INTEGRASI MASYARAKAT KAWASAN PERBATASAN DI DESA SUNGAI LIMAU, KECAMATAN SEBATIK TENGAH, KABUPATEN NUNUKAN, PROVINSI UTARA

THE SOCIAL INTEGRATION OF BORDERLAND COMMUNITY IN SUNGAI LIMAU VILLAGE, CENTRAL SEBATIK SUB DISTRICT, , PROVINCE

Wahyudi1 Alumni Pasca Sarjana Universitas Pertahanan ([email protected])

Abstrak - Kondisi kawasan perbatasan dengan berbagai dinamikanya berupa rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia, rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat, ketertinggalan pembangunan, ketergantungan ekonomi dengan negara tetangga hingga potensi masuknya barang-barang terlarang dan infiltrasi asing dari luar melalui kawasan perbatasan. Dinamika yang berkembang tersebut bila diabaikan dapat menimbulkan interaksi sosial yang bersifat disosiatif (negatif) didalam masyarakat yang akan memicu munculnya disintegrasi berupa konflik,baik secara internal antara masyarakat lokal ataupun secara eksternal dengan masyarakat negara tetangga. Bila ditinjau dari aspek pertahanan hal ini dapat mengancam stabiltas keamanan dan kedaulatan negara di perbatasan. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis bentuk interaksi sosial yang terjadi pada masyarakat kawasan perbatasan di Desa Sungai Limau, Kecamatan Sebatik Tengah yang berbatasan langsung dengan dengan menggunakan teori Interaksi sosial dan konsep perbatasan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif melalui pengumpulan data yang diperoleh dari wawancara, observasi dan studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi sosial bersifat asosiatif (positif), yaitu antara masyarakat dengan pemerintah Desa Sungai Limau, antara kelompok masyarakat pendatang pemula (etnis Bugis) dengan pendatang baru (etnis Timor) di Desa Sungai Limau dan antara Masyarakat Desa Sungai Limau (Indonesia) dengan masyarakat Kampung Sungai Pukul (Malaysia) yang ditunjukkan dalam bentuk kerja sama, akomodasi dan potensi asimilasi mengarah kepada integrasi masyarakat yang berbeda baik etnis, agama dan kewarganegaraan. Hal ini mampu menciptakan kondisi aman dan damai di kawasan perbatasan.

Kata Kunci: interaksi sosial, kawasan perbatasan, masyarakat perbatasan

Abstract - The circumstance located in border region between Indonesia and other countries has a wide range of terrible events such as low quality of human resources, low-level of social welfare, underdevelopment, and economic dependence in neighboring country until the potential of entering illegal goods as well as foreign infiltration from other nations through the border region. By avoiding the adverse circumstances, it truly gives rise to dire consequences including dissociative social interaction in a society that will trigger the disintegration of conflict among community which brings about the conflict between local inhabitants internally and foreign country societies of neighboring

1 Alumni Mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi Damai dan Resolusi Konflik, Universitas Pertahanan Indonesia, email : [email protected] Jurnal Pertahanan Agustus 2016, Volume 6, Nomor 2 133

countries externally. In terms of defense view, it could threaten stability and sovereignty of the country in the border region. The purpose of this article is to analyze interaction within community which takes place in people dwelling in Sungai Limau Village, central Sebatik district which is directly adjacent to Malaysia by using the theory of social interaction and border concept. This research uses a qualitative method through data collection which is obtained from interview, observation and literature.The result shows that the social interaction between the people living in the local community and the government of Sungai Limau Village are associative. Furthermore, it is also taken place for the interaction between beginner comers (Bugis ethnic) and newcomers (Timor ethnic) in Sungai Limau as well as between Sungai Limau societies (Indonesian) and Sungai Pukul Inhabitants (Malaysia) which are revealed by the form of cooperation, accommodation and potention of assimilation lead to better integration of people of different ethnicity, religion and nationality. It is capable of creating peace and security circumstance at the border region.

Keywords: social interaction , border region, border community

Pendahuluan

Permasalahan umum yang terjadi dan dihadapi hampir di semua wilayah perbatasan Indonesia adalah kurang optimalnya pengembangan dan pemanfaatan kawasan perbatasan serta kurang tersedianya sarana/prasarana dasar di wilayah perbatasan. Hal ini menyebabkan wilayah perbatasan senantiasa tertinggal dan terisolir dengan tingkat kesejahteraan masyarakatnya yang rendah dan aksesibilitas yang kurang, terutama akses wilayah perbatasan dengan pusat pemerintahan, pusat-pusat pelayanan publik, atau wilayah lain yang relatif lebih maju.2

Beberapa catatan penting dalam melihat persoalan yang terjadi di wilayah perbatasan adalah meliputi sumber daya manusia, keterisolasian dan rendahnya taraf hidup serta berkurangnya sumber daya alam, baik secara legal maupun illegal ke negara tetangga dan munculnya berbagai permasalahan baru yang berdimensi transnasional. Penyelundupan barang dan manusia, perdagangan manusia, perdagangan obat terlarang, pembajakan, pencurian kekayaan laut, dan masalah yang berkaitan dengan keberadaan nelayan di kawasan perbatasan. 3

Salah satu provinsi yang memiliki daerah perbatasan terpanjang di Indonesia adalah Provinsi Kalimantan Utara yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Provinsi ini tidak saja memiliki daerah perbatasan di daratan, namun juga di lautan. Salah satu

2 Badan Nasional Pengelola Perbatasan, Desain Besar (Grand Design) Pengelolaan Batas Wilayah Negara Dan Kawasan Perbatasan Tahun 2011-2025, (Jakarta: BNPP, 2011). 3 Nuraesnaini, Poppy Setiawati, Adaptasi Nelayan Kawasan Perbatasan di Desa Sei Pancang, Kecamatan Sebatik Utara, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara, (Bandung: Universitas Padjajaran, 2013). 134 Jurnal Pertahanan Agustus 2016, Volume 6, Nomor 2

kawasan laut di Provinsi Kalimantan utara yang berbatasan dengan Malaysia adalah Kabupaten Nunukan yang merupakan kawasan perbatasan yang memiliki arti penting, tidak saja bagi Provinsi Kalimantan Utara, tetapi juga bagi Indonesia karena kabupaten ini merupakan jalur utama, baik darat maupun laut antara Indonesia dengan Malaysia. Sebatik yang berada di Kabupaten Nunukan merupakan sebuah pulau yang dimiliki oleh dua negara, yaitu Indonesia dan Malaysia. Hal ini karena di Pulau Sebatik memiliki garis perbatasan yang membagi dua pulau tersebut. Hal tersebut menunjukkan betapa strategis posisi pulau Nunukan dan pulau Sebatik.4

Berdasarkan penjelasan di atas dan ditinjau dari perspektif sosiologi, proses dinamika sosial yang terus berlangsung tanpa pengelolaan yang baik akan berpotensi menimbulkan konflik di dalam interaksi sosial yang terjadi, baik antara masyarakat ataupun antar masyarakat di luar. Jika konflik ini terjadi di wilayah perbatasan, bila ditinjau dari persperktif kajian pertahanan, berpotensi menimbulkan ancaman berupa instabilitas wilayah perbatasan yang dalam jangka panjang dapat mengganggu kedaulatan NKRI dan ancaman eksistensi negara di perbatasan. Dengan demikian, dari perspektif pertahanan, khususnya PCR (Peace and Conflict Resolution), penting untuk melakukan penelitian tentang interaksi sosial antar masyarakat perbatasan di Desa Sungai Limau, Kecamatan Sebatik Tengah, Kabupaten Nunukan dengan melihat hubungan antara masyarakat di perbatasan berupa interaksi sosial yang terjadi.

Daerah perbatasan Indonesia menyimpan potensi konflik, semisal perbatasan Indonesia dan Timor Leste, tepatnya di Kabupaten Timor Tengah Utara, Indonesia dengan Distrik Oecussi, Timor Leste,terjadi konflik berupa aksi kekerasan yang tidak hanya melibatkan hubungan antar pemerintah (government to government), tetapi juga melingkupi hubungan antarmasyarakat (people to people). Berbeda halnya dengan ketegangan di Ambalat dan Tanjung Datu di perbatasan Indonesia-Malaysia hanya melibatkan militer dari kedua negara. Lebih lanjut di perbatasan Papua, ketegangan lebih kepada hubungan antara aparat keamanan dengan gerakan separatis.

Wilayah perbatasan dari perspektif pertahanan merupakan wilayah yang harus dijaga kedaulatannya baik dari gangguan internal maupun secara eksternal, karena

4 Ariwibowo, dkk, Kajian Akademis Usulan Daerah Otonomi Baru Kota Sebatik Kalimantan Timur, (Surabaya: Universitas Airlangga, 2012). Jurnal Pertahanan Agustus 2016, Volume 6, Nomor 2 135

ancaman bagi kedaulatan negara khususnya di perbatasan dapat berupa agresi, pelanggaran wilayah, pemberontakan bersenjata, sabotase, spionase, aksi teror bersenjata, ancaman keamanan laut dan udara, serta konflik komunal. Dengan demikian, interaksi sosial yang asosiatif didalam masyarakat perbatasan harus dipertahankan untuk menciptakan rasa damai di perbatasan.5 Berdasarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara menjelaskan bahwa kawasan perbatasan darat dan laut Indonesia dinyatakan memiliki arti penting dalam menjaga kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari berbagai ancaman, baik dari dalam maupun dari luar. Hal ini diperkuat oleh Buku Putih Pertahanan Indonesia Tahun 2008 yang menyatakan bahwabeberapa bentuk ancaman di perbatasan dapat berupa agresi hingga konflik komunal.6

Berdasarkan hal di atas, dapat diketahui bahwa kawasan perbatasan menyimpan potensi konflik yang bisa terjadi sewaktu-waktu, baik berupa konflik internal (konflik komunal) di antara sesama warga perbatasan, konflik vertikal berupa pemberontakan kepada pemerintah sebagaimana yang terjadi di Papua, maupun konflik eksternal (konflik internasional) terhadap masyarakat perbatasan negara lain sebagaimana yang terjadi di NTT-Timor Leste.

Interaksi Sosial

Interaksi sosial menurut Soerjono Soekanto 7adalah dasar dari proses sosial yang terjadi akibat adanya hubungan-hubungan sosial yang dinamis, dalam hal ini mencakup hubungan antarindividu, antar kelompok maupun yang terjadi antara individu dan kelompok. Menurut Soekanto, interaksi sosial adalah hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut: 1) Hubungan antar individu; 2) Hubungan antar individu dan kelompok; dan 3) Hubungan antar kelompok.8 Lebih lanjut disebutkan bahwa bentuk-bentuk interaksi sosial terdiri dari interaksi sosial yang bersifat asosiatif (positif) dan bersifat dissosiatif (negatif). Adapun interaksi sosial yang bersifat asosiatif terdiri dari kerja sama

5 Departemen Pertahanan Republik Indonesia, Buku Putih Pertahanan Indonesia, (Jakarta: Departemen Pertahanan, 2008). 6 Ibid. 7 SoerjonoSoekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Edisi revisi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014). 8 Ibid. 136 Jurnal Pertahanan Agustus 2016, Volume 6, Nomor 2

(cooperation), akomodasi (acommodation) dan asimilasi (assimilation), sedangkan interaksis yang bersifat dissosiatif terdiri dari persaingan (competition), pertikaian (conflict) dan kontravensi (contravention)9.

Bentuk interaksi yang berkaitan dengan proses dissosiatif ini dapat terbagi atas bentuk persaingan, kontravensi dan pertentangan. Persaingan merupakan suatu proses sosial dimana individu atau kelompok-kelompok manusia yang bersaing, mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan. Bentuk kontravensi merupakan bentuk interaksi sosial yang sifatnya berada di antara persaingan dan pertentangan. Sedangkan pertentangan (konflik) merupakan suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan kekerasan.10

Menurut Gillin dan Gillin11 ada dua macam proses sosial yang timbul sebagai akibat adanya interaksi sosial yaitu: Pertama, Proses yang asosiatif yaitu proses sosial yang mengindikasikan adanya gerak pendekatan atau penyatuan. Bentuk-bentuk khusus proses sosial yang asosiatif adalah kerja sama, akomodasi dan asimilasi. Kedua, Proses yang asosiatif yaitu proses sosial yang mengindikasikan pada gerak ke arah perpecahan. Bentuk-bentuk khusus proses sosial yang dissosiatif adalah kompetisi, konflik dan kontravensi.

Pada penelitian ini, interaksi sosial yang terjadi pada masyarakat perbatasan di Desa Limau, Kecamatan Sebatik Tengah dianalisis dengan merujuk pada bentuk-bentuk interaksi sosial yang dijelaskan oleh Soekanto12 yaitu bahwa bentuk-bentuk interaksi sosial terdiri dari dua yakni interaksi sosial yang bersifat Asosiatif (positif) dan interaksi sosial yang bersifat Dissosiatif (negatif). Adapun interaksi sosial yang bersifat asosiatif terdiri dari kerja sama (Cooperation), Akomodasi (Acommodation) dan Asimilasi (Assimilation). Sedangkan Interaksi Sosial yang bersifat dissosiatif terdiri dari Persaingan (Competition), Pertikaian (Conflict) dan Kontravensi (Contravention).

9 Ibid. 10 Syahrial Syarbani, Konsep Dasar Sosiologi dan Antropologi Teori dan Aplikasi, (Jakarta : PT Hartomo Media Pustaka, 2012). 11 Ibid. 12 Ibid. Jurnal Pertahanan Agustus 2016, Volume 6, Nomor 2 137

Konsep Kawasan Perbatasan

Wilayah perbatasan merupakan area (baik kota atau wilayah) yang membatasi antara dua kepentingan yuridiksi yang berbeda.13 Menurut Arifin, dalam proses pembentukan perbatasan suatu negara, terdapat perbedaan antara perbatasan laut dan perbatasan darat.14 Dalam perbatasan laut, para ilmuwan membangun teori yang didasarkan pada Konvensi Hukum Laut Internasional 1982. Dalam konvensi hukum laut tersebut ditegaskan bahwa kerangka hukum dasar menyangkut garis pangkal, luas wilayah laut dan laut dalam. Namun untuk perbatasan darat, kontribusi besar disumbangkan oleh para ahli geografi, seperti Ratzel dari Jerman yang membangun fondasi teori “space conception” 15. Dalam teori ini disebutkan pula bahwa sebuah negara adalah tempat tinggal organisme yang tumbuh dan punah.

Kawasan perbatasan (border areas) selalu dikaitkan dengan sebuah atau lebih wilayah yang secara geografis berhadapan langsung dengan wilayah (territory) negara asing atau negara tetangga.16 Wilayah perbatasan adalah wilayah geografis yang berhadapan dengan negara tetangga, dimana penduduk yang bermukim di wilayah tersebut disatukan melalui hubungan sosio-ekonomi dan sosio-budaya setelah ada kesepakatan antarnegara yang berbatasan.17 Lebih lanjut, berdasarkan Undang-undang (No. 43 Tahun 2008) tentang Wilayah Negara menyatakan bahwa kawasan perbatasan adalah bagian dari wilayah negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain. Menurut Peraturan Presiden (No. 5 Tahun 2010) tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJM) Tahun 2010-2014 kawasan perbatasan negara adalah wilayah kabupaten/kota yang secara geografis dan demografis berbatasan langsung dengan negara tetangga dan/atau laut lepas.

Dari sudut pandang sejarawan Martinez ,18daerah perbatasan dapat dikategorikan dalam empat bagian, yaitu:

13 SaruArifin, Hukum Perbatasan Darat Antarnegara, (Jakarta : PT Sinar Grafika, 2014). 14 Ibid. 15 Ibid. 16 Nuraesnaini, op.cit. 17 Suryo SaktiHadiwijoyo, Batas Wilayah Negara Indonesia Dimensi, Permasalahan dan Strategi Penanganan, (Yogyakarta: PT Gava Media, 2008). 18 Nuraesnaini, op.cit. 138 Jurnal Pertahanan Agustus 2016, Volume 6, Nomor 2

Pertama, aliniated borderland. Dalam kategori ini kebiasaan melintasi batas negara tidak terjadi di antara penduduk dua atau lebih negara bertetangga karena faktor keamanan, politik, kuatnya nasionalisme, persaingan antar kelompok etnis, serta perselisihan antar kelompok berbeda agama.

Kedua, Coexistent Borderland, yaitu suatu kondisi dimana konflik antar dua pihak berkepentingan mengenai sumber daya alam dapat diminimalkan.

Ketiga, Interdependet Borderland. Model daerah perbatasan serupa ini terkesan lebih konstruktif, sebab hubungan antar negara (bilateral) dan aktivitas perdagangan relatif lebih stabil.

Keempat, Intergrated Borderland. Dalam perspektif ini, daerah perbatasan diartikan sebagai sebuah kesatuan terintegrasi seperti aktivitas perdagangan, sebab terjaminnya hubungan baik antar dua negara bertetangga.

Pada umumnya, wilayah perbatasan merupakan daerah miskin dan tertinggal dengan taraf sosial ekonomi yang rendah akibat keterisolasian, terbatasnya infrastruktur dan fasilitas umum, serta rendahnya akses masyarakat dalam mendapatkan informasi.19 Wilayah perbatasan Indonesia dan Malaysia dilihat dari aspek sosial budaya berkaitan erat dengan gambaran kehidupan masyarakatnya yang penuh dengan dinamika. Keadaan masyarakat di kawasan perbatasan saat ini tidak memiliki aksesibilitas yang baik dan masih dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi negara tetangga. Kehidupan sosial ekonomi masyarakat umumnya berkiblat ke wilayah negara tetangga, seperti yang terjadi di wilayah Kalimantan. Hal ini disebabkan adanya kondisi yang lebih baik atau pengaruh sosial dan ekonomi yang lebih kuat dari negara tetangga.20Kawasan perbatasan yang dimaksud dalam tulisan ini merupakan kawasan perbatasan antara Indonesia dan Malaysia yang terletak di Pulau Sebatik, khususnya di Desa Sungai Limau, Kecamatan Sebatik Tengah, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara. Fenomena yang terjadi pada masyarakat perbatasan dalam konteks interaksi sosial.

19 Ibid. 20 Ibid. Jurnal Pertahanan Agustus 2016, Volume 6, Nomor 2 139

Bentuk Interaksi Sosial yang Mengarah kepada Integrasi Masyarakat Perbatasan

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa terdapat hubungan-hubungan yang dinamis yang terjadi diantara kelompok–kelompok masyarakat yang ada di desa Sungai Limau, Kecamatan Sebatik Tengah, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara. Hubungan–hubungan dinamis tersebut terjadi di antara kelompok masyarakat sebagai berikut:

a. Masyarakat Desa dengan Aparat Pemerintah Desa Sungai Limau.

b. Masyarakat Pendatang Pemula (Etnis Bugis) dengan Masyarakat Pendatang Baru (Etnis Timor) yang ada di Desa Sungai Limau.

c. Masyarakat Desa Sungai Limau (Sebatik Indonesia) dengan Masyarakat Kampung Sungai Pukul Malaysia (Sebatik Malaysia).

Merujuk pada hasil temuan di atas, maka hubungan-hubungan yang yang terjadi di antara kelompok masyarakat di desa Sungai Limau tersebut sejalan dengan pernyataan Gillin21 yang menyatakan bahwa Interaksi Sosial sebagai hubungan-hubungan sosial yang dinamis, dimana menyangkut hubungan antarindividu dan kelompok atau antarkelompok. Berdasarkan pendapat Gillin tersebut, maka yang terjadi di Desa Sungai Limau berdasarkan data temuan di atas adalah sebuah hubungan sosial yang dinamis yang terjadi diantara kelompok masyarakat.

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa interaksi sosial yang terjadi di antara kelompok masyarakat tersebut bersifat positif ditunjukkan lewat kerja sama, akomodasi dan asimilasi. Hal ini berdasarkan pendapat Soekanto 22 yang menyatakan bahwa bentuk-bentuk Interaksi Sosial terdiri dari dua yakni interaksi sosial yang bersifat asosiatif (positif) dan interaksi sosial yang bersifat disosiatif (negatif), dimana interaksi sosial yang bersifat asosiatif (Positif) terdiri dari Kerja sama (Cooperation), Akomodasi (Acomodation) dan Asimilasi (Assimilation), sedangkan Interaksi Sosial yang bersifat disosiatif terdiri dari Persaingan (Competition), Pertikaian (Conflict) dan Kontravensi (Contravention). Maka berdasarkan pendapat Soekanto tersebut bentuk interaksi sosial

21 Soerjono Soekanto, op.cit. 22 Ibid. 140 Jurnal Pertahanan Agustus 2016, Volume 6, Nomor 2

yang terjadi di Desa Sungai Limau bersifat asosiatif (Positif) karena menunjukkan adanya kerja sama, akomodasi dan potensi asimilasi. Hubungan positif yang ditunjukkan lewat kerja sama, akomodasi, dan adanya potensi asimilasi mengarah kepada terjadinya integrasi (penyatuan) dalam masyarakat yang memiliki perbedaan etnis, agama dan kewarganegaraan tersebut.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerja sama yang berlangsung di Desa Sungai Limau terjadi pada hubungan antara ketiga kelompok masyarakat tersebut yaitu, secara internal terjadi kerja sama antara Masyarakat Desa Sungai Limau dengan aparat pemerintah dan kerja sama antara masyarakat pendatang pemula (Etnis Bugis) dengan masyarakat pendatang baru (Etnis Timor). Sementara itu, secara eksternal terjadi kerja sama diantara masyarakat Desa Sungai Limau (Sebatik Indonesia) dengan masyarakat Kampung Sungai Pukul (Sebatik Malaysia). Kerja sama yang tercipta antara masyarakat desa dengan aparat desa diwujudkan dalam praktik saling tolong menolong dan saling membantu antara pemerintah dengan masyarakat.

Bentuk kerja sama tersebut terlihat secara konkret lewat program-program yang berlangsung bersama antara pemerintah dengan masyarakat desa, pelayanan yang efektif yang diberikan oleh pemerintah terhadap masyarakat dan partisipasi warga yang aktif dalam mendukung program-program pemerintah menunjukkan tingginya kerja sama antara pihak pemerintah dengan masyarakat desa. Sebagaimana Soekanto23 yang mendefinisikan kerja sama sebagai suatu kegiatan dalam proses sosial dalam usaha mencapai tujuan bersama dengan cara saling membantu dan saling tolong-menolong dengan komunikasi efektif. Kerja sama yang berlangsung antara aparat pemerintah desa dengan masyarakat Desa Sungai Limau yang merupakan bagian dari masyarakat perbatasan yang oleh Hadiwijidyo 24 dikatakan bahwa penduduknya cenderung mendapatkan akses pelayanan ke negara tetangga yang berbatasan dibandingkan mendapatkan akses ke pemerintah daerah atau pusatnya sendiri. Hal ini dikarenakan kurangnya perhatian pemerintah pusat maupun daerah terhadap masyarakat yang tinggal di sepanjang kawasan perbatasan.

23 Soerjono Soekanto, op.cit. 24 Nuraesnaini, op.cit. Jurnal Pertahanan Agustus 2016, Volume 6, Nomor 2 141

Namun dalam kenyataannya, ditemukan bahwa masyarakat Desa Sungai Limau mampu menunjukkan kerja sama yang baik lewat partisipasi mereka yang aktif dalam mendukung agenda-agenda pemerintah. Hal yang sama pun ditunjukkan oleh aparat pemerintah desa, status desa Sungai Limau sebagai desa yang berada dalam kawasan perbatasan yang masuk dalam daftar daerah tertinggal dan perbatasan berdasarkan data dari Direktorat Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) tahun 2015 tidak menghalangi pemerintah desa untuk memberikan pelayanan yang efektif dan pemberdayaan kepada masyarakat desa.

Hubungan kerja sama yang baik dan adanya saling mendukung antara pemerintah dengan masyarakat di perbatasan Desa Sungai Limau menjadi sebuah contoh menarik yang ditunjukkan oleh wilayah perbatasan, dikala beberapa wilayah perbatasan digambarkan sebagai wilayah yang memiliki tingkat nasionalisme yang rendah dan kerenggangan hubungan dengan pemerintah pusat. Namun, kerja sama yang kuat antara pemerintah desa yang merupakan perpanjangan tangan negara di daerah, khususnya daerah perbatasan di Sebatik dengan masyarakatnya menjadi angin segar betapa nasionalisme dan rasa memiliki negara tercermin dari sikap masyarakat yang mau mendukung agenda-agenda pemerintahan di perbatasan.

Namun dibalik kerja sama yang baik tersebut, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah tidak boleh lengah dan harus tetap memberikan perhatian serius terhadap upaya pengembangan wilayah perbatasan sebagai beranda terdepan NKRI. Kerja sama yang erat yang ditunjukkan oleh pemerintah dengan masyarakat perbatasan menjadi sebuah modal utama untuk menciptakan “benteng pertahanan” sebagaimana yang dikatakan oleh Subagyo25 bahwa masyarakat perbatasan harus menjadi benteng utama pertahanan dalam rangka menjaga kedaulatan negara dari ancaman dari luar, bukan malah sebaliknya perbatasan yang memilki aksesbilitas yang jauh dari pusat menjadi pemicu munculnya aksi-aksi separatisme dan pemberontakan kepada pemerintah. Sebagaimana yang terjadi di Papua dengan OPM (Organisasi Papua Merdeka) dan yang pernah terjadi di Aceh dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Begitupun halnya dengan kerja sama yang berlangsung antara kelompok etnis Bugis

25 Agus Subagyo, Bela Negara, Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi, (Yogyakarta : PT Graha Ilmu, 2015). 142 Jurnal Pertahanan Agustus 2016, Volume 6, Nomor 2

dengan etnis Timor yang merupakan kelompok pendatang yang pada akhirnya menjadi penduduk lokal di desa Sungai Limau.

Didalam interaksinya, kedua kelompok masyarakat yang memiliki perbedaan identitas etnis dan agama ini mampu menunjukkan hubungan yang harmonis lewat sikap toleransi yang diwujudkan dalam bentuk kerja sama tersebut berlangsung dalam praktik- praktik keseharian, saling membantu dalam kegiatan-kegiatan adat dan perayaan agama serta kegiatan-kegiatan sosial lainnya. Prinsip kebersamaan, prinsip saling menghormati dan menghargai, prinsip kebhinekaan dan prinsip sebagai sesama kaum pendatang menjadi prinsip yang dijadikan modal persatuan yang dibangun oleh dua etnis yang berbeda ini.

Kelompok etnis Bugis yang beragama Islam dengan kelompok etnis Timor yang mayoritas beragama Katholik mampu memperlihatkan hubungan kerja sama yang baik. Kerja sama yang oleh Soekanto26diartikan sebagai proses sosial dalam usaha mencapai tujuan bersama dengan cara saling membantu dan saling tolong-menolong dengan komunikasi efektif, ditunjukkan oleh kedua kelompok lewat aksi saling tolong menolong dalam kegiatan sosial seperti tolong-menolong dan membantu saat pelaksanaan kegiatan adat dan kegiatan keagamaan. Kerja sama antara umat beragama semakin kuat lewat keberadaan organisasi kepemudaan OM JOKO (Orang Muda Berjoko) yang menjadi wadah kerja sama antara kedua agama yang berbeda. Kebersamaan dan senasib sebagai kaum pendatang (outsider) untuk bisa hidup dengan damai menjadi tujuan bersama yang menyebabkan terjadinya kerja sama yang kuat.

Kerja sama yang berlangsung antara dua kelompok yang secara identitas mereka dibedakan oleh perbedaan etnis dan agama ini oleh Soekanto27dinyatakan sebagai bentuk kerja sama kerukunan berupa tolong menolong dan bantu membantu di antara kelompok atau individu. Posisi etnis Bugis yang lebih dahulu menghuni pulau Sebatik dengan penguasaan ekonomi dan lahan sejak awal dengan etnis Timor yang menyusul dikemudian hari menjadi sebuah gambaran ideal bagaimana seharusnya sebuah masyarakat berinteraksi. Menariknya, hal ini mampu diperlihatkan oleh masyarakat perbatasan di tengah dinamika kehidupan dan persaingan ekonomi yang mereka hadapi.

26 Soerjono Soekanto, op.cit. 27 Ibid. Jurnal Pertahanan Agustus 2016, Volume 6, Nomor 2 143

Pengalaman di Ambon misalnya, yang awalnya didasari oleh adanya kesenjangan ekonomi antara kelompok lokal dan pendatang yang pada akhirnya merembet kepada isu konflik SARA. Hal yang sama pernah terjadi di Poso dan Sampit yang membawa isu SARA sebagai motif untuk berkonflik.

Kerja sama yang telah berlangsung dengan baik antara dua etnis dan agama di wilayah ini perlu dipertahankan oleh berbagai pihak mengingat isu SARA hingga saat ini masih menjadi isu yang kerap digunakan untuk memecah belah persatuan. Apalagi keberadaan kelompok masyarakat ini di perbatasan akan dengan mudah dipengaruhi oleh infiltrasi asing yang bisa saja mencoba mengganggu kedaulatan negara di perbatasan lewat perpecahan antar masyarakat.

Kerja sama pun tampak di antara masyarakat Desa Sungai Limau (Sebatik Indonesia) dengan masyarakat Sungai Pukul (Sebatik Malaysia). Perbedaan negara dan status kewarganegaraan tidak menghalangi mereka untuk saling berhubungan satu sama lain. Kerja sama antara kedua pihak selama ini bersifat tradisional dan alamiah tanpa melalui campur tangan negara (Kementerian Luar negeri), adanya tradisi saling mengundang dalam event-event olahraga dan event-event adat dan kebudayaan nampak berjalan secara rutin. Begitupun halnya aktivitas warga Sebatik Malaysia yang datang berbelanja di pasar-pasar tradisional Kecamatan Sebatik tengah dan aktivitas sebagian warga Sebatik Tengah yang bekerja di perkebunan milik warga Malaysia di Sebatik Malaysia menjadi aktivitas bersama. Proses interaksi sosial yang berbentuk kerja sama ini dapat dimaknai sebagai Integrated Borderland yang dalam perspektif Martinez,28daerah perbatasan diartikan sebagai sebuah kesatuan terintegrasi seperti aktivitas perdagangan, mengingat terjaminnya hubungan baik antar dua negara bertetangga. Meskipun di lapangan, kerja sama yang berlangsung antar masyarakat dua negara di Sebatik tidak melibatkan otoritas negara karena belum adanya jalur darat resmi antar negara di Sebatik sebagaimana di Entikong dengan Serawak yang memberlakukan lintas batas resmi darat yaitu PLB (Pas Lintas Batas).

Prinsip kebersamaan dan merasa masih satu rumpun menjadi alasan kuat bagi mereka untuk terus saling berhubungan melakukan kerja sama antar masyarakat tanpa

28 Nuraesnaini, op.cit. 144 Jurnal Pertahanan Agustus 2016, Volume 6, Nomor 2

memperdulikan status kenegaraan mereka masing-masing. Sebagaimana yang dikatakan oleh Hadiwijoyo29 yang menyatakan bahwa wilayah perbatasan adalah wilayah geografis yang berhadapan dengan negara tetangga, yang mana penduduk yang bermukim di wilayah tersebut disatukan melalui hubungan sosio-ekonomi dan sosio-budaya setelah ada kesepakatan antarnegara yang berbatasan.30Hanya saja, kerja sama masyarakat berbeda kewarganegaraan dan status negara yang berlangsung di Desa Sungai Limau ini berlangsung secara “ilegal”, karena dalam praktiknya di lapangan, mereka mengabaikan batas kenegaraan dalam tata imigrasi. Mereka dapat masuk dan keluar tanpa menggunakan dokumen resmi keimigrasian. Artinya bahwa apa yang mereka lakukan bukan lagi sebuah hubungan masyarakat antar negara (internasional) namun bersifat tradisional.

Pemakluman yang diberikan oleh aparat pengamanan perbatasan (Pamtas) TNI mampu dipahami mengingat apa yang mereka lakukan sebagai sebuah realitas sosial, hidup berdampingan dengan jalinan persahabatan dan kekerabatan yang sudah terwujud sejak lama. Hal ini sejalan dengan pendapat Sariama31 yang menyatakan bahwa boundary tidak selamanya ditaati oleh penduduk perbatasan (terutama di daerah terpencil). Mereka mengadakan lintas batas untuk mengunjungi sanak keluarga di seberang boundary. Namun adanya pemakluman pengamanan perbatasan berkelanjutan perlu menjadi perhatian bersama mengingat rawannya ancaman yang datang melalui perbatasan negara. Otoritas pemerintah perlu membuat sebuah kerja sama resmi yang dibangun antara Goverment to Goverment, bukan lagi people to people. Sebagaimana yang terjadi selama ini dengan langkah awal membangun pos keimigrasian Pas Lintas Batas (PLB) di perbatasan darat untuk memudahkan pengontrolan dan pengawasan berupa masuknya ancaman-ancaman destruktif yang berasal dari luar yang dapat mengancam pertahanan dan kedaulatan negara, bukan lagi sebuah pemakluman atas dasar realitas sosial.

Adapun bentuk interaksi sosial berupa akomodasi, hanya sempat terjadi dalam hubungan antara Masyarakat Pendatang Pemula (Etnis Bugis) dengan masyarakat

29 Hadiwijoyo, op.cit. 30 Ibid. 31 Irma Sariama, "Peran TNI dalam Menegakkan Kedaulatan dan Keamanan di Wilayah Perbatasan Pulau Sebatik", Ejournal Ilmu Hubungan Internasional, Vol.2, No. 1, 2014, Ejournal.Hi.Fisip-Unmul.Org. Jurnal Pertahanan Agustus 2016, Volume 6, Nomor 2 145

pendatang baru (Etnis Timor) dan tidak ditemukan pernah terjadi pada hubungan antara aparat pemerintah desa dengan masyarakat desa dan antara masyarakat Desa Sungai Limau (Sebatik Indonesia) dengan masyarakat Kampung Sungai Pukul (Sebatik Malaysia). Ketegangan yang sempat terjadi antara kelompok etnis Bugis dengan etnis Timor yang disebabkan oleh adanya perbedaan interpretasi batas tanah antara personal etnis Timor dan etnis Bugis. Etnis Bugis yang sejak awal menghuni wilayah Desa Sungai Limau dan etnis Timor yang datang belakangan kemudian turut menggarap wilayah desa Sungai Limau dengan modal surat izin dari wakil bupati yang juga memiliki identitas kesukuan yang sama dengan kelompok etnis Timor pada saat itu. Saling klaim tanah hingga 60 Ha memunculkan ketegangan.

Pihak aparat dan tokoh masyarakat yang sigap mampu memutus sengketa personal tersebut sebelum merambat ke isu berikutnya yaitu potensi konflik etnis dan agama yang akan sangat sensitif. Pendekatan kekeluargaan dan kebersamaan mampu mendorong rekonsiliasi di antara kedua belah pihak dengan kebesaran jiwa personal dari etnis Bugis. Begitupun saat terjadi pembunuhan terhadap personal etnis Timor oleh personal etnis Bugis sempat memunculkan ketegangan ketika etnis Timor secara bergerombol datang ke kantor desa menuntut pembunuhan. Dengan pendekatan dialog kekeluargaan antara aparat pemerintah dengan tokoh masyarakat mampu memutus potensi ketegangan ke isu lain. Ketegangan berakhir dengan penindakan hukum kepada pelaku secara personal dan kesediaan membiayai proses pemakaman.

Menurut Soekanto,32 akomodasi adalah suatu keadaan dimana suatu pertikaian atau konflik yang terjadi mendapat penyelesaian, sehingga terjalin kerjasama yang baik kembali. Sementara itu menurut Gillin dan Gillin33, akomodasi dimaksudkan sebagai suatu proses dimana orang per orangan atau kelompok-kelompok manusia yang mula-mula saling bertegangan, saling mengadakan penyesuaian untuk mengatasi ketegangan- ketegangan.

Munculnya ketegangan antara personal etnis Timor dengan etnis Bugis dalam persoalan sengketa tanah dapat dimaklumi karena tidak adanya penentuan batas-batas tanah yang jelas sejak awal yang kemudian menimbulkan ketegangan dikemudian hari.

32 Soerjono Soekanto, op.cit. 33 Syahrial Syarbani, op.cit. 146 Jurnal Pertahanan Agustus 2016, Volume 6, Nomor 2

Sebagaimana diakui oleh Tokoh Timor Petrus Roga, yang mendapat mandat untuk menggarap lahan saat itu. Begitupun ketegangan berupa pembunuhan yang dilakukan terhadap salah satu personal etnis Timor oleh etnis Bugis dapat diatasi dengan cepat dan tanggap oleh aparat pemerintah dan tokoh masyarakat yang pada dasarnya memiliki potensi mengarah kepada konflik antar kelompok karena adanya sekat berupa perbedaan etnis dan agama. Penyelesaian lewat jalur kekeluargaan menjadi semacam kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Desa Sungai Limau, dimana ketegangan yang terjadi mendapatkan penyelesaian dan berakhir dengan kerja sama dan berlangsung normal hingga saat ini. Bahkan kerja sama tersebut lambat laun semakin kuat dengan adanya penyatupaduan antara pemuda Katholik yang notebene beretnis Timor dengan Remaja muslim yang beretnis Bugis. Hal ini sejalan dengan pernyataan Soekanto 34 yang menyatakan bahwa pertikaian atau konflik yang terjadi mendapat penyelesaian, sehingga terjalin kerjasama yang baik kembali.

Selain itu, berkaitan dengan proses akomodasi yang pernah terjadi antara kelompok etnis Bugis dengan etnis Timor, kemampuan mereka dalam menyelesaikan ketegangan yang terjadi secara internal, selalu didasarkan pada dialog kekeluargaan dan adanya sifat mau mengalah dari salah satu pihak. Maka hal ini merupakan bentuk dari Tolerant-Participation yang merupakan suatu bentuk akomodasi tanpa persetujuan yang formal bentuknya. Bentuk toleransi ini kadang-kadang timbul secara tidak sadar dan tanpa direncanakan karena adanya watak orang-perorangan atau kelompok manusia untuk sedapat mungkin menghindarkan diri dari suatu perselisihan. Pihak-pihak yang terlibat saling mengurangi tuntutannya agar tercapai suatu penyelesaian terhadap perselisihan yang ada, sebagaimana dikatakan oleh Soekanto.35Proses akomodasi yang pernah terjadi di Desa Sungai Limau menunjukkan kedewasaan masyarakat perbatasan dalam menyelesaikan perselisihan yang mereka hadapi.

Sementara itu, upaya asimilasi berlangsung antara masyarakat pendatang pemula (etnis Bugis) dengan pendatang baru (etnis Timor) dan antara Masyarakat Desa Sungai Limau (Sebatik Indonesia) dengan masyarakat Kampung Sungai Pukul (Sebatik Malaysia) dan tidak terjadi dalam hubungan antara masyarakat dan pemerintah desa, karena pada

34 Soerjono Soekanto, op.cit. 35 Ibid. Jurnal Pertahanan Agustus 2016, Volume 6, Nomor 2 147

dasarnya pemerintah bukanlah bagian dari elemen kebudayaan. Upaya yang mengarah pada proses asimiliasi terjadi diantara etnis Bugis dengan etnis Timor, serta antara masyarakat desa Sungai Limau yang berkewarganegaraan Indonesia dengan masyarakat Kampung Sungai Pukul yang berkewarganegaraan Malaysia. Hubungan asosiatif yang terjadi antara etnis Bugis dengan etnis Timor di Sebatik memperlihatkan adanya upaya proses asimiliasi, dimana terdapat upaya untuk mengurangi perbedaan-perbedaan di antara mereka. Upaya asimilasi ini semakin kuat ketika organisasi kepemudaan Katholik dan Ikatan Remaja Masjid melebur di bawah satu organisasi bersama dalam menjalankan perayaan-perayaan keagamaan. Selain itu, adanya perkawinan campur (amalgamation) sebagaimana yang dikatakan oleh Soekanto36 yang terjadi antara etnis Timor dan etnis Bugis di desa Sungai Limau semakin menguatkan proses menuju asimilasi.

Berbeda halnya dengan hubungan antara kelompok etnis Bugis dengan etnis Timor yang memiliki perbedaan dalam hal agama dan etnis,hubungan antara masyarakat Desa Sungai Limau (Sebatik Indonesia) dengan masyarakat Sungai Pukul (Sebatik Malaysia) memiliki perbedaan dalam status kewarganegaraan. Dua wilayah yang hanya dibatasi oleh patok/pilar dengan pengamanan yang tidak terlalu ketat menjadi salah satu penyebab mudahnya interaksi secara tradisional antara masyarakat dua negara tersebut. Sebagaimana hubungan antara etnis Timor dan etnis Bugis yang pelan-pelan menghilangkan perbedaan-perbedaan diantara mereka, hubungan antara dua masyarakat berbeda negara ini memperlihatkan yang sama.

Masyarakat Sungai Pukul maupun masyarakat Desa sungai Limau melakukan kontak yang intensif. Adanya hubungan persahabatan dan kekerabatan yang terjalin erat ditambah dengan adanya program-program bersama yang dilaksanakan diantara mereka lewat agenda perlombaan olahraga rutin maupun penampilan kebudayaan bersama menjadi modal pemersatu dua masyarakat berbeda negara ini. Bahkan ditemukan pula adanya perkawinan campur, (amalgamation) antara masyarakat Desa Sungai Pukul dengan masyarakat Desa Sungai Limausebagaimana yang dikatakan oleh Soekanto 37yang terjadi di antara menjadi potensi yang dapat mengarah kepada asimilasi. Potensi asimilasi yang terjadi antara kelompok etnis Bugis dengan etnis Timor dan antara kelompok

36 Ibid. 37 Ibid. 148 Jurnal Pertahanan Agustus 2016, Volume 6, Nomor 2

masyarakat di Desa Sungai Limau Indonesia yang beretnis Bugis dan Timor dengan masyarakat kampung Sungai Pukul Malaysia yang beretnis Bajau terlihat dari adanya upaya untuk mengurangi perbedaan dan mengedepankan kesatuan tindak.Sebagaimana pendapat Soekanto38 yang mendefinisikan asimilasi sebagai usaha-usaha untuk mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara orang per orangan atau kelompok-kelompok manusia dan juga meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap dan proses-proses mental dengan memperhatikan kepentingan- kepentingan dan tujuan bersama.

Hal ini ditunjukkan dengan baik dalam hubungan antara masyarakat etnis Bugis dengan etnis Timor lewat kegiatan bersama yang kerap mereka lakukan bersama saat menyelenggarakan kegiatan adat. Tak hanya dalam penyelenggaraan kegiatan adat, dalam kegiatan keagamaan etnis Bugis yang beragamaIslam dan etnis Timor yang beragama Katholik saling membantu dalam melaksanakan perayaan keagamaan, bahkan dibentuk sebuah wadah yang menggabungkan organisasi pemuda Katholik dan remaja Islam yang dinamakan OM JOKO (Orang Muda BerJoko) untuk mengakomodir kegiatan- kegiatan agama secara bersama-sama. Lebih jauh diantara dua etnis ini telah terjadi perkawinan campur (Amalgamation).

Hal yang sama pun terjadi dalam hubungan sosial yang berlangsung antara masyarakat Desa Sungai Limau yang berkewarganegaraan Indonesia dengan Kampung Sungai Pukul yang berkewarganegaraan Malaysia, dimana proses mengurangi perbedaan kewarganegaraan pun dipraktikkan lewat kegiatan olahraga secara tradisional antara kedua desa (Kampung). Begitupun halnya dalam kegiatan perayaan adat dan keagamaan, dimana kedua masyarakat akan saling mengundang dan menghadiri tanpa harus dibebankan oleh status batas negara dan status kewarganegaraan yang kaku. Mereka dengan leluasa dapat berinteraksi kapan pun. Menurut Soekanto,39apabila orang-orang melakukan asimilasi kedalam suatu kelompok manusia atau masyarakat, dia tidak lagi membedakan dirinya dengan kelompok tersebut yang mengakibatkan bahwa mereka dianggap sebagai orang asing.

38 Ibid. 39 Ibid. Jurnal Pertahanan Agustus 2016, Volume 6, Nomor 2 149

Adanya perbedaan kebudayaan antara etnis Bugis yang berasal dari Sulawesi Selatan dengan etnis Timor yang berasal dari NTT, juga terjadidiantara masyarakat desa Sungai Limau yang di dalamnya terdapat suku Bugis dan Timor dengan masyarakat Sungai Pukul yang warganya bersuku Bajo. Soekanto40 juga menyatakan bahwa proses asimilasi akan timbul bila ada kelompok-kelompok manusia yang berbeda kebudayaannya, sehingga hal tersebut bisa menjadi jalan yang mengarah kepada proses asimilasi.

Hubungan yang terjadi antara etnis Bugis dan etnis Timor di Desa Sungai Limau ataupun antara masyarakat desa Sungai Limau dengan kampung Sungai Pukul melakukan hubungan secara langsung dan primer melalui tatap muka, namun belum berlangsung dalam waktu yang relatif lama. Hubungan antara Etnis Timor dan Bugis baru berlangsung sejak tahun 2002 hingga saat ini. Namun berbeda halnya hubungan masyarakat Desa Sungai Limau dengan masyarakat Kampung Sungai pukul, dimana hubungan sebagai tetangga ini sudah berlangsung dalam waktu yang relatif lama. Soekanto 41 menyatakan bahwa orang perorangan sebagai warga kelompok tadi saling bergaul secara langsung dan intensif untuk waktu yang lama, sehingga kebudayaan-kebudayaan dari kelompok- kelompok manusia tersebut berubah dan saling menyesuaikan diri.

Oleh karena itu, apa yang berlangsung antara etnis Timor dengan etnis Bugis, maupun diantara masyarakat Desa Sungai Limau dengan masyarakat Kampung Sungai Pukul memiliki potensi menuju asimilasi. Hal ini karena ada beberapa hal yang memenuhi syarat menuju upaya asimilasi misalnya dalam hal adanya perbedaan kebudayaan, hubungan yang intensif dan langsung, kesatuan tindak seiring pengurangan perbedaan, adanya kawin campur. Namun, di sisi lain, terdapat pembatasan yang dapat menjadi halangan bagi mulusnya upaya asimilasi tersebut, sebagaimana dikatakan Soekanto42 bahwa syarat terjadinya asimilasi yaitu interaksi sosial tersebut tidak mengalami halangan-halangan atau pembatasan-pembatasan.

Halangan-halangan yang dapat terjadi antara etnis Timor dengan etnis Bugis terletak pada perbedaan agama yang mereka anut, agama Islam yang dianut oleh etnis Bugis dan agama Katholik yang dianut oleh etnis Timor memiliki identitas yang sulit untuk

40 Ibid. 41 Ibid. 42 Ibid. 150 Jurnal Pertahanan Agustus 2016, Volume 6, Nomor 2

melebur, yang dapat terjadi hanyalah penyamaan ajaran-ajaran yang bersifat universal dalam praktik keseharian. Begitupun pembatasan yang akan terjadi antara masyarakat Desa Sungai Limau dengan masyarakat Kampung Sungai Pukul akan mengalami pembatasan ketika aturan lintas negara menjadi ketat sehingga akan mengurangi intensitas interaksi yang selama ini berlangung rutin. Hal ini akan menjadi hambatan menuju proses asimilasi. Sejalan dengan pernyataan Martinez43 yang menyatakan bahwa rasa kepemilikan bersama yang bersumber dari kesamaan asal budaya maupun geografis, dalam melakukan penyesuaian dengan lingkungan sekitarnya, masyarakat tidak sampai merubah inti budaya mereka.

Dalam konteks pertahanan dan Peace & Conflict Resolution bahwa upaya asimilasi yang akan terjadi di antara etnis Timor dengan etnis Bugis merupakan potensi positif dalam upaya memperkuat persatuan di antara masyarakat yang dapat menciptakan kondisi harmoni berkelanjutan, yang dalam hal ini, identitas etnis telah melebur menjadi satu kesatuan. Berbeda halnya dengan upaya asimilasi yang dapat terjadi antara masyarakat berbeda negara (Indonesia-Malaysia), dalam konteks sosiologi mampu menciptakan kondisi harmonis dalam jangka panjang. Masyarakat perbatasan mampu menciptakan kondisi harmonis di level masyarakat tatkala di level negara, antara Malaysia dan Indonesia disibukkan dengan pertentangan-pertentangan dan sengketa kewilayahan yang belum selesai hingga saat ini. Dalam aspek pertahanan, upaya asimilasi antara masyarakat berbeda negara ini dalam jangka panjang dapat menjadi ancaman berupa kaburnya batas-batas politis kenegaraan karena terjadinya peleburan masyarakat dua negara yang berbeda.

Dapat disimpulkan bahwa hubungan yang asosiatif (Positif) yang merupakan wujud dari interaksi sosial yang ditunjukkan dalam bentuk kerja sama, akomodasi hingga asimilasi antara masyarakat perbatasan menjadi sebuah pembuktian bahwa masyarakat perbatasan di Desa Sungai Limau mampu menciptakan suasana yang kondusif, damai dan harmonis di tengah tantangan kehidupan dan dinamika yang kerap di alami oleh warga perbatasan. Semangat kebersamaan, kekeluargaan dan kebhinnekaan menjadi modal yang dikembangkan oleh masyarakat Desa Sungai Limau untuk mewujudkan kondisi aman dan damai di Desa perbatasan tersebut.

43 Nuraesnaini, op.cit. Jurnal Pertahanan Agustus 2016, Volume 6, Nomor 2 151

Kesimpulan

Interaksi sosial yang terjadi di Desa Sungai Limau, Kecamatan Sebatik Tengah Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara merupakan interaksi sosial yang bersifat asosiatif (Positif) yang mengarah kepada integrasi di dalam masyarakat di tengah perbedaan etnis, agama dan kewarganegaraan. Hal ini ditunjukkan dalam bentuk kerja sama, akomodasi hingga potensi asimilasi antara masyarakat perbatasan yaitu antara pemerintah desa Sungai Limau dengan masyarakat desa Sungai Limau, antara masyarakat pendatang pemula (etnis Bugis) dengan masyarakat pendatang baru (etnis Timor) yang ada di Desa Sungai Limau dan antara masyarakat desa Sungai Limau (Indonesia) dengan Masyarakat Kampung Sungai Pukul (Malaysia). Hal ini menjadi sebuah pembuktian bahwa masyarakat perbatasan di desa Sungai Limau mampu meciptakan suasana yang kondusif, damai dan harmonis di tengah tantangan kehidupan dan dinamika yang kerap di alami oleh warga perbatasan baik antara pemerintah dengan masyarakat, antara sesama masyarakat Indonesia dan antara masyarakat perbatasan berbeda negara. Semangat kebersamaan, kekeluargaan dan kebhinnekaan menjadi modal yang dikembangkan oleh masyarakat Desa Sungai Limau untuk mewujudkan kondisi aman dan damai di Desa perbatasan tersebut.

152 Jurnal Pertahanan Agustus 2016, Volume 6, Nomor 2

Daftar Pustaka

Buku

Ariwibowo, dkk. 2012. Kajian akademis Usulan Daerah Otonomi Baru Kota Sebatik Kalimantan Timur. Surabaya: Universitas Airlangga Arifin, Saru. 2014. Hukum Perbatasan Darat Antarnegara. Jakarta : PT Sinar Grafika Badan Nasional Pengelola Perbatasan. 2011. Desain Besar (Grand Design) Pengelolaan Batas Wilayah Negara Dan Kawasan Perbatasan Tahun 2011-2025. Jakarta: BNPP. Departemen Pertahanan Republik Indonesia. 2008. Buku Putih Pertahanan Indonesia. Jakarta: Departemen Pertahanan. Hadiwijoyo, Suryo Sakti. 2008. Batas Wilayah Negara Indonesia Dimensi, Permasalahan Dan Strategi Penanganan. Yogyakarta: PT Gava Media. Nuraesnaini, Poppy Setiawati. 2013. Adaptasi Nelayan Kawasan Perbatasan di Desa Sei Pancang, Kecamatan Sebatik Utara, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara. Bandung: Universitas Padjajaran. Syarbani, Syahrial. 2012. Konsep Dasar Sosiologi dan Antropologi Teoridan Aplikasi. Jakarta : PT Hartomo Media Pustaka. Soekanto, Soerjono. 2014. Sosiologi Suatu Pengantar, edisi revisi..Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Subagyo, Agus. 2015. Bela Negara, Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi. Yogyakarta: PT Graha Ilmu.

Jurnal

Rahardjo, Sandy Nur Ikfal. 2014. "Pengelolaan lintas Batas Timor Leste-NTT". Jakarta : Universitas Pertahanan. Jurnal Pertahanan. No.1. Vol. 4. Jakarta: Universitas Pertahanan. Sariama, Irma. 2014. "Peran TNI dalam Menegakkan Kedaulatan dan Keamanan di Wilayah Perbatasan Pulau Sebatik". Ejournal Ilmu Hubungan Internasional. Vol. 2. No. 1.

Jurnal Pertahanan Agustus 2016, Volume 6, Nomor 2 153

154 Jurnal Pertahanan Agustus 2016, Volume 6, Nomor 2