PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP PERKEMBANGAN EMBRIO DAN DAYA TETAS TELUR IKAN DEWA ( soro)

IFFI RIZKIYA

PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2021 M/1442 H

PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP PERKEMBANGAN EMBRIO DAN DAYA TETAS TELUR IKAN DEWA (Tor soro)

SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

IFFI RIZKIYA 11160950000044

PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2021 M/1442 H

ii

PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP PERKEMBANGAN EMBRIO DAN DAYA TETAS TELUR IKAN DEWA (Tor soro)

SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

IFFI RIZKIYA 11160950000044

Menyetujui: Pembimbing I, Pembimbing II,

Eri Setiadi, S.Si., M.Sc. Etyn Yunita, M.Si. NIP. 196502051999031001 NIP. 197006282014112002

Mengetahui, Ketua Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Dr. Priyanti, M.Si. NIP. 197505262000122001

iii

PENGESAHAN UJIAN

Skripsi berjudul “Pengaruh Salinitas dan Kecepatan Aerasi terhadap Perkembangan Embrio dan Daya Tetas Telur Ikan Dewa (Tor soro)” yang ditulis oleh Iffi Rizkiya, NIM 11160950000044 telah diuji dan dinyatakan LULUS dalam sidang Munaqosyah Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 4 Februari 2021. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Strata Satu (S1) Program Studi Biologi. Menyetujui, Penguji I, Penguji II,

Dr. Dasumiati, M.Si. Dr. Megga Ratnasari Pikoli, M.Si. NIP. 197309231999032002 NIP. 197203222002122002

Pembimbing I, Pembimbing II,

Eri Setiadi, S.Si, M.Sc. Etyn Yunita, M.Si. NIP. 196502051999031001 NIP. 197006282014112002

Mengetahui, Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Ketua Program Studi Biologi

Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M.Env.Stud. Dr. Priyanti, M.Si. NIP. 196904042005012005 NIP. 197505262000122001

iv

PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI MANAPUN.

Jakarta, Februari 2021

Iffi Rizkiya

11160950000044

v

ABSTRAK Iffi Rizkiya. Pengaruh Salinitas dan Kecepatan Aerasi terhadap Perkembangan Embrio dan Daya Tetas Telur Ikan Dewa (Tor soro). Skripsi. Program Studi Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2020. Dibimbing oleh Eri Setiadi dan Etyn Yunita. Populasi ikan (Tor soro) dewa telah mengalami penurunan bahkan termasuk kedalam kategori terancam punah yang diakibatkan oleh penangkapan berlebihan, kerusakan habitat, dan belum stabilnya produksi ikan hasil budidaya. Budidaya merupakan upaya untuk mencegah terjadinya kepunahan. Penambahan salinitas bertujuan untuk mempercepat penetasan dengan merangsang enzim chorionase, sedangkan kecepatan aerasi untuk menciptakan sirkulasi dan meningkatkan oksigen terlarut. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan salinitas dan kecepatan aerasi optimal terhadap perkembangan embrio dan daya tetas telur ikan dewa guna menghasilkan larva yang berkualitas. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan dua tahap kegiatan, pertama salinitas (0, 2, 4, dan 6 ppt) dan kedua kecepatan aerasi (0, 500, 1000, 1500, dan 2000 ml/menit) dengan 3 kali ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa telur ikan dewa hanya dapat bertahan pada salinitas 0 ppt dengan daya tetas sebesar 90,00±10,00%. Persentase abnormalitas tertinggi ditemukan pada perlakuan kecepatan aerasi 0 ml/menit dan terendah pada 500 ml/menit. Nilai LPKT dan panjang mutlak tertinggi ditemukan pada perlakuan 1500 ml/menit yaitu 0.1268±0.0056 mm3/hari untuk LPKT dan 4.6435±0.2518 mm untuk panjang mutlak. Kondisi terbaik untuk inkubasi telur ikan dewa adalah pada air tawar yang bersalinitas 0 ppt dan pada kecepatan aerasi 1000 ml/menit dengan nilai oksigen terlarut 6,58-7,31 mg/L. Kata kunci: Ikan dewa, Kecepatan aerasi, Salinitas

vi

ABSTRACT Iffi Rizkiya. Effect of Salinity and Aeration Rate on Embryonic Development and Hatching Rate of (Tor soro). Undergraduate Thesis. Departement of Biology. Faculty of Science and Technology. Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta. 2020. Advised by Eri Setiadi and Etyn Yunita. The mahseer (Tor soro) population is getting down even threatens with extinction caused by over fishing, habitat destruction, and unstable of fish culture production. The effort of fish cultivation prevent occurring of threaten. The addition of water salinity has an aim to fasten the hatching time by stimulating chorionase enzyme, meanwhile the aeration rate can affect circulation and increase the dissolved oxygen. This experiment aimed to determine the optimal salinity and aeration rate for embryonic development and hatching rate of Mahseer eggs in order to produce high-quality larvae. The experimental design used was a completely randomized design with two steps of experiment. The first step was salinity (0, 2, 4, and 6 ppt), and the second step was aeration rate treatment (0, 500, 1000, 1500, and 2000 ml/minute) with 3 repetitions, respectively. The result showed that Mahseer eggs only survived on 0 ppt salinity with a hatching rate of 90,00±10,00%. The highest percentage of abnormality found on 0 ml/minute treatment and the lowest on 500 ml/minute treatment. The highest value of yolk sac absorption (0.1268±0.0056 mm3/day) and absolute length (4.6435±0.2518 mm) was found on 1500 ml/minute treatment. The dissolved oxygen value was increasing along with the increasing of aeration rate. The best condition for Masheer culture is on salinity of 0 ppt and aeration rate of 1000 ml/minute. Keywords: Aeration rate, Mahseer, Salinity

vii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti. Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan skripsi dengan judul “Pengaruh Salinitas dan Kecepatan Aerasi terhadap Perkembangan Embrio dan Daya Tetas Telur Ikan Dewa (Tor soro)”. Tulisan ini dapat diselesaikan berkat adanya pihak-pihak yang telah memberikan bimbingan serta dukungan kepada penulis. Oleh karena itu ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada: 1. Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M.Env.Stud. selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya. 2. Dr. Priyanti, M.Si. selaku Ketua Program Studi Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Narti Fitriana, M.Si. selaku Sekretaris Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta selaku penguji seminar proposal dan seminar hasil yang telah memberikan masukan dan saran kepada penulis. 4. Eri Setiadi, S.Si., M.Sc. selaku kepala Instalasi Penelitian dan Pengembangan Teknologi Lingkungan dan Toksikologi Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor sekaligus Pembimbing I skripsi yang telah bersedia membimbing penulis selama penelitian hingga dapat menyelesaikan skripsi. 5. Etyn Yunita, M.Si. selaku Pembimbing II yang telah yang telah bersedia membimbing penulis selama penelitian hingga dapat menyelesaikan skripsi.

viii

6. Dr. Dasumiati, M.Si. dan Dr. Megga Ratnasari Pikoli, M.Si. selaku dosen penguji sidang skripsi yang telah memberikan kritik dan saran dalam penulisan skripsi ini. 7. Dr. Fahma Wijayanti, M.Si. selaku penguji seminar proposal dan seminar hasil yang telah memberikan masukan dan saran kepada penulis. 8. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar dan Penyuluhan Perikanan Bogor yang telah memberi izin kepada penulis agar dapat melaksanakan penelitian. 9. Ayahanda dan Ibunda tercinta yang selalu senantiasa memberikan dukungan moril maupun materil kepada penulis. 10. Aisyah dan Dina yang telah memberikan bantuan selama melaksanakan penelitian, serta teman-teman lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Jakarta, Februari 2021

Penulis

ix

DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ...... vi ABSTRACT ...... vii KATA PENGANTAR ...... viii DAFTAR ISI ...... x DAFTAR GAMBAR ...... xii

BAB I PENDAHULUAN ...... 1 1.1. Latar Belakang ...... 1 1.2. Rumusan Masalah...... 3 1.3. Hipotesis ...... 3 1.4. Tujuan Penelitian ...... 4 1.5. Manfaat Penelitian ...... 4 1.6. Kerangka Berpikir ...... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...... 6 2.1. Ikan Dewa ...... 6 2.2. Perkembangan Embrio Ikan ...... 7 2.3. Daya Tetas Telur Ikan ...... 8 2.4. Salinitas ...... 9 2.5. Kecepatan Aerasi ...... 9

BAB III METODE PENELITIAN...... 11 3.1. Waktu dan Tempat...... 11 3.2. Alat dan Bahan ...... 11 3.3. Rancangan Penelitian ...... 11 3.4. Cara Kerja ...... 12 3.5. Analisis Data...... 16

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...... 17 4.1. Pengaruh Perbedaan Salinitas terhadap Daya Tetas Telur/Hatching Rate (HR) ...... 17 4.2. Pengaruh Kecepatan Aerasi Berbeda terhadap Perkembangan Embrio, Daya Tetas Telur, Abnormalitas, Volume Penyusutan Kuning Telur, dan Laju Penyerapan Kuning Telur ...... 19 4.3. Parameter Kualitas Air ...... 29

x

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...... 30 5.1. Kesimpulan ...... 30 5.2. Saran ...... 30

DAFTAR PUSTAKA ...... 31 LAMPIRAN-LAMPIRAN ...... 37

xi

DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian pengaruh salinitas dan kecepatan aerasi terhadap perkembangan embrio dan daya tetas telur ikan dewa...... 5 Gambar 2. Morfologi ikan Tor soro dewasa ...... 6 Gambar 3. Persentase rata-rata daya tetas telur ikan dewa pada kondisi salinitas berbeda ...... 17 Gambar 4. Perkembangan embrio ikan dewa 0 jam setelah pembuahan ...... 19 Gambar 5. Perkembangan embrio ikan dewa 4-16 jam setelah pembuahan...... 20 Gambar 6. Perkembangan embrio ikan dewa 18-36 jam setelah pembuahan...... 20 Gambar 7. Perkembangan embrio ikan dewa 42-68 jam setelah pembuahan...... 21 Gambar 8. Larva ikan dewa setelah menetas ...... 21 Gambar 9. Persentase rata-rata daya tetas telur ikan dewa pada kecepatan aerasi berbeda ...... 22 Gambar 10. Persentase rata-rata abnormalitas larva ikan dewa pada kecepatan aerasi berbeda ...... 23 Gambar 11. Morfologi larva abnormal ...... 24 Gambar 12. Penyusutan volume kuning telur pada perlakuan kecepatan aerasi berbeda ...... 25 Gambar 13. Rata-rata laju penyerapan kuning telur pada kecepatan aerasi berbeda ...... 26 Gambar 14. Rata-rata panjang mutlak larva ikan dewa pada kecepatan aerasi berbeda ...... 27

xii

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Ikan dewa (Tor soro) yang juga dikenal dengan sebutan ikan batak, ikan soro, ikan kancra, maupun ikan semah merupakan ikan bertulang sejati atau Teleostei. Ikan ini merupakan fauna lokal yang dijadikan masakan khas oleh masyarakat suku Batak di Sumatera Utara. Budaya masyarakat Batak menyajikan ikan sebagai syarat pada upacara adat seperti pernikahan dan kelahiran anak (Siregar, Barus, & Ilyas, 2013). Hal ini menjadi salah satu faktor yang meningkatkan aktivitas penangkapan ikan tersebut. Mulanya ikan dewa memiliki daerah persebaran yang luas meliputi perairan Sumatera, Kalimantan, dan Jawa. Namun ikan tersebut semakin sulit dijumpai karena terdesak oleh ikan-ikan introduksi seperti ikan mas dan nila. Keberadaan ikan dewa pun kian terancam punah karena terjadinya pencemaran air, serta penggundulan hutan (Haryono, Agus, Jojo, Asih, & Gema, 2010). Genus ikan Tor termasuk dalam kategori terancam punah (threatened species) menurut IUCN Red List Status (2014). Budidaya ikan dewa masih berlangsung saat ini namun domestikasi dan reproduksinya masih belum optimal. Masalah lainnya adalah ikan ini memiliki pertumbuhan yang lambat dan fekunditas yang rendah. Induk ikan dewa memiliki nilai fekunditas sebesar 2.063 butir/kg. Jumlah tersebut lebih sedikit dibandingkan ikan Tor douronensis yaitu 4.085 butir/kg (Radona, Subagja, & Arifin, 2015). Salah satu cara untuk mengurangi ancaman kepunahan bagi ikan dewa adalah melakukan pembudidayaan dengan menciptakan lingkungan dan kondisi yang optimum bagi pertumbuhannya. Keberhasilan pembenihan ikan ditentukan oleh faktor utama yang salah satunya adalah kualitas telur. Tingkat pembuahan (fertilitas), daya tetas telur (hatching rate) yang tinggi dan rendahnya tingkat abnormalitas merupakan ciri dari telur yang berkualitas (Andriyanto, Slamet, & Ariawan, 2013). Faktor yang juga mempengaruhi perkembangan embrio serta daya tetas telur ikan adalah kondisi lingkungan. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kualitas air dalam kegiatan

1 2

akuakultur diantaranya adalah suhu air, oksigen terlarut atau dissolved oxygen (DO), pH, alkalinitas, kadar amonia, nitrit, nitrat, karbondioksida, serta bahan organik terlarut lainnya (Islami, Hasan, & Anna, 2017). Menurut Hijriyanti (2012), daya tetas telur dipengaruhi oleh mutu telur, suhu air, salinitas, gerakan air, dan luas permukaan wadah. Salinitas termasuk salah satu faktor media yang dapat mempengaruhi faktor lain seperti mengontrol osmoregulasi, kerja enzim, serta reaksi biokimia yang terjadi pada embrio maupun organisme perairan (Anggoro & Muryati, 2007). Apabila osmotik lingkungan berbeda jauh dengan tekanan osmotik dalam telur ikan, maka osmotik media akan menjadi beban bagi telur sehingga dibutuhkan energi yang relatif besar untuk mempertahankan osmotik telurnya (Diana, Masithah, Mukti, & Triastuti., 2013). Di samping itu, aktivitas enzim chorionase yang terdapat pada cangkang telur dapat dipengaruhi oleh salinitas lingkungannya. Di mana enzim chorionase sendiri merupakan enzim yang terdiri atas pseudokeratin yang bersifat mereduksi lapisan chorion menjadi lunak (Waris, Mansyur, & Rusaini, 2018). Salinitas yang tidak sesuai dapat menghambat stimulasi kelenjar endodermal embrio yang berperan dalam sekresi enzim tersebut (Kumar & Tembhre, 1997). Berdasarkan penelitian Heltonika (2014) diketahui bahwa penetasan telur ikan jambal siam dipengaruhi oleh faktor lingkungan yakni salinitas yang berhubungan dengan oksigen terlarut. Dalam penelitian tersebut didapatkan salinitas terbaik untuk penetasan telur ikan jambal siam adalah 4 ppt. Selain itu Hadid, Syaifudin, & Amin (2015) dalam penelitiannya menyatakan bahwa salinitas berpengaruh terhadap persentase daya tetas telur, laju penetasan telur, dan kelangsungan hidup larva ikan baung dengan hasil terbaik adalah 2 ppt. Salah satu cara lain untuk menjaga kualitas air adalah dengan memberikan aerasi. Kecepatan aerasi memiliki hubungan yang erat dengan kadar oksigen terlarut serta sirkulasi air. Aerasi digunakan untuk meningkatkan oksigen terlarut yang dapat mengurangi kejenuhan gas. Penurunan tingkat kebutuhan oksigen biologis di perairan disebabkan oleh respirasi organisme akuatik baik tanaman maupun hewan seperti ikan, hewan bentik, bakteri, dan zooplankton (Meade, 1989). Telur dan benih ikan memiliki tingkat metabolisme yang tinggi. Karenanya kadar oksigen terlarut yang memadai sangatlah diperlukan, yaitu tidak kurang dari 4-5 mg/L (Aryani, 2015).

3

Menurut Sunarma (2007), aerasi yang cukup dapat berpengaruh terhadap daya tetas telur. Adanya aerasi dapat memberikan tambahan oksigen serta sirkulasi di perairan. Lingkungan tanpa sirkulasi dapat menyebabkan penyebaran oksigen tidak merata dan menghambat perkembangan embrio (Slembrouck, Komarudin, Maskur, & Legendre, 2005). Namun, jika sirkulasi yang diberikan terlalu tinggi maka dapat menyebabkan kematian pada larva yang baru menetas (Nurmansyah, 2019). Rahman et al. (2013) dalam penelitiannya menyatakan bahwa aliran air dan aerasi dapat mempengaruhi perkembangan embrio ikan lele spesies Clarias batrachus. Fase pembelahan embrio dapat terhenti jika suatu perairan tidak memiliki aliran air maupun aerasi. Selain itu kecepatan aerasi terbukti dapat mempengaruhi daya tetas telur, lama penetasan telur, serta tingkat kelangsungan hidup pada larva ikan bawal (Colossoma macropopum) (Hadi, 2016) dan ikan lele mutiara (Clarias sp.) (Nurmansyah, 2019). Terdapat beberapa penelitian sebelumnya terhadap ikan dewa yang membuktikan bahwa salinitas dapat mempercepat perkembangan embrio (Prakoso & Radona, 2015), serta suhu berpengaruh terhadap daya tetas telur (Irfandi, Thaib, & Nurhayati, 2020). Namun informasi mengenai pengaruh salinitas dan kecepatan aerasi terhadap perkembangan embrio dan daya tetas telur ikan Tor soro masih sangat sedikit, sehingga dibutuhkan penelitian lebih lanjut.

1.2. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah lama waktu perkembangan embrio dan daya tetas telur ikan dewa pada perlakuan salinitas dan kecepatan aerasi berbeda? 2. Salinitas dan kecepatan aerasi manakah yang dapat menghasilkan perkembangan embrio yang cepat dan daya tetas telur ikan dewa tertinggi?

1.3. Hipotesis Salinitas dan kecepatan aerasi dapat berpengaruh positif terhadap perkembangan embrio dan daya tetas telur ikan dewa.

4

1.4. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui lama waktu perkembangan embrio dan daya tetas telur ikan dewa pada perlakuan salinitas dan kecepatan aerasi berbeda. 2. Menentukan salinitas dan kecepatan aerasi optimal terhadap perkembangan embrio dan daya tetas telur ikan dewa guna menghasilkan larva yang berkualitas.

1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai kondisi optimum untuk perkembangan embrio dan daya tetas ikan dewa tertinggi, serta tingkat abnormalitas larva yang dihasilkan.

5

1.6. Kerangka Berpikir

Ikan Tor soro merupakan fauna lokal Indonesia

Ikan Tor soro terancam punah karena terdesak ikan- ikan introduksi, penangkapan berlebihan, dan kerusakan habitat (pencemaran perairan)

Perlunya dilakukan budidaya

Menentukan kondisi Masih terbatasnya lingkungan optimum informasi dan teknologi untuk perkembangan budidaya ikan dewa embrio dan daya tetas telur

Dilakukan optimasi salinitas serta kecepatan aerasi agar mendapatkan kondisi terbaik untuk perkembangan embrio serta meningkatkan daya tetas telur

Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian pengaruh salinitas dan kecepatan aerasi terhadap perkembangan embrio dan daya tetas telur ikan dewa

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ikan Dewa Ikan dewa atau Tor soro (Gambar 2) merupakan salah satu ikan lokal Indonesia. Terdapat tiga kerabat ikan Tor soro yang dapat ditemukan di Indonesia antara lain , , dan Tor douronensis (Kottelat et al., 1993). Ikan ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Filum: Chordata, Kelas: Teleostei, Ordo: , Famili: , Genus: Tor, Spesies: Tor soro (Valenciennes (1842) dalam Haryono et al. (2010)).

Gambar 2. Morfologi ikan Tor soro dewasa

Pada umumnya, ikan dengan genus Tor memiliki bentuk tubuh yang pipih memanjang, moncong agak meruncing, mulut tebal dan letaknya inferior atau subinferior, serta bibir bawah yang tidak terputus dengan ada-tidaknya cuping (Haryono et al., 2010). Secara morfologi ikan dewa memiliki panjang maksimal 1 meter dengan gurat sisi atau linea lateralis sepanjang 24-28 cm. Ciri yang membedakan ikan ini dengan genus Tor lainnya adalah adanya dua lobus di bibir bawah mulut ikan. Pembeda lainnya adalah ukuran sirip dubur yang lebih pendek dibandingkan sirip punggung, serta terdapat warna perak mengkilap di bagian belakang (Haryono & Tjakrawidjaja, 2005). Beberapa ciri fisik yang membedakan ikan dewa jantan dan

6

7

betina dapat dilihat dari bentuk badan, warna sisik, tutup insang, serta papila (Haryono et al., 2010). Haryono & Subagja (2008) menyatakan bahwa habitat ikan dewa dapat dibedakan menjadi tiga berdasarkan ukurannya. Ikan dewa yang masih dalam tahap larva atau juvenil (ukuran 5 – 50 mm) umumnya mendiami tepi sungai dengan substrat dasar perairan berpasir, arus tenang, warna air jernih, dan dangkal. Ikan berukuran kecil sampai sedang (5 – 20 cm) berhabitat di sungai dengan karakteristik dasar perairan bebatuan, arus air sedang sampai deras, warna air jernih, serta substrat yang tersusun dari kerikil dan pasir. Ikan dewasa dengan ukuran minimal 21 cm umumnya hidup di lubuk sungai dengan arus tenang sampai lambat, dasar perairan bebatuan, substrat tersusun dari pasir dan kerikil, serta warna air jernih. Ikan dewa termasuk ikan pelagis yang bergerak aktif karena merupakan penghuni sungai pada hutan tropis terutama pada kawasan pegunungan, bagian hulu sungai yang merupakan daerah perbukitan dengan air yang jernih dan berarus kuat (Sinaga, Pulungan, & Efizon, 2015). Beberapa penelitian mengenai ikan genus Tor sudah dilakukan sebelumnya. Penelitian tersebut diantaranya adalah mengenai induksi ovulasi dan pemijahan (Farastuti, Sudrajat, & Gustiano, 2014), analisis keragaman dan penentuan variasi genetik (Asih, Nugroho, Kristanto, & Mulyasari, 2008; Nugroho, Soewardi, & Kurniawirawan, 2007), kelangsungan hidup dan pertumbuhan benih (Qudus, Lili, & Rosidah, 2012), kebiasaan makan (Siregar et al., 2013), habitat (Subagja & Marson, 2008), dan pertumbuhan (Rumondang & Mahari, 2017; Subagja & Radona, 2018).

2.2. Perkembangan Embrio Ikan Embriologi dan perkembangan larva merupakan hal yang penting dalam praktek produksi ikan. Tersedianya informasi mengenai perkembangan embrio dan larva ikan menjadi kunci untuk memaksimalkan pertumbuhan serta kelangsungan hidup larva (Puvaneswari, Marimuthu, Karuppasamy, & Haniffa, 2009). Tahap perkembangan embrio pada ikan merupakan tahap yang paling sensitif dalam seluruh siklus hidup ikan dan dapat berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas benih. Ciri telur ikan yang telah terfertilisasi ditandai dengan warna transparan, sedangkan yang tidak terfertilisasi

8

cenderung berwarna putih pucat pada inti (Saputra, Raharjo, & Rachimi, 2014). Jumlah telur yang menetas dan tingkat kelangsungan hidup larva ikan dalam kegiatan produksi benih dipengaruhi oleh beberapa jenis stresor lingkungan dapat mengakibatkan rendahnya tingkat produksi benih ikan (Prakoso & Kurniawan, 2015). Tahap perkembangan embrio diawali dengan pembelahan zigot (cleavage), stadia morula, blastula, gastrula, dan organogenesis. Tiga tahapan dalam proses embriogenesis ikan antara lain tahap pembelahan, embrionik, dan eleutheroembrionik (fase ikan menetas hingga dapat mencari makan dari luar). Fase embrionik berlangsung ketika proses pembuahan terjadi hingga ikan dapat mencari makan sendiri (Tang & Ridwan, 2004).

2.3. Daya Tetas Telur Ikan Persentase telur yang menetas setelah kurun waktu tertentu disebut hatching rate atau daya tetas telur. Terdapat dua faktor yang menyebabkan terjadinya penetasan telur yaitu kerja mekanik dan enzimatik. Kerja mekanik merupakan akibat dari adanya aktivitas embrio. Semakin aktif embrio bergerak maka semakin cepat proses penetasan terjadi. Sedangkan kerja enzimatik adalah adanya enzim chorionase dalam telur yang berfungsi mereduksi lapisan terluar telur (chorion). Chorion yang terdiri dari pseudokeratin akan menjadi lembek, sehingga bagian cangkang yang tipis dan terkena enzim chorionase akan pecah. Ekor embrio akan keluar dari cangkang kemudian diikuti tubuh dan kepalanya (Gusrina, 2014). Kualitas benih dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah penetasan yang dipengaruhi oleh faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam meliputi hormon serta volume kuning telur (Hadid et al., 2015). Hormon yang dihasilkan oleh hipofisa dan tiroid berperan dalam proses metamorfosa, dan volume kuning telur berhubungan dengan perkembangan embrio sedangkan faktor luar yang mempengaruhi penetasan adalah suhu, pH, salinitas (Kamler, 1992), gas-gas terlarut (oksigen, CO2 dan amoniak) (Lagler, 1972), intensitas cahaya (Nikolsky, 1963), serta kecepatan aerasi (Sugama, Trijoko, Ismi, & Setiawati, 2004).

9

2.4. Salinitas Salinitas atau kadar garam terlarut dalam air merupakan salah satu faktor penting yang juga memengaruhi perkembangan embrio serta daya tetas telur ikan. Salinitas merupakan salah satu penentu kualitas air yang dapat mempengaruhi telur dan larva ikan. Salinitas berpengaruh terhadap daya tetas telur (Holliday, 1969), kelulushidupan larva (Lee & Menu, 1981), serta proses perkembangan telur ikan terutama dalam proses osmoregulasi (Lopez, Martinez., & Garcia., 2004). Selain itu salinitas juga mempengaruhi tingkat kerja osmotik, daya absorpsi air, dan proses pengerasan selaput terluar telur (chorion). Hal tersebut diduga dapat berpengaruh terhadap pemanfaatan energi kuning telur untuk pertumbuhan embrio dan osmoregulasi (Anggoro, 1992). Menurut Mubarokah, Tarsim, & Kadarini (2014), faktor lingkungan seperti salinitas media budidaya dapat mempengaruhi daya tetas telur dan embriologi. Jika konsentrasi antara cairan dalam telur dengan lingkungannya sudah hampir sama dan telur masih mampu mentoleransi perubahan salinitas yang diberi, maka energi untuk telur melakukan osmoregulasi dapat digunakan untuk bermetabolisme. Menurut Prakoso & Kurniawan (2015), abnormalitas larva dapat terjadi karena selama proses inkubasi embrio mendapatkan salinitas di luar ambang batas.

2.5. Kecepatan Aerasi Kecepatan aerasi memiliki hubungan yang erat dengan kadar oksigen terlarut serta kecepatan arus perairan. Aerasi digunakan untuk meningkatkan oksigen terlarut agar dapat mengurangi kejenuhan gas. Penurunan kadar oksigen terlarut di kolam dipengaruhi oleh ikan yang dipelihara, zooplankton, bentos, dan aktivitas bakteri (Effendi, 2004). Abuzar et al. (2012) menyatakan bahwa aerasi merupakan transfer gas yang cenderung dikhususkan pada transfer oksigen atau proses penambahan oksigen ke dalam air. Oksigen merupakan faktor pembatas, sehingga bila ketersediaannya di dalam air tidak mencukupi kebutuhan biota perairan, maka segala aktivitas biota akan terhambat (Kordi, Ghufron, & Andi, 2007). Perubahan konsentrasi oksigen terlarut dapat menimbulkan efek langsung yang berakibat pada kematian organisme perairan.

10

Sedangkan pengaruh yang tidak langsung adalah meningkatkan toksisitas bahan pencemar yang pada akhirnya dapat membahayakan organisme itu sendiri. Oksigen terlarut dalam air utamanya bersumber dari fotosintesis fitoplankton serta udara yang melewati proses difusi (Simanjuntak, 2012). Oksigen terlarut yang baik bagi pertumbuhan ikan adalah 5-7 mg/L (Boyd, 1990). Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001 bahwa oksigen terlarut untuk perikanan adalah ≥3 mg/L. Kecepatan arus air pada media akuakultur sangat dipengaruhi oleh kecepatan aerasi yang diberikan. Kecepatan arus yang sesuai sangat dibutuhkan dalam budidaya perikanan karena arus sangat berperan dalam sirkulasi air, membawa bahan terlarut dan tersuspensi serta mempengaruhi kelarutan oksigen dalam air (Affan, 2011).

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Agustus 2020. Berlokasi di Instalasi Penelitian dan Pengembangan Teknologi Lingkungan dan Toksikologi Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor.

3.2. Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi 15 buah akuarium kaca berukuran 70 x 25 x 30 cm, 12 buah toples kaca volume 2 liter, bak fiber, mikroskop stereo, termometer, refraktometer, aerator, batu aerasi, infus aerasi atau pengatur udara, kamera, dan alat tulis. Bahan yang digunakan antara lain adalah telur ikan Tor soro yang telah dibuahi, air tawar salinitas 0 ppt, serta air laut. Telur ikan dewa didapatkan dari hasil pemijahan buatan di Instalasi Riset Plasma Nutfah Perikanan Air Tawar, Cijeruk, Bogor.

3.3. Rancangan Penelitian Penelitian ini terdiri dari dua tahapan perlakuan berbeda, tahap pertama perlakuan salinitas kemudian dilanjutkan dengan perlakuan kecepatan aerasi. Masing-masing tahapan digunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan penelitian tahap pertama terdiri dari 4 jenis perlakuan salinitas yaitu 0, 2, 4, dan 6 ppt (Lampiran 1) dan penelitian tahap kedua terdiri dari 5 jenis perlakuan kecepatan aerasi yaitu 0, 500, 1000, 1500, dan 2000 ml/menit (Lampiran 2). Masing-masing perlakuan dilakukan dengan 3 kali pengulangan. Pada perlakuan salinitas digunakan sebanyak 10 butir telur ikan dewa yang telah dibuahi, sedangkan perlakuan kecepatan aerasi sebanyak 200 butir. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara statistik.

11

12

3.4. Cara Kerja 3.4.1. Persiapan Wadah Pada penelitian ini digunakan 12 buah toples kaca yang masing-masing berukuran 2 L untuk perlakuan salinitas, dan 15 buah akuarium berukuran 70 x 25 x 30 cm untuk perlakuan kecepatan aerasi. Toples dan akuarium dibersihkan terlebih dahulu. Volume air yang digunakan adalah 1 L untuk toples dan 40 L untuk akuarium. Masing-masing wadah perlakuan dilengkapi dengan aerasi, kemudian diberi label sesuai perlakuan. Seluruh wadah perlakuan ditempatkan dalam satu ruangan dengan AC agar suhu air tetap stabil berkisar antara 22-23°C. Menurut Irfandi et al. (2020) suhu ideal untuk penetasan ikan dewa adalah 22°C.

3.4.2. Seleksi Induk Proses seleksi induk dilakukan dengan mengacu pada penelitian Yulianti (2016). Tujuan dilakukannya seleksi induk adalah untuk mendapatkan induk ikan dewa sesuai kriteria sehingga menghasilkan benih yang unggul. Dari hasil seleksi maka dapat dibedakan induk jantan dan betina, induk yang sudah matang gonad, induk yang paling baik, tidak cacat, dan sehat. Seleksi induk dilakukan dengan cara memijat perut induk betina secara perlahan ke arah lubang kelamin hingga keluar cairan telur. Indukan betina yang siap memijah ditandai dengan dihasilkannya telur yang berukuran seragam, kenyal, berwarna kuning pudar, dan berminyak. Beberapa ciri yang menunjukkan bahwa induk ikan dewa telah matang gonad adalah berupaya berenang menghampiri sumber mata air, serta induk jantan akan mengejar induk betina. Untuk proses pemijahan digunakan perbandingan induk jantan dengan induk betina yaitu 2:1. Hal tersebut bertujuan untuk memaksimalkan proses pembuahan karena jumlah sperma lebih banyak dari telur sehingga diharapkan telur yang dibuahi lebih banyak.

3.4.3. Proses Pembuahan Pengurutan atau stripping telur pada induk betina dilakukan oleh 2 orang (Lampiran 3). Pertama, ikan dewa yang akan diurut dimasukkan ke dalam kain basah yang bertujuan untuk memberi rasa nyaman dan mengurangi pergerakan saat pengurutan. Proses pengurutan dilakukan mulai dari bagian dada sampai menuju ke arah genital papila. Proses ini dilakukan dengan hati-hati agar mencegah induk

13

melakukan gerakan. Telur yang keluar ditampung dalam mangkuk yang bersih dan kering agar tidak terjadi kontaminasi. Telur dicampurkan dengan sperma kemudian diaduk rata menggunakan bulu ayam (Lampiran 3). Setelah keduanya tercampur, dibersihkan dengan air untuk menghilangkan sisa-sisa sperma yang tidak membuahi telur.

3.4.4. Perhitungan dan Penetasan Telur Metode gravimetri digunakan dalam perhitungan jumlah telur yang dihasilkan dari proses stripping. Telur ikan dewa diambil sebanyak 1 gram, kemudian sampel satu gram dihitung untuk mengetahui jumlah telur yang ada untuk dikonversi dengan jumlah total berat telur yang dikeluarkan oleh induk betina setelah proses stripping. Telur-telur yang didapat dari hasil fertilisasi kemudian dibagi untuk masing-masing perlakuan salinitas dan kecepatan aerasi.

3.4.5. Pengaturan Salinitas Perlakuan konsentrasi salinitas yang digunakan mengacu pada penelitian sebelumnya oleh Prakoso & Radona (2015) yaitu 0, 2, 4, dan 6 ppt. Dua belas buah toples untuk perlakuan salinitas diletakkan di dalam bak fiber yang sudah terisi air. Dilakukan pencampuran antara air tawar dengan air laut dan diukur dengan refraktometer hingga mencapai salinitas yang dikehendaki menggunakan rumus persamaan sebagai berikut (Ardi, Setiadi, Kristanto & Widiyati, 2016):

Va.Na= V1.N1 + V2. N2

Keterangan:

Va = Volume akhir air yang dikehendaki (L) Na = Tingkat salinitas akhir air yang dikehendaki (ppt)

V1 = Volume air laut yang diencerkan (L)

N1 = Tingkat salinitas air laut yang diencerkan (ppt)

V2 = Volume air tawar yang ditambahkan (L)

N2 = Tingkat salinitas air tawar yang ditambahkan (ppt)

14

Dalam penelitian ini air tawar yang digunakan berasal dari air minum isi ulang dengan salinitas 0,00 ppt. Setiap toples diisi dengan air sesuai perlakuan kemudian dipasang aerator (Lampiran 3).

3.4.6. Pengaturan Kecepatan Aerasi Untuk perlakuan kecepatan aerasi digunakan 15 buah akuarium yang diberi aerasi sesuai perlakuan (Lampiran 3). Kecepatan aerasi diukur berdasarkan metode volumetri (Sugama et al., 2004), yaitu dengan cara memasukan batu aerasi ke dalam beaker glass volume 1000 ml, kemudian volume gas yang masuk ke dalam beaker glass tersebut dicatat sesuai dengan waktu yang ditetapkan sebagai perlakuan. Kecepatan aerasi disesuaikan dengan perlakuan yang telah ditentukan yaitu 0, 500, 1000, 1500, dan 2000 ml/menit.

3.4.7. Parameter Pengamatan Perkembangan embrio Pengamatan perkembangan embrio dilakukan dengan menggunakan mikroskop stereo perbesaran 10 x 1,5 dengan mengamati setiap fase perkembangan embrio mulai dari fertilisasi hingga menetas. Pengamatan telur dilakukan setelah telur dimasukkan ke dalam akuarium pada masing-masing perlakuan kecepatan aerasi. Satu buah telur diambil dan disimpan pada wadah yang digantungkan ke dinding akuarium (Lampiran 1). Pengamatan perkembangan embrio pada hari pertama dan kedua dilakukan setiap 2 jam, pada hari ketiga dilakukan setiap 3 jam, dan pada hari keempat setiap 2 jam. Waktu perubahan setiap fase perkembangan embrio dicatat dan didokumentasikan.

Lama waktu penetasan Lama waktu penetasan atau hatching time merupakan durasi yang diperlukan telur agar dapat menetas. Untuk menghitungnya dapat digunakan rumus:

HT = Ht – Ho Keterangan: HT = Hatching Time

Ht = Lama waktu akhir penetasan

Ho = Waktu pasca pembuahan

15

Persentase daya tetas telur/Hatching Rate (HR) Setelah terjadi proses penetasan, dilakukan pengamatan untuk mengetahui daya tetas telur atau hatching rate. Hal ini dilakukan untuk mengetahui jumlah telur yang menetas dari jumlah total telur yang dihasilkan. Pada saat semua telur telah menetas, jumlah larva dihitung dan dilakukan perhitungan untuk mencari hatching rate dengan menggunakan rumus menurut Effendie (1997):

푱풖풎풍풂풉 풕풆풍풖풓 풚풂풏품 풎풆풏풆풕풂풔 HR = 풙 ퟏퟎퟎ% 푱풖풎풍풂풉 풕풐풕풂풍 풕풆풍풖풓

3.4.8. Parameter Pendukung Laju penyerapan kuning telur ikan Budiardi et al. (2005) menyatakan bahwa energi yang besar dibutuhkan dalam aktivitas metabolisme yang tinggi sehingga dapat mempercepat laju penyerapan volume kuning telur. Volume kuning telur yang besar akan menghasilkan sumber energi yang mencukupi bagi perkembangan embrio telur ikan sehingga telur cepat menetas. Menurut Sriyani (1993), volume kuning telur dihitung dengan rumus: 흅 V = 푪ퟏ푪ퟐ² ퟔ Keterangan: V = Volume kuning telur (mm3) C1 = Panjang kuning telur (mm) C2 = Lebar kuning telur (mm)

Sedangkan untuk menghitung laju penyerapan kuning telur menggunakan rumus menurut Ardimas (2012): LPKT = 푽풐−푽풕 푻 Keterangan: LPKT = Laju Penyerapan Kuning Telur (mm3/hari) Vo = Volume kuning telur awal (mm3) Vt = Volume kuning telur akhir (mm3) T = waktu (hari)

16

Persentase abnormalitas Pengamatan abnormalitas dalam penelitian ini meliputi bentuk kepala, bentuk tubuh, dan bentuk ekor. Perhitungan dilakukan untuk mengetahui besarnya abnormalitas seperti dikemukakan oleh Wirawan (2005), yaitu:

푱풖풎풍풂풉 풍풂풓풗풂 풂풃풏풐풓풎풂풍 Abnormalitas = 풙 ퟏퟎ0% 푱풖풎풍풂풉 풕풐풕풂풍 풍풂풓풗풂

Panjang mutlak larva Panjang mutlak merupakan selisih panjang larva dari kepala hingga ujung ekor pada hari pertama setelah menetas dan hari terakhir saat kuning telur habis. Perhitungan dilakukan dengan rumus Effendie (1997):

Pm = Lt – Lo Keterangan: Pm = Pertambahan panjang mutlak (mm) Lt = Panjang rata-rata akhir (mm) Lo = Panjang rata-rata awal (mm)

3.4.9. Parameter Kualitas Air Parameter kualitas air yang diamati pada penelitian ini meliputi nilai oksigen terlarut yang diukur menggunakan DO meter, suhu (termometer), serta pH (pH meter).

3.5. Analisis Data Data hasil pengamatan yang didapat meliputi daya tetas telur, abnormalitas, laju penyerapan kuning telur, serta panjang mutlak larva dianalisis menggunakan uji ANOVA. Jika terdapat beda nyata dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) atau uji perbandingan berganda Duncan. Aplikasi yang digunakan adalah software IBM SPSS versi 20.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pengaruh Perbedaan Salinitas terhadap Daya Tetas Telur/Hatching Rate (HR)

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa telur pada kondisi 0 ppt dapat menetas dengan daya tetas sebesar 90,00±10,00%, sedangkan pada salinitas 2, 4, dan 6 ppt tidak ditemukan adanya telur yang menetas (Gambar 5). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa salinitas berpengaruh terhadap daya tetas telur (p<0,05). Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa salinitas 0 ppt berbeda dengan 2, 4, dan 6 ppt terhadap daya tetas (p<0,05).

120 90,00±10,00% 100 80 60 40 Daya Tetas Daya Tetas (%) 20 0 0 0 0 0 ppt 2 ppt 4 ppt 6 ppt Perlakuan

Gambar 3. Persentase rata-rata daya tetas telur ikan dewa pada kondisi salinitas berbeda

Hasil yang didapat berbeda dengan penelitian sebelumnya oleh Prakoso & Radona (2015) yaitu telur ikan dewa dapat berkembang pada salinitas 0, 2, 4, dan 6 ppt serta berhasil menetas pada salinitas 0 ppt dengan persentase daya tetas sebesar 97,33% dan 2 ppt sebesar 58,67%. Perbedaan daya tetas telur tersebut diduga disebabkan oleh metode yang digunakan serta kualitas telur yang berbeda. Pada penelitian sebelumnya tidak dijelaskan bagaimana cara pembuatan tingkatan salinitas apakah menggunakan air laut atau garam serta tidak disebutkan parameter kualitas air selama pengamatan. Kemungkinan lain diduga telah terjadinya

17

18

penurunan kualitas telur yang dibuktikan dengan daya tetas penelitian sekarang ini lebih rendah (90,00%) dibandingkan penelitian yang telah dilakukan oleh Prakoso & Radona (2015) sebesar 97,33%. Putri et al. (2013) (Putri et al., 2013)melaporkan bahwa kualitas telur dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor internal seperti umur induk dan kondisi genetik, dan faktor eksternal seperti pH, suhu, cahaya, dan oksigen terlarut. Namun di samping itu pada penelitian Prakoso & Radona (2015) terbukti bahwa peningkatan salinitas dapat menurunkan persentase daya tetas telur, seperti halnya yang terjadi pada hasil penelitian ini. Ketidakmampuan telur ikan dewa untuk menetas pada lingkungan dengan salinitas 2, 4, dan 6 dapat disebabkan karena konsentrasi garam yang terlalu tinggi sehingga menyebabkan lingkungan menjadi hiperosmotik dan telur gagal berkembang bahkan pecah. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Sukendi (2003) di mana salinitas bisa berpengaruh pada osmoregulasi dalam proses penetasan, jika telur ikan air tawar berada dalam larutan yang kadar garamnya tinggi maka akan terjadi pengembungan dan menyebabkan pecahnya telur. Hal itu merupakan akibat dari kondisi di luar telur yang hiperosmotik, sehingga cairan dari luar akan masuk kedalam telur yang hipoosmotik. Diketahui pula bahwa ikan dewa merupakan ikan yang hidup di perairan dataran tinggi sehingga cenderung tidak dapat mentoleransi air dengan kadar garam tinggi. Subagja & Marson (2008) memaparkan bahwa ikan Tor sp. Termasuk ikan yang hidup di perairan pada dataran tinggi dan dikenal sebagai ikan yang bernilai ekonomis terutama untuk masyarakat di sekitar habitat ikan tersebut. Penambahan kadar garam pada media inkubasi dalam penelitian ini awalnya dimaksudkan agar kondisi di luar telur memiliki salinitas yang hampir sama dengan kondisi di dalam telur, sehingga dapat mengurangi energi untuk melakukan osmoregulasi dan dapat memaksimalkan penggunaan energi untuk metabolisme dan perkembangan embrio. Selain itu pemberian salinitas juga diharapkan dapat merangsang sekresi enzim chorionase agar mempercepat penetasan telur. Namun dari hasil penelitian yang didapat ikan dewa hanya mampu menetas pada salinitas 0 ppt, maka untuk perlakuan kecepatan aerasi digunakan air dengan salinitas tersebut.

19

4.2. Pengaruh Kecepatan Aerasi Berbeda terhadap Perkembangan Embrio, Daya Tetas Telur, Abnormalitas, Volume Penyusutan Kuning Telur, dan Laju Penyerapan Kuning Telur

4.2.1. Perkembangan Embrio Pengamatan perkembangan embrio dilakukan setelah penebaran telur hingga telur menetas kemudian dilanjutkan dengan perhitungan daya tetas telur serta pengamatan pada larva. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan tidak ada perbedaan signifikan dalam perkembangan embrio dari setiap perlakuan.

Gambar 4. Perkembangan embrio ikan dewa 0 jam setelah pembuahan. A. Telur ikan dewa yang terfertilisasi; B. Pembentukan blastodisc, 1. Blastodisc; C. Pembelahan 4 sel; D. Pembelahan 16 sel; E. Pembelahan 32 sel

Fase pertama pada 0 jam pasca fertilisasi diawali dengan pembentukan blastodisc pada zigot dan pembelahan sel (Gambar 6) hingga mencapai fase morula dilanjutkan dengan pembentukan sel epiboli (Gambar 7). Telur mengalami fase pembelahan hingga menjadi morula pada 4 jam pertama dan pada jam ke-8 embrio mulai memasuki fase blastula. Ardhardiansyah et al. (2017) menyatakan bahwa Setelah melewati tahap morula, embrio akan mengalami tahap blastula di mana ditandai dengan terbentuknya rongga kosong dalam embrio yang disebut blastocoel.

20

Gambar 5. Perkembangan embrio ikan dewa 4-16 jam setelah pembuahan. A. 4 jam (morula); B. 8 jam (blastula awal); C. 12 jam (blastula tengah); D. 16 jam (blastula akhir), 1. Sel epiboli

Gambar 6. Perkembangan embrio ikan dewa 18-36 jam setelah pembuahan. A. 18 jam (gastrula awal), 1. Germ ring; B. 20 jam (gastrula akhir); C. 24 jam (segmentasi), 2. Somite; D. 30 jam, 3. Notochord, 4. Tail bud; E. 36 jam

Setelah berumur 18 jam, embrio memasuki fase gastrula awal dan mulai terlihat terbentuknya germ ring (Gambar 8). Usia 24 jam, embrio telah mengalami tahap segmentasi dan mulai terlihat terbentuknya somite. Selanjutnya terlihat terbentuknya notochord dan tail bud pada jam ke-30. Setelah berumur 48 jam mulai

21

terlihat embrio telah memiliki mata (Gambar 9), dan jantung mulai terlihat terbentuk pada jam ke-54. Khasanah et al. (2019) berpendapat bahwa pada tahapan organogenesis, bintik mata pada embrio semakin lama mengalami pelebaran dan perubahan warna menjadi semakin gelap, selain itu terjadi pembentukan jantung dan pemanjangan pada ruas tulang belakang hingga membentuk ekor.

Gambar 7. Perkembangan embrio ikan dewa 42-68 jam setelah pembuahan. A. 42 jam; B. 48 jam, 1. Mata; C. 54 jam, 2. Jantung; D. 68 jam

Gambar 8. Larva ikan dewa setelah menetas. A. 80 jam (larva menetas), 1. Cangkang telur; B. 86 jam, 2. Yolk sac

Didapati bahwa lama waktu penetasan atau hatching time telur adalah 80 jam setelah pembuahan (Gambar 10). Proses penetasan lebih lambat dari penelitian sebelumnya oleh Subagja et al. (2013) yakni larva ikan Tor sp. mulai menetas pada umur 72 jam setelah fertilisasi dengan suhu air 25-27°C. Kisaran suhu air pada pengamatan ini antara 22,7-23,4°C, hal tersebutlah yang memperlambat proses

22

penetasan. Seperti yang dikemukakan Hutagalung, Alawi, & Sukendi (2016), suhu yang lebih tinggi umumnya dapat mempercepat penetasan telur karena menyebabkan metabolisme berlangsung lebih cepat, hal tersebut mempercepat perkembangan embrio sehingga terjadi pergerakan embrio dalam cangkang yang lebih intens.

4.2.2. Daya Tetas Telur Daya tetas telur ikan dewa pada kecepatan aerasi berbeda menunjukkan bahwa tertinggi (90,63±2,67%) dijumpai pada perlakuan kecepatan aerasi 500 ml/menit. Kemudian diikuti oleh perlakuan 2000, 1000, 1500, dan 0 ml/menit masing-masing sebesar 84,50±1,19%, 82,51±7,01%, 82,05±5,91%, dan 81,24±4,71% (Gambar 6). Persentase daya tetas telur yang didapat pada setiap perlakuan kecepatan aerasi sesuai dengan persentase daya tetas sebelumnya dari perlakuan salinitas 0 ppt yaitu 90,00±10,00%. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak diperoleh adanya perbedaan (p>0,05) antar perlakuan kecepatan aerasi terhadap daya tetas telur.

100 a a a a a 80

60

40

Daya Tetas Daya Tetas (%) 20

0 0 ml/menit 500 ml/menit 1000 ml/menit1500 ml/menit 2000 ml/min Perlakuan

Gambar 9. Persentase rata-rata daya tetas telur ikan dewa pada kecepatan aerasi berbeda

Hasil pengamatan daya tetas telur pada kecepatan aerasi berbeda menunjukkan tidak adanya beda nyata dari setiap parlakuan. Hal tersebut dapat disebabkan oleh telur yang masih memanfaatkan energi internal sehingga belum memerlukan kadar oksigen yang spesifik untuk perkembangannya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat yang dikemukakan Anggoro (1992) yaitu sumber energi

23

utama pada proses pertumbuhan dan metabolisme embrio berasal dari oksidasi lemak yang terkandung dalam kuning telur. Namun di samping itu, persentase penetasan yang didapat pada perlakuan ini lebih besar dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Subagja et al. (2013) yaitu daya tetas sebesar 67% pada suhu 25-27°C.

4.2.3. Abnormalitas Persentase abnormalitas larva ikan dewa pada kecepatan aerasi berbeda (Gambar 7) yang baru menetas menunjukkan bahwa nilai tertinggi (23,23±0,26%) dijumpai pada perlakuan 0 ml/menit, kemudian diikuti oleh perlakuan kecepatan aerasi 2000, 1500, 1000, dan 500 ml/menit dengan masing-masing nilai 6,39±2,40%, 6,16±1,50%, 4,63±2,24%, dan 2,84±0,36%.

25 c

20

15

10 b ab b

Abnormalitas (%) Abnormalitas 5 a

0 0 ml/menit 500 ml/menit 1000 ml/menit1500 ml/menit2000 ml/menit Perlakuan

Gambar 10. Persentase rata-rata abnormalitas larva ikan dewa pada kecepatan aerasi berbeda

Kecepatan aerasi membuktikan bahwa semakin tinggi kecepatan aerasi diikuti dengan meningkatnya abnormalitas. Hasil statistik menunjukkan bahwa abnormalitas dipengaruhi oleh kecepatan aerasi (p<0,05). Hasil uji Duncan diperoleh bahwa kecepatan aerasi 500 ml/menit berbeda dengan 0, 1500, dan 2000 ml/menit terhadap abnormalitas (p<0,05). Kecepatan aerasi 0 ml/menit juga diperoleh abnormalitas yang berbeda (p<0,05) dengan kecepatan aerasi 500, 1000, 1500, dan 2000. Persentase abnormalitas tertinggi dijumpai pada perlakuan tanpa aerasi dengan bentuk larva abnormal yang bervariasi (Gambar 13). Tidak adanya aerasi

24

menyebabkan telur tidak mendapatkan oksigen yang merata dan telur saling menempel satu sama lain sehingga menyebabkan tingginya abnormalitas. Hal tersebut didukung oleh teori yang dikemukakan Aidil et al. (2016) bahwa terbatasnya kadar oksigen di perairan, dan sifat telur yang saling menempel (adhesive) mengakibatkan telur saling menumpuk atau menggumpal. Di habitat aslinya ikan dewa cenderung mendiami perairan berarus, sehingga saat memijah telur-telur yang dikeluarkan akan mendapat sirkulasi. Selain itu Effendie (1985) juga menjelaskan bahwa kurangnya ketersediaan oksigen dapat menghambat proses penetasan telur serta membuat lapisan chorion mengeras, sehingga embrio sulit keluar dan menyebabkan kecacatan atau kematian.

Keterangan: Klasifikasi morfologi larva mengacu pada Jezierska et al. (2000).

Gambar 11. Morfologi larva abnormal. A. Tubuh memendek, skoliosis abdomen, ekor melengkung ke atas, kuning telur berubah bentuk; B. Lordosis, perubahan bentuk kuning telur; C. Skoliosis; D. Larva berbentuk C, ekor dan tulang belakang berubah bentuk

Data abnormalitas juga menunjukkan bahwa semakin besar kecepatan aerasi maka semakin tinggi persentase abnormalitas. Persentase abnormalitas terendah didapati pada perlakuan kecepatan aerasi 500 ml/menit dikarenakan pada perlakuan tersebut memiliki kadar oksigen terlarut yang memadai serta arus air yang tidak terlalu besar. Semakin besarnya kecepatan aerasi akan menciptakan arus air yang semakin kencang dan menyebabkan telur menjadi sering mengalami goncangan.

25

Goncangan tersebutlah yang menyebabkan larva menjadi abnormal. Seperti yang dikemukakan oleh Woynarovich dan Horvath (1980) dalam Heltonika (2014) bahwa kematian telur selama fase inkubasi dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain suhu yang tidak tepat, kadar oksigen terlarut, telur yang tidak terbuahi, gangguan mekanis (goncangan atau pergeseran), serta parasit (jamur, bakteri, larva serangga, dan binatang lainnya).

4.2.4. Penyusutan Volume dan Laju Penyerapan Kuning Telur Penyusutan volume kuning telur selama waktu pengamatan (Gambar 8) terlihat bahwa terjadi penurunan pada semua perlakuan dari kecepatan aerasi 0 sampai 2000 ml/menit.

14.00 ) 3 12.00 10.00 0 ml/menit 8.00 500 ml/menit 6.00 1000 ml/menit 4.00 1500 ml/menit 2.00 2000 ml/menit

Volume Kuning Kuning Volume Telur (mm - 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Hari ke-

Gambar 12. Penyusutan volume kuning telur pada perlakuan kecepatan aerasi berbeda

Pada hari ke-0 sampai hari ke-2 terlihat penurunan yang cukup drastis dijumpai pada kecepatan aerasi 500 dan 1000 ml/menit, dan hari berikutnya penurunan relatif konstan, sedangkan pada kecepatan aerasi 0 dan 2000 ml/menit menunjukkan bahwa penyusutan kuning telur cukup lambat namun terjadi penurunan yang cukup tajam pada hari ke-2 dan ke-3 pada kecepatan aerasi 2000 ml/menit dan pada kecepatan aerasi 0 ml/menit dijumpai pada hari ke-3 dan ke-4. Pada perlakuan kecepatan aerasi 1000 ml/menit terjadi penurunan drastis mulai dari hari ke-0 hingga hari ke-4.

26

Perbedaan lamanya waktu penyusutan kuning telur tiap perlakuan diduga dipengaruhi oleh proses perkembangan dan pertumbuhan dari setiap individu larva yang diamati. Penyusutan kuning telur yang drastis diakibatkan karena terjadinya proses organogenesis pada larva sehingga membutuhkan energi yang lebih banyak. Seperti yang dikemukakan Herjayanto et al. (2017), bahwa energi yang digunakan selama proses perkembangan berasal dari kuning telur, hal tersebut ditandai dengan ukuran kuning telur yang kian mengecil seiring dengan berjalannya proses perkembangan.

0.1400 b b 0.1200 a a 0.1000 a /hari)

3 0.0800 0.0600 0.0400 0.0200 LPKT (mm LPKT 0.0000 0 ml/menit 500 1000 1500 2000 ml/menit ml/menit ml/menit ml/menit Perlakuan

Gambar 13. Rata-rata laju penyerapan kuning telur pada kecepatan aerasi berbeda

Laju penyerapan kuning telur (Gambar 9) terlihat bahwa nilai tertinggi sebesar 0,1268 ± 0,0056 mm3/hari pada kecepatan aerasi 1500 ml/menit, selanjutnya diikuti oleh kecepatan aerasi 1000, 500, 2000, dan 0 ml/menit dengan masing-masing nilai 0,1155±0,0077, 0,0884±0,0063, 0,0874±0,0047, dan 0,0770±0,0074 mm3/hari. Berdasarkan hasil uji statistik ANOVA menunjukkan bahwa kecepatan aerasi berpengaruh terhadap laju penyerapan kuning telur (p<0,05). Hasil uji Duncan diperoleh bahwa kacepatan aerasi 1000 dan 1500 berbeda dengan kecepatan aerasi 0, 500, dan 2000 ml/menit terhadap laju penyerapan kuning telur. Laju penyerapan kuning telur sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Larva yang baru menetas mendapatkan energi dari kuning telur juga lingkungannya. Kecepatan aerasi terbaik untuk laju penyerapan kuning telur dijumpai pada perlakuan 1500 ml/menit yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan

27

1000 ml/menit. Hal tersebut disebabkan pada kecepatan aerasi 1000 dan 1500 ml/menit larva mendapatkan suplai oksigen yang cukup sehingga mempercepat proses metabolisme pada tubuh larva. Selain itu kecepatan aerasi perlakuan tersebut menghasilkan sirkulasi air yang cukup kencang sehingga larva memerlukan energi yang lebih banyak untuk dapat berenang. Pada perlakuan 0 dan 500 ml/menit larva cenderung mendapat oksigen yang lebih sedikit sehingga menyebabkan proses metabolisme lebih lambat. Edsall & Smith (1990) menyatakan dalam pengelolaan pembenihan ikan, oksigen murni digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva ikan pada tahap awal. Sedangkan untuk perlakuan 2000 ml/menit, larva cenderung berkumpul di sudut-sudut akuarium untuk menghindari arus yang terlalu besar. Di habitatnya, larva ikan dewa sendiri cenderung mendiami perairan dengan arus yang tenang.

4.2.5. Panjang Mutlak Panjang mutlak larva ikan dewa (Gambar 10) terlihat bahwa nilai tertinggi terdapat pada perlakuan kecepatan aerasi 1500 ml/menit yaitu sebesar 4,6435±0,2518 mm, selanjutnya diikuti oleh kecepatan aerasi 1000, 0, 2000, dan 500 ml/menit dengan nilai panjang mutlak masing-masing 4,2773±0,2659, 4,0113±0,2630, 3,5457±0,1356, dan 3,0837±0,1215 mm.

6 d 5 cd c 4 b a 3 2 1 Panjang Mutlak Panjang (mm) 0 0 ml/menit 500 ml/menit 1000 ml/menit1500 ml/menit2000 ml/menit Perlakuan

Gambar 14. Rata-rata panjang mutlak larva ikan dewa pada kecepatan aerasi berbeda

28

Berdasarkan uji statistik ANOVA diperoleh hasil bahwa panjang mutlak larva dipengaruhi oleh kecepatan aerasi (p<0,05). Hasil uji Duncan diperoleh bahwa kecepatan aerasi 500 ml/menit berbeda nyata (p<0,05) dengan 0, 1000, 1500, dan 2000 ml/menit. Kecepatan aerasi 2000 ml/menit berbeda nyata dengan 0, 500, 1000, dan 1500 ml/menit. Kecepatan aerasi 0 ml/menit berbeda nyata dengan 500, 1500, dan 2000 ml/menit. Pertambahan panjang larva ikan dewa berlangsung seiring dengan menyusutnya kuning telur. Kuning telur yang diserap oleh larva selain digunakan untuk metabolisme juga berguna untuk proses pertumbuhan dan perkembangan. Dapat dilihat hasil terbaik untuk panjang mutlak larva dijumpai pada kecepatan aerasi 1000 dan 1500 ml/menit. Perlakuan tersebut memberikan suplai aliran air yang optimal untuk larva sehingga menciptakan pertumbuhan yang baik. Seperti yang dikemukakan oleh Djarijah (2001), aliran air selama proses pemeliharaan harus selalu terkontrol karena aliran terlalu kecil dapat menyebabkan larva terkumpul dan penyebaran oksigen tidak merata yang menyebabkan persaingan. Selain itu Afrianto & Liviawaty (1988) juga mengemukakan jika aliran air terlalu deras dapat menghambat pertumbuhan sebab larva menggunakan sebagian energinya untuk mempertahankan diri dari pengaruh air. Hal tersebut pula yang diduga menyebabkan larva pada perlakuan 2000 ml/menit memiliki nilai panjang mutlak yang lebih rendah. Larva pada perlakuan tanpa aerasi didapati memiliki nilai panjang mutlak yang lebih besar dibandingkan larva pada perlakuan kecepatan aerasi 500 dan 2000 ml/menit. Hal tersebut diduga karena tidak adanya arus air sehingga larva hanya menggunakan energi untuk pertumbuhan saja, tidak memerlukan energi untuk melawan arus. Sementara itu, rendahnya pertumbuhan pada larva perlakuan 500 ml/menit kemungkinan disebabkan karena larva menggunakan energi yang terdapat pada kuning telur untuk memperbaiki jaringan-jaringan yang rusak. Seperti yang diungkapkan Nuswantoro (2019), kuning telur yang diserap selain untuk pertumbuhan, juga dapat digunakan untuk memperbaiki sel dan jaringan tubuh yang rusak. Kemudian diperkuat dengan pandangan Cyrino et al., (2008), bahwa pakan yang diserap ikan akan dipecah menjadi energi untuk metabolisme, pertumbuhan, reproduksi, ekskresi, dan pencernaan.

29

4.3. Parameter Kualitas Air

Kualitas air merupakan parameter penting dalam kelangsungan hidup ikan. Dalam penelitian ini terlihat bahwa kisaran suhu dan pH masih berada dalam ambang batas yang sesuai untuk tempat hidup ikan (Tabel 1).

Tabel 1. Pengukuran kisaran parameter kualitas air pada perlakuan kecepatan aerasi berbeda

Perlakuan Suhu (°C) DO (mg/L) pH 0 ml/menit 22.7-23.3 3.21-3.91 6.43-7.37 500 ml/menit 22.8-23.3 6.12-6.64 6.47-7.16 1000 ml/menit 22.8-23.4 6.58-7.31 6.62-6.85 1500 ml/menit 22.9-23.4 7.07-7.37 6.36-7.09 2000 ml/menit 22.9-23.4 7.45-7.9 6.57-7.19

Berdasarkan penelitian Siregar et al. (2013) kisaran temperatur untuk tempat hidup ikan dewa adalah 22-26°C. Menurut Robertson-Bryan Inc. (2014) aktivitas fisiologis hewan air tawar dapat berjalan normal dalam rentang pH antara 6-9. Kebanyakan organisme akuatik menyukai pH sekitar 7-8,5 (Yosmaniar, 2014). Sementara itu, kisaran nilai DO kian meningkat seiring dengan peningkatan kecepatan aerasi. Oksigen terlarut yang ideal untuk pertumbuhan ikan air tawar adalah di atas 5 mg/L (Pescod, 1973). Dari hasil yang didapat, larva ikan dewa masih mampu bertahan hidup di lingkungan dengan nilai DO 3,21 mg/L.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan Berdasarkan penelitan yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa:

1. Telur ikan dewa hanya dapat menetas pada salinitas 0 ppt dengan daya tetas sebesar 90,00±10,00% dan tidak dapat berkembang pada salinitas 2, 4, dan 6 ppt. 2. Lama waktu penetasan telur ikan dewa pada salinitas 0 ppt adalah 80 jam dan tidak dipengaruhi oleh kecepatan aerasi. 3. Kecepatan aerasi 1000 ml/menit dapat menghasilkan larva ikan dewa dengan persentase abnormalitas rendah (4,63±2,24%) dan laju pertumbuhan yang cepat. 4. Kondisi terbaik untuk inkubasi telur ikan dewa adalah pada air bersalinitas 0 ppt atau air tawar dan pada kecepatan aerasi 1000 ml/menit dengan nilai oksigen terlarut 6,58-7,31 mg/L.

5.2. Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, berikut adalah saran yang dapat diberikan untuk penelitian selanjutnya:

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut menggunakan salinitas yang lebih kecil, berkisar antara 0-2 ppt guna mendapat salinitas yang dapat mempercepat perkembangan embrio tanpa merusak telur. 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kecepatan aerasi terhadap ikan dewa stadia larva guna mengetahui lingkungan yang optimal untuk pemeliharaan larva.

30

DAFTAR PUSTAKA

Abuzar, S. S., Putra, Y. D., & Emargi, R. E. (2012). Koefisien transfer gas (Kla) pada proses aerasi menggunakan tray aerator bertingkat 5 (lima). Jurnal Teknik Lingkungan Unand, 9(2), 155–163. Affan, J. M. (2011). Seleksi lokasi pengembangan budidaya dalam Keramba Jaring Apung (KJA) berdasarkan faktor lingkungan dan kualitas air di perairan Pantai Timur Kabupaten Bangka Tengah. Jurnal Sains MIPA, 17(3), 99–106. Afrianto, E., & Liviawaty, E. (1988). Beberapa Metode Budidaya Ikan. Yogyakarta: Kanisius. Aidil, D., Zulfahmi, I., & Muliari. (2016). Pengaruh suhu terhadap derajat penetasan telur dan perkembangan larva ikan lele sangkuriang (Clarias gariepinus var. Sangkuriang). JESBIO, 5(1), 30–33. Andriyanto, W., Slamet, B., & Ariawan, I. M. D. J. (2013). Perkembangan embrio dan rasio penetasan telur ikan kerapu raja sunu (Plectropoma laevis) pada suhu media berbeda. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Kelautan Tropis, 5(1), 192–203. Anggoro, S. (1992). Efek osmotik berbagai tingkat salinitas media terhadap daya tetas telur dan vitalitas larva udang windu Penaeus monodon. [Pascasarjana Tesis]. Institut Pertanian Bogor (IPB). Anggoro, S., & Muryati. (2007). Efek berbagai medium isosmotik terhadap aktivitas enzim ca-chorionase, energetika dan keefektifan penetasan telur udang jahe (Metapenaeus elegans). Jurnal Ilmu Kelautan, 12(4). Ardhardiansyah, Subhan, U., & Yustiati, A. (2017). Embriogenesis dan karakteristik larva persilangan ikan patin siam (Pangasius hypophthalmus) jantan dengan ikan baung (Hemibagrus nemurus) betina. Jurnal Perikanan Dan Kelautan, 8(2), 17– 27. Ardi I., Setiadi E., Kristanto A. H., & Widiyati A. (2016). Salinitas optimal untuk pendederan benih ikan betutu (Oxyeleotris marmorata). Jurnal Riset Akuakultur, 11(4), 339-347 Ardimas, Y. A. Y. (2012). Pengaruh gradien suhu media pemeliharaan terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan betok (Anabas testudineus Bloch). [Pascasarjana Tesis]. Institut Pertanian Bogor (IPB). Aryani, N. (2015). Nutrisi Untuk Pembenihan Ikan. Padang: Bung Hatta University Press. Asih, S., Nugroho, E., Kristanto, A. H., & Mulyasari. (2008). Penentuan variasi genetik ikan batak (tor soro) dari Sumatera Utara dan Jawa Barat dengan metode analisis Random Amplified Polymorphism DNA (RAPD). Jurnal Riset Akuakultur. 3(1),

31

32

91–97 Boyd, C. E. (1990). Water Quality in Ponds for Aquaculture. Birmingham, Alabama: Birmingham Publishing Co. Budiardi, T., Cahyaningrum, W., & Effendi, I. (2005). Efisiensi pemanfaatan kuning telur embrio dan larva ikan mannvis (Ptherophyllum scalare) pada suhu inkubasi berbeda. Jurnal Akuakultur Indonesia, 4(1), 57–61. Cyrino, J. E. P., Bureau, D. P., & Kapoor, B. G. (2008). Feeding and Digestive Functions of Fishes. Boca Raton: CRC Press. Diana, A. N., Masithah, E. D., Mukti, A. T., & Triastuti., dan J. (2013). Embriogenesis dan daya tetas telur ikan nila (Oreochromis niloticus) pada salinitas berbeda. Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–1699. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004 Djarijah, A. S. (2001). Budi Daya Ikan Bawal. Yogyakarta: Kanisius. Edsall, D. A., & Smith, C. A. (1990). Aquaculture. 90, 251–259. Effendi, I. (2004). Pengantar Akuakultur. Jakarta: Penerbit Swadaya. Effendie, M. I. (1985). Penilaian perkembangan gonad ikan belanak (Liza subviiridiss Valenciences) di Perairan Sungai Cimanuk. [Pascasarjana Tesis]. Institut Pertanian Bogor (IPB). Effendie, M. I. (1997). Biologi Perikanan. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama. Farastuti, E. R., Sudrajat, A. O., & Gustiano, R. (2014). Induksi ovulasi dan pemijahan ikan soro (Tor soro) menggunakan kombinasi hormon. LIMNOTEK, 4(1), 87–94. Gusrina. (2014). Genetika dan Reproduksi Ikan. Yogyakarta: Deepublish. Hadi, M. S. (2016). Pengaruh jumlah aerasi terhadap daya tetas telur dan sintasan larva bawal (Colossoma macropomum, Cuvier). [Skripsi]. Universitas Gajah Mada. Hadid, Y., Syaifudin, M., & Amin, M. (2015). Pengaruh salinitas terhadap daya tetas telur ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr.). Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia, 2(1), 78–92. Haryono, Agus, H. T., Jojo, S., Asih, S., & Gema, W. (2010). Teknik Budidaya Ikan Tambra. Bogor: LIPI. Haryono, & Subagja, J. (2008). Populasi dan habitat ikan tambra, Tor tambroides (Bleeker, 1854) di perairan kawasan Pegunungan Muller Kalimantan Tengah. Jurnal Biodiversitas, 9(4), 306–309. Haryono, & Tjakrawidjaja, A. H. (2005). Pengenalan Jenis Ikan Tambra yang Bernilai Komersial Tinggi dan Telah Rawan Punah untuk Mendukung Domestikasi.

33

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Heltonika, B. (2014). Pengaruh salinitas terhadap penetasan telur ikan jambal siam (Pangasius hypohthalmus). Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia, 2(1), 13–23. Herjayanto, M., Carman, O., & Soelistyowati, D. T. (2017). Embriogenesis, perkembangan larva dan viabilitas reproduksi ikan pelangi (Iriatherina werneri Meinken, 1974) pada kondisi laboratorium. Akuatika Indonesia, 2(1), 1. https://doi.org/10.24198/jaki.v2i1.23389 Hijriyanti, K. H. (2012). Kualitas telur dan perkembangan awal larva ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis, Valenciennes (1928)) di Desa Air Saga, Tanjung Pandan, Belitung. [Skripsi]. Universitas Indonesia. Holliday, F. G. T. (1969). The effect of salinity on the eggs and larvae of teleosts. Fish Physiology, 1, 293–309. Hutagalung, J., Alawi, H., & Sukendi. (2016). Pengaruh suhu dan oksigen terhadap penetasan telur dan kelulushidupan awal larva ikan pawas (Osteochilus hasselti C.V.). [Skripsi]. Universitas Riau. Irfandi, M., Thaib, A., & Nurhayati. (2020). Pengaruh perbedaan suhu terhadap daya tetas telur ikan keurling (Tor soro). Jurnal TILAPIA, 1(2), 28–33. Islami, A. N., Hasan, Z., & Anna, Z. (2017). Pengaruh perbedaan siphonisasi dan aerasi terhadap kualitas air, pertumbuhan, dan kelangsungan hidup pada budidaya ikan nila (Oreochromis niloticus) stadia benih. Jurnal Perikanan Kelautan, 8(1). IUCN. (2014). The IUCN Red List of Threatened Species (ISSN 2307-). Inggris. Jezierska, B., Lugowska, K., Witeska, M., & Sarnowski, P. (2000). Malformations of newly hatched larvae. Electronic Journal of Polish Agricultural Universities, 3(2). Kamler, E. (1992). Early Life History Of Fish (Series 4). London: Chapman & Hall: An Energenetic Approach. Khasanah, U., Sulmartiwi, L., & Triastuti, R. J. (2019). Embriogenesis dan daya tetas telur ikan komet (Carassius auratus auratus) pada suhu yang berbeda. Journal of Aquaculture and Fish Health, 5(3), 108. https://doi.org/10.20473/ jafh.v5i3.11331 Kordi, M., Ghufron, & Andi. (2007). Pengelolaan Kualitas Air Dalam Media Budidaya Perairan. Jakarta: Rineka Cipta. Kottelat, M., Whitten, A. J., & Kartikasari, S.N. Wirjoatmodjo, S. (1993). Freshwater Fishes of Wstern Indonesia and Sulawesi (Periplus E). Hong Kong. Kumar, S., & Tembhre, M. (1997). Anatomy and physiology of fishes. In Vikas Publishing House PVT LTD. New Delhi. Lagler, K. F. (1972). Freshwater Fishery Biology. Iowa: Brown Company Publisher

34

Dubuque. Lee, C. S., & Menu, B. (1981). Effect of salinity on egg development and hatching in grey mullet (Mugil cephalus). J. of Fish Biol, 19, 179–188. Lopez, G. V., Martinez., K. M., & Garcia., M. M. (2004). Effect of temperature and salinity on artifacialy reproduced eggs and larvae or the leopard grouper Mycteropercia rosacea. Programa de Acuaculture, Centro de Investigaciones Biologicas Del Noroeste (CIBNOR), 485–498. Meade, J. W. (1989). Aquaculture Management. New York: Van Nostrand Reinhold. Mubarokah, D., Tarsim, & Kadarini, T. (2014). Embriogenesis dan daya tetas telur ikan pelangi (Melanotaenia parva) pada salinitas yang berbeda. AQUASAINS, Jurnal Ilmu Perikanan Dan Sumberdaya Perairan. Nikolsky, G. V. (1963). The Ecology of Fishes. New York: Academic Press. Nugroho, E., Soewardi, K., & Kurniawirawan, A. (2007). Analisis keragaman genetik beberapa populasi ikan batak (Tor soro) dengan metode Random Amplified Polymorphism DNA (RAPD). Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan Dan Perikanan Indonesia, 14(1), 53–57. Nurmansyah, R. (2019). Pengaruh debit aerasi terhadap derajat penetasan telur dan kelangsungan hidup larva ikan lele mutiara (Clarias sp.). [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Nuswantoro, S., Pradhana, A., Kusumah, R. V., & Fariedah, F. (2019). Hubungan laju penyerapan kuning telur dengan pertumbuhan larva ikan maanvis (Pterophyllum scalare). Journal of Fisheries and Marine Research, 3(2), 3–5. Pescod. (1973). Investigation of Rational Effluen and Stream Standards for Tropical Countries. Bangkok: A.I.T. Prakoso, V. A., & Kurniawan. (2015). Pengaruh stressor suhu dan salinitas terhadap perkembangan embrio ikan nilem (Osteochilus hasselti). Jurnal Sains Natural Universitas Nusa Bangsa, 5(1), 49–59. Prakoso, V. A., & Radona, D. (2015). Pengaruh media pemeliharaan bersalinitas terhadap perkembangan telur ikan torsoro (Tor soro). Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur, (2014), 873–880. Putri, D. A., Muslim, & Fitriani, M. (2013). Presentasi penetasan telur ikan betok (Anabas testudineus) dengan suhu inkubasi yang berbeda. Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia, 1(2), 184–191. Puvaneswari, S., Marimuthu, K., Karuppasamy, R., & Haniffa, M. A. (2009). Early embryonic and larval develompnet of Indian catfish, Heteropneustes fossilis. Eur. Asia J. Biol. Sci., 3, 84–96.

35

Qudus, R. R., Lili, W., & Rosidah. (2012). Pengaruh padat penebaran yang berbeda terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan benih ikan torsoro (Tor Soro). Jurnal Perikanan dan Kelautan. 3(4), 253–260. Radona, D., Subagja, J., & Arifin, O. Z. (2015). Performa reproduksi induk dan pertumbuhan benih ikan tor hasil persilangan (Tor soro dan Tor douronensis) secara resiprokal. Jurnal Riset Akuakultur, 10(3), 335. https://doi.org/10.15578/ jra.10.3.2015.335-343 Rahman, S. M., Habib, M. A., Hossain, Q. Z., Siddiqui, M. N., Rahman, M. M., & Ahsan, M. N. (2013). Embryonic development of Clarias batrachus under the influence of aeration and water flow. Ecoprint: An International Journal of Ecology, 18(May 2016), 25–31. https://doi.org/10.3126/eco.v18i0.9395 Robertson-Bryan Inc. (2014). pH Requirements of Freshwater Aquatic Life. California. Rumondang, & Mahari, A. (2017). Growth and mortality of tor fish (Tor soro valenciennes 1842) in Asahan River. International Journal of Fisheries and Aquatic Research, 2(4), 23–26. Saputra, S. I., Raharjo, E. I., & Rachimi. (2014). Pengaruh getah pepaya (Carica papaya L.) kering terhadap derajat pembuahan dan penetasan telur ikan jambal siam (Pangasius hypothalamus). Jurnal Ruaya : Jurnal Penelitian Dan Kajian Ilmu Perikanan Dan Kelautan, 3(1), 26–34. https://doi.org/10.29406/rya.v3i1.475 Simanjuntak, M. (2012). Kualitas air laut ditinjau dari aspek zat hara, oksigen terlarut, dan pH di Perairan Banggai, Sulawesi Tengah. In Oseanografi. Jakarta. Sinaga, E. S., Pulungan, C. P., & Efizon, D. (2015). Length-weight and length-length relationship among the body parts of Batak fish (Tor soro) from the upstream of the Aek Godang River, North Sumatera Province. JOMFAPERIKA, 3(1). Siregar, B., Barus, T. A., & Ilyas, S. (2013). Hubungan antara kualitas air dengan kebiasaan makanan ikan batak (Tor Soro) di Perairan Sungai Asahan. Jurnal Biosains Unimed, 1(2), 1–11. Slembrouck, J., Komarudin, O., Maskur, & Legendre. (2005). Petunjuk Teknis Pembenihan Ikan Patin Indonesia (Pangasius djambal). Jakarta: IRD, BRPBAT, BRPB, BRKP. Sriyani, R. (1993). Perkembangan dan kelangsungan hidup embrio dan larva ikan bandeng (Chanos chanos Forsk). [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor (IPB). Subagja, J., Kristanto, A. H., & Sulhi, M. (2013). Domestikasi ikan semah (Tor douronensis ) melalui pengembangan budidaya. (Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur), 1–7. Subagja, J., & Radona, D. (2018). Profitabilitas dan keragaan pertumbuhan benih ikan tor tambroides dengan frekuensi pemberian pakan yang berbeda. Jurnal Ilmu- Ilmu Hayati, 17(2).

36

Subagja, & Marson. (2008). Identifikasi dan habitat ikan semah (Tor sp.) di Sungai Lematang, Sumatera Selatan. BAWAL, 2 (3), 113–116. Sugama, K., Trijoko, S., Ismi, S., & Setiawati, K. M. (2004). Enviromental factors affecting embryonic development and hatching of humpback grouper (Cromileptes altivelis) Larvae. In Advance in grouper aquaculture (Rimmer, M., p. 134). ACIAR. Sukendi. (2003). Vitelogenesis dan manipulasi fertilisasi pada ikan. In Biologi Reproduksi Ikan (p. 110). Pekanbaru: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau Pekanbaru. Sunarma, A. (2007). Panduan Singkat Teknik Pembenihan Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus). Sukabumi: BBPBAT Sukabumi. Tang, U. M., & Ridwan, A. (2004). Biologi Reproduksi Ikan. Pekanbaru: Uni Press. Waris, A., Mansyur, K., & Rusaini. (2018). Penggunaan bubuk daun ketapang (Terminalia catappa) dengan dosis dan suhu inkubasi berbeda terhadap embriogenesis dan penetasan telur ikan cupang (Betta splendens). Prosiding Simposium Nasional Kelautan Dan Perikanan V. Makassar: Universitas Hasanuddin. Wirawan, I. (2005). Efek pemaparan copper sulfat (CuSO4) terhadap daya tetas telur, perubahan histopatologik insang dan abnormalitas larva ikan zebra (Brachydanio rerio). [Pascasarjana Thesis]. Universitas Airlangga. Yosmaniar. (2014). Kajian kualitas air untuk budidaya perikanan di Cibalagung dan Cijeruk. Prosiding Forum Inovasi Akuakultur 2014, 379–388. Yulianti, B. E. (2016). Pengaruh suhu terhadap perkembangan telur dan larva ikan tor (Tor tambroides). [Skripsi]. Universitas Lampung.

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 1. Tata letak unit perlakuan salinitas

Keterangan: P.A = salinitas air 0 ppt P.C = salinitas air 4 ppt P.B = salinitas air 2 ppt P.D = salinitas air 6 ppt

Lampiran 2. Tata letak unit perlakuan kecepatan aerasi

Keterangan: P.E = kecepatan aerasi 0 ml/menit P.H = kecepatan aerasi 1500 ml/menit P.F = kecepatan aerasi 500 ml/menit P.I = kecepatan aerasi 2000 ml/menit P.G = kecepatan aerasi 1000 ml/menit

P.x = Perlakuan y = Ulangan

37

38

Lampiran 3. Gambar proses pelaksanaan tahap penelitian

Gambar Kegiatan Keterangan Proses stripping induk betina

Proses pencampuran telur dan sperma induk

Instalasi perlakuan salinitas

Instalasi perlakuan kecepatan aerasi

39

Wadah penyimpanan telur untuk pengamatan perkembangan embrio