Kesenian Sisingaan Subang: Suatu Tinjauan Historis a Sisingaan (Lion) Dance Art Subang: a Historical Review

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Kesenian Sisingaan Subang: Suatu Tinjauan Historis a Sisingaan (Lion) Dance Art Subang: a Historical Review Kesenian Sisingaan..... (Anggi Agustian J, Nina Herlina L, Kunto Sofianto ) 181 KESENIAN SISINGAAN SUBANG: SUATU TINJAUAN HISTORIS A SISINGAAN (LION) DANCE ART SUBANG: A HISTORICAL REVIEW Anggi Agustian Junaedi, Nina Herlina Lubis, Kunto Sofianto Jurusan Ilmu Sejarah UNPAD, Jalan Raya Bandung Sumedang Km. 21 Jatinangor e-mail: [email protected] Naskah Diterima: 9 Mei 2017 Naskah Direvisi: 9 Juni 2017 Naskah Disetujui: 11 September 2017 Abstrak Kesenian sisingaan merupakan kesenian yang berasal dari daerah di sebelah utara Provinsi Jawa Barat bernama Kabupaten Subang. Sampai saat ini, kesenian sisingaan dipersepsikan oleh banyak orang sebagai bagian dari perjuangan rakyat yang dalam hal ini perlawanan terhadap tuan tanah atau penjajah. Namun, pendapat ini perlu ditinjau ulang mengingat beberapa pakar kesenian seperti Edih dan Armin Asdi yang mengatakan bahwa pada awalnya kesenian ini berfungsi sebagai alat untuk mengarak anak-anak yang akan dikhitan. Maka, untuk menjabarkan persoalan tersebut peneliti menggunakan metode sejarah yang terdiri dari heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, kesenian sisingaan tidak lahir sebagai aksi perlawanan karena sebelum aksi tersebut terjadi, kesenian ini telah ada dan beberapa kali digelar pada acara khitanan. Setidak-tidaknya ada dua indikator yang dapat dikemukakan untuk menjelaskan latar belakang terbentuknya sisingaan. Pertama, ia merupakan bagian integral dari proses islamisasi di Subang. Kedua, sebagai bentuk penghormatan kepada P.W. Hofland karena telah berjasa membangun Subang beserta penduduknya. Kata kunci: kesenian sisingaan, historis, Subang. Abstract Sisingaan (lion dance) is an art that comes from the area in the north of West Java Province; Subang Regency. Until now, the Sisingaan has been defined as a part of people’s struggle against the landlords or the colonialists. However, this opinion needs to be reviewed considering some art experts such as Edih and Armin Asdi who said that firstly this art is served as a tool to parade children who will be circumcised. Therefore, to describe the problem, researchers use historical methods consisting of heuristics, criticism, interpretation and historiography. Based on research conducted, Sisingaan was not born as an action of resistance because before the action occured, this art has existed and several times held at circumcision event. There are at least two indicators that can be put forward to explain the background of the formation of Sisingaan. First, it is an integral part of the Islamization process in Subang. Second, as a form of respect to P.W. Hofland for his contribution in building Subang and its residents. Keywords: Sisingaan, Historic, Subang. A. PENDAHULUAN daerah lainnya. Umpamanya, Aceh dengan Indonesia merupakan tempat hidup tari saman-nya, Ponorogo dengan reog- dan berkembangnya berbagai macam nya, Bali dengan tari kecak dan tari kesenian yang tersebar dari Sabang sampai legong-nya, Cirebon dengan sintren-nya Merauke. Tiap-tiap daerah memiliki dan masih banyak lagi kesenian lainnya keseniannya masing-masing yang tentunya yang khas dari berbagai daerah di berbeda-beda antara satu daerah dengan Indonesia. 182 Patanjala Vol. 9 No.2 Juni 2017: 181- 196 Daerah lainnya yang patut dicatat pada akhirnya melawan tuan tanah dan adalah daerah yang terletak di sebelah salah satunya adalah melalui kesenian utara Provinsi Jawa Barat bernama bernama sisingaan1. Dengan demikian Subang. Subang adalah salah satu daerah dapat dikatakan bahwa sisingaan lahir yang memiliki banyak kesenian. sebagai bentuk perlawanan rakyat Subang Umpamanya, kesenian gembyung, doger terhadap tuan tanah atau penjajah. Tokoh kontrak, jaipongan dan sisingaan. yang mendukung dengan asumsi tersebut Sebenarnya masih banyak kesenian lainnya di antaranya adalah Ukat Mulyana yang yang belum disebutkan dari daerah ini. dikenal sebagai “Kang Robot” sekaligus Namun demikian, kesenian yang paling sebagai seniman sisingaan Subang (Dewi, khas dan bahkan menjadi simbol dari dkk., 2015: 5). daerah ini adalah kesenian sisingaan. Hal Namun demikian, berbicara ini dibuktikan dengan ditempatkannya sisingaan secara historis tentu harus patung manusia yang sedang bermain berbicara data dan fakta. Sampai hari ini sisingaan di pusat Kota Subang. belum ditemukan data yang akurat untuk Sebagai kesenian yang paling memperkuat asumsi tadi. Dengan khas, sisingaan terus mengalami demikian, hal itu masih memungkinkan perkembangan yang cukup signifikan. untuk diperdebatkan kembali. Banyaknya grup sisingaan yang ada di Sejarah munculnya sisingaan di Kabupaten Subang membuktikan hal itu. Subang sangat menarik untuk dikaji karena Hal ini tentu tidak lepas dari besarnya sampai hari ini terkait dengan kapan antusias masyarakat terhadap sisingaan kesenian ini lahir, siapa yang yang kemudian menjadi sumber motivasi menciptakannya, dan di mana tempat bagi mereka untuk tetap melestarikan lahirnya masih menjadi misteri meskipun kesenian tersebut melalui grup-grup yang beberapa orang telah mencoba meneliti hal mereka dirikan. Besarnya antusias itu itu baik yang dilakukan oleh seniman terefleksikan pada seringnya Kesenian sisingaan maupun akademisi dengan hasil sisingaan digunakan pada berbagai acara yang berbeda-beda. seperti acara pernikahan, khitanan dan Selain itu, terdapat pendapat yang acara lainnya baik sebagai pembuka agaknya perlu ditinjau ulang berkenaan maupun sebagai penutup acara. dengan gerakan perlawanan yang kerap Setiap kesenian di berbagai daerah kali dikaitkan dengan lahirnya sisingaan. tentu memiliki sejarahnya masing-masing, Padahal, alasan-alasan berikut kiranya kapan munculnya dan apa yang dapat dipertimbangkan untuk melatarbelakanginya. Kesenian sisingaan mempertimbangkan kembali asumsi juga memiliki sejarah yang sangat panjang. tersebut. Pertama, gerakan perlawanan di Akan tetapi, sampai hari ini belum Subang menurut Iim Imadudin baru terjadi ditemukan angka yang tepat untuk pada 1913 (Imadudin, 2013: 165-166). menunjukkan sejak kapan sebenarnya Padahal, sisingaan telah ada sebelum tahun sisingaan muncul. tersebut yang dibuktikan dengan Sampai hari ini, masyarakat umum pengakuan seorang lurah di Cigadung yang mempercayai bahwa sisingaan lahir sejak pernah diarak menggunakan sisingaan Subang menjadi tanah swasta. Selama pada 1910 (Alamsyah, 2015: 4-5). Kedua, menjadi tanah swasta, rakyat Subang hampir semua pakar sisingaan sepakat mengalami banyak penderitaan karena tuan bahwa pada awalnya kesenian ini tanah mewajibkan mereka untuk bekerja difungsikan untuk mengarak anak-anak menjadi buruh perkebunan dengan upah yang sangat kecil. Bahkan tidak sedikit 1Dalam hal ini, kesenian sisingaan digunakan dari mereka yang tidak mendapatkan upah. untuk menyulut semangat nasionalisme yang Akibatnya, banyak rakyat Subang yang berarti membebaskan diri dari belenggu tuan tanah atau penjajah (Saini, 2001: 1). Kesenian Sisingaan..... (Anggi Agustian J, Nina Herlina L, Kunto Sofianto ) 183 yang akan dikhitan. Dengan demikian, masa lampau yang berkaitan dengan objek betulkah sisingaan lahir sebagai bentuk yang diteliti (Herlina, 2008: 7-15). perlawanan? Setelah sumber terhimpun, maka Terkait dengan hal tersebut maka dilakukan tahapan kedua, yaitu kritik. muncul beberapa persoalan seperti: Kritik terdiri atas kritik eksternal dan kritik Bagaimana sejarah munculnya sisingaan di internal. Kritik eksternal dilakukan dengan Subang? Benarkah kesenian sisingaan meneliti keaslian sumber dan kritik muncul sebagai sikap perlawanan rakyat internal dengan meneliti kredibilitas Subang terhadap tuan tanah atau penjajah? sumber (Kuntowijoyo, 2013: 77-78). Penulisan artikel ini tentu bukan Namun demikian, sumber yang tanpa tujuan. Tulisan ini diharapkan dapat telah dikritik belum dianggap sebagai fakta memberikan informasi dan pengetahuan sejarah. Untuk itu, perlu dilakukan kepada semua orang terutama untuk koroborasi suatu sumber sejarah dengan mereka yang berkepentingan dengan sumber lain yang bersifat merdeka sejarah sisingaan. Adanya bukti-bukti baru sehingga menghasilkan fakta yang yang relevan mengantarkan penulis untuk mendekati kepastian. Jika koroborasi tidak mengupas kembali sejarah sisingaan yang bisa dilakukan, maka berlaku prinsip selama ini masih menjadi misteri. argumentum ex silentio, sumber yang Pada penelitian terdahulu, Dewi berisi data dianggap sebagai fakta (2013) mengungkapkan tentang sejarah (Gottschalk, 2008: 130; Herlina, 2008: 34- munculnya sisingaan yang disebutnya 35). berbarengan dengan ditetapkannya Subang Tahapan ketiga disebut dengan menjadi tanah swasta pada 1812; interpretasi. Tahapan ini terdiri atas Puspitasary (2013) menguraikan tentang analisis (menguraikan) dan sintesis masuknya pengaruh komersial pada (menyatukan). Interpretasi disebut sebagai kesenian sisingaan yang sekaligus menjadi biang subjektifitas. Untuk itu, pada tanda telah terjadinya pergeseran makna tahapan ini, penulis harus mengambil jarak dalam kesenian tersebut; Mulyadi (2007) dengan sumber agar tidak terlalu dekat dan mendeskripsikan mengenai sejarah singkat menimbulkan bias. Dikenal beberapa jenis sisingaan, perkembangan fungsi sisingaan interpretasi, yaitu interpretasi verbal, dari masa ke masa dan menolak asumsi teknis, logis, psikologis, dan faktual. mengenai sisingaan yang lahir sebagai Tahapan akhir dari metode sejarah disebut bentuk perlawanan; Alamsyah (2015) dengan historiografi (Herlina, 2008: 36- memaparkan mengenai sejarah sisingaan 60). dengan menghadirkan asumsi beberapa Untuk penjelasan yang bersifat peneliti sisingaan seperti
Recommended publications
  • Boran Dance, Between Identity and Dance of Lamongan Tradition in the Perspective of Cultural Studies
    Proceding - International Seminar Culture Change and Sustainable Development in Multidisciplinary Approach: Education, Environment, Art, Politic, Economic, Law, and Tourism BORAN DANCE, BETWEEN IDENTITY AND DANCE OF LAMONGAN TRADITION IN THE PERSPECTIVE OF CULTURAL STUDIES Desty Dwi Rochmania Hasyim Asy'ari University of Tebuireng Jombang East Java [email protected] ABSTRACT Boran Dance which was originally created with the aim of following the traditional art festival organized by the East Java art council currently transformed into a traditional dance Lamongan. Stunted Boran dance is transformed into a traditional dance Lamongan does not appear suddenly but the results of the ideology of the ruling class (government Lamongan) through various systems and institutions, ranging from media, advertising, educational institutions and so on. This practice the researchers consider as an unnatural problem because the context of the construction of dance is outside of the traditional aesthetic rules of dance. Referring to the phenomenon of the researcher will analyze this problem with the perspective of western philosophy that is by approach theories of cultural studies. Through the approach of theories of cultural studies researchers trying to peel the extent to which Boran dance is transforming into traditional dance Lamongan and become Lamongan dance identity. Through critical thinking Gramsci, researchers try to analyze how far Boran dance transform itself into traditional Lamongan dance, and is there any legality of hegemony also in it. So as to make dance boran, as the identity of traditional dance Lamongan. Boran Dance was born from an iven of traditional art performances organized by the East Java Arts Council. Because to the existence and success of this dance is transformed from festival dance into traditional Lamongan dance.
    [Show full text]
  • Analysis on Symbolism of Malang Mask Dance in Javanese Culture
    ANALYSIS ON SYMBOLISM OF MALANG MASK DANCE IN JAVANESE CULTURE Dwi Malinda (Corresponing Author) Departement of Language and Letters, Kanjuruhan University of Malang Jl. S Supriyadi 48 Malang, East Java, Indonesia Phone: (+62) 813 365 182 51 E-mail: [email protected] Sujito Departement of Language and Letters, Kanjuruhan University of Malang Jl. S Supriyadi 48 Malang, East Java, Indonesia Phone: (+62) 817 965 77 89 E-mail: [email protected] Maria Cholifa English Educational Department, Kanjuruhan University of Malang Jl. S Supriyadi 48 Malang, East Java, Indonesia Phone: (+62) 813 345 040 04 E-mail: [email protected] ABSTRACT Malang Mask dance is an example of traditions in Java specially in Malang. It is interesting even to participate. This study has two significances for readers and students of language and literature faculty. Theoretically, the result of the study will give description about the meaning of symbols used in Malang Mask dance and useful information about cultural understanding, especially in Javanese culture. Key Terms: Study, Symbol, Term, Javanese, Malang Mask 82 In our every day life, we make a contact with culture. According to Soekanto (1990:188), culture is complex which includes knowledge, belief, art, morals, law, custom and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society. Culture are formed based on the local society and become a custom and tradition in the future. Culture is always related to language. This research is conducted in order to answer the following questions: What are the symbols of Malang Mask dance? What are meannings of those symbolism of Malang Mask dance? What causes of those symbolism used? What functions of those symbolism? REVIEW OF RELATED LITERATURE Language Language is defined as a means of communication in social life.
    [Show full text]
  • Cross-Gender Attempts by Indonesian Female Impersonator Dancer Didik Nini Thowok
    Cross-Gender Attempts by Indonesian Female Impersonator Dancer Didik Nini Thowok Madoka Fukuoka Graduate School of Human Sciences, Osaka University, Japan [email protected] ABSTRACT This article examines the creative stages of Didik Nini Thowok (1954‒), a female impersonator and cross-gender dancer based in Java, Indonesia. In addition, it discusses his endeavours of crossing gender boundaries by focusing on his use of costumes and masks, and analysing two significant works: Dwimuka Jepindo as an example of comedic cross-gender expression and Dewi Sarak Jodag as an example of serious cross-gender expression. The findings indicate three overall approaches to crossing gender boundaries: (1) surpassing femininity naturally expressed by female dancers; (2) mastering and presenting female characters by female impersonators and cross-gender dancers; and (3) breaking down the framework of gender itself. Keywords: Didik Nini Thowok, cross-gender, dance, Java, Indonesia © Penerbit Universiti Sains Malaysia, 2014 58 Wacana Seni Journal of Arts Discourse. Jil./Vol.13. 2014 INTRODUCTION This article examines the creative stages of Didik Nini Thowok (1954‒), a female impersonator and cross-gender dancer based in Java, Indonesia.1 In addition, it discusses his endeavours of crossing gender boundaries by focusing on the human body's role and Didik's concept of cross-gender dance, which he has advocated since his intensive study of the subject in 2000. For the female impersonator dancer, the term "cross-gender" represents males who primarily perform female roles and explore the expression of stereotypical femininity. Through his artistic activity and unique approach, Didik has continued to express various types of femininity to deviate from stereotypical gender imagery.
    [Show full text]
  • Masyarakat Kesenian Di Indonesia
    MASYARAKAT KESENIAN DI INDONESIA Muhammad Takari Frida Deliana Harahap Fadlin Torang Naiborhu Arifni Netriroza Heristina Dewi Penerbit: Studia Kultura, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara 2008 1 Cetakan pertama, Juni 2008 MASYARAKAT KESENIAN DI INDONESIA Oleh: Muhammad Takari, Frida Deliana, Fadlin, Torang Naiborhu, Arifni Netriroza, dan Heristina Dewi Hak cipta dilindungi undang-undang All right reserved Dilarang memperbanyak buku ini Sebahagian atau seluruhnya Dalam bentuk apapun juga Tanpa izin tertulis dari penerbit Penerbit: Studia Kultura, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara ISSN1412-8586 Dicetak di Medan, Indonesia 2 KATA PENGANTAR Terlebih dahulu kami tim penulis buku Masyarakat Kesenian di Indonesia, mengucapkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas berkah dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan penulisan buku ini pada tahun 2008. Adapun cita-cita menulis buku ini, telah lama kami canangkan, sekitar tahun 2005 yang lalu. Namun karena sulitnya mengumpulkan materi-materi yang akan diajangkau, yakni begitu ekstensif dan luasnya bahan yang mesti dicapai, juga materi yang dikaji di bidang kesenian meliputi seni-seni: musik, tari, teater baik yang tradisional. Sementara latar belakang keilmuan kami pun, baik di strata satu dan dua, umumnya adalah terkonsentasi di bidang etnomusikologi dan kajian seni pertunjukan yang juga dengan minat utama musik etnik. Hanya seorang saja yang berlatar belakang akademik antropologi tari. Selain itu, tim kami ini ada dua orang yang berlatar belakang pendidikan strata dua antropologi dan sosiologi. Oleh karenanya latar belakang keilmuan ini, sangat mewarnai apa yang kami tulis dalam buku ini. Adapun materi dalam buku ini memuat tentang konsep apa itu masyarakat, kesenian, dan Indonesia—serta terminologi-terminologi yang berkaitan dengannya seperti: kebudayaan, pranata sosial, dan kelompok sosial.
    [Show full text]
  • Glossary.Herbst.Bali.1928.Kebyar
    Bali 1928 – Volume I – Gamelan Gong Kebyar Music from Belaluan, Pangkung, Busungbiu by Edward Herbst Glossary of Balinese Musical Terms Glossary angklung Four–tone gamelan most often associated with cremation rituals but also used for a wide range of ceremonies and to accompany dance. angsel Instrumental and dance phrasing break; climax, cadence. arja Dance opera dating from the turn of the 20th century and growing out of a combination of gambuh dance–drama and pupuh (sekar alit; tembang macapat) songs; accompanied by gamelan gaguntangan with suling ‘bamboo flute’, bamboo guntang in place of gong or kempur, and small kendang ‘drums’. babarongan Gamelan associated with barong dance–drama and Calonarang; close relative of palégongan. bapang Gong cycle or meter with 8 or 16 beats per gong (or kempur) phrased (G).P.t.P.G baris Martial dance performed by groups of men in ritual contexts; developed into a narrative dance–drama (baris melampahan) in the early 20th century and a solo tari lepas performed by boys or young men during the same period. barungan gdé Literally ‘large set of instruments’, but in fact referring to the expanded number of gangsa keys and réyong replacing trompong in gamelan gong kuna and kebyar. batél Cycle or meter with two ketukan beats (the most basic pulse) for each kempur or gong; the shortest of all phrase units. bilah Bronze, iron or bamboo key of a gamelan instrument. byar Root of ‘kebyar’; onomatopoetic term meaning krébék, both ‘thunderclap’ and ‘flash of lightning’ in Balinese, or kilat (Indonesian for ‘lightning’); also a sonority created by full gamelan sounding on the same scale tone (with secondary tones from the réyong); See p.
    [Show full text]
  • Strategi Kolaborasi Dalam Seni Pertunjukan Tradisional Di Kabupaten Subang
    1 STRATEGI KOLABORASI DALAM SENI PERTUNJUKAN TRADISIONAL DI KABUPATEN SUBANG COLLABORATION STRATEGIES IN TRADITIONAL PERFORMING ARTS IN SUBANG Oleh Irvan Setiawan Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung Jln. Cinambo No. 136 Ujungberung Bandung Email: [email protected] Naskah Diterima: 28 Februari 2013 Naskah Disetujui: 2 April 2013 E Abstrak Kesenian tradisional memegang peranan dalam pencirian dan menjadi kekhasan suatu daerah. Bagi wilayah administratif yang menjadi cikal bakal suatu kesenian daerah tentu saja tidak sulit untuk menyebut istilah kesenian khas dan menjadi milik daerah tersebut. Lain halnya dengan wilayah administratif yang tidak memiliki kesenian daerah sehingga akan berusaha menciptakan sebuah kesenian untuk dijadikan sebagai kesenian khas bagi daerahnya. Beruntunglah bagi Kabupaten Subang yang menjadi cikal bakal beberapa kesenian yang terlahir dan besar di daerahnya. Tidak hanya sampai disitu, Pelestarian dan pengembangan kesenian tradisional tampak serius dilakukan. Hal tersebut terlihat dari papan nama berbagai kesenian (tradisional) di beberapa ruas jalan dalam wilayah Kabupaten Subang. Seiring berjalannya waktu tampak jelas terlihat adanya perubahan dalam pernak pernik atau tahapan pertunjukan pada beberapa seni pertunjukan tradisional. Kondisi tersebut pada akhirnya mengundang keingintahuan mengenai strategi kolaborasi apa yang membuat seni pertunjukan tradisional masih tetap diminati masyarakat Subang. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif analisis yang didukung dengan data lintas waktu baik dari sumber sekunder maupun dari pernyataan informan mengenai seni pertunjukan tradisional di Kabupaten Subang. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa kolaborasi yang dilakukan meliputi kolaborasi lintas waktu dan lintas ruang yang masih dibatasi oleh seperangkat aturan agar kolaborasi tidak melenceng dari identitas ketradisionalannya. Kata kunci: Strategi kolaborasi, pertunjukan tradisional Abstract Traditional arts play a role in the characterization of a region.
    [Show full text]
  • Downloaded from Brill.Com09/26/2021 01:14:48PM Via Free Access Wim Van Zanten - 9789004261778 Downloaded from Brill.Com09/26/2021 01:14:48PM Via Free Access
    PART FIVE THE ETHNIC MODERN Wim van Zanten - 9789004261778 Downloaded from Brill.com09/26/2021 01:14:48PM via free access Wim van Zanten - 9789004261778 Downloaded from Brill.com09/26/2021 01:14:48PM via free access <UN> <UN> CHAPTER ELEVEN MUSICAL ASPECTS OF POPULAR MUSIC AND POP SUNDA IN WEST JAVA Wim van Zanten Introduction: Sundanese Music and the Technology of Enchantment Research on popular music, particularly in the field of cultural studies, has tended to focus on political and sociological aspects, to the exclusion of musical structures and actual sounds. Whereas in most societies musi- cal genres are in the first place classified by social criteria, it is undeniable that also the technicalities of the music play a role: audiences hear the differences between, for instance, jaipongan and degung kawih perfor- mances. This is because these musics are produced in different ways, using different instruments, tone material, musical structure, etc. Alfred Gell made an important contribution to the anthropological study of art by pointing out that the production of art is a technological process. He mentions that there are ‘beautiful’ things, like beautiful women, beautiful horses and a beautiful sunset. However, art objects are made ‘beautiful’ by human beings and this requires technology. He criti- cizes sociologists like Pierre Bourdieu, who do not really look at an art object as a concrete product of human ingenuity, but only elaborately look at the represented symbolic meanings (Gell 1999:162). In contrast, Gell proposes that anthropologists should look at art as a ‘component of technology.’ We call something an object of art if it is the outcome of a technological process, the kind of processes in which artists are skilled.
    [Show full text]
  • Webinar September 15, 2020
    Webinar September 15, 2020 Faculty of Arts and Design Education Universitas Pendidikan Indonesia The 3rd Strengthening Tolerance Through Arts and Design Education ATLANTIS the PRESS education university fpsd2020 Assalamua’alaikum Wr. Wb., Honorable Rector of Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Dean of Faculty of Arts and Design Education, honorable speakers, participants, Ladies and Gentlemen, In this good opportunity, I‟m as a chief of the 3rd ICADE committees, would like to express my gratitude to Rector of UPI, Prof. Dr. M. Solehuddin, M.Pd., M.A. and all vice Rectors; Dean of Faculty of Arts and Design Education, Dr. Zakarias S. Soeteja, M.Sn., and all vice deans and staffs; for all the assists, supports, participation and cooperation in carrying out this 3rd ICADE well. By the theme “Strengthening Tolerance through Arts and Design Education”, The 3rd ICADE aims to share and exchange knowledge and practices for academicians, educators, researchers, practitioners, graduate and post graduate students, and art entrepreneurs from different cultural backgrounds and nationality to worldwide present and exchange their recent knowledge, and latest research in fields of performing arts, arts education and the practices, as well as multidisciplinary arts field. This conference is also held as a media in establishing a partnership within art and design institutes, nationally and internationally. In this happy opportunity, the 3rd ICADE is attended by nearly 100 presenters, co-presenters and 200 participants from various countries such as Germany, Poland, Korea, USA, Mexico, Iran, and from different cities of Indonesia. The selected papers of this conference will then be published on Atlantis Press Publisher, and will be indexed by Web of Science, and Google Scholar.
    [Show full text]
  • Uluwatu Temple & Kecak Dance 2.Pages
    Bali Transit Activity “Uluwatu Temple & Kecak Dance” Half Day Tour The Uluwatu Temple is one of Bali's most spectacular temples. It is built on a cliff top at the edge of a plateau about 75 meters / 250 feet above the waves of the Indian Ocean. Uluwatu lies at the southern tip of Bali. Dedicated to the spirits of the sea, the famous Uluwatu temple is an architectural wonder in black coral rock, beautifully designed with spectacular views. It is a popular place to enjoy the sunset. The Uluwatu Temple is important to the Balinese as it is one of Bali's directional temples, guarding Bali from evil spirits from the South- West, in which dwell major deities, in Uluwatu's case; “Bhatara Rudra” – the God of the elements and of cosmic force majeure. At this temple you will have the chance to watch one of Bali’s most famous dances, the Kecak Dance. The Kecak dance is unusual because it has no musical accompaniment like many other Indonesian dances do; the rhythm of the dance is produced by the chanting 'monkey' chorus. A troupe of over 150 bare-chested men serve as the chorus, making a wondrous cacophony of synchronized "chak-achak-achak" clicking sounds while swaying their bodies and waving their hands. From that chanting noise of "Cak- cak-cak", then it gave the dance its name Kecak. 1 of 2 Bali Transit Activity The dance is played in five acts and lasts roughly 45 minutes. It is taken from the Hindu epic Ramayana, which tells the story of Prince Rama and his rescue of Princess Sita, who has been kidnapped by the evil King of Lanka, Rahwana and somehow with the help of the white monkey army, Rama rescues his wife and defeats the evil Rahwana.
    [Show full text]
  • Falidasi Data Lingkung Seni Se-Kecamatan Ujungberung Tahun 2014
    FALIDASI DATA LINGKUNG SENI SE-KECAMATAN UJUNGBERUNG TAHUN 2014 Tahun Tempat NO Nama Lingkung Seni Jenis Kesenian Pimpinan Alamat Perangkat Kesenian Anggota Legalisasi Berdiri Latihan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Pasar Kaler RT.01 1 Pas Nada Elektone Ibu. Heny Organ, Kibord,Gitar, Kendang, Suling, 5 Orang Tidak Ada 2010 Rumah RW.01 Cigending RT.03 Gendang, Bedug, Goong, Terompet, Toa Ampli. 2 Sancang Pusaka Benjang Agus Sulaeman RW.03 Mixer, Badut, Kecrek, Kuda Lumping, Gendang, Goong, Bedug, Terompet, Kepang, 3 LS Benjang Kalimasada Benjang Gugun Gunawan Cipicung RT.04 RW.04 25 Orang Dalam Proses 2004 Rumah Lumping, Toa, Ampli,MixerBadut 4 Karinding Nukula Upit Supriatna Cipicung RT.01 RW.04 Karinding,Celempung,Toleot, Kecrex 15 Orang Tidak Ada 2011 Rumah Gendang, bedug, Goong, Terompet, Toa Ampli, Rumah ketua 5 Pusaka Gelar Putra Benjang Asep Dede Cinangka RT.02 RW.05 25 Orang Tidak Ada 2007 Barong, Badut, Kecrek RT Rumah ketua 6 Pusaka Wirahman Putra Penca Silat Enay Darso Cinangka RT.01 RW.05 Gendang Besar/Kecil, Golok (untuk atraksi) 25 Orang Tidak Ada 2010 RT Gendang, Rabab, Bonang, Goong, Kecrek, 7 Arum Gumelar Jaipongan I n d r a Cinangka RT.02 RW.05 30 Orang Tidak Ada 2006 Rumah Terompet 8 R e o g E m u l Cinangka RT.03 RW.05 Dog-dog, Goong, Gendang 9 Elektone Dangdut E m u l Cinangka RT.03 RW.05 Organ, Gendang Suling Gitar, Kecrex 7 Orang Tidak Ada 2010 Rumah Sakeburuy RT.01 RW 10 Dwi Shinta Rock Dangdut Dede Dadan Kibord, Gitar, Gendang, Suling, Kecrex 9 Orang Ada 1993 Gedung 06 Gendang, Goong, Bedug, Terompet, Toa, Ampli, 11 Pusaka Wargi Benjang Didi / Ono Ranca RT.01 RW.06 25 Orang Ada 1930 Hal.
    [Show full text]
  • Materi+DRAMA+JAWA 0.Pdf
    BAB I SELUK BELUK DRAMA A. Antara Drama, Sandiwara, dan Teater Banyak orang berasumsi, drama itu sekedar tontonan. Memang tidak keliru anggapan ini. Hampir semua drama dipentaskan memang untuk ditonton. Apalagi kalau dirunut dari aspek etimologi, akar tunjang dari istilah "drama" dari bahasa Greek (Yu- nani kuna) drau yang berarti melakukan (action) atau berbuat sesuatu (Muhsin, 1995). Berbuat berarti memang layak dilihat. Wiyanto (2002:1) sedikit berbeda, katanya drama dari bahasa Yunani dram, artinya bergerak. Kiranya, gerak dan aksi adalah mirip. Kalau begitu, tindakan dan gerak yang menjadi ciri drama. Tiap drama mesti ada gerak dan aksi, yang menuntun lakon. Aristoteles (Brahim, 1968:52) menyatakan bahwa drama adalah “a representation of an action”. Action, adalah tindakan yang kelak menjadi akting. Drama pasti ada akting. Dalam drama itu terjadi “a play”, artinya permainan atau lakon. Jadi ciri drama harus ada akting dan lakon. Permainan penuh dengan sandi dan simbol, ayng menyimpan kisah dari awal hingga akhir. Daya simpan kisah ini yang menjadi daya tarik drama. Drama yang terlalu mudah ditebak, justru kurang menarik. Dalam bahasa Jawa, drama sering disebut sandiwara. Kata sandi artinya rahasia, wara (h) menjadi warah berarti ajaran. Sandiwara berarti drama yang memuat ajaran tersamar tentang hidup. Sandiwara dan drama sebenarnya tidak perlu diperdebatkan. Keduanya memuat kisah, yang bercirikan dialog. Baik drama maupun sandiwara sama- sama menjadi guru kehidupan ini. Drama itu suguhan seni yang hidup, penuh fantasi. Drama menjadi tafsir kehidupan, yang kadang-kadang melebihi dunia aslinya. Siapapun sesungguhnya dapat bergulat dengan drama. Muhsin (1995) juga banyak mengetengahkan berbagai kelebihan drama. Biarpun bagi seseorang kadang-kadang enggan tampil dan malu-malu menjadi pemain, drama tetap genre sastra yang menarik.
    [Show full text]
  • Analisis Partisipasi Kebudayaan
    ANALISIS PARTISIPASI KEBUDAYAAN KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN PUSAT DATA DAN STATISTIK PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN JAKARTA, 2016 ANALISIS PARTISIPASI KEBUDAYAAN KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN PUSAT DATA DAN STATISTIK PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN i KATALOG DALAM TERBITAN Indonesia. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Analisis Partisipasi Kebudayaan/Disusun oleh: Bidang Pendayagunaan dan Pelayanan. – Jakarta: Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan, Kemdikbud, 2016 xi, 101 hal, bbl, ilus, 23 cm ISSN 0216-8294 Pengarah: Bastari Siti Sofiah Dwi Winanta Hadi Penulis Indardjo Penyunting: Darmawati Desain Cover Abdul Hakim ii KATA PENGANTAR Buku “Analisis Partisipasi Kebudayaan” ini merupakan hasil pendayagunaan data budaya hasil survai BPS. Partisipasi budaya merupakan derajat tertentu tentang keterlibatan warga masyarakat dalam melakukan serangkaian aktivitas budaya. Data yang digunakan dalam menyusun Analisis Partisipasi Kebudayaan ini bersumber dari Susenas 2015. Variabel-variabel yang dianalisis khususnya yang menyangkut aktivitas budaya seperti memasang bendera merah putih, berbusana daerah, produksi budaya, menghadiri dan menyelenggarakan upacara adat dari responden rumah tangga. Selain itu, dianalisis pula aktivitas budaya di dalam rumah dan luar rumah dari responden angota rumah tangga. Sifat dari analisis ini adalah diskriptif dengan responden rumah tangga dan anggota rumah tangga yang masing-masing mengacu pada analisis nasional, antar wilayah (desa kota), dan antar provinsi. Pusat Data dan Statistik Pendidikan
    [Show full text]