PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ALKITAB BAHASA PENGINYONGAN: COUNTER HEGEMONI TERHADAP BAHASA JAWA BAKU DI GEREJA GKJ DI WILAYAH BANYUMASAN

OLEH: Probo Kusumo

NIM: 176322012

PEMBIMBING: Dr. Alb. Budi Susanto, S.J.

MAGISTER KAJIAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2020

i

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ALKITAB BAHASA PENGINYONGAN: COUNTER HEGEMONI TERHADAP BAHASA JAWA BAKU DI GEREJA GKJ DI WILAYAH BANYUMASAN

OLEH: Probo Kusumo

NIM: 176322012

PEMBIMBING: Dr. Alb. Budi Susanto, S.J.

MAGISTER KAJIAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2020

i

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Persetujuan Pembimbing

Ujian Tesis

ALKITAB BAHASA PENGII\IYONGAIY: COT]NTER. IdT'GEMONI

TERIIADAP BAHASA JAWA BAI(U DI GEREJA GKJ

DI WILAYAH BANYUMASAI{

,&l${;r$r

Dr. Alb. Budi Susanto" S.J.

Pembimbing

I PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Pengesahan

Tesis

ALKTTAB BAHASA PENGIFI-YONGAN: COUNTER HEGEMOi\-I

TERIIADAP BAIIASA JAWA BAI(U DI GEREJA GKJ

DI WILAYAH B.{I{YUMASAI{

Oleh: Kusumo

Telah Penguji

24

Ketua/Sekretaris:

Anggota

,*g Q'o."- : Dra.

e : Dr. Alb. Budi Susanto, S.J" ffir

10 September 2A20 Pascasarjana

Budi Subanar, S.J.

ilt PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Surat Pernyataan

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul "Alkitab Bahasa Penginyongan: Counter

Hegemoni Terhadap Bahasa Jawa Baku di Gereja GKJ di Wilayah Banyumasan" merupakan hasil karya dan penelitian saya sendiri. Didalam Tesis ini tidak terdapat bagian yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar akademis di suatu perguruan tinggi. Peminjaman karya- karya akdemis lain di dalam tesis adalah semata-semata untuk keperluan ilmiah sebagaimana diacu secara tertulis dalam daftar pustaka.

Yogyakarta, 24 Juli 2020

Probo

IV PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Probo Kusumo

NIM :776322012

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas

Sanata Dharma karyailmiah saya yang berjudul:

ALKITAB BAHASA PENGIFIYONGAII: COUNTER IIEGEMO}{I TERIIADAP

BAIIASA JAWA BAKU DI GEREJA GKJ DI WILAYAH BAI\"YUMASA}I

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pemyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

24luli2019

Yang menyatakan

/L/r

Probo

V PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

KATA PENGANTAR

“Pada mulanya adalah perlawanan”, jargon ini menandai munculnya Kajian Budaya. Melalui tesis ini bahasa “ngapak-ngapak” atau Banyumasan, yang di tesis ini disebut dengan bahasa

Penginyongan, melakukan perlawanan terhadap hegemoni bahasa Jawa Baku. Counter hegemoni ini salah satunya dilakukan melaui penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan.

Sehingga dari hal ini nampak jelas bahwa perlawanan itu terjadi di lingkup gereja, khususnya gereja GKJ di wilayah Banyumasan (Kab. Banyumas, Banjarnegara, Purbalingga, Cilacap dan

Kebumen). Melalui perlawanan ini maka menunjukkan bahwa telah terjadi sebuah relasi kuasa di dalam tubuh gereja GKJ di wilayah Banyumasan, yaitu adanya hegemoni Bahasa Jawa Baku terhadap Bahasa Penginyongan. Dengan demikian maka Alkitab bahasa Penginyongan dapat digunkan sebagai sebuah sarana counter hegemoni terhadap bahasa Jawa Baku di lingkungan gereja GKJ di wilayah Banyumasan.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Romo Budi Susanto yang telah menunjukkan banyak

“pisau bedah” yang akhirnya bisa saya gunakan untuk menyelesaikan penulisan tesis ini. Dan tentunya juga saya ucapkan terima kasih kepada semua dosen IRB yang telah memberikan banyak “strategi” untuk melakukan berbagai macam bentuk perlawanan. Untuk keluargaku yang aku cintai di Klaten (Mama, Vira cantik dan Eyang) terima kasih sudah memberi kebebasan bagiku untuk belajar. Keluarga di Purwokerto (Ibu, mas Bowo dan mba Lies) terima kasih atas dukungan morilnya. Terima kasih kepada GKJ Ketandan tempat pelayananku sebagai seorang Pendeta, baik kepada Majelis Gereja dan juga untuk semua jemaat, yang telah merelakan aku untuk mengurangi kegiatan pelayaanan gerejawi demi menambah banyak wawasan dengan kesempatan studi S2 serta menanggung semua biayanya. Terima kasih untuk saudara-saudaraku para penerjemah Alkitab bahasa Penginyongan di PASEBAN berserta

vi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

seluruh stakeholder yang terlibat di dalamnya yang telah banyak membantu saya dalam hal melihat fenomena yang nyata dan faktual tentang bahasa Penginyongan di wilayah

Banyumasan.

Akhir kata, tesis ini aku persembahkan secara khusus untuk Bapak yang sudah hidup dengan penuh kedamaian di surga bersama Tuhan Yesus, seorang Bapak yang selalu mengarahkan anak-anaknya untuk tetap menggunakan bahasa Penginyongan sebagai bahasa komunikasi sehari-hari. Untuk mbok Sitem, yang hingga saat ini aku belum bisa datang ke pusaranya, yang menjadi pengasuh masa kecilku yang memperkenalkan aku dengan nilai-nilai budaya

Banyumasan. Dan tentunya tidak lupa untuk gereja-gereja, khususnya gereja GKJ di wilayah

Banyumasan, yang saat ini sedang berjuang untuk mengangkat bahasa Penginyongan sebagai bahasa resmi gerejawi berdampingan dengan bahasa Jawa dan Indonesia, kiranya Alkitab yang

“Pada mulanya adalah Firman”, dengan adanya Alkitab bahasa Penginyongan maka keberadaannya dapat menjadi sebuah “Firman yang dapat digunakan untuk melakukan berbagai macam perlawanan”.

vii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ABSTRAK

Relasi Kuasa menjadi sebuah kenyataan yang selalu ada dalam kehidupan ini. Melalui berbagai macam realitas sosial yang terjadi banyak bentuk relasi kuasa yang tercipta, salah satunya adalah melalui bahasa. Relasi kuasa yang demikian oleh Gramsci disebut sebagai hegemoni bahasa.

Hegemoni bahasa dapat terjadi di berbagai tempat, tidak terkecuali di dalam kultur kehidupan orang Jawa melalui bahasa Jawa Baku. Bahasa Jawa Baku sebagai sebuah bahasa konstruksi melahirkan adanya bahasa Ngoko dan Krama yang lalu memunculkan konsep “Kramanisasi” bahasa. “Kramanisasi” inilah yang lalu menjadikan bahasa “nagapak-ngapak” atau

Penginyongan menjadi terhegemoni oleh keberadaan bahasa Jawa Baku. Salah satu hal yang dirasakan adalah ketika terjadi proses penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan.

Gereja GKJ sebagai salah satu gereja yang menggunakan bahasa Jawa Baku sebagai bahasa resmi gerejawi terlihat masih terasa berat untuk menjadikan bahasa Penginyongan sebagai bahasa resmi gerejawi. Tesis ini akan menyoroti sejauh mana peran Alkitab bahasa

Penginyongan sebagai sarana counter hegemoni terhadap hegemoni bahasa Jawa Baku di dalam lingkup gereja GKJ yang berada di daerah Banyumasan.

Kata kunci : Hegemoni Bahasa, Bahasa Jawa Baku, Alkitab Bahasa Penginyongan, Counter

Hegemoni.

viii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

TITLE:

THE OF PENGINYONGAN LANGUAGE: COUNTER HEGEMONY TOWARDS

STANDARD JAVANESE IN GEREJA KRISTEN JAWA IN BANYUMAS REGION

ABSTRACT:

Power relations becomes a reality whisch alwayas exist in life. Through various kind of social reality happening, many power relations are created, one of them is language. This kind of power relation by Gramsci is called language/linguistik hegemony.

Language/linguistik hegemony can occur in every place, including in Javanese’s culture life through Standard Javanese. Standard Javanese as construction language creates the existence of Ngoko and Krama language which appear “Kramanisasi” language concept. This

“Kramanisasi” make “Ngapak-ngapak” or Penginyongan language become hegemonized by the existence of Standard Javanese. One of thing that was felt was the process of the bible of

Penginyongan language translation.

Gereja Kristen Jawa (GKJ) as one of the churches using Standard Javanese as official language as burdened to make Pengiyongan language as the official language of church. This thesis will highlight how far the role of the bible of Penginyongan language as means of counter hegemony of Standard Javanese in the scope of Gereja Kristen Jawa (GKJ) in Banyumas region.

KEYWORDS: Language/Lingusitik Hegemony, Standard Javanese. Kramanisasi, The Bible of Penginyongan Language, Counter Hegemony.

ix

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

DAFTAR ISI

Halaman Judul ...... i

Persetujuan Pembimbing ...... ii

Pengesahan ...... iii

Surat Pernyataan ...... iv

Pernyataan Persetujuan Publikasi ...... v

Kata Pengantar ...... vi

Abstrak ...... viii

Abstract ...... ix

Daftar isi ...... x

BAB I PENDAHULUAN ...... 1

A. Latar Belakang ...... 1

B. Rumusan Permasalahan ...... 32

C. Tujuan Penulisan ...... 33

D. Tinjauan Pustaka ...... 34

E. Kerangka Teori ...... 37

F. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ...... 40

G. Sistematika Penulisan ...... 41

x

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB II RELASI KUASA DALAM PROSES PENERJEMAHAN ALKITAB .... 42

A. Sejarah Perkembangan Penerjemahan Alkitab dari masa ke masa dan Sisi

Politisnya ...... 42

1. Tahun 200 s.M. – 400 M...... 44

2. Tahun 400 M. – 1500 M...... 45

3. Tahun 1500 M. – 1960 M...... 46

4. Tahun 1960 M. - sekarang ...... 49

B. Sejarah Perkembangan Penerjemahan Alkitab di Indonesia & Sisi Politisnya 50

1. Periode pertama (1629 – 1811: era VOC – kedatangan Thomas Raffles) 53

a. Penerjemahan Alkitab bahasa Portugis ...... 53

b. Penerjemahan Alkitab dalam bahasa Melayu ...... 55

i. Injil Matius terjemahan Ruyl (1629) ...... 56

ii. Perjanjian Baru terjemahan Brouwerious (1668) ...... 57

iii. Alkitab Terjemahan Leijdecker (1733) ...... 58

2. Periode kedua (1811 – 1950: era Thomas Raffles–era Indonesia merdeka) 59

a. Revisi Terjemahan Alkitab Bahasa Melayu ...... 61

i. Revisi Terjemahan Liejdecker ...... 61

ii. Alkitab terjemahan Klinkert (1879) ...... 63

iii. Alkitab terjemahan Shellabear (1912) ...... 64

iv. Perjanjian Baru terjemahan Bode (1938) ...... 65

b. Alkitab Bahasa Daerah (Bahasa Ibu) ...... 66

i. Bahasa Jawa ...... 67

a) Terjemahan Bruckner ...... 67

b) Terjemahan Gericke ...... 69

c) Terjemahan P. Jans ...... 72

xi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ii. Bahasa Batak (Toba) ...... 75

a) Terjemahan Tuuk ...... 76

b) Terjemahan Nommensen dan Johannsen ...... 77

c. Alkitab Bahasa Simalungun ...... 79

3. Periode ketiga (1950 – sekarang) ...... 81

a. Penerjemahan Alkitab Bahasa Indonesia ...... 83

i. Terjemahan Lama (Terjemahan masa peralihan): 1958 ...... 83

ii. Perjanjian Baru terjemahan Gereja Katholik: 1964 ...... 84

iii. Terjemahan Baru: 1974 ...... 84

iv. Bahasa Indonesia Sehari-hari : 1985 ...... 85

b. Bahasa Daerah ...... 86

C. Relasi Kuasa Dalam Penerjemahan Alkitab ...... 89

BAB III HEGEMONI BAHASA JAWA BAKU TERHADAP PROSES

PENERJEMAHAN ALKITAB BAHASA PENGINYONGAN ...... 94

A. Hegemoni ...... 94

B. Hegemoni Bahasa ...... 102

C. Sejarah Perkembangan Bahasa Jawa ...... 112

D. Konstruksi Bahasa Jawa Baku ...... 119

1. Bermula dari kolonialisme ...... 119

2. Konsep Kuasa Barat Modern (Kontemporer) dan Jawa ...... 121

a. Konsep Kuasa Barat Modern ...... 122

b. Konsep Kuasa Jawa ...... 123

3. Konstruksi bahasa Jawa “Baku” sebagai “pemersatu” konsep kuasa Barat

modern dan Jawa...... 124

4. Pertentangan terhadap bahasa Jawa Baku (ngoko-krama)...... 131

xii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

E. Hegemoni Bahasa Jawa “Baku” Terhadap Bahasa Penginyongan...... 134

1. Dari teks hingga audio-visual (karya-karya Ahmad Tohari) ...... 134

a. Novel “Ronggeng Dukuh Paruk” (Versi bahasa Banyumasan) ...... 136

b. Novel RDP versi bahasa Indonesia...... 150

c. Film “Sang Penari” ...... 153

2. Penerjemahan Alkitab bahasa “Penginyongan” ...... 155

a. Sejarah singkat Paseban ...... 156

b. Bermula dari adanya sebuah “kebutuhan” (Cerita tentang Rasiwen) 160

c. Dilakukan oleh orang-orang “awam” ...... 162

F. Hegemoni Bahasa Jawa Baku terhadap proses penerjemahan Alkitab bahasa

Penginyongan...... 166

G. Data Penelitian ...... 173

H. Hegemoni Bahasa melalui Kramanisasi ...... 185

1. Kuasa Kata ...... 188

2. Bahasa kosong ...... 200

BAB IV COUNTER HEGEMONI TERHADAP BAHASA JAWA BAKU

MELALUI PENERJEMAHAN ALKITAB BAHASA PENGINYONGAN 213

A. Counter Hegemoni terhadap “kuasa kata” & “bahasa kosong” ...... 213

1. Konsep Counter Hegemoni Gramsci ...... 214

a. Intelektual Organik ...... 215

b. Good Sense ...... 220

c. Perang Posisi ...... 225

2. Counter Hegemoni terhadap “Kuasa Kata” & “Bahasa Kosong” Melalui

Konten Media Internet. (Studi Kasus konten “Bocah Ngapa(k) Ya!”) ...... 234

a. Counter Hegemoni terhadap Kuasa Kata ...... 235

xiii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

b. Counter Hegemoni terhadap Bahasa Kosong ...... 241

B. Penerjemahan Alkitab bahasa Panginyongan sebagai sarana Counter Hegemoni

terhadap “Kuasa Kata” & “Bahasa Kosong” dalam bahasa Jawa Baku...... 246

1. Terbentuknya kaum Intelektual Organik dalam penerjemahan Alkitab

bahasa penginyongan...... 248

2. Penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan melahirkan Good Sense 253

3. Penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan sebagai strategi Perang Posisi 258

BAB V PENUTUP ...... 270

DAFTAR PUSTAKA ...... 276

xiv

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sinode Gereja-gereja Kristen Jawa yang berdiri pada tanggal 17 Februari 1931 di kota

Kebumen adalah sebuah perwujudan dari rasa kebersamaan gereja-gereja Jawa yang

dihasilkan oleh badan zending (misi) Belanda, terutama oleh zending dari gereja-gereja

Gereformed Belanda yang melakukan misinya di wilayah Jawa Tengah bagian selatan.1

Keberadaan Gereja Kristen Jawa mula-mula tentunya tidak bisa dilepaskan dari adanya

komunitas orang Jawa yang telah menjadi Kristen. Dan berdasarkan apa yang dicatat oleh

Wolterbeek, terdapat komunitas orang Kristen Jawa yang tersebar di daerah-daerah, yang

sekarang disebut dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dan komunitas orang Kristen Jawa

di Jawa Tengah bagian selatan pada awalnya bermula dari adanya 9 orang dari daerah

Banyumas yang berprofesi sebagai buruh pabrik rela berjalan menuju Semarang hanya

untuk menerima tanda sakramen baptis pada tanggal 10 Oktober 1858.2 Dimana setelah

dibaptis mereka membentuk sebuah komunitas Kristen Jawa kecil di Banyumas dibawah

asuhan Ny. Philips van Oostrom, seorang Indo-Belanda yang menjadi pengusaha batik di

kota Banyumas yang pada waktu itu menjadi ibukota dari Karesidenan Banyumas.3

1 S.H. Soekotjo, Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa (Jilid I): Di Bawah Bayang-bayang Zending (1858-1948), Taman Pustaka Kristen, Yogyakarta, 2009, hal 379. 2 J.D. Wolterbeek, Babad Zending di Pulau Jawa, Taman Pustaka Kristen, Yogyakarta, 1995, hal 35. 3 Karesidenan adalah daerah administratif masa pemerintah kolonial Hindia-Belanda (dimulai tahun 1830) yang terdiri dari beberapa kabupaten, dimana eks Karesidenan Banyumas sekarang menjadi 4 Kabupaten yaitu: Banyumas, Cilacap, Purbalingga dan Banjarnegara. Band: Yustina Hastrini Nuwanti dkk, Sejarah Perkembangan Ekonomi dan Kebudayaan di Banyumas (Masa Gandasubrata tahun 1913-1942), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal kebudayaan Balai Pelestarian Nilai Budaya, Yogyakarta, 2015, hal 17-18; lih. juga Ahmad Tohari, Jejak Tradisi Jawa Kuna Dalam Kebudayaan Jawa Banyumasan; dalam buku “Kongres Kebudayaan Jawa II”, 2018, hal 140. 1

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Melihat keberadaan Gereja Kristen Jawa (GKJ) yang bermula dari daerah Banyumas maka

tentunya keberadaannya tidak bisa terlepas dari tradisi atau budaya Banyumasan, salah

satunya yaitu perihal bahasa lokal. Namun perihal bahasa lokal ini sepertinya tidak

menjadi perhatian yang utama bagi kelancaran jalannya misi zending dari gereja

Gereformed Belanda yang bertugas di daerah Banyumasan. Menurut catatan pendeta

utusan Belanda yang ditugaskan di daerah Banyumas yaitu Pdt. Ruijssenaers, mengatakan

bahwa perkembangan misi di Banyumas mengalami kendala karena para guru Injil yang

berasala dari kaum pribumi tidak menggunakan “bahasa jawanya sendiri” sebagai acuan

didalam melakukan tugas misinya.4 Hal ini dikarenakan pada waktu itu bahasa yang

digunakan adalah bahasa Melayu dan bahasa Jawa, hal ini terkait dengan keberadaan

Alkitab bahasa Melayu dan Jawa. Terkhusus untuk bahsa Jawa tentunya adalah bahasa

Jawa yang digunakan sebagai bahasa Alkitab, dimana bahasa jawa tersebut yang dipakai

adalah gaya Jogja-Solo bukan dengan bahasa Jawa khas Banyumasan yang oleh

Pdt. Ruijssenaers disebut sebagai “bahasa jawanya sendiri”.

Penggunaan bahasa Jawa gaya Solo-Jogja ini sepertinya dipengaruhi oleh karena gaya

pendekatan yang dilakukan badan misi kepada para bangsawan Jawa (keraton) untuk bisa

membantu jalannya misi di wilayah tersebut. Walaupun pada akhirnya para bangsawan

Jawa tersebut tidak tertarik dengan hal tersebut, akan tetapi paling tidak para bangsawan

Jawa tersebut akhirnya menghibahkan tanah mereka untuk pembangunan rumah sakit baik

di Jogja maupun di Solo, demikian juga dengan sekolah-sekolah yang didirikan zending

juga banyak difasilitasi dari pihak keraton.5 Dari rumah sakit dan sekolah inilah yang

akhirnya melahirkan orang-orang Kristen Jawa sehingga pada nantinya tokoh-tokoh awal

dari gereja GKJ adalah mereka yang bekerja sebagai tenaga kesehatan dan pendidikan.

4 J.D. Wolterbeek, Babad Zending di Pulau Jawa, Taman Pustaka Kristen, Yogyakarta, 1995, hal 190. 5 Th. Sumartana, Mission at the Crossroads, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1993, hal 98-99. 2

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Selain itu murid-murid yang telah menjadi Kristen juga banyak yang menjadi “priyayi”

baru karena sebagain besar dari mereka yang bersekolah pada nantinya bekerja sebagai

Pamong Praja.

Dari situlah maka misi zending di awal pendirian gereja GKJ banyak dipengaruhi oleh

keberadaan golongan priyayi,6 walaupun sebenarnya pada awalnya adalah kalangan kelas

bawah terlebih dahululah yang menjadi Kristen, terutama mereka yang bekerja sebagai

pembantu di rumah para keluarga misionaris.7 Berkaitan dengan golongan priyayi, Pdt.

Darmohatmojo mengatakan bahwa jemaat GKJ bukan hanya berisi orang kebanyakan saja

akan tetapi juga berisi golongan bangsawan, pegawai dan intelektual.8 Dengan hal tersebut

Pdt. Darmohatmojo sebenarnya sedang menentang pandangan bahwa orang Kristen Jawa

adalah orang Jawa rendahan.

Dari hal tersebut maka terjadilah penyesuaian diri dengan kemasyarakatan jawa,

khususnya dalam hal bahasa dimana akhirnya keberadaan bahasa Jawa gaya Jogja-Solo

yang dianggap sebagai bahasa yang adiluhung lalu digunakan sebagai bahasa resmi

gerejawi GKJ.9 Dengan hal demikianlah yang lalu menyebabkan bahasa Jawa gaya lain

menjadi tersingkirkan, salah satunya adalah bahasa Jawa gaya Banyumasan. Melihat hal

6 Ibid hal 100 - Sumartana menyebut dua nama yaitu Pangeran Nototaruno dari keluarga Pakualaman dan Cephas (seorang fotografer profesional dari kalangan pribumi). Band. Ds. J. Darmoatmojo, Djemaat Kristen Gondokusuman Empat Puluh Tahun 7 Ibid hal 99 8 Yang dimaksud golongan Priyayi dari golongan Kristen Jawa adalah : - Cephas (Kassian Cephas) adalah seorang Jawa yang bisa berbahasa Belanda, Inggris dan perancis serta berprofesi sebagai seorang fotografer yang bekerja untuk Keraton Jogja. (Ds. J. Darmoatmojo, Djemaat Kristen Gondokusuman Empat Puluh Tahun, hal 28-30). - Pangeran Nototaroeno dari Puri Pakualaman yang dibaptis bersama dengan 3 putranya di Karangjasa oleh Pdt. Wilhem pada tanggal 30 Mei 1887. (Ds. J. Darmoatmojo, Djemaat Kristen Gondokusuman Empat Puluh Tahun, hal 30-31; band. juga dengan M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern: 1200-2008, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2008, hal 277) - Guru-guru Injil yang diangkat dari kalangan pribumi yang terpelajar dan mempunyai “nama” di desanya. (Ds. J. Darmoatmojo, Djemaat Kristen Gondokusuman Empat Puluh Tahun, hal 33-34) 9 Hadi Purnomo & M. Suprihadi Sastrosupono, Gereja-gereja Kristen Jawa: Benih Yang Tumbuh dan Berkembang di tanah Jawa, Taman Pustaka Kristen, Yogyakarta, 1986, hal 30. 3

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

tersebut maka sebenarnya telah terjadi sebuah relasi kuasa di dalam tubuh gereja GKJ,

khususnya dalam relasi kuasa bahasa.

Terkait dengan realsi kekuasaan, Karl Marx dengan teori basis-suprastruktur menilai

bahwa relasi kekuasaan terjadi pada relasi ekonomi khususnya antara kaum pemilik modal

(kelas majikan) dengan para buruh (kelas pekerja). Terjadinya relasi yang demikian

dikarenakan pengaruh revolusi industri yang terjadi pada tahun 1750-1850 dimana terjadi

perubahan besar-besaran dari bidang pertanian ke industri yang mempengaruhi banyak

aspek kehidupan manusia. Dari pemikiran Karl Marx inilah yang digunakan oleh Lenin

untuk melakukan sebuah revolusi di Rusia yang terkenal dengan sebutan “Revolusi

Bolshevik”.

Apa yang dipikirkan oleh Marx dipertanyakan oleh Antonio Gramsci (1891-1937) yang

menilai bahwa relasi kuasa tidak hanya terjadi pada relasi ekonomi antara kaum majikan

dan kaum buruh saja, akan tetapi juga bisa terjadi pada relasi-relasi lainnya yang

melibatkan antar golongan yang bukan hanya terjadi pada kamu buruh dan kaum majikan

saja. Sesuatu hal yang terjadi di Rusia ternyata tidak serta merta bisa diterapkan di Italia.

Apa yang terjadi pada konteks Italia ternyata memperlihatkan bahwa relasi kekuasaan

tidak hanya terjadi pada relasi ekonomi saja, namun juga bisa terjadi pada relasi-relasi

yang lain, salah satunya yaitu pada relasi bahasa.10

Relasi kuasa bahasa tersebut ditunjukkan oleh Gramsci dengan melihat apa yang terjadi

pada dunia pendidikan di Italia dimana bahasa Latin dan Yunani menjadi bagian yang

sangat penting untuk dipelajari. Bahasa Latin dan Yunani dipelajari dalam rangka untuk

mengetahui peradaban bangsa Yunani dan Roma sebagai sebuah peradaban yang dinilai

10 Antonio Gramsci, Prison Notebooks (Penerjemah: Teguh Wahyu Utomo), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013, hal 51-55. 4

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sebagai awal peradaban modern. Pengistimewaan pada bahasa Latin dan Yunani di dalam

dunia pendidikan akhirnya membuat bahasa Italia sepertinya hanya menjadi bahasa lisan

saja, padahal pada sekitar abad 13 bahasa Italia sudah berkembang menjadi bahasa tulis.11

Hal ini menunjukkan sepertinya bahasa Latin dan Yunani menjadi bahasa yang lebih

“adiluhung” dibandingkan dengan bahasa Italia. Oleh karena itu dengan melihat apa yang

terjadi di Italia, menurut Gramsci, ternyata sebuah relasi kekuasaan juga bisa terjadi

melalui relasi bahasa.12 Dengan ada relasi kekuasaan di dalam bahasa ternyata

“Hegemoni” juga bisa terjadi pada relasi bahasa.

Relasi kekuasaan yang terjadi pada relasi bahasa seringkali menyebabkan sebuah bahasa

mendominasi bahasa-bahasa lainnya. Sebagai contoh adalah penggunaan bahasa Inggris

sebagai “bahasa Internasional” ternyata bukan hanya mendominasi terhadap bahasa negara

lain saja namun juga ternyata menyingkirkan bahasa-bahasa yang ada di daratan Inggris

karena bahasa Inggris yang digunakan sebenarnya adalah dialek East Midland.13

Pemakaian dialek East Midland inilah yang lalu menyingkirkan dialek-dialek lainnya yang

ada di kepulauan Inggris.

Bahasa Inggris versi East Midland inilah yang lalu dijadikan sebagai bahasa resmi di

wilayah Britania Raya. Bahkan dengan kekuasaan bangsa Inggris di era imperialism

dengan menguasai jalur perdagangan dunia maka bahasa Inggris dijadikan sebagai bahasa

perdagangan. Sehingga melalui jalur perdagangan inilah bahasa Inggris lalu menjadi

bahasa resmi perdagangan dunia. Bahasa Inggris yang digunakan secara resmi di dalam

11 ibid hal 67. 12 S. Jones, “Antonio Gramsci”, Routledge, 2006, hal 37. 13 Norman Fairclough, Language and Power (relasi bahasa, kekuasaan dan ideology), Alih bahasa: Indah Rohmani (Komunitas Ambarawa), Boyan Publishing, Malang, 2003, hal 65. 5

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

aras perdagangan inilah yang oleh Bourdieu disebut sebagai sebuah “standard language”

yang telah dibakukan melalui proses kontruksi bahasa.14

Pengkonstruksian bahasa yang terjadi pada bahasa Inggris, dalam arti tertentu, juga terjadi

pada bahasa Jawa di pulau Jawa. Benedict Anderson (1936-2015) mengungkapkan bahwa

kontruksi bahasa Jawa dirancang oleh pihak Belanda dan Keraton Surakarta sekitar abad

ke-18 yang fokus perhatiannya tertuju pada perkembangan bahasa Krama dan Krama

Inggil yang akhirnya nanti menuju pada proses “Kramanisasi” bahasa Jawa.15 Kramanisasi

inilah yang lalu menghasilkan tataran atau tingkatan bahasa yang lalu sering disebut

sebagai basa krama inggil, krama madya dan ngoko. Tingkatan bahasa inilah yang lalu

menyebabkan terjadinya “kasta” di dalam pengguanaan bahasa di antara kaum ningrat dan

rakyat biasa, dimana rakyat biasa harus menggunakan bahasa “Krama” ketika berbicara

dengan kaum ningrat sedangkan sebaliknya bagi kaum ningrat ketika berbicara dengan

rakyat biasa cukup hanya berbicara dengan bahasa “ngoko” saja. Dari cara berbahasa

inilah yang lalu menjadi simbol kekuasaan Keraton terhadap rakyatnya.

Model kekuasaan yang demikian yang lalu juga diterapkan di wilayah Banyumas yang

pada waktu itu menjadi bagian daerah dari Keraton yang disebut sebagai daerah

Mancanegari Kulon.16 Dan ketika para utusan dari Keraton datang ke daerah Banyumasan

maka merekapun menggunakan cara berbahasa dengan gaya Solo-Jogja yang

menggunakan model “Krama-Ngoko”.17 Sehingga dari gaya bicara mereka ini maka

orang-orang Banyumas menyebut mereka sedang berbicara dengan gaya “Gandhek”

14 Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power, Harvard University Press, Cambridge, 1991, hal 46-48. 15 Benedict Anderson, Kuasa Kata (Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia), Mata Bangsa, Yogyakarta, 2000, Hal 432-437. 16 Yustina Hastrini Nuwanti dkk, Sejaraha Perkembangan Ekonomi dan Kebudayaan di Banyumas (Masa Gandasubrata tahun 1913-1942), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal kebudayaan Balai Pelestarian Nilai Budaya, Yogyakarta, 2015, hal 17. 17 6

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

karena mereka yang datang adalah para gandhek atau pembantu Keraton.18 Dari kata

“gandhek” inilah orang-orang Banyumasan menyebut dengan istilah bahasa

“Bandhekan”.19 Bahasa Jawa gaya “Bandhek” inilah yang lalu ditetapkan sebaga sebuah

bahasa resmi sejak era Kerajaan Pajang sehingga seluruh wilayah Pajang kemudian harus

menggunakan gaya bahasa tersebut,20 dari sinilah mulai dirintis bentuk Bahasa Jawa

Krama dimana nantinya lebih ditindaklanjuti secara intensif pada zaman Kerajaan

Mataram Islam.21

Gaya bahasa Jawa yang demikianlah yang yang lalu dipakai sebagai bahasa “resmi” orang

Jawa, maka muncullah istilah “bahasa Jawa Baku”.22 Istilah “Bahasa Jawa Baku” sendiri

digunakan untuk membedakan bahasa Jawa gaya Keraton (Jogja-Solo) dengan bahasa

Jawa yang digunakan di luar Keraton, sehingga dengan hal tersebut sebenarnya sedang

menunjukkan akan adanya perbedaan variasi pemakaian bahasa yang disebut dialek.23

Secara umum, Praptama Baryadi membedakan dialek menjadi 2 yaitu dialek geografi dan

dialek sosial. Dialek geografi adalah dialek yang ditentukan oleh perbedaan wilayah,

sedangkan dialek sosial adalah dialek yang disebabkan perbedaan kelompok sosial

penutur. Dari sini terlihat sebenarnya dialek Banyumasan sebenarnya adalah dialek yang

dipengaruhi oleh perbedaan wilayah atau dialek geografi.24

Namun berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Drs. Mukidi Adisumarto pada tahun

1986, dikatakan bahwa Bahasa Jawa Baku di daerah Banyumasan digunakan pada

khususnya pada peristiwa atau suasana resmi serta digunakan sebagai bahasa pengantar di

18 Budiono Herusatoto, Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak, LKiS, Yogyakarta, 2008, hal 135-138 19 ibid hal 133 20 Ibid hal 138 21 Ibid hal 162 22 Ibid hal 159-161 23 I. Praptomo Baryadi dkk, Tata Bahasa Jawa Mutakhir, Kanisius, Yogyakarta, 2006, hal 13 24 Ibid hal 17 7

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kelas (sekolah) dan juga diajarkan sebagai mata pelajaran bahasa daerah.25 Demikian juga

ternyata masyarakat Banyumas, terutama yang terpelajar, akan menggunakan Bahasa Jawa

Baku jika bertemu atau menerima tamu dari daerah Jogja-Solo, hal ini dikarenkan karena

mereka merasa bahwa Bahasa Jawa Baku dianggap lebih berwibawa.26 Dari hasil

penelitian tersebut memperlihatkan bahwa sebenarnya dialek Jogja-Solo yang lalu

dijadikan sebagai Bahasa Jawa Baku tidak hanya digunakan di wilayah Jogja-Solo saja

akan tetapi juga di wilayah lain. Dengan hal tersebut maka menunjukkan dialek Jogja-Solo

bukan hanya menjadi dialek geografi semata akan tetapi juga menjadi sebuah dialek sosial

dimana penggunaannya dipengaruhi oleh perbedaan kelompok sosial, dimana menurut

Ben Anderson hal ini dikatakan sebagai sebuah “feodalisme semu” masyarakat Jawa

Kolonial (dikatakan terjadi sepanjang tahun 1680-1940).27 Sehingga secara sadar atau

tidak sadar, dalam arti tertentu, sebenarnya telah terjadi sebuah relasi kuasa bahasa

diantara penutur Bahasa Jawa Baku, khususnya di daerah Banyumasan.

Oleh karena itu jika mengacu adanya sebuah relasi kuasa bahasa, maka jika melihat

konsepsi Jawa tentang kekuasaan dibandingkan dengan konsepsi kekuasaan dari

perspektif dunia Barat modern (mulai abad pertengahan) sebenarnya terdapat perbedaan.

Konsepsi dunia Barat menilai bahwa kekuasaan itu abstrak, kekuasaan dapat diturunkan

melalui berbagai sumber, penumpukan kekuasaan tak memiliki batasan inheren, dan

kekuasaan secara moral ambigu.28 Sedangkan konsepsi Jawa tentang kekuasaan adalah

25 Drs. Mukidi Adisumarto, Geografi Dialek Bahasa Jawa Banyumas, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Yogyakarta, 1986, hal 3-4. 26 Ibid hal 16 27 Benedict Anderson, Kuasa Kata (Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia), Mata Bangsa, Yogyakarta, 2000, Hal 436. 28 Ibid hal 44-46. 8

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

konkret, homogen, besarnya kekuasaan konstan atau tetap, dan tanpa implikasi moral yang

inheren29.

Sehingga dari pembedaan tentang konsep kekuasaan ini terlihat bahwa relasi kuasa bahasa

sebenarnya bukanlah sebuah konsepsi kekuasaan Jawa akan tetapi sebuah konsepsi

kekuasaan Barat (Belanda). Dan dengan hasil kontruksi “bahasa Jawa Baku” ini terlihat

bahwa pihak Keraton terlihat “mendompleng” alur kekuasaan dari pihak Belanda terhadap

rakyatnya. Hal ini disebabkan karena memang wibawa Keraton dihadapan rakyatnya

sudah runtuh karena kekalahannya dari pihak Belanda. Oleh karena itu sebenarnya proyek

“Kramanisasi” ini akhirnya juga menguntungkan pihak Keraton untuk mempertahankan

kekuasaannya dihadapan rakyatnya sendiri.

Walaupun pada perjalanannya bahasa Jawa Baku ini juga dilawan oleh orang-orang yang

notabenenya adalah orang penutur dari bahasa itu sendiri yaitu orang Jawa. Ranggawarsita

menggunakan bahasa Jawa menjadi tulisn sastranya yang mengungkapkan kegetiran

budaya yang dia rasakan dengan kata-kata (salah satunya): “Ratune ratu utama......

Parandene tan dadi paliyasing kalabendu”.30 Namun sebaliknya bagi Poebatjaraka pada

masa awal tahun 1900an, dirinya lebih memilih memakai bahasa Belanda untuk melawan

bahasa Jawa karena kehebatan bahasa Belanda adalah kekebalannya terhadap bahasa Jawa,

salah satunya adalah dengan tulisannya yang berjudul “Agastya in den Archipel”.31

Sedangkan pada jaman yang sama denga Poerbatjaraka, orang-orang Samin hanya

menggunakan bahasa Ngoko kepada siapapun, termasuk kepada golongan priyayi sebagai

bentuk perlawanan politik mereka terhadap golongan priyayi yang menjadi kaki tangan

29 Ibid hal 47-49. 30 Benedict Anderson, Kuasa Kata (Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia), Mata Bangsa, Yogyakarta, 2000, Hal 447-480. 31 Ibid hal 450-454 9

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

pemerintah kolonial Belanda.32 Hal demikian juga dilakukan oleh gerakan Djawadipo

yang juga tidak mau menggunakan bahasa Jawa Krama kepada siapapun termasuk kepada

orang-orang Belanda karena mereka menganggap bahwa bahasa Ngoko adalah bahasa asli

dari bahasa Jawa.33 Masih dalam suasana perlawanan terhadap pemerintahan kolonial

Belanda, terutama ketika rasa nasionalisme mulai merebak di Hindia Belanda, bahasa

Melayu menjadi sarana Mas Marcodikrama untuk melawan Belanda,34 dimana hal ini

dikarenakan dunia bahasa Jawa baginya telah ditaklukan oleh bahasa Belanda sehingga

untuk melawan hal tersebut dirinya lalu menggunakan bahasa Melayu dalam berbagai

macam tulisannya.35 Ketika bangsa Indonesia merdeka, Pramoedya seorang pemberontak

terhadap bahasa Jawa, menggunakan bahasa Indonesia sebagai suatu benteng budaya

untuk melancarkan perang terhadap warisannya.36 Dan pada akhirnya pada tahun 1977

(masa Orde baru), seorang anak muda bernama Yudhistira Ardi Noegraha, menulis sebuah

novel berjudul “Arjuna Mencari Cinta”, dimana dengan bahasa Indonesia dia

menunjukkan suara yang menakjubkan luwesnya dan tanpa malu-malu bersikap

seenaknya.37

Dari sekian banyak sikap terhadap bahasa Jawa yang demikian itulah, Ben Anderson

mengatakan bahwa “Dari satu sudut ‘sastra Jawa’ telah ‘lenyap’, namun rohnya

gentayangan di sekitar kita – suatu penghormatan tak langsung yang ganjil pada

kekuatannya”.38 Hal demikian juga dirasakan di tanah Sunda (Jawa Barat) dimana para

pengarang Sunda tampaknya ketakutan terhadap bahasa meraka yang bukannya berbahaya

32 Ibid hal 454-455 33 Ibid hal 456-463 34 Rudolf Mrazek, Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di sebuah Koloni, YayasanObor Indonesia, Jakarta, 2006, hal 47. 35 Takashi Shiraishi, Zaman bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Grafiti, Jakarta, 1997, hal 418-420 36 Benedict Anderson, Kuasa Kata (Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia), Mata Bangsa, Yogyakarta, 2000, Hal 463-478. 37 Ibid hal 479-491 38 Ibid hal 491 10

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(dangerous), tetapi dalam bahaya (in danger) kematian karena didesak oleh bahasa

Indonesia dan Jawa.39 Keterdesakan itu salah satunya menimpa pada tradisi “ngalogat” di

pesantren Sunda, dimana pengaruh corak Jawa yang didalamnya juga terdapat pengaruh

bahasa Jawa di tanah Pasundan yang dimulai dari masa masuknya kekuasan kerajaan

Demak yang lalu dilanjutkan oleh Mataram (Islam) dan diteruskan di masa kolonialisasi

Belanda hingga masa Indonesia merdeka.40

Melihat sisi geografis tanah Pasundan dari tanah Mataram, wilayah Banyumas ada di

tengah-tengahnya. Jikalau tanah Pasundan saja terkena pengaruh corak kebudayaan Jawa

(Mataram), maka tentunya daerah Banyumas juga menerima pengaruh yang sama seperti

halnya di tanah Pasundan. Sehingga dengan demikian maka bahasa Jawa juga pada

akhirnya juga mempunyai pengaruh yang besar di daerah Banyumasan.41 Pengaruh bahasa

Jawa inilah yang membuat naskah-naskah yang bercerita tentang “Banyumasan” tidak

sepenuhnya menggunakan bahasa Banyumasan akan tetapi banyak menggunakan bahasa

Jawa, yang akhirnya gaya bahasa Jawa inilah yang pada akhirnya saat ini disebut sebagai

bahasa Jawa Baku yang terpengaruh oleh Kramanisasi.42

Hasil dari konstruksi bahasa Jawa yang demikian (Kramanisasi) ini lalu menghasilkan apa

yang disebut oleh Pemberton sebagai “bahasa Jawa yang benar”.43 Dengan adanya “bahasa

Jawa yang benar” maka menyebabkan bahasa-bahasa yang lain yang ada di wilayah

Mataram seakan-akan tersingkirkan. Dan seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa

dibalik konstruksi bahasa Jawa tersebut mengandung unsure relasi kekuasaan antara pihak

39 Ibid hal 491 40 Iip Dzulkifli Yahya, Tradisi Ngalogat di Pesantren Sunda (Penemuan dan Peneguhan Identitas), dalam: Budi Susanto, S.J (Editor), Politik dan Poskolonialitas di Indonesia, Lembaga Studi Realino & Kanisius, Yogyakarta, 2003, hal 284-288. 41 Sugeng Priyadi, Banyumas: Antara Jawa & Sunda, Mimbar, Semarang, 2002, hal 24-28. 42 Ibid hal 259 43 John Pemberton, On the subyek of “Java”, Mata Bangsa, Yogyakarta, 2003, Hal 105. 11

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

keraton dengan rakyatnya. Proyek kramanisasi yang menghasilkan “Bahasa Jawa yang

benar” inilah yang akhirnya dibakukan menjadi sebuah tata cara berbahasa bagi orang-

orang Jawa. Bahkan bahasa Jawa Baku ini dianggap sebagai “bahasa Jawa yang

beradab”.44

Kontruksi bahasa Jawa Baku, dimana bahasa dialek Jogja-Solo dianggap sebagai “Bahasa

Jawa dialek standar”,45 yang dianggap sebagai “bahasa Jawa yang benar” dan “bahasa

Jawa yang beradab” inilah yang oleh Baryadi Praptomo dikatakan sebagai sebuah

“diskriminasi lingual”.46 Contoh dari sebuah diskriminasi tersebut adalah tentang kata

“makan” dalam untuk bahasa Krama dan Ngoko diucapkan berbeda, yaitu “Dhahar” untuk

tataran Krama nya dan dalam tataran bahasa Ngoko bisa diucapkan dengan “nedha” atau

“mangan”.47 Kata “Dhahar” biasanya ditempel dengan kata “Panjenengan” (“Kamu”

dalam bahasa Krama), dan diucapkan oleh seseorang yang kedudukannya lebih rendah

kepada seseorang yang lebih tinggi kedudukanya. Sedangkan “nedha” ditempel dengan

kata “sampeyan” dan kata “mangan” dengan kata “kowe” (Sampeyan dan kowe adalah

sebutan “kamu” dalam bahasa ngoko) yang diucapkan oleh seseorang yang kedudukannya

lebih tinggi kepada seseorang yang kedudukannya lebih rendah. Dari hal tersebut inilah

maka terlihat bahwa bahasa Jawa Baku memisahkan tutur kata dalam berbahasa di antara

seseorang yang kedudukannya lebih tinggi dengan seseorang yang kedudukannya lebih

rendah. Sehingga dengan demikian maka kata “madang” (makan) dalam bahasa

Banyumasan dan kata “rika” atau “ko” (kamu) tidak digunakan dalam kata Bahasa Jawa

44 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1984, hal 24. 45 I. Praptomo Baryadi dkk, Tata Bahasa Jawa Mutakhir, Kanisius, Yogyakarta, 2006, hal 13 46 I. Praptomo Baryadi, “Bahasa, kekuasaan, dan kekerasan”, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2012, Hal 28. 47 Band. dengan Benedict Anderson, Kuasa Kata (Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia), Mata Bangsa, Yogyakarta, 2000, Hal 442. 12

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Baku. Dimana kedua kata ini, di dalam bahasa Banyumasan, diucapkan kepada siapa saja

tanpa melihat siapa lawan bicaranya.

Padahal praktek berbahasa menurut James Siegel seharusnya terjalin di antara orang-orang

yang tidak saling mencerminkan dan dengan demikian tidak saling menyebabkan rasa

rikuh.48 Namun yang terjadi pada bahasa Jawa Baku yang terjadi adalah seseorang jika

akan berbicara dengan orang lain harus melihat siapa dirinya dan siapa lawan bicaranya.

Dan dengan cara seperti inilah maka di dalam bahasa Jawa Baku lalu terbentuk tingkatan

bahasa dimana seseorang di dalam berbahasa harus bisa menempatkan diri. Oleh karena

itu dengan adanya konstruksi bahasa Jawa Baku yang demikian sebenarnya membentuk

relasi bahasa berdasarkan “cermin’ dan rasa “rikuh”, seperti yang diungkapkan oleh

Siegel.

Pernyataan tersebut diperkuat oleh pendapat seorang budayawan Banyumasan, Ahmad

Tohari, yang mengatakan bahwa bahasa Banyumas adalah sebuah “bahasa” dan bukan

hanya sekedar logat atau “dialek” saja.49 Hal tersebut dikarenakan usia Bahasa

Banyumasan lebih tua dibandingkan dengan Bahasa Jawa yang sudah mengenal tataran

Krama yang oleh dirinya disebut sebagai “Bahasa Jawa Anyar berjenjang” atau “bahasa

Keraton”.50 Oleh karena itu untuk melawan serta menepis anggapan banyak kalangan

tentang bahasa Banyumasan yang dianggap hanya sebagai sebuah logat atau dialek saja,

maka Ahmad Tohari melakukan sebuah perlawanan dengan cara membuat kamus bahasa

Banyumas–Indonesia; menterjemahkan Alquran ke dalam bahasa Banyumasan; serta

menterjemahkan novel tulisannya sendiri yaitu Ronggeng Dukuh Paruk juga ke dalam

48 James Siegel, “Berbahasa” dalam Henri Chambert-Loir, Sadur (Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malayasia), Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2009, hal 342. 49 A. Tohari, Pengantar pada Kamus Banyumas – Indonesia dengan judul “Prelune nguri-uri basa Penginyongan”. 50 Ahmad Tohari, Jejak Tradisi Jawa Kuna Dalam Kebudayaan Jawa Banyumasan; dalam buku “Kongres Kebudayaan Jawa II”, 2018, hal 139-141. 13

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

bahasa Banyumasan. Bahkan melalui Kongres Bahasa Banyumasan, yang diadakan pada

tahun 2014, menghasilkan sebuah poin keputusan bahwa sebutan bahasa Banyumasan

diganti istilahnya dengan sebutan bahasa “Penginyongan”.51

Sebutan bahasa “Penginyongan” ini bertujuan untuk menepis bahwa bahasa Banyumasan

adalah bahasa untuk orang-orang yang berada di wilyah eks Karesidenan Banyumas saja

yaitu Kab. Banyumas, Kab. Cilacap, Kab. Purbalingga dan Kab. Banjarnegara. Hal ini

dikarenakan yang menggunakan bahasa Penginyongan juga terdapat di daerah Kebumen

(eks Karesidenan Kedu). Dengan digunakannya bahasa penginyongan di daerah

Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen maka bahasa Penginyongan

juga seringkali disebut sebagai bahasanya orang-orang “MasBarLingCaKeb” (Banyumas,

Banjarnegara, Purbalingga, Cilacap dan Kebumen).

Terkait dengan apa yang dilakukan oleh Ahmad Tohari, sikap yang sama juga dilakukan

oleh sebuah komunitas yang menamakan dirinya sebagai komunitas PASEBAN

(Paguyuban Senthir Budaya Banyumasan), yang sedang berusaha menterjemahkan

Alkitab ke dalam bahasa Banyumasan/Pengimyongan. Latar belakang penterjemahan ini

dilandasi oleh faktor kebutuhan akan sebuah bahasa lokal yang lebih dapat dimengerti dan

diterima oleh jemaat gereja di wilayah masyarakat yang berbahasa Banyumasan atau

penginyongan. Usaha ini sudah dimulai sejak tahun 2005 dan pada tahun 2015 mereka

sudah berhasil menterjemahan Injil Lukas ke dalam bahasa Banyumasan.

Dengan adanya terjemahan Injil Lukas dalam bahasa Banyumasan atau Penginyongan ini

tentunya membawa angin segar bagi gereja-gereja di wilayah Banyumasan, dan salah

satunya adalah Gereja Kristen Jawa. Sebagai salah satu denominasi gereja yang berlatar

51 Ibid hal 141. 14

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

belakang etnis Jawa tentunya penterjemahan Alkitab ke dalam bahasa lokal tentunya akan

membawa sesuatu hal yang postif di dalam kehidupan menggereja. Selain itu, secara

historis, Gereja Kristen Jawa secara embrional kemunculannya dimulai dari kota

Banyumas pada tahun 1858.52 Dan secara sinodal gereja GKJ berdiri di kota kebumen pada

tahun 1930 yang sekarang disebut sebagai Sinode Gereja-gereja Kristen Jawa.

Dengan kemunculan “bahasa Jawa Baku” sebagai sebuah bahasa resmi di wilayah

kekuasaan Keraton menyebabkan bahasa Jawa yang telah ada sebelum adanya proyek

Kramanisasi ini yaitu bahasa Jawa Kuno (ngoko) akhirnya hanya dianggap sebagai bahasa

kelas dua. Dan salah satu daerah yang masyarakat bahasanya masih sangat dekat dengan

bahasa Jawa Kuno yaitu di daerah Banyumasan.53 Sehingga dengan adaya bahasa Jawa

Baku menyebabkan bahasa Banyumasan dianggap sebagai bahasa kelas dua. Bahkan

karena hal tersebutlah yang akhirnya menyebabkan bahasa Banyumasan hanya dikatakan

sebagai sebuah dialek atau logat saja.54 Logat atau dialek inilah yang lalu sering dikatakan

sebagai dialek atau logat “ngapak-ngapak”.

Menyikapi penilaian tentang bahasa Banyumasan yang hanya disebut sebagai sebuah

dialek atau logat saja maka seorang akademisi yaitu Prof. Sugeng Priyadi mengatakan

bahwa bahasa Banyumasan sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Esser pada tahun

1927-1929 tergolong sebagai bahasa yang umurnya lebih tua dari bahasa Jawa Baku.55 Hal

senada juga dikatakan oleh Budiono Herusatoto yang mengatakan bahwa “Ngapak-

ngapak” jika dilihat dari sejarah perkembangan kebahasaan Jawa sebenarnya adalah

“bahasa Jawa Asli”.56 Dengan pendapat-pendapat tersebut sebenarnya sedang mengatakan

52 J.D. Wolterbeek, Babad Zending di Tanah Jawa, Taman Pustaka Kristen, Yogyakarta, 1995, hal 35. 53 Budiono Herusatoto, Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa dan Watak, LKiS, Yogyakarta, 2008, hal 121-134 54 Koentjaraningrat, Kebudayaan jawa, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1984, Hal 23. 55 Prof. Dr. Sugeng Priyadi, Menuju Keemasan Banyumas, Pustaka Pelajar, Jakarta,2015, hal 272. 56 Budiono Herusatoto, Banyumas (Sejarah, Budaya, Bahasa dan Watak), LKiS, Yogyakarta, 2008, Hal 142. Sejarah perkembangan kebahasaan Jawa: 15

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

bahwa bahasa Banyumasan bukan hanya sebuah dialek atau logat saja akan tetapi adalah

benar-benar sebuah bahasa.

Namun apa yang terjadi hingga saat ini, khususnya di gereja GKJ, bahwa bahasa

Banyumasan atau Penginyongan belum digunakan sebagai bahasa pengantar di dalam

ibadah gerejawi khususnya gereja GKJ di daerah atau wilayah masyarakat yang berbahasa

Banyumasan atau Penginyongan. Demikian juga dengan Alkitab bahasa Banyumasan

yang saat ini sudah ada juga belum dipakai sebagai bacaan yang dipakai dalam liturgi

ibadah gerejawi di gereja GKJ di wilayah Banyumasan. Tentunya dengan hal tersebut

menimbulkan berbagai macam pertanyaan mengapa bahasa Banyumasan belum dipakai di

dalam ibadah gerejawi di gereja GKJ di daerah atau wilayah masyarakat yang berbahasa

Banyumasan atau Penginyongan.

Bahasa adalah sarana komunikasi yang sangat penting bagi kehidupan manusia karena

dengan berbahasa maka manusia bisa berinteraksi dengan manusia lainnya, dimulai dari

lingkup keluarga, masyarakat, nasional bahkan internasional. Berbahasa adalah salah satu

wujud kebudayaan yang telah berjasa membangun peradaban manusia di dunia ini. Hal ini

dikarenakan bahasa tidak lahir dari kekosongan namun bahasa muncul dari peristiwa

sosio-historis tertentu yang melatarbelakanginya.57

1. Bahasa lisan Jawa Asli (Jawadwipa – Ngoko lugu), yang sekarang lebih populer disebut bahasa Jawa dialek Banyumasan. 2. Bahasa Jawa Kawi (Krama lugu). 3. Bahasa krama dialek gandhekan. 4. Bahasa Jawa Krama Inggil. 57 Fauzi Fashri, “Pierre Boordieu” (Menyingkap Kuasa Simbol), Jalasutra, Yogyakarta, 2014, hal 91. 16

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Kitab Suci dan Politik Penerjemahan

Sebagai salah satu unsure pembentuk kebudayaan maka dengan berbahasa manusia dapat

menunjukkan jatidiri sebenarnya, atau paling tidak bahasa bisa menunjukkan seseorang

berasal dari daerah atau wilayah mana. Dahulu batas sebuah wilayah adalah bahasa,

sehingga ketika seseorang memasuki suatu daerah dan daerah tersebut sudah berbeda

bahasanya maka bisa dikatakan dia sudah berada di wilayah atau daerah lain. Oleh karena

itu dalam perjalanan sejarahnya bahasa dapat dipakai sebagai legitimasi sebuah kekuasaan.

Sebagai contoh bangsa Yunani dengan dunia Hellenistiknya menggunakan bahasa Yunani

(kuno) sebagai bahasa resmi percakapan di wilayah-wilayah yang telah berhasil

ditaklukkan dan dikuasai. Setelah kekuasaan bangsa Yunani lalu dilanjutkan dengan

kekuasaan bangsa Romawi dengan bahasa Latinnya.

Dunia kekristenan yang awal mulanya lahir dari tradisi Yahudi pun merasakan pengaruh

kekuasaan dari bahasa Yunani dan Latin, dimana bahasa Yahudi sebagai sebuah “bahasa

sakral”58 lalu mengalami “penurunan pangkat”59. Di awal kemunculannya pada awal abad

ke-I, orang-orang Kristen masih menggunakan Kitab-kitab orang Yahudi, salah satunya

adalah Taurat. Dan kitab-kitab tersebut tentunya menggunakan bahasa orang Yahudi yaitu

bahasa Ibrani. Dikarenakan penyebaran yang semakin meluas maka kekristenan tidak

hanya tumbuh di wilayah orang Yahudi saja namun juga menyebar ke daerah-daerah yang

menjadi tanah jajahan bangsa Romawi seiring berkembangnya arus diaspora orang-orang

Yahudi. Pada waktu itu bahasa yang digunakan sebagai bahasa pengantar di wilayah

Romawi masih menggunakan bahasa Yunani (kuno).

58 Benedict Anderson, Imagined Communities (komunitas-komunitas terbayang), INSIST & Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008, hal 18-22. 59 Ibid hal 25-27 17

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Lambat laun keturunan para Yahudi diaspora ini sudah tidak fasih lagi berbahasa Ibrani

dan mereka lebih banyak menggunakan bahasa Yunani (kuno) sebagai bahasa komunikasi

mereka. Sehingga pada abad ke-3 untuk memenuhi kebutuhan praktis akan sebuah kitab

suci yang dapat dimengerti sesuai dengan bahasa yang digunakan pada waktu itu maka

muncullah kitab suci terjemahan dalam bahasa Yunani (Kuno) yang dikenal dengan

sebutan Septuaginta.60

Seiring dengan semakin menyebarnya ajaran kekristenan, maka pada abad ke-4 Kaisar

Konstantin mengakui agama Kristen sebagai agama resmi kekaisaran Romawi yang diakui

melalui sebuah edik yang disebut sebagai Edik Milano pada tahun 313.61 Maka dalam

periode ini juga dimulai sebuah proyek yaitu penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Latin

yang nantinya setelah terjemahan ini selesai disebut sebagai Alkitab Vulgata yang artinya

“untuk semua orang”.62

Dengan munculnya Alkitab Vulgata maka sebenarnya semakin mempertegas bagaimana

kekuasaan kekaisaran Romawi yang dimana salah satunya diwujudkan melalui relasi

bahasa. Hingga abad ke-16 otoritas gereja Roma masih menggunakan Alkitab Vulgata ini

sebagai bahasa pengantar ibadah gerejawi. Oleh karena itu pada periode inilah sejarah

gereja mencatat tentang sebuah peristiwa yang disebut dengan “Revolusi Guthenberg”.

Revolusi ini dicatat sebagai sebuah revolusi yang membantu Martin Luther ketika

melakukan sebuah pergerakan di dalam tubuh gereja yang nantinya dikenal sebagai

sebagai gerakan “Reformasi Gereja”.

Pergerakan Martin Luther diawali dengan penempelan tulisannya di gereja Wittenberg

yaitu yang dikenal dengan sebutan “95 dalil”. Tulisan ini lalu menyebar karena pada waktu

60 Weinata Sairin (peny.), Persebaran Firman di Sepanjang Jaman, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1994, hal 62 61 Dr. H. Berkhof, Sejarah Gereja, BPK gunung Mulia, Jakarta, 2009, hal 47 62 Weinata Sairin hal 63. 18

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

itu tulisan tersebut diperbanyak melalui mesin cetak yang dibuat oleh Guthenberg. Dan

melalui mesin cetak inilah Alkitab dalam terjemahan bahasa Jerman, yang diterjemahkan

sendiri oleh Martin Luther, lalu diperbanyak sehingga menyebar ke seantero Jerman.

Penerbitan dan penyebaranluasan Alkitab dalam bahasa Jerman adalah salah satu bentuk

perlawanan Martin Luther kepada otoritas gereja Roma yang “memonopoli” bahasa

Alkitab hanya dengan menggunakan Alkitab versi Vulgata. Perlawanan melalui

penerjemahan Alkitab dalam bahasa Jerman ini sebenarnya hanya dilandasi oleh sebuah

hal yang sangat praktis yaitu supaya teks Alkitab dapat dibaca dan dimengerti oleh

pendengar atau pembacanya sesuai dengan bahasa yang digunakan sehari-hari. Dan

melalui peristiwa inilah maka gereja Protestan sebagai gereja yang lahir karena peritiwa

Reformasi Gereja ini lalu mempunyai semboyan yaitu “Sola Scriptura”.63

Terjemahan dalam bahasa Jerman ini sebenarnya bukanlah terjemahan Alkitab yang

pertama kali menggunakan “Bahasa Ibu” atau bahasa local atau bahasa sehari-sehari

karena sebelumnya sebenarnya sudah ada terjemahan dalam bahasa Inggris yang

diterjemahan oleh Wyclife. Namun terjemahan ini tidak bisa “membumi” karena pada

waktu itu belum ditemukannya sebuah media yang cepat dan efektif untuk

menyebarluaskannya. Setelah penemuan mesin cetak yang dibuat oleh Guthenberg barulah

Alkitab terjemahan ini lebih bisa “membumi”. Sehingga keberhasilan Reformasi Gereja

dengan salah satu hasilnya yaitu penerjemahan Alkitab ke dalam bahsa Jerman sebenarnya

sangat dipengaruhi oleh penemuan mesin cetak ini.64 Dan melalui keberhasilan inilah yang

63 Mangisi S.E. Simorangkir, Ajaran Dua Kerajaan Luther dan Relevansinya di Indonesia, Penerbit satu-satu, Bandung, 2011, hal 382. 64 Benedict Anderson, Imagined Communities (Komunitas-komunitas Terbayang), Pustaka Pelajar & Insist Press, Yogyakarta, 2001, Hal 55-70 19

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

akhirnya mendorong penerjemahan Alkitab ke dalam berbagai macam bahasa local atau

bahasa ibu.

Setelah penerjemahan Alkitab yang dilakukan oleh Martin luther ke dalam bahasa Jerman

lalu memunculkan penerjemahan ke dalam bahasa ibu atau bahasa local yang lainnya. Dan

salah satunya yang bisa dibilang begitu fenomenal yaitu penerjemahan Alkitab ke dalam

bahasa Inggris yang dipersembahkan untuk Raja Inggris yaitu King James pada tahun

1611.65 Oleh karena itu Alkitab ini lalu dikenal sebagai Alkitab “King James Version”.

Dan dari versi Alkitab KJV inilah yang lalu dijadikan dasar oleh Lembaga Alkitab Inggris

untuk menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa local di koloni-koloni Inggris

termasuk di tanah Hindia Belanda.

Daerah Hindia Belanda dalam sejarahnya pernah diserahkan kepada Inggris pada tahun

1811-1816. Bahasa pengantar (khususnya perdagangan) yang digunakan di Hindia

Belanda adalah bahasa Melayu. Sebelum kedatangan Inggris, Alkitab telah diterjemahan

ke dalam bahasa Melayu yang diprakarsai oleh VOC pada tahun 1733.66 Ketika Inggris

berkuasa di tanah Hindia Belanda diutuslah Thomas Raffles untuk membawahi koloni

Inggris di Hindia Belanda ini. Melalui peran Raffles lah maka Alkitab dalam bahasa

local/daerah di Hindia Belanda pertama kali diterjemahkan yaitu Alkitab dalam bahasa

Jawa. Alkitab bahasa Jawa ini diterjemahkan oleh Bruckner dan dicetak di kota

Serampore, India.67

65 Weinata Sairin (peny.), Persebaran Firman di Sepanjang Jaman, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1994, hal 65. 66 Weinata Sairin (peny.), Persebaran Firman di Sepanjang Jaman, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1994, hal 40. 67 Henri Chambert-Loir, Sadur (Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malayasia), Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2009, hal 472. - Band. C. Guillot, Kiai Sadrach: Riwayat Kristenisasi di Jawa (penerjemah: Asvi Warman Adam), PT Grafiti Press, Jakarta, 1985, hal 5 20

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Sebenarnya Alkitab dalam bahasa Jawa sudah diterjemahkan sejak jaman VOC oleh para zendeling Belanda. Namun Alkitab bahasa Jawa ini lalu dimusnahkan oleh pihak VOC yang pada waktu itu tidak memperkenankan para zendeling untuk menyebarluaskan agama

Kristen di tanah Nusantara. Demikian juga dengan Alkitab bahasa Jawa terjemahan

Bruckner, setelah Inggris angkat kaki dari Hindia Belanda, akhirnya disita oleh pihak

Belanda karena dianggap sebagai sesuatu hal yang sensitive dan dapat menganggu kebijakan “rust and order” terutama dalam hal keagamaan. Hal ini dikarenakan, khususnya di tanah Jawa, mayoritas penduduknya sudah menganut agama Islam. Sehingga VOC harus menyita dan memusnahkan Alkitab bahasa Jawa ini supaya tidak menimbulkan gesekan dengan orang-orang Jawa muslim.

Menuju Hegemoni Bahasa Jawa Baku

Namun walaupun sudah banyak Alkitab terjemahan bahasa Jawa yang disita dan dimusnahkan oleh Belanda ternyata masih ada orang-orang Kristen di tanah Jawa, baik itu para zendeling dan orang-orang Eropa yang bekerja di Jawa, masih menyimpan Alkitab bahasa Jawa tersebut secara sembunyi-sembunyi. Sehingga dengan masih adanya Alkitab bahasa Jawa yang disimpan secara sembunyi-sembunyi inilah maka banyak orang-orang

Kristen Eropa yang akhirnya memperkenalkan Alkitab terjemahan bahasa Jawa ini kepada orang-orang pribumi Jawa contohnya Emde dan Coolen di Jawa Timur, Phlilips bersaudara di Banyumas dan Kebumen. Dari orang-orang inilah yang lalu memunculkan tokoh-tokoh Kristen pribumi Jawa seperti Paulus Tosari, Kyai Tunggul Wulung dan Kyai

Sadrach.

21

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Terkait dengan Philips bersaudara dan Kyai Sadrach, mereka adalah orang-orang yang

menjadi tokoh embrional berdirinya Gereja Kristen Jawa. Nyonya Philips von Oostrom

adalah seorang pengusaha batik di kota Banyumas yang berhasil menuntun 9 orang

buruhnya untuk dibapstiskan di Semarang yang dilayani oleh Pdt. Hoezo pada tanggal

10 Oktober 1858.68 Sembilan orang inilah yang lalu menjadi cikal bakal berdirinya GKJ

Banyumas. Dan bisa dikatakan, jika mengacu tulisan Wolterbeek, bahwa Sembilan orang

ini adalah embrional dari sejarah berdirinya GKJ. Sedangkan Kyai Sadrach adalah anak

angkat dari Nyonya Philips Petronela yang dimana dia adalah ipar dari Nyonya Philips

von Oostrom yang bertempat tinggal di Banyumas. Dari Kyai Sadrach lah lalu terbentuk

sebuah komunitas Kristen Jawa di desa Karangjasa, Kutoarjo, yang dinamakan sebagai

Pasamuwan Kristen ingkang Mardiko. Dari komunitas Sadrach inilah lalu lahir dua gereja

yaitu Gereja Kristen Jawa yang pro zending Belanda (NGZV) dan Gereja Kerasulan yang

kontra zending Belanda. Golongan yang pro zending Belanda adalah pengikut Yotham

anak angkat Sadrach sedangkan yang kontra zending Belanda adalah pengikut setia Kyai

Sdarach yang akhirnya menginduk pada gereja Apostoles Inggris.69

Gereja Kristen Jawa yang lahir di tengah-tengah konteks budaya Jawa tentunya

menjadikan gereja ini juga mempunyai arah untuk menjaga kelestarian budaya Jawa di

tengah-tengah kehidupan bergerejanya. Salah satu hal yang dipertahankan untuk tetap

menjaga “kejawaannya” adalah dengan tetap memakai Alkitab bahasa Jawa di dalam

peribadahan gerejawi. Dan ketika Alkitab dalam bahasa Indonesia sudah mulai diterbitkan

pada decade 50-60an ternyata sempat menimbulkan polemik tentang pemakaian Alkitab

bahasa Indonesia dalam peribadahan gerejawi di kalangan GKJ. Salah satu contohnya

68 J.D. Wolterbeek, Babad Zending di Tanah Jawa, Taman Pustaka Kristen, Yogyakarta, 1995, hal 35. 69 C. Guillot, Kiai Sadrach (Riwayat Kristenisasi di Jawa), Grafiti Pers (pent: Asvi Warman Adam), Jakarta, 1985, hal 160 & 166. 22

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

adalah surat dari Majelis GKJ Wirobrajan Yogyakarta yang menyatakan keberatan

jemaatnya kepada Sinode GKJ, dan keberatan ini dicatat dalam Akta Sinode tahun 1967,

perihal pemakaian bahasa Indonesia di dalam peribadahan gerejawi. Dari keberatan yang

disampaikan pada sidang sinode ini GKJ Wirobrajan mengusulkan untuk tetap memakai

bahasa Jawa (Baku) sebagai pengantar di dalam ibadah gerejawi.70

Bahkan polemic ini terus terjadi hingga sekarang dimana golongan yang sudah tua tetap

menginginkan adanya kebaktian atau ibadah menggunakan bahasa Jawa. Sehingga

seringkali terjadi gesekan antara generasi tua (sepuh) dengan generasi yang lebih muda

dikarenakan generasi yang lebih muda lebih nyaman dengan penggunaan bahasa

Indonesia. Sehingga dari polemik tersebut banyak gereja GKJ, khususnya di perkotaan,

mencari jalan tengah dengan mengadakan lebih dari satu kali ibadah (minimal dua kali),

yang satu dengan menggunakan bahasa Jawa dan yang satunya lagi dengan menggunakan

bahasa Indonesia. Namun tidak jarang juga ada gereja GKJ, khususnya yang di pedesaaan,

tetap menggunakan satu bahasa yaitu bahasa Jawa. Sehingga dengan peristiwa di atas

menunjukkan bahwa ternyata penggunaan bahasa selain bahasa Jawa sempat dan masih

menjadi sebuah polemik antara golongan tua dan golongan yang lebih muda di dalam

kehidupan gereja GKJ.

Salah satu unsure pembentuk kebudayaan adalah bahasa. Sehingga kebudayaan Jawa tidak

bisa dilepaskan dari bahasa Jawa. Demikian juga dengan Gereja Kristen Jawa sebagai

gereja yang jemaatnya berbasis pada suku Jawa tentunya tidak bisa dilepaskan dari

identitas kejawaannya sebagaimana termaktub dalam Tata Gereja GKJ Bab I Pasal 1 point

1 tentang identitas GKJ:71

70 Akta Sinode GKJ tahun 1967 tercatat dalam Dr. Pradjarta Dirdjosanjoto, Sumber-sumber tentang Sejarah Gereja Kristen Jawa 1896-1980, Pusat Arsip Sinode GKJ, 2008, Hal 312. 71 Tata Gereja dan Tata Laksana Gereja Kristen Jawa, Sinode Gereja-gereja Kristen Jawa, 2018, hal 9. 23

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

“Gereja Kristen Jawa (GKJ) adalah Gereja yang berada di suatu tempat

tertentu yang bertumbuh dan berkembang dengan tradisi teologis

kristiani yang berjumpa dengan nilai-nilai budaya Jawa”

Dengan definisi identitas GKJ yang demikian maka menunjukkan GKJ tidak bisa

dilepaskan dari budaya Jawa. Dan salah satu wujud dari budaya Jawa adalah bahasa Jawa,

dan bahasa Jawa yang digunakan adalah bahasa Jawa baku. Sehingga dengan pandangan

ini maka melegitimasi bahasa Jawa Baku sebagai bahasa resmi dan standard dipakai

diseluruh gereja GKJ, termasuk di wilayah Banyumasan.

Sebagaimana sudah diketahui bahwa bahasa Jawa Baku mempunyai tingkatan bahasa

yaitu Krama dan Ngoko. Tingkatan bahasa ini, sebagaimana telah dijelaskan oleh

Anderson dan Pemberton, sebenarnya baru digunakan pada jaman kerajaan Mataram

Islam. Sebutan Kerajaan Mataram Islam adalah untuk membedakan dengan Kerajaan

Mataram Hindhu.72 Kerajaan Mataram Islam bermula dari Kerajaan Demak yang

mengalahkan Kerajaan Majapahit. Kerajaan Demak ini lalu pindah ke daerah yang disebut

Pajang maka nama kerajaan ini berganti menjadi Kerajaan Pajang. Dari kerajaan Pajang

inilah yang lalu mendirikan keraton di Kartasura. Peritiwa geger pecinan membuat keraton

dipindah ke desa Sala dan keraton yang baru ini lalu diberi nama Keraton Surakarta

Hadiningrat. Dari Keraton Surakarta Hadiningrat inilah yang lalu memunculkan khasanah

bahasa Jawa yang “dibakukan” ini.73

Namun juga harus diketahui bahwa khasanah bahasa Jawa yang sudah baku ini ternyata

mengandung unsur politis yang berhubungan dengan kekuasaan.74 Kerajaan Mataram

72 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya (Warisan Kerajaaan-kerajaan Konsentris), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hal 35-36. 73John Pemberton, On the Subject of “Java” (terjemahan Indonesia), Mata Bangsa, Yogyakarta, 2003, hal 106 74 Benedict Anderson, Kuasa Kata (Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia), Mata Bangsa, Yogyakarta, 2000, hal 415. 24

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Islam yang akhirnya terpecah-pecah menjadi Keraton Kartasura dengan Kasunanan dan

Mangkunegaran nya, serta Keraton Ngayogyakarta dengan Kasultanan dan Pakualaman nya sebenarnya sudah tidak mempunyai power apapun di hadapan Belanda. Secara politis mereka sudah ditaklukkan oleh Belanda dan harus tunduk kepada Belanda. Dan sebagai wujud legitimasi kekuasaan mereka kepada rakyatnya maka dibuatlah sebuah proyek penyusunan bahasa Jawa yang akhirnya sekarang ini “dibakukan” dengan adanya tingkatan bahasa Krama dan Ngoko.

Tingkatan Krama adalah ucapan yang harus diberikan oleh rakyat, sebagai golongan

“kawula alit”, kepada pihak Keraton sebagai “panggedhe” mereka. Sedangkan pihak

Keraton cukup menggunakan bahasa tingkatan Ngoko saja ketika berbicara dengan rakyatnya. Sedangkan untuk bahasa yang digunakan oleh orang-orang Belanda kepada kaum pribumi, entah itu kepada pihak Keraton maupun rakyat biasa, adalah bahasa Ngoko.

Akan tetapi jika pihak Keraton dan rakyat biasa harus berbicara dengan orang-orang

Belanda dalam bahasa Jawa maka mereka harus menggunakan bahasa Krama. Sehingga dengan tingkatan bahasa Krama dan Ngoko ini menunjukkan bahwa terdapat unsur kekuasaan di dalamnya. Pihak Keraton berusaha tetap berkuasa atas rakyatnya sendiri, sedangkan pihak Belanda semakin menancapkan kekuasaan atas kaum pribumi Jawa baik itu kepada pihak Keraton maupun rakyat biasa. Oleh karena itu dengan proyek

“Kramanisasi” ini maka bisa diklasifikasikan bahwa tingkatan golongan yang terbentuk dari relasi bahasa yaitu: yang pertama adalah pihak Belanda, yang kedua adalah pihak

Keraton dan yang ketiga atau terakhir adalah rakyat biasa.

25

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Hegemoni Bahasa Jawa Baku Terhadap Bahasa Penginyongan

Dengan munculnya bahasa Jawa yang “dibakukan” ini akhirnya juga menyingkirkan

model gaya bahasa Jawa lainnya, (yaitu bahasa Jawa pesisiran di wilayah pantai utara,

bahasa Jawa wetanan di wilayah Jawa Timur dan Banyumasan di wilayah Banyumas)

dengan menyebut gaya bahasa lainnya ini hanya sebagai sebuah logat atau dialek saja.75

Dengan hanya disebut sebagai logat atau dialek berarti gaya bahasa ini tidak diakui sisi

kebahasaannya sebagai sebuah bahasa. Bahkan hanya bahasa Jawa Baku-lah yang disebut

sebagai bahasa resmi dan standar yang lalu disebut sebagai sebuah bahasa yang “Adi

Luhung”.

Terkait dengan perkembangan bahasa Jawa sebenarnya gaya bahasa Banyumasan adalah

gaya bahasa Jawa yang paling dekat dengan bahasa Jawa Kawi atau Jawa Kuno, dimana

hingga sekarang masih mempertahan banyak vokal “a” daripada “o”.76 Sehingga dengan

hanya disebut sebagai dialek atau logat maka sebenarnya telah terjadi apa yang disebut

sebagai sebuah “missing link” terhadap sejarah perkembangan bahasa Jawa.77 Dari hal

inilah maka seringkali bahasa Banyumasan disebut sebagai bahasa “ngapak-ngapak” yang

terkenal sebagai bahasa lawakan.

Sebutan hanya sebagai dialek atau logat yang sering disebut sebagai logat atau dialek

“ngapak-ngapak” inilah yang sekarang digugat oleh para tokoh budaya Banyumasan.

Dengan dalil dari sudut pandang sejarah perkembangan bahasa Jawa, mereka berargumen

bahwa bahasa Banyumasan adalah sebuah bahasa dan bukan hanya sekedar logat atau

75 Syamsul Arifin (penyunting), Tata Bahasa Jawa Mutakhir, Kanisius, Yogyakarta, 2006, hal 13. 76 Ahmad Tohari, Jejak Tradisi Jawa Kuna Dalam Kebudayaan Jawa Banyumasan; dalam kumpulan makalah “Kongres Kebudayaan Jawa II” (Surabaya 21-23 November 2018); (peny) Setya Yuwana, Budi Nuryanta Yohanes, Endah Imawati; Pengarusutamaan Kebudayaan Jawa untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat, hal 139- 144. 77 Budiono Herusatoto, Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa dan Watak, LKiS, Yogayakarta, 2008, hal 143. 26

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dialek. Dan sebutan sebagai bahasa “ngapak-ngapak” juga ditolak dikarenakan sebutan ini

sebenarnya adalah sebuah ejekan. Dan untuk menepis ejekan itu maka saat ini sebutan

untuk istilah bahasa Banyumasan atau ngapak-ngapak sendiri sudah diganti dengan istilah

bahasa “Penginyongan”, dimana pengubahan secara resmi sebutan tersebut dilakukan

melalui Kongres Basa Banyumasan tahun 2014 di Purwokerto.78

Dan untuk mempertegas bahwa bahasa Banyumasan atau Penginyongan adalah sebuah

bahasa serta untuk menunjukkan eksistensinya sebagai sebuah bahasa, Ahmad Tohari dkk

telah membuat kamus bahasa Banyumasan. Bahkan akhirnya Ahmad Tohari sebagai

pengarang dan penulis novel Ronggeng Dukuh Paruk juga menterjemahkan novelnya itu

ke dalam bahasa Banyumasan. Dan walaupun dicetak terbatas namun kehadiran novel ini

dalam bahasa Banyumasan mendapatkan apresiasi yang baik bagi kalangan orang

Banyumasan.

Selain Novel “Ronggeng Dukuh Paruk” ternyata kitab suci Alquran juga sudah

diterjemahkan ke dalam bahasa Banyumas oleh Ahmad Tohari yang keberadaannya telah

diakui oleh Kementerian Agama dan disambut dengan baik oleh jamaah muslim di daerah

Banyumasan. Demikian juga Alkitab juga telah diterjemahkan dalam bahasa Banyumasan

walaupun masih terbatas hanya pada kitab Injil Lukas saja dan kitab lainnya sedang dalam

proses penerjemahan. Melihat sudah adanya kitab suci Alquran dan Alkitab bahasa

Banyumasan tentunya menjadi hal yang sangat menarik karena dengan hal ini jika dilihat

dari kacamata budaya berarti bahasa Banyumasan sedang menunjukkan eksistensi di

berbagai macam lini salah satunya di bidang religi.

78 Ahmad Tohari, Jejak Tradisi Jawa Kuna Dalam Kebudayaan Jawa Banyumasan; dalam kumpulan makalah “Kongres Kebudayaan Jawa II” (Surabaya 21-23 November 2018); (peny) Setya Yuwana, Budi Nuryanta Yohanes, Endah Imawati; Pengarusutamaan Kebudayaan Jawa untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat, hal 143. - Lihat juga pada pengantar pada novel Ronggeng Dukuh Paruk (versi Banyumasan)

27

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Counter Hegemoni Melalui Alkitab Bahasa Penginyongan

Dengan adanya Alkitab bahasa Banyumasan tentunya juga menjadi sesuatu hal yang lebih menarik karena di daerah Banyumasan umat Kristen adalah umat “minoritas”. Umat

Kristen (Protestan) di daerah Banyumasan terdiri dari berbagai macam denominasi gereja, salah satunya adalah gereja GKJ. Sebagai gereja yang keberadaannya berada di daerah

Banyumasan, bahkan daerah ini adalah daerah dimana menjadi embrional berdirinya gereja GKJ, maka dengan hadirnya Alkitab dalam bahasa Banyumas tentunya dapat membawa dampak yang positif bagi gereja GKJ.

Namun yang terjadi sekarang justru seperti “api jauh dari panggang” dikarenakan ternyata gereja GKJ di daerah Banyumasan (MasBarLingCaKeb) belum memanfaatkan Alkitab bahasa Banyumasan secara maksimal, karena pada kenyataannya sekarang ini yang terjadi bahwa gereja GKJ di daerah Banyumasan ternyata belum menggunakan Alkitab

Banyumasan ini pada ibadah gerejawi. Sehingga dengan hal tersebut maka menunjukkan bahwa hingga saat ini penggunaan bahasa Banyumasan/Penginyongan belum dipakai pada peribadahan gerejawi di gereja GKJ.

Penggunaan bahasa pengantar dalam ibadah gereja memang menjadi ranah kebijakan gereja. Namun kebijakan sebuah gereja dalam memutuskan sesuatau memang dipengaruhi oleh model atau bentuk kepemimpinan sebuah gereja dalam hal pengambilan sebuah keputusan atau kebijakan. Dalam kehidupan bergereja paling tidak ada beberapa model bentuk kepemimpinan gereja yang nantinya dari setiap model itu akan berpengaruh terhadap suatu gereja dalam mengambil sebuah keputusan. GKJ sebagai sebuah gereja yang lahir karena peran serta gereja Belanda yang bercorak Calvinis maka prinsip kepemimpinannya juga sama dengan gereja Calvinis yaitu dengan memegang prinsip

28

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kepemimpinan gereja yang berbentuk Presbiterial-Sinodal.79 Dengan prinsip presbiterial

Sinodal maka setiap gereja mandiri atau yang sudah dewasa berhak memutuskan suatu

kebijakan local atas persetujuan Presbiter atau Majelis Gereja (Pendeta, Penatua dan

Diaken) setempat atau lokal. Namun jika suatu keputusan mencakup kebijakan pada

tingkat Klasis atau Sinode maka hal tersebut harus diputuskan dalam sidang Klasis atau

Sinode yang dihadiri oleh para Presbiter yang diutus oleh masing-masing gereja dalam

aras Klasis maupun Sinode.

Sehingga dengan demikian, terkait dengan penggunaan Alkitab bahasa Banyumasan bisa

menjadi sebuah keputusan di aras gereja local, aras klasis maupun sinodal. Dengan prinsip

kepemimpinan yang demikian maka sebenarnya setiap GKJ yang sudah dewasa atau

mandiri berhak mengambil sebuah kebijakan tertentu pada aras gereja local. Namun perlu

dicatat bahwa jika keputusan pada gereja local ini “diprotes” oleh jemaat maka jemaat

berhak membawa keberatannya pada aras Klasis atau Sinode, seperti halnya yang terjadi

pada kasus GKJ Wirobrajan Yogyakarta yang menyatakan keberatannya atas penggunaan

bahasa Indonesia dalam peribadahan gerejawi pada sidang Sinode tahun 1967.

Hal tersebut sampai saat ini masih menjadi sebuah polemic di beberapa gereja GKJ

terutama antara golongan “sepuh” dengan golongan muda.80 Golongan sepuh masih begitu

nyaman dengan penggunaan bahasa Jawa yang menurut mereka adalah bahasa yang

“adiluhung”, sedangkan anak-anak muda lebih memilih bahasa Indonesia dengan alasan

lebih mudah dimengerti. Sehingga untuk menengahi hal tersebut maka saat ini sudah

hampir semua gereja GKJ membagi ibadah gereja menjadi dua bahasa yaitu bahasa Jawa

dan Indonesia.

79 Lihat Tata gereja dan Tata Laksana Gereja Kristen Jawa, hal 9 80 Akta Sidang Sinode tahun 2012. “dari persidangan sinode ini akhirnya memutuskan untuk menterjemahkan Pokok-pokok Ajaran GKJ dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa”. 29

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Namun terlepas dari hal tersebut, sebenarnya GKJ sangat membuka ruang “kearifan lokal” dalam setiap pengambilan keputusan atau sebuah kebijakan. Bukankah bahasa Banyumas adalah sebuah bentuk “kearifan lokal” yang muncul dari sebuah kebudayaan lokal.

Sehingga jika melihat dari sudut pandang kearifan lokal, maka penggunaan Alkitab bahasa

Banyumasan adalah menjadi ranah keputusan gereja GKJ yang berada di daerah

Banyumasan itusendiri. Namun juga harus dipahami bahwa perihal penggunaan Alkitab bahasa Banyumasan ini juga harus dilihat dari kacamata ranah social yang berkembang selama ini di GKJ. Ranah social yang dimaksud tentunya adalah terkait dengan penggunaan bahasa Jawa pada peribadahan di GKJ selama ini dan tentunya juga adalah penggunaan bahasa Jawa di masyarakat yang berkebudayaan Jawa.

GKJ di daerah Banyumasan tidak bisa lepas dari kedua ranah ini. Walaupun berada di daerah Banyumasan yang bahasa sehari-harinya menggunakan bahasa Banyumasan namun di dalam gereja bahasa yang digunakan dalam peribadahan gerejawi adalah bahasa

Jawa Baku. Demikian juga di tengah kehidupan masyarakat, bahasa Jawa Baku juga digunakan pada acara-acara resmi seperti pada pertemuan-pertemuan rapat dari tingkat RT hingga tingkat kabupaten atau pada acara-acara hajatan dari kenduren hingga pernikahan.

Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pengaruh bahasa Jawa Baku memang sangat kuat bagi jemaat gereja GKJ di daerah Banyumasan baik di dalam kehidupan bergereja maupun di dalam kehidupan masyarakat. Terlebih pelajaran bahasa local yang dipelajari di sekolah melalui muatan local (mulok) di daerah Banyumasan adalah pelajaran bahasa Jawa Baku bukan bahasa Banyumasan atau Penginyongan. Sehingga disadari atau tidak disadari bahwa dari generasi ke generasi orang-orang di daerah Banyumasan pun akhirnya menilai bahwa bahasa yang “adi luhung” adalah bahasa Jawa Baku. Sebagaimana mengacu pada penelitian Prof. Sugeng Priadi, seorang akademisi budaya Banyumas, ternyata banyak dari

30

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

orang-orang Banyumasan sendiri yang malu menggunakan bahasa Banyumasan karena

anggapan bahwa bahasa Banyumasan adalah bahasa lawakan.81

Persepsi seperti itu tentunya terbentuk bukan dalam jangka waktu yang pendek namun

sudah berlangsung sejak lama. Penggunaan bahasa Jawa Baku pada kehidupan orang-

orang di daerah Banyumasan ini dapat dikatakan, sebagaimana pendapat I. Praptomo

Baryadi, sebagai “diskriminasi bahasa”.82 Dan diskriminasi bahasa ini muncul dari sebuah

representasi relasi kekuasaan. Representasi relasi kekuasaan ini sebenarnya muncul

dengan menggunakan cara kekerasan. Namun kekerasan ini menggunakan sesuatu hal

yang tidak kentara yaitu dengan menggunakan relasi kekuasaan bahasa. Sikap yang

demikian sebagaimana dikatakan Bourdieu maka kekerasan yang seperti ini adalah wujud

dari kekerasan simbolik.83 Dengan terjadinya kekerasan simbolik melalui relasi bahasa

inilah yang sebenarnya banyak tidak disadari oleh orang-orang Banyumasan sehingga

terciptalah “hegemoni” bahasa Jawa Baku terhadap bahasa Banyumasan.

Hegemoni bahasa Jawa Baku ini dimulai dari sebuah kontruksi bahasa yang dilakukan oleh

pemerintahan kolonial Belanda bekerjasama dengan pihak Keraton sebagai “penguasa”

tanah Jawa pada waktu itu. Sehingga dari uraian di atas setidaknya dapat memberikan

gambaran tentang makna sebuah kekuasaan yang direpresentasikan melalui relasi bahasa

yang dilakukan menggunakan media bahasa Jawa Baku pada kehidupan berjemaat di gereja

GKJ yang berada di daerah masyarakat yang berbahasa Banyumasan. Kekuasaan atau

“hegemoni” pada sebuah komunitas atau masyarakat sebenarnya tidak dibiarkan begitu saja

oleh orang-orang yang merasa “dikuasai” atau” terhegemoni”. Namun harus diakui bahwa

81 Prof, Dr. Sugeng Priyadi, M. Hum, Menuju Keemasan Banyumas, Pustaka Pelajar & SIP Publishing & Universitas MuhammadiyahPurwokerto, Jakarta & Purwokerto, 2015, hal 273. 82 I. Praptomo Baryadi, “Bahasa, Kekuasaan dan Kekerasan”, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2012, hal 28 83 Fauzi Fashri, Bourdieu: Menyingkap Kuasa Simbol, Jalasutra, Yogyakarta, 2014, hal 143 31

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

orang-orang yang merasa “terhegemoni” belum tentu bisa melakukan sebuah “counter

hegemoni”.

Sehingga melalui kehadiran Alkitab dalam bahasa Banyumasan apakah bisa dipakai

sebagai sarana “counter hegemoni” bagi jemaat gereja GKJ di daerah masyarakat yang

berbahasa Banyumasan terhadap kekuasaan yang direpresentasikan melalui relasi bahasa

menggunakan media bahasa Jawa Baku? Demikian juga selanjutnya bagaimana cara

stakeholder-stakeholder di dalam gereja GKJ di daerah Banyumasan di dalam

menggunakan Alkitab bahasa Banyumasan sebagai alat “counter hegemoni” terhadap

kekuasaan yang direpresentasikan melalui relasi bahasa yang menggunakan sarana media

bahasa Jawa Baku di dalam kehidupan bergereja di GKJ?.

B. Rumusan Permasalahan

Penelitian ini akan mengkaji tentang kekuasaan yang direpresentasikan melalui relasi

bahasa menggunakan media bahasa Jawa Baku di dalam kehidupan bergereja di gereja GKJ

di daerah Banyumasan. Ditengah-tengah dominasi bahasa Jawa Baku terhadap bahasa

Banyumasan atau Penginyongan ternyata muncul sebuah fenomena yaitu adanya penerbitan

Alkitab bahasa Banyumasan pada tahun 2015. Dari munculnya Alkitab bahasa Banyumasan

ini justru semakin memperlihatkan bagaimana hegemoni bahasa Jawa Baku terhadap bahasa

Banyumasan di dalam peribadahan gereja GKJ, khususnya GKJ di daerah Banyumasan. Hal

ini dikarenakan ternyata Alkitab terjemahan bahasa Banyumasan itu belum digunakan

sebagai bahasa pengantar ibadah gerejawi khusunya di gereja GKJ. Dengan asumsi-asumsi

yang telah terbangun dari latar belakang permasalahan, selanjutnya penelitian akan

meninjau permasalahan sebagai berikut:

32

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

1. Apakah kehadiran Alkitab bahasa Banyumasan dapat dimaknai sebagai alat “counter

hegemoni” untuk melawan kekuasaan bahasa Jawa Baku di dalam kehidupan bergereja

di gereja GKJ, khususnya yang berada di daerah Banyumasan atau Penginyongan?

2. Bagaimana cara stakeholder-stakeholder yang berada di lingkup gereja GKJ di daerah

Banyumasan atau Penginyongan di dalam menggunakan Alkitab bahasa Banyumasan

sebagai alat “counter hegemoni” untuk melawan kekuasaan bahasa Jawa Baku?

C. Tujuan Penulisan

Dengan melihat permasalahan di atas yaitu tentang kehadiran Alkitab bahasa Banyumasan

di tengah-tengah kekuasaan yang direpresentasikan melalui relasi bahasa dengan

menggunakan media bahasa Jawa Baku di lingkungan gereja GKJ, khususnya GKJ di

daerah Banyumasan, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengindentifikasi dan

menganalisa hal-hal sebagai berikut:

1. Mengungkap dan menganalisa makna kehadiran Alkitab bahasa Penginyongan sebagai

alat “counter hegemoni” melawan kekuasaan bahasa Jawa Baku di dalam kehidupan

bergereja di gereja GKJ, khususnya yang berada di daerah Banyumasan atau

Penginyongan.

2. Menggambarkan bagaimana cara stakeholder-stakeholder (jemaat, gereja local, klasis

dan sinode) yang berada di dalam lingkup gereja GKJ di daerah Banyumasan di

dalam menggunakan Alkitab bahasa Penginyongan sebagai alat “counter hegemoni”

terhadap kekuasaan bahasa Jawa Baku.

Sehingga melalui dua hal tersebut di atas, diharapkan penelitian ini dapat memberikan

kontribusi yang positif dan bermanfaat bagi dunia akademisi dan khususya bagi kehidupan

bergereja di gereja GKJ. Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan sebuah

33

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

paradigma yang membangun tentang kehadiran Alkitab bahasa Banyumas di tengah-tengah

kehidupan bergereja di GKJ. Dengan paradigma yang membangun ini diharapkan tidak lagi

lagi terjadi sebuah kekuasaan yang direpresentasikan melalui relasi bahasa dengan

menggunakan media bahasa Jawa Baku di dalam kehidupan bergereja di gereja GKJ,

khususnya GKJ di daerah Banyumasan.

D. Tinjauan Pustaka.

Hasil penelitian-penelitian tentang konsep kekuasaan yang menggunakan media bahasa

sudah banyak dilakukan dan hal tersebut sangat membantu penulis di dalam melanjutkan

penelitian ini. Karya-karya penelitian tersebut telah banyak membahas tentang konsep

kekuasaan melalui bahasa, khususnya bahasa Jawa, dan telah diterbitkan dalam bentuk

buku. Buku-buku tersebut antara lain adalah: buku “Bahasa, Kekuasaan dan Kekerasan”

karya I. Praptomo Baryadi, buku “Konsep Kekuasaan Jawa” karya Moedjanto, buku “on the

subject of Java” karya Pemberton, dan buku “Kuasa Kata” karya Benedict Anderson.

Sebagian besar buku-buku tersebut di atas terinspirasi dari teori yang diutarakan oleh

Antonio Gramsci tentang “Hegemoni”. Melalui teori hegemoni inilah yang lalu mengarah

pada pendapat Gramsci lainnya yaitu tentang “counter hegemoni”. Oleh karena itu berbagai

macam buku yang ditulis oleh Antonio Gramsci tentunya akan menjadi rujukan dalam

penelitian ini, salah satunya adalah “Prison Notebooks”. Demikian juga dengan tulisan-

tulisan tentang Gramsci yang ditulis oleh berbagai penulis juga akan menjadi rujukan

sepanjang berhubungan dengan tema penelitian ini.

Apa yang menjadi pendapat Gramsci tentang hegemoni pada khususnya seringkali terdapat

titik pertemuan dengan tokoh-tokoh lain yang membahas tentang kekuasaan. Salah satunya

34

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

adalah Pierre Bourdieu, dimana pendapatnya tentang kekerasan simbolik melalui media bahasa dapat menjadi sarana sebuah kekuasaan. Sehingga teori tentang kekerasan simbolis ini juga sedikit banyak akan mempengaruhi penelitian ini, terutama tentang kekerasan simbolis melalui bahasa Jawa Baku. Oleh karena itu maka penelitian ini juga akan sedikit banyak menggunakan buku-buku yang ditulis oleh Bourdieu (Language adan Simbolic

Power) atau para penulis yang menulis tentang teori Bourdieu yang berhubungan dengan bahasa.

Salah satu wujud relasi kekuasaan melalui bahasa Jawa Baku sebenarnya sangat dirasakan oleh masyarakat bahasa Banyumasan. Salah satu akibat dari kekuasaan bahasa Jawa Baku ini adalah diturunkannya tingkat kebahasaan bahasa Banyumasan dari bahasa hanya menjadi sebuah logat atau dialek. Hal ini menimbulkan banyak perdebatan di kalangan budayawan serta akademisi yang berkecimpung pada budaya Banyumasan. Diantara mereka adalah Prof. Sugeng Priyadi dengan buku “Menuju Keemasan Banyumas”, Budiono

Herusatoto dengan buku “Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa dan Watak”, Teguh Triaton dengan buku “Identitas Wong Banyumas”, dan Ahmad Tohari dengan Kamus Bahasa

Banyumasan dan novel “Ronggeng Dukuh Paruk” yang diterjemahkan ke dalam bahasa

Banyumasan sebagai sebuah eksistensi dari bahasa Banyumasan atau Penginyongan.

Berkaitan dengan penterjemahan Alkitab bahasa Jawa banyak menggunakan catatan-catatan dari buku sejarah gereja dan teologi. Diantaranya adalah buku dari seorang akademisi sejarah gereja yaitu Wolterbeek yang berjudul “Babad Zending di Tanah Jawa” dan catatan- catatan dari buku C. Guillot yang berjudul “Kyai Sadrach: Riwayat Kristenisasi di Tanah

Jawa”, serta buku teologi yang khusus membahas tentang penterjemahan Alkitab yaitu

“Persebaran Firman di Sepanjang Jaman” yang diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia yang ditulis oleh banyak penulis.

35

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Sedangkan sesuatu yang terkait dengan Gereja Kristen Jawa akan banyak mengambil dari buku sejarah gereja GKJ serta dari dokumen-dokumen akta persidangan Sinode GKJ.

Selanjutnya dari berbagai macam sumber di atas sebenarnya titik fokusnya mengarah pada

Alkitab bahasa Banyumasan. Dari Alkitab bahasa Banyumasan inilah yang lalu membawa kepada sebuah topic yaitu relasi kuasa bahasa. Maksud dari relasi kuasa bahasa dalam hal ini adalah kekuasaan dengan menggunakan media bahasa Jawa Baku di dalam kehidupan bergereja gereja GKJ di daerah Banyumasan.

Penterjemahan Alkitab ke dalam bahasa local sudah banyak dilakukan di Indonesia, salah satunya adalah penterjemahan Alkitab ke dalam bahasa Simalungun yang peristiwanya ditulis oleh Martin Sinaga dalam sebuah buku dengan judul “Identitas Poskolonial Gereja

Suku dalam Masyarakat Sipil”. Buku ini menulis tentang pandangan poskolonial secara khususnya tentang politik identitas dari kacamata Bhabha, Said dan Spivak. Latar belakang penterjemahan Alkitab bahasa Simalungun dikarenakan pada saat itu jemaat gereja HKBP yang berasal dari Simalungun masih memakai Alkitab bahasa Batak yang notabenenya sebenarnya didominasi oleh bahasa Batak Toba. Jemaat HKBP yang berasal dari

Simalungun menganggap bahwa gereja mereka (HKBP) sedang melakuakan “Tobanisasi” melalui Alkitab bahasa Batak Toba tersebut. Jemaat Simalungun ini merasa bahwa identitas mereka disingkirkan ketika di dalam ibadah mereka harus menggunakan bahasa Toba.

Mereka merasa bahwa bahasa ibu mereka adalah bahasa Simalungu, bukan bahasa Toba.

Oleh karena hal itulah yang lalu mendorong para tokoh jemaat Simalungun, salah satunya adalah Wismar Saragih, lalu mememulai penterjemahan Alkitab dalam bahasa Simalungun.

Bahkan setelah berhasil menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Simalungun lahirlah

Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) yang memisahkan diri dari gereja HKBP.

36

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Hal yang sama sebenarnya terjadi pada GKJ di wilayah Banyumasan yang hingga saat ini

menggunakan bahasa jawa, selain bahasa Indonesia, sebagai bahasa pengantar ibadah

gerejawi. Ketika orang-orang Kristen Simalungun berhasil menterjemahkan Alkitab ke

dalam bahasa Simalungun maka Alkitab tersebut langsung digunakan di dalam ibadah

gerejawi mereka sebagai symbol identitas mereka sebagai orang Simalungan yang berbeda

dengan orang batak Toba, Karo dll. Namun yang terjadi pada Alkitab bahasa Banyumasan

justru sebaliknya, Alkitab tersebut tidak atau belum dipakai di dalam ibadah gerejawi di

GKJ di wilayah Banyumasan. Inilah titik perbedaan yang terjadi antara Alkitab bahasa

Simalungun dan Alkitab bahasa Banyumasan.

Dari hal ini terlihat bahwa di dalam penterjemahan Alkitab bahasa Banyumasan menemui

kendala salah satunya adalah legalitas penggunaannya di dalam ibadah gerejawi khususnya

di gereja GKJ di wilayah Banyumasan. Sebagaimana telah dijelaskan dalam latarbelakang

masalah bahwa permasalahan yang terjadi adalah adanya hegemoni bahasa Jawa Baku

terhadapa bahasa Banyumasan. Oleh karena itu tulisan ini akan berbeda dengan tulisan

Martin Sinaga yang membawa penterjemahan Alkitab Simalungun dalam kacamata politik

identitas, sedangkan tulisan ini akan dilihat dari kacamata “Hegemoni”. Dan sebagai sebuah

perlawanan terhadap sebuah hegemoni maka tulisan ini akan membawa pada sebuah

pandangan dari Gramsci yaitu “Counter Hegemoni”.

E. Kerangka Teori

Pengaruh bahasa pada sebuah kekuasaan memang sangat kuat. Dimana ada kekuasaan disitu

ada permainan bahasa. Ketika Alexander Agung membagi dunia menjadi 2 yaitu dunia

Barat dan Timur yang menjadi batasannya yaitu budaya Hellenistik. Dan budaya hellenistik

37

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

berkaitan erat dengan bahasa Yunani (kuno). Sehingga pada waktu dunia Timur tidak menggunakan bahsa Yunani (kuno) sebagai bahasa komunikasi namun sebaliknya dunia barat yang hellenistik tidak bisa mengelakkan diri harus berbahasa Yunani (kuno). Hal ini juga terjadi ketika Inggris menguasai dunia dengan armada lautnya. Penguasaan wilayah maritime inilah yang membawa bahasa Inggris menjadi bahasa internasional. Terlihat di sini bahwa sang penguasa akhirnya menunjukkan kuasanya melalui bahasa.

Munculnya bahasa Inggris (Internasional) dan Jawa (Baku) bisa dikatakan mempunyai kemiripan, kemiripan ini terjadi bisa karena kebetulan dan juga bisa melalui sebuah alur yang sama. Bahasa Inggris yang saat ini baku secara Internasional sebenarnya dahulu ketika jaman pendudukan Romawi di Britania Raya sebenarnya hanya salah satu bahasa yang digunkan oleh suatu daerah yang sekarang bernama London. Kota yang sekarang disebut

London dahulu sengaja dibangun oleh kekaisaran Romawi sebagai pusat pemerintahan dimana daerah yang agak masuk ke pedalaman itu dihubungkan oleh aliran sungai yang dapat dilalui kapal dari dan menuju ke laut. Sama halnya dengan kota Surakarta yang menjadi salah satu pusat perdagangan VOC juga dibangun di dekat daerah aliran sungai yang juga dapat dilalui oleh kapal dari dan menuju ke laut. Dan dari kota-kota inilah muncul sebuah kekuasaan yang menggunakan media bahasa. London sebagai ibukota Inggris adalah pusat dari “Great Britain”, sedang Surakarta adalah sebagai pusatnya Jawa tempo dulu dengan Keraton Surakarta-nya.

Konteks kekuasaan dan bahasa, khususnya bahasa Jawa, itulah yang dibahas I. Praptomo

Baryadi, Moedjanto, Pemberton, Benedict Anderson. Dan semua tulisan mereka mengacu pada teori kekuasaan yang diusung oleh Gramsci. Dari teori Gramsci lalu bertemu dengan teori Bourdieu tentang kekerasan simbolis. Bourdieu melalui konsep “standard language” juga mengembangkan teorinya ini berangkat dari teori-teori Gramsci.

38

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Dari teori teori kekerasan simbolis inilah ditemukan adanya bentuk kekuasaan melalui media bahasa Jawa (Baku) terhadap masyarakat bahasa Banyumasan. Hal inilah yang menyebabkan bahasa Banyumasan tersingkir dari di daerahnya sendiri, semacam menjadi tamu di rumahnya sendiri. Hal inilah yang membuat para akademisi maupun budayawan

Banyumasan mulai menggali tentang sisi kebahasaan bahasa Banyumasan melalui teks-teks yang mereka tulis. Selain buku-buku yang ditulis tentang bahasa Banyumasan, saat ini ternyata telah diterbitkan Alquran dan Alkitab dalam bahasa Jawa.

Penerbitan terjemahan Alquran dan Alkitab dalam bahasa Banyumasan menunjukkan bahwa sebuah bahasa juga bisa sangat terkait dengan sisi religious. Terkait dengan sisi religious ini paling tidak membawa dampak positif bagi umat muslim yaitu mulai banyak dai-dai atau ulama-ulama muslim yang berkhotbah dengan bahasa Banyumasan, namun untuk sholat dan ngaji tetap memakai bahasa Arab, teks asli bahasa sumber Alquran.

Dengan hal ini paling tidak dengan khotbah yang menggunakan bahasa local apa yang menjadi isi kitab suci bisa tersampaikan.

Namun perlakuan itu tidak terjadi pada Alkitab bahasa Banyumasan yang belum digunakan untuk ibadah gerejawi. Padahal sikap dari umat Muslim dan Kristen menyikapi bahasa kitab suci sangatlah berbeda. Kedua kitab suci ini memang boleh diterjemahkan namun bagi umat

Islam terkait dengan peribadahan seperti sholat, pengajian tidak boleh menggunakan

Alquran terjemahan namun jika hanya sekedar khotbah saja diperbolehkan untuk menggunakan hasil terjemahan. Sedangkan bagi umat Kristen sebenarnya peribadahan gerejawi bisa dilakukan dengan bahasa apa saja demikian juga termasuk khotbahnya namun yang terjadi justru Alkitab bahasa Banyumasan belum dipakai untuk peribadahan gerejawi.

Sehingga dengan belum dipakainya Alkitab Banyumasan di dalam ibadah gerejawi tentunya penggunaan bahasa Banyumasan di dalam ibadah gerejawi juga belum diberlakukan.

39

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Menyikapi peribadahan gerejawi dalam konteks masyarakat bahasa Banyumasan memang

bisa tertuju kepada semua denominasi gereja yang berada di daerah Banyumasan. Namun

jika mengacu pada salah satu perjalanan sebuah gereja yang embrionalnya dimulai dari

wilayah Banyumas tentunya akan lebih menarik untuk diteliti. Dan gereja itu adalah Gereja

Kristen Jawa. Sesuai dengan catatan sejarah GKJ memulai embrionalnya dari kota

Banyumas (lama) dan dari kota inilah lalu memicu berdirinya komunitas Sadrach di

Kutoarjo. Dan dari komunitas Sadrach inilah yang lalu melahirkan sebuah gereja bagi kaum

pribumi Jawa yang lalu perkumpulan gereja bagi kaum Jawa ini melebur menjadi satu di

dalam Sinode Gereja-gereja Kristen Jawa.

Karena konteks kejawaannya inilah maka bahasa Jawa (baku) lah yang digunakan sebagai

bahasa pengantar ibadah yang sebenarnya bahasa Jawa (baku) adalah bahasa yang telah

dikonstruksi oleh penguasa untuk melanggengkan kekuasaanya. Sehingga dari hal ini

memunculkan asumsi bahwa telah terjadi sebuah relasi kuasa yang direpresentasikan

melalui penggunaan media bahasa Jawa Baku di dalam kehidupan bergereja gereja GKJ di

daerah Banyumasan. Oleh karena itu dapat terlihat jelas bahwa relasi kekuasaan tidak hanya

terjadi diantara kaum majikan (pemilik modal) dengan kaum buruh (pekerja) melalui relasi

ekonominya saja, akan tetapi relasi kekuasaan dapat terjadi juga pada relasi-relasi yang

lainnya, salah satunya melalui relasi kuasa bahasa yang terjadi bukan hanya dalam konteks

hubungan ekonomi namun juga terjadi dalam relasi religius.

F. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

Metode pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini akan menggunakan

data dari dua sumber yaitu sumber primer dan sekunder. Sumber primer adalah dengan

40

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

wawancara terkait dengan keberadaan Alkitab bahasa Banyumasan dan pemaknaannya.

Sedangkan sumber sekunder adalah dengan menggunakan teks-teks yang terkait dengan

pemaknaan kehadiran Alkitab bahasa Banyumasan dalam konteks kekuasaan, kekerasan

simbolis, bahasa dan Gereja Kristen Jawa dalam kacamata kajian budaya. Selanjutnya

dalam pengolahan data, baik primer maupun sekunder, akan masuk dalam proses analisa.

Analisa ini menghubungkan antara data primer dan sekunder untuk menjadi sebuah

kekuatan penelitian dalam sudut pandang kajian budaya.

G. Sistematika Penulisan

Penelitian ini akan diberi judul “Alkitab Bahasa Penginyongan: Counter Hegemoni Terhadap Kuasa Bahasa Jawa Baku di Gereja GKJ di Wilayah Banyumas”, dengan sistematika:

Bab I Pendahuluan

Bab II Relasi Kuasa Dalam (proses) Penterjemahan Alkitab (Hubungan bahasa dengan kekuasaan)

Bab III Hegemoni Bahasa Jawa “Baku” Terhadap (proses) Penterjemahan Alkitab Bahasa “Penginyongan”

Bab IV Counter Hegemoni Terhadap Penggunaan Bahasa Jawa Baku di Gereja GKJ

Melalui Penterjemahan Alkitab Bahasa Penginyongan

Bab V Penutup

41

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB II

RELASI KUASA DALAM PROSES PENERJEMAHAN ALKITAB

A. Sejarah Perkembangan Penerjemahan Alkitab dari masa ke masa dan Sisi Politisnya

Alkitab adalah sebuah kitab suci bagi umat agama Kristen yang tersusun melalui sebuah

proses kanonisasi yang lama. Secara ringkas Alkitab terdiri dari 2 bagian yaitu Perjanjian

Lama dan Perjanjian Baru yang semuanya terdiri dari 37 kitab. Perjanjian Lama

sebenarnya adalah kitab suci orang Yahudi yang lalu “diakuisisi” oleh orang-orang

sempalan dari penganut agama Yahudi yang disebut Kristen. Sebutan Perjanjian Lama

mulai disematkan pada kitab suci Ibrani ini baru pada akhir abad ke-2 mengacu pada salah

satu kalimat surat Paulus kepada jemaat di Korintus.84 Di dalam Perjanjian Lama bahasa

yang digunakan adalah bahasa Ibrani dan Aram yang menjadi bahasa pengantar bagi

orang-orang Yahudi. Sedangkan Perjanjian Baru yang ditulis pada jaman kekuasaan

kekaisaran Romawi ditulis dengan menggunakan bahasa Yunani (Koine) yang pada waktu

itu menjadi bahasa pengantar (lingua franca) di wilayah kekaisaran Romawi yang

meneruskan kekuasaan Alexander Agung.85

Dengan berkembangnya bahasa Yunani sebagai lingua franca di seluruh wilayah

kekaisaran Romawi, termasuk di wilayah bangsa Yahudi, maka hal ini mendorong adanya

penerjemahan kitab suci agama Yahudi (Perjanjian Lama) ke dalam bahasa Yunani yang

disebut sebagai Septuaginta. Kitab suci terjemahan ini dibuat untuk orang orang Yahudi

84 Robert B. Coote & Mary P. Coote, “Kuasa, Politik & Proses Pembuatan Alkitab”, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2001, hal 13. 85 Ibid hal 110-124 42

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

diaspora dikarenakan banyak bagian kitab suci bahasa Ibrani yang sudah tidak dimengerti

lagi.86 Demikian juga ketika penggunaan bahasa Yunani mulai digantikan dengan bahasa

Latin, maka Alkitab yang sudah tersusun menjadi dua bagian yaitu PL dan PB akhirnya

juga diterjemahkan ke dalam bahasa latin yang disebut Vulgata.

Ternyata penerjemahan Alkitab tidak hanya berhenti pada bahasa Yunani dan Latin saja

namun juga berkembang ke dalam berbagai bahasa yang ada di dunia yang masih dilakukan

hingga sekarang ini. Penerjemahan Alkitab yang masih terus dilakukan ke dalam berbagai

bahasa hingga saat ini tentunya mempunyai latarbelakangnya masing-masing. Dimulai

dengan terjemahan Septuaginta dan Vulgata saja sebenarnya bisa dilihat bahwa latar

belakang penerjemahan Alkitab ini secara kasat mata karena dipengaruhi oleh faktor

kekuasaan.87 Secara ringkas Alkitab, salah satunya melalui proses penerjemahan, dapat

dihasilkan oleh karena adanya tuntutan-tuntutan akan sebuah legitimasi yang diikuti adanya

pergantian kekuasaan.88 Sehingga bisa dikatakan bahwa proses penerjemahan Alkitab ke

dalam berbagai bahasa juga diikuti dengan adanya sebuah relasi kekuasaan.

Oleh karena itu untuk bisa melihat secara detail sejarah kekuasaan dalam proses

penerjemahan Alkitab, maka harus bisa dilihat terlebih dahulu bagaimana perkembangan

proses penerjemahan Alkitab ini dari masa ke masa. Sehingga supaya bisa tergambarkan

dengan jelasa maka diperlukan semacam periodisasi yang runtut di dalam proses

penerjemahan Alkitab dari masa awal kemunculannya hingga masa kini. Jika dilihat dari

segi sasaran dan fungsi terjemahan Alkitab, secara garis besar, menurut Daud Soesilo

86 Ibid hal 113 87 Ibid hal 3-4 88 Robert B. Coote & Mary P. Coote, “Kuasa, Politik & Proses Pembuatan Alkitab”, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2001, hal 211. 43

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

terdapat empat periode perkembangan proses perkembangan penerjemahan Alkitab,

yaitu:89

1. Tahun 200 s.M. – 400 M.

Dunia kekristenan secara resmi baru muncul pada permulaan abad ke-1 M setelah para

murid Tuhan Yesus dan pengikutnya disebut sebagai “Kristen” untuk pertama kali di

kota Antiokhia.90 Kekristenan lahir dari tradisi agama Yahudi yang sudah memiliki

kitab sucinya sendiri yang disebut Tanakh (, Neviim dan ). Oleh karena

itu ketika kekristenan mulai muncul dari tradisi Yahudi maka kitab suci yang dipakai

pun sama dengan kitab suci yang dipakai oleh para pengikut agama Yahudi

(Yudaisme). Hal ini dikarenakan pada waktu itu kitab suci agama Yahudi juga sudah

diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani sehari-hari (Koine) tiga abad sebelum

kekristenan muncul yaitu pada abad ke-3 s.M.91

Tujuan penerjemahan kitab suci orang Yahudi ini ke dalam bahasa Yunani dikarenakan

pada waktu itu sudah banyak orang-orang Yahudi Diaspora yang tidak fasih berbahasa

Ibrani, bahasa asli yang dipakai pada kitab suci Yahudi.92 Oleh karena itu pada masa

Raja Ptolomeus II (283-246 s.M) memerintahkan untuk menerjemahkan kitab agama

Yahudi ini ke dalam bahasa Yunani dengan tujuan untuk meng “Hellenis” kan orang-

orang Yahudi diaspora melalui kitab suci terjemahan Yunani ini. Terjemahan ini

dikenal dengan sebutan Septuaginta (LXX)

89 - Weinata Sairin (peny), Persebaran Firman di Sepanjang Zaman, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1994, hal 62-66. - lihat juga; Daud H. Soesilo, Mengenal Alkitab Anda, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 1995, hal 26-30 90 Kisah Para Rasul 11:26b “Di Anthiokhia-lah murid-murid itu untuk pertama kalinya disebut Kristen.” 91 Henri Chambert-Loir, “Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia”, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2009, hal 459. 92 Robert B. Coote & Mary P. Coote, “Kuasa, Politik & Proses Pembuatan Alkitab”, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2001, hal 113. 44

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Terjemahan Septuaginta inilah yang lalu dipakai sebagai kitab suci oleh “Gereja mula-

mula” yang anggotanya ternyata bukan hanya dari kalangan orang Yahudi saja, namun

juga dari kalangan non Yahudi. Akan tetapi justru dari hal inilah yang lalu

menyebabkan orang-orang Yahudi yang masih setia kepada Yudaisme tidak mau

memakai kitab suci mereka yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Yunani

(Septuaginta) ini karena mereka merasa bahwa kitab suci mereka sudah tidak murni

lagi. Sehingga untuk mengatasai ini mereka memilih untuk memakai yaitu

kitab suci terjemahan dalam bahasa Aram.

Ketika kekuasaan bangsa Yunani di tanah orang Yahudi mulai memudar dan digantikan

oleh kekuasaan kekaisaran Romawi dimana Yudea hanya menjadi bagian propinsi dari

kekaisaran Romawi pada tahun 70 s.M.93 Selanjutnya pada abad ke-2 M terdapat

terjemahan dalam bahasa Siria; pada abad ke-3 M tersedia terjemahan Koptik; pada

abad ke-4 sudah tersedia terjemahan bahasa Etiopia, Gotik dan Georgia (Kaukasus).

Seiring berkembangnya kekristenan di kekaisaran Romawi ternyata membawa dampak

dimana kekristenan yang tadinya ditentang dan dilawan oleh kekaisaran Romawi

ternyata pada tahun 313 dengan keluarnya Edik Milano maka agama Kristen mulai

diakui sebagai agama kerajaan.94

2. Tahun 400 M. – 1500 M.

Seperti pada saat kekuasaan bangsa Yunani dimana telah muncul Alkitab bahasa

Yunani (Koine) maka di era ini juga dilakukan terjemahan Alkitab dalam bahasa Latin

yang diterjemahan oleh Hieronymus atas perintah Paus, dimana penerjemahan ini harus

dikerjakan berdasarkan teks aslinya.yang nantinya disebut sebagai Vulgata yang

akhirnya digunakan secara resmi di seluruh gereja hingga kurang lebih 1000 tahun

93 Robert B. Coote & Mary P. Coote, “Kuasa, Politik & Proses Pembuatan Alkitab”, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2001, hal 125. 94 Weinata Sairin (peny), “Persebaran Firman di Sepanjang Zaman”, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1994, hal 31. 45

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

lamanya.95 Penerjemahan ini dilakukan atas usul dari Kaisar Roma yang dipengaruhi

oleh Edik Milano (313), Edik Gratianus (380), dan pemisahan administrasi antara

Romawi Barat dan Timur (395).96 Penerjemahan Alkitab ini bertujuan supaya nantinya

hanya ada satu model terjemahan resmi yang diakui gereja sehingga dapat menghindari

munculnya terjemahan-terjemahan lainnya. Dengan adanya satu model penerjemahan

ini saja maka diharapkan arah penafsiran dan pandangan teologis yang diambil dari

Alkitab adalah menjadi otoritas penuh dari pihak gereja.

Namun akhirnya pada abad-abad selanjutnya (mulai abad ke-5 hingga abad ke-14)

ternyata banyak muncul terjemahan-terjemahan Alkitab dalam berbagai bahasa yaitu

bahasa Armenia, Sudan, Arab, Inggris Kuno (Anglo Saxon) Slav, Franks, Perancis,

Spanyol, Italia, Belanda, Polandia, Islandia, Persia, Ceko, Denmark. Akan tetapi

terjemahan-terjemahan tersebut tidak pernah diakui secara resmi oleh gereja. Bahkan

ketika John Wycliffe telah menyelesaikan penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa

Inggris sehari-hari (bukan bahasa Inggris Anglo-Saxon), dia dikecam sebagai orang

sesat oleh otoritas Gereja Roma karena apa yang dilakukannya dianggap tidak lazim.

Bahkan lebih tragisnya akhirnya John Wycliffe dikecam sebagai orang sesat oleh

otoritas gereja Roma. Dan dari peristiwa yang dialami John Wycliffe ini yang lalu

membuat dirinya dianggap sebagai perintis gerakan “Reformasi Gereja”.97

3. Tahun 1500 M. – 1960 M.

Pada periode ini mulai muncul perlawanan terhadap otoritas gereja Roma terhadap

Alkitab. Dimulai dari Tyndale yang merasa bahwa penerjemahan Alkitab harus

berdasarkan eksegesis atau tafsiran si penerjemhan. Oleh karena itu pada tahun 1526

95 Daud H. Soesilo, “Mengenal Alkitab Anda”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, hal 26-27 96 Robert B. Coote & Mary P. Coote, “Kuasa, Politik & Proses Pembuatan Alkitab”, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2001, hal 182, 195, 200. 97 H. Berkhof & I.H. Enklaar, “Sejarah Gereja”, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2009, hal 97 46

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dia melakukan penerjemahan Alkitab yang menghasilkan tafsiran serta pandangan

teologis yang berbeda dengan otoritas gereja. Sehingga karena hal tersebutlah maka

Tyndale dijatuhi hukuman penjara oleh gereja dan setelah itu dihukum mati dengan

dibakar secara hidup-hidup.98

Dalam periode ini, selain peristiwa yang dialami oleh Tyndale, terdapat 2 peristiwa

penting yang sangat mempengaruhi perkembangan penerjemahan Alkitab, yaitu

penemuan mesin cetak yang sering disebut sebagai Revolusi Guthenberg dan

Reformasi gereja (1517) yang digagas oleh Martin Luther.99 Munculnya gerakan ini

dilatarbelakangi tentang adanya penyelewengan-penyelewengan terhadap surat

pengakuan dosa yang diterbitkan oleh otoritas gereja Roma pada waktu itu. Dari hal

inilah yang lalu membuat Martin Luther mempunyai banyak gagasan pandangannya

terhadap gerakan reformasi gereja ini. Dan salah satunya adalah ketika dia merasa

bahwa satu-satunya kewibawaan Firman Tuhan adalah melalui Alkitab. Oleh karena itu

Alkitab harus bisa dimengerti oleh semua orang percaya. Dan supaya isi Firman Tuhan

di dalam Alkitab dapat dimengerti oleh semua orang percaya maka sebaiknya isi

Firman Tuhan ini dapat disampaikan menggunakan bahasa local sehingga lebih mudah

diterima oleh jemaat. Dari pandangan inilah yang lalu menggerakkan Martin Luther

untuk menerjemahkan Alkitab dalam bahasa Jerman yang secara komplit terbit pada

tahun 1534.

Kemunculan Alkitab dalam bahasa Jerman ini juga didukung dengan sudah adanya

penemuan mesin cetak oleh Guthenberg pada abad sebelumnya. Dan penemuan mesin

cetak ini sering disebut sebagai “Revolusi Guthenberg”. Dengan mesin cetak inilah

yang membuat Alkitab bahasa Jerman ini menjadi lebih mudah ketika harus

98 Daud H. Soesilo, “Mengenal Alkitab Anda”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, hal 27. 99 ibid 47

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

diperbanyak, sehingga dalam waktu singkat Alkitab ini sudah bisa beredar di seantero

Jerman. Sehingga dengan ketersediaan yang banyak dan cepat dari Alkitab bahasa

Jerman ini maka jemaat gereja Jerman pada waktu itu tidak hanya bisa mendengarkan

isi dari terjemahan itu saja akan tetapi juga bisa membacanya bahkan memiliki Alkitab

itu. Dari hal inilah yang lalu memunculkan sebuah semboyan dari kaum Reformasi

yaitu “Sola Scriptura”.100

Dan melalui gerakan Reformasi ini sebenarnya kerajaan Prusia, melalui Raja Frederick,

juga sedang “mendompleng” dalam hal melawan otoritas gereja Roma yang merasa

mempunyai hak mencampuri urusan dalam negeri kerajaan Prusia (Jerman).

“Pendomplengan” ini dikarenakan Martin Luther sebagai penggagas gerakan ini

mempunyai pandangan bahwa urusan kerajaan/negara dengan gereja harus dipisahkan

melalui ajarannya tentang “Dua Kerajaan”.101 Oleh karena ada dukungan dari seorang

Raja maka Alkitab ini akhirnya dapat diterima oleh jemaat gereja Jerman yang nanti

pada akhirnya pengikut gerakan reformasi gereja ini disebut sebagai kaum Protestan

yang bertujuan untuk membedakan dengan pengikut gereja Roma.

Reformasi gereja ternyata tidak hanya terjadi di Jerman saja namun juga meluas ke

seluruh Eropa bahkan masuk ke daratan Inggris. Sehingga dengan semangat yang sama

maka atas perintah Raja James diterjemahkanlah Alkitab ke dalam bahasa Inggris pada

tahun 1611, dimana terjemahan ini terkenal dengan sebutan King James Version

(KJV).102 Melalui penerjemahan Alkitab inilah yang pada akhirnya menjadi salah satu

cara gereja Protestan untuk melakukan Reformasi gereja. Dengan semakin menjalarnya

proses penerjemahan dalam bahasa local maka pada abad ke 19 mulai muncul lembaga-

100 W.J. Kooiman, “Martin Luther: Doktor dalam Kitab Suci, Reformator Gereja, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2001, Hal 44-52. 101 Mangisi S.E. Simorangkir, “Ajaran Dua Kerajaan Luther dan Relevansinya di Indonesia”, Penerbit satu-satu, Bandung, 2011, hal 34 102 Daud H. Soesilo, “Mengenal Alkitab Anda”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, hal 27-28. 48

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

lembaga Alkitab yang secara khusus mengurusi penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa

local atau bahasa ibu. Lembaga-lembaga Alkitab tersebuta adalah Lembaga Alkitab

Inggris (1804), Lembaga Alkitab Belanda (1814) dan Lembaga Alkitab Amerika

(1816). Melalui lembaga-lembaga Alkitab inilah yang lalu mempelopori penerjemahan

Alkitab di Asia yang masuk bersamaan dengan imperialisme dan kolonialisme bangsa-

bangsa Barat terhadap bangsa-bangsa Timur. Termasuk di antaranya adalah Nusantara

atau Indonesia.

Dengan banyaknya lembaga-lembaga Alkitab yang didirikan diberbagai negara maka

pada tahun 1946 lembaga alkitab dari berbagai negara lalu menyepakati untuk

berkumpul bersama dan membentuk Lembaga Alkitab se-Dunia. Dengan terbentuknya

Lembaga Alkitab se-Dunia ini maka perkembangan penerjemahan Alkitab memasuki

babak baru dimana proses penerjemahan yang dilakukan mulai mengarah pada sebuah

terjemahan oikumenis yang nantinya mulai meninggalkan metode penerjemahan yang

lama dan mulai menekankan metode penerjemahan Alkitab secara dinamis atau

fungsional.103

4. Tahun 1960 M. - sekarang

Setelah pembentukan lembaga Alkitab se-Dunia maka metode yang digunakan yang

tadinya lebih banyak menekankan metode harfiah, maka dengan memasuki era yang

baru ini dirasakan membutuhkan metode yang lain yang lebih komunikatif. Oleh karena

itu pada era ini mulai dipergunakan metode Dinamis atau Fungsional yang

dipopulerkan oleh Dr. Eugene Nida.104 Keunggulan metode ini adalah bahwa si

penerjemah adalah penutur bahasa asli dari bahasa sasaran. Dan pada periode inilah

Alkitab banyak diterjemahkan dalam bahasa nasional di banyak negara. Dalam hal ini

103 Ibid hal 39. 104 Anton M. Moeliono, Aspek Etnoliguistik dalam Terjemahan, dalam Majalah Ilmu Sastra Indonesia, Penerbit Bharata bekerjasama dengan Ikatan Sarjana Sastra Indonesia, 1973, hal 9 49

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Nida menganjurkan agar dalam setiap penerjemahan baiknya didahului dengan

penyelidikan 5 bidang budaya, yaitu: manusia dengan ekologinya, kebudayaan

material, kebudayaan sosial, kepercayaan lokal, dan bahasa itu sendiri.

Pada periode inilah mulai dirasakan perlunya terjemahan yang ekumenis, sehingga

pada era ini sebenarnya adalah masa dimana umat Yahudi, Protestan dan Katholik dapat

bekerjasama untuk menerjemahkan Alkitab yang oikumenis. Sehingga dalam periode

ini maka seorang penerjemah utama adalah seorang penutur asli dari bahasa sasaran.

Dengan metode ini maka mulai banyak muncul teologi-teologi local disebabkan

penerjemahan ini lebih menekankan bahasa sasaran daripada bahasa teksnya.105

Melalui metode fungsional inilah maka Alkitab bahasa Melayu yang selama ini dipakai

di wilayah Nusantara, seiring dengan rasa nasionalisme yang menelurkan bahasa

persatuan yaitu bahasa Indonesia. LAI (Lembaga Alkitab Indonesia) sebagai lembaga

penerjemahaan Alkitab di Indonesia secara resmi berdiri pada 9 Februari 1954, dimana

setelah itu juga menggabungkan diri dengan lembaga Alkitab se-Dunia pada bulan

April 1954, yang mempunyai tugas untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa

Indonesia.106

B. Sejarah Perkembangan Penerjemahan Alkitab di Indonesia dan Sisi Politisnya

Perkembangan penerjemahan Alkitab Di Indonesia tentunya terkait dengan sejarah

hadirnya kekristenan di bumi Nusantara. Menurut catatan sejarah bahwa di wilayah

Nusantara pada abad ke-7 M sudah terdapat sebuah komunitas Kristen Nestorian di daerah

Barus, Sumatera Utara. Namun komunitas ini tidak membawa pengaruh yang besar di

daerah Sumatera karena pada saat itu kekuasaan kerajaan Sriwijaya yang beragama Buddha

105 Daud H. Soesilo, “Mengenal Alkitab Anda”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, hal 62-66. 106 Ibid hal 136-137. 50

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sedang mengalami masa keemasannya, sehingga dimungkinkan kekristenan di Sumatera akhirnya bisa dikatakan “layu sebelum berkembang”. Karena tidak ada pengaruh yang besar maka kekristenan Nestorian di Barus ini juga tidak meninggalkan jejak-jejak yang jelas.

Namun ketika Malaka ditaklukkan oleh bangsa Portugis pada tahun 1511, jejak-jejak kekristenan mulai tergambar dengan hadirnya misi Katholik yang dibawa serta dalam misi dagang bangsa Portugis ini. Setelah penaklukan Malaka maka bangsa Portugis masuk ke wilayah Nusantara dibarengi masuknya bangsa Spanyol dari arah Filipina. Dari kedua bangsa inilah jejak-jejak kekristenan, khususnya Katholik, mulai memasuki wilayah

Nusantara.

Melihat kesuksesan misi dagang Portugis dan Spanyol di wilayah Nusantara akhirnya juga mengundang bangsa Eropa lainnya untuk menjelajah wilayah Nusantara, salah satunya adalah bangsa Belanda yang datang pertama kali ke Nusantara di Banten tahun 1596. Sejak saat itulah kongsi-kongsi dagang Belanda datang ke Nusantara untuk mengangkut hasil bumi yang kaya dengan rempah-rempahnya. Kongsi-kongsi dagang Belanda ini akhirnya bersatu dengan membentuk VOC yang akhirnya nanti bisa mengusir Portugis dan Spanyol dari bumi Nusantara yang menyebabkan Belanda melakukan monopoli penuh perdagangan di wilayah Nusantara.

Dengan hadirnya kekuasaan bangsa Belanda di Nusantara tentunya juga secara otomatis membawa masuk agama Kristen Protestan ke Nusantara. Dari sinilah awal mula kekristenan Protestan masuk ke wilayah Nusantaraa yang juga diikuti dengan proyek penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Potugis dan Melayu, dimana pada waktu itu kedua

51

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

bahsa tersebut telah menjadi sebuah Lingua Franca di Nusantara, 107 yang didanai oleh

VOC. Dalam proses penerjemahan Alkitab ini tentunya banyak hal yang harus

diperhatikan, menurut Vries paling tidak di dalam sebuah penerjemahan harus terdapat

“selektivitas” dan “ketidakpastian” yang nantinya akan menentukan “skopos”

penerjemahan Alkitab tersebut.108

Yang dimaksud dengan “selektivitas” adalah aspek sintaksis dan aspek maknawi. Aspek

sintaksis adalah mengedepankan bahasa sumber ketimbang bahasa sasaran. Dan aspek

maknawi adalah mengedepankan makna dari bahasa sasaran sehingga sedikit banyak akan

mengesampingkan bahasa sasaran. Sedangkan aspek “ketidakpastian” adalah teks sumber

(asli) seringkali memunculkan banyak arti jika harus dipadankan dengan bahasa sasaran.

Sisi “selektivitas” dan “ketidakpastian” adalah sebuah factor intern di dalam teks, oleh

karena itu untuk mengatasi hal tersebut lalu dicari jalan tengah dengan mengambil sisi

eksternal dari teks yaitu sisi “Skopos”.

Sisi skopos secara sederhana dapat diartikan bahwa di dalam penerjemahan Alkitab harus

memiliki tujuan-tujuan tertentu yang ingin dicapai. Sehingga dari sisi skopos inilah yang

nantinya akan menentukan bagaimana proses yang harus dilakukan dalam penerjemahan

Alkitab, dimana harus memperhatikan teks sumber, teks sasaran dan hubungan-hubungan

kesepadanan liguistik. Selain itu juga harus diperhatikan panitia-panitia penerjemahan,

penerjemahan, para penerjemah, khalayak pembaca, serta konteks historis dan konteks

kelembagaan. Dan pada akhirnya skopos penerjemahan pada gilirannya akan mengikuti

konteks historis dan konteks kelembagaan di mana terjemahan itu berfungsi.109

107 Lourens de Vries, Ikhtisar Sejarah Penerje,ahan Alkitab di Indonesia; dalam Henri Chambert-Loir, “Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia”, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2009, hal. hal 461 108 Ibid hal. 459-460. 109 Ibid hal 461 52

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Terkait dengan penerjemahan Alkitab di Indonesia yang sudah dimulai sejak kedatangan

VOC di Nusantara hingga berdirinya Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), menurut Louren

de Vries dari perspektif “skopos”, sejarah penerjemahan Alkitab di Indonesia dipilah

menjadi tiga periode, yaitu periode pertama tahun 1629-1811 (dari VOC hingga kedatangan

Raffles), periode kedua tahun 1811-1950 (periode Raffles hingga pembentukan LAI),

periode ketiga tahun 1950-sekarang (Periode perintisan dan kinerja LAI).110

1. Periode pertama (1629 – 1811: era VOC – kedatangan Thomas Raffles)

Penerjemahanan Alkitab dalam bahasa Portugis dan Melayu di Nusantara dilakukan

oleh serikat dagang Belanda (VOC) yang menjadi panitia penerjemahan Alkitab serta

Dewan Gereja dari Gereja Reformasi Batavia (Gereja Protestan Calvinis) menjadi

penyelia yang memberi persetujuan.111 Tujuan atau skopos dari terjemahan Alkitab ini

adalah sebagai sebuah terjemahan gerejawi yang digunakan untuk melayani jemaat-

jemaat Eurasia (Indo-Belanda), etnis Ambon, Tionghoa dan Jawa. serta digunakan juga

untuk kepentingan pendidikan atau sekolah.112 Sehingga dapat dikatakan bahwa

Alkitab bahasa Potugis dan Melayu yang diterbitkan oleh VOC adalah Alkitab yang

digunakan untuk kebutuhan gerejani dan sekolah.

a. Penerjemahan Alkitab bahasa Portugis

Untuk penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Portugis dilakukan oleh Pdt.

D’Almeida dimana pada tahun 1681 Alkitab PB dicetak dan baru pada tahun 1748

PL juga dicetak, hal ini dikarenakan ketika D’Almeida baru menyelesaikan

penerjemahan hingga kitab Yehezkiel dirinya meninggal dunia, dan pekerjaannya

tersebut pada akhirnya diselesaikan oleh Pdt. Jacobus op den Akker.113 Dari proses

110 Ibid hal 461-462. 111 Ibid hal 461 112 Ibid 466-467 113 Daud H. Soesilo, Mengenal Alkitab Anda, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 1995, hal 47. 53

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Portugis sebenarnya menjadi sesuatu yang

sangat aneh, hal ini dikarenakan terjemahan ini dilakukan bukan oleh bangsa

Portugis sendiri akan tetapi terjemahan ini dilakukan oleh pihak Belanda yang

notabene adalah musuh dari bangsa Portugis. Hal tersebut dilakukan VOC semata-

mata hanya karena alasan perdagangan semata.114

Walaupun sebenarnya pihak VOC tidak tertarik dengan misi penginjilan namun jika

hal tersebut dapat digunakan untuk kepetingan perdagangan maka pihak VOC baru

mengijinkan misi tersebut. Misi yang dilakukan demi kepentingan perdagangan

tersebut ternyata lebih banyak untuk mem“Protestan”kan orang-orang Katholik

hasil misi bangsa Potugis dan Spanyol yang terlebih dahulu masuk ke wilyah

nusantara. Kebijakan VOC tersebut tentunya sangat dipengaruhi oleh persaingan

dagang serta kebijakan atau sikap pemerintahan negeri Belanda kepada bangsa

Portugis di Eropa yang juga akhirnya juga menjadi kebijakan VOC di tanah

Nusantara. Penerjemahan Akitab ke dalam bahasa Portugis ini diharapkan dapat

digunakan untuk mem”protestan”kan orang Katholik yang ada di Nusantara.115

Dengan hal ini diharapkan dapat digunakan untuk memutuskan kesetiaan politik

mereka terhadap bangsa Portugis yang menjadi saingan VOC.116 Dengan demikian

maka mereka dapat mudah diatur dengan doktrin gereja yang tentunya

mengarahkan mereka kepada kepatuhan terhadap semua kebijakan perdagangan

VOC.

Diantara orang-orang Katholik yang telah beralih menjadi Protestan tersebut

terdapat bekas budak-budak Portugis dari India dan Srilanka yang sudah fasih

berbahasa Portugis yang disebut sebagai golongan “Portugis Hitam” yang juga

114 Sadur hal 464 115 Sadur hal 466 116 Sadur hal 514. 54

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

disebut sebagai golongan “Mardika” (dari kata bahasa Belanda “mardijkers”,

bahasa Portugis “mardicas”).117 Selain golongan “Mardika” yang berbahasa

Portugis juga terdapat orang-orang Kristen pribumi yang hanya bisa berbahasa

Melayu (kebanyakan orang Ambon dan sedikit dari Jawa), Oleh karena itu pada

saat itu, khususnya di Batavia, terdapat 3 golongan orang Protestan, yaitu:

Golongan orang Belanda yang berbahasa Belanda (baik itu orang Belanda totok

maupun Indo-Belanda), golongan orang Mardika yang berbahasa Portugis dan

golongan orang pribumi yang berbahasa Melayu.118

Selain masalah persaingan dagang, sebenarnya ada hal lain yaitu adanya rasa

superior bangsa Belanda yang tidak ingin bahasa Belanda digunakan kaum budak

yang berbahasa Portugis. Dengan berkembangnya bahasa Portugis sebagai salah

satu lingua franca, selain bahasa Melayu, di wilayah Nusantara justru digunakan

sebagai sarana untuk membuktikan bahwa bahasa Belanda adalah bahasa kelas

penguasa. Namun terlepas dari itu semua, ternyata terjemahan ini adalah terjemahan

Alkitab yang pertama dalam bahasa Portugis di dunia,119 bahkan Alkitab tersebut

hingga saat ini masih dipakai oleh gereja-gereja di negara-negara yang berbahasa

Portugis.120

b. Penerjemahan Alkitab dalam bahasa Melayu

Selain penerjemahan bahasa Portugis, VOC juga melakukan penerjemahan Alkitab

ke dalam bahasa Melayu. Bahasa Melayu sudah digunakan sebagai bahasa niaga

(lingua franca) sejak abad ke-7 di Hindia Timur (Hindia-Belanda), semenanjung

117 Th. Van den End, “Ragi Carita 1: Sejarah Gereja di Indonesia tahun 1500-1860an”, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2012, hal 98. 118 ibid 119 Henri Chambert-Loir, “Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia”, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, hal 466. 120 Daud H. Soesilo, “Mengenal Alkitab Anda”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 1995, hal 47. 55

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Melayu (Malaysia), bahkan hingga Filipina.121 Dan bahasa Melayu itu sendiri

sebenarnya juga memiliki banyak varian yang ditemukan dalam berbagai macam

langgam kesusastraan dan istana di Kesultanan Malaka, Riau dan Johor.122 Dari

sinilah ditemukan banyak teks-teks tua yang tentunya berasal dari kalangan

bangsawan Melayu, dimana dengan adanya kesustraan ini maka dianggap cocok

digunakan sebagai sebuah “Naskah Suci”.123 Dengan alasan-alasan tersebutlah

maka lalu muncul banyak nama penerjemah yang menerjemahkan Alkitab ke dalam

bahasa Melayu, diantaranya adalah :

i. Injil Matius terjemahan Ruyl (1629)124

Ruyl adalah seorang pedagang dari Belanda yang datang ke Nusantara pada

tahun 1600. Setelah menetap di Nusantara dan mulai mengenal bahasa Melayu

dia lalu memulai penerjemahan Alkitab dalam bahasa Melayu yang

diselesaikannya pada tahun 1612. Dialah orang yang pertama kali

menerjemahkan bagian Alkitab ke dalam bahasa Melayu. Dan Bahasa Melayu

yang digunakan adalah bahasa Melayu yang bernada keningrat-ningratan atau

bahasa Melayu untuk kalangan istana. Sehingga dapat dikatakan terjemahan

Ruyl ini adalah terjemahan bahasa “Melayu Tinggi”.

Ada hal yang sangat menarik dalam penerjemhan ini yaitu bahwa Ruyl bukanlah

seorang Pendeta atau Teolog akan tetapi hanya orang biasa atau jemaat awam

saja. Terjemahan ini lalu dicetak pada tahun 1629 di Belanda yang dibiayai

121 Sadur hal 489 122 Sadur hal 468 123 Sadur hal 462 124 Biografi Ruyl dilihat di : - J.L Swellengrebel, “Mengikuti Jejak Leidejker Jilid 1 (1820-1900) : Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa Nusantara”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, hal 12. - Henri Chambert-Loir, “Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia”, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, hal 466. - Daud H. Soesilo, “Mengenal Alkitab Anda”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, hal 44-46. 56

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sepenuhnya oleh VOC. Dan Alkitab ini menjadi yang pertama diterjemahkan

ke dalam satu bahasa yang bukan berasal dari bahasa Eropa (Barat) dalam

rangka penginjilan. Alkitab ini dicetak dalam dwi bahasa yaitu di sisi sebelah

kiri menggunakan bahasa Melayu dan di sisi kanannya diberikan terjemahan

dalam bahasa Belanda.

ii. Perjanjian Baru terjemahan Brouwerious (1668)125

Jikalau terjemahan Ruyl menggunakan bahasa “Melayu Tinggi” maka

terjemahan Brouwerious disebut dengan “Melayu Rendah” atau Melayu pasar.

Keputusan Brouwerious mengambil varian bahasa Melayu Ambon dikarenakan

memang Alkitab ini ditujukan kepada jemaat gereja yang sudah didirikan di

kota Batavia dan Ambon dimana kedua kota ini menjadi kota pelabuhan yang

dijadikan pusat perdagangan dan perkantoran oleh VOC. Selain itu di dua kota

ini juga telah didirikan sekolah-sekolah oleh VOC dimana Alkitab ini nantinya

digunakan sebagai bahan ajar pelajaran agama di sekolah tersebut. Dari hal ini

terlihat bahawa “skopos” dari penerjemahan Alkitab ini adalah sebagai Alkitab

gerejawi dan sekolah.

125 Biografi Brouwerious dilihat di: - Th. Van den End, “Ragi Carita 1: Sejarah Gereja di Indonesia tahun 1500-1860an”, BPK Gunung Mulia, Jakarta, hal 118. - J.L Swellengrebel, “Mengikuti Jejak Leidejker Jilid 1 (1820-1900): Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa Nusantara”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, hal 12-14. - Henri Chambert-Loir, “Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia”, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, hal 466 – 468. - Daud H. Soesilo, “Mengenal Alkitab Anda”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, hal 46-47. 57

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

iii. Alkitab Terjemahan Leijdecker (1733)126

Setelah dirasa bahwa Alkitab PB terjemahan Brouwerious terasa sangat sulit

diterima di wilayah lain diluar Batavia dan Ambon maka pada tahun 1691 VOC

menugasi Leijdecker seorang pendeta militer yang saat itu bertugas di Batavia

untuk menerjemahkan Alkitab dalam “bahasa Melayu seperti yang terdapat

dalam berbagai buku orang-orang Melayu”. Oleh karena itu dengan berdasarkan

perintah tersebut maka Leijdecker mulai menerjemahkan Alkitab dalam bahasa

Melayu sesuai dengan bahasa Melayu yang mengacu pada bahasa-bahasa sastra

yang berasal dari istana Melayu. Singkat kata terjemahan Alkitab dalam bahasa

Melayu diterjemahkan dalam bahasa “Melayu Tinggi”. Sehingga melalui

perintah ini sebenarnya pihak VOC sedang merubah “skopos” penerjemahan ini

yang sebelumnya ditujukan sebagai Alkitab gerejawi dan sekolah menjadi

semacam “Alkitab sastra”.

Akhirnya Alkitab terjemahan Leijdecker ini bisa diterbitkan pada tahun 1733

setelah terlebih dahulu mengalami revisi yang dikerjakan oleh Van der Vorm

dan Werndly. Ternyata Alkitab ini nanti pada akhirnya sangat diterima di daerah

Ambon. Entah terkait atau tidak dengan fenomena tersebut, namun faktanya

Istri Leidejker adalah saudara dari Gubernur Jenderal di Hindia Belanda.127

126 Biografi Lejidecker dilihat di: - J.L Swellengrebel, “Mengikuti Jejak Leidejker Jilid 1 (1820-1900): Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa Nusantara”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, hal 14-23. - Th. Van den End, “Ragi Carita 1: Sejarah Gereja di Indonesia tahun 1500-1860an”, BPK Gunung Mulia, Jakarta, hal 119. - Daud H. Soesilo, “Mengenal Alkitab Anda”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, hal 46-48. - Henri Chambert-Loir, “Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia”, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, hal 466-468. - H. Berkhof & I.H. Enklaar, “Sejarah Gereja”, BPK Gunung Mulia, Jakarta, hal 240. 127 Taylor. Jean Gealman. 2009. Kehidupan Sosial di Batavia, Jakarta: Komunitas Bamb, Hal 37.

58

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Alkitab terjemahan Leidejker ini lalu sering disebut sebagai bahasa “Maleis

kerk” (Melayu Gerejawi) atau Melayu Alkitab/Kristen.128

2. Periode kedua (1811 – 1950: era Thomas Raffles – era Indonesia merdeka)

Pada saat kedatangan Inggris di Nusantara proses penerjemahan Alkitab yang tadinya

disponsori dan didanai oleh VOC terpaksa dihentikan seiring bangkrutnya VOC.

Namun ternyata proyek penerjemahan Alkitab ini menarik perhatian Raffles untuk

melanjutkannya dengan mengajak Lembaga Alkitab Inggris BFBS (British and Foreign

Bible Society) untuk datang ke Nusantara untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam

bahasa Jawa. Oleh karena itu untuk membantu Lembaga Alkitab Inggris Thomas

Raffles mendirikan Lembaga Alkitab Jawa yang nantinya setelah berakhirnya

kekuasaan Inggris di nusantara pada tahun 1816 maka lembaga ini berubah nama

menjadi “Oost–Indish Bijbelgenootschap” (Lembaga Alkitab Hindia Belanda) yang

disebut juga sebagai “Bataviaas Bijbelgebootschap”.129

Setelah Inggris secara penuh meninggalkan Nusantara pada tahun 1816 maka wilayah

Nusantara kembali diserahkan kepada Belanda. Dengan kehadiran kembali bangsa

Belanda ke Nusantara maka juga diikuti dengan kedatangan Lembaga Alkitab Belanda

(NBS/NBG). Dimana Lembaga ini beranggotakan sejumlah elite politik, budaya dan

social baik dari negeri Belanda dan dari orang-orang Belanda yang sudah menetap di

Hindia Belanda.130 Lembaga Alkitab inilah yang nantinya banyak berperan dalam revisi

Alkitab bahasa Melayu dan penerjemahan Alkitab dalam berbagai macam bahasa

daerah yang ada di Nusantara.

128 Henri Chambert-Loir, “Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia”, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, hal 468 dan 477. 129 Ibid hal 462. 130 ibid hal 464. 59

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Dengan adanya lembaga-lembaga Alkitab ini, khususnya NBS, maka membawa

dampak dibukanya jejaring dengan Dewan Inti Amsterdam dari Lembaga Alkitab

Belanda.131 Selain itu masuknya lembaga-lembaga Alkitab pada masa kekuasaan

Inggris, seiring dengan kebijakan Thomas Raffles tentang kebebasan beragama, maka

mulai masuklah lembaga-lembaga misi ke Nusantara. Namun nanti pada saat Belanda

kembali ke Nusantara, pemerintah kolonial Belanda di Hindia Belanda yang

mensponsori masuknya lembaga-lembaga Alkitab ini, cenderung tidak mempercayai

badan-badan misi dikarenakan mereka seringkali mengkritisi kebijakan pemerintah

kolonial di Hindia Belanda.132 Karena bagi pemerintah Hindia Belanda hal yang lebih

penting dari adanya penerjemahan Alkitab ini bukanlah perkara penginjilan akan tetapi

yang diharapkan adalah bisa berguna bagi proses “pemberadaban” di seluruh wilayah

Nusantara.133 Oleh karena itulah dimulai revisi penerjemahan Alkitab bahasa Melayu

dan juga melakukan penerjemahan Alkitab ke dalam berbagai bahasa daerah yang ada

di Nusantara.

Terkhusus pada revisi terjemahan Alkitab bahasa Melayu, dikarenakan bahasa Portugis

sudah mulai kehilangan tempatnya sebagai lingua franca di wilayah Hindia-Belanda

sejak tahun 1800,134 sehingga revisi hanya dilakukan untuk bahasa Melayu saja. Selain

lembaga Alkitab Inggris dan Belanda yang datang ke Hindia-Belanda ternyata diikuti

juga lembaga alkitab dari Skotlandia. Dengan adanya beberapa lembaga-lembaga

Alkitab tersebut maka di satu sisi terjalin kerjasama di antara mereka namun di sisi lain

juga terjadi pertentangan di antara mereka. Dan pada masa inilah terjadi beberapa kali

macam revisi terhadap Alkitab bahasa Melayu. Dan revisi ini tidak hanya dilakukan di

131 Ibid hal 470 132 Ibid hal 465 133 Ibid hal 464. 134 ibid hal 462. 60

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

wilayah Nusantara saja namun juga di wilayah semenanjung Malaya dan Singapura.

Revisi-revisi itu antara lain adalah: revisi terjemahan Leijdecker, Alkitab terjemahan

Klinkert (1879), Shellabear (1927-1929) dan PB terjemahan Bode (1938).135

a. Revisi Terjemahan Alkitab Bahasa Melayu

i) Revisi Terjemahan Liejdecker

Alkitab dalam bahasa Melayu ternyata tidak hanya beredar di kepulauan

Nusantara saja akan tetapi juga beredar di semenanjung Malaya, yang natinya

menjadi negara Malaysia, dan Singapura. Setelah terbitnya terjemahan Melayu

(Leijdecker) yang terakhir kalinya yaitu pada tahun 1733, maka memasuki abad

ke-19 ini dirasa perlu adanya revisi terjemahan dikarenakan bahasa Melayu

dalam Alkitab sebelumnya belum bisa dijadikan sebuah bahasa Melayu yang

standar. Oleh karena itu melalui revisi-revisi terjemahan ini diharapkan mampu

mengkonstruksi sebuah bahasa Melayu yang standar yang disebut sebagai

“terjemahan persatuan”.136 Namun jika melihat para perevisi ini terlihat bahwa

pengaruh keberadaan Inggris di semenajung Malaya sangat mempengaruhi

revisi penerjemahan Alkitab bahasa Melayu ini.

- J. McGinnis137

Seorang pendeta Gereja Anglikan di Pulau Penang yang merevisi

Alkitab terjemahan Leijdecker ini berdasarkan kamus bahasa Melayu

yang disusun oleh Marsden. Alkitab ini diterbitkan pada tahun 1817

(PB) dan tahun 1821 (PL) yang dicetak di kota Serampore, India, atas

pembiayaan BFBS.

135 Daud Soesilo, Mengenal Alkitab Anda... hal 49-58. 136 Weinata Sairin (peny), “Persebaran Firman di Sepanjang Zaman”, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1994 hal 48 137Daud Soesilo, Mengenal Alkitab Anda.. hal 49 61

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

- Claudius Thomsen138

Seorang misionaris dari Inggris yang ditugaskan di Semenanjung

Malaka yang melakukan revisi penerjemahannya dibantu oleh seorang

ahli bahasa Melayu dari Malaya yaitu Munsyi Abdullah. Penerjemahan

ini hanya dilakukan untuk 4 Injil dan Kisah Para Rasul saja yang

diterbitkan tahun 1832.

- J. Emde139

Seorang Misionaris kebangsaan Jerman yang menikahi orang pribumi

dan tinggal di Surabaya. Dirinya melaukan revisi penerjemahan

Perjanjian Baru dalam bahasa Melayu rendah dialek Surabaya yang

dibantu oleh pendeta Belanda bernama D. Lenting dan seorang

misionaris Inggris bernama Walter Henry. Alkitab ini diterbitkan di

Batavia pada tahun 1835 dengan dibiayai oleh “Perkumpulan Kristiani

Surabaya”.

- Benjamin Keasberry140

Dirinya melanjutkan revisi yang telah dilakukan oleh Thomsen

sebelumnya di Semenanjung Malaya. Sama seperti Thomsen, dirinya

juga bekerjasama dengan Munsyi Abdullah dalam penerjemahannya.

Revisi ini berhasil menerbitkan Perjanjian Baru pada tahun 1852 yang

dicetak di Singapura.

Melihat revisi yang dilakukan oleh Mc.Ginnis, C.Thomsen dan B.Keasberry,

terlihat bahwa pengaruh keberadaan Inggris sangat berpengaruh di semenanjung

Malaya dan Singapura. Dengan penerjemahan yang dilakukan mereka muncul

138 Ibid hal 50 139 ibid 140 Ibid hal 51 62

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kesan bahwa wilayah jajahan Inggris menginginkan bahasa Melayu-nya sendiri.

Sedangkan J. Emde lebih memilih jalan ‘mandiri’ karena penerbitannya bukan

dibiayai oleh sebuah lembaga alkitab.

ii) Alkitab terjemahan Klinkert (1879)141

Hillebrandus Cornelius Klinkert adalah seorang misionaris Belanda yang

ditugaskan oleh Gereja Mennonit di daerah Jepara. Dia beristrikan orang indo-

Belanda yang hanya bisa berbicara bahasa Melayu dan Jawa. Dirinya tertarik

menterjemahkan Alkitab dalam bahasa Melayu, dimana pada tahun 1863

penerjemahan tersebut dapat diselesaikan namun hanya pada Perjanjian Baru,

dan diterbitkan pada tahun itu juga yang dicetak di Semarang. Terjemahan

Klinkert adalah terjemahan yang bahasa paling sederhana dan mudah

dimengerti. Terjemahan ini banyak digunakan oleh orang-orang Kristen

Tionghoa di Semarang karena memang terjemahan ini menggunakan bahasa

“Melayu Semarang”.

Namun ternyata bahasa yang digunakan Klinkert dirasa terlalu rendah. Oleh

karena itu dia diutus untuk tinggal di Tanjung Pinang, Riau sejak tahun 1864

untuk belajar secara langsung bahasa Melayu dengan penutur asli yang ada

disana. Karena gangguan kesehatan pada tahun 1867 dia dikembalikan ke

Belanda namun tetap mengerjakan tugasnya menerjemahkan Alkitab dalam

bahasa Melayu disana. Setelah kematian istrinya dia pindah ke Malaka dan

141 Biografi Klinkert diambil dari: - J.L Swellengrebel, “Mengikuti Jejak Leidejker Jilid 1 (1820-1900) : Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa Nusantara”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2006, hal 205-229. - Henri Chambert-Loir, “Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia”, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, hal 474-478 & 493-494. - Daud H. Soesilo, “Mengenal Alkitab Anda”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 1995, hal 51-52. - Persebaran firman hal 47 Th. Van den End & J. Weitens, SJ; “Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia tahun 1860an- sekarang”, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2012 hal 71 & 326. 63

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

menyelesaikan terjemahannya dalam bahasa Melayu Tinggi, baik PB maupun

PL, pada tahun 1879 yang langsung diterbitkan oleh NBS. Penerbitan Alkitab

Klinkert yangdilakukan oleh NBS menunjukkan bahwa pemerintah kolonial

Belanda di Hindia Belanda menginginkan terjemahan Melayu yang berbeda

dengan Alkitab Melayu terjemahan BFBS (Inggris). Akhirnya Alkitab

terjemahan Klinkert ini dapat diterima secara luas dan bisa menggantikan

Alkitab terjemahan Leijdecker.

iii) Alkitab terjemahan Shellabear (1912)142

William Shellabear adalah seorang tentara Inggris yang ditugaskan di Singapura

pada tahun 1886 sebagai komandan pasukan Melayu yang bertugas menjaga

pelabuhan. Karena ketertarikannya pada misi maka dia lalu mengundurkan diri

dari jabatan militernya pada tahun 1890 dan bergabung dengan lembaga misi

dari Gereja Metodis Inggris.

Setelah bergabung dengan badan misi, dia lalu ditugaskan untuk

menerjemahkan Alkitab Perjanjian Baru bahasa Melayu yang diterjemahkan

oleh Keasberry dan bekerjasama dengan Lembaga Alkitab Inggris. Terjemahan

ini bisa diselesaikan pada tahun 1904 dan diterbitkan pada tahun 1910. Yang

menarik Dari terjemahan ini adalah sebutan Yesus diganti dengan Isa Almasih.

Setelah berhasil menerjemahkan PB dia lalu ditugasi kembali untuk

menerjemahkan Alkitab Perjanjian Lama terjemahan Klinkert yang akhirnya

142 Biografi Shellabear diambil dari: - Daud H. Soesilo, “Mengenal Alkitab Anda”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 1995, hal 53-55 - Henri Chambert-Loir, “Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia”, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2009, hal 494-495. - J.L Swellengrebel, “Mengikuti Jejak Leidejker Jilid 2 (1900-1970) : Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa Nusantara”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2006, hal 115-117. 64

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

bisa diselesaikannya dan diterbitkan tahun 1912 dalam huruf Arab jawi (Pegon)

yang nantinya pada tahun 1927-1929 diterbitkan dengan menggunakan huruf

latin. Namun terjemahan ini hanya berkembang di wilayah Malaya dan

Singapura saja, akan tetapi terjemahan Shellabear dapat dikatakan sebagai

terjemahan modern pertama Alkitab bahasa Melayu.143

iv) Perjanjian Baru terjemahan Bode (1938).144

Tahun 1929 terdapat tiga lembaga alkitab dari tiga negara yang berbeda yaitu

Lembaga Alkitab Belanda, Inggris dan Skotlandia, yang menyepakati untuk

mengadakan sebuah terjemahan baru yang bisa dipakai secara umum di

kepulauan Nusantara dan Semenanjung Malaya untuk menggantikan Alkitab

terjemahan Leijdecker, Klinkert, dan Sheallabear. Tiga lembaga ini lalu

menunjuk Pdt. Werner August Bode yang pada waktu itu sedang ditugaskan di

sekolah guru yang mengajar teologi di Tomohon. Sebelum menjadi seorang

pendeta dirinya adalah seorang tentara Jerman.

Setelah mengalami berbagai macam kesukaran di dalam proses penerjemahan

ini, akhirnya pada tahun 1938 berhasil diterbitkan Perjanjian Baru. Namun

sayang sekali pada tahun 1940 karena terjadi perang dunia ke-2, dirinya sebagai

orang Jerman akhirnya harus meringkup di penjara. Dan setelah kedatangan

143 Sadur hal 1060 144 Biografi Bode diambil dari: - J.L Swellengrebel, “Mengikuti Jejak Leidejker Jilid 2 (1900-1970): Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa Nusantara”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2006 hal 120-127 - Henri Chambert-Loir, “Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia”, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2009, hal 477 & 495-498. - Weinata Sairin (peny), “Persebaran Firman di Sepanjang Zaman”, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1994, hal 49 - Daud H. Soesilo, “Mengenal Alkitab Anda”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 1995, hal 56-58. - Th. Van den End & J. Weitjens, SJ; “Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia tahun 1860an – sekarang”,BPK Gunung MUlia, Jakarta,2014, hal 326. 65

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Jepang dia diungsikan ke India melalui jalur laut, namun naas kapalnya di

torpedo kapal perang Jepang dan karam di dekat pulau Nias bersama dengan

transkrip terjemahan Perjanjian Lama-nya. Beruntung Ny. Bode mempunyai

beberapa salinan Perjanjian Lama untuk kitab Kejadian, Keluaran, Imamat,

Bilangan, Ulangan, Yosua, Hakim-hakim, Rut dan Mazmur. Akhirnya bagain-

bagian ini lalu diterbitkan pada tahun 1947.

b. Alkitab Bahasa Daerah (Bahasa Ibu)

Selain merevisi terjemahan bahasa Melayu, pada periode ini juga dimulai dengan

ada penerjemahan Alkitab dalam bahasa daerah yang ada di nusantara antara lain

bahasa Jawa (1854), Sunda (1877), Batak Toba (1878), Bugis (1888), dan bahasa

daerah lainnya. Adanya Alkitab dalam bahasa daerah ini adalah untuk memenuhi

kebutuhan gereja-gereja baru yang bernuansakan kedaerahan yang bermunculan di

wilayah Hindia-Belanda. Dan penerjemahan ini dilakukan oleh beberapa lembaga

Alkitab antara lain Lembaga Alkitab Inggris yang masuk pada jaman Raffles dan

Lembaga Alkitab Belanda (NBS).

Di antara banyaknya terjemahan bahasa daerah yang ada di Hindia Belanda,

menurut Vries ada tiga bahasa daerah yang menurutnya terdapat kasus-kasus atau

dinamika-dinamika yang penting untuk dibahas yaitu, bahasa Jawa, Batak dan

Simalungun.145 Bahasa Jawa adalah bahasa daerah yang pertama kali diterjemahan

oleh lembaga alkitab yang ada di Hindia-Belanda; sedangkan bahasa Batak (Toba)

adalah bahasa daerah yang sebelum dilakukan proses penerjemahan Alkitab harus

melalui proses penelitian linguistic yang mendalam terlebih dahulu; dan bahasa

145 Henri Chambert-Loir, “Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia”, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2009, hal 471. 66

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Simalungun adalah bahasa dearah yang diterjemahkan secara independen yang juga

menjadi sebuah masa peralihan dari periode ini ke periode selanjutnya.

i. Bahasa Jawa

Ada beberapa Alkitab terjemahan bahasa Jawa yang beredar di tanah Jawa pada

periode ini, yaitu terjemahan Bruckner, Gericke dan P. Jans.

a) Terjemahan Bruckner146

Gottlob Bruckner lahir di Jerman pada tahun 1783. Dia lalu bersekolah di

Belanda dan tertarik untuk menjadi tenaga misi NZG (badan misi gereja

Gereformed Belanda) yang akan dikirim ke pulau Jawa. Namun karena

pada saat itu Belanda sedang diduduki oleh Perancis dan pulau Jawa sedang

diduduki Inggris, maka kedatangannya ke pulau Jawa tidak diijinkan oleh

pemerintah Perancis yang sedang berperang dengan Inggris. Oleh karena

itu dia secara diam-diam diberangkatkan ke Inggris untuk mempersiapkan

diri berangkat ke pulau Jawa. Akhirnya dia bisa menuju ke pulau Jawa

dengan “mendompleng” lembaga misi Inggris yaitu London Missionary

Society (LMS) bersama dengan J. Kam dan J.S. Supper. Mereka mendarat

di Batavia pada tanggal 16 Mei 1814.

Setibanya di pulau Jawa Bruckner ditempatkan di “Indische Kerk” (Gereja

Protestan Belanda di Hindia-Belanda) yang berada di kota Semarang.

146 Biografi Bruckner diambil dari: - J.D. Wolterbeek, Babad Zending di Tanah Jawa, Taman Pustaka Kristen, Yogyakarta, 1995, hal 4-7. - Van den End, Ragi Carita 1 (Sejarah Gereja di Indonesia tahun 1500-1860an), BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2012, hal 206. - C. Guillot, Kyai Sadrach (Riwayat Kristenisasi di Jawa), Grafiti Pers, Jakarta, 1985, hal 3-7 - Lourens de Vries, Ikhtisar Sejarah Penerjemahan Alkitab di Indonesia (dalam “Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia”, peny: Henri CHambert-Loir), Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2009, hal 472. - J.L Swellengrebel, “Mengikuti Jejak Leidejker Jilid 1 (1820-1900): Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa Nusantara”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2006, hal 43-54. 67

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Namun ketika Inggris angkat kaki dari wilayah Nusantara pada tahun 1816

dan Belanda kembali lagi ke Nusantara, dia memilih melepas jabatannya

sebagai Pendeta dan lebih memilih bergabung dengan badan misi Gereja

Baptis. Dan ketika bergabung dengan badan misi inilah dia lalu

menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Jawa. Bahasa Jawa adalah bahasa

daerah yang pertama kali diterjemahkan oleh sebuah badan misi di wilayah

Hindia-Belanda. Pada tahun 1831 terjemahan bahasa Jawa ini dicetak di

kota Serampore, India. Terjemahan ini menggunakan bahasa Ngoko dialek

Semarang.147

Namun terjemahan ini lalu disita oleh pemerintahan kolonial Hindia-

Belanda karena dianggap bisa mengancam “keamanan dan ketertiban” di

pulau Jawa yang pada waktu itu baru saja terjadi perang Jawa, yang

dikhawatirkan bisa membangkitkan kembali api perlawanan para pengikut

Pangeran Diponegoro yang beragama Islam.

Selain karena factor perang Jawa, sebenarnya terdapat factor lain yang

tentunya tidak diungkapkan secara terang-terangan oleh pihak pemerintah

Hindia-Belanda. Faktor tersebut adalah adanya konspirasi yang dilakukan

oleh pemerintah Hindia-Belanda dengan pihak “indische Kerk” (Gereja

Protestan di Hindia-Belanda) serta NZG sebagai badan misi yang mengutus

Bruckner. Konspirasi ini dilatarbelakangi atas dasar kekecewaan terhadap

diri Bruckner. Kekecewaan ini disebabkan karena kedatangan Bruckner di

Hindia-Belanda sebenarnya diutus oleh pemerintah Hindia dan NZG untuk

melayani jemaat-jemaat Kristen Belanda di “Indische Kerk” Semarang,

147 J.L Swellengrebel, “Mengikuti Jejak Leidejker Jilid 1 (1820-1900): Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa Nusantara”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2006, hal 51 68

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

namun pada akhirnya setelah beberapa tahun kedatangannya di Semarang

dirinya malah mengundurkan diri dari jabatan kependetaannya dan memilih

bergabung dengan badan misi dari gereja Baptis.

Dengan kepindahannya ke badan misi gereja Baptis tentunya membawa

sentiment tersendiri bagi kalangan gereja Belanda dikarenakan gereja

Belanda sebagai sebuah gereja yang beraliran Calvinis yang juga ditetapkan

sebagai gereja negara, mempunyai perbedaan dari sisi dogmatis dengan

gereja Baptis, terutama dalam hal “penginjilan’.

Peristiwa penyitaan Alkitab bahasa Jawa terjemahan Bruckner ini adalah

salah satu cara pembatasan politik yang ditetapkan pemerintah Hindia-

Belanda kepada semua Badan Misi, Lembaga Alkitab, Gereja dan setiap

individu baik itu Pendeta maupun jemaat awam untuk tidak melakukan

penginjilan. Semua yang berbau religius berada di bawah pengawasan

penuh pemerintah Hindia-Belanda, terutama perihal penginjilan. Namun

jika penginjilan bisa membawa sesuatu yang poitif dan membawa

keuntungan bagi pemerintah Hindia-Belanda maka hal tersebut bisa

dilakukan dengan pengawasan yang sangat ketat, termasuk salah satunya

adalah penerjemahan Alkitab.

b) Terjemahan Gericke148

148 Biografi Gericke diambil dari: - J.L Swellengrebel, “Mengikuti Jejak Leidejker Jilid 1 (1820-1900): Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa Nusantara”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2006, hal 55-92. - Th. Van den End & J. Weitjens, SJ; “Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia tahun 1860an – sekarang”, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2014, hal 35. - Henri Chambert-Loir, “Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia”, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2009, hal 472-475. - C. Guillot, “Kiai Sadrach: Riwayat Kristenisasi di Jawa” (pent. Asvi Warman Adam), Grafiti Press, Jakarta, 1985, hal 6-8 & 17 - J.D. Wolterbeek, “Babad Zending di Pulau Jawa”, Taman Pustaka Kristen, Yogyakarta, 1995, hal 26. 69

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Walaupun pemerintah kolonial Hindia-Belanda sudah menyita Alkitab

Jawa terjemahan Bruckner, namun sebenarnya Lembaga Alkitab Belanda

melalui ijin pemerintah, baik di Belanda maupun Hindia-Belanda,

menginginkan adanya terjemahan Alkitab dalam bahasa Jawa. Oleh karena

itu pada tahun 1827 NBG mengirim utusannya ke pulau Jawa untuk

menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Jawa, yaitu Gericke.

Sebelum menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Jawa, sesuai perintah

dari NBG, dirinya harus terlebih dahulu melakukan kajian secara

menyeluruh tentang bahasa Jawa terlebih dahulu. Untuk melakukan hal ini

maka ia diperintahkan untuk mencari mitra dari kalangan orang Jawa asli

yang terpelajar dari golongan kelas atas atau priyayi. Dan akhirnya dia

bertemu dengan R. Pandji Poespowilogo, Mas Pramadi dan R. Bagoes

Moedjarat. Dari orang-orang Jawa inilah dia memperoleh banyak bantuan

ketika dia menyusun Kamus Bahasa Jawa.

Selanjutnya, Gericke juga mendapatkan instruksi dari NBS untuk memberi

perhatian pada bahasa sakral yang disebut bahasa Jawa Kawi untuk

membandingkannya dengan bahasa Jawa modern. Hal ini bertujuan supaya

penelitian ini dapat menunjang proses penerjemahan Alkitab Jawa dalam

gaya yang sesuai dengan Naskah Suci, namun dapat dipahami oleh orang-

orang Jawa. Dan yang terpenting adalah dia harus menegaskan kepada

orang-orang Jawa bahwa tujuannya mempelajari bahasa Jawa adalah untuk

mempelajari bahasa mereka dan ia tidak melakukan misi penginjilan bagi

orang-orang pribumi.

Terjemahanan ini selesai secara menyeluruh pada tahun 1854 yang oleh

pemerintahan kolonial Belanda di Hindia Belanda disebut sebagai “hadiah

70

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

yang layak sebagai kompensasi semua harta kekayaan yang setiap tahun

mengalir kepada kita dari pulau yang amat diberkati alam ini”.149 Dan

Alkitab bahasa Jawa Gericke adalah Alkitab yang pertama kali

diterjemahkan oleh Lembaga Alkitab Belanda di wilayah Hindia-Belanda.

Dari keberhasilan inilah yang lalu mendorong Lembaga Alkitab Belanda

melakukan banyak penerjemahan dalam bahasa-bahasa daerah lainnya

yang ada di Nusantara ini.

Dikarenakan penerjemahan ini dilakukan dengan terlebih dahulu

melakukan riset penelitian linguistic maka hasil dari terjemahan Alkitab

bahasa Jawa ini juga banyak dipengaruhi oleh banyak hal yang

berhubungan dengan penelitian linguistic tersebut. Salah satunya adalah

penggunaan bahasa Jawa Krama Inggil. Dari penerjemahan dengan metode

inilah yang lalu menemui beberapa kesulitan karena di dalam bahasa Jawa

terdapat tingkatan bahasa yaitu Ngoko dan Krama. Bahasa Ngoko adalah

bahasa sehari-hari yang diucapkan oleh khalayak umum, sedangkan Krama

adalah sebuah bahasa dimana para penutur ketika berbicara dengan lawan

bicaranya harus melihat berbagai macam aspek, seperti tingkatan umur,

jabatan, golongan dll.

Dari sinilah Gericke menemukan kesulitannya, sehingga penerjemahan

Alkitab yang dilakukan Gericke sebenarnya memang dapat dikatakan

hasilnya sangat mirip dengan sebuah karya sastra. Dengan hal demikian

maka bahasa yang dihasilkannyapun bukanlah bahasa Jawa yang diucapkan

149 Henri Chambert-Loir, “Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia”, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2009, hal 472. 71

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sehari-hari oleh khalayak umum akan tetapi adalah sebuah bahasa yang

dipakai di lingkungan Keraton.

Dengan munculnya Alkitab bahasa Jawa terjemahan Gericke ternyata juga

digunakan sebagai jalan bagi pemerintahan kolonial Belanda dengan pihak

Keraton untuk membakukan bahasa Jawa yang resmi. Sehingga dari

penerjemahan Alkitab dalam bahasa Jawa ini sebenarnya mengandung

maksud yang sejatinya digunakan demi kepentingan pemerintahan kolonial

Belanda di Hindia-Timur khususnya di tanah Jawa yaitu tentang pemakaian

bahasa Jawa yang sudah melalui sebuah proses “konstruksi bahasa” terlebih

dahulu. Sehingga dengan konstruksi bahasa ini lalu memunculkan sebuah

“standarisasi” bahasa Jawa.

c) Terjemahan P. Jans150

P. Jans lahir tahun 1820, adalah seorang misionaris gereja Menonit yang

ditempatkan di Jepara, pantai utara Jawa Tengah. Sebelumberangkat ke

Jawa dia terlebih dahulu belajar bahasa Jawa di Universitan Leiden. Dia

tiba di Batavia pada bulan November tahun 1851.

Namun misi yang dilakukannya mengalami kesulitan ketika pengajarannya

tentang Injil dianggap menghasut orang-orang untuk melawan pemerintah

kolonial Hindia-Belanda. Dakwaan ini dikarenakan brosur yang dibuat oleh

dirinya dengan judul: “Wektune wus tekan, Karatone Allah wus cedhak”,

dianggap meresahkan dan mengganggu “keamanan dan ketertiban” karena

150 Biografi P. Jans diambil dari: - Henri Chambert-Loir, “Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia”, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2009, hal 473 - J.L Swellengrebel, “Mengikuti Jejak Leidejker Jilid 1 (1820-1900): Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa Nusantara”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2006, hal 93-107. - C. Guillot, “Kiai Sadrach: Riwayat Kristenisasi di Jawa”, Grafiti Press, Jakarta, 1985, hal 11-13. - J.D. Wolterbeek, “Babad Zending di Pulau Jawa”, Taman Pustaka Kristen, Yogyakarta, 1995, hal 53-57. 72

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

menyinggung perasaan umat Islam disana. Atas penilaian ini dia tidak

disukai oleh para pegawai kantor pemerintah dan kegiatannya selalu

diawasi oleh pemerintah. Dari hal inilah yang membuat dirinya tidak

nyaman dalam kegiatan misi. Oleh karena hal inilah maka pada tahun 1855

dia beralih menjadi pengajar dibawah bimbingan Klinkert (penerjemah

Alkitab bahasa Melayu), yang nantinya pada tahun 1861 mereka berdua

menerbitkan Kamus saku bahasa Belanda - Jawa.

Namun pada tahun 1859 atas rekomendasi Asisten Residen Jepara dan

Bupati Jepara, Gubernur Jenderal mencabut surat ijin P. Janz sebagai

misionaris dicabut sehingga dia dilarang untuk melakukan pekabaran Injil.

Oleh sebab inilah maka dia sudah tidak bisa lagi melakukan kegiatan

misinya. Bahkan dia sempat diminta turun dari mimbar ketika sedang

memimpin ibadah di gereja karena larangan ini. Dan setelah kejadian ini

dia hanya diperkenankan untuk memelihara iman orang-orang yang sudah

Kristen saja serta mengajar dan membimbing para penginjil Jawa.

Karena kecintaannya terhadap budaya Jawa dirinya juga mulai mempelajari

sastra Jawa. Dari sinilah dia mulai menyelidiki Alkitab bahasa Jawa

terjemahan Gericke serta mulai menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa

Jawa. Dari sinilah dia mulai mengkritik Alkitab terjemahan Gericke ini. Dia

mengkritik bahwa Alkitab Jawa terjemahan Gericke sangat kaku dan

kurang jelas. Hal ini dikarenakan Alkitab terjemahan Gericke sangat

mengikuti dan terikat dengan alur tata bahasa Jawa “Keraton” yang sangat

formal. Dan memang terjemahan Gericke banyak dipengaruhi oleh bahasa

Jawa Krama ketimbang Ngoko. Menurut dirinya lebih baik menerjemahkan

Alkitab dengan mengesampingkan tata bahasa yang terikat pada makna

73

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

yang harfiah dan lebih mengedepankan sedapat mungkin terjemahan yang

dapat dipahami semua orang serta dapat dipahami dengan jelas dan tepat.

Dari hal inilah lalu P. Janz mulai “menjawakan” Alkitab dengan memakai

bahasa Jawa sehari-hari.

Kritikan ini ditanggapi secara negative oleh Van der Tuuk (penerjemah

Alkitab bahasa Batak utusan NBG) dan diteruskan ke pimpinan NBG di

negeri Belanda melalui suratnya. Dari surat Tuuk inilah yang menimbulkan

rasa “sentiment” NBG kepada Janz. Sehingga ketika Janz menawarkan

terjemahan Alkitab bahasa Jawa yang sudah dikerjakannya ini ke NBG

langsung ditolak dengan berbagai macam alasan. Karena ditolak oleh NBG

dia menawarkan terjemahan Alkitabnya ini ke BFBS. Dan hasil

terjemahannya ini diterima oleh BFBS sehingga pada bulan Agustus tahun

1887 dirinya pindah ke Surakarta untuk menyempurnakan hasil

terjemahannya ini. Dan akhirnya pada tahun 1890 Alkitab Perjanjian Baru

diterbitkan menyusul Perjanjian Lama pada tahun 1895. Dan ternyata

setelah penerbitan Alkitab terjemahan Janz ini, menurut komentar Adriani

(penerjemah Alkitab dalam bahasa Poso) pada 12 Juni 1907,

“Dewasa ini terjemahan Janz sudah umum digunakan di Jawa dan lebih

digemari daripada terjemahan Gericke, karena Gericke menjadi

perintis studi ilmiah bahasa Jawa dan terutama bergaul dengan para

Bangsawan dan orang terpelajar, sedangkan Janz sebagai pekabar Injil

hidup dengan rakyat biasa. Ketika Janz mengerjakan terjemahannya, ia

74

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

menggunakan terjemahan dan kamus Gericke, tetapi karyanya sendiri

lebih dekat dengan bahasa Jawa sehari-hari”.151

ii. Bahasa Batak (Toba)

Alkitab bahasa Batak (Toba) identik dengan gereja HKBP dengan salah satu

tokoh terkenalnya yaitu Nommensen yang datang ke tanah Batak pada tahun

1862. Sebelum kedatangan Nommensen ke tanah Batak telah datang terlebih

dahulu seseorang yang diutus olen NBG untuk menerjemahkan Alkitab bahasa

Batak yaitu Neubronner van deer Tuuk yang datang pada tahun 1851.

Sebelumnya Alkitab dalam bahasa Batak telah diterjemahkan oleh Richard

Burton dari badan misi Baptis pada tahun 1822 dan penerjemahan ini dilakukan

hanya sampai pada Injil Yohanes saja.

Kedatangan van deer Tuuk ke tanah Batak mempunyai misi yang sama dengan

kedatangan Gericke ke tanah Jawa yaitu untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam

bahasa daerah yang ada di Hindia Belanda. Seperti Gericke, sebelum diutus ke

tanah Hindia Belanda van deer Tuuk telah menerima pelatihan-pelatihan

lingusitik dalam rangka penerjemahan Alkitab. Dan dalam rangka penerjemahan

Alkitab ini maka Tuuk terlebih dahulu meneliti bahasa Batak serta menghasilkan

tulisan-tulisan serta kamus bahasa Batak. Baru pada tahun 1853 Tuuk memulai

penerjemahan Alkitab dalam bahasa Batak yang baru pada tahun 1867

penerjemahan ini baru selesai sebatas Perjanjian Lama saja, itupun hanya

sebagian kitab saja. Nantinya terjemahan PL ini dilanjutkan oleh Johansenn dan

untuk PB dilakukan oleh Nommensen.

151 J.L Swellengrebel, “Mengikuti Jejak Leidejker Jilid 1 (1820-1900): Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa Nusantara”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2006, hal 107. 75

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

a) Terjemahan Tuuk152

Tuuk adalah seorang ahli bahasa yang sebenarnya tidak begitu tertarik

dengan misi penginjilan. Oleh karena itu kedatangannya di tanah Batak juga

bukan dalam misi penginjilan seperti apa yang ditugaskan NBS kepadanya

yang hanya sebatas menerjemahkan Alkitab dalam bahasa Batak saja.

Namun kebenciannya terhadap Islam mendorong dirinya menjadi sangat

bersemangat dalam penerjemahan ini supaya nantinya dengan Alkitab

terjemahan dalam bahasa Batak ini dapat menghentikan pengaruh Islam yang

mulai meluas di tanah Batak.

Dan sebelum Tuuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Batak (Toba),

dia terlebih dahulu menerjemahkan banyak buku-buku ke dalam bahasa

Batak Toba. Hal ini dilakukan karena penggunanan bahasa Batak Toba lah

yang nantinya dirasa bisa membendung “islamisasi” di tanah Toba pada

khususnya. Oleh karena itu dia juga menyarankan supaya orang-orang Batak

Toba untuk menggunakan bahasanya sendiri dan tidak menggunakan bahasa

Melayu karena bahasa Melayu menurutnya adalah bahasa yang dipakai untuk

proses “islamisasi”.

152 Biografi Tuuk diambil dari: - Henri Chambert-Loir, “Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia”, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2009, hal 28-29. - J.L Swellengrebel, “Mengikuti Jejak Leidejker Jilid 1 (1820-1900): Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa Nusantara”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2006, hal 125-160. - Henri Chambert-Loir, “Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia”, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2009, hal 473-475. 76

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Setelah Tuuk berusaha membendung “islamisasi” dengan caranya tersebut,

dia lalu mengirim surat kepada NBG untuk mengirimkan tenaga misi ke

tanah Batak. Dan usulan ini diterima oleh NBG yang lalu bekerjasama

dengan RMG mengirimkan tenaga misi ke tanah Batak, salah satunya adalah

Nommensen yang natinya disebut sebagai “Rasulnya orang Batak”. Dan

ketika tenaga misi sudah datang ke tanah Batak, mereka merasa bahwa apa

telah dilakukan Tuuk begitu berguna untuk membuka ladang penginjilan di

tanah Batak. Sehingga dapat dikatakan bahwa karya misi di tanah Batak

sebenarnya terlebih dahulu dimulai oleh karya penerjemahan Alkitab yang

telah dilakukan oleh Tuuk.

b) Terjemahan Nommensen dan Johannsen153

Nommensen tiba di Padang pada tanggal 14 mei 1862 yang lalu diteruskan

menuju ke tanah Batak sebagai utusan dari badan misi Jerman RMG.

Nommensen dianggap sebagai seorang misionaris yang pertama kali

menanamkan pondasi bagi berdirinya gereja HKBP. Oleh karena pusat

HKBP berpusat di daerah Toba dan ditambah dengan sudah adanya Alkitab

terjemahan Tuuk dalam bahasa Batak Toba maka keberadaan gereja HKBP

di tanah Batak lalu identik dengan daerah Toba.

Oleh karena hal itulah maka Nommensen lalu melanjutkan karya terjemahan

Alkitab bahasa Batak Toba yang telah dilakukan Tuuk dikarenakan Tuuk

memilih pergi ke pulau Bali. Dari usaha lanjutan penerjemahan yang

dilakukan oleh Nommensen ini maka pada tahun 1878 diterbitkan Alkitab

PB dalam bahasa Batak Toba. Sedangkan untuk bagian PL yang belum

153 J.L Swellengrebel, “Mengikuti Jejak Leidejker Jilid 1 (1820-1900) : Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa Nusantara”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2006, hal 160- 164. 77

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

terselesaikan oleh Tuuk dilanjutkan oleh Peter Heinrich Johannsen yang

datang ke tanah Batak padatahun 1866. Melalui kerja kerasnya akhirnya

bagian PL ini dapat selesai diterjemahkan dan diterbitkan pada tahun 1894

yang dibiayai oleh BFBS.

Penerbitan Alkitab bahasa Toba yang ternyata dilakukan oleh BFBS ternyata

mempunyai latarbelakang tersendiri. RMG sebagai pengutus Nommensen

dan Johannsen sebenarnya datang ke tanah Batak karena adanya kerjasama

dengan NBG. Sehingga seharusnya yang menerbitkan Alkitab Batak ini

adalah NBG. Namun karena adanya perselisihan antara Tuuk dengan

Nommensen dan Johannsen maka RMG lalu beralih haluan ke BFBS. Hal ini

dikarenakan ketika draft terjemahan Injil Matius dari Nommensen

dikirimkan ke NBG dan dikoreksi oleh Tuuk ternyata Tuuk menilai dengan

tanggapan yang negarif dan tidak merekomendasikan untuk diterbitkan. Dari

hal inilah maka RMG memutuskan untuk beralih ke BFBS yang notabene

menjadi saingan NBG dalam melakukan proyek penerjemahan Alkitab ke

dalam bahasa daerah di Hindia-Belanda.

Dengan sudah adanya Alkitab bahasa Toba inilah yang akhirnya

menyebabkan gereja HKBP semakin melanjutkan politik “Tobanisasi” di

dalam lingkungan gereja.154 Keberadaan bahasa Toba sebagai bahasa resmi

gerejawi gereja HKBP ini apada akhirnya mulai digugat atau

dipermasalahkan oleh HKBP distrik Simalungun melalui peran Pdt. Jaulung

Wismar Saragih.

154 J.L Swellengrebel, “Mengikuti Jejak Leidejker Jilid 2 (1900-1970): Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa Nusantara”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2006, hal 193-195. 78

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

iii. Alkitab Bahasa Simalungun155

HKBP di daerah distrik Simalungun merasa bahwa mereka membutuhkan bahasa

Alkitab sesuai dengan bahasa mereka sendiri yaitu bahasa Simalungun. Pdt.

Jaulung Wismar Saragih (JWS) sebagai pendeta HKBP yang pertama kali berasal

dari daerah Simalungun bersama dengan kakaknya, Jaudin Saragih, gigih

memperjuangkan bahasa Simalungun sebagai bahasa pengantar di gereja dan di

sekolah-sekolah yang didirikan zending. Oleh karena itu ketika Pdt. J.W. Saragih

memimpin ibadah dan tiba saatnya khotbah dia tetap membawa Alkitab bahasa

Toba namun dibaca dalam bahasa Simalungun.

Dari hal inilah yang lalu memunculkan sebuah usaha untuk menerjemahkan

Alkitab dalam bahasa Simalungun sebagai salah satu sarana perlawanan terhadap

“tobanisasi” di dalam tubuh gereja HKBP. Namun didalam proses penerjemahan

Alkitab dalam bahasa Simalungun ini tidaklah semudah membalikkan telapak

tangan karena banyak dinamika yang harus dihadapi. Konteks yang harus

dihadapi JWS dalam penerjemahan Alkitab dalam bahasa Simalungun ini paling

tidak ada tiga hal, yaitu: kekuasan administrasi pemerintah kolonial Hindia-

Belanda, eksistensi badan misi RMG dan mobilisasi/migrasi orang-orang Toba

ke Simalungun.156

155- Henri Chambert-Loir, “Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia”, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2009, hal 478. - J.L Swellengrebel, “Mengikuti Jejak Leidejker Jilid 2 (1900-1970): Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa Nusantara”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2006, hal 182-199 - Martin Lukito Sinaga, Identitas Poskolonial “Gereja Suku” dalam Masyarakat Sipil: Studi tentang Jaulung Wismar Saragih dan Komunitas Kristen Simalungun, LKiS, Yogyakarta, 2004, hal 40-50 - Th. Van den End & J. Weitens, SJ; “Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia tahun 1860an- sekarang”, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2012, hal 196-198. 156 Martin Lukito Sinaga, Identitas Poskolonial “Gereja Suku” dalam Masyarakat Sipil: Studi tentang Jaulung Wismar Saragih dan Komunitas Kristen Simalungun, LKiS, Yogyakarta, 2004, hal 56-97. 79

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Pertama, kekuasaan administrasi pemerintah kolonial Belanda berpusat di daerah Toba. Sehingga dari hal ini maka bahasa daerah yang dipakai secara resmi dalam proses administrasi di daerah Sumatera Utara (Tanah Batak) adalah bahasa

Toba.

Kedua, eksistensi misi RMG yang mulai masuk ke daerah Simalungun pada tahun 1903 dilakukan oleh orang-orang Toba yang sudah menjadi Kristen.

Mereka datang sebagai penginjil/pelayan gereja HKBP maupun sebagai guru yang mengajar di sekolah-sekolah zending. Dengan adanya guru-guru dari daerah Toba maka bahasa pengantar di sekolah-sekolah zending adalah bahasa

Toba. Demikian juga dengan peribadahan gereja HKBP di Simalungun juga menggunakan bahasa Toba dikarenakan para pelayan gereja pada waktu itu hampir semuanya dari daerah Toba. Selain itu juga dikarenakan Alkitab yang digunakan dalam ibadah adalah Alkitab bahasa Toba.

Ketiga, dengan adanya kebijakan administrasi pemerintah kolonial Hindia

Belanda dan eksistensi misi RMG melalui sekolah dan gereja HKBP, maka memicu mobilisasi perpindahan orang-orang Toba menuju daerah Simalungun secara besar-besaran. Perpindahan besar-besaran inilah akhirnya terlihat seperti sebuah “invasi” orang-orang Toba kepada orang-orang Simalungun. “Invasi” ini bukan hanya berdampak pada konfigurasi social di daerah Simalungun namun juga berdampak pada resepsi orang-orang Simalungun terhadap gaya kristenisasi yang dibawa oleh orang-orang Toba.

Dari berbagai macam dinamika yang ada di daerah Simalunugun tersebut tidak menyurutkan niat dari JWS untuk menerjemahkan Alkitab dalam bahasa

Simalungun. Usahanya dimulai dari tahun 1939 secara mandiri karena diterjemahkan oleh penutur asli dari bahasa sasaran. Bahkan JWS disebut sebagai

80

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

penerjemah “independen” pertama di Indonesia. 157 Selain itu proses

penerjemahan ini tidak dinaungi oleh Lembaga Alkitab Belanda namun dinaungi

oleh “Kongsi Bibel Simaloengoen” (Lembaga Alkitab Simalungun) yang juga

didirikan oleh Pdt. Wismar Saragih pada tahun 1944.158

Akhirnya pada tahun 1952 penerjemahan PB sudah bisa diselesaikan dan pada

tahun 1953 Alkitab PB bahasa Simalungun diterbitkan. Setelah penerbitan bagian

PB ini maka dilanjutkan ke bagian PL. Namun karena sakit yang dideritanya

hingga tahun 1965 terjemahan PL ini belum selesai hingga beliau meninggal

dunia pada tahun 1968. Setelah beliau meninggal dunia terjemahan ini lalu

dilanjutkan oleh Pdt. P. Purba.159

Dari karya penerjemahan Alkitab bahasa Simalungun ini JWS lalu dijuluki

sebagai “Luther dari Simalungun”.160 Hal ini dikarenakan usahanya yang sama

dengan Martin Luther yang menerjemahkan Alkitab dalam bahasanya sendiri dan

dalam proses penerjemahan ini juga harus menghadapi berbagai macam dinamika

yang nantinya membawa pada “skisma” gereja HKBP dengan lahirnya gereja

GKPS pada 2 September 1962.

3. Periode ketiga (1950 – sekarang)

Oleh karena Belanda sudah angkat kaki dari tanah Nusantara yang sudah menjadi

negara yang merdeka dengan nama Indonesia, maka segala sesuatu yang “berbau”

Belanda sedikit demi sedikit dihilangkan. Salah satunya adalah munculnya gagasan

bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia yang diharapkan dapat menggantikan lingua

157 Henri Chambert-Loir, “Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia”, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2009, hal 471 158 Ibid hal 478 159 J.L Swellengrebel, “Mengikuti Jejak Leidejker Jilid 2 (1900-1970): Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa Nusantara”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2006, hal 193-198. 160 Ibid hal 199 81

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

franca yang selama ini digunakan di wilayah nusantara pada era kolonial yaitu bahasa

Melayu. Sebenarnya pengakuan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu sudah

didengungkan sejak peristiwa Sumpah Pemuda 1928 namun karena pada waktu itu

pemerintahan kolonial Hindia-Belanda masih bercokol maka bahasa Indonesia belum

bisa menjadi sebuah bahasa resmi di wilayah Hindia-Belanda namun sudah mulai

digunakan sebagai sebuah bahasa perlawanan.

Oleh karena itu penggunaan bahasa Indonesia sebenarnya dipakai sebagai alat

pemersatu bangsa di sebuah negara yang berdiri di atas perbedaan suku, agama, ras,

golongan dll. Sehingga demi rasa persatuan tersebutlah maka disusunlah sebuah

“lingua franca” yang baru yaitu bahasa Indonesia. Dikatakan sebagai sebuah lingua

franca dikarenakan bahasa Indonesia banyak menyerap dari banyak bahasa antara lain:

bahasa Portugis, Belanda, Inggris, Arab, India, Melayu, Jawa dll.

Periode ini (tahun 1950) diawali dengan bersatunya 32 denominasi gereja Protestan

yang ada di Indonesia dengan membentuk DGI (Dewan Gereja-gereja di Indonesia)

pada tahun 1950, yang saat ini sudah berganti nama menjadi PGI (Persekutuan Gereja-

gereja di Indonesia).161 Pembentukan DGI ini lalu diikuti dengan pembentukan LAI

pada tahun 1954 sebagai sarana untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa

nasional yang oikumenis yaitu bahasa Indonesia untuk menggantikan Alkitab bahasa

Melayu.162 Dengan demikian maka gereja-gereja di Indonesia juga memerlukan sebuah

Alkitab yang sesuai dengan bahasa nasional yang dipakai di negara Indonesia. Dari hal

itulah maka pendirian LAI pada memang bertujuan untuk merubah terjemahan bahasa

Melayu menjadi bahasa Indonesia. Dari terjemahan Alkitab bahasa Indonesia ini selain

sebagai perwujudan rasa nasionalisme gereja terhadap negara juga digunakan sebagai

161 Sadur hal 462. 162 Weinata Sairin (Peny.), Persebaran Firman di Sepanjang Masa, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1994, hal 51. 82

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sebuah bahasa yang oikumenis bagi gereja-gereja di Indonesia, baik itu gereja Protestan

yang terdiri dari berbagai macam denominasi dan Gereja Katholik.163

Selain menangani penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Indonesia, LAI juga

menangani penerjemahan dalam bahasa daerah seperti yang sudah dilakukan oleh NBG

(Lembaga Alkitab Belanda). Oleh karena itu setelah penerjemahan bahasa Indonesia

bisa diselesaikan, maka langkah selanjutnya adalah LAI melakukan penerjemahan ke

dalam bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia.

a. Penerjemahan Alkitab Bahasa Indonesia164

i) Terjemahan Lama (Terjemahan masa peralihan): tahun 1958

Alkitab Terjemahan Lama (TL) ini sebenarnya adalah penerbitan Alkitab yang

bersifat darurat. Alkitab TL ini sebenarnya adalah gabungan antara Alkitab

Perjanjian Lama (bahasa Melayu) terjemahan Klinkert tahun 1879 dan Alkitab

Perjanjian Baru (bahasa Melayu) terjemahan Bode tahun 1938. Dari

penggabungan dua Alkitab ini LAI menyadari bahwa Alkitab TL terpaksa

diterbitkan meskipun dalam bentuk kurang lazim. Oleh karena itu diharapkan

Alkitab dalam terjemahan bahasa Indonesia yang lebih baik dan sempurna

segera bisa diterbitkan. Dan usaha penerjemahan Alkitab bahasa Indonesia yang

baik, benar dan sempurna sudah dilakukan sejak tahun 1952 dan kira-kira

memerlukan waktu 10 tahun ke depan. Oleh karena itulah Alkitab “darurat”

yang disebut sebagai Alkitab TL ini diterbitkan.

Penerjemahan ini ini terimbas konflik politik tahun 1959 (tentang Irian Barat)

yang akhirnya menyebabkan Dr. Swellengrebel terpaksa harus angkat kaki dari

Indonesia, sehingga dari hal inilah maka penerjemahan sepenuhnya dilakukan

163 Henri Chambert-Loir, “Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia”, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2009, hal 479. 164 Daud H. Soesilo, “Mengenal Alkitab Anda”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 1995, hal 58-66. 83

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

oleh LAI dengan para penterjemah yang semuanya adalah asli Indonesia

diantaranya yaitu Dr. J.L.Ch. Abineno dan Dr. R. Soedarmo yang baru saja

menyelesaikan studi doktoralnya di Belanda.165 Karena dilakukan dalam

suasana konflik inilah maka diupayakan melenyapkan pengaruh bahasa dari

zaman penjajahan (Belanda) dan menegakkan bahasa Indonesia.

ii) Perjanjian Baru terjemahan Gereja Katholik: 1964

Sementara gereja-gereja Protestan melalui LAI masih sibuk menerjemahkan

Alkitab dalam bahasa Indonesia, pihak gereja Katholik juga mengupayakan

terjemahan yang baru. Terjemahan ini diterbitkan pada tahun 1964 dan direvisi

tahun 1968 dalam edisi Perjanjian Baru. Pada tahun 1968 gereja Katholik

memutuskan menghentikan penerjemahan Alkitab Perjanjian Lama karena

mereka sepakat untuk mengusahakan penerjemahkan Alkitab bersama-sama

dengan LAI. Sikap gereja Katholik dan Protestan yang sepakat menterjemahkan

Alkitab secara bersama inilah yang nantinya melahirkan terjemahan

“Oikumenis” di Indonesia.

iii) Terjemahan Baru: 1974

Terjemahan yang diharapkan bisa selesai dalam waktu 10 tahun ternyata tidak

berhasil. Jika dihitung dari awal mulai penerjemahan yang dilakukan pada

tahun 1952 seharusnya tahun 1962 Alkitab dalam bahasa Indonesia sudah bisa

diterbitkan. Namun karena berbagai macam persoalan yang dihadapi maka

baru pada tahun 1974 Alkitab bahasa Indonesia baru bisa diterbitkan secara

resmi. Terjemahan Alkitab dalam bahasa Indonesia ini dikenal sebagai Alkitab

Terjemahan Baru TB. 166

165 R.Z Lierissa, Penerjemahan Alkitab di Indonesia (tinjauan historis); weinata sairin hal 50-52 166 Sadur hal 460. 84

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Alkitab TB menjadi sebuah Alkitab Oikumenis pertama yang dipakai oleh

semua umat Kristiani di Indonesia. Metode yang digunakan dalam

penerjemahan Alkitab TB memang masih menggunakan metode yang harfiah

yang mementingkan bentuk bahasa asli Alkitab sehingga sering kali arti yang

dimaksudkan menjadi tidak nampak atau tersembunyi. Alkitab TB adalah

terjemahan yang mempunyai tujuan atau”‘skopos” demi kepentingan gerejani

dengan fungsi internal yaitu kepentingan liturgis.

Dalam periode ini situasi politik sudah beralih dari jaman ORLA (Soekarno)

berubah menjadi jaman ORBA (Soeharto). Dikarenakan pada masa ini segala

berbagai macam hal yang berbau “Soekarnois” harus dihapus, maka hal itu

juga berpengaruh terhadap keberadaan Alkitab TL yang juga harus

disesuaikan dengan Ejaan Yang Baru (EYD). “Edjaan Baru ini ditjiptakan

untuk memberi kesan kolot, kiri-kirian, tanpa guna, tertjemooh, dan sulit

dibatja kepada apa sadja jang ditulis sebelum Soeharto memperkokoh

kekuasaannja”.167

iv) Bahasa Indonesia Sehari-hari (1985)

Selain metode penerjemahan harfiah pada periode ini mulai diperkenalkan

metode penerjemahan dinamis/fungsional yang mementingkan arti dan fungsi

yang dimaksudkan dalam naskah asli Alkitab dan menyampaikannya dalam

bentuk bahasa sasaran yang umum dan wajar sesuai dengan pemakaian yang

kekinian yang dapat dimengerti oleh semua lapisan. Dalam penerjemahan

dinamis ini harus ada dua aspek yang diutamakan yaitu kesetiaan terhadap teks

asli dan suatu hasil terjemahan yang paling seseuai dengan dengan bentuk

167 Ben Aderson, Bahasa Tanpa Nama; dalam Sadur hal 390. 85

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

bahasa penerima, dimana dua aspek tersebut harus melalui tiga langkah yaitu:

Analisa, menganalisa arti teks sumber; Pengalihan, memikirkan persoalan-

persoalan, baik secara linguistik maupun secara kebudayaan berhubung

dengan pengalihan ke bahasa penerima; Penyusunan Kembali, menyusun teks

itu kembali menurut bentuk bahasa penerima.168

Salah satu model Alkitab yang menggunakan metode tersebut adalah “Alkitab

dalam bahasa Indonesia sehari-hari” (BIS). Penerjemahan Alkitab BIS ini

dimulai tahun 1974 dan berhasil diterbitkan secara lengkap pada tahun 1985.

Alkitab BIS adalah hasil terjemahan demi fungsi eksternal yang bertujuan atau

“skopos”nya untuk kepentingan pembaca yang tidak begitu akrab dengan

bahasa gerejani.169

b. Bahasa Daerah

Selain menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Indonesia LAI juga

menerjemahkan Alkitab kedalam bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Penerjemahan

Alkitab ke dalam bahasa-bahasa daerah di Indonesia sudah dimulai sejak awal abad

ke 19 ketika Lembaga-lembaga Alkitab masuk ke bumi Nusantara. Namun ternyata

bahasa daerahpun juga mengalami perkembangan, sebagai contoh ketika masih di

jaman kolonial Belanda dimana Alkitab bahasa Batak yang diterjemahkan dengan

menggunakan bahasa Toba ternyata memancing reaksi dari orang-orang Kristen di

daerah Simalungun yang menuntut adanya terjemahan Alkitab bahasa Simalungun.

Dimana pada akhirnya Alkitab bahasa Simalungun ini baru bisa selesai

diterjemahkan dengan bantuan LAI pada akhir tahun 1960an.

168 P.G. Katoppo, Penuntun Terjemahan Dinamis, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 1987, hal 10. 169 Sadur hal 460. 86

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Namun memasuki abad ke 21 ini, ternyata apa yang terjadi dengan Alkitab bahasa batak Toba, saat ini sepertinya juga terjadi pada Alkitab bahasa Jawa. Pada tahun

2005 telah dimulai sebuah proyek penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa

Banyumasan. Proses penerjemahan ini tidak dilakukan oleh LAI namun oleh sebuah komunitas budaya yang menamakan diri dengan sebutan PASEBAN

(Paguyuban Senthir Banyumasan) bekerjasama dengan Yayasan Kartidaya. Pada tahun 2015 proses penerjemahan ini baru bisa menyelesaikan Injil Lukas. Disusul tahun 2019 untuk terjemahan Kisah Para Rasul.

Yang menarik dari penerjemahan ini adalah diterjemahkan bukan oleh sebuah lembaga penerjemahan Alkitab namun hanya oleh sebuah komunitas kebudayaan.

Demikian juga orang-orang yang menerjemahkan juga bukan dari kalangan bahasa dan teolog, mereka dapat dikatakan hanya sebagai jemaat gereja biasa atau awam.

Bahkan mereka tercatat sebagai jemaat gereja yang bukan berasal dari gereja yang berlatarbelakang etnis. Bahkan proses penerjemahan ini dilakukan tanpa ada campur tangan sedikitpun dari pihak gereja denominasi apapun. Dan yang lebih menarik lagi adalah bahasa Banyumasan ini secara nasional belum diakui sebagai sebuah bahasa dan hanya diakui sebagai sebuah dialek dari bahasa Jawa.

Sehingga dalam penerjemahan ini sebenarnya jika dilihat dari sisi ilmu linguistic juga masih diperdebatkan apa bisa dikatakan sebuah penerjemahan karena dari pengakuan sebagai sebuah bahasa belum diakui. Walaupun demikian sebenarnya di kalangan budayawan Banyumasan mempunyai pendapat bahwa bahasa

Banyumasan adalah sebuah bahasa yang berbeda dengan bahasa Jawa. Bahkan usia bahasa Banyumasan sebenarnya lebih tua dari bahasa Jawa yang selama ini dibakukan. Oleh karena itu sebutan sebagai sebuah dialek tentunya adalah sebuah kesalahan.

87

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Jika mengacu dengan apa yang terjadi pada proses penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Simalungun sepertinya ada sebuah kemiripan. Karena jika dilihat dari sisi historis bahasa Jawa yang saat ini lazim dipakai adalah bahasa Jawa Keratonan. Hal ini juga yang dulu menjadi perdebatan ketika munculnya Alkitab Jawa terjemahan

Brukner dan Gericke. Bruckner menggunakan bahasa Jawa Semarangan sedangkan

Gericke menggunakan bahasa Jawa Surakartaan yang dipakai oleh kalangan

Keraton sebagai sebuah simbol kekuasaan Jawa pada waktu itu. Dan dari peristiwa tersebut, Alkitab Gericke-lah yang akhirnya “memenangkan” perdebatan ini.

Namun apa yang dimenangkan oleh Gericke akhirnya dikalahkan oleh P. Jans.

“Kemenangan” Alkitab Jawa terjemahan P. Jans ini seperti apa yang pernah dikatakan oleh Adriani, ternyata kemenangan ini diraih karena adanya pengakuan dari publik yang merasa bahwa terjemahan P. Janz lebih nudah diterima dan dimengerti. Namun kemenangan ini sepertinya hanya kemenangan “de facto” saja karena secara “de jure” terjemahan Gericke secara tata bahasa tetap diakui yang paling memenuhi syarat secara ilmu linguistic.

Sehingga dari apa yang pernah terjadi di masa lampau, ternyata sekarang peristiwa itu berulang kembali, pada khususnya saat ini terjadi pada Alkitab bahasa Jawa yang keberadaannya saat ini sedang “digugat” dengan munculnya proses penerjemahan

Alkitab ke dalam bahasa Banyumasan. Dalam konteks Alkitab bahasa Batak kita bisa melihat bagaimana bahasa Toba akhirnya menjadi “bahasa penguasa” bagi bahasa lainnya yang ada di Tanah Batak. Hal tersebut juga terjadi pada Alkitab bahasa Jawa, ketika bahasa Keraton lah yang dianggap paling baik dan benar sehingga dianggap sebagai sebuah standar yang baku. Bahasa Jawa Keraton adalah bahasa yang adiluhung, diluar itu tidak. Sehingga dari hal tersebutlah yang menyebabkan bahasa Banyumasan juga sebagai bahasa yang ada dibawah bahasa

88

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Jawa versi Keraton, bahkan bahasa Banyumasan hanya dianggap sebagi sebuah

dialek.

Disinilah semakin terlihat bahwa relasi kekuasaan di dalam proses penerjemahan

Alkitab, bahasalah yang menjadi factor penentu. Mengacu pada apa yang dikatakan

oleh Gramsci maka dominasi bahasa Jawa versi keraton-an, yang lalu disebut

sebagai Bahasa Jawa Baku, terhadap Bahasa Banyumasan adalah sebuah

Hegemoni. Dengan adanya hegemoni berarti dua ada cara yang bisa dilakukan

untuk mencapai sebuah dominasi yaitu dengan cara “Coersif” atau “Consent”.

C. Relasi Kuasa Dalam Penerjemahan Alkitab

Dengan melihat proses perkembangan penerjemahan Alkitab dari masa ke masa hingga

masuk ke dalam konteks di Indonesia yang dikerucutkan pada konteks penerjemahan

Alkitab bahasa Banyumasan ternyata terdapat sebuah “relasi kekuasaan” di dalamnya.

Secara ringkas yang turut terlibat dalam relasi kuasa tersebut adalah pihak penguasa

(negara/kerajaan/kekaisaran) dan otoritas gereja. Dalam hal ini posisi pihak penguasa bisa

berada di atas gereja atau sebaliknya, bahkan bisa kedua-duanya melakukan konspirasi

demi tujuan tertentu. Oleh karena itu untuk melihat hal yang sangat luas dari adanya relasi

kekuasaan dalam proses penerjemahan Alkitab maka harus bisa dicari akar dari segala

permasalahan tersebut.

Proses penerjemahan berarti sebuah proses dimana, paling tidak, ada dua bahasa yang

sedang diperhadapkan. Sehingga sebenarnya diantara dua bahasa ini terdapat sebuah

jurang pemisah. Oleh karena itu diperlukan sebuah “jembatan” untuk bisa

menghubungkan dua bahasa ini. Maka dari dalam sebuah proses penerjemahan menurut

James Siegel harus “terjalin antara orang-orang yang tidak saling mencerminkan dan

89

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dengan demikian tidak saling menyebabkan rasa rikuh”.170 Dari apa yang dikemukakan

Siegel, memperlihatkan bagaimana prinsip tentang “berbahasa” yang harus mengandung

dua hal yaitu, “tidak saling mencerminkan” dan “tidak saling menyebabkan rasa rikuh”.

Ketika masuk pada prinsip “tidak saling mencerminkan”, Siegel memperlihatkan

bagaimana berbahasa sebenarnya bukan hanya sekedar factor keturunan belaka namun

juga dapat dipengaruhi oleh sebuah proses pembelajaran. Sehingga berbahasa bukan lagi

adanya dua identitas akan tetapi hanya ada satu identitas yaitu bahasa itu sendiri. Sebagai

contoh adalah permasalahan di Aljazair dimana berbahasa dapat menjadi factor hidup mati

nya seseorang. Oleh karena itu didalam berbahasa maka seseorang sudah tidak bisa

meng“claim” identitas dirinya sendiri maupun lawan bicaranya karena identitas itu sudah

melebur didalam bahasa itu sendiri.

Sedangkan didalam hal “tidak saling menyebabkan rasa rikuh” adalah bagaimana ketika

seseorang berbicara kepada pihak lain tidak disertai dengan adanya tingkatan tertentu atau

dengan sederhananya dengan berbahasa semua menjadi setara. Setara karena bahasa yang

dipakai sama dan sekat atau “jurang” diantaranya menjadi tidak ada. Dengan demikian

maka di dalam berbahasa tidak ada sesuatu yang disembunyikan atau ditutup-tutupi atau

diungkapkan secara tidak jujur. Dengan kata lain, bahwa dengan berbahasa sesuatu yang

disampaikan itu dapat dimengerti secara langsung oleh pihak-pihak yang sedang berbicara

tanpa harus melakukan retorika yang menghasilkan banyak penafsiran yang disertai

dengan berbagai macam “unggah-ungguh”.

Dengan dua prinsip dari Siegel yaitu “tidak saling mencerminkan” dan “tidak saling

menyebabkan rasa rikuh” inilah yang sepertinya masih menjadi sebuah kendala di dalam

170 Henri Chambert-Loir, “Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia”, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, hal 342. 90

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

hal penerjemahan Alkitab. Dengan masih adanya dua hal tersebut memperlihatkan bahwa didalam sebuah proses penerjemahan Alkitab menujukkan adanya sebuah dominasi dan relasi kekuasaan antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya. Sebagai contoh adalah penerjemahan Alkitab dalam bahasa Batak yang ternyata didominasi oleh bahasa Toba sebagaimana bahasa Jawa Keraton juga mendominasi bahasa Jawa. Dari dominasi inilah yang memunculkan dalam bahasa Gramsci yaitu “Hegemoni”. Hegemoni yang terjadi disini tentunya adalah hegemoni bahasa, dimana satu bahasa menguasai bahasa yang lainnya atau dominasi sebuah kekuasaan didapatkan melalui bahasa. Hal itu dilihat oleh

Gramsci dengan apa yang terjadi pada di Italia ketiak bahasa Latin mendominasi bahasa

Italia.

Oleh karena “Hegemoni” itulah maka dalam konteks penerjemahan Alkitab Batak muncul gerakan perlawanaan dari daerah Simalungun yang menentang dominasi bahasa Toba.

Dan gerakan perlawanan itu diwujudkan dengan adanya proses penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Simalungun. Dan di dalam perkembangan penerjemahan Alkitab di

Indonesia, ternyata proses penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Simalungun ini menjadi sebuah transisi dari sebuah periode yang masih tradisional menuju ke periode yang lebih modern.

Oleh karena itu berkaca dari peristiwa proses penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa

Simalungun yang boleh dikatakan sebagai sebuah perlawanan, yang dalam bahasa

Gramsci disebut sebagai sebuah “counter hegemoni”, maka hal yang sama terjadi pada

Alkitab bahasa Jawa. Sejak pertama kali diterjemahkan kedalam bahasa Jawa, Alkitab bahasa Jawa sudah mengalami berbagai macam permasalahan politis, dimana dari permasalahan tersebut lalu mengacu pada sebuah dominasi dan relasi kekuasaan. Alkitab bahasa jawa adalah Alkitab yang diterjemahkan karena didasarkan pada kedua factor

91

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

politis tersebut yang akhirnya menciptakan sebuah “hegemoni bahasa” di kalangan orang

Kristen Jawa. Hal ini dikarenakan bahasa Jawa yang dipakai di dalam terjemahan Alkitab

jawa adalah sebuah bahasa “kontruksi”.

Melalui konstruksi bahasa inilah maka melahirkan sebuah bahasa yang standard digunakan

bagi orang Jawa, dan khususnya melalui Alkitab bahasa Jawa bagi orang Kristen Jawa,

yang disebut sebagai Bahasa Jawa “baku”. Dengan bahasa Jawa baku ini maka bahasa

Jawa yang tidak masuk dalam pembakuan ini menjadi bahasa kelas dua, salah satu

contohnya adalah bahasa Banyumasan yang lebih dikenal sebagai bahasa “ngapak-

ngapak” yang hingga saat ini masih dituturkan oleh orang-orang yang berada di bagian

barat Jawa Tengah (Banyumas/Purwokerto171, Purbalingga, Cilacap, Banjarnegara,

Kebumen, Wonosobo, Pemalang, Pekalongan, Tegal, Brebes). Dari masing-masing daerah

tersebut memang mempunyai cirikhasnya masing-masing namun dalam hal ini ada 5

daerah yaitu Banyumas, Banjarnegara, Purbalingga, Cilacap dan Kebumen

(Masbarlingcakeb) yang mempunyai kedekatan dan persamaan bahasa Banyumasan yang

lalu bahasa di 5 daerah ini disebut sebagai bahasa “Penginyongan”.

Dan saat ini sudah dimulai adanya terjemahan Alkitab dalam bahasa Banyumasan atau

Penginyongan yang sudah dimulai sejak tahun 2005. Memang hingga saat ini (tahun 2020)

proses penerjemahan ini belum selesai dan baru menyeselaikan Injil Lukas (terbit tahun

2015) dan Kisah Para Rasul yang masih dalam edisi percobaan (diluncurkan tahun 2018).

Latar belakang penerjemahan ini adalah bagaimana menghadirkan bahasa Alkitab sesuai

dengan bahasa sehari-hari orang Banyumasan yang sebenarnya bahasa Banyumasan

mempunyai banyak perbedaan dengan bahasa Jawa baku. Dan dengan hanya adanya

Alkitab dalam bahasa Jawa baku saja maka sebenarnya orang-orang Kristen di daerah

171 Kota Purwokerto adalah ibukota Kabupaten Banyumas. 92

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Banyumasan seakan-akan dijauhkan dari bahasa sehari-harinya yaitu bahasa Banyumasan.

Dari hal inilah yang lalu melatarbelakangi dimulai proses penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Banyumasan.

Sehingga dari latar belakang yang seperti ini sebenarnya menunjukkan bahwa di dalam proses penerjemahan Alkitab bahasa Banyumasan terdapat kesamaan dengan proses penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Simalungun. Dan jika penerjemahan Alkitab bahasa Simalungun dimotori oleh seorang teolog atau rohaniawan, berbeda dengan penerjemahan Alkitab bahasa Banyumasan dilakukan oleh jemaat gereja biasa atau awam yang bukan seorang teolog atau rohaniawan. Dan orang-orang yang terlibat dalam penerjemahan ini adalah para penutur asli dari bahasa Banyumasan, sama seperti proses penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Simalungun juga dilakukan oleh penutur aslinya.

93

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB III

HEGEMONI BAHASA JAWA BAKU TERHADAP

PROSES PENERJEMAHAN ALKITAB BAHASA “PENGINYONGAN”

A. Hegemoni

Gagasan tentang Hegemoni pertama kali diperkenalkan oleh Plekhanov, seorang Marxis

Rusia.172 Menurut Plekhanov awal mula munculnya hegemoni adalah dengan adanya

sistem perbudakan yang dilakukan oleh para tuan tanah kepada para petani, yang akhirnya

pada era kapiltalisme terjadi perbudakan terhadap kelas pekerja yang dilakukan oleh kelas

pemilik modal.173 Dari hal inilah yang lalu memunculkan konsep dasar dimana perlunya

kelas pekerja untuk membangun sebuah aliansi bersama kelas petani dengan tujuan

menggulingkan kekaisaran Tsar.174 Konsep ini lalu diterapkan oleh Lenin yang berhasil

melahirkan “Revolusi 1917” di Rusia. Konsep ini selanjutnya dikembangkan oleh Antonio

Gramsci diluar Rusia yaitu di negara Italia, dimana Hegemoni adalah “sentral”175 dan

menjadi sebuah “puncak”176 pemikiran yang bisa dikatakan sebagai sebuah gagasan yang

paling “orisinil” 177 dalam filsafat dan teori sosial yang dikembangkan oleh Antonio

Gramsci.

172 Robert Bocock, “Pengantar Komprehensif Untuk Memahami Hegemoni” (penj: Ikrammullah Mahyuddin), Jalasutra, Yogyakarta, 2011, hal 22. 173 G. V. Plekhanov, “Masalah-masalah Dasar Marxisme” (penj : Ira Iramanto), 2007, Hal 29 174 Roger Simon, “Gagasan-gagasan Politik Gramsci” (penj: Kamdani & Imam Baehaqi), INSIST & Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hal 20. 175 George Ritzer & Douglas J. Goldman, “Teori Marxis dan Berbagai Ragam Teori Neo-Marxian” (penj: Nurhadi), Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2011, hal 100. 176 Ernesto Laclau & Chantal Mouffe, “Hegemoni dan Strategi Sosialis: Pos Marxisme dan Gerakan Sosial Baru” (penj: Eko Prasetyo Darmawan), Resist Book, Yogyakarta, 2008, hal 2. 177 Robert Bocock, hal 15. 94

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Hegemoni menurut Gramsci adalah suatu sistem relasi kekuasaan yang bukan hanya

sekedar berdasarkan sebuah “dominasi”, akan tetapi berdasarkan kepemimpinan

intelektual dan moral.178 Konsep ini muncul didasarkan pada dua factor,179 yaitu: pertama,

kritik Gramsci terhadap teori Marxis serta Lenin tentang “ekonomisme” yang menurutnya

mempunyai kelemahan besar; dan kedua, kritik Gramsci terhadap model sosialisme Soviet

yang menurutnya mempunyai pengaruh yang sangat negatif. Kritik yang pertama, Gramsci

mengkritik teori Marx tentang relasi kuasa yang berpusat pada sisi ekonomi saja dan juga

gagasan Lenin yang mengatakan bahwa adanya hubungan mekanis antara ekonomi dan

politik. Sedangkan kritik yang kedua ditujukan kepada Stalin yang mengembangkan

sebuah konsep tentang negara sosialis Soviet pada tahun 1924 setelah menggantikan posisi

Lenin.

Melalui pemikiran-pemikiran yang dikemukakan oleh Marx, Lenin dan Stalin, dari situlah

dasar-dasar pemikiran Gramsci dibentuk. Pengalamannya yang pernah bekerja di Rusia

(1922-23), dan juga menikah dengan perempuan Rusia (kelahiran Swiss), yang membuat

Gramsci menjadi tidak begitu asing dengan pemikiran ketiga tokoh tersebut. Namun

tentunya situasi dan kondisi di Italia berbeda dengan di Rusia. Oleh karena itu pemikiran-

pemikiran yang telah dipengaruhi oleh ketiga tokoh tersebut harus dapat diterapkan di

Italia dengan konsep-konsep yang cocok untuk situasi dan kondisi di Italia. Sehingga

dengan demikian Gramsci harus dapat kritis dengan pemikiran ketiga tokoh tersebut

karena tentunya tidak serta merta pemikiran-pemikiran mereka dapat langsung diterapkan

di Italia. Dengan disandingkannya pemikiran-pemikiran dari para tokoh Italia seperti

178 Antonio Gramsci, “Prison Notebooks: Catatan-catatan dari Penjara” (penj: Teguh Wahyu Utomo), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013, hal 63 & 81. 179 Roger Simon, “Gagasan-gagasan Politik Gramsci” (penj: Kamdani & Imam Baehaqi), INSIST & Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hal 3. 95

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Machiavelli, Gentile dan Croce-lah konsep pemikiran Gramsci dibentuk untuk bisa

menciptakan sebuah gagasan yang sesuai dengan kondisi dan situasi di Italia.

Berkaitan dengan hegemoni yang terbentuk melalui kepemimpinan intelektual dan moral,

menurut Gramsci dikatakan bahwa, “semua manusia mempunyai potensi untuk menjadi

kaum intelektual, sesuai dengan kecerdasan yang dimiliki dan dalam cara

menggunakannya; namun tidak semua orang adalah intelektual dalam fungsi sosial”.180

Gramsci membagi kaum intelektual dalam makna fungsional menjadi dua kelompok yaitu

kaum “Intelektual Tradisional” dan “Intelektual Organik”.181

Kaum intelektual tradisional adalah mereka yang mempunyai posisi dalam

celah masyarakat yang mempunyai aura kelas tertentu, tetapi berasal dari

hubungan kelas masa silam dan sekarang, serta melingkupi berbagai macam

kelas historis. Sedangkan kaum intelektual organic adalah unsure pemikir dan

pengorganisasian dari sebuah kelas fundamental tertentu.

Dari definisi di atas, maka dapat dikatakan bahwa Intelektual Tradisoinal adalah sebuah

kelas yang dibentuk oleh oleh sistem kapitalisme untuk menguasai celah-celah di dalam

ranah ekonomi untuk mempertahankan kepentingan para kaum kapitalis, sedangkan

Intelektual Organic adalah kelas yang lahir karena mengembangkan berbagai macam

pikirannya yang kritis dan menghubungkannya dengan realitas sosial yang terjadi sehingga

muncullah perjuangan antar kelas. Dengan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa kaum

Intelektual Tradisional adalah kelas yang mempertahankan “hegemoni” kelas atas

terhadap kelas dibawahnya, sedangkan kaum Intelektual Organik adalah sebuah kelas

180 Antonio Gramsci, “Prison Notebooks: Catatan-catatan dari Penjara” (penj: Teguh Wahyu Utomo), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013, hal 3. 181 Ibid hal 3. 96

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

yang terbentuk dalam rangka perjuangan antar kelas yang dilakukan oleh kelas bawah

untuk melakukan “counter hegemoni” terhadap hegemoni kelas yang ada di atasnya.

Dengan demikian apakah kaum intelektual itu adalah sebuah kelompok sosial yang

otonom dan indenpenden atau apakah setiap kelompok sosial mempunyai kategori khusus

mengenai kaum intelektual. Dalam hal ini Gramsci berusaha menjelaskan, bahwa setiap

kelas sosial yang muncul dari ranah fungsi esensial produksi ekonomi akan membentuk

kelompok-kelompok intelektualnya sendiri, secara organik, yang membawa keadaan yang

serba sama dan kesadaran akan fungsinya bukan hanya pada ranah ekonomi saja, akan

tetapi juga terjadi pada ranah sosial dan politik.182 Maksud dari pernyataan ini adalah

bahwa kaum kapitalis tidak hanya menguasai aktivitas-aktivitas pada ranah ekonomi saja

akan tetapi juga harus bisa menguasai ranah-ranah lain disekitarnya yang akan membawa

dukungan dan dampak positif terhadap proses produksi ekonominya. Sebagai contoh

adalah adanya kaum kapitalis (pemilik modal) atau wakilnya yang menduduki posisi

penting di masyarakat atau lembaga negara, dimana mereka menggunakan posisi tersebut

supaya nantinya dapat mempengaruhi keluarnya kebijakan-kebijakan yang hanya

menguntungkan kaum kapitalis (pemilik modal) saja.

Demikian juga dengan setiap kelompok sosial “essensial” yang sudah bergabung bersama-

sama dalam sebuah proses struktur ekonomi yang sudah berkembang sebelumnya, juga

telah mempunyai kategori-kategori kaum intelektual yang kedudukannya tidak terganggu

oleh perubahan situasi pada ranah politik dan social yang rumit dan radikal.183 Maksud

dari pernyataan ini adalah bahwa terdapat kaum intelektual yang kedudukannya pada ranah

ekonomi tetap berada pada tempatnya walaupun telah terjadi berbagai perubahan situasi

182 Antonio Gramsci, “Prison Notebooks: Catatan-catatan dari Penjara” (penj: Teguh Wahyu Utomo), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013, hal 8. 183 Ibid hal 10 97

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dalam ranah sosial dan politik yang ekstrem. Sebagai contoh adalah kaum rohaniawan,

dimana kedudukan mereka bisa disejajarkan dengan para kaum aristokrat pada masa

feodalisme, bahkan bisa juga disejajarkan dengan kelas pemilik modal pada masyarakat

kapitalis.

Hal tersebut bisa digambarkan dengan hubungan antara agama dan kedokteran, dimana

masih ada rumah sakit yang menyertakan dokter dan rohaniawan dalam proses perawatan

pasien.184 Dari gambaran ini antara dokter dan rohaniawan ini menegaskan bahwa dahulu

sebelum adanya kemajuan ilmu medis, kaum rohaniawan adalah orang-orang yang

dipercaya mempunyai “kuasa” atau “kekuatan” supranatural yang dapat menyembuhkan

penyakit. Dan ketika era ilmu medis modern sudah muncul keberadaan rohaniawan

ternyata juga tetap diikutsertakan dalam proses perawatan pasien di rumah sakit, bukan

sebagai seseorang yang dianggap punya kuasa dan kekuatan supranatural akan tetapi

diposisikan sebagai “kelompok penyemangat” (esprit de corps).185

Oleh karena hal inilah maka setiap kelas berusaha mempertahankan atau membentuk kaum

intelektualnya masing-masing. Hal ini ditunjukkan dengan terbentuknya institusi

pendidikan pada setiap tingkatan yang bertujuan untuk mempertahankan dan membentuk

kaum intelektualnya masing-masing. Dengan demikian maka sekolah adalah instrumen

tempat bagi kaum intelektual dari berbagai tingkatan untuk mengelaborasikan hal

tersebut.186

Namun keberadaan sekolah yang hanya digunakan untuk mengelaborasikan antara

pembentukan dan mempertahankan kaum intelektual tertentu ini dikritik oleh Gentile dan

Croce yang menganggap sekolah adalah organisasi pendidikan dan kebudayaan yang

184 Ibid hal 10-11 185 Ibid Hal 11 186 Ibid hal 15 98

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

didalamnya hanya digunakan sebagai sebuah “instruksi”, bukan sebagai sebuah tempat

“pendidikan”.187 Hal tersebut terlihat jelas ketika terjadi pembedaan antara sekolah klasik

(tradisional) dan sekolah kejuruan.188 Sekolah klasik diperuntukan untuk kelas dominan,

sedangkan sekolah kejuruan untuk kelas instrumental atau subaltern. Dari dua jenis

sekolah inilah yang lalu mengarahkan supaya setiap kelas tetap berada di tempatnya

masing-masing untuk melestarikan fungsi masing-masing, yaitu sebagai atasan atau

bawahan.189

Untuk melestarikan fungsi-fungsi tersebut maka keberadaan sekolah pada waktu itu harus

mencerminkan sebuah peradaban yang modern, dimana simbol modernitas tersebut

dihubungkan dengan peradaban bangsa Yunani dan Romawi yang identik dengan kota

Athena dan Roma.190 Oleh karena itu maka konsep sekolah pada jaman itu mengajarkan

bagaimana pentingnya tata bahasa Yunani dan Latin sebagai sebuah simbol peradaban

yang modern dari bangsa Yunani dan Romawi.191 Sehingga pada saat itu sekolah-sekolah

di Italia mengajarkan secara ketat, dari tingkat dasar hingga menengah, tentang tata bahasa

Yunani dan Latin. Dengan konsep seperti ini berarti anak-anak sedang diarahkan untuk

menjaga tradisi kebudayaan Yunani dan Romawi sebagai sebuah “mitos”. Mereka belajar

bahasa Yunani dan Latin bukan untuk fasih berbicara menggunakan bahasa tersebut dalam

kehidupan sehari-hari mereka namun hanya untuk menunjukkan diri bahwa dengan bahasa

tersebut mereka mempunyai sebuah identitas yang menurut mereka adalah asal muasal

dari sebuah kebudayaan yang modern dan beradab.

187 Ibid hal 33 188 Ibid hal 38 189 Ibid hal 56 190 Ibid hal 51 191 Ibid hal 52-55 99

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Menurut Machiavelli, sebagaimana dikutip oleh Gramsci, bahwa kebudayaan modern

inilah yang akhirnya melahirkan sebuah konsep “Penguasa Modern” dimana si penguasa

tidak menampilkan dirinya secara obyektif dihadapan rakyat Italia, tetapi hanya

merupakan abstraksi teoritis murni, sebagai simbol dari seorang pemimpin dan

“condottierre’ ideal”.192 George Sorel menjelaskan bahwa Penguasa modern adalah

penguasa dalam “mitos” yang tidak bisa menjadi seseorang yang riil yaitu seorang individu

yang konkret, namun hanya berupa sebuah organisme yaitu sebuah elemen kompleks dan

masyarakat dengan sebuah kehendak kolektif yang telah diakui dan sudah mulai

berkembang untuk menyatakan dirinya dalam suatu aksi yang mengarah pada bentuk yang

konkret.193

Apa yang dikatakan oleh Machiavelli ini sebenarnya sedang mengarah pada kedudukan

gereja Katholik di dalam negara yang ternyata juga sudah berperan sebagai kelas penguasa.

Hal ini tercatat dalam diskusi Gramsci “soal bahasa” yang mengatakan bahwa :194

Di Zaman Pertengahan, Gereja Katholik menentang penggunaan bahasa Latin

sebagai bahasa sehari-hari dan bagi pelestarian bahasa Latin sebagai bahasa

“universal”, karena hal itu menjadi salah satu unsure hegemoni intelektual.

Dante misalnya, merasa harus mempertahankan penggunaan bahasa Italia

(Florensia) dalam Divine Comedy. Gramsci menggambarkan pemunculan dialek

Florensia sebagai sebuah “logat asli tingkat tinggi”. “Berkembangnya Komune

menyebabkan logat asli daerah, dan hegemoni intelektual Florensia

menghasilkan logat tingkat tinggi. Jatuhnya Komune dan berdirinya rezim

Kerajaan, pembentukan kasta berkuasa yang terpisah dari rakyat, menyebabkan

192 Ibid hal 175 193 Ibid hal 179 194 Ibid hal 182 100

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kristalisasi logat asli tersebut dan juga literature Latin. Sekali lagi bahasa Italia

menjadi bahasa tulis, tetapi bukan bahasa lisan; menjadi bahasa kaum

terpelajar, tetapi bukan bahasa nasional”. Masalah bahasa tersebut di satu sisi

terselesaikan saat literature Italia akhirnya mengalahkan bahasa Latin sebagai

bahasa pendidkan dan saat bahasa Italia diadopsi sebagai bahasa Negara

bangsa Italia baru. Namun, bahasa Italia tetap eksis sebagai dialek “bahasa ibu”

di berbagai daerah di Italia bahkan sampai saat ini, mengesampingkan

perkembangan media massa dan media universal abad ini.

Sehingga jika dihubungkan dengan “mitos” yang diungkapkan oleh Sorel maka si

“Penguasa Modern” sedang menempatkan bahasa Italia sebagai bahasa kedua setelah

bahasa Yunani dan Latin, walaupun sebenarnya bahasa Italia sejak abad ke-13 sudah

berkembang menjadi sebuah bahasa tulis.195 “Mitos” ini bertujuan untuk menciptakan

kembali kesatuan sebuah kelas,196 yaitu bersatunya kelas kapitalis supaya mereka dapat

selalu menguasai kelas pekerja.

Namun pada akhirnya Gentile dan Croce harus berbeda haluan dikarenakan Gentile lebih

memilih bergabung dengan pemerintah fasis Mussolini, sedangkan Croce akhirnya lebih

memilih untuk menjadi oposisi pemerintahan fasis. Dengan demikian lalu menempatkan

mereka pada dua posisi yang berbeda, salah satunya adalah dalam hal pengertian tentang

masyarakat sipil dan masyarakat politik, dimana Gentile merasa bahwa keduanya tidak

dapat dibedakan karena yang eksis adalah hanya pemerintah saja, sedangkan bagi Croce

keduanya harus dibedakan.197 Bagi Gramsci sendiri dirinya lebih condong dengan gagasan

195 Ibid hal 67 196 Ernesto Laclau && Chantal Mouffe, Hegemoni dan Strategi Sosialis (Postmarxisme + Gerakan Sosial Baru), Resist Book, Yogyakarta, 2008, hal 105. 197 Antonio Gramsci, “Prison Notebooks: Catatan-catatan dari Penjara” (penj: Teguh Wahyu Utomo), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013, hal 380. 101

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Croce yang membedakan antara “Masyarakat Sipil” yang merupakan perwakilan organisme

yang disebut “private”, dan “Masyarakat Politik” yang disebut sebagai “negara”.198

Sehingga dari pernyataan Gramsci ini menunjukkan bahwa dirinya menentang dominasi

yang dilakukan oleh Stalin dan Mussolini.

Dari kritik-kritik Gramsci inilah yang akhirnya melahirkan sebuah gagasan bahwa

Hegemoni dapat diwujudkan melalui kekerasan (Coersif) dan persetujuan (Consent).

Namun Gramsci sendiri cenderung lebih condong pada gagasannya tentang persetujuan

(Consent), dimana Hegemoni lalu diwujudnyatakan melalui kepemimpinan “Intelektual”

dan “Moral”. Dalam hal ini yang menjadi tujuan dari Gramsci adalah dapat membuat kaum

pekerja menjadi kaum intelektual karena kelas pekerja bukanlah segerombolan “gorilla

terlatih”199 yang tidak bisa berfikir, akan tetapi mereka adalah sebuah kelas yang telah

mempunyai sebuah “kesadaran”. Dengan adanya kesadaran ini maka dapat dikatakan bahwa

setiap individu adalah “filsuf”.200 Namun hal tersebut dapat diwujudkan jika mereka

mampu mengangkat kompleksitas konsepsinya tentang dunia ini dari bahasa yang

dipakainya.201 Dengan melihat fenomena tersebut ternyata sebuah Hegemoni dapat terjadi

bukan hanya pada aspek ekonomi dan politik saja namun juga bisa terjadi pada aspek

bahasa. Sehingga dari hal ini Gramsci melihat bahwa relasi kuasa yang terjadi di Italia juga

terjadi dalam ranah bahasa, yaitu dalam bentuk Hegemoni Bahasa.

B. Hegemoni Bahasa

Gramsci secara spesifik tidak menjelaskan tentang Hegemoni bahasa, namun dalam

beberapa penjelasannya tersirat bahwa bahasa dapat menjadi sebuah sarana yang efektif

198 Ibid hal 17 199 Ibid hal 12, 426, 437 200 Ibid hal 455 201 Ibid hal 457 102

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

untuk melakukan sesuatu yang disebut sebagai Hegemoni. Sehingga dengan demikian

maka hegemoni bahasa terjadi bukan melalui jalur “coersif” akan tetapi melalui jalur

“consent”, sebagaimana yang terjadi secara umum pada konsep Gramsci tentang

Hegemoni. Dan untuk melihat konsep hegemoni bahasa Gramsci, menurut Steve Jones

dapat juga dilihat melalui teori “kekerasan simbolik” yang dikatakan oleh Bourdieu, 202

dimana “symbolic violence” adalah “….the gentle, invisible form of violence,

misrecognized as such, chosen as much as it is submitted to, the violence of confidence, of

personal loyality, of hospitally, of the gift, of the debt, of recognition, of piety-of all virtues,

in a word, which are honoured by the ethics of honour”.203

Secara sederhananya, kekerasan simbolik adalah pemaksaan system simbolisme dan

makna terhadap kelompok atau kelas yang terjadi sedemikian rupa sehingga hal itu dialami

sebagai sesuatu hal yang sah.204 Kekerasan simbolik ini dilembagakan melalui perantaraan

kesepakatan/persetujuan yang tidak bisa dilakukan oleh pihak yang terdominasi kepada

pihak yang mendominasi karena pihak yang terdominasi tidak memiliki instrument-

instrumen pengetahuan yang dimiliki oleh pihak yang mendominasi.205 Oleh karena itu

persetujuan/kesepakatan ini sebenarnya terjadi bukan karena adanya kesadaran atau

dengan kata lain terjadi diluar logika kendali keinginan dari pihak yang terdominasi karena

semua sudah dirancang oleh pihak yang mendominasi dengan sedemikian rupa sehingga

sebenarnya persetujuan/kesepakatan ini bersifat spontan sekaligus dipaksakan.206 Dengan

demikian maka kekerasan simbolik bekerja dengan menyembunyikan pemaksaan dari

202 Steve Jones, “Antonio Gramsci”, Routledge & Taylor and Francis Group, London & New York, 2006, hal 52. 203 Fauzi Fashri, “Pierre Bourdieu”: Menyingkap Kuasa Simbol, Jalasutra, Yogyakarta, 2014, hal 143. 204 Richard Jenkins, Membaca Pikiran Pierre Bourdieu, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004, hal 157. 205 Pierre Bourdieu, Dominasi Maskulin (Pent. StephanusmAswar Herwinarko), Jalasutra, Yogyakarta, 2010, hal 51. 206 Ibid hal 54 103

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

pihak yang mendominasi ini menjadi sesuatu yang diterima tanpa adanya keberatan dari

pihak yang terdominasi.

Salah satu contoh kekerasan simbolik dapat terjadi dalam bentuk dominasi linguistik

dimana Bourdieu memberikan contoh kasus yang terjadi di Nigeria ketika mereka menolak

bahasa mereka sendiri diajarkan di sekolah dan lebih memilih bahasa Inggris, yaitu bahasa

yang dipakai oleh negara yang menjajah mereka. Fenomena yang terjadi di Nigeria ini

tentunya tidak hanya berhubungan dengan factor linguistic saja, akan tetapi sebagaimana

dikatakan Bourdieu bahwa “relasi bahasa adalah selalu relasi kekuasaan”,207 dimana hal

tersebut dapat digunakan untuk memperoleh atau meraih serta dapat juga digunakan untuk

mempertahankan sebuah kekuasaan.

Bourdieu berpandangan bahwa bahasa adalah sebagai bagian dari cara hidup sebuah

kelompok social dan secara essensial memberikan pelayanan bagi terwujudnya tujuan-

tujuan praktis.208 Bahasa adalah sebuah praktek sosial, sehingga kekuasaan adalah juga

sebuah praktik sosial. Dari hal ini Bourdieu memiliki sebuah rumusan generatif yang

menerangkan tentang praktik sosial: (Habitus X Modal) + Ranah = Praktik.209

Ranah (Field) 210

Ranah bukanlah sekedar wilayah yang dibatasi oleh pagar keliling, namun ranah diartikan

sebagai “ranah kekuatan” yang secara parsial bersifat otonom yang di dalamnya

207 Richard Jenkins hal 238 208 Richard Harker (edt), (Habitus x modal) + Ranah = Praktik (pent. Pipit Maizier), Jalasutra, Yogyakarta, 2009, hal 203. 209 Ibid hal 9 210 - Richard Harker (edt), (Habitus x modal) + Ranah = Praktik (pent. Pipit Maizier), Jalasutra, Yogyakarta, 2009, hal 9-13. - Pierre Bourdieu, Arena Produksi Kultural (Sebuah Kajian Sosiologi Budaya) (Pent. Yudi Santosa), Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2016, hal xvii-xix. - Fauzi Fashri, “Pierre Bourdieu”: Menyingkap Kuasa Simbol, Jalasutra, Yogyakarta, 2014, hal 105-109. - Richard Jenkins, Membaca Pikiran Pierre Bourdieu, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004,124-128.

104

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

berlangsung perjuangan posisi-posisi. Sehingga “ranah” juga dapat diidentikkan dengan

area-area perjuangan. Oleh karena itu “ranah” harus dikonstruksikan dari sebuah

pengalaman melalui riset empiris dan penelitian etnografis. Dengan kata lain “ranah” harus

dilihat dari realitas sosial yang berada pada ruang sosial tertentu. Dan di dalam ruang social

ini dimungkinkan terjadi koalisi-koalisi oleh pihak-pihak yang memiliki kedekatan di

dalamnya. Bahkan setiap ranah juga dapat ditempatkan dalam suatu ranah yang

lingkupnya lebih besar. Memahami konsep tentang “ranah” berarti tidak bisa dilepaskan

dengan konsep tentang “modal” dikarenakan ranah adalah arena kekuatan yang di

dalamnya mempunyai arah perjuangan supaya bisa mendekat ke hierarki kekuasaan

dengan cara memperebutkan sumber daya atau “modal”. Selain itu “ranah” juga menjadi

lokus bagi kinerja “habitus” dan sebaliknya “habitus” mendasari terbentuknya “ranah”.

Habitus 211

Untuk menjelaskan arti dari “habitus” yang didefinisikan oleh Bourdieu memang tidak

mudah. Oleh karena itu diperlukan beberapa pandangan dari Bourdieu untuk bisa mengerti

apa yang dimaksud dengan “habitus”. Didalam bukunya “Outline of Theory of Practice”,

disebutkan bahwa habitus adalah sistem disposisi yang bertahan lama dan bisa

dialihpindahkan, struktur yang distrukturkan yang diasumsikan sebagai penstruktur

struktur-struktur, yaitu sebagai prinsip-prinsip yang melahirkan dan mengorganisasikan

praktik-praktik dan representasi-representasikan yang bisa diadaptasikan secara obyektif

kepada hasil-hasilnya tanpa mengandaikan suatu upaya sadar mencapai tujuan-tujuan

211 - Richard Harker (edt), (Habitus x modal) + Ranah = Praktik (pent. Pipit Maizier), Jalasutra, Yogyakarta, 2009, hal 13-16 - Pierre Bourdieu, Arena Produksi Kultural (Sebuah Kajian Sosiologi Budaya) (Pent. Yudi Santosa), Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2016, hal xv-xvii. - Fauzi Fashri, “Pierre Bourdieu”: Menyingkap Kuasa Simbol, Jalasutra, Yogyakarta, 2014, hal 98-105. - Richard Jenkins, Membaca Pikiran Pierre Bourdieu, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004,106-124. 105

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

tertentu atau penguasaan cepat atas cara dan operasi yang diperlukan untuk

mencapainya.212

Dari gagasan Bourdieu diatas dapat dijelaskan bahwa “disposisi” meliputi tiga makna

yaitu: hasil dari tindakan mengatur; cara menjadi; dan tendensi, niat atau

kecenderungan.213 Sedangkan “yang bertahan lama dan bisa dialihpindahkan” dalam artian

bertahan disepanjang rentang waktu tertentu dari kehidupan seorang agen yang melahirkan

praktek-praktek diberbagai “ranah”.214 Dan untuk “struktur yang distrukturkan”

mengandung maksud bahwa habitus berperan sebagai sebuah struktur yang dibentuk oleh

kehidupan sosial, sekaligus sebagai “penstruktur struktur-struktur” yaitu habitus berperan

sebagai struktur yang membentuk kehidupan sosial.215

Selain hal itu Bourdiue di dalam buku “The Logic of Practice” mengatakan The habitus,

the product of history, produces individual and collective practices,and hence history, in

accordance with the schemes engendered by history.216 Dengan gagasan ini

memperlihatkan bahwa “habitus” dibentuk dari masa lalu yang diterima pada masa kini

untuk membentuk masa depan. Sehingga dari hal ini sebenarnya sedang mengatakan

bahwa habitus, baik perseorangan maupun kelompok, adalah sebuah proses yang diterima

masa kini dari masa lalu dan harus selalu dijaga keberlangsungan di masa depan.

Dari buku “Distinction” Bourdieu mengatakan bahwa skema-skema habitus, bentuk-

bentuk klasifikasi primer, memperoleh efektivitas khususnya berkat fakta bahwa mereka

berfungsi di bawah lapisan kesadaran dan bahasa, di luar jangkauan pemeriksaan

212 Pierre Bourdieu, Arena Produksi Kultural (Sebuah Kajian Sosiologi Budaya) (Pent. Yudi Santosa), Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2016,hal xv-xvi. 213 Richard Jenkins, Membaca Pikiran Pierre Bourdieu, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004,hal 110. 214 Pierre Bourdieu, Arena Produksi Kultural (Sebuah Kajian Sosiologi Budaya) (Pent. Yudi Santosa), Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2016,hal xvi. 215 Fauzi Fashri, “Pierre Bourdieu”: Menyingkap Kuasa Simbol, Jalasutra, Yogyakarta, 2014,hal 101. 216 Ibid 102 106

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

instropektif yang cermat atau pengendalian kehendak.217 Dari sini Bourdieu ingin

mengatakan bahwa habitus adalah sebuah tindakan yang tidak selalu dipengaruhi oleh

kesadaran dan kepatuhan terhadap sebuah peraturan. Hal ini bisa dipengaruhi oleh sisa-

sisa masa lalu atau traumatik terhadap sebuah peristiwa yang dialami oleh individu atau

sebuah kelompok.

Sehingga dari gagasan-gagasan yang dikemukan Bourdieu, mengatakan bahwa “habitus”

adalah hasil dari tindakan mengatur; cara menjadi; dan tendensi yang bertahan disepanjang

rentang waktu tertentu dari kehidupan seorang agen yang melahirkan praktek-praktek

diberbagai “ranah”, dimana habitus berperan sebagai sebuah struktur yang dibentuk oleh

kehidupan sosial dan juga sekaligus berperan sebagai struktur yang membentuk kehidupan

sosial yang dibentuk dari masa lalu dan diterima pada masa kini untuk membentuk masa

depan yang tidak selalu dipengaruhi oleh kesadaran dan kepatuhan terhadap sebuah

peraturan. Oleh karena itu “habitus hanyalah sebuah konstruksi pengantara, bukan

konstruksi penentu dimana sifat-sifat yang ada terbentuk karena adanya sebuah kebutuhan;

demikian juga habitus berperan sebagai pengganda “modal”, terutama modal simbolik.218

Modal

Bagi Bourdieu setiap individu memiliki posisi dalam ruang sosial yang dikategorikan

bukan berdasarkan oleh keanggotaan dalam kelas sosial tertentu akan tetapi berdasarkan

jenis modal yang diperoleh oleh individu di dalam hubungan atau relasi sosialnya. Modal

217 Richard Harker (edt), (Habitus x modal) + Ranah = Praktik (pent. Pipit Maizier), Jalasutra, Yogyakarta, 2009, hal 13. 218 Richard Harker (edt), (Habitus x modal) + Ranah = Praktik (pent. Pipit Maizier), Jalasutra, Yogyakarta, 2009, hal 15. 107

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

adalah basis dari kekuasaan. Bourdieu menggolongkan “modal” menjadi 4 jenis, yaitu :

modal ekonomi, budaya, sosial dan simbolis.219

- Modal ekonomi adalah modal yang paling bisa dilihat secara kasat mata karena dapat

dikonversi langsung ke dalam bentuk uang dan kepemilikan yang nantinya dapat

digunakan menguasai sumber daya ekonomi, khususnya pada ranah produksi.

- Modal budaya adalah modal ilmu pengetahuan atau pendidikan yang diperoleh oleh

individu yang nantinya akan mempengaruhi pada taraf pengetahuan serta

keterampilan yang dimiliki oleh individu sebagai sarana untuk mencapai status yang

lebih tinggi di dalam kelas sosial.

- Modal sosial adalah aktualisasi dan potensi sumber daya yang berhubungan dengan

kepemilikan jejaring yang bersifat tahan lama dan dilembagakan dengan hubungan

koneksivitas dan pengakuan. Secara sederhana modal sosial muncul karena adanya

relasi sosial dengan pihak lain yang mempunyai pengaruh kuasa.

- Modal simbolik adalah modal yang dapat ditukar dengan kekuasaan. Sebagai contoh

adalah seorang pengusaha kaya raya (modal ekonomi) yang memperoleh pendidikan

hingga tingkat yang paling tinggi (modal budaya), dan karena “kekayaan” dan

“kepandaian”nya ini dia terpilih menjadi seorang Bupati di suatu daerah (Modal

Sosial). Dari modal-modal inilah dia lalu memperoleh kekuasaan secara politis.

Kekuasaan inilah yang disebut sebagai “modal simbolik”. Sehingga modal simbolik

adalah sebuah modal yang didapat melalui pertukaran dari modal-modal lainnya yang

pada akhirnya melahirkan atau mempresentasikan kekuasaan.220

219 Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power, Harvard University Press, Cambridge Massachusetts, 1991, hal 230. 220 Richard Harker (edt), (Habitus x modal) + Ranah = Praktik (pent. Pipit Maizier), Jalasutra, Yogyakarta, 2009 hal 17. 108

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Dari kekuasaan yang dilahirkan melalui pertukaran modal inilah yang lalu disebut

sebagai “kekuasaan simbolik”, dimana Bourdieu mengatakan bahwa “Symbolic power,

a subordinate power, is a transformed, i.e misrecognizable, transfigured and legitimated

form of the other forms of power”.221 (kekuasaan simbolik adalah sebentuk kuasa yang

dialihkan, yakni dapat disalah kenali, dialihrupakan dan dilegitimisi, dari bentuk-bentuk

kuasa lainnya). Selain itu Bourdieu juga mendefinisikan “a symbolic power is a power

which presupposes recognition, that is, misrecognition of the violence is exercised

through it.”222 Sehingga dari hal inilah maka kekuasaan simbolik diidentikkan dengan

kekerasan simbolik (Simbolic Violence). Selain itu Bourdieu juga mengatakan bahwa

“..Symbolic power which can be exercised only with the complicity of those who do not

want to know that they are subject to it or even that they themselves exercise it.”223 (kuasa

simbolik adalah praktik kekuasaan yang tidak kelihatan secara kasat mata yang hanya

bisa dijalankan dengan keterlibatan orang-orang yang tidak mengetahui bahwa mereka

sebenarnya adalah sasaran atau korban dari kekuasan tersebut bahkan merekapun tidak

menyadari jika mereka menjalankan kekuasan simbolik itu). Sehingga dengan demikian

“kekerasan simbolik” juga digambarkan sebagai “silent violence”.224

Sehingga dari teori Bourdieu ini ternyata “bahasa” dapat ditukar dengan kekuasaan

sebagaimana apa yang dikatakan oleh Bourdieu bahwa bahasa merupakan instrumen

kekuasaan simbolik, hal ini ditunjukkan dengan gagasannya yang mengatakan

bahwa“...linguistik exchange - are also relations of symbolicc power...” (Pertukaran

bahasa selalu berhubungan dengan kekuasaan simbolik).225 Sehingga dapat dikatakan

221 Language and Symbolic Power hal 170 222 Ibid hal 209. 223 Ibid hal 164 224 Ibid hal 52 225 Language and Symbolic Power hal 37. 109

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

bahwa bahasa adalah basis dari kekuasaan atau dengan kata lain bahasa adalah sebagai

modal simbolik. Dengan adanya “pertukaran bahasa” inilah yang lalu membuat

kedudukan kelas yang mempunyai modal ekonomi akan selalu berada diatas dan kelas

yang tidak memiliki modal-modal ini akan selalu berada di kelas bawah. Inilah bentuk

kekerasan simbolik yang dilakukan melalui relasi bahasa.

Sehingga melalui konsep kekerasan simbolik bahasa yang diutarakan oleh Bourdieu

maka hegemoni bahasa yang dipahami oleh Gramsci adalah sebuah relasi kuasa bahasa

yang didalamnya mengandung unsur “kekerasan” yang tidak nampak secara jelas namun

dapat dirasakan. Hegemoni bahasa inilah yang dirasakan oleh Gramsci ketika dirinya

mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studinya di kota Turin yang disediakan untuk

para pelajar miskin yang berasal dari povinsi Sardinia.226 Dimana sebuah hegemoni yang

dibentuk melalui kepemimpinan intelektual dan moral ternyata dapat ditanamkan melalu

relasi bahasa. Dimana pada waktu itu bahasa Latin menghegemoni bahasa Italia.

Hegemoni bahasa inilah yang lalu digunakan untuk mempertahankan kedudukan kelas

pemilik modal supaya tetap menjadi kelas yang berada di lapisan atas. Sehingga dari

hegemoni bahasa ini ternyata juga dapat menghalangi bahkan menghilangkan adanya

perjuangan kelas. Oleh karena itu di dalam hegemoni bahasa pasti terdapat kekerasan

simbolik bahasa, demikian juga sebaliknya dimana terdapat kekerasan simbolik bahasa

maka dapat menyebabkan munculnya sebuah hegemoni bahasa.

Hegemoni bahasa yang dilakukan melalui bahasa Latin (Gramsci) serta bahasa Inggris

(Bourdieu) bisa terjadi karena bahasa tersebut telah distandarkan atau dibakukan. Bahasa

yang dibakukan atau bahasa baku adalah sebuah ragam bahasa yang biasanya sudah

melewati sebuah proses kodifikasi yaitu tahap pembakuan tata bahasa, ejaan dan

226 A. Pozzolini, Pijar-pijar Pemikiran Gramsci, Resist Book, Yogyakarta, 2006, hal 3-4. 110

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kosakata, dimana secara politis bahasa ini biasanya sering berfungsi sebagai sebuah

bahasa resmi.227 Oleh karena itu tidak menutup kemungkinan hal tersebut juga bisa

terjadi di dalam relasi bahasa-bahasa lainnya yang ada di dunia ini. Salah satunya adalah

yang terjadi antara bahasa Jawa, yang disebut sebagai bahasa Jawa Baku, dengan bahasa

Banyumasan yang hingga saat ini masih digunakan sebagai bahasa sehari-hari di wilayah

Banyumasan.

Ketika standarisasi bahasa Jawa yang disebut sebagai Bahasa Jawa Baku ini mulai

diterapkan, wilayah Banyumas yang mempunyai bahasa sendiri harus menerima

hegemoni dari bahasa Jawa Baku. Hal ini ditunjukkan di wilayah Banyumas bahasa Jawa

baku hanya oleh kalangan elite tradisonal Jawa saja, dimana masyarakat di pedesaaan

Banyumas tetap memakai bahasa Banyumasan dalam komunikasi sehari-harinya.228

Bahasa Jawa Baku adalah sebuah bahasa yang mengalami standarisasi melalui sebuah

konstruksi bahasa yang dilakukan oleh pihak penguasa yang mempunyai kepentingan

untuk mempertahankan kedudukannya sebagai penguasa. Wujud nyata dari konstruksi

bahasa Jawa “Baku” adalah munculnya tingkatan bahasa “ngoko-krama” dimana hingga

saat ini penggunaan bahasa Jawa “Baku” ini masih dipakai khususnya di pulau Jawa di

bagian tengah dan timur (provinsi Jawa tengah, Jawa Timur dan DIY). Dalam hal ini,

James Siegel, melihat bahwa bahasa Krama disebut sebagai “High Javanese”, sedangkan

bahasa Ngoko disebut sebagai “Low Javanese”.229 Bahasa yang “High” ini oleh

Pemberton ini disebut sebagai “bahasa Jawa yang benar” ,230 yang pada akhirnya menjadi

prinsip di dalam pemakaian Bahasa Jawa Baku.

227 Kusharyati, Untung Yowono, Multamia RMT Lauder; Pesona Bahasa : Langkah Awal Memahami Linguistik; Gramedia Pustaka Utama; Jakarta, 2007, Hal 61. 228 Sugeng Priyadi, Banyumas : antara Jawa & Sunda, Mimbar, Semarang, 2002, hal 263. 229 James Siegel, Solo in the New Order (Language And Hierarchy in an Indonesia City), Princenton University Press, Princenton : New Jersey, 1986, hal 15. 230 John Pemberton, “Jawa” : On the Subject of “Java”, Mata Bangsa, Yogyakarta, 2003, hal 105. 111

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

C. Sejarah Perkembangan Bahasa Jawa

Munculnya Bahasa Jawa Baku yang masih digunakan hingga saat ini tentunya juga sudah

mengalami berbagai macam perkembangannya. Perkembangan bahasa Jawa ini bisa

dilihat dari adanya penemuan-penemuan prasasti-prasasti atau karya-karya sastra yang

menunjukkan adanya perbedaan bentuk tulisan-tulisan Jawa ini dari masa ke masa.

Sebagai mana teori “kelisanan dan keaksaraan” dari Walter Ong, bahwa sebuah bahasa

dimulai dari budaya lisan yang dimana budaya lisan ini bisa diteliti jika budaya ini juga

meninggalkan warisan budaya tulisan atau literature, baik yang berupa gambar maupun

aksara, yang disebut sebagai “keberaksaraan”.231 Dan melalui penemuan yang disebut

sebagai “keberaksaraan” itulah, secara kronologi kesusasteraan, Koentjaraningrat

menyebutkan bahwa perkembangan bahasa Jawa dapat dibagi menjadi enam fase, yaitu:232

- Bahasa Jawa Kuno (abad 8-14 M).

Bentuk bahasa ini banyak ditemukan dalam prasasti-prasasti yang dipahat pada batu

atau diukir di pada perunggu (abad 8-10 M) serta dalam naskah-naskah Jawa Kuno

dalam bentuk “kakawin” atau puisi (abad 10-14 M).

- Bahasa Jawa Kuno yang terdapat dalam kesusasteraan Jawa-Bali (abad 14-16 M).

Bentuk bahasa ini banyak ditemukan pada masa peralihan kebudayaan Hindhu-Jawa

ke kebudayaan Islam pada abad 14-16 M. Setelah masuknya kebudayaan Islam maka

kebudayaan Hindhu-Jawa menyingkir ke pulau Bali.

- Bahasa yang terdapat dalam kesusasteraan Islam di Jawa Timur (abad 16 - 17 M).

Bentuk bahasa ini mulai digunakan ketika berkembangnya kebudayaan Islam

menggantikan kebudayaan Hindhu-Jawa pada abad 16-17 yang berpusat di daerah

aliran sungai Brantas dan daerah hilir aliran sungai Bengawan Solo.

231 Walter Ong, Kelisanan dan Keaksaraan, Gading, Yogyakarta, 2013, hal 7-20. 232 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, balai Pustaka, Jakarta, 1984, hal 18. 112

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

- Bahasa kesusasteraan kebudayaan Jawa-Islam di daerah pesisir (abad 17-18).

Bentuk bahasa ini berkembang di kota-kota di pesisir pantai utara Jawa yang menjadi

pusat agama Islam pada abad 17 – 18 M. Kebudayaan pesisir ini dibagi menjadi dua

yaitu pesisir sebelah timur (Demak, Kudus hingga Gresik) dan pesisir sebalah barat

(Cirebon).

- Bahasa kesusastraan di Kerajaan Mataram (abad 18-19 M).

Bentuk bahasa ini digunakan oleh para pujangga Keraton Mataram pada abad

18-19 M yang berpusat di daerah aliran sungai Bengawan Solo yang berada di daerah

lembah antara gunung Merapi-Merbabu dan Lawu.

- Bahasa Jawa masa kini (abad 20).

Bentuk bahasa ini banyak dipakai dalam percakapan sehari-hari dan juga digunakan

di dalam tulisan-tulisan berbagai macam surat kabar dan buku-buku yang berbahasa

Jawa dalam abad 20.

Selain perkembangan bahasa Jawa diatas, menurut Baryadi Praptomo dkk, terdapat

beberapa fase tahapan perkembangan bahasa Jawa, yaitu :233

- Bahasa Jawa Kuno (abad 1 – 15 M)

Pada abad pertama sampai dengan abad ke-6 M bahasa Jawa Kuno hanya digunakan

secara lisan yang banyak dipengaruhi oleh bahasa Sansekerta. Baru pada abad ke-7 M

bahasa Jawa Kuno dipakai sebagai bahasa lisan maupun tertulis yang berkembang

dalam tradisi Hindhu-Buddha Jawa sampai abad ke-15.

- Bahasa Jawa Pertengahan (abad 15-16)

233 I. Baryadi Praptomo dkk (editor: Syamsul Arifin), “Tata Bahasa Jawa Mutakhir”, Kanisius, Yogyakarta, 2006, hal 1-8. 113

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Bahasa Jawa Pertengahan adalah bahasa yang dipakai pada masa transisi

berkembangnya bahasa Jawa Kuno ke bahasa Jawa Modern.

- Bahasa Jawa Modern (abad 16 – sekarang)

Bahasa Jawa Modern dipakai oleh masyarakat Jawa mulai abad ke-16 yang

berkembang dalam tradisi Islam-Jawa yang menggantikan tradisi Hindhu-Buddha

Jawa. Karena berkembang di tengah-tengah tradisi Islam maka banyak kosakata

bahasa Jawa Modern yang terpengaruh bahasa Arab, bahkan huruf Arab dipakai dan

disesuaikan dengan sistem bahasa Jawa dan diubah menjadi huruf Pegon.

Dari masing-masing fase yang disusun oleh Koentjaraningrat dan Baryadi Praptomo dkk,

terlihat ada perbedaan didalam membuat periodesasinya, namun terdapat persamaan

diantara keduanya yaitu adanya tingkatan tutur dalam bahasa Jawa. Baik Koentjaraningrat

maupun Baryadi Praptomo dkk, membagi tingkatan tutur dalam bahasa Jawa menjadi 3

yaitu : Ngoko, Madya dan Krama.234 Ngoko adalah gaya tak resmi yang dipakai untuk

berkomunikasi dengan orang yang sudah akrab atau status sosialnya sederajat dimana

bahasa ini mencerminkan rasa tidak berjarak atau tidak memperlihatkan rasa segan; Madya

adalah gaya setengah resmi yang digunakan untuk berkomunikasi dengan seseorang yang

status sosialnya lebih rendah dimana hal ini menunjukkan rasa segan yang sedang; dan

Krama adalah gaya resmi yang digunakan untuk berkomunikasi dengan seseorang yang

status sosialnya lebih tinggi atau kepada seseorang yang belum akrab sehingga dengan

gaya tutur ini menunjukkan rasa segan yang tinggi terhadap lawan bicaranya.

Menurut Baryadi Praptomo dkk, munculnya tingkatan tutur ini diperkirakan muncul pada

abad ke-17, tepatnya pada zaman Raja Sultan Agung (1613-1645) ketika memerintah

kerajaan Mataram, namun gejala ini sudah terlihat pada abad ke-15 pada periode bahasa

234 Koentjaraningrat Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, balai Pustaka, Jakarta, 1984, hal 21 114

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Jawa Pertengahan.235 Senada dengan hal tersebut, Dennys lombard mengakui bahwa

secara fakta linguistik terdapat tingkatan tutur dalam bahasa Jawa, dimana dia

menggolongkan hanya dengan dua macam yaitu Ngoko dan Krama, bentuk ini

diperkirakan mulai muncul ketika budaya Islam-Jawa mulai menggantikan budaya

Hindhu-Buddha Jawa.236 Tingkatan tutur kata ini terjadi dikarenakan adanya pengaruh

yang dilandasi karena adanya perbedaan kedudukan, pangkat, umur, serta tingkatan

keakraban antara yang menyapa dan disapa. Sehingga dari hal ini Tome Pires

mengomentari tingkatan tutur dalm bahasa Jawa ini dengan mengatakan : “tidak ada

tempat lain di dunia yang sifat angkuhnya menonjol sedahsyat di Jawa yang mempunyai

dua bahasa, yang satu dipakai oleh kaum bangsawan dan yang lain oleh rakyat”.237

Selain adanya tingkatan tutur dalam bahasa Jawa, Th. Pigeaud melihat adanya berbagai

macam logat berdasarkan perbedaan geografi yang didasarkan pada daerah aliran sungai

(DAS) dan pesisir pantai, yaitu :238

- Logat Banyumasan yang digunakan di DAS Serayu.

- Logat Solo-Jogja yang digunakan di DAS Bengawan Solo dan DAS Opak & Progo.

Bahasa Jawa logat ini dianggap sebagai “bahasa Jawa yang beradab”. Dalam logat ini

sudah menggunakan tingkatan tutur (Ngoko dan Krama).

- Logat Jawa Timuran yang digunakan di DAS Brantas.

- Logat pesisir yang digunakan di daerah pantai utara Jawa bagian tengah hingga timur.

- Logat pesisir bagain barat yang digunakan disepanjang pantai bagaian barat pulau

Jawa dimulai dari Tegal hingga Indramayu yang banyak terpengaruh bahasa Sunda.

235 I. Baryadi Praptomo dkk (editor: Syamsul Arifin), “Tata Bahasa Jawa Mutakhir”, Kanisius, Yogyakarta, 2006, hal 8. 236 Denys Lombard, Nusa Jawa (3) : Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hal 58-59 237 Ibid hal 60 238 Koentjaraningrat Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, balai Pustaka, Jakarta, 1984, hal 23-24. 115

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

- Logat pesisir Jawa Timur yang digunakan di daerah pantai Jawa timur yang terletak

di selatan pulau Madura yaitu di daerah Probolinggo dan sekitarnya yang banyak

terpengaruh bahasa Madura.

- Logat Banyuwangi yang digunkan di daerah ujung timur pulau Jawa yang banyak

dipengaruhi oleh bahasa Bali.

- Logat Banten yang digunakan di ujung barat pulau Jawa.

Selain pembagian logat oleh Pigeaud ini, Baryadi Praptomo dkk juga memperlihatkan

variasi pemakaian bahasa yang disebut dialek, yang secara geografis dapat dikelompokan

sebagai berikut :239

- Dialek Bahasa Jawa Standar

Bahasa Jawa dialek standar mencakupi daerah Jogja-Solo dan sekitarnya. Karena

Secara geografis berada di tengah-tengah pulau Jawa maka penggunaan bahasa ini

dibatasai oleh 2 wilayah peralihan yaitu : bagian timur, berada di sekitar daerah

Pacitan, Madiun dan Grobogan; sedangkan di bagian barat berada di sekitar Prembun

(Kebumen bagian timur, Wonosobo dan Banjarnegara).

- Dialek Banyumas

Pemakaian bahasa Jawa dialek Banyumas meliputi wilayah eks karesidenan

Banyumas (Kab. Banyumas, Cilacap, Purbalingga dan Banjarnegara), sebagian

daerah eks karesidenan Pekalongan (Kab. Tegal, Brebes, Pemalang, dan sebagaian

Pekalongan), dan sebagian barat eks karesidenan Kedu (Kab. Kebumen dan bagain

barat Kab. Wonosobo). Pemakaian dialek ini dibatasi oleh Kab. Cilacap di sisi barat

daya yang berbatasan dengan Kab. Ciamis provinsi Jawa Barat, Kab. Tegal di sisi

239 Baryadi Praptomo dkk (editor: Syamsul Arifin), “Tata Bahasa Jawa Mutakhir”, Kanisius, Yogyakarta, 2006, hal 13-23 116

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

barat laut yang berbatasan dengan Kab. Cirebon provinsi Jawa Barat, Kab.

Pekalongan di sisi timur laut dengan Kab. Batang, dan Kab. Kebumen di sisi tenggara

dengan Kab. Purworejo.

- Dialek Jawa Timur

Bahasa Jawa dialek Jawa Timur digunakan dihampir seluruh wilayah provinsi Jawa

Timur dengan pengecualian daerah Banyuwangi di sisi ujung sebelah timur pulau

Jawa.

- Dialek Osing

Bahasa Jawa dialek Osing digunakan di Kab. Banyuwangi, namun tidak semua daerah

Banyuwangi menggunakan dialek ini karena ternyata hanya tiga kecamatan saja yang

menggunakan dialek ini yaitu Kec. Kota Banyuwangi, Kec. Giri dan Kec. Glagah.

Dialek Osing ini digunakan oleh penduduk asli Banyuwangi yang masih keturunan

kerajaan Blambangan pada masa era Kerajaan Majapahit.

Dari pendapat Th. Pigeaud dan Baryadi Praptomo tentang klasifikasi dialek atau logat ini ternyata terdapat kesamaan ketika mereka melihat ada kekhasan khusus dari dialek atau logat Jogja-Solo yang disebut sebagai dialek “bahasa Jawa standar” dan logat “bahasa

Jawa yang beradab”. Dialek atau logat Jogja-Solo memang sudah menggunakan tingkatan tutur yaitu (Ngoko dan Krama) ketika digunakan sebagai komunikasi lisan maupun tertulis. Dari sini memperlihatkan bagaimana superiotas dialek atau logat Jogja-Solo terhadap logat atau dialek lainnya.

Melihat fenomena yang demikian ternyata menimbulkan kritikan dari berbagai kalangan, salah satunya dari Praptomo Baryadi sendiri yang mengatakan bahwa fenomena tersebut

117

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sebagai bagian dari sebuah “Diskriminasi Bahasa”.240 Dengan adanya diskriminasi bahasa

tersebut, menurut , Prof. Sugeng Priyadi, menyebabkan dialek atau logat di luar Jogja-Solo

menjadi “bahasa kelas dua”.241 Sementara budayawan Ahmad Tohari dalam menyikapi

fenomena tersebut mengatakan bahwa dialek atau logat Banyumas yang sering disebut

sebagai “ngapak-ngapak” adalah sebuah “bahasa” dan bukan hanya sekedar dialek atau

logat, yang disebut sebagai bahasa Penginyongan.242 Pendapat bahwa dialek atau logat

Banyumas adalah sebuah “bahasa” ini diperkuat dengan analisa Teguh Trianton yang

mengatakan bahwa jika bahasa Banyumas atau “ngapak-ngapak” adalah sebagai bahasa

Jawa murni (pure Javanese Language), yang disebut sebagai bahasa Jawadipa (ngoko

lugu).243 Hal senada juga dikatakan oleh Budiono Herusatoto, yang mengatakan bahwa

bahasa Jawadipa adalah bahasa Jawa asli.244

Hal demikian juga diamati oleh Ben Anderson dan John Pemberton bahwa telah terjadi

sebuah konstruksi bahasa di dalam bahasa Jawa sehingga hal ini menyebabkan terjadinya

standarisasi bahasa Jawa melalui logat Jogja-Solo, yang lalu disebut “bahasa Jawa Baku”.

Standarisasi bahasa Jawa Baku ini sudah terjadi sejak masa kerajaan Mataram Islam,

dimana pada masa Mataram Hindhu-Buddha walaupun terjadi adanya tingkatan kasta

namun belum terjadi adanya sebuah konstruksi bahasa dengan tingkatan Krama dan

Ngoko. Ketika kerajaan Mataram Islam meniadakan tingkatan kasta ini justru yang terjadi

adalah munculnya tingkatan bahasa Jawa dalam bentuk Ngoko dan Krama.

240 I. Praptomo Baryadi, “Bahasa, kekuasaan, dan kekerasan”, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2012, hal 28

241 Sugeng Priyadi, Banyumas : antara Jawa dan Sunda, Mimbar, Semarang, 2002, hal 267. 242 A. Tohari, Jejak Tradisi Jawa Kuna Dalam Kebudayaan Jawa Banyumasan, dalam Kongres Kebudayaan Jawa II, Pengarusutamaan Kebudayaan Jawa untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat, Surabaya, 2018.

243 Teguh Trianton, Identitas Wong Banyumas, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2012, hal. 14 244 Budiono Herusatoto, Banyumas : Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak, LKiS, Yogyakarta, 2008, hal 160-161. 118

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Dengan adanya kontruksi bahasa yang demikianlah bahasa Jawa Baku lalu menjadi sebuah

bahasa resmi sejak era Mataram Islam hingga saat ini. Sehingga tentunya konstruksi

bahasa Jawa Baku tidak terjadi secara kebetulan akan tetapi tentunya mempunyai latar

belakang dan tujuan tertentu. Dimana keberadaannya tentunya juga sudah melintasi

beberapa jaman yang telah terjadi ratusan tahun, khususnya yang terjadi di tanah Jawa.

Sehingga tentunya juga banyak fakta dan dinamika yang menyekitari perjalanan bahasa

Jawa Baku ini, baik itu yang terungkap dengan jelas, samar-samar bahkan hingga yang

belum terlihat. Sehingga perjalanan dari bahasa Jawa Baku ini juga menjadi menarik

untuk ditelusuri lebih dalam.

D. Konstruksi Bahasa Jawa Baku

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa di dalam dialek atau logat dalam bahasa Jawa

terdapat satu dialek atau logat yang ternyata dikatakan sebagai sebuah bahasa yang standar

yaitu dialek Jogja-Solo. Daerah Jogja dan Solo hingga saat ini memang menjadi daerah

pusat dari Keraton Jawa yang mewarisi tradisi kerajaan Mataram Islam. Namun kerajaan

ini telah terpecah-pecah menjadi empat kerajaan atas pengaruh kolonialisme bangsa barat

(Belanda dan Inggris).

1. Bermula dari kolonialisme

Kerajaan Mataram Islam adalah sebuah dinasti yang muncul setelah keruntuhan

kerajaan Mataram Kuno yang masih bercorak Hindhu-Buddha. Namun saat ini dinasti

Mataram Islam ini sudah terbagi menjadi 4 kerajaan yaitu Kasunanan dan

Mangkunegaran di kota Solo serta Kasultanan dan Pakualaman di kota Jogjakarta.

Secara singkat dinasti Mataram Islam ini terpecah-pecah karena faktor kolonialisme

bangsa barat (Belanda dan Inggris). Perpecahan itu dimulai ketika keraton Kartasura

119

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dipindahkan ke desa Solo yang lalu disebut sebagai keraton Surakarta pada tahun 1745, dimana untuk mengatasi permasalahan ini maka diadakanlah Perjanjian Giyanti, yang diinisiasi oleh VOC pada tanggal 13 Februari 1755 yang lalu menghasilkan sebuah keputusan dengan dibaginya Mataram menjadi dua kerajaan, yaitu: Kasunanan

Surakarta yang dipimpin oleh Paku Buwono dan Kasultanan Ngayogyakarta yang dipimpin oleh Sultan Hamengku Buwono.

Sesudah Perjanjian Giyanti, pada tanggal 17 Maret 1757 juga diadakan Perjanjian

Salatiga. Perjanjian ini latarbelakangi oleh “pemberontakan” yang dilakukan oleh

Raden Mas Said yang juga dikenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Dengan

Perjanjian Salatiga ini maka sebagian wilayah Kasunanan Surakarta harus diserahkan kepada Pangeran Sambernyawa, yang disebut dengan Kadipaten Mangkunegaran yang dipimpin oleh Mangkunegara.

Ternyata perpecahan Mataram tidak hanya terjadi di Surakarta akan tetapi juga terjadi di Jogja. Hal ini terjadi ketika Kerajaan Inggris menggantikan kekuasaan Belanda di

Nusantara. Melalui “Political Contract” pada tanggal 17 Maret 1813 maka lahirlah sebuah perjanjian dengan berdirinya Kadipaten Pakualaman yang dipimpin oleh

Pakualam. Maka dengan demikian kerajaan Mataram pada masa kolonial telah terbagi menjadi 4 kerajaan.

Oleh karena itu sebenarnya perpecahan yang terjadi tersebut menunjukkan bahwa kekuasaan kerajaan-kerajaan Jawa ini sudah tidak ada lagi, hal ini dikarenakan pada dasarnya mereka sudah dikuasai oleh bangsa Barat yaitu Belanda dan Inggris (karena kekuasaan bangsa Belanda lebih lama dibandingkan Inggris, maka bangsa barat yang dimaksud adalah adalah Belanda). Sehingga dari praktek kolonialisme bangsa Barat terhadap kerajaan-kerajaan Jawa ini sebenarnya sedang menunjukkan bahwa kekuasaan

120

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kerajaan-kerajaan Jawa terhadap rakyatnya hanyalah sebagai sebuah simbol saja,

karena pada dasarnya rakyat Jawa telah dikuasai Belanda. Dengan kata lain sebenarnya

kerajaan-kerajaan Jawa ini hanyalah sebagai “tangan panjang” saja dari kekuasaan

kolonialisme bangsa Barat di tanah Jawa. Namun demikian, rakyat Jawa tetap

menganggap bahwa “junjungan” bagi mereka adalah kerajaan-kerajaan Jawa ini,

bukanlah Belanda atau Inggris. Dari pemahaman tentang konsep “kuasa’ yang

demikianlah yang menunjukkan adanya perbedaan tentang konsep kekuasaan antara

dunia Barat dan Jawa.

2. Konsep Kuasa Barat Modern (Kontemporer) dan Jawa

Bagi Belanda tentunya konsep kuasa yang dipakai adalah konsep kuasa Barat (Eropa)

yang modern atau kontemporer. Berbeda dengan konsep kekuasaan Barat kontemporer

yang dapat dilihat melalui teori-teori kekuasaan dari banyak tokoh atau pemikir seperti

Marx dengan teori “Basis dan Suprastruktur”, Gramsci dengan teorti “Hegemoni”,

Bourdieu dengan teori “kekerasan simbolik”, dan lain sebagainya, ternyata konsep

kekuasaan Jawa tidaklah demikian. Hal ini dikarenakan memang belum adanya sebuah

teori khusus atau tokoh-tokoh tertentu yang membicarakan secara spesifik tentang

konsep kekuasaan dari perspektif Jawa. Oleh karena itu ketika Ben Anderson berusaha

mendefinisikan konsep kekuasaan Jawa dirinya hanya bisa merumuskannya dengan

cara membaca teks-teks sastra Jawa kuno terlebih dahulu. Baru setelah itu dirinya

berusaha menggali konsep kekuasaan yang secara tersirat terdapat dalam teks-teks

sastra Jawa kuno tersebut dengan cara “menafsir”kannya kembali serta melihat atau

membandingkan dengan pola kepemimpinan di Indonesia, dimana para pemimpin

tersebut berasal dari suku Jawa yaitu, Presiden Soekarno pada era Orde Lama dan

Presiden Soeharto pada era Orde Baru.

121

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

a. Konsep Kuasa Barat Modern

Bagi bangsa Barat modern konsep kekuasaan dapat diringkas dalam empat poin,

yaitu:245

- Kekuasaan adalah abstrak.

Kekuasaan adalah rumusan untuk pola interaksi sosial tertentu yang teramati

yang menunjukkan hubungan sebab-akibat antara perintah dan pelaksanaannya.

Kekuasaan itu terjadi bukan terutama pada individu saja, akan tetapi terjadi pada

sebuah praktek sosial (interaksi dan hubungan sosial).

- Sumber-sumber kekuasaan adalah heterogen.

Kekuasaan itu ada karena akibat dari atau diturunkan dari sebuah praktik sosial

(perilaku-perilaku dan hubungan sosial tertentu). Dengan demikian kekuasaan

dapat bersumber dari kekayaan, status sosial, jabatan formal, organisasi, senjata,

populasi dan sebagainya. Dengan demikian kekuasaan dapat diperoleh melalui

satu sumber maupun gabungan dari berbagai macam sumber

- Penumpukan kekuasaan tak memiliki batasan inheren.

Karena kekuasan berhubungan dengan praktik sosial dimana sumber kekuasaan

bisa berasal dari berbagai macam sumber, maka kekuasaan pada dasarnya tak

terbatas. Sepanjang individu maupun kelompok dapat menggunakan sumber-

sumber kekuasaaan tersebut maka akumulasi kekuasaan menjadi tidak terbatas

dimana nantinya kekuasaan itu juga terpengaruh oleh perkembangan jaman.

- Kekuasaan secara moral ambigu.

Dikarenakan sumber kekuasaan dapat berasal dari berbagai macam sumber

maka sebuah kekuasaan bisa dipertanyakan dari man asalnya. Sehingga dengan

245 Kuasa kata hal 43-46 122

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

adanya kekuasaan maka hal tersebut dapat memunculkan berbagai macam

pertanyaan.

Secara ringkas, Ben Anderson mendefinisikan konsep Barat kontemporer tentang

kekuasaan adalah “suatu abstraksi yang dideduksikan dari pola-pola interaksi

sosial yang teramati; kekuasaan dipercaya sebagai sesuatu yang diturunkan dari

berbagai macam sumber; kekuasaan sama sekali bukanlah sesuatu yang

membatasi dirinya sendiri; dan secara moral ambigu”.246

b. Konsep Kuasa Jawa

Sedangkan rumusan tentang kekuasaan Jawa dikatakan terdiri dari 4 poin, yaitu:247

- Kekuasaan adalah konkret.

Kekuasaan adalah sesuatu yang nyata dimana keberadaaannya tidak bergantung

pada individu-individu yang menggunakannya. Kekuasaan diwujudkan pada

setiap aspek alam namun terekspresikan dari proses generasi dan regenerasi.

Kekuasaan bukan hanya dimiliki oleh “benda-benda hidup” namun juga dapat

dimiliki oleh “benda-benda tak hidup”.

- Kekuasaan adalah homogen.

Kekuasaan pada dasarnya berasal dari jenis dan sumber yang sama yaitu alam

semesta. Sehingga kekuasaan yang dimiliki oleh setiap individu maupun

kelompok adalah sama.

- Besarnya kekuasaan di dalam semesta adalah konstan.

Asal kekuasaan adalah dari alam semesta, dimana alam semesta ini tidak

berkembang dan menyusut. Sehingga besarnya kekuasaan akan selalu tetap

246 Benedict Anderson, Kuasa Kata : Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia, Mata Bangsa, Yogyakarta, 2000, hal 46 247 Ibid hal 47-49 123

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

karena kekuasaan bukanlah produk dari kekayaan, organisasi, persenjataan dan

lain sebagainya yang pendistribusiannya dapat melalui cara yang beragam.

- Kekuasaan tidaklah mempertanyakan keabsahan.

Karena kekuasaan berasal dari sumber yang sama maka kekuasaan itu sudah

tidak lagi memunculkan pertanyaan lanjutan karena pada dasar dasarnya

kekuasaan itu ada.

Secara ringkasnya, Ben Anderson melihat bahwa orang Jawa memandang

kekuasaan sebagai “sesuatu yang nyata, homogen, jumlah keseluruhannya tetap,

dan tanpa implikasi moral yang inheren”.248

3. Konstruksi bahasa Jawa Baku sebagai “pemersatu” konsep kuasa Barat modern

dan Jawa.

Terlepas dari perbedaan-perbedaan yang ada antara konsep kekuasaan Barat dan Jawa

ternyata di antara keduanya dapat dipertemuan dalam sebuah persamaan. Salah

satunya persamaan itu adalah adanya kuasa melalui relasi bahasa. Sebagaimana sudah

dijelaskan dalam konsep Barat bahwa hegemoni bukan hanya terjadi pada sisi relasi

ekonomi akan tetapi juga terjadi pada sisi relasi bahasa. Dalam konteks Jawa pun

terjadi hal yang demikian, dimana Ben Anderson melihat bahwa feodalisme semu

masyarakat Jawa kolonial ternyata berpengaruh terhadap penggunaan bahasa Jawa

yaitu munculnya tataran ngoko-krama.249 Adapun fungsi dari penggunaan bahasa

ngoko-krama ini, menurut Moedjanto terdapat 4, yaitu : sebagai norma pergaulan

masyarakat, tata sopan santun, menyatakan sikap hormat dan keakraban, dan sebagai

pengatur jarak sosial.250 Dari keempat fungsi ini Moedjanto melihat bahwa

248 Ibid hal 49 249 Ben Anderson (Kuasa kata) hal 436 - 444 250 G. Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa (Penerapannya oleh Raja-raja Mataram), Kanisius, 2002, hal 44-46. 124

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

penggunaan bahasa ngoko-krama lebih dipengaruhi oleh faktor sebagai pengatur jarak

sosial dan faktor lainnya sebagai faktor pendukung saja. Hal ini dikarenakan sampai

tahun 1500 tataran ngoko-krama ini belum ada, dan baru pada tahun 1600 barulah

nampak terlihat jelas adanya tataran ngoko-krama yang sering disebut sebagai

“unggah-ungguhing basa”.251

Pendapat tersebut didasarkan atas sejumlah kutipan dari tulisan-tulisan yang terdapat

pada karya sastra Jawa dan prasasti-prasasti yang sudah diketemukan. Sebelum tahun

1400 dimana tahapan karya sastra Jawa digolongkan pada tahapan karya sastra Jawa

Kuna, belum diketemukannya tataran ngoko-krama (Moedjanto melihat kutipan dari

Adiparwa yang menggambarkan percakapan antara Cakuntala dan Ducwanta, serta

kutipan dari Uttarakanda yang menggambarkan percakapan antara Prabu Sahasrabahu

dengan begawan Pulastya).252

Demikian juga dengan kutipan dari karya sastra Jawa yang lebih muda yaitu

Pararaton, dimana Poerbatjaraka menilai tulisan ini berasal dari karya sastra Jawa

Pertengahan yang dimana peristiwa terakhir yang termuat dalam naskah ini

diperkirakan ditulis pada tahun 1481, juga belum diketemukannya adanya tataran

ngoko-kromo, namun demikian memang telah nampak adanya unsur-unsur baru yang

sepertinya menjadi perintis munculnya penggunaan tataran ngoko-krama (antara lain

dilihat dari percakapan antara Tunggul Ametung dengan Lohgawe; percakapan antara

Ken Angrok dengan Lohgawe; percakapan antara Dandanggendis dengan para

brahmana pujangga; percakapan anatara Ken Dedes dengan Anusapati; dan

percakapan antara Raden Wijaya dengan Gajah Pawon).253

251 Ibid hal 55 252 Ibid hal 46-47 253 Ibid hal 47-49 125

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Senada dengan hal itu, Drewes yang melihat kutipan dari kitab bernada islami yang

berisi Piwulang Seh Bari yang kemungkinan di tulis oleh Sunan Bonang dan

percakapan antara para wali yang tertulis dalam teks kropak Ferara yang semuanya

diperkirakan berasal dari abad XVI, juga belum diketemukan adanya tataran ngoko-

krama akan tetapi sudah terlihat benih-benih munculnya unggah-ungguhing basa.254

Selain dalam karya sastra Jawa juga diketemukan prasasti-prasasti berbahasa Jawa

yang bisa menjadi acuan tentang perkembangan penggunaan bahasa Jawa. Melihat

prasasti dari era kerajaan Majapahit (seringkali disebut sebagai era Mataram

Hindhu/pra-Islam), yaitu prasasti Dukuh dan Jiyu, belum diketemukan tataran ngoko-

krama. Namun jika melihat prasasti lain yang diperkirakan dibuat di era Mataram

Islam khususnya pada era kepemimpinan Sultan Agung, Brandes melihat bahwa dua

prasasti yang diperkirakan dibuat tahun 1632 dan 1680 sudah mulai terlihat ada tataran

bahasa ngoko-krama.255 Namun bahasa krama yang muncul justru adalah apa yang

sekarang disebut sebagai “krama inggil”,256 karena dalam prasasti tersebut Sultan

Agung menggunakan kata-kata untuk mempermuliakan dirinya sendiri sebagai

seorang raja penguasa tanah Jawa.

Pada era Sultan Agung kasta sosial memang dihapus, namun tetap terdapat dua strata

baku yaitu “sentana dalem” (bangsawan atau keluarga keraton) dan “kawula dalem”

(rakyat biasa), dan sebenarnya masih ada satu strata tambahan yaitu “abdi dalem”

(priyayi atau pegawai keraton) yang berfungsi sebagai penghubung atau perantara

antara keraton dengan rakyat biasa.257 Dari penggolongan masyarakat yang seperti

inilah yang sebenarnya menjadi latarbelakang Sultan Agung menerapkan penggunaan

254 Ibid hal 50-52 255 Ibid hal 52-55 256 Urutan tataran bahasa krama dari bawah ke atas adalah krama andhap, madya dan inggil. 257 Ibid hal 60 126

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

bahasa ngoko-krama sebagai pengatur jarak sosial. Hal ini dilakukan oleh Sultan

Agung sebagai salah satu cara mempertahankan konsep “keagungbintaraan” dirinya

sebagai seorang raja Jawa. Pada dasarnya bahasa ngoko-krama adalah bahasa yang

digunakan pertama-tama adalah dengan memperhatikan hubungan kekeluargaan.

Sebagai contoh adalah ketika Juru Martani berbahasa ngoko kepada para penguasa

Mataram yang dalam hubungan kekeluargaan mereka adalah kemenakan/keponakan

dari Juru Martani. Namun sejak era Sultan Agung tak seorangpun berbicara ngoko

kepada raja sekalipun orang tersebut dalam hubungan keluarga usianya lebih tua

bahkan orang tua dari raja itu sendiri harus berbahasa krama kepada seorang raja yang

sebenarnya adalah anaknya sendiri.258

Dengan adanya tataran bahasa ngoko-krama inilah yang akhirnya di dalam relasi

berbahasa terbentuk adanya sebuah tingkatan bahasa dimana seorang raja menempati

hierarki yang paling tinggi. Di dalam lingkup keluarga keraton sendiri semuanya harus

berbicara krama kepada raja, sedangkan seorang raja cukup membalasnya dengan

berbicara ngoko saja. Selanjutnya bagi golongan abdi dalem juga harus berbahasa

krama ketika berbicara dengan keluaga keraton. Dan rakyat biasa harus berbahasa

krama kepada para abdi dalem atau priyayi. Bahkan praktek berbahasa yang demikian

juga berlaku untuk para wali yang berbicara kepada raja harus menggunakan bahasa

krama dan raja cukup membalasnya juga hanya dengan bahasa ngoko saja.259

Selain digunakan dalam komunikasi lisan ternyata Sultan Agung juga

mengembangkan bahasa ngoko-krama dalam penulisan sastra babad.260 Tahun 1626

dia memerintahkan para pujangga untuk menulis “Babad Tanah Jawi”. Dan setelah

kegagalannya menyerang Batavia pada tahun 1628 dan 1629, dia memerintahkan

258 Ibid hal 61-62 259 Ibid hal 96 260 Ibid hal 59-61 127

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ulang penulisan babad tersebut pada tahun 1633. Tentunya penulisan ulang ini juga

dikonstruksi sedemikian rupa demi terciptanya kewibawaan seorang raja di mata

rakyatnya.

Dari apa yang dilakukan oleh Sultan Agung melalui pengembangan bahasa ngoko-

krama ini sebenarnya penuh dengan aroma politis. Demikian juga dengan penulisan

sastra babad yang menggunakan bahasa ngoko-krama ini sebenarnya digunakan untuk

mengembangkan sebuah unsur baru dalam kebudayaan Jawa yaitu adanya relasi kuasa

bahasa. Sehingga dengan demikian maka pengembangan bahasa ngoko-krama ini

sebenarnya sedang digunakan oleh Sultan Agung untuk meraih kejayaan politik dan

budaya.261

Hal tersebut juga diperkuat dengan adanya fakta bahwa keturunan yang sebenarnya

dari dinasti Mataram Islam adalah dari golongan petani, dimana jika dirunut secara

silsilah mereka adalah keturunan dari Ki Ageng Sela yang adalah pemuka pedukuhan

atau desa Sela yang dikenal sebagai seorang petani yang bekerja di sawah dengan

rajin, bahkan ketika hujanpun ia tetap bekerja.262 Sehingga dapat dikatakan bahwa trah

Mataram Islam sebenarnya berasal dari golongan rakyat biasa. Dan jika mengacu pada

kasta sosial pada jaman Matram Hindhu maka trah Mataram Islam sebenarnya berasal

dari kasta Waisya yaitu golongan sosial yang berada di bawah kasta Brahmana dan

Ksatria. Sehingga penghapusan kasta sosial ini menjadi logis karena jika pembagian

kasta itu masih ada maka apapun yang terjadi trah Mataram Islam akan tetap dianggap

sebagai golongan masyarakat kasta ketiga setalah Brahmana dan Ksatria dan hanya

berada satu tingkat diatas kasta Sudra.

261 ibid hal 59 262 Ibid hal 19 128

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Oleh karena itu dengan penghapusan sistem kasta sosial tersebut maka kedudukan trah

Mataram berhasil mengubah status sosialnya dari kelas yang diperintah menjadi kelas

yang memerintah, dimana dari hal tersebut Moedjanto mengatakan bahwa dinasti

Mataram diibaratkan sebagai “jarak yang menjadi jati”.263 Sehingga dengan adanya

pengembangan bahasa ngoko-krama inilah yang sebenarnya menciptakan sebuah

model kasta yang baru yaitu melalui “kasta bahasa” dimana siapapun yang berhadapan

dan berbicara dengan raja maka wajib menggunakan krama.

Dengan apa yang dilakukan oleh Sultan Agung dimana dirinya memanfaatkan

pengembangan bahasa ngoko-krama ini sebagai sarana untuk menjaga kekuasaannya,

hal yang demikian juga nantinya dilakukan oleh Belanda kepada raja-raja Mataram

yang berikutnya. Hal ini dimulai ketika Amangkurat II meminta bantuan Belanda

untuk kembali merebut keraton Plered dari tangan Pangeran Puger. Sejak peristiwa

itu maka setiap raja Mataram yang naik tahta sebenarnya banyak bergantung pada

bantuan Belanda melalui VOC.264 Dan ketika VOC semakin mencengkeram raja

Mataram maka pada akhirnya raja Mataram memberikan tanda dari ketaklukannya

tersebut dengan menyebut Gubernur Jenderal Belanda dengan sebutan “eyang”,

sebuah sebutan krama untuk “embah” (kakek atau nenek). Hal tersebut mulai terjadi

sejak kepemimpinan Paku Buwana III, dimana dirinya adalah raja Jawa pertama yang

dilantik oleh Belanda (VOC) pada tahun 1749.265 Bahkan Paku Buwana III disebut

sebagai “raja Jawa banci” yang pertama.266

Selain Paku Buwana III yang begitu menghormati Belanda dengan menggunakan

cerminan bahasa Jawa krama, ternyata hal tersebut juga dilakukan oleh raja Jawa yang

263 Ibid hal 23-24 264 Ibid hal 39 265 Ibid hal 63 266 John Pemberton, “Jawa” : On the Subject of “Java”, Mata Bangsa, Yogyakarta, 2003, hal 78. 129

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

lain yaitu Mangkunegaran IV yang menyebut Residen Surakarta dengan sebutan

“Yang Mulia”.267 Sebagai seorang sastrawan yang menulis Serat Wedhatama, bahasa

yang digunakan oleh mangkunegaran IV ketika berhadapan dengan pihak Belanda

ternyata sangatlah menunjukkan rasa “hormat”nya kepada Belanda. Berbeda dengan

Sultan Agung yang tidak pernah memakai bahasa krama kepada siapapun, termasuk

dengan orangtuanya dan juga kepada para Wali, ternyata raja-raja Jawa berikutnya

telah benar-benar takluk terhadap Belanda sehingga mau “membungkukan diri” di

hadapan Belanda seperti para priyayi dan rakyat biasa yang harus membungkukan diri

di hadapan rajanya. Dan pembungkukan diri para raja Jawa ini terlihat jelas di dalam

praktek berbahasa mereka ketika berhadapan dengan pihak Belanda.

Bahasa Jawa model seperti inilah yang akhirnya membuat Belanda menjadi tertarik

untuk terjun di dalam pengembangan bahasa Jawa yang nantinya mereka sebut

sebagai “Javanologi”.268 Javanologi ini mulai berkembang dari program-program

pendidikan bahasa Jawa bagi para pejabat administrasi Belanda, proyek-proyek

penerjemahan Alkitab dan kompilasi untuk kamus dan lain-lainnya. Perkembangan

bahasa Jawa inilah yang lalu menyebabkan bahasa ngoko-krama menjadi sebuah

bahasa “yang benar” yang secara resmi digunakan di wilayah kerajaan-kerajaan Jawa

yang sudah terbagi menjadi: Kasunanan, Mangkunegaran, Kasultanan dan

Pakualaman. Sehingga bahasa ngoko-krama ini juga digunakan di daerah-daerah yang

jauh dari pusat “negara” yaitu di daerah pesisir utara Jawa, mancanegara kulon

(berbatasan dengan kerajaan Sunda), dan mancanegara wetan (hingga ujung Jawa

Timur).

267 Ibid hal 107 268 Ibid hal 142 130

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Dari hal tersebut nampak jelas bahwa faktor kuasa sangat berpengaruh pada

perkembangan bahasa Jawa, khususnya bahasa ngoko-krama. Bahasa ini

menunjukkan bagaimana rakyat hormat kepada raja, dan raja hormat kepada Belanda.

Sehingga dari hal ini ternyata pihak Belanda-lah yang diuntungkan, Belanda berada

pada puncak hierarki bahasa ngoko-krama. Demikian juga dengan raja-raja Jawa yang

sudah benar-benar ditaklukan oleh Belanda sebenarnya juga mendapatkan keuntungan

dari bahasa ngoko-krama ini, yaitu kedudukan mereka sebagai raja tetap dihormati

oleh rakyat mereka dengan praktek berbahasa yang demikian itu. Sehingga dapat

dikatakan bahwa bahasa ngoko-krama menjadi sebuah sarana bagi para penguasa

untuk berkuasa, Belanda berkuasa terhadap para raja dan rakyat Jawa sedangkan para

raja Jawa juga tetap dapat memiliki kekuasaan mereka terhadap rakyatnya.

4. Pertentangan terhadap bahasa Jawa Baku (ngoko-krama).

Dengan kemunculan “bahasa Jawa Baku” sebagai sebuah bahasa resmi di wilayah

kekuasaan Keraton menyebabkan bahasa Jawa yang telah ada sebelum adanya proyek

“kramanisasi” ini yaitu bahasa Jawa Kuno (ngoko) akhirnya hanya dianggap sebagai

bahasa kelas dua. Dengan adanya tataran bahasa ngoko-krama ini, Baryadi Praptomo

mengatakan bahwa hal seperti itu menunjukkan adanya sebuah “diskriminasi lingual”

atau diskriminasi bahasa.269 Dengan adanya diskriminasi bahasa inilah yang lalu

menunjukkan ada pihak yang memerintah dan diperintah dalam praktek berbahasa

sehingga di dalamnya terjadi sebuah relasi kuasa bahasa.

Hal inilah yang pada permulaan abad ke-20 mulai digugat oleh sebuah kelompok yang

diprakarsai oleh Tjokro Soedarmo (pemimpin Sarekat Islam di Surabaya) yaitu

“Djawa Dipa” (berdiri 1918), yang menolak penggunaan bahasa krama dan lebih

269 I. Praptomo Baryadi; Bahasa, Kekuasaan dan kekerasan; Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2012, Hal 29 131

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

memilih berbahasa ngoko kepada semua orang tidak terkecuali pada orang-orang

Belanda, karena menurut mereka bahasa asli orang Jawa adalah bahasa ngoko.270 Hal

ini akhirnnya mendapat dukungan dari pimpinan Sarekat Islam, Tjokro Aminoto, yang

menyatakan bahwa kelompok ini adalah alat penting untuk memperbaiki “mental

budak” orang Jawa dan mempersiapkan mereka menuju pada sebuah pemerintahan

yang lepas dari penjajahan dan menuju pada sebuah kemajuan.271

Penentangan terhadap keberadaan bahasa krama juga ditunjukkan oleh para pengikut

gerakan Samin yang bermukim di pegunungan Kendeng Utara (daerah Blora dan

sekitarnya), yang menolak memakai bahasa krama dan tetap memilih menggunakan

bahasa ngoko kepada sesama orang Jawa.272 Mereka adalah petani-petani kecil yang

bermukim di pedesaan, sehingga dengan status mereka yang “rendah” maka apa yang

mereka lakukan lalu menimbulkan amarah pada para diri kaum priyayi Jawa karena

dengan apa yang dilakukan oleh para pengikut gerakan samin ini telah melecehkan

keberadaan mereka sebagai priyayi yang kedudukan sosialnya berada di atas golongan

petani. Bahkan para priyayi ini seringkali melakukan kekerasan fisik pada orang-

orang Samin ini, yang juga dibantu oleh pihak Belanda, dalam berbagai macam

kesempatan serta menggunakan berbagai macam alasan.

Apa yang dirasakan oleh orang-orang Samin juga dirasakan oleh orang-orang yang

bermukim di daerah Banyumasan. Orang-orang di daerah Banyumasan sendiri

sebenarnya mempunyai bahasa percakapan sehari-hari yang khas dan tidak mengenal

tataran bahasa ngoko-krama. Bahkan jika dilihat dari perkembangan bahasa Jawa,

270 Ben Anderson, kuasa kata, hal 456-458 271 Takashi Shiraishi, Zaman bergerak : Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Pustaka Utama Grafiti, Yogyakarta, 1997, hal 143 272 Ben Anderson, Kuasa kata, hal 454-455. 132

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

bahasa ini masih sangat dekat dengan bahasa Jawa Kuno.273 Sehingga dengan adanya

bahasa Jawa Baku juga menyebabkan bahasa Banyumasan dianggap sebagai bahasa

kelas dua. Bahkan karena hal tersebutlah yang akhirnya menyebabkan bahasa

Banyumasan hanya dikatakan sebagai sebuah dialek atau logat saja.274 Logat atau

dialek inilah yang lalu sering disebut sebagai dialek atau logat “ngapak-ngapak”.

Menyikapi penilaian tentang bahasa Banyumasan yang hanya disebut sebagai sebuah

dialek atau logat saja maka seorang akademisi yaitu Prof. Sugeng Priyadi mengatakan

bahwa bahasa Banyumasan sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Esser pada

tahun 1927-1929 tergolong sebagai bahasa yang umurnya lebih tua dari bahasa Jawa

Baku.275 Hal senada juga dikatakan oleh Budiono Herusatoto yang mengatakan bahwa

bahasa Banyumasan atau “Ngapak-ngapak” jika dilihat dari sejarah perkembangan

kebahasaan Jawa, sebenarnya adalah “bahasa Jawa Asli”.276

Pernyataan tersebut diperkuat oleh pendapat seorang budayawan Banyumasan,

Ahmad Tohari, yang mengatakan bahwa bahasa Banyumas adalah sebuah “bahasa”

dan bukan hanya sekedar logat atau “dialek” saja.277 Oleh karena itu untuk melawan

serta menepis anggapan banyak kalangan tentang bahasa Banyumasan yang dianggap

hanya sebagai sebuah logat atau dialek saja maka Ahmad Tohari di dalam Kongres

Bahasa Banyumasan yang diadakan pada tahun 2016, memperjuangkan tentang status

273 Budiono Herusatoto, Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa dan Watak, LKiS, Yogyakarta, 2008, hal 121-134 274 Koentjaraningrat, Kebudayaan jawa, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1984, Hal 23. 275 Prof. Dr. Sugeng Priyadi, Menuju Keemasan Banyumas, Pustaka Pelajar, Jakarta,2015, hal 272. 276 Budiono Herusatoto, Banyumas (Sejarah, Budaya, Bahasa dan Watak), LKiS, Yogyakarta, 2008, Hal 142. Sejarah perkembangan kebahasaan Jawa: 1. Bahasa lisan Jawa Asli (Jawadwipa – Ngoko lugu), yang sekarang lebih populer disebut bahasa Jawa dialek Banyumasan. 2. Bahasa Jawa Kawi (Krama lugu). 3. Bahasa krama dialek gandhekan. 4. Bahasa Jawa Krama Inggil. 277 Pengantar pada Kamus Banyumas – Indonesia dengan judul “Prelune nguri-uri basa Penginyongan” 133

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kebahasaan bahasa Banyumas sebagai sebuah bahasa dengan menghasilkan sebuah

poin keputusan, bahwa sebutan bahasa Banyumasan diganti istilahnya dengan sebutan

bahasa “Penginyongan”.278 Hal ini dikarenakan kata “Banyumas” identik dengan

daerah eks-Karesidenan Banyumas yang terdiri dari 4 Kabupaten yaitu Banyumas

(ibukotanya berada di Purwokerto), Banjarnegara, Purbalingga dan Cilacap. Padahal

bahasa sehari-hari di Kabupaten Kebumen (masuk eks-Karesidenan Kedu) juga

menggunakan bahasa Banyumasan.279 Oleh karena itu penggunaan bahasa

“Penginyongan” lalu identik dengan daerah yang disebut sebagai Masbarlingcakeb

(Kab. Banyumas, Banjarnegara, Purbalingga, Cilacap dan Kebumen).

E. Hegemoni Bahasa Jawa “Baku” Terhadap Bahasa Penginyongan.

1. Dari teks hingga audio-visual (karya-karya Ahmad Tohari)

Dengan munculnya istilah bahasa “Penginyongan” sebenarnya hanya untuk

menegaskan bahwa dialek ngapak-ngapak atau Banyumasan adalah sebuah bahasa,

sama seperti dengan bahasa Jawa “Baku”. Namun harus diakui dalam hal ini memang

penyebutan kata “Banyumasan” saat ini masih lebih populer dibandingkan dengan

“Penginyongan”. Akan tetapi ketika menyebut bahasa “Penginyongan” berarti sedang

menyebut bahasa “Banyumasan, demikian juga sebaliknya. Sehingga langkah-langkah

yang dilakukan Ahmad Tohari hingga sampai pada puncaknya bahasa Banyumasan

diakui sebagai sebuah bahasa dengan sebutan bahasa “Penginyongan”, maka karya-

karya yang sudah dilakukan oleh Ahmad Tohari dengan sebutan Banyumasan juga

merujuk pada sebutan Penginyongan.

278 Ahmad Tohari, Jejak Tradisi Jawa Kuna Dalam Kebudayaan Jawa Banyumasan (dalam buku “Kongres Kebudayaan Jawa II”, 2018, hal 139-144) 279 Budiono Herusatoto hal 163. 134

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Karya-karya Ahmad Tohari dalam bahasa Penginyongan yang masih menyebut kata

Banyumasan karena diterbitkan sebelum tahun 2016 (tahun pengesahan bahasa

Penginyongan), antara lain : Kamus Banyumas – Indonesia , Alquran terjemahan

bahasa Banyumasan,280 dan novel Ronggeng Dukuh Paruk versi bahasa Banyumasan.

Karya-karya inilah yang memang harus diakui karena nama besar dari Ahmad Tohari

sebagai seorang sastrawan yang sudah diakui di dunia internasional menjadikan bahasa

Banyumasan mempunyai nilai tawar lebih ketika disebut sebagai bahasa

Penginyongan. Terlebih ketika novel “Ronggeng Dukuh Paruk” (RDP) difilmkan ke

layar lebar dengan judul “Sang Penari”.

Dari film “Sang Penari” inilah yang lalu membuat bahasa Banyumasan/Penginyongan

semakin memiliki kriteria yang komplit sebagai sebuah bahasa, sebagaimana jika

dilihat dari sisi perkembangan bahasa yang diutarakan oleh Walter Ong, yaitu :281

- Kelisanan primer, fase oral (pra literer).

- Tulisan, fase gambar dan aksara.

- Cetakan

- Elektronik, fase audio dan audio-visual (kelisanan sekunder)

Dari 4 fase tersebut daiatas bisa dikatakan bahwa fase1 dan 2 terjadi di masa tradisional,

sedangkan fase 3 dan 4 terjadi di masa modern. Apa yang dilakukan oleh Ahmad Tohari

melalui karya-karyanya terjadi pada fase cetakan dan dilanjutkan dengan film “Sang

Penari” yang diambil dari novel RDP berada pada fase elektronik. Jika pada era raja-

raja Jawa perkembangan bahasa Jawa dapat diteliti melalui karya-karya sastra, maka

pada fase elektronik ini tentunya sebuah film juga dapat menjadi sebuah referensi untuk

melihat perkembangan suatu bahasa. Oleh karena itu pada saat ini akan dilihat

280 Ahmad Tohari berperan sebagai salah satu penterjemah. 281 Walter Ong, Kelisanan dan Keberaksaraan, Gading, Yogyakarta, 2013, hal 1-3. 135

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

bagaimana munculnya hegemoni bahasa di dalam proses perkembangan bahasa

“Penginyongan” melalui kacamata novel RDP baik dalam versi basa Banyumasan

maupun Indonesia, serta dalam film “Sang Penari” melalui percakapan-percakapan

yang di dalamnya masih terpengaruh bahasa Jawa Baku.

a. Novel “Ronggeng Dukuh Paruk” (Versi bahasa Banyumasan)

Novel RDP karya Ahmad Tohari, seorang budayawan Banyumasan, pertama kali

diterbitkan pada tahun 1982 dalam versi bahasa Indonesia yang terdiri atas tiga

buku (Trilogi) yaitu, “Catatan Buat Emak”, “Lintang Kemukus Dini Hari”, dan

“Jantera Bianglala”. Novel ini banyak bercerita tentang situasi dan kondisi dukuh

Paruk di tahun 60an, namun demikian di dalam novel ini juga diceritakan juga masa

sebelum dan sedah tahun 60an yaitu pada tahun 40an, 50an, dan 70an. Dan novel

ini telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa asing (seperti bahasa Inggris,

Belanda, Jerman, Jepang dan Mandarin/China) dan juga telah menerima banyak

penghargaan baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

Setelah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa asing, si penulis novel ini akhirnya

menerjemahkannya ke dalam bahasa ibu-nya sendiri yaitu bahasa Banyumasan,

yang pada Kongres bahasa Banyumasan tahun 2016 disebut sebagai bahasa

“Penginyongan”. Alasan Ahmad Tohari sendiri ketika memutuskan untuk

menerjemahkan novel RDP ke dalam bahasa Banyumasan/Penginyongan adalah

karena “bahasa dan sastra Banyumasan memang harus dijaga agar tidak

terpinggirkan, minimal oleh masyarakat penuturnya”.282 Apa yang dilakukan oleh

Ahmad Tohari tersebut sepertinya dilakukan sama dengan apa yang dilakukan oleh

282 Imam Suhardi, Budaya Banyumasan Tak Sekedar Dialek (Representasi Budaya Banyumas Dalam prosa Karya Ahmad Tohari, dalam WACANA ETNIK, Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, Volume 4, Nomor 1, April 2013, FIB Universitas Andalas. 136

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

para pengarang Sunda yang tampaknya ketakutan terhadap bahasa mereka yang

bukannya berbahaya (dangerous), akan tetapi justru dalam bahaya (in danger),

dimana bahaya yang dimaksud adalah bahaya pengabaian, bahaya karena menjadi

tidak relevan, bahaya karena didesak oleh bahasa Indonesia, bahkan malah mungkin

oleh bahasa Jawa.283 Oleh karena itu di dalam “atur bukakan penerbit” pada novel

RDP versi bahasa Banyumasan disebutkan bahwa melalui novel ini diharapkan

bahasa Banyumasan bisa lestari dan dapat untuk menunjukkan adanya bahasa tulis

dari bahasa Banyumasan yang diakui oleh banyak pihak, dimana denga hal tersebut

maka diharapkan bahasa Banyumasan dapat bisa “jejeg, madeg lan mandhiri”.284

Demikian juga dengan Bupati Banyumas saat itu (tahun 2014), Ahmad Husein,

yang mengatakan bahwa novel ini ketika diterjemahkan ke dalam bahasa

Banyumasan dapat dibaca oleh orang-orang Banyumasan menjadi “lewih tandhes

maning” (lebih mengakar lagi).285 Hal ini disebabkan dengan dibahasakan secara

Banyumasan maka karakter-karakter tokoh yang ditampilkan menjadi terlihat nyata

menunjukkan ciri khas dan suasana orang-orang Banyumasan. Dalam hal berbahasa

terlihat sekali bahwa komunikasi di dukuh Paruk yang menggunakan bahasa

Banyumasan dapat memperlihatkan suasana yang sangat egaliter karena semua

orang dukuh Paruk baik tua, muda, anak-anak, laki-laki, perempuan semuanya

berbicara dalam bahasa Banyumasan yang tidak menunjukkan adanya tataran

bahasa seperti bahasa Jawa Baku yang mengenal adanya bahasa ngoko-krama.

Namun demikian jika orang-orang dukuh Paruk bertemu dengan orang-orang yang

tidak berasal dari dukuh Paruk mereka kadangkala, dengan orang-orang tertentu,

akan berbicara dengan bahasa yang lebih halus (krama). Sehingga dengan adanya

283 Ben Anderson, Kuasa Kata, hal 491 284 Kata Pembuka oleh Penerbit pada novel RDP versi Banyumasan 285 Komentar di sampul belakang novel RDP versi Banyumasan 137

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

hal tersebut maka bisa kita melihat seberapa besar pengaruh bahasa Jawa “baku” terhadap bahasa Banyumasan, paling tidak, di era 60an. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengaruh bahasa Jawa Baku sebenarnya juga terasa di dalam percakapan- percakapan di novel ini.

- Percakapan antara Kertaredja dan Dower. (hal 69)

Karo ngusap raine sing kemringet, Dower molahi rembugan.

“Kula dhateng malih, Yang. Senajan sing kula bekta sanes ringgit mas, kula

nyuwun Eyang purun nampi.”

“lho, udu ringgit mas?” Takone Kertaredja

“sanes, Yang.”

“apa? Ringgit timbel?”.

“Mesa wadon sing ageng. Kewan niku regine paling mboten sami kalih

regine ringgit mas”.

Sebutan Eyang dan Mesa menunjukkan bahasa krama. Eyang dalam bahasa

Banyumasan disebut “nini (nenek)/kaki (kakek)”, sedangkan Mesa adalah

adalah bahasa krama dari kerbau atau dalam bahasa Jawa disebut Kebo. Dower

menggunakan bahasa krama karena usia dia lebih muda daripada Kertareja, dan

Kertareja adalah seorang “dukun” ronggeng yang secara “spiritual” harus

dihormati.

- Percakapan antara Rasus dengan Sersan Slamet. (hal 95)

Wektu kuwe ora nana bocah Dhukuh Paruk sing ora gemeter angger

deceluk neng tentara. Inyong dhewek meh baen mbalik mlayu umpamane

138

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Sersan Slamet ora ngawe-awe maning. Malah inyong njuran weruh eseme

sing semanak, dadine inyong ora sida wedi.

“sapa arane ko?”. Takone Sersan Slamet. Sumeh, mbapani.

“Rasus, pak?”.

“Angger ora lagi ana penggawean, tulung inyong derewangi ya”.

“Kula saweg mboten onten pedamelan.” Saure inyong, esih mandan

glagepan.

“dadi ko gelem ngrewangi inyong?”

Inyong manthuk.

“ya, ayuh demolahi. Gotongi pethi-pethi kuwe, terus degawa maring

umah kae, mengko ana upahe.”

Kalimat “kula saweg mboten onten pedamelan” menunjukkan bahasa krama,

yang dalam bahasa Banyumasan dapat diartikan “inyong agi ora pegawean”.

Kalimat dalam bahasa krama ini diucapkan Rasus karena seorang tentara

mempunyai derajat yang lebih tinggi daripada dirinya yang hanya rakyat sipil

biasa. Akan tetapi tentara tersebut cukup memanggil Rasus dengan sebutan

“ko” yang khas banyumasan, yang dalam bahasa Jawa ngoko artinya “kowe”.

- Percakapan antara Marsusi dan nini Kartareja. (hal 126-127)

“sampeyan miki ngomong, Srinthil ana neng umah. Njur neng endi siki?”

Takone Marsusi karo ndelah gebyas jenewer, carane mandan kasar.

Nini Kartareja ngumpetna bingunge nganggo esem sing mranani.

“Estu, Pak. Mangkiniki Srinthil sanjang ajeng adus kriyin. Duh, bocah

kiye, maring endi?”.

139

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Kalimat jawaban Nini Kartareja kepada Pak Marsusi menggunakan bahasa

krama, “Estu, Pak. Mangkiniki Srinthil sanjang ajeng adus kriyin”. Jika

diartikan dalam bahasa Banyumasan menjadi “bener, Pak. Mau kiye Srinthil

ngomong arep adus dhisit”. Nini Kertareja berbahasa krama karena Pak Marsusi

adalah seorang “pejabat” yaitu kepala perkebunan Wanakeling. Kata “adus”

yang ditujukan pada diri Srinthil juga menunjukkan bahwa kedudukan Srinthil

lebih rendah dari Pak Marsusi.

- Percakapan antara Dilam dan Kaki Tarim. (hal 187)

Neng senthong jero, Dilam njagong sila adhep-adhepan karo Kaki

Tarim. Sepisan kiye raine Tarim keton ora nganggo lamisan. Saben

omongane dhayohe derungokna temenan nganti bathuke pating kerut,

alise dadi meh thuk.

“Sepisan maning, jajal dipikir dhisit, Nak. Kiye prekara nyawa.

Karo maning inyong mengko arep mbodhokna kabeh resikone

maring mpeyan”. Omonge Tarim kambi mencereng maring

matane Dilam.

“Kula mpun mantep, Ki. Kula sagah nanggel sedaya

resikone.”

“Resiko neng ndunya karo resiko neng alam kelanggengan?”.

“Nggih, Ki.”

“mpeyan mbok wis ngreti, prekara sing kaya kiye dadine ala

nggo anak-putune mpeyan?”.

Kalimat jawaban Dilam kepada Kaki Tiram menggunakan bahasa krama, “Kula

mpun mantep, Ki. Kula sagah nanggel sedaya resikone”. Dalam bahasa

140

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Banyumasan dapat diterjemahkan dengan, “inyong wis mantep, Ki. Inyong

gelem nanggung resikone kabehan”. Dilam berbahasa krama karena status dia

sebagai “pasien” dari Kaki Tiram yang adalah seorang dukun yang status dalam

hal ini lebih tinggi darinya. Selain itu Kaki Tiram juga cukup berbicara ngoko

kepada Dilam karena Dilam hanyalah seseorang yang tidak mempunyai

“jabatan”, dia hanya seorang petani. Berbeda terhadap Marsusi, Kaki Tiram

menggunakan bahasa krama.

- Percakapan antara Marsusi dengan kaki Tarim. (hal 191)

Sewise dhehem kopang-kaping, Marsusi crita apa sing kelakon neng

Dhukuh Paruk antarane setengah wulana bekana. Carane ngomong aso,

kayong ora deimbuhi rasa gela. Kiye dadi kawigatine sing duwe umah.

Kaki Tarim wis biasa krungu wong wadul, ngangluh, sing debumboni

nganggo rasa gela utawa gething. Ning Marsusi ora kaya kuwe. Njuran

ijig-ijig Kaki Tarim mesem. Esem kuwe merekna Marsusi mandheg goli

ngomong.

“Srinthil, nggih Mas?”

“Nggih, Ki.”

“Ya”.

“Mpeyan ngertos Srinthil, Ki?”

“Leres. Kiyambeke niku ronggeng sing saged damel tiyang

kraos gregetan, mbok? Kula mpun nante nonton ibinge. Nggih,

pancen. Ning njuran kiyambeke mirang-mirangaken preyayi

sing wujude gagah kaya mpeyan niki?”.

141

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Kedua-duanya, Marsusi dan Kaki Tiram, menggunakan bahasa krama. Bahasa

krama yang dipakai adalah krama madya. Hal ini dapat dilihat dengan

munculnya kata “mpeyan” sebagai lafal dari Sampeyan. Kata “Sampeyan”,

kedudukannya lebih tinggi dari kata “Ko” atau “Kowe” akan tetapi lebih rendah

dari “Panjenengan”. Semakin panjang kata, berarti menunjukan semakin tinggi

rasa hormat yang diberikan kepada lawan bicaranya. Marsusi walaupun sama-

sama sebagai seorang “pasien” seperti Dilam, namun Marsusi adalah seseorang

yang mempunyai “jabatan” yaitu kepala perkebunan Wanakeling. Sehingga

sebagai “pasien” Marsusi tetap arus menggunakan bahasa krama kepada Kaki

Tiram, dan Kaki Tiram yang sudah mengetahui bahwa Marsusi adalah “pejabat”

maka diapun berbahasa krama juga kepada Marsusi.

- Percakapan antara ibu Camat dan ibu Wedana. (hal 203)

“O, dados niku sing namine ronggeng Dhukuh Paruk?”.

Krisikane Nini Camat maring wong wadon sing neng jejere, Nini

Wedana.

“Ya, pancen kuwe”. Jawabe Nini Wedana, entheng.

“Kula nembe semerep sing genah seniki.”

“Kepriwe? Ayu? Kenes?”

Kalimat-kalimat yang diucapkan bu Camat kepada bu Wedana menggunakan

bahasa krama karena status bu Camat lebih rendah dari bu Wedana. Pada masa

itu di bawah Kabupaten terdapat wilayah administratif yang disebut

Kawedanan. Kawedanan adalah wilayah yang membawahi beberapa

kecamatan. Dan pemimpin Kawedanan disebut sebagai Wedana. Sehingga

status istri Wedana lebih tinggu dari istri Camat. Oleh karena itu bu Camat

142

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ketika harus berbicara kepada bu Wedana harus menggunakan bahasa krama,

sedangkan bu Wedana cukup berbahasa ngoko kepada bu Camat.

- Percakapan antara Srinthil dan Komandan Polisi. (hal 266)

Srinthil : “Kula sami dhateng ngriki prelu ajeng tangled, Pak,” ujare

Srinthil, atine dekendel-kendelna. “Wau ndalu kathah

tiyang saking dhusun sanes ajeng ngrungkup griyane

tiyang-tiyang Dhukuh Paruk. Mesthine tiyang niku gadhah

niyat awon. Mila kula ajeng nedha pengayoman. Sebab

kula sami mboten rumaos damel lepat napa-napa. Ning

angger kula sami ajeng dewastani lepat, nggih tulung

desebat napa lepate.”

......

Kumendhan Pulisi : “Prekara wong-wong sing padha ngrungkup Dhukuh Paruk

arep tek tliti. Ning kejaba kuwe ana prekara wigati sing

arep tak omongna maring mpeyan wong loro. Wigatine

kaya kiye : Sedulur Kartareja karo sedulur Srinthil kepelu

wong-wong sing kudu tek cekel. Kiye prentahe atasan.

Inyong mung sadrema nglakoni prentah.”

Dari percakapan antara Srinthil dengan Komandan Polisi juga memperlihatkan

bagaimana Srinthil merasa statusnya lebih rendah daripada dengan “abdi

negara” ini, sehingga Srinthil berbicara dengan bahasa krama. Sedangkan

komandan Polisi tersebut cukup membalas dengan berbicara dalam bahasa

ngoko kepada Srinthil.

143

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

- Percakapan antara Rasus (Tentara) dan Komandan Pleton. (hal 277)

“Dadi ko esih ngeyel kepengen prei?”

“Nggih, Pak. Kula teksih gadhah nini sing empun sepuh sanget,

gesang kiyambekan teng Dhukuh Paruk. Kawontene kaya niki, Pak.

Mila kula kepengin tuwi.”

“Omonge inyong wis cukup. Jajal de-enggo polone ko! Anggota peleton

kurange wis akeh. Ana sing mati, ana sing de-pecat. Siki ko arep lunga?

Mbok ko esih pengin dadi tentara?”

Kemendhan nggebrag kemeja nganggo tangane sing preguwa. Ning

rasus migleg-migleg.

“Menawi mboten angsal idin, kula purun depecat, Pak.”

“Bajingan!”.

Walaupun diantara keduanya sama-sama sebagai seorang tentara, akan tetapi

pangkat Rasus lebih rendah. Sehingga dengan demikian Rasus harus berbicara

dalam bahasa krama kepada komandannya. Sedangkan komandannya yang

pangkatnya lebih tinggi dari Rasus cukup berbicara dengan bahasa ngoko

kepada Rasus. Hal ini menunjukkan walaupun mereka sama-sama tentara

namun di dalam dinas militer ada jenjang kepangkatan, sehingga sebagai wujud

hormat kepada yang pangkatnya lebih tinggi maka dalam novel RDP

ditunjukkan dengan pembicaraan yang menggunakan bahasa ngoko-krama.

- Percakapan antara Sakum dan Rasus (tentara). (hal 284)

“E, kuwe apa Rasus? Ko apa esih kemutan maring inyong? Inyong

Sakum.”

144

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

“Sakum! Aja nyebut ‘ko’ maring Rasus. Siki wis ora kena nyebut ‘ko’

maring Rasus.” Nini Kartareja ngomehi Sakum.

“O, ya ngapurane, Rasus; eh, Pak Tentara. Mpeyan mbok wis mbojo?

Ayu endi bojone mpeyan karo Srinthil?”

Sakum dengan Rasus yang terjadi ketika Rasus sudah menajdi seorang tentara

dengan ketika dirinya belum menjadi tentara juga ternyata berbeda. Ketika

Rasus belum menjadi tentara, Sakum ketika memanggil Rasus cukup dengan

kata “ko”. Namun ketika Rasus sudah menajdi seorang tentara, Sakum yang

masih memanggil Rasus dengan sebutan “ko” mendapat teguran dari Nini

Kartareja untuk tidak memanggil Rasus dengan kata “ko” lagi. Oleh karena itu

Sakum lalu memanggil Rasus dengan kata “mpeyan” yang masuk dalam

kategori kata dalam bahasa krama-madya. Sebenarnya ketika Sakum

menggunakan bahasa ngoko kepada Rasus sebenarnya hal tersebut bukanlah

sebuah perkara yang salah ketika melihat Sakum yang usianya lebih tua

daripada Rasus. Akan tetapi Nini Kertareja ketika menegur bahkan memarahi

Sakum melihatnya bukan dalam status tua dan muda akan tetapi melihat status

Rasus yang tentara dan Sakum hanya rakyat sipil biasa. Sehinga dengan

penggunaan bahasa krama inilah yang menunjukkan bagaimana profesi Rasus

sebagai tentara membuat status dirinya menjadi lebih tinggi dari Sakum, bahkan

bukan hanya dengan Sakum saja akan tetapi juga dengan seluruh orang-orang

yang ada di dukuh Paruk, termasuk dengan Nini Kertareja.

- Percakapan antara Rasus (tentara) dan Kapten Mortir. (hal 296)

“Kula Prajurit Dua Rasus. Kula nyadhong ukum napa mawon

sebab kula dora ngaken-aken nate dados rayate kemendhan.

145

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Kula nggih nyadhong paukuman sebab kula dhateng mriki ajeng

tui salah setunggil tiyang tahanan.”

......

“Njagong.”

“Siap.”

Sekali lagi dalam percakapan ini diperlihatkan bagaimana kepangkatan sangat

mempengaruhi seorang anggota militer ketika berbicara dengan anggota lainnya

yang pangkatnya lebih tinggi. Disini terlihat Rasus yang pangkatnya hanya

Prajurit Dua (Tamtama) ketika berbicara kepada seorang Kapten (Perwira)

maka Rasus pun harus menggunakan bahasa krama, sedangkan si Kapten cukup

berbicara dengan bahasa ngoko saja kepada Rasus.

- Percakapan antara Rasus(tentara) & seorang ibu di kamp tahanan.

(hal 300)

“Napa Ibu saweg nengga?”

“Nggih, Pak. Eh, mboten. Mboten.”

“Lajeng?”

“Pancen kula dhateng ngriki sebab kepengin kepanggih kalih anak kula,

nggih bapane lare-lare niki. Ning kula mpun angsal kabar, anak kula

mpun depindhah teng semarang. Repote lare-lare niki mboten purun

wangsul angger dereng kepanggih bapane. Dadose kula njagong

mawon teng ngriki ngantos lare-lare niki atine sami kelipur.”

Dalam percakapan ini juga melibatkan antara kalangan sipil dan militer, akan

tetapi dalam percakapan ini mereka berdua memakai bahasa krama-madya. 146

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Rasus yang sebagai tentara menyapa terlebih dahulu si ibu ruang tunggu kamp

tahanan dengan bahasa krama. Hal ini dilakukan Rasus karena usia ibu ini

tentunya lebih tua dari Rasus karena status ibu ini adalah nenek dari anak-anak

yang sedang menangis. Ditengah-tengah percakapan ini Rasus menempatkan

diri sebagai seorang anak muda dihadapan seorang nenek. Namun ibu ini

menjawab pertanyaan Rasus juga dengan bahasa krama. Jika dilihat dari sudut

pandang Rasus yang menempatkan diri sebagai seorang anak muda maka

sebenarnya ibu ini sebagai orang yang lebih tua cukup membalasnya dengan

bahasa ngoko saja, akan tetapi ibu ini membalas dengan krama karena dia

menempatkan diri sebagai kalangan sipil yang berbicara kepada seorang tentara

ditengah-tengah kamp tentara. Sehingga dengan menempatkan diri masing-

masing demikian maka yang terjadi adalah percakapan dengan bahasa krama.

- Percakapan antara Bajus dan Srinthil. (hal 362)

“Kiye udu anake ko, mbok?”

“Leres, Pak.” Saure Srinthil karo ndhengkul.

“Inyong wis ngreti maring ko. Jajal ndhengal. Ayuh padha omong-

omongan sing kepenak.”

“Nggih, Pak.”

“Kaya kiye, Srin. Miki Pak Lurah ngomong kaya kae. Ana benere, asala

ko ora duwe penyana sing ora-ora. Inyong pancen kepengin wawuh karo

ko. Aja kewatir, inyong urung duwe bojo. Mbok ko gelem batiran karo

inyong?”

“Kepripun, nggih Pak,...?”

“Kepriwe?”

“Dados bapake...” 147

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

“Inyong ora usah prelu desebut ‘pak’. Mas ya kena. Ko ya ora usah basa

maring Inyong.”

......

Percakapan antara Srinthil dan Bajus dapat diibaratkan percakapan antara

orang kota dan desa. Orang kota adalah seorang “priyayi” sedangkan orang desa

hanya “kawula alit”. Srinthil menyadari hal tersebut sehingga dalam percakapan

dia lalu menggunakan krama walaupun Bajus sendiri tidak menginginkan hal

tersebut. Dari percakapan ini terlihat bahwa orang kota dipandang oleh orang

desa mempunyai derajat yang lebih tinggi, sehingga orang desa merasa harus

“basa” kepada mereka.

- Percakapan antara Bajus dan Pak Blengur. (hal 418)

“Deneng tiyang-tiyang ketingale sami wangsul, Pak?” Takone Bajus

bareng weruh akeh monilmetu sekang latar hotel. “Mpun mboten

wonten acara malih napa?”

“Ora nana. Bupatine ora karep ana pesta . Jan kebeneran. Inyong ya

ora kepengin pesta-pestanan. Sebab Inyong temenan wis kepengin

ngaso.”

“Kula saged matur sekedhik wonten ngriki, Pak?”

“Ko arep ngomong apa?”

“Biasa, Pak. Teng sinten malih kula nyuwun pedamelan menawi mboten

teng Bapake?”

“E, Iya. Ning, Jus, sepisan kiye kayong ora maen. Rapat miki mutusna

inyong mung keduman borongan sing regane mung satus juta. Gawe

148

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kantor penelitian karo umahe para pegawene. Detambah gawe brug pitu

neng gili sing keliwatan saluran irigasi.”

“Mboten liwat tender, Pak?”

“Ko aja cokan keminter!! Tendere ya miki sisan neng rapat. Tendere

nganggo cara peseduluran. Cara gotong-royong. Ngerti?”.

“Ngapunten, Pak. Menawi bapake teksih ngandel, borongan niku ngge

kula mawon.”

“Ko pancen cokan kaya kuwe!”

“Sebab, Bapake mboten pantes nyepeng borongan alit. Sing kaya niku

pas-pase ngge kula.”

“Ya wis nganah degarap. Ning bathen resmi sing sepuluh presen debagi

loro nggo inyong karo ko. Terus ko kudu bisa ngatur supayane preyayi

dhaerah kene melu keduman. Ning kepriwe carane ngonoh supayane ko

tetep olih untung. Aja kelalen, preyayi dhaerah kuwe penting tumrape

tukang borong kaya dhewek kiye.”

......

Dari percakapan ini terlihat sekali siapa yang mempunyai “kuasa” diantara keduanya. Bajus adalah kontraktor “kelas teri” sedangkan Pak Blengur adalah kontraktor “kelas kakap” yang mempunyai koneksi dengan pusat. Oleh karena itu ketika Bajus ketika berhadapan dengan Pak Blengur maka Bajus akan menunjukkan rasa hormatnya kepada Pak Blengur dengan berbicara menggunakan bahasa krama, sedangkan pak Blengur cukup dengan bahasa ngoko.

149

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Dari percakapan-percakapan di dalam novel RDP versi Banyumasan ini bisa dilihat

bagaimana tingktan bahasa yang ada di dalamnya. Walaupun mencamtumkan

“versi Banyumasan” namun percakapan yang ada di dalamnya tidak 100%

menggunakan bahasa Banyumasan akan tetapi juga banyak dipengaruhi bahasa

ngoko-krama. Bahasa Banyumasan di novel RDP ini ditempatkan sebagai versi

ngoko-nya. Sehingga dari novel RDP versi bahasa Banyumasan ini terlihat bahwa

bahasa Banyumasan ketika ditempatkan dalam bahasa Jawa Baku berada pada

tataran ngoko. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa tataran bahasa Banyumasan

masih dibawah bahasa krama yang menunjukkan bahwa kedudukan bahasa Jawa

Baku berada lebih tinggi dari bahasa Banyumasan. Sehingga dari hal ini terlihat

bagaimana hegemoni bahasa Jawa Baku terhadap bahasa Bnayumasan. Oleh

karena itu dengan mengacu cerita novel RDP ini yang berlatar belakang tahun 60an

maka bisa dikatakan bahwa hegemoni bahasa terhadap bahasa

Banyumasan/Penginyongan ini sebenarnya sudah berlangsung jauh sebelum tahun

1960an. b. Novel RDP versi bahasa Indonesia.

Membaca novel RDP versi bahasa Indonesia memang tidak akan terlihat secara

jelas jika terdapat sebuah hegemoni bahasa. Hal ini dikarenakan karena sebagian

besar percakapan menggunakan bahasa Indonesia yang tidak mengenal tingkatan

bahasa seperti bahasa Jawa Baku, akan tetapi terdapat sebagian kecil percakapan

yang menyelipkan kata-kata dalam bahasa Jawa.

- Kata “Priyayi” dan “Kawula”

Contoh pertama :

“Kamu telah mengecewakan seorang priyayi; suatu hal yang tidak

layak dilakukan oleh orang dusun seperti kita ini. Oalah, cucuku kamu 150

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

tidak menyadari dirimu sebagai seorang kawula”. (Versi Indonesia hal

162)

“Ko wis gawe keciwa maring utusane Pak Camat. Sing kaya kuwe jane

ora patut tumrape wong desa kaya dhewek padha. Oalah putu, ko ora

rumangsa awake inyong padha mung nglakoni dadi kewula”.

(Versi Banyumasan hal 176)

Contoh kedua :

Ketika gerimis mereda, bulan muncul di langit dalam kalangan

bianglala. Indah, sangat indah. Tetapi orang Dukuh Paruk selalu

mengartikannya lain. Itulah datangnya masa susah bagi kaula alit.

(Versi Indonesia hal 254)

Bareng grimise leren, wulane keton neng langit kinalangan daning

kuwung, Semanger temenan. Ning wong dekalang neng kuwung, kuwe

tandha tekane mangsa susah sing bakal temiba maring wong-wong

cilik. (Versi Banyumasan hal 281)

Kata Priyayi dan Kawula adalah dua kata yang saling bertolak belakang. Priyayi

adalah golongan elite, sedangkan Kawula adalah golongan biasa. Priyayi adalah

simbol kuasa, sedangkan Kawula adalah simbo menderita. Priyayi berbahasa

halus, sedangkan Kawula berbahasa kasar

- Kata “Jenganten” dan “Sampean”

Nyai Kartareja segera memperbaiki hubungannya dengan Srintil,

pertama-tama dengan berusaha mengaku bersalah dalam peristiwa

Marsusi beberapa minggu berselang. Perubahan sikapnya terhadap

Srintil sangat nyata. Dia tidak ber-kamu lagi terhadap ronggeng Dukuh

Paruk yang telah sekian lama menjadi anak akuannya. Nyai Kartareja

151

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kini memamnggil Srintil dengan sebutan jengaten atau setidaknya

sampean; suatu pertanda bahwa kedewasaan, tepatnya kemandirian

Srintil telah diakuinya. (Versi Indonesia hal 179)

Nini Kertareja gagiyan ngapiki maning maring Srinthil. Dheweke gelem

ngaku salah maring Srinthil prekarane karo Marsusi, sing wis kelakon

pirang minggu kepungkur. Goli ngapiki Srinthil ketara pisan. Siki Nini

Kertareja ora nyeluk “ko” maning maring Srinthil sing wis lawas dadi

anak-akone. Siki Nini Kertareja nyebut “jenganten” utawane paling

ora “mpeyan”. Kiye mertandhakna Nini Kertareja ngakoni Srinthil wis

dadi wong sing pancen ana regane. (Versi Banyumasan hal 195)

Kata “Kamu” dalam bahasa Indonesia seharusnya menjadi kata yang biasa

untuk menunjuk kata ganti orang. Namun dalam novel RDP karena pengaruh

bahasa Jawa Baku kata “Kamu” menjadi berarti “kowe”, dalam bahasa Jawa,

atau “ko” dalam bahasa Penginyonga. Oleh sebab itulah maka di versi Indonesia

kata “ber-kamu” menjadi tabu dan diganti “sampean”, sedangkan dalam bahasa

Pengiyongan diganti dengan “mpean”. Dimana kata itu tingkatannya lebih

tinggi dari kata kamu, kowe atau ko. Dan sebutan “Jenganten” semakin

mempertegas tingkatan tersebut.

- Kata “Wong bagus”, “nrimo pandum” dan “pepesthen”.

“Bukan begitu, wong bagus. Kamu hanya tidak nrimo pandum. Sejak

kanak-kanak kamu sudah dipertemukan dengan jodohmu. Dukuh Paruk

sudah memberikan pertanda Srintil adalah jodohmu. Dan kamu tidak

menyukai pepesthen ini?”. (Versi Indonesia hal 349)

“Ora kaya kuwe, wong bagus. Ning ko jane ora gelem nrima maring

pandum. Kawit bocah jane ko wis detemokna karo jodhomu. Dhukuh

152

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Paruk wis akeh tenger, jodhone ko kuwe Srinthil. Ning ko ora nrima

pesthen kuwe.” (Versi Banyumasan hal 387)

Ketiga kata itu mempunyai makna yang tinggi sehingga Sakum yang sudah

memberi rasa hormat kepada Rasus menggunakan kata-kata itu juga sebagai

tanda bahwa Rasus adalah sosok yang berwibawa.

- Peribahasa

Nurani sejarah bisa juga menampakkan diri sebagai falsafah orang-

orang bersahaja yang suka berkata, “Aja dumeh maring wong sing lagi

kanggonan luput”, Jangan bersikap sia-sia terhadap mereka yang

sedang terjebak dalam kesalahan. (Versi Indonesia hal 295)

Ati sucine sejarang malah bisa mujud dadi paribasa sing cokan

deomongna neng wong ndesa : “Aja padha ambek-siya maring wong

sing lagi ketiban luput”. (Versi Banyumasan hal 295)

Disini kembali terlihat latar belakang budaya Jawa yang kuat terlukis dimana

sebuah peribahasa itu tetap ditulis dalam bahasa Jawa disertai terjemahan,

sedangkan dalam bahasa Penginyongan hanya diganti kata-kata yang lebih

familier di telinga orang Banyumasan. c. Film “Sang Penari”

Dalam film “Sang Penari” bahasa yang dipakai didominasi oleh bahasa

Banyumasan dan Indonesia. Sehingga untuk melihat adanya hegemoni bahasa Jawa

Baku terhadap bahasa Banyumasan tentunya juga harus melihat adegan yang

mengunakan bahasa Jawa Baku terutama krama. Dalam hal ini dapat dilihat dari

beberapa adegan, walau sedikit, antara lain :

153

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

- Adegan tapol diinterogasi oleh tentara

Dalam adegan ini terlihat seseorang sedang diinterogasi oleh tentara yang

kemungkinan adalah salah satu orang yang berasal dari dukuh Paruk, namun

yang jelas orang tersebut adalah seorang tahanan politik. Dalam adegan tersebut

diperlihatkan seorang laki-laki yang diinterogasi ini duduk jongkok dengan

kedua tangan memegangi kepala di depan seorang tentara yang berdiri. Laki-

laki itu mengucapkan kata-kata :

“Kula niki ngertine serikat tani, wong cuma ikut ngantri jatah bibit”

Dari kalimat tersebut terdapat kata bahasa krama yaitu “kula niki” yang dalam

bahasa Banyumasan bisa diucapkan dengan kata “inyong kuwe”.

- Adegan Sakarya diinterogasi oleh tentara

Dalam adegan ini Sakarya (kakek Srinthil) duduk dilantai dengan wajah lebam-

lebam disebuah ruangan dimana suasana ruangan yang carut marut dan disitu

terdapat seorang tentara yang berdiri di depan Sakarya. Dalam adegan ini

terlihat wajah ketakutan dari Sakarya yang mengatakan :

“boten ngertos, ora bisa maca.”

Kata “boten ngertos” adalah bahasa krama yang jika diucapkan dalam bahasa

Banyumasan berbunyi “ora ngerti”.

- Adegan Srinthil meminta uang ngamen

Adegan ini terjadi di pasar Dawuan pada tahun 1975 (10 tahun setelah peristiwa

penangkapan orang-orang dukuh paruk yang dianggap terlibat Partai Komunis)

dengan setting adanya pembangunan jalan yang melintasi pasar Dawuan. Di

pasar yang sudah sepi itu terlihat Srinthil sedang menari dengan diiringi tabuhan

154

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

gendang dari Sakum. Namun dalam adegan ini digambarkan Srinthil dengan

dandanan yang “norak” dan tidak terlihat seperti Srinthil yang cantik sebelum

peristiwa 65. Ketika sedang menari datanglah Rasus dengan menaiki mobil

sedan (type toyota corolla yang sedang ngetren di saat itu) dan turun di pasar

Dawuan untuk mendatangi Srinthil. Melihat hal itu Srinthil lalu terburu-buru

ingin menyudahi ngamennya dan lalu meminta orang-orang yang “menanggap”

dirinya dengan kata-kata :

“nyuwun sakrilanipun kang.”

Kata-kata “nyuwun sakrilanipun” juga menunjukkan bahasa krama yang jika

diucapkan dalam bahasa Banyumasan berbunyi “njaluk serelane”.

Melihat tiga adegan yang di dalamnya terselip bahasa krama bisa terlihat adanya

bahasa sebuah relasi kuasa bahasa di dalamnya. Dari 3 adegan ini sebenarnya sedang

memperlihatkan bagaimana hegemoni bahasa Jawa Baku sudah merasuki bahasa

Banyumasan. Orang yang statusnya sedang berada dalam kekuasaan pihak lain, atau

seseorang yang statusnya lebih rendah dari pihak lain, akhirnya mau tidak mau harus

menggunakan bahasa krama sebagai wujud rasa hormatnya. Dari ketiga adegan ini

juga ditampilkan ketika orang-orang dukuh Paruk ini dalam kondisi sudah tidak

berdaya dan sudah tidak mempunyai pilihan lain. Sehingga dari ketiga adegan ini

dapat disimpulkan bahwa penggunaan bahasa krama dalam film “Sang Penari” ini

memang untuk memperlihatkan adanya sebuah relasi kuasa yang menunjukkan

adanya hegemoni bahasa Jawa Baku terhadap bahasa Banyumasan.

2. Penerjemahan Alkitab bahasa “Penginyongan”

Melihat karya-karya dalam bahasa Penginyongan yang ternyata di dalamnya masih

terdapat unsur-unsur hegemoni bahasa Jawa Baku, maka sebenarnya dapat dikatakan

bahwa untuk meruntuhkan sebuah hegemoni memang diperlukan proses yang tidak

155

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

mudah. Penerjemahan atau pembuatan literatur atau karya-karya lainnya dalam bahasa

Penginyongan mungkin akan lebih mudah daripada penerimaan terhadap karya-karya

tersebut. Maksud dari hal ini adalah bagaimana masalah penerimaan dan perlakuan

dari khalayak umum terhadap karya-karya tersebut tidaklah semudah mengerjakannya.

Hal ini sekali lagi bisa terjadi karena hegemoni yang sudah terlanjur berlangsung dan

bertahan begitu lama.

Ditengah-tengah terjadinya hegemoni bahasa Jawa Baku terhadap bahasa

Penginyongan, ternyata muncul penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Banyumasan.

Jika dilihat dari perspektif kekristenan sebenarnya penerjemhan Alkitab ke dalam

bahasa lokal adalah hal yang sangat wajar. Namun ternyata dalam kasus penerjemahan

Alkitab bahasa Banyumasan terdapat dinamika yang menyertainya yang didominasi

oleh sikap “penolakan”. Penolakan ini terjadi terutama di gereja yang dalam sejarah

panjangnya telah menggunakan bahasa Jawa Baku sebagai bahasa resmi gerejawi,

yaitu gereja GKJ. Oleh karena itu sebelum masuk ke dalam sisi “penolakan” tersebut

mari kita melihat terlebih dahulu awal mula munculnya penerjemahan Alkitab ke

dalam bahasa Banyumasan ini.

a. Sejarah singkat berdirinya Paseban.286

Sejarah Paseban secara tidak langsung bermula pada tahun 2006 ketika itu Ibu

Nitya Travis selaku Direktur Kartidaya menghubungi ibu Christiana Justicawati

lewat telepon tentang adanya traning pelatihan penerjemahan Alkitab bahasa suku,

karena Ibu Nitya juga orang Banyumas dan menganggap orang Banyumas

memerlukan Alkitab dalam bahasa ibu mereka. Pada saat itu juga ibu Cristiana

menghubungi Bapak Pujiono ketua STT Diakonos dan menawarkan tentang

286 Data kantor PASEBAN di Purwokerto 156

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

pelatihan ini. Lalu pada bulan Mei 2006 berangkat tiga orang untuk mengikuti pelatihan ini, yaitu bapak Pujiono, bapak Prihadi Kristiyan, dan bapak Edi Indianto.

Pada bulan Agustus 2006 diutus juga tiga orang dari Banyumas mereka adalah bapak Paulus Yudono, bapak Harun, dan ibu Dwi Astuti untuk mengikuti pelatihan penerjemahan Alkitab di Kartidaya. Setelah mereka kembali dari pelatihan mereka bergabung, dan menerjemahkan kitab Yunus dalam bahasa dialek Banyumas.

Pada waktu itu juga ada seorang gadis asli suku Banyumas bernama Iwen, dia begitu sedih sebab ayahnya mengatakan bahwa ia sebetulnya tidak mengerti

Alkitab yang ada di hadapannya. Sekalipun ayahnya bisa berbahasa Indonesia cukup lancar namun tetap saja terasa sulit memahami Firman Tuhan dalam bahasa

Indonesia. Iwen gadis cekatan dan cerdas ini bertekad untuk menterjemahkan

Alkitab ke dalam bahasa sukunya yaitu bahasa dialek Banyumasan. Kitab pertama yang ia terjemahkan adalah Injil Lukas, setiap ada waktu luang di tempat kerjanya, di sebuah toko roti di Purwokerto, ia gunakan untuk menterjemahkan ayat demi ayat.

Suatu hari ibu Christiana pemilik toko tersebut secara tidak sengaja mengetahui kegiatan Sdri. Iwen. Dan ibu Christiana menceritakan kepada iwen bahwa sudah ada beberapa orang yang menerjemahkan Alkitab dalam bahasa Banyumas dan ibu

Christiana menunjukan lembaran kitab Yunus yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dialek Banyumas. Iwen sangat senang sekali bahwa bapaknya akan memiliki alkitab dalam bahasa yang dia mengerti, karena belum ada Alkitab bahasa

Jawa dialek Banyumas maka ibu Christiana memberikan Alkitab bahasa Jawa kepada bapaknya.

Setelah beberapa waktu Ibu Christiana, ibu Nitya dan beberapa teman-temannya mengunjungi rumah Iwen, mereka bertemu dengan kakeknya Iwen dan

157

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

memberikan Kitab Yunus berbahasa Banyumas tetapi kakeknya Iwen belum pernah mendengar cerita tentang Nabi Yunus, dia hanya tahu cerita Nabi Nuh karena kakenya iwen tidak bisa membaca dan baru menjadi seorang Kristen, hal inilah yang menguatkan perlunya penerjemahan alkitab dalam bahasa Jawa dialek

Banyumas

Pada akhir tahun 2006, para anggota tim penerjemah dan beberapa orang bertemu dan berdiskusi dan mereka mempunyai gagasan akan membentuk suatu paguyuban yang bernama PAGERDAMAS (Paguyuban Greget Budaya Banyumas). Pada akhir tahun 2007 sebagian tim penerjemahan alkitab mengundurkan diri dengan berbagai alasan dan masuklah anggota baru bernama Latita Phanta dan dikirim untuk mengikuti pelatihan penerjemahan Alkitab. Pada tahun 2008 terjadi kesepakatan para anggota untuk mengganti nama paguyuban dan saudara Latita

Phanta mengusulkan nama PAGERDAMAS menjadi PASEBAN (Paguyuban

Senthir Budhaya Banyumasan dan kata Paseban juga berarti tempat untuk menghadap raja). dengan struktur Organisasi sebagai berikut:

Ketua : Sukarmo, M.Th

Wakil : Pujiono, M.Pd.K

Sekertaris : Kris

Inge Susanti

Bandahara : Cristiana Justicawati, S.Pd

Bpk. Simon

Staf administrasi : Budiadi Nehemia, S.Pd

Tim Penerjemah : Latita Phanta

Paulus Yudhono

158

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Pada pertengahan tahun 2009, Ibu Christiana menghubungi Pak Sonny Putra untuk menjadi kordinator pelayanan Paseban karena beliau terbeban dengan pelayan di

Banyumas, dan semua pelayanan Paseban dikoordinir oleh Pak Sonny Putra. Pada akhir tahun 2010 saudara Elia sutriyanto diajak oleh Bapak Sonny Putra untuk mengikuti pelatihan penerjemahan Alkitab dan bergabung dengan Paseban menggantikan saudara Latita Phanta karena dia melanjutkan studi sekolah Alkitab di SAAT Malang.

Pada bulan Mei 2012, Lembaga Kartidaya mengutus Bapak Danny sebagai fasilitator untuk membantu pelayanan Penerjemahan Alkitab di Banyumas, setelah beberapa bulan tepatnya tanggal 21 Juni 2012 secara tiba-tiba bapak Sonny putra meninggal dunia dikarenakan sakit dan Paseban mengalami perubahan struktur organisasi sampai hari ini

Struktur Organisasi Tahun 2012

Ketua : Sukarmo, M.Th

Sekertaris : Pujiono, M.Pd.K

Bendahara : Christiana Justicawati, S.Pd

Inge Susanti

Anggota : Sinung Sandra, S.Pd.K

Fasilitator : Danny Song

Tim Penerjemah : Paulus Yodono

Elia Sutriyanto, S.Pd.k

Sudarmanto, S.Pd.K

Struktur Organisasi tahun 2013 hingga sekarang

Ketua : Sukarmo, M.Th

Sekertaris : Pujiono, M.Pd.K

159

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Bendahara : Christiana Justicawati, S.Pd

Inge Susanti

Anggota : Sinung Sandra, S.Pd.K

Fasilitator

Tim Penerjemah : Paulus Yodono

Elia Sutriyanto, S.Pd.K

Sudarmanto, S.Pd.K

Tim One Sotry

Fasilitator : Chong nam park, S.Pd

Pembuat cerita : Paulus Yudono

Elia Sutriyanto, S.Pd.K

Sudarmanto, S.Pd.K

Julianti Justina, S.Pd.K

Pencerita : Lis Marta Ningsih

Eka Supriana, S.Pd.K

b. Bermula dari adanya sebuah “kebutuhan” (Cerita tentang Rasiwen).287

Bermula dari seseorang bernama Rasiwen yang biasa di panggil dengan sebutan

“Iwen”. Iwen adalah seorang perempuan muda asli Kabupaten Banjanegara. Desa

asal Iwen berada di perbatasan antara Kab. Banjarnegara dan Banyumas. Iwen

adalah seorang jemaat GKJ di Kab. Banjernegara. Sebagaimana orang dari daerah

pinggiran setelah dirasa cukup dewasa lalu mencari pekerjaan di kota. Sekitar

tahun 2003 menujulah Iwen ke kota Purwokerto, kota terbesar dan teramai di

287 Hasil wawancara dengan Rasiwen pada tanggal 6 Maret 2020. 160

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

daerah eks Karisedenan Banyumas. Disanalah dia bekerja di sebuah toko roti yang berada di pusat kota Purwokerto.

Selain bekerja dia menyempatkan diri untuk bersekolah di program Kejar Paket C.

Dan di sela-sela dia bekerja dia menyempatkan diri menerjemahkan bagian Alkitab yaitu Injil Lukas. Hal ini dilakukan karena orangtuanya yang asli “Banyumasan” merasa bingung ketika harus membaca Alkitab dalam bahasa Jawa dan Indonesia.

Dari hal inilah yang mendorong dirinya menterjemahkan Injil Lukas, secara otodidak, ke dalam bahasa Banyumasan menggunakan Alkitab bahasa Indonesia sebagai dasar terjemahannya. Dia menerjemahkan dari bahasa Indonesia karena dia sendiri juga bingung ketika harus membaca Alkitab bahasa Jawa.

Ketika sudah berhasil menterjemahkan sedikit bagian dari Injil Lukas (kira-kira baru dua pasal), terjemahannya tersebut diberikan kepada orang tuanya. Dan ternyata orangtuanya lebih bisa memahami Alkitab ketika dibaca dengan bahasa

Banyumasan. Dari peristiwa inilah yang lalu membuat dirinya semakin termotivasi untuk melakukan terjemahan-terjemahan sederhana tentang cerita-cerita yang ada di dalam Alkitab. Hal ini terus dilakukan hampir setiap hari di sela-sela ketika dirinya sedang bekerja menjaga toko.

Apa yang dilakukan oleh Iwen ini ternyata diperhatikan oleh si pemilik toko yang seorang Tionghoa Kristen. Lalu dia bertanya kepada Iwen apa yang sedang dikerjakan. Setelah tahu apa yang dikerjakan oleh Iwen, dirinya lalu membaca apa yang telah dilakukan oleh Iwen. Kejadian itu terjadi sekitar tahun 2009.

Dan ternyata usaha terjemahan yang dilakukan secara otodidak itu bisa dimengerti oleh dirinya. Dirinya walaupun keturunan Tionghoa, akan tetapi dirinya lahir di

Purwokerto dan mengalami masa dari kanak-kanak hingga dirinya saat ini sudah mempunyai anak cucu di kota Purwokerto. Keberadaannya di Purwokerto tentunya

161

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

mempengaruhi cara berbahasanya, walaupun dirinya adalah seorang keturunan

Tionghoa akan tetapi dia adalah Tionghoa “ngapak” yang juga berbahasa ngapak-

ngapak atau Banyumasan.

Kira-kira pada tahun 2010-an, datanglah seorang penerjemah Alkitab bahasa

Penginyongan dari PASEBAN, yaitu mas Latita, seorang pemuda jemaat GKJ

Purwokerto, menemui Iwen. Dia mengetahui dari pemilik toko roti tempat Iwen

bekerja jika dirinya sedang menterjemahkan Alkitab dalam bahasa Penginyongan.

Dan ternyata si pemilik toko, adalah salah satu pendiri PASEBAN yang juga

menjadi pengurus organisasi tersebut. Singkat cerita mas Latita ingin membaca

hasil terjemahan Iwen. Bahkan akhirnya Iwen menyerahkan terjemahan itu kepada

mas Latita.

Dari terjemahan awal yang dilakukan oleh Iwen inilah yang akhirnya membuat tim

penerjemah melanjutkan penerjemahan itu dan selesai diterjemahkan pada tahun

2015. Namun Iwen sendiri tidak mengetahui jikalau hasil terjemahan Injil Lukas

yang dilakukan secara otodidaknya pada tahun 2015 telah diselesaikan, karena

pada tahun 2013 dirinya melanjutkan studinya di salah satu Universitas di kota

Palembang. Dan sepulang dari Palembang setelah menyelesaikan studinya dia

kembali ke kampung halaman sekitar tahun 2018. Dan sejak saat itu Iwen

mengabdikan diri di SD Kristen Banyumas sebagai guru Agama Kristen.Ketika

wawancara ini dilakukan Iwen tidak menyangka jika terjemahan yang dia lakukan

secara otodidak ternyata menjadi awal mula dilakukannya proses penterjemahan

Alkitab ke dalam bahasa Penginyongan. c. Dilakukan oleh orang-orang “awam”

Sebagaimana telah disebutkan di sejarah Paseban bahwa terdapat orang-orang asli

Banyumasan yang dikirim pelatihan di Yayasan Kartidaya, maka setelah beberapa

162

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

orang tersebut telah dikirim ke yayasan Kartidaya pada tahun 2005 maka mereka

lalu berusaha menerjemahkan dengan membentuk sebuah wadah yang mereka

sebut sebagai PASEBAN (Paguyuban Senthir Banyumasan). Dari PASEBAN

inilah yang lalu dalam perjalanan bergabung orang-orang baru yang terlibat di

dalam organisasi PASEBAN baik sebagai pengurus maupun sebagai penerjemah.

Saat Ini PASEBAN di ketuai oleh Pdt. Sukarmo seorang pendeta dari GKJ

Arcawinangun (Purwokerto) yang juga seorang dosen di STT Diakonos

Banyumas.

Perkembangan selanjutnya dari PASEBAN, pada tahun 2015, berhasil

menyelesaikan penerjemahan Alkitab untuk bagian Injil Lukas. Dan pada tahun

yang sama diadakan launching Injil Lukas bahasa Banyumasan ini dengan

mengundang pendeta-pendeta yang melayani di gereja-gereja di sekitar kota

Purwokerto, dimana sebagian besar yang hadir adalah pendeta-pendeta GKJ. Dan

pada tahun 2018 sudah berhasil menerjemahkan bagian Alkitab lainnya yaitu kitab

Kisah Para Rasul yang pada tahun 2019 sudah mulai terbit dalam edisi percobaan.

Sebagaimana di dalam sejarah Paseban disebutkan bahwa penerjemahan Alkitab

bahasa Penginyongan ini justru dilakukan oleh orang-orang “awam” yang

sebelumnya mendapat pelatihan terlebih di Yayasan Kartidaya, hal ini

menunjukkan bahwa sebuah penerjemahan memang diperlukan syarat kemampuan

dari si penterjemah itu sendiri. Dan tentunya ada sebuah syarat lainnya yang tidak

bisa ditinggalkan dalam sebuah penerjemahan yaitu adalah tentang minat dan

empati yang ada dalam diri si penterjemah.288 Oleh karena itu jatidiri penterjemah

sebagai penutur bahasa asli dari sebuah bahasa sasaran penerjemahan juga menjadi

288 Anton M. Moeliono, Aspek Etnoliguistik dalam Terjemahan, dalam Majalah Ilmu Sastra Indonesia, Penerbit Bharata bekerjasama dengan Ikatan Sarjana Sastra Indonesia, 1973, hal 6. 163

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sebuah sisi yang sangat mempengaruhi minat dan empati yang muncul dari dalam

diri si penterjemah.

Dan keberadaan jemaat-jemaat “awam” ini juga menunjukkan bahwa

penerjemahan ini justru lebih banyak dilakukan bukan karena peran serta gereja

sebagai sebuah lembaga keagaaman. Penerjemahan ini dapat dikatakan sebagai

penerjemahan yang “independen” atau mandiri. Namun kemamdirian ini

membawa sebuah konsekwensi yaitu untuk masuk ke dalam tataran kebijakan

gerejawi, khususnya di gereja GKJ yang menerapkan prinsip Presbiterial, maka

harus diperlukan sebuah “perjuangan” khusus. Dan hal inilah yang saat ini sedang

dihadapi di dalam prosese penterjemahan Alkitab bahasa Penginyongan ini.

Dengan adanya Alkitab bahasa Banyumasan ini, yang walaupun masih dalam edisi

yang terbatas, sebenarnya membawa sebuah angin baru khususnya di dalam kehidupan

bergereja di wilayah Banyumasan. Sebagai sebuah daerah yang mempunyai sebuah

bahasa yang cirikhas dan juga digunakan sebagai media komunikasi sehari-hari

tentunya hal ini dapat membawa sesuatu yang positif. Seperti halnya dengan salah satu

gereja GKI (Gereja Kristen Indonesia) “Martadireja” Purwokerto yang sudah

menggunakan bahasa Penginyongan di dalam ibadah gereja dalam momen-momen

khusus.289 Hal ini ditunjukkan ketika ibadah penahbisan Pendeta atas diri Pdt. Dimas

Yuwono pada tahun 2018, liturgi yang digunakan dari awal hingga akhir menggunakan

bahasa Penginyongan. Bahkan menurut Pdt. Dimas Yuwono ibadah dengan

menggunakan bahasa Penginyongan sudah dilakukan sebelum dirinya melayani di

gereja tersebut. Memang ada pertanyaan dari Sinode GKI Jateng kepada pihak Majelis

289 Hasil wawancara dengan Pdt. Dimas Yuwono, via telepon, pada tanggal 2 Juni 2020 (Wawancara dilakukan setelah beredar video ibadah Pentakosta pada tanggl 31 Mei 2020 yang diadakan oleh GKI “Martadireja” Purwokerto dengan menggunakan bahasa Penginyongan) 164

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Gereja GKI “Martadireja” Purwokerto kenapa menggunakan bahasa Penginyongan karena gereja GKI adalah identik dengan ke“Indonesia”annya. Dan pihak gereja GKI

“Martadireja” Purwokerto mempunyai alasan mengapa hal itu dilakukan karena sebagian besar jemaat gereja tersebut adalah orang asli Banyumasan, walaupun sebagian besar jemaatnya adalah etnis Tionghoa namun mereka sebagian besar adalah orang-orang asli kelahiran Banyumasan.

Namun hal sebaliknya justru terjadi sebaliknya di gereja GKJ, khusunya yang ada di wilayah Banyumasan, yang sepertinya “api masih jauh dari panggang” karena keberadaan Alkitab ini ternyata belum sepenuhnya diketahui secara luas sehingga dengan demikian juga belum digunakan sebagai bahasa pengantar ibadah gerejawi. Hal ini ditunjukkan melalui hasil penelitian yang akan disajikan selanjutnya. Sehingga dari hal ini juga menunjukkan bahwa Alkitab bahasa Banyumasan ini belum sepenuhnya bisa masuk dalam kehidupan gereja GKJ yang berada di wilayah Banyumasan. Apa yang terjadi demikian menyebabkan Sinode GKJ belum pernah membahasnya dalam

Sidang Sinode karena hal tersebut tidak menjadi materi sidang yang diusulkan oleh

Klasis yang terkait, dimana Klasis mematerikan hal tersebut jika ada gereja lokal yang mematerikannya di Sidang Klasis yang terkait.

Akan tetapi hal tersebut tentunya bukan menjadi alasan satu-satunya mengapa keberadaan Alkitab bahasa Banyumasan belum sepenuhnya masuk dalam lingkup gereja GKJ di daerah Banyumasan. Melalui hasil penelitian yang dilakukan yang secara khusus di gereja GKJ yang berada di wilayah Banyumasan akan bisa dilihat apa dan bagaimana yang sebenarnya terjadi dengan keberadaan Alkitab bahasa Banyumasan di lingkup gereja GKJ. Penelitian tersebut diadakan di 3 Klasis yang berada di wilayah

Banyumasan, yaitu Klasis Banyumas Utara (Batara), Klasis Banyumas Selatan (Basel)

165

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dan Klasis Kebumen. Yang dimaksud Klasis adalah kumpulan gereja-gereja lokal yang

berdekatan, minimal terdiri dari 5 gereja lokal.

F. Hegemoni Bahasa Jawa Baku terhadap proses penerjemahan Alkitab bahasa

Penginyongan.

Sejak berdirinya Sinode GKJ sejak tahun 1931 sebagai “perkumpulan” gereja-gereja Jawa

di Jawa Tengah asuhan zending Gereformed Belanda, bahasa yang digunakan adalah

bahasa Jawa. Hal ini dikarenakan tentunya karena sesama orang Jawa berkomunikasi juga

dengan bahasa Jawa.290 Selain alasan tersebut juga dikarenakan bahasa Jawa (Baku)

dianggap dapat mempersatukan dan mempersekutukan masyarakat Jawa. Dari hal inilah

maka segala bentuk kegiatan gerejawi dari ibadah hari minggu di gereja hingga pelayanan-

pelayanan kepada umat di luar gereja seperti Pemahaman Alkitab, Persekutuan Doa dll

menggunakan bahasa Jawa. Dan bahasa Jawa yang dipakai adalah bahasa Jawa Krama

(Madya) yang hampir mirip seperti bahasa pedhalangan.

Terkait pemakaian bahasa Jawa Krama di lingkup gereja GKJ sebenarnya sudah ada sejak

permulaan adanya komunitas Kristen Jawa yang lalu menjadi embrionalnya berdirinya

gereja GKJ. Ketika Zending mulai diijinkan menajlankan perkabaran Injilnya di tanah

Jawa, zending Belanda memutuskan untuk menggunakan bahasa Jawa sebagai sarana

misinya. Namun pamakaian bahasa Jawa ini bukan hanya serta merta untuk mendekatkan

diri dengan kaum pribumi Jawa, akan tetapi para pekerja zending juga ikut memanfaatkan

unggah-ungguh yang terdapat dalam bahasa Jawa sehingga dengan hal tersebut mereka

290 Hadi Purnomo & M. Suprihadi Sastrosupono, GEREJA-GEREJA KRISTEN JAWA (GKJ) : Benih Yang Tumbuh dan Berkembang di Tanah Jawa, Taman Pustaka Kristen, Yogyakarta, 1986, hal 140-141. 166

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

tetap dapat menunjukkan rasa superiotas mereka sebagai bangsa unggulan.291 Karena

dengan penerapan unggah-ungguh bahasa Jawa tersebut maka mereka cukup berbicara

Ngoko kepada kaum pribumi, sedangkan bagi kaum pribumi, sebagaimana cara bicara

mereka dengan orang Belanda lainnya, maka mereka akan berbicara dengan para pekerja

misi itu dengan menggunkan bahasa Krama.

Sehingga dengan penggunaan bahasa Jawa Baku di gereja GKJ, maka gereja GKJ yang

berada di daerah “Ngapak” pun harus menggunakan bahasa Jawa Krama. Padahal sebelum

terbentuknya Sinode GKJ, sesuai dengan catatan sejarah GKJ Banyumas, mereka

menggunakan bahasa “ngapak” atau Ngoko untuk digunakan sebagai bahasa pengantar

ibadah yang pada waktu dilayani Pendeta utusan Zending Belanda Bernhard Jonathan

Esser.292 Hal tersebut dikarenakan pada waktu itu yang turut serta dalam ibadah juga hadir

jemaat keturunan Tionghoa dan Belanda.

Terkait dengan dengan Pdt B.J. Esser, sebagaimana dikutip oleh Prof. Sugeng Priyadi,

pada tahun 1927-1929 dirinya melakukan penelitian tentang bahasa Banyumasan dimana

menurutnya bahasa Banyumasan adalah tergolong bahasa yang lebih tua dibandingkan

dengan bahasa Jawa Baku karena kosakata yang ada pada bahasa Banyumasan ternyata

lebih dekat dengan teks-teks bahasa Jawa Kuna, salah satunya adalah teks Pararaton (Jawa

Pertengahan).293 Dan sepertinya penelitian tentang bahasa Banyumasan yang dilakukan

oleh Pdt. Esser ini dikarenakan dinamika yang dialami oleh pendahulunya yaitu Pdt.

291 S.H. Soekotjo, Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa (Jilid 1) : Di bawah Bayang-bayang Zending 1858-1948, Taman Pustaka Kristen, Yogyakarta, 2009, 373-374. 292 Disampaikan oleh cPdt. Gati Saputra dalam makalah “Sejarah GKJ Banyumas” di hadapan Sidang Klasis Istimewa Klasis Banyumas Utara dalam rangka ujian Peremtoar (ujian calon pendeta) GKJ Banyumas pada tanggal 30 Oktober 2011, di GKJ Banyumas. Catatan : sejarah GKJ Banyumas bermula dari 9 orang buruh pabrik batik di Banyumas milik Ny. Philips van Oostrom yang harus rela berjalan dari Banyumas menuju Semarang hanya untuk menerima baptisan pada tanggal 31 Oktober 1858. Hal ini dikarenakan di wilayah Residen Banyumas pada waktu itu belum diperbolehkan adanya misi kristen oleh pemerintah Hindia-Belanda, sehingga mereka harus menuju wilayah Residen Semarang yang sudah diperbolehkan adanya misi Kristen disana. Merekalah embrional dari gereja GKJ. (Band. Wolterbeek, Babad Zending di Jawa Tengah) 293 Sugeng Priyadi, Menuju Keemasan Banyumas, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2015, hal 272. 167

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Ruyssenaers yang kesulitan melakukan misi di daerah Banyumas dan sekitarnya

dikarenakan permasalahan bahasa. Hal ini dikarenakan para Guru Injil pribumi (asli

Banyumasan) yaitu kakak adik, Yosua Dangin dan Yohanes Dangin, hanya dibekali

pendidikan bahasa Melayu ketika menjalani pendidikan misi di Depok, sehingga ketika

mereka melakukan misi, menurut laporan Pdt. Ruyssenaers, “kurang sesuai dengan orang

Jawa, bahkan sering menyebabkan bahwa pengetahuannya tidak memadai untuk

pakabaran Injil dengan bahasa Jawanya sendiri”.294 Yang dimaksud “bahasa Jawanya

sendiri” pada waktu itu adalah bahasa Jawa dalam dialek Banyumasan. Oleh karena itu

wajar jika dalam kesempatan pakabaran Injil yang dilakukan oleh Pdt. Esser di wilayah

Banyumasan akhirnya dirinya menggunakan bahasa Banyumasan.

Dan ternyata pemakaian bahasa Jawa (Krama) bukan hanya pada kegiatan gerejawi saja,

bahkan pada rapat-rapat gerejawi (Sidang Gereja), dari tingkat gereja lokal hingga sinodal,

juga harus menggunakan bahasa Jawa (Krama).295 Dengan tersebut hal tersebut maka

semua catatan Akta Sidang Gerejawi pun juga harus menggunakan bahasa Jawa Krama.

Sehingga dengan demikian maka bahasa Jawa Baku di gereja GKJ (secara sinodal) diakui

secara resmi (de facto maupun de jure) sebagai bahasa komunikasi, ibadah dan rapat

gerejawi di seluruh gereja GKJ. Karena pentingnga bahasa Jawa bagi gereja GKJ, maka

melalui Sidang Sinode X tahun 1967 artilkel 51 dan Sidang Sinode XI tahun 1969 artikel

158 memutuskan untuk mengadakan revisi Alkitab Bahasa Jawa yang disesuaikan dengan

perkembangan dan pertumbuhan bahasa Jawa, melalui Lembaga Alkitab Indonesia

(LAI).296

294 J.D. Wolterbeek, Babab Zending di Tanah Jawa, Taman Pustaka Kristen, Yogyakarta, 1995, hal 190. 295 Hadi Purnomo hal 142 296 S.H. Soekotjo, Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa (Jilid 2) : Merajut Usaha Kemandirian 1950-1985, Taman Pustaka Kristen, Yogyakarta, 2009, hal 367-372. 168

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Pada tahun 1962 Sinode GKJ juga memutuskan untuk mulai menggunakan bahasa

Indonesia (berdampingan dengan bahasa Jawa), hal ini ditandai dengan dimulainya

pencatatan akta Sidang Sinode yang tadinya menggunakan bahasa Jawa diganti dengan

menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini juga lalu diikuti di gereja-gereja GKJ dengan

dilayaninya ibadah gereja yang menggunakan bahasa Indonesia yang dilayani pada sore

hari (ibadah pagi hari tetap menggunakan bahasa Jawa). Alasan dari penggunaan bahasa

Indonesia sebagai bahasa pengantar, selain bahasa Jawa, dikarenakan demi komunikasi

yang lebih luas dan meniadakan “communication gap” antara generasi muda dengan

generasi tua.297 Berdasarkan fenomena tersebut maka pada Sidang Sinode IX tahun 1964

memutuskan untuk menyetujui digunakannya bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar

dalam gereja GKJ, hal ini dimulai dengan menyalin Tata Gereja GKJ ke dalam bahasa

Indonesia, dimana salinan itu dinyatakan pula sebagai Tata Gereja GKJ yang resmi.298

Adapun alasan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi gerejawi

berdampingan dengan bahasa Jawa adalah :

- Pertama, dengan kaitannya dengan surat menyurat antara GKJ dengan instansi-

instansi pemerintah, GKJ harus bersedia melepaskan bahasa Jawanya dan

menggunakan bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia.

- Kedua, bahasa Indonesia harus mulai berkembang sebagai media di segala sudut

denyut nadi kebudayaan.

- Ketiga, berkaitan dengan adanya gerakan oikumenis yang terjadi di gereja-gereja

Indonesia, GKJ harus membuka pintu bagi saudara-saudaranya seiman yang berbeda

etnis untuk bergereja bersama, apalagi jika nanti diharapkan terbentuknya Gereja

297 Hadi Purnomo hal 142 298 S.H. Soekotjo, Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa (Jilid 2) : Merajut Usaha Kmeandirian 1950-1985, Taman Pustaka Kristen, Yogyakarta, 2009, hal 290-291. 169

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Kristen Indonesia yang Esa maka bahasa Indonesia merupakan satu-satunya bahasa

pengantar yang dapat diterima oleh semua etnis.

- Keempat, adanya kenyataan yang tak terbantahkan berkenaan dengan perkembangan

pola penggunaan bahasa pergaulan generasi muda gereja yang cenderung

meninggalkan bahasa Jawa digantikan dengan bahasa Indonesia.

Namun ternyata kebijakan penggunaan bahasa Indonesia ini lalu mendapat “protes” dari

jemaat GKJ Wirobrajan, Yogyakarta, yang mengirimkan surat keberatan, tertanggal 13

Oktober 1967, terhadap pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi gerejawi di

GKJ. Dan didalam surat “protes” tersebut, dengan dasar pentingnya bahasa Jawa bagi GKJ

yang menggunakan embel-embel kata “Djawi” (ejaan lama), mereka mengusulkan untuk

tetap menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa resmi gerejawi, serta mengusulkan untuk

menetapkan bahasa Indonesia hanya sebagai bahasa nomor dua di lingkup gereja GKJ.299

Namun surat mereka ditolak, karena berdasarkan Akta Sidang Sinode XI/1969 Artikel 119

tentang “Terjemahan Alkitab bahasa Indonesia”, Sinode GKJ menerima terjemahan baru

Alkitab bahasa Indonesia yang rencananya akan diterbitkan tahun 1970 oleh LAI. Melihat

kasus tersebut ternyata sempat terjadi “ketegangan” antara Sinode GKJ, yang memutuskan

untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi gerejawi, dengan GKJ

Wirobrajan, dimana ketegangan tersebut didasari akan pentingnya bahasa Jawa sebagai

identitas kejawaan daripada bahasa Indonesia.

Melihat kasus tersebut terlihat bahwa bahasa Jawa Baku seperti sulit untuk dilepaskan di

dalam lingkup GKJ. Bahkan dengan dalil melestarikan bahasa Jawa, Pokok-pokok Ajaran

Gereja GKJ (PPA GKJ) yang tadinya hanya dicetak dalam bahasa Indonesia juga akhirnya

diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa pada tahun melalui keputusan Sidang Sinode Antara

299 Pradjarta Dirdjosanjoto, Sumber-sumber tentang sejarah Gereja Kristen Jawa 1896-1980, Pusat Arsip Sinode GKJ, Salatiga, 208, hal 312. 170

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

GKJ tahun 2000 Artikel 54 memutukan Deputat Keeasan untuk membentuk Tim Revisi

PPA GKJ dengan salah satu tugasnya adalah menterjemahkan PPA GKJ dari bahasa

Indonesia kedalam bahasa Krama (Madya). Penggunaan bahasa Jawa di dalam PPAG ini

menunjukkan bagaimana melalui bahasa Jawa dianggap sebagai salah satu wujud identitas

Jawa dari gereja GKJ sebagaimana termaktub Tata Gereja GKJ Bab I Pasal 1 point 1

tentang identitas GKJ:300

“Gereja Kristen Jawa (GKJ) adalah Gereja yang berada di suatu

tempat tertentu yang bertumbuh dan berkembang dengan tradisi

teologis kristiani yang berjumpa dengan nilai-nilai budaya Jawa”

Dengan definisi identitas GKJ yang demikian maka menunjukkan GKJ tidak bisa

dilepaskan dari budaya Jawa. Dan salah satu wujud dari budaya Jawa adalah bahasa Jawa,

dan bahasa Jawa yang digunakan adalah bahasa Jawa baku. Sehingga dengan pandangan

ini maka melegitimasi bahasa Jawa Baku sebagai bahasa resmi dan standard dipakai

diseluruh gereja GKJ, termasuk di wilayah Banyumasan.

Sehingga dari peristiwa-peristiwa gerejawi yang pernah dilalui menegaskan bahwa bahasa

Jawa Baku tetap menjadi bahasa “primadona” bagi gereja GKJ secara sinodal. Dan

sebagaimana sudah disebutkan sejak awal berdirinya Sinode GKJ yang sudah langsung

“menyingkirkan” bahasa ngapak-ngapak atau Penginyongan, maka hingga detik inipun

nasib bahasa Penginyongan belum mendapatkan pengakuan secara gerejawi. Selain belum

mendapatkan pengakuan secara resmi, di dalam Alkitab bahasa Penginyongan juga terlihat

adanya kata-kata bahasa Jawa Baku.

300 Tata Gereja dan Tata Laksana Gereja Kristen Jawa, Sinode Gereja-gereja Kristen Jawa, 2018, hal 9 171

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Salah satu kata yang menonjol adanya pengaruh bahasa Jawa Baku adalah kata “Lan”.

Kata “Lan” di alkitab bahasa Penginyongan untuk menunjukkan akta dalam bahasa

Indonesia “Dan”. Dimana kata “Lan” sendiri menurut kamus bahasa Banyumasan-

Indonesia artinya adalah “oarang yang masih bujang atau belum menikah”, sedangkan kata

“Dan” dalam bahasa Penginyongan diartikan dengan “Karo”. Kata “Lan” sendiri adalah pengaruh bahasa Jawa Baku “Kaliyan” yang lalu disederhanakan menadi “Lan”. Sehingga dari kata ini terlihat bahwa kata “Karo’ untuk menyebut “Dan” diganti dengan “Lan” yang sebenarnya adalah kata dari bahasa Jawa Baku.

Demikian juga dengan setiap kata yang ditunjukkan untuk Tuhan Yesus dan Allah juga selalu meggunakan bahasa Jawa Baku, khususnya Krama. Sebagai contoh adalah kata-kata

Allah untuk menunjukkan identitasnya kepada manusia dengan menggunakan kata

“Ingsun” yang terdapat di Lukas pasal 7 ayat 27: “Deleng Ingsun ngutus utusane Ingsun ndisiti Kowe, .....”. Demikian juga dengan doa ditunjukkan kepada Allah juga masih menggunakan bahasa Jawa Baku (Krama), salah satunya adalah Doa Bapa Kami versi

Lukas pasal 11 ayat 2-4:

“Dhuh Rama sing ana neng sewerga, muga-muga asmane Penjenengan

dimulyakna lan rawuha Kearajaane Penjenengan nang ndonya.

Paringana maring inyong-padha pangan secukupe unggal dinane.

Lan ngapurani dosa-dosane inyong-padha, merga inyong-padha uga ngapurani

unggal wong sing gawe luput maring inyong-padha, jagani inyong-padha ben

aja gawe dosa.

Kata dalam bahasa Krama disini dapat dilihat pada kata “asmane” yang dalam bahasa

Penginyongan disebut dengan “jenenge”; kata “rawuha” dalam bahasa Penginyongan

“tekaa”; dan kata “Paringana” dalam bahasa Penginyongan “wenehi”. Sedangkan contoh

172

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

untuk Tuhan Yesus adalah ketika kata “berbicara” yang dalam Penginyongan artinya

“ngomong”, diterjemahkan dengan kata “Ngendika” yang berasal dari bahasa Jawa

Krama. Demikian juga ketika Tuhan Yesus “mati” diterjemahkan dengan bahasa Krama

“Seda” (Lukas 23:46), sedangkan anak muda di kota Nain tetap diterjemahkan dengan

“mati” (Lukas 7:11).

Dari beberapa contoh kata-kata yang masih menggunakan bahasa Krama memang semua

ditujukan untuk menujukkan rasa hormat manusia kepada Allah dan Tuhan Yesus,

sedangkan untuk konteks sesama manusia tetap menggunakan bahasa Penginyongan yang

tidak mengenal tingkatan bahasa. Padahal dalam konteks bahasa Jawa, bahasa Krama

bukan hanya ditunjukkan kepada Allah atau Tuhan saja, akan tetapi juga digunakan untuk

percakapan antar individu dengan melihat dari berbagai macam aspek. Dari hal itulah yang

sepertinya menjadi titik keberatan dimana Alkitab bahasa Penginyongan belum bisa

diterima secara resmi di lingkungan gereja GKJ, khususnya yang berada di daerah

Banyumasan. Daerah Banyumasan yang sudah lama terhegemoni oleh bahasa Jawa Baku

pada akhirnya juga mempengaruhi kehidupan masyarakatnya di segala aspek, termasuk di

dalam lingkungan gerejawi. Oleh sebab itu untuk melihat seberapa jauh hegemoni bahasa

yang terjadi di lingkungan gereja GKJ di Banyumasan maka harus diperlukan data-data

yang obyektif yang didapatkan melalui sebuah penelitian.

G. Data Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan metode quesioner yang dibagikan di tempat yang berbeda,

yaitu di 3 Klasis GKJ yang berada di wilayah Banyumasan, yaitu :, Klasis Banyumas

Selatan (Basel), Klasis Banyumas Utara (Batara) dan Klasis Kebumen. Pembagian

173

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

quosioner ini dilakukan ketika sedang diadakan Sidang Klasis di tiga Klasis tersebut. Di

Klasis Basel pada tanggal 5 Februari 2019 di GKJ Cilacap Utara, kab. Cilacap; di Klasis

Batara pada tanggal 3 April 2019 bertempat di GKJ Klampok, Kab. Banjarnegara; dan di

Klasis Kebumen pada tanggal 29 Oktober 2019 di GKJ Tengahan, Kab. Kebumen.

Penelitian ini dilakukan saat berlangsung Sidang Klasis dikarenakan sidang gerejawi aras

klasikal itu dihadiri oleh para pejabat gerejawi (Penatua, Diaken, dan Pendeta) yang

mewakili dari sebuah gereja lokal.

Para pejabat gerejawi inilah yang mempunyai wewenang mengambil berbagai macam

keputusan atau kebijakan gerejawi di gereja lokal masing-masing. Dalam hal Sidang

Klasis tersebut, perwakilan Majelis Gereja dari gereja-gereja lokal inilah yang diberi

mandat oleh gerejanya masing-masing untuk mengambil kepeutusan atau kebijakan di aras

klasikal yang dilakukan melalui Sidang Klasis yang diadakan 1-2 tahun sekali. Hal ini

dikarenakan gereja GKJ menggunakan sistem pemerintahan gereja Presbiterial-Sinodal,

sehingga setiap keputusan atau jebijakan gerejawi harus diputuskan oleh pejabat gerejawi

melalui persidangan gerejawi. Karena alasan itulah penelitian tersebut dilakukan ketika

sedang diadakan sidang klasis di 3 tempat yang berbeda, supaya bisa langsung bertemu

dengan para pemangku jabatan gerejawi dari banyak gereja GKJ yang berada di wilayah

Banyumasan yang berbahasa Penginyongan.

1. Klasis Banyumas Utara (Batara)301

Klasis Batara terdiri dari 11 gereja GKJ yang tersebar di 3 Kabupaten yaitu

Banyumas, Purbalingga dan Banjarnegara. Jumlah jemaat 5688 orang. (Agenda

Sinode GKJ tahun 2020)

301 Penelitian dilakukan di Sidang Klasis Banyumas pada tanggal 3 April 2019 bertempat di GKJ Klampok Kab. Banjarnegara 174

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

a. Terdapat 28 responden, dengan data :

- Tempat kelahiran : 13 orang kelahiran asli Banyumasan dan 15 orang

pendatang

- Tahun kelahiran : 5 orang kelahiran tahun 1950an, 6 orang kelahiran tahun

1960an, 9 orang kelahiran tahun 1970an, 5 orang kelahiran tahun 1980an dan

3 orang kelahiran 1990an.

- Pekerjaan : 6 PNS, 8 Swasta, 3 Guru, 1 TNI, 10 Pendeta

- Jabatan gerejawi : 8 Penatua, 10 Diaken, 10 Pendeta b. Terdapat 13 orang sudah mengetahui adanya Alkitab Banyumasan dan 15 belum

mengetahui. c. 5 orang yang mengatakan bahwa gerejanya sudah pernah menggunakan bahasa

Penginyongan dalam ibadah (dalam momen khusus, hari Pentakosta) sedangkan

23 orang mengatakan gerejanya belum pernah. d. 2 orang tidak menginginkankan adanya ibadah dengan bahasa Penginyongan

dan 26 menginginkan. e. Alasan menginginkan dan menggunakan bahasa Penginyongan dalam ibadah:

- Bangga dengan bahasa Penginyongan.

- Untuk melestarikan bahasa Penginyongan.

- Karena dipakai sebagai bahasa sehari-hari.

- Lebih mudah dipahami.

- Lucu jadi lebih menarik.

- Lebih “cablaka”. f. Alasan tidak menginginkan dan menggunakan bahasa penginyongan dalam:

175

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

- Tidak familiar dengan bahasa Penginyongan di dalam gereja.

- Tidak diajarkan ketika disekolah.

- Golongan lansia merasa tidak cocok dengan bahasa penginyongan.

- Gereja belum mengizinkan.

- Belum diputuskan sinode.

- Tidak semua jemaat atau pelayan ibadah mengerti bahasa Penginyongan.

- Pengkhotbah kesulitan memakai bahasa Penginyongan.

- Sudah terbiasa dengan bahasa Krama.

- Tidak terbiasa menggunakan bahasa Penginyongan di acara resmi gerejawi.

- Masih takut salah mengucapkan bahasa Pengiyongan karena dianggap tidak

sopan atau saru.

- Karena kebanyakan jemaat berasal dari daerah “wetanan”, demikian juga

dengan Pendetanya.

- Karena Alkitab dan Kidung Pujian bahasa Penginyongan belum tersedia di

gereja.

- Masih berkiblat kepada bahasa “wetanan”.

2. Klasis Banyumas Selatan (Basel)302

Klasis Basel terdiri dari 9 gereja GKJ yang tersebar di 2 Kabupaten, yaitu :

Banyumas dan Cilacap. Jumlah Jemaat 3306 orang. (Agenda Sinode GKJ 2020)

a. Terdapat 27 responden, dengan data :

- Tempat kelahiran : 5 orang kelahiran asli Banyumasan dan 22 orang

pendatang

302 Penelitian dilakukan di Sidang Klasis Banyumas Selatan pada tanggal 5 Februari 2019 bertempat di GKJ Cilacap Utara, Kab. Cilacap. 176

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

- Tahun kelahiran : 4 orang kelahiran tahun 1950an, 6 orang kelahiran tahun

1960an, 9 orang kelahiran tahun 1970an, 5 orang kelahiran tahun 1980an dan

3 orang kelahiran 1990an.

- Pekerjaan : 1 PNS, 7 Swasta, 1 Guru, 1 Buruh, 1 Petani, 3 Pensiunan, 12

Pendeta

- Jabatan gerejawi : 11 Penatua, 4 Diaken, 12 Pendeta b. Terdapat 12 orang sudah mengetahui adanya Alkitab Banyumasan dan 15 belum

mengetahui. c. 5 orang yang mengatakan bahwa gerejanya sudah pernah menggunakan bahasa

Penginyongan dalam ibadah (hanya dalam momen khusus, ibadah Pentakosta),

sedangkan 22 orang mengatakan gerejanya belum pernah. d. 4 orang tidak menginginkankan adanya ibadah dengan bahasa Penginyongan

dan 23 menginginkan. e. Alasan menginginkan dan menggunakan bahasa Penginyongan dalam ibadah:

- Golongan anak muda lebih “mudeng” bahasa Penginyongan.

- Melestarikan bahasa Penginyongan.

- Dapat lebih menghayati Firman Tuhan.

- Dapat digunakan untuk mempelajari “bahasa ibu” orang-orang Banyumasan.

- Dalam rangka “kontekstualisasi”.

- Lebih dapat dimengerti, bahasane sederhana dan tidak “njlimet”.

- Bangga dengan bahasa penginyongan f. Alasan tidak menginginkan dan menggunakan bahasa penginyongan dalam

ibadah:

- Karena bahasa Penginyongan tidak punya “unggah-ungguh”.

- Aneh.

177

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

- Lebih suka dengan bahasa Jawa.

- Belum ada liturgi khusus untuk ibadah bahasa Penginyongan.

- Sebagian besar jemaat adalah pendatang dari daerah “wetanan”.

- Lucu.

- Masih berpedoman pada bahasa Jawa Baku.

- Karena belum ada Alkitab bahasa Penginyongan.

- Bahasa Penginyongan belum diterima dengan “rasa” seperti bahasa Jawa.

- Lebih halus bahasa Jawa.

- Karena bahasa Penginyongan belum “dibakukan”.

- Tidak familier

- Banyak kata-kata yang “tidak semestinya” diucapkan (kasar)

- Ditertawakan

- Tidak sopan.

- Belum diajarkan di sekolah

3. Klasis Kebumen303

Klasis Kebumen terdiri dari 15 gereja GKJ yang berada di Kabupaten Kebumen.

Jumlah jemaat 2861 orang. (Agenda Sinode GKJ 2020)

a. Terdapat 32 responden, dengan data :

- Tempat kelahiran : 19 orang kelahiran asli Banyumasan dan 13 orang

pendatang

303 Penelitian dilakukan di Sidang Klasis Kebumen pada tanggal 29 November 2019 bertempat di GKJ Tengahan, Kab. Kebumen. 178

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

- Tahun kelahiran : 1 orang kelahiran tahun 1940an, 5 orang kelahiran tahun

1950an, 11 orang kelahiran tahun 1960an, 9 orang kelahiran tahun 1970an,

2 orang kelahiran tahun 1980an dan 4 orang kelahiran 1990an.

- Pekerjaan : 1 Seniman, 9 Swasta, 2 Guru, 4 Pensiunan, 3 Ibu Rumah

Tangga, 2 Petani, 1 Guru, 2 PNS, 1 Pedagang, 7 Pendeta

- Jabatan gerejawi : 11 Penatua, 4 Diaken, 12 Pendeta b. Terdapat 2 orang sudah mengetahui adanya Alkitab Banyumasan dan 30

belum mengetahui. c. 1 orang yang mengatakan bahwa gerejanya sudah pernah menggunakan

bahasa Penginyongan dalam ibadah (hanya ketika khotbah saja, dan belum

setiap minggu dilakukan), sedangkan 31 orang mengatakan gerejanya belum

pernah. d. 5 orang tidak menginginkankan adanya ibadah dengan bahasa Penginyongan

dan 27 menginginkan. e. Alasan menginginkan dan menggunakan bahasa Penginyongan dalam ibadah:

- Bahasa asli.

- Generasi muda sudah kesulitan menggunakan bahasa Jawa Baku (Krama).

- Bahasa sehari-hari.

- Sebagai cara “nguri-uri” budaya Banyumasan.

- Sebagai wujud kearifan lokal. f. Alasan tidak menginginkan dan menggunakan bahasa penginyongan dalam

ibadah:

- Beraada di daerah Kebumen bagaian timur yang berada di perbatasan

Purworejo yang sudah berbahasa gaya “wetanan”.

- Sudah terbiasa dengan bahasa Jawa Baku.

179

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

- Bahasa Penginyongan belum dibakukan.

- Karena belum ada aturan resmi yang mengatur penggunaan bahasa

Penginyongan di gereja.

- Belum ada sosialisasi penggunaan bahasa Penginyongan di gereja.

- Bahasa Jawa dianggap lebih “ngajeni”

- Pendetanya bukan asli Banyumasan.

- Belum ada kesepakatan bersama secara resmi.

- Belum tahu jikalau sudah ada Alkitab bahasa Penginyongan.

- Karena jemaat lebih banyak pendatang dari luar Banyumasan (daerah

wetanan).

- Liturgi yang disediakan oleh Sinode GKJ masih menggunakan bahasa

Jawa.

- Aturan gereja menggunakan bahasa Jawa dan Indonesia.

- Belum ada panduan ibadah bahasa Penginyongan.

Dari hasil penelitian diatas yang didapatkan oleh 87 responden dimaan mereka semua adalah adalah yang mempunyai jabatan gerejawi sebagai Majelis Gereja, maka dapat dipetakan sebagai berikut:

- Tempat kelahiran, 37 (40%) adalah asli kelahiran Banyumasan dan 50 (60%) adalah

pendatang.

- Kelahiran tahun 1940 s/d 50 terdapat 15 responden (17%); 1960 s/d 70an terdapat 48

(55%) responden; dan tahun 1980 s/d 90an terdapat 22 responden (28%).

- Jabatan gerejawi, Penatua 30 responden (33,5%); Diaken 28 responden (31%); dan

Pendeta 34 responden (35,5%).

180

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

- 27 responden (31%) sudah mengetahui adanya Alkitab bahasa Penginyongan,

sedangkan 60 (69%) responden belum mengetahui adanya Alkitab bahasa

Penginyongan.

- Yang merasa gerejanya sudah pernah menggunakan bahasa Penginyongan, 10

responden (11,5%) merasa sudah pernah; 77 responden (88,5%) merasa sudah pernah.

- Yang menginginkan penggunaan bahasa Penginyongan dalam ibadah, 11 responden

(12,5%) tidak menginginkan; dan 76 responden (87,5%) menginginkan.

Dari pemetaan hasil penelitian diatas maka dapat dibaca, bahwa pejabat gerejawi atau

Majelis Gereja GKJ di Banyumasan (yang menjadi responden penelitian) lebih

banyak diisi oleh para pendatang (60%) dimana di dalam kemajelisan itu sendiri di

dominasi oleh mereka yang lahir sebelum tahun 1980 (72%), serta terlihat bahwa

komposisi jabatan gerejawi yang berimbang antara Penatua, Diaken dan Pendeta.

Dari penelitian ini juga ditemukan fakta ternyata para pejabat gerejawi ini sebagian

besar belum mengetahui adanya Alkitab bahasa Penginyongan (69%). Demikian juga

ternyata ditemukan fakta bahwa walaupun para pejabat gerejawi ini sebagian besar

belum menggunakan bahasa Penginyongan di gerejanya masing-masing (88,5),

namun ternyata keinginan para pejabat gerejawi untuk menggunakan bahasa

Penginyongan juga besar (87,5%).

Terkait dengan lebih banyaknya pendatang yang menjadi pejabat gerejawi atau Majelis

Gereja GKJ di Banyumasan, ternyata memang diketemukan fakta bahwa jemaat gereja

GKJ di Banyumasan memang lebih banyak diisi oleh para warga pendatang. Bahkan ketika data penelitian ini dilihat lebih teliti ternyata dari 34 orang Pendeta, hanya ada 3 orang pendeta saja yang adalah asli orang Banyumasan. Dengan hal ini menunjukkan bahwa keberadaan jemaat gereja GKJ di Banyumasan ternyata lebih didominasi oleh pendatang.

181

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Dan sebagain besar responden yang adalah warga pendatang ternyata sebagian besar lahir sebelum tahun 1980 dan mereka yang lahir setelahnya sebagian besar adalah kelahiran asli

Banyumasan. Sehingga faktor keberadaan para pendatang ini ternyata juga sangat mempengaruhi penggunaan bahasa Jawa Baku di gereja GKJ di Banyumasan.

Keberadaan Alkitab bahasa Penginyongan yang baru muncul tahun 2015 ternyata juga banyak belum diketahui oleh kalangan pejabat gerejawi atau Majelis Gereja GKJ di

Banyumasan. Dengan ketidaktahuan ini maka hal ini juga sangat mempengaruhi ketika masih banyak pejabat gerejawi di gerejanya masing-masing yang belum menggunakan

Alkitab bahasa Penginyongan di dalam ibadah di gerejanya masing-masing. Sehingga faktor selanjutnya yang mempengaruhi penggunaan Alkitab bahasa Penginyongan ternyata juga dipengaruhi oleh faktor “publikasi” dari keberadaan Alkitab bahasa penginyongan tersebut.

Sementara itu ketika muncul fakta banyaknya “pendatang” dan kurangnya “publikasi” yang menjadi faktor terhambatnya penggunaan Alkitab bahasa Penginyongan di gereja

GKJ di Banyumasan, ternyata keinginan untuk menggunakan Alkitab bahasa

Penginyomngan di dalam ibadah gereja sangatlah antusias. Namun walaupun lebih banyak yang antusias terhadapa penggunaan bahasa Penginyongan, ternyata dari mereka yang tidak menginginkan penggunaan bahasa Penginyongan di gereja justru yang lebih banyak memberikan alasannya. Sebagian besar alasan tersebut adalah terkait dengan “rasa” dan

“pengakuan”.

Rasa yang dimaksud adalah mereka merasa bahwa bahasa Penginyongan, jika dibandingkan dengan bahasa Jawa Baku, adalah bahasa yang kasar. Sehingga karena dianggap kasar maka bahasa ini akan menjadi “kurang sopan” bahkan “saru” jika digunakan dalam suasana ibadah gerejawi yang formal. Bahkan mereka merasa bahwa

182

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

nantinya ibadah akan menjadi “lucu”. Dan ternyata dari mereka yang tidak menginginkan penggunaan bahasa Penginyongan di dalam ibadah gereja, setelah dicermati melalui data penelitian yanga ada, ternyata semuanya adalah dari golongan pendatang yang dimana mereka semua juga adalah yang lahir sebelum tahun 1980. Sehingga dari hal ini terlihat bahawa mereka yang tidak menginginkan penggunaan bahasa penginyongan, dengan segala alasannya, adalah golongan pendatang yang sudah tua.

Oleh karena itu dari data penelitian di atas maka bisa dilihat bahwa pejabat gerejawi yang asli orang Banyumasan dan juga masih muda (yang lahir setelah tahun 1980), semuanya menginginkan penggunaan bahasa penginyongan di dalam ibadah gerejawi. Sedangkan untuk pejabat gerejawi yang adalah orang pendatang dan golongan tua, ada yang menginginkan dan yang tidak menginginkan penggunaan bahasa Penginyongan, dimana berdasarkan data yang terkumpul ternyata yang tidak menginginkan presentasenya sebenarnya lebih kecil dari yang menginginkan. Sehingga mereka yang tidak menginginkan sebenarnya bukanlah golongan lebih besar dari mereka yang menginginkan, namun walaupun mereka lebih kecil ternyata mereka justru bisa mendominasi. Dan dominasi mereka ini ternyata juga telah “diterima” dan “disetujui” oleh mereka yang sebenarnya secara jumlah lebih besar dari mereka. Dari hal inilah yang pada akhirnya justru memperlihatkan bahwa di gereja GKJ terdapat sebuah hegemoni bahasa Jawa Baku terhadap bahasa Penginyongan.

Sehingga dengan adanya dengan adanya hegemoni tersebut di dalam tubuh pejabat gerejawi atau Majelis Gereja GKJ di Banyumasan, maka masalah “pengakuan” dari pihak gereja menjadi lemah. Hal ini dikarenakan gereja GKJ yang menerapakn sistem gerejawi

Presbiterial menempatkan Majelis Gereja sebagai pengambil keputusan baik di tingkat lokal, klasikal maupun sinodal. Dengan demikian maka perihal “pengakuan” ini menjadi

183

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ranah terbesarnya, bahkan bisa dikatakan sebagai ranah “kuasa”nya Majelis Gereja. Dan

sepanjang keadaan Majelis Gereja GKJ di Banyumasan masih terikat dengan hegemoni ini

maka penggunaan Alkitab bahasa Penginyongan akan selalu berada pada posisi yang

lemah, baik itu berada dilingkup Gereja Lokal, Klasis maupun Sinode.

Sehingga walaupun kasus ini hampir sama dengan kasus yang dikemukakan oleh Gramsci

tentang hegemoni bahasa Latin yang dilakukan oleh Gereja Roma terhadap bahasa Italia,

akan tetapi sebagaimana Gramsci membangun gagasannya dimulai dari konsep-konsep

yang dia lihat di Rusia, namun pada akhirnya ketika Gramsci akan menerapkannya di Italia

dirinya lalu berusaha menganalis terlebih situasi dan kondisi Italia yang ternyata berbeda

dari Rusia. Dari analisanya itulah maka muncul konsep Hegemoni yang menjelaskan

bagaimana terjadinya konsep relasi kuasa ala Italia pada zaman itu. Sehingga dari

pengalaman Gramsci tersebut, tentunya situasi dan kondisi relasi kuasa bahasa yang ada

di Indonesia atau Jawa pada khususnya juga berbeda dengan yang ada di Italia.

Jika melihat konsep berbahasa yang dikemukan oleh Siegel, yang didasarkan

pengalamannya berada di Indonesia dan juga khususnya di Jawa, dimana bahasa itu

terjalin antara orang-orang yang tidak saling mencerminkan dan dengan demikian tidak

saling menyebabkan rasa rikuh.304 Dari apa yang dikemukakan Siegel ini adalah

bagaimana pentingnya sebuah “bahasa bersama” atau lingua franca. Bahasa bersama inilah

yang lalu berusaha diciptakan oleh GKJ sejak berdirinya Sinode GKJ pada tahun 1931,

dimana yang dipilih adalah bahasa Jawa Baku (Krama) sebagai bahasa resmi dalam hal

komunikasi, ibadah maupun rapat gerejawi. Dan salah satu konsekwensi dari keputusan

304 Sadur hal 342. 184

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

tersebut adalah “tidak diakui”nya bahasa ngapak-ngapak atau Penginyongan sebagai

bahasa gerejawi.

Dengan keputusan dari Sinode GKJ yang demikian maka jika dilihat dari apa yang

dikatakan oleh Ben Anderson, bahwa bahasa bersamalah yang menumbuhkan

nasionalisme ketimbang nasionalisme yang menjadi terbentuknya suatu bahasa

bersama,305 dapat dikatakan Sinode GKJ telah membuat keputusan yang keliru di masa

lalu yang mempengaruhi keadaan di masa kini bahkan juga untuk di masa yang akan

datang atau masa depan. Hal ini dikarenakan, sebagaimana dikatakan oleh Sjafroeddin

Prawiranegara, seharusnya “suatu bahasa tidak boleh menjadi mesin”, dimana bahasa itu

hanya dijadikan sebuah instrumen, bahkan komoditas.306 Dan bahasa Jawa Baku sekarang

memainkan peran tersebut khusunya di gereja GKJ di wilayah Banyumasan.

Dalam hal relasi kuasa Ben Anderson melihat bahwa kuasa dapat terjadi melalui kata-kata

atau bahasa. Dan Ben Anderson sendiri melihat bahwa relasi kuasa bahasa yang terjadi di

Jawa memang sangat dipengaruhi oleh adanya konstruksi Bahasa Jawa Baku yang sudah

berlangsung lama yang akhirnya memunculkan apa yang dinamakan “Kramanisasi”.

Konsep Kramanisasi inilah yang mewujud dalam “kuasa kata”. Demikian juga dengan apa

yang dikemukakan oleh Shiraishi ketika melihat bahwa Kramanisasi juga telah merasuk

ke dalam bahasa Indonsia pada khususnya pada era ORBA, dimana penguasa rezim lalu

menggunakan Karamanisasi menjadi sebuah bahasa yang memerlukan “bapak”. Bahasa

yang memerlukan “bapak” itulah yang akhirnya menciptakan “bahasa kosong”. Dari hal

inilah akhirnya bisa terlihat bahwa Hegemoni Bahasa Jawa Baku terhadap Bahasa

Penginyongan sebenarnya telah menjelma menjadi sebuah “kuasa kata” dan “bahasa

305 Kuasa kata hal 420. 306 Rudolf Mrazek, Engineers of Happy Land : Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2006, hal 51. 185

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kosong’ sebagai hasil dari Kramanisasi, sebagaimana disebutkan oleh Ben Anderson dan

Shiraishi.

H. Hegemoni Bahasa melalui Kramanisasi

Kontruksi bahasa Jawa Baku sebenarnya menghasilkan menghadirkan dua bahasa yang

berbeda yaitu bahasa Krama dan Ngoko. Sebagaimana Siegel menyebutkan bahwa Krama

adalah “High Javanese” sedangkan Ngoko adalah “Low Javanese”.307 Dari sebutkan

tersebut maka terlihat bahwa Krama menjadi sebuah bahasa yang lebih tinggi, sedangkan

Ngoko adalah bahasa rendahan. Dari sinilah sebenarnya kuasa bahasa Krama

dimunculkan, sehingga muncullah apa yang disebut sebagai “Kramanisasi”.

Kramanisasi sebagai produk konstruksi bahasa Jawa Baku sebenarnya digunakan oleh

penguasa Jawa dan kolonialisme melalui “Javanologi’ abad 19-20 untuk melegitimasi

kekuasaannya. Kramanisasi adalah dimana bahasa penguasa adalah sebuah bahasa yang

eksklusif yang hanya digunakan atau diperuntukkan bagi kepentingan si penguasa. Dalam

sejarah kekuasaan Jawa, Sultan Agung menganggap dirinyalah satu-satunya pemimpin di

tanah Jawa sehingga semua rakyat dan bawahannya harus memakai bahasa Krama kepada

dirinya, bahkan tidak terkecuali juga keluarganya sendiri dimana di dalamnya juga

termasuk orang tuanya sendiri dan saudara-saudaranya yang lebih tua dari dirinya.308

Sehingga pada dasarnya bahasa Jawa (Baku) yang mengenal unggah-ungguhing basa

sebenarnya adalah sebuah alat politik.309 Bahasa yang digunakan sebagai alat politik inilah

307 James Siegel, Solo the New Order (Language and Hierarcy in An Indonesia City), Princenton University Press, Princenton : New Jersey, 1986, hal 15. 308 G. Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa (Penerapannya oleh Raja-raja Mataram), Kanisius, Yogyakarta, 2002, hal 54-55 309 Ibid hal 57 186

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

yang akhirnya menjadi sebuah bentuk “kuasa kata” yang digunakan oleh seorang penguasa

untuk melegitimasi kekuasaannya.310

Bangsa Belanda di Hindia Belanda juga menempatkan bahasa Belanda sebagai bahasa

kaum elite.311 Yang dimaksud kaum elite tentunya adalah bangsa Eropa dimana pada masa

kolonial Hindia Belanda mereka menempati golongan sosial yang paling tinggi diatas

golongan timur asing dan pribumi. Dengan pola sosial yang seperti demikian tentunya

mereka akan menempatkan diri lebih tinggi dengan kaum pribumi. Salah satunya adalah

melalui bahasa Belanda yang hanya boleh diucapkan oleh mereka saja. Walaupun

beberapa kalangan pribumi atas diperbolehkan memakai bahasa Belanda ketika dengan

mereka, namun kepada kebanyakan orang pribumi tidak boleh demikian. Orang Jawa

kebanyakan ketika harus berbicara kepada orang Belanda (eropa) maka mereka harus

menggunakan bahasa Krama. Hal ini dikarenakan bahasa Krama di dalam pergaulan orang

Jawa diucapkan oleh orang yang derajat lebih rendah kepada orang yang derajatnya lebih

tinggi. Dengan kata lain melalui hal ini maka telah terjadi sebuah hegemoni bahasa yang

dilakukan orang-orang Belanda terhadap orang-orang Jawa.

Dan untuk melawan hegemoni bahasa yang seperti itu maka pada masa akhir masa kolonial

Belandadi Hindia-Belanda muncullah bahasa perlawanan yaitu bahasa “Melayu

Revolusioner” yang menjadi cikal bakal lahirnya bahasa Indonesia.312 Bahasa “Melayu

Revolusioner” dalam hal ini menjadi awal di dalam menertibkan dan menyatukan kosakata

birokrasi kolonial, kosakata sosial-demokrat Barat, kosakata nasionalis-revolusioner, dan

kosakata tradisi Jawa. Bahasa ini pada awalnya, secara umum, digunakan untuk melawan

310 Benedict Anderson, Kuasa Kata : Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia, Mata Bangsa, Yogyakarta, 2000, hal 323 311 ibid hal 283 312 Ibid hal 270 187

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

hegemoni bahasa Belanda dan, secara khusus, digunakan juga untuk melawan hegemoni

bahasa Jawa (Baku).

Sebenarnya peristiwa dimana bahasa “Melayu Revolusioner” yang nanti pada akhirnya

menjadi bahasa Indonesia, menjadi sesuatu hal yang menarik jika dibandingkan dengan

negara Filipina yang masih “berdebat” tentang keberadaan bahasa tagalog yang diakui

sebagai bahasa nasional, dimana dari hal tersebut justru menimbulkan sebuah sentimen

nasional bagi golongan atau kalangan yang tidak mengakui bahasa Tagalog sebagai

“bahasa bersama”.313 Namun kedudukan bahasa Indonesia tidaklah demikian, hal ini

dikarenakan adanya sebuah “Kongres Pemuda” yang lalu mengikrarkan bahasa Indonesia

sebagai bahasa persatuan sebelum negara Indonesia ini terbentuk. Dan semakin

menariknya adalah bahasa persatuan ini diikrarkan oleh para pemuda yang notabenenya

hanyalah seorang “anak”, dan bukan sebagai seorang “bapak”.

Akan tetapi pada perjalanannya bahasa Indonesia juga mengalami “Kramanisasi” ketika

bahasa ini digunakan juga oleh penguasa untuk melegitimasi kekuasaannya terhadap

rakyatnya sendiri. Penggunaan bahasa Indonesia yang pada awalnya digunakan sebagai

contra hegemoni pada akhirnya pada jaman ORBA justru lalu menjadi sebuah hegemoni

yang baru. Sehingga dengan adanya “Kramanisasi” maka memunculkan dengan apa yang

disebut oleh Anderson sebagai “kuasa kata”, dan oleh Shiraishi disebut sebagai “bahasa

kosong”.

1. Kuasa Kata

Seperti sudah disebutkan di atas bahwa hegemoni bahasa digunakan oleh penguasa

untuk mempertahankan kekuasaannya. Dalam konsep Gramsci, penguasa adalah

313 Benedict Anderson, Hantu Komparasi : Nasionalisme, Asia Tenggara dan Dunia, Qalam, Yogyakarta, 2002, hal 350-353 188

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

negara sebagai masyarakat politik yang menguasai masyarakat sipil.314 Sehingga

hegemoni bahasa tidak bisa dilepaskan dari dari sebuah pengertian yang merujuk

kepada sebuah bahasa politik. Dengan adanya sebuah bahasa politik menunjukkan

bahwa bahasa ini memang dekat dengan sebuah kekuasaan.

Berbicara tentang bahasa politik di era Indonesia modern (akhir era kolonial-awal era

pascakolonial), sebagaimana dikatakan oleh Ben Anderson, tidak terelakkan

diturunkan dari dari tiga bahasa yang berbeda dan dari dua tradisi budaya linguistik

yang berbeda pula.315 Tiga bahasa tersebut adalah bahasa Belanda, Jawa dan “Melayu

revolusioner”, sedangkan dua tradisi linguistik yang berbeda yaitu Barat-Belanda dan

Jawa. Sehingga dari hal ini, khususnya pada era akhir kolonial, menyebabkan

terjadinya bilingualisme pada kelas sosial tertentu pada masyarakat Jawa, khususnya

pada kelas priyayi dan terpelajar.316

Pada masa kolonial, para Priyayi Jawa (Pamongpraja) dalam kedudukannya berada

pada kelas tertinggi dalam tatanan masyarakat Jawa, namun ketika mereka berhadapan

dengan orang Belanda (walaupun hanya dari tataran rendah saja) maka posisi Priyayi

(Pamongpraja) akan berada di bawah orang Belanda tersebut.317 Dari hal tersebutlah

maka para Priyayi harus mengerti bahasa Belanda, karena orang-orang Belanda akan

berbicara pada mereka dengan bahasa Belanda (jikalau tidak dengan bahasa Belanda

maka mereka akan berbicara dengan bahasa Jawa Ngoko atau dengan bahasa Melayu

saja), dan para Priyayi tersebut harus berbicara dengan mereka menggunakan bahasa

Jawa Krama. Hal inilah yang terjadi ketika seorang Residen Solo (orang Belanda)

yang berbicara kepada Raja Keraton Solo dengan bahasa Belanda atau Melayu bahkan

314 Antonio Gramsci, Prison Notebooks (Penj: Teguh Wahyu Utomo), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013, hal 283-287. 315 Kuasa kata hal 265 316 Ibid hal 296 317 Ibid hal 278-290 189

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

hanya dengan bahasa Jawa Ngoko saja, sedangkan sang Raja harus berbicara kepada

Residen dengan bahasa Krama.318 Bahkan Raja Jawa tersebut menyebut Residen

Belanda dengan sebutan “eyang”.319 Seorang Residen saja menempatkan Raja Jawa

tersebut di bawahnya, apalagi seorang Gubernur Jenderal dan Ratu Belanda akan

memperlakukan Raja Jawa tersebut.

Demikian juga dengan para kelas terpelajar yang sebagian besar terdiri dari kaum

muda anak-anak dari para Priyayi Jawa pun harus demikian, karena mereka menerima

pendidikan ala Barat maka mereka harus mengerti bahasa Belanda. Namun semakin

mereka menjadi “terpelajar”, maka mau tidak mau akhirnya bahasa Belanda lamban

laun akan mengalahkan bahasa asli mereka yaitu bahasa Jawa.320 Dan mereka pun

akan merasa lebih “enjoy” karena bagi mereka dengan bisa berbahasa Belanda maka

akan menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang “melek huruf”. Dan orang

yang melek huruf adalah orang-orang yang terpandang dibandingkan dengan yang

buta huruf.321 Hal ini disebabkan karena pada masa setelah adanya “politik etis” saja,

yang memprogramkan bidang pendidikan sebagai salah satu bentuk balas budi kepada

daerah jajahan di Hindia Belanda, tingkat melek huruf hanya masih mencapai 10%

saja, dengan kata lain tingkat buta huruf masih 90%. Oleh karena itu jika ada

seseorang yang terpelajar maka secara otomatis dirinya akan dianggap sebagai orang

yang terpandang. Demikian juga dengan mereka yang bukan berasal dari golongan

Priyayi namun melek huruf, maka derajat merekapun menjadi ikut terangkat.

318 John Pemberton, “Jawa” : On the Subject of “Java”, Mata Bangsa, Yogyakarta, 2003, hal 106-107. 319 Ibid hal 80 320Benedict Anderson, Kuasa Kata : Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia, Mata Bangsa, Yogyakarta, 2000, hal 286. Band. sebutan “Yong Yapa” dimana ini merupakan transformasi lintas-bahasa, sebagian alih bahasa dan sebagian alih tulisan. Lihat. John Pemberton, “Jawa” : On the Subject of “Java”, Mata Bangsa, Yogyakarta, 2003, hal 162 321 Benedict Anderson, Kuasa Kata : Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia, Mata Bangsa, Yogyakarta, 2000,hal 28. 190

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Diantara kelas priyayi dan terpelajar terdapatlah nama Dr. Soetomo yang menjadi

salah satu pendiri organisasi “Boedi Outomo”. Organisasi ini adalah organisasi

modern pertama di Hindia-Belanda yang menggagas konsep kebangsaan, walaupun

pada waktu itu masih terbatas pada lingkup Jawa namun pada nantinya organisasi ini

menjadi awal munculnya gagasan nasionalisme Indonesia. Dari hal inilah yang lalu

menjadi terbuka kemungkinan untuk untuk berpendapat bahwa “suku Jawa” adalah

yang menjadi perintis “Indonesia”.322

Sebagai seorang priyayi dan juga terpelajar tentunya dirinya mempunyai banyak hak

privilige dibandingkan dengan orang-orang Jawa “biasa”. Salah satu hak privilige

tersebut adalah dalam hal pengucapan bahasa, dimana dirinya diperkenankan untuk

berbicara kepada orang lain yang “kelas”nya ada dibawahnya cukup dengan bahasa

Ngoko. Akan tetapi dirinya tidak melakukan hal tersebut, dan memilih berbicara

dengan bahasa Krama kepada siapa saja.323 Hal ini dilakukan sebagai sebuah tanda

bahwa dirinya lebih menekankan prinsip “hormat” kepada semua orang. Karena

menurutnya dengan rasa hormat ini maka dirinya sedang mengangkat derajat orang

Jawa yang selama ini direndahkan oleh bangsa Belanda. Apa yang dilakukan oleh

Dr. Soetomo ini tentunya adalah sesuatu hal yang “melawan arus” budaya Jawa pada

waktu itu dan tentunya juga menjadi perlawanan terhadap kolonialisme Belanda di

Nusantara.

Namun apa yang dilakukan oleh Dr. Soetomo ini berbeda dengan apa yang dilakukan

oleh sebuah kelompok yang menamakan diri “Djawa Dipa” yang mempunyai sebuah

ideologi bahwa bahasa Krama adalah salah satu wujud penindasan kepada kaum

pribumi, dimana menurut Tjokrosoedarmo bahwa bahasa Ngoko adalah “bahasa

322 Simon Phillpot, Meruntuhkan Indonesia (Politik Postkolonial dan Otoritarianisme), LKiS, Yogyakarta, 2003, hal 64. 323 Kuasa Kata hal 456. 191

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

asli”nya bahasa Jawa.324 Oleh karena itu kelompok ini lebih menekankan penggunaan

bahasa Ngoko ketika mereka berbicara kepada siapapun, termasuk ketika berbicara

dengan orang-orang Belanda. Demikian juga dengan kelompok Samin yang juga

menggunakan bahasa Ngoko sebagai wujud protes mereka atas kebijakan pemerintah

Hindia-Belanda yang merugikan mereka.325

Melihat dalam konteks pulau Jawa yang demikian, pada masa kolonial menjadi

“pusat”nya Hindia-Belanda, khususnya masalah bahasa Jawa yang terjadi pro dan

kontra. Maka hal tersebut juga menjadi salah satu inspirasi bagi kaum muda kelas

terpelajar untuk mengembangkan sebuah bahasa baru yang dapat digunakan sebagai

bahasa tandingan terhadap hegemoni bahasa Belanda.326 Sehingga dengan hal ini

diperlukan sebuah bahasa baru yang dapat digunakan sebagai bahasa perlawanan

untuk mengikat rasa kebangsaan (ke“Indonesia”an). Oleh karena itulah dipilihlah

bahasa Indonesia sebagai sebuah bahasa komunikasi yang dapat mengekspresikan

nasionalisme Indonesia dalam batasan satu kosakata tunggal (pada dasarnya bukan

untuk melakukan penyeragaman antardaerah yang ada di Nusantara, akan tetapi

bertujuan supaya tercipta rasa salingketerkaitan spiritual atau semangat nasionalisme).

Dari ekspresi nasionalisme inilah yang lalu semakin menguatkan konsep bangsa

Indonesia yang pada nantinya menjadi sebuah negara Indonesia.

Ben Anderson mendefisinikan bangsa adalah “sesuatu yang terbayang karena para

anggota bangsa terkecil sekalipun tidak bakal tahu dan takkan kenal sebagian besar

anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka itu, bahkan mungkin tidak

pula pernah mendengar tentang mereka”.327 Dan kemunculan komunitas terbayang

324 Kuasa Kata hal 458 325 Ibid hal 454-455 326 Ibid hal 266-269 327 Benedict Anderson, Imagined Communities (Komunitas-komunitas Terbayang), INSIST & Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008, hal 8. 192

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sebagai hasil dari kesadaran nasionalisme ini sangat dipengaruhi oleh keberadaan

bahasa. Ben Anderson sendiri menyebutkan paling tidak ada 4 faktor yang menjadi

asal muasal”Kesadaran Nasional”, yaitu:328 adanya perubahan karakter dari bahasa

Latin, gerakan Reformasi Gereja yang dipelopori oleh Luther yang salah satu hasilnya

adalah munculnya Alkitab bahasa Jerman sebagai sebuah perlawanan terhadap

monopoli bahasa Latin oleh gereja Roma, keuniversalan bahasa Latin tidak diiringi

dengan adanya kesatuan politis di Eropa Barat pada abad pertengahan, lahirnya

bahasa-bahasa ibu yang mempengaruhi pengikisan komunitas terbayang sakral. Dan

sebagaimana disebutkan bahwa salah hasil dari Sumpah Pemuda 1928 adalah adanya

pengakuan sebuah bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia sebagai perekat

“komunitas terbayang” ini. Sehingga dari hal tersebut semakin menegaskan bahwa

peranan bahasa di dalam sebuah komunitas mempunyai peranan yang sangat penting.

Bahasa Indonesia sebenarnya lahir dari sebuah bahasa pasar (lingua franca) yaitu

bahasa Melayu yang sudah mengalami berbagai macam fase perubahan, yang pada

awalnya bahasa ini lalu dikenal dengan bahasa “Melayu revolusioner”, yang dimana

perkembangannya harus dilihat dengan adanya bertumbuhnya cangkokan daging

bahasa Jawa di atas tulang rangka bahasa Melayu revolusioner.329 Sebagai sebuah

lingua franca, maka sebagaimana dikatakan Siegel, maka bahasa tersebut lalu

mempunyai dua prinsip yaitu “tidak saling mencerminkan” dan tidak membuat

rikuh”.330

Melalui dua prinsip yang dikemukan oleh Siegel itulah sebenarnya bahasa Indonesia

dibangun sebagai pemersatu proses kebangsaan yang digunakan untuk melawan

kolonialisme Belanda di Nusantara. Sehingga dari hal ini maka bisa dikatakan bahwa

328 Imagined Communities hal 57-61. 329 Kuasa Kata hal 270. 330 James Siegel, Berbahasa, dalam Sadur hal 342. 193

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

bahasa Indonesia muncul karena pada awalnya dimulai atas dasar sebagai sebuah

bahasa perlawanan. Dan ketika bahasa tersebut dipakai sebagai sebuah bahasa

perlawanan, maka bahasa tersebut juga yang pada hekekatnya dapat dikatakan sebagai

sebuah bahasa politik.331

Karena terdapat cangkokan bahasa Jawa di dalamnya, sehingga dapat dikatakan

bahwa bahasa Melayu Revolusioner juga sebenarnya banyak dipengaruhi oleh

kosakata bahasa Jawa. Padahal bahasa Jawa yang berkembang pada waktu itu juga

sudah mengalami campuran dengan bahasa Arab yang bercampur dengan tradisi Jawa,

sehingga dari bercampurnya dua tradisi maka muncullah apa yang disebut sebagai

“Islam Jawa”.332 Sehingga dengan hal tersebut maka pengaruh bahasa Arab dan Jawa

juga mempengaruhi kosakata yang terdapat dalam bahasa Melayu Revolusioner yang

nantinya ketika menjadi bahasa Indonesia pengaruh inipun masih sangat terasa.

Sebagaimana pendapat sejarawan Swiss Herbert Luethy, yang dikutip oleh Anderson,

menggambarkan bahwa “bahasa Indonesia sebagai suatu bahasa “sintetis” yang

meminjam secara melimpah dan tanpa pandang bulu semua terminologi teknis dan

abstraksi ideologis dari dunia modern.....”.333 Dan ketika pengaruh bahasa Arab dan

Jawa ini mempengaruhi pembentukan bahasa Indonesia tentunya menjadi hal yang

wajar, sebagaimana C. Geertz melihat bahwa 90% orang Jawa adalah pemeluk agama

Islam.334

Banyaknya pemeluk agama Islam di pulau Jawa disebabkan oleh banyak hal, namun

oleh Ricklefs ada dua proses “Islamisasi” di pulau Jawa, yaitu : pertama, orang asing

yang sudah beragama Islam dan menetap di suatu tempat di Jawa dan menjadi orang

331 Kuasa Kata hal 297. 332 Ibid hal 273-278. Sebagai contoh adalah “Kalimasada” yang lalu dihubungkan dengan “Kalimat Syahadat”. 333 Ibid hal 263. 334 Clifford Geertz, Agama Jawa : Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa, Komunitas Bambu, Yogyakarta, 2013, hal xxxiii. 194

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Jawa; serta yang kedua, masyarakat lokal Jawa yang akhirnya memilih memeluk

agama Islam.335 Bukti dari kedua hal tersebut adalah dengan adanya bukti penemuan

beberapa nisan dari makam bangsawan muslim yang berangka tahun 1368-1369 di

dekat istana raja Majapahit di Jawa timur; serta dari catatan apoteker Portugis, Tome

Pires, yang mengunjungi pulau Jawa pada tahun 1513 yang menyebutkan bahwa

kerajaan di pedalaman Jawa masih bercorak Hindhu-Budhha, akan tetapi pada tahun

1527 kerajaan tersebut runtuh ketika diserang oleh satu persekutuan pembesar-

pembesar yang sudah memeluk agama Islam. Dimana selanjutnya keruntuhan tersebut

maka pada awal abad 17 muncullah dinasti Mataram Islam yang menggantikan dinasti

Mataram Hindhu-Buddha.

Sehingga dari prosese Islamisasi tersebut akhirnya terjadi pertemuan antara tradisi

Islam (Arab) dengan Jawa yang disebut sebagai “Islam Jawa”. Dengan sebutan

tersebut maka pada prosesnya selanjutnya, sebagaimana dipengaruhi dengan

muculnya dinasti kerajaan Mataram Islam, maka menjadi orang Jawa berarti menjadi

muslim (Islam).336 Identitas inilah yang akhirnya juga membedakan dengan golongan

Eropa yang datang ke pulau Jawa yang beragama Kristen. Sehingga sebutan “Islam

Jawa” dapat dikatakan sebagai sebuah kesadaran identitas orang Jawa yang adalah

pemeluk agama Islam.

Sehingga “Islamisasi Jawa” menjadi faktor terbesar dari tumbangnya dinasti Mataram

Hindhu-Buddha yang digantikan oleh dinasti Mataram Islam. Dimana melalui dinasti

yang baru ini proyek konstruksi bahasa Jawa (Ngoko-Krama) mulai dirancang pada

era Sultan Agung.337 Konstruksi tersebut dilakukan dengan memerintahkan para

335 M.C. Ricklefs, Mengislamkan Jawa (Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai sekarang), Serambi, Jakarta, 2013, hal 29-33. 336 Ibid hal 36. 337 G. Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa (Penerapannya oleh Raja-raja Mataram), Kanisius, Yogyakarta, 2002, hal 45& 55. 195

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

pujangga untuk membuat “Babad Tanah Jawi” yang digunakan oleh Sultan Agung

sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan dirinya terhadap tanah Jawa.338 Dan

melalui konstruksi bahasa Jawa inilah yang lalu melahirkan tingkatan bahasa yaitu

bahasa Krama dan Ngoko, dimana bahasa Krama adalah bahasa “eksklusif” yang

hanya harus diucapkan ketika berbicara dengan sanga Raja yaitu Sultan Agung.

Bahasa Krama lalu menempati posisi yang lebih tinggi dari bahasa Ngoko, dimana

bahasa Krama akhirnya pada prosese selanjutnya dianggap sebagai bahasa Priyayi.339

Sehingga dari hal tersebut maka terciptalah sebuah hierarki sosial yang baru pada era

dinasti Mataram Islam, yaitu lahirnya sebuah hierarki bahasa yang menggantikan

kehierarkian berdasarkan sistem kasta yang ada pada era Mataram Hindhu-Buddha.

Gaya bahasa Jawa yang telah dikonstruksi inilah yang lalu disebut sebagai bahasa

Jawa Baku yang dimana prosesnya sangat dipengaruhi oleh “Kramanisasi”.

Kramanisasi ini sebenarnya juga banyak dipengaruhi oleh kekuasaan VOC yang

akhirnya menaklukan raja-raja Jawa. Dan sebagai simbol penaklukan ini maka para

raja jawa ketika berbicara dengan pihak VOC harus menggunakan bahasa Krama,

sedangkan pihak VOC cukup menggunkan bahasa Ngoko saja. Bahkan ketika VOC

runtuh pada akhir tahun 1799 pun model seperti ini terus berlanjut bahkan dengan

adanya proyek “Javanologi” yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda

ditahun 1800an akhirnya membuat “Kramanisasi” ini semakin menjurus menjadi

sebuah bahasa yang digunakan sebagai sebuah relasi kuasa. Sehingga sebebarnya

Kramanisasi adalah sebuah proses yang dibuat atas dasar kolonialisme. Dan dari

Kramanisasi inilah yang lalu menjadi salah satu faktor untuk membuat sebuah Jawa

338 Ibid hal 57. 339 Benedict Anderson, Kuasa Kata : Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia, Mata Bangsa, Yogyakarta, 2000, hal 281. 196

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

yang telah dikonstruksi. Konstruksi Jawa yang demikian oleh Pemberton disebut

sebagainya sebagai “Jawa”, dimana roh “Jawa” ini semakin terasa pada era ORBA.340

Sebagaimana tadi telah disebutkan bahwa bahasa Krama akhirnya menjadi semacama

bahasa bagi kaum Priyayi, maka akhirnya bahasa Krama bagi para Pamongpraja pada

jaman kolonial adalah sebuah bahasa resmi, aspiratif (agak mirip topeng), sedangkan

bahasa Ngoko lebih privat, sinis, bergairah (agak mirip hati).341 Sehingga dengan hal

ini maka semakin menciptakan hierarki social melalui bahasa di dalam tatanan

masyarakat Jawa dimana para Pamongpraja ini memang diisi oleh kalang Priyayi atau

dari kalangan terpelajar yang melek huruf. Golongan Priyayi yang dijadikan sebagai

Pamongpraja inilah yang lalu menjadi perpanjangan tangan atau penghubung antara

pemerintah kolonial Hindia-Belanda dengan rakyat ketika menerapkan sistem tanam

paksa.342

Kemunculan Kramanisasi bahasa Jawa ini sebenarnya juga diikuti dengan adanya

perlawanan yang dilakukan oleh banyak kalangan baik secara individu maupun

komunal. Mas Marcodikromo melakukan perlawanan tersebut dengan menggunakan

bahasa Melayu ketika menulis artikel-artikelnya di surat kabar, padahal dirinya adalah

seorang Jawa tulen.343 Dari hal ini ternyata bahasa Melayu juga dapat digunakan

sebagai perlawanan terhadap penggunaan bahasa Jawa Krama. Sebaliknya

Poerbotjaraka menggunakan bahasa Belanda untuk menyerang “Feodalisme semu”

Priyayi Jawa yang menggunakan bahasa Jawa Krama sebagai topeng kekuasaan

340 Ibid hal 316 & 396. 341 Ibid hal 281. 342 Ibid hal 278-290 343 Benedict Anderson, Kuasa Kata : Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia, Mata Bangsa, Yogyakarta, 2000, hal 411 Band. Dengan: - Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalsime Rakyat di Jawa 1912-1926 (penj: Hilmar Farid), Grafiti, Jakarta, 1997, hal 419-419. - Rudolf Mrazek, Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni, Obor, Jakarta, 2006, hal 46-47. 197

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

mereka terhadap orang-orang dari kelas bawah.344 Sedangkan yang bergerak secara

Komunal adalah perlawanan gerakan Jawa Dipa yang tidak mau menggunakan bahasa

Jawa Krama dalam setiap pembicaraannya dan cukup berbicara dengan bahasa Jawa

Ngoko saja, hal ini disebabkan karena mereka menilai bahwa bahasa Jawa Ngoko

adalah bahasa asli dari bahasa Jawa.345 Demikian juga dengan kelompok Samin di

daera Blora yang tidak mau menggunakan bahasa Jawa Krama kepada para

Pamongpraja sebagi wujud perlawanan mereka terhadap kebijakan pemerintah

kolonial Hindia Belanda yang merugikan mereka.346

Dan ternyata Kramanisasi bahasa ini tidak hanya terjadi pada bahasa Jawa saja akan

tetapi juga akhirnya menyasar pada bahasa Indonesia pada era awal-awal setelah

kemerdekaan. Padahal bahasa Indonesia sebenarnya lahir dari sebuah bahasa

perlawanan yang disebut sebagai bahasa “Melayu Revolusioner”, bahkan ketika sudah

disebut sebagai bahasa Indonesia bahasa ini disebut sebagai sebuah “ngoko baru”.347

Ben Anderson menyebut Kramanisasi bahasa Indonesia ini sebagai “Jawanisasi

Indonesia”, yang salah satu caranya dilakukan melalui Kramanisasi bahasa publik

Indonesia.348 Kramanisasi ini ditunjukkan dengan digunakannya istilah-istilah Jawa

yang dipakai untuk mengidentifikasi istilah-istilah masa kini dengan menggunakan

bahasa Jawa yang dipakai pada masa lalu Jawa yang heroik, diantaranya yaitu kata

Pancasila, Bhayangkari, Sapta Marga.

Dan apa yang terjadi dalam model kekuasaan di Indonesia ini memang harus diakui

sangat kental dengan aroma Jawa. Hal ini dikarenakan di dalam dua periode

344 Benedict Anderson, Kuasa Kata : Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia, Mata Bangsa, Yogyakarta, 2000, hal 450-454. 345 Ibid hal 456-462. 346 Ibid hal 454-455. 347 Ibid hal 463. 348 Ibid hal 308-312. 198

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

pemerintahan setelah era kemerdekaan yang sering disebut sebagai Orde Lama pada

era kepemimpinan presiden Soekarno dan Orde Baru pada era kepemimpian Soeharto,

dimana kedua orang presiden tersebut adalah orang Jawa. Sehingga wajar jika aroma

Jawa begitu kental mempengaruhi model kepemimpinan mereka. Seperti apa yang

dikatakan Ben Anderson ketika menyebutkan bahwa kesejarahan Jawa adalah sebuah

siklus dan bukan linier, maka kedua pemimpin inipun lalu mempunyai pandangan

yang sama tentang hal tersebut yang akhirnya mempengaruhi gaya kepemimpinan

mereka.349

Melalui pandangan kesejarahan yang adalah sebuah siklus dan bukan linier, maka

perjalanan sejarah dapat diibaratkan seperti sebuah roda yang berputar dimana suatu

sejarah pasti akan terulang kembali di masa yang akan datang. Dalam siklus

historiografi Jawa jika sesuatu dimulai dari zaman keemasan yang telah lampau

makan nanti pada masa selanjutnya akan terjadi sebuah yang ‘amburadul” yang

disebut sebagai zaman edan. Karena roda terus berputar maka zaman edan pada suatu

masa akan kembali lagi ke zaman keemasan melalaui datangnya sang Ratu Adil yang

baru. Dan kedua pemimpin tersebut ingin mengulangi masa keemasan Jawa yang

pernah terjadi pada masa lalu. Dalam hal ini Soekarno sangat terobsesi dengan zaman

keemasan Majapahit, sedangkan Soeharto sangat terobsesi dengan kegagahan Sultan

Agung pada era dinasti Mataram Islam.350

Sehingga dengan obsebsi tersebut maka pada era Demokrasi terpimpin, Soekarno lalu

menggunakan banyak kata-kata Jawa kuno seperti Tri Ubaya Sakti, Pancatunggal,

Pancawardhana, Mandala, Satya Lencana, Pramuka dan seterusnya.351 Sedangkan

Soeharto lalu membuat semacam “babad” seperti yang dilakukan oleh Sultan Agung,

349 Ibid hal 317-318. 350 Sindhunata, Bayang-bayang Ratu Adil, Gramedia, Pustaka Utama, Jakarta, 1999, hal 132. 351 Kuasa Kata hal 312. 199

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

yaitu membuat sebuah sejarah dimana dengan subyektifitas Orde Baru-nya Soeharto

lalu mengedepankan kehebatan dirinya yang dinarasikan melalui peristiwa “Serangan

Umum 1 Maret”.352 Dari narasi inilah narasi Soeharto sebagai seorang “ratu adil”

yang baru mulai dibangun dengan menyebutkan dirinya sebagai penggagas peristiwa

tersebut. Demikian juga dengan penunjukkan Soeharto sebagai penerima Surat

Perintah Sebelas Maret atau “Supersemar” yang ditandatangani oleh Soekarno juga

dinarasikan sebagai sebuah “transfer kekuasaan” dan bukanlah sebuah kudeta. Dan

melalui peristiwa Supersemar inilah yang lalu menjadi sebuah jalan bagi Soeharto

untuk resmi menjadi Presiden pada tahun 1968. Sehingga dari narasi ini maka

sebenarnya Soeharto secara “de facto” telah menerima kekuasaan itu setelah peristiwa

11 Maret 1966, dan secara “de jure” resmi menjadi Presiden baru pada tahun 1968.353

Dengan narasi inilah yang menunjukkan bahwa roh “Kramanisasi” telah merasuk ke

dalam bahasa Indonesia. Sehingga bahasa Jawa Baku dengan Kramanisasi-nya

akhirnya menjadi sebuah bahasa politik yang penuh kuasa. Dan pada akhirnya

Kramanisasi ini akhirnya juga menyasar kepada bahasa Indonesia, dimana

kramanisasi ini lalu digunakan sebagai alat untuk meraih dan mempertahankan sebuah

kekuasaan. Dari sinilah maka bahasa Jawa Baku dengan Kramanisasinya dapat

dikatakan sebagai suatu bahasa yang didalamnya mengadung kata-kata yang penuh

kuasa.354

2. Bahasa kosong

Sebagaimana telah dikatakan bahwa bahasa “Melayu revolusioner”, yang lalu

nantinya disebut sebagai bahasa Indonesia, telah dipilih sebagai bahasa nasional yang

digunakan sebagai bahasa perlawanan terhadap bahasa Belanda yang disepakati

352 Sindhunata hal 133. 353 Kuasa Kata hal 240. 354 Kuasa Kata hal 56. 200

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

bersama melalui peristiwa Sumpah Pemuda 1928.355 Keberadaan bahasa Melayu

sebagai lingua franca di Nusantara memang menjadi alasan yang begitu besar untuk

dijadikan sebagai bahasa Indonesia, akan tetapi sebenarnya peran pemerintah Hindia-

Belanda terhadap hal ini juga besar, bahkan menjadi “promotor” yang paling awal dan

gigih untuk menjadikan bahasa Melayu menjadi lingua franca di Hindia-Belanda

(Nusantara).356 Pemerintah Hindia-belanda memilih bahasa Melayu sebagai lingua

franca dengan tujuan supaya bisa digunakan sebagai bahasa penghubung di kantor

pemerintahan di seluruh Hindia-Belanda, sebagaimana ketika menggunakan bahasa

Jawa untuk memudahkan penguasaannya di wilayah Jawa.357

Selain itu dengan pendirian Balai Pustaka, yang resmi didirikan tahun 1917, juga

menjadi salah satu faktor penting bagi bahasa Melayu untuk tetap menjadi lingua

franca di Hindia-Belanda walaupun minat baca pada waktu itu masihlah sangat kecil

yaitu hanya 0,6%.358 Walaupun minat baca yang masih kecil dikarenakan memang

angka melek huruf pada waktu itu masih dibawah 10%, akan tetapi hal ini menjadi

sesuatu yang efektif karena apa yang diterbitkan oleh Balai Pustaka dapat menjadi

“santapan” bagi para kaum terpelajar serta kalangan peranakan Cina yang lebih fasih

menggunakan bahasa Melayu ketimbang dengan bahasa-bahasa daerah yang ada di

Hindia-Belanda. Dan keberadaan orang-orang peranakan Cina inilah yang akhirnya

mempopulerkan bahasa Melayu melalui interaksi perdagangan mereka yang biasanya

dilakukan di pusat kota baik di kota kecil maupun besar.359

Sehingga dengan digunakannya bahasa Melayu di kantor-kantor pemerintahan,

kalangan terpelajar dan dari kalangan peranakan Cina maka bahasa ini tetap bisa

355 Salah satu isi Sumpah Pemuda 1928, “Berbahasa Satu, Bahasa Indonesia”. 356 Kuasa Kata hal 415. 357 Kuasa Kata hal 416-417. 358 Kuasa Kata hal 418. 359 Kuasa Kata hal 419 201

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dipertahankan sebagai lingua franca di wilayah Hindia-Belanda. Sebagaimana

Anderson mengatakan bahwa bahasa bersamalah yang menumbuhkan rasa

nasionalisme,360 maka dari ketiga kalangan itulah sebenarnya nasionalisme Indonesia

mulai dibentuk. C.Geertz juga menyebutnya bahwa kelompok elite, pemuda yang

terpelajar dan massa kota adalah menjadi faktor penting dalam pengintegrasian

masyarakat menuju pada pembentukan perasaan identitas nasional yang baru.361 Yang

pertama, kelompok elite adalah mereka yang menjadi pegawai pemerintahan atau

Pamongpraja; yang kedua, pemuda sebagai kelas yang “terpelajar” karena sejak

adanya politik etis setiap anak mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan; yang

ketiga, “massa kota” adalah mereka yang menjalankan aktivitas mereka di kota,

dimana para pedagang memainkan peran ini yang sebagian besar berasal dari etnis

Cina/Tionghoa (peranakan).

Oleh karena melalui hal itulah maka keberadaan bahasa Melayu akhirnya bisa

bertahan selama berabad-abad sebagai bahasa perdagangan (lingua franca), sehingga

bahasa Melayu lebih mudah dijadikan sebagai bahasa persatuan.362 Sehingga melalui

Sumpah Pemuda, sebenarnya bahasa Melayu-lah yang sudah menjadi bahasa bersama

di wilayah Nusantara inilah yang justru lalu bisa menumbuhkan rasa nasionalisme

Indonesia. Melalui bahasa Indonesia sebagai sebuah bahasa persatuan inilah maka

sekat-sekat antar daerah/pulau bisa dijembatani. Sehingga dapat dikatakan bahwa

bahasa Indonesia lahir sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme.

360 Kuasa Kata hal 420 361 Clifford Geertz, Agama Jawa : Abangan, Santri, Priyayi dalam kebudayaan Jawa, Komunitas Bambu, Depok, 2013, Hal 530-537. 362 Kuasa Kata hal 419-420. 202

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Namun sebenarnya permasalahan tentang “bahasa” ini telah menjadi perhatian Kartini

ketika menuliskan surat kepada sahabat penanya yang seorang Belanda.363 Surat ini

diawali dengan sebuah pertanyaan “dengan bahasa apa kami berbicara di rumah?”.

Kartini mengatakan bahwa mereka berbicara bahasa Jawa di rumah, namun mereka

berbicara dengan bahasa Melayu kepada orang asing dari timur (baik itu orang

Melayu, pribumi non Jawa, Arab atau Cina), dan mereka berbicara dengan bahasa

Belanda dengan orang Eropa. Melalui surat Kartini ini kita bisa melihat terjadinya

“bilingualisme” dimana bahasa Melayu menjadi bahasa perantara ketika

berkomunikasi dengan orang-orang non-Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa memang

bahasa Melayu telah menjadi bahasa pemersatu di wilayah Hindia-Belanda.

Akan tetapi pada bagian suratnya yang lain, Kartini menceritakan tentang pengalaman

buruk seorang pelajar Jawa yang baru saja lulus yang berani berbicara dalam bahasa

Belanda kepada seorang Residen.364 Selepas kejadian itu, keesokan harinya orang

tersebut lalu dimutasi ke daerah pegunungan. Mutasi ini terjadi dikarenakan Residen

tersebut merasa tersinggung karena ada kaum “inlander” Jawa yang berbicara dengan

dirinya yang seorang Belanda dengan tidak menggunakan bahasa Jawa Krama. Pada

bagian ini Kartini juga menceritakan bahwa kakak-kakaknya ketika berbicara kepada

atasan mereka yang adalah orang Belanda harus menggunakan bahasa Jawa Krama,

sedangkan atasan mereka cukup menjawab dalam bahasa Belanda atau Melayu.

Dalam hal ini sebenarnya Kartini sedang menunjukkan bahwa bahasa Jawa Krama

memang digunakan sebagai sebuah simbol superioritas bangsa Belanda terhadap

orang Jawa.

363 Saya Sasaki Shiraishi, Pahlawan-pahlawan Belia (Keluarga Indonesia dalam Politik), Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2001, hal 132. 364 Denys Lombard, Silang budaya (1) : Batas-batas Pembaratan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hal 94-95 203

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Dari apa yang disampaikan oelh Kartini menunjukkan bahwa bahasa Belanda hadir

untuk memerankan fungsi “Krama”, yang sedang mengungkapkan bahwa bahasa

Belanda sebagai bahasa yang mempunyai status paling tinggi.365 Sehingga dari hal

tersebut semakin memperjelas bahwa Kramanisasi dalam bahasa Jawa memang

ditujukan untuk kepentingan kekuasaan atau politis. Dimana hal tersebut sebenarnya

sudah sejak sejak era dinasti Mataram Islam pada era kepemimpinan Sultan Agung

yang menggunakan Kramanisasi sebagai sebuah legimitasi kekuasaan atas dinasti

Mataram Hindhu-Buddha. Dan ketika VOC mulai menaklukan raja-raja Jawa maka

roh Kramanisasi inipun lalu dipakai sebagai legitimasi penaklukan mereka terhadap

tanah Jawa. Demikian juga dari pihak para raja-raja Jawa yang sudah ditaklukan oleh

Belanda serta kehilangan kekuasaannya, juga menggunakan bahasa Jawa Krama ini

sebagai sebuah legitimasi kekuasaan mereka terhadap rakyat mereka sendiri.366

Kramanisasi bahasa Jawa yang menunjukkan suatu eksklusifitas golongan Priyayi

Jawa ini juga mendapat tentangan dari Ki Hajar Dewantara melalui sekolah Taman

Siswa-nya.367 Konsep familiisme yang digunakan dalam metode pendidikan di Taman

Siswa juga menjadikan sebutan “bapak” dan “ibu” untuk menggantikan istilah

“Tuan”, “Nyonyah”, “Nonah” atau istilah sejenis dalam bahasa Belanda “Meneer”,

“Mevrouw” dan “Juffrow” dan juga sebutan Jawa “Mas Behi”, “Den Behi” dan

“Ndoro”, dimana sebutan-sebutan dalam bahasa Belanda dan Jawa tersebut

sebenarnya menyiratkan superioritas dan inferioritas kelas. Dengan emnanggalkan

gelar kebangsawanannya, Ki Hajar Dewantara yang bernama asli Raden Mas

Soewardi Soeryaningrat, maka Ki Hajar Dewantara menginginkan di Taman Siswa

365 Kuasa Kata hal 282. 366 G. Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa (Penerapannya oleh Raja-raja Mataram), Kanisius, Yogyakarta, 2002, hal 74-75. 367 Saya Sasaki Shiraishi, Pahlawan-pahlawan Belia (Keluarga Indonesia dalam Politik), Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2001, hal 136-139. 204

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

terdapat kesetaraan di lingkungan sekolahannya. Sehingga dengan demikian maka

melalui Taman Siswa sebenarnya Ki Hajar Dewantara juga sedang sedang melakukan

perlawanan terhadap kolonialisme Belanda di Nusantara karena pemerintah Hindia-

Belanda menempatkan status sosial mereka lebih tinggi dari kalangan pribumi.

Demikian juga di kalangan orang Jawa sendiri yang juga terdapat pembedaan lapisan

sosial, hal ini terlihat dari pemberian nama yang berbeda antara kalangan elite

(Keraton) dengan rakyat biasa sperti yang dirasakan oleh Ki Hajar Dewantara dengan

nama aslinya yang memakai gelar “Raden Mas” karena berasal dari trah Pakualam.

Karena meninggalkan gelar bangsawannya maka, Ki Hajar Dewantara lalu dipanggil

dengan sebutan “bapak”.

Dengan sebutan “bapak” ini maka superiotas dan inferioritas dari bangsa Belanda dan

kalangan elite Jawa mulai dihapus dimulai dari lingkungan Taman Siswa. Namun

lambat laun setelah Indonesia merdeka sebutan “bapak” ini juga mulai digunakan di

dalam kantor-kantor instansi pemerintahan untuk menyebut seorang pemimpin/kepala

kantor, sehingga menunjukkan kesan adanya sebuah tataran birokrasi. 368 Demikian

juga di dunia kemiliteran bahwa seorang komandan juga disebut dengan “bapak”

untuk membedakan mana yang “anak buah” dan mana yang “bapak buah”.

Oleh karena itu terkhusus dalam era Orde Baru yang identik dengan militer, maka

sebutan “bapak” ini semakin dekat dengan sebuah relasi kuasa. Gelar yang disematkan

pada diri pemimpin ORBA dengan sebutan sebagai “Bapak Pembangunan

Nasional”,369 serta diikuti dengan penerimaan tanda Bintang Lima di dunia

368 Ibid hal 139-143. 369 Gelar ini berdasarkan, TAP MPR RI Nomor V/MPR /1983, yang salah satu poinnya berbunyi: “Bahwa rakyat Indonesia setelah menyaksikan, merasakan, dan menikmati hasil-hasil pembangunan, secara tulus ikhlas telah menyampaikan keinginannnya untuk memberi penghargaan kepada Jenderal (Purn) Soeharto Presiden Republik Indonesia, sebagai Bapak Pembangunan Nasional” 205

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kemiliteran sebagai sebuah tanda pemimpin tertinggi kemiliteran,370 menunjukkan

bagaimana rasa superioritas yang ada dalam diri Soeharto. Sehingga dari hal terebut

maka Shiraishi mengatakan bahwa pada masa ORBA, Soeharto adalah “bapak dari

segala bapak”.371

Melihat prinsip pertalian darah dalam keluarga Jawa yang dipaparkan oleh Hildred

Geertz, “senioritas” adalah salah satu hal dimana seseorang di dalam keluarga akan

memainkan peran yang sangat penting.372 Dan rasa senioritas di dalam keluarga juga

dipengaruhi oleh jenis kelamin, dimana seorang laki-laki dianggap yang lebih senior

daripada seorang perempuan, sehingga dengan demikian maka di dalam keluarga

tentunya seorang bapaklah yang menjadi paling senior di dalam keluarga. Oleh karena

itu semua hormat di dalam keluarga akan tertuju hanya kepada seorang bapak saja,

dan salah satunya wujud rasa hormat itu adalah melalui penggunaan bahasa Krama

ketika berbicara dengan bapak.373 Dengan pemahaman tentang sosok bapak inilah

yang tentunya mempengaruhi pandangan Soeharto, yang adalah orang Jawa, sebagai

seorang “bapak” yang harus selalu dihormati.

Kemunculan Soeharto sebagai seorang “bapak” sebenarnya mulai muncul ketika

meletus peristiwa 30 September 1965 dimana enam Jenderal dan satu Perwira Pertama

dibunuh di Lubang Buaya. Dalam peristiwa ini Soeharto lalu muncul bak seorang

pahlawan karena berhasil membongkar peristiwa tersebut dan menuduh PKI sebagai

dalang dari semua peristiwa tersebut. Karena dianggap sebagai orang paling penting

dalam pembongkaran peristiwa tersebut maka Soeharto “diberi” mandat oleh Presiden

370 Gelar ini diberikan pada peringatan hari ABRI ke 52 tanggal 5 Oktober 1997. 371 Saya Sasaki Shiraishi, Pahlawan-pahlawan Belia (Keluarga Indonesia dalam Politik), Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2001, hal 261. 372 Hildred Geertz, Keluarga Jawa, Grafitipress, Jakarta, 1983, hal 20. 373 Ibid hal 24-26. 206

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Soekarno untuk memulihkan situasi dan kondisi yang sedang terjadi melalui Surat

Perintah Sebelas Maret tahun 1966 yang sering disebut sebagai Supersemar.

Akan tetapi ternyata peristiwa 11 Maret 1966 inilah yang lalu menjadi sebuah peritiwa

paling krusial dimana Soeharto mulai secara nyata menggerogoti kekuasaan Presiden

Soekarno. Dan melalui Supersemar inilah sebenarnya sedang berlangsung “kudeta

diam-diam” yang dilakukan oleh Soeharto.374Kata Supersemar sendiri bukanlah

hanya sebuah singkatan saja, akan tetapi kata ini mempunyai makna tersendiri.

Menurut Niels Mulder, Supersemar adalah sebuah kebenaran sejati.375 Kata “super”

merujuk pada manifestasi ketuhanan yang sempurna dari Ismaya, kakak Dewa Shiwa;

sedangkan kata Semar menunjuk pada tokoh wayang yang mendukung kemenangan.

Bagi Sindhunata tokoh Semar ini dihubungkan dengan cerita “Semar mbangun

kahyangan” yang digambarkan sedang membangun dunia baru.376 Pembangunan

dunia baru inilah yang lalu disebut sebagai Orde Baru, yang akhirnya melalui sebutan

“Orde Baru” inilah yang akhirnya memunculkan sebutan baru untuk era sebelumnya

di bawah kepemimpinan Soekarno dengan sebutan “Orde Lama”. Namun sebutan

“Orde Lama” ini ditolak oleh Soekarno karena menurutnya sebutan ini mempunyai

tendensi bahwa dirinya telah menyimpang dari tujuan revolusi, sehingga Soekarno

mengatakan orde-nya adalah “Orde Asli”.377 Sehingga dari perebutan istilah ini maka

trlihat bagaimana seorang penguasa memakai “bahasa” untuk mempertegas

kekuasaannya. Hal ini seperti apa yang dikatakan Gramsci bahwa sebuah “jargon”

politik juga sangat dibutuhkan oleh seorang penguasa.378

374 Saya Sasaki Shiraishi, Pahlawan-pahlawan Belia (Keluarga Indonesia dalam Politik), Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2001, hal 190 375 Niels Murder, Mistisisme Jawa (Ideologi di Indonesia), LKiS, Yogyakarta, 2001, hal 105-106. 376 Sindhunata, Bayang-bayang Ratu Adil, Gramedia, Pustaka Utama, Jakarta, 1999, hal hal 209. 377 Pidato Presiden Sukarno 14 desember 1966. 378 Prison Notebooks hal 207 207

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Orde Baru sendiri, oleh Cahin dan Gribb, sebenarnya adalah sebutan yang

dikonstruksi oleh para koalisi Soeharto dari kalangan Angkatan Darat, mahasiswa,

intelektual dan muslim yang menentang Soekarno dan PKI.379 Sehingga dengan

sebutan Orde Baru sebenarnya sedang dibangun sebuah pandangan bahwa era

sebelumnya, yaitu Orde Lama, adalah sebuah era atau jaman yang sudah berlalu yang

harus dibenahi oleh era atau jaman yang baru yaitu Orde Baru. Dan jaman yang baru

ini adalah jaman dimana akan disongsongnya sebuah era keemasan dengan disertai

datangnya “Ratu Adil”.

Sehingga dari kata Supersemar ini sebenarnya juga sedang menunjukkan bagaimana

bahasa di dalam surat itu adalah bahasa yang “super” karena dengan surat tersebut

Soeharto akhirnya bebas melakukan banyak hal dimana semuanya dilakukan dalam

rangka untuk melakukan “kudeta diam-diam” tersebut. Bahasa dari surat ini

menjadikan kepemimpinan serta kharisma dari diri Soekarno sebagai seorang

proklamator harus “runtuh” di hadapan rakyatnya sendiri. Dari bahasa yang terdapat

di dalam Supersemar itulah Orde Baru dibentuk oleh sebuah bahasa yang dikonstruksi

oleh seorang “bapak”.

Sebutan “bapak” yang pada awalnya digunakan oleh Ki Hadjar Dewantara melalui

sekolah Taman Siswanya sebenarnya digunakan untuk menunjukkan kesetaraan

antara guru dan murid, namun ternyata di jaman ORBA sebutan “bapak” ini lalu

menjadi sebuah sebutan yang mempunyai makna sebuah relasi kuasa. Sebagai contoh

adalah semboyan “Tut Wuri Handayani” yang oleh Ki Hajar Dewantara dipapaki

sebagai model pendidikan di Taman Siswa yang dimaknai sebagai membimbing dari

belakang sebagai sebuah usaha membiarkan para anak didik untuk bebas dan

379 lihat buku Audrey Kahin & Robert Cribb, Kamus Sejarah Indonesia 208

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

mempunyai inisiatif di dalam kelas, namun oleh Soeharto istilah ini lalu dimaknai

sebagai seperti halnya membimbing bayi dari belakang dengan cara memegang kedua

tangannya dan membimbingnya untuk berjalan.380 Sehingga dengan pergeseran

makna inilah maka terlihat sekali lagi bagaimana seorang “bapak” menggunakan

bahasa sebagai alat untuk mengontrol “anak-anak”nya. Dimana pada nantinya relasi

kuasa yang dibangun oleh rezim ORBA dikatakan lebih kejam dari masa

kolonialisme, sebagaimana pernyataan Brian May yang dikutip oleh Shiraishi, bahwa

“Indonesia dilahirkan setelah sebuah penculikan; dilahirkan kembali dalam kudeta

dan dibaptis dengan darah pembantaian”.381 Penculikan adalah peristiwa

Rengasdengklok, kudeta adalah peristiwa 1 Oktober ketika para Jenderal diculik dari

rumah mereka masing-masing lalu dibunuh di Lubang Buaya, sedangkan pembantaian

adalah pembunuhan massal yang dilakukan setelah peristiwa kudeta 1 Oktober.

Terkhusus untuk peristiwa pembunuhan para Jenderal Angkatan Darat itupun lalu

memunculkan dua istilah yang berbeda, versi Soeharto disebut sebagagi “G30S/PKI”

singkatan dari Gerakan 30 September/PKI yang juga bisa disebut dengan “Gestapu”,

yang merujuk PKI sebagai dalang utama peristiwa ini; sedangkan versi Soekarno

menyebutkan sebagai “Gestok” atau Gerakan Satu Oktober karena peristiwa ini terjadi

pada pagi dini hari tanggal 1 Oktober, tanpa embel-embel “PKI”. Tentunya

penyebutan kedua istilah ini juga digunakan untuk saling mengklaim kebenaran dari

peristiwa yang terjadi pada para Jenderal Angkatan Darat tersebut. Dan untuk

memenangkan “perang” istilah tersebut maka ketika ORBA sudah bisa menancapkan

kekuasaannya maka tanggal 1 Oktober, yang disebut dengan “GESTOK” oleh

Soekarno untuk menyanggah sebutan “G30S/PKI dari Soeharto, ditetapkan sebagai

380 Saya Sasaki Shiraishi, Pahlawan-pahlawan Belia (Keluarga Indonesia dalam Politik), Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2001, hal 142 381 Ibid hal 49-50 209

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

“Hari Kesaktian Pancasila”. Penetapan hari tersebut adalah untuk membuktikan

bahwa Pancasila gagal untuk dihancurkan, dan yang menggagalkan adalah sosok

seorang “bapak” yaitu Soeharto. Sehingga seolah-olah “Kesaktian Pancasila” itu

karena ada “bapak” yang menjadi penyelamat Pancasila, dan dialah yang selalu

merasa menjadi pemimpin yang berjiwa “Pancasila”. Dengan menjadi seorang

pemimpin Pancasila maka kedudukannya menjadi sejajar dengan “bapak ideal”.382

Kembali pada peristiwa pembunuhan para Jenderal Angkatan Darat, sejak

kemunculannya pada pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, setelah peristiwa 30

september 1965 terjadi, sebutan “bapak” mulai disematkan di dalam diri Soeharto.

Hal ini dikarenakan melalui peristiwa pengambilalihan wewenang yang dilakukan

oleh Soeharto di tubuh Angkatan Darat (AD) inilah yang menjadi jalan bagi Soeharto

untuk memimpin AD karena terjadi kekosongan pimpinan di tubuh AD. Sebenarnya

setelah era kemerdekaan, Soekarno juga tidak hanya disebut dengan sebutan “bung”

saja akan tetapi juga sudah mulai disebut “bapak”. Namun sebutan “bapak” bagi

Soeharto dan Soekarno tentunya merupakan dua model yang bertentangan. Model

Soeharto adalah model Bapak-tahu-segala (Fathers-knows-best) yang reaksioner,

sedangkan Soekarno dalam peristiwa Rengasdengklok adalah model yang

revolusioner.383 Perbedaan itu juga terlihat berbeda karena Soekarno dikenal dengan

suara baritonnya ketika berpidato, sedangkan Soeharto dikenal dengan seseorang yang

mempunyai senyum yang tenang sehingga disebut sebagai “smiling general” atau

Jenderal yang penuh senyum.384

382 Neil Murder, Mistisisme Jawa (ideologi di Indonesia), LKiS, Yogyakarta, 2001, hal 109. 383 Saya Sasaki Shiraishi, Pahlawan-pahlawan Belia (Keluarga Indonesia dalam Politik), Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2001, hal 131. 384 Ibid hal 140 210

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Namun dibalik senyumnya inilah yang lalu muncul sebuah era atau jaman yang

disebut sebagai Orde Baru yang dilahirkan dari seorang “bapak” melalui sebuah

“baptisan darah”. Sehingga sama seperti roh Dewantara tentang “bapak”, maka hal ini

juga menunjukkan bahwa “bahasa memerlukan bapak”.385 Namun dalam hal ini bukan

berarti “roh” yang dimiliki oleh Ki Hajar Dewantara dan Soeharto mempunyai

kesamaan, justru sebaliknya terdapat perbedaan yang sangat mencolok. Hal ini

dikarenakan bahasa “bapak” yang digunakan oleh Ki Hajar Dewantara adalah suatu

simbol kebebasan para anak didik dan juga sebagai simbol perlawanan terhadap

kolonialisme bangsa Belanda dan rasa superioritas kaum elite Jawa, sedangkan

Soeharto menggunakan bahasa tersebut sebagai salah satu cara untuk berkuasa dimana

keindahan bahasa dari “bapak” inilah yang lalu melahirkan Supersemar. Dimana

melalui Supersemar “bahasa Indonesia yang digunakan dalam penulisan surat

tersebut, telah menjadi bahasa untuk menegakkan kekosongan yang mengerikan,

yang pada intinya tanpa makna. Kebenaran yang tersembunyi di balik bahasa kosong

itulah yang melarang anak untuk menentang bapak, dan sebaliknya memperbolehkan

bapak bilang, begitulah!”.386

Sebagaimana seorang bapak mengajari banyak hal kepada anak-anaknya, maka

“bapak” Orde Baru juga menempatkan diri yang demikian. Semua anak-anak sudah

sejak SD sudah diajari di dalam ruang kelas tentang “ini Budi” melalui pelajaran

Bahasa Indonesia. “Budi” disini diperkenalkan sebagai maksud “akal” atau “pikiran”

atau “pemikiran yang benar”.387 Dari “Budi” inilah diperkenalkan bangunan keluarga

yang ideal. Sehingga dengan konsep ini maka proses belajar menjadi rekonfirmasi

385 Ibid hal 148 386 Ibid hal 194 387 Ibid hal 209 211

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dari apa yang diketahui dan dimiliki seseorang bahkan jika konstruksi tersebut

berbeda dari keluarga yang dimiliki oleh para siswa tersebut.388 Sehingga dari apa

yang diajarkan seolah-olah menajdi sebuah bahasa kosong belaka.

“Bahasa kosong” adalah bahasa yang sebenarnya dipenuhi dengan adanya roh

kolonialisme. Hal ini dikarenakan bahasa tersebut adalah bahasa reka karya, bahasa

yang sudah mengalami tawar menawar, bahasa pesanan dan penyaringan yang

disepakati bahkan direstui sebagai bahasa penguasa dan pencitraannya.389 Dengan

demikian maka dapat dikatakan bahwa “Kramanisasi” yang terjadi pada bahasa

Indonesia adalah sebuah bahasa kosong, dimana roh “Kramanisasi” bermula dari

adanya konstruksi bahasa Jawa yang dilakukan oleh para elite Jawa dan Belanda

sebagai sebuah relasi kuasa.

388 Ibid hal 213 389 Budi Susanto, S.J. (Editor), Politik dan Postkolonialitas di Indonesia, Lembaga Studi Realino & Kanisius, Yogyakarta, 2007, hal 139. 212

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB IV

COUNTER HEGEMONI TERHADAP BAHASA JAWA BAKU

MELALUI PENERJEMAHAN ALKITAB BAHASA PENGINYONGAN

A. Counter Hegemoni terhadap “kuasa kata” & “bahasa kosong”

Dari sudut pandang konsep “kuasa kata” yang dikembangkan oleh Ben Anderson dan

“bahasa kosong” yang dikembangkan oleh Shiraishi, menunjukkan bahwa “Kramanisasi”

adalah sebuah konstruksi bahasa yang di dalamnya terdapat sebuah relasi kuasa. Relasi

kuasa yang terjadi di dalam bahasa inilah yang oleh Gramsci sebagai “hegemoni bahasa”.

Hegemoni bahasa adalah salah satu wujud dari hegemoni budaya. Hegemoni budaya

adalah sebuah hegemoni yang menyertai terjadinya hegemoni ekonomi dan politik di

masyarakat. Hegemoni budaya, khususnya hegemoni bahasa, bertujuan untuk memperkuat

kekuasaan penguasa dari sisi konsensus.

Dengan kemunculan bahasa Jawa Baku melalui sebuah proses Kramanisasi yang lalu

melahirkan tingkatan bahasa Krama dan Ngoko, maka penggunaan bahasa Jawa Baku

bukan lagi hanya sekedar sebagai alat komunikasi saja akan tetapi juga digunakan sebagai

sebuah bahasa politik bagi kepentingan penguasa. Salah satu kepentingan dari penguasa

tersebut adalah untuk menunjukkan sisi penaklukan terhadap suatu wilayah dimana

pengunaan bahasa yang diresmikan atau dibakukan oleh penguasa menjadi salah satu

model penaklukan yang dilakukan tanpa dengan adanya kekerasan fisik.

Model kekuasaan seperti inilah yang disebut oleh Gramsci sebagai Hegemoni, yang terjadi

karena adanya kepemimpinan intelektual dan moral. Sehingga dari hegemoni ini maka

kehidupan orang-orang Banyumas juga telah mengalami sebuah konstruksi intelektual dan 213

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

moral yang dilakukan oleh pihak penguasa melalu relasi bahasa. Oleh karena itu untuk

menghadapi sebuah hegemoni, Gramsci lalu menawarkan sebuah teori yang disebut

dengan “Counter Hegemoni” atau hegemoni tandingan.390

1. Konsep Counter Hegemoni Gramsci

Untuk melakukan sebuah “counter hegemoni”, Gramsci menyodorkan beberapa

gagasan yang dimunculkan berdasarkan pengalamannya ketika dirinya melihat sebuah

peristiwa perebutan kekuasaan di Rusia. Peristiwa tersebut terjadi ketika dominasi

kekaisaran Tsar akhirnya tumbang oleh Revolusi Boheslvik. Dan apa yang ia saksikan

di Rusia tersebut akan ia terapkan dalam konteks Italia dimana kekuasaan Fasis

sedang merajalela.

Namun ternyata keadaan di Rusia dan di Italia adalah dua buah konteks yang sangat

berbeda sehingga dengan situasi dan kondisi yang demikian tentunya dirinya harus

membuat sebuah rancangan perebutan kekuasaan yang sesuai dengan konteks Italia.

Oleh karena itu dengan melihat berbagai macam bentuk revolusi atau perebutan serta

penggulingan sebuah kekuasaan yang terjadi di Eropa Barat, khususnya Inggris dan

Perancis, maka Gramsci lalu dengan teori hegemoninya juga lalu merancang sebuah

konsep yang ia sebut sebagai “counter hegemoni’ atau hegemoni tandingan.391

Dan ketika konsep hegemoni dibangun dengan kepemimpinan intelektual dan moral

maka ketika akan melakukan sebuah counter hegemoni juga harus melalui hal yang

sama yaitu melalui pembangunan kepemimpinan intelektual dan moral. Sehingga

390 Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci (Pent: Kamdani & Imam Baehaqi), INSIST & Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hal 28. 391 Antonio Gramsci, Prison Notebooks (Penj: Teguh Wahyu Utomo), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013, hal 284- 285. Gramsci mengatakan bahwa “Sebuah kelompok sosial dapat, dan memang harus, menjalankan ‘kepemimpinan’ (yaitu hegemonik) sebelum memenangkan kekusaan pemerintah (memang ini salah satu kondisi prinsip untuk kemenangan kekuasaan semacam itu)”. 214

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

untuk melakukan counter hegemoni maka harus diciptakan aktor-aktor intelektual

yang nantinya bukan hanya sekedar berpikir saja namun dapat menggabungkan antara

teori dan praktek. Dengan demikian maka kaum intelektual ini mempunyai tugas

untuk bisa mempunyai pemikiran yang tidak hanya mengikuti arus status quo saja

akan tetapi bisa berpikir “melawan arus” sebagai awal mula dari sebuah perlawanan

terhadap sebuah hegemoni. Dengan pemikiran yang demikian kiranya nanti dapat

menghasilkan sebuah kesadaran bersama dimana melalui kesadaran bersama itulah

maka akan muncul sebuah gerakan untuk merebut hegemoni. Oleh karena itu untuk

melakukan “counter hegemoni”, Gramsci membutuhkan adanya kaum intelektual

yang dia sebut sebagai kaum “intelektual organik”, yang nantinya dari kaum

intelektual organik dapat muncul gagasan-gagasan “good sense” untuk menghasilkan

sebuah “perang posisi”.

a. Intelektual Organik

Pada dasarnya setiap individu adalah kaum intelektual, akan tetapi belum tentu

setiap individu dapat melakukan peran dan fungsi intelektualnya.392 Sehingga

letak permasalahan dari kaum intelektual bukan karena kadar intelektualnya akan

tetapi yang menjadi permasalahan adalah tidak semua kaum intelektual bisa

memainkan peran dan fungsi intelektualnya di dalam kehidupan sosial. Dengan

berhentinya peran dan fungsi dari kaum intelektual inilah maka sesuatu hal yang

sudah ada tidak akan pernah berubah. Dengan kata lain kaum intelektual ini tidak

bisa kritis terhadap banyak hal yang ada di sekitarnya.

Kaum intelektual yang tidak kritis dan cenderung bertahan pada “status quo”

inilah yang oleh Gramsci disebut sebagai kaum “intelektual tradisional”.

392 ibid hal 12-13. 215

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Sedangkan kaum intelektual yang kritis adalah mereka yang disebut sebagai

kaum intelektual organik. Dari sinilah Gramsci lalu membedakan kaum

intelektual berdasarkan kemampuan melakukan fungsi intelektualnya dengan

sebutan kaum intelektual tradisional dan organik.

Kaum intelektual tradisional adalah mereka yang mempunyai posisi

dalam celah masyarakat yang mempunyai aura kelas tertentu, tetapi

berasal dari hubungan kelas masa silam dan sekarang, serta melingkupi

berbagai macam kelas historis. Sedangkan kaum intelektual organic

adalah unsure pemikir dan pengorganisasian dari sebuah kelas

fundamental tertentu393.

Dari pembedaan antara kaum intelektual tradisonal dan organik ini menunjukkan

bahwa setiap kelas bisa mempunyai dua kaum intelektual tersebut sekaligus.

Namun Gramsci seringkali menyebutkan bahwa kalangan rohaniawan adalah

salah satu kaum intelektual tradisional yang paling banyak.394 Hal ini dikarenakan

kalangan rohaniawan mewarisi kekuasaan masa silam (gereja Roma dan

kekaisaran Romawi) yang lalu cenderung menempatkan mereka sebagai kelas

penguasa. Sebagai contoh adalah ketika di Rumah Sakit dimana kemunculan

dokter juga disertai dengan kemunculan rohaniawan, hal ini dikarenakan banyak

tokoh agama jaman dahulu yang dianggap sebagai “penyembuh hebat”, sehingga

keberadaan dokter sebagai tim medis harus disertai dengan kemunculan para

rohaniawan mewakili kalangan agama/gereja. Bahkan keberadaan gereja (Roma)

sendiri ternyata juga menjadi pihak yang memonopoli budaya di semenanjung

393 Ibid hal 3. 394 Ibid hal 10 216

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Italia, dan pihak manapun yang menentang monopoli ini maka akan dikenai

sanksi hukuman.395 Dan salah satu monopoli budaya yang dilakukan oleh gereja

adalah dengan monopolinya terhadap penggunaan bahasa Latin.

Dengan demikian maka bisa dikatakan bahwa kaum intelektual tradisional adalah

mereka yang terus berusaha mempertahankan “status quo”. Sedangkan kaum

intelektual organik adalah mereka yang menggunakan “unsur pemikir” dalam diri

mereka untuk selalu kritis terhadap sesuatu hal. Bahkan tidak hanya kritis saja

namun juga terdapat unsur “pengorganisasian”. Sehingga dengan adanya sebuah

“pengorganisasian” tersebut maka kekritisan yang keluar dari gagasan para kaum

intelektul organik dapat diterima oleh suatu kelas tertentu sebagai sebuah

kesadaran bersama.396

Sehingga fungsi dari kaum intelektual organik adalah untuk membantu

menemukan ide dan pikiran yang seharusnya dipikirkan oleh golongan kelas

tertentu, serta membantu mentransfernya kepada golongan tersebut dengan tujuan

supaya muncul kekritisan dan kesadaran di dalam golongan kelas tersebut. Maka

dari itu intelektual organik bukanlah hanya sebuah transfer pemikiran saja akan

tetapi mengajak golongan kelas tertentu untuk ikut berpikir kritis.397 Maka supaya

muncul kesadaran berpikir maka pemikiran dari kelas intelektual organik ini

harus dikomunikasikan kepada golongan kelas tersebut. Komunikasi dua arah

inilah yang lalu diharapkan munculnya kesadaran bersama yang nantinya dapat

menjadi sebuah konsesus aktif dan bukan ketundukan pasif.398 Dari kesadaran

395 ibid hal 24 396 ibid hal 461 & 479 397 ibid hal 470 398 Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci (pent. Kamdani & Imam Baehaqi), INSIST & Pustaka Pelajar, Jakarta, 2004, hal 92. 217

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

bersama inilah maka akan tercipta sebuah konsepsi yang global dan parsial.399

Sehingga dari hal tersebut maka akan terjadi kesatuan antara teori dan praktek.400

Dan menurut Gramsci, dalam konteks Italia, salah satu kaum intelektual organik

adalah kaum Moderat (para pemimpin Partai Moderat).401 Hal ini dikarenakan

karena dalam sejarah “Risorgimento” atau penyatuan italia, merekalah yang

mempunyai peran penting. Para kaum Moderat ini bukan hanya sebagai pemikir

saja akan tetapi mereka juga adalah para organisator politik yang handal.

Sehingga dari konteks Italia yang demikian maka partai politik menjadi sarana

yang penting bagi kelas pekerja untuk melakukan “counter hegemoni”.

Dari kaum intelektual organik yang seperti inilah yang diharapkan dapat

memunculkan sebuah hegemoni tandingan dan bukan hanya sekedar revolusi atau

reformasi,402 seperti yang terjadi pada revolusi Perancis dan Revolusi Rusia. Hal

ini dikarenakan melalui revolusi Perancis ternyata justru melahirkan sebuah

konsep Bonapartisme;403 sedangkan melalui Revolusi Rusia melahirkan adanya

sebuah kekuasaan baru yang diktator, yang oleh Marx disebut sebagai “proletar

diktatorian”,404 yaitu kediktatoran kaum proletar yang menggantikan kekuasaan

dari kaum Borjouis dimana oleh gramsci hal ini disebut sebagai

“likuidasionis”405. Model seperti ini menggambarkan bagaimana revolusi

dilakukan hanya oleh golongan pekerja dan hasilnya juga hanya dirasakan oleh

golongan pekerja.

399 Prison Notebooks hal 217-218 400 Ibid hal 469 401 Ibid hal 85 402 Ibid hal 62 403 Steve Jones, Antonio Gramsci, Routledge, 2006, hal 100 404 Roger Simon hal 43 405 Prison Notebooks hal 149 218

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Demikian juga yang akhirnya terjadi dengan penyatuan Italia atau Risorgimento

yang ternyata pada prakteknya kemudian justru malah dikendalikan oleh kaum

Piedmont. Karena keberadaan kaum Piedmont inilah lalu memunculkan sebuah

uraian dari Gramsci tentang “Question Southern” yang di latar belakangi karena

terjadinya kesenjangan antara daerah Italia bagian utara dan selatan .406.

Dari kesenjangan tersebut lalu memunculkan stigma bahwa daerah utara adalah

daerahnya kaum pemiliki modal, sedangkan daerah selatan adalah daerah kaum

pekerja atau buruh. Bukan hanya menciptakan perbedaan kelas saja akan tetapi

juga melahirkan sebuah stigma tentang perbedaan bahasa, dimana daerah utara

adalah pengguna bahasa Latin yang adiluhung sedangkan daerah selatan adalah

pengguna bahasa Italia yang “populer”. Gramsci sebagai orang “selatan” yang

juga merasakan akan adanya dominasi “utara” ini akhirnya menilai bahwa

Risorgimento pada akhirnya hanya menjadi sebuah “Passive revolution” atau

revolusi dari atas,407 dimana yang merasakan hasil dari revolusi ini adalah justru

dari kalangan kelas atas, dalam hal inilah adalah kelas pemilik modal atau

majikan.

Sehingga dengan demikian maka yang harus dilakukan oleh kaum intelektual

organik adalah melakukan sesuatu yang bukan hanya sekedar “revolusi passive”

seperti yang dilakukan oleh kaum intektual tradisional. Kaum inteletual organic

harus menjadi benar-benar melakukan fungsi intelektualnya, dalam hal ini kepada

kelas pekerja, yaitu dengan bisa mengkomunikasikan apa yang menjadi

gagasannya serta dapat menjembatani gagasan-gagasan yang dimiliki oleh kelas

406 Prison hal xxix 407 Roger Simon hal 25 219

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

pekerja sehingga bisa menumbuhkan kesadaran bersama kelas pekerja. Dengan

kata lain kaum intelektual organic ini mempertemukan kesadaran yang ada di

dalam dirinya dengan kesadaran dari kelas pekerja menjadi sebuah kesadaran

bersama. Dari kesadaran bersama inilah maka akan muncul “counter hegemoni”

b. Good Sense

Hegemoni yang terjadi melalui kepemimpinan intelektual dan moral dapat

diartikan bahwa kekuasaan itu terjadi karena adanya “persetujuan”. Dan salah

satu persetujuan itu adalah bagaimana setiap apa yang dilakukan penguasa

diterima tanpa adanya penolakan bahkan tanpa ada yang berani untuk

mengkritisinya. Sehingga dengan hal itu maka apa yang dilakukan oleh penguasa

menjadi sesuatu yang harus diterima sebagai sesuatu yang wajar atau “lumrah”

bagi semuanya. Hal inilah yang disebut sebagai “common sense”. Melalui

common sense inilah penguasa akan selalu mempertahankan kekuasaannya.

Common sense tidak bisa berdiri sendiri, karena pada dasarnya common sense

adalah produk suatu sejarah.408 Sehingga dengan demikian maka sebuah common

sense akan dipengaruhi oleh hal-hal yang berada di sekitarnya, salah satunya

adalah agama. Dengan demikian agama dapat digunakan oleh penguasa untuk

mempertahankan kekuasaannya, atau bahkan sebaliknya agama justru ikut

“mendompleng” kekuasaan dari penguasa. Dan dalam konteks Italia, agama yang

terlibat dan mempengaruhi adanya sebuah common sense yang dikonstruksi oleh

penguasa adalah agama Kristen (Katholik) dengan gereja Roma sebagai

“Tahtasuci”nya. Hubungan antara agama (Kristen Katholik) dan kekuasaan inilah

yang disaksikan oleh Machiavelli, khususnya di belahan utara Italia (Florence),

408 Prison Notebooks hal 458-459 220

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dimana kekuatan gereja Roma menjadi sebuah kekuatan yang berdiri kokoh

karena faktor historisnya yang panjang sejak era kekaisaran Romawi. Dari hal

inilah maka untuk bisa merebut kekuasaan dari sang penguasa maka diperlukan

reformasi moral dan intelektual.409

Oleh karena itu ketika Croce mempelajari pikiran-pikiran dari Machiavelli, Croce

lalu mempunyai pendapat bahwa “kediktatoran” dan “hegemoni” adalah dua hal

yang berbeda.410 Dalam hal ini Croce memaknai hegemoni adalah konsep yang

digunakan oleh para intelektual besar melalui sebuah kerjasama khusus dimana

hal tersebut lalu diterima sebagai sebuah kesepakatan yang diterima secara

sukarela. Oleh karena itu Gramsci yang pandangannya banyak dipenguruhi oleh

Croce, berdasarkan keprihatinan yang ia temukan melalui “Southern Question”

dan adanya wewenang yang besar dari otoritas Gereja Roma dalam hegemoni

yang terjadi di Italia, maka dirinya lalu menawarkan sebuah konsep dimana

common sense harus dilawan sebagai sebuah langkah menuju pada counter

hegemoni.

Dengan mengidentifikasi bahwa semua orang adalah intelektual, maka setiap

orang pada dasarnya mempunyai pemikiran yang kritis terhadap sesuatu hal.

Sehingga dengan setiap pemikiran yang ada pada setiap individu maka pada

dasarnya setiap individu adalah seorang “filsuf”, dimana dengan demikian maka

setiap individu adalah manusia yang mempunyai konsepsi atau pandangan

tentang dunia.411 Dengan demikian maka setiap individu yang berada dalam suatu

kelompok tertentu pasti akan berpikir serta bertindak berdasarkan konsepsi yang

ada pada dirinya. Dan dari hal inilah maka setiap individu dapat mengenali

409 Ibid hal 181-185 410 Ibid hal 378-381 411 ibid hal 455-458 221

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dirinya sendiri terlebih dahulu. Dan dari konsepsi diri atau pandangan tentang

dunia ini lalu dapat memunculkan kritik terhadap sesuatu yang telah terjadi

sebagai sebuah sarana perbaikan. 412 Pemikiran yang kritis terhadap “common

sense” inilah yang disebut oleh Gramsci sebagai sebuah “good sense”.413 Dan

tentunya “good sense” ini muncul karena peran dari kaum intelektual organik

yang mempunyai kekritisan terhadap “common sense”, dimana kekritisan ini juga

akhirnya memotivasi orang lain untuk juga berpikir secara kritis.

Sehingga dengan demikian menunjukkan bahwa “good sense” adalah sesuatu

yang lahir dari sebuah kekritisan terhadapa common sense. “Common sense”

adalah tempat dimana ideologi penguasa itu dibangun dan dipertahankan, namun

melalui “common sense” inilah juga yang lalu dijadikan tempat perlawanan

munculnya sebuah ideologi yang baru yang digunakan untuk melawan kekuasaan

yang ada.414 Sehingga dapat dikatakan bahwa sebenarnya “Good sense” adalah

sebuah “inovasi yang progresif” dari sebuah common sense, dimana melalui

pemikiran ini maka setiap individu atau kelompok tidak hanya diam ketika

melihat atau merasakan sesuatu hal yang sudah dianggap atau diterima secara

umum.415 Dengan inovasi yang progresif ini diharapkan sebuah konsep yang

sudah diterima secara umum sebagai sebuah “common sense”, dapat dikritisi

melalui “good sense” untuk menciptakan sebuah kebudayaan atau ideologi yang

baru. Sehingga dengan “good sense” ini maka diharapkan dapat digunakan

sebagai salah satu strategi supaya dapat memunculkan sebuah hegemoni

tandingan atau “counter hegemoni”.

412 ibid hal 465 413 ibid hal 485 414 Roger Simon hal 91-93 415 S. Jones hal 54 222

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Karena pikiran kritis adalah wujud nyata dari peran dan fungsi kaum intelektual

organik maka dari itu kekritisan ini harus diakomodir melalui sebuah

“pengorganisasian” dengan tujuan supaya kekritisan ini bukan hanya menajdi

sebuah kekritisan pribadi akan tetapi menajdi sebuah kekritisan bersama.

Kekritisan bersama ini menunjukkan telah lahirnya sebuah kesadaran bersama.

Dan menurut Gramsci, sebagaimana kritiknya terhadap “ekonomisme” Marx,

maka perlawanan kaum pekerja bukan hanya berkutat pada permasalahan

ekonomi saja akan tetapi juga berhubungan dengan aktivitas politik. Oleh karena

bagi Gramsci, terutama melihat konteks Italia pada saat itu, sarana yang penting

untk melakukan perlawanan terhadap penguasa adalah dengan jalur politik

dengan menggunakan kendaraan partai politik.416

Tema tentang “partai politik” ini dapat dikembangkan melalui dua studi yaitu

studi tentang teori politik militan dan aksi serta didasarkan atas doktrin-doktrin

yang merupakan sistem artikulasi dari politik temporer “Penguasa”.417 Sehingga

dengan dua hal tersebut yang lalu dikondisikan sesuai situasi Italia pada saat itu

maka pemikiran Machiavelli juga menjadi rujukan Gramsci dalam hal menyusun

strategi politiknya. Sehingga dengan hal ini maka terjadi kombinasi antara

pemikiran Machiavelli dan Marx.418 Hal ini dikarenakan kegagalan pemikiran

Machiavelli justru ketika berhadapan dengan otoritas gereja Roma. Sehingga

melalui hal ini Gramsci lalu belajar banyak dari pengalaman Machiavelli ini yang

lalu dikombinasikan dengan pengalaman langsungnya melihat peristiwa di Rusia

yang banyak dipengaruhi pemikiran dari Marx.

416 Prison Notebooks hal 179 417 Ibid hal 169-170 418 Ibid hal 185-189 223

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Namun bukan berarti perlawanan secara politik ini harus langsung mengarah

kepada perkara politik, akan tetapi terlebih dahulu melalui bidang kebudayaan

terlebih dahulu. Salah satu hal yang dilakukan adalah dengan kritiknya terhadap

sekolah-sekolah yang pada waktu itu lebih banyak dikelola oleh gereja yang

ternyata justru menjadi sarana pembentukan intelektual tradisional bagi

kepentingan penguasa. Dan salah satu hal yang dikritik dalam bidang pendidikan

di sekolah tersebut adalah dominannya pengajaran bahasa Latin yang selama ini

menjadi bahasa yang dimonopoli oleh otoritas gereja Roma.

Demikian juga ketika menanggapi “question southern” juga dilakukan dengan

cara membuat “folkfore” melalui teater-teater rakyat yang menggunakan bahasa

Italia. Selain itu dengan bacaan-bacaan populer yang juga mengunakan bahasa

Italia juga digunakan sebagai kritik terhadap budaya Italia Utara yang dianggap

budaya yang adiluhung pada saat itu. Dengan hal tersebut maka “budaya populer’

digunakan sebagai sarana untuk melakukan perlawanan terhadap hegemoni yang

dilakukan oleh penguasa.

Sehingga dengan demikian maka “counter hegemoni” yang dilakukan pertama

kali adalah dengan melakukan perebutan hegemoni budaya.419 Karena melalui

budayalah pola pikir (intelektual) dan moral intelektual tradisional dibentuk. Oleh

karena itu dengan pembentukan intelektual tradisional ini maka akan terbentuk

pula “common sense”, dimana “common sense” memang sengaja dirancang oleh

penguasa supaya dapat terus terjadi status quo.420

419 Antonio Gramsci, Prison Notebooks (Penj: Teguh Wahyu Utomo), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013, hal 361. - Band. dengan; Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci (pent. Kamdani & Imam Baehaqi), INSIST & Pustaka Pelajar, Jakarta, 2004, hal 84. “Ideologi bukanlah fantasi perorangan, namun terjelma dalam cara hidup kolektif masyarakat”. 420 Antonio Gramsci, Prison Notebooks (Penj: Teguh Wahyu Utomo), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013, hal 186. (dimana Gereja Roma men”cap” Machiavelli sebagai reinkarnasi setan dan kejahatan) 224

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Sehingga dari apa yang dipaparkan diatas dapat dikatakan bahwa untuk

menghadapi adanya “common sense” maka diperlukan terbentuknya sebuah

“good sense”.421 Melalui “good sense” inilah maka sebuah strategi perlawanan

terhadap hegemoni mulai dirancang dengan tujuan untuk menumbuhkan

kesadaran bersama. Dengan kesadaran bersama yang muncul dari “good sense”

sebagai kritikan terhadap “common sense inilah counter hegemoni dilakukan.

c. Perang Posisi

Sekali lagi harus ditandaskan bahwa latar belakang counter hegemoni yang

dikembangkan Gramsci adalah dalam rangka perlawanan politik, khususnya

terhadap rezim fasis Mussolini. Dan dalam konteks Italia menurut Gramsci tidak

bisa dilakukan sebuah serangan yang “frontal” seperti yang terjadi pada Revolusi

Perancis dan Revolusi Rusia yang oleh Gramsci disebut sebagai gerakan perang

manuver.422 Sehingga karena dalam konteks Italia tidak mungkin melakukan

sebuah revolusi seperti di Perancis dan Rusia, maka Gramsci mengembangkan

sebuah konsep tentang Perang Posisi, dimana melalui aksi ini maka diperlukan

waktu yang lama dikarenakan dengan perang posisi akan memerlukan waktu

yang lama karena perlawanan yang dilakukan mengutamakan pada penanaman

makna dan nilai. Sehingga dengan hal ini menunjukkan bahwa strategi Perang

Posisi melakukan sebuah perlawanan yang berbeda dengan Perang Manuver.

Perang manuver bagi Gramsci bukan hanya dilihat dari latarbelakang atau

caranya merebut sebuah dominasi saja, akan tetapi hasil dari perang manuver itu

sendiri juga disorot oleh Gramsci. Di dalam Revolusi Perancis muncullah

“Bonapartism”, sedangkan pada Revolusi Rusia muncullah “diktator proletariat”,

421 ibid hal 459-467 422 Ibid hal 325. - Band. dengan; S. Jones hal 31. 225

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

serta di Italia akhirnya muncul rezim Mussolini yang dia sebut sebagai

“Caesarism”. Pada intinya ketiga hal tersebut hanyalah memunculkan sebuah

dominasi baru, sedangkan counter hegemoni Gramsci bukan hanya bertujuan

untuk menggantikan dominasi yang lama menjadi sebuah dominasi yang baru,

akan tetapi bertujuan untk memunculkan sebuah kesadaran bersama yang

digunakan untuk perlawanan ideologi demi terciptanya ideologi yang baru.

Sehingga dengan adanya perang posisi maka yang terjadi adalah perang ideologi,

bukanlah perang secara fisik apalagi perang militer. Dan perang ideologi ini

muncul dari adanya “southern question” dan kritik terhadap wewenang gereja

Katholik.423 “Southern Question” adalah sebuah kritik yang muncul karena

adanya asumsi bahwa daerah Utara sebagai wilayah kaum kapitalis (pemilik

modal/majikan) dinilai mempunyai kebudayaan yang “tinggi”, sedangkan

kebudayaan daerah Selatan sebagai wilayahnya kaum pekerja (buruh dan petani)

dinilai sebagai budaya yang “rendah”.424 Selanjutnya adalah keberadaan pusat

gereja yang ada di kota Roma yang masuk wilayah Utara juga menjadi sebuah

simbol bagaimana wewenang gereja Roma terhadap kehidupan masyarakat

politik (negara) maupun terhadap masyarakat sipil. Sehingga dari dua hal ini

maka dapat dikatakan bahwa hegemoni yang terjadi di Italia dilakukan oleh para

kaum pemilik modal yang “ditunggangi” oleh otoritas gereja, khususnya gereja

Roma.

Italia pada masa Gramsci juga terdapat sebuah kelompok yang disebut sebagai

“Piedmont”, dimana mereka adalah orang-orang yang berada di balik

Risorgimento atau penyatuan Italia.425 Kelompok Piedmont inilah yang

423 Antonio Gramsci, Prison Notebooks (Penj: Teguh Wahyu Utomo), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013, hal 45 424 Ibid hal 37 425 Ibid hal 145-147 226

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sebenarnya berkuasa di balik tembok negara kesatuan Italia. Sehingga dapat

dikatakan bahwa kelompok Piedmont adalah mereka yang sebenarnya

“mendominasi tapi tidak memimpin”. Maka dari hal itulah lalu Gramsci melihat

bahwa sebenarnya “Risorgimento” adalah sebuah produk revolusi yang

dihasilkan oleh kalangan “elite atas”, yang dimana nantinya mereka akan menjadi

golongan penguasa di balik tembok negara. Sehingga dari hal ini Gramsci menilai

bahwa Risorgimento sebanarnya hanyalah sebuah “revolusi pasif” yang

sepenuhnya dikendalikan dari atas.

Revolusi pasif adalah istilah yang berasal Vincenzo Cuoco, dimana sebuah

revolusi terjadi tanpa adanya keterlibatan massa atau rakyat.426 Terlebih lagi

ketika rezim Fasis Mussolini berkuasa di Italia, tentunya aroma “dari atas”

menjadi semakin kental dengan keterlibatan militer atau tentara di dalam rezim

diktator ini. Ditambah lagi dengan keterlibatan sejarah yang panjang dari Gereja

Roma yang juga mempunyai otoritas dan wewenang yang “khusus” semenjak

jaman kekaisaran Romawi khususnya setelah peristiwa di tahun 311.427

Sehingga jika dibandingakan dengan Revolusi Rusia yang dilakukan oleh orang-

orang Bolshevik ketika menggulingkan kekaisaran Tsar tentunya dua tempat ini

(Italia dan Rusia) adalah dua tempat yang sudah berbeda konteks situasi dan

kondisinya. Gramsci melihat bahwa apa yang terjadi di Rusia adalah sebuah

perebutan kekuasaan dengan menggunakan strategi “perang manuver”. Perang

manuver adalah suatu cara perebutan kekuasaan melalui serangan-serangan

frontal yang langsung ditujukan kepada pusat kekuasaan. Perebutan kekuasaan

426 Ibid hal 64 427 Tahun 311 adalah tahun edik Milano dimana agama Kristen diakuai sebagai agama resmi Kekaisaran Romawi oleh Kaisar Konstatntinus. 227

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

yang terjadi di Rusia tersebut dilakukan oleh golongan kelas proletar dimana nantinya kekuasaan yang berhasil direbut juga hanya akan dikuasai oleh kelas proletar itu sendiri. Sehingga dengan perebutan kekuasaan maka muncullah kelas penguasa yang baru yaitu kelas proletar. Kekuasaan kelas proletar inilah yang lalu disebut sebagai “diktator proletariat”.

Oleh karena itu jika melihat konteks yang ada di Italia, maka konsep “perang manuver” tidak bisa dilakukan karena jika hal ini dilakukan maka yang terjadi adalah sebuah revolusi bunuh diri. Dengan strategi yang demikian maka perlawanan terhadap penguasa hanya akan menjadi hal yang sia-sia karena perlawanan tersebut akan mudah dipatahkan oleh kekuatan penguasa yang sudah terlanjur dalam posisi yang begitu kuat. Maka dari itu diperlukan sebuah strategi lain yang harus dilakukan. Dengan adanya pembentukan kaum intelektual organik yang diikuti dengan sebuah gagasan “good sense”nya, maka perlawanan yang dilakukan sebenarnya adalah perlawanan yang dilakukan dari bawah dengan menyiapkan kondisi yang kuat terlebih dahulu di kalangan kelas pekerja dengan tumbuhnya sebuah kesadaran bersama.

Sebagaimana gagasan Gramsci bahwa kesadaran bersama kelas pekerja ini harus diwujudkan dalam sebuah partai politik. Sehingga dengan kehadiran partai politik yang berpihak pada kelas pekerja maka perlawanan yang akan dilakukan adalah melalui perjuangan politik. Dengan perjuangan politik ini menunjukkan bahwa perjuangan kelas pekerja ini bukan hanya untuk melawan kelas pemilik modal saja akan tetapi ditujukan kepada sebuah realitas yang lebih besar yaitu negara.

Dari hal inilah maka Gramsci mendefinisikan negara sebagai gabungan antara

228

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

“masyarakat politik” dan “masyarakat sipil”.428 Masyarakat sipil disebut sebagai

golongan “private”, sedangkan masyarakat politik disebut sebagai negara.429

Gramsci memberi contoh bebebrapa bentuk dari “Masyarakat sipil” yaitu gereja,

persekutuan dagang, sekolah.430 Sehingga dengan beberapa contoh ini sebenarnya

Gramsci sedang mengatakan bahwa masyarakat sipil adalah masyarakat “non-

politik” di dalam peran dan fungsinya di dalam negara. Sehingga dalam hal ini

harus dilihat bahwa pembedaan antara masyarakat sipil dan politik ini terletak

pada peran dan fungsinya sama seperti pembedaan kaum intelektual yang

dipaparkan oleh Gramsci. Sehingga dengan pembedaan antara masyarakat sipil

dan politik sebenarnya sedang menunjukkan bahwa masyarakat sipil adalah

tempat dimana hegemoni terjadi, sedangkan masyarakat politik sebagai perangkat

coersif atau represif.

Sehingga ketika terjadinya hegemoni yang dilakukan oleh masyarakat politik atau

“negara” terhadap masyarakat sipil maka dalam hal ini Gramsci menekankan

counter hegemoni harus tertuju kepada hal yang berhubungan dengan politik

yaitu negara. Namun hegemoni yang dilakukan negara kepada masyarakat sipil

ternyata juga melibatkan unsur-unsur yang ada di dalam masyarakat sipil. Dan

beberapa bentuk masyarakat sipil yang disebutkan Gramsci yaitu gereja, sekolah

dan persekutuan dagang ternyata juga ikut berperan di dalam hegemoni yang

dilakukan oleh negara.431 Gereja Roma dengan kesejarahan panjangnya sejak era

kekaisaran Romawi sudah memerankan peran yang penting sejak diakui sebagai

“agama negara” oleh Kaisar Romawi pada tahun 311.

428 Antonio Gramsci, Prison Notebooks (Penj: Teguh Wahyu Utomo), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013, hal 367 429 Ibid hal 17 430 Ibid hal 79 431 Antonio Gramsci, Prison Notebooks (Penj: Teguh Wahyu Utomo), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013, hal 79. 229

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Demikian juga dengan sekolah-sekolah modern yang banyak “dikelola” oleh

gereja Roma yang tentunya sistem pembelajaran atau kurikulum yang diajarkan

di sekolah tersebut juga banyak dipengaruhi oleh otoritas gereja Roma, yang

nantinya akan lebih banyak menghasilkan para kaum intelektual tradisional.432

Belum lagi keterlibatan pihak otoritas gereja terhadap keberadaan para tuan tanah

sehingga semakin mengukuhkan sikap feodalisme para tuan tanah (terutama yang

berada di pedesan) tersebut kepada para petani.433 Dan ketika memasuki era

revolusi industri yang merebak dari daratan Britania Raya yang lalu menyebar ke

daratan Eropa yang akahirnya juga masuk ke Italia, gereja pun juga mengalihkan

perhatiannya kepada bidang industri ini, salah satu contohnya adalah

“Amerikanisme dan Fordisme”.434

Dari fenomena yang demikianlah maka Gramsci melihat bahwa gereja juga telah

berperan sebagai “negara”.435 Dalam hal ini di satu sisi gereja menjadi wakil

keseluruhan dari masyarakat sipil untuk melawan negara, namun di sisi lain

keberadaan gereja semakin memonopoli masyarakat sipil. Namun yang terjadi

justru malah gereja semakin memonopoli kehidupan sosial masyarakat. Dari sisi

inilah terlihat bahwa gereja, yang bagi Gramsci adalah bagian masyarakat sipil,

justru malah menjadi pelaku hegemoni.

Dengan demikian maka perjuangan politik yang dilakukan bukan berarti hanya

melalui jalur politik saja akan tetapi harus dimulai dari bidang kebudayaan

terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan perjuangan tersebut bukan hanya melawan

negara saja, akan tetapi juga melawan otoritas gereja. Sehingga dapat dikatakan

432 Ibid hal 38-39. 433 Ibid hal 181-182. 434 Ibid hal 389-391 435 Ibid hal 342 230

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

bahwa perlawanan kelas pekerja untuk merebut hegemoni politik harus dilakukan

dengan cara melakukan perebutan hegemoni budaya terlebih dahulu. Dan apa

yang dilakukan dengan cara seperti ini disebut oleh Gramsci sebagai “Perang

Posisi”.

Perang posisi menurut Gramsci adalah sebuah perjuangan politik antar dua kelas

dimana ketika sebuah perlawanan tidak bisa dilakukan perang manuver, dan

dengan perang posisi ini nantinya ketika sudah berada di suatu titik yang tepat

akan menjadi sebuah perang manuver yang dapat digunakan sebagai serangan

yang frontal terhadap negara.436 Dengan demikian serangan yang dilakukan oleh

kelas pekerja harus dilakukan dengan cara “perang posisi”. Strategi perang posisi

oleh kelas pekerja ini dilakukan dengan cara merebut hegemoni budaya yang

terdapat di masyarakat sipil terlebih dahulu. Cara ini berlangsung ketika kelas

pekerja membangun blok kekuatan sosial yang dilandasi dengan konsep yang

sama ke dalam sistem ideologinya.437 Sehingga dengan cara ini maka golongan

kelas pekerja tidak langsung secara frontal menyerang negara dari sisi politik,

akan tetapi terlebih dahulu membuat kekuatan sosial budaya yang kuat terlebih

dahulu.

Dengan perebutan hegemoni budaya ini maka masyarakat sipil, khususnya kelas

pekerja, dapat lebih terorganisir di dalam melakukan perlawanannya sebelum

nantinya perebutan kekuasaan itu, secara politik, dilakukan oleh Partai Komunis

Italia. Sehingga melalui perang posisi ini, yang dibangun terlebih dahulu adalah

“parit-parit pertahanan” dan “benteng-benteng”, namun dengan tidak

menggunakan kekuatan militer.438 Sehingga dapat dikatakan bahwa perebutan

436 ibid hal 283-287 437 Roger Simon hal 91 438 Prison Notebooks hal 325 & 339. 231

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

hegemoni ini terjadi melalui “pinggiran” terlebih dahulu baru kemudian setelah

menuju ke “pusat”. Dan yang berada di “pinggiran” adalah hegemoni budaya

sedangkan yang di pusat adalah hegemoni politik.

Berbicara tentang kebudayaan, Pozzolini meringkas pandangan Gramsci, bahwa

kebudayaan adalah proses penempaan pemikiran, penguasaan ide-ide yang

bersifat umum, kebiasaan mengkaitkan sebab dan akibat sehingga setiap orang

dengan latar belakang pekerjaan apapun harus berpikir dengan baik.439 Dari hal

inilah maka Gramsci berpikir bahwa perebutan kekuasaan yang dilakukan

pertama kali haruslah dengan cara melakukan perebutan hegemoni budaya. Dan

salah satu bentuk perebutan hegemoni budaya adalah perlawanan melalui media

bahasa, yaitu bahasa Italia.440

Perlawanan melalui bahasa ini dilakukan dengan cara pembuatan literatur-

literatur berbahasa Italia dan menciptakan berbagai macam bentuk “budaya

populer” yang menonjolkan penggunaan bahasa Italia, contohnya adalah

penampilan teater-teater yang menampilkan cerita-cerita rakyat (folkfore) dengan

ditampilkan menggunakan bahasa Italia. Sehingga dengan hal ini maka bahasa

juga dapat menjadi salah satu sarana paling penting untuk melakukan hegemoni

tandingan atau counter hegemoni.441 Sehingga dengan strategi Perang posisi

inilah maka akan menjadi sebuah strategi perlawanan untuk melawan keberadaan

revolusi pasif yang sudah terjadi. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa

perang posisi adalah sebagai sebuah strategi “anti-passive revolution”.442

439 A. Pozzolini hal 139 440 S. Jones hal 35-36. 441 Patria hal 127. 442 Roger Simon hal 26. 232

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Melihat adanya hegemoni bahasa Jawa Baku terhadap bahasa-bahasa yang ada di

daerah-daerah yang berbudaya Jawa, salah satunya adalah terhadap bahasa

Penginyongan, maka sebenarnya konsep Counter Hegemoni yang dikembangkan oleh

Gramsci ini bisa menjadi sebuah acuan untuk melakukan sebuah perlawanan. Apalagi

di dalam konsep Hegemoninya Gramsci juga melihat adanya bentuk hegemoni dari

sebuah bahasa terhadap keberadaan bahasa yang lainnya. Oleh karena itu maka

sebenaranya di dalam konsep Counter Hegemoni yang dikembangkan oleh Gramsci ini

juga termasuk di dalamnya adalah Counter Hegemoni bahasa.

Oleh karena itulah maka konsep Counter Hegemoni ini bisa dikembangkan untuk melakukan perlawanan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang merasa ter-hegemoni oleh keberadaan bahasa Jawa Baku. Salah pihak yang selama ini ter-hegemoni oleh bahasa Jawa Baku adalah orang-orang yang menggunakan bahasa Penginyongan sebagai bahasa komunikasi sehari-hari, yaitu orang-orang yang berada di wilayah

Banyumasan. Dan tentunya banyak hal yang dapat dilakukan untuk melakukan Counter

Hegemoni ini, salah satunya adalah kemunculan novel RDP versi bahasa

Banyumasan/Penginyongan yang diterjemahkan langsung oleh Ahmad Tohari sebagai penulis novel tersebut. Bhakan jauh sebelaum menterjemahkan novel karangannya sendiri tersebut, dirinya sudah membuat kamus bahasa Banyumas-Indonesia. Dan sebagaimana di dalam kata pembuka dalam novel RDP versi bahasa

Banyumasan/Penginyongan tersebut, Ahmad Tohari menyebutkan bahwa bahasa

Banyumasan yang selama ini disebut hanya sebagai salah satu dialek dari bahasa Jawa dengan sebutan terkenalnya “ngapak-ngapak”, sebenarnya adalah sebuah bahasa yang seharusnya kedudukannya sama dengan bahasa Jawa (Baku).

Dan apa yang dilakukan Ahmada Tohari melalui Novel RDP-nya ternyata menarik industri perfilman untuk mengadaptasi novel tersebut menjadi sebuah film dengan judul 233

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

“Sang Penari”. Dengan kemunculan film tersebut maka bahasa Penginyongan bisa

hadir bukan hanya sebagai bahasa lisan dan teks saja akan tetapi dapat masuk ke dalam

dunia audio-visual melalui media elektronik. Sebagai sebuah konten hiburan di dunia

audio-visual tentunya kan lebih mempermudah untuk menyampaikan pesan-pesan

ideologi dari bahasa Penginyongan. Terlebih saat ini ketika konten media mulai

berkembang melalui dunia internet sebenarnya ideologi dari bahasa Penginyongan itu

dapat semakin disebarluaskan.

Sebagai contoh adalah adanya konten Youtube yang saat ini juga banyak menampilkan

tentang konten-konten hiburan yang menggunkan bahasa Penginyongan. Sehingga

dengan adanya media-media tersebutlah sebenarnya sedang menunjukkan bahwa saat

ini telah terjadi sebuah usaha perlawanan dari bahasa penginyongan atas hegemoni

yangs selama ini dirasakan. Dan perlawanan yang seperti itulah yang oleh Gramsci

disebut sebagai sebuah Counter Hegemoni.

2. Counter Hegemoni terhadap “Kuasa Kata” & “Bahasa Kosong” Melalui Konten

Media Internet. (Studi Kasus konten “Bocah Ngapa(k) Ya!”)

Hegemoni yang yang dilakukan bahasa Jawa Baku terhadap bahasa Penginyongan telah

terjadi melalui sarana lisan, teks bahkan media elektronik. Namun saat ini ketika jaman

telah memasuki media internet ternyata justru muncul banyak konten-konten Youtube

yang berbahasa “ngapak-ngapak”, dan kemunculannya justru bisa diterima oleh banyak

kalangan. Dari sekian banyak konten-konten tersebut yang saat menjadi viral adalah

konten Youtube “Bocah Ngapa(k) Ya!”. Tentunya pada awalnya konten ini tidak

ditujukan untuk melakukan sebuah perlawanan terhadapa hegemoni bahasa Jawa Baku.

Akan tetapi jika ditelusuri lebih dalam justru konten ini bisa memperlihatkan

bagaimana peranannya dalam melawan “kuasa kata” dan “bahasa kosong” dari sebuah

Kramanisasi bahasa jawa Baku pada khususnya.

234

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

a. Counter Hegemoni terhadap Kuasa Kata

Fenomena “Bocah Ngapa(k) Ya”, sejak tahun 2018 menjadi salah satu konten yang

viral di dunia “Youtube”. Dalam konten Youtube tersebut terdapat 3 pemeran

utama yang masih anak-anak yaitu Azkal, Fadly dan Ilham. Sekumpulan anak-anak

kecil tersebut berasal dari sebuah pedesaan di Kab. Kebumen, Jawa Tengah, dan di

tempat itu juga konten Youtube itu dibuat. Kata “Ngapa(k)” sebenarnya sudah

menunjukkan siapa jatidiri mereka, yaitu anak-anak kecil yang berbahasa

“ngapak”. Saat ini memang banyak konten di Youtube yang menampilkan

tayangan dengan bahasa “ngapak”nya yang identik dengan bahasa lawakan.

Sebagaimana yang selama ini terlihat di dunia hiburan, bahasa “ngapak” selalu

menjadi bahan lawakan. Banyak pelawak kenamaan di Indonesia yang berasal dari

daerah “ngapak”, dimana kepopuleran mereka juga sangat dipengaruhi oleh

tampilan bahasa ‘ngapak” mereka, seperti Darto “helm”, Kasino dan Indro Warkop

DKI, hingga Parto Patrio. Sehingga dengan fenomena yang demikian maka lalu

muncul stigma bahwa bahasa “ngapak” atau Penginyongan adalah sebuah bahasa

yang muncul atau cocok hanya sebagai bahan lawakan saja.

Dengan adanya stigma hanya sebagai bahasa lawakan maka sepertinya tidak ada

kata-kata dalam bahasa Penginyongan yang cocok untuk digunakan sebagai sebuah

“bahasa publik”, sebagaimana bahasa Jawa yang menurut Anderson mempunyai

“modalitas” untuk hal tersebut. Modalitas bahasa Jawa yang demikianlah yang

digunakan oleh Soekarno pada masa Demokrasi Terpimpin dengan menggunakan

istilah Pancasila, Sapta Marga, Bhayangkara dll sebagai wujud identifikasi masa

kini dengan masa lalu yang heroik.443 Dan kata-kata tersebut sering digunakan

443 Kuasa kata hal 310-312. 235

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dalam upacara-upacara penting atau diterapkan pada obyek atau institusi yang

memiliki prestise politik tertinggi. Sehingga dengan penyematan kata-kata tersebut

maka obyek yang menjadi tempat disematkannya kata-kata tersebut menjadi

mempunyai sebuah kuasa tertentu.

Penyematan kata-kata yang mempunyai kuasa itulah yang seringkali terjadi di

dalam dunia “Jawa” yang dipahami oleh Pemberton, sebagai contoh adalah sebutan

“Eyang” untuk Gubernur Jenderal,444 dimana penyebutan kata “Eyang’ ini

menunjukkan sebagai sebuah pengakuan penghormatan yang paling tinggi.

Sehingga siapa saja Gubernur Jenderal yang ada di Jawa pada prinsipnya dia adalah

seorang “Eyang” yang harus selalu menerima penghormatan yang paling tinggi,

tidak terkecuali dengan raja-raja Jawa yang juga harus memberikan penghormatan

tersebut kepada seorang Gubernur Jenderal sebagai seorang “Ingsun”.445 Dengan

demikian maka penyematan sebuah kata ternyata dapat memberikan sebuah kuasa

yang besar.

Hal tersebut juga yang terlihat ketika penyematan kata “Tentara” dan “Jenganten”

kepada Rasus dan Srinthil yang membawa kuasa kepada keduanya sehingga lawan

bicaranya yang sebelumnya berbicara dengan bahasa Ngoko harus beralih

menggunakan bahasa yang lebih halus atau Krama. Dalam bivel RDP versi Bahasa

Indonesia, Sakum diingatkan oleh Nini Kertareja karena mamanggil Rasus dengan

kata “kamu”, karena Rasus sekarang sudah menjadi seorang tentara. 446 Dengan

statusnya sebagai tentara atau militer maka derajat Rasus dianggap lebih tinggi dari

orang sipil. Terlebih situasi dan kondisi pada era “pasca 65” militer adalah

444 Pemberton hal 80. 445 Ibid hal 106. 446 Novel RDP versi Bahasa Indonesia hal 257. 236

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

golongan yang berkuasa pada waktu itu. Oleh karena itu Sakum yang sebenarnya

usianya lebih tua dari Rasus, namun karena dirinya hanya orang sipil biasa maka

diapun akhirnya menggunakan kata “mpeyan” dari kata bahasa Jawa “sampeyan”

yang mempunyai kedudukan yang lebih sopan daripada “kamu”. Sedangkan dalam

versi Banyumasan,447 kata kamu disebut dengan “ko”, dimana dalam bahasa Jawa

artinya “kowe”. Dalam tataran bahasa Jawa Baku, kata “kowe” adalah kamu yang

paling rendah, karena di atasnya ada kata “sampeyan” dan “panjenengan”. Oleh

karena itu maka setelah diingatkan oleh Nini Kertareja, si Sakum lalu beralih

memanggil Rasus dengan kata “mpeyan”, dari kata bahasa Jawa “sampeyan”, yang

stratanya lebih tinggi dari kata “ko”. Sehingga dari hal ini dapat terlihat bagaimana

penyematan kata “tentara” pada diri Rasus membawa sebuah kuasa sehingga orang

lain harus memberi hormat kepadanya, walaupun mungkin Rasus akan lebih

nyawan dengan sebutan “ko” namun dirinya harus mau menerima hal tersebut

karena dirinya juga harus tetap menjaga kewibawaannya sebagai seorang tentara

bukan sebagai diri pribadi Rasus.

Demikian juga dengan adegan Srinthil dipanggil dengan sebutan “jenganten” oleh

Nini Kertareja,448 dimana melalui adegan ini sebenarnya sedang menunjukkan

bagaimana wujud penghormatan dari Nini Kertareja kepada Srinthil yang telah

menjadi ronggeng yang terkenal atau kondang. Dengan menjadi terkenal tentunya

juga mengangkat derajat Srinthil di hadapan Nini Kertareja. Apalagi dengan

keterkenalan Srinthil sebagai seorang ronggeng juga membawa kekayaan bagi

447 Novel RDP versi Bahasa Banyumasan hal 284. 448 Novel RDP versi Bahasa Banyumasan hal 195 & versi Bahasa Indonesia hal 179.

237

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Srinthil. Oleh karena kekayaan itulah yang juga mengangkat status Srinthil, khususnya di hadapan Nini Kertareja. Sehingga dengan hal tersebut, walaupun Nini

Kertareja adalah orang yang lebih tua dari Srinthil, bahkan bisa dikatakan Nini

Kertareja adalah “guru” dari Srinthil, akan tetapi karena apa yang telah dimiliki oleh Srinthil lalu membuat Nini Kertareja harus memberi hormat kepada Srinthil dengan memanggilnya “jenganten” atau “mpeyan” serta tidak memanggilnya dengan sebutan “ko” atau ber-“kamu” lagi.

Sehingga dari hal tersebut terlihat bagaimana tingkatan bahasa yang ada di novel

RDP, baik versi Indonesia maupuan Banyumasan atau Penginyongan. Padahal sebenarnya bahasa Indonesia dan Penginyongan itu sendiri tidak mengenal tingkatan bahasa, namun dalam novel RDP tingkatan bahasa itu tetap dipertahankan. Bahasa Indonesia yang pada awalnya adalah lahir dari bahasa

Melayu Revolusioner yang kemunculannya di Sumpah Pemuda sebenarnya menjadi bahasa perlawanan bagi sistem kolonialisme. Namun pada akhirnya bahasa ini juga terpengaruh dengan adanya tingkatan yanga ada di dalam bahasa

Jawa Baku. Apa yang terjadi terhadap bahasa Indonesia inilah yang disebut sebagai

“Kramanisasi” bahasa Indonesia.

Demikian juga dengan bahasa Penginyongan yang pada dasarnya adalah bahasa yang egaliter, pada akhirnya juga terpengaruh dengan adanya tingkatan bahasa

Jawa Baku ini. Dan apa yang terjadi dengan bahasa Penginyongan ini sudah berlangsung lama sebelum terjadinya “Kramanisasi” bahasa Indonesia. Sehingga jika dilihat dari percakapan yang ada terdapat di dalam novel RDP baik versi

Indonesia mauapun Banyumasan ternyata penyematan kata yang penuh kuasa dapat membuat seseorang dihargai, dan khususnya dalam konteks novel RDP

238

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ternyata bahasa Krama mempunyai kuasa yang lebih dibandingkan dengan bahasa

Indonesia maupun Penginyongan. Sehingga dengan demikian maka dalam konteks budaya Jawa terlihat bahwa bahasa Krama memang mempunyai konsep kuasa yang lebih kuat. Sehingga dari hal tersebut pada akhirnya juga bisa dilihat bahwa bahasa

Penginyongan sepertinya memang tidak bisa digunakan sebagai sebuah “bahasa publik” yang penuh dengan kuasa, dimana hal tersebut bisa dilakukan oleh bahasa

Krama. Sehingga dengan hal tersebut maka bahasa Penginyongan hingga saat ini tetap menjadi sebuah bahasa yang egaliter.

Salah satu contoh keegaliteran dari bahasa Penginyongan adalah melalui konten

Youtube “Bocah Ngapa(k), Ya!”, dimana dalam adegan di konten tersebut sebagian besar menceritakan tentang kejadian-kejadian yang sederhana, namun lucu, diantara Pak Rt dan ketiga anak yang menajdi pemeran utamanya. Adegan- adegan tersebut semuanya menggunakan dialog dalam bahasa Penginyongan daerah Kebumenan. Dimana dalam dialog yang menggunakan bahasa

Penginyongan tersebut, walaupun dilakukan antara anak-anak dan orang tua, terlihat tidak ada tataran bahasa seperti yang ada di dalam bahasa Jawa Baku jika terjadi percakakapan antara anak dan orang tua yang menggunakan bahasa Ngoko

(untuk orang tua kepada anak) dan Krama (untuk anak kepada orang tua).

Demikian juga dengan adegan antara Pak Polisi dengan anak-anak tersebut juga tidak menggunakan tataran bahasa Jawa Ngoko dan Krama. Bahkan terapat adegan dimana anak-anak itu bertemu dengan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, pun tidak menggunakan bahasa Ngoko dan Krama akan tetapi tetap menggunakan bahasa Penginyongan, baik anak-anak maupun juga Ganjar Pranowo. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan bahasa Penginyongan sebagai bahasa sehari-hari

239

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

orang-orang Banyumasan adalah bahasa yang egaliter, tidak mengenal kasta

bahasa.

Namun hal tersebut akan berubah jika harus berhadapan dengan situasi dan kondisi

yang “resmi”. Dalam konten tersebut juga ditampilkan adegan Pak RT dengan Ibu

guru Mawar yang bercakap-cakap menggunakan bahasa Jawa Krama. Dalam

adegan tersebut diceritakan bahwa Pak RT sedang menyatakan “cinta” kepada Ibu

guru Mawar, sebagai tanda “melamar”, dengan menggunakan bahasa Krama. Ibu

guru Mawar pun dalam menjawab pernyataan “cinta” dan lamaran Pak RT tersebut

juga dengan menggunakan bahasa Jawa Krama. Hal tersebut menunjukkan bahwa

ternyata bahasa Jawa Baku tetap digunakan, terutama dalam kasus adegan Pak RT

dan Ibu guru Mawar, adalah dalam saat-saat yang “resmi”. Sehingga dari hal ini

terlihat bahwa pengaruh bahasa Jawa Baku (Krama) juga telah mempengaruhi gaya

berbahasa orang-orang Banyumasan.

Apa yang terjadi pada adegan Pak RT dan ibu guru Mawar sebenarnya tidak jauh

berbeda dengan satu peristiwa yang dianggap sangat ideal untuk menampilkan

sosok “Jawa”, yaitu perkawinan kerajaan yang memberikan latar dominan yang di

dalamnya kultural “Jawa” disusun kembali pada abad ke-19 di Surakarta.449

Walaupun dalam adaegan tersebut Pak RT dan Ibu guru Mawar belum menikah,

namun pernyataan “cinta” sebagai wujud “lamaran” dari Pak RT kepada Ibu guru

Mawar adalah salah satu langkah yang harus dijalani untuk menuju pada proses

sebuah perkawinan. Hal tersebut disaksikan Pemberton ketika dirinya mengikuti

rombongan “pelamar” dari Solo menuju daerah yang disebut Gunung Gajah di

daerah Bayat (Klaten). Dalam proses “lamaran” tersebut digunakan dialog atau

449 Pemberton hal 99. 240

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

percakapan antara keluarga dari pihak laki-laki dengan pihak keluarga perempuan

menggunakan bahasa yang betul-betul halus.450

Sehingga adegan Pak RT dan Ibu guru Mawar ini dilihat dari kacamata “Jawa”

yang dikemukakan oleh Pemberton maka semakin menegaskan bahwa kehadiran

bahasa Jawa Baku di tengah-tengah budaya bahasa Penginyongan adalah sebagai

sebuah bahasa atau kata-kata yang bukan hanya sekedar digunakan sebagai cara

untuk berkomunikasi, akan tetapi menjadi sebuah bahasa atau kata-kata yang

penuh kuasa. Sehingga dengan demikian menjadikan Bahasa Jawa Baku lalu

mempunyai fungsi yang berbeda dengan Bahasa Penginyongan di dalam

kehidupan masyarakat Banyumasan. Bahasa Jawa Baku, sebagaimana jika dilihat

dari konsep berbahasa Siegel, sebagai bahasa yang penuh kuasa akhirnya

menghadirkan “rasa rikuh dan cermin”, sementara bahasa Penginyongan tidaklah

demikian.

b. Counter Hegemoni terhadap Bahasa Kosong

Kembali kepada anak-anak “bocah ngapa(k) ya”, dengan viralnya mereka di

konten Youtube akhirnya membawa mereka bisa menembus dunia layar kaca

“konvensional” yaitu dunia pertelevisian. Konten mereka pada akhirnya dilirik

untuk ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta. Dan masuknya mereka ke

dunia pertelevisian tentunya hanya akan diangkat sekedar sebagai tayangan

“entertainment” atau hiburan semata, yang tentunya akan membawa keuntungan

dari stasiun televisi yang menayangkan tayangan “bocah ngapa(k) ya” tersebut.

450 Pemberton hal 311. 241

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Namun ketika sudah memasuki dunia pertelevisian terdapat sesuatu hal yang berbeda dari tayangan tersebut ketika hanya masih beredar di konten Youtube, yaitu adegan di dalam kelas sekolah dimana ketika masih di konten Youtube adegan itu belum ada dan justru ketika sudah tayang di televisi adegan ini menjadi

“scene” terbanyak. Dari sekian banyak “scene” adegan di dalam kelas sekolahan ternyata jika diamati terdapat dua bahasa yang digunakan yaitu bahasa Indonesia dan “ngapak”. Bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa komunikasi yang dilakukan antara guru dengan para muridnya, sedangkan bahasa “ngapak” digunkan sebagai bahasa komunikasi di antara para murid.

Sehingga dari tayangan “bocah ngapa(k) ya”, terutama di adegan di dalam kelas, terlihat bagaimana fungsi dari dua bahasa tersebut. Sebagai sebuah negara

“Bhinneka Tunggal Ika” yang terdiri dari berbagai macam perbedaan dimana salah satunya adalah perbedaan bahasa, maka sudah menjadi hal yang lazim jika muncul adanya “dwibahasa”. Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi nasional menjadi sebuah bahasa yang menjembatani di tengah-tengah banyaknya bahasa daerah.

Sehingga dalam konteks di setiap daerah di negara ini sudah menjadi sebuah kelaziman jika penggunaan bahasa nasional dan daerah ini digunakan berdampingan, sesuai dengan fungsinya masing-masing.

Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi nasional tentunya juga akan banyak digunakan sebagai sarana komunikasi di dalam situasi dan suasana yang resmi, salah satu contohnya adalah komunikasi antara guru dan murid di kelas sekolahan.

Sedangkan bahasa daerah, dalam konteks sekolah, akan dipakai sebagai sarana komunikasi di antara para murid baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Hal itulah yang terlihat dalam tayangan “bocah ngapa(k) ya” dimana bahasa Indonesia

242

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

adalah bahasa resmi di dalam kelas, dan bahasa ngapak adalah bahasa yang “tidak

resmi”.

Mengenai adanya fungsi yang berbeda dari bahasa yang digunakan di dalam kelas,

Shiraishi melihat bahwa di Indonesia terdapat dua jenis suara yang sama-sama

hidup di dalam kelas, yaitu suara resmi dan yang gaduh.451 Suara resmi terdiri dari

suara guru dan murid, dimana murid akan memerankan peran pengulangan, meniru

ucapan guru, maupun menjawab pertanyaan yang diajukan guru (yang tentunya

menggunakan bahasa Indonesia). Dan bagi anak-anak yang ada di daerah yang

fasih berbahasa daerah akan menggunakan bahasa tersebut sebagai bahasa

tersembunyi di dalam kelas. Akan tetapi bagi anak-anak khususnya di Jakarta yang

selalu berbahasa Indonesia maka bahasa Indonesia akhirnya mempunyai dua peran

yaitu sebagai bahasa resmi dan sebagai bahasa “yang tak terdengar”.

Sehingga jika melihat pada situasi di daerah maka bahasa Indonesia adalah sebuah

bahasa resmi di kelas, sedangkan dengan demikian bahasa daerah akhirnya

digunakan sebagai bahasa tidak resmi di kelas. Bahasa tidak resmi inilah yang

seringkali muncul sebagai sebuah “kegaduhan” di dalam kelas, sebagaimana yang

terlihat dalam tayangan “bocah ngapa(k) ya”. Dalam tayangan tersebut terlihat

bagaimana seorang guru di kelas tidak pernah ditampilkan dengan menggunakan

bahasa “ngapak” ketika berkomunikasi dengan murid-muridnya, namun jikalau

ditengah-tengah adegan komunikasi dengan murid-murinya ini diselingi adanya

komunikasi di antara para murid maka bahasa yang digunkan oleh murid-murid itu

adalah bahasa “ngapak”. Dan keluarnya bahasa “ngapak” di tayangan tersebutlah

451 Saya Sasaki Shiraishi, Pahlawan-pahlawan Belia (Keluarga Indonesia dalam Politik), Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2001, hal 217-227. 243

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

yang akhirnya selalu menjadi sebuah adegan yang menghadirkan suasana gelak tawa yang ramai di dalam kelas. Dan suasana yang demikianlah yang justru menjadi inti atau pusat dari tayangan tersebut.

Suasana yang penuh gelak tawa adalah sebuah suasana yang “gaduh”, dimana suasana yang gaduh tersebut muncul karena adanya suasana yang “tidak resmi”.

Kehadiran suasana yang tidak resmi melalui bahasa yang tidak resmi inilah yang akhirnya menghadirkan suara yang “gaduh” di dalam kelas. Dan kegaduhan inilah yang menjadi nilai lebih (atau bahakan bisa dikatakan sebagai “nilai jual”) di tayangan “bocah ngapa(k) ya” yang dapat diterima oleh banyak pemirsa atau penontonya baik di konten Youtube maupun di televisi. Sehingga dengan apa yang terjadi pada suasana kelas “bocah ngapa(k) ya” justru berbeda dengan apa yang terjadi dengan suasana yang digambarkan oleh Shiraishi, dimana suara kolektif para murid yang dianggap sebagai suatu kegaduhan tidak didiamkan melainkan sekedar ‘tidak dianggap”. Ternyata suara murid-murid “bocah ngapa(k) ya” justru

“dianggap”, dan jendela-jendela di kelas tersebut tidak perlu ditutup, justru sebaliknya jendela-jendela tersebut malah dibuka dengan selebar-lebarnya.

Dari apa yang ditampilkan di “bocah ngapa(k) ya” ternyata bahasa ngapak-ngapak atau Penginyongan sebagai “bahasa tidak resmi” yang menghadirkan suara gaduh ternyata menjadi sebuah kegaduhan yang dianggap. Dengan demikian maka bahasa

Penginyongan dapat direpresentasikan sebagai sebuah bahasa yang penuh makna dimana bahasa itu muncul bukan karena hasil dari reka karya, tawar menawar, pesanan atau penyaringan serta pencitraan dari seorang “bapak”, sehingga anak- anakpun akhirnya diperbolehkan untuk “bilang, begitulah!”.

244

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Ternyata dari sebuah konten Youtube “Bocah Ngapa(K) Ya!” bisa ditelusuri bagaimana sebuah perlawana dari bahasa Penginyongan terhadap hegemoni bahasa Jawa Baku melalui Kramanisasinya. Namun tentunya karena hegemoni ini sudah terlalu lama terjadi pada bahasa Penginyongan tentunya banyak aspek kehidupan yang terhegemoni oleh penggunaan bahasa Jawa Baku ini. Namun dari sekian banyak aspek yang terkena imbas dari hegemoni bahasa Jawa baku tersebut, paling tidak melalui media internet yang salah satu contohnya melalui konten Youtube “Bocah Ngapa(k) Ya!”, counter hegemoni sudah mulai dapat dilakukan. Mereka yang terlibat di dalamnya sebenarnya adalah para aktor intelektual organik yang telah membuat sebuah “good sense” untuk melawan “common sense” yang selama ini terbentuk melalui Kramanisasi bahasa Jawa

Baku. Dan apa yang mereka lakukan itu ternyata adalah sebuah perang posisi. Sehingga dengan demikian maka sebenarnya counter hegemoni bahasa Penginyongan terhadap bahasa Jawa Baku bisa dilakukan melalui sisi ini. Namun tentunya sebuah perang posisi, sebagaimana konsep Gramsci, tidak hanya dilakukan hanya melalui satu sisi akan tetapi harus melalui berbagai sisi atau aspek yang terkena imbas dari sebuah hegemoni

Melihat konsep atau gagasan dari Gramsci tentang Counter Hegemoni tentunya dapat

menjadi sebuah strategi untuk melakukan sebuah perlawanan. Karena keberadaan

bahasa Jawa Baku sudah begitu lama menghegemoni wilayah Banyumasan, maka

seluruh elemen yang ada di daerah Banyumas juga merasakan hegemoni ini, salah

satunya adalah gereja. Oleh karena itu dengan alasan adanya sebuah “kebutuhan” maka

mulailah dilakukan proses penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan, dimana

penerjemahan ini ternyata tidak dilakukan oleh pihak gereja sebagai sebuah otoritas

resmi lembaga keagamaan, akan tetapi justru dilakukan oleh orang-orang yang di dalam

245

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kehidupan gerejawi disebut hanya sebagai “jemaat awam”.452 Sehingga sebenarnya

proses penerjemhan Alkitab bahasa Penginyongan ini sebenarnya bisa digunakan

sebagai sarana counter hegemoni terhadap hegemoni bahasa Jawa Baku di gereja GKJ,

khususnya yang beraada di wilayah Banyumasan.

B. Penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan sebagai sarana Counter Hegemoni

terhadap “Kuasa Kata” & “Bahasa Kosong” dalam bahasa Jawa Baku.

Keberadaan sebuah teks atau literature dari sebuah bahasa tertentu berarti menunjukkan

eksistensi dari bahasa tersebut.453 Sehingga dari hal tersebut menunjukkan arti pentingnya

keberadaan bahasa teks sebagai sebuah bahasa tulisan. Oleh karena itu keberadaan teks

atau literatur dari sebuah menjadi sebuah hal yang penting disamping bahasa sebagai

sebuah bahasa lisan. Dan bahasa sebagai sebuah teks dapat digunakan untuk melakukan

perlawanan jika terjadi sebuah hegemoni bahasa. Konteks daerah Italia Selatan dimana

daerah tersebut menjadi salah satu acuan Gramsci di dalam membuat konsep Counter

Hegemoni juga memasukkan bagaimana perlawanan bahasa Italia terhadap hegemoni

bahasa Latin. Dan salah satu usahanya adalah dengan menekankan tentang keberadaan

literatur-literatur dalam bahasa Italia.

Demikian juga keberadaan bahasa Penginyongan sebagai sebuah bahasa lisan juga

memerlukan kehadirannnya dalam bahasa teks. Ketika para budayawan Banyumasan

sedang terus melakukan usahanya untuk menghadirkan literatur-literatur dalam bahasa

Penginyongan, ternyata sejak tahun 2005 telah muncul sebuah usaha penerjemahan

Alkitab dalam bahasa Penginyongan. Kemunculan usaha penerjemahan Alkitab tersebut

dilatarbelakangi karena belum adanya Alkitab dalam bahasa Penginyongan, dimana

452 Istilah “awam” adalah sebutan untuk jemaat biasa, untuk membedakan dengan kalangan rohaniawan atau pejabat gerejawi. 453 Walter Ong, Kelisanan dan Keaksaraan (pent: Rika Iffati), Gading Yogyakarta, 2013, hal 1-3. 246

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

selama ini jemaat gereja di wilayah Banyumasan menggunakan Alkitab dalam bahasa

Indonesia, dan khususnya untuk gereja GKJ juga menggunakan Alkitab bahasa Jawa

(Baku).

Dengan adanya proses penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan tentunya membawa angin segar bagi jemaat gereja di wilayah Banyumasan, teremasuk gereja GKJ. Namun ternyata proses penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan ini tidak seluruhnya berjalan sesuai harapan, salah satunya adalah adanya “ketidakpedulian” dari gereja GKJ. Hal ini dikarenakan karena di gereja GKJ, selain menggunakan Alkitab bahasa Indonesia juga menggunakan Alkitab bahasa Jawa (Baku), dimana Alkitab bahasa Jawa tersebut sudah digunakan sejak berdirinya Sinode gereja GKJ di tahun 1931. Sehingga secara tradisi gereja GKJ sudah terbiasa dengan penggunaan Alkitab bahasa Jawa tersebut yang mempengaruhi penggunaan bahasa Jawa Baku di dalam lingkup kehidupan gerejawi, terutama di dalam ibadah.

Penggunaan Alkitab bahasa Jawa dan juga bahasa Jawa Baku sebagai salah satu bahasa pengantar ibadah gerejawi di gereja GKJ tentunya juga dikarenakan Alkitab yang tersedia selama ini adalah Alkitab bahasa Jawa, yang dimana Alkitab ini adalah hasil terjemahan yang dilakukan oleh Lembaga Alkitab Jawa bentukan pemerintahan Hindia-Belanda di jaman kolonial, sebagai salah satu proyek Javanologi. Sehingga dengan tersedianya literatur bahasa Jawa dalam wujud Alkitab bahasa Jawa ini maka gereja GKJ pun akhirnya menggunakan bahasa Jawa Baku sebagai bahasa pengantar ibadah. Selain itu penggunaan bahasa Jawa Baku juga menjadi sebuah bahasa resmi di wilayah Banyumasan sejak jaman kerajaan Mataram (Islam). Sehingga dari hal-hal tersebut sudah memperlihatkan bahwa telah terjadi hegemoni bahasa Jawa Baku di gereja GKJ yang berada di wilayah

Banyumasan.

247

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Oleh karena itu maka dengan adanya prosese penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan ini telah megusik keberadaan Alkitab bahasa Jawa dan penggunaan bahasa Jawa Baku sebagai salah satu bahasa pengantar ibadah gerejawi. Sehingga dengan hal tersebut maka muncul rasa ketidakpedulian terhadap proses penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan ini. Rasa ketidakpedulian ini tentunya juga disebabkan karena adanya hegemoni bahasa

Jawa Baku terhadap bahasa Penginyongan yang sudah berlangsung berabad-abad.

Dengan adanya fenomena yang demikian maka proses penerjemahan Alkitab bahasa

Penginyongan dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk perlawanan yang dilakukan untuk melawan hegemoni bahasa Jawa Baku, khususnya di lingkup gereja GKJ. Perlawanan terhadap hegemoni inilah yang disebut sebagai sebuah counter hegemoni. Dan sebagaimana konsep counter hegemoni yang dikembangkan oleh Gramsci maka paling tidak diperlukan 3 hal yaitu: pembentukan intelektual organik, good sense dan perang posisi. Oleh karena itu menjadi menarik jika proses penerjemahan Alkitab bahasa

Penginyongan ini akan dilihat dari tiga hal tersebut yang menjadi bagian dari sarana terbentuknya counter hegemoni.

1. Terbentuknya kaum Intelektual Organik dalam penerjemahan Alkitab bahasa

penginyongan.

Penuangan bahasa lisan dalam bahasa teks bukan oleh sebuah bahasa yang mengalami

hegemoni sebenarnya sedang menunjukkan adanya sebuah counter hegemoni.

Demikian juga yang terjadi pada bahasa Penginyongan terhadap bahasa Jawa Baku.

Sehingga jika saat ini Alkitab bahasa Penginyongan sedang mengalami proses

penerjemahan sebenarnya hal ini juga dapat dilihat seperti keberadaan literatur-

literatur tersebut yang bukan hanya menunjukkan eksistensi keberadaan bahasa

Banyumas akan tetapi juga dapat digunakan sebagai alat counter hegemoni terhadap

hegemoni bahasa Jawa Baku, terutama dalam lingkup gereJa GKJ.

248

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Dengan adanya proses penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan sebenarnya sedang menunjukkan bahwa telah muncul kaum intelektual organik yang tentunya berasal dari dalam tubuh gereja. Mereka disebut sebagai kaum intelektual organik karena mereka dapat memainkan peran dan fungsi mereka sebagai “unsure pemikir dan pengorganisasian dari sebuah kelas fundamental tertentu”. Sebagai “unsure pemikir” sebenarnya status mereka di dalam gereja bukanlah seorang “rohaniawan” atau Pendeta akan tetapi hanya sekedar jemaat “awam” saja. Seharusnya pemikiran yang seperti ini sudah semestinya lahir dari kalangan Pendeta sebagai seseorang yang mempunyai bekal pendidikan teologi yang lebih mumpuni dibandingkan dengan jemaat “awam”.

Demikian juga ketika mereka melakukan “pengorganisasian” untuk melakukan penerjemahan Alkitab bahasa Banyumasan ini pada awalnya juga tidak melekat pada organisasi yang melekat pada organisasi gerejawi. Mereka membentuk PASEBAN sebagai wadah mereka untuk melakukan penerjemahan tersebut yang cenderung bersifat “kebudayaan”. Dan pada akhirnya dari organisasi PASEBAN ini akhirnya mereka dapat bertemu dengan sebuah lembaga yang mempunyai konsentrasi dalam bidang penerjemahan Alkitab yaitu Kartidaya. Dan melalui lembaga Kartidaya inilah

Injil Lukas dalam bahasa Banyumasan ini sudah bisa diterbitkan pada tahun 2015.

Hal tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya aktor-aktor intelektual organik ini muncul jemaat gereja yang pada awalnya hanya dilatarbelakangi sebuah keinginan dan kebutuhan akan adanya Alkitab bahasa Penginyongan. Tentunya pemikiran tersebut muncul karena belum adanya Alkitab bahasa Penginyongan. Namun ketiadaan Alkitab bahasa Penginyongan tersebut tentunya karena ada hal-hal yang membuatnya menjadi demikian. Sebagaimana sudah dijelaskna dalam bab III tulisan ini bahwa keberadaan bahasa Penginyongan berada dibawah bayang-bayang bahasa

249

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Jawa Baku, sehingga dengan demikian telah terjadi hegemoni bahasa yang dilakukan oleh bahasa Jawa Baku terhadap bahasa Penginyongan.

Faktor heemoni bahasa inilah yang lalu menyebabkan Alkitab bahasa Penginyongan hingga saat ini masih di dalam proses penerjemhan. Sehingga dari hegemoni bahasa tersebut maka memepengaruhi berbagai lini kehidupan masyarakat Banyumas, tidak terkecuali di dalam kehidupan gereja khususnya gereja GKJ yang menggunakan bahasa Jawa Baku sebagai salah satu bahasa pengantar ibadah. Dengan demikian maka dapat dikatakan juga bahwa para penerjemah Alkitab bahasa Banyumasan sebenarnya para sedang memikirkan tentang sebuah kebudayaan yaitu budaya bahasa

Penginyongan yang selama ini “tergilas” di tengah-tengah kehidupan gerejawi, khususnya gereja GKJ yang berada di wilayah Banyumasan.

Dengan terbentuknya kalangan “pemikir” dan pelaku “organisasi” yang terlibat dalam proses penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan ini, maka menurut teori Gramsci bahwa kalangan tersebut dapat dikatakan sebagai bagian dari kaum intelektual organik. Pemikiran yang lalu keluar menjadi sebuah gagasan untuk menterjemahkan

Alkitab ke dalam bahasa Penginyongan menunjukkan bahwa telah muncul kesadaran di dalam diri pada masing-masing individu terlebih dahulu, dan dengan bersatunya mereka dalam wadah PASEBAN akhirnya menunjukkan bahwa mereka telah memiliki sebuah kesadaran bersama. Sehingga dengan dilakukannya penerjemahan

Alkitab bahasa Penginyongan ini tentunya diharapkan akan muncul sebuah kesadaran bersama yang lebih luas lagi, khususnya di dalam lingkup kehidupan gerejawi di wilayah Banyumas.

Berbicara tentang kehidupan gereja, dalam hal ini gereja Protestan yang terdiri dari berbagai macam denominasi, tentunya setiap gereja mempunyai situasi dan kondisi yang berbeda. Terkhusus untuk gereja-gereja di wilayah Banyumas, gereja GKJ

250

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

adalah salah satu “gereja suku” yang menggunakan bahasa daerah yaitu bahasa Jawa

Baku sebagai bahasa pengantar ibadahnya, sehingga Alkitab yang digunakan adalah

Alkitab bahasa Jawa. Bahkan di kegiatan-kegiatan persekutuan non-ibadah gereja,

seperti Pemahaman Alkitab, Persekutuan Doa Kelompok, Bidston (ucapan syukur

keluarga) dll juga menggunakan tuntunan yang menggunakan bahasa Jawa Baku.

Jika dirunut ke belakang sebenarnya GKJ mempunyai sejarah yang begitu dekat

dengan budaya Banyumasan. Hal ini dikarenakan Sinode gereja GKJ lahir di wilayah

yang berbahasa Penginyongan, yaitu di kota Kebumen pada tahun 1931.454 Bahkan

embrio kemunculan gereja ini sudah dimulai pada tahun 1858 ketika terdapat 9 orang

pribumi yang tinggal di Banyumas rela berjalan menuju Semarang hanya untuk

menerima tanda baptisan. 455 Dari komunitas kecil inilah yang lalu menjadi keberadan

cikal bakal komunitas Kristen pribumi sebelum adanya sebuah komunitas yang lebih

besar di Karangjasa yang diasuh oleh Kyai Sadrach sejak tahun 1870.

Oleh karena itu untuk menuju pada sebuah kesadaran bersama inilah maka peran para

kaum intelektual organik sangatlah diperlukan. Hal ini dikarenakan secara khusus di

lingkup gereja GKJ sendiri bahasa Jawa Baku telah menjadi sebuah “bahasa resmi”

sebagai bahasa pengantar ibadah gerejawi yang tentunya juga menggunakan Alkitab

bahasa Jawa. Alkitab bahasa Jawa sendiri mulai muncul pada tahun 1831 dengan

menggunakan bahasa Ngoko dialek Semarangan.456 Namun pada perjalanannya

Alkitab bahasa Jawa lalu menggunakan bahasa Jawa Baku dimana terdapat tingkatan

bahasa Krama dan Ngoko.457 Walaupun keberadaan tingkatan bahasa Krama dan

454 Hadi Purnomo & M. Suprihadi Sastrosupono, Gereja-gereja Kristen Jawa: Benih yang tumbuh dan berkembang di tanah Jawa, Taman Pustaka Kristen, Yogyakarta, 1986, hal 34. 455 J.D. Wolterbeek, Babad Zending di Pulau Jawa, Taman Pustaka Kristen, Yogyakarta, 1995, hal 35. 456 J.L. Swellenggrebel, Mengikuti Jejak Leijdecker Jilid 1 (1820-1900), Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2006, Hal 47 & 51. 457 Ibid 51-52. 251

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Ngoko ini secara umum sebenarnya juga mendapatkan banyak pertentangan, namun

karena bahasa ini digunakan oleh “penguasa” sebagai salah alat untuk

mempertahankan kekuasaannya maka bahasa Jawa Baku akhirnya harus tetap menjadi

sebuah bahasa yang resmi digunakan. Dari hal inilah yang akhirnya juga

mempengaruhi keberadaan Alkitab bahasa Jawa yang pada awalnya diterjemahankan

ke dalam bahasa ngoko harus diterjemahkan kembali dengan memasukkan bahasa

Krama. Sehingga dengan adanya Alkitab bahasa Jawa (Baku) inilah yang lalu menjadi

salah satu penyebab terjadinya hegemoni bahasa Jawa Baku terhadap bahasa

Penginyongan di dalam lingkup gereja GKJ di wilayah Banyumas.

Adanya hegemoni bahasa inilah yang lalu menjadi salah satu faktor terjadinya

“peperangan budaya”, pada khususnya budaya bahasa Jawa baku dengan bahasa

Penginyongan. Sehingga dengan adanya peperangan budaya ini maka dalam kacamata

Gramsci akan ada pihak yang menjadi obyek dan subyek hegemoni. Pihak yang

selama ini menjadi subyek atau “aktor” terjadinya hegemoni tersebut akan terus

berusaha untuk mempertahankan status quo ini. Mereka inilah para aktor intelektual

tradisional yang ada di dalam tubuh gereja GKJ yang berada di wilayah Banyumasan.

Dan seperti penelitian yang telah dipaparkan di bab III, justru yang menjadi aktor

intelektual tradisonal adalah para “rohaniawan” yaitu Pendeta.

Sebagai gereja yang menganut prinsip Presbiterial, maka kedudukan Pendeta

menempati salah satu posisi dari tiga jabatan gerejawi yang terdapat di GKJ, selain

Penatua dan Diaken, yang disebut sebagai Majelis Gereja.458 Di Majelis Gereja inilah

segala arah kebijakan gerejawi diputuskan, dan peran Pendeta sebagai seseorang yang

berpendidikan teologi tentunya mempunyai pemikiran yang lebih dalam dan tajam

458 Tata gereja GKJ 252

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

tentang hal-hal yang berbau teologis. Oleh karena itu keberadaan Pendeta juga sangat

menentukan arah kebijakan gerejawi. Namun ternyata tidak semua Pendeta dapat

menjadi seorang aktor intelektual organik di dalam gereja, khususnya dalam hal ini

ketika menyikapi proses penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan, akan tetapi

justru merekalah yang menjadi aktor intelektual tradisional yang lebih memilih untuk

mempertahankan status quo bahasa Jawa Baku didalam gereja.

Sedangkan obyek atau pihak yang merasa terhegemoni sebagaimana telah dijelaskan

Gramsci mereka dengan sikap “setuju” menerima keadaan tersebut. Namun ternyata

ada beberapa jemaat, walau masih dalam skala kecil, ternyata terlibat di dalam

organisasi PASEBAN yang saat ini sedang melakukan penerjemahan Alkitab bahasa

Penginyongan. Keberadaan mereka inilah yang disebut sebagai kaum intelektual

organik. Bahkan pada saat ini ketua PASEBAN telah dijabat oleh salah satu Pendeta

GKJ yang berada di wilayah Banyumas. Melalui merekalah perebutan hegemoni

budaya sedang dilakukan. Perebutan hegemoni budaya inilah yang lalu oleh Gramsci

disebut sebagai counter hegemoni atau hegemoni tandingan. Dan pelaku dari counter

hegemoni tersebut adalah mereka yang disebut sebagai kaum intelektual organik.

2. Penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan melahirkan Good Sense

Kaum intelektual organik sebagai sebuah golongan pemikir tentunya mempunyai pola

pikir yang berbeda dengan pemikiran yang secara umum sudah diterima secara luas.

Pemikiran yang secara umum telah diterima secara luas ini oleh Gramsci dikatakan

sebagai “common sense”. Dan peran dari intelektual organik adalah melahirkan

pemikiran yang berbeda dengan common sense ini. Namun pemikiran yang berbeda

ini bukan hanya sekedar berbeda saja, akan tetapi mengandung unsur perebutan

budaya yang telah dibentuk oleh common sense. Pemikiran yang seperti inilah yang

disebut oleh Gramsci sebagai “good sense”. Dengan demikian good sense dapat

253

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dikatakan sebagai sebuah pemikitan yang muncul sebagai sebuah kritik terhadap

keberadaan sebuah common sense.459

Ketika bahasa Jawa Baku telah secara luas diterima sebagai sebuah common sense

dalam kebudayaan Jawa, maka dari hal ini menyebabkan bahasa-bahasa lainnya hanya

dinilai sebagai sebuah bagian dari dialek bahasa Jawa. Dan salah satunya yang

mengalami hal tersebut adalah bahasa di wilayah Banyumasan yang sering disebut

sebagai dialek Banyumasan atau “ngapak-ngapak”, yang saat ini disebut sebagai

bahasa Penginyongan. Penyebutan sebagai sebuah dialek tentunya menjadikan bahasa

yang digunakan sebagai komunikasi sehari-hari di wilayah Banyumasan ini

keberadaannya di tengah-tengah budaya Jawa akhirnya menjadi sebuah bahasa yang

levelnya berada di bawah bahasa Jawa baku. Dengan kata lain maka bahasa

Penginyongan ini lalu hanya menjadi bahasa kelas dua di kebudayaan Jawa.

Bahasa Jawa Baku yang di dalamnya terdapat “Kromo” dan “Ngoko”, oleh Siegel

dikatakan bahwa Kromo adalah “High Javanese” sedangkan Ngoko adalah “Low

Javanese”.460 Padahal yang disebut Krama biasanya adalah kata-kata baru yang

muncul dari bahasa Ngoko, sedangkan bahasa Ngoko sendiri adalah “bahasa asli” dari

bahasa Jawa.461 Sehingga dengan demikian maka bahasa Penginyongan yang

memiliki kedekatan dengan bahasa Ngoko berarti juga dapat dikatakan sebagai bahasa

rendahan. Hal inilah yang lalu ditentang oleh Ahmad Tohari dengan mengatakan

bahwa bahasa Banyumasan yang dia sebut sebagai bahasa Penginyongan adalah

sebuah bahasa dan bukan sekedar dialek dari bahasa Jawa, bahkan dengan

459 Prison Notebooks hal 485. 460 James Siegel, Solo in New Order hal 17. 461 Budiono Herusatoto, Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa dan Watak, LKiS, Yogyakarta, 2008, hal 161. - band. dengan: Benedict Anderson, Kuasa Kata: Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia, Mata Bangsa, Yogyakarta, 2000, hal 458. 254

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kedudukannya sebagai sebuah bahasa maka bahasa Penginyongan mempunyai posisi

yang sama sebagai sebagai sebuah bahasa.462

Sehingga dengan demikian maka sebenarnya bahasa Penginyongan bukanlah sebuah

bahasa “rendahan” dan juga bukan bahasa kelas dua. Dengan adanya anggapan yang

seperti ini maka menurut Baryadi Praptomo, di dalam budaya Jawa telah terjadi

sebuah “diskriminasi lingual”.463 Bahkan jika melihat dari kacamata Mrazek, maka

hal tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah “pengucilan linguistik”.464

“Diskriminasi” dan “Pengucilan” bahasa ini adalah sebagai salah satu wujud dari

relasi kuasa yang oleh Gramsci disebut sebagai hegemoni bahasa. Sehingga

sebenarnya common sense tentang bahasa Jawa Baku ini dapat dikatakan sebagai

sebuah pengertia yang di baliknya penuh dengan aroma kekuasaan. Dan common

sense yang seperti ini sudah terlanjur memasuki semua lini kehidupan dari orang-

orang Jawa, tidak terkecuali di dalam kehidupan gerejawi khususnya gereja GKJ di

wilayah Banyumas.

Dari hal tersebut juga akhirnya memunculkan sebuah penilain bahwa Bahasa Jawa

Baku terutama Krama dikatakan sebagai bahasa yang “alus”, sedangkan bahasa

bahasa Penginyongan diidentikkan dengan bahasa yang “kasar”. Menurut Neil

Murder “alus” ialah, “yang memperlihatkan penguasaan tingkatan-tingkatan bicara

dalam bahasa Jawa, menyadari diri dan orang lain, harus bertindak dengan halus

dan bersikap sahaja. Semua itu adalah tanda orang yang beradab, cerminan disiplin

dan ketenangan batin. Kehadiran diri mereka yang sempurna menghias dunia,

462 A. Tohari, Jejak Tradisi Jawa Kuna Dalam Kebudayaan Jawa Banyumasan; dalam Kongres Kebudayaan Jawa II, Pengarusutamaan Kebudayaan Jawa untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat, Surabaya, 2018, hal 142- 143. 463 I. Praptomo Baryadi; Bahasa, Kekuasaan dan Kekerasan; Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2012, hal 28. 464 R. Mrazek hal 47. 255

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

membuat dunia menajdi tempat yang lebih indah dan lebih baik. Orang semacam itu

adalah orang baik”; sedangkan yang “kasar ialah, “ketiadaan tindak tanduk yang

baik, kegaduhan ala monyet, gelegak emosi, tidak berpendidikan, lagak gaya bak

badut, ancaman “komunis”, kritik terus terang, ketidaksepakatan yang

membangkang, konflik terbuka, miskin diplomasi. Kasar sama dengan tak terkendali,

dengan alam belantara, tak tahu peradaban”.465 Demikian common sense antara

bahasa Jawa Baku dan bahasa Penginyongan yang dibentuk di tengah-tengah

masyarakat Jawa.

Dari sekian banyak common sense yang sudah terbentuk di masyarakat itulah yang

justru lalu memunculkan sebuah good sense, dimana akhirnya dari good sense tersebut

lalu memunculkan pemikiran untuk melakukan penerjemahan Alkitab ke dalam

bahasa Penginyongan yang dilakukan oleh para aktor intelektual organik. Sehingga

dalam kasus ini maka dapat dikatakan bahwa kemunculan Alkitab bahasa Banyumas

adalah sebuah good sense, sedangkan Alkitab bahasa Jawa (Baku) adalah salah satu

prosuk common sense.

Dengan demikian kemunculan Alkitab bahasa Penginyongan jika dihubungkan

dengan sejarah lahirnya gerakan Reformasi gereja di Jerman tentunya bisa dikatakan

mempunyai kemiripan. Salah satu hasil dari gerakan Reformasi gereja di Jerman yang

dipimpin oleh Martin Luther adalah dengan munculnya Alkitab terjemahan dalam

bahasa Jerman. Kemunculan Alkitab bahasa Jerman pada waktu itu tentunya

digunakan sebagai sebuah tanda perlawanan terhadap dominasi gereja Roma dengan

monopoli bahasa Latin-nya.466 Dan Gramsci, dari sudut pandang sejarah Italia, sering

membandingkan gerakan Reformasi gereja tersebut sebagai bagian dari hegemoni

465 Neil Murder, Mistisisme Jawa (ideologi di Indonesia), LKiS, Yogyakarta, 2001, hal 178-179. 466 Benedict Anderson, Imagined Communities: Komunitas-komunitas Terbayang, INSIST & Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008, hal 58-61. 256

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

gereja Roma.467 Pada bagian lain, khususnya terkait dengan common sense dan good

sense, Gramsci mengatakan bahwa:

Gereja Katolik selalu menjadi pihak yang paling kuat untuk mencegah adanya

pembentukam “resmi” dua agama, yang satu untuk para “intelektual”, dan

yang satu lagi untuk “jiwa yang sederhana”.468

Maksud dari pernyataan Gramsci adalah bahwa gereja Roma adalah pihak yang tidak

menginginkan ada kelompok yang common sense dan good sense. Dalam hal ini

adanya perseteruan antara golongan rohaniawan (intelektual) dan jemaat awam (jiwa

yang sederhana), dimana golongan rohaniawan adalah pihak yang mempunyai otoritas

di dalam gereja Roma itu sendiri dan golongan jemaat awam adalah penggambaran

dari orang-orang yang menganut paham reformasi seperti para pengikut gerakan

Reformasi gereja (Lutheran dan Calvinis). Dan sebagai salah satu wujud perlawanan

dari gerakan Reformasi gereja adalah penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa ibu

sebagai wujud perlawanan terhadap monopoli Alkitab dalam bahasa Latin.

Dengan demikian, maka bisa dikatakan dengan adanya penerjemahan Alkitab bahasa

Penginyongan ini menyebabkan eksistensi bahasa Jawa Baku dapat terancam seperti

keberadaan bahasa Latin yang terancam eksistensinya dengan kemunculan Alkitab

dalam bahasa Jerman yang dihasilkan oleh gerakan Reformasi gereja. Oleh karena itu

maka penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan ini juga bisa dikatakan sebagai

sebuah perlawanan terhadap hegemoni bahasa Jawa Baku, dimana usaha perlawanan

yang demikian oleh Gramsci disebut sebagai counter hegemoni. Namun counter

hegemoni yang terbentuk melalui penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan ini

bukanlah counter hegemoni dalam ranah politik akan tetapi counter hegemoni dalam

467 Prison Notebooks hal 62. 468 ibid hal 462. 257

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ranah budaya yang terjadi di lingkungan gereja, khususnya gereja GKJ di wilayah

Banyumasan

3. Penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongn sebagai strategi Perang Posisi

Sebagaimana telah dijelaskan oleh Gramsci bahwa tujuan counter hegemoni adalah

untuk melawan hegemoni negara dari sisi politik, akan tetapi bukan berarti sisi politik

ini menajdi satu-satunya jalan sebuah counter hegemoni. Hal ini dikarenakan menurut

Gramsci bahwa kekuasaan politik dari pihak penguasa atau negera pasti akan terus

dipertahankan melalui cara-cara yang bukan hanya dengan cara politik saja. Hal

tersebut menurut analisa Gramsci, melihat pemerintahan diktator Fasis Mussolini di

Italia, terjadi melalui sebuah hegemoni yang terbentuk karena adanya kepemimpinan

intelektual dan moral.

Dari kepemimpinan intelektual dan moral inilah maka negara sebagai bagian

masyarakat politik dapat mengontrol kehidupan dari masyarakat sipil. Bahkan

terdapat beberapa bagian dari masyarakata sipil yang akhirnya berperan dan berfungsi

“negara” di dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat sipil itu sendiri. Oleh

karena itu gagasan counter hegemoni yang dikonsepkan Gramsci juga menekankan

akan arti pentingnya perebutan hegemoni budaya sebagai sebuah strategi untuk

melakukan perlawanan kepada penguasa, yang disebut sebagai “perang posisi”.

Dari sinilah perang posisi dimulai yaitu melalui perebutan budaya yang salah satunya

dilakukan dengan mengkritik pola pendidikan yang ada di sekolah-sekolah modern

yang dikelola oleh gereja yang ternyata banyak menyuplai bagi kepentingan kaum

kapitalis, dimana negara itu sendiri adalah kaum kapitalis itu sendiri.469 Sekolah-

sekolah tersebut justru menghasilkan para aktor intelektual tradisional yang

469 Prison Notebooks hal 51-56. 258

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

cenderung mempertahankan common sense yang telah dikonstruksi oleh para

penguasa.

Selain hal tersebut, perebutan hegemoni budaya juga dilakukan dengan

dikembangkanya “budaya populer” melalui penulisan-penulisan “novel populer”

yang menjadi inspirasi berkembangnya opera yang didalamnya lalu juga muncul lagu

atau musik populer yang kesemuanya lalu menjadi semacam “folklor”nya daerah

Selatan.470 Dengan demikian maka Gramsci sebenarnya sedang menyusun sebuah

strategi yaitu perebutan hegemoni politik dapat dilakukan dengan cara melakukan

perebutan hegemoni kebudayaan terlebih dahulu. Dan salah satu perebutan hegemoni

budaya ini dilakukan dengan cara mengkritisi wewenang otoritas gereja Roma yang

begitu besar di setiap lini kehidupan masyarakat politik maupun sipil di Italia.

Sehingga dari hal tersebut sebenarnya sedang menunjukkan bahwa counter hegemoni

yang dilakukan oleh Gramsci pada saat itu juga menyasar pada kedudukan gereja

Roma. Berkaitan dengan hal tersebut maka Gramsci mengkritik tentang keberadaan

kaum intelektual (tradisional) gereja yang cenderung mempertahankan “common

sense” yang dilakukan dengan cara “memagari” kaum intelektual gereja supaya tidak

berpikir dan bertindak kritis terhadap kebijakan yang dibuat oleh gereja.471 Sehingga

dengan demikian maka kaum intelektual gereja dimanfaatkan oleh pihak otoritas

gereja sebagai wujud perlawanan melawan pemikiran dan tindakan kritis yang

dilakukan oleh kalangan awam yang ada di dalam kehidupan gerejawi.

Hal tersebut menunjukkan bahwa pihak otoritas gereja untuk selalu berusaha untuk

terus dapat mempertahankan wewenang serta otoritasnyanya didalam kehidupan

masyarakat politik maupun sipil di Italia. Oleh karena itu untuk menghadapi apa yang

470 Ibid hal 36 471 Ibid hal 466 259

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dilakukan oleh pihak otoritas gereja ini tentunya haru dilakukan dengan cara melakukan perebutan ideologi. Perebutan ideologi melawan gereja inilah yang menjadi salah satu contoh dari perang posisi yang bertujuan untuk melakukan sebuah counter hegemoni terhadap dominasi dan wewenang gereja. Oleh karena itu ternyata perebutan hegemoni budaya dapat dilakukan dengan cara merebut sebuah “ideologi” yang selama ini berkembang di dalam kehidupan gereja.

Sehingga penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan yang dilakukan oleh kalangan awam ini juga dapat dikatakan sebagai sebuah “counter hegemoni”. Budaya Jawa melalui bahasa Jawa Baku sebenarnya telah menghegemoni kehidupan gereja GKJ, khususnya gereja GKJ di wilayah Banyumasan yang berbahasa Penginyongan.

Dengan belum adanya keterlibatan gereja GKJ secara langsung/resmi dalam proses penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan maka dapat dikatakan gereja GKJ, baik itu dalam lingkup gereja local, klasikal, maupun sinodal, belum menunjukkan dukungannya secara penuh terhadap proses penerjemahan Alkitab bahasa

Penginyongan ini.

Dengan tidak terlibatnya pihak gereja GKJ secara resmi maka bisa dikatakan, sesuai dengan apa yang dikatakan Gramsci, maka pihak gereja GKJ sendiri belum memiliki kesadaran yang sama dengan para pelaku atau aktor-aktor yang terlibat dalam proses penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan ini. Sehingga dengan tidak adanya keterlibatan dalam proses tersebut maka dapat dikatakan telah terjadi perbedaan diantara kalangan intelektual gereja dengan kalangan jemaat awam (khususnya bagi mereka yang terlibat dalam proses penerjemhan Alkitab bahasa Penginyongan). Oleh karena itu maka dalam hal ini bisa dikatakan bahwa para pelaku penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan ini sedang melakukan sebuah perebutan ideologi yang selama

260

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ini berkembang di dalam kehidupan gereja GKJ di wilayah Banyumasan, yaitu antara

bahasa Jawa baku dan bahasa Penginyongan.

Perebutan ideologi inilah yang oleh Gramsci disebut sebagai salah satu peran dari

Perang Posisi. Sehingga dengan demikian maka menunjukkan bahwa penerjemahan

Alkitab bahasa Penginyongan adalah sebuah counter hegemoni yang dilakukan untuk

melawan hegemoni bahasa Jawa Baku, khususnya di kehidupan gereja GKJ yang

berada di wilayah Banyumasan. Perang Posisi ini sebenarnya sudah mulai dilakukan

dengan berdirinya sebuah lembaga atau organisasi yang dinamakan PASEBAN, yang

dimana lembaga ini ini didirikan sebagai wadah yang “memayungi” proses

penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan ini. Dengan terbentuknya lembaga ini

menunjukkan bahwa pihak gereja, khususnya GKJ, belum mempunyai kesadaran

akan pentingnya keberadaan Alkitab bahasa Penginyongan bagi jemaat gereja GKJ di

wilayah Banyumasan yang berbahasa Penginyongan. Karena jika gereja GKJ

memperhatikan hal tersebut maka tentunya penerjemhan ini akan dilakukan oleh

sebuah lembaga resmi penerjemahan Alkitab yang selama ini menjadi perpanjangan

tangan PGI dalam rangka menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa daerah yang ada

di Indonesia yaitu Lembaga Alkitab Indonesia.

LAI sendiri sudah melakukan penerjemahan Alkitab ke dalam berbagai macam bahasa

daerah yang ada di Indonesia, dimana salah satunya adalah Alkitab bahasa Jawa. Dan

adanya Alkitab bahasa Jawa yang digunakan sekarang oleh gereja GKJ adalah hasil

dari rekomendasi sinode GKJ kepada LAI pada tahun 1958 untuk memperbaiki

(revisi) terjemahan Alkitab bahasa Jawa yang sudah ada pada saat itu yang dulunya

telah diterjemahkan oleh Zending Belanda melalui Lembaga Alkitab Jawa.472

472 Arsip Sinode Gereja GKJ: - Artikel 54 sidang sinode X 1967 - Artikel 158 sidang sinode XI 1969 261

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Melalui rekomendasi yang diberikan oleh Sinode gereja GKJ kepada LAI maka saat

ini telah dapat menghasilkan sebuah Alkitab bahasa Jawa yang dipakai untuk

kepentingan gerejawi bagi gereja-gereja yang berbahasa Jawa, salah satunya adalah

gereja GKJ. Ketika Alkitab bahasa Jawa yang dihasilkan melalui rekomendasi Sinode

GKJ kepada LAI sebagai lembaga resmi yang membidangi penerjemahan Alkitab di

Indonesia, menunjukkan bagaimana kepedulian gereja GKJ secara Sinodal terhadap

bahasa Jawa. Namun hal tersebut tidak terjadi dengan proses penerjemahan Alkitab

bahasa Penginyongan yang membuat penerjemahan ini dilakukan sepertinya dengan

cara “partikeliran” atau independen. Dengan adanya hal ini, maka kelompok

“partikelir” atau independen tersebut dapat dikatakan adalah kelompok yang kurang

mendapatkan perhatian dari otoritas gereja GKJ. Sehingga dengan demikian maka apa

yang dilakukan oleh kelompok partikelir yang menterjemahkan Alkitab bahasa

Penginyongan sebenarnya sedang menunjukkan bahwa kelompok ini sedang

melakukan perang posisi terhadap wewenang gereja GKJ pada khususnya.

Ketidakpedulian gereja GKJ terhadap proses penerjemhan Alkitab ini juga

menunjukkan bahwa golongan jemaat yang berbahasa Penginyongan hanya dinilai

sebagai kalangan “pinggiran” saja. Kalangan seperti inilah yang oleh Gramsci disebut

sebagai kelas Subaltern. Walaupun kalangan Subaltern berada di “pinggiran” namun

mereka ternyata juga menjadi subyek dari aktivitas kelompok penguasa.473 Sehingga

dengan demikian kalangan subaltern bukan hanya menajdi obyek hegemoni akan

tetapi mereka juga sebenarnya menjadi subyek hegemoni tersebut.

Sama halnya dengan jemaat gereja GKJ di daerah Banyumas yang sebenarnya juga

menjadi obyek dan subyek hegemoni bahasa Jawa Baku. Bagi mereka yang sudah

473 Prison Notebooks hal 77. 262

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

mempunyai “kesadaran” akan perlunya bahasa Penginyongan sebagai bahasa

pengatar ibadah gerejawi pun pada akhirnya banyak yang tidak berdaya dengan

adanya hegemoni bahasa Jawa Baku, apalagi bagi mereka yang belum mempunyai

kesadaran akan hal tersebut maka bagi mereka hegemoni bahasa Jawa Baku bagi

mereka adalah sesuatu hal yang wajar. Bahkan bagi mereka yang sudah sadar akan

perlunya bahasa Penginyongan dan menduduki jabatan Majelis Gereja pun pada

akhirnya juga berperan di dalam memainkan kebijakan yang menyebabkan Alkitab

bahasa Penginyongan belum bisa diterima secara penuh di gereja GKJ. Dengan

demikian maka posisi sebagai kalangan subaltern akan berubah jika mereka

mendapatkan kemenangan “permanen”.474

Kembali kepada proses penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan ini memang baru

berhasil menterjemahkan Injil Lukas pada tahun tahun 2015, dan pada saat ini masih

menyelesaikan Injil Yohanes dan Kisah Para Rasul. Dan Alkitab tersebut diterbitkan

atas bantuan sebuah lembaga penerjemahan Alkitab yaitu Kartidaya. Kartidaya sendiri

singkatan dari Karya Bakti Budaya yang sebenarnya adalah sebuah organisasi yang

berafiliasi dengan Wycliffe Global Alliance yang memang mempunyai konsentrasi

dalam penerjemahan Alkitab ke dalam berbagai bahasa daerah yang ada di berbagai

negara. Dan lembaga Kartidaya inilah yang menyediakan pelatihan bagi para

penerjemah untuk melakukan penerjemahan Alkitab dengan metode yang selama ini

telah digunakan secara umum di dalam penerjemahan Alkitab oleh berbagai lembaga

penerjemahan Alkitab di seluruh dunia.

Dengan berhasil diterbitkannya Injil Lukas dalam bahasa Penginyongan tentunya

menunjukkan bahwa tahapan-tahapan proses penerjemahan Alkitab itu dapat dilalui

474 Ibid hal 77. 263

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dengan biak. Bahkan ketika diterbitkannya Injil Lukas bahasa Penginyongan tersebut,

yang diterbitkan oleh Kartidaya pada tahun 2014, juga dapat diterima dengan baik

oleh Kementerian Agama Kabupaten Banyumas. Bentuk penerimaan tersebut adalah

dengan adanya “Prakata” dari Kementerian Agama Kabupaten Banyumas yang

diwakili oleh tulisan dari Penyelenggara Kristen Kementerian Agama Kabupaten

Banyumas. Dalam Prakata tersebut, terutama di bagian akhir, disebutkan bahwa

“Bahasa Banyumas yang lugas dan apa adanya mampu menjembatani antara iman

Kristen – masyarakat dan budaya”.475

Oleh karena itu melalui Prakata yang diberikan Kementerian Agama Kabupaten

Banyumas sebenarnya menunjukkan bahwa bahasa Penginyongan adalah sebuah

bahasa yang penting bagi kehidupan iman jemaat gereja di daerah Banyumas,

khususnya juga kepada jemaat gereja GKJ yang berada di daerah Banyumas itu

sendiri. Sehingga dari Prakata yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama Kabupaten

Banyumas tersebut juga menunjukkan akan adanya apresiasi yang baik dan positif

dari lembaga pemerintahan tersebut terhadap adanya Alkitab bahasa Penginyongan.

Dengan demikian sebenarnya sudah ada sinyal “lampu hijau” dari salah satu lembaga

pemerintahan terhadap keberadaan Alkitab bahasa Penginyongan ini.

Dengan secara “resmi” diterbitkannya Alkitab (Injil Lukas) bahasa Penginyongan

berarti tahapan-tahapan penerjemahan sudah dilakukan. Dan salah satu hal yang

paling penting dari prosese penerjemahan Alkitab adalah ketika terjemahan itu di

ujicoba terlebih dahulu di kalangan umum. Dengan ujicoba tersebut maka proses

penerjemahan ini bukan hanya melibatkan para penerjemahn saja akan tetapi dari

kalangan umum yang “mengoreksi” dengan membaca hasil terjemahan yang disajikan

475 Prakata untuk penerbitan Alkitab Bahasa Banyumasan dari Kemenag Kantor Kab. Banyumas. 264

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

oleh para penerjemahan. Jika dalam ujicoba tersebut terjadi kesalahan maka bisa menjadi sebuah koreksi. Sehingga dengan demikian maka proses penerjemahan ini sebenarnya juga menempatkan masyarakat umum untuk berperan di dalamnya.

Selain itu menurut penelitian yang penulis lakukan bahwa keberadaan Alkitab bahasa

Penginyongan ini sebenarnya diharapkan keberadaannya di dalam kehidupan gerejawi. Akan tetapi ternyata banyak diantara jemaat awam (walaupun diantara mereka ada yang berstatus sebagai Penatua dan Diaken) yang masih banyak belum mengetahui akan adanya Alkitab bahasa Penginyongan ini. Namun ternyata sudah banyak Pendeta yang mengetahui keberadaan Alkitab ini dan bagi mereka, para

Pendeta, sendiri tidak menginginkan Alkitab bahasa Penginyongan dipakai di dalam ibadah gerejawi. Hal ini dikarenakan menurut mereka bahasa Penginyongan adalah bahasa yang “kasar” dan terkesan lucu jika digunakan di dalam ibadah gereja. Namun setelah melihat latarbelakang para Pendeta yang melayani di gereja GKJ di daerah

Banyumas yang menolak bahasa Penginyongan tersebut ternyata adalah karena mereka berasal dari daerah “wetanan”.

Dari hal tersebut maka terlihat bahwa bagi mereka yang orang “wetanan” bahasa

Penginyongan sebagai bahasa “kulonan” tetap menjadi bahasa nomor dua bagi mereka walaupun mereka sendiri saat ini sudah melayani di gereja GKJ di wilayah Banyumas.

Keengganan para Pendeta inilah yang tentunya menjadi salah satu hambatan terbesar bagi pengunaan Alkitab bahasa Penginyongan di gereja. Hal ini dikarenakan memang salah satu tugas utama seorang Pendeta di gereja GKJ adalah melakukan pengajaran, dimana salah satunya adalah melalui khotbah yang dilakukan ketika ibadah gerejawi.

Dengan demikian pemakaian Alkitab bahasa Banyumas di gereja GKJ di saerah

Banyumas tentunya sangat tergantung dengan para Pendeta yang mempunyai tugas sebagai pengkhotbah di ibadah gereja. Jika para Pendeta tidak berkenan maka ibadah

265

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

gereja pun tetap akan menggunakan bahasa yang dipakai oleh para Pendeta tersebut,

yaitu bahasa Jawa Baku.

Selain dari faktor para Pendeta juga dipengaruhi oleh kebijakan lokal gereja GKJ yang

berada di wilayah Banyumas itu sendiri. Hal ini dikarenakan gereja GKJ menganut

sistem Presbiterial, dimana kebijakan lokal gereja mempunyai peran yang penting

terhadap keputusan secara Klasikal maupun Sinodal. Jika peran pejabat gereja, yaitu

Majelis Gereja yang terdiri dari Pendeta, Penatua dan Diaken, dapat mengambil

sebuah kebijakan untuk memakai bahasa Penginyongan di dalam ibadah gereja

tentunya Alkitab bahasa Penginyongan secara otomatis akan digunakan. Dan jika

salah satu gereja lokal mengusulkan penggunaan Alkitab bahasa Penginyongan ini

dalam Sidang Klasis maka persidangan inipun dapat mengambil keputusan bersama

secara Klasikal. Dan keputusan secara Klasikal inipun dapat diusulkan di dalam

Sidang Sinode yang nantinya jika disetujui tentunya juga akan menjadi sebuah

keputusan bersama secara Sinodal. Sehingga dengan alur yang demikian maka

penggunaan Alkitab bahasa Penginyongan bisa secara resmi diterima keberadaan di

lingkup Sinode Gereja GKJ sebagaimana penerimaan terhadap Alkitab Bahasa Jawa

sebagai Alkitab bahasa daerah, selain Alkitab bahasa Indonesia sebagai Alkitab

bahasa nasional di Indonesia.

Oleh karena itu jika saat ini masih terjadi penolakan keberadaan Alkitab bahasa

Penginyongan di lingkup gereja GKJ tentunya menjadi sebuah tantangan tersendiri.

Dengan konsep Counter Hegemoni yang ditawarkan oleh Gramsci dapat menjadi sebuah strategi supaya hegemoni bahasa Jawa Baku yang saat ini masih terjadi di lingkup gereja

GKJ dapat segera teratasi. Sebagaimana Gramsci ketika mengkritik bahasa Latin sebagai sebuah “bahasa mati” yang menjadi mitos yang terus diupayakan untuk selalu dihidupkan

266

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kembali.476 Hal ini berbeda dengan bahasa Italia sebagai “bahasa hidup” dimana anak-

anak pun sejak dini sudah mengenal dan mengetahuinya tanpa harus memperoleh pelajaran

bahasa yang mendetail.477

Terkait keberadaan bahasa Latin sebagai sebuah “bahasa mati’ sebenarnya sudah lama

menjadi perhatian banyak kalangan, salah satunya adalah dari kalangan gerakan Reformasi

Gereja dimana penerbitan Alkitab bahasa Jerman terjemahan Martin Luther menjadi

sesuatu hal yang menghidupkan bahasa Ibu sebagai bahasa yang menajdi “bahasa hidup”.

Hal itu diperkuat dengan catatan dari Bloch. Yang dikutip oleh Ben Anderson, bahwa

“Bahasa Latin bukan satu-satunya pengajaran, melainkan satu-satunya bahasa yang

diajarkan”.478

Hal itulah yang terjadi pada konteks bahasa Jawa Baku yang menjadi “bahasa yang

diajarkan” sebagaimana yang terjadi dalam keluarga Jawa ketika sejak kecil anak-anak

sudah diajarkan tentang bahasa halus yang penuh sopan santun dengan cara diajari kata

“nyuwun”.479 Dari sikap yang penuh dengan sopan santun inilah anak-anak dari keluarga

jawa dibentuk untuk selalu memberi rasa “hormat” dan “menjaga harmoni sosial”.480 Dan

jika hal tersebut tidak bisa dilakukan maka dirinya bisa mendapatkan “isin” dan dapat

dikatakan “durung njawani”.481 Sehingga dengan hal tersebut sebenarnya penekanan

dalam hal berbahasa dengan menggunakan Bahasa Jawa Baku menjadi mengutamakan

adanya rasa “sungkan”, “pekewuh’ bahkan “wedi”.

476 Prison Notebooks hal 52. 477 Ibid hal 53. 478 Ben Anderson, Imagined Communities hal 25. 479 Hildred Geertz hal 105-106. 480 Ibid hal 157. 481 Ibid hal 115. 267

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Apa yang terjadi melalui Bahasa Jawa Baku tentunya berbeda dengan apa yang dilakukan

oleh Mas Marco yang justru tidak mau menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa

tulisannya, dimana dirinya justru memilih untuk menggunakan bahasa Melayu, dimana

pada waktu menjadi sebuah lingua franca.482 Hal ini dilakukan karena dengan bahasa

tersebut dirinya menjadi seperti “rasaloos” (tidak punya perasaan) atau “maloeloos” (tidak

punya malu). Dengan bahasa yang tidak mempunyai perasaan dan rasa malu inilah yang

digunakan oleh Mas Marco untuk menentang kolonialisme, karena dengan bahasa Jawa

(Krama) dirinya tidak akan pernah menemui kedua hal tersebut.

Apa yang dilakukan oleh Mas Marco senada dengan Siegel dimana di dalam berbahasa

seharusnya tidak membawa cermin rasa rikuh.483 Bahasa Jawa Baku dengan

Kramanisasinya justru membawa dua pola tersebut. Dalam berbahasa menggunakan

bahasa Jawa Baku seseorang harus melihat banyak aspek terhadap lawan bicaranya

sehingga pada akhirnya menentukan bagaimana cara berbicara kepada lawan bicaranya.

Dengan adanya dua pola tersebut maka Kramanisasi bahasa ahirnya memunculkan apa

yang disebut sebagai “kuasa kata” dan “bahasa kosong”. Melalui dua konsep inilah yang

akhirnya menjadikan presentasi bahasa Jawa Baku menjadi bahasa yang hanya

meninggalkan jejak-jejak kaki di tanah berlumpur tanpa bisa melihat bentuk asli atau nyata

dari kaki-kaki yang menjejakkan kakinya tersebut di tanah yang berlumpur itu.484 Dari hal-

hal itulah yang saat ini harus dijalani oleh para stakeholder, baik yang “terlibat” maupun

yang “dilibatkan” bahkan yang “melibatkan” diri dalam proses penerjemahan Alkitab

bahasa Penginyongan, dimana strategi counter hegemoni dapat menjadi salah satu bagian

untuk mewujudnyatakan proses penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan ini menjadi

482 R. Mrazek hal 46-48. 483 J. Siegel, Sadur hal 342. 484 R. Mrazek hal 4-5, 27-28 & 49-50. 268

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sebuah Alkitab yang utuh dan dapat diterima juga secara utuh di gereja GKJ, di wilayah

Banyumasan, tanpa harus saling membawa cermin dan rasa rikuh.

269

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB V

PENUTUP

Bahasa bukan hanya sekedar sarana untuk berkomunikasi. Banyak hal yang dapat dilakukan dengan bahasa, salah satunya adalah berkuasa melalui bahasa. Dengan bahasa seseorang bisa menguasai hidup orang lain, bahkan dapat menguasai sebuah negara dan juga dunia. Singkat kata bahasa adalah kekuatan. Kekuatan bahasa ternyata dilihat oleh Gramsci sebagai salah satu cara untuk meraih serta mempertahankan kekuasaan. Pengalaman Gramsci di Rusia ketika melihat relasi kekuasaan terjadi karena adanya relasi ekonomi antara kaum majikan dan buruh ternyata di Italia terdapat sebuah relasi kekuasaan yang lebih dahsyat yaitu adanya relasi kuasa bahasa. Bahasa Latin telah menguasai bahasa Ibu orang-orang di semenanjung Italia. Melalui bahasa Latin inilah kepemimpinan intelektual dan moral dibangun untuk membentuk

Hegemoni.

Dengan adanya Hegemoni, termasuk di dalamnya hegemoni bahasa, Gramsci lalu merancang sebuah strategi yang disebut sebagai Counter Hegemoni. Karena salah satu cara untuk meraih hegemoni adalah melalui relasi kuasa bahasa, maka counter hegemoni bahasa pun juga dilakukan dengan menggunakan bahasa. Sama seperti Hegemoni yang dibentuk melalui kepemimpinan intelektual dan moral, maka strategi counter hegemoni pun demikian. Ada tiga hal yang paling tidak harus disiapkan untuk melakukan counter hegemoni yaitu pembentukan kaum intelektual organik, good sense dan perang posisi. Namun harus diakui bahwa apa yang telah dirancang oleh Gramsci ini belum pernah “diujicoba” bahkan “dipraktekkan” langsung oleh Gramsci karena dia harus mati dalam status sebagai seorang tahanan dari rezim Fasis

Italia.

270

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Namun ketika kasus hegemoni bahasa terus terjadi di manapun di belahan dunia ini, maka konsep yang ditawarkan Gramsci ini menjadi layak untuk “diujicoba” dan ‘dipraktekkan”. Kita bisa melihat bagaimana bahasa Inggris yang dijadikan bahasa Internasional sebenarnya juga sedang menghegemoni bahasa-bahasa di dunia. Dan di belahan bumi Nusantara tepatnya di

Jawa juga berlangsung hal yang demikian. Sejak berpindahnya kekuasaan dinasti Mataram

Hindhu-Budhha ke dinasti Mataram Islam (era Sultan Agung) sebuah konstruksi bahasa Jawa mulai diterapkan sebagai salah satu cara melegitimasi kekuasaan yang baru terhadap kekuasaan yang lama. Lahirlah bahasa Krama dan Ngoko.

Akan tetapi pada akhirnya dinasti sang penguasa pun akhirnya terkena “boomerang” ketika ditaklukan oleh VOC yang juga akhirnya semakin membenamkan mereka dengan kontruksi bahasa Jawa Baku yang dibuat oleh pendahulu mereka. Mereka harus berbahasa Krama kepada orang asing yang telah menaklukkan mereka. Dan untuk menjaga kewibawaan mereka, maka rakyat haruslah ber-Krama kepada mereka sebagai tanda hormat mereka kepada Raja dan keluarganya.

Hal ini terus berlangsung hingga terbentuknya negara ini yang tidak menganut sistem kerajaan namun republik. Namun karena dianggap berjasa kepada negara, kerajaan-kerajaan penghasil konstruksi bahasa Jawa Baku itu tetap dipertahankan sebagai bagian dari negara Indonesia.

Disinilah peran bahasa mempunyai pengaruh yang kuat akan keberadaan mereka, karena dengan bahasa Jawa Baku kerajaan-kerajaan ini tetap bisa menunjukkan eksistensi “kuasa” mereka. Seluruh wilayah bekas “kekuasaan” mereka hingga sekarang menggunakan bahasa

Jawa Baku sebagai sebuah bahasa yang adiluhung. Sehingga dengan demikian maka bahasa lain yang ada di wilayah tersebut hanyalah sebagai sebuah bahasa yang tatarannya ada di bawah bahasa Jawa Baku.

271

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Bahkan sekelas bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia pun akhirnya terkena efek dari

Kramanisasi tersebut. Jika bahasa Indonesia saja bisa diperlakukan seperti itu, apalagi bahasa yang selama ini sudah terlanjur digilas oleh bahasa Jawa Baku, salah satunya adalah bahasa

“ngapak-ngapak” atau Banyumasan, yang sekarang disebut dengan istilah bahasa

Penginyongan. Bahasa Penginyongan sebagai bahasa yang masih dekat dengan bahasa Jawa kuno akhirnya hanya disebut sebagai sebuah dialek saja, yang identik digunakan sebagai bahan lawakan.

Namun saat ini geliat bahasa Penginyongan mulai bangkit dari tidurnya yang panjang. Bahasa

Penginyongan mulai diakui eksistensinya di luar wilayah Banyumasan. Novel RDP karya

Ahmad Tohari yang sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing, saat ini sudah diterjemahkan secara langsung oleh penulisnya ke dalam bahasa ibunya yaitu bahasa penginyongan. Bahkan Film “Sang Penari” yang diangkat dari novel RDP Ahmad Tohari juga ditampilkan dengan banyak adegan yang menampilkan bahasa Penginyongan. Selain itu

Alquran bahasa Penginyongan pun sudah diterbitkan secara resmi olehh KEMENAG RI.

Demikian juga dengan sudah adanya pendidikan Muatan lokal Bahasa Penginyomgan untuk

SD dan SMP sejak tahun pelajaran 2019/2020 berdasarkan SK Dinas Pendidikan Provinsi Jawa

Tengah. Dan menjadi sesuatu hal yang sangat penting juga, ketika Bupati Banyumas mengeluarkan SK Bupati pada tahun 2014 tentang penggunaan bahasa Penginyongan setiap hari kamis di instansi pemerintahan di Kabupaten Banyumas.

Bukan hanya samapai disitu saja, saat ini melalui dunia internet juga mulai merebak konten- konten Youtube yang menggunakan bahasa Penginyongan. Bahkan salah satu konten Youtube yaitu “Bocah Ngapa(k) Ya!”, menjadi salah satu konten yang viral. Bahkan sampai menarik perhatian salah satu stasiun televisi untuk menayangkannya. Hal tersebut menunjukkan bahwa

272

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

keberadaan bahasa Penginyongan semakin diakui diluar wilayah Masbarlingcakeb (Banyumas,

Banjarnegara, Purbalingga, Cilacap, Kebumen).

Namun ada sebuah fenomena lain yang justru berbanding terbalik, yaitu tentang keberadaan

Alkitab bahasa Penginyongan yang saat ini masih dalam tahap proses penterjemahan. Injil

Lukas yang sudah selesai diterjemahkan pada tahun 2015 ternyata nasibnya tidak seperti pihak- pihak lainnya yang saat ini sedang bergeliat menunjukkan eksistensi dari keberadaan bahasa

Penginyongan. Hingga saat ini Alkitab tersebut belum diakui secara “resmi” oleh lembaga gereja sehingga juga belum dipergunakan di gereja, dan salah satu gereja yang mempunyai sikap demikian adalah gereja GKJ.

Sebagai salah satu “gereja suku’ yang membawa nama Jawa tentunya identik dengan budaya

Jawa, dimana salah satu bentuk dari budaya Jawa adalah bahasa Jawa. Memang tidaklah salah jika gereja GKJ memilih bahasa Jawa sebagai bahasa resmi gerejawi karena toh GKJ hidup ditengah-tengah budaya Jawa, akan tetapi bahasa bukanlah mesin. Dan dengan belum diakuinya Alkitab bahasa Penginyongan secara resmi oleh gereja GKJ berarti menunjukkan bahwa keberadaan bahasa Jawa Baku dapat diibaratkan sebagai sebuah mesin.

Hal ini tidaklah jauh berbeda ketika bahasa Latin menghegemoni bahasa-bahasa Ibu di wilayah eks kekaisaran Romawi. Saat itu bahasa Latin dimonopoli oleh pihak gereja sehingga tidak diperbolehkannya adanya terjemahan Alkitab di luar bahasa Latin. Baru pada masa Reformasi gereja hegemoni itu mulai diruntuhkan. Sehingga sejak era Reformasi Gereja dengan didukung revolusi kapitalisme cetak, penerjemahan Alkitab ke dalam berbagai bahasa mulai menyebar luas. Demikian juga dengan penerjemahan Alkitab terhadap bahasa-bahasa di Nusantara juga dilakukan. Dimulai dari penerjemahan Alkitab ke dalam lingua franca bahasa Melayu hingga penerjemahan Alkitab bahasa daerah, dimana bahasa Jawa adalah Alkitab pertama dalam bahasa daerah di Nuasantara yang berhasil diterjemahkan. Dan melalui Alkitab terjemahan

273

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

bahasa Jawa inilah maka lambat laun lalu tebentuk komunitas-komunitas Kristen Jawa

(Pribumi) yang menjadi embrional gereja GKJ.

Namun jika dilihat dari proses terbentuknya bahasa Jawa Baku melalui sebuah konstruksi bahasa yang dibangun oleh penguasa maka pada dasarnya bahasa Jawa baku mempunyai akar relasi kuasa yang kuat. Dengan akar kekuasaan yang kuat inilah yang menyababkan ketika seseorang berbicara dengan bahasa Jawa Baku maka akan saling mencerminkan dan menimbulkan rasa rikuh. Dari sinilah yang akhirnya menyebabkan keberadaan Alkitab

Penginyongan di geraja GKJ, yang berada di wilayah Banyumasan, terhegemoni oleh bahasa

Jawa Baku.

Dengan adanya hegemoni bahasa seperti ini, maka konsep yang ditawarkan Gramsci yaitu tentang strategi Counter Hegemoni sepertinya bisa menjadi sebuah jalan keluar. Namun tentunya sebagaimana Gramsci merancang konsep tersebut berdasarkan situasi dan kondisi yang ada di Italia pada saat itu, tentu konsep tersebut juga harus dianalisa terlebih dahulu dengan melihat konteks yang menyekitari dari proses penerjemahan Alkitab bahasa

Penginyongan itu sendiri. Sebagai sebuah bahasa yang terhegemoni bahasa Jawa Baku maka tidak mungkin untuk melupakan dan meninggalkan konteks Jawa serta Indonesia.

Relasi kuasa bahasa Jawa Baku inilah yang lalu memunculkan konsep “kuasa kata” dari Ben

Anderson dan konsep “Bahasa Kosong” dari Shiraishi. “Kuasa Kata” dan “Bahasa Kosong” inilah yang menjadi wujud hegemoni bahasa Jawa Baku terhadap bahasa penginyongan yang terjadi di gereja GKJ yang berada di wilayah Banyumasan. Sehingga dengan hegemoni ala

Kramanisasi ini tentunya bisa disusun strategi counter hegemoni yang sesuai. Dan yang terpenting lagi adalah melihat bagaimana konteks dari gereja GKJ itu sendiri, yang dalam sistem pemerintah gerejawi menganut prinsip kepemimpinan Presbiterial-Sinodal. Dengan prinsip Presbiterial, maka setiap gereja lokal mempunyai otoritas untuk mengambil keputusan

274

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

atau kebijkan sendiri sesuai dengan kearifan lokal masing-masing. Sedangkan melalui prinsip

Sinodal, maka gereja GKJ baik secara klasikal maupun sinodal bisa mengambil keputusan secara bersama-sama.

Dari hal-hal itulah yang saat ini harus dijalani oleh para stakeholder, baik yang “terlibat” maupun yang “dilibatkan” bahkan yang “melibatkan” diri dalam proses penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan, dimana strategi counter hegemoni dapat menjadi salah satu bagian untuk mewujudnyatakan proses penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan ini menjadi sebuah

Alkitab yang utuh dan dapat diterima juga secara utuh oleh gereja GKJ, khususnya yang berada di wilayah Banyumasan, tanpa harus saling membawa cermin dan menimbulkan rasa rikuh.

Akhir kata, dengan berakhirnya tulisan ini maka tidak menutup kemungkinan akan muncul penelitian-penelitian lain yang berhubungan dengan permasalahan yang penulis tuangkan saat ini. Bisa jadi tulisan yang akan muncul adalah tulisan yang mendukung dari tulisan ini atau bahkan malah yang “mengcounter” tulisan ini. Namun tentunya semuanya masih dalam koridor kerangka akademis, sebagaimana tulisan ini juga ditulis dalam koridor kerangka akademis.

Dan pada akhirnya, walaupun tulisan ini menyinggung tentang kehidupan gereja, akan tetapi tulisan yang saat ini dituangkan adalah, sekali lagi, sebuah tulisan akademis dan bukanlah tulisan “gerejawi”. Sehingga melalui tulisan ini kiranya juga dapat memancing tulisan-tulisan lain yang juga ditulis secara akademis.

275

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

DAFTAR PUSTAKA

- Anderson, Benedict. 2000. Kuasa Kata (Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia),

Yogyakarta: Mata Bangsa.

------. 2001. Imagined Communities (Komunitas-komunitas Terbayang),

Yogyakarta: Pustaka Pelajar & Insist Press.

------. 2002. Hantu Komparasi : Nasionalisme, Asia Tenggara dan

Dunia, Yogyakarta: Qalam.

- Arifin, Syamsul (penyunting). 2006. Tata Bahasa Jawa Mutakhir, Yogyakarta:

Kanisius.

- Baryadi, I. Praptomo. 2012. Bahasa, kekuasaan, dan kekerasan, Yogyakarta:

Universitas Sanata Dharma.

- Berkhof, H. & Enklaar. I.H., 2009. Sejarah Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia.

- Bocock, Robert. 2011. Pengantar Komprehensif Untuk Memahami Hegemoni (penj :

Ikrammullah Mahyuddin), Yogyakarta: Jalasutra.

- Bourdieu, Pierre. 1991. Language and Symbolic Power, Cambridge: Harvard

University Press.

------, 2010. Arena Produksi Kultural : Sebuah Kajian Sosiologi Budaya,

(penj : Yudi Santosa), Yogyakarta: Kreasi Wacana.

- Chambert-Loir, Henri. 2009. Sadur (Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malayasia),

Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

- Coote, Robert B. & Mary P. Coote. 2001. Kuasa, Politik & Proses Pembuatan Alkitab,

Jakarta: BPK Gunung Mulia.

276

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

- Darmoatmodjo, J. 1953. Djemaat Kristen Gondokusuman Jogjakarta Empat Puluh

Tahun, dalam Buku Peringatan 40 Tahun Djemaat Kristen Gondokusuman Jogjakarta,

Jogjakarta: Panitia Peringatan Geredja Kristen Djawa Gondokusuman Jogjakarta.

- Dirdjosanjoto, Pradjarta. 2008. Sumber-sumber tentang Sejarah Gereja Kristen Jawa

1896-1980, Salatiga: Pusat Arsip Sinode GKJ.

- Fairclough, Norman. 2003. Language and Power (relasi bahasa, kekuasaan dan

ideology), Malang: Boyan Publishing.

- Fashri, Fauzi. 2014. Bourdieu: Menyingkap Kuasa Simbol, Yogyakarta: Jalasutra.

- Geertz, Clifford. 2013. Agama Jawa : Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan

Jawa, Depok: Komunitas Bambu.

- Geertz, Hildred. 1983. Keluarga Jawa, Jakarta: Grafitipers.

- Gramsci, Antonio. 2013. Prison Notebooks (Penj: Teguh Wahyu Utomo), Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

- Guillot, C. 1985. Kiai Sadrach: Riwayat Kristenisasi di Jawa (penj: Asvi Warman

Adam), Jakarta: PT Grafiti Press.

- Harker, Richard (editor). 2009. (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik (Pengantar

Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu), penj : Pipit Maizier,

Yogyakarta: Jalasutra.

- Herusatoto, Budiono. 2008. Banyumas (Sejarah, Budaya, Bahasa dan Watak),

Yogyakarta: LKiS.

- Jenkins, Richard. 2004. Membaca Pikiran Pierre Bourdieu, Yogyakarta: Kreasi

Wacana.

- Jones, Steve. 2006. Antonio Gramsci, London & New York: Routledge & Taylor and

Francis Group.

277

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

- Katoppo, P.G. 1987. Penuntun Terjemahan Dinamis, Jakarta: Lembaga Alkitab

Indonesia.

- Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa, Jakarta: PN Balai Pustaka.

- Kooiman, W.J. 2001. Martin Luther: Doktor dalam Kitab Suci, Reformator Gereja,

Jakarta: BPK Gunung Mulia.

- Kozok, Uli. 2010. Utusan Damai di tengah Kemelut Perang: Peran Zending dalam

Perang Toba, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

- Laclau, Ernesto & Chantal Mouffe. 2008. Hegemoni dan Strategi Sosialis: Pos

Marxisme dan Gerakan Sosial Baru (penj: Eko Prasetyo Darmawan), Yogyakarta:

Resist Book.

- Lombard, Denys. 2008. Silang budaya (1): Batas-batas Pembaratan, Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama.

------. 2008. Nusa Jawa (3): Silang Budaya (Warisan Kerajaan-kerajaan

Konsentris), Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

- Magnis S, Frans. 2005. Pemikiran Karl Marx (Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan

Revisionisme), Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

- Mazrek, Rudolf. 2006. Engineers of Happy Land : Perkembangan Tekonologi dan

Nasionalisme di sebuah Koloni, Jakarta: Buku Obor.

- Moeliono, Anton M. 1973. Aspek Etnoliguistik dalam Terjemahan, dalam Majalah Ilmu

Sastra Indonesia, Penerbit Bharata bekerjasama dengan Ikatan Sarjana Sastra

Indonesia.

- Murder, Neil. 2001. Mistisisme Jawa (ideologi di Indonesia), Yogyakarta: LKiS.

- Pemberton, John. 2003. On the subyek of “Java”, Yogyakarta: Mata Bangsa.

- Phillpot, Simon. 2003. Meruntuhkan Indonesia (Politik Postkolonial dan

Otoritarianisme), Yogyakarta: LKiS.

278

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

- Pozzolini, A. 2006. Pijar-pijar Pemikiran Gramsci, Yogyakarta: Resist Book.

- Priyadi, Sugeng. 2002. Banyumas : antara Jawa & Sunda, Semarang: Mimbar.

------. 2015. Menuju Keemasan Banyumas, Jakarta: Pustaka Pelajar.

- Purnomo, Hadi & Sastrosupono. M. Suprihadi. 1986. Gereja-gereja Kristen Jawa

(GKJ): Benih yang tumbuh dan berkembang di tanah Jawa, Yogyakarta: Taman

Pustaka Kristen.

- Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern: 1200-2008, Jakarta: Serambi Ilmu

Semesta.

------, 2013. Mengislamkan Jawa, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

- Ritzer, George & Douglas J. Goldman. 2011. Teori Marxis dan Berbagai Ragam Teori

Neo-Marxian (penj: Nurhadi), Yogyakarta: Kreasi Wacana.

- Sairin, Weinata (penyunting). 1994. Persebaran Firman di Sepanjang Jaman, Jakarta:

BPK Gunung Mulia.

- Shiraishi, Saya Sasaki. 2001. Pahlawan-pahlawan Belia (Keluarga Indonesia dalam

Politik), Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

- Shiraishi, Takashi. 1997. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926

(pent. Hilmar Farid), Jakarta: Grafiti.

- Siegel, James. 1986. Solo in the New Order (Language And Hierarchy in an Indonesia

City), New Jersey: Princenton University Press.

- Simon. Roger. 2004. Gagasan-gagasan Politik Gramsci (penj: Kamdani & Imam

Baehaqi), Yogyakarta: INSIST & Pustaka Pelajar.

- Simorangkir, Mangisi S.E. 2011. Ajaran Dua Kerajaan Luther dan Relevansinya di

Indonesia, Bandung: Penerbit satu-satu.

279

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

- Sinaga, Martin Lukito. 2004. Identitas Poskolonial “Gereja Suku” dalam Masyarakat

Sipil: Studi tentang Jaulung Wismar Saragih dan Komunitas Kristen Simalungun,

Yogyakarta: LKiS.

- Sindhunata. 1999. Bayang-bayang Ratu Adil, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

- Soekotjo, S.H. 2009. Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa (Jilid 1) : Di bawah Bayang-

bayang Zending 1858-1948, Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen.

------. 2009. Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa (Jilid 2) : Merajut Usaha

Kemandirian 1950-1985, Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen.

- Soesilo, Daud H. 1995. Mengenal Alkitab Anda, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.

- Susanto, Budi (editor). 2003. Politik & Postkolonialitas di Indonesia, Yogyakarta:

Lembaga Studi Realino & Kanisius.

- Swellengrebel, J.L. 2006. Mengikuti Jejak Leidejker Jilid 1 (1820-1900): Satu

Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa

Nusantara, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.

------. 2006. Mengikuti Jejak Leidejker Jilid 2 (1900-1970): Satu

Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa

Nusantara, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.

- Taylor, Jean Gealman. 2009. Kehidupan Sosial di Batavia, Jakarta: Komunitas Bambu

- Tohari, Ahmad. 2014. Kamus Dialek Bahasa Banyumas-Bahasa Indonesia,

Purwokerto: Yayasan Carablaka.

------. 2014. Ronggeng Dhukuh Paruk (Basa Banyumasan), Purwokerto:

Yayasan Carablaka.

------. 2003. Ronggeng Dukuh Paruk, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

280

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

------. 2018. Jejak Tradisi Jawa Kuna Dalam Kebudayaan Jawa

Banyumasan, dalam Kongres Kebudayaan Jawa II, Surabaya: Pengarusutamaan

Kebudayaan Jawa untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat.

- Van den End, Th. 2012. Ragi Carita 1: Sejarah Gereja di Indonesia tahun 1500-

1860an, Jakarta: BPK Gunung Mulia.

------& Weitens. J. 2012. Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia

tahun 1860an- sekarang, Jakarta: BPK Gunung Mulia.

- Wolterbeek, J.D. 1990. Babad Zending di Tanah Jawa, Yogyakarta: Taman Pustaka

Kristen.

281