KOMUNITAS LABA-LABA (ORDO: ARANEAE) PERMUKAAN TANAH DI HUTAN SOKOKEMBANG, PEKALONGAN, JAWA TENGAH

ANDIKA DWI NUGROHO

PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2018 M / 1439 H KOMUNITAS LABA-LABA (ORDO: ARANEAE) PERMUKAAN TANAH DI HUTAN SOKOKEMBANG PEKALONGAN, JAWA TENGAH

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh: Andika Dwi Nugroho 11130950000003

PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2018 M/1439 H

ABSTRAK

ANDIKA DWI NUGROHO. Komunitas Laba-laba (Ordo: Araneae) Permukaan Tanah di Hutan Sokokembang, Pekalongan, Jawa Tengah. Skripsi. Program Studi Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dibimbing oleh Dr. Fahma Wijayanti, M.Si dan Narti Fitriana, M.Si. 2017.

Laba-laba merupakan pemangsa utama dari berbagai serangga sehingga dapat berfungsi sebagai agen pengendali hayati dan berperan penting pada suatu ekosistem. Kehidupan laba-laba erat kaitannya dengan parameter faktor lingkungan, struktur vegetasi dan topografi dari suatu habitat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur komunitas dan pola sebaran laba-laba permukaan tanah dengan mengidentifikasi jenis laba-laba tanah di Hutan Sokokembang, Pekalongan. Pengambilan sampel laba-laba dilakukan di tiga habitat yang berbeda (hutan alam, hutan kopi dan area pemukiman) dengan menggunakan metode pitfall trap yang berisi gliserin dan air dalam kuadrat seluas 10 x 10 m. Pitfall trap ditanam pada setiap kuadrat sehingga dalam satu habitat berjumlah 75 unit pitfall trap. Penentuan titik sampling menggunakan metode purposive sampling. Pemanenan dilakukan setelah 24 jam. Setelah diidentifikasi ditemukan sebanyak 1 subordo, 5 famili, 9 genera dan 13 jenis laba-laba permukaan tanah. Ctenus monaghani dan Thyene sp. ditemukan di setiap habitat dengan individu terbanyak. Nilai indeks dominansi (Di) tertinggi terdapat pada jenis Ctenus monaghani dengan nilai 47%. Nilai indeks keanekaragaman (H’) tertinggi terdapat pada hutan alam dengan nilai 1,87. Nilai indeks kemerataan (E) tertinggi terdapat pada hutan alam dengan nilai 0.78 dan nilai indeks kesamaan (S) tertinggi terdapat di antara hutan alam dan hutan kopi serta hutan alam dan area pemukiman dengan nilai 59 %. Analisis CCA menujukkan terdapat 4 kelompok laba-laba yang memiliki kecenderungan berbeda dalam memilih habitat dan terdapat pengaruh yang nyata terhadap keanekaragaman laba-laba permukaan tanah di Hutan Sokokembang yaitu pH tanah dengan P-value = 0.0020. Struktur komunitas laba- laba permukaan tanah disusun oleh keanekaragaman jenis, kemerataan jenis, dominansi, kesamaan jenis dan pola sebaran jenis.

Kata kunci : Habitat, Laba-laba permukaan tanah, Pitfall trap

i

ABSTRACT

ANDIKA DWI NUGROHO. Community of Land Surface (Order: Araneae) in Sokokembang Forest, Pekalongan, Jawa Tengah. Undergraduate Thesis. Department of Biology. Faculty of Science and Technology. State Islamic University Syarif Hidayatullah, Jakarta. Advised by Dr. Fahma Wijayanti, M. Si and Narti Fitriana, M. Si. 2017.

As the main predator of any kinds of insect, are considered as a biological control agent that has an important role in the acosystem. Spiders life closely related with environmental parameter factors, vegetation structure and topography of a habitat. The purposes of this research were to understand community structure and distribution pattern of land surface spider by identified the spider species forest in Sokokembang, Pekalongan. Spiders sampels were collected from 3 different habbitats (nature forest, coffee forest and resident area) the samples were collected using pitfall trap method which contains glyceryn and water in a 10x10m quadrant area. Pitfall traps were planted in each quadrant which contain 75 units of pitfall traps. Sampling points were determined using purposive sampling method. This traps were done after 24 hours. The results showed that 1 suborder, 5 families, 9 Genera, and 13 species of ground spiders were found. Ctenus monaghani and Thyene sp. had the highest number of individual and found in every habitat. The highest value of dominance index (Di) was in the natural forest with 47% for the species Ctenus monaghani. The highest value of diversity index (H’) was in the natural forest with 1.87. Evenness index (E) value is highest at natural forest with 0.78 and the highest value of similarity index (S) was found between natural forests and coffee forests and natural forest and residential areas 59%. CCA analysis illustrates, there are 4 groups of spiders which has inclination in choosing the habitat. There is also a real influence toward the diversity of soil surface spiders in Sokokembang Forest such as the value pH soil, which has P-value = 0.0020. Community structure of soil surface spiders were consisted of diversity, evenness, dominance, similarity and distribution pattern of species.

Keywords : Habitats, Land Surface Spiders, pitfall trap

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunianya telah memberi kemudahan bagi penulis dalam menyelesaikan proses penyusunan skripsi ini. Skripsi merupakan salah satu kegiatan wajib yang harus dilakukan oleh mahasiswa biologi guna memenuhi syarat perkuliahan di Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis melaksanakan penelitian di Hutan Sokokembang, Dusun

Sokokembang, Desa Kayupuring, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah dengan judul “KOMUNITAS LABA-LABA (ORDO ARANEAE) PERMUKAAN TANAH

DI HUTAN SOKOKEMBANG, PEKALONGAN, JAWA TENGAH”.

Penyelesaian penelitian ini didukung oleh berbagai pihak baik dukungan secara moril maupun materil. Oleh karena itu, penulis berterimakasih kepada:

1. Kedua orang tua dan keluarga besar yang telah memberikan do’a dan

dukungannya kepada penulis.

2. Dr. Agus Salim, M.Si. selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan izin dan dukungan untuk

melakukan penelitian ini.

3. Dr. Dasumiati, M.Si selaku Ketua Program Studi Biologi Fakultas Sains dan

Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan izin dan

dukungan untuk melakukan penelitian ini.

4. Dr. Fahma Wijayanti, M.Si, selaku pembimbing I yang telah meluangkan

waktu untuk memberi masukan serta bimbingan kepada penulis.

iii

5. Narti Fitriana, M.Si, selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktu untuk

memberi masukan serta bimbingan kepada penulis.

6. Dr. Priyanti, M.Si dan Etyn Yunita, M.Si selaku penguji sidang skripsi yang

telah memberikan saran dan masukkan untuk skripsi ini.

7. Dr. Iwan Aminuddin dan Meiry Fadilah Noor, M.Si selaku penguji seminar

proposal dan seminar hasil penulis yang telah memberikan saran dan masukkan

untuk skripsi ini.

8. Seluruh dosen yang telah mendidik penulis selama menuntut ilmu di Jurusan

Biologi fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif HIdayatullah Jakarta.

9. Teman-teman tim penelitian di Hutan Sokokembang Sarah, Eka, Tari, Azzam,

Ilham, yang telah berusaha bersama selama proses survei sampai selesainya

penelitian ini nantinya.

10. Dea Amalya Permata Sari dan teman-teman seperjuangan Program Studi

Biologi angkatan 2013.

Demikianlah skripsi ini disusun, semoga bermanfaat bagi para pembaca untuk menambah bekal ilmu pengetahuan dan wawasan. Aamiin.

Jakarta, Januari 2018

Penulis

DAFTAR ISI

Hlm. ABSTRAK ...... i ABSTRACT ...... ii KATA PENGANTAR ...... iii DAFTAR ISI ...... v DAFTAR TABEL ...... vii DAFTAR GAMBAR ...... viii DAFTAR LAMPIRAN ...... ix BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang...... 1 1.2 Rumusan Masalah ...... 4 1.3 Tujuan Penelitian ...... 4 1.4 Manfaat Penelitian ...... 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Laba-laba ...... 5 2.2. Morfologi Laba-laba ...... 6 2.3. Siklus Hidup Laba-laba ...... 8 2.4. Ekologi laba-laba ...... 10 2.5. Pola distribusi laba-laba ...... 12 2.6. Hutan Sokokembang ...... 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ...... 15 3.2. Alat dan Bahan ...... 15 3.3. Metode Penelitian ...... 16 3.4. Pengambilan Sampel ...... 16 3.5. Pengukuran Faktor Abiotik ...... 17 3.6. Pengolahan dan Analisis Data ...... 17 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Jumlah jenis ...... 22 4.2. Dominansi ...... 25 4.3. Keanekaragaman dan Kemerataan Jenis ...... 28 4.4. Kesamaan Jenis ...... 33 4.5. Pola Sebaran Jenis ...... 36 4.6. Pemilihan Habitat Laba-laba Permukaan tanah ...... 38

v

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ...... 46 5.2 Saran ...... 46 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

Hlm.

Tabel 1. Frekuensi kehadiran laba-laba permukaan tanah di kawasan Hutan Sokokembang ...... 22

Tabel 2. Faktor fisik laba-laba permukaan tanah di kawasan Hutan Sokokembang ...... 30

Tabel 3. Indeks kesamaan (S) laba-laba permukaan tanah di kawasan Hutan Sokokembang ...... 33

Tabel 4. Pola sebaran laba-laba permukaan tanah di kawasan Hutan Sokokembang ...... 37

Tabel 5. Urutan parameter faktor mikroklimat yang mempengaruhi keberadaan laba-laba permukaan tanah dikawasan Hutan Sokokembang, Pekalongan, Jawa Tengah ...... 39

vii

DAFTAR GAMBAR Hlm.

Gambar 1. Lokasi Pengambilan Laba-laba (ordo Araneae) permukaan tanah di Hutan Sokokembang, Pekalongan, Jawa Tengah ...... 15

Gambar 2. Laba-laba permukaan tanah ordo Araneae yang ada di lokasi penelitian Hutan Sokokembang adalah (a), Paraphidipus aurantius (b), Gephyroctenus philodromoides (c), Ophiones lanvatora (d), anomalia (e), Menemermus nigli (f), Icius hamatus (g), Heteropoda venatoria (h), Ctenus monaghani (i), Ctenus sp. (j), Pardosa sp. (k), Pardosa vancouveri (l), Thyene sp...... 23

Gambar 3. Indeks dominansi (D) jenis laba-laba permukaan tanah di kawasan Hutan Sokokembang ...... 26

Gambar 4. Indeks keanekaragaman (H’) jenis laba-laba permukaan tanah di kawasan Hutan Sokokembang ...... 29

Gambar 5. Indeks kemerataan (E) jenis laba-laba permukaan tanah di kawasan Hutan Sokokembang ...... 31

Gambar 6. Grafik analisis Canonical Correspondence Analysis (CCA) jenis laba- laba permukaan tanah berdasarkan kondisi faktor lingkungan. SU=Suhu Udara; KU=Kelembapan Udara; ST = Suhu Tanah; KT= Kelembapan Tanah; pH T = pH Tanah; IC = Intensitas Cahaya...... 41

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Hlm.

Lampiran 1. Hasil Vegetasi ...... 51

Lampiran 2. Jenis laba-laba yang masuk ke dalam IUCN red list 2014 ...... 52

ix

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia terletak pada 6º LU – 11º LS dan 95º BB – 141º BT. Berdasarkan letak geografis, Indonesia berada di antara Benua Asia dengan Benua Australia, serta Lautan Hindia dengan Lautan Pasifik. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan keanekaragaman hayati terbesar di dunia dan merupakan pusat keanekaragaman hayati dunia (megacenter of biodiversity) (MacKinnon,

1993).

Laba-laba merupakan hewan yang termasuk ke dalam Filum Artropoda dan kelas Arachnida serta Ordo Araneae (Miller & Sac 2011). Hewan ini merupakan kelompok terbesar dan memiliki keanekaragaman yang sangat tinggi dalam Filum Artropoda. Jumlah jenis laba-laba yang telah dideskripsikan pada saat ini sekitar 4.367 jenis, digolongkan dalam 111 famili dan 3600 genera

(Anjali Prakash, 2012). American Museum of Natural History (2016) melaporkan terdapat sebanyak 114 famili, 3977 genera dan 4.829 jenis laba- laba. Diperkirakan jumlah jenis laba-laba di dunia dapat mencapai 170.000 (Lalisan et al., 2015).

Laba-laba ordo Araneae adalah ordo terbesar dalam Arachnida dari peringkat ke tujuh dalam total keragaman jenis diantara seluruh ordo hewan. Laba- laba dapat ditemukan di seluruh dunia di setiap benua kecuali Benua Antartika, dan telah bertahan lama di hampir semua habitat dengan pengecualian kolonisasi udara dan laut. Laba-laba merupakan hewan pemangsa (karnivora), bahkan kadang- kadang

1

2

bersifat kanibal. Laba-laba adalah hewan yang dapat ditemukan pada berbagai habitat terestrial. Laba-laba ditemukan pada puncak gunung sampai lokasi terdalam pada sebuah gua, dari rawa yang memilik tingkat kelembapan yang tinggi sampai gurun yang sangat kering (Rod & Preston, 1984).

Laba-laba memiliki peranan penting pada suatu ekosistem yaitu sebagai pemangsa terutama memangsa serangga sehingga berperan dalam mengendalikan populasi serangga hama seperti ordo Colembola, Coleoptera, dan Orthopera. Laba- laba dan vegetasi bersimbiosis satu sama lain, dimana laba-laba memanfaatkan vegetasi sebagai tempat mencari makan dan berlindung serta vegetasi memanfaatkan laba-laba sebagai pemangsa serangga hama. Berdasarkan peranan ini laba-laba mempunyai arti penting dalam rantai makanan. Kerusakan hutan akan berdampak terhadap keanekaragaman laba-laba dan mempengaruhi siklus nutrisi dan materi pada ekosistem.

Penelitian yang dilakukan oleh Ghavami (2008) Thyene imperialis menjadi pengendali hama yang dominan pada lahan kapas di Iran. Di Indonesia, berdasarkan penelitian Suana dan Hery (2013) 19 spesies dari 8 famili laba-laba memiliki potensi sebagai musuh alami dari hama tanaman jambu mete di

Lombok Utara. Sebagai laba-laba permukaan tanah pada penelitian yang dilakukan oleh Snyder dan Wise (1999) helluo dan Pardosa milvina pada lahan jeruk sitrun di Kentucky berhasil mengurangi hama dan meningkatkan produktivitasnya.

Struktur Komunitas dan Pola Sebaran Araneae (Permukaan Tanah) di Kawasan

Resort Salak 2 Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Ishak, 2015). Penelitian- penelitian tersebut memberikan bukti pentingnya peran laba-laba dalam menjaga kestabilan ekosistem.

3

Beberapa jenis laba-laba tinggal pada habitat yang berbeda serta dengan cara berbeda pula mereka memperoleh makanannya. Hal ini berkaitan dengan karakteristik suatu habitat sebagai tempat tinggal laba-laba. Habitat merupakan area yang memiliki toleransi terhadap makhluk hidup termasuk juga faktor lingkungan yang cocok dengan syarat hidupnya (Wirakusumah, 2009). Kehidupan laba-laba dipengaruhi oleh parameter faktor lingkungan, struktur vegetasi dan topografi. Karakteristik habitat dan ketersediaan sumber makanan serta kemampuan laba-laba beradaptasi dengan lingkungannya akan mempengaruhi distribusinya di alam. Semakin beragamnya habitat akan membentuk struktur komunitas laba-laba yang lebih kompleks sedangkan struktur komunitas yang sederhana terbentuk dari habitat yang kurang beragam dalam ekosistem (Foelix,

2011).

Hutan Sokokembang merupakan hutan lindung terbatas yang ditetapkan berdasarkan SK Menhut Nomor:359/Menhut.II/2004 pada tanggal 1 Oktober

2004 (Pemkab Pekalongan, 2010). Hutan Sokokembang merupakan tipe hutan sekunder campuran yang memiliki potensial habitat seluas 65,69 km2 (Setiawan et al., 2012). Kerusakan hutan juga terjadi di kawasan Hutan Sokokembang,

Pekalongan Jawa Tengah. Kerusakan hutan ini disebabkan oleh fragmentasi hutan menjadi area pertanian, permukiman, dan penebangan kayu secara berlebihan di areal hutan. Keanekaragaman jenis laba-laba pada kawasan Hutan Sokokembang pada saat ini belum pernah diteliti dan dipublikasikan. Padahal data ini dapat dijadikan sebagai database komunitas dan dasar dalam memformulasikan strategi konservasi laba-laba di Jawa Tengah. Berdasarkan hal tersebut maka perlu

4

dilakukan penelitian tentang komunitas laba-laba di Hutan Sokokembang,

Pekalongan, Jawa Tengah.

1.2 Rumusan Masalah

1) Bagaimana struktur komunitas laba-laba (ordo Araneae) pada

permukaan tanah di Hutan Sokokembang, Pekalongan, Jawa Tengah ?

2) Bagaimana pola sebaran laba-laba (ordo Araneae) permukaan tanah di

Hutan Sokokembang, Pekalongan, Jawa Tengah ?

3) Bagaimana pemilihan faktor lingkungan laba-laba (ordo Araneae)

permukaan tanah di Hutan Sokokembang, Pekalongan, Jawa Tengah ?

1.3 Tujuan Penelitian

1) Mengetahui struktur komunitas laba-laba (ordo Araneae) permukaan

tanah di kawasan Hutan Sokokembang, Pekalongan, Jawa Tengah.

2) Mengidentifikasi pola sebaran laba-laba (ordo Araneae) permukaan

tanah di kawasan Hutan Sokokembang, Pekalongan, Jawa Tengah.

3) Mengidentifikasi pola pemilihan faktor lingkungan laba-laba (ordo

Araneae) permukaan tanah dengan lingkungan di Hutan Sokokembang,

Pekalongan, Jawa Tengah.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai informasi mengenai komunitas dan pola persebaran laba-laba (ordo Araneae) permukaan tanah yang menjadi bahan pertimbangan pengelolaan habitat sebagai manajemen konservasi di kawasan Hutan Sokokembang, Pekalongan, Jawa Tengah.

5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi Laba-laba

Laba-laba (Araneae) merupakan hewan yang termasuk ke dalam kelas

Arachnida. Kelas Arachnida sangat familiar dalam filum Arthropoda dan pada kelas ini terdapat lebih dari 80.000 jenis. Kelas Arachnida dibagi ke dalam 13 ordo yaitu ordo Scorpiones, Pseudoscorpiones, Solifugae, Palpigradi, Uropygi,

Schizomida, Amblypygi, Araneae, Ricinulei, Opiliones, Acariformes, Notostigmata dan Parastiformes (Borror et al., 2005). Ordo Araneae memiliki jumlah terbanyak mencapai hampir 45.000 jenis. Menurut data yang diperoleh dari Platnick (2014) bahwa di dunia terdapat 114 famili laba-laba dengan 3.935 genera dan 44.906 jenis.

Ordo Araneae terbagi atas tiga subordo, yaitu subordo Mesothelae,

Mygalomorphae dan . Subordo Mesothelae merupakan golongan laba-laba purba dibandingkan dua grup lainnya yang ada dan berkembang saat ini.

Liphistiidae merupakan satu-satunya famili yang termasuk ke dalam subordo tersebut dengan sembilan jenis terdapat di Asia Tenggara dan Jepang

(Coddington, 2005). Laba-laba yang termasuk subordo ini memiliki cara bertahan hidup dengan sarang sekaligus sebagai perangkapnya berada di dalam tanah. Laba- laba betina selalu berada pada sarang dan menutupi sarang tersebut dengan kotoran dan benang suteranya yang terlihat seperti pintu.

Pada malam hari sang betina hanya diam menunggu dan mendengar suara dari serangga yang melintas di sekitar perangkapnya, kemudian bergegas keluar untuk memangsanya. Sang pejantan hanya menghampiri betinanya saat membuahi dan sang betina akan memakannya setelah itu (Rod & Preston, 1984).

5

6

Subordo Mygalomorphae adalah kelompok laba-laba yang biasa dikenal tarantula dari Amerika yang merupakan laba-laba pemakan burung atau laba-laba dengan jaring berbentuk cerobong dari Australia serta kemudian juga terkenal sebagai laba-laba yang memiliki sengatan mematikan. Subordo Mygalomorphae yang relatif primitif ini memiliki sebelas famili. Beberapa diantaranya ada yang hidup bebas dan memiliki ukuran tubuh yang sangat besar, salah satu contohnya yaitu famili Theraphosidae. Laba-laba terbesar di dunia ini memiliki panjang tubuh mencapai 90 mm (3,5 inch) dengan panjang kaki bersebrangan 280 mm (11 inch), pada beberapa kejadian hal tersebut membuat mereka dapat memangsa vertebrata (Rod & Preston, 1984).

Subordo Araneomorphae merupakan kelompok laba-laba modern dan sangat berbeda dari dua subordo sebelumnya. Subordo ini memiliki jumlah terbanyak di dunia dengan 38.500 jenis dalam 94 famili dan termasuk sebagian besar laba-laba yang biasa ditemui. Sejumlah jenis pada subordo ini dapat membuat jaring yang kompleks dan jelas. Laba-laba pada subordo ini berumur pendek, yakni hanya dapat bertahan selama kurang dari satu tahun. Bentuk taring pada kelompok ini mengarah agak miring ke depan (bukan tegak seperti pada kelompok tarantula) dan digerakkan berlawanan arah seperti capit dalam menahan mangsanya (Bradley, 2012).

2.2. Morfologi Laba-laba

Kelas Arachnida dibedakan dengan kelas yang lainnya dengan tidak adanya antena sebagai organ perasa. Umumnya antena terdapat di bagian depan kepala pada keempat kelas lainnya dalam filum Arthropoda. Tidak seperti serangga yang memiliki tiga bagian tubuh, laba-laba hanya memiliki dua. Segmen bagian depan

7

disebut cephalothorax atau prosoma, yang sebetulnya merupakan gabungan dari kepala (cephalo) dan dada (thorax). Segmen bagian belakang disebut abdomen

(perut) atau opisthosoma. Antara cephalothorax dan abdomen terdapat penghubung tipis yang dinamakan pedicle atau pedicellus (Jocque & Schoeman, 2006).

Bagian cephalothorax pada hewan ini terdapat empat pasang kaki dan setiap kakinya tersusun atas coxa, trochanter, femur, patella, tibia, metatarsus, tarsus serta tarsal claws. Umumnya laba-laba memiliki delapan mata, namun beberapa kelompok ada yang hanya memiliki enam, empat, dua mata atau bahkan tidak sama sekali. Sepasang rahang besar (chelicera) yang memiliki taring (fang) berfungsi sinergi sebagai alat penghantar bisa. Pada setiap mangsa yang terkena bisa tersebut organ dalamnya akan hancur dan bercampur dengan cairan tubuh. Setelah itu oleh laba-laba diserap hingga hanya tersisa bagian exsosceleton yang sudah tidak berbentuk lagi. Pada cephalothorax terdapat pula sepasang alat bantu mulut serupa tangan yang disebut pedipalpus. Bagian ini merupakan alat bantu kopulasi pada laba-laba jantan sebagai tempat sperma sehingga ketika sampai pada waktunya bagian ujung dari pedipalpus tersebut membesar seperti sarung tinju (Jocque &

Schoeman, 2006).

Bagian abdomen tersusun atas exsosceleton yang lebih tipis dibandingkan dengan cephalothorax serta bentuk dan ukurannya sesuai dengan kondisinya.

Bagian ini dapat membesar ketika sedang memangsa atau menghimpun telur setelah proses pembuahan pada laba-laba betina. Abdomen pada laba-laba berperan sebagai tempat berlangsungnya sistem respirasi dengan booklung dan tracheal spiracle. Kemudian sistem pencernaan secara mekanis pada epigastric fold, sistem ekskresi dengan uterus dan anus serta sistem reproduksi yakni

8

kelamin betina yang disebut epigyne. Pada bagian ujung abdomen terdapat spinnerets yang berfungsi sebagai penghasil benang sutera. Benang sutera berfungsi untuk membuat jaring tempat tinggal, jebakan dan pelindung telur dari kondisi eksternal sehingga tidak terganggu dengan faktor lingkungan (Jocque & Schoeman,

2006).

2.3. Siklus Hidup Laba-laba

Semua jenis laba-laba berkembang biak dengan bertelur yang ditutupi dengan kantung sutera. Kantung sutera pembungkus telur berfungsi untuk menstabilkan kondisi telur sehingga dapat berkembang secara optimal meskipun kondisi lingkungan sekitar berfluktuasi. Kantung sutera pada berbagai jenis laba- laba dan habitat yang berbeda memiliki perlakuan yang berbeda pula.

Kemudian jika juvenil menetas, mereka akan berkerumun di sarang induknya yang dekat dengan kantung sutera mereka setelah itu selang beberapa jam dari waktu mereka menetas mereka akan beradaptasi dengan jaring induknya dan berani berjalan ke tempat yang mereka inginkan. Berbeda dengan laba-laba pejaring, anak laba-laba permukaan tanah berjalan ke arah batuan atau batang tanaman yang cukup tinggi. Saat mereka terkena angin maka sutera dari abdomennya bermunculan dan tertarik terus menerus oleh angin dan tubuhnya pun terbawa, peristiwa ini disebut dengan ballooning. Hal ini membuat anak laba- laba memulai petualangannya di tempat yang baru secara individual (Bradley,

2012).

Pada laba-laba pemburu atau yang lebih sering hidup di permukaan tanah seperti wolf spiders, kantung sutera mereka diduduki oleh abdomen induknya beberapa lama di bawah sinar matahari setelah dibuat. Kantung sutera tersebut terus

9

dibawa kemana pun ia pergi dengan menggunakan chelicerae, palps dan ketiga pasang kaki depannya. Ketika telur yang terbungkus sutera tersebut menetas maka anak laba-laba mengalami molting pertama di dalam kantung telur, setelah itu mereka muncul dan akan menaiki abdomen induknya secara bersamaan dan terlihat bergerombol. Anak laba-laba mengikuti kemana pun induknya berjalan dan kadang terjatuh di perjalanan maka induknya dengan cepat mengangkat mereka ke atas abdomennya lagi. Pada kondisi ini anak laba-laba belum bisa memakan sendiri dan masih menyerap yolk dari sisa telurnya, setelah mengalami molting kedua baru anak laba-laba dapat meninggalkan induknya dan pergi ke alam bebas dengan ballooning (Rod & Preston, 1984).

Laba-laba pejaring yang telah berpisah dari induknya dan menjadi individu yang bebas serta mandiri mulai dapat membuat jaring untuk menangkap mangsanya. Begitu pula dengan laba-laba pengembara di permukaan tanah, mereka menunggu dan menyergap mangsa mereka dalam bertahan hidup. Tahap demi tahap mereka lewati dengan peristiwa pergantian eksoskeleton (molting) sebanyak 5–10 kali (Bradley, 2012), bahkan menurut Borror et al., (2005), laba- laba biasanya berganti kulit dari 4–12 kali selama pertumbuhan mereka dan setelah itu laba- laba mencapai kedewasaannya.

Saat dewasa hal lain terjadi lagi, yaitu perkembangan alat reproduksi. Pada betina terlihat di bagian ventral abdomen sebelah atas dekat pedicel muncul bagian yang lebih gelap disebut epigyne dan pada pejantan ada perbesaran ukuran ujung pedipalpus sehingga terlihat menyerupai sarung tinju. Tanda-tanda tersebut menandakan mereka telah dewasa dan siap melewati fase mating.

10

Proses kawin dilakukan pejantan dengan menarik perhatian lawan jenisnya, seperti mengeluarkan bau (feromon) atau mengubah warna kulit dengan warna- warna yang mencolok pada sebagian laba-laba diurnal seperti Salticidae. Jika berhasil dan betina menerima, terjadilah proses kawin tersebut dengan transfer sperma dari palp ke epigyne (Bradley, 2012).

Tahap terakhir dari siklus hidup laba-laba adalah proses penyaluran telur dari abdomen laba-laba betina dewasa yang telah terasa penuh ke lokasi eksternal berupa kantung sutera yang dibuat berbagai macam bentuk tergantung jenis laba- laba tersebut. Setelah didepositkan ke kantung sutera maka disempurnakanlah bentuk kantung tersebut dengan penutupan agar tidak terdapat celah sekecil apapun.

Kantung ini membuat telur laba-laba dalam keadaan stabil dan minim gangguan dari lingkungan sekitar termasuk perubahan lingkungan yang drastis. Seperti pada nursey web spiders (Pisauridae) yang bertelur pada musim gugur ke musim salju kemudian menetas di musim semi. Pada kasus ini sang betina yang menjaga telurnya dari predator atau gangguan lainnya dan sewaktu-waktu bisa saja mengalami kematian (Bradley, 2012).

Laba-laba termasuk hewan yang sangat sedikit mengalami metamorfosis selama perkembangan mereka. Apabila menetas, mereka kelihatan seperti dewasa- dewasa yang kecil. Bila tungkai-tungkai hilang selama perkembangan, mereka biasanya dapat beregenerasi. Kebanyakan laba-laba berumur 1 – 2 tahun (Borror et al., 2005).

2.4. Ekologi laba-laba

Laba-laba mampu beradaptasi di berbagai habitat, namun laba-laba sangat sensitif terhadap gangguan yang terjadi di lingkungannya. Adapun gangguan

11

lingkungan yang berdampak negatif terhadap kelimpahan laba-laba, antara lain; pengolahan tanah, pengakasan tumbuhan serta penggunaan pestisida sintesis.

Berubahnya komposisi jenis laba-laba di ekosistem pertanian sangat dipengaruhi oleh berubahnya komposisi tanaman dilahan budidaya tanaman (Wirakusumah,

2009).

Laba-laba adalah arthropoda yang rentan terhadap sejumlah pestisida.

Penurunan jumlah laba-laba akan berdampak terhadap peningkatan populasi serangga penganggu tanaman. Tanpa laba-laba, populasi serangga akan menyebar tak terkendali sehingga menggagalkan panen dan menyebarkan penyakit. Laba-laba juga menjadi makanan bermutu bagi makhluk hidup lainnya. Laba-laba sangat berperan penting dalam jaring makanan karena kebiasaan laba-laba (Suherianto,

2008).

Kunci keberhasilan laba-laba terletak pada kemampuannya untuk mendiami habitat sehingga serangga tidak mampu mencapai suatu keunggulan. Saat serangga berterbangan di udara, laba-laba telah berkembang dengan subur di banyak kawasan

Hutan. Laba-laba sering kali berukuran sangat kecil, tetapi memiliki peran utama untuk membatasi populasi hama serangga serta dalam proses biologis untuk meningkatkan kesuburan tanah (Suherianto, 2008).

Hutan hujan tropis memiliki keanekaragaman jenis laba-laba yang tinggi. Hal ini dikarenakan laba-laba menyukai habitat yang terlindung dari suhu ekstrim.

Laba-laba banyak ditemukan di tanah, di bawah batu, di rumput, di cabang-cabang pohon, di gua-gua dan di atas air. Laba-laba yang hidup di serasah merupakan habitat yang sesuai bagi laba-laba tanah. Jumlah laba-laba meningkat lebih banyak

12

ketika lapisan serasah semakin tebal karena lebih banyak tempat tersedia untuk bersembunyi untuk mencari mangsa (Suana, 2006).

2.5. Pola distribusi laba-laba

Distribusi populasi adalah gerakan individu atau anak-anaknya (biji, spora, larva dan sebagainya) ke dalam atau ke luar populasi atau daerah populasi. Ada tiga bentuk penyebaran populasi yaitu, emigrasi-gerakan ke luar satu arah, imigrasi- gerakan ke dalam satu arah, dan migrasi-pergi dan datang kembali secara periodik

(Odum, 1993). Individu-individu yang ada di dalam populasi mengalami penyebaran di dalam habitatnya mengikuti salah satu diantara tiga pola penyebaran yang di sebut pola penyebaran intern. Tiga pola distribusi intern yang dimaksudkan antara lain distribusi acak (random), distribusi seragam (uniform), dan distribusi bergerombol (clumped) (Indriyanto, 2012).

Secara umum individu-individu populasi menyebar dalam tiga pola spatial, yaitu pola acak, pola mengelompok/ agregasi dan pola merata. Pola sebaran acak dari individu-individu anggota populasi menunjukkan bahwa terdapat keseragaman

(homogenity) dalam lingkungan hidup jenis itu atau adanya perilaku nonselektif dari jenis yang bersangkutan dalam lingkungan hidupnya. Pada pola sebaran tidak acak atau penyebaran merata disebabkan oleh pengaruh negatif dari persaingan makanan di antara individu. Pola sebaran mengelompok diakibatkan oleh sifat jenis yang mengelompok, atau adanya keragaman habitat sehingga terjadi pengelompokkan di tempat yang terdapat banyak makanan (Tarumingkeng, 1994).

Beberapa faktor yang menyebabkan adanya perbedaan pola spatial antara lain

(Tarumingkeng, 1994) :

13

a. Faktor vektorial yang timbul dari gaya-gaya eksternal seperti arah angin,

aliran air dan intensitas cahaya.

b. Faktor reproduktif yaitu faktor yang berkaitan dengan cara berkembang

biak.

c. Faktor sosial yaitu faktor sifat yang dimiliki jenis tertentu misalnya

perilaku jenis teritorial.

d. Faktor koaktif yaitu faktor yang timbul karena persaingan intrajenis.

e. Faktor stokastik yaitu faktor yang timbul kerena adanya keragaman acak .

Hilangnya habitat alami dan fragmentasi serta alih fungsi lahan sangat berpengaruh terhadap komunitas laba-laba. Hal ini terjadi karena terjadinya perubahan kondisi abiotik, ketersediaan makanan dan tempat bersarang, serta kelimpahan mutualis atau pesaing. Peningkatan habitat tepi akibat fragmentasi dalam lanskap dapat memudahkan masuknya laba-laba invasiv yang dapat merubah komposisi laba-laba asli yang terdapat pada habitat tersebut (Indriyanto, 2012).

2.6. Hutan Sokokembang

Hutan Sokokembang merupakan hutan lindung terbatas yang ditetapkan berdasarkan SK Menhut Nomor:359/Menhut.II/2004 pada tanggal 1 Oktober 2004

(Pemkab Pekalongan, 2010). Hutan Sokokembang merupakan tipe hutan sekunder campuran yang memiliki potensial habitat seluas 65,69 km2 (Setiawan et al.,

2012). Hutan tersebut menjadi habitat beberapa jenis primata yaitu owa jawa (H. moloch), surili (Presbytis comata), lutung (Trachypithecus auratus) dan monyet ekor panjang (Macaca fasicularis) (Nijman & Setiawan, 2000). Hutan

Sokokembang didiami 51 individu owa jawa yang terbagi menjadi 20 kelompok dengan kepadatan populasi 7,57 ind/km2 dan belum terhabituasi (Setiawan et al.,

14

2012). Kondisi Hutan Sokokembang tergolong baik dan sangat cocok sebagai habitat alami owa jawa (Maya, 2013).

Hutan Sokokembang memiliki variasi kemiringan lahan dari yang datar, landai, agak curam sampai sangat curam (Maya, 2013). Kawasan hutan tersebut didominasi oleh famili Moraceae dan Myrtaceae, diantaranya jenis pohon yang dapat ditemukan yatitu Ficus sp., Artocarpus sp., Eugenia sp., Syzygium sp., dan

Myristica spp. (Matalabiogama 2009; Aryanti, 2014). Hutan Sokokembang merupakan habitat bagi burung pemangsa diantaranya yaitu elang ular bido

(Spilronis cheela), elang hitam (Ictinaetus malayensis), elang perut karat

(Hieraeetus kieneri), elang brontok (Nisaetus cirrhatus), elang jawa (Nisaetus bartelsi) dan sikep madu (Pernis ptilorhynchus) (Nijman & Setiawan, 2000).

Ancaman terhadap kawasan tersebut adalah adanya kegitaan pencarian kayu bakar, ekspansi pertanian, dan kegiatan ekstrasi non kayu (Setiawan et al., 2012).

BAB III METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Hutan Sokokembang, Pekalongan, Jawa

Tengah pada bulan Februari sampai Maret 2017. Pengambilan sampel dilakukan pada kawasan hutan alam (07o05’10,5”S dan 109o43’22,0”E), hutan kopi

(07o05’54,7”S dan 109o43’20,9”E), dan area pemukiman (07o05’51,8”S dan

109o43’22,1”E) (Gambar 1). Preparasi dan identifikasi pada bulan April 2017 di

Laboratorium Ekologi, Pusat Laboratorium Terpadu (PLT), Fakultas Sains dan

Teknologi (FST), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan di Laboratorium Zoologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong,

Bogor.

Gambar 1. Lokasi Pengambilan Laba-laba (ordo Araneae) permukaan tanah di Hutan Sokokembang, Pekalongan, Jawa Tengah

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah termometer udara dan tanah, hygrometer, lux meter Leybold, Global Positioning System (GPS) garmin map 62s,

15

16

soil moisture tester, tali rafia, label, plastik alas cor 30 x 30 cm, sumpit (patok), sekop kecil, celurit, wadah berbentuk gelas plastik, pinset, sarung tangan, botol koleksi, alat tulis, buku catatan, mikroskop stereo Olympus, kamera digital, dan buku identifikasi laba-laba. Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah kapas, akuades, gliserin dan alkohol 70%.

3.3. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan metode survei dan penentuan titik lokasi dilakukan dengan metode proposive sampling. Lokasi penelitian terdiri atas tiga habitat. Ketiga habitat tersebut terdapat pada kawasan hutan alam, hutan pemanfaatan (kopi) dan area pemukiman penduduk dengan tiga plot dalam setiap kawasannya. Ketiga kawasan tersebut mewakili wilayah hutan yang terdapat pada

Hutan Sokokembang. Penentuan titik lokasi pengambilan sampel menggunakan teknik Purposive Sampling berdasarkan karakteristik habitat yang diduga banyak terdapat laba-laba permukaan tanah. Hal- hal yang mengindikasikan keberadaan laba-laba permukaan tanah pada suatu lokasi diantaranya adalah serasah yang tebal, lokasi yang lebih tertutup kanopi dan bukan merupakan jalan. Posisi masing-masing stasiun ditandai (marking) menggunakan GPS.

3.4. Pengambilan Sampel

Sampel laba-laba diambil dari tiga kawasan di Hutan Sokokembang,

Pekalongan. Pengambilan sampel menggunakan metode plot kuadrat seluas 100 m2 ( 10 x 10 m) selama tiga hari pada masing-masing stasiunnya menggunakan jebakan sumur (pitfall trap). Pitfall trap adalah metode yang dipakai untuk survei fauna terrestrial pada permukaan tanah. Metode ini, secara relatif tidak bersifat

17

destruktif pada suatu habitat (Hare, 2012). Pitfall trap dapat digunakan untuk memperkirakan kelimpahan dan komposisi jenis laba-laba yang aktif pada suatu habitat dengan menanam wadah terbuka sejajar dan rata dengan permukaan tanah

(Henderson, 2007).

Jebakan ditanam pada pukul 09.00 WIB di hari pertama dan dikoleksi pada hari berikutnya pada pukul 09.00 WIB. Pengoleksian dilakukan setiap 24 jam.

Jebakan sumur tersebut menggunakan gelas plastik dengan ukuran diameter 9 cm dan tinggi 14 cm. Tanah digali sedalam 15 cm dengan sekop, kemudian gelas tersebut ditanam dan diisi dengan air yang diberi gliserin setinggi 3–4 cm dan ditutup dengan plastik alas cor 30 x 30 cm dengan sumpit agar tidak terkena hujan dan hal lainnya yang dapat mengganggu proses jebakan. Satu jebakan ditanam secara acak dalam 100 m2 sehingga totalnya terdapat 75 buah pitfall trap setiap habitatnya.

3.5. Pengukuran Faktor Abiotik

Faktor abiotik yang diukur adalah suhu udara, suhu tanah, kelembapan udara, kelembapan tanah, pH tanah, dan intensitas cahaya. Faktor-faktor abiotik tersebut diukur di bagian tengah dari kuadrat (10 x 10 m) sebanyak tiga kali masing-masing habitat pada saat pemanenan jebakan sumur.

3.6. Pengolahan dan Analisis Data

Sampel yang didapat dari hasil penelitian kemudian dipreparasi dan diidentifikasi berdasarkan perbedaan morfologinya di Laboratorium Ekologi Pusat

Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah dan di Lembaga Ilmu Pengetahuan

Indonesia (LIPI). Hasil identifikasi morfojenis tersebut didokumentasikan dalam

18

bentuk foto. Foto-foto tersebut dicocokkan dengan buku identifikasi. Data hasil identifikasi diolah secara manual menggunakan persamaan indeks yang dapat mendeskripsikan komposisi, dominansi, keanekaragaman, kemerataan, dan kesamaan pada suatu komunitas.

3.6.1. Indeks Dominansi Simpson

Nilai indeks dominansi diketahui dari persamaan (Odum, 1993) :

ni Di = x 100 % N

Keterangan :

Di = indeks dominansi jenis laba-laba ke-i; ni = jumlah individu laba-laba jenis ke-i; N = jumlah total individu

Dengan ketentuan bila nilai indeks dominansi Di > 50% maka terdapat jenis laba- laba yang mendominansi di suatu habitat (Odum, 1993).

3.6.2. Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener

Nilai indeks keanekaragaman diketahui dari persamaan (Krebs, 1979):

s H′ = − ∑ (pi)(ln pi) i=1

ni Pi = N

Keterangan :

H’ = indeks keanekaragaman Shannon-Wiener; s = jumlah jenis; ni = jumlah total individu / jenis; N = jumlah individu seluruhnya; Pi = proporsi jumlah total individu tiap jenis

Dengan ketentuan penilaian sebagai berikut : jika H’ < 1 maka keanekaragaman individu rendah; jika 1 < H’ < 3,322 maka keanekaragaman

19

individu sedang; dan jika H’ > 3,322 maka keanekaragaman individu tinggi

(Krebs, 1979).

3.6.3. Indeks Kemerataan Jenis

Nilai indeks kemerataan diketahui dari persamaan (Krebs, 1979):

H′ E = ln S

Keterangan :

E = indeks kemerataan jenis; H’ = indeks keanekaragaman Shannon-Wiener; S = jumlah keseluruhan dari jenis

Dengan ketentuan penilaian sebagai berikut : jika E < 0,4 maka kemerataan jenis rendah; jika 0,4 < E < 0,6 maka kemerataan jenis sedang; jika E > 0,6 maka kemerataan jenis tinggi (Krebs, 1979).

3.6.4. Indeks Kesamaan Sorensen

Nilai indeks kesamaan diketahui dari persamaan (Odum, 1993):

2c IS = x 100% (a + c)

Keterangan:

IS = Indeks Similaritas jenis Sorensen; a = Jumlah jenis pada habitat a; b = Jumlah jenis pada habitat b; c = Jumlah jenis yang sama pada habitat a dan b

Nilai indeks kesamaan dibagi dalam dua kriteria yaitu jika nilai indeks >

50 %, berarti kesamaan jenis tinggi pada kedua habitat dan jika nilai indeks kesamaan < 50 % berarti kesamaan jenis rendah (Odum, 1993).

20

3.6.5. Pola Persebaran

Pola persebaran jenis laba-laba diketahui dengan menghitung nilai indeks morisita menggunakan persamaan (Krebs, 1979):

∑ ni (ni − 1) Id = q [ ] N (N − 1)

Keterangan :

Id = indeks persebaran Morista; q = jumlah pengambilan sampel; ni = jumlah individu pada pengambilan sampel ke-i N = jumlah total individu yang diperoleh

Dengan ketentuan penilaian jika Id < 1 maka pola sebaran seragam, jika Id

= 1 maka pola sebaran acak, jika Id > 1 maka pola sebaran mengelompok (Krebs,

1979).

3.6.6. Analisis Vegetasi

Analisis vegetasi dilakukan dengan metode transek garis dengan tujuan untuk mengetahui vegetasi yang ada dalam suatu kawasan dan sebagai data pelengkap tentang keanekaragaman ekosistem. Analisis vegetasi dilakukan dengan plot 10x10. Data yang diperoleh untuk mengetahui jenis vegetasi yang ada di area penelitian.

3.6.7. Analisis pengaruh Faktor lingkungan

Pengaruh faktor lingkungan terhadap keberadaan keanekaragaman jenis laba-laba permukaan tanah di Hutan Sokokembang, Pekalongan dianalisis menggunakan metode Canonical Correspondence Analysis (CCA). Metode CCA ini dilakukan menggunakan program Canoco for Windows 4.5. Analisis CCA yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara persebaran suatu jenis dengan faktor

21

mikroklimat. Faktor mikroklimat yang dianalisis adalah suhu tanah, suhu udara, kelembapan tanah, kelembapan udara, intensitas cahaya dan pH tanah.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Jumlah jenis

Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari-April 2017 di Hutan

Sokokembang, Pekalongan, Jawa Tengah. Hasil dari penelitian ini adalah :

Tabel 1. Frekuensi kehadiran laba-laba permukaan tanah di kawasan Hutan Sokokembang

Jumlah individu No Famili Jenis HA HK AP 1 Ctenidae Ctenus monaghani 21 14 44 2 Ctenidae Ctenus sp. - 1 - 3 Ctenidae Gephyroctenus 7 2 - philodromoides 4 Gradungulidae Ophiones lanvatora - - 2 5 Lycosidae Pardosa anomalia 1 1 - 6 Lycosidae Pardosa sp. 5 - - 7 Lycosidae Pardosa vancouveri 1 - - 8 Salticidae Carrhotus sp. 2 - - 9 Salticidae Icius hamatus 1 - 1 10 Salticidae Menemermus nigli 3 - - 11 Salticidae Paraphidippus 3 - 1 aurantius 12 Salticidae Thyene sp. 19 24 9 13 Sparasidae Heteropoda 3 3 1 Venatoria Σ 66 45 58 Ket : HA = Hutan Alam, HK = Hutan Kopi, AP = Area Pemukiman

Laba-laba permukaan tanah yang terdapat di Hutan Sokokembang,

Pekalongan, Jawa Tengah terdiri dari 1 subordo, 5 famili, 9 genera dan 13 jenis.

Jumlah jenis laba-laba yang ditemukan pada setiap habitat bervariasi. Pada habitat

Hutan alam terdapat 11 jenis, habitat hutan kopi terdapat 6 jenis, dan habitat pekarangan terdapat 6 jenis. Berdasarkan data dari ketiga habitat tersebut diperoleh dua jenis yang ditemukan di semua habitat yaitu jenis Thyene sp. dan Ctenus monaghani.

22

23

a b c d e f

g h i j k l

Gambar 2. Laba-laba permukaan tanah ordo Araneae yang ada di lokasi penelitian Hutan Sokokembang adalah (a), Paraphidipus aurantius (b), Gephyroctenus philodromoides (c), Ophiones lanvatora (d), Pardosa anomalia (e), Menemermus nigli (f), Icius hamatus (g), Heteropoda venatoria (h), Ctenus monaghani (i), Ctenus sp. (j), Pardosa sp. (k), Pardosa vancouveri (l), Thyene sp.

Individu terbanyak ditemukan C. monaghani yang termasuk ke dalam famili

Ctenidae, hal ini dikarenakan C. monaghani ditemukan di hampir semua perangkap di setiap hutan, hal ini sesuai dengan Jocque dan Schoeman (2006) yang menyatakan bahwa C. monaghani merupakan jenis laba-laba pemburu dan mereka mendominasi area permukaan tanah. Jenis lainnya yang ditemukan di semua habitat yaitu Thyene sp. yang termasuk famili Salticidae dengan jumlah individu terbanyak pada habitat hutan alam sebanyak 18 individu (Tabel 1). Nilai pH (Tabel 2) yang hampir sama pada ketiga habitat menyebabkan Thyene sp. ditemukan pada semua habitat. Karakter utama yang memisahkan famili Salticidae dan famili Ctenidae adalah letak Anterior Lateral Eyes dan ukuran Posterior Median Eyes. Baris pertama terdiri dari sepasang Anterior Median Eye (AME) dan sepasang Anterior

Lateral Eye (ALE) (Dondale, 1990). Laba-laba famili Salticidae atau dikenal sebagai jumping spider karena laba-laba ini memiliki cara yang unik dalam menangkap mangsanya, yaitu dengan melompat. Kemampuan itu didukung oleh susunan mata dalam 3 baris yang membantu untuk melihat ke segala arah dan

24

menyergap mangsanya (Koh, 1989). Seperti pada famili Ctenidae, mata laba-laba famili Salticidae tersusun dalam 3 baris.

Laba-laba permukaan tanah yang ditemukan pada penelitian ini terdiri atas satu subordo, yaitu subordo Araneomorphae. Berdasarkan data hasil penelitian ditemukan bahwa terdapat 3 famili yang memiliki lebih dari satu jenis diantaranya adalah famili Lycosidae sebanyak 3 jenis, Salticidae 5 jenis, dan Ctenidae 3 jenis. famili Salticidae memiliki jumlah jenis terbanyak, yaitu Carrhotus sp., P. aurantius, I. hamatus, M. nigli dan Thyene sp. Jenis laba-laba yang ditemukan pada lokasi penelitian di atas ditemukan bersembunyi di bagian atas batu, bawah daun dan batang tanaman yang kemudian meloncat jika didekati. Famili ini termasuk organisme diurnal dan merupakan jenis laba-laba peloncat dengan pengelihatan lebih berkembang dari laba-laba jenis lainnya serta terdapat pada habitat yang bervariasi di seluruh dunia (Jocque dan Schoeman, 2006).

Famili Lycosidae ditemukan sebanyak 3 jenis, yaitu Pardosa sp., P. anomalia dan P. vancouveri sementara famili Ctenidae sebanyak 3 jenis, yakni C. monaghani, Ctenus sp., dan G. philodromoides. Anggota jenis dari kedua famili ini merupakan jenis laba-laba pemburu dan mereka mendominasi area permukaan tanah (Jocque dan Schoeman, 2006). Pada lokasi penelitian anggota jenis dari kedua famili ini terlihat bergerak menjauh menuju vegetasi yang lebih lebat atau bersembunyi di bawah serasah dan celah batang pohon serta batuan pada saat wilayahnya terganggu. Pada lokasi penelitian juga ditemukan 2 famili dengan satu jenis pada masing-masing famili yaitu famili Gradungulidae, yaitu O. lanvatora dan famili Sparassidae, yaitu H. venatoria. Ditemukannya 2 individu pada jenis O. lanvatora di area pemukiman disebabkan karena pada area pemukiman memiliki

25

intensitas cahaya yang tinggi serta memiliki vegetasi yang terbuka sehingga laba- laba jenis ini hanya ditemukan pada area pemukiman. Jenis laba-laba H. venatoria menyukai serangga dan hama tanaman. Dengan kecepatan dan mulut yang kuat laba-laba H. venatoria ini dapat menangkap mangsanya dengan mudah (Edwards,

2000).

Semua jenis laba-laba permukaan tanah yang ditemukan pada kawasan

Hutan Sokokembang, Pekalongan, Jawa Tengah tidak ada yang termasuk dalam data IUCN red list tahun 2014 untuk ordo Araneae. Status konservasi jenis laba- laba permukaan tanah pada kawasan Hutan Sokokembang berada pada status not evaluated (NE) yang artinya jenis-jenis yang ditemukan di Hutan Sokokembang belum banyak dilaporkan atau masih kurang informasi mengenai keberadaan mereka di alam. IUCN red list merupakan alat yang sangat penting dalam mendukung kegiatan konservasi dari semua jenis hewan maupun tumbuhan

(IUCN Red List Committee, 2013).

4.2. Dominansi

Nilai dominansi menggambarkan proporsi suatu jenis laba-laba permukaan tanah pada habitat yang berbeda. Berdasarkan (Gambar 3) hasil penelitian terdapat satu jenis yang memiliki jumlah individu terbanyak. Jenis yang memiliki jumlah individu terbanyak adalah C. monaghani dengan nilai indeks dominansi sebesar 47

%. Thyene sp. memiliki jumlah individu yang lebih sedikit dibandingkan dengan C. monaghani dengan nilai indeks dominansi sebesar 31 %. Tingginya nilai indeks dominansi pada jenis C. monaghani dan Thyene sp. dikarenakan pada habitat hutan alam, hutan kopi maupun area pemukiman menyediakan pakan yang cukup untuk kedua jenis tersebut. Ditemukannya kedua jenis di ketiga habitat diantara jenis yang

26

lain mengindikasikan bahwa C. monaghani dan Thyene sp. merupakan laba-laba permukaan tanah yang mendominasi di Hutan Sokokembang.

Nilai indeks dominansi paling sedikit dimiliki oleh jenis Carrhotus sp., I. hamatus, Ctenus sp., O. lanvatora, P. anomalia dan P. vanvouveri yang memiliki nilai indeks dominansi sebesar 1 %. Rendahya nilai indeks dominansi yang didapat oleh ke enam jenis tersebut dikarenakan pada setiap habitat memiliki kondisi yang berbeda terutama vegetasinya, perbedaan struktur vegetasi pada setiap habitat mempengaruhi sumber makanan dan juga tempat berlindung bagi laba-laba tanah.

Hal ini menunjukkan bahwa ke enam jenis tersebut tidak mendominasi laba-laba permukaan tanah di Hutan Sokokembang. Jumlah individu dengan nilai indeks dominansi yang berbeda ditemukan pula jenis P. aurantius dan M. nigli dengan nilai indeks dominansi sebesar 2 %, Pardosa sp. dengan nilai indeks dominansi sebesar 2 %, H. venatoria dengan nilai indeks sebesar 4 %, dan G. philodromoides dengan nilai indeks dominansi sebesar 5 %.

47% 50% 45%

40% 35% 31% 30% 25% 20% 15% 10% 4% 5% 2% 3% 5% 1% 1% 2% 1% 1% 1% 1% 0%

Gambar 3. Indeks dominansi (D) jenis laba-laba permukaan tanah di kawasan Hutan Sokokembang

27

Perbedaan nilai indeks dominansi pada setiap jenis dikarenakan kondisi habitat di lokasi penelitian berbeda. Pada habitat Hutan alam terdapat jenis rumput- rumputan seperti rumput gajah, rumput jampang dan rumput gewor (Lampiran 1).

Habitat hutan kopi juga ditemukan jenis rumput-rumputan yang lebih sedikit jenisnya dari pada hutan alam seperti rumput cowetan dan rumput glagah

(Lampiran 1). Pada habitat area pemukiman sangat sedikit dijumpai jenis rumput- rumputan melainkan dijumpai talas Hutan dan lombokan (lampiran 1).

Intensitas cahaya pada habitat hutan alam (10,41 ± 0,00 klux) lebih kecil dari pada habitat hutan kopi (12,72 ± 0,00 klux) dan habitat area pemukiman (13,88

± 0,00 klux) sehingga membuat kelembapan udara dan tanah pada habitat hutan alam lebih rendah. Laba-laba merupakan hewan predator yang banyak ditemukan pada berbagai macam habitat, mulai dari habitat yang memiliki intensitas cahaya rendah, sedang, sampai tinggi (Ishak, 2015). Meskipun faktor lingkungan dari ketiga habitat ini berbeda namun C. monaghani dan Thyene sp. menunjukkan jenis laba-laba tersebut eksis ada kawasan Hutan Sokokembang.

Nilai indeks dominansi (Gambar 3.) menunjukkan bahwa tidak ditemukan jenis yang mendominasi pada masing-masing habitat meskipun suatu jenis memiliki jumlah individu terbanyak pada satu habitat. Jenis yang memiliki nilai indeks dominansi tertinggi yakni C. monaghani dengan 47 %, dengan nilai indeks dominansi 47% menujukkan bahwa C. monaghani belum dapat dikatakan mendominasi karena belum memiliki nilai lebih dari 50,00 %. Hal ini menunjukkan bahwa struktur komunitas laba-laba permukaan tanah pada kawasan Hutan

Sokokembang mendekati stabil. Struktur komunitas dikatakan stabil jika tidak ada suatu jenis yang mendominasi di dalam komunitas tersebut (Waite, 2000).

28

Struktur komunitas laba-laba permukaan tanah yang mendekati stabil pada kawasan ini dapat juga disebabkan karena tidak adanya gangguan terhadap laba- laba permukaan tanah dan telah lamanya ekosistem kawasan Hutan Sokokembang ini terbentuk. Semakin lama suatu ekosistem berdiri tanpa adanya gangguan yang masif terhadap bagian-bagiannya akan bergerak menuju kondisi ekosistem yang stabil. Adaptasi suatu makhluk hidup untuk mengisi relung pada berbagai habitat dalam ekosistem memerlukan waktu yang cukup sebagai upaya untuk melestarikan generasi mereka (Ishak, 2015).

4.3. Keanekaragaman dan Kemerataan Jenis

Indeks keanekaragaman jenis laba-laba permukaan tanah untuk kawasan

Hutan Sokokembang Pekalongan pada setiap habitat penelitian termasuk dalam kategori sedang (1 < H’ < 3,322). Nilai indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada hutan alam dengan H’ = 1,874 sedangkan area pemukiman memiliki nilai terendah dengan H’ = 0,824 . Indeks kemerataan jenis laba-laba permukaan tanah untuk kawasan Hutan Sokokembang pada setiap habitat penelitian berbeda, nilai kemerataan pada habitat hutan alam dan hutan kopi termasuk dalam kategori yang tinggi, sedangkan nilai kemerataan pada habitat area pemukiman termasuk ke dalam kategori sedang. Nilai indeks kemerataan dengan kategori tinggi terdapat pada hutan alam dan hutan kopi (Gambar 4.) sedangkan nilai kemerataan dengan kategori terendah terdapat pada habitat area pemukiman dengan E = 0,46 .

Habitat hutan alam memiliki nilai indeks keanekaragaman dan nilai indeks kemerataannya merupakan nilai tertinggi dari semua stasiun. Nilai indeks keanekaragaman dan nilai indeks kemerataan terendah dari semua habitat terdapat pada habitat area pemukiman menunjukkan bahwa jumlah jenis laba-laba yang

29

ditemukan pada habitat area pemukiman kurang beragam, yaitu hanya terdapat 6 jenis. Berbeda dengan hutan alam yang memiliki nilai keanekaragaman dan nilai kemerataan tertinggi yang memiliki 11 jenis (Gambar 4.). Terlihat jelas bahwa kekayaan jenis berbanding lurus dengan nilai indeks keanekaragaman. Kekayaan jenis merupakan komponen utama yang mempengaruhi nilai indeks keanekaragaman. Kekayaan jenis laba-laba dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama adalah struktur vegetasi (Odum, 1993).

2,00 1,87 1,80 1,60 1,40 1,19 1,20 1,00 0,82 0,80 0,60 0,40 0,20 0,00 H' H' H' Hutan Alam Hutan Kopi Area Pemukiman

Gambar 4. Indeks keanekaragaman (H’) jenis laba-laba permukaan tanah di kawasan Hutan Sokokembang

Adanya perbedaan struktur vegetasi pada habitat Hutan alam dan habitat area pemukiman mempengaruhi kekayaan jenis laba-laba yang terdapat di area penelitian. Pada habitat area pemukiman tidak terdapat tegakan pohon dan didominasi oleh rumput-rumputan yang memiliki tinggi seragam sehingga membuat cahaya masuk lebih dalam dan luas ke permukaan tanah. Pada habitat

Hutan alam terdapat tumbuhan kopi, sengon, karet, nangka, dan banyak didominasi

30

oleh rumput-rumputan sehingga cahaya tidak masuk terlalu dalam dan menyebabkan suhu udara serta tanah lebih rendah (Tabel 2).

Komunitas tanaman yang ada pada area penelitian sangat mempengaruhi keberadaan jenis laba-laba di alam sebagai ruang penyedia sumber makanan

(kumbang, belalang, capung, ulat) dan tempat berlindung. Efek dari struktur vegetasi terhadap populasi laba-laba diketahui bahwa komunitas tanaman secara langsung dapat mempengaruhi keberadaan dari kumpulan laba-laba, laba-laba berperan penting dalam satu kesatuan suatu habitat dan ukuran populasi laba-laba berkaitan erat dengan tutupan vegetasi, sehingga dipengaruhi pula oleh faktor- faktor pembentuk struktur vegetasi (McDonald, 2007).

Tabel 2. Faktor fisik laba-laba permukaan tanah di kawasan Hutan Sokokembang

Kelemb- Kelemb- Suhu Suhu Intensitas apan apan pH No. Habitat udara tanah cahaya udara tanah Tanah (oC) (oC) (Klux) (%) (%) 10,41 ± 27,32 25,11 83,53 ± 6,67 ± 6,62 ± 1 Hutan alam 0,00 ± 1,95 ± 1,29 4,43 0,47 0,15

26,01 26,78 82,30 ± 6,33 ± 6,57 ± 12,72 ± 2 Hutan Kopi ± 1,37 ± 1,03 3,40 0,47 0,18 0,00 Area 26,11 25,44 82,69 ± 6,56 ± 6,27 ± 13,88 ± 3 pemukiman ± 0,76 ± 1,26 0,76 0,50 0,17 0,00

Habitat area pemukiman memiliki nilai indeks kemerataan terendah dengan E = 0,640. Hasil pengukuran faktor fisik (Tabel 2) pada habitat area pemukiman dengan intensitas cahaya, kelembapan tanah, suhu tanah, serta suhu udara merupakan habitat yang disukai laba-laba permukaan tanah seperti C. monaghani. C. monaghani mempengaruhi tingginya nilai indeks dominansi pada habitat area pemukiman dibandingkan dengan habitat lainnya. Tingginya nilai indeks dominansi pada jenis C. monaghani dikarenakan tidak adanya tutupan

31

vegetasi pada area pemukiman. Menurut Andrio (2001) famili Ctenidae merupakan laba-laba tanah yang menyukai intensitas cahaya yang tinggi dibandingkan famili laba-laba lainnya. Hal tersebut kemudian menjadikan nilai indeks kemerataan pada habitat area pemukiman rendah. Menurut Waite (2000) jika pada suatu habitat terdapat jenis yang mendominasi, hal tersebut akan menurunkan nilai indeks kemerataan. Menurutnya pula struktur komunitas dikatakan stabil jika tidak ada suatu jenis yang mendominasi di dalam komunitas tersebut. Meskipun nilai indeks dominansi yang dimiliki jenis C. monaghani pada habitat area pemukiman belum dapat dikatakan mendominasi, tetapi hal itu jelas mempengaruhi rendahnya nilai indeks kemerataan jenis pada habitat area pemukiman.

0,90 0,78 0,80

0,70 0,66

0,60

0,50 0,46

0,40

0,30

0,20

0,10

0,00 E E E Hutan Alam Hutan Kopi Area Pemukiman

Gambar 5. Indeks kemerataan (E) jenis laba-laba permukaan tanah di kawasan Hutan Sokokembang

Adanya perbedaan nilai indeks kemerataan berhubungan dengan karakteristik habitat penelitian. Nilai indeks kemerataan yang tinggi pada habitat

Hutan alam diduga disebabkan oleh karakteristik habitatnya. Habitat pada hutan alam tersusun dari banyaknya jenis semai yaitu 16 jenis (Lampiran 1) dan rapatnya

32

semai yang ada pada hutan alam. Pada habitat hutan kopi tersusun dari 14 jenis semai (Lampiran 1) dan jumlah semai yang ada pada habitat hutan kopi lebih sedikit dibandingkan dengan hutan alam. Pada habitat area pemukiman tersusun dari 12 jenis semai (Lampiran 1) dan jumlah semai yang ada pada area pemukiman paling sedikit dibandingkan dengan habitat hutan alam dan hutan kopi.

Semakin banyaknya jenis mangsa akibat struktur vegetasi yang kompleks pada suatu habitat, maka semakin banyak pula predator yang datang untuk mendapatkan sumber makanan termasuk laba-laba permukaan tanah. Kondisi habitat yang beragam membuat perpindahan energi terjadi pada interaksi yang kompleks sehingga membentuk keadaan yang fleksibel (Wirakusumah, 2009).

Pada habitat hutan alam dengan kondisi habitat yang lebih seragam diduga membentuk pola interaksi yang lebih sederhana dan statis dibandingkan dengan habitat area pemukiman.

Kondisi adanya perbedaan karakteristik di setiap habitat membuat batasan yang jelas bagi jenis laba-laba yang adaptif dengan karakteristik habitat pada masing-masing habitat. Tingkat kehadiran dan keberhasilan suatu organisme atau kelompok organisme tertentu bergantung pada kompleksitas habitatnya.

Adaptifnya jenis organisme akan memberikan mereka kehidupan yang optimal di habitatnya serta diduga pula ruang pada habitat tersebut terbagi rata untuk mereka. Hal ini berbeda pada habitat hutan alam yang memiliki karakteristik habitat kompleks karena struktur vegetasi yang lebih rapat sehingga membentuk kondisi yang disukai oleh berbagai jenis laba-laba permukaan tanah. Kondisi habitat yang kompleks membuat banyak serangga dan invertebrata lainnya datang

33

dan melanjutkan hidupnya sesuai peran ekologisnya serta menjadi sumber makanan bagi laba-laba permukaan tanah (Odum, 1993).

4.4. Kesamaan Jenis

Perbedaan dan persamaan hasil koleksi laba-laba permukaan tanah digambarkan dengan melakukan analisis Indeks Sorensen (IS). Variabel yang menjadi pembanding adalah laba-laba yang hanya ada pada satu habitat tertentu (A atau B) dan laba-laba yang didapat dengan jenis yang sama pada dua habitat (C).

Berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan tiga jenis laba-laba permukaan tanah yang sama antar habitat yaitu Thyene sp., C. monaghani, dan H. venatoria.

Tabel 3. Indeks kesamaan (S) laba-laba permukaan tanah di kawasan Hutan Sokokembang

Hutan alam Hutan kopi Area pemukiman

Hutan alam - 59 % 59% Hutan kopi 59% - 50% Area pemukiman 59% 50% -

Nilai indeks kesamaan jenis laba-laba tanah tertinggi untuk kawasan Hutan

Sokokembang terdapat antara habitat hutan alam dan hutan kopi serta Hutan alam dan area pemukiman dengan nilai indeks kesamaan jenis sebesar 59 % (S > 50%) yang menunjukkan tingkat kesamaan jenis pada kawasan tersebut termasuk kategori yang tinggi. Kemudian nilai indeks kesamaan yang terendah terdapat antara hutan kopi dan area pemukiman dengan nilai indeks 50 % (S = 50 %) yang termasuk ke dalam kategori yang tinggi. Rendahnya nilai kesamaan antara hutan kopi dan hutan alam menunjukkan bahwa pada kedua habitat tersebut merupakan ekosisem yang berbeda. Hal ini dikarenakan tiap habitat terdapat adanya variasi

34

lingkungan, baik fisik, kimia, maupun interaksi antar jenis sehingga jenis yang hidup bervariasi (Suheriyanto,2008).

Nilai indeks kesamaan yang tinggi antara habitat hutan alam dan hutan kopi serta habitat hutan alam dengan area pemukiman disebabkan oleh karakteristik habitat yang berbeda pada jenis vegetasi dan banyaknya vegetasi yang ada

(Lampiran 1). Tanaman paku-pakuan dan berbagai jenis tanaman semai lainnya yang tumbuh pada setiap habitat membuat tingkat kelembapan meningkat dan suhu udara rendah. Kerapatan yang cukup dapat memberikan kesempatan makhluk hidup dalam berinteraksi.

Vegetasi juga berperan sebagai penyedia sumber makanan, tempat tinggal dan bersembunyi serta pemijah untuk makhluk hidup termasuk laba-laba permukaan tanah. Kelimpahan, keanekaragaman dan kekayaan jenis laba-laba berkaitan erat dengan vegetasi yang menutupi permukaan tanah (Ishak, 2015).

Selain faktor biologis dalam suatu habitat terdapat pula parameter faktor lingkungan yang berperan membentuk kondisi alami dari habitat tersebut

(Mgobozi, 2008).

Parameter faktor lingkungan yang berbeda terdapat pada habitat hutan alam dan hutan kopi seperti suhu udara 27,32 ± 1,95oC dan 26,01 ± 1,37oC, kelembapan udara 83,53 ± 4,43% dan 82,30 ± 3,40%, intensitas cahaya 10,41 ± 0,00 klux dan

12,72 ± 0,00 klux, serta pH tanah 6,62 ± 0,15 dan 6,57 ± 0,18 juga merupakan faktor pendukung tingginya nilai kesamaan jenis. Menurut Foelix (2011) yang menyatakan bahwa spesies laba-laba akan hidup sesuai dengan faktor pembatasnya, yaitu kondisi fisik lingkungan, seperti suhu, kelembaban, angin dan intensitas cahaya serta faktor biologi seperti tipe vegetasi, ketersediaan makanan,

35

kompetitor dan musuh. Keberadaan spesies yang sama pada lokasi berbeda dapat disebabkan struktur vegetasi dan faktor lingkungan yang sama, namun belum tentu gangguan pada kedua lokasi tersebut dalam tingkat yang sama.

Berdasarkan penelitian Morales et al (2011) pada dua lokasi penelitian yang relatif dekat dengan jarak 800 m dan memiliki tipe vegetasi yang sama, tingkat kesamaan antara komunitas laba-laba hanya mencapai nilai- nilai moderat (sedang). Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan komposisi dan strukturnya mungkin juga disebabkan karena berbagai tingkat gangguan.

Habitat hutan alam dan habitat area pemukiman memiliki nilai indeks kesamaan yang paling rendah diduga disebabkan oleh perbedaan karakteristik habitat antar kedua habitat. Habitat area pemukiman merupakan daerah yang lebih terbuka dan habitat hutan alam merupakan habitat yang memiliki intensitas cahaya rendah dan tutupan kanopi yang cukup lebat. Parameter faktor lingkungan pada habitat area pemukiman yaitu suhu udara 26,11 ± 0,76 oC, kelembapan udara

82,69 ± 0,76 %, intensitas cahaya 13,88 ± 0,00 klux serta pH tanah 6,27 ± 0,17.

Laba-laba permukaan tanah akan hidup sesuai dengan faktor pembatasnya, yaitu kondisi fisik lingkungan, seperti suhu, kelembapan, angin dan intensitas cahaya serta faktor biologi seperti tipe vegetasi, ketersediaan makanan, kompetitor dan musuh (Foelix, 2011).

Nilai indeks kesamaan jenis laba-laba permukaan tanah di masing-masing stasiunnya dipengaruhi oleh faktor-faktor pembatas di atas. Faktor pembatas akan mempengaruhi pertumbuhan populasi mereka yang mencakup natalitas, mortalitas, imigrasi dan emigrasi (Wirakusumah, 2009).

36

4.5. Pola Sebaran Jenis

Bentuk pola sebaran jenis laba-laba permukaan tanah pada kawasan

Hutan Sokokembang menunjukkan hasil yang beragam. Nilai indeks morisita menunjukkan bahwa 10 jenis yang ditemukan termasuk ke dalam pola persebaran seragam, dan 3 jenis termasuk pola sebaran mengelompok. Famili dari laba-laba permukaan tanah yang termasuk ke dalam bentuk pola sebaran seragam diantaranya adalah famili Salticidae, Ctenidae, dan Lycosidae. Pola persebaran mengelompok terdapat famili Salticidae, Sparassidae, dan

Gradungulidae.

Pada bentuk pola persebaran seragam terlihat jelas di lokasi penelitian terdapat 10 jenis dibandingkan dengan bentuk pola persebaran mengelompok terdapat 3 jenis (Tabel 4). Pada pola persebaran seragam terdapat famili

Ctenidae yaitu C. monaghani yang paling banyak ditemukan di habitat hutan alam. Banyaknya C. monaghani di habitat hutan alam karena banyak terdapat tanaman bawah seperti rerumputan sebagai tempat laba-laba tanah bersembunyi ketika mencari mangsa ataupun pada saat terdapat ancaman. Pola sebaran suatu jenis di alam dipengaruhi oleh faktor lingkungan serta perilaku dari jenis tersebut.

Ketika terdapat area yang cukup terbuka di suatu tempat maka jenis yang menyukai kondisi tersebut akan berkumpul sesuai dengan sifat ekologisnya (Ishak, 2015).

Pada bentuk pola seragam juga terdapat jenis P. aurantius dari famili

Salticidae yang merupakan laba-laba jenis “jumping spider”. Jumping spider atau laba-laba peloncat adalah pemburu aktif yang tidak mengandalkan jaring untuk menangkap mangsanya. Laba-laba peloncat menangkap mangsanya dengan cara mengikuti mangsanya . Jumping spider menggunakan indera penglihatannya yang

37

superior untuk membedakan dan melacak makanannya. Laba-laba peloncat memberikan sedikit waktu untuk buruannya bereaksi sebelum dilumpuhkan dengan racunnya. Carrhotus sp. dan I. hamatus yang ditemukan pada kawasan Hutan

Sokokembang juga termasuk ke dalam bentuk pola persebaran seragam (Zhu dan

Song, 2000).

Tabel 4. Pola sebaran laba-laba permukaan tanah di kawasan Hutan Sokokembang

No. Famili Jenis Pola Sebaran 1 Ctenidae Ctenus monaghani Seragam 2 Ctenidae Ctenus sp. Seragam 3 Ctenidae Gephyroctenus philodromoides Seragam 4 Gradungulidae Ophiones lanvatora Mengelompok 5 Lycosidae Pardosa anomalia Seragam 6 Lycosidae Pardosa sp. Seragam 7 Lycosidae Pardosa vancouveri Seragam 8 Salticidae Carrhotus sp. Seragam 9 Salticidae Icius hamatus Seragam 10 Salticidae Menemermus nigli Mengelompok 11 Salticidae Paraphidippus aurantius Seragam 12 Salticidae Thyene sp. Seragam 13 Sparassidae Heteropoda venatoria Mengelompok

Pada bentuk pola sebaran seragam juga terdapat jenis dari famili Salticidae.

Setiap individu dari jenis yang termasuk ke dalam pola sebaran seragam hidup soliter dalam membuat dan mendiami sarang serta saat mencari makan. Hal ini membuat jarak tersendiri antara satu individu dengan yang lainnya dalam satu jenis pada suatu wilayah. P ola sebaran seragam dapat terjadi apabila kompetisi atau persaingan antar individu sangat kuat sehingga terjadi pembagian wilayah yang sangat merata antar setiap individu (Odum, 1993).

Pada bentuk pola sebaran mengelompok terdapat H. venatoria dari famili

Sparassidae. Laba-laba dari famili Sparassidae merupakan laba-laba dengan rentang terbesar di dunia mencapai 25-30 cm panjang kaki, dengan ukuran badan

38

4.6 cm, laba-laba ini mampu berlari dengan sangat cepat, bahkan laba-laba ini dapat berjalan merangkak dan miring dipermukaan yang licin seperti kaca (Rod &

Preston, 1984). Sama seperti H. venatoria, terdapat famili dari jenis Salticidae yaitu

M. nigli dan G. philodromoides yang termasuk pola sebaran mengelompok.

Perilaku berkumpul atau bergerombol laba-laba permukaan tanah termasuk kriteria organisme dengan pola sebaran mengelompok. Pola sebaran mengelompok dapat disebabkan oleh sifat jenis yang gregarious (bergerombol) atau terdapat bentuk habitat yang bervariasi sehingga suatu jenis memilih habitat yang terdapat banyak sumber makanan untuknya (Tarumingkeng, 1994).

Berdasarkan data hasil pegukuran indeks pola sebaran (Indeks Morisita) ditemukan bahwa anggota famili Salticidae termasuk ke dalam dua kategori pola sebaran yang ada. Pada pola sebaran mengelompok terdapat jenis M. nigli, H. venatoria, dan O. lanvatora.

Perbedaan yang ada pada pola sebaran diatas diduga disebabkan oleh mobilitas yang tinggi dari anggota famili Salticidae. Famili Salticidae memiliki pengelihatan yang lebih unggul, gerak berpindah mereka dengan meloncat jauh dan potensi kawinnya lebih besar. Ketiga kelebihan tersebut mempengaruhi daya jelajah dari famili Salticidae yang lebih jauh dari jenis laba-laba lainnya sehingga persebarannya tidak dapat dipastikan dengan pengukuran dalam area yang kecil

(Edwards, 2000).

4.6. Pemilihan Faktor Lingkungan Laba-laba Permukaan tanah

Hutan Sokokembang merupakan hutan lindung terbatas dengan tipe hutan sekunder campuran. Hutan tersebut menjadi habitat beberapa jenis satwa seperti mamalia, aves, dan reptil. Hutan Sokokembang terdapat variasi kemiringan lahan

39

dari datar, landai, agak curam dan sangat curam. Kawasan Hutan Sokokembang di dominasi oleh vegetasi yang cukup rapat (Lampiran 1). Sebagian kawasan Hutan

Sokokembang dimanfaatkan oleh sebagian warga sekitar sebagian jalur pendakian dan menanam beberapa jenis tanaman seperti tumbuhan kopi,sengon, karet dan nangka. Berbagai aktivitas tersebut tidak merusak kawasan Hutan Sokokembang karena hanya sebagian kecil wilayah yang dimanfaatkan.

Keadaan alam yang masih terjaga dengan pembatasan wilayah terhadap aktivitas antropogenik dan pemanfaatan lahan hutan menjadikan kawasan Hutan

Sokokembang sebagai tempat yang toleran untuk makhluk hidup di dalamnya termasuk laba-laba permukaan tanah. Keberadaan laba-laba permukaan tanah pada kawasan Hutan Sokokembang dipengaruhi oleh parameter faktor lingkungan diantaranya adalah suhu udara, suhu tanah, kelembapan udara, kelebapan tanah, pH tanah dan intensitas cahaya. Hasil pengukuran keenam parameter faktor lingkungan tersebut dianalisis menggunakan metode CCA (Canonical Correspondence

Analysis).

Tabel 5. Urutan parameter faktor mikroklimat yang mempengaruhi keberadaan laba-laba permukaan tanah dikawasan Hutan Sokokembang, Pekalongan, Jawa Tengah

Urutan Parameter mikroklimat F P-value 1 pH tanah 3,06 0,0020 2 Suhu udara 2,13 0,0520 3 Kelembapan Udara 1,03 0,3940 4 Intensitas cahaya 0,84 0,5940 5 Kelembapan tanah 0,64 0,7660 6 Suhu tanah 0,52 0,8420

Hasil analisis CCA dengan 4 axis menunjukkan eigenvalues 0,762 yang artinya 76,2% analisis dapat dipercaya sehingga hasil analisis ini dapat digunakan untuk menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Terdapat parameter lingkungan

40

yang mempengaruhi keberadaan jenis laba-laba permukaan tanah dari keenam parameter lingkungan yang diuji yaitu pH tanah (P-value=0,0020).

Faktor mikroklimat yang mempengaruhi ditemukannya laba-laba permukaan tanah di Hutan Sokokembang dipaparkan dengan CCA (Canonical

Correspondence Analysis). Hasil CCA disajikan dalam bentuk grafik pada gambar

6. Gambar tersebut menunjukkan hubungan antara jenis laba-laba permukaan tanah dengan parameter mikroklimat. Hasil analisis CCA menunjukkan terdapat 4 kelompok laba-laba permukaan tanah Araneae. Pengaruh parameter mikroklimat terhadap jenis laba-laba permukaan tanah dilihat dari panjang dan arah panah. Jarak antara ujung panah dengan titik-titik jenis laba-laba menujukkan seberapa besar pengaruh parameter mikroklimat relatif terhadap jenis laba-laba tanah. Arah panah menujukkan kekuatan korelasi antar variabel. Variabel dengan arah panah yang sama berkorelasi positif, arah panah yang berlawanan berkorelasi negatif dan arah panah tegak lurus bermakna tidak berkorelasi. Kemudian nilai sudut antara dua panah menggambarkan korelasi kedua variabel. Semakin sempit sudut antara variabel mengartikan semakin positif tinggi korelasinya, sedangkan jika semakin tumpul maka korelasinya semakin negatif (Leps dan Smilauer, 2003).

Berdasarkan penelitian ini terdapat empat kelompok yang dipengaruhi oeh parameter lingkungan. Kelompok pertama terdapat jenis laba-laba tanah yaitu G. philodromoides. Kelompok kedua terdapat jenis laba-laba tanah C. monaghani dan

O. lanvatora, kelompok ketiga terdapat laba-laba dengan jenis Ctenus sp.,

Carrhotus sp., P. anomalia dan P. vancouveri dan dikelompok keempat terdapat

Pardosa sp., I. hamatus, P. aurantius, M. nigli, H. venatoria dan Thyene sp.

41

1.0 S.U G. philo I

pH T S.T Pardosa

K T I. hamat Thyene s IV P. auran II C. monag M. nigli H. venat O. lanva

I C Carrhotu III P. vanco P. anoma K U Ctenus s -0.8 -1.0 1.0

Gambar 6. Grafik analisis Canonical Correspondence Analysis (CCA) jenis laba- laba permukaan tanah berdasarkan kondisi faktor lingkungan. SU = Suhu Udara; KU = Kelembapan Udara; ST = Suhu Tanah; KT = Kelembapan Tanah; pH T = pH Tanah; IC = Intensitas Cahaya.

Kelompok pertama yaitu laba-laba tanah G. philodromoides yang keberadaannya dipengaruhi oleh suhu udara yang berkorelasi positif dengan suhu tanah dan kelembaban tanah serta berkolerasi negatif dengan kelembaban udara.

Berdasarkan hasil pengamatan, jenis ini merupakan jenis yang sedikit ditemukan dengan 9 individu dari ketiga lokasi pengamatan. Hal ini menujukkan bahwa kondisi habitat dengan suhu udara berkorelasi positif dengan suhu tanah dan kelembapan tanah (Tabel 2.) yang merupakan kondisi yang diinginkan oleh jenis laba-laba G. philodromoides untuk mencari makan dan hidup. Menurut Susanto

(2000) laba-laba tidak dapat hidup pada suhu di bawah titik beku air. Suhu 10o-45o

42

adalah temperatur yang optimum bagi laba-laba. Suhu udara juga dapat memberikan efek membatasi pertumbuhan organisme apabila keadaan suhu ekstrim tinggi atau rendah (Odum, 1993).

Kelompok kedua yaitu laba-laba tanah C. monaghani dan O. Lanvatora yang keberadaannya dipengaruhi oleh intensitas cahaya yang berkorelasi negatif dengan pH tanah. Berdasarkan hasil pengamatan, jenis C. Monaghani merupakan jenis yang ditemukan paling banyak dengan 79 individu di ketiga lokasi pengamatan, sedangkan O. Lanvatora ditemukan hanya 2 individu saja. Pada kelompok kedua ini menujukkan bahwa kondisi habitat dengan intensitas cahaya (Tabel

2.) yang cukup tinggi di Hutan Sokokembang mempermudah laba-laba beraktifitas.

Kelompok ketiga yaitu laba-laba tanah yang keberadaannya dipengaruhi oleh kelembapan udara. Berdasarkan Gambar 6 kelembapan udara berkorelasi negatif dengan suhu udara, suhu tanah dan kelambapan tanah. Laba-laba yang termasuk ke dalam kelompok ini merupakan jenis laba-laba tanah yang jumlah individunya ditemukan sedikit (Tabel 2) di Hutan Sokokembang.

Kelompok keempat yaitu ditemukan jenis yang berbeda, diantaranya yaitu

Thyene sp., H. venatroria, M. nigli, P. aurantius, Pardosa sp.,dan I. hamatus. Jenis laba-laba yang terdapat di kelompok ini ditemukan pada ketiga habitat pengamatan, baik pada hutan alam, hutan kopi, maupun area pemukiman. Berdasarkan Gambar

6 keberadaan laba-laba tanah pada kelompok ini dipengaruhi pH tanah yang berkorelasi negatif dengan intensitas cahaya. Pengukuran pH tanah pada tiap-tiap lokasi yaitu berkisar antara 6-7 yang merupakan kondisi yang baik untuk keberlangsungan hidup laba-laba. Menurut Borror (2005) pH tanah yang baik untuk kehidupan arthropoda yaitu berkisar antara 5,0-8,4. Hal ini menunjukkan bahwa

43

pengukuran pH tanah pada setiap lokasi penelitian merupakan pH yang optimal untuk aktivitas laba-laba permukaan tanah. Fauna tanah ada yang senang hidup pada pH asam dan ada pula yang senang pada pH basa tergantung pada jenisnya

(Rahawaty, 2004).

Ctenus monaghani yang termasuk ke dalam famili Ctenidae ditemukan di semua habitat dengan jumlah individu tebanyak terdapat pada habitat pekarangan sebanyak 44 individu. Ctenus monaghani dikelompokkan pada kelompok II dengan jenis Ophiones lanvatora. Laba-laba dengan famili Ctenidae dengan jenis Ctenus monaghani kemungkinan menyukai intensitas yang ada pada lokasi penelitian

(Tabel 2), famili Ctenidae merupakan laba-laba yang tidak ditemukan adanya calamistrum dan cribellum di kaki keempat. Tarsus famili Ctenidae memiliki 2 cakar dan claw tuft serta posisi kaki prograde. Karakter yang membedakan

Ctenidae dengan famili lain adalah 8 mata yang tersusun dalam 3 baris. Baris pertama hanya ada sepasang Anterior Median Eyes. Baris kedua ditempati sepasang

Posterior Median Eyes dan sepasang Anterior Lateral Eyes yang terletak disampingnya. Sepasang Posterior Lateral Eyes ada di baris ketiga. Ukuran

Posterior Median Eyes paling besar dan Anterior Lateral Eyes berukuran paling kecil. Dipermukaan ventral terdapat tibia kaki pertama laba-laba famili Ctenidae terdapat 5 pasang duri (Barrion & Litsinger, 1995).

Famili Salticidae dikelompokkan pada kelompok 4, dimana famili

Salticidae diduga menyukai habitat dengan pH yang ada pada lokasi penelitian

(Tabel 2). Seperti pada famili Ctenidae, mata laba-laba famili Salticidae tersusun dalam 3 baris. Karakter utama yang memisahkan famili Salticidae dan famili

Ctenidae adalah letak Anterior Lateral Eyes dan ukuran Posterior Median Eyes.

44

Baris pertama terdiri dari sepasang Anterior Median Eye (AME) dan sepasang

Anterior Lateral Eye (ALE) (Dondale, 1990). Sepasang Posterior Median Eye

(PME) menempati baris kedua dan di baris ketiga ada Posterior Lateral Eye (PLE).

Anterior Median Eye berukuran terbesar dan ukuran Poterior Median Eye paling kecil (Barrion & Litsinger, 1995). Susunan mata yang dimiliki famili Salticidae berhubungan dengan caranya dalam menangkap mangsanya. Laba-laba famili

Salticidae disebut sebagai jumping spider karena memiliki cara yang unik dalam menangkap mangsanya, yaitu dengan melompat. Kemampuan itu di dukung oleh susunan mata dalam 3 baris yang membantu untuk melihat ke segala arah dan menyergap mangsanya (Koh, 1989).

Famili Salticidae memiliki anggota sebanyak 526 genus dan 4.809 jenis yang tersebar di seluruh dunia. Famili Salticidae ditemukan di pulau Australia sebanyak 39 jenis (Patoleta & Zabka, 1999). Laba-laba famili Salticidae yang diketahui ada di Indonesia berjumlah 17 jenis. Diantaranya yaitu Menemermus bivittatus, Hasarius adansoni, Plexippus petersi, dan Plexippus paykulli termasuk jenis kosmopolitan dan tersebar di seluruh daerah tropis (Koh, 1989).

Famili Lycosidae terdapat pada kelompok ke III dan ke IV yang diduga menyukai intensitas cahaya dan kelembapan udara (Tabel 2) pada lokasi penelitian.

Adanya Perbedaan famili Lycosidae dengan famili lainnya pada laba-laba adalah panjang dan jumlah gigi chelicerae. Panjang chelicerae dan jumlah gigi laba-laba famili Lycosidae lebih pendek dan sedikit daripada famili lainnya. Karakter yang mudah dikenali dari famili Lycosidae yaitu memiliki 3 baris mata (Barrion &

Litsinger, 1995). Sepasang Anterior Median Eyes dan Anterior Lateral Eyes tersusun di baris pertama. Di baris kedua ada sepasang Posterior Median Eyes dan

45

sepasang Posterior Lateral Eyes terletak di baris ketiga (Barrion & Litsinger, 1995).

Permukaan trochanter bertakik (Donale 1990). Famili Lycosidae seluruh tubuhnya tertutup rambut yang menyebabkan laba-laba famili Lycosidae disebut .

Laba-laba famili Lycosidae adalah hewan kosmopolitan yang menempati habitat di tanah dan menangkap mangsa dengan memburunya (Pocock, 1900). Ukuran tubuh family Lycosidae sangat kecil dibandingkan dengan panjang kakinya (Preston,

1984).

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

a. Struktur komunitas laba-laba permukaan tanah pada kawasan Hutan

Sokokembang, Pekalongan Jawa tengah dibentuk oleh keanekaragaman jenis,

kemerataan jenis, dominansi, kesamaan jenis dan pola sebaran jenis yang

terdiri dari 1 subordo, 5 famili, 9 genera, 13 jenis dan 169 individu.

b. Pola sebaran jenis laba-laba permukaan tanah pada kawasan Hutan

Sokokembang didominasi oleh kategori seragam yang ditemukan pada

beberapa jenis.

c. Parameter lingkungan yang mempengaruhi keberadaan jenis laba-laba

permukaan tanah di Hutan Sokokembang yaitu pH tanah.

5.2 Saran

Penelitian ini merupakan studi awal mengenai komunitas laba-laba ordo

Araneae permukaan tanah di Hutan Sokokembang, Pekalongan, Jawa Tengah.Hasil yang di dapat masih membutuhkan kajian dan penelitian lebih lanjut mengenai laba- laba permukaan tanah serta perlu adanya manajemen konservasi menegenai laba- laba permukaan tanah di kawasan Hutan Sokokembang, Pekalongan, Jawa Tengah.

46

DAFTAR PUSTAKA

Abdelmoniem HE, Zalat S, El-Naggar M, Ghobashy A. 2003. Spider diversity in relation to habitat heterogeneity and an altitudinal gradient in South Sinai, Egypt. Egyptian Journal of Biology. 5:129–137.

Anjali, Prakash S. 2012. Diversity of spiders (Aranea) from semi-arid habitat of agra (India). Indian Journal of Arachnology 1:66–72.

American Museum of Natural History. 2016. The World Spider Catalog Version 17.0. Currently valid spider genera and species. Available at: http://www.wsc.nmbe.ch/statistics/# [accessed 2 Februari 2016].

Aryanti, N. A. 2014. Perilaku Owa Jawa (Hylobates moloch) dalam Menggunakan Daerah Jelajah di Hutan Sokokembang, Pekalongan. Tesis. Program Studi Ilmu KeHutanan. Pascasarjana Fakultas KeHutanan.Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Barrion, A.T. & J.A. Litsinger. 1995. Riceland spider of South and South East Asia. CAB International, Wallingford.

Borror, JD, CA Triplehorn, dan NS Johnson. 2005. Pengenalan Pelajaran Serangga Edisi Ketujuh. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Bradley, RA. 2012. Common Spiders of Ohio. Ohio Departemment of Natural Resources. Ohio.

Cabili MHD, Nuneza OM. 2014. Species diversity of cave-dwelling spiders on Siargao Island, Philippines. International Journal of Plant, and Environmental Sciences 4:392–399.

Chen KC, Tso IM. 2004. Spider diversity on Orchid Island, Taiwan: a comparison between habitats receiving different degrees of human disturbance. Zoological Studies.43:598–611.

Coddington, JA. 2005. Spiders of North America : an Identification Manual. American Arachnological Society. 377 pages.

Deshmukh US, Raut NM. 2014. Seasonal diversity and status of spiders (Arachnida: Araneae) in Salbardi forest (Satpura Range), Maharashtra, India. Journal of Entomology and Zoology Studies 2:278–281. Available at: http://www. entomoljournal.com.

Donale, C.D. 1990. Litter Araneae (Araneida). John Wiley & Sons. New York.

Edwards, GB. 2000. Huntsman Spider, Heteropoda venatoria (Linnaeus) (Arachnida: Araneae: Sparassidae). DPI Entomology Circular 205. EENY- 160.

47

48

Foelix, RF. 2011. Biology of Spiders. Third Edition. Oxford University Press. New York.

Henderson, TY. 2007. Diversity, Distribution and Abundance of Ground Dwelling Spiders at Lick Creek Park, College Station, Texas. Thesis. Texas A&M University.

Indriyanto. 2012. Ekologi Hutan. Buku. Bumi Aksara. Jakarta. 210 p.

Ishak, T. M. 2015. Struktur Komunitas Dan Pola Persebaran Araneae (Permukaan Tanah) Di Kawasan Resort Salak 2 Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Skripsi. Jakarta : UIN

IUCN Red List Committee. 2013. The IUCN Red List of Threatened Species™ Strategic Plan 2013 - 2020. Version 1.0. Prepared by the IUCN Red List Committee.

Jocque, R and ASD Schoeman. 2006. Spider Families of The World. ARC-PPRI. Africa.

Koh, J. 1989. A Guide to common Singapore Spider. Singapore Science Centre. Singapore.

Krebs, CJ. 1999. Ecological Methodology, Second Edition. Addison Wesley Longman, Inc. California.

Lalisan JA, Dupo ALB, Nuneza OM. 2015. Diversity of Spiders along an elevational gradient in Mt. Pinukis, Zamboanga del Sur, Philippines. Journal of Biodiversity and Enviromental.

Leps Jan, Smilauer Petr. 2003. Multivariate Analysis of Ecologycal Data Using CANOCO. Cambridge University Press. Cambridge University hal 153

Mackinnon, D., John Mackinnon, G., Child dan J. Thorsell. 1993. Pengelolaan Kawasan Yang Di Lindungi di Daerah Tropika. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Mahalakshmi R, Jeyaparvathi S. 2014. Diversity of spider fauna in the cotton field of Thailakulam, Virudhunagar District, Tamil Nadu, India. The Journal of Zoology Studies 1:12–18.

Matalabiogama. 2009. Seminar Regional Potensi, Ancaman, dan Pengelolaan Dataran Tinggi Dieng. Fakultas Biologi UGM. Yogyakarta. Tidak Dipublikasikan

Maya, R. I. 2013. Habitat Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert, 1798) di Bukit Sirondo, Hutan Sokokembang, Petungkriyono, Pekalongan, Jawa Tengah. Skripsi. Fakultas Biologi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

49

McDonald, B. 2007. Effects of Vegetation Structure on Foliage Dwelling Spider Assemblages in Native and Non-Native Oklahoma Grassland Habitats. Proceeding. Oklahoma. Acad. Sci. 87: pp 85-88.

Memah VV, Tulung M, Warouw J, Maramis RRTD. 2014. Diversity of spider species in some agricultural crops in North Sulawesi, Indonesia. International Journal of Scientific & Engineering Research 5:70–75.

Miller JA, Sac PD. 2011. Landscape biodiversity of tropical forest Spider communities in Vietnam (Arachnida: Araneae). Treubia 38:53–70

Nijman, V. dan I. Setiawan. 2000. Penilaian Sepintas Keragaman Fauna di Pegunungan Dieng. Laporan Akhir. YPAI/Mitra Dieng/Gibbon Foundation. Bandung.

Odum. 1993. Dasar-Dasar Ekologi – Edisi Ketiga penerjemah Tjahjono S. penyunting B. Srigandono. UGM Press. Yogyakarta.

Patoleta, B. & M. Zabka. 1999. Salticidae (Arachnida, Araneae) of island of Australia. Journal of Arachnology. 229-235 hlm.

Pemkab pekalongan [Pemerintah Kababupaten Pekalongan]. 2010. Objek Wisata. http://pekalongankab.go.id/pariwisata/tujuan-wisata/1417-wisata.html. (Diakses pada tanggal 13 Januari 2017 pukul 23.14 WIB.)

Platnick, N.I. 2014. The World Spider Catalog. Version 15. New York: The American Museum of Natural History. http://research.amnh.org/iz/spiders/ catalog_15.0/COUNTS.html.

Pocock, R.I. 1900. The fauna of British india Ceylon and Burma. Taylor & Francis. London.

Preston-Mafham, R & K. 1984. Spider of the world. Blandford Press. Dorset.

Rahawaty. 2004. Studi Keanekaragaman Mesofauna Tanah di Kawasan Hutan Wisata Alam Sibolangit. E-USU Repository. Universitas Sumatera Utara.

Rod and K Preston. 1984. Spiders of The World. Blandford Press. Dorset.

Samu F, Lengyel G, Szita E, Bidlo A, Odor P. 2014. The effect of forest stand characteristics on spider diversity and species composition in deciduous-coniferous mixed forests. The Journal of Arachnology 42:135– 141. doi: http://dx.doi. org/10.1636/CP13-75.1.

Smith RA, Stork NE.1994. Abundance and diversity of spiders from the canopy of tropical rainforests with particular reference to Sulawesi, Indonesia

Setiawan, A., T. S. Nugroho, Y. Wibisono, V. Ikawati, dan J. Sugardjito. 2012. Population Density and Distribution of Javan Gibbon (Hylobates moloch) in Central Java, Indonesia. Biodiversitas 13 (1): 23-27.

50

Stenchly K. 2010. Spider Communities in Indonesian Cacao Agroforestry: Diversity, Web Density and Spatio-temporal Turnover. Dissertation. Göttingen: University of Göttingen

Suana IW, Solihin DD, Buchori D, Manuwoto S, Triwidodo H. 2005. Kolonisasi dan suksesi laba-laba (Araneae) pada pertanaman padi. Jurnal Biologi. IX:1- 7.

Suana, I Wayan dan Hery Haryanto. 2006. Keanekaragaman Laba-laba pada Ekosistem Sawah Monokultur dan Polikultur di Pulau Lombok. Mataram. Program studi Biologi Universitas Mataram.

Suheriyanto, D. 2008. Ekologi Serangga. UIN-Malang Press. Malang.

Susanto, P. 2000. Pengantar Ekologi Hewan. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.

Tarumingkeng, RC. 1994. Dinamika Populasi : Kajian Ekologi Kuantitatif. Pustaka Sinar Harapan dan Universitas Kristen Krida Wacana. Jakarta.

Vedel V, Rheims C, Murienne J, Brescovit Ad. 2013. Biodiversity baseline of the French Guiana spider Fauna. SpringerPlus 2:361. doi: http:// dx.doi.org/10.1186/2193-1801-2-361.

Waite, S. 2000. Statistical Ecology in Practice : A Guide to Analysing Environmental and Ecological Field Date. Pearson Education Limited. Harlow

Wirakusumah, S. 2009. Dasar-Dasar Ekologi bagi Populasi dan Komunitas. UI- Press. Jakarta.

Widhiono, I. 2009. Strategi Konservasi Serangga Pollinator. Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.

Zhu, MS dan Song DX. 2000. Review of The Chinese Funnel - Web Spiders of The Genus Macrothele, with Descriptions of Two New Species (Araneae: Hexathelidae). The Raffles Bulletin of Zoology. 2000 48(1): 59-64. National University of Singapore.

LAMPIRAN Lampiran 1. Hasil Vegetasi

Jumlah Semai Habitat No. Nama Lokal Tumbuhan Hutan Hutan Area alam Kopi pemukiman 1 Liana sp. 6 - - 2 Tembelekan 8 3 - 3 Penyaun 5 6 - 4 Pacar Rumput 4 - - 5 Talas Hutan 3 - 6 6 Rumput Jampang 13 - - 7 Pohon kopi 2 - - 8 Rumput blembem 6 - - 9 Miana 6 - - 10 Paku galar 2 2 - 11 Rumput gajah 12 - 4 12 Rumput gewor 12 - - 13 Semar mendem 13 - - 14 ketul 3 - - 15 Pakis menir 2 - - 16 Selasih 1 - - 17 Rumput cowetan - 19 - 18 Banyon - 2 - 19 Blembem daun - 7 1 20 Rumput glagah - 12 - 21 Mpuk mpuk - 5 - 22 Buyung remuk - 3 - 23 Gajah Hutan - 7 - 24 Pacul gowang - 3 2 25 Guniran - 2 - 26 Katisen - 1 - 27 Menyaun - 5 5 28 Welulangan - - 4 29 Lempuyangan - - 5 30 Lombokan - - 10 31 Srengen - - 1 32 Krisan - - 2 33 Srengengen - - 4 34 Sengon 4 - - 35 Karet 2 - - 36 Nangka 5 - -

51

52

Lampiran 2. Jenis laba-laba yang masuk ke dalam IUCN red list 2014

Jenis Laba-laba Famili Status Tahun Adelocosa anops Lycosidae KonEnsderavnagsei red Pu1996blika si Cesonia irvingi Gnaphosidae Data Deficient 1996 Chilobrachys fimbriatus Theraphosidae Least Concern 2008 Chilobrachys hardwicki Theraphosidae Least Concern 2008 Cyclocosmia torreya Ctenizidae Data Deficient 1996 Dolomedes plantarius Asauridae Vulnerable 1996 Haploclastus kayi Theraphosidae Endangered 2008 Hogna ingens Lycosidae Critically 2014 Liphistius kanthan Liphistiidae CEnriticaldangleyr ed 2013 Lycosa ericeticola Lycosidae DataEnda ngDeefriciede nt 1996 Meta dolloff Tetragnathidae Vulnerable 1996 Neoleptoneta myopica Leptonetidae Data Deficient 1996 Noideattella assumptia Oonopidae Least Concern 2014 Paraheliophanus jeanae Salticidae Vulnerable 2014 Paraheliophanus napoleon Salticidae Critically 2014 Paraheliophanus sanctaehelenae Salticidae VEnudlnaengraebrleed 2014 Paraheliophanus subinstructus Salticidae Vulnerable 2014 Pardosa diuturna Lycosidae Vulnerable 1996 Pelicinus marmoratus Oonopidae Least Concern 2014 Poecilotheria formosa Theraphosidae Endangered 2008 Poecilotheria hanumavilasumica Theraphosidae Critically 2008 Poecilotheria metallica Theraphosidae CEnriticaldangleyr ed 2008 Poecilotheria miranda Theraphosidae Endannggered 2008 Poecilotheria nallamalaiensis Theraphosidae Data Deficient 2008 Poecilotheria regalis Theraphosidae Least Concern 2008 Poecilotheria rufilata Theraphosidae Endangered 2008 Poecilotheria striata Theraphosidae Vulnerable 2008 Poecilotheria tigrinawesseli Theraphosidae Data Deficient 2008 Sosippus placidus Lycosidae Vulnerable 1996 Spelungula cavernicola Gradungulidae Data Deficient 1996 Spermophorides lascars Pholcidae Critically 2014 Thrigmopoeus insignis Theraphosidae VEnudlnaengraebrleed 2008 Thrigmopoeus truculentus Theraphosidae Near Threatened 2008 Troglohyphantes gracilis Linyphiidae Vulnerable 1996 Troglohyphantes similis Linyphiidae Vulnerable 1996 Troglohyphantes spinipes Linyphiidae Vulnerable 1996 (IUCN. 2014. www.iucnredlist.org.)

53