KEANEKARAGAMAN SERANGGA PADA EKOSISTEM PERKEBUNAN KAKAO (Theobroma cacao) DI DESA HAPESONG BARU, KECAMATAN BATANG TORU

SKRIPSI

ANNISYA APRILLIA 160805079

PROGRAM STUDI BIOLOGI S1 FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2021 KEANEKARAGAMAN SERANGGA PADA EKOSISTEM PERKEBUNAN KAKAO (Theobroma cacao) DI DESA HAPESONG BARU, KECAMATAN BATANG TORU

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

ANNISYA APRILLIA 160805079

PROGRAM STUDI BIOLOGI S1 FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2021 PERNYATAAN ORISINALITAS

KEANEKARAGAMAN SERANGGA PADA EKOSISTEM PERKEBUNAN KAKAO (Theobroma cacao) DI DESA HAPESONG BARU, KECAMATAN BATANG TORU

SKRIPSI

Saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Mei 2021

Annisya Aprillia 160805079

PENGESAHAN SKRIPSI

Judul : Keanekaragaman Serangga Pada Ekosistem Perkebunan Kakao (Theobroma cacao) Di Desa Hapesong Baru, Kecamatan Batang Toru Kategori : Skripsi Nama : Annisya Aprillia Nomor Induk Mahasiswa : 160805079 Program Studi : Sarjana (S1) Biologi Fakultas : MIPA – Universitas Sumatera Utara

Disetujui di Medan, Mei 2021

Ketua Program Studi Pembimbing

Dr. Saleha Hannum, S.Si., M.Si. Drs. Nursal, M.Si. NIP. 197108312000122001 NIP. 196109031990031002

i

iii KEANEKARAGAMAN SERANGGA PADA EKOSISTEM PERKEBUNAN KAKAO (Theobroma cacao) DI DESA HAPESONG BARU, KECAMATAN BATANG TORU

ABSTRAK

Penelitian keanekaragaman serangga pada ekosistem perkebunan kakao (Theobroma cacao) di Desa Hapesong Baru, Kecamatan Batang Toru telah dilakukan pada bulan Juni sampai dengan Juli 2020. Penelitian bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman serangga pada ekosistem perkebunan kakao bardasarkan umur tanaman 15 tahun dan 20 tahun. Penentuan lokasi sampling dilakukan secara purposive random sampling dan pengambilan sampel serangga menggunakan metode jaring ayun dan metode pengamatan langsung. Setiap lokasi 1 dan lokasi 2 terdiri dari 3 plot dengan luas areal 20 x 20 meter. Data yang dikumpulkan meliputi jumlah jenis dan individu serta tipe serangga dengan perhitungan Indeks Diversitas (H’) dan Indeks Equitabilitas (E). Hasil penelitian menunjukkan bahwa lokasi 1 (15 tahun) terdiri dari 7 ordo, 15 famili, dan 20 spesies, lokasi 2 (20 tahun) terdiri dari 7 ordo, 20 famili, dan 30 spesies. Peranan serangga yang ditemukan yaitu sebagai hama, predator, polinator, dan netral. Populasi serangga pada lokasi 2 lebih tinggi dibandingkan pada lokasi 1. Indeks keanekaragaman serangga pada lokasi 1 (2,350) dan lokasi 2 (2,679) tergolong dalam kategori keanekaragaman sedang. Indeks keseragaman serangga termasuk dalam kategori keseragaman tinggi dengan nilai tertinggi pada lokasi 2 (0,912). Berdasarkan hasil dapat disimpulkan jumlah keanekaragaman, peranan, dan populasi serangga pada lokasi 2 lebih tinggi karena mempunyai daya dukung dan faktor lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan serangga.

Kata kunci : Hapesong Baru, Keanekaragaman, Serangga, Ekosistem, Kakao.

ii

iii DIVERSITY IN ECOSYSTEM COCOA PLANTATION (Theobroma cacao) IN HAPESONG BARU VILLAGE, BATANG TORU DISTRICT

ABSTRACT

Research on insect diversity in ecosystem cocoa plantation (Theobroma cacao) in Hapesong Baru Village, Batang Toru District has been conducted from June to July 2020. The study aimed to determine the insect diversity based on the cocoa plants at 15 and 20 years of age. Study sites were determined using purpossive random sampling method while were collected by net swing method followed by direct morphological observation for species identification. Each site (site 1 and site 2) were patched with 3 plots with an area of 20 x 20 meters. The data collected includes the number of species, individuals, species, and ecological parameters such as Diversity Index (H ') and Equitability Index (E). The results showed that the insect diversity at site 1 (15 years) consisted of 7 orders, 15 families, and 20 species while at site 2 (20 years) consisted of 7 orders, 20 families, and 30 species. The roles of insects in this area were categorized as pests, predators, pollinators, and neutral. The population of insects at site 2 was higher than site 1. The insect diversity index at site 1 (2.350) and site 2 (2,679) were categorized as medium level of biodiversity category. The evenness was the highest in site 2 for 0.912. Based on the results, it can be concluded that the amount of diversity, role, and population of insects at site 2 was higher because it has the carrying capacity and environmental factors suitable for insects growth and development.

Keywords: Hapesong Baru, Diversity, Insects, Ecosystem, Cocoa.

iii

iii PENGHARGAAN

Alhamdulillahirabbil alamin, Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian skripsi ini dengan judul Keanekaragaman Serangga Pada Ekosistem Perkebunan Kakao (Theobroma cacao) Di Desa Hapesong Baru, Kecamatan Batang Toru. Terimakasih yang teristimewa penulis ucapkan kepada kedua orangtua tercinta Ayahanda Ashari Effendi dan Ibunda Rahmi Dhani Siregar yang senantiasa setulus hati telah membesarkan, mendidik, memberikan doa, kasih sayang, semangat, serta selalu memberikan yang terbaik pada penulis. Terima kasih juga kepada saudara tersayang Randi Oktaviansyah dan Andrian Febriansyah yang selalu berusaha memberikan semangat yang diberikan kepada penulis. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Drs. Nursal, M.Si selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, motivasi, waktu serta perhatian yang besar kepada penulis saat memulai penulisan hingga penyempurnaan skripsi ini. Terimakasih kepada Ibu Dr. Erni Jumilawaty, M.Si dan Bapak Dr. T Alief Aththorick, M.Si selaku Dosen Penguji yang telah memberikan banyak masukan dan arahan yang sangat membantu dalam penyempurnaan penulisan skripsi ini. Terimakasih kepada Ibu Dr. Saleha Hannum, M.Si selaku Ketua Program Studi Biologi dan Bapak Riyanto Sinaga, M.Si selaku Sekretaris Program Studi Biologi FMIPA-USU, Dekan dan Wakil Dekan FMIPA USU, Bapak Dr. Miswar Budi Mulya, S.Si, M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah banyak memberikan arahan dalam penyusunan rencana studi bagi penulis, seluruh Dosen Departemen Biologi FMIPA USU yang telah banyak memberikan ilmu kepada penulis selama perkuliahan, serta kepada seluruh Staf Departemen Biologi FMIPA USU yang telah membantu penulis. Terimakasih penulis sampaikan kepada tim skripsi Yuni, Rinda, Indah, Agustia Ratih, Maria dan Sarah yang telah memberi bantuan kepada penulis mulai dari pengambilan data hingga penulisan skripsi, serta menjadi tempat cerita baik suka duka,

iv

iii menjadi motivator dan membantu penulis selama masa perkuliahan. Semoga kita diberikan kelancaran dalam mewujudkan impian kita dan selalu diberikan kesehatan. Terimakasih juga kepada sahabat penulis Rahmi dan Claudia yang menghibur penulis dan menjadi teman berbagi suka duka dan senantiasa membantu penulis dalam pengerjaan skripsi dan selalu setiap saat ada panggilan bantuan dari penulis. Terimakasih penulis sampaikan kepada seluruh rekan-rekan perjuangan Stambuk 2016 (L.E.D) yang telah mewarnai kehidupan penulis selama masa perkuliahan serta seluruh bantuan dan kerja sama selama menjalani masuk Laboratorium. Terimakasih kepada rekan-rekan di bidang Ekologi Hewan, seluruh Asisten Laboratorium Sistematika Hewan, Abang/kakak asuh 2014, Adik asuh 2017, dan IPKB Biologi untuk kebersamaan yang telah diberikan selama perkuliahan. Masih banyak teman-teman yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang turut ambil bagian dalam penyelesaian skripsi ini. Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari bahwa masih banyak lagi kekurangan yang harus diperbaiki, maka dari itu penulis senantiasa menerima kritikan dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Harapan dari penulis, semoga skripsi ini menambah wawasan dan ilmu, khususnya bagi penulis sendiri dan bagi masyarakat luas. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih.

Medan, Mei 2021

Annisya Aprillia

v DAFTAR ISI

Halaman PENGESAHAN SKRIPSI i ABSTRAK ii ABSTRACT iii PENGHARGAAN iv DAFTAR ISI vi DAFTAR TABEL viii DAFTAR LAMPIRAN ix

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Permasalahan 2 1.3 Tujuan Penelitian 3 1.4 Manfaat Penelitian 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kakao 4 2.2 Serangga 5 2.3 Peranan Serangga 6 2.3.1 Serangga Hama 6 A. Penggerek Buah Kakao (Conopomorpha cramerella) 7 B. Kepik Penghisap Buah (Helopeltis sp.) 7 C. Penggerek Batang/Cabang (Zeuzera coffeae) 7 2.3.2 Serangga Penyerbuk 8 2.3.3 Musuh Alami 8 A. Parasitoid 9 B. Predator 9 2.4 Faktor Yang Mempengaruhi Keanekaragaman Jenis 10 2.5 Hubungan Serangga Dengan Tanaman Kakao 11

BAB 3 BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat 12 3.2 Alat dan Bahan 12 3.3 Deskripsi Area 12 3.3.1 Letak dan Luas 12 3.3.2 Iklim 13 3.3.2.1 Suhu, Curah Hujan dan Kelembapan Udara 13 3.3.2.2 Topografi 13 3.4 Metode Penelitian 13 vi 3.5 Pelaksanaan Penelitian 13 3.5.1 Cara Kerja 13 3.5.1.1 Metode Jaring Ayun (Sweep Sampling Method) 14 3.5.1.2 Metode Pengamatan Langsung (Visual Control) 14 3.5.1.3 Identifikasi Serangga 14 3.6 Analisis Data 15 3.6.1 Indeks Diversitas/Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) 15 3.6.2 Indeks Equitabilitas/Keseragaman (E) 15

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keanekaragaman Serangga Pada Ekosistem Perkebunan Kakao 17 (T. cacao) di Desa Hapesong Baru, Kecamatan Batang Toru 4.2 Peran Serangga Pada Ekosistem Perkebunan Kakao (T. cacao) di 21 Desa Hapesong Baru, Kecamatan Batang Toru 4.3 Populasi Serangga Pada Ekosistem Perkebunan Kakao (T. cacao) 25 di Desa Hapesong Baru, Kecamatan Batang Toru 4.4 Indeks Diversitas/Keanekaragaman (H’) dan Indeks Equitabilitas/ 27 Keseragaman (E) Serangga pada Ekosistem Perkebunan Kakao (T. cacao) di Desa Hapesong Baru, Kecamatan Batang Toru

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 29 5.2 Saran 29

DAFTAR PUSTAKA 30 LAMPIRAN 35

vii DAFTAR TABEL

Nomor Tabel Judul Halaman

4.1 Keanekaragaman Serangga Pada Ekosistem Perkebunan Kakao 17 (T cacao) di Desa Hapesong Baru, Kecamatan Batang Toru 4.2 Peran Serangga Pada Ekosistem Perkebunan Kakao (T. cacao) 21 di Desa Hapesong Baru, Kecamatan Batang Toru 4.3 Populasi Serangga Pada Ekosistem Perkebunan Kakao (T. 25 cacao) di Desa Hapesong Baru, Kecamatan Batang Toru 4.4 Indeks Diversitas/Keanekaragaman (H’) dan Indeks 27 Equitabilitas/ Keseragaman (E) Serangga pada Ekosistem Perkebunan Kakao (T. cacao) di Desa Hapesong Baru, Kecamatan Batang Toru

viii DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Lampiran Judul Halaman

1 Peta Lokasi Penelitian 35 2 Foto Areal Penelitian 36 3 Data Mentah Pengamatan 37 4 Perhitungan Analisis Data 38 5 Faktor Abiotik Lingkungan 39 6 Serangga Yang Diperoleh 40

ix

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Kakao (T. cacao) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang mempunyai peran penting dalam perekonomian Indonesia. Pada tahun 2018, Indonesia merupakan salah satu pengekspor kakao terbesar ketiga di dunia dengan produksi 686.964 ton. Luas areal kakao di Indonesia sekitar 1.744.162 ha. Areal dan produksi kakao juga terus menerus meningkat pesat pada dekade terakhir dengan laju peningkatan 7% per tahun (Ditjenbun, 2018). Provinsi Sumatera Utara memiliki potensi cukup baik dalam menghasilkan produksi hasil perkebunan terutama pada komoditi biji kakao. Pada tahun 2017 areal kakao mencapai 54.038.30 ha dengan total produksi 34.071.38 ton, dengan salah satu daerah yang menghasilkan kakao yaitu Batang Toru (Dinas Perkebunan Sumatera Utara, 2018). Kecamatan Batang Toru pada tahun 2018 memiliki luas areal 608,00 ha dengan hasil produksi 401,00 ton, sedangkan tahun 2019 menurun menjadi 309,00 ton. Secara geografis Kecamatan Batang Toru terletak di posisi 10 28’34’’ LU dan 990 04’49’’ BT yang terdiri dari 19 Desa dimana Desa Hapesong Baru salah satunya (BPS, 2019). Hapesong Baru merupakan salah satu sentra produksi kakao di Batang Toru dengan kawasan lahan perkebunan yang luas dimana tanaman kakao dibudidayakan oleh masyarakat berdasarkan perbedaan tempat tumbuh dan jarak yang cukup luas dari dataran rendah sampai dataran tinggi. Pipitone (2012) masyarakat sangat mengandalkan kakao sebagai mata pencarian sehingga kebutuhan kakao setiap tahun semakin meningkat sejalan dengan adanya pertambahan jumlah penduduk, perkembangan usaha dalam bidang ekspor dan sebagai industri makanan. Akan tetapi, berdasarkan pengamatan lapangan produksi tanaman kakao mulai menurun akibat umur tanaman tua sehingga mudah diserang oleh serangga hama yang menyerang batang, daun dan buah. Menurut Arnita (2017) akibat dari serangga hama buah kakao menjadi kopong oleh PBK/Penggerek Buah Kakao (Conopomorpha cramerella), kepik penghisap buah (Helopeltis sp.), daun berlubang oleh ulat pemakan daun 2

(Hyposidra talaca), serta batang rapuh akibat penggerek batang (Zeuzera coffea), ini menyebabkan produksi kakao yang dihasilkan tinggal sekitar 35%. Semakin tua umur tanaman kakao maka akan memengaruhi kondisi tanaman di suatu habitat. Menurut Luskins (2011) umur tanaman kakao yang lebih tua akan mempengaruhi jumlah tanaman yang tumbuh disekitaran tanaman kakao sehingga semakin banyak jumlah suatu jenis tanaman maka semakin tinggi populasi serangga yang berkunjung seperti musuh alami dan polinator. Serangga polinator yang berkunjung dapat melakukan penyerbukan pada bunga kakao yang berbunga setiap tahunnya hingga terbentuk bakal buah sebagai sumber pakan bagi serangga terutama serangga hama. Menurut Sahari (2012) serangga hama sangat bergantung terhadap ketersedian tanaman inang di suatu ekosistem. Hubungan antara serangga dengan lingkungan yang akan mempengaruhi kuantitas dan kualitas tanaman kakao berumur tua. Menurut Wijayanto (2017) kuantitas dan kualitas ini saling berkaitan dengan biomassa tanaman kakao seiring bertambah tua umur tanaman sehingga lebih menyediakan lingkungan dan sumber pakan bagi serangga predator dan dapat mengendalikan populasi serangga hama secara baik. Umur tanaman kakao yang tua sangat berpengaruh terhadap tingkat keanekaragaman serangga yang memiliki dampak penting dalam kestabilan ekosistem antara hama, musuh alami dan penyerbuk. (Widiarti et al., 2000). Beberapa ordo serangga musuh alami berkunjung ke tanaman kakao seperti Araneida, Hymenoptera, Coeloptera, Neuropthera, Orthopthera dan Odonata (Anggraini, 2019). Sedangkan serangga penyerbuk yaitu Diptera, Brachycera, Hymenoptera, Apocrita, , Coeloptera (Nugroho, 2019). Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui keanekaragaman serangga pada ekosistem perkebunan kakao (T. cacao) di Desa Hapesong Baru, Kecamatan Batang Toru.

1.2 Permasalahan Petani di perkebunan kakao Desa Hapesong Baru melakukan penanaman kakao berdasarkan tingkatan umur 15 tahun dan 20 tahun. Umur tanaman kakao yang tua sangat berpengaruh terhadap tingkat keanekaragaman serangga yang memiliki dampak penting dalam kestabilan ekosistem. Oleh karena itu perlu dilakukan 3 penelitian untuk mengetahui keanekaragaman serangga pada ekosistem perkebunan kakao (T. cacao) di Desa Hapesong Baru, Kecamatan Batang Toru.

1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman serangga pada ekosistem perkebunan kakao (T. cacao) bardasarkan umur tanaman 15 tahun dan 20 tahun di Desa Hapesong Baru, Kecamatan Batang Toru.

1.4 Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai keanekaragaman serangga pada ekosistem perkebunan kakao (T. cacao) bardasarkan umur tanaman 15 tahun dan 20 tahun di Desa Hapesong Baru, Kecamatan Batang Toru. Selain itu diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi sumber informasi bagi petani dan instansi terkait tentang peranan serangga sebagai hama, predator, penyerbuk, dan netral sehingga dapat menjadi pertimbangan untuk pemberian insektisida kimia.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Tanaman Kakao (T. cacao) Tanaman kakao (T. cacao) merupakan tanaman hutan hujan tropis yang berasal dari kawasan Amerika Selatan, kakao diklasifikasikan sebagai bagian dari ordo Malvales, famili Sterculiaceae (Zhang, 2016). Tanaman kakao tumbuh baik pada daerah berkisar 100 LU dan 200 LS dan membutuhkan waktu 5 tahun untuk menghasilkan buah, namun untuk mencapai produksi yang maksimal akan membutuhkan waktu 10 tahun (Verna, 2013).

Klasifikasi Tanaman Kakao: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Sub-Divisi : Angiospermae Class : Dicotyledoneae Sub-Class : Dialypetalae Ordo : Malvales Family : Sterculiaceae : Theobroma Species : Theobroma cacao (Tjitrosoepomo, 1988)

Secara alamiah, akar tanaman kakao adalah akar tunggang (radix primaria). Pertumbuhan tanaman kakao diawali dengan biji yang akan membentuk batang utama sebelum tumbuh cabang-cabang primer dengan ketinggian yang ideal 1,2 – 1,5 m dari permukaan tanah dan dapat tumbuh dengan ketinggian batang mencapai 8-10 m sampai adanya bunga (Siregar, 2007). Bunga kakao bertipe kauliflori, yaitu pertumbuhan bunga dari berkas ketiak daun pada batang dan cabang. Bunga kakao juga merupakan bunga hermaprodit yang memiliki dua kelamin (putik dan benang sari) dalam satu bunga. Bunga ini tersusun oleh lima kelopak, lima mahkota, lima bakal buah, sepuluh tangkai sari yang tersusun 5 dalam dua lingkaran, dengan masing-masing lingkaran terdiri dari lima tangkai sari fertil, dan tangkai sari yang steril (staminodia). Benang sari yang fertil melengkung sehingga anther berkembang di dalam kantung kelopak. Karakter pada serbuk sari yang terlindungi oleh kantung kelopak serta memiliki anther yang bersifat lengket dan menjadikan tanaman kakao bersifat entomophilous, yaitu membutuhkan serangga dalam penyerbukannya (Gnanaratnam, 1954).

2.2 Serangga Serangga merupakan kelompok hewan yang paling dominan di muka bumi dengan jumlah spesies hampir 80% dari total hewan di bumi. Sekitar 250.000 spesies dari total 751.000 spesies merupakan golongan serangga yang diantaranya terdapat di Indonesia (Kalshoven, 1981). Sebanyak 1.413.000 spesies telah berhasil diidentifikasi dan dikenal lebih dan 7000 spesies baru ditemukan hampir setiap tahunnya. Tingginya jumlah serangga yang ditemukan karena berhasil dalam mempertahankan keberlangsungan hidupnya pada habitat yang bervariasi, kapasitas reproduksi yang tinggi dan kemampuan dalam mennyelamatkan diri dari musuhnya (Meilin, 2016). Jumlah serangga di indonesia terdiri dari 250.000 jenis atau sekitar 15% dari jumlah jenis biota. Diantara kelompok serangga tersebut, kumbang (Coleoptera) merupakan kelompok terbesar karena menyusun sekitar 40% dari seluruh jenis serangga dan sudah lebih dari 350.000 jenis yang diketahui namanya (Borror et al., 1996). Serangga yang berperan sebagai pemakan tanaman disebut hama. Namun ada juga serangga berguna seperti serangga penyerbuk, pemakan bangkai, predator dan parasitoid. Setiap serangga mempunyai sebaran khas yang dipengaruhi oleh biologi serangga, habitat dan kepadatan populasi (Siregar, 2014). Serangga atau insekta termasuk dalam filum Arthropoda, dan dibedakan menjadi 3 subfilum, yaitu Trilobita, Mandibulata dan Chelicerata. Subfilum Trilobita telah punah dan tinggal sisa-sisanya (fossil), sedangkan Sub filum Mandibulata terdiri atas beberapa kelas dan salah satu di antaranya adalah kelas lnsekta (Hexapoda), serta Subfilum Chelicerata terdiri atas beberapa kelas termasuk Arachnida (Hadi, 2009). Secara morfologi, tubuh serangga dewasa dapat dibedakan menjadi tiga bagian utama yaitu kepala (caput), dada (thorax), dan perut (abdomen). Pada bagian caput terdapat mulut, antena, mata majemuk (faset) dan mata tunggal (ocelli). Pada thorax 6 sendiri terdiri dari tiga ruas yang sangat jelas terlihat, sedangkan abdomen terdiri lebih dari 9 ruas dimana ruas abdomen pada serangga terdiri dari 11 ruas atau beberapa ruas saja (Pelawi, 2009). Serangga memegang peranan yang sangat penting dalam suatu ekosistem, diantaranya sebagai dekomposer, penyerbuk, predator, herbivora, dan sebagai bioindikator. Menurut Suheriyanto (2008) keanekaragamPan serangga yang tinggi menyebabkan proses jaring-jaring makanan berjalan secara normal sehingga dapat dikatakan lingkungan ekosistem tersebut seimbang atau stabil.

2.3 Peranan Serangga Penyebaran serangga sangat dibatasi oleh faktor-faktor geologi dan ekologi sehingga terjadi perbedaan keragaman jenis serangga. Perbedaan ini disebabkan karena adanya perbedaan iklim, musim, ketinggian tempat, serta jenis makanannya. Kehadiran suatu jenis serangga pada suatu habitatnya juga sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan antara lain kemampuan serangga untuk menyebar, seleksi habitat, kondisi suhu, kelembapan udara, cahaya matahari, curah hujan, dan vegetasi (Subekti, 2012). Tingkat keanekaragaman jenis serangga memiliki dampak yang sangat penting bagi kestabilan di dalam ekosistem kakao. Keanekaragaman hayati serangga pada ekosistem kakao antara lain penyerbuk, hama dan musuh alami seperti parasitoid, predator (Sunarno, 2010).

2.3.1 Serangga Hama Serangga hama adalah organisme yang menimbulkan kerusakan pada tanaman dan menurunkan kualitas maupun kuantitas dari hasil panen (Sianipar, 2015). Serangga dianggap sebagai hama ketika keberadaannya merugikan bagi manusia, estetika suatu produk, atau kehilangan hasil panen dalam suatu ekosistem (Meilin, 2016). Menurut Dadang et al., (2007) keberadaan serangga hama dalam suatu ekosistem pertanaman akan mempengaruhi kegiatan budidaya karena secara langsung akan menurunkan kaulitas dan kuantitas yang dihasilkan dan pengendalian hama tidak dilakukan maka akan mengalami kerugian. 7

Ekosistem alami populasi suatu jenis serangga hama atau hewan pemakan tumbuhan tidak pernah eksplosif (meledak) karena banyak faktor pengendaliannya, baik yang bersifat abiotik maupun biotik. Faktor pengendali ini saling berkaitan satu dengan yang lainnya dimana faktor pengendali tersebut sudah banyak berkurang sehingga kadang-kadang populasinya meledak dan menjadi hama (Susilo, 2007). Produktivitas kakao ditentukan oleh beberapa faktor yang meliputi serangga penggerek buah kakao (PBK), kepik penghisap buah, ulat kilan, dan penggerek batang yang berakibat menurunnya kualitas biji kakao sehingga dapat membunuh tanaman kakao itu sendiri (Putra, 2011).

A. Penggerek Buah Kakao (Conopomorpha cramerella) Penggerek buah kakao (C. cramerella) adalah hama yang merusak tanaman kakao dan dapat menurunkan produksi hingga 90% (Lim, 1992 dalam Anshary, 2002). Larva akan memakan jaringan yang lunak seperti pulp dan plasenta pada biji kakao. Serangan larva PBK pada buah akan menyebabkan kerusakan lebih serius terhadap perkembangan biji atau bahkan menyebabkan pembusukan pada buah (Depparaba, 2002).

B. Kepik Penghisap Buah (Helopeltis sp.) Kepik penghisap buah (Helopeltis sp.) merupakan hama kedua setelah penggerek buah kakao (PBK). Helopeltis sp. pada tanaman kakao dapat menurunkan produksi hingga 50% (Nurmansyah, 2011). Serangan oleh kepik penghisap buah menyebabkan bercak-bercak di tunas ranting, selain itu nimfa dan imago akan menyerang buah muda dan menghisap cairan yang ada didalam buah. Kepik akan mengeluarkan cairan yang bersifat racun dan dapat mematikan sel-sel jaringan pada buah. Selain buah, kepik penghisap akan menyerang pucuk dan daun muda (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2010).

C. Penggerek Batang/Cabang (Zeuzera coffeae) Penggerek batang/cabang (Z. coffeae) yang merupakan salah satu hama penggerek batang pokok tanaman dengan menggerek xylem yang menyebabkan tanaman mudah patah atau membuat pertumbuhan pada tanaman kakao menjadi 8 terhambat, selain itu serangan hama ini mengakibatkan pengangkutan zat hara dari dalam tanah ke seluruh bagian tanaman menjadi terganggu (Lestari, 2018). Kelimpahan populasi hama dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal arthropoda seperti kemampuan berkembang biak yang baik, siklus hidup yang cepat, dan umur arthropoda. Sementara faktor eksternal dipengaruhi oleh faktor fisik lingkungan, makanan yang berlimpah dan tersedia secara terus menerus, penggunaan insektisida kimia yang kurang bijaksana oleh petani sehingga menimbulkan dampak negatif seperti resistensi, resurjensi, kematian hewan non target seperti serangga berguna atau musuh alami dan faktor hayati. (Tyas et al., 2016).

2.3.2 Serangga Penyerbuk Serangga penyerbuk merupakan serangga yang penting pada berbagai spesies tanaman. Di lahan perkebunan, serangga penyerbuk yang umum dijumpai adalah lebah madu dan lebah liar yang dilaporkan mengunjungi 20-30% spesies tanaman. Selain lebah, serangga-serangga penyerbuk yang penting lainnya adalah kumbang (Coleoptera), lalat (Diptera), dan kupu-kupu (Lepidoptera) (Sari et al., 2016). Pada bidang perkebunan penyerbukan tanaman oleh serangga merupakan salah satu kunci keberhasilan suatu produksi. Sebagian besar tanaman kakao proses penyerbukannya bergantung atau meningkat sejalan dengan meningkatnya kunjungan serangga penyerbuk. Serangga penyerbuk terdiri atas beberapa ordo serangga (Diptera, Coleoptera, Hymenoptera), namun demikian yang perannya sangat penting untuk reproduksi seksual berbagai macam tanaman kakao adalah dari ordo Hymenoptera khususnya lebah karena mampu meningkatkan stabilitas, kualitas dan jumlah layanan penyerbukan sepanjang waktu dan ruang dibanding dengan serangga lain. Tanaman yang diserbuki oleh serangga disebut Entomophyli (Widhiono, 2015).

2.3.3 Musuh Alami Musuh alami adalah organisme di alam yang dapat membunuh serangga, melemahkan serangga, sehingga dapat mengakibatkan kematian pada serangga, dan mengurangi fase reproduktif dari serangga. Musuh alami berperan dalam menurunkan populasi hama sampai pada tingkat populasi yang tidak merugikan (Tauruslina et al., 2015). 9

Peran musuh alami dalam menekan populasi hama sangat berpengaruh dalam mencegah peledakan populasi hama. Dengan berkurangnya musuh alami akibat penggunaan insektisida atau pestisida sintetik yang kurang bijaksana dapat memicu terjadinya peledakan hama. Di suatu ekosistem, arthropoda predator (serangga dan laba-laba) merupakan musuh alami yang paling berperan dalam menekan populasi hama padi seperti wereng coklat dan penggerek batang (Thalib et al., 2002). Salah satu komponen penting dalam pengendalian hama terpadu yaitu memanfaatkan musuh alami. Menurut Untung (2006), menjelaskan bahwa musuh alami merupakan pengatur populasi yang efektif karena bersifat tergantung kepadatan. Jika terjadi peningkatan populasi serangga hama maka akan diikuti oleh peningkatan populasi musuh alami (respon numerik) dan respon fungisional yaitu peningkatan daya makan atau daya parasitasinya. Dilihat dari fungsinya musuh alami dapat dikelompokkan menjadi parasitoid dan predator.

A. Parasitoid Parasitoid merupakan serangga yang hidup dan menghisap makanan dari serangga lain. Parasitoid hidup menumpang diluar atau didalam tubuh inangnya dengan cara menghisap tubuh inangnya guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Umumnya parasitoid menyebabkan kematian pada inangnya secara perlahan-lahan dan dapat menyerang setiap fase hidup serangga. Kebanyakan parasitoid bersifat monofag (memiliki inang spesifik), tetapi ada juga yang oligofag (inang tertentu). Selain itu parasitoid memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil dari inangnya. Parasitoid yang sering ditemukan pada tanaman kakao terdiri dari 6 ordo serangga yaitu Coleoptera, Diptera, Hymenoptera, Lepidoptera, Neuroptera, dan Strepsiptera (Hadi, 2012).

B. Predator Predator adalah binatang atau serangga yang memangsa serangga lain. Istilah predator yaitu suatu bentuk simbiosis atau hubungan dari individu dimana salah satu individu menyerang atau memakan individu lain untuk kepentingan hidupnya dan dilakukan berulang-ulang. Menurut Jumar (2000), hampir semua ordo serangga memiliki jenis yang menjadi predator, tetapi selama ini ada beberapa ordo yang 10

anggotanya merupakan predator yang digunakan dalam pengendalian hayati. Ordo terdiri dari Coleoptera, Hemiptera, Orthoptera, Diptera, Odonata, Homoptera, dan Neuroptera (Speight et al., 1999).

2.4 Faktor Yang Mempengaruhi Keanekaragaman Jenis Menurut Krebs (1978), terdapat 5 faktor yang mempengaruhi naik turunnya nilai keanekaragaman jenis, yaitu: a. Waktu, keragaman komunitas bertambah sejalan waktu, berarti komunitas tua yang sudah lama berkembang, lebih banyak terdapat organisme daripada komunitas muda yang berkembang. b. Heterogenitas ruang, semakin heterogen suatu lingkungan fisik semakin kompleks komunitas flora dan fauna disuatu tempat tersebar dan semakin tinggi keragaman jenisnya. c. Kompetisi terjadi apabila sejumlah organisme menggunakan sumber yang sama yang ketersediaannya kurang atau walaupun ketersediaannya cukup namun bersaing tetap juga bila organism-organisme itu memanfaatkan sumber tersebut, yang satu menyerang yang lain atau sebaliknya. Serangga memiliki alat atau kemampuan untuk mempertahankan diri dari serangan. d. Pemangsaan, yang mempertahankan komunitas populasi dari jenis bersaing yang berbeda dibawah daya dukung masing- masing selain memperbesar kemungkinan hidupnya berdampingan sehingga mempertinggi keragaman, apabila intensitas dari pemangsaan terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat menurunkan keragaman jenis. e. Kestabilan iklim, makin stabil keadaan suhu, kelembaban, salinitas, pH dalam suatu lingkungan, maka semakin banyak jenis dalam lingkungan tersebut. Lingkungan yang stabil lebih memungkinkan keberlangsungan evolusi. Kelima faktor ini saling berintekrasi untuk menetapkan keanekaragaman jenis dalam komunitas yang berbeda. Keanekaragaman spesies sangatlah penting dalam menentukan batas kerusakan akan akibat dari turut campur tangan manusia serta ditambahi dengan faktor abiotik dan biotik (Siregar 2014).

11

2.5 Hubungan Serangga Dengan Tanaman Kakao Serangga berasosiasi dengan tanaman kakao karena tersedianya sumber pakan dan habitat. Entwistle (1972) menjelaskan terdapat 1500 spesies serangga yang berasosiasi dengan tanaman kakao termasuk serangga penyerbuk yang dapat membantu penyerbukan silang dan meningkatkan hasil buah dan biji. Serbuk sari kakao yang dibawa oleh serangga penyerbuk ke stigma akan meningkatkan persentasi keberhasilan dalam terbentuknya buah sebesar 74%. Hal ini menyebabkan tanaman kakao memiliki daya tarik sehingga serangga akan mengunjungi kakao karena tertarik oleh bau dan warna pada bunga kakao untuk mendapatkan makanan. Hubungan serangga dengan tanaman kakao juga merupakan hubungan timbal balik yang masing-masing memperoleh keuntungan. Tinggi rendahnya populasi serangga menunjukkan bahwa terjadi hubungan erat dengan ketersediaan sumber makanan yang baik (Yatno, 2013). Hadi et al., (2009) menjelaskan 50% dari serangga adalah pemakan tanaman atau fitofagus yang dapat merugikan tanaman dan pemakan serangga dari sisa-sisa tanaman atau hewan lain. Serangga yang bertindak sebagai pemakan tanaman perlu ruang sebagai tempat hidup atau tempat berlindung, berkembang biak atau mengambil makanan. Bagian-bagian yang disediakan tanaman adalah daun, tangkai, batang, bunga, buah, madu, dan cairan tanaman. Beberapa bagian ini akan digunakan untuk tempat berlindung atau berkembang biak dan serangga juga mempunyai alat indra yang tajam untuk menentukan tanaman inang yang disukai.

BAB 3 BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu Dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Juli 2020 di Perkebunan Kakao (T. cacao) Desa Hapesong Baru, Kecamatan Batang Toru.

3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam mengukur faktor abiotik adalah Hygrometer, Termometer, GPS (Global Positioning System) dan Luxmeter. Alat yang digunakan untuk pengambilan sampling adalah camera digita, jaring ayun (sweeping net), spidol permanen, label tempel, pinset, plastik 15 kg, sampel cup 100 ml, botol sampel, lakban cokelat, kertas milimeter laminating, lampu emergency, kertas papilot, jarum suntik 1 ml dan alat tulis. Sedangkan bahan yang digunakan untuk untuk pengawetan sampel adalah alkohol 70% dan buku kunci determinasi serangga yaitu Pengenalan Pelajaran Serangga, oleh Donald J. Borror (1996), dan Kunci Determinasi Serangga, oleh Subyanto dan Achmad Sulthoni (1991).

3.3 Deskripsi Area 3.3.1 Letak dan Luas Secara administratif perkebunan kakao terletak di Desa Hapesong Baru, Kecamatan Batang Toru, yang berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Tapanuli Tengah dan memiliki luas areal 608,00 ha (BPS, 2019). Titik koordinat pada lokasi 1 (15 tahun) berada di posisi 10 22’ 56’’ LU dan 980 56’ 14’’ BT yang memiliki jarak ± 60 m ke lokasi 2 (20 tahun) dengan koordinat 10 23’ 09’’ LU dan 980 65’ 25’’ BT (Lampiran 1).

13

3.3.2 Iklim 3.3.2.1 Suhu, Curah Hujan, dan Kelembapan Udara Desa Hapesong Baru termasuk iklim tropis dengan curah hujan yang tinggi berkisar antara 4.500 sampai 5.000 mm/tahun dan suhu berkisar 230C-350C dengan kelembaban berkisar antara 33% - 95% (BPS, 2019). Pada lokasi 1 (15 tahun) mempunyai suhu 260C dan lokasi 2 (20 tahun) dengan suhu 280C sedangkan kelembapan udara masing-masing lokasi berkisar 80%-85% (Lampiran 5).

3.3.3 Topografi Topografi Desa Hapesong Baru berkisar datar sampai dengan berbukit-bukit yaitu 0 – 225 mdpl (BPS, 2019).

3.4 Metode Penelitian Pengambilan sampel pada tanaman kakao dilakukan dengan dua metode yaitu metode jaring ayun (sweep sampling method) dan metode pengamatan langsung (visual control) yang ditentukan secara purposive random sampling pada perkebunan kakao. Penelitian ini dilakukan dengan memilih 2 lokasi berdasarkan umur tanaman yang dimana lokasi 1 (15 tahun) & lokasi 2 (20 tahun). Lokasi yang dipilih adalah lokasi yang dapat mewakili area pengambilan sampel. Setiap lokasi masing-masing pertanaman kakao terdiri dari 3 plot dengan ukuran 20 x 20 m per plot.

3.5 Pelaksanaan Penelitian 3.5.1 Cara Kerja Penelitian ini dilakukan pada areal perkebunan seluas 1 ha di perkebunan rakyat Desa Hapesong Baru, Kecamatan Batang Toru dengan Metode Jaring Ayun (sweep sampling method) dan Metode Pengamatan Langsung (visual control). Pengambilan sampel dilakukan pada pukul 07.00-10.00, 12.00-14.00, 16.00-18.00 WIB dengan berdasarkan umur tanaman kakao 15 tahun dan 20 tahun. Setiap pengamatan diukur faktor abiotik yang meliputi suhu, kelembaban udara dan intensistas cahaya yang dilakukan dengan menggunakan alat thermometer, hygrometer dan lux-meter sedangkan untuk melihat letak lokasi pengambilan sampel secara geografis dilakukan dengan menggunakan alat Global Positioning System (GPS). 14

Sampel yang didapatkan kemudian dikumpulkan dan dipisahkan lalu dimasukkan kedalam botol sampel untuk diidentifikasi di Laboratorium Sistematika Hewan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara kemudian serangga dikelompokkan berdasarkan peranannya.

3.5.1.1 Metode Jaring Ayun (sweep sampling method) Metode ini menggunakan alat berupa jaring ayun berbentuk kerucut yang terbuat dari kain kasa. Panjang tangkai jaring 60 cm dan mulut jaring terbuka dengan garis tengah sekitar 30 cm. Digunakan untuk menangkap serangga yang aktif terbang. Penangambilan serangga dilakukan dengan cara mengayunkan jaring ke kiri dan ke kanan secara bolak-balik sambil berjalan zig-zag pada lokasi yang telah ditentukan dan dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali (Yatno et al., 2013). Serangga yang tertangkap dimasukkan kedalam sampel cup dan serangga besar ke plastik 15 kg yang telah berisi alkohol 70%.

3.5.1.2 Metode Pengamatan Langsung (visual control) Metode visual control adalah metode pengamatan secara langsung pada serangga yang mengunjungi tanaman kakao dalam waktu tertentu. Metode ini digunakan untuk mengamati serangga yang tidak aktif terbang. Alat yang digunakan yaitu pinset. Pengambilan serangga dilakukan dengan mengamati keberadaan serangga yang ada pada tanaman kakao dan dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan (Maisyaroh, 2014). Serangga yang didapat diambil kemudian dimasukkan kedalam sampel cup yang telah diisi dengan larutan alkohol 70%.

3.5.1.3 Identifikasi Serangga Identifikasi serangga menggunakan buku kunci determinasi serangga yaitu, Penggenalan Pelajaran Serangga, oleh Donald J. Borror (1996), Kunci Determinasi Serangga, Subyanto dan Achmad Sulthoni (1991). Serangga yang telah di identifikasi dihitung jenis dan jumlahnya kemudian dikelompokkan berdasarkan karakteristik untuk menentukan peranannya seperti kelompok serangga hama, serangga penyerbuk, serangga predator dan serangga parasitoid. 15

3.6 Analisis Data Jumlah spesies dan jumlah individu masing-masing serangga yang ditemukan dihitung nilai Indeks Diversitas/Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’), Indeks Equitabilitas/Keseragaman jenis (E) (Krebs, 1985). Hasil dari analisis data disajikan dalam bentuk tabel.

3.6.1 Indeks Diversitas/Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) Untuk mengetahui nilai keanekaragaman serangga dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: 풔 H′ = - ∑풕=ퟏ (풑풊 푰풏 풑풊) Keterangan: H’. = Indeks diversitas Shannon-Weiner Pi = ni/N Ln = Logaritma natural ni = Jumlah individu spesies ke-1 S. = Total jumlah spesies N. = Total jumlah individu Krebs (1985), menerangkan bahwa nilai H’ sebagai berikut: Nilai H’ = < 1 : Keanekaragaman rendah Nilai H’ = 1 ≤ H’ ≥ 3 : Keanekaragaman sedang Nilai H’ = > 3 : Keanekaragaman tinggi

3.6.2 Indeks Equitabilitas/Keseragaman (E) Untuk mengetahui nilai keseragaman serangga dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: 푯′ E = 푯풎풂풙 Keterangan: E = Indeks aquitabilitas/keseragaman H’. = Indeks diversitas Shannon-Wiener

Hmax = Keanekaragaman spesies maksimum = ln S (S = banyaknya spesies) 16

Nilai keseragaman (E) berkisar antara 0-1 (Krebs, 1985) dan Odum (1996), menerangkan bahwa nilai E sebagai berikut: Jika E mendekati 0 : Keseragaman semakin rendah. Jika E mendekati 1 : Keseragaman semakin tinggi.

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai Keanekaragaman Serangga pada Ekosistem Perkebunan Kakao (Theobroma kakao) Berdasarkan Umur Tanaman (15 Tahun & 20 Tahun) di Desa Hapesong Baru, Kecamatan Batang Toru di dapatkan hasil sebagai berikut:

4.1 Keanekaragaman Serangga Pada Ekosistem Perkebunan Kakao (T. cacao) di Desa Hapesong Baru, Kecamatan Batang Toru Hasil penelitian ditemukan keanekaragaman serangga terdiri dari 7 ordo, 22 famili dan 31 spesies seperti pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Keanekaragaman Serangga Pada Ekosistem Perkebunan Kakao (T. cacao) di Desa Hapesong Baru, Kecamatan Batang Toru Lokasi Ordo Famili Spesies 1 2 1. Coeloptera 1. Cocinollidae 1. Cocinella sp. √ √ 2. Curculionidae 2. Otiorhynchus sulcatus - √ 3. Nitidulidae 3. Glischrochilus hortensis √ √ 2. Hemiptera 4. Alydidae 4. Leptocorisa oratorius - √ 5. Cicadellidae 5. Bothrogonia addita - √ 6. Flatidae 6. Flatid sp. √ √ 7. Miridae 7. Helopeltis sp. √ √ 8. Helopeltis antoni √ √ 8. Pseudoccocidae 9. Pseudococcus lilacinus √ √ 3. Hymenoptera 9. Formicidae 10. Oecophylla smaragdina √ √ 4. Lepidoptera 10. Cossidae 11. Zeuzera pyrina √ √ 11. 12. Lycomorpha pholus √ - 13. Nyctemera sp. - √ 12. Gracillariidae 14. Conopomorpha √ √ cramerella 13. Lycaenidae 15. Cupido amyntula - √ 14. Noctuidae 16. Dasychira inclusa - √ 15. Nymphalidae 17. Amathusia phidippus √ √ 18. Hypolimnas bolina - √ 19. Junonia atiltes √ √ 20. Doleschallia sp. - √ 21. Mycalesis visala √ √ 22. Neptis hylas √ √ 23. Tirumala limniace - √ 16. Pieridae 24. Leptosia nina √ √ 5. Neuroptera 17. Ascalaphidae 25. Haplogenius √ - appendiculatus 18

Lanjutan 4.1 6. Odonata 18. Corduliidae 26. Oxygastra curtisii √ √ 19. Libellulidae 27. Neurothemis ramburii √ √ 7. Orthoptera 20. Acrididae 28. Leptysma margicinollis √ √ 29. Melanoplus femurrubrum √ √ 21. Gryllidae 30. Gryllus veletis √ √ 22. Tettigonidae 31. Phaneroptera falcata - √ Total Jumlah Spesies 21 29 Keterangan : (√) : Ditemukan (-) : Tidak Ditemukan Lokasi 1 : Tanaman Kakao Berumur 15 Tahun Lokasi 2 : Tanaman Kakao Berumur 20 tahun

Tabel 4.1 memperlihatkan bahwa jumlah spesies serangga pada tanaman kakao di lokasi 2 lebih banyak dibandingkan dengan lokasi 1. Banyaknya keanekaragaman serangga pada lokasi 2 diduga karena keberadaan tanaman sawit pada bagian tepi kebun kakao sehingga lebih menyediakan mikrohabitat dan sumber pakan yang baik bagi serangga. Berdasarkan Penelitian Sihombing (2015) tanaman sawit dapat menyediakan habitat dan sumber pakan bagi serangga yang berperan sebagai serangga hama, predator dan penyerbuk. Beberapa spesies serangga tersebut berasal dari ordo Coeloptera, Hemiptera, Lepidoptera, dan Orthopthera. Seperti yang terlihat pada lokasi 1 (15 tahun) keanekaragaman serangganya sedikit lebih rendah, disebabkan tidak ditemukan adanya tanaman sawit pada lokasi tersebut. Hal ini sesuai dengan Sugiyarto (2005) bahwa kehadiran spesies serangga pada suatu habitat dapat dipengaruhi oleh tingginya jenis tumbuhan yang berdekatan pada lokasi tersebut. Lokasi 2 dapat dilihat terdapat beberapa spesies yang hanya ditemukan pada lokasi ini seperti P. falcata, H. bolina, Doleschallia sp., T. limniace, O. sulcatus, L. oratorius, B. addita, Nyctemera sp., D. inclusa dan C. amyntula spesies ini diduga berasal dari tanaman sawit. Hal ini dikarenakan hilangnya habitat asli sehingga spesies serangga tersebut berkunjung ke tanaman kakao yang lebih menyediakan habitat dan sumber pakan yang sesuai bagi serangga. Hanafiah et al., (2005) faktor yang berpengaruh terhadap spesies pada masing-masing lokasi yang berkunjung adalah aktivitas spesies serangga yang berbeda antara satu dengan yang lain dalam mencari sumber pakan dan keadaan lingkungan yang mendukung. Elzringa (1978) apabila habitat asli mengalami gangguan maka serangga tersebut akan berpindah mencari habitat baru yang sesuai dengan kebutuhan hidupnya terutama bagi serangga hama. Aminatun (2011) spesies D. inclusa adalah serangga hama utama yang menyerang sawit pada saat larva dengan menyerang daun yang masih muda atau tua dan berpindah 19 dari tanaman inangnya karena gagal beradaptasi sehingga saat malam hari larva ini mulai menyerang daun yang dikunjungi hingga berlubang.

Gambar 4.1 Lokasi 1 (15 Gambar 4.1 Lokasi 2 (20

Tahun) Tahun)

Berdasarkan gambar 4.1 terlihat bahwa kondisi tanaman kakao lokasi 2 lebih baik dari lokasi 1. Tanaman kakao berumur 20 tahun memiliki jumlah daun dan buah yang masih utuh sehingga lebih rimbun dibandingkan dengan tanaman kakao berumur 15 tahun, hal ini menyebabkan keanekaragaman serangga yang berkunjung ke tanaman kakao lebih banyak. Menurut Rahayu (2012) rimbun nya suatu tanaman dapat dimanfaatkan oleh serangga lain sebagai tempat berlindung sehingga semakin baik tajuk tanaman kakao maka semakin banyak seperti serangga hama yang berkunjung untuk menjadikan lokasi tersebut sebagai sumber pakan dan habitat agar dapat berlindung dari musuh alaminya. Selanjutnya Haneda et al., (2013) menjelaskan keanekaragaman jenis serangga juga dipengaruhi oleh beberapa faktor kualitas dan kuantitas tanaman yaitu banyaknya tanaman dan umur tanaman. Banyaknya serangga yang ditemukan pada suatu habitat tidak hanya ditentukan oleh kemampuan serangga dalam beradaptasi tetapi ditentukan juga oleh sumber pakan yaitu tumbuhan. Hal ini disebabkan adanya hubungan antara tumbuhan dengan serangga, dimana terdapat kandungan fitokimia dalam ketersediaan sumber pakan yang dibutuhkan oleh serangga lain. Alao et al., (2016) bahwa seperti serangga penyerbuk mampu memperoleh keuntungan berupa menghisap nektar kakao karena mengandung sumber energi berupa glukosa sehingga terjadi pembentukan buah dengan kandungan fitokimia yaitu selulosa dan glukosa yang dapat dijadikan sebagai sumber pakan kembali oleh serangga hama. 20

Sumber pakan serangga juga ditentukan dari adanya tumbuhan bawah seperti gulma yang tumbuh di sekitaran tanaman kakao. Dapat dilihat tanaman bawah pada lokasi 1 (15 tahun) lebih banyak dari lokasi 2 (20 tahun) sehingga terdapat beberapa spesies serangga yang hanya ditemukan pada lokasi 1 seperti L. pholus (polinator) dan H. appendiculatus (predator). Hal ini diduga karena pada lokasi tersebut terdapat banyak gulma dari famili Poaceae dan Asteraceae yang menyediakan sumber pakan dan mikrohabitat bagi serangga tersebut. Menurut Landis et al., (2000) gulma dari famili Poaceae dan Asteraceae dimanfaatkan oleh serangga sebagai mikrohabitat bagi serangga predator agar dapat berkembang biak, sebagai sumber makanan bagi serangga polinator karena mengandung polen, dan sebagai tempat berlindung. Sunjaya (1970) menjelaskan banyak serangga yang menjadikan gulma sebagai mikrohabitat termasuk dengan spesies H. appendiculatus, serangga ini mempunyai daya tarik untuk memikat serangga lain agar dapat dijadikan mangsa dengan mengeluarkan aroma berupa feromon yang berfungsi untuk memikat serangga lain sehingga serangga tersebut akan tertarik dan mengunjungi gulma. Selain itu, spesies ini juga memakan pupa dan larva pada serangga yang berada di serasah. Tingginya umur tanaman juga dapat dipengaruhi oleh faktor abiotik lingkungan yang mendukung kehidupan, pertumbuhan dan perkembangan serangga pada setiap lokasi. Faktor abiotik lingkungan meliputi suhu, kelembapan udara, dan intensitas cahaya. Suhu yang diperoleh pada lokasi 1 (15 tahun) dan lokasi 2 (20 tahun) berkisar 260C dan 280C (Lampiran 5). Menurut Jaramilo et al., (2009) larva, pupa dan serangga dewasa dapat berkembang biak secara sempurna pada kisaran suhu 27oC - 30oC. Lokasi 2 memiliki suhu 28oC yang termasuk dalam kisaran suhu optimum untuk perkembangan larva dan pupa serangga. Hal tersebut menjadi salah satu faktor bagi keanekaragaman serangga yang baik. Kelembapan udara pada lokasi 1 (15 tahun) dan lokasi 2 (20 tahun) berkisar 80%-85% (Lampiran 5), sehingga lokasi tersebut masih dalam kelembapan udara yang optimum. Kelembapan udara ini sangat mempengaruhi serangga dalam melakukan aktivitasnya karena tubuh serangga tersusun atas air. Menurut Sunjaya (1970) kandungan air pada tubuh serangga bervariasi berkisar 50-90% untuk bertahan hidup sedangkan kisaran kelembapan udara optimum berkisar 73-100% dimana kelembapan udara yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat menghambat aktivitas serangga. 21

Intensitas cahaya juga berperan dalam kehidupan serangga karena serangga melakukan aktivitasnya pada intensitas cahaya yang cukup seperti pada lokasi 1 dan lokasi 2 berkisar 675-710. Menurut Elzringa (1981) serangga memperoleh suhu internal tuhuh mereka dengan cara beraktifitas secara langsung pada waktu siang hari dengan intensitas cahaya yang cukup tinggi.

4.2 Peranan Serangga Pada Ekosistem Perkebunan Kakao (T. cacao) di Desa Hapesong Baru, Kecamatan Batang Toru Hasil penelitian ditemukan perananan serangga pada perkebunan kakao yaitu sebagai hama, predator, polinator dan netral seperti yang terlihat pada Tabel 4.2. Pada data tabel 4.2 dapat dilihat bahwa peranan serangga pada perkebunan kakao di lokasi 1 (15 tahun) ditemukan sebagai serangga hama sebanyak 9 spesies, predator 6 spesies, dan polionator 6 spesies sedangkan pada lokasi 2 (20 tahun) ditemukan serangga hama 12 spesies, predator 5 spesies, polinator 9 spesies dan netral 1 spesies.

Tabel 4.2 Peranan Serangga Pada Ekosistem Perkebunan Kakao (T. cacao) di Desa Hapesong Baru, Kecamatan Batang Toru Lokasi Spesies Peranan 1 2 1. Bothrogonia addita Hama - √ 2. Conopomorpha cramerella Hama √ √ 3. Flatid sp. Hama √ √ 4. Dasychira inclusa Hama - √ 5. Glischrochilus hortensis Hama √ √ 6. Helopeltis antonii Hama √ √ 7. Helopeltis sp. Hama √ √ 8. Leptocorisa oratorius Hama - √ 9. Leptysma margicinollis Hama √ √ 10. Melanoplus femurrubrum Hama √ √ 11. Nyctemera sp. Hama - √ 12. Otiorhynchus sulcatus Hama - √ 13. Pseudococcus lilacinus Hama √ √ 14. Zeuzera pyrina Hama √ √ 15. Coccinella sp. Predator √ √ 16. Gryllus veletis Predator √ √ 17. Haplogenius appendiculatus Predator √ - 18. Neurothemis ramburii Predator √ √ 19. Oecophylla smaragdina Predator √ √ 20. Oxygastra curtisii Predator √ √ 22

Lanjutan 4.2 21. Amathusia phidippus Polinator √ √ 22. Cupido amyntula Polinator - √ 23. Doleschallia sp. Polinator - √ 24. Hypolimnas bolina Polinator - √ 25. Junonia atiltes Polinator √ √ 26. Leptosia nina Polinator √ √ 27. Lycomorpha pholus Polinator √ - 28. Mycalesis visala Polinator √ √ 29. Neptis hylas Polinator √ √ 30. Tirumala limniace Polinator - √ 31. Phaneroptera falcata Netral - √ Keterangan : Lokasi 1 = Tanaman Kakao 15 Tahun Lokasi 2 = Tanaman Kakao 20 Tahun

Tabel 4.2 menunjukkan bahwa kehadiran hama pada tanaman kakao tertinggi terdapat pada lokasi 2 sebanyak 14 spesies dibandingkan dengan lokasi 1 sebanyak 9 spesies. Banyaknya kehadiran hama pada lokasi 2 disebabkan adanya serangga hama dari tanaman sawit yang berkunjung ke tanaman kakao untuk mendapatkan sumber pakan berupa daun dan buah. Namun beberapa spesies hama tersebut merupakan bukan hama utama pada tanaman sawit, hal ini disebabkan adanya tanaman lain disekitaran tanaman sawit sebagai mikrohabitat serangga hama. Menurut Price (1991) bahwa sumber pakan serangga hama dalam suatu habitat akan tersedia dalam jumlah yang banyak dan dapat terpenuhi secara baik. Andow (1991) sumber pakan yang baik bagi serangga hama juga akan menyebabkan kemampuan reproduksi musuh alami seperti predator menurun karena kemampuan musuh alami dalam mengendalikan hama menjadi tidak seimbang. Hama utama tanaman kakao yang didapatkan yaitu C. cramerella, H. antonii, dan Helopeltis sp. spesies ini terdapat pada lokasi 1 dan 2. Hal ini dikarenakan kondisi tanaman yang sudah tua dan kualitas tanaman yang rendah sehingga petani tidak merawatnya. Menurut Rakasiwi (2014) bahwa tanaman kakao yang sudah mencapai umur 15-20 tahun, kualitas tanaman yang akan dihasilkan menurun dan menjadi kurang produktif. Hal ini sesuai dengan pernyataan Risandewi (2013) umur tanaman mampu mempengaruhi tingkat kualitas suatu tanaman, dimana semakin bertambah atau meningkat umur tanaman maka kualitas tanaman akan menurun yang diakibatkan oleh serangga hama. Serangga hama yang ditemukan hanya pada lokasi 2 tetapi tidak ditemukan pada lokasi 1 seperti B. addita, D. inclusa, L. oratorius, Nyctemera sp., dan O. 23 sulcatus, diperkirakan merupakan hama migran yang berasal tanaman sawit dan serangga ini mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan tanaman kakao dan mendapatkan mikrohabitat baru. Menurut Untung (2006) hama migran adalah spesies hama yang mempunyai sifat suka berpindah. Hama ini bukan berasal dari tanaman setempat melainkan serangga yang pindah pada suatu tempat ke tempat yang lain. Pracaya (1986) menjelaskan serangga migran dapat mudah menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan yang berdekatan dengan tanaman inangnya. Pada kedua lokasi juga ditemukan serangga hama yang sama seperti Flatid sp., G. hortensis, P. lilacinus, L. margicinollis, M. femurrubrum, dan Z. pyrina diduga serangga hama ini bukanlah hama utama pada tanaman kakao melainkan hama sekunder. Menurut Hadi et al., (2009) hama sekunder adalah hama yang tidak menyerang bagian vital tanaman sehingga serangan hama ini masih mampu di toleransi oleh tanaman. Serangga predator yang ditemukan pada lokasi 1 sebanyak 6 spesies dan pada lokasi 2 sebanyak 5 spesies. Spesies yang hanya ditemukan pada lokasi 1 yaitu H. appendiculatus (Neuroptera (family Ascalaphidae)) diduga spesies ini merupakan predator pada tanaman gulma. Serangga predator yang ditemukan pada kedua lokasi yaitu Coccinella sp. (Coleoptera (family Coccinellidae)), G. veletis (Orthoptera (family Gryllidae)), N. ramburii (Odonata (family Libellulidae)), O. smaragdina (Neuroptera (family Ascalaphidae)), dan O. curtisii (Odonata (family Corduliidae)). Serangga ini memiliki peran penting dalam ekosistem perkebunan kakao sebagai pengendalian hayati yang dapat menekan hama kakao. Menurut Price (2011) serangga predator merupakan serangga yang membunuh, memangsa dan memakan seluruh atau sebagian mangsanya untuk terus berkembang. Kelompok serangga predator yang paling dominan berasal dari ordo Coleoptera (family Coccinellidae), Neuroptera (family Ascalaphidae), Hymenoptera (family Formicidae), Odonata (family Corduliidae, Libellulidae), dan Orthoptera (family Gryllidae). Tabel 4.2 ditemukan serangga polinator pada lokasi 2 tetapi tidak ditemukan pada lokasi 1 seperti C. amyntula, Doleschallia sp., H. bolina, dan T. limniace. Hal ini diduga serangga tersebut berasal dari tanaman sawit yang tertarik ke tanaman kakao untuk melakukan penyerbukan pada bunga kakao. Menurut Amirullah (2018) menjelaskan polen pada tanaman kakao hampir berbunga di sepanjang tahun sehingga 24

beberapa jenis serangga polinator tertarik mendatangi perkebunan kakao untuk mendapatkan sumber makanan dan melakukan perkawinan.

Gambar 1. Serangan hama Gambar 2. Serangan hama utama Helopeltis antonii utama Conopomorpha pada buah Tanaman Kakao cramerella pada buah Tanaman Kakao

Gambar 3. Serangga predator Gambar 4. Serangga

Oecophylla smaragdina polinator Leptosia nina

25

4.3 Populasi Serangga Pada Ekosistem Perkebunan Kakao (T. cacao) di Desa Hapesong Baru, Kecamatan Batang Toru Hasil penelitian populasi serangga pada lokasi 2 (29 spesies dengan 196 individu ) lebih banyak dari lokasi 1 (20 spesies dengan 115 individu).

Tabel 4.3 Populasi Serangga Pada Ekosistem Perkebunan Kakao (T. cacao) di Desa Hapesong Baru, Kecamatan Batang Toru Lokasi Spesies Peranan 1 2 Jumlah 1. Bothrogonia addita Hama 2 4 6 2. Conopomorpha cramerella Hama 1 3 4 3. Flatid sp. Hama 2 5 7 4. Dasychira inclusa Hama 0 1 1 5. Glischrochilus hortensis Hama 2 2 4 6. Helopeltis antonii Hama 7 5 12 7. Helopeltis sp. Hama 20 45 65 8. Leptocorisa oratorius Hama 0 3 3 9. Leptysma margicinollis Hama 2 4 6 10. Melanoplus femurrubrum Hama 2 5 7 11. Nyctemera sp. Hama 0 1 1 12. Otiorhynchus sulcatus Hama 0 1 1 13. Pseudococcus lilacinus Hama 10 15 25 14. Zeuzera pyrina Hama 2 3 5 15. Coccinella sp. Predator 10 25 35 16. Gryllus veletis Predator 0 5 5 17. Haplogenius appendiculatus Predator 3 0 3 18. Neurothemis ramburii Predator 10 25 35 19. Oecophylla smaragdina Predator 25 20 45 20. Oxygastra curtisii Predator 2 2 4 21. Amathusia phidippus Pollinator 2 3 5 22. Cupido amyntula Pollinator 0 1 1 23. Doleschallia sp. Pollinator 0 3 3 24. Hypolimnas bolina Pollinator 0 1 1 25. Junonia atiltes Pollinator 2 3 5 26. Leptosia nina Pollinator 5 5 10 27. Lycomorpha pholus Pollinator 2 0 2 28. Mycalesis visala Pollinator 2 1 3 29. Neptis hylas Pollinator 2 1 3 30. Tirumala limniace Pollinator 0 2 2 31. Phaneroptera falcata Netral 0 2 2 Total Individu 115 196 312 Keterangan: Lokasi 1 : Tanaman Kakao Berumur 15 Tahun Lokasi 2 : Tanaman Kakao Berumur 20 Tahun

26

Tabel 4.3 memperlihatkan bahwa populasi serangga paling tinggi terdapat pada lokasi 2 sebanyak 196 individu dibandingkan dengan lokasi 1 sebanyak 115 individu. Hal ini diduga tanaman kakao pada lokasi 2 memiliki daya dukung yang lebih baik untuk kehidupan serangga dari sumber pakan dan habitatnya sehingga akan berpengaruh terhadap keseimbangan di suatu ekosistem. Menurut Soemarwoto (1994) keseimbangan suatu ekosistem terjadi karena adanya komponen yang saling berhubungan antara satu dengan lainnya. Masing-masing komponen ini mempunyai relung (cara hidup) dan fungsi yang berbeda sehingga apabila komponen tersebut melaksanakan fungsinya dengan baik maka ekosistem akan tetap terjaga. Pada kedua lokasi serangga hama paling banyak ditemukan adalah Helopeltis sp. sebanyak 65 individu yang terdiri 20 individu pada lokasi 1 dan 45 individu pada lokasi 2, diikuti oleh P. lilacinus sebanyak 25 individu, 10 individu pada lokasi 1 dan 15 individu pada lokasi 2. Ini menunjukkan bahwa kedua spesies tersebut merupakan hama tanaman kakao. Indriati (2014) Helopeltis sp. merupakan hama utama yang bersifat polifagus terhadap tanaman kakao. Hama ini menyerang buah yang masih utuh dengan menghisap cairan buah serta mengeluarkan air liur yang beracun dan menyebabkan kerusakan di sekitaran jaringan tanaman. Zulkarnain (2017) menambahkan bahwa P. lilacinus sering menempel pada buah kakao. Selain itu, kutu putih ini menyerang tunas daun, bunga dan calon buah pada kakao sehingga perkembangan tanaman menjadi terhambat, bentuk buah menjadi tidak beraturan, berkerut dan mengeras pada bagian yang terserang oleh kutu putih. Serangga predator yang paling banyak ditemukan pada kedua lokasi yaitu O. smaragdina sebanyak 45 individu terdiri 25 individu pada lokasi 1 dan 20 individu pada lokasi 2. Tingginya kehadiran serangga predator O. smaragdina merupakan semut yang kebiasaannya dalam menyerang serangga-serangga lain secara berkelompok untuk mendapatkan nutrisi berupa berupa karbohidrat, lemak dan protein sehingga kehadirannya tinggi. Sumber karbohidrat diperoleh dari hasil simbiosis mutualisme dengan hama kutu putih (P. lilacinus) yang akan menghisap cairan buah kakao dan mengeluarkan ekskresi yang dimanfaatkan oleh semut berupa glukosa dan sukrosa. Sedangkan sumber protein dan lemak berasal dari memangsa serangga lain yang berada di sekitaran kakao. Menurut Ikbal et al., (2014) semut memiliki peran yang penting dalam keseimbangan ekosistem di suatu habitat. Peranan semut O. 27 smaragdina pada umumnya sebagai predator dan herbivor pada tanaman kakao dan sebagai predator umumnya memangsa serangga hama seperti ulat, kumbang, belalang, wereng, penggerek batang, dan kutu putih. Serangga polinator paling banyak ditemukan pada kedua lokasi yaitu L. nina (Lepidoptera (family Pieridae)) sebanyak 10 individu, 5 individu pada lokasi 1 dan 5 individu pada lokasi 2. Hal ini diduga pada lokasi terdapat jenis tumbuhan bawah seperti gulma yang dijadikan serangga polinator sebagai mikrohabitat serta lokasi 2 yang berdekatan dengan aliran air di sekitar pertamanan kakao sehingga memungkinkan spesies Lepidoptera mampu memperoleh sumber pakan dan tempat untuk berkembang biak. Menurut Uniyal (1998) bahwa jenis tumbuhan dan sumber air yang baik merupakan faktor penting untuk keberadaan dan kelangsungan hidup suatu jenis serangga polinator (Lepidoptera) dalam memperoleh sumber pakan nya. Wahyuni (2013) bahwa gulma yang tumbuh di sekitaran tanaman dapat berpotensi sebagai mikrohabitat bagi serangga polinator.

4.4 Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) Serangga Pada Ekosistem Perkebunan Kakao (T. cacao) di Desa Hapesong Baru, Kecamatan Batang Toru Perhitungan analisis data dapat dilihat pada Lampiran 4. Hasil analisis data didapatkan nilai Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) serangga yang terlihat pada tabel 4.4 berikut:

Tabel 4.4 Nilai Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) Serangga di Ekosistem Perkebunan Kakao (T. cacao) di Desa Hapesong Baru, Kecamatan Batang Toru Lokasi 1 Lokasi 2 H’ 2,350 2,679 E 0,830 0,912 Keterangan: Lokasi 1 = 15 Tahun Lokasi 2 = 20 Tahun

Tabel 4.4 dapat dilihat bahwa nilai indeks keanekaragaman (H’) serangga pada lokasi 1 dan lokasi 2 tergolong sedang. Nilai lokasi 2 sedikit lebih tinggi dibandingkan lokasi 1, hal ini dikarenakan tercukupinya sumber pakan berupa bunga, buah, batang dan daun pada lokasi 2 dan menyediakan habitat yang baik bagi serangga. Mmenurut 28

Pradhana et al., (2014) bahwa kategori tingkat keanekaragaman serangga jika indeks keanekaragaman (H’) lebih kecil dari 1,00 maka keanekaragaman tergolong rendah, sedangkan indeks keanekaragaman (H’) 1,00-3,00 maka keanekaragaman sedang, dan indeks keanekaragaman (H’) >3 maka keanekaragaman tinggi. Tingginya nilai keanekaragaman serangga pada lokasi 2 disebabkan adanya tanaman sawit sehingga beberapa serangga berkunjung ke tanaman kakao untuk mendapatkan sumber pakan dan lokasi ini juga mempunyai kondisi lingkungan yang lebih baik dari lokasi 1. Menurut Jumar (2000) bahwa keberadaan suatu organisme pada suatu habitat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan makanan. Hal ini didukung oleh Sari et al., (2017) ketersediaan makanan dengan kualitas yang cocok dan kuantitas yang cukup bagi suatu organisme akan meningkatkan keanekaragaman suatu organisme. Rachmasari et al., (2016) keanekaragaman tumbuhan dalam suatu area secara langsung berpengaruh terhadap keanekaragaman spesies dan keberlimpahan serangga pada daerah tersebut. Pada tabel 4.4 juga dapat dilihat indeks keseragaman (E) pada kedua lokasi menunjukkan persebaran serangga merata karena berada pada nilai yang mendekati 1. Nilai lokasi 2 sedikit lebih tinggi dari lokasi 1, hal ini disebabkan pada lokasi 2 mempunyai kondisi ekosistem yang stabil dan lingkungan yang mendukung untuk keberadaan dan kehidupan serangga. Menurut Rosalyn (2007) bahwa suatu habitat dengan keadaan ekosistem yang lebih stabil dikarenakan populasi suatu jenis serangga dalam keadaan yang seimbang. Keseimbangan ini terjadi karena mekanisme pengendalian berupa musuh alami yang bekerja secara umpan balik antar spesies (persaingan predasi) dan tingkat inter spesies (persaingan teritorial). Hal ini juga dapat dilihat nilai indeks keseragaman pada kedua lokasi cukup tinggi dengan hampir mendekati 1. Menurut Odum (1996), nilai E mendekati 0 maka keseragaman semakin rendah dan jika nilai E mendekati 1 maka keseragaman semakin tinggi.

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan Hasil penelitian keanekaragaman serangga pada ekosistem perkebunan kakao (T. cacao) di Desa Hapesong Baru, Kecamatan Batang Toru bahwa dapat disimpulkan sebagai berikut: A. Serangga yang ditemukan pada lokasi 1 (15 tahun) yang terdiri dari 7 ordo, 15 famili, dan 20 spesies dengan populasi serangga 115 individu sedangkan pada lokasi 2 (20 tahun) terdiri dari 7 ordo, 20 famili, dan 30 spesies dengan populasi serangga 196 individu. B. Peranan serangga yang ditemukan pada perkebunan kakao yaitu hama, predator, polinator dan netral. Serangga hama pada lokasi 1 (9 spesies) dan lokasi 2 (12 spesies), serangga predator pada lokasi 1 (6 spesies) dan lokasi 2 (5 spesies), serangga polinator pada lokasi 1 (6 spesies) dan lokasi 2 (9 spesies), serangga netral hanya ditemukan pada lokasi 2 (1 spesies). C. Indeks keanekaragaman (H’) pada pertanaman kakao di lokasi 1 dan 2 tergolong dalam kategori keanekaragaman sedang yaitu lokasi 1 (2,350) dan lokasi 2 (2,679). Indeks keseragaman (E) serangga pada kedua lokasi tinggi mendekati 1 yaitu pada lokasi 1 (0,830) dan lokasi 2 (0,912).

5.2 Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai keanekaragaman serangga pada perkebunan kakao (T. cacao) di Desa Hapesong Baru, Kecamatan Batang Toru dengan menggunakan metode Light Trap, agar dapat diketahui keanekaragaman serangga yang aktif di malam hari.

DAFTAR PUSTAKA

Alao FO, Adebayo TA, Olaniran OA, 2016. Population Density of Insect Pests Associated with Watermelon (Citrullus lanatus Thumb) in Southern Guinea Savanna Zone, Ogbomoso. Journal of Entomology and Zoology Studies. 4(4): 257-260. Aminatun T, 2011. Fenomena Ledakan Populasi Ulat Bulu (Lymantridae), Sebab dan Upaya Pengendaliannya. Universitas Negri Yogyakarta. Yogyakarta. Amirullah, Wirdhana S, Afdaliana D, 2018. Keanekaragaman Serangga Polinator Di Perkebunan Kakao (Theobroma cacao L.) Desa Puudongi Kecamatan Kolono Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara. Biowallacea. 5(1): 735-749. Andow DA, 1991. Vegetational diversity and anthropod population response. Annual Review of Entomology. 36: 561-586. Anggraini PH, 2019. Keanekaragaman Arthropoda Musuh Alami Pada Perekebunan Kakao (Theobroma cacao L.) Dengan Sistem Tanam Berbeda Di Kabupaten Pesawaran. [SKRIPSI]. Anshary A, 2002. Karakteristik Tanaman Kakao Yang Resisten Terhadap Penggerek Buah Kakao (Conopomorpha cramerella Snellen). Program Pascasarjana Unhas. Arnita, 2017. Keanekaragaman Serangga Hama pada Perkebunan Kelapa Sawit Di Desa Taosu Kecamatan Poli-Poli Kabupaten Kolaka Timur Sulawesi Tenggara [Skripsi]. Kendari: Universitas Halu Oleo. Badan Pusat Statistik (BPS), 2019. Kecamatan Batang Toru Dalam Angka 2019. Penerbit Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Selatan. Borror et al, 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. 8th Ed. Terjemahan dari An Introduction to Study of Insect oleh Soetiyono Partosoedjono. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Dadang, Suastika G, Dewi RS, 2007. Hama dan Penyakit Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas). Surfanctant and Bioenergy Research Center. Bogor. Depparaba F, 2002. Penggerek Buah Kakao (Conopomorpha cramerella Snellen) dan Penanggulangannya. Jurnal Litbang Pertanian, 21(2): 71-72. Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Utara, 2018. Sumatera Utara Dalam Angka. Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun), 2018. Kakao, Statistik Perkebunan, Direktorat Jenderal Perkebunan Jakarta. Elzringa RJ, 1978. Fundamental of Entomology. Departemen of Entomology Kansas State University. New Jersey: Pretince Hall. Inc., Englewood Cliff, New Jersey. Elzringa RJ, 1981. Fundamental of Entomology. Departemen of Entomology Kansas State University. New Jersey: Pretince Hall. Inc., Englewood Cliff, New Jersey. Entwistle PF, 1972. Pests of Cocoa First Edition. London: Longman Press. Gnanaratnam JK, 1954. Pollination Mechanism of The Cacao Flower. Trop Agr. Hadi M, Aminah, 2012. Keragaman Serangga dan Perannya di Ekosistem Sawah (Insect Diversity and Its Role in Wetland Ecosystem). Sains dan Matematika. Hadi M, Udi T, Rully R, 2009. Biologi Insekta Entomologi. Graha Ilmu, Yogyakarta. Hanafiah KA, Anas I, Napoleon A, Ghoffar N, 2005. Biologi Tanah, Ekologi dan Mikrobiologi Tanah. PT. Raja Grafindo. Persada. Jakarta. Haneda NF, Kusmana C, FD, 2013. Keanekaragaman Serangga di Ekosistem Mangrove. Jurnal Silvikultur Tropika. 1(1). Ikbal M, Putra NS, Martono E, 2014. Keragaman Semut Pada Ekosistem Tanaman Kakao di Desa Banjaroya Kecamatan Kalibawang Yogyakarta. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia. 18(2):79-88. Indriati G, Soesanthy F, 2014. Hama Helopeltis sp. Dan Teknik Pengendaliannya Pada Pertanaman Teh (Camellia sinensis). Sirinov. 2(3): 189-198. Jaramillo J, Chabi-Olaye A, Kamonjo C, Jaramillo A, Vega FE, Poehling HM, Borgemeister C, 2009. Thermal Tolerance of The Coffe Berry Borer Hypothenemus hampei: Predicitions of Climate Change Impact on A Tropical Insect Pest. Plos One. 4(8): 1-11. Jumar, 2000. Entomologi Pertanian. Jakarta: Rieneka Cipta. Kalshoven LGE, 1981. Pest Of Crops In Indonesia. Ichtiar Baru. Jakarta. 701. Krebs CJ, 1978. Ecology (The Experimental Analysis of Distribution and Abudance). Third Edition. Herper dan Row Publishers. New York. Krebs CJ, 1985. Ecology (The Experimental Analysis of Distribution and Abudance). Landis DA, Wratten SD, Gurr GM, 2000. Habitat Management To Conserve Natural Enemies Of Pests in Agriculture. Annu. Rev. Entomol. 45: 175- 201. Lestari P, Purnomo, 2018. Intensitas Serangan Hama Penggerek Batang Kakao di Perkebunan Rakyat Cipadang, Gedongtataan, Pesawaran. Jurnal AIP. 6(1). Lim GT, 1992. Biology, Ecology, and Control Of Cocoa Pod Borer, Conopomorpha cramerella. Rome: United Nations. Luskin MS, Potts MD, 2011. Microclimate and Habitat Heterogeneity Through The Oil Palm Life Cycle. CAB International Oxon. Wallingford. Maisyaroh W, 2014. Pemanfaatan Tumbuhan Liar Dalam Pengendalian Hayati. UB Press. Malang. Meilin, Araz, Nasamsir, 2016. Serangga Dan Peranannya Dalam Bidang Pertanian Dan Kehidupan. Universitas Batang Hari. Jurnal Media Pertanian. 1(1). Nugroho A, Atmowidi T, Kahono S, 2019. Diversitas Serangga Penyerbuk dan Pembentukkan Buah Tanaman Kakao (Theobroma cacao L). Jurnal Sumberdaya Hayati. 5(1): 11-17. Nurmansyah, 2011. Efektivitas Serai Wangi Terhadap Hama Penghisap Buah Kakao Helopeltis antonii Bul. Littro. 22(2):205-213. Odum EP, 1996. Dasar-Dasar Ekologi. Diterjemahkan oleh Samingan T. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Pelawi AP, 2009. Indeks Keanekaragaman Jenis Serangga Pada Beberapa Ekosistem di Areal Perkebunan PT. Umbulmas Wisesa Kabupaten Labuhan Batu. USU Repository. Medan. Pengendalian Hama Terpadu (Pht). Biotroika. 2: 55-60. Pipitone L, 2012. Situation and prospects for cocoa supply & demand. Manajer World Cocoa Conference. Pradhana RAI, Mudijono G, Karindah S, 2014. Keanekaragaman Serangga Dan Laba- laba Pada Pertanaman Padi Organik Dan Konvensional. Jurnal HPT. 2(1): 58-66. Price PW, 1991. The Plant Vigor Hypothesis And Herbivore Attack. Oikos. 62: 244- 251. Price PW, 2011. Insect Ecology. New York: Cambridge University Press. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, 2010. Buku Pintar Budidaya Kakao. Jakarta: Agro Media Pustaka. Putra IGAP, Watiniasih NL, Suartini NL. 2011. Invertarisasi Serangga Pada Perkebunan Kakao (Theobrama cacao L.) Laboratorium Unit Perlindungan Tanaman Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, Bali. Jurnal Biologi. 14(1). Rachmasari OD, Prihanta W, Susetyarini RE, 2016. Keanekaragaman Serangga Permukaan Tanah di Arboeretum Sumber Brantas Batu Malang Sebagai Dasar Pembuatan Sumber Belajar Flipchart. Jurnal Pendidikan Biologi Indonesia. 2(1): 188-197. Rahayu E, 2012. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kehidupan Serangga. SKRIPSI. Rakasiwi D, Nani S, Dedy M, 2018. Faktor Produksi Pada Usaha Tani Kopi di Desa Sukapura Kecamatan Sumberjaya, Lampung Barat. Agrivita. Institut Pertanian Bogor. 28(3). Risandewi T, 2013. Analisis Efisiensi Produksi Kopi Robusta Di Kabupaten Temanggung (Studi Kasus di Kecamatan Candiroto). Litbang Provinsi Jawa Tengah. 11(1): 87-102. Rosalyn I, 2007. Indeks Keanekaragaman Jenis Serangga Pada Pertanaman Kelapa Sawit Di Kebun Tanah Raja Perbaungan PT. Perkebunan Nusantara III. Universitas Sumatera Utara, Medan. Sahari B, 2012. Struktur Komunitas Parasitoid Hymenoptera di Perkebunan Kelapa Sawit, Desa Pandu Senjaya, Kecamatan Pangkalan Lada Kalimantan Tengah. Insititut Pertanian Bogor. Bogor. Sari P, Syahribulan, Sjam S, Santosa S, 2017. Analisis Keragaman Jenis Serangga Herbivora Di Areal Persawahan Kelurahan Tamalanrea Kota Makassar. Jurnal Biologi Makassar. 2:35-45. Sari R, Dahelmi, Mairawita, 2016. Kupu-Kupu Pengunjung Pada Bunga Semangka (Citrullus lanatus) (THUNB) Matsum & Nakai Di Katapiang Ujung Dan Karambia Ampek, Batang Anai, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Bioconcetta. 2: 35-42. Sianipar P, 2015. Indeks Keragaman Serangga Hama Pada Tanaman Padi (Oryza sativa L.) Di Lahan Persawahan Padi Dataran Tinggi Desa Sukawening, Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung. Bioma. 17:9-15. Sihombing DPA, Riyanto ZA, 2015. Keanekaragaman Jenis Serangga Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) Di Perkebunan Minanga Ogan Kabupaten Oku Dan Sumbangannya Pada Pembelajaran Biologi SMA. SKRIPSI. Siregar A S, Dharma B, Fatimah Z, 2014. Keanekaragaman Jenis Serangga Di Berbagai Tipe Lahan Sawah. Jurnal Online Agroekoteknologi. Universitas Sumatera Utara. Medan. 2(4). Siregar, 2007. Pembudidyaan, Pengolahan dan Pemasaran Cokelat. –Cet 20.- Jakarta: Penebar Swadaya. Soemarwoto O, 1994. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Djambatan: Jakarta. Cet 7. Speight MR, Hunter MD, Watt AD, 1999. Ecology of insects, Concepts and Applications. Blackwell Science. Subekti N, 2012. Keanekaragaman Jenis Serangga Di Kawasan Hutan Tinjomoyo Semarang Jawa Tengah. Jurnal Biology. 1(1). Subyanto, Sulthoni A, 1991. Kunci Determinasi Serangga. Kanisius. Yogyakarta. Sugiyarto, 2005. Struktur dan Komposisi Makrofauna Tanah Sebagai Bioindikator Kesehatan Tanah Pada Kasus Perubahan Sistem Penggunaan Lahan Di HTI Sengon. Bio SMART. 7:100-103. Suheriyanto D, 2008. Ekologi Serangga. UIN Press. Malang. Sunarno, 2010. Pengendalian Hayati (Biologi Control) Sebagai Salah Satu Komponen Pengendalian Hama Terpadu (Pht). Biotroika. 2: 55-60. Sunjaya PI, 1970. Dasar-Dasar Serangga. Bagian Ilmu Hama Tanaman Pertanian. Bogor. IPB. Susanto FX, 1994. Tanaman Kakao: Budidaya dan Pengolahan Hasil. Yogyakarta: Kanisius. Susilo, F X, 2007. Pengendalian Hayati dengan Memberdayakan Musuh Alami Hama Tanaman. Graha Ilmu, Yogyakarta. Tauruslina EA, Trizelia, Yaherwandi, Hamid H, 2015. Analisis keanekaragaman hayati musuh alami pada eksosistem padi sawah di daerah endemik dan nonendemik wereng batang cokelat Nilaparvata lugens di Sumatera Barat. ProsSem Nas Masy Biodiv Indon, 1:581-589. Thalib R, Effendy TA, Herlinda S, 2002. Struktur Komunitas dan Potensi Arthropoda Predator Hama Padi Penghuni Ekosistem Sawah Dataran Tinggi di Daerah Lahat, Sumareta Selatan. Makalah Seminar Nasional Dies Natalis Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya & Peringatan Hari Pangan Sedunia: Palembang. Third Edition. Harper dan Row Publishers. New York. Tjitrosoepomo S, 1988. Taksonomi Tumbuhan (Spermathopyta). Yogyakarta: Gadjah Mada University Padjadjaran. Tyas ILM, Sari APP, Saefi M, Adi WC, 2016. Distribusi Temporal Arthropoda Pada Tumbuhan Liar Krokot (Portulaca Oleracea L.) Di Lahan Pertanian Tomat Desa Karangwedoro Kecamatan Dau Kabupaten Malang. Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang;Malang, 26 Maret 2016,755-763. Uniyal VP, Mathur PK, 1998. Diversity of Butterflies in The Great Himalaya National Park, Western Himalaya. Indian J For. 21(2): 150-155. Untung K, 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Yogyakarta: Gadjah Mada University. Verna R, 2013. The History and Science of Chocolat. Malaysian Journal Pathology. 35(2): 111-121. Wahyuni R, Wijayanti R, Supriyadi. 2013. Peningkatan Keragaman Tumbuhan Berbunga Sebagai Daya Tarik Predator Hama Padi. Journal of Agronomy Research. 2(5): 40-46. Widhiono I, Sudiana E., 2015. Keragaman Serangga Penyerbuk dan Hubungannya Dengan Warna Bunga Pada Tanaman Pertanian di Lereng Utara Gunung Slamet, Jawa Tengah. Biospecies. 8(2):43-50. Widiarti IN, Suryana, Kusdiaman D, 2000. Jenis anggota komunitas pada berbagai habitat lahan sawah bera dan usaha konservasi musuh alami pada padi tanaman serempak. Wijayanto T, Sudarmadji, Purwatiningsih, Purnomo H, 2017. Dinamika Populasi Bemisia tabaci Genn. dan Jenis Predator Yang Ditemukan Pada Tanaman Kedelai Edamame (Glycine max L.). Jurnal ILMU DASAR. 18(2): 83-90. Yatno, Pasaru F, Wahid A, 2013. Keanekaragaman Arthropoda Pada Pertanaman Kakao (Theobroma cacao L.) Di Kecamatan Palolo Kabupaten Sigi. Jurnal Agrotekbis. 1(5):421-428. Zhang D, Motilal L, 2016. Original Dispersal and Current Global Distribution of Cacao Genetic Diversity. Springer. Zulkarnain, 2017. Budidaya Buah-Buah Tropis. Yogyakarta: Deepublish.

LAMPIRAN

LAMPIRAN 1. PETA LOKASI PENELITIAN

1. Lokasi Penelitian

Peta Desa Hapesong Baru Sumber : Google Maps & Earth

1

2 Keterangan:

1 Lokasi 1

2 Lokasi 2

Lokasi Penelitian

Arah Mata Angin

Keterangan: Lokasi 1 : Tanaman Kakao Berumur 15 Tahun Lokasi 2 : Tanaman Kakao Berumur 20 Tahun

LAMPIRAN 2. FOTO AREAL PENELITIAN

1. UMUR 15 TAHUN

2. UMUR 20 TAHUN

LAMPIRAN 3. DATA MENTAH PENGAMATAN

15 Tahun 20 Tahun No Spesies Total 1 2 3 1 2 3 1 Amathusia phidippus 1 0 1 1 1 1 5 2 Bothrogonia addita 0 1 1 2 1 1 6 3 Coccinella sp. 5 2 3 10 10 5 35 4 Conopomorpha cramerella 0 0 1 0 2 1 4 5 Cupido amyntula 0 0 0 1 0 0 1 6 Dasychira inclusa 0 0 0 1 0 0 1 7 Doleschallia sp. 0 0 0 0 2 1 3 8 Flatid sp. 1 0 1 3 1 1 7 9 Glischrochilus hortensis 2 0 0 1 1 0 4 10 Gryllus veletis 0 0 0 2 2 1 5 11 Haplogenius appendiculatus 3 0 0 0 0 0 3 12 Helopeltis antonii 2 3 2 3 1 1 12 13 Helopeltis sp. 5 5 10 15 15 15 65 14 Hypolimnas bolina 0 0 0 1 0 0 1 15 Junonia atiltes 1 0 1 2 1 0 5 16 Leptocorisa oratorius 0 0 0 2 1 0 3 17 Leptosia nina 2 0 3 3 1 1 10 18 Leptysma margicinollis 1 1 0 2 0 2 6 19 Lycomorpha pholus 2 0 0 0 0 0 2 20 Melanoplus femurrubrum 2 0 0 3 1 1 7 21 Mycalesis visala 0 0 2 1 0 0 3 22 Neptis hylas 1 1 0 1 0 0 3 23 Neurothemis ramburii 3 4 3 10 5 10 35 24 Nyctemera sp. 0 0 0 0 0 1 1 25 Oecophylla smaragdina 5 15 5 10 5 5 45 26 Otiorhynchus sulcatus 0 0 0 0 1 0 1 27 Oxygastra curtisii 1 1 0 0 2 0 4 28 Phaneroptera falcata 0 0 0 0 0 2 2 29 Pseudococcus lilacinus 5 0 5 5 5 5 25 30 Tirumala limniace 0 0 0 1 0 1 2 31 Zeuzera pyrina 2 0 0 1 1 1 5 Total Individu 44 33 38 81 60 56 312

LAMPIRAN 4. PERHITUNGAN ANALISIS DATA

a. Indeks Diversitas/Keanekaragaman Shannon-Wienner (H’) 푠 H′ = - ∑푡=1 (푝푖 퐼푛 푝푖) Pi = ni/N Pi Helopeltis sp. = 45/196 = 0,229 Pi In pi = 0,229 In 0,229 = - 1,568

H’ = -(-2,679) = 2,679 b. Indeks Equitabilitas/Keseragaman (E) 퐻′ E = 퐻푚푎푥 Hmaks merupakan In S (In 196 = 5,278) 2,679 E = = 0,912 5,278

LAMPIRAN 5. FAKTOR ABIOTIK LINGKUNGAN

Lokasi Parameter Satuan 1 2 Suhu Udara °C 26 28 Kelembapan Udara % 80 85 Intensitas Cahaya Cendela 675 710

LAMPIRAN 6. SERANGGA YANG DIPEROLEH

No Gambar Klasifikasi Deskripsi Panjang tubuh 0,5 cm dengan lebar 0,2 cm. Warna tubuh kehitaman dengan sayap K : Animalia berwarna orange kemerah- Ph : Arthropoda C : Insecta merahan. Bagian sayap 1 O : Coleoptera terdapat bintik bentuk garis F : Coccinellidae dan berwarna hitam. Bentuk G : Coccinella S : Coccinella sp. sayap Elytra (sayap depan mengeras). Tipe antena Clubbing (tidak ada ruas disebelah ujung sayap). Panjang tubuh 1 cm dengan lebar 0,5 cm. Bentuk tubuh K : Animalia lebar dengan bagian bawah Ph : Arthropoda C : Insecta membulat. Warna tubuh O : Coleoptera hitam keabu-abuan. Bentuk F : Curculionidae 2 sayap Elytra (sayap depan G : Otiorhynchus S : Otiorhynchus mengeras). Tipe antena sulcatus Filiform (pangkal sampai

ujung antena seperti benang).

Panjang tubuh 4 cm, lebar tubuh 0,2 cm. Bentuk tubuh

oval memanjang. Warna K : Animalia Ph : Arthropoda tubuh utama berwarna hitam. C : Insecta Bentuk sayap Elytra (sayap O : Coleoptera 3 depan mengeras) berwarna F : Nitidulidae G : Glischrochilus hitam dengan bintik bewarna S : Glischrochilus kuning. Tipe antena Capitate hortensis (ujung antena terdapat tonjolan bulat).

Panjang tubuh 2 cm dengan lebar tubuh 0,1 cm. Bentuk tubuh ramping memanjang. K : Animalia Warna tubuh kuning Ph : Arthropoda C : Insecta kecoklatan. Bentuk sayap 4 O : Hemiptera Emielytra (sayap depan F : Alydidae mengeras sebagian) bewarna G : Leptocorisa S : Leptocorisa hitam. Tipe antena Setaceous oratorius (berbentuk seperti bulu).

Panjang tubuh 1,5 cm dengan lebar tubuh 0,2 cm. Bentuk

tubuh membulat memanjang. K : Animalia Ph : Arthropoda Warna tubuh orange. Bentuk C : Insecta sayap Emielytra (sayap O : Hemiptera 5 depan mengeras sebagian) F : Cicadellidae G : Bothrogonia dengan garis bewarna hitam S : Bothrogonia dengan sedikit kemerahan addita

Panjang tubuh 2 mm dengan lebar tubuh 0,1 mm. Bentuk

tubuh membulat yang K : Animalia Ph : Arthropoda ditutupi oleh sepasang sayap. C : Insecta Warna tubuh putih dengan O : Hemiptera 6 bercak hitam. Bentuk sayap F : Flatidae G : Flatid Emielytra (sayap depan S : Flatid sp. mengeras sebagian) yang berukuran 1 cm bewarna putih corak hitam.

Dalam bentuk nimfa. Panjang tubuh 0,1 cm dan

lebar tubuh 0,1 cm. Bentuk K : Animalia Ph : Arthropoda tubuhnya ramping C : Insecta memanjang. Warna tubuh O : Hemiptera 7 bewarna hijau muda. Bentuk F : Miridae G : Helopeltis sayap Emielytra (sayap S : Helopeltis sp. depan mengeras sebagian).

Tipe antena Filiform (seperti benang).

Panjang tubuh 5 cm dan lebar tubuh 0,1 cm. Bentuk tubuh

ramping memanjang seperti K : Animalia Ph : Arthropoda bentuk jarum. Warna tubuh C : Insecta merah kecoklatan. Bentuk O : Hemiptera 8 sayap Emielytra (sayap F : Miridae G : Helopeltis depan mengeras sebagian) S : Helopeltis yang bewarna cokelat antonii kehitaman. Tipe antena Filiform (seperti benang).

Panjang tubuh 0,02 cm dan lebar tubuh 0,01 cm. Bentuk K : Animalia tubuh oval dengan adanya Ph : Arthropoda C : Insecta bulu dibagian tubuh. Warna O : Hemiptera tubuh putih seperti susu. F : Miridae 9 Sayap rudimenter sehingga G : Pseudococcus S : Pseudococcus tidak dapat terbang dan lilacinus hanya melekat di buah. Tipe

antena Filiform (seperti benang).

Panjang tubuh 5 cm dengan lebar tubuh 0,1 cm. Bentuk K : Animalia tubuh ramping memanjang Ph : Arthropoda C : Insecta dengan oval dibagian O : Hymenoptera bawahnya. Warna tubuh F : Formicidae 10 berwarna oranye kecoklatan. G : Oecophylla S : Oecophylla Sayap rudimenter. Tipe smaragdina antena Geniculate (antena yang membengkok).

Pada fase larva, panjang tubuh 3 cm dengan lebar

tubuh 1 cm. Bagian kepala K : Animalia Ph : Arthropoda bewarna hitam serta C : Insecta mempunyai bintik-bintik O : Lepidoptera 11 hitam yang tebal. Warna F : Cossidae G : Zeuzera tubuh kuning kemerah- S : Zeuzera pyrina merahan.

Panjang tubuh 2 cm dan lebar tubuh 0,5 cm. Bentuk tubuh K : Animalia ramping. Warna tubuh hitam. Ph : Arthropoda C : Insecta Sayap scales (bersisik) dan O : Lepidoptera warna sayap depan merah F : Erebidae 12 kehitaman dan warna sayap G : Lycomorpha G : Lycomorpha belakang hitam. Tipe antena pholus Pectinate (seperti sisir)

Panjang tubuh 3 cm dan lebar tubuh 0,3 cm dan lebar sayap

1 cm. Bentuk tubuh ramping

K : Animalia memanjang. Warna tubuh Ph : Arthropoda putih. Sayap scales (bersisik) C : Insecta dan warna dorsal hitam 13 O : Lepidoptera F : Erebidae dengan adanya garis putih G : Nyctemera pada bagian bawah dan S : Nyctemera sp. ventral bewarna putih. Tipe antena Filiform (seperti benang). Dalam bentuk larva, dengan panjang tubuh 3 cm dan lebar

tubuh 0,5 cm. Larva yang

baru keluar dari telur bewarna putih. Bagian ekor K : Animalia terdapat bulatan yang Ph : Arthropoda C : Insecta bewarna merah kecoklatan. O : Lepidoptera Bagian tubuh terdapat garis- F : Erebidae garis berliku. G : Conopomorpha 14 S : Conopomorpha cramerella

Panjang tubuh 3,5 cm dan lebar tubuh 0,3 cm dan lebar K : Animalia sayap 3 cm. Bentuk tubuh Ph : Arthropoda C : Insecta ramping memanjang dan O : Lepidoptera warna tubuh hitam. Sayap F : Lycaenidae 15 scales (bersisik) dan warna G : Cupido S : Cupido sayap putih kebiru-biruan amyntula Tipe antena Filiform (seperti benang).

Dalam bentuk larva, panjang tubuh 2,5 cm dan lebar tubuh K : Animalia 0,2 cm. Bentuk tubuh oval Ph : Arthropoda C : Insecta memanjang dengan adanya O : Lepidoptera bulu panjang disekitaran F : Lycaenidae 16 tubuh. Warna tubuh hitam G : Dasychira S : Dasychira dengan ada bintik merah dan inclusa bagian kepala warna merah kecoklatan.

Panjang tubuh 4,5 cm, lebar tubuh 0,5 cm, dan lebar

sayap 5 cm. Bentuk tubuh K : Animalia Ph : Arthropoda ramping memanjang dan C : Insecta terdapat bulu halus dibagian O : Lepidoptera 17 perut. Warna tubuh F : Nymphalidae G : Amathusia kecoklatan. Sayap scales S : Amathusia (bersisik) dan warna sayap phidippus kecoklatan. Tipe antena Filiform (seperti benang).

Panjang tubuh 3,5 cm, lebar tubuh 0,3 cm, dan lebar

sayap 3 cm. Bentuk tubuh K : Animalia Ph : Arthropoda ramping memanjang dan C : Insecta warna tubuh hitam. Sayap O : Lepidoptera 18 scales (bersisik) dan warna F : Nymphalidae G : Hypolimnas sayap dasar bewarna hitam S : Hypolimnas dengan lingkaran putih bolina kebiruan. Tipe antena Filiform (seperti benang).

Panjang tubuh 3,5 cm, lebar tubuh 0,1 cm, dan lebar

sayap 3 cm. Bentuk tubuh

K : Animalia ramping dan warna tubuh Ph : Arthropoda putih keabu-abuan. Sayap C : Insecta scales (bersisik) dan sayap 19 O : Lepidoptera F : Nymphalidae atas mempunyai 6 bintik dan G : Junonia 4 bintik paling atas terdapat S : Junonia atiltes warna hitam dan orange. Tipe antena Filiform (seperti benang). Panjang tubuh 5 cm, lebar tubuh 0,3 cm, dan lebar

sayap 3 cm. Bentuk tubuh K : Animalia Ph : Arthropoda oval dan warna tubuh C : Insecta kecokelatan. Sayap scales O : Lepidoptera 20 (bersisik) dan warna sayap F : Nymphalidae G : Doleschallia cokelat dengan adanya garis S : Doleschallia sp. bewarna kuning keoranye. Tipe antena Filiform (seperti benang).

Panjang tubuh 3,5 cm, lebar 0,2 cm dan lebar sayap 3 cm.

Bentuk ubuh ramping dan

K : Animalia warna tubuh kecokelatan. Ph : Arthropoda Sayap scales (bersisik) dan C : Insecta sayap atas bewarna cokelat 21 O : Lepidoptera F : Nymphalidae dengan ada corak lingkaran G : Mycalesis bewarna hitam putih dan S : Mycalesis visala sayap bawah warna kecoklatan. Tipe antena Filiform (seperti benang). Panjang tubuh 3 cm, lebar tubuh 0,1 cm dan lebar sayap

1,5 cm. Bentuk tubuh K : Animalia Ph : Arthropoda ramping dan warna tubuh C : Insecta hitam keabu-abuan. Sayap O : Lepidoptera 22 scales (bersisik) dan warna F : Nymphalidae G : Neptis sayap hitam bercak putih di S : Neptis hylas bagian sayap depan dan belakang. Tipe antena Filiform (seperti benang).

Panjang tubuh 4 cm, lebar tubuh 0,1 cm dan lebar sayap

3 cm. Bentuk tubuh ramping K : Animalia Ph : Arthropoda dan warna tubuh bagian atas C : Insecta bewarna hitam dan bagian O : Lepidoptera bawah bewarna putih. Sayap 23 F : Nymphalidae G : Tirumala scales (bersisik) dan sayap S : Tirumala bewarna hitam dengan limniace bercak bewarna putih. Tipe antena Filiform (seperti benang). Panjang tubuh 2,5 cm, lebar tubuh 0,1 cm, dan lebar

sayap 1,5 cm. Bentuk tubuh

K : Animalia ramping memanjang dan Ph : Arthropoda warna tubuh hitam C : Insecta keputihan. Sayap scales 24 O : Lepidoptera F : Pieridae (bersisik) dan warna sayap G : Leptosia putih dengan adanya 2 S : Leptosia nina lingkaran kecil bewarna hitam. Tipe antena Filiform (seperti benang). Panjang tubuh 4 cm, lebar tubuh 0,3 cm dan lebar sayap K : Animalia 1 cm. Bentuk tubuh oval. Ph : Arthropoda C : Insecta ramping memanjang dan O : Neuroptera warna tubuh hitam F : Ascalaphidae 25 kecokelatan. Bentuk sayap G : Haplogenius S : Haplogenius transparan. Tipe antena appendiculatus Capitate (ujung antena terdapat tonjolan bulat).

Panjang tubuh 6,5 cm, lebar tubuh 0,5 cm dan lebar sayap

1,5 cm. Bentuk tubuh K : Animalia Ph : Arthropoda ramping memanjang dan C : Insecta warna tubuh hitam. Bentuk O : Odonata sayap transparan dengan 26 F : Corduliidae G : Oxygastra vena tersusun seperti jala S : Oxygastra dengan warna kuning cerah curtisii yang menyala. Tipe antena Setaceous (kecil berbentuk duri),

Panjang tubuh 3,5 cm, lebar tubuh 0,1 cm dan lebar sayap

2 cm. Bentuk tubuh sedikit

oval memanjang dan warna K : Animalia tubuh merah kecokelatan. Ph : Arthropoda Bentuk sayap transparan C : Insecta 27 O : Odonata dengan vena tersusun seperti F : Libellulidae jala dan bewarna merah G : Neurothemis merah kecokelatan dengan S : Neurothemis ramburii bagian ujung yang sedikit transparan. Tipe antena Setaceous (kecil berbentuk duri) Panjang tubuh 4 cm dan lebar tubuh 0,4 cm. Bentuk tubuh

ramping memanjang dan K : Animalia Ph : Arthropoda warna tubuh hijau muda. C : Insecta Sayap lurus dimana sayap O : Orthoptera 28 depan lebih sempit daripada F : Acrididae G : Leptysma sayap belakang dengan vena S : Leptysma mengeras (tegmina). Tipe margicinollis antena Setaceous (kecil berbentuk duri).

Panjnag tubuh 5 cm dan lebar tubuh 0,5 cm. Bentuk tubuh

ramping memanjang dan K : Animalia Ph : Arthropoda warna tubuh cokelat C : Insecta kemerahan. Sayap lurus O : Orthoptera dimana sayap depan lebih 29 F : Acrididae G : Melanoplus sempit daripada sayap S : Melanoplus belakang dengan vena femurrubrum mengeras (tegmina). Tipe antena Setaceous (kecil berbentuk duri).

Panjnag tubuh 3,5 cm dan lebar 0,1 cm. Bentuk tubuh

oval memanjang dan K : Animalia Ph : Arthropoda warna tubuh hitam. Sayap C : Insecta lurus dimana sayap depan O : Orthoptera 30 lebih sempit daripada F : Gryllidae G : Gryllus sayap belakang dengan S : Gryllus veletis vena mengeras (tegmina). Tipe antena Setaceous (kecil berbentuk duri).

Panjang tubuh 5 cm dan lebar tubuh 0,2 cm. Bentuk

tubuh bagian dada oval K : Animalia Ph : Arthropoda dan warna tubuh hijau C : Insecta muda. Sayap lurus dimana O : Orthoptera sayap depan lebih sempit 31 F : Gryllidae G : Phaneroptera daripada sayap belakang S : Phaneroptera dengan vena mengeras falcata (tegmina). Tipe antena Setaceous (kecil berbentuk duri).