KAJIAN KONSENTRASI BAP DAN NAA TERHADAP INDUKSI TUNAS IN VITRO SENGON () TOLERAN KARAT TUMOR

USULAN PENELITIAN

Disusun Oleh : Andhika Dwi Ariananta 20130210131 Program Studi Agroteknologi

Kepada FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA YOGYAKARTA 2017

Usulan Penelitian KAJIAN KONSENTRASI BAP DAN NAA TERHADAP INDUKSI TUNAS IN VITRO SENGON (Falcataria moluccana) TOLERAN KARAT TUMOR

Yang diajukan oleh

Andhika Dwi Ariananta 20130210131 Program Studi Agroteknologi

Telah disetujui/disahkan oleh:

Pembimbing Utama

Dr. Innaka Ageng Rineksane S.P., M.P. NIK 19721012200004133050 Tanggal 25 April 2017

Pembimbing Pendamping

Dr. Ir. Asri Insiana Putri M.P. NIP196609142005912003 Tanggal 25 April 2017

Mengetahui Dekan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Ir. Sarjiyah, M.S. NIK 196109181991032001

ii

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Kayu banyak digunakan untuk bahan bangunan seperti rumah, gedung sekolah dan masjid. Selain itu kayu juga dimanfaatkan untuk kebutuhan industri. Pemenuhan kayu untuk bahan bangunan dan industri dapat terpenuhi dari hutan rakyat. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03/MENHUT-V/2004, hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainya dengan ketentuan luas minimum 0,25 Ha, penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan tanaman lain lebih dari 50%. Hutan Rakyat sudah sejak lama memberikan sumbangan ekonomi maupun ekologis baik langsung kepada pemiliknya maupun kepada masyarakat sekitar (Suprapto, 2010). Salah satu jenis kayu yang banyak ditanam di hutan rakyat adalah kayu dari tanaman sengon (Falcataria moluccana). Menurut Siregar dkk. (2010) prospek penanaman sengon cukup baik, hal ini karena kebutuhan kayu sengon mencapai 500.000 m3 per tahun. Dengan adanya permintaan kayu yang tinggi ini maka permintaan benih sengon juga meningkat karena berkembang luasnya penanaman sengon untuk hutan tanaman industri dan hutan rakyat. Tanaman ini sangat mudah beradaptasi dengan lingkungan tempat tumbuhnya, tanaman ini dapat mencapai tinggi 45 m dengan diameter 100 cm, jika ditanam pada lahan yang subur (Anggraeni dan Lelana, 2011). Dalam budidaya tanaman sengon terdapat penyakit yang dapat merusak bahkan mengakibatkan kematian bagi tanaman sengon. Penyakit tersebut adalah karat tumor. Penyakit tersebut disebabkan oleh jamur bernama falcatarium, yang termasuk dalam Famili Pucciniaceae, Ordo Uredinales, Kelas Basidiomycetes. Jamur ini termasuk kelompok parasit obligat, yaitu dapat hidup dan berkembang pada organisme yang sedang hidup (Corryanti dan Novitasari, 2015). Oleh karena itu perlu dilakukan perbanyakan bibit unggul tanaman sengon toleran karat tumor secara vegetatif yaitu dengan perbanyakan secara kultur in vitro, Teknik ini dapat menghasilkan jutaan benih dalam satu kali proses pembenihan. Kultur in vitro menghasilkan tanaman baru dalam jumlah besar

1

2

dengan waktu singkat serta memiliki sifat dan kualitas yang sama dengan tanaman induk (Zulkarnain 2009). Kultur in vitro bukan merupakan metode pemuliaan tanaman, tetapi hanya merupakan cara perbanyakan genotipe yang ada. Keuntungan yang diperoleh menggunakan kultur in vitro, yaitu bibit yang dihasilkan seragam dalam hal kualitas, ukuran dan usia sehingga memudahkan penanaman dan pemanenan, menjaga keberlanjutan ketersediaan bibit dalam jumlah besar, serta menghasilkan bibit bebas penyakit (Tini dan Amri, 2002). Balai Besar Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH) telah memiliki calon bibit sengon toleran karat tumor dalam bentuk planlet. Bibit tersebut berasal dari papua dengan jumlah yang sedikit. Oleh karena itu perlu dlakukan perbanyakan dengan teknik kultur in vitro. Menurut Zulkarnain (2009) dalam teknik kultur in vitro, kehadiran zat pengatur tumbuh berpengaruh sangat nyata. Teknik kultur in vitro pada upaya perbanyakan tanaman sangat sulit diterapkan tanpa melibatkan zat pengatur tumbuh. George (1993) menyatakan bahwa keseimbangan zat pengatur tumbuh golongan auksin dan sitokinin dapat memberikan pengaruh pada pertumbuhan dan diferensiasi sel. Menurut Herawan dan Burhan (2009) perbanyakan sengon (Falcataria moluccana) dengan bagian kotiledon, konsentrasi BAP 3 mg/l dan konsentrasi NAA 0,03 mg/l memberikan respon paling baik dalam pembentukan jumlah tunas sengon. Silvaa (2006) menyimpulkan bahwa konsentrasi 1, 2, 3 mg/l BAP yang dikombinasikan dengan 0,5 mg/l NAA mampu menginduksi organogenesis internodus 'Bahia' sweet orange (Citrus sinensis L. Osbeck). Pada penelitian ini dilakukan induksi tunas sengon secara in vitro menggunakan media MS (Murashige and Skoog) dengan penambahan zat pengatur tumbuh BAP dan NAA. Hasil penelitian ini memerlukan uji lapangan, sehingga planlet (kombinasi perlakuan BAP dan NAA) terbaik merupakan hasil putatif (kandidat kuat) sengon toleran karat tumor.

3

B. Perumusan Masalah 1. Perbanyakan bibit unggul tanaman sengon toleran karat tumor belum tersedia. 2. Konsentrasi BAP dan NAA yang optimal untuk perbanyakan tunas tanaman sengon toleran karat tumor secara kultur in vitro belum diperoleh. C. Tujuan Penelitian 1. Memperoleh bibit unggul tanaman sengon toleran karat tumor. 2. Memperoleh konsentrasi BAP dan NAA yang tepat untuk perbanyakan tunas tanaman sengon toleran karat tumor.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tanaman Sengon Sengon yang mempunyai nama latin Falcataria moluccana merupakan salah satu jenis yang dikembangkan dalam pembangunan Hutan Tanaman Industri maupun Hutan Rakyat di . Di Indonesia sengon memiliki beberapa nama lokal antara lain: jeungjing (Sunda), sengon laut (Jawa), sika (), tedehu pute (Sulawesi), bae, wahogon (Irian Jaya). Sengon merupakan jenis tanaman cepat tumbuh yang paling banyak dibudidayakan dengan pola agroforestry oleh masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa. Sengon dipilih karena memiliki beberapa kelebihan, antara lain: masa masak tebang relatif pendek (5-7 tahun), pengelolaan relatif mudah, persyaratan tempat tumbuh tidak rumit, kayunya serbaguna, membantu menyuburkan tanah dan memperbaiki kualitas lahan, dan dapat memberikan kegunaan serta keuntungan yang tinggi, misalnya untuk produksi kayu pertukangan, bahan bangunan ringan di bawah atap, bahan baku pulp dan kertas, peti kemas, papan partikel dan daunnya sebagai pakan ternak (Baskorowati, 2014). Sengon mulai banyak dikembangkan sebagai hutan rakyat karena dapat tumbuh pada sebaran kondisi iklim yang luas, tidak menuntut persyaratan tempat tumbuh yang tinggi. Prospek penanaman sengon cukup baik, hal ini karena kebutuhan akan kayu sengon mencapai 500.000 m3 per tahun. Dengan adanya permintaan kayu yang tinggi ini maka permintaan benih sengon juga semakin meningkat karena berkembang luasnya penanaman sengon untuk hutan tanaman industri dan hutan rakyat (Baskorowati, 2014). Sengon paling banyak dibudidayakan dengan biji. Keuntungan perbanyakan dengan biji adalah mendapat bibit dalam jumlah yang banyak dalam waktu yag relatif singkat. Biji sengon mempunyai daya kecambah yang sangat cepat, dimana hanya membutuhkan waktu 7 hari untuk mencapai 100% kecambah (Baskorowati,2014). Tetapi bibit yang dihasilkan dari biji tidak memiliki sifat yang sama dengan induknya. Untuk memperoleh bibit sengon yang unggul dan memiliki sifat sama dengan induknya dapat dilakukan perbanyakan secara

4

5

vegetative yaitu dengan perbanyakan secara in vitro. Teknik ini dapat menghasilkan jutaan benih dalam satu kali proses pembenihan. Kulturin vitro menghasilkan tanaman baru dalam jumlah besar dalam waktu singkat dengan sifat dan kualitas yang samadengan tanaman induk (Zulkarnain 2009).Regenerasi dan multiplikasi sengon melalui kultur in vitro sebagai metode in vitro untuk seleksi toleransi terhadap penyakit belum banyak dilaporkan (Sukartinengsih et. al., 2002 ; Sumiasri et. al., 2006 ; Putri 2016). Penelitian kultur in vitro sebelumnya yang telah dilakukan sebelumnya adalah menggunakan materi nodul atau kotiledon generatif yang diperoleh secara in vitro atau ex vitro (Krisnawati et. al., 2011 ; Chujo et. al., 2010).

B. Kultur In Vitro Kultur in vitro adalah penerapan teori totipotensi, didefinisikan sebagai teknik isolasi bagian tanaman dan menumbuhkannya secara aseptis pada media buatan yang kaya akan nutrisi dan mengandung zat pengatur tumbuh. Tiap sel terstimulasi untuk memperbanyak diri dan akhirnya beregenerasi menjadi tanaman lengkap kembali. Menurut sifat totipotensi sel, bagian tanaman yang diambil akan dapat tumbuh menjadi individu baru yang lengkap apabila diletakkan di media yang sesuai (Hendaryono dan Wijayani, 1994). Menurut Hendaryono dan Wijayani (1994), keberhasilan kultur in vitro ditentukan oleh beberapa faktor yaitu, asal eksplan seperti bagian; tunas, biji, daun, akar atau bunga, umur tanaman (umumnya tanaman yang telah mencapai fase generatif lambat pertumbuhannya dibandingkan tanaman muda), genotipe tanaman, media kultur yang mencangkup pemberian unsur hara yang lengkap dan tepat sesuai dengan eksplan. Ketepatan dalam pemberian takaran unsur hara karena pertumbuhan eksplan sangat bergantung pada susunan zat makanan yang terlarut dalam media. C. Zat Pengatur Tumbuh Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) adalah senyawa organik bukan nutrisi yang dalam konsentrasi rendah (< 1 mM) dapat mendorong, menghambat atau secara kualitatif mengubah pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Intan, 2008). ZPT

6

yang sering digunakan dalam kulturin vitro adalah dari golongan auksin dan sitokinin. Perbandingan konsentrasi auksin dengan sitokinin akan menyebabkan pertumbuhan yang berbeda pada eksplan. ZPT golongan auksin yang sering digunakan dalam kultur in vitro adalah Naphtalene acetic acid (NAA). NAA memiliki sifat kimia lebih stabil dibanding IAA, karena tidak mudah terurai oleh enzim-enzim yang dikeluarkan sel atau pemanasan pada proses sterilisasi (Wetter dan Constabel,1991). NAA merupakan auksin sintetik yang sering digunakan karena memiliki sifat yang lebih tahan, tidak terdegradasi dan lebih murah. Mekanisme kerja auksin adalah dengan menginisiasi pemanjangan sel dan juga memacu protein tertentu yang ada di membran plasma sel tumbuhan untuk memompa ion H+ ke dinding sel. Ion H+ mengaktifkan enzim tertentu sehingga memutuskan beberapa ikatan silang hidrogen rantai molekul selulosa penyusun dinding sel. Sel tumbuhan kemudian memanjang akibat air yang masuk secara osmosis (Fahmi, 2014). Struktur kimia ZPT NAA disajikan pada gambar 1.

Gambar 1 : Struktur Kimia Naphtalene Acetic Acid (NAA) Menurut Nurnasari dan Jumali(2012), penggunaan ZPT NAA pada tanaman jarak pagar menunjukkan konsentrasi NAA mempengaruhi pertumbuhan tinggi tanaman, diameter kanopi dan jumlah cabang serta produksi jumlah buah, bobot 100 biji dan kadar minyak tanaman jarak pagar. Pemberian NAAmampu meningkatkan jumlah buah terpanen dan bobot 100 biji masing-masing sebesar 26,64 dan 5,07 % dan menurunkan kadar minyak sebesar 3,05 % dari kontrol. Konsentrasi 1000 ppm NAA mampu meningkatkan 100 biji masing-masing sebesar 35,09 dan 2,99 % dan menurunkan kadar minyak sebesar 3,58 %.

7

Sitokinin merupakan ZPT yang banyak digunakan untuk memacu inisiasi dan proliferasi tunas. Aktivitas yang terutama ialah mendorong pembelahan sel, menginduksi tunas adventif dan dalam konsentrasi tinggi menghambat inisiasi akar. Diantara beberapa jenis sitokinin, sitokinin tipe urea memiliki aktivitas lebih kuat dibanding tipe purin atau adenine. Sitokinin alami yang biasa digunakan adalah zeatin dan kinetin. Salah satu jenis sitokinin sintetis adalah6- benzylaminopurin (BAP). Pemberian sitokinin dengan konsentrasi lebih tinggi (1- 10 mg/l) dapat menginduksi pembentukan tunas aksiler dengan cara menurunkan dominansi apikal dan menghambat penuaan. Pembentukan tunas adventif terdorong, namun akan menghambat pertumbuhan akar (Pierik, 1987). Hal tersebut didukung oleh Sugiyanti (2008), pemberian BAP yang lebih tinggi daripada NAA dapat mendorongpembentukan tunas Zodia secara in vitro.

Pemberian kombinasi konsentrasi B3N1 (BAP 3 mg/l dan NAA 1 mg/l) menghasilkan pertumbuhan tunas terbaik, yaitu terbentuknya kalus pada semua perlakuan, pembentukan tunas pada umur 2 minggu setelah tanam, dan jumlah tunas terbanyak. Struktur kimia ZPT BAP disajikan pada gambar 2.

Gambar 2 : Struktur Kimia 6-benzylaminopurin (BAP) Secara fisiologi, pertumbuhan dominasi apikal pada akar eksplan akan terhambat dengan konsentrasi sitokinin yang tinggi (Mante and Tropper, 1983).Sitokinin menghambat pembentukan akar lateral melalui pengaruhnya pada sel periskel dan memblok program pengembangan pembentukan akar lateral (Santoso, 2013). Interaksi antara konsentrasi auksin dan sitokinin juga mempengaruhi banyak aspek diferensiasi sel dan organogenesis pada kultur in vitro. Tunas adventif Phellodendron amurense Rupr. berhasil diregenerasikan dari kalus

8

selama 4 minggu yang dikulturkan dalam media MS yang terdiri dari1, 5 mg/l BAP dan 1 mg/l NAA (Azad et al., 2005). Silvaa (2006) menyimpulkan bahwa konsentrasi 1, 2, 3 mg/l BAP yang dikombinasikan dengan 0,5 mg/l NAA mampu menginduksi organogenesis internodus 'Bahia' sweet orange (Citrus sinensis L. Osbeck). Keseimbangan antara kedua ZPT ini yang diperlukan untuk pertumbuhan atau diferensiasi pada kultur invitro diilustrasikan oleh George (1993) pada gambar 3.

Sitokinin Auksin Pengaruh Auksin + Sitokinin Tinggi Rendah Pembentukan akar pada pembuatan stek

Inisiasi kalus pada monokotil

Tahap pertama embrio genesis

Pembentukan akar adventif dan kalus

Inisiasi kalus pada dikotil Pembentukan tunas adventif

Proliferasi tunas aksiler pada kultur tunas Tinggi Rendah

Gambar 3 : Keseimbangan konsentrasi antara ZPT golongan auksin dan sitokinin yang diperlukan untuk pertumbuhan dan diferensiasi pada kultur in vitro.

D. Penyakit Karat Tumor Penyakit karat tumor pada sengon di Indonesia pertama kali dilaporkan pada tahun 1996 di Pulau Seram, Maluku, tetapi saat itu untuk pengendaliannya belum mendapat perhatian.Sementara di Sorowako, Sulawesi Selatan, pada awal tahun 2005 ditemukan penyakit karat tumor pada pertanaman sengon di lokasi rehabilitasi bekas pertambangan timah. Meskipun epidemik baru terjadi pada tahun 2005, namun diyakini bahwa penyakit telah ada sejak empat-lima tahun

9

sebelumnya. Pada awal tahun 2008 dilaporkan bahwa penyakit karat tumor terdapat di daerah Batu Putih, Kalimantan Timur. Penyakit karat tumor juga telah menyebar di wilayah Bali Timur pada tahun 2007, terutama di daerah Bangli Barat dan Kintamani. Penyakit dengan nama lain gall ini telah menyebar luas hampir di seluruh wilayah Bali Barat dan Kintamani. Penyebaran telah mencapai sekitar 80 persen, terutama di daerah yang memiliki ketinggian di atas 50 mdpl.Penyakit ini juga diperkirakan dapat menyebar di dataran tinggi sekitar Gunung Agung, yaitu di Baturiti, Bedugul, Kintamani, Besakih, juga Bali dan Batu Raja. Taman Nasional Bali Barat diperkirakan telah mendapat serangan karat tumor lebih awal daripada di Bangli Barat. Hal ini berkait dengan arah pergerakan angin dan jarak yang dekat dengan Banyuwangi. Tanaman sengon di wilayah Bedugul, Ubud, Sepang, Tirtagangga dan Karangasem juga memiliki potensi yang tinggi terancam serangan karat tumor (Corryanti danNovitasari, 2015). Penyebab penyakit karat tumor pada sengon ialah jenis fungi Uromycladium falcatarium. Jenis fungi karat umumnya masuk dalam divisi Basidiomycotina, kelas Urediniomycetes, ordo Uredinales, famili . Seperti patogen karat yang lain maka Uromycladium juga bersifat parasit obligat yang hanya dapat hidup apabila memarasit jaringan hidup. Pada U. tepperianum, spora yang memegang peran penting dalam pembiakan dan pemencarannya adalah teliospora yang dibentuk dalam jumlah besar. Teliospora mempunyai bentuk spesifik yaitu mempunyai struktur yang berjalur (seperti payung), bergerigi dan setiap satu tangkai terdiri dari tiga teliospora. Ukuran Teliospora yaitu lebar berkisar antara 13-18 μm dan panjang 17-26 μm (Anggraeni, dan Lelana , 2011). Penularan penyakit dapat terjadi melalui penyebaran telio spora dengan bantuan air (embun), angin, serangga dan manusia. Untuk perkecambahan teliospora diperlukan air, dan lamanya waktu berkecambah sangat tergantung pada suhu dan kondisi berkabut atau gelap juga mempercepat perkecambahan teliospora. Teliospora sendiri tidak dapat menginfeksi inang. Teliospora harus berkecambah membentuk basidiospora, yang terbentuk kurang lebih 10 jam setelah inokulasi. Basidiospora inilah yang dapat secara langsung melakukan

10

penetrasi menembus epidermis dan membentuk hifa di dalam ataupun di antara sel-sel epidermis, xilem dan floem. Setelah tujuh hari inokulasi, hifa vegetatif karat tumor ini berkembang menjadi piknia sebagai pustul coklat yang memecah epidermis (Anggraeni dan Lelana , 2011). Infeksi dapat terjadi pada biji, semai maupun tanaman dewasa di lapangan. Semua bagian tanaman meliputi pucuk daun, daun, tangkai daun, cabang, batang, bunga dan biji dapat terinfeksi oleh fungi patogen tersebut. Pada semai sengon, batanglah yang merupakan bagian tanaman yang paling rentan terhadap serangan fungi karat. Fungi karat masih bisa tetap hidup di musim kemarau atau kering pada bagian tanaman yang terserang. Pada waktu mulai musim hujan serangan akan bertambah dan terus tersebar selama musim hujan (Anggraeni dan Lelana , 2011). Menurut kepala pusat informasi kehutanan Jakarta dalam siaran pers Nomor : S.256/PIK-1?2009 dalam Anggraeni dan Lelana (2011) tentang pencegahandan pengendalian penyakit karat puru atau karat tumor, upaya serius untuk pencegahan dan pengendalian penyakit karat puru ini perlu dilakukan secara terpadu oleh Badan Litbang Kehutanan, Ditjen BPK, Ditjen RLPS, Pusdiklat Kehutanan, Pusbinluh, Pusinfo, Perum Perhutani, PT Inhutani 1 – V, APHI, APKINDO, dsb. Upaya pencegahan dan pengendalian dilakukan mencakup 3 (tiga) tahapan : 1. Praepidemi : yaitu dengan cara promotif meliputi sosialisasi/diseminasi. Penyuluhan cara-cara pencegahan, serta preventif dengan menghindari tanaman monokultur. Cara ini meliputi kegiatan silvi kultur antara lain : pengaturan jarak tanam, pemupukan yang tepat, pemangkasan, pengendalian gulma secara selektif, menggunakan pola tanam multikultur. 2. Epidemi : yaitu dengan cara eradikasi: tebang pohon yang berpenyakit; isolasi : penjarangan pohon; terapi: dengan pengobatan campuran belerang, kapur dan garam dengan komposisi belerang 1 kg + kapur 1 kg (1:1) + air 10/20 liter diaduk hingga rata. Bagian tanaman yang terserang dibersihkan dari gallnya kemudian disemprot/dioles larutan belerang kapur.

11

3. Pasca Epidemi : dengan cara rehabilitasi, pemuliaan pohon (benih, bibit unggul tahan penyakit), dan konversi jenis tanaman. Berdasarkan hal tersebut dengan teknik kulturin vitro dapat memberikan peran dalam pengendalian penyakit karat tumor pasca epidemi, yaitu dengan penyiapan bibit unggul tahan penyakit. E. Toleransi terhadap Penyakit Di alam, tanaman selalu menghadapi tekanan lingkungan yang bersifat antagonis kompleks secara bersamaan dari berbagai faktor biotik maupun abiotik diantaranya adalah dari serangan penyakit. Lebih dari setengah organisme di alam adalah pathogen atau parasit. Penyakit dapat membentuk struktur komunitas alam (Dobson dan Crawley, 1994 ; Evans, 1986) dan membentuk evolusi ( May dan Anderson, 1983). Proses evolusi juga terjadi pada tanaman yang mengakibatkan adanya kemampuan sistem mekanisme pertahanan ganda yaitu terciptanya interkoneksi multi jalur respon sinyal ketahanan terhadap faktor-faktor cekaman tersebut (Bostock, 2005 ; Kusnierczyk, et al 2007). Sistem pertahanan tanaman terhadap serangan penyakit dapat diperoleh melalui konsep tahan (resistance) maupun toleran (tolerance) untuk bertahan hidup dan berproduksi walaupun infeksi masih berlangsung (Clarke, 1986). Sesuai dengan konsensus resistens dan toleransi (Clarke, 1986 ; Fineblum dan Reusher 1995), konsep ketahanan adalah kemampuan mencegah atau mengurangi infeksi dan membatasi perluasannya, sedangkan toleransi adalah kemampuan untuk mengurangi atau mengimbangi hilangnya kekokohan (fitness) sebagai konsekuensi pengaruh infeksi tersebut. Strategi ketahanan tanaman inang terhadap infeksi pada prinsipnya adalah menghambat dan membersihkan penyebaran infeksi secara cepat sehingga mengurangi durasi infeksi dan mengurangi reproduksi parasit. Hal ini dilakukan dengan adanya hambatan (kulit, lendir, senyawa kimia dan rambut daun) mekanisme kekebalan serta kematian sel lokal. Toleransi melibatkan beberapa tingkat kompensasi dari kerusakan akibat serangan penyakit, yaitu tanaman dapat mentolerir infeksi dengan meningkatan konsentrasi klorofil di daun, memajukan waktu pecah tunas (bud break), menunda penuaan

12

jaringan yang terinfeksi dan meningkatkan serapan hara (Paigi dan Whitham, 1987; Marquis, 1992; Rosenthal dan Welter 1995).

F. Hipotesis Perlakuan pemberian BAP 3 ml/l dan NAA 0,5 ml/l diduga merupakan kombinasi perlakuan yang paling optimal dalam perbanyakan tunas tanaman sengon toleran karat tumor.

III. TATA CARA PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Balai Besar Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH), Sleman, Yogyakarta. Penelitian ini akan dilaksanakan selama 3 bulan. B. Bahan dan Alat Penelitian 1. Alat Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain timbangan analitik, Hot Plate Magnetic Stirrer,botol kultur, pH stik,petridish, pipet tetes, gelas ukur, pinset, Laminar Air Flow (LAF), alumunium foil, dissecting kits, autoklaf, dan bunsen. 2. Bahan Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah planlet sengontoleran karat tumor, media MS (Murashige and Skoog), BAP, NAA, alkohol 70% dan akuades C. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimental yang disusun dalam Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) dengan kelompok perlakuan adalah jenis klon yang disusun dalam rancangan perlakuan faktorial 3x3 + 1 Kontrol.Faktor pertama adalah konsentrasi BAP dengan tiga aras yaitu 1 mg/l, 2 mg/l dan 3 mg/l. Faktor kedua adalah konsentrasi NAA dengan tiga aras 0,5 mg/l, 0,75 mg/l dan 1 mg/l, dengan menggunakan 1 kontrol yaitu tanpa penambahan zat pengatur tumbuh (MS0). Setiap perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak 5 kali, sehingga unit percobaan yang didapatkan sebanyak 50 unit. Kombinasi perlakuan faktorial disajikan pada tabel 1.

NAA (mg/l) 0,50 0,75 1,00 BAP (mg/l)

1 B1N1 B1N2 B1N3

2 B2N1 B2N2 B2N3

3 B3N1 B3N2 B3N3 Tabel 1. Kombinasi Perlakuan Faktorial Konsentrasi BAP dan NAA untuk induksi tunas Sengon 13

14

D. Cara Penelitian Tata cara dalam penelitian ini mencakup beberapa tahap. Tahapan awal yang dilakukan adalah persiapan alat dan bahan untuk inokulasi eksplan. Tahap selanjutnya adalah pembuatan media yang akan digunakan eksplan sebagai tempat tumbuh. Inokulasi eksplan dilakukan setelah media dibuat.Eksplan diletakkan di tempat yang sesuai lingkungan tumbuh eksplan dan tahap ini adalah inkubasi.Pengamatan dilakukan selama inkubasi dan dilakukan pencatatan periodik agar mendapatkan data.Data dianalisa untuk diolah agar didapatkan hasil penelitian yang telah dilakukan (Gambar 4).

Persiapan Alat dan Pembuatan dan Inokulasi Bahan sterilisasi Media

Analisis Data Pengamatan Inkubasi

Hasil

Gambar 4 : Bagan alir penelitian 1. Persiapan Alat dan Bahan Langkah pertama dalam penelitian ini adalah mempersiapkan bahan dan alat yang akan digunakan. Semua alat dan bahan yang diperlukan harus sudah siap sejak awal penelitian, supaya penelitian dapat berjalan dengan lancar.Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : Planlet sengon toleran karat tumor, media MS (Murashige and skoog), BAP, NAA, alkohol 70% dan akuades.Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : timbangan analitik, Hot Plate Magnetic Stirrer,botol kultur, pH stik, pipet tetes, gelas ukur, pinset, Laminar Air Flow (LAF), alumunium foil dandissecting kits. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini disterilisasi dengan dua cara yaitu sterilisasi basah atau menggunakan uap air bertekanan dan

15

sterilisasi bakar. Sterilisasi basah atau menggunakan uap air bertekanan dilakukan dengan memasukkan botol kultur, petridish, pinset, skalpel, gelas ukur, gelas kimia dan erlenmeyer yang telah dibungkusmenggunakan kertas payung ke dalam autoklaf pada suhu 121°C bertekanan 1 atm selama 1 jam. Sterilisasi bakar dilakukan menggunakan nyala api bunzen di dalam LAF (Laminar Air Flow) dengan cara mencelupkan alat yang akan disterilisasi kedalam larutan alkohol 70%, kemudian dibakar pada nyala api bunzen. Alat yang dibakar adalah skalpel, pisau dan pinset yang digunakan untuk memotong dan menanam eksplan. 2. Pembuatan dan Sterilisasi Media Media yang digunakan pada penelitian ini adalah media Murashige and Skoog (MS).Media MS yang dibuat sebanyak 1000 ml yang akan digunakan untuk 10 perlakuan setiap perlakuan terdiri dari 5 botol , setiap botol kultur diisi sebanyak 20 ml media MS. Media MS mengandung senyawa-senyawa mikro dan makro, sehingga dalam pembuatanya dilakukan pembuatan larutan stok terlebih dahulu.Larutan stok dibuat dalam jumlah banyak sebagai persediaan dan sebagai langkah mengurangi kesalahan penimbangan.Larutan stok yang dibuat adalah larutan stok A, stok B, stok C dan stok D. Larutan stok A terdiri dari senyawa amonium

nitrat (NH4NO3), kalium nitrat (KNO3), magnesium sulfat (MgSO4.7H2O)

dan monopotasium fosfat (KH2PO4), kalium iodide (KI), asam borat

(H3BO3), mangan sulfat (MgSO4.4H2O), zinc sulfate (ZnSO4.7H2O),

sodium molibdate(Na2MoO4.2H2O), tembaga(II) sulfat (CuSO4.5H2O),

kobalt(II) klorida (CoCl2.6H2O). Larutan stok B terdiri dari senyawa

kalsium klorida (CaCl2.2H2O). Larutan stok C terdiri dari seyawa asam

etilena diamina tetra asetat (NaEDTA) dan besi(II) sulfat (FeSO4.7H2O) dibuat dalam botol berwarna gelap atau botol yang ditutup dengan alumunium foil. Hal tersebut bertujuan untuk mengindarkan larutan stok Fe dari paparan sinar matahari, karena senyawa besi (Fe) sangat peka terhadap sinar matahari. Larutan stok Vitamin terdiri dari senyawa pirydoxine HCL, thiamine HCL, nicotinic acid, dan glysine. Komposisi

16

media MS disajikan dalam lampiran 1. Dalam pembuatan media MS untuk 100 ml media, jumlah larutan stok yang diambil untuk membuat media MS disajikan pada tabel 2 : Tabel 2: Pengambilan larutan stok untuk media MS 100 ml

Kebutuhan dalam 1 liter Dalam membuat media 100 ml Bahan media dibutuhkan : Stok A 25 ml 2,5 ml Stok B 25 ml 2,5 ml Stok C 25 ml 2,5 ml Stok Vitamin 10 ml 1 ml Sukrosa 30 gram 3 gram Agar 9 gram 0,9 gram

Tabel 3 : Perhitungan penambahan ZPT (Pada 1000 ppm) Pengambilan untuk 100 ml Konsentrasi (mg/l) Perlakuan media BAP NAA BAP NAA B1N1 1 0,50 0,1 mg 0,050 mg B1N2 1 0,75 0,1 mg 0,075 mg B1N3 1 1,00 0,1 mg 0,100 mg B2N1 2 0,50 0,2 mg 0,050 mg B2N2 2 0,75 0,2 mg 0,075 mg B2N3 2 1,00 0,2 mg 0,100 mg B3N1 3 0,50 0,3 mg 0,050 mg B3N2 3 0,75 0,3 mg 0,075 mg B3N3 3 1,00 0,3 mg 0,100 mg

Setelah semua larutan stok dimasukkan dalam 10 botol media, masing-masing botol ditambahkan ZPT sesuai perlakuan, seperti yang tersaji pada tabel 3.Kemudian ditambah sukrosa sebanyak 3 gram dan ditambahkan aquades hingga volume mencapai 100 ml. Kemudian pH media ditepatkan menjadi pH 5,74, kemudian ditambahkan agar- agarsebanyak 0,9 gram untuk memadatkan media dan dipanaskan dalam mikrowave selama 6 menit. Selanjutnya media dituang ke dalam botol media. Masing-masing botol berisi 20 ml. Media MS dalam botol disterilisasi menggunakan autoclave pada suhu 121°C dengan tekanan 1

17

atm selama 30 menit. Selanjutnya media disimpan dalam ruang inkubasi selama 2 hari untuk memastikan bahwa media telah steril dan tidak terkontaminasi oleh mikroorganisme. 3. Inokulasi Pada penelitian ini eksplan yang digunakan berupa planlet sengon, sehingga dilakukan proses stek mikro terlebih dahulu. Pada prinsipnya stek mikro memiliki kesamaan dengan stek makro (stek pada tanaman pada umumnya). Tahapan ini diakukan dengan cara memotong planlet menggunakan skalpel, sengon dipotong 2 nodul paling atas. Umumnya eksplan yang berasal dari jaringan tanaman yang masih muda (juvenil) lebih mudah tumbuh dan beregenerasi dibandingkan dengan jaringan yang telah terdiferensiasi lanjut. Jaringan muda umumnya memiliki sel-sel yang aktif membelah dengan dinding sel yang belum kompleks sehingga lebih mudah dimodifikasi dalam kultur dibandingkan jaringan tua. Oleh karena itu, dipilih 2 nodul paling atas, kemudian ditanam (diinoulasi) pada media yang telah disiapkan. Tahap ini dilakukan secara aseptis di dalam Laminar Air Flow yang sebelumnya telah disterilkan menggunakan alkohol 70% dan lampu UV selama 1 jam. 4. Inkubasi Tahap ini adalah tahapan menyimpan botol steril yang berisi ekplan pada lingkungan yang steril. Dalam ruang inkubasi diusahakan paparan cahaya yang diterima semua perlakuan sama. Suhu ruangan inkubasi antara 24-27°C dengan kelembaban sekitar 70%. 5. Pengamatan Pengamatan terhadap persentase kontaminasi, jumlah tunas dan tinggi eksplan dilakukan setiap 3 kali dalam seminggu yaitu pada hari Senin, Rabu dan jum’at, pengamatan dilakukan sampai umur eksplan mencapai 12 minggu setelah tanam.

18

E. Parameter yang diamati Variabel yang diamati pada penelitian ini antara lain: 1. Persentase Kontaminasi a. Persentase eksplan hidup Parameter ini menunjukkan jumlah eksplan yang hidup dalam media MS. Persentase eksplan hidup dihitung pada minggu ke 12 setelah tanam dengan rumus : 퐽푢푚푙푎ℎ 푒푘푠푝푙푎푛 푦푎푛𝑔 ℎ𝑖푑푢푝 Persentase eksplan hidup = × 100% 퐽푢푚푙푎ℎ 푒푘푠푝푙푎푛 푡표푡푎푙 b. Persentase eksplan terkontaminasi Parameter ini menunjukkan jumlah eksplan yang mengalami kontaminasi akibat aktivitas mikroorganisme seperti jamur dan bakteri yang mengakibatkan kerusakan atau kematian pada eksplan.Kontaminasi pada eksplan akibat jamur ditandai dengan munculnya hifa pada eksplan, sementara ciri-ciri eksplan yang terkontaminasi bakteri adalah timbul lender di sekitar eksplan.Perhitungan persentase eksplan terkontaminasi dilakukan setelah umur eksplan mencapai 8 minggu dengan menggunakan rumus : 퐽푢푚푙푎ℎ 푒푘푠푝푙푎푛 푡푒푟푘표푛푡푎푚𝑖푛푎푠𝑖 Persentase eksplan terkontaminasi = × 100% 퐽푢푚푙푎ℎ 푒푘푠푝푙푎푛 푡표푡푎푙 c. Saat terkontaminasi Parameter ini menunjukkan kapan eksplan mulai terkontaminasi. Pengamatan ini dilakukan bersamaan dengan pengamatan tinggi eksplan dan jumlah tunas. 2. Jumlah tunas Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah tunas baru setiap 3 kali dalam seminggu, mulai dari hari penanaman eksplan sampai minggu ke-12 setelah tanam untuk melihat pertambahan tunas baru pada eksplan. 3. Tinggi tunas. Tinggi tunas diamati dengan menggunakan penggaris. Parameter ini menunjukan pertumbuhan tunas dalam media. Setiap penambahan tinggi

19

tunas dicatat. Pengamatan tinggi tunas dilakukan setiap 3 kali dalam seminggu bersamaan dengan pengamatan jumlah tunas. 4. Pessentase eksplan bertunas Pengamatan dilakukan dengan menghitung pertambahan tunas baru pada ekplan dan dinyatakan dalam persen untuk mengetahui pengaruh pemberian kombinasi ZPT BAP dan NAA terhadap pertumbuhan tunas. Persentase eksplan bertunas dihitung pada minggu ke-12 setelah tanam dengan rumus : 퐽푢푚푙푎ℎ 푒푘푠푝푙푎푛 푦푎푛𝑔 푏푒푟푡푢푛푎푠 Persentase eksplan hidup = × 100% 퐽푢푚푙푎ℎ 푒푘푠푝푙푎푛 푡표푡푎푙 5. Jumlah daun Pengamatan dilakukan dengan menghitung pertambahan daun baru pada ekplan. Pengamatan dilakukan setiap 3 kali dalam seminggu dimulai dari saat tanam hingga minggu ke-12 setelah tanam. 6. Jumlah akar Pengamatan dilakukan dengan menghitung pertambahan akar baru pada ekplan. Pengamatan dilakukan setiap 3 kali dalam seminggu dimulai dari saat tanam hingga minggu ke-12 setelah tanam. 7. Saat muncul atau tumbuh akar Parameter ini menunjukkan kapan eksplan mulai berakar. Pengamatan ini dilakukan bersamaan dengan pengamatan jumlah akar. 8. Persentase eksplan berakar Pengamatan dilakukan dengan menghitung pertambahan akar baru pada ekplan dan dinyatakan dalam persen untuk mengetahui pengaruh pemberian kombinasi ZPT BAP dan NAA terhadap pertumbuhan akar. Persentase eksplan berakar dihitung pada minggu ke-12 setelah tanam dengan rumus : 퐽푢푚푙푎ℎ 푒푘푠푝푙푎푛 푦푎푛𝑔 푏푒푟푎푘푎푟 Persentase eksplan berakar = × 100% 퐽푢푚푙푎ℎ 푒푘푠푝푙푎푛 푡표푡푎푙

20

F. Analisis data Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analysis of variance (ANOVA)pada taraf α = 5%. Bila ada beda nyata antar perlakuan maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada taraf α = 5%. Selanjutnya dilakukan uji kontras orthogonal untuk mengetahui perbedaan pengaruh antara perlakuan faktorial (perlakuan yang diberi kombinasi

ZPT) dengan perlakuan kontrol (MS0). Hasil analisis disajikan dalam bentuk grafik, histogram, tabel dan gambar.

G. Jadwal penelitian

Bulan I Bulan II Bulan III Bulan IV Bulan V Kegiatan 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 Persiapan pelaksanaan kegiatan

Persiapan alat dan bahan

Pembuatan media dan inokulasi

Inkubasi dan

pengamatan periodik

Pengumpulan data

Analisa data dan pembuatan laporan

Daftar Pustaka

Anggraeni, I. dan N. E. Lelana. 2011. Penyakit Karat Tumor pada Sengon. BadanPeneliti dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta

Azad, M. A. K., S. Yokota., T. Ohkubo., Y. Andoh., S. Yahara and N. Yoshizawa.2005. In Vitro Regeneration of The Medical Woody Plant Phellodendron amurense Rupr Through Excised Leaves. Journal Plant Cell, Tissue andOrgan Culture 80 (1) : 43-50.

Baskorowati, L.2014. Budidaya Sengon Unggul (Falcataria moluccana) Untuk Pengembangan Hutan Rakyat.IPB Press. Jakarta.

Corryanti dan D.Novitasari, 2015. Sengon dan Penyakit Karat Tumor. Puslitbang Perum PerhutaniCepu. Cepu.

Fahmi, Zaki I. 2014. Kajian Pengaruh Auksin Terhadap Perkecambahan Benih dan Pertumbuhan Tanaman.Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan Surabaya. Surabaya.

George, E. F. 1993. Plant Propagation by Tissue Culture. Part 1. The TechnologyExegetic. England. p. 1361.

Hendaryono, D. P. S., dan A. Wijayani. 1994. Teknik Kultur Jaringan.Kanisius.Yogyakarta.

Herawan, Toni dan Burhan Ismail. 2009. Penggunaan Kombinasi Auksin dan Sitokinin untuk Menginduksi Tunas Pada Kultur Jaringan Sengon (Falcataria moluccana) Menggunakan Bagian Kotiledon. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan. Vol. 3 No.1 Juli 2009, 23-31.

Intan, R.D.A. 2008.Peranan dan Fungsi Fitohormon bagi Pertumbuhan Tanaman. Makalah.Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Bandung.

Mante, S. and H.B. Tropper. 1983. Propagation of Musa textile Nee. Plant From Apical Meristem Slice In Vitro. Plant Tissue Culture Two edition.

Nurnasari, E dan Djumali. 2012. Respon Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Terhadap Lima Dosis Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) Asam Naftalen Asetat (NAA). Agrovigor Volume 5 No. 1 Maret 2012.

Peraturan Mentri Kehutanan Nomer P.03/MENHUT-V/2004 tahun 2004 tentang Pedoman Pembuatan Tanaman Hutan Rakyat Derakan Nasional Rehabilitas Hutan dan Lahan

21

22

Pierik, R.L.M. 1987. In Vitro Culture of Higher Plants. Martinus Nijhoff. Netherland.

Santoso, B, B. 2013. Zat Pengatur Tumbuh Dalam Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman. Universitas Sam Ratulangi.

Santoso, U., dan F. Nursandi. 2004. Kultur Jaringan Tanaman. UMM Press. Malang.

Silvaa, R.P.S., W.A.B de Almeidab, E. dos S. Souzab and F. de A.A. M. Filhoa.2006. In Vitro Organogenesis from Adult Tissue of 'Bahia' Sweet Orange (Citrus sinensis L. Osbeck). Fruits jurnal 61 : 367-371.

Siregar Iskandar Z, Tedi Yunanto dan Juwita Ratnasari. 2010. KayuSengon. Jakarta : Penabar Swadya. Sugiyanti, Emi. 2008.Pengaruh Kombinasi BAP (Benzil Amino Purine) dan NAA (Naphtalene Acetic Acid) Terhadap Pertumbuhan Tunas Zodia (Euodia suaveolens Scheff.) Secara InVitro.Skripsi. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Suprapto, E. 2010. Hutan Rakyat. Lembaga arupa. Yogyakarta.

Tini, N., dan Amri, K. 2002. Mengebunkan Jati Unggul: Pilihan Investasi Prospektif. Cetakan 1. Agromedia Pustaka, Jakarta.

Wattimena, G.A. 1992. Bioteknologi Tanaman. Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman. Pusat Antar Universitas IPB. Bogor.

Wetter, L. R., dan F. Constabel. 1991.Metode Kultur Jaringan Tanaman. ITB. Bandung

Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan Tanaman. Bumi Aksara. Jakarta.

23

Lampiran Lampiran 1. Komposisi media MS Nama Bahan Kimia Komposisi (mg/L) Stok A NH4NO3 1650 KNO3 1900 MgSO4.H2O 370 KH2PO4 170 MnSO4.H2O 22.3 ZnSO4.4H2O 8,6 ZnSO4.7H2O 10,58 H3BO3 6.2 KI 0.83 Na2MoO4.2H2O 0.25 CoCl2.6H2O 0.025 CuSO4.5H2O 0.025 Stok B CaCl2.2H2O 440 Stok C FeSO4.H2O 27.8 Na2-EDTA 37.3 Stok Vitamin Thiamine.HCl 10 mg/mL Nicotine acid 50 mg/mL Pyridoxice.HCl 50 mg/mL Glycine 200 mg/mL Myo-Inositol 100 Sukrosa 30 g Agar 9,0 g