Kesenian Sisingaan Atau Odong Odong
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Kesenian sisingaan atau odong odong Moch fauzi nursalam Mahasiswa Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia E-mail:[email protected] Abstract. Sisingaan art or odong odong is a typical art of eardrop that is still actively carried out until now. However, there are still many people who do not know the meaning or meaning that exists in this sisingaan tradition. By presenting this research we can describe more fully the tradition of this sisingaan. The method of this research is descriptive qualitative using the perspective of the participants as the preferred description in obtaining research results. The results obtained from the results of this research are the art of sisingaan or odong odong which is a form that can be accounted for by the people of Subang and the VOC that is applied into this language. For example, children as lion riders symbolize the younger generation who rule or dominate the invaders. With this research, the general public can learn and preserve this sisingaan tradition Keywords:art,subang ,history,sisingaan 1. Pendahuluan indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya di setiap daerahnya. Seni dan budaya tersebut tumbuh dan berkembang melalui pewarisan dari generasi ke generasi. Dalam pertumbuhannya, seni tidak hanya berkembang di daerah aslinya, juga berkembang ke wilayah lain yang tertarik untuk mengembangkan seni budaya tersebut (Susanti & Esih, 2019). Kesenian sisingaan merupakan kesenian yang berasal dari daerah di sebelah utara Provinsi Jawa Barat bernama Kabupaten Subang. Sampai saat ini, kesenian sisingaan dipersepsikan oleh banyak orang sebagai bagian dari perjuangan rakyat yang dalam hal ini perlawanan terhadap tuan tanah atau penjajah (Junaedi, Lubis, & Sofianto, 2017). Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, salah satu akibat dari kemajemukan tersebut adalah terdapat beraneka ragam ritual, tradisi atau upacara keagamaan yang dilaksanakan dan di lestarikan oleh masing-masing pendukungnya(Junita & Sidiq, 2017). Saat esenian sisingaan dewasa ini tidak hanya dipergelarkan dalam kaitannya dengan upacara khitanan, melainkan juga kaitannya dengan peristiwa-peristiwa upacara resmi yang bersikap lokal maupun nasional. Namun demikian, oleh karena memang pertunjukkan kesenian ini lebih sering dipergelarkan untuk menghibur anak yang akan dikhitan, maka dalam deskripsi ini pun lebih ditekankan pada jalannya pertunjukkan kesenian ini ketika ditampilkan dalam kesempatan upacara khitanan. 2. Metode Penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berfokus pada pemahaman terhadap feno mena sosial yang terjadi di masyarakat. Pada metode penelitian ini, peneliti menggunakan pe rspektif dari partisipan sebagai gambaran yang diutamakan dalam memperoleh hasil peneliti an.Metode sejarah adalah suatu proses menganalisis secara kritis terhadap sumber serta peni nggalan sejarah masa lampau dan menuliskan hasilnya berdasarkan dengan jejak-jejak sejara h yang diperoleh yang disebut historiografi (Dewi & Sumarno, n.d.) 3. Hasil dan Pembahasan Kesenian Sisingaan adalah kesenian khas Kabupaten Subang yang menampilkan 2-4 boneka singa yang diusung. Sisingaan yaitu patung boneka yang menyerupai singa sebagai simbol dari dua negara Belanda dan Inggris. Kesenian Sisingaan merupakan ungkapan rasa ketidaksenangan atau upaya pemberontakan dari masyarakat Subang kepada kaum penjajah. Dengan demikian sepasang Sisingaan muncul melambangkan kaum penjajah yaitu Belanda dan Inggris yang menindas rakyat Subang atau lambang kebodohan dan kemiskinan, maka diciptakan kesenian Sisingaan oleh para seniman (Sumarno,2017). Kesenian memiliki nilai apabila kesenian memiliki makna yang mendukung unsur didalamnya. Kesenian Sisingaan salah satu budaya yang memiliki unsur nilai yang memiliki makna. Kesenian Sisingaan memiliki makna filosofi yaitu makna perjuangan. Makna kesenian Sisingaan terdiri dari boneka atau patung singa, pengusung dan diusung (anak sunat), lagu, pengiring kesenian Sisingaan (Dewi, 2013) Sisingaan merupakan kesenian khas dari masyarakat Subang (Jawa Barat) yang menampilakan boneka sisingaan yang dinaiki 1 orang yang berjumlah 2 sampai 4 yang di usung oleh para pemainnya sambal menari. Biasanya yang naik di atas sisingaan adalah seorang anak kecil di khitan atau tokoh masyarakat. Banyak yang berpendapat kesenian ini muncul pada tahun 70-an. Waktu di anjungan jawa barat pada saat itu penampilan sisingaan ini masih sangat sederhana dan penampilan di anjungan jawa barat itu lah yang menjadi sisingaan yang di kenal oleh masyarakat sampai saat ini. Pertunjukan Sisingaan merupakan pertunjukan bentuk tarian di atas tandu yang di atas nya terdapat boneka yang berbentuk singa.pada umumnya di gunakan untuk pawai (arak-arakkan) atau pada acara khitanan (Witriani & Malarsih, 2019). Sisingaan pada umunnya di mainkan oleh laki-laki dewasa yang tergabung pada sebuah kelompok yang terdiri dari 8 orang. 1 boneka bdi gotong oleh 4 orang seorang pemimpin kelompok beberapa pemain waditra, dan 2 orang pemain jajangkungan atau engrang ( pemain menggunakan kayu sepanjang 3-4 meter). Para pemain memiliki keterampilan khusus, baik dalam menari atau memainkan waditra. Keterampilan khusus di perlukan karna di dalam pertunjukan di perlikan tim yang solid agar semua gerak tari yang di mainkan sambil mengotong benea sisingaan dapat selaras dengan musik yang dimainkan. Kesenian ini pada umumnya di mainkan pada siang hari dengan berkeliling kampung pada saat acar khitanan atau perayaan lainnya. Durasinya sebuah pementasan biasanya memakan waktuu cukup lama, tergantung rute yang di pilih untuk jalur sisingaan. Peralatan yang digunakan dalam permainan sisingaan adalah dua atau empat buah usungan boneka singa yang terbuat dari kayu yang di beri kain dan di beri tempat duduk di atasnya .sedangkan buru buru pada kepala dan ekos biasanya di buat dari kain yang di bentuk menyerupai bulu. Seperangkat waditra atau alat musik yang teridir dari dua buah kendang besar, sebuah terompet, tiga buah ketuk (bonang), sebuah kentrung (kulanter), sebuah gong kcil dan sebuah kecrek. Busana yang du gunakan pemain yaitu baju kampret atau pangsi, iket barangbang semplak, alas kaki salompak atau tarumpah. Pertunjukan sisingaan diawali dengan kata-kata sambutan yang dilakukan oleh pemimpin kelompok. Setelah pemimpin kelompok memberikan kata sambutan, barulah anak yang akan dikhitan atau tokoh masyarakat yang akan diarak dipersilahkan untuk menaiki boneka singa. Selanjutnya, alat pengiring ditabuh dengan membawakan lagu-lagu yang berirama dinamis sebagai tanda dimulainya pertunjukan. Kemudian, sejumlah 8 orang pemain akan mulai menggotong dua buah boneka singa (satu boneka digotong oleh 4 orang). Setelah para penggotong boneka singa siap, maka sang pemimpin akan mulai memberikan aba-aba agar mereka mulai melakukan gerakan-gerakan tarian secara serempak dan bersamaan. Para penggotong boneka itu segera melakukan gerakan-gerakan akrobatis yang cukup mendebarkan. Gerakan-gerakan tarian yang biasa dimainkan oleh para penggotong boneka singa tersebut adalah: igeul ngayun glempang, pasang/kuda-kuda, mincid, padungdung, gugulingan, bangkaret, masang, sepakan dua, langkah mundur, kael, ewag, jeblang, depok, solor, sesenggehan, genying, putar taktak, nanggeuy singa, angkat jungjung, ngolecer, lambang, pasagi tilu, melek cau, nincak rancatan, dan kakapalan. Sedangkan, lagu-lagu yang dimainkan oleh juru kawih untuk mengiringi tarian biasanya diambil dari kesenian Ketuk Tilu, Doger, dan Kliningan, seperti: Keringan, Kidung, Titipatipa, Gondang, Kasreng, Gurudugan, Mapay Roko, Kembang gadung, Kangsring, Kembang Beureum, Buah Kawung, Gondang, Tenggong Petit, Sesenggehan, Badudud, Tunggul Kawing, Samping Butut, Sireum Beureum, dan lagu Selingan (Siyur, Tepang Sono, Awet Rajet, Serat Salira, Madu dan Racun, Pria Idaman, Goyang Dombret, Warudoyong dan lain sebagainya). Pertunjukan sisingaan ini dilakukan sambil mengelilingi kampung atau desa, hingga akhirnya kembali lagi ke tempat semula. Dan, dengan sampainya para penari di tempat semula, maka pertunjukan pun berakhir. Makna dan Nilai Budaya Ada beberapa makna yang terkandung pada kesenian ini diantaranya: • Makna sosial, masyarakat subang masih percaya bahwa jiwa kenesian rakyat subang sangat berperan dalam diri mereka seperti egalitarian, spontanitas, dan rasa memiliki dari setiap rakyat yang ada. • Makna teatrikal, makna teatrikal ini dapat jelas di lihat dengan di tambahkannnya jajangkungan . • Makna komersial, karena sisingaan mampu meningkatkan kesejahteraan mereka maka antusianisme yang berakibat munculnya puluhan bahwa ratusan kelompok sisingaan di berbagai daerah untuk mengikuti festival. Menunjukan peluang karena si pemenang akan mendapatkan bisnis yang sangat menggiurkan sama seperti bajidoran.. • Makna Spiritual, tradisi ini masih dipercaya oleh masyarakat lingkungannya untuk syukuran. Kreativitas mereka terhadap seni tradisi melalui penciptaan ide penambahan perangkat atau alur cerita yang sesuai dengan kondisi saat ini atau bahkan menciptakan sebuah kesenian tradisional yang diambil dari kekayaan budaya di Subang (Setiawan, 2013).Sisingaan tidak hanya mengandung nilai nilai estetika semata. Tetapi, ada nilai-nilai yang lainnya yang dapat di jadikan sebagi acuan pada kehidupan sehari hari dan bagi masyarakat. Nilai nilai itu antara lain adalah nilai kerja sama, kekompakan, ketertiban, dan ketekunan. Nilai nilai ini dapat di lihat dari adanya kebersamaan dalam melestarikan warisan budaya dan dalam pementasan yang dapat berjalan dengan lancar dan dalam penguasaan