LANGKAH STRATEGIS BANK PERMATA DALAM MENGATASI KERUGIAN (Djoko Hanantijo-IKPIA Perbanas Jakarta Email: [email protected])
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
LANGKAH STRATEGIS BANK PERMATA DALAM MENGATASI KERUGIAN (Djoko Hanantijo-IKPIA Perbanas Jakarta Email: [email protected]) Abstract The banking industry faces the challenge of slowing economic growth, geopolitical uncertainty and macroeconomic pressures in 2015 resulting in increasingly problematic loans and bad credit as measured by the ratio of Non Performing Loans (NPL) to financial distress. This was experienced by PT Bank Permata Tbk (BNLI), which reported a net loss of Rp.6.48 trillion in December 2016 due to an increase in reserve expenses against a decrease in credit quality. Bank Permata continues to take proactive steps with asset restructuring and financial restructuring to improve the company's performance by managing Non-Performing Loans through improving asset quality, tightening control of risks, strengthening capital structure and increasing capital through rights issues or Pre-emptive Rights (HMETD). The funds obtained are used to strengthen the company's capital structure and all will be used to finance the increase in productive assets in the context of business development. The financial performance of Permata Bank in early 2017 is good because it has a good business foundation with strong capabilities, dedicated employees, loyal customers, innovative products and services and strong support from the two main shareholders, namely Astra International and Standard Chartered Bank and also has a very good level of capital and liquidity. Keywords: financial distress, non performing loan, HMETD, right issue PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis merupakan suatu kondisi yang tidak dapat dihindari oleh semua pihak dan merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan perusahaan-perusahaan mengalami kesulitan keuangan atau financial distress. Krisis dapat menimpa berbagai aspek, tidak terkecuali aspek ekonomi dalam sektor perbankan. Pada tahun 1997, perekonomian Indonesia pernah mengalami krisis ekonomi yang salah satu akibatnya adalah bangkrutnya sejumlah bank yang tidak mampu untuk tetap melanjutkan usahanya dan berujung pada likuidasi. Terjadinya likuidasi pada sejumlah bank ini telah menimbulkan beberapa permasalahan yang berkaitan dengan stakeholder dan shareholder. Kondisi ini tentu saja membuat para investor dan kreditur merasa khawatir jika perusahaannya mengalami kesulitan keuangan yang bisa mengarah ke kebangkrutan. Tahun 2015 merupakan tahun yang penuh tantangan bagi industri perbankan, karena harus menghadapi berbagai permasalahan seperti pertumbuhan ekonomi yang melambat serta ketidakpastian geopolitik dan tekanan ekonomi makro. Dampak dari kondisi tersebut bagi industri perbankan adalah semakin meningkatnya kredit bermasalah yang disebabkan oleh kondisi beberapa sektor usaha yang masih lesu yang terkena imbas perlambatan ekonomi. Beberapa bank di Indonesia mengalami kondisi kesulitan keuangan dengan indikasi menurunnya perolehan laba bersih. Untuk melihat kondisi financial distress di perusahaan perbankan dapat diukur melalui laporan keuangannya. Laporan keuangan merupakan hasil akhir dari suatu proses akuntansi perusahaan yang dihasilkan oleh pihak manajemen dan memberikan informasi mengenai prestasi historis dari suatu perusahaan dan memberikan dasar untuk memberikan proyeksi dan peramalan dalam pembuatan kebijakan di masa depan. Berdasarkan laporan keuangan tersebut, maka akan dapat dihitung sejumlah rasio keuangan yang lazim dijadikan dasar penilaian tingkat keuangan bermasalah. Dengan menganalisis rasio-rasio keuangan terhadap kompenen laporan keuangan dapat diketahui seberapa baik kinerja keuangan bank tersebut. Salah satu faktor penyebab terjadinya kondisi financial distress pada suatu perusahaan perbankan adalah membengkaknya jumlah kredit yang bermasalah dan kredit macet yang dapat diukur dengen rasio Non Performing Loan (NPL). Hal tersebut dialami oleh PT Bank Permata Tbk (BNLI) yang melaporkan rugi bersih sebesar Rp6,48 trilliun pada Desember 2016 yang disebabkan oleh meningkatnya beban pencadangan terhadap penurunan kualitas kredit. A. Rumusan Masalah Rumusan masalah yang ditetapkan adalah berikut ini: 1. Apakah penyebabkerugian yang dialami Bank Permata? 2. Bagaimana langkah strategis Bank Permata dalam mengatasi kondisi kerugian? 3. Bagaimana hasil implementasilangkah strategis Bank Permata dalam mengatasi kondisi kerugian? B. Landasan Teori 2.1. Financial Distress Ross dkk (2016) mengatakan bahwa financial distress atau kesulitan keuangan adalah kondisi tekanan keuangan yang dialami oleh perusahaan yang disebabkan oleh beragam kejadian yang dapat menimpa perusahaan. Beragam kejadian tersebut antara lain seperti pengurangan dividen, likuidasi, kerugian dan menurunnya harga saham. Saat mengalami financial distress, perusahaan dihadapkan dengan situasi di mana arus kas operasi perusahaan tidak cukup untuk memenuhi kewajiban lancar, seperti kredit perdagangan atau beban bunga dan perusahaan dihadapkan dengan pengambilan keputusan untuk melakukan perbaikan secara cepat.Kesulitan keuangan dapat menyebabkan perusahaan mengalami kegagalan dalam memenuhi kewajibannya, dan mungkin melibatkan restrukturisasi keuangan atau restrukturisasi aset antara perusahaan, kreditor, dan investor ekuitasnya. Beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan oleh perusahaan untuk mengatasi kesulitan keuangan antara lain : 1. Menjual aset utama. 2. Melakukan penggabungan dengan perusahaan lain 3. Mengurangi belanja modal, penelitian dan pengembangan. 4. Menerbitkan sekuritas baru. 5. Bernegosiasi dengan bank dan kreditor lainnya. 6. Menukar hutang untuk ekuitas 7. Mengajukan permohonan pailit. Untuk langkah strategis nomor 1 hingga nomor 3 merupakan langkah strategis yang melibatkan restrukturisasi aset, sedangkan untuk nomor 4 hingga 7 merupakan langkah strategis yang melibatkansisi kanan neraca perusahaan dan merupakan contoh restrukturisasi keuangan. Dari penjelasan tersebut, maka financial distress dapat diatasi dengan melakukan restrukturisasi aset dan restrukturisasi keuangan, yaitu perubahan pada kedua sisi neraca. 2.2. Restrukturisasi, Likuidasi dan Reorganisasi Bramantyo (2004) mengatakan bahwa restrukturisasi adalah kegiatan merubah struktur perusahaan, dalam hal ini bisa berarti memperbesar atau memperkecil. Strategi restrukturisasi digunakan untuk mencari jalan keluar bagi perusahaan yang tidak berkembang, sakit atau adanya ancaman bagi organisasi, atau industri diambang pintu perubahan yang signifikan. Pemilik umumnya melakukan perubahan dalam tim unit manajemen, perubahan strategi, atau masuknya teknologi baru dalam perusahaan. Selanjutnya sering diikuti oleh akuisisi untuk membangun bagian yang kritis, menjual bagian yang tidak perlu, guna mengurangi biaya akuisisi secara efektif. Hasilnya adalah perusahaan yang kuat, atau merupakan transformasi industri. Restrukturisasi perusahaan bertujuan untuk memperbaiki dan memaksimalisasi kinerja perusahaan. Bagi perusahaan yang telah go public, maksimalisasi nilai perusahaan dicirikan oleh tingginya harga saham perusahaan, dan harga tersebut dapat bertengger pada tingkat atas. Menurut Ross dkk (2016), Likuidasi berarti langkah penghentian perusahaan sebagai kelangsungan usaha yang melibatkan penjualan aset perusahaan untuk upaya penyelamatan. Hasil perolehan penjualan setelah dikurangi biaya transaksi, didistribusikan ke kreditur sesuai urutan prioritas. Sedangkan Reorganisasi adalah pilihan untuk menjaga kelangsungan usaha perusahaan, seperti melibatkan penerbitan sekuritas baru untuk menggantikan sekuritas lama. C. Profil Bank Permata PT Bank Permata Tbk (BNLI) dibentuk sebagai hasil merger dari 5 bank di bawah pengawasan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), yakni PT Bank Bali Tbk, PT Bank Universal Tbk, PT Bank Prima Express, PT Bank Artamedia, dan PT Bank Patriot pada tahun 2002. Di tahun 2004, Standard Chartered Bank dan PT Astra International Tbk mengambil alih Bank Permata dan memulai proses transformasi secara besar-besaran didalam organisasi. Selanjutnya, sebagai wujud komitmennya terhadap Bank Permata, kepemilikan gabungan pemegang saham utama ini meningkat menjadi 89,12% atau masing-masing memiliki saham sebesar 44,56% sejak 2006 hingga per Desember 2016. Sedangkan sisa kepemilikan saham sebesar 10,88% dipegang oleh publik. Saat ini Bank Permata telah berkembang menjadi sebuah bank swasta utama yang menawarkan produk dan jasa inovatif serta komprehensif terutama di sisi delivery channel-nya termasuk Internet Banking dan Mobile Banking. Bank Permata memiliki aspirasi untuk menjadi penyedia jasa keuangan terkemuka di Indonesia, dengan fokus di segmen konsumer dan komersial. Melayani lebih dari 2 juta nasabah di 63 kota di Indonesia, per September 2016 Bank Permata memiliki 331 cabang (Cabang konvensional dan Syariah termasuk 304 layanan syariah), 22 Cabang Bergerak (Mobile Branch), enam Payment Point, 1012 ATM dengan akses di lebih dari 100.000 ATM (VisaPlus, Visa Electron, MasterCard, Alto, ATM Bersama dan ATM Prima) dan jutaan ATM di seluruh dunia yang terhubung dengan jaringan Visa, Mastercard, Cirrus. Berdasarkan Laporan Keuangan Tahunan Bank Permata dalam lima tahun terakhir, yaitu tahun 2012-2016, Bank Permata mengalami penurunan labadimulai pada tahun 2014. Pada tahun 2015 terjadi penurunan laba bersih sebesar 84 persen menjadi Rp 247 miliar yang disebabkan oleh meningkatnya biaya provisi sebagai konsekuensi dari naiknya kredit bermasalah. Sepanjang tahun 2016 kondisi tertekan tersebut terus dialami oleh bank hingga pada Desember 2016 Bank mencatatkan kerugian sebesar Rp6.48 triliun dan total aset perseroan turun menjadi