Antara Freeport Dan Militer
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Perjuangan Amungme Antara Freeport dan Militer Amiruddin & Aderito Jesus de Soares ELSAM 2003 Perjuangan Amungme: Antara Freeport dan Milter Penulis: Amiruddin dan Aderito Jesus de Soares Editor: M. Mahendra Cover Design Layout Cetakan Pertama: Agustus 2003 Semua penerbitan ELSAM didedikasikan kepada para korban pelanggaran hak asasi manusia selain sebagai bagian dari upaya pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia Penerbit Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Jl. Siaga II No. 31, Pasar Minggu, Jakarta 12510 Telp.: 021 – 797 2662; 7919 2564. Faks: 021-79192519 Email: [email protected] Website: www.elsam.or.id ISBN: Pencetak dan Distributor: Insist Press Yogyakarta Daftar Isi Pengantar Penerbit Kata Pengantar: (oleh Dr. Beny Giay) Bab I PENDAHULUAN Bab II KEHANCURAN DUNIA DAN MITOLOGI AMUNGME Bab III KEHADIRAN FREEPORT YANG MEREPOTKAN Bab IV KONFLIK DAN GEJOLAK SUKU AMUNGME Bab V DERETAN PELANGGARAN HAM TERHADAP WARGA AMUNGME Bab VI DANA SATU PERSEN YANG MEMICU KONFLIK HORIZONTAL Bab VII LEMASA di Kancah Perjuangan Suku Amungme Bab VIII MENGGUGAT KE NEGERI ORANG Perjalanan Gugatan Tom Beanal dan Yosefa Alomang di Amerika Serikat EPILOG (oleh Longgena Ginting) Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 BIBLIOGRAFI Daftar Singkatan A ABRI: Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ACFOA: Australian Council for Overseas Aid AD: Angkatan Darat APBN: Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara APBD: Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah AMDAL: Analisis Mengenai Dampak Lingkungan B Babinsa: Bintara Pembina Desa Bakortranasda: Badan Koordinasi dan Strategi Nasional Banpres: Bantuan Presiden Bappeda: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Bappenas: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional BKPM: Badan Koordinasi Penanaman Modal C CEO: Chief Executive Oficer CIA: Central Intelligence Agency D Dpl: Di atas permukaan laut DPR: Dewan Perwakilan Rakyat DOM: Daerah Operasi Militer DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah E ELSAM: Lembaga Studi dan Advokasi Ham EMC: Ecuadorian Minerals Corporation F FCX: Nama Freeport sebelum menjadi FMCG. FFIJD: Freeport Fund for Irian Jaya Development FITD: Forum Integrated Timika Development FMGC: Freeport McMorant Gold and Copper Inc. G GBT: Gunung Bijih Timur GPK: Gerakan Pengacau Keamanan H HAM: Hak Asasi Manusia I IDT: Inpres Desa Tertinggal IIC: Indocopper Investama Corporation IMET: International Military Education and Training INFID: International NGO Forum on Indonesian Development J JA: January Agreement K KK: Kontrak Karya KKN: Korupsi Kolusi dan Nepotisme Komnas HAM: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Kopkamtib: Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban KSAD: Kepala Staf Angkatan Darat L LEMASA: Lembaga Masyarakat Adat Suku Amungme Lemasko: Lembaga Musyawarah Adat Suku Kamoro LEMOA: Lembaga Musyawarah Adat Moni-Amungme LSM: Lembaga Swadaya Masyarakat LPPS: Lembaga Penelitian dan Pembangunan Sosial M MIT: Massachusetts Institute of Technology MNC: Multi-National Corporation Meninves: Menteri Negara Investasi Mentamben: Menteri Pertambangan dan Energi O OPM: Organisasi Papua Merdeka OPIC: Overseas Private Investment Corporation Ornop: Organisasi nonpemerintah P Pemda: Pemerintah Daerah Pepera: Penentuan Pendapat Rakyat PMA: Penanaman Modal Asing PPN: Pajak Pertambahan Nilai PWT2: Pembangunan Wilayah Timika Terpadu R RTM: Rio Tinto Mineral RTZ: Rio-Tinto Zinc Corporation RT: Rukun Tetangga RW: Rukun Warga S Satgaspam: Satuan Tugas Pengamanan SIPP: Surat Izin Penelitian Pendahuluan T TNI: Tentara Nasional Indonesia TNI-AD: Tentara Nasional Republik Indonesia Angkatan Darat Trikora: Tri Komando Rakyat U UPP: Unit Pelaksana Proyek UKP: Unit Koordinasi Program W WWF: World Wild Fund Walhi: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Y YLBHI: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Pengantar Penerbit Bayangkan apa yang akan terjadi seandainya situs suci umat Islam di Mekkah atau situs suci umat Kristiani di Jerusalem digali oleh perusahaan pertambangan karena tanah di bawahnya mengandung titanium? Seandainya hal itu terjadi, dapat dipastikan jutaan umat Islam dan Kristiani di seluruh dunia akan tersinggung dan marah sejadi-jadinya. Mungkin kejadian itu akan mengantar dunia pada perang dunia ketiga. Pengandaian di atas mungkin dirasa berlebihan untuk menggambarkan apa yang telah terjadi pada situs-situs suci milik suku Amungme di Papua. Namun kenyataannya, kehadiran operasi pertambangan Freeport telah mengakibatkan gunung-gunung yang selama ini sangat mereka sucikan dan keramatkan hancur lebur dan bahkan lenyap dari pandangan mereka. Tentu saja suku Amungme sangat tersingung dan marah. Hanya saja, tidak seperti umat Islam dan Kristiani yang berjumlah jutaan orang dan tersebar di banyak negara sehingga suaranya sangat diperhitungkan, kemarahan suku Amungme nyaris tidak didengar karena jumlah mereka yang relatif sedikit dan lokasi mereka yang terpencil. Selain itu mempertahankan gunung-gunung suci milik mereka mungkin dianggap kalah penting dibandingan hasil emas dan tembaga yang dikeruk Freeport serta dividen, royalti dan pajak yang diperoleh pemerintah Indonesia dari tanah Amungsa. Demikianlah sebagian isi buku ini. Membaca buku ini membantu membuka mata kita akan nasib buruk yang harus dialami suku Amungme sejak 1967. Secara ekonomi-politik, dan sosial- budaya mereka telah dilumpuhkan oleh perusahaan multinasional asal Negara Bagian Lousiana, Amerika Serikat tersebut. Sepak terjang Freeport yang didukung secara penuh oleh pemerintah Indonesia mengejawantahan karakteristik perusahaan multinasional yang hanya rakus menghisap kekayaan alam bumi Indonesia tanpa memperdulikan nasib warga setempat. Kasus Riau menunjukkan hal yang sama. Kehadiran perusahaan-perusahaan multinasional yang menyedot minyak bumi dan gas alam di sana tidak membuat rakyat Riau menjadi makmur. Bahkan Riau termasuk salah satu daerah yang relatif terbelakang dan miskin di Indonesia. Padahal, miliaran dolar AS telah diraup perusahaan-perusahan multinasional dari bumi Riau. Untuk Freeport, alih-alih memakmurkan warga di sekitar pertambangannya, kehadiran mereka justru menghancurkan tatanan sosial dan budaya rakyat dan merusak lingkungan hidup. Yang paling ironis, kehadiran Freeport telah menyebabkan timbulnya tindak kekerasan dan pelanggaran HAM yang mengakibatkan sebagian warga suku Amungme menjadi pengungsi internal di tanah mereka sendiri. Buku ini juga memperlihatkan ketimpangan pembagian keuntungan antara Freeport dan pemerintah Indonesia. Kita tidak pernah tahu dengan pasti berapa sebenarnya keuntungan yang telah diraih Freeport selama ini karena mulai dari operasi penambangan sampai dengan tahap ditribusi dan pemasaran emas dan tembaga produksinya dikuasai penuh oleh Freeport. Belum lagi soal dugaan KKN yang turut mewarnai operasi Freeport yang sangat merugikan negara. Dan suku Amungme pun harus puas menjadi penonton atas kegiatan pengerukan kekayaan alam yang dikandung tanah mereka itu. Namun satu hal yang menarik, buku ini tidak sekadar memaparkan nasib buruk dan jeritan suku Amungme semata melainkan juga berbagai upaya perlawanan mereka. Berbagai upaya tersebut memperlihatkan betapa pentingnya melakukan pengorganisasian dalam melakukan perlawanan. Suku Amungme telah membuktikan, pengorganisasian dan strategi perlawanan yang matang, dan bukan sekadar tindakan sporadis dan pemobilisasian massa, membuat tuntutan mereka didengar oleh Freeport dan pemerintah Indonesia. Singkat kata, apa yang telah dialami suku Amungme wajib dijadikan pelajaran berharga bagi kita semua akan pentingnya mengawasi operasi perusahaan multinasional di seluruh Indonesia agar tidak menimbulkan dampak yang merugikan warga. Selain itu, sudah saatnya kita mempertanyakan manfaat kehadiran mereka: apakah menguntungkan rakyat atau merugikan serta hanya memperkaya segelintir birokrat sipil dan militer Indonesia beserta para kroninya. Bila yang terjadi adalah yang terakhir, tentu saja rakyat wajib dan berhak menolak kehadiran perusahaan multinasional di tanah mereka. Jakarta, Desember 2002 BAB I PENDAHULUAN Banyak orang berasumsi, kehadiran perusahaan pertambangan di suatu daerah niscaya membawa kemajuan terhadap warga di sekitarnya. Asumsi ini lahir dari sebuah pengandaian yang menyatakan, berdiri atau beroperasinya sebuah pertambangan di suatu daerah akan menghadirkan kehidupan yang lebih sejahtera, keamanan yang terjamin, dan kehidupan sosial yang lebih baik. Pemikiran demikian didasarkan pada pandangan bahwa perusahaan pertambangan merupakan agen perubahan sosial-ekonomi bagi masyarakat di sekitar lokasi pertambangan. Asumsinya, perusahaan pertambangan akan membawa serta arus investasi, membongkar isolasi warga, dan membuka akses masyarakat terhadap dunia luar. Dengan kehadiran perusahaan pertambangan, akan dibangun berbagai infrastruktur yang diperlukan masyarakat, seperti jalan, aliran listrik, air bersih, transportasi, dan jaringan komunikasi. Namun, asumsi seperti yang diuraikan di atas, saat ini perlu diubah total. Hal ini disebabkan, hingga saat ini di berbagai lokasi pertambangan di Indonesia, asumsi seperti itu tidak pernah menjadi kenyataan. Dalam kerangka pikir yang demikian itu, satu hal yang perlu ditekankan, tetapi karap kali dilupakan, sebuah perusahaan pertambangan pada hakikatnya adalah pengejawantahan dari sistem ekonomi kapitalistis dunia. Kehadiran Freeport pada dasarnya merupakan penetrasi sistem kapitalisme yang eksploitatif ke dalam kehidupan suku Amungme. Tujuan utama perusahaan pertambangan tidak lain hanyalah mengeksploitasi sumber daya alam dan menaklukkan manusia setempat, baik secara sosial-budaya maupun secara ekonomi-politik.