AS INDONESIA’S CLOSE BROTHER AS REPRESENTED IN A POPULAR INDONESIAN ISLAMIC MAGAZINE, PANDJI MASJARAKAT (1960)

By:

Head of Research: Dr. Miftahuddin, M. Hum. Members: 1. Prof. Dr. Ajat Sudrajat, M.Ag. 2. Danar Widiyanta, M. Hum. 3. Muhammad Yuanda Zara, Ph.D.

Partner Researcher: Associate Prof. Dr. Hanafi bin Hussin (University of Malaya)

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA TAHUN 2020

LEMBAR PENGESAHAN HASIL PENELITIAN KERJASAMA INTERNASIONAL PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH

1. Judul Penelitian : MALAYSIA AS INDONESIA‟S CLOSE BROTHER AS REPRESENTED IN A POPULAR INDONESIAN ISLAMIC MAGAZINE, PANDJI MASJARAKAT (1960) 2. Ketua Peneliti : a. Nama lengkap : Dr. Miftahuddin, M.Hum. b. Jabatan : Lektor Kepala c. Program Studi : Ilmu Sejarah - S1 d. Alamat : Gunduk RT.59 Pedusan Argosari Sedayu, Bantul e. Telepon : +6281392804474 f. e-mail : [email protected] 3. Bidang Keilmuan : Sosial 4. Skim : Penelitian Kerjasama Internasional Program Studi 5. Tema Penelitian Payung : Sejarah 6. Sub Temap Penelitian : Payung 7. Kelompok Peneliti :

No Nama, Gelar NIP Bidang Keahlian 1. Danar Widiyanta, M.Hum. 19681010 199403 1 001 Sejarah Politik 2. Prof. Dr. Drs. Ajat Sudrajat, 19620321 198903 1 001 Filsafat Sejarah M.Ag. 3. Muhammad Yuanda Zara, 19850125 201803 1 001 Sejarah Sosial Ekonomi M.A.

8. Mahasiswa yang terlibat :

No Nama NIM Prodi 1. Rela Satria Utama 17407141017 Ilmu Sejarah 2. Dony Agustio Wijaya 17407141022 Ilmu Sejarah 3. Wahyu Milantari 17407141029 Ilmu Sejarah

9. Lokasi Penelitian : Indonesia 10. Waktu Penelitian : 11 Maret 2020 s/d 20 November 2020 11. Dana yang diusulkan : Rp. 50.000.000,00

Mengetahui, Yogyakarta, 12 November 2020 Dekan FIS, Ketua Pelaksana

Dr. Suhadi Purwantara, M.Si. Dr. Miftahuddin, M.Hum. NIP 19591129 198601 1 001 NIP 19740302 200312 1 006 ii

ABSTRACT

This study analyzes the representations of Malaysia in the context of the Indonesia-Malaysia relationship in a very popular Islamic magazine in Indonesia in the end of 1950s and early 1960s, Pandji Masjarakat, especially in editions published in 1960. Instead of focusing on aspects that have been widely explored in studies of Indonesian-Malaysian relationship, this study examines how the biweekly Pandji Masjarakat saw, imagined, and portrayed Malaysia and the Indonesia-Malaysia relationship in 1960. This study uses the method of historical inquiry. Communication studies, especially the media representation approach, helps this study. The primary sources used were the editions of the Pandji Masjarakat magazine published in 1960. News, opinions and photographs about Malaysia and the Indonesia- Malaysia relationship published by Pandji Masjarakat to a certain degree reflected the vision of its chief editor, Hamka, to promote good relationship between the two countries. We found a few general themes about how this magazine viewed Indonesia-Malaysia relationship and the urgency for Indonesians to adopt this perspective. First, Pandji Masjarakat built an awareness that Indonesia-Malaysia relationship had to be seen from the 13th century, when religious relations, kinship tie and intellectual networks had been formed between Indonesia and Malaysia. Secondly, this magazine emphasized that Islam played an important role as a unifying factor among regions in the Malay world before the era of the modern nation-state. Thirdly, Malay culture and especially the Malay language was a shared legacy of the Indonesians and Malaysians which had sunk because of European colonialism. Therefore, in the 1960s Pandji Masjarakat expected that linguists and the Indonesian/Malay-speakers in both countries would intensify cooperation to standardize Malay so that this language could keep up with the modern world. Fourthly, Hamka, as the core voice of the Pandji Masjarakat, highly respected the acts of preserving the Malay-Islamic culture in Malaysia. This can be seen in the amount of space provided by Hamka when the magazine reported the death of Yang Dipertuan Agung Malaysia Abdul Rahman in April 1960. This research presents a new approach in understanding the efforts made by the Indonesian press to promote shared history, beliefs and visions, rather than difference, between two countries at a time when both, as newly born countries, were still looking for the right path to achieve their goals, including in dealing with neighboring countries.

Keywords: Indonesia-Malaysia relations, shared culture, common belief, media representation, Islamic press, modern Southeast Asia

iii

ABSTRAK

Kajian ini menganalisis representasi Malaysia dalam konteks hubungan Indonesia-Malaysia dalam sebuah majalah Islam yang sangat populer di Indonesia pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, Pandji Masjarakat, khususnya pada edisi terbitan 1960. Alih-alih berfokus pada aspek-aspek yang telah dieksplorasi secara luas dalam studi hubungan Indonesia-Malaysia, studi ini meneliti bagaimana Pandji Masjarakat, yang terbit dua mingguan, melihat, membayangkan, dan menggambarkan hubungan Malaysia dan Indonesia pada tahun 1960. Studi ini menggunakan metode penyelidikan sejarah. Studi komunikasi, khususnya pendekatan representasi media, membantu studi ini. Sumber utama yang digunakan adalah edisi majalah Pandji Masjarakat yang terbit tahun 1960. Berita, opini, dan foto-foto tentang Malaysia dan hubungan Indonesia- Malaysia yang diterbitkan oleh Pandji Masjarakat hingga taraf tertentu mencerminkan visi pemimpin redaksi, Hamka, untuk meningkatkan hubungan baik antara kedua negara. Kami menemukan beberapa tema umum tentang bagaimana majalah ini memandang hubungan Indonesia-Malaysia dan urgensi orang Indonesia untuk mengadopsi perspektif ini. Pertama, Pandji Masjarakat membangun kesadaran bahwa hubungan Indonesia-Malaysia harus dilihat sejak abad ke-13, ketika hubungan agama, ikatan kekerabatan, dan jaringan intelektual telah terbentuk antara Indonesia dan Malaysia. Kedua, majalah ini menekankan bahwa Islam memainkan peran penting sebagai pemersatu antar wilayah di dunia Melayu sebelum era negara-bangsa modern. Ketiga, budaya Melayu dan khususnya bahasa Melayu merupakan warisan bersama antara bangsa Indonesia dan Malaysia yang telah tenggelam karena penjajahan Eropa. Oleh karena itu, pada tahun 1960-an Pandji Masjarakat berharap para ahli bahasa dan penutur bahasa Indonesia / Melayu di kedua negara tersebut akan mengintensifkan kerjasama untuk membakukan bahasa Melayu agar bahasa ini dapat mengikuti dunia modern. Keempat, Hamka selaku pengisi suara utama Pandji Masjarakat sangat menghormati aksi pelestarian budaya Melayu-Islam di Malaysia. Hal ini terlihat dari besarnya ruang yang disediakan Hamka ketika majalah Yang Dipertuan Agung Malaysia itu memberitakan Abdul Rahman pada April 1960. Penelitian ini menghadirkan pendekatan baru dalam memahami upaya pers Indonesia untuk mempromosikan sejarah, keyakinan dan visi bersama, bukan perbedaan, antara dua negara pada saat keduanya, sebagai negara yang baru lahir, masih mencari jalan yang tepat untuk mencapai tujuannya, termasuk dalam menghadapi negara tetangga.

Kata Kunci: Asia Tenggara modern, budaya bersama, hubungan Indonesia- Malaysia, kepercayaan bersama, pers Islam, representasi media

iv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………………………………………………………. i HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………….. ii ABSTRAC…………………………………………………………………. iii DAFTAR ISI………………………………………………………………. i BAB I. PENDAHULUAN ………………………………………… 1 BAB II. KAJIAN PUSTAKA………………………………………. 7 BAB III. METODE PENELITIAN…………………………………. 13

BAB IV. PANDJI MASJARAKAT: SEBUAH MEDIA POPULER DAN MODERN DALAM MENDAKWAHKAN ISLAM DI INDONESIA……………………………………………. 17 A. Hamka, Masjid Al-Azhar, dan Modernisme Islam di Indonesia…………………………………………………. 17 B. Pandji Masjarakat Menjawab Tantgangan Zaman………. 21

BAB V. MENGHIDUPKAN MEMORI TENTANG SEJARAH BERSAMA DI MASA PRAKOLONIAL………………… 24 A. Relasi Indonesia dan Malaysia di Masa Sebelum Kedatangan Bangsa Eropa……………………………….. 24 B. Pandji Masjarakat dan Narasi Sejarah Bersama Islam di Indonesia dan Malaysia………………………………….. 26 C. Indonesia Malaysia dan Kebangkitan Negara-Negara Bekas Jajahan……………………………………………. 32

BAB VI. MEMBANGUN KONSTRUKSI TENTANG KESAMAAN AKAR ISLAM MALAYSIA DAN INDONESIA ………………………………………………... 34 A. Masjid sebagai Identitas Bersama……………………….. 34 B. Penyebaran Pemikiran Kesislaman……………………… 43

BAB VII. MEMBINGKAI PERSAUDARAAN DUA BANGSA LEWAT BUDAYA MELAYU……………………………. 45 A. Bangsa Melayu, Bahasa Melayu, dan Islamisasi di Asia Tenggara…………………………………………………. 45 B. “Kita Sebahasa dan Seketurunan”: Pandji Masjarakat dan Penyeragaman Bahasa Melayu………………………….. 50 C. Turut Bersedih dengan Wafatnya Yang Dipertuan Agung PTM……………………………………………………… 62 BAB VIII. KESIMPULAN 71 v

DAFTAR PUSTAKA 76

vi

BAB I PENDAHULUAN

Belakangan ini, perhatian dunia akademik dan publik, baik di Indonesia maupun di luar Indonesia, terhadap sejarah relasi Indonesia-Malaysia tengah mengalami peningkatan tajam. Ini tampak dari sejumlah laporan media massa Indonesia, mulai dari media cetak hingga televisi, tentang dinamika hubungan kedua negara, perdebatan yang ramai antara masyarakat kedua negara di media sosial, serta pada penelitian yang berkaitan dengan bagaimana kedua negara mengelola relasi bilateral mereka. Berbagai artikel telah ditulis oleh para sarjana di kedua negara untuk memahami akar, karakter dan perkembangan mutakhir hubungan kedua negara dari perspektif yang beragam, seperti sejarah, sosiologi, dan hubungan internasional. Pertanyaan pokok yang menjadi perhatian dan perdebatan para sarjana adalah apa karakteristik yang menonjol dalam relasi kedua negara dan faktor yang paling signifikan dalam mempengaruhi dinamika hubungan kedua negara. Sejumlah sarjana yang meneliti hubungan Indonesia-Malaysia berpendapat bahwa penelitian terhadap sejarah hubungan kedua negara terutama di paroh kedua abad ke-20 tidak bisa dilepaskan dari kuatnya unsur perselisihan, konflik, saling tuduh dan saling klaim di antara kedua negara. Peristiwa pertama yang sering dirujuk sebagai contoh awal konflik Indonesia-Malaysia, dan sejauh ini merupakan yang paling parah dari skala ketegangan dan dampak sosial-politik jangka panjangnya, ialah soal eksistensi negara Federasi Malaya (cikal bakal Malaysia) yang ditolak Indonesia, yang kemudian membawa kedua negara pada ketegangan yang memuncak pada peristiwa Konfrontasi antara tahun 1963-1966. Melalui Konfrontasi Indonesia dengan agresif menyatakan penolakannya pada pembentukan Federasi Malaya, dengan aksi militer dijadikan sebagai salah satu opsi bagi Indonesia bila keadaan memburuk.1 Pendapat lain melihat bahwa akar- akar perselisihan antara Indonesia dan Malaysia terletak pada soal tumpang tindih

1 Untuk latar belakang, jalannya Konfrontasi, dan berakhirnya Konfrontasi, lihat J.A.C. Mackie, Konfrontasi: The Indonesia-Malaysia Dispute, 1963-1966 (: Oxford University Press, 1974) dan Greg Poulgrain, The Genesis of Konfrontasi: Malaysia, Brunei, Indonesia 1945-1965 (London: C. Hurst & Co., 1998). 1

dan saling klaim mengenai perbatasan kedua negara, termasuk dalam soal kepemilikan pulau-pulau di wilayah perbatasan,2 soal pekerja migran Indonesia di Malaysia, khususnya yang ilegal, yang menimbulkan berbagai dampak sosial di Malaysia3 dan klaim kepemilikan budaya Indonesia oleh Malaysia serta protes keras Indonesia terhadap klaim tersebut.4 Kajian-kajian tentang sejarah konflik Indonesia-Malaysia telah sangat maju karena telah memberikan dengan lengkap kronologi, rincian dan analisis yang dalam tentang masa-masa sulit yang dihadapi oleh kedua negara itu di dalam relasi mereka. Hanya saja, yang patut dicatat adalah bahwa hampir semua kajian tersebut menekankan aspek-aspek yang negatif, pesimistik dan cenderung destruktif dalam hubungan kedua negara. Aspek yang bercorak positif, misalnya bahwa kedua negara di masa prakolonial merupakan dua wilayah bertetangga yang saling berkomunikasi, berinteraksi dan saling mendukung secara konstruktif, hanya dijadikan sebagai latar belakang peristiwa sejarah di era pascakolonial dan bukti belaka bahwa keduanya memang punya akar sejarah dan budaya yang sama. Kesan yang muncul adalah bahwa sejak era 1960an, relasi baik di masa silam itu telah menjadi sejarah dan tidak mungkin dibangun kembali atau diperbarui sesuai dengan perkembangan geopolitik terbaru, termasuk dengan lahirnya dua negara- bangsa berbeda yang memiliki akar sejarah dan budaya yang sama, Indonesia dan Malaysia. Seolah-olah, pada lima tahun pertama dekade 1960an hubungan Indonesia-Malaysia hanya dipenuhi oleh saling sindir, saling tuduh, dan saling

2 R. Haller-Trost, „The Territorial Dispute between Indonesia and Malaysia over Pulau Sipadan and Pulau Ligitan in the Celebes Sea: A Study in International Law‟, Boundary & Territry Briefing, Vol. 2, No. 2, 1995; J.G. Merrills, „Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan (Indonesia v Malaysia), Merits, Judgment of 17 December 2002‟, The International and Comparative Law Quarterly, Vol. 52, No. 3 (July 2003); David A. Colson, „Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan (Indonesia/Malaysia)‟, The American Journal of International Law, Vol. 97, No. 2 (April 2003); John G. Butcher, „The International Court of Justice and the Territorial Dispute between Indonesia and Malaysia in the Sulawesi Sea‟, Contemporary Southeast Asia, Vol. 35, No. 2 (2013). 3 Joseph Liow, „Malaysia‟s Illegal Indonesian Migrant Labour Problem: In Search of Solutions‟, Contemporary Southeast Asia, Vol. 25, No. 1, April 2003; Olivia Killias, „”Illegal” Migration as Resistance: Legality, Morality and Coercion in Indonesian Domestic Worker Migration to Malaysia‟, Asian Journal of Social Science, Vol. 38, No. 6 (2020); Mary Austin, „Defending Indonesia‟s Migrant Domestic Workers‟, in Ward Berenschot, et. al. (eds.), Citizenship and Democcratization in Southeast Asia (Leiden & Boston: Brill, 2017). 4 Jinn Winn Chong, „”Mine, Yours or Ours?”: The Indonesia-Malaysia Disputes over Shared Cultural Heritage‟, Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast Asia, Vol. 27, No. 1 (April 2012). 2

menegasikan pihak lainnya, dengan narasi seputar ketakutan, konflik dan kehancuran. Alhasil, minim sekali tersedia kajian serius yang melihat aspek positif dan konstruktif dalam hubungan kedua negara, khususnya di periode yang dianggap sebagai periode paling panas dan buruk dalam sejarah relasi kedua negara: paroh pertama dekade 1960an. Salah satu aspek yang belum pernah dikaji oleh para sarjana adalah mengenai peran media massa cetak Indonesia dalam membangun jurnalisme yang arahnya mempersatukan alih-alih memisahkan kedua negara. Sementara peranan media cetak Indonesia sebagai medium yang memperburuk perselisihan Indonesia-Malaysia di era 1960an sudah pernah dikaji,5 kajian mengenai bagaimana media cetak Indonesia menggunakan mode yang lebih damai tentang hubungan kedua negara nyaris tidak ada. Jurnalisme yang damai dan bercorak mempersatukan kedua negara sebenarnya juga eksis di era awal 1960an. Ini tampak dalam berbagai macam representasi mengenai Malaysia (atau di tahun 1960 dikenal sebagai Malaya) yang hadir di dalam media cetak Indonesia, yang berperan dalam membangun citra publik positif tentang Malaysia dan tentang hubungan Indonesia-Malaysia di ruang publik Indonesia. Kerja jurnalistik semacam ini memusatkan perhatian pada aspek masyarakat, budaya dan agama di kedua negara, yang lebih memberikan perasaan kedekatan alih-alih aspek politik yang cenderung memisahkan. Di dalam representasi ini, Malaysia dan penduduknya ditempatkan sebagai saudara, sahabat dan tetangga yang dekat sekali dengan Indonesia, alih-alih sebagai rival apalagi musuh di halaman depan Indonesia yang pantas dihukum. Beragam berita, pandangan dan foto yang ditampilkan bersifat memberdayakan sikap optimistik dan progresif di antara kedua belah pihak. Komunikasi massa lewat media cetak, dengan demikian, memainkan peranan krusial dalam mempromosikan hubungan baik kedua negara. Tanpa kajian yang cukup mengenai media massa sebagai pemberi informasi sekaligus pembentuk opini positif yang membangun keeratan dalam hubungan Indonesia-Malaysia di level masyarakat, kita merendahkan dampak

5 Yerry Wirawan, „Malay(sian)‟s Image in Indonesian Media Prior to Konfrontasi Era December 1962‟, Inter-Asia Cultural Studies, Vol. 18, 2017. 3

media di dalam pembangunan hubungan yang positif di antara kedua negara, dan pada akhirnya membawa pada pemahaman yang kurang utuh mengenai arti penting media dan masyarakat di dalam membangun narasi tentang kedekatan kedua negara. Penelitian ini menganalisis representasi Malaysia dalam konteks hubungan Indonesia-Malaysia di majalah Islam yang sangat populer di Indonesia pada awal 1960an, Pandji Masjarakat, khususnya pada edisi-edisi yang terbit di tahun 1960. Kajian ini meneliti bagaimana cara Pandji Masjarakat dalam melihat, membayangkan, dan menggambarkan Malaysia dan hubungan Indonesia- Malaysia pada periode tahun 1960. Kajian ini tidak memfokuskan pada realitas yang terjadi dalam hubungan kedua negara dalam pengertian peristiwa-peristiwa yang terjadi, melainkan lebih pada bagaimana metode dan pilihan Pandji Masjarakat dalam menampilkan kembali peristiwa-peristiwa tersebut dalam bentuk teks dan visual. Di era awal 1960an, media cetak adalah salah satu referensi penting bagi masyarakat Indonesia dalam memahami realitas di sekitarnya, dan kerap menjadi panduan bagi mereka dalam memandang dan memperlakukan orang, benda atau konsep yang direpresentasikan di dalam media cetak tersebut. Opini publik Indonesia tentang Malaysia kala itu, dengan demikian, salah satunya dibentuk dan diarahkan oleh media cetak. Pandji Masjarakat juga mengangkat berbagai isu sosial-budaya yang penting yang sedang dihadapi oleh kedua bangsa yang belum lama merdeka dari penjajahan asing itu. Latar belakang dan masalah yang dikemukakan di atas membawa kami kepada beberapa pertanyaan penelitian yang akan dijawab di dalam riset ini: 1.Mengapa redaksi Pandji Masjarakat mempertimbangkan arti penting Malaysia untuk direprsentasikan di dalam publikasi mereka? Bagian ini akan menilik konteks historis yang melatarbelakangi keputusan redaksi Pandji Masjarakat untuk memberikan ruang kepada berbagai macam elemen yang berkaitan dengan Malaysia. Kami akan mengetengahkan perkembangan sejarah majalah ini serta meneliti alasan redaksi tentang keputusan menampilkan Malaysia, walaupun alasan tersebut sifatnya implisit.

4

2. Bagaimana Pandji Masjarakat melihat dan menggambarkan hubungan budaya di antara Indonesia dan Malaya di dalam terbitan mereka? Di bagian ini kami memberi perhatian pada aspek kebudayaan apa saja dari Malaysia yang dianggap penting oleh redaksi dan mengapa aspek-aspek tersebut kemudian relevan dan menarik untuk diketahui oleh pembaca Indonesia. Juga meninjau harapan-harapan Pandji Masjarakat dengan memublikasikan aspek- aspek tentang Malaysia tersebut. 3. Bagaimana Pandji Masjarakat merepresentasikan Islam sebagai elemen bersama di antara Indonesia dan Malaysia di dalam terbitan mereka? Di bagian ini kami menekankan Islam sebagai salah satu unsur krusial di dalam pembentukan relasi kedua. Ini juga tercermin di dalam munculnya aspek keislaman di dalam berbagai narasi yang dipublikasikan oleh Pandji Masjarakat dalam kaitannya dengan pemberitaan mengenai Malaysia atau mengenai relasi Indonesia-Malaysia. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui tentang proses pembentukan opini publik yang positif tersebut di dalam majalah Pandji Masjarakat yang terbit pada tahun 1960, atau tiga tahun sebelum pecahnya Konfrontasi Indonesia-Malaysia. Di sinilah kontribusi penting kajian ini. Melalui kajian ini kami akan memberikan pemahaman yang baru dan dalam untuk memahami bagaimana media cetak, sebagai elemen yang berperan dalam membentuk opini masyarakat, berupaya untuk membangun citra yang baik tentang Malaysia. Kami berargumen bahwa Pandji Masjarakat, sebagai media cetak Islam yang populer di Indonesia dan juga memiliki pembaca di dunia Melayu di luar Indonesia, berperan sebagai agensi yang membingkai isu-isu penting bagi masyarakat kedua negara dalam kerangka yang konstruktif, yang membantu terbentuknya saling pemahaman di antara kedua negara, yang lalu rusak karena peristiwa Konfrontasi tiga tahun kemudian. Kajian ini menunjukkan bahwa sejarah hubungan Indonesia-Malaysia, dengan demikian, bukan hanya sejarah pembagian dan pemisahan suatu komunitas budaya yang di masa lalu relatif bersatu menjadi dua entitas negara- bangsa sebagai akibat kolonialisme selama beberapa abad dan pilihan politik pascausainya penjajahan Eropa di Asia Tenggara, melainkan juga sejarah dari berbagai usaha pendekatan yang dilakukan oleh unsur-unsur di dalam kedua

5

negara agar masyarakat di kedua negara tetap memiliki kesadaran dan pemahaman bahwa mereka sangat dekat dan perlu merawat kedekatan itu demi kemajuan bersama di masa depan.

6

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Sejarah dan dinamika hubungan Indonesia-Malaysia telah banyak dikaji oleh para sarjana. Ini adalah hal yang wajar, karena kedua negara merupakan negara penting di Asia dan berbagi sejarah dan budaya yang sama di era prakolonial. Perhatian terbesar diberikan para peneliti kepada tema-tema yang berkaitan dengan perselisihan di antara kedua negara sepanjang paroh kedua abad ke-20 dan dekade pertama abad ke-21. Karya Joseph Chinyong Liow, The Politics of Indonesia-Malaysia Relations: One Kin, Two Nations, merupakan sebuah kajian serius yang penting dalam memahami turun naiknya hubungan Indonesia- Malaysia khususnya di paroh kedua abad ke-20.6 Sebagaimana diindikasikan oleh judul buku ini, fokus studinya adalah mengenai relasi politik antara kedua negara, yang menurut penulisnya lebih banyak diwarnai oleh persaingan antara kedua negara, termasuk dalam menafsirkan sejarah dunia Melayu dan Nusantara serta oleh kuatnya pengaruh budaya politik Jawa dalam cara Indonesia memandang Malaysia. Era awal 1960an juga mendapat perhatian di sini, namun dalam nuansa yang menggambarkan betapa buruknya relasi kedua negara, terutama karena peristiwa Konfrontasi. Di sini diterangkan retorika dan kebijakan yang diambil oleh pemimpin kedua negara, Presiden Soekarno di pihak Indonesia dan Tunku Abdul Rahman di pihak Malaysia, dalam kaitannya dengan pembentukan Federasi Malaya tahun 1961. Bagian ini, walaupun vital dan relevan dengan kajian kami, lebih banyak memusatkan perhatian pada perang propaganda di kalangan elite politik di Jakarta dan Kuala Lumpur, dan tidak memberikan tempat pada suara- suara di ruang publik, khususnya di media cetak Indonesia, tak lama sebelum Konfrontasi pecah. Sementara itu, kajian Marshall Clark and Juliet Pietsch, Indonesia- Malaysia Relations: Cultural Heritage, Politics and Labour Migration, merupakan karya yang juga eensial dalam memahami sejarah hubungan kedua

6 Joseph Chinyong Liow, The Politics of Indonesia-Malaysia Relations: One Kin, Two Nations (London & New York: RoutledgeCurzon, 2005). 7

negara, khususnya dari perspektif masyarakat.7 Mereka mengulas tentang bagaimana hubungan kedua negara bermula, dan apa saja faktor pemersatu sekaligus elemen yang memisahkan keduanya sejak era kemerdekaan Indonesia hingga ke era 2010an. Ini dilihat dari perspektif yang lebih luas, mulai dari kesamaan bahasa, kemiripan mitologi, hingga ke perselisihan mutakhir yang melanda kedua negara, seperti perselisihan teritorial di Ambalat, representasi Islam di media populer di kedua negara, etnisitas (khususnya mengenai peran etnis Tionghoa), nasib yang dialami pekerja migran Indonesia di Malaysia, dan klaim unsur budaya Indonesia, mulai dari tari hingga makanan, sebagai bagian dari budaya Malaysia. Di sini Clark dan Pietsch, sama seperti banyak kajian tentang sejarah hubungan Indonesia-Malaysia, berargumen bahwa walaupun orang Indonesia dan Malaysia sama-sama berpandangan bahwa mereka dekat secara kultural, namun mereka juga menyadari bahwa perjalanan sejarah keduanya justru kian lama semakin menjauh satu sama lainnya. Namun, buku ini tidak memberikan analisis yang memuaskan mengenai momen-momen ketika masyarakat kedua negara merasa dekat dan mengekspresikan kedekatannya itu secara publik dengan harapan bahwa bahwa semakin lama mereka akan semakin dekat lagi. Kekurangan ini dapat dimengerti mengingat bahwa kajian ini dilandasi oleh pemikiran bahwa hubungan Indonesia- Malaysia dipenuhi oleh apa yang mereka sebut sebagai „eruption of Indonesian nationalist sentiment‟,8 mulai dari Konfrontasinya Soekarno hingga komentar tajam Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono terhadap kasus artis Indonesia, Manohara, yang dianiaya oleh suami Malaysianya, dan kasus sengketa kepemilikian blok laut Ambalat di Laut Sulawesi pada tahun 2009. Berhubung dalam tujuh dekade terakhir konflik terjadi cukup sering, maka para ahli telah dengan teliti menganalisis satu per satu konflik yang terjadi di antara kedua negara. Tema mengenai Konfrontasi merupakan tema yang paling banyak dibahas di dalam kajian mengenai sejarah hubungan Indonesia-Malaysia. Para sarjana meniliknya dari berbagai perspektif, namun ada suatu shared idea di antara mereka, yakni bahwa konflik ini mendefinisikan ulang relasi Indonesia-

7 Marshall Clark and Juliet Pietsch, Indonesia-Malaysia Relations: Cultural Heritage, Politics and Labour Migration (London & New York: Routledge, 2014). 8 Marshall Clark and Juliet Pietsch, Indonesia-Malaysia Relations, p. 7. 8

Malaysia karena kini kedua negara, walaupun serumpun, rupanya sangat berlawanan bila sudah menyangkut ideologi, kepentingan dalam negeri, dan politik luar negeri. J.A.C. Mackie, dalam studinya, Konfrontasi: The Indonesia-Malaysia Dispute, 1963-1966, berargumen bahwa Konfrontasi harus dipahami tidak hanya sebagai urusan bilateral kedua negara, namun lebih pada pemikiran dan praktik politik tokoh paling sentral di Indonesia masa itu, Presiden Soekarno, yang sangat ideologis dalam menjalankan politik luar negerinya.9 Steven Farram menambahkan elemen perlawanan lain dengan melihat bagaimana lagu-lagu Indonesia populer diciptakan di masa itu untuk menunjukkan kebanggaan nasional dan perlawanan terhadap Malaysia.10 Farabi Fakih meneliti ke masa yang lebih ke belakang, yakni sejak pandangan pemimpin Indonesia di masa Revolusi Indonesia (1945) dan masa-masa selanjutnya. Ia, sebagaimana bisa diduga, menemukan bahwa pertimbangan geopolitik sangat mempengaruhi hubungan kedua negara, sementara alasan berupa kinship di antara masyarakat kedua negara terabaikan.11 Para sarjana lain, seperti John Subritzky, menekankan peranan aktor ketiga dalam relasi ini dan di tengah Konfrontasi, yakni Inggris.12 Budiawan memberikan pandangan baru tentang Konfrontasi dengan menganalisis sentimen kebangsaan yang tetap hidup di antara publik Indonesia pada masa setelah Presiden Soeharto, yang pada tahun 1967 menginisiasi penormalan kembali hubungan Indonesia-Malaysia, turun dari jabatannya pada tahun 1998.13 Mengenai isu-isu relasi Indonesia-Malaysia di era kontemporer, R. Haller- Trost, dengan perspektif hukum internasional, mengulas dengan dalam penggunaan prinsip-prinsip hukum internasional dalam penyelesaian konflik

9 J.A.C. Mackie, Konfrontasi: The Indonesia-Malaysia Dispute, 1963-1966 (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1974). 10 Steven Farram, „Ganyang! Indonesian popular songs from the Confrontation Era, 1963- 1966‟, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 170 (2014). 11 Farabi Fakih, „Malaysia as an “Other” in Indonesian popular discourse‟, Inter-Asia Cultural Studies, Volume 18, Issue 3, 2017. 12 John Subritzky, „Britain, Konfrontasi, and the end of empire in Southeast Asia, 1961-65‟, The Journal of Imperial and Commonwealth History‟, Volume 28, Issue 3, 2000. 13 Budiawan, „How do Indonesians remember Konfrontasi? Indonesia-Malaysia relations and the popular memory of “Confrontation” after the fall of Soeharto‟, Inter-Asia Cultural Studies, Volume 18, Issue 3, 2017. 9

kepemilikan dua pulau kecil di Celebes Sea, Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, serta bukti-bukti yang diajukan oleh kedua negara.14 Marshall Clark meyakini bahwa di tahun 2000an relasi Indonesia-Malaysia masih tetap diwarnai oleh konflik, sebagaimana tampak dalam kajiannya mengenai perselisihan kedua negara dalam kasus Southeast Asian (SEA) Games di Jakarta dan Palembang tahun 2011 dan penganugerahan batik sebagai „a distinctly Indonesian form of intangible cultural heritage‟ oleh UNESCO.15 Sebenarnya, sudah ada kajian mengenai bagaimana media cetak Indonesia membayangkan dan merepresentasikan citra tentang relasi Indonesia-Malaysia, khususnya di era 1960an. Namun, sepengetahuan kami, hanya ada satu kajian dengan tema itu, yakni esai visual yang sangat ringkas karya Yerry Wirawan. Walaupun pendekatannya berbeda, nada serta kesimpulannya cenderung mirip dengan kajian-kajian lain mengenai relasi Indonesia-Malaysia di paroh pertama dekade 1960an. Yerry, yang meneliti korannya kaum left-wing nationalists, Bintang Timur, di tahun 1962 berpandangan bahwa media massa nasionalis Indonesia, dalam hal ini Bintang Timur, menyerang secara visual Tunku Abdul Rahman dan Inggris serta menunjukkan dukungan pada Azahari, pemimpin Borneo yang menolak pembentukan Federasi Malaya.16 Walaupun kajian ini memberikan pengetahuan berbeda tentang sejarah hubungan Indonesia-Malaysia, khususnya dalam bentuk representasi media dalam studi Indonesia-Malaysia, kajian ini tidak memberikan konteks yang lebih luas tentang kebijakan pers di Indonesia masa itu, ataupun pandangan pers berorientasi lain, dalam hal ini pers nasionalis Muslim (yang secara keagamaan lebih dekat dengan masyarakat Malaysia dibandingkan dengan pers komunis seperti Bintang Timur), terhadap isu relasi Malaysia-Indonesia. Ketiadaan kajian yang lebih komprehensif tentang media-media cetak Indonesia ini memberi kesan bahwa sebelum Konfrontasi pun media-media Indonesia telah mengampanyekan

14 R. Haller-Trost, „The Territorial Dispute between Indonesia and Malaysia over Pulau Sipadan and Pulau Ligitan in the Celebes Sea: A Study in International Law‟, Boundary and Territory Briefing, Volume 2 No, 2, 1995. 15 Marshall Clark, „The politics of heritage: Indonesia-Malaysia cultural contestations‟, Indonesia and the Malay World, Volume 41, 2013. 16 Yerry Wirawan, „Malay(sian)‟s image in Indonesian media prior to Konfrontasi era December 1962‟, Inter-Asia Cultural Studies, Volume 18, Issue 3, 2017. 10

sentimen negatif anti-Malaysia, suatu pandangan yang dibantah oleh kajian kami ini. Dalam kaitannya dengan kesarjanaan dan tema mengenai hubungan kedua negara, tema lain yang mendapatkan perhatian banyak sarjana adalah mengenai perbandingan berbagai aspek sosial, politik dan budaya di antara kedua negara, dan dari segi waktu umumnya mengambil masa yang agak kontemporer. Pendekatan yang dipakai umumnya adalah pendekatan sosiologi, antropologi, dan sejarah. Setidaknya ada beberapa aspek yang dibandingkan di dalam kajian-kajian ini, yakni perbandingan praktik agama Islam di kedua negara,17 pelaksanaan pendidikan Islam di kedua negara,18 partisipasi etnis minoritas, khususnya orang Tionghoa, di dalam dunia politik di kedua negara,19 dan politik identitas dalam pemilihan umum di kedua negara.20 Kajian-kajian ini tidak secara spesifik membahas tentang relasi Indonesia-Malaysia, namun memberikan indikasi tentang dekatnya perjalanan sejarah kedua negara serta kemiripan yang eksis di dalam komposisi masyarakatnya maupun dalam praktik budaya, agama dan politik di antara masyarakat kedua negara tersebut sehingga membuat perbandingan dapat dilakukan. Kajian-kajian di atas, dan kajian-kajian lain dengan tema serupa, walaupun berguna memberikan analisis detail mengenai satu per satu konflik antara kedua negara, maupun membandingkan perkembangan aspek-aspek tertentu di antara kedua negara, bercorak fragmentaris, dan periode waktu yang dikajinya berada di luar cakupan peiode yang diteliti oleh kajian ini. Untuk kajian mengenai periode 1960an, tema yang dominan adalah Konfrontasi, dengan nuansa politik yang kental, dan kajian yang banyak difokuskan pada elite politik di Jakarta dan Kuala Lumpur. Kesan yang muncul adalah bahwa periode 1960an, khususnya sejak tahun 1960 hingga 1967 (ketika hubungan kedua negara dinormalisasi), relasi Indonesia-Malaysia semata-mata diwarnai oleh perselisihan, benturan dan konflik

17 Andrew M. Weintraub (ed.), Islam and Popular Culture in Indonesia and Malaysia (London & New York: Routledge, 2011); Timothy P. Daniels (ed.), Performance, Popular Culture, and Piety in Muslim Southeast Asia (New York: Palgrave Macmillan, 2013). 18 Azmil Tayeb, Islamic Education in Indonesia and Malaysia: Shaping Minds, Saving Souls (London & New York: Routledge, 2018). 19 Amy L. Freedman, Chinese Overseas in Malaysia, Indonesia, and the United States (New York & London: Routledge, 2000). 20 Karolina Prasad, Identity Politics and Elections in Malaysia and Indonesia: Ethnic Engineering in Borneo (London & New York: Routledge, 2016). 11

yang berkisar pada penolakan Soekarno pada pembentukan Federasi Malaya. Tema mengenai hubungan kultural dan keagamaan yang baik yang dibangun di dalam media populer Indonesia sekitar setahun sebelum rencana pembentukan Federasi Malaya yang kemudian menjadi pemicu Soekarno mengeluarkan kampanya Ganyang Malaysia sejauh ini belum menarik perhatian para sarjana. Dibandingkan dengan kajian mengenai hubungan diplomatik Indonesia- Malaysia dan konflik di antara kedua negara, terutama dalam kaitannya mengenai perselisihan yang menjurus ke perang akibat kelahiran Federasi Malaya tahun 1960an, perselisihan budaya, dan ketenagakerjaan, tema tentang representasi hubungan Indonesia-Malaysia di dalam media sangat diabaikan oleh para sarjana. Perhatian yang minim ini tampak semakin jelas bila kita melihat tidak adanya penelitian mengenai representasi positif mengenai hubungan Indonesia-Malaysia di media cetak populer Indonesia di era yang dianggap sebagai era penuh masalah di antara kedua negara dan di dunia secara umum: awal 1960an. Satu-satunya kajian mengenai media dan hubungan Indonesia-Malaysia di periode peroh pertama dekade 1960an, sebagaimana dikemukakan di atas, adalah kajian ringkas Yerry Wirawan tentang serangan koran komunis, Bintang Timur, pada rencana pembentukan Federasi Malaya. Pengabaian ini dikarenakan para sarjana lebih banyak memusatkan perhatian pada isu-isu besar yang memang banyak dibicarakan di level negara dan masyarakat kedua negara bahkan juga di dunia internasional. Memang, hubungan kedua negara ini penting sekali, karena mereka adalah negara penting di Asia, khususnya di Asia Tenggara, dan hubungan mereka akan mempengaruhi kestabilan kawasan Asia Tenggara bahkan dunia. Alhasil, kajian mengenai representasi hubungan Indonesia-Malaysia minim sekali dilakukan para sarjana. Publik sudah tahu banyak tentang peristiwa-peristiwa perselisihan dan konflik di antara kedua negara, tapi kita kurang tahu bagaimana peristiwa-peristiwa ini dibayangkan dan ditampilkan di dalam ruang publik, dipresentasikan dalam bentuk teks dan gambar (dan dinarasikan secara singkat dalam caption untuk gambar tersebut), dan dibingkai untuk tujuan mempengaruhi opini publik di kedua negara oleh medium yang selama ini kurang diberi tempat dalam kajian tentang relasi Indonesia-Malaysia: pers Islam.

12

BAB III METODE PENELITIAN

Kajian ini menggunakan metode penelitian sejarah. Metode penelitan sejarah merupakan cara yang dipakai untuk mencari dan mengumpulkan fakta- fakta tentang masa lalu dari berbagai sumber primer dan sekunder, yang kemudian dianalisis guna mendapatkan pengetahuan tentang masa silam. Kami menggunakan pendekatan sejarah untuk merekonstruksi secara kronologis bagaimana relasi Indonesia-Malaysia direpresentasikan di dalam halaman- halaman majalah tersebut serta memberikan konteks sejarah yang lebih luas untuk memahami dinamika hubungan kedua negara di level bilateral, regional maupun internasional. Para sejarawan mengemukakan berbagai rincian tahapan dalam metode penelitian sejarah, namun pada hakikatnya langkah-langkah yang mereka kemukakan sama. Di sini kami menggunakan langkah-langkah dalam penelitian sejarah sebagaimana diperkenalkan oleh Kuntowijoyo. Menurut Kuntowijoyo, lima tahap penelitian sejarah terdiri atas: 1) pemilihan topik, 2) pengumpulan sumber, 3) verifikasi atau kritik sumber, 4) interpretasi (analisis dan sintesis), dan 5) penulisan.21 Penelitian ini mengkaji sejarah representasi hubungan Indonesia-Malaysia di dalam majalah Islam populer dwimingguan (dalam kondisi tertentu terbit sekali sebulan, tiga atau empat kali sebulan) yang terbit di Indonesia, Pandji Masjarakat, pada tahun 1960. Ulama modernis dan novelis terkemuka Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) menerbitkan majalah ini sejak tahun 1959, dan kepopuleran Hamka di Indonesia memfasilitasi pesatnya peningkatan pembaca majalah ini. Majalah ini berkonsentrasi pada usaha untuk menyebarluaskan pengetahuan tentang Islam dan budaya kepada publik Indonesia dengan menyajikannya secara populer.22 Sebagai majalah yang banyak dibaca oleh umat Islam di Indonesia, majalah ini berperan penting dalam membentuk opini masyarakat Indonesia dan, dalam skala yang lebih kecil, publik Muslim di dunia

21 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013), p. 67-82. 22 Hairus Salim HS, „Indonesian Muslims and Cultural Network‟, in Jennifer Lindsay & Maya H.T. Liem (eds.), Heirs to World Culture: Being Indonesian 1960-1965 (Leiden: KITLV Press, 2012), p. 84. 13

Melayu di luar Indonesia, tentang berbagai isu baik di Indonesia maupun di dunia internasional, khususnya dunia Islam, termasuk dunia Melayu-Nusantara. Dalam pandangan kami, signifikansi ini tidak tercermin di dunia akademik, mengingat minimnya kajian tentang majalah ini pada periode paroh pertama dekade 1960an, khususnya dalam kaitannya dengan hubungan Indonesia-Malaysia. Hal ini mendorong kami untuk memilih topik tentang representasi hubungan Indonesia- Malaysia di majalah Pandji Masjarakat ini. Mengingat objek yang dikaji di sini adalah sebuah media cetak dan isinya, maka kami menggunakan kajian multidisipliner dalam studi ini dengan memakai satu ilmu bantu lain, yaitu ilmu komunikasi. Pendekatan dari ilmu komunikasi dibutuhkan untuk memahami dengan lebih dalam dan lebih baik konten dari majalah Pandji Masjarakat. Pendekatan yang dipakai ialah representasi media. Representasi merupakan sebuah konsep yang mengacu pada usaha untuk menghasilkan dan mempertukarkan makna melalui bahasa, yang difasilitasi oleh simbol-simbol dan tanda-tanda, termasuk tulisan dan gambar.23 Adapun representasi media (media representations) mengacu pada teks dan proses untuk menghasilkan makna melalui systems of signs.24 Oleh sebab itu, pengkaji representasi media melihat pada ruang-ruang yang ada di media dan bagaimana pengelola media mengisi ruang itu dengan isi yang membawa makna, misalnya melalui berita, tajuk rencana, foto, gambar, karikatur, opini pembaca, dan iklan. Dengan kata lain, pada hakikatnya teks dan gambar yang disajikan media tidak hanya bermanfaat untuk memberi informasi kepada pembacanya, atau menghibur mereka, melainkan juga menjadi bagian dari usaha untuk memproduksi makna dengan mengkonstruksi realitas yang ada di sekitarnya. Dengan pemahaman ini, kami meneliti berbagai berita, tajuk rencana, dan foto yang dipublikasikan oleh Pandji Masjarakat yang mengandung elemen yang berkaitan dengan Malaysia atau hubungan Indonesia-Malaysia. Sumber primer yang dipakai di dalam kajian ini adalah edisi-edisi Pandji Masjarakat yang terbit pada tahun 1960, tepatnya edisi Januari (nomor 14 dan

23 Stuart Hall, „Introduction‟, in Stuart Hall (ed.), Representation: Cultural Representations and Signifying Practices (London: Sage and the Open University, 2003), p. 1. 24 Shani Orgad, Media Representation and the Global Imagination (Cambridge and Malden: Polity Press, 2012), p. 18. 14

15), Februari (nomor 16 dan 17), Maret (nomor 18, 19 dan 20), April (nomor 21), Mei (nomor 22 dan 23), Juni (nomor 24 dan 25), Juli (nomor 26 dan 27), Agustus (nomor 28 dan 29), September (nomor 30, 31, 32/33 [dua edisi dijadikan satu]). Dalam sekali terbit, majalah ini terdiri dari 32 halaman. Majalah ini berhenti terbit pada akhir 1960 karena dilarang oleh pemerintah Soekarno, sebagai bagian dari usahanya untuk membungkam kalangan oposisi, dalam hal ini Partai Masyumi di mana Hamka pernah menjadi bagian pentingnya. Edisi-edisi yang dikemukakan di atas adalah edisi-edisi Pandji Masjarakat yang tersimpan di Perpustakaan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah di Yogyakarta. Usaha sudah dilakukan untuk menggunakan edisi-edisi yang terbit sejak majalah ini pertama kali terbit (1959), namun Perpustakaan PP Muhammadiyah tidak memilikinya. Pencarian sumber perimer juga sudah dilakukan ke berbagai lembaga lainnya, seperti Perpustakaan Pusat Data, Penelitian dan Pengembangan (Pusdalit) Suara Muhammadiyah, Perpustakaan Jogja Library Center (JLC), Perpustakaan Universitas Islam Indonesia (UII), dan sejumlah perpustakaan lainnya. Di Perpustakaan Pusdalit Suara Muhammadiyah tidak ditemukan majalah Pandji Masjarakat, namun koleksi buku dan sumber lain yang ada di sana membantu memberikan konteks historis pada kajian ini. Kami juga secara reguler mengontak Perpustakaan JLC yang dikenal memiliki banyak koleksi media cetak lama, namun karena alasan pandemi Covid-19, di masa penelitian ini dilakukan perpustakaan tersebut ditutup untuk umum. Hal yang sama juga terjadi pada Perpustakaan UII, yang menurut beberapa sumber kini menjadi tempat penyimpanan koleksi buku, majalah dan dokumen lain yang dulu dimiliki Perpustakaan Islam, sebuah perpustakaan yang mengoleksi banyak bahan tentang tema keislaman beberapa dekade yang lalu. Beberapa perpustakaan lain yang dikunjungi atau dikontak di Yogyakarta tidak memiliki koleksi majalah ini. Oleh sebab itu, sumber primer yang dipakai di sini adalah majalah Pandji Masjarakat yang tersimpan di Perpustakaan PP Muhammadiyah. Setelah membaca satu demi satu edisi Pandji Masjarakat di atas diketahui bahwa tidak semua edisi di atas memuat informasi tentang Malaysia atau hubungan Indonesia- Malaysia. Adapun sumber sekunder yang dipakai ialah artikel-artikel yang terbit di jurnal internasional dan buku-buku baik dalam bahasa Indonesia maupun

15

bahasa Inggris yang mengulas tentang sejarah dan turun-naiknya hubungan Indonesia-Malaysia, khususnya sejak tahun 1960an hingga tahun 2000an. Sumber-sumber primer yang disebutkan di atas adalah sumber yang otentik dan isinya dapat dipercaya. Setelah melakukan pengkajian terhadap isi sumber tersebut, kami menganalisis bagaimana Malaysia dan hubungan Indonesia-Malaysia direpresentasikan di majalah Pandji Masjarakat sepanjang sembilan bulan pada tahun 1960 itu. Analisis tersebut disajikan secara tematik, namun tetap dalam kerangka historis, yang memberi penekanan pada perubahan dan dinamika dari bulan ke bulan, sesuai dengan perkembangan yang terjadi dalam hubungan Indonesia-Malaysia maupun terkait dengan peristiwa-peristiwa mutakhir yang relevan di masing-masing negara. Dengan penelitian terhadap edisi-edisi majalah Pandji Masjarakat yang terbit pada tahun 1960, yang memberitakan atau mengulas tentang berbagai aspek tentang relasi Indonesia-Malaysia, termasuk tentang Malaysia itu sendiri, kami berargumen bahwa Pandji Masjarakat menggunakan sebagian halamannya untuk menampilkan Malaysia, dan bukan negara-negara lainnya, dalam rangka membangun citra yang positif tentang Malaysia dan tentang relasi antara Indonesia-malaysia dengan menekankan pada kedekatan budaya Melayu- Nusantara, kedekatan hubungan di era prakolonial, kesamaan sebagai negara terjajah yang baru merdeka, dan kesamaan dalam hal agama Islam sebagai agama yang dianut mayoritas penduduk. Kami berpendapat bahwa berita, pandangan, dan foto yang ditampilkan oleh majalah ini dalam merepresentasikan Malaysia telah menyebabkan citra Malaysia menjadi lebih baik di Indonesia, yang pada gilirannya membantu menguatkan kedekatan di antara masyarakat kedua negara. Pada akhirnya, kami memperlihatkan bahwa cara pemberitaan yang dipilih oleh Pandji Masjarakat membuat majalah itu berperan penting dalam membangun jembatan menuju persamaan alih-alih menekankan pada perbedaan pendapat pada kedua negara di masa tak lama sebelum hubungan kedua negara menjadi meruncing, dan nyaris jatuh ke peperangan, karena persoalan pembentukan negara Federasi Malaya yang ditentang Indonesia sebagai proyek neokolonialisme Inggris.

16

BAB IV PANDJI MASJARAKAT: SEBUAH MEDIA POPULER DALAM MENDAKWAHKAN ISLAM DI INDONESIA

A. Hamka, Masjid Al-Azhar dan Modernisme Islam di Indonesia Kelahiran dan perkembangan majalah Pandji Masjarakat serta pengaruhnya dalam penyiaran agama Islam di antara masyarakat Indonesia tidak dapat dilepaskan dari peranan seorang tokoh dan satu institusi. Tokoh yang dimaksud adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang populer dengan nama penanya, Buya Hamka, sementara institusi yang dimaksud adalah Masjid Al Azhar di Jakarta. Lahir di Agam, Sumatra Barat, pada 1908, Hamka adalah anak seorang ulama besar asal Minangkabau, Haji Abdul Karim Amrullah—seorang ulama modernis terkemuka di Minangkabau pada awal abad ke-20 dan pembawa Muhammadiyah ke Sumatra Barat, tempat di mana organisasi Islam modernis ini berkembang pesat. Hamka pernah bersekolah semasa kecilnya, tapi ia tertarik dengan metode menghafal yang lazim di sekolah desa maupun sekolah agama di masa itu. Waktu kecilnya lebih banyak dihabiskan untuk belajar secara otodidak. Hamka kecil senang membaca karya sastra dalam bahasa Arab, bahasa yang di masa depannya berperan penting membantu Hamka dalam menyerap informasi tentang perkembangan mutakhir di bagian dunia Islam lainnya, khususnya Mesir. Karier Hamka sebagai penulis dimulai pada dekade 1920an, ketika ia mulai menjadi kontributor di sejumlah media cetak yang terbit di Jawa dan Sumatera, seperti Pelita Islam dan Seruan Islam. Pada tahun 1938, ia bahkan memimpin sebuah surat kabar di Medan, Pedoman Masjarakat, di mana ia menerbitkan berbagai tulisan tentang agama Islam, pemeliharaan akhlak dan ilmu tasawuf. Sejak dari Pedoman Masyarakat ini pula Hamka mulai dikenal sebagai novelis yang humanis, memadukan antara petualangan, kolonialisme, adat, cinta dan zaman modern yang mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia di dekade-dekade awal abad ke-20. Novel yang membuat nama Hamka dikenal,

17

Tenggelamnya Kapal van der Wijck, mulanya adalah cerita bersambung di Pedoman Masjarakat tahun 1938.25 Selain sebagai jurnalis dan novelis, Hamka juga dikenal sebagai seorang ulama. Ia berdakwah di bawah panji Muhammadiyah, organisasi Islam modernis yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlah di Yogyakarta tahun 1912. Ia menduduki berbagai posisi di Muhammadiyah, mulai dari sebagai pengurus Muhammadiyah cabang Padang Panjang (Sumatera Barat) pada akhir 1920an, pendiri Muhammadiyah cabang Bengkalis (Riau) pada tahun 1931, aktif sebagai anggota Muhammadiyah di Sumatera Timur sejak pertengahan dekade 1930an, menjabat sebagai Ketua Majelis Pemimpin Muhammadiyah Daerah Sumatera Barat pada tahun 1946, dan puncaknya, sebagai anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun 1953.26 Hamka pindah ke Jakarta pada tahun 1949. Selain masih melanjutkan kariernya sebagai penulis, Hamka juga ambil bagian dalam pengembangan kegiatan keislaman di kota terbesar di Indonesia itu. Beberapa tokoh Islam di Jakarta, dengan dukungan pemerintah provinsi Jakarta, berdiskusi untuk mengembangkan dakwah Islam di Jakarta dan memutuskan bahwa mereka akan mendirikan sebuah masjid di Kebayoran Baru, sebuah kawasan baru yang sedang berkembang di Jakarta Selatan. Masjid yang direncanakan itu akhirnya selesai dibangun pada 1958. Masjid itu, Masjid Al Azhar, dikenal karena arsitekturnya yang indah, fasilitasnya yang lengkap, dan, yang membuatnya terkenal hingga kini, sekolahnya, yang memadukan antara pelajaran agama dan modernitas. Masjid ini, dan Hamka sebagai imam utamanya, menjadi simbol baru Islam di Indonesia pada era 1950an dan seterusnya: modern, maju, tetapi juga taat kepada ajaran Islam. Jamaah Masjid Al Azhar berasal dari kaum Muslim dari kalangan menengah dan kalangan atas, sesuai dengan perkembangan kawasan Kebayoran Baru menjadi suburb bagi penduduk yang makmur di Jakarta. Nama Al Azhar sendiri disematkan kepada masjid itu pada tahun 1960, setelah kunjungan Rektor Universitas Al Azhar (Mesir), Mahmud Syaltut, ke Indonesia.

25 Koko Hendri Lubis, Roman Medan: Sebuah Kota Membangun Harapan (Jakarta: Gramedia, 2018), p. 72. 26 Untuk peran Hamka di dalam organisasi Muhammadiyah, lihat buku yang ditulis oleh anaknya, Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Hamka (Jakarta: Noura, 2016), pp. 4-6. 18

Syaltut beralasan bahwa masjid itu memiliki pengaruh penting di Indonesia dan juga sebagai tanda tentang nama besar Hamka sebagai imam di masjid itu (Hamka pada tahun 1959 diberi gelar kehormatan oleh Universitas Al Azhar).27 Kunjungan Syaltut ke Jakarta (dan dalam waktu berdekatan juga ke negara-negara lain seperti Malaysia, Filipina, Pakistan, Libya, Somalia, Nigeria dan Mali merupakan cara ulama Mesir tersebut untuk memperkenalkan lebih jauh Al Azhar di luar Mesir serta membangun komunikasi dan jaringan dengan dunia Islam yang lebih luas, termasuk dengan Indonesia.28 Nama Hamka sendiri memang sedang terkenal hingga ke luar Indonesia pada paroh kedua dekade 1950an itu. Ini bisa dilihat dalam perjalanannya ke luar negeri, tidak lagi untuk naik haji ke Mekkah seperti di masa silam, tetapi kini untuk memberi ceramah di hadapan intelektual Muslim di luar Indonesia, misalnya di Pakistan dan di Mesir pada tahun 1958. Tak lama kemudian ia bahkan diundang oleh Raja Saudi untuk datang ke negaranya.29 Hamka, dengan demikian, telah menjadi utusan kaum Muslim di Asia Tenggara, dan khususnya Indonesia, dan mewakili wajah Islam Indonesia di era itu, yang moderat dan saling terkoneksi dengan bagian dunia Islam lainnya. Dalam beberapa tahun setelah pendiriannya, Masjid Al Azhar mendapat tugas baru, yakni menjadi benteng dari perlawanan kaum Muslim Indonesia terhadap perkembangan komunisme yang kian cepat, termasuk dengan meningkatnya pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) di dalam pemerintahan.30 Hamka adalah tokoh yang anti-komunis, dan sejak tahun 1961 ia mendapat dukungan dari sebagian petinggi militer yang juga anti-komunis, salah satunya adalah the Army Chief of Staff, Jenderal Abdul Haris Nasution. Hamka kerap diserang oleh kalangan komunis, salah satunya lewat koran terbitan kaum kiri, Bintang Timur („the Star of the East‟) yang pada Oktober 1962 menuduh Hamka melakukan plagiasi ketika menulis novel-novelnya. Jadi pada tahun-tahun

27 James R. Rush, Hamka‟s Great Story: A Master Writer‟s Vision of Islam for Modern Indonesia (Wisconsin: The University of Wisconsin Press, 2016), pp. 127-128. 28 Mona Abaza, Changing Images of Three Generations of Azharites in Indonesia (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1993), pp. 14-15. 29 Norshahril Saat, Tradition and Islamic Learning: Singapore Students in thee Al-Azhar University (Singapore: ISEAS, 2018), p. 39. 30 Remy Madinier, Islam and Politics in Indonesia: The Masyumi Party between Democracy and Integralism (Singapore: NUS Press, 2015), pp. 427-428. 19

awal dekade 1960an itu, musuh-musuh Hamka bertambah. Selain ateisme dan materialisme, kini ia harus berhadapan dengan komunisme. Sikap oposisinya terhadap pemerintahan Soekarno yang ia anggap totaliter membuatnya menjadi musuh Soekarno. Ia pada akhirnya dituduh berkomplot untuk menjatuhkan Soekarno—yang tidak terbukti—dan ini membawanya ke dalam penjara pemerintahan Orde Lama. Hamka dipenjara selama dua tahun empat bulan. Ketidakhadirannya di ruang publik selama masa itu membuat para pembaca Hamka kehilangan teks menarik yang mereka tunggu-tunggu dari Hamka. Majalah yang didirikan Hamka, Pandji Masjarakat, turut ditutup oleh pemerintah pada Agustus 1960 (tapi, majalah ini masih sempat terbit sampai edisi September tahun yang sama).31 Alasannya, majalah ini mempublikasikan artikel mantan wakil presiden Mohammad Hatta, Demokrasi Kita, yang berisi kritik Hatta terhadap pemerintahan Soekarno yang semakin lama ia lihat semakin dekat kepada kediktatoran. Selepas dari penjara, Hamka kembali beraktivitas di bidang keagamaan dan kepenulisan. Hamka wafat pada 24 Juli 1981. Walau sudah lama wafat, nama Hamka masih tetap dikenang oleh masyarakat Indonesia. Namanya diabadikan dalam bentuk novel,32 nama jalan33 serta nama universitas.34 Hamka, yang tidak pernah menamatkan sekolah formal namun sangat produktif berkarya itu

31 Remy Madinier, Islam and Politics in Indonesia, p. 427. 32 Beberapa novel biografis yang mengisahkan kehidupan Hamka ialah karya Haidar Musyafa, Buya Hamka: Sebuah Novel Biografi (Jakarta: Pustaka Iman, 2018) dan karya Akmal Nasery Basral, Buya Hamka: Setangkai Pena di Taman Pujangga (Jakarta: Republika, 2020). 33 Jalan Prof. Hamka antara lain terdapat di Padang (Sumatera Barat) dan Semarang (Jawa Tengah). Yang teerbaru, pada tahun 2015 jalan layang non-tol Casablanca, Jakarta Selatan, diganti menjadi Jalan Prof. Dr. Hamka. Lihat „JLNT Casablanca Resmi Diberi Nama Jl Prof Hamka‟, https://news.detik.com/berita/d-2923292/jlnt-casablanca-resmi-diberi-nama-jl-prof- hamka?991101mainnews=&991101mainnews=, diakses 14 Agustus 2020. 34 Di Jakarta, sebuah universitas milik Muhammadiyah, yang mulanya bernama Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG, berdiri sejak tahun 1957) diubah namanya menjadi Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka (Uhamka). Menurut pengelola Uhamka, nama Hamka dipilih karena ia „merupakan sosok multi-dimensi dalam beragam kepakaran, yaitu ulama yang intelektual, intelektual yang ulama, seorang sastrawan yang piawai dan unik, sekaligus seorang wartawan dan mubaligh Muhammadiyah yang ulung.‟ Lihat „Sejarah‟, https://uhamka.ac.id/pages/history, diakses 14 Agustus 2020. 20

ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Republik Indonesia Soesilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2011.35

B. Pandji Masjarakat Menjawab Tantangan Zaman Peran Hamka sebagai imam di Masjid Al Azhar membawanya pada dua fungsi. Pertama, ia menjalankan tugas sebagai pemimpin shalat dan pemberi ceramah keagamaan dengan berbagai topik bagi para jamaah. Kedua, ia juga menginisiasi penerbitan majalah baru yang diberi nama Pandji Masjarakat („Society‟s Banner‟), yang pertama kali menyapa pembacanya pada Juli 1959. Bagi Hamka, majalah ini merupakan jawabannya atas situasi yang berkembang di tengah masyarakat Indonesia kala itu. Sebagai sebuah negara yang baru 14 tahun merdeka dan jauh dari mapan, masyarakat Indonesia masih mencari pegangan hidup setelah lama berada di bawah cengkeraman kolonialisme. Mereka berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan besar seperti ideologi, kebebasan, modernitas dan masa depan. Sebagian di antara mereka mempertanyakan tentang keesaan Tuhan, sementara sebagian lainnya semakin tertarik dengan hal-hal keduniawian. Maka, melalui Pandji Masjarakat ini Hamka bertekad melawan meningkatnya penganut ateisme dan materialisme di Indonesia pada era 1950an itu. Caranya adalah dengan menyampaikan kepada publik diskursus tentang agama Islam yang seiring sejalan dengan modernisme dari sudut pandang para pembaru Islam seperti Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh.36 Hamka, yang di tahun 1930an sangat aktif mengelola media cetak sebagai penyiar gagasan dan pembentuk opini publik kini, setelah namanya semakin terkenal di tingkat nasional, kembali menerbitkan media cetak dengan semangat yang sama. Selain merupakan pendiri Pandji Masjarakat, Hamka memegang jabatan sebagai pemimpin redaksi majalah ini. Artinya, ia adalah orang yang bertanggung jawab memutuskan tulisan apa yang harus dan bisa muncul di majalah ini, dan tulisan apa yang tidak. Pemimpin umum majalah ini ialah Moh. Faqih Usman

35 „Syafruddin dan Buya Hamka Pahlawan Nasional‟, https://nasional.tempo.co/read/365516/syafruddin-dan-buya-hamka-pahlawan-nasional, diakses 14 Agustus 2020. 36 James R. Rush, Hamka‟s Great Story, p. 128. 21

sementara pimpinan usahanya adalah M. Yusuf Ahmad. Kantor redaksi majalah ini beralamat di Jalan Majapahit 28/3 Jakarta.37 Di edisi-edisi awalnya, Pandji Masjarakat mencerminkan respon Hamka terhadap kebutuhan suatu kelompok kaum Muslim yang baru tumbuh di Indonesia pascakemerdekaan; urban, berpendidikan, berwawasan global, berpandangan ke depan, modern namun ingin hidup secara Islami. Maka, halaman-halaman majalah ini diisi dengan kolom-kolom tentang filsafat, sejarah Islam, ajaran Islam, nasihat agama untuk individu serta perkembangan terbaru di dunia Islam di luar Indonesia.38 Tema-tema populer yang sedang menjadi perbincangan hangat publik juga dikupas. Hamka di Pandji Masjarakat menekankan bahwa umat Islam Indonesia perlu menjadi modern, sesuai dengan perkembangan zaman di masa itu. Ia mendorong agar agama Islam diinterpretasikan ulang sehingga bermanfaat bagi pembangunan negara baru seperti Indonesia. Tapi, Hamka juga menegaskan bahwa modernisasi itu berbeda dengan Westernisasi, yang ditandai dengan dominasi materialisme, seks dan sekulerisasi politik.39 Nama besar Hamka, reputasi baik para jurnalis dan intelektual terkemuka Indonesia yang berkontribusi di majalah itu dan keberagaman serta kualitas isi Pandji Masjarakat dengan segera menarik minat masyarakat Indonesia pada majalah baru itu. Ini ditandai oleh oplahnya yang meningkat dengan cepat. Edisi- edisi awal Pandji Masjarakat terbit sebanyak sepuluh ribu eksemplar. Hanya butuh waktu setahun untuk membuat angka itu melonjak menjadi lima belas ribu eksemplar. Menurut biografer Hamka, James R. Rush, angka itu sebenarnya belum maksimal dan masih bisa lebih tinggi lagi.40 Hanya saja, ada kebijakan pembatasan jatah kertas untuk media cetak pada masa itu sehingga oplah Pandji Masjarakat tidak bisa lebih tinggi lagi. Persebaran Pandji Masjarakat mencerminkan luasnya pengaruh pemikiran Hamka di tengah masyarakat Indonesia. Para pembaca setianya ada di pulau-pulau besar Indonesia, seperti Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. Untuk mendapatkan Pandji Masjarakat, para pembaca di daerah bisa menghubungi agen

37 Pandji Masjarakat, No. 14, 1 January 1960. 38 James R. Rush, Hamka‟s Great Story, p. 128. 39 B. J. Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia (Leiden: Springer Science+Business Media Dordrecht, 1982), pp. 220-221. 40 James R. Rush, Hamka‟s Great Story, p. 128. 22

penjualan lokal, yang jumlah totalnya mencapai seratus agen di seluruh Indonesia.41 Selain di Indonesia, majalah ini juga dibaca oleh para pembaca Muslim di luar Indonesia, termasuk di dunia Melayu, misalnya di Singapura. Biografer Hamka, James R. Rush, meyakini bahwa meskipun kolom-kolom di Pandji Masjarakat diisi oleh para jurnalis dan pemikir terkemuka di Indonesia pada masa itu, pada hakikatnya suara Pandji Masjarakat adalah suaranya Hamka.42 Dan, pemikiran Hamka ini pula yang ditunggu-tunggu oleh para penggemarnya yang tersebar di berbagai penjuru Nusantara.

41 James R. Rush, Hamka‟s Great Story, p. 128. 42 James R. Rush, Hamka‟s Great Story, p. 128. 23

BAB V MENGHIDUPKAN MEMORI TENTANG SEJARAH BERSAMA DI MASA PRAKOLONIAL

A. Relasi Indonesia dan Malaysia di Masa Sebelum Kedatangan Bangsa Eropa Indonesia dan Malaysia, kendati dewasa ini telah menjadi dua negara dengan sistem kenegaraan yang berbeda, di masa lalu pernah terikat dalam perjalanan sejarah yang sama. Ini bisa dilihat dari sejarah kedatangan Islam ke Nusantara. Agama Islam sampai di bagian-bagian dari apa yang kini menjadi Indonesia dan Malaysia dalam waktu yang relatif berdekatan. Walaupun sampai kini belum ada kepastian kapan persisnya Islam masuk ke Kepulauan Nusantara, sejumlah bukti arkeologis dan laporan para petualang Cina menunjukkan bahwa kehadiran awal Islam di wilayah ini sudah terdeteksi sejak abad ke-9, dan kian intensif di abad-abad selanjutnya.43 Setelah pada mulanya komunitas-komunitas Islam muncul di kota-kota pesisir di Nusantara, perkembangan selanjutnya ditandai dengan munculnya kerajaan-kerajaan Islam di sejumlah daerah di Nusantara, terutama antara abad ke- 13 hingga abad ke-16. Didirikan sejak tahun 847, Kerajaan Perlak yang berlokasi di Aceh Utara dianggap sebagai kerajaan Islam pertama di Nusantara. Kerajaan ini tidak hanya melembagakan politik Islam di Sumatera, tapi juga menjadi titik awal yang kemudian memperluas penyebaran Islam ke bagian Nusantara lainnya, dengan pernikahan antaranggota kerajaan menjadi salah satu metode pentingnya. Seorang putri dari Perlak, misalnya, menikah dengan Merah Silu dari Samudera Pasai, dan dari sana Merah Silu kemudian dikenal sebagai Sultan Malikul Saleh sementara Samudera Pasai sendiri berkembang menjadi kerajaan Islam besar yang ekonominya ditopang oleh perdagangan maritim antarkawasan di Asia Tenggara dan wilayah dunia lainnya.

43 Taufik Abdullah, Ensiklopedia Tematis Dunia Islam Jilid 5 Asia Tenggara, Jakarta : PT Ictiar Baru Van Hoeve. 2002; G.W.J Drewes, ‟Pemahaman Baru tentang Kedatangan Islam di Indonesia‟, dalam Ahmad Ibrahim. Sharon Siddique dan Yasmin Hussain (ed), Islam di Asia Tenggara : Perspektif Sejarah (Jakarta: LP3ES, 1989), p. 28.

24

Di sisi timur Selat Malaka, tepatnya di Semenanjung Malaya, Malaka muncul sebagai kerajaan maritim baru. Kesultanan Malaka menerima ajaran Islam dari Pasai. Diperkirakan berdiri sejak awal abad ke-15, Kesultanan Malaka dikenal sebagai sebuah kerajaan Islam yang memiliki hubungan baik dengan Samudera Pasai. Raja Malaka, Parameswara, yang menganut Islam pada tahun 1411, mengubah namanya menjadi Megat Iskandar Shah. Ia kemudian menikah dengan seorang putri dari Pasai.44 Pernikahan ini, serta kerjasama lainnya di antara kedua kerajaan itu membuat keduanya menjadi dua kekuatan politik Islam utama di kawasan terutama pada abad ke-15.45 Kesultanan Malaka sendiri akhirnya runtuh pada tahun 1511 setelah diserang oleh Portugis. Perlawanan dari masyarakat pribumi terhadap Portugis. Serangan Portugis ke Lama, tempat di mana Sultan Malaka melarikan diri, dihadapi oleh persekutuan antara Sultan Malaka, Sultan Kampar dan Sultan .46 Ini memperlihatkan adanya kerjasama di antara kerajaan-kerajaan Melayu yang berada di kedua sisi Selat Malaka. Konektivitas antara para sultan Melayu dengan masyarakat Nusantara kian kuat ketika para bangsawan Malaka melarikan diri dari tanah kelahirannya dan menetap di bagian timur Nusantara, seperti Makassar, Buton, Ternate dan Sumbawa.47 Ini memberikan jalan pada difusi budaya Melayu, sebagaimana tampak dalam sejumlah tradisi di Indonesia timur yang diwarnai oleh budaya Melayu yang berakar di Malaka dan Johor. Ada kesadaran di tengah masyarakat Indonesia dan Malaysia bahwa hubungan baik antara bangsa Melayu di Asia Tenggara dilandasi oleh kepercayaan bahwa Malaysia dan Indonesia merupakan kedua bangsa serumpun, yang pernah berada di bawah satu payung kultural besar bernama dunia Melayu pada abad 12 sampai 17, di masa sebelum penjajah bangsa Eropa datang. Sumber- sumber sejarah mencatat cakupan geografis dunia Melayu ini, mulai dari Patani, , Kalimantan, Mindanao, Maluku, Semenanjung Malaya, Sumatera, dan Jawa. Ada sejumlah alasan yang mengikat kawasan-kawasan yang sangat luas tersebut sebagai bagian dari dunia Melayu, termasuk penggunaan bahasa Melayu

44 Hussin Mutalib, Islam in Southeast Asia (Singapore: ISEAS, 2008). 45 Tan Ta Sen, Cheng Ho and Islam in Southeast Asia (Singapore: ISEAS, 2009), p. 177. 46 D.J.M. Tate, The Making of Modern Southeast Asia, Jilid I (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1977, p. 32 47 D.J.M. Tate, The Making of Modern Southeast Asia. 25

sebagai lingua franca, relasi antara kerajaan-kerajaan di wilayah itu di era prakolonial (termasuk juga melalui perkawinan dan kekerabatan), agama Islam yang dianut oleh mayoritas penduduk di kawasan-kawasan itu, serta aktivitas perdagangan lintaspulau.48 Jadi, Pandji Masjarakat merepresentasikan Malaysia dan hubungan Indonesia-Malaysia pada tahun 1960 itu dalam konteks menekankan wacana bahwa kedua bangsa mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat sebagaimana dikemukakan di atas. Ini dilakukan dengan menampilkan berita, pandangan dan gambar tentang relasi tersebut, sebagaimana akan disampaikan di bagian-bagian berikutnya. Memang, dalam kenyataanya, Malaysia dan Indonesia mempunyai banyak kesamaan. Mereka berbagi bahasa yang sama, Melayu, yang telah berkembang menjadi bahasa nasional dan masing-masing memperoleh nama resmi, Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia. Selain itu, mayoritas populasi kedua negara adalah Muslim. Terikat oleh sejarah bersama, kesamaan bahasa, budaya, etnis dan agama, hubungan Malaysia-Indonesia sering digambarkan sebagai hubungan saudara ditandai dengan relasi seperti „abang-adik‟ dan „bangsa serumpun‟.49 Dalam konteks ini, agar hubungan baik dan mesra tercipta, maka diketahui bahwa wacana yang dibangun Pandji Masjarakat cenderung membangun narasi tentang persaudaraan dan persahabatan itu.

B. Pandji Masjarakat dan Narasi Sejarah Bersama Islam di Indonesia- Malaysia Majalah Pandji Masjarakat beberapa kali menampilkan narasi yang menekankan tentang adanya perjalanan sejarah yang sama antara Indonesia dan Malaysia, terutama di masa kelahiran kerajaan-kerajaan Islam di kedua wilayah tersebut. Kala itu merupakan masa prakolonial, masa ketika kolonialisme Inggris di Malaya dan kolonialisme Belanda di Nusantara belum memisahkan keduanya masing- masing sebagai jajahan bangsa Eropa. Redaksi majalah ini membayangkan

48 Rusdi Omar, Abubakar Eby Hara & Muhammad Afi fi Abdul Razak, “Malaysia and Indonesia‟s …, hlm. 30. 49 Ruhanas Harun, „Heating up The Battle: The Role of The Media in the Souring of Malaysia-Indonesia Relations‟, Journal of Media And Information Warfare, Vol. 2, Oct. 2009, p. 38. 26

Indonesia dan Malaysia di era prakolonial sebagai dua wilayah yang berbagi sejarah yang sama, yakni sebagai daerah yang didatangi oleh para penyebar Islam dalam kurun waktu yang relatif sama, di mana kemudian Islam tumbuh sebagai kekuatan sosial dalam bentuk komunitas Muslim, dan pada akhirnya sebagai daerah tempat berdirinya kerajaan-kerajaan Islam yang saling berkomunikasi dan bekerjasama satu sama lainnya. Masa tersebut dianggap sebagai masa lalu yang indah, masa ketika Indonesia dan Malaysia, atau lebih tepatnya ketika dunia Melayu di Sumatra dan dunia Melayu di Semenanjung Malaya memiliki banyak kesamaan, seperti kesamaan agama, kesamaan budaya, kesamaan bahasa, kesamaan kepentingan, dan kesamaan pemikiran untuk kemajuan kedua wilayah. Dan, pada akhirnya mereka juga dipertautkan oleh kesamaan nasib; pada akhirnya keduanya sama-sama kehilangan kekuasaan politiknya dan wilayah mereka diduduki oleh bangsa Eropa. Perspektif di atas mungkin bersifat menggeneralisasi dan mengabaikan perbedaan dan kompleksitas dalam hubungan kedua wilayah di masa silam. Namun, representasi tentang sejarah bersama Indonesia-Malaysia di masa prakolonial di Pandji Masjarakat memperlihatkan bahwa setelah era kolonialisme bangsa Eropa usai dan Indonesia-Malaysia sedang mencari bentuk-bentuk baru dalam hubungan mereka sebagai dua negara-bangsa merdeka, maka referensi yang dianggap tepat untuk dijadikan pegangan adalah dengan melihat kembali kerjasama yang kuat yang pernah terbentuk di antara bagian-bagian mereka di masa silam. Ini mengesankan bahwa hubungan baru Indonesia-Malaysia sebagai dua negara merdeka bukanlah hubungan yang benar-benar baru, melainkan hubungan lama yang terinterupsi oleh kolonialisme Eropa, dan kini perlu diperbarui kembali. Seorang penulis bernama S.S. Daeng Pabon dalam sebuah artikelnya di Pandji Masjarakat membandingkan antara kegagalan Tiongkok dalam menanamkan kekuasaannya di Indonesia dengan pengaruh besar bangsa Arab dan agama Islam yang dibawanya ke Indonesia. Pabon menyebut bahwa sementara bangsa Tionghoa yang datang ke Nusantara gagal untuk memberi warna penting ke dalam kehidupan masyarakat di Nusantara (kecuali di bidang ekonomi), bangsa Arab berhasil membawa pengaruh secara keagamaan, kultural bahkan politik.

27

Yang terakhir ini ditandai dengan lahirnya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Ia memang tidak secara spesifik menyebut tentang kerajaan-kerajaan Islam di Malaya, namun ia menekankan bahwa antara abad ke-13 dan ke-17, berdiri sejumlah kerajaan Islam, tapi kemudian dihancurkan oleh kolonialisme bangsa Barat, dalam hal ini orang Belanda.50 Idenya ini, bagi pembaca yang berpengetahuan, akan membawa juga ingatannya pada kehancuran Kesultanan Muslim Malaka di Malaya yang ditaklukkan oleh Portugis tahun 1511. Dengan kata lain, artikel Pabon memberi gambaran tentang kehancuran kekuasaan politik Islam di Nusantara di bawah dominiasi bangsa Eropa. Pandangan tentang arti penting Islam dalam mewarnai kebudayaan di Nusantara, dalam hal ini di Indonesia dan Malaysia, ini juga dikemukakan oleh redaksi Pandji Masjarakat sendiri. Pada awal 1960an, muncul kritik dari sejumlah mahasiswa yang juga pembaca majalah ini bahwa Pandji Masjarakat adalah media cetak yang hanya mempromosikan kebudayaan Arab. Redaksi majalah ini menganggap penting kritik ini sehingga mereka sampai merasa perlu menyediakan ruang khusus di kolom tajuk rencana untuk meresponnya. Menurut redaksi, tema yang sesungguhnya dipublikasikan oleh majalah ini adalah kebudayaan Islam, suatu kebudayaan yang dibentuk oleh pengaruh Islam dan memiliki fondasi yang sangat kuat di Indonesia dan dunia Melayu. Redaksi Pandji Masjarakat menulis: Memang, majalah ini menonjolkan, menyiarkan, mempopulerkan kembali satu macam segi kebudayaan yang telah berurat berakar pula di tanah Indonesia ini! Kalau tak jelas di pusat, lebih jelas di daerah! Kalau tak jelas di kota, lebih jelas di kampung! Kebudayaan yang telah ditating didukung oleh raja-raja Islam Melayu, Jawa, Aceh, Bantam, Banjarmasin sejak abad ke-13 sampai penjajahan masuk di awal abad keenam belas. Satu kebudayaan yang telah mempertahankan pribadi Indonesia sehingga tidak dapat ditelan mentah- mentah oleh penjajah, sebagaimana telah tertelannya bangsa Indian di Amerika dan bangsa asli Australia!51 Tidak disebutkaan secara spesifik istilah „Melayu‟ ataupun „raja-raja Islam Melayu‟ di sini mengacu ke mana, namun mengingat pandangan ini adalah mengenai pengaruh Islam di Asia Tenggara dapatlah dipahami bahwa yang

50 „Kegagalan Tiongkok Berkuasa di Indonesia: Rahasia Kemenangan Arab-Islam atas Bangsa-Bangsa Hindu dan Tionghoa‟, Pandji Masjarakat, No. 15, 15 January 1960. 51 „Kebudayaan Arab atau Kebudayaan Islam‟, Pandji Masjarakat, No. 16, 1 February 1960. 28

dimaksudkan adalah dunia Melayu di Sumatra dan Semenanjung Malaya, termasuk entitas politiknya. Dua periode yang disebut di sana mengacu pada kelahiran dan kejatuhan dua kerajaan Melayu. Pertama, kemunculan Kerajaan Samudera Pasai di Aceh pada abad ke-13, dan kedua, kehancuran Kesultanan Malaka oleh serbuan Portugis pada awal abad ke-16. Dalam konteks ini, narasi di atas menekankan ide bahwa dunia Melayu di Sumatra dan Malaya dipersatukan oleh kebudayaan Islam dengan bagian lain Nusantara yang kini menjadi bagian dari Indonesia, seperti Jawa (termasuk Bantam/Banten) dan Banjarmasin. Bangsa Barat yang berjiwa kolonial adalah pihak yang kemudian dipandang mencoba untuk berkuasa di Nusantara, termasuk dengan menghancurkan aspek-aspek kebudayaan Islam itu, khususnya elemen politik Islam, yang pada akhirnya menyebabkan terpisahnya perjalanan sejarah Indonesia dan Malaysia. Dalam tulisan lainnya dengan tema yang sama, Pabon lebih lanjut menerangkan tentang arti penting pelabuhan-pelabuhan di Nusantara, di apa yang kini menjadi Indonesia dan Malaysia, sebagai representasi dunia Timur ke mana bangsa-bangsa Barat datang untuk berdagang di era awal kolonialisme Eropa. Indonesia bagian barat dan Semenanjung Malaya dianggap sebagai titik tengah antara perdagangan lintasbenua orang Eropa dengan Tiongkok. Dengan menggunakan buku W.F. Stutterheim, De Islam en Zijn Komst in de Archipel (1952), Pabon menulis tentang koneksi yang telah terbangun antara Nusantara (termasuk Indonesia dan Malaysia, dalam hal ini Malaka) dengan bagian dunia lain maupun di antara kedua wilayah itu sendiri: Antara Eropa dan Tiongkok dihubungkan oleh pedagang-pedagang (pelayar-pelayar) dari berbagai macam bangsa, melalui pelabuhan- pelabuhan pantai di India (Gujarat), Ceylon, Malaka, Indonesia ke Tiongkok. Dengan mempergunakan angin “buritan” (passaat wind) kapal- kapal dagang bangsa Arab, Iran, India, Malaka, Indonesia dan Tiongkok mondar-mandir [di] antara negeri-negeri tersebut.52 Bila dilihat dari catatan sejarah, sebelum kedatangan dan di awal kehadiran bangsa-bangsa Barat di Asia Tenggara, sisi barat dan sisi timur Selat Malaka telah mempunyai hubungan yang baik. Yang dimaksud di sini adalah hubungan antara Samudera Pasai, Kesultanan Islam pertama di Asia Tenggara

52 „Kegagalan Tiongkok Berkuasa di Indonesia: Rahasia Kemenangan Arab-Islam atas bangsa-bangsa Hindu dan Tionghoa‟, Pandji Masjarakat, No. 16, 1 Februari 1960. 29

(eksis dari abad ke-13 hingga abad ke-16) dengan Kerajaan Malaka. Uka Tjandrasasmita mencatat bahwa Samudera Pasai memiliki dua peran pokok di masa itu, yakni sebagai titik penting bagi proses Islamisasi serta bagi hidupnya aktivitas perdagangan di Asia Tenggara.53 Pengaruh Samudera Pasai terasa sampai ke Malaka. Malaka sendiri berubah menjadi sebuah kerajaan Islam pada awal abad ke-15 setelah melalui hubungan yang intensif dengan Samudera Pasai, baik di bidang kekeluargaan, agama, ekonomi dan diplomatik.54 Konstruksi sosial tampak jika kita melihat konten berita atau artikel-artikel yang dimuat Pandji Masjarakat. Ada beberapa hal yang diwacanakan terkait dengan fondasi konstruksi sosial yang mengarah kepada terjadinya hubungan mesra Indonesia-Malaysia. Sebagaimana dikemukakan di atas, menghidupkan kembali ingatan sejarah menjadi pilihan Pandji Masjarakat untuk membangun kesamaan persepsi masyarakat Indonesia dan Malaysia. Dalam konteks inilah kita bisa melihat alasan mengapa majalah ini memuat paparan tentang kesamaan akar sejarah Indonesia-Malaysia. Dinarasikan di Pandji Masjarakat bahwa ketika sejarah Islam di Asia Tenggara bisa dilacak dari Pasai, dan dari sana Islam menyebar hingga ke Malaka pada abad ke-14. Kesultanan Malaka dengan cepat mencapai puncak kejayaannya, bahkan pengaruhnya lebih besar daripada Pasai. Hanya saja, dalam soal agama Kesultanan Malaka masih meminta nasehat dari ulama-ulama di Pasai, tetapi dalam soal pemerintahan, perdagangan, kebudayaan, dan kesusasteraan Malaka telah lebih maju dibanding Pasai. Kemudian dari Malaka inilah ajaran dan kebudayan Islam tersebar ke seluruh Nusantara. Ketika Kota Malaka pada 1511 jatuh ke tangan Portugis, kaum terpelajar Islam yang bukan berasal dari Melayu memutuskan hengkang ke berbagai tempat lain. Dari sanalah agama Islam menyebar luas di beberapa tempat di kepulauan Nusantara, termasuk di dalam istana raja-raja Jawa dan raja Aceh.55 Dalam konteks ini usaha yang dilakukan majalah Pandji Masjarakat adalah dengan mencoba membangun ingatan masyarakat di tahun 1960 itu bahwa akar kesamaan kebudayaan kedua negara (Indonesia-Malaysia) bisa dilacak pada

53 Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara (Jakarta: KPG, 2009), p. 55. 54 Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, p. 56. 55 Zuber Usman, „Intelegensia Islam dalam Perpustakaan Lama Indonesia,‟ Pandji Masjarakat, No. 19, 15 March 1960. 30

elemen Islam. Hubungan keislaman di antara kota-kota Islam yang ada di Indonesia dan Malaysia, dalam hal ini Malaka, tidaklah bisa dipisahkan. Dikemukakan bahwa ketika Kesultanan Malaka sedang di atas puncak kejayaannya pada abad ke-14, muncul jejaring kota-kota perdagangan dan perdagangan di Nusantara, seperti Palembang di Sumatera Selatan, Gresik di Jawa Timur, dan Maluku di Indonesia Tiimur.56 Ketika Selat Malaka dikuasai oleh armada Portugis pada permulaan abad ke- 16, pelabuhan Aceh menjadi sangat signifikan. Kapal-kapal dagang pedagang Muslim dari Persia dan Gujarat di pelabuhan Aceh harus memutar tujuan kapalnya ke sisi barat Pulau Sumatera. Sementara itu, Islam, yang telah menyebar ke Jawa Timur melalui pelabuhan Gresik dan Tuban, semakin meluas pengaruhnya hingga ke pesisir Jawa Tengah sebelah utara, di antaranya adalah Jepara.57 Pandji Masjarakat jelas menyadari bahwa dalam konteks hubungan internasional, hubungan Indonesia dengan Malaysia adalah hubungan yang paling dekat, sekaligus paling rawan mengalami goncangan, dibandingkan dengan hubungan Indonesia dengan negara lainnya. Hubungan dekat tersebut bukan terutama dalam arti fisik (geografi) semata, melainkan yang lebih penting lagi ialah karena adanya kesamaan sejarah, adat, agama Islam dan berbagi pengalaman dalam pembentukan identititas kemelayuan.58 Hubungan yang erat antara kerajaan Islam di Indonesia dan di Malaysia tampak ketika melihat fakta bahwa raja Kesultanan Malaka, Parameswara, pendiri pertama dan sekaligus pembangun kerajaan tersebut, adalah raja pertama yang masuk Islam atas jasa para ulama di Samudra Pasai yang mulai berpindah ke Malaka. Seperti halnya di kerajaan Samudra Pasai, raja Malaka pertama tersebut masuk Islam tidak lama setelah dia berkuasa dan berganti nama menjadi Sultan Iskandar Shah. Seperti Merah Silu dari Samudra Pasai, konversi keislaman Parameswara juga digambarkan dalam teks Sejarah Melayu—teks klasik Melayu tentang Kesultanan Malaka—melalui proses mimpi di mana dia bertemu Nabi Muhammad yang membimbingnya menyebut dua kalimat syahadat. Ini

56 Zuber Usman, „Intelegensia Islam dalam Perpustakaan Lama Indonesia.‟ 57 Zuber Usman, „Intelegensia Islam dalam Perpustakaan Lama Indonesia.‟ 58 Mestika Zed, „Hubungan Indonesia-Malaysia: Perspektif Budaya dan Keserumpunan Melayu Nusantara,‟ TINGKAP, Vol. XI No. 2, 2015, p. 151. 31

merupakan simbolisasi masuknya raja Malaka menjadi Muslim, dan selanjutnya juga berdirinya Malaka sebagai kerajaan Islam.59

C. Indonesia, Malaysia dan Kebangkitan Negara-Negara Bekas Jajahan Hubungan erat antara Indonesia dan Malaysia di era prakolonial adalah salah satu narasi kunci yang diberikan atensi oleh Pandji Masjarakat sebagai bagian dari usahanya untuk mencari inspirasi dari masa lalu dalam melihat ke mana sebaiknya arah hubungan kedua negara di masa kini. Akan tetapi, dalam kesempatan lain, majalah ini juga melihat ke periode yang lebih mutakhir, yang pengaruhnya masih sangat terasa di tahun 1960 itu. Kerangka berpikir yang dibangun adalah bahwa kedua negara, Indonesia dan Malaysia, selama beberapa abad telah terpisah karena kolonialisme dari dua negara Eropa berbeda. Namun, itu tidak berarti bahwa mereka tidak punya sesuatu yang sama lagi setelah kolonialisme itu usai. Di era pasca Perang Dunia Kedua, Indonesia dan Malaysia justru sama-sama memiliki kesamaan baru, yakni sama-sama sebagai negara bekas jajahan bangsa Eropa yang sedang berupaya untuk melepaskan sisa-sisa kolonialisme yang masih ada dan bergerak menuju kemajuan, bila perlu dengan bersama-sama. Dalam konteks ini, satu narasi yang dikemukakan oleh Pandji Masjarakat adalah mengenai kebangkitan bangsa-bangsa terjajah di Asia dan Afrika setelah penjajahan Eropa dan Perang Dunia Kedua usai. Dalam sebuah tulisan di kolom „Tindjauan Internasional‟, seorang penulis bernama Arif Effendi menulis mengenai kebangkitan bangsa-bangsa Afrika di dekade 1960an. Memang, di tulisan ini Effendi mengupas tentang negara-negara Afrika yang telah mendapatkan kemerdekaannya pada dekade sebelumnya, seperti Ghana (merdeka dari Inggris tahun 1957) dan Guinea (merdeka dari Perancis tahun 1959), Kamerun (merdeka dari Perancis tahun 1960), dan menyusul beberapa negara

59 Taufik Abdullah dan Endjat Djaenuderadjat (ed.), Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia: Akar Historis dan Awal Pembentukan Islam, Jilid I, (Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015), pp.174-175.

32

Afrika lainnya yang berencana untuk merdeka di dekade 1960an itu seperti Togo dan Somalia.60 Namun, di bagian awalnya ia menyebut tentang kebangkitan nasonalisme yang lebih awal di antara bangsa-bangsa terjajah di Asia, yang sudah muncul sejak awal abad ke-20 dan kemudian diwujudkan dalam bentuk perlawanan terhadap kolonialisme. Effendi menulis bahwa perjuangan itu terbantu oleh Perang Dunia Pertama dan Kedua, dan hasilnya adalah „lahirnya negara-negara Asia yang merdeka dan berdaulat, terutama dalam dasa tahun-tahun 40 dan 50- an‟.61 Effendi tidak menyebut contoh negaranya, namun narasi umum yang ia sampaikan tentang pembentukan nasionalisme bangsa-bangsa Asia, lalu perlawanan terhadap kolonialisme, pengaruh Perang Dunia (khususnya Perang Dunia Kedua saat Asia Tenggara diduduki Jepang), berlaku bagi sejumlah kecil negara Asia, dan membawa ingatan pada pengalaman yang relatif serupa yang dialami oleh Indonesia dan Malaysia, mulai dari awal abad ke-20, pendudukan Jepang, dan akhirnya kelahiran negara-bangsa baru, Indonesia di tahun 1945 dan Persekutuan Tanah Melayu (the Federation of Malaya) di tahun 1957.

60 „Dunia Masuk Dasatahun 60-an dengan Kebangunan Afrika‟, Pandji Masjarakat, No. 15, 15 January 1960. 61 „Dunia Masuk Dasatahun 60-an dengan Kebangunan Afrika‟. 33

BAB VI MEMBANGUN KONSTRUKSI TENTANG KESAMAAN AKAR ISLAM INDONESIA DAN MALAYSIA

A. Masjid sebagai Identitas Bersama Gambaran tentang Malaysia, sejarah hubungan Indonesia-Malaysia dan relasi mutakhir kedua negara tidak hanya muncul dalam bentuk teks di Pandji Masjarakat. Tema-tema seputar hubungan kedua negara juga muncul dalam bentuk foto yang dipublikasikan oleh majalah ini. Dalam usahanya untuk menampilkan kedekatan antara Indonesia dan Malaysia, Pandji Masjarakat mereproduksi realitas secara visual, melalui berbagai foto yang menggambarkan orang, benda, konsep atau situasi yang berkenaan dengan Malaysia atau relasi Indonesia-Malaysia. Sebagai sebuah majalah yang fokus pada kebudayaan dan menekankan aspek modernitas dalam berbagai terbitannya, foto ini memainkan peranan krusial dalam cara redaksi majalah ini memandang Malaysia dan membentuk opini pembacanya tentang Malaysia. Aspek visual memang memainkan peranan penting di dalam media cetak yang didominasi teks karena gambar tersebut berfungsi memberi makna dan penampilan dari teks yang ada di media tersebut.62 Narasi visual di Pandji Masjarakat ini melegitimasi cara berpikir yang berakar kuat di antara redaksi Pandji Masjarakat, yang dikemukakan di bab sebelumnya, bahwa publik Indonesia mesti memandang Malaysia sebagai saudara dekat, yang punya hubungan historis sangat dalam yang kemudian terputus karena kolonialisme Eropa, dan kini kembali berupaya memperbarui hubungan lama itu, setidaknya secara kultural dan keagamaan. Dengan demikian, para pembaca Indonesianya Pandji Masjarakat diajak untuk percaya bahwa merekat persaudaraan dan persahabatan adalah keniscayaan bagi kedua negara. Foto pertama yang merepresentasikan Islam di Malaysia muncul di Pandji Masjarakat edisi 1, 1 Januari 1960. Di edisi ini, foto kovernya bukanlah tentang Malaysia, melainkan tentang satu tokoh Islam penting dalam sejarah Indonesia,

62David L. Altheide & Christopher J, Schneider, Qualitative Media Analysis. Second Edition (Los Angeles: Sage, 2013), p. 87. 34

yakni foto Haji Omar Said (HOS) Tjokroaminoto, seorang pemimpin terkemuka Sarekat Islam, organisasi pergerakan yang pernah menjadi yang terbesar di masanya, di era 1920an. Di kover majalah ini, ada sketsa standar yang senantiasa ada, yang menunjukkan orientasi utama majalah di setiap edisinya. Yang dimaksud di sini ialah sebuah sketsa masjid dengan garis sketsa berwarna putih di atas latar kover bermwarna hijau. Sketsa masjid itu ditaruh di sebelah kiri dan memakan sekitar sepertiga halaman. Tampak sebuah masjid dengan satu kubah besar dan kubah kecil, plus dua menara besar dan satu menara kecil. Ini memberi kesan tentang pentingnya masjid bagi redaksi majalah ini, baik sebagai tempat ibadah maupun sebagai pusat kebudayaan dan kegiatan sosial umat Islam, khususnya di Indonesia. Ini selaras dengan fakta bahwa di bagian bawah sketsa masjid itu tertulis slogan majalah ini: „Madjallah Kebudajaan dan Pengetahuan‟. Foto pertama tentang Malaysia yang ditampilkan di Pandji Masjarakat di tahun 1960 adalah foto sebuah masid di Malaysia, Masjid Ubudiah, yang berada di Kuala Kangsar, . Foto ini tidaklah berada di dalam artikel mengenai Malaysia, melainkan dalam artikel mengenai peringatan hari wafatnya HOS Tjokroaminoto (meninggal tanggal 17 Desember 1934), di mana penulis artikelnya, Abdullah Arif Atjeh, menerangkan kiprah HOS Tjokroaminoto sebagai pemimpin besar, tidak hanya bagi umat Islam, tapi juga rakyat Indonesia di masa kolonialisme Belanda. Tidak ada narasi tentang Islam di Malaya di artikel tersebut, namun penempatan sebuah masjid dari Malaya di sana memberi kesan tentang pentingnya posisi Islam dan kaum Muslim di dalam kebangkitan kebangsaan di kedua wilayah, Indonesia dan Malaysia, dengan masjid sebagai intinya. Dibangun pada tahun 1912, Masjid Ubudiah yang berkubah emas itu dipakai untuk publik sejak tahun 1917. Keunikan Masjid Ubudiah terletak pada arsitekturnya yang khas, yang sangat kental diwarnai oleh pengaruh India Utara, khususnya model arsitektur Mughal, dengan ciri utama berupa kubah besar dan kecil serta penggunaan beberapa menara. Ini adalah gaya arsitektur yang berkembang di Malaya pada saat wilayah ini dijajah oleh Inggris, dan tampak di arsitektur yang khas di Masjid Ubudiah, dan beberapa masjid lainnya di Malaysia, seperti Kapitan di Penang, serta dan India

35

Mosque, keduanya di Kuala Lumpur.63 Masjid Ubudiah sendiri tidak hanya memiliki fungsi sebagai tempat ibadah, melainkan juga makna yang dalam bagi masyarakat Perak, karena masjid ini adalah salah satu dari tiga bangunan yang sangat erat kaitannya dengan keluarga istana Perak (dua bangunan lainnya ialah istana, yakni Iskandariah Palace dan Kenangan Palace).64 Masjid ini sebenarnya juga erat kaitannya dengan kekuasaan Inggris di Malaya, mengingat pembangunannya dibantu oleh British colonial government yang sebelumnya mendapatkan dukungan dari sembilan penguasa Melayu pada saat Perang Dunia Pertama.65 Dewasa ini, Masjid Ubudiah dikenal sebagai salah satu situs wisata bagi turis yang datang ke Perak, dan menurut salah satu buku promosi pariwisata, merupakan „one of the finest examples of in Malaysia‟,66 menunjukkan posisinya sebagai simbol ikonik dan bersejarah bagi pariwisata Malaysia, tidak hanya bagi Perak. Foto Masjid Ubudiah di Perak dari angle yang jauh menunjukkan masjid itu sebagai elemen terbesar di dalam foto itu, yang dengan segera membuatnya menjadi pusat perhatian pembaca. Di sini tampak jelas bahwa sang fotografer maupun redaksi Pandji Masjarakat ingin agar pembaca majalah ini berkonsentrasi pada kebesaran dan keindahan masjid itu. Diambil dari jarak yang agak jauh memungkinkan pembaca melihat keseluruhan struktur bangunan masjid itu, terutama tiga elemen yang membuat masjid ini terkenal, yakni kubahnya (yang bulat dan besar, mirip dengan masjid yang lazim di Sumatra), menaranya, dan luas masjid. Redaksi Pandji Masjarakat tidak menyebutkan alasan mengapa mereka memilih foto Masjid Ubiudiah untuk diterbitkan. Tapi, alasannya dapat diketahui secara implisit dengan mempertimbangkan aspek-aspek lain yang memperlihatkan

63 Mohamad Tajuddin Mohamad Rasdi, „Interpreting Mosque Architecture in the Twentieth Century: Trapped between Two Worlds‟, in Shanta Nair-Venugopal (ed.), The Gaze of the West and Framings of the East (Hampshire: Palgrave Macmillan, 2012), p. 194. 64 Nor Hafizah Selamat & Hasanuddin Othman, „Image (Re)presentation and Royal Tourism: A Case Study of the Royal City of Kuala Kangsar, Ipoh, Malaysia‟ in Ploysri Porananond & Victor T. King (eds), Tourism and Monarchy in Southeast Asia (Newcastle upun Tyne: Cambridge Scholars Publishing, 2016), p. 47. 65 Rosnani Hashim (ed.), Reclaiming the Conversation: Islamic Intellectual Tradition in the Malay Archipelago (Kuala Lumpur: The Other Press, 2010), p. 141, Note 12. 66 -----. DK Eyewitness Travel: Malaysia & Singapore (London: Dorling Kindersley, 2016), p. 102. 36

atensi besar majalah ini pada masjid. Pembangunan masjid yang modern, yang mencerminkan keinginan umat Islam Indonesia untuk memadukan antara kesalehan dengan teknologi dan seni, tumbuh dengan kuat selepas Belanda undur diri dari Indonesia tahun 1950. Antara tahun 1950an dan 1960an beberapa masjid baru dengan konsep baru dibangun di Indonesia. Di Yogyakarta, kota yang menjadi ibukota Indonesia tahun 1946-1949, sebuah masjid dibangun pada tahun 1949 (dibuka untuk umum sejak tahun 1952) sebagai kenang-kenangan dan apresiasi terhadap perjuangan masyarakat Yogyakarta pada masa perang Indonesia-Belanda. Masjid itu, Masjid Syuhada, dibangun dengan kubah yang besar (jadi, berbeda dari masjid yang lazim di Jawa yang atapnya berbentuk tumpang) dan dilengkapi dengan fasilitas modern yang mencerminkan karakter urbannya, seperti kantor dan perpustakaan.67 Pada tahun 1961, sebuah usaha yang lebih besar diambil untuk membangun masjid yang terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara untuk ukuran saat itu, Masjid Istiqlal. Masjid ini, yang dibuka untuk pertama kali untuk publik tahun 1978, membawa Indonesia ke dalam daftar negara dengan masjid-masjid terbesar di dunia, karena masjid ini mampu menampung 100.000 jamaah.68 Hamka, tokoh terpenting di Pandji Masjarakat, menaruh perhatian sangat besar pada fungsi masjid sebagai inti kegiatan umat Islam, baik dalam hal ibadah maupun kegiatan sosial. Ketika sejumlah tokoh Muslim datang kepada Hamka di akhir 1950an dan bertanya apakah masjid atau sekolah yang perlu dibangun pertama kali, Hamka menjawab: masjid.69 Dari masjid itulah, yang juga mempunyai ruang kantor dan kelas, akan terbentuk sekolah. Dalam kesempatan lain, Hamka pernah mengatakan bahwa kaum Muslim di Indonesia terlalu sibuk beraktivitas di parlemen dan pada saat yang sama melupakan masjid. Maka, Hamka berpendirian bahwa perjuangan umat Islam Indonesia di era 1960an itu haruslah dimulai dari masjid,70 sebuah gagasan yang ia wujudkan dalam berbagai

67 Muhammad Yuanda Zara, „Syuhada Mosque and Its Community in Changing Yogyakarta, 1950s-1980s‟, Journal of Indonesian Sciences and Humanities, Vol. 6, No. 2 (2016). 68 J. Gordon Melton & Martin Baumann (eds.), Religions of the World: A Comprehensive Encyclopedia of Beliefs and Practices (California: ABC-CLIO, LLC, 2010), p. 1972. 69 James R. Rush, Hamka‟s Great Story, p. 126. 70 James R. Rush, Hamka‟s Great Story, p. 127. 37

aktivitas keagamaan yang dilakukan di Masjid Al Azhar di mana Hamka menjadi imamnya. Mempertimbangkan konteks di atas, maka dapatlah dipahami mengapa redaksi Pandji Masjarakat menganggap foto masjid sebagai gambaran visual yang tidak hanya berfungsi untuk menambah keindahan majalah ini, tetapi juga mencerminkan keinginan umat Islam Indonesia sendiri untuk lebih banyak berorientasi ke masjid. Masjid di Malaysia diberi kesempatan untuk hadir secara visual di Pandji Masjarakat, memperlihatkan persepsi redaksi majalah ini bahwa ide tentang arti penting masjid bagi masyarakat Muslim juga diadopsi oleh kaum Muslim Malaysia. Foto ini mengajak para pembaca Pandji Masjarakat di Indonesia untuk berpikir tentang saudara seagama mereka, yang walapun terpisah secara geografis dan politik, juga punya visi yang sama dengan mereka tentang kemajuan Islam yang dimulai dari masjid yang indah dan modern. Barangkali ada pula harapan secara tersirat dari redaksi Pandji Masjarakat untuk mendorong pembaca Indonesianya agar pada suatu saat nanti bisa berkunjung dan beribadah di masjid yang berada di luar Indonesia ini, terutama bila mempertimbangkan bahwa di artikel di mana foto masjid ini ditaruh ada narasi mengenai HOS Tjokroaminoto sebagai pemimpin Muslim yang berlatar belakang Jawa namun punya pemikiran dan pergaulan dengan komunitas Muslim dari belahan dunia lain, seperti tampak dengan kepergiannya untuk naik haji sekaligus mengikuti Muktamar Alam Islamy pada tahun 1926 di Mekkah.

38

Foto Masjid Ubudiah (Perak, Semenanjung Malaya), di Pandji Masjarakat, No. 14, 1 January 1960

Di latar depan dan belakang foto Masjid Ubudiah ini tampak pohon-pohon yang ada di sekitar masjid, yang menunjukkan kesejukan dan lingkungan yang alamiah. Dua mobil yang tampak memasuki area masjid mendorong pembaca Pandji Masjarakat untuk mengasosiasikan masjid ini dengan dunia modern, dunia teknologi dan mesin, sebagai gambaran bahwa kemajuan Islam berasal dari kombinasi antara kekuatan ilmu agama dan sains. Jadi, pesan pokok yang dapat ditangkat di foto masjid ini ialah bahwa Islam di Malaysia telah mendapatkan suatu tempat yang kokoh dalam masyarakat Malaysia, memiliki pencapaian di bidang arsitektur serta bisa beradaptasi dengan dunia modern, unsur-unsur yang tampaknya redaksi Pandji Masjarakat juga harapkan untuk hadir di tengah kaum Muslim Indonesia. Keindahan arsitektur Masjid Ubudiah merupakan salah satu wujud arsitektur Islam Malaysia yang dikenal di Indonesia, baik di tahun 1960 itu lewat foto—di era foto masih merupakan barang mahal—serta di era dewasa ini, sebagaimana tampak dalam sebuah artikel mengenai masjid ini yang dipublikasikan di media massa yang dikenal sebagai suara Muslim Indonesia

39

kontemporer, Republika, di tahun 2014.71 Ini memperlihatkan adanya kesinambungan ide dari masa lalu ke masa ini dalam hal memori baik Muslim Indonesia terhadap masjid tersebut. Mengingat bahwa pembaca Pandji Masjarakat juga ada yang berada di Singapura yang berdekatan dengam Semenanjung Malaya, maka majalah ini tidak hanya memberikan visualisasi tentang masjid indah yang ada di Malaysia kepada para pembaca Indonesia, tapi juga memberikan gambaran tentang masjid di Indonesia kepada para pembaca Indonesia maupun dari luar Indonesia. Salah satunya adalah foto Masjid Azizi yang berada di Langkat, Sumatera Utara. 72 Masjid Azizi mempunyai posisi yang khas baik bagi umat Islam di Sumatera Utara maupun umat Islam di Semenanjung Malaya, khususnya di , yang terletak di bagian utara Semenanjung Malaya. Masjid Azizi dibangun oleh penguasa Langkat. Pembangunannya dimulai tahun 1899 dan selesai tahun 1902. Masjid ini dikenal karena kubahnya yang besar dan lampu gantungnya yang indah.73 Masjid ini selesai dibangun pada tahun 1902, dengan gaya arsitektur yang merupakan gabungan antara gaya Arab, Eropa dan Melayu.74 Kubahnya berjumlah belasan sementara tiang-tiang bangunannya diberi hiasan lengkung. Menaranya, yang meniru menara masjid di Madinah, dibangun pada tahun 1926. Namanya, Azizi, diambil dari nama Sultan Langkat, Sultan Abdul Aziz. Sama seperti saat redaksi Pandji Masjarakat menerbitkan foto Masjid Ubudiah, foto Masjid Azizi juga ditampilkan dengan perspektif dari jauh sehingga hampir keseluruhan bagian depan masjid itu terlihat, termasuk menaranya, kubah- kubahya baik yang besar maupun kecil, halamannya dan pintu masuknya.75

71 „Masjid Ubudiah, Pesona Moor di Bukit Chandan (I)‟, https://www.republika.co.id/berita/n55950/masjid-ubudiah-pesona-moor-di-bukit-chandan-1, diakses 23 September 2020. 72 Pandji Masjarakat, No. 17, 15 February 1960. 73 Abdul Baqir Zein, Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), p. 32. 74 -----. Hasil Pemugaran dan Temuan Benda Cagar Budaya PJP I (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996), p. 37; „Cagar Budaya Nasional dari Langkat: Masjid Azizi Tanjung Pura‟, https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/dpk/cagar-budaya-nasional-dari-langkat- masjid-azizi-tanjung-pura/, diakses 25 September 2020. 75 Pandji Masjarakat, No. 17, 15 February 1960. 40

Yang menarik di sini ialah bahwa arsitektur Masjid Azizi ini tidak hanya menarik minat kaum Muslim di Sumatera Utara saja, tetapi juga menarik perhatian kaum Muslim di Semenanjung Malaya. Masjid Azizi ini memberi inspirasi pada Sultan Kedah saat itu, Tunku Mahmud Ibni Almarhum Sultan Tajuddin Mukarram Shah, untuk membangun sebuah masjid yang serupa dengannya di Kedah. Dibangun sejak tahun 1912, masjid di Kedah ini selesai pada tahun 1915, dan diberi nama Masjid Zahir.76 Ada kedekatan khusus antara Kesultanan Langkat dengan kesultanan- kesultanan di Semenanjung Malaya, termasuk dengan Kesultanan Kedah. Sungai- sungai di Langkat memberi jalan bagi keluar dan masuknya barang dan orang dari Langkat menuju ke Semenanjung Malaya. Kesultanan Langkat sendiri mempunyai hubungan ekonomi dengan Kesultanan Kedah dan . Di samping itu, ikatan antara Langkat dan Semenanjung Malaya juga karena Sultan Abdul Aziz sendiri memiliki tiga orang istri yang berasal dari Semenanjung Malaya, tepatnya dari Deli, Kedah dan .77 Melalui publikasi foto Masjid Azizi ini dapat diketahui tentang usaha Pandji Masjarakat untuk menghidupkan kembali memori tentang relasi antara kesultanan-kesultanan Melayu baik yang ada di Sumatera maupun yang ada di Semenanjung Malaya. Walaupun kolonialisme Belanda di Sumatera dan kolonialisme Inggris di Malaysia telah memisahkan kesultanan-kesultanan Melayu tersebut, mereka tetap menjalin relasi yang kuat, baik melalui ikatan pernikahan—suatu cara membangun koalisi antarkerajaan sebagaimana yang sudah dipraktikkan sejak masa Pasai dan Malaka—maupun melalui cara-cara simbolik, seperti mengambil inspirasi seni arsitektur masjid seperti yang terjadi dalam kasus Masjid Azizi dan Masjid Zahir. Dalam kenyataannya, mungkin hanya para sulltan di kesultanan-kesultanan itu yang menjalani relasi di antara mereka. Namun, foto di Pandji Masjarakat ini membawa relasi yang sifatnya kekeluargaan itu ke dalam benak publik yang lebih luas, dengan mengingatkan

76 Ustaz Azhar Idrus & Imran Burhanuddin, Fotografi Gaya Mukmin (Selangor: PTS Publishing House Sdn. Bhd., 2016), p. 88; „Masjid Zahir, Ikon Negeri Kedah‟, https://republika.co.id/berita/omp648313/masjid-zahir-ikon-negeri-kedah, diakses 25 September 2020. 77 „Cagar Budaya Nasional dari Langkat: Masjid Azizi Tanjung Pura‟, https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/dpk/cagar-budaya-nasional-dari-langkat-masjid-azizi- tanjung-pura/, diakses 25 September 2020. 41

kembali bentuk-bentuk hubungan baik dan saling berbalasan di antara masyarakat di kedua sisi Selat Malaka.

Foto Masjid Azizi (Langkat, Sumatera Utara) di Pandji Masjarakat, No. 17, 15 February 1960

Foto-foto masjid di Semenanjung Malaya maupun di Sumatera ini membangun kesadaran bahwa hubungan-hubungan yang telah berakar itu bisa dilanjutkan kembali, dengan menempatkan kesamaan agama dan budaya sebagai jembatannya. Visualisasi itu memberi kesan tentang kedekatan emosional antara kedua komunitas Muslim yang secara geografis terpisah itu dan membawa dunia Islam Indonesia ke Malaysia dan dunia Islam Malaysia ke Indonesia. Pembaca yang berpengetahuan di luar Indonesia yang melihat foto Masjid Azizi ini tentu akan membayangkan tentang Masjid Zahir di Kedah, dan begitu pula sebaliknya, pembaca Indonesia berpengetahuan yang barangkali melihat foto Masjid Azizi ini akan teringat pula dengan kembarannya di Kedah. Masjid Azizi di Sumatera dan Masjid Zahir di Kedah bisa dibangun lantaran kedua wilayah tersebut merupakan wilayah berpenduduk Muslim dengan sultan yang juga Muslim, dan keberadaan yang satu (Masjid Zahir) tidak bisa terlepas dari eksistensi yang satunya, yang menjadi sumber inspirasinya (Masjid Azizi).

42

B. Penyebaran Pemikiran Keislaman dari Jawa ke Singapura Salah satu unsur dunia Melayu di sisi timur Selat Malaka yang hadir di Pandji Masjarakat adalah para pembaca majalah ini yang berada di sana. Salah seorang pembaca majalah ini tercatat berasal dari Singapura, yang pada tahun 1960 itu masih berjuang untuk bisa mendapatkan pemerintahan sendiri, merdeka sepenuhnya dari Inggris. Jakarta dan Singapura terpisah jarak sekitar 1.000 km dan terpisah pula secara politik. Namun, peredaran Pandji Masjarakat juga sampai ke Singapura, dan mungkin juga hingga ke Semenanjung Malaya. Ini bisa dilihat dari kolom „Tanja-Djawab‟, sebuah kolom khusus yang disediakan majalah ini bagi pembacanya untuk mengajukan pertanyaan tentang berbagai aspek agama Islam. Dalam satu kolom, ada cukup banyak pertanyaan yang dimuat secara ringkas. Para penanya berasal dari berbagai daerah di Indonesia, yang memberi informasi tentang jangkauan majalah ini. Misalnya, di edisi awal Februari 1960, para penanya berasal dari Medan, Palembang, Tanjung Enim, Pelabuhan Ratu (Sukabumi), Bandung, Magelang, Solo, dan Singapura.78 Sebagai bagian dari dunia Melayu, keberadaan pembaca dari Singapura yang membaca Pandji Masjarakat memperlihatkan jauhnya jangkauan pengaruh Pandji Masjarakat, dan mungkin terutama sekali pemimpin majalah ini, Hamka, hingga melewati batas-batas negara. Di edisi itu pertanyaan pembaca dari Singapura itu ditulis dengan utuh, tanpa mengubah ejaan dan gaya bahasa Melayunya yang sedikit berbeda, namun masih bisa dipahami, dari bahasa Indonesia: V. Bohari, 108 D, Holland Road, Singapura 10. Tanya: 1. Saorang Islam naek dengan sabuah roket ka bulan, karana ingin melihat tapak bulan dan hal keadaan di sana, tapi apabila ia turun dari bulan dan sampai ka bumi, didapati telah mati. Dari itu apakah hukumnya kematian orang itu dari segi agama Islam?79 Pertanyaan dari penanya tersebut direspon oleh redaksi Pandji Masjarakat. Pertanyaan Bohari ini mungkin juga mewakili pertanyaan di benak banyak Muslim lainnya di Nusantara. Ini bukan hanya soal keimanan, tapi ada kaitannya dengan teknologi yang dikuasai Barat, yang membuat mereka telah

78 „Tanja-Djawab‟, Pandji Masjarakat, No. 16, 1 February 1960. 79 „Tanja-Djawab‟, Pandji Masjarakat, No. 16, 1 February 1960. 43

memikirkan tentang bepergian dan bila mungkin, mendarat di suatu planet atau benda langit lainnya di luar bumi. Pesawat pertama yang berhasil mendaratkan manusia di bulan, Apollo 11, baru mencapai permukaan bulan dan mendaratkan awaknya pada 20 Juli 1969, namun usaha untuk mencapai permukaan bulan sudah aktif di akhir di akhir 1950an. Umat Islam di berbagai tempat di dunia menaruh perhatian pada soal eksplorasi luar angkasa itu, dengan nada kagum akan pencapaian bangsa Barat serta dengan harapan agar umat Islam juga suatu saat akan bisa menguasai teknologi luar angkasa. Yang juga patut dicatat adalah munculnya rasa ingin tahu umat Islam tentang apa konsekuensi keagamaan dari pencapaian teknologi itu, misalnya dalam soal sah atau tidaknya ibadah di luar angkasa. Dalam responnya, redaksi Pandji Masjarakat menekankan bahwa mereka sendiri sudah pernah menulis tentang usaha menuju ke bulan yang dilakukan oleh pesawat ulang alik Uni Soviet, Luna 3 (ditulis di Pandji Masjarakat sebagai Lunik 3), pada tahun 1959, memperlihatkan besarnya atensi majalah ini pada eksplorasi luar angkasa. Dalam jawabannya terhadap pertanyaan Bohari, redaksi pertama-tama menjelaskan bahwa penyelidikan tentang luar angkasa adalah suatu hal yang sangat dianjurkan oleh Islam, terutama dalam usaha menambah pengetahuan. Di sini redaksi mengajak agar umat Islam di dunia Melayu memikirkan tentang ketertinggalan umat Islam dalam hal teknologi dan sains, dan lalu berusaha keras agar juga bisa menguasai teknologi luar angkasa. Lalu, menurut redaksi, bila seseorang pergi ke luar angkasa dengan niat untuk menambah pengetahuan tentang kekayaan Allah, maka meninggalnya dirinya adalah mati syahid karena menuntut ilmu.80

80 „Tanja-Djawab‟, Pandji Masjarakat, No. 16, 1 February 1960. 44

BAB VII MEMBINGKAI PERSAUDARAAN DUA BANGSA LEWAT BUDAYA MELAYU

A. Bangsa Melayu, Bahasa Melayu dan Islamisasi Asia Tenggara Sebelum kedatangan Islam ke Indonesia dan Malaysia, penduduk di kedua wilayah ini, dan di sebagian besar wilayah Asia Tenggara lainnya, menganut agama Hindu dan Budhha yang sangat diwarnai oleh tradisi lokal. Kaum Muslim dari Arab dalam jumah kecil diperkirakan telah menginjakkan kaki di Asia Tenggara tak lama setelah Nabi Muhammad wafat, khususnya pada masa Kalifah „Uthman (644-656) yang mengirim sejumlah utusan ke Cina melalui jalur laut, di mana Asia Tenggara adalah titik yang menghubungkan Arab dengan Cina.81 Kemunculan komunitas Muslim, dan pada akhirnya, kerajaan-kerajaan Islam di Asia Tenggara, baru akan terjadi beberapa abad kemudian. Di dalam penyebaran agama Islam di Asia Tenggara, bahasa memainkan peranan penting dalam menyampaikan berbagai ide dan ajaran tentang Islam. Dalam tahap awal, penyebaran Islam dalam skala yang penting terjadi melalui India Selatan. Bahasa Arab menyebar dari India Selatan ke Asia Tenggara, dan dari sana pula kemudian banyak kosa kata dari bahasa Arab—yang sudah terpengaruh oleh bahasa Dravida, bahasa yang banyak dipakai di India Selatan, serta bahasa Persia—masuk ke dalam kosa kata di bahasa Jawa dan bahasa Melayu.82 Pasai, yang menjadi pusat penyebaran agama Islam di Sumatera dan kemudian di Semenanjung Malaya, melalui para raja dan sarjana mereka pada abad ke-14 menginisiasi penggunaan Jawi script (Malay language in Arabic text) dalam Islamisasi di kawasan-kawasan sekitarnya, termasuk di antara orang-orang Melayu. Sebagaimana dikemukakan oleh Khairudin Aljunied, usaha Pasai ini memberi dampak besar pada dunia literasi dan keagamaan di Malaysia, karena

81 M.C. Ricklefs, et. al., A New History of Southeast Asia (London: Red Globe Press, 2010), p. 78. 82 Sebastian R. Prange, Monsoon Islam: Trade and Faith on the Medieval Malabar Coast (Cambridge: Cambridge University Press, 2018), p. 118. 45

Islamisasi yang terjadi di Malaysia serta kelahiran sebuah lingua franca di Malaysia terjadi berkait usaha Pasai untuk menjadikan Jawi sebagai sarananya.83 Pada abad ke-16, kerajaan-kerajaan Islam di Malaysia mulai menyediakan pengajaran bahasa Arab, khususnya dalam topik-topik yang berkaitan dengan ajaran dan hukum Islam.84 Aceh, yang dikenal sebagai pusat kesarjanaan Islam, adalah tempat ke mana kaum Muslim Melayu akan pergi di masa itu untuk belajar bahasa Arab. Pada saat yang bersamaan, di beberapa bagian Malaysia sebagian intelektual Muslim semakin aktif mengubah Pallava script yang lazim dipakai oleh kalangan intelektual Melayu menjadi Jawi script. Dari sini, penyebaran lebih lanjut agama Islam di Semenanjung Malaya difasilitasi oleh penggunaan bahasa Melayu. Para ulama Melayu menggunakan bahasa Melayu dalam Arabic script untuk menulis berbagai buku tentang berbagai aspek dalam ajaran Islam maupun menerjemahkan dan menerangkan teks dari bahasa Arab dan Persia.85 Di masa kolonialisme Inggris di Malaysia dan kolonialisme Belanda di Indonesia, bahasa-bahasa Eropa, dalam hal ini Inggris dan Belanda, serta aksara Latin diperkenalkan di kalangan masyarakat pribumi lewat institusi-institusi seperti sekolah, kantor, dan surat kabar serta lewat buku dan publikasi lainnya. Dengan berakhirnya kolonialisme bangsa Eropa, muncul keinginan di kalangan masyarakat pribumi untuk mengangkat kembali bahasa lokal mereka, tidak hanya sebagai bahasa pengantar bagi anggota negara-bangsa itu sendiri tapi juga bahasa pengantar bagi kawasan yang lebih luas, yang melintasi batas-batas geografis dan negara. Majalah Pandji Masjarakat di tahun 1960 itu menghidupkan kembali memori tentang arti penting bahasa Melayu dalam proses penyebaran Islam di Asia Tenggara, baik di kepulauan maupun di mainland. Bahkan, bagi Pandji Masjarakat, bahasa Melayu dipandang sebagai bahasa yang akan dan seharusnya kembali memainkan peranan dalam proses Islamisasi lebih lanjut di Asia Tenggara, walaupun harus melalui adaptasi dengan berbagai situasi terkini. Gagasan di atas tampak dari sebuah surat yang dikirimkan oleh Abdul Karim Rasjid dari Konsulat Indonesia di Phnom-Penh, Kamboja, tanggal 4

83 Khairudin Aljunied, : An Entwined History (New York: Oxford University Press, 2019), p. 37. 84 Khairudin Aljunied, Islam in Malaysia, p. 76. 85 Khairudin Aljunied, Islam in Malaysia, p. 92. 46

Januari 1960 yang dimuat secara utuh, beserta balasannya, di Pandji Masjarakat pada awal Maret 1960.86 Surat itu ditujukan secara pribadi kepada Hamka, namun melihat isinya, jelas Hamka, sebagai penerima surat, merasa bahwa surat itu harus dibaca umat Islam di Indonesia dan Malaysia karena ini bukan hanya permasalahan yang menjadi perhatian si pengirim dan si penerima surat saja. Surat itu sudah diketik ulang agar sesuai dengan format majalah. Di bagian awal suratnya, Rasjid menerangkan tentang keadaan umat Islam di Kamboja, dan arti penting bahasa Melayu serta umat Islam di Malaya dalam penguatan keimanan kaum Muslim di Kamboja: Sebagaimana yang saudara telah ketahui, bahwa di Kamboja ada kurang lebih tiga ratus ribu saudara-saudara kita orang Islam yang resmi dipanggilkan oleh pemerintah setempat dengan nama “Khmer Islam”. Rasa keislaman saudara- saudara kita itu sangat kuat dan patuh mengerjakan perintah Allah dan Rasul. Sayang, karena sedikit sekali di antara pemimpin-pemimpin mereka yang mengetahui bahasa Arab, maka sumber ilmu pengetahuan mengenai agama adalah satu-satunya dari kitab-kitab Melayu yang diterbitkan di Malaya. Umumnya mereka masih bisa mengerti bahasa Melayu dengan menggunakan huruf Arab.87 Apa yang terjadi di Kamboja di sekitar tahun 1960 itu adalah suatu fenomena menarik, karena membawa ide tentang Islam dan bahasa Melayu ke luar wilayah-wilayah tradisional yang selama ini dianggap sebagai inti dunia Melayu, dalam hal ini Sumatra dan Semenanjung Malaya. Dunia Melayu kini dilihat lebih luas lagi, tidak lagi secara etnisitas, tapi lebih pada jangkauan pengaruh bahasa Melayu. Berbeda dengan di Indonesia dan di Malaysia di mana umat Islam adalah penduduk mayoritas, di Kamboja umat Islam, yang umumnya berasal dari etnis berbicara bahasa Cham dan Khmer, adalah penduduk minoritas.

86 Pandji Masjarakat, No. 18, 1 March 1960. 87 Pandji Masjarakat, No. 18, 1 March 1960. 47

Surat Abdul Karim Rasjid dari Kedutaan Indonesia di Kamboja kepada Hamka, Pandji Masjarakat No. 18, 1 March 1960

Tapi itu tidak berarti kaum Muslim minoritas di Kamboja tidak punya ikatan historis dan kultural dengan tetangga-tetangganya di selatan itu. Perubahan

48

besar di bidang sosial dan keagamaan di antara kaum Muslim Kamboja justru didorong oleh penyebaran Islam yang difasilitasi oleh bahasa Melayu, khususnya pada abad ke-19.88 Kala itu, mereka mulai menggunakan Jawi script di dalam kegiatan keagamaan, sekolah, dan kesarjanaan. Produk pemikiran karya kaum Muslim Kamboja menjadi bagian dari dunia Melayu dan Kamboja menjadi salah satu bagian dalam jaringan intelektual Muslim yang berekspresi dengan Jawi script di Asia Tenggara. Oleh Philipp Bruckmayr, proses ini disebut sebagai Jawization, yang mencerminkan sebuah proses penyebaran dan adopsi Jawi script di wilayah-wilayah di Asia Tenggara.89 Bahasa Melayu dan aksara Arab, dengan demikian, adalah elemen yang menyatukan kaum Muslim dari berbagai etnis dan budaya di Asia Tenggara. Rasjid meneruskan bahwa sebenarnya kaum Muslim di Kamboja memiliki minat besar untuk belajar tentang agama Islam di Indonesia. Hanya saja, yang menjadi persoalan adalah belum adanya perjanjian kebudayaan di antara kedua negara. Yang baru ada hanyalah perjanjian persahabatan, dan itupun belum diratifikasi. Rasjid mengakui bahwa keterlambatan itu disebabkan karena masalah yang ada di pihak Indonesia, tapi ia tidak menjelaskan dengan rinci apa permasalahan tersebut.90 Rasjid berharap agar ratifikasi perjanjian persahabatan itu segera dilakukan agar perjanjian kebudayaan bisa juga segera dilakukan. Menurut Rasjid, di Phnom-Penh kala itu ada sekitar 12 masjid. Ia sendiri sudah banyak berbincang dengan kaum Muslim Kamboja, dan dalam beberapa kesempatan juga turut berbagi pengetahuan dengan mereka.91 Harapan lain dari Rasjid ialah agar Hamka bersedia menyediakan bahan bacaan kepadanya agar dapat dipakai dalam menyambut acara peringatan Isra Mikraj Nabi Muhammad di sana serta agar Kementerian Agama bisa mengirimkan berbagai bahan bacaan, seperti majalah dan brosur, mengenai agama Islam ke Kedutaan RI di Phnom-Penh, yang nanti akan diteruskan kepada kaum

88 Philipp Bruckmayr, Cambodia‟s Muslims and the Malay World: Malay Language, Jawi Script, and Islamic Factionalism from the 19th Century to the Present (Leiden & Boston: Brill, 2019), p. 1. 89 Philipp Bruckmayr, Cambodia‟s Muslims and the Malay World, p. 1. 90 Pandji Masjarakat, No. 18, 1 March 1960. 91 Pandji Masjarakat, No. 18, 1 March 1960. 49

Muslim Kamboja.92 Di sini sekali lagi tampak gagasan bahwa bahasa Melayu, dan salah satu variannya, bahasa Indonesia, setidaknya hingga di tahun 1960 itu dianggap masih sebagai medium yang penting dalam proses Islamisasi di Asia Tenggara.

B. ‘Kita Sebahasa dan Seketurunan’: Pandji Masjarakat dan Penyeragaman Bahasa Melayu Majalah Pandji Masjarakat memiliki perhatian yang dalam pada signifikansi bahasa Melayu di era 1960an itu. Salah satu hal menarik yang diangkat majalah ini adalah mengenai perkembangan bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia. Bahasa Melayu yang secara geografis berakar di Riau dan Semenanjung Malaya merupakan sebuah bahasa pengantar di sebagian besar Asia Tenggara pada masa sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Kolonialisme Eropa di Asia Tenggara tidak hanya merubuhkan kerajaan-kerajaan lokal di Asia Tenggara, tetapi juga perlahan-lahan menghapus peran penting bahasa Melayu—karena salah satu pilar penyebaran bahasa Melayu di masa prakolonial adalah para sultan dan sarjana- sarjananya. Bangsa-bangsa Eropa memperkenalkan penggunaan bahasa mereka, seperti bahasa Inggris dan bahasa Belanda) di bidang administrasi, pendidikan dan kehidupan sehari-hari. Alhasil, walaupun bahasa Melayu tidak mati dengan kedatangan bahasa-bahasa Eropa, bahasa Melayu menyerap banyak kosakata dan konsep dari bahasa-bahasa Eropa. Ketika Jepang mengalahkan memasuki Semenanjung Malaya pada Februari 1942 dan menduduki Jawa pada Maret 1942, terbukalah jalan untuk membangun kembali memori tentang nilai budaya yang sama-sama mereka punyai. Jepang menyatukan Tanah Melayu dan Sumatera, karena pendudukan Jepang atas Malaysia mencakup wilayah Pulau Sumatera. Di Indonesia, pelarangan penggunaan bahasa Belanda telah menempatkan kedudukan bahasa Indonesia menjadi sangat penting, baik untuk urusan resmi pemerintahan maupun urusan hubungan kemasyarakatan. Di Malaysia, bahasa Inggris dinyatakan diganti oleh bahasa Melayu. Pengaruhnya tentu saja besar dalam memapankan dan mengangkat kedudukan bahasa Melayu. Keberadaan Jepang seperti telah

92 Pandji Masjarakat, No. 18, 1 March 1960. 50

mengembalikan hubungan sosio-kultural Sumatera-Melayu yang pernah terputus akibat Perjanjian London pada 1839. Sejumlah majalah di dunia Melayu menerbitkan tulisan intelektual Indonesia dan Melayu. Semangat Asia yang diterbitkan di Singapura sering mempublikasikan tulisan-tulisan Adinegoro, Mohamad Hatta, Abdul Rahim Kajai, dan Ishak Haji Muhammad yang menyuarakan suara yang sama, yakni penentangan terhadap penjajahan dan perlunya kebangkitan kesadaran rakyat di tanah Melayu dan Indonesia.93 Sementara itu, di Indonesia pada periode pasca kemerdekaan Indonesia, tahun 1960-an, Pandji Masjarakat juga mengingatkan kembali tentang kesatuan tanah Melayu, menyuarakan kesatuan antara Indonesia dan Malaysia, khususnya terkait dengan kesamaan akar budaya kedua negara, yaitu budaya Melayu. Berakhirnya kolonialisme di Indonesia dan Malaysia memberikan momentum pada usaha untuk meningat kembali peranan bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu di Asia Tenggara pada masa silam dan mencari jalan untuk memperbaikinya agar bahasa Melayu bisa menjadi medium komunikasi di era modern.94 Ini bukanlah pekerjaan sederhana, karena bahasa Melayu sendiri memiliki banyak varian. Di sisi lain, para ahli bahasa Melayu juga harus memiliki standar tentang bagaimana bahasa Melayu bisa merespon dan menginterpretasikan berbagai konsep dan ide baru di dunia yang telah berubah. Usaha untuk menuju pada kerja sama di bidang kebahasaan antara Indonesia dan Malaysia, sebagai dua negara dari mana bahasa Melayu berasal, sudah dimulai sejak dekade 1950an. Pada tahun 1956 di Johor diselenggarakan Kongres Bahasa dan Persuratan Melayu. Salah satu keputusan yang diambil di dalam kongres tersebut ialah sebuah keinginan untuk menyatukan ejaan antara bahasa Melayu dan bahasa Indonesia.95 Relasi antara Indonesia dan Malaysia di akhir dekade 1950an sedang baik. Pada 17 April 1959 kedua negara mengadakan perjanjian persahabatan. Ini membawa dampak positif pada perkembangan

93 Maman S. Mahayana, „Gerakan Budaya Menjelang Kemerdekaan Indonesia-Malaysia,‟ Makara, Vol. 11, No. 2, December 2007, pp. 49-50. 94 Tham Seong Chee, A Study of the Evolution of the Malay Language: Social Change and Cognitive Development (Singapore: Singapore University Press, 1990), p. ix. 95 Lukman Hakim, Zainul Arifin & Yayah B. Lumintaintang (eds.), Seri Penyuluhan 1: Ejaan dalam Bahasa Indonesia (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991), p. 43. 51

kebahasaan di kedua negara. Perjanjian tersebut membuka jalan pada sebuah pertemuan yang diadakan tanggal 4-7 Desember 1959 di Jakarta yang dihadiri oleh perwakilan Jawatan Kuasa Ejaan Resmi Baharu Persekutuan Tanah Melayu dan Panitia Pelaksanaan Kerja Sama Bahasa Melayu-Bahasa Indonesia. Ada beberapa keputusan yang diambil di dalam pertemuan ini, di antaranya bahwa dalam rangka penyamaan terhadap kedua ejaan diusulkanlah sebuah ejaan bernama Ejaan Melayu-Indonesia (Melindo), rencana pertemuan lanjutan mengenai penyamaan kedua bahasa yang akan diadakan di Kuala Lumpur tahun 1961, dan rencana untuk mengumumkan ejaan Melayu-Indonesia selambat-lambatnya pada Januari 1962, yang diikuti pula oleh keterangan mengenai masa berlaku ejaan tersebut.96 Pihak Indonesia dipimpin oleh Slamet Muljana, sementara pihak Persekutuan Tanah Melayu diketuai oleh Syed Nasir bin Ismail.97 Usaha di tahun 1959 menandakan keinginan dari para pakar kedua bahasa agar ada kesesuaian dalam hal sistem tulis dan ejaan di antara kedua bahasa.98 Kedua bahasa diharapkan dapat menyesuaikan sesuai dengan perkembangan ilmu bahasa.99 Pandji Masjarakat sendiri, walaupun bukan merupakan bagian dari tim Indonesia yang berkomunikasi dengan pihak Persekutuan Tanah Melayu dalam urusan kebahasaan ini, juga memberikan perhatian besar pada tema penyeragaman bahasa kedua negara ini. Ini tampak dalam sebuah kolom yang disediakan oleh majalah ini, dan diisi oleh seorang ahli bahasa Indonesia, S.S.B. Nan Sati.100 Artikel ini mendapat tempat yang banyak, karena ada sebanyak 2,5 halaman dari total halaman di edisi itu 32 halaman, dan ditaruh di halaman 11-13, jadi tergolong berada di bagian awal.

96 Lukman Hakim, Zainul Arifin & Yayah B. Lumintaintang (eds.), Seri Penyuluhan 1, pp. 43-44. 97 Pusat Pembinaan & Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (Jakarta: Grasindo, 1999), p. xiii. 98 „MABBIM‟, http://www.badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/mabbim, diakses 29 September 2020. 99 Dalam kenyataannya, rencana yang telah disusun tersebut gagal dilaksanakan mengingat konflik yang kemudian terjadi, khsusunya dalam bentuk Konfrontasi. Usaha perbaikan hubungan antara kedua negara tampak di awal tahun 1966, dan dari sana kemudian dilanjutkanlah usaha untuk kembali mengadakan pertemuan antara para ahli bahasa di kedua negara. Lihat Lukman Hakim, Zainul Arifin & Yayah B. Lumintaintang (eds.), Seri Penyuluhan 1, p. 44.

100 „Mengedari Edjaan‟, Pandji Masjarakat, No. 18, 1 March 1960. 52

Artikel ini dibuka dengan sebuah paragraf yang bernada optimis mengenai perkembangan terakhir dalam kerja sama bahasa antara kedua negara. Dari awal, Nan Sati sudah menarik perhatian pembacanya dengan menyampaikan argumen mengenai mengapa kerja sama kebahasaan di antara kedua negara perlu. Di sana dikemukakan hasil pertemuan antara delegasi Indonesia dan delegasi Persekutuan Tanah Melayu dalam rapat pada Desember 1959 di Jakarta. Di dalam perundingan itu, tulis Nan Sati, „dengan suara bulat telah dicapai suatu persetujuan yang merupakan kunci dari induk persetujuan-persetujuan untuk usaha-usaha selanjutnya dalam mencapai persamaan bahasa kedua negara.‟101 Nama utusan Malaysia ditulis dengan lengkap yang merepresentasikan unsur Melayunya: „Entjik Sayed Nasir bin Ismail‟. Pandangan positif di dalam pembukaan artikel ini memberi kesan tentang akan kian dekatnya hubungan kebahasaan di antara kedua negara. Ini diperkuat oleh Sayed Nasir yang sebelum meninggalkan Jakarta menyebut bahwa persamaan ejaan yang telah disepakati kedua pihak merupakan „suatu persetujuan induk yang akan melapangkan jalan menuju kepada persamaan bahasa antara “Indonesia dan Malaya”‟.102 Nan Sati, dengan mengutip kantor berita resmi Indonesia, Antara, lalu menerangkan tentang persetujuan pokok yang telah diambil, yakni mengenai ejaan. Kesepakatan itu ialah bahwa kedua pihak sama-sama sepakat untuk mengganti konsonan-konsonan yang terdiri dari dua huruf. Penggantinya adalah huruf lain yang mempunyai kesamaan fonetik. Contoh konsonan yang harus diganti ialah tj, ng, dan ch. Selepas persetujuan ini, direncanakan pada bulan Februari diadakan pertemuan di Kuala Lumpur dengan fokus utama pertemuan adalah soal dasar-dasar bahasa. Pada akhirnya, diharapkan agar dalam beberapa tahun kemudian akan ada persamaan ejaan dan pokok-pokok bahasa antara Indonesia dan Tanah Melayu.103 Nan Sati lalu membuat argumen yang kuat yang menegaskan pentingya ejaan bagi kemajuan suatu bahasa: Ejaan atau cara menuliskan kata-kata adalah amat penting untuk kemajuan suatu bahasa. Ejaan yang teratur baik dapat menggambarkan hampir semua sebutan dan bunyi. Ejaan yang baik itu pulalah yang dapat menolong bahasa

101 „Mengedari Edjaan‟. 102 „Mengedari Edjaan‟. 103 „Mengedari Edjaan‟. 53

itu dalam penyebarannya ke segala daerah di muka bumi ini. Kalau ejaan baik, teratur dan mudah, dia menjadi suatu alat yang memuaskan untuk orang asing yang mempelajari bahasa itu. Mereka itu sangat sedikit menghadapi kesukaran dalaam ejaan sehingga dapatlah minatnya dicurahkannya untuk mempelajari bahasa: kata-katanya serta artinya, istilah-istilah, ungkapan, pepatah dan lain-lain. Bangsa yang mempunyai bahasa itu sendiri merasa senang dan lancar benar memakai ejaan yang baik. Kesalahan ejaan tak ada atau sangat sedikit mereka perbuat.104 Artikel ini sangat bersemangat dalam mendukung penyeragaman ejaan antara Indonesia dan Persekutuan Tanah Melayu. Ia berpendapat bahwa di pihak Indonesia sendiri sebelum Perang Dunia Kedua sudah ada usaha menyusun suatu sistem ejaan yang standar, yang dikenal sebagai ejaan Van Ophuysen. Pada tahun 1947, di Indonesia diperkenalkan ejaan baru, ejaan Suwandi, namun ejaan ini, menurut Nan Sati, masih kurang memuaskan. Oleh sebab itulah ia merasa bahwa dengan latar belakang historis semacam itu „akan lekaslah terbina suatu sistem menuliskan kata-kata atau ejaan itu untuk kepentingan bahasa di Indonesia dan di Malaya‟.105 Nan Sati percaya bahwa pekerjaan yang dilakukan kedua panitia dari kedua negara tersebut bertujuan untuk mewujudkan „kepentingan bersama di Malaya dan di Indonesia ini‟.106 Dengan kata lain, ia memandang bahwa kemajuan yang dicapai dalam usaha kerja sama ini akan bermanfaat bagi kemajuan kedua negara, tidak hanya Indonesia saja. Artikel ini juga mengirimkan pesan bahwa di era pascakolonial, adalah masyarakat pribumi sendiri yang perlu mengatur berbagai hal tentang diri mereka, termasuk dalam urusan kebudayaan, dan khususnya mengenai standardisasi bahasa. Di Indonesia, standar ejaan pada mulanya dibuat oleh ahli bahasa dari Belanda, Charles Adriaan van Ophuysen, yang dengan menggunakan bahasa Melayu Riau sebagai bahan utamanya melakukan standardisasi atas bahasa Melayu sehingga lahirlah bahasa Melayu van Ophuysen (dikenal pula sebagai “Melayu Tinggi”, sebagai kontras dari “Melayu Rendah”). Bahasa Melayu dari van Ophuysen ini digunakan sebagai bahasa pengantar di sekolah kolonial maupun lewat penerbitan buku-buku oleh Balai Pustaka.107 Setelah kolonialisme

104 „Mengedari Edjaan‟. 105 „Mengedari Edjaan‟. 106 „Mengedari Edjaan‟. 107 Katrin Bandel, Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas (Yogyakarta: Pustaka Hariara, 2013), p. 42. 54

Belanda berakhir, tugas membuat standardisasi bahasa itu dilanjutan oleh orang Indonesia sendiri, mulai dari yang diinisiasi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI tahun 1947, Soewandi, dan, sebagaimana dikemukakan di atas, dilanjutkan dalam skala yang lebih besar (karena melibatkan negara lain yang memiliki bahasa yang serupa dengan bahasa Indonesia) oleh para pakar bahasa Indonesia di akhir 1950an. Nan Sati berpendapat bahwa pekerjaan panitia tersebut harus diapresiasi. Dan, sebagai seorang ahli bahasa, bentuk apresiasi yang ia berikan ialah dengan memberikan sumbangan pemikiran mengenai bahan-bahan soal ejaan yang patut dipertimbangkan dalam kerja sama bahasa tersebut. Dalam beberapa paragraf Nan Santi mengemukakan sejarah perubahan ejaan dalam bahasa Indonesia, termasuk ejaan-ejaan di ejaan Suwandi, yang merupakan ubahan dari ejaan van Ophuysen (misalnya oe menjadi u), lalu usulan-sulan ejaan baru yang dikemukakan Prijono dan dari Lembaga Kesenian Rakyat Marhaen, serta berbagai kekurangan yang masih ia lihat dalam ejaan yang dipakai pada masa itu.108 Sementara ia mengapresiasi usulan perbaikan ejaan yang dibuat oleh Prijono, Nan Sati mengkritik tentang tidak lengkapnya usulan ejaan yang disampaikan Prijono itu sehingga ia kesulitan untuk menilainya secara utuh. Prijono mengklaim bahwa ejaan yang ia usulkan itu akan menyederhanakan tulisan, dan pada akhirnya akan menghemat penggunaan kertas dan tinta. Namun, Nan Sati ragu dengan klaim ini karena belum adanya daftar lengkap ejaan dimaksud. Lagipula, Nan Sati khawatir bila huruf yang diperkenalkan Prijono itu tidak atau belum terpakai di Indonesia dan di Malaya, maka mungkin akan terjadi apa yang ia sebut sebagai „peghancuran‟, alias kerugian yang dialami kedua bahasa. Contoh kerugian bagi kedua bahasa itu dikemukakan oleh nan Sati: Mesin-mesin tulis yang sedang dipakai dan yang masih baru harus dirusak atau dipensiunkan. Mesin-mesin tulis di Indonesia dan Malaya tak sedikit jumlahnya dan harganya sudah barang tentu sangat besar.109 Meskipun ada kekurangan-kekurangan di atas, Nan Sati tetap melihat perkembangan yang ada dalam konteks perdebatan untuk mencapai sebuah konsensus menuju progres bagi kedua bahasa. Nada optimis Nan Sati tentang

108 „Mengedari Edjaan‟. 109 „Mengedari Edjaan‟. 55

kerja sama kedua negara dalam memajukan kedua bahasa mereka itu kian kuat dengan dimuatnya sebuah foto menarik di dalam artikel itu. Itu adalah foto yang memperlihatkan kedekatan antara dua tokoh besar dalam dunia bahasa dan sastra Indonesia-Melayu. Mereka adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) dari Indonesia dan Zainal „Abidin bin Ahmad (Za‟ba) dari Malaysia. Mereka tampak tertawa, menunjukkan adanya kedekatan emosional. Pakaian mereka mirip, yakni pakaian Melayu yang indah, dengan peci di kepala dan sarung dilingkarkan di pinggang, mengirim pesan pada pembacanya bahwa meskipun secara politik dan secara geografis mereka berdua terpisah, namun secara kultural mereka sangat dekat. Bagi para pembaca Indonesia yang mengagumi Hamka, mungkin ini untuk pertama kalinya mereka melihat Hamka dalam pakaian Melayu. Dalam foto-foto lamanya, Hamka lebih banyak ditampilkan dalam pakaian ulama (berpeci tapi dengan selendang di lehernya) dan, dalam skala lebih kecil, dalam pakaian ala datuk Minangkabau. Di sini Hamka tampak sedang melintasi batas kultural Minangkabaunya dan masuk ke dunia yang lebih besar, yang lebih regional, dunia yang mana perkembangannya juga banyak dibantu oleh orang-orang Minangkabau sebelum Hamka: dunia Melayu. Mereka berdua adalah fokus dalam foto ini. Gestur mereka memperlihatkan semangat dan keakraban. Tidak dijelaskan ini di acara apa, namun pembaca bisa membayangkan bahwa ini kemungkinan di acara pertemuan antara pihak Indonesia dan pihak Malaysia yang membahas tentang bahasa Indonesia dan Melayu pada Desember 1959. Caption foto itu sendiri menyebut arti penting keduanya dalam dunia kebahasaan: „Pendeta bahasa Za‟ba‟ dan „pujangga Hamka‟.

56

Foto Hamka dan Za‟ba di Pandji Masjarakat, No. 18, 1 March 1960.

Hamka adalah pujangga yang amat dikenal di Indonesia pada dekade 1950an itu. Ia berkarier sebagai wartawan, ulama di organisasi Muhammadiyah dan, terutama sekali, novelis, yang dengan sentuhan bahasa Minangkabau yang dekat dengan bahasa Melayu itu, telah memikat hati banyak orang Indonesia.110 Karya-karya Hamka di bidang keagamaan dan sastra juga banyak dibaca di dunia Melayu di luar Indonesia. Hamka dan Za‟ba sendiri dalam dunia nyata memang dekat, dan ini ada kaitannya dengan minat mereka yang sama di bidang bahasa dan sastra, dan mungkin juga karena kesamaan latar belakang mereka. Hamka di Indonesia dan Za‟ba di Malaya dinilai oleh para sarjana sebagai dua tokoh yang berperan penting dalam transformasi sosial masyarakat Melayu.111 Ada beberapa kesamaan yang mereka miliki, yang membuat peran mereka menonjol dalam usaha memajukan masyarakat Melayu agar tidak tertinggal di era

110 Untuk biografi kepengarangan Hamka dan tinjauan ringkas mengenai karya-karyanya yang populer, lihat James R. Rush, Hamka‟s Great Story: A Master Writer‟s Vision of Islam for Modern Indonesia (Wisconsin: The University of Wisconsin Press, 2016). 111 Rosnaini Hashim (ed.), Reclaiming the Conversation: Islamic Intellectual Tradition in the Malay Archipelago (Kuala Lumpur: The Other Press, 2010), p. 260. 57

pascakolonial, di antaranya ialah mereka sama-sama menyebarluaskan ide-ide mereka melalui tulisan alih-alih lembaga pendidikan khusus, mereka berdua sama-sama melihat Islam sebagai faktor yang akan membawa masyarakat menuju kemajuan yang setara dengan bangsa asing, dan dalam hal orientasi keagamaan, mereka sama-sama tergolong sebagai Kaum Muda, yang memadukan antara aspek keagamaan dengan modernitas.112 Satu hal penting lagi yang patut dicatat, Hamka dan Za‟ba, walaupun terpisah jauh secara geografis, sebenarnya sama-sama merupakan orang Minangkabau. Hamka sendiri yang mengakuinya.113 Dalam sebuah tulisannya mengenai kunjungannya ke di Semenanjung Malaya, Hamka mengemukakan tentang kuatnya pengaruh Minangkabau di wilayah itu, sebuah wilayah yang menjadi tujuan migrasi banyak orang Minangkabau sejak abad ke- 17. Menurut Hamka, suku-suku yang ada di Minangkabau juga ada di Negeri Sembilan, tapi dengan nama yang telah dimodifikasi. Za‟ba sendiri, tulis Hamka, berasal dari Negeri Sembilan, dari suku Tiga Batu, salah satu suku Minangkabau di sana. Memang, kalau ditinjau dari sumber lain, diketahui bahwa Za‟ba memiliki darah Minangkabau dan Bugis, dua suku bangsa yang berasal dari Indonesia.114 Hamka sendiri pernah bertemu dan berbincang-bincang hangat dengan Za‟ba di Malaysia.115 Hamka menaruh respek besar pada Za‟ba. Di dalam bukunya yang terbit tahun 1963, Dari Perbendaharaan Lama, ia beberapa kali menyebut nama Za‟ba dengan nada yang apresiatif. Ia antara lain menerangkan akar Minangkabaunya Za‟ba serta peran besar Za‟ba dalam dunia bahasa dan sastra Melayu di Malaya. „Tuan Za‟ba oleh Kongres Bahasa Melayu di Johor diberi gelar Pandita bahasa Melayu‟, tulis Hamka.116 Di bagian lain bukunya, Hamka menyebut Za‟ba sebagai „pujangga Melayu yang terkenal itu‟117 dan sebagai „sarjana dan pandita (orang

112 Rosnaini Hashim (ed.), Reclaiming the Conversation, p. 260. 113 Hamka, Dari Perbendaharaan Lama: Menyingkap Sejarah Islam di Nusantara (Depok: Gema Insani, 2017 [terbit pertama kali tahun 1963]), pp. 159-160. 114 Ooi Keat Gin, Historical Dictionary of Malaysia (Maryland & Plymouth: Scarecrow Press, Inc., 2009), p. 332. 115 Hamka, Dari Perbendaharaan Lama, p. 160. 116 Hamka, Dari Perbendaharaan Lama, p. 160. 117 Hamka, Dari Perbendaharaan Lama, p. 159. 58

mumpuni) bahasa Melayu yang terkenal itu‟.118 Di dalam buku Hamka lainnya yang terbit pada tahun 1974, Hamka bahkan dengan terang menyebut Za‟ba (dan tokoh UMNO, Raja Haji Mohammad Noordin) sebagai „sahabat saya putra Negeri Sembilan‟.119 Evidensi di atas mengindikasikan bahwa kedekatan Hamka dengan Za‟ba itu merupakan salah satu alasan yang mendorong redaksi Pandji Masjarakat, dengan Hamka sendiri sebagai pemimpin redaksinya, memutuskan untuk menerbitkan foto akrab Hamka dan Za‟ba itu, dan bukan foto lainnya yang secara literal berkaitan dengan ejaan, seperti buku atau kamus. Foto itu, dengan demikian, tidak hanya menyimbolkan kedekatan dua sahabat atau dua orang yang punya minat sama, melainkan kedekatan dan kehangatan hubungan dua negara dan dua budaya. Senyum keduanya mengirim pesan pada pembaca Pandji Masjarakat di Indonesia dan di dunia Melayu yang lebih luas tentang sebuah harapan, tentang usaha pendekatan dua budaya dan dua negara. Mereka berdua menyimbolkan usaha untuk menuju kedekatan itu. Redaksi majalah ini, dengan demikian, ingin agar pembacanya berpikir tentang kedekatan itu, dan berharap agar para pembaca berbuat sesuatu yang mereka bisa dalam kapasitas mereka untuk mewujudkan kedekatan itu. Foto itu, karena diisi oleh dua tokoh yang akrab tersebut, mendorong pembaca di dua negara itu untuk juga saling merasa akrab. Arti penting kerja sama kebahasaan antara Indonesia dan Malaysia tidak berhenti di sana. Di edisi selanjutnya, Pandji Masjarakat menerbitkan bagian kedua dari tulisan Nan Sati.120 Topik utama yang ia sampaikan masih serupa dengan artikelnya yang sebelumnya. Nan Sati meneruskan beberapa contoh perbaikan ejaan yang harus dilakukan para ahli bahasa di kedua negara, misalnya untuk menetapkan ejaan yang tepat untuk kata yang bunyinya sama namun memiliki tulisan yang sama, misalnya kata-kata yang mengandung huruf „o‟ dan „au‟ (contohnya pulau dan pulo). Penetapan ejaan bahasa Indonesia-Melayu dalam aksara latin sangat diperlukan, tulis Nan Sati, dan oleh sebab itu „pemuda- pemuda Indonesia dan Malaya maasih perlu mempelajari dan sedang mempelajari

118 Hamka, Dari Perbendaharaan Lama, p. 5. 119 Hamka, Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao (Jakarta: Republika, 2017 [pertama kali terbit tahun 1974]), p. 104. 120 „Mengedari Edjaan (Sambungan Pandjimas No. 18)‟, Pandji Masjarakat, No. 19, 15 Maret 1960. 59

bahasa-bahasa asing, seperti bahasa Inggris, bahasa Jerman, bahasa Perancis dan lain-lain‟.121 Nan Sati berharap agar panitia di kedua negara melibatkan lebi banyak orang dalam usaha mereka: Untuk membantunya dalam pekerjaannya yang amat berat itu, kedua panitia dapat meminta bantu kepada peminat-peminat bahasa dan kepada seluruh masyarakat yang sudah tahu tulis-baca di Malaya dan di Indonesia.122 Bagi Nan Sati, hal di atas amat diperlukan mengingat kedua negara adalah negara yang punya masyarakat yag beragam, yang membuat ejaan, pelafalan dan penulisan kata-kata juga menjadi bervariasi. Oleh sebab itu, terangnya, „harus dilayangkan pandangan ke seluruh daerah di Indonesia dan di Malaya‟, karena ia berpendapat bahwa baik di Indonesia dan di Malaya ada berbagai macam persoalan berkenaan dengan ejaan dan pelafalan kosakata.123 Satu argumen penting lain yang diajukan oleh Nan Sati untuk mendukung pendapatnya tentang pentingnya penyeragaman kejaan di bahasa Indonesia dan bahasa Melayu adalah bahwa penyeragaman itu akan bernilai penting bagi umat Islam, yang merupakan bagian penduduk terbesar di masing-masing negara. Hal ini karena umat Islam banyak mengambil kosakata dari bahasa Arab, sehingga diperlukan ketetapan dan keseragaman ketika kosakata tersebut dipakai dalam bahasa Indonesia dan bahasa Melayu. Nan Sati menulis: Umat Islam Malaya dan umat Islam Indonesia yang tidak kecil jumlahnya, bahkan yang termasuk mayoritas, mempunyai kepentingan istimewa dalam soal ejaan itu. Mereka mengharapkan agar ejaan diatur dan disusun sebaik- baiknya dan selengkap-lengkapnya, supaya kata-kata yang penting untuk mereka dapat “dilukiskan” setepat-tepatnya. Soal ini perlu benar menjadi perhatian panitia ejaan itu, karena selama ini ejaan yang dipakai kurang sanggup “melukiskan” kata-kata yang perlu untuk umat Isam itu. Sudah sepatutnya, sudah pada tempatnya benar keinginan umat Islam itu diperhatikan betul dan menjadi bahan penting dalam menyusun ejaan untuk Malaya dan Indonesia. Insya Allah berhasil dan umat Islam tidak kecewa. Sudah sewajarnya pula kawat yang disampaikan oleh Presiden Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta, Prof. Abdul Kahar Muzakkir, kepada Panitia Persamaan Ejaan Bahasa antara Indonesia dan Persekutuan Tanah Melayu. Dalam kawat itu dinyatakan antara lain agar jiwa agama dan “correct pronounciation” istilah-istilah Islam dipelihara dan dijamin sebaik-baiknya. Harapan ini adalah tentu saja bersemayam pula dalam hati seluruh umat

121 „Mengedari Edjaan (Sambungan Pandjimas No. 18)‟. 122 „Mengedari Edjaan (Sambungan Pandjimas No. 18)‟. 123 „Mengedari Edjaan (Sambungan Pandjimas No. 18)‟. 60

Islam; dan umat Islam di Malaya dan di Indonesia percaya, bahwa panitia akan bekerja ke arah itu dan menunggu hasil yang tepat dan jitu.124

Aspek lain yang menurut Nan Sati perlu diperhatikan oleh para ahli bahasa di Indonesia dan di Malaysia adalah fakta bahwa masing-masing bahasa di kedua negara itu, walaupun sama-sama berakar dalam bahasa Melayu, dipengaruhi oleh dua bahasa asing berbeda, yang dipengaruhi oleh sejarah kolonialisme Barat di sana. Bahasa Indonesia dipengaruhi oleh bahasa Inggris sementara bahasa Melayu di Malaysia dipengaruhi oleh bahasa Inggris. Ini membuat ejaan dan pengucapan sejumlah kata di Indonesia dan di Malaysia menjadi berbeda. Nan Sati menyebut contohnya, di antaranya ialah perbedaan pengucapan orang Malaysia dan orang Indonesia atas huruf a, b, c, d, e, g, h, i, j, k, p, r, t, u, v, w dan y (adapun huruf f, l, n, o, q, s, x dan z sama atau hampir sama pelafalannya di kedua bahasa). Di samping pelafalan huruf, ada perbedaan besar pula dalam cara bagaimana orang Indonesia dan orang Malaysia menyebut nama bulan dan hari dalam kalender Masehi, misalnya Juni dan Juli di Indonesia dan June dan July di Malaysia, atau Rabu dan Minggu di Indonesia dan Arba‟a dan Ahad di Malaysia.125 Sebagai seorang ahli bahasa Indonesia, Nan Sati mengajukan suatu usul praktis yang dipandangnya akan memberi keuntungan tidak hanya bagi kedua panitia kerja bahasa, tapi lebih luas lagi, kepada masyarakat Indonesia dan masyarakat Malaysia. Ia berpendapat bahwa media populer perlu digunakan untuk saling menginformasikan pemahaman dan penggunaan bahasa masing-masing. Pada akhirnya, ia berharap agar masyarakat Indonesia paham dengan bahasa Melayunya Malaysia, dan masyarakat Malaysia paham pula dengan bahasa Indonesianya Indonesia: Maka oleh karena itu surat-surat kabar, majalah, buku-buku keluaran Malaya yang memakai ejaaan Malaya itu harus disebarkan pula di Indonesia. Dan demikian pula sebaliknya. Bacaan-bacaan yang diterbitkan di Indonesia, harus pula tersebar luas di negara Malaya. Setidak-tidaknya buku-buku keperluan sekolah dapat dipakai untuk keperluan itu. Bukan saya maksud di sini supaya sekolah-sekolah di Malaya memakai buku keluaran Indonesia di sekolah-sekolahnya dan sebaliknya sekolah-sekolah di Indonesia memakai buku-buku terbitan Malaya sebagai buku murid. Bila buku-buku dipakai untuk murid, mungkin benar ada beberapa kesulitan, terutama karena

124 „Mengedari Edjaan (Sambungan Pandjimas No. 18)‟. Bagian tulisan yang dimiringkan berasal dari teks aslinya, mungkin ditujukan untuk memberikan penekanan. 125 „Mengedari Edjaan (Sambungan Pandjimas No. 18)‟. 61

rencana pelajaran berbeda-beda. Cukuplah bila buku-buku itu menjadi buku pegangam buat guru-guru.126 Nan Sati mengajak para pembacanya untuk merenungkan arti penting dari pertukaran ide melalui bahan bacaan tertulis yang mengandung ekspresi kebahasaan, seperti buku sastra, sejarah dan geografi. Ia beropini bahwa yang akan mendapatkan manfaat bukan hanya para ahli bahasa, melainkan dua bangsa berbeda yang berakar sama itu. Nan Santi membayangkan relevansi pertukaran ide itu bagi kemajuan kedua bangsa di masa depan, dan terutama sekali kepada usaha saling memahami dan saling mendekati. Nan Sati merinci manfaat-manfaat positif dari usaha pertukaran bahan bacaan tersebut, seperti untuk perkembangan ejaan, untuk mendekatkan relasi kedua negara, dan untuk kemajuan kebudayaan. Nan Sati berharap agar „kedua negara ini akan saling mengenali, lebih dekat dan lebih rapat daripada selama ini‟.127 Nan Sati punya cita-cita besar dan optimisme pada usaha kian mendekatkan relasi Indonesia dan Malaysia lewat bahasa, termasuk melalui saling menukarkan bahan bacaan tersebut. Ia menulis: […] suasana dan keadaan di negara tetangga kita menjadi jauh lebih jelas kepada kita bersama. Rakyat Malaya memahami tanah Indonesia lebih baik dan lebih jelas dan rakyat Indonesia begitu pula terhadap tanah Malaya. Akan lebih terasa dan lebih diinsyafi bahwa kita sebahasa dan seketurunan. Lagipula rakyat Malaya sebagian besar beragama Islam, dan rakyat Indonesia hanya sebagian kecil yang bukan Islam.128 Nan Sati menekankan bahwa buku sejarah dan buku geografi adalah dua jenis buku yang akan sangat bermanfaat dalam usaha saling mendekatkan Indonesia dan Malaysia. Ia mengajak pembacanya untuk melihat pelajaran sejarah di kurikulum pendidikan di Indonesia yang menurutnya nyaris tidak ada atau tidak sama sekali yang memberikan informasi mengenai sejarah Malaya kepada para siswa Indonesia.

C. Turut Bersedih dengan Wafatnya Yang Dipertuan Agung PTM Usaha untuk menunjukkan kedekatan di antara dua bangsa tidak hanya muncul ketika membicarakan sesuatu yang menghidupkan semangat, seperti masa

126 „Mengedari Edjaan (Sambungan Pandjimas No. 18)‟. Bagian tulisan yang dimiringkan berasal dari teks aslinya, mungkin ditujukan untuk memberikan penekanan. 127 „Mengedari Edjaan (Sambungan Pandjimas No. 18)‟. 128 „Mengedari Edjaan (Sambungan Pandjimas No. 18)‟. 62

lalu yang indah ataupun kesamaan bahasa, tetapi juga pada saat-saat yang menyedihkan, misalnya ketika meninggalnya seseorang yang penting. Obituari adalah suatu kolom yang lazim dalam media cetak karena komunitas ingin tahu tentang berita kematian yang terjadi pada salah satu anggotanya. Dalam jurnalistik, khususnya di koran (dan tentu saja juga berlaku di majalah), ada dua jenis obituari, yakni berbentuk news, yang lebih banyak merinci tentang daftar riwayat hidup singkat orang yang wafat—seperti tanggal lahir, umur, pekerjaan, alamat dan sebab kematian—, dan feature, yang merupakan sebuah tulisan opini yang menggabungkan antara data-data pribadi almarhum dengan dilengkapi narasi yang mengandung pandangan, pengalaman atau anekdot penulisnya tentang almarhum.129 Pada 1 April 1960, Yang Dipertuan Agung Persekutuan Tanah Melayu Abdul Rahman meninggal di Kuala Lumpur pada usia 64 tahun. Kematiannya tak hanya ditangisi oleh masyarakat Malaysia yang mengenang Abdul Rahman sebagai sosok penting dalam sejarah Malaysia modern, seorang raja Malaysia yang dikenal sebagai Yang Dipertuan Agung Pertama negara itu. Berasal dari Negeri Sembilan, ia menduduki jabatannya dari sejak Malaysia merdeka dari Inggris tanggal 31 Agustus 1957 hingga meninggalnya pada April 1960. Majalah Pandji Masjarakat menempatkan berita wafatnya Abdul Rahman dalam skala yang memperlihatkan tingginya apresiasi majalah ini pada almarhum. Dan itu dimulai dari halaman pertama yang dilihat pembaca majalah ini: kover.130 Kover Pandji Masjarakat umumnya memvisualisasikan tokoh-tokoh Islam penting di Indonesia (misalnya HOS Tjokroaminoto) atau di dunia Arab (seperti rektor Universitas Al Azhar Mahmud Syaltut), biasanya ulama yang mempunyai pengaruh besar dalam penyebaran Islam di Indonesia maupun tokoh pergerakan Islam yang telah membangkitkan kesadaran kaum Muslim. Tidak pernah sebelumnya seorang yang berasal dari Malaysia, apalagi mengingat bahwa Abdul Rahman bukanlah seorang ulama, yang dimuat di halaman pertama Pandji Masjarakat.

129 „Obituaries‟, in Christopher H. Sterling (ed.), Encyclopedia of Journalism, 1. A-C (California: Sage, 2009), p. 1026. 130 Pandji Masjarakat, No. 21, 14 April 1960. 63

Di kover edisi pertengahan April 1960 itu foto hitam putih Abdul Rahman mengisi hampir setengah halaman. Ia ditampilkan dalam pakaian kebesarannya. Di kepalanya ia mengenakan tutup kepala khas Melayu (tengkolok diraja), dengan di bagian depan tampak ornamen yang menyimbolkan Malaysia: ornamen bulan sabit dengan bintang bersegi empat belas. Di bajunya tampak tersemat bintang- bintang penghargaan. Sebuah keris diraja terselip di pinggangnya. Filosofi Melayu melekat di berbagai orgamen yang dikenakannya itu. Dari foto ini muncul kesan bahwa ia adalah seorang tokoh penting bagi Malaysia dan bagi dunia Melayu yang lebih luas. Di halaman kedua terdapat keterangan foto itu, yang menunjukkan siapa dan mengapa Abdul Rahman penting: ‟Almarhum Yang Dipertuan Agung Negara Persekutuan Tanah Melayu Abdurrahman. Wafat 1 April 1960.‟131

131 Pandji Masjarakat, No. 21, 14 April 1960. 64

Foto Yang Dipertuan Agung Abdul Rahman di Pandji Masjarakat No. 21, 15 April 1960

Representasi Abdul Rahman dan negara Malaysia tidak hanya hadir di kover dan keterangan gambar itu. Satu halaman utuh di bagian dalam majalah disediakan untuk menyampaikan berita kematian Abdul Rahman. Tapi itu bukan hanya informasi tentang kematian Abdul Rahman, melainkan juga berisi rasa simpati, duka cita dan doa dari Pandji Masjarakat, sebagai suara umat Islam Indonesia, pada warga Malaysia. Obituari itu ditulis langsung oleh sang pemimpin redaksi, Hamka. Ada beberapa poin penting yang Hamka sampaikan. Pada bagian awal, Hamka mendoakan secara Islam wafatnya Abdul Rahman. Lalu, ia menyampaikan kepada pembacanya bahwa „berkabunglah negara tetangga kita

65

dan negara sedarah kita Persekutuan Tanah Melayu 44 hari lamanya atas mangkatnya raja-kepala negara yang dicintai itu.‟132 Hamka lalu menerangkan tiga alasan mengapa „kita‟ (yang tentu merujuk kepada umat Islam Indonesia) bersedih atas wafatnya Abdul Rahman. Pertama, terang Hamka, negara yang dipimpin oleh Abdul Rahman adalah satu negara yang „berdarah Melayu‟ di tengan 100 juta warga Melayu yang tersebar di Indonesia, Malaysia dan Filipina. Maka, wafatnya Abdul Rahman berarti meninggalnya seorang raja Melayu yang dihormati di dunia Melayu di luar Malaysia. Kedua, agama Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas penduduk di Semenanjung Melayu dan di Indonesia, sehingga wafatnya Abdul Rahman juga merupakan kehilangan bagi umat Islam di Indonesia. Ketiga, agama Islam telah diakui sebagai agama resmi di negara Persekutuan Tanah Melayu, suatu hal yang belum bisa dicapai oleh kaum Muslim di Indonesia. Hamka menyampaikan rasa duka citanya kepada seluruh rakyat Malaysia, termasuk, yang ia sebut secara khusus, kepada negara bagian Negeri Sembilan, dari mana Abdul Rahman berkuasa sebelum menjadi Raja Malaysia.133 Hamka menutup obituarinya dengan sebuah pesan yang menekankan harapannya tentang keberlanjutan tradisi budaya Melayu di masa depan meskipun salah satu tokohnya telah wafat: „Raja hilang, raja pengganti, Melayu tidak hilang di bumi‟.134 Obituari yang ditulis Hamka dan dipublikasikan di Pandji Masjarakat itu mendapat respon apresiatif dari pemerintah Malaysia, sebagaimana tampak dalam sebuah surat yang dikirim oleh duta besar Persekutuan Tanah Melayu di Jakarta kepada redaksi Pandji Masjarakat.135

132 Pandji Masjarakat, No. 21, 14 April 1960. 133 Pandji Masjarakat, No. 21, 14 April 1960. 134 Pandji Masjarakat, No. 21, 14 April 1960. 135 Pandji Masjarakat, No. 23, 15 Mei 1960. 66

Obituari meninggalnya Yang Dipertuan Agung Abdul Rahman, oleh Hamka, di Pandji Masjarakat, No. 21, 14 April 1960

Tapi, selain alasan-alasan yang bersifat kultural dan keagamaan di atas, ada alasan lain yang turut menjadi landasan diberikannya ruang yang cukup banyak di Pandji Masjarakat untuk seorang tokoh politik dari negara lain. Pemimpin redaksi Pandji Masjarakat, Hamka, punya kenangan khusus dengan Abdul Rahman. Secara kultural, Hamka, yang berasal dari Minangkabau, merasa punya kedekatan dengan Negeri Sembilan, tanah asalnya Abdul Rahman. Walau tidak diketahui pastinya, namun setidaknya sejak paroh kedua abad ke-17 Negeri Sembilan, yang terletak di sisi barat Semenanjung Malaya, telah dihuni oleh masyarakat perantauan asal Minangkabau. Nuansa Minangkabau sangat kental di Negeri Sembilan. Adat yang dipakai di Negeri Sembilan juga mengadopsi adat Minangkabau, dengan elemen yang sama-sama mereka pakai adalah sistem

67

matrilineal. Selain karena kesamaan latar belakang budaya ini, Hamka sendiri pernah bertemu langsung dengan Abdul Rahman. Bahkan, Hamka menyebut bahwa ia „berkenalan agak rapat‟ dengan, dan bahkan adalah „sahabat karib‟, Abdul Rahman.136 Hamka pernah berkunjung ke Istana Sri Menanti, istananya raja-raja Negeri Sembilan pada masa pendudukan Jepang, tepatnya tahun 1943. Pada tahun 1955, sepuluh tahun setelah Indonesia merdeka dan dua tahun sebelum Malaysia merdeka, Hamka bertemu lagi dengan Abdul Rahman di Istana Seremban. Hamka juga dekat dengan paman Abdul Rahman, Tengku Besar Burhanuddin, yang tidak mau memanggil Hamka dengan „Hamka‟, melainkan dengan gelar adat Minangkabau yang disandang Hamka, Datuk Indomo.137 Panggilan ini menunjukkan pengakuan tokoh penting di Negeri Sembilan tersebut pada posisi Hamka sebagai seorang pemuka adat Minangkabau, adat yang menjadi akar kultural Negeri Sembilan. Di edisi yang sama dengan di mana obituarinya itu dimuat, Hamka bahkan menyediakan satu halaman khusus yang sepenuhnya berisi salinan dari teks deklarasi kemerdekaan Malaysia (pemasyhuran kemerdekaan) yang dibacakan oleh Tengku Abdul Rahman Putera pada 31 Agustus 1957.138 Naskah itu adalah versi Jawi (bahasa Melayu dalam teks Arab), dilengkapi dengan simbol negara Malaysia di bagian atas.

136 Hamka, Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao (Jakarta: Republika, 2017 [terbit pertama kali tahun 1974]), p. 103. 137 Hamka, Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao, p. 104. 138 Pandji Masjarakat, No. 21, 14 April 1960. 68

Teks Pemasyhuran Kemerdekaan Malaya di Pandji Masjarakat, No. 21, 14 April 1960

Hamka punya alasan khusus mengapa ia sampai menyediakan satu halaman untuk proklamasi kemerdekaan negara lain di sebuah majalah yang terutama sekali ditujukan kepada pembaca Indonesia.139 Alasan pertamanya adalah kultural-keagamaan. Ia, sebagai bagian dari pembawa cita-cita Islam, merasa terharu karena di Malaysia huruf Arab mendapat tempat terhormat. Ia menyampaikan sindirannya kepada bangsanya sendiri: sementara di Malaysia huruf Jawi itu masih dipakai, di tanah Jawa sendiri huruf itu sudah tidak dipakai lagi karena kalah bersaing dengan huruf Latin yang dibawa Belanda. Demikian juga fakta bahwa deklarasi kemerdekaan itu menggunakan kata „pemasyhuran‟

139 Pandji Masjarakat, No. 21, 14 April 1960. 69

yang dipinjam dari bahasa Arab dan tidak menggunakan kata „proklamasi‟ yang diperkenalkan oleh bahasa Barat. Kedua, Hamka memuji pembukaan deklarasi kemerdekaan itu karena menyebut nama Allah, pujian kepada ilahi serta salawat kepada Nabi Muhammad. Dengan mempublikasikan naskah deklarasi kemerdekaan Malaysia itu Hamka berharap agar syiar agama Islam semakin semarak di Malaysia dan agar masyarakat Indonesia dapat belajar banyak dari pencapaian Malaysia tersebut. Hamka mengajak pembacanya untuk bangga dengan apa yang telah diraih oleh umat Islam di Malaysia karena menurutnya „hasil yang didapat di sana itu pada hakikatnya adalah kejayaan bersama Islam juga. Karena umat Islam adalah umat yang satu!‟.140

140 Pandji Masjarakat, No. 21, 14 April 1960. 70

BAB VIII KESIMPULAN

Hubungan Indonesia dan Malaysia sudah sangat lama, sudah bermula sejak sekitar tujuh abad silam, dengan relasi yang dibangun oleh Kerajaan Samudera Pasai di ujung utara Sumatra dengan Malaka di pesisir barat Semenanjung Malaya. Pasai menjadi pusat penyebaran agama Islam di Sumatera dan Semenanjung Malaya, ikatan perkawinan antarbangsawan istana menguatkan relasi antara Sumatera dan Malaya, sementara di sisi lain bahasa Melayu digunakan sebagai lingua franca di dunia Melayu. Penaklukan, yang kemudian diikuti oleh penjajahan, yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa, telah membawa sejarah Indonesia dan Malaysia ke arah yang berbeda selama beberapa abad, meskipun berbagai macam hubungan masih terbentuk di antara kedua wilayah tersebut di bawah kolonialisme. Perang Dunia Kedua tidak hanya meruntuhkan rezim fasis di Eropa dan di Asia, tapi juga perlahan-lahan menjadi jalan untuk menghapus praktik kolonialisme bangsa-bangsa Eropa, termasuk di Asia Tenggara. Indonesia menyatakan secara unilateral kemerdekaannya pada tahun 1945, sementara para pemimpin nasionalis Malaysia memproklamirkan kemerdekaannya dan kelahiran negara Persekutuan Tanah Melayu—cikal bakal negara Malaysia—pada tahun 1957. Lahirnya dua negara-bangsa baru itu tidak hanya berarti munculnya kaum pribumi sebagai penguasa menggantikan para penguasa Eropa, melainkan juga membutuhkan pemikiran dan tindakan baru dalam hal bagaimana kedua negara melihat dan memikirkan hubungan bilateralnya. Keduanya adalah negara yang bertetangga, yang ikatan keagamaan dan kebudayaannya sangat dekat, yang dalam waktu yang panjang pernah memiliki sejarah yang sama. Artinya, suatu bentuk keberlanjutan dan mungkin juga formulasi ulang format hubungan di antara kedua negara di era pascakolonial adalah sesuatu yang mutlak diperlukan. Selain relasi bilateral di level pemerintah di antara kedua negara, ada satu bentuk relasi lagi yang amat krusial namun agak terlupakan dalam kajian-kajian mengenai sejarah hubungan Indonesia-Malaysia, yakni relasi di level masyarakat. Salah satunya bisa dlihat dari tentang bagaimana opini publik masyarakat

71

Indonesia dibentuk oleh saluran komunikasi massa yang penting di zamannya, yakni media cetak. Mempelajari edisi-edisi Pandji Masjarakat yang terbit dwibulanan pada tahun 1960 yang menampilkan dan mengulas Malaysia dalam berbagai ruang dan format akan memberikan pemahaman kepada kita tentang pembentukan citra yang positif tentang Malaysia dan hubungan Indonesia- Malaysia di suatau majalah Islam terpopuler di Indonesia di akhir 1950an dan awal 1960an. Majalah Pandji Masjarakat melihat bahwa Malaysia menempati posisi penting dalam ingatan kolektif masyarakat Indonesia baik di masa lalu maupun di masa kini. Memang di tahun 1960 itu Indonesia dan Malaysia adalah dua negara dengan sistem kenegaraan yang berbeda. Namun, majalah ini juga melihat bahwa sebenarnya kedua negara di masa lalu pernah terhubung dalam perjalanan sejarah yang sama. Ikatan ini bisa dilihat dari sejarah kedatangan Islam ke Asia Tenggara. Para penyebar Islam mendakwahkan agama Islam ke bagian-bagian dari apa yang kini menjadi Indonesia dan Malaysia dalam waktu yang relatif berdekatan. Pandji Masjarakat merepresentasikan Malaysia dan hubungan Indonesia- Malaysia pada tahun 1960 dalam konteks sebagai usaha untuk menggarisbawahi ide bahwa kedua bangsa mempunyai hubungan keagamaan, kebudayaan, dan kekerabatan yang dekat. Narasi ini dibangun dengan menampilkan berita, pandangan dan gambar tentang relasi tersebut. Majalah Pandji Masjarakat menerbitkkan di dalam beberapa edisinya sejumlah pandangan yang memperlihatkan tentang adanya perjalanan sejarah yang sama antara Indonesia dan Malaysia, khususnya pada masa kelahiran kerajaan-kerajaan Islam di kedua wilayah tersebut, dalam hal ini Samudera Pasai di Sumatera dan Kesultanan Malaka di Semenanjung Malaya. Implikasinya, bagi Pandji Masjarakat hubungan ini tidak hanya tinggal kenangan ataupun hanya eksis di dalam ingatan, terutama bila orang mempertimbangkan perpisahan keduanya akibat kolonialisme dan dampak lanjutannya. Bagi Pandji Masjarakat, ketika setelah era kolonialisme bangsa Eropa usai dan Indonesia-Malaysia sedang berusaha membangun lagi hubungan mereka, kali ini sebagai dua negara-bangsa merdeka, maka sumber yang dianggap tepat untuk digunakan sebagai panduan adalah dengan menengok kembali

72

hubungan dan kerjasama yang telah terbangun lama dan kokoh di antara bagian- bagian wilayah mereka di masa silam. Dengan kata lain, Pandji Masjarakat percaya bahwa hubungan baru Indonesia-Malaysia sebagai dua negara merdeka bukanlah hubungan yang benar-benar baru, melainkan hubungan lama yang sempat terganggung oleh kolonialisme bangsa-bangsa Barat. Kini, dengan kepergian bangsa-bangsa Barat di kedua negara, adalah saat yang tepat untuk memperbarui kembali hubungan itu. Hubungan baik dan konstruktif antara Indonesia-Malaysia adalah bingkai yang digunakan oleh Pandji Masjarakat dalam melihat Malaysia pada tahun 1960. Pembingkaian ini hadir dalam bentuk teks dan visual. Majalah ini beberapa kali mempublikasikan sejumlah foto yang berkenaan dengan Malaysia. Ini adalah suatu hal yang menarik mengingat hampir semua pembaca Pandji Masjarakat adalah publik Indonesia dan bukan masyarakat Malaysia. Pandji Masjarakat menampilkan sejumlah foto yang menunjukkan berbagai hal tentang Malaysia. Foto-foto ini memainkan peranan penting dalam usaha majalah ini untuk membingkai dan membangun suatu citra positif tentang Malaysia di antara para pembacanya. Di dalam salah satu edisinya, Pandji Masjarakat menampilkan foto sebuah masjid di Malaysia, Masjid Ubudiah, yang terletak di Kuala Kangsar, Perak. Pemberian ruang untuk foto sebuah masjid di Malaysia memberi kesan tentang pentingnya posisi Islam dan kaum Muslim di dalam kebangkitan kebangsaan di kedua wilayah, Indonesia dan Malaysia, dengan masjid sebagai intinya. Ini sesuai dengan gagasan pimpinan redaksi Pandji Masjarakat, Hamka, yang melihat bahwa masjid merupakan elemen kunci dalam kebangkitan kaum Muslim. Hamka menaruh perhatian sangat besar pada fungsi masjid sebagai inti kegiatan umat Islam, baik dalam hal ibadah maupun kegiatan sosial. Menurut Hamka, kaum Muslim di Indonesia terlalu sibuk di parlemen sehingga mereka melupakan masjid. Hamka berpendapat bahwa perjuangan umat Islam Indonesia di era 1960an itu haruslah dimulai dari masjid, dan ia mewujudkan idenya ini dengan partisipasinya dalam pembangunan dan pengembangan sebuah masjid yang kemudian menjadi standar tentang sebuah masjid modern di Indonesia, Masjid Al Azhar di Jakarta.

73

Selain Masjid Ubudiah, ditampilkan pula foto masjid lainnya, Masjid Azizi di Langkat (Sumatera Utara), sebuah masjid yang dinilai sangat indah oleh sebagian pihak di Malaysia. Masjid Azizi ini kemudian dijadikan sebagai inspirasi dan teladan bagi pembangunan masid lain di Malaysia, Masjid Zahir. Di samping hubungan keagamaan di antara kedua negara, Pandji Masjarakat berargumen bahwa hubungan kebudayaan turut berperan penting di dalam relasi kedua negara. Salah satu elemen kebudayaan yang mendapat atensi besar dari Pandji Masjarakat adalah soal bahasa Melayu. Dijadikan sebagai bahasa pengantar di dunia Melayu prakolonial, bahasa ini sempat tenggelam selama masa kolonialisme, dengan Inggris menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di Malaysia dan Belanda menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar di Indonesia. Bahasa-bahasa Eropa itu, yang diekspresikan dalam aksara Latin, dipakai di institusi-institusi yang dibangun pemerintah kolonial. Runtuhnya kolonialisme Eropa mendorong lahirnya keinginan di kalangan masyarakat pribumi untuk mengangkat kembali bahasa lokal mereka. Bahasa ini dipakai baik untuk bahasa pengantar bagi warga negara di negara- bangsa itu sendiri serta sebagai lingua franca bagi kawasan kultural yang lebih luas, yang melintasi batas-batas negara. Dalam konteks ini, majalah Pandji Masjarakat di tahun 1960 itu menghidupkan kembali sejarah tentang peran besar bahasa Melayu dalam proses penyebaran Islam maupun aktivitas perdagangan di Asia Tenggara di masa silam serta mendorong inisiatif agar di masa kini bahasa Melayu kembali ditempatkan pada posisi penting di kawasan Asia Tenggara. Pandji Masjarakat memberikan ruang yang cukup banyak pada usaha yang dijalankan oleh ahli bahasa Melayu di Indonesia dan di Malaysia. Salah satunya tampak dari kolom-kolom panjang yang dimuat di majalah ini, yang membahas tentang usaha penyeragaman bahasa Melayu yang dipakai di kedua negara ini. Artikel-artikel yang ditulis oleh ahli bahasa dari Indonesia, S.S.B. Nan Sati, ini membawa nuansa yang optimis tentang bahasa Melayu. Diilustrasikan di sana tentang kesepakatan para ahli bahasa Melayu di Indonesia dan di Malaysia tentang arti penting bahasa Melayu bagi kedua negara serta keinginan para ahli bahasa di kedua negara untuk bekerjasama agar bahasa Melayu dapat beradaptasi

74

dengan dunia modern serta bermanfaat bagi kemajuan masyarakat di kedua negara. Simbolisasi visual dari signifikansi kerja sama para ahli bahasa di kedua negara itu adalah pemuatan foto Hamka, pimpinan redaksi serta ulama dan sastrawan terkemuka di dunia Melayu, dan Za‟ba, ahli bahasa Melayu asal Malaysia. Foto itu memperlihatkan gestur bersahabat di antara Hamka dan Za‟ba, serta menjadi lambang dari hangatnya hubungan kultural di antara kedua negara, terutama di bidang kebahasaan. Usaha untuk menunjukkan kedekatan di antara kedua negara juga dilakukan Pandji Masjarakat pada saat-saat yang menyedihkan, misalnya ketika meninggalnya seseorang yang penting. Majalah ini menyediakan cukup banyak ruang untuk obituari seorang tokoh Malaysia, Yang Dipertuan Agung Persekutuan Tanah Melayu Abdul Rahman, yang wafat pada 1 April 1960 di Kuala Lumpur pada usia 64 tahun. Bagi masyarakat Malaysia, ia adalah sosok penting dalam sejarah Malaysia modern, mengingat ia adalah seorang raja Malaysia yang dikenal sebagai Yang Dipertuan Agung Pertama negara itu. Pandji Masjarakat tak hanya menyampaikan berita kematian sang raja, tapi membingkainya dalam narasi tekstual dan verbal yang bermakna dalam. Foto sang raja dalam pakaian kebesaran Melayunya dipasang di kover Pandji Masjarakat, sementara satu halaman disediakan sebagai tempat bagi Hamka untuk menyampaikan rasa duka citanya mewakili masyarakat Indonesia. Bagi Pandji Masjarakat, wafatnya sang raja bukan hanya kehilangan bagi masyarakat Malaysia, tapi juga bagi masyarakat Indonesia serta dunia Melayu yang lebih luas. Secara keseluruhan, studi ini memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pemahaman tentang praktik jurnalisme damai dalam membangun hubungan dua negara bertetangga dalam kurun waktu yang ditandai dengan pencarian jati diri pascakolonial, pertanyaan-pertanyaan pokok tentang 'diri sendiri' dan 'orang lain', serta kerinduan untuk menghidupkan kembali masa lalu yang baik di suatu era yang sangat kompleks bagi kedua negara

75

DAFTAR PUSTAKA

Majalah „Dunia Masuk Dasatahun 60-an dengan Kebangunan Afrika‟, Pandji Masjarakat, No. 15, 15 January 1960. „Intelegensia Islam dalam Perpustakaan Lama Indonesia,‟ Pandji Masjarakat, No. 19, 15 March 1960. „Kegagalan Tiongkok Berkuasa di Indonesia: Rahasia Kemenangan Arab-Islam atas Bangsa-Bangsa Hindu dan Tionghoa‟, Pandji Masjarakat, No. 15, 15 January 1960. „Kebudayaan Arab atau Kebudayaan Islam‟, Pandji Masjarakat, No. 16, 1 February 1960. „Kegagalan Tiongkok Berkuasa di Indonesia: Rahasia Kemenangan Arab-Islam atas bangsa-bangsa Hindu dan Tionghoa‟, Pandji Masjarakat, No. 16, 1 Februari 1960. Pandji Masjarakat, No. 14, 1 January 1960. „Tanja-Djawab‟, Pandji Masjarakat, No. 16, 1 February 1960. Pandji Masjarakat, No. 17, 15 February 1960. Pandji Masjarakat, No. 18, 1 March 1960. „Mengedari Edjaan‟, Pandji Masjarakat, No. 18, 1 March 1960. „Mengedari Edjaan (Sambungan Pandjimas No. 18)‟, Pandji Masjarakat, No. 19, 15 Maret 1960 Pandji Masjarakat, No. 21, 14 April 1960. Pandji Masjarakat, No. 23, 15 Mei 1960.

Buku dan Artikel Ilmiah Abaza, Mona. 1993. Changing Images of Three Generations of Azharites in Indonesia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. Abdullah, Taufik. 2002. Ensiklopedia Tematis Dunia Islam Jilid 5 Asia Tenggara, Jakarta : PT Ichtiar Baru van Hoeve. Abdullah ,Taufik dan Endjat Djaenuderadjat (ed.). 2015. Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia: Akar Historis dan Awal Pembentukan Islam, Jilid I. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Aljunied, Khairudin. 2019. Islam in Malaysia: An Entwined History. New York: Oxford University Press. Altheide, David L. & Christopher J, Schneider. 2013. Qualitative Media Analysis. Second Edition. Los Angeles: Sage. Bandel, Katrin. 2013. Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas. Yogyakarta: Pustaka Hariara. Basral, Akmal Nasery. 2020. Buya Hamka: Setangkai Pena di Taman Pujangga. Jakarta: Republika. Berenschot, Ward et. al. (eds.). 2017. Citizenship and Democcratization in Southeast Asia. Leiden & Boston: Brill. Boland, B. J. 1982. The Struggle of Islam in Modern Indonesia. Leiden: Springer Science+Business Media Dordrecht.

76

Bruckmayr, Philipp. 2019. Cambodia‟s Muslims and the Malay World: Malay Language, Jawi Script, and Islamic Factionalism from the 19th Century to the Present. Leiden & Boston: Brill. Budiawan. „How do Indonesians remember Konfrontasi? Indonesia-Malaysia relations and the popular memory of “Confrontation” after the fall of Soeharto‟, Inter-Asia Cultural Studies, Volume 18, Issue 3, 2017. Butcher, John G. „The International Court of Justice and the Territorial Dispute between Indonesia and Malaysia in the Sulawesi Sea‟, Contemporary Southeast Asia, Vol. 35, No. 2 (2013). Chee, Tham Seong. 1990. A Study of the Evolution of the Malay Language: Social Change and Cognitive Development. Singapore: Singapore University Press. Chong, Jinn Winn. „”Mine, Yours or Ours?”: The Indonesia-Malaysia Disputes over Shared Cultural Heritage‟, Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast Asia, Vol. 27, No. 1 (April 2012). Clark, Marshall. „The politics of heritage: Indonesia-Malaysia cultural contestations‟, Indonesia and the Malay World, Volume 41, 2013. Clark, Marshall and Juliet Pietsch. 2014. Indonesia-Malaysia Relations: Cultural Heritage, Politics and Labour Migration. London & New York: Routledge. Colson, David A. „Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan (Indonesia/Malaysia)‟, The American Journal of International Law, Vol. 97, No. 2 (April 2003). D.J.M.,Tate. 1977. The Making of Modern Southeast Asia, Jilid I. Kuala Lumpur : Oxford University Press. Daniels, Timothy P. (ed.). 2013. Performance, Popular Culture, and Piety in Muslim Southeast Asia. New York: Palgrave Macmillan. Fakih, Farabi. „Malaysia as an “Other” in Indonesian popular discourse‟, Inter- Asia Cultural Studies, Volume 18, Issue 3, 2017. Farram, Steven. „Ganyang! Indonesian popular songs from the Confrontation Era, 1963-1966‟, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 170 (2014). Freedman, Amy L. 2000. Chinese Overseas in Malaysia, Indonesia, and the United States. New York & London: Routledge. Gin, Ooi Keat. 2009. Historical Dictionary of Malaysia. Maryland & Plymouth: Scarecrow Press, Inc. Hamka. 2017. Dari Perbendaharaan Lama: Menyingkap Sejarah Islam di Nusantara. Depok: Gema Insani. Hamka. 2017. Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao. Jakarta: Republika. Hakim, Lukman, Zainul Arifin & Yayah B. Lumintaintang (eds.). 1991. Seri Penyuluhan 1: Ejaan dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hamka, Rusydi. 2016. Pribadi dan Martabat Buya Hamka. Jakarta: Noura. Hall, Stuart (ed.). 2003. Representation: Cultural Representations and Signifying Practices. London: Sage and the Open University. Haller-Trost, R. „The Territorial Dispute between Indonesia and Malaysia over Pulau Sipadan and Pulau Ligitan in the Celebes Sea: A Study in International Law‟, Boundary & Territry Briefing, Vol. 2, No. 2, 1995.

77

Harun, Ruhanas. „Heating up The Battle: The Role of The Media in the Souring of Malaysia-Indonesia Relations‟, Journal of Media And Information Warfare, Vol. 2, Oct. 2009. Hashim, Rosnani (ed.). 2010. Reclaiming the Conversation: Islamic Intellectual Tradition in the Malay Archipelago. Kuala Lumpur: The Other Press. Ibrahim, Ahmad et al (eds.) 1989. Islam di Asia Tenggara: Perspektif Sejarah. Jakarta : LP3ES. Mutalib, Hussin. 2008. Islam in Southeast Asia. Singapore: ISEAS. Idrus, Ustaz Azhar & Imran Burhanuddin. 2016. Fotografi Gaya Mukmin. Selangor: PTS Publishing House Sdn. Bhd. Killias, Olivia. „”Illegal” Migration as Resistance: Legality, Morality and Coercion in Indonesian Domestic Worker Migration to Malaysia‟, Asian Journal of Social Science, Vol. 38, No. 6 (2020). Kuntowijoyo. 2013. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana. Lindsay, Jennifer & Maya H.T. Liem (eds.). 2012. Heirs to World Culture: Being Indonesian 1960-1965. Leiden: KITLV Press. Liow, Joseph. „Malaysia‟s Illegal Indonesian Migrant Labour Problem: In Search of Solutions‟, Contemporary Southeast Asia, Vol. 25, No. 1, April 2003. Liow, Joseph Chinyong. 2005. The Politics of Indonesia-Malaysia Relations: One Kin, Two Nations. London & New York: RoutledgeCurzon. Lubis, Koko Hendri. 2018. Roman Medan: Sebuah Kota Membangun Harapan. Jakarta: Gramedia. Mackie, J.A.C. 1974. Konfrontasi: The Indonesia-Malaysia Dispute, 1963-1966. Kuala Lumpur: Oxford University Press. Madinier, Remy. 2015. Islam and Politics in Indonesia: The Masyumi Party between Democracy and Integralism. Singapore: NUS Press. Melton, J. Gordon & Martin Baumann (eds.). 2010. Religions of the World: A Comprehensive Encyclopedia of Beliefs and Practices. California: ABC- CLIO, LLC. Merrills, J.G. „Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan (Indonesia v Malaysia), Merits, Judgment of 17 December 2002‟, The International and Comparative Law Quarterly, Vol. 52, No. 3 (July 2003). Musyafa, Haidar. 2018. Buya Hamka: Sebuah Novel Biografi. Jakarta: Pustaka Iman. Mahayana, Maman S. „Gerakan Budaya Menjelang Kemerdekaan Indonesia- Malaysia,‟ Makara, Vol. 11, No. 2, December 2007. Nair-Venugopal, Shanta (ed.). 2012. The Gaze of the West and Framings of the East. Hampshire: Palgrave Macmillan. Orgad, Shani. 2012. Media Representation and the Global Imagination. Cambridge and Malden: Polity Press. Omar, Rusdi et. al. “Malaysia and Indonesia‟s …, Porananond, Ploysri & Victor T. King (eds). 2016. Tourism and Monarchy in Southeast Asia. Newcastle upun Tyne: Cambridge Scholars Publishing. Poulgrain, Greg. 1998. The Genesis of Konfrontasi: Malaysia, Brunei, Indonesia 1945-1965. London: C. Hurst & Co. Prange, Sebastian R. 2018. Monsoon Islam: Trade and Faith on the Medieval Malabar Coast. Cambridge: Cambridge University Press.

78

Pusat Pembinaan & Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 1999. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Jakarta: Grasindo. Prasad, Karolina. 2016. Identity Politics and Elections in Malaysia and Indonesia: Ethnic Engineering in Borneo. London & New York: Routledge. Ricklefs, M.C. et. al. 2010. A New History of Southeast Asia. London: Red Globe Press. Rush, James R. 2016. Hamka‟s Great Story: A Master Writer‟s Vision of Islam for Modern Indonesia. Wisconsin: The University of Wisconsin Press. Saat, Norshahril. 2018. Tradition and Islamic Learning: Singapore Students in thee Al-Azhar University. Singapore: ISEAS. Sterling, Christopher H. (ed.). 2009. Encyclopedia of Journalism, 1. A-C. California: Sage. Subritzky, John. „Britain, Konfrontasi, and the end of empire in Southeast Asia, 1961-65‟, The Journal of Imperial and Commonwealth History‟, Volume 28, Issue 3, 2000. Tayeb, Azmil. 2018. Islamic Education in Indonesia and Malaysia: Shaping Minds, Saving Souls. London & New York: Routledge. Ta Sen, Tan. 2009. Cheng Ho and Islam in Southeast Asia. Singapore: ISEAS. Tjandrasasmita, Uka. 2009. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: KPG. Weintraub, Andrew M. (ed.). 2011. Islam and Popular Culture in Indonesia and Malaysia. London & New York: Routledge. Wirawan, Yerry. „Malay(sian)‟s Image in Indonesian Media Prior to Konfrontasi Era December 1962‟, Inter-Asia Cultural Studies, Vol. 18, 2017. Zed, Mestika. „Hubungan Indonesia-Malaysia: Perspektif Budaya dan Keserumpunan Melayu Nusantara,‟ TINGKAP, Vol. XI No. 2, 2015. Zara, Muhammad Yuanda. „Syuhada Mosque and Its Community in Changing Yogyakarta, 1950s-1980s‟, Journal of Indonesian Sciences and Humanities, Vol. 6, No. 2 (2016). Zein, Abdul Baqir. 1999. Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia. Jakarta: Gema Insani Press. -----. 2016. DK Eyewitness Travel: Malaysia & Singapore. London: Dorling Kindersley. -----. 1996. Hasil Pemugaran dan Temuan Benda Cagar Budaya PJP I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Internet „Cagar Budaya Nasional dari Langkat: Masjid Azizi Tanjung Pura‟, https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/dpk/cagar-budaya-nasional-dari- langkat-masjid-azizi-tanjung-pura/, diakses 25 September 2020. „JLNT Casablanca Resmi Diberi Nama Jl Prof Hamka‟, https://news.detik.com/berita/d-2923292/jlnt-casablanca-resmi-diberi-nama- jl-prof-hamka?991101mainnews=&991101mainnews=, diakses 14 Agustus 2020. „MABBIM‟, http://www.badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/mabbim, diakses 29 September 2020.

79

„Masjid Ubudiah, Pesona Moor di Bukit Chandan (I)‟, https://www.republika.co.id/berita/n55950/masjid-ubudiah-pesona-moor-di- bukit-chandan-1, diakses 23 September 2020. „Masjid Zahir, Ikon Negeri Kedah‟, https://republika.co.id/berita/omp648313/masjid-zahir-ikon-negeri-kedah, diakses 25 September 2020. „Sejarah‟, https://uhamka.ac.id/pages/history, diakses 14 Agustus 2020. „Syafruddin dan Buya Hamka Pahlawan Nasional‟, https://nasional.tempo.co/read/365516/syafruddin-dan-buya-hamka- pahlawan-nasional, diakses 14 Agustus 2020.

80

81

82

83

84

85

86

87

88