kekuatan. Hubungan yang

mengandung niat seseorang untuk mengarahkan prilaku orang lain.37

Dalam imajinasi Foulcout, kekuasaan adalah hubungan-hubungan yang

amat kompleks dari kekuatan-kekuatan yang terus berubah dan menyebar

keseluruh bidang kemasyarakatan. Kekuasaan juga beraksi melalui unsur-

37Agung Bambang, Micheal Foucoult Tentang Kekuasaan (Majalah Filsafat Driyarkara Thn. XII No. 2 1996), h. 32-33.

unsur terkecil, misalkan keluarga, hubungan seksual, tetapi juga hubungan permukiman, perkampungan dan sebagainya. Selama kita berada dan masuk dalam jaringan kehidupan sosial, kita akan selalu menemukan kekuasaan sebagai sesuatu yang mengalir di dalamnya, yang beraksi, yang menimbulkan efek-efek.38

Konsep kekuasaan menurut pemahaman Foulcout ini amat menarik, kekuasaan dapat eksis dan beraksi “di mana saja dan kapan saja” seperti iklan coca cola. Hal lain yang menarik dari Foulcout adalah bahwa ia menyatakan bahwa “di mana ada kekuasaan disitu ada perlawanan” akibatnya, perlawanan ini tidak dalam posisi eksterioritas dalam hubungan dengan kekuasaan, kekuasaan selalu mengandalkan adanya perlawanan.39

Kalau demikian halnya, dapat dipersepsi bahwa kekuasaan selalu mengandung unsur-unsur negatif untuk dilawan. Secara luas dapat ditafsirkan bahwa mungkin sekali kekuasaan itu mengandung benih-benih amoral (termasuk kekerasan). Dengan demikian, kekuasaan dapat dipahami sebagai sesuatu yang dapat memuat moralitas dan dapat pula tidak memuat moralitas. Kekuasaan dapat dipilih dan dipisahkan dari moralitas.

Penegasan yang amat sangat mengenai keterpisahan kekuasaan dan moralitas dikemukakan secara eksplesit oleh Machiavelli. Bahkan

Machiavelli menganggap bahwa kekuasaan dan moralitas adalah suatu yang sangat amat berbeda dan tidak bisa disatukan. Bagi Machiavelli tidak

38Ibid., h. 39. 39Ibid., h. 38.

ada gunanya untuk membicarakan legitimasi moral (etis) bagi kekuasaan

politik demi “efektifitas” dari kekuasaan itu sendiri. Sehingga, negara

tidak perlu dibebani pandangan-pandangan moral dalam praktek-praktek

kekuasaannya.40

Memang benar juga bahwa kekuasaan politik merupakan sebagian

dari kekuasaan sosial, tidaklah mungkin dapat dijalankan dengan baik

tanpa menggunakan “kekuasaan” atau “sifat memaksa” secara fisik

seperlunya. Namun sifat memaksa ini bagaimanapun juga harus legitim.

Machiavelli menolak pemahaman mengenai kekuasaan yang “benar” itu,

ia merendahkan martabat dimensi kehidupan politik pada persaingan

antara para pemimpin “mafia” yang saling berebut kekuasaan. Tentu saja,

ini merupakan konsep kekuasaan yang tidak terhormat. Di sini ia

mereduksi paham kekuasaan pada tingkat yang paling rendah.41

Dapat dipahami secara teoritis logis bahwa kekuasaan secara

potensial dapat terpisah secara total dari moralitas (etika), dan secara

potensial dapat pula menyatu secara total dengan moralitas (etika),

sehingga dapat disimpulkan bahwa kekuasaan dan morallitas adalah dua

hal yang berbeda, dalam arti dapat dipilih (critein). Namun sering kali

dalam kenyataan empiris, kedua ekstrem itu tidak dapat terlihat dengan

jelas, yang lebih tampak adalah tarik ulur kekuasaan dengan moralitas

dalam mengaktualkan masing-masing kepentingan yang bersandar pada

40Dewanto Tarcisius, Pemisahan Moral dan Kekuasaan (Jakarta: PT, Bumi Askara, 2006), h. 27-30. 41Ibid., h. 68.

masing-masing keyakinan tertentu (ideologis) dari partisipasi kehidupan

politik yang ada.

B. Prinsip-prinsip Demokrasi

Dalam konteks inilah konsep teoritis demokrasi menawarkan prinsip-

prinsip umum dalam menjalankan pemerintahan yang baik, yaitu

pemerintahan yang senantiasa dalam kontrol dan partisipasi rakyat yang

penuh. Diawali dengan pertumbuhan nilai-nilai demokrasi dalam masyarakat,

dan disertai dengan tumbuhnya lembaga-lembaga demokrasi semisal trias

politika, maka sistem politik yang berdasarkan teori demokrasi akan terwujud

dalam kenyataan pemerintahan yang efektif.42

Dibawah ini akan diuraikan beberapa pendapat yang mengutarakan

prinsip-prinsip umum yang diturunkan dari teori demokrasi. William

Ebenstein menyebutkan ada delapan ciri utama dari konsep demokrasi barat,

yakni (1) empirisme rasional, (2) penekanan pada individu, (3) negara sebagai

alat, (4) kesukarelaan (voluntarism), (5) hukum di atas hukum, (6) penekanan

pada cara prosedural, (7) persetujuan sebagai dasar dalam hubungan

antarmanusia, dan (8) persamaan semua manusia. Bernhard Sutor

menyebutkan bahwa demokrasi memiliki tanda-tanda empiris, yaitu jaminan

terhadap hak-hak untuk mengeluarkan pendapat, memperoleh impormasi

bebas, kebebasan pers, berserikat dan berkoalisasi, berkumpul dan

berdemontrasi, mendirikan partai-partai, beroposisi, lalu pemilihan yang

42Ruf Maswadi, Otoritas dan Demokrasi (Jakarta: PT Rajawali, 1999), h. 17.

bebas, sama, rahasia, atas dasar minimal dua alternatif, dimana para wakil dipilih untuk waktu terbatas.43

Juan J. Linz dan Alfred Stepan juga membuat kriteria pokok mengenai demokrasi yaitu kebebasan hukum untuk merumuskan dan mendukung alternatif-alternatif politik dengan hak yang sesuai untuk bebas berserikat, berbicara, dan kebebasan-kebebasan dasar lain bagi setiap orang, dimasukanya seluruh jabatan politik yang efektif di dalam proses demokrasi dan hak untuk berperan serta bagi semua anggota masyarakat politik, apapun pilihan politik mereka secara praktis, ini berarti kebebasan untuk mendirikan partai-partai politik dan menyelenggarakan pemilihan umum yang bebas dan jujur pada jangka waktu tertentu tanpa menyingkirkan jabatan politis efektif apapun dari akuntabilitas pemilihan yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung.

Pengertian demokrasi memang memiliki konotasi yang luas dan bervariasi hingga kita sanggat sulit untuk menyusun sebuah definisi yang konkret dan dapat diterima secara universal. Menurut Woodrow Wilson, demokrasi akan menghilangkan lembaga-lembaga tiran yang ada dimasa lalu, dan menawarkan di dalamnya kekuatan emperatif (keharusan) pemikiran populer (umum/khalayak) dan lembaga-lembaga konkret suatu perwakilan populer, dan mereka menjanjikan untuk mereduksi (menyederhanakan) politik menjadi suatu bentuk tunggal dengan mengantikan seluruh lembaga

43Hendra Nurtjahjo, Op.Cit., h. 45.

dan kekuatan memerintah lainya dengan sebuah perwakilan yang demokratis.44

Dalam bentuk yang ideal, doktrin demokrasi tersebut menyuarakan kebebasan dan kesamaan untuk seluruh warga dari sebuah negara-negara untuk menyusun kehidupan politik dan ekonomi sesuai dengan kemampuan mereka. Doktrin ini menjamin kebebasan berfikir, berbicara, dan berkumpul sehingga tidak ada halangan apa pun bagi pengembangan sepenuhnya kemampuan manusia. Demokrasi dikagumi sebagai obat efektif melawan despotisme (kekuasaan tiran) yang merupakan hal lumrah bagi lembaga- lembaga politik masa lalu, seperti Monarki, Aristokrasi, dan Oligarki.45

Reinbilf Zippelius menegaskan bahwa pemilihan umum harus dengan efektif menentukan siapa yang memimpin negara dan arah kebijakan apa yang mereka ambil, serta bahwa dalam demokrasi, pendapat umum memainkan peranan penting. Jack Liveli menyebut tiga kriteria kadar demkratisan sebuah negara: (1) sejauh mana semua kelompok utama terlibat dalam proses-proses pengambilan keputusan, (2) sejauh mana keputusan pemerintah berada di bawah kontrol masyarakat, (3) sejauh mana warga negara biasa terlibat dalam administrasi umum. Hanry B. Mayo mencatat ada paling tidak sembilan nilai yang mendasari demokrasi, yaitu: (1) menyelesaikan perselisihan dengan damai dan sukarela, (2) menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah, (3) menyelenggarakan pergantian pemimpin secara teratur,

44Ibid., h. 48. 45Riza Noer Arfani, Op.Cit., h. 123.

(4) membatasi pemakaian kekerasan secara minimun, (5) adanya keanekaragaman (prurality), (6) tercapainya keadilan, (7) yang paling baik dalam memajukan ilmu pengetahuan, (8) kebebasan, dan (9) adanya nilai- nilai yang dihasilkan oleh kelemahan sistem yang lain. menanggapi ragam perumusan mengenai demokrasi, Miriam Budardjo dalam pidato peanugrahan

Gelar Doctor Honoris Causa dalam ilmu politik di Universitas Indonesia, menyebutkan salah satu unsur terpenting dari semua definisi demokrasi ialah accountability, atau dengan kata lain accountability merupakan suatu core value dari demokrasi. Accountability adalah pertanggung jawaban dari pihak yang diberi mandat untuk memerintah, kepada mereka yang memberi mandat itu. Dalam teori politik tradisional, rakyatlah yang memberi kekuasaan kepada pihak lain untuk memerintah dan pemerintah bertanggung jawab kepada rakyat. Ini dinamakan kedaulatan rakyat.46

Untuk melengkapi berbagai ciri dan pengertian demokrasi, patut dikutif sebuah definisi yang dibuat oleh Samuel Huntington. Menurutnya, sebuah sistem politik disebut demokratis bila para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam sistem itu dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur, berkala, dan didalam sistem itu para calon bebas bersaing untuk memperoleh suara dan hampir semua penduduk dewasa berhak memberikan suara.

Definisi ini ternyata memberikan ciri-ciri demokrasi yang lebih sederhana dibandingkan dengan yang sebelumnya karena hanya menekankan pada

46Hendra Nuertjahjo, Op.Cit., h. 50.

pemilu yang adil, jujur, berkala, dan kompetitif serta adanya hak pilih bagi rakyat.

Sementara itu, Franz-Magnis Suneno langsung memasang demokrasi dalam konteks negara, yaitu negara demokratis. Magnis menyebutkan bahwa ada lima ciri-ciri hakiki negara demokrasi, yaitu: (1) negara hukum, (2) pemerintahan yang di bawah kontrol nyata masyarakat, (3) pemilihan umum yang bebas, (4) prinsip mayoritas, (5) adanya jaminan terhadap hak-hak demokrasi. Dalam hal ini Magnis menegaskan bahwa suatu negara hukum tidak mesti demokratis. Pemerintahan monarkis atau paternalistik pun dapat taat kepada hukum. Tetapi demokrasi yang bukan negara hukum bukanlah demokrasi dalam arti sesungguhnya. Dengan kata lain sebenarnya magnis ingin menyatakan bahwa demokrasi harus dijalankan melalui suatu kontruksi negara yang berdasarkan atas hukum.

Dari ragam pendapat mengenai nilai-nilai yang terangkum dari teori demokrasi masing-masing pakar tersebut, dapat disimpulkan dalam beberapa hal, yaitu: (1) adanya nilai-nilai yang bersifat substansial, (2) adanya nilai- nilai yang bersifat instrumental (prosedural) yang menjadi mekanisme penentu agar pesetujuan menjadi absah. Kedua kategori nilai tersebut, baik substansial maupun prosedural, sama pentingnya dalam eksistensi suatu tatanan teoretis yang disebut sebagai demokrasi. Tanpa adanya nilai atau prinsip tersebut, demokrasi tidak mungkin ada.

Muhammad A,S. Hikam dalam buku “politik kewarganegaraan”

menyebut tentang prinsip-prinsip dasar demokrasi. Prinsip-prinsip tersebut

yang terpenting adalah (1) kedaulatan berada di tangan rakyat, (2) jaminan

hak-hak dasar warga negara, (3) sistem perwakilan, (4) partisipasi warga

negara dalam proses pengambilan keputusan, (5) persamaan di depan hukum

bagi warga negara, (6) rul of law, (7) pertanggung jawaban penguasa kepada

warga negara.47

Setiap penyelenggara ketatanegaraan yang gagal memenuhi berarti

kehilangan legitimasinya, baik legitimasi yuridis, politis maupun etis. Rezim-

rezim yang berkuasa di republik ini, dengan demikian mesti diukur

kesuksesanya dan kegagalanya didalam melaksanakan praktek ketatanegaraan

dengan prameter yang ditetapkan seperti itu. Oleh karena itu, struktur dan

format politik yang dikembangkan didalam masyarakat harus secara

konsisten mengutamakan prinsip-prinsip tersebut. Jika tidak, maka sudah

pasti bahwa praktek ketatanegaraan yang akan dimunculkan tidak mungkin

bisa mengklaim sebagai demokrasi, baik secara prosedural apalagi secara

substantif.

Dalam kaidah-kaidah hukum Islam banyak ditemukan masalah-masalah

yang berkaitan dengan negara dan sistem pemerintahanya, seperti prinsip

musyawarah, pertanggung jawab dengan pemerintah, kewajiban taat kepada

penguasa, perdamaian dan perjanjian antara ummat Islam dengan golongan

47Muhammad A,S. Hikam, Politik Kewarganegaraan: Landasan Demokrasi Di Indonesia (Jakarta: Erlangga, 1999), h. 126.

lain, dan sebagainya. Dalam Islam dijelaskan tentang prinsip-prinsip politik pemerintah, antara lain:

1. Prinsip Kepemimpinan sebagai amanah

            

                

Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat, (An- nisa:58).48

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa manusia diwajibkan

menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan manusia

diwajibkan menetapkan hukum dengan adil. Perkataan amanah yang

secara leksikal berarti “tenang dan tidak takut”. Jika kata tersebut

dijadikan kata sifat, maka ia mengandung pengertian “segala sesuatu

yang dipercayakan seseorang kepada orang lain dengan rasa aman”.

Dengan demikian jika perkataan amanah dibawa dalam konteks

kekuasaan negara, maka perkataan tersebut dapat dipahami sebagai suatu

pendelegasian atau pelimpahan kewenangan dan karena itu kekuasaan

dapat disebut sebagai mandat yang bersumber atau berasal dari Allah

SWT.

48J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), h. 5.

2. Prinsip Musyawarah

Dalam Al-Qur‟an ada dua ayat yang menggariskan prinsip

musyawarah sebagai salah satu prinsip dasar dalam Islam. Ayat pertama

terdapat dalam surah Asy-Syuura.

        

  

Artinya: Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka (Asy-Syuura: 38).49

Sedangkan surah yang kedua terdapat pada surah Ali-Imran.

             

             

       

Artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya (Ali- Imran:159).50

49Beni Ahmad Saebani, Fiqh Siyasah (Bandung: CV Pustaka Setia, 2015), h. 126. 50Ibid., h. 127.

Ayat pertama menggambarkan bahwa dalam setiap persoalan yang

menyangkut masyarakat atau kepentingan umum, Nabi Muhammad

SAW selalu mengambil keputusan setelah melakukan musyawarah

dengan para sahabatnya. Ayat kedua menekankan perlunya diadakan

musyawarah atau lebih tegasnya umat Islam wajib bermusyawarah dalam

memecahkan setiap masalah kenegaraan. Kewajiban ini terutama

dibebankan kepada setiap penyelenggara kekuasaan negara dalam

melaksanakan kekuasaannya.

Musyawarah dapat diartikan sebagai suatu forum tukar-menukar

pikiran, gagasan ataupun ide, termasuk saran-saran yang diajukan dalam

memecahkan suatu masalah sebelum tiba pada suatu pengambilan

keputusan. Jika dilihat dari sudut kenegaraan, maka musyawarah adalah

suatu prinsip konstitusional dalam Islam yang wajib dilaksanakan dalam

suatu pemerintahan dengan tujuan untuk mencegah lahirnya keputusan

yang merugikan kepentingan umum atau rakyat. Dengan demikian

musyawarah berfungsi sebagai “rem” atau pencegah kekuasaan yang

absolut dari seorang penguasa atau kepala negara.51

3. Prinsip Keadilan

Perkataan keadilan sama dengan musyawarah yang bersumber dari

Al-Qur‟an. Cukup banyak ayat-ayat Al-Qur‟an yang menggambarkan

tentang keadilan, di antaranya terdapat dalam surah al-Nisaa.

51J. Suyuthi Pulungan, Op.Cit., h. 7.

        .     

              

             



Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan An-Nisaa: 135).52

Dari ayat tersebut di atas sekurang-kurangnya dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut:

a. Orang-orang yang beriman wajib menegakkan keadilan.

b. Setiap mukmin apabila ia menjadi saksi ia diwajibkan menjadi saksi

karena Allah dengan sejujur-jujurnya dan adil..

c. Manusia dilarang mengikuti hawa nafsu.

d. Manusia dilarang menyelewengkan kebenaran.

Keadilan merupakan salah satu prinsip yang sangat penting dalam

Alquran. Oleh karena itu Allah sendiri memiliki sifat Maha Adil.

Keadilan-Nya penuh dengan kasih sayang kepada makhluk-Nya (rahman

dan rahim). Dalam Islam, keadilan adalah kebenaran. Kebenaran adalah

merupakan salah satu nama Allah SWT. Allah SWT adalah sumber

52Beni Ahmad Saebani, Op.Cit., h. 124.

kebenaran yang di dalam Al-Qur‟an disebut Al-Haq. Oleh karena itu, Al-

Syaukani, sebagaimana yang dikutip Abd. Muin Salim, menyatakan

bahwa keadilan adalah menyelesaikan perkara berdasarkan ajaran yang

terdapat dalam Al-Qur‟an dan Sunnah, bukan menetapakan hukum

dengan pikiran.

Apabila prinsip keadilan dibawa ke fungsi kekuasaan negara, maka

ada tiga kewajiban pokok bagi penyelenggara negara atau suatu

pemerintahan sebagai pemegang kekuasaan, yaitu:

a. Kewajiban menerapkan kekuasaan negara yang adil, jujur, dan

bijaksana.

b. Kewajiban menerapkan kekuasaan kehakiman yang seadil-adilnya.

c. Kewajiban penyelenggara negara untuk mewujudkan suatu tujuan

masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera di bawah keridhaan

Allah.53

4. Prinsip Persamaan

Prinsip Persamaan dalam Islam dapat dipahami dari Al-Qur‟an

Surah Al-Hujuurat.

         

            

Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu

53J. Suyuthi Pulungan, Op.Cit., h. 6.

saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal (Al-Hujuurat:13).54

Ayat itu melukiskan bagaimana proses kejadian manusia. Allah

telah menciptakannya dari pasangan laki-laki dan wanita. Pasangan yang

pertama adalah Adam dan Hawa, kemudian dilanjutkan oleh pasangan-

pasangan lainnya melalui suatu pernikahan atau keluarga. Jadi semua

manusia melalui proses penciptaan yang “seragam” yang merupkan suatu

kriterium bahwa dasarnya semua manusia adalah sama dan memiliki

kedudukan yang sama. Inilah yang disebut prinsip persamaan.55

5. Prinsip Perdamaian

Islam adalah agama perdamaian. Olehnya itu Al-Qur‟an sangat

menjunjung tinggi dan mengutamakan perdamaian sebagaimana yang

termaksut dalam surah al-Baqarah (2): 208.

         

      

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu (al-Baqarah:208).56

54Beni Ahmad Saebani, Op.Cit., h.125. 55J. Suyuthi Pulungan, Op.Cit., h. 8. 56Beni Ahmad Saebani, Op.Cit., h.25.

6. Prinsip Kesejahteraan

Prinsip kesejahteraan dalam Islam bertujuan untuk mewujudkan

keadilan sosial dan keadilan ekonomi bagi seluruh anggota masyarakat

atau rakyat. Tugas itu dibebankan kepada penyelenggara negara dan

masyarakat. Al-Qur‟an telah menetapkan sejumlah sumber-sumber dana

untuk jaminan sosial bagi anggota masyarakat yang memerlukannya

dengan berpedoman pada prinsip keadilan sosial dan keadilan ekonomi.

Sumber-sumber dana tersebut antara lain adalah: zakat, sadaqah, hibah,

dan wakaf. Mungkin juga dari pendapatan Negara seperti pajak, bea, dan

lain-lain. Sehingga masyarakat dapat sejahtera dengan menggunakan

prinsip ini sesuai dengan penempatannya.57

C. Demokrasi di Indonesia

Demokrasi yang merupakan pemerintahan oleh rakyat itu, adalah

cermin dari suatu proses budaya dalam usaha menjabarkan konsep kekuasaan

dari masyarakat. Kebudayaan, yang pada hakekatnya adalah suatu upaya

dialektis dari masyarakat untuk menjawab tantangan yang di hadapkan

kepadanya pada setiap tahap kemantapan perkembangan, memberi ruang

gerak yang cukup luas kepada masyarakat untuk sewaktu-waktu mengkaji

kemantapan tersebut. Maka, apa yang disebut sebagai proses demokrasi

adalah, suatu bagian dari proses kebudayaan, karena ia merupakan kekuatan

yang menggerakan proses pembentukan sosok baru dari suatu konsep

57J. Suyuthi Pulungan, Op.Cit., h. 14.

kekuasaan, yang di anggap dapat menggantikan konsep lama yang dirasakan telah usang oleh suatu masyarakat.

Walaupun pada asasnya negara-negara yang menjalankan sistem demokrasi ini menyelenggarakan dengan jalan perwakilan, tetapi cara yang dipergunakan oleh masing-masing negara ternyata banyak berbeda antara negara yang satu dengan negara lainya, walaupun tentu saja di sana-sini terdapat juga adanya kesamaanya. Adapun perbedaanya itupun tidak menunjukan kepada hal yang tertentu tetapi menunjuk kepada bermacam- macam soal. Artinya, di dalam hendak menyelenggarakan sistem demokrasi dengan jalan perwakilan ini masing-masing negara mempunyai cara sendiri- sendiri yang disesuikan menurut kebutuhan serta keadaan daripada masing- masing negara itu sendiri.

Setidaknya, tuntutan demokratisasi beberapa wilayah Islam khususnya

Indonesia itu di dorong oleh dua faktor berikut: Pertama, secara faktual dibeberapa kawasan ini, utamanya yang menganut sistem politik sentralistik atau monarki, sistem politik yang ada cenderung represif dan bahkan korup.

Pada saat yang sama pertumbuhan ekonomi berjalan lamban dan tingkat pengangguran semakin tinggi. Kenyataan ini tidak bisa tidak menimbulkan tuntutan baru, utamanya di kalangan muda yang ingin melihat negaranya lebih demokratis. Kedua, dibeberapa kawasan Islam itu muncul kelas-kelas intelektual yang secara serius dan konsisten memperjuangkan nilai-nilai demokrasi yang di anggap suatu keharusan bagi peradapan manusia. Kaum intelektual generasi baru itu tumbuh subur terutama di negara yang sistem

politiknya relatif memberikan kebebasan kepada mereka untuk mengeluarkan

pikiran dan pendapatnya.

Bagi Abdurrahman Wahid, landasan demokrasi adalah keadilan

kemandirian untuk mengatur hidupnya, sesuai dengan apa yang dia inginkan.

Intinya demokrasi menuntut adanya keadilan dan mensyaratkan adanya

otonomi setiap individu. Akan tetapi demokrasi tidak mengakui adanya

kemutlakan, sebab pada dasarnya demokrasi merupakan proses tawar

menawar dan negosiasi secara terus menerus. Dengan demikian demokrasi

selalu menyisahkan hal-hal yang masih bisa dinegosiasikan. Dalam konteks

ini Abdurrahman Wahid berpendapat bahwa perjuangan menegakkan

demokrasi tidak bisa dilakukan sekali saja, tapi butuh waktu yang panjang

dan kesabaran yang tinggi disamping itu juga keseriusan.58

Selanjutnya Abdurrahman Wahid menegaskan tentang demokrasi

beliau mengatakan: “di negeri kita demokrasi belum lagi tegak dengan kokoh,

masih lebih berupa hiasan luar bersifat kosmetik dari pada sikap yang

melandasi pengaturan hidup yang sesungguhnya” jika tidak ada usaha

sungguh-sungguh untuk menegakkan demokrasi yang benar dinegeri ini,

tentu aspirasi-aspirasi itu akan terbendung oleh kekuatan-kekuatan anti

demokrasi. Karenanya, dari sekarang sebenarnya telah dituntut diri kita untuk

memperjuangkan kebebasan dan menyempurnakan demokrasi yang ada di

negeri ini. Perjuangan itu haruslah dimulai dengan kesediaan menumbuhkan

58Abdul Ghofur, Demokrastisasi Dan Prospek Hukum Islam Di Indonesia (Studi Atas Pemikiran Gus Dur) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2002), h. 6.

moralitas baru dalam kehidupan bangsa, yaitu moralitas yang merasa teribat

dengan penderitan-penderitaan rakyat dibawah.59

Hal ini dapat dilihat pada penggunaan kata demokrasi dalam sistem

ketatanegaraan Uni Soviet yang disebutnya sebagai demokrasi Soviet atau di

Indonesia yang pada awal kemerdekaanya menggunakan istilah demokrasi

terpimpin yang setelah itu pada masa “orde baru” berubah menjadi demokrasi

pancasila dan pada masa reformasi sekarang masih banyak yang berpendapat

bahwa demokrasi Indonesia ini adalah demokrasi tanpa nama. Padahal istilah

demokrasi menurut asal kata berarti rakyat berkuasa atau government by the

people (kata yunani demos berarti rakyat, kratos/kratein berarti kekuasaan

atau berkuasa).60 Dan dari penggunaan istilah demokrasi pada kedua Negara

tersebut berdasarkan catatan sejarah yang telah ada, di dua Negara tersebut

sama sekali tidak menunjukan keterlibatan rakyat dalam pengambilan

kebijakan yang dilakukan pemerintah dan demokrasi hanyalah menjadi

slogan pemerintah untuk menarik simpati rakyat saja.

Mengenai model sistem pemerintahan negara, ada empat macam sistem

pemerintahan negara, yaitu: sistem pemerintahan diktator (diktator borjuis

dan proleter), sistem pemerintahan parlementer, sistem pemerintahan

presidentil, dan sistem pemerintahan campuran.61

59Ibid., h. 93. 60Bagir Manan, Teori Dan Politik Konstitus (Jakarta: Fh UII Press, 2003), h. 140. 61Sumarsono, Pendidikan Kewarganegaraan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2015), h. 21.

Perbedaan itu dapat menunjukan kepada cara penunjukanya daripada

wakil-wakil rakyat, dapat pula mengenai cara penyusunanya daripada badan

perwakilanya, sehubungan antara badan perwakilan dengan badan-badan

lainya khususnya badan yang menyelenggarakan pemerintahanya, tugas dan

wewenangnya dari pada badan-badan perwakilan dan lainya. Semuanya itu

menunjukan bahwa jarang sekali ketatanegaraan suatu negara sepenuhnya

akan sama dengan ketatanegaraan yang lainya, walalupun asasnya sama yaitu

asas menyelenggarakan suatu sistem pemerintahan oleh rakyat (demokrasi)

dengan jalan perwakilan. Kesulitan yang dialami oleh banyak negara

demokrasi baru menunjukan bahwa membentuk suatu negara demokrasi

merupakan suatu hal yang sulit, dan hal lainya, yang sering kali lebih sulit

adalah tugas mempertahankanya, serta memberikan vitalitas dan makna

kepadanya.62

1. Sistem Demokrasi Indonesia

Ciri-ciri pokok demokrasi adalah: Pertama, berciri kedaulaan

rakyat. Rakyatlah yang berdaulat dan berhak bersuara. Hak bersuara ada

yang tidak bersifat langsung, seperti yang terdapat dinegara swis. Tetapi

banyak pula yang melalui badan-badan perwakilan yang anggotanya

dipilih rakyat (representative democracy). Indonesia memilih yang

terahir ini, seperti tersimpul dalam UUD 1945 “kerakyatan yang

dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/

perwakilan”. Kedua, berciri musyawarah untuk mufakat, bisa dengan

62Larry Diamond, The Democratic Revolution, Diterjemahkan Oleh Matheos Nalle, Revolusi Demokrasi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), h. 22.

suara bulat (konsensus), bisa pula dengan suara terbanyak (mayority

vote). Tersimpul disini kesempatan mengungkapkan pikiran rakyat dan

memperjuangkan aspirasinya. Untuk memungkinkan rakyat untuk

mengungkapkan aspirasi dan pikiranya, dibutuhkan suasana keterbukaan.

Keterbukaan untuk menerima informasi seluas mungkin bagi

pengembangan aspirasinya. Keterbukaan dalam mengungkapkan pikiran

dan keterbukaan dalam kesempatan mewujudkan prakarsa dan aspirasi

masyarakat. Ketiga, berciri pemikulan tanggung jawab atas pikiran dan

perbuatan diri (accountability). Orang harus memikul tanggung jawab

atas ungkapan dan perbuatanya. Rasa tanggung jawab ini tumbuh tidak

terhadap diri sendiri, tetapi juga terhadap masyarakat, bangsa, negara dan

tuhan, sehingga kebebasan mengungkap bertidak dilaksanakanya dalam

ruang lingkup rasa tanggung jawab yang luas tersebut.63

Demokrasi yang ada di Indonesia, adalah demokrasi Pancasila;

pelembagaanya mengikuti landasan konstitusional UUD 1945,

pengembangan demokrasi harus menunjang proses pembangunan, begitu

pula sebaliknya. Proses-proses demokrasi itu sendiri tidak terlepas dari

berbagai masalah seperti ketidakpatuhan, proses dan lain-lain kegaduhan.

Sebaliknya, demokrasi itu jarang sekali tidak stabil, dan kestabilan ini

lebih terjamin justru dengan memantapkan demokrasi.64 Sri Soemantri

mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan demokrasi pancasila

adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanan dalam

63Elza Perdi Taher (Ed), Demokratisasi Politik, Budaya Dan Ekonomi (Jakarta: Temprint, 1994), h. 156. 64Ibid., h. 160.

permusyawaratan/perwakilan yang mengandung semangat ketuhanan

yang maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradap, persatuan Indonesia

dan keadila sosial.65

Jadi, apabila kita membedakan demokrasi Pancasila dengan

demokrasi-demokrasi yang lain, maka secara fundamental perbedaan itu

terletak pada predikat pancasilanya. Selain itu, demoktasi pancasila yang

berlaku di Indonesia tidaklah mungkin dilaksanakan dengan hanya satu

cara saja. Dengan kata lain, apa yang dirumuskan dan ditentukan dalam

batang tubuh UUD 1945 bukanlah satu-satunya perwujudan atau

implementasi daripada demokrasi pancasila.

2. Beberapa Prinsip Demokrasi Pancasila

Setiap demokrasi yang berkembang di setiap negara, pasti ada

prinsip dasar yang menyertainya. Ada beberapa prinsip demokrasi

pancasila yang berlaku dalam sistem politik pemerintahan Indonesia,

antara lain:

a. Prinsip Persamaan

Dalam demokrasi pancasila, suatu sistem politik demokratis

dengan sendirinya mencakup nilai persamaan. Dengan sila

kemanusiaan yang adil dan beradap, manusia diakui dan

diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai mahluk

tuhan, yang sama derajadnya, sama hak dan kewajiban asasinya,

65Sri Soemantri, Demokrasi Pancasila (Bandung: Sinar Grafika, 1998), h. 7.

tanpa membedakan suku, keturunan, jenis kelamin, agama dan

sebagainya.

b. Keadilan Sosial

Konstitusi kita menyatakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat

sebagai tujuan. Diantara tiga komponen primer demokrasi yang

terdiri dari kewargaan (civil), politik dan sosial, dalam satu segi,

komponen “sosial” adalah hal yang paling fundamental.

c. Musyawarah

Melalui musyawarah maka akan terikat satu sama lain untuk

mewujudkan tujuan bersama. Seperti dirumuskan dalam sila

keempat dasar negara kita “hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan”.

Dengan demikian sistem politik pancasila harus benar-benar berkemampuan melaksanakan fungsi-fungsi penciptaan kehidupan politik yang sehat dan dinamis, mengembangkan kesadaran dan tanggung jawab politik warga negara, dan bergeraknya rakyat dalam proses politik. Semua fungsi tersebut harus diselenggarakan secara serasi dan sinergis tampa harus menumbuhkan iritasi nasional, sehingga pendidikan politik dapat membangun kekuatan rakyat yang demokratis.

Faktor-faktor utama demokrasi itu ada enam yaitu: (1) format politik,

(2) persamaan dan kebersamaan, (3) keterbukaan, (4) sistem politik

pluralistik, (5) clean government dan negara kekeluargaan, (6) budaya politik

emansipatif, partisifatif dan terbuka.66

D. Persfektif Fiqh Siyasah Terhadap Demokrasi di Indonesia

Dalil-dalil syar‟iyah yang di ambil daripadanya hukum-hukum syariah

berpangkal dari empat pokok yaitu: Al-Qur‟an, Al-Sunnah, Al-Ijma, Al-

Qiyas. Jadi apabila terjadi suatu kejadian maka pertama kali harus di cari

hukumnya di dalam Al-Qur‟an, bila telah ditemukan hukum di dalamnya

maka harus dilaksanakan hukum itu. Apabila tidak ada disana, maka harus

melihat Al-Sunnah, bila telah ditemukan hukum di dalamnya maka harus

dilaksanakan hukum itu. Termasuk juga Al-Ijma dan Al-Qiyas.67

Di Indonesia sebagai negara hukum, pemerintahan dan rakyatnya

bergerak dengan berpedoman pada hukum. Pancasila dan UUD 1945 sebagai

hukum dasar negara Republik Indonesia menentukan dan mengacu arah dan

sifat serta sikap aparatur dan masyarakat dalam menegakan hukum dan

menaati hukum.

Hukum Islam sebagai tatanan hukum yang ditaati oleh mayoritas

penduduk dan rakyat Indonesia adalah hukum yang telah hidup di dalam

masyarakat, merupakan sebagian dari ajaran dan keyakinan Islam dan ada

dalam pembinaan dan pengembanganya. Dari sumber ajaranya, relitas

kehidupan hukum masyarakat, sejarah pertumbuhanya, dan perkembangan

hukum di Indonesia, yang menyangkut teori berlakunya hukum Islam di

66Saefudin, Ijtihat Politik (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 41. 67Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), h. 18.

Indonesia, terlihat ada beberapa teori yang sudah mantap dan dalam

pertumbuhanya. Dari sumber ajaran Islam, terlihat ada banyak ayat Al-Qur‟an

dan sunnah Rasul yang mengambarkan bahwa orang yang beriman

berkewajiban menaati hukum Islam. Tingkatan kehidupan beragam seorang

muslim dikaitkan dengan sikap dan ketaatanya kepada ketentuan Allah dan

Rasulnya.68

Demokrasi bagi sebagian ummat Islam sampai dengan saat ini masih

diperselisihkan. Ada yang menerima maupun menolaknya dengan secara

tegas tentang pemakaian sistem demokrasi di Indonesia tersebut. Ada tiga

pandangan Islam terhadap Demokrasi yaitu :69

1. Antara agama dan demokrasi tidak bisa dipertemukan bahkan saling

berlawanan ibaratnya agama vs demokrasi. Dalam masyarakat Islam

terdapat petunjuk yang cukup kuat bahwa sebagian para ulama dan para

penguasa politik memandang bahwa dalam Islam tidak ada tempat yang

layak bagi paham demokrasi. Secara harfiah demokrasi berarti kekuasaan

berada dalam genggaman rakyat, sedangkan doktrin Islam mengatakan

bahwa hanya Tuhan yang memiliki kekuasaan. Oleh karenanya

demokrasi yang memiliki dalil bahwa legitimasi kekuasaan bersumber

dari mayoritas rakyat tidak diberlakukan. Justru sejarah menunjukkan

bahwa para Rasul-rasul Allah selalu merupakan kekuatan minoritas yang

melawan satu mayoritas.

68 Rachmat Djatnika, Hukum Islam di Indonesia (Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 1999), h. 100. 69Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003), h. 126.

Ada tiga pendapat yang mengatakan mengapa agama bertentangan

dengan prinsip-prinsip demokrasi yaitu: Pertama, secara historis-

sosiologis yang menjelaskan bahwa sejarah agama memberikan

gambaran peran agama tidak jarang hanya digunakan oleh penguasa

politik dan pimpinan organisasi keagamaan untuk mendukung

kepentingan kelompok. Kedua, Secara filosofis mengatakan bahwa

keterkaitan pada doktrin agama akan menggeser otonomi dan

kemerdekaan manusia, yang berarti juga menggeser prinsip-prinsip

demokrasi. Ketiga, secara teologis dikatakan karena agama bersifat

deduktif, metafisis, dan selalu menjadi rujukannya pada Tuhan, padahal

Tuhan tidak hadir secara empiris, konkrit, dan bersifat dinamis, maka

agama tidak memiliki kompetensi berbicara dan menyelesaikan persoalan

demokrasi. Hanya ketika agama disingkirkan maka manusia akan lebih

leluasa, dan jernih berbicara soal demokrasi.70

2. Antara agama dan demokrasi bersifat netral dimana keduanya berjalan

sendiri-sendiri atau lebih populer dengan istilah sekulerisasi politik. Ciri

pokok dari kehidupan sekuler ini, yaitu adanya penekanan pada prinsip

rasionalitas dan efisiensi yang diberlakukan dalam bidang kehidupan

faktual empiris sehingga pada gilirannya agama semakin tersisih menjadi

urusan pribadi. Jadi, dalam pandangan kedua ini antara agama dan

demokrasi tidak terdapat titik singgung dimana ajaran agama tidak

mengurus masalah agama.

70A. Ubaidillah, Pendidikan Kewarganegaraan (Jakarta: Jakarta Press, 2000), h. 195.

3. Agama dan demokrasi mempunyai kesejajaran dan kesesuaian. Agama

secara teologis maupun sosiologis sangat mendukung proses

demokratisasi politik, keberadaan agama dapat menjadi roh sekaligus

inspirasi bagi demokrasi. Banyak ajaran agama yang sangat relevan

dengan ajaran demokrasi. Kehadiran agama senantiasa membawa imbas

pada perombakan struktur masyarakat yang dicekam oleh kekuasaan

yang zalim dan otoriter menuju terwujudnya struktur dan tatanan

masyarakat yang demokratis. Di Indonesia sendiri lebih dominan

menggunakan pendapat yang ketiga ini.

Pengejawataan Islam dalam ideologi negara dan pandangan hidup

bangsa, merupakan salah satu model bagaimana Islam berhubungan dengan

negara. Dalam kasus Indonesia, negara yang demikian majemuk susunan

warga negara dan situasi geografisnya telah menempatkan Islam bukan satu-

satunya agama yang ada. Dengan kata lain negara harus memberikan layanan

yang adil kepada semua agama yang diakui. Negara pancasila dapat diterima

ummat Islam di karena Islam tidak mengenal konsep negara Islam dan sistem

pemerintahan yang definitif. Menurut Abdurrahman Wahid konsep negara

Islam tidak dikenal dalam Al-Qur‟an dengan menjelaskan sistem alih

kepemimpinan negara (suksesi) yang berbeda-beda. Konsep suksesi sebagai

bagian penting dalam sistem negara seharusnya jelas dan definitif dan hal itu

ternyata tidak dimilki oleh Islam.71

71Ali Masykur Musa, Pemikiran dan Sikap Politik Gusdur (Jakarta: Erlangga,2002), h. 103-104.

Mayoritas bangsa Indonesia beragama Islam, keadaan itu mendorong pada cita-cita pembentukan hukum nasional yang sesuai kepada cita-cita moral yang terbentuk oleh cita-cita batin dan kesadaran hukum rakyat

Indonesia. Islam banyak mempengaruhi pemikiran dan semangat kemerdekaan bangsa Indonesia dan terbentuknya negara Republik

Indonesia.72

Menurut UUD 1945, hukum agama dan hukum Islam itu penting.

Dalam UUD 1945 terlihat bahwa ajaran Islam masuk dan memberikan dasar pemikiran utama. Misalnya dalam alinea ketiga pada pembukaan UUD 1945 ada istilah “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa” dan juga istilah

“musyawarah”.73

Perbedaan dan persamaan demokrasi Indonesia dan demokrasi Islam dilihat dari pandangan M.Amien Rais yaitu persamaannya adalah sama-sama adanya pemilihan dan pengangkatan serta pertanggungjawaban terhadap negara dan masyarakat. Sedangkan perbedaannya adalah rakyat tidak memegang kedaulatan mutlak, tetapi dibatasi oleh hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur‟an dan Al-Hadist.

Adapun dasar hukum demokrasi menurut hukum Islam yaitu:

1. Al-Qur‟an

Al-Qur‟an adalah kumpulan wahyu Allah yang diturunkan kepada

Nabi Muhammad SAW dan termuat dalam mushaf bersifat autentik

(semuanya adalah betul-betul dari Allah SWT). Wahyu tersebut diterima

72 Rachmat Djatnika, Op.Cit., h. 97. 73 Ibid., h. 98.

Nabi Muhammad SAW dari Allah melalui Malaikat Jibril. Kesemuanya

di informasikan oleh Al-Qur‟an yang terdapat dalam surat (Al-Imran ayat

159), dan Autentik Al-Qur‟an dapat dibuktikan dari kehati-hatian para

sahabat Nabi memeliharanya sebelum ia dibukukan dan dikumpulkan.

Begitupula kehati-hatian para sahabat dalam membukukan dan

memelihara penggandaannya. Sebelum dibukukan, ayat-ayat Al-Qur‟an

berada dalam rekaman teliti para sahabat, baik melalui hafalan yang kuat

dan setia atau melalui tulisan di tempat yang terpisah. Al-Qur‟an

disebarluaskan secara periwayatan oleh orang banyak yang tidak

mungkin bersekongkol untuk berdusta.

Berikut adalah fungsi turunnya Al-Qur‟an kepada ummat

manusia74, antara lain:

atau petunjuk bagi kehidupan manusia هُ ًدى a. Sebagai

atau keberuntungan yang diberikan Allah dalam رحمة b. Sebagai

bentuk kasih sayangNya.

,atau pembeda antara yang baik dengan yang buruk فرقان c. Sebagai

yang halal dengan yang haram, yang salah dengan yang benar, yang

indah dengan yang jelek, yang dapat dilakukan dan yang terlarang

dilakukan.

atau pengajaran yang akan mengajar dan موعظة d. Sebagai

membimbing manusia dalam kehidupannya agar mendapatkan

kebahagiaan dunia dan akhirat.

74Syekh H. Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir Ahkam (Jakarta: Kencana, 2006), h. 334.

atau berita gembira bagi orang yang telah berbuat baik بشرى e. Sebagai

kepada Allah dan sesama manusia.

yang berarti penjelasan terhadap segala مبيه atau تبيان f. Sebagai

sesuatu yang disampaikan Allah.

atau pembenar terhadap kitab yang datang مصدق g. Sebagai

sebelumnya. Ini berarti Al-Qur‟an memberikan pengakuan terhadap

kebenaran Taurat, Zabur, Injil berasal dari Allah.

atau cahaya yang akan menerangi kehidupan manusia وور h. Sebagai

dalam menempuh jalan menuju keselamatan.

yaitu memberikan penjelasan secara rinci sehingga تفصيل i. Sebagai

dapat dilaksanakan sesuai dengan yang dikehendaki Allah.

.atau obat bagi rohani yang sakit شفاءالصدور j. Sebagai

.yaitu sumber kebijaksanaan حكيم k. Sebagai

Al-Qur‟an adalah dasar hukum yang menduduki peringkat pertama dalam menentukan hukum-hukum yang berlaku dalam kehidupan beragama. Adapun dasar hukum demokrasi (musyawarah) yang disyariatkan dalam Islam yang bersumber dari Al-Qur‟an adalah firman

Allah Surat Ali-‟Imraan ayat 159:

             

            

        

Artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.75

Maksud dari ayat ini adalah dalam menghadapi semua masalah

harus dengan lemah lembut melalui jalur musyawarah untuk mufakat,

tidak boleh dengan hati yang kasar dan perilaku kekerasan.

Mengutamakan musyawarah untuk mufakat dalam menyelesaikan setiap

urusan. Apabila telah dicapai suatu kesepakatan, maka semua pihak harus

menerima dan bertawakal (menyerahkan diri dan segala urusan) kepada

Allah. Allah mencintai hamba-hambanya yang bertawakkal.

2. Al-Hadist

Al-Hadist adalah sumber kedua setelah Al-Qur‟an. Secara

etimologi, hadits berarti tata cara. Menurut pengarang kitab Lisan al-

„Arab (mengutip pendapat Syammar) hadits pada mulanya berarti cara

atau jalan, yaitu jalan yang dilalui orang-orang dahulu kemudian diikuti

oleh orang-orang belakangan. Menurut ahli usul fiqh, Hadits adalah

sabda Nabi Muhammad SAW yang bukan berasal dari Al-Qur‟an,

pekerjaan, atau ketetapannya.76 Hadits sering disebut sebagai cara

75Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah (Jakarta: Prenada Media Group, 2014), h. 214. 76M.M. Azami, Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (Pejanten Barat: Pustaka Firdaus, 2000), h.13.

beramal dalam agama berdasarkan apa yang dinukilkan dari Nabi

Muhammad SAW. Fungsi hadits adalah:

a. Menguatkan dan mempertegas hukum-hukum yang tersebut dalam

Al-Qur‟an atau disebut fungsi ta’kid dan takrir.

b. Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-

Qur‟an dalam hal menjelaskan arti yang masih samar, merinci apa-

apa yang ada dalam Al-Qur‟an disebutkan dalam garis besar,

membatasi apa-apa yang dalam Al-Qur‟an dijelaskan secara umum,

serta memperluas maksud dari sesuatu dalam Al-Qur‟an.

c. Menetapkan suatu hukum yang jelas tidak terdapat dalam Al-

Qur‟an.77

Al-Hadits merupakan rahmat dari Allah kepada umatnya sehingga

hukum Islam tetap elastis dan dinamis sesuai dengan perkembangan

zaman. Hadits yang menerangkan tentang demokrasi atau

bermusyawarah adalah:

حَ دَثَ نَ اَأَ ْحَ ْدََقَ ا لََ حَ دَثَ نَ اَ شَبَ ا بََاَ لَْ عَ ْصَ فََ ر ْيََقَ ا لََ حَ دَثَ نَ اَن ََْو حََبَ ْنََق َيَْ سََ عَ ْنََ

ال َولَيَْدََبَ ْنََ صَالَ حََ عَ ْنََحممدَبَ ْنََاَْلَ نَ فَيَ ْةََ عَ ْنََ عَلَ ْيََقَ ا لََق َلَ ْتََ:َيَ اََ ر سََْو لََ

قَ ا لََتَ شَا َوَ رَْو نََاَْل فَ قَ هَاءَ ََ واَْلعَ ابَدَيَْ نَََ ولَ َ تَ ضََْواَفَيَْوَََ رأَ ْيََ خَا صَةَ

Artinya: Telah mengabarkan kepada kami Ahmad, berkata telah mengabarkan kepada kami Syabab al-Ashfari, berkata telah mengabarkan kepada kami Nuh bin Qois dari al-Walid bin Sholih dari Muhammad bin Hanafiyah dari Ali berkata : bahwa

77Ibid. , h. 14.

Rasulullah telah bersabda “bermusyawarahlah kalian dengan para ahli (fiqih) dan ahli ibadah, dan janganlah hanya mengandalkan pendapat otak saja (H.R Ath-Thabrani).78

Dalam hadits tersebut, dijelaskan bahwa harus bermula dengan

musyawarah dan bermusyawarah juga dengan kaum-kaum beragama

yang taat akan perintah Allah dengan ibadahnya yang sempurna atau para

ahli yang pandai menyampaikan pendapat dan sesuai dengan keadaan

maka janganlah kalian hendak menggunakan akal atau hati diri sendiri

saja.

Hadits lain yang yang menjelaskan tentang tanggung jawab seorang

pemimpin tercantum dalam Hadits nabi Muhammad SAW yang

berbunyi:

حَ دَثَ نَ اَبَ شَْرََبَ ْنََحممدَقالَأَ ْخَب ََ رنَ اَعَ بَْ دََاللَ َقَ ا لََأَ ْخَب ََ رنَ اَي ََْونَ ْسََ عَ ْنََالَ زْىََريَ

قَ ا لََأَ ْخَب ََ رنَ اَ سَالََبَ ْنََ عَبَْ دََاللََ عَ ْنََاَبَْ نََعَ مَ رَََ رضَ يََاللَ َ عَنْ َ هَ مَاَأَ ْنَََ ر سََْو لََ

اللَ وَ صَلَ ىَاللَهَ عَلَ يَْوََ وََ سَلَ مََيَ قََْو لََ كَلَ كَ ْمَََ را عَََ و كَلَ كَ ْمََ مَ ْسََ ؤَْولََ عَنْ ََ رعَيَ تَوََ

اَ ْلَ مَا مَََ را عََ َو مَ ْسََهؤَْولََ عَ ْنَََ رعَيَ تَوَََ والَ ر جَ لَََ را عََ ْفََأَ ْىَلَوَََ و ىَ وََ مَ ْسََ ؤَْولََ عَ ْنََ

َرعَيَتَوَ ََواَْلََرأَ ةَ ََراعَيَةَ َ فَ َب َيَ تَ ََ زَوجَهَا ََومَسََؤَولَ ةَ َعَنَ ََرعَيَتَهَا ََوا َْل ادَمَ ََرا عََ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ

فَيَْاَ مَالَ َ سَيَدَهَ َ َو مَ ْسََ ؤَْو لَ َ عَ ْنَ ََ رعَيَ تَوَ َ( َ. َقَ ا لَ ََ و حَسَبَْ تَ َأَ ْنَ َقَ ْدَ َقَ ا لَ َ)َ

َ والَ ر جَ لَََ را عََ ْفََ مَالََأَ بَيَْوََ َو مَ ْسََ ؤَْو لََ عَ ْنَََ رعَيَ تَوَََ و كَلَ كَ ْمَََ را عََ َو مَ ْسََ ؤَْو لََ عَ ْنََ

َ رعَيَ تَوَ

78Imam Thabrani, Mu’jam Al-Wustha (Al-Muktabah Syamilah), No 1618, Juz 2, h. 172.

Artinyai: Telah menceritakan kepada kami basyhar bin Muhammad berkata telah mengabarkan kepada kami Abdullah, berkata telah mengabarkan kepada kami Yunus dari az-Zuhri berkata telah mengabarkan jepada kami Salim bin Abdullah dari Ibnu Umar RA, darinya dari Rasulullah SAW, bersabda “setiap kamu adalah pemimpin, Dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Laki-laki itu pemimpin, bertanggung jawab tentang kepemimpinannya. Wanita itu pemimpin dalam rumahtangga, dan bertanggung jawa tentang kepemimpinannya. Seorang hamba sahaya adalah pemimpin atas harta kekayaan majikannya. Bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya. Kata abdullah, agaknya Nabi SAW juga bersabda “laki-laki itu pemimpin bagi harta benda ayahnya dan bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya. Kamu seluruh nya adalah pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinanya” (H.R Imam Bukhari).79

Disisi lain demokrasi juga mengandung pengertian akan adanya

kebebasan dalam masalah keadilan masyarakat yang berlandasan kepada

suatu kedaulatan yang dipegang allah sebagai satu hukum yang harus di

junjung tinggi dan di taatinya. Yang kesemuanya itu telah terangkum

dalam firman-firmanya melalui Al-Qur‟an dan Al-Hadits.

79Imam Bukhari, Shohih Bukhari (Al-Maktabah Syamilah), No 358, Bab Al-Jama‟atu Fii Al-Qori Wal Madani, Juz 1, h. 304.

BAB III PEMIKIRAN POLITIK M. AMIEN RAIS TENTANG DEMOKRASI DI INDONESIA

A. Biografi M. Amien Rais

1. Riwayat Hidup M. Amien Rais

M. Amien Rais dilahirkan di Kota Solo Jawa Tengah tepatnya pada

tanggal 26 april 1944, yang merupakan anak dari pasangan Suhud Rais

dengan ibu Sudalmiyah. Ayahnya adalah lulusan Mu‟allimah

Muhammadiyah Yogyakarta.80 Semasa hidupnya beliau juga sebagai

Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Departemen Agama, sementara sang

ibu adalah alumni Hogere Inlandsche Kweelkschool (HIK)

Muhammadiyah, kemudian menjadi aktifis Aisyah (Organisasi

Kewanitaan Muhammadiyah) dan pernah menjabat sebagai ketuanya di

Surakarta selama dua puluh tahun dan beliau juga pernah mendapat gelar

ibu teladan se-Jawa Tengah dan beliau aktif di Partai Politik (Parpol)

Masyumi ketika masa jayanya pada tahun 1950-an.81

Jadi sosok M. Amien Rais dilahirkan dari keluarga yang sanggat

kuat dan kental warna Muhammadiyah, dari kedua orang tuanya yang

sanggat taat beribadah kepada Allah SWT. Dan senantiasa menjunjung

tinggi nilai-nilai ajaran agama Islam serta menegakan amar ma‟ruf nahi

munkar (mengajak kepada kebenaran dan mencegah dari kemungkaran).

80Muhammad Amien Rais, Cakrawala Islam Antara Cita Dan Fakta (Bandung: Mizan, 1999), h. 5. 81Muhammad Nadjib, Melawan Arus (Pikiran dan Langkah Politik Amien Rais) (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 1999), h. 51.

Semenjak kecil telah dididik untuk menjadi seorang yang disiplin

dan selalu bertanggung jawab dengan apa yang beliau lakukan dengan

selalu tekun belajar membaca Al-Qur‟an serta senantiasa gemar

membaca buku-buku yang berkaitan dengan ajaran-ajaran agama Islam

maupun buku-buku yang sifatnya umum.

Pendidikan yang di jalani oleh M. Amien Rais dari tingkat taman

kanak-kanak (TK) hingga sekolah menengah atas (SMA) dijalani di

sekolah Muhammadiyah dikota kelahiranya (Solo). Makanya suatu

kewajaran ketika M. Amien Rais tumbuh dan berkembang dengan

nuansa Muhammadiyah.

Beliau masuk Sekolah Dasar (SD) tahun 1950 dan tamat pada

tahun 1956, kemudian melanjutkan kejenjang selanjutnya yaitu Sekolah

Menengah Tingkat Pertama (SLTP) dan selesai pada tahun 1959 dan

melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) dan selesai pada tahun

1962, selain itu juga beliau mengikuti Pendidikan Agama di

Mambaul Ulum, beliau juga pernah nyantri di Pesantren Al Islam.82

M. Amien Rais selanjutnya meneruskan studynya dan memperoleh

gelar Sarjana Muda dari Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri

(IAIN) Yogyakarta pada tahun 1967. Kemudian beliau

memperoleh gelar Sarjana dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta pada tahun 1968. Kemudian

melanjutkan study Stara Dua (S2) untuk meraih gelar MA di Universitas

82Ibid., h, 56-57.

Notre Dame Amerika Serikat dan memperoleh gelar MA ppada tahun

1974 dan memperoleh gelar Ph.D dari Universitas Cicago Amerika

Serikat pada tahun 1981 dalam bidang Ilmu Politik. Beliau juga sempat

mendapat gelar Mahasiswa Luar Biasa (MLB) di Universitas Al Azhar

Cairo (Mesir) pada tahun 1978-1979. Pada tahun 1985 hingga 1989

beliau menjabat sebagai Ketua Majelis Tabligh dan anggota Pengurus

Pusat (PP) Muhammadiyah di Jakarta.83

Pada tahun 1990, M. Amien Rais ikut memprakarsai dan

memplopori atas berdirinya Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Islam

yaitu Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beliau juga

salah seorang dari 49 orang yang menandatangani pendirian ICMI dan

beliau juga duduk sebagai Ketua Dewan Pakar dan Asisten 1 Ketua

Umum.

Pada tahun 1993, laki-laki kelahiran Solo Jawa Tengah ini secara

Aklamasi dikukuhkan menjadi Ketua Pimpinan Pusat (PP)

Muhammadiyah,84 sejalan dengan karirnya beliau dinobatkan oleh

Majalah Umum sebagai “Tokoh Tahun 1977” dan beliau juga mendapat

penghargaan dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta atas

komitmenya dalam rangkah menempuh perjuangan dakwah Amar Ma‟ruf

dan Nahi Munkar.

83Muhammad Amien Rais, Cakrawala Islam Antara Cita Dan Fakta, Op.Cit., h. 5. 84Muhammad Nadjib, Op.Cit., h.73

Pada tahun 1998, tepatnya pada tanggal 23 Agustus dengan

keberaniannya untuk mendirikan sekaligus memimpin Partai Amanat

Nasional (PAN) yaitu sebuah Partai Politik (Parpol). Sebuah Partai

Politik yang memiliki wacana pembaharuan dan bersifat inklusif

(terbuka) yang tidak terbatas dan terkekang oleh kemajemukan bangsa,

suku, identitas, ras maupun agama.85

Pada bulan Agustus 1999, M. Amien Rais menduduki puncak

karirnya sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

Republik Indonesia, yaitu lembaga tertinggi negara secara konstitusional

yaitu sebagai lembaga rakyat menurut Undang-Undang Dasar 1945.

Demikian deskriptip singkat biodata dan perjalanan karir M.

Amien Rais pada puncak kejayaanya terutama dalam perkembangan

perpolitikan di Indonesia.

2. Karya-karya M. Amien Rais

Tingkat pemahaman M. Amien Rais dalam memahami terhadap

Islam terutama pemahaman Islam di Indonesia memang telah tercermin

dalam pola hidupnya semenjak masih kecil, pada saat itu M. Amien Rais

telah begitu gandrung (senang) membaca buku-buku yang senantiasa

dijumpai sehingga membentuk dirinya sebagai tokoh yang berwawasan

kekinian.

85Muhammad Nadjib dan KS. Himmaty, Amien Rais: dari Yogya ke Bina Graha (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 7.

Berbagai macam buku merupakan kebiasaanya untuk selalu membaca termasuk buku-buku yang bernuansa sejarah, politik, ekonomi maupun buku-buku yang berwawasan tentang keagamaan dan sosial.

Kegemaran semacam ini telah beliau mulai semenjak pada Sekolah Dasar

(SD) di Madrasah Ibtidakiyah, kegemaran M. Amien Rais untuk membaca buku hingga membuat keinginan ini terwujud setelah ia kembali dari menyelesaikan tugasnya sebagai Mahasiswa sampai beliau menyandang berbagai predikat Sarjana.

Banyak ide-ide pemikiranya tertuang dan dipublikasikan pada masyarakat khususnya masyarakat Islam di Indonesia melalui surat kabar, majalah dan banyak dituangkanya dalam karya-karya pemikiranya dalam bentuk buku-buku.

Adapun karya-karya pemikiran M. Amien Rais secara global sebagai berikut: a. Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta

Buku ini merupakan buku pertamanya, berisikan tentang

kumpulan tulisan-tulisan yang dimuatnya di berbagai media. Masa

atau surat kabar serta sebagai suntingan dari berbagai Seminar dan

Diskusi. Pada pokok isi buku ini M. Amien Rais menjelaskan

beberapa masalah, seperti masalah tauhid, masalah negara dan

masalah politik yang menyangkut tentang pemikiran Islam di

Indonesia dewasa ini.

Akan tetapi secara global buku ini memuat empat pokok pembahasan yaitu antara lain sebagai berikut:

1) Bagian pertama ini berisikan masalah tauhid, negara, politik.

Dalam bagian ini beliau menerangkan tentang arti tauhid, fungsi

tauhid, hubungan antara politik dan dakwah serta wawasan

Islam tentang ketatanegaraan.

2) Pada bagian kedua ini memuat tentang ikhtiar menemukan

alternatif Islam yang berisikan tentang menyoroti krisis ilmu,

sosial, tentang pembaharuan pemahaman Islam dalam perspektif

serta kritik Islam terhadap Marxisme dan didalamnya juga

berisikan tentang pengembangan ilmu dan teknologi dalam

Islam.

3) Pada bagian ketiga ini yakni masalah intropeksi dan

meningkatkan kewaspadaan. Hal ini menyangkut pembahasan

mengenai Islam dan radikalisme menghindari revolusi dan

gerakan tiga puluh (Gestapu) Partai Komunid Islam (PKI) serta

menyoroti masalah generasi muda dan politik di Indonesia.

4) Bagian keempat ini menyangkut kondisi agama Islam dan

situasi dunia pada saat ini, pada bagian ini pembahasan tentang

masalah sketsa komplik Amerika Serikat dengan Uni Soviet dan

pengaruh pada dunia ketiga serta dunia muslim juga didalamnya

berisikan tentang ideologi Al Ikhwanul Muslimin sebuah kasus

gerakan Islam kontemporel.86

b. Islam di Indonesia

Dalam buku ini mengetengahkan tentang kondisi ummat Islam,

dimana didalamnya berisikan tentang kemajuan dan kemunduran

ummat Islam, dalam buku ini nampaknya mengalami destruktif baik

dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan lain sebagainya.

Dalam buku ini sebagai kajian utamanya adalah masalah

percaturan perpolitikan di Indonesia, karena wacana ke-Islaman

merupakan suatu masalah yang sensitif sekali sehingga mendorong

tokoh pemikir ini untuk ikut turun rembuk dalam mengkaji dan

mendalami kajian politik dan Islam terutama di Indonesia, dalam hal

ini M. Amien Rais mengelompokan pembahasan-pembahasan

tentang tema tersebut adalah sebagai berikut:

1) Pada bagian pertama ini berisis tentang anotomi para

cendekiawan muslim Indonesia yang menggambarkan tentang

berbagai peranan dan tanggung jawab cendekiawan muslim,

baik dalam masalah politik, ekonomi, ilmu pengetahuan dan

begitu juga tentang proses perkembangan pemikiran masyarakat

Indonesia.

86Muhammad Amien Rais, Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta, Op.Cit., h. 245- 247.

2) Pada bagian kedua ini berisi tentang Islam di Indonesia yang

menyangkut masalah definisi.

3) Sedangkan pada bagian ketiga beliau mengambarkan tentang

potensi krisis ummat Islam di Indonesia.

4) Bagian ke empat ini tentang profesionalisme Islam sebagai

alternatif terhadap fundamentalisme dan oportunisme.

5) Pada bagian ini berisi tentang moral agama dan masalah

kemiskinan pengantar tentang visi dan misi Islam dalam turut

serta dalam kancah pembangunan.

6) Dalam bagian keenam ini mengenai Islam dan aspek-aspek

pembangunan yang didalamnya berisikan tentang konsep Islam

yang berkaitan dengan kerja dan aktualisasi nilai-nilai ajaran

Islam dalam masyarakat serta berhubungan dengan moral

pembangunan.

7) Pada bagian ketujuh ini berisikan tentang dinamika

kepemimpinan Islam dalam masa Orde Baru.

8) Bagian kedelapan ini memuat tentang Islam di Indonesia yaitu

yang berkaitan tentang aspek perkumpulan antara cita dan

realisasinya.

9) Pada bagian kesembilan ini berisikan tentang respon

cendikiawan muslim terhadap tuntutan masyarakat.

10) Bagian kesepuluh ini berisikan tentang teorientasi tentang cara

berfikir, bersikap dan bertindak.87

c. Islam dan Pembaharuan (Ensiklopedi Masalah)

Buku ini membahas tentang pembaharuan pemikiran Islam di

Indonesia baik dalam aspek ekonomi, politik, sosial, budaya maupun

pemahaman dalam bidang agama. Kenyataan ini dilakukan dalam

rangka mengantisipasi dampak prediksi publik yang mengatakan

bahwa Islam pada waktu sekarang ini (zaman modern) yang disebut-

sebut sebagai abad Informasi dan Globalisasi, dimana Islam

mengalami staghnasi dan degradasi dalam berbagai aspek

kehidupan.

Dalam masalah politik pembaharuan yang dimaksud bukan

dalam ajaran Islam akan tetapi berkaitan dalam masalah pemahaman

dan rektulisasi nilai-nilai ajaran Islam dalam konteks kehidupan

masyarakat khususnya pada bangsa Indonesia yang menjadi kajian

inti pembaharuan disini mengarah pada bentuk-bentuk penafsiran

tentang landasan budaya lokal dan berbagai bentuk pemahaman

Non-Islam serta aneka ragam struktur pemerintah baik yang

bernuansakan bagian ketimuran maupun budaya yang bersumber

dari orang-orang Barat.

87Muhammad Amien Rais, Islam di Indonesia (Suatu Ikhtiar Mengaca Diri) (Jakarta: Rajawali Press, 1992), h. 285.

Pada pola pembaharuan dalam penambahan tentang

reaktualisasi nilai-nilai ajaran Islam dalam kehidupan memang

sangat diperlukan adanya pembaharuan. Hal ini menjadi aktual

ketika pemahaman terhadap ajaran Islam menjadi rancu dan

mengalami proses staghnasi (kemandekan) pemikiran oleh

karenanya merupakan suatu yang tepat jika pembaharuan ini menjadi

titik fokus dalam rangka mengaktualisasikan nilai-nilai ajaran Islam

dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dan masih banyak karya-karya M. Amien rais yang berupa hasil penelitian dan bentuk buku, antara lain: a. Prospek Perdamaian Timur Tengah 1980-an (Litbang Deplu RI) b. Politik Internasional Dewasa Ini (Surabaya: Usaha Nasional, 1989) c. Timur Tengah dan Krisis Teluk (Surabaya: Amarpress, 1990)\ d. Keajaiban Kekuasaan, (Yogyakarta: Bentang Budaya-PPSK, 1994) e. Moralitas Politik Muhammadiyah, (Yogyakarta: Penerbit Pena,

1995) f. Demi Kepentingan Bangsa, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996) g. Refleksi Amien Rais, Dari Persoalan Semut Sampai Gajah, (Jakarta:

Gema Insani Press, 1997) h. Suksesi dan Keajaiban Kekuasaan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

1997) i. Suara Amien Rais Suara Rakyat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998) j. Amien Rais Sang Demokrat (Jakarta: Gema Insani Press. 1998)

k. Amien Rais Menjawab Isu-isu Politik Kontroversialnya, (Bandung:

Mizan, 1999)

l. Melawan Arus: Pemikiran dan Langkah Politik Amien Rais (Jakarta:

Serambi, 1999).

B. Pokok-pokok Pemikiran M. Amien Rais Tentang Demokrasi

M. Amien Rais sepakat dengan definisi demokrasi sebagai

“pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” (government of the

people and for the people). Politik dan agama sering dipahami secara terpisah

di dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga seolah tidak ada keterkaitan

fungsional dan organik antara politik dan agama serta politik dan dakwah.

Bahkan ada kesan dalam masyarakat seolah-olah politik selalu mengandung

kelicikan, hipokrisi, ambisi buta, pengkhianatan, penipuan, dan berbagai

konotasi buruk lainnya. Bagi M. Amien Rais persepsi politik yang demikian

tentu cukup berbahaya. Ditinjau dari kaca mata agama dan dakwah,

pandangan politik seperti ini juga sangat merugikan. Menurut M. Amien Rais,

seoarang politisi haruslah bersandar pada moralitas dan etika yang bersumber

pada ajaran tauhid. Bila moralitas dan etika tauhid ini dilepaskan dari politik,

maka politik itu akan berjalan tanpa arah, dan bermuara pada kesengsaraan

orang banyak. Sebagaimana diungkapkan M. Amien Rais:

“Politik merupakan salah satu kegiatan penting, mengingat bahwa suatu masyarakat hanya bisa hidup secara teratur kalau ia hidup dan tinggal dalam sebuah negara dengan segala perangkat kekuasaannya. Sedemkian penting peranan politik dalam masyarakat modern, sehingga banyak orang berpendapat bahwa politik adalah panglima. Artinya,

politik sangat menentukan corak sosial, ekonomi, budaya, hukum, dan berbagai aspek kehidupan lainnya.88

Dengan demikian, maka politik harus mengindahkan nilai-nilai agama

dan fungsional terhadap tujuan dakwah. Politik yang fungsional terhadap

tujuan dakwah adalah politik yang sepenuhnya mengindahkan nilai-nilai

Islam. Dalam hubungan ini, M. Amien Rais menegaskan bahwa kehidupan

politik yang Islami tidak memberikan tempat bagi sekulerisasi. M. Amien

Rais menggambarkan yang dimaksud dengan sekulerisasi dan komponen-

komponennya adalah, disenchanment of nature, desakralisasi politik, dan

dekonsentrasi nilai-nilai. Disenchanment of nature berarti pembebasan alam

dari nilai-nilai agama, agar masyarakat dapat melakukan perubahan dan

pembangunan dengan bebas. Desakralisasi politik bermakna penghapusan

legitimasi sakral atas otoritas dan kekuasaan, dan hal ini merupakan syarat

untuk mempermudah kelangsungan perubahan sosial dan politik dalam proses

sejarah. Sedangkan dekonsentrasi nilai-nilai, termasuk nilai-nilai agama,

supaya manusia bebas mendorong perubahan-perubahan evolusioner tanpa

terikat lagi dengan nilai-nilai agama yang bersifat absolut.

Namun, menurut M. Amien Rais, dengan demikian tidak berarti lantas

kaum muslimin diperkenankan membangun negara sesuai dengan kemauan

manusiawinya sendiri, dan terlepas dari ajaran-ajaran pokok (fundamentals)

agama Islam. Bagi M. Amien Rais, membangun suatu negara yang terlepas

dari fundamentals ajaran Islam berarti membangun negara yang sekulerisme

88Firdaus Syam, Amien Rais dan di Pentas Politik Indonesia Modern (Jakarta: Khairul Bayan, 2003), h. 143.

dan sekulerisasi, yang kehilangan dimensi spiritual dan menjurus pada

kehidupan yang serba-material, yang di dalamnya petunjuk wahyu hanya

disebut-sebut secara berkala dalam kesempatan-kesempatan tertentu.89

C. Demokrasi di Indonesia Menurut M. Amien Rais

Mengingat M. Amien Rais adalah seorang demokrat, maka pemikiran-

pemikiran beliau yang berkenaan dengan sistem demokrasi sangat banyak.

Untuk itu penulis dengan sengaja tidak mencantumkan secara keseluruhan

ide-ide pemikiran beliau tentang demokrasi, maka dalam tulisan ini penulis

hanya mengungkap dua pokok pemikiran beliau tentang demokrasi yaitu

sebagai berikut:

1. Negara dan Demokrasi

Pradigma pemikiran M. Amien Rais yang berpusat pada konsep

tauhid mengandung implikasi teoritis bahwa seluruh dimensi kehidupan

ummat Islam harus berpatokan pada tauhid sebagai esensi dari seluruh

ajaran Islam. Hanya dengan menumpukan seluruh aktifitas kegiatan

hidup pada tauhid, ummat Islam mencapai suatu kesatuan monoteisme

yang meliputi semua bidang dan kegiatan hidup, termasuk di dalamnya

kehidupan bernegara dan berpemerintah, menurut M. Amien Rais:

“jika seorang muslim beranggapan bahwa Islam hanya berperan sebagai petunjuk yang berlaku dalam urusan-urusan rohaniah, sedangkan untuk urusan keduaniaan ia mencampakan Islam dan menggantinya dengan sistem berfikir atau sistem sosial yang sepenuhnya bersifat man made dan berdasarkan pada etik

89Ibid., h. 145-147.

konstitusional yang tanpa arah, maka ia adalah seorang muslim sekularis”.90

Dengan menetapkan tauhid sebagai poros sentral kehidupan,

ummat Islam dapat menarik atau mendeduksikan nilai-nilai etik, moral

dan norma-norma pokok dalam ajaran Islam sebagai patokan dasar bagi

kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Menurut M. Amien Rais, ajaran

pokok yang dideduksi dari tauhid itu merupakan kerangka referensi atau

pradigma bagi aturan-aturan yang lebih rendah derajatnya, yang di buat

berdasarkan akal manusia.

Pemikiran yang berpusat pada tauhid kemudian melahirkan teori-

teori yang kesemuanya bertumpu pada syariah. Syariah merupakan

prinsip-prinsip atau aturan universal yang mendeduksi tauhid kedalam

sistem ajaran yang menjadi jalan hidup bagi ummat Islam. Suatu

masyarakat Islam, dengan demikian tidak mungkin mengambil sistem

kehidupan selain syariah.syariah yang termuat dalam Al-Qor‟an dan Al-

Hadis telah memberikan skema kehidupan yang sanggat jelas.

Bagi M. Amien Rais syariah merupakan sistem hukum yang

lengkap dan terpadu yang telah meletakan dasar-dasar, tidak saja bagi

hukum konstitusional, tetapi juga hukum administratif, pidana, perdata,

bahkan hukum internasional. Dalam konteks ini harus di pahami secara

cermat, bahwa menurut M. Amien Rais Al-Qur‟an dan Al-Hadis yang

90Muzakki, Amien Rais Sang Pahlawan Reformasi, (Jakarta: Lentera Basritama, 2004), h. 53.

merupakan kontruksi syariah yang permanen tidak berfungsi sebagai

kitab hukum melainkan sebagai sumber hukum.91

Syariah sebagai sumber hukum yang ideal itu membutuhkan

sebuah institusi yang mampu melestarikan prinsip universalnya sekaligus

menjaga pelaksanaanya dalam praktis kehidupan. Institusi yang

dibutuhkan adalah negara. M. Amien Rais berpandangan bahwa

mendirikan negara merupakan suatu kewajiban agama demi terjaganya

dan terlaksananya prinsip-prinsip syariah. Negara adalah penjaga syariah

agar syariah tidak mengalami penyelewengan.

M. Amien Rais mengajukan tiga fundamen yang harus ditegakan

untuk membangun suatu negara atau masyarakat, yaitu:

Pertama, negara harus dibangun atas dasar keadilan yang berarti

pendirian suatu negara harus bertujuan untuk melaksanakan keadilan

dalam yang seluas-luasnya, tidak sebatas pada keadilan hukum, tetapi

juga keadilan sosial ekonomi. Keadilan hukum yang menjamin

persamaan hak setiap orang di muka hukum belumlah cukup, karena

tanpa keadilan sosial ekonomi, masih dapat timbul ketimpangan-

ketimpangan tajam antara kelompok-kelompok masyarakat.

Kedua, negara harus dibangun dan dikembangkan dalam

mekanisme musyawarah. Prinsip ini menentang elitisme yang

menganjurkan bahwa hanya para pemimpin sajalah yang paling tahu cara

untuk mengurus dan mengelola negara, sedangkan rakyat tidak lebih dari

91Ibid., h. 74.

domba-domba yang harus mengikuti kemauan para elit. Menurut M.

Amien Rais musyawarah merupakan pagar pencegah bagi kemungkinan

munculnya penyelewengan kearah otoritarisme, dikdatorisme dan

berbagai sistem lain yang cenderung membunuh hak-hak politis rakyat.

Ketiga, dalam sebuah negara prinsip kesamaan harus ditegakan.

Islam, sebagaimana agama samawi yang lain yaitu yahudi dan kristen,

tidak pernah membeda-bedakan manusia berdasarkan perbedaan jenis

kelamin, warna kulit, status sosial, suku bangsa dan agama. Menurut

ajaran dan tradisi ketiga agama ini, semua manusia berkedudukan sama

di depan tuhan.92

Tiga fundamen kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan yang

dikemukakan M. Amien Rais di atas adalah sama seperti yang

dikemukakan oleh pemikir sekularis Islam asal Mesir, Ali Abdurr Raziq.

Dalam hal ini memang ada kemungkinan M. Amien Rais meminjam

pemikiran politik Ar Raziq. Namun meskipun mempunyai asumsi dasar

yang sama dengan Ar Raziq mengenai hal diatas, M. Amien Rais dengan

tegas menyatakan perbedaanya dengan Ar Raziq.

Kemudian mengenai kekuasaan demokrasi dalam negara

Indonesia, M. Amien Rais melalui Partai Amanat Nasional (PAN)

berusaha agar politik ummat Islam Indonesia dapat menempatkan negara

Republik Indonesia berdampingan dengan negara-negara demokrasi

lainya dan berusaha menambah tersiarnya ideologi Islam dalam

92Ibid., h. 113-123.

masyarakat Indonesia khususnya dan masyarakat dunia umum. Politik

hukum Islam menuntut terlaksananya demokrasi yang sebenarnya yang

bersendikan keadilan (QS. Al Maidah :6), kemerdekaan atau kebebasan

(QS. An Nisa :4), musyawarah (QS. Asy Syura :38), persamaan (QS. Al

Hujurat :13), dan lain-lain. M. Amien Rais membenarkan bahwa Islam

memang bersifat demokratis, tetapi sama sekali tidak berarti bahwa

semua hal termasuk hukum-hukum yang sudah ditetapkan oleh Islam

masih perlu dikukuhkan dalam permusyawaratan.

2. Demokrasi dan Masyarakat Kontemporer

Dalam buku ini M. Amien Rais berpendapat bahwa perjuangan

ummat Islam untuk membangun masyarakat yang lebih baik, yaitu

masyarakat yang didalamnya terkandung institusi amar ma‟ruf nahi

munkar berfungsi efektif, tidak bisa lain kecuali lewat demokrasi.

Sebelum menyajikan lebih jauh tentang pendapat-pendapat

mengenai demokrasi pada masyarakat kontemporer, M. Amien Rais

menyajikan prosesi sejarah pada masa Khulafaur Rasyidin, dinasti Bani

Umayyah dan dinasti Bani Abbasiyah yang bernuansa demokrasi.

Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, kehidupan yang

mencerminkan nilai-nilai demokrasi juga senantiasa dipraktekan oleh

para sahabat. Walaupun harus diakui bahwa pada masa tersebut tidak

terdapat satu aturan baku terutama mengenai cara pengangkatan kepala

negara atau kepala pemerintahan setelah sepeninggal Nabi Muhammad

SAW. Selain itu juga pada masa tersebut tidak terdapat petunjuk atau

contoh tentang tatacara bagaimana mengakhiri masa jabatan seorang kepala pemerintahan, dimana itu semua merupakan nilai-nilai dasar demokrasi. Bahkan sejarah Islam mencatat bahwa semua kepala pemerintahan mengakhiri masa tugasnya karena wafat.

Walaupun di zaman Khulafaur Rasyidin tidak ada aturan baku tentang masa jabatan khalifah, namun sejarah mencatat bahwa kehidupan pada waktu itu sungguh-sungguh mencerminkan kehidupan negara yang menerapkan nilai-nilai demokrasi, dimana kehidupan masyarakatnya pada waktu itu kompak, teratur, serasi, saling hormat menghormati pendapat, persamaan hak dan kewajiban yang meliputi oleh suasana kerukunan dan kekeluargaan, baik didalam tubuh pemerintahan maupun diantara komponen masyarakat yang ada. Tetapi sayang bahwa kondisi yang seperti itu tidak didukung oleh realitas pemerintahan yang ada setelah masa Khulafaur Rasyidin.

Sejarah mencatat, bahwa menjelang ahir aband XIX pemikiran mengenai demokrasi dalam Islam mengalami perkembangan dan mulai timbul keaneka ragaman dan perbedaan pendapat yang cukup mendasar diantara para pemikir Islam. Hal itu terutama disebabkan oleh kemunduran dan kerapuhan dunia Islam, tantangan negara-negara Eropa terhadap integritas wilayah dunia Islam yang berujung pada dominasi atau penjajahan, keunggulan negara-negara Eropa dalam politik, ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh sebab itu ummat Islam tidak perlu atau bahkan jangan meniru pola organ lain dan supaya kembali kepada apa

yang telah diajarkan dalam ajaran Islam yakni kembali kepada pola zaman Rasulullah dan Khulafah Rasyidin.

Kembali pada sejarah, ternyata corak suatu pemerintahan dalam

Islam itu beraneka ragam. Di era Dinasti Bani Umayyah tidak sama corak pemerintahanya dengan era Khulafaur Rasyidin. Pada era Dinasti

Bani Abbasiyah juga berbeda. Menurut penulis memang sulit menentukan dan memilih mana dari corak atau bentuk pemerintahan yang harus diambil sebagai contoh, mengingat corak atau bentuk pemerintahan adalah salah satu bagian integral dari suatu demokrasi.

Corak atau sistem pemerintahan demokrasi itu tidak semata-mata ditentukan oleh prinsip-prinsip ajaran saja, tetapi juga banyak ditentukan oleh situasi lingkungan, sejarah, latar belakang, budaya dan tingkat perkembangan intelektual serta peradapan. Singkatnya Islam tidak terdapat satu sistem pemerintahan yang baku. Ummat Islam bebas menganut sistem pemerintahan yang bagaimanapun termasuk sistem demokrasi asalkan sistem tersebut menjamin persamaan antara para warga negaranya, baik hak atau kewajiban dan juga dimuka hukum dan pengelolaan negara diselenggarakan atas musyawarah dengan berpegang kepada tata nilai moral dan etika yang diajarkan oleh Islam bagi peradapan manusia.

Masih menurutnya, ada tiga alasan M. Amien Rais menjadikan demokrasi sebagai prefensi terbaik bagi Islam ataupun pengembangan masyarakat negara. Pertama, demokrasi tidak saja merupakan bentuk

vital dan terbaik pemerintah yang mungkin diciptakan, tetapi juga

merupakan suatu doktrin politik luhur yang akan memberikan manfaat

bagi kebanyakan negara. Kedua, demokrasi sebagai sistem politik yang

pemerintahan mempunyai akar sejarah yang panjang sampai ke zaman

Yunani Kuno, sehingga ia tahan banting yang dapat menjamin

terselenggaranya suatu lingkungan politik yang stabil. Ketiga, demokrasi

merupakan suatu sistem yang paling alamiah dan manusiawi, sehingga

semua rakyat di negara manapun memilih demokrasi bila mereka diberi

kebebasan untuk menentukan pilihanya.93

Kriteria-kriteria demokrasi yang dikemukakan M. Amien Rais ada

sepuluh macam, namun tidak akan dikemukakan seluruhnya karena dari

seluruh kriteria yang dimaksud ada yang sama secara substansial. Yaitu

sebagai berikut:

Pertama, partisipasi masyarakat dalam pembuatan keputusan.

Partisipasi politik adalah kegiatan warga negara bertujuan mempengaruhi

pengambilan keputusan oleh pemerintah.

Kedua, persamaan di depan hukum. Menurut M. Amien Rais,

negara demokrasi selalu merupakan negara hukum. Rule Of Law harus

ditaati oleh seluruh warga negara tanpa membedakan latar belakang

agama, ras, status sosial. Persoalan yang sanggat signifikat dalam negara

demokrasi bukan saja soal perlakuan sama di depan hukum, tetapi juga

proses pengambilan keputusan hukum dan pelaksanaanya produk-produk

93Firdaus Syam, Op,Cit., h. 171-174.

hukum atau aturan perundang-undangan dilapangan. Kedua aspek ini harus dilakukan secara konsisten dan adil dengan didukung oleh institusi kontrol yang independen.

Ketiga, distribusi pendapatan secara adil. Konsep persamaan dalam demokrasi sebenarnya merupakan konsep yang utuh. Artinya, persamaan tidak bisa ditekankan pada salah satu aspek saja. Hukum dan politik hanya akan lenkap jika dibarengi di bidang sosial ekonomi. Untuk keperluan ini persamaan di sektor ekonomi tidak cukup sebatas deyure, tetapi juga defakto, agar persamaan yang dirimuskan justru tidak menjadi justifikasi atau titik masuk bagi ekploitasi yang kuat atas yang lemah.

Keempat, kesempatan pendidikan yang sama. Demokrasi bukan hanya merupakan sistem yang menjamin tegaknya kedaulatan rakyat, tetapi juga sangat potensial untuk membentuk sumber daya manusia yang berkualitas, karena prinsip persamaan juga berlaku di dalam bidang pendidikan. Menurut M. Amien Rais, dalam masyarakat yang mulai memasuki tahap industrialisasi, pendidikan menjadi faktor krusial yang menentukan apakah seseorang dapat memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak. Karena keberhasilan pendidikan seseorang sangat ditentukan oleh tingkat sosial ekonominya, maka menjadi jelas bahwa dalam masyarakat yang masih senja distribusi pendapatanya pasti senja pula kesempatan pendidikanya. Tingkat pendidikan masyarakat ini akan sangat mempengaruhi tingkat kecerdasan dan daya kritis mereka

yang pada giliranya nanti akan berpengaruh terhadap tingkat partisipasi politik dan pengaruhnya dalam proses pengambilan keputusan.

Kelima, kebebasan yang dijamin undang-undang. M. Amien Rais menyebut empat macam kebebasan yang inheren dalam sistem demokrasi, yaitu kebebasan berbicara atau mengeluarkan pendapat, kebebasan pers, kebebasan berkumpul atau berorganisasi, dan kebebasan beragama. Selain empat macam kebebasan ini masih ada kebebasan lain yaitu kebebasan atau hak untuk mengajukan petisi dan hak untuk protesatau beroposisi. Signifikasi hak protes adalah mencegah atau melakukan kontrol agar kekuasaan yang ada tidak mengarah kepada bentuk yang korup karena pada umumnya kekuasaan cendrung demikian.

Keenam, ketersediaan dan keterbukaan informasi. Rakyat perlu mengetahui tidak saja kualitas para pemimpin, melainkan juga situasi yang selalu berkembang yang mempengaruhi kehidupan mereka dan kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah. Untuk itu rakyat perlu informasi yang cukup dan terbuka sehingga terbuka bagi mereka berbagai alternatif dan cakrawala masalah yang dihadapi. Utamanya, rakyat harus well informed mengenai politik pemerintah sehingga tidak ada sikap a priori menerima atau menolak kebijakan, apalagi bila kebijakan itu menyangkut suatu masalah yang prinsipil dan fundamental.

Ketujuh, mengindahkan etika politik. Demokrasi memiliki etika politik yang harus selalu diindahkan. Etika politik memang tidak pernah tertulis, tetapi sangat jelas bagi setiap orang yang paham tentang nilai-

nilai demokrasi. Tanpa etika politik, maka politik atau kekuasaan yang

ada cenderung menghalalkan segala cara. Dalam bahasa agama Islam,

etika politik yang dibutuhkan adalah ahlaqul karimah.

Kedelapan, kebebasan individu. Hak untuk hidup secara bebas dan

memiliki kehidupan privat atau hak-hak pribadi, seperti yang diinginkan

adalah suatu prinsip demokrasi. Hak untuk memilih pekerjaan, tempat

tinggal, bentuk pendidikan, harus dijamin dalam sistem demokrasi,

kecuali kalau kebebasan itu sudah merugikan pihak lain.

Kesembilan, semngat kerja sama. Kerjasama diantara warga negara

untuk melestarikan nilai-nilai luhur yang telah disepakati bersama

merupakan prinsip-prinsip yang harus dikembangkan dalam sistem

demokrasi. Demokrasi disatu sisi menghargai sikap hidup individualistik

sebagaimana tercermin dalam pola hidup liberal, namun disisi lain,

demokrasi juga mengembangkan sistem kolektifitas atau kerja sama

misalnya dalam mekanisme pengambilan keputusan berdasarkan suara

terbanyak.94

Apa yang dipaparkan diatas merupakan ekpresi pemikiran M.

Amien Rais tentang demokrasi dalam relevansinya dengan nilai-nilai

fundamental Islam. Pemikiran itu sendiri sudah memiliki basis teologis

yang cukup mapan terutama karena adanya semangat tauhid di dalamnya.

Pemikiran M. Amien Rais itu tentunya mengandung keuntungan-

keuntungan keterbelakangan. Artinya, sebagai seorang intelektual yang

94Ibid., h. 148.

telah mempelajari sejarah politik Islam secara mendalam, M. Amien Rais kemudian berusaha menghindarkan diri dari kekurangan-kekurangan pemikiran politik Sunni sebelumnya dan sekaligus mengambil segi-segi positif yang masih aktual.

BAB IV ANALISIS FIQH SIYASAH TENTANG DEMOKRASI DI INDONESIA MENURUT M. AMIEN RAIS

Setelah penulis menguraikan pembahasan skripsi ini pada bab-bab sebelumnya, yakni tentang demokrasi di Indonesia baik secara umum maupun dalam pandangan Islam serta pemikiran M. Amien Rais tentang demokrasi di

Indonesia. Maka pada bagian ini penulis akan menganalisis secara fiqh siyasah pemikiran M. Amien Rais tentang demokrasi di Indonesia.

A. Pemikiran M. Amien Rais Tentang Demokrasi di Indonesia

Mengenai kekuasaan demokrasi dalam negara Indonesia, M. Amien

Rais melalui Partai Amanat Nasional (PAN) berusaha agar politik umat Islam

Indonesia dapat menempatkan negara Republik Indonesia berdampingan

dengan negara-negara demokrasi lainya dan berusaha menambah tersiarnya

ideologi Islam dikalangan masyarakat Indonesia khususnya dan masyarakat

dunia umumnya.

Bagi M. Amien Rais syariah merupakan sistem hukum yang lengkap

dan terpadu yang telah meletakan dasar-dasar, tidak saja bagi hukum

konstitusional, tetapi juga hukum administratif, pidana, perdata, bahkan

hukum internasional. Dalam konteks ini harus di pahami secara cermat,

bahwa menurut M. Amien Rais Al-Qur‟an dan Al-Hadis yang merupakan

kontruksi syariah yang permanen tidak berfungsi sebagai kitab hukum

melainkan sebagai sumber hukum.

Syariah sebagai sumber hukum yang ideal itu membutuhkan sebuah

institusi yang mampu melestarikan prinsip universalnya sekaligus menjaga

pelaksanaanya dalam praktis kehidupan. Institusi yang dibutuhkan adalah negara. M. Amien Rais berpandangan bahwa mendirikan negara merupakan suatu kewajiban agama demi terjaganya dan terlaksananya prinsip-prinsip syariah. Negara adalah penjaga syariah agar syariah tidak mengalami penyelewengan.

M. Amien Rais mengajukan tiga fundamen yang harus ditegakan untuk membangun suatu negara atau masyarakat. Tiga fundamen kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan yang dikemukakan M. Amien Rais adalah sama seperti yang dikemukakan oleh pemikir sekularis Islam asal Mesir, Ali

Abdurr Raziq. Dalam hal ini memang ada kemungkinan M. Amien Rais meminjam pemikiran politik Ar Raziq. Namun meskipun mempunyai asumsi dasar yang sama dengan Ar Raziq mengenai hal diatas, M. Amien Rais dengan tegas menyatakan perbedaanya dengan Ar Raziq.

Kriteria-kriteria demokrasi yang dikemukakan M. Amien Rais ada sembilan macam, yaitu: (1) Partisipasi masyarakat dalam pembuatan keputusan, (2) Persamaan di depan hukum, (3) Distribusi pendapatan secara adil, (4) Kesempatan pendidikan yang sama, (5) Kebebasan yang dijamin undang-undang, (6) Ketersediaan dan keterbukaan informasi, (7)

Mengindahkan etika politik, (8) Kebebasan individu, (9) Semangat kerja sama.

M. Amien Rais mengakui, bahwa dalam rangka menegakan nilai-nilai demokrasi, negara Indonesia tidak harus menjadi negara Islam, karena menurutnya keabadian wahyu Allah justru terletak pada tidak adanya perintah

dalam Al-Qur‟an dan Sunah untuk mendirikan negara Islam (Daulah

Islamiyah). Seandainya ada perintah tegas untuk mendirikan negara Islam,

maka Al-Qur‟an dan Sunah juga akan memberikan tuntunan yang detail

tentang struktur institusi-institusi negara yang dimaksudnya, sistem

perwakilan rakyat, hubungan antara lembaga-lembaga legislatif, yudikatif dan

eksekutif, sistem pemilihan umum. Bila demikian halnya, maka negara Islam

itu tidak akan tahan jaman. Mungkin negara itu cocok dan sangat tepat untuk

masa 14 Abad silam. Tetapi perlahan-lahan ia akan usang dan tidak lagi

mempunyai kemampuan untuk menanggulangi masalah-masalah modern

yang timbul sejalan dengan dinamika masyarakat manusia.

Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kekuasaan demokrasi dalam

pemerintahan negara merupakan amanah yang harus dipertanggung jawabkan

kepada tuhan dan kepada rakyat. Ini berarti setiap orang memegang

kekuasaan wajib mempertanggung jawabkan dalam penggunaan kekuasaan

tersebut. Inilah yang dikatakan M. Amien Rais bahwa suatu sistem

kenegaraan yang demokrasi adalah dengan prasarana mental yang kuat.

B. Pandangan Fiqh Siyasah Tentang Demokrasi di Indonesia Menurut M.

Amien Rais

Diketahui pula bahwa siyasah syariah adalah ilmu yang mempelajari

hal ikhwal atau seluk beluk pengaturan urusan ummat dan negara dengan

segala bentuk hukum, peraturan dan kebijakan yang dibuat oleh pemegang

kekuasaan yang sejalan dengan dasar-dasar ajaran dan ruh syariat untuk

mewujudkan kemaslahatan ummat. Dalam pandangan Islam, demokrasi itu

hanya sebagai satu kedaulatan hukum yang mutlak dan harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum tersebut, kedaulatan dan kekuasaan itu hanya ada di tangan Allah SWT dan kedaulatan itu dilimpahkan kepada ummat manusia melalui satu kekuasaan.

Selanjutnya bahwa didalam Al-Qur‟an dan Sunah walaupun tidak secara eksplisit (tersurat) berbicara tegas tentang demokrasi, namun secara implisit (tersirat) secara umum terkandung prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar yang dapat dijadikan landasan dalam kehidupan berdemokrasi. Seperti prinsip musyawarah, prinsip kepemimpinan, prinsip kepastian hukum dan keadilan, prinsip persamaan, prinsip kebebasan dan masih banyak lagi prinsip-prinsip yang dapat dijadikan landasan dalam kehidupan berdemokrasi.

Nilai-nilai atau prinsip-prinsip dasar tentang demokrasi sebagaimana yang tersirat dalam Al-Qur‟an, juga senantiasa dipraktekan di jaman Nabi

Muhammad SAW, beliau adalah seorang pemimpin tunggal dengan otoritas yang berlandasan kenabian dan bersumber kepada wahyu Ilahi, serta bertanggung jawab atas segala tindakan beliau kepada Tuhan semata. maka beliau dalam segala urusan pemerintahan selalu beliau mengajak kepada para sahabat untuk bermusyawarah, anggota masyarakat dilibatkan dalam menentukan segala kebijakan pemerintahan.

Dari uraian di atas, diperoleh gambaran bahwa demokrasi secara umum memiliki kesamaan dengan nilai-nilai demokrasi yang terdapat dalam Islam, hanya saja yang membedakan hanyalah pada tataran aplikasi dilapangan, karena para pelaku demokrasi terkadang prilakunya tidak sesuai dengan nilai-

nilai yang ada di dalam demokrasi itu sendiri. Dengan demikian dapat di ambil benang merah bahwa demokrasi yang diperjuangkan oleh M. Amien

Rais untuk mensingkronkan nilai-nilai yang terdapat di dalam demokrasi itu sendiri dengan nilai-nilai demokrasi dalam Islam, dalam fiqh siyasah dapat dibenarkan.

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah penulis menguraikan beberapa permasalahan yang menjadi

pokok pembahasan dalam skripsi ini, maka pada bab ini penulis akan

menguraikan kesimpulan dari penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

1. Berbagai ide dan pandangan yang dikemukanan oleh M. Amien Rais

yang selalu mensingkronkan nilai-nilai demokrasi di Indonesia secara

umum dengan niali-nilai dasar dalam Al-Qur‟an seperti konsep

persamaan, konsep kemerdekaan dalam mengeluarkan pendapat, konsep

keadilan kesejahteraan dan kebebasan dalam menentukan pilihan, konsep

musyawarah untuk mencapai mufakat, dan lain-lain yang menjadi ruh

dari nilai-nilai demokrasi itu sendiri di anggap tidak bertentangan dengan

Al-Qur‟an dan Hadis.

2. Dalam Al-Qur‟an atau hadis tidak ditemukan perintah untuk mendirikan

negara Islam. Selanjutnya bahwa didalam Al-Qur‟an dan Sunah

walaupun tidak secara eksplisit (tersurat) berbicara tegas tentang

demokrasi, namun secara implisit (tersirat) secara umum terkandung

prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar yang dapat dijadikan landasan dalam

kehidupan berdemokrasi. Seperti prinsip musyawarah atau syura, prinsip

kepemimpinan, prinsip kepastian hukum dan keadilan, prinsip

persamaan, prinsip kebebasan dan masih banyak lagi prinsip-prinsip yang

dapat dijadikan landasan dalam kehidupan berdemokrasi. Nilai-nilai atau

prinsip-prinsip dasar tentang demokrasi sebagaimana yang tersirat dalam

Al-Qur‟an, juga senantiasa dipraktekan di jaman Nabi Muhammad SAW,

beliau adalah seorang pemimpin tunggal dengan otoritas yang

berlandasan kenabian dan bersumber kepada wahyu Ilahi, serta

bertanggung jawab atas segala tindakan beliau kepada Tuhan semata.

Maka beliau dalam segala urusan pemerintahan selalu beliau mengajak

kepada para sahabat untuk bermusyawarah, anggota masyarakat

dilibatkan dalam menentukan segala kebijakan pemerintahan. Yang

terpenting adalah mengamalkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara.

B. Saran

Pemerintah di Indonesia harus memperhatikan beberapa hal yang perlu

diperhatikan oleh beberapa pihak dalam konteks politik Islam di Indonesia.

Pertama, bagi para kaum akademik mahasiswa, dosen, pelajar, peneliti, dan

para birokrat, anggaplah hasil dari penelitian ini merupakan wacana yang

dapat meramaikan perbincangan metodologis dalam studi Islam terutama di

Indonesia, yang lebih terkait lagi dengan fiqh siyasah. Mudah-mudahan

percikannya yang sedikit setidaknya dapat menambah terangnya kajian

siyasah yang terus akan melaju bersama dengan perubahan umat Islam dan

bangsa Indonesia di masa mendatang.

Kedua, dari hasil penelitian ini, setidaknya juga memiliki kelayakkan

untuk dijadikan pertimbangan bagi peneliti lain yang akan mengkaji objek

penelitian yang sama dengan penelitian ini, dengan metode dan pendekatan

yang berbeda. Dengan demikian, kajian tentang politik Islam akan semakin menemukan bentuknya.

Dan terakhir, penulis mengakui bahwa penelitian yang dilakukan ini sangat kurang sempurna. Namun dari kekurangan sempurnaan tersebut, justru diharapkan akan dapat ditemukan arus lain dari kajian ini, oleh peneliti lain yang akan mengkaji pemikiran politik Islam kontemporer di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Arfani Riza Noer. Demokrasi Indonesia Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999.

Ariitkumto Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi IV, Jakarta: Rineka Cipta, 1998.

Azami M.M. Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. Pejanten Barat: Pustaka Firdaus, 2000.

Azra Azyumardi. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003.

Bambang Agung. Micheal Foucoult Tentang Kekuasaan. Majalah Filsafat Driyarkara Thn. XII No. 2, 1996.

Budiardjo Miriam. Demokrasi Di Indonesia, Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila. Jakarta: Gramedia, 1996.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1994.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an Tajwid & Terjema. Surakarta: Al-Karim, 2009. Diamond Larry. The Democratic Revolution. Diterjemahkan Oleh Matheos Nalle. Revolusi Demokrasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993.

Djatnika Rachmat. Hukum Islam di Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 1999.

Ghofur Abdul. Demokrasi Dalam Perspek Hukum Islam di Indonesia. Yogyakarta: Balai Pustaka, 2002.

Hikam Muhammad A,S, Politik Kewarganegaraan: Landasan Demokrasi Di Indonesia. Jakarta: Erlangga, 1999.

IAIN Raden Intan Lampung. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Mahasiswa. Bandar Lampung, 2014.

Imam Thabrani. Mu’jam Al-Wustha (Al-Muktabah Syamilah). No 1618. Juz 2.

Imam Bukhari. Shohih Bukhari (Al-Maktabah Syamilah). No 358. Bab Al- Jama‟atu Fii Al-Qori Wal Madani. Juz 1.

Iqbal Muhammad. Fiqh Siyasah. Jakarta: Prenada Media Group, 2014.

Kadir Muhammad Abdul. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditia Bakti, 2004.

Khallaf Abdul Wahab. Kaidah-kaidah Hukum Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996.

KS. Himmaty dan Muhammad Nadjib. Amien Rais: dari Yogya ke Bina Graha. Jakarta: Gema Insani Press, 1999.

Mahfud Moh MD. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. Jakarta: Rhineka Cipta, 2003.

Manan Bagir. Teori Dan Politik Konstitusi. Jakarta: Fh UII Press, 2003.

Masdar Amarudin. Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.

Maswadi Ruf. Otoritas dan Demokrasi. Jakarta: PT Rajawali, 1999.

Musa Ali Masykur. Pemikiran dan Sikap Politik Gusdur. Jakarta: Erlangga, 2002.

Muzakki. Amien Rais Sang Pahlawan Reformasi. Jakarta: Lentera Basritama, 2004.

M.S., Kaelan. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat. Yogyakarta: Paradigma, 2015.

Najib Muhammad dan S., Kuat. Amin Rais Sang Demokrat. Jakarta: Gema Insani Pres, 1998.

Nadjib Muhammad. Melawan Arus (Pikiran dan Langkah Politik Amien Rais). Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 1999.

Nurtjahjo Hendra. Filsafat Demokrasi. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008.

Pulungan J. Suyuti. Fiqh Siyasah“Ajaran Sejarah dan Pemikiran”. Jakarta: Raja Grapindo Persada, 1997.

Rais Amien. Islam di Indonesia (Suatu Ikhtiar Mengaca Diri). Jakarta: Rajawali Press, 1992.

. Cakrawala Islam Antara Cita Dan Fakta. Bandung: Mizan, 1999.

Saebani Beni Ahmadi. Fiqh Siyasah. Bandung: CV Pustaka Setia, 2015.

Saefudin. Ijtihat Politik. Jakarta: Gema Insani Press, 1996.

Soemantri Sri. Demokrasi Pancasila. Bandung: Sinar Grafika, 1998.

Sihombing Frans Bona. Demokrasi Pancasila Dalam Nilai-nilai Politik. Jakarta: Erlangga, 1984.

Suvbagyo Joko. Metode Penelitian Dalam Teori Dan Praktik. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994.

Sumali. Reduksi Kekuasaan Eksekutif. Malang: UMM Pres, 2002.

Sumarsono. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005.

Suryadi Budi. Sosiologi Politik: Sejarah, Konsep, dan Perkembangan Konsep. Jogjakarta: IRCiSoD, 2007.

Syam Firdaus. Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra di Pentas Politik Indonesia Modern. Jakarta: Khairul Bayan, 2003.

Syekh H. Abdul Halim Hasan Binjai. Tafsir Ahkam. Jakarta: Kencana, 2006.

Taher Perdi Elza (Ed). Demokratisasi Politik, Budaya Dan Ekonomi. Jakarta: Temprint, 1994.

Tarcisius Dewanto. Pemisahan Moral dan Kekuasaan. Jakarta: PT, Bumi Askara, 2006.

Tim Pena Prima. Kamus Ilmiah Popular (Edisi Lengkap). Surabaya: Gita Media Press, 2006.

Ubaidillah A. Demokrasi; Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. EdisiRevisi II, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2006.

. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Jakarta Press, 2000.