PROSES INTEGRASI KE DALAM TERITORI 1902-1932

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora

Oleh :

WILDA DARNELA ADIWILDAN NIM 105022000855

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2010 M PROSES INTEGRASI PATANI KE DALAM TERITORI THAILAND 1902-1932

SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora

Oleh: WILDA DARNELA ADIWILDAN 105022000855

Di Bawah Bimbingan

Awalia Rahma. M.A NIP: 19710621.200112.2.001

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2010 M PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “PROSES INTEGRASI PATANI KE DALAM

TERITORI THAILAND 1902-1932”. Telah diujikan dalam Sidang

Munaqosyah Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta. Pada tanggal 20 September 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum) pada Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam.

Jakarta, 20 September 2010

Sidang Munaqosyah

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, MA. Nurhasan MA. NIP: 195912221991031003 NIP: 19690724199703 1 001

Penguji Pembimbing

Nurhasan MA. Awalia Rahma MA. NIP: 19690724199703 1 001 NIP: 19710621.200112.2.001

ABSTRAKSI

WILDA DARNELA ADIWILDAN PROSES INTEGRASI PATANI KE DALAM TERITORI THAILAND 1902- 1932

Tulisan ini, secara komprehensif melihat kembali faktor-faktor internal dan eksternal yang menyebabkan Patani menjadi bagian dari wilayah integral

Thailand yang dalam konteks historis dan kulturnya sangat berbeda. Sejarah, budaya, dan bahasa yang dimiliki Patani lebih dekat dengan Muslim di dibanding dengan orang-orang Budha yang ada di Thailand. Usaha mengintegrasikan orang-orang Melayu-Muslim Patani ke dalam wilayah Thailand dimulai tahun 1902 dan langsung mendapat kecaman dari kalangan elit Patani. kebijakan integrasi tersebut dipertegas dalam perjanjian Anglo-Siam 1909 antara

Thailand dan Inggris, dengan tanpa melibatkan orang-orang Patani sebagai obyek yang diintegrasikan. Tak ayal, prosesnya pun diwarnai konflik pertentangan dari kalangan Melayu-Muslim Patani. Dengan menggunakan pendekatan fungsionalisme struktural, Talcott Parsons, kajian ini mencoba menganalisis pola tahapan integrasi yang dilakukan Thailand terhadap Patani antara tahun 1902-

1932, serta melihat faktor penyebab integrasi tersebut, dan hasil perkembangan respons dari pihak Patani dan dunia internasional.

Kata kunci: Integrasi, Penyatuan GLOSSARY

Adaptation = Adaptasi, penyesuaian lingkungan

Bendahara = perdana menteri

Bendahari = bendahara

Bunga Mas = upeti dari emas dan berbentuk bunga

Buying-off = suap, menyuap

Divide and ruled = memisahkan dan mengatur

Ekuilibrium = lingkaran persamaan yang lahir dari masyarakat

Federated States = Negara Federasi

Gabenor = Gubernur

GAMPAR = Gabungan Melayu Pattani Raya

Goal-Attainment = pencapaian tujuan

Haji = gelar bagi Muslim yang sudah melaksanakan haji

ke Mekkah, sementara haji diartikan oleh orang-

orang Thai sebagai orang yang berkunjung ke

Kapilavastu’ (nama kota asal sang Budha).

Integrasi = penyatuan, keseluruhan

Kabupaten = daerah

Khaek = sebutan bagi Muslim-Melayu Patani yang berarti

tamu atau pengunjung, di sebut juga Thai-Islam

Laksamana = admiral

Latency = pemeliharaan pola Mono-ethnic character of the State = karakter ttnik tunggal negara

Monthon = satuan administratif daerah

Muang = kota

Mufti = pejabat tertinggi Negara dalam mengeluarkan

fatwa dan interpretasi al-Quran dan memiliki

kewenangan mengkritisi sultan jika sultan keluar

dari aturan syariah

Nagarakartagama = naskah berbahasa India

Nation = bangsa

Pali = semacam ilmu sihir berasal dari India

Qadi = hakim Islam. orang-orang Thai menyebut qadi

dengan sebutan kali

Ratthaniyom = Undang-Undang yang mengatur segala urusan

dalam program Thaisasi bagi Muslim yang

ditetapkan pada masa Phibul Songkram

Shahbandar = master pelabuhan system of local government councils = sistem dewan pemerintah daerah

Tok Guru = guru Senior

Thesaphiban = sistem administrasi lokal/daerah

Temenggong = menteri perang

Ustadz = guru menangah

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, penulis panjatkan puji serta syukur kehadirat Ilahi Rabbi,

Dzat yang Maha Pengatur dan Pemberi Kemudahan, Allah SWT. Akhirnya, jerih payah dan kesabaran menanti kepastian yang telah digoreskan Sang Penguasa kehidupan telah terjawabkan, tanpa keridhoan dari-Nya mimpi ini tidak akan pernah jadi kenyataan. Hanya Dia yang setia menemani ketika jiwa ini dalam kerapuhan, pikiran, dan hati yang tersesat, kelelahan yang tiada tara, waktu yang terus merongrong. Demi Dzat yang Maha Sempurna, penulis tidak akan bisa bertahan tanpa inayah dan hidayah dari-Nya.

Untaian shalawat dipersembahkan untuk Khatam Al-Nabiyyin, pemimpin sejati, pembawa pesan cahaya Ilahi, Muhammad saw.

Di pengantar skripsi ini, dengan segala kerendahan dan ketulusan hati, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Orang tua tercinta; ayahanda yang telah lama ‘pulang’ ke pangkuan Illahi

Rabbi Moh. Adih Bahruddin Adiwildan dan ibunda Khusnul Khatimah.

Terima kasih yang tulus, rasa ta’dzim dan hormat penulis haturkan atas

kesabaran, nasihat dan kasih sayang yang tiada pernah berujung. Ini wujud

‘bangga’ untuk ayahanda dan ibunda dari ananda, semoga Allah selalu

memberi kebahagiaan di dunia dan akhirat. Amien.

2. Dr. H. Abdul Wahid Hasyim M.Ag. selaku Dekan Fakultas Adab dan

Humaniora

i

3. Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, M.A, selaku Ketua Jurusan Sejarah dan

Peradaban Islam

4. Nurhasan M.A selaku Sekretaris Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam

5. Awalia Rahma, M.A, selaku pembimbing dalam menyusun skripsi ini, dan

salah satu dosen yang memiliki komitmen dan loyalitas dalam mengajar

mahasiswa-mahasiwanya. Terimakasih atas bimbingan, masukan, saran

dan waktu luang hingga terselesaikannya penyusunan skripsi ini.

6. Seluruh dosen Fakultas Adab dan Humaniora, yang telah memberikan

ilmu pengetahuan, semoga ilmu yang diberikan bermanfaat bagi penulis.

7. Seluruh staff akademik Fakultas Adab dan Humaniora.

8. Kakak-kakak dan adik-adikku tercinta. Sahabatku Nisa, Echi, Emi, Listia,

Mardiyah, Andri, Apep, Agus, Keluarga Korek Api dan ‘ayat-ayat

cintaku’ Hardy Kurniawan, kalian selalu disampingku. Serta teman-teman

SPI 2005 dan adik-adik kelas tersayang.

9. Teman-teman Patani Wira Tahe, Weera, Nur, Ustad Hasan Daud, dan

Aiman. Akun Patani Fakta dan Opini di jejaring facebook, terimakasih

telah membantu mencari sumber-sumber tentang Patani.

10. Terima kasih kepada Teater Syahid dan Lab Teater Syahid, dan seluruh

UKM Kampus UIN Jakarta, juga satpam UIN.

Jakarta, 31 Agustus 2010

Penulis

ii

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ……………………………………………………….. i

KATA PENGANTAR ……………………………………………… iii

LEMBAR PENGESAHAN ………………………………………… v

BAB I PENDAHULUAN …………………………………………... 1

A. Latar Belakang Masalah ……………………………………... 1

B. Kerangka Teoritis ……………………………………………. 8

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………………………... 10

D. Metode Penelitian ……………………………………………. 11

E. Sistematika Penulisan ………………………………………... 13

BAB II PATANI DALAM KONTEKS HISTORIS ...... 14

A. Agama dan Masyarakat Melayu-Muslim Patani ...... 14

B. Identitas Budaya dan Masyarakat Melayu-Muslim Patani 20

C. Situasi Politik Patani …………………………………………. 27

D. Situasi Ekonomi Patani ……………………………………… 35

BAB III PENGERTIAN DAN KONSEP INTEGRASI ………...... 42

A. Konsep dan Kebijakan Integrasi Politik Pemerintah

Thailand (Siam) ………………………………………………. 42

B. Pandangan Melayu-Muslim Patani Terhadap Integrasi ………. 47

C. Konsep Integrasi Perspektif PBB …………………………….. 45

D. Pengertian dan Konsep Integrasi Menurut Intelektual ……….. 48

BAB IV ANALISIS INTEGRASI PATANI TAHUN 1902-1932 57

A. Proses Integrasi Patani ke Dalam Wilayah Thailand ………. 57

a. Pencetus dan Faktor Terjadinya Integrasi bagi Patani …. 57

b. Tahapan Integrasi Patani ke Dalam Wilayah Thailand

1902 – 1932 .……………………………………………. 65

1. Tahap Adaptation …………………………………… 65

2. Tahap Goal Attainment ……………………………... 67

3. Tahap Integration …………………………………… 69

4. Tahap Latency ……………………………………… 76

B. Respons Terhadap Integrasi Patani …………..………... 77

a. Respons Pemerintah Thailand …………………………. 77

b. Respons Muslim-Melayu Patani ………………………. 79

c. Respons Masyarakat Lembaga International ……… …… 83

BAB V PENUTUP …………………………………………………….. 84

A. Kesimpulan ……………………………………………………… 84

B. Saran dan Penutup ………………………………………………. 87

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Silsilah Raja-raja Patani versi History of Patani

Lampiran 2 Silsilah Raja-raja Patani versi Sejarah Kerajaan Melayu Patani

Lampiran 3 Peta Patani Darussalam

Lampiran 4 Draft ekspor dan impor Patani

Lampiran 5 Darft cacatan komoditi Patani berdasarkan sumber Barat dan China

Lampiran 6 Peta Patani setelah menjadi provinsi Thailand

Lampiran 7 Peta wilayah-wilayah yang didominasi Melayu Muslim di Thailand

Lampiran 8 Kategorisasi kebijakan integrasi Thailand dan dampaknya di Patani

Lampiran 9 Foto Gajah di Museum Gajah

Lampiran 10 Struktur Thai-Islam dalam birokrasi sosio-agama Thailand

Lampiran11 Kronologi sejarah Thailand

Lampiran12 Struktur Patani di bawah Thai

Lampiran 13 Foto Raja Abdul Kadir Kamaruddin

Lampiran 14 Draft Undang-Undang Ratthaniyom

Lampiran15 Silsilah Keluarga Raja Abdul Kadir Kamaruddin BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam di Asia Tenggara paling tidak memiliki sejarah tujuh abad.1 Selama itu pula Islam tumbuh di wilayah ini dipengaruhi oleh lingkungan baik secara budaya dan tradisi sosial masyarakat Asia Tenggara. Bahkan Islam merupakan sebuah kekuatan baik secara sosio-politik maupun sosio-ekonomi yang patut diperhitungkan. Meski Islam di Asia Tenggara secara geografis berada di periferi jantung Islam di Timur Tengah, namun komitmen masyarakat Muslim Asia

Tenggara terhadap Islam baik secara spiritual, psikologi dan intelektual sangat dinamis, represif, dan bersikap terbuka.

Patani (dalam ejaan Thailand ditulis Pattani), dalam skripsi ini penulis menggunakan kata Patani)2 pernah menjadi Kerajaan Islam yang mencapai puncak kejayaan selama hampir 3 abad di Semenanjung Malaya dan berhasil menyaingi Kerajaan Siam (Thailand) yang memiliki pengaruh besar dalam peradaban dan kebudayaan di beberapa wilayah Indocina. Kerajaan Sukhotai bersama Kerajaan Ayuthia antara tahun 1283 dan 1287 berhasil mengalahkan orang-orang Khmer dari Kamboja, orang-orang Annam dari Vietnam, Arakan, di

Burma serta Laos. Di bawah pemerintahan Raja Khamheng “Raja si pemberani”

1 Taufik Abdullah dan Sharon Siddique, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES, 1988, hal.1 2 Penulis menyebutnya Patani karena ejaan tersebut masuk dalam konteks sejarah awal dan kepercayaan Melayu-Muslim Patani, nama tersebut juga merujuk kepada nama Kerajaan Melayu Islam Patani. Kini nama Patani telah diubah ke dalam ejaan Thailand dengan nama Pattani (memakai dobel ‘t’), dan merupakan nama sebuah provinsi di Thailand Selatan. Pembahasan ini lebih lanjut akan diterangkan dalam BAB II. 2

tahun 1283-1317, yang menggantikan ayahnya bernama Sri Indraditya sebagai raja Sukhothai, berhasil meluaskan wilayah kekuasaannya ke Lembah Menam dan

Semenanjung Malaya. Dalam kurun waktu tersebut Sukhotai disebut pangkal kebudayaan Siam.3

Sejak 1786 Patani merupakan kerajaan yang merdeka dan berdaulat.

Patani pada masa raja-raja perempuan, muncul menjadi pusat perniagaan Melayu yang kuat menyaingi Siam. Letak geografis dan peranan pelabuhan yang amat strategis menjadikannya pusat perdagangan bagi para pedagang dari Timur dan

Barat. Selain itu, kekuatan politik serta kemapanan ekonomi yang dicapai oleh

Patani menjadikannya sebagai negara kerajaan terkuat yang disegani oleh negara kerajaan yang ada di Semenanjung Malaya.

Kekacauan politik di tubuh kerajaan Patani semakin menyeruak, manakala pemerintahan Raja Kuning berakhir dan tidak ada yang mampu melanjutkan kejayaan yang dicapai Patani. Dalam Hikayat Patani, raja-raja pengganti setelah

Raja Kuning saling berebut kekuasaan, Raja sering kali dijadikan sebagai boneka ketimbang sebagai seorang yang berwibawa mengatur sistem pemerintahannya.4

Selain itu, akibat penyerbuan yang dilakukan oleh Siam, Kerajaan Patani lambat laun mengalami keguncangan, strategi politik yang tidak kuat menjadikan kerajaan tersebut dengan mudah dapat dikalahkan oleh Siam. Sebagai bentuk kekuasaan Siam atas Patani, maka setiap dua setengah tahun sekali kerajaan- kerajaan Melayu harus mengirimkan upeti berupa Bunga Mas (semacam upeti

3 D.,G.,E., Hall, Sejarah Asia Tenggara, Surabaya : Usaha Nasional, tanpa tahun, hal.153-154 4 Nik Anuar Nik Mahmud, Sejarah Perjuangan Melayu Patani 1785-1954, Bangi : Jabatan Sejarah Universitas Kebangsaan Malaysia, tanpa tahun, hal.4

3

berbentuk pohon yang terbuat dari emas dan perak)5 dan menyerahkan orang atau tenaga manusia dan uang sebagai tanda kerajaan-kerajaan Melayu di bawah penguasaan Siam.6 Namun Patani tetap memiliki kebijakan otonomi dalam mengatur kebijakan politik, ekonomi dan sosial-budaya, bukan bagian integral dari negara Thailand.

Ketika orang-orang Eropa datang ke wilayah Asia Tenggara abad 16 M, tradisi pengiriman upeti Bunga Mas tersebut dipandang oleh orang-orang Eropa sebagai tradisi yang tidak sesuai dengan hukum dan kebiasaan orang-orang

Eropa.7 Pengukuhan Portugis sebagai kekuatan Eropa pertama yang memasuki

Timur dengan semangat missionaris, yang ditandai dengan penaklukan Malaka oleh Portugis tahun 1511 M. Namun kemunculan pasukan Portugis selalu dapat dilawan oleh Muslim setempat, meskipun perlawanan mereka tidak dimotivasi oleh semangat keagamaan.8 Demikian juga penjajahan Spanyol di Filipina.

Kolonialisme Eropa pada abad 19 M semakin kukuh, kala mereka berupaya untuk melakukan batas-batas artifisial dengan membagi wilayah jajahannya di Asia Tenggara, dan telah menghancurkan politik tradisional Asia

Tenggara. Implikasinya seluruh kerajaan tradisional di Asia Tenggara—baik yang

5 D.G.E.Hall, Sejarah Asia Tenggara, Surabaya : Usaha Nasional, tanpa tahun, hal.32-33, lihat juga literature dalam bahasa Melayu Haji Abdur Rahman Dawud, Sejarah Negara Pattani Darussalam terbitan Pattani, hal.,56. Beberapa sumber mengatakan hal yang berbeda mengenai jangka waktu tiap pengiriman upeti bunga mas, lihat dalam jurnal karangan Yunariono Bastian, Paradigma, Jurnal Hubungan Internasional FISIP UPN “Veteran” Yogyakarta, Volume 7, Juni 2003. 6 D.G.E., Hall, Sejarah Asia Tenggara, Surabaya : Usaha Nasional, tanpa tahun, hal.479. Lihat juga di buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, hal.,32-33 7 Ibid., hal.,479 8 Saiful Mujani, dalam Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta : LP3ES, 1993, hal.30

4

bercorak Islam, Hindu atau Budha—sudah kehilangan kemerdekaan politiknya, kecuali Thailand (Muangthai).9

Rainer Baubock menggambarkan tiga jenis perbatasan komunitas politik dari masyarakat modern, yaitu sebagai wilayah perbatasan negara, batas-batas

Negara yang merupakan anggota sebuah komunitas politik yang ditentukan oleh status kewarganegaraan dan hak warga negara, dan batas-batas komunitas budaya yang memeberikan seperangkat hak khusus untuk kelompok budaya minoritas.10

Dengan demikian, setiap penjajahan selalu diikuti dengan kebijakan integrasi, baik integrasi teritorial, politik dan budaya untuk membangun politik integrasi yang ideal, terutama pada awal-awal abad 19 dan 20 M.

Contoh kasus, Belanda menerapkan kebijakan integrasi atas kepulauan

Nusantara untuk mengkonsolidasikan seluruh wilayah Nusantara berada dalam cengkramannya, pada awal abad 19 M, dengan melakukan penataan kembali wilayah-wilayah Nusantara ke dalam bentuk provinsi dan menciptakan sistem dewan pemerintah daerah (system of local government councils) dengan aturan lokal, yang kebanyakan ditempati oleh orang Eropa tetapi juga mencakup beberapa anggota lokal dari kelas bangsawan. Tahun 1918 sistem ini diperluas ke dalam pembentukan tingkat nasional dengan bentuk ‘Dewan Perwakilan Rakyat’ sebagai penertiban administrasi wilayah kekuasaan Belanda.11 Sementara Inggris berusaha mengintegrasikan wilayah jajahannya di Semenanjung Malaya dengan

9 Ibid. hal.31 10 Cahyo Pamungkas, “The State Policies Towards Southern Border Provinces”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Jakarta: Pusat Penelitian Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI), 2004, hal.61 11 Howard M. Federspiel, Sultans, shamans, and saints : Islam and Muslims in Southeast Asia, USA : University of Hawai’i Press, 2007, hal.97-98

5

membentuk sistem Negara Federasi (Federated States), dan menempatkan kebijakan ini ke dalam sistem pendidikan, bahwa setiap warga negara yang berada di wilayah kekuasaannya harus menerima sistem pendidikan Eropa dan bahasa

Inggris sebagai bahasa utama.12

Selain bangsa Eropa, Thailand adalah negara di Asia Tenggara yang mencoba membuat suatu komunitas politik melalui penjajahan. Konsep integrasi sebagai suatu pembentukan negara dan komunitas politik yang dilakukan bangsa

Eropa di Asia Tenggara, mendorong Siam (Thailand) pada masa Chulalongkorn

(Rama V 1868-1910) melakukan serangkaian pembentukan negara tahun 190213 melalui pembaruan administratif terhadap wilayah-wilayah sebelah selatan atau

Patani. Selain itu, raja Chulalongkorn melakukan beberapa pertimbangan diplomasi dengan Inggris—yang pada saat itu menduduki negeri-negeri di

Semenanjung Malaya—yang berujung pada ditetapkannya Perjanjian Bangkok yang dilegitimasi oleh Kerajaan Siam-Inggris pada 10 Maret 1909 untuk meratifikasi batas antara negeri Thai dengan Malaya Inggris dan menetapkan wilayah Patani, Narathiwat, Songkla, Yala dan Satun menjadi bagian wilayah

Siam, Thailand, sekaligus memisahkan Patani dari wilayah Semenanjung

Malaya,14 sedangkan , , Perlis dan Terengganu dimasukkan

Inggris menjadi wilayah Malaysia.15 Semua wilayah Malaya yang dipecah-pecah

12 Ibid. hal.109 13 Surin Pitsuwan, Islam di Muangthai Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani, Jakarta : LP3ES, 1989, hal.22 14 Wan Kamal Mujani, Minoriti Muslim:Cabaran dan Harapan Menjelang Abad ke-21, Bangi : Universiti Kebangsaan Malaysia, 2002, hal.11 15 Artikel dengan judul “Minoritas Muslim, Konflik dan Rekonsiliasi di Thailand Selatan” oleh Badrus Sholeh, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Budi Luhur, tanpa tahun.

6

tersebut memiliki tradisi dan budaya Melayu dan agamanya Islam. Upaya ini sekaligus menjadi tonggak sejarah runtuhnya kedaulatan Patani. Patani bukan lagi sekedar negara jajahan bagi Siam tetapi menjadi bagian integral dalam Kerajaan

Thai, sekaligus menghapuskan sistem Kesultanan Melayu.

Nampaknya, pemerintah Thailand berusaha mengadakan politik Siamisasi terhadap seluruh masyarakat Patani, artinya seluruh rakyat yang berada dalam kekuasaan wilayah Thailand diintegrasikan ke dalam satu kesatuan bangsa yang disebut bangsa Siam atau Thai. Reaksi atas dicetuskannya gagasan integrasi dalam rangka modernisasi negara bangsa tersebut menimbulkan persoalan entitas budaya dan politik antara negara Thailand dengan Melayu-Muslim Patani bahkan berujung pada persoalan agama, dan menjadikan Siam (Thailand) menjadi salah satu negara yang majemuk. Sehingga menggelitik penulis untuk menganalisis mengapa pemerintah Thailand menetapkan kebijakan integrasi terhadap wilayah

Patani sehingga menjadi bagian integral Thailand? dan sejauh mana tahapan- tahapan pemerintah Thailand dalam mengintegrasikan Melayu-Muslim Patani ke dalam Siam?

Menanggapi kebijakan integrasi pemerintah Thailand terhadap Patani, sebagaimana, menurut David Brown, hal ini sebagai upaya untuk mono-ethnic character of the State – etnik tunggal yang menjadi ciri khas dari negara

Thailand.16

Selain itu, berbagai pola integrasi yang dilakukan bangsa Eropa, kemudian disadari raja Chulalongkorn sebagai salah satu gagasan yang tepat dalam

16 David Brown, From Peripheril Communities to Ethnic Nations, Pacific Affairs 62, 1988, hal.51-71

7

mempertahankan daerah jajahannya dan urusan dalam negerinya. Fenomena ini disadari ketika raja Chulalongkorn berkunjung ke wilayah Jawa dan Sumatera yang diduduki oleh Belanda, juga Singapura dan Malaysia yang diduduki oleh

Inggris, dan sekaligus mengilhami raja Chulalongkorn menciptakan konsep integrasi dengan istilah Thesaphiban dan Monthon (satuan administratif daerah).17

Dimulai pada tahun 1902, pemerintah Thailand telah menetapkan integrasi wilayah Patani ke dalam wilayah Thailand. Pada tahun-tahun awal inilah kegiatan oposisi yang dipimpin oleh keluarga kerajaan digulingkan dan para pemimpin

Islam karismatik kepemimpinannya semakin jatuh. Sebagai loyalitas atas kehilangan posisi agama Islam dan mereka sebagai Muslim diperkuat dalam meningkatkan respons non- 'Thaicization' (Thaisisasi) atau anti-Siam.18 Reaksi kolektif pun muncul dari Muslim-Melayu Patani ini sehingga memicu penindasan-penindasan yang lebih keras dari pihak pemerintah Thai. Hal yang paling signifikan pada periode ini adalah setelah secara final Patani dimasukkan ke dalam Kerajaan Thai adanya upaya mempertahankan identitas Melayu yang tak bisa dipisahkan. Kemudian muncul respons dari kalangan mantan para raja

Daerah Patani Raya sekaligus memimpin perlawanan terhadap pemerintah

Thailand pada tahun 1922 yang dikenal dengan peristiwa Namsai. Hingga berakhirnya ciri kerajaan monarki absolut Thailand pada tahun 1932, berakhir pula konsep Monthon yang disambut orang-orang Melayu-Patani sebagai harapan baru bagi otonomi budaya mereka. Skripsi ini akan mengkaji, sejauh mana

17 Surin Pitsuwan, Islam di Muangthai Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani, Jakarta : LP3ES, 1989 , hal.48 18 John Futson, “Thailand”, dalam Voices of Islam in Southeast Asia: A Contemporary Sourcebook, Ed., Greg Fealy dan Virginia Matheson Hooker, Institute of Southeast Asian Studies, 2006, hal.78

8

tahapan-tahapan ide integrasi yang dilakukan pemerintah Thailand terhadap wilayah Patani antara tahun 1902-1932 ini.

Berdasarkan pemikiran tersebut, maka penulis memberi judul skripsi ini dengan ”PROSES INTEGRASI PATANI KE DALAM TERITORI

THAILAND 1902-1932”.

B. Kerangka Teori

Integrasi dalam bahasa Latin, yaitu interger yang berarti keseluruhan.

Dalam integrasi berarti terdapat bagian-bagian, unsur-unsur, faktor-faktor atau perincian-perincian yang telah digabungkan ke dalam bentuk sedemikian intimnya sehingga menimbulkan suatu keseluruhan yang sempurna.19 Dengan demikian, integrasi merupakan suatu proses penggabungan dan pembauran dengan menghilangkan jati diri yang khas.

Pengertian integrasi juga dikaitkan dengan terminologi integrasi nasional politik, dan sosial. Namun seiring perkembangannya integrasi politik dan sosial merupakan salah satu dimensi dari integrasi nasional. Pengertian integrasi nasional menurut Rupert Emerson dan Kh. Silvert adalah sama arti dengan integrasi teritorial, sedangkan bagi Weiner, integrasi nasional tidak hanya meliputi masalah teritorial dan perbedaan elite-massa saja, melainkan lebih luas lagi. Hal ini dipertegas dengan istilah ‘nasional’ yang merujuk pada makna‘nation’ yaitu bangsa.20 Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa integrasi memiliki beberapa aspek, seperti aspek horizontal (teritorial) dan aspek vertikal

19 Saafrudin Bahar, Integrasi Nasional, Teori, Masalah dan Strategi, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1996, hal.97 20 Ibid., hal.4

9

(elite-massa). Kedua aspek tersebut dapat dikaji dari segi tujuan integrasi, dari segi konsensus atau dari segi budaya politik. Juga sifat integrasi dianggap sebagai suatu proses bukan sebagai suatu yang konstan. Agama atau ideologi adalah salah satu aspek kuat dan menentukan dari proses integrasi tersebut.21

Menurut Talcott Parsons proses integrasi memiliki tahapan-tahapan atau fase-fase yang sangat fundamental untuk mempertahankan keberlangsungan persatuan pada keseluruhan sistem sosial,22 dan untuk menentukan langkah- langkah yang bisa diramalkan sebagai suatu tindakan sosial bilamana muncul ketegangan yang merupakan ketidaksesuaian antara suatu sistem dengan sistem yang diinginkan. Tahapan mencakup paradigma adaptation, goal attainment, integration dan latency (latent-pattern-maintenance). Penyesuaian (adaptation) yang bersandang pada ekonomi merangsang untuk mencapai suatu tujuan- pencapaian suatu negara disebut (goal attainment). Selama tahap pencapaian tujuan tersebut, diperlukan proses penyesuaian apabila terjadi kondisi genting agar ketegangan yang terjadi dapat diatasi, maka dengan penyatuan (integration) sistem budaya dan nilai-nilai umum yang berkaitan dengan hukum dan kontrol sosial yang diinginkan dapat terjalin secara solidaritas, menyeluruh, dan kuat.

Tahapan-tahapan ini diikuti oleh tahap pemeliharaan pola sistem yang bersifat laten (latent pattern maintenance).23

Segala permasalahan perlu didekati secara historis. Karena dengan pendekatan sejarah diharapkan dapat menghasilkan sebuah penjelasan yang mampu mengungkap gejala-gejala yang relevan dengan waktu dan tempat

21 Ibid. hal.97 22 Talcott Parsons, The Social System, Francis: Routledge, 2005, hal.27 23 Ibid,.hal.xviii

10

terjadinya proses integrasi Patani ke dalam teritori Thailand,24 dan menggunakan teori pendekatan-fungsionalisme-strukturalis atau integration approach

(pendekatan integrasi) Talcott Parsons. Pendekatan ini memandang masyarakat adalah suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi kepada satu bentuk ekuilibrium (lingkaran persamaan yang lahir dari masyarakat tersebut).

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Pembahasan mengenai situasi budaya, agama, dan politik Patani sebelum terintegrasikan ke dalam wilayah Thailand diharapkan menjadi gambaran awal memahami faktor terjadinya integrasi tersebut. Adapun supaya pembahasan skripsi ini tidak mengalami pelebaran dan tetap fokus terhadap kajian awal, maka penulis membatasi pada permasalahan:

1. Tahapan-tahapan integrasi yang dimaksud dalam pembahasan skripsi ini,

yakni bagaimana empat tahapan-tahapan integrasi secara teritorial

(wilayah), pada bidang-bidang politik, sosial-budaya dan agama yang

diupayakan pemerintah Thailand terhadap Patani

2. Apa yang melatarbelakangi integrasi yang diberlakukan pemerintah

Thailand terhadap Patani dimulai pada periode 1902 hingga 1932

3. Bagaimana respons yang ditimbulkan dari proses integrasi tersebut?

Dengan perumusan masalah sebagai berikut:

24 Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999, hal.90

11

1. Bagaimana situasi sosial Patani sebelum terintegrasi ke dalam wilayah

Thailand, baik secara agama, politik, dan budaya?

2. Mengapa pemerintah Thailand yang mayoritas etnis Siam dan beragama

Budha menetapkan kebijakan integrasi terhadap Patani, sedangkan

wilayah Patani didominasi oleh etnis Melayu dan beragama Islam?

3. Bagaimana tahapan-tahapan integrasi yang diupayakan oleh pemerintah

Thailand terhadap Patani?

4. Bagaimana respons yang ditimbulkan dari proses integrasi tersebut?

D. Metodologi Penelitian

Penelitian skripsi ini menggunakan metode deskriptif analitis. Metode ini bermaksud untuk mendeskripsikan dan menganalisa peristiwa-peristiwa masa lampau secara historis.25 Metode historis memerlukan empat langkah dalam penulisan dan pengolahan data, yaitu :

Heuristik : yaitu pencarian dan pengumpulan sumber data baik dengan sumber primer dan sumber sekunder. Pengumpulan sumber data penulisan skripsi ini menggunakan sumber-sumber sekunder dengan telaah library research

(penggunaan bahan-bahan dokumen tertulis seperti buku-buku, majalah, catatan- catatan, dan kisah-kisah sejarah lainnya).26 Dalam melengkapi sumber-sumber sekunder, maka penulis akan menambahkan sumber primer berupa hasil

25 Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999, hal.54 26 Ibid., hal.,55-56. Lihat juga Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, Bumi Aksara, 2004, hal.20

12

wawancara dengan beberapa informan yang berasal dari Patani serta beberapa peneliti mengenai Patani dan Thailand.

Kritik : setelah sumber-sumber data tersebut terkumpul, penulis akan mengklasifikasikan keotentikan dan kredibilitas sebuah sumber data. Otentik dalam arti memilah mana sumber asli dan benar, sedangkan kredibilitas dalam arti penyelidikan kritis terhadap sumber-sumber yang ada27 agar tidak terjadi kekeliruan dan kesalahan informasi mengenai Patani dan Thailand.

Interpretasi : Analisis terhadap sumber-sumber data yang telah diteliti kredibilitas dan keotentikannya, dengan menggunakan pendekatan ilmu sosial.

Kemudian penulis akan menemukan korelasi dan solusi baru mengenai tema yang akan dibahas.

Historiografi : tahap terakhir dalam prosedur penelitian sejarah, merupakan cara penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil penelitian dengan memperhatikan aspek kronologi sejarah. Yakni dimulai dengan bagaimana kondisi sosial Patani masa Kerajaan Siam hingga terjadinya proses integrasi

Patani ke dalam teritori Thailand.

E. Sistematika Penulisan

Hasil penelitian skripsi ini disajikan ke dalam lima bab :

Bab I menyajikan pembahasan pokok mengenai latar belakang masalah, kerangka teori, pembatasan dan perumusan masalah, metode penelitian dan sistematika penulisan.

27 Louis Gottschalk, Understanding History, penerjemah; Nugroho Notosusanto, Mengerti Sejarah, Jakarta : UI-Press, 1985, hal.80 dan 95

13

Bab II memuat pembahasan gambaran umum mengenai situasi Patani dalam bidang agama, sosial-budaya, politik, dan ekonomi pada masa sebelum terjadinya integrasi. Masa ini juga disebut masa transisi Patani ke dalam wilayah jajahan Kerajaan Siam (Thailand), setelah berakhirnya kepemimpinan Raja

Kuning.

Bab III memuat pembahasan mengenai konsep dan kebijakan integrasi politik pemerintah Thailand (Siam), andangan Melayu-Muslim Patani terhadap integrasi, konsep integrasi perspektif PBB, dan pengertian integrasi dan konsep integrasi menurut lembaga internasional.

Bab IV memuat pembahasan tentang analisis integrasi Thailand terhadap

Patani tahun 1902-1932, mencakup pencetus dan faktor integrasi bagi Patani, tahapan integrasi Patani ke dalam wilayah Thailand Tahun 1902 – 1932, dan respons terhadap integrasi Patani, mencakup respons pemerintah Thailand, respons Melayu-Muslim Patani dan respons masyarakat intelektual.

Bab V menyajikan pembahasan hasil akhir analisa dalam kesimpulan, saran, dan penutup.

14

BAB II

PATANI DALAM KONTEKS HISTORIS

A. Agama dan Masyarakat Melayu-Muslim Patani

Patani kini menjadi salah satu dari lima provinsi di Thailand Selatan disebut Pattani, empat provinsi lainnya adalah Yala, Narathiwat, Satun (Setul) dan

Songhkla. Terdapat sekitar dua juta orang, membentuk hampir 4% penduduk

Thailand (65 juta pada tahun 2001).28 Mayoritas berasal dari Melayu asli, beragama Islam, dan mewakili empat per lima warga Muslim di Thailand. Mereka adalah minoritas terbesar kedua setelah Cina, dan menyebut diri mereka sebagai

"Jawi".29

Sebenarnya, jumlah penduduk Muslim di Thailand masih diperdebatkan, menurut Omar Farouk, jumlah Muslim berdasar perhitungan akademik dan media lebih banyak 2 kali dari perkiraan resminya. Bahkan menurut Chaiwat Satha-

Anand banyak laporan media kontemporer mencatat populasi Muslim di Thailand diatas 10 persen. Dengan argumentasi berdasar jumlah masjid yang ada di

Thailand, terdapat sekitar 3.113 masjid dengan perkiraan 183 rumah tangga per masjid, masing-masing dengan delapan anggota, maka ada sejumlah 4,5 juta muslim atau 7,3 persen dari total populasi.30 Bahkan Gilquin menempatkan

28 Pierre Le Roux, To Be or Not to Be...: The Cultural Identity of the Jawi (Thailand), Asian Folklore Studies, Volume 57, 1998, hal.224 29 Ibid.,hal.223-255 30 John Futson, “Thailand”, dalam Voices of Islam in Southeast Asia: A Contemporary Sourcebook, Ed., Greg Fealy dan Virginia Matheson Hooker, Institute of Southeast Asian Studies, 2006, hal.77

15

jumlah penduduk Muslim di Thailand Selatan melebihi dari perkiraan Omar

Farouk. (lihat tabel 1)

Tabel 1 Populasi Muslim di Thailand Selatan

Provinsi Jumlah Populasi Muslim

Narathiwat 1,135,050

Pattani 1,230,750

Satun 514,500

Songkhla 1,036,000

Yala 1,088,500

Total 5,004,800

Sumber : Michel Gilquin (2005) The Muslim of Thailand

Jika dibandingkan sensus dari tahun ke tahun penduduk Muslim di

Thailand terus meningkat, berdasarkan sensus tahun 2000 menempatkan jumlah

Muslim sebanyak 2.815.900, atau 4,6 persen dari total populasi 60.617.200, naik dari 4,1 persen pada tahun 1990. Di empat provinsi selatan sekitar 70 persen dari penduduk Melayu-Muslim, sementara Songkhla hanya 25 persen. Sensus menempatkan total Melayu-Muslim di lima provinsi selatan, sebanyak 1.769.818, dan 2.345.800 di 4 provinsi selatan secara keseluruhan.31 Jumlah Muslim lainnya terdapat di Bangkok sebanyak 274.100 dan wilayah tengah sebanyak 156.400

(sebagian besar dari mereka tinggal di dalam atau di sekitar bekas ibukota

Ayuthaya), di antara mereka berasal dari Thailand dan negara di Asia Tengah,

Asia Selatan, dan Timur Tengah atau pindah tempat tinggal secara paksa dari

31 Ibid. hal.77-78

16

selatan setelah perang. Sejak akhir tahun 1970-an akibat konflik intern dan peperangan banyak Muslim dari Timur Tengah telah bermigrasi ke Bangkok, sampai-sampai satu daerah dikenal sebagai kuarter Arab, dan kadang-kadang disebut sebagai mini-Beirut Timur. Sensus juga melaporkan kantong-kantong yang terisolasi di seluruh daratan tengah, ada sekitar 26.000 Muslim di utara - sebagian besar etnis Cina yang tinggal di sekitar Chiang Mai - meskipun laporan media menunjukkan angka jauh lebih tinggi. 32

Patani pada periode pertama meliputi wilayah Kesultanan Negeri Patani

Besar (The Great Patani Negeri) yang mencakup daerah Narathiwat (Teluban),

Yala (Jalor), dan beberapa daerah Senggora (Songkhla, bagian Sebayor dan

Tibor), bahkan Kelantan, daerah Kuala Trengganu dan Pethalung (Petaling).

Patani merupakan wilayah yang memiliki sejarah panjang dalam perdagangan di

Semenanjung Malaya dan ideologi Islam yang memiliki identitas Melayu. Asal usul Patani diyakini berasal dari sebuah Kerajaan Hindu-Budha yang bernama

Langkasuka33 dalam bahasa Cina “lang-ya-shiu” terletak di pantai timur

32 Ibid. hal.78 33 Menurut beberapa catatan ada banyak versi nama : Lang-Hsi-Chia, Langkasuka bahkan muncul dalam sebuah fabel pertanian di Kedah, Alang-Kah-Suka, sebuah cerita tentang Putri Sadong, perempuan yang mengalahkan beberapa makhluk surgawi dan kambing liar di bukit kapur, dia menolak semua pelamar. Lihat Paulus Rudolf Yuniarto, “Integration of Pattani Malays: a Geopolitical Change Perspective”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Pusat Penelitian Sumberdaya Regional (Indonesia), 2004, hal.36 Sumber-sumber yang menceritakan Langkasuka terdapat dalam catatan Cina zaman Dinasti Liang, Langya hsiu, Inskripsi Rajendra Chola (Tajore, India) yang tertulis dalam teks Jawa, bernama Illangasokam (1030). Dalam catatan tersebut diceritakan ketika Rajendra Chola (Raja India) sedang melakukan ekspedisi ke Semenanjung Malaya, dan Langkasuka adalah salah satu sasaran dari ekspedisi tersebut dalam rangka penaklukan dan penguasaan bidang perdagangan mereka. Pun dalam catatan Nagarakartagama tahun 1365 oleh Prapanca, Langkasuka berada dibawah kekuasaan dan Sriwijaya. Sumber-sumber lain yang menceritakan Sejarah Langkasuka terdapat dalam teks Arab berjudul Kitab AlMinhaj al-fakhir fi-ilmi al-bahr alzakhir, Hikayat Merong Mahawangsa, Catatan Tradisi Kedah ‘Alangkah suka’, dan Hikayat Pasai (1370).

17

Semenanjung Malaya antara Senggora (Songkhla) dan Kelantan dengan ibu kota di daerah Yarang, dan dikenal sebelum abad 12 M, teori ini didasarkan pada catatan Cina.34 Menurut Welch dan McNeill, Langkasuka adalah nama lain dari

“Patani” merupakan kesultanan Melayu Muslim tertua di Thailand. Keyakinan

Welch dan McNeill diperkuat dengan penggalian arkeologi yang dilakukan di daerah “Komplek Yarang”, yaitu provinsi ‘Pattani’ sekarang. Ditemukan sekitar tiga situs penggalian dan tiga puluh gundukan kuburan yang meliputi luas permukaan 12 kilometer, yang terletak sekitar 15 kilometer dari kota ‘Pattani’ sekarang, diperkiraan tahun 1050-1300 M,35 namun sejarah Langkasuka dalam catatan sejarah Thailand masih kabur. Melalui catatan Cina, dipastikan Kerajaan

Langkasuka yang bercorak agama Hindu-Budha telah berpindah agama menjadi agama Islam,36 kemudian berganti nama menjadi Kerajaan Patani. Sekitar abad ke

15 Islam menjadi agama resmi Kerajaan Patani.

(Adi Haji Taha, Dimanakah Langkasuka?, Wacana Warisan Kedah Darul aman Perpustakaan Awam Kedah, Alor Setar, Kedah, 11-12 Maret 2000). 34 Paulus Rudolf Yuniarto, “Integration of Pattani Malays: a Geopolitical Change Perspective”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Pusat Penelitian Sumberdaya Regional (Indonesia), 2004, hal.35. 35 Pierre Le Roux, “To Be or Not to Be...: The Cultural Identity of the Jawi (Thailand)”, Asian Folklore Studies, Volume 57, 1998, hal.224-225. 36 Sesungguhnya banyak sekali pendapat mengenai kapan Islam mulai singgah dan tersebar ajarannya di wilayah ini, beberapa diantaranya bahkan tidak bisa memastikan abad berapa dan tahun berapa Langksuka berpindah menjadi Islam. Hikayat Patani mencatat bahwa Islam sebenarnya telah ada di Patani pada abad 10, namun Patani benar-benar menjadi Islam ketika seorang Raja Pasai bernama Syeikh Said berhasil mengislamkan Raja Langkasuka bernama Paya tu Nakpa. Hubungan pertama, karena Raja Paya terserang sakit yang tak bisa diobati siapapun, seketika Syeikh Said mengobati penyakit Raja Paya kemudian sembuh. Baca A. Teeuw dan D. K. Wyatt, Hikayat Patani, Koninklijk 5 The Hague : Martinus Nijhoff : Koninklijk Instituut Voor Taal, Land-en Volkenkunde, 1970, hal.71-72. Lihat juga Ibrahim Shukri, Sejarah kerajaan Melayu Patani, Pasir Puteh, hal.26. Namun kedua sumber tersebut tidak mencatumkan angka tahun. Sedangkan M. Ladd Thomas mengatakan kemungkinan masyarakat di wilayah ini masuk Islam menjelang akhir abad ke 13 M, lihat Political Violence in the Muslim Provinces of Southern Thailand, ISEAS No. 28, April 1975, hal. 4 Merujuk keterangan W. K. Che Man diperkirakan Langkasuka menerima Islam pada tahun 1457 yakni abad 15, lihat W. K. Che Man, Islam in Contemporary dalam Akademika Vol.34 Januari 1989, hal. 114. Pernyataan seorang ahli matematika Eropa, Emanuel Gidinho Eridia,

18

Agama Islam telah memperkukuh identitas budaya dan agama masyarakat

Patani sehingga menjadi kesatuan sistem tidak hanya dalam aspek identitas agama melainkan dalam berbagai aspek kehidupan, misalnya dalam aspek politik, sosial- budaya, dan ekonomi. Hal ini terbukti dengan perpindahan Kerajaan Langkasuka menjadi sebuah Kerajaan Melayu Islam (Kerajaan Patani) dengan sistem politik kesultanan dan menjadikan agama Islam sebagai agama resmi di Patani pada abad

15 M dan menjadi agama mayoritas yang dianut masyarakat di Patani. Demikian penjelasan Naquib al-Attas, mengatakan bahwa konsep Islam dalam kebudayaan

Melayu melahirkan sebuah dinamisasi kehidupan baru tentang agama, bahasa, kesusasteraan, kesenian, dan kebudayaan.37

Kekuatan Islam di Asia Tenggara termasuk di Patani hingga menjadi salah satu ciri identitas dan kesatuan dalam satu sistem agama sangat historis dan wajar.

Terbukti ketika dimulainya penyebaran Islam yang lebih signifikan pada abad 16 dan kehadiran Portugis di Asia Tenggara, membawa kesan antara Islam dan

Kristen untuk tersebar di tiap daerah. Sehingga menuntut Islam untuk bertindak melawan Portugis dengan membawa identitas agama, budaya dan kepentingan masyarakat adat.38 Pendapat ini, diperkuat oleh pendapat Amran Kasimin, bahwa kedatangan Islam pada abad ke 15 di wilayah Malaya, Asia Tenggara, merupakan peradaban ketiga di dunia yang memberikan pencerahan dan kejayaan, dan

mengindikasikan kesamaan masuknya Islam ke Pattani pada abad 15, menurutnya Islam telah diterima Patani sebelum Parameswara di Malaka menerima Islam tahun 1411 M, didasarkan pada batu nisan orang arab di dekat Kg. Teluk Cik Munah bertarikh 1028, lihat Haji Abdul Halim Bashah (Abhar), Raja Campa dan Dinasti Jembal dalam Patani Besar: Patani, Kelantan dan Terengganu, Kelantan: Pustaka Reka, 1994, hal.47 37 S.M. Naquib al-Attas, Konsep Islam dalam Kebudayaan Melayu, Al-Islam. Vol.9. tahun III, Ramadhan 1396 atau September 1976, hal.22-24 38 Howard Federspiel, Sultans, Shamans, and Saints: Islam and Muslims in Southeast Asia, United State of America: University of Hawai’i Press, 2007, hal.38

19

menjadi dominasi di wilayah ini.39 Abad 16 dan 17 M, Patani mampu menjadi

Kerajaan Islam yang dikenal sebagai pusat perdagangan di Semenanjung Malaya.

Namun sayang, perjalanan kerajaan kecil ini harus berhadapan dengan kerajaan di utara berbasis agama Budha, Kerajaan Siam (Thailand), dan berakhir dengan penaklukan Siam (Thailand) atas Patani.

Patani di bawah kekuasaan Siam mengalami banyak perubahan bagi kehidupan keberagamaan masyarakat Muslim Patani. Kepercayaan Muslim Patani periode Siam (Thailand) dibagi menjadi dua kelompok, yaitu satu segmen diintegrasikan ke dalam masyarakat umum dan bersahabat dengan negara.

Umumnya mereka adalah para imigran, sedangkan yang lainnya yang berada di selatan, sangat menentang negara dan cenderung radikal dan disebut Muslim lokal. Mayoritas Muslim lokal di Thailand menganut sekte Sunni dan madzhab

Syafi’i. Sedangkan Muslim imigran memiliki latar belakang sekterian yang berbeda, seperti Muslim Persia menganut sekte Syiah yang memiliki kapasitas berbeda dalam Kerajaan Thailand. Ada juga sekelompok kecil Muslim menganut sekte Syiah Imamiyah dan Bohras (Mustali Ismailiyah) yang merupakan subkelompok dalam Syiah.40 Syiah Imamiyah adalah golongan yang meyakini bahwa nabi Muhammad saw telah menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai imam pengganti, oleh karena itu, mereka tidak mengakui kepemimpinan Abu Bakar,

Umar dan Usman. Sementara golongan Mustali Ismailiyah adalah sub kelompok

39 Amran Kasimin, Religion and Social Change among the Indigenous People of the Malay Peninsula, Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka, 1991, hal.xi, dalam Hasan Madmarn, Conference on Religion and Society in the Modern World: Islam in Southeast Asia, Jakarta, 29-30 Mei 1985, hal.1 40 Imtiyaz Yusuf, “Ethnoreligious and Political Dimensions of the Southern Thailand Conflict”, dalam Islam and Politics Renewal and Resistance in the Muslim World, Editor; Amit Pandya dan Ellen Laipson, Washington: Henry L Stimon Center, 2009, hal.43-44.

20

dari golongan Imamiyah, mereka berkeyakinan sama bahwa imam pertama adalah

Ali bin Abi Thalib, kemudian imam pindah kepada putra Ja’far as-Sadiq, Ismail bin Ja’far as-Sadiq.41

Secara keseluruhan Muslim di Thailand terbentuk dalam tiga konfigurasi berdasarkan sejarah dan lokasi, yaitu:

1. Etnis Islam berbahasa Melayu yang berada di Narathiwat, ‘Pattani’ dan

Yala Selatan, terdiri sekitar 44% dari jumlah penduduk Muslim di

Thailand. Tipe kelompok inilah yang paling menentang pemerintah

2. Etnis Melayu yang terintegrasi namun masih menggunakan bahasa

Melayu, berada di provinsi Satun dan Krabi, Nakhon Si Thammarat,

Phangnga, Phuket dan Songkhla.

3. Muslim multietnis dan terintegrasi dengan budaya Thai, umumnya

kelompok ini terdiri atas para muallaf Thailand yang berpindah ke Islam

dan imgran Muslim berasal dari Bengali, Cham, Cina, India, Indonesia,

Malaysia, Pathan dan Persia, dan mereka yang konversi tinggal di

Bangkok dan Ayuthaya.

B. Identitas Budaya dan Masyarakat Melayu-Muslim Patani

Kata Patani berasal dari kata Arab Fathan atau Fathoni artinya cerdas.

Arti definisinya bahwa di tempat ini banyak lahir orang-orang cerdas. Sedangkan penyebutan Patani dengan dobel ‘t’ karena menganggap tempat ini dipimpin para

41 Ensiklopedi Islam Jilid 5, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1994, hal.8

21

alim ulama.42 Sedangkan bagi orang-orang Inggris Penyebutan Pattani berdasar pada ejaan Melayu 'Patani' merujuk pada Kerajaan Patani,43 sementara pemerintah

Thailand menyebutkan ejaan ‘Pattani’ dengan dobel ‘t’ didasarkan pada ejaan

Thailand pada tahun 1980an, menunjukan tindakan politik sebagai wujud kesadaran perbedaan ento-religius dan sebagai penghormatan bagi para mantan raja-raja Melayu di provinsi Yala, Narathiwat, dan Pattani. Istilah lain dalam ejaan

Thai, istilah Pattani hanya menandakan sebuah provinsi di Thailand Selatan setelah tahun 1909.44 Dengan demikian, meskipun masyarakat yang ada di provinsi Yala, Narathiwat, Satun, dan Songkhla mereka tetap disebut dengan sebutan ‘Pattani’. Bahasa yang digunakan oleh mayoritas kelompok ini adalah bahasa Melayu atau mereka lebih suka disebut Yawi Speaker.

42 Artikel Sri Nuryanti, In Search of Identity of Pattani, hal.12-13. Dipresentasikan di Indonesian API Fellow Seminar di Widya Graha LIPI, Lantai 5, 26 Maret 2003. 43 Versi ini berdasarkan catatan Hikayat Patani dan Sejarah Kerajaan Melayu, terdapat dua versi. Pertama, nama Patani berasal dari “pantai ini”. Cerita ini disandarkan pada kisah seorang putera raja yang terdampar di “pantai ini”, secara kebetulan masyarakat di negeri tersebut sedang mencari seorang pengganti raja, maka diangkatlah putera raja tersebut menjadi raja dengan seekor gajah putih sebagai mediator pemilihan raja tersebut. Menurut versi bahari apabila belalai gajah menyentuh seseorang maka dialah yang diangkat menjadi seorang raja. Gajah itu memilih putera raja yang terdampar tadi, dan disebut “raja di pantai ini”. Nama ini lambat laun berubah menjadi “raja pata ni” dan kemudian “pata ni” dan kemudian patani. Kedua, versi ini berasal dari kata yang sama yaitu “pantai ini”. Perbedaannya terletak dalam kisahnya. Serombongan raja berburu seekor rusa, ketika dikejar rusa tersebut berlari menuju sebuah pantai bernama “pantai ini”. Rusa itu tiba-tiba menghilang tepat di pantai tersebut. Berdasarkan kisah ini dikenal dengan nama “pantai ini” (maksudnya: hilang di pantai ini). Lihat Ahmad Fathy al-Fatani, Pengantar Sejarah Patani, Alor Setar: Pustaka Darussalam, 1994, hal.12- 13. Lihat juga Pierre Le Roux, “To Be or Not to Be...: The Cultural Identity of the Jawi (Thailand)”, Asian Folklore Studies, Volume 57, 1998, hal.229-230. 44 Chaiwat Satha-Anand, “Pattani in the 1980s: Academic Literature and Political Stories,” in Sojourn, Vol. 7, No. 1 (February 1992), hal.1-38, dalam Thanet Aphornsuvan, History and Politics of The Muslims Thailand, Bangkok: Thammasat University, 2003, hal.3. Lihat juga S. P. Harish, Changing Conflict Identities: The Case of the Southern Thailand Discord, No. 107 (February 2006), Singapore, Institute of Defence and Strategic Studies, hal.1. Lihat juga catatan kaki dalam Pierre Le Roux, “To Be or Not to Be...: The Cultural Identity of the Jawi (Thailand)”, Asian Folklore Studies, Volume 57, 1998, hal.250, secara historis ditulis dengan satu huruf ‘t’ merujuk kepada kesultanan Patani atau Patani Besar, Le Roux sendiri menggunakan dobel ‘t’ karena saat ini Pattani termasuk provinsi di Thailand Selatan

22

Karakteristik masyarakat Patani dibagi menjadi dua kategori berdasarkan kelas sosial dasar, yaitu pengatur dan yang diatur. Stratifikasi sosial Patani ditentukan status mereka secara relatif, misalnya, sultan berada di posisi puncak dalam kelas sosial masyarakat Patani, diikuti oleh para bangsawan keturunan kerajaan, umumnya mereka diberi gelar Teuku atau Tuan, Nik, dan Wan. Jika perempuan bangsawan menikah dengan laki-laki non-bangsawan gelar tersebut tidak berlaku, namun apabila dia melahirkan anak laki-laki gelar tersebut jatuh kepada anak laki-laki tersebut. Selanjutnya, adalah pemimpin agama atau pejabat tinggi yang diberi gelar Dato’ Seri, Dato’ dan To’ sebagai lambang dari otoritas dan kemampuan mereka secara ekonomi dan politis. Kategori kedua ditempati oleh rakyat, orang berhutang, dan hamba.45

Berdasarkan penggunaan bahasa Melayu-Muslim Patani dibagi menjadi tiga kelompok:46

1) Kelompok yang berbicara dialek Patani dan Malaysia dan menggunakan

teks Jawi / Arab.

2) Kelompok yang dapat berbicara Melayu Patani tetapi tidak bisa membaca

teks Jawi. Kelompok ini juga dapat membaca dan berbicara bahasa

nasional Thailand.

3) Kelompok yang sama sekali tidak dapat berbicara bahasa Melayu tetapi

pandai dalam bahasa Thai. Kategori ini dapat ditemukan di Satun (Setul).

45 W.K., Che Man, Muslim Separatism The Moros of Southern Philipines and The Malays of Southern Thailand, Singapore: Oxford University Press, 1990, hal.39 46 Artikel Ahmad Amir Bin Abdullah, Melayu Petani: A Nation Survives, 07/ 29/ 2009, hal.4

23

Identitas peradaban Melayu di Patani menandakan sebuah makna peradaban pra dan pasca modern yang diterjemahkan ke dalam bingkai kebudayaan Islam. Misalnya, peninggalan warisan Melayu berupa prasasti, pelbagai alat teknologi, seni bangunan seperti istana, masjid, keramik, seni hias dan yang amat penting naskah-naskah atau manuskrip Melayu. Selain itu, peradaban Melayu Patani pada abad 19 dan 20 M melahirkan asal-usul pondok atau po-noh sebagai ciri peradaban Islam dalam bidang pendidikan Islam tradisional. Budaya dan peradaban Islam Patani lainnya tertuang pada kesenian tari klasik yang dipadukan dengan tradisi Islam seperti tarian Inai, persembahan tarian drama Makyung, permainan gasing leper, dan lain-lain. Juga ada semacam perahu yang biasa dipakai para nelayan Patani yang berukir, ukiran itu disebut

Kolek, ciri dari perahu ini hanya bisa ditemukan di Patani sehingga disebut sebagai hasil kebudayaan orang-orang Patani. Demikian yang dituturkan oleh

Raymond Firth dalam kajiannya tentang Kehidupan Pelaut.47

Pengaruh kebudayaan Patani pun tersebar ke negeri tetangganya seperti

Kedah, Kelantan, Perlis, Terengganu, Perak, dan Pahang, akibat migrasi penduduk pada masa kejayaan Patani. Sebab itu, terdapat kesamaan ciri dan karakteristik kebudayaan antara Patani dengan dan Kelantan, selain kedua negara tersebut memiliki hubungan sejarah dan kekerabatan, mereka pun memiliki kesamaan sifat antar sesama Melayu, seperti nama Wan atau Nik yang digunakan

47 R., Firth, Malay Fisherman: Their Peasant Economy, London: Trench, Trubner and Co., 1946, hal.46 dalam Moh. Zamberi A. Malek, Patani dalam Tamadun Melayu, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1994, hal.237. Lihat juga D.,G.,E., Hall, Sejarah Asia Tenggara, Surabaya: Usaha Nasional, tanpa tahun, hal.57, lihat juga pendapat Cortez dalam Pierre Le Roux, To Be or Not to Be...: The Cultural Identity of the Jawi (Thailand), Asian Folklore Studies, Volume 57, 1998, hal.230

24

oleh keturunan Melayu di Kelantan berasal dari Patani.48 Demikian juga kesamaan dialek, seperti yang dituturkan oleh Asmah Haji Omar, bahwa bahasa yang digunakan oleh orang-orang Patani hampir sama dengan Kelantan, tetapi dengan khas fonologitis tertentu.49 Elit lokal di Patani terdiri atas bangsawan dan tokoh-tokoh Islam. Tokoh agama disebut ustadz (guru menengah) dan Tok Guru

(ulama senior), kebanyakan mereka lulusan universitas Timur Tengah, seperti

Arab Saudi, Mesir, Libya, Afghanistan, dan Pakistan. Peran ulama yang sebagian besar berasal dari bangsawan memiliki peran dalam perkembangan Islam di

Patani.50

Identitas Melayu-Muslim Patani lainnya yang paling signifikan dalam peradaban Melayu adalah manuskrip atau naskah-naskah Melayu dalam tulisan

Jawi. Tulisan Jawi berupa bahasa Melayu dengan menggunakan huruf Arab, umumnya masyarakat Melayu-Muslim Patani menganggap tulisan Jawi adalah pelajaran agama yang sesuai dengan Islam. Menurut Gilquin, Jawi adalah bahasa yang mendukung identitas Melayu-Muslim Patani, yang membedakannya dengan komunitas masyarakat Melayu lainnya seperti orang-orang Melayu di Malaysia.51

Selain itu, bahasa Melayu yang tertulis dalam tulisan (Arab) Jawi menjadi kekuatan besar di balik penyamaan bahasa Melayu dan Islam, ke manapun Islam pergi membawa pesan al-Quran dan tulisan Arab, sehingga memiliki keterkaitan

48 Moh. Zamberi A. Malek, Patani dalam Tamadun Melayu, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1994, hal.238-239 49 Pierre Le Roux, “To Be or Not to Be...: The Cultural Identity of the Jawi (Thailand)”, Asian Folklore Studies, Volume 57, 1998, hal.230 50 Erni Budiwanti, “Forced Cultural and Assimilation and it’s Implication for The Continuation Pattani Muslim’s Identity”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Pusat Penelitian Sumberdaya Regional (Indonesia), 2004, hal.112 51 Michel Gilquin, The Muslims of Thailand, Thailand: Silkworm Books, 2005, hal.110

25

tidak hanya aspek komunikasi dan kebudayaan Melayu, melainkan juga dengan aspek ajaran, dakwah, dan ritus-ritus Islam. Sehingga bahasa Melayu sangat menyatu dengan agama Islam, bahkan dalam menjalankan ritual-ritual keagamaan.52 Bahkan teks-teks Jawi tersebut sangat dilestarikan di kegiatan pendidikan (pondok) dalam kegiatan pembacaan kitab kuning (berbahasa Jawi).

Penggunaan bahasa Jawi (Melayu) oleh masyarakat Melayu Patani memiliki latar belakang sejarah yang menakjubkan. Bermula dari sejarah

Langkasuka yang ditemukan di dalam naskah India dalam bahasa Jawa. Bahwa dalam Nagarakartagama tahun 1365 Kerajaan Langkasuka berada di bawah kekuasaan Sriwijaya dan Majapahit, di bawah kendali dua kerajaan besar ini akademisi dari Universitas Songkhla Pattani, Peerajot Rahimmula, menyimpulkan bahwa asal-usul orang-orang Patani adalah dari suku Jawa Melayu bermula pada abad 8 dan 9 M. Pernyataan ini muncul dari hubungan komersial yang melibatkan kerajaan Sriwijaya.53 Dengan demikian, bahasa Melayu dan adat istiadat Melayu yang digunakan oleh masyarakat Patani membuktikan, bahwa benar adanya pengaruh dan peranan besar Kerajaan Sriwijaya dalam konteks historis identitas

‘Melayu’ bagi masyarakat di Patani.

Berdasarkan fakta sejarah di atas, dengan demikian, term Jawi sangat dekat dengan istilah “Jawa” (sebuah pulau di Indonesia), dan istilah Jawi tidak hanya untuk masyarakat Melayu Patani, melainkan bisa jadi ditujukan kepada

52 Seni Mudmarn, “Negara, Kekerasan dan Bahasa Tinjauan atas Sejumlah Hasil Studi Mengenai Kaum Muslim Muangthai”, dalam Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Editor: Saiful Mujani, Jakarta: LP3ES, 1993, hal.339 53 Paulus Rudolf Yuniarto, “Integration of Pattani Malays: a Geopolitical Change Perspective”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Pusat Penelitian Sumberdaya Regional (Indonesia), 2004, hal.36-37

26

orang-orang yang ada di Indonesia khususnya Jawa dan Sumatera, dan kelompok lain yang ada di Malaysia. Namun, ketika Islam mulai tersebar dan mendominasi di daerah ini, term Jawi yang semula sama dengan sinonim Melayu, mengalami pergeseran makna. 54

Patani dalam konteks sekarang, adalah sebagai provinsi selatan di

Thailand. Masyarakat Thai yang berada di utara menyebut masyarakat yang beragama Islam dengan istilah Khaeg55 yang berarti orang asing atau orang luar sebagai pengunjung atau tamu.56 Pada masa raja-raja, istilah khaeg atau khaek atau khake digunakan dalam deskripsi Melayu-Muslim di selatan pada akhir abad

19 M, mencerminkan konflik politik dari Melayu-Muslim di Thailand Selatan.

Sebetulnya, istilah khaek sudah dianggap tidak pantas dan menghina orang-orang

Muslim karena ia menciptakan rasa penghinaan dan jarak sosial di antara berbagai

54 Pierre Le Roux, “To Be or Not to Be...: The Cultural Identity of the Jawi (Thailand)”, Asian Folklore Studies, Volume 57, 1998, hal.234, mengenai istilah Jawi para akademisi banyak yang berpendapat seperti Denys Lombard, mengatakan bahwa istilah Jawi ditujukan bagi Umat Islam di Asia Tenggara, merupakan sinonim dari Melayu-Muslim, meskipun sebelumnya hanya ditujukan bagi orang-orang Indonesia dan Malaysia. Juga merupakan salah satu penulisan bahasa Melayu yang ditranskip ke dalam dua cara, yaitu konteks baru karakter roma (baso rumi), dan konteks tua huruf Arab (baso jawi), artinya Jawi merujuk pada skrip Arab untuk menulis bahasa Melayu. Dalam Hikayat Patani disebutkan bahwa istilah “Jawi” memang sudah lama dipakai oleh masyarakat Melayu-Pattani untuk menunjukkan identitas mereka. Namun, dalam konteks Pattani yang disebut Jawi adalah dialek, sedangkan gaya penulisannya disebut Sura’jawi, dan Basojawi untuk bahasa lisan mereka, dan Orejawi untuk identitas perorangan. (hal.237 dan 251) 55 Omar Farouk, “Asal-usul dan Evolusi Nasionalisme Etnis Muslim Melayu di Muangthai Selatan”, dalam Ed. Taufik Abdullah dan Sharon Siddique, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES, 1988, hal.297. Thanet Aphornsuvan menyebutnya dengan ejaan Khaek, dalam History and Politics of The Muslims Thailand, Bangkok: Thammasat University, 2003, hal.5. Lihat juga dalam Surin Pitsuwan, Islam di Muangthai Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani, Jakarta: LP3ES, 1989, hal.46, menyebutnya dengan ejaan Khake. 56 Menurut Michel Gilquin, penyebutan ‘tamu’ (bahasa Inggris: guests) pada awalnya hanya untuk memanggil Muslim dari Malaysia, Pakistan, India, atau Timur Tengah, selanjutnya mengalami pergeseran makna dengan memasukkan Cham dan Yunannese Muslim dan dengan demikian menjadi istilah penutup bagi seluruh umat Islam. Namun pergeseran makna ini dianggap menunjukan kesulitan yang fundamental. Lihat Michel Gilquin, “The Muslims of Thailand”, Chiang Mai, Thailand: Silkworm Books, 2005, hal.184 dalam The American Journal of Islamic Social Sciences 24:2, hal.110.

27

ras dan agama.57 Istilah Melayu-Muslim dalam bahasa populer dengan istilah

Thai-Muslim atau Thai-Islam.58 Istilah ini lebih resmi diberikan oleh pemerintah

Thailand, yaitu pada tahun 1940 masa Phibul Songhkram. Tetapi sebutan ini menyinggung perasan sebagian dari Melayu-Muslim Patani, karena ‘Thai’ berarti

“orang Siam”, meskipun terdapat sejumlah Muslim berasal dari Pakistan, India,

Cina dan Siam di Thailand, namun komunitas Melayu Muslim adalah mayoritas dan mereka menganggap penyebutan nama Thai-Islam atau Thai-Muslim hanyalah untuk pengaburan identitas budaya Melayu-Muslim Patani. Selain itu,

Muslim Patani menganggap diri mereka adalah pribumi, karena mereka telah hidup semenjak 1668 ketika Kesultanan Kelantan dan Kesultanan Patani mengendalikan dan menguasai daerah ini, namun akibat klaim dan aneksasi

Kerajaan Siam gagasan mereka sebagai tuan rumah bergeser menjadi sebagai tamu atau pengunjung.59

C. Situasi Politik Patani

Melacak proses awal historis Patani bisa dilihat dari sejarah Kerajaan

Langkasuka yang bercorak Hindu-Budha.(Lihat kembali catatan kaki halaman

21). Langkasuka tidak terdengar lagi sekitar akhir abad 13 M, menuju awal abad

14 muncullah nama Patani sebagai Kerajaan Melayu bercorak Islam, rajanya yang

57 Thanet Aphornsuvan, dalam History and Politics of The Muslims Thailand, Bangkok: Thammasat University, 2003, hal.5. 58 Patrick Jory, From “Patani Melayu” to “Thai Muslim”, Islam Review 18/Autumn 2006, hal.24 59 Erni Budiwanti, “Forced Cultural Assimilation and it’s Implication fot The Continuation of Pattani’s Muslim Identity”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Pusat Penelitian Sumberdaya Regional (Indonesia), 2004, hal.113-114

28

pertama masuk Islam bernama Phya Tu (Piyatu) Nakpa dan mengganti namanya setelah masuk Islam, Sultan Ismail Syah.60 (Lihat lampiran 1)

Islamisasi Patani banyak menggantikan kebudayaan Hindu-Budha, dan letak geografis yang berada di Semenanjung Malaya, sehingga struktur sosial- politik Patani adalah khas masyarakat Melayu.61 Hal ini bisa dilihat dari sistem politik yang dianut Patani telah dipengaruhi oleh sistem kerajaan-kerajaan Islam pertama di Indonesia. Antara lain kepala pemerintahan disebut sultan, sultan sekaligus menjabat sebagai kepala agama. Di setiap kabupaten (daerah) ada pangeran atau wakil yang menggantikan pangeran sebagai penguasa lokal, yang bertanggung jawab kepada keputusan penting seperti deklarasi perang dan menandatangani perjanjian. Di tingkat kota (negeri), terdapat pejabat keliling dari kerajaan di bawah perintah sultan dan pangeran. Juga ada para pejabat daerah, seperti bendahara (perdana menteri) sebagai kepala eksekutif pemerintahan, temenggong (menteri perang) yang bertanggung jawab menjaga ketertiban sekaligus kepala polisi dan komando upacara, laksamana (admiral) sebagai komandan kapal perang, bendahari (bendahara) yang mengendalikan pendapatan negara dan peralatan istana, shahbandar (master pelabuhan) yang mengelola pasar dan gudang dan mencek berat, ukuran, dan koin yang digunakan. 62

Selain hierarki sultan, Patani juga memiliki hierarki otoritas keagamaan berdasarkan hukum Islam (syariah). Sultan memiliki mufti sebagai konselor utama agama. Mufti adalah pejabat tertinggi negara dalam mengeluarkan fatwa

60 Adrur Rahman Dawud, H., Sejarah Negara Patani Darussalam, Yala, dalam bahasa Jawi, hal.15. 61 W.K., Che Man, Muslim Separatism The Moros of Southern Philipines and The Malays of Southern Thailand, Singapore: Oxford University Press, 1990, hal.39 62 Ibid. hal.40

29

dan interpretasi al-Quran, dan memiliki kewenangan mengkritisi sultan jika sultan keluar dari aturan syariah. Di bawah mufti, terdapat seorang kadi sebagai hakim

Islam dan pensehat keagamaan kepada bupati, imam, khatib dan bilal.63

Patani abad 14-15 M sudah dikenal sebagai bagian wilayah cakupan regional dari Kedah dan Pahang dengan pusat pemerintahan di Nakhon Si

Thammarat (negara-negara Ligor). Dalam Hikayat Patani, Patani zaman Ligor bernama Wurawari dengan ibukota Kota Mahligai dengan raja Phya Tu Kerab

Mahayana, faktor buruknya akses hubungan ekonomi dan politik, akhirnya Phya

Tu Antara anak Phya Tu Kerab memindahkan ibukota ke wilayah Patani karena lebih dekat dengan pantai. Pada tahun 1395 hingga 1398, Nakhon Si Thammarat jatuh ke tangan Ayuthia, yang dipimpin oleh raja Rama Cau Sri Bangsa, dengan begitu negara-negara di bawah Ligor pun jatuh ke tangan Ayuthia.64

Asumsi ini berdasarkan fakta, bahwa pada abad 13 orang-orang Thai telah membentuk suatu kekuasaan baru ke wilayah selatan dan berkompetisi dengan

Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Malaka, namun kekuatan Thailand berhasil bertahan hingga abad 16 M, dan akhirnya Kerajaan Thai berhasil menjalin hubungan dengan wilayah di Semenanjung Malaya seperti Patani, Kelantan,

Kedah, Terengganu, dan Perlis. Terutama ketika kekalahan Malaka ke tangan

Portugis, akhirnya memaksa Patani masuk ke dalam hubungan anak sungai

(sistem kerangka sungai) dengan Ayuthia, artinya meski Patani pada saat itu sudah maju dalam bidang perdagangan melalui pelabuhan Patani, namun kemajuan tersebut masih dianggap kecil oleh Kerajaan Siam, dengan begitu

63 Ibid. 64 Haji Abdul Halim Bashah (Abhar), Raja Campa dan Dinasti Jembal dalam Patani Besar: Patani, Kelantan dan Terengganu, Kelantan: Pustaka Reka, 1994, hal.39

30

Patani sebagai Negara yang lebih lemah dibanding dengan Siam harus mengakui supremasi raja Thailand.65 Pengakuan ini terimplementasi ke dalam bentuk perupetian atau sistem feodal, yaitu Patani harus mengirimkan secara simbolis upeti Bunga Emas dan Perak sebagai tanda persahabatan dan kesetiaan dengan

Thailand.66 Meski menjadi egara feodal, namun Patani masih memiliki hak otonomi. Sistem perupetian ini berlangsung dari abad 13 hingga akhir abad 18 M.

Secara historis, kekuasaan Thailand terhadap Patani dilakukan dua jenis, yaitu aturan langsung dan tidak langsung. Aturan langsung berarti mengirimkan pejabat Siam untuk ditempatkan bersama penguasa Patani. Sedangkan, aturan tidak langsung, membiarkan penguasa Patani memainkan peran lebih banyak dengan tetap menjaga hubungan baik dan persahabatan melalui sistem upeti tersebut.67

Meskipun simbol upeti tersebut sebagai tanda persahabatan antara Siam dengan Patani, namun para sultan Patani tidak ada yang menghendakinya.

Dilandasi dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin kuat dan hubungan diplomatik dengan negara-negara di Asia Tenggara semakin baik, akhirnya Patani di bawah pimpinan Sultan Mudzafar Syah (Kerup Phicai Paina) putra dari Sultan

Ismail Syah membentuk suatu kekuatan baru bersama Kerajaan Johor, Pahang, dan Kelantan pada tahun 1530-1540, dan berkesempatan menyerang Kerajaan

65 M. Ladd Thomas, Political Violence in the Muslim Provinces of Southern Thailand, ISEAS No. 28, April 1975, hal.,4. Lihat juga Thanet Aphornsuvan, History and Politics of The Muslims Thailand, Bangkok: Thammasat University, 2003, hal.12 66 Moshe Yegar, Between Integration and Secession: The Muslim Communities of Southern Philippines, Southern Thailand and Western Burma/Myanmar, USA: Lexington Books, 2002, hal.74 67 Thanet Aphornsuvan, History and Politics of The Muslims Thailand, Bangkok: Thammasat University, 2003, hal.12

31

Ayuthia tahun 1563 ketika sedang terlibat perang dengan Burma, di bawah pimpinan Sultan Mudzafar Syah.68 Dalam peperangan tersebut Sultan Mudzafar

Syah wafat dan dikebumikan di Kuala Sungai Chao Phra’ya (sungai yang ada di negeri Siam).69 Tahta pemerintahan Patani digantikan oleh adik Mudzafar Syah, yaitu Sultan Mansyur Syah (1564-1572). Di bawah kepemimpinannya, perjanjian damai pun digulirkan pihak Patani kepada pihak Ayuthia, dengan mengutus Wan

Muhammad. Atas dasar perdamaian tersebut, kemudian Patani menjadi wilayah independen di bawah pengawasan pemerintah Siam.

Sultan Mansyur Syah digantikan oleh Sultan Patik Siam, anak dari Sultan

Mudzafar Syah, ketika itu berumur 9 atau 10 tahun. Kepemimpinan Patik Siam digantikan sementara oleh saudara perempuan ayahnya, bernama Siti Aisyah.

Sultan Patik Siam terbunuh di tangan Raja Bambang (saudara tiri Patik Siam) pada tahun 1573. Pada peristiwa pembunuhan tersebut, Siti Aisyah ikut terbunuh.

Tahta pemerintahan Patani, kemudian digantikan oleh Sultan Bahdur Syah, anak dari Sultan Mansyur Syah. Sekali lagi, kepemimpinan Sultan Bahdur Syah pun tak lama direbut oleh saudaranya Raja Bima dan berakhir dengan kematian Sultan

Bahdur.

68 Paulus Rudolf Yuniarto, “Integration of Pattani Malays: a Geopolitical Change Perspective”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Pusat Penelitian Sumberdaya Regional (Indonesia), 2004, hal.39. Kronik Kerajaan Ayuthia pada tahun 1564, mencatat bahwa Ayuthia terpaksa menyerah terhadap Burma, lantaran Pattani yang sedari awal diminta untuk membantu Ayuthia melawan Burma, berbalik melawan dan menyerang Ayuthia untuk menyerang Raja dan merebut istana. Namun, raja Ayuthia yang bernama Phra’ Maha Cak Kapat berhasil meloloskan diri dan bersembunyi. (Thanet Aphornsuvan, History and Politics of The Muslims Thailand, Bangkok: Thammasat University, 2003, hal.13) 69 Ahmad Fathy al-Fatani, Pengantar Sejarah Patani, Alor Setar: Pustaka Darussalam, 1994, hal.18

32

Konflik internal yang terjadi di tubuh Patani, mengakibatkan Patani tidak memiliki pewaris tahta laki-laki, karena itu, pemerintahan Patani diambil alih oleh raja-raja perempuan, yang dikenal dengan ‘Zaman Ratu-ratu’.70 Kepemimpinan ratu-ratu tersebut adalah Ratu Hijau (1584-1616), Ratu Biru (1616-1624), Ratu

Ungu (1624 – 1635), dan Ratu Kuning (1635-1651). Patani beberapa kali mengalami penyerangan dari pihak Kerajaan Ayuthia. Serangan pertama terjadi tahun 1603, namun usaha tersebut dapat dipatahkan oleh Patani. Semasa pemerintahan Ratu Biru, hubungan dengan negera-negara Melayu, kecuali Johor semakin dieratkan sebagai wujud pertahanan politik Patani, dan beberapa kali serangan dari pihak Ayuthia dilancarkan, namun berhasil digagalkan.

Kekuasaan Patani diperluas hingga ke Kelantan dan Terengganu. Atas ekspansi Patani ke dua wilayah tersebut, membuat Patani dikenal sebagai Negeri

Patani Besar (The Great Patani State) (Lihat lampiran 3). Kemudian, Pahang menjadi bagian dari Patani, karena pernikahan antara Ratu Ungu dengan Sultan

Pahang.71 Pada masa Ratu Ungu, Patani mengeluarkan kabijakan anti-Siam dan menolak menghantarkan upeti Bunga Mas dan pemberian gelar Phrao Cao bagi

Ratu Ungu.

Peperangan besar dengan Siam di bawah Raja Phrasat Thong kembali terjadi, serangan pertama tahun 1630 dan serangan kedua tahun 1633-1634. Dua tahun berselang, Siam kembali merencanakan serangan atas Patani, tetapi berkali- kali serangan tersebut digencarkan, namun pihak Siam selalu mengalami

70 Ibid. hal.20 71 Paulus Rudolf Yuniarto, “Integration of Pattani Malays: a Geopolitical Change Perspective”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Pusat Penelitian Sumberdaya Regional (Indonesia), 2004, hal.42

33

kekalahan. Menurut Nik Annuar, Patani memiliki kapasitas kekuatan menentang

Siam. Sementara Songkhla yang diberi tanggungjawab oleh Siam untuk mengawasi daerah selatan termasuk Patani, tidak memiliki cukup tentara untuk mengawasi gerakan otonom Patani.72 Siam mengupayakan perdamaian dengan

Patani setelah kampanye militer besar-besaran tahun 1632. Atas nasehat Belanda, akhirnya Ratu Kuning bersedia menerima kembali gelar Phrao Cao dan meneruskan tradisi pengiriman upeti Bunga Mas. Pemberontakan terakhir Patani terhadap Ayuthia meletus kembali ketika ibukota Ayuthia, Burma, diserang Patani pada tahun 1767.73 Setelah zaman ratu-ratu, penerus tahta kerajaan Patani digantikan oleh raja-raja keturunan Kelantan dari tahun 1688 hingga 1729.

Berakhirnya dinasti Kelantan, Patani mengalami kekacauan politik perebutan kekuasaan. Menanggapi hal tersebut, akhirnya, Siam mengangkat Sultan

Muhammad sebagai raja Patani. Pada 1779, sultan Muhammad diminta oleh Siam untuk membantu menyerang Burma, namun sultan Muhammad menolaknya. Hal ini memicu Phraya Chakri's menyerang Patani. Putera Surasi adik dari Phraya

Chakri dibantu oleh Phraya Senaphutan, Gabenor Pattalung, Palatcana dan

Songkhla supaya menyerang Patani pada 1785,74 dan berakhir dengan kematian sultan Muhammad.

Pemberontakan-pemberontakan Patani terhadap Siam, tak ayal membuat raja-raja Siam bersikap lebih tegas dan keras. Ketika kekuasaan Ayuthia berakhir

72 Nik Anuar Nik Mahmud, Sejarah Perjuangan Melayu Patani 1785-1954, Bangi: Jabatan Sejarah Universitas Kebangsaan Malaysia, tanpa tahun, hal.3 73 S.P.Harish, Changing Conflict Identities: The Case of the Southern Thailand, No.107 (February 2006), Singapure, Institute of Defence and Strategic Studies, hal.4 74 Nik Anuar Nik Mahmud, Sejarah Perjuangan Melayu Patani 1785-1954, Bangi: Jabatan Sejarah Universitas Kebangsaan Malaysia, tanpa tahun, hal.4-5

34

akibat serangan Burma tahun 1767 dan digantikan oleh sebuah kerajaan baru berpusat di Bangkok, bernama Kerajaan Siam, dimulai tahun 1785-1786 Siam kembali bangkit dan berusaha membuat kebijakan yang lebih tegas untuk Patani, dengan menganeksasi pemerintahan kesultanan Patani. Tahun 1785, Siam menghapus sistem anak sungai terhadap Patani, Kedah, Kelantan, dan

Terengganu.75 Raja Patani berikutnya adalah Tengku Lamidin, beliau dilantik oleh Siam. Dari tahun 1817 sampai 1842, Patani telah diperintah oleh dua orang raja keturunan Melayu, yaitu Tuan Sulong (anak raja bendahara Kelantan) dan

Nik Yusof. Tahun 1899, Abdul Kadir Kamaruddin diangkat menjadi raja Patani, sekaligus menjadi raja terakhir dari kerajaan Patani. Abdul Kadir Kamaruddin adalah keturunan dari Tengku Puteh yang menikah dengan putri Kelantan.

Jelaslah, bahwa Patani dan Kelantan memiliki ikatan kekerabatan yang sangat erat.

Pemberontakan terakhir Patani terjadi tahun 1808. Tahun 1816 raja Rama

I berhasil menaklukkan Kerajaan Patani, kemudian menerapkan peraturan ‘divide and rule’ dan memisahkan Patani menjadi tujuh provinsi yaitu, Pattani, Saiburi

(Teluban), Nongchick, Yaring, Yala, Rahman, dan Ra-ngae. Secara administratif dipimpin oleh para penguasa setempat di bawah kendali Bangkok, sebagai upaya efektif dalam mengontrol pengumpulan pendapatan dan pajak daerah.76 Namun, peraturan ini tidak menunjukkan stabilitas politik yang efektif. Ketujuh negeri ini kecuali Yaring, berusaha melakukan pemberontakan tahun 1832, namun dapat

75 Ibid. 76 Thitinan Pongsudhirak, “The Malay-Muslim Insurgency in Southern Thailand”, dalam A Handbook of Terorism and Insurgency in Southeast Asia, Editor: Andrew T.H. Tan, USA: MPG Books, 2007, hal.266-267.

35

dipatahkan, penguasa Patani dan Yala mundur ke Kelantan. Sementara penduduk

Rahman, Ra-ngae, dan Saiburi (Teluban) ditawan dan dikirim ke Bangkok.77

Tahun 1838 empat wilayah Melayu bersama Kedah melakukan pemberontakan namun dapat digagalkan, kecuali Pattani, Yaring dan Saiburi tetap setia kepada

Bangkok, dan berakhir dengan dipecahnya Kedah menjadi empat kerajaan, yaitu:

Kedah, Kabangpasu, Perlis, dan Satun.

Kemudian, sistem Thesaphiban (Undang-Undang Administrasi Daerah) diperkenalkan tahun 1897 dan diprakarsai oleh raja Chulalongkorn (Rama V,

1868-1910). Thesaphiban adalah upaya mereformasi kebijakan sentralisasi administrasi atau sistem pemerintah terpusat. Kebijakan mengubah birokrasi tradisional ke dalam birokrasi Thailand, sistem ini meliputi semua kelompok lokal dalam administrasi dan birokrasi kerajaan,78 pejabat-pejabat lokal di Patani digantikan oleh gubernur (Khaluang Thesaphiban) yang ditunjuk langsung oleh raja Siam di Bangkok, agar kontrol terhadap Patani semakin kuat dan ketat.79

Peraturan ini dinilai efektif dengan bagi Patani karena secara geografis dan administratif sangat strategis.80

D. Situasi Ekonomi Patani

77 Uthai Dulyakasem, “Kemunculan dan Perkembangan Nasionalisme Etnis: Kasus Muslim di Siam Selatan”, dalam Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Editor: Taufik Abdullah dan Sharon Siddique, Jakarta: LP3ES, 1988, hal.246 78 Cahyo Pamungkas, “The State Policies Towards Southern Border Provinces”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Jakarta: Pusat Penelitian Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI), 2004, hal.65.

80 Paulus Rudolf Yuniarto, “Integration of Pattani Malays: a Geopolitical Change Perspective”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Pusat Penelitian Sumberdaya Regional (Indonesia), 2004, hal.54

36

Perdagangan selalu menjadi pemicu terjadinya proses Islamisasi dan perkembangan politik kerajaan-kerajaan maritim. Perdagangan jugalah yang menjadi faktor penting hubungan Melayu-Muslim Patani dengan Kerajaan

Ayuthia.81 Pada abad 14 dan 15 wilayah Patani dikenal sebagai pusat perdagangan dan penyebaran Islam. Hubungan perdagangan Patani tidak hanya dengan egara tetangga di Asia Tenggara, melainkan lebih meluas lagi dengan para pedagang Arab, Cina, India dan Eropa. Hubungan tersebut menunjukkan kemapanan politik dan ekonomi Patani pada waktu itu.82 Peranan pelabuhan

Pattani yang strategis acap kali dijadikan tempat persinggahan para pedagang dari

Eropa, Arab, Cina dan India. Bahkan semakin populer ketika Malaka berhasil jatuh ke tangan Portugis tahun 1511, karena sistem bea cukai yang lebih mahal dari pada Patani.

Menurut Paulus Rudolf Yunatrio, hubungan-hubungan dagang yang terjalin berawal dari hubungan antara para pedagang Muslim dan Cina dengan

Patani waktu itu, karena keduanya sangat berhubungan dengan proses penyebaran

81 Omar Farouk, “Muslim Asia Tenggara dari Sejarah Menuju Kebangkitan Islam”, dalam Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Editor: Saiful Muzani, Jakarta: LP3ES, 1993, hal.27. Salah satu peristiwa paling penting adalah ketika Malaka dikuasai oleh Portugis, dengan Malaka kehilangan relevansinya sebagai salah satu pusat perdagangan regional, bahkan berubah menjadi pos militer. Beberapa pengamat termasuk Anthony Reid, sepakat bahwa umat Islam adalah yang paling kuat tertanam dalam perdagangan streaming melalui Ayutthaya. Posisi inilah yang dimanfaatkan oleh Ayuthia dalam mendukung proses komersial dengan menempatkan umat Islam (Patani) dalam posisi dan peran penting di istana, sebagai menteri, pedagang dan penasehat dibawah kuasa Raja. Lihat Yoneo Ishii, “Thai Muslims and the Royal Patronage of Religion,” Law & Society Review 28, no. 3 (1994): 454-455 dalam Thesis oleh Daniel J. Pojar, Jr. Lesson Not Learned: The Rekindling of Thailand’s Pattani Problem, Monterey, California, 2005. 82 Penempatan penting umat Islam Melayu di kerajaan Ayuthia pada akhirnya membawa perkembangan yang signifikan bagi perekonomian Patani. Ada dua konsekuensi jika menanggapi hal ini, pertama, Ayuthia sebagai pusat perdagangan internasional menjadi sangat signifikan berdasarkan komoditi dari Cina, Persia, Arab, India dan Eropa mengalir ke Ayuthia. Kedua, Patani sebagai kerajaan kecil memanfaatkan hubungannya dengan Ayuthia yang memungkinkan perekonomian Patani mengalami perkembangan dan menjadi pusat perdagangan yang kuat, menyaingi Malaka ketika jatuh ke tangan Portugis.

37

Islam. Hubungan ini mendorong terjalinnya hubungan dagang dengan Arab dan

India, pedagang yang juga melakukan eksplorasi ke dalam perdagangan regional.

Patani menjadi pusat perdagangan kayu besi,83 dan menjadi gudang perdagangan bagi masyarakat setempat yang menjual produk rempah-rempah yang diperdagangkan untuk tekstil Cina dan keramik. Selain itu, Patani menjadi fokus bagi pedagang Arab dan India yang membawa tekstil mereka. Pedagang Patani menjual produk dagangan mereka sendiri seperti lada hitam, bahan makanan lain dan emas. Tindakan perdagangan yang dilakukan oleh pedagang Patani diperpanjang ke selatan Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa sampai Sulawesi

(Makassar).84

Kemajuan Patani lebih bergatung pada sistem pelabuhan bebas. Setiap kapal yang datang dari Asia Barat dan Eropa dikenakan bea cukai hanya 6%, dan satu persen pemasukan untuk kas negara. Sedangkan kapal-kapal dari Asia

Tenggara tidak dikenakan biaya apapun, apabila melakukan transaksi penjualan sebanyak 25% dari harga muatan kargo dengan harga pasaran, dan mendapat potongan 20%.85

Patani sebagai pusat perdagangan semakin popular manakala dipimpin oleh raja-raja perempuan. Selain sistem beacukai yang lebih murah, letak geografis Patani semakin merangsang para pedagang dari Eropa dan Jepang sekitar abad 16 hingga 17 M. Portugis tiba di Patani pada tahun 1517 dalam

83 Howard Federspiel, Sultans, Shamans, and Saints: Islam and Muslims in Southeast Asia, United State of America: University of Hawai’i Press, 2007, hal.14 84 Paulus Rudolf Yuniarto, “Integration of Pattani Malays: a Geopolitical Change Perspective”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Pusat Penelitian Sumberdaya Regional (Indonesia), 2004, hal.38-39 85 Moh. Zamberi A. Malek, Patani dalam Tamadun Melayu, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1994, hal.19-23

38

rangka melakukan perdagangan rempah-rempah, kemudian tahun 1602 Belanda juga memulai mendirikan basis perdagangan di pelabuhan Patani. Selanjutnya,

Inggris juga ikut dalam kegiatan perdagangan di sini.86 Terbukti pada 22 Juni

1612 Inggris mengutus seorang utusan untuk menyampaikan surat Raja James I dalam rangka mengadakan perjanjian perdagangan. Hal ini menimbulkan konflik antara Belanda dan Inggris dan mengakibatkan perang pada 1623 yang dimenangkan Belanda. Hubungan komersial antara Patani dengan Belanda meningkat, mendukung harapan bagi Belanda untuk mendapatkan beras dan makanan yang dibutuhkan. Selain itu, tahun 1538, pelabuhan Patani juga banyak dikunjungi oleh para pedagang dari Jepang. Hubungan komersial tersebut ditandai ketika Raja Tokugawa Iyeyasu (1542-1616) mengirimkan utusan untuk mengantarkan hadiah kepada Raja Hijau, tahun 1599 Patani membalas kunjungan tersebut.87

Pada masa pemerintahan Raja Kuning, sebuah Syarikat Perkapalan Raja

Diraja Patani didirikan, yang berperan untuk mengendalikan perdagangan negara

Patani dengan antar bangsa. Melalui syarikat ini, barang dagangan hasil produksi masyarakat Patani dapat diekspor dan diperdagangkan. Hal ini, semakin menunjukan peradaban yang dimiliki Melayu Patani mampu diperhitungkan.

(Lihat lampiran 5 dan 6) Tidak heran, terjadi persaingan antara pedagang Eropa, yang masih berpedoman pada sistem perdagangan negara masing-masing hingga terjadi kekacauan. Persaingan antara Belanda dan Inggris mengakibatkan kedua belah pihak menutup gedung perniagaan mereka di Patani.

86 Ibid. hal.39 87 Ibid. hal.23

39

Namun, dengan peristiwa tersebut, Patani tidak kehilangan daya tarik sebagai pusat perdagangan terpenting. Karena Patani masih memiliki kekuatan letak yang strategis, sehingga para pelaut yang melintasi Laut Cina sering bersinggah di Patani. Berakhirnya pemerintahan Ratu Kuning dan konflik serta peperangan yang terjadi dengan Kerajaan Siam, mempengaruhi perekonomian

Patani semakin menurun. Para pedagang asing mulai meninggalkan daya tarik mereka berdagang di Patani, dan berpindah ke daerah lain seperti ke Malaka dan

Singapura. Selain faktor internal Patani, munculnya daerah perdagangan baru di

Malaysia dan Kepulauan Indonesia, turut memperburuk situasi perekonomian

Patani. Kondisi tersebut berlangsung sangat lama antara 1842 dan 1900.88

Meskipun kini Patani memiliki luas yang relatif kecil, namun kaya akan sumber daya alam. Terdiri atas lembah yang subur dan daerah penangkapan ikan, baik di sepanjang pantai Laut Cina Selatan di sebelah timur dan Laut Andaman di sebelah barat. Wilayah Patani juga memiliki cadangan mineral termasuk timah, emas, wolfram, mangan dan gas alam. Sebagian besar Melayu-Muslim Patani wiraswasta dan memiliki perkebunan sendiri seperti tanaman karet, kelapa, dan tanaman tropis seperti rambutan dan durian, sebagian lainnya menanam padi atau nelayan.89 Namun, pedagang Melayu-Muslim Patani lebih dominan pada perdagangan timah dan ternak.

Namun, setelah Patani ditaklukkan Kerajaan Siam (Thailand) kondisi perekonomian rakyat Muslim Patani semakin buruk dan menurun, secara bertahap

88 Paulus Rudolf Yuniarto, “Integration of Pattani Malays: a Geopolitical Change Perspective”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Pusat Penelitian Sumberdaya Regional (Indonesia), 2004, hal.47 89 W.K., Che Man, Muslim Separatism The Moros of Southern Philipines and The Malays of Southern Thailand, Singapore: Oxford University Press, 1990, hal.36-37

40

Patani jatuh ke dalam pusaran hegemoni Thailand dan semenjak abad 20 status

Patani sebagai perbatasan Thailand tegas disegel. Hal ini mengakibatkan kondisi ekonomi Melayu-Muslim Patani semakin terpuruk akibat peran ekonomi didominasi oleh etnis Cina dan Thai atas kebijakan Monthon Patani masa raja

Chulalongkorn.90 Selain kebijakan pemerintah Thailand mendiskriminasi peran ekonomi Melayu-Muslim Patani, kemajuan teknologi dan konstruksi jalan kereta api serta komunikasi telegraphik memiliki dampak besar terhadap sektor timah juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan ekonomi

Melayu-Muslim Patani. Umumnya Melayu Patani masih menggunakan sarana dan transportasi tradisional untuk peternakan dan pertanian, kondisi ini bila jauh dibandingkan dengan sarana dan transportasi yang digunakan etnis Cina dan Thai.

Sehingga sulit bagi mereka menjangkau transaksi dagang dengan masyarakat di luar mereka, belum lagi kebijakan pemerintah dalam membeli hasil pertanian dan ternak mereka dengan harga yang sangat rendah.91

Sebetulnya, pemerintah telah mengenalkan program-program tertentu kepada Melayu-Muslim Patani, namun mereka menganggap proyek pemerintah tersebut adalah sebagian rencana untuk menenggelamkan penduduk Muslim dan membuat wilayah Patani (Pattani) didominasi Buddhis.92 (Lihat Peta pada lampiran 7). Kegagalan ekonomi penduduk Patani ditanggapi oleh pemerintah dengan tidak bertanggung jawab, dengan alasan dana yang tidak memadai.

90 Tesis oleh Mala Rajo Sathian, Economic Change in Pattani Region c. 1880-1930: Tin and Cattle in the Era of Siam’s Administrative Reforms, National University of Singapore, 2004, hal.3 91 Ibid. hal.205-206. 92 W.K., Che Man, Muslim Separatism The Moros of Southern Philipines and The Malays of Southern Thailand, Singapore: Oxford University Press, 1990, hal.39.

41

Alhasil, perekonomian masyarakat Patani semakin tergeser, akan tetapi kekayaan alam mereka dieksploitasi besar-besaran oleh pemerintah pusat dengan alasan sebagai pembangunan infra struktur.

42

BAB III

PENGERTIAN DAN KONSEP INTEGRASI

A. Konsep dan Kebijakan Integrasi Politik Pemerintah Thailand (Siam)

Integrasi pemerintah Thailand dibagi menjadi tiga. Pertama, integrasi politik dan budaya seperti integrasi administrasi 1902, perjanjian Anglo-Siam tahun 1909, kudeta atas monarki absolut dari Siam pada tahun 1932, dan politik nasionalisme dari Marshall Phibul Songkhram (1938-1944). Kedua, integrasi politik intelektual Islam dan tradisional lembaga meliputi: mengakomodasi politik

Islam oleh Undang-Undang Islam Binaan 1945, integrasi politik ulama tradisional

Islam, sekularisasi lembaga-lembaga tradisional Islam, dan program negara untuk mengatasi separatisme. Ketiga, pasca integrasi kebijakan yang meliputi kebijakan negara untuk mengatasi separatisme dan gangguan untuk keamanan sehubungan dengan kebangkitan fundamentalisme Islam.93 (Lihat tabel pada lampiran 8)

Secara komprehensif integrasi Thailand harus dilihat dari latarbelakang pembentukan konsep nasionalisme dan modernisasi negara bangsa. Pandangan ini mencerminkan semangat kalangan Thai elit pada tahun 1880-1900an akibat dilanda krisis baik dalam bidang politik dan ekonomi pada tahun 1893 sehingga berusaha mentransformasi pembudayaan diri (self-civilizing). Dalam sejarah konvensional Siam, proses pembudayaan diri tersebut adalah upaya menyelamatkan kemerdekaan kerajaan dan negara dari penjajahan bangsa Eropa.

Siam menginginkan kekuasaan mutlak sebagai negara kerajaan yang independen

93 Cahyo Pamungkas, “The State Policies Towards Southern Border Provinces”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Jakarta: Pusat Penelitian Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI), 2004, hal.63

43

dan mendapatkan pengakuan dari bangsa Eropa. Akibatnya, Siam menekankan isu nasionalisme untuk menegaskan kembali kontrol negara dan supremasi terhadap kelompok minoritas.94 Konsekuensi dari nasionalisme Siam mendorong serangkaian proses integrasi terhadap kelompok minoritas, dan memperkenalkan konsep modernisasi dan westernisasi ke Siam. Menurut Moufe komunitas politik tidak secara alami terjadi dalam sebuah kelompok politik dengan desain dan rekonstruksi dengan kelompok tertentu dalam sebuah komunitas politik.95 Artinya suatu kelompok minoritas terintegrasi ke dalam kelompok mayoritas tidak terjadi begitu saja, melainkan ada suatu proses dan tahapan serta latar belakang yang menyebabkan integrasi tersebut terjadi.

Kebijakan integrasi Siam (Thai) atau konsep modernisasi dan westernisasi

Siam dengan memasukan ide pemerintahan Barat dan administrasi, perubahan ekonomi ke pasar dan ekonomi tunai.96 Serangkaian kebijakan ini disebut integrasi politik administrasi atau Thesaphiban, terjadi pada dua tingkatan secara suprastruktural maupun struktural. Pada tingkatan suprastruktural mendorong pengembangan ideologi nasionalisme dan konsep suatu negara, sedangkan dalam struktural integrasi mencakup dalam bidang politik dan ekonomi melalui kebijakan-kebijakan negara dan program-program negara. Pada tingkat struktur terjadi kesenjangan antara kelompok mayoritas dan minoritas, ditandai dengan

94 Thongchai Winichakul, A Short History of the Long Memory of the Thai Nation, Department of History, University of Wisconsin-Madison, hal.4 95 Cahyo Pamungkas, “The State Policies Towards Southern Border Provinces”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Jakarta: Pusat Penelitian Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI), 2004, hal.61 96 Esai Somphong Amnuay-ngerntra, “King Mongkut’s Political and Religious Ideologies Through Architecture at Phra Nakhon Kiri”, Asia-Pacific CHRIE (APacCHRIE) Conference, Kuala Lumpur, Malaysia, 26-28 May 2005, hal.72

44

migrasi paksa, permintaan otonomi daerah, dan kesenjangan dalam distribusi sumber daya yang didominasi oleh kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas dalam segala aspek, baik dalam bidang politik, ekonomi, budaya, sosial yang menjadi pilar utama sebuah bangsa sehingga membentuk masyarakat majemuk.97

Cara integrasi pemerintah Siam selain mereformasi administrasi negara adalah dengan cara tradisional melalui pengintegrasian pimpinan agama, terutama agama Budha ke dalam hierarki keagamaan nasional. Cara ini sekaligus membuktikan bahwa kekuasaan sekuler yang diwakili raja berusaha memanipulasi dan mengintegrasikan ke dalam satu hierarki agama yaitu agama Budha.98 Artinya ada kesan bahwa landasan atas kebijakan-kebijakan pemerintah Siam berasal dari asas dan konsep Budha. Upaya ini sebetulnya demi memecahkan persoalan dalam hubungan antar golongan etnis. Namun, jika suatu kebijakan negara berlandaskan pada konsep suatu agama, maka ujung persoalan ini menjadi sebuah konflik agama yang tidak bisa dielakkan lagi. Disisi lain Davis Brown menilai bahwa konsep integrasi Thai merupakan langkah konsolidasi kekuasaan pemerintah Thai terhadap Patani dan mewujudkan mono-ethnic character of the state (etnik

97 Ibid. 98 Surin Pitsuwan, Islam di Muangthai: Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani, Jakarta: LP3ES, 1989, hal.7. Pandangan ini juga diperkuat oleh D.G.E. Hall, bahwa nasionalisme Thai adalah sebuah propaganda belaka, demi untuk mengklaim bahwa sebetulnya mereka benar- benar mencintai Budha sebagai ibu pertiwi. Demikian juga Keyes menyepakai bahwa, interpretasi Raja Chulalongkorn bersama penerusnya terhadap nasionalisme Thai adalah sebuah warisan nasional rakyat Thailand, yaitu satu bahasa (bahasa Thailand), satu agama (Budha), dan hubungan dengan kerajaan (Chakri Monarki), baca Cahyo Pamungkas, “The State Policies Towards Southern Border Provinces”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Jakarta: Pusat Penelitian Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI), 2004, hal.67

45

tunggal yang menjadi ciri khas dari negara Thailand.99 Inilah yang terjadi ketika pemerintah Siam mencoba menerapkan suatu kebijakan integrasi terhadap etnis

Melayu-Muslim di selatan

B. Pandangan Melayu-Muslim Patani terhadap Integrasi

Sejak semula hubungan Melayu-Muslim Patani dengan kerajaan Siam sangat buruk, baik secara sosial politik maupun ekonomi. Bermula dari peraturan

Siam bagi status anak sungai, yang mengharuskan Patani mengirimkan upeti berupa Bunga Mas kepada Siam. Sistem upeti tersebut menandakan kesetiaan

Patani terhadap Siam, namun pada akhirnya Patani merasa terjajah dan menentang

Siam. Ketika kerajaan Siam berupaya membuat kebijakan-kebijakan terhadap

Patani dengan cara mengintegrasikan Patani secara politik, sosial-budaya, ekonomi dan teritorial, sikap Patani semakin menentang kekuasaan Siam pada waktu itu. Menurut Nik Anuar Nik Mahmud, menanggapi kebijakan integrasi pemerintah Siam terhadap Patani tidak memiliki bukti konkret, bahwa Siam selama ini hanyalah mengklaim Patani menjadi hak dan kewenangan dari Siam, padahal sejak awal berdiri Patani memiliki otonomi pemerintahan sendiri.

Fenomena integrasi nasional yang diupayakan pemerintah Thailand dipandang Muslim Patani sebagai disintegrasi bagi mereka, karena Patani dengan

Siam (Thailand) memiliki dasar kosmologi yang berbeda.100 Menurut Surin

Pitsuwan, Muslim Patani di selatan Thailand, tidak menginginkan diintegrasikan

99 Davis Brown.. “From Peripheral Communities to Ethnic Nations". Pasific Affairs 61, 1988, hal.51 100 Imtiyaz Yusuf, “Ethnoreligious and Political Dimensions of Southern Thailand Conflict”, dalam Islam and Politics Renewal and Resistance in the Muslim World, Editor: Amit Pandya dan Ellen Laipson, Washington: Henry L Stimon Center, 1009, hal.47

46

ke dalam negara Thai. Mereka tidak ingin kehilangan otonomi agama dan budaya mereka. Jika konsep integrasi Thailand tersebut merupakan tindakan manifestasi dari kosmologi Budha, Melayu-Muslim Patani tidak ingin menjadi bagian dari tujuan manifestasi tersebut.101

Karena itu, Melayu-Muslim Patani di Thailand Selatan, merasa terperangkap di tengah-tengah revitalisasi dan kebangkitan ideologi aksi politik yang menjadi dilema bagi mereka. Bagi mereka hanya ada dua pilihan, menjadi bagian dari negara Thailand dengan menciptakan karakteristik baru yang tidak mereka sukai, atau menentang dengan kekerasan campur tangan negara

Thailand.102 Dengan demikian, sampai kapanpun Melayu-Muslim Patani tidak akan pernah menerima konsep dan kebijakan integrasi pemerintah Thailand meskipun dengan alasan nasionalisme bangsa, karena mereka berbeda dengan bangsa Thailand.

Serangkaian perdebatan dan penolakan kebijakan integrasi pemerintah

Siam (Thailand) terhadap golongan Melayu-Muslim di selatan dipandang sangat kontradiktif oleh Carlo Bonura Jr., kontradiksi tersebut meliputi dua hal. Pertama, berkaitan dengan tingkat institusionalisasi elite politik Islam, bahwa tidak adanya lembaga yang menaungi aspirasi politik Muslim elite sehingga mereka tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan kebijakan. Kedua, kontradiksi berkaitan dengan pengembangan masyarakat demokratis politik dan politik masa lalu dalam konsep sebuah negara bangsa. Bahwa pemerintah Siam (Thailand) tidak mengakui sejarah politik Muslim yang memiliki identitas pan-Islam dan budaya Melayu

101 Surin Pitsuwan, Islam di Muangthai: Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani, Jakarta: LP3ES, 1989, hal.7-8 102 Ibid. hal.9

47

sehingga mereka tidak kehilangan kedaulatan mereka sebagai kelompok Muslim, dan ketegangan antara kelompok mayoritas dengan minoritas dalam upaya integrasi dapat diatasi.103

C. Konsep Integrasi Perspektif PBB

Sebagai salah satu solusi dalam meningkatkan kualitas interaksi dalam hubungan masyarakat, maka sebagai perangkat heuristik dalam menjalankan proses ke arah hubungan yang baik tersebut diperlukan tahapan-tahapan integrasi.

Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial Sekretariat PBB, merancang tahapan tersebut dengan mengidentifikasi enam tahap integrasi sosial. Integrasi sosial dapat dilakukan dengan mempertimbangkan hubungan sosial, karena hubungan sosial inilah yang menentukan arah integrasi yang diinginkan.104 Hubungan sosial memiliki tahapan sebagai berikut:

1) Tahap Fragmentation (fragmentasi), yaitu yang muncul dalam situasi

pelecehan, konflik bersenjata, dan gangguan sosial. Dalam hal ini,

hubungan sosial hancur (pada tingkat paling mendalam atau psikologis).

2) Tahap Exclusion (pengecualian), yaitu yang timbul di mana ada

penindasan atau kelalaian. Dalam kasus ini, hubungan sosial yang

asimetris, Sehingga strategi inklusi yang membangun kapasitas swadaya

dan mata pencaharian.

103 Cahyo Pamungkas, “The State Policies Towards Southern Border Provinces”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Jakarta: Pusat Penelitian Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI), 2004, hal.62 104 http://www.un.org/esa/socdev/sib/inclusive_society/social%20integration.html. Diakses pada tanggal 13 Februari 2010, pukul 21:51.

48

3) Tahap Polarization (polarisasi), apabila kelompok dapat memobilisasi.

Dalam kasus ini, hubungan sosial yang bermusuhan, agresif (paling

mendalam pada tingkat agama / identitas etnis), sehingga menimbulkan

mediasi / rekonsiliasi.

Tahapan-tahapan di atas masih memiliki tahap transisi, jika tahap polarisasi belum memadai proses integrasi secara keseluruhan, maka transisi dari polarisasi koeksistensi sangat penting. Hal ini menjadi fokus penting ketika ingin memperbaiki dan menyembuhkan hubungan sosial untuk memperkuat proses jalannya integrasi tersebut. Secara spesifik, gambaran agar hubungan sosial lebih maju105 adalah sebagai berikut:

1. Koeksistensi, yang muncul dengan toleransi perbedaan yaitu hubungan

sosial kemasyarakatan berkisar pada dialog pada sosial sipil.

2. Kolaborasi, pelebaran muncul dengan rasa keadilan sosial-ekonomi, yang

mengatakan, hubungan sosial mengakibatkan perencanaan pembangunan

partisipatif.

3. Kohesi muncul dengan kedamaian-budaya, artinya, dukungan hubungan

sosial penemuan atau penciptaan makna dan nilai bersama tetap

menghargai dan bahkan merayakan keragaman.

D. Pengertian Integrasi dan Konsep Integrasi Menurut Intelektual

Integrasi berasal dari bahasa Latin, yaitu interger yang berarti keseluruhan. Dalam integrasi berarti terdapat bagian-bagian, unsur-unsur, faktor-

105 http://www.un.org/esa/socdev/sib/inclusive_society/social%20integration.html. Diakses pada tanggal 13 Februari 2010, pukul 21:51.

49

faktor atau perincian-perincian yang telah digabungkan ke dalam bentuk sedemikian intimnya sehingga menimbulkan suatu keseluruhan yang sempurna.106

Dengan demikian, integrasi merupakan suatu proses penggabungan dan pembauran dengan menghilangkan jati diri yang khas. Sedangkan menurut

Ogburn dan Nimkoff,107 integrasi adalah: “process where by individuals or groups once dissimilar become similar, become indentified in their interest and outlook.” (proses dimana oleh individu atau kelompok yang berbeda menjadi sama, menjadi teridentifikasi dalam kepentingan dan pandangan mereka).

Integrasi memiliki beberapa aspek, seperti aspek horizontal (teritorial) dan aspek vertikal (elite-massa). Kedua aspek tersebut dapat dikaji dari segi tujuan integrasi, dari segi konsensus atau dari segi budaya politik. Juga sifat integrasi dianggap sebagai suatu proses bukan sebagai suatu yang konstan, agama atau ideologi salah satu aspek kuat dan menentukan dari proses integrasi tersebut.108

Ogburn dan Nimkoff beranggapan bahwa integrasi memiliki relevansinya dengan sistem norma sebagai unsur dalam mengatur tingkah laku suatu kelompok dan keberhasilan dalam proses integrasi, unsur-unsur tersebut yaitu, saling membutuhkan satu dengan yang lainnya, mencapai konsensus mengenai norma- norma sosial, dan norma-norma yang berlaku tetap konsisten sehingga membentuk suatu struktur yang jelas.

106 Saafrudin Bahar, Integrasi Nasional, Teori, Masalah dan Strategi, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1996, hal.97 107 Ogburn dan Nimkhoff, A handbook of Sociology, London: 1960, hal.101 108 Bahar Saafrudin, Integrasi Nasional, Teori, Masalah dan Strategi, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1996, hal.97. Demikian juga, menurut Ogburn dan Nimkoff, integrasi merupakan proses mental karena itu prosesnya berjalan tidak cepat. Lihat tulisan Ogburn dan Nimkoff yang diambil dari Park dan Burgess, “It is a process of interpenetration and fusion in which persons and groups acquire the memories, sentiments and attitudes of other persons or groups and by sharing their experiences and history are incorporated with them in a cultural life.” (Astrid, S., Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Bandung: Binacipta, 1979, hal.124)

50

Pun unsur-unsur tersebut sangat penting dalam memahami dan mengetahui harapan dan tuntutan masing-masing kelompok masyarakat yang akan diintegrasikan, sehingga kemungkinan integrasi lebih besar daripada disintegrasi.

Dengan begitu, integrasi memiliki tahapan, sebagai berikut: Accomodation

(akomodasi), Cooperation (kerjasama), Coordination (koordinasi) dan

Assimilation (asimilasi).

Akomodasi adalah suatu pekerjaan aktual yang dikerjakan bersama-sama individu atau kelompok walaupun mengalami perbedaan dan permusuhan. Dalam fase ini, kemungkinan kerjasama ada karena ada suatu kepentingan yang diakibatkan perbedaan paham di antara individu atau kelompok. Summer menyebut tahap akomodasi sebagai “antagonostic cooperation”, dalam tahap ini tercapai kompromi dan toleransi antara lawan yang sama-sama kuat.109

Dalam proses integrasi kemungkinan terjadi konflik sangat besar, akibat prasangka-prasangka yang terlalu lama dibiarkan begitu saja tanpa ada penyelesaian atau reaksi untuk mengatasi kejadian-kejadian buruk yang akan terjadi. Karena itu, tahap cooperation (kerjasama) dibutuhkan jika kemungkinan terjadi konflik, dengan cara mengatur dan membagi-bagi pekerjaan dari pihak- pihak yang bersangkutan, maka hal yang terjadi memungkinkan terbentuknya fase solidaritas.110 Jika tahapan ini telah dilalui dengan baik, maka tujuan integrasi lebih meningkat di mana masing-masing kelompok mengharapkan dan bersedia lebih untuk bekerjasama hingga mencapai fase koordinasi, sehingga mendorong

109 Astrid, S., Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Bandung: Binacipta, 1979, hal.125-126 110 Ibid. hal.126

51

terjadinya fase assimilasi111 yang terkandung dalam isi pengertian daripada integrasi menurut Ogburn dan Nimkoff di atas. Bahwa jelas dasar dari integrasi adalah konsensus (kesepakatan dalam pendapat atau norma-norma).

Sebagian besar sosiolog menyatakan bahwa sebenarnya konsep integrasi tidak secara jelas didefinisikan, namun dalam berbagai ilmu sosial konsep integrasi sebagian besar mengacu pada konsep integrasi Parsons terutama menggunakan metode pendekatan integrasi fungsional atau fungsionalisme struktural.

Negara yang memiliki keberagaman karakteristik masyarakat seperti

Thailand rentan dengan konflik dan pertentangan. Menurut Clifford Geertz, ciri- ciri masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terbagi-bagi ke dalam sistem yang kurang lebih berdiri sendiri-sendiri, dimana masing-masing sub sistem terikat ke dalam oleh ikatan-ikatan yang bersifat primordial.

Lebih singkat Pierre L. Van den Berghe112 menyebutkan beberapa karakteristik sifat-sifat dasar dari suatu masyarakat majemuk, yakni :

1) terjadinya segmentasi dalam bentuk kelompok-kelompok yang sering kali

memiliki kebudayaan yang berbeda satu sama lain,

111 Asimilasi adalah proses dalam mengakhiri kebiasaan lama dan sekaligus mempelajari dan menerima kehidupan yang baru. Dalam hal ini kelompok yang diintegrasikan akan melalui proses belajar menerima peraturan-peraturan formil yang didasarkan pada norma –norma masyarakat yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Tercapainya fase ini, akhirnya akan menciptakan intensitas integrasi secara normatif, artinya integrasi berjalan diatas kesamaan selera, norma dan kepentingan-kepentingan masing-masing kelompok. Jika integrasi terjadi pada kelompok pendatang, perlunya pengakuan dari kelompok non-pendatang bahwa mereka sudah menjadi bagian anggota dalam satu grup (in-group). Maka proses ini disebut sebagai penetrasi yang ditinjau dari proses pengakuan. Baca Astrid, S., Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Bandung: Binacipta, 1979, hal.127-128. 112 Pierre, L., van den, Berghe, “Dialectic and Functionalism: Toward a Synthesis”, dalam N.J. Demerath III et.al.eds., System, Change, and Conflict, The Free Press, New York, Collier- McMillan limited, London, 1967, hal.43

52

2) memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga

yang bersifat non-komplementer,

3) kurang mengembangkan konsensus di antara para anggotanya terhadap

nilai-nilai yang bersifat dasar,

4) secara relatif seringkali mengalami konflik-konflik di antara kelompok

yang satu dengan kelompok yuang lain;

5) secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling

ketergantungan di dalam bidang ekonomi;

6) serta adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-

kelompok yang lain.

Thailand merupakan negara yang memiliki karakteristik masyarakat majemuk, akibat dari gagasan modernisasi negara bangsa pada abad 19 dan 20, dan berdampak pada perubahan-perubahan sosial dengan diintegrasikannya

Negara Melayu Patani ke dalam negara bangsa Siam atau Thai, dan melahirkan karakteristik sosial masyarakat berdasarkan etnis, budaya, dan agama.

Proses mengintegrasikan suatu kelompok masyarakat minoritas ke dalam kelompok masyarakat mayoritas, cenderung berpedoman pada pendekatan teori sistem sosial. Pendekatan ini memandang suatu masyarakat terintegrasi secara fungsional ke dalam suatu bentuk ekuilibrium. Salah satu tokoh sosiolog yang mengembangkan teori tersebut adalah Talcot Parsons (1902-1982), sosiolog

53

paling terkenal di Amerika Serikat. Dia menghasilkan sistem teoritis umum untuk analisis masyarakat yang kemudian disebut fungsionalisme struktural.113

Teori fungsionalisme-struktural adalah salah satu perspektif dalam sosiologi yang berkenaan dengan sistem sosial masyarakat yang memandang masyarakat sebagai suatu sistem yang saling berhubungan dan memiliki timbal balik, sekalipun integrasi terjadi tidak tercapai sempurna namun dasar sistem sosial memiliki kecenderungan ke arah dinamis, melalui sistem sosial integrasi mulai berproses meski terjadi ketegangan dan penyimpangan, kemudian melahirkan perubahan-perubahan sosial secara gradual, dan yang terpenting integrasi terjadi secara utuh atas hasil mufakat di antara masyarakat berdasarkan nilai-nilai kemasyarakatan.114

Dengan demikian, hal terpenting dalam proses integrasi adalah dengan memperhatikan sistem sosial (norma dan nilai-nilai kemasyarakatan), yaitu masing-masing secara individual saling berinteraksi dalam suatu situasi dan memiliki kesepahaman yang sama secara kultural. Sebab, sistem sosial yang terdapat dalam masyarakat adalah suatu sistem dari tindakan-tidakan dan berkembang secara tidak kebetulan, namun berkembang di atas konsensus115 dan nilai standar masyarakat. Sistem sosial inilah, yang menjadi sumber

113 http://www.sociologyguide.com/thinkers/parsons.php. Diakses tanggal 25 Juni 2010, pukul 10.27. 114 Talcott Parsons, Towards a General Theory of Action, Massachusetts: Harvard University Press, 1962, hal.207-209. Lihat juga Bernard Raho, SVD., Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007, hal.48-49. Robert Nisbet menyatakan, bahwa fungsionalisme struktural adalah teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial 115 Konsensus atau teori konsensus adalah teori yang memandang norma dan nilai sebagai landasan masyarakat , memusatkan perhatian kepada keteraturan sosial berdasarkan kesepakatan diam-diam dan memandang perubahan sosial terjadi secara lambat dan teratur. Lihat George Ritzer dan Douglas J.,Goodman, Teori Sosiology Modern, Penerjemah: Triwibowo Budi Santoso, Jakarta: Prenada Media, 2003, hal.116

54

berkembangnya integrasi sosial, juga unsur yang menstabilir sistem sosial budaya itu sendiri. Karena menurut Parsons, sistem sosial akan selalu seimbang jika menjaga Safety Valve (katup pengaman) yang terkandung dalam paradigma

AGIL, yaitu Adaptation, Goal Attainment, Integration dan Latency.

Adaptation (adaptasi), yaitu proses menyesuaikan diri dengan lingkungan dan dengan transformasi pada setiap tindakan warga. Adaptasi dilaksanakan oleh sub sistem ekonomi sebagai material untuk bertahan hidup,116 saling berhubungan dalam bidang ekonomi baik jasa, produksi dan distribusi, sebagai permulaan adaptasi dan kebiasaan dengan suatu masyarakat.

Goal Attainment (pencapaian tujuan), subsistem ini berkaitan dengan sistem kepemimpinan dalam politik.117 Suatu sistem yang memiliki tujuan dalam mengatur dan menyusun jika terjadi permasalahan-permasalahan dan ketegangan- ketegangan yang menyebabkan ketidakseimbangan. Perlu diingat bahwa penekanan Parsons adalah bukan pada tujuan individu (pribadi) melainkan pada tujuan kolektif (bersama). Pencapaian tujuan inilah yang dimaksud tujuan pencapaian tujuan, jadi persyaratan fungsi ini terpenuhi jika pengambilan keputusan yang berhubungan dengan cara mengambil prioritas dari sekian banyak tujuan.118

116 Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (editor), Teori-teori Kebudayaan, Yogjakarta: Kanisius , 2005, hal.59. Beberapa analisa Parsons dalam tulisan-tulisannya, menyatakan bahwa sistem ekonomi dilihat sebagai lembaga yang memiliki tanggung jawab utama dalam persyaratan adaptasi tersebut, melalui sumber-sumber alam diubah menjadi fasilitas yang dapat digunakan dan bermanfaat bagi kepentingan individual dan bersama. Misalnya, makanan, pembangunan perumahan, pembangunan rumah sakit, dan lain-lain. Baca Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern,Jilid II, Penerjemah: Robert M.,Z., Lawang, Jakarta: Gramedia, 1986, hal.135. 117 Ibid. hal.60 118 Menurut Parsons, tujuan individu berhubungan dengan tujuan masyarakat melalui perannya sebagai warga Negara. Sedangkan tujuan kolektivitas dapat dihubungkan dengan parta- partai politik dan kelompok-kelompok kepentingan, karena keduanya merupakan dua tipe

55

Integration (integrasi), sistem ini berkaitan dengan penjagaan tatanan, yaitu sistem budaya nilai-nilai umum yang berkaitan dengan hukum dan kontrol sosial.119 Satuan-satuan sistem itu harus berintegrasi dalam arti bahwa mereka dilibatkan dan dikoordinir dalam keseluruhan sistem sesuai dengan posisi dan peranan mereka masing-masing, sebagai jaminan dalam merekatkan ikatan emosional yang cukup menghasilkan solidaritas dan kerelaan untuk bekerjasama.120

Latency, laten berarti sistem harus mampu berfungsi sebagai pemelihara pola, dalam hal ini nilai-nilai kemasyarakatan tertentu seperti, norma, budaya, aturan dan sebagainya. Konsepsi latensi (latency) menunjukkan pada berhentinya interaksi.121 Bahwa setiap anggota kelompok yang diintegrasikan suatu waktu dapat merasakan kejenuhan mengikuti sistem sosial yang ada, maka dari itu diperlukan pemeliharaan dan penjagaan agar komitmen dan interaksi yang dibangun tidak bercerai-berai. Institusi pendidikan dan institusi religius

kolektivitas yang mempunyai pengaruh terhadap penentuan tujuan-tujuan masyarakat. Tujuan prioritas sebagau tujuan dari pencapaian tujuan (Goal Attainment) merupakan sesuatu yang kompleks, yang mencakup strategi politik dan konflik, perundingan dan kompromi yang sudah dianalisa oleh ilmuwan politik. Keputusan itu terdiri dari pengerahan sumber-sumber materiil dan manusiawi, seperti, penarikan pajak, sumber-sumber materiil digunakan, dan individu diterima sebagai tenaga kerja. Lihat Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern,Jilid II, Penerjemah: Robert M.,Z., Lawang, Jakarta: Gramedia, 1986, hal.135. 119 Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (editor), Teori-teori Kebudayaan, Yogjakarta: Kanisius , 2005, hal.60 120 Ikatan emosional ini tidak harus tergantung pada keuntungan atau kepentingan pribadi yang diterima untuk mencapai tujuan, agar kerjasama dan solidaritas yang terjalin tidak tergoyahkan. Karena solidaritas yang terjalin memungkinkan terhindar dari konflik, namun bukan berarti semata konflik tidak ada. Oleh karena itu, Parsons secara khusus mengidentifikasi sistem hhukum dan sistem control sosial keseluruhan sebagai mekanisme utama yang berhubungan dengan integrasi. Baca Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern,Jilid II, Penerjemah: Robert M.,Z., Lawang, Jakarta: Gramedia, 1986, hal.130 dan 135-136. 121 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern,Jilid II, Penerjemah: Robert M.,Z., Lawang, Jakarta: Gramedia, 1986, hal.131

56

merupakan struktur utama yang dapat menyumbangkan pemeliharaan pola-pola budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya.122

Proses keempat fungsional yang dirumuskan Talcott Parsons saling berhubungan satu dengan yang lainnya dan tidak berarti harus sesuai dengan urutan fungsi. Namun, pada dasarnya sistem tersebut berjalan seperti sistem tindakan,123 artinya organisme perilaku124 ialah sistem tindakan yang melaksanakan fungsi adaptasi melalui penekanan sistem ekonomi, menyesuaikan diri dengan lingkungan dan mengubah lingkungan eksternal. Sistem kepribadian melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan menetapkan tujuan sistem dan mengoptimalkan sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan. Sistem Sosial menjalankan fungsi integrasi dengan mengendalikan setiap komponennya. Dan

Sistem Kultural melaksanakan fungsi pemeliharaan pola.125

Menurut Parsons, kunci persyaratan pemeliharaan integrasi ialah dengan sosialisasi dan internalisasi. Proses sosialisasi yang sukses terhadap nilai dan norma akan diinternalisasikan. Artinya adanya keasadaran aktor (individu) bahwa ketika menjalankan kepentingan pribadi dia pun sadar tengah membawa kepentingan kolektif (sistem sosialnya).

122 Ibid. hal.136 123 George Ritzer dan Douglas J.,Goodman, Teori Sosiology Modern, Penerjemah: Triwibowo Budi Santoso, Jakarta: Prenada Media, 2003, hal.121 124 Persyaratan pemenuhan kebutuhan biologis untuk mempertahankan hidup. Lihat Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern,Jilid II, Penerjemah: Robert M.,Z., Lawang, Jakarta: Gramedia, 1986, hal.135 125 George Ritzer dan Douglas J.,Goodman, Teori Sosiology Modern, Penerjemah: Triwibowo Budi Santoso, Jakarta: Prenada Media, 2003, hal.121

57

BAB IV

ANALISIS INTEGRASI PATANI TAHUN 1902-1932

A. Proses Integrasi Patani ke Dalam Wilayah Thailand

a. Pencetus dan Faktor Integrasi

Apabila merujuk pada sejarah awal hubungan perdagangan Patani dengan

Siam pada masa Ayuthia, secara garis besar, memiliki relevansinya dengan kedatangan dan penyebaran Islam di wilayah Asia Tenggara. Titik fokus penyebaran Islam selalu menempati teritori pesisir dan pelabuhan, dan perdagangan126 sebagai jalur yang terpenting dalam proses penyebaran dan perkembangan Islam di Asia Tenggara. Struktur perkembangan ekonomi dan perdagangan Ayuthia tidak terlepas dari gelombang besar pertama Islamisasi di

Asia Tenggara. Negara-negara Islam (kesultanan) kecil di Semenanjung Malaya, seperti Malaka dan Patani terletak di pinggir entitas politik yang lebih besar, bukan karena kekuatan militer atau asumsi stabilitas masyarakat pertanian, melainkan berdasarkan kekuatan perdagangan.127 Potensi umat Islam Melayu khususnya Patani,128 dimanfaatkan oleh Ayuthia dalam mengembangkan proyek

126 A.H. Smith dan Fatimi, di sisi lain, menganggap bahwa jalur penting Islamisasi di Asia Tenggara berpusat pada imam-imam sufi. Kecakapan para imam sufi dalam ilmu kebatinan dan memiliki kekuatan penyembuh tidak kalah penting. Tentu saja keberhasilan para pedagang dalam menyebarkan Islam acapkali didukung dengan kekuatan politik dan militer, namun keberhasilan para pedagang Muslim tanpa didukung kemampuan seperti seorang sufi yang telah menjalani proses batiniah, karena setiap orang di Asia Tenggara yang memeluk Islam juga menjalani proses peralihan batiniah. Lihat Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES, 2004, hal.23. 127 Carool Kersten, The Predicament of Thailand’s Southern Muslim, The American Journal of Islamic Social Sciences 21:4, hal.3 128 Khususnya bagi kelompok Melayu, mereka sering menetap di sekitar tempat dekat pelabuhan, sehingga mereka lebih sering mengadakan kontak dengan pedagang asing. Di satu sisi, mereka diuntungkan dengan kondisi alam dan pembayaran pajak cukai, karena orang Melayu

58

komersialnya secara lebih luas, jika waktu terdahulu hubungan komersil Ayuthia hanya terbatas dengan komunitas Hindu-Budha di Indocina dan Cina.

Pemanfaatan ini diikuti dengan penempatan umat Islam di posisi penting dalam kerajaan Ayuthia, mereka diangkat sebagai menteri perdagangan, dan penasihat raja.129 Mereka juga dijadikan sebagai mediator perdagangan dengan Muslim lainnya dari Timur Tengah, Asia Selatan, dan Melayu.

Populasi Muslim di Ayuthia meningkat, termasuk Muslim dari Persia,

Arab, Pakistan, Gujarat, Filiphina, Aceh dan Melayu. Melayu, komunitas paling banyak.130 Kondisi ini menuntut adanya penerapan kebijakan toleransi, dan akhirnya Ayuthia sebagai kerajaan monarki absolut mengakui multi-agama, multi- budaya masyarakat131 di bawah sistem anak sungai (upeti), dan mengklaim kedaulatan yang dimiliki negera-negara kecil Muslim, termasuk Kesultanan

(Kerajaan) Patani.

Kebijakan-kebijakan politis Siam terhadap Patani, lambat laun disadari sebagai upaya penjajahan secara halus. Sadar dengan potensi alam yang memadai,

dianggap paling menonjol dalam pembajakan dan perdagangan lokal, karena itu egara-negara Melayu yang cukup berpengaruh adalah, Pasai, Malaka, Patani dan Brunei selalu dikembangkan menjadi pusat budaya dan administrasi. Howard Federspiel, Sultans, Shamans, and Saints: Islam and Muslims in Southeast Asia, United State of America: University of Hawai’i Press, 2007, hal.30 129 Salah satu contoh, Syekh Ahmad dikenal raja yang telah ditunjuk sebagai menteri perdagangan dan urusan luar negeri. Posisi Syekh Ahmad diadakan tanggung jawab besar, termasuk tugas impor dan ekspor dan pengawasan pelayaran internasional. Syekh Ahmad hanyalah salah satu contoh dari kaum Muslimin banyak selama periode Ayuthia yang berhasil tidak hanya mengamankan posisi penting dalam perdagangan, tetapi juga janji kepala politik. 130 Peningkatan jumlah populasi Melayu di Ayuthia, menurut Omar Farouk bukan saja disebabkan oleh faktor perdagangan, melainkan karena perbudakan, dan tawanan perang. Baca Omar Farouk Bajunid, The Muslims in Thailand: A Review, Southeast Asian Studies, Vol. 37, No. 2, September 1999, hal.219-220. 131 Thesis oleh Daniel J. Pojar, Jr. Lesson Not Learned: The Rekindling of Thailand’s Pattani Problem, Monterey, California, 2005, hal.9-10. Hal ini berbeda dengan kondisi yang dialami Melayu-Muslim Thailand sekarang, mereka dipaksa untuk berintegrasi dengan Thainisasi atau Siamisasi yang dilakukan oleh pemerintah Thailand.

59

dan kondisi politik serta ekonomi Patani saat itu semakin mapan, maka Melayu-

Muslim Patani berupaya menarik diri dari kerjasamanya dengan Ayuthia dan berusaha bersikap resisten dengan kebijakan sistem upeti kerajaan Ayuthia.132

Selain itu, mereka memiliki keterbatasan dalam mengembangkan Islam karena

Ayuthia tidak mentolerir konversi Budha ke Islam. Pun kejatuhan Malaka ke tangan Portugis, akhirnya membawa reputasi pelabuhan Patani menjadi pusat perdagangan regional yang dapat diperhitungkan.

Sikap resisten Melayu-Muslim Patani terhadap Ayuthia diilustrasikan dengan berbagai pemberontakan Patani. Beberapa pertempuran tersebut, merupakan bentuk penegasan kembali otonomi penuh kerajaan Patani sebagai kerajaan Islam, dan penolakan terhadap sistem upeti karena dianggap sebagai bentuk penjajahan. Dari paruh abad 16 hingga abad 17 penegasan otonomi Patani tersebut berhasil.

Ayuthia sempat melakukan perdamaian dengan pihak Patani, namun ketegangan dan pertempuran kembali bergulir ketika Dinasti Chakri berakhir dan

Siam memindahkan pusat pemerintahannya ke Bangkok tahun 1767.

Dua pelajaran penting dari sejarah hubungan Patani dengan Siam di atas.

Pertama, pada gelombang Islamisasi pertama Patani dengan Siam memiliki hubungan yang sangat baik, Siam menerima Islam dan hidup berdampingan

132 Menurut Carool Kersten, sistem upeti bagi Siam adalah bentuk sumpah suci setia kerajaan-kerajaan kecil terhadap Siam, sedangkan bagi Melayu-Muslim sistem upeti merupakan bentuk ‘buying-off’ atau upaya menyuap dengan dalih agar negara-negara kecil tersebut dilindungi dan diakui oleh kerajaan Ayuthia sebagai kerajaan yang memiliki pengaruh sangat besar dalam politik dan ekonomi pada waktu itu. Persepsi inilah yang dianggap Kersten menimbulkan ketegangan dan akar kebencian Patani terhadap Siam. Baca artikel oleh Carool Kersten, The Predicament of Thailand’s Southern Muslim, The American Journal of Islamic Social Sciences 21:4, hal.3.

60

dengan masyarakat Budha. Kedua, adanya persepsi Muslim Patani bahwa mereka selalu dijadikan bangsa jajahan. Meski pada masa Ayuthia sistem anak sungai satu-satunya sistem yang diizinkan, namun Patani masih memiliki kedaulatan, tidak hanya diizinkan mempertahankan budayanya sendiri melainkan juga mempertahankan penguasanya sendiri. Namun, kondisi ini telah menumbuhkan akar kebencian Patani atas Siam, apalagi semenjak kebijakan yang berlaku pada masa Ayuthia berubah ketika awal pemerintahan Siam di Bangkok, dengan memasukkan konsep integrasi Thainisasi atau Siamisasi terhadap masyarakat

Melayu-Muslim Patani.

Kebijakan integrasi Thailand secara komprehensif dilatarbelakangi oleh pembentukan konsep nasionalisme negara Thailand dan modernisasi Thailand pada abad 20. Menurut David J. Steinberg antara tahun 1919 sampai 1941, penerapan kebijakan reformasi Thailand akibat hasil dari kerja politik Rama V atau Raja Chulalongkorn (1868-1910) dari tahun 1890.133

Gagasan untuk melakukan reformasi atas birokrasi di Thailand memang sudah muncul sejak pemerintahan raja Chulalongkorn atau Rama V (1868-1910).

Reformasi itu dilakukan dalam rangka memperkuat pengendalian administrasi pemerintahan oleh raja Chulalongkorn dan dalam rangka mempertahankan kerajaan dari ancaman pihak luar. Namun dasar bagi pembentukan suatu birokrasi modern dalam pemerintahan di Thailand, untuk pertama kalinya dilakukan oleh

133 Cahyo Pamungkas, “The State Policies Towards Southern Border Provinces”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Jakarta: Pusat Penelitian Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI), 2004, hal.65.

61

pangeran Damrong134 pada 1892.135 Akan tetapi reformasi tersebut tidak membawa perubahan yang signifikan, dan sebaliknya, justru makin memperkuat posisi birokrasi Siam dalam pengendalian pemerintahan.

Chulalongkorn merupakan keturunan raja Mongkut (Rama IV) dan ratu

Debsirindra. Ia menggantikan ayahnya pada 1 Oktober 1868 sebagai Raja kedua dari Utara dan Selatan Siam dan seluruh dependensinya yang pada saat itu termasuk Chiang Laos, Laos Kao, dan orang-orang Melayu.136

Semasa hidupnya raja Chulalongkorn pernah melakukan kunjungan ke

Singapura dan Jawa sebanyak dua kali, dan ke India satu kali. Kunjungan tersebut bersifat politis demi untuk mempelajari sistem politik dan administrasi kolonialis

Eropa yang pada waktu itu memerintah Asia Tenggara dan Asia Selatan. Selain itu, dia juga banyak mempelajari berbagai cabang seni dan ilmu pengetahuan seperti royal tradisi (tradisi kerajaan), administrasi publik, arkeologi, pali (ilmu kuna dari India), bahasa Inggris, ilmu militer, gulat, cara dan teknik menggunakan

134 Pridi Banomyong adalah ‘Bapak Demokrasi’ di Thailand. Ia dilahirkan sebagai orang biasa pada tanggal 11 Mei 1900 di Ayutthaya. Pada usia 20 ia mendapat beasiswa studi Hukum di Perancis, dari Kementerian Kehakiman Thailand, tahun1920-1927. Meskipun ia belajar di luar negeri, ia tidak pernah kehilangan cita-cita, atau kesadaran akan kebutuhan untuk mengatasi masalah-masalah sosial dan ekonomi yang dihadapi kaumnya. Cita-citanya adalah mengubah pemerintah mutlak menjadi pemerintahan yang demokratis sebagai dasar untuk membangun Siam di masa depan. Dia percaya bahwa sistem politik demokrasi adalah sebuah cara untuk mengembangkan masyarakat Thailand beradab. Kemudian,ia mendirikan Partai Rakyat (People Party) dan meluncurkan sebuah revolusi tanpa kekerasan pada tanggal 24 Juni 1932 di Bangkok. Prinsipnya adalah: mempertahankan dan menjamin pembebasan semua warga negara baik dalam politik dan ekonomi. Lihat Cahyo Pamungkas, “The State Policies Towards Southern Border Provinces”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Jakarta: Pusat Penelitian Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI), 2004, hal.72 135 Syamsuddin Haris, Birokrasi, Demokrasi, Dan Penegakkan Pemerintahan Yang Bersih: Pelajaran Dari Indonesia Dan Thailand, hal.,107 akses dari situs http://katalog.pdii.lipi.go.id/index.php/searchkatalog/downloadDatabyId/669/669.pdf. Diakses pada tanggal 2 Agustus 2010, pukul 17:52 WIB. 136 Imtip Pattajoti , The Journey to Java by a Siamese King . Jakarta: The Ministry of Foreign Affairs of Thailand, 2001. Akses dari situs www.m-culture.go.th. Diakses tanggal 8 Maret 2010, pukul 19:07 WIB.

62

senjata.137 Cara-cara inilah yang mendorong raja Chulalongkorn membawa perubahan negara Thailand dengan konsep nasionalisme dan modernisasi negara

Thailand, dengan mereformasi sistem administrasi pemerintah dan kebijakan- kebijakan politik baik secara struktur maupun suprastruktur.

Di sisi lain, kondisi komersial Patani antara tahun 1842-1900 mengalami persaingan yang sangat serius dengan pelabuhan di wilayah Asia Tenggara lainnya. Bahkan hubungan Patani dengan Siam mengalami fluktuasi yang berakibat munculnya rasa sentimental Melayu-Muslim Patani terhadap Siam, dan menyuarakan anti-Siam atau anti-Thai. Diprakarsai oleh kalangan elite kerajaan

Patani, akhirnya, Patani melancarkan pemberontakan dan perlawanan terhadap

Siam. Meski Siam, akhirnya, dapat mematahkan perlawanan dan pemberontakan tersebut, namun tidak menghentikan tekad Melayu-Muslim Patani melawan Siam.

Akibat pemberontakan inilah, sehingga mendorong Siam masa Chulalongkorn membuat suatu kebijakan administrasi baru bagi Patani untuk mengontrol situasi dan kondisi masyarakat Patani apabila terjadi ketegangan-ketegangan.

Keberadaan Thailand pada waktu itu, dibutuhkan oleh negara-negara imperialis, yang menang dalam Perang Dunia II, bukan sebagai negara penyangga tetapi untuk memblokade pengaruh komunis ideologi dari Cina ke Asia Tenggara.

Kebijakan Siam di provinsi-provinsi perbatasan selatan berdasarkan negara kebijakan untuk mengembangkan nasionalisme Thailand dan memperkuat cengkeraman pemerintah politik di sungai negara.

137 Ibid.

63

Setelah Perang Dunia II berakhir, konteks nasionalisme Thailand berubah untuk mencegah ekspansi komunis. Walaupun Thailand adalah sebuah negara merdeka, namun selalu di bawah pengaruh negara-negara kolonial Barat.

Akibatnya, Thailand selalu dipaksa untuk mengadaptasi budaya politik untuk beradaptasi dengan situasi regional dan internasional. Dalam hal ini, Islam di

Melayu di Patani adalah kelompok yang paling kurang beruntung karena intervensi kolonial Barat yang tidak pernah menghormati aspirasi mereka.

Kebijakan integrasi Thailand terhadap Patani semakin dipercepat, manakala kedatangan kolonial Eropa ke Asia Tenggara yang membawa dampak perubahan sosial politik yang luar biasa, sekaligus mengilhami konsep nasionalisme atau modernisasi Siam (Thailand) pada awal abad 20.138 Akibat menanggapi ancaman ekspansi kolonial Eropa ketika berusaha meratifikasi pembagian wilayah jajahan dan usaha Siam terlepas dari penjajahan oleh bangsa

Eropa. Akhirnya, Siam mengupayakan jalan diplomasi dengan konsekuensi harus melepas Laos dan Kamboja sebagai wilayah Perancis melalui perjanjian Siam-

Perancis tahun 1907, dan melalui perjanjian Anglo-Siam pada tahun 1909 Patani dan sebagian wilayah Kedah yaitu Satun menjadi sepenuhnya kekuasaan Siam, dan Siam melepaskan klaim teritorialnya terhadap Kelantan, Terengganu, Kedah

138 Konsep nasionalisme negara bangsa dan modernisasi disebut-sebut Thongchai Wincichakul, seorang sejarawan penggagas identitas Thai, menyebutnya dengan istilah ‘geo-body’ (geo-tubuh). Menurutnya konsep geo-tubuh merupakan efek praktek modern dan teknologi pemetaan. Dalam kasus Thailand, pada masa Ayuthia, hampir negara-negara di Asia Tenggara tidak memiliki batasan teritorial secara jelas, politik perbatasan biasanya tidak stabil dan sering tumpang tindih. Kekuatan negara atau kerajaan dapat diukur oleh sejauh mana mereka mendapat pengakuan dari negara atau kerajaan kecil. Sebagai tanggapan kasus di atas, wilayah Thailand dipetakan dan dibatasi sebagai geo-tubuh dari Siam. Lihat James D Sidaway, The Geography of Political Geography, Department of Geography National University of Singapore, dalam K. Cox, M. Low and J. Robinson (eds) The Handbook of Political Geography (Sage), hal.11-12.

64

dan Perlis. Sedangkan kolonial Inggris melepaskan klaimnya atas wilayah Siam dan mengakui kedaulatan Siam.

Mengapa Inggris dan Perancis akhirnya mengakui kedaulatan Siam dan membuka jalan diplomasi bagi Siam? Nik Annuar menyebut abad 19 M adalah zaman imperialisme baru. Kala itu, Asia Tenggara tengah diperebutkan oleh bangsa-bangsa Eropa, tujuan utama mereka adalah menguasai lahan perdagangan.

Inggris dan Perancis sama-sama bersaing memperebutkan bagian timur laut

Burma dan selatan China, dan negara-negara Melayu Utara hingga Genting Kra.

Di kedua kawasan itu, Inggris dan Perancis mempunyai kepentingan perdagangan dan strategis. Ketika Inggris menaklukkan Hulu Burma pada 1886, Perancis tengah meluaskan penjajahannya di wilayah Annan dan Tongking. Persaingan ini mencapai puncaknya pada 1893. Namun tujuan memperluas wilayah jajahan tersebut terhambat dengan kekuatan Siam yang telah mapan secara politik dan ekonomi dibandingkan dengan wilayah Asia Tenggara lain. Pun, Perancis masih berupaya memperluas wilayah jajahannya, terutama di wilayah yang menjadi jajahan Siam.139 Atas dasar inilah, Inggris dan Perancis menerima dan membuka jalan diplomasi dengan Siam, di samping Siam merasa terancam jika wilayah jajahannya diekspansi oleh Inggris dan Perancis.

Setelah ditandatanganinya perjanjian Anglo-Siam 1909, Siam memutuskan membagi Patani menjadi tiga provinsi yaitu, Narathiwat, Pattani,

139 Nik Anuar Nik Mahmud, Perjanjian Bangkok (1909) dan Implikasinya kepada Keselamatan dan Kestabilan Serantau, Institut Alam dan Tamadun Melayu. Akses dari situs http://www.scribd.com/doc/13353098/Perjanjian-Bangkok-19. Diakses pada tanggal 02 Agustus 2010, pukul 17:52 WIB.

65

Yala dan Songkhla yang kini ditempati oleh mayoritas Muslim, dan mengambil sebagian wilayah Kedah, yaitu Satun.

b. Tahapan Integrasi Thailand terhadap Patani

1. Tahapan Adaptation

Sebenarnya proses integrasi Patani menjadi wilayah integral Thailand telah direncanakan pada masa awal pemerintahan Chulalongkorn, dengan mengenalkan kebijakan reformasi administrasi melalui konsep Thesaphiban tahun

1897. Namun, kebijakan reformasi tersebut mulai diimplementasikan pada tahun

1902 hingga 1906.140 Sistem ini, awalnya bertujuan untuk mengatasi kerusuhan dan pemberontakan Melayu-Muslim Patani yang terjadi pada waktu sebelumnya, dan menghalau kolonialisme Eropa yang mulai mengancam integritas wilayah

(jajahan) Siam.

Adaptasi dalam proses integrasi Patani ke dalam wilayah Thailand, menekankan pada kebutuhan ekonomi. Hal ini dilakukan, agar negara memiliki pendapatan yang cukup dan memiliki sumber tenaga untuk mendukung pertahanan negara. Berdasarkan tujuan inilah, dapat diketahui jika, tahapan adaptasi yang dilakukan Siam adalah untuk penguatan dan rasionalisasi administrasi dan pengembangan ekonomi.

Proses awal integrasi tersebut pada tingkat ekonomi dan kesejahteraan sosial, pemerintah Thailand melakukan tahapan adaptasi melalui kebijakan eksploitasi koleksi karet dan pertambangan timah terhadap orang Patani dan

140 Thanet Aphornsuvan, History and Politics of The Muslims Thailand, Bangkok: Thammasat University, 2003, hal.14.

66

pekerja migran, walaupun sebagian besar mata pencahariaan Melayu-Muslim

Patani adalah nelayan.141 Di samping itu, pemerintah Siam juga mengenalkan sistem baru dalam koleksi pajak, seperti sistem pajak-candu (pajak-pertanian).

Sistem ini berlangsung atas usulan Phya Sukhum, hasil pajak tersebut akan dibagi dua antara raja Siam dan raja Patani. Semula sistem pajak ini ditentang pihak

Patani, namun Chulalongkorn meyakinkan bahwa sistem pajak ini sangat menguntungkan. Tahun pertama berjalan cukup rapi, hasil pajak dibagikan ke tujuh Negara bagian Patani sebesar $ 30,200 per tahun. 142 Situasi ini tidak berlangsung lama, setelah tahun kedua sistem pajak tersebut berjalan, Siam mengingkari perjanjian pajak yang telah disepakati. Hal ini benar-benar menimbulkan kemarahan raja Patani dengan mengancam akan melakukan tindakan yang lebih keras, karena menganggap Siam membahayakan otoritas raja

Patani.

Nampaknya proses adaptasi yang dimaksud Parsons, memiliki interpretasi yang sama dengan fase akomodasi yang dijelaskan oleh Ogburn dan Nimkhoff.

Sikap Siam yang berupaya mengingkari perjanjian pajak dengan Patani, merupakan faktor yang dapat memperburuk hubungan adaptasi yang telah dibangun sesuai dengan kesepakatan. Maka kemungkinan munculnya konflik sangat besar, karena proses adaptasi dan akomodasi sama-sama menekankan suatu pekerjaan yang membutuhkan penyesuaian, dan dalam tahapan ini kedua pihak

141 Ibid. hal.51. 142 Paulus Rudolf Yuniarto, “Integration of Pattani Malays: a Geopolitical Change Perspective”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Pusat Penelitian Sumberdaya Regional (Indonesia), 2004, hal.54.

67

yang melakukan kerjasama belum tentu berada dalam satu lingkaran kepentingan yang sama.

Dalam kasus Patani, konflik terjadi kembali akibat pelaksanaan daripada perjanjian pajak tidak sesuai dengan kesepakatan awal. Sehingga dapat dikatakan, sistem pajak-pertanian antara Siam dengan Patani sebagai langkah pertama integrasi tidak berhasil, akibat kelalaian dari pada pihak Siam sendiri. Di satu sisi, ketegangan akibat kelalaian tersebut menyeruak kembali, dan mendesak Siam menerapkan beberapa kebijakan politik untuk menyatukan persepsi dan tujuan masing-masing pihak yang akan berintegrasi.

Akan tetapi, Siam berhasil mengkonsolidasikan beberapa sistem kebijakan demi mengatasi kemarahan dan kemungkinan terjadinya pemberontakan di kalangan para raja dengan membangun beberapa akses sarana demi kebutuhan birokrasi dan mengatasi kemarahan raja Patani atas kebijakan-kebijakan di atas,

Siam membuat strategi pembangunan seperti yang dilakukan Inggris di

Semenanjung Malaya. Siam mengutamakan pembangunan dalam bentuk prasarana jalan, dinas pos, dan keamanan bagi kegiatan komersial, serta pemukimam untuk orang Thai-Budha yang tinggal di wilayah Patani untuk menyeimbangkan jumlah dominasi penduduk Melayu-Muslim Patani.143

2. Tahapan Goal Attainment (pencapaian tujuan)

Goal attainment adalah tahapan dalam integrasi yang dilakukan jika terjadi sebuah konflik dan ketegangan antara dua belah pihak. Goal attainment

143 Surin Pitsuwan, Islam di Muangthai: Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani, Jakarta: LP3ES, 1989, hal.29

68

menitikberatkan pada proses kesepakatan atas kebijakan-kebijakan politik, sehingga membentuk satu kerjasama (cooperation). Dalam tahapan ini, segala keputusan benar-benar disepakati bersama yang dibangun dengan kepentingan masing-masing kelompok.

Namun, semua keputusan dan kebijakan-kebijakan politik integrasi

Thailand terjadi dengan tidak melibatkan pihak Patani. Setelah Patani sejak awal dianeksasi, kemudian wilayah intern Patani dirombak berdasarkan kebijakan reformasi administratif yang dimulai tahun 1902. Maka untuk mematahkan kembali kekuatan Melayu-Muslim Patani, wilayah Patani yang telah dibagi menjadi 7 provinsi kemudian dirombak kembali menjadi empat provinsi yang lebih besar, yakni Patani, Bangnara, Saiburi dan Yala.144 Satun merupakan sebuah distrik di Kedah juga dimasukkan menjadi wilayah Siam, yang diberi nama

Provinsi Satun, perombakan ini terangkum ke dalam sistem Monthon (Monthon

Patani) tahun 1906.

Konsep Monthon diperkuat pada Perjanjian Anglo-Siam 1909, dengan tujuan mengukuhkan kekuasaan Siam terhadap Patani secara mutlak dan menyerahkan Kedah, Terengganu, Perlis, dan Kelantan kepada Inggris. Perjanjian ini ditandatangani antara Siam dengan kolonial Inggris, dan menyepakati Patani sepenuhnya menjadi bagian integral Thailand, dan wilayah Kedah, Kelantan,

Terengganu, dan Perlis diserahkan Siam kepada Inggris dan menjadi hak wilayah di bawah penguasaan Inggris.

144 Bangnara adalah Propinsi Narathiwat yang resmi berganti nama menjadi Propinsi pada tanggal 10 Juni 1942. Propinsi Saiburi (Setul) dibubarkan dan dimasukkan ke dalam Propinsi Patani pada tanggal 16 Februari 1931. Lihat W.K. Che Man, hal.45

69

Kepentingan ekonomi dan konflik yang terjadi dengan Kerajaan Patani, kemudian menjadi faktor Siam tidak menyerahkan Patani ke tangan Inggris. Bagi

Siam, Patani adalah ’permata’ yang paling berharga,145 terutama karena potensi pelabuhan Patani yang pada saat itu diperebutkan oleh bangsa Eropa sebagai akses kepentingan komersial. Karena Patani adalah kerajaan Islam Melayu di selatan yang tengah menjadi persengketaan antara Siam dengan Inggris. Selain itu, setelah Perang Dunia II berakhir, beberapa adaptasi di perbatasan antara

Inggris dengan Myanmar, Inggris dengan Malaya dan Perancis dengan Indo-Cina terjadi, kemudian, Komisi Internasional menentukan bahwa Thailand tidak punya hak untuk wilayah Indonesia dan Cina karena perbedaan etnis, geografi, dan ekonomi. Dengan demikian, Indo-Cina menjadi hak teritorial Perancis.146

3. Tahapan Integrasi (integration)

Proses integrasi Patani pada tahapan ini, adalah Siam mengalihkan sistem pemerintahan ke Bangkok, dan mencopot kekuasaan dan posisi raja atau sultan dan menggantikannya dengan para birokrat Thai-Budha dari Bangkok dan provinsi-provinsi utara. Para bangsawan Patani kehilangan wewenangnya untuk memajaki rakyat, itu berarti mereka kehilangan sumber pendapatan berupa uang yang mereka pungut secara bersama-sama dari rakyat. Sistem pemungutan dan golongan wajib pajak diperluas hingga mencakup bidang pekerjaan dan

145 Nik Anuar Nik Mahmud, Perjanjian Bangkok (1909) dan Implikasinya kepada Keselamatan dan Kestabilan Serantau, Institut Alam dan Tamadun Melayu, hal.5. Akses dari situs http://www.scribd.com/doc/13353098/Perjanjian-Bangkok-19. Diakses pada tanggal 02 Agustus 2010, pukul 17:52 WIB. 146 Cahyo Pamungkas, “The State Policies Towards Southern Border Provinces”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Jakarta: Pusat Penelitian Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI), 2004, hal.76.

70

perdagangan. Pembebasan pajak yang tadinya diberikan kepada para bangsawan dihapuskan. Kondisi ini, akhirnya menyadarkan para bangsawan untuk mengajukan beberapa syarat,147 sebagai berikut:

1. Agar semua anak cucu kaum bangsawan, termasuk anggota kerabat yang

paling dekat, memperolah penghasilan tahunan dari pemerintah,

2. Agar semua orang tersebut di atas dibebaskan dari pajak tahunan tanah,

3. Agar semua orang tersebut di atas dibebaskan dari kewajiban menjalani

dinas militer, termasuk keharusan membayar uang sebagai pengganti

kewajiban tersebut,

4. Agar semua yang bekerja demi kepentingan kaum bangsawan

dibebaskan dari pajak perorangan.

Akan tetapi, tahun 1905 Siam yang diwakili oleh pangeran Damrong, menteri dalam negeri, menegaskan kebijakan untuk mengakomodasi permintaan tersebut, bahwa para bangsawan Patani hanya akan digaji sesuai dengan pengabdian mereka kepada pemerintah, bukan karena status dan gelar mereka.

Kedua, setiap ganjaran yang diberikan kepada kaum bangsawan diupayakan sebagai bentuk integrasi politik penuh ke dalam Siam, agar memperkecil rasa keterasingan dan menjaga agar tidak terjadi preseden buruk dalam memperkuat hasrat untuk merdeka pada generasi mendatang. Ketiga, pemerintah hanya akan mengakui keturunan langsung dari para raja, karena permintaan kaum bangsawan

147 Surin Pitsuwan, Islam di Muangthai: Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani, Jakarta: LP3ES, 1989, hal.26

71

tersebut hanya akan menjadikan pemerintah mengakui keberadaan pasukan- pasukan yang dapat melawan otoritas pemerintah Siam.148

Selain kerugian yang dialami para bangsawan Patani, integrasi politik Thai

Thailand juga berimbas kepada perekonomian rakyat Patani. Kesenjangan ekonomi semakin membuat jarak sosial antara Melayu-Muslim Patani, Thai-

Budhis dan Cina, posisi Muslim Patani berada di strata terendah. Mayoritas masyarakat Patani adalah produsen karet, namun dalam proses industrialisasi dan pemasaran orang-orang Thai-Budhis dan Cina yang merasakan keuntungan yang lebih dibanding Melayu-Muslim Patani. Karena, orang-orang Thai-Budhis dan

Cina lebih menguasai sektor bisnis aspek komersial karet sebagai pemilik hutan tanaman dan dikembangkan oleh pemerintah Thailand.149

Sejak awal kebijakan reformasi administrasi diterapkan, raja

Chulalongkorn sangat hati-hati dalam mengajukan pertimbangan-pertimbangan politis dalam rangka mengintegrasikan Melayu-Muslim Patani ke dalam negara dan bangsa Thai. Nampaknya, Chulalongkorn menyadari perbedaan agama antara

Thai dengan Melayu-Muslim Patani. Sementara pemerintahThailand merancang hukum Islam diintegrasikan ke dalam struktur hukum dan undang-undang

Thailand, hukum Islam tetap dibiarkan berjalan, dan mentolerir raja Patani memerintah dengan menggunakan hukum Islam.150 Namun, di atas berjalannya hukum Islam, pun harus berjalan di bawah undang-undang Siam, kecuali hukum

148 Ibid. hal.26-27. 149 Erni Budiwanti, “Minoritas Muslim d Filipina, Thailand dan Myanmar: Masalah Represi Politik”, dalam Riza Sihbudi, Problematika Minoritas Muslim di Asia Tenggar: Kasus Moro, Pattani, dan Rohingya, Jakarta: Puslitbang Politik dan Kewilayahan, LIPI, 2000, hal.128. 150 Thanet Aphornsuvan, History and Politics of The Muslims Thailand, Bangkok: Thammasat University, 2003, hal.15. Dengan demikian, secara berangsur hukum Islam (syariah) dihapus.

72

waris dan hukum keluarga.151 Damrong merumuskan agar diangkat enam qadi

(hakim) Melayu-Muslim, dan berhak memilih hakim penengah dari kalangan

Thai. Segala keputusan berada pada kuasa hakim Melayu-Muslim, namun keputusan akhir tetap berada di tangan hakim Thai. Hal ini dilakukan agar raja tidak mempergunakan pengaruh mereka kepada rakyatnya. Pemerintah Thai menyerahkan prosedurnya kepada raja atau sultan Patani.

Dalam ranah politik dan pemerintahan, pemerintah Thailand mengubah wilayah Patani menjadi sebuah provinsi, sekaligus mengubah struktur pemerintahan Patani yang semula berbentuk kesultanan atau raja-raja, menjadi di bawah pengawasan gubernur yang ditunjuk langsung oleh pemerintah pusat

Thailand di Bangkok.152

Proses integrasi Thailand terhadap Patani pun berlanjut pada bidang budaya, pendidikan dianggap alat utama dalam mempromosikan nasionalisme

Thailand. Setelah pemerintahan raja Chulalongkorn, putranya yang bernama raja

Rama VI Vajiravudh (1910-1925) resmi menjadi raja Siam. Kebijakan Integrasi

Politik masa raja Vajiravudh adalah dengan menerapkan Undang-Undang

Pendidikan Nasional tahun 1921 yang memaksa setiap lembaga pendidikan di

Thailand untuk menggunakan bahasa Thai.153 Kebijakan ini menyelenggarakan

151 Bahkan dalam kasus keluarga dan warisan pun, keputusan hakim Muslim belum final jika tidak disepakati oleh hakim Thai. 152 Daerah-daerah di Asia Tenggara dibawah kontrol Amerika dan Thailand, kehilangan karakteristik sistem politik dan lembaga-lembaga pemerintahan Islam (kesultanan, sultanat). Tidak seperti daerah di bawah kontrol Inggris, ciri pemerintahan Islam masih dipertahankan meskipun menyesuaikan dengan ide-ide kolonial Inggris. (Howard Federspiel, Sultans, Shamans, and Saints: Islam and Muslims in Southeast Asia, United State of America: University of Hawai’i Press, 2007, hal.242). 153 Cahyo Pamungkas, “The State Policies Towards Southern Border Provinces”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Jakarta: Pusat Penelitian Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI), 2004, hal.67

73

program pendidikan sekuler yang dilakukan oleh para rahib Budha, kepala desa, dan para pejabat pendidikan pemerintah. Pada tahapan ini, pemerintah Thai mulai menekankan penggunaan bahasa Thai setelah tahun 1910. Ada upaya terpadu untuk mendidik Melayu-Muslim Patani menjadi Thai, dan ada kekhawatiran dari kaum bangsawan Patani, bahwa bahasa Thai akan mengarah para erosi dari bahasa dan budaya Melayu.154

Setelah kematian raja Vajiravudh, tahta Kerajaan Siam digantikan oleh raja Prajadhipok (1925-1935). Pada periode raja Prajadhipok, Siam memberlakukan kebijakan integrasi dengan mengkategorikan kebijakan tersebut menjadi dua, yakni Politic Partisipation (politik partisipasi) dan Cultural

Assimilation Policy (politik asimilasi budaya).155

Kebijakan politik partisipasi terjadi akibat adanya perubahan politik di internal Siam yang signifikan. Munculnya kudeta dari Partai Rakyat Kekuasaan

Raja (People’s Party of the King’s power) dan konflik internal pemerintahan antara menteri Pertahanan, pangeran Bovaradej, dengan menteri Perdagangan,

Pangeran purachatra.156 Akibatnya, Bangkok mengalami krisis politik.

Di satu sisi, terjadi gerakan bawah tanah yang diprakarsai oleh cendikiawan kelas bawah, yaitu Mr. Pridi Banomyong. Tanggal 24 Januari 1932, dia mendirikan lembaga politik untuk mengambil kekuasaan revolusi tanpa kekerasan. Inti dari UUD (Undang-Undang Dasar) 1932, yaitu mengakui status

154 S.P.Harish, Changing Conflict Identities: The Case of the Southern Thailand, No.107 (February 2006), Singapure, Institute of Defence and Strategic Studies, hal.6 155 Cahyo Pamungkas, “The State Policies Towards Southern Border Provinces”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Jakarta: Pusat Penelitian Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI), 2004, hal.72 156 Ibid.

74

raja sebagai kepala angkatan bersenjata dan pelindung Budha, serta penganut agama lainnya. Prinsip yang dianut dalam undang-undang tersebut, untuk mempertahankan dan menjamin pembebasan semua warga negara baik dalam politik maupun ekonomi.

Krisis politik yang dialami Siam saat itu, dan munculnya kebijakan integrasi politik partisipasi, dimanfaatkan oleh Melayu-Muslim Patani sebagai momentum dalam mengikuti pemilu dan mencalonkan diri sebagai perwakilan dalam Dewan Konsultatif.157 Para kandidat dipilih oleh pemilih berasal dari kelompok intelektual yang didukung oleh para intelektual Islam. Surin Pitsuwan menyatakan bahwa tingkat partisipasi Melayu-Muslim Patani tergantung pada persepsi Siam tentang Islam Melayu di bawah perlindungan Inggris, jika kepentingan bersama Melayu-Muslim baik yang ada di Patani maupun di

Malaysia tersebut dilindungi hak-haknya oleh pemerintah, maka Melayu-Muslim

Patani bisa berpartisipasi kepada politik pemerintahan Thailand.

Namun, peran dan pengaruh parlemen sangat terbatas dalam memperjuangkan kepentingan dan aspirasi Melayu-Muslim dan untuk mengurangi campur tangan Inggris di Malaysia. Lembaga tersebut tidak memiliki otoritas atau kekuatan untuk mengendalikan atau menjalankan serangkaian kebijakan pemerintah di semua negara. Kebijakan berada di bawah pengawasan dan kontrol dari angkatan bersenjata dan birokrasi, karena itu, Melayu-Muslim

Patani selalu menghadapi gencatan senjata dengan angkatan bersenjata pemerintah Thailand jika terjadi konflik.

157 Cahyo Pamungkas, “The State Policies Towards Southern Border Provinces”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Jakarta: Pusat Penelitian Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI), 2004,, hal.73-74

75

Selain, kebijakan politik partisipasi, Siam juga mengintegrasikan Patani ke dalam politik asimilasi budaya. Selain pendidikan sebagai alat utama dalam mengintegrasikan budaya Patani ke dalam Thai, pemerintah Thailand juga mengintegrasikan Patani ke dalam praktik birokrasi orang-orang Melayu. Di antaranya, dengan memaksa para pejabat Melayu-Muslim Patani melamar pekerjaan ke daerah-daerah utara yang didominasi oleh orang-orang Thai-Budha, dan dipertegas dengan himbauan dan instruksi agar para pejabat Melayu-Muslim tersebut ditugaskan ke daerah itu agar sikap dan wibawa mereka seperti orang- orang Thai. Setelah itu, akhirnya keturunan para raja ditawarkan pelatihan kerja dari gubernur Thai sebagai proses setelah Siam berhasil mengintegrasikan para raja atau pejabat Melayu-Muslim.158

Pada batas tahun 1932, Siam merubah identitas politik Monarki absolut menjadi monarki konstitusional. Pada tahun inilah, dimulai harapan dan impian baru akan perubahan nasib orang-orang Patani menjadi lebih baik, agar pemerintah Siam berpihak dan mendukung hak kemerdekaan bagi rakyat Patani.

Namun, sebaliknya, Siam semakin mengukuhkan proses integrasinya dengan memulai pendidikan nasional untuk mengartikulasikan kesatuan Thailand, yang bertujuan menyatukan semua etnis, tidak hanya etnis Melayu melainkan juga etnis

Cina dan lainnya yang ada di wilayah Thailand.159 Dalam program ini pemerintah menetapkan bahwa:

1. Negara memiliki hak untuk mendidik rakyat.

158 Surin Pitsuwan, Islam di Muangthai: Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani, Jakarta: LP3ES, 1989,, hal.30-31. 159 Erni Budiwanti, “Forced Cultural and Assimilation and it’s Implication for TheContinuation Pattani Muslim’s Identity”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Pusat Penelitian Sumberdaya Regional (Indonesia), 2004, hal.115-116

76

2. Negara memiliki otoritas penuh untuk mengontrol dan memantau program

pendidikan di pemerintah dan sekolah swasta.

3. Setiap individu yang telah lulus wajib belajar berarti bahwa dia adalah

warga negara yang mampu mendapatkan sumber daya hidup yang penting

untuk bekerja, dan dia memiliki hak dan kewajiban sebagai warga negara,

juga bisa membuktikan dirinya secara fungsional melalui di luar

pekerjaannya.

4. Tahapan Latency (pemeliharaan pola)

Pada tahap ini, seharusnya dimanfaatkan Siam sebagai cara untuk menyatukan diri baik secara kultural maupun emosional, dengan begitu proses integrasi terjaga dan terpelihara secara utuh. Namun, kesalahan besar justru terjadi pada pejabat-pejabat pemerintah Thailand yang bertugas dalam menjalankan proses pembangunan di wilayah Patani kurang memiliki tanggung jawab, serta tidak memahami persoalan budaya lokal.160 Itu sebab Muslim Patani hanya menjadi penonton pasif daripada lowongan kerja yang sebenarnya tersedia seiring dengan pembentukan pembangunan sistem administrasi dan infrastruktur di wilayah selatan. Secara sosial, msyarakat Patani sama sekali tidak diuntungkan.

Hidup di tanah kelahiran sendiri, tetapi harus mengalami diskriminasi, dan kesewenang-wenangan dari pemerintah Siam.

Kegagalan pemerintah Siam dalam menjaga pola integrasi pada tahap ini pun semakin dipersulit dengan munculnya berbagai respon keras dan

160 Paulus Rudolf Yuniarto, “Minoritas Muslim Thailand; Asimilasi, Perlawanan Budaya dan Awal Gerakan Separatisme”, Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume VII No.1 tahun 2005, hal.101

77

pemberontakan dari Melayu-Muslim Patani. Meski demikian, pemerintah

Thailand berusaha memperbaiki segala kebijakan yang mendapat respon keras dari kalangan Muslim Patani, untuk menjaga dan memelihara pola integrasi tersebut. Namun, pada praktiknya hal ini tidak berjalan sesuai harapan, karena

Muslim Patani selalu memandang curiga dan menganggap semua hal tersebut untuk mempertahankan nasionalisme Thailand yang didasarkan pada konsep

Budhisme yang jelas bertentangan dengan kepercayaan, tradisi, dan budaya

Melayu-Muslim Patani.161

Proses pemeliharaan pola (latency), membutuhkan waktu yang cukup panjang, karena proses ini bertindak pada sistem kultural secara menyeluruh. dengan begitu, peran sosialisasi dan internalisasi sangat dibutuhkan demi tujuan integrasi secara utuh, dengan begitu konflik berkepanjangan akan mereda manakala kepentingan-kepentingan pribadi ditepis dan menyadari bahwa kepentingan kolektiflah yang harus didahulukan.

B. Respon Kebijakan Integrasi Pemerintah Thailand

1. Respons Pemerintah Siam (Thailand)

Mengatasi berbagai respons keras dan perlawanan Melayu-Muslim Patani, terutama di kalangan elit Patani, pemerintah Thailand mengancam jika raja-raja kembali memberontak, maka akan dihukum mati atau dipenjara beserta keluarganya. Kemudian merespons tuntutan para elit Patani, setelah pembebasan pajak bagi raja dihapuskan, Siam mengatasi kemarahan mereka dengan

161 Cahyo Pamungkas, “The State Policies Towards Southern Border Provinces”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Jakarta: Pusat Penelitian Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI), 2004, hal.71-72

78

menaikkan uang pensiun raja dan rekan-rekan sejawatnya sebagai kompensasi hilangnya sumber penghasilan mereka akibat pemerintah Siam mengambil alih sistem keuangan mereka.

Dalam kasus pemberontakan Namsai, pemerintah Siam masa raja

Vajiravudh (1910-1925), merespons dengan cara menghapuskan semua peraturan yang menentang Muslim Patani dan mendukung segala permintaan mereka. Pajak di wilayah Melayu-Muslim Patani harus tidak lebih tinggi daripada di wilayah

Malaysia yang dikuasai Inggris, dan pejabat publik yang ditugaskan untuk Patani harus hormat dan jujur. Alasan konsensi tersebut, karena Vajiravudh khawatir

Inggris akan campur tangan dan memaksa Thailand untuk membagi provinsi selatan ke Inggris di Malaya.162

Dalam proses pengadilan dan budaya, orang-orang Thai tidak memahami cara kerja sistem hukum Islam, bahkan kata qadi, diistilahkan oleh mereka menjadi kali, yang dianggap menghina Patani. Gelar haji diartikan ‘orang-orang yang berkunjung ke Kapilavastu’ (nama kota asal sang Budha). Orang-orang Thai juga tidak bisa berbicara Melayu dan memahami kebiasaan tradisi dan budaya

Melayu.

Penggunaan istilah kata yang salah dan pengelabuan fakta-fakta sejarah, menunjukan pemerintah Thailand tidak mengetahui sama sekali budaya, tradisi, bahkan hukum agama Melayu Patani. Menurut Weber, hal ini sebagai tindakan otoritas ‘hari kemarin yang abadi’ dan bertindak sebagai penjaga ‘adat-istiadat

162 Tesis oleh Sara A. Jones, Framing the Violence in Southern Thailand: Three Waves of Malay-Muslim Separatism, Center for International Studies of Ohio University, Juni 2007, hal.40- 41. Akses dari http://etd.ohiolink.edu/send-pdf.cgi/Jones%20Sara%20A. pdf?acc_num =ohiou 1179351296, tanggal 3 September 2010, pukul 13.50 WIB.

79

yang telah dikeramatkan karena sudah diakui sejak zaman dahulu dan melalui kebiasaan menyesuaikan diri.163 Selain itu, pemerintah Thailand selalu menganggap curiga raja-raja Patani ketika melakukan negosiasi dengan mereka, pasalnya, raja-raja tersebut sering kali menjadi pelopor tindakan keras dari masyarakat Patani

2. Respons Patani terhadap kebijakan integrasi Siam

Segera setelah diterapkannya kebijakan integrasi reformasi administrasi

Siam terhadap Patani, struktur politik kerajaan Melayu Patani mengalami perubahan, jabatan raja dicopot, raja kehilangan sumber penghasilannya dari pajak, kemudian memancing kemarahan dari pihak raja. Kemarahan tersebut diilustrasikan raja-raja Patani dengan berbagai pemberontakan. Gerakan pemberontakan melawan Thailand tersebut dikoordinasi oleh raja Abdul Kadir

Kamaruddin (raja terakhir Patani). Pertama-tama, para raja menolak melaksanakan perintah pemerintah Thailand mengikuti kebijakan reformasi administratif dengan memboikot semua pertemuan yang diadakan pejabat-pejabat

Siam, yang pada akhirnya menyebabkan mereka dicopot dari jabatan mereka sebagai raja.164

Pemberontakan berlanjut hingga berakhir dengan ditangkapnya Abdul

Kadir Kamaruddin dan dipenjarakan di Phitsanulok hingga tahun 1916. Setelah dibebaskan dari penjara, sultan dipindahkan untuk tinggal di Kelantan. Perjuangan yang dipelopori raja Abdul Kadir Kamaruddin tersebut menginspirasi rakyat

163 Surin Pitsuwan, Islam di Muangthai: Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani, Jakarta: LP3ES, 1989, hal.33 164 Ibid. hal.39

80

Melayu-Muslim Patani untuk meneruskan perjuangan melawan ketertindasannya oleh Siam, melalui pemberontakan Namsai Baan tahun 1922. Pada pemberontakan ini, penduduk desa di Mayo Namsai, Patani, menolak untuk membayar pajak dan sewa tanah ke pemerintah Siam sebagai respons terhadap penolakan reformasi pendidikan yang diperkenalkan tahun 1921,165 dan Undang-

Undang Pendidikan Dasar Wajib 1921 yang mewajibkan seluruh anak-anak

Patani sekolah di sekolahan negeri selama empat tahun untuk belajar bahasa

Thai.166 Melayu-Muslim Patani melihat aturan ini sebagai serangan terhadap budaya atas program Thaisasi. Dalam pemberontakan ini, terjadi bentrokan antara warga desa Namsai dengan aparat keamanan dengan jumlah korban terbanyak dari kalangan Muslim Patani.

Dalam banyak hal, pemberontakan Namsai merupakan suatu peristiwa yang unik dalam sejarah gerakan kemerdekaan Patani, dan menentukan arah bagi peristiwa-peristiwa seperti itu di kemudian hari.

Perlawanan raja-raja Melayu di utara pun terjadi terhadap Inggris, bahkan pemberontakan-pemberontakan di kesultanan-kesultanan tersebut merupakan hal lazim, namun Inggris berhasil mengambil hati sultan-sultan tersebut dan menjauhkan persekutuan mereka dengan para ulama. Sebaliknya, Siam menghadapi dua golongan Patani, yakni kerabat raja dan para ulama. Kedua

165 Aphornsuwan Thanet, "The origins of Malay Muslim separatism in southern Thailand", Asia Research Institute, Working Paper Series, No. 32, October 2004, hal.18-19. 166 Moshe Yegar, Between Integration and Seccesion: The Muslim Communities of The Southern Philipines, Southern Thailand, and Western Burma/Myanmar, USA: Lexington Books, 2002, hal.89.

81

golongan itu saling mendukung dan bekerjasama dalam perjuangannya melawan kekuasaan Siam.167

Abdul Kadir Kamaruddin berhasil menyakinkan raja-raja Melayu, bahwa mereka mempunyai kewajiban untuk membebaskan saudara-saudara mereka atas penindasan negara Thailand. Sehingga, tindakan Abdul Kadir Kamaruddin mendapat dorongan dan dukungan dari raja-raja Melayu. Dorongan dan dukungan raja-raja Melayu tersebut tidak terlepas dari kekhawatiran mereka bahwa suatu saat jabatan dan kekuasaan mereka pun akan digerogoti oleh Inggris, seperti yang telah dilakukan pemerintah Thailand terhadap raja Patani.

Walaupun tidak mendirikan organisasi resmi, Abdul Kadir Kamaruddin berhasil menata jalan dan hubungan di kalangan pro-Melayu di kesultanan- kesultanan Malaya Utara, sebagai sekutu-sekutu dalam perjuangan kemerdekaan

Patani di masa mendatang. Dukungan tersebut, dirasa cukup dan berhasil ia kerahkan tahun 1922 untuk menghentikan kampanye ‘men-Thai-kan’ provinsi- provinsi Melayu di Thailand Selatan.168

Kebijakan dalam pendidikan semakin diperketat, manakala sekolah negeri tersebut tidak hanya mengajarkan kurikulum sekuler Thai, tetapi juga mencakup pengajaran dalam etika Budha, dengan biarawan sebagai guru pelayanannya. Hal ini dianggap sebagai penghinaan terhadap umat Islam karena menyerang secara langsung budaya, agama, dan bahasa Melayu-Muslim Patani. Akhirnya, masyarakat Patani tidak menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolahan yang berkurikulum sekuler.

167 Surin Pitsuwan, Islam di Muangthai: Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani, Jakarta: LP3ES, 1989, hal.51 168 Ibid.hal.53

82

Di bidang politik dan hukum, meskipun hukum Islam dibiarkan berjalan, terutama dalam masalah pernikahan, perceraian, dan warisan, orang Melayu

Muslim belum puas dengan otonomi agama. Mereka menuntut otonomi politik.

Dalam pemahaman mereka, bentuk lainnya otonomi, seperti di bidang ekonomi, budaya, pendidikan, dan agama dapat dicapai melalui politik otonomi. Dipimpin oleh seorang pemimpin agama, Haji Sulong, menerbitkan permohonan, sebagai berikut:

1) Seorang pemimpin memiliki otoritas penuh untuk mengatur empat

provinsi di selatan. Pemimpin ini memiliki otoritas penuh untuk

menghentikan, menggantikan, dan memilih semua pejabat pemerintah di

empat provinsi. Pemimpin harus penduduk asli yang ditanggung atau

berasal dari salah satu dari empat provinsi dan dipilih oleh seluruh orang

di empat provinsi.

2) 80% dari para pejabat pemerintah di masing-masing provinsi harus

Muslim.

3) Malaysia dan Thailand harus menjadi bahasa resmi.

4) Pengakuan hukum Islam, dan pelaksanaannya dalam otonomi pengadilan

Islam, yang dipisahkan dari pengadilan sipil, dengan Qadhi sebagai hakim

Muslim

5) Semua pendapatan daerah dan sumber daya alam yang berasal bentuk

empat provinsi harus dimanfaatkan demi kepentingan umum di Patani.

83

6) Pembentukan badan Islam yang mempunyai wewenang penuh untuk

mengatasi masalah yang dihadapi Muslim Patani bawah kendali pemimpin

sebagaimana dimaksud dalam poin pertama.

3. Respons Lembaga Intelektual

Akibat, dilaksanakannya kebijakan integrasi Thailand terhadap Patani, memancing pemberontakan dari kalangan elit Patani dan gerakan bawah tanah dari kalangan rakyat biasa Patani. Pemberontakan dan gerakan bawah tanah tersebut mendapat dukungan dan respons dari dunia internasional, khususnya dari negara Arab dan negara tetangga (Malaysia).169

Untuk pertama kalinya, isu Patani menarik perhatian internasional semakin meluas termasuk Liga Arab dan PBB.170 Langkah yang paling penting adalah penciptaan pada Februari 1944, dari Gabungan Melayu Pattani Raya

(GAMPAR) atau Asosiasi Raya Melayu Patani di Kelantan. Ini menjadi organisasi untuk mengkoordinasikan berbagai elemen bekerja untuk pembebasan akhir Patani Raya. Itu mendapat dukungan dari kelompok-kelompok Melayu di

Thailand dan juga dari Partai Nasionalis Melayu di Malaya. Situasi itu intens dilakukan. Operasi gerilya mulai bergerak melintasi perbatasan dari dalam Malaya ke Thailand selatan. Pemimpin keagamaan di kedua sisi perbatasan itu menyerukan jihad (perang suci) terhadap pihak Thailand.

169 Erni Budiwanti, “Minoritas Muslim d Filipina, Thailand dan Myanmar: Masalah Represi Politik”, dalam Riza Sihbudi, Problematika Minoritas Muslim di Asia Tenggar: Kasus Moro, Pattani, dan Rohingya, Jakarta: Puslitbang Politik dan Kewilayahan, LIPI, 2000, hal.129. 170 Thanet Aphornsuvan, History and Politics of The Muslims Thailand, Bangkok: Thammasat University, 2003, hal.24

84

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berawal dari kegiatan hubungan komersial, Patani dalam kerajaan Ayuthia mendapatkan tempat dan posisi penting. Mereka sering dijadikan sebagai mediator perdagangan dengan Muslim lainnya dari Timur Tengah, Asia Selatan, dan Melayu. Akibatnya mereka diangkat menjadi menteri perdagangan dan penasehat raja. Lambat laun populasi Muslim di Ayuthia meningkat, sehingga menuntut adanya penerapan kebijakan toleransi, dan akhirnya Ayuthia sebagai kerajaan monarki absolut mengakui multi-agama, multi-budaya masyarakat di bawah sistem anak sungai (upeti), dan mengklaim kedaulatan yang dimiliki negera-negara kecil Muslim, termasuk Kesultanan Patani.

Kondisi suatu masyarakat yang pluralistik senantiasa mengidamkan pengakuan, perlindungan, dan penghormatan demi menjamin hak-hak minoritas.

Idealnya jaminan bagi hak-hak kaum minoritas tercipta melalui kondisi pemberian kesempatan dan mendapatkan hak-hak yang sama tanpa membedakan latar belakang status. Pun, hendaknya, tercermin pada sikap dari publik dan pemerintah guna mempresentasikan kepentingan-kepentingan minoritas dalam aspek kehidupan. Namun, kondisi tersebut tidak terjadi pasca pusat pemerintahan

Thailand dialihkan ke Bangkok.

Ancaman kolonalisasi bangsa Eropa yang disadari raja Thailand, akhirnya membawa Identitas sosial Patani kepada konsekuensi penyatuan geografi dan

85

administrasi pemerintahan ke dalam sistem dan birokrasi pemerintah Thailand yang berpusat di Bangkok. Integrasi Patani juga membawa dampak sosio-kultural karena berpijak pada nasionalisme negara Thailand yang berpusat pada kesetiaan kepada raja Thai, etika Budha dan budaya Thai. Sementara identitas sejarah sebagai kerajaan Islam Melayu yang independen, budaya (kebiasaan atau adat istiadat), bahasa Melayu, dan agama Islam yang diyakini Patani merupakan identitas baku yang masih dipertahankan oleh Melayu-Muslim Patani.

Disisi lain, kondisi komersial Patani antara tahun 1842-1900 mengalami persaingan yang sangat serius dengan pelabuhan di wilayah Asia Tenggara lainnya. Terdesak dengan kondisi demikian, tahun 1902, Siam yang diprakarsai oleh Raja Chulalongkorn akhirnya mempercepat proses integrasi untuk mengukuhkan wilayah jajahannya, terutama terhadap wilayah-wilayah Melayu.

Kemudian dipertegas melalui perjanjian Anglo-Siam tahun 1909.

Pola integrasi yang diterapkan Thailand terhadap Patani banyak menggunakan pendekatan dominasi etnik mayoritas yang memaksakan bentuk akulturasi kebudayaan dan multikulturalisme yang semu. Hal ini dapat dilihat sebagai upaya penyeragaman semua etnik menjadi satu bangsa.

Berdasarkan paparan dalam bab IV, hampir semua kebijakan yang diterapkan pemerintah Thailand adalah usaha mencampuri urusan-urusan keagamaan dan tradisi bangsa Melayu. Sehingga, kebijakan integrasi Thailand berhasil hanya pada tatanan secara simbolik mengakui kekuasaan negara

Thailand. Semakin keras intervensi Thailand terhadap Patani, maka semakin keras respon yang diperlihatkan untuk menentang kesewenang-wenangan Thailand.

86

Terutama dari kalangan elit para raja-raja Patani, yang dipelopori oleh Raja Adul

Kadir Kamaruddin, dan berakhir dengan penangkapan dirinya dan di pindahkan ke Kelantan. Respons keras dari kalangan Patani membuktikan bahwa proses integrasi yang dilakukan pemerintah Thailand sangat tidak mudah, karena dianggap merugikan segala aspek kehidupan rakyat Patani

Respons yang paling menarik adalah pemberontakan raja Abdul Kadir

Kamaruddin (raja Patani terakhir) mengilhami pemberontakan-pemberontakan lainnya. Meski sudah tinggal di Kelantan, pengaruh bekas raja Patani tersebut masih bisa dimanifestasikan oleh kalangan kaum Melayu-Muslim, dengan melakukan penentangan terhadap penguasa Thailand sebagai perjuangan membebaskan diri dari cengkramannya. Pemberontakan paling penting terjadi tahun 1922, yang dinamai pemberontakan Namsai. Dalam pemberontakan ini, wujud dukungan terhadap Abdul Kadir Kamaruddin diperlihatkan oleh kerabat- kerabat raja dari kesultanan-kesultanan Melayu di utara dan para ulama.

Pemberontakan Namsai, dalam banyak hal, merupakan suatu peristiwa yang unik dalam sejarah gerakan kemerdekaan Patani, dan menentukan arah bagi peristiwa-peristiwa seperti itu di kemudian hari.

Dukungan dari dunia internasional pun mengalir untuk Patani, khususnya dari negara Arab. Untuk pertama kalinya, isu Patani menarik perhatian internasional dan mendapat dukungan semakin meluas termasuk dari Liga Arab dan PBB, dengan mendirikan organisasi GAMPAR.

87

B. Saran dan Penutup

Dalam tulisan ini, masih kurang mendetail terutama dalam penguasaan sumber primer. Karena keterbatasan bahasa yang dimiliki penulis. Namun secara kronologis, detail peristiwanya memiliki persamaan dengan sumber-sumber sekunder. Hal yang paling membedakan skripsi ini dengan tulisan yang lainnya adalah, penggunaan metode dan pendekatan strukturalis, dengan teori fungsionalisme struktural Talcott Parsons. Pendekatan teori tersebut, sesuai dengan pola integrasi yang diterapkan oleh Thailand terhadap Patani. Sampai tahun 1932, proses integrasi tersebut tersendat dengan pola pemeliharaan.

Menurut Parsons, pada tahapan ini seharusnya ikatan emosional sudah tergeneralisasi untuk mencapai tujuan yang sama. Namun, tampaknya, integrasi yang terjadi berlandaskan pada konsep nasionalisme negara Thailand belum mampu memperlihatkan keseragaman bahkan penyatuan berbagai etnik.

88

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik, dan Sharon Siddique, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia

Tenggara, Jakarta: LP3ES, 1988.

Abdurrahman, Dudung, Metode Penelitian Sejarah, Jakarta : Logos Wacana Ilmu,

1999.

Al-Attas, S.M. Naquib, Konsep Islam dalam Kebudayaan Melayu, Al-Islam.

Vol.9. tahun III, Ramadhan 1396 atau September 1976.

Al-Fatani, Ahmad Fathy, Pengantar Sejarah Patani, Alor Setar: Pustaka

Darussalam, 1994.

Aphornsuvan, Thanet, History and Politics of The Muslims Thailand, Bangkok:

Thammasat University, 2003.

, "The origins of Malay Muslim separatism in southern

Thailand", Asia Research Institute, Working Paper Series, No. 32, October

2004.

Bahar, Saafrudin, Integrasi Nasional, Teori, Masalah dan Strategi, Jakarta :

Ghalia Indonesia, 1996.

Bajunid, Omar Farouk, “Asal-usul dan Evolusi Nasionalisme Etnis Muslim

Melayu di Muangthai Selatan”, dalam Ed. Taufik Abdullah dan Sharon

Siddique, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta:

LP3ES, 1988.

Bajunid, Omar Farouk, The Muslims in Thailand: A Review, Southeast Asian

Studies, Vol. 37, No. 2, September 1999.

89

Bashah, Haji Abdul Halim (Abhar), Raja Campa dan Dinasti Jembal dalam

Patani Besar: Patani, Kelantan dan Terengganu, Kelantan: Pustaka Reka,

1994.

Budiwanti, Erni, “Minoritas Muslim d Filipina, Thailand dan Myanmar: Masalah

Represi Politik”, dalam Riza Sihbudi, Problematika Minoritas Muslim di

Asia Tenggar: Kasus Moro, Pattani, dan Rohingya, Jakarta: Puslitbang

Politik dan Kewilayahan, LIPI, 2000.

, “Forced Cultural and Assimilation and it’s Implication for The

Continuation Pattani Muslim’s Identity”, dalam Multiculturalism,

Separatism, and Nation State Building in Thailand, Pusat Penelitian

Sumberdaya Regional (Indonesia), 2004.

Dawud, Abdur Rahman, H., Sejarah Negara Pattani Darussalam terbitan Pattani,

tanpa tahun.

, Sejarah Negara Patani Darussalam, Yala, dalam

bahasa Jawi, tanpa tahun.

Dulyakasem, Uthai, “Kemunculan dan Perkembangan Nasionalisme Etnis: Kasus

Muslim di Siam Selatan”, dalam Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia

Tenggara, Editor: Taufik Abdullah dan Sharon Siddique, Jakarta: LP3ES,

1988.

Federspiel, Howard M., Sultans, shamans, and saints : Islam and Muslims in

Southeast Asia, USA : University of Hawai’i Press, 2007.

Futson, John, “Thailand”, dalam Voices of Islam in Southeast Asia: A

90

Contemporary Sourcebook, Ed., Greg Fealy dan Virginia Matheson

Hooker, Institute of Southeast Asian Studies, 2006.

Gilquin, Michel, The Muslims of Thailand, Thailand: Silkworm Books, 2005

Geertz, Clifford, Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa (terj.),

Jakarta. Dunia Pustaka Jaya, 1989.

Gottschalk, Louis, Understanding History, penerjemah; Nugroho Notosusanto,

Mengerti Sejarah, Jakarta : UI-Press, 1985.

Hall, D.,G.,E., Sejarah Asia Tenggara, Surabaya : Usaha Nasional, tanpa tahun.

Harish, S. P., Changing Conflict Identities: The Case of the Southern Thailand

Discord, No. 107 (February 2006), Singapore, Institute of Defence and

Strategic Studies.

Ishii, Yoneo, “Thai Muslims and the Royal Patronage of Religion,” Law &

Society Review 28, no. 3, 1994.

Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern,Jilid II, Penerjemah:

Robert M.,Z., Lawang, Jakarta: Gramedia, 1986.

Jory, Patrick, From “Patani Melayu” to “Thai Muslim”, Islam Review 18/Autumn

2006.

Kasimin, Amran, “Religion and Social Change among the Indigenous People of

The Malay Peninsula”, Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka,

1991dalam Hasan Madmarn, Conference on Religion and Society in the

Modern World: Islam in Southeast Asia, Jakarta, 29-30 Mei 1985.

Kersten, Carool, The Predicament of Thailand’s Southern Muslim, The American

Journal of Islamic Social Sciences 21:4.

91

Mahmud, Nik Anuar Nik, Sejarah Perjuangan Melayu Patani 1785-1954, Bangi :

Jabatan Sejarah Universitas Kebangsaan Malaysia, tanpa tahun.

Malek, Moh. Zamberi A., Patani dalam Tamadun Melayu, Kuala Lumpur: Dewan

Bahasa dan Pustaka, 1994.

Man, W. K. Che, Islam in Contemporary dalam Akademika Vol.34 Januari 1989.

McCargo, Duncan, Southern Thai Politics: A Preliminary Overview, School of

Politics andInternational Studies, University of Leeds, POLIS Working

Paper No. 3 February 2004.

Mudmarn, Seni, “Negara, Kekerasan dan Bahasa Tinjauan atas Sejumlah Hasil

Studi Mengenai Kaum Muslim Muangthai”, dalam Pembangunan dan

Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Editor: Saiful Mujani, Jakarta:

LP3ES, 1993.

Mujani, Saiful, dalam Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara,

Jakarta : LP3ES, 1993.

Mujani, Wan Kamal, Minoriti Muslim:Cabaran dan Harapan Menjelang Abad ke

21, Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia, 2002.

Nimkhoff, dan Ogburn, A handbook of Sociology, London: 1960.

Pamungkas, Cahyo, “The State Policies Towards Southern Border Provinces”,

dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in

Thailand, Jakarta: Pusat Penelitian Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI),

2004.

Parsons, Talcott, The Social System, Francis: Routledge, 2005.

, Towards a General Theory of Action, Massachusetts: Harvard

92

University Press,1962.

Pitsuwan, Surin, Islam di Muangthai Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani,

Jakarta : LP3ES, 1989.

Poesponegoro, Marwati Djoened, dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional

Indonesia, Jakarta” Balai Pustaka, 1993.

Pongsudhirak, Thitinan, The Malay-Muslim Insurgency in Southern Thailand,

dalam A Handbook of Terorism and Insurgency in Southeast Asia, Editor:

Andrew T.H. Tan, USA: MPG Books, 2007.

Raho, Bernard, SVD., Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007.

Reid, Anthony, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES, 2004.

Ritzer, George, dan Douglas J.,Goodman, Teori Sosiology Modern, Penerjemah:

Triwibowo Budi Santoso, Jakarta: Prenada Media, 2003.

Roux, Pierre Le, To Be or Not to Be...: The Cultural Identity of the Jawi

(Thailand), Asian Folklore Studies, Volume 57, 1998.

Satha-Anand, Chaiwat, “Pattani in the 1980s: Academic Literature and Political

Stories,” in Sojourn, Vol. 7, No. 1 (February 1992).

Sidaway, James D, The Geography of Political Geography, Department of

Geography National University of Singapore, dalam K. Cox, M. Low and

J. Robinson (eds) The Handbook of Political Geography (Sage).

Susanto, Astrid, S, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Bandung:

Binacipta, 1979.

Sutrisno, Mudji, dan Hendar Putranto (editor), Teori-teori Kebudayaan,

Yogjakarta: Kanisius, 2005.

93

Taha, Adi Haji, Dimanakah Langkasuka?, Wacana Warisan Kedah Darul aman

Perpustakaan Awam Kedah, Alor Setar, Kedah, 11-12 Maret 2000.

Teeuw, A. dan D. K. Wyatt, Hikayat Patani, Koninklijk 5 The Hague : Martinus

Nijhoff : Koninklijk Instituut Voor Taal, Land-en Volkenkunde, 1970.

Thomas, M., Ladd, Political Violence in the Muslim Provinces of Southern

Thailand, ISEAS No.28, April 1975.

Winichakul, Thongchai, A Short History of the Long Memory of the Thai Nation,

Department of History, University of Wisconsin-Madison.

Yegar, Moshe, Between Integration and Seccesion: The Muslim Communities of

The Southern Philipines, Southern Thailand, and Western

Burma/Myanmar, USA: Lexington Books, 2002.

Yuniarto, Paulus Rudolf, “Integration of Pattani Malays: a Geopolitical Change

Perspective”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State

Building in Thailand, Pusat Penelitian Sumberdaya Regional (Indonesia),

2004.

, “Minoritas Muslim Thailand; Asimilasi, Perlawanan

Budaya dan Awal Gerakan Separatisme”, Jurnal Masyarakat dan Budaya,

Volume VII No.1 tahun 2005.

Yusuf, Imtiyaz, “Ethnoreligious and Political Dimensions of the Southern

Thailand Conflict”, dalam Islam and Politics Renewal and Resistance in

the Muslim World, Editor; Amit Pandya dan Ellen Laipson, Washington:

Henry L Stimon Center, 2009.

94

Artikel dan Jurnal

Abdullah, Ahmad Amir Bin, Melayu Petani: A Nation Survives, 07/ 29/

2009.

Badrus Sholeh, “Minoritas Muslim, Konflik dan Rekonsiliasi di Thailand

Selatan” oleh, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Budi Luhur,

tanpa tahun.

Bastian, Yunariono, Paradigma, Jurnal Hubungan Internasional FISIP

UPN“Veteran” Yogyakarta, Volume 7, Juni 2003.

Brown, David, From Peripheril Communities to Ethnic Nations, Pacific Affairs

62, 1988.

Nuryanti, Sri, In Search of Identity of Pattani, dipresentasikan di Acara

Indonesian API Fellow Seminar di Widya Graha LIPI, Lantai 5, 26 Maret

2003.

Esai dan Tesis

Amnuay-ngerntra, Somphong Esai berjudul King Mongkut’s Political and

Religious Ideologies Through Architecture at Phra Nakhon Kiri, , Asia-

Pacific CHRIE (APacCHRIE) Conference, Kuala Lumpur, Malaysia, 26-

28 May, 2005.

Mala Rajo Sathian, Economic Change in Pattani Region c. 1880-1930: Tin and

Cattle in the Era of Siam’s Administrative Reforms, Departement of

History, National University of Singapore, 2004.

95

Pojar, Daniel J., Jr. Lesson Not Learned: The Rekindling of Thailand’s Pattani

Problem, Monterey, California, 2005.

Situs dan website

Haris, Syamsuddin, Birokrasi, Demokrasi, Dan Penegakkan Pemerintahan Yang

Bersih: Pelajaran Dari Indonesia Dan Thailand, hal.,107 akses dari situs

http://katalog.pdii.lipi.go.id/index.php/searchkatalog/downloadDatabyId/6

69/669.pdf.

Mahmud, Nik Anuar Nik, Perjanjian Bangkok (1909) dan Implikasinya kepada

Keselamatan dan Kestabilan Serantau, Institut Alam dan Tamadun

Melayu. Akses dari situs http://www.scribd.com/doc/13353098/Perjanjian-

Bangkok-19.

Suharto, Imtip Pattajoti, The Journey to Java by a Siamese King . Jakarta: The

Ministry of Foreign Affairs of Thailand, 2001. Akses dari situs www.m-

culture.go.th http://www.sociologyguide.com/thinkers/parsons.php http://www.un.org/esa/socdev/sib/inclusive_society/social%20integration.html