LIBERALISASI PENDIDIKAN DALAM KERANGKA GATS : KAJIAN HUKUM TERHADAP PENDIRIAN PERGURUAN TINGGI ASING DI INDONESIA

TESIS

OLEH ANGGIAT PARDAMEAN SIMAMORA 107005003/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013

Universitas Sumatera Utara LIBERALISASI PENDIDIKAN DALAM KERANGKA GATS : KAJIAN HUKUM TERHADAP PENDIRIAN PERGURUAN TINGGI ASING DI INDONESIA

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister Hukum dalam program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

ANGGIAT PARDAMEAN SIMAMORA 107005003/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013

Universitas Sumatera Utara Judul Tesis : LIBERALISASI PENDIDIKAN DALAM KERANGKA GATS : KAJIAN HUKUM TERHADAP PENDIRIAN PERGURUAN TINGGI ASING DI INDONESIA Nama Mahasiswa : Anggiat Pardamean Simamora NIM : 107005003 Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui

Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution., SH., MH) Ketua

(Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH) (Dr. Mahmul Siregar, SH., M.Hum) Anggota Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH) (Prof. Dr. Runtung., SH., M.Hum)

Tanggal Lulus : 17 Pebruari 2013

Universitas Sumatera Utara Telah Diuji Pada Tanggal 20 Pebruari 2013

PANITIA PENGUJI TESIS Ketua Prof.Dr.Bismar Nasution,S.H.,M.H Anggota 1. Prof. Dr. Suhaidi.,SH.,MH 2. Dr. Mahmul Siregar.,SH.,M. Hum 3. Prof. Dr . Tankamello., SH.,MS 4. Dr. Jelly Leviza.,SH.,M. Hum

Universitas Sumatera Utara ABSTRAK

Liberalisasi pendidikan tinggi yang difasilitasi oleh WTO/GATS telah mendistorsi hakikat pendidikan tinggi sebagai layanan publik di Indonesia. Penelitian ini membahas tentang : 1). Bagaimana pengaturan pendidikan tinggi di Indonesia, 2) Bagaimana eksistensi pendidikan tinggi Asing di Indonesia, dan 3). Apa dampak GATS terhadap pengaturan pendidikan tinggi di Indonesia. Dengan menggunakan penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis, Peneliti menemukan bahwa 1). Pengaturan pendidikan tinggi di Indonesia menempatkan pendidikan tinggi sebagai layanan public yang dapat diselenggarakan oleh PTN dan PTS, namun negara memperlakukan kedua nya secara diskriminatif, 2) Eksistensi pendidikan tinggi asing dalam aturan perundang- undangan diakui sebagai bagian dari SPN yang dapat dilakukan melalui kerja sama Internasional, bukan dengan mendirikan pendidikan tinggi asing secara mandiri, sehingga pendidikan tinggi asing di Indonesia tidak termasuk dalam ruang lingkup GATS, dan 3)) GATS berdampak pada pengaturan pendidikan tinggi di Indonesia karena Indonesia terikat pada segala ketentuan yang terdapat di dalam WTO/GATS. Berdasarkan temuan tersebut, maka disarankan agar 1). Pemerintah memperlakukan PTN dan PTS sama karena meduanya mengemban mini yang sama dan diselenggarakan dengan sistim yang sama yaitu SPN; 2 ) ketentuan yang mewajibkan pendidikan tinggi asing diselenggarakan dalam bentuk kerja sama tetap dipertahankan untuk meningkatkan kapasitas perguruan tinggi dalam negeri; 3) Indonesia perlu membuat legislasi barn yang mengatur pendidikan tinggi sebagai komoditas.

Kata Kunci : Liberalisasi, Pendidikan Tinggi, SPN, GATS

Universitas Sumatera Utara ABSTRACT

Higher education liberalization facilitated by the WTO/ GATS has distorted the nature of education as a public service in Indonesia. This study aims at finding out 1). how higher education (HE) in Indonesia is regulated, 2). what the existence of foreign higher education in the Indonesian regulation is, and 3) what the impact of GATS on regulating higher education in Indonesia is. It was found out that 1). both public higher education (PTN) and Private higher education (PTS) conduct governmental authority. Otherwise, the regulations threat them discriminately, 2). Foreign HE is recognized in Indonesian regulation as a part of SPN. Consequently, foreign HE instututions legally cannot be established in Indonesia, 3). GATS impacts on regulating HE in Indonesia since all agreements achieved in RTOIGATS abide Indonesia. From these findings, it is suggested that I ) . Government threat both PTA' and PTS equally since they are held in the same system, 2). Regulation obliging foreign higher education to be held as parts of SPN be maintained to improve the quality of Indonesia higher education, 3). Indonesia makes a new legislation on higher education industry. Keywords : Liberalization, Higher Education , SPN, GATS

Universitas Sumatera Utara KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat kasih karunia-Nyalah penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini rnerupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk meraih gelar Sarjana Magister Hukum pada

Program Studi Ilmu Hukum di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, dengan segala hormat Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), SpA (K), selaku rektor

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H, selaku Ketua Program Magister Ilmu Hukum

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai Anggota

Komisi Pembimbing.

4. Bapak Prof. Dr. Wismar Nasution, S.H, M.H, selaku Ketua Komisi Pembimbing

yang telah memberikan saran, bimbingan, perhatian dan dukungan hingga selesainya

penulisan tesis ini.

5. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum selaku Anggota Komisi Pembimbing.

6. Bapak Prof. Dr. Tan Kamelo, S,H.NI.S selaku anggota Komisi Penguji.

7. Bapak Dr. Mirza Nasution, SH,M.Hum, selaku Anggota Komisi Penguji.

8. Para Dosen Sekolah Pascasarjana USU yang telah membimbing dan mernbuka

Universitas Sumatera Utara cakrawala berpikir Penulis.

9. Ibunda tcrcinta, P.Banjanahor yang dada hentinya berdoa dan mebimbing Penulis,

Istri tercinta, Dewi Yunidar Napitupulu, yang selalu mendukung segala aktivitas

Penulis, Kakanda tercinta, Elista SImamora, yang selalu mendukung Penulis baik

secara moril dan materil,

10. Direktur Politeknik MBP, Bapak Drs. Tenang Malem Tarigan,Ak.M.Si, yang selalu

memberi kesempatan kepada Penulis untuk berkarya di lingkungan Yayasan Mandiri

Bina Prestasi.

11. Deliana Napitupulu dan rekan-rekan seperjuangan pada Program Studi S2 Magister

Ilmu Hukum USU Angkatan Tahun 2010 dan seluruh staf dan pegawai di Program

Studi Ilmu Hukum USU atas segala bantuan-bantuan, pelayanan yang ramah,

kiranya Tuhan yang membalas semua kebaikannya.

Penulis menyadari bahwa tesis ini jauh dari sempurna, namun, Penulis berharap tulisan ini sebagai sumbangan pemikiran mengenai pendidikan tinggi di Indonesia dalam kaitannya dengan globalisasi, khususnya GATS.

Medan, Pebruari 2013 Penulis,

Anggiat P. Simamora Nim : 107005003

Universitas Sumatera Utara RIWAYAT HIDUP

I. DATA DIRI Nama : Anggiat P. Simamora Tpt /Tgi Lahir : Pakkat, 04-07-1970 Alamat : Jl. Mongonsidi Gg Upah Tendi No. 1D Medan Agama : Katolik II. PENDIDIKAN FORMAL 1. SD RK Pakkat, Kec. Pakkat Kab. Humbahas, tahun 1976-1983 2. SMP RK Pakkat, Kec. Pakkat Kab. Humbahas, tahun 1983-1986 3. SMA RK Pakkat, Kec. Pakkat Kab. Humbahas, tahun 1986-1989 4. IKIP Negeri Medan, Prodi. Pend. Bhs. Inggeris (S1) , tahun 1989-1994 5. Universitas Sisingamangara, Ilmu Hukum (SI), tahun 1999-2004 6. Pasta Sarjana Universitas Sumatera Utara, Ilmu Hukum, 2010-2013 III. PENDIDIKAN INFORMAL dan PELATIHAN 1. Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang diselenggarakan oleh AAI dan Universitas Darma Agung tahun 2006 2. Pelatihan Training for Trainer for Hospitality yang diselenggarakan oleh NMCP (PUM) dengan Mondreaan Hotel School di The Haque Belanda -2006 IV. KELUARGA Ayah : A. Simamora (Alm) Ibu : P. Banjarnahor Istri : Dewi Yunidar Napitupulu Kakak : Elista Simamora

V. Pekerjaan Dosen Politeknik MBP Tahun 2002-Sekarang Advokat 2012 -Sekarang,

Universitas Sumatera Utara DAFTAR ISI Hrlaman ABSTRAK ...... i ABSTRACT ...... ii KATA PENGANTAR ...... iii DAFTAR RIWAYAT HIDUP ...... v DAFTAR ISI ...... vii DAFTAR TABEL ...... x DAFTAR GAMBAR ...... xi DAFTAR SINGKATAN ...... xii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...... I B. Rumusan Masalah ...... 7 C. Tujuan Penelitian ...... 8 D. Manfaat Penelitian ...... 8 E. Keaslian Penelitian ...... 9 F. Kerangka Teori dan Konseptual ...... 11 1. Kerangka Teori ...... 11 2. Kerangka Konspetual ...... 17 G. Metode Penelitian ...... 19 1. Jenis dan Sifat Penelitian ...... 19 2. Sumber Data ...... 20 3. Teknik Pengumpulan Data ...... 21 4. Analisis Data ...... 21 BAB II PENDIDIKAN TINGGI SEBAGAI SUB SISTIM DART SISTIM PENDIDIKAN NASIONAL INDONESIA 1. Sistirn Pendidikan Nasional ...... 22 1. Landasan Philosofis, Konstitusional dan Yuridis ...... 24 2. Struktur Sistim Pend iA l-ar, Nasional ...... 29 B. Pendidikan Tinggi Sebagai Subsistim dari Sistim Pendidikan Nasional ...... 34 1. Perkembangan Regulasi Pendidikan Tinggi ...... 34 2. Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi ...... 48 a. Pendirian Perguruan Tinggi ...... 49 b. Tata Kelola ...... 61 c. Pendanaan ...... 65 d. Pengawasan dan ...... 70 BAB III EKSISTENSI PENDIDIKAN TINGGI ASING DA-LAM SISTIM PENDIDIKAN NASIONAL A. Dasar Hukum ...... 74 B. Bentuk Penyclenggaraar...... 78 1. Kontrak Manajemen ...... 80 2. Program Kembaran ...... 81

Universitas Sumatera Utara 3. Gelar Ganda ...... 81 4. Program Pen indahan Kredit ...... 82 C. Tujaun dan Manfaat ...... 83 BAB IV PENGARUH GATS TERHADAP PENGATURAN PENDIDIKAN , TINGGI DI INDONESIA A. Aspek Hukum GATS ...... 92 1. Sejarah GATS ...... 92 2. Latar Bclakang dan Tujuan GATS ...... 98 3. Defenisi dan Ruang Lingkup GATS ...... 102 4. Prinsip dan Aturan GATS ...... 104 a. MFN Treatment ...... 106 b. Transparency ...... 107 c. Domestic Regulation ...... 107 d. Monopoly dan Exclusive Provider ...... 110 e. Subsidy ...... 111 f. Payment and Transfer ...... 112 g. Economic Integration ...... 112 h. Recognition ...... 113 i. Specific Commitment ...... 113 j. Progressive Liberalization ...... 117 B. Liberalisasi Jasa Pendidikan Tinggi di dalam GATS ...... 119 1. Latar Belakang ...... 119 2. Pelaksanaan dan Hambatan ...... 129 a. Cross border supply ...... 130 b. Consumption abroad ...... 131 c. Commercial presence ...... 131 d. Presence of Natural Person ...... 132 3. Pro Kontra Liberalisasi ...... 134 4. Conditional Initial Offering Indonesia untuk Subsektor pendidikan tinggi (GATS) ...... 142 C. Dampak GATS terhadap Pengaturan Pendidikan Tinggi di Indonesia ...... 146 1. Konsekuensi Keanggotaan Indonesia di claim GATS ...... 146 2. Komersialisasi Pendidikan Tinggi ...... 152 BAB V PENUTUP A. Kcsimpulan ...... 157 B. Saran ...... 158 DAFTAR PUSTAKA ...... 159

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Pengusul clan Pemberi ijin Pendirian Satuan Pendidikan Tinggi 52

Tabel 2 Persyaratan Jumlah Dosen Perprogram Studi 57

Tabel 3 Komponen Oftoriomi Perguruan Tinggi 63

Tabel 4 Cakupan Otonomi Perguruan Tinggi di Berbagai Negara 65

Tabel 5 Komponen Biaya Pendidikan Tinggi 68

Tabel 6 Distribusi Mahasiswa pada PTN/PTS tahun 2005-2010 70

Tabei 7 Perbedaan Alasan clan Dampak Pendidikan Lintas Negara 88

Tabel 8 Dallar Perundingan GATT 94

Tabel 9 Kontribusi Eksport Jasa Berdasarkan Kelompok Pendapatan 100

Tabel 10 Program Kembaran Perguruan Tinggi Australia dengan

Perguruan Tinggi (Feb. 1998) 128

Tabel I I Permohonan Penghapusan Hambatan (barriers) Perdagangan

PendidikanTinggi oleh AS kepada Beberapa Negara 135

Tabel 12 Conditional Initial Offer Indonesia Untuk Subsektor

Pendidikan Tinggi 144

Tabel I3 Beberapa Ketentuan dalam Perundang-Undangan Pendidikan

Tinggi yang Potensial sebagai Barriers menurut GATS 151

Tabel 14 Gambaran Mahasiswa Internasional : 5 Negara Somber 155

Universitas Sumatera Utara DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Dampak Pendidikan Terhadap Ekonomi 1

Gambar 2 Hubungan Pancasila, UUD 1945 dengan Pendidikan Nasional 29

Gambar 3 Struktur Pendidikan Indonesia 34

Gambar 4 Proses Akreditasi Program Studi 73

Gambar 5 Struktur Organisasi WTO 99

Universitas Sumatera Utara DAFTAR SINGKATAN

APED Anggaran Pendapatan dan Belanjda Daerah

APBN Anggaran Fendapatan dan Belanja Negara

APBN-P Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perbaikan

APEC Asia Pacific Edonomic Cooperation

BAN-PT Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi

BHMN Badan Hukum Milik Negara

BHP Badan Hukum Pendidikan

BP-PTS Badan Penyelenggara Pendidikan Tinggi Swasta

CTG Council For Tradc in Goods

CTS Council For Trade in Services

DPR RI Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

GDP Gross Domestic Bruto

KTM Konferensi Tingkat Menteri

LSM Lembaga Swadaya Masyarakat

ENTs Economic Need Tets

GATS General Agreement on Trade in Services

IMF International Monetary Fund

Kepmendikbud Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

MA Madrasah Aliyah

MAK Madrasah Aliyah Kejuruan

MFN Most Favoured Nation

Universitas Sumatera Utara OECD Organization for Economy Co-operation and Development

PP Peraturan Pemcrintah

Permendikbud Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaaan

Purpres Peraturan Presiders

PTN Perguruan Tinggi Negeri

PTS Perguruan Tinggi Swasta

SLTA Sekolah Lanjutan Tingkat Atas

SMA Sekolah Menengah Atas

SMK Sekolah Menengah Kejuruan

SNP Standar Nasional Pendidikan

SPN Sistim Pendidikan Nasional

UU Undang-Undang

UUBIlP Undang-undang Badan HukumMilik Negara

UUD 1945 Undang-Undang Dasar tahun 1945

UUSPN Undang-undang Sistim Pendidikan Nasional

WTO World Trade Organization

Universitas Sumatera Utara ABSTRAK

Liberalisasi pendidikan tinggi yang difasilitasi oleh WTO/GATS telah mendistorsi hakikat pendidikan tinggi sebagai layanan publik di Indonesia. Penelitian ini membahas tentang : 1). Bagaimana pengaturan pendidikan tinggi di Indonesia, 2) Bagaimana eksistensi pendidikan tinggi Asing di Indonesia, dan 3). Apa dampak GATS terhadap pengaturan pendidikan tinggi di Indonesia. Dengan menggunakan penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis, Peneliti menemukan bahwa 1). Pengaturan pendidikan tinggi di Indonesia menempatkan pendidikan tinggi sebagai layanan public yang dapat diselenggarakan oleh PTN dan PTS, namun negara memperlakukan kedua nya secara diskriminatif, 2) Eksistensi pendidikan tinggi asing dalam aturan perundang- undangan diakui sebagai bagian dari SPN yang dapat dilakukan melalui kerja sama Internasional, bukan dengan mendirikan pendidikan tinggi asing secara mandiri, sehingga pendidikan tinggi asing di Indonesia tidak termasuk dalam ruang lingkup GATS, dan 3)) GATS berdampak pada pengaturan pendidikan tinggi di Indonesia karena Indonesia terikat pada segala ketentuan yang terdapat di dalam WTO/GATS. Berdasarkan temuan tersebut, maka disarankan agar 1). Pemerintah memperlakukan PTN dan PTS sama karena meduanya mengemban mini yang sama dan diselenggarakan dengan sistim yang sama yaitu SPN; 2 ) ketentuan yang mewajibkan pendidikan tinggi asing diselenggarakan dalam bentuk kerja sama tetap dipertahankan untuk meningkatkan kapasitas perguruan tinggi dalam negeri; 3) Indonesia perlu membuat legislasi barn yang mengatur pendidikan tinggi sebagai komoditas.

Kata Kunci : Liberalisasi, Pendidikan Tinggi, SPN, GATS

Universitas Sumatera Utara ABSTRACT

Higher education liberalization facilitated by the WTO/ GATS has distorted the nature of education as a public service in Indonesia. This study aims at finding out 1). how higher education (HE) in Indonesia is regulated, 2). what the existence of foreign higher education in the Indonesian regulation is, and 3) what the impact of GATS on regulating higher education in Indonesia is. It was found out that 1). both public higher education (PTN) and Private higher education (PTS) conduct governmental authority. Otherwise, the regulations threat them discriminately, 2). Foreign HE is recognized in Indonesian regulation as a part of SPN. Consequently, foreign HE instututions legally cannot be established in Indonesia, 3). GATS impacts on regulating HE in Indonesia since all agreements achieved in RTOIGATS abide Indonesia. From these findings, it is suggested that I ) . Government threat both PTA' and PTS equally since they are held in the same system, 2). Regulation obliging foreign higher education to be held as parts of SPN be maintained to improve the quality of Indonesia higher education, 3). Indonesia makes a new legislation on higher education industry. Keywords : Liberalization, Higher Education , SPN, GATS

Universitas Sumatera Utara BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia baik untuk dirinya sendiri maupun untuk masyarakat serta untuk kemajuan bangsa dan negara. Hal ini diakibatkan oleh kontribusi pendidikan tersebut pada berbagai sektor kehidupan baik ekonomi, kemanusiaan, demokrasi dan lain sebagainya. Pada bidang ekonomi misalnya hasil penelitian Katharina Michaelowa menunjukkan bahwa pendidikan memberi dampak kepada individu dan lingkungannnya melalui peningkatan pendapatan dan kesiapan memasuki lapangan kerja (micro) yang pada akhirnya berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja (macro).1

Gbr 1. Dampak Pendidikan Tehadap Ekonomi

Sumber : Katharina (2000)

1 Katharina Michaelowa. Returns to Education in Low Income Countries: Evidence for Africa Diakses dari Diakses dari http://www1.aucegypt.edu/src/skillsdevelopment/pdfs/returns%20to%20educati cation%20low %20inco me %20countries.pdf tanggal 20 Oktober 2012

Universitas Sumatera Utara Deepa Rawat mengatakan bahwa “education is the engine of economic growth and sosial change...... Education not only increases the economic returns but also has a significant effect on poverty, income distribution, health, fertility, mortality, population growth and overall quality of human life. Jauh sebelumnya, Immanuel Kant sebagaimana dikutip oleh Moira Murphy mengatakan bahwa “ the purpose of education is to train children, not only with reference to their success in the present state of society, but also to be a better possible state in accordance with an ideal conception of humanity”.2

Bangsa-bangsa di dunia melalui Universal Declaration on Human Rights 1948 3 dan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights mengakui bahwa

“ … that education shall enable all persons to participate effectively in a free society, promote understanding, tolerance and friendship among all nations and all racial, ethnic or religious groups, and further the activities of the United Nations for the maintenance of peace“4.

Dari penjelasan di atas maka sangat tepat apa yang dikatakan Presiden Amerika

Serikat, Barrack Obama, dalam pidatonya di Wakefield High School di Arlington menyatakan bahwa “ What you're learning in school today will determine whether we as

5 a nation can meet our greatest challenges in the future.”

2 Moira Murphy. Experience in The Internationalization of Education : Strategies To Promote Equality of Opportunity at Monterrey Tech., diakses dari http://www.deepdyve.com/lp/springer-journals/ experiences-in-the-internationalization-of-education-strategies-to-TuAvA0Wqdn tanggal 10 April 2012 3 Article 26 4 Article 1.3 GATS 5 Obama's speech on importance of education. Diakses dari http://www.upi.com/Top_News/ US/2009/09/08/Obamas-speech-on-importance-of-education/UPI-21501252429738/ pada tanggal 10 Januari 2013

Universitas Sumatera Utara Robert Sedgwick mengatakan “in most countries around the world, education has traditionally been viewed as a public good 6 provided and guaranteed by the state”.7

Status public goods/service yang disandang oleh pendidikan sangat penting dalam

mengimplementasikan tanggungjawab negara dalam penyediaan dan pendanaan

pendidikan tersebut. Sandy Baum mengatakan “The concept of public goods is central

to economic analysis of the role of government in the allocation of resources”.8

Dari konteks pendanaan pendidikan, konsep pendidikan sebagai layanan publik lebih terlihat pada pendidikan dasar.Hal ini sejalan sejalan dengan amanat Universal

Declaration on Human Rights 1948 bahwa “ everyone has the right to education.

Education shall be free, at least in the elementary and fundamental stages. Elementary education shall be compulsory. Technical and professional education shall be made generally available and higher education shall be equally accessible to all on the basis of merit.” Konsep tersebut menunjukkan bahwa negara hanya berkewajiban untuk

6 Publik service adalah jasa yang disediakan oleh negara kepada masyarakat yang tinggal di wilayah hukumnya baik secara langsung melalui sektor publik ataupun melalui sektor swasta yang dibiayainya. Jasa yang demikian harus tersedia kepada setiap orang tanpa tergantung pada jumpah pendapatan mereka (http://en.wikipedia.org/wiki/Publik_service Diakses pada tanggal 20 Des. 2013) 7 Robert Sedgwick. The Trade Debate in International Higher Education Diakses dari http://www.wes.org/ewenr/02Sept/Feature.htm pada tanggal 12 Maret 2012 Menurut Markus, pemahaman terhadap publik service dapat dilakukan dengan tiga pendekatan. Pendekatan pertama berbasis pada apa yang disupply (what is supplied). Misalnya pendidikan, kesehatan, transportasi publik, dll. Pendekatan kedua berbasis pada kepada siapa jasa tersebut diberikan dan dengan persyaratan apa (whom and under which conditions the service is supplied). Pendekatan ketiga berbasis pada siapa yang akan memberikan pelayanan tersebut (who is supplying the service). Dengan pendekatan ini bahwa suatu jasa disebut publik service jika pengadaannya ada pada badan publik. Baca : Markus Krajewski. Publik Services And The Scope Of The General Agreement On Trade In Services (GATS), A Research Paper For Center For International Environmental Law (CIEL), Geneva, May 2001. Hal 4 Akses terhadap layanan publik yang baik merupakan satu hak yang paling dasar yang dapat dituntut oleh warga negara dari Pemerintah sebagai kompensasi atas pembayara pajak mereka. ( Open Publik Services White Paper. Diunduh dari http://files.openpublikservices.cabinetoffice. gov.uk/OpenPublik Services-WhitePaper.pdf pada tanggal 10 Des.2012) 8 Sandy Baum. Is Education a Public Good or a Private Good? Dapat diakses pada http://chronicle .com/blogs/innovations/is-education-a-public-good-or-a-private-good/28329

Universitas Sumatera Utara mendanai pendidikan dasar, sementara untuk pendidikan tinggi negara hanya berkewajiban untuk menyediakannya yang terbuka untuk umum tanpa diskriminasi.

Dengan demikian, kebijakan (pendanaan) pemerintah terhadap pendidikan tinggi kondisional. Camelia Stejar mengatakan “ countries that have a low inclusion rate of high-school graduates in universities, perhaps the term “public good” is still fully associated with higher education” 9

Sandy Baum dan Michael McPherson berpendapat bahwa bahwa pendidikan tinggi tidak murni sebagai public goods karena masyarakat yang tidak sanggup membayar tidak dapat menikmati pendidikan tersebut. Seseorang yang menikmati pendidikan tinggi memperoleh manfaat langsung dari jasa pendidikan tinggi yang diperolehnya seperti mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Namun masyarakat juga mendapat manfaat dari jasa pedidikan tinggi yang diterima orang lain karena tamatan perguruan tinggi tersebut akan memberi kontribusi melalui inovasi dan kreativitasnya pada masyarakat sekitarnya.10

Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa salah satu tujuan dibentuknya pemerintahan Indonesia adalah untuk mencerdaskan bangsa. Dengan demikian pendidikan merupakan mission of state. Hal ini kemudian dipertegas di dalam UU No.20 tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional (SPN) dimana salah satu tujuan pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,

9 Camelia Stejar . Higher Education: Public Good Or Public Service? Analysis from the perspective of International. Management & Marketing. Challenges for the Knowledge Society. Vol. 6, No.1. 2011. hlm 150 10 Sandy Baum .Op.Cit.

Universitas Sumatera Utara sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis.

Dengan perkataan lain bahwa walaupun Pemerintah tidak berkewajiban secara penuh pada pendanaan pendidikan tinggi, statusnya adalah sebagai layanan social negara kepada warga negara atau sebagai layanan publik. UU No.25 tahun 2005 tentang

Layanan Publik secara eksplisit menyatakan bahwa pendidikan merupakan layanan publik.

Hakikat pendidikan sebagai layanan publik sebagaimana dijelaskan di atas mulai mengalami pergeseran sejak lahirnya WTO dan disepakatinya perjanjian internasional

GATS tahun 1994, karena di dalam perjanjian tersebut, secara eksplisit dinyatakan bahwa pendidikan merupakan komoditas yang dapat diperdagangkan secara internasional. Melalui GATS, negara-negara anggota WTO sepakat untuk meliberalisasi jasa pendidikan tinggi. Bagi Indonesia, pendidikan sebagai layanan publik secara juridis mengalami distorisi sejak Indonesia mengikatkan diri pada perjanjian internasional tersebut melalui UU No. 7 tahun 1994 tentang Ratifikasi Perjanjian Pembentukan

Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement on Estabilishing the World Trade organization) 11 karena secara juridis, Indonesia telah menerima konsep pendidikan sebagai komoditas sebagaimana diatur di dalam GATS.

Bagi Indonesia, pergesaran paradigma pendidikan tinggi sebagai layanan publik menjadi komoditas perdagangan internasional paling tidak menimbulkan dua

11 Di dalam Konsideran UU No.7 tahun 1994 disebutkan bahwa pertimbangan Pemerintah meratifikasi WTO adalah untuk meningkatkan, memperluas, memantapkan dan mengamankan pasar bagi segala produk baik barang maupun jasa serta meningkatkan kemampuan daya saing terutama dalam perdagangan internasional guna mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Universitas Sumatera Utara permasalahan mendasar. Permasalahan pertama adalah kemampauan lembaga pendidikan tinggi Indonesia bersaing dengan pendidikan tinggi asing. Di kawasan Asia, mutu perguruan tinggi Indonesia berada pada peringkat 15 persen terendah dari 77 perguruan tinggi. Di tingkat ASEAN, perguruan tinggi Indonesia hanya berada pada ranking 11. 12 Permasalahan mendasar yang kedua adalah permasalahan hukum. Sebagai negara yang berdaulat, Pemerintah Indonesia berkewajiban melaksanakan amanat konsitusi dan aturan perundang-undangan; dalam hal ini memperlakukan pendidikan sebagai layanan publik. Pada sisi lain, sebagai bagian dari komunitas internasional,

Indonesia harus menghormati segala kesepakatan yang sudah dicapai di dalam

WTO/GATS , termasuk meliberalisasi pendidikan tinggi sebagai komoditas. Dengan demikian, dalam memandang pendidikan tinggi, Pemerintah Indonesia terikat pada dua hukum yang saling kontradiksi, yaitu UUD 1945 dan aturan perundang-undangan lainnya sebagai hukum nasional dan GATS sebagai perjanjian/ hukum internasional.

Tim Graewert menyebutkan bahwa konflik hukum terjadi jika dua atau lebih norma hukum yang berbeda secara substansi ditujukan pada objek yang sama, dan oleh karena itu harus dibuat pilihan hukum yang akan digunakan. “ ... a conflict of law results from two or more norms which are different in substance but apply to the same or similar facts, and whose application would lead to contrary decisions, so that a choice must be made between them”13

12 Sofyan Effendi. Capital Flight” dan Pendidikan Tinggi. Diakses dari http://sofian.staff.ugm. ac.id/artikel/Capital-Flight-PT.pdf pada tanggal 14 September 2012 13 Tim Graewert. Conflicting Laws And Jurisdictions In The dispute settlement process of Regional trade agreements and the WTO. Diunduh dari http://www.law.ntu.edu.tw/center/ wto /project/ admin/SharePics/A_03_05%20pp%20287_Tim_Graewert.pdf tanggal 23 Juni 2012

Universitas Sumatera Utara Pilihan hukum sebagaimana disampaikan Tim Graewert di atas tidak diterapkan di dalam rejim WTO/ GATS. Konsep yang justru dipakai adalah unifikasi dan harmonisasi hukum dimana secara keseluruhan isi perjanjian tersebut menjadi bagian dari sistem hukum nasional negara-negara anggota WTO, dan implementasinya akan diatur melalui peraturan nasional masing-masing (domestic regulation). Hal ini berarti bahwa konsep pendidikan sebagai komoditas mengikat Indonesia yang implementasinya akan diatur selanjutnya melalui aturan perundang-undangan nasional.

Solly Lubis mengatakan bahwa ketergantungan Indonesia yang tinggi pada negara- negara maju membuat Indonesia harus pragmatis. Dengan perkataan lain bahwa

Indonesia tidak bisa mengisolasi diri dari kecenderungan yang terjadi di dunia karena alasan tidak sesuai dengan konstitusi.

Indonesia tidak dapat mengelakkan diri dari lilitan gurita neo liberalisme itu karena bagaimanapun muluk dan idealnya nilai-nilai yang paradigmatik dalam Pancasila dan UUD kita, namun karena faktor ketergantungan (dependancy) kita kepada negara – negara lain amat kuat, maka tidak mungkin strategi politik dapat kita lakukan secara mendasar (grounded) sesuai dengan nilai nilai ideologis kita, sehingga dalam beberapa hal kita terpaksa memilih jalan pragmatis, untuk memenuhi kepentingan kita yang mendesak.14

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan rangkaian pemaparan di atas, maka masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pengaturan pendidikan tinggi sebagai subsistem dari Sistem

Pendidikan Nasional di Indonesia ?

14 Solly Lubis. Paradigma Kebijakan Hukum Pasca Reformasi, dalam rangka ultah ke-80 Prof. Solly Lubis, (Jakarta: PT.Soefmedia, 2010), hal 72

Universitas Sumatera Utara 2. Bagaimana eksistensi pendidikan tinggi asing dalam perundang-undangan di

bidang pendidikan di Indonesia ?

3. Bagaimana dampak GATS terhadap pengaturan pendidikan tinggi di Indonesia ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui tentang pengaturan pendidikan tinggi sebagai sub Sistem

dari Sistem pendidikan nasional.

2. Untuk mengetahui eksistensi pendidikan tinggi asing dalam aturan perundang-

undangan di Indonesia.

3. Untuk mengetahui dampak GATS terhadap pengaturan pendidikan tinggi di

Indonesia

D. Manfaat Penelitian

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk kajian selanjutnya dalam menempatkan pendidikan tinggi Indonesia dari pespektif layanan publik dan komoditas menurut aturan perundang-undangan yang berlaku.

Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dipergunakan oleh Pemerintah Pusat dan

Daerah dalam membuat kebijakan dan aturan hukum di bidang pendidikan tinggi, dan oleh DPR atau DPRD dalam merumuskan undang-undang atau peraturan daerah dalam bidang pendidikan tinggi . Hasil penelitian ini juga akan dapat dimanfaatkan oleh para penyelengga dan satuan pendidikan tinggi dalam merumuskan kebijakan-kebijakannya

Universitas Sumatera Utara dalam penyelenggaraan dan pengelolaan perguruan tinggi secara umum, dan dalam menjalin kerjasama dalam bidang pendidikan tinggi dengan pihak asing secara khusus.

E. Keaslian Penelitian

Sesuai dengan hasil penelusuran yang dilakukan Penulis di Perpustakaan

Universitas Sumatera Utara, dan melalui Internet, tidak ditemukan penelitian dengan judul atau kajian yang sama. Namun demikian, ditemukan beberapa penelitian yang membahas tentang pendidikan tinggi dalam hubungannya dengan WTO/ GATS:

1. Que Anh Dang, mahasiswa magister bisnis di Copenhagen Business School,

dengan judul tesis Internationalisation of Higher Education in China and

Vietnam: From Importers of Education to Partners In Cooperation. Penelitian

ini membahas tentang :

a. Alasan China dan Vietnam melaksanakan internasionalisasi pendidikan

tinggi,

b. Perbedaan strategi yang dilaksanakan China dan Vietnam dalam

internasionalisasi pendidikan tinggi

c. Cakupan dampak WTO/GATS terhadap pelaksanaan dan kebijakan cross

border education di China dan Vietnam.

2. Aleš Vlk, mahasiswa doktoral di Universiteit Twente, dengan judul desertasi

Higher Education And GATS. Regulatory Consequences and Stakeholders’

Responses.” Penelitian ini membahas tentang :

a. Pengaruh GATS terhadap legislasi pendidikan tinggi

Universitas Sumatera Utara b. Posisi dan pengaruh para pemangku kepentingan dalam negosiasi GATS

pada bidang pendidikan tinggi

c. Faktor-faktor yang relevan memberi dampak pada kapasitas negara dalam

bidang pendidikan tinggi

3. Nasir Karim, mahasiswa doktoral jurusan Manajemen pada Qurtuba University

of Science & Information Technology, Korea Selatan dengan judul thesis

Managing Higher Education In Pakistan Under GATS Environment. Penelitian

ini membahas tentang bagaimana pengelolaan pendidikan tinggi di Pakistan

dalam kerangka GATS.

4. Cibele Cessa, mahasiswa Magister Universiteit Van Amsterdam, dengan judul

tesis Internationalisation of Higher Education in Brazil: The debate on GATS

and Other International Cooperation Initiatives” Tesis ini membahas tentang :

a. Pihak-pihak yang terlibat dalam Sistem pendidikan tinggi Brazil dalam

internasionalisasi pendidikan tinggi khususnya dalam komitmen yang

diberikan di dalam GATS.

b. Alasan-alasan dan kepentingan yang mendorong Brazil lebih memilih kerja

sama Internasional daripada GATS

c. Alasan para pihak Non Government tidak setuju dengan kerjasama

internasional pendidikan tinggi.

Ditinjau dari bidang ilmu dan objek kajian yang dibahas pada penelitian-penelitian di atas tidak terdapat kesamaan dengan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini.

Semua pendapat yang dikutip dari berbagai sumber dalam penelitian ini telah

Universitas Sumatera Utara dicantumkan sumber dan nama penulisnya sebagaimana mestinya. Dengan demikian, keaslian penelitian dapat dipertanggungjawabkan.

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual

1. Kerangka teori

Solly Lubis mengatakan bahwa landasan teori merupakan kerangka pemikiran, butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang dijadikan sebagai pegagangan teoritis dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.15

Teori-teori yang digunakan sebagai kerangka berpikir dalam menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah teori Sistem Hukum dan teori Monisme.

Teori Sistem hukum merupakan teori yang membahas tentang bekerjanya komponen- komponen hukum secara sistematis dalam mencapai tujuan hukum, sementara teori monisme membahas tentang hubungan hukum nasional dan hukum internasional. a. Teori Sistem Hukum

Sistem berasal dari bahasa Yunani “systema” yang berarti suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian (whole compound of several parts). Sistem merupakan suatu kebulatan yang memiliki unsur-unsur dan peran yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi. 16 Masing-masing unsur harus dilihat dalam kaitannya dengan unsur-unsur lain sehingga keseluruhannya seperti mozaik atau legpuzzle 17 .

15 M.Solly Lubis. Filsafat Ilmu dan Penelitian. (Bandung: Mandar Madju, 1994) hal.80 16 Soewandi, Diktat Pengantar Ilmu Hukum, (Salatiga: FH UKSW, 2005) hal. 65 17 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, (Yogyakarta: Penerbit UAJY, 2010) hal. 24

Universitas Sumatera Utara Sistem hukum berfungsi untuk menjaga atau mengusahakan keseimbangan tatanan dalam masyarakat (restitutio in integrum)18

Friedman menjelaskan bahwa sistem hukum adalah satu kesatuan hukum yang tersusun dari tiga unsur, yaitu substansi hukum (legal substance) , struktur hukum (legal structure) dan budaya hukum (legal culture).

Substansi hukum merupakan materi, norma atau aturan hukum yang menjadi panduan dan tolak ukur dalam berperilaku yang wujudnya dalam bentuk perundang- undangan atau aturan hukum. “ The substance is composed of substantive rules and rules about how instututions should behave.” 19 Beberapa substansi hukum yang berkenaan dengan pendidikan tinggi di Indonesia yang masih berlaku diantaranya adalah

UU No. No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, PP No. 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan

Penyelenggaraan Pendidikan, PP No. 66 tahun 2010 Tentang Perubahan atas PP No. 17 tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.

Struktur hukum adalah organisasi atau insitusi yang merupakan rangka dari Sistem hukum tersebut. The structure of the system is it’s skeletal framework; it is the permanent shape, the institutional body of the system. 20 Struktur hukum berfungsi sebagai pelaksana dari substansi hukum, dalam bidang pendidikan diantaranya adalah

Depdikbud, , BP-PTS, BAN PT, Kopertis, termasuk perguruan tinggi itu sendiri.

18 Ibid, hal 31 19 Lawrence M. Friedman. The Legal System: A Sosial Science Perspective, (New York: Russell Sage Foundation, 1975) Hal. 11-16 Mengenai substansi hukum, L.A Hart menjelaskan bahwa Sistem hukum terdiri dari “primary rules” dan “secondary rules”. Primary rules adalah norma prilaku dan secondary rules merupakan norma yang mengatur norma-norma tersebut.( H.L.A Hart. The concept of law, 1961. Hal 91-92) 20 Ibid . hal 15

Universitas Sumatera Utara Budaya hukum adalah nilai-nilai, sikap, prilaku, atau cara pandang masyarakat terhadap hukum. “ Legal culrure is the element of sosial attitude and value. Legal

Structure refers to those parts of general culture – custom, opinions, ways of doing and thinking-that bend sosial forces toward or away from the law and in particular ways”21

Budaya hukum sebagai kekuatan sosial berperan penting dalam menentukan efektifitas substansi hukum. “ What gives life and reality to the legal system is the outside, sosial world. The legal system is not insulated or isolated; it depends absolutely on inputs from outside”22

Abduh Manan mengatakan tingkat kesadaran hukum tercermin dari kepatuhan dan ketaatan masyarakat terhadap hukum tersebut. 23 Paul Scholten bahkan mengatakan kesadaran hukum adalah dasar sahnya hukum positif (hukum tertulis) karena tidak ada hukum yang mengikat masyarakat kecuali atas dasar kesadaran hukum, karenanya kesadaran hukum adalah sumber dari semua hukum.24

Substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum ini sebagai satu sistem merupakan satu kesatuan yang bekerja secara sistematis dalam mencapai tujuan hukum tersebut. “A legal system in actual operation is a complex organism in which structure, substance, and culture interact.”25

Sebagai contoh bagaimana ketiga unsur hukum tersebut berinteraksi satu sama lain dapat dilihat dari contoh berikut. Pemerintah dalam upaya meningkatkan mutu

21 Ibid. 22 Ibid. hal 15 23 Abdul Manan,. Aspek-aspek Pengubah Hukum. (Jakarta: Kencana. 2009 ) . hal.19-20 24 Kesadaran Hukum. diakses dari http://saepudinonline.wordpress.com/2011/03/20/kesadaran- hukum/ pada tanggal 30 Maret 2012 25 Lawrence M. Friedman. Op.Cit. hal 16

Universitas Sumatera Utara pendidikan, telah mensyaratkan guru harus minimal berijajah sarjana (S1) 26. Melalui ketentuan ini Pemerintah mengharapkan guru-guru yang belum berpendidikan sarjana

untuk dapat melanujutkan kuliah mereka ke jenjang Sarjana. Kenyataanya ada oknum-

oknum guru yang justru memperoleh ijajah Sarjana dengan cara-cara yang tidak

semestinya, misalnya membeli ijajah. 27 Praktik yang demikian juga terjadi pada profesi lainnya, bahkan ada aknum-oknum yang berani menggunakan ijazah palsu untuk mencalonkan diri menjadi anggota DPR RI. 28 Hal tersebut merupakan prilaku atau budaya hukum yang konradiktif dengan tujuan dibuatnya UU No. 14 Tahun 2005 tersebut. Praktik tersebut semakin langgeng karena tidak berfungsinya Legal structure dalam melakukan pengawasan.29

Dari contoh di atas, UU No. 14 Tahun 2005 tersebut merupakan legal substance, sementara prilaku guru yang memperoleh ijajah Strata Satu dengan cara yang tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan merupakan legal culture. Sementara perguruan tinggi yang mengeluarkan ijajah tersebut atau lembaga yang gagal mengawasi

26 Pasal 8 dan 9 UU Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen 27 Seorang guru berijazah palsu lulus uji kompetensi. Diakses dari http://www.antaranews. com/berita/315404/seorang-guru-berijazah-palsu-lulus-uji-kompetensi pada tanggal 17 Januai 2013. Fenomena jual beli gelar selain tak bisa dilepaskan dari adanya permintaan pasar tenaga kerja yang berlabel legal formal, juga berkolaborasi dengan konsumerisme yang mengedepankan budaya instan. Gelar akademik pun dianggap sebagai komoditas yang bisa dikonsumsi dalam arti dibeli untuk dipajang dan dikoleksi. Mereka yang gemar mengoleksi berbagai gelar akademik seperti Dr/PhD, MA, MBA, MSc dan Profesor, mulai dari pengusaha, anggota DPR(D), bupati, gubernur, pejabat militer, polisi hingga pendeta. (Baca: “Jual Beli Gelar Akademik” dapat diakses dari http://www. analisisdaily.com/mobile/ read/?id=21328) 28 Anggota DPR Ketahuan Pakai Ijazah Palsu. Diakses dari http://metrotvnews.com/ index.php/ metromain/newsvideo/2010/07/22/109655/Anggota-DPR-Ketahuan-Pakai-Ijazah-Palsu pada tanggal 11 Juli 2012. 29 20 Persen Wakil Rakyat Diduga Gunakan Ijazah Palsu. Diakses dari http://jambi.tribunnews. com/2012/02/29/20-persen-wakil-rakyat-diduga-gunakan-ijazah-palsu pada tanggal 11 Juli 2012. Baca juga : PTS Liar Tumbuh Subur. Dapat diakses di : http://www.hariansumutpos.com/2011/06/8416/pts- liar-tumbuh-subur#axzz2RNWfZJpd

Universitas Sumatera Utara peguruan tinggi tersebut merupakan legal structure. Kegagalan salah satu dari unsur sistem hukum ini bekerja akan berakibat pada tidak tercapainya tujuan hukun

(pendidikan) itu sendiri.

Hukum selalu berada pada status “law in the making”, tidak bersifat final. Hukum harus selalu peka terhadap perubahan yang terjadi dalam masyarakat, baik lokal, nasional, maupun global. Namun tujuan perubahan hukum tersebut harus dipastikan untuk melindungi rakyat.30 Oleh karena itu membuat atau menghilangkan substansi hukum akan selalu terjadi sebagai respon atas perubahan jaman.

GATS merupakan legal substance yang akan mengubah legal culture kita, atau legal culture masyarakat internasional yang telah merubah legal substance kita.

Pemerintah sebagai legal structure yang memiliki otoritas yang paling dominan harus mampu memastikan bahwa ketiga unsur tersebut tertata rapi untuk menciptakan sinergitas dalam mencapai tujuannya, dalam hal ini tujuan pendidikan nasional. b. Teori Monisme

Dalam perkembangan teori-teori hukum, ada dua aliran besar mengenai hubungan antara hukum nasional dengan hukum internasional; Monisme dan Dualisme.31 Menurut teori Dualisme, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua Sistem hukum yang berbeda. Dilihat dari sumber hukum, maka hukum internasional bersumber dari kehendak negara-negara, sedangkan sumber hukum nasional bersumber dari kehendak negara. Agar hukum internasional berdampak pada hukum nasional terlebih dahulu

30 Satjipto Rahardjo; Hukum Progresif. Sebuah Sintesa Hukum Indonesia . (Jogyakarta:Genta Publishing.2009). hal 18 31 Korelasi Hukum Nasional dan Internasional. Diakses Dari http://wonkdermayu.Word press.com /artikel/opini/ pada tanggal 8 Juli 2012

Universitas Sumatera Utara harus diadopsi sesuai dengan sistm yang berlaku di negara tersebut sehingga ketika diaplikasikan tetapi menjadi hukum nasional. 32

Menurut teori Monisme bahwa hukum nasional dan internasional merupakan satu kesatuan yang terdiri dari aturan-aturan yang mengikat baik kepada negara, individu, maupun subjek selain negara sehingga akan memunculkan adanya hirarki diantara keduanya. Hukum nasional dan internasional yang diterima oleh negara melalui traktat menentukan apakah satu perbuatan hukum tertentu legal atau tidak. Segera pemerintah menandatangani atau meratifikasi satu perjanjian internasional, maka pada saat itu juga hukum internasional telah menjadi bagian dari Sistem hukum nasional yang tidak memerlukan interpretasi, modifikasi, atau penyesuaian sehingga dapat langsung di aplikasikan atau digunakan oleh masyarakat dan penegak hukum. S. K. Verma mengatakan bahwa menurut teori Monisme hukum internasional dan hukum nasional merupakan hukum yang berasal dari sumber sama, yaitu hukum alam dan sama-sama mengikat negara dan individu 33

Pertanyaan yang muncul dari teori Monisme ini adalah jika terjadi konflik antara hukum nasional dan hukum internasional, kepentingan hukum mana yang dimenangkan.

Pertanyaan tersebut kemudian melahirkan dua pendapat yang disebut dengan Primat

Hukum Nasional dan Primat Hukum internasional. 34

32 Boleslaw Adam Boczek .International Law: A Dictionary. (Marland.Scarecrow Press.Inc.2007) Hal. 6 33S. K. Verma . An Introduction To Publik International Law.(PHI.2004). Hal 48 34 Melda Kamil Ardiatmo. Kedudukan Hukum Internasional dalam Sistem Hukum Nasional. Diakses dari http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/5308505524.pdf pada tanggal 20 Januari 2013

Universitas Sumatera Utara Menurut paham Hukum Primat Internasional bahwa hukum nasional bersumber dari hukum internasional maka jika terjadi konflik diantara kedua hukum tersebut hukum internasional harus menang dan tidak dapat dibatasi oleh aturan-aturan yang terdapat di dalam hukum nasional. 35 Sedangkan menurut Hukum Primat Nasional bahwa hukum internasional bersumber dari hukum nasional dengan alasan bahwa tidak ada satu organisasi di atas negara-negara yang mengatur kehidupan negara di dunia ini. Alasan kedua adalah bahwa yang menjadi dasar dari hukum internasional untuk mengatur hubungan internasional merupakan wewenang negara-negara untuk mengadakan perjanjian-perjanjian internasional.

Berangkat dari teori tersebut di atas, maka tindakan Pemerintah Indonesia yang meratifikasi pembentukaan WTO melalui UU No.7 tahun 1994 berakibat pada masuknya segala perjanjian yang terdapat di dalam WTO dalam hal ini GATS tersebut ke dalam sistem hukum Indonesia,.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa pendidikan tinggi di Indonesia merupakan layanan publik, sementara dalam WTO/GATS pendidikan tinggi merupakan komoditas yang diliberalisasi dalam perdagangan internasional. Kedua fakta ini telah menimbulkan permasalahan hukum, dimana terjadi konflik dalam memandang pendidikan tinggi, yaitu sebagai layanan publik (domestic rule) dan komoditas (GATS).

2. Kerangka Konseptual

Di dalam penelitian hukum normatif maupun sosiologis atau empiris, dimungkinkan untuk menyusun kerangka konsepsionil yang didasarkan atau diambil dari peraturan

35 Boleslaw Adam Boczek.Op.Cit.

Universitas Sumatera Utara perundang-undangan tertentu. Biasanya kerangka konsepsionil tersebut sekaligus merumuskan defenisi-defenisi tertentu yang dapat dijadikan pedoman operasionil di dalam proses pengumpulan,analisis, dan konstruksi data. 36 Untuk menghindari kesalahan ( misinterpretation), ada beberapa konsep yang perlu dijelaskan dalam penelitian ini, yaitu :

a. Liberalisasi pendidikan adalah proses penghapusan atau pengurangan

hambatan-hambatan dalam perdagangan jasa pendidikan secara internasional

dalam bentuk aturan perundang-undangan dan kebijakan-kebijakan .

b. Pendidikan Tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah

yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan

doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.

c. Perguruan tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan

tinggi.

d. Pendirian Perguruan Tinggi adalah pembentukan akademi, politeknik, sekolah

tinggi,institut, atau universitas oleh nagara atau lembaga pendidikan asing di

Indonesia.

e. General Agreement on Trade and Services (GATS) adalah perjanjian

internasional dibidang perdagangan jasa yang dihasilkan oleh WTO sebagai

aturan perdagangan jasa internasional.

36 Soekanto .Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta.UI Press. 2007). Hal 137

Universitas Sumatera Utara f. Modes of Supply adalah cara atau modus yang dipergunakan dalam melakukan

perdagangan internasional dibidang jasa yaitu Cross border supply,

Consumption Abroad, Commercial Presence dan Presence of Natural Person.

g. Eksistensi artinya “hal berada, keberadaan” 37 . Eksistensi pendidikantinggi

asing yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah adalah keberadaan

pendidikan tinggi asing di Indonesia.

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Metode yang dipakai pada penelitian ini adalah penelitian normatif yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan. Menurut Ronald Dworkin bahwa penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal yaitu penelitian yang menganalisis hukum baik sebagai law as it is written in the book maupun law as it is decided by the judge through judicial process. 38 Penelitian yang demikian dikenal sebagai penelitiam hukum normatif yang bersifat kualitatif. 39 Penelitian hukum normatif bersifat kualitatif didasarkan pada alasan bahwa analisis kualitatif didasarkan pada paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau

37 Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa.Edisi keempat (Jakarta:Gramedia Pustaka Jaya,2008) 38 Ronald Dworkin, dalam Bismar Naution., Metode Penelitian Normatif dan Perbandingan Hukum. Makalah disampaikan pada dialog interaktif tentang Penelitian hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada MajalahAkreditasoi, Fakultas Hukum USU.TANGGAL 18 Pebruari 2003.Hal. 1 39 Ibid. Hal. 7

Universitas Sumatera Utara modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan.40

2. Sumber Data

Penelitian yuridis normatif lebih menekankan pada data sekunder atau data kepustakaan yang sumber datanya terdiri dari bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan SPN, pendidikan tinggi,dan perjanjian internasional pada perdagangan jasa, diantaranya adalah :

a. UUD 1945

b. UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

c. UU No.12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi

d. UU No. 7 tahun 1994 tentang Ratifikasi Perjanjian Pembentukan Organisasi

Perdagangan Dunia (Agreement on Establishing the World Trade Organization)

h. PP Nomor 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan

i. PP No. 66 tahun 2010 Tentang Perubahan atas PP No. 17 tahun 2010 Tentang

Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan

j. Kepmendikbud No. 234/U/2000 Tentang Pedoman pendirian perguruan tinggi

k. GATS Agreement

Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, terdiri atas buku-buku teks, jurnal-jurnal, pendapat para ahli, makalah- makalah, dan media internet. 41 Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang

40 Ibid. Hal. 38 41 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hal 24.

Universitas Sumatera Utara memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum dan kamus hukum. 42

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan dengan mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur-literatur, tulisan-tulisan para pakar, bahan kuliah yang relevan. 43 Data yang diperoleh kemudian dipilah-pilah untuk mendapatkan pasal-pasal, kaidah-kaidah yang mengatur tentang pendidikan tinggi, penyelenggaraan pendidikan asing, serta ketentuan-ketentuan dan aturan, prinsip perdagangan jasa di dalam GATS.

4. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif yakni dengan memilih teeori-teori, asas-asas norma-norma, serta pasal-pasal yang terdapat di dalam aturan perundang-undangan yang relevan, yaitu yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan tinggi baik yang diselenggarakan oleh PTN, PTS maupun

Perguruan Tinggi Asing (PTA), serta pengaturan perdagangan jasa yang diatur di dalam

GATS Agreement. Data tersebut dianalisis secara kualitatif dan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data sehingga dapat member jawaban terhadap masalah yang telah dirumuskan.

42 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat.Jakarta.(PT Raja Grafindo Persada.2001) Hal. 195-196. 43 Ridwan, Metode &Tehnik Menyusun Tesis, (Bandung : Bina Cipta, 2004) hal 97.

Universitas Sumatera Utara BAB II

PENGATURAN PENDIDIKAN TINGGI SEBAGAI SUBSISTEM DARI SISTEM

PENDIDIKAN NASIONAL INDONESIA

A. Sistem Pendidikan Nasional

Sistem Pendidikan Nasional (SPN) merupakan keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. 44 Di dalam UU No.20 tahun 2003 tentang SPN tidak ditemukan penjelasan apa saja yang dimaksud dengan komponen-komponen tersebut. Namun dari beberapa pendapat dibawah ini dapat dipahami apa saja yang dimaksud dengan komponen-komponen tersebut.

Winch mengatakan “ The aims of any system of education tells us what it is for.

Since they embody the fundamental purposes of education, they determine the character of everything else; institutions, curriculum, pedagogy and assesment “. 45 Pendapat tersebut mengindikasikan bahwa komponen yang dimaksud diantaranya adalah tujuan pendidikan, lembaga pendidikan, kurikulum, pengajaran, dan penilaian.

Promila Sarma mengelompokkan komponen-komponen pendidikan ke dalam tiga bagian besar, yaitu 1) orientation yang mencakup philosofi, hukum, pembiayaan, organization yang mencakup struktur umum, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, media massa, 3) Operation yang terdiri dari peserta didik, pendidik,

44 Pasal 1 ayat (3) UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Tujuan pendidikan nasional yang dimaksud adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 3 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional) 45 Chirstopher Winch dan John Gingell. The Key Concept in The Philosophy of Education. (New York. Routledge. 1999) . Hal 10

Universitas Sumatera Utara kurikulum, metode pengajaran, materi ajar, evaluasi dan ujian, bimbingan, supervisi, dan administrasi. 46

Rochmat Wahab juga mengatakan “ hakekat, tujuan, prinsip-prinsip, subjek , dan penyelenggaraan pendidikan nasional, disamping ketenagaan, kurikulum, kelembagaan, evaluasi, dan partisipasi masyarakat merupakan hal penting diketahui dalam dalam memahami Sistem Pendidikan Nasional. “ 47

Sesuai dengan pemaparan di atas maka komponen-komponen SPN yang dimaksud adalah semua unsur dari SPN tersebut antara lain organisasi, kurikulum, pendidik, peserta didik, landasan hukum, landasan philosofis, pendanaan, dan lain sebagainya dimana keseluruhannya saling terkait dalam mencapai tujuan pendidikan nasional.

Santosh Kumar Madugula dari Research Scholar, Law Faculty, National University of Singapore mengatakan bahwa:

Every country has a unique higher education scenario and have experienced different historical and contemporary developments that have lead the current governments to lay education policies that would best suit the ‘development’ or other such macro level objectives. However, there are certain similarities among countries that have put them in similar state of affairs. 48

Apa yang disampaikan Santosh di atas menunjukkan bahwa sistim pendidikan nasional suatu negara dibentuk berdasarkan kebijakan (politik) suatu negara khususya dalam bidang pendidikan yang disesuaikan dengan perkembangan negara tersebut untuk

46 Promila Sharma. Education Administration. (Darya Gan.SB.Nangia.2007) Hal. 317 47 Rochmat Wahab. Mengkritisi Sistem Pendidikan Nasional, Aktualisasi Otonomi Pendidikan dan Alokasi Anggaran Pendidikan. Diakses dari http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/ Rochmat%20Wahab,%20M.Pd.,MA.%20Dr.%20,%20Prof.%20/SISTEM%20PENDIDIKAN%20NASIO NAL%20-%20IAI%20Al-Ghazali.pdf pada tanggal 13 Agustus 2012 48 Santosh Kumar Madugula. Foreign University under WTO – GATS mechanism: Should WTO members of Pro-‘Education Services Liberalization’ allow Foreign Private Universities or Foreign Public Universities. Diunduh dari http://www.intconfhighered.org/Madugula.doc pada tanggl 1 Juli 2012

Universitas Sumatera Utara mencapai tujuan pendidikan nasional. Dengan demikian, SPN suatu negara dapat dikatakan sebagai identitas nasional negara yang bersangkutan yang menjadikannya berbeda dari sistim pendidikan negara lain.

1. Landasan filosofis, konstitusional dan teknis operasional SPN

Landasan filosofis pendidikan adalah asumsi filosofis yang dijadikan titik tolak dalam rangka studi dan praktek pendidikan, sedangkan landasan hukum/yuridis pendidikan adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari peraturan perundangan yang berlaku yang dijadikan titik tolak dalam pendidikan. 49

Asumsi-asumsi yang menjadi titik tolak dalam rangka pendidikan berasal dari berbagai sumber, dapat bersumber dari agama, filsafat, ilmu, dan hukum atau yuridis.

Berdasarkan sumbernya, jenis landasan pendidikan dapat diidentifikasi dan dikelompokkan menjadi: 1) landasan religius pendidikan, 2) landasan filosofis pendidikan, 3) landasan ilmiah pendidikan, dan 4) landasan konstitusional pendidikan.50

Pancasila adalah dasar dan ideologi negara sekaligus dasar filosofis negara sehingga Pancasila merupakan rujukan dari setiap materi muatan peraturan perundang- undangan.51 Dengan demikian, pengaturan pendidikan nasional Indonesia harus merujuk pada Pancasila sebagai dasar filosofi negara dan itu berarti bahwa landasan filosofis pendidikan nasional adalah Pancasila.

49 Y. Suyitno. Landasan filosofis pendidikan. Universitas pendidikan indonesia.2009 Diakses dari http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEDAGOGIK/195009081981011Y._SUYITNO/LANDASAN_ FILOSOFIS_PENDIDIKAN_DASAR.pdfY. 50 Suyitno. Ibid 51 Penjelasan Pasal 2 UU No.12 thn 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Universitas Sumatera Utara Pancasila sebagai landasan filosofis negara mengandung arti bahwa pendidikan nasional Indonesia mencerminkan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila tersebut. Dengan demikian, pendidikan nasional Indonesia adalah:

1. Pendidikan yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa

2. Pendidikan yang berperikemanusiaan

3. Pendidikan yang mencerinkan persatuan Indonesia

4. Pendidikan yang berdasarkan pada kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat

kebijaksanaan dalam persmusyawaratan dan perwakilan (demokratis)

5. Pendidikan yang berkadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pendidikan nasional yang pancasilais di atas harus tercermin dalam setiap komponen pendidikan nasional lainnya, seperti kurikulum, pengelolaan, pendanaan, dan lain sebagainya yang merupakan karaktristik atau ciri khas pendidikan nasional

Indonesia dan membedakannya dari sistem pendidikan negara lain.

Pasal 3 UU No. 12 tahun 2011 mengamanatkan bahwa “ Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar 52 dalam Peraturan

Perundang-undangan”.53 Sebagai hukum dasar, maka UUD 1945 54 menjadi acuan atau

52 Norma dasar digunakan oleh Hans Kelsen untuk konstitusi yang merupakan norma tertinggi dalam sebuah negara. Segala norma khusus (perundang-undangan) yang diciptakan harus sesuai dengan norma dasar tersebut. Lihat : Pengantar Teori Hukum oleh Hans Kelsen terjemah Siwi Purwandari terbitan Penerbit Nusa Mediaan, Hal..97. 53 Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 12 tahun 2011 54 Bahwa yang dimaksud dengan UUD 1945 tidak semata pada pemahaman pasal-pasal di dalamnya, tetapi menurut Soepomo, UUD 1945 terdiri atas Pembukaan dan Batang Tubuh. Pembukaan menjelaskan pokok pikiran atau filosofi berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Batang tubuh berisikan pasal-pasal yang menjelaskan pelaksanaan pokok-pokok pikiran atau filosofi Pembukaan UUD 1945 ( Putusan MK No. 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009)

Universitas Sumatera Utara rujukan dari segala aturan perundang-undangan yang mengatur pendidikan (landasan konstitusional) .

Ketentuan-ketentuan yang merupakan kerangka dasar pendidikan di Indonesia yang tercantum di dalam UUD 1945 adalah BAB XA tentang Hak Asasi Manusia, dan

Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan. BAB XA terdiri dari 2 Pasal, yaitu Pasal

28C Ayat (1) yang menyatakan “ Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia” dan Pasal 28E Ayat (1) yang menyatakan “ Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.

Sedangkan Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan terdiri dari 1 Pasal, yaitu pasal

31 yang menyatakan bahwa :

Pasal 31 UUD 1945 55 :

1. Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. 2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. 3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. 4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

55 UUD 1945 Perubahan ke-4

Universitas Sumatera Utara 5. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Ketentuan Pasal 31 Ayat (3) diatas mengamanatkan bahwa pendidikan diselenggarakan dalam satu SPN yang diatur dalam undang-undang. Ketentuan tersebut menjadi dasar bagi Pemerintah untuk mendesain Sistem SPN, yang saat ini telah ditentukan di dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang SPN. Undang-undang ini kemudian berfungsi sebagai landasan operasional penyelenggaraan pendidikan di Indonesia dimana di dalamnya telah ditetapkan dasar, fungsi, tujuan dan prinsip penyelenggaraan nasional sebagai berikut :

Dasar, fungsi dan tujuan

1. Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.56 2. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.57

Prinsip penyenggaraan :58

1. Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. 2. Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna. 3. Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.

56 Pasal 2 UU No. 20 tahun 2003 tentang SPN 57 Pasal 3 UU No. 20 tahun 2003 tentang SPN 58 Pasal 4 UU No. 20 tahun 2003 tentang SPN

Universitas Sumatera Utara 4. Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran. 5. Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat. 6. Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.

Hubungan antara Pancasila sebagai landasan philosofis, UUD 1945 sebagai landasan konstitusional, dan UU No. 20 tahun 2003 tentang SPN sebagai landasan operasional pendidikan di Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut:

Gbr 2. Hubungan Pancasila dan UUD 1945 dengan Pendidikan Nasional

PANCASILA UUD 1945

UU No.20 thn 2003 Ttg SPN

Sumber : Diolah dari UU No.20 tahun 2003

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa UUD 1945 mengatur pendidikan dalam 2 konteks, yaitu pendidikan sebagai hak asasi manusia yang bersifat universal, dan pendidikan nasional yang berkaitan dengan dengan hak dan kewajiban Pemerintah dan warga negara yang diseleggarakan dalam SPN. Maka yang dimaksud dengan pendidikan nasional Indonesia adalah pendidikan yang diselenggarakan dalam SPN sebagaimana diamanatkan di dalam Pasal 31 Ayat 3 UUD 1945 dan telah diatur di dalam UU No.20 tahun 2003 tentang SPN.

Universitas Sumatera Utara 2. Struktur Pendidikan Nasional

Untuk mencapai tujuan pendidikan nasional sebagaimana disebutkan di atas, pendidikan nasional disusun ke dalam beberapa jalur, jenjang, dan jenis. 59 Jalur pendidikan dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu jalur pendidikan nonformal, informal, dan formal.60

Pendidikan nonformal berfungsi sebagai sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal bagi warga masyarakat. 61 Sesuai dengan fungsi tersebut, maka hasil proses pendidikan nonformal bak yang diselenggarakan oleh lembaga kursus atau dan pelatihan dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau

Pemerintah Daerah dengan mengacu pada SNP. Program paket A yang diperoleh dari pendidikan nonformal, diakui setara dengan pendidikan dasar (SD) pada jalur formal,

Program paket B pendidikan nonformal, diakui setara dengan SMP pada jalur formal, dan Program paket C pendidikan nonformal, diakui setara dengan pendidikan menengah atas (SMA sederajat) pada jaur formal.62

Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. 63 yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan dalam berbentuk kegiatan belajar secara

59 Pasal 12 UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 60 Pasal 15 UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 61 Pasal 26 ayat ( 1) UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pendidikan Nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang dilaksanakan dalam bentuk lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. 62 Pasal 1 ayat (7) dan 8 Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 2008 tentang Wajib Belajar. 63 Pasal 1 ayat (3) UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Universitas Sumatera Utara mandiri. Sebagaimana pendidikan formal, hasil pendidikan informal juga dapat diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan. 64

Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.65 Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah dan diselenggarakan dalam bentuk SD dan MI atau bentuk lain yang sederajat, serta SMP dan MTs, atau bentuk lain yang sederajat66 .

Pendidikan dasar merupakan prioritas di Indonesia karena selain sebagai hak warga negara, juga merupakan kewajiban bagi Pemerintah untuk membiayainya67, serta kewajiban bagi orangtua untuk memberikannya kepada anaknya. 68 Kewajiban ini ditegaskan kembali melalui Pasal 12 PP No. 47 Tahun 2008 Tentang Wajib Belajar :

1. Setiap warga negara Indonesia usia wajib belajar wajib mengikuti program wajib belajar. 2. Setiap warga negara Indonesia yang memiliki anak usia wajib belajar bertanggung jawab memberikan pendidikan wajib belajar kepada anaknya.

Ketentuan yang mewajibkan Pemerintah membiayai pendidikan dasar menunjukkan bahwa pendidikan dasar tersebut murni sebagai layanan publik dimana pendanaannya ditanggung oleh Pemerintah. Dengan demikian, pendidikan dasar yang gratis bukan

64 Pasal 27 UU No.20 tahun 2003 tentang SPN 65 Pasal 1 ayat (11) UU No.20 tahun 2003 tentang SPN Selain berdsarkan jenjang, Pendidikan formal juga dikelompokkan berdasarkan jenisnya, yaitu pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus (Pasal 15 UU No.20 tahun 2003) 66 Pasal 17 UU No.20 tahun 2003 tentang SPN 67 Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 68 Pasal 7 ayat (2) UU No.20 tahun 2003 tentang SPN

Universitas Sumatera Utara merupakan kebaikan atau prestasi pemerintah daerah tetapi hanya sebagai bentuk konsistensi pelaksanaan konstitusi; justru kalau ada lembaga pendidikan dasar yang memungut biaya atau pemerintah daerah yang membiarkan hal tersebut terjadi merupakan pelanggaran terhadap konstitusi dan harus diberi sanksi, termasuk orangtua yang tidak memberikan pendidikan dasar kepada anaknya.

Pendidikan menengah sebagai lanjutan pendidikan dasar terdiri dari pendidikan menengah umum dan menengah kejuruan yang diselenggarakan dalam bentuk SMA,

MA, SMK, dan MAK, atau bentuk lain yang sederajat. UUD 1945 tidak mewajibkan

Pemerintah atau pemerintah daerah untuk membiayai pendidikan menengah ini sebagaimana halnya dengan pendidikan dasar. Namun demikian Pemerintah berusaha meningkatkan akses pendidikan menengah ini melalui pemberian dana BOS.69

Tidak adanya kewajiban konstitusional Pemda untuk mendanai atau memberikan pendidikan menengah secara gratis telah mengakibatkan issu ini menjadi bahan kampanye calon kepala daerah. Dirjen Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hamid Muhammad mengatakan bahwa hal tersebut merupakan praktik yang tidak sehat karena membuat masyarakat tidak mandiri.70

Pendidikan Tinggi adalah jenjang pendidikan yang tertinggi setelah pendidikan menengah yang mencakup program diploma, sarjana, magister, doktor, dan profesi, serta spesialis, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi 71 Berdasarkan jenisnya,

69 Menguatkan Pendidikan Menengah. Diakses dari http://edukasi.kompas.com/read/2011/12/28 /08301575/Menguatkan.Pendidikan.Menengah Pada tanggal 20 Nop.2012. 70 Kampanye Sekolah Gratis tidak Mendidik. Diakses dari http://www.victorynewsmedia.com/ berita-12441-kampanye-sekolah-gratis-tidak-mendidik.html pada tanggal 10 Desember 2012 71 Pasal 1 ayat( 2) Undang-undang No12Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi

Universitas Sumatera Utara pendidikan tinggi dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yaitu pendidikan akademik, vokasi, dan profesi.

Pendidikan akademik diarahkan pada penguasaan dan pengembangan cabang ilmu pengetahuan dan teknologi, sementara pendidikan vokasi diarahkan untuk menyiapkan mahasiswa untuk pekerjaan dengan keahlian terapan, dan pendidikan profesi untuk menyiapkan mahasiswa dalam pekerjaan yang memerlukan persyaratan keahlian khusus. 72 Sama halnya dengan pendidikan menengah, UUD 1945 tidak mewajibkan Pemerintah untuk membiayai pendidikan tinggi ini.

Masing-masing jenjang dan jalur pendidikan sebagaimana dijelaskan di atas dikelola dan diselenggarakan oleh organ-organ atau struktur tersendiri yang merupakan bagian dari struktur pendidikan yang tanggungjawabnya ada pada Pemerintah yang bertanggungjawab di bidang pendidikan, dalam hal ini Kemendikbud. Walaupun masing-masing jenjang dan jenis pendidikan tersebut di kelola dan diselenggarakan oleh organ-oragan tersendiri, namun semuanya merupakan bagian atau subsistem dari SPN sehingga penyelenggaraanya bermuara pada satu tujuan yaitu tujuan pendidikan nasional.

Prase “berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia” menegaskan bawah penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia harus berkarakter kebudayaan Indonesia, walaupun tidak ada penjelasan atau pengertian yang lebih luas tentang penyelenggaraan pendidikan tinggi yang “berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia. 72 Pasal 15-17 Undang-Undang No12 tentang Pendidikan Tinggi

Universitas Sumatera Utara Struktur dari keseluruhan pendidikan nasional tersebut diatas dapat digambarkan sebagai berikut :

Gbr.2. StrukturGbr 3. Struktur Pendidikan Pendidikan Indonesia Indonesia

Usia Pendidikan Sekolah Pendidikan Luar Sekolah Age School Education Out-Off School Education Nonformal Informal

PERGURUAN TINGGI/PTAI PASCA SARJANA Higher Education/Islamic HE Post Graduate

Perguruan Tinggi/ PT AI Sarjana/Diploma Higher Education / Islamic HE Graduate/Diploma

Sekolah Menengeha MAGANG Senior Secondary School Apremticeship Atas Kejuruan General Vocational MA SMA MAK SMK PAKET C Islamic General Islamic Vocational General Vocational Packet C

MTs SMP Islamic Junior Junior PAKET C Secondary School Secondary School Packet C

MI SD Islamic Primary Primary School PAKET A School Packet A

BA/RA TK Kelompok Bermain Islamic Kindergarten Kindergarten Play Group

Taman Penitipan Anak Day Care Center

Sumber : Ministry of National Education.2007

Sumber : Kementerian Pendidikan Nasional.2007

Universitas Sumatera Utara B. Pengaturan Pendidikan Tinggi Sebagai Subsistem Pendidikan Nasional

1. Perkembangan regulasi pendidikan tinggi di indonesia

Hukum diperlukan untuk menjaga ketertiban dalam masyarakat karena hukum merupakan kontrol sosial dari Pemerintah. “Law itself is a sosial control. 73 Dengan demikian, aturan hukum dalam bidang pendidikan tinggi merupakan kontrol sosial

Pemerintah terhadap pelaksanaan pendidikan tinggi guna mencapai tujuan pelaksanaa pendidikan tinggi tersebut.

Permasalahan yang dihadapi suatu negara senantiasa akan berubah seiring dengan perkembangan jaman karena masing-masing zaman memiliki tantangan dan permasalahan sendiri-sendiri, termasuk dalam bidang pendidikan tinggi. Dalam hal demikian, di negara yang berdasarkan hukum seperti Indonesia, hukum hadir sebagai sebagai instrumen untuk beradaptasi terhadap perkembangan tersebut, dan sebagai alat membuat masyarakat berdaptasi terhadap perubahan tersebut (law as a sosial engineering).

Di awal kemerdekaan Indonesia, khususnya setelah Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Pemerintah Republik Indonesia, Pemerintah mengeluarkan UU

Darurat (Uudrt) Nomor 7 Tahun 1950 (7/1950) tentang Perguruan Tinggi yang bertujuan untuk menyesuaikan segala aturan yang sudah ada sebelumnya dengan situasi negara pada saat itu dibawah Republik Indonesia Serikat.“ Menteri Pendidikan,

Pengajaran dan Kebudayaan Republik Indonesia Serikat diwajibkan mengambil segala tindakan dalam waktu sependek-pendeknya dengan, jika perlu, menyimpang dari

73 Donald Black. The Behaviour of law. Special edition. (Bingley.Emeral.2010).Hal 6

Universitas Sumatera Utara segenap peraturan-peraturan” 74 Hal ini berarti bahwa konsep pendidikan yang diberlakukan selama masa penjajahan harus segera diganti dengan konsep pendidikan yang sesuai dengan budaya dan kepentingan Indonesia pada saat itu.

Keterlibatan Masyarakat dalam upaya mencerdaskan bangsa melalui pendirian

PTS sudah terjadi sejak dulu. Untuk menciptakan ketertiban dalam pengelolaan PTS tersebut, Pemerintah secara bertahap mulai menata PTS melalui peraturan perundang- undangan, salah satunya melalui PP No. 23 Tahun 1959 Tentang Peraturan Ujian

Negara Untuk Memperoleh Gelar Universiter Bagi Mahasiswa Perguruan Tinggi

Swasta. Di dalam peraturan tersebut diatur bahwa persyaratan bagi mahasiswa PTS untuk mengikuti ujian negara adalah:75

a. berasal dari Perguruan Tinggi Swasta yang memenuhi syarat;76 b. berijazah negeri Sekolah Menengah Umum tingkat Atas; c. telah mengikuti pendidikan dengan teratur pada Perguruan Tinggi Swasta sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun untuk ujian universiter sarjana atau sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, untuk.ujian universiter sarjana muda; d. dan telah lulus dalam ujian sarjana atau sarjana muda pada Perguruan Tinggi Swasta; e. menyampaikan keterangan tentang hasil-hasil yang dicapai bagi tiap jenis ujian pada Perguruan Tinggi Swasta kepada Panitia Ujian. f. membayar uang ujian yang jumlahnya ditetapkan oleh Menteri.

74 Pasal 1 UU Darurat (Uudrt) Nomor 7 Tahun 1950 (7/1950) Tentang Perguruan Tinggi 75 Pasal 7 Ayat (1) PP No. 23 Tahun 1959 Tentang Peraturan Ujian Negara Untuk Memperoleh Gelar Universiter Bagi Mahasiswa Perguruan Tinggi Swasta. 76 Pasal 8 PP No. 23 Tahun 1959 Tentang Peraturan Ujian Negara Untuk Memperoleh Gelar Universiter Bagi Mahasiswa Perguruan Tinggi Swasta . Perguruan Tinggi Swasta yang memenuhi persyaratan adalah :a). perguruan tinggi tersebut berbentuk suatu badan hukum, yayasan atau perhimpunan yang telah diakui oleh Pemerintah; b). telah didaftarkan pendiriannya pada Kementerian dan telah beIjalan sekurang-kurangnya selama 3 tahun; c). tata pelajaran bagi tiap cabang; ilmu pengetahuan sama dengan tat a pelajaran pada Fakultas Negara; dan d). susunan tenaga pengajar sama dengan susunan tenaga pengajar pada Fakultas Negara dan mutu kecakapannya diakui oleh Fakultas Negara.

Universitas Sumatera Utara Mahasiswa yang berhak mengikuti ujian negara adalah mereka yang lulus dari universitas yang memenuhi persyaratan, yaitu :

a. Perguruan tinggi tersebut berbentuk suatu badan hukum, yayasan atau perhimpunan yang telah diakui oleh Pemerintah; b. Telah terdaftar pada Kementerian dan telah berjalan sekurang-kurangnya selama 3 tahun; c. Mata pelajaran bagi tiap cabang ilmu pengetahuan sama dengan tata pelajaran pada Fakultas Negara; d. Susunan tenaga pengajar sama dengan susunan tenaga pengajar pada Fakultas Negara dan mutu kecakapannya diakui oleh Fakultas Negara.

Upaya Pemerintah dalam menciptakan ketertiban dalam penyelenggaraan PTS telah melahirkan diskriminasi negara terhadap warga negara. Warga negara yang menempuh pendidikan tinggi pada PTS harus menempuh prosedur yang lebih panjang dimana mereka harus mengikuti ujian negara untuk mendapatkan gelar.

Tahun 1961, Pemerintah kemudian melakukan penyempurnaan terhadap aturan perguruan tinggi ini melalui UU No. 22 tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi.

Lahirnya undang-undang ini merupakan satu kemajuan dalam sejarah perkembangan pendidikan tinggi di Indonesia karena untuk pertama kalinya tujuan pendidikan tinggi dirumuskan berdasarkan undang-undang, yaitu : 77

1. Membentuk manusia susila yang berjiwa Pancasila dan bertanggung jawab akan terwujudnya masyarakat sosialis Indonesia yang adil dan makmur, materiil dan spiritual: 2. Menyiapkan tenaga yang cakap untuk memangku jabatan yang memerlukan pendidikan tinggi dan yang cakap berdiri sendiri dalam memelihara dan memajukan ilmu pengetahuan; 3. Melakukan penelitian dan usaha kemajuan dalam lapangan ilmu pengetahuan, kebudayaan dan kehidupan kemasyarakatan.

77 Pasal 2 Konsideran UU No. 22 tahun 1961

Universitas Sumatera Utara Peranan pendidikan tinggi dalam menjaga dan melestarikan kebudayaan bangsa serta sebagai motor pembangunan nasional telah ditegaskan dalam undang-undang pendidikan tinggi ini. Di dalam pertimbangannya disebutkan bahwa pembuatan undang- undang tersebut: 78

1. Untuk kepentingan perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan kebudayaan kebangsaan Indonesia umumnya, kemajuan rakyat di bidang pendidikan dan pengajaran khususnya, terutama dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional semesta berencana. 2. Sebagai aturan hukum bagi pendidikan tinggi dalam melaksanakan manifesto politik Republik Indonesia sebagai garis-garis besar haluan Negara, khususnya di bidang pendidikan.

Diskriminasi terhadap PTS masih dipertahankan dalam undang-undang ini, dimana PTS masih dianggap sebagai perguruan tinggi yang belum mampu berdiri sendiri. Hal ini terlihat dari adanya kastanisasi terhadap PTS melalui pemberian status

Terdaftar, Diakui, dan Disamakan, 79 serta dibentuknya Lembaga Perguruan Tinggi

Swasta (L.P.T.S.)80 oleh Pemerintah untuk membimbing dan mengawasi PTS dalam penyelenggaraan pendidikan.81

78 Konsideran UU No. 22 tahun 1961 79 Pasal 25 UU Nomor 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi 80 Organ LPTS bertugas antara lain :a). memberikan bimbingan kepada dan pengawasan atas penyelenggaraan Perguruan Tinggi Swasta, b). Mengusulkan kenaikan status perguruan tinggi swasta, c). Melaporkan dan mengusulkan penutupan Perguruan tinggi Swasta yang menyalahi Dasar dan haluan Negara atau tidak mempunyai kemampuan materiil/personil/spiritual untuk menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran tinggi.d). Memberi pertimbangan kepada Menteri untuk penggabungan beberapa Perguruan Tinggi Swasta. 81 Pasal 24 UU Nomor 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi Pada tahun 01 Feb 1968 dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 1/PK/1968 dibentuk 5 L.P.T.S. yang diberi nama Koperti. Tanggal 17 April 1975 Koperti diubah menjadi Kopertis dan jumlahnya menjadi 7 (tujuh). Tgl 19 Feb 1982 dengan Kepmendikbud no. 062/0/1982 diperluas menjadi 9 (sembilan) Kopertis dan terakhir pada tgl 15 Maret 1990 dengan kepmendikbud No. 0135/0/1990 menjadi 12 Kopertis yang dipertahankan sampai sekarang (Baca : SEANDAINYA KOPERTIS TAK ADA LAGI… dapat diakses dari http://www.kopertis12.or.id /2011/ 04/28/seandainya- kopertis-tak-ada-lagi.html

Universitas Sumatera Utara PTS akan mendapat status Terdaftar jika Pendiri telah memberitahukan tentang berdirinya PTS tersebut kepada Menteri dengan menyampaikan akte notaris pendirian badan hukum yang menyelenggarakannya, anggaran dasar, harta kekayaan dan/atau sumber pendapatan yang diperuntukkan penyelenggaraan perguruan tinggi tersebut, rencana pelajaran dan daftar tenaga pengajar yang memuat riwayat pendidikan dan pekerjaan masing-masing pengajar serta pelajaran yang diberikannya paling lama enam bulan terhitung mulai PTS tersebut didirikan.82 PTS dengan status Terdaftar tidak dapat melakukan ujian secara mandiri. Sedangkan PTS dengan status Diakui telah berhak menyelenggarakan ujian sendiri dengan pedoman dan pengawasan Menteri, dan ijazahnya mempunyai nilai sama dengan ijazah PTN, sedangkan PTS dengan status

Disamakan berhak menyelenggarakan ujian dan promosi sendiri dengan akibat yang sama dengan ujian dan promosi pada PTN .83 Secara berjenjang, PTS Terdaftar dapat ditetapkan menjadi Diakui, dan PTS Diakui dapat di tetapkan menjadi Disamakan oleh

Menteri atas usul LPTS. 84

Bentuk perguruan tinggi yang ditetapkan dalan undang-undang ini adalah

Universitas, Institut, Sekolah Tinggi, Akademi, atau bentuk lain yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah . 85 Universitas dan Institut negeri dipimpin oleh presiden universitas/institut yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendengar pertimbangan Senat. Sedangkan Sekolah tinggi dan akademi dalam

82 Pasal 26 UU Nomor 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi Jika pendiri tidak melaporkan perihal pendirian perguruan tinggi tersebut dalam waktu yang ditetapkan, maka Pemerintah dapat menetapkan ancaman pidana kepada Pendiri perguruan tinggi tersebut. Kelalaian dalam pelaporan tersebut termasuk pada kategori kejahatan 83 Pasal 26 UU Nomor 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi 84 Pasal 27 UU No. 22 tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi 85 Pasal 6 UU No. 22 tahun 1961tentang Perguruan Tinggi

Universitas Sumatera Utara lingkungan suatu departemen lain dari Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu pengetahuan diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu

Pengetahuan atas usul Menteri yang bersangkutan. Pendirian PTS pada masa ini lebih gampang karena badan hukum swasta (penyelenggara PTS) dapat menyelenggaran pendidikan tinggi terlebih dahulu baru kemudian dalam waktu paling lama 3 bulan setelah penyelenggaraan pendidikan tinggi tersebut wajib dilaporkan kepada

Pemerintah.

Semakin maraknya kehadiran PTS pada masa itu, maka untuk melindungi warga negara dari penyelenggaraan PTS yang tidak bertanggung jawab, Pemerintah mengeluarkan aturan baru dalam hal pendirian PTS, yaitu Perpres No. 15 Tahun 1965

Tentang Pendirian Perguruan Tinggi Swasta . 86 Penyelenggaraan pendidikan tinggi semakin diperketat dimana masyarakat yang ingin menyelenggarakan pendidikan tinggi harus terlebih dahulu mendapatkan ijin tertulis dari Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu

Pengetahuan.

Untuk memenuhi tuntutan revolusi Indonesia pada tahun 1960an, 87 Presiden kemudian mengeluarkan Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1965

Tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila. Dinyatakan bahwa pendidikan merupakan bagian integral dalam revolusi sehingga pendidikan harus difungsikan sebagai:

86 Konsideran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1965 Tentang Pendirian Perguruan Tinggi Swasta 87 Konsideran Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1965 Tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila

Universitas Sumatera Utara 1. Pembina manusia Indonesia baru yang berakhlak tinggi. 2. Produsen tenaga kerja dalam semua bidang dan tingkatan. 3. Lembaga pengembang Kebudayaan Nasional. 4. Lembaga pengembang ilmu pengetahuan, teknik dan fisik/mental. 5. Lembaga penggerak seluruh kekuatan rakyat.

Tujuan pendidikan nasional dimulai dari pendidikan prasekolah sampai dengan pendidikan tinggi yang dimaksudkan untuk melahirkan warganegara-warganegara sosialis

Indonesia yang susila, yang bertanggung-jawab atas terselenggaranya masyarakat sosialis

Indonesia, adil dan makmur baik spirituil maupun materiil dan yang berjiwa Pancasila.

Kehidupan berbangsa dan bernegara pada masa itu dimana politik merupakan panglima sangat terasa termasuk dalam bidang pendidikan. Hal ini terlihat dari susunan anggota Majelis Pendidikan Nasional sebagaimana diatur di dalam Kepres No. 14 tahun

1965 tentang Majelis Pendidikan Nasional , dimana para anggotanya terdiri dari semua unsur, yaitu Menko/Menteri yang mempunyai hubungan dengan Pendidikan dan Wakil

Komisi Pendidikan D.P.R.-G.R, partai politik, yaitu wakil-wakil semua Partai Politik yang sah, golongan fungsionil, yaitu wakil-wakil dari Tani, Buruh, Pegawai, Pengusaha

Nasional, Angkatan Bersenjata, Alim Ulama, Angkatan 45, Cendekiawan,

Guru/Pendidikan, Budayawan/Seniman, Wartawan, Pemuda, Mahasiswa, Pramuka, daerah, yaitu wakil-wakil dari: Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara,

Maluku, Irian Barat.

Untuk meningkatkan penyelenggaraan dan pembinaan pendidikan tinggi sesuai dengan perkembangan universitas/institut negeri, Pemerintah kemudian mengeluarkan

PP No. 5 Tahun 1980 tentang Pokok-pokok Organisasi Universitas/Institut Negeri yang

Universitas Sumatera Utara mengatur tentang Kedudukan, tugas pokok dan fungsi universitas/institut, susunan organisasi universitas/institut, tatakerja universitas/institut, kedudukan dan tugas rektor dan pembantu rektor, biro, Fakultas, Jurusan, Lembaga Pengabdian pada Masyarakat, dan lain-lain. Pada tahun 1981, Pemerintah mengeluarkan lagi PP No. 27 tahun 1981 tentang Penataan Fakultas Pada Universitas/Institut Negeri.

Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam bidang pendidikan tinggi, dan sebagai penghargaan terhadap usaha-usaha positif yang dilakukan oleh PTS dalam melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi, Pemerintah kemudian mengeluarkan PP

No. 39 Tahun 1982 Tentang Pemberian Bantuan Kepada Perguruan Tinggi Swasta.

Untuk mendapatkan bantuan tersebut, PTS harus mengajukan permohonan kepada

Menteri88 dan memenuhi persyaratan, yaitu : 89

1. Telah memiliki status dari Menteri; 2. Telah dinilai cukup memiliki potensi dan secara riil telah menunjukkan usaha-usaha pengembangan yang positif; 3. Mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku; 4. Jumlah penerimaan uang yang lebih kecil dari biaya minimum perguruan tinggi; 5. Memiliki sekurang-kurangnya 2 (dua) orang tenaga pengajar biasa yang diangkat oleh Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta serta memiliki kewenangan mengajar

Untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan perkembangan pendidikan nasional sebagai satu sistem guna memantapkan ketahanan nasional serta mewujudkan masyarakat maju yang berakar pada kebudayaan bangsa dan persatuan nasional yang berwawasan Bhinneka Tunggal Ika berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, pada tahun

88 Pasal 7 PP Nomor 39 Tahun 1982 Tentang Pemberian Bantuan Kepada PTS 89 Pasal 4 PP Nomor 39 Tahun 1982 Tentang Pemberian Bantuan Kepada PTS

Universitas Sumatera Utara 1989, Pemerintah memberlakukan UU No. 2 tahun 1989 tentang SPN. 90 Setelah berlakunya UU No. 2 tahun 1989 ini, beberapa perubahan yang signifikan terjadi, antara lain melalui PP No. 30 tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi. Melalui Peraturan pemerintah ini, proses pengusulan PTN dan PTS sudah diatur bersamaan.

Proses pengusulan pendirian Perguruan Tinggi yang didirikan oleh Pemerintah dan Masyarakat meliputi : 91

1. Rencana induk pengembangan; 2. Kurikulum; 3. Tenaga kependidikan; 4. Calon mahasiswa; 5. Sumber pembiayaan; 6. Sarana dan prasarana; 7. Penyelenggara perguruan tinggi.

Selain dalam hal pendirian, dalam hal pengawasan juga Pemerintah sudah memperlakukan PTN dan PTS sama. Hal ini terlihat dari Pasal 121 PP No. 30 tahun

1990 yang menyebutkan bahwa :

1. Menteri menetapkan tata cara pengawasan mutu dan efisiensi semua perguruan tinggi. 2. Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan penilaian berkala yang meliputi kurikulum, mutu dan jumlah tenaga kependidikan, keadaan mahasiswa, pelaksanaan pendidikan, sarana dan prasarana, tatalaksana administrasi akademik, kepegawaian, keuangan, dan kerumahtanggaan. 3. Penilaian sebagaimana dimaksud alam ayat (2) dilakukan oleh badan akreditasi yang diangkat oleh Menteri. 4. Menteri menetapkan langkah-langkah pembinaan terhadap perguruan tinggi berdasarkan hasil pengawasan mutu dan efisiensi.

90 Dengan berlakunya UU No. 2 rathun 1989 ini maka beberapa peraturan mengenai pendidikan tinggi dinyatakan tidak berlaku lagi, yaitu UU No. 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi, UU Nomor 14 PRPS Tahun 1965 tentang Majelis Pendidikan Nasional dan UU Nomor 19 PNPS Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila 91 Pasal 115 PP No. 30 tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi

Universitas Sumatera Utara

Di dalam peraturan pemerintah ini, pendirian perguruan tinggi asing atau penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh pihak asing tidak diizinkan. Di dalam Pasal 120 dikatakan :

1. Pihak asing dilarang mendirikan perguruan tinggi atau menyelenggarakan pendidikan tinggi di wilayah Republik Indonesia. 2. Larangan penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi penerimaan mahasiswa, proses belajar mengajar, penilaian hasil belajar mengajar, dan upacara pemberian ijazah kepada peserta program yang berhasil yang biasa disebut wisuda.

Walaupun kehadiran PTA dilarang, namun kerja sama dengan PTA diperbolehkan dalam bentuk :92

1. Tukar menukar dosen dan mahasiswa dalam penyelenggaraan kegiatan akademik; 2. Pemanfaatan bersama sumber daya dalam pelaksanaan kegiatan akademik; 3. Penerbitan bersama karya ilmiah; 4. Penyelenggaraan bersama seminar atau kegiatan ilmiah lain; 5. Bentuk-bentuk lain yang dianggap perlu.

Penyempurnaan terhadap PP No. 30 tahun 1990 ini dilakukan dengan mengeluarkan PP No. 57 tahun 1998. Perubahan antara lain menyangkut tentang diberikannya kemungkinan bagi Pemerintah untuk membatalkan pengangkatan rektor/ ketua/direktur pada perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh Masyarakat jika dalam pengangkatan tersebut tidak memenuhi persyatatan.

Perubahan dilakukan kembali tahun 1999 dengan mengeluarkan PP No. 60 Tahun

1999 Tentang Pendidikan Tinggi. Beberapa perubahan antara lain mengenai masa jabatan Dekan dan ketua program studi yang sebelumnya 3 tahun menjadi 4 tahun,

92 Pasal 122 PP No. 30 tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi

Universitas Sumatera Utara jenjang jabatan akademik dosen, dimana pada PP No. 30 tahun 1990 hanya terdiri dari

Asisten, Lektor dan Professor menjadi Asisten, Lektor, Lektor Kepala dan Professor.

Melalui peraturan pemerintah ini, perguruan tinggi asing sudah dapat diselenggarakan di Indonesia melalui pendirian perguruan tinggi baru secara patungan dengan mitra kerja Indonesia, dengan mengikuti sistem pendidikan serta syarat dan tata cara pendirian yang berlaku bagi pendidikan tinggi Indonesia.93

Niat Pemerintah untuk memberikan otonomi kepada PTN melalui PP No. 60 tahun

1999 ini mulai muncul. Disebutkan bahwa perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh

Pemerintah yang telah mampu dan layak untuk dikelola secara mandiri dapat ditetapkan status hukumnya menjadi Badan Hukum yang mandiri.94 Hal ini kemudian ditindak lanjuti dengan mengeluarkan PP No. 61 Tahun 1999 tentang Badan Hukum Milik

Negera (BHMN).

Penetapan PTN yang sudah mapan menjadi PT-BHMN dilatar belakangi oleh pemikiran untuk menciptakan PTN sebagai kekuatan moral yang mandiri dan otonom95 guna meningkatkan daya saing nasional dalam rangka mengantisipasi proses globalisasi yang semakin kompetitif. PTN yang akan ditetapkan menjadi PT-BHMN harus memenuhi persyaratan, yaitu PTN yang efisien dan berkualitas, memenuhi standar minimum kelayakan finansial, serta telah mampu menerapkan prinisp prinsip ekonomis dan akuntabilitas. 96

93 Pasal 125 PP No. 60 tahun 1999 tentang Perguruan Tinggi 94 Pasal 123 PP No. 60 tahun 1999 95 Konsideran PP No. 61 tahun 1999 tentang Badan Hukum Milik Negara 96 Pasal 4 Ayat (3) PP No. 61 tahun 1999 tentang Badan Hukum Milik Negara

Universitas Sumatera Utara Sejak diberlakukannya PP No. 61 tahun 1999 ini, Pemerintah telah menetapkan tujuah (7) PTN menjadi PT-BHMN, yaitu Universitas Indonesia melalui PP No. 152

Tahun 2000, Universitas Gadjah Mada melalui PP No. 153 Tahun 2000, Institut

Pertanian Bogor melalui PP No. 154 Tahun 2000, Institut Teknologi Bandung melalui PP

No. 152 Tahun 2000, dan Universitas Sumatera Utara, berdasarkan PP No. 56 Tahun

2003, Universitas Pendidikan Indonesia berdasarkan PP No. 6 Tahun 2004, dan Universitas Airlangga yang ditetapkan berdasarkan PP No. 30 Tahun 2006.

Sebagian kelompok masyarakat menolak status BHMN ini karena adanya kekhawatiran akan terjadinya privatisasi dan komersialiasasi dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi yang berakibat pada mahalnya uang kuliah khususnya pada PTN favorit. 97 Menurut Perhimpunan Pemuda Indonesia di berbagai bahwa BHMN merupakan trik baru liberalisasi PTN (supaya PTN bisa mencari uang tambahan sendiri dari luar kas negara).” 98. Namun hal tersebut dibantah oleh Sofian Effendi.99

Salah satu dasar pertimbangan dibuatnya UUSPN adalah untuk mampu menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan tersebut khususnya dalam hal pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan. 100 . Salah satu cara yang dianggap dapat mewujudkan hal tersebut adalah dengan mewajibkan semua satuan pendidikan berbentuk badan hukum

97 Masalah Pendidikan di Indonesia. Diakses dari http://gurupintar.ut.ac.id/component/content /article/177-masalah-pendidikan-di-indonesia.html Pada tanggal 10 Septemerb 2012. 98 Naskah Kerja. PENDIDIKAN TINGGI DI EROPA:Pengalaman dan Masukan dari PPI Prancis, PPI Belgia, PPI Jerman dan PPI Swiss untuk Pendidikan Tinggi Di Indonesia. Diakses dari http://xa.yimg.com/kq/groups/16349324/1234197311/name/Naskah+Kerja.pdf pada tanggal 20 September 2012 99 Sofian Effendi. Meluruskan Makna Pt-BHMN. diakases dari http://Sofian.Staff.Ugm.Ac.Id /Artikel/Meluruskan-Makna-Pt.Pdf tanggal 23 Agustus 2012. 100 Konsideran UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Universitas Sumatera Utara pendidikan sebagaimana diatur di dalam Pasal 53 Ayat (1) UUSPN. 101 Pasal ini yang kemudian menjadi dasar dibuatnya UU No 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum

Pendidikan (UUBHP).

Walaupun undang-undang ini dilandasi oleh prinsip-prinsip nirlaba, akuntabilitas, transparan, jaminan mutu, dan lain-lain, beberapa kelompok masyarakat tetap menolaknya dengan kekhawatiran akan terjadinya komersialiasasi pendidikan. 102 Isu lainnya adalah adanya kesan negara hendak melepaskan tanggung jawab konstitusionalnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana termaktub dalam

Pembukaan UUD 1945. 103 “ UU Badan Hukum Pendidikan memiliki roh kongsi dagang, mengingat lebih banyak mengacu kepada Washington Consensus dan ditindaklanjut dari persetujuan WTO dan GATS.” 104 Kecurigaan bahwa UUBHP ini mendukung liberalisasi dan komersialisasi pendidikan yang akan menghapus hak masyarakat yang kurang namun memiliki potensi akademik tinggi untuk mendapatkan pendidikan dibantah oleh Nurdin. 105 Bantahan akan terjadinya komersialialisasi pendidikan tersebut juga dibantah oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia.

101 Di dalam Penjelasan Pasal 53 UU No. 20 tahun 2003 disebutkan bahwa “ Badan hukum pendidikan dimaksudkan sebagai landasan hukum bagi penyelenggara dan/atau satuan pendidikan, antara lain, berbentuk badan hukum milik negara (BHMN). Ketentuan ini mensyaratkan bahwa hanya ada satu bentuk badan hukum yang dapat menyeneggarakan pendidikan formal, yaitu BHMN. Ketentuan ini kemudian dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum (dibatalkan) oleh MK dengan nomor putusan 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009. 102 UU BHP: Liberalisasi dan Komersialisasi Pendidikan? Diakses dari http://forum.kompas. com/ sekolah-pendidikan/11589-uu-bhp-liberalisasi-dan-komersialisasi-pendidikan.html pada tanggal 10 Oktober 2012 103 Eko Prasojo . Kontroversi UU BHP. Diakses dari http://enewsletterdisdik.wordpress.com/2008/ 12/21/kontroversi-uu-bhp/ Tanggal 8 Agustus 2012. 104 Stefanus Hironimus Pita. Perlawanan Serikat Mahasiswa Indonesia terhadap Neo-Liberalisme Pendidikan UWMY.Yogyakarta. 2009), hal. 17. 105 Nurdin. Jurnal Administrasi Pendidikan.USU. Vol. IX No. 1 April 2009. Hal 48

Universitas Sumatera Utara “ UU BHP tidak melegalisasi komersialisasi pendidikan di Indonesia. Perguruan tinggi dilarang mencari keuntungan sepihak dan merugikan para mahasiswa.“ 106 Pada tanggal

17 Juli 2009 Pemerintah kemudian mengeluarkan Permendikanas No. 32 Tahun 2009

Tentang Mekanisme Pendirian Badan Hukum Pendidikan, Perubahan Badan Hukum

Milik Negara Atau Perguruan Tinggi, Dan Pengakuan Penyelenggara Pendidikan

Tinggi.

Penolakan sebagian kalangan masyarakat terhadap UU BHP ini akhirnya berakhir di Mahkamah Konstitusi yang diputus pada tanggal 31 Maret 2010 dengan putusan

Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 yang menyatakan bahwa UU No. 9 Tahun

2009 tentang BHP bertentangan dengan UUD 1945. Sebagai konsekuensinya, PT-

BHMN harus dikembalikan menjadi PTN. Universitas Pendidikan Indonesia dan Institut

Teknologi Bandung yang pada saat itu sudah berstatus PT-BHMN ditetapkan kembali menjadi perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah (PTN).107

Salah satu peraturan pelaksana UUSPN adalah PP No. 17 tahun 2010 tentang

Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Di dalam peraturan pemerintah ini tidak diatur tentang tata kelola perguruan tinggi, karena sebelumnya telah diatur di dalam UU

BHP. Pasca dibatalkannya UUBHP tersebut, Pemerintah melakukan revisi terhadap PP

No.17 tahun 2010 108 melalui PP No. 66 tahun 2010 dengan beberapa penyempurnaan

106 Berita SPMB/PMB/UMPTN/SMPTN/UN. Diakses dari http://www.spmb.ubb.ac.id/?Page =read&&id_menu=berita&&id=4&&judul=UU%20BHP%20Tidak%20Untuk%20Melegalkan%20Komer sialisasi%20Pendidikan pada tanggal 10 Agustusn 2012 107 Masing-masing berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 43 Tahun 2012 dan Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2012 108 Pemerintah Revisi PP No. 17/2010 Pasca Dibatalkannya UU BHP. Diakses dari http://www. buletininfo.com/?menu=news&id=924 pada tanggal 10 Agustus 2012.

Universitas Sumatera Utara teramasuk penambahan beberapa ketentuan termasuk tentang akses pendidikan, 109 beasiswa, 110 bantuan pendidikan bagi WNI 111 dan WNA, dan organ dan tata kelola

PTN.

Untuk menghasilkan pendidikan tinggi yang mampu meningkatkan daya saing bangsa dalam menghadapi globalisasi serta untuk mewujudkan keterjangkauan dan pemerataan, Pemerintah memberlakukan UU Pendidikan Tinggi yang juga menimbulkan kontroversi bagi kalangan akademisi dengan berbagai alasan, khususnya menyangkut pendidikan asing yang dianggap sebagai pintu bagi komersialisasi pendidikan tinggi.

Dari penjelasan di atas dapat terlihat bahwa pengaturan pendidikan tinggi di

Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga sekarang senantiasa mengalami perubahan guna mengikuti perkembangan jaman dan memenuhi kebutuhan nasional. Hal yang tidak pernah berubah dari sejarah pengaturan pendidikan tinggi tersebut adalah hakikat pendidikan tinggi sebagai misi sosial negara (layanan publik) yang menempatkannya sebagai otoritas negara (governmental authority).

2. Penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia

Penyelenggaraan pendidikan tinggi adalah pelaksanaan komponen sistim pendidikan pada setiap program studi pada jalur akademik, profesi, dan vokasi yang

109 Pasal 58A Ayat (1), yaitu tentang kewajiban mengalokasikan tempat paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah keseluruhan peserta didik baru bagi calon peserta didik berkewarganegaraan Indonesia yang memiliki potensi akademik memadai dan kurang mampu secara ekonomi,. 110 Pasal 58A Ayat (2), yaitu kewajiban menyediakan beasiswa bagi peserta didik berkewarganegaraan Indonesia yang berprestasi. 111 Pasal 58A Ayat (3), yaitu tentang tentang kewajiban menyediakan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik berkewarganegaraan Indonesia yang tidak mampu secara ekonomi dan yang orang tua atau pihak yang membiayai tidak mampu secara ekonomi.

Universitas Sumatera Utara diselenggarakan oleh politeknik, akademi, institut, sekolah tinggi, universitas dan akademi komunitas yang merupakan lanjutan dari jenjang pendidikan menengah.112

Mengingat bahwa pendidikan tinggi adalah merupakan subsistem dari SPN, maka tujuan pendidikan tinggi tetap mengacu dan berpedoman pada tujuan pendidikan nasional. Tujuan pendidikan tinggi yang dimaksud adalah: 113

a. Berkembangnya potensi mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada tuhan yang maha esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa; b. Dihasilkannya lulusan yang menguasai cabang ilmu pengetahuan dan/atau teknologi untuk memenuhi kepentingan nasional dan peningkatan daya saing bangsa; c. Dihasilkannya ilmu pengetahuan dan teknologi melalui penelitian yang memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora agar bermanfaat bagi kemajuan bangsa, serta kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia; dan d. Terwujudnya pengabdian kepada masyarakat berbasis penalaran dan karya penelitian yang bermanfaat dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

a. Pendirian Perguruan Tinggi

Penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia dapat dilaksanakan oleh

Pemerintah atau Masyarakat melalui pendirian perguruan tinggi. 114 Perguruan tinggi yang didirikan oleh Pemerintah disebut Perguruan Tinggi Negeri (PTN) 115 dan oleh

Masyarakat disebut Perguruan Tinggi Swasta (PTS).116 Masyaraat yang mendirikan

112 Pasal 19 ayat 1 UUSPN 113 Pasal 5 UU Pendidikan Tinggi 114 Masyarakat adalah kelompok Warga Negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan. 115 Pasal 7 UU Pendidikan Tinggi 116 Pasal 8 UU Pendidikan Tinggi PTS didirikan oleh Masyarakat dengan membentuk badan penyelenggara berbadan hukum seperti Yayasan, perkumpulan, dan bentuk lain yang berprinsip nirlaba dan wajib memperoleh izin Menteri.

Universitas Sumatera Utara PTS harus terlebih dahulu membentuk badan penyelenggara berbadan hukum seperti

Yayasan, perkumpulan, dan bentuk lain yang berprinsip nirlaba. Dengan demikian sangat jelas bahwa perusahaan komersial tidak dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi di Indonesia.

Pendirian PTN dan PTS wajib memperoleh izin Pemerintah setelah memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan sesuai dengan aturan perundang-undangan. 117

Pasal 60 Ayat (7) UU Pendidikan Tinggi mengatur bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pendirian PTN dan PTS serta perubahan atau pencabutan izin PTS diatur dalam Peraturan pemerintah.118

Pendirian perguruan tinggi adalah pembentukan akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, universitas119 oleh Pemerintah dan Masyarakat. Izin pendirian PTN yang berbentuk universitas dan institut diberikan oleh Presiden atas usul Menteri, untuk PTN berbentuk sekolah tinggi, politeknik, dan akademi diberikan oleh Menteri setelah mendapat persetujuan tertulis dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara. Izin pendirian PTS diberikan oleh Menteri atas usul pengurus atau nama lain yang sejenis dari badan hukum nirlaba yang sah. Izin

117 Pasal 60 Ayat (3) UU Pendidikan Tinggi 118 PP tentang Pendidikan Tinggi yang terakhir berlaku adalah PP No. 60 tahun 1999 dimana salah satu peraturan pelaksananya adalah Kepmendikbud No. 234/U/2000 Tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi. PP ini.kemudian tidak berlaku sejak diberlakukanya PP No. 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Namun di dalam Pasal 220 PP tersebut dinyatakan bahwa peraturan pelaksanaan dari PP No. 60 tahun 1999 tersebut masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan PP No. 17 tahun 2010. Dengan demikian pedoman pendirian perguruan tinggi tetap mengacu pada Kepmendikbud No. 234/U/2000 Tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi. 119 Pasal 2 Kepmendikbud Nomor 234/U/2000 Tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi. UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi melahirkan perguruan tinggi yang baru yaitu Akademi Komunitas (Pasal 99 UU No. 12 tahun 2012).

Universitas Sumatera Utara pendirian satuan pendidikan Indonesia di luar negeri diberikan oleh Menteri pendidikan dan kebudayaan.

Tabel 1. Pengusul dan Pemberi Ijin Pendirian Satuan Pendidikan Tinggi

Pengusul/ Pengusul Izin Bentuk PT Ijin Persetujuan Masyarakat Mendikbud PTS Universitas PTN Usul Mendikbud Presiden Masyarakat Mendikbud PTS Institut PTN Usul Mendikbud Presiden Masyarakat Mendikbud PTS Sekolah Tinggi PTN Persetujuan MenPAN Mendikbud Masyarakat Mendikbud PTS Politeknik PTN Persetujuan MenPAN Mendikbud Masyarakat Mendikbud PTS Akademi PTN Persetujuan MenPAN Mendikbud X X X Akademi Komunitas PTN Mendikbud &Pemda Mendikbud Sumber : Diolah dari UU No. 12 tahun 2012 ttg Pendidikan Tinggi

Syarat-syarat pendirian perguruan tinggi meliputi isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pembiayaan, sistem evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan proses pendidikan yang berpedoman pada ketentuan dalam SNP. Selain syarat-syarat tersebut di atas, dalam pengusulan pendirian perguruan tinggi tersebut juga harus dilampirkan syarat-syarat lain, yaitu :120

1. Hasil studi kelayakan tentang prospek pendirian satuan pendidikan formal dari segi tata ruang, geografis, dan ekologis; 2. Hasil studi kelayakan tentang prospek pendirian satuan pendidikan formal dari segi prospek pendaftar, keuangan, sosial, dan budaya; 3. Data mengenai perimbangan antara jumlah satuan pendidikan formal dengan penduduk usia sekolah di wilayah tersebut; 4. Data mengenai perkiraan jarak satuan pendidikan yang diusulkan di antara gugus satuan pendidikan formal sejenis; 5. Data mengenai kapasitas daya tampung dan lingkup jangkauan satuan pendidikan formal sejenis yang ada; dan 6. Data mengenai perkiraan pembiayaan untuk kelangsungan pendidikan paling sedikit untuk 1 (satu) tahun akademik berikutnya.

Syarat tambahan bagi pendirian satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh kementerian lain atau lembaga pemerintah nonkementerian adalah : 121

120 Pasal 184 PP No. 66 tahun 2010 tentang Perubahan PP No. 17 tahun 2010 121 Pasal 184 Ayat (4) PP No. 66 tahun 2010 tentang Perubahan PP No. 17 tahun 2010

Universitas Sumatera Utara 1. Memiliki program-program studi yang diselenggarakan secara khas terkait dengan tugas dan fungsi kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian yang bersangkutan; dan 2. Adanya undang-undang sektor terkait yang menyatakan perlu diadakannya pendidikan yang diselenggarakan secara khas terkait dengan tugas dan fungsi kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian yang bersangkutan.

Usulan pendirian perguruan tinggi harus didahului dengan kajiaan atau penelitian terhadap program studi yang akan dibuka, kemudian usul atau permohonan ijin penyelenggaraan pendidikan tinggi tersebut diajukan kepada Pemerintah dalam hal ini

Menteri yang bertanggungjawab di bidang pendidikan, yaitu Mendikbud.122 Persyaratan yang harus dipenuhi dalam mengajukan usulan pendirian perguruan tinggi meliputi: 123

1. Rencana induk pengembangan (RIP); 2. Kurikulum; 3. Tenaga kependidikan; 4. Calon mahasiswa; 5. Statuta; 6. Kode etik sivitas akademika; 7. Sumber pernbiayaan; 8. Sarana dan prasarana; 9. Penyelenggara perguruan tinggi.

Rencana Induk Pengembangan (RIP). RIP merupakan pedoman dasar pengembangan perguruan tinggi untuk jangka waktu sekurang-kurangnya lima tahun ke depan, yang di dalamnya memuat materi-materi bidang akademik, administrasi kepegawaian, prasarana kampus, pembiayaan, tahapan penetapan sasaran dan kuantitatif dalam bidang organisasi dan ketalaksanaan serta pengembangan kampus. RIP disusun berdasarkan hasil studi kelayakan.

122 Nama kementerian ini sudah mengalami perubahan beberapa kali, dan yang terakhir adalah tahun 2004 yang dirubah dari nama Menteri Pendidikan Nasional. 123 Pasal 4 Kepmendikbud Nomor 234/U/2000 Tentan Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi.

Universitas Sumatera Utara Kurikulum. Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan ajar serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tinggi. 124 Kurikulum pendidikan tinggi di Indonesia merupakan ciri khas pendidikan nasional yang sesuai dengan landasan philosofis pendidikan Indonesia, yaitu pendidikan yang mencerminkan nilai-nilai pancasila. Hal ini telah tercermin dari ketentuan penyusunan kurikulum pada perguruan tinggi di Indonesia sebagaimana diatur di dalam Kepmendikbud No.

232/U/2000 Tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi Dan

Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa.

Kurikulum pada perguruan tinggi di Indonesia terdiri dari Kurikulum inti dan

Kurikulum institusional125 yang selanjutnya dikelompokkan ke dalam 5 kelompok, yaitu kelompok matakuliah pengembangan kepribadian (MPK), kelompok matakuliah keilmuan dan ketrampilan (MKK), kelompok matakuliah keahlian berkarya (MKB), kelompok matakuliah perilaku berkarya (MPB) dan kelompok matakuliah berkehidupan bermasyarakat (MBB).126

Kelompok mata kuliah MPK berfungsi untuk menghasilkan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, berkepribadian mantap, dan mandiri serta mempunyai rasa tanggung jawab

124 Pasal 35 UU No.12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi 125 Pasal 7 Ayat (1) Kepmendikbud No. 232.U.2000 Tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi Dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa 126 Pasal 1 Kepmendikbud No. 232.U.2000 Tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi Dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa

Universitas Sumatera Utara kemasyarakatan dan kebangsaan. 127 MKK berfungsi untuk memberikan landasan penguasaan ilmu dan ketrampilan tertentu. Sementara MKB bertujuan menghasilkan tenaga ahli dengan kekaryaan berdasarkan dasar ilmu dan ketrampilan yang dikuasai, dan MPB bertujuan untuk membentuk sikap dan perilaku yang diperlukan seseorang dalam berkarya menurut tingkat keahlian berdasarkan dasar ilmu dan ketrampilan yang dikuasai, serta MBB berfungsi bahan kajian dan pelajaran yang diperlukan seseorang untuk dapat memahami kaidah berkehidupan bermasyarakat sesuai dengan pilihan keahlian dalam berkarya.

Dilihat dari fungsi masing-masing kelompok mata kuliah tersebut, maka jelas bahwa pendidikan tinggi Indonesia ditujukan untuk pengembangan bangsa Indonesia, dan hal ini membedakan SPN dari sistem pendidikan negara lain. Hal demikian berlaku pada setiap negara karena sistim pendidikan nasional masing-masing negara mempunyai misi tujuan tersendiri sesuai dengan nilai sosial, budaya, politik masing-masing negara.

Tenaga Pendidik. Tenaga pendidik memegang peranan yang sangat penting dalam proses pendidikan. Colin Marsh mengatakan bahwa: “ Careful planning and development are obviously important, but they count for nothing unless teachers are aware of the product and have the skills to implement the curricullum in their classroom. 128

Dosen sebagai tenaga pendidik pada perguruan tinggi merupakan pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan,

127 Untuk mencapai maksud tersebut, maka kuliah Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama. dan Pendidikan Kewarganegaraan diwajibkan pada semua perguruan tinggi kecuali untuk program magister dan doktor. 128 Colin J. Marsh. Key Concepts for Understanding Curriculum. (New York. Routledge. 2009). Hal 92

Universitas Sumatera Utara dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. 129 Dosen dikelompokkan ke dalam bagian yaitu dosen tetap130 dan dosen tidak tetap. Dosen tetap memiliki jenjang Jenjang jabatan akademik yang terdiri atas asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan profesor.131

Untuk menjadi dosen tidak memerlukan pendidikan khusus sebagaimana untuk profesi lainnya; misalnya, untuk menjadi dokter, seseorang harus lulusan dari pendidikan kedokteran132 atau advokat yang harus Sarjana dengan berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh organisasi Advokat 133 , tetapi harus memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, dan memenuhi kualifikasi lain yang dipersyaratkan satuan pendidikan tinggi tempat bertugas, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.134 Dosen yang sudah memiliki persyaratan sebagaimana dijabarkan di atas berhak mendapatkan : 135

1. Tunjangan profesi (tunjangan yang diberikan kepada guru dan dosen yang memiliki sertifikat pendidik sebagai penghargaan atas profesionalitasnya ). 2. Tunjangan khusus (tunjangan yang diberikankepada guru dan dosen yang ditugaskan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sebagai kompensasi atas kesulitan hidup yang dihadapi dalam melaksanakan tugas di daerah khusus). 3. Tunjangan Kehormatan (tunjangan yang diberikan kepada dosen yang memiliki jabatan akademik profesor).

129 Pasal 1 Ayat (2) UU No.14 tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen 130 Dosen tetap adalah dosen yang bekerja penuh waktu yang berstatus sebagai tenaga pendidik tetap pada satuan pendidikan tinggi tertentu. (Pasal 1 ayat 2 PP No. 37 tahun 2009) 131 Pasal 48 Ayat (2) UU No.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen 132 Pasal 1 Ayat (2) UU No.29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran 133 Pasal 2 Ayat (1) UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat 134 Pasal 45 UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen 135 Pasal 4 dan 5 PP No. 42 tahun 2005 tentang Tunjangan Guru dan Dosen

Universitas Sumatera Utara Kualifikasi akademik bagi seorang dosen adalah persyaratan pendidikan, yaitu harus lulusan program magister untuk dosen program diploma atau program sarjana , dan lulusanan program doktor untuk program pasca sarjana.136 Namun seseorang yang tidak memenuhi persyaratan tersebut di atas tetap dapat menjadi dosen jika yang bersangkutan memiliki prestasi luar biasa, dimana prestasi luar biasa tersebut ditentukan oleh senat akademik perguruan tinggi. Selain kualifikasi akademik, kompetensi juga menjadi satu persyaratan menjadi dosen. 137 Dosen tetap pada perguruan tinggi yang baru didirikan untuk setiap program studi sekurang-kurangnya memiliki 6 orang dengan latar belakang pendidikan sama/sesuai dengan program studi yang diselenggarakan dan dengan kualifikasi yang memenuhi syarat.138

Tabel 2. Persyaratan Jumlah dosen per program studi

D3 S1 S2 S3 Program D3 6 Program S4 6 Program S1 4 2 Program S2 6 Program S3 6 Sumber : Diolah dari Permendikbud No. 234/U/2000

Calon mahasiswa. Penyelenggara pendidikan tinggi sebelum mengajukan permohonan pendirian perguruan tinggi harus terlebih dahulu melakukan kajian terhadap potensi calon mahasiswa. Pemerintah menetapkan bahwa jumlah minimum mahasiswa pada satu program Diploma dan Sarjana (S1) adalah 30 orang per program studi dan jumlah maksimum disesuaikan dengan ketersediaan dosen tetap, yaitu 1 : 30

136 Pasal 46 UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen 137 Pasal 1 Ayat (10) UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen 138 Pasal 8 Ayat (1) Kepmendikbud No. 234/U/2000 tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi

Universitas Sumatera Utara untuk ilmu pengetahuan sosial, dan 1 : 20 untuk kelompok bidang ilmu pengetahuan alam.139

Statuta. “Statuta merupakan anggaran dasar bagi perguruan tinggi dalam melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi yang dipakai sebagai acuan untuk merencanakan, mengembangkan program, ,menyelenggarakan kegiatan fungsional sesuai dengan tujuan perguruan tinggi. “140 Diperlukannya statuta dalam pengusulan perguruan tinggi adalah untuk menjamin tersedianya aturan internal dalam lembaga pendidikan tinggi dalam proses penyelenggaraan pendidikan tinggi tersebut khususnya dalam hal pengembangan peraturan umum, peraturan akademik, dan prosedur operasional yang berlaku di perguruan tinggi.141

Statuta pada PTN ditetapkan oleh Mendikbud, sementara pada PTS ditetapkan oleh BP-PTS. Dengan demikian, statuta adalah satu-satunya pintu masuk bagi BP-PTS atau Yayasan untuk masuk ke PTS. Dalam hal pengangkatan rektor/ketua/direktur pada

PTS, misalnya, Pemerintah telah menetapkan persyataran, namun Yayasan dapat membuat persyaratan tambahan, yang mana persyaratan tersebut harus dituangkan di dalam statuta. Misalnya, perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh satu yayasan

Islam dapat membuat persyaratan tambahan bahwa untuk menjadi pimpinan pada perguruan tinggi tersebut misalnya harus beragama Islam.

139 Pasal 10 Kepmendikbud No. 234/U/2000 tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi. 140 Pasal 1 Permendiknas No. 85 tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Statuta Perguruan Tinggi 141 Pasal 2 Permendiknas No. 85 tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Statuta Perguruan Tinggi.

Universitas Sumatera Utara Sumber pembiayaan. Sumber pembiayaan perguruan tinggi disediakan oleh penyelenggara perguruan tinggi yang bersangkutan untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan pendidikan tinggi sesuai dengan peranan, tugas dan fungsi perguruan tinggi.142

Sarana dan Prasarana. Pendidikan tinggi akan lebih berkualitas jika didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai. Pemerintah mengharuskan penyelenggara pendidikan tinggi untuk menyiapkan sarana dan prasarana perkuliahan sebelum mengajukan usul pendirian perguruan tinggi.

Pemerintah telah menetapkan beberapa persyaratan sarana prasarana dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, yaitu :143

1. Tanah tempat mendirikan perguruan tinggi dimiliki dengan bukti sertifikat sendiri atau disewa/kontrak untuk sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) tahun dengan hak opsi, yang dinyatakan dalam perjanjian. 2. Sarana dan prasarana lainnya dimiliki sendiri atau disewa/kontrak untuk sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun yang dibuktikan dengan sertifikat atau perjanjian meliputi fasilitas fisik pendidikan dengan ketentuan minimal: a. Ruang kuliah : 0.5 m2 per mahasiswa; b. Ruang dosen tetap : 4 m2 per orang c. Ruang administrasi dan kantor 4 m2 per orang; d. Ruang perpustakaan dengan buku pustaka: 1. Program Diploma dan Program S1 a. buku mata kuliah pengembangan kepribadian (MPK) 1 judul per-mata kuliah; b. buku mata kuliah ketrampilan dan keahlian (MKK) 2 judul per-mata kuliah; c. jumlah buku sekurang-kurangnya 10% dari jumlah mahasiswa dengan memperhatikan komposisi jenis judul; d. berlangganan jurnal ilmiah sekurang-kurangnya 1 judul untuk setiap program studi;

142 Pasal 11 Kepmendikbud No. 234/U/2000 tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi 143 Pasal 12 Kepmendikbud No. 234/U/2000 tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi

Universitas Sumatera Utara 2. Program S2 untuk setiap program studi : 500 judul buku dan berlangganan minimal dua jurnal ilmiah yang terakreditasi pada bidang studi yang relevan; 3. Ruang laboratorium dan unit komputer serta sarana untuk praktikum dan/atau penelitian sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh Direktur Jenderal;

Selain persyaratan-persyaratan sebagaimana disebutkan di atas, khusus untuk BP-

PTS terdapat beberapa persyaratan tambahan, yaitu :144

1. BP-PTS tercatat pada Pengadilan Negeri setempat; 2. Ada jaminan tersedianya dana yang cukup untuk penyelenggaraan program pendidikan selama empat tahun bagi akademi dan politeknik; Penyelenggaraan program pendidikan selama enam tahun bagi sekolah tinggi, institut dan universitas.

Penyelenggaraan perguruan tinggi. Selain syarat-syarat sebagaimana dijelaskan di atas, sebelum Pemerintah memberikan ijin harus dipertimbangkan aspek lain, yaitu keseimbangan kelompok disiplin ilmu, pengembangan peta pendidikan di suatu wilayah, jenis program studi yang diselenggarakan, sebaran lembaga dan daya dukung wilayah yang bersangkutan, serta pengembangan bidang ilmu yang strategis, dengan membatasi bidang ilmu yang telah dianggap mencukupi kebutuhan pembangunan. 145 Usul persetujuan pendirian perguruan tinggi tersebut kemudian diajukan kepada:146

1. Menteri, Menteri lain atau pimpinan LPND bagi PTN dan PTK melalui Direktur Jenderal; 2. Menteri melalui Direktur Jenderal bagi PTS dengan melampirkan: a. Referensi Bank dan bukti lain berkenaan dengan dana penyelenggaran PTS; b. Akte Notaris Pendirian BP-PTS; c. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PTS; d. Surat Keterangan tidak terlibat pelanggaran hukum bagi pengurus BP-PTS;

144 Pasal 15 Kepmendikbud No. 234/U/2000 tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi 145 Pasal 21 Kepmendikbud No. 234/U/2000 Tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi 146 Pasal 22 Kepmendikbud No. 234/U/2000 Tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi

Universitas Sumatera Utara

PTN dan PTS dapat saja berubah bentuk di tengah jalan sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat yang dapat dilakukan melalui147

1. Perubahan nama dan/atau bentuk dari nama dan/atau bentuk perguruan tinggi tertentu menjadi nama dan/atau bentuk perguruan tinggi yang lain; 2. Penggabungan 2 (dua) atau lebih perguruan tinggi menjadi 1 (satu) perguruan tinggi baru; 3. 1 (satu) atau lebih perguruan tinggi bergabung ke perguruan tinggi lain; 4. Pemecahan dari 1 (satu) bentuk perguruan tinggi menjadi 2 (dua) atau lebih bentuk perguruan tinggi yang lain.

Perubahan PTN dapat dilakukan setelah mendapat pertimbangan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara.

Penutupan PTN dan PTS dapat juga dilakukan apabila tidak lagi memenuhi syarat pendirian atau proses penyelenggaraan perguruan tinggi tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penutupan universitas dan institut yang diselenggarakan oleh Pemerintah (PTN) dilakukan oleh Presiden atas usulan dari Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan, dan untuk sekolah tinggi, politeknik, dan akademi oleh Mendikbud. 148

Sementara penutupan PTS dilakukan oleh BHP-PTS setelah ijin dicabut oleh Menteri.

Dari penjelasan tentang pendirian perguruan tinggi di Indonesia dapat disimpulkan bahwa perguruan tinggi hanya dapat didirikan oleh Pemerintah dan Masyarakat melalui pembentukan badan hukum yang bersifa nirlaba dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan nasional.

147 Pasal 184A Ayat (1) PP No. 66 tahun 2010 tentang perubahan PP No17 tahun 2010 148 Pasal 184B PP No. 66 tahun 2010 tentang perubahan PP No17 tahun 2010

Universitas Sumatera Utara b. Tata Kelola

Tugas utama perguruan tinggi adalah melaksanakan pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat yang dilaksanakan secara secara otonom sesuai dengan dasar dan tujuan serta kemampuan perguruan tinggi yang bersangkutan 149 dengan berpedoman pada prinsip-prinsip pengelolaan perguruan tinggi yang telah ditetapkan di dalam undang-undang, yaitu akuntabel, transparan, nirlaba150, berkualitas, efektif dan efisien.151

Otonomi pada perguruan tinggi meliputi bidang akademik yaitu penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan tridharma, dan bidang non akademik yaitu penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan organisasi, keuangan, kemahasiswaan, ketenagaan dan sarana prasarana. 152 Otonomi pada PTS diserahkan kepada badan penyelenggara 153 sementara bagi PTN ditentukan oleh Mendikbud melalui penetapan PTN dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan

Layanan Umum atau dengan menjadi PTN badan hukum. 154

PTN dengan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum memiliki tata kelola dan kewenangan pengelolaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Sementara PTN badan hukum :

1. Memiliki kekayaan awal berupa kekayaan negara yang dipisahkan kecuali tanah,

149 Pasal 62 UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi 150 Prinsip nirlaba adalah prinsip kegiatan yang tujuannya tidak untuk mencari laba, sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan harus ditanamkan kembali ke Perguruan Tinggi untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan. 151 Pasal 63 UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi 152 Pasal 64 UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi 153 Pasal 67 UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi 154 Pasal 65 UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi

Universitas Sumatera Utara 2. Serta tata kelola dan pengambilan keputusan secara mandiri. 3. Unit yang melaksanakan fungsi akuntabilitas dan transparansi; 4. Hak mengelola dana secara mandiri, transparan, dan akuntabel; 5. Wewenang mengangkat dan memberhentikan sendiri dosen dan tenaga kependidikan; 6. Wewenang mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi;

Menurut Satryo Soemantri Brodjonegoro bahwa otonomi pendidikan adalah untuk menciptakan kemandirian lembaga pendidikan agar dapat menjalankan perannya mendukung pembangunan nasional.155 Menurut Wan Abdul Manan bahwa otonomi pada perguruan tinggi merupakan “ … the overall ability of the university to act by its own choices in pursuit of its mission, or the power of the university to govern itself without outside control. Universities have the power in three broad areas of self- government, namely, appointive, academic, and financial.”156 Levi mengelompokkan otonomi perguruan tinggi berdasarkan derajat otonomi yang dimiliki perguruan tinggi sebagai berikut : 157

Table 3. Komponen Otonomi Perguruan Tinggi

Nature of Degree of autonomy Relations

• Hiring, promotion, and dismissal of professors Appointive • Selection and dismissal of deans, rectors, and other administrative personnel • Terms of employment Academic • Access (admission) to the university

155 Willy Masaharu, BHP Paradigma Baru atau Privatisasi Pendidikan. Diakses dari www. suara pembaharuan. Com, 2009. Tanggal 4 September 2012 156 Wan Abdul Manan Wan Muda . The Malaysian National Higher Education Action Plan: Redefining Autonomy and Academic Freedom Under the APEX Experiment disampaikan pada konferensi ASAIHL bertajuk UNIVERSITY Autonomy:Interpretation And Variation di Universiti Sains Malaysia, pada tanggal 12-14 December 2008. 157 World University Service (WUS). The Lima Declaration on Academic Freedom and Autonomy of Institutions of Higher Education. Geneva: WUS.December 1988

Universitas Sumatera Utara • Career selection • Curriculum offerings and course instruction • Degree requirements and authorization • Academic freedom • Determination of who pays • Funding level Financial • Funding criteria

• Preparation and allocation of university budget • Accountability Sumber: Levy, 1980 dalam WUS, 1988

Walaupun aturan perundang-undangan mengamanatkan pengelolaan perguruan tinggi di Indonesia dilaksanakan secara otonom, namum otoritas yang dimiliki oleh PTN sangat terbatas. Misalnya dalam perekrutan mahasiswa baru, PTN diwajibkan untuk menjaring paling sedikit 60% mahasiswa baru program sarjana melalui pola penerimaan secara nasional serta mengalokasikan tempat bagi calon mahasiswa baru WNI yang memiliki potensi akademik memadai tapi kurang mampu secara ekonomi paling sedikit

20% dari jumlah keseluruhan mahasiswa. 158 Pratikno, ketika mengomentari disyahkannya UU Pendidikan Tinggi, mengatakan “poin-poinnya menunjukkan PTN mendapat otonomi, tapi tetap dikontrol secara ketat. 159 Sharifah mengatakan

“Autonomy does not mean much if major decisions made by ministries and central agencies are not devolved to the university board and senate”160 Otonomi yang serba

158 Pasal 53A ayat 1 PP No. 66 tahun 2010 tentang Perubahan PP No. 17 tahun 2010 159 Pratikno.Banyak Akademisi Indonesia Dimanfaatkan Malaysia. Diakses dari http://forum. kompas.com/nasional/143404-banyak-akademisi-indonesia-dimanfaatkan-malaysia.html pada tanggal 20 Agustus 2012. Batasan ini juga secara ekplisit ditentukan di dalam Pasal 49 Ayat (2) PP No. 19 tahun 2005 tentang SNP 160 Sharifah Hapsah Syed Hasan Shahabudin . Autonomy And Challenges For Unis. Diakses dari http://thestar.com.my/education/story.asp?sec=id%3D%22more_headlines_sec%22&file=/2012/2/12/educ ation/10698665 pada taggal 14 Juli 2012

Universitas Sumatera Utara terbatas sebagaimana yang terjadi di Indonesia juga terjadi di negara maju sebagaimana terlihat dalam tabel berikut ini.

Tabel 4. Cakupan Otonomi Perguruan Tinggi di Berbagai negara

Sumber : OECD (2003)

Dari table diatas dapat dilihat bahwa umumnya dalam hal penentuan uang kuliah, campur tangan Pemerintah sangat dominan. Otonomi perguruan tinggi paling banyak ditemukan pada aspek perekrutan dan pemberhentian staff serta pembelanjaan anggaran.

Namun untuk Indonesia, khususnya PTN dari ke-8 unsur otonomi tersebut hamper tidak ada yang dimiliki pimpinan PTN secara memadai.

Universitas Sumatera Utara c. Pendanaan

Pendanaan pendidikan adalah penyediaan sumberdaya keuangan yang diperlukan untuk penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan,161 yang tanggungjawabnya berada pada Pemerintah dan dialokasikan dalam APBN untuk: 162

a. biaya operasional, dosen dan tenaga kependidikan, serta investasi dan pengembangan bagi PTN b. bantuan tunjangan profesi dosen, tunjangan kehormatan profesor, serta investasi dan pengembangan bagi PTS c. dukungan biaya untuk mengikuti pendidikan tinggi bagi mahasiswa

Dari ketentuan diatas, maka secara juridis, Pemerintah memberlakukan diskriminasi antara PTN dan PTS dalam hal pendanaan pendidikan tinggi. Pendanaan pendidikan yang dialokasikan dalam APBN kepada PTS hanya bersifat bantuan, bukan subsidi sebagaimana halnya kepada PTN. Hal ini sejalan dengan ketentuan pendirian PTS sebagaimana telah dibahas di atas, dimana ketika mengajukan pendirian PTS, telah disyaratkan adanya jaminan tersedianya dana yang cukup untuk penyelenggaraan program pendidikan selama 4 tahun bagi akademi dan politeknik dan 6 tahun bagi sekolah tinggi, institut dan universitas.

Pendanaan pendidikan tinggi merupakan issu yang selalu hangat di bicarakan di seluruh dunia, bahkan menjadi dilema bagi Pemerintah. Penyediaan anggaran pendidikan yang rendah akan mengakibatkan kualitas pendidikan tinggi menjadi rendah.

Sebaliknya penyediaan anggaran yang besar dapat mengakibatkan masalah terganggunya pelayanan publik lainnya.

161 Pasal 1 Ayat (4) PP No. 48 tahun 2010 tentang Pendanaan Pendidikan 162 Pasal 89 ayat 1 PP No. 48 tahun 2010 tentang Pendanaan Pendidikan

Universitas Sumatera Utara Di negara negara OECD, pendanaan pendidikan mulai mengalami perubahan menjadi pola block grand yang berimbas pada kenaikan uang kuliah. .

….university funding is allocated has undergone extensive change in most OECD countries. Most governments now allocate funds to universities on a lump-sum or block grant basis, rather than by detailed itemisation of budgets. There have also been clear moves toward introducing or increasing tuition fees, output-oriented budget allocation, and performance contracting systems..163 Selain dana dari Pemerintah sebagai sumber utama, bantuan pendanaan pendidikan tinggi juga dapat diperoleh dari pemerintah daerah sesuai dengan kemampuannya dengan mengalokasikannya dalam APBD serta pemberian hak pengelolaan kekayaan negara untuk kepentingan pengembangan pendidikan tinggi tersebut.164 Masyarakat juga dapat turut serta dalam pendanaan pendidikan tinggi melalui pemberian hibah dan bentuk lain dari individu dan/atau perusahaan, dana abadi pendidikan tinggi, dan bentuk lain165, atau perguruan tinggi sendiri melalui kerja sama pelaksanaan tridharma166 serta mahasiswa sesuai dengan kemampuan atau orangtua/walinya 167, dan dunia industri melalui pemberian bantuan kepada perguruan tinggi yang difasilitasi oleh Pemerintah.168

163 Changing patterns Of governance In higher education. Diakses dari http://www.oecd.org/ education/highereducationandadultlearning/35747684.pdf tanggal 2 Juli 2012. 164 Pasal 87 Peraturan Pemerintah No. 48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan 165 Pasal 84 UU No.12 tahun 2012 ttg Pendidikan Tinggi 166 Pasal 85 ayat 1 UU No.12 tahun 2012 ttg Pendidikan Tinggi 167 Adanya kata “ dapat” dalam Pasal 85 ayat 2 UU No.12 tahun 2012 ttg Pendidikan Tinggi ini memberi arti bahwa peran serta mahasiswa dalam pendanaan pendidikan tinggi bersifat sukarela. Hal ini berbeda dengan bunyi Pasal 2 ayat 1 PP No. 48 tahun 2010 tentang Pendanaan Pendidikan yang menyatakan bahwa “ Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.” Bandingkan juga dengan bunyi Pasal 9 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa “ Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan.” 168 Pasal 86 Ayat 1 UU No.12 tahun 2012 ttg Pendidikan Tinggi Kepada dunia industri dan anggota masyarakat yang memberikan bantuan, Pemerintah akan memberikan insentif (Pasal 86 Ayat 2 UU No.12 tahun 2012 ttg Pendidikan Tinggi

Universitas Sumatera Utara Biaya pendidikan di Indonesia terdiri dari beberapa komponenen, yaitu:

Tabel 5. Komponen Biaya Pendidikan Tinggi

Biaya Satuan Pendidikan BPPP BPPD BI BO BBP Beasiswa BLP BsLP BP BnP Catatan : BI : Biaya Investasi, BO: Biaya Operasional, BBP: Biaya Bantuan Pendidikan, BLP : Biaya Lahan Pendidikan, BsLP : Biaya Selain Lahan Pendidikan, BP : Biaya Personalia BnP : Biaya non Personalia, BPPP: Biaya Pengelolaan dan atau Penyelenggaraan Pendidikan BPPD : Biaya Pribadi Peserta Didik

Sumber : Diolah dari PP No.48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan

Standar satuan biaya operasional pendidikan tinggi di Indonesia ditetapkan oleh

Pemerintah dengan mempertimbangkan capaian SNPT, jenis program studi, dan indeks kemahalan wilayah. 169 Standar satuan biaya tersebut menjadi dasar bagi Pemerintah untuk mengalokasikan anggaran untuk PTN dalam APBN 170 dan bagi PTN dalam menetapkan biaya yang ditanggung oleh Mahasiswa.

Larry mengatakan bahwa lembaga pendidikan publik (PTN) merupakan institusi publik yang terbuka kepada setiap orang. Institusi publik tersebut tidak gratis, tetapi karena institusi publik yang terbuka kepada siapa saja, maka pembiayaannya juga dilakukan secara koletif, bukan individual, karena masyarakat sudah membayarnya secara koletif melalui pajak, maka untuk dapat diakses oleh publik, biaya tidak boleh menjadi satu persyaratan.171 Menurut Sharifah Hapsah Syed Hasan Shahabudin bahwa

169 Pasal 88 ayat 1 UU No.12 tahun 2012 ttg Pendidikan Tinggi 170 Pasal 1 ayat 18 UU No. Tentang Pendidikan Tinggi 171 Larry Kuehn. What’s wrong with commercialization of public education? Diakses dari http://bctf.ca/publikations/NewsmagArticle.aspx?id=9954 pada tanggal 3 September 2012

Universitas Sumatera Utara the way funding is allocated should be reviewed to enhance competition, innovation and performance with minimum bureaucracy.172

Untuk mencari dana tambahan dari Masyarakat guna penyelenggaraan pendidikan tinggi, PTN dapat menyelenggarakan program non reguler setelah terlebih dahulu memperoleh ijin dari Pemerintah. 173 Biaya penyelenggaraan jalur non regular ini dibebankan kepada mahasiswa, sehingga biaya pendidikan pada program ini selalu lebih mahal daripada program reguler. Hal ini dapat dipahami karena salah satu tujuan program non reguler adalah untuk mendapatkan dana tambahan, selain meningkatkan akses pendidikan tinggi, bukan malah menambah beban yang harus ditanggung dari

APBN.

Standar satuan biaya operasional pendidikan tinggi yang ditetapkan Pemerintah sebagaimana dijelaskan di atas tidak berlaku bagi PTS. Akibatnya PTS bebas menentukan biaya pendidikan yang harus dibayarkan oleh Mahasiswa. Tidak adanya pengaturan yang menjadi acuan dalam penentuan biaya pendidikan pada PTS ini telah mengakibatkan uang kuliah pada PTS bisa sangat mahal, walaupun tetap ada yang terjangkau.174 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hakikat pendidikan tinggi pada

172 Sharifah Hapsah Syed Hasan Shahabudin. Op.Cit 173 Kep.Dirjendikti. No. 28/DIKTI/Kep/2002 Tentang Penyelenggaraan Program Reguler Dan Non Reguler di Perguruan Tinggi Negeri. Adanya program non regular ini menjadi masalah tersendiri bagi PTS karena disinyalir berdampak pada menurunnya jumlah pendaftar pada PTS. “Perguruan Tinggi Sawsta (PTS) saat ini semakin terdesak. Persaingan tidak saja dengan lebih 2.600-an PTS, tetapi juga oleh PTN yang membuka berbagai program masuk yang dosen dan fasilitasnyas dibiayai Negara. (Baca: Perguruan Tinggi Asing Gencar, PTS Makin Terdesak. Diakses dari http://otomotif.kompas.com/read /2010/01 /19/21195189/PerguruanTinggiAsing. Gencar.PTS. Makin.Terdesak) 174 Beberapa PTS mematok biaya kuliah yang mencekik leher bagi yang ekonominya pas-pasan. Hal itu menyebabkan mereka yang berasal dari golongan tersebut hanyalah menggantungkan mimpi tanpa pernah menikmati kuliah di PTS-PTS favorit. Biaya kuliah di PTS tersebut ada yang berkategori sangat

Universitas Sumatera Utara PTS sebagai layanan publik menjadi kabur. Tidak jelas apakah ada kaitannya dengan

keuangan ini, namun tidak jarang konflik terjadi antara pengurus Yayasan yang bahkan

sampai ke pengadilan.175

PTS sebagai penyelenggara layanan publik sebagaimana halnya PTN seharusnya

terikat pada standar satuan biaya operasional pendidikan tinggi yang ditetapkan

Pemerintah guna menjamin penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagai layanan publik

sehigga biayanya lebih terjangkau dan dapat diakses lebih luas oleh Masyarakat. 176 Hal

ini sangat penting mengingat 75% mahasiswa di Indonesia berada pada PTS.

Tabel 6. Distribusi Mahasiswa pada PTN/PTS Tahun 2005-2010

Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Status PTN PTS PTN PTS PTN PTS PTN PTS PTN PTS PTN PTS PT Jlh Mhs 346.354 863.806 445.885 1.001.422 617.753 1.308.935 929.837 1.808.109 1.066.446 2.421.123 984.818 2.889.343 % 29% 71% 31% 69% 32% 68% 34% 66% 31% 69% 25% 75% Total 1.212.165 1.449.313 1.928.695 2.739.954 3.48.9578 3.876.171 Mhs Sumber : Diolah dari www.dikti.or.id

Dari pemaparan tersebut terlihat bahwa walaupun PTN dan PTS merupakan layanan

publik, namun peran serta Pemerintah dalam pendanaan keduanya diskriminatif dimana

peran Pemerintah sangat dominan dalam pendanaan pendidikan tinggi pada PTN, pada

mahal, cukup mahal, dan relatif mahal. Baca: Duh, Mahalnya Biaya Pendidikan. Diakses dari http://www.shnews.co/duniakampus/detile-378-duh-mahalnya-biaya-pendidikan.html 175 Konflik Yayasan dengan lembaga pendidikan memang sering terjadi. Apalagi di tengah arus kapitalisme yang kian menggurita. Keberadaan Yayasan yang punya aset besar memang layak dan “seksi‘ untuk diperebutkan. Wajar bila kemudian muncul tudingan “miring‘ dari publik kepada yayasan sebagai kedok mencari keuntungan. Karena, dengan memiliki Yayasan yang tercatat secara administratif, akan sangat tidak sulit mencari kemudahan dibanding bentuk badan hukum lain, misalnya PT maupun CV. (Ahmad Nurullah. Mengakhiri Konflik Yayasan Pendidikan. Diakses dari http://www.jurnas.com/ halaman/6/2012-06-09/211715 tanggal 8 Desember 2012) 176 Anggiat Pardamean Simamora. Penyelenggaraan PTS sebagai Layanan Publik; Kajian Hukum Terhadap Penentuan Biaya Pendidikan dan Pemanfaataannya. Majalah Ilmiah Politeknik Mandiri Bina Prestasi. Vol:I No.2 Desember 2012. Hal.30

Universitas Sumatera Utara sisi lain, PTS bebas dalam menentukan biaya pendidikan tinggi yang akan dibebankan kepada masyarakat.

d. Pengawasan dan Penilaian

Salah satu bentuk tanggung jawab Menteri atas penyelenggaraan pendidikan adalah pengawasan. 177 Pasal 200 PP No. 17 tahun 2010 menyebutkan bahwa :

1. Pengawasan pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan mencakup pengawasan administratif dan teknis edukatif yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 2. Pemerintah melaksanakan: a. Pengawasan secara nasional terhadap pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan tinggi; b. Pengawasan secara nasional terhadap pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah yang menjadi kewenangannya; c. Pengawasan terhadap pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan indonesia di luar negeri; d. Koordinasi pengawasan secara nasional terhadap pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah; dan e. Pengawasan terhadap penggunaan dana anggaran pendapatan belanja negara oleh pemerintah daerah untuk pendidikan.

Pengawasan pendidikan dilaksanakan dalam rangka rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu yang mengacu pada SNP 178 yang meliputi :179

a. Standar isi; b. Standar proses; c. Standar kompetensi lulusan; d. Standar pendidik dan tenaga kependidikan; e. Standar sarana dan prasarana; f. Standar pengelolaan; g. Standar pembiayaan;dan

177 Pasal 7 ayat (2) UU No.12 tentang Pendidikan Tinggi 178 Pasal 3 PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan 179 Pasal 2 ayat 1 PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan

Universitas Sumatera Utara h. Standar penilaian pendidikan.

PP No. 66 tahun 2010 menyatakan bahwa pengawasan terhadap terhadap rektor, ketua, atau direktur (PTN) pada bidang akademik dilakukan oleh Senat masing-masing perguruan tinggi. 180 Sementara pengawasan terhadap PTS dilaksanakan oleh Badan

Penyelenggara.181 Pengawasan pada bidang keuangan pada PTN tergantung pada status

PTN tersebut; PTN dengan pola keuangan Badan Layanan Umum, pengawasannya tuntuk pada PP No. 23 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan

Umum182. Sedangkan pengawasan terhadap keuangan PTS tidak diatur, karena otonomi

PTS ditentukan oleh badan penyelenggara.

Sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi (SPMPT) adalah kegiatan sistemik untuk meningkatkan mutu Pendidikan Tinggi secara berencana dan berkelanjutan yang dilaksanakan melalui penetapan, pelaksanaan, evaluasi, pengendalian, dan peningkatan standar Pendidikan Tinggi.183 SPMPT terdiri dari Sistem penjaminan mutu internal yang dikembangkan oleh Perguruan Tinggi dan sistem penjaminan mutu eksternal yang dilakukan melalui akreditasi.184

Akreditasi merupakan kegiatan penilaian sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan berdasarkan SNPT untuk menentukan kelayakan program studi dan perguruan tinggi. Akreditasi perguruan tinggi dilakukan oleh BAN-PT, sedangkan

180 Pasal 58F ayat 1b Permendiknas No. 66 tahun 2010 181 Pasal 11 Kepmendikbud No 0339/U/1994 tentang Ketentuan Pokok Penyelenggaraan PTS 182 Pasal 65 ayat 2 UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi : 183 Pasal 51 UU No.12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tnggi 184 Pasal 53 UU No.12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tnggi

Universitas Sumatera Utara Akreditasi Program Studi dilakukan oleh lembaga akreditasi mandiri.185 Pada bidang pengawasan akademik ini, tidak ada perbedaan antara PTN dan PTS karena dalam proses akreditasi keduanya mengikuti prosedur yang sama dan dilaksanakan oleh institusi yang sama, yaitu BAN-PT. Proses akreditasi yang dilakasanakan oleh BAN-PT mengikuti prosedur di bahwa ini.

Gambar 4. Proses Akreditasi Program Studi

Sumber : BAN-PT

Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam pengawasan PTN pada bidang keuangan, Pemerintah juga memegang peranan yang penting, sedangkan peranan Pemerintah dalam pengawasan keuangan PTS tidak ada. Sedangkan pengawasan dan penilaian akademik pada PTN dan PTS, Pemerintah tidak membedakan sama sekali karena kepada keduanya berlaku prosedur dan persyaratan yang sama.

Dari pembahasan tentang pengaturan pendidikan tinggi di Indonesia ini dapat ditarik kesimpulan bahwa sejarah pengaturan pendidikan tinggi di Indonesia (legal substance) selalu berkembang mengikuti perkembangan jaman. Sejarah menunjukkan bahwa pengaturan pendidikan tinggi di Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga

185 Lembaga akreditasi mandiri adalah lembaga mandiri yang di bentuk oleh Pemerintah atau Masyarakat yang diakui oleh Pemerintah atas rekomendasi BAN-PT dan dibentuk berdasarkan rumpun ilmu dan/atau cabang ilmu serta dapat berdasarkan kewilayahan. (Pasal 55 UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi)

Universitas Sumatera Utara sekarang selalu menempatkan pendidikan tinggi sebagai layanan publik. Namun

Demikian, hakikat pendidikan tinggi sebagai layanan publik lebih jelas pada PTN daripada PTS karena campur tangan Pemerintah dalam pengelolaan PTS sangat minim yang berakibat pada potensi komersialisasi pendidikan sangat besar pada PTS. Oleh karena itu, Pemerintah harus mereduksi perbedaan atau diskriminasi perlakuan kepada

PTN dan PTS dengan demikian konsistensi Pemerintah dalam melaksanakan amanat pembukaan UUD 1945 untuk mencerdaskan bangsa dapat terjaga.

Universitas Sumatera Utara BAB III

EKSISTENSI PENDIDIKAN TINGGI ASING DALAM PERUNDANG-

UNDANGAN DI BIDANG PENDIDIKAN DI INDONESIA

A. Dasar hukum Pendidikan Tinggi Asing di Indonesia

Indonesia adalah negara hukum 186 yang oleh karenanya segala tindakan dan kebijakan Pemerintah harus selalu mengacu pada hukum yang berlaku. Prof. Dr. Jimly

Asshiddiqie, SH mengatakan bahwa :

“... Dalam konsep negara hukum itu, diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan politik ataupun ekonomi. Karena itu, jargon yang biasa digunakan dalam bahasa Inggeris untuk menyebut prinsip Negara Hukum adalah ‘the rule of law, not of man’. Yang disebut pemerintahan pada pokoknya adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per orang yang hanya bertindak sebagai ‘wayang’ dari skenario sistem yang mengaturnya.”187

Masuknya pendidikan asing ke suatu negara (cross border education) merupakan praktik yang jamak terjadi di berbagai negara akhir-akhir, dan ini sering dikaitkan dengan WTO/GATS. Namun sejarah menunjukkan bahwa praktik tersebut sudah terjadi jauh sebelum lahirnya WTO. Di Indonesia misalnya, adanya PERPU No. 48/1960 tentang Pengawasan Pendidikan Dan Pengajaran Asing membuktikan bahwa praktik cross border education melalui kehadiran tenaga pengajar asing sudah pernah terjadi.

Demikian juga di dalam UU No. 2 tahun 1989 juga sudah mengatur tentang penyelenggaraan pendidikan asing, yaitu melalui penyelenggaraan pendidikan asing

186 Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 ( Amandemen III) 187 Jimly Asshiddiqie .Gagasan Negara Hukum Indonesia Diakses dari http://jimly.com/ makalah/namafile/57/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf pada tangl 14 Sept.2012

Universitas Sumatera Utara oleh perwakilan negara asing yang dikhususkan untuk warga negara asing 188 dan penyelenggaraan pendidikan asing dalam kerangka kerja sama internasional. 189

Penyelenggaraan cross border education melibatkan berbagai pihak, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Oleh karena itu kehadiran aturan perundang-undangan menjadi sangat penting agar pelaksanaanya tidak menimbulkan permasalahan yang dapat merugikansemua pihak.

Aturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum penyelenggaraan pendidikan asing di Indonesia tersebar di dalam beberapa aturan perundang-undangan baik dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan menteri.

Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang SPN telah mengatur tentang penyenggaraan pendidikan asing di Indonesia, yaitu yang diselenggarakan oleh perwakilan negara asing dan lembaga pendidikan asing. Perwakilan negara asing yang menyelenggarakan satuan pendidikan di Indonesia diperuntukkan untuk warga Negara asing. dan dalam penyelenggaraanya dapat menggunakan ketentuan yang berlaku di negara yang bersangkutan atas persetujuan Pemerintah Indonesia. Penyelenggaraan pendidikan asing tersebut tidak termasuk bagian dari SPN. 190

Selain perwakilan negara asing, lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat menyelenggarakan pendidikan di Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan ketentuan bahwa hal tersebut wajib dilaksanakan dalam bentuk bekerjasama dengan lembaga pendidikan di

188 Pasal 54 ayat 2 UU No.2 tahun 1989 tentang SPN 189 Pasal 54 ayat 4 UU No.2 tahun 1989 tentang SPN 190 Pasal 64 UU No. 20 tahun 2003 tentang SPN

Universitas Sumatera Utara wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan mengikutsertakan tenaga pendidik dan pengelola Warga Negara Indonesia.191

UU No. 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi mengatur secara terpisah tentang penyelenggaraan pendidikan asing dengan kerja sama internasional pendidikan tinggi.

Pasal 50 ayat (1) memberi pengertian kerja sama internasional pendidikan tinggi sebagai proses interaksi dalam pengintegrasian dimensi internasional ke dalam kegiatan akademik untuk berperan dalam pergaulan internasional tanpa kehilangan nilai-nilai keindonesiaan. Pelaksanaa kerja sama tersebut harus didasarkan pada prinsip kesetaraan dan saling menghormati dengan mempromosikan ilmu pengetahuan, teknologi, dan nilai kemanusiaan 192 dimana kerja sama tersebut dapat dilakukan dalam kegiatan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu; pengembangan pusat kajian Indonesia dan budaya lokal pada perguruan tinggi di dalam dan di luar negeri; dan pembentukan komunitas ilmiah yang mandiri. 193 Kerja sama internasional yang dilakukan sebagai salah satu strategi perguruan tinggi Indonesia dalam meningkatkan kapasitasnya. Hal ini berarti bahwa bahwa kerjasama internasional tersebut merupakan bagian dari SPN.

Pasal 90 UU No. 12 tahun 2012 mengatur tentang penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh PTA yang menyatakan bahwa: 194

1. PTA yang menyelenggaranan pendidikan tinggi di Indonesia harus

terakreditasi atau diakui di negara asalnya.

191 Pasal 65 UU No. 20 tahun 2003 tentang SPN 192 Pasal 50 ayat 2 UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi 193 Pasal 50 ayat 4 UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi 194 Pasal 90 UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi

Universitas Sumatera Utara 2. Penyelenggaran pendidikan tinggi asing hanya dapat dilakukan di daerah

tertentu dan untuk jenis dan Program Studi tertentu yang ditetapkan oleh

Pemerintah.

3. Penyelenggaraan pendidikan tinggi asing wajib :

a. Memperoleh izin Pemerintah; b. Berprinsip nirlaba; c. Bekerja sama dengan perguruan tinggi Indonesia atas izin Pemerintah; d. Mengutamakan Dosen dan tenaga kependidikan warga negara Indonesia; e. Mendukung kepentingan nasional; f. Mengikuti Standar Nasional Pendidikan; g. Mengikuti akreditasi oleh badan akreditasi nasional; dan h. Mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pengaturan pendidikan yang berdimensia asing juga diatur di dalam PP No. 66

Tahun 2010 tentang Perubahan PP No.17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan

Penyelenggaraan Pendidikan, yaitu di dalam Pasal 53A ayat (5) yang memperbolehkan

PTN memberikan beasiswa kepada WNA. Ketentuan tersebut tidak menjelaskan apakah beasiswa tersebut diberikan kepada WNA yang sudah belajar di PTN tersebut (seperti beasiswa BKM, Supersemar, PPA) atau diberikan kepada warga negara asing untuk belajar di PTN.

Pasal 160 ayat (2) PP No. 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan

Pendidikan mengamanatkan bahwa penyelenggaraan pendidikan oleh perwakilan negara asing di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak diperbolekan diikuti oleh pererta didik WNI. Selanjutnya di dalam Pasal 161 ayat (2) diatur bahwa lembaga pendidikan asing dapat menyelenggerakan pendidikan tinggi di Indonesia dengan cara bekerja sama dengan lembaga pendidikan di Indonesia pada tingkat program studi atau

Universitas Sumatera Utara satuan pendidikan. Selain kerjasama dalam penyelenggaraan pendidikan, pihak asing juga dapat ikut serta dalam kepemilikan program dan satuan pendidikan yang diselenggarakan secara bersama-sama tersebut atas izin Menteri. 195

Permendiknas No. 66 tahun 2009 tentang Pemberian Izin Pendidik Dan Tenaga

Kependidikan Asing Pada Satuan Pendidikan Formal Dan Nonformal di Indonesia dengan tegas menyatakan bahwa diberlakukannya Permendiknas tersebut untuk untuk melindungi kepentingan nasional Indonesia khususnya dalam menangkal pengaruh yang dapat mengganggu pemahaman terhadap ideologi Pancasila, budaya, serta persatuan dan kesatuan bangsa sehubungan dengan keberadaan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan asing di Indonesia.

Di dalam Pasal 2 Permendiknas No. 66 tahun 2009 tersebut mengamanatkan bahwa kehadiran pendidik dan tenaga kependidikan asing di Indonesia bersifar pelengkap yaitu untuk memenuhi kebutuhan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan yang belum dapat dipenuhi Indonesia, selain untuk meningkatkan mutu pendidikan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Untuk tujuan tersebut, di dalam Pasal 3

Permendiknas tersebut ditetapkan bahwa Pendidik asing wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik dan tenaga kependidikan serta memiliki kemampuan untuk mendukung perwujudan tujuan pendidikan nasional.

Kualifikasi akademik untuk Pendidik pada perguruan tinggi sekurang-kurangnya doktor dari perguruan tinggi yang terakreditasi dan sesuai dengan bidang ilmu dan program pendidikan yang diampu.196

195 Dalam pendidikan yang diselenggarakan adalah disiplin agama, maka pertimbangan harus diberikan oleh Menteri Agama (Pasal 163 PP No.17 tahun 2010).

Universitas Sumatera Utara Kepmendiknas No. 234/U/2000 sebagai peraturan pelaksanan dari PP No. 60 tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi. Dalam kaitannya dengan pendidikan asing, di dalam peraturan ini diatur bahwa pihak asing dapat ikut serta dalam kepemilikan lembaga kependidikan di Indonesia.197

B. Bentuk Penyelenggaraan Pendidikan Asing di Indonesia

Kerja sama perguruan tinggi Indonesia dengan lembaga lain di luar negeri meliputi : pengelolaan perguruan tinggi; pendidikan; penelitian; dan/atau pengabdian kepada masyarakat 198 yang dapat dilaksanakan dalam bentuk : 199

a. Kontrak Manajemen; b. Program kembaran (twin program); c. Program gelar ganda (dual degree); d. Program pemindahan kredit (credit trasfer); e. Tukar menukar dosen dan/atau mahasiswa dalam kegiatan akademik; f. Pemanfaatan bersama sumber daya dalam kegiatan akademik, penelitian, dan pengabdian masyarakat; g. Penerbitan bersama karya ilmiah; h. Penyelenggaraan bersama pertemuan ilmiah atau kegiatan ilmiah lain; dan/atau i. Bentuk kerja sama lain yang dianggap perlu untuk meningkatkan kinerja perguruan tinggi.

196 Pasal 3 Ayat( 2.b) Permendiknas No. 66 tahun 2009 Selanjutnya di dalam Pasal 5 Permendiknas No. 66 tahun 2009 disebutkan bahwa kehadiran Pendidikan atau tenaga kependidikan asing di Indonesia harus atas permintaan atau usul dari suatu instansi pemerintah atau lembaga pendidikan di Indonesia, selanjutnya usul tersebut akan dinilai dimana penilaian akan dikordinir oleh Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Izin akan diberikan oleh Mendikbud atau pejabat yang ditunjuk. Status Pendidik atau tenaga kependidikan tersebut adalah sebagai tenaga kerja asing dengan masa waktu sesuai dengan rencana izin menggunakan tenaga kerja asing (IMTA) 197 Pasal 15 ayat 2 Kepmendiknas No. 234/U/2000 198 Pasal 6 Peraturan Menteri No. 26 Tahun 2007 Tentang Kerja Sama Perguruan Tinggi dl Indonesia Dengan Perguruan Tinggi Atau Lembaga Lain di Luar Negeri 199 Pasal 7 Peraturan Menteri No. 26 Tahun 2007 Tentang Kerja Sama Perguruan Tinggi dl Indonesia Dengan Perguruan Tinggi Atau Lembaga Lain di Luar Negeri

Universitas Sumatera Utara Ditinjau dari perijinan, bentuk-bentuk kerja sama tersebut diatas dapat dikelompokkan ke dalam 2 bagian, yaitu kerja sama yang mengharuskan adanya ijin tertulis dari Mendikbud setelah diusulkan oleh pimpinan perguan tinggi yang bersangkutan; yang masuk dalam kelompok ini adalah kerja sama dalam bentuk Kontrak

Manajemen, Program kembaran, Program gelar ganda , dan Program pemindahan kredit.

Kelompok kedua, kerja sama yang dilakukan tidak memerlukan perizinan tetapi hanya pelaporan oleh pimpinan perguruan tinggi yang bersangkutan kepada Mendikbud melalui Dirjendikti; yang termasuk dalam kelompok ini adalah kerja sama dalam bentuk pertukaran dosen dan/atau mahasiswa dalam kegiatan akademik; pemanfaatan bersama sumber daya dalam kegiatan akademik, penelitian, dan pengabdian masyarakat; penerbitan bersama karya ilmiah; penyelenggaraan bersama pertemuan ilmiah atau kegiatan ilmiah lain; dan/atau bentuk kerja sama lain yang dianggap perlu untuk meningkatkan kinerja perguruan tinggi.

1. Kontrak Manajemen.

Kerjasama yang dilakukan dalam bentuk kontrak manajemen dapat dilakukan oleh perguruan tinggi dan/atau lembaga lain di luar negeri dengan perguruan tinggi di

Indonesia yang sudah ada atau dengan mendirikan perguruan tinggi baru secara bersama-sama dengan perguruan tinggi yang ada di Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dimana pendirian perguruan tinggi tersebut harus memenuhi persyaratan pendirian dan penyelenggaraan perguruan tinggi. Lulusan perguruan tinggi yang bersangkutan selain memperoleh ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi dari perguruan tinggi di Indonesia dapat memperoleh ijazah,

Universitas Sumatera Utara sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi dari perguruan tinggi asing mitra kerja sama. 200

2. Program Kembaran (Twin Program)

Program kembaran dilakukan bersama oleh perguruan tinggi di luar negeri dengan perguruan tinggi di Indonesia untuk program studi yang sama dengan syarat bahwa program studi tersebut telah terakreditasi. Mahasiswa yang ikut dalam program kerjasama ini akan memperoleh ijazah, gelar akademik dan/atau vokasi dari perguruan tinggi di Indonesia setelah menempuh beban studi paling sedikit 50% dari beban studi yang dipersyaratkan dan juga memperoleh ijazah, gelar akademik dan/atau vokasi dari perguruan tinggi di luar negeri. 201

3. Program Gelar Ganda (Dual Degree).

Program gelar ganda dilakukan bersama oleh perguruan tinggi di luar negeri dan perguruan tinggi di Indonesia untuk program studi berbeda pada pendidikan akademik dan/atau vokasi, dengan syarat bahwa program studi yang dimaksud harus memiliki kesamaan beban studi paling sedikit 75%. Lulusan program gelar ganda (dual degree) akan memperoleh ijazah, gelar akademik, dan/atau vokasi dari perguruan tinggi di

Indonesia dan perguruan tinggi lain di luar negeri.202

200 Pasal 10 Peraturan Menteriyaitu Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Kerja Sama Perguruan Tinggi dl Indonesia Dengan Perguruan Tinggi Atau Lembaga Lain di Luar Negeri 201 Pasal 11 Peraturan Menteri Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Kerja Sama Perguruan Tinggi dl Indonesia Dengan Perguruan Tinggi Atau Lembaga Lain di Luar Negeri 202 Pasal 12 Permendiknas No. 26 Tahun 2007 tentang Kerja Sama Perguruan Tinggi dl Indonesia Dengan Perguruan Tinggi Atau Lembaga Lain di Luar Negeri

Universitas Sumatera Utara 4. Program Pemindahan Kredit.

Program pemindahan kredit dilakukan bersama oleh perguruan tinggi di luar negeri dengan perguruan tinggi di Indonesia yang program studinya telah terakreditasi di

Indonesia dan di negara yang bersangkutan. Kerjasama tersebut berupa pengakuan akan kredit yang diperoleh melalui kegiatan akademik pada masing-masing perguruan tinggi.

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa eksistensi pendidikan tinggi asing secara juridis diakui di Indonesia, namun kedudukannya hanya sebatas kerja sama yang bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Dengan perkataan lain, penyelenggaraan pendidikan asing tersebut tidak dilakukan oleh PTA secara mandiri, tetapi secara bersama-sama dengan perguruan tinggi Indonesia dan berada dalam ruang lingkup SPN. Hal ini berarti bahwa Monash University, misalnya, tidak dapat membuka kampus cabang di Indonesia, tetapi dapat menjalin kerja sama dengan Universitas

Sumatera Utara, misalnya, dalam menyelenggarakan salah bentuk kerja sama seperti disampaikan diatas.

Kedudukan yang demikian berbeda dengan di Malaysia, dan beberapa negara lainnya, dimana pendidikan tinggi asing dapat diselenggarakan oleh PTA walaupun tetap bekerja sama dengan perguruan tinggi dalam negeri. Misalnya, Monash University membuka cabang di Malaysia (offshore campus) dengan kerja sama dengan Sunway

University College dan beroperasi secara instutusional melalui pembukaan perguruan

Universitas Sumatera Utara tinggi cabang, walaupun tetap ada persyataran untuk melakukannya dalam bentuk kerja sama. 203

C. Tujuan dan manfaat

Salah satu permasalahan pendidikan tinggi di Indonesia adalah mutu yang masih rendah dibandingkan dengan mutu pendidikan tinggi di mancanegara. Bahkan di kawasan Asia, mutu perguruan tinggi Indonesia berada pada peringkat 15 persen terendah dari 77 perguruan tinggi. Pada tingkat ASEAN, perguruan tinggi Indonesia hanya berada pada ranking 11. Keadaan pendidikan tinggi Indonesia yang demikian membuat banyak mahasiswa Indonesia yang harus pergi keluar negeri mendapatkan pendidikan tinggi yang bermutu sehingga modal pembangunan sumber daya manusia yang mengalir ke luar negeri cukup besar, lebih dari Rp. 10 trilyun. 204

Saat ini, jumlah pelajar Indonesia di luar negeri mencapai lebih dari 50 ribu orang.

Di Malaysia sendiri, pelajar Indonesia mencapai 14 ribu orang 205 . Menurut data pendidikan global UNESCO 2011, Australia berada di peringkat teratas sebagai negara tujuan pendidikan mahasiswa Indonesia dengan jumlah 10.205 orang, Amerika Serikat

7.386 orang, Malaysia 7.325 orang, Jepang 1.788 orang , dan Jerman 1.546.206

203 Monash University yang bekerja sama dengan College (Malaysia) merupakan perguruan tinggi asing pertama yang berdiri di Malaysia pada tahun 1998 atas undangan Pemerintah Malaysia. Tahun pertama mahasiswa yang mendaftar pada kampus cabang tersebut 261 orang dan sekarang telah berkembang dengan pesat. (Diakses dari http://en.wikipedia.org/wiki/ Monash_University_Malaysia_Campus pada tanggal 10 Desember 2012 204 Sofyan Effendi. Capital Flight” dan Pendidikan Tinggi. Diakses dari http://sofian.staff.ugm. ac.id/artikel/Capital-Flight-PT.pdf pada tanggal 14 September 2012 205 Bahas Soal Bangsa, Pelajar Indonesia dari 40 Negara Berkumpul di Malaysia Diakses dari http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/berita-pendidikan/12/02/01/lyocn7-bahas-soal-bangsa- pelajar-indonesia-dari-40-negara-berkumpul-di-malaysia pada tanggal 15 September 2012 206 Jerman Negara Favorit Mahasiswa Indonesia Diakses dari http://edukasi.kompas.com/read /2012/03/29/10552426/Jerman.Negara.Favorit.Mahasiswa.Indonesia pada tanggal 15 September 2012

Universitas Sumatera Utara Pemerintah sendiri sejak tahun 2010 hingga 2012 menyediakan pagu anggaran di

APBN dan APBN-P untuk beasiswa S2 dan S3 yang jumlahnya bervariasi. Tahun 2010, anggaran yang diplot baru Rp 1 triliun. Tahun 2011 meningkat menjadi Rp

2.617.700.000.000. Kemudian, tahun 2012 diplot lagi Rp 7 triliun, sehingga totalnya mencapai Rp 10.617.700.000.000.207

Dalam rangka pengembangan kapasitas perguruan tinggi di Indonesia, Pemerintah telah mengeluarkan investasi yang sangat besar dimana dana tersebut diperoleh melalui pinjaman luar negeri antara lain :208

1. Proyek pengambangan staff dan sarana perguruan tinggi sebesar US $ 102,1 juta

2. Proyek pengembangan 6 universitas sebesar US$ 106 juta

3. Proyek pengembangan 11 lembaga pendidikan tinggi tinggi sebesar US$ 235 juta

4. Proyek peningkatan kualitas perguruan tinggi sebesar US$ 109,1

Keikutsertaan Indonesia dalam kancah liberalisasi perdagangan jasa

(WTO/GATS) bertujuan untuk meningkatkan, memperluas, memantapkan dan mengamankan pasar bagi segala produk baik barang maupun jasa serta meningkatkan kemampuan daya saing terutama dalam perdagangan internasional guna mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagaimana dinyatakan di dalam konsideran UU No.7 tahun 1994. Dengan demikian, liberalisasi

207 Kemenkeu Sediakan Rp 10,6 T untuk Beasiswa S2 dan S3. Diakses dari http://aceh. tribunnews.com/2012/08/11/kemenkeu-sediakan-rp-106-t-untuk-beasiswa-s2-dan-s3 pada tanggal 10 Nopember 2012 208 Eric Wibison. Tinjauan Atas Paradigma Kualitas dalam Pendidikan Tinggi Indonesia Diakses dari http://repository.ubaya.ac.id/19/1/Unitas_06_eric.pdf pada tanggal 2 Agustus 2012

Universitas Sumatera Utara pendidikan tinggi yang di dalam kerangka WTO/GATS harus juga dipahami sebagai upaya meningkatkan, memperluas, memantapkan dan mengamankan pasar pendidikan tinggi Indonesia serta meningkatkan kemampuan daya saing perguruan tinggi Indonesia.

Menurut Ali Chaeruddin kehadiran lembaga pendidikan asing Indonesia dapat : 209

1. Mengurangi pelarian devisa (capital flight), 2. Menambah pendapatan negara yang berasal dari pajak penghasilan orang asing yang bekerja atau mengajar di Indonesia, 3. Menambah jumlah asset negara dibidang pendidikan, karena bangunan, saranan dan prasaranan sekolah dibangun oleh pihak asing, 4. Kualitas pengajar dan perguruan tinggi asing yang diajukan merupakan unggulan dinegaranya masing-masing.

Zulkarnaen Sitompul berpendapat bahwa kehadiran pendidikan tinggi asing di

Indonesia akan memberi kesempatanan bagi mahasiswa Indonesia untuk mendapatkan pengalaman intenasional serta dapat mempercepat alih pengetahuan dan teknologi.210

Michael Spence mengatakan bahwa selain mencari pengalaman internasional, para pelajar internasional tersebut juga mencari kualitas pendidikan dunia. 211

Pengalaman negara-negara lain juga menunjukkan bahwa cross border education telah memberi manfaat di bidang ekonomi dan pendidikan tinggi dalam negeri. Aleš Vlk di dalam disertasinya mengatakan bahwa :” students gain many advantages from studying in other countries, such as cultural enrichment, improved language skills, more

209 Ali Chaeruddin. Dampak beroperasinya Lembaga pendidikan tinggi asing di Indonesia, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No, 074 tahun ke-14, September 2008 210 Zulkarnaen Sitompul. Liberalisasi Pendidikan:Kita Perlu Ikut? Diakses dari http://zulsitom pul.files.Wordpress.com/2007/06/untung-rugi-kehadiran-perguruan-tinggi-asing _artikel.pdf pada tanggal 12 Mei 2012 211 Mendorong Pelajar Australia Kuliah di Indonesia. Diakses dari http://kampus.okezone.com /read/2012/ 05/14/373/629302/mendorong-pelajar-australia-kuliah-di-indonesia pada tanggal 2 Juli 2012

Universitas Sumatera Utara prestigious degrees, etc “212 Demikian juga yang disampaikan oleh Higher Education

Strategy Group bahwa 213:

The presence of overseas students gives an international flavour to a campus, and it creates a dynamic in which domestic and overseas students can learn from and stimulate one another and mutually enrich their learning experience. Irish students can benefit from exposure to other cultures, from the improved curricula resulting from greater interaction between Irish academics and their international peers, and from better opportunities to study abroad themselves.

Lebih lanjut dikatakan bahwa internasionalisasi pendidikan tinggi di Irlandia bertujuan untuk: 214

1. Attracting more international students into Ireland; 2. Making it easier for Irish staff and students to study and to engage in research work abroad; 3. Making Ireland an attractive destination for talented overseas faculty; 4. Establishing more collaborative institutional and research links; 5. Internationalising curricula; 6. Further developing Irish involvement in trans-national education (delivering Irish academic programmes overseas and establishing Irish-linked institutions outside of Ireland); and 7. Contributing to overseas developmentand participating in EU programmes and multilateral initiatives such as the Bologna process.

Peningkatan mobilitas program dan penyedia jasa pendidikan dalam dua dekade terakhir ini telah memberi peluang yang berbeda-beda bagi bagi negara pengirim dan

212 Aleš Vlk . Higher Education and GATS. Regulatory Consequences And Stakeholders’ Responses. Desertasi. University of Twente.2006. Hal 30 213 Higher Education Strategy Group .National Strategy for Higher Education to 2030. Report of the Strategy Group January 2011. (Department of Education and Skills. Ireland.2011). Hal 81 214 Higher Education Strategy Group.Ibid.

Universitas Sumatera Utara penerima, negara berkembang dan negara maju, mahasiswa, lembaga pendidikan,

perusahaan, yaitu : 215

1. Peningkatan akses pendidikan tinggi 2. Aliansi strategis antara negara-negara dan regional 3. Produksi dan pertukaran pengetahuan baru 4. Pergerakan alumni dan para profesional 5. Pembangunan capasitas (capacity buiding) institusi dan sumber daya manusia, 6. Peningkatan pendapatan 7. Peningkatan kualitas akademik 8. Peningkatan saling kesepahaman

Jane Knight menggambarkan alasan dan dampak dari Cross border education dari

bebagai perpektif .

Tabel 7. Perbedaan Alasan dan Dampak Pendidikan Lintas Negara

Rationales Institution/Provider Enrolled Students in Institution/Provider in and in Source/Sending Home/Receiving Country Home/Receiving Country Impact Country

Increased • Ability to gain foreign • Relationship with foreign Access/Supply qualification without leaving • Attracted to unmet need provider can be one of in Home home. for higher education and competition, collaboration Country • Can continue to meet family training. or co-existence. and work commitments. • Less expensive to take foreign • Strong imperative to • If tuition or service charges program at home, as no travel generate a profit for are applied by local higher Cost/Income or accommodation costs. crossborder operations. education institutions, it is • Tuition fees from quality Fees could be high for anticipated that they would foreign providers may be high receiving country be lower than those charged for majority of tudents. students. by foreign providers. • Increased access to courses/ • Tendency to offer high • Local higher education programs in high demand by demand courses that institutions have to offer Selection labour market (e.g., Business, require little infrastructure broad selection of courses of Courses/ IT, Communications). or investment. regardless of whether they Programs have high/low enrolments and/or have major lab or equipment requirements. Language/ • Can have access to courses in • Language of instruction • Courses are usually offered Cultural and foreign and/or indigenous and relevance of in national language (or

215 Jane Knight. Higher Education Crossing Borders: A Guide to the Implications of the General Agreement on Trade in Services (GATS) for Cross-border Education. A Report Prepared for the Commonwealth of Learning and UNESCO. (Unesco.2006.) Hal 65

Universitas Sumatera Utara Safety language. Students remain in curriculum to host country languages). Aspects familiar cultural and linguistic are key issues. environment. • If foreign language is used • Students today have stronger for delivery, then concerns about travel-related additional academic and safety and security. linguistic support may be needed. • Can be exposed to higher or • Depending on delivery • Presence of foreign lower quality course provision. mode quality may be at providers may be a catalyst Quality • National policies are required to risk. Assurance of relevant for innovation and register and qualityassure and high quality courses improvement of quality in foreign providers. may require significant courses, management and investment. governance. • Foreign qualification has to be • May be difficult for • Recognized home providers Recognition recognized for academic and academic award and for have an advantage and are of employment purposes. institution to be often attractive to foreign Qualification recognized providers for their award granting powers. • Because of massive marketing • Profile and visibility are • Home (domestic) providers campaigns, international profile needed to attain high are challenged to distinguish Reputation is often mistakenly equated enrolments and strategic between those providers and Profile with quality of provider/program. alliances. with high/low profile and high/low quality. Sumber : Jane Knight (Unesco.2006)

Tatjana Takševa Chorney juga mengatakan bahwa liberalisasi pendidikan tinggi

memberi dampak positif. Dikatakan “Some aspects of these changes can be seen as

positive opportunities for higher education as they have resulted in greater access

opportunities for many students, an “increasingly international and mobile academic

profession” and the establishing of “global research networks. 216

Pasal 90 Ayat (5) UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menyatakan

bahwa PTA wajib mendukung kepentingan nasional. Dengan demikian

internasionalisasi 217 pendidikan tinggi di Indonesia bertujuan untuk mendorong

216 Tatjana Takševa Chorney. The Commercialization of Higher Education as a Threat to the Values of Ethical Citizenship. Diakses dari http://journals.ufv.ca/rr/RR21/article-PDFs/chorney.pdf pada tanggal 23 Mei 2012 217 Dalam konteks pendidikan tinggi, istilah internasonalisasi dan globalisasi merupakan 2 istilah yang berbeda. Van Vught, Van der Wende, and Westerheijden sebagaimana dikutip oleh Jandhyala B.G. Tilak mengatakan bahwa pengertian internasionalisasi lebih dekat pada tradisi kerja sama dan mobilitas

Universitas Sumatera Utara peningkatan kualitas pendidikan tinggi domestik. Senada dengan amanat Pasal 90 Ayat

(5) diatas, Jane Knight mengatakan bahwa tujuan prinsip fundamental dari internasionalisasi pendidikan tinggi adalah untuk melengkapi dan memperluas dimensi pendidikan tinggi tinggi lokal. “The attention now given to the international dimension of higher education should not overshadow or erode the importance of local context.

Thus, internationalization is intended to complement, harmonize, and extend the local dimension—not to dominate it.218 Akhmaloka juga mengakui bahwa kehadiran PTA di

Indonesia bisa memotivasi perguruan tinggi dalam negeri meningkatkan kapasitas dan kualitasnya, namun diingatkan agar Pemerintah dalam mengijinkan masuknya PTA asing di Indonesia harus mempertimbangkan waktu yang tepat..219

Dengen penjelasan di atas data disimpulkan bahwa tujuan dan manfaat kehadiran pendidikan asing di Indonesia antara lain :

a. Mengurangi capital flight ke luar negeri

b. Memperoleh devisa dari mahasiswa asing yang belajar di Indonesia

c. Merangsang peningkatan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia

internasional, sementara globalisasi lebih mengarah pada persaingan dan pemaksaan perubahan konsep pendidikan tinggi menjadi komoditas. Baca: Jandhyala B.G. Tilak dan terhadap . Trade in higher education: The role of the General Agreement on Trade in Services (GATS). UNESCO: International Institute for Educational Planning. Paris 2011. Hal. 20 Jane Night mengatakan bahwa internasionalisasi (Unesco) bertujuan untuk non profit, sementara di dalam GATS untuk liberalisasi pasar. Baca : Zeynep Varoglu. Trade in Higher Education and GATS Basics. First Global Forum On International Quality Assurance, Accreditation And The Recognition Of Qualifications In Higher Education “Globalization And Higher Education”.UNESCO. Paris. 17 - 18 october 2002 218 Jane Knight. Five Truths about Internationalization. International Higher Education. Number 69: Fall 2012. The Boston College Center for International Higher Education. Diunduh dari http://www.bc. edu /content/dam/files/research_sites/cihe/pdf/IHEpdfs/ihe69.pdf 219 Perguruan Tinggi Asing Bisa Berdiri di Indonesia. Diakses dari http://edukasi.kompas.com/ read/2011/10/16/17041775/Perguruan.Tinggi.Asing.Bisa.Berdiri.di.Indonesia pada tanggal 15 Agustus 2012

Universitas Sumatera Utara d. Mendorong peningkatan kapasitas pengelolaan perguruan tinggi

e. Memenuhi hak konstitusional warna negara untuk mendapatkan pendidikan

tinggi yang bermutu.

f. Memberikan pengalaman dan pendidikan tinggi yang bertaraf internasional

kepada warga Negara.

g. Memberikan lebih banyak pilihan pendidikan tinggi kepada warga negara

Dari penjelasan di atas maka sangat jelas bahwa eksistensi pendidikan tinggi asing diakui oleh aturan perudang-undangan pendidikan tinggi di Indonesia, namun bukan sebagai bagian dari liberalisasi pendidikan tinggi sebagaimana konsep GATS, tetapi sebagai bagian dari SPN. Dengan perkataan lain bahwa penyelenggaraan pendidikan asing di Indonesia harus tetap mengacu pada sistim, prinsip dan tujuan penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagaimana diatur di dalam UU No. 20 tahun 2003 dan UU No. 12 tahun 2012. Hal ini berarti bahwa penyelenggaraan pendidikan asing dengan cara mendirikan PTA di Indonesia (Commercial Presence) tidak dapat dilakukan.

Namun demikian, melihat kecenderungan praktik penyelenggaraan pendidikan tinggi pada era globalisasi ini, dan juga didorong oleh perilaku atau budaya masyaalat

Internasional termasuk Indonesia serta manfaat dari kehadiran PTA di suatu negara baik melalui frenchise, branch campuss dan bentuk lainnya, Indonesia sebaiknya membuka akses masuknya investor asing untuk mendirikan PTA di Indonesia (commercial presence).

Pendirian PTA di Indonesia tidak melanggar konstitusi sepanjang hal tersebut berada di luar SPN. Bahkan hal tersebut secara konstitusional merupakan perwujudan

Universitas Sumatera Utara dari amanat Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 yang menjamin bahwa setiap orang berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia” dan Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan setiap orang bebas memilih pendidikan dan pengajaran. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut, diperlukan undang-undang yang mengaturnya.

Universitas Sumatera Utara BAB IV

DAMPAK GATS TERHADAP PENGATURAN PENDIDIKAN TINGGI DI

INDONESIA

A. Aspek Hukum GATS

1. Sejarah GATS

Untuk memahami GATS harus dimulai dari memahami organisasi yang menaunginya yaitu WTO. Dilihat dari sejarahnya, kehadiran WTO berawal dari kegagalan negara-negara di dunia dalam membentuk satu organisasi perdagangan dunia yang diusulkan oleh Amerika Serikat dan Inggeris setelah perang dunia II. Pada saat itu, kedua negara tersebut mengajukan proposal kepada PBB melalui Dewan Ekonomi dan

Sosial (ECOSOC) untuk membentuk satu badan perdagangan internasional yang akan dinamai International Trade Organization (ITO). Untuk merespon usul tersebut, pada

Pebruari 1946 dibentuk komite persiapan (Preparatory Committee) yang kemudian mengadakan perundingan untuk pertama kali di London pada Okotober 1946 yaitu The

United Nations Conference On Trade And Employment. Pada waktu yang bersamaan, dilangsungkan perundingan mengenai Persetujuan Umum mengenai Tarif dan

Perdagangan (GATT) di Jenewa yang berhasil mencapai kesepakatan pada 30 Oktober

1947 dengan ditandatanganinya Protocol of Provisional Application of the General

Agreement on Tariffs and Trade. Berlangsungnya kedua kegiatan tersebut secara simultan menunjukkan besarnya niat negara-negara peserta untuk segera dapat

Universitas Sumatera Utara mempunyai satu perjanjian internasional untuk dapat meningkatkan perdagangan dunia yang lebih bebas. GATT direncanakan akan dimasukkan menjadi bagian dari TO. 220

Perundingan yang berlangsung di Havana pada Maret 1948 berhasil menyepakati pembentukan ITO dengan disepakatinya ITO Charter/ Havana Charter. Namun demikian, pembentukan ITO tersebut diyakini tidak akan pernah terwujud setelah

Presiden AS, Truman, pada tanggal 6 Desember 1950 menyatakan tidak akan mengajukan lagi piagam tersebut ke Kongres untuk diratifikasi. 221

Dengan gagalnya ITO terbentuk, GATT yang hanya merupakan perjanjian internasional, bukan organisasi, menjadi satu-satunya instrument perdagangan internasional. Dengan status yang demikian, sampai tahun 1994, GATT telah menyelenggarakan beberapa perundingan dengan agenda yang berbeda dan menghasilkan beberapa kesepakatan penting dalam meningkatkan perdagangan dunia.

Dengan demikian, secara de facto GATT telah berfungsi sebagai organisasi.222

Tabel 8. Daftar Perundingan GATT

Name Start Duration Countries Subjects Covered Geneva April 1946 7 months 23 Tariffs Annecy April 1949 5 months 13 Tariffs Torquay September 1950 8 months 38 Tariffs Geneva II January 1956 5 months 26 Tariffs, admission of Japan Dillon September 1960 11 months 26 Tariffs Kennedy May 1964 37 months 62 Tariffs, Anti-dumping

220 Karena GATT ini direncanakan akan menjadi bagian dari ITO Charter, maka pengaturan tentang struktur kelembagaan di dalam GATT tidak diatur secara maksimal; dengan pengertian bahwa struktur kelembagaan telah diatur di dalam ITO. 221 The roots of the WTO. Diakses dari http://www2.econ.iastate.edu/classes/econ355/choi/ wtoroots.htm. Tanggal 12 Januari 2013 222 . E.B. Williams Library. From GATT to WTO. Diunduh dari http://www.ll.georgetown.edu/ intl/guides/gattwto/print.html pada tanggal 20 Oktober 2012

Universitas Sumatera Utara Tariffs, non-tariff measures, Tokyo September 1973 74 months 102 "framework" agreements Tariffs, non-tariff measures, rules, services, intellectual Uruguay September 1986 87 months 123 property, dispute settlement, textiles, agriculture, creation of WTO, etc Tariffs, non-tariff measures, agriculture, labor standards, Doha November 2001 ? 141 environment, competition, investment, transparency, patents etc Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/General_Agreement_on_Tariffs_and_Trade

Hasil kesepakatan yang dicapai pada perundingan Putaran Uruguay (1986-1994) ini yang disebut dengan Marrekash Agreement telah berhasil membentuk satu organisasi internasional yang akan menangani perdagangan dunia yang disebut dengan World

Trade Organization (WTO).223

Article II.4 Agreement Establishing The World Trade Organization menyebutkan bahwa GATT yang disepakati pada tahun 1947 secara hukum berbeda dengan GATT yang disepakati pada perundingan Uruguay Round tahun 1994. Dengan demikian GATT

1947 telah digantikan oleh WTO dan GATT 1994 menjadi satu bagian dari WTO berdampingan dengan GATS dan TRIMS. WTO secara efektif berlaku sejak tanggal 1

Januari 1995.

Dengan terbentuknya WTO, maka organisasi ini menjadi tempat bagi negara- negara anggota untuk mendiskusikan perdagangan internasional dan mengawasi penyelenggaraan atau implementasi segala perjanjian yang disepakati dalam putaran

Uruguay 224.

223 Article I Agreement Establishing The World Trade Organization 224 Susan Ariel Aaronson. Historical Roots of GATT and the Failure of the ITO. Diakses dari http://eh.net/encyclo pedia/article/aaronson.gatt tanggal 20 Okotober 2012

Universitas Sumatera Utara WTO merupakan organisasi yang demokratis karena dijalankan sepenuhnya oleh semua negara anggota; tidak ada executive board sebagaimana halnya pada IMF dan

World Bank, dan segala keputusan didiambil oleh keseluruhan negara anggota secara konsensus baik melalui pertemuan tingkat menteri (MC) maupun oleh para duta besar atau delegasi yang bertemu secara rutin di Jenewa.225 Jika dalam mengambil keputusan konsesus tidak tercapai, pengambilan keputusan akan dilakukan dengan voting dengan sistem satu negara satu suara . 226

Organ tertinggi di dalam WTO adalah Ministerial Conference (MC) atau

Konferensi Tingkat Menteri yang terdiri dari wakil dari semua negara anggota yang secara rutin mengadakan pertemuan setidaknya 1 kali dalam 2 tahun. Organ di bawah

MC adalah General Council (GC) yang didukung oleh 2 badan pendukung yakni Dispute Settlement Body (Badan Penyelesaian Sengketa) dan Trade Policy

Review Body (Badan Pengkajian Kebijakan Perdagangan). Untuk mendukung kinerjanya, GC membawahi 3 badan yaitu CTG, CTS, Council For Trade Related

Aspects of Intellectual Property Rights (Council For TRIPs).

CTG adalah badan yang menangani masalah perdagangan barang. Badan ini membawahi berbagai komite ditambah kelompok kerja (working group). Komite-komite yang berada di bawah CTG adalah Komite yang menyangkut masalah Market Access,

Agriculture, Sanitary and Phytosanitary, Rules of Origin, Subsidies and Countervailing

Pada konteks yang berbeda, WTO dapat juga disebut memepertahankan hambatan perdagangan guna melindungi konsumen, mencegah penyebaran penyakit, atau melindungi lingkungan melalui melalui aturan-aturan yang akan membatas perdagangan yang dimaksud. Baca : http://www.wto.org/english/ thewtoe/whatis_e/tif_e/tif_e.htm diakses tanggal 10 Desember 2012 225 Whose WTO is it anyway? Diakses dari http://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/ tif_e/org1_ e.htm#ministerial. tanggal 10 Juli 2012 226 Article IX Marrakesh Agreement Establishing The World Trade Organization

Universitas Sumatera Utara measures, Custom Valuation, Technical Barriers toTrade, Anti-dumping Practices,

Import Licensing, dan Safeguard . CTS yaitu badan yang menangani masalah perdagangan jasa yang membawahi satu komite yaitu Committee Trade in Financial

Services ditambah dengan satu kelompok kerja (working party ) di bidang jasa profesional (professional services). Council For TRIPs adalah badan yang menangani masalah perdagangan yang berkaitan dengan masalah penggunaan hak kekayaan intelektual.

WTO juga mempunyai Komite Plurilateral yang mengatur kesepakatan khusus diantara beberapa anggota WTO saja. Keputusan dari Komite Plurilateral ini hanya mengikat kepada negara yang menandatangani kesepakatan tersebut. Komite Plurilateral diwajibkan untuk menginformasikan aktivitas dan keputusan mereka kepada General

Council maupun badan di bawahnya.

Untuk mendukung peran WTO, dibentuk satu sekretariat yang berkedudukan di

Jenewa dan dipimpin oleh seorang Direktur Jenderal yang diangkat oleh MC dengan tugas utama antara lain:

a. Menyediakan bantuan teknis dan profesional kepada badan-badan yang berada

di dalam struktur WTO.

b. Memberikan bantuan teknis untuk negara berkembang.

c. Mengawasi dan menganalisis perkembangan perdagangan dunia.

d. Menyediakan informasi kepada publik dan media.

e. Memberikan bantuan hukum dalam proses penyelesaian sengketa.

Universitas Sumatera Utara f. Memberikan saran kepada pemerintah yang ingin bergabung menjadi anggota

WTO.

g. Menyelenggarakan Konferensi Tingkat Menteri (MC).

Hingga saat ini, MC telah dilaksanakan selama 7 kali di berbagai Negara. MC I

diselenggarakan di Singapura (1996), MC II di Jenewa (1998), MC III di Seattle

(1999), MC IV di (2001) MC V di Cancun, Meksiko (2003), MC VI di Hongkong

(2005), MC VII dan VIII dilaksanakan di Geneva masing masing (2009, 2011) dan MC

IX akan dilakasanakan di Bali,Indonesia (Desember 2013).

WTO sebagaimana dinyatakan dalam preambulenya berfungsi untuk : 227

1. The WTO shall facilitate the implementation, administration and operation, and further the objectives, of this Agreement and of the Multilateral Trade Agreements, and shall also provide the framework for the implementation, administration and operation of the Plurilateral Trade Agreements. 2. The WTO shall provide the forum for negotiations among its Members concerning their multilateral trade relations in matters dealt with under the agreements in the Annexes to this Agreement. The WTO may also provide a forum for further negotiations among its Members concerning their multilateral trade relations, and a framework for the mplementation of the results of such negotiations, as may be decided by the Ministerial Conference. 3. The WTO shall administer the Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes. 4. The WTO shall administer the Trade Policy Review Mechanism. 5. With a view to achieving greater coherence in global economic policy- making, the WTO shall cooperate, as appropriate, with the International Monetary Fund and with the International Bank for Reconstruction and Development and its affiliated agencies

Posisi GATS di dalam WTO dapat dilihat pada struktur organisasi WTO dibawah ini.

227 Article III. Marrakesh Agreement Establishing the World Trade Organization.

Universitas Sumatera Utara

2. Latar Belakang dan Tujuan GATS

GATS dibentuk untuk merespon pertumbuhan ekonomi yang pesat 30 tahun terakhir khususnya di bidang jasa dan untuk memanfaatkan potensi dari revolusi komunikasi yang melanda dunia. 228 Kontribusi sektor jasa pada GDP dan lapangan kerja cenderung meningkat, termasuk di negara-negara miskin. Pada tahun 2001, sektor jasa mencapai 45% dari GDP di negara-negara yang berpendapatan rendah, 57% di negara-negara berpendapatan sedang dan 71% di negara-negara berpendapatan tinggi.

228 WTO. Services: Rules For Growth And Investment. Diakses dari http://www.wto.org/ english/thewto_e/ whatis_e/tif_e/agrm6_e.htm pada tanggal 27 September 2012

Universitas Sumatera Utara Dalam dua dekade terakhir, aktivitas perdagangan jasa di negara-negara berpendapatan rendah dan sedang juga mengalami ekspansi.229

Table 9: Kontribusi Eksport Jasa Berdasarkan kelompok Pendapatan

1990 1996 2002 Low & Middle income countries 16,0 20,0 23,5 High income countries 84,0 80,0 76,5 Memo item: OECD high income 75,3 70,2 73,6 Sumber : Juan A. Marchetti. Developing Countries in the WTO Service Negotiation.2012

Sekretariat WTO juga melaporkan bahwa pertumbuhan jasa komersial rata-rata

8% pertahun setelah peridoe 1990-1997, sementara pertumbuhan perdagangan barang hanya 7% pada periode yang sama.230 Angka-angka di atas menunjukkan bahwa sektor jasa memberi kontribusi secara siginifikan pada perdagangan internasional.

Disepakatinya GATS didorong oleh adanya persamaan persepsi semua negara anggota WTO bahwa 1). perdagangan jasa semakin penting bagi pertumbuhan ekonomi dunia, 2) perlunya prinsip-prinsip dan aturan multilateral yang transparan dalam rangka memperluas perdagangan jasa secara berkelanjutan sebagai alat mempromosikan pertumbuhan ekonomi negara-negara anggota dan pengembangan negara-negara sedang berkembang, 3). Liberalisasi perdagangan perlu ditingkatan secara progressif melalui perundingan-perundingan multilateral sebagai upaya mempromosikan kepentingan serta menjaga kesimbangan hak dan kewajiban semua negara anggota, serta menghormati

229 Juan A. Marchetti. Developping Countries in the WTO Service Negotiation. Staff Working Paper ERSD-2004-06. Diunduh dari http://www.wto.org/english/res_e/reser_e/ersd200406_e.htm pada tanggal 5 Mei 2012 230 Susan L. Robertson. Globalisation, GATS and Trading in Education Services. Centre for Globalisation, Education and Societies University of Bristol, UK.2006. On-Line Paper. Diakses dari http://www.bris.ac.uk/education/research/centres/ges/publikations/04slr.pdf

Universitas Sumatera Utara tujuan nasional negara anggota (national policy objective), 4). masing-masing negara- anggota mempunyai otoritas dalam mengatur serta memberlakukan aturan baru atas penyediaan jasa di wilayahnya sendiri guna memenuhi tujuan nasionalnya, serta mengakui adanya kesenjangan kemampuan dalam hal pengaturan jasa di negara-negara anggota , dan 5) perlunya negara-negara sedang berkembang difasilitasi dalam memperluas ekspor jasa mereka termasuk melalui penguatan kapasitas, efisiensi dan daya saing jasa domestiknya,dan 6) perlu dipertimbangkan kesulitan negara negera tertinggal dalam bidang ekonomi dan kebutuhan pembangunan, perdagangan dan keuangan.231

Geza Feketekuty mengatakan industri jasa merupakan jantungnya revolusi ekonomi baru. Dikatakan :

Services are at the heart of the new economic revolution, since they drive economic activities based on the new production paradigm. No country can be successful in its effort to adapt new technologies to its own needs, or to link itself to the broader global economy, without establishing the basis for a thriving, productive, and innovative services industry.232

Dari pemaparan diatas maka GATS merupakan satu upaya negara-negara di dunia untuk merespon pesatnya perkembangan industri jasa sekaligus memanfaatkan revolusi dalam bidang teknologi informasi. Ketiadaan aturan multilateral dalam pelaksanaan perdagangan jasa yang demikian pesat dan kompleks dapat menimbulkan permasalahan- permasalahan yang dapat merugikan perekonomian masing-masing negara anggota dan

231 Preambule GATS 232 Geza Feketekuty. Regulatory Reform and Trade Liberalization in Services. Diunduh dari http://www.commercialdiplomacy.org/articles_news/reg_reform_trade.htm pada tanggal 4 September 2012

Universitas Sumatera Utara perekonomian dunia karena masing-masing negara anggota akan membuat aturannya masing-masing dalam rangka melindungi kepentingan nasionalnya. Dalam situasi yang demikian maka potensi terjadinya kekacauan di bidang perdagangan dunia menjadi sangat besar. Hal lain adalah negara-negara sedang berkembang atau negara-negara yang tergolong tertinggal akan menjadi objek tekanan dari negara-negara maju. Dengan adanya GATS dengan segala aturan dan prinsipnya dapat lebih menjamin keseimbangan di antara negara-negara anggota.

GATS memiliki tujuan yang sama dengan GATT, yaitu untuk : 233

1. Menciptakan sistem dan aturan perdagangan internasional yang kredibel

2. Memastikan terciptanya perlakuan yang adil dan berimbang dari semua Negara

anggota melalui prinsip non diskriminasi.

3. Merangsang pertumbuhan aktivitas ekonomi

4. Mendorong perkembangan perdagangan melalui liberalisasi yang bertahap

Tujuan-tujuan tersebut di atas hanya dapat tercipta jika masing-masing negara melakukan upaya penghapusan hambatan-hambatan (barriers) dalam perdagangan jasa tersebut dan peningkatkan transparansi dalam pembuatan aturan di bidang perdagangan jasa tersebut. 234 Untuk tujuan tersebut, maka WTO/GATS menetapkan ketentuan- ketentuan berupa diciplines and rules yang harus dipatuhi oleh semua negara anggota.

233 The General Agreement on Trade in Services (GATS): objectives, coverage and disciplines. Diakses dari http://www.wto.org/english/tratop_e/serv_e/gatsqa_e.htm pada tanggal 10 Agustus 2012 234 World Trade Organization. Op.Cit. Hal 3

Universitas Sumatera Utara 3. Defenisi dan Ruang Lingkup GATS

GATS tidak memberikan defenisi yang jelas tentang pengertian jasa. Di dalam bab

I tentang Scope and Defenition, di dalam Article I.1.dinyatakan bahwa segala ketentuan yang terdapat di dalam GATS berlaku untuk semua kebijakan atau langkah-langkah, atau peraturan (measures) 235 yang dibuat oleh negara-negara anggota yang mana hal tersebut dapat mempengaruhi perdagangan jasa. Di dalam Article I.2, hanya dijelaskan bahwa perdagangan jasa adalah :

1. Penyediaan jasa dari satu negara ke negara lain (mode 1),

2. Penyediaan jasa kepada konsumen di dalam suatu negara dari negara lain

(mode 2)

3. Penyediaan jasa di dalam satu negara oleh penyedia jasa dari negara lain

melalui kehadiran lembaga penyedia jasa asing tersebut secara langsung (mode

3),dan

4. Penyediaan jasa di dalam satu negara oleh seseorang dari negara lain yang

hadir secara langsung (mode 4, ).

Hampir semua jasa di dunia merupakan objek perdagangan di dalam GATS, kecuali jasa yang penyediaannya ada pada otoritas negara (governmenatl authority)236 dan traffic right 237 . Jasa yang merupakan governmenatl authority didefenisikan sebagai " any service which is supplied neither on a commercial basis, nor in

235 Article I.3 (a) GATS . Measures yang dimaksud adalah setiap keputusan atau langkah-langkah yang diambil oleh Pemerintah, Pemerintah daerah, bahkan lembaga nonpemerintah yang yang melaksanakan tugas kepemerintahan, baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan, prosedur, keputusan, atau tindakan administratif 236 Article I.3 (b) GATS 237 Paragraph 2 Annex On Air Transport Services

Universitas Sumatera Utara competition with one or more service.“ Artinya jika suatu jasa tertentu merupakan kewajiban Pemerintah dalam pengadaannya dan dalam pengadaan jasa tersebut tidak terjadi persaingan, maka jasa yang dimaksud tidak termasuk dalam ruang lingkup

GATS. 238

Penggunaan kata “any”pada prase “any service” atas jasa yang dikecualikan di atas menunjukkan bahwa pembatasan jasa tidak didasarkan pada jenis jasa tertentu

(what), misalnya jasa pendidikan, jasa keamanan, jasa spa, atau jasa konsultan tetapi pada sifat penyediaan nya (how), sehingga untuk mengetahui jasa yang masuk dalam cakupan GATS tidak dapat diketahui dengan menggunakan pertanyaan what is the service, tetapi how is the service provided. Hal ini merupakan satu kelemahan dalam

GATS karena sifat penyediaan jasa tertentu di masing-masing negara berbeda. Di Eropa misalnya kesehatan lazimnya masuk dalam layanan publik, namun di Amerika Serikat kesehatan umumnya berbasis swasta.239 Dari contoh diatas, kesehatan tidak dapat serta merta masuk atau tidak masuk dalam cakupan GATS karena sifat penyediaan jasa tersebut berbeda di kedua negara.

Namun pada sisi lain, WTO telah mengeluarkan services sectoral classification list yang mengelompokkan jasa ke dalam 12 sektor, yaitu Business Services,

Communication Services, Construction and Related Engineering Services,

Distribution Services, Educational Services, Environmental Services, Financial Services,

Health Related and Sosial Services, Tourism and Travel Related Services, Recreational,

Cultural and Sporting Services, Transport Services, dan Other Services. Kedua belas

238 Article I.3 (c) GATS 239 Markus Krajewski. OpCit.

Universitas Sumatera Utara sektor jasa tersebut kemudian dikelompokkan ke dalam subsektor, termasuk 5 subsektor dalam pendidikan yaitu primary education service, secondary education services, higher education services, adult education services and others.240 Dengan cakupan GATS yang demikian luas, maka hampir semua jasa merupakan komoditas yang dapat diperjual belikan di pasar.“Under the GATS, almost everything is conceived as a commodity that can bought and sold on the market...” 241

GATS sebagai perjanjian internasional yang pertama dan satu-satunya yang mengatur perdagangan jasa internasional 242 dianggap sebagai satu prestasi terbesar dalam sejarah kerja sama perdagangan multilateral 243 dan sebagai tonggak sejarah

(milestones) dalam sejarah sistem perdagangan multilateral. 244 Geza Feketekuty mengatakan “One of the major achievements of the Uruguay Round of Multilateral

Trade Negotiations was the negotiation of the General Agreement on Trade in Services

(GATS), the first comprehensive framework for the global liberalization of trade in services”245

4. Prinsip dan Aturan GATS

240 GATS. document MTN.GNS/W/120Diunduh dari http://www.wto.org/english/tratop_e/serv_e/ mtn_gns_w_120_e.doc tanggal 2 Mei 2012 241 Nellie Munin .Legal Guide to GATS. (The Netherland.Kluwer Law Internastional.2010). Hal. 59 242 World Trade Organization. A Handbook on the GATS Agreement: A WTO Secretariat Publikation.(Cambridge University Presss. 2005). Hal 2 243 Pierre Sauvé,Robert Mitchell Stern. Gats 2000: New Directions in Services Trade Liberalization. .(Washington DC. The Brooking Institution.2000). Hal 112 244 Services Negotiations Under The Gats: Background And Current State Of Play. Diakses dari http:// www.unescap.org/tid/projects/gats10_sop.pdf pada tanggal 13 Agustus 2012 245 Geza Feketekuty. Assessing the WTO General Agreement on Trade in Services And Improving the GATS Architecture. Diakses dari : http://www.commercialdiplomacy.org/articles_ news/brookings .htm pada tanggal 27 September 2012

Universitas Sumatera Utara Upaya peningkatan transparansi dan promosi liberalisasi dilaksanakan melalui penetapan aturan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi seluruh negara anggota WTO yang harus dilaksanakan secara konsisten dan efektif. Patric Law mengatakan agar efektif, GATS harus memberikan menjadi kerangka yang efektif dengan aturan yang transparan, instrument liberalisasi yang dinamis, dan menjadi bagian Sistem penyelesaian sangketa yang efektif. 246 Lebih lanjut dikatakan bahwa GATS hanya dapat ditegakkan jika aturannya jelas dan pemerintah sudah memberikan komitmen pada market access 247

Aturan-aturan dan prinsip yang terdapat di dalam GATS merupakan kewajiban bagi negara anggota, yaitu kewajiban yang bersifat unconditional dan conditional.

Beberapa prinsip dapat digolongkan ke dalam kedua kewajiban tersebut. Misalnya, pada hal tertentu monopoli merupakan bagian dari unconditional obligation, dalam pada situasi yang berbeda merupakan bagian dari conditional obligation.

Unconditional Obligation merupakan kewajiban bagi negara-negara anggota untuk mematuhi prinsip-prinsip atau aturan GATS segera setelah menjadi anggota

(immediately); dengan tidak tergantung pada SC negara tersebut (unconditional) yang terdiri dari MFN treatment, (Article II), transparency (Article III), domestic regulation,

(Article VI:2), monopolies and exclusive providers (Article VIII:1), business practices

(Article IX), dan subsidies (Article XV:2).

246 Pierre Sauvé,dkk.. GATS 2000: New Directions in Services Trade Liberalization. (Washington.DC.The Brooking Institution.2000). Hal 136 247 Ibid.

Universitas Sumatera Utara Conditional obligation adalah kewajiban Negara anggota untuk tunduk pada ketentuan-ketentuan GATS sesuai dengan komitmen yang diberikannya pada specific commitment . Ketentuan-ketentuan yang masuk ke dalam conditional Obligation ini adalah Domestic Regulation, Monopoly, Payment Transfer,

a. MFN Treatment

MFN Treatment diatur di dalam Article II.1 GATS . Prinsip ini mewajibkan negara anggota memberi perlakukan yang sama kepada semua jasa dan penyedia jasa dari luar negeri. Sebagai contoh, jika Indonesia memberi ijin bagi Jepang (service exporter ) untuk membuka perguruan tinggi di Indonesia (service importer), maka ijin yang sama harus diberikan kepada negara lain.

Walaupun prinsip ini berlaku tanpa syarat (apply unconditionally) terhadap semua negara anggota, namun tetap diberikan beberapa pengecualian sebagaimana diatur di dalam Annex On Article II Exemptions 248, yaitu:

1. Negara anggota diperbolehkan menyimpang dari ketentuan sebagaimana diatur

di dalam article II.1(MFN) dalam hal negara yang bersangkutan membuat

pengecualian pada saat berlakunya GATS.

2. Negara anggota yang membuat pengecualian setelah berlakunya GATS dapat

dibenarkan dengan persyataran kepadanya berlaku ketentuan sebagaimana diatur

dalam article IX.3 (business practices)

248 Annex On Article II Exemptions memberikan kesempatan kepada negara anggota untuk tidak menerapkan prinsip MFN Pada awal berlakunya GATS ini, lebih dari 80 negara anggota membuat pengecualian pada sektor road transport, audiovisual services , maritime transport dan banking services. Baca The General Agreement On Trade in Services. An introduction. Dapat diakses dari http://www.wto.org/english tratop_e/serv_e/gsintr_e .doc

Universitas Sumatera Utara

b. Transparency

Prinsip Transparency sebagaimana diatur di dalam Article III GATS bahwa setiap negara anggota dituntut untuk bersifat transparan dengan mempublikasikan semua kebijakan-kebijakan yang dapat mempengaruhi pelaksanaan GATS. Masing-masing negara anggota berkewajiban untuk memberitahukan kepada CTS semua aturan perundang-undangan yang baru atau yang berubah yang dapat mempengaruhi perdagangan sektor yang telah dimasukkan di dalam SC. Ketentuan ini juga mewajibkan setiap negara anggota untuk memberi respon atas setiap permohonan membuka pasar

(request) yang diajukan oleh negara anggota lain. Menyangkut prinsip transparansi ini,

Bismar Nasution berpendapat bahwa program legislasi nasional pada masa depan harus menunjang pada perdagangan dunia yang lebih terbuka agar arus perdagangan dapat berkembang .249

c. Domestic regulation

Domestic regulation diatur di dalam Article VI:2 GATS. Ketentuan ini mengamanatkan setiap negara anggota untuk menyediakan satu mekanisme hukum di dalam negeri (domestic mechanisms) seperti judicial, arbitral or administrative

249 Bismar Nasution. Hukum Kegiatan EkonomI I . (Bandung. BooksTerrace & Library, .2007). Hal.44

Universitas Sumatera Utara tribunals or procedures dimana setiap penyedia jasa dapat menuntut ganti rugi jika negara tersebut melakukan tindakan yang merugikan negara mitra dagangnya.250

Domestic Regulation sebagai conditional obligation menyangkut kewajiban negara anggota untuk memastikan bahwa segala kebijakan yang diambil yang dapat mempengaruhi perdagangan jasa menyangkut specific commitmen, harus berasalan, objektif, dan seimbang. 251 Aturan domestic regulation ini dibuat sebagai instrumen untuk mempertahankan kedaulatan negara dalam mengatur kepentingan domestiknya.

Namun demikian, domestic regulation telah menimbulkan masalah lain sebagaimana disampaikan oleh Geza Feketekuty bahwa permasalahan kunci di dalam GATS adalah hambatan terhadap perdagangan yang menyatu dengan domestic regulation itu sendiri.

The key difficulty in designing the GATS Agreement was that barriers to trade in services are generally embedded in domestic regulations”.252 Hal senada disampaikan oleh Panagiotis bahwa “ It is a common place nowdays that majority barriers to the development of the service sectors are of regulatory, “within the-border” nature 253

Permasalahan lain dengan domestic regulation adalah adanya perbedaan persepsi antara negara anggota menyangkut setiap peraturan atau kebijakan yang diambil oleh suatu negara. Bagi negara tertentu kebijakan tersebut dianggap sebagai domestic regulation yang melindungi kepentingan nasionalnya, namun bagi negara mitranya dianggap sebagai hambatan.

250 Article VI:6 requires Members that have undertaken commitments on professional services to establish procedures to verify the competence of professionals of other Members. 251 Article VI.1 GATS 252 Geza Feketekuty. Op.Cit 253 Panagiotis Delimatsis. International Trade In Services And Domestic Regulations: Necessity, Tranparency, And Regulatory Diversity. (New York.Oxford.2007)

Universitas Sumatera Utara “ What may be seen as barriers by a country wishing to access a foreign market may really be fundamental aspects of the regulatory system in the receiving country. It is important that the higher education sector be vigilant and make sure that domestic regulations that are seen as policy priorities are not removed or watered down by countries wanting access to domestic higher education markets through cross-border education.” 254

Feketekuty mengatakan bahwa regulasi yang baik adalah regulasi yang mampu meminimalisir beban dalam aktivitas ekonomi. “A good regulation is that the regulation should be designed so as to minimize the burden the achievement of the desired sosial objective imposes on economic activity.”255 Domestic regulation bukan hanya mensyaratkan kebijakan yang objektif sebagaimana disampaikan di atas tetapi juga dalam hal waktu untuk merespon suatu permohonan dari negara lain. Article VI.3 mensyaratkan bahwa dalam hal penyediaan jasa (yang sudah di daftar di dalam SoC) memerlukan otorisasi (authorization), maka status permohonan atas otorisasi yang diajukan oleh penyedia jasa harus diberitahu segera setelah memenuhi persyaratan sesuai dengan domestic regulation di negara tersebut oleh pejabat yang berwewenang di bidang itu. Ketentuan yang demikian mendorong terciptanya kepastian bagi penyedia jasa bukan hanya dalam memenuhi persyaratan sebagaimana dituntut di dalam domestic regulation suatu negara tetapi juga dari segi waktu.

Pentingnya Domestic regulation ini dalam perdagangan jasa, maka GATS menuntut agar dalam membuat domestic regulation tujuannya adalah untuk mengatur bukan untuk menghalangi. Oleh karena itu substansi aturan tersebut harus objektif, rasional, dan tidak memihak. “ Since domestic regulations are the most significant

254 Jane Knight. Op.Cit. Hal 62 255 Geza Feketekuty. Op.Cit.

Universitas Sumatera Utara means of exercising influence or control over services trade, the agreement says governments should regulate services reasonably, objectively and impartially.“ 256

Nellen Munin mengatakan bahwa domestic regulation befungsi untuk menciptakan transparansi prosedur dan administrasi dan sebagai informasi yang dijadikan dasar oleh penyedia jasa untuk menentukan langkah selanjutnya.257

Agar domestic regulation yang berhubungan dengan persyaratan kualifikasi dan prosedur, standar teknis, dan perijinan tidak menjadi hambatan bagi perdagangan jasa,

GATS melalui CTS telah mengembangkan berbagai peraturan atau disiplin yang mensyaratkan agar persyaratan yang ditetapkan di dalam domestic regulation harus didasarkan kompetensi, kemampuan mensupply; dan jaminan atas kualitas jasa. Dengan demikian persyaratan dalam hal prosedur perijinan bukan untuk tujuan pelarangan perdagangan jasa tersebut. 258

d. Monopoly and exclusive provider

Ketentuan mengenai Monopoly and exclusive provider dalam kaitannya dengan unconcidional obligation adalah menyangkut kewajiban negara anggota untuk memastikan bahwa penyedia jasa dengan hak mopoli tidak bertidak inkonsisten sesuai dengan kewajiban negara anggota yang diatur didalam article II GATS.259

Negara-negara anggota WTO mengakui bahwa praktek-praktek bisnis tertentu selain yang ditentukan di dalam Article VIII GATS dapat menghalangi terjadinya

256 WTO. Understanding the WTO.(Switzerland. WTO Publikation.2011) Hal. 35 257 Nellie Munin.Op.Cit. Hal 282 258 Article VI.4 GATS 259 Article VIII.1 GATS.

Universitas Sumatera Utara perdagangan. Untuk itu, dengan aturan Business Practices sebagai unconditional obligation mewajibkan negara anggota untuk mengadakan negosiasi atas permohonan negara anggota lainnya untuk menghapus hambatan tersebut. Negara anggota yang dimohonkan tersebut berkewajiban untuk memberikan informasi yang relevan yang tidak bersifat rahasia (non convidental information).260

Monopoly sebagai conditional obligation menyangkut kewajiban negara anggota untuk memastikan bahwa penyedia jasa dengan hak monopoli tidak bertentangan dengan komitmen negara anggota. Dalam hal penyedia jasa dengan hak monopoli atas jasa yang didaftar dalam specific commitment ikut bersaing dalam penyediaan jasa di luar dari hak monopolinya, maka negara anggota harus menjamin bahwa pemegang hak mopoli tersebut tidak menyalahgunakan posisinya sebagai pemegang hak monopoli.261

Dalam hal negara anggota memberikan hak monopoli untuk penyediaan jasa yang masuk dalam SO setelah berlakunya GATS, maka negara yang bersangkutan berkewajiban untuk memberitahukan CTS perihal tersebut paling lama 3 bulan sebelum pemberian hak monopoli tersebut. Dalam hal demikian, maka ketentuan yang terdapat dalam XXI.2,3,4 (modification of schedules) akan berlaku. 262

260 Article IX GATS 261 Article VIII.2 GATS 262 Article VII.4 GATS Dengan adanya keinginan suatu negara angggota untuk melakukan monopoli pada satu sektor tertentu, pada hal sektor tersebut sudah dimasukkannya di dalam SoC nya , maka hal itu berarti bahwa Negara tersebut berkeinginan untuk melakukan modifikasi terhadap SoC nya, atau menarik sektor tersebut dari SoC nya. Negara yang berkeinginan melakukan modifikasi tersebut (modifying Member) akan melakukan negosiasi dengan Negara anggota yang terkena dampak dari modifikasi tersebut atas permohonan dari Negara anggota yang terkena dampak tersebut (effected Member) untuk membicarakan kompensasi yang harus diberikan oleh modifying member kepada effected member. Kompensasi diberikan tetap berbasis pada prinsip MFN. Setiap negara yang berkeinginan untuk mendapatkan hak atas kompensasi harus terlibat langsung dalam proses negosiasi. Namun jika tidak ada effected Member yang

Universitas Sumatera Utara e. Subsidy

Pengaturan tentang subsidi sebagai unconditional obligation mewajibkan negara anggota untuk mempertimbangkan setiap permohonan dari negara anggota lainnya menyangkut praktek subsidi yang dilakukan suatu negara anggota. Negara anggota yang menganggap bahwa praktek subsisi yang dilakukan oleh negara anggota lainnya berdampak negatif kepadanya dapat meminta untuk melakukan konsultasi, dan negara yang dimohonkan tersebut berkewajiban untuk mempertimbangkannya sungguh- sungguh. Di dalam GATS hingga saat ini belum ada kewajiban berhubungan subsidi ini, namun diserahkan kepada negara-negara anggota untuk menegosiasikannya. 263

f. Payment and Transfer

Payment and Trasfer sebagai conditional obligation menyangkut larangan terhadap pembatasan pembayaran dan transfer internasional untuk tranksasi pada sektor yang yang masuk di dalam SO. 264 Namun demikian GATS juga memberi peluang kepada negara anggota untuk melakukan pembatasan untuk alasan tertentu seperti kesulitan neraca pembayaran, finansial dan demi proses pengembangan ekonomi negara yang bersangkutan.265 Di dalam GATS, liberalisasi perdagangan yang efisien tergantung pada liberalisasi aliran modal (capital flow) yang memfasilitasi perdagangan jasa tersebut.266

g. Economic Integration mengajukan kasus tersebut ke arbitrase, maka modifying member bebas melakukan modifikasi atas SoC nya. 263 Nellie Munin .Op.Cit. Hal 30. 264 Article XI GATS 265 Article XII GATS (Restrictions to Safeguard the Balance of Payments), 266 Nellie Munin .Op.Cit. Hal 25

Universitas Sumatera Utara Sebagaimana tujuan GATS adalah untuk memperluas liberalisasi perdagangan jasa, maka GATS tidak menghalang-halangi negara anggota untuk membuat kesepkatan di antara negara-negara anggota (bilateral atau multilateral) 267 dengan ketentuan bahwa perjanjian yang dibuat antara mereka tidak mengandung pengaturan yang diskriminatif, sehingga kerja sama yang demikian dapat merupakan bagian dari proses integrasi ekonomi.268

h. Recognition.

Untuk memenuhi ketentuan dalam hal standard atau kriteria, perijinan dan sertifikasi penyedia jasa, negara anggota dapat mengakui pendidikan atau pengalaman, ijin atau sertifikasi, dan syarat yang dipenuhi di negara tertentu. Pengakuan yang demikian dapat didasarkan pada perjanjian dengan negara yang bersangkutan atau diberikan secara sukarela. 269 Dalam pengakuan yang diberikan oleh suatu negara secara sukarela, maka negara tersebut harus memberikan kesempatan yang sama kepada negara lain untuk menunjukkan bahwa pendidikan, pengalaman, perijinan dan akreditasi dari negaranya dapat diakui. 270 Negara- negara yang menjadi para pihak dalam perjanjian yang demikian harus memberikan kesempatan kepada negara lainnya untuk ikut dalam kesepakatan tersebut.

i. Specific Commitment

267 Article V GATS 268 Diakses dari http://www.wto.org/english/tratop_e/serv_e/cbt_course_e/c2s4p1_e.htm pada tanggal 10 Juli 2012 269 Article VII.1 GATS 270 Article VII.2 GATS

Universitas Sumatera Utara GATS merupakan bagian integaral dari WTO yang diimplementasikan melalui pemberian komitmen oleh negara-negara anggota untuk meliberalisasi sektor-sektor jasa dengan modes of supply yang mereka inginkan dan dituangkan di dalam SC.271

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa SC merupakan perwujudan dari liberalisasi perdagangan jasa tersebut. Ada 3 hal yang harus ditentukan oleh suatu negara dalam SC, yaitu Market Access, National Treatment, dan Additional Commitment.

Market access. Market access adalah komitmen yang diberikan oleh negara anggota untuk dapat dimasuki oleh jasa atau penyedia jasa asing untuk sektor-sektor tertentu sebagaimana dicantumkan di dalam SC. Suatu negara yang sudah memberikan komitmennya pada market access ini, sesuai dengan prinsip MFN, maka semua negara anggota dapat memasuki sektor tersebut.272 Misalnya Indonesia membuka pasar (market access) pada sub sektor pendidikan tinggi, maka semua negara anggota tanpa kecuali dapat memasuki pasar tersebut.

Pemberian komitmen oleh suatu negara bersifat sukarela, artinya bahwa satu negara bebas menentukan sektor-sektor jasa yang akan dimasukkan ke dalam SC dan bagaimana perdagangan jasa tersebut dilakukan (mode of supply). Pada sektor dimana komitmen market access telah diberikan, maka negara tersebut tidak diperkenankan membuat : 273

271 Jandhyala.B.G. Tilaak. Op.Cit. Hal 32 272 Article XVI.1 273 Article XVI.2 GATS

Universitas Sumatera Utara a. Limitations on the number of service suppliers whether in the form of numerical quotas, monopolies, exclusive service suppliers or the requirements of an Economic Needs Tests 274; b. Limitations on the total value of service transactions or assets in the form of numerical quotas or the requirement of an economic needs test; c. Limitations on the total number of service operations or on the total quantity of service output expressed in terms of designated numerical units in the form of quotas or the requirement of an economic needs test; d. Limitations on the total number of natural persons that may be employed in a particular service sector or that a service supplier may employ and who are necessary for, and directly related to, the supply of a specific service in the form of numerical quotas or the requirement of an economic needs test; e. Measures which restrict or require specific types of legal entity or joint venture through which a service supplier may supply a service; and f. Limitations on the participation of foreign capital in terms of maximum percentage limit on foreign shareholding or the total value of individual or aggregate foreign investment.

Walaupun Market Access merupakan wewenang penuh dari negara anggota, sesuai dengan tujuan GATS untuk meliberalisasi perdagangan jasa seluas-luasnya, perluasan market access dapat dilakukan melalui negosiasi-negosiasi antara negara anggota dengan prosedur request offer. Suatu negara mengirimkan request secara

274 Economic Needs Tests (ENTs) merupakan satu terminologi yang tidak mempunyai pengertian ,defenisi, atau batasan yang jelas di dalam GATS sehingga masing-masing-negara memiliki interrpretasi masing-masing. (Baca: L. Alan Winters. Liberalising Labour Mobility Under the GATS. Commonwealth Secretariat.2002. hal 63). Namun umumnya ENTs dipahami sebagai satu kajian (test) untuk melihat apakah ada kebutuhan ekonomi suatu negara yang membutuhkan penyediaan jasa asing pada mode of supply tertentu. ENTs ini biasanya diterapkan melalui persyaratan perijinan atau diperlukannya approve sebelumnya. Penyedia jasa asing diijinkan untuk masuk hanya jika otoritas tertentu memutuskan bahwa ada kebutuhan ekonomi atas penyeidaan jasa tersebut (Baca: Markus Krajewski. National Regulation and Trade Liberalization in Services: The Legal Impact of The General Agreement on Trade in Services (GATS) on National Regulatory Autonomy. (The Netherland. Kluwer Law International.2003) Hal. 88. Ketentuan yang demikian dapat ditemukan di dalam dalam Pasal 3 Permendiknas No. 66 tahun 2009 tentang Pemberian Izin Pendidik Dan Tenaga Kependidikan Asing Pada Satuan Pendidikan Formal Dan Nonformal Di Indonesia yang menyatakan bahwa kehadiran tenaga pendidik asing di Indonesia adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga Pendidik dan tenaga kependidikan yang belum dapat dipenuhi oleh pendidik dan tenaga kependidikan berkewarganegaraan Indonesia.

Universitas Sumatera Utara langsung kepada negara lainnya, selanjutnya negara yang bersangkutan akan memberikan initial offer terhadap request tersebut.275

National Treatment. Prinsip National Treatment yaitu prinsip yang mengharuskan negara anggota memperlakukan jasa dan penyedia jasa asing sama dengan jasa dan penyedia jasa dari dalam negeri sendiri. 276 Perlakuan yang berbeda baik formal maupun tidak dianggap sebagai tindakah yang menyalahi prinsip MFN277

Additional Commitments. Article XVIII GATS mengenai Additional Commitments menyatakan bahwa negara-negara anggata dapat melakukan negosiasi perihal kebijakan yang diambil dimana kebijakan tersebut dapat mempengaruhi perdagangan sejauh tidak menyangkut ketentuan yang diatur dalam Market Access (Article XVI ) dan National

Treatment XVII). 278

Batasan-batasan yang ingin diberikan oleh suatu Negara anggota pada masing- masing sektor atau subsektor dan pada masing-masing mode of supply ditentukan dengan mencamtumkan batasan tersebut pada kolom market access limitation dan national treatment limitation. Terminologi batasan yang cantumkan adalah None,

Bound, dan Unbound. None artinya bahwa negara anggota tersebut tidak memberi batasan-batasan (no limitation) pada market access dan national treatment kecuali yang tertuang di dalam horizontal commitment. Unbound artinya bahwa negara anggota tidak memberi komitmen apa-apa sehingga negara tersebut tetap dapat mempertahankan

275 WTO negotiations on market access. Diakses dari http://www.wto.org/english/tratop _e/serv_e/market_ access_negs_e.htm pada tanggal 1 Juli 2012 276 Article XVII.1 GATS 277 Article XVII.3 GATS 278 Article XIII GATS

Universitas Sumatera Utara kontrol atas perdagangan jasa pada sektor yang dimaksud dengan demikian negara yang bersangkutan bebas dalam bertindak dan membuat kebijakan sesuai dengan keinginannya. Limitations artinya bahwa negara anggota yang bersangkutan membuat batasa-batasan terhadap market access dan national treatment pada sektor yang dimaksud. 279 Informasi-informasi ini pembatasan ini menjadi panduan bagi penyedia jasa asing di dalam memasuki pasar suatu negara tersebut. Misalnya suatu negara telah memasukkan pendidikan tinggi di dalam Schedule of Specific Commitment nya. Untuk mode of supply 3 (commercial presence) pada market access dan National Treatment dituliskan unbound. Informasi ini mengandung arti bahwa negara tersebut tidak memberi komitmen untuk masuknya lembaga pendidikan tinggi asing. Dengan demikian, Pemerintah negara tersebut memiliki kontrol yang penuh atas mode of supply tersebut.

j. Progressive Liberalization

Ketentuan mengenai Progressive Liberalization diatur di dalam Article XIX GATS menyangkut tiga hal, yaitu Negotiation of Specific Commitments, Schedules of Specific

Commitments, dan Modification of Schedules. Upaya meningkatkan liberalisasi perdagangan jasa dilakukan secara bertahap (progressive) melalui rangkaian negosiasi.

Tahap pertama adalah tahun 2000, 280 setelah itu, negosiasi akan dilakukan secara periodek, dimana tujuannya adalah untuk berupaya mengurangi segala hambatan atau pembatasan dalam perdagangan jasa.

279 Jian Xu. WTO Members’ Commitments in Education Services. Diakses dari www.ccsenet.org/ journal. html. tangal 20 Juni 2012 280 Article XIX.(a), GATS mengamanatkan bahwa paling lama 5 tahun setelah berlakunya GATS perundingan sudah harus dimulai.

Universitas Sumatera Utara Dalam proses negosiasi tersebut, keadaan negara-negara sedang berkembang baik secara umum maupun sektoral akan menjadi pertimbangan. Oleh karena itu, dalam rangka memberi akses pada market access, negara-negara tersebut akan diberi fleksibilitas, namun akses tersebut akan diperluas seiring dengan perkembangan negara- negara tersebut. 281

Sektor –sektor yang akan diberi komitmen kemudian akan dimasukkan kedalam

SoC negara yang bersangkutan dengan menentukan :282

(a) Batasanan-batasan dan persyaratan terhadap market access.

(b) Persyaratan dan kualifikasi pada national treatment

(c) Hal yang berhubungan dengan additional treatment

(d) Waktu implementasi/ pelaksanaan

(e) Dan tanggal mulai berlaku

Setelah masa 3 tahun setelah berlakunya SoC, negara anggota dapat memodifikasi atau menarik sektor tersebut (Modifying Member) 283 dimana paling lama 3 bulan tanggal yang diinginkan untuk memodifikasi atau menarik commitmen tersebut, harus sudah memberitahun kepada CTS perihal tersebut. Negara anggota yang terkena dampak (Effected Member) dari penarikan atau modifikasi SoC tersebut dapat meminta untuk melakukan negosiasi dengan Modifying Member guna mencapai kesepakatan

281 Article XIX.(b) GATS 282 Article XX.1 GATS 283 Article XXI.1(a) GATS Tahun 2008, Bolivia telah memberitahu bahwa negara tersebut akan menarik komitmennya untuk sector jasa kesehatan. (dapat diakses dari :http://en.wikipedia.org/wiki/General_Agreement_on_Trade_in_ Services#Historical_background)

Universitas Sumatera Utara tentang kompensasi. Jika kompensasi sudah disepakati maka kompensasi tersebut berlaku kepada effected members sesuai ketentuan yang diatur di dalam Article XXI.2(b)

GATS bahwa kompensasi diberikan berbasis pada prinsip MFN. Jika tidak tercapai kesepakatan, maka effected Member dapat membawa permasalahan tersebut ke badan arbitrase dan selama kompensasi belum diberikan, maka penarikan atau modifikasi SoC tidak dapat dilakukan. Namun sebaliknya jika tidak ada negara anggota yang mengajukan ke arbitrase, maka modifying Member bebas melakukan modifikasi atau penarikan sebagaimana disebutkan di atas.284

B. Liberalisasi Jasa Pendidikan Tinggi di dalam GATS

1. Latar Belakang Liberalisasi Jasa Pendidikan Tinggi

Kegiatan usaha dalam masyarakat dibagi dalam 3 sektor, yaitu sektor primer yang mencakup semua industri ekstraksi hasil pertambangan dan pertanian, sektor sekunder yang mencakup industri untuk mengolah bahan dasar menjadi barang, bangunan, produk manufaktur dan utilities dan sektor tersier yang mencakup industri-industri untuk mengubah wujud benda fisik (physical services), keadaan manusia (human services) dan benda simbolik (information and communication services). Sejalan dengan pandangan ilmu ekonomi tersebut, pendidikan masuk ke dalam kelompok sektor industri tersier yaitu kegiatan yang mentransformasi orang yang tidak berpengetahuan atau yang tidak mempunyai ketrampilan menjadi orang yang berpengetahuan atau berketrampilan. Teori

284 Article XXI.3(b) GATS

Universitas Sumatera Utara ini yang mengakibatkan dimasukkannya pendidikan sebagai salah satu sektor perdagangan dalam WTO/GATS. 285

Munculnya istilah knowledge-based economy merupakan pengakuan atas peranan pengetahuan dan teknologi dalam pertumbuhan ekonomi. Pengetahuan menjadi pusat perkembangan ekonomi. Diperkirakan 50% GDP ekonomi negara-negara OECD adalah knowledge-based economy. 286 Menurut Ajitava Raychaudhuri dan Prabir De semakin berkembangnya pemahaman negara-negara di dunia akan knowledge-based economy tersebut menjadi salah satu faktor pendorong pesatnya perkembangan pasar dunia atas jasa pendidikan. 287 Peter F. Drucker mengatakan bahwa setelah perang dunia II perekonomian Amerika sudah berubah dari ekonomi barang (economy of goods) menjadi ekonomi pengetahuan (knowledge economy)288

Semakin pentingnya peranan ilmu pengetahuan bagi perkembangan ekonomi telah memberi tekanan kepada perguruan tinggi sebagai institusi yang menghasilkan

(produce), mentransfer (transfer) dan menyebarkan (dissemination) pengetahuan, sehingga perguruan tinggi harus berdaptasi dengan perubahan tersebut. Perguruan tinggi dituntut untuk melihat pendidikan tinggi tidak hanya dari perspektif akademis, tetapi

285 Sofian Effendi. Pendidikan Tinggi di Era Pasar Bebas: Tantangan, Peluang dan Harapan . Makalah disampaikan pada Seminar Nasional. Diselenggarakan oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah dan Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta, 2 Mei 2005 286 OECD. The Knowledge Economy. (Paris.OECD/GD (96) 102. 1996). Hal 9 287 Ajitava Raychaudhuri and Prabir De. Barriers to Trade in Higher Education Services: Empirical Evidence from Asia-Pacific Countries . Asia-Pacific Trade and Investment Review Vol. 3, No. 2, December 2007. Hal, 70 288 Peter F. Drucker. The Age of Discontinuity.Guideliness to Our Changing Society. (New Brunswick.Transaction Publisher.1994). Hal 263

Universitas Sumatera Utara juga dari berbagai perspektif yang lebih luas. 289 Hal senada disamapaikan oleh George

Siemens dan Kathleen Matheos bahwa perguruan tinggi dewasa ini menghadapi tantangan terbesar yaitu globalisasi, ekspansi, dan ketidakpastian ekonomi, dan munculnya teknologi sehingga mereka harus memikirkan kembali dan melakukan restrukturisasi terhadap apa yang mereka ajarkan dan teliti dan bagaimana melakukannya serta bagaimana berhubungan dengan masyarakat. 290 Hal yang sama disampaikan oleh Carlos A. Torres dan Daniel Schugurensky bahwa Globalisasi yang melanda dunia memunculkan hegemonitas (neo liberalism) di kebanyakan negara di dunia. Kebijakan negara yang sesebelumnya terfokus pada ekuitas (kesetaraan), otonomi, dan kontribusi pendidikan tinggi pada transformasi sosial telah berubah menjadi fokus pada keunggulan, efisiensi, anggaran, dan rates of return. Konsep pendidikan tinggi sebagai hak warga negara dan sebagai investasi sosial terancam oleh mekanisme pasar.291

Perkembangan knowledge-based economy and society kemudian telah memunculkan kecenderungan-kecenderungan baru dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, yaitu :292

1. The changing purposes of higher education;.

289 Center for Higher Education Research and Development (CHERD). Globalization, tarde liberalization, and Higher Education: Research Areas and Questions.Occassional paper in Higher Education No.10. The University of Manitoba. 2002 Diunduh dari http://umanitoba.ca/centres/ cherd/media/OPHE10_Globalization.pdf pada tanggal 12 Juni 2012. 290 George Siemens dan Kathleen Matheos. Systemic Changes in Higher Education. Diakses dari http://ineducation.ca/article/systemic-changes-higher-education pada tanggal 14 Oktober 2012 291 Carlos A. Torres & Daniel Schugurensky. Political economy of Higher Education in The Era of Neoliberal Globalization: Latin America In Comparative Perspective.Diakses dari http://www.del.ufrj .br/~ricardo/Docs ArcuSur/Carlos.pdf 292 Ibid.

Universitas Sumatera Utara 2. Higher education policy and pratice are increasingly being related to new labor forse damand for highly educated personnel; 3. Massification of higher education 4. Increases in number and diversity of higher education suppliers 5. The use of new technology and new delivery both nationally and internastionally 6. Changes in intitutional pratices and organization 7. Internationalization of colleges and universitues

Peter Drucker sebagaimana dikutip oleh Michael R. Czinkota mengatakan bahwa sumber daya ekonomi yang utama sekarang ini adalah produktivitas dan inovasi yang hanya dapat diperoleh melalui aplikasi pengetahuan pada dunia kerja. “ The basic economic resource is no longer capital, nor natural resources, nor labor. It is and will be knowledge…value is now created by “productivity” and “innovation” both applications of knowledge at work” .293 Hal ini terlihat dari kenyataan di negara-negara berkembang dimana pekerjaan yang memiliki pruduktivitas tinggi adalah pekerjaan yang berhubungan dengan pengetahuan (knowledge work), bukan pekerjaan-pekerjaan manual, sehingga mereka cenderung lebih sejahtera. 294

Era perubahan inovasi dan teknologi dimana industri baru bermunculan sebagai kekuatan yang dinamis mengakibatkan munculnya mobilitas sumber daya yang produktif yang bermanfaat bagi kesejahteraan individu. Dalam keadaan yang demikian, pemerintah dituntut membuat kebijakan-kebijakan yang tidak menghalangi mobilitas

293 Michael R. Czinkota. Loosening The Shackles: The Future Of Global Higher Education. Disampaikan pada Symposium On Cross-Border Supply Of Services di Geneva, pada tanggal 28-29 April 2005, Diunduh dari www.wto.org/english/tratop_e/serv_e/sym_april05_e/czinkota_ education _e .doc pada tanggal 12 Mei 2012 294 Peter F. Drucker. Op.Cit

Universitas Sumatera Utara tersebut. ”The more productive employment, the more enjoyable it also is as a rule, and the more satisfaction does it offer to the individual”.295

Pesatnya perkembangan perdagangan jasa pendidikan juga didorong oleh perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat, karena jarak dan batas negara tidak lagi menjadi masalah. Akibatnya persaingan yang terjadi bukan lagi persaingan antar negara, atau kawasan tetapi sudah antara penyedia jasa.

“We tended to describe global competition as Europe versus the United States versus Japan versus the Newly Industrializing countries, that is misleading, because, wherever you go in the world, you find companies who are wrestling with problem of transforming their business ... I don’t see competition as between nation states”296

Banyak jasa yang selama ini dianggap murni sebagai aktivitas dalam negeri

(domestic affair), termasuk pendidikan tinggi sudah mulai bergerak secara internasional.

Kecenderungan ini kemungkinan akan berlanjut terus seiring dengan perkembangan teknologi. Permintaan (demand) masyarakat akan pendidikan tinggi meningkat dari waktu ke waktu. Nilai perdagangan jasa pendidikan tahun 1999 sudah mencapai 1 milliar US$, setara dengan 50% nilai perdagangan jasa keuangan yang diperkirakan mencapai 59,9 milliar US$. Jumlah ini diperkirakan akan lebih besar jika digabungkan pendidikan tinggi.297 Perkembangan kebijakan dalam pendidikan transnasional tersebut berkembang sangat dramatis bukan hanya di Eropa tetapi juga di Asia Tenggara dimana

295 Ibid. Hal. 58 296 Tanri Abeng. Managing Atau Chaos.Tantanagan Globalisasi dan Ketidak pastian. (Jakarta. IPMP dan Pustala Sinar Harapan. 2000). Hal 50. Negara yang memiliki angka pertumbuhan ekonomi mencapai dua digit pertahun itu, biasanya memiliki kompetensi yang tinggi dalam hal inovasi teknologi. Baca : H.Ahmad Ramdhan Siregar. Globalisasi Persaingan Usaha. (Bandung. Humanioran.2011). Hal 5 297 Raymond Saner and Sylvie Fasel. Negotiating Trade in Educational Services within the WTO/GATS context. Diunduh dari http://www.aparnet.org/documents/0501saner_ed_trade_ in_GATS.pdf

Universitas Sumatera Utara lembaga pendidikan Australia, Inggeris, dan Amerika menjadi yang terdepan yang dilakukan melalui berbagai program kemitraan dengan institusi lokal seperti asosiasi profesi, universitas, dan PTS. 298

Per Nyborg mengatakan bahwa :

“ The increasing demand for international education has triggered a number of initiatives by different education providers including traditional higher education institutions, distance learning institutions and private education companies. Sometimes these different education providers have created new partnerships, also transnationally, to meet the demand. “299

Menurut survey APEC, negara-negara sumber utama mahasiswa internasional adalah Asia (46%) dengan tujuan utama Amerika utara dan Eropa. Namun akhir-akhir ini Singapura telah berkembang menjadi tujuan belajar mahasiswa internasional, dimana pada tahun 2002 mahasiswa asing di Singapura mencapai 52.000 orang , naik menjadi

72.000 orang pada tahun 2007, dan ditargetkan akan naik menjadi 150.000 orang pada tahun 2015. Hingga tahun Maret 2006, 16 perguruan tinggi asing sudah membuka cabang di Singapura antara lain Cornell University, Duke University, INSEAD dan the

University of Chicago, 300 dan Malaysia yang pada tahun 2000 memperoleh 2600 mahasiswa asing. 301

Di dalam laporan tahunannya yang diliris pada bulan September 2010, OECD mencatat bahwa tahun 2010, sebanyak 4.120.000 mahasiswa terdaftar kuliah di luar

298 Grant McBurnie and Christopher Ziguras. Transnational Education: Issues and Trends in Offshore Higher Education. (Oxon.Routledge.2007). Hal 21 299 Per Nyborg . GATS in the light of increasing internationalisation of higher education. Quality assurance and recognition. Diakses dari http://www.aic.lv/rec/Eng/new_d_en/gats /HE_ GATS.html pada tanggal 4 Juni 2012 300 Ajitava Raychaudhuri and Prabir De. Op.Cit. Hal, 71 301 Ibid

Universitas Sumatera Utara negaranya masing-masing. Jumlah ini bertambah 410 orang (11%) dibandingkan dengan tahun 2009 sebanyak 3.710.000 juta orang, bertambah 660.000 orang (19%) dibandingkan dengan tahun 2008, dan 1.136.000 mahasiswa (38%) dibandingkan tahun

2005. Fenomena terjadinya cross border education juga terjadi di berbagai negara- negara . Sejak tahun 2005, pendaftaran mahasiswa asing meningkat di negara Brazil,

China, Estonia, Iceland, Indonesia, Ireland, Korea, Luxembourg, Saudi Arabia,

Republik Slovakia dan spanyol. Pada tahun yang sama peningkatan mahasiswa asing terjadi juga di Prancis, Jerman, Mexico dan Selandia Baru kurang dari 10 %. 302

Ajitava Raychaudhuri juga mengatakan hal yang sama bahwa :

“ While most of the international trade in higher education services takes place among OECD countries, which received 85 per cent of the world’s foreign students in 2004, some developing countries are establishing a strong presence in the global market. While mostly aiming at attracting students to study in their home country, some developing country institutions, for example from China, India and South Africa, are themselves looking to expand abroad.” 303

Raymond Saner and Sylvie Fasel menggambarkan beberapa alasan mengapa pendidikan tinggi penting untuk diperdagangkan: 304

1. Nilai perdagangan pendidikan tahun 1999 diperkiarakan mencapai US $30

milliar, atau 50% dari perdagangan jasa keuangan;

2. Pendidikan yang bermutu akan berpengaruh positif pada angkatan kerja untuk

perkembangan ekonomi suatu negara;

302 World Education Service. International Academic Mobility Continues to Grow Despite Economic Downturn.Volume 25, Issue 8. Sept. 2012 Diakses dari http://www.wes.org/ewenr/12sept/ practical. htm 303 Ajitava Raychaudhuri and Prabir De. Op.Cit. Hal. 71 304 Raymond Saner and Sylvie Fasel. Op.Cit

Universitas Sumatera Utara 3. Perdagangan pendidikan mempengaruhi perdagangan, ekonomi, pendidikan

dan kebudayaan ;

4. Penyelenggaraan pendidikan oleh sektor swasta dapat saja sama atau lebih

efisien.

Dari pemaparan di atas maka tepat apa yang disampaikan UNESCO bahwa pendidikan tinggi merupakan pendorong bagi perkembangan negara maju maupun negara sedang berkembang, dan pendidikan tinggi dianggap juga sebagai penyebab sekaligus akibat globalisasi tersebut. 305

Faktor kemampuan keuangan negara dalam memenuhi permintaan pendidikan tinggi di dalam negeri juga menjadi satu alasan untuk terlibat dalam perdagangan pendidikan. “ Malaysia realizes that it would not be able to educate at the tertiary level at significant proportions of its population through its own public institutions.

Admittedly, there is strong demand for higher , but there insufficient places in universities to meet demand. 306 Ketidakseimbangan antara ketersediaan universitas dengan permintaan pendidikan tinggi tersebut mengakibatkan ribuan warga malaysia harus pergi ke luar negeri untuk mendapatkan pendidikan tinggi dan menghabiskan anggaran yang tidak sedikit. Tahun 1995, 20% mahasiswa Malaysia

305 UNESCO. Higher Education in a Globalized Society. Unesco Education Position Paper. Unesco. 2004. Hal 8. Diunduh dari http://unesdoc.unesco.org/images/0013/001362/136247e.pdf pada tanggal 1 Mei 2012 306 Middlehurst R. And Woodfield. The role of transnational, private, and for-provit Provision in Meeting Global Demand for Tertiary Education: Mapping, Regulation, and Impact . Case Study Malaysia. Summary Report. Report Commisioned by The Commonwealth of Learning and Unesco. 2010 Neave sebagaimana dikutip oleh Aleš Vlk mengatakan bahwa semakin tingginya jumlah manula di Eropa menuntut Pemerintah untuk mengalokasikan anggaran yang lebih besar untuk public service yang bersentuhan dengan mereka yaitu sektor kesehatan dan program pensiun. Hal ini berarti bahwa anggaran untuk pendidikan harus di kurangi. Dengan demikian perguruan tinggi mendapat dua tantangan, yaitu pengurangan budget dan tuntutan akan efisiensi. (Aleš Vlk. Op.Cit.) Hal 29

Universitas Sumatera Utara belajar di luar negeri dan menghabiskan biaya negara US$ 800 juta. Menurut laporan

UNESCO, pada tahun 1990an, hanya 7,2 % penduduk Malaysia yang terdaftar sebagai mahasiswa pada perguruan tinggi dalam negeri. 307 Melalui 7th Malaysia Plan periode

1996-2001, pemerintah Malaysia membuat kebijakan yang merangsang perguruan tinggi dalam negeri melakukan program partnership dengan PTA untuk mengurangi jumlah

warga negara Malaysia yang kuliah keluar negeri. Hasilnya jumlah warga negara

Malaysia kuliah ke luar negeri menurun, dan pada waktu yang bersamaan terjadi

pengayaan pengalaman perguruan tinggi dalam negeri.308

Reformasi regulasi sistem pendidikan nasional di Malaysia melalui Private Higher

Education Institution Act 1996 (PHEI Act 1996) tahun 1996 tersebut telah berhasil merangsang pertumbuhan PTS dalam negeri dan PTA dengan berbagai modus seperti program kembaran (twinning program), franchise, dan kampus cabang dari Inggeris dan

Australia. Satu PTA bahkan melakukan kerja sama program kembaran dengan lebih dari

satu PTS di Malasysia seperti terlihat dalam table dibawah ini.

Tabel 10. Program Kembaran Perguruan Tinggi Australia dengan Perguruan tinggi Malaysi Dengan Malaysia (Feb.1998)

Curtin / ITC Management Center Curtin / ITC Mara Curtin / College Bandar Utama . Curtin / Mara Institute of Technology Deakin / Disted College Deakin / Limkokwing Institue of Creative Technology Deakin / College Kommunity Mertajam Deakin / Stamford College ECU / Institute Teknology Mara 307 Zigural. C. EducationalECU Technology / Koleg Damansara in Transnational Utama Higher Education in South East Asia, The Cultural Politics of Flexible ECULearning / Stamford. Educational College Tecnology Society. 2001 308 Morshidi Sirat.WorkingGriffith Paper. / HELP Transnational Institute Higher Education in Malaysia: Balancing Benefit Griffith / Kolej Antarbangsa Berjaya and Concerns ThroughL TURegulations / Kolej Komuniti. Octobe Mertajamr 2005. . http://jpt.mohe.gov.my/ PENYELIDIK/penyelidikan%20IPPTN/Research%20Paper%20on%20Transnational%20Higher%20Edu cation%20in%20Malaysia%20Balancing%20Benefits%20and%20c%20oncerns%2Sumber : Zigural. 2001 0through%20Regulati ons/1.pdf

Universitas Sumatera Utara

John Fielden juga mengatakan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan pesatnya pertumbuhan PTS adalah faktor pembiayaan. Pendidikan tinggi membutuhkan biaya yang lebih besar jika dibandingkan dengan jenjang pendidikan yang lebih rendah, sehingga Pemerintah tidak mampu membiayai sesuai dengan pertumbuhan perguruan tinggi tersebut. Akibatnya Pemerintah tidak mempunyai pilihan selain 1) membebankan sebagian biaya tersebut kepada mahasiswa (melalui uang kuliah dan lain-lain), dan 2) mengundang keterlibatan swasta. Secara tradisional, kedua cara ini haram bagi negara- negara sosialis, namun kenyataannya banyak negara sosialis yang justru pertama mempraktikkannya. 309 Education International mencatat bahwa sejak awal 1980an, dengan alasan efisiensi, upaya untuk swastanisasi (privatization) sektor-sektor ekonomi tertentu yang dianggap sebagai sektor publik seperti sektor kesehatan dan pendidikan sudah terjadi atas tekanan dari beberapa negara dan organisasi internasional.310

309 UNESCO . A New Dynamic : Private Higher Education. A World Conference on Higher Education. UNESCO. 2009. Hal 29 Vietnam,sebagai negara komunis, juga telah menganut neo liberal (capitalist) dalam pendidikan tingginya. Baca : Hien Nguyen, Michelle Nilson, Allan MacKinnon. Marketization Of Higher Education In Vietnam In The Era Of Neoliberal Globalization: The Institutional Practice At Vietnam National University, Hanoi.International Journal of Knowledge, Culture& Change Management. Vol.10. Diakses dari http://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/7946522/M10_23379_MarketizationofHigherEducati oninVietnamintheEraofNeoliberalGlobalization_final%283%29.pdf?AWSAccessKeyId=AKIAIR6FSIM DFXPEERSA&Expires=1367481484&Signature=Q65ay5FHjMbRGKJ0BC6plFClriU%3D Tanggal 20 Januari 2013 310 Education International. Resolution on the Dangers of Privatisations of Public Education. Diakses dari http://pages.ei-ie.org/library/libraries/detail/123 pada tanggal 2 April 2012

Universitas Sumatera Utara Dengan beberapa fakta tersebut, maka praktik transnational higher education menjadi sesuatu yang tidak mungkin dibendung baik dikarenakan faktor eksternal yaitu trend globalisasi yang melanda dunia maupun karena faktor internal seperti kurangnya kualitas pendidikan tinggi dalam negeri, ketidakmampuan pemerintah dalam memenuhi permintaan atau ketersediaan perguruan tinggi (faktor keuangan). Gejala tersebut bahkan akan menjadi semakin kuat kedepan khususnya setelah secara formal dan legal

WTO melalui GATS telah memasukkannya sebagai satu komoditas perdagangan internasional (commodification).

2. Pelaksanaan dan Hambatan dalam Liberalisasi Perdagangan Jasa Pendidikan

Tinggi

Pelaksanaan cross border education mempunyai cakupan yang sangat luas karena melibatkan paling tidak 4 unsur yaitu people, program, provider, dan projects& services311 yang dalam konteks GATS dilaksanakan dengan 4 cara (modes of supply), yaitu cross border supply, consumption abroad, commercial presence dan presence of natural persons. People terdiri dari mahasiswa (peserta didik) dan dosen yang mengajar atau melakukan penelitian/konsultan. Program adalah kegiatan akademik yang diselenggarakan, misalnya dalam bentuk kerja sama double degree. Provider adalah perguruan tinggi atau perusahaan penyelenggara pendidikan atau pelatihan, dan projects

311 Jane Night. GATS, Trade and Higher Education: Perspective 2003 - Where are we?The Observatory on borderless Higher Education. May.2003. Hal. 23-24

Universitas Sumatera Utara adalah diluar ketiga unsur di atas seperti riset, pengembangan kurikulum, bantuan teknis, dan lain-lain.312

Masing-masing negara mempunyai peraturan sendiri di dalam melaksanakan unsur- unsur tersebut. Indonesia, misalnya, hanya mengakui perkuliahan jarak jauh yang dilaksanakan oleh perguruan tinggi yang memiliki ijin khusus untuk itu. Kendala- kendala yang muncul dari cross border education tersebut berbeda sesuai dengan cara bagimana cross border education diimplementasikan.

a. Cross border supply

Cross border supply adalah satu cara dimana penyedia jasa pendidikan tinggi

(higher education service providers) dan pengguna jasa pendidikan tinggi (students) melakukan transaksi (proeses pendidikan) tanpa harus meninggalkan tempat tinggal atau pekerjaan mereka. Proses pendidikan tersebut dilakukan melalui jarak jauh (distance delivery). Perdagangan jasa pendidikan tinggi ini umumnya dilaksanakan melalui pemanfaatan teknologi informasi (internet). Bentuk yang umum dari pelaksanaan perdagangan ini adalah atau e-education, virtual universities, dan lain-lain. 313 Namun

312 Ibid. 313 Distance delivery education ini termasuk salah satu bentuk pelakasanaan pendidikan tinggi di Indonesia yang telah diatur di dalam Permendikbud No. 24 tahun 2012 tentang Perkuliahan Jarak Jarak(PJJ) , dimana pelaksanaannya dapat dilakukan untuk tingkat program studi dan mata kuliah. Namun pelaksanaan PJJ ini tidak sama persis dengan cross border supply karena PJJ hanya satu bentuk dari pelaksanaan perkuliahan. Dengan demikian yang dapat melakukan PJJ adalah perguruan tinggi yang mempunyai ijin penyelenggaraan pendidikan tinggi serta mendapat ijin untuk penyelanggaraan PJJ tersebut dari Dirjendikti, sementara ijin PJJ tingkat mata kuliah mendapat pertimbangan dari Senat kemudian dilaporkan kepada Dirjendikti. Di dalam Pasal 2 Ayat (2) Permendikbud No.24 tahun 2012 tersebut dinyatakan bahwa tujuan PJJ adalah untuk meningkatkan perluasan dan pemerataan akses terhadap pendidikan yang bermutu dan relevan sesuai kebutuhan.

Universitas Sumatera Utara pasar yang tertarik dengan mode of supply ini relatif kecil karena satu kelemahannya adalah sulitnya melakukan monitor akan kualitas pendidikan tinggi tersebut. 314

WTO mengidentifikasi beberapa hambatan yang umum terjadi dalam perdagangan jasa termasuk jasa pendidikan tinggi pada cross border supply ini sebagai berikut :315

1. Inappropriate restrictions on electronic transmission of course materials. 2. Economic needs test on suppliers of the services in question) 3. Lack of opportunity to qualify as degree granting institution 4. Requirement to use local partners, with at the same time a barrier against entering into and exiting from joint ventures with local or non-local partners on a voluntary basis 5. Excessive fees/taxes imposed on licensing or royalty payments 6. Restrictions on use/ import of educational material

b. Consumption Abroad

Perdagaangan jasa pendidikan tinggi dengan mode Consumption Abroad adalah cara dimana pengguna jasa pendidikan tinggi (students) meninggalkan negaranya dan pergi ke negara penyedia jasa untuk mendapatkan pendidikan tinggi (kuliah). Karena mode of supply ini cenderung lebih sederhana dibandingkan dengan mode of supply lainnya, maka hampir semua negara berkomitmen tidak membuat batasan.

Hambatan yang umum muncul pada consumption abroad ini adalah :316

a. Measures that restrict the entry and temporary stay of students, such as visa requirements and costs, foreign currency and exchange controls. b. Recognition of prior qualifications from other countries c. Quotas on numbers of international students in total and at a particular institution d. Restrictions on employment while studying e. Recognition of new qualification by other countries

314 Jane Knight. Op.Cit.Hal 30 315 GATS overview document.Diakses dari http://www.aic.lv/rec/Eng/new_d_en/gats/ GATS_ ovw.html tanggal 8 Okotober 2012 316Ibid

Universitas Sumatera Utara

c. Commercial Presence.

Perdagaangan jasa pendidikan tinggi dengan Commercial Presence adalah salah satu cara dimana perguruan tinggi asing sebagai penyedia jasa pendidikan tinggi hadir secara langsung di satu negara untuk “menjual” jasa pendidikan tinggi. Selain kehadiran secara langsung perguruan tinggi asing tersebut, mode of supply ini dapat juga dilakukan melalui kerja sama dalam bentuk pembukaan kampus cabang (branch campus), atau dengan Sistem frenchise, satellite campus, dan twinning arrangements.

Mode of supply ini merupakan satu cara yang potensial untuk berkembang pada masa depan, namum cenderung kontroversial karena keterkaitannya dengan aturan mengenai foreign direct investment di masing-masing negara. 317

Hambatan yang umum muncul pada commercial presence ini adalah :318

1. The inability to gain the required licences to grant a qualification 2. Subsidies provided solely to local institutions 3. Nationality requirements 4. Restrictions on recruitment of foreign teachers 5. Government monopolies 6. Difficulty in obtaining authorization to establish facilities 7. Prohibition of higher education, adult education and training services offered by foreign entities)

d. Presence of Natural Persons.

317 Mahmul Siregar mengatakan adanya kepentingan nasional yang berbeda-beda mengakibatkan kesulitan dalam merumuskan kesepakatan internasional dalam bidang penanaman modal langsung (foreign direct investment). Baca : Mahmul Siregar, Hukum Penanaman Modal Dalam kerangka WTO, (Medan: Puskata Bangsa Press, 2011) hal .3 Indonesia melalui Perpres No. 36 tahun 2010 telah membuat ketentuan bahwa maksimum kepemilikan asing pada lembaga pendidikan di Indonesia adalah 49%. 318 GATS overview document.Op.Cit

Universitas Sumatera Utara Presence of Natural Person adalah salah satu modus perdagangan jasa internasional dimana seseorang meninggalkan negaranya dan pergi negara lain untuk memberikan jasa pendidikan tinggi. Sebagai contoh adalah seorang professor dari Universitas

Sumatera Utara mengajar di Universitas Sains Malaysia. Yang masuk ke dalam modes of supply ini bukan hanya dalam pelaksanaan pengajaran di luar negeri tetapi juga pelaksanaan penelitian. Intinya adalah kepergian seorang profesional ke luar negeri dalam rangka pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan pemberian jasa pendidikan tinggi.

Hambatan-hambatan yang umum muncul pada mode of supply ini adalah :319

1. Measures that restrict the entry and temporary stay and work for the service suppliers, such as immigration barriers, nationality or residence requirements, quotas on number of temporary staff, employment rules. 2. Economic needs test 3. Recognition of credentials 4. Minimum requirements for local hiring being disproportionately high 5. Repatriation of earnings is subject to excessively costly fees or taxes for currency conversion

Selain hambatan-hambatan tersebut di atas, hambatan yang lazim muncul untuk

Cross border supply, Consumption Abroad, dan Commercial Presence adalah:

1. Kurangnya transparansi dalam aturan pemerintah kerangka pendanaan;

2. Aturan hukum dalam negeri yang tidak adil;

3. Adanya subsidi tersembunyi ( hidden subsidies);

4. Perlakuan pajak yang diskriminatif; dan

319 Ibid

Universitas Sumatera Utara 5. Keterlambatan/penundaan penjelasan atau informasi yang dibutuhkan (tidak

ada kepastian persetujuan)

Munculnya hambatan-hambatan ini diakibatkan oleh adanya kepentingan nasional, keadaan ekonomi, sosial, dan politik yang berbeda-beda dari masing-masing negara anggota. Hambatan-hambatan ini biasanya sangat halus dan terkesan tersembunyi yang dilakukan melalui kebijakan-kebijakan dan aturan hukum dalam negerinya. 320

Disamping itu, persepsi masing-masing negara terhadap persyataran-persyaratan tersebut tidak sama, karena bagi negara pengimport persyaratan tersebut bukan merupakan barriers tetapi upaya menjaga kepentingan nasionalnya. Pada sisi lain, persyratan tersebut merupakan barriers bagi negara lain karena merasa kesulitan dalam memenuhinya. Amerika Serikat misalnya telah meminta beberapa negara untuk menghapus hambatan dalam perdagangan pendidikan tinggi sebagai berikut:

Tabel 11. Tabel Permohonan Penghapusan Hambatan (barriers) Perdagangan Pendidikan Tinggi oleh AS kepada Beberapa Negara

320 Ajitava Raychaudhuri Op.Cit. Hal. 73

Universitas Sumatera Utara

Sumber: Jane Knight, May 2003

3. Pro Kontra Liberalisasi Perdagangan jasa Pendidikan Tinggi

Praktek cross border education sebenarnya sudah terjadi sejak lama, sebelum adanya GATS yang dilatarbelakangi oleh berbagai kepentingan seperti politik, agama, sosial, dan lain-lain. Misalnya pada tahun 1990an Amerika Serikat dan pemerintahan

Quing bekerja sama dalam pendidikan tinggi (Tsinghua College). Kerja sama tersebut diyakini akan berdampak pada ekonomi dan kebudayaan kedua negara.321 Bagi Amerika kerja sama tersebut akan bermanfaat untuk menanamkan pengaruh di Cina, melatih

321 Su-Yan Pan. University Autonomy, The State, And Sosial Change In China. (Hongkong. Hongkong University Press. 2009). Hal 65

Universitas Sumatera Utara masyarakat Cina agar menjadi mitra bisnis pada masa yang akan datang, dan untuk mendapatkan dukungan politik pada masa yang akan datang.322

Bagi Indonesia sendiri, cross border education bukan hal yang baru. Cara yang dikenal di dalam GATS sebagai presence of natural person misalnya sudah terjadi pada tahun 1970an dimana Indonesia mengirim guru-guru ke Malaysia untuk mengajar.

Namun demikian cross border education yang difasilitasi oleh GATS tetap menimbulkan perdebatan diantara berbagai kelompok stakeholder seperti lembaga pendidikan, organisasi guru, mahasiswa dan orang tua murid.323 Penyebabnya adalah cross border education sebelum era GATS hanya merupakan bagian kerja sama internasional, sementara dalam era GATS, cross border education merupakan praktik perdagangan pendidikan. Dengan perkataan lain, pendidikan pada era GATS adalah komoditas perdagangan internasional.

Para penentang pendidikan tinggi sebagai bagian dari perdagangan dalam GATS yang umunya LSM, konsumen, dan kelompok-kelompok masyarakat pemerhati kepentingan publik, mengkhawatirkan dampak dari komodifikasi pendidikan dalam

GATS yaitu hilangnya kedaualatan negara dalam mengatur pendidikan tinggi di negaranya. Mereka beranggapan bahwa negara maju akan memaksa negara lain untuk membuka sektor jasa mereka untuk perdagangan dan investasi melalui lobi-lobi dan tekanan. Hal ini akan mengakibatkan jasa pendidikan tersebut diambil alih oleh perusahaan multinasional (privatisasi).

322 Ibid. Hal 66 323 Raymond Saner and Sylvie Fasel. Op.Cit

Universitas Sumatera Utara Kekhawatiran lainnya adalah bahwa GATS hanya akan melayani kepentingan negara-negara maju karena adanya ketidakseimbangan kapasitas antara negara maju dan dan negara sedang berkembang (Asymmetric liberalization). Dengan perkataan lain bahwa manfaat dari perdagangan jasa pendidikan tinggi hanya akan dirasakan oleh negara-negara maju.

Hilangnya fungsi perguruan tinggi publik (PTN) sebagai penyedia pendidikan publik juga dikhawatirkan oleh para pengkritik GATS karena praktiknya lembaga pendidikan (PTN atau PTS) yang melakukan usahanya di luar negeri akan dianggap sebagai badan privat (private provider) oleh negara penerima (host country). “ It is impotant to note that while traditional institutions may be public or private in their own country, in most cases, but not all, as soon as they cross a border they functionally become a private entity in terms of legislation in the receiving country. “ 324 Santosh

Kumar Madugula mengatakan bahwa perguruan tinggi publik (PTN) dapat saja diminta untuk beroperasi di luar negeri dengan status sebagai PTS. Public universities from other countries may be asked to open up education service in other countries as ‘private education service providers’325

324 UNESCO. Op.Cit. Hal 13 Dalam kaitan membuat perjanjian internasional, Suhaidi dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Badan Legislasi dalam rangka penyusunan RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional pada tanggal 20 Juli 2011 mengatakan bahwa Pemerintah Daerah bisa melakukan hubungan luar negeri dalam hubungan privat bukan hubungan publik dan Pemerintah Daerah harus berkomunikasi dengan Pemerintah Pusat, karena yang bertanggung jawab adalah negara (anggota masyarakat internasional adalah negara/state). Diakses dari http://www.lapsing_ RDPU_BALEG_dengan_PROF.DR.SUHAIDI_S.H_MHUM_DAN_DRS_AYUM_MOHSIN_MA_TGL _20_JULI_2011.pdf pada tanggal 5 Desember 2012. Jika demikian halnya maka perjanjian kerja sama internasional yang dilakukan oleh PTN dengan PTA merupakan hubungan privat. 325 Santosh Kumar Madugula. Op.Cit

Universitas Sumatera Utara Organisasi dosen di India yang tergabung di dalam AIFUCTO juga menentang pendidikan sebagai komoditas perdagangan. Lebih lanjut dikatakan bahwa membuka akses pendidikan dalam kerangka GATS akan merusak kepentingan nasional India.

Bahkan organisasi ini mempertanyakan mengapa menteri perdagangan yang mendiskusikan pendidikan di forum GATS. 326 Internastional Education juga berpendapat bahwa GATS merupakan perjanjian yang berbahaya karena hanya didorong oleh pertimbangan ekonomi tanpa memperhatikan hakikat jasa tersebut, dalam hal ini pendidikan tinggi. 327

Namun demikian, Michael R. Czinkota menyatakan bahwa “ Higher education may see itself exempt from international service industry rules, but it certainly is not immune from rules of economics, particularly when it comes to issues of supply, demand, and money”328 Apa yang disampaikan oleh Michael di atas menunjukkan bahwa praktik cross border education sebagai satu kenyataan yang sedang terjadi dengan sendirinya akan mengikuti hukum ekonomi walaupun secara teori dinyatakan bahwa pendidikan bukan komoditas. Lebih lanjut Michael R. Czinkota memberikan 6 alasan mengapa liberalisasi pendidikan tinggi perlu dilakukan melalui GATS :329

1. Knowledge is crucial to advancement anywhere around the world.

326 AIFUCTO Disappointed with GoI on Handling of WTO ‘Plurilateral’ Negotiations Harmful. Why should Commerce Ministry handle and mess up education?University Today. Vol XXVI, No 18. 15 September 2006. Diakses dari http://www.universitytoday.net/15sep06.pdf 327 Education International. Globalization, Trade, and Higher Education. Diakses dari http://old.ei- ie.org/ highereducation/file/(2004)%20Higher%20Education%20package%20en.pdf pada tanggal 20 Mei 2012 328 Michael R. Czinkota. Loosening The Shackles: The Future Of Global Higher Education. Disampaikan pada Symposium On Cross-Border Supply Of Services di Geneva, pada tanggal 28-29 April 2005, Diunduh dari www.wto.org/english/tratop_e/serv_e/sym_april05_e/czinkota_education _e.doc t5anggal 10 Sept. 2012 329 Ibid

Universitas Sumatera Utara 2. In spite of much support and good will, higher education remains a high privilege or entirely elusive for large portions of the global population. 3. Unlike in earlier times, the key constraint to progress is not the availability of knowledge but its distribution, absorption and application. In its role as a global channel of distribution higher education has become a bottleneck. 4. to ease the problem, major funding and productivity enhancements are required. 5. International competition offers the key opportunity to boost productivity and attract resources. 6. Institution and program mobility will be particularly instrumental in global capacity building. 7. The application of GATS rules will play a crucial facilitating role in causing the above six steps to happen more quickly and widely around the world.

Patrick O'Meara memandang pentingnya internasionalisasi pendidikan dari dari perpektif yang berbeda, yaitu manfaat yang bersifat non akademik. Beliau mengatakan bahwa :

“The reason for emphasizing global or intercultural education is to help ensure that students have the ability to understand themselves in relation to those who are from different background, and of understanding others in relation to themselves. To accomplish this, we need to study differences by making comparisons in many dimensions. To ignore beliefts and values, customs,and institutions, both over time and from place to place” 330

Kelompok yang khawatir dengan komersilasasi pendidikan cenderung melihat berkembangnya kampus-kampus cabang (offshore) merupakan ancaman terhadap eksistesisteni Sistem pendidikan publik karena mereka akan bersaing dengan kampus asing tersebut.331 Philip Altbach mengatakan bahwa jika pendidikan tinggi diatur oleh

WTO maka akan mengakibatkan hilangnya otonomi akademik. Menurut beliau, akan sulit menerapkan peraturan tentang hak patent, hak cipta, dan perizinan, dan aturan-

330 Patrick O'Meara,Howard D. Mehlinger,Roxana Ma Newman .Changing Perspectives on International Education. (Bloomington.Indiana University Press. 2001). Hal 165 331 Grant McBurnie and Christopher Ziguras. Op.Cit. Hal 1

Universitas Sumatera Utara aturan perdagangan terhadap lembaga pendidikan. Pendidikan asing yang masuk dalam suatu negara tertinggal dengan kesulitan-kesulitan diatas tanpa memperhatikan budaya akademik lokal, dapat secara tidak langsung menggantikan konsep dan praktek pendidikan tinggi negara yang bersangkutan. Dikatakan : 332

“ …… maintained that higher education regulated by the World Trade Organization would result in a loss of academic autonomy. According to his theory, individual nations would find it difficult to enforce copyright laws, patent and licensing regulations, and trade regulations on academic institutions, programs, and credentials from foreign education service providers. By providing hard-to- regulate educational programs to less developed nations without regard to the local educational culture, educational service providers may inadvertently supplant that country's educational ideas and practices.”

Hasil survey yang dilakukan International Association of Universities, sebagaimana dikutip oleh Cibele Cesca menunjukkan bahwa manfaat utama yang diperoleh perguran tinggi dari internasionalisasi pendidikan tinggi adalah pengembangan mahasiswa dan staff, penjaminan mutu standar akademik, dan kerja sama penelitian internasional.

Sementara resiko yang terbesar adalah terjadinya brain drain dan hilangnya identitas budaya; masalah brain drain ini paling banyak dikekhawatirkan oleh perguruan tinggi dari negara-negara Amerika Latin, dan Amerika Utara, namun tidak terlalu mengkhawatirkan perguruan tinggi di Asia. Pertanyaan lain yang muncul adalah apakah internasionalisasi ini dapat meningkatkan akses dan persamaan hak atas pendidikan tinggi, atau justru hanya orang-orang tertentu (kaya) yang mampu mengaksesnya. 333

332 Altbach Philip. Why Higher Education Is Not a Global Commodity." Chronicle of Higher Education May 11 2001.Jurnal Online. http://chronicle.com/article/Why-Higher-Education-Is-Not- a/21559 diakses tanggal 13 Juli 2012 333 Cibele Cesca. Internationalisation of Higher Education in Brazil: The debate on GATS and Other International Cooperation Initiatives. Thesis. Universiteit Van Amsterdam.2008 . hal. 9

Universitas Sumatera Utara Hasil penelitian Cibele Cesca dalam thesisnya menemukan bahwa kementerian pendidikan dan perguruaan tinggi Brazil tidak menggunakan GATS, tetapi internasionalisasi pendidikan guna memperbaiki kualitas sistem pendidikannya, berbagi pengalaman dan pengetahuan dengan perguruan tinggi mitra dari negara lain, serta mempersiapkan warganya untuk pasar tenaga kerja internasional. Bahkan beberapa perguruan tinggi telah menyiapkan strategi dan rencana untuk internasionalisasi tersebut walaupun kebanyakan mereka tidak mempunyai anggaran yang cukup untuk mengimplementasikannya. Praktik yang paling banyak dilakukan adalah melalui pertukaran mahasiswa, bukan mengirim mahasiswanya ke luar negeri, dan menarik minat mahasiswa asing untuk kuliah di negaranya dengan memberikan bantuan berupa akomodasi, makan, transport, dan asuransi kesehatan. 334

Cibele Cesca juga menginventarisir alasan Brazil memilih kerja sama internasional danmenolak GATS i:

Alasan memilih kerja sama internasional :335

1. Kerja sama internasional memberi kontribusi pada kedaulatan nasional dan

individu dengan mendukung 3 prinsip pendidikan sebagaimana terdapat di

dalam konstitusi Brazil.

2. Kerja sama internasional didasarkan pada kerja sama resiprokal

3. Kerja sama internasional berperan dalam peningkatan kualitas pendidikan

dan percpaian tujuan pendidikan nasional Brazil.

Sementara penolakan terhadap GATS didasarkan pada alasan bahwa :336

334 Ibid 335 Ibid. Hal 66

Universitas Sumatera Utara 1. GATS akan menggeser posisi pendidikan sebagai public service dan hak asasi

manusia menjadi komoditas

2. GATS berbahaya terhadap mekanisme pengawasan mutu dan regulasi nasional.

3. Jika membuat komitmen pada GATS, akan tidak mungkin untuk menarik

kembali

4. GATS merupakan perjanjian yang yang ambiguiti dan mengakibatkan

ketidakpastian.

Lee Man-Hee juga menginventarisir alasan-alasan masyarakat Korea menolak dan mendukung GATS sebagai berikut : 337

Alasan menolak GATS adalah Karena GATS :

a. Merusak lembaga pendidikan dalam negeri yang sedang krisis.

b. Menghilangkan identitas nasional dalam lembaga pendidikan karena

mahasiwa dan professesor asing akan masuk

c. Meningkatkan ketergantungan lembaga pendidikan Korea pada modal asing

d. Mengakibatkan komersialisasi pendidikan

e. Meningkatkan kesenjangan yang miskin dan kaya

Alasan mendukung GATS :

a. Memperbanyak pilihan akan pendidikan tinggi

336 Ibid 337 Lee Man-Hee. Cross-border higher education in the Republik of Korea: From Challenge to Opportunity. UNESCO Forum Occasional PaperSeries Paper no. 9. (ED-2006/WS/48) Makalah disampaikan di sampaikan pada Regional Seminar for Asia Pacific, Seoul, The Republik of Korea. 27-29 April 2005.

Universitas Sumatera Utara b. Meningkatkan kualitas pendidikan tinggi yang dirangsang oleh cross-border

education.

c. Memperkuat pelatihan tenaga kerja global denga biaya yang rendah.

d. Menyerap permintaan konsumsi luar negeri di dalam negeri

e. Mengurangi defisit anggaran yang diakibatkan oleh kuliah di luar negeri

f. Melaksanakan kewajiban sebagai anggota WTO dalam hal pembukaan pasar

4. Conditional Initila Offering Indonesia Untuk subsektor pendidikan tinggi (GATS)

Di dalam Paragraph 15 Ministerial Declaration pada tanggal 14 Nopember 2001 disebutkan :

The negotiations on trade in services shall be conducted with a view to promoting the economic growth of all trading partners and the development of developing and least-developed countries. We recognize the work already undertaken in the negotiations, initiated in January 2000 under Article XIX of the General Agreement on Trade in Services, and the large number of proposals submitted by members on a wide range of sectors and several horizontal issues, as well as on movement of natural persons. We reaffirm the Guidelines and Procedures for the Negotiations adopted by the Council for Trade in Services on 28 March 2001 as the basis for continuing the negotiations, with a view to achieving the objectives of the General Agreement on Trade in Services, as stipulated in the Preamble, Article IV and Article XIX of that Agreement. Participants shall submit initial requests for specific commitments by 30 June 2002 and initial offers by 31 March 2003.338

Berkenaan dengan hal tersebut, dalam Initial Offering yang disampaikan kepada

CTS pada 12 April 2005, Indonesia telah memasukkan pendidikan tinggi sebagai salah satu subsektor yang diliberalisasi.

338 WTO. Doha WTO Ministerial 2001: Ministerial Declaration.Diakses dari http://www.wto.org/ english/thewtoe/ministe/min01e/mindecl_e.htm pada tanggal 10 Agustus 2012

Universitas Sumatera Utara Tabel 12. Conditional Initial Offer Indonesia untuk Subsektor Pendidikan Tinggi

Modes of Supply (1) Cross border Supply (2) Comsumption Abroad (3) Commercial Presence (4) Presence of Natural Persons

Limitation on Limitation on Additional Sector or Subsector Market Access National Treatment Commitment Educational Services General conditions on education services : Commercial presence of the foreign service provider is permitted only through an education institution which is registered in Indonesia and must meet the following conditions :

1. Mutual recognition arrangement between relevant institutions on credits, programs, and certifications is required. 2. Foreign education institution providing services must establish partnership with local partner. Foreign language instructors must be native speakers. 3. Foreign education institution must be listed in the Ministry of Education’s List of Accredited Foreign Education and its local partner must be accredited. 4. Foreign education institution in cooperation with local partner may open education institution in the cities of Jakarta, Bogor, Bandung, Yogyakarta, and Medan. 5. Temporary entry for natural persons engaged in education activities in Indonesia is subject to approval by the Ministry of National Education. Approval is granted on case-by-case basis.

Higher education services 1) None 1) None (CPC 923) 2) None 2) None 3) See Horizontal Section and 3) Unbound General Conditions 4) Unbound except as indicated 4) Unbound in the Horizontal Section and General Conditions Post secondary technical and 1) None 1) None vocational education services 2) None 2) None (Polytechnique Machine and 3) See Horizontal Section and 3) Unbound Electrical) (CPC 92310) General Conditions 4) Unbound except as indicated 4) Unbound in the Horizontal Section and General Conditions

Sumber : Diolah dari Conditional Initial Offer yang disampaikan Delegasi Indonesia kepada CTS 12 April 2005.Diunduh dari http://www.ncc.gov.tw/english/files/08091/176_080916_3.doc tanggal 12 Des.2012

Universitas Sumatera Utara Mengacu pada data pada table 12 di atas, maka liberalisasi pendidikan tinggi sudah diimplementaikan oleh Pemerintah dengan memberikan komitmen untuk masing- masing modes of supply. Untuk Consumption Abroad dan Cross Border Supply,

Indonesia tidak memberikan batasan sama sekali baik untuk market access maupun national treatment (NONE) Hal ini berarti bahwa WNA asing yang ingin belajar di

Indonesia dan WNI yang ingin berlajar di luar negeri bebas tanpa ada batasan sama sekali.339

Untuk Commercial Presence, pada Market Access Lmitation, Indonesia memberi ketentuan bahwa kehadiran PTA di Indonesia harus memnuhi beberapa ketentuan, yaitu:

1. Adanya pengaturan bersama tentang pengakuan kredit kredit, program,

sertifikasi antara perguruan tinggi.

2. Penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh PTA harus melalui kerja sama dengan

perguruan tinggi Indonesia (partnership). Pengajar bahasa asing harus penutur

asli (native speaker).

3. PTA harus terdaftar sebagai lembaga pendidikan asing yang terakreditasi di

Kemendikbud dan lembaga pendidikan Indonesia yang menjadi mitra kerja

samanya juga harus terakreditasi.

339 Bandingkan dengan SK Dirjendikti No. 1840/D/T/2001. Di dalam SK tersebut terdapat ketentuan bahwa daya tampung mahasiswa asing di PTN untuk tiap program studi adalah maksimum 10%

Universitas Sumatera Utara 4. Penyelenggaraan pendidikan oleh PTA dengan Perguruan Tinggi Indonesia

boleh membuka lembaga pendidikan di Jakarta, Bogor, Bandung, Jogyakarta,

dan Medan.340

5. Untuk sementara kehadiran WNA dalam kaitannya dengan penyelenggaraan

pendidikan harus mendapat persetujuan dari Mendikbud. Pemberian ijin berbasis

pada kasus demi kasus, (case-by-case basis.)

National treatment limitation pada commercial presence adalah Unbound. Hal ini berarti bahwa Pemerintah masih bebas dalam membuat aturan-aturan atau kebijakan yang berkenaan dengan mode of supply tersebut. Dengan perkataan lain, otoritas

Pemerintah terhadap pengaturan pendidikan tinggi dalam konteks liberalisasi tersebut tidak berkurang.

Namun walaupun kontrol Pemerintah masih penuh atas penyelenggaraan pendidikan tinggi tersebut, permasalahan mendasar dari SC Indonesia di dalam GATS ini adalah payung hukum. Segala komitmen dan persyaratan yang diajukan oleh

Pemerintah dalam liberalisasi pendidikan tinggi tersebut selalu mengacu pada UU SPN, pada hal UU SPN mengatur tentang pendidikan termasuk pendidikan tinggi sebagai layanan publik, bukan pendidikan sebagai komoditas yang diperdagangkan. 341

340 Perdebatan kehadiran PTA di Indonesia umumnya berkisar pada kesiapan perguruan tinggi Indonesia (PTN dan PTS) dalam bersaing atau bekerja sama dengan PTA. Penentuan ke 5 daerah di atas mengindikasikan bahwa ke 5 daerah tersebut yang sudah siap. Namun tidak jelas apakah dalam menentukan ke 5 daerah tersebut dinilai berdasarkan kesiapan (mutu bersaing) atau Tingkat APK. 341 Lihat juga Lampiran Perpres. No.36 tahun 2010 dimana UU No. 20 tahun 2003 tentang SPN merupakan persyaratan akan kepemilikan asing pada bidang usaha Pendidikan.

Universitas Sumatera Utara C. Dampak GATS terhadap Pengaturan Pendidikan Tinggi di Indonesia

1. Konsekuensi Keikutsertaan Indonesia di dalam WTO/GATS

Melalui UU Nomor 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing of

The World Trade Organization342, Indonesia sepakat untuk mengembangkan kerjasama internasionalnya pada bidang perdagangan jasa internasional melalui ketentuan- ketentuan dan prinsip-prisip yang diatur di dalam WTO/GATS, dan sebagai konsekuensinya Indonesia berkewajiban untuk melaksanakan segala kesepakatan tersebut, termasuk meliberalisasi pendidikan tinggi . Abdul Manan mengatakan bahwa :

“ Dalam menghadapi perberlakuan WTO ini, Indonesia mau tidak mau harus mengadakan perubahan-perubahan yang berkaitan dengan hubungan ekonomi antarnegara di dunia ini. Perubahan tersebut harus pula diikuti dengan perubahan yang berkaitan dengan aspek hukum, terutama yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan yang perlu disesuaikan dengan perubahan pesat dalam perkenomian global dan regional.” 343

Pendapat yang relative sama juga disampaikan oleh Mohammad Sanwani Nasution:

Kemudian sehubungan dengan implikasi ketentuan GATT/WTO di Indonesia, hal lain yang kiranya perlu dilaksanakan adalah mengkalsifikasikan bidang-bidang hukum mana saja yang terkena pengaruh tersebut, sehingga terhadap ketentuan- ketentuan nasional yang telah ada perlu dihapus (abolishment), dimodernisasi, diperbaiki, ditingkatkan atau diadakan ketentuan yang baru sama sekali 344

Pembaharuan hukum ekonomi di Indonesia merupakan konsekuensi dari keikutsertaan Indonesia menandatangani perjanjian WTO yang lahir sebagai hasil perundingan putaran uruguay (Uruguay Round).345

342H.S Kartadjoemena.GATT dan WTO:Sistem,Forum dan Lembaga (Jakarta:UI Press.1997)hal. 237 343 Abdul Manan. Op.Cit. Hal.132 344 Mohammad Sanwani Nasution . Kontribusi Hukum Internasional terhadap Hukum Nasional (harmonisasi pengembangan hukum Nasional dengan Hukum Internasional dalam Menghadapi Era Perdagangan Bebas Pasca Pengesahan GATT/WTO). (Jakarta. Soefmedia.2010) Hal. 352 345 Bismar Nasution. Op.Cit Hal.3

Universitas Sumatera Utara Romli Atmasasmita mengatakan bahwa setelah diratifikasinya suatu perjanjian internasional melalui UU Pengesahan Konvensi melainkan harus ditindak lanjuti dengan serangkaian proses: harmonisasi substantive dan sinkronisasi kelembagaan terkait dalam pelaksanaan konvensi dimaksud; dan perancangan draft RUU sebagai implementasi atas isi konvensi dimaksud sehingga diterima sebagai sumber hukum nasional yang diakui di dalam sistem perundang-undangan berdasarkan UUD 1945.346

GATS mengamanatkan bahwa setiap negara anggota berkewajiban mempublikasikan semua kebijakan termasuk peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan general obligation yang dapat memperngaruhi perdagangan jasa

Each Member shall publish promptly and, except in emergency situations, at the latest by the time of their entry into force, all relevant measures of general application which pertain to or affect the operation of this Agreement. International agreements pertaining to or affecting trade in services to which a Member is a signatory shall also be published.347

Aturan perundang-undangan pendidikan tinggi di Indonesia sebagaimana dijelaskan pada pembahasan sebelumnya mengamanatkan bahwa pendidikan tinggi Indonesia adalah layanan publik yang tanggungjawab pengadaannya ada pada Pemerintah

(governmental auathority). Dengan demikian sesuai dengan bunyi Article I.3.(c) GATS bahwa pendidikan tinggi Indonesia tidak termasuk dalam cakupan GATS.

Waupun secara juridis pendidikan tinggi Indonesia tidak termasuk dalam ruang lingkup GATS, pada kenyataannya Indonesia dalam initial offering nya sudah

346 Romli Atmasasmita . Pengaruh Hukum Internasional Terhadap Proses Legislasi Makalah Disampaikan Pada, "Seminar Legislasi Nasional";Baleg DPR RI; Tanggal 21 Mei 2008 347 Article III.1 GATS

Universitas Sumatera Utara mengajukan market access untuk pendidikan tinggi. Bahkan dengan alasan untuk meningkatkan mutu pendidikan yang tertinggal jauh dari negara-negara lain, dan untuk kapitalisasi modal yang diperlukan untuk menyediakan pendidikan bermutu bagi jutaan penduduk usia pra-sekolah sampai penduduk usia pendidikan tinggi, Pemerintah

Indonesia menetapkan pendidikan tinggi sebagai bidang usaha yang terbuka untuk penanaman modal asing, dan menjadi bagian dari paket kebijakan liberalisasi yang ditetapkan melalui UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing, dan Perpres

No 77 tahun 2007 tentang Penetapan Bidang Usaha yang Tertutup dan Terbuka untuk

Penanaman Modal Asing 348.

Meliberalisasi pendidikan tinggi dengan tetap mengacu pada SPN akan merusak nilai-nilai pendidikan Indonesia sendiri karena latar belakang dan tujuan pendidikan tinggi pada SPN dan GATS tidak sama. Pendidikan tinggi di dalam SPN yang sarat dengan nilai-nilai filosofis, budaya, religi, dan kebangsaan dilatarbelakangi oleh upaya mencerdaskan bangsa untuk mencapau tujuan pendidikan nasional; sementara pendidikan tinggi di dalam GATS adalah kmoditas yang dilator belakangi oleh motif ekonomi (perdagangan). Oleh karena itu membiarkan nilai-nilai SPN diatur dengan ketentuan-ketentuan GATS akan membahayakan SPN itu. Tatjana Takševa mengingatkan “The implications of this trend for higher education in a global society

348 Perdagangan Pendidikan: Kontroversi Kebijakan Perdagangan Pendidikan. Diakses dari http://mansud. wordpress.com/2009/11/29/perdagangan-pendidikan-kontroversi-kebijakan-perdagangan- pendidikan/. pada tanggal 12 Juli 2012 Perpres No.77 tahun 2007 ini kemudian telah diubah dengan Perpres No. 36 tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal, dimana pendidikan tinggi menjadi salah satu sektor atau bidang yang terbuka untuk penanaman modal asing dengan kepemelikian modal asing maksimum 49% dengan persyaratan perijinan khusus sebagaimana diatur di dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang SPN.

Universitas Sumatera Utara need to be carefully evaluated for their impact on the traditional values associated with education in colleges and universities.” 349

Pada sisi lain, sebagai anggota WTO/GATS, Indonesia berkewajiban mematuhi segala kesepakatan yang sudah diambil, termasuk liberalisasi perdagangan jasa pendidikan tinggi.

Selain ancaman terhadap nilai-nilai pendidikan nasional, bagi Indonesia sebagai negara hukum, ancaman atau resiko yang paling berbahaya adalah terjadinya pelanggaran konstitusi; sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa pendidikan tinggi di

Indonesia adalah layanan publik (governmental authority), sehingga pendidikan dalam bingkai SPN tidak dapat dianggap komoditas. Oleh karena itu, untuk memberi payung hukum pada perdagangan jasa pendidikan di Indonesia, Pemerintah harus terlebih dahulu memisahkan secara jelas pengaturan tentang SPN dan perdagangan jasa pendidian tinggi (komersialisasi dalam rangka liberalisasi) melalui undang-undang.

SPN yang sarat dengan nilai-nilai filosofis, budaya, religi dan tujuan nasional

Indonesia tidak dapat dicampuradukkan dengan liberalisasi pendidikan tinggi.

Pencampuran keduanya dapat merugikan Indonesia karena komersialisasi pendidikan akan merusak SPN, dan juga mengesankan inkonsistensi Indonesia di dalam GATS.

Sebagai contoh, pemberian beasiswa kepada (calon) mahasiswa yang tidak mampu merupakan amanat undang-undang dan demi kepentingan nasional, sementara GATS dapat menganggap kebijakan tersebut sebagai pelanggaran terhadap prinsip national treatment.

349 Tatjana Takševa Chorney. Op.Cit

Universitas Sumatera Utara Aturan perundang-undangan pendidikan tinggi di Indonesia mengatur beberapa hal yang beraitan dengan dengan pendidikan asing. yang secara substansial jika dikaitkan

dengan ketentuan GATS dapat dikategotikan sebagai barriers. Beberapa ketentuan

tersebut dapat dilihat pada tabel berkut ini :

Tabel 13. Beberapa Ketentuan dalam Aturan Perundang-undangan Pendidikan Tinggi (domestic Regulation) yang potensial sebagai barriers menurut GATS Agreement

Barrier Menurut No Domestic Regulation GATS Penyelenggaraan pendidikan asing hanya dapat Pasal 90 Ayat 3 UU Article XVI.2 (c) 1 dilakukan untuk program studi tertentu/ Pendidikan inggi GATS Penyelenggaran Pendidikan tinggi wajib Pasar 90 Ayat 4 huruf (a) Article XVI.2 (e) 2 bersifat badan hukum nirlaba GATS Pasar 90 Ayat 4 huruf (d) Article XVI.2 (d) 3 Mengutamakan dosen WNI GATS Pasal 161 Ayat 3 huruf Article XVI.1 4 Mengikuti Standar Nasional Pendidikan (b) PP No.17 tahun 2010 GATS Pasal 161 Ayat 3 huruf Article XVI.1 5 Mengikuti Akreditasi oleh BAN-PT (d) PP No.17 tahun 2010 GATS Mengikutsertakan Dosen WNI paling sedikit Pasal 161 Ayat 7 PP Article XVI.2 (d) 6 30% No.17 tahun 2010 GATS Mengikutsertakan tenaga kependidikan WNI Pasal 161 Ayat 8 PP Article XVI.2 (d) 7 paling sedikit 80% No.17 tahun 2010 GATS Article XVII.3 PTN boleh memberikan beasiswa kepada Pasal 53A ayat 5 PP No. 8 GATS (National warga Negara asing 66 Tahun 2010. Treatment)

Sumber : Diolah dari berbagai aturan perundang-undangan

Secara juridis, ketentuan-ketentuan tersebut di atas tidak dapat dikategorikan sebagai barriers karena pengaturan tersebut berada dalam ruang lingkup SPN yang tidak masuk dalam cakupan GATS. Namun negara mitra dagang Indonesia (anggota WTO) akan menganggap hal tersebut sebagai barriers dan oleh karenanya akan mendesak

Pemerintah untuk menghilangkannya. Dalam hal yang demikian posisi Pemerintah akan menjadi dilematis, karena jika menghulangkan ketentuan tersebut maka akan merusak

Universitas Sumatera Utara atau mengganggu kepentingan pendidikan nasional. Mengabaikan tuntutan asing tersebut akan mempersulit posisi Indonesia pada perdagangan sektor lainnya karena pembatasan yang sama akan doperlakukan pada sektor lainnya senagai balasan atas pembatasan tersebut.

Oleh karena itu, hal terbaik yang dapat dilakukan Pemerintah adalah membuat paying hukum dalam bentuk undang-undang yang mengatur jasa pendidikan sebagai komoditas perdagangan di luar SPN. Dengan perkataan lain bahwa pendidikan tinggi sebagai layanan publik sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi dan aturan perundang- undangan harus diatur secara terpisah dengan pendidikan sebagai komoditas (industry jasa pendidikan tinggi).

Dengan adanya pengaturan yang terpisah sebagaimana dijelaskan di atas akan memberikan kepastian hukum bagi penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia baik penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagai layanan publik maupun sebagai komoditas.

Penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagai layanan publik, di luar GATS, akan mengacu pada SPN, sedangkan penyelenggaraan industri jasa pendidikan tinggi akan berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan bisnis dan sesuai dengan tuntutan GATS. Hal yang demikian akan memberi kepastian bagi investor pendidikan tinggi domestik maupun asing sehingga kedua sistim pendidikan tersebut dapat berjalan beriringan sesuai dengan sifatnya masing-masing.

Universitas Sumatera Utara 2. Komersialisasi Pendidikan Tinggi

Komersialisasi adalah perbuatan menjadikan sesuatu sebagai barang dagangan.350

Berangkat dari defenisi tersebut, maka pengertian komersialisasi pendidikan adalah perbuatan menjadikan pendidikan sebagai barang dagangan. Hal ini sejalan dengan konsep pendidikan di dalam GATS bahwa pendidikan adalah komoditas yang dapat diperdagangkan.

Jane Knight menyatakan bahwa GATS telah melahirkan beberapa kecenderungan dalam praktik serta kebijakan pendidikan tinggi yaitu 1) commercialization 2).

Privatization 3). Marketization dan 4). Liberalization. 351 Kecenderungan- kecenderungan tersebut terjadi bahkan akan semakin kuat pada masa yang akan datang sesuai dengan tujuan GATS yang secara progressif memperluas cakupan liberaliasasi perdagangan jasa termasuk jasa pendidikan tinggi,

Praktek komersilaisasi pendidikan sudah terjadi sebelum lahirnya GATS. “The roots of market-based education stretch as far back as classical Greece in the fifth century B.C., when proprietary schools and travelling teachers for hire, known as sophists, provided instruction to students willing to pay for their services.352 Demikian juga di Indonesia, menurut Sosiolog dari Universitas Indonesia, Rochman Achwan, liberalisasi pendidikan tinggi di Indonesia sudah terjadi sejak tahun 1990an dimana

Pemerintah melakukan pemotongan anggaran untuk pendidikan tinggi dan menuntut

350 Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat. Departemen Pendidikan Nasional. (Jakarta Gramedia.2008) 351 Jane Knight. Op.Cit. Hal 47 352 Daniel L. Bennett, Adam R. Lucchesi, and Richard K. Vedder. Growth, Innovation and Regulation. A Policy Paper from the Center for College Affordability and Productivity July 2010. Diunduh dari http://heartland.org/sites/all/modules/custom/heartland_migration/files/pdfs/29010.pdf

Universitas Sumatera Utara mereka untuk membiayai dirinya sendiri sehingga PTN membuka berbagai program ektension dengan bayaran yang lebih mahal dan proses seleksi yang lebih mudah. Hal ini memberi keuntungan bagi PTN tetapi mengorbankan PTS karena jumlah pendaftar menjadi berkurang. 353

Liqing Tao mengatakan komersilasasi pendidikan terjadi dalam dua tingkatan, yaitu pada tingkat administratif dan tingkat pengajaran (administrative and instructional).

Pada tingkat administratif, lembaga pendidikan dikelola sebagaimana layaknya perusahaan; berfokus pada penganggaran berbasis biaya (budgetary cost-effect), adanya evaluasi produk dan lain-lain. Sementara pada level pengajaran, lembaga pendidikan menganggap proses belajar mengajar satu tahap memproduksi satu produk. 354

Brita Butler-Wall Ph.D. juga mengatakan bahwa praktek komersialisasi pendidikan terjadi dengan pemanfaatan lembaga pendidikan oleh perusahaan komersial.

“ The commercialization of education, carried out by global corporations, is the practice of altering or disrupting the teaching and learning process in schools from kindergarten through college, by introducing advertising and other commercial activities in order to increase profit.355

Larry mengatakan ada tiga alasan mengapa komersialisasi pendidikan terjadi, yaitu desperation, market opportunities, and ideology. Desperation (keputusasaan) terjadi karena adanya pemotongan anggaran untuk pendidikan, sehingga orangtua, guru,

353 Rochman Achwan. The Indonesian University: Living with Liberalization and Democratization. Diakses dari http://www.isa-sociology.org/universities-in-crisis/?p=767 354 Liqing Tao, Margaret Berci and Wayne He. The Commercialization of Education. Diakses dari http://www.prolinkin.net/?p=355 pada tanggal 13 September 2012 355Brita Butler-Wall. Risks of Commercializing Education: Why We Need Commercial-Free Schools. Diakses dari http://www.scn.org/cccs/risks.pdf pada tanggal 12 September 2012

Universitas Sumatera Utara dan pengelola, walaupun tidak setuju dengan komersialisasi tersebut, menyadari tidak ada alternatif lain. Pada sisi lain perusahaan melihat bahwa lembaga pendidikan merupakan peluang pasar (market opportunities), sehingga perusahaan-perusahaan besar memmanfaatkan lembaga pendidikan tersebut untuk menjaga loyalitas konsumen untuk jangka panjang. Ideologi neo-liberal (ideology) mempercayai bahwa pasarlah yang menentukan. Dengan ideologi ini peranan negara akan berkurang melalui pemotongan anggaran pada program yang dapat mengurangi ketimpangan ekonomi. 356

Zeynep Varoglu mengatakan bahwa pendidikan tinggi sudah menjadi ladang bisnis yang menjanjikan karena meningkatnya permintaan akan pendidikan tinggi dan pada sisi lain cross border education dalam berbagai bentuk juga meningkat. 357 Jane

Knight bahkan mengatakan “Trade in higher education services is a billion dollar industry, including recruitment of international students, establishment of university campuses abroad, franchised provision and online learning.” 358 Hal ini tergambar dari

5 negara sebagai pengimport pendidikan.

Tabel 1Future4. Gambaran outlook Mahasiswaof International Internasional higher education : 5 Negara student Sumbers: top five source countries number of students growth rate Country a b b b b 2000 2005 2010 2020 2025 (%) China 218 437 437 109 760 103 1 937 129 2 973 287 11.0 Republic of Korea 81 370 96 681 114 269 155 737 172 671 3.1 India 76 908 141 691 271 193 502 237 629 080 8.8 Japan 66 097 65 872 68 544 71 974 73 665 0.4 Greece 60 486 68 285 73 399 84 608 89 903 1.6

Source : A .Bohm and others. Vision 2020: Forecasting International students mobility - A UK Perspective London, British Council.2004) a Estimtaed b ForecastSumber : A.Bohn and others.Vision 2020.Forecasting International students mobility –A UK Perspective. London,British Council.2004 356 Larry Kuehn. Op.Cit 357 Zeynep Varoglu. Op.Cit 358 Jane Knight. Trade in Higher Education Services: The Implications of GATS. The Observatory on Borderless Higher Education. March 2002. Hal 2 Diunduh dari http://www.unesco.org/education / studyingabroad/highlights/global_forum/gats_he/jk_trade_he_gats_implications.pdf tgl 1 Mei 2012

Universitas Sumatera Utara

Dengan argumen-argumen di atas dikaitkan dengan kondisi pendidikan di

Indonesia dimana penduduk usia pendidikan tinggi (usia 19-24 thn) yang berjumlah 24,8 juta dengan angka partisipasi perguruan tinggi yang baru sekitar 18 persen, maka

Indonesia merupakan pasar yang sangat menggiurkan untuk pasar pendidikan tinggi.359

Atas dasar itu, pengaturan liberalisasi jasa pendidikan tinggi (komersialisasi) mutlak diperlukan tidak hanya untuk memenuhi kewajiban Indonesia sebagai anggota WTO, tetapi juga untuk melindungi masyarakat Indonesia sebagai konsumen jasa pendidikan tinggi internasional dan mendorong praktisi dan investor pendidikan tinggi Indonesia untuk ikut serta secara aktif terlibat dan mengambil manfaat dari liberalisasi pendidikan tinggi tersebut.

Sebagaimana dijelaskan pada pembahasan tentang Pengaturan Penidikan Tinggi di

Indonesia pada bab sebelumnya bahwa pendidikan tinggi di Indonesia sesuai dengan amanat konstitusi, UU No. 20 tahun 2003 tentang SPN, dan UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi merupakan layanan publik yang penyelenggaraannya merupakan governmental authority, maka pengaturan liberalisasi pendidikan tinggi yang dimaksud harus berada di luar SPN. Pengaturan liberalisasi pendidikan tinggi di dalam

359 Menurut Laporan Bank Dunia “Era Baru dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia” yang terbit pada Juli 2007, volume pasar pendidikan Indonesia sekitar 2,8 persen dari PDB atau Rp. 76,2 trilyun pada 2004, termasuk pengeluaran Pemerintah Pusat dan daerah sebesar Rp. 62,5 triyun Pada 2007 total pengeluaran nasional untuk pendidikan berjumlah Rp. 126 trilyun dan pengeluaran pemerintah diperkirakan berjumlah Rp. 96 trilyun ( Baca: Perdagangan Pendidikan: KONTROVERSI KEBIJAKAN PERDAGANGAN PENDIDIKAN. Dapat diakses dari http://mansud. wordpress.com/ 2009/11/29/ perdaganganpendidikan-kontroversi-kebijakan-perdagangan-pendidikan/)

Universitas Sumatera Utara SPN akan mengakibatkan konflik dalam sistim hukum; dimana substansi hukum yang sama akan mengatur dua objek hukum yang saling bertentangan.

Oleh karena itu, sebagai perwujudan dari unifikasi dan harmonisasi hukum sebagai dampak GATS terhadap pengaturan pendidikan tinggi di Indonesia, pengelompokan (grouping) perguruan tinggi yang didasarkan pada sifat penyediaan jasa pendidikan tinggi tersebut mutlak dilakukan. Perguruan tinggi sebagai penyedia pendidikan tinggi sebagai layanan publik (non pofit higher education provider) tunduk pada ketentuan SPN, dan perguruan tinggi sebagai penyedia jasa pendidikan dalam kerangka liberalisasi perdagangan jasa internasional (for profit higher education provider) mengacu pada ketentuan GATS. Pengelompokan perguruan tinggi yang demikian dapat memberi kepastian bahwa Pemerintah tetap fokus pada tanggungjawabnya untuk mencerdaskan bangsa melalui SPN, dan pada waktu yang bersamaan secara konkrit mensukseskan tujuan GATS. Hal ini berarti bahwa Indonesia memerlukan legislasi yang baru yang khusus mengatur industri jasa pendidikan tinggi.

Universitas Sumatera Utara BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan terhadap ketiga permasalahan yang dirumuskan di dalam penelitian ini, maka disimpulkan bahwa :

a. Pengaturan pendidikan tinggi sebagai subsitim dari SPN di Indonesia sebagaimana diatur di dalam UUSPN merupakan perwujudan dari amanat pembukaan UUD 1945 yaitu untuk mencerdaskan bangsa. Penyelenggaraan pendidikan tinggi tersebut dilaksanakan oleh Pemerintah melalui PTN dan Masyarakat melalui PTS. Dengan demikian maka PTN dan PTS merupakan penyelenggara mission of state yaitu pendidikan tinggi sebagai layanan publik. Namun demikian aturan perundang-undangan memperlakukan PTN dan PTS secara diskriminatif dimana Pemerintah lebih banyak melaksanakan tanggungjawabnya pada PTN, sementara PTS dibiarkan lebih otonom khususnya dalam bidang pengelolaan dan pebiayaan pendidikan tinggi. b. Eksistensi pendidikan tinggi asing di Indonesia (commercial presence ) diakui di dalam UUSPN dan dan UU Pendidikan Tinggi sebagai bagian dari SPN. Penyelenggaraan pendidikan tinggi asing dapat dilakukan dalam bentuk program akademik, kehadiran dosen asing (natural persons), maupun secara langsung oleh PTA dengan bekerja sama dengan perguruan tinggi Indonesia. Penyelenggaraan pendidikan asing tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan- ketentuan yang diatur di dalam UUSPN dan UU Pendidikan Tinggi dengan tujuan meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Dengan demikian, pendirian PTA tidak dapat dilakukan di Indonesia. c. GATS berdampak terhadap pengaturan pendidikan tinggi di Indonesia karena adanya kewajiban hukum bagi Indonesia untuk menerima konsep pendidikan tinggi sebagai komoditas melalui UU No.7 tahun 1994 tentang Ratifikasi Pembentukan WTO. UUSPN dan UU Pendidikan Tinggi tidak mengenal konsep perdagangan jasa pendidikan tinggi sebagaimana konsep GATS. Akibatnya harmonisasi UUSPN dan UU Pendiddikan Tinggi sebagai domestic regulation terhadap GATS agreement tidak dapat dilakukan. Selain itu, pengaturan penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagai layanan publik yang diatur di dalam UUSPN dan UU Pendidikan Tinggi dari perspektif GATS dapat dikategorikan

Universitas Sumatera Utara sebagai barrier yang mengambat perluasan liberalisasi perdagangan jasa internasional, pada sisi lain, bagi Indonesia ketentuan tersebut merupakan perlindungan terhadap kepentingan dalam negeri yaitu mencerdaskan bangsa sehingga terjadi ketidakpastian hukum.

2. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka disaranan agar :

a. Pemerintah memberi perlakukan yang sama kepada PTN dan PTS mengingat penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh kedua lembaga tersebut merupakan mission of state atau layanan publik dalam rangka mencerdaskan bangsa dalam satu sistim yaitu SPN. Dengan memberikan perlakuan yang sama, maka biaya pendidikan tinggi pada PTS akan semakin terjangkau sebagaimana halnya pada PTN sehingga hak-hak konstitusional WNI untuk memperoleh pendidikan tinggi semakin terpenuhi. b. Pengaturan pendidikan tinggi asing di Indonesia (commercial presence) dalam bentuk kerja sama dalam bidang program akademik dan kehadiran dosen asing sebagai bagian dari SPN harus tetap dipertahankan sebagai bagian dari upaya peningkatan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia. Namun kehadiran PTA di Indonesia walaupun dalam kerangka kerja sama harusnya dihilangkan dari dari UUSPN dan UU Pendidikan Tinggi karena substansinya sama dengan kerja sama pada program akademik dan sumber daya manusia (natural persons). Namun demikian kehadiran PTA tetap juga diperbolehkan namun tidak di dalam kerangka SPN. c. Untuk memberi kepastian hukum bagi pelaksanaan liberalisasi perdagangan jasa pendidikan tinggi dalam kerangka GATS, maka sebagai dampak GATS terhadap pengaturan pendidikan tinggi di Indonesia, Pemerintah Indonesia perlu melakukan pengelompokan (gruoping) penyelenggara pendidikan tinggi di Indonesia yaitu penyelenggaraan pendidikan tinggi yang nonprofit dan for profit. Penyelenggaraan pendidikan tinggi nonprofit harus tunduk pada UU SPN dan UU Pendidikan Tinggi, sementara yang for profit tunduk pada ketentuan GATS. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu dibuat legislasi baru tentang Industri Jasa Pendidikan (Higher Education Industry Act) Dengan demikian akan tercipta kepastian hukum bagi investor pendidikan tinggi baik asing maupun domestik.

Universitas Sumatera Utara DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Abeng , Tanri. Managing Atau Chaos.Tantanagan Globalisasi dan Ketidak pastian. IPMP dan Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. 2000. Black , Donald. The Behaviour of law. Special edition.Emeral. Bingley. 2010. Friedman , Lawrence M. The Legal System: A Sosial Science Perspective, New York: Russell Sage Foundation, 1975 C , Zigural. Educational Technology in Transnational Higher Education in South East Asia, The Cultural Politics of Flexible Learning. Educational Tecnology Society. 2001 Delimatsis , Panagiotis. International Trade In Services And Domestic Regulations: Necessity, Tranparency, and Regulatory Diversity. New York. Oxford.2007. Drucker , Peter F.. The Age of Discontinuity.Guideliness to Our Changing Society. Transaction Publisher.New Brunswick. 1994. Higher Education Strategy Group .National Strategy for Higher Education to 2030. Report of the Strategy Group January 2011. Department of Education and Skills. Ireland.2011. Krajewski , Markus. National Regulation and Trade Liberalization in Services: The Legal Impact of The General Agreement on Trade in Services (GATS) on National Regulatory Autonomy. (The Netherland. Kluwer Law International.2003 Lubis , Solly. Paradigma Kebijakan Hukum Pasca Reformasi, dalam rangka ultah ke- 80 Prof. Solly Lubis, PT.Soefmedia. Jakarta. 2010 ...... Filsafat Ilmu dan Penelitian. Bandung. Mandar Madju. 1994 Marsh , Colin J. Key Concepts for Understanding Curriculum. Routledge. New York. 2009. McBurnie , Grant and Christopher Ziguras. Transnational Education: Issues and Trends in Offshore Higher Education. Routledge. Oxon.2007. Mertokusumo , Sudikno, Penemuan Hukum. Yogyakarta. Penerbit UAJY. 2010 Moleong , Lexy. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung. Remaja Rosdakarya. 2002 Munin , Nellie. Legal Guide to GATS. Kluwer Law Internastional.The Netherland.2010. Siregar , Mahmul, Hukum Penanaman Modal Dalam kerangka WTO. Medan: Puskata Bangsa Press, 2011 Nasution , Bismar. Hukum Kegiatan Ekonomi I, BooksTerrace & Library, Bandung, 2007 Oanda , Ibrahim O.,Fatuma N. Chege,Daniel M. Wesonga. Privatisation and Private Higher Education in Kenya: Implications for Access, Equity and Knowledge Production.Kodesria.2008. OECD. The Knowledge Economy. OECD/GD (96) 102. Paris 1996

Universitas Sumatera Utara O'Meara , Patrick, dkk.Changing Perspectives on International Education. Indiana University Press.Bloomington. 2001. Pan , Su-Yan. University Autonomy, The State, And Sosial Change In China. Hongkong University Press.Hongkong. 2009 Pita , Stefanus Hironimus. Perlawanan Serikat Mahasiswa Indonesia terhadap Neo- Liberalisme Pendidikan UWMY.Yogyakarta. 2009 Rahardjo , Satjipto. Hukum Progresif. Sebuah Sintesa Hukum Indonesia . Jogyakarta. Genta Publishing. 2009. Raychaudhuri , Ajitava and Prabir De, Barriers to Trade in Higher Education Services: Empirical Evidence from Asia-Pacific Countries . Asia-Pacific Trade and Investment Review Vol. 3, No. 2, December 2007. Riduan, Metode &Tehnik Menyusun Tesis. Bandung. Bina Cipta. 2004 Sauvé , Pierre, Robert Mitchell Stern. GATS 2000: New Directions in Services Trade Liberalization.The Brooking Institution.Washington.DC. 2000. Sefriani. Hukum Internasional. Suatu Pengantar.Jakarta. Rajawali Pers. 2011 Sharma , Promila. Education Administration. SB.Nangia.Darya Gan. 2007. Siregar , H.Ahmad Ramdhan. Globalisasi Persaingan Usaha. Humanioran.Bandung. 2011. Soekanto , Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta. Universitas Indonesia Press. 1996. Soekanto , Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat.Jakarta.PT Raja Grafindo Persada.2001 Soemitro , Ronny Hanitijo. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia 1982 Soewandi, Diktat Pengantar Ilmu Hukum. Salatiga. FH UKSW. 2005. Sunggono , Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001). Tilaar , H. A. R.. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21.Tera Indonesia. Magelang. 1998. Tilaak , Jandhyala.B.G.. Trade in Higher Education. The Role of General Agreement on Trade in Services. UNESCO. Internastional Instutute for Educational Planning. Paris. 2011. Tsani , Mohd. Bursan. Hukum dan Hubungan Internasional. Yogyakarta: Liberty. 1990 UNESCO . A New Dynamic : Private Higher Education. A World Conference on Higher Education. UNESCO. 2009. Waluyo , Bambang. Penelitian Hukum dalam Praktek (Jakarta: Sinar Grafika, 1996) Winch, Chirstopher and John Gingell. The Key Concept in The Philosophy of Education. Routledge World Trade Organization. A Handbook on the GATS Agreement: A WTO Secretariat Publikation.Cambridge University Presss. 2005...... Understanding the WTO. Switzerland. WTO Publikation. 2011 World University Service (WUS). The Lima Declaration on Academic Freedom and Autonomy of Institutions of Higher Education. Geneva: WUS, 1988

Universitas Sumatera Utara

B. JURNAL/ARTIKEL/KERTAS KERJA

Achwan , Rochman, The Indonesian University: Living with Liberalization and Democratization. Diakses dari http://www.isa-sociology.org/universities-in- crisis /?p =767http://www.wes.org/ewenr/02Sept/Feature.htm AIFUCTO, Disappointed with GoI on Handling of WTO ‘Plurilateral’ Negotiations Harmful. Why should Commerce Ministry handle and mess up education?University Today. Vol XXVI, No 18. Diakses dari http://www. universitytoday.net/15sep06.pdf Asshiddiqie , Jimly, Gagasan Negara Hukum Indonesia Diakses dari http://jimly .com/ makalah/namafile/57/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf Bashir , Sajitha, Trends in International Trade in Higher Education: Implications and Options for Developing Countries, dalam Working Paper, Number 6. The World Bank , Maret 2007 Bennett , Daniel L., Adam R. Lucchesi, and Richard K. Vedder. Growth, Innovation and Regulation. A Policy Paper from the Center for College Affordability and Productivity July 2010. Diunduh dari http://heartland.org/sites/all/modules/ custom/heartland_migration/files/pdfs/29010.pdf Center for Higher Education Research and Development (CHERD). Globalization, tarde liberalization, and Higher Education: Research Areas and Questions.Occassional paper in Higher Education No.10. The University of Manitoba. 2002 Diunduh dari http://umanitoba.ca/centres/ cherd/media/ OPHE10_Globalization.pdf pada tanggal 12 Juni 2012. Chaeruddin , Ali, Dampak beroperasinya Lembaga pendidikan tinggi asing di Indonesia, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No, 074 tahun ke-14, September 2008 Chanda , Rupa, GATS and its implications for developing countries: Key issues and concerns. DESA Discussion Paper No. 25. Nov. Unesco. 2002. Hal 12-13. Diunduh dari http://unesdoc.unesco.org/images/0014/001467/146742e.pdf Chorney , Tatjana Takševa, The Commercialization of Higher Education as a Threat to the Values of Ethical Citizenship. Diakses dari http://journals.ufv.ca/rr/ RR21/article-PDFs/chorney.pdf Czinkota , Michael R., Loosening The Shackles: The Future Of Global Higher Education. Disampaikan pada Symposium On Cross-Border Supply Of Services di Geneva, pada tanggal 28-29 April 2005, Diunduh dari www.wto.org/english/tratop _e/serv_e/sym_april05_e/czinkota_ education _e .doc pada tanggal 12 Mei 2012 Education International. Statement by Education International To the 7th Ministerial Conference of the World Trade Organisation, edisi 30 November – 2 December 2009, Geneva, Switzerland ………………………... Globalization, Trade, and Higher Education. Diakses dari http://old.ei-ie.org/

Universitas Sumatera Utara highereducation/file/(2004)%20Higher%20Education%20 pack age%20en.pdf pada tanggal 20 Mei 2012 ………………………... Resolution on the Dangers of Privatisations of Publik Education. Diakses dari http://pages.ei-ie.org/library/libraries/detail/123 pada tanggal 2 April 2012 Effendi , Sofian, Meluruskan Makna Pt-BHMN. diakases dari http://Sofian. Staff.Ugm.Ac.Id /Artikel/Meluruskan-Makna-Pt.Pdf tanggal 23 Agustus 2012...... Capital Flight” dan Pendidikan Tinggi. Diakses dari http://sofian.staff .ugm. ac.id/artikel/Capital-Flight-PT.pdf ...... Pendidikan Tinggi di Era Pasar Bebas: Tantangan, Peluang dan Harapan . Makalah disampaikan pada Seminar Nasional. Diselenggarakan oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah dan Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta, 2 Mei 2005 Feketekuty , Geza, Assessing the WTO General Agreement on Trade in Services And Improving the GATS Architecture. Diakses dari : http://www.commercial diplomacy.org/articles_ news/brookings.htm ...... Regulatory Reform and Trade Liberalization in Services. Diunduh dari http://www.commercialdiplomacy.org/articles_news/reg_reform_trade. htm pada tanggal 4 September 2012 Graewert , Tim, Conflicting Laws And Jurisdictions In The dispute settlement process of Regional trade agreements and the WTO. Diunduh dari http://www.law.Ntu .edu.tw/ center/ wto /project/ admin/SharePics/A_03_05%20pp %20287_Tim_Graewert.pdf Knight , Jane, Higher Education Crossing Borders: A Guide to the Implications of the General Agreement on Trade in Services (GATS) for Cross-border Education. A Report Prepared for the Commonwealth of Learning and UNESCO. Unesco.2006. ……………..., Five Truths about Internationalization. International Higher Education .Number 69: Fall 2012. The Boston College Center for International Higher Education. Diunduh dari http://www.bc.edu/content/dam/files/research _sites/cihe /pdf/IHEpdfs/ihe69.pdf ...... Trade in Higher Education Services: The Implications of GATS. The Observatory on Borderless Higher Education. March 2002 ...... GATS, Trade and Higher Education: Perspective 2003 - Where are we?. The Observatory on borderless Higher Education. May.2003. Hal. 23-24 Krajewski , Markus, Public Services And The Scope Of The General Agreement On Trade In Services (GATS), A Research Paper For Center For International Environmental Law (CIEL), Geneva, May 2001 Marchetti , Juan A., Developping Countries in the WTO Service Negotiation. Staff Working Paper ERSD-2004-06. Diunduh dari http://www.wto.org/english /res_e/ reser_e/ersd200406_e.htm pada tanggal 5 Mei 2012 Masaharu , Willy, BHP Paradigma Baru atau Privatisasi Pendidikan Diakses dari http://.www. suara pembaharuan.com, 2009.,

Universitas Sumatera Utara Muda , Wan Abdul Manan Wan, The Malaysian National Higher Education Action Plan: Redefining Autonomy and Academic Freedom Under the APEX Experiment disampaikan pada konferensi ASAIHL bertajuk UNIVERSITY Autonomy: Interpretation And Variation di Universiti Sains Malaysia, pada tanggal 12-14 December 2008. Nurdin. Jurnal Administrasi Pendidikan.USU. Vol. IX No. 1 April 2009 Nyborg , Per, GATS in the light of increasing internationalisation of higher education. Quality assurance and recognition. Diakses dari http://www.aic.lv/ rec/Eng/new_d_en/gats /HE_ GATS.html pada tanggal 4 Juni 2012 OECD. Changing patterns Of governance In higher education. Diakses dari http://www.oecd .org/ education/highereducationandadultlearning/35747684.pdf Pelawi, Freddy Josep, Penyelesaian sengketa WTO Dan indonesia. Diunduh dari http://docsonline.wto.org/GEN_searchResult.asp pada tanggal 30 Maret 2011 Philip, Altbach, Higher Education and the WTO: Globalization Run Amok. Diakses dari http://www.davidson.edu/academic/economics/kumar/Globalization%20Gr o up/altbach_Higher_Education_and_the_WTO_2001.pdf ...... Why Higher Education Is Not a Global Commodity." Chronicle of Higher Education May 11 2001.Jurnal Online. Diakses dari http://chronicle.com/ article/Why-Higher-Education-Is-Not-a/21559 Pradeepkumar , A.P dan F.J.Behr. Globalisation and internationalisation: European and German perspectives on higher education under GATS. Diunduh dari http://www.scribd.com/doc/17348780/ GATS-globalization-and internationalization-of-education pada tanggal 12 April 2012 Prasojo,Eko, Kontroversi UU BHP. Diakses dari http://enewsletterdisdik.wordpress . com/2008/12/21/kontroversi-uu-bhp/ Rachman , Yustisia, Pendalaman BHP. Diakses dari www.carakita.com, 2009. Raychaudhuri , Ajitava and Prabir, De Barriers to Trade in Higher Education Services: Empirical Evidence from Asia-Pacific Countries . Asia-Pacific Trade and Investment Review Vol. 3, No. 2, December 2007. Rawat , Deepa and S.S.S. Chauhan . The Relationship between Publik Expenditure And Status Of Education In India : An Input-Output Approach. disampaikan pada konferensi Internasional bertajuk Modelling Micro-Macro Interdependencies In Input Output Framework di Istanbul Technical University, Istanbul – Turkey, 2-7 July, 2007 R, Middlehurst, And Woodfield. The role of transnational, private, and for-provit Provision in Meeting Global Demand for Tertiary Education: Mapping, Regulation, and Impact . Case Study Malaysia. Summary Report. Report Commisioned by The Commonwealth of Learning and Unesco. 2010 Robert Sedgwick. The Trade Debate in International Higher Education Diakses dari http://firgoa.usc.es/drupal/node/19396

Universitas Sumatera Utara Robertson , Susan L., Globalisation, GATS and Trading in Education Services. Centre for Globalisation, Education and Societies University of Bristol, UK.2006. On- Line Paper.Diakses dari http://www.bris.ac.uk/education/research/centres/ges/publikations /04slr.pdf Saner , Raymond and Sylvie Fasel. Negotiating Trade in Educational Services within the WTO/GATS context. Diunduh dari http://www.aparnet.org/documents /0501 saner_ed_trade_ in_GATS.pdf Setiawan , Dani, Liberalisasi Pendidikan dan WTO. Diakses dari http://cpgmdepok. wordpress.com /2009/05/22/liberalisasi-pendidikan-dan-wto/ Shahabudin , Sharifah Hapsah Syed Hasan, Autonomy And Challenges For Unis. Diakses dari http://thestar.com.my/education/story.asp?sec=id%3D% 22more_ headlines_sec%22&file=/ 2012 /2/12/education/10698665 Sirat , Morshidi, Working Paper. Transnational Higher Education in Malaysia: Balancing Benefit and Concerns Through Regulations. October 2005. Penang. http://jpt.mohe.gov.my/PENYELIDIK/penyelidikan%20IPPTN/Resea rch%20Paper20on%20Transnational%20Higher%20Education%20in%20Mala ysia%20Balancing%20Benefits%20and%20c%20oncerns%20through%20Reg ulations/1.pdf Sitompul , Zulkarnaen, Liberalisasi Pendidikan : Kita Perlu Ikut ? Diakses dari http://zulsitompul.files.Wordpress.com/2007/06/untung-rugi-kehadiran- perguruan-tinggi -asing _artikel.pdf Stejar , Camelia, Higher Education: Publik Good Or Publik Service? Analysis from the perspective of International. Management & Marketing. Challenges for the Knowledge Society. Vol. 6, No.1. 2011. Suyitno , Y., Landasan filosofis pendidikan. Universitas pendidikan indonesia. 2009 Diakses dari http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEDAGOGIK/ 195009081 981011Y. _SUYITNO/LANDASAN_FILOSOFIS_PENDIDIKAN_DASAR. pdfY Tao , Liqing, Margaret Berci and Wayne He. The Commercialization of Education. Diakses dari http://www.prolinkin.net/?p=355 pada tanggal 13 September 2012 UNESCO. Higher Education in a Globalized Society. Unesco Education Position Paper. Unesco. 2004. Diunduh dari http://unesdoc.unesco.org/images/0013/001362/136247e .pdf Xu , Jian, WTO Members’ Commitments in Education Services. Diakses dari www.ccsenet.org/journal. html. pada tangal 20 Juni 2012 Wahab , Rochmat, Mengkritisi Sistem Pendidikan Nasional, Aktualisasi Otonomi Pendidikan dan Alokasi Anggaran Pendidikan. Diakses dari http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Rochmat%20Wahab,%20 M.Pd.,MA.%20Dr.%20,%20Prof.%20/SISTEM%20PENDIDIKAN%20NASI ONAL%20-%20 IAI% 20Al-Ghazali.pdf pada tanggal 13 Agustus 2012

Universitas Sumatera Utara Wall , Brita Butler, Risks of Commercializing Education: Why We Need Commercial- Free Schools. Diakses dari http://www.scn.org/cccs/risks.pdf pada tanggal 12 September 2012 E.B. Williams Library. From GATT to WTO. Diunduh dari http://www.ll. georgetown.edu/intl/guides/gattwto/print.html pada tanggal 20 Oktober 2012

World Education Service, International Academic Mobility Continues to Grow Despite Economic Downturn . Volume 25, Issue 8. September 2012 diakses dari http://www.wes.org/ ewenr/12sept/practical.htm.. Diakses dari WTO. Annual Report 2012. Diunduh dari http://www.wto. org/english /res_e/booksp_e/anrep_e/anrep12_e.pdf.

C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Undang-Undang No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Undang-undang Nomor 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi Undang-Undang No. 9 tahun 2009 Badan Hukum Pendidikan Undang-Undang No. 42 tahun 2005 Tentang Tunjangan Guru dan Dosen Undang-Undang No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Undang-Undang No. 7 tahun 1994 tentang Ratifikaasi Perjanjian Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement on Estabilishing the World Trade organization). Peraturan Pemerintah No. 66 tahun 2010 tentang perubahan PP No17 tahun 2010 Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 1999 tentang Badan Hukum Milik Negara Peraturan Pemerintah No. 48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 17 tahun 2010 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 26 Tahun 2007 Tentang Kerja Sama Perguruan Tinggi dl Indonesia Dengan Perguruan Tinggi Atau Lembaga Lain di Luar Negeri Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 232.U.2000 Tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi Dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa Keputusan Menteri Pendidikan dan kebudayaan Nomor 234/U/2000 Tentang pedoman pendirian perguruan tinggi

Universitas Sumatera Utara GATS Agreement

D. WEBSITE http://metrotvnews.com/index.php/metromain/newsvideo/2010/07/22/109655/Anggota- DPR-Ketahuan-Pakai-Ijazah-Palsu. Anggota DPR Ketahuan Pakai Ijazah Palsu. Diakses dari pada tanggal 11 Juli 2012. http://jambi.tribunnews.com/2012/02/29/20-persen-wakil-rakyat-diduga-gunakanijazah- palsu. 20 Persen Wakil Rakyat Diduga Gunakan Ijazah Palsu. Diakses pada tanggal 11 Juli 2012 http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/berita-pendidikan/12/02 /01/lyocn7 - bahas-soal-bangsa-pelajar-indonesia-dari-40-negara-berkumpul-di-malaysia. Bahas Soal Bangsa, Pelajar Indonesia dari 40 Negara Berkumpul di Malaysia http://www.wto.org/english/tratop_e/serv_e/_cbt_course_e/cls4pl_e. WTO. Basic purpose and Concepts diakses pada tanggal 1 Juni 2012 http://www.spmb.ubb.ac.id/?page=read&&id_menu=berita&&id=4&&judul=UU%20B HP%20Tidak%20Untuk%20Melegalkanj%20Komersialisasi%20Pendidikan.B erita SPMB/PMB/UMPTN/SMPTN/UN. http://www.deepdyve. com/lp/ springer-journals/experiences-in-the-internationalization- of-education-strategies-to-TuAvA0Wqdn. Experience in The Internationalization of Education : Strategies To Promote Equality of Opportunity at Monterrey Tech. diakses pada tanggal 10 April 2012 http://www.aic.lv/rec/Eng/new_d_ en/gats/ GATS_ ovw.html. GATS overview document. http://edukasi.kompas.com/read/2012/03/29/10552426/Jerman.Negara.Favorit.Mahasis wa.Indonesia. Jerman Negara Favorit Mahasiswa Indonesia http:/ /wonkdermayu .Word press.com /artikel/opini/.Korelasi Hukum Nasional dan Internasional. Diakses dari pada tanggal 8 Juli 2012 http:// aceh. tribunnews.com/2012/08/11/kemenkeu-sediakan-rp-106-t-untuk-beasiswa - s2-dan-s3. Kemenkeu Sediakan Rp 10,6 T untuk Beasiswa S2 dan S3. http://bctf.ca/publikations/NewsmagArticle.aspx?id=9954. Larry Kuehn. What’s wrong with commercialization of public education? http://edukasi.kompas.com/read/2012/09/07/14205512/Mahasiswa.di.Luar.Negeri.agar. Ditambah. Mahasiswa di luar negeri agar di Tambah. http://jdih.bpk. go.id/wp-content/uploads/2012/08/ Masyarakat-Diminta-Laporkan- Pungli-Pendidi kan.pdf. Masyarakat Diminta Laporkan Pungli Pendidikan . http://gurupintar.ut.ac .id/ component /content/article/177-masalah-pendidikan-di- indonesia.html. Masalah Pendidikan di Indonesia. Diakses Pada tgl 10 Sept. 2012. http://www.wto.org/english/thewto_e/ whatise/tif_e/ org6_e.htm. Members and Observers.Diakses pada tanggal 12 Oktober 2012 http://xa.yimg.com/kq/groups/16349324/1234197311/ name/Naskah+Kerja.pdf pada tanggal 20 September 2012

Universitas Sumatera Utara http://mansud.wordpress.com/2009/11/29/perdagangan-pendidikan-kontroversi kebijakan-perdagangan-pendidikan/.Perdagangan Pendidikan: Kontroversi Kebijakan Perdagangan Pendidikan. Naskah Kerja. PENDIDIKAN TINGGI DI EROPA:Pengalaman dan Masukan dari PPI Prancis, PPI Belgia, PPI Jerman dan PPI Swiss untuk Pendidikan Tinggi Di Indonesia. http://edukasi.kompas.com/read/2011/10/16/17041775/Perguruan.Tinggi. Asing . Bisa.Berdiri.di.Indonesia. Perguruan Tinggi Asing Bisa Berdiri di Indonesia. http://edukasi. kompas. com/read/2012/07/24/12590113/Perguruan.Tinggi.Asing. Bukan. Ancaman. Perguruan Tinggi Asing Bukan Ancaman http://forum. kompas.com/nasional/143404-banyak-akademisi-indonesiadimanfaat kan- malaysia.html. Pratikno. Banyak Akademisi Indonesia Dimanfaatkan Malaysia http://ban-pt.kemdiknas.go. id/index. php? option =com_ content & view=article&id=50&Itemid=55&lang=in . Proses Akreditasi. http://www.republika. co.id/ berita/nasional/umum/12/07/11/m7086w-pungutan-liar-di- instansi-sekolah, “Pungutan Liar di Instansi Sekolah” http://www.lapsing_RDPU_BALEG_dengan_PROF.DR.SUHAIDI_S.H_MHUM_DAN _DRS_AYUM_MOHSIN_MA_TGL_20_JULI_2011.pdf. Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Badan Legislasi dalam rangka penyusunan RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional http://www. kopertis 12.or.id /2011/ 04/28/seandainya-kopertis-tak-ada-lagi.html . SEANDAINYA KOPERTIS TAK ADA LAGI… http://www.wto.org/ english/thewto_e/ whatis_e/tif_e/agrm6_e.htm. Services: Rules For Growth And Investment. http:// www.unescap.org/tid/projects/gats10_sop.pdf. Services Negotiations Under The Gats: Background And Current State Of Play http://www.wto.org/english/tratop_e/serv_e/gatsqa_e.htm. The General Agreement on Trade in Services (GATS): objectives, coverage and disciplines. Diakses pada tanggal 10 Agustus 2012 . http://www.wto.org/english tratop_e/serv_e/gsintr_e .doc. The General Agreement On Trade in Services. An introduction. Dapat diakses pada Ten Things the WTO can do. Diakses dari http://www.wto.org/english/thewto_e /whatis _e/10thi_e/ 10thi00_e.htm http://portal.unesco.org/education/en/ev.phpURL_ID=21758&URL_DO=DO_TOPIC& URL_SECTION=201.html. Trade in Higher Education and GATS . http://forum. kompas. com/ sekolah-pendidikan/11589-uu-bhp-liberalisasi-dan-komer sialisasi-pendidikan.html. UU BHP: Liberalisasi dan Komersialisasi Pendidikan? Diakses pada tanggal 10 Oktober 2012 http://www.wto. org/english/tratop _e/serv_e/market_ access_negs_e.htm. WTO negotiations on market access

E. KAMUS

Universitas Sumatera Utara Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat. Departemen Pendidikan Nasional. Gramedia. Jakarta.2008

F. TESIS/ DISERTASI

Vlk , Aleš. Higher Education and GATS. Regulatory Consequences And Stakeholders’ Responses. Desertasi. University of Twente.2006. Diunduh dari http://www.utwente.nl/mb/cheps/publikations/publikations%202006/thesisvlk.pdf Cesca , Cibele. Internationalisation of Higher Education in Brazil: The debate on GATS and Other International Cooperation Initiatives. Thesis. . Universiteit Van Amsterdam. 2008

Universitas Sumatera Utara