KERENTANAN MASYARAKAT DAN KAPASITAS PEMERINTAH

DAERAH DALAM PENANGGULANGAN BANJIR DI KECAMATAN

PASIE RAYA KABUPATEN JAYA

TESIS

OLEH

LILIS SARIYANTI 157047007

STUDI MAGISTER SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2018

i

Universitas Sumatera Utara KERENTANAN MASYARAKAT DAN KAPASITAS PEMERINTAH DAERAH DALAM PENANGGULANGAN BANJIR DI KECAMATAN PASIE RAYA KABUPATEN ACEH JAYA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sosiologi dalam Program Studi pada Magister Sosiologi Universitas Sumatera Utara

Oleh

LILIS SARIYANTI 157047007

STUDI MAGISTER SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2018

ii

Universitas Sumatera Utara

iii

Universitas Sumatera Utara Telah diuji pada Tanggal : 24 Agustus 2018

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Henri Sitorus, M.Sc., Ph.D

Anggota : 1. Dr. Fikarwin Zuska, M. Si

: 2. Prof. Rizabuana Ismail, M. Phil., PhD

: 3. Drs. Henry Sitorus, M. Si

: 4. Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA

iv

Universitas Sumatera Utara PERNYATAAN

Judul Tesis

“Kerentanan Masyarakat dan Kapasitas Pemerintah Daerah dalam Penanggulangan Banjir di Kecamatan Pasie Raya Kabupaten Aceh Jaya”

Dengan ini penulis menyatakan bahwa tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sosial pada Program Studi Magister Sosiologi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya penulis sendiri.

Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian tesis ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian –bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, 24 Agustus 2018 Penulis,

Lilis Sariyanti

v

Universitas Sumatera Utara KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan yang maha esa, atas bantuan dan tuntunan-Nya penyusunan tesis dengan judul “Kerentanan masyarakat dan kapasitas pemerintah daerah dalam penanggulangan banjir Kecamatan Pasie Raya Kabupaten Aceh

Jaya” dapat diselesaikan.

Penulis telah berusahan menampilkan tesis ini dalam kondisi yang terbaik dan setepat mungkin, namun karena keterbatasan dan kelemahan yang ada, pasti terbuka kemungkinan kesalahan. Untuk itu penyusun mengharap masukan positif dari semua pihak untuk perbaikan tesis ini.

Dengan penuh kerendahan hati, penyusun menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga kepada semua pihak yang langsung maupun tidak lansung , turut andil dan memotivasi penyelesaian tesis ini, antara lain kepada :

1. Dr. Muriyanto Amin, S.Sos., M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial

Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Rizabuana, M.Phil, Ph.D selaku Ketua Program Studi Magister

Sosiologi sekaligus dosen pembanding yang telah bersedia meluangkan

waktu untuk memberikan bimbingan, masukan pemikiran, dan dukungan

dalam penulisan dalam tesis ini.

3. Bapak Henri Sitorus, Ph.D selaku Pembimbing I yang telah memberi

banyak masukan dan arahan dalam penulisan tesis ini.

vi

Universitas Sumatera Utara 4. Bapak Dr. Fikarwin Zuska M. Si selaku Pembimbing II yang telah

memberi banyak masukan serta meluangkan banyak waktu dalam

penyelesaian tesis ini.

5. Bapak Drs. Henry Sitorus, M.Si selaku dosen pembanding dalam ujian

tesis, yang telah masukan dan koreksi demi penyempurnaan penyusunan

tesis ini.

6. Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA, selaku dosen penguji penguji tamu

dalam ujian tesis ini, yang telah memberikan masukan dan arahan dalam

penyempurnaan tesis ini.

7. Bapak dan Mamak serta adik tercinta yang selama ini tak henti-hentinya

selalu mendoakan serta memberikan motivasi, semangat dan dukungan

baik moril maupun materil selama menjalankan perkuliahan hingga

proses penyelesaian tesis ini.

8. Seluruh rekan-rekan seperjuangan pada Progam Studi Magister Sosiologi

Fakultas Ilmu Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, atas bantuan

dan dukungan yang diberikan selama perkuliahan.

Segala bantuan dan dukungan mereka dapat menjadi amal dan dilimpahi berkat oleh Tuhan yang maha kuasa, terima kasih. .

Medan, 24 Agustustus 2018

Lilis Sariyanti

vii

Universitas Sumatera Utara ABSTRAK Banjir yang melanda beberapa kecamatan di Aceh Jaya disebabkan oleh luapan air sungai Teunom. Sungai Teunom merupakan salah satu sungai besar yang ada di Provinsi Aceh. Untuk mengkaji kerentanan masyarakat di Gampong Pulo Tinggi terhadap banjir serta kapasitas pemerintah daerah dalam menanggulangi banjir maka dilakukan analisis secara kualitatif dengan metode wawancara, observasi dan Forum Group Discussion. Hasil temuan menunjukkan bahwa bencana banjir ini terjadi akibat dari kemerosotan kualitas lingkungan yaitu adanya penggundulan hutan dan pembuatan tanggul yang belum maksimal. Terdapat beberapa pencegahan dari masyarakat untuk menghindari kerugian yang lebih besar akibat bencana banjir ini seperti membuat pondasi rumah yang lebih tinggi dari permukaan tanah, membuat pantee untuk meletakkan perabotan guna untuk menghindari terendam banjir, mengatur jadwal menanam padi yang disepakati melalui musyawarah kenduri blang. Upaya pencegahan yang dilakukan oleh masyarakat seperti kenduri blang dan tulak bala yang menjadi sebuah kearifan lokal merupakan hasil pewarisan nenek moyang berupa ritual permohonan kepada Tuhan. Penanggulangan banjir yang dilakukan oleh pemerintah belum begitu maksimal dalam hal pencegahan seperti tanggul yang harus diperpanjang, alat-alat saat terjadi banjir seperti perahu karet yang belum mencukupi dan Tim Reaksi Cepat yang hanya berjumlah 20 orang hingga 2018 untuk seluruh Kabupaten Aceh Jaya.

Kata kunci : Kerentanan Masyarakat, Kapasitas Pemerintah, Penanggulangan Banjir

viii

Universitas Sumatera Utara ABSTRACT Flood which hits some sub-districts in Aceh Jaya is caused by the overflow of the Teunom River which is one of the big rivers in Aceh province. The objective of the research was to analyze the people‟s vulnerability at Gampong Pulo Tinggi to flood and the capacity of local government to handle it. The research was done qualitatively, by conducting interviews, observation, and Forum Group Discussion. The result of the research showed that flood was caused by the degradation of environmental quality such as illegal logging and lack of embankment construction. The efforts made by the local people were by making high home foundation, making pantee for placing the furniture to avoid soaking in the water, and arranging the schedule in planting rice plants through kenduri blang (big party) or warding off unfortunate which were local wisdom from generation to generation as rituals in requesting to God. It seems that the government does not maximally mitigate the floods such as lengthening the embankment, inadequate equipment like dinghies, and inadequate number of Quick Reaction Team members (there were only 20 of them) in 2018) in all over Aceh Province.

Keywords: People’s Vulnerability, Government’s Capacity, Flood Mitigation

ix

Universitas Sumatera Utara DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...... i KATA PENGANTAR ...... vi ABSTRAK ...... viii DAFTAR ISI ...... x DAFTAR TABEL...... xiii DAFTAR GAMBAR ...... xiv DAFTAR SINGKATAN ...... xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...... 1 1.2 Rumusan Masalah ...... 14 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bencana dalam Perspektif Sosiologi ...... 15 2.2 Pendekatan Sosiologi Bencana ...... 17 2.3 Strategi Penanggulangan dan Pengurangan Risiko Bencana Banjir ...... 18 2.4 Penanggulangan Bencana Banjir...... 21 2.4.1 Pra Bencana ...... 22 2.4.1.1 Pencegahan dan Mitigasi Banjir ...... 22

2.4.1.2 Kesiapsiagaan Banjir ...... 24 2.4.2 Strategi Penanggulangan Pada Saat Terjadinya Bencana ...... 24 2.4.2.1 Kesiapan Tanggap Darurat ...... 24 2.4.2.2 Tanggap Darurat ...... 25 2.4.3 Pasca Bencana Banjir ...... 26 2.4.3.1 Pemulihan ...... 26

x

Universitas Sumatera Utara 2.4.4 Tujuan Penanggulangan Bencana ...... 27 2.5 Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat ...... 28

2.5.1 Resiliensi Masyarakat Terhadap Banjir ...... 28 2.6 Kerentanan (Vulnerability)...... 29 2.7 Kerentanan Pertanian Terhadap Banjir ...... 31 2.8 Pengembangan Kapasitas Dalam Penanggulangan Bencana Di ...... 34 2.8.1 Etos Kerja dan Motivasi Kerja ...... 35 2.9 Penelitian Terdahulu ...... 40

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Teknik Penelitian ...... 42 3.2 Lokasi Penelitian ...... 44 3.3 Informan Penelitian ...... 44 3.4 Teknik Pengumpulan Data ...... 46 3.4.1 Wawancara ...... 46 3.4.2 Observasi ...... 47 3.4.3 Dokumentasi ...... 48 3.4.4 Focus Group Discussion ...... 49 3.5 Sumber Data dalam Penelitian ...... 50 3.5.1 Data Primer ...... 50 3.5.2 Data Sekunder ...... 50 3.6 Analisis Data ...... 51

BAB IV KERENTANAN MASYARAKAT ACEH JAYA TERHADAP BANJIR 4.1 Pemetaan Wilayah Banjir ...... 52 4.2 Kerentanan Masyarakat ...... 58

xi

Universitas Sumatera Utara 4.3 Kapasitas Masyarakat dalam Menanggulangi Banjir ...... 72 4.3.1 Resiliensi Masyarakat Terhadap Banjir ...... 79 4.3.2 Resiliensi dan Kearifan Lokal dalam PRB Banjir Aceh Jaya ...... 84 4.4.2.1 Kearifan Lokal Tulak Bala...... 86 4.4.2.2 Kearifan Lokal Kenduri Blang ...... 88

BAB V KAPASITAS PEMERINTAH DALAM MENANGULANGI BANJIR 5.1 Upaya Badan Penanggulangan Bencana Kabupaten dalam Menanggulangi Banjir ...... 94 5.2 Analisis Tahapan Penanggulangan Bencana Aceh Jaya oleh BPBK Kabupaten Aceh Jaya ...... 96 5.2.1 Prabencana ...... 97 5.2.2 Kapasitas Pemerintah pada Saat Bencana ...... 108 5.2.3 Pasca Bencana ...... 118 5.3 Kapasitas Kerja Pemerintah Aceh Jaya...... 130 5.4 Faktor Penghambat dalam Penanggulangan Bencana...... 137 5.5 Perspektif Sosiologi Terhadap Bencana...... 141

BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan ...... 143 6.2 Saran ...... 146

DAFTAR PUSTAKA ...... 148

xii

Universitas Sumatera Utara DAFTAR TABEL Halaman

Tabel 1.1 Kejadian Banjir DAS Teunom Dari Tahun 2010-2017 ...... 6

Tabel 1.2 Hambatan PRB Aceh Jaya ...... 9

Tabel 3.1 Daftar Informan...... 46

Tabel 4.1 Faktor-Faktor Penyebab Banjir Gampong Pulo Tinggi ...... 53

Tabel 4.2 Kategori Tinggi Pondasi Bangunan ...... 60

Tabel 4.3 Kelompok Rentan Terhadap Banjir ...... 65

Tabel 4. 4 Kerugian Ternak Masyarakat Pulo Tinggi ...... 67

Tabel 4. 5 Jenis Ancaman Penyebab Banjir ...... 71

Tabel 4. 6 Kapasitas Masyarakat dalam Menanggulangi Banjir...... 72

Tabel 4. 7 Penghasilan Rata-Rata Petani ...... 77

Tabel 4. 8 Kalender Musim Gampong Pulo Tinggi ...... 78

Tabel 4. 9 Kalender Musim Keunenong di Gampong Pulo Tinggi...... 90

Tabel 5.1 Jumlah Kejadian Banjir Aceh Jaya 2012-2017 ...... 98

Tabel 5.2 Aturan Membuat Rambu ...... 102

Tabel 5.3 PAD Aceh Jaya ...... 114

Tabel 5.4 Analisis Atas Efesiensi Sumber Daya Anggaran Aceh Jaya ...... 114

Tabel 5.5 Target Realisasi BPBK Aceh Jaya ...... 120

xiii

Universitas Sumatera Utara DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1 Peta Topografi Wilayah Sungai Teunom ...... 6

Gambar 1.2 Peta Kerentanan Banjir Aceh Jaya ...... 13

Gambar 2.1 Siklus Penanggulangan Bencana ...... 21

Gambar 4.1 Banjir Teunom 2016...... 54

Gambar 4.2 Peta Gampong Pulo Tinggi ...... 55

Gambar 4.3 Bangunan Non Tembok, Semi Tembok, Tembok...... 59

Gambar 4.4 Gukee Kameng ...... 74

Gambar 4.5 Lemari di Atas Pantee ...... 80

Gambar 4. 6 Dipan di Atas Pantee...... 81

Gambar 4. 7 Kamar yang ditinggikan ...... 82

Gambar 4.8 Pantee ...... 83

Gambar 5.1 Tempat Evakuasi Bencana ...... 100

Gambar 5.2 Rambu Rawan Banjir ...... 101

Gambar 5.3 Tempat Evakuasi Sementara (TES) ...... 103

Gambar 5.4 Edukasi Tentang Pelestarian Hutan...... 105

Gambar 5.5 Kegiatan Perpanjangan Tanggul 2018 ...... 123

Gambar 5.6 Sungai Sebelum dan Sesudah Normalisasi Di Bagian Muara ...... 124

Gambar 5.7 Ruas Bahu Jalan Menuju Gampong Pulo Tinggi

Sebelum dan Sesudah Diperbaiki ...... 127

xiv

Universitas Sumatera Utara DAFTAR SINGKATAN APBD = Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBN = Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah BPBK = Badan Penanggulangan Bencana Kabupaten BNPB = Badan Nasional Penanggulangan Bencana BAKORNAS = Badan Koordinasi Nasional BPBD = Badan Penanggulangan Bencana Daerah DAS = Daerah Aliran Sungai FGD = Forum Group Discussion HFA = Hygo Framework Action ISDR = International Strategy for Disaster Reduction IMB = Izin Mendirikan Bangunan IPCC = Intergovernmental Panel on Climate Change LSM = Lembaga Swadaya Masyarakat PP = Peraturan Pemerintah Perka = Peraturan Kepala PB = Penanggulangan Bencana PMI = Palang Merah Indonesia PAD = Pendapatan Asli Daerah RKT = Rencana Kerja Tahunan RS = Rumah Sakit RT/RW = Rukun Tetangga/Rukun Warga SAR = Search and Rescue SKPK = Satuan Kerja Perangkat Kabupaten/Kota TES = Tempat Evakuasi Sementara TRC = Tim Reaksi Cepat TAGANA = Taruna Siaga Bencana UNDP = United Nations Development Programs UU = Undang-Undang

xv

Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan daerah yang rawan akan bencana. Selama kurun waktu tahun 2010-2014, jumlah kejadian bencana di Indonesia mencapai 1.097 kejadian yang terdiri dari 1.124 bencana alam, 626 bencana akibat ulah tangan manusia dan

157 bencana sosial. Salah satu bencana yang sering terjadi adalah banjir. Banjir menduduki posisi keenam dalam tingkat kerawanan bencana di Indonesia.1 Pada tahun 2014, kejadian banjir mencapai 88 kejadian atau sekitar 19% dari total bencana yang terjadi pada tahun tersebut (Gaffar, 2015).

Provinsi Aceh termasuk daerah paling berisiko dilanda banjir. Beberapa kabupaten seperti Aceh Barat, Aceh Singkil dan Aceh Jaya merupakan daerah yang paling sering dilanda banjir. BPBK (Badan Penanggulangan Bencana

Kabupaten) Aceh Jaya menyebutkan 2.143 keluarga menjadi korban banjir di

Aceh Jaya pada banjir tahun 2016. Hujan deras yang terus berlangsung pada tahun 2016 menyebabkan sungai meluap dan banjir melanda beberapa kabupaten di Aceh Jaya.2

Aceh Jaya merupakan salah satu kabupaten yang memiliki tingkat kerentanan bencana yang sangat tinggi di Provinsi Aceh seperti erosi, banjir, abrasi, tsunami, gempa bumi, angin puting beliung, kebakaran lahan dan hutan (BNBP, 2013).

Bahkan Aceh Jaya termasuk salah satu daerah yang sering terjadi konflik antara manusia dan gajah. Pemicu utama terjadinya konflik antara manusia dan gajah

1 BBC News, 10/08/2011. 2 Detikcom, 18/10/2016.

1 Universitas Sumatera Utara disebabkan oleh maraknya deforestasi yang terjadi di Aceh Jaya yang memaksa gajah-gajah mencari makan ke perumahan penduduk. (Tutdin, 2016).

Pada tahun 2014, banjir melanda Aceh Jaya pada saat itu peneliti sendiri ikut terjebak banjir. Aceh Jaya terletak di antara Kabupaten Aceh Besar dan Aceh

Barat. Beberapa titik lokasi di Aceh Jaya seperti Gampong Krueng Sabee, Keude

Teunom dan Padang Kleng di genangi banjir hingga badan jalan sehingga perjalanan baik roda dua maupun roda empat terganggu. Untuk melewati genangan banjir dengan aman pengguna roda dua memakai jasa becak untuk melewati titik banjir tersebut dengan membayar seharga Rp. 20.000 kemudian bagi sebagian pengguna roda empat meminta bantuan warga setempat untuk mendorong mobil hingga ketempat tidak tergenang banjir dengan membayar sebanyak Rp. 50.000 ketempat yang tidak tergenang banjir. Kemudian, pada akhir

2016 banjir kembali melanda Aceh Jaya. Perjalanan saya kembali terhambat di

Gampong Padang Kleng, pada saat itu saya dan rombongan tidak melewati banjir tersebut kami memutuskan perjalanan keesokan harinya. Beberapa roda empat terlihat mogok dipinggir jalan karena memasuki banjir yang mengenangi badan jalan yang diperkirakan setinggi 150 cm.

Beberapa dokumen yang dimiliki peneliti dari BPBK Aceh Jaya mengatakan bahwa pada tanggal 24 Oktober, 07, 08, 15, 27 November 2016 dan 24 Februari

2018 terjadi banjir hampir seluruh Kecamatan Aceh Jaya yang mengakibatkan rusak infrastruktur, lahan pertanian/perkebunan, pendidikan dan kesehatan serta masyarakat sulit beraktivitas pasca banjir akibat terkena banjir lumpur. Dalam media cetak maupun media elektronik juga menyebutkan hal yang serupa

2

Universitas Sumatera Utara misalnya pada surat kabar eletroknik SerambiNews.com, Senin tanggal 07/11/16 menyebutkan bahwa “ banjir di Aceh Jaya semakin meluas, ratusan Kepala

Keluarga di Sampoiniet, Jaya, Darul Hikmah dan Pasie Raya saat ini telah mengungsi ke tempat yang tidak terjangkau air, seperti gunung dan masjid”.

Banjir yang terjadi di Aceh Jaya menyebabkan berbagai macam kerugian, seperti kehilangan harta benda dan terganggunya sistem mata pencaharian.

Berdasarkan data/informasi kejadian dan dampak bencana banjir tanggal

07/11/16 Aceh Jaya dari BPBK Aceh Jaya disebutkan bahwa terdapat ratusan rumah warga rusak baik rusak ringan, berat dan total dengan kerugian mencapai

Rp305.000.000, kerusakan infrastruktur seperti jembatan putus, tanggul hancur bahkan jalan lintas kecamatan amblas dengan tafsiran kerugian sektor infrastruktur Rp7.263.000.000 pada sektor pertanian dan perkebunan BPBK menafsir mengalami kerugian sebanyak Rp12.046.940.000 untuk Kecamatan

Pasie Raya. sedangkan sektor peternakan 109 ekor sapi/kerbau masyarakat di lapor hilang, 409 ekor kambing/domba dilaporkan hilang dan mati 107 ekor kambing dilaporkan mati sedangkan ayam/bebek dilaporkan hilang 4.442 ekor,

866 dilaporkan mati.

Banjir terutama terjadi di daerah hilir sungai sering disebabkan karena berkurangnya daerah resapan dan rusaknya fungsi lindung di daerah hulu. Sungai

Teunom merupakan salah satu sungai besar yang ada di Provinsi Aceh. terdapat 3 sungai yang bermuara di sungai tersebut yaitu DAS Geumpang, DAS Seukuleh dan DAS Beutong. Sungai Teunom dimanfaatkan masyarakat untuk mencari ikan dan air sungai Teunom juga digunakan sebagai irigasi untuk persawahan.

3

Universitas Sumatera Utara Aktivitas manusia juga sering menimbulkan banjir, masyarakat yang berada di daerah perkotaan, misalnya sering membuang sampah ke sungai dan mendirikan rumah pada pinggiran sungai. Hal demikian tidak terjadi di wilayah lokasi penelitian. Berdasarkan pengamatan peneliti, banjir yang terjadi di Kabupaten

Aceh Jaya disebabkan karena deforestasi. Beberapa surat kabar elektronik menyebutkan bahwa salah satu penyebab terjadi banjir di Aceh disebabkan karena deforestasi3.

Pembuatan tanggul yang belum maksimal juga mennjadi salah satu pemicu terjadinya banjir. Dalam data/informasi kejadian dan dampak bencana Aceh Jaya dari BPBK Aceh Jaya dikatakan bahwa selain sungai yang tersumbat minimnya tanggul sungai di sepanjang sungai besar juga membuat luapan air sungai langsung masuk kepemukiman warga, seperti yang terjadi pada Gampong

Teupin Asan, Seumantok dan Pulo Tinggi. Untuk usaha penanggulangan banjir diharuskan membersihkan aliran sungai kecil (drainase) dan pembangunan tanggul pengaman. Kemudian, daerah Pulo Tinggi yang menjadi Gampong paling rawan banjir dikarenakan berada pada tikungan sungai yang mengakibatkan air sangat mudah masuk ke dalam perkampungan

Dalam beberapa tahun belakangan ini, bencana yang disebabkan oleh alam maupun bencana yang disebabkan oleh manusia menunjukkan peningkatan, baik dalam karakteristik maupun risikonya, terutama di negara-negara berkembang

(Twigg & Batt, 1998). Meningkatnya kerusakan lingkungan akibat peningkatan

3 DetikNews, Jumat 29/12/2006, SerambiNews.com 30/1/2018 dan Mongabay 30/11/2014.

4

Universitas Sumatera Utara kegiatan eksploitasi manusia atas alam menjadi pemicu peningkatan risiko terjadi bencana. Tingkat kerusakan lingkungan menjadi salah satu faktor penting yang berpengaruh pada tinggi rendahnya risiko bencana pada suatu kawasan, terutama negara kepulauan seperti Indonesia.

Banjir yang melanda beberapa kecamatan di Aceh Jaya disebabkan oleh luapan air Sungai Teunom yang mulai mengalami kemerosotan kualitas lingkungan yang menyebabkan banjir. Hal tersebut terlihat dari permasalahan

Daerah Aliran Sungai (DAS) Teunom pada musim kemarau memiliki debit yang kecil sedangkan debit besar terjadi musim penghujan. Hal tersebut menyebabkan banjir air di koridor Sungai Teunom hingga meluap ke daratan. Selain permasalahan DAS, bagian hulu Sungai Teunom yang berada di Gampong Pulo

Tinggi tanggul tanah sudah tergerus dan tidak dapat menahan debit sungai terlebih lagi ketika hujan tiba (Dinas Pengairan Aceh, 2018).

Secara topografi wilayah sungai pada bagian hulu umumnya memiliki daratan yang berbukit-bukit, bergunung-gunung dengan tebing terjal dan kemiringan tajam yang dialiri sungai besar dan kecil. Sedangkan pada bagian hilir, dimana lokasi penelitian dilakukan merupakan daerah yang relatif datar sehingga sering terkena dampak bencana banjir (Dinas Pengairan Aceh, 2018).4 Secara visual kondisi topografi seperti yang dimaksud di atas dapat diinterpretasikan dari kerapatan kontur sebagaimana ditunjukkan oleh peta berikut ini.

4 Data diambil dari Dinas Pengairan Aceh dalam bentuk soft copy. Data ini merupakan dokumen dinas pengairan Aceh pada tahun 2018. Data ini didapati oleh peneliti pada tanggal 6/3/2018.

5

Universitas Sumatera Utara Gambar 1.1 Peta Topografi Wilayah Sungai Teunom-Lambuso

Sumber : Dinas Pengairan Aceh, 2018

Tabel di bawah ini menunjukkan beberapa lokasi yang paling sering dilanda banjir rentan waktu 2014-2016.

Tabel 1.1 Kejadian Banjir DAS Teunom dari Tahun 2010-2017

Tahun Waktu Kejadian Kecamatan Keterangan 2010 16 Mei 2010 Teunom Jalur transportasi Banda Aceh- Meulaboh rusak 18 Agustus 2010 Teunom 2011 2 Maret 2011 Teunom 2013 18 Februari 2013 Teunom Ratusan rumah tergenang dengan ketinggian 80-120 cm 2014 2 November 2014 Teunom Ratusan rumah tergenang dengan ketinggian 50-150 cm 26 November 2014 Teunom Ratusan rumah tergenang dengan ketinggian 50-100 cm 2015 24 November 2015 Teunom, Ratusan rumah tergenang dengan Pasie Raya, ketinggian 50-150 cm Setia Bakti dan Sampoiniet 2016 6 Januari 2016 Teunom, Pasie Raya, Setia Bakti dan Sampoiniet Sumber: BPDAS Krueng Aceh

6

Universitas Sumatera Utara Pemerintah Daerah dalam hal ini Badan Penanggulangan Bencana Kabupaten terus bekerja keras untuk mengurangi resiko bencana yang ada di Aceh Jaya.

Badan Penanggulangan Bencana Kabupaten Aceh Jaya merupakan salah satu instansi pemerintah Kabupaten Aceh Jaya yang berdiri sejak tahun 2010. Dengan diberlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan Keuangan

Pusat dan Daerah, memberikan kewenangan kepada Kabupaten/Kota untuk mengurus dan memajukan daerahnya masing-masing. Hal ini diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, tata kerja dan organisasi

BPBK diatur dalam Qanun Nomor 4 Tahun 2010.

BPBK telah merencanakan program upaya penanggulangan bencana banjir di

Kabupaten Aceh Jaya dengan membuat target Rencana Kinerja Tahunan (RKT) yang disusun pada setiap awal tahun dengan agenda seperti mitigasi dan rehabilitasi. Program tersebut antara lain adalah melakukan pengerukan pada muara Sungai Teunom dan pembangunan tanggul di beberapa Gampong. Selain program mitigasi seperti di atas BPBK juga melakukan aksi-aksi tanggap darurat seperti menyediakan perahu karet ketika banjir serta menyediakan dapur umum untuk masyarakat.

Banjir yang melanda Aceh Jaya tidak hanya terjadi 1 atau 2 kali dalam setahun. Menurut data yang diperoleh peneliti dari BPBK pada tahun 2016 terjadi banjir sebanyak 34 kali. Terdapat dampak negatif atau kerugian yang dirasakan oleh masyarakat, selain rusaknya properti rumah tangga kerugian materil lainnya

7

Universitas Sumatera Utara juga dialami oleh masyarakat seperti gagal panen. Sebagai penduduk yang mayoritas petani dan peternak masyarakat Aceh Jaya sangat rentan terhadap banjir. Luas lahan persawahan di Teunom mencapai 544 hektar sementara yang terendam banjir mencapai 175 hektar yang mengalami gagal panen total 67 hektar.5

Berdasarkan pengalaman kebencanaan yang terjadi, semestinya BPBK dan masyarakat lebih serius untuk melakukan suatu upaya seperti meningkatkan kesiapsiagaan sebagai sub sistem dari penanggulangan bencana yang berfokus pada manajemen prabencana. Upaya peningkatan kesiapsiagaan masyarakat Aceh

Jaya dalam menghadapi banjir untuk mengantisipasi secara tepat apa yang harus dilakukan ketika bencana itu benar-benar datang dan dapat meminimalisir baik korban maupun kerugian. Namun selama ini yang terjadi pada masyarakat kurang peduli terhadap pencegahan dini pada bencana.

Sebagian masyarakat memandang bahwa banjir sebagai suatu ketentuan

Tuhan. Sebagaimana masyarakat yang dikarunia akal memandang bencana merupakan paket yang tidak bisa kita hindari dari kenyataan tersebut, maka yang perlu kita sikapi adalah bagaimana nalar kita memprediksi bencana.

Akibat dari sebuah bencana adalah kerusakan dan kehilangan harta benda.

Kerusakan infrastruktur seperti jalan bahkan jembatan putus menjadi masalah baru bagi masyarakat Aceh Jaya dan pengguna jalan raya yang melintasi Aceh

Jaya. Petani menjadi masyarakat yang paling rentan pada saat banjir. Banjir pada tahun 2016 menyebabkan puluhan hektar sawah masyarakat terendam sehingga

5 http://Aceh.Tribunnews.com/news/view/51700/kerugian-petani-akibat-banjir-segera-ditangani

8

Universitas Sumatera Utara membuat petani gagal panen. Namun pada saat itu pemerintah terkait berjanji akan menangani dan mencari solusinya. Selain gagal panen banjir juga menyebabkan ternak masyarakat hilang baik disebabkan oleh terbawa arus air dan disebabkan oleh terserang penyakit saat banjir.

Meskipun banjir telah menjadi ancaman serius untuk sebagian masyarakat

Aceh Jaya. Namun, baik masyarakat maupun pemerintah belum sepenuhnya sadar dalam menjaga lingkungan. Belum terintegrasinya kegiatan mulai dari pra- bencana, saat terjadi bencana dan pasca bencana secara seimbang dan sinergis.

Beberapa masalah yang dihadapi Aceh Jaya pada urusan perencanaan pengurangan resiko bencana antara lain seperti ditunjukkan pada tabel berikut ini.

Tabel 1.2 Hambatan Pengurangan Resiko Bencana Aceh Jaya No Hambatan PRB Aceh Jaya 1 Kegiatan penanggulangan bencana masih pada tahapan tanggap darurat dan rehabilitasi rekonstruksi sehingga belum menjadikan kegiatan pengurangan resiko bencana sebagai prioritas. 2 Kelembagaan penanggulangan bencana masih melekat di SKPK kesbanlinmas sehingga untuk kegiatan yang dilakukan hanya sebatas pada mitigasi non fisik, sedangkan kegiatan mitigasi fisik dilakukan oleh SKPK lain, hal ini mengakibatkan ketidaksesuaian sarana yang seharusnya dibutuhkan. 3 Sarana dan prasarana penanggulangan bencana yang masih kurang. 4 Proses identifikasi, kajian dan pemantauan resiko bencana serta penetapan resiko masih kurang. 5 Pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun kesadaran dan keselamatan diri dan ketahanan terhadap bencana belum dimanfaatkan. Isu strategis pada urusan penanggulangan bencana adalah perlunya integrasi kegiatan mulai dari pra- bencana, saat terjadi bencana, dan pasca bencana secara seimbang dan sinergis. Sumber: Bappeda Aceh Jaya, 2018 Beberapa masalah seperti penanganan bencana masih pada tahapan tanggap darurat dan rehabilitasi rekonstruksi sehingga belum menjadikan kegiatan pengurangan resiko bencana sebagai prioritas, sarana dan prasarana

9

Universitas Sumatera Utara penanggulangan bencana yang masih kurang; Pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun kesadaran dan keselamatan diri dan ketahanan terhadap bencana belum dimanfaatkan oleh masyarakat secara maksimal. Salah satu hal yang harus dipahami bahwa penanggulangan bencana adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam pembangunan berkelanjutan. Pembangunan sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan atau kemanusian merupakan aktifitas yang dilakukan secara berkesinambungan, bukan aktifitas periode yang singkat.

Seperti dalam penelitian yang dilakukan oleh Zikri Alhadi (2011), dalam penelitian tersebut dikatakan bahwa upaya Pemerintah Kota Padang untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana gempa dan tsunami. Penelitian tersebut berfokus pada tahap pencegahan yang terkait dengan peningkatan kesiapsiagaan sebagai bagian dari siklus manajemen bencana.

Metode yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif.

Dalam penelitian Zikri Alhadi (2012), lainnya yang membahas tentang isu bencana Kota Padang adalah tentang kajian strategi pengurangan resiko bencana gempa dan tsunami berdasarkan kearifan lokal yang ada di Kota Padang.

Penelitian tersebut berfokus kepada nilai-nilai lokal yand dijadikan landasan dalam upaya penanggulangan bencana gempa dan tsunami yang dielaborasikan dengan konsep Hyogo Framework for Action. Penelitian tersebut dilakukan untuk memberikan gambaran pada para pemangku kepentingan bahwa upaya penanggulangan bencana tidak hanya berfokus pada tahapan tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi saja tetapi juga tidak meninggalkan upaya dalam

10

Universitas Sumatera Utara mengurangi resiko bencana. Upaya pengurangan resiko bencana merupakan bagian awal tahapan menejemen bencana dan berfokus pada kegiatan pra- bencana. Kedua penelitian yang dilakukan oleh Zikri Alhadi berfokus pada tahap pra- bencana sebagai langkah awal dalam mengurangi resiko bencana.

Dalam mengurangi resiko bencana diperlukan sebuah visi. Visi dari pembangunan pengurangan resiko bencana perlu diintegrasikan kedalam visi pembangunan bangsa. Seperti yang ditunjukkan pada kasus tsunami yang terjadi

2004 silam di Aceh, bencana dapat menimbulkan dampak serius pada komunitas sekitar dan bahkan pada negara. Baik dalam ruang lingkup struktur sosial maupun perkembangan ekonomi. Karena bahaya tidak dipandang sebagai bahaya prioritas sosial hingga saat bencana datang melanda, prioritas tersebut ditempatkan pada hal-hal lain seperti penghidupan dan ekonomi dalam agenda pemerintah dan masyarakat, sehingga dapat dikatakan bahwa dengan mengintegrasikan risiko- risiko bahaya kedalam agenda pembangunan suatu negara berarti negara tersebut melakukan suatu tindakan yang mengandung nilai strategis. Pembangunan berkesinambungan harus dilakukan melalui pendekatan-pendekatan tertentu yang dapat mengurangi terjadinya dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan akibat bencana pada komunitas dan negaranya. Konferensi dunia tentang Upaya

Pengurangan Risiko Bencana pada tahun 2005 menghasilkan “Kerangka Aksi

Hyogo” 2005-2015, dengan tema “Membangun Ketahanan Negara dan

Masyarakat terhadap Bencana” menekankan bahwa segala upaya untuk mengurangi risiko bencana seharusnya terintegrasi secara sistematis dalam

11

Universitas Sumatera Utara kebijaksanaan, perencanaan, dan program bagi pembangunan berkesinambungan dan pengurangan kemiskinan.

Besaran bencana merupakan akumulasi berbagai ancaman bahaya dengan rangkaian kerentanan yang ada di masyarakat. Faktor yang mempengaruhi kerentanan antara lain berada dilokasi bahaya (sekitar gunung berapi, sekitar tanggul sungai, kelerengan yang labil), kemiskinan, perpindahan penduduk dari desa ke kota, kerusakan dan penurunan kualitas lingkungan, pertambahan penduduk yang pesat, perubahan budaya, dan kurangya informasi dan kesadaran

(UNDP, UNDRO, 1992). Kerentanan satu kelompok masyarakat dengan masyarakat yang lain berbeda akar masalahnya, demikian pula ancaman bahayanya pun berbeda-beda jenisnya.

Kerentanan masyarakat Aceh Jaya terhadap banjir disebabkan oleh kurangnya kesadaran terhadap pentingnya menjaga lingkungan. Misalnya banyaknya daerah resapan yang berubah fungsi menjadi bangunan, saluran air yang tidak berfungsi optimal, air laut ketika terjadi pasang, tanah kurang dapat menahan air, dan terjadinya pengundulan hutan. Berdasarkan peta berikut Kecamatan Pasie Raya merupakan salah satu kecamatan yang sangat rentan akan banjir.

12

Universitas Sumatera Utara Gambar 1. 2. Peta Kerentanan Banjir Aceh Jaya

Sumber : BPBK Aceh Jaya, 2017

Hal ini yang menarik peneliti untuk meneliti bagaimana masyarakat Aceh

Jaya, Kecamatan Pasie Raya khususnya Gampong Pulo Tingi dalam mengurangi bencana banjir agar dapat meminimalisir kerugian.

13

Universitas Sumatera Utara 1.2 Rumusan Masalah

Studi ini bertujuan untuk menjawab masalah berikut ini:

1. Bagaimana kerentanan masyarakat terhadap bencana banjir dan strategi pengendalian yang dilakukan terhadap bencana?

2. Bagaimana kapasitas pemerintah daerah dalam penanggulangan dan

pengurangan resiko bencana banjir Kabupaten Aceh Jaya?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran dan pemahaman yang lengkap tentang bagaimana masyarakat Teunom menanggulangi bencana saat banjir yang kerap kali terjadi. Secara khusus penelitian ini bertujuan:

1. Menganalis perekonomian warga masyarakat khusunya Gampong Pulo Tinggi agar kedepan dapat di tanggulangi secara kontekstual oleh berbagai stakeholders. 2. Untuk mengetahui kapasitas pemerintah daerah dalam penanggulangan dan pengurangan resiko bencana banjir Kabupaten Aceh Jaya.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian adalah sebagai beikut:

1. Untuk mengurangi dampak atau resiko yang di alami oleh masyarakat. 2. Bermanfaat untuk menyusun strategi mengurangi dampak resiko banjir terhadap masyarakat.

14

Universitas Sumatera Utara BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab kedua berisi berbagai teori dan konsep yang digunakan sebagai rujukan dalam berfikir dan menganalis data yang didapatkan dilapangan. Secara umum bagian tinjauan pustaka menguraikan teori dan konsep mengenai bencana dalam perspektif sosiologi, pendekatan sosiologi bencana, strategi dan pengurangan resiko bencana, penanggulangan bencana berbasis masyarakat, serta kerentanan masyarakat terhadap banjir.

2.1 Bencana dalam Perspektif Sosiologi

Studi sosiologi tentang bencana menurut ahli sosiologi dimulai oleh Prince‟s tentang tabrakan dua kapal dipelabuhan Halifax pada 6 Desember 1917 (Drabek,

2004). Peristiwa tersebut merupakan peristiwa kunci agenda riset sosiologis tentang bencana. Secara etimologis, semua peristiwa bencana merupakan peristiwa sejarah yang unik. Analisis komparatif dapat dilakukan untuk merumuskan bagian-bagian umum pola perilaku individu dan unit sosial mereka, mulai dari keluarga, organisasi sampai komunitas (Kreps 1948; Drabek 1986).

Menurut Drabek (1996, 2004) dalam (Pramono, 2016) mengembangkan bahan yang memberikan fokus pada dimensi sosial dari bencana, sejumlah hasil studi pascabencana, kesiapsiagaan dan mitigasi, penyebab bencana, serta sejumlah assesment pascabencana, termasuk studi tentang kesiapsiagaan menghadapi bencana (Quarantelli 1984).

15

Universitas Sumatera Utara Dalam perspektif sosiologis, bencana seringkali dipahami berdasarkan persepsi manusia atau masyarakat, dan atas apa yang mereka rasakan terkait pengalaman emosional pada kejadian-kejadian yang dapat mengancam kelangsungan hidup mereka. Bencana merupakan salah satu bagian definisi yang disusun dalam suatu konteks sosial budaya hidup masyarakat yang mengalami bencana. Di sisi lain (Quarentelli dan Dynes, 1970) mengatakan bahwa perspektif sosiologis bukan hanya sekedar pengetahuan, tetapi seharusnya menjadi panduan dalam menyusun kegiatan program, prioritas, dan strategi implementasi pengelolaan bencana yang berkelanjutan.

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan menganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam maupun faktor manusia sehingga menimbulkan korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (Ramli,

2010).

Bencana juga diartikan sebagai keadaan yang menganggu kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang disebabkan oleh gejala alam atau perbuatan manusia.

Bencana dapat terjadi melalui proses yang panjang situasi tertentu dalam waktu yang sangat cepat tanpa adanya tanda-tanda (Hidayati, 2006).

Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan menganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik faktor alam dan faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,

16

Universitas Sumatera Utara kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Bencana merupakan ancaman dari tiga unsur, yaitu ancaman bencana, kerentanan, dan kemampuan yang dipicu oleh suatu kejadian.

2.2 Pendekatan Sosiologi Kebencanaan

Bencana yang dianggap sering mengakibatkan gangguan dalam kehidupan manusia yang normal, dapat mengakibatkan kekacauan sosial termasuk kerusakan struktur sosial. Menurut Stallings (1991) dalam Drabek dampak bencana yang dialami berbeda kelas-kelas sosial. Seringkali masyarakat gagal melihat isu-isu yang ada sebelum peristiwa terjadi. Masyarakat harus secara kritis mengenali sifat bencana, kemudian bertindak sesuai dengan sistem sosial ketika resiko ditempatkan dalam hubungannya satu dengan yang lain, lingkungan mereka, hubungan timbal balik yang dapat dipahami sebagai kerentanan individu, rumah tangga, komunitas atau masyarakat.

James F Short (1984) dalam (Tierney, 1994) mengatakan pentingnya sebuah transformasi sosial dari studi resiko bencana dan penanggulangan bencana. Sejak

1984, sejumlah bencana terjadi terus menyoroti pentingnya pesan Short. Peminat tentang studi resiko, bahaya, dan bencana berkembang pesat di bidang sosiologi sejak Short‟s dan beberapa penulis (misalnya Heimer 1988; Dietz, Frey, dan Rosa,

1993) telah merumuskan perspektif sosiologis tentang resiko bencana.

Drabek (1986) mengidentifikasi berbagai bidang yang menjadi perhatian dalam bencana, penelitian sosiologis dalam hal kebencanaan seperti perencanaan, peringatan, evakuasi, darurat, restorasi, rekonstruksi, persepsi dan

17

Universitas Sumatera Utara adaptasi. Selanjutnya Drabek (1986) mengetengahkan bahwa sosiologi kebencanaan pada umumnya menyangkut kesiapan, tanggapan, pemulihan dan mitigasi.

Banjir merupakan bencana klimatologis karena banjir dipengaruhi oleh iklim seperti tingginya intesitas hujan. Penyebab banjir dan genangan yang terjadi disuatu lokasi diakibatkan oleh perubahan tata guna lahan (land use) di daerah aliran sungai, pembungan sampah, erosi dan sedimentasi, kawasan kumuh di sepanjang sungai atau drainase, perencanaan sistem pengendalian banjir tidak tepat, curah hujan, pengaruh fisiografi atau geofisik sungai, kapasitas sungai dan drainase yang tidak memadai, pengaruh air pasang, penurunan tanah dan rob

(genangan akibat pasang air laut), drainase lahan, bendung dan bangunan air, dan kerusakan bangunan pengendali air (Kodoatie dan Sjarief, 2008).

2.3 Strategi Penanggulangan dan Pengurangan Risiko Bencana Banjir

Menurut Kerangka Aksi Hyogo6, bencana mempengaruhi lebih dari 200 juta orang setiap tahunnya, menyebabkan hilangnya nyawa, migrasi paksa, dan gangguan mata pencaharian. Trend selama 15-20 tahun terakhir menunjuk pada frekuensi bahaya lingkungan, iklim, politik, dan ekonomi yang lebih besar dan oleh karena itu merupakan pertumbuhan bagi populasi rentan di seluruh dunia.

Meskipun bencana mempengaruhi setiap orang, seringkali dampaknya menurun

6 Pada tahun 2005, tidak lama setelah terjadinya bencana tsunami di Aceh, secara global dilaksanakan konferensi internasional di Hyogo. Konferensi dunia tentang peredaman bencana (World Conference on Disaster Reduction) diselenggarakan tanggal 18-22 Januari 2005 di Kobe, Hyogo, Jepang yang mengadopsi kerangka kerja aksi 2005-2015 yaitu membangun ketahanan bangsa dan komunitas terhadap bencana (Framework for Action 2005-201: Building the Resilience of Nations and Communities to Disasters) atau yang lebih dikenal dengan „kerangka kerja aksi‟.

18

Universitas Sumatera Utara secara drastis di negara-negara miskin dan orang-orang miskin dan terpinggirkan di dalamnya. Dengan demikian, dampak bencana bukan sekadar masalah kemanusiaan, tapi juga merupakan tantangan besar untuk mencapai Tujuan

Pembangunan berkelanjutan (Feinstein International Center, Tufts University).

Konferensi tersebut memberikan suatu kesempatan yang bagus terhadap pendekatan strategis dan sistematis dalam meredam kerentanan (UN/ISDR 2005) dan risiko terhadap bahaya konferensi tersebut menekankan perlu adanya cara untuk membangun ketahanan bangsa dan komunitas terhadap bencana. Dari kesepakatan tersebut, terdapat 5 kerangka aksi untuk penanggulangan kebencanaan. Kerangka Aksi Hyogo mengamanatkan bahwa semua negara dan lembaga internasional perlu melaksanakan hal-hal berikut ini:

1. Memastikan bahwa peredaman resiko bencana merupakan sebuah prioritas

nasional dan lokal dengan dasar kelembagaan yang kuat untuk

pelaksanaannya.

2. Mengidentifikasi, menjajaki dan memonitor risiko-risiko bencana dan

meningkatkan peringatan dini.

3. Menggunakan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun

sebuah budaya keselamatan dan ketahanan di semua tingkat.

4. Meredam faktor-faktor yang mendasari dalam pengelolaan lingkungan dan

sumber daya alam.

5. Memperkuat kesiapsiagaan terhadap bencana demi respon yang efektif di

semua tingkat.

19

Universitas Sumatera Utara Selain Kerangka Aksi Hyogo, DRR __ Disaster Risk Reduction atau

Pengurangan Resiko Bencana (PRB) __ juga bertujuan untuk mengurangi kerusakan akibat bencana alam seperti gempa, banjir, badai melalui suatu pencegahan. DRR adalah konsep dan praktek yang dipertimbangkan dengan kemungkinan untuk meminimalkan kerentanan dan risiko bencana terhadap masyarakat, untuk menghindari (mencegah) atau membatasi (mitigasi dan kesiapsiagaan) dampak buruk dari bahaya, dalam konteks pembangunan berkelanjutan yang luas.

Program DRR berpotensi mencakup peningkatan kapasitas pemerintah, ketahanan ekonomi lokal dan nasional, kesiapan berbasis masyarakat, sistem informasi yang lebih baik, model analisis yang lebih baik dan analisis penekanan, hubungan kemitraan yang lebih baik, peraturan pembangunan, kelompok simpan pinjam, konservasi hutan. Sebagian besar program DRR berada di bawah pengelolaan sumber daya alam. Beberapa organisasi melakukan sebagian besar pekerjaan DRR seperti konservasi air, konservasi hutan.

Adapun Kerangka kerja DRR mencakup beberapa faktor dalam hal mengurangi resiko bencana. Faktor-faktor tersebut meliputi:

1. Penilaian kerentanan dan bahaya, serta pengurangan resiko;

2. Berdialog mengenai pengetahuan kebencanaan dengan pemangku

kepentingan dan meningkatkan kesadaran;

3. Pengelolaan resiko bencana serta pemantauan dan evaluasi (Gerald and

Friedman, Tuft University).

20

Universitas Sumatera Utara 2.4 Penanggulangan Bencana Banjir

Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam penyelenggraan penanggulangan bencana. Sebagaimana didefinisikan dalam

Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007 pasal 1 tentang penanggulangan bencana adalah serangakaian peristiwa penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi.

Kajian DRR dan penanggulangan bencana tersebut apabila digambarkan dalam siklus penanggulangan bencana adalah sebagai berikut:

Gambar 2.1 Siklus Penanggulangan Bencana

Tanggap Darurat Rehabilitasi Saat Pasca Bencana Bencana

Kesiapsiagaan Rekonstruksi

Pra Bencana

Pencegahan & Mitigasi

Sumber : BNBP, 2011.

Pada dasarnya tahapan penanggulangan bencana ada 3 tahapan yaitu pra bencana, saat bencana dan pasca bencana. Namun, tiap tahapan dalam gambar diatas dijelaskan secara singkat sebagai berikut.

21

Universitas Sumatera Utara 2.4.1 Prabencana

2.4.1.1 Pencegahan dan Mitigasi Banjir

Pencegahan banjir adalah langkah-langkah untuk melakukan, menghilangkan atau mengurangi ancaman secara drastis melalui pengendalian dan pengaturan fisik dan lingkungan. Tindakan ini bertujuan untuk menekan sumber ancaman dengan mengurangi tekanan, mengatur dan menyebarkan energi atau bahan ke daerah yang lebih luas atau melalui waktu yang lebih lama (Smith, 1992).

Mitigasi banjir adalah tindakan fokus pada perhatian untuk mengurangi dampak dari ancaman dan demikian mengurangi dampak negatif bencana terhadap kehidupan melalui beberapa alternatif yang sesuai dengan ekologi.

Kegiatan mitigasi mencakup tindakan non-rekayasa seperti peraturan, sangsi dan penghargaan untuk memaksa perilaku yang lebih cocok dan melalui informasi untuk meningkatkan kesadaran (Carter, 1991).

Upaya atau kegiatan dalam rangka pencegahan dan mitigasi banjir yang dilakukan, bertujuan untuk menghindari terjadinya bencana serta mengurangi risiko yang ditimbulkan oleh bencana. Tindakan mitigasi dilihat dari sifatnya dapat digolongkan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu mitigasi pasif dan mitigasi aktif.

Tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi pasif antara lain adalah: 1. Penyusunan peraturan perundang-undangan.

2. Pembuatan peta rawan bencana dan pemetaan masalah.

3. Pembuatan pedoman/standar/prosedur.

4. Pembuatan brosur/leaflet/poster.

5. Penelitian / pengkajian karakteristik bencana.

22

Universitas Sumatera Utara 6. Pengkajian / analisis risiko bencana.

7. Internalisasi PB dalam muatan lokal pendidikan.

8. Pembentukan organisasi atau satuan gugus tugas bencana.

9. Perkuatan unit-unit sosial dalam masyarakat, seperti forum pengarus-utamaan

PB dalam perencanaan pembangunan.

Sedangkan tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi aktif antara lain:

1. Pembuatan dan penempatan tanda-tanda peringatan, bahaya, larangan

memasuki daerah rawan bencana dsb.

2. Pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai peraturan tentang penataan

ruang, ijin mendirikan bangunan (IMB), dan peraturan lain yang berkaitan

dengan pencegahan bencana.

3. Pelatihan dasar kebencanaan bagi aparat dan masyarakat.

4. Pemindahan penduduk dari daerah yang rawan bencana ke daerah yang

lebih aman.

5. Penyuluhan dan peningkatan kewaspadaan masyarakat.

6. Perencanaan daerah penampungan sementara dan jalur-jalur evakuasi jika

terjadi bencana.

Adakalanya kegiatan mitigasi ini digolongkan menjadi mitigasi yang bersifat non-struktural berupa peraturan, penyuluhan, pendidikan dan yang bersifat struktural berupa bangunan dan prasarana (BNPB, 2008).

23

Universitas Sumatera Utara 2.4.1.2 Kesiapsiagaan Banjir

Kesiapsiagaan dilaksanakan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana guna menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian harta benda dan berubahnya tata kehidupan masyarakat. Upaya kesiapsiagaan dilakukan pada saat bencana mulai teridentifikasi akan terjadi, kegiatan yang dilakukan antara lain:

1. Pengaktifan pos-pos siaga bencana dengan segenap unsur pendukungnya.

2. Pelatihan siaga / simulasi / gladi / teknis bagi setiap sektor Penanggulangan

bencana (SAR, sosial, kesehatan, prasarana dan pekerjaan umum).

3. Inventarisasi sumber daya pendukung kedaruratan.

4. Penyiapan dukungan dan mobilisasi sumber daya/logistik.

5. Penyiapan sistem informasi dan komunikasi yang cepat dan terpadu guna

mendukung tugas kebencanaan.

6. Penyiapan dan pemasangan instrumen sistem peringatan dini (early

warning).

7. Penyusunan rencana kontinjensi (contigency plan).

8. Mobilisasi sumber daya seperti personil dan prasarana/sarana peralatan

(BNPB, 2008).

2.4.2 Strategi Penanggulangan pada Saat Terjadinya Bencana Banjir 2.4.2.1 Kesiapan Tanggap Darurat

Prediksi tentang kebutuhan masa depan jika ada bencana keadaan darurat dan identifikasi sumber daya untuk memenuhi kebutuhan, dan dengan demikian membawa masyarakat didaerah bahaya untuk merespon yang lebih baik terhadap kesiapan menghadapi bencana. Berdasarkan pemahaman bahwa kehancuran

24

Universitas Sumatera Utara dalam bencana tidak dapat dihindari, tanggap darurat meliputi pengaturan secara efektif. Menurut Flemming (1957) dalam Haryanto (2012) Kesiapan tanggap darurat meliputi pengaturan dan pelatihan rencana tanggap darurat untuk mengatur, menyiapkan dan menguji sistem peringatan dini, penyimpanan dan kesiapan pasokan kebutuhan dasar, pelatihan dan simulasi, kesiapan mekanisme alarm dan prosedur tetap.

2.4.2.2 Tanggap Darurat

Tindakan sebelum dan setelah bencana. Tindakan dalam tahap ini seperti identifikasi lokasi bencana, studi cepat tentang kerusakan dan ketersedian sumber daya untuk menentukan dengan cepat pemenuhan kebutuhannya. Seiring dengan itu, mungkin ada pencarian dan penyelamatan korban, pertolongan pertama, evakuasi, tempat para pengungsi dan fasilitas publik lainnya.

Tahap Tanggap Darurat merupakan tahap penindakan atau pengerahan pertolongan untuk membantu masyarakat yang tertimpa bencana, guna menghindari bertambahnya korban jiwa.

Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat meliputi: 1. Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan,

kerugian, dan sumber daya;

2. Penentuan status keadaan darurat bencana;

3. Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;

4. Pemenuhan kebutuhan dasar;

5. Perlindungan terhadap kelompok rentan; dan

25

Universitas Sumatera Utara 6. Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital (BNPB,

2008).

2.4.3 Pasca Bencana Banjir 2.4.3.1 Pemulihan Tindakan yang bertujuan untuk membantu orang mendapatkan kembali apa yang sudah hilang dan membangun kembali kehidupan, dan untuk mendapatkan kembali peluang mereka. Semua ini akan dicapai melalui pembangun kembali dan menfungsikan kembali fasilitas-fasilitas, memulihkan tingkat kemampuan sosial ekonomi mereka sama atau lebih baik dari sebelum bencana bersama dengan penguatan ketahanan mereka untuk menghadapi bencana dimasa mendatang.

Tahap pemulihan meliputi tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Upaya yang dilakukan pada tahap rehabilitasi adalah untuk mengembalikan kondisi daerah yang terkena bencana yang serba tidak menentu ke kondisi normal yang lebih baik, agar kehidupan dan penghidupan masyarakat dapat berjalan kembali.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan meliputi: perbaikan lingkungan daerah bencana, perbaikan prasarana dan sarana umum, pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat, pemulihan sosial psikologis, pelayanan kesehatan, rekonsiliasi dan resolusi konflik, pemulihan sosial, ekonomi, dan budaya, pemulihan keamanan dan ketertiban, pemulihan fungsi pemerintahan; dan pemulihan fungsi pelayanan publik.

Sedangkan tahap rekonstruksi merupakan tahap untuk membangun kembali sarana dan prasarana yang rusak akibat bencana secara lebih baik dan sempurna.

Oleh sebab itu pembangunannya harus dilakukan melalui suatu perencanaan

26

Universitas Sumatera Utara yang didahului oleh pengkajian dari berbagai ahli dan sektor terkait. Seperti pembangunan kembali prasarana dan sarana, pembangunan kembali sarana sosial masyarakat, pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat, penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan yang lebih baik dan tahan bencana, partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi kemasyarakatan, dunia usaha dan masyarakat, peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya, peningkatan fungsi pelayanan publik; atau peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat.

2.4.4 Tujuan Penangulangan Bencana

Tujuan Penanggulangan bencana secara sederhana tentu saja meminimalisir jatuhnya korban jiwa dan harta benda. Banyak pihak yang kurang menyadari pentingnya mengelola bencana dengan baik. Salah satu faktornya adalah bencana belum tahu kapan dan dimana pastinya akan terjadi walaupun ancaman bisa diperkirakan. Untuk tujuan itulah manajemen bencana diperlukan agar manusia senantiasa siap jika bencana itu terjadi. Menurut Ramli (2010) ada beberapa tujuan manajemen bencana, diantaranya:

1. Mempersiapkan diri untuk menghadapi semua bencana atau kejadian yang

tidak diinginkan.

2. Menekan kerugian dan korban yang dapat timbul akibat dampak suatu

bencana atau kejadian.

3. Meningkatkan kesadaran semua pihak dalam masyarakat atau organisasi

tentang bencana sehingga terlibat dalam proses penanganan bencana.

27

Universitas Sumatera Utara 4. Melindungi anggota masyarakat dari bahaya atau dampak bencana sehingga

korban dan penderitaan dapat dikurangi (Ramli, 2010).

2.5 Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat Konsep dasar penanggulangan berbasis masyarakat adalah upaya meningkatkan kapasistas masyarakat atau mengurangi kerentanan masyarakat.

Besaran bencana merupakan akumulasi berbagai ancaman bahaya dengan rangkaian kerentanan yang ada di masyarakat. Rangkaian kerentanan ini antara lain terdiri dari kemiskinan, kurangnya kewaspadaan, kondisi alam yang sensitif, ketidak berdayaan dan berbagai tekanan dinamis lainnya. Kerentanan suatu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lain berbeda akar masalahnya, demikian pula ancaman bahayanya pun berbeda-beda jenisnya.

Pada umumnya permasalahan bencana di Indonesia menjadi rumit karena terjadi di daerah yang kondisi masyarakatnya yang tidak mampu alias rentan dan kondisinya pun jauh pusat pemerintah dan sulit untuk dicapai, ini menjadi salah tugas pemerintah Indonesia untuk terus memperbaiki infrastruktur hingga kepelosok negeri. Oleh karena itu paradigma baru manajemen bencana harus dapat mengatasi permasalahan tersebut, dengan manajemen bencana berbasis masyarakat, yaitu menuju masyarakat yang mampu mandiri. Mampu mengenali ancaman bahaya di lingkungannya dan mampu menolong dirinya sendiri.

2.5.1 Resiliensi Masyarakat Terhadap Banjir Bencana alam telah memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap fisik, ekonomi, dan sosial. Kejadian banjir mengakibatkan masyarakat punya strategi tersendiri dalam menghadapi banjir. Kerugian yang dialami masyarakat

28

Universitas Sumatera Utara membuat seharusnya dapat lebih diminimalisir. Upaya untuk bangkit dari kondisi yang lemah kepada kondisi yang semula diperlukan kemampuan yang di kenal resiliensi. Menurut (Siebert, 2005) dalam bukunya the Resiliency Advantage mengatakan bahwa mengatasi kemampuan untuk mengatasi dengan baik perubahan hidup pada level tinggi, menjaga kesehatan di bawah kondisi penuh tekanan, bangkit dari keterpurukan, mengatasi kemalangan, merubah cara hidup ketika dirasa cara lama tidak sesuai lagi dengan kondisi yang ada, dan menghadapi persoalan tanpa kekerasan. Menurut Reiveich dan Shatte dalam

(Satria, 2017) tujuh kemampuan yang membentuk resiliensi, yaitu sebagai berikut: regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme, empati, casual analysis, efekasi diri, dan reaching out. Pada dasarnya setiap indivudi mempunyai kapasitas seperti yang disebutkan di atas. Namun, yang membedakannya ialah bagaimana individu memaksimalkan potensi yang ada pada dirinya sehingga menjadi sebuah kemampuan dalam menghadapi setiap persoalan termasuk bencana banjir. Masyarakat yang sudah sering mengalami bencana dan mulai bangkit dari keterpurukan tetapi masih sangat rendah pada tingkat kesiapsiagaan.

2.6 Kerentanan (Vulnerability)

Menurut Bakornas (2007) kerentanan merupakan suatu kondisi dari suatu komunitas atau masyarakat yang mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bahaya, sehingga apabila terjadi bencana akan memperburuk kondisi masyarakat. Sedangkan menurut UNISDR (2005) kerentanan sebagai kondisi-kondisi yang ditentukan oleh faktor-faktor atau proses-proses fisik, sosial ekonomi dan lingkungan, yang bisa meningkatkan

29

Universitas Sumatera Utara rawannya sebuah komunitas terjadap dampak bahaya. ADPC (2006) mengelompokkan kerentanan kedalam lima kategori yaitu :

1. Kerentanan fisik (physical vulnerability) yang meliputi umur dan konstruksi

bangunan, materi penyusun bangunan, infrastruktur jalan dan fasilitas

umum.

2. Kerentanan sosial (social vulnerability) yang meliputi persepsi tentang

resiko dan pandangan hidup masyarakat yang berkaitan dengan budaya,

agama, etnik, interaksi.

3. Kerentanan ekonomi (economic vulnerability) yang meliputi: pendapatan,

investasi, potensi kerugian barang dan persedian yang timbul.

4. Kerentanan lingkungan (enviromental vulnerability) yang meliputi air,

udara, tanah, flora dan fauna.

5. Kerentanan kelembagaan (instititutional vulnerability) yang meliputi: tidak

ada sistem penanggulangan bencana, pemerintah yang buruk dan tidak

sinkronnya aturan yang ada.

Faktor yang berpengaruh timbulnya kerentanan antara lain: (1) berada dilokasi berbahaya (lereng gunung api, disekitar tanggul sungai, di daerah kelerangan yang labil, dan lain-lain. (2) kemiskinan, (3) perpindahan penduduk desa ke kota, (4) kerusakan dan penurunan kualitas lingkungan, (5) pertambahan penduduk yang pesat, (6) perubahan budaya, dan (7) kurangnya informasi dan kesadaran (UNDP/UNDRO, 1992).

30

Universitas Sumatera Utara Berdasarkan pengertian diatas kerentanan merupakan kondisi pra bencana yang berpotensi menjadi bencana apabila bertemu dengan bahaya (hazard). Jadi apabila dalam suatu wilayah rawan memiliki kerentanan tinggi maka akan mengakibatkan elemen resiko (element risk) untuk terpapar bahaya menjadi semakin besar kemudian akan meningkatkan resiko bencana. Elemen resiko merupakan segala objek yang ada dalam suatu wilayah bencana dapat berupa sosial, umur, jenis kelamin dan kemiskinan.

Permukiman, lahan pertanian, prasarana umum (Sutikno, 2006). Namun resiko bencana dapat dikurangi apabila dalam suatu wilayah memiliki kapasitas baik. Kapasitas dapat diartikan sebagai segala sumber daya yang dimiliki masyarakat baik bersifat individu, kelompok atau manajerial (leadership)

(UN/ISDR, 2005). Jadi untuk memahami suatu bencana terdapat tiga hal penting yang saling berkaitan yaitu kerentanan, kerawanan dan kemampuan.

Kerentanan merupakan suatu kondisi tidak aman yang ditentukan oleh proses fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan yang meningkatkan kerawanan

(susceptibility). Tingkat kerentanan elemen resiko (permukiman dan infrastruktur) ditentukan tinggi dan waktu genangan dan frekuensi banjir

(kerawanan banjir) dalam suatu wilayah.

2.7 Kerentanan Pertanian Terhadap Banjir Secara geografis, geologis, hidrologis, dan sosio-demografis, Indonesia merupakan daerah rawan bencana. Sejak tahun 1988 sampai pertengahan 2003 terjadi 647 bencana alam (banjir, longsor, gempa bumi dan angin topan), menyebabkan 2022 korban jiwa dan kerugian triliyunan rupiah. Tinjauan pustaka

31

Universitas Sumatera Utara mengenai banjir mengacu kepada PMB-ITB (2009). Banjir merupakan bencana yang sering melanda Indonesia yang memiliki iklim tropis, terutama sering terjadi pada wilayah dengan kemiringan lereng, landai dan dataran. Masalah banjir mulai muncul sejak manusia bermukim dan melakukan berbagai kegiatan di kawasan yang berupa dataran banjir (flood-plain).

Menurut Kumar et al. (2009), bencana alam hidrometeorologi seperti banjir menimbulkan dampak negatif berupa kerusakan dan kerugian cukup besar terhadap kehidupan manusia dan dapat menghambat pembangunan daerah bahkan negara. Banjir yang mengenangi sumber daya aam seperti padi, peternakan, dan perikanan menimbulkan banyak kerugian yang sangat besar bagi masyarakat yang memiliki mata pencaharian sebagai petani. dampak banjir terhadap lahan pertanian yaitu perubahan pola tanam secara drastis dan tanaman padi sehingga dapat menyebabkan beberapa kasus seperti kelaparan, menurunkan pendapatan petani yang terkena dampak, dan mengurangi kemampuan daya beli masyarakat terhadap kebutuhan makanan dan input pertanian. Dampak banjir terhadap peternakan yaitu yaitu menurunnya populasi jumlah ternak karena hewan ternak beserta kandangya hanyut terbawa arus banjir yang mengakibatkan pendapatan petani berkurang dan mengalami kerugian yang cukup besar.

Dampak banjir terhadap perikanan menimbulkan kerugian cukup besar. Dampak banjir terhadap perikanan menimbulkan kerugian bagi petani ikan karena ikan terbawa hanyut arus air.

Menurut Armah (2010), bagi negara agraris, sektor pertanian merupakan sumber mata pencaharian penduduk. Sebagian besar pendapatan penduduknya

32

Universitas Sumatera Utara dihasilkan dari sektor pertanian. Sektor pertanian menyumbang cukup besar untuk pendapatan nasional namun sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang paling rentan terhadap perubahan iklim atau bencana khususnya bencana banjir. Apabila musim penghujan datang dan intensitas hujan yang lebih sering wilayah perdesaan yang dekat dengan aliran sungai selalu digenangi banjir yang mengakibatkan hilangnya nyawa, perpindahan tempat nyawa, perpindahan tempat tinggal, hancurnya infrastruktur utama, kerusakan pada sistem irigasi dan pasokan air, dan hancurnya lahan pertanian serta hilangnya cadangan makanan dan ternak di seluruh wilayah. Hal tersebut dapat menyebabkan penurunan produksi pertanian, dan secara signifikan akan berpengaruh terhadap ketahanan pangan. Tanaman pangan (Jagung, sorgum, millet, kacang tanah, ubi, singkong dan padi) yang terkena banjir diperkirakan rentan mengalami kerawanan pangan dan kekurangan gizi pasca bencana.

Sebagian data bencana di sektor pertanian menunjukkan bahwa selama tahun 2007, banjir menyebabkan rusaknya 1577 tanaman holtikultura, meliputi kerusakan tanaman buah-buahan 387,4 ha dan sayuran 1.190,4 Ha (Data

Direktorat Perlindungan Tanaman Holtikultura).

IPCC (2001) menyatakan bahwa komponen pembentuk kerentanan terdiri dari tiga aspek yaitu:

1. Tingkat keterpaparan, menunjukkan seberapa besar peluang terjadinya

suatu sistem untuk kontak dengan gangguan. Tingkat keterpaparan ini dapat

33

Universitas Sumatera Utara diketahui melalui data mengenai topografi serta kemiringan untuk

mengambarkan kondisi eksisting.

2. Tingkat sensivitas, yaitu kondisi internal suatu sistem dalam menunjukkan

tingat kerawanannya terhadap gangguan yang terjadi. Salah satu data yang

dapat digunakan untuk mengukur tingkat sensivitas suatu daerah adalah

akses masyarakat terhadap air bersih, dan laju produksi sampah serta

kemampuan pengelolaanya.

3. Kemampuan beradaptasi, yaitu potensi atau kemampuan yang dimiliki oleh

sistem wilayah, atau masyrakat untuk beraptasi atau menyesuaikan diri

dengan efek yang ditimbulkan dari perubahan iklim.

2.8 Pengembangan Kapasitas (Capacity Building) dalam Penanggulangan

Bencana di Indonesia

Minimnya kemampuan antisipasi bencana di Indonesia diungkap oleh

Wijaya (2007) bahwa yang menjadi masalah tidak hanya bencana dan beberapa penyebabnya, melainkan antisipasi bencana itu juga menjadi masalah tersendiri.

Sebagai misal, sistem peringatan dini memerlukan sistem yang jelas, institusi yang fleksibel dan sigap, serta sosialisasi yang dapat menyentuh ke seluruh lapisan sosial. Tujuannya, membangun sebuah masyarakat yang selalu waspada menghadapi bencana sebagai konsekuensi dari kondisi hidup di daerah rawan bencana (disaster-prone area).

Menurut Nurjannah (2012), kapasitas yang kuat untuk menghadapi ancaman bencana berkaitan dengan program/kegiatan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat. Tujuan utamanya adalah masyarakat yang mampu mengantisipasi

34

Universitas Sumatera Utara bencana, mampu menangani keadaan darurat dan mampu pulih dari bencana.

Oleh karena itu, program/kegiatan yang dapat dilakukan, antara lain:

1. Pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan

dan teknologi bencana, penanggulangan bencana melalui penerapan

teknologi dan pemetaan spasial;

2. Sistem peringatan dini dari berbagai jenis bencana;

3. Sosialisasi bencana melelui media massa;

4. Pelatihan penanggulangan bencana;

5. Pemberian dukungan teknis dan non teknis, meningkatkan peran aktif

masyarakat dalam penanggulangan bencana, pembangunan kapasitas

masyarakat pada pengenalan ancaman dan kerentanan di wilayahnya.

Penanggulangan bencana tidak hanya menuntut partisipasi individu dalam komunitas yang rentan, tetapi juga keterlibatan instansi pemerintah terkait, LSM, dan sektor swasta. Hal ini harus didukung dengan strategi manajemen yang efektif melalui perencanaan operasional, pendidikan dan pelatihan.

Kelompok pengembangan sistem penanggulangan bencana dapat dimulai dari formulasi kebijakan di tingkat pemerintah demi kesiapsiagaan komunitas/masyarakat. Selain hal tersebut salah satu upaya yang harus ditingkatkan oleh pemerintah dalam upaya penanggulangan bencana ialah adanya etos kerja dan motivasi kerja.

2.8.1 Etos Kerja dan Motivasi Kerja Dalam penelitian perlu adanya melihat keterkaitan antara etos kerja dan motivasi kerja pemerintah terhadap kapasitas yang dilakukan oleh pemerintah

35

Universitas Sumatera Utara terhadap pengurangan resiko bencana. Etos kerja dapat diartikan sebagai pandangan bagaimana melakukan kegiatan yang bertujuan mendapatkan hasil yang diharapkan. Dengan kata lain, Etos kerja menurut Cherrington (1994) adalah cara pandang seseorang terhadap pekerjaan atau dapat diartikan sebagai nilai kerja yang positif. Etos kerja ditunjukkan dalam tingkah laku atau setidaknya sikap terhadap suatu pekerjaan secara verbal.

Menurut Sinamo, etos kerja adalah seperangkat perilaku positif yang berakar pada keyakinan fundamental yang disertai komitmen total pada paradigma kerja yang integral (Sinamo, 2011).

Menurut Usman Pelly etos kerja adalah sikap yang muncul atas kehendak dan kesadaran sendiri yang disadari oleh sistem orientasi nilai budaya terhadap kerja (Sukardewi, 2013).

Anoraga (1992) mengatakan Bahwa etos kerja adalah suatu pandangan dan sikap suatu bangsa atau suatu kelopmpok manusia terhadap kerja. Anoraga menanmbahkan secara eksplisit beberapa sikap yang seharusnya mendasar bagi seseorang dalam memberi nilai pada kerja yang disimpulkan sebagai berikut:

1. Bekerja adalah hakikat kehidupan manusia.

2. Pekerjaan adalah suatu berkat Tuhan.

3. Pekerjaan merupakan sumber penghasilan yang halal dan tidak amoral.

4. Pekerjaan merupakan suatu kesempatan untuk mengembangkan diri dan

berbakti.

5. Pekerjaan merupakan sarana dan perwujudan kasih.

36

Universitas Sumatera Utara Dari berbagai definisi di atas dapat dikatakan bahwa etos kerja adalah cara pandang seseorang dalam menyikapi, melakukan dan bertindak dalam bekerja, dengan kemauan organisasi, instansi ataupun perusahaan sehingga pekerjaan dapat dilaksanakan dengan baik. Sikap mental seseorang atau kelompok orang dalam melakukan aktivitas atau pekerjaan yang diwujudkan sebagai perilaku kerja antara lain tepat waktu, tanggung jawab, kerja keras, rasional dan jujur.

Pada dasarnya etos kerja memegang peranan penting dan merupakan kunci sukses sekaligus fondasi untuk mencapai suatu keberhasilan. Dengan tingginya etos kerja maka akan membawa kualitas yang lebih baik terutama dalam bentuk sebuah prestasi kerja. Maka sebaiknya etos kerja yang rendah akan dapat menghambat tercapainya suatu keberhasilan pekerjaan.

Tujuan pekerjaan dapat tercapai secara maksimal jika pekerja tersebut memiliki etos kerja yang tinggi sehingga dapat memungkinkan suatu usaha untuk menjaga eksistensinya. Bahwasannya setiap manusia memiliki kadar etos kerja yang berbeda-beda, karena etos kerja merupakan bagian dari sikap dan perilaku hidup manusia, dan perilaku manusia selalu diarahkan pada tujuan yang berbeda- beda. Etos kerja kerja seseorang dapat dari berbagai kebiasaan seperti, budaya, agama, sosial politik, lingkungan, pendidikan, struktur ekonomi, dan motivasi individu dalam mencapai kesuksesan dalam bekerja.

Motivasi kerja dapat diartikan sebagai kekuatan psikologis yang dapat menentukan arah dari perilaku seseorang, tingkat upaya dari seseorang dan tingkat ketegaran pada saat orang itu di harapkan pada berbagai rintangan. Dari

37

Universitas Sumatera Utara definisi diatas menurut (Solihin, 2010) mengandung beberapa elemen konsep yang dapat dijelaskan di antaranya sebagai berikut:

1. Arah dari perilaku seseorang, menunjukkan berbagai kemungkinan pilihan

dari perilaku yang bisa dipilih oleh seseorang. Misalnya, seorang karyawan

ketika mau pergi bekerja dapat memilih dari berperilaku datang pada tepat

waktu atau datang selalu terlambat ke kerjanya. Pilihan dari karyawan

tersebut di dasari oleh motivasi tertentu.

2. Tingkat upaya, menunjukkan sampai sejauh mana upaya seseorang untuk

mencapai suatu hasil yang lebih maksimal. Tingkat upaya juga menunjukkan

ukuran intensitas dari dorongan yang dimiliki seseorang untuk mencapai hasil

tertentu. Misalnya, seseorang bekerja dalam pekerjaannya mempunyai target

tertentu dalam mencapai hasil yang memuaskan, oleh sebabnya keberhasilan

itu mempunyai trik atau cara tersendiri. Bagaimana seseorang mengupayakan

semaksimal mungkin pekerjaan yang dilakukan dapat memuaskan pelanggan

dari hasil pelayanan dan sampai adanya kenyamanan bagi seseorang terhadap

dari pekerjaannya.

3. Tingkat ketegaran, hal ini menunjukkan apakah seseorang pada saat

mengahadapi rintangan atau masalah bekerja, tetap berusaha untuk dapat

mengatasi berbagai rintagan atau masalah tersebut dengan baik. Berani

menghadapi tantangan, bagi tipe karakter ini, hidup adalah pilihan dan setiap

pilihan merupakan tanggung jawabnya. Mereka tidak menyalahkan pihak

manapun karena pada akhirnya semua pilihan ditetapkan oleh dirinya sendiri.

38

Universitas Sumatera Utara Orang ini memiliki karakter atau motivasi yang cukup kuat untuk mencapai

tujuan dan menjaga apa yang menjadi keputusan atau pilihannya.

Menurut Winardi (2007) ada beberapa faktor yang mempengaruhi yang

Mempengaruhi etos kerja seseorang di dalam menjalankan tugasnya, yaitu sebagai berikut:

1. Faktor kebijakan, meliputi adanya gaji yang dapat dirasakan karyawan sangat

mensejahterakan, tunjangan dan pesangon bagi karyawan. Hal ini menjadi

perhatian tersendiri bagi seseorang pemimpin, karena menimbulkan efek yang

dirasakan ketika hasil dari pekerjaannya dilakukan oleh bawahannya.

2. Faktor imbalan (reward), jika usaha dikelola dengan baik, baik karyawan dan

pimpinan maka akan menghasilkan hasil yang dapat dicapai, sistem imbalan

atau reward terhadap karyawan yang telah berprestasi akan memberikan

dampak yang besar untuk peningkatan motivasi kerja bagi yang lainnya. Oleh

sebab itu perlu adanya sistem reward yang transparan pada karyawan lainnya,

supaya termotivasi yang lain untuk bekerja secara semangat dan optimal.

3. Faktor kultur, meski terlihat sederhana, tetapi masalah kultur bisa

memberikan dampak yang besar dalam peningkatan motivasi kerja. Kultur

yang dimaksud adalah adanya rasa mengedapankan rasa hormat,

kebersamaan, kejujuran, dan keakraban dalam meningkatkan motivasi kerja

yang sangat signifikan. Dan juga menunjukkan rasa memupuk antara

karyawan sama kerja dengan yang lainnya. Saling menyadari bahwa , mereka

bekerja, secara todak langsung dilihat oleh Allah SWT.

39

Universitas Sumatera Utara 4. Faktor mental, jika seorang pekerja yang memiliki mental yang kuat, dia akan

tetap memiliki motivasi kerja, meski ketiga faktor diatas kurang mendukung.

Mereka memiliki pikiran yang sangat jauh kedepan. Pandangannya tidak

sempit, mereka memiliki jiwa yang besar untuk tetap berkontribusi sebaik

mungkin.

2.9 Penelitian Terdahulu

Farichatun Nisa (2014) menganalisis dan mendeskripsikan manajemen penanggulangan bencana alam oleh BPBD kabupaten Jombang serta partisipasi masyarakat dalam penanggulangan bencana alam dikabupaten Jombang.

Manajemen yang dilakukan oleh BPBD dilakukan melalui tahapan respon, pemulihan dan pengembangan. Tahapan yang paling dominan dilakukan oleh

BPBD melalui tahapan respon sebelum dan sesudah terjadinya bencana. Sedang penanggulangan yang dilakukan masyarakat berupa partisipasi dalam bentuk buah pikiran, tenaga, harta benda, keterampilan dan kemahiran serta partisipasi sosial.

Partisipasi yang dominan dilakukan masyarakat adalah partisipasi tenaga dan partisipasi sosial.

Agus Joko Haryanto (2012) mengatakan timbulnya bencana karena aktivitas produksinya menggunakan bahan berbahaya. Terjadinya ledakan pada tahun 2009 diakibatkan oleh peggunaan zat kimia berbahaya. akibatnya banyak pekerja yang menjadi korban, disebabkan oleh tidak adanya kesiapan industri dalam hal manajemen bencana tanggap darurat, antisipasi dan kesiapan masyarakat apabila memerlukan evakuasi.

40

Universitas Sumatera Utara Kemudian juga tulisan Mita Widyastuti (2005) mendeskripsikan betapa pentingnya pengetahuan bagi masyarakat mengetahui bagaimana menanggulangi ketika bencana datang. Penulisan tersebut sangat menekankan bagaimana memanajemen bencana yang berbasis kepada masyarakat karena dalam penanganan bencana tidak selayaknya/cukup mengandalkan pemerintah.

Pemerintah memiliki keterbatasan baik dalam sumber daya manusia, pendanaan, perlengkapan maupun logistik. Manajemen bencana harus bersifat kesemestaan, melibatkan semua pihak, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat. Ketiga komponen tersebut harus mampu menjadi pelaku yang setara, semua harus berperan utama, bukan hanya berperan serta. Sasaran implementasinya adalah masyarakat mengetahui ancaman bahaya dilingkungan masing-masing dan masyarakat harus mampu menolong dirinya sendiri.

Penelitian di atas adalah beberapa penelitian terdahulu yang didapatkan penulis dari beberapa sumber guna untuk membantu menyempurnakan penelitian ini. Manajemen bencana yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bagaimana masyarakat menanggulangi bencana agar terhindar dari keterpurukan ekonomi antisipasi apa saja yang telah disiapkan oleh masyarakat dan pemerintah. Hal yang sangat disayangkan dari perubahan sosial yang terjadi pasca bencana banjir adalah bagi masyarakat yang tidak mempunyai skill dibidang apapun dikhawatirkan kondisi ekonomi masyarakat semakin memburuk, agar terhindar dari keterpurukan ekonomi yang lebih jauh perlu adanya pengetahuan masyarakat dalam memanajemen bencana.

41

Universitas Sumatera Utara BAB III METODE PENELITIAN

Bab ketiga berisi metode penelitian dan teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti saat mengumpulkan bahan-bahan yang di dapatkan saat penelitian. Secara umum bagian metode penelitian berisi teknik penelitian, lokasi penelitian, informan penelitian, teknik pengumpulan data, sumber data dalam penelitian serta analisis data.

3.1 Teknik Penelitian

Penelitian mengenai kerentanan masyarakat dan kapasitas pemerintah dalam menanggulangi banjir pada Kabupaten Aceh Jaya menggunakan metode penelitian kualitatif. Menurut Denzin dan Lincoln (2009), penelitian kualitatif merupakan kajian yang melibatkan pendekatan interpretatif naturalistik dengan mempelajari fenomena yang ada dan mencoba untuk memahami dan menafsirkan.

Selain itu menurut Creswell (2003), penelitian kualitatif merupakan proses penelitian berdasarkan metodelogi penelitian tertentu untuk menyelidiki masalah sosial atau masalah manusia, dimana peneliti membangun gambaran yang komplek dan bersifat holistik dengan menganalisis kata-kata, melaporkan pandangan informan secara rinci dan melakukan penelitian dalam situasi yang alamiah.

Dalam tataran teoritik, ada beberapa asumsi yang menjadi landasan dalam penelitian kualitatif sebagaimana dikatakan Merriam dalam (Creswell, 1994).

Asumsi-asumsi tersebut adalah:

42

Universitas Sumatera Utara 1. Peneliti kualitatif lebih memiliki perhatian pada proses dari pada hasil atau

produk.

2. Peneliti kualitatif tertarik pada makna, yaitu bagaimana orang berusaha

memahami kehidupan, pengalaman, dan struktur lingkungan mereka.

3. Penelitian kualitatif merupakan instrumen utama dalam pengumpulan dan

analisis data. Data diperoleh melalui instrumen manusia dari pada melalui

inventarisasi (inventories), kuesioner, atau pun melalui mesin.

4. Penelitian kualitatif sangat berkaitan dengan field work. Artinya, peneliti

secara fisik terlibat lansung dengan orang, latar (setting), tempat, atau institusi

untuk mengamati atau mencatat perilaku dalam latar alamiahnya.

5. Penelitian kualitatif bersifat deskriptif, dalam arti peneliti tertarik pada proses,

makna, dan pemahaman yang diperoleh melalui kata-kata atau gambar-

gambar.

6. Proses penelitian kualitatif bersifat induktif dalam arti peneliti membangun

abstraksi, konsep, hipotesis dan teori.

Penelitian ini mempunyai 2 tujuan utama, yaitu pertama, mengambarkan dan mengungkapkan (to describe and explore). Kedua, mengambarkan dan menjelaskan (to describe and explain). Kebanyakan penelitian kualitatif bersifat deskriptif dan eksplanatori (Syarif & Yunus, 2013).

Penelitian dengan metode kualitatif membantu peneliti untuk memahami kapasitas pemerintah dalam menanggulangi banjir, baik melalui data observasi, wawancara dengan staf BPBK dan masyarakat yang rentan terhadap banjir. Aspek penelitian ini menjadi landasan untuk menggali lebih mendalam bagaimana

43

Universitas Sumatera Utara kapasitas BPBK dalam menanggulangi banjir. Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi terhadap pemerintah dan masyarakat Aceh Jaya terhadap penanggulangan banjir. Ini dimungkinkan terjadi karena peneliti menekankan pada pengambaran kerentanan masyarakat dan kapasitas pemerintah dalam menanggulangi banjir melalui pengalaman, pengakuan orang dan realita yang ada dilapangan.

Melalui teknik tersebut akan dipaparkan kerentanan masyarakat dan kapasitas pemerintah dalam menanggulangi banjir. Dalam teknik tersebut, peneliti akan tetap menguraikan kapasitas pemerintah dari sudut pandang sosiologi. Dengan demikian, penelitian ini mengarah kepada interaksi yang dibangun baik dari pemerintah maupun dari masyarakat itu sendiri.

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Aceh Jaya Provinsi Aceh, seperti kantor BPBK Aceh Jaya dan Gampong Pulo Tinggi adapun alasan lokasi penelitian tersebut dipilih karena Kabupaten Aceh Jaya sangat rentan terhadap banjir terhitung dari data BPBK 2012-2017 terjadi banjir sebanyak 92 kali. Oleh karena itu peneliti ingin mengetahui lebih mendalam bagaimana kerentanan masyarakat dan kapasitas pemerintah daerah dalam menanggulangi banjir.

3.3 Informan Penelitian

Informan dalam penelitian ini dipilih berdasarkan kriteria kecukupan dan kesesuaian. Kecukupan diartikan data/informasi yang diperoleh dari informan diharapkan dapat mengambarkan fenomena yang keterkaitan informan dengan topik penelitian.

44

Universitas Sumatera Utara Konsepsi penentuan informan diawali dengan pendalaman kondisi wilayah penelitian, terutama daerah-daerah yang rawan banjir. Maka dalam hal ini yang menjadi informan kunci adalah masyarakat yang rentan terhadap banjir dan juga pengawai BPBK yang menjadi mediator dalam menyelesaikan masalah banjir yang ada di Kabupaten Aceh Jaya.

Dalam penelitian tentang kerentanan masyarakat dan kapasitas pemerintah daerah dalam menanggulangi banjir Kabupaten Aceh Jaya Provinsi Aceh, yang dimaksud sebagai subjek penelitian adalah individu atau seseorang yang menjadi bagian dari kajian penelitian, tetapi juga sebagai informan. Melalui informan ini pula peneliti akan memperoleh informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kerentanan dan kapasitas pemerintah dalam menangulangi banjir Kabupaten Aceh

Jaya.

Oleh karena itu jumlah informan tidak menjadi penentu dalam penelitian ini tetapi kelengkapan data yang lebih dibutuhkan. Informan dalam penelitian ini antara lain adalah:

1. Tokoh Gampong Pulo Tinggi sebagai desa yang berdampak banjir

paling parah.

2. Tokoh masyarakat Rambong Panyong sebagai Desa Siaga Bencana.

3. Badan Penanggulangan Bencana Kabupaten Aceh Jaya.

4. Dinas Sosial.

5. Dinas Kesehatan.

6. Dinas Pertanian.

45

Universitas Sumatera Utara Tabel 3.1 Daftar Informan No Informan Jumlah 1 Tokoh Gampong Pulo Tinggi sebagai 7 masyarakat yang dampak banjirnya parah 2 Tokoh Rambong Payong sebagai 4 Gampong Siaga bencana 3 Staf dan Pengawai Badan Penanggulangan 6 Bencana Kabupaten Aceh Jaya 4 Dinas Sosial 1 5 Dinas Kesehatan 1 6 Dinas Pertanian 1 7 Anggota Tim Reaksi Cepat 1

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menerapkan empat metode pengumpulan data yang lazim untuk penelitian kualitatif, yaitu wawancara

(interview), observasi (observation) dan dokumentasi (document) serta forum diskusi (Forum Group Discussion).

3.4.1 Wawancara

Wawancara adalah salah satu perangkat metodelogi favorit bagi peneliti kualitatif (Denzin dan Lincoln, 2009). Penelitian (wawancara) ini dilakukan dengan beberapa tahap, yang pertama tahap penjajakan, kedua pencarian narasumber yang berkaitan dengan objek penelitian, dan yang terakhir wawancara.

Pada tanggal 11 Oktober 2017 penjajakan dilakukan. Ini merupakan tahap melihat lokasi penelitian, sosial budaya masyarakat dari tempat penelitian, serta melihat interaksi yang terjadi diwilayah yang menjadi objek kajian penelitian ini.

Kemudian pada tanggal 11 Oktober juga saya langsung mencari kantor BPBK

46

Universitas Sumatera Utara Aceh Jaya. Ketika saya sampai pada kantor BPBK, saya meminta izin untuk melakukan penelitian (wawancara) dan pengamatan dengan menunjukkan surat izin penelitian dari fakultas. Setelah berbincang dengan salah satu staf BPBK mengenai penelitian “kerentanan masyarakat dan kapasitas pemerintah dalam menangulangi banjir Aceh Jaya”, staf BPBK mengatakan semua masyarakat Aceh

Jaya rentan akan banjir, tapi beberapa daerah yang sangat sering di landa banjir ialah Teunom dan Pasie Raya. Dari info tersebut saya memutuskan untuk melihat daerah yang rawan banjir sesuai yang di sebutkan oleh staf BPBK dan akhirnya saya memutuskan Gampong Pulo Tinggi __ menurut info masyarakat sekitar Pulo

Tinggi adalah yang paling parah banjir __ untuk mencari pengetahuan kerentanan masyarakat terhadap banjir.

Penelitian (wawancara) tidak hanya dilakukan dengan staf BPBK dan masyarakat Pulo Tinggi saja namun wawancara juga dilakukan dengan beberapa stakeholders lainnya seperti staf Dinas Kesehatan, Dinas Pertanian, Dinas Sosial dan anggota TRC yang menjadi bagian dari BPBK. Kemudian untuk data mengenai masyarakat peneliti berinisiatif untuk mewawancarai beberapa masyarakat di luar Gampong Pulo Tinggi seperti masyarakat Rambong Payong.

3.4.2 Observasi

Penelitian ini menggunakan observasi pengamatan tak terstruktur dengan cara peneliti mencatat apa yang ditemukan dilapangan lalu direfleksikan kedalam hasil penelitian dan juga. Kemudian penelitian ini juga menggunakan observasi terstruktur (Sugiyono, 2008) observasi yang telah di rancang secara sistematis, tentang apa yang diamati dan dimana tempatnya.

47

Universitas Sumatera Utara Dalam observasi terstruktur peneliti melakukan pengamatan secara langsung terhadap objek yang diteliti seperti melihat langsung tanggul yang menjadi salah satu pemicu banjir, mengamati kegiatan-kegiatan yang dilakukan BPBK dan ikut tinggal bersama masyarakat yang terdampak banjir.

Observasi tidak terstruktur dilakukan di awal penelitian, karena terkadang apa yang di dapati peneliti dilapangan merupakan hal yang tidak terduga yang tidak akan muncul ketika saat observasi yang terarah dilakukan, dan hal itu dapat menambah informasi yang diperoleh terkait informasi yang akan diteliti.

Berdasarkan pernyataan tersebut maka tekhnik observasi tidak terstruktur yang dilakukan peneliti ialah melalui informasi-informasi yang di peroleh baik dari pemerintah maupun dari masyarakat di amati kembali oleh peneliti.

3.4.3 Dokumentasi

Menurut Koentjaraningrat (1997), metode dokumentasi adalah metode pengumpulan data yang bersifat berdokumentasi atau catatan. Metode dokumentasi dapat dikelompokkan kedalam 2 yaitu: dokumentasi dalam arti luas yaitu berfoto-foto, moment, dan rekaman. Sedangkan dokumen dalam arti sempit adalah kumpulan data verbal yang berbentuk tulisan. Adapun kegunaan metode ini adalah mencari data yang kaitannya dengan penelitian yang akan dilaksanakan.

Metode dokumentasi ini mencakup keseluruhan karena data yang digunakan tidak hanya berupa catatan atau arsip yang berkaitan dengan penelitian. Penelitian kerentanan masyarakat dan kapasitas pemerintah dalam menanggulangi banjir, peneliti menggunakan beberapa dokumen dari BPBK yang menunjukkan jumlah terjadi banjir di Aceh Jaya. Peneliti juga menggunakan data-data BPS Aceh Jaya,

48

Universitas Sumatera Utara BPDAS Aceh, dan Dinas Pengairan sebagai masukan bagaimana bentuk kerentanan masyarakat terhadap banjir. Kemudian peneliti juga menggunakan dokumentasi berupa foto-foto seperti strategi pengurangan resiko bencana yang di lakukan oleh masyarakat Puli Tinggi.

3.4.4 Focus Group Discussion (FGD)

Focus Group Discussion (FGD) merupakan salah satu metode pengumpulan data penelitian dengan hasil akhir memberikan data yang berasal dari hasil interaksi sejumlah partisipan suatu penelitian, seperti umumnya metode-metode pengumpulan data lainnya. Berbeda dengan pengumpulan data lainnya, metode

FGD memiliki sejumlah karakteristik, diantaranya merupakan metode pengumpul data untuk jenis penelitian kualitatif dan data yang dihasilkan berasal dari eksplorasi interaksi sosial yang terjadi ketika proses diskusi yang dilakukan para informan yang terlibut (Lehoux, Poland, & Daudelin, 2006).

Metode FGD memiliki karakteristik jumlah individu yang cukup bervariasi untuk satu kelompok. Satu kelompok diskusi dapat terdiri dari 4 sampai 8 individu (Kitzinger, 1994) atau 6 sampai sampai 10 individu. (Howard,

Hubelbank, & Moore, 1999).

Dalam penelitian ini peneliti membuat kelompok FGD pada tanggal 10

Februari 2018. Tujuan peneliti membuat kelompok FGD ialah untuk mengetahui apa saja yang dilakukan oleh masyarakat saat banjir dan bagaimana strategi masyarakat dalam pengurangan resiko banjir. ketika FGD berlangsung peneliti mengajak masyarakat membuat peta Gampong Pulo Tinggi dan juga kalender musim. Peserta yang mengikuti FGD ialah sebanyak 7 orang yaitu: Nurhayati (60,

49

Universitas Sumatera Utara Petani), Mariah (50, Honorer), Sarbiah (73 Petani), Baiti (45 Petani), Jahidin (67

Petani), Sakdi (46 Petani), Alamuddin (65 Petani). Kemudian pada tanggal 23 Juli

2018 peneliti kembali membuat kelompok diskusi yang terdiri dari bapak-bapak yang berprofesi sebagai petani asli Pulo Tinggi. Peserta yang mengikuti FGD ialah sebanyak 5 orang yaitu: Ibrahim (69, Petani), Ilyas (72, Petani), Idris (58,

Petani), Sapian (50, Petani), Said (55, Petani).

3.5 Sumber Data dalam Penelitian 3.5.1 Data Primer

Penelitian ini menggunakan data primer dalam bentuk verbal atau kata-kata yang di ucapkan secara lisan, gerak gerik atau perilaku yang dilakukan oelh subjek yang dapat dipercaya, yaitu subjek penelitian atau informana yang berkenaan dengan variabel yang diteliti atau data yang diperoleh dari responden secara langsung (Arikunto, 2010). Dalam hal ini peneliti mengamati seluruh gerak gerik dan setiap kata yang diucapkan dalam wawancara, terutama masyarakat, staf dan pengawai BPBK di Kabupaten Aceh Jaya.

3.5.2 Data Sekunder

Data sekunder juga digunakan dalam penelitian ini sebagai data pelengkap dan pembanding. Sumber data sekunder yang dimaksud berupa data dalam bentuk laporan, arsip, buku, artikel ilmiah, hasil seminar, dan lain-lain yang berupa dokumen yang ada kaitannya dengan penelitian ini. Data-data ini sangat membantu peneliti untuk mengetahui sejarah dan latar belakang dari penyebab terjadinya banjir di Aceh Jaya.

50

Universitas Sumatera Utara 3.6 Analisis Data

Mile dan Huberman (1992) menyebutkan ada tiga langkah pengelohan data kualitatif, yakni reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan penarikan kesimpulan (conclusion and verification). Dalam pelaksanaanya reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi, merupakan sebuah langkah yang sangat luwes, dalam arti tidak terikat oleh batasan kronologis. Secara keseluruhan langkah-langkah tersebut saling berhubungan selama dan sesudah pengumpulan data, sehingga model dari Miles dan Huberman disebut juga sebagai model interaktif.

Berdasarkan pada penjelasan yang telah dikembangkan oleh Salim (2006: 22-

23), dapat dijelaskan secara ringkas sebagai berikut:

1. Reduksi data (data reduction), dalam tahap ini peneliti melakukan pemilihan,

dan pemusatan perhatian untuk penyederhanaan, abstraksi dan transformasi

data kasar yang diperoleh.

2. Penyajian data (data display). Peneliti mengembangkan sebuah deskripsi

informasi tersusun untuk menarik kesimpulan dan pengambilan tindakan.

Display data atau penyajian data yang lazim digunakan ini adalah dalam

bentuk teks naratif.

3. Penarikan kesimpulan dan verfikasi (conclusion drawing and verification).

Peneliti berusaha menarik kesimpulan dan melakukan verifikasi dengan

mencari makna setiap gejala yang diperolehnya dari lapangan, mencatat

keteraturan dan konfigurasi yang mungkin ada, alur kausalitas dari fenomena

dan proporsi.

51

Universitas Sumatera Utara BAB IV KERENTANAN MASYARAKAT KABUPATEN ACEH JAYA TERHADAP BANJIR

Bab keempat berisi pembahasan tentang kerentanan masyarakat Kabupaten Aceh

Jaya. Secara umum bagian ini berisi seperti sejarah terjadinya banjir, kerentanan masyarakat terhadap banjir, serta kapasitas masyarakat dalam menanggulangi banjir Kabupaten Aceh Jaya dalam menanggulangi banjir.

4.1 Pemetaan Wilayah Banjir

Secara umum sungai Teunom termasuk ke dalam Wilayah Sungai lintas

Kabupaten meliputi Aceh Besar, Pidie, Aceh Jaya dan Aceh Barat. Kondisi sungai yang makin mengalami kerusakan banyak dijumpai khususnya di bagian hulu sungai Teunom. Situasi yang banyak dijumpai di bagian hulu ialah seperti erosi, banyak tata guna lahan lain yang ada diwilayah hutan, rusaknya area wilayah hutan dalam luas yang signifikan, tata guna lahan yang kurang sesuai di lahan kering dan banyaknya kegiatan pembalakan liar yang mengakibatkan semakin meningkatnya luasan lahan kritis.

Pada umumnya banjir di sungai Teunom terjadi jika hujan turun terus menerus dengan intensitas yang cukup tinggi berlangsung 2-3 hari. Keadaan tersebut mengakibatkan genangan parah di beberapa daerah-daerah tertentu terutama disepanjang Daerah Aliran Sungai Teunom.

Keadaan tersebut menjadi semakin parah apabila muara sungai Teunom tersumbat akibat terjadinya sedimentasi dari arah laut. Hal yang berakibat relatif sama jika mulut sungai dalam keadaan terbuka tetapi air pasang laut terjadi

52

Universitas Sumatera Utara bersamaan dengan hujan lebat yang menyebabkan terjadinya air balik (water back) mengingat sangat dekatnya wilayah yang selalu tergenang banjir sedangkan kemiringan dasar sungai saat ini dalam kondisi terbalik miring ke arah hulu akibat terjadinya endapan sebagai akibat langsung dari sering tertutupnya muara sungai

Teunom. Berikut merupakan faktor pendorong terjadinya banjir di sungai

Teunom.

Tabel 4.1 Faktor-faktor penyebab banjir terhadap masyarakat Gampong Pulo Tinggi ` Faktor Pendorong Tanda Frekuensi Peringatan a. Turun hujan a. Gemuruh a. Bisa diprediksi saat terus menerus dari hulu ke musim hujan (Juli- b. Hutan gundul hilir Desember) c. Tidak ada b. Air sungai b. Tidak bisa diprediksi Banjir tanggul berubah jika banjir berasal dari d. Sungai terlalu warna dari hulu (biasa 3-7 hari) dangkal dan bening terlalu dekat menjadi perumahan coklat penduduk (keruh)

Berdasarkan tabel di atas faktor utama pendorong terjadinya banjir adalah hujan lebat, pengundulan hutan, tidak ada tanggul dan sungai terlalu dangkal serta perumahan yang penduduk terlalu dekat dengan sempadan sungai. Dalam pendekatan sosiologi kebencanaan terdapat kerentanan dan dampak bencana terhadap pola perilaku dan kesejahteraan masyarakat yang terjadi di masyarakat ialah sebelum dan dan pasca banjir ialah secara umum perekonomian masyarakat

Pulo Tinggi terganggu akibat banjir yang kerap kali membuat aktivitas masyarakat terhambat seperti, tidak bisa memanen sawit, tidak dapat memanen tumbuhan palawija yang ditanam di kebun, ternak seperti lembu dan kerbau

53

Universitas Sumatera Utara menjadi hilang bahkan mati dan juga banjir terkadang membuat masyarakat gagal panen baik itu padi bahkan tumbuhan lainnya seperti jagung. Hal itu membuat masyarakat semakin rentan terhadap kemiskinan. Beras yang menjadi makanan pokok harus dibeli disamping harus memenuhi kebutuhan lauk-pauknya.

Perubahan yang terjadi ditengah masyarakat yang dulunya rata-rata bercocok tanam kini berubah profesi. Sebagian dari masyarakat yang tetap bertahan sebagai petani akan sangat sulit memenuhi kebutuhan hidup jika tidak bekerja sampingan lainnya. Jenis pekerjaan yang sering dilakukan masyarakat saat ini adalah sebagian dari masyarakat bekerja sebagai pengrajin kayu seperti membuat kosen rumah, bekerja menjadi tukang bangunan dan banyak pekerjaan sampingan lainnya. Langkah yang paling sering dilakukan saat ini ialah mencari kayu dihutan untuk dijadikan sumber ekonomi.

Daerah yang sering terpapar dan terdampak banjir tahunan di Aceh Jaya seperti desa-desa yang berada pada pinggiran sungai Teunom seperti desa

Rambong Payong, Tuwi Kareung, Gampong Baro, Pulo Tinggi, Pasi Pawang dan

Paya Baro. Berikut merupakan peta Daerah Aliran Sungai.

Gambar 4. 1 Banjir Teunom 2016

Sumber: Google Earth

54

Universitas Sumatera Utara Perumahan penduduk yang terletak dekat dengan sungai membuat Gampong

Pulo Tinggi sangat rentan terhadap banjir. Belum maksimalnya pembuatan drainase di dalam desa juga salah salah satu faktor yang mengakibatkan air sangat lama mengenangi perumahan masyarakat. Berikut merupakan peta Gampong Pulo

Tinggi.

Gambar 4.2 Peta Gampong Pulo Tinggi

Sumber : Dokumen Peneliti 2018 Gambar di atas merupakan peta Gampong sebagai lokasi penelitian. di

Gampong ini terdapat berbagai fasilitas seperti Puskesmas, Balai Desa, PAUD, demikian juga dengan perumahan penduduk yang sangat dekat dengan sungai.

Dari segi wilayah masyarakat Pulo Tinggi memang tidak dapat dipisahkan dengan sungai.

Sungai dimanfaatkan masyarakat Gampong Pulo Tinggi sebagai penampung air hujan, sumber ekonomi seperti mencari ikan dan juga mengambil batu-batu yang terdapat dipinggiran sungai, dan sumber air ketika kemarau tiba. Sungai yang seharusnya bisa bermanfaat untuk kehidupan manusia malah sebaliknya

55

Universitas Sumatera Utara sungai juga bisa mendatangkan masalah pada manusia jika sungai itu sendiri tidak bisa berfungsi sebagai mana semestinya. Seperti yang telah dibahas di atas terjadinya luapan sungai di Pulo Tinggi disebabkan oleh beberapa hal seperti pengundulan hutan, tidak adanya tanggul dipinggiran sungai dan terjadinya penumpukan pasir di muara sungai menjadi pemicu utama terjadi banjir di

Kecamatan Teunom.

Lama genangan dalam tiap kejadian dapat berbeda dari satu kejadian terhadap kejadian lainnya tergantung kepada intensitas hujan dan lama hujan turun.

Kemudian tingkat tertutupnya kedua muara sungai baik diselatan maupun muara sungai utara. Tetapi pada umumnya banjir mengenangi perkampungan selama 1 sampai dengan 2 hari. Jika dilihat dari peta Gampong Pulo Tinggi perumahan masyarakat sangat dekat dengan sungai berjarak antara 50-60 Meter.

Perkampngan berada pada tikungan sungai yang mengakibatkan abrasi semakin parah. Menurut masyarakat banjir yang melanda kawasan Aceh Jaya memang sudah terjadi dari 2006 puncak terparah banjir terjadi tahun 2009-2015.

Grafik 4.1 Sebaran banjir dari tahun ke tahun Provinsi Aceh

Sumber : Nasrol Adil (Prakirawan sta. Meteorologi)

56

Universitas Sumatera Utara Beberapa media cetak mengatakan bahwa deforetasi merupakan penyebab utama terjadi banjir di beberapa titik kabupaten di Aceh termasuk kabupaten Aceh

Jaya. salah satunya seperti kerusakan dan perubahan fungsi Taman Nasional

Gunung Leuser (TNGL) merupakan faktor utama penyebab terjadi banjir di beberapa kabupaten di Aceh di samping curah hujan yang tinggi. Data yang dikemukakan Yayasan Leuser Internasional (YLI) menunjukkan, bawah temuan kasus illegal logging di kawasan TNGL cenderung meningkat pada tahun 2006 jika dibandingkan tahun 2005. Pada tahun 2005 tercatat ada 186 kasus, sementara tahun 2006 justru meningkat menjadi 453 kasus (Detik news, Jumat 29/12/2006).

Disebutkan juga bahwa, peningkatan jumlah kasus juga terjadi pada masalah perambahan. Pada tahun 2005 tercatat 71 kasus perambahan, sementara tahun

2006 menjadi 329 kasus. Perambahan tahun 2006 itu terjadi pada areal seluas

15.480 hektar. Khusus untuk Kabupaten Aceh Tamiang, ditemukan 124 kasus illegal logging, pada tahun 2005 dan pada tahun 2006 meningkat jadi 80 kasus dengan temuan sebanyak 3.573 ton kayu. Sementara perambahan juga meningkat, dari 21 kasus pada tahun 2005, menjadi 61 kasus pada tahun 2006 dengan areal yang dirambah 3.693 hektar. Peristiwa banjir ini merupakan hal yang penting guna dijadikan bahan pertimbangan untuk menyusun revisi rencana tata ruang provinsi maupun kabupaten di Provinsi Aceh. Total deforestasi hutan Aceh selama 2002-2004 mencapai lebih dari 350 ha atau setara dengan 5 kali lipat luas daratan Singapura. Deforestasi terjadi terjadi di luar kawasan hutan lindung melalui praktik konversi untuk kepentingan pembangunan di luar sektor kehutanan luasnya mencapai 1,87 ha. Sedangkan deforestasi yang terjadi secara

57

Universitas Sumatera Utara ilegal selama terjadi konflik Aceh justru semakin meningkat. Jika sebelumnya hanya 97-98 ha selama konflik mencapai 115 Ha7.

Banjir tidak hanya disebabkan oleh faktor wilayah saja, namun pasca pembangunan jetty8 pada tahun 2012-2013 juga menyebabkan masyarakat sangat rentan banjir pada tahun itu. Jetty yang berfungsi untuk mencegah pedangkalan dimuara yang berkaitannya dengan pengendalian banjir Aceh Jaya pada saat itu malah menjadi bumerang bagi masyarakat Aceh Jaya tersebut. Pasalnya, dalam proses pembuatan Jetty pemerintah setempat memasang tanggul untuk memudahkan dalam pengangkutan batu gajah, sehingga dampak dari bendungan tersebut ialah menutup aliran air menuju kelaut yang mengakibatkan ratusan rumah warga akan mudah terendam banjir jika hujan turun. Tanggul yang dimuat sementara pada saat itu juga dinilai oleh sebagian pihak mempercepat kerusakan lingkungan DAS sungai Teunom. Ditambah lagi saat proyek jetty selesai batu- batu gajah yang yang berfungsi sebagai jalan pada saat itu tidak dibongkar oleh pemerintah yang terkait dalam pembuatan jetty tersebut hal tersebut membuat masyarakat semakin rentan banjir pada tahun 2014-2017.

4.2 Kerentanan Masyarakat

4.2.1 Kerentanan Fisik Menurut Gaurin (2003) dalam (Arif, 2017) jenis konstruksi/material fisik bangunan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi mudahnya suatu

7 (Antara News, Selasa, 24 Januari 2006) 8 Jetty merupakan bangunan pelindung pantai yang dibangun tegak lurus pantai dan diletakkan di kedua sisi muara sungai yang menuju kelaut. Fungsi Jetty adalah mengurangi terjadinya pendangkalan alur akibat sedimen yang terbawa oleh arus sampai garis pantai. Bangunan jetty juga berfungsi untuk mencegah pedangkalan di muara, kaitannya dengan pengendalian banjir.

58

Universitas Sumatera Utara bangunan mengalami kerusakan. Jenis bangunan yang terdapat di Gampong Pulo

Tinggi terbagi kedalam 3 jenis yaitu rumah non tembok, semi tembok dan tembok. Jenis bangunan non tembok ialah rumah yang terbuat dari kayu. Semi tembok merupakan jenis bangunan campuran antara tembok dan kayu. Sedangkan bangunan tembok ialah rumah yang terbuat dari beton dengan kombinasi batu- batu, semen serta pasir. Kerusakan yang diamati pada penelitian ini adalah kerusakan harta benda pada rumah-rumah masyarakat Pulo Tinggi. Dibawah merupakan beberapa bentuk rumah yang terdapat pada Gampong Pulo Tinggi.

Gambar 4.3. Bangunan Non Tembok, Semi Tembok, Tembok

(a) (b)

(c) (d) Sumber : Dokumen Peneliti, 2018

59

Universitas Sumatera Utara Ketinggian pondasi rumah masyarakat Pulo Tinggi merupakan salah satu variabel yang menunjukkan bahwa masyarakat sangat rentan terhadap bahaya banjir. Tinggi pondasi bangunan rata-rata untuk bangunan non tembok adalah 120 cm, bangunan semi tembok 150 cm dengan deskripsi ketinggian dinding tembok rata-rata 55 cm, sedangkan untuk bangunan tembok memiliki tinggi rata-rata pondasi ialah 40 cm. Gampong Pulo Tinggi juga memiliki gedung Tempat

Evakuasi Sementara yang dibuat oleh Pemerintah Kabupaten berdasarkan anggaran Otonomi Khusus Aceh 2016. Gedung tersebut memiliki pondasi dengan ketinggian 130 cm didirikan diatas tanah yang lebih tinggi dibandingkan tanah masyarakat lainnya sekitar 30 cm.

Pengukuran tinggi pondasi bangunan rumah di lokasi penelitian pengukuran tinggi pondasi bangunan rumah di lokasi penelitian (lihat tabel 4.2)

Tabel 4.2 Kategori Tinggi Pondasi Bangunan Kategori Ketinggian Pondasi Jumlah % Rendah 0-55 cm 39 53 Sedang 55 cm-120 cm 20 27 Tinggi >120 cm 15 20 Jumlah 74 Rumah 100 %

Sumber : Hasil Analisis Data, 2018

Dari data di atas menunjukkan bahwa dari jumlah rumah terlihat bahwa rata- rata rumah masyarakat berada pada titik rawan banjir. Karena sebagian rumah masyarakat masih berpondasi rendah. Hasil pengamatan dilapangan peneliti juga menemukan bahwa masyarakat yang rumahnya masih berpondasi rendah, memiliki sebuah ruangan seperti kamar tidur, atau ruangan tamu, atau dapur yang sengaja ditinggikan.

60

Universitas Sumatera Utara 4.2.2 Kerentanan Sosial Ekonomi Kapasitas individu atau kelompok orang dalam menanggulangi bencana seperti bertahan, dan kembali pulih dari dampak kejadian bencana sangat erat kaitannya dengan sosial ekonomi masyarakat. Bencana akan terjadi ketika masyarakat menghadapi fenomena bahaya yang melebihi kapasitas masyarakat dalam menghadapi bahaya tersebut. Kondisi ini bermakna bahwa efek yang ditimbulkan suatu bencana dipengaruhi oleh tingkat kerentanan masyarakat terhadap bahaya (Twigg, 2011 dalam Arif, 2017). Kondisi sosial ekonomi masyarakat merupakan salah satu aspek kerentanan yang perlu dikaji untuk mengetahui tingkat kemampuannya dalam menghadapi bencana. Kerentanan sosial dalam penelitian ini mencakup beberapa aspek yaitu seperti pendapatan penduduk, jenis kelamin, pekerjaan dan tingkat pendidikan.

Hasil lapangan yang didapati peneliti total jiwa di Gampong Pulo Tinggi ialah berjumlah 299 jiwa yang terdiri dari perempuan sebanyak 158 jiwa (53%) dan laki-laki sebanyak 143 jiwa (47%). Umur rata-rata masyarakat Pulo Tinggi didominasi oleh penduduk usia produktif (15-64 tahun) sebanyak 211 jiwa (70%) diikuti oleh penduduk usia muda (0-14 tahun) sebanyak 57 jiwa (19%) dan penduduk kelompok lanjut usia (64 tahun keatas) sejumlah 31 orang (11%).

Kondisi ini menunjukkan bahwa jumlah penduduk kelompok rentan lebih sedikit dibanding penduduk usia non rentan sehingga penanganan disaat bencana dapat lebih mudah. Faktor gender merupakan salah satu elemen yang berpengaruh terhadap munculnya kerugian akibat bencana. Penduduk perempuan lebih rentan terhadap bencana dibanding penduduk laki-laki. Hasil penelitian ini sebanding

61

Universitas Sumatera Utara dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Twigg, 2011) di Bangladesh pada tahun 1991 bahwa data kematian perempuan berumur sepuluh tahun, tiga kali lebih besar dibanding angka kematian laki-laki pada umur yang sama.

Umur merupakan salah satu faktor yang sangat dirugikan ketika terjadi bencana. Pada umumnya usia lanjut lebih rentan secara fisik ketika terjadinya bencana disebabkan oleh berbagai masalah kesehatan seperti kardiovaskular atau gangguan pernapasan, maupun masalah degradasi masalah indra penglihatan maupun pendengaran (Twigg, 2011). Penduduk usia lanjut, wanita dan anak-anak merupakan kelompok rentan terhadap bencana sehingga perlu diutamakan untuk dievakuasi dari wilayah bencana. Hal ini harus didukung oleh rencana tanggap darurat yang matang agar proses seperti evakuasi dapat berjalan efisien dan efektif.

Selain faktor umur, kepala keluarga juga memiliki peranan penting dalam ketahanan menghadapi bencana. Pengelola rumah tangga adalah kepala keluarga dalam situasi apapun baik sebelum bencanamaupun saat terjadi bencana. Kepala rumah tangga pria memiliki kelebihan dalam pembagian tugas dalam sebuah keluarga. Hampir rata-rata setiap kepala keluarga adalah pria walaupun tidak menutup kemungkinan bagian sebagian keluarga kepala rumah tangga di kelola oleh seorang wanita yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti perceraian dan kematian. Posisi kelompok rentan seperti wanita, anak-anak dan usia lanjut adalah menunggu keputusan kepala keluarga mengenai tindakan apa yang akan dilakukan untuk mrnghadapi bencana. Dalam penelitian ini menemukan bahwa sebagian besar kepala rumah tangga di Gampong Pulo Tinggi berada di usia produktif

62

Universitas Sumatera Utara dengan umur 30-40 tahun sebanyak 20 kepala keluarga (19%), 40-50 tahun sebanyak 57 kepala keluarga (53%), dan kepala keluarga berusia lanjut (>50) sebanyak 27 kepala keluarga (25%), dan berusia muda (<30 tahun) 3 kepala keluarga (3%) dari total jumlah 107 kepala keluarga di Gampong Pulo Tinggi.

Bagi sebagian masyarakat Pulo Tinggi yang mengandalkan kepala keluarga wanita jauh lebih rentan dibandingkan mereka yang memiliki kepala keluarga laki-laki. Dimana biasanya wanita harus menyiapkan segala sesuatunya sendirian, tanpa ada bantuan dari laki-laki. Selain itu juga wanita akan lebih sulit memperoleh bantuan dalam kondisi yang kacau saat terjadi bencana (Twigg,

2011). Dalam penelitian ini jumlah kepala keluarga laki-laki lebih banyak dibandingkan kepala keluarga perempuan yaitu 71% kepala keluarganya adalah seorang laki-laki dan 29% yang memiliki kepala keluarga perempuan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga dalam satu rumah sangat bervariasi dengan anggota 5-7 orang mendominasi dengan jumlah terbanyak, diikuti oleh kelompok keluarga > 7 orang dan 0-2 orang. Banyaknya anggota keluarga dalam satu rumah disebabkan oleh satu rumah ditempati oleh lebih dari satu kepala keluarga. Biasanya pasangan yang baru menikah masih menempati rumah orang dan hidup bersama. Besarnya anggota keluarga juga mendatangkan manfaat ketika terjadi bencana, sebab anggota keluarga dapat berpartisipasi dalam menyelematkan harta benda yang lebih banyak.

Temuan lain dalam penelitian adalah tingkat pendidikan penduduk di wilayah ini didominasi oleh Sekolah Dasar (SD) sebanyak 33%, diikuti oleh yang tidak menyelesaikan Sekolah Dasar 30%, kemudian Perguruan Tinggi sebanyak 6%,

63

Universitas Sumatera Utara Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebanyak 4% dan juga Sekolah Menengah

Atas 3%. Kemudian 24% diduduki oleh anak-anak yang sedang dalam proses pembelajaran di tingkat yang belum menyelesaikan baik itu Sekolah Dasar, TK maupun bagi anak-anak yang belum sekolah. Kondisi ini juga menandakan bahwa

67% masyarakat Gampong Pulo Tinggi tidak memenuhi program wajib belajar sembilan tahun dari pemerintah. tingkat pendidikan yang rendah membuat penduduk tidak banyak memiliki pilihan pekerjaan yang dapat dilakukan. Kondisi ini yang mengakibatkan pada sulitnya meningkatkan kualitas hidup masyarakat

Pulo Tinggi. Dimana penduduk tidak punya keahlian yang baik dalam meningkatkan pendapatan melalui pekerjaan yang lebih layak.

Sebagian besar penduduk bermatapencaharian sebagai petani/pekebun sebanyak (60%) diikuti oleh wirausaha sebanyak (4.3%). Pekerjaan sebagian besar masyarakat Pulo Tinggi adalah sebagai petani di mana masyarakat mengolah hasil tanah untuk dijadikan sumber ekonomi. Penduduk yang bekerja sebagai petani akan sangat rentan ketika terjadi banjir, karena sawah maupun kebun mereka terendam yang mengakibatkan petani tidak bisa bekerja untuk memenuhi kebutuhan saat dan pasca terjadi bencana.

Masyarakat yang bermata pencaharian wiraswasta, berpendapatan relatif stabil dan tidak terpengaruh oleh banjir. Demikian pula dengan masyarakat yang berpenghasilan tinggi akan memiliki tabungan yang mampu memberikan ketahanan finansial dalam menghadapi besarnya seluruh pengeluaran ekonomi disaat pra dan pasca terjadi banjir. Penduduk dengan pendapat menengah

64

Universitas Sumatera Utara merupakan penduduk dengan tingkat kerentanan sedang. Meskipun demikian penduduk ini jauh lebih baik dibandingkan penduduk pendapatan rendah.

Kelompok rentan lainnya seperti anak-anak dan lansia juga mengambarkan kondisi tingkat kerapuhan sosial dalam menghadapi bahaya, pada kondisi sosial yang rentan maka akan menimbulkan dampak kerugian yang besar. Kerentanan sosial biasanya dilihat dari kepadatan penduduk, persentase peduduk usia tua, balita dan pemahaman masyarakat terhadap bencana. Desa Pulo tinggi yang menjadi sampel dalam penelitian ini memiliki 119 jumlah kepala keluarga.

Berikut merupakan tabel kelompok rentan berdasarkan ancaman banjir.

Tabel 4.3 Kelompok Rentan Terhadap Banjir di Gampong Pulo Tinggi Kelompok Rentan Faktor Penyebab Situasi dan Lokasi Faktor usia menyebabkan Biasanya terjadi pada dini Lansia lansia lambat dalam hari dan daerah sangat mengevakuasi diri dekat dengan aliran sungai Anak-anak Masih sangat bergantung Sangat beresiko terkena kepada orang tua, tindakan penyakit seperti diare dan yang dilakukan kadang- gatal-gatal kadang merugikan diri sendiri, masih harus dikontrol orang tua. Ibu hamil dan Kondisi fisik tidak sekuat Menyelematkan harta kelompok perempuan laki-laki benda ketempat yang lebih aman dan tetap harus mengontrol tugas rumah tangga seperti menyiapkan makanan untuk anak-anak.

Tabel di atas menunjukkan terdapat tiga kelompok yang sangat rentan terhadap banjir yaitu lansia, anak-anak dan kelompok ibu. Secara jelas klasifikasi umur mayarakat Pulo Tinggi yang terdiri dari perempuan dan laki-laki dengan

65

Universitas Sumatera Utara total 299, perempuan sebanyak 158 jiwa dan laki-laki sebanyak 143 jiwa.

Kelompok rentan seperti anak-anak yang berumur 0-12 tahun berjumlah 71 jiwa, dan lansia >70 berjumlah 19 jiwa. Banjir yang sering melanda kabupaten Aceh

Jaya menyisakan beragam masalah di tengah-tengah masyarakat. Kerentanan sosial yang dihadapi masyarakat Aceh Jaya terhadap banjir seperti lansia harus membutuhkan manusia lain untuk menyelamatkan diri.

Perempuan adalah kelompok yang paling rentan terhadap bencana karena mereka bertanggung jawab menjaga keluarga terutama anak-anak dan mereka juga berperan dalam kegiatan ekonomi keluarga. Dalam penelitian ini juga menemukan bahwa terdapat 29% kepala keluarga Gampong Pulo Tinggi yang mengandalkan seseorang perempuan. Penyebab perempuan menjadi kepala keluarga ialah seperti ditinggal mati oleh suami dan bahkan perceraian juga menjadi alasan perempuan menjadi tulang punggung dalam sebuah keluarga.

Banjir mengakibatkan beberapa aktivitas masyarakat sering terganggu seperti mengalami kerugian akibat rusaknya tanaman padi karena lamanya genangan banjir menyebabkan matinya tanaman padi. Lumpuhnya kegiatan perekonomian dan pendidikan selama terjadinya banjir dan juga kemungkinan timbulnya berbagai penyakit. Dampak lainnya yang dialami oleh masyarakat seperti ternak hilang menjadi salah satu faktor ekonomi masyarakat semakin sulit. Ternak masyarakat yang hilang/mati seperti ayam dan kerbau. Kedua hewan tersebut yang paling banyak dipelihara oleh masyarakat Pulo Tinggi. Dalam hasil diskusi peneliti dengan beberapa masyarakat Pulo Tinggi. Tahun 2015 dan 2016

66

Universitas Sumatera Utara merupakan banjir yang dampaknya sangat parah di alami oleh masyarakat Pulo

Tinggi.

Tabel 4.4 Kerugian Ternak Masyarakat Pulo Tinggi

Tahun Kejadian Nama Pemilik Jumlah 2015 Said 1 Sapian 3 Cut Din 3 Rusli 2

2016 Ibrahim 3 Ilyas 7 Idris 4 Cut Husen 6

Sumber: Dokumen Peneliti, 2018

Di atas merupakan nama-nama warga yang kehilangan kerbau pada banjir tahun 2015 dan tahun 2016. Menurut pengakuan masyarakat sebelum tahun 2015 banjir tidak separah pada 2 tahun tersebut. Pada saat tahun 2015 dan tahun 2016 tanggal pembatas air sungai rusak, hal tersebut lah yang membuat dampak sangat besar pada 2 tahun tersebut. Pemerintah baru memperbaiki tanggul tersebut akhir

2016. Akhir 2016 sampai saat belum terjadi banjir yang sangat berdampak kepada masyarakat. Masyarakat Pulo Tinggi juga tidak menyebutkan bahwa tidak terjadi banjir dari akhir 2016 sampai saat ini karena tanggul yang sudah maksimal namun menurut masyarakat Pulo Tinggi memang belum ada cuaca yang begitu ekstrim sehingga mengakibatkan banjir seperti tahun-tahun sebelumnya.

Dampak kehilangan atau bahkan kematian hewan peliharaan khususnya kerbau masyarakat Pulo Tinggi pada tahun 2015 dan 2016 tidak hanya disebabkan oleh hanyut karena dibawa banjir. tetapi sebagian disebabkan oleh tidak adanya rumput

67

Universitas Sumatera Utara untuk pakan kerbau hal tersebut yang membuat pada umunya kerbau masyarakat mati. Seperti wawancara berikut ini dengan Ibrahim salah satu masyarakat Pulo

Tinggi yang 3 kerbaunya mati pada tahun 2016.

“...Pada tahun 2016 temasuk salah satu banjir yang sangat parah melanda teunom ini. itu kami tidak menyebutnya banjir lagi tapi kami bilang bencana. Penyebab awalnya memang karena cuaca di hulu dan hilir hujan ditambah dengan tanggul yang sudah rusak pada tahun 2015 itulah saya rasa penyebab air sangat tinggi pada tahun itu. Pada saat itu kami tidak memikirkan lagi bagaimana menyelematkan kerbau yang kami fikirkan bagaimana bertahan hidup dalam banjir karena airnya sangat dalam. Hampir seluruh teunom dilanda banjir, kerbaunya tidak hanyut namun dia tidak tahu harus makan apalagi karena rumput- rumput semua terendam banjir dan beberapa hari pasca banjir kerbau pun mati, sekarang antisipasi yang saya lakukan ialah saya menyuruh orang yang kampungnya tidak terlalu parah banjir untuk memeliharanya (paruhan) di sini kami menyebutnya mawah...”

Dari pernyataan di atas bisa disimpulkan bahwa kerugian harta benda masyarakat Pulo Tinggi tidak hanya dialami pada saat banjir saja seperti rumah terendam yang kemudian harus dicat kembali oleh masyarakat, perabotan rumah tangga yang terendam dan bahkan hilang terbawa banjir. Pasca banjir juga merupakan salah satu masa sulit yang dialami oleh masyarakat Pulo Tinggi seperti matinya hewan peliharaan dan pada umumnya masyarakat Pulo Tinggi tidak bisa ke ladang atau ke kebun karena masih terendam banjir.

Banjir tidak memberi pilihan bagi masyarakat, masyarakat harus terus bertahan di wilayah rawan banjir karena mereka hanya memiliki lahan pada daerah tersebut seperti rumah, sawah dan kebun. Mayoritas mata pencaharian masyarakat adalah bertani rata-rata dari mereka mempunyai lahan minimal 5-10 petak sawah (5-20 rantai). Mata pencaharian menjadi alasan utama mereka tidak bisa meninggalkan daerah rawan banjir tersebut. Petani adalah mayoritas mata

68

Universitas Sumatera Utara pencaharian masyarakat Aceh Jaya, kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati ini dilakukan masyarakat untuk menghasilkan pangan, bahan baku industri, atau sumber energi serta juga untuk mengelola lingkungan hidupnya.

Dalam hal kerentanan ekonomi, banjir merupakan bahaya bagi masyarakat

Aceh Jaya dimana banjir akan menyebabkan ternak hilang dan termasuk gagal panen pada bidang pertanian. Pertanian merupakan sumber mata pencaharian utama masyarakat Aceh Jaya, banjir kerap kali membuat masyarakat gagal panen.

Wawancara dengan Baiti

“...Dulu kami sangat rutin menanam padi, satu desa selalu kompak ketika musim padi namun akhir-akhir ini tepat semenjak tsunami masyarakat tidak sekompak dulu, ada yang menanam padi ada juga yang tidak. Sebagian masyarakat memilih untuk mencari pekerjaan lain dibandingkan menanam padi...” Setelah tsunami menerjang Aceh, berbagai bencana terus menggoroti Provinsi yang di juluki “serambi makkah” tersebut. Salah satunya seperti banjir dan longsor yang diklaim akibat banyaknya perambahan hutan pasca konflik. Bencana ikut berkontribusi atas rendahnya pertumbuhan ekonomi salah satunya adalah pada bidang pertanian. Pertumbuhan ekonomi masih menjadi masalah utama

Aceh pada umumnya setelah 14 tahun berlalu tsunami. Banyak potensi yang seharusnya menjadi modal untuk melahirkan investasi seperti di bidang pertanian, justru tidak digarap maksimal oleh masyarakat maupun pemerintah. Wawancara dengan Maslim tokoh masyarakat Pulo Tinggi

“...Daerah Aceh Jaya ini adalah rawan banjir, memang banjir tidak selalu membuat kami gagal panen tapi seringkali demikian. Kadang setelah ditanami datang banjir sebagian yang masih punya modal menanam ulang tapi yang tidak punya modal lagi tidak menanami lagi

69

Universitas Sumatera Utara hal inilah yang menyebabkan terkadang disini tidak kompak lagi dalam menanami padi kebanyakan masyarakat saat ini beralih ke sawit...” Menurut peneliti, salah satu penyebab kerentanan yang melanda warga Pulo

Tinggi karena bermukim di lokasi berbahaya. berbahaya yang dimaksud adalah permukiman warga hanya berjarak sekitar 100 meter dari sungai. Kemudian,

Gampong Pulo Tinggi berada pada tikungan sungai yang mengakibatkan air sungai semakin mudah mengenangi permukiman ketika air sungai penuh.

Menurut Dinas Pengairan Aceh Gampong Pulo Tinggi juga berada pada daerah yang relatif datar dan rendah hingga mengakibatkan sering tergenang banjir. perubahan kondisi lingkungan Krueng Teunom sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya tanpa mengindahkan kaidah konservasi seringkali mengarah pada kondisi yang kurang diinginkan., yaitu peningkatan erosi dan sedimentasi, penurunan prosuktivitas lahan, dan percepatan degradasi lahan. Hasil akhir dari perubahan ini tidak hanya berdampak nyata secara biofisik berupa peningkatan luas lahan kritis dan penurunan daya dukung lahan, namun secara sosial ekonomi mengakibatkan masyarakat semakin kehilangan kemampuan untuk berusaha di lahannya.

Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan lainya menjadi salah satu ancaman yang serius terhadap keberlanjutan swasembada pangan di Indonesia. Namun berbeda halnya dengan yang terjadi di Aceh Jaya faktor iklim membuat sebagian masyarakat memilih menanam sawit dibandingkan padi. Masyarakat Pulo Tinggi masih menanam padi pada tanah keras yaitu tanah ladang.

70

Universitas Sumatera Utara Seperti daerah tropis lainnya, Aceh Jaya mengalami 2 (dua) musim, yaitu: musim hujan dan musim kemarau. Iklim di daerah Aceh Jaya termasuk beriklim tropis dengan suhu rata-rata 26°. Kelembaban relatif tinggi ini yakni antara 94-

98%. Kelembaban udara tertinggi terjadi pada bulan Desember dan terendah pada bulan Juni.

Aceh Jaya memiliki curah hujan kategori sedang, dengan kisaran antara 59-

242 mm, dengan periode bulan kering terjadi antara bulan Januari-bulan Juni dan bulan basah terjadi antara bulan Juli-Desember. Berikut merupakan tabel jenis ancaman penyebab banjir Aceh Jaya.

Tabel 4.5 Jenis Ancaman Penyebab Banjir Aceh Jaya Penyebab Akibat Dampak Hutan gundul Erosi, penyerapan jadi Ternak hilang, rumah terhambat, laju air terendam hingga 2 meter, semakin meninggi desa menjadi kotor, Hujan lebat Debit air meningkat, munculnya wabah pohon dan ranting penyakit, aktivitas terbawa arus air masyarakat semakin Tanggul kurang panjang Limpahan banjir akan banyak, meluap pada titik yang tidak ada tanggul, air sungai semakin tinggi dan sangat keruh

Berdasarkan tabel diatas laju diforestasi di Aceh Jaya merupakan salah satu faktor pendorong terjadinya banjir disamping hujan yang terjadi terus menerus, tidak ada tanggul juga menjadi masalah serius yang harus ditangani oleh seluruh pemerintah terkait yang ada di Aceh Jaya.

71

Universitas Sumatera Utara 4.3 Kapasitas Masyarakat dalam Menangulangi Banjir

Kapasitas masyarakat dalam menghadapi banjir sangat penting untuk

diketahui karena hal ini memberikan gambaran kondisi nyata dalam menghadapi

bencana. Ancaman banjir dapat terjadi sewaktu-waktu tetapi apabila masyarakat

memiliki kemampuan untuk menanggulangi ancaman tersebut maka risiko

bencana dapat dikurangi.

Kemampuan masyarakat yang rendah dalam menghadapi bencana di suatu

wilayah menyebabkan resiko bencana semakin tinggi. Artinya diperlukan

kemampuan masyarakat Pulo Tinggi dalam upaya pengurangan resiko bencana.

Mengurangi resiko bencana pada dasarnya adalah mengurangi ancaman dari

bahaya, mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas.

Tabel 4.6 Kapasitas Masyarakat dalam Menaggulangi Banjir Kerentanan Kapasitas Variabel Keterangan Alam  Sawah terendam  Banjir dijadikan Lingkungan  Rumah terendam masyarakat untuk Fisik  Ternak hanyut melakukan pembersihan didalam dan diluar rumah  Banyak kayu yang hanyut, kayu dimannfaatkan masyarakat untuk bahan bakar pasca banjir Manusia  Perekonomian  Gotong royong pasca Sikap rendah dan banjir Motivasi menurun  Adanya mitos jika  Masyarakat setelah hujan masih memilih untuk ada suara kodok terus tinggal artinya pertanda dirumah kemungkinan akan adanya banjir Sosial Kelembagaan  Masyarakat  Adanya Tempat

72

Universitas Sumatera Utara saling Evakuasi Sementara di mengingatkan desa. ketetangga  Jika Tempat Evakuasi apabila air sungai sementara penuh, sudah semakin mesjid dijadikan tinggi tempat pengungsian  Manfaat pemuda

Kapasitas yang merupakan lawan dari kerentanan yaitu sumber daya, kekuatan/kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat sehingga mereka mampu bertahan, memitigasi dan pulih secara cepat terhadap suatu kejadian bencana.

Dengan kata lain kapasitas merupakan aspek-aspek positif yang dapat mengurangi risiko dengan mengurangi kerentanan yang ada.

Kajian kapasitas perlu dilakukan untuk mengidentifikasi strategi yang dimiliki oleh suatu daerah dalam menghadapi bencana banjir. Seperti kerentanan kapasitas ini mencakup kondisi fisik dan non fisik (sosial ekonomi). Kapasitas yang bersifat fisik misalnya pemukiman yang di desain lebih tinggi untuk menghindari banjir, saluran pembuangan air yang cukup, penghijauan dibantaran sungai, dan alat yang dimiliki untuk pemberitahuan bencana banjir.

Sebagai daerah yang rawan banjir, masyarakat Aceh Jaya mempunyai kapasitas yang memadai dalam mencegah kerugian harta benda yang lebih banyak. Dari hasil observasi peneliti sebagian rumah yang di ada desa yang menjadi sampel penelitian dibuat jauh lebih tinggi dari permukaan tanah. Hampir rata-rata masyarakat yang ada di Pulo Tinggi tidak banyak memasukkan perabotan rumah tangga kedalam rumah karena jika banjir akan membuat mereka rugi. Mereka memilih untuk menyimpan uang dalam bentuk emas dan memperluas lahan.

73

Universitas Sumatera Utara Strategi lainnya yang terdapat di Gampong Pulo Tinggi dalam rangka mengurangi resiko kerugian akibat banjir ialah masyarakat membuat

“sandeng/pagu”9 dan kupok/keurepoh10. kedua tempat tersebut sengaja di buat masyarakat untuk menyimpan barang-barang ketika banjir. Penanaman padi yang masih pada tanah ladang membuat petani Pulo Tinggi juga mempunyai cara tersendiri dalam mengantisipasi supaya lebih mudah yaitu dengan menggunakan alat tradisional yang disebut gukee kameng. Berikut merupakan bentuk Gukee kameng serta cara pengunaanya.

Gambar 4.4 (a) Gukee kameng, (b) Cara penggunaan gukee kameng

(a) (b) Sumber : Dokumen Peneliti, 2018

9 Sandeng ialah tempat penyimpanan masyarakat Aceh yang sengaja dibuat untuk menyimpan barang, sandeng hampir mirip dengan platfom rumah pada jaman sekarang, Cuma perbedaannya jika platform dibuat dari bahan yang tidak kuat untuk menyimpan barang yang berat misalnya asbeh atau triplek namun sandeng dibuat dari kayu dan sedikit di beri lubang untuk meletakkan barang baik pada saat banjir maupun pada saat menyimpan barang yang sudah tidak dipakai. Sandeng juga memiliki multifungsi selain untuk penyimpan barang juga dijadikan sebagai platfom. Namun pada saat ini sangat sulit ditemukan rumah yang memiliki sandeng. 10 Kupok atau Keurepoh (lumbung padi) awalnya hanya berfungsi untuk kesiapsiagaan dibidang pertanian masyarakat supaya padi tetap pada tempat penyimpanannya maka padi tersebut diletak di dalam lumbung padi bahasa Aceh di sebut kupok atau keurepoh. misalnya untuk gambar diatas merupakan lumbung padi masyarakat yang dibuat lebih tinggi dari tanah agar terhindar dari kelembaban tanah maupun juga dari banjir. seperti gambar lumbung padi tidak hanya dimanfaatkan untuk penyimpanan padi namun lumbung padi juga bisa dimanfaatkan masyarakat untuk menyelematkan barang-barang saat banjir. menurut cerita yang saya dengar pada zaman dahulu di Aceh lumbung padi merupakan tanda kemakmuran seseorang, kecil besar menanda kemakmuran seseorang.

74

Universitas Sumatera Utara Tanah yang hanya mengandalkan dari hasil air tadah hujan tersebut membuat masyarakat Pulo Tinggi mempunyai cara tersendiri agar mudah dalam menanam bibit padi. Berdasarkan pengetahuan/kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat

Pulo Tinggi ialah misalnya menanam padi dengan menggunakan alat tradisional yang disebut Gukee Kameng.

Alat tradisional diatas digunakan oleh masyarkat Pulo Tinggi untuk menanam padi. Penggunaan alat diatas mempermudah petani dalam menanam padi. Cara menggunakan alat tersebut ialah tunas padi yang sudah tumbuh dimasukkan pada ujung alat tersebut, lalu tunas padi yang masih kecil tersebut dimasukkan kedalam tanah berserta dengan gukee kameng. menurut pengakuan petani Pulo Tinggi bagi yang sudah sering menggunakannya alat tersebut maka terasa akan jauh lebih mudah karena tangan penanam padi tidak tersentuh dengan tanah, akar-akar padi langsung tersangkut pada gukee kameng. untuk hasil padi yang diperoleh oleh petani juga sama bagusnya dengan penggunaan teknik penggunaan padi pada umumnya artinya petani tidak mengalami kendala walaupun harus menanam padi dengan cara tradisional. Yang menjadi kendala petani saat menanam padi ialah jika musim hujan atau bahkan banjir. banjir mengakibatkan tanaman padi para petani mudah diserangi hama keong, menurut pengakuan petani jika musim hujan keong menjadi lebih banyak dibandingkan dengan pada musim relatif normal.

Wawancara dengan pak Jahidin.

“...Tanah tempat saya menanam padi termasuk daerah yang tidak terlalu rawan banjir jadi jarang saya mengalami kerugian padi akibat banjir. namun terdapat beberapa masyarakat yang lahan sawahnya sangat rawan akan banjir. kalau saya sendiri kerugian paling disebabkan oleh

75

Universitas Sumatera Utara masalah hama seperti keong padi, apalagi musim banjir walaupun sawah saya tidak terendam banjir hama juga menjamuri sawah saya. Keong padi kalau saat banjir sangat banyak pertumbuhan semakin banyak bila hujan atau banjir. cara mengatasi hama di sawah yang bagi memiliki uang menyemprot dengan obat-obatan yang di beli. Tapi kalau saya sering tidak ada uang untuk membeli obat-obatan tersebut karna kadang-kadang anak saya butuh uang untuk keperluan kuliahnya...”

Seperti pernyataan di atas terkadang para petani terkendali masalah keuangan dalam merawat tanaman padi. Seperti Jahidin, dia harus pandai membagi antara biaya dalam menanam padi dan untuk biaya kuliah anaknya. Terkadang hal yang demikianlah yang membuat petani sering sekali tidak mencapai target pada saat panen padi, modal yang terbatas membuat petani tidak maksimal dalam penanaman padi di Pulo Tinggi. Di wilayah Pulo Tinggi petani masih menanam padi setahun sekali karena menurut mereka menanam padi setahun 2 kali atau diwilayah Aceh Jaya sering di sebut padi P (padi pendek) membutuhkan modal yang banyak. Terkadang masyarakat terkendali masalah modal dalam menanam padi, modal yang dimaksud disini ialah misalnya pengeluaran untuk membajak tanah, pengeluaran untuk pemupukan dan bahkan pengeluaran untuk biaya tak terduga misalnya harus di beri obat jika terserang hama dan bahkan harus rela tidak bekerja lepas untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari demi menjaga ladang karena di serang oleh monyet bahkan babi. Jadi beberapa kendala diatas membuat petani Pulo Tinggi masih setia dalam menanam padi tahunan di bandingkan menanam padi P. Alasannya lainnya petani masih enggan menanam padi P ialah karena padi P sepanjang tahun mereka harus fokus ke ladang, artinya mereka tidak punya kesempatan untuk bekerja lain untuk memenuhi kebutuhan sekunder lainnya seperti menutup kredit sepeda motor dan bahkan membeli peralatan

76

Universitas Sumatera Utara rumah tangga seperti televisi dan kulkas. Menurut petani padi Pulo Tinggi menanam padi P selain membutuhkan modal banyak juga sangat membatasi ruang kerja mereka untuk berpenghasilan lebih karena tidak bisa kemana-mana petani harus fokus dalam merawat padi agar mendapatkan hasil yang di inginkan.

Berikut ini merupakan Tabel penghasilan rata-rata petani.

Tabel 4.7 Penghasilan Petani Padi Gampong Pulo Tinggi Pertahun Rata-Rata Pendapatan rata-rata dan massa Ukuran tanah Maksimal Minimal Gunca Naleh Kg Gunca Naleh Kg 1 Rantai 4 40 720 1 10 180 Sumber: Dokumen Peneliti, 2018 Tabel diatas merupakan penghasilan maksimal dan minimal petani Pulo

Tinggi dalam menanam padi. Penghasilan maksimal dan minimal sangat dipengaruhi oleh pupuk dan juga hama yang menyerang padi petani Pulo Tinggi.

Maksimalnya penghasilan pertahun sangat dipengaruhi oleh pupuk yang mereka berikan terhadap tanaman padi mereka, kemudian ketika kondisi alam kurang baik banyak hama yang menyerang padi mereka terutama keong pemakan batang padi.

Kedua hal tersebutlah yang sangat berpengaruh terhadap penghasilan petani Pulo

Tinggi.

Petani Pulo Tinggi masih mengenal istilah padi dalam satuan berat seperti gunca dan naleh. Lebih sederhananya 1 gunca berarti sama dengan 10 naleh padi,

1 naleh beratnya adalah 18 kg. Rata-rata petani Pulo Tinggi paling sedikit menanam padinya 4-12 rantai dan bahkan ada juga yang menanam 1 Ha hingga 1

½ ha pertahunnya. Pada umumnya masyarakat Pulo Tinggi rata-rata menanam

77

Universitas Sumatera Utara padi baik pada lahan sendiri bahkan pada lahan sewaan. Sistem sewa tanah di

Pulo Tinggi ialah tergantung luasan tanah yang di sewa oleh petani padi kepada pemilik tanah. Dalam 1 rantai petani harus menyerahkan hasil padi kepada pemilik tanah sebanyak 1 naleh (18 kg). Namun ketentuan tersebut tidak mutlak tergantung juga kepada hasil padi yang di dapati oleh petani setelah panen.

Berikut merupakan kelender musim Gampong Pulo Tinggi.

Tabel 4.8 Kalender Musim Gampong Pulo Tinggi

No Aktivitas/Musim Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 A Iklim 1 Hujan 2 Kemarau 3 Banjir B Pertanian 1 Padi Thon 2 Jagung 3 Palawija 4 Langsat 5 Jambu Air 6 Kuini 7 Rambutan 8 Sawo 9 Bungong Kayee11 10 Hama Tikus/Babi C Lain-Lain 1 Tolak Bala 2 Maulid 3 Kenduri Apam 4 Kenduri Blang12 5 Pesta 6 Penyakit Tha‟en13 Sumber: USAID, 2006

11 Musim bungong kayee dimana buahan-buahan di daerah ini berbunga 12 Tradisi yang dilakukan ketika mau turun ke sawah 13 Epilepsi, yang biasa menyerang hewan peliharaan masyarakat

78

Universitas Sumatera Utara Adapun manfaat kalender musim di atas ialah untuk menentukan waktu tanam setiap musim, menentukan pola tanam, rotasi tanam, dan rekomendasi serta mengurangi resiko penurunan dan kegagalan produksi serta kerugian petani akibat banjir, kekeringan dan serangan OPT (Organisme Pengangu Tanaman). Begitu pula masyarakat Pulo Tinggi kalender musim dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mengatur pola tanam pada setiap musim. Masyarakat Pulo Tinggi sangat menghindari menanam padi pada musim kemarau karena pada umumnya masyarakat masih menanam padi mengandalkan air tadah hujan, seperti pada kalender musim di atas menunjukkan bahwa masyarakat mulai menabur benih hingga menanam padi pada bulan yang sering turun hujan seperti September-

April.

4.3.1 Resiliensi Masyarakat Terhadap Banjir Tidak hanya pada bidang pertanian saja yang menyebabkan masyarakat sangat rentan terhadap banjir di Aceh Jaya, kerugian harta benda juga menjadi faktor utama yang sangat membuat masyarakat harus siap dengan resiko-resiko yang disebabkan oleh bahaya banjir. Seperti rusaknya perabotan rumah tangga baik itu buffet, lemari bahkan barang elektronik seperti mesin cuci dan juga kulkas. Namun warga Pulo Tinggi mempunyai adaptasi dalam meminimalkan kerugian yang diakibatkan banjir. Seperti wawancara berikut ini dengan salah satu masyarakat Pulo Tinggi.

Wawancara dengan Idris

“...Coba lihat nak kondisi rumah saya semua sudah rusak akibat banjir lalu dia menunjukkan sebuah lemari yang sudah dibuat semacam pantee__ meja__ dan diatasnya diletakkan lemari, lemari baju tersebut

79

Universitas Sumatera Utara sudah tidak memiliki pintu lagi baju yang tersusun dilemari tersebut bisa langsung terlihat oleh kita...” Saya melihat adanya perasaan stres terhadap informan ketika menunjukkan hampir seluruh perabotan dirumahnya rusak akibat terendam banjir yang terjadi terus menerus. Namun, meskipun harta benda rusaknya namun masyarakat Pulo

Tinggi tetap mempunyai adaptasi dalam menyelematkan harta benda seperti membuat “pantee” seperti yang dijelaskan Idris dalam wawancara di atas.

Menurut Reivich. K dan Shatte. A yang dituangkan dalam bukunya “The

Resiliency Factor” menjelaskan bahwa resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berata atau masalah yang terjadi dalam kehidupan (Reivich. K & Shatte. A, 2002). Berikut merupakan adaptasi yang dilakukakn masyarakat dalam menyelematkan harta benda.

Gambar 4.5 Lemari yang diletakkan di atas pantee

Sumber : Dokumen Peneliti, 2018 Gambar di atas adalah salah satu lemari masyarakat yang diletakkan diatas meja yang dibuat oleh masyarakat untuk mencegah kerusakan perabotan rumah tangga agar bisa bertahan lebih lama. Pantee tersebut diletakkan oleh masyarakat

80

Universitas Sumatera Utara Pulo Tinggi pada bagian perabotan yang mudah rusak jika terendam banjir. tidak hanya lemari, buffet dan kulkas yang diletakkan pada pantee seperti di atas, sebagian masyarakat juga ikut meletakkan tempat tidur mereka pada meja peninggi yang dibuat oleh mereka.

Gambar 4.6 Dipan yang diletakkan pada Pantee

Sumber : Dokumen Peneliti, 2018 Gambar diatas diambil oleh peneliti pada salah satu rumah masyarakat Pulo

Tinggi yang lantai rumahnya masih rendah dibandingkan rumah-rumah masyarakat lainnya yang sudah jauh lebih tinggi. Pantee yang diletakkan dibawah dipan tersebut sengaja tidak dipindah-pindahkan lagi oleh pemilik rumah dengan alasan sangat repot jika harus dipindahi dan dipasangi kembali ketika banjir.

Dalam menimalkan kerugian akibat banjir masyarakat Pulo Tinggi tidak hanya membuat meja seperti pada gambar diatas. Namun beberapa masyarakat juga ada yang membuat salah satu bagian rumahnya saja yang ikut tinggi. Seperti wawancara dengan masyarakat berikut ini:

“...Untuk saat ini saya hanya sanggup meninggikan satu kamar saja berbeda dengan rumah yang lain yang kebanyakan sekarang rumah- rumah sudah banyak yang tinggi. Jadi banjir kami bisa mengungsi didalam kamar tersebut terlebih dahulu sebelum airnya semakin tinggi,

81

Universitas Sumatera Utara sebelum membuat kamar ini jadi lebih tinggi saya dan keluarga memilih untuk mengungsi di sandeng rumah kami saja, tetapi itu sangat panas karena sangat dekat dengan genteng jadi makanya saya membuat kamar itu saja...”

Seperti data di atas bahwa 59% rumah masyarakat Gampong Pulo Tinggi masih rendah, menurut hasil temuan dilapangan bahwa mereka yang pondasi rumah masih adalah penduduk yang berpenghasilan rendah. Salah satu solusi yang dilakukan oleh masyarakat adalah meninggikan satu bagian yang dianggap sangat penting dalam rumah tersebut. Seperti kamarmdan dapur.

Gambar 4.7 Bagian kamar yang ditinggikan

Sumber : Dokumen Peneliti, 2018 Gambar di atas merupakan salah satu rumah masyarakat Pulo Tinggi yang hanya meninggikan bagian kamarnya saja. Alasan hanya kamar saja yang ditinggikan ialah karena banyak yang terdapat barang penting yang terdapat didalam kamar seperti tempat tidur, lemari baju bahkan dokumen penting selain alasan tersebut bagi masyarakat Pulo Tinggi yang hanya meninggikan bagian kamar saja disebabkan oleh masalah finansial. Selain meninggikan bagian fondasi dalam kamar terdapat juga masyarakat yang membuat meja peninggi yang tidak

82

Universitas Sumatera Utara selalu diletakkan di bawah perabotan yaitu hanya digunakan ketika banjir saja.

Seperti gambar berikut ini:

Gambar 4.8 Pantee

Sumber : Dokumen Peneliti, 2018

Gambar diatas merupakan meja banjir yang hanya digunakan oleh masyarakat

Pulo Tinggi pada saat banjir saja. Namun ketika tidak banjir seperti pada gambar diatas meja banjir tersebut disimpan dan diletakkan pada tempat-tempat yang aman. Meja banjir biasanya disimpan oleh masyarakat Pulo Tinggi pada tempat yang tertutup agar meja banjir tersebut bertahan lama bahkan sebagian masyarakat

Pulo Tinggi ada yang menyimpannya di dalam rumah.

Beberapa gambar diatas merupakan resiliensi/adaptasi yang dilakukan oleh warga Pulo Tinggi dalam mengurangi kerugian. Penting adanya kapasitas individu untuk menanggapi segala sesuatu dari ancaman bahaya. Masyarakat mengambil makna dari pengetahuan dan pengalaman sebelumnya untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi kesulitan seperti bencana dengan cara yang tepat.

Untuk mengurangi kerentanan terhadap banjir perlu identifikasi terhadap faktor faktor yang mempengaruhi kondisi kehidupan di sekitar masyarakat.

83

Universitas Sumatera Utara Kondisi yang dimaksud adalah lingkungan sosial, budaya, ekonomi dan lingkungan.

Selanjutnya faktor-faktor tersebut dielaborasi dengan kearifan lokal yang ditengah-tengah masyarakat untuk mengurangi kerentanan masyarakat terhadap bencana gempa dan tsunami.Pada faktor-faktor tersebut upaya mengurangi kerentanan sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan dibutuhkan pemahaman terhadap nilai-nilai lokal.

4.3.2 Resiliensi dan Kearifan Lokal dalam PRB Banjir Aceh Jaya

Bagian ini mendeskripsikan bentuk resiliensi pada masyarakat Pulo Tinggi yang tinggal di rawan bencana banjir. Seperti telah dijelaskan di atas, masyarakat telah meletakkan perabotan-perabotan rumah tangga pada bagian yang lebih tinggi seperti membuat pantee dan bahkan beberapa masyarakat juga meninggikan beberapa area rumah seperti kamar tidur. Kemudian, untuk menyelamatkan sepeda motor dan bahkan hewan peliharaan seperti ayam/bebek masyarakat juga meletakkannya pada tempat yang tinggi dan bebas dari banjir, beberapa masyarakat lainnya mengakui bahwa sebagian dari mereka ada yang mengantungkan sepeda motornya pada pohon-pohon dengan cara diikat menggunakan tali yang kuat. Kemudian begitupun halnya dengan kadang ayam/bebek juga ikut di ikat pada tempat yang tinggi seperti pada bagian-bagian rumah yang tinggi seperti pada pohon-pohon yang tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Ana Setyowati (2010) yang menyatakan resiliensi merupakan kemampuan yang di miliki individu dalam mengatasi tantangan/kesulitan dalam

84

Universitas Sumatera Utara hidupnya serta kesehatan dan energi yang baik sehingga individu dapat melanjutkkan hidup dengan sejahtera.

Untuk menggali kearifan lokal yang ada dimasyarakat, peneliti melakukan penggalian data dan informasi di beberapa Gampong di kecamatan Teunom diantaranya Pulo Tinggi, Paya Baro, dan Rambong Payong. Dengan mewawancarai tokoh masyarakat yang terdampak banjir peneliti menemukan ada dua kearifan lokal yang pernah dilakukan oleh masyarakat agar terhindar dari bencana seperti tulak bala dan kenduri blang. Kearifan lokal tersebut memang tidak secara spesifik berkaitan dengan penanganan bencana, tetapi bisa dimanfaatkan sebagai strategi untuk lebih mengoptimalkan upaya pengurangan risiko bencana. Pengurangan resiko bencana berdasarkan kearifan lokal akan lebih bisa diterima dan di adopsi oleh masyarakat karena sesuai dengan kondisi sosial dan budaya yang ada di masyarakat itu sendiri.

Untuk mengikat komitmen antar elemen masyarakat dalam meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi ancaman bencana banjir diperlukan upaya menyatukan persepsi pemangku kepentingan seperti pemerintah, pemuka agama, pemuka adat, dan juga tokoh masyarakat. Selama ini upaya penanggulangan bencana cenderung bertumpu terhadap peran pemerintah. Untuk mengikat komitmen ini diperlukan inisiatif dari pemangku kepentingan untuk merumuskan strategi peningkatkan kesiapsiagaan masyarakat berdasarkan kearifan lokal.

Kearifan lokal yang terus dilakukan di beberapa tempat di Aceh Jaya ini selalu menuai beragam pendapat dari masyarakat Aceh ada yang pro terhadap hal

85

Universitas Sumatera Utara tersebut demikian pun sebaliknya. Kearifan lokal yang dilakukan di Aceh selalu dikaitkan dengan nilai keagamaan, masyarakat yang kontra terhadap kearifan lokal yang selalu berkaitan dengan keagamaan mengangap agama dan budaya tidak bisa disatukan begitu pun masyarakat yang pro selalu menghubungkan antara budaya selalu membutuhkan konsep agama. Keberadaan kearifan lokal di

Aceh akan mendapatkan legitimasi dari masyarakat jika berazaskan nilai-nilai dan norma keislaman.

4.3.2.1 Kearifan Lokal Tulak Bala

Ritual tulak bala adalah penangkal bencana (bahaya penyakit dan sebagainya.

Dengan mantra (kenduri) yang bermaksud menolak kejadian-kejadian yang tidak diinginkan ditengah-tengah masyarakat. Misalnya berbagai macam bencana alam, wabah penyakit, dan terhindar dari gangguan-gangguan makhluk gaib yang berniat menganggu baik itu makhluk halus, jin, setan, sebagainya. Nilai-nilai yang terkandung dalam tolak bala yaitu ketenangan, kebersamaan, kekeluargaan.

Bagi masyarakat yang masih memegang sebagian besar tentang nilai-nilai kearifan lokal pelaksanaan tulak bala masih dilakukan secara periodik. Namun hal ini sudah sangat langka ditemukan di Aceh Jaya. Menurut tokoh-tokoh yang ada di Gampong Pulo Tinggi tulak bala merupakan suatu perbuatan yang sia-sia seperti memotong kepala kambing atau ayam lalu dihanyutkan di sungai. Namun tidak semua masyarakat berpandangan sama terhadap tulak bala. Di tengah pro dan kontra masyarakat terhadap pandangan tulak bala namun ritual ini masih saja dilakukan oleh sekelompok masyarakat. Bagi kelompok masyarakat yang masih

86

Universitas Sumatera Utara melakukan ritual tulak bala mengangap ini adalah sebuah kearifan lokal yang harus terus di jaga karena dalam tulak bala terdapat beberapa nilai seperti menyambung silaturahmi, mengaji bersama bahkan shalat zuhur bersama selain dapat memperkuat rasa kekeluargaan dalam satu gampong tulak bala juga merupakan salah satu upaya mengantisipasi musibah yang berkaitan dengan aktivitas yang dilakukan masyarakat.

Ladang dan kebun merupakan sumber ekonomi masyarakat Pulo Tinggi. Doa tolak bala ditujukan sebagai permohonan supaya ladang dan kebun petani terhindar dari musibah seperti banjir.

Masyarakat Aceh Jaya melakukan ritual ini biasanya pada setiap rabu abeh yaitu dilakukan pada setiap pergantian tahun dalam Islam atau 27 Safar (Hijriah).

Tujuannya ialah agar terhindar dari marabahaya. Kebersamaan diantara masyarakat juga tercipta dengan adanya ritual ini. Biasa ritual dilakukan dipinggir-pinggir sungai, palaksanaan doa tulak bala melibatkan beragam unsur meliputi tengku (tokoh agama), keuchik, tuha peut serta masyarakat gampong

Pulo Tinggi. Tolak bala dilakukan dengan berbagai rangkaian kegiatan seperti membaca surah yasin, doa tolak bala dengan menyediakan persembahan seperti kepala kambing yang kemudian di hanyutkan di laut atau di sungai dan kemudia diakhiri dengan makan bersama.

Pada dasarnya ritual tulak bala merupakan bagian dari kegiatan perpaduan antara agama dan adat. Introduksi nilai-nilai kesiapsiagaan bencana dalam tulak bala dapat dilakukan peran serta tokoh-tokoh masyarakat seperti tuha peut dan

87

Universitas Sumatera Utara keuchik. Dalam ritual tulak bala diselipkan pesan atau haba cara-cara kesiapsiagaan yang dilakukan oleh nenek moyang terdahulu. Begitu pun juga dalam ceramah yang mencakup ikhtiar menyelamatkan diri dari ancaman bencana. Sedangkan aparatur gampong memegang andil dalam mensosialisasikan upaya pencegahan terhadap bencana yang digagas oleh pemerintah.

Gambaran diatas merupakan ritual tulak bala yang hanya dilakukan oleh sebagian masyarakat Pulo Tinggi saat ini. sebagian masyarakat menganggap ritual tulak bala sudah tidak relevan untuk saat ini. Tulak bala hanya ritual kuno yang menghubungkan Islam dan Hindu dan masyarakat mengangap itu adalah perbuatan musyrik. Perubahan nilai sosial yang terjadi pada ritual tulak bala seperti masyarakat menjadikan tulak bala sebagai ajang rekreasi bersama keluarga dan pasangan muda-mudi yang belum terikat tali pernikahan menghabiskan waktu berdua di tepi sungai dan pantai. dikhawatirkan ritual tulak bala semakin tidak relevan dengan nilai-nilai kebudayaan dan akan punah di masa mendatang.

4.3.2.2 Kearifan Lokal Kenduri Blang

Kenduri blang memegang peranan penting dalam bidang pertanian di Aceh.

Di gampong-gampong, perangkat ini masih berfungsi untuk mengatur jadwal tanam dan tata cara bertani yang serentak. Bagi masyarakat Aceh, pertanian merupakan puncak dari segala usaha. Iskandar Norman mengatakan, Kenduri blang adalah tradisi masyarakat Aceh, apalagi daerah masyarakat yang dekat dengan pemukiman persawahan dimana mata pencaharian mereka adalah bertani, kenduri blang adalah momentum mempersatukan para petani dalam memperoleh hasil padi yang memuaskan. Bertani mempunyai nilai yang tinggi dalam tatanan

88

Universitas Sumatera Utara masyarakat Aceh dan memiliki aturan tersendiri. Sehingga ditunjuklah salah seorang keujren blang yang khusus menangani pertanian.

Keujren blang dalam pasal 1 angka 22 Qanun nomor 10 tahun 2008 menyatakan bahwa keujren blang adalah orang yang memimpin dan mengatur kegiatan di bidang usaha persawahan. Hal ini dapat dimaknai bahwa dalam menjalankan tugasnya keujren blang berfungsi menbantu keuchik di bidang pengaturan dan penggunaan iragasi persawahan. Meskipun keujren blang dipandang strategis dalam pembangunan pertanian dan pedesaan di Aceh, namun dalam prakteknya, efektivitas dan fungsi keujren blang belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Sebagaimana dinyatakan oleh Juanda (2002) bahwa yang dilakukan oleh keujren blang hanyalah melaksanakan tugas rutinitas semata yang bersifat fragmatis, sehingga tidak menyentuh pokok persoalan penyebab menurunnya semangat gotong royong oleh karena tidak optimalnya peran maupun kinerja yang diberikan lembaga keujren blang yang pada beberapa waktu terakhir menghadapi beberapa masalah seperti lemahnya kepemimpinan lokal, struktur organisasi yang kurang mendidik, minimnya intervensi pemerintah dalam menguatkan kelembagaan ini, dan sebagian subtansi aturan adat sudah kurang relevan dengan kondisi dan perkembangan masyarakat.

Selain keujren, didalam kenduri blang juga membahas masalah hari dan bulan yang baik untuk bercocok tanam hal tersebut di Aceh di kenal dengan keunong jika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berarti kena. Dalam bertani masyarakat Pulo Tinggi selalu berkaitan erat dengan perubahan cuaca dan iklim.

Menurut (Zulchaidir dkk, 2013) Dalam menentukan perubahan iklim masyarakat

89

Universitas Sumatera Utara Aceh melihat fenomena alam salah satunya pertemuan antara bintang kala dan bulan di langit yang kemudian kita kenal dengan keunenong.

Dasar perhitungan keunenong berpedoman pada pertemuan gugusan bintang kala dengan peredaran bintang di langit. Selain bintang kala sebagai pedoman utama dalam pengatur musim di Aceh, dikenal juga kumpulan bintang besar lainnya seperti bintang lhee dan bintang biduk.

Menurut Hungronje (1985) terdapat 13 atau 14 keunong dalam setahun, namun pada kenyataannya, masyarakat Aceh hanya mengenal 1 keunong saja dalam setiap bulannya. Oleh karena itu dalam pakteknya masyarakat Aceh hanya mengenal 12 keunong saja. Adapun 12 keunong tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 4.9 Kalender Keneunong Bulan Keunong Tanda Alam (Masehi) Januari 23 Dimalam hari angin bertiup kencang, bulir padi yang belum cukup berisi menjadi kosong, angin bertiup dari arah timur, intensitas hujan rendah, keunong terjadi pada 3, 13, dan 23 hari bulan dilangit. Februari 21 Padi sudah bisa di panen, mulai menabur benih baru, mulai menanam palawija, musim kawan burung, angin bertiup dari timur, keunong terjadi pada 1, 11 dan 21 bulan di langit. Maret 19 Padi sudah mulai di panen, benih baru sudah mulai ditabur, angin bertiup dari timur. Keunong terjadi pada pada 9 dan 19 bulan di langit. April 17 Dimulai angin di barat, hujan disertai petir, angin berhembus kencang, terjadi “ulee meunang barat”, tidak terjadi penyerbukan pada tanaman, keunong terjadi padi 7, 17 dan 27 hari bulan langit. Mei 15 Terjadi hujan, angit bertiup dari barat (barat teupat), sawah mulai berarir, mulai membajak sawah, banyak hama walang sangit, sarang tawon dibuat

90

Universitas Sumatera Utara lebih rendah, di laut terjadi angin kencang, badai ( disertai hujan petir), gelombang tinggi, keunong terjadi pada 5, 15 dan 25 bulan di langit. Juni 13 Petani turun kesawah secara serentak, musim “luah blang” telah berakhir, angin bertiup dari barat, keunong terjadi pada 3, 13 dan 23 hari bulan di langit. Juli 11 Bintang tiga berkilau terang, petani mulai menanam (tabe jareung), keunong terjadi pada 1, 11 dan 21 hari bulan di langit. Agustus 9 Kepiting darat atau biengkong atau krungkong berkeliaran seolah-olah tidak dapat menemukan saranngnya. Padi di “tabu rata”, keunong terjadi padi 9,19 dan 29 hari di langit. September 7 Tidak terjadi penyerbukan pada tanaman, musim kawin anjing, keunong terjadi pada 7, 17 dan 27 hari di langit. Oktober 5 Dimulai musim timur, masa peralihan antara musim angin timur dan barat, terjadi “ulee meunang timu” di laut, keunong terjadi pada 5, 15 dan 25 hari di langit. November 3 Keadaan laut relatif tenang, hasil tangkapan ikan lebih banyak, ikan tongkol berlimpah, keunong terjadi 3, 13 dam 23 hari dilangit. Desember 1 Hujan lebat, petani sudah selesai memanen padi, keunong terjadi padi 1, 11 dan 21 hari di langit Sumber : Zulchaidir, 2013 Pengetahuan sistem keneunong mempunyai manfaat yang sangat besar terutama bagi petani dan nelayan. Berbagai kegiatan pertanian disesuaikan dengan kalender ini , seperti aktifitas membajak, manabur benih, sampai pada hasil panen. keneunong memberikan pengetahuan dasar terhadap petani untuk memulai aktivitas yang baik di bidang pertanian. Secara luas keuneunong juga dipakai oleh masyarakat aceh sebagai pedoman aktivitas sehari-hari dalam melakukan pekerjaan yang besar maupun pekerjaan yang di anggap ringan sekalipun. Seperti halnya membangun rumah, membuat pesta sunat rasul bahkan pernikahan

91

Universitas Sumatera Utara masyarakat Aceh selalu melihat hari yang baik sebagai waktu yang tepat untuk melakukan aktivitas dengan mempedomani pada kelender keunenunong.

Beberapa kegiatan diatas merupakan pembahasan yang dibicarakan pada saat melakukakan ritual kenduri blang. Masyarakat Pulo Tinggi sedikit unik dalam hal melakukan ritual kenduri blang. Mereka melakukan ritual semacam memberikan makanan terhadap padi-padi yang telah mereka tanam dengan tujuan yang sama dengan masyarakat Aceh pada umumnya. Kronologis ritual yang mereka lakukan adalah masing-masing dari rumah tangga menyiapkan 3 atau 4 bungkus nasi untuk dibawa ketempat acara kenduri blang. Satu dari nasi yang mereka bawakan disisihkan untuk melakukan ritual kenduri blang. Bungkusan nasi yang telah di kumpulkan dimasukkan kedalam satu wadah untuk selanjutnya di aduk sama rata.

Nasi-nasi yang telah mereka campur aduk akan dibagikan kepada setiap masyarakat yang menanam padi pada saat itu untuk lalu ditaburkan kesawah- sawah yang telah mereka tanami padi. Dengan tujuan agar padi tetap tumbuh sehat hingga pada saat panen tiba.

Untuk ritual seperti memberikan makan terhadap padi menjadi pro dan kontra ditengah masyarakat. Sebagian mengangap itu adalah hal yang sia-sia karena membuang buang nasi. Sebagian masyarakat menganggap itu adalah tradisi yang harus terus dilestarikan. Walaupun ritual mengaduk aduk nasi menjadi pro dan kontra ditengah masyarakat namun ritual terus dilestarikan dibeberapa kelompok masyarakat di Aceh Jaya saat ini.

92

Universitas Sumatera Utara Namun kendatipun demikian, tujuan daripada kenduri blang sendiri ialah untuk membentuk sebuah kekeluargaan, kenduri blang juga bermakna keislaman, karena disini adanya kegiatan berdoa bersama dan membacakan surat pendek.

Dengan tujuan agar mendapatkan hasil panen yang memuaskan dan dijauhi dari segala wabah penyakit termasuk juga gagal panen yang disebabkan oleh banjir. karena kenduri blang di Aceh dilakukan dalam bentuk rasa syukur kepada sang pencipta dan sebagai media penyampaian pesan kepada masyarakat tani mengenai pelaksanaan turun ke sawah. Kenduri blang dilakukan pada setiap setiap bulan

Muharram yang sekaligus merupakan musim tanam dalam kalender tani/keneunong masyarakat di Aceh.

Beberapa kearifan lokal yang terdapat di Aceh khususnya Aceh Jaya pada umumnya tidak ada hubungan dengan pengurangan resiko banjir. Namun terdapat nilai-nilai moral yang terkandung dari ritual yang mereka lakukan yaitu bagaimana menunjukkan rasa bersyukur terhadap Tuhan.

93

Universitas Sumatera Utara BAB V

KAPASITAS PEMERINTAH KABUPATEN ACEH JAYA DALAM

MENANGGULANGI BANJIR

Bab kelima berisi kapasitas Pemerintah Kabupaten Aceh Jaya dalam menanggulangi banjir. Secara umum bagian ini membahas tentang upaya BPBK dalam menanggulangi banjir, analisis tahapan penanggulangan bencana Aceh Jaya oleh BPBK, faktor penghambat dalam penanggulangan bencana.

5.1 Upaya Badan Penanggulangan Kabupaten dalam Menanggulangi Banjir Upaya penanggulangan banjir di Kabupaten Aceh Jaya perlu dimulai dengan adanya kebijakan daerah yang bertujuan untuk menanggulangi bencana banjir sesuai dengan peraturan yang ada. Strategi yang ditetapkan daerah dalam menanggulangi bencana banjir perlu disesuaikan dengan kondisi daerah yang sering terjadi bencana banjir.

Untuk mendukung pengembangan sistem penanggulangan bencana banjir yang mencakup kebijakan strategi dan operasi secara Nasional mencakup pemerintah pusat dan daerah. Sesuai dengan wawancara dengan Maradona, yaitu:

“...Disini BPBK adalah sebagai koordinator yang dibentuk dalam Qanun kabupaten Aceh Jaya, dalam penanggulangan bencana baik itu banjir maupun bencana lainnya BPBK tidak bekerja sendiri, instansi lainnya juga berperan dalam menanggulangi bencana, seperti dinas pekerjaan umum, dinas sosial dan instansi lain yang terkait...” Berdasarkan pernyataan diatas dapat diklasifikasikan bahwa Badan

Penanggulanan Bencana Kabupaten tidak bekerja sendiri dalam menanggulangi bencana. Keberadaan BPBK sebagai ujung tombak pemerintah Aceh Jaya dalam

94

Universitas Sumatera Utara menanggulangi bencana makin terarah, karena selama ini masing-masing instansi baik dari pemerintah maupun LSM-LSM bergerak sendiri-sendiri. Keberadaan

BPBK sebagai koordinator dalam penanggulangan bencana menjadi salah satu cara agar banjir dapat diatasi dengan cepat dan tepat di Aceh Jaya. Ini sesuai dengan pernyataan kepala bidang tanggap darurat BPBK Rimbawan.

“...Jika kita lihat semenjak adanya Badan Penanggulangan Bencana Kabupaten Aceh Jaya, alhamdulillah penanganan bencana sudah mulai membaik. Pasca tsunami Aceh 2004 silam Pemerintah sudah mulai fokus dan peduli terhadap penanganan bencana secara keseluruhan. Jika dulu banyak masyarakat yang ingin membantu korban banjir tetapi sering sekali salah sasaran namun saat ini alhamdulillah dengan adanya BPBK bantuan hampir selalu jatuh ketangan yang tepat. Misalnya ada bantuan dari penggalangan dana mahasiwa, mereka sering memberi bantuan kepada masyarakat yang tidak terlalu parah terkena banjir, namun sekarang bantuan diberi kepada yang tepat karena mereka meminta data terlebih dahulu kepada BPBK. Sama-sama kita mengetahui bahwa BPBK memiliki data daerah-daerah rawan banjir dan juga diperkuat dengan adanya tim lapangan seperti TRC (Tim Reaksi Cepat)...”

Maka dengan adanya BPBK menjadi bukti bahwa pemerintah Kabupaten

Aceh Jaya serius dalam hal menanggulangi bencana banjir yang sering melanda

Kabupaten Aceh Jaya. Perlu dimulai dengan mengetahui sejauh mana penerapan peraturan terkait dengan penanggulangan bencana banjir di daerah.

Badan Penanggulangan Bencana Kabupaten sendiri berfungsi untuk mengkoordinasikan penyusunan rencana penanggulangan bencana daerah sesuai dengan kewenangannya untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan ditinjau secara berkala sekali dalam 2 (dua) tahun atau sewaktu-waktu apabila terjadi bencana.

Penyusunan rencana penanggulangan bencana disusun berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

95

Universitas Sumatera Utara Pasal 3 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan

Bencana menyatakan bahwa penanggulangan bencana harus didasarkan pada azas atau prinsip-prinsip utama antara lain: kemanusian, keadilan kesamaan kedudukan dalam hukum dan kepastian hukum, kebersamaan, kelestarian lingkungan hidup, ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu, Badan Nasional Penanggulangan

Bencana juga mengambil konsep dari HFA dimana lebih dari 160 negara sepakat untuk mengarusutamakan pengurangan resiko bencana dalam pembangunan.

5.2 Analisis Tahapan Penanggulangan Bencana Aceh Jaya oleh Badan

Penanggulangan Bencana Kabupaten Aceh Jaya

Berdasarkan hasil observasi, wawancara serta dokumen yang dilakukan dan didapatkan oleh peneliti saat dilapangan, diperoleh data dan informasi bahwa banjir yang sering melanda kabupaten Aceh Jaya sudah menjadi tanggung jawab pemerintah setempat terutama Badan Penanggulangan Bencana Kabupaten Aceh

Jaya. BPBK menjadi instansi yang berperan penting dalam hal menanggulangi banjir. Rangkaian tersebut mengacu kepada sistem penanggulangan bencana nasional yang termuat dalam undang-undang nomor 24 tahun 2007 serta peraturan pemerintah daerah yang tercantum dalam Qanun Kabupaten Aceh

Jaya nomor 4 tahun 2010 tentang susunan organisasi dan tata kerja Badan

Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Aceh Jaya.

Upaya-upaya penanganan bencana baik itu pra bencana ataupun pasca bencana menjadi tanggung jawab BPBK dan setiap orang, kelompok, lembaga masyarakat bahkan masyarakat asing pun boleh dan harus perduli terhadap

96

Universitas Sumatera Utara bencana. Karena baik itu pemerintah, masyarakat maupun dunia usaha merupakan segi tiga kekuatan yang harus solid dalam penanggulangan bencana.

Semua pihak dapat memberikan kontribusi sesuai dengan peran masing- masing mulai dari jauh pra bencana, saat bencana, dan pasca bencana (Kodoatie,

2006). Dimana saling melengkapi dalam penanganan bencana yang lebih cepat dan tepat pada suatu daerah. Berikut merupakan tahapan penanggulangan bencana yang dilakukan oleh badan penanggulangan bencana Kabupaten Aceh Jaya.

5.2.1 Prabencana

Untuk menghadapi ancaman bencana khususnya banjir yang kerap kali melanda Kabupaten Aceh Jaya, Badan Penanggulangan Bencana Kabupaten

Aceh Jaya khususnya bidang pencegahan dini dan kesiapsiagaan telah melakukan beberapa program dalam hal pencegahan banjir. Berdasarkan dokumen dan hasil wawancara, berikut beberapa program yang dillakukan oleh bidang pencegahan dini dan kesiapsiagaan badan penanggulangan bencana kabupaten Aceh Jaya:

1. Pembangunan jalur evakuasi .

2. Perencanaan teknis kegiatan .

3. Pemasangan marka/tanda-tanda jalur evakuasi dan kawasan rawan bencana.

4. Pembuatan brosur dan baliho tentang bencana.

5. Pembangunan sarana/prasarana pencegahan dan kesiapsiagaan bencana (Otsus

2016).

97

Universitas Sumatera Utara Program-program tersebut merupakan rencana kinerja yang merupakan penjabaran dari sasaran dan program yang telah ditetapkan dalam rencana strategis yang rencana jangka pendek akan dilaksanakan melalui kegiatan tahunan.

5.2.1.1 Pembangunan Jalur Evakuasi

Hadirnya jalur evakuasi ditengah-tengah masyarakat yang sangat rentan terhadap banjir merupakan satu program yang terus dikerjakan oleh badan penanggulangan bencana Kabupaten Aceh Jaya. Karena, dengan adanya pembangunan jalur evakuasi dapat memudahkan masyarakat dalam proses evakuasi saat banjir dan juga membantu mempermudah masyarakat menuju ke tempat pengungsian saat banjir.

Pada tahun 2016 Badan Penanggulangan Bencana Kabupaten berhasil membangun 10 jalur evakuasi di Aceh Jaya, jika dilihat dari jumlah 9 kecamatan yang terdapat di Aceh Jaya tentu saja 9 jalur tersebut tidak memadai mengingat terdapat 30 desa yang terdampak banjir paling parah di Aceh Jaya sebagaimana tercatat dalam data yang didapat oleh peneliti dari BPBK. Berikut merupakan jumlah kejadian banjir dari 2012-2017.

Tabel 5.1 Jumlah Kejadian Banjir Kabupaten Aceh Jaya

Tahun Jumlah Kejadian 2012 6 2013 9 2014 6 2015 32 2016 34 2017 5 Sumber: BPBK Aceh Jaya, 2017

98

Universitas Sumatera Utara Data diatas terlihat bahwa banjir menjadi agenda tahunan yang harus terus diperhatikan oleh segenap elemen yang ada di Aceh Jaya, 10 paket pembangunan jalur evakuasi tentu saja masih tidak cukup untuk kesiapsiagaan masyarakat ketika banjir.

Namun dari hasil penelitian didapatkan oleh peneliti bahwa sebenarnya masyarakat yang sering terkena banjir pun tidak terlalu membutuhkan jalur evakuasi karena masyarakat setempat pada umumnya sudah tahu kemana arah evakuasi ketika banjir terus tinggi. Wawancara dengan Mariah

“...Pembangunan jalur evakuasi ini sebenarnya tidak begitu berguna untuk kami saat terjadi banjir karena ketika banjir sebagian dari kami tetap menetap dirumah, atau ada sebagian yang mengungsi kekampung yang lebih tinggi...” Pada dasarnya jalur evakuasi yang terdapat di Aceh Jaya merupakan program daripada kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana tsunami. Aceh jaya merupakan salah satu daerah yang paling rentan terhadap tsunami mengingat pemukiman padat penduduk juga berada disepanjang pantai samudera Indonesia, pemerintah Aceh Jaya terus meningkatkan kapasitas kerja dalam menanggulangi setiap bencana yang terjadi. Dari observasi peneliti pembangunan jalur evakuasi juga ditempatkan pada dataran yang lebih tinggi sedangkan masyarakat yang rentan terhadap banjir berada pada dataran rendah. Berikut wawancara saya dengan Darmawati Kasubbit Pencegahan Dini Dan Kesiapsiagaan BPBK Aceh

Jaya

“...Walaupun banjir menjadi masalah utama yang ada di Aceh Jaya, bukan berarti kita mengesampingkan bencana yang jarang terjadi disini, Aceh Jaya merupakan kabupaten yang sangat rawan terhadap segala bencana. Tsunami merupakan bencana yang memakan banyak

99

Universitas Sumatera Utara korban jiwa, fungsi utama jalur evakuasi adalah untuk membantu masyarakat tidak panik jika sewaktu-waktu terjadi lagi (Naudzubillah). Baik itu untuk masyarakat Aceh Jaya maupun masyarakat yang melintasi Aceh Jaya mengingat Aceh Jaya merupakan jalur masyarakat barat selatan menuju Provinsi Banda Aceh, saya rasa jalur evakuasi sangat membantu pelintas untuk lebih sigap dalam menyelamatkan diri...”

Artinya pembangunan jalur evakuasi lebih difokuskan terhadap bencana yang lebih besar, mengingat bahwa jalur evakuasi merupakan jalur khusus yang menghubungkan semua area yang aman (titik kumpul) ketika bencana.

Gambar 5.1 Tanda Evakuasi Bencana dan Tempat Evakuasi Bencana

Sumber : Dokumen Peneliti, 2018

5.2.1.2 Pemasangan Marka/Tanda-Tanda Jalur Evakuasi dan Kawasan

Rawan Bencana

Pemasangan marka/tanda-tanda jalur evakuasi dan kawasan rawan bencana sangat diperlukan sebagai langkah awal untuk meminimalkan kerugian yang terjadi akibat bencana. Pemasangan marka/tanda-tanda jalur evakuasi dan kawasan rawan bencana sebagai suatu upaya yang menitik beratkan pada kesiapsiagaan. Mengingat begitu banyak hal dan kemungkinan yang dapat terjadi ketika bencana datang.

100

Universitas Sumatera Utara Aceh Jaya perlu menggunakan marka/tanda-tanda yang memiliki standar guna mendapatkan kegunaan yang maksimal. Penerapan SNI dalam pemasangan tanda-tanda jalur evakuasi dan kawasan rawan bencana akan jauh lebih memudahkan dan akan meningkatkan keselamatan masyarakat diwilayah pesisir.

Wawancara dengan Ismail Kabid Pencegahan Dini dan Kesiapsiagaan.

“...Pemasangan tanda-tanda jalur evakuasi dan kawasan rawan bencana untuk memudahkan masyarakat saat terjadi bencana, dan dalam pemasangan harus mengikuti SNI, agar mendapatkan manfaat yang maksimal. Dari BPBK sendiri kami memilih membuat tanda-tanda dengan warna orange karena selain memang menjadi ciri khas BPBK warna oren memiliki sifat yang terang...” Pernyataan diatas merupakan salah satu kapasitas badan penanggulangan bencana kabupaten dalam hal kesiapsiagaan, selain memperhatikan manfaat untuk masyarakat BPBK juga memperhatikan standar dalam pemasangan tanda-tanda itu sendiri.

Pada rambu rawan bencana terdapat tiang yang sudah diberi meteran, fungsinya ialah untuk melihat naik turunnya banjir pada suatu daerah.

Gambar 5.2 Rambu Rawan Banjir

Sumber: Dokumen Peneliti, 2018

101

Universitas Sumatera Utara

Keterangan lebih jelas tentang persyaratan teknis memasang rambu evakuasi seperti dibawah ini. Tabel 5.2 Aturan Membuat Rambu Ukuran Panjang total: 90 cm Lebar: 45 cm Panjang sisi dalam: 75 cm (rambu evakuasi) Bentuk Persegi lima membentuk anak panah pada satu sisi. Masing-masing sudut membentuk sudut tumpul. Persegi empat dengan sudut tumpul pada keempat sudutnya khusus pada rambu tempat kumpul. Bahan Terbuat dari bahan yang relatif kuat dan tahan cuaca tetapi disarankan terbuat dari logam aluminium dengan tebal minimun 2,0 mm dengan diberi lipatan/lekukan pada sisinya sebagai penguat Warna dasar Oren, tanpa garis tepi Campuran 6 (enam) bagian warna kuning dengan satu bagian warna merah Jenis cat Cat disarankan memantulkan cahaya sehingga terlihat jelas pada saat gelap Sumber: Badan Standardisasi Nasional, 2011

5.2.1.3 Pembangunan Sarana/Prasarana Pencegahan dan Kesiapsiagaan Bencana

Ketersedian sarana dan prasarana untuk masyarakat yang rentan terhadap banjir seperti Aceh Jaya tentu saja sangat dibutuhkan. Sarana dan prasarana dalam hal kesiapsiagaan harus terus ditingkatkan oleh pemerintah Aceh Jaya. Salah satu langkah BPBK dalam mengurangi resiko bencana adalah dengan membuat bangunan yang disebut pos TES (Tempat Evakuasi Sementara)

102

Universitas Sumatera Utara Gambar 5.3 Tempat Evakuasi Sementara

Sumber : Dokumen Peneliti, 2018 Bangunan diatas merupakan salah satu keseriusan BPBK dalam menanggulangi masalah banjir di Aceh Jaya. Banjir yang begitu sering melanda

Aceh Jaya membuat pemerintah Aceh Jaya berfikir untuk membuat tempat evakuasi sementara jika sewaktu terjadi banjir. Wawancara dengan Kabid

Pencegahan Dini dan Kesiapsiangaan.

“...Pos TES ini berfungsi untuk mengevakuasi masyarakat yang terkena banjir, kami berharap dengan adanya tempat evakuasi sementara ini masyarakat akan siap lebih siap dalam menghadapi banjir. Akan jauh lebih banyak harta-benda yang dapat mereka selamatkan...”

Dalam perjalanan penelitian saya menemukan bahwa tempat evakuasi sementara tidak hanya digunakan untuk tempat pengungsian, namun juga dimanfaatkan masyarakat untuk tempat berkumpul saat ada acara peringatan- peringatan. Wawancara dengan Jahidin masyarakat Pulo Tinggi.

“...Selama penyelesaian tempat ini belum ada terjadi banjir, jadi untuk saat ini kami hanya memanfaatkannya untuk acara-acara saja misalnya saat ada rapat dikampung. Tentu saja tempat ini akan saat membantu kami ketika banjir, ibu-ibu dan anak akan jauh lebih aman dengan adanya tempat tempat ini...”

103

Universitas Sumatera Utara Tempat evakuasi sementara dibuat agar dapat membantu masyarakat setempat dan memudahkan untuk mengevakuasi masyarakat ketempat yang aman.

Selain itu dengan adanya tempat evakuasi ini dapat meminimalisirkan resiko yang diakibatkan oleh banjir. Dalam rangka melakukan usaha memitigasi banjir di

Aceh Jaya pemerintah telah menyediakan Tempat evakuasi sementara. Pos tes ini pun didirikan pada tempat strategis oleh pemerintah agar masyarakat setempat dapat menjangkaunya dengan mudah.

1.2.1.4 Edukasi dan Informasi dalam Kebencanaan

Spanduk sebagai salah satu media komunikasi banyak digunakan oleh lembaga pemerintah, lembaga bisnis maupun lembaga lain seperti partai politik, lembaga pendidikan dan lainnya untuk menyampaikan berbagai pesan, mulai dari pesan kemanusian, pesan komersil, dan beragam pesan lainnya, dengan berbagai corak, warna dan ukuran, dan dipasang diberbagai tempat strategis, mulai dari gedung bertingkat tinggi, pusat keramaian, jalan raya sampai ditengah perkampungan.

Berkaitan dengan pengurangan resiko bencana yang ada di Aceh Jaya belum ada spanduk sebagai media komunikasi dengan masyarakat secara tertulis di Aceh

Jaya dalam hal pencegahan banjir. Pemerintah lebih fokus terhadap perbanyakan tanda-tanda banjir seperti yang telah dibahas di atas. Tetapi, secara tidak langsung beberapa pesan pemerintah tentang menjaga lingkungan bisa didapati di Aceh

Jaya, salah satunya seperti larangan pembakaran dan pengundulan hutan. Sebagai salah satu peringatan dari pemerintah terhadap masyarakat untuk sadar akan pentingnya menjaga lingkungan.

104

Universitas Sumatera Utara Gambar 5.4 Edukasi tentang Pelestarian Hutan

Sumber : Google, 2018 1.2.1.5 Gampong Siaga Bencana dan Gampong Tangguh Bencana

Berdasarkan peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana

Nomor 1 tahun 2012 tentang pedoman umum Desa/kelurahan Tangguh Bencana disebutkan pengertian desa/kelurahan yang mengacu pada Undang-Undang

Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah. Desa tangguh bencana adalah yang memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi dan menghadapi ancaman bencana, serta memulihkan diri dengan segera dari dampak bencana yang merugikan, jika terjadi bencana. Dengan demikian sebuah desa tangguh bencana adalah sebuah desa atau kelurahan yang memiliki kemampuan untuk mengenali ancaman diwilayahnya dan mampu mengorganisir sumber daya masyarakat untuk mengurangi kerentanan dan sekaligus meningkatkan kapasitas demi mengurangi risiko bencana. Kemampuan ini diwujudkan dalam perencanaan pembangunan yang mengandung upaya-upaya pencegahan, kesiapsiagaan, pengurangan resiko bencana dan peningkatan kapasitas untuk pemulihan pasca keadaan darurat.

Pada peraturan menteri sosial nomor 128 tahun 2011 disebutkan bahwa kampung siaga bencana ialah kampung sebagai wadah penanggulangan berbasis

105

Universitas Sumatera Utara masyarakat yang dijadikan kawasan/tempat untuk program penanggulangan bencana. Kedudukan kampung siaga bencana berada di kecamatan/kelurahan/desa maupun dusun.

Aceh Jaya memiliki satu sampel kampung yang dikategorikan sebagai kampung siaga bencana yang berada di bawah binaan Dinas Sosial. Berdasarkan

Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2010 kampung siaga bencana disebut dengan

“Gampong Siaga Bencana”. Namun belum terdapat kampung tangguh bencana di

Aceh Jaya yang semestinya di kelola oleh BPBK. Wawancara Kasubbid Tanggap

Darurat

“...Kita BPBK belum mempunyai kampung tangguh bencana. Tahun ini atau tahun depan rencana akan kita tetapkan kampung tangguh bencana di kecamatan Pasie Raya, namun untuk desanya kita belum tetapkan. Alasanya Pasie Raya merupakan kampung yang sangat rentan terhadap bencana kendatipun sering dilanda banjir masyarakat masih tetap bisa tangguh/kuat dalam menghadapi banjir, mengenai hal ini tentu saja kami sudah mempunyai wacana...”

Berbeda Dengan BPBK Dinas Sosial Memilih Gampong Rambong Payong

Yang Terletak Di Kecamatan Teunom Sebagai Kampung Siaga Bencana.

Gampong Ini Terletak Dipinggiran Sungai Teunom Dan Juga Dipinggiran Jalan

Lintas Meulaboh-Banda Aceh. Dalam Antisipasi Mereka Terhadap Banjir Ialah

Dengan Membuat Rumah Dengan Pondasi Jauh Lebih Tinggi Di Bandingkan

Desa-Desa Lain. Sebagian Rumah Yang Mereka Tempati Merupakan Rumah

Bantuan Pasca Tsunami Aceh 2004 Silam Namun Masyarakat Dewasa Ini

Semakin Melek Akan Bencana Dengan Membuat Atau Merenovasi Rumah

Dengan Pondasi Yang Lebih Tinggi. Ini Merupakan Salah Satu Pertimbangan

Pemerintah Menjadikan Gampong Rambong Payong Sebagai Salah Satu

106

Universitas Sumatera Utara Kampung Yang Siaga Akan Bencana. Kampung Tersebut Dimanfaat Oleh

Pemerintah Dalam Pengurangan Resiko Bencana Terhadap Masyarakat. Gampong

Rambong Payong Dijadikan Wadah Oleh Pemerintah Dalam Menyiapkan

Kepentingan-Kepentingan Yang Berkaitan Dengan Kebencanaan. Wawancara

Dengan Yola Seksi Pelayanan Dan Rehabilitasi Sosial

“ ...Fungsi Gampong siaga bencana ialah menjadi contoh dan ukuran bagi desa-desa lainya dalam menghadapi bencana. Desa ini dipilih berdasarkan rapat Kabupaten tentu dengan indikator yang telah disiapkan. Desa ini di ibaratkan sebagai sekolah unggul, desa-desa lainnya harusnya mencontoh apa yang dilakukan masyarakat gampong siaga bencana dalam menghadapi bencan dan upaya pengurangan resiko bencana. Gampong siaga bencana biasanya dimanfaatkan pemerintah pada saat melakukan penyuluhan-penyuluhan sosial terhadap bencana...”

Dari pernyataan diatas disimpulkan bahwa Gampong Siaga Bencana berfungsi untuk dijadikan masyarakat sebagai model kampung siaga terhadap bencana. Dalam rangka peningkatan kemampuan SDM. Kampung siaga bencana mengikut sertakan anggota Gampong siaga bencana di berbagai pelatihan- pelatihan, seperti mengikuti simulasi penanggulangan bencana alam, sosialasi

SOP Gampong Siaga Bencana yang diselenggarakan Dinas Sosial. Selain itu juga mengadakan pendataan jumlah penduduk, jumlah sarana/prasarana dan potensi alam, serta memberikan pelayanan informasi tentang bencana alam kepada masyarakat.

Apabila dibandingkan konsep desa/kelurahan tangguh bencana dengan kampung siaga bencana maka terlihat bahwa konsep desa/kelurahan tangguh bencana mempunyai konsep yang jelas yaitu mengacu pada definisi desa sebagai wilayah administratif. Sedangkan konsep kampung siaga bencana tidak mengacu

107

Universitas Sumatera Utara pada definisi kampung. Kampung hanya sebatas merek program dan mengacu pada wadah atau kelembagaan penanggulangan bencana yang berbasis masyarakat yang bisa berkedudukan di kecamatan/desa/kelurahan/dusun.

5.2.2 Kapasitas Pemerintah Pada Saat Bencana 5.2.2.1 Penyedian Dapur Umum Jika banjir tidak kunjung surut, salah satu upaya BPBK khususnya pada bidang tanggap darurat dan logistik ialah menyediakan dapur umum. Penyedian dapur umum ketika bencana akan sangat membantu meringankan beban masyarakat yang sedang menghadapi banjir. Mengingat begitu banyak hal dan kejadian yang dapat terjadi akibat bencana semestinya BPBK harus lebih cepat dalam menangani dan memberi bantuan terhadap masyarakat yang terkena banjir.

Berikut salah pendapat masyarakat Pulo Tinggi tentang tanggap darurat ketika terjadi bencana.

“ ...Jika banjir, bantuan pasti akan selalu ada. Tetapi kadang-kadang bantuan tersebut tidak sesuai dengan harapan. Pendirian dapur umum sering sekali terlambat. Contoh seharusnya dapur umum didirikan pada saat banjir tiba karena masyarakat tidak bisa beraktivitas sedangkan kebutuhan makan harus terus dipenuhi namun kenyataannya selama ini ialah pendirian dapur umum dilaksanakan pada saat banjir telah surut, itu pun hanya sebagian masyarakat yang mendapat bagian, kebanyakan masyarakat lainya memilih untuk mencari bantuan dari anggota keluarga lainya. Bagi mereka yang berkehidupan cukup tentu saja dapur umum tidak terlalu penting namun bagi yang kehidupan ekonominya dibawah rata-rata dapur umum sangatlah dibutuhkan ketika banjir...”

Dari hasil wawancara saya dengan informan yang sebagai masyarakat yang sering terkena banjir terlihat adanya ketidak puasan terhadap langkah pemerintah dalam hal menanggulangi banjir khususnya pada bidang tanggap darurat dan

108

Universitas Sumatera Utara logistik. Kegiatan dapur umum ini dilaksanakan sesuai berapa lama banjir merendam pemukiman. Dapur umum tidak hanya disediakan untuk masyarakat setempat saja, untuk dapur umum yang didirikan pada jalan lintas juga disediakan untuk masyarakat yang terjebak banjir.

5.2.2.2 Sumber Pendanaan Upaya Tanggap Darurat Bencana Dalam Undang-Undang tentang Penanggulangan Bencana Nomor 24 Tahun

2007 dikatakan bahwa secara keseluruhan dana penanggulangan bencana menjadi tanggup jawab bersama antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Pemerintah

Daerah juga mendorong partisipasi masyarakat dalam penyedian dana yang bersumber dari masyarakat. Penggunaan anggaran penanggulangan bencana dilaksanakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, BNPB, dan BPBK sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.

Pendanaan dan pengelolaan bantuan bencana yang terdapat dalam PP Nomor

22 tahun 2008 mengatakan bahwa dana penanggulangan bencana berasal dari tiga sumber yaitu APBN, APBD dan masyarakat. Anggaran penanggulangan bencana yang berasal dari APBN dan APBD disediakan pada tahap prabencana, saat tanggap darurat bencana, dan pasca bencana. Dalam anggaran penanggulangan bencana yang bersumber dari APBN, pemerintah menyediakan tiga jenis dana yaitu dana kontijensi bencana, dana siap pakai, dan dana bantuan sosial berpola hibah.

Dana bantuan sosial berpola hibah disediakan dalam APBN untuk kegiatan pada tahap pasca bencana. Kegiatan pasca bencana sebagaimana dimaksud adalah

109

Universitas Sumatera Utara kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi. PP Nomor 22 tahun 2008 tidak menyebutkan secara eksplisit dimana ditempatkan anggaran yang bersumber dari

APBN untuk bantuan dana berpola hibah ini. Namun dilihat dari tugas pokok dan fungsi BNPB maka semua dana penanggulangan bencana dikelola oleh BNPB.

Peraturan Undang Undang Nomor 22 tahun 2008 juga mengatakan bahwa lebih lanjut mengenai bantuan dana yang bersumber dari masyarakat. Dana masyarakat yang diterima oleh pemerintah dicatat dalam APBN. Sementara itu dana masyarakat yang diterima oleh pemerintah daerah dicatat dalam APBD.

Pemerintah daerah hanya dapat menerima dana bantuan yang berasal dari sumbangan masyarakat dalam negeri.

Penggunanaan dana penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat meliputi:

a. Pelaksanaan pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber daya;

b. Kegiatan penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;

c. Pemberian bantuan pemenuhan kebutuhan dasar korban bencana;

d. Pelaksanaan pelindungan terhadap kelompok rentan;

e. Kegiatan pemulihan darurat prasarana dan sarana.

Dalam PERKA BNPB Nomor 6 tahun 2008 BNPB mengeluarkan peraturan tentang pedoman penggunaan dana siap pakai. Dana siap pakai adalah dana yang selalu tersedia dan dicadangkan oleh pemerintah untuk digunakan pada saat tanggap darurat bencana sampai dengan batas waktu tanggap darurat berakhir.

Pemberian dana siap pakain berdasarkan atas:

a. Penetapan status kedaruratan bencana;

110

Universitas Sumatera Utara b. Usulan daerah perihal permohonan dukungan bantuan;

c. Laporan Tim Reaksi Cepat BNPB;

d. Hasil rapat koordinasi; atau

e. Inisiatif BNPB.

Dana siap pakai digunakan sesuai kebutuhan tanggap terbatas pada pengadaan barang atau jasa untuk pencarian dan penyelamatan korban bencana, pertolongan darurat, evakuasi korban bencana, kebutuhan air bersih dan sanitasi, pangan, sandang, pelayanan kesehatan, penampungan serta tempat hunian sementara.

Dana siap pakai dapat digunakan untuk pembayaran uang lelah semua kegiatan yang memerlukan tenaga yang telah direkrut dalam sistem komando tanggap darurat bencana. BNPB/BPBD pada saat tanggap darurat bencana dapat melaksanakan pengadaan barang atau jasa sesuai kebutuhan kondisi dan karakteristik wilayah bencana yang dilaksanakan oleh pejabat sesuai kewenangannya (PERKA BNPB hal 10). Pengguna dana siap pakai adalah lembaga yang mempunyai tugas pokok dan fungsi penanggulangan sebagai berikut:

a. BNPB dan instansi/lembaga terkait penanggulangan bencana di tingkat pusat;

b. BPBD tingkat provinsi;

c. BPBD tingkat Kabupaten/Kota;

d. Perangkat daerah yang memiliki tugas dan fungsi penanggulangan bencana dalam hal belum memiliki BPBD.

111

Universitas Sumatera Utara Di lain pihak, dalam hal penanggulangan bencana di daerah, BPBD tidak hanya menggunakan dana siap pakai yang dikucurkan oleh BNPB semata.

Menurut UU Nomor 24 tahun 2007 dan Permendagri Nomor 46 Tahun 2008,

BPBK dibentuk oleh pemerintah daerah sehingga termasuk kedalam perangkat daerah untuk membantu tugas pemerintah daerah. Pasal 4 undang-undang nomor

33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah mengatur bahwa penyelenggaraan urusan pemerintah daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi di danai APBD. Oleh karena itu, kegiatan BPBD dalam penanggulangan bencana, termasuk tanggap darurat bencana, juga dibiayai APBD.

Peraturan menteri dalam negeri nomor 13 tahun 2006 asal 122 pendanaan penanggulangan bencana yang berasal dari APBD termasuk kedalam belanja tak terduga. Kepala daerah mengambil kebijakan percepatan pencairan dana belanja tidak terduga untuk mendanai penanganan tanggap darurat yang mekanisme pemberian dan pertanggungjawabannya diatur dengan peraturan kepala daerah.

Pengeluaran yang dilakukan dalam keadaan darurat selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBD atau disampaikan dalam laporan realisasi anggaran.

Peraturan perundang-undangan tidak memisahkan aturan pemakaian dana penanggulangan bencana baik yang disebabkan oleh alam, non alam maupun yang disebabkan oleh manusia. Pasal 1 angka 1 PP Nomor 22 tahun 2008 menyebutkan bahwa dana penanggulangan bencana adalah dana yang digunakan bagi penanggulangan bencana untuk tahap prabencana, saat tanggap darurat atau pasca bencana. Sementara itu Undang-undang nomor 24 tahun 2007 menyebutkan

112

Universitas Sumatera Utara bahwa bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan menganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam atau non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis.

Jika ditelaah lebih jauh tentang Pendapatan Daerah Kabupaten Aceh Jaya tahun anggaran 2017 diproyeksikan sebesar Rp. 645.424.580.990 (enam ratus empat puluh lima milyar sembilan ratus sembilan puluh rupiah). yang terdiri dari

Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar Rp.42.387.207.973, Dana perimbangan sebesar Rp 460.304. 179.847. lain-lain pendapatan daerah yang sah sebesar Rp.

117.733.193.170 dan sisa lebih perhitungan anggaran tahun sebelumnya sebesar

Rp. 25.000.000.000.

Belanja Daerah Kabupaten Aceh Jaya direncanakan juga sama dengan proyeksi pendapatan daerah (bebas defisit) yaitu sebesar Rp 645. 424.580.990 yang terdiri dari:

1. Belanja tidak langsung sebesar Rp 449.465.435.116 yaitu

a. Belanja pengawai sebesar Rp 267.396.464.400,

b. Belanja-belanja hibah sebesar Rp 10.355.000.000

c. Belanja bantuan sosial sebesar Rp 23.608.445.648

d. Belanja bantuan keuangan kepada pemerintah desa sebesar Rp 147.105.125.069

e. Belanja tidak terduga sebesar Rp 1.000.000.000

2. Belanja langsung sebesar Rp 195.959.145.874 (Acehtrend.com)

113

Universitas Sumatera Utara Tabel 5.3 Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Aceh Jaya Tahun 2017

No Urut Uraian Tahun 2017

1 Pendapatan 645.424.580.990

1.1 Pendapatan Asli Daerah 42.387.207.973

1.1.1 Pendapatan Pajak Daerah 460.304. 179.847

1.1.2 Pendapatan Retribusi Daerah 25.000.000.000.

1.1.3 Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah 117.733.193.170

2 Belanja Daerah

2.1 Belanja Langsung 195.959.145.874

2.2 Belanja Tidak Langsung 449.465.435.116

2.2.1 Belanja Pengawai 267.396.464.400

2.2.2 Belanja Hibah 10.355.000.000

2.2.3 Belanja Bantuan Sosial 23.608.445.648

2.2.4 Bantuan Keuangan Kepada Pemerintah Desa 147.105.125.069

2.2.5 Belanja Tidak Terduga 1.000.000.000

Tabel 5.4 Analisis Atas Efesiensi Penggunaan Sumber Daya Anggaran Aceh Jaya

Belanja SKPK % No Anggaran (Rp) Realisasi (Rp)

1. BPBK 10.882.008.251 10.678.346.718 98,13% Sumber : BPBK, 2018

Untuk Badan Penanggulangan Bencana Kabupaten Pemerintah Daerah menetapkan anggaran sebanyak 10.882.008.251 (sepuluh milyar delapan ratus

114

Universitas Sumatera Utara delapan puluh dua juta delapan ribu dua ratus lima puluh satu rupiah pada tahun

2016. Realisasi anggaran yang digunakan Badan Penanggulangan Kabupaten

Aceh Jaya pada tahun 2016 sebanyak 10.678.346.718 artinya Badan

Penanggulangan Kabupaten Aceh Jaya hanya mencapai target sebanyak 98,13% jika dipersentasekan. Tidak tercapainya realisasi anggaran pada keuangan 100% pada tahun 2016 dikarenakan oleh beberapa faktor berikut ini:

1. Ada sisa penarikan yang menjadi silpa__Sisa Lebih Anggaran Tahun

Berkenaan__ daerah karena penarikan sudah sesuai dengan kebutuhan dinas;

2. Adanya perbedaan jumlah pengawai pada waktu direncanakan dan pada waktu

pelaksanaan sehingga terjadi kelebihan anggaran;

3. Adanya pegawai yang tidak masuk kantor sehingga terjadinya pemotongan

TPK dan uang makan;

4. Adanya perbedaan harga pada waktu dianggarkan dengan harga yang

ditawarkan rekanan; dan

5. Adanya sisa dari proses tender.

Dari beberapa data diatas dapat kita simpulkan bahwa Badan Penanggulangan

Kabupaten Aceh Jaya hanya memiliki anggaran 1,7% jika dipersentasikan dari

Pendapatan Daerah sebanyak Rp. 645.424.580.990 (enam ratus empat puluh lima milyar sembilan ratus sembilan puluh rupiah).

5.2.2.3 Tim Reaksi Cepat

Pada saat tanggap darurat bencana terdapat berbagai permasalahan antara lain waktu yang sangat singkat, kebutuhan yang mendesak dan berbagai kesulitan

115

Universitas Sumatera Utara koordinasi antara lain yang disebabkan karena banyaknya institusi yang terlibat dalam penanganan darurat bencana, kompetisi dalam pengerahan sumber daya, otonomi yang berlebihan dan ketidakpercayaan terhadap instansi pemerintah. Hal ini perlu dilakukan koordinasi yang lebih intensif dalam rangka memperlancar penyelenggaraan penanganan darurat bencana.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas perlu ditugaskan Tim Reaksi Cepat dari berbagai instansi atau institusi yang bekerja berdasarkan prosedur tetap Tim

Reaksi Cepat BNPB. BPBK Aceh Jaya pun menyiapkan TRC yang berfungsi untuk mengkaji secara cepat dan tepat di lokasi bencana dalam waktu tertentu dalam rangka mengidentifikasi cakupan lokasi bencana, jumlah korban, kerusakan prasarana dan sarana, gangguan terhadap fungsi layanan umum dan pemerintah serta kemampuan sumber daya alam maupun buatan serta saran yang tepat dalam upaya penanganan bencana dengan tugas tambahan membantu BPBK untuk mengkoordinasikan sektor yang terkait dalam penanganan darurat bencana.

Tim reaksi cepat Badan penanggulangan bencana kabupaten Aceh Jaya memilih personil TRC dengan melihat kriteria sebagai berikut, wawancara dengan kabid tanggap darurat Rimbawan

“ ...Tim Reaksi Cepat BPBK kami pilih berdasarkan yang berada pada desa yang memiliki potensi banjir paling tinggi, memiliki sepeda motor dan selalu bersedia ke lapangan ketika banjir, hanya itu saja. Tim reaksi cepat yang ada di BPBK bisa dikatakan lebih seperti relawan untuk kebencanaan karena upah yang mereka terima tidak banyak hanya 250.000/bulan. Dan mereka harus selalu siap dalam menghadapi bencana terjadi...”

116

Universitas Sumatera Utara Berdasarkan pernyataan diatas artinya TRC yang dipilih oleh BPBK adalah kader yang memiliki loyalitas terhadap masyarakat dan lingkungan. Mereka terlebih dahulu diberikan pengarahan apa yang harus dilakukan saat terjadi bencana, mereka juga harus siap 24 jam jika sewaktu-waktu terjadi bencana. TRC juga berfungsi untuk melaporkan situasi suatu daerah yang berpotensi terjadi bencana kepada Badan Penanggulangan Bencana Kabupaten Aceh Jaya. berikut merupakan penyataan salah satu anggota TRC Aceh Jaya, Nasir 27 tahun.

“...Walaupun sudah habis kontrak kami masih tetap aktif sebagai TRC, namun tidak ada lagi SK artinya honor sudah tidak berjalan lagi. TRC sendiri di Aceh bekerjasama dengan organisasi penanggulangan bencana seperti TAGANA,PMI,Dinas Sosial, dan BPBK. Tugas yang kami lakukan adalah jika ada banjir kami turut turun kelapangan sebelum banjir jika kira-kira kondisi buruk kami terus melakukan pemantauan. Pemantauan yang kami lakukan adalah mengecek sudah setinggi mana air jika kira-kira air sudah mau meluap langsung megabari BPBK dan dinas terkait. Untuk satu kecamatan di Aceh untuk saat ini hanya berkisar 4 orang TRC. Artinya harus terus dilakukan penambahan tenaga kerja. Tim TRC dibantu juga oleh RAPI. Untuk komunikasi biasanya anggota RAPI memakai HT...” Nasir yang saat ini merupakan salah anggota tim pemadam kebakaran di

BPBK berharap akan ada perekrutan TRC pada tahun-tahun selanjutnya karena dengan banyaknya personil TRC penanggulangan bencana akan segera cepat ditangani dan hal tersebut dapat mengurangi resiko kerugian yang di alami masyarakat.

Untuk saat ini BPBK merekrut sekitar 20 orang kader untuk dijadikan TRC

BPBK, kriteria yang dilihat seperti yang telah disebutkan diatas, yaitu:

1. Sehat jasmani dan rohani

2. Memiliki sepeda motor

117

Universitas Sumatera Utara 3. Bersedia bekerja 24 jam jika terjadi bencana

4. Memiliki rasa kepedulian dan jiwa sosial

5. Diutamakan yang berpengalaman dalam bidang kedaruratan bencana

Kriteria diatas dipilih untuk membantu BPBK dalam melaksanakan tugas pengurangan risiko bencana Aceh Jaya. Tetapi, tahun 2017 lalu BPBK Aceh Jaya tidak merekrut Tim Reaksi Cepat karena minimnya anggaran. Dana pada tahun

2017 banyak dianggarkan untuk program rehabilitasi dan rekonstruksi disebabkan oleh banyaknya infrastruktur yang harus diperbaiki oleh pemerintah Aceh Jaya. memperbaiki dan menambah kuantitas tanggul yang menjadi program utama yang dilakukan pemerintah Aceh Jaya pada tahun 2017.

5.2.3 Pasca Bencana

Rehabilitasi dan rekonstruksi di wilayah bencana akan dilakukan dengan terlebih dahulu melihat kondisi agar dapat membantu pengembangan daerah agar lebih tahan terhadap bencana. Ini akan dicapai melalui pemulihan penghidupan para korban bencana dan memperbaiki fasilitas dengan berusaha mencegah kerusakan akibat bencana di masa mendatang. Selain itu, pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi secara cepat dan lancar akan diupayakan karena bencana dapat menghambat aktifitas sosial dan ekonomi.

Upaya yang dilakukan pemerintah Aceh Jaya khususnya BPBK dalam hal rehabilitasi dan rekonstruksi ialah dengan memperbaiki dan infrastruktur umum yang ada di Aceh Jaya seperti pembuatan tanggul untuk mencegah banjir, pengaman tebing dan normalisasi sungai, dan juga seperi memparbaiki bahu jalan.

118

Universitas Sumatera Utara 5.2.3.1 Pembuatan Tanggul

Salah satu upaya BPBK khususnya pada bidang rehabilitasi dan rekonstruksi dalam penanggulangan banjir di Sungai Teunom ialah pembuatan tanggul. Yang disesuaikan dengan kondisi tataguna lahan didaerah tersebut. Perencanaan pembuatan tanggul dimaksudkan sebagai penahan kenaikan muka air agar tidak meluap ke kanan-kiri badan sungai.

Pada tahun 2015 lalu tanggul yang dibangun oleh BPBK sepanjang kurang lebih 100 meter rusak di terjang oleh debit air yang sangat kuat. Banjir 2015 lalu merupakan salah satu banjir yang sangat banyak menelan kerugian di Aceh Jaya. tercatat sebanyak 25.765 jiwa terdampak rendaman banjir, sebanyak 7.182 KK

(23. 687 jiwa) terdampak langsung. Sementara itu 2.284 jiwa mengungsi, delapan unit rumah rusak dan beberapa ruas jalan dan jembatan rusak (Compas.com 16 juli 2015). Hujan deras yang terus turun selama beberapa hari sehingga menyebabkan sungai-sungai meluap yang disebabkan oleh sedimentasi sungai dan degradasi lingkungan menyebabkan Aceh sangat rentan terhadap banjir.

Dalam hal memperbaiki infrastruktur yang rusak seperti yang tersebut diatas sudah menjadi tugas BPBK khususnya bagian rehabilitasi dan rekonstruksi dengan bekerjasama dengan dinas terkait seperti PU. Salah satu program yang dirancang oleh BPBK ialah pembuatan tanggul. Wawancara dengan Ferdi

Handaya kabid rehabilitasi dan rekonstruksi.

“...Tugas kami di bidang rehabilitasi dan rekonstruksi adalah memperbaiki fasilitas umum yang rusak. Misalnya pembuatan tanggul, jalan yang rusak akibat tergerus banjir dan juga jembatan yang putus. Tanggul yang baru siap kami kerjakan ialah tanggul yang ada di desa

119

Universitas Sumatera Utara mon mata, tanggul itu menjadi satu-satunya harapan warga agar terhindar dari banjir. Untuk kapasitas tanggul itu sendiri kami sudah mengikuti standar pembuatannya, namun untuk ketahanan jangka panjang kita belum tahu, karena tanggul baru saja siap diselesaikan november 2017 lalu, penyerahan kepada pemerintah baru desember 2017 lalu. Dan semenjak itu belum ada cuaca ekstrim yang mengakibatkan banjir. Kami di BPBK pun sebenarnya di buat penasaran dengan kapasitas tanggul yang sudah rampung tersebut. Harapan dari warga untuk penambahan tanggul yang lebih panjang lagi tentu saja akan menjadi prioritas kami...”

Menurut BPBK tanggul yang sudah dikerjakan sudah mencapai target untuk anggaran pada tahun 2017. Hal tersebut ditunjukkan oleh dokumen berikut:

Tabel 5.5 Target Realisasi Kegiatan Badan Penanggulangan Bencana Kabupaten Aceh Jaya

Indikator Realisasi Realisasi 2016 Target Akhir Target Realisasi RPJM 2017 2014 2015 Jumlah perencana resiko dan dampak yang ditimbulkan 11 12 14 10 32 akibat bencana

Sumber: BPBK, 2018

Dalam sasaran pasca bencana hanya terdapat 1 (satu) indikator kinerja. tingkat capaian indikator jumlah perencanaan resiko dan dampak yang

Ditimbulkan akibat bencana kita bandingkan dari tahun ke tahun bisa kita katagorikan ialah menurun terhadap bencana yang ada di Kabupaten Aceh Jaya.

Contohnya pada tahun 2014 bencana yang terjadi ialah 11 kali bencana dalam 1

(satu) tahun, sedangkan pada tahun 2015 bencana yang terjadi semakin naik yaitu

12 kali bencana dalam setahun. Dan pada tahun 2016 ditargetkan adalah 14 kali bencana baik bencana tanah longsor, Banjir, angin puting beliyung, kebakaran dan

120

Universitas Sumatera Utara lain – lain. Maka dari itu damapak yang ditimbulkan akibat bencana dari tahun ketahun bisa kita katagori ialah turun, sedangkan target akhir RPJM 2017 berjumlah 32 kali bencana dengan hitungan keseluruhan.

Namun, dipihak lain masyarakat menilai pemerintah belum maksimal dalam hal menanggulangi bencana banjir Aceh Jaya. wawancara dengan Alamuddin masyarakat Pulo Tinggi.

“...Harusnya BPBK sudah menyelesaikan tanggul ini dari sejak lama, setelah selesai tanggul dibangun belum ada terjadi banjir jadi kami juga tidak tahu apakah tanggul ini cukup kuat untuk menahan banjir. Harapan saya tanggul ini perlu ada penambahan untuk terus dapat memaksimalkan air sungai meluap ketika hujan di hulu sangat lebat...”

Lalu saya melanjutkan wawancara saya dengan warga yang lainnya di hari yang berbeda, Sarbiah masyarakat Gampong Pulo Tinggi

“...Banjir sudah menjadi teman bagi kami, khususnya kampung saya ini. Harapan saya kepada pemerintah satu-satunya adalah tanggul karena menurut saya cuma tanggul yang dapat mencegah banjir. Dan jika pemerintah mempunyai anggaran yang cukup bisa tolong diperhatikan desa kami ini dengan memberi bantuan rumah panggung seperti yang ada di daerah Calang. Menurut saya jika kami mempunyai rumah panggung akan jauh lebih banyak harta benda yang dapat kami selamatkan, walaupun pemerintah tidak dapat memberikan persatu keluarga setidaknya pemerintah dapat memeperhatikan warga miskin yang ada dikampung ini. Bagi kami dikampung ini rumah tidak perlu cantik dan modern, rumah bagus bagi kami disini adalah rumah yang tinggi...”

Wawancara saya dengan beberapa warga tersebut menunjukkan adanya keinginan masyarakat terhadap pemerintah untuk terus memperhatikan dan meningkatkan kapasitas dalam hal menanggulangi banjir. Sejauh pengamatan saya tanggul memang menjadi satu-satunya harapan masyarakat dalam hal pencegahan banjir. Namun disisi lain masyarakat sendiri pun sepertinya kurang sadar akan

121

Universitas Sumatera Utara pentingnya menjaga lingkungan agar terhindar dari banjir. Menjaga lingkungan dalam artian menanam pohon-pohon yang dapat menyerap air lebih banyak khususnya bagi mereka yang tinggal dekat dengan sungai, menanam pohon-pohon bambu agar dapat menahan degradasi air sungai hal sedemikian rupa sepertinya tidak terfikirkan oleh masyarakat. Wawancara dengan Maslim kechik Gampong

Pulo Tinggi.

“...Untuk menjaga lingkungan dengan cara tradisional seperti yang anda sebutkan dulu pernah kami lakukan, dulu pernah ada bantuan seperti bibit-bibit pohon jati dari pemerintah itu terjadi pada tahun 2007 lalu. Karena tidak ada kesinambungan dalam pemeliharaan pohonnya tidak bisa dimanfaatkan dengan sebagaimana semestinya...”

Pernyataan Informan diatas ialah masyarakat akan bertindak ketika ada dana dari pemerintah. Minimnya kesadaran dari masyarakat dalam menjaga lingkungan menjadi satu bumerang bagi penduduk Aceh Jaya dalam menyelesaikan masalah banjir.

Dari hasil observasi peneliti juga menemukan bahwa pada September 2018, pemerintah kian menunjukkan keseriusan dalam menanggulangi banjir di

Kabupaten Jaya khususnya pada Gampong-Gampong yang terdampak banjir seperti Pulo Tinggi, Rambong Payong dll. Peneliti menemukan adanya pengerjaan perpanjangan tanggul yang selama ini terus menjadi harapan masyarakat Pulo

Tinggi untuk mencegah terjadinya banjir. Selain memperpanjang tanggul pemerintah juga ikut membuat tanggul lintasan didalam sungai guna untuk mencegah erosi yang semakin parah di Gampong Pulo Tinggi. Kegiatan pemerintah dalam mengendalikan banjir pada daerah tangkapan air dan badan- badan sungai dapat dilihat pada gambar berikut ini.

122

Universitas Sumatera Utara

Gambar 5.5 (a) Kegiatan perpanjangan tanggul dan, (b) Jumlah anggaran 2018

(a) (b) Sumber : Dokumen Peneliti, 2018 Kegiatan pembangunan fisik di atas merupakan salah satu langkah pemerintah dalam memitigasi masyarakat dari banjir. Pembangunan tanggul juga merupakan salah satu mitigasi secara struktural. Mitigasi struktural juga merupakan upaya untuk mengurangi kerentanan (vulnerability) terhadap bencana dengan rekayasa teknis bangunan tahan banjir. Kemudian, penting bagi pemerintah untuk memperhatikan tanggul dengan struktur yang baik , agar dikemudian hari tanggul yang dibangun mampu bertahan lama.

5.2.3.2 Normalisasi Sungai Normalisasi sungai menjadi salah satu program yang dilakukan BPBK dalam hal mencegah banjir. Berbeda dengan normalisasi yang dilakukan pada sungai-

123

Universitas Sumatera Utara sungai yang berada dikota-kota besar melakukan normalisasi dengan cara membersihkan sampah-sampah yang ada di sungai. Namun, normalisasi yang dilakukan oleh Badan Penanggulangan Bencana Kabupaten Aceh Jaya ialah dengan mengeruk bagian-bagian sungai yang dianggap dangkal dan juga melakukan pelebaran wilayah pada muara sungai. Wawancara dengan Kabid

Pencegahan dan Kesiapsiagaan.

“...Normalisasi yang kami lakukan disungai Teunom ini tentu saja sangat berbeda dengan normalisasi yang dilakukan oleh BPBD lain pada umumnya. Jika banjir dikota diakibatkan oleh sampah yang bertumpukan disungai. Namun sungai teunom ini tidaklah demikian kalaupun ada 1 atau 2 warga yang membuang sampah ke sungai saya rasa tidak akan menyebabkan banjir. Banjir yang terjadi disini diakibatkan oleh banjir kiriman dari sungai tangse. Dengan demikian Normalisasi yang kami lakukan disini ialah dengan cara mengeruk sungai-sungai yang dangkal. Sering sekali pedangkalan terjadi pada muara sungai. Disebabkan oleh banyaknya pasir yang bertumpukan dimuara mengakibatkan aliran air sungai tidak lancar mengalir kelaut. Jadi pengerukan sungai agar lebih dalam saya rasa sangat membantu untuk mencegah terjadinya banjir. Walaupun saya rasa ini tidak akan maksimal karena jika ditangse sudah hujan 2 hari banjir tidak akan dapat dicegah lagi...”

Gambar 5.6 (a) Kondisi sungai sebelum, (b) Sesudah normalisasi

(a) (b) Sumber : BPBK, 2018

124

Universitas Sumatera Utara Gambar diatas merupakan program yang dilakukan BPBK dalam hal menanggulangi banjir yang ada di Aceh Jaya. kegiatan normalisasi sungai ini biasanya dilakukan oleh BPBK setiap 6 bulan sekali dan bisa juga jika sungai sudah terlalu dangkal diakibatkan oleh timbunan pasir maka BPBK melakukan normalisasi sungai. Wawancara dengan Kasubbid Kesiapsiagaan.

“...Kegiatan normalisasi sungai ini sebenarnya kami lakukan setahun 2 kali, tapi itu bukanlah hal yang mutlak karena intesitas banjir sangat sering terjadi disini. Pedangkalan sungai sangat cepat terjadi. Jadi jika ada laporan dari masyarakat untuk melakukan normalisasi maka kami akan segera mempertimbangkanya, karena normalisasi merupakan salah satu cara mencegah banjir dengan memakai anggaran jangka pendek berbeda dengan pembuatan tanggul yang memakai anggaran jangka panjang...”

Pada tahap rehabilitasi dan rekonstruksi ini sebenarnya bertujuan mengembalikan dan memulihkan fungsi bangunan dan infrastruktur yang mendesak dilakukan untuk menindaklanjuti tahap tanggap darurat, seperti rehabilitasi bangunan ibadah, bangunan sekolah, infrastruktur sosial dasar, serta sarana dan prasarana perekonomian yang sangat diperlukan. Dalam tahap rehabilitasi ini, juga diupayakan penyelesaian berbagai permasalahan yang terkait dengan aspek psikologis melalui penanganan utama korban bencana.

Namun badan penanggulangan Aceh Jaya sendiri belum sampai pada tahap seperti pemulihan pada aspek psikologis masyarakat. Pemulihan pada aspek psikologis masih menjadi ranah instansi pemintah yang terkait dengan hal itu seperti dinas kesehatan. Sasaran utama rehabilitasi BPBK Aceh Jaya ini adalah untuk memperbaikai layanan publik hingga pada tingkat yang memadai seperti memperbaiki ruas bahu jalan yang rusak akibat banjir.

125

Universitas Sumatera Utara 5.2.3.3 Perbaikan Ruas Bahu Jalan Upaya lainnya yang dilakukakan pada bagian rehabilitasi dan rekonstruksi adalah pembangunan kembali sarana dan prasarana serta fasilitas umum yang rusak agar kehidupan masyarakat kembali normal termasuk juga memperbaiki ruas jalan. Jalan raya sebagai sarana yang sangat penting dalam menjalankan segala aktivitas di tengah-tengah masyarakat baik itu untuk aspek ekonomi dan pendidikan. Mengingat program BPBK dalam memperbaiki jalan yang berada di desa padang kleng merupakan salah satu jalan yang menghubungkan antara desa- desa yang ada di pedalaman dengan kecamatan-kecamatan yang ada di Aceh Jaya.

Perbaikan jalan tersebut sangat bermanfaat terlebih bagi anak-anak yang bersekolah tingkat pertama dan tingkat menengah keatas pada kecamatan- kecamatan yang ada di Aceh Jaya, mengingat tidak ada sekolah tingkat pertama dan tingkat atas yang didirikan oleh pemerintah pada desa-desa pedalaman seperti

Pulo Tinggi, Mon Mata yang menjadi langganan banjir terparah. Jadi dalam meningkat kapasitas pemerintah untuk pembangunan yang lebih ideal perbaikan jalan merupakan salah satu yang menjadi program pemerintah Aceh Jaya.

Pada September 2017 BPBK sebagai pengelola teknis dalam hal rehabilitasi dan rekontruksi akibat bencana merasa perbaikan jalan perlu dilakukan. Karena, wawancara Ferdi Handaya Kasubbid Rehabilitasi dan Rekonstruksi

“...Seperti yang sudah saya katakan tadi, tugas kami pada bagian rehabilitasi dan rekonstruksi adalah memperbaiki sarana-sarana publik, perbaikan ruas jalan tentu saja sudah menjadi tugas kami. Ruas jalan yang kami perbaiki tersebut merupakan penghubung antara desa-desa pedalaman Aceh Jaya dengan kecamatan-kecamatan yang ada di Aceh

126

Universitas Sumatera Utara jaya. selain itu masyarakat seperti Pulo Tinggi sebagiannya sawahnya berada pada diluar kampung yang mereki tempati...”

Gambar 5.7 (a) Sebelum, (b) Sesudah pengerjaan ruas bahu jalan menuju Gampong Pulo Tinggi

(a) (b) Sumber : BPBK, 2018

Seperti yang terlihat diatas drainase sepanjang jalan terpaksa ditimbun dalam pengerjaan memperbaiki ruas bahu jalan. Sebagaimana yang kita tahu drainase sendiri berfungsi untuk mengaliri air agar tidak tergenang pada suatu tempat yang tidak diinginkan. Ternyata pemerintah Aceh Jaya punya solusi lain dalam hal menanggulangi banjir. Sejauh pengamatan saya saat melakukan observasi dan wawancara memang drainase yang daerahnya tidak memiliki RT/RW ditutupi oleh pemerintah namun pemerintah membuat drainase permanen pada ruas jalan yang dihuni oleh penduduk.

Kendatipun demikian, lagi-lagi masyarakat tidak mengindahkan drainase yang sudah dibangun oleh pemerintah. Sejauh observasi saya sangat banyak

127

Universitas Sumatera Utara sampah yang terdapat dalam saluran drainase. Wawancara dengan warga Baiti masyarkat Pulo Tinggi

“...Anak-anak biasanya sangat suka membuang sampah sembarangan. Parit tentu saja sangat berguna didaerah rawan banjir seperti pulo tinggi ini. Terutama ketika hujan kalau tidak ada parit air akan mengenangi halaman-halaman rumah kami dan itu akan mengakibat tumbuhan kecil yang kami tanami akan mati. Dulu didesa kami ini masih ada acara gotong royong minimal sebulan 2 kali tetapi sekarang hal itu sudah sangat jarang terjadi. Harapan kami satu-satunya sekarang pada hal mencegah banjir adalah pemerintah terus memperbaiki tanggul...”

Agar terwujudnya cita-cita dari pemerintah terhadap program penanggulangan bencana, dirasa perlu terciptanya pengendalian sosial diantara masyarakat dan pemerintah. Menurut Berger (1978) pengendalian sosial merupakan berbagai cara yang digunakan masyarakat terhadap anggotanya yang membangkang. Roucek (1965) mengemukakan bahwa pengendalian sosial adalah suatu istilah kolektif yang mengacu pada proses terencana dimana individu dianjurkan, dibujuk, atau pun dipaksa untuk menyesuaikan diri pada kebiasaan dan nilai hidup suatu kelompok. Secara umum dikatakan perlu adanya pengendalian sosial untuk menciptakan kondisi seimbang didalam masyarakat.

Didalam situasi normal manusia bersikap pasif bisa diajak kompromi dengan segala pertimbangan memgikuti aturan yang sudah ada. Namun tidak sedikut manusia yang mempunyai karakter melawan (tidak mengikuti) pola yang sudah ditentukan dengan berbagai bentuk yang dalam sosiologi disebut penyimpangan

(Deviance). Maka orang yang mempunyai karakter menyimpang akan dikendalikan. Dalam penelitian ini perubahan yang cepat terjadi seperti banjir

128

Universitas Sumatera Utara mengakibat terjadinya ketidak seimbangan ditengah-tengah masyarakat, yang ditandai situasi sebagai berikut:

1. Munculnya kepentingan pihak luar yang tidak ada sebelumnya

2. Merasa kehilangan kendali

3. Aktifitas tidak seperti biasa

4. Berkembangnya menyalahkan pihak tertentu sebagai biang keladi

5. Situasi yang tidak diharapkan

Situasi demikian akan dapat melunturkan pola perilaku yang normal dan memicu perilaku yang tidak terkendali, sering disebut perilaku kolektif serta dapat mengakibatkan tingkat kerusakan yang lebih besar. Dengan demikian diperlukan pengendalian sosial yang dilakukan aktor yang mampu mengendalikan dirinya, sehingga dapat mengendalikan orang lain baik secara vertikal maupun horisontal.

Dalam situasi normal kesamaan tanggung jawab pribadi ini dialihkan kepada orang lain atau struktur tertentu dalam pembagian peran, yang seringkali dilakukan secara berjenjang ke atas (Vertikal). David Kipnis (1981) menyimpulkan ketika orang diberi peluang untuk mengendalikan orang lain karena membangun mekanisme pengendalian dalam struktur vertikal-mereka sering kali mengesahkan legitimasi peran dan fungsi mereka sebagai superior dan menjaganya sebagai pemegang kekuasaan. Dengan demikian dalam situasi bencana terjadi dinamika struktur dan kekuasaan kepemimpinan dari struktur dan kepemimpinan vertikal berubah menjadi horisontal. Setelah situasi krisis terlewati struktur dan kepemimpinan horisontal ini berubah kembali menjadi vertikal.

Dalam situasi demikian pemimpin yang mengelola situasi bencana dituntut

129

Universitas Sumatera Utara mampu menjalankan kepemimpinan vertikal dan horisontal secara bergantian, berdasarkan perkembangan situasi yang terjadi.

5.3 Kapasitas Kerja Pemerintah Aceh Jaya Pemerintah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah instansi yang terkait dalam bidang penanggulangan bencana seperti Badan Penanggulangan Kabupaten

Aceh Jaya, Dinas Sosial, Dinas Pertanian dan Dinas Kesehatan. Namun fokus dalam penelitian ini adalah terhadap instansi Badan Penanggulangan Kabupaten

Aceh Jaya. Temuan dilapangan berdasarkan observasi yang peneliti lakukan di kantor Badan Penangulangan Kabupaten Aceh Jaya antara lain terkait pembagian tugas pokok yang telah ditetapkan sebagai Pengawai Negeri Sipil pada instansi

Badan Penanggulangan Bencana Kabupaten. Seperti pengamatan peneliti saat melakukan observasi adanya pembagian tugas yang tidak jelas antara sesama pengawai walaupun secara denah yang ditempel di dinding kantor terlihat jelas tugas masing-masing karyawan. Namun suasana yang terlihat ketika peneliti melakukan observasi ialah hanya beberapa pengawai saja yang terlihat sibuk dengan pekerjaannya. Berikut merupakan beberapa ciri-ciri etos kerja dan motivasi kerja BPBK Aceh Jaya.

5.3.1 Perilaku Pengawai

Seperti yang telah kita bahas pada bab ke dua bahwa arah perilaku seseorang dalam bekerja tergantung kemungkinan pilihan yang dipilihnya. Misalnya, seseorang pengawai dapat memilih dia datang tepat waktu atau tidak. Dari hasil observasi di dapati dilapangan ialah bahwa pengawai pada umumnya datang tepat waktu yaitu jam 08.00-16.45.

130

Universitas Sumatera Utara Namun pada jam kerja yang sudah ditentukan tersebut beberapa pengawai suka bolos artinya selama observasi berjalan hanya beberapa pengawai saja yang tetap berada dikantor pada jam kerja. Beberapa pengawai memilih duduk diwarung kopi dan beberapa staf lainnya melakukan pekerjaan yang tidak terlalu bermanfaat seperti berkaroke di kantor. Melihat fenomena yang terjadi dikantor peneliti berfikir untuk berbincang dengan salah satu pengawai Badan

Penanggulangan Bencana Kabupaten Aceh Jaya. wawancara dengan kasubbit rehabilitasi dan rekonstruksi Ferdi Handaya.

“...Jangan heran jika memang tidak ada kerjaan pengawai dan staf memang suka melakukan hal tersebut, tidak ada manfaat dari karoke. Bahkan dalam Islam sendiri musik itu hukumnya haram. Seperti hadits ini “haram bagi seseorang laki-laki memakai mas dan kain sutra dan haram pula khamar dan musik”. Musik diperboleh seperti nasyid dan syair yang memuja allah. Kamu tahu hadits nabi muhammad saw yang isinya akan tiba masanya di mana umat-ku lebih mencintai musik zina, kain sutera, khamar dan musik. Artinya musik itu tidak ada manfaatnya apalagi menghabiskan waktu dikantor untuk berkarokean...”

Untuk memastikan apakah kegiatan ini sering dilakukan atau tidak, saya bertanya kepada staf BPBK Aceh Jaya mengenai karokean di kantor. Wawancara dengan Husna, tenaga honorer BPBK Aceh Jaya.

“...Tidak terlalu sering kegiatan seperti ini dilakukan, kadang-kadang jika sedang tidak ada kerjaan dan yang biasanya karokean cuma kami yang muda-muda aja. Hari ini kan kami tidak punya kegiatan, sambil nunggu kawan-kawan yang lain datang karena ingin berkunjung ke tempat salah satu pengawai yang resepsi hari ini...”

Diatas merupakan beberapa gambaran perilaku pengawai maupun staf dalam berperilaku di kantor. Tidak semua pengawai berperilaku demikian. Menurut observasi sebagian pengawai sangat sibuk dengan tugas laporan yang harus

131

Universitas Sumatera Utara diselesaikan dan dari hasil wawancara sebagian pengawai juga ada yang dilapangan untuk menyelesaikan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.

5.3.2 Upaya

Upaya dalam hal ini diartikan sebagai keingginan seseorang dalam mencapai suatu hasil yang lebih maksimal. Pada bagian ini peneliti menilai upaya yang dilakukan oleh pemerintah pada umumnya belum maksimal terhadap kegiatan pengurangan resiko bencana yang ada di Aceh Jaya. Peneliti menilai dari kerentanan masyarakat terhadap bencana baik itu dari segi ekonomi maupun sosial. Berbicara mengenai upaya pemerintah saat ini selalu berhenti di dana, artinya saat ini pemerintah menjadikan slogan “minim dana” sebagai penghambat dalam melakukan kegiatan-kegiatan pengurangan resiko bencana. Harusnya upaya-upaya pengurangan resiko bencana harus dikerjakan lebih maksimal dari yang sudah ada saat ini. Seperti pembuatan tanggul yang dirasakan oleh masyarakat masih menjadi ancaman apabila sewaktu-waktu hujan dihilir dan hulu.

Seperti wawancara berikut ini dengan Mariah, Penduduk Pulo Tinggi.

“...Kami hanya ingin penambahan tanggul lebih panjang lagi, cuma itu satu-satu cara kami untuk terhindar dari banjir. tidak semua orang dapat membuat rumah dengan pondasi tinggi seperti yang saya lakukan. Saya merenovasi rumah ini pun hasil jual kerbau dan jual tanah kebun, karena kami sudah tidak tahan dengan banjir...”

Hal seperti diatas seharusnya menjadi upaya pemerintah untuk bekerja lebih giat lagi untuk melakukan upaya-upaya pencegahan resiko bencana. Selama penelitian berlangsung beberapa pengawai yang diwawancarai peneliti mengatakan bahwa untuk saat ini tidak ada dana untuk melakukan kegiatan- kegiatan hampir untuk semua bidang seperti pasca bencana dan pra bencana

132

Universitas Sumatera Utara kecuali bidang saat bencana. Untuk bidang saat bencana seperti menyediakan dapur umum, pendirian posko dan kegiatan-kegiatan tanggap darurat lainnya memang selalu memiliki dana karena sumber dana berasal langsung dari BNPB berbeda dengan beberapa bidang lainnya yang dananya diambil dari APBD dan

Otsus.

5.3.3 Ketegaran

Kendatipun beberapa persoalan diatas menjadi masalah yang harus terus di perbaiki oleh BPBK, namun terdapat beberapa hal yang tidak semua pengawai dapat menerimanya. Mengenai masalah ketegaran dalam hal ini peneliti mengaitkan antara ketegaran pengawai Badan Penanggulangan Kabupaten Aceh

Jaya dengan fasilitas yang mereka dapatkan dikantor.

Berbicara mengenai fasilitas, kantor BPBK jauh dari kata mewah. Kantor

BPBK merupakan gedung tsunami dimana manfaat utama gedung tersebut ialah untuk mengungsikan masyarakat apabila terjadi bencana bencana yang sangat berbahaya, mengingat Aceh Jaya merupakan daerah rawan gempa maupun tsunami. BPBK memakai gedung tersebut dengan alasan sebagai berikut.

Wawancara dengan Ismail, Kabid Kesiapsiagaan.

“...Gedung ini merupakan gedung yang disiapkan apabila sewaktu- waktu terjadi gempa atau tsunami, tidak ada salahnya kami memanfaatkan gedung ini untuk kantor karena disini juga merupakan parameter bahwa kita bekerja untuk bidang kebencanaan. Gedung juga memudahkan kami dalam melakukan kegiatan-kegiatan jika ada pelatihan-pelatihan terhadap masyarakat mengenai kebencanaan. Lantai tiga bisa kami manfaatkan untuk melatih masyarkat dan juga jika terjadi bencana kami bisa lebih dekat dengan masyarkat karena masyarakat akan berkumpul disini jika terjadi gempa atau tsunami. Sejauh ini belum ada proposal untuk pembuatan gedung baru. Paling selama ini yang

133

Universitas Sumatera Utara sengaja di anggarkan untuk sarana dan prasarana adalah perlengkapan kantor saja...”

Bukan hanya wawancara dengan pak Ismail yang mengatakan kalau gedung dengan kondisi tersebut sudah cukup untuk mereka. beberapa pengawai lainnya juga memiliki jawaban yang hampir serupa. Semenjak disahkan BPBK sebagai salah satu instansi yang bergerak khususnya dibidang kebencanaan 2011 lalu.

Belum ada pembicaraan dari pengawai untuk meminta gedung yang baru. Untuk saat ini yang menjadi fokus pengawai adalah penambahan seperti sarana dan prasarana seperti perlengkapan alat-alat untuk pencegahan bencana baik itu banjir maupun bencana lainnya seperti kekeringan. Alat yang yang harus dilengkapi seperti perahu karet, alat pemadam kebakaran, suling air dan alat-alat lainnya yang dibutuhkan ketika bencana.

Membangun etos kerja seseorang tidaklah semudah membalikkan telapak tangan membutuhkan proses yang panjang dan sering sekali tergantung individu tersebut. Seperti yang dikatakan Winardi (2002) ada beberapa faktor yang mempengaruhi etos kerja seseorang. Seperti berikut ini.

5.3.4 Kebijakan Kebijakan yang dimaksud dalam hal ini ialah meliputi gaji pengawai. Sebagai pengawai negeri sipil staf dan pengawai yang bekerja tentu mendapatkan intensif yang rutin setiap bulannya. Ditambahkan lagi dengan tunjangan-tunjangan yang diberikan oleh pemerintah selama ini. kebijakan pemerintah terhadap pengawai negeri sipil selama ini hanya sebatas absen dipagi hari. Pemerintah tidak begitu menyeluruh melihat permasalah-permasalahan yang terdapat di instansi-instansi

134

Universitas Sumatera Utara pemerintah di Indonesia saat ini. Tidak semua namun terdapat beberapa instansi di

Indonesia termasuk di Aceh Jaya yang menggunakan simbol-simbol untuk menunjukkan bahwa instansi tersebut telah bekerja maksimal seperti dalam penanggulangan bencana. Namun ketika peneliti wawancara dengan masyarakat terhadap simbol tersebut masyarakat tidak mengerti mengapa pamplet tersebut ada di dirikan ditempat itu. Biasanya yang mengerti akan pamplet seperti “Gampong

Siaga Bencana” yang menjadi program dinas sosial biasanya yang mengerti akan hal seperti itu ialah kechik di gampong tersebut. Gaji tidak selamanya seseorang itu bekerja lebih baik atau biasa saja. Wawancara dengan Darmawati, Kasubbid

Kesiapsiagaan

“...Sebagai PNS gaji yang saya terima sudah cukup mensejahterakan keluarga saya. Semua ingin gaji lebih banyak namun itu butuh proses. Namun untuk PNS tidak ada pemotongan gaji pokok jika tidak masuk kerja untuk saat ini hanya ada pemotongan gaji tunjangan saja...”

Berbeda jawaban yang diberikan oleh staf BPBK yang masih sebagai tenaga honorer di BPBK. Wawancara dengan Desi, Tenaga Honorer BPBK

“...Tentu saja gaji ini kurang untuk kami sebagai tenaga honorer. Saya pribadi tidak terlalu menuntut banyak gaji namun setidaknya pekerjaan bisa diimbangi dengan gaji saya...”

Amatan selama dikantor BPBK ialah tidak banyak perbedaan antara pengawai negeri dan non pengawai dalam pembagian tugas ketika bekerja walaupun sebenarnya gajinya sangat berbeda.

5.3.5 Faktor Imbalan (Reward)

Imbalan atau reward menjadi salah satu faktor penting dalam membangkitkan faktor etos kerja seseorang. Imbalan yang diartikan dalam penelitian tidak hanya

135

Universitas Sumatera Utara berupa uang namun juga berupa beberapa penghargaan yang dicapai individu dalam bekerja. Di BPBK sendiri belum banyak pengawai yang mendapatkan penghargaan dalam bidang kebencanaan. tidak adanya uang saku ketika turun kelapangan juga menjadi salah satu yang mempengaruhi etos kerja pengawai

BPBK. Saat melakukan penelitian dikantor BPBK peneliti sempat mendengar percakapan antara sesama pengawai BPBK membahas tentang

“Pak Is marah karena selalu saja beliau yang turun kelapangan, kali ini pak Is tidak mau dan tidak ada yang turun kelapangan”

Pak Is yang dimaksud merupakan pak Ismail kabid kesiapsiagaan. Pak Ismail tidak hanya menjadi pengawai negeri di BPBK anggota aktif di TAGANA dan

PMI. Pak Ismail merupakan salah satu pengawai yang telah mendapatkan penghargaan di bidang kebencanaan seperti “relawan terbaik” dari TAGANA.

5.3.6 Faktor Kultur

Faktor kultural merupakan faktor yang susah untuk di ubah, faktor kultural juga merupakan merupakan masalah bersama yang tidak hanya satu orang saja yang melakukannya namun lebih dari pada satu orang. Aceh yang terkenal sebagai daerah dengan seribu warung kopi telah menyebabkan masyarakat banyak menghabiskan waktu di warung kopi termasuk pengawai BPBK. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan warung kopi hanya saja terkadang seseorang sering melupakan pekerjaan utama karena banyak menghabiskan waktu di warung kopi.

Masyarakat Aceh juga dikenal dengan budaya beo (malas), budaya yang seperti ini sangat sulit ditinggalkan oleh sebagian masyarakat. Ciri-ciri pengawai yang disebut beo di Aceh ialah a) ke kantor jam 9, b) siap isi absen ke warung

136

Universitas Sumatera Utara untuk minum kopi dengan alasan supaya tidak mengantuk. c) siap minum kopi kekantor untuk mengerjakan sesuatu yang bisa dikerjakan. d) setelah melakukan aktivitas sampai jam 12 masuk waktu ISHOMA sampai dengan jam 14.00 siang. e) jam 14.00 masuk kantor sampai dengan pulang. Namun budaya lain yang sering dilakukan oleh kaum perempuan ialah bergosip (peh tem) masyarakat terkadang pengawai-pengawai perempuan yang menghabiskan untuk hal-hal yang demikian.

5.4 Faktor Penghambat dalam Penanggulangan Bencana Penghambat Badan Penanggulangan Bencana Kabupaten Aceh Jaya dalam menanggulangi banjir. Dari seluruh wawancara saya dengan pengawai BPBK kendala utama yang di hadapi oleh mereka ialah mengenai anggaran. Seperti wawancara saya dengan Darmawati Kasubbit Kesiapsiagaan Badan

Penanggulangan Bencana Kabupaten Aceh Jaya. wawancara dengan Darmawati,

Kasubbid Kesiapsiagaan.

“...Tahun ini belum ada kegiatan yang kami lakukan khususnya di bidang kesiapsiaagan, karena masih awal tahun jadi anggarannya belum turun. Ditambah lagi tahun ini kabarnya akan terjadi divisit dana karena pemerintah pusat akan lebih banyak mengeluarkan anggaran untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019...” Hal serupa juga dibenarkan oleh informan lainnya bahwa yang menjadi hambatan utama dalam menanggulangi bencana adalah anggaran. Namun, tidak hanya anggaran saja yang menjadi hambatan BPBK dalam menanggulangi bencana, seringkali masalah seperti yang tertulis di Lakip BPBK Aceh Jaya 2017 kerap menjadi rangkaian hambatan yang di alami BPBK. Berikut ialah hambatan

BPBK yang tertulis dalam Lakip BPBK Aceh Jaya 2017:

137

Universitas Sumatera Utara 1. Belum memadainya prosedur dan regulasi sebagai pedoman

penyelenggaran penanganan bencana di Kabupaten Aceh Jaya

termasuk belum terpenuhinya seluruh amanah aturan dan regulasi yang

dikehendaki Qanun Nomor 4 Tahun 2010 tentang Badan

Penanggulangan Bencana Daerah.

2. Belum terbangun sistem informasi dan komunikasi kebencanaan secara

terpadu dan terintegrasi.

3. Kurang tersedianya anggaran yang memadai dalam penanggulangan

bencana.

4. Kurang terpadunya penyelenggaraan penanganan bencana dan masih

berjalan secara sektoral.

5. Belum optimalnya koordinasi pelaksanaan penanggulangan bencana.

6. Masih terbatasnya sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan

penanggulangan bencana.

Artinya tidak hanya dana saja yang menjadi masalah utama dalam menanggulangi bencana. Namun terdapat beberapa masalah lainnya yang ternyata masih menjadi persoalan. Dalam hal ini pemerintah dituntut harus terus bekerja keras dalam membenahi persoalan yang untuk mewujudkan visi dan misi BPBK dalam penanggulangan banjir sebagai berikut:

“Masyarakat Kabupaten Aceh Jaya Tangguh Menghadapi Bencana yang didukung Sumber Daya Manusia Yang Berkualitas, Beriman dan Bertaqwa” Adapun untuk mewujudkan visi yang telah dirumuskan, dijabarkan dalam misi Badan Penanggulangan Bencana Kabupaten Aceh Jaya sebagai acuan

138

Universitas Sumatera Utara pelaksanaan aktivitas dan interaksi dalam program-program yang ditetapkan sebagai berikut :

1. Membuat regulasi penanggulangan bencana;

2. Melindungi masyarakat dari ancaman bencana melalui pengurangan resiko

bencana;

3. Membangun sistem penanggulangan bencana yang handal;

4. Menyelenggarakan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu

terkoordinasi dan menyeluruh;

5. Merehabilitasi dan merekonstruksi infrastruktur pasca bencana.

Dalam penanggulangan bencana setiap lapisan terkait harus di dilibatkan didalamnya baik itu pemerintah dan masyarakat. Karena dalam pengurangan resiko bencana tidak bisa dilakukan oleh satu pihak saja. Dibutuhkan kerjasama dan keterlibatan proaktif dari berbagai pihak. Konsep utama menuju manajemen yang baik didasari oleh kerjasama yang baik dari pemerintah dan masyarakat.

Seperti point dari pada HFA yang pertama dikatakan bahwa “memastikan bahwa peredaman risiko bencana merupakan sebuah prioritas nasional dan lokal dengan dasar kelembagaan yang kuat untuk pelaksanaanya”. Kerjasama yang selama ini dibangun oleh pemerintah dan masyarakat ialah seperti pada tahap mitigasi masyarakat melakukan gotong royong pada setiap hari jumat seperti membersihkan drainase agar tidak tersumbat pada musim penghujan.

Peran serta masyarakat jauh lebih terlibat ketika terjadi bencana. Masyarakat membantu BPBK maupun SAR dalam penyelematan kelompok rentan pada saat

139

Universitas Sumatera Utara bencana misalnya anak-anak, ibu-ibu dan lansia dan masih banyak lainnya bentuk kerjasama yang dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah terhadap bencana hal tersebut dilakukan oleh masyarakat dengan suka rela. Faktor pendukung pengawasan adalah masyarakat sangat merespon dan menerima dengan baik sosialisasi-sosialisasi yang dikatakan oleh pemerintah sehingga terjadi hubungan timbal balikdan tercapainya tujuan pencapaian misi. Adanya kesadaran masyarkat untuk mengatisipasi terjadinya bencana bencana alam sehingga sangat membantu pemerintah juga sangat membutuhkan partisipasi masyarakat dalam penanggulangan bencana.

Berbeda dengan dua tahap diatas pada tahap pasca bencana tidak banyak terjadinya komunikasi yang baik antara masyarakat dan pemerintah. sangat banyak aspirasi masyarakat yang belum terserap oleh pemerintah dengan tantangan utama seperti pendanaan. Seperti wawancara dengan Rusman kepala

BPBK

“...Kendala yang kami hadapi dalam menanggulangi bencana ini ialah masalah dana, banyak kegiatan yang tidak bisa dilakukan karena adanya keterbatasan anggaran...”

Fakta dilapangan yang didapati peneliti pada masyarakat korban banjir ialah aspirasi masyarakat terhadap pembuatan tanggul yang lebih maksimal belum tercapai hingga saat ini. Masyarakat terus berharap agar tanggul bisa dikerjakan semaksimal mungkin untuk pencegahan banjir. Masyarakat juga berharap adanya uluran tangan dari pemerintah terhadap masyarakat yang dikategorikan miskin dalam merenovasi rumah menjadi lebih tinggi.

140

Universitas Sumatera Utara 5.5 Perspektif Sosiologi Terhadap Bencana Setiap manusia atau kelompok masyarakat mempunyai pengetahuan dan cara untuk menghadapi lingkungan demi kelangsungan hidupnya. Pengetahuan dan cara ini dikenal sebagai “wisdom to cope with the local events” atau sering dikenal dengan “local wisdom”. Sebagai contoh masyarakat Aceh Jaya mengenal yang namanya tulak bala. Tulak bala merupakan ritual yang dilakukan oleh masyarakat untuk memohon pertolongan kepada Tuhan agar terhindar bencana.

Tulak bala juga merupakan perkumpulan kelompok untuk membahas mengenai pengetahuan tentang kebencanaan.

Sementara itu, berbagai pihak lain juga memiliki pengetahuan dan pemaknaan yang berbeda terhadap suatu kejadian atau fenomena yang dihadapi oleh suatu masyarakat lokal. Hal ini juga terbentuk dari proses panjang dan berkaitan dengan berbagai faktor, seperti sistem pengetahuan yang digunakan, pengalaman, kepentingan, posisi sosial, dan sebagainya.

Dari berbagai analisis kejadian bencana, ahli sosiologi memberikan usulan dalam pengelolaan bencana, seperti yang dikemukan oleh Drabek dan Hoetmer

(1991) dalam Pramono (2016) beberapa prinsip penting yang diberikan antara lain ialah:

1. Perspektif sosiologis bukan hanya sekedar pengetahuan, tetapi seharusnya

menjadi panduan dalam menyusun kegiatan program, prioritas dan strategi

implementasi pengelolaan bencana yang berkelanjutan (Quarantelli &

Dynes, 1972).

141

Universitas Sumatera Utara 2. Dalam kejadian bencana, penting untuk memahami bagaimana pola

pengetahuan individu atau masyarakat terhadap suatu ancaman bencana dan

bagaimana pola mereka dalam menghadapi ancaman tersebut (Drabek and

Hoetmer, 1991).

3. Strategi pengelolaan bencana diperlukan menjadi acuan dalam tanggapan

perilaku manusia atau kelompok dalam menghadapi bencana secara efektif,

harusnya dikembangkan dan diterapkan menjadi bagian hidup manusia atau

kelompok sehari-hari (Dynes & Drabek, 1994).

Melalui perspektif sosiologis terhadap penanggulangan bencana maka masyarakat akan mengalami peningkatkan kapasitas dalam penanggulangan bencana dan akan menghasilkan pengelolan bencana yang diharapkan akan lebih baik.

142

Universitas Sumatera Utara BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan

6.1.1 Kerentanan Masyarakat Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang kerentanan masyarakat dan kapasitas pemerintah dalam menanggulangi banjir di Aceh Jaya dapat di simpulkan bahwa kerentanan masyarakat Aceh Jaya terhadap banjir bisa digambarkan sebagai berikut yaitu belum adanya tanggul yang maksimal sebagai penahan air sungai ketika hujan lebat, belum ada saluran drainase dibeberapa titik rawan banjir, masyarakat belum sepenuhnya menyadari arti penting menjaga lingkungan. Seperti tidak adanya reboisasi pada tumbuhan yang berumur lama, lahan pertanian di jadikan bangunan, hingga menebang hutan yang menyebabkan kurangnya daerah resapan.

Terdapat beberapa cara masyarakat dalam mengurangi resiko kerugian akibat banjir seperti membuat rumah lebih tinggi dari permukaan tanah, tidak banyak memasukan alat perabotan kedalam rumah yang rawan banjir dan sebagian masyarakat membuat Pantee sebagai media untuk meninggikan perabotan dari lantai yang kerap di landa banjir. Berdasarkan kearifan lokal masyarakat masih teguh memegang kepercayaan terhadap ritual-ritual yang diwariskan oleh nenek moyang. Dalam bidang pertanian sendiri dikenal dengan ritual kenduri blang.

Kenduri blang bertujuan untuk mengatur kapan masyarakat kesawah untuk menanam padi, dalam perkumpulan kenduri blang juga membicarakan strategi untuk mendapatkan hasil panen yang lebih banyak, jenis-jenis ancaman terhadap padi dan terdapat doa-doa harapan terhadap Tuhan yang maha kuasa untuk

143

Universitas Sumatera Utara dijauhkan dari segala musibah. Terdapat kearifan lokal lainnya yang ada di Aceh

Jaya seperti tulak bala memohon kepada Tuhan utnuk mejauhkan masyarakat dari segala bencana.

Banjir akan menjadi ancaman jika berada pada lokasi yang bahaya.

Masyarakat Aceh Jaya pada umumnya berada pada daerah-daerah yang rawan akan bencana. Kecamatan Pasie Raya yang menjadi lokasi dalam penelitian ini berada pada daerah yang berada di sekitaran sungai Teunom. Secara topografi wilayah sungai Teunom yang berada pada bagian hulu umumnya memiliki daratan yang berbukit-bukit, bergunung-gunung dengan tebing terjal dan kemiringan tajam yang dialiri sungai besar dan kecil. Sedangkan pada bagian hilir, dimana lokasi penelitian dilakukan merupakan daerah yang relatif rendah sehingga sering terkena dampak bencana banjir.

6.1.2 Kapasitas Pemerintah

Program yang selama ini diberikan oleh pemerintah terhadap korban banjir menunjukkan adanya keinginan yang baik dari pemerintah dalam hal menanggulangi bencana khususnya banjir, dengan bukti pada tahap pra bencana adanya kesiapsiagaan, sarana dan prasarana yang dimiliki BPBK sudah memadai walaupun masih harus banyak penambahan alat-alat untuk keperluan saat banjir seperti perahu karet. Sumber daya yang dimiliki manusia ditambah dengan adanya

Gampong Siaga Bencana yang menjadi program Dinas Sosial namun di pada

Instansi BPBK belum adanya Kampung Tangguh Bencana menjadi satu hal yang harus terus di benahi oleh pemerintah.

144

Universitas Sumatera Utara Pada bidang tanggap darurat pemerintah selalu hadir untuk mengevakuasi korban banjir ketempat yang aman, mendirikan dapur umum dan mendirikan posko-posko kesehatan namun yang menjadi keluhan masyarakat ialah posko hadir terlalu lama, hal ini yang harus terus di benahi oleh pemerintah.

Begitu pun dengan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi terhadap infrastruktur yang terkena dampak akibat bencana. Pemerintah selalu menampung aspirasi masyarakat seperti pembuatan tanggul, perbaikan ruas jalan dan melakukan normalisasi walaupun masih sangat banyak keluhan dari masyarakat terhadap infrastruktur yang di hadirkan oleh pemerintah tidak maksimal. Sistem peringatan dini yang tidak memadai baik itu oleh pemerintah maupun masyarakat juga menjadi suatu kelemahan pemerintah dan masyarakat dalam mengurangi resiko kerugian akibat banjir.

Belum adanya komunikasi yang baik antara masyarakat dan pemerintah menjadikan beberapa program dari pemerintah tidak tersampaikan dengan baik terhadap masyarakat. Misalnya bantuan yang diberikan pemerintah selalu tidak tepat sasaran dianggap oleh masyarakat, pembuatan tanggul yang belum maksimal dan bantuan tanggap darurat seperti pendirian dapur umum, dan bantuan pangan lainnya.

Diharapkan adanya komunikasi yang baik antara masyarakat dan pemerintah dalam hal menanggulangi resiko bencana. Komunikasi yang baik akan menciptakan kerja yang maksimal dalam membangun masyarakat yang mandiri dalam menghadapi bencana.

145

Universitas Sumatera Utara Selain komunikasi yang baik antara masyarakat dan pemerintah di perlukan juga Kapasitas kerja yang baik dari pemerintah untuk meningkatkan kapasitas penanggulangan bencana Aceh Jaya. Kapasitas kerja yang selama ini dibangun oleh BPBK ialah kurangnya kedisiplinan kerja yang dilakukan oleh beberapa pengawai BPBK serta masih lemahnya sistem kerjasama antara pengawai dan tenaga honorer.

6.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan diatas, maka penulis memberikan beberapa saran, sebagai bentuk implementasi dari hasil penelitian sebagai berikut:

1. Pemerintah harus maksimal dalam hal menangani banjir, misalnya dalam

pembuatan tanggul, pengerjaan infrastruktur yang baik, cepat tanggap dan

cepat bertindak mengenai aspirasi dari masyarakat.

2. Pemerintah Daerah seperti Dinas Pertanian lebih cepat tanggap terhadap

pendataan kerugian pertanian yang dialami oleh masyarakat, dan segera

mencari solusi untuk tanaman padi yang lebih tangguh terhadap genangan

banjir supaya kerugian yang dialami oleh masyarakat dapat terminimalisir.

3. Kepedulian masyarakat terhadap lingkungan harus lebih ditingkat kembali,

seperti menjaga lingkungan dengan bergotong royong pada setiap jumat

dilakukan secara rutin.

4. BPBK hendaknya berusaha untuk memperbanyak kader-kader BPBK

(TRC) untuk meningkatkan kapasitas dalam penanggulangan bencana

146

Universitas Sumatera Utara banjir di Aceh Jaya. Minimal dalam sebuah Gampong terdapat satu kader

BPBK.

5. Pemerintah diharapkan menyediakan dana yang lebih besar terhadap

penanganan ketika terjadi bencana banjir supaya masyarakat setidaknya

dapat mengkonsumsi makanan yang cukup dan bergizi ketika banjir.

6. Memperkuat kerjasama antara seluruh instansi pemerintah Aceh Jaya agar

mencapai tujuan yang diharapkan.

7. Pemerintah ataupun lembaga swasta terus melakukan kegiatan yang

berhubungan dengan sistem penanggulangan bencana agar masyarakat

yang tinggal di daerah rawan bencana dapat terus meningkatkan

pengetahuannya tentang cara untuk menghadapi datangnya bencana

khususnya banjir. Fungsi Gampong Siaga Bencana seharusnya menjadi

contoh bagi masyarakat dalam menangulangi bencana bukan hanya

dijadikan sebuah simbol saja.

8. Penelitian ini belum komprehensif, karena hanya melihat segi kerentanan

masyarakat dan aksi-aksi yang telah dilakukan oleh pemerintah, maka

untuk kebutuhan penelitian berikutnya bagi yang berminat meneliti

kerentanan dan kapasitas pemerintah dalam menanggulangi banjir dapat

menggunnakan pendekatan output, yaitu dengan dengan mengukur aksi

atau jasa yang telah dilakukan oleh pemerintah berdasarkan tingkat

kepuasaan dan ekspektasi masyarakat yang terdampak banjir.

147

Universitas Sumatera Utara DAFTAR PUSTAKA

ADPC. (2006). Hazard, Vulnerability, and Risk Workshop on Earthquake Vulnerability Reductions for Cities and Damage and Loss Estimation for Recovery Planning-Research Center for Disaster Studies. Yogyakarta: 28 Agustus-1 september 2006.

Alhadi, Zikri. (2011). Upaya Pemerintah Kota Padang untuk Meningkatkan Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Menghadapi Ancaman Gempa Bumi dan Tsunami (Suatu Studi Manajemen Bencana). Tesis. : Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik, Universitas Indonesia.

Alhadi, Zikri. Sasmita, Siska. (2012). Kajian Strategi Pengurangan Resiko Bencana Gempa dan Tsunami Berdasarkan Kearifan Lokal di Kota Padang. Universitas Negeri Padang.

Alexander, D. (1993). Natural Disaster. Dept. Geology and Geography. University. of Massacchussetts : UCL Press.

Anoraga, Panji. (1992). Psikologi Kerja. Jakarta: Rineka Cipta.

Armah, F. A., Obiri, S, Yawson, D.O., Onumah .,Yengoh, G.T., Artita, E.K.A & Odoi,. J.O. (2010). Antrhopogenic Source and Enviromentally Relevant Concentrations of Heavy Metals in Surface Water of A Mining District in Ghana: a Multivariate Statistical Approach. Journal Of Enviromental Science and Healt.

Arikunto. (2010). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.

Arif, Dian Adhieta (2017). Kerentanan Masyarakat Perkotaan Terhadap Bahaya Banjir Di Kelurahan Legok, Kecamatan Telanipura, Kota . Majalah Geografi Indonesia Vol. 31 No 2, 79-87.

Bakornas Penanggulangan Bencana. (2007). Pengenalan Karakteritik Bencana dan Upaya Mitigasinya di Indonesia. Jakarta: Direktorat Mitigasi lahar Bakornas PB.

BAPPEDA. (2017). Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Aceh Jaya 2014- 2034. Aceh.

BNBP. (2013). Indeks Resiko Bencana Indonesia, Direktorat Pengurangan Resiko Bencana Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan. ISBN: 978-602-70256-0-8.

148

Universitas Sumatera Utara Berger, L. Peter. (1978). Invitation to Sociology: a Humanistie Perspective. Harmondsworth: Middlesex, Penguin Books.

BNPB. (2008). Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana. Jakarta.

B, Miles., Metthew, A., & Michael, Huberman. (1992). Analisis Data Kualitatif. Jakarta:UI Press.

BBC, News. Indonesia Negara Rawan Bencana. Indonesia.

Carter, Nick. (1991). Disaster Management: a Disaster Manager’s Handbook. Manila: ADB.

C.S.A (Kris), Van. Koppen. (2000) Sociologia Ruralis Volume 40. USA: Blackwell Publishers.

Cherington, J. D. (1994). Organizational Behaviour: the Management of Indivudual and Organizational Perfomance (Second Edition). Massachusets: Allyn and Bacon.

Creswell, J.W. (2003). Research Design Qualitative, Quantitave and Mixed Methods Approaches Second Edition. New Delhi: Sage Publications.

Dinas Pengairan Aceh. (2017). Gambaran Umum Sungai Krueng Teunom Kabupaten Aceh Jaya. Aceh.

Drabek, T.E. (1991). Disaster Evacuation in the Tourist Industri. Boulder, Colorado: Institute of Behavioral Science, University of Colorado.

Drabek, T.E. (1986). Human Sistem Responses to Disaster: an Inventory of Sociological Findings. Newyork: Springer Verlag.

Denzim, Norman. K., & Yvonna, S. Lincoln. (2009). Handbook of Qualitative Research. Terj. Dariyatno. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.

Dynes, Russell R. & Thomas E. Drabek. (1994). The Structure f Disaster Research: Its Policy and Disciplinary Implications. International Journal Of Mass Emergencies and Disaster.

Flemming, A.S. (1957). The Impact of Disaster on Readiness for War. in the Annals: AAPSS No.309.

Gaffar, Z., (2015). Statistik Kejadian Bencana Tahun 2014, http://www. Penanggulangankrisis.Depkes.Go.Id/Statistik-Kejadian-Bencana-Tahun- 2014.

149

Universitas Sumatera Utara UNDP. (1992). Human Development Report. Newyork: Oxford University Press.

Hidayati, Deny.(2006). Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana Gempa Bumi & Tsunami. Jakarta: LIPI-UNESCO/ISDR.

Howard, E., Hubelbank, J., & Moore, P. (1999). Employer Evaluation of Graduates: Use of the Focus Group. Nurse Educator.

Hurgrounje, S. 1985. Aceh di Mata Kolonialis Jilid 1. (Terjemahan Masri Singa Rimbun) Yayasan Soko Guru, Jakarta.

Haryanto, Agus., Joko. (2012) Manajemen Bencana dalam Menghadapai Ancaman Bencana Industri di PT. Lautan Otsuka Cemical Cilegon. UI.

Internasional Strategi for Disaster. (2005). Kerangka Kerja Aksi Hyogo 2005- 2015: Membangun Ketahanan Bangsa dan Komunitas Terhadap Bencana. Hasil Konferensi Sedunia Tentang Peredaman Bencana 18-22 Januari. Kobe: Hyogo Japan Laporan Akhir No.A /CONF/206.6.

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). (2001). Climate Change 2001: Impacts, Adaptions Vulnerability. Contribution of Working Group II to the Third Assesment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Ganeva:UNEP/WMO.

Juanda, Edi. (2002). Peran Lembaga Adat Keujren Blang Dalam Pemberdayaan Masyarakat Tani Dalam Pengelolaan Pertanian Sawah. Tesis. Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik. Universitas Indonesia.

Kreps, A. Gary., & Thomas, E. Drabek. (1996). Disaster are Non-Routine Social Problems. International Journal of Mass Emergencies and Disaster. London: Disaster Mitigation. A Community Based Approad, Oxfam.

Kodoatie, Robert. J., & Sjarief, Rustam. (2006). Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu. Yogyakarta.

Kumar, Sanjay. & Stecke, E. Kathryn. (2009). Sources of Supply Chain Disruptions, Factors that Breet Vulnerability, and Migating Strategies. Journal of Marketing Channels.

Kitzinger, J. (1994). The Metodelogy of Focus Groups: The Importance of Interaction Between Research Participants. Sociology of Health and Ilness.

Koentjaraningrat. (1997). Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.

150

Universitas Sumatera Utara Kipnis, David. (1981). The Powerholder. 2nd Edition. Chicago: University of Chicago Press.

Lehoux, Pascale., Poland, Blake., & Daudelin. Genevieve. (2006). Focus Group Research and “the Patient’s View”. Journal Social Science & Medicine.

Nurjannah. (2012). Manajemen Bencana. Bandung, Alfabeta.

Prince, S.H. (1920). Catastrope and Social Change: Based Upon a Sociological Study of The Halifax Disaster, Ph.D. Dissertation. New York: Columbia University, Department of Political Science.

Promise Indonesia. (2009). Program for Hydro-Meteorogical Risk Mitigation Secondary Cities in Asia-Pusat Mitigasi Bencana. Bandung: PMB-ITB.

Pramono, Rudi. (2016). Perspektif Sosiologis dalam Penanggulangan Bencana. Jurnal Budaya dan Masyarakat. Volume 18 No.1 Tahun 2016.

Quarantelli, E.L. (1984). Organizational Behavior in Disaster and Implications for Disaster Planning. Emmitsburg, Maryland: National Emergency Training Center. Federal Emergency Management Agency.

Quarantelli, E. L. & Dynes, R.R. (1970). Property Norms Looting: Their Patterns in Community Crises, Phylon, Summer 168-182.

Ramli, Soehatman. (2010). Pedoman Praktis Manajemen Bencana. Jakarta: Dian Rakyat.

Reivich, K. dan Shatte, A. (2002). The Resilience Factor: 7 Essential Skill For Overcoming Life’s Inevitable Obstacles. New York: Broadway Books.

Roucek, S. Joseph. (1965) Social Control. New Jersey: D Van Nostrand.

Sutikno. (2006). Mitigasi dan Analisis Dampak Risiko Bencana dalam Materi Pelatihan Sistem Informasi Geografis untuk Penanggulangan Bencana. Yogyakarta: PBSA dan Departemen Sosial.

Smith, K. (1992). Enviromental Hazard: Assessing Risk and Reducing Disaster. London: Routledge.

Stalling, Robert. (1991). Disaster as Social Problems: a Dissenting View?. International Journal of Mass Emergencies and Disaster.

Sinamo, Jansen.(2011). Delapan Etos Kerja Profesional. Jakarta: Institut Mahardika.

151

Universitas Sumatera Utara Solihin, Rois. (2010). Pengaruh Komitmen Anggota dan Budaya Kerja Terhadap Kinerja Tim Koordinasi, Monitoring dan Evaluasi (Kormonev) Nasional. ISSN: 1829-7501.

Sugiyono. (2007). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Salim, Agus. (2006). Teori & Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta : Tiara Wacana.

Sukardewi, Nyoman. (2013). Jurnal Akuntasi Pascasarjana Universitas Syiah Kuala, Volume 4, 2013, Hal. 3.

Sylves, Richard. T. (2004). Person on Political Theory and Emergency Management. Journal of Emergency Management.

Syarif, Safrilsyah & Yunus, M.,Firdaus. (2013). Metode Penelitian Sosial. Banda Aceh: Ushuluddin Publishing.

Setyowati, S.H.,Ana. (2010). Hubungan Antara Kecerdasan Emosional Dengan Resiliensi pada Siswa Penghuni Rumah Damai . Jurnal Psikologi Undip. 7 (1), 4-5.

Siebert. (2005). The Resiliency Advantage : Master Change, Thrive Under Pressure, and Bounce Back From Setbacks. California : Berret-Koehler Publisher. Inc.

Satria, Budi., & Sari, Mutia. (2017). Tingkat Resiliensi Masyarakat di Area Rawan Bencana. ISSN: 2087-2879, e-ISSN : 2580-2445 Vol .VIII No.2.

Twigg, J., & Batt, M. (Eds.). (1998). Understanding Vulnerability: South Asian Perspective. London: ITDG.

Todaro. (1992). Pengembangan Ekonomi di Dunia 3. Kajian Migrasi Internal di Negara Sedang Berkembang. Yogyakarta: UGM.

Tutdin, Zakia. (2016). Peran Rangers Dalam Menjaga Kelestarian Hutan (Studi Kasus Di Kabupaten Aceh Jaya). Skripsi. Universitas Syiah Kuala.

Tierney, J., Katleen. (1994). Sociology’s Unique Contributions to The Study of Risk. University Of Delaware. Disaster Research Center.

Van, Koppen, C.S.A. (Kris)(2000). Resource, Arcadia, Lifeworld: Nature Concepts In Enviromental Sociology, Sociologia Ruralis.

152

Universitas Sumatera Utara Winardi, J. (2007). Motivasi dan Permotivasian Dalam Manajemen. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Wijaya, Andy. F. (2007). Problem Antisipasi Bencana: Dalam Perspektif Good Governance dan Manajemen Pelayanan Publik. Makalah Seminar Nasional Potensi Migas dan Antisipasi Bencana Di Jawa Timur. Malang: Universitas Brawijaya.

Winardi. (2002). Motivasi Dan Pemotivasian Dalam Manajemen. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Zulchaidir. (2013). Keuneunong Sebagai Adaptasi Masyarakat Kecamatan Pulo Aceh Dalam Menghadapi Bencana Hidrometeorologi. Jurnal Ilmu Kebencanaan Pascasarjana Universitas Syiah Kuala.

153

Universitas Sumatera Utara Lampiran 1 : Panduan wawancara Kerentanan Masyarakat dan Kapasitas Pemerintah Daerah dalam Penanggulangan Banjir di Kecamatan Pasie Raya Kabupaten Aceh Jaya

I. Identitas Responden

Nama : Umur : Jenis kelamin : L/P (Lingkari) Pekerjaan : Jabatan :

II. Penjelasan

1. Jawablah pertanyaan dibawah ini. 2. Jawaban yang sebenarnya akan sangat kami hargai karena data ini hanya digunakan sebagai bahan untuk melengkapi tugas akhir pada Sekolah Pascasarjana USU. 3. Atas kerjasama yang baik sebelumnya kami ucapkan teimakasih.

III. Pertanyaan a. Panduan Pertanyaan Informan Masyarakat ( Kerentanan Masyarakat)

1. Apa yang pertama anda lakukan ketika banjir ? 2. Berapa ketinggian banjir ? 3. Kerugian dalam bentuk apa saja yang sangat terdampak akibat banjir ? 4. Hal apa saja yang anda lakukan untuk meminimalisir kerugian akibat banjir ? 5. Bagaimana keadaan di desa atau dikeluarga ketika banjir ? 6. Menurut anda, bagaimana ketanggapan pemerintah dalam penanggulangan banjir di desa anda?

154

Universitas Sumatera Utara b. Panduan Pertanyaan Informan Pemerintah ( Kapasitas Pemerintah) 1. Apa yang pertama dilakukan pemerintah saat ada laporan banjir ? 2. Bagaimana kerjasama instansi pemerintah terkait dalam penanggulangan banjir ? 3. Hal apa saja yang harus ditingkatkan dalam memaksimalkan kinerja pemerintah dalam penanggulangan banjir ? 4. Hal apa saja yang menjadi hambatan pemerintah dalam penanggulangan banjir ?

IV. Kritik dan Saran ......

......

......

......

155

Universitas Sumatera Utara DAFTAR RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI Nama : Lilis Sariyanti S. Ud Tempat & Tanggal Lahir : Mns. Gantung/ 07 0ktober 1994 Alamat : Mns. Gantung, Kecamatan Kaway XVI, Aceh Barat No. Hp : 0812-6519-5093 Jenis Kelamin : Wanita Agama : Islam Kewarganegaraan : Indonesia Status : Belum Menikah Email : [email protected]

PENDIDIKAN FORMAL 1. SD NEGERI PUNGKIE 2. SMP NEGERI 1 KAWAY XVI 3. SMA NEGERI 2 MEULABOH 4. SARJANA-UIN AR-RANIRY BANDA ACEH 5. PASCASARJANA-UNIVERSITAS SUMETERA UTARA

PENGALAMAN KERJA 1. Kasir Rumah Makan Premier Banda Aceh 2. Penyiar Radio 101.3 Dalka Fm Meulaboh

Medan, 24 Agustus 2018

Penulis

Lilis Sariyanti

156

Universitas Sumatera Utara