PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ALKITAB BAHASA PENGINYONGAN: COUNTER HEGEMONI TERHADAP BAHASA JAWA BAKU DI GEREJA GKJ DI WILAYAH BANYUMASAN
OLEH: Probo Kusumo
NIM: 176322012
PEMBIMBING: Dr. Alb. Budi Susanto, S.J.
MAGISTER KAJIAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2020
i
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ALKITAB BAHASA PENGINYONGAN: COUNTER HEGEMONI TERHADAP BAHASA JAWA BAKU DI GEREJA GKJ DI WILAYAH BANYUMASAN
OLEH: Probo Kusumo
NIM: 176322012
PEMBIMBING: Dr. Alb. Budi Susanto, S.J.
MAGISTER KAJIAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2020
i
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Persetujuan Pembimbing
Ujian Tesis
ALKITAB BAHASA PENGII\IYONGAIY: COT]NTER. IdT'GEMONI
TERIIADAP BAHASA JAWA BAI(U DI GEREJA GKJ
DI WILAYAH BANYUMASAI{
,&l${;r$r
Dr. Alb. Budi Susanto" S.J.
Pembimbing
I PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Pengesahan
Tesis
ALKTTAB BAHASA PENGIFI-YONGAN: COUNTER HEGEMOi\-I
TERIIADAP BAIIASA JAWA BAI(U DI GEREJA GKJ
DI WILAYAH B.{I{YUMASAI{
Oleh: Kusumo
Telah Penguji
24
Ketua/Sekretaris:
Anggota
,*g Q'o."- : Dra.
e : Dr. Alb. Budi Susanto, S.J" ffir
10 September 2A20 Pascasarjana
Budi Subanar, S.J.
ilt PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Surat Pernyataan
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul "Alkitab Bahasa Penginyongan: Counter
Hegemoni Terhadap Bahasa Jawa Baku di Gereja GKJ di Wilayah Banyumasan" merupakan hasil karya dan penelitian saya sendiri. Didalam Tesis ini tidak terdapat bagian yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar akademis di suatu perguruan tinggi. Peminjaman karya- karya akdemis lain di dalam tesis adalah semata-semata untuk keperluan ilmiah sebagaimana diacu secara tertulis dalam daftar pustaka.
Yogyakarta, 24 Juli 2020
Probo
IV PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Probo Kusumo
NIM :776322012
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas
Sanata Dharma karyailmiah saya yang berjudul:
ALKITAB BAHASA PENGIFIYONGAII: COUNTER IIEGEMO}{I TERIIADAP
BAIIASA JAWA BAKU DI GEREJA GKJ DI WILAYAH BAI\"YUMASA}I
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pemyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
24luli2019
Yang menyatakan
/L/r
Probo
V PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KATA PENGANTAR
“Pada mulanya adalah perlawanan”, jargon ini menandai munculnya Kajian Budaya. Melalui tesis ini bahasa “ngapak-ngapak” atau Banyumasan, yang di tesis ini disebut dengan bahasa
Penginyongan, melakukan perlawanan terhadap hegemoni bahasa Jawa Baku. Counter hegemoni ini salah satunya dilakukan melaui penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan.
Sehingga dari hal ini nampak jelas bahwa perlawanan itu terjadi di lingkup gereja, khususnya gereja GKJ di wilayah Banyumasan (Kab. Banyumas, Banjarnegara, Purbalingga, Cilacap dan
Kebumen). Melalui perlawanan ini maka menunjukkan bahwa telah terjadi sebuah relasi kuasa di dalam tubuh gereja GKJ di wilayah Banyumasan, yaitu adanya hegemoni Bahasa Jawa Baku terhadap Bahasa Penginyongan. Dengan demikian maka Alkitab bahasa Penginyongan dapat digunkan sebagai sebuah sarana counter hegemoni terhadap bahasa Jawa Baku di lingkungan gereja GKJ di wilayah Banyumasan.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Romo Budi Susanto yang telah menunjukkan banyak
“pisau bedah” yang akhirnya bisa saya gunakan untuk menyelesaikan penulisan tesis ini. Dan tentunya juga saya ucapkan terima kasih kepada semua dosen IRB yang telah memberikan banyak “strategi” untuk melakukan berbagai macam bentuk perlawanan. Untuk keluargaku yang aku cintai di Klaten (Mama, Vira cantik dan Eyang) terima kasih sudah memberi kebebasan bagiku untuk belajar. Keluarga di Purwokerto (Ibu, mas Bowo dan mba Lies) terima kasih atas dukungan morilnya. Terima kasih kepada GKJ Ketandan tempat pelayananku sebagai seorang Pendeta, baik kepada Majelis Gereja dan juga untuk semua jemaat, yang telah merelakan aku untuk mengurangi kegiatan pelayaanan gerejawi demi menambah banyak wawasan dengan kesempatan studi S2 serta menanggung semua biayanya. Terima kasih untuk saudara-saudaraku para penerjemah Alkitab bahasa Penginyongan di PASEBAN berserta
vi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
seluruh stakeholder yang terlibat di dalamnya yang telah banyak membantu saya dalam hal melihat fenomena yang nyata dan faktual tentang bahasa Penginyongan di wilayah
Banyumasan.
Akhir kata, tesis ini aku persembahkan secara khusus untuk Bapak yang sudah hidup dengan penuh kedamaian di surga bersama Tuhan Yesus, seorang Bapak yang selalu mengarahkan anak-anaknya untuk tetap menggunakan bahasa Penginyongan sebagai bahasa komunikasi sehari-hari. Untuk mbok Sitem, yang hingga saat ini aku belum bisa datang ke pusaranya, yang menjadi pengasuh masa kecilku yang memperkenalkan aku dengan nilai-nilai budaya
Banyumasan. Dan tentunya tidak lupa untuk gereja-gereja, khususnya gereja GKJ di wilayah
Banyumasan, yang saat ini sedang berjuang untuk mengangkat bahasa Penginyongan sebagai bahasa resmi gerejawi berdampingan dengan bahasa Jawa dan Indonesia, kiranya Alkitab yang
“Pada mulanya adalah Firman”, dengan adanya Alkitab bahasa Penginyongan maka keberadaannya dapat menjadi sebuah “Firman yang dapat digunakan untuk melakukan berbagai macam perlawanan”.
vii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ABSTRAK
Relasi Kuasa menjadi sebuah kenyataan yang selalu ada dalam kehidupan ini. Melalui berbagai macam realitas sosial yang terjadi banyak bentuk relasi kuasa yang tercipta, salah satunya adalah melalui bahasa. Relasi kuasa yang demikian oleh Gramsci disebut sebagai hegemoni bahasa.
Hegemoni bahasa dapat terjadi di berbagai tempat, tidak terkecuali di dalam kultur kehidupan orang Jawa melalui bahasa Jawa Baku. Bahasa Jawa Baku sebagai sebuah bahasa konstruksi melahirkan adanya bahasa Ngoko dan Krama yang lalu memunculkan konsep “Kramanisasi” bahasa. “Kramanisasi” inilah yang lalu menjadikan bahasa “nagapak-ngapak” atau
Penginyongan menjadi terhegemoni oleh keberadaan bahasa Jawa Baku. Salah satu hal yang dirasakan adalah ketika terjadi proses penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan.
Gereja GKJ sebagai salah satu gereja yang menggunakan bahasa Jawa Baku sebagai bahasa resmi gerejawi terlihat masih terasa berat untuk menjadikan bahasa Penginyongan sebagai bahasa resmi gerejawi. Tesis ini akan menyoroti sejauh mana peran Alkitab bahasa
Penginyongan sebagai sarana counter hegemoni terhadap hegemoni bahasa Jawa Baku di dalam lingkup gereja GKJ yang berada di daerah Banyumasan.
Kata kunci : Hegemoni Bahasa, Bahasa Jawa Baku, Alkitab Bahasa Penginyongan, Counter
Hegemoni.
viii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
TITLE:
THE BIBLE OF PENGINYONGAN LANGUAGE: COUNTER HEGEMONY TOWARDS
STANDARD JAVANESE IN GEREJA KRISTEN JAWA IN BANYUMAS REGION
ABSTRACT:
Power relations becomes a reality whisch alwayas exist in life. Through various kind of social reality happening, many power relations are created, one of them is language. This kind of power relation by Gramsci is called language/linguistik hegemony.
Language/linguistik hegemony can occur in every place, including in Javanese’s culture life through Standard Javanese. Standard Javanese as construction language creates the existence of Ngoko and Krama language which appear “Kramanisasi” language concept. This
“Kramanisasi” make “Ngapak-ngapak” or Penginyongan language become hegemonized by the existence of Standard Javanese. One of thing that was felt was the process of the bible of
Penginyongan language translation.
Gereja Kristen Jawa (GKJ) as one of the churches using Standard Javanese as official language as burdened to make Pengiyongan language as the official language of church. This thesis will highlight how far the role of the bible of Penginyongan language as means of counter hegemony of Standard Javanese in the scope of Gereja Kristen Jawa (GKJ) in Banyumas region.
KEYWORDS: Language/Lingusitik Hegemony, Standard Javanese. Kramanisasi, The Bible of Penginyongan Language, Counter Hegemony.
ix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR ISI
Halaman Judul ...... i
Persetujuan Pembimbing ...... ii
Pengesahan ...... iii
Surat Pernyataan ...... iv
Pernyataan Persetujuan Publikasi ...... v
Kata Pengantar ...... vi
Abstrak ...... viii
Abstract ...... ix
Daftar isi ...... x
BAB I PENDAHULUAN ...... 1
A. Latar Belakang ...... 1
B. Rumusan Permasalahan ...... 32
C. Tujuan Penulisan ...... 33
D. Tinjauan Pustaka ...... 34
E. Kerangka Teori ...... 37
F. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ...... 40
G. Sistematika Penulisan ...... 41
x
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB II RELASI KUASA DALAM PROSES PENERJEMAHAN ALKITAB .... 42
A. Sejarah Perkembangan Penerjemahan Alkitab dari masa ke masa dan Sisi
Politisnya ...... 42
1. Tahun 200 s.M. – 400 M...... 44
2. Tahun 400 M. – 1500 M...... 45
3. Tahun 1500 M. – 1960 M...... 46
4. Tahun 1960 M. - sekarang ...... 49
B. Sejarah Perkembangan Penerjemahan Alkitab di Indonesia & Sisi Politisnya 50
1. Periode pertama (1629 – 1811: era VOC – kedatangan Thomas Raffles) 53
a. Penerjemahan Alkitab bahasa Portugis ...... 53
b. Penerjemahan Alkitab dalam bahasa Melayu ...... 55
i. Injil Matius terjemahan Ruyl (1629) ...... 56
ii. Perjanjian Baru terjemahan Brouwerious (1668) ...... 57
iii. Alkitab Terjemahan Leijdecker (1733) ...... 58
2. Periode kedua (1811 – 1950: era Thomas Raffles–era Indonesia merdeka) 59
a. Revisi Terjemahan Alkitab Bahasa Melayu ...... 61
i. Revisi Terjemahan Liejdecker ...... 61
ii. Alkitab terjemahan Klinkert (1879) ...... 63
iii. Alkitab terjemahan Shellabear (1912) ...... 64
iv. Perjanjian Baru terjemahan Bode (1938) ...... 65
b. Alkitab Bahasa Daerah (Bahasa Ibu) ...... 66
i. Bahasa Jawa ...... 67
a) Terjemahan Bruckner ...... 67
b) Terjemahan Gericke ...... 69
c) Terjemahan P. Jans ...... 72
xi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii. Bahasa Batak (Toba) ...... 75
a) Terjemahan Tuuk ...... 76
b) Terjemahan Nommensen dan Johannsen ...... 77
c. Alkitab Bahasa Simalungun ...... 79
3. Periode ketiga (1950 – sekarang) ...... 81
a. Penerjemahan Alkitab Bahasa Indonesia ...... 83
i. Terjemahan Lama (Terjemahan masa peralihan): 1958 ...... 83
ii. Perjanjian Baru terjemahan Gereja Katholik: 1964 ...... 84
iii. Terjemahan Baru: 1974 ...... 84
iv. Bahasa Indonesia Sehari-hari : 1985 ...... 85
b. Bahasa Daerah ...... 86
C. Relasi Kuasa Dalam Penerjemahan Alkitab ...... 89
BAB III HEGEMONI BAHASA JAWA BAKU TERHADAP PROSES
PENERJEMAHAN ALKITAB BAHASA PENGINYONGAN ...... 94
A. Hegemoni ...... 94
B. Hegemoni Bahasa ...... 102
C. Sejarah Perkembangan Bahasa Jawa ...... 112
D. Konstruksi Bahasa Jawa Baku ...... 119
1. Bermula dari kolonialisme ...... 119
2. Konsep Kuasa Barat Modern (Kontemporer) dan Jawa ...... 121
a. Konsep Kuasa Barat Modern ...... 122
b. Konsep Kuasa Jawa ...... 123
3. Konstruksi bahasa Jawa “Baku” sebagai “pemersatu” konsep kuasa Barat
modern dan Jawa...... 124
4. Pertentangan terhadap bahasa Jawa Baku (ngoko-krama)...... 131
xii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
E. Hegemoni Bahasa Jawa “Baku” Terhadap Bahasa Penginyongan...... 134
1. Dari teks hingga audio-visual (karya-karya Ahmad Tohari) ...... 134
a. Novel “Ronggeng Dukuh Paruk” (Versi bahasa Banyumasan) ...... 136
b. Novel RDP versi bahasa Indonesia...... 150
c. Film “Sang Penari” ...... 153
2. Penerjemahan Alkitab bahasa “Penginyongan” ...... 155
a. Sejarah singkat Paseban ...... 156
b. Bermula dari adanya sebuah “kebutuhan” (Cerita tentang Rasiwen) 160
c. Dilakukan oleh orang-orang “awam” ...... 162
F. Hegemoni Bahasa Jawa Baku terhadap proses penerjemahan Alkitab bahasa
Penginyongan...... 166
G. Data Penelitian ...... 173
H. Hegemoni Bahasa melalui Kramanisasi ...... 185
1. Kuasa Kata ...... 188
2. Bahasa kosong ...... 200
BAB IV COUNTER HEGEMONI TERHADAP BAHASA JAWA BAKU
MELALUI PENERJEMAHAN ALKITAB BAHASA PENGINYONGAN 213
A. Counter Hegemoni terhadap “kuasa kata” & “bahasa kosong” ...... 213
1. Konsep Counter Hegemoni Gramsci ...... 214
a. Intelektual Organik ...... 215
b. Good Sense ...... 220
c. Perang Posisi ...... 225
2. Counter Hegemoni terhadap “Kuasa Kata” & “Bahasa Kosong” Melalui
Konten Media Internet. (Studi Kasus konten “Bocah Ngapa(k) Ya!”) ...... 234
a. Counter Hegemoni terhadap Kuasa Kata ...... 235
xiii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
b. Counter Hegemoni terhadap Bahasa Kosong ...... 241
B. Penerjemahan Alkitab bahasa Panginyongan sebagai sarana Counter Hegemoni
terhadap “Kuasa Kata” & “Bahasa Kosong” dalam bahasa Jawa Baku...... 246
1. Terbentuknya kaum Intelektual Organik dalam penerjemahan Alkitab
bahasa penginyongan...... 248
2. Penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan melahirkan Good Sense 253
3. Penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan sebagai strategi Perang Posisi 258
BAB V PENUTUP ...... 270
DAFTAR PUSTAKA ...... 276
xiv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sinode Gereja-gereja Kristen Jawa yang berdiri pada tanggal 17 Februari 1931 di kota
Kebumen adalah sebuah perwujudan dari rasa kebersamaan gereja-gereja Jawa yang
dihasilkan oleh badan zending (misi) Belanda, terutama oleh zending dari gereja-gereja
Gereformed Belanda yang melakukan misinya di wilayah Jawa Tengah bagian selatan.1
Keberadaan Gereja Kristen Jawa mula-mula tentunya tidak bisa dilepaskan dari adanya
komunitas orang Jawa yang telah menjadi Kristen. Dan berdasarkan apa yang dicatat oleh
Wolterbeek, terdapat komunitas orang Kristen Jawa yang tersebar di daerah-daerah, yang
sekarang disebut dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dan komunitas orang Kristen Jawa
di Jawa Tengah bagian selatan pada awalnya bermula dari adanya 9 orang dari daerah
Banyumas yang berprofesi sebagai buruh pabrik rela berjalan menuju Semarang hanya
untuk menerima tanda sakramen baptis pada tanggal 10 Oktober 1858.2 Dimana setelah
dibaptis mereka membentuk sebuah komunitas Kristen Jawa kecil di Banyumas dibawah
asuhan Ny. Philips van Oostrom, seorang Indo-Belanda yang menjadi pengusaha batik di
kota Banyumas yang pada waktu itu menjadi ibukota dari Karesidenan Banyumas.3
1 S.H. Soekotjo, Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa (Jilid I): Di Bawah Bayang-bayang Zending (1858-1948), Taman Pustaka Kristen, Yogyakarta, 2009, hal 379. 2 J.D. Wolterbeek, Babad Zending di Pulau Jawa, Taman Pustaka Kristen, Yogyakarta, 1995, hal 35. 3 Karesidenan adalah daerah administratif masa pemerintah kolonial Hindia-Belanda (dimulai tahun 1830) yang terdiri dari beberapa kabupaten, dimana eks Karesidenan Banyumas sekarang menjadi 4 Kabupaten yaitu: Banyumas, Cilacap, Purbalingga dan Banjarnegara. Band: Yustina Hastrini Nuwanti dkk, Sejarah Perkembangan Ekonomi dan Kebudayaan di Banyumas (Masa Gandasubrata tahun 1913-1942), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal kebudayaan Balai Pelestarian Nilai Budaya, Yogyakarta, 2015, hal 17-18; lih. juga Ahmad Tohari, Jejak Tradisi Jawa Kuna Dalam Kebudayaan Jawa Banyumasan; dalam buku “Kongres Kebudayaan Jawa II”, 2018, hal 140. 1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Melihat keberadaan Gereja Kristen Jawa (GKJ) yang bermula dari daerah Banyumas maka
tentunya keberadaannya tidak bisa terlepas dari tradisi atau budaya Banyumasan, salah
satunya yaitu perihal bahasa lokal. Namun perihal bahasa lokal ini sepertinya tidak
menjadi perhatian yang utama bagi kelancaran jalannya misi zending dari gereja
Gereformed Belanda yang bertugas di daerah Banyumasan. Menurut catatan pendeta
utusan Belanda yang ditugaskan di daerah Banyumas yaitu Pdt. Ruijssenaers, mengatakan
bahwa perkembangan misi di Banyumas mengalami kendala karena para guru Injil yang
berasala dari kaum pribumi tidak menggunakan “bahasa jawanya sendiri” sebagai acuan
didalam melakukan tugas misinya.4 Hal ini dikarenakan pada waktu itu bahasa yang
digunakan adalah bahasa Melayu dan bahasa Jawa, hal ini terkait dengan keberadaan
Alkitab bahasa Melayu dan Jawa. Terkhusus untuk bahsa Jawa tentunya adalah bahasa
Jawa yang digunakan sebagai bahasa Alkitab, dimana bahasa jawa tersebut yang dipakai
adalah gaya Jogja-Solo bukan dengan bahasa Jawa khas Banyumasan yang oleh
Pdt. Ruijssenaers disebut sebagai “bahasa jawanya sendiri”.
Penggunaan bahasa Jawa gaya Solo-Jogja ini sepertinya dipengaruhi oleh karena gaya
pendekatan yang dilakukan badan misi kepada para bangsawan Jawa (keraton) untuk bisa
membantu jalannya misi di wilayah tersebut. Walaupun pada akhirnya para bangsawan
Jawa tersebut tidak tertarik dengan hal tersebut, akan tetapi paling tidak para bangsawan
Jawa tersebut akhirnya menghibahkan tanah mereka untuk pembangunan rumah sakit baik
di Jogja maupun di Solo, demikian juga dengan sekolah-sekolah yang didirikan zending
juga banyak difasilitasi dari pihak keraton.5 Dari rumah sakit dan sekolah inilah yang
akhirnya melahirkan orang-orang Kristen Jawa sehingga pada nantinya tokoh-tokoh awal
dari gereja GKJ adalah mereka yang bekerja sebagai tenaga kesehatan dan pendidikan.
4 J.D. Wolterbeek, Babad Zending di Pulau Jawa, Taman Pustaka Kristen, Yogyakarta, 1995, hal 190. 5 Th. Sumartana, Mission at the Crossroads, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1993, hal 98-99. 2
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Selain itu murid-murid yang telah menjadi Kristen juga banyak yang menjadi “priyayi”
baru karena sebagain besar dari mereka yang bersekolah pada nantinya bekerja sebagai
Pamong Praja.
Dari situlah maka misi zending di awal pendirian gereja GKJ banyak dipengaruhi oleh
keberadaan golongan priyayi,6 walaupun sebenarnya pada awalnya adalah kalangan kelas
bawah terlebih dahululah yang menjadi Kristen, terutama mereka yang bekerja sebagai
pembantu di rumah para keluarga misionaris.7 Berkaitan dengan golongan priyayi, Pdt.
Darmohatmojo mengatakan bahwa jemaat GKJ bukan hanya berisi orang kebanyakan saja
akan tetapi juga berisi golongan bangsawan, pegawai dan intelektual.8 Dengan hal tersebut
Pdt. Darmohatmojo sebenarnya sedang menentang pandangan bahwa orang Kristen Jawa
adalah orang Jawa rendahan.
Dari hal tersebut maka terjadilah penyesuaian diri dengan kemasyarakatan jawa,
khususnya dalam hal bahasa dimana akhirnya keberadaan bahasa Jawa gaya Jogja-Solo
yang dianggap sebagai bahasa yang adiluhung lalu digunakan sebagai bahasa resmi
gerejawi GKJ.9 Dengan hal demikianlah yang lalu menyebabkan bahasa Jawa gaya lain
menjadi tersingkirkan, salah satunya adalah bahasa Jawa gaya Banyumasan. Melihat hal
6 Ibid hal 100 - Sumartana menyebut dua nama yaitu Pangeran Nototaruno dari keluarga Pakualaman dan Cephas (seorang fotografer profesional dari kalangan pribumi). Band. Ds. J. Darmoatmojo, Djemaat Kristen Gondokusuman Empat Puluh Tahun 7 Ibid hal 99 8 Yang dimaksud golongan Priyayi dari golongan Kristen Jawa adalah : - Cephas (Kassian Cephas) adalah seorang Jawa yang bisa berbahasa Belanda, Inggris dan perancis serta berprofesi sebagai seorang fotografer yang bekerja untuk Keraton Jogja. (Ds. J. Darmoatmojo, Djemaat Kristen Gondokusuman Empat Puluh Tahun, hal 28-30). - Pangeran Nototaroeno dari Puri Pakualaman yang dibaptis bersama dengan 3 putranya di Karangjasa oleh Pdt. Wilhem pada tanggal 30 Mei 1887. (Ds. J. Darmoatmojo, Djemaat Kristen Gondokusuman Empat Puluh Tahun, hal 30-31; band. juga dengan M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern: 1200-2008, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2008, hal 277) - Guru-guru Injil yang diangkat dari kalangan pribumi yang terpelajar dan mempunyai “nama” di desanya. (Ds. J. Darmoatmojo, Djemaat Kristen Gondokusuman Empat Puluh Tahun, hal 33-34) 9 Hadi Purnomo & M. Suprihadi Sastrosupono, Gereja-gereja Kristen Jawa: Benih Yang Tumbuh dan Berkembang di tanah Jawa, Taman Pustaka Kristen, Yogyakarta, 1986, hal 30. 3
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tersebut maka sebenarnya telah terjadi sebuah relasi kuasa di dalam tubuh gereja GKJ,
khususnya dalam relasi kuasa bahasa.
Terkait dengan realsi kekuasaan, Karl Marx dengan teori basis-suprastruktur menilai
bahwa relasi kekuasaan terjadi pada relasi ekonomi khususnya antara kaum pemilik modal
(kelas majikan) dengan para buruh (kelas pekerja). Terjadinya relasi yang demikian
dikarenakan pengaruh revolusi industri yang terjadi pada tahun 1750-1850 dimana terjadi
perubahan besar-besaran dari bidang pertanian ke industri yang mempengaruhi banyak
aspek kehidupan manusia. Dari pemikiran Karl Marx inilah yang digunakan oleh Lenin
untuk melakukan sebuah revolusi di Rusia yang terkenal dengan sebutan “Revolusi
Bolshevik”.
Apa yang dipikirkan oleh Marx dipertanyakan oleh Antonio Gramsci (1891-1937) yang
menilai bahwa relasi kuasa tidak hanya terjadi pada relasi ekonomi antara kaum majikan
dan kaum buruh saja, akan tetapi juga bisa terjadi pada relasi-relasi lainnya yang
melibatkan antar golongan yang bukan hanya terjadi pada kamu buruh dan kaum majikan
saja. Sesuatu hal yang terjadi di Rusia ternyata tidak serta merta bisa diterapkan di Italia.
Apa yang terjadi pada konteks Italia ternyata memperlihatkan bahwa relasi kekuasaan
tidak hanya terjadi pada relasi ekonomi saja, namun juga bisa terjadi pada relasi-relasi
yang lain, salah satunya yaitu pada relasi bahasa.10
Relasi kuasa bahasa tersebut ditunjukkan oleh Gramsci dengan melihat apa yang terjadi
pada dunia pendidikan di Italia dimana bahasa Latin dan Yunani menjadi bagian yang
sangat penting untuk dipelajari. Bahasa Latin dan Yunani dipelajari dalam rangka untuk
mengetahui peradaban bangsa Yunani dan Roma sebagai sebuah peradaban yang dinilai
10 Antonio Gramsci, Prison Notebooks (Penerjemah: Teguh Wahyu Utomo), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013, hal 51-55. 4
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sebagai awal peradaban modern. Pengistimewaan pada bahasa Latin dan Yunani di dalam
dunia pendidikan akhirnya membuat bahasa Italia sepertinya hanya menjadi bahasa lisan
saja, padahal pada sekitar abad 13 bahasa Italia sudah berkembang menjadi bahasa tulis.11
Hal ini menunjukkan sepertinya bahasa Latin dan Yunani menjadi bahasa yang lebih
“adiluhung” dibandingkan dengan bahasa Italia. Oleh karena itu dengan melihat apa yang
terjadi di Italia, menurut Gramsci, ternyata sebuah relasi kekuasaan juga bisa terjadi
melalui relasi bahasa.12 Dengan ada relasi kekuasaan di dalam bahasa ternyata
“Hegemoni” juga bisa terjadi pada relasi bahasa.
Relasi kekuasaan yang terjadi pada relasi bahasa seringkali menyebabkan sebuah bahasa
mendominasi bahasa-bahasa lainnya. Sebagai contoh adalah penggunaan bahasa Inggris
sebagai “bahasa Internasional” ternyata bukan hanya mendominasi terhadap bahasa negara
lain saja namun juga ternyata menyingkirkan bahasa-bahasa yang ada di daratan Inggris
karena bahasa Inggris yang digunakan sebenarnya adalah dialek East Midland.13
Pemakaian dialek East Midland inilah yang lalu menyingkirkan dialek-dialek lainnya yang
ada di kepulauan Inggris.
Bahasa Inggris versi East Midland inilah yang lalu dijadikan sebagai bahasa resmi di
wilayah Britania Raya. Bahkan dengan kekuasaan bangsa Inggris di era imperialism
dengan menguasai jalur perdagangan dunia maka bahasa Inggris dijadikan sebagai bahasa
perdagangan. Sehingga melalui jalur perdagangan inilah bahasa Inggris lalu menjadi
bahasa resmi perdagangan dunia. Bahasa Inggris yang digunakan secara resmi di dalam
11 ibid hal 67. 12 S. Jones, “Antonio Gramsci”, Routledge, 2006, hal 37. 13 Norman Fairclough, Language and Power (relasi bahasa, kekuasaan dan ideology), Alih bahasa: Indah Rohmani (Komunitas Ambarawa), Boyan Publishing, Malang, 2003, hal 65. 5
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
aras perdagangan inilah yang oleh Bourdieu disebut sebagai sebuah “standard language”
yang telah dibakukan melalui proses kontruksi bahasa.14
Pengkonstruksian bahasa yang terjadi pada bahasa Inggris, dalam arti tertentu, juga terjadi
pada bahasa Jawa di pulau Jawa. Benedict Anderson (1936-2015) mengungkapkan bahwa
kontruksi bahasa Jawa dirancang oleh pihak Belanda dan Keraton Surakarta sekitar abad
ke-18 yang fokus perhatiannya tertuju pada perkembangan bahasa Krama dan Krama
Inggil yang akhirnya nanti menuju pada proses “Kramanisasi” bahasa Jawa.15 Kramanisasi
inilah yang lalu menghasilkan tataran atau tingkatan bahasa yang lalu sering disebut
sebagai basa krama inggil, krama madya dan ngoko. Tingkatan bahasa inilah yang lalu
menyebabkan terjadinya “kasta” di dalam pengguanaan bahasa di antara kaum ningrat dan
rakyat biasa, dimana rakyat biasa harus menggunakan bahasa “Krama” ketika berbicara
dengan kaum ningrat sedangkan sebaliknya bagi kaum ningrat ketika berbicara dengan
rakyat biasa cukup hanya berbicara dengan bahasa “ngoko” saja. Dari cara berbahasa
inilah yang lalu menjadi simbol kekuasaan Keraton terhadap rakyatnya.
Model kekuasaan yang demikian yang lalu juga diterapkan di wilayah Banyumas yang
pada waktu itu menjadi bagian daerah dari Keraton yang disebut sebagai daerah
Mancanegari Kulon.16 Dan ketika para utusan dari Keraton datang ke daerah Banyumasan
maka merekapun menggunakan cara berbahasa dengan gaya Solo-Jogja yang
menggunakan model “Krama-Ngoko”.17 Sehingga dari gaya bicara mereka ini maka
orang-orang Banyumas menyebut mereka sedang berbicara dengan gaya “Gandhek”
14 Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power, Harvard University Press, Cambridge, 1991, hal 46-48. 15 Benedict Anderson, Kuasa Kata (Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia), Mata Bangsa, Yogyakarta, 2000, Hal 432-437. 16 Yustina Hastrini Nuwanti dkk, Sejaraha Perkembangan Ekonomi dan Kebudayaan di Banyumas (Masa Gandasubrata tahun 1913-1942), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal kebudayaan Balai Pelestarian Nilai Budaya, Yogyakarta, 2015, hal 17. 17 6
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
karena mereka yang datang adalah para gandhek atau pembantu Keraton.18 Dari kata
“gandhek” inilah orang-orang Banyumasan menyebut dengan istilah bahasa
“Bandhekan”.19 Bahasa Jawa gaya “Bandhek” inilah yang lalu ditetapkan sebaga sebuah
bahasa resmi sejak era Kerajaan Pajang sehingga seluruh wilayah Pajang kemudian harus
menggunakan gaya bahasa tersebut,20 dari sinilah mulai dirintis bentuk Bahasa Jawa
Krama dimana nantinya lebih ditindaklanjuti secara intensif pada zaman Kerajaan
Mataram Islam.21
Gaya bahasa Jawa yang demikianlah yang yang lalu dipakai sebagai bahasa “resmi” orang
Jawa, maka muncullah istilah “bahasa Jawa Baku”.22 Istilah “Bahasa Jawa Baku” sendiri
digunakan untuk membedakan bahasa Jawa gaya Keraton (Jogja-Solo) dengan bahasa
Jawa yang digunakan di luar Keraton, sehingga dengan hal tersebut sebenarnya sedang
menunjukkan akan adanya perbedaan variasi pemakaian bahasa yang disebut dialek.23
Secara umum, Praptama Baryadi membedakan dialek menjadi 2 yaitu dialek geografi dan
dialek sosial. Dialek geografi adalah dialek yang ditentukan oleh perbedaan wilayah,
sedangkan dialek sosial adalah dialek yang disebabkan perbedaan kelompok sosial
penutur. Dari sini terlihat sebenarnya dialek Banyumasan sebenarnya adalah dialek yang
dipengaruhi oleh perbedaan wilayah atau dialek geografi.24
Namun berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Drs. Mukidi Adisumarto pada tahun
1986, dikatakan bahwa Bahasa Jawa Baku di daerah Banyumasan digunakan pada
khususnya pada peristiwa atau suasana resmi serta digunakan sebagai bahasa pengantar di
18 Budiono Herusatoto, Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak, LKiS, Yogyakarta, 2008, hal 135-138 19 ibid hal 133 20 Ibid hal 138 21 Ibid hal 162 22 Ibid hal 159-161 23 I. Praptomo Baryadi dkk, Tata Bahasa Jawa Mutakhir, Kanisius, Yogyakarta, 2006, hal 13 24 Ibid hal 17 7
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kelas (sekolah) dan juga diajarkan sebagai mata pelajaran bahasa daerah.25 Demikian juga
ternyata masyarakat Banyumas, terutama yang terpelajar, akan menggunakan Bahasa Jawa
Baku jika bertemu atau menerima tamu dari daerah Jogja-Solo, hal ini dikarenkan karena
mereka merasa bahwa Bahasa Jawa Baku dianggap lebih berwibawa.26 Dari hasil
penelitian tersebut memperlihatkan bahwa sebenarnya dialek Jogja-Solo yang lalu
dijadikan sebagai Bahasa Jawa Baku tidak hanya digunakan di wilayah Jogja-Solo saja
akan tetapi juga di wilayah lain. Dengan hal tersebut maka menunjukkan dialek Jogja-Solo
bukan hanya menjadi dialek geografi semata akan tetapi juga menjadi sebuah dialek sosial
dimana penggunaannya dipengaruhi oleh perbedaan kelompok sosial, dimana menurut
Ben Anderson hal ini dikatakan sebagai sebuah “feodalisme semu” masyarakat Jawa
Kolonial (dikatakan terjadi sepanjang tahun 1680-1940).27 Sehingga secara sadar atau
tidak sadar, dalam arti tertentu, sebenarnya telah terjadi sebuah relasi kuasa bahasa
diantara penutur Bahasa Jawa Baku, khususnya di daerah Banyumasan.
Oleh karena itu jika mengacu adanya sebuah relasi kuasa bahasa, maka jika melihat
konsepsi Jawa tentang kekuasaan dibandingkan dengan konsepsi kekuasaan dari
perspektif dunia Barat modern (mulai abad pertengahan) sebenarnya terdapat perbedaan.
Konsepsi dunia Barat menilai bahwa kekuasaan itu abstrak, kekuasaan dapat diturunkan
melalui berbagai sumber, penumpukan kekuasaan tak memiliki batasan inheren, dan
kekuasaan secara moral ambigu.28 Sedangkan konsepsi Jawa tentang kekuasaan adalah
25 Drs. Mukidi Adisumarto, Geografi Dialek Bahasa Jawa Banyumas, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Yogyakarta, 1986, hal 3-4. 26 Ibid hal 16 27 Benedict Anderson, Kuasa Kata (Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia), Mata Bangsa, Yogyakarta, 2000, Hal 436. 28 Ibid hal 44-46. 8
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
konkret, homogen, besarnya kekuasaan konstan atau tetap, dan tanpa implikasi moral yang
inheren29.
Sehingga dari pembedaan tentang konsep kekuasaan ini terlihat bahwa relasi kuasa bahasa
sebenarnya bukanlah sebuah konsepsi kekuasaan Jawa akan tetapi sebuah konsepsi
kekuasaan Barat (Belanda). Dan dengan hasil kontruksi “bahasa Jawa Baku” ini terlihat
bahwa pihak Keraton terlihat “mendompleng” alur kekuasaan dari pihak Belanda terhadap
rakyatnya. Hal ini disebabkan karena memang wibawa Keraton dihadapan rakyatnya
sudah runtuh karena kekalahannya dari pihak Belanda. Oleh karena itu sebenarnya proyek
“Kramanisasi” ini akhirnya juga menguntungkan pihak Keraton untuk mempertahankan
kekuasaannya dihadapan rakyatnya sendiri.
Walaupun pada perjalanannya bahasa Jawa Baku ini juga dilawan oleh orang-orang yang
notabenenya adalah orang penutur dari bahasa itu sendiri yaitu orang Jawa. Ranggawarsita
menggunakan bahasa Jawa menjadi tulisn sastranya yang mengungkapkan kegetiran
budaya yang dia rasakan dengan kata-kata (salah satunya): “Ratune ratu utama......
Parandene tan dadi paliyasing kalabendu”.30 Namun sebaliknya bagi Poebatjaraka pada
masa awal tahun 1900an, dirinya lebih memilih memakai bahasa Belanda untuk melawan
bahasa Jawa karena kehebatan bahasa Belanda adalah kekebalannya terhadap bahasa Jawa,
salah satunya adalah dengan tulisannya yang berjudul “Agastya in den Archipel”.31
Sedangkan pada jaman yang sama denga Poerbatjaraka, orang-orang Samin hanya
menggunakan bahasa Ngoko kepada siapapun, termasuk kepada golongan priyayi sebagai
bentuk perlawanan politik mereka terhadap golongan priyayi yang menjadi kaki tangan
29 Ibid hal 47-49. 30 Benedict Anderson, Kuasa Kata (Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia), Mata Bangsa, Yogyakarta, 2000, Hal 447-480. 31 Ibid hal 450-454 9
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pemerintah kolonial Belanda.32 Hal demikian juga dilakukan oleh gerakan Djawadipo
yang juga tidak mau menggunakan bahasa Jawa Krama kepada siapapun termasuk kepada
orang-orang Belanda karena mereka menganggap bahwa bahasa Ngoko adalah bahasa asli
dari bahasa Jawa.33 Masih dalam suasana perlawanan terhadap pemerintahan kolonial
Belanda, terutama ketika rasa nasionalisme mulai merebak di Hindia Belanda, bahasa
Melayu menjadi sarana Mas Marcodikrama untuk melawan Belanda,34 dimana hal ini
dikarenakan dunia bahasa Jawa baginya telah ditaklukan oleh bahasa Belanda sehingga
untuk melawan hal tersebut dirinya lalu menggunakan bahasa Melayu dalam berbagai
macam tulisannya.35 Ketika bangsa Indonesia merdeka, Pramoedya seorang pemberontak
terhadap bahasa Jawa, menggunakan bahasa Indonesia sebagai suatu benteng budaya
untuk melancarkan perang terhadap warisannya.36 Dan pada akhirnya pada tahun 1977
(masa Orde baru), seorang anak muda bernama Yudhistira Ardi Noegraha, menulis sebuah
novel berjudul “Arjuna Mencari Cinta”, dimana dengan bahasa Indonesia dia
menunjukkan suara yang menakjubkan luwesnya dan tanpa malu-malu bersikap
seenaknya.37
Dari sekian banyak sikap terhadap bahasa Jawa yang demikian itulah, Ben Anderson
mengatakan bahwa “Dari satu sudut ‘sastra Jawa’ telah ‘lenyap’, namun rohnya
gentayangan di sekitar kita – suatu penghormatan tak langsung yang ganjil pada
kekuatannya”.38 Hal demikian juga dirasakan di tanah Sunda (Jawa Barat) dimana para
pengarang Sunda tampaknya ketakutan terhadap bahasa meraka yang bukannya berbahaya
32 Ibid hal 454-455 33 Ibid hal 456-463 34 Rudolf Mrazek, Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di sebuah Koloni, YayasanObor Indonesia, Jakarta, 2006, hal 47. 35 Takashi Shiraishi, Zaman bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Grafiti, Jakarta, 1997, hal 418-420 36 Benedict Anderson, Kuasa Kata (Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia), Mata Bangsa, Yogyakarta, 2000, Hal 463-478. 37 Ibid hal 479-491 38 Ibid hal 491 10
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
(dangerous), tetapi dalam bahaya (in danger) kematian karena didesak oleh bahasa
Indonesia dan Jawa.39 Keterdesakan itu salah satunya menimpa pada tradisi “ngalogat” di
pesantren Sunda, dimana pengaruh corak Jawa yang didalamnya juga terdapat pengaruh
bahasa Jawa di tanah Pasundan yang dimulai dari masa masuknya kekuasan kerajaan
Demak yang lalu dilanjutkan oleh Mataram (Islam) dan diteruskan di masa kolonialisasi
Belanda hingga masa Indonesia merdeka.40
Melihat sisi geografis tanah Pasundan dari tanah Mataram, wilayah Banyumas ada di
tengah-tengahnya. Jikalau tanah Pasundan saja terkena pengaruh corak kebudayaan Jawa
(Mataram), maka tentunya daerah Banyumas juga menerima pengaruh yang sama seperti
halnya di tanah Pasundan. Sehingga dengan demikian maka bahasa Jawa juga pada
akhirnya juga mempunyai pengaruh yang besar di daerah Banyumasan.41 Pengaruh bahasa
Jawa inilah yang membuat naskah-naskah yang bercerita tentang “Banyumasan” tidak
sepenuhnya menggunakan bahasa Banyumasan akan tetapi banyak menggunakan bahasa
Jawa, yang akhirnya gaya bahasa Jawa inilah yang pada akhirnya saat ini disebut sebagai
bahasa Jawa Baku yang terpengaruh oleh Kramanisasi.42
Hasil dari konstruksi bahasa Jawa yang demikian (Kramanisasi) ini lalu menghasilkan apa
yang disebut oleh Pemberton sebagai “bahasa Jawa yang benar”.43 Dengan adanya “bahasa
Jawa yang benar” maka menyebabkan bahasa-bahasa yang lain yang ada di wilayah
Mataram seakan-akan tersingkirkan. Dan seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa
dibalik konstruksi bahasa Jawa tersebut mengandung unsure relasi kekuasaan antara pihak
39 Ibid hal 491 40 Iip Dzulkifli Yahya, Tradisi Ngalogat di Pesantren Sunda (Penemuan dan Peneguhan Identitas), dalam: Budi Susanto, S.J (Editor), Politik dan Poskolonialitas di Indonesia, Lembaga Studi Realino & Kanisius, Yogyakarta, 2003, hal 284-288. 41 Sugeng Priyadi, Banyumas: Antara Jawa & Sunda, Mimbar, Semarang, 2002, hal 24-28. 42 Ibid hal 259 43 John Pemberton, On the subyek of “Java”, Mata Bangsa, Yogyakarta, 2003, Hal 105. 11
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
keraton dengan rakyatnya. Proyek kramanisasi yang menghasilkan “Bahasa Jawa yang
benar” inilah yang akhirnya dibakukan menjadi sebuah tata cara berbahasa bagi orang-
orang Jawa. Bahkan bahasa Jawa Baku ini dianggap sebagai “bahasa Jawa yang
beradab”.44
Kontruksi bahasa Jawa Baku, dimana bahasa dialek Jogja-Solo dianggap sebagai “Bahasa
Jawa dialek standar”,45 yang dianggap sebagai “bahasa Jawa yang benar” dan “bahasa
Jawa yang beradab” inilah yang oleh Baryadi Praptomo dikatakan sebagai sebuah
“diskriminasi lingual”.46 Contoh dari sebuah diskriminasi tersebut adalah tentang kata
“makan” dalam untuk bahasa Krama dan Ngoko diucapkan berbeda, yaitu “Dhahar” untuk
tataran Krama nya dan dalam tataran bahasa Ngoko bisa diucapkan dengan “nedha” atau
“mangan”.47 Kata “Dhahar” biasanya ditempel dengan kata “Panjenengan” (“Kamu”
dalam bahasa Krama), dan diucapkan oleh seseorang yang kedudukannya lebih rendah
kepada seseorang yang lebih tinggi kedudukanya. Sedangkan “nedha” ditempel dengan
kata “sampeyan” dan kata “mangan” dengan kata “kowe” (Sampeyan dan kowe adalah
sebutan “kamu” dalam bahasa ngoko) yang diucapkan oleh seseorang yang kedudukannya
lebih tinggi kepada seseorang yang kedudukannya lebih rendah. Dari hal tersebut inilah
maka terlihat bahwa bahasa Jawa Baku memisahkan tutur kata dalam berbahasa di antara
seseorang yang kedudukannya lebih tinggi dengan seseorang yang kedudukannya lebih
rendah. Sehingga dengan demikian maka kata “madang” (makan) dalam bahasa
Banyumasan dan kata “rika” atau “ko” (kamu) tidak digunakan dalam kata Bahasa Jawa
44 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1984, hal 24. 45 I. Praptomo Baryadi dkk, Tata Bahasa Jawa Mutakhir, Kanisius, Yogyakarta, 2006, hal 13 46 I. Praptomo Baryadi, “Bahasa, kekuasaan, dan kekerasan”, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2012, Hal 28. 47 Band. dengan Benedict Anderson, Kuasa Kata (Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia), Mata Bangsa, Yogyakarta, 2000, Hal 442. 12
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Baku. Dimana kedua kata ini, di dalam bahasa Banyumasan, diucapkan kepada siapa saja
tanpa melihat siapa lawan bicaranya.
Padahal praktek berbahasa menurut James Siegel seharusnya terjalin di antara orang-orang
yang tidak saling mencerminkan dan dengan demikian tidak saling menyebabkan rasa
rikuh.48 Namun yang terjadi pada bahasa Jawa Baku yang terjadi adalah seseorang jika
akan berbicara dengan orang lain harus melihat siapa dirinya dan siapa lawan bicaranya.
Dan dengan cara seperti inilah maka di dalam bahasa Jawa Baku lalu terbentuk tingkatan
bahasa dimana seseorang di dalam berbahasa harus bisa menempatkan diri. Oleh karena
itu dengan adanya konstruksi bahasa Jawa Baku yang demikian sebenarnya membentuk
relasi bahasa berdasarkan “cermin’ dan rasa “rikuh”, seperti yang diungkapkan oleh
Siegel.
Pernyataan tersebut diperkuat oleh pendapat seorang budayawan Banyumasan, Ahmad
Tohari, yang mengatakan bahwa bahasa Banyumas adalah sebuah “bahasa” dan bukan
hanya sekedar logat atau “dialek” saja.49 Hal tersebut dikarenakan usia Bahasa
Banyumasan lebih tua dibandingkan dengan Bahasa Jawa yang sudah mengenal tataran
Krama yang oleh dirinya disebut sebagai “Bahasa Jawa Anyar berjenjang” atau “bahasa
Keraton”.50 Oleh karena itu untuk melawan serta menepis anggapan banyak kalangan
tentang bahasa Banyumasan yang dianggap hanya sebagai sebuah logat atau dialek saja,
maka Ahmad Tohari melakukan sebuah perlawanan dengan cara membuat kamus bahasa
Banyumas–Indonesia; menterjemahkan Alquran ke dalam bahasa Banyumasan; serta
menterjemahkan novel tulisannya sendiri yaitu Ronggeng Dukuh Paruk juga ke dalam
48 James Siegel, “Berbahasa” dalam Henri Chambert-Loir, Sadur (Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malayasia), Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2009, hal 342. 49 A. Tohari, Pengantar pada Kamus Banyumas – Indonesia dengan judul “Prelune nguri-uri basa Penginyongan”. 50 Ahmad Tohari, Jejak Tradisi Jawa Kuna Dalam Kebudayaan Jawa Banyumasan; dalam buku “Kongres Kebudayaan Jawa II”, 2018, hal 139-141. 13
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bahasa Banyumasan. Bahkan melalui Kongres Bahasa Banyumasan, yang diadakan pada
tahun 2014, menghasilkan sebuah poin keputusan bahwa sebutan bahasa Banyumasan
diganti istilahnya dengan sebutan bahasa “Penginyongan”.51
Sebutan bahasa “Penginyongan” ini bertujuan untuk menepis bahwa bahasa Banyumasan
adalah bahasa untuk orang-orang yang berada di wilyah eks Karesidenan Banyumas saja
yaitu Kab. Banyumas, Kab. Cilacap, Kab. Purbalingga dan Kab. Banjarnegara. Hal ini
dikarenakan yang menggunakan bahasa Penginyongan juga terdapat di daerah Kebumen
(eks Karesidenan Kedu). Dengan digunakannya bahasa penginyongan di daerah
Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen maka bahasa Penginyongan
juga seringkali disebut sebagai bahasanya orang-orang “MasBarLingCaKeb” (Banyumas,
Banjarnegara, Purbalingga, Cilacap dan Kebumen).
Terkait dengan apa yang dilakukan oleh Ahmad Tohari, sikap yang sama juga dilakukan
oleh sebuah komunitas yang menamakan dirinya sebagai komunitas PASEBAN
(Paguyuban Senthir Budaya Banyumasan), yang sedang berusaha menterjemahkan
Alkitab ke dalam bahasa Banyumasan/Pengimyongan. Latar belakang penterjemahan ini
dilandasi oleh faktor kebutuhan akan sebuah bahasa lokal yang lebih dapat dimengerti dan
diterima oleh jemaat gereja di wilayah masyarakat yang berbahasa Banyumasan atau
penginyongan. Usaha ini sudah dimulai sejak tahun 2005 dan pada tahun 2015 mereka
sudah berhasil menterjemahan Injil Lukas ke dalam bahasa Banyumasan.
Dengan adanya terjemahan Injil Lukas dalam bahasa Banyumasan atau Penginyongan ini
tentunya membawa angin segar bagi gereja-gereja di wilayah Banyumasan, dan salah
satunya adalah Gereja Kristen Jawa. Sebagai salah satu denominasi gereja yang berlatar
51 Ibid hal 141. 14
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
belakang etnis Jawa tentunya penterjemahan Alkitab ke dalam bahasa lokal tentunya akan
membawa sesuatu hal yang postif di dalam kehidupan menggereja. Selain itu, secara
historis, Gereja Kristen Jawa secara embrional kemunculannya dimulai dari kota
Banyumas pada tahun 1858.52 Dan secara sinodal gereja GKJ berdiri di kota kebumen pada
tahun 1930 yang sekarang disebut sebagai Sinode Gereja-gereja Kristen Jawa.
Dengan kemunculan “bahasa Jawa Baku” sebagai sebuah bahasa resmi di wilayah
kekuasaan Keraton menyebabkan bahasa Jawa yang telah ada sebelum adanya proyek
Kramanisasi ini yaitu bahasa Jawa Kuno (ngoko) akhirnya hanya dianggap sebagai bahasa
kelas dua. Dan salah satu daerah yang masyarakat bahasanya masih sangat dekat dengan
bahasa Jawa Kuno yaitu di daerah Banyumasan.53 Sehingga dengan adaya bahasa Jawa
Baku menyebabkan bahasa Banyumasan dianggap sebagai bahasa kelas dua. Bahkan
karena hal tersebutlah yang akhirnya menyebabkan bahasa Banyumasan hanya dikatakan
sebagai sebuah dialek atau logat saja.54 Logat atau dialek inilah yang lalu sering dikatakan
sebagai dialek atau logat “ngapak-ngapak”.
Menyikapi penilaian tentang bahasa Banyumasan yang hanya disebut sebagai sebuah
dialek atau logat saja maka seorang akademisi yaitu Prof. Sugeng Priyadi mengatakan
bahwa bahasa Banyumasan sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Esser pada tahun
1927-1929 tergolong sebagai bahasa yang umurnya lebih tua dari bahasa Jawa Baku.55 Hal
senada juga dikatakan oleh Budiono Herusatoto yang mengatakan bahwa “Ngapak-
ngapak” jika dilihat dari sejarah perkembangan kebahasaan Jawa sebenarnya adalah
“bahasa Jawa Asli”.56 Dengan pendapat-pendapat tersebut sebenarnya sedang mengatakan
52 J.D. Wolterbeek, Babad Zending di Tanah Jawa, Taman Pustaka Kristen, Yogyakarta, 1995, hal 35. 53 Budiono Herusatoto, Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa dan Watak, LKiS, Yogyakarta, 2008, hal 121-134 54 Koentjaraningrat, Kebudayaan jawa, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1984, Hal 23. 55 Prof. Dr. Sugeng Priyadi, Menuju Keemasan Banyumas, Pustaka Pelajar, Jakarta,2015, hal 272. 56 Budiono Herusatoto, Banyumas (Sejarah, Budaya, Bahasa dan Watak), LKiS, Yogyakarta, 2008, Hal 142. Sejarah perkembangan kebahasaan Jawa: 15
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bahwa bahasa Banyumasan bukan hanya sebuah dialek atau logat saja akan tetapi adalah
benar-benar sebuah bahasa.
Namun apa yang terjadi hingga saat ini, khususnya di gereja GKJ, bahwa bahasa
Banyumasan atau Penginyongan belum digunakan sebagai bahasa pengantar di dalam
ibadah gerejawi khususnya gereja GKJ di daerah atau wilayah masyarakat yang berbahasa
Banyumasan atau Penginyongan. Demikian juga dengan Alkitab bahasa Banyumasan
yang saat ini sudah ada juga belum dipakai sebagai bacaan yang dipakai dalam liturgi
ibadah gerejawi di gereja GKJ di wilayah Banyumasan. Tentunya dengan hal tersebut
menimbulkan berbagai macam pertanyaan mengapa bahasa Banyumasan belum dipakai di
dalam ibadah gerejawi di gereja GKJ di daerah atau wilayah masyarakat yang berbahasa
Banyumasan atau Penginyongan.
Bahasa adalah sarana komunikasi yang sangat penting bagi kehidupan manusia karena
dengan berbahasa maka manusia bisa berinteraksi dengan manusia lainnya, dimulai dari
lingkup keluarga, masyarakat, nasional bahkan internasional. Berbahasa adalah salah satu
wujud kebudayaan yang telah berjasa membangun peradaban manusia di dunia ini. Hal ini
dikarenakan bahasa tidak lahir dari kekosongan namun bahasa muncul dari peristiwa
sosio-historis tertentu yang melatarbelakanginya.57
1. Bahasa lisan Jawa Asli (Jawadwipa – Ngoko lugu), yang sekarang lebih populer disebut bahasa Jawa dialek Banyumasan. 2. Bahasa Jawa Kawi (Krama lugu). 3. Bahasa krama dialek gandhekan. 4. Bahasa Jawa Krama Inggil. 57 Fauzi Fashri, “Pierre Boordieu” (Menyingkap Kuasa Simbol), Jalasutra, Yogyakarta, 2014, hal 91. 16
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kitab Suci dan Politik Penerjemahan
Sebagai salah satu unsure pembentuk kebudayaan maka dengan berbahasa manusia dapat
menunjukkan jatidiri sebenarnya, atau paling tidak bahasa bisa menunjukkan seseorang
berasal dari daerah atau wilayah mana. Dahulu batas sebuah wilayah adalah bahasa,
sehingga ketika seseorang memasuki suatu daerah dan daerah tersebut sudah berbeda
bahasanya maka bisa dikatakan dia sudah berada di wilayah atau daerah lain. Oleh karena
itu dalam perjalanan sejarahnya bahasa dapat dipakai sebagai legitimasi sebuah kekuasaan.
Sebagai contoh bangsa Yunani dengan dunia Hellenistiknya menggunakan bahasa Yunani
(kuno) sebagai bahasa resmi percakapan di wilayah-wilayah yang telah berhasil
ditaklukkan dan dikuasai. Setelah kekuasaan bangsa Yunani lalu dilanjutkan dengan
kekuasaan bangsa Romawi dengan bahasa Latinnya.
Dunia kekristenan yang awal mulanya lahir dari tradisi Yahudi pun merasakan pengaruh
kekuasaan dari bahasa Yunani dan Latin, dimana bahasa Yahudi sebagai sebuah “bahasa
sakral”58 lalu mengalami “penurunan pangkat”59. Di awal kemunculannya pada awal abad
ke-I, orang-orang Kristen masih menggunakan Kitab-kitab orang Yahudi, salah satunya
adalah Taurat. Dan kitab-kitab tersebut tentunya menggunakan bahasa orang Yahudi yaitu
bahasa Ibrani. Dikarenakan penyebaran yang semakin meluas maka kekristenan tidak
hanya tumbuh di wilayah orang Yahudi saja namun juga menyebar ke daerah-daerah yang
menjadi tanah jajahan bangsa Romawi seiring berkembangnya arus diaspora orang-orang
Yahudi. Pada waktu itu bahasa yang digunakan sebagai bahasa pengantar di wilayah
Romawi masih menggunakan bahasa Yunani (kuno).
58 Benedict Anderson, Imagined Communities (komunitas-komunitas terbayang), INSIST & Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008, hal 18-22. 59 Ibid hal 25-27 17
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Lambat laun keturunan para Yahudi diaspora ini sudah tidak fasih lagi berbahasa Ibrani
dan mereka lebih banyak menggunakan bahasa Yunani (kuno) sebagai bahasa komunikasi
mereka. Sehingga pada abad ke-3 untuk memenuhi kebutuhan praktis akan sebuah kitab
suci yang dapat dimengerti sesuai dengan bahasa yang digunakan pada waktu itu maka
muncullah kitab suci terjemahan dalam bahasa Yunani (Kuno) yang dikenal dengan
sebutan Septuaginta.60
Seiring dengan semakin menyebarnya ajaran kekristenan, maka pada abad ke-4 Kaisar
Konstantin mengakui agama Kristen sebagai agama resmi kekaisaran Romawi yang diakui
melalui sebuah edik yang disebut sebagai Edik Milano pada tahun 313.61 Maka dalam
periode ini juga dimulai sebuah proyek yaitu penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Latin
yang nantinya setelah terjemahan ini selesai disebut sebagai Alkitab Vulgata yang artinya
“untuk semua orang”.62
Dengan munculnya Alkitab Vulgata maka sebenarnya semakin mempertegas bagaimana
kekuasaan kekaisaran Romawi yang dimana salah satunya diwujudkan melalui relasi
bahasa. Hingga abad ke-16 otoritas gereja Roma masih menggunakan Alkitab Vulgata ini
sebagai bahasa pengantar ibadah gerejawi. Oleh karena itu pada periode inilah sejarah
gereja mencatat tentang sebuah peristiwa yang disebut dengan “Revolusi Guthenberg”.
Revolusi ini dicatat sebagai sebuah revolusi yang membantu Martin Luther ketika
melakukan sebuah pergerakan di dalam tubuh gereja yang nantinya dikenal sebagai
sebagai gerakan “Reformasi Gereja”.
Pergerakan Martin Luther diawali dengan penempelan tulisannya di gereja Wittenberg
yaitu yang dikenal dengan sebutan “95 dalil”. Tulisan ini lalu menyebar karena pada waktu
60 Weinata Sairin (peny.), Persebaran Firman di Sepanjang Jaman, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1994, hal 62 61 Dr. H. Berkhof, Sejarah Gereja, BPK gunung Mulia, Jakarta, 2009, hal 47 62 Weinata Sairin hal 63. 18
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
itu tulisan tersebut diperbanyak melalui mesin cetak yang dibuat oleh Guthenberg. Dan
melalui mesin cetak inilah Alkitab dalam terjemahan bahasa Jerman, yang diterjemahkan
sendiri oleh Martin Luther, lalu diperbanyak sehingga menyebar ke seantero Jerman.
Penerbitan dan penyebaranluasan Alkitab dalam bahasa Jerman adalah salah satu bentuk
perlawanan Martin Luther kepada otoritas gereja Roma yang “memonopoli” bahasa
Alkitab hanya dengan menggunakan Alkitab versi Vulgata. Perlawanan melalui
penerjemahan Alkitab dalam bahasa Jerman ini sebenarnya hanya dilandasi oleh sebuah
hal yang sangat praktis yaitu supaya teks Alkitab dapat dibaca dan dimengerti oleh
pendengar atau pembacanya sesuai dengan bahasa yang digunakan sehari-hari. Dan
melalui peristiwa inilah maka gereja Protestan sebagai gereja yang lahir karena peritiwa
Reformasi Gereja ini lalu mempunyai semboyan yaitu “Sola Scriptura”.63
Terjemahan dalam bahasa Jerman ini sebenarnya bukanlah terjemahan Alkitab yang
pertama kali menggunakan “Bahasa Ibu” atau bahasa local atau bahasa sehari-sehari
karena sebelumnya sebenarnya sudah ada terjemahan dalam bahasa Inggris yang
diterjemahan oleh Wyclife. Namun terjemahan ini tidak bisa “membumi” karena pada
waktu itu belum ditemukannya sebuah media yang cepat dan efektif untuk
menyebarluaskannya. Setelah penemuan mesin cetak yang dibuat oleh Guthenberg barulah
Alkitab terjemahan ini lebih bisa “membumi”. Sehingga keberhasilan Reformasi Gereja
dengan salah satu hasilnya yaitu penerjemahan Alkitab ke dalam bahsa Jerman sebenarnya
sangat dipengaruhi oleh penemuan mesin cetak ini.64 Dan melalui keberhasilan inilah yang
63 Mangisi S.E. Simorangkir, Ajaran Dua Kerajaan Luther dan Relevansinya di Indonesia, Penerbit satu-satu, Bandung, 2011, hal 382. 64 Benedict Anderson, Imagined Communities (Komunitas-komunitas Terbayang), Pustaka Pelajar & Insist Press, Yogyakarta, 2001, Hal 55-70 19
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
akhirnya mendorong penerjemahan Alkitab ke dalam berbagai macam bahasa local atau
bahasa ibu.
Setelah penerjemahan Alkitab yang dilakukan oleh Martin luther ke dalam bahasa Jerman
lalu memunculkan penerjemahan ke dalam bahasa ibu atau bahasa local yang lainnya. Dan
salah satunya yang bisa dibilang begitu fenomenal yaitu penerjemahan Alkitab ke dalam
bahasa Inggris yang dipersembahkan untuk Raja Inggris yaitu King James pada tahun
1611.65 Oleh karena itu Alkitab ini lalu dikenal sebagai Alkitab “King James Version”.
Dan dari versi Alkitab KJV inilah yang lalu dijadikan dasar oleh Lembaga Alkitab Inggris
untuk menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa local di koloni-koloni Inggris
termasuk di tanah Hindia Belanda.
Daerah Hindia Belanda dalam sejarahnya pernah diserahkan kepada Inggris pada tahun
1811-1816. Bahasa pengantar (khususnya perdagangan) yang digunakan di Hindia
Belanda adalah bahasa Melayu. Sebelum kedatangan Inggris, Alkitab telah diterjemahan
ke dalam bahasa Melayu yang diprakarsai oleh VOC pada tahun 1733.66 Ketika Inggris
berkuasa di tanah Hindia Belanda diutuslah Thomas Raffles untuk membawahi koloni
Inggris di Hindia Belanda ini. Melalui peran Raffles lah maka Alkitab dalam bahasa
local/daerah di Hindia Belanda pertama kali diterjemahkan yaitu Alkitab dalam bahasa
Jawa. Alkitab bahasa Jawa ini diterjemahkan oleh Bruckner dan dicetak di kota
Serampore, India.67
65 Weinata Sairin (peny.), Persebaran Firman di Sepanjang Jaman, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1994, hal 65. 66 Weinata Sairin (peny.), Persebaran Firman di Sepanjang Jaman, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1994, hal 40. 67 Henri Chambert-Loir, Sadur (Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malayasia), Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2009, hal 472. - Band. C. Guillot, Kiai Sadrach: Riwayat Kristenisasi di Jawa (penerjemah: Asvi Warman Adam), PT Grafiti Press, Jakarta, 1985, hal 5 20
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Sebenarnya Alkitab dalam bahasa Jawa sudah diterjemahkan sejak jaman VOC oleh para zendeling Belanda. Namun Alkitab bahasa Jawa ini lalu dimusnahkan oleh pihak VOC yang pada waktu itu tidak memperkenankan para zendeling untuk menyebarluaskan agama
Kristen di tanah Nusantara. Demikian juga dengan Alkitab bahasa Jawa terjemahan
Bruckner, setelah Inggris angkat kaki dari Hindia Belanda, akhirnya disita oleh pihak
Belanda karena dianggap sebagai sesuatu hal yang sensitive dan dapat menganggu kebijakan “rust and order” terutama dalam hal keagamaan. Hal ini dikarenakan, khususnya di tanah Jawa, mayoritas penduduknya sudah menganut agama Islam. Sehingga VOC harus menyita dan memusnahkan Alkitab bahasa Jawa ini supaya tidak menimbulkan gesekan dengan orang-orang Jawa muslim.
Menuju Hegemoni Bahasa Jawa Baku
Namun walaupun sudah banyak Alkitab terjemahan bahasa Jawa yang disita dan dimusnahkan oleh Belanda ternyata masih ada orang-orang Kristen di tanah Jawa, baik itu para zendeling dan orang-orang Eropa yang bekerja di Jawa, masih menyimpan Alkitab bahasa Jawa tersebut secara sembunyi-sembunyi. Sehingga dengan masih adanya Alkitab bahasa Jawa yang disimpan secara sembunyi-sembunyi inilah maka banyak orang-orang
Kristen Eropa yang akhirnya memperkenalkan Alkitab terjemahan bahasa Jawa ini kepada orang-orang pribumi Jawa contohnya Emde dan Coolen di Jawa Timur, Phlilips bersaudara di Banyumas dan Kebumen. Dari orang-orang inilah yang lalu memunculkan tokoh-tokoh Kristen pribumi Jawa seperti Paulus Tosari, Kyai Tunggul Wulung dan Kyai
Sadrach.
21
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Terkait dengan Philips bersaudara dan Kyai Sadrach, mereka adalah orang-orang yang
menjadi tokoh embrional berdirinya Gereja Kristen Jawa. Nyonya Philips von Oostrom
adalah seorang pengusaha batik di kota Banyumas yang berhasil menuntun 9 orang
buruhnya untuk dibapstiskan di Semarang yang dilayani oleh Pdt. Hoezo pada tanggal
10 Oktober 1858.68 Sembilan orang inilah yang lalu menjadi cikal bakal berdirinya GKJ
Banyumas. Dan bisa dikatakan, jika mengacu tulisan Wolterbeek, bahwa Sembilan orang
ini adalah embrional dari sejarah berdirinya GKJ. Sedangkan Kyai Sadrach adalah anak
angkat dari Nyonya Philips Petronela yang dimana dia adalah ipar dari Nyonya Philips
von Oostrom yang bertempat tinggal di Banyumas. Dari Kyai Sadrach lah lalu terbentuk
sebuah komunitas Kristen Jawa di desa Karangjasa, Kutoarjo, yang dinamakan sebagai
Pasamuwan Kristen ingkang Mardiko. Dari komunitas Sadrach inilah lalu lahir dua gereja
yaitu Gereja Kristen Jawa yang pro zending Belanda (NGZV) dan Gereja Kerasulan yang
kontra zending Belanda. Golongan yang pro zending Belanda adalah pengikut Yotham
anak angkat Sadrach sedangkan yang kontra zending Belanda adalah pengikut setia Kyai
Sdarach yang akhirnya menginduk pada gereja Apostoles Inggris.69
Gereja Kristen Jawa yang lahir di tengah-tengah konteks budaya Jawa tentunya
menjadikan gereja ini juga mempunyai arah untuk menjaga kelestarian budaya Jawa di
tengah-tengah kehidupan bergerejanya. Salah satu hal yang dipertahankan untuk tetap
menjaga “kejawaannya” adalah dengan tetap memakai Alkitab bahasa Jawa di dalam
peribadahan gerejawi. Dan ketika Alkitab dalam bahasa Indonesia sudah mulai diterbitkan
pada decade 50-60an ternyata sempat menimbulkan polemik tentang pemakaian Alkitab
bahasa Indonesia dalam peribadahan gerejawi di kalangan GKJ. Salah satu contohnya
68 J.D. Wolterbeek, Babad Zending di Tanah Jawa, Taman Pustaka Kristen, Yogyakarta, 1995, hal 35. 69 C. Guillot, Kiai Sadrach (Riwayat Kristenisasi di Jawa), Grafiti Pers (pent: Asvi Warman Adam), Jakarta, 1985, hal 160 & 166. 22
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
adalah surat dari Majelis GKJ Wirobrajan Yogyakarta yang menyatakan keberatan
jemaatnya kepada Sinode GKJ, dan keberatan ini dicatat dalam Akta Sinode tahun 1967,
perihal pemakaian bahasa Indonesia di dalam peribadahan gerejawi. Dari keberatan yang
disampaikan pada sidang sinode ini GKJ Wirobrajan mengusulkan untuk tetap memakai
bahasa Jawa (Baku) sebagai pengantar di dalam ibadah gerejawi.70
Bahkan polemic ini terus terjadi hingga sekarang dimana golongan yang sudah tua tetap
menginginkan adanya kebaktian atau ibadah menggunakan bahasa Jawa. Sehingga
seringkali terjadi gesekan antara generasi tua (sepuh) dengan generasi yang lebih muda
dikarenakan generasi yang lebih muda lebih nyaman dengan penggunaan bahasa
Indonesia. Sehingga dari polemik tersebut banyak gereja GKJ, khususnya di perkotaan,
mencari jalan tengah dengan mengadakan lebih dari satu kali ibadah (minimal dua kali),
yang satu dengan menggunakan bahasa Jawa dan yang satunya lagi dengan menggunakan
bahasa Indonesia. Namun tidak jarang juga ada gereja GKJ, khususnya yang di pedesaaan,
tetap menggunakan satu bahasa yaitu bahasa Jawa. Sehingga dengan peristiwa di atas
menunjukkan bahwa ternyata penggunaan bahasa selain bahasa Jawa sempat dan masih
menjadi sebuah polemik antara golongan tua dan golongan yang lebih muda di dalam
kehidupan gereja GKJ.
Salah satu unsure pembentuk kebudayaan adalah bahasa. Sehingga kebudayaan Jawa tidak
bisa dilepaskan dari bahasa Jawa. Demikian juga dengan Gereja Kristen Jawa sebagai
gereja yang jemaatnya berbasis pada suku Jawa tentunya tidak bisa dilepaskan dari
identitas kejawaannya sebagaimana termaktub dalam Tata Gereja GKJ Bab I Pasal 1 point
1 tentang identitas GKJ:71
70 Akta Sinode GKJ tahun 1967 tercatat dalam Dr. Pradjarta Dirdjosanjoto, Sumber-sumber tentang Sejarah Gereja Kristen Jawa 1896-1980, Pusat Arsip Sinode GKJ, 2008, Hal 312. 71 Tata Gereja dan Tata Laksana Gereja Kristen Jawa, Sinode Gereja-gereja Kristen Jawa, 2018, hal 9. 23
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
“Gereja Kristen Jawa (GKJ) adalah Gereja yang berada di suatu tempat
tertentu yang bertumbuh dan berkembang dengan tradisi teologis
kristiani yang berjumpa dengan nilai-nilai budaya Jawa”
Dengan definisi identitas GKJ yang demikian maka menunjukkan GKJ tidak bisa
dilepaskan dari budaya Jawa. Dan salah satu wujud dari budaya Jawa adalah bahasa Jawa,
dan bahasa Jawa yang digunakan adalah bahasa Jawa baku. Sehingga dengan pandangan
ini maka melegitimasi bahasa Jawa Baku sebagai bahasa resmi dan standard dipakai
diseluruh gereja GKJ, termasuk di wilayah Banyumasan.
Sebagaimana sudah diketahui bahwa bahasa Jawa Baku mempunyai tingkatan bahasa
yaitu Krama dan Ngoko. Tingkatan bahasa ini, sebagaimana telah dijelaskan oleh
Anderson dan Pemberton, sebenarnya baru digunakan pada jaman kerajaan Mataram
Islam. Sebutan Kerajaan Mataram Islam adalah untuk membedakan dengan Kerajaan
Mataram Hindhu.72 Kerajaan Mataram Islam bermula dari Kerajaan Demak yang
mengalahkan Kerajaan Majapahit. Kerajaan Demak ini lalu pindah ke daerah yang disebut
Pajang maka nama kerajaan ini berganti menjadi Kerajaan Pajang. Dari kerajaan Pajang
inilah yang lalu mendirikan keraton di Kartasura. Peritiwa geger pecinan membuat keraton
dipindah ke desa Sala dan keraton yang baru ini lalu diberi nama Keraton Surakarta
Hadiningrat. Dari Keraton Surakarta Hadiningrat inilah yang lalu memunculkan khasanah
bahasa Jawa yang “dibakukan” ini.73
Namun juga harus diketahui bahwa khasanah bahasa Jawa yang sudah baku ini ternyata
mengandung unsur politis yang berhubungan dengan kekuasaan.74 Kerajaan Mataram
72 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya (Warisan Kerajaaan-kerajaan Konsentris), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hal 35-36. 73John Pemberton, On the Subject of “Java” (terjemahan Indonesia), Mata Bangsa, Yogyakarta, 2003, hal 106 74 Benedict Anderson, Kuasa Kata (Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia), Mata Bangsa, Yogyakarta, 2000, hal 415. 24
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Islam yang akhirnya terpecah-pecah menjadi Keraton Kartasura dengan Kasunanan dan
Mangkunegaran nya, serta Keraton Ngayogyakarta dengan Kasultanan dan Pakualaman nya sebenarnya sudah tidak mempunyai power apapun di hadapan Belanda. Secara politis mereka sudah ditaklukkan oleh Belanda dan harus tunduk kepada Belanda. Dan sebagai wujud legitimasi kekuasaan mereka kepada rakyatnya maka dibuatlah sebuah proyek penyusunan bahasa Jawa yang akhirnya sekarang ini “dibakukan” dengan adanya tingkatan bahasa Krama dan Ngoko.
Tingkatan Krama adalah ucapan yang harus diberikan oleh rakyat, sebagai golongan
“kawula alit”, kepada pihak Keraton sebagai “panggedhe” mereka. Sedangkan pihak
Keraton cukup menggunakan bahasa tingkatan Ngoko saja ketika berbicara dengan rakyatnya. Sedangkan untuk bahasa yang digunakan oleh orang-orang Belanda kepada kaum pribumi, entah itu kepada pihak Keraton maupun rakyat biasa, adalah bahasa Ngoko.
Akan tetapi jika pihak Keraton dan rakyat biasa harus berbicara dengan orang-orang
Belanda dalam bahasa Jawa maka mereka harus menggunakan bahasa Krama. Sehingga dengan tingkatan bahasa Krama dan Ngoko ini menunjukkan bahwa terdapat unsur kekuasaan di dalamnya. Pihak Keraton berusaha tetap berkuasa atas rakyatnya sendiri, sedangkan pihak Belanda semakin menancapkan kekuasaan atas kaum pribumi Jawa baik itu kepada pihak Keraton maupun rakyat biasa. Oleh karena itu dengan proyek
“Kramanisasi” ini maka bisa diklasifikasikan bahwa tingkatan golongan yang terbentuk dari relasi bahasa yaitu: yang pertama adalah pihak Belanda, yang kedua adalah pihak
Keraton dan yang ketiga atau terakhir adalah rakyat biasa.
25
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Hegemoni Bahasa Jawa Baku Terhadap Bahasa Penginyongan
Dengan munculnya bahasa Jawa yang “dibakukan” ini akhirnya juga menyingkirkan
model gaya bahasa Jawa lainnya, (yaitu bahasa Jawa pesisiran di wilayah pantai utara,
bahasa Jawa wetanan di wilayah Jawa Timur dan Banyumasan di wilayah Banyumas)
dengan menyebut gaya bahasa lainnya ini hanya sebagai sebuah logat atau dialek saja.75
Dengan hanya disebut sebagai logat atau dialek berarti gaya bahasa ini tidak diakui sisi
kebahasaannya sebagai sebuah bahasa. Bahkan hanya bahasa Jawa Baku-lah yang disebut
sebagai bahasa resmi dan standar yang lalu disebut sebagai sebuah bahasa yang “Adi
Luhung”.
Terkait dengan perkembangan bahasa Jawa sebenarnya gaya bahasa Banyumasan adalah
gaya bahasa Jawa yang paling dekat dengan bahasa Jawa Kawi atau Jawa Kuno, dimana
hingga sekarang masih mempertahan banyak vokal “a” daripada “o”.76 Sehingga dengan
hanya disebut sebagai dialek atau logat maka sebenarnya telah terjadi apa yang disebut
sebagai sebuah “missing link” terhadap sejarah perkembangan bahasa Jawa.77 Dari hal
inilah maka seringkali bahasa Banyumasan disebut sebagai bahasa “ngapak-ngapak” yang
terkenal sebagai bahasa lawakan.
Sebutan hanya sebagai dialek atau logat yang sering disebut sebagai logat atau dialek
“ngapak-ngapak” inilah yang sekarang digugat oleh para tokoh budaya Banyumasan.
Dengan dalil dari sudut pandang sejarah perkembangan bahasa Jawa, mereka berargumen
bahwa bahasa Banyumasan adalah sebuah bahasa dan bukan hanya sekedar logat atau
75 Syamsul Arifin (penyunting), Tata Bahasa Jawa Mutakhir, Kanisius, Yogyakarta, 2006, hal 13. 76 Ahmad Tohari, Jejak Tradisi Jawa Kuna Dalam Kebudayaan Jawa Banyumasan; dalam kumpulan makalah “Kongres Kebudayaan Jawa II” (Surabaya 21-23 November 2018); (peny) Setya Yuwana, Budi Nuryanta Yohanes, Endah Imawati; Pengarusutamaan Kebudayaan Jawa untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat, hal 139- 144. 77 Budiono Herusatoto, Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa dan Watak, LKiS, Yogayakarta, 2008, hal 143. 26
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dialek. Dan sebutan sebagai bahasa “ngapak-ngapak” juga ditolak dikarenakan sebutan ini
sebenarnya adalah sebuah ejekan. Dan untuk menepis ejekan itu maka saat ini sebutan
untuk istilah bahasa Banyumasan atau ngapak-ngapak sendiri sudah diganti dengan istilah
bahasa “Penginyongan”, dimana pengubahan secara resmi sebutan tersebut dilakukan
melalui Kongres Basa Banyumasan tahun 2014 di Purwokerto.78
Dan untuk mempertegas bahwa bahasa Banyumasan atau Penginyongan adalah sebuah
bahasa serta untuk menunjukkan eksistensinya sebagai sebuah bahasa, Ahmad Tohari dkk
telah membuat kamus bahasa Banyumasan. Bahkan akhirnya Ahmad Tohari sebagai
pengarang dan penulis novel Ronggeng Dukuh Paruk juga menterjemahkan novelnya itu
ke dalam bahasa Banyumasan. Dan walaupun dicetak terbatas namun kehadiran novel ini
dalam bahasa Banyumasan mendapatkan apresiasi yang baik bagi kalangan orang
Banyumasan.
Selain Novel “Ronggeng Dukuh Paruk” ternyata kitab suci Alquran juga sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Banyumas oleh Ahmad Tohari yang keberadaannya telah
diakui oleh Kementerian Agama dan disambut dengan baik oleh jamaah muslim di daerah
Banyumasan. Demikian juga Alkitab juga telah diterjemahkan dalam bahasa Banyumasan
walaupun masih terbatas hanya pada kitab Injil Lukas saja dan kitab lainnya sedang dalam
proses penerjemahan. Melihat sudah adanya kitab suci Alquran dan Alkitab bahasa
Banyumasan tentunya menjadi hal yang sangat menarik karena dengan hal ini jika dilihat
dari kacamata budaya berarti bahasa Banyumasan sedang menunjukkan eksistensi di
berbagai macam lini salah satunya di bidang religi.
78 Ahmad Tohari, Jejak Tradisi Jawa Kuna Dalam Kebudayaan Jawa Banyumasan; dalam kumpulan makalah “Kongres Kebudayaan Jawa II” (Surabaya 21-23 November 2018); (peny) Setya Yuwana, Budi Nuryanta Yohanes, Endah Imawati; Pengarusutamaan Kebudayaan Jawa untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat, hal 143. - Lihat juga pada pengantar pada novel Ronggeng Dukuh Paruk (versi Banyumasan)
27
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Counter Hegemoni Melalui Alkitab Bahasa Penginyongan
Dengan adanya Alkitab bahasa Banyumasan tentunya juga menjadi sesuatu hal yang lebih menarik karena di daerah Banyumasan umat Kristen adalah umat “minoritas”. Umat
Kristen (Protestan) di daerah Banyumasan terdiri dari berbagai macam denominasi gereja, salah satunya adalah gereja GKJ. Sebagai gereja yang keberadaannya berada di daerah
Banyumasan, bahkan daerah ini adalah daerah dimana menjadi embrional berdirinya gereja GKJ, maka dengan hadirnya Alkitab dalam bahasa Banyumas tentunya dapat membawa dampak yang positif bagi gereja GKJ.
Namun yang terjadi sekarang justru seperti “api jauh dari panggang” dikarenakan ternyata gereja GKJ di daerah Banyumasan (MasBarLingCaKeb) belum memanfaatkan Alkitab bahasa Banyumasan secara maksimal, karena pada kenyataannya sekarang ini yang terjadi bahwa gereja GKJ di daerah Banyumasan ternyata belum menggunakan Alkitab
Banyumasan ini pada ibadah gerejawi. Sehingga dengan hal tersebut maka menunjukkan bahwa hingga saat ini penggunaan bahasa Banyumasan/Penginyongan belum dipakai pada peribadahan gerejawi di gereja GKJ.
Penggunaan bahasa pengantar dalam ibadah gereja memang menjadi ranah kebijakan gereja. Namun kebijakan sebuah gereja dalam memutuskan sesuatau memang dipengaruhi oleh model atau bentuk kepemimpinan sebuah gereja dalam hal pengambilan sebuah keputusan atau kebijakan. Dalam kehidupan bergereja paling tidak ada beberapa model bentuk kepemimpinan gereja yang nantinya dari setiap model itu akan berpengaruh terhadap suatu gereja dalam mengambil sebuah keputusan. GKJ sebagai sebuah gereja yang lahir karena peran serta gereja Belanda yang bercorak Calvinis maka prinsip kepemimpinannya juga sama dengan gereja Calvinis yaitu dengan memegang prinsip
28
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kepemimpinan gereja yang berbentuk Presbiterial-Sinodal.79 Dengan prinsip presbiterial
Sinodal maka setiap gereja mandiri atau yang sudah dewasa berhak memutuskan suatu
kebijakan local atas persetujuan Presbiter atau Majelis Gereja (Pendeta, Penatua dan
Diaken) setempat atau lokal. Namun jika suatu keputusan mencakup kebijakan pada
tingkat Klasis atau Sinode maka hal tersebut harus diputuskan dalam sidang Klasis atau
Sinode yang dihadiri oleh para Presbiter yang diutus oleh masing-masing gereja dalam
aras Klasis maupun Sinode.
Sehingga dengan demikian, terkait dengan penggunaan Alkitab bahasa Banyumasan bisa
menjadi sebuah keputusan di aras gereja local, aras klasis maupun sinodal. Dengan prinsip
kepemimpinan yang demikian maka sebenarnya setiap GKJ yang sudah dewasa atau
mandiri berhak mengambil sebuah kebijakan tertentu pada aras gereja local. Namun perlu
dicatat bahwa jika keputusan pada gereja local ini “diprotes” oleh jemaat maka jemaat
berhak membawa keberatannya pada aras Klasis atau Sinode, seperti halnya yang terjadi
pada kasus GKJ Wirobrajan Yogyakarta yang menyatakan keberatannya atas penggunaan
bahasa Indonesia dalam peribadahan gerejawi pada sidang Sinode tahun 1967.
Hal tersebut sampai saat ini masih menjadi sebuah polemic di beberapa gereja GKJ
terutama antara golongan “sepuh” dengan golongan muda.80 Golongan sepuh masih begitu
nyaman dengan penggunaan bahasa Jawa yang menurut mereka adalah bahasa yang
“adiluhung”, sedangkan anak-anak muda lebih memilih bahasa Indonesia dengan alasan
lebih mudah dimengerti. Sehingga untuk menengahi hal tersebut maka saat ini sudah
hampir semua gereja GKJ membagi ibadah gereja menjadi dua bahasa yaitu bahasa Jawa
dan Indonesia.
79 Lihat Tata gereja dan Tata Laksana Gereja Kristen Jawa, hal 9 80 Akta Sidang Sinode tahun 2012. “dari persidangan sinode ini akhirnya memutuskan untuk menterjemahkan Pokok-pokok Ajaran GKJ dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa”. 29
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Namun terlepas dari hal tersebut, sebenarnya GKJ sangat membuka ruang “kearifan lokal” dalam setiap pengambilan keputusan atau sebuah kebijakan. Bukankah bahasa Banyumas adalah sebuah bentuk “kearifan lokal” yang muncul dari sebuah kebudayaan lokal.
Sehingga jika melihat dari sudut pandang kearifan lokal, maka penggunaan Alkitab bahasa
Banyumasan adalah menjadi ranah keputusan gereja GKJ yang berada di daerah
Banyumasan itusendiri. Namun juga harus dipahami bahwa perihal penggunaan Alkitab bahasa Banyumasan ini juga harus dilihat dari kacamata ranah social yang berkembang selama ini di GKJ. Ranah social yang dimaksud tentunya adalah terkait dengan penggunaan bahasa Jawa pada peribadahan di GKJ selama ini dan tentunya juga adalah penggunaan bahasa Jawa di masyarakat yang berkebudayaan Jawa.
GKJ di daerah Banyumasan tidak bisa lepas dari kedua ranah ini. Walaupun berada di daerah Banyumasan yang bahasa sehari-harinya menggunakan bahasa Banyumasan namun di dalam gereja bahasa yang digunakan dalam peribadahan gerejawi adalah bahasa
Jawa Baku. Demikian juga di tengah kehidupan masyarakat, bahasa Jawa Baku juga digunakan pada acara-acara resmi seperti pada pertemuan-pertemuan rapat dari tingkat RT hingga tingkat kabupaten atau pada acara-acara hajatan dari kenduren hingga pernikahan.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pengaruh bahasa Jawa Baku memang sangat kuat bagi jemaat gereja GKJ di daerah Banyumasan baik di dalam kehidupan bergereja maupun di dalam kehidupan masyarakat. Terlebih pelajaran bahasa local yang dipelajari di sekolah melalui muatan local (mulok) di daerah Banyumasan adalah pelajaran bahasa Jawa Baku bukan bahasa Banyumasan atau Penginyongan. Sehingga disadari atau tidak disadari bahwa dari generasi ke generasi orang-orang di daerah Banyumasan pun akhirnya menilai bahwa bahasa yang “adi luhung” adalah bahasa Jawa Baku. Sebagaimana mengacu pada penelitian Prof. Sugeng Priadi, seorang akademisi budaya Banyumas, ternyata banyak dari
30
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
orang-orang Banyumasan sendiri yang malu menggunakan bahasa Banyumasan karena
anggapan bahwa bahasa Banyumasan adalah bahasa lawakan.81
Persepsi seperti itu tentunya terbentuk bukan dalam jangka waktu yang pendek namun
sudah berlangsung sejak lama. Penggunaan bahasa Jawa Baku pada kehidupan orang-
orang di daerah Banyumasan ini dapat dikatakan, sebagaimana pendapat I. Praptomo
Baryadi, sebagai “diskriminasi bahasa”.82 Dan diskriminasi bahasa ini muncul dari sebuah
representasi relasi kekuasaan. Representasi relasi kekuasaan ini sebenarnya muncul
dengan menggunakan cara kekerasan. Namun kekerasan ini menggunakan sesuatu hal
yang tidak kentara yaitu dengan menggunakan relasi kekuasaan bahasa. Sikap yang
demikian sebagaimana dikatakan Bourdieu maka kekerasan yang seperti ini adalah wujud
dari kekerasan simbolik.83 Dengan terjadinya kekerasan simbolik melalui relasi bahasa
inilah yang sebenarnya banyak tidak disadari oleh orang-orang Banyumasan sehingga
terciptalah “hegemoni” bahasa Jawa Baku terhadap bahasa Banyumasan.
Hegemoni bahasa Jawa Baku ini dimulai dari sebuah kontruksi bahasa yang dilakukan oleh
pemerintahan kolonial Belanda bekerjasama dengan pihak Keraton sebagai “penguasa”
tanah Jawa pada waktu itu. Sehingga dari uraian di atas setidaknya dapat memberikan
gambaran tentang makna sebuah kekuasaan yang direpresentasikan melalui relasi bahasa
yang dilakukan menggunakan media bahasa Jawa Baku pada kehidupan berjemaat di gereja
GKJ yang berada di daerah masyarakat yang berbahasa Banyumasan. Kekuasaan atau
“hegemoni” pada sebuah komunitas atau masyarakat sebenarnya tidak dibiarkan begitu saja
oleh orang-orang yang merasa “dikuasai” atau” terhegemoni”. Namun harus diakui bahwa
81 Prof, Dr. Sugeng Priyadi, M. Hum, Menuju Keemasan Banyumas, Pustaka Pelajar & SIP Publishing & Universitas MuhammadiyahPurwokerto, Jakarta & Purwokerto, 2015, hal 273. 82 I. Praptomo Baryadi, “Bahasa, Kekuasaan dan Kekerasan”, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2012, hal 28 83 Fauzi Fashri, Bourdieu: Menyingkap Kuasa Simbol, Jalasutra, Yogyakarta, 2014, hal 143 31
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
orang-orang yang merasa “terhegemoni” belum tentu bisa melakukan sebuah “counter
hegemoni”.
Sehingga melalui kehadiran Alkitab dalam bahasa Banyumasan apakah bisa dipakai
sebagai sarana “counter hegemoni” bagi jemaat gereja GKJ di daerah masyarakat yang
berbahasa Banyumasan terhadap kekuasaan yang direpresentasikan melalui relasi bahasa
menggunakan media bahasa Jawa Baku? Demikian juga selanjutnya bagaimana cara
stakeholder-stakeholder di dalam gereja GKJ di daerah Banyumasan di dalam
menggunakan Alkitab bahasa Banyumasan sebagai alat “counter hegemoni” terhadap
kekuasaan yang direpresentasikan melalui relasi bahasa yang menggunakan sarana media
bahasa Jawa Baku di dalam kehidupan bergereja di GKJ?.
B. Rumusan Permasalahan
Penelitian ini akan mengkaji tentang kekuasaan yang direpresentasikan melalui relasi
bahasa menggunakan media bahasa Jawa Baku di dalam kehidupan bergereja di gereja GKJ
di daerah Banyumasan. Ditengah-tengah dominasi bahasa Jawa Baku terhadap bahasa
Banyumasan atau Penginyongan ternyata muncul sebuah fenomena yaitu adanya penerbitan
Alkitab bahasa Banyumasan pada tahun 2015. Dari munculnya Alkitab bahasa Banyumasan
ini justru semakin memperlihatkan bagaimana hegemoni bahasa Jawa Baku terhadap bahasa
Banyumasan di dalam peribadahan gereja GKJ, khususnya GKJ di daerah Banyumasan. Hal
ini dikarenakan ternyata Alkitab terjemahan bahasa Banyumasan itu belum digunakan
sebagai bahasa pengantar ibadah gerejawi khusunya di gereja GKJ. Dengan asumsi-asumsi
yang telah terbangun dari latar belakang permasalahan, selanjutnya penelitian akan
meninjau permasalahan sebagai berikut:
32
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1. Apakah kehadiran Alkitab bahasa Banyumasan dapat dimaknai sebagai alat “counter
hegemoni” untuk melawan kekuasaan bahasa Jawa Baku di dalam kehidupan bergereja
di gereja GKJ, khususnya yang berada di daerah Banyumasan atau Penginyongan?
2. Bagaimana cara stakeholder-stakeholder yang berada di lingkup gereja GKJ di daerah
Banyumasan atau Penginyongan di dalam menggunakan Alkitab bahasa Banyumasan
sebagai alat “counter hegemoni” untuk melawan kekuasaan bahasa Jawa Baku?
C. Tujuan Penulisan
Dengan melihat permasalahan di atas yaitu tentang kehadiran Alkitab bahasa Banyumasan
di tengah-tengah kekuasaan yang direpresentasikan melalui relasi bahasa dengan
menggunakan media bahasa Jawa Baku di lingkungan gereja GKJ, khususnya GKJ di
daerah Banyumasan, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengindentifikasi dan
menganalisa hal-hal sebagai berikut:
1. Mengungkap dan menganalisa makna kehadiran Alkitab bahasa Penginyongan sebagai
alat “counter hegemoni” melawan kekuasaan bahasa Jawa Baku di dalam kehidupan
bergereja di gereja GKJ, khususnya yang berada di daerah Banyumasan atau
Penginyongan.
2. Menggambarkan bagaimana cara stakeholder-stakeholder (jemaat, gereja local, klasis
dan sinode) yang berada di dalam lingkup gereja GKJ di daerah Banyumasan di
dalam menggunakan Alkitab bahasa Penginyongan sebagai alat “counter hegemoni”
terhadap kekuasaan bahasa Jawa Baku.
Sehingga melalui dua hal tersebut di atas, diharapkan penelitian ini dapat memberikan
kontribusi yang positif dan bermanfaat bagi dunia akademisi dan khususya bagi kehidupan
bergereja di gereja GKJ. Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan sebuah
33
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
paradigma yang membangun tentang kehadiran Alkitab bahasa Banyumas di tengah-tengah
kehidupan bergereja di GKJ. Dengan paradigma yang membangun ini diharapkan tidak lagi
lagi terjadi sebuah kekuasaan yang direpresentasikan melalui relasi bahasa dengan
menggunakan media bahasa Jawa Baku di dalam kehidupan bergereja di gereja GKJ,
khususnya GKJ di daerah Banyumasan.
D. Tinjauan Pustaka.
Hasil penelitian-penelitian tentang konsep kekuasaan yang menggunakan media bahasa
sudah banyak dilakukan dan hal tersebut sangat membantu penulis di dalam melanjutkan
penelitian ini. Karya-karya penelitian tersebut telah banyak membahas tentang konsep
kekuasaan melalui bahasa, khususnya bahasa Jawa, dan telah diterbitkan dalam bentuk
buku. Buku-buku tersebut antara lain adalah: buku “Bahasa, Kekuasaan dan Kekerasan”
karya I. Praptomo Baryadi, buku “Konsep Kekuasaan Jawa” karya Moedjanto, buku “on the
subject of Java” karya Pemberton, dan buku “Kuasa Kata” karya Benedict Anderson.
Sebagian besar buku-buku tersebut di atas terinspirasi dari teori yang diutarakan oleh
Antonio Gramsci tentang “Hegemoni”. Melalui teori hegemoni inilah yang lalu mengarah
pada pendapat Gramsci lainnya yaitu tentang “counter hegemoni”. Oleh karena itu berbagai
macam buku yang ditulis oleh Antonio Gramsci tentunya akan menjadi rujukan dalam
penelitian ini, salah satunya adalah “Prison Notebooks”. Demikian juga dengan tulisan-
tulisan tentang Gramsci yang ditulis oleh berbagai penulis juga akan menjadi rujukan
sepanjang berhubungan dengan tema penelitian ini.
Apa yang menjadi pendapat Gramsci tentang hegemoni pada khususnya seringkali terdapat
titik pertemuan dengan tokoh-tokoh lain yang membahas tentang kekuasaan. Salah satunya
34
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
adalah Pierre Bourdieu, dimana pendapatnya tentang kekerasan simbolik melalui media bahasa dapat menjadi sarana sebuah kekuasaan. Sehingga teori tentang kekerasan simbolis ini juga sedikit banyak akan mempengaruhi penelitian ini, terutama tentang kekerasan simbolis melalui bahasa Jawa Baku. Oleh karena itu maka penelitian ini juga akan sedikit banyak menggunakan buku-buku yang ditulis oleh Bourdieu (Language adan Simbolic
Power) atau para penulis yang menulis tentang teori Bourdieu yang berhubungan dengan bahasa.
Salah satu wujud relasi kekuasaan melalui bahasa Jawa Baku sebenarnya sangat dirasakan oleh masyarakat bahasa Banyumasan. Salah satu akibat dari kekuasaan bahasa Jawa Baku ini adalah diturunkannya tingkat kebahasaan bahasa Banyumasan dari bahasa hanya menjadi sebuah logat atau dialek. Hal ini menimbulkan banyak perdebatan di kalangan budayawan serta akademisi yang berkecimpung pada budaya Banyumasan. Diantara mereka adalah Prof. Sugeng Priyadi dengan buku “Menuju Keemasan Banyumas”, Budiono
Herusatoto dengan buku “Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa dan Watak”, Teguh Triaton dengan buku “Identitas Wong Banyumas”, dan Ahmad Tohari dengan Kamus Bahasa
Banyumasan dan novel “Ronggeng Dukuh Paruk” yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Banyumasan sebagai sebuah eksistensi dari bahasa Banyumasan atau Penginyongan.
Berkaitan dengan penterjemahan Alkitab bahasa Jawa banyak menggunakan catatan-catatan dari buku sejarah gereja dan teologi. Diantaranya adalah buku dari seorang akademisi sejarah gereja yaitu Wolterbeek yang berjudul “Babad Zending di Tanah Jawa” dan catatan- catatan dari buku C. Guillot yang berjudul “Kyai Sadrach: Riwayat Kristenisasi di Tanah
Jawa”, serta buku teologi yang khusus membahas tentang penterjemahan Alkitab yaitu
“Persebaran Firman di Sepanjang Jaman” yang diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia yang ditulis oleh banyak penulis.
35
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Sedangkan sesuatu yang terkait dengan Gereja Kristen Jawa akan banyak mengambil dari buku sejarah gereja GKJ serta dari dokumen-dokumen akta persidangan Sinode GKJ.
Selanjutnya dari berbagai macam sumber di atas sebenarnya titik fokusnya mengarah pada
Alkitab bahasa Banyumasan. Dari Alkitab bahasa Banyumasan inilah yang lalu membawa kepada sebuah topic yaitu relasi kuasa bahasa. Maksud dari relasi kuasa bahasa dalam hal ini adalah kekuasaan dengan menggunakan media bahasa Jawa Baku di dalam kehidupan bergereja gereja GKJ di daerah Banyumasan.
Penterjemahan Alkitab ke dalam bahasa local sudah banyak dilakukan di Indonesia, salah satunya adalah penterjemahan Alkitab ke dalam bahasa Simalungun yang peristiwanya ditulis oleh Martin Sinaga dalam sebuah buku dengan judul “Identitas Poskolonial Gereja
Suku dalam Masyarakat Sipil”. Buku ini menulis tentang pandangan poskolonial secara khususnya tentang politik identitas dari kacamata Bhabha, Said dan Spivak. Latar belakang penterjemahan Alkitab bahasa Simalungun dikarenakan pada saat itu jemaat gereja HKBP yang berasal dari Simalungun masih memakai Alkitab bahasa Batak yang notabenenya sebenarnya didominasi oleh bahasa Batak Toba. Jemaat HKBP yang berasal dari
Simalungun menganggap bahwa gereja mereka (HKBP) sedang melakuakan “Tobanisasi” melalui Alkitab bahasa Batak Toba tersebut. Jemaat Simalungun ini merasa bahwa identitas mereka disingkirkan ketika di dalam ibadah mereka harus menggunakan bahasa Toba.
Mereka merasa bahwa bahasa ibu mereka adalah bahasa Simalungu, bukan bahasa Toba.
Oleh karena hal itulah yang lalu mendorong para tokoh jemaat Simalungun, salah satunya adalah Wismar Saragih, lalu mememulai penterjemahan Alkitab dalam bahasa Simalungun.
Bahkan setelah berhasil menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Simalungun lahirlah
Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) yang memisahkan diri dari gereja HKBP.
36
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Hal yang sama sebenarnya terjadi pada GKJ di wilayah Banyumasan yang hingga saat ini
menggunakan bahasa jawa, selain bahasa Indonesia, sebagai bahasa pengantar ibadah
gerejawi. Ketika orang-orang Kristen Simalungun berhasil menterjemahkan Alkitab ke
dalam bahasa Simalungun maka Alkitab tersebut langsung digunakan di dalam ibadah
gerejawi mereka sebagai symbol identitas mereka sebagai orang Simalungan yang berbeda
dengan orang batak Toba, Karo dll. Namun yang terjadi pada Alkitab bahasa Banyumasan
justru sebaliknya, Alkitab tersebut tidak atau belum dipakai di dalam ibadah gerejawi di
GKJ di wilayah Banyumasan. Inilah titik perbedaan yang terjadi antara Alkitab bahasa
Simalungun dan Alkitab bahasa Banyumasan.
Dari hal ini terlihat bahwa di dalam penterjemahan Alkitab bahasa Banyumasan menemui
kendala salah satunya adalah legalitas penggunaannya di dalam ibadah gerejawi khususnya
di gereja GKJ di wilayah Banyumasan. Sebagaimana telah dijelaskan dalam latarbelakang
masalah bahwa permasalahan yang terjadi adalah adanya hegemoni bahasa Jawa Baku
terhadapa bahasa Banyumasan. Oleh karena itu tulisan ini akan berbeda dengan tulisan
Martin Sinaga yang membawa penterjemahan Alkitab Simalungun dalam kacamata politik
identitas, sedangkan tulisan ini akan dilihat dari kacamata “Hegemoni”. Dan sebagai sebuah
perlawanan terhadap sebuah hegemoni maka tulisan ini akan membawa pada sebuah
pandangan dari Gramsci yaitu “Counter Hegemoni”.
E. Kerangka Teori
Pengaruh bahasa pada sebuah kekuasaan memang sangat kuat. Dimana ada kekuasaan disitu
ada permainan bahasa. Ketika Alexander Agung membagi dunia menjadi 2 yaitu dunia
Barat dan Timur yang menjadi batasannya yaitu budaya Hellenistik. Dan budaya hellenistik
37
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
berkaitan erat dengan bahasa Yunani (kuno). Sehingga pada waktu dunia Timur tidak menggunakan bahsa Yunani (kuno) sebagai bahasa komunikasi namun sebaliknya dunia barat yang hellenistik tidak bisa mengelakkan diri harus berbahasa Yunani (kuno). Hal ini juga terjadi ketika Inggris menguasai dunia dengan armada lautnya. Penguasaan wilayah maritime inilah yang membawa bahasa Inggris menjadi bahasa internasional. Terlihat di sini bahwa sang penguasa akhirnya menunjukkan kuasanya melalui bahasa.
Munculnya bahasa Inggris (Internasional) dan Jawa (Baku) bisa dikatakan mempunyai kemiripan, kemiripan ini terjadi bisa karena kebetulan dan juga bisa melalui sebuah alur yang sama. Bahasa Inggris yang saat ini baku secara Internasional sebenarnya dahulu ketika jaman pendudukan Romawi di Britania Raya sebenarnya hanya salah satu bahasa yang digunkan oleh suatu daerah yang sekarang bernama London. Kota yang sekarang disebut
London dahulu sengaja dibangun oleh kekaisaran Romawi sebagai pusat pemerintahan dimana daerah yang agak masuk ke pedalaman itu dihubungkan oleh aliran sungai yang dapat dilalui kapal dari dan menuju ke laut. Sama halnya dengan kota Surakarta yang menjadi salah satu pusat perdagangan VOC juga dibangun di dekat daerah aliran sungai yang juga dapat dilalui oleh kapal dari dan menuju ke laut. Dan dari kota-kota inilah muncul sebuah kekuasaan yang menggunakan media bahasa. London sebagai ibukota Inggris adalah pusat dari “Great Britain”, sedang Surakarta adalah sebagai pusatnya Jawa tempo dulu dengan Keraton Surakarta-nya.
Konteks kekuasaan dan bahasa, khususnya bahasa Jawa, itulah yang dibahas I. Praptomo
Baryadi, Moedjanto, Pemberton, Benedict Anderson. Dan semua tulisan mereka mengacu pada teori kekuasaan yang diusung oleh Gramsci. Dari teori Gramsci lalu bertemu dengan teori Bourdieu tentang kekerasan simbolis. Bourdieu melalui konsep “standard language” juga mengembangkan teorinya ini berangkat dari teori-teori Gramsci.
38
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dari teori teori kekerasan simbolis inilah ditemukan adanya bentuk kekuasaan melalui media bahasa Jawa (Baku) terhadap masyarakat bahasa Banyumasan. Hal inilah yang menyebabkan bahasa Banyumasan tersingkir dari di daerahnya sendiri, semacam menjadi tamu di rumahnya sendiri. Hal inilah yang membuat para akademisi maupun budayawan
Banyumasan mulai menggali tentang sisi kebahasaan bahasa Banyumasan melalui teks-teks yang mereka tulis. Selain buku-buku yang ditulis tentang bahasa Banyumasan, saat ini ternyata telah diterbitkan Alquran dan Alkitab dalam bahasa Jawa.
Penerbitan terjemahan Alquran dan Alkitab dalam bahasa Banyumasan menunjukkan bahwa sebuah bahasa juga bisa sangat terkait dengan sisi religious. Terkait dengan sisi religious ini paling tidak membawa dampak positif bagi umat muslim yaitu mulai banyak dai-dai atau ulama-ulama muslim yang berkhotbah dengan bahasa Banyumasan, namun untuk sholat dan ngaji tetap memakai bahasa Arab, teks asli bahasa sumber Alquran.
Dengan hal ini paling tidak dengan khotbah yang menggunakan bahasa local apa yang menjadi isi kitab suci bisa tersampaikan.
Namun perlakuan itu tidak terjadi pada Alkitab bahasa Banyumasan yang belum digunakan untuk ibadah gerejawi. Padahal sikap dari umat Muslim dan Kristen menyikapi bahasa kitab suci sangatlah berbeda. Kedua kitab suci ini memang boleh diterjemahkan namun bagi umat
Islam terkait dengan peribadahan seperti sholat, pengajian tidak boleh menggunakan
Alquran terjemahan namun jika hanya sekedar khotbah saja diperbolehkan untuk menggunakan hasil terjemahan. Sedangkan bagi umat Kristen sebenarnya peribadahan gerejawi bisa dilakukan dengan bahasa apa saja demikian juga termasuk khotbahnya namun yang terjadi justru Alkitab bahasa Banyumasan belum dipakai untuk peribadahan gerejawi.
Sehingga dengan belum dipakainya Alkitab Banyumasan di dalam ibadah gerejawi tentunya penggunaan bahasa Banyumasan di dalam ibadah gerejawi juga belum diberlakukan.
39
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Menyikapi peribadahan gerejawi dalam konteks masyarakat bahasa Banyumasan memang
bisa tertuju kepada semua denominasi gereja yang berada di daerah Banyumasan. Namun
jika mengacu pada salah satu perjalanan sebuah gereja yang embrionalnya dimulai dari
wilayah Banyumas tentunya akan lebih menarik untuk diteliti. Dan gereja itu adalah Gereja
Kristen Jawa. Sesuai dengan catatan sejarah GKJ memulai embrionalnya dari kota
Banyumas (lama) dan dari kota inilah lalu memicu berdirinya komunitas Sadrach di
Kutoarjo. Dan dari komunitas Sadrach inilah yang lalu melahirkan sebuah gereja bagi kaum
pribumi Jawa yang lalu perkumpulan gereja bagi kaum Jawa ini melebur menjadi satu di
dalam Sinode Gereja-gereja Kristen Jawa.
Karena konteks kejawaannya inilah maka bahasa Jawa (baku) lah yang digunakan sebagai
bahasa pengantar ibadah yang sebenarnya bahasa Jawa (baku) adalah bahasa yang telah
dikonstruksi oleh penguasa untuk melanggengkan kekuasaanya. Sehingga dari hal ini
memunculkan asumsi bahwa telah terjadi sebuah relasi kuasa yang direpresentasikan
melalui penggunaan media bahasa Jawa Baku di dalam kehidupan bergereja gereja GKJ di
daerah Banyumasan. Oleh karena itu dapat terlihat jelas bahwa relasi kekuasaan tidak hanya
terjadi diantara kaum majikan (pemilik modal) dengan kaum buruh (pekerja) melalui relasi
ekonominya saja, akan tetapi relasi kekuasaan dapat terjadi juga pada relasi-relasi yang
lainnya, salah satunya melalui relasi kuasa bahasa yang terjadi bukan hanya dalam konteks
hubungan ekonomi namun juga terjadi dalam relasi religius.
F. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data
Metode pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini akan menggunakan
data dari dua sumber yaitu sumber primer dan sekunder. Sumber primer adalah dengan
40
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
wawancara terkait dengan keberadaan Alkitab bahasa Banyumasan dan pemaknaannya.
Sedangkan sumber sekunder adalah dengan menggunakan teks-teks yang terkait dengan
pemaknaan kehadiran Alkitab bahasa Banyumasan dalam konteks kekuasaan, kekerasan
simbolis, bahasa dan Gereja Kristen Jawa dalam kacamata kajian budaya. Selanjutnya
dalam pengolahan data, baik primer maupun sekunder, akan masuk dalam proses analisa.
Analisa ini menghubungkan antara data primer dan sekunder untuk menjadi sebuah
kekuatan penelitian dalam sudut pandang kajian budaya.
G. Sistematika Penulisan
Penelitian ini akan diberi judul “Alkitab Bahasa Penginyongan: Counter Hegemoni Terhadap Kuasa Bahasa Jawa Baku di Gereja GKJ di Wilayah Banyumas”, dengan sistematika:
Bab I Pendahuluan
Bab II Relasi Kuasa Dalam (proses) Penterjemahan Alkitab (Hubungan bahasa dengan kekuasaan)
Bab III Hegemoni Bahasa Jawa “Baku” Terhadap (proses) Penterjemahan Alkitab Bahasa “Penginyongan”
Bab IV Counter Hegemoni Terhadap Penggunaan Bahasa Jawa Baku di Gereja GKJ
Melalui Penterjemahan Alkitab Bahasa Penginyongan
Bab V Penutup
41
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB II
RELASI KUASA DALAM PROSES PENERJEMAHAN ALKITAB
A. Sejarah Perkembangan Penerjemahan Alkitab dari masa ke masa dan Sisi Politisnya
Alkitab adalah sebuah kitab suci bagi umat agama Kristen yang tersusun melalui sebuah
proses kanonisasi yang lama. Secara ringkas Alkitab terdiri dari 2 bagian yaitu Perjanjian
Lama dan Perjanjian Baru yang semuanya terdiri dari 37 kitab. Perjanjian Lama
sebenarnya adalah kitab suci orang Yahudi yang lalu “diakuisisi” oleh orang-orang
sempalan dari penganut agama Yahudi yang disebut Kristen. Sebutan Perjanjian Lama
mulai disematkan pada kitab suci Ibrani ini baru pada akhir abad ke-2 mengacu pada salah
satu kalimat surat Paulus kepada jemaat di Korintus.84 Di dalam Perjanjian Lama bahasa
yang digunakan adalah bahasa Ibrani dan Aram yang menjadi bahasa pengantar bagi
orang-orang Yahudi. Sedangkan Perjanjian Baru yang ditulis pada jaman kekuasaan
kekaisaran Romawi ditulis dengan menggunakan bahasa Yunani (Koine) yang pada waktu
itu menjadi bahasa pengantar (lingua franca) di wilayah kekaisaran Romawi yang
meneruskan kekuasaan Alexander Agung.85
Dengan berkembangnya bahasa Yunani sebagai lingua franca di seluruh wilayah
kekaisaran Romawi, termasuk di wilayah bangsa Yahudi, maka hal ini mendorong adanya
penerjemahan kitab suci agama Yahudi (Perjanjian Lama) ke dalam bahasa Yunani yang
disebut sebagai Septuaginta. Kitab suci terjemahan ini dibuat untuk orang orang Yahudi
84 Robert B. Coote & Mary P. Coote, “Kuasa, Politik & Proses Pembuatan Alkitab”, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2001, hal 13. 85 Ibid hal 110-124 42
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
diaspora dikarenakan banyak bagian kitab suci bahasa Ibrani yang sudah tidak dimengerti
lagi.86 Demikian juga ketika penggunaan bahasa Yunani mulai digantikan dengan bahasa
Latin, maka Alkitab yang sudah tersusun menjadi dua bagian yaitu PL dan PB akhirnya
juga diterjemahkan ke dalam bahasa latin yang disebut Vulgata.
Ternyata penerjemahan Alkitab tidak hanya berhenti pada bahasa Yunani dan Latin saja
namun juga berkembang ke dalam berbagai bahasa yang ada di dunia yang masih dilakukan
hingga sekarang ini. Penerjemahan Alkitab yang masih terus dilakukan ke dalam berbagai
bahasa hingga saat ini tentunya mempunyai latarbelakangnya masing-masing. Dimulai
dengan terjemahan Septuaginta dan Vulgata saja sebenarnya bisa dilihat bahwa latar
belakang penerjemahan Alkitab ini secara kasat mata karena dipengaruhi oleh faktor
kekuasaan.87 Secara ringkas Alkitab, salah satunya melalui proses penerjemahan, dapat
dihasilkan oleh karena adanya tuntutan-tuntutan akan sebuah legitimasi yang diikuti adanya
pergantian kekuasaan.88 Sehingga bisa dikatakan bahwa proses penerjemahan Alkitab ke
dalam berbagai bahasa juga diikuti dengan adanya sebuah relasi kekuasaan.
Oleh karena itu untuk bisa melihat secara detail sejarah kekuasaan dalam proses
penerjemahan Alkitab, maka harus bisa dilihat terlebih dahulu bagaimana perkembangan
proses penerjemahan Alkitab ini dari masa ke masa. Sehingga supaya bisa tergambarkan
dengan jelasa maka diperlukan semacam periodisasi yang runtut di dalam proses
penerjemahan Alkitab dari masa awal kemunculannya hingga masa kini. Jika dilihat dari
segi sasaran dan fungsi terjemahan Alkitab, secara garis besar, menurut Daud Soesilo
86 Ibid hal 113 87 Ibid hal 3-4 88 Robert B. Coote & Mary P. Coote, “Kuasa, Politik & Proses Pembuatan Alkitab”, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2001, hal 211. 43
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
terdapat empat periode perkembangan proses perkembangan penerjemahan Alkitab,
yaitu:89
1. Tahun 200 s.M. – 400 M.
Dunia kekristenan secara resmi baru muncul pada permulaan abad ke-1 M setelah para
murid Tuhan Yesus dan pengikutnya disebut sebagai “Kristen” untuk pertama kali di
kota Antiokhia.90 Kekristenan lahir dari tradisi agama Yahudi yang sudah memiliki
kitab sucinya sendiri yang disebut Tanakh (Torah, Neviim dan Ketuvim). Oleh karena
itu ketika kekristenan mulai muncul dari tradisi Yahudi maka kitab suci yang dipakai
pun sama dengan kitab suci yang dipakai oleh para pengikut agama Yahudi
(Yudaisme). Hal ini dikarenakan pada waktu itu kitab suci agama Yahudi juga sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani sehari-hari (Koine) tiga abad sebelum
kekristenan muncul yaitu pada abad ke-3 s.M.91
Tujuan penerjemahan kitab suci orang Yahudi ini ke dalam bahasa Yunani dikarenakan
pada waktu itu sudah banyak orang-orang Yahudi Diaspora yang tidak fasih berbahasa
Ibrani, bahasa asli yang dipakai pada kitab suci Yahudi.92 Oleh karena itu pada masa
Raja Ptolomeus II (283-246 s.M) memerintahkan untuk menerjemahkan kitab agama
Yahudi ini ke dalam bahasa Yunani dengan tujuan untuk meng “Hellenis” kan orang-
orang Yahudi diaspora melalui kitab suci terjemahan Yunani ini. Terjemahan ini
dikenal dengan sebutan Septuaginta (LXX)
89 - Weinata Sairin (peny), Persebaran Firman di Sepanjang Zaman, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1994, hal 62-66. - lihat juga; Daud H. Soesilo, Mengenal Alkitab Anda, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 1995, hal 26-30 90 Kisah Para Rasul 11:26b “Di Anthiokhia-lah murid-murid itu untuk pertama kalinya disebut Kristen.” 91 Henri Chambert-Loir, “Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia”, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2009, hal 459. 92 Robert B. Coote & Mary P. Coote, “Kuasa, Politik & Proses Pembuatan Alkitab”, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2001, hal 113. 44
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Terjemahan Septuaginta inilah yang lalu dipakai sebagai kitab suci oleh “Gereja mula-
mula” yang anggotanya ternyata bukan hanya dari kalangan orang Yahudi saja, namun
juga dari kalangan non Yahudi. Akan tetapi justru dari hal inilah yang lalu
menyebabkan orang-orang Yahudi yang masih setia kepada Yudaisme tidak mau
memakai kitab suci mereka yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Yunani
(Septuaginta) ini karena mereka merasa bahwa kitab suci mereka sudah tidak murni
lagi. Sehingga untuk mengatasai ini mereka memilih untuk memakai Targum yaitu
kitab suci terjemahan dalam bahasa Aram.
Ketika kekuasaan bangsa Yunani di tanah orang Yahudi mulai memudar dan digantikan
oleh kekuasaan kekaisaran Romawi dimana Yudea hanya menjadi bagian propinsi dari
kekaisaran Romawi pada tahun 70 s.M.93 Selanjutnya pada abad ke-2 M terdapat
terjemahan dalam bahasa Siria; pada abad ke-3 M tersedia terjemahan Koptik; pada
abad ke-4 sudah tersedia terjemahan bahasa Etiopia, Gotik dan Georgia (Kaukasus).
Seiring berkembangnya kekristenan di kekaisaran Romawi ternyata membawa dampak
dimana kekristenan yang tadinya ditentang dan dilawan oleh kekaisaran Romawi
ternyata pada tahun 313 dengan keluarnya Edik Milano maka agama Kristen mulai
diakui sebagai agama kerajaan.94
2. Tahun 400 M. – 1500 M.
Seperti pada saat kekuasaan bangsa Yunani dimana telah muncul Alkitab bahasa
Yunani (Koine) maka di era ini juga dilakukan terjemahan Alkitab dalam bahasa Latin
yang diterjemahan oleh Hieronymus atas perintah Paus, dimana penerjemahan ini harus
dikerjakan berdasarkan teks aslinya.yang nantinya disebut sebagai Vulgata yang
akhirnya digunakan secara resmi di seluruh gereja hingga kurang lebih 1000 tahun
93 Robert B. Coote & Mary P. Coote, “Kuasa, Politik & Proses Pembuatan Alkitab”, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2001, hal 125. 94 Weinata Sairin (peny), “Persebaran Firman di Sepanjang Zaman”, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1994, hal 31. 45
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
lamanya.95 Penerjemahan ini dilakukan atas usul dari Kaisar Roma yang dipengaruhi
oleh Edik Milano (313), Edik Gratianus (380), dan pemisahan administrasi antara
Romawi Barat dan Timur (395).96 Penerjemahan Alkitab ini bertujuan supaya nantinya
hanya ada satu model terjemahan resmi yang diakui gereja sehingga dapat menghindari
munculnya terjemahan-terjemahan lainnya. Dengan adanya satu model penerjemahan
ini saja maka diharapkan arah penafsiran dan pandangan teologis yang diambil dari
Alkitab adalah menjadi otoritas penuh dari pihak gereja.
Namun akhirnya pada abad-abad selanjutnya (mulai abad ke-5 hingga abad ke-14)
ternyata banyak muncul terjemahan-terjemahan Alkitab dalam berbagai bahasa yaitu
bahasa Armenia, Sudan, Arab, Inggris Kuno (Anglo Saxon) Slav, Franks, Perancis,
Spanyol, Italia, Belanda, Polandia, Islandia, Persia, Ceko, Denmark. Akan tetapi
terjemahan-terjemahan tersebut tidak pernah diakui secara resmi oleh gereja. Bahkan
ketika John Wycliffe telah menyelesaikan penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa
Inggris sehari-hari (bukan bahasa Inggris Anglo-Saxon), dia dikecam sebagai orang
sesat oleh otoritas Gereja Roma karena apa yang dilakukannya dianggap tidak lazim.
Bahkan lebih tragisnya akhirnya John Wycliffe dikecam sebagai orang sesat oleh
otoritas gereja Roma. Dan dari peristiwa yang dialami John Wycliffe ini yang lalu
membuat dirinya dianggap sebagai perintis gerakan “Reformasi Gereja”.97
3. Tahun 1500 M. – 1960 M.
Pada periode ini mulai muncul perlawanan terhadap otoritas gereja Roma terhadap
Alkitab. Dimulai dari Tyndale yang merasa bahwa penerjemahan Alkitab harus
berdasarkan eksegesis atau tafsiran si penerjemhan. Oleh karena itu pada tahun 1526
95 Daud H. Soesilo, “Mengenal Alkitab Anda”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, hal 26-27 96 Robert B. Coote & Mary P. Coote, “Kuasa, Politik & Proses Pembuatan Alkitab”, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2001, hal 182, 195, 200. 97 H. Berkhof & I.H. Enklaar, “Sejarah Gereja”, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2009, hal 97 46
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dia melakukan penerjemahan Alkitab yang menghasilkan tafsiran serta pandangan
teologis yang berbeda dengan otoritas gereja. Sehingga karena hal tersebutlah maka
Tyndale dijatuhi hukuman penjara oleh gereja dan setelah itu dihukum mati dengan
dibakar secara hidup-hidup.98
Dalam periode ini, selain peristiwa yang dialami oleh Tyndale, terdapat 2 peristiwa
penting yang sangat mempengaruhi perkembangan penerjemahan Alkitab, yaitu
penemuan mesin cetak yang sering disebut sebagai Revolusi Guthenberg dan
Reformasi gereja (1517) yang digagas oleh Martin Luther.99 Munculnya gerakan ini
dilatarbelakangi tentang adanya penyelewengan-penyelewengan terhadap surat
pengakuan dosa yang diterbitkan oleh otoritas gereja Roma pada waktu itu. Dari hal
inilah yang lalu membuat Martin Luther mempunyai banyak gagasan pandangannya
terhadap gerakan reformasi gereja ini. Dan salah satunya adalah ketika dia merasa
bahwa satu-satunya kewibawaan Firman Tuhan adalah melalui Alkitab. Oleh karena itu
Alkitab harus bisa dimengerti oleh semua orang percaya. Dan supaya isi Firman Tuhan
di dalam Alkitab dapat dimengerti oleh semua orang percaya maka sebaiknya isi
Firman Tuhan ini dapat disampaikan menggunakan bahasa local sehingga lebih mudah
diterima oleh jemaat. Dari pandangan inilah yang lalu menggerakkan Martin Luther
untuk menerjemahkan Alkitab dalam bahasa Jerman yang secara komplit terbit pada
tahun 1534.
Kemunculan Alkitab dalam bahasa Jerman ini juga didukung dengan sudah adanya
penemuan mesin cetak oleh Guthenberg pada abad sebelumnya. Dan penemuan mesin
cetak ini sering disebut sebagai “Revolusi Guthenberg”. Dengan mesin cetak inilah
yang membuat Alkitab bahasa Jerman ini menjadi lebih mudah ketika harus
98 Daud H. Soesilo, “Mengenal Alkitab Anda”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, hal 27. 99 ibid 47
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
diperbanyak, sehingga dalam waktu singkat Alkitab ini sudah bisa beredar di seantero
Jerman. Sehingga dengan ketersediaan yang banyak dan cepat dari Alkitab bahasa
Jerman ini maka jemaat gereja Jerman pada waktu itu tidak hanya bisa mendengarkan
isi dari terjemahan itu saja akan tetapi juga bisa membacanya bahkan memiliki Alkitab
itu. Dari hal inilah yang lalu memunculkan sebuah semboyan dari kaum Reformasi
yaitu “Sola Scriptura”.100
Dan melalui gerakan Reformasi ini sebenarnya kerajaan Prusia, melalui Raja Frederick,
juga sedang “mendompleng” dalam hal melawan otoritas gereja Roma yang merasa
mempunyai hak mencampuri urusan dalam negeri kerajaan Prusia (Jerman).
“Pendomplengan” ini dikarenakan Martin Luther sebagai penggagas gerakan ini
mempunyai pandangan bahwa urusan kerajaan/negara dengan gereja harus dipisahkan
melalui ajarannya tentang “Dua Kerajaan”.101 Oleh karena ada dukungan dari seorang
Raja maka Alkitab ini akhirnya dapat diterima oleh jemaat gereja Jerman yang nanti
pada akhirnya pengikut gerakan reformasi gereja ini disebut sebagai kaum Protestan
yang bertujuan untuk membedakan dengan pengikut gereja Roma.
Reformasi gereja ternyata tidak hanya terjadi di Jerman saja namun juga meluas ke
seluruh Eropa bahkan masuk ke daratan Inggris. Sehingga dengan semangat yang sama
maka atas perintah Raja James diterjemahkanlah Alkitab ke dalam bahasa Inggris pada
tahun 1611, dimana terjemahan ini terkenal dengan sebutan King James Version
(KJV).102 Melalui penerjemahan Alkitab inilah yang pada akhirnya menjadi salah satu
cara gereja Protestan untuk melakukan Reformasi gereja. Dengan semakin menjalarnya
proses penerjemahan dalam bahasa local maka pada abad ke 19 mulai muncul lembaga-
100 W.J. Kooiman, “Martin Luther: Doktor dalam Kitab Suci, Reformator Gereja, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2001, Hal 44-52. 101 Mangisi S.E. Simorangkir, “Ajaran Dua Kerajaan Luther dan Relevansinya di Indonesia”, Penerbit satu-satu, Bandung, 2011, hal 34 102 Daud H. Soesilo, “Mengenal Alkitab Anda”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, hal 27-28. 48
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
lembaga Alkitab yang secara khusus mengurusi penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa
local atau bahasa ibu. Lembaga-lembaga Alkitab tersebuta adalah Lembaga Alkitab
Inggris (1804), Lembaga Alkitab Belanda (1814) dan Lembaga Alkitab Amerika
(1816). Melalui lembaga-lembaga Alkitab inilah yang lalu mempelopori penerjemahan
Alkitab di Asia yang masuk bersamaan dengan imperialisme dan kolonialisme bangsa-
bangsa Barat terhadap bangsa-bangsa Timur. Termasuk di antaranya adalah Nusantara
atau Indonesia.
Dengan banyaknya lembaga-lembaga Alkitab yang didirikan diberbagai negara maka
pada tahun 1946 lembaga alkitab dari berbagai negara lalu menyepakati untuk
berkumpul bersama dan membentuk Lembaga Alkitab se-Dunia. Dengan terbentuknya
Lembaga Alkitab se-Dunia ini maka perkembangan penerjemahan Alkitab memasuki
babak baru dimana proses penerjemahan yang dilakukan mulai mengarah pada sebuah
terjemahan oikumenis yang nantinya mulai meninggalkan metode penerjemahan yang
lama dan mulai menekankan metode penerjemahan Alkitab secara dinamis atau
fungsional.103
4. Tahun 1960 M. - sekarang
Setelah pembentukan lembaga Alkitab se-Dunia maka metode yang digunakan yang
tadinya lebih banyak menekankan metode harfiah, maka dengan memasuki era yang
baru ini dirasakan membutuhkan metode yang lain yang lebih komunikatif. Oleh karena
itu pada era ini mulai dipergunakan metode Dinamis atau Fungsional yang
dipopulerkan oleh Dr. Eugene Nida.104 Keunggulan metode ini adalah bahwa si
penerjemah adalah penutur bahasa asli dari bahasa sasaran. Dan pada periode inilah
Alkitab banyak diterjemahkan dalam bahasa nasional di banyak negara. Dalam hal ini
103 Ibid hal 39. 104 Anton M. Moeliono, Aspek Etnoliguistik dalam Terjemahan, dalam Majalah Ilmu Sastra Indonesia, Penerbit Bharata bekerjasama dengan Ikatan Sarjana Sastra Indonesia, 1973, hal 9 49
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Nida menganjurkan agar dalam setiap penerjemahan baiknya didahului dengan
penyelidikan 5 bidang budaya, yaitu: manusia dengan ekologinya, kebudayaan
material, kebudayaan sosial, kepercayaan lokal, dan bahasa itu sendiri.
Pada periode inilah mulai dirasakan perlunya terjemahan yang ekumenis, sehingga
pada era ini sebenarnya adalah masa dimana umat Yahudi, Protestan dan Katholik dapat
bekerjasama untuk menerjemahkan Alkitab yang oikumenis. Sehingga dalam periode
ini maka seorang penerjemah utama adalah seorang penutur asli dari bahasa sasaran.
Dengan metode ini maka mulai banyak muncul teologi-teologi local disebabkan
penerjemahan ini lebih menekankan bahasa sasaran daripada bahasa teksnya.105
Melalui metode fungsional inilah maka Alkitab bahasa Melayu yang selama ini dipakai
di wilayah Nusantara, seiring dengan rasa nasionalisme yang menelurkan bahasa
persatuan yaitu bahasa Indonesia. LAI (Lembaga Alkitab Indonesia) sebagai lembaga
penerjemahaan Alkitab di Indonesia secara resmi berdiri pada 9 Februari 1954, dimana
setelah itu juga menggabungkan diri dengan lembaga Alkitab se-Dunia pada bulan
April 1954, yang mempunyai tugas untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa
Indonesia.106
B. Sejarah Perkembangan Penerjemahan Alkitab di Indonesia dan Sisi Politisnya
Perkembangan penerjemahan Alkitab Di Indonesia tentunya terkait dengan sejarah
hadirnya kekristenan di bumi Nusantara. Menurut catatan sejarah bahwa di wilayah
Nusantara pada abad ke-7 M sudah terdapat sebuah komunitas Kristen Nestorian di daerah
Barus, Sumatera Utara. Namun komunitas ini tidak membawa pengaruh yang besar di
daerah Sumatera karena pada saat itu kekuasaan kerajaan Sriwijaya yang beragama Buddha
105 Daud H. Soesilo, “Mengenal Alkitab Anda”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, hal 62-66. 106 Ibid hal 136-137. 50
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sedang mengalami masa keemasannya, sehingga dimungkinkan kekristenan di Sumatera akhirnya bisa dikatakan “layu sebelum berkembang”. Karena tidak ada pengaruh yang besar maka kekristenan Nestorian di Barus ini juga tidak meninggalkan jejak-jejak yang jelas.
Namun ketika Malaka ditaklukkan oleh bangsa Portugis pada tahun 1511, jejak-jejak kekristenan mulai tergambar dengan hadirnya misi Katholik yang dibawa serta dalam misi dagang bangsa Portugis ini. Setelah penaklukan Malaka maka bangsa Portugis masuk ke wilayah Nusantara dibarengi masuknya bangsa Spanyol dari arah Filipina. Dari kedua bangsa inilah jejak-jejak kekristenan, khususnya Katholik, mulai memasuki wilayah
Nusantara.
Melihat kesuksesan misi dagang Portugis dan Spanyol di wilayah Nusantara akhirnya juga mengundang bangsa Eropa lainnya untuk menjelajah wilayah Nusantara, salah satunya adalah bangsa Belanda yang datang pertama kali ke Nusantara di Banten tahun 1596. Sejak saat itulah kongsi-kongsi dagang Belanda datang ke Nusantara untuk mengangkut hasil bumi yang kaya dengan rempah-rempahnya. Kongsi-kongsi dagang Belanda ini akhirnya bersatu dengan membentuk VOC yang akhirnya nanti bisa mengusir Portugis dan Spanyol dari bumi Nusantara yang menyebabkan Belanda melakukan monopoli penuh perdagangan di wilayah Nusantara.
Dengan hadirnya kekuasaan bangsa Belanda di Nusantara tentunya juga secara otomatis membawa masuk agama Kristen Protestan ke Nusantara. Dari sinilah awal mula kekristenan Protestan masuk ke wilayah Nusantaraa yang juga diikuti dengan proyek penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Potugis dan Melayu, dimana pada waktu itu kedua
51
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bahsa tersebut telah menjadi sebuah Lingua Franca di Nusantara, 107 yang didanai oleh
VOC. Dalam proses penerjemahan Alkitab ini tentunya banyak hal yang harus
diperhatikan, menurut Vries paling tidak di dalam sebuah penerjemahan harus terdapat
“selektivitas” dan “ketidakpastian” yang nantinya akan menentukan “skopos”
penerjemahan Alkitab tersebut.108
Yang dimaksud dengan “selektivitas” adalah aspek sintaksis dan aspek maknawi. Aspek
sintaksis adalah mengedepankan bahasa sumber ketimbang bahasa sasaran. Dan aspek
maknawi adalah mengedepankan makna dari bahasa sasaran sehingga sedikit banyak akan
mengesampingkan bahasa sasaran. Sedangkan aspek “ketidakpastian” adalah teks sumber
(asli) seringkali memunculkan banyak arti jika harus dipadankan dengan bahasa sasaran.
Sisi “selektivitas” dan “ketidakpastian” adalah sebuah factor intern di dalam teks, oleh
karena itu untuk mengatasi hal tersebut lalu dicari jalan tengah dengan mengambil sisi
eksternal dari teks yaitu sisi “Skopos”.
Sisi skopos secara sederhana dapat diartikan bahwa di dalam penerjemahan Alkitab harus
memiliki tujuan-tujuan tertentu yang ingin dicapai. Sehingga dari sisi skopos inilah yang
nantinya akan menentukan bagaimana proses yang harus dilakukan dalam penerjemahan
Alkitab, dimana harus memperhatikan teks sumber, teks sasaran dan hubungan-hubungan
kesepadanan liguistik. Selain itu juga harus diperhatikan panitia-panitia penerjemahan,
penerjemahan, para penerjemah, khalayak pembaca, serta konteks historis dan konteks
kelembagaan. Dan pada akhirnya skopos penerjemahan pada gilirannya akan mengikuti
konteks historis dan konteks kelembagaan di mana terjemahan itu berfungsi.109
107 Lourens de Vries, Ikhtisar Sejarah Penerje,ahan Alkitab di Indonesia; dalam Henri Chambert-Loir, “Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia”, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2009, hal. hal 461 108 Ibid hal. 459-460. 109 Ibid hal 461 52
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Terkait dengan penerjemahan Alkitab di Indonesia yang sudah dimulai sejak kedatangan
VOC di Nusantara hingga berdirinya Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), menurut Louren
de Vries dari perspektif “skopos”, sejarah penerjemahan Alkitab di Indonesia dipilah
menjadi tiga periode, yaitu periode pertama tahun 1629-1811 (dari VOC hingga kedatangan
Raffles), periode kedua tahun 1811-1950 (periode Raffles hingga pembentukan LAI),
periode ketiga tahun 1950-sekarang (Periode perintisan dan kinerja LAI).110
1. Periode pertama (1629 – 1811: era VOC – kedatangan Thomas Raffles)
Penerjemahanan Alkitab dalam bahasa Portugis dan Melayu di Nusantara dilakukan
oleh serikat dagang Belanda (VOC) yang menjadi panitia penerjemahan Alkitab serta
Dewan Gereja dari Gereja Reformasi Batavia (Gereja Protestan Calvinis) menjadi
penyelia yang memberi persetujuan.111 Tujuan atau skopos dari terjemahan Alkitab ini
adalah sebagai sebuah terjemahan gerejawi yang digunakan untuk melayani jemaat-
jemaat Eurasia (Indo-Belanda), etnis Ambon, Tionghoa dan Jawa. serta digunakan juga
untuk kepentingan pendidikan atau sekolah.112 Sehingga dapat dikatakan bahwa
Alkitab bahasa Potugis dan Melayu yang diterbitkan oleh VOC adalah Alkitab yang
digunakan untuk kebutuhan gerejani dan sekolah.
a. Penerjemahan Alkitab bahasa Portugis
Untuk penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Portugis dilakukan oleh Pdt.
D’Almeida dimana pada tahun 1681 Alkitab PB dicetak dan baru pada tahun 1748
PL juga dicetak, hal ini dikarenakan ketika D’Almeida baru menyelesaikan
penerjemahan hingga kitab Yehezkiel dirinya meninggal dunia, dan pekerjaannya
tersebut pada akhirnya diselesaikan oleh Pdt. Jacobus op den Akker.113 Dari proses
110 Ibid hal 461-462. 111 Ibid hal 461 112 Ibid 466-467 113 Daud H. Soesilo, Mengenal Alkitab Anda, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 1995, hal 47. 53
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Portugis sebenarnya menjadi sesuatu yang
sangat aneh, hal ini dikarenakan terjemahan ini dilakukan bukan oleh bangsa
Portugis sendiri akan tetapi terjemahan ini dilakukan oleh pihak Belanda yang
notabene adalah musuh dari bangsa Portugis. Hal tersebut dilakukan VOC semata-
mata hanya karena alasan perdagangan semata.114
Walaupun sebenarnya pihak VOC tidak tertarik dengan misi penginjilan namun jika
hal tersebut dapat digunakan untuk kepetingan perdagangan maka pihak VOC baru
mengijinkan misi tersebut. Misi yang dilakukan demi kepentingan perdagangan
tersebut ternyata lebih banyak untuk mem“Protestan”kan orang-orang Katholik
hasil misi bangsa Potugis dan Spanyol yang terlebih dahulu masuk ke wilyah
nusantara. Kebijakan VOC tersebut tentunya sangat dipengaruhi oleh persaingan
dagang serta kebijakan atau sikap pemerintahan negeri Belanda kepada bangsa
Portugis di Eropa yang juga akhirnya juga menjadi kebijakan VOC di tanah
Nusantara. Penerjemahan Akitab ke dalam bahasa Portugis ini diharapkan dapat
digunakan untuk mem”protestan”kan orang Katholik yang ada di Nusantara.115
Dengan hal ini diharapkan dapat digunakan untuk memutuskan kesetiaan politik
mereka terhadap bangsa Portugis yang menjadi saingan VOC.116 Dengan demikian
maka mereka dapat mudah diatur dengan doktrin gereja yang tentunya
mengarahkan mereka kepada kepatuhan terhadap semua kebijakan perdagangan
VOC.
Diantara orang-orang Katholik yang telah beralih menjadi Protestan tersebut
terdapat bekas budak-budak Portugis dari India dan Srilanka yang sudah fasih
berbahasa Portugis yang disebut sebagai golongan “Portugis Hitam” yang juga
114 Sadur hal 464 115 Sadur hal 466 116 Sadur hal 514. 54
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
disebut sebagai golongan “Mardika” (dari kata bahasa Belanda “mardijkers”,
bahasa Portugis “mardicas”).117 Selain golongan “Mardika” yang berbahasa
Portugis juga terdapat orang-orang Kristen pribumi yang hanya bisa berbahasa
Melayu (kebanyakan orang Ambon dan sedikit dari Jawa), Oleh karena itu pada
saat itu, khususnya di Batavia, terdapat 3 golongan orang Protestan, yaitu:
Golongan orang Belanda yang berbahasa Belanda (baik itu orang Belanda totok
maupun Indo-Belanda), golongan orang Mardika yang berbahasa Portugis dan
golongan orang pribumi yang berbahasa Melayu.118
Selain masalah persaingan dagang, sebenarnya ada hal lain yaitu adanya rasa
superior bangsa Belanda yang tidak ingin bahasa Belanda digunakan kaum budak
yang berbahasa Portugis. Dengan berkembangnya bahasa Portugis sebagai salah
satu lingua franca, selain bahasa Melayu, di wilayah Nusantara justru digunakan
sebagai sarana untuk membuktikan bahwa bahasa Belanda adalah bahasa kelas
penguasa. Namun terlepas dari itu semua, ternyata terjemahan ini adalah terjemahan
Alkitab yang pertama dalam bahasa Portugis di dunia,119 bahkan Alkitab tersebut
hingga saat ini masih dipakai oleh gereja-gereja di negara-negara yang berbahasa
Portugis.120
b. Penerjemahan Alkitab dalam bahasa Melayu
Selain penerjemahan bahasa Portugis, VOC juga melakukan penerjemahan Alkitab
ke dalam bahasa Melayu. Bahasa Melayu sudah digunakan sebagai bahasa niaga
(lingua franca) sejak abad ke-7 di Hindia Timur (Hindia-Belanda), semenanjung
117 Th. Van den End, “Ragi Carita 1: Sejarah Gereja di Indonesia tahun 1500-1860an”, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2012, hal 98. 118 ibid 119 Henri Chambert-Loir, “Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia”, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, hal 466. 120 Daud H. Soesilo, “Mengenal Alkitab Anda”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 1995, hal 47. 55
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Melayu (Malaysia), bahkan hingga Filipina.121 Dan bahasa Melayu itu sendiri
sebenarnya juga memiliki banyak varian yang ditemukan dalam berbagai macam
langgam kesusastraan dan istana di Kesultanan Malaka, Riau dan Johor.122 Dari
sinilah ditemukan banyak teks-teks tua yang tentunya berasal dari kalangan
bangsawan Melayu, dimana dengan adanya kesustraan ini maka dianggap cocok
digunakan sebagai sebuah “Naskah Suci”.123 Dengan alasan-alasan tersebutlah
maka lalu muncul banyak nama penerjemah yang menerjemahkan Alkitab ke dalam
bahasa Melayu, diantaranya adalah :
i. Injil Matius terjemahan Ruyl (1629)124
Ruyl adalah seorang pedagang dari Belanda yang datang ke Nusantara pada
tahun 1600. Setelah menetap di Nusantara dan mulai mengenal bahasa Melayu
dia lalu memulai penerjemahan Alkitab dalam bahasa Melayu yang
diselesaikannya pada tahun 1612. Dialah orang yang pertama kali
menerjemahkan bagian Alkitab ke dalam bahasa Melayu. Dan Bahasa Melayu
yang digunakan adalah bahasa Melayu yang bernada keningrat-ningratan atau
bahasa Melayu untuk kalangan istana. Sehingga dapat dikatakan terjemahan
Ruyl ini adalah terjemahan bahasa “Melayu Tinggi”.
Ada hal yang sangat menarik dalam penerjemhan ini yaitu bahwa Ruyl bukanlah
seorang Pendeta atau Teolog akan tetapi hanya orang biasa atau jemaat awam
saja. Terjemahan ini lalu dicetak pada tahun 1629 di Belanda yang dibiayai
121 Sadur hal 489 122 Sadur hal 468 123 Sadur hal 462 124 Biografi Ruyl dilihat di : - J.L Swellengrebel, “Mengikuti Jejak Leidejker Jilid 1 (1820-1900) : Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa Nusantara”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, hal 12. - Henri Chambert-Loir, “Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia”, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, hal 466. - Daud H. Soesilo, “Mengenal Alkitab Anda”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, hal 44-46. 56
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sepenuhnya oleh VOC. Dan Alkitab ini menjadi yang pertama diterjemahkan
ke dalam satu bahasa yang bukan berasal dari bahasa Eropa (Barat) dalam
rangka penginjilan. Alkitab ini dicetak dalam dwi bahasa yaitu di sisi sebelah
kiri menggunakan bahasa Melayu dan di sisi kanannya diberikan terjemahan
dalam bahasa Belanda.
ii. Perjanjian Baru terjemahan Brouwerious (1668)125
Jikalau terjemahan Ruyl menggunakan bahasa “Melayu Tinggi” maka
terjemahan Brouwerious disebut dengan “Melayu Rendah” atau Melayu pasar.
Keputusan Brouwerious mengambil varian bahasa Melayu Ambon dikarenakan
memang Alkitab ini ditujukan kepada jemaat gereja yang sudah didirikan di
kota Batavia dan Ambon dimana kedua kota ini menjadi kota pelabuhan yang
dijadikan pusat perdagangan dan perkantoran oleh VOC. Selain itu di dua kota
ini juga telah didirikan sekolah-sekolah oleh VOC dimana Alkitab ini nantinya
digunakan sebagai bahan ajar pelajaran agama di sekolah tersebut. Dari hal ini
terlihat bahawa “skopos” dari penerjemahan Alkitab ini adalah sebagai Alkitab
gerejawi dan sekolah.
125 Biografi Brouwerious dilihat di: - Th. Van den End, “Ragi Carita 1: Sejarah Gereja di Indonesia tahun 1500-1860an”, BPK Gunung Mulia, Jakarta, hal 118. - J.L Swellengrebel, “Mengikuti Jejak Leidejker Jilid 1 (1820-1900): Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa Nusantara”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, hal 12-14. - Henri Chambert-Loir, “Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia”, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, hal 466 – 468. - Daud H. Soesilo, “Mengenal Alkitab Anda”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, hal 46-47. 57
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii. Alkitab Terjemahan Leijdecker (1733)126
Setelah dirasa bahwa Alkitab PB terjemahan Brouwerious terasa sangat sulit
diterima di wilayah lain diluar Batavia dan Ambon maka pada tahun 1691 VOC
menugasi Leijdecker seorang pendeta militer yang saat itu bertugas di Batavia
untuk menerjemahkan Alkitab dalam “bahasa Melayu seperti yang terdapat
dalam berbagai buku orang-orang Melayu”. Oleh karena itu dengan berdasarkan
perintah tersebut maka Leijdecker mulai menerjemahkan Alkitab dalam bahasa
Melayu sesuai dengan bahasa Melayu yang mengacu pada bahasa-bahasa sastra
yang berasal dari istana Melayu. Singkat kata terjemahan Alkitab dalam bahasa
Melayu diterjemahkan dalam bahasa “Melayu Tinggi”. Sehingga melalui
perintah ini sebenarnya pihak VOC sedang merubah “skopos” penerjemahan ini
yang sebelumnya ditujukan sebagai Alkitab gerejawi dan sekolah menjadi
semacam “Alkitab sastra”.
Akhirnya Alkitab terjemahan Leijdecker ini bisa diterbitkan pada tahun 1733
setelah terlebih dahulu mengalami revisi yang dikerjakan oleh Van der Vorm
dan Werndly. Ternyata Alkitab ini nanti pada akhirnya sangat diterima di daerah
Ambon. Entah terkait atau tidak dengan fenomena tersebut, namun faktanya
Istri Leidejker adalah saudara dari Gubernur Jenderal di Hindia Belanda.127
126 Biografi Lejidecker dilihat di: - J.L Swellengrebel, “Mengikuti Jejak Leidejker Jilid 1 (1820-1900): Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa Nusantara”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, hal 14-23. - Th. Van den End, “Ragi Carita 1: Sejarah Gereja di Indonesia tahun 1500-1860an”, BPK Gunung Mulia, Jakarta, hal 119. - Daud H. Soesilo, “Mengenal Alkitab Anda”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, hal 46-48. - Henri Chambert-Loir, “Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia”, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, hal 466-468. - H. Berkhof & I.H. Enklaar, “Sejarah Gereja”, BPK Gunung Mulia, Jakarta, hal 240. 127 Taylor. Jean Gealman. 2009. Kehidupan Sosial di Batavia, Jakarta: Komunitas Bamb, Hal 37.
58
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Alkitab terjemahan Leidejker ini lalu sering disebut sebagai bahasa “Maleis
kerk” (Melayu Gerejawi) atau Melayu Alkitab/Kristen.128
2. Periode kedua (1811 – 1950: era Thomas Raffles – era Indonesia merdeka)
Pada saat kedatangan Inggris di Nusantara proses penerjemahan Alkitab yang tadinya
disponsori dan didanai oleh VOC terpaksa dihentikan seiring bangkrutnya VOC.
Namun ternyata proyek penerjemahan Alkitab ini menarik perhatian Raffles untuk
melanjutkannya dengan mengajak Lembaga Alkitab Inggris BFBS (British and Foreign
Bible Society) untuk datang ke Nusantara untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam
bahasa Jawa. Oleh karena itu untuk membantu Lembaga Alkitab Inggris Thomas
Raffles mendirikan Lembaga Alkitab Jawa yang nantinya setelah berakhirnya
kekuasaan Inggris di nusantara pada tahun 1816 maka lembaga ini berubah nama
menjadi “Oost–Indish Bijbelgenootschap” (Lembaga Alkitab Hindia Belanda) yang
disebut juga sebagai “Bataviaas Bijbelgebootschap”.129
Setelah Inggris secara penuh meninggalkan Nusantara pada tahun 1816 maka wilayah
Nusantara kembali diserahkan kepada Belanda. Dengan kehadiran kembali bangsa
Belanda ke Nusantara maka juga diikuti dengan kedatangan Lembaga Alkitab Belanda
(NBS/NBG). Dimana Lembaga ini beranggotakan sejumlah elite politik, budaya dan
social baik dari negeri Belanda dan dari orang-orang Belanda yang sudah menetap di
Hindia Belanda.130 Lembaga Alkitab inilah yang nantinya banyak berperan dalam revisi
Alkitab bahasa Melayu dan penerjemahan Alkitab dalam berbagai macam bahasa
daerah yang ada di Nusantara.
128 Henri Chambert-Loir, “Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia”, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, hal 468 dan 477. 129 Ibid hal 462. 130 ibid hal 464. 59
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dengan adanya lembaga-lembaga Alkitab ini, khususnya NBS, maka membawa
dampak dibukanya jejaring dengan Dewan Inti Amsterdam dari Lembaga Alkitab
Belanda.131 Selain itu masuknya lembaga-lembaga Alkitab pada masa kekuasaan
Inggris, seiring dengan kebijakan Thomas Raffles tentang kebebasan beragama, maka
mulai masuklah lembaga-lembaga misi ke Nusantara. Namun nanti pada saat Belanda
kembali ke Nusantara, pemerintah kolonial Belanda di Hindia Belanda yang
mensponsori masuknya lembaga-lembaga Alkitab ini, cenderung tidak mempercayai
badan-badan misi dikarenakan mereka seringkali mengkritisi kebijakan pemerintah
kolonial di Hindia Belanda.132 Karena bagi pemerintah Hindia Belanda hal yang lebih
penting dari adanya penerjemahan Alkitab ini bukanlah perkara penginjilan akan tetapi
yang diharapkan adalah bisa berguna bagi proses “pemberadaban” di seluruh wilayah
Nusantara.133 Oleh karena itulah dimulai revisi penerjemahan Alkitab bahasa Melayu
dan juga melakukan penerjemahan Alkitab ke dalam berbagai bahasa daerah yang ada
di Nusantara.
Terkhusus pada revisi terjemahan Alkitab bahasa Melayu, dikarenakan bahasa Portugis
sudah mulai kehilangan tempatnya sebagai lingua franca di wilayah Hindia-Belanda
sejak tahun 1800,134 sehingga revisi hanya dilakukan untuk bahasa Melayu saja. Selain
lembaga Alkitab Inggris dan Belanda yang datang ke Hindia-Belanda ternyata diikuti
juga lembaga alkitab dari Skotlandia. Dengan adanya beberapa lembaga-lembaga
Alkitab tersebut maka di satu sisi terjalin kerjasama di antara mereka namun di sisi lain
juga terjadi pertentangan di antara mereka. Dan pada masa inilah terjadi beberapa kali
macam revisi terhadap Alkitab bahasa Melayu. Dan revisi ini tidak hanya dilakukan di
131 Ibid hal 470 132 Ibid hal 465 133 Ibid hal 464. 134 ibid hal 462. 60
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
wilayah Nusantara saja namun juga di wilayah semenanjung Malaya dan Singapura.
Revisi-revisi itu antara lain adalah: revisi terjemahan Leijdecker, Alkitab terjemahan
Klinkert (1879), Shellabear (1927-1929) dan PB terjemahan Bode (1938).135
a. Revisi Terjemahan Alkitab Bahasa Melayu
i) Revisi Terjemahan Liejdecker
Alkitab dalam bahasa Melayu ternyata tidak hanya beredar di kepulauan
Nusantara saja akan tetapi juga beredar di semenanjung Malaya, yang natinya
menjadi negara Malaysia, dan Singapura. Setelah terbitnya terjemahan Melayu
(Leijdecker) yang terakhir kalinya yaitu pada tahun 1733, maka memasuki abad
ke-19 ini dirasa perlu adanya revisi terjemahan dikarenakan bahasa Melayu
dalam Alkitab sebelumnya belum bisa dijadikan sebuah bahasa Melayu yang
standar. Oleh karena itu melalui revisi-revisi terjemahan ini diharapkan mampu
mengkonstruksi sebuah bahasa Melayu yang standar yang disebut sebagai
“terjemahan persatuan”.136 Namun jika melihat para perevisi ini terlihat bahwa
pengaruh keberadaan Inggris di semenajung Malaya sangat mempengaruhi
revisi penerjemahan Alkitab bahasa Melayu ini.
- J. McGinnis137
Seorang pendeta Gereja Anglikan di Pulau Penang yang merevisi
Alkitab terjemahan Leijdecker ini berdasarkan kamus bahasa Melayu
yang disusun oleh Marsden. Alkitab ini diterbitkan pada tahun 1817
(PB) dan tahun 1821 (PL) yang dicetak di kota Serampore, India, atas
pembiayaan BFBS.
135 Daud Soesilo, Mengenal Alkitab Anda... hal 49-58. 136 Weinata Sairin (peny), “Persebaran Firman di Sepanjang Zaman”, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1994 hal 48 137Daud Soesilo, Mengenal Alkitab Anda.. hal 49 61
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
- Claudius Thomsen138
Seorang misionaris dari Inggris yang ditugaskan di Semenanjung
Malaka yang melakukan revisi penerjemahannya dibantu oleh seorang
ahli bahasa Melayu dari Malaya yaitu Munsyi Abdullah. Penerjemahan
ini hanya dilakukan untuk 4 Injil dan Kisah Para Rasul saja yang
diterbitkan tahun 1832.
- J. Emde139
Seorang Misionaris kebangsaan Jerman yang menikahi orang pribumi
dan tinggal di Surabaya. Dirinya melaukan revisi penerjemahan
Perjanjian Baru dalam bahasa Melayu rendah dialek Surabaya yang
dibantu oleh pendeta Belanda bernama D. Lenting dan seorang
misionaris Inggris bernama Walter Henry. Alkitab ini diterbitkan di
Batavia pada tahun 1835 dengan dibiayai oleh “Perkumpulan Kristiani
Surabaya”.
- Benjamin Keasberry140
Dirinya melanjutkan revisi yang telah dilakukan oleh Thomsen
sebelumnya di Semenanjung Malaya. Sama seperti Thomsen, dirinya
juga bekerjasama dengan Munsyi Abdullah dalam penerjemahannya.
Revisi ini berhasil menerbitkan Perjanjian Baru pada tahun 1852 yang
dicetak di Singapura.
Melihat revisi yang dilakukan oleh Mc.Ginnis, C.Thomsen dan B.Keasberry,
terlihat bahwa pengaruh keberadaan Inggris sangat berpengaruh di semenanjung
Malaya dan Singapura. Dengan penerjemahan yang dilakukan mereka muncul
138 Ibid hal 50 139 ibid 140 Ibid hal 51 62
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kesan bahwa wilayah jajahan Inggris menginginkan bahasa Melayu-nya sendiri.
Sedangkan J. Emde lebih memilih jalan ‘mandiri’ karena penerbitannya bukan
dibiayai oleh sebuah lembaga alkitab.
ii) Alkitab terjemahan Klinkert (1879)141
Hillebrandus Cornelius Klinkert adalah seorang misionaris Belanda yang
ditugaskan oleh Gereja Mennonit di daerah Jepara. Dia beristrikan orang indo-
Belanda yang hanya bisa berbicara bahasa Melayu dan Jawa. Dirinya tertarik
menterjemahkan Alkitab dalam bahasa Melayu, dimana pada tahun 1863
penerjemahan tersebut dapat diselesaikan namun hanya pada Perjanjian Baru,
dan diterbitkan pada tahun itu juga yang dicetak di Semarang. Terjemahan
Klinkert adalah terjemahan yang bahasa paling sederhana dan mudah
dimengerti. Terjemahan ini banyak digunakan oleh orang-orang Kristen
Tionghoa di Semarang karena memang terjemahan ini menggunakan bahasa
“Melayu Semarang”.
Namun ternyata bahasa yang digunakan Klinkert dirasa terlalu rendah. Oleh
karena itu dia diutus untuk tinggal di Tanjung Pinang, Riau sejak tahun 1864
untuk belajar secara langsung bahasa Melayu dengan penutur asli yang ada
disana. Karena gangguan kesehatan pada tahun 1867 dia dikembalikan ke
Belanda namun tetap mengerjakan tugasnya menerjemahkan Alkitab dalam
bahasa Melayu disana. Setelah kematian istrinya dia pindah ke Malaka dan
141 Biografi Klinkert diambil dari: - J.L Swellengrebel, “Mengikuti Jejak Leidejker Jilid 1 (1820-1900) : Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa Nusantara”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2006, hal 205-229. - Henri Chambert-Loir, “Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia”, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, hal 474-478 & 493-494. - Daud H. Soesilo, “Mengenal Alkitab Anda”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 1995, hal 51-52. - Persebaran firman hal 47 Th. Van den End & J. Weitens, SJ; “Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia tahun 1860an- sekarang”, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2012 hal 71 & 326. 63
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menyelesaikan terjemahannya dalam bahasa Melayu Tinggi, baik PB maupun
PL, pada tahun 1879 yang langsung diterbitkan oleh NBS. Penerbitan Alkitab
Klinkert yangdilakukan oleh NBS menunjukkan bahwa pemerintah kolonial
Belanda di Hindia Belanda menginginkan terjemahan Melayu yang berbeda
dengan Alkitab Melayu terjemahan BFBS (Inggris). Akhirnya Alkitab
terjemahan Klinkert ini dapat diterima secara luas dan bisa menggantikan
Alkitab terjemahan Leijdecker.
iii) Alkitab terjemahan Shellabear (1912)142
William Shellabear adalah seorang tentara Inggris yang ditugaskan di Singapura
pada tahun 1886 sebagai komandan pasukan Melayu yang bertugas menjaga
pelabuhan. Karena ketertarikannya pada misi maka dia lalu mengundurkan diri
dari jabatan militernya pada tahun 1890 dan bergabung dengan lembaga misi
dari Gereja Metodis Inggris.
Setelah bergabung dengan badan misi, dia lalu ditugaskan untuk
menerjemahkan Alkitab Perjanjian Baru bahasa Melayu yang diterjemahkan
oleh Keasberry dan bekerjasama dengan Lembaga Alkitab Inggris. Terjemahan
ini bisa diselesaikan pada tahun 1904 dan diterbitkan pada tahun 1910. Yang
menarik Dari terjemahan ini adalah sebutan Yesus diganti dengan Isa Almasih.
Setelah berhasil menerjemahkan PB dia lalu ditugasi kembali untuk
menerjemahkan Alkitab Perjanjian Lama terjemahan Klinkert yang akhirnya
142 Biografi Shellabear diambil dari: - Daud H. Soesilo, “Mengenal Alkitab Anda”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 1995, hal 53-55 - Henri Chambert-Loir, “Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia”, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2009, hal 494-495. - J.L Swellengrebel, “Mengikuti Jejak Leidejker Jilid 2 (1900-1970) : Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa Nusantara”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2006, hal 115-117. 64
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bisa diselesaikannya dan diterbitkan tahun 1912 dalam huruf Arab jawi (Pegon)
yang nantinya pada tahun 1927-1929 diterbitkan dengan menggunakan huruf
latin. Namun terjemahan ini hanya berkembang di wilayah Malaya dan
Singapura saja, akan tetapi terjemahan Shellabear dapat dikatakan sebagai
terjemahan modern pertama Alkitab bahasa Melayu.143
iv) Perjanjian Baru terjemahan Bode (1938).144
Tahun 1929 terdapat tiga lembaga alkitab dari tiga negara yang berbeda yaitu
Lembaga Alkitab Belanda, Inggris dan Skotlandia, yang menyepakati untuk
mengadakan sebuah terjemahan baru yang bisa dipakai secara umum di
kepulauan Nusantara dan Semenanjung Malaya untuk menggantikan Alkitab
terjemahan Leijdecker, Klinkert, dan Sheallabear. Tiga lembaga ini lalu
menunjuk Pdt. Werner August Bode yang pada waktu itu sedang ditugaskan di
sekolah guru yang mengajar teologi di Tomohon. Sebelum menjadi seorang
pendeta dirinya adalah seorang tentara Jerman.
Setelah mengalami berbagai macam kesukaran di dalam proses penerjemahan
ini, akhirnya pada tahun 1938 berhasil diterbitkan Perjanjian Baru. Namun
sayang sekali pada tahun 1940 karena terjadi perang dunia ke-2, dirinya sebagai
orang Jerman akhirnya harus meringkup di penjara. Dan setelah kedatangan
143 Sadur hal 1060 144 Biografi Bode diambil dari: - J.L Swellengrebel, “Mengikuti Jejak Leidejker Jilid 2 (1900-1970): Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa Nusantara”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2006 hal 120-127 - Henri Chambert-Loir, “Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia”, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2009, hal 477 & 495-498. - Weinata Sairin (peny), “Persebaran Firman di Sepanjang Zaman”, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1994, hal 49 - Daud H. Soesilo, “Mengenal Alkitab Anda”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 1995, hal 56-58. - Th. Van den End & J. Weitjens, SJ; “Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia tahun 1860an – sekarang”,BPK Gunung MUlia, Jakarta,2014, hal 326. 65
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Jepang dia diungsikan ke India melalui jalur laut, namun naas kapalnya di
torpedo kapal perang Jepang dan karam di dekat pulau Nias bersama dengan
transkrip terjemahan Perjanjian Lama-nya. Beruntung Ny. Bode mempunyai
beberapa salinan Perjanjian Lama untuk kitab Kejadian, Keluaran, Imamat,
Bilangan, Ulangan, Yosua, Hakim-hakim, Rut dan Mazmur. Akhirnya bagain-
bagian ini lalu diterbitkan pada tahun 1947.
b. Alkitab Bahasa Daerah (Bahasa Ibu)
Selain merevisi terjemahan bahasa Melayu, pada periode ini juga dimulai dengan
ada penerjemahan Alkitab dalam bahasa daerah yang ada di nusantara antara lain
bahasa Jawa (1854), Sunda (1877), Batak Toba (1878), Bugis (1888), dan bahasa
daerah lainnya. Adanya Alkitab dalam bahasa daerah ini adalah untuk memenuhi
kebutuhan gereja-gereja baru yang bernuansakan kedaerahan yang bermunculan di
wilayah Hindia-Belanda. Dan penerjemahan ini dilakukan oleh beberapa lembaga
Alkitab antara lain Lembaga Alkitab Inggris yang masuk pada jaman Raffles dan
Lembaga Alkitab Belanda (NBS).
Di antara banyaknya terjemahan bahasa daerah yang ada di Hindia Belanda,
menurut Vries ada tiga bahasa daerah yang menurutnya terdapat kasus-kasus atau
dinamika-dinamika yang penting untuk dibahas yaitu, bahasa Jawa, Batak dan
Simalungun.145 Bahasa Jawa adalah bahasa daerah yang pertama kali diterjemahan
oleh lembaga alkitab yang ada di Hindia-Belanda; sedangkan bahasa Batak (Toba)
adalah bahasa daerah yang sebelum dilakukan proses penerjemahan Alkitab harus
melalui proses penelitian linguistic yang mendalam terlebih dahulu; dan bahasa
145 Henri Chambert-Loir, “Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia”, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2009, hal 471. 66
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Simalungun adalah bahasa dearah yang diterjemahkan secara independen yang juga
menjadi sebuah masa peralihan dari periode ini ke periode selanjutnya.
i. Bahasa Jawa
Ada beberapa Alkitab terjemahan bahasa Jawa yang beredar di tanah Jawa pada
periode ini, yaitu terjemahan Bruckner, Gericke dan P. Jans.
a) Terjemahan Bruckner146
Gottlob Bruckner lahir di Jerman pada tahun 1783. Dia lalu bersekolah di
Belanda dan tertarik untuk menjadi tenaga misi NZG (badan misi gereja
Gereformed Belanda) yang akan dikirim ke pulau Jawa. Namun karena
pada saat itu Belanda sedang diduduki oleh Perancis dan pulau Jawa sedang
diduduki Inggris, maka kedatangannya ke pulau Jawa tidak diijinkan oleh
pemerintah Perancis yang sedang berperang dengan Inggris. Oleh karena
itu dia secara diam-diam diberangkatkan ke Inggris untuk mempersiapkan
diri berangkat ke pulau Jawa. Akhirnya dia bisa menuju ke pulau Jawa
dengan “mendompleng” lembaga misi Inggris yaitu London Missionary
Society (LMS) bersama dengan J. Kam dan J.S. Supper. Mereka mendarat
di Batavia pada tanggal 16 Mei 1814.
Setibanya di pulau Jawa Bruckner ditempatkan di “Indische Kerk” (Gereja
Protestan Belanda di Hindia-Belanda) yang berada di kota Semarang.
146 Biografi Bruckner diambil dari: - J.D. Wolterbeek, Babad Zending di Tanah Jawa, Taman Pustaka Kristen, Yogyakarta, 1995, hal 4-7. - Van den End, Ragi Carita 1 (Sejarah Gereja di Indonesia tahun 1500-1860an), BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2012, hal 206. - C. Guillot, Kyai Sadrach (Riwayat Kristenisasi di Jawa), Grafiti Pers, Jakarta, 1985, hal 3-7 - Lourens de Vries, Ikhtisar Sejarah Penerjemahan Alkitab di Indonesia (dalam “Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia”, peny: Henri CHambert-Loir), Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2009, hal 472. - J.L Swellengrebel, “Mengikuti Jejak Leidejker Jilid 1 (1820-1900): Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa Nusantara”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2006, hal 43-54. 67
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Namun ketika Inggris angkat kaki dari wilayah Nusantara pada tahun 1816
dan Belanda kembali lagi ke Nusantara, dia memilih melepas jabatannya
sebagai Pendeta dan lebih memilih bergabung dengan badan misi Gereja
Baptis. Dan ketika bergabung dengan badan misi inilah dia lalu
menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Jawa. Bahasa Jawa adalah bahasa
daerah yang pertama kali diterjemahkan oleh sebuah badan misi di wilayah
Hindia-Belanda. Pada tahun 1831 terjemahan bahasa Jawa ini dicetak di
kota Serampore, India. Terjemahan ini menggunakan bahasa Ngoko dialek
Semarang.147
Namun terjemahan ini lalu disita oleh pemerintahan kolonial Hindia-
Belanda karena dianggap bisa mengancam “keamanan dan ketertiban” di
pulau Jawa yang pada waktu itu baru saja terjadi perang Jawa, yang
dikhawatirkan bisa membangkitkan kembali api perlawanan para pengikut
Pangeran Diponegoro yang beragama Islam.
Selain karena factor perang Jawa, sebenarnya terdapat factor lain yang
tentunya tidak diungkapkan secara terang-terangan oleh pihak pemerintah
Hindia-Belanda. Faktor tersebut adalah adanya konspirasi yang dilakukan
oleh pemerintah Hindia-Belanda dengan pihak “indische Kerk” (Gereja
Protestan di Hindia-Belanda) serta NZG sebagai badan misi yang mengutus
Bruckner. Konspirasi ini dilatarbelakangi atas dasar kekecewaan terhadap
diri Bruckner. Kekecewaan ini disebabkan karena kedatangan Bruckner di
Hindia-Belanda sebenarnya diutus oleh pemerintah Hindia dan NZG untuk
melayani jemaat-jemaat Kristen Belanda di “Indische Kerk” Semarang,
147 J.L Swellengrebel, “Mengikuti Jejak Leidejker Jilid 1 (1820-1900): Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa Nusantara”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2006, hal 51 68
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
namun pada akhirnya setelah beberapa tahun kedatangannya di Semarang
dirinya malah mengundurkan diri dari jabatan kependetaannya dan memilih
bergabung dengan badan misi dari gereja Baptis.
Dengan kepindahannya ke badan misi gereja Baptis tentunya membawa
sentiment tersendiri bagi kalangan gereja Belanda dikarenakan gereja
Belanda sebagai sebuah gereja yang beraliran Calvinis yang juga ditetapkan
sebagai gereja negara, mempunyai perbedaan dari sisi dogmatis dengan
gereja Baptis, terutama dalam hal “penginjilan’.
Peristiwa penyitaan Alkitab bahasa Jawa terjemahan Bruckner ini adalah
salah satu cara pembatasan politik yang ditetapkan pemerintah Hindia-
Belanda kepada semua Badan Misi, Lembaga Alkitab, Gereja dan setiap
individu baik itu Pendeta maupun jemaat awam untuk tidak melakukan
penginjilan. Semua yang berbau religius berada di bawah pengawasan
penuh pemerintah Hindia-Belanda, terutama perihal penginjilan. Namun
jika penginjilan bisa membawa sesuatu yang poitif dan membawa
keuntungan bagi pemerintah Hindia-Belanda maka hal tersebut bisa
dilakukan dengan pengawasan yang sangat ketat, termasuk salah satunya
adalah penerjemahan Alkitab.
b) Terjemahan Gericke148
148 Biografi Gericke diambil dari: - J.L Swellengrebel, “Mengikuti Jejak Leidejker Jilid 1 (1820-1900): Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa Nusantara”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2006, hal 55-92. - Th. Van den End & J. Weitjens, SJ; “Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia tahun 1860an – sekarang”, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2014, hal 35. - Henri Chambert-Loir, “Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia”, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2009, hal 472-475. - C. Guillot, “Kiai Sadrach: Riwayat Kristenisasi di Jawa” (pent. Asvi Warman Adam), Grafiti Press, Jakarta, 1985, hal 6-8 & 17 - J.D. Wolterbeek, “Babad Zending di Pulau Jawa”, Taman Pustaka Kristen, Yogyakarta, 1995, hal 26. 69
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Walaupun pemerintah kolonial Hindia-Belanda sudah menyita Alkitab
Jawa terjemahan Bruckner, namun sebenarnya Lembaga Alkitab Belanda
melalui ijin pemerintah, baik di Belanda maupun Hindia-Belanda,
menginginkan adanya terjemahan Alkitab dalam bahasa Jawa. Oleh karena
itu pada tahun 1827 NBG mengirim utusannya ke pulau Jawa untuk
menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Jawa, yaitu Gericke.
Sebelum menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Jawa, sesuai perintah
dari NBG, dirinya harus terlebih dahulu melakukan kajian secara
menyeluruh tentang bahasa Jawa terlebih dahulu. Untuk melakukan hal ini
maka ia diperintahkan untuk mencari mitra dari kalangan orang Jawa asli
yang terpelajar dari golongan kelas atas atau priyayi. Dan akhirnya dia
bertemu dengan R. Pandji Poespowilogo, Mas Pramadi dan R. Bagoes
Moedjarat. Dari orang-orang Jawa inilah dia memperoleh banyak bantuan
ketika dia menyusun Kamus Bahasa Jawa.
Selanjutnya, Gericke juga mendapatkan instruksi dari NBS untuk memberi
perhatian pada bahasa sakral yang disebut bahasa Jawa Kawi untuk
membandingkannya dengan bahasa Jawa modern. Hal ini bertujuan supaya
penelitian ini dapat menunjang proses penerjemahan Alkitab Jawa dalam
gaya yang sesuai dengan Naskah Suci, namun dapat dipahami oleh orang-
orang Jawa. Dan yang terpenting adalah dia harus menegaskan kepada
orang-orang Jawa bahwa tujuannya mempelajari bahasa Jawa adalah untuk
mempelajari bahasa mereka dan ia tidak melakukan misi penginjilan bagi
orang-orang pribumi.
Terjemahanan ini selesai secara menyeluruh pada tahun 1854 yang oleh
pemerintahan kolonial Belanda di Hindia Belanda disebut sebagai “hadiah
70
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang layak sebagai kompensasi semua harta kekayaan yang setiap tahun
mengalir kepada kita dari pulau yang amat diberkati alam ini”.149 Dan
Alkitab bahasa Jawa Gericke adalah Alkitab yang pertama kali
diterjemahkan oleh Lembaga Alkitab Belanda di wilayah Hindia-Belanda.
Dari keberhasilan inilah yang lalu mendorong Lembaga Alkitab Belanda
melakukan banyak penerjemahan dalam bahasa-bahasa daerah lainnya
yang ada di Nusantara ini.
Dikarenakan penerjemahan ini dilakukan dengan terlebih dahulu
melakukan riset penelitian linguistic maka hasil dari terjemahan Alkitab
bahasa Jawa ini juga banyak dipengaruhi oleh banyak hal yang
berhubungan dengan penelitian linguistic tersebut. Salah satunya adalah
penggunaan bahasa Jawa Krama Inggil. Dari penerjemahan dengan metode
inilah yang lalu menemui beberapa kesulitan karena di dalam bahasa Jawa
terdapat tingkatan bahasa yaitu Ngoko dan Krama. Bahasa Ngoko adalah
bahasa sehari-hari yang diucapkan oleh khalayak umum, sedangkan Krama
adalah sebuah bahasa dimana para penutur ketika berbicara dengan lawan
bicaranya harus melihat berbagai macam aspek, seperti tingkatan umur,
jabatan, golongan dll.
Dari sinilah Gericke menemukan kesulitannya, sehingga penerjemahan
Alkitab yang dilakukan Gericke sebenarnya memang dapat dikatakan
hasilnya sangat mirip dengan sebuah karya sastra. Dengan hal demikian
maka bahasa yang dihasilkannyapun bukanlah bahasa Jawa yang diucapkan
149 Henri Chambert-Loir, “Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia”, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2009, hal 472. 71
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sehari-hari oleh khalayak umum akan tetapi adalah sebuah bahasa yang
dipakai di lingkungan Keraton.
Dengan munculnya Alkitab bahasa Jawa terjemahan Gericke ternyata juga
digunakan sebagai jalan bagi pemerintahan kolonial Belanda dengan pihak
Keraton untuk membakukan bahasa Jawa yang resmi. Sehingga dari
penerjemahan Alkitab dalam bahasa Jawa ini sebenarnya mengandung
maksud yang sejatinya digunakan demi kepentingan pemerintahan kolonial
Belanda di Hindia-Timur khususnya di tanah Jawa yaitu tentang pemakaian
bahasa Jawa yang sudah melalui sebuah proses “konstruksi bahasa” terlebih
dahulu. Sehingga dengan konstruksi bahasa ini lalu memunculkan sebuah
“standarisasi” bahasa Jawa.
c) Terjemahan P. Jans150
P. Jans lahir tahun 1820, adalah seorang misionaris gereja Menonit yang
ditempatkan di Jepara, pantai utara Jawa Tengah. Sebelumberangkat ke
Jawa dia terlebih dahulu belajar bahasa Jawa di Universitan Leiden. Dia
tiba di Batavia pada bulan November tahun 1851.
Namun misi yang dilakukannya mengalami kesulitan ketika pengajarannya
tentang Injil dianggap menghasut orang-orang untuk melawan pemerintah
kolonial Hindia-Belanda. Dakwaan ini dikarenakan brosur yang dibuat oleh
dirinya dengan judul: “Wektune wus tekan, Karatone Allah wus cedhak”,
dianggap meresahkan dan mengganggu “keamanan dan ketertiban” karena
150 Biografi P. Jans diambil dari: - Henri Chambert-Loir, “Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia”, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2009, hal 473 - J.L Swellengrebel, “Mengikuti Jejak Leidejker Jilid 1 (1820-1900): Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa Nusantara”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2006, hal 93-107. - C. Guillot, “Kiai Sadrach: Riwayat Kristenisasi di Jawa”, Grafiti Press, Jakarta, 1985, hal 11-13. - J.D. Wolterbeek, “Babad Zending di Pulau Jawa”, Taman Pustaka Kristen, Yogyakarta, 1995, hal 53-57. 72
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menyinggung perasaan umat Islam disana. Atas penilaian ini dia tidak
disukai oleh para pegawai kantor pemerintah dan kegiatannya selalu
diawasi oleh pemerintah. Dari hal inilah yang membuat dirinya tidak
nyaman dalam kegiatan misi. Oleh karena hal inilah maka pada tahun 1855
dia beralih menjadi pengajar dibawah bimbingan Klinkert (penerjemah
Alkitab bahasa Melayu), yang nantinya pada tahun 1861 mereka berdua
menerbitkan Kamus saku bahasa Belanda - Jawa.
Namun pada tahun 1859 atas rekomendasi Asisten Residen Jepara dan
Bupati Jepara, Gubernur Jenderal mencabut surat ijin P. Janz sebagai
misionaris dicabut sehingga dia dilarang untuk melakukan pekabaran Injil.
Oleh sebab inilah maka dia sudah tidak bisa lagi melakukan kegiatan
misinya. Bahkan dia sempat diminta turun dari mimbar ketika sedang
memimpin ibadah di gereja karena larangan ini. Dan setelah kejadian ini
dia hanya diperkenankan untuk memelihara iman orang-orang yang sudah
Kristen saja serta mengajar dan membimbing para penginjil Jawa.
Karena kecintaannya terhadap budaya Jawa dirinya juga mulai mempelajari
sastra Jawa. Dari sinilah dia mulai menyelidiki Alkitab bahasa Jawa
terjemahan Gericke serta mulai menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa
Jawa. Dari sinilah dia mulai mengkritik Alkitab terjemahan Gericke ini. Dia
mengkritik bahwa Alkitab Jawa terjemahan Gericke sangat kaku dan
kurang jelas. Hal ini dikarenakan Alkitab terjemahan Gericke sangat
mengikuti dan terikat dengan alur tata bahasa Jawa “Keraton” yang sangat
formal. Dan memang terjemahan Gericke banyak dipengaruhi oleh bahasa
Jawa Krama ketimbang Ngoko. Menurut dirinya lebih baik menerjemahkan
Alkitab dengan mengesampingkan tata bahasa yang terikat pada makna
73
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang harfiah dan lebih mengedepankan sedapat mungkin terjemahan yang
dapat dipahami semua orang serta dapat dipahami dengan jelas dan tepat.
Dari hal inilah lalu P. Janz mulai “menjawakan” Alkitab dengan memakai
bahasa Jawa sehari-hari.
Kritikan ini ditanggapi secara negative oleh Van der Tuuk (penerjemah
Alkitab bahasa Batak utusan NBG) dan diteruskan ke pimpinan NBG di
negeri Belanda melalui suratnya. Dari surat Tuuk inilah yang menimbulkan
rasa “sentiment” NBG kepada Janz. Sehingga ketika Janz menawarkan
terjemahan Alkitab bahasa Jawa yang sudah dikerjakannya ini ke NBG
langsung ditolak dengan berbagai macam alasan. Karena ditolak oleh NBG
dia menawarkan terjemahan Alkitabnya ini ke BFBS. Dan hasil
terjemahannya ini diterima oleh BFBS sehingga pada bulan Agustus tahun
1887 dirinya pindah ke Surakarta untuk menyempurnakan hasil
terjemahannya ini. Dan akhirnya pada tahun 1890 Alkitab Perjanjian Baru
diterbitkan menyusul Perjanjian Lama pada tahun 1895. Dan ternyata
setelah penerbitan Alkitab terjemahan Janz ini, menurut komentar Adriani
(penerjemah Alkitab dalam bahasa Poso) pada 12 Juni 1907,
“Dewasa ini terjemahan Janz sudah umum digunakan di Jawa dan lebih
digemari daripada terjemahan Gericke, karena Gericke menjadi
perintis studi ilmiah bahasa Jawa dan terutama bergaul dengan para
Bangsawan dan orang terpelajar, sedangkan Janz sebagai pekabar Injil
hidup dengan rakyat biasa. Ketika Janz mengerjakan terjemahannya, ia
74
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menggunakan terjemahan dan kamus Gericke, tetapi karyanya sendiri
lebih dekat dengan bahasa Jawa sehari-hari”.151
ii. Bahasa Batak (Toba)
Alkitab bahasa Batak (Toba) identik dengan gereja HKBP dengan salah satu
tokoh terkenalnya yaitu Nommensen yang datang ke tanah Batak pada tahun
1862. Sebelum kedatangan Nommensen ke tanah Batak telah datang terlebih
dahulu seseorang yang diutus olen NBG untuk menerjemahkan Alkitab bahasa
Batak yaitu Neubronner van deer Tuuk yang datang pada tahun 1851.
Sebelumnya Alkitab dalam bahasa Batak telah diterjemahkan oleh Richard
Burton dari badan misi Baptis pada tahun 1822 dan penerjemahan ini dilakukan
hanya sampai pada Injil Yohanes saja.
Kedatangan van deer Tuuk ke tanah Batak mempunyai misi yang sama dengan
kedatangan Gericke ke tanah Jawa yaitu untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam
bahasa daerah yang ada di Hindia Belanda. Seperti Gericke, sebelum diutus ke
tanah Hindia Belanda van deer Tuuk telah menerima pelatihan-pelatihan
lingusitik dalam rangka penerjemahan Alkitab. Dan dalam rangka penerjemahan
Alkitab ini maka Tuuk terlebih dahulu meneliti bahasa Batak serta menghasilkan
tulisan-tulisan serta kamus bahasa Batak. Baru pada tahun 1853 Tuuk memulai
penerjemahan Alkitab dalam bahasa Batak yang baru pada tahun 1867
penerjemahan ini baru selesai sebatas Perjanjian Lama saja, itupun hanya
sebagian kitab saja. Nantinya terjemahan PL ini dilanjutkan oleh Johansenn dan
untuk PB dilakukan oleh Nommensen.
151 J.L Swellengrebel, “Mengikuti Jejak Leidejker Jilid 1 (1820-1900): Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa Nusantara”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2006, hal 107. 75
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
a) Terjemahan Tuuk152
Tuuk adalah seorang ahli bahasa yang sebenarnya tidak begitu tertarik
dengan misi penginjilan. Oleh karena itu kedatangannya di tanah Batak juga
bukan dalam misi penginjilan seperti apa yang ditugaskan NBS kepadanya
yang hanya sebatas menerjemahkan Alkitab dalam bahasa Batak saja.
Namun kebenciannya terhadap Islam mendorong dirinya menjadi sangat
bersemangat dalam penerjemahan ini supaya nantinya dengan Alkitab
terjemahan dalam bahasa Batak ini dapat menghentikan pengaruh Islam yang
mulai meluas di tanah Batak.
Dan sebelum Tuuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Batak (Toba),
dia terlebih dahulu menerjemahkan banyak buku-buku ke dalam bahasa
Batak Toba. Hal ini dilakukan karena penggunanan bahasa Batak Toba lah
yang nantinya dirasa bisa membendung “islamisasi” di tanah Toba pada
khususnya. Oleh karena itu dia juga menyarankan supaya orang-orang Batak
Toba untuk menggunakan bahasanya sendiri dan tidak menggunakan bahasa
Melayu karena bahasa Melayu menurutnya adalah bahasa yang dipakai untuk
proses “islamisasi”.
152 Biografi Tuuk diambil dari: - Henri Chambert-Loir, “Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia”, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2009, hal 28-29. - J.L Swellengrebel, “Mengikuti Jejak Leidejker Jilid 1 (1820-1900): Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa Nusantara”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2006, hal 125-160. - Henri Chambert-Loir, “Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia”, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2009, hal 473-475. 76
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Setelah Tuuk berusaha membendung “islamisasi” dengan caranya tersebut,
dia lalu mengirim surat kepada NBG untuk mengirimkan tenaga misi ke
tanah Batak. Dan usulan ini diterima oleh NBG yang lalu bekerjasama
dengan RMG mengirimkan tenaga misi ke tanah Batak, salah satunya adalah
Nommensen yang natinya disebut sebagai “Rasulnya orang Batak”. Dan
ketika tenaga misi sudah datang ke tanah Batak, mereka merasa bahwa apa
telah dilakukan Tuuk begitu berguna untuk membuka ladang penginjilan di
tanah Batak. Sehingga dapat dikatakan bahwa karya misi di tanah Batak
sebenarnya terlebih dahulu dimulai oleh karya penerjemahan Alkitab yang
telah dilakukan oleh Tuuk.
b) Terjemahan Nommensen dan Johannsen153
Nommensen tiba di Padang pada tanggal 14 mei 1862 yang lalu diteruskan
menuju ke tanah Batak sebagai utusan dari badan misi Jerman RMG.
Nommensen dianggap sebagai seorang misionaris yang pertama kali
menanamkan pondasi bagi berdirinya gereja HKBP. Oleh karena pusat
HKBP berpusat di daerah Toba dan ditambah dengan sudah adanya Alkitab
terjemahan Tuuk dalam bahasa Batak Toba maka keberadaan gereja HKBP
di tanah Batak lalu identik dengan daerah Toba.
Oleh karena hal itulah maka Nommensen lalu melanjutkan karya terjemahan
Alkitab bahasa Batak Toba yang telah dilakukan Tuuk dikarenakan Tuuk
memilih pergi ke pulau Bali. Dari usaha lanjutan penerjemahan yang
dilakukan oleh Nommensen ini maka pada tahun 1878 diterbitkan Alkitab
PB dalam bahasa Batak Toba. Sedangkan untuk bagian PL yang belum
153 J.L Swellengrebel, “Mengikuti Jejak Leidejker Jilid 1 (1820-1900) : Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa Nusantara”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2006, hal 160- 164. 77
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
terselesaikan oleh Tuuk dilanjutkan oleh Peter Heinrich Johannsen yang
datang ke tanah Batak padatahun 1866. Melalui kerja kerasnya akhirnya
bagian PL ini dapat selesai diterjemahkan dan diterbitkan pada tahun 1894
yang dibiayai oleh BFBS.
Penerbitan Alkitab bahasa Toba yang ternyata dilakukan oleh BFBS ternyata
mempunyai latarbelakang tersendiri. RMG sebagai pengutus Nommensen
dan Johannsen sebenarnya datang ke tanah Batak karena adanya kerjasama
dengan NBG. Sehingga seharusnya yang menerbitkan Alkitab Batak ini
adalah NBG. Namun karena adanya perselisihan antara Tuuk dengan
Nommensen dan Johannsen maka RMG lalu beralih haluan ke BFBS. Hal ini
dikarenakan ketika draft terjemahan Injil Matius dari Nommensen
dikirimkan ke NBG dan dikoreksi oleh Tuuk ternyata Tuuk menilai dengan
tanggapan yang negarif dan tidak merekomendasikan untuk diterbitkan. Dari
hal inilah maka RMG memutuskan untuk beralih ke BFBS yang notabene
menjadi saingan NBG dalam melakukan proyek penerjemahan Alkitab ke
dalam bahasa daerah di Hindia-Belanda.
Dengan sudah adanya Alkitab bahasa Toba inilah yang akhirnya
menyebabkan gereja HKBP semakin melanjutkan politik “Tobanisasi” di
dalam lingkungan gereja.154 Keberadaan bahasa Toba sebagai bahasa resmi
gerejawi gereja HKBP ini apada akhirnya mulai digugat atau
dipermasalahkan oleh HKBP distrik Simalungun melalui peran Pdt. Jaulung
Wismar Saragih.
154 J.L Swellengrebel, “Mengikuti Jejak Leidejker Jilid 2 (1900-1970): Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa Nusantara”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2006, hal 193-195. 78
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii. Alkitab Bahasa Simalungun155
HKBP di daerah distrik Simalungun merasa bahwa mereka membutuhkan bahasa
Alkitab sesuai dengan bahasa mereka sendiri yaitu bahasa Simalungun. Pdt.
Jaulung Wismar Saragih (JWS) sebagai pendeta HKBP yang pertama kali berasal
dari daerah Simalungun bersama dengan kakaknya, Jaudin Saragih, gigih
memperjuangkan bahasa Simalungun sebagai bahasa pengantar di gereja dan di
sekolah-sekolah yang didirikan zending. Oleh karena itu ketika Pdt. J.W. Saragih
memimpin ibadah dan tiba saatnya khotbah dia tetap membawa Alkitab bahasa
Toba namun dibaca dalam bahasa Simalungun.
Dari hal inilah yang lalu memunculkan sebuah usaha untuk menerjemahkan
Alkitab dalam bahasa Simalungun sebagai salah satu sarana perlawanan terhadap
“tobanisasi” di dalam tubuh gereja HKBP. Namun didalam proses penerjemahan
Alkitab dalam bahasa Simalungun ini tidaklah semudah membalikkan telapak
tangan karena banyak dinamika yang harus dihadapi. Konteks yang harus
dihadapi JWS dalam penerjemahan Alkitab dalam bahasa Simalungun ini paling
tidak ada tiga hal, yaitu: kekuasan administrasi pemerintah kolonial Hindia-
Belanda, eksistensi badan misi RMG dan mobilisasi/migrasi orang-orang Toba
ke Simalungun.156
155- Henri Chambert-Loir, “Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia”, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2009, hal 478. - J.L Swellengrebel, “Mengikuti Jejak Leidejker Jilid 2 (1900-1970): Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa Nusantara”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2006, hal 182-199 - Martin Lukito Sinaga, Identitas Poskolonial “Gereja Suku” dalam Masyarakat Sipil: Studi tentang Jaulung Wismar Saragih dan Komunitas Kristen Simalungun, LKiS, Yogyakarta, 2004, hal 40-50 - Th. Van den End & J. Weitens, SJ; “Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia tahun 1860an- sekarang”, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2012, hal 196-198. 156 Martin Lukito Sinaga, Identitas Poskolonial “Gereja Suku” dalam Masyarakat Sipil: Studi tentang Jaulung Wismar Saragih dan Komunitas Kristen Simalungun, LKiS, Yogyakarta, 2004, hal 56-97. 79
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Pertama, kekuasaan administrasi pemerintah kolonial Belanda berpusat di daerah Toba. Sehingga dari hal ini maka bahasa daerah yang dipakai secara resmi dalam proses administrasi di daerah Sumatera Utara (Tanah Batak) adalah bahasa
Toba.
Kedua, eksistensi misi RMG yang mulai masuk ke daerah Simalungun pada tahun 1903 dilakukan oleh orang-orang Toba yang sudah menjadi Kristen.
Mereka datang sebagai penginjil/pelayan gereja HKBP maupun sebagai guru yang mengajar di sekolah-sekolah zending. Dengan adanya guru-guru dari daerah Toba maka bahasa pengantar di sekolah-sekolah zending adalah bahasa
Toba. Demikian juga dengan peribadahan gereja HKBP di Simalungun juga menggunakan bahasa Toba dikarenakan para pelayan gereja pada waktu itu hampir semuanya dari daerah Toba. Selain itu juga dikarenakan Alkitab yang digunakan dalam ibadah adalah Alkitab bahasa Toba.
Ketiga, dengan adanya kebijakan administrasi pemerintah kolonial Hindia
Belanda dan eksistensi misi RMG melalui sekolah dan gereja HKBP, maka memicu mobilisasi perpindahan orang-orang Toba menuju daerah Simalungun secara besar-besaran. Perpindahan besar-besaran inilah akhirnya terlihat seperti sebuah “invasi” orang-orang Toba kepada orang-orang Simalungun. “Invasi” ini bukan hanya berdampak pada konfigurasi social di daerah Simalungun namun juga berdampak pada resepsi orang-orang Simalungun terhadap gaya kristenisasi yang dibawa oleh orang-orang Toba.
Dari berbagai macam dinamika yang ada di daerah Simalunugun tersebut tidak menyurutkan niat dari JWS untuk menerjemahkan Alkitab dalam bahasa
Simalungun. Usahanya dimulai dari tahun 1939 secara mandiri karena diterjemahkan oleh penutur asli dari bahasa sasaran. Bahkan JWS disebut sebagai
80
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
penerjemah “independen” pertama di Indonesia. 157 Selain itu proses
penerjemahan ini tidak dinaungi oleh Lembaga Alkitab Belanda namun dinaungi
oleh “Kongsi Bibel Simaloengoen” (Lembaga Alkitab Simalungun) yang juga
didirikan oleh Pdt. Wismar Saragih pada tahun 1944.158
Akhirnya pada tahun 1952 penerjemahan PB sudah bisa diselesaikan dan pada
tahun 1953 Alkitab PB bahasa Simalungun diterbitkan. Setelah penerbitan bagian
PB ini maka dilanjutkan ke bagian PL. Namun karena sakit yang dideritanya
hingga tahun 1965 terjemahan PL ini belum selesai hingga beliau meninggal
dunia pada tahun 1968. Setelah beliau meninggal dunia terjemahan ini lalu
dilanjutkan oleh Pdt. P. Purba.159
Dari karya penerjemahan Alkitab bahasa Simalungun ini JWS lalu dijuluki
sebagai “Luther dari Simalungun”.160 Hal ini dikarenakan usahanya yang sama
dengan Martin Luther yang menerjemahkan Alkitab dalam bahasanya sendiri dan
dalam proses penerjemahan ini juga harus menghadapi berbagai macam dinamika
yang nantinya membawa pada “skisma” gereja HKBP dengan lahirnya gereja
GKPS pada 2 September 1962.
3. Periode ketiga (1950 – sekarang)
Oleh karena Belanda sudah angkat kaki dari tanah Nusantara yang sudah menjadi
negara yang merdeka dengan nama Indonesia, maka segala sesuatu yang “berbau”
Belanda sedikit demi sedikit dihilangkan. Salah satunya adalah munculnya gagasan
bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia yang diharapkan dapat menggantikan lingua
157 Henri Chambert-Loir, “Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia”, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2009, hal 471 158 Ibid hal 478 159 J.L Swellengrebel, “Mengikuti Jejak Leidejker Jilid 2 (1900-1970): Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa Nusantara”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2006, hal 193-198. 160 Ibid hal 199 81
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
franca yang selama ini digunakan di wilayah nusantara pada era kolonial yaitu bahasa
Melayu. Sebenarnya pengakuan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu sudah
didengungkan sejak peristiwa Sumpah Pemuda 1928 namun karena pada waktu itu
pemerintahan kolonial Hindia-Belanda masih bercokol maka bahasa Indonesia belum
bisa menjadi sebuah bahasa resmi di wilayah Hindia-Belanda namun sudah mulai
digunakan sebagai sebuah bahasa perlawanan.
Oleh karena itu penggunaan bahasa Indonesia sebenarnya dipakai sebagai alat
pemersatu bangsa di sebuah negara yang berdiri di atas perbedaan suku, agama, ras,
golongan dll. Sehingga demi rasa persatuan tersebutlah maka disusunlah sebuah
“lingua franca” yang baru yaitu bahasa Indonesia. Dikatakan sebagai sebuah lingua
franca dikarenakan bahasa Indonesia banyak menyerap dari banyak bahasa antara lain:
bahasa Portugis, Belanda, Inggris, Arab, India, Melayu, Jawa dll.
Periode ini (tahun 1950) diawali dengan bersatunya 32 denominasi gereja Protestan
yang ada di Indonesia dengan membentuk DGI (Dewan Gereja-gereja di Indonesia)
pada tahun 1950, yang saat ini sudah berganti nama menjadi PGI (Persekutuan Gereja-
gereja di Indonesia).161 Pembentukan DGI ini lalu diikuti dengan pembentukan LAI
pada tahun 1954 sebagai sarana untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa
nasional yang oikumenis yaitu bahasa Indonesia untuk menggantikan Alkitab bahasa
Melayu.162 Dengan demikian maka gereja-gereja di Indonesia juga memerlukan sebuah
Alkitab yang sesuai dengan bahasa nasional yang dipakai di negara Indonesia. Dari hal
itulah maka pendirian LAI pada memang bertujuan untuk merubah terjemahan bahasa
Melayu menjadi bahasa Indonesia. Dari terjemahan Alkitab bahasa Indonesia ini selain
sebagai perwujudan rasa nasionalisme gereja terhadap negara juga digunakan sebagai
161 Sadur hal 462. 162 Weinata Sairin (Peny.), Persebaran Firman di Sepanjang Masa, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1994, hal 51. 82
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sebuah bahasa yang oikumenis bagi gereja-gereja di Indonesia, baik itu gereja Protestan
yang terdiri dari berbagai macam denominasi dan Gereja Katholik.163
Selain menangani penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Indonesia, LAI juga
menangani penerjemahan dalam bahasa daerah seperti yang sudah dilakukan oleh NBG
(Lembaga Alkitab Belanda). Oleh karena itu setelah penerjemahan bahasa Indonesia
bisa diselesaikan, maka langkah selanjutnya adalah LAI melakukan penerjemahan ke
dalam bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia.
a. Penerjemahan Alkitab Bahasa Indonesia164
i) Terjemahan Lama (Terjemahan masa peralihan): tahun 1958
Alkitab Terjemahan Lama (TL) ini sebenarnya adalah penerbitan Alkitab yang
bersifat darurat. Alkitab TL ini sebenarnya adalah gabungan antara Alkitab
Perjanjian Lama (bahasa Melayu) terjemahan Klinkert tahun 1879 dan Alkitab
Perjanjian Baru (bahasa Melayu) terjemahan Bode tahun 1938. Dari
penggabungan dua Alkitab ini LAI menyadari bahwa Alkitab TL terpaksa
diterbitkan meskipun dalam bentuk kurang lazim. Oleh karena itu diharapkan
Alkitab dalam terjemahan bahasa Indonesia yang lebih baik dan sempurna
segera bisa diterbitkan. Dan usaha penerjemahan Alkitab bahasa Indonesia yang
baik, benar dan sempurna sudah dilakukan sejak tahun 1952 dan kira-kira
memerlukan waktu 10 tahun ke depan. Oleh karena itulah Alkitab “darurat”
yang disebut sebagai Alkitab TL ini diterbitkan.
Penerjemahan ini ini terimbas konflik politik tahun 1959 (tentang Irian Barat)
yang akhirnya menyebabkan Dr. Swellengrebel terpaksa harus angkat kaki dari
Indonesia, sehingga dari hal inilah maka penerjemahan sepenuhnya dilakukan
163 Henri Chambert-Loir, “Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia”, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2009, hal 479. 164 Daud H. Soesilo, “Mengenal Alkitab Anda”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 1995, hal 58-66. 83
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
oleh LAI dengan para penterjemah yang semuanya adalah asli Indonesia
diantaranya yaitu Dr. J.L.Ch. Abineno dan Dr. R. Soedarmo yang baru saja
menyelesaikan studi doktoralnya di Belanda.165 Karena dilakukan dalam
suasana konflik inilah maka diupayakan melenyapkan pengaruh bahasa dari
zaman penjajahan (Belanda) dan menegakkan bahasa Indonesia.
ii) Perjanjian Baru terjemahan Gereja Katholik: 1964
Sementara gereja-gereja Protestan melalui LAI masih sibuk menerjemahkan
Alkitab dalam bahasa Indonesia, pihak gereja Katholik juga mengupayakan
terjemahan yang baru. Terjemahan ini diterbitkan pada tahun 1964 dan direvisi
tahun 1968 dalam edisi Perjanjian Baru. Pada tahun 1968 gereja Katholik
memutuskan menghentikan penerjemahan Alkitab Perjanjian Lama karena
mereka sepakat untuk mengusahakan penerjemahkan Alkitab bersama-sama
dengan LAI. Sikap gereja Katholik dan Protestan yang sepakat menterjemahkan
Alkitab secara bersama inilah yang nantinya melahirkan terjemahan
“Oikumenis” di Indonesia.
iii) Terjemahan Baru: 1974
Terjemahan yang diharapkan bisa selesai dalam waktu 10 tahun ternyata tidak
berhasil. Jika dihitung dari awal mulai penerjemahan yang dilakukan pada
tahun 1952 seharusnya tahun 1962 Alkitab dalam bahasa Indonesia sudah bisa
diterbitkan. Namun karena berbagai macam persoalan yang dihadapi maka
baru pada tahun 1974 Alkitab bahasa Indonesia baru bisa diterbitkan secara
resmi. Terjemahan Alkitab dalam bahasa Indonesia ini dikenal sebagai Alkitab
Terjemahan Baru TB. 166
165 R.Z Lierissa, Penerjemahan Alkitab di Indonesia (tinjauan historis); weinata sairin hal 50-52 166 Sadur hal 460. 84
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Alkitab TB menjadi sebuah Alkitab Oikumenis pertama yang dipakai oleh
semua umat Kristiani di Indonesia. Metode yang digunakan dalam
penerjemahan Alkitab TB memang masih menggunakan metode yang harfiah
yang mementingkan bentuk bahasa asli Alkitab sehingga sering kali arti yang
dimaksudkan menjadi tidak nampak atau tersembunyi. Alkitab TB adalah
terjemahan yang mempunyai tujuan atau”‘skopos” demi kepentingan gerejani
dengan fungsi internal yaitu kepentingan liturgis.
Dalam periode ini situasi politik sudah beralih dari jaman ORLA (Soekarno)
berubah menjadi jaman ORBA (Soeharto). Dikarenakan pada masa ini segala
berbagai macam hal yang berbau “Soekarnois” harus dihapus, maka hal itu
juga berpengaruh terhadap keberadaan Alkitab TL yang juga harus
disesuaikan dengan Ejaan Yang Baru (EYD). “Edjaan Baru ini ditjiptakan
untuk memberi kesan kolot, kiri-kirian, tanpa guna, tertjemooh, dan sulit
dibatja kepada apa sadja jang ditulis sebelum Soeharto memperkokoh
kekuasaannja”.167
iv) Bahasa Indonesia Sehari-hari (1985)
Selain metode penerjemahan harfiah pada periode ini mulai diperkenalkan
metode penerjemahan dinamis/fungsional yang mementingkan arti dan fungsi
yang dimaksudkan dalam naskah asli Alkitab dan menyampaikannya dalam
bentuk bahasa sasaran yang umum dan wajar sesuai dengan pemakaian yang
kekinian yang dapat dimengerti oleh semua lapisan. Dalam penerjemahan
dinamis ini harus ada dua aspek yang diutamakan yaitu kesetiaan terhadap teks
asli dan suatu hasil terjemahan yang paling seseuai dengan dengan bentuk
167 Ben Aderson, Bahasa Tanpa Nama; dalam Sadur hal 390. 85
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bahasa penerima, dimana dua aspek tersebut harus melalui tiga langkah yaitu:
Analisa, menganalisa arti teks sumber; Pengalihan, memikirkan persoalan-
persoalan, baik secara linguistik maupun secara kebudayaan berhubung
dengan pengalihan ke bahasa penerima; Penyusunan Kembali, menyusun teks
itu kembali menurut bentuk bahasa penerima.168
Salah satu model Alkitab yang menggunakan metode tersebut adalah “Alkitab
dalam bahasa Indonesia sehari-hari” (BIS). Penerjemahan Alkitab BIS ini
dimulai tahun 1974 dan berhasil diterbitkan secara lengkap pada tahun 1985.
Alkitab BIS adalah hasil terjemahan demi fungsi eksternal yang bertujuan atau
“skopos”nya untuk kepentingan pembaca yang tidak begitu akrab dengan
bahasa gerejani.169
b. Bahasa Daerah
Selain menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Indonesia LAI juga
menerjemahkan Alkitab kedalam bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Penerjemahan
Alkitab ke dalam bahasa-bahasa daerah di Indonesia sudah dimulai sejak awal abad
ke 19 ketika Lembaga-lembaga Alkitab masuk ke bumi Nusantara. Namun ternyata
bahasa daerahpun juga mengalami perkembangan, sebagai contoh ketika masih di
jaman kolonial Belanda dimana Alkitab bahasa Batak yang diterjemahkan dengan
menggunakan bahasa Toba ternyata memancing reaksi dari orang-orang Kristen di
daerah Simalungun yang menuntut adanya terjemahan Alkitab bahasa Simalungun.
Dimana pada akhirnya Alkitab bahasa Simalungun ini baru bisa selesai
diterjemahkan dengan bantuan LAI pada akhir tahun 1960an.
168 P.G. Katoppo, Penuntun Terjemahan Dinamis, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 1987, hal 10. 169 Sadur hal 460. 86
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Namun memasuki abad ke 21 ini, ternyata apa yang terjadi dengan Alkitab bahasa batak Toba, saat ini sepertinya juga terjadi pada Alkitab bahasa Jawa. Pada tahun
2005 telah dimulai sebuah proyek penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa
Banyumasan. Proses penerjemahan ini tidak dilakukan oleh LAI namun oleh sebuah komunitas budaya yang menamakan diri dengan sebutan PASEBAN
(Paguyuban Senthir Banyumasan) bekerjasama dengan Yayasan Kartidaya. Pada tahun 2015 proses penerjemahan ini baru bisa menyelesaikan Injil Lukas. Disusul tahun 2019 untuk terjemahan Kisah Para Rasul.
Yang menarik dari penerjemahan ini adalah diterjemahkan bukan oleh sebuah lembaga penerjemahan Alkitab namun hanya oleh sebuah komunitas kebudayaan.
Demikian juga orang-orang yang menerjemahkan juga bukan dari kalangan bahasa dan teolog, mereka dapat dikatakan hanya sebagai jemaat gereja biasa atau awam.
Bahkan mereka tercatat sebagai jemaat gereja yang bukan berasal dari gereja yang berlatarbelakang etnis. Bahkan proses penerjemahan ini dilakukan tanpa ada campur tangan sedikitpun dari pihak gereja denominasi apapun. Dan yang lebih menarik lagi adalah bahasa Banyumasan ini secara nasional belum diakui sebagai sebuah bahasa dan hanya diakui sebagai sebuah dialek dari bahasa Jawa.
Sehingga dalam penerjemahan ini sebenarnya jika dilihat dari sisi ilmu linguistic juga masih diperdebatkan apa bisa dikatakan sebuah penerjemahan karena dari pengakuan sebagai sebuah bahasa belum diakui. Walaupun demikian sebenarnya di kalangan budayawan Banyumasan mempunyai pendapat bahwa bahasa
Banyumasan adalah sebuah bahasa yang berbeda dengan bahasa Jawa. Bahkan usia bahasa Banyumasan sebenarnya lebih tua dari bahasa Jawa yang selama ini dibakukan. Oleh karena itu sebutan sebagai sebuah dialek tentunya adalah sebuah kesalahan.
87
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Jika mengacu dengan apa yang terjadi pada proses penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Simalungun sepertinya ada sebuah kemiripan. Karena jika dilihat dari sisi historis bahasa Jawa yang saat ini lazim dipakai adalah bahasa Jawa Keratonan. Hal ini juga yang dulu menjadi perdebatan ketika munculnya Alkitab Jawa terjemahan
Brukner dan Gericke. Bruckner menggunakan bahasa Jawa Semarangan sedangkan
Gericke menggunakan bahasa Jawa Surakartaan yang dipakai oleh kalangan
Keraton sebagai sebuah simbol kekuasaan Jawa pada waktu itu. Dan dari peristiwa tersebut, Alkitab Gericke-lah yang akhirnya “memenangkan” perdebatan ini.
Namun apa yang dimenangkan oleh Gericke akhirnya dikalahkan oleh P. Jans.
“Kemenangan” Alkitab Jawa terjemahan P. Jans ini seperti apa yang pernah dikatakan oleh Adriani, ternyata kemenangan ini diraih karena adanya pengakuan dari publik yang merasa bahwa terjemahan P. Janz lebih nudah diterima dan dimengerti. Namun kemenangan ini sepertinya hanya kemenangan “de facto” saja karena secara “de jure” terjemahan Gericke secara tata bahasa tetap diakui yang paling memenuhi syarat secara ilmu linguistic.
Sehingga dari apa yang pernah terjadi di masa lampau, ternyata sekarang peristiwa itu berulang kembali, pada khususnya saat ini terjadi pada Alkitab bahasa Jawa yang keberadaannya saat ini sedang “digugat” dengan munculnya proses penerjemahan
Alkitab ke dalam bahasa Banyumasan. Dalam konteks Alkitab bahasa Batak kita bisa melihat bagaimana bahasa Toba akhirnya menjadi “bahasa penguasa” bagi bahasa lainnya yang ada di Tanah Batak. Hal tersebut juga terjadi pada Alkitab bahasa Jawa, ketika bahasa Keraton lah yang dianggap paling baik dan benar sehingga dianggap sebagai sebuah standar yang baku. Bahasa Jawa Keraton adalah bahasa yang adiluhung, diluar itu tidak. Sehingga dari hal tersebutlah yang menyebabkan bahasa Banyumasan juga sebagai bahasa yang ada dibawah bahasa
88
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Jawa versi Keraton, bahkan bahasa Banyumasan hanya dianggap sebagi sebuah
dialek.
Disinilah semakin terlihat bahwa relasi kekuasaan di dalam proses penerjemahan
Alkitab, bahasalah yang menjadi factor penentu. Mengacu pada apa yang dikatakan
oleh Gramsci maka dominasi bahasa Jawa versi keraton-an, yang lalu disebut
sebagai Bahasa Jawa Baku, terhadap Bahasa Banyumasan adalah sebuah
Hegemoni. Dengan adanya hegemoni berarti dua ada cara yang bisa dilakukan
untuk mencapai sebuah dominasi yaitu dengan cara “Coersif” atau “Consent”.
C. Relasi Kuasa Dalam Penerjemahan Alkitab
Dengan melihat proses perkembangan penerjemahan Alkitab dari masa ke masa hingga
masuk ke dalam konteks di Indonesia yang dikerucutkan pada konteks penerjemahan
Alkitab bahasa Banyumasan ternyata terdapat sebuah “relasi kekuasaan” di dalamnya.
Secara ringkas yang turut terlibat dalam relasi kuasa tersebut adalah pihak penguasa
(negara/kerajaan/kekaisaran) dan otoritas gereja. Dalam hal ini posisi pihak penguasa bisa
berada di atas gereja atau sebaliknya, bahkan bisa kedua-duanya melakukan konspirasi
demi tujuan tertentu. Oleh karena itu untuk melihat hal yang sangat luas dari adanya relasi
kekuasaan dalam proses penerjemahan Alkitab maka harus bisa dicari akar dari segala
permasalahan tersebut.
Proses penerjemahan berarti sebuah proses dimana, paling tidak, ada dua bahasa yang
sedang diperhadapkan. Sehingga sebenarnya diantara dua bahasa ini terdapat sebuah
jurang pemisah. Oleh karena itu diperlukan sebuah “jembatan” untuk bisa
menghubungkan dua bahasa ini. Maka dari dalam sebuah proses penerjemahan menurut
James Siegel harus “terjalin antara orang-orang yang tidak saling mencerminkan dan
89
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dengan demikian tidak saling menyebabkan rasa rikuh”.170 Dari apa yang dikemukakan
Siegel, memperlihatkan bagaimana prinsip tentang “berbahasa” yang harus mengandung
dua hal yaitu, “tidak saling mencerminkan” dan “tidak saling menyebabkan rasa rikuh”.
Ketika masuk pada prinsip “tidak saling mencerminkan”, Siegel memperlihatkan
bagaimana berbahasa sebenarnya bukan hanya sekedar factor keturunan belaka namun
juga dapat dipengaruhi oleh sebuah proses pembelajaran. Sehingga berbahasa bukan lagi
adanya dua identitas akan tetapi hanya ada satu identitas yaitu bahasa itu sendiri. Sebagai
contoh adalah permasalahan di Aljazair dimana berbahasa dapat menjadi factor hidup mati
nya seseorang. Oleh karena itu didalam berbahasa maka seseorang sudah tidak bisa
meng“claim” identitas dirinya sendiri maupun lawan bicaranya karena identitas itu sudah
melebur didalam bahasa itu sendiri.
Sedangkan didalam hal “tidak saling menyebabkan rasa rikuh” adalah bagaimana ketika
seseorang berbicara kepada pihak lain tidak disertai dengan adanya tingkatan tertentu atau
dengan sederhananya dengan berbahasa semua menjadi setara. Setara karena bahasa yang
dipakai sama dan sekat atau “jurang” diantaranya menjadi tidak ada. Dengan demikian
maka di dalam berbahasa tidak ada sesuatu yang disembunyikan atau ditutup-tutupi atau
diungkapkan secara tidak jujur. Dengan kata lain, bahwa dengan berbahasa sesuatu yang
disampaikan itu dapat dimengerti secara langsung oleh pihak-pihak yang sedang berbicara
tanpa harus melakukan retorika yang menghasilkan banyak penafsiran yang disertai
dengan berbagai macam “unggah-ungguh”.
Dengan dua prinsip dari Siegel yaitu “tidak saling mencerminkan” dan “tidak saling
menyebabkan rasa rikuh” inilah yang sepertinya masih menjadi sebuah kendala di dalam
170 Henri Chambert-Loir, “Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia”, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, hal 342. 90
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
hal penerjemahan Alkitab. Dengan masih adanya dua hal tersebut memperlihatkan bahwa didalam sebuah proses penerjemahan Alkitab menujukkan adanya sebuah dominasi dan relasi kekuasaan antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya. Sebagai contoh adalah penerjemahan Alkitab dalam bahasa Batak yang ternyata didominasi oleh bahasa Toba sebagaimana bahasa Jawa Keraton juga mendominasi bahasa Jawa. Dari dominasi inilah yang memunculkan dalam bahasa Gramsci yaitu “Hegemoni”. Hegemoni yang terjadi disini tentunya adalah hegemoni bahasa, dimana satu bahasa menguasai bahasa yang lainnya atau dominasi sebuah kekuasaan didapatkan melalui bahasa. Hal itu dilihat oleh
Gramsci dengan apa yang terjadi pada di Italia ketiak bahasa Latin mendominasi bahasa
Italia.
Oleh karena “Hegemoni” itulah maka dalam konteks penerjemahan Alkitab Batak muncul gerakan perlawanaan dari daerah Simalungun yang menentang dominasi bahasa Toba.
Dan gerakan perlawanan itu diwujudkan dengan adanya proses penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Simalungun. Dan di dalam perkembangan penerjemahan Alkitab di
Indonesia, ternyata proses penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Simalungun ini menjadi sebuah transisi dari sebuah periode yang masih tradisional menuju ke periode yang lebih modern.
Oleh karena itu berkaca dari peristiwa proses penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa
Simalungun yang boleh dikatakan sebagai sebuah perlawanan, yang dalam bahasa
Gramsci disebut sebagai sebuah “counter hegemoni”, maka hal yang sama terjadi pada
Alkitab bahasa Jawa. Sejak pertama kali diterjemahkan kedalam bahasa Jawa, Alkitab bahasa Jawa sudah mengalami berbagai macam permasalahan politis, dimana dari permasalahan tersebut lalu mengacu pada sebuah dominasi dan relasi kekuasaan. Alkitab bahasa jawa adalah Alkitab yang diterjemahkan karena didasarkan pada kedua factor
91
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
politis tersebut yang akhirnya menciptakan sebuah “hegemoni bahasa” di kalangan orang
Kristen Jawa. Hal ini dikarenakan bahasa Jawa yang dipakai di dalam terjemahan Alkitab
jawa adalah sebuah bahasa “kontruksi”.
Melalui konstruksi bahasa inilah maka melahirkan sebuah bahasa yang standard digunakan
bagi orang Jawa, dan khususnya melalui Alkitab bahasa Jawa bagi orang Kristen Jawa,
yang disebut sebagai Bahasa Jawa “baku”. Dengan bahasa Jawa baku ini maka bahasa
Jawa yang tidak masuk dalam pembakuan ini menjadi bahasa kelas dua, salah satu
contohnya adalah bahasa Banyumasan yang lebih dikenal sebagai bahasa “ngapak-
ngapak” yang hingga saat ini masih dituturkan oleh orang-orang yang berada di bagian
barat Jawa Tengah (Banyumas/Purwokerto171, Purbalingga, Cilacap, Banjarnegara,
Kebumen, Wonosobo, Pemalang, Pekalongan, Tegal, Brebes). Dari masing-masing daerah
tersebut memang mempunyai cirikhasnya masing-masing namun dalam hal ini ada 5
daerah yaitu Banyumas, Banjarnegara, Purbalingga, Cilacap dan Kebumen
(Masbarlingcakeb) yang mempunyai kedekatan dan persamaan bahasa Banyumasan yang
lalu bahasa di 5 daerah ini disebut sebagai bahasa “Penginyongan”.
Dan saat ini sudah dimulai adanya terjemahan Alkitab dalam bahasa Banyumasan atau
Penginyongan yang sudah dimulai sejak tahun 2005. Memang hingga saat ini (tahun 2020)
proses penerjemahan ini belum selesai dan baru menyeselaikan Injil Lukas (terbit tahun
2015) dan Kisah Para Rasul yang masih dalam edisi percobaan (diluncurkan tahun 2018).
Latar belakang penerjemahan ini adalah bagaimana menghadirkan bahasa Alkitab sesuai
dengan bahasa sehari-hari orang Banyumasan yang sebenarnya bahasa Banyumasan
mempunyai banyak perbedaan dengan bahasa Jawa baku. Dan dengan hanya adanya
Alkitab dalam bahasa Jawa baku saja maka sebenarnya orang-orang Kristen di daerah
171 Kota Purwokerto adalah ibukota Kabupaten Banyumas. 92
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Banyumasan seakan-akan dijauhkan dari bahasa sehari-harinya yaitu bahasa Banyumasan.
Dari hal inilah yang lalu melatarbelakangi dimulai proses penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Banyumasan.
Sehingga dari latar belakang yang seperti ini sebenarnya menunjukkan bahwa di dalam proses penerjemahan Alkitab bahasa Banyumasan terdapat kesamaan dengan proses penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Simalungun. Dan jika penerjemahan Alkitab bahasa Simalungun dimotori oleh seorang teolog atau rohaniawan, berbeda dengan penerjemahan Alkitab bahasa Banyumasan dilakukan oleh jemaat gereja biasa atau awam yang bukan seorang teolog atau rohaniawan. Dan orang-orang yang terlibat dalam penerjemahan ini adalah para penutur asli dari bahasa Banyumasan, sama seperti proses penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Simalungun juga dilakukan oleh penutur aslinya.
93
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB III
HEGEMONI BAHASA JAWA BAKU TERHADAP
PROSES PENERJEMAHAN ALKITAB BAHASA “PENGINYONGAN”
A. Hegemoni
Gagasan tentang Hegemoni pertama kali diperkenalkan oleh Plekhanov, seorang Marxis
Rusia.172 Menurut Plekhanov awal mula munculnya hegemoni adalah dengan adanya
sistem perbudakan yang dilakukan oleh para tuan tanah kepada para petani, yang akhirnya
pada era kapiltalisme terjadi perbudakan terhadap kelas pekerja yang dilakukan oleh kelas
pemilik modal.173 Dari hal inilah yang lalu memunculkan konsep dasar dimana perlunya
kelas pekerja untuk membangun sebuah aliansi bersama kelas petani dengan tujuan
menggulingkan kekaisaran Tsar.174 Konsep ini lalu diterapkan oleh Lenin yang berhasil
melahirkan “Revolusi 1917” di Rusia. Konsep ini selanjutnya dikembangkan oleh Antonio
Gramsci diluar Rusia yaitu di negara Italia, dimana Hegemoni adalah “sentral”175 dan
menjadi sebuah “puncak”176 pemikiran yang bisa dikatakan sebagai sebuah gagasan yang
paling “orisinil” 177 dalam filsafat dan teori sosial yang dikembangkan oleh Antonio
Gramsci.
172 Robert Bocock, “Pengantar Komprehensif Untuk Memahami Hegemoni” (penj: Ikrammullah Mahyuddin), Jalasutra, Yogyakarta, 2011, hal 22. 173 G. V. Plekhanov, “Masalah-masalah Dasar Marxisme” (penj : Ira Iramanto), 2007, Hal 29 174 Roger Simon, “Gagasan-gagasan Politik Gramsci” (penj: Kamdani & Imam Baehaqi), INSIST & Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hal 20. 175 George Ritzer & Douglas J. Goldman, “Teori Marxis dan Berbagai Ragam Teori Neo-Marxian” (penj: Nurhadi), Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2011, hal 100. 176 Ernesto Laclau & Chantal Mouffe, “Hegemoni dan Strategi Sosialis: Pos Marxisme dan Gerakan Sosial Baru” (penj: Eko Prasetyo Darmawan), Resist Book, Yogyakarta, 2008, hal 2. 177 Robert Bocock, hal 15. 94
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Hegemoni menurut Gramsci adalah suatu sistem relasi kekuasaan yang bukan hanya
sekedar berdasarkan sebuah “dominasi”, akan tetapi berdasarkan kepemimpinan
intelektual dan moral.178 Konsep ini muncul didasarkan pada dua factor,179 yaitu: pertama,
kritik Gramsci terhadap teori Marxis serta Lenin tentang “ekonomisme” yang menurutnya
mempunyai kelemahan besar; dan kedua, kritik Gramsci terhadap model sosialisme Soviet
yang menurutnya mempunyai pengaruh yang sangat negatif. Kritik yang pertama, Gramsci
mengkritik teori Marx tentang relasi kuasa yang berpusat pada sisi ekonomi saja dan juga
gagasan Lenin yang mengatakan bahwa adanya hubungan mekanis antara ekonomi dan
politik. Sedangkan kritik yang kedua ditujukan kepada Stalin yang mengembangkan
sebuah konsep tentang negara sosialis Soviet pada tahun 1924 setelah menggantikan posisi
Lenin.
Melalui pemikiran-pemikiran yang dikemukakan oleh Marx, Lenin dan Stalin, dari situlah
dasar-dasar pemikiran Gramsci dibentuk. Pengalamannya yang pernah bekerja di Rusia
(1922-23), dan juga menikah dengan perempuan Rusia (kelahiran Swiss), yang membuat
Gramsci menjadi tidak begitu asing dengan pemikiran ketiga tokoh tersebut. Namun
tentunya situasi dan kondisi di Italia berbeda dengan di Rusia. Oleh karena itu pemikiran-
pemikiran yang telah dipengaruhi oleh ketiga tokoh tersebut harus dapat diterapkan di
Italia dengan konsep-konsep yang cocok untuk situasi dan kondisi di Italia. Sehingga
dengan demikian Gramsci harus dapat kritis dengan pemikiran ketiga tokoh tersebut
karena tentunya tidak serta merta pemikiran-pemikiran mereka dapat langsung diterapkan
di Italia. Dengan disandingkannya pemikiran-pemikiran dari para tokoh Italia seperti
178 Antonio Gramsci, “Prison Notebooks: Catatan-catatan dari Penjara” (penj: Teguh Wahyu Utomo), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013, hal 63 & 81. 179 Roger Simon, “Gagasan-gagasan Politik Gramsci” (penj: Kamdani & Imam Baehaqi), INSIST & Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hal 3. 95
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Machiavelli, Gentile dan Croce-lah konsep pemikiran Gramsci dibentuk untuk bisa
menciptakan sebuah gagasan yang sesuai dengan kondisi dan situasi di Italia.
Berkaitan dengan hegemoni yang terbentuk melalui kepemimpinan intelektual dan moral,
menurut Gramsci dikatakan bahwa, “semua manusia mempunyai potensi untuk menjadi
kaum intelektual, sesuai dengan kecerdasan yang dimiliki dan dalam cara
menggunakannya; namun tidak semua orang adalah intelektual dalam fungsi sosial”.180
Gramsci membagi kaum intelektual dalam makna fungsional menjadi dua kelompok yaitu
kaum “Intelektual Tradisional” dan “Intelektual Organik”.181
Kaum intelektual tradisional adalah mereka yang mempunyai posisi dalam
celah masyarakat yang mempunyai aura kelas tertentu, tetapi berasal dari
hubungan kelas masa silam dan sekarang, serta melingkupi berbagai macam
kelas historis. Sedangkan kaum intelektual organic adalah unsure pemikir dan
pengorganisasian dari sebuah kelas fundamental tertentu.
Dari definisi di atas, maka dapat dikatakan bahwa Intelektual Tradisoinal adalah sebuah
kelas yang dibentuk oleh oleh sistem kapitalisme untuk menguasai celah-celah di dalam
ranah ekonomi untuk mempertahankan kepentingan para kaum kapitalis, sedangkan
Intelektual Organic adalah kelas yang lahir karena mengembangkan berbagai macam
pikirannya yang kritis dan menghubungkannya dengan realitas sosial yang terjadi sehingga
muncullah perjuangan antar kelas. Dengan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa kaum
Intelektual Tradisional adalah kelas yang mempertahankan “hegemoni” kelas atas
terhadap kelas dibawahnya, sedangkan kaum Intelektual Organik adalah sebuah kelas
180 Antonio Gramsci, “Prison Notebooks: Catatan-catatan dari Penjara” (penj: Teguh Wahyu Utomo), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013, hal 3. 181 Ibid hal 3. 96
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang terbentuk dalam rangka perjuangan antar kelas yang dilakukan oleh kelas bawah
untuk melakukan “counter hegemoni” terhadap hegemoni kelas yang ada di atasnya.
Dengan demikian apakah kaum intelektual itu adalah sebuah kelompok sosial yang
otonom dan indenpenden atau apakah setiap kelompok sosial mempunyai kategori khusus
mengenai kaum intelektual. Dalam hal ini Gramsci berusaha menjelaskan, bahwa setiap
kelas sosial yang muncul dari ranah fungsi esensial produksi ekonomi akan membentuk
kelompok-kelompok intelektualnya sendiri, secara organik, yang membawa keadaan yang
serba sama dan kesadaran akan fungsinya bukan hanya pada ranah ekonomi saja, akan
tetapi juga terjadi pada ranah sosial dan politik.182 Maksud dari pernyataan ini adalah
bahwa kaum kapitalis tidak hanya menguasai aktivitas-aktivitas pada ranah ekonomi saja
akan tetapi juga harus bisa menguasai ranah-ranah lain disekitarnya yang akan membawa
dukungan dan dampak positif terhadap proses produksi ekonominya. Sebagai contoh
adalah adanya kaum kapitalis (pemilik modal) atau wakilnya yang menduduki posisi
penting di masyarakat atau lembaga negara, dimana mereka menggunakan posisi tersebut
supaya nantinya dapat mempengaruhi keluarnya kebijakan-kebijakan yang hanya
menguntungkan kaum kapitalis (pemilik modal) saja.
Demikian juga dengan setiap kelompok sosial “essensial” yang sudah bergabung bersama-
sama dalam sebuah proses struktur ekonomi yang sudah berkembang sebelumnya, juga
telah mempunyai kategori-kategori kaum intelektual yang kedudukannya tidak terganggu
oleh perubahan situasi pada ranah politik dan social yang rumit dan radikal.183 Maksud
dari pernyataan ini adalah bahwa terdapat kaum intelektual yang kedudukannya pada ranah
ekonomi tetap berada pada tempatnya walaupun telah terjadi berbagai perubahan situasi
182 Antonio Gramsci, “Prison Notebooks: Catatan-catatan dari Penjara” (penj: Teguh Wahyu Utomo), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013, hal 8. 183 Ibid hal 10 97
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dalam ranah sosial dan politik yang ekstrem. Sebagai contoh adalah kaum rohaniawan,
dimana kedudukan mereka bisa disejajarkan dengan para kaum aristokrat pada masa
feodalisme, bahkan bisa juga disejajarkan dengan kelas pemilik modal pada masyarakat
kapitalis.
Hal tersebut bisa digambarkan dengan hubungan antara agama dan kedokteran, dimana
masih ada rumah sakit yang menyertakan dokter dan rohaniawan dalam proses perawatan
pasien.184 Dari gambaran ini antara dokter dan rohaniawan ini menegaskan bahwa dahulu
sebelum adanya kemajuan ilmu medis, kaum rohaniawan adalah orang-orang yang
dipercaya mempunyai “kuasa” atau “kekuatan” supranatural yang dapat menyembuhkan
penyakit. Dan ketika era ilmu medis modern sudah muncul keberadaan rohaniawan
ternyata juga tetap diikutsertakan dalam proses perawatan pasien di rumah sakit, bukan
sebagai seseorang yang dianggap punya kuasa dan kekuatan supranatural akan tetapi
diposisikan sebagai “kelompok penyemangat” (esprit de corps).185
Oleh karena hal inilah maka setiap kelas berusaha mempertahankan atau membentuk kaum
intelektualnya masing-masing. Hal ini ditunjukkan dengan terbentuknya institusi
pendidikan pada setiap tingkatan yang bertujuan untuk mempertahankan dan membentuk
kaum intelektualnya masing-masing. Dengan demikian maka sekolah adalah instrumen
tempat bagi kaum intelektual dari berbagai tingkatan untuk mengelaborasikan hal
tersebut.186
Namun keberadaan sekolah yang hanya digunakan untuk mengelaborasikan antara
pembentukan dan mempertahankan kaum intelektual tertentu ini dikritik oleh Gentile dan
Croce yang menganggap sekolah adalah organisasi pendidikan dan kebudayaan yang
184 Ibid hal 10-11 185 Ibid Hal 11 186 Ibid hal 15 98
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
didalamnya hanya digunakan sebagai sebuah “instruksi”, bukan sebagai sebuah tempat
“pendidikan”.187 Hal tersebut terlihat jelas ketika terjadi pembedaan antara sekolah klasik
(tradisional) dan sekolah kejuruan.188 Sekolah klasik diperuntukan untuk kelas dominan,
sedangkan sekolah kejuruan untuk kelas instrumental atau subaltern. Dari dua jenis
sekolah inilah yang lalu mengarahkan supaya setiap kelas tetap berada di tempatnya
masing-masing untuk melestarikan fungsi masing-masing, yaitu sebagai atasan atau
bawahan.189
Untuk melestarikan fungsi-fungsi tersebut maka keberadaan sekolah pada waktu itu harus
mencerminkan sebuah peradaban yang modern, dimana simbol modernitas tersebut
dihubungkan dengan peradaban bangsa Yunani dan Romawi yang identik dengan kota
Athena dan Roma.190 Oleh karena itu maka konsep sekolah pada jaman itu mengajarkan
bagaimana pentingnya tata bahasa Yunani dan Latin sebagai sebuah simbol peradaban
yang modern dari bangsa Yunani dan Romawi.191 Sehingga pada saat itu sekolah-sekolah
di Italia mengajarkan secara ketat, dari tingkat dasar hingga menengah, tentang tata bahasa
Yunani dan Latin. Dengan konsep seperti ini berarti anak-anak sedang diarahkan untuk
menjaga tradisi kebudayaan Yunani dan Romawi sebagai sebuah “mitos”. Mereka belajar
bahasa Yunani dan Latin bukan untuk fasih berbicara menggunakan bahasa tersebut dalam
kehidupan sehari-hari mereka namun hanya untuk menunjukkan diri bahwa dengan bahasa
tersebut mereka mempunyai sebuah identitas yang menurut mereka adalah asal muasal
dari sebuah kebudayaan yang modern dan beradab.
187 Ibid hal 33 188 Ibid hal 38 189 Ibid hal 56 190 Ibid hal 51 191 Ibid hal 52-55 99
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Menurut Machiavelli, sebagaimana dikutip oleh Gramsci, bahwa kebudayaan modern
inilah yang akhirnya melahirkan sebuah konsep “Penguasa Modern” dimana si penguasa
tidak menampilkan dirinya secara obyektif dihadapan rakyat Italia, tetapi hanya
merupakan abstraksi teoritis murni, sebagai simbol dari seorang pemimpin dan
“condottierre’ ideal”.192 George Sorel menjelaskan bahwa Penguasa modern adalah
penguasa dalam “mitos” yang tidak bisa menjadi seseorang yang riil yaitu seorang individu
yang konkret, namun hanya berupa sebuah organisme yaitu sebuah elemen kompleks dan
masyarakat dengan sebuah kehendak kolektif yang telah diakui dan sudah mulai
berkembang untuk menyatakan dirinya dalam suatu aksi yang mengarah pada bentuk yang
konkret.193
Apa yang dikatakan oleh Machiavelli ini sebenarnya sedang mengarah pada kedudukan
gereja Katholik di dalam negara yang ternyata juga sudah berperan sebagai kelas penguasa.
Hal ini tercatat dalam diskusi Gramsci “soal bahasa” yang mengatakan bahwa :194
Di Zaman Pertengahan, Gereja Katholik menentang penggunaan bahasa Latin
sebagai bahasa sehari-hari dan bagi pelestarian bahasa Latin sebagai bahasa
“universal”, karena hal itu menjadi salah satu unsure hegemoni intelektual.
Dante misalnya, merasa harus mempertahankan penggunaan bahasa Italia
(Florensia) dalam Divine Comedy. Gramsci menggambarkan pemunculan dialek
Florensia sebagai sebuah “logat asli tingkat tinggi”. “Berkembangnya Komune
menyebabkan logat asli daerah, dan hegemoni intelektual Florensia
menghasilkan logat tingkat tinggi. Jatuhnya Komune dan berdirinya rezim
Kerajaan, pembentukan kasta berkuasa yang terpisah dari rakyat, menyebabkan
192 Ibid hal 175 193 Ibid hal 179 194 Ibid hal 182 100
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kristalisasi logat asli tersebut dan juga literature Latin. Sekali lagi bahasa Italia
menjadi bahasa tulis, tetapi bukan bahasa lisan; menjadi bahasa kaum
terpelajar, tetapi bukan bahasa nasional”. Masalah bahasa tersebut di satu sisi
terselesaikan saat literature Italia akhirnya mengalahkan bahasa Latin sebagai
bahasa pendidkan dan saat bahasa Italia diadopsi sebagai bahasa Negara
bangsa Italia baru. Namun, bahasa Italia tetap eksis sebagai dialek “bahasa ibu”
di berbagai daerah di Italia bahkan sampai saat ini, mengesampingkan
perkembangan media massa dan media universal abad ini.
Sehingga jika dihubungkan dengan “mitos” yang diungkapkan oleh Sorel maka si
“Penguasa Modern” sedang menempatkan bahasa Italia sebagai bahasa kedua setelah
bahasa Yunani dan Latin, walaupun sebenarnya bahasa Italia sejak abad ke-13 sudah
berkembang menjadi sebuah bahasa tulis.195 “Mitos” ini bertujuan untuk menciptakan
kembali kesatuan sebuah kelas,196 yaitu bersatunya kelas kapitalis supaya mereka dapat
selalu menguasai kelas pekerja.
Namun pada akhirnya Gentile dan Croce harus berbeda haluan dikarenakan Gentile lebih
memilih bergabung dengan pemerintah fasis Mussolini, sedangkan Croce akhirnya lebih
memilih untuk menjadi oposisi pemerintahan fasis. Dengan demikian lalu menempatkan
mereka pada dua posisi yang berbeda, salah satunya adalah dalam hal pengertian tentang
masyarakat sipil dan masyarakat politik, dimana Gentile merasa bahwa keduanya tidak
dapat dibedakan karena yang eksis adalah hanya pemerintah saja, sedangkan bagi Croce
keduanya harus dibedakan.197 Bagi Gramsci sendiri dirinya lebih condong dengan gagasan
195 Ibid hal 67 196 Ernesto Laclau && Chantal Mouffe, Hegemoni dan Strategi Sosialis (Postmarxisme + Gerakan Sosial Baru), Resist Book, Yogyakarta, 2008, hal 105. 197 Antonio Gramsci, “Prison Notebooks: Catatan-catatan dari Penjara” (penj: Teguh Wahyu Utomo), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013, hal 380. 101
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Croce yang membedakan antara “Masyarakat Sipil” yang merupakan perwakilan organisme
yang disebut “private”, dan “Masyarakat Politik” yang disebut sebagai “negara”.198
Sehingga dari pernyataan Gramsci ini menunjukkan bahwa dirinya menentang dominasi
yang dilakukan oleh Stalin dan Mussolini.
Dari kritik-kritik Gramsci inilah yang akhirnya melahirkan sebuah gagasan bahwa
Hegemoni dapat diwujudkan melalui kekerasan (Coersif) dan persetujuan (Consent).
Namun Gramsci sendiri cenderung lebih condong pada gagasannya tentang persetujuan
(Consent), dimana Hegemoni lalu diwujudnyatakan melalui kepemimpinan “Intelektual”
dan “Moral”. Dalam hal ini yang menjadi tujuan dari Gramsci adalah dapat membuat kaum
pekerja menjadi kaum intelektual karena kelas pekerja bukanlah segerombolan “gorilla
terlatih”199 yang tidak bisa berfikir, akan tetapi mereka adalah sebuah kelas yang telah
mempunyai sebuah “kesadaran”. Dengan adanya kesadaran ini maka dapat dikatakan bahwa
setiap individu adalah “filsuf”.200 Namun hal tersebut dapat diwujudkan jika mereka
mampu mengangkat kompleksitas konsepsinya tentang dunia ini dari bahasa yang
dipakainya.201 Dengan melihat fenomena tersebut ternyata sebuah Hegemoni dapat terjadi
bukan hanya pada aspek ekonomi dan politik saja namun juga bisa terjadi pada aspek
bahasa. Sehingga dari hal ini Gramsci melihat bahwa relasi kuasa yang terjadi di Italia juga
terjadi dalam ranah bahasa, yaitu dalam bentuk Hegemoni Bahasa.
B. Hegemoni Bahasa
Gramsci secara spesifik tidak menjelaskan tentang Hegemoni bahasa, namun dalam
beberapa penjelasannya tersirat bahwa bahasa dapat menjadi sebuah sarana yang efektif
198 Ibid hal 17 199 Ibid hal 12, 426, 437 200 Ibid hal 455 201 Ibid hal 457 102
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
untuk melakukan sesuatu yang disebut sebagai Hegemoni. Sehingga dengan demikian
maka hegemoni bahasa terjadi bukan melalui jalur “coersif” akan tetapi melalui jalur
“consent”, sebagaimana yang terjadi secara umum pada konsep Gramsci tentang
Hegemoni. Dan untuk melihat konsep hegemoni bahasa Gramsci, menurut Steve Jones
dapat juga dilihat melalui teori “kekerasan simbolik” yang dikatakan oleh Bourdieu, 202
dimana “symbolic violence” adalah “….the gentle, invisible form of violence,
misrecognized as such, chosen as much as it is submitted to, the violence of confidence, of
personal loyality, of hospitally, of the gift, of the debt, of recognition, of piety-of all virtues,
in a word, which are honoured by the ethics of honour”.203
Secara sederhananya, kekerasan simbolik adalah pemaksaan system simbolisme dan
makna terhadap kelompok atau kelas yang terjadi sedemikian rupa sehingga hal itu dialami
sebagai sesuatu hal yang sah.204 Kekerasan simbolik ini dilembagakan melalui perantaraan
kesepakatan/persetujuan yang tidak bisa dilakukan oleh pihak yang terdominasi kepada
pihak yang mendominasi karena pihak yang terdominasi tidak memiliki instrument-
instrumen pengetahuan yang dimiliki oleh pihak yang mendominasi.205 Oleh karena itu
persetujuan/kesepakatan ini sebenarnya terjadi bukan karena adanya kesadaran atau
dengan kata lain terjadi diluar logika kendali keinginan dari pihak yang terdominasi karena
semua sudah dirancang oleh pihak yang mendominasi dengan sedemikian rupa sehingga
sebenarnya persetujuan/kesepakatan ini bersifat spontan sekaligus dipaksakan.206 Dengan
demikian maka kekerasan simbolik bekerja dengan menyembunyikan pemaksaan dari
202 Steve Jones, “Antonio Gramsci”, Routledge & Taylor and Francis Group, London & New York, 2006, hal 52. 203 Fauzi Fashri, “Pierre Bourdieu”: Menyingkap Kuasa Simbol, Jalasutra, Yogyakarta, 2014, hal 143. 204 Richard Jenkins, Membaca Pikiran Pierre Bourdieu, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004, hal 157. 205 Pierre Bourdieu, Dominasi Maskulin (Pent. StephanusmAswar Herwinarko), Jalasutra, Yogyakarta, 2010, hal 51. 206 Ibid hal 54 103
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pihak yang mendominasi ini menjadi sesuatu yang diterima tanpa adanya keberatan dari
pihak yang terdominasi.
Salah satu contoh kekerasan simbolik dapat terjadi dalam bentuk dominasi linguistik
dimana Bourdieu memberikan contoh kasus yang terjadi di Nigeria ketika mereka menolak
bahasa mereka sendiri diajarkan di sekolah dan lebih memilih bahasa Inggris, yaitu bahasa
yang dipakai oleh negara yang menjajah mereka. Fenomena yang terjadi di Nigeria ini
tentunya tidak hanya berhubungan dengan factor linguistic saja, akan tetapi sebagaimana
dikatakan Bourdieu bahwa “relasi bahasa adalah selalu relasi kekuasaan”,207 dimana hal
tersebut dapat digunakan untuk memperoleh atau meraih serta dapat juga digunakan untuk
mempertahankan sebuah kekuasaan.
Bourdieu berpandangan bahwa bahasa adalah sebagai bagian dari cara hidup sebuah
kelompok social dan secara essensial memberikan pelayanan bagi terwujudnya tujuan-
tujuan praktis.208 Bahasa adalah sebuah praktek sosial, sehingga kekuasaan adalah juga
sebuah praktik sosial. Dari hal ini Bourdieu memiliki sebuah rumusan generatif yang
menerangkan tentang praktik sosial: (Habitus X Modal) + Ranah = Praktik.209
Ranah (Field) 210
Ranah bukanlah sekedar wilayah yang dibatasi oleh pagar keliling, namun ranah diartikan
sebagai “ranah kekuatan” yang secara parsial bersifat otonom yang di dalamnya
207 Richard Jenkins hal 238 208 Richard Harker (edt), (Habitus x modal) + Ranah = Praktik (pent. Pipit Maizier), Jalasutra, Yogyakarta, 2009, hal 203. 209 Ibid hal 9 210 - Richard Harker (edt), (Habitus x modal) + Ranah = Praktik (pent. Pipit Maizier), Jalasutra, Yogyakarta, 2009, hal 9-13. - Pierre Bourdieu, Arena Produksi Kultural (Sebuah Kajian Sosiologi Budaya) (Pent. Yudi Santosa), Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2016, hal xvii-xix. - Fauzi Fashri, “Pierre Bourdieu”: Menyingkap Kuasa Simbol, Jalasutra, Yogyakarta, 2014, hal 105-109. - Richard Jenkins, Membaca Pikiran Pierre Bourdieu, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004,124-128.
104
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
berlangsung perjuangan posisi-posisi. Sehingga “ranah” juga dapat diidentikkan dengan
area-area perjuangan. Oleh karena itu “ranah” harus dikonstruksikan dari sebuah
pengalaman melalui riset empiris dan penelitian etnografis. Dengan kata lain “ranah” harus
dilihat dari realitas sosial yang berada pada ruang sosial tertentu. Dan di dalam ruang social
ini dimungkinkan terjadi koalisi-koalisi oleh pihak-pihak yang memiliki kedekatan di
dalamnya. Bahkan setiap ranah juga dapat ditempatkan dalam suatu ranah yang
lingkupnya lebih besar. Memahami konsep tentang “ranah” berarti tidak bisa dilepaskan
dengan konsep tentang “modal” dikarenakan ranah adalah arena kekuatan yang di
dalamnya mempunyai arah perjuangan supaya bisa mendekat ke hierarki kekuasaan
dengan cara memperebutkan sumber daya atau “modal”. Selain itu “ranah” juga menjadi
lokus bagi kinerja “habitus” dan sebaliknya “habitus” mendasari terbentuknya “ranah”.
Habitus 211
Untuk menjelaskan arti dari “habitus” yang didefinisikan oleh Bourdieu memang tidak
mudah. Oleh karena itu diperlukan beberapa pandangan dari Bourdieu untuk bisa mengerti
apa yang dimaksud dengan “habitus”. Didalam bukunya “Outline of Theory of Practice”,
disebutkan bahwa habitus adalah sistem disposisi yang bertahan lama dan bisa
dialihpindahkan, struktur yang distrukturkan yang diasumsikan sebagai penstruktur
struktur-struktur, yaitu sebagai prinsip-prinsip yang melahirkan dan mengorganisasikan
praktik-praktik dan representasi-representasikan yang bisa diadaptasikan secara obyektif
kepada hasil-hasilnya tanpa mengandaikan suatu upaya sadar mencapai tujuan-tujuan
211 - Richard Harker (edt), (Habitus x modal) + Ranah = Praktik (pent. Pipit Maizier), Jalasutra, Yogyakarta, 2009, hal 13-16 - Pierre Bourdieu, Arena Produksi Kultural (Sebuah Kajian Sosiologi Budaya) (Pent. Yudi Santosa), Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2016, hal xv-xvii. - Fauzi Fashri, “Pierre Bourdieu”: Menyingkap Kuasa Simbol, Jalasutra, Yogyakarta, 2014, hal 98-105. - Richard Jenkins, Membaca Pikiran Pierre Bourdieu, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004,106-124. 105
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tertentu atau penguasaan cepat atas cara dan operasi yang diperlukan untuk
mencapainya.212
Dari gagasan Bourdieu diatas dapat dijelaskan bahwa “disposisi” meliputi tiga makna
yaitu: hasil dari tindakan mengatur; cara menjadi; dan tendensi, niat atau
kecenderungan.213 Sedangkan “yang bertahan lama dan bisa dialihpindahkan” dalam artian
bertahan disepanjang rentang waktu tertentu dari kehidupan seorang agen yang melahirkan
praktek-praktek diberbagai “ranah”.214 Dan untuk “struktur yang distrukturkan”
mengandung maksud bahwa habitus berperan sebagai sebuah struktur yang dibentuk oleh
kehidupan sosial, sekaligus sebagai “penstruktur struktur-struktur” yaitu habitus berperan
sebagai struktur yang membentuk kehidupan sosial.215
Selain hal itu Bourdiue di dalam buku “The Logic of Practice” mengatakan The habitus,
the product of history, produces individual and collective practices,and hence history, in
accordance with the schemes engendered by history.216 Dengan gagasan ini
memperlihatkan bahwa “habitus” dibentuk dari masa lalu yang diterima pada masa kini
untuk membentuk masa depan. Sehingga dari hal ini sebenarnya sedang mengatakan
bahwa habitus, baik perseorangan maupun kelompok, adalah sebuah proses yang diterima
masa kini dari masa lalu dan harus selalu dijaga keberlangsungan di masa depan.
Dari buku “Distinction” Bourdieu mengatakan bahwa skema-skema habitus, bentuk-
bentuk klasifikasi primer, memperoleh efektivitas khususnya berkat fakta bahwa mereka
berfungsi di bawah lapisan kesadaran dan bahasa, di luar jangkauan pemeriksaan
212 Pierre Bourdieu, Arena Produksi Kultural (Sebuah Kajian Sosiologi Budaya) (Pent. Yudi Santosa), Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2016,hal xv-xvi. 213 Richard Jenkins, Membaca Pikiran Pierre Bourdieu, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004,hal 110. 214 Pierre Bourdieu, Arena Produksi Kultural (Sebuah Kajian Sosiologi Budaya) (Pent. Yudi Santosa), Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2016,hal xvi. 215 Fauzi Fashri, “Pierre Bourdieu”: Menyingkap Kuasa Simbol, Jalasutra, Yogyakarta, 2014,hal 101. 216 Ibid 102 106
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
instropektif yang cermat atau pengendalian kehendak.217 Dari sini Bourdieu ingin
mengatakan bahwa habitus adalah sebuah tindakan yang tidak selalu dipengaruhi oleh
kesadaran dan kepatuhan terhadap sebuah peraturan. Hal ini bisa dipengaruhi oleh sisa-
sisa masa lalu atau traumatik terhadap sebuah peristiwa yang dialami oleh individu atau
sebuah kelompok.
Sehingga dari gagasan-gagasan yang dikemukan Bourdieu, mengatakan bahwa “habitus”
adalah hasil dari tindakan mengatur; cara menjadi; dan tendensi yang bertahan disepanjang
rentang waktu tertentu dari kehidupan seorang agen yang melahirkan praktek-praktek
diberbagai “ranah”, dimana habitus berperan sebagai sebuah struktur yang dibentuk oleh
kehidupan sosial dan juga sekaligus berperan sebagai struktur yang membentuk kehidupan
sosial yang dibentuk dari masa lalu dan diterima pada masa kini untuk membentuk masa
depan yang tidak selalu dipengaruhi oleh kesadaran dan kepatuhan terhadap sebuah
peraturan. Oleh karena itu “habitus hanyalah sebuah konstruksi pengantara, bukan
konstruksi penentu dimana sifat-sifat yang ada terbentuk karena adanya sebuah kebutuhan;
demikian juga habitus berperan sebagai pengganda “modal”, terutama modal simbolik.218
Modal
Bagi Bourdieu setiap individu memiliki posisi dalam ruang sosial yang dikategorikan
bukan berdasarkan oleh keanggotaan dalam kelas sosial tertentu akan tetapi berdasarkan
jenis modal yang diperoleh oleh individu di dalam hubungan atau relasi sosialnya. Modal
217 Richard Harker (edt), (Habitus x modal) + Ranah = Praktik (pent. Pipit Maizier), Jalasutra, Yogyakarta, 2009, hal 13. 218 Richard Harker (edt), (Habitus x modal) + Ranah = Praktik (pent. Pipit Maizier), Jalasutra, Yogyakarta, 2009, hal 15. 107
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
adalah basis dari kekuasaan. Bourdieu menggolongkan “modal” menjadi 4 jenis, yaitu :
modal ekonomi, budaya, sosial dan simbolis.219
- Modal ekonomi adalah modal yang paling bisa dilihat secara kasat mata karena dapat
dikonversi langsung ke dalam bentuk uang dan kepemilikan yang nantinya dapat
digunakan menguasai sumber daya ekonomi, khususnya pada ranah produksi.
- Modal budaya adalah modal ilmu pengetahuan atau pendidikan yang diperoleh oleh
individu yang nantinya akan mempengaruhi pada taraf pengetahuan serta
keterampilan yang dimiliki oleh individu sebagai sarana untuk mencapai status yang
lebih tinggi di dalam kelas sosial.
- Modal sosial adalah aktualisasi dan potensi sumber daya yang berhubungan dengan
kepemilikan jejaring yang bersifat tahan lama dan dilembagakan dengan hubungan
koneksivitas dan pengakuan. Secara sederhana modal sosial muncul karena adanya
relasi sosial dengan pihak lain yang mempunyai pengaruh kuasa.
- Modal simbolik adalah modal yang dapat ditukar dengan kekuasaan. Sebagai contoh
adalah seorang pengusaha kaya raya (modal ekonomi) yang memperoleh pendidikan
hingga tingkat yang paling tinggi (modal budaya), dan karena “kekayaan” dan
“kepandaian”nya ini dia terpilih menjadi seorang Bupati di suatu daerah (Modal
Sosial). Dari modal-modal inilah dia lalu memperoleh kekuasaan secara politis.
Kekuasaan inilah yang disebut sebagai “modal simbolik”. Sehingga modal simbolik
adalah sebuah modal yang didapat melalui pertukaran dari modal-modal lainnya yang
pada akhirnya melahirkan atau mempresentasikan kekuasaan.220
219 Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power, Harvard University Press, Cambridge Massachusetts, 1991, hal 230. 220 Richard Harker (edt), (Habitus x modal) + Ranah = Praktik (pent. Pipit Maizier), Jalasutra, Yogyakarta, 2009 hal 17. 108
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dari kekuasaan yang dilahirkan melalui pertukaran modal inilah yang lalu disebut
sebagai “kekuasaan simbolik”, dimana Bourdieu mengatakan bahwa “Symbolic power,
a subordinate power, is a transformed, i.e misrecognizable, transfigured and legitimated
form of the other forms of power”.221 (kekuasaan simbolik adalah sebentuk kuasa yang
dialihkan, yakni dapat disalah kenali, dialihrupakan dan dilegitimisi, dari bentuk-bentuk
kuasa lainnya). Selain itu Bourdieu juga mendefinisikan “a symbolic power is a power
which presupposes recognition, that is, misrecognition of the violence is exercised
through it.”222 Sehingga dari hal inilah maka kekuasaan simbolik diidentikkan dengan
kekerasan simbolik (Simbolic Violence). Selain itu Bourdieu juga mengatakan bahwa
“..Symbolic power which can be exercised only with the complicity of those who do not
want to know that they are subject to it or even that they themselves exercise it.”223 (kuasa
simbolik adalah praktik kekuasaan yang tidak kelihatan secara kasat mata yang hanya
bisa dijalankan dengan keterlibatan orang-orang yang tidak mengetahui bahwa mereka
sebenarnya adalah sasaran atau korban dari kekuasan tersebut bahkan merekapun tidak
menyadari jika mereka menjalankan kekuasan simbolik itu). Sehingga dengan demikian
“kekerasan simbolik” juga digambarkan sebagai “silent violence”.224
Sehingga dari teori Bourdieu ini ternyata “bahasa” dapat ditukar dengan kekuasaan
sebagaimana apa yang dikatakan oleh Bourdieu bahwa bahasa merupakan instrumen
kekuasaan simbolik, hal ini ditunjukkan dengan gagasannya yang mengatakan
bahwa“...linguistik exchange - are also relations of symbolicc power...” (Pertukaran
bahasa selalu berhubungan dengan kekuasaan simbolik).225 Sehingga dapat dikatakan
221 Language and Symbolic Power hal 170 222 Ibid hal 209. 223 Ibid hal 164 224 Ibid hal 52 225 Language and Symbolic Power hal 37. 109
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bahwa bahasa adalah basis dari kekuasaan atau dengan kata lain bahasa adalah sebagai
modal simbolik. Dengan adanya “pertukaran bahasa” inilah yang lalu membuat
kedudukan kelas yang mempunyai modal ekonomi akan selalu berada diatas dan kelas
yang tidak memiliki modal-modal ini akan selalu berada di kelas bawah. Inilah bentuk
kekerasan simbolik yang dilakukan melalui relasi bahasa.
Sehingga melalui konsep kekerasan simbolik bahasa yang diutarakan oleh Bourdieu
maka hegemoni bahasa yang dipahami oleh Gramsci adalah sebuah relasi kuasa bahasa
yang didalamnya mengandung unsur “kekerasan” yang tidak nampak secara jelas namun
dapat dirasakan. Hegemoni bahasa inilah yang dirasakan oleh Gramsci ketika dirinya
mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studinya di kota Turin yang disediakan untuk
para pelajar miskin yang berasal dari povinsi Sardinia.226 Dimana sebuah hegemoni yang
dibentuk melalui kepemimpinan intelektual dan moral ternyata dapat ditanamkan melalu
relasi bahasa. Dimana pada waktu itu bahasa Latin menghegemoni bahasa Italia.
Hegemoni bahasa inilah yang lalu digunakan untuk mempertahankan kedudukan kelas
pemilik modal supaya tetap menjadi kelas yang berada di lapisan atas. Sehingga dari
hegemoni bahasa ini ternyata juga dapat menghalangi bahkan menghilangkan adanya
perjuangan kelas. Oleh karena itu di dalam hegemoni bahasa pasti terdapat kekerasan
simbolik bahasa, demikian juga sebaliknya dimana terdapat kekerasan simbolik bahasa
maka dapat menyebabkan munculnya sebuah hegemoni bahasa.
Hegemoni bahasa yang dilakukan melalui bahasa Latin (Gramsci) serta bahasa Inggris
(Bourdieu) bisa terjadi karena bahasa tersebut telah distandarkan atau dibakukan. Bahasa
yang dibakukan atau bahasa baku adalah sebuah ragam bahasa yang biasanya sudah
melewati sebuah proses kodifikasi yaitu tahap pembakuan tata bahasa, ejaan dan
226 A. Pozzolini, Pijar-pijar Pemikiran Gramsci, Resist Book, Yogyakarta, 2006, hal 3-4. 110
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kosakata, dimana secara politis bahasa ini biasanya sering berfungsi sebagai sebuah
bahasa resmi.227 Oleh karena itu tidak menutup kemungkinan hal tersebut juga bisa
terjadi di dalam relasi bahasa-bahasa lainnya yang ada di dunia ini. Salah satunya adalah
yang terjadi antara bahasa Jawa, yang disebut sebagai bahasa Jawa Baku, dengan bahasa
Banyumasan yang hingga saat ini masih digunakan sebagai bahasa sehari-hari di wilayah
Banyumasan.
Ketika standarisasi bahasa Jawa yang disebut sebagai Bahasa Jawa Baku ini mulai
diterapkan, wilayah Banyumas yang mempunyai bahasa sendiri harus menerima
hegemoni dari bahasa Jawa Baku. Hal ini ditunjukkan di wilayah Banyumas bahasa Jawa
baku hanya oleh kalangan elite tradisonal Jawa saja, dimana masyarakat di pedesaaan
Banyumas tetap memakai bahasa Banyumasan dalam komunikasi sehari-harinya.228
Bahasa Jawa Baku adalah sebuah bahasa yang mengalami standarisasi melalui sebuah
konstruksi bahasa yang dilakukan oleh pihak penguasa yang mempunyai kepentingan
untuk mempertahankan kedudukannya sebagai penguasa. Wujud nyata dari konstruksi
bahasa Jawa “Baku” adalah munculnya tingkatan bahasa “ngoko-krama” dimana hingga
saat ini penggunaan bahasa Jawa “Baku” ini masih dipakai khususnya di pulau Jawa di
bagian tengah dan timur (provinsi Jawa tengah, Jawa Timur dan DIY). Dalam hal ini,
James Siegel, melihat bahwa bahasa Krama disebut sebagai “High Javanese”, sedangkan
bahasa Ngoko disebut sebagai “Low Javanese”.229 Bahasa yang “High” ini oleh
Pemberton ini disebut sebagai “bahasa Jawa yang benar” ,230 yang pada akhirnya menjadi
prinsip di dalam pemakaian Bahasa Jawa Baku.
227 Kusharyati, Untung Yowono, Multamia RMT Lauder; Pesona Bahasa : Langkah Awal Memahami Linguistik; Gramedia Pustaka Utama; Jakarta, 2007, Hal 61. 228 Sugeng Priyadi, Banyumas : antara Jawa & Sunda, Mimbar, Semarang, 2002, hal 263. 229 James Siegel, Solo in the New Order (Language And Hierarchy in an Indonesia City), Princenton University Press, Princenton : New Jersey, 1986, hal 15. 230 John Pemberton, “Jawa” : On the Subject of “Java”, Mata Bangsa, Yogyakarta, 2003, hal 105. 111
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
C. Sejarah Perkembangan Bahasa Jawa
Munculnya Bahasa Jawa Baku yang masih digunakan hingga saat ini tentunya juga sudah
mengalami berbagai macam perkembangannya. Perkembangan bahasa Jawa ini bisa
dilihat dari adanya penemuan-penemuan prasasti-prasasti atau karya-karya sastra yang
menunjukkan adanya perbedaan bentuk tulisan-tulisan Jawa ini dari masa ke masa.
Sebagai mana teori “kelisanan dan keaksaraan” dari Walter Ong, bahwa sebuah bahasa
dimulai dari budaya lisan yang dimana budaya lisan ini bisa diteliti jika budaya ini juga
meninggalkan warisan budaya tulisan atau literature, baik yang berupa gambar maupun
aksara, yang disebut sebagai “keberaksaraan”.231 Dan melalui penemuan yang disebut
sebagai “keberaksaraan” itulah, secara kronologi kesusasteraan, Koentjaraningrat
menyebutkan bahwa perkembangan bahasa Jawa dapat dibagi menjadi enam fase, yaitu:232
- Bahasa Jawa Kuno (abad 8-14 M).
Bentuk bahasa ini banyak ditemukan dalam prasasti-prasasti yang dipahat pada batu
atau diukir di pada perunggu (abad 8-10 M) serta dalam naskah-naskah Jawa Kuno
dalam bentuk “kakawin” atau puisi (abad 10-14 M).
- Bahasa Jawa Kuno yang terdapat dalam kesusasteraan Jawa-Bali (abad 14-16 M).
Bentuk bahasa ini banyak ditemukan pada masa peralihan kebudayaan Hindhu-Jawa
ke kebudayaan Islam pada abad 14-16 M. Setelah masuknya kebudayaan Islam maka
kebudayaan Hindhu-Jawa menyingkir ke pulau Bali.
- Bahasa yang terdapat dalam kesusasteraan Islam di Jawa Timur (abad 16 - 17 M).
Bentuk bahasa ini mulai digunakan ketika berkembangnya kebudayaan Islam
menggantikan kebudayaan Hindhu-Jawa pada abad 16-17 yang berpusat di daerah
aliran sungai Brantas dan daerah hilir aliran sungai Bengawan Solo.
231 Walter Ong, Kelisanan dan Keaksaraan, Gading, Yogyakarta, 2013, hal 7-20. 232 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, balai Pustaka, Jakarta, 1984, hal 18. 112
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
- Bahasa kesusasteraan kebudayaan Jawa-Islam di daerah pesisir (abad 17-18).
Bentuk bahasa ini berkembang di kota-kota di pesisir pantai utara Jawa yang menjadi
pusat agama Islam pada abad 17 – 18 M. Kebudayaan pesisir ini dibagi menjadi dua
yaitu pesisir sebelah timur (Demak, Kudus hingga Gresik) dan pesisir sebalah barat
(Cirebon).
- Bahasa kesusastraan di Kerajaan Mataram (abad 18-19 M).
Bentuk bahasa ini digunakan oleh para pujangga Keraton Mataram pada abad
18-19 M yang berpusat di daerah aliran sungai Bengawan Solo yang berada di daerah
lembah antara gunung Merapi-Merbabu dan Lawu.
- Bahasa Jawa masa kini (abad 20).
Bentuk bahasa ini banyak dipakai dalam percakapan sehari-hari dan juga digunakan
di dalam tulisan-tulisan berbagai macam surat kabar dan buku-buku yang berbahasa
Jawa dalam abad 20.
Selain perkembangan bahasa Jawa diatas, menurut Baryadi Praptomo dkk, terdapat
beberapa fase tahapan perkembangan bahasa Jawa, yaitu :233
- Bahasa Jawa Kuno (abad 1 – 15 M)
Pada abad pertama sampai dengan abad ke-6 M bahasa Jawa Kuno hanya digunakan
secara lisan yang banyak dipengaruhi oleh bahasa Sansekerta. Baru pada abad ke-7 M
bahasa Jawa Kuno dipakai sebagai bahasa lisan maupun tertulis yang berkembang
dalam tradisi Hindhu-Buddha Jawa sampai abad ke-15.
- Bahasa Jawa Pertengahan (abad 15-16)
233 I. Baryadi Praptomo dkk (editor: Syamsul Arifin), “Tata Bahasa Jawa Mutakhir”, Kanisius, Yogyakarta, 2006, hal 1-8. 113
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Bahasa Jawa Pertengahan adalah bahasa yang dipakai pada masa transisi
berkembangnya bahasa Jawa Kuno ke bahasa Jawa Modern.
- Bahasa Jawa Modern (abad 16 – sekarang)
Bahasa Jawa Modern dipakai oleh masyarakat Jawa mulai abad ke-16 yang
berkembang dalam tradisi Islam-Jawa yang menggantikan tradisi Hindhu-Buddha
Jawa. Karena berkembang di tengah-tengah tradisi Islam maka banyak kosakata
bahasa Jawa Modern yang terpengaruh bahasa Arab, bahkan huruf Arab dipakai dan
disesuaikan dengan sistem bahasa Jawa dan diubah menjadi huruf Pegon.
Dari masing-masing fase yang disusun oleh Koentjaraningrat dan Baryadi Praptomo dkk,
terlihat ada perbedaan didalam membuat periodesasinya, namun terdapat persamaan
diantara keduanya yaitu adanya tingkatan tutur dalam bahasa Jawa. Baik Koentjaraningrat
maupun Baryadi Praptomo dkk, membagi tingkatan tutur dalam bahasa Jawa menjadi 3
yaitu : Ngoko, Madya dan Krama.234 Ngoko adalah gaya tak resmi yang dipakai untuk
berkomunikasi dengan orang yang sudah akrab atau status sosialnya sederajat dimana
bahasa ini mencerminkan rasa tidak berjarak atau tidak memperlihatkan rasa segan; Madya
adalah gaya setengah resmi yang digunakan untuk berkomunikasi dengan seseorang yang
status sosialnya lebih rendah dimana hal ini menunjukkan rasa segan yang sedang; dan
Krama adalah gaya resmi yang digunakan untuk berkomunikasi dengan seseorang yang
status sosialnya lebih tinggi atau kepada seseorang yang belum akrab sehingga dengan
gaya tutur ini menunjukkan rasa segan yang tinggi terhadap lawan bicaranya.
Menurut Baryadi Praptomo dkk, munculnya tingkatan tutur ini diperkirakan muncul pada
abad ke-17, tepatnya pada zaman Raja Sultan Agung (1613-1645) ketika memerintah
kerajaan Mataram, namun gejala ini sudah terlihat pada abad ke-15 pada periode bahasa
234 Koentjaraningrat Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, balai Pustaka, Jakarta, 1984, hal 21 114
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Jawa Pertengahan.235 Senada dengan hal tersebut, Dennys lombard mengakui bahwa
secara fakta linguistik terdapat tingkatan tutur dalam bahasa Jawa, dimana dia
menggolongkan hanya dengan dua macam yaitu Ngoko dan Krama, bentuk ini
diperkirakan mulai muncul ketika budaya Islam-Jawa mulai menggantikan budaya
Hindhu-Buddha Jawa.236 Tingkatan tutur kata ini terjadi dikarenakan adanya pengaruh
yang dilandasi karena adanya perbedaan kedudukan, pangkat, umur, serta tingkatan
keakraban antara yang menyapa dan disapa. Sehingga dari hal ini Tome Pires
mengomentari tingkatan tutur dalm bahasa Jawa ini dengan mengatakan : “tidak ada
tempat lain di dunia yang sifat angkuhnya menonjol sedahsyat di Jawa yang mempunyai
dua bahasa, yang satu dipakai oleh kaum bangsawan dan yang lain oleh rakyat”.237
Selain adanya tingkatan tutur dalam bahasa Jawa, Th. Pigeaud melihat adanya berbagai
macam logat berdasarkan perbedaan geografi yang didasarkan pada daerah aliran sungai
(DAS) dan pesisir pantai, yaitu :238
- Logat Banyumasan yang digunakan di DAS Serayu.
- Logat Solo-Jogja yang digunakan di DAS Bengawan Solo dan DAS Opak & Progo.
Bahasa Jawa logat ini dianggap sebagai “bahasa Jawa yang beradab”. Dalam logat ini
sudah menggunakan tingkatan tutur (Ngoko dan Krama).
- Logat Jawa Timuran yang digunakan di DAS Brantas.
- Logat pesisir yang digunakan di daerah pantai utara Jawa bagian tengah hingga timur.
- Logat pesisir bagain barat yang digunakan disepanjang pantai bagaian barat pulau
Jawa dimulai dari Tegal hingga Indramayu yang banyak terpengaruh bahasa Sunda.
235 I. Baryadi Praptomo dkk (editor: Syamsul Arifin), “Tata Bahasa Jawa Mutakhir”, Kanisius, Yogyakarta, 2006, hal 8. 236 Denys Lombard, Nusa Jawa (3) : Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hal 58-59 237 Ibid hal 60 238 Koentjaraningrat Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, balai Pustaka, Jakarta, 1984, hal 23-24. 115
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
- Logat pesisir Jawa Timur yang digunakan di daerah pantai Jawa timur yang terletak
di selatan pulau Madura yaitu di daerah Probolinggo dan sekitarnya yang banyak
terpengaruh bahasa Madura.
- Logat Banyuwangi yang digunkan di daerah ujung timur pulau Jawa yang banyak
dipengaruhi oleh bahasa Bali.
- Logat Banten yang digunakan di ujung barat pulau Jawa.
Selain pembagian logat oleh Pigeaud ini, Baryadi Praptomo dkk juga memperlihatkan
variasi pemakaian bahasa yang disebut dialek, yang secara geografis dapat dikelompokan
sebagai berikut :239
- Dialek Bahasa Jawa Standar
Bahasa Jawa dialek standar mencakupi daerah Jogja-Solo dan sekitarnya. Karena
Secara geografis berada di tengah-tengah pulau Jawa maka penggunaan bahasa ini
dibatasai oleh 2 wilayah peralihan yaitu : bagian timur, berada di sekitar daerah
Pacitan, Madiun dan Grobogan; sedangkan di bagian barat berada di sekitar Prembun
(Kebumen bagian timur, Wonosobo dan Banjarnegara).
- Dialek Banyumas
Pemakaian bahasa Jawa dialek Banyumas meliputi wilayah eks karesidenan
Banyumas (Kab. Banyumas, Cilacap, Purbalingga dan Banjarnegara), sebagian
daerah eks karesidenan Pekalongan (Kab. Tegal, Brebes, Pemalang, dan sebagaian
Pekalongan), dan sebagian barat eks karesidenan Kedu (Kab. Kebumen dan bagain
barat Kab. Wonosobo). Pemakaian dialek ini dibatasi oleh Kab. Cilacap di sisi barat
daya yang berbatasan dengan Kab. Ciamis provinsi Jawa Barat, Kab. Tegal di sisi
239 Baryadi Praptomo dkk (editor: Syamsul Arifin), “Tata Bahasa Jawa Mutakhir”, Kanisius, Yogyakarta, 2006, hal 13-23 116
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
barat laut yang berbatasan dengan Kab. Cirebon provinsi Jawa Barat, Kab.
Pekalongan di sisi timur laut dengan Kab. Batang, dan Kab. Kebumen di sisi tenggara
dengan Kab. Purworejo.
- Dialek Jawa Timur
Bahasa Jawa dialek Jawa Timur digunakan dihampir seluruh wilayah provinsi Jawa
Timur dengan pengecualian daerah Banyuwangi di sisi ujung sebelah timur pulau
Jawa.
- Dialek Osing
Bahasa Jawa dialek Osing digunakan di Kab. Banyuwangi, namun tidak semua daerah
Banyuwangi menggunakan dialek ini karena ternyata hanya tiga kecamatan saja yang
menggunakan dialek ini yaitu Kec. Kota Banyuwangi, Kec. Giri dan Kec. Glagah.
Dialek Osing ini digunakan oleh penduduk asli Banyuwangi yang masih keturunan
kerajaan Blambangan pada masa era Kerajaan Majapahit.
Dari pendapat Th. Pigeaud dan Baryadi Praptomo tentang klasifikasi dialek atau logat ini ternyata terdapat kesamaan ketika mereka melihat ada kekhasan khusus dari dialek atau logat Jogja-Solo yang disebut sebagai dialek “bahasa Jawa standar” dan logat “bahasa
Jawa yang beradab”. Dialek atau logat Jogja-Solo memang sudah menggunakan tingkatan tutur yaitu (Ngoko dan Krama) ketika digunakan sebagai komunikasi lisan maupun tertulis. Dari sini memperlihatkan bagaimana superiotas dialek atau logat Jogja-Solo terhadap logat atau dialek lainnya.
Melihat fenomena yang demikian ternyata menimbulkan kritikan dari berbagai kalangan, salah satunya dari Praptomo Baryadi sendiri yang mengatakan bahwa fenomena tersebut
117
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sebagai bagian dari sebuah “Diskriminasi Bahasa”.240 Dengan adanya diskriminasi bahasa
tersebut, menurut , Prof. Sugeng Priyadi, menyebabkan dialek atau logat di luar Jogja-Solo
menjadi “bahasa kelas dua”.241 Sementara budayawan Ahmad Tohari dalam menyikapi
fenomena tersebut mengatakan bahwa dialek atau logat Banyumas yang sering disebut
sebagai “ngapak-ngapak” adalah sebuah “bahasa” dan bukan hanya sekedar dialek atau
logat, yang disebut sebagai bahasa Penginyongan.242 Pendapat bahwa dialek atau logat
Banyumas adalah sebuah “bahasa” ini diperkuat dengan analisa Teguh Trianton yang
mengatakan bahwa jika bahasa Banyumas atau “ngapak-ngapak” adalah sebagai bahasa
Jawa murni (pure Javanese Language), yang disebut sebagai bahasa Jawadipa (ngoko
lugu).243 Hal senada juga dikatakan oleh Budiono Herusatoto, yang mengatakan bahwa
bahasa Jawadipa adalah bahasa Jawa asli.244
Hal demikian juga diamati oleh Ben Anderson dan John Pemberton bahwa telah terjadi
sebuah konstruksi bahasa di dalam bahasa Jawa sehingga hal ini menyebabkan terjadinya
standarisasi bahasa Jawa melalui logat Jogja-Solo, yang lalu disebut “bahasa Jawa Baku”.
Standarisasi bahasa Jawa Baku ini sudah terjadi sejak masa kerajaan Mataram Islam,
dimana pada masa Mataram Hindhu-Buddha walaupun terjadi adanya tingkatan kasta
namun belum terjadi adanya sebuah konstruksi bahasa dengan tingkatan Krama dan
Ngoko. Ketika kerajaan Mataram Islam meniadakan tingkatan kasta ini justru yang terjadi
adalah munculnya tingkatan bahasa Jawa dalam bentuk Ngoko dan Krama.
240 I. Praptomo Baryadi, “Bahasa, kekuasaan, dan kekerasan”, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2012, hal 28
241 Sugeng Priyadi, Banyumas : antara Jawa dan Sunda, Mimbar, Semarang, 2002, hal 267. 242 A. Tohari, Jejak Tradisi Jawa Kuna Dalam Kebudayaan Jawa Banyumasan, dalam Kongres Kebudayaan Jawa II, Pengarusutamaan Kebudayaan Jawa untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat, Surabaya, 2018.
243 Teguh Trianton, Identitas Wong Banyumas, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2012, hal. 14 244 Budiono Herusatoto, Banyumas : Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak, LKiS, Yogyakarta, 2008, hal 160-161. 118
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dengan adanya kontruksi bahasa yang demikianlah bahasa Jawa Baku lalu menjadi sebuah
bahasa resmi sejak era Mataram Islam hingga saat ini. Sehingga tentunya konstruksi
bahasa Jawa Baku tidak terjadi secara kebetulan akan tetapi tentunya mempunyai latar
belakang dan tujuan tertentu. Dimana keberadaannya tentunya juga sudah melintasi
beberapa jaman yang telah terjadi ratusan tahun, khususnya yang terjadi di tanah Jawa.
Sehingga tentunya juga banyak fakta dan dinamika yang menyekitari perjalanan bahasa
Jawa Baku ini, baik itu yang terungkap dengan jelas, samar-samar bahkan hingga yang
belum terlihat. Sehingga perjalanan dari bahasa Jawa Baku ini juga menjadi menarik
untuk ditelusuri lebih dalam.
D. Konstruksi Bahasa Jawa Baku
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa di dalam dialek atau logat dalam bahasa Jawa
terdapat satu dialek atau logat yang ternyata dikatakan sebagai sebuah bahasa yang standar
yaitu dialek Jogja-Solo. Daerah Jogja dan Solo hingga saat ini memang menjadi daerah
pusat dari Keraton Jawa yang mewarisi tradisi kerajaan Mataram Islam. Namun kerajaan
ini telah terpecah-pecah menjadi empat kerajaan atas pengaruh kolonialisme bangsa barat
(Belanda dan Inggris).
1. Bermula dari kolonialisme
Kerajaan Mataram Islam adalah sebuah dinasti yang muncul setelah keruntuhan
kerajaan Mataram Kuno yang masih bercorak Hindhu-Buddha. Namun saat ini dinasti
Mataram Islam ini sudah terbagi menjadi 4 kerajaan yaitu Kasunanan dan
Mangkunegaran di kota Solo serta Kasultanan dan Pakualaman di kota Jogjakarta.
Secara singkat dinasti Mataram Islam ini terpecah-pecah karena faktor kolonialisme
bangsa barat (Belanda dan Inggris). Perpecahan itu dimulai ketika keraton Kartasura
119
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dipindahkan ke desa Solo yang lalu disebut sebagai keraton Surakarta pada tahun 1745, dimana untuk mengatasi permasalahan ini maka diadakanlah Perjanjian Giyanti, yang diinisiasi oleh VOC pada tanggal 13 Februari 1755 yang lalu menghasilkan sebuah keputusan dengan dibaginya Mataram menjadi dua kerajaan, yaitu: Kasunanan
Surakarta yang dipimpin oleh Paku Buwono dan Kasultanan Ngayogyakarta yang dipimpin oleh Sultan Hamengku Buwono.
Sesudah Perjanjian Giyanti, pada tanggal 17 Maret 1757 juga diadakan Perjanjian
Salatiga. Perjanjian ini latarbelakangi oleh “pemberontakan” yang dilakukan oleh
Raden Mas Said yang juga dikenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Dengan
Perjanjian Salatiga ini maka sebagian wilayah Kasunanan Surakarta harus diserahkan kepada Pangeran Sambernyawa, yang disebut dengan Kadipaten Mangkunegaran yang dipimpin oleh Mangkunegara.
Ternyata perpecahan Mataram tidak hanya terjadi di Surakarta akan tetapi juga terjadi di Jogja. Hal ini terjadi ketika Kerajaan Inggris menggantikan kekuasaan Belanda di
Nusantara. Melalui “Political Contract” pada tanggal 17 Maret 1813 maka lahirlah sebuah perjanjian dengan berdirinya Kadipaten Pakualaman yang dipimpin oleh
Pakualam. Maka dengan demikian kerajaan Mataram pada masa kolonial telah terbagi menjadi 4 kerajaan.
Oleh karena itu sebenarnya perpecahan yang terjadi tersebut menunjukkan bahwa kekuasaan kerajaan-kerajaan Jawa ini sudah tidak ada lagi, hal ini dikarenakan pada dasarnya mereka sudah dikuasai oleh bangsa Barat yaitu Belanda dan Inggris (karena kekuasaan bangsa Belanda lebih lama dibandingkan Inggris, maka bangsa barat yang dimaksud adalah adalah Belanda). Sehingga dari praktek kolonialisme bangsa Barat terhadap kerajaan-kerajaan Jawa ini sebenarnya sedang menunjukkan bahwa kekuasaan
120
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kerajaan-kerajaan Jawa terhadap rakyatnya hanyalah sebagai sebuah simbol saja,
karena pada dasarnya rakyat Jawa telah dikuasai Belanda. Dengan kata lain sebenarnya
kerajaan-kerajaan Jawa ini hanyalah sebagai “tangan panjang” saja dari kekuasaan
kolonialisme bangsa Barat di tanah Jawa. Namun demikian, rakyat Jawa tetap
menganggap bahwa “junjungan” bagi mereka adalah kerajaan-kerajaan Jawa ini,
bukanlah Belanda atau Inggris. Dari pemahaman tentang konsep “kuasa’ yang
demikianlah yang menunjukkan adanya perbedaan tentang konsep kekuasaan antara
dunia Barat dan Jawa.
2. Konsep Kuasa Barat Modern (Kontemporer) dan Jawa
Bagi Belanda tentunya konsep kuasa yang dipakai adalah konsep kuasa Barat (Eropa)
yang modern atau kontemporer. Berbeda dengan konsep kekuasaan Barat kontemporer
yang dapat dilihat melalui teori-teori kekuasaan dari banyak tokoh atau pemikir seperti
Marx dengan teori “Basis dan Suprastruktur”, Gramsci dengan teorti “Hegemoni”,
Bourdieu dengan teori “kekerasan simbolik”, dan lain sebagainya, ternyata konsep
kekuasaan Jawa tidaklah demikian. Hal ini dikarenakan memang belum adanya sebuah
teori khusus atau tokoh-tokoh tertentu yang membicarakan secara spesifik tentang
konsep kekuasaan dari perspektif Jawa. Oleh karena itu ketika Ben Anderson berusaha
mendefinisikan konsep kekuasaan Jawa dirinya hanya bisa merumuskannya dengan
cara membaca teks-teks sastra Jawa kuno terlebih dahulu. Baru setelah itu dirinya
berusaha menggali konsep kekuasaan yang secara tersirat terdapat dalam teks-teks
sastra Jawa kuno tersebut dengan cara “menafsir”kannya kembali serta melihat atau
membandingkan dengan pola kepemimpinan di Indonesia, dimana para pemimpin
tersebut berasal dari suku Jawa yaitu, Presiden Soekarno pada era Orde Lama dan
Presiden Soeharto pada era Orde Baru.
121
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
a. Konsep Kuasa Barat Modern
Bagi bangsa Barat modern konsep kekuasaan dapat diringkas dalam empat poin,
yaitu:245
- Kekuasaan adalah abstrak.
Kekuasaan adalah rumusan untuk pola interaksi sosial tertentu yang teramati
yang menunjukkan hubungan sebab-akibat antara perintah dan pelaksanaannya.
Kekuasaan itu terjadi bukan terutama pada individu saja, akan tetapi terjadi pada
sebuah praktek sosial (interaksi dan hubungan sosial).
- Sumber-sumber kekuasaan adalah heterogen.
Kekuasaan itu ada karena akibat dari atau diturunkan dari sebuah praktik sosial
(perilaku-perilaku dan hubungan sosial tertentu). Dengan demikian kekuasaan
dapat bersumber dari kekayaan, status sosial, jabatan formal, organisasi, senjata,
populasi dan sebagainya. Dengan demikian kekuasaan dapat diperoleh melalui
satu sumber maupun gabungan dari berbagai macam sumber
- Penumpukan kekuasaan tak memiliki batasan inheren.
Karena kekuasan berhubungan dengan praktik sosial dimana sumber kekuasaan
bisa berasal dari berbagai macam sumber, maka kekuasaan pada dasarnya tak
terbatas. Sepanjang individu maupun kelompok dapat menggunakan sumber-
sumber kekuasaaan tersebut maka akumulasi kekuasaan menjadi tidak terbatas
dimana nantinya kekuasaan itu juga terpengaruh oleh perkembangan jaman.
- Kekuasaan secara moral ambigu.
Dikarenakan sumber kekuasaan dapat berasal dari berbagai macam sumber
maka sebuah kekuasaan bisa dipertanyakan dari man asalnya. Sehingga dengan
245 Kuasa kata hal 43-46 122
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
adanya kekuasaan maka hal tersebut dapat memunculkan berbagai macam
pertanyaan.
Secara ringkas, Ben Anderson mendefinisikan konsep Barat kontemporer tentang
kekuasaan adalah “suatu abstraksi yang dideduksikan dari pola-pola interaksi
sosial yang teramati; kekuasaan dipercaya sebagai sesuatu yang diturunkan dari
berbagai macam sumber; kekuasaan sama sekali bukanlah sesuatu yang
membatasi dirinya sendiri; dan secara moral ambigu”.246
b. Konsep Kuasa Jawa
Sedangkan rumusan tentang kekuasaan Jawa dikatakan terdiri dari 4 poin, yaitu:247
- Kekuasaan adalah konkret.
Kekuasaan adalah sesuatu yang nyata dimana keberadaaannya tidak bergantung
pada individu-individu yang menggunakannya. Kekuasaan diwujudkan pada
setiap aspek alam namun terekspresikan dari proses generasi dan regenerasi.
Kekuasaan bukan hanya dimiliki oleh “benda-benda hidup” namun juga dapat
dimiliki oleh “benda-benda tak hidup”.
- Kekuasaan adalah homogen.
Kekuasaan pada dasarnya berasal dari jenis dan sumber yang sama yaitu alam
semesta. Sehingga kekuasaan yang dimiliki oleh setiap individu maupun
kelompok adalah sama.
- Besarnya kekuasaan di dalam semesta adalah konstan.
Asal kekuasaan adalah dari alam semesta, dimana alam semesta ini tidak
berkembang dan menyusut. Sehingga besarnya kekuasaan akan selalu tetap
246 Benedict Anderson, Kuasa Kata : Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia, Mata Bangsa, Yogyakarta, 2000, hal 46 247 Ibid hal 47-49 123
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
karena kekuasaan bukanlah produk dari kekayaan, organisasi, persenjataan dan
lain sebagainya yang pendistribusiannya dapat melalui cara yang beragam.
- Kekuasaan tidaklah mempertanyakan keabsahan.
Karena kekuasaan berasal dari sumber yang sama maka kekuasaan itu sudah
tidak lagi memunculkan pertanyaan lanjutan karena pada dasar dasarnya
kekuasaan itu ada.
Secara ringkasnya, Ben Anderson melihat bahwa orang Jawa memandang
kekuasaan sebagai “sesuatu yang nyata, homogen, jumlah keseluruhannya tetap,
dan tanpa implikasi moral yang inheren”.248
3. Konstruksi bahasa Jawa Baku sebagai “pemersatu” konsep kuasa Barat modern
dan Jawa.
Terlepas dari perbedaan-perbedaan yang ada antara konsep kekuasaan Barat dan Jawa
ternyata di antara keduanya dapat dipertemuan dalam sebuah persamaan. Salah
satunya persamaan itu adalah adanya kuasa melalui relasi bahasa. Sebagaimana sudah
dijelaskan dalam konsep Barat bahwa hegemoni bukan hanya terjadi pada sisi relasi
ekonomi akan tetapi juga terjadi pada sisi relasi bahasa. Dalam konteks Jawa pun
terjadi hal yang demikian, dimana Ben Anderson melihat bahwa feodalisme semu
masyarakat Jawa kolonial ternyata berpengaruh terhadap penggunaan bahasa Jawa
yaitu munculnya tataran ngoko-krama.249 Adapun fungsi dari penggunaan bahasa
ngoko-krama ini, menurut Moedjanto terdapat 4, yaitu : sebagai norma pergaulan
masyarakat, tata sopan santun, menyatakan sikap hormat dan keakraban, dan sebagai
pengatur jarak sosial.250 Dari keempat fungsi ini Moedjanto melihat bahwa
248 Ibid hal 49 249 Ben Anderson (Kuasa kata) hal 436 - 444 250 G. Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa (Penerapannya oleh Raja-raja Mataram), Kanisius, 2002, hal 44-46. 124
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
penggunaan bahasa ngoko-krama lebih dipengaruhi oleh faktor sebagai pengatur jarak
sosial dan faktor lainnya sebagai faktor pendukung saja. Hal ini dikarenakan sampai
tahun 1500 tataran ngoko-krama ini belum ada, dan baru pada tahun 1600 barulah
nampak terlihat jelas adanya tataran ngoko-krama yang sering disebut sebagai
“unggah-ungguhing basa”.251
Pendapat tersebut didasarkan atas sejumlah kutipan dari tulisan-tulisan yang terdapat
pada karya sastra Jawa dan prasasti-prasasti yang sudah diketemukan. Sebelum tahun
1400 dimana tahapan karya sastra Jawa digolongkan pada tahapan karya sastra Jawa
Kuna, belum diketemukannya tataran ngoko-krama (Moedjanto melihat kutipan dari
Adiparwa yang menggambarkan percakapan antara Cakuntala dan Ducwanta, serta
kutipan dari Uttarakanda yang menggambarkan percakapan antara Prabu Sahasrabahu
dengan begawan Pulastya).252
Demikian juga dengan kutipan dari karya sastra Jawa yang lebih muda yaitu
Pararaton, dimana Poerbatjaraka menilai tulisan ini berasal dari karya sastra Jawa
Pertengahan yang dimana peristiwa terakhir yang termuat dalam naskah ini
diperkirakan ditulis pada tahun 1481, juga belum diketemukannya adanya tataran
ngoko-kromo, namun demikian memang telah nampak adanya unsur-unsur baru yang
sepertinya menjadi perintis munculnya penggunaan tataran ngoko-krama (antara lain
dilihat dari percakapan antara Tunggul Ametung dengan Lohgawe; percakapan antara
Ken Angrok dengan Lohgawe; percakapan antara Dandanggendis dengan para
brahmana pujangga; percakapan anatara Ken Dedes dengan Anusapati; dan
percakapan antara Raden Wijaya dengan Gajah Pawon).253
251 Ibid hal 55 252 Ibid hal 46-47 253 Ibid hal 47-49 125
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Senada dengan hal itu, Drewes yang melihat kutipan dari kitab bernada islami yang
berisi Piwulang Seh Bari yang kemungkinan di tulis oleh Sunan Bonang dan
percakapan antara para wali yang tertulis dalam teks kropak Ferara yang semuanya
diperkirakan berasal dari abad XVI, juga belum diketemukan adanya tataran ngoko-
krama akan tetapi sudah terlihat benih-benih munculnya unggah-ungguhing basa.254
Selain dalam karya sastra Jawa juga diketemukan prasasti-prasasti berbahasa Jawa
yang bisa menjadi acuan tentang perkembangan penggunaan bahasa Jawa. Melihat
prasasti dari era kerajaan Majapahit (seringkali disebut sebagai era Mataram
Hindhu/pra-Islam), yaitu prasasti Dukuh dan Jiyu, belum diketemukan tataran ngoko-
krama. Namun jika melihat prasasti lain yang diperkirakan dibuat di era Mataram
Islam khususnya pada era kepemimpinan Sultan Agung, Brandes melihat bahwa dua
prasasti yang diperkirakan dibuat tahun 1632 dan 1680 sudah mulai terlihat ada tataran
bahasa ngoko-krama.255 Namun bahasa krama yang muncul justru adalah apa yang
sekarang disebut sebagai “krama inggil”,256 karena dalam prasasti tersebut Sultan
Agung menggunakan kata-kata untuk mempermuliakan dirinya sendiri sebagai
seorang raja penguasa tanah Jawa.
Pada era Sultan Agung kasta sosial memang dihapus, namun tetap terdapat dua strata
baku yaitu “sentana dalem” (bangsawan atau keluarga keraton) dan “kawula dalem”
(rakyat biasa), dan sebenarnya masih ada satu strata tambahan yaitu “abdi dalem”
(priyayi atau pegawai keraton) yang berfungsi sebagai penghubung atau perantara
antara keraton dengan rakyat biasa.257 Dari penggolongan masyarakat yang seperti
inilah yang sebenarnya menjadi latarbelakang Sultan Agung menerapkan penggunaan
254 Ibid hal 50-52 255 Ibid hal 52-55 256 Urutan tataran bahasa krama dari bawah ke atas adalah krama andhap, madya dan inggil. 257 Ibid hal 60 126
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bahasa ngoko-krama sebagai pengatur jarak sosial. Hal ini dilakukan oleh Sultan
Agung sebagai salah satu cara mempertahankan konsep “keagungbintaraan” dirinya
sebagai seorang raja Jawa. Pada dasarnya bahasa ngoko-krama adalah bahasa yang
digunakan pertama-tama adalah dengan memperhatikan hubungan kekeluargaan.
Sebagai contoh adalah ketika Juru Martani berbahasa ngoko kepada para penguasa
Mataram yang dalam hubungan kekeluargaan mereka adalah kemenakan/keponakan
dari Juru Martani. Namun sejak era Sultan Agung tak seorangpun berbicara ngoko
kepada raja sekalipun orang tersebut dalam hubungan keluarga usianya lebih tua
bahkan orang tua dari raja itu sendiri harus berbahasa krama kepada seorang raja yang
sebenarnya adalah anaknya sendiri.258
Dengan adanya tataran bahasa ngoko-krama inilah yang akhirnya di dalam relasi
berbahasa terbentuk adanya sebuah tingkatan bahasa dimana seorang raja menempati
hierarki yang paling tinggi. Di dalam lingkup keluarga keraton sendiri semuanya harus
berbicara krama kepada raja, sedangkan seorang raja cukup membalasnya dengan
berbicara ngoko saja. Selanjutnya bagi golongan abdi dalem juga harus berbahasa
krama ketika berbicara dengan keluaga keraton. Dan rakyat biasa harus berbahasa
krama kepada para abdi dalem atau priyayi. Bahkan praktek berbahasa yang demikian
juga berlaku untuk para wali yang berbicara kepada raja harus menggunakan bahasa
krama dan raja cukup membalasnya juga hanya dengan bahasa ngoko saja.259
Selain digunakan dalam komunikasi lisan ternyata Sultan Agung juga
mengembangkan bahasa ngoko-krama dalam penulisan sastra babad.260 Tahun 1626
dia memerintahkan para pujangga untuk menulis “Babad Tanah Jawi”. Dan setelah
kegagalannya menyerang Batavia pada tahun 1628 dan 1629, dia memerintahkan
258 Ibid hal 61-62 259 Ibid hal 96 260 Ibid hal 59-61 127
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ulang penulisan babad tersebut pada tahun 1633. Tentunya penulisan ulang ini juga
dikonstruksi sedemikian rupa demi terciptanya kewibawaan seorang raja di mata
rakyatnya.
Dari apa yang dilakukan oleh Sultan Agung melalui pengembangan bahasa ngoko-
krama ini sebenarnya penuh dengan aroma politis. Demikian juga dengan penulisan
sastra babad yang menggunakan bahasa ngoko-krama ini sebenarnya digunakan untuk
mengembangkan sebuah unsur baru dalam kebudayaan Jawa yaitu adanya relasi kuasa
bahasa. Sehingga dengan demikian maka pengembangan bahasa ngoko-krama ini
sebenarnya sedang digunakan oleh Sultan Agung untuk meraih kejayaan politik dan
budaya.261
Hal tersebut juga diperkuat dengan adanya fakta bahwa keturunan yang sebenarnya
dari dinasti Mataram Islam adalah dari golongan petani, dimana jika dirunut secara
silsilah mereka adalah keturunan dari Ki Ageng Sela yang adalah pemuka pedukuhan
atau desa Sela yang dikenal sebagai seorang petani yang bekerja di sawah dengan
rajin, bahkan ketika hujanpun ia tetap bekerja.262 Sehingga dapat dikatakan bahwa trah
Mataram Islam sebenarnya berasal dari golongan rakyat biasa. Dan jika mengacu pada
kasta sosial pada jaman Matram Hindhu maka trah Mataram Islam sebenarnya berasal
dari kasta Waisya yaitu golongan sosial yang berada di bawah kasta Brahmana dan
Ksatria. Sehingga penghapusan kasta sosial ini menjadi logis karena jika pembagian
kasta itu masih ada maka apapun yang terjadi trah Mataram Islam akan tetap dianggap
sebagai golongan masyarakat kasta ketiga setalah Brahmana dan Ksatria dan hanya
berada satu tingkat diatas kasta Sudra.
261 ibid hal 59 262 Ibid hal 19 128
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Oleh karena itu dengan penghapusan sistem kasta sosial tersebut maka kedudukan trah
Mataram berhasil mengubah status sosialnya dari kelas yang diperintah menjadi kelas
yang memerintah, dimana dari hal tersebut Moedjanto mengatakan bahwa dinasti
Mataram diibaratkan sebagai “jarak yang menjadi jati”.263 Sehingga dengan adanya
pengembangan bahasa ngoko-krama inilah yang sebenarnya menciptakan sebuah
model kasta yang baru yaitu melalui “kasta bahasa” dimana siapapun yang berhadapan
dan berbicara dengan raja maka wajib menggunakan krama.
Dengan apa yang dilakukan oleh Sultan Agung dimana dirinya memanfaatkan
pengembangan bahasa ngoko-krama ini sebagai sarana untuk menjaga kekuasaannya,
hal yang demikian juga nantinya dilakukan oleh Belanda kepada raja-raja Mataram
yang berikutnya. Hal ini dimulai ketika Amangkurat II meminta bantuan Belanda
untuk kembali merebut keraton Plered dari tangan Pangeran Puger. Sejak peristiwa
itu maka setiap raja Mataram yang naik tahta sebenarnya banyak bergantung pada
bantuan Belanda melalui VOC.264 Dan ketika VOC semakin mencengkeram raja
Mataram maka pada akhirnya raja Mataram memberikan tanda dari ketaklukannya
tersebut dengan menyebut Gubernur Jenderal Belanda dengan sebutan “eyang”,
sebuah sebutan krama untuk “embah” (kakek atau nenek). Hal tersebut mulai terjadi
sejak kepemimpinan Paku Buwana III, dimana dirinya adalah raja Jawa pertama yang
dilantik oleh Belanda (VOC) pada tahun 1749.265 Bahkan Paku Buwana III disebut
sebagai “raja Jawa banci” yang pertama.266
Selain Paku Buwana III yang begitu menghormati Belanda dengan menggunakan
cerminan bahasa Jawa krama, ternyata hal tersebut juga dilakukan oleh raja Jawa yang
263 Ibid hal 23-24 264 Ibid hal 39 265 Ibid hal 63 266 John Pemberton, “Jawa” : On the Subject of “Java”, Mata Bangsa, Yogyakarta, 2003, hal 78. 129
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
lain yaitu Mangkunegaran IV yang menyebut Residen Surakarta dengan sebutan
“Yang Mulia”.267 Sebagai seorang sastrawan yang menulis Serat Wedhatama, bahasa
yang digunakan oleh mangkunegaran IV ketika berhadapan dengan pihak Belanda
ternyata sangatlah menunjukkan rasa “hormat”nya kepada Belanda. Berbeda dengan
Sultan Agung yang tidak pernah memakai bahasa krama kepada siapapun, termasuk
dengan orangtuanya dan juga kepada para Wali, ternyata raja-raja Jawa berikutnya
telah benar-benar takluk terhadap Belanda sehingga mau “membungkukan diri” di
hadapan Belanda seperti para priyayi dan rakyat biasa yang harus membungkukan diri
di hadapan rajanya. Dan pembungkukan diri para raja Jawa ini terlihat jelas di dalam
praktek berbahasa mereka ketika berhadapan dengan pihak Belanda.
Bahasa Jawa model seperti inilah yang akhirnya membuat Belanda menjadi tertarik
untuk terjun di dalam pengembangan bahasa Jawa yang nantinya mereka sebut
sebagai “Javanologi”.268 Javanologi ini mulai berkembang dari program-program
pendidikan bahasa Jawa bagi para pejabat administrasi Belanda, proyek-proyek
penerjemahan Alkitab dan kompilasi untuk kamus dan lain-lainnya. Perkembangan
bahasa Jawa inilah yang lalu menyebabkan bahasa ngoko-krama menjadi sebuah
bahasa “yang benar” yang secara resmi digunakan di wilayah kerajaan-kerajaan Jawa
yang sudah terbagi menjadi: Kasunanan, Mangkunegaran, Kasultanan dan
Pakualaman. Sehingga bahasa ngoko-krama ini juga digunakan di daerah-daerah yang
jauh dari pusat “negara” yaitu di daerah pesisir utara Jawa, mancanegara kulon
(berbatasan dengan kerajaan Sunda), dan mancanegara wetan (hingga ujung Jawa
Timur).
267 Ibid hal 107 268 Ibid hal 142 130
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dari hal tersebut nampak jelas bahwa faktor kuasa sangat berpengaruh pada
perkembangan bahasa Jawa, khususnya bahasa ngoko-krama. Bahasa ini
menunjukkan bagaimana rakyat hormat kepada raja, dan raja hormat kepada Belanda.
Sehingga dari hal ini ternyata pihak Belanda-lah yang diuntungkan, Belanda berada
pada puncak hierarki bahasa ngoko-krama. Demikian juga dengan raja-raja Jawa yang
sudah benar-benar ditaklukan oleh Belanda sebenarnya juga mendapatkan keuntungan
dari bahasa ngoko-krama ini, yaitu kedudukan mereka sebagai raja tetap dihormati
oleh rakyat mereka dengan praktek berbahasa yang demikian itu. Sehingga dapat
dikatakan bahwa bahasa ngoko-krama menjadi sebuah sarana bagi para penguasa
untuk berkuasa, Belanda berkuasa terhadap para raja dan rakyat Jawa sedangkan para
raja Jawa juga tetap dapat memiliki kekuasaan mereka terhadap rakyatnya.
4. Pertentangan terhadap bahasa Jawa Baku (ngoko-krama).
Dengan kemunculan “bahasa Jawa Baku” sebagai sebuah bahasa resmi di wilayah
kekuasaan Keraton menyebabkan bahasa Jawa yang telah ada sebelum adanya proyek
“kramanisasi” ini yaitu bahasa Jawa Kuno (ngoko) akhirnya hanya dianggap sebagai
bahasa kelas dua. Dengan adanya tataran bahasa ngoko-krama ini, Baryadi Praptomo
mengatakan bahwa hal seperti itu menunjukkan adanya sebuah “diskriminasi lingual”
atau diskriminasi bahasa.269 Dengan adanya diskriminasi bahasa inilah yang lalu
menunjukkan ada pihak yang memerintah dan diperintah dalam praktek berbahasa
sehingga di dalamnya terjadi sebuah relasi kuasa bahasa.
Hal inilah yang pada permulaan abad ke-20 mulai digugat oleh sebuah kelompok yang
diprakarsai oleh Tjokro Soedarmo (pemimpin Sarekat Islam di Surabaya) yaitu
“Djawa Dipa” (berdiri 1918), yang menolak penggunaan bahasa krama dan lebih
269 I. Praptomo Baryadi; Bahasa, Kekuasaan dan kekerasan; Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2012, Hal 29 131
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
memilih berbahasa ngoko kepada semua orang tidak terkecuali pada orang-orang
Belanda, karena menurut mereka bahasa asli orang Jawa adalah bahasa ngoko.270 Hal
ini akhirnnya mendapat dukungan dari pimpinan Sarekat Islam, Tjokro Aminoto, yang
menyatakan bahwa kelompok ini adalah alat penting untuk memperbaiki “mental
budak” orang Jawa dan mempersiapkan mereka menuju pada sebuah pemerintahan
yang lepas dari penjajahan dan menuju pada sebuah kemajuan.271
Penentangan terhadap keberadaan bahasa krama juga ditunjukkan oleh para pengikut
gerakan Samin yang bermukim di pegunungan Kendeng Utara (daerah Blora dan
sekitarnya), yang menolak memakai bahasa krama dan tetap memilih menggunakan
bahasa ngoko kepada sesama orang Jawa.272 Mereka adalah petani-petani kecil yang
bermukim di pedesaan, sehingga dengan status mereka yang “rendah” maka apa yang
mereka lakukan lalu menimbulkan amarah pada para diri kaum priyayi Jawa karena
dengan apa yang dilakukan oleh para pengikut gerakan samin ini telah melecehkan
keberadaan mereka sebagai priyayi yang kedudukan sosialnya berada di atas golongan
petani. Bahkan para priyayi ini seringkali melakukan kekerasan fisik pada orang-
orang Samin ini, yang juga dibantu oleh pihak Belanda, dalam berbagai macam
kesempatan serta menggunakan berbagai macam alasan.
Apa yang dirasakan oleh orang-orang Samin juga dirasakan oleh orang-orang yang
bermukim di daerah Banyumasan. Orang-orang di daerah Banyumasan sendiri
sebenarnya mempunyai bahasa percakapan sehari-hari yang khas dan tidak mengenal
tataran bahasa ngoko-krama. Bahkan jika dilihat dari perkembangan bahasa Jawa,
270 Ben Anderson, kuasa kata, hal 456-458 271 Takashi Shiraishi, Zaman bergerak : Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Pustaka Utama Grafiti, Yogyakarta, 1997, hal 143 272 Ben Anderson, Kuasa kata, hal 454-455. 132
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bahasa ini masih sangat dekat dengan bahasa Jawa Kuno.273 Sehingga dengan adanya
bahasa Jawa Baku juga menyebabkan bahasa Banyumasan dianggap sebagai bahasa
kelas dua. Bahkan karena hal tersebutlah yang akhirnya menyebabkan bahasa
Banyumasan hanya dikatakan sebagai sebuah dialek atau logat saja.274 Logat atau
dialek inilah yang lalu sering disebut sebagai dialek atau logat “ngapak-ngapak”.
Menyikapi penilaian tentang bahasa Banyumasan yang hanya disebut sebagai sebuah
dialek atau logat saja maka seorang akademisi yaitu Prof. Sugeng Priyadi mengatakan
bahwa bahasa Banyumasan sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Esser pada
tahun 1927-1929 tergolong sebagai bahasa yang umurnya lebih tua dari bahasa Jawa
Baku.275 Hal senada juga dikatakan oleh Budiono Herusatoto yang mengatakan bahwa
bahasa Banyumasan atau “Ngapak-ngapak” jika dilihat dari sejarah perkembangan
kebahasaan Jawa, sebenarnya adalah “bahasa Jawa Asli”.276
Pernyataan tersebut diperkuat oleh pendapat seorang budayawan Banyumasan,
Ahmad Tohari, yang mengatakan bahwa bahasa Banyumas adalah sebuah “bahasa”
dan bukan hanya sekedar logat atau “dialek” saja.277 Oleh karena itu untuk melawan
serta menepis anggapan banyak kalangan tentang bahasa Banyumasan yang dianggap
hanya sebagai sebuah logat atau dialek saja maka Ahmad Tohari di dalam Kongres
Bahasa Banyumasan yang diadakan pada tahun 2016, memperjuangkan tentang status
273 Budiono Herusatoto, Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa dan Watak, LKiS, Yogyakarta, 2008, hal 121-134 274 Koentjaraningrat, Kebudayaan jawa, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1984, Hal 23. 275 Prof. Dr. Sugeng Priyadi, Menuju Keemasan Banyumas, Pustaka Pelajar, Jakarta,2015, hal 272. 276 Budiono Herusatoto, Banyumas (Sejarah, Budaya, Bahasa dan Watak), LKiS, Yogyakarta, 2008, Hal 142. Sejarah perkembangan kebahasaan Jawa: 1. Bahasa lisan Jawa Asli (Jawadwipa – Ngoko lugu), yang sekarang lebih populer disebut bahasa Jawa dialek Banyumasan. 2. Bahasa Jawa Kawi (Krama lugu). 3. Bahasa krama dialek gandhekan. 4. Bahasa Jawa Krama Inggil. 277 Pengantar pada Kamus Banyumas – Indonesia dengan judul “Prelune nguri-uri basa Penginyongan” 133
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kebahasaan bahasa Banyumas sebagai sebuah bahasa dengan menghasilkan sebuah
poin keputusan, bahwa sebutan bahasa Banyumasan diganti istilahnya dengan sebutan
bahasa “Penginyongan”.278 Hal ini dikarenakan kata “Banyumas” identik dengan
daerah eks-Karesidenan Banyumas yang terdiri dari 4 Kabupaten yaitu Banyumas
(ibukotanya berada di Purwokerto), Banjarnegara, Purbalingga dan Cilacap. Padahal
bahasa sehari-hari di Kabupaten Kebumen (masuk eks-Karesidenan Kedu) juga
menggunakan bahasa Banyumasan.279 Oleh karena itu penggunaan bahasa
“Penginyongan” lalu identik dengan daerah yang disebut sebagai Masbarlingcakeb
(Kab. Banyumas, Banjarnegara, Purbalingga, Cilacap dan Kebumen).
E. Hegemoni Bahasa Jawa “Baku” Terhadap Bahasa Penginyongan.
1. Dari teks hingga audio-visual (karya-karya Ahmad Tohari)
Dengan munculnya istilah bahasa “Penginyongan” sebenarnya hanya untuk
menegaskan bahwa dialek ngapak-ngapak atau Banyumasan adalah sebuah bahasa,
sama seperti dengan bahasa Jawa “Baku”. Namun harus diakui dalam hal ini memang
penyebutan kata “Banyumasan” saat ini masih lebih populer dibandingkan dengan
“Penginyongan”. Akan tetapi ketika menyebut bahasa “Penginyongan” berarti sedang
menyebut bahasa “Banyumasan, demikian juga sebaliknya. Sehingga langkah-langkah
yang dilakukan Ahmad Tohari hingga sampai pada puncaknya bahasa Banyumasan
diakui sebagai sebuah bahasa dengan sebutan bahasa “Penginyongan”, maka karya-
karya yang sudah dilakukan oleh Ahmad Tohari dengan sebutan Banyumasan juga
merujuk pada sebutan Penginyongan.
278 Ahmad Tohari, Jejak Tradisi Jawa Kuna Dalam Kebudayaan Jawa Banyumasan (dalam buku “Kongres Kebudayaan Jawa II”, 2018, hal 139-144) 279 Budiono Herusatoto hal 163. 134
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Karya-karya Ahmad Tohari dalam bahasa Penginyongan yang masih menyebut kata
Banyumasan karena diterbitkan sebelum tahun 2016 (tahun pengesahan bahasa
Penginyongan), antara lain : Kamus Banyumas – Indonesia , Alquran terjemahan
bahasa Banyumasan,280 dan novel Ronggeng Dukuh Paruk versi bahasa Banyumasan.
Karya-karya inilah yang memang harus diakui karena nama besar dari Ahmad Tohari
sebagai seorang sastrawan yang sudah diakui di dunia internasional menjadikan bahasa
Banyumasan mempunyai nilai tawar lebih ketika disebut sebagai bahasa
Penginyongan. Terlebih ketika novel “Ronggeng Dukuh Paruk” (RDP) difilmkan ke
layar lebar dengan judul “Sang Penari”.
Dari film “Sang Penari” inilah yang lalu membuat bahasa Banyumasan/Penginyongan
semakin memiliki kriteria yang komplit sebagai sebuah bahasa, sebagaimana jika
dilihat dari sisi perkembangan bahasa yang diutarakan oleh Walter Ong, yaitu :281
- Kelisanan primer, fase oral (pra literer).
- Tulisan, fase gambar dan aksara.
- Cetakan
- Elektronik, fase audio dan audio-visual (kelisanan sekunder)
Dari 4 fase tersebut daiatas bisa dikatakan bahwa fase1 dan 2 terjadi di masa tradisional,
sedangkan fase 3 dan 4 terjadi di masa modern. Apa yang dilakukan oleh Ahmad Tohari
melalui karya-karyanya terjadi pada fase cetakan dan dilanjutkan dengan film “Sang
Penari” yang diambil dari novel RDP berada pada fase elektronik. Jika pada era raja-
raja Jawa perkembangan bahasa Jawa dapat diteliti melalui karya-karya sastra, maka
pada fase elektronik ini tentunya sebuah film juga dapat menjadi sebuah referensi untuk
melihat perkembangan suatu bahasa. Oleh karena itu pada saat ini akan dilihat
280 Ahmad Tohari berperan sebagai salah satu penterjemah. 281 Walter Ong, Kelisanan dan Keberaksaraan, Gading, Yogyakarta, 2013, hal 1-3. 135
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bagaimana munculnya hegemoni bahasa di dalam proses perkembangan bahasa
“Penginyongan” melalui kacamata novel RDP baik dalam versi basa Banyumasan
maupun Indonesia, serta dalam film “Sang Penari” melalui percakapan-percakapan
yang di dalamnya masih terpengaruh bahasa Jawa Baku.
a. Novel “Ronggeng Dukuh Paruk” (Versi bahasa Banyumasan)
Novel RDP karya Ahmad Tohari, seorang budayawan Banyumasan, pertama kali
diterbitkan pada tahun 1982 dalam versi bahasa Indonesia yang terdiri atas tiga
buku (Trilogi) yaitu, “Catatan Buat Emak”, “Lintang Kemukus Dini Hari”, dan
“Jantera Bianglala”. Novel ini banyak bercerita tentang situasi dan kondisi dukuh
Paruk di tahun 60an, namun demikian di dalam novel ini juga diceritakan juga masa
sebelum dan sedah tahun 60an yaitu pada tahun 40an, 50an, dan 70an. Dan novel
ini telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa asing (seperti bahasa Inggris,
Belanda, Jerman, Jepang dan Mandarin/China) dan juga telah menerima banyak
penghargaan baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Setelah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa asing, si penulis novel ini akhirnya
menerjemahkannya ke dalam bahasa ibu-nya sendiri yaitu bahasa Banyumasan,
yang pada Kongres bahasa Banyumasan tahun 2016 disebut sebagai bahasa
“Penginyongan”. Alasan Ahmad Tohari sendiri ketika memutuskan untuk
menerjemahkan novel RDP ke dalam bahasa Banyumasan/Penginyongan adalah
karena “bahasa dan sastra Banyumasan memang harus dijaga agar tidak
terpinggirkan, minimal oleh masyarakat penuturnya”.282 Apa yang dilakukan oleh
Ahmad Tohari tersebut sepertinya dilakukan sama dengan apa yang dilakukan oleh
282 Imam Suhardi, Budaya Banyumasan Tak Sekedar Dialek (Representasi Budaya Banyumas Dalam prosa Karya Ahmad Tohari, dalam WACANA ETNIK, Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, Volume 4, Nomor 1, April 2013, FIB Universitas Andalas. 136
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
para pengarang Sunda yang tampaknya ketakutan terhadap bahasa mereka yang
bukannya berbahaya (dangerous), akan tetapi justru dalam bahaya (in danger),
dimana bahaya yang dimaksud adalah bahaya pengabaian, bahaya karena menjadi
tidak relevan, bahaya karena didesak oleh bahasa Indonesia, bahkan malah mungkin
oleh bahasa Jawa.283 Oleh karena itu di dalam “atur bukakan penerbit” pada novel
RDP versi bahasa Banyumasan disebutkan bahwa melalui novel ini diharapkan
bahasa Banyumasan bisa lestari dan dapat untuk menunjukkan adanya bahasa tulis
dari bahasa Banyumasan yang diakui oleh banyak pihak, dimana denga hal tersebut
maka diharapkan bahasa Banyumasan dapat bisa “jejeg, madeg lan mandhiri”.284
Demikian juga dengan Bupati Banyumas saat itu (tahun 2014), Ahmad Husein,
yang mengatakan bahwa novel ini ketika diterjemahkan ke dalam bahasa
Banyumasan dapat dibaca oleh orang-orang Banyumasan menjadi “lewih tandhes
maning” (lebih mengakar lagi).285 Hal ini disebabkan dengan dibahasakan secara
Banyumasan maka karakter-karakter tokoh yang ditampilkan menjadi terlihat nyata
menunjukkan ciri khas dan suasana orang-orang Banyumasan. Dalam hal berbahasa
terlihat sekali bahwa komunikasi di dukuh Paruk yang menggunakan bahasa
Banyumasan dapat memperlihatkan suasana yang sangat egaliter karena semua
orang dukuh Paruk baik tua, muda, anak-anak, laki-laki, perempuan semuanya
berbicara dalam bahasa Banyumasan yang tidak menunjukkan adanya tataran
bahasa seperti bahasa Jawa Baku yang mengenal adanya bahasa ngoko-krama.
Namun demikian jika orang-orang dukuh Paruk bertemu dengan orang-orang yang
tidak berasal dari dukuh Paruk mereka kadangkala, dengan orang-orang tertentu,
akan berbicara dengan bahasa yang lebih halus (krama). Sehingga dengan adanya
283 Ben Anderson, Kuasa Kata, hal 491 284 Kata Pembuka oleh Penerbit pada novel RDP versi Banyumasan 285 Komentar di sampul belakang novel RDP versi Banyumasan 137
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
hal tersebut maka bisa kita melihat seberapa besar pengaruh bahasa Jawa “baku” terhadap bahasa Banyumasan, paling tidak, di era 60an. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengaruh bahasa Jawa Baku sebenarnya juga terasa di dalam percakapan- percakapan di novel ini.
- Percakapan antara Kertaredja dan Dower. (hal 69)
Karo ngusap raine sing kemringet, Dower molahi rembugan.
“Kula dhateng malih, Yang. Senajan sing kula bekta sanes ringgit mas, kula
nyuwun Eyang purun nampi.”
“lho, udu ringgit mas?” Takone Kertaredja
“sanes, Yang.”
“apa? Ringgit timbel?”.
“Mesa wadon sing ageng. Kewan niku regine paling mboten sami kalih
regine ringgit mas”.
Sebutan Eyang dan Mesa menunjukkan bahasa krama. Eyang dalam bahasa
Banyumasan disebut “nini (nenek)/kaki (kakek)”, sedangkan Mesa adalah
adalah bahasa krama dari kerbau atau dalam bahasa Jawa disebut Kebo. Dower
menggunakan bahasa krama karena usia dia lebih muda daripada Kertareja, dan
Kertareja adalah seorang “dukun” ronggeng yang secara “spiritual” harus
dihormati.
- Percakapan antara Rasus dengan Sersan Slamet. (hal 95)
Wektu kuwe ora nana bocah Dhukuh Paruk sing ora gemeter angger
deceluk neng tentara. Inyong dhewek meh baen mbalik mlayu umpamane
138
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Sersan Slamet ora ngawe-awe maning. Malah inyong njuran weruh eseme
sing semanak, dadine inyong ora sida wedi.
“sapa arane ko?”. Takone Sersan Slamet. Sumeh, mbapani.
“Rasus, pak?”.
“Angger ora lagi ana penggawean, tulung inyong derewangi ya”.
“Kula saweg mboten onten pedamelan.” Saure inyong, esih mandan
glagepan.
“dadi ko gelem ngrewangi inyong?”
Inyong manthuk.
“ya, ayuh demolahi. Gotongi pethi-pethi kuwe, terus degawa maring
umah kae, mengko ana upahe.”
Kalimat “kula saweg mboten onten pedamelan” menunjukkan bahasa krama,
yang dalam bahasa Banyumasan dapat diartikan “inyong agi ora pegawean”.
Kalimat dalam bahasa krama ini diucapkan Rasus karena seorang tentara
mempunyai derajat yang lebih tinggi daripada dirinya yang hanya rakyat sipil
biasa. Akan tetapi tentara tersebut cukup memanggil Rasus dengan sebutan
“ko” yang khas banyumasan, yang dalam bahasa Jawa ngoko artinya “kowe”.
- Percakapan antara Marsusi dan nini Kartareja. (hal 126-127)
“sampeyan miki ngomong, Srinthil ana neng umah. Njur neng endi siki?”
Takone Marsusi karo ndelah gebyas jenewer, carane mandan kasar.
Nini Kartareja ngumpetna bingunge nganggo esem sing mranani.
“Estu, Pak. Mangkiniki Srinthil sanjang ajeng adus kriyin. Duh, bocah
kiye, maring endi?”.
139
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kalimat jawaban Nini Kartareja kepada Pak Marsusi menggunakan bahasa
krama, “Estu, Pak. Mangkiniki Srinthil sanjang ajeng adus kriyin”. Jika
diartikan dalam bahasa Banyumasan menjadi “bener, Pak. Mau kiye Srinthil
ngomong arep adus dhisit”. Nini Kertareja berbahasa krama karena Pak Marsusi
adalah seorang “pejabat” yaitu kepala perkebunan Wanakeling. Kata “adus”
yang ditujukan pada diri Srinthil juga menunjukkan bahwa kedudukan Srinthil
lebih rendah dari Pak Marsusi.
- Percakapan antara Dilam dan Kaki Tarim. (hal 187)
Neng senthong jero, Dilam njagong sila adhep-adhepan karo Kaki
Tarim. Sepisan kiye raine Tarim keton ora nganggo lamisan. Saben
omongane dhayohe derungokna temenan nganti bathuke pating kerut,
alise dadi meh thuk.
“Sepisan maning, jajal dipikir dhisit, Nak. Kiye prekara nyawa.
Karo maning inyong mengko arep mbodhokna kabeh resikone
maring mpeyan”. Omonge Tarim kambi mencereng maring
matane Dilam.
“Kula mpun mantep, Ki. Kula sagah nanggel sedaya
resikone.”
“Resiko neng ndunya karo resiko neng alam kelanggengan?”.
“Nggih, Ki.”
“mpeyan mbok wis ngreti, prekara sing kaya kiye dadine ala
nggo anak-putune mpeyan?”.
Kalimat jawaban Dilam kepada Kaki Tiram menggunakan bahasa krama, “Kula
mpun mantep, Ki. Kula sagah nanggel sedaya resikone”. Dalam bahasa
140
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Banyumasan dapat diterjemahkan dengan, “inyong wis mantep, Ki. Inyong
gelem nanggung resikone kabehan”. Dilam berbahasa krama karena status dia
sebagai “pasien” dari Kaki Tiram yang adalah seorang dukun yang status dalam
hal ini lebih tinggi darinya. Selain itu Kaki Tiram juga cukup berbicara ngoko
kepada Dilam karena Dilam hanyalah seseorang yang tidak mempunyai
“jabatan”, dia hanya seorang petani. Berbeda terhadap Marsusi, Kaki Tiram
menggunakan bahasa krama.
- Percakapan antara Marsusi dengan kaki Tarim. (hal 191)
Sewise dhehem kopang-kaping, Marsusi crita apa sing kelakon neng
Dhukuh Paruk antarane setengah wulana bekana. Carane ngomong aso,
kayong ora deimbuhi rasa gela. Kiye dadi kawigatine sing duwe umah.
Kaki Tarim wis biasa krungu wong wadul, ngangluh, sing debumboni
nganggo rasa gela utawa gething. Ning Marsusi ora kaya kuwe. Njuran
ijig-ijig Kaki Tarim mesem. Esem kuwe merekna Marsusi mandheg goli
ngomong.
“Srinthil, nggih Mas?”
“Nggih, Ki.”
“Ya”.
“Mpeyan ngertos Srinthil, Ki?”
“Leres. Kiyambeke niku ronggeng sing saged damel tiyang
kraos gregetan, mbok? Kula mpun nante nonton ibinge. Nggih,
pancen. Ning njuran kiyambeke mirang-mirangaken preyayi
sing wujude gagah kaya mpeyan niki?”.
141
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kedua-duanya, Marsusi dan Kaki Tiram, menggunakan bahasa krama. Bahasa
krama yang dipakai adalah krama madya. Hal ini dapat dilihat dengan
munculnya kata “mpeyan” sebagai lafal dari Sampeyan. Kata “Sampeyan”,
kedudukannya lebih tinggi dari kata “Ko” atau “Kowe” akan tetapi lebih rendah
dari “Panjenengan”. Semakin panjang kata, berarti menunjukan semakin tinggi
rasa hormat yang diberikan kepada lawan bicaranya. Marsusi walaupun sama-
sama sebagai seorang “pasien” seperti Dilam, namun Marsusi adalah seseorang
yang mempunyai “jabatan” yaitu kepala perkebunan Wanakeling. Sehingga
sebagai “pasien” Marsusi tetap arus menggunakan bahasa krama kepada Kaki
Tiram, dan Kaki Tiram yang sudah mengetahui bahwa Marsusi adalah “pejabat”
maka diapun berbahasa krama juga kepada Marsusi.
- Percakapan antara ibu Camat dan ibu Wedana. (hal 203)
“O, dados niku sing namine ronggeng Dhukuh Paruk?”.
Krisikane Nini Camat maring wong wadon sing neng jejere, Nini
Wedana.
“Ya, pancen kuwe”. Jawabe Nini Wedana, entheng.
“Kula nembe semerep sing genah seniki.”
“Kepriwe? Ayu? Kenes?”
Kalimat-kalimat yang diucapkan bu Camat kepada bu Wedana menggunakan
bahasa krama karena status bu Camat lebih rendah dari bu Wedana. Pada masa
itu di bawah Kabupaten terdapat wilayah administratif yang disebut
Kawedanan. Kawedanan adalah wilayah yang membawahi beberapa
kecamatan. Dan pemimpin Kawedanan disebut sebagai Wedana. Sehingga
status istri Wedana lebih tinggu dari istri Camat. Oleh karena itu bu Camat
142
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ketika harus berbicara kepada bu Wedana harus menggunakan bahasa krama,
sedangkan bu Wedana cukup berbahasa ngoko kepada bu Camat.
- Percakapan antara Srinthil dan Komandan Polisi. (hal 266)
Srinthil : “Kula sami dhateng ngriki prelu ajeng tangled, Pak,” ujare
Srinthil, atine dekendel-kendelna. “Wau ndalu kathah
tiyang saking dhusun sanes ajeng ngrungkup griyane
tiyang-tiyang Dhukuh Paruk. Mesthine tiyang niku gadhah
niyat awon. Mila kula ajeng nedha pengayoman. Sebab
kula sami mboten rumaos damel lepat napa-napa. Ning
angger kula sami ajeng dewastani lepat, nggih tulung
desebat napa lepate.”
......
Kumendhan Pulisi : “Prekara wong-wong sing padha ngrungkup Dhukuh Paruk
arep tek tliti. Ning kejaba kuwe ana prekara wigati sing
arep tak omongna maring mpeyan wong loro. Wigatine
kaya kiye : Sedulur Kartareja karo sedulur Srinthil kepelu
wong-wong sing kudu tek cekel. Kiye prentahe atasan.
Inyong mung sadrema nglakoni prentah.”
Dari percakapan antara Srinthil dengan Komandan Polisi juga memperlihatkan
bagaimana Srinthil merasa statusnya lebih rendah daripada dengan “abdi
negara” ini, sehingga Srinthil berbicara dengan bahasa krama. Sedangkan
komandan Polisi tersebut cukup membalas dengan berbicara dalam bahasa
ngoko kepada Srinthil.
143
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
- Percakapan antara Rasus (Tentara) dan Komandan Pleton. (hal 277)
“Dadi ko esih ngeyel kepengen prei?”
“Nggih, Pak. Kula teksih gadhah nini sing empun sepuh sanget,
gesang kiyambekan teng Dhukuh Paruk. Kawontene kaya niki, Pak.
Mila kula kepengin tuwi.”
“Omonge inyong wis cukup. Jajal de-enggo polone ko! Anggota peleton
kurange wis akeh. Ana sing mati, ana sing de-pecat. Siki ko arep lunga?
Mbok ko esih pengin dadi tentara?”
Kemendhan nggebrag kemeja nganggo tangane sing preguwa. Ning
rasus migleg-migleg.
“Menawi mboten angsal idin, kula purun depecat, Pak.”
“Bajingan!”.
Walaupun diantara keduanya sama-sama sebagai seorang tentara, akan tetapi
pangkat Rasus lebih rendah. Sehingga dengan demikian Rasus harus berbicara
dalam bahasa krama kepada komandannya. Sedangkan komandannya yang
pangkatnya lebih tinggi dari Rasus cukup berbicara dengan bahasa ngoko
kepada Rasus. Hal ini menunjukkan walaupun mereka sama-sama tentara
namun di dalam dinas militer ada jenjang kepangkatan, sehingga sebagai wujud
hormat kepada yang pangkatnya lebih tinggi maka dalam novel RDP
ditunjukkan dengan pembicaraan yang menggunakan bahasa ngoko-krama.
- Percakapan antara Sakum dan Rasus (tentara). (hal 284)
“E, kuwe apa Rasus? Ko apa esih kemutan maring inyong? Inyong
Sakum.”
144
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
“Sakum! Aja nyebut ‘ko’ maring Rasus. Siki wis ora kena nyebut ‘ko’
maring Rasus.” Nini Kartareja ngomehi Sakum.
“O, ya ngapurane, Rasus; eh, Pak Tentara. Mpeyan mbok wis mbojo?
Ayu endi bojone mpeyan karo Srinthil?”
Sakum dengan Rasus yang terjadi ketika Rasus sudah menajdi seorang tentara
dengan ketika dirinya belum menjadi tentara juga ternyata berbeda. Ketika
Rasus belum menjadi tentara, Sakum ketika memanggil Rasus cukup dengan
kata “ko”. Namun ketika Rasus sudah menajdi seorang tentara, Sakum yang
masih memanggil Rasus dengan sebutan “ko” mendapat teguran dari Nini
Kartareja untuk tidak memanggil Rasus dengan kata “ko” lagi. Oleh karena itu
Sakum lalu memanggil Rasus dengan kata “mpeyan” yang masuk dalam
kategori kata dalam bahasa krama-madya. Sebenarnya ketika Sakum
menggunakan bahasa ngoko kepada Rasus sebenarnya hal tersebut bukanlah
sebuah perkara yang salah ketika melihat Sakum yang usianya lebih tua
daripada Rasus. Akan tetapi Nini Kertareja ketika menegur bahkan memarahi
Sakum melihatnya bukan dalam status tua dan muda akan tetapi melihat status
Rasus yang tentara dan Sakum hanya rakyat sipil biasa. Sehinga dengan
penggunaan bahasa krama inilah yang menunjukkan bagaimana profesi Rasus
sebagai tentara membuat status dirinya menjadi lebih tinggi dari Sakum, bahkan
bukan hanya dengan Sakum saja akan tetapi juga dengan seluruh orang-orang
yang ada di dukuh Paruk, termasuk dengan Nini Kertareja.
- Percakapan antara Rasus (tentara) dan Kapten Mortir. (hal 296)
“Kula Prajurit Dua Rasus. Kula nyadhong ukum napa mawon
sebab kula dora ngaken-aken nate dados rayate kemendhan.
145
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kula nggih nyadhong paukuman sebab kula dhateng mriki ajeng
tui salah setunggil tiyang tahanan.”
......
“Njagong.”
“Siap.”
Sekali lagi dalam percakapan ini diperlihatkan bagaimana kepangkatan sangat
mempengaruhi seorang anggota militer ketika berbicara dengan anggota lainnya
yang pangkatnya lebih tinggi. Disini terlihat Rasus yang pangkatnya hanya
Prajurit Dua (Tamtama) ketika berbicara kepada seorang Kapten (Perwira)
maka Rasus pun harus menggunakan bahasa krama, sedangkan si Kapten cukup
berbicara dengan bahasa ngoko saja kepada Rasus.
- Percakapan antara Rasus(tentara) & seorang ibu di kamp tahanan.
(hal 300)
“Napa Ibu saweg nengga?”
“Nggih, Pak. Eh, mboten. Mboten.”
“Lajeng?”
“Pancen kula dhateng ngriki sebab kepengin kepanggih kalih anak kula,
nggih bapane lare-lare niki. Ning kula mpun angsal kabar, anak kula
mpun depindhah teng semarang. Repote lare-lare niki mboten purun
wangsul angger dereng kepanggih bapane. Dadose kula njagong
mawon teng ngriki ngantos lare-lare niki atine sami kelipur.”
Dalam percakapan ini juga melibatkan antara kalangan sipil dan militer, akan
tetapi dalam percakapan ini mereka berdua memakai bahasa krama-madya. 146
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Rasus yang sebagai tentara menyapa terlebih dahulu si ibu ruang tunggu kamp
tahanan dengan bahasa krama. Hal ini dilakukan Rasus karena usia ibu ini
tentunya lebih tua dari Rasus karena status ibu ini adalah nenek dari anak-anak
yang sedang menangis. Ditengah-tengah percakapan ini Rasus menempatkan
diri sebagai seorang anak muda dihadapan seorang nenek. Namun ibu ini
menjawab pertanyaan Rasus juga dengan bahasa krama. Jika dilihat dari sudut
pandang Rasus yang menempatkan diri sebagai seorang anak muda maka
sebenarnya ibu ini sebagai orang yang lebih tua cukup membalasnya dengan
bahasa ngoko saja, akan tetapi ibu ini membalas dengan krama karena dia
menempatkan diri sebagai kalangan sipil yang berbicara kepada seorang tentara
ditengah-tengah kamp tentara. Sehingga dengan menempatkan diri masing-
masing demikian maka yang terjadi adalah percakapan dengan bahasa krama.
- Percakapan antara Bajus dan Srinthil. (hal 362)
“Kiye udu anake ko, mbok?”
“Leres, Pak.” Saure Srinthil karo ndhengkul.
“Inyong wis ngreti maring ko. Jajal ndhengal. Ayuh padha omong-
omongan sing kepenak.”
“Nggih, Pak.”
“Kaya kiye, Srin. Miki Pak Lurah ngomong kaya kae. Ana benere, asala
ko ora duwe penyana sing ora-ora. Inyong pancen kepengin wawuh karo
ko. Aja kewatir, inyong urung duwe bojo. Mbok ko gelem batiran karo
inyong?”
“Kepripun, nggih Pak,...?”
“Kepriwe?”
“Dados bapake...” 147
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
“Inyong ora usah prelu desebut ‘pak’. Mas ya kena. Ko ya ora usah basa
maring Inyong.”
......
Percakapan antara Srinthil dan Bajus dapat diibaratkan percakapan antara
orang kota dan desa. Orang kota adalah seorang “priyayi” sedangkan orang desa
hanya “kawula alit”. Srinthil menyadari hal tersebut sehingga dalam percakapan
dia lalu menggunakan krama walaupun Bajus sendiri tidak menginginkan hal
tersebut. Dari percakapan ini terlihat bahwa orang kota dipandang oleh orang
desa mempunyai derajat yang lebih tinggi, sehingga orang desa merasa harus
“basa” kepada mereka.
- Percakapan antara Bajus dan Pak Blengur. (hal 418)
“Deneng tiyang-tiyang ketingale sami wangsul, Pak?” Takone Bajus
bareng weruh akeh monilmetu sekang latar hotel. “Mpun mboten
wonten acara malih napa?”
“Ora nana. Bupatine ora karep ana pesta . Jan kebeneran. Inyong ya
ora kepengin pesta-pestanan. Sebab Inyong temenan wis kepengin
ngaso.”
“Kula saged matur sekedhik wonten ngriki, Pak?”
“Ko arep ngomong apa?”
“Biasa, Pak. Teng sinten malih kula nyuwun pedamelan menawi mboten
teng Bapake?”
“E, Iya. Ning, Jus, sepisan kiye kayong ora maen. Rapat miki mutusna
inyong mung keduman borongan sing regane mung satus juta. Gawe
148
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kantor penelitian karo umahe para pegawene. Detambah gawe brug pitu
neng gili sing keliwatan saluran irigasi.”
“Mboten liwat tender, Pak?”
“Ko aja cokan keminter!! Tendere ya miki sisan neng rapat. Tendere
nganggo cara peseduluran. Cara gotong-royong. Ngerti?”.
“Ngapunten, Pak. Menawi bapake teksih ngandel, borongan niku ngge
kula mawon.”
“Ko pancen cokan kaya kuwe!”
“Sebab, Bapake mboten pantes nyepeng borongan alit. Sing kaya niku
pas-pase ngge kula.”
“Ya wis nganah degarap. Ning bathen resmi sing sepuluh presen debagi
loro nggo inyong karo ko. Terus ko kudu bisa ngatur supayane preyayi
dhaerah kene melu keduman. Ning kepriwe carane ngonoh supayane ko
tetep olih untung. Aja kelalen, preyayi dhaerah kuwe penting tumrape
tukang borong kaya dhewek kiye.”
......
Dari percakapan ini terlihat sekali siapa yang mempunyai “kuasa” diantara keduanya. Bajus adalah kontraktor “kelas teri” sedangkan Pak Blengur adalah kontraktor “kelas kakap” yang mempunyai koneksi dengan pusat. Oleh karena itu ketika Bajus ketika berhadapan dengan Pak Blengur maka Bajus akan menunjukkan rasa hormatnya kepada Pak Blengur dengan berbicara menggunakan bahasa krama, sedangkan pak Blengur cukup dengan bahasa ngoko.
149
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dari percakapan-percakapan di dalam novel RDP versi Banyumasan ini bisa dilihat
bagaimana tingktan bahasa yang ada di dalamnya. Walaupun mencamtumkan
“versi Banyumasan” namun percakapan yang ada di dalamnya tidak 100%
menggunakan bahasa Banyumasan akan tetapi juga banyak dipengaruhi bahasa
ngoko-krama. Bahasa Banyumasan di novel RDP ini ditempatkan sebagai versi
ngoko-nya. Sehingga dari novel RDP versi bahasa Banyumasan ini terlihat bahwa
bahasa Banyumasan ketika ditempatkan dalam bahasa Jawa Baku berada pada
tataran ngoko. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa tataran bahasa Banyumasan
masih dibawah bahasa krama yang menunjukkan bahwa kedudukan bahasa Jawa
Baku berada lebih tinggi dari bahasa Banyumasan. Sehingga dari hal ini terlihat
bagaimana hegemoni bahasa Jawa Baku terhadap bahasa Bnayumasan. Oleh
karena itu dengan mengacu cerita novel RDP ini yang berlatar belakang tahun 60an
maka bisa dikatakan bahwa hegemoni bahasa terhadap bahasa
Banyumasan/Penginyongan ini sebenarnya sudah berlangsung jauh sebelum tahun
1960an. b. Novel RDP versi bahasa Indonesia.
Membaca novel RDP versi bahasa Indonesia memang tidak akan terlihat secara
jelas jika terdapat sebuah hegemoni bahasa. Hal ini dikarenakan karena sebagian
besar percakapan menggunakan bahasa Indonesia yang tidak mengenal tingkatan
bahasa seperti bahasa Jawa Baku, akan tetapi terdapat sebagian kecil percakapan
yang menyelipkan kata-kata dalam bahasa Jawa.
- Kata “Priyayi” dan “Kawula”
Contoh pertama :
“Kamu telah mengecewakan seorang priyayi; suatu hal yang tidak
layak dilakukan oleh orang dusun seperti kita ini. Oalah, cucuku kamu 150
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tidak menyadari dirimu sebagai seorang kawula”. (Versi Indonesia hal
162)
“Ko wis gawe keciwa maring utusane Pak Camat. Sing kaya kuwe jane
ora patut tumrape wong desa kaya dhewek padha. Oalah putu, ko ora
rumangsa awake inyong padha mung nglakoni dadi kewula”.
(Versi Banyumasan hal 176)
Contoh kedua :
Ketika gerimis mereda, bulan muncul di langit dalam kalangan
bianglala. Indah, sangat indah. Tetapi orang Dukuh Paruk selalu
mengartikannya lain. Itulah datangnya masa susah bagi kaula alit.
(Versi Indonesia hal 254)
Bareng grimise leren, wulane keton neng langit kinalangan daning
kuwung, Semanger temenan. Ning wong dekalang neng kuwung, kuwe
tandha tekane mangsa susah sing bakal temiba maring wong-wong
cilik. (Versi Banyumasan hal 281)
Kata Priyayi dan Kawula adalah dua kata yang saling bertolak belakang. Priyayi
adalah golongan elite, sedangkan Kawula adalah golongan biasa. Priyayi adalah
simbol kuasa, sedangkan Kawula adalah simbo menderita. Priyayi berbahasa
halus, sedangkan Kawula berbahasa kasar
- Kata “Jenganten” dan “Sampean”
Nyai Kartareja segera memperbaiki hubungannya dengan Srintil,
pertama-tama dengan berusaha mengaku bersalah dalam peristiwa
Marsusi beberapa minggu berselang. Perubahan sikapnya terhadap
Srintil sangat nyata. Dia tidak ber-kamu lagi terhadap ronggeng Dukuh
Paruk yang telah sekian lama menjadi anak akuannya. Nyai Kartareja
151
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kini memamnggil Srintil dengan sebutan jengaten atau setidaknya
sampean; suatu pertanda bahwa kedewasaan, tepatnya kemandirian
Srintil telah diakuinya. (Versi Indonesia hal 179)
Nini Kertareja gagiyan ngapiki maning maring Srinthil. Dheweke gelem
ngaku salah maring Srinthil prekarane karo Marsusi, sing wis kelakon
pirang minggu kepungkur. Goli ngapiki Srinthil ketara pisan. Siki Nini
Kertareja ora nyeluk “ko” maning maring Srinthil sing wis lawas dadi
anak-akone. Siki Nini Kertareja nyebut “jenganten” utawane paling
ora “mpeyan”. Kiye mertandhakna Nini Kertareja ngakoni Srinthil wis
dadi wong sing pancen ana regane. (Versi Banyumasan hal 195)
Kata “Kamu” dalam bahasa Indonesia seharusnya menjadi kata yang biasa
untuk menunjuk kata ganti orang. Namun dalam novel RDP karena pengaruh
bahasa Jawa Baku kata “Kamu” menjadi berarti “kowe”, dalam bahasa Jawa,
atau “ko” dalam bahasa Penginyonga. Oleh sebab itulah maka di versi Indonesia
kata “ber-kamu” menjadi tabu dan diganti “sampean”, sedangkan dalam bahasa
Pengiyongan diganti dengan “mpean”. Dimana kata itu tingkatannya lebih
tinggi dari kata kamu, kowe atau ko. Dan sebutan “Jenganten” semakin
mempertegas tingkatan tersebut.
- Kata “Wong bagus”, “nrimo pandum” dan “pepesthen”.
“Bukan begitu, wong bagus. Kamu hanya tidak nrimo pandum. Sejak
kanak-kanak kamu sudah dipertemukan dengan jodohmu. Dukuh Paruk
sudah memberikan pertanda Srintil adalah jodohmu. Dan kamu tidak
menyukai pepesthen ini?”. (Versi Indonesia hal 349)
“Ora kaya kuwe, wong bagus. Ning ko jane ora gelem nrima maring
pandum. Kawit bocah jane ko wis detemokna karo jodhomu. Dhukuh
152
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Paruk wis akeh tenger, jodhone ko kuwe Srinthil. Ning ko ora nrima
pesthen kuwe.” (Versi Banyumasan hal 387)
Ketiga kata itu mempunyai makna yang tinggi sehingga Sakum yang sudah
memberi rasa hormat kepada Rasus menggunakan kata-kata itu juga sebagai
tanda bahwa Rasus adalah sosok yang berwibawa.
- Peribahasa
Nurani sejarah bisa juga menampakkan diri sebagai falsafah orang-
orang bersahaja yang suka berkata, “Aja dumeh maring wong sing lagi
kanggonan luput”, Jangan bersikap sia-sia terhadap mereka yang
sedang terjebak dalam kesalahan. (Versi Indonesia hal 295)
Ati sucine sejarang malah bisa mujud dadi paribasa sing cokan
deomongna neng wong ndesa : “Aja padha ambek-siya maring wong
sing lagi ketiban luput”. (Versi Banyumasan hal 295)
Disini kembali terlihat latar belakang budaya Jawa yang kuat terlukis dimana
sebuah peribahasa itu tetap ditulis dalam bahasa Jawa disertai terjemahan,
sedangkan dalam bahasa Penginyongan hanya diganti kata-kata yang lebih
familier di telinga orang Banyumasan. c. Film “Sang Penari”
Dalam film “Sang Penari” bahasa yang dipakai didominasi oleh bahasa
Banyumasan dan Indonesia. Sehingga untuk melihat adanya hegemoni bahasa Jawa
Baku terhadap bahasa Banyumasan tentunya juga harus melihat adegan yang
mengunakan bahasa Jawa Baku terutama krama. Dalam hal ini dapat dilihat dari
beberapa adegan, walau sedikit, antara lain :
153
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
- Adegan tapol diinterogasi oleh tentara
Dalam adegan ini terlihat seseorang sedang diinterogasi oleh tentara yang
kemungkinan adalah salah satu orang yang berasal dari dukuh Paruk, namun
yang jelas orang tersebut adalah seorang tahanan politik. Dalam adegan tersebut
diperlihatkan seorang laki-laki yang diinterogasi ini duduk jongkok dengan
kedua tangan memegangi kepala di depan seorang tentara yang berdiri. Laki-
laki itu mengucapkan kata-kata :
“Kula niki ngertine serikat tani, wong cuma ikut ngantri jatah bibit”
Dari kalimat tersebut terdapat kata bahasa krama yaitu “kula niki” yang dalam
bahasa Banyumasan bisa diucapkan dengan kata “inyong kuwe”.
- Adegan Sakarya diinterogasi oleh tentara
Dalam adegan ini Sakarya (kakek Srinthil) duduk dilantai dengan wajah lebam-
lebam disebuah ruangan dimana suasana ruangan yang carut marut dan disitu
terdapat seorang tentara yang berdiri di depan Sakarya. Dalam adegan ini
terlihat wajah ketakutan dari Sakarya yang mengatakan :
“boten ngertos, ora bisa maca.”
Kata “boten ngertos” adalah bahasa krama yang jika diucapkan dalam bahasa
Banyumasan berbunyi “ora ngerti”.
- Adegan Srinthil meminta uang ngamen
Adegan ini terjadi di pasar Dawuan pada tahun 1975 (10 tahun setelah peristiwa
penangkapan orang-orang dukuh paruk yang dianggap terlibat Partai Komunis)
dengan setting adanya pembangunan jalan yang melintasi pasar Dawuan. Di
pasar yang sudah sepi itu terlihat Srinthil sedang menari dengan diiringi tabuhan
154
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
gendang dari Sakum. Namun dalam adegan ini digambarkan Srinthil dengan
dandanan yang “norak” dan tidak terlihat seperti Srinthil yang cantik sebelum
peristiwa 65. Ketika sedang menari datanglah Rasus dengan menaiki mobil
sedan (type toyota corolla yang sedang ngetren di saat itu) dan turun di pasar
Dawuan untuk mendatangi Srinthil. Melihat hal itu Srinthil lalu terburu-buru
ingin menyudahi ngamennya dan lalu meminta orang-orang yang “menanggap”
dirinya dengan kata-kata :
“nyuwun sakrilanipun kang.”
Kata-kata “nyuwun sakrilanipun” juga menunjukkan bahasa krama yang jika
diucapkan dalam bahasa Banyumasan berbunyi “njaluk serelane”.
Melihat tiga adegan yang di dalamnya terselip bahasa krama bisa terlihat adanya
bahasa sebuah relasi kuasa bahasa di dalamnya. Dari 3 adegan ini sebenarnya sedang
memperlihatkan bagaimana hegemoni bahasa Jawa Baku sudah merasuki bahasa
Banyumasan. Orang yang statusnya sedang berada dalam kekuasaan pihak lain, atau
seseorang yang statusnya lebih rendah dari pihak lain, akhirnya mau tidak mau harus
menggunakan bahasa krama sebagai wujud rasa hormatnya. Dari ketiga adegan ini
juga ditampilkan ketika orang-orang dukuh Paruk ini dalam kondisi sudah tidak
berdaya dan sudah tidak mempunyai pilihan lain. Sehingga dari ketiga adegan ini
dapat disimpulkan bahwa penggunaan bahasa krama dalam film “Sang Penari” ini
memang untuk memperlihatkan adanya sebuah relasi kuasa yang menunjukkan
adanya hegemoni bahasa Jawa Baku terhadap bahasa Banyumasan.
2. Penerjemahan Alkitab bahasa “Penginyongan”
Melihat karya-karya dalam bahasa Penginyongan yang ternyata di dalamnya masih
terdapat unsur-unsur hegemoni bahasa Jawa Baku, maka sebenarnya dapat dikatakan
bahwa untuk meruntuhkan sebuah hegemoni memang diperlukan proses yang tidak
155
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mudah. Penerjemahan atau pembuatan literatur atau karya-karya lainnya dalam bahasa
Penginyongan mungkin akan lebih mudah daripada penerimaan terhadap karya-karya
tersebut. Maksud dari hal ini adalah bagaimana masalah penerimaan dan perlakuan
dari khalayak umum terhadap karya-karya tersebut tidaklah semudah mengerjakannya.
Hal ini sekali lagi bisa terjadi karena hegemoni yang sudah terlanjur berlangsung dan
bertahan begitu lama.
Ditengah-tengah terjadinya hegemoni bahasa Jawa Baku terhadap bahasa
Penginyongan, ternyata muncul penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Banyumasan.
Jika dilihat dari perspektif kekristenan sebenarnya penerjemhan Alkitab ke dalam
bahasa lokal adalah hal yang sangat wajar. Namun ternyata dalam kasus penerjemahan
Alkitab bahasa Banyumasan terdapat dinamika yang menyertainya yang didominasi
oleh sikap “penolakan”. Penolakan ini terjadi terutama di gereja yang dalam sejarah
panjangnya telah menggunakan bahasa Jawa Baku sebagai bahasa resmi gerejawi,
yaitu gereja GKJ. Oleh karena itu sebelum masuk ke dalam sisi “penolakan” tersebut
mari kita melihat terlebih dahulu awal mula munculnya penerjemahan Alkitab ke
dalam bahasa Banyumasan ini.
a. Sejarah singkat berdirinya Paseban.286
Sejarah Paseban secara tidak langsung bermula pada tahun 2006 ketika itu Ibu
Nitya Travis selaku Direktur Kartidaya menghubungi ibu Christiana Justicawati
lewat telepon tentang adanya traning pelatihan penerjemahan Alkitab bahasa suku,
karena Ibu Nitya juga orang Banyumas dan menganggap orang Banyumas
memerlukan Alkitab dalam bahasa ibu mereka. Pada saat itu juga ibu Cristiana
menghubungi Bapak Pujiono ketua STT Diakonos dan menawarkan tentang
286 Data kantor PASEBAN di Purwokerto 156
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pelatihan ini. Lalu pada bulan Mei 2006 berangkat tiga orang untuk mengikuti pelatihan ini, yaitu bapak Pujiono, bapak Prihadi Kristiyan, dan bapak Edi Indianto.
Pada bulan Agustus 2006 diutus juga tiga orang dari Banyumas mereka adalah bapak Paulus Yudono, bapak Harun, dan ibu Dwi Astuti untuk mengikuti pelatihan penerjemahan Alkitab di Kartidaya. Setelah mereka kembali dari pelatihan mereka bergabung, dan menerjemahkan kitab Yunus dalam bahasa dialek Banyumas.
Pada waktu itu juga ada seorang gadis asli suku Banyumas bernama Iwen, dia begitu sedih sebab ayahnya mengatakan bahwa ia sebetulnya tidak mengerti
Alkitab yang ada di hadapannya. Sekalipun ayahnya bisa berbahasa Indonesia cukup lancar namun tetap saja terasa sulit memahami Firman Tuhan dalam bahasa
Indonesia. Iwen gadis cekatan dan cerdas ini bertekad untuk menterjemahkan
Alkitab ke dalam bahasa sukunya yaitu bahasa dialek Banyumasan. Kitab pertama yang ia terjemahkan adalah Injil Lukas, setiap ada waktu luang di tempat kerjanya, di sebuah toko roti di Purwokerto, ia gunakan untuk menterjemahkan ayat demi ayat.
Suatu hari ibu Christiana pemilik toko tersebut secara tidak sengaja mengetahui kegiatan Sdri. Iwen. Dan ibu Christiana menceritakan kepada iwen bahwa sudah ada beberapa orang yang menerjemahkan Alkitab dalam bahasa Banyumas dan ibu
Christiana menunjukan lembaran kitab Yunus yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dialek Banyumas. Iwen sangat senang sekali bahwa bapaknya akan memiliki alkitab dalam bahasa yang dia mengerti, karena belum ada Alkitab bahasa
Jawa dialek Banyumas maka ibu Christiana memberikan Alkitab bahasa Jawa kepada bapaknya.
Setelah beberapa waktu Ibu Christiana, ibu Nitya dan beberapa teman-temannya mengunjungi rumah Iwen, mereka bertemu dengan kakeknya Iwen dan
157
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
memberikan Kitab Yunus berbahasa Banyumas tetapi kakeknya Iwen belum pernah mendengar cerita tentang Nabi Yunus, dia hanya tahu cerita Nabi Nuh karena kakenya iwen tidak bisa membaca dan baru menjadi seorang Kristen, hal inilah yang menguatkan perlunya penerjemahan alkitab dalam bahasa Jawa dialek
Banyumas
Pada akhir tahun 2006, para anggota tim penerjemah dan beberapa orang bertemu dan berdiskusi dan mereka mempunyai gagasan akan membentuk suatu paguyuban yang bernama PAGERDAMAS (Paguyuban Greget Budaya Banyumas). Pada akhir tahun 2007 sebagian tim penerjemahan alkitab mengundurkan diri dengan berbagai alasan dan masuklah anggota baru bernama Latita Phanta dan dikirim untuk mengikuti pelatihan penerjemahan Alkitab. Pada tahun 2008 terjadi kesepakatan para anggota untuk mengganti nama paguyuban dan saudara Latita
Phanta mengusulkan nama PAGERDAMAS menjadi PASEBAN (Paguyuban
Senthir Budhaya Banyumasan dan kata Paseban juga berarti tempat untuk menghadap raja). dengan struktur Organisasi sebagai berikut:
Ketua : Sukarmo, M.Th
Wakil : Pujiono, M.Pd.K
Sekertaris : Kris
Inge Susanti
Bandahara : Cristiana Justicawati, S.Pd
Bpk. Simon
Staf administrasi : Budiadi Nehemia, S.Pd
Tim Penerjemah : Latita Phanta
Paulus Yudhono
158
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Pada pertengahan tahun 2009, Ibu Christiana menghubungi Pak Sonny Putra untuk menjadi kordinator pelayanan Paseban karena beliau terbeban dengan pelayan di
Banyumas, dan semua pelayanan Paseban dikoordinir oleh Pak Sonny Putra. Pada akhir tahun 2010 saudara Elia sutriyanto diajak oleh Bapak Sonny Putra untuk mengikuti pelatihan penerjemahan Alkitab dan bergabung dengan Paseban menggantikan saudara Latita Phanta karena dia melanjutkan studi sekolah Alkitab di SAAT Malang.
Pada bulan Mei 2012, Lembaga Kartidaya mengutus Bapak Danny sebagai fasilitator untuk membantu pelayanan Penerjemahan Alkitab di Banyumas, setelah beberapa bulan tepatnya tanggal 21 Juni 2012 secara tiba-tiba bapak Sonny putra meninggal dunia dikarenakan sakit dan Paseban mengalami perubahan struktur organisasi sampai hari ini
Struktur Organisasi Tahun 2012
Ketua : Sukarmo, M.Th
Sekertaris : Pujiono, M.Pd.K
Bendahara : Christiana Justicawati, S.Pd
Inge Susanti
Anggota : Sinung Sandra, S.Pd.K
Fasilitator : Danny Song
Tim Penerjemah : Paulus Yodono
Elia Sutriyanto, S.Pd.k
Sudarmanto, S.Pd.K
Struktur Organisasi tahun 2013 hingga sekarang
Ketua : Sukarmo, M.Th
Sekertaris : Pujiono, M.Pd.K
159
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Bendahara : Christiana Justicawati, S.Pd
Inge Susanti
Anggota : Sinung Sandra, S.Pd.K
Fasilitator
Tim Penerjemah : Paulus Yodono
Elia Sutriyanto, S.Pd.K
Sudarmanto, S.Pd.K
Tim One Sotry
Fasilitator : Chong nam park, S.Pd
Pembuat cerita : Paulus Yudono
Elia Sutriyanto, S.Pd.K
Sudarmanto, S.Pd.K
Julianti Justina, S.Pd.K
Pencerita : Lis Marta Ningsih
Eka Supriana, S.Pd.K
b. Bermula dari adanya sebuah “kebutuhan” (Cerita tentang Rasiwen).287
Bermula dari seseorang bernama Rasiwen yang biasa di panggil dengan sebutan
“Iwen”. Iwen adalah seorang perempuan muda asli Kabupaten Banjanegara. Desa
asal Iwen berada di perbatasan antara Kab. Banjarnegara dan Banyumas. Iwen
adalah seorang jemaat GKJ di Kab. Banjernegara. Sebagaimana orang dari daerah
pinggiran setelah dirasa cukup dewasa lalu mencari pekerjaan di kota. Sekitar
tahun 2003 menujulah Iwen ke kota Purwokerto, kota terbesar dan teramai di
287 Hasil wawancara dengan Rasiwen pada tanggal 6 Maret 2020. 160
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
daerah eks Karisedenan Banyumas. Disanalah dia bekerja di sebuah toko roti yang berada di pusat kota Purwokerto.
Selain bekerja dia menyempatkan diri untuk bersekolah di program Kejar Paket C.
Dan di sela-sela dia bekerja dia menyempatkan diri menerjemahkan bagian Alkitab yaitu Injil Lukas. Hal ini dilakukan karena orangtuanya yang asli “Banyumasan” merasa bingung ketika harus membaca Alkitab dalam bahasa Jawa dan Indonesia.
Dari hal inilah yang mendorong dirinya menterjemahkan Injil Lukas, secara otodidak, ke dalam bahasa Banyumasan menggunakan Alkitab bahasa Indonesia sebagai dasar terjemahannya. Dia menerjemahkan dari bahasa Indonesia karena dia sendiri juga bingung ketika harus membaca Alkitab bahasa Jawa.
Ketika sudah berhasil menterjemahkan sedikit bagian dari Injil Lukas (kira-kira baru dua pasal), terjemahannya tersebut diberikan kepada orang tuanya. Dan ternyata orangtuanya lebih bisa memahami Alkitab ketika dibaca dengan bahasa
Banyumasan. Dari peristiwa inilah yang lalu membuat dirinya semakin termotivasi untuk melakukan terjemahan-terjemahan sederhana tentang cerita-cerita yang ada di dalam Alkitab. Hal ini terus dilakukan hampir setiap hari di sela-sela ketika dirinya sedang bekerja menjaga toko.
Apa yang dilakukan oleh Iwen ini ternyata diperhatikan oleh si pemilik toko yang seorang Tionghoa Kristen. Lalu dia bertanya kepada Iwen apa yang sedang dikerjakan. Setelah tahu apa yang dikerjakan oleh Iwen, dirinya lalu membaca apa yang telah dilakukan oleh Iwen. Kejadian itu terjadi sekitar tahun 2009.
Dan ternyata usaha terjemahan yang dilakukan secara otodidak itu bisa dimengerti oleh dirinya. Dirinya walaupun keturunan Tionghoa, akan tetapi dirinya lahir di
Purwokerto dan mengalami masa dari kanak-kanak hingga dirinya saat ini sudah mempunyai anak cucu di kota Purwokerto. Keberadaannya di Purwokerto tentunya
161
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mempengaruhi cara berbahasanya, walaupun dirinya adalah seorang keturunan
Tionghoa akan tetapi dia adalah Tionghoa “ngapak” yang juga berbahasa ngapak-
ngapak atau Banyumasan.
Kira-kira pada tahun 2010-an, datanglah seorang penerjemah Alkitab bahasa
Penginyongan dari PASEBAN, yaitu mas Latita, seorang pemuda jemaat GKJ
Purwokerto, menemui Iwen. Dia mengetahui dari pemilik toko roti tempat Iwen
bekerja jika dirinya sedang menterjemahkan Alkitab dalam bahasa Penginyongan.
Dan ternyata si pemilik toko, adalah salah satu pendiri PASEBAN yang juga
menjadi pengurus organisasi tersebut. Singkat cerita mas Latita ingin membaca
hasil terjemahan Iwen. Bahkan akhirnya Iwen menyerahkan terjemahan itu kepada
mas Latita.
Dari terjemahan awal yang dilakukan oleh Iwen inilah yang akhirnya membuat tim
penerjemah melanjutkan penerjemahan itu dan selesai diterjemahkan pada tahun
2015. Namun Iwen sendiri tidak mengetahui jikalau hasil terjemahan Injil Lukas
yang dilakukan secara otodidaknya pada tahun 2015 telah diselesaikan, karena
pada tahun 2013 dirinya melanjutkan studinya di salah satu Universitas di kota
Palembang. Dan sepulang dari Palembang setelah menyelesaikan studinya dia
kembali ke kampung halaman sekitar tahun 2018. Dan sejak saat itu Iwen
mengabdikan diri di SD Kristen Banyumas sebagai guru Agama Kristen.Ketika
wawancara ini dilakukan Iwen tidak menyangka jika terjemahan yang dia lakukan
secara otodidak ternyata menjadi awal mula dilakukannya proses penterjemahan
Alkitab ke dalam bahasa Penginyongan. c. Dilakukan oleh orang-orang “awam”
Sebagaimana telah disebutkan di sejarah Paseban bahwa terdapat orang-orang asli
Banyumasan yang dikirim pelatihan di Yayasan Kartidaya, maka setelah beberapa
162
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
orang tersebut telah dikirim ke yayasan Kartidaya pada tahun 2005 maka mereka
lalu berusaha menerjemahkan dengan membentuk sebuah wadah yang mereka
sebut sebagai PASEBAN (Paguyuban Senthir Banyumasan). Dari PASEBAN
inilah yang lalu dalam perjalanan bergabung orang-orang baru yang terlibat di
dalam organisasi PASEBAN baik sebagai pengurus maupun sebagai penerjemah.
Saat Ini PASEBAN di ketuai oleh Pdt. Sukarmo seorang pendeta dari GKJ
Arcawinangun (Purwokerto) yang juga seorang dosen di STT Diakonos
Banyumas.
Perkembangan selanjutnya dari PASEBAN, pada tahun 2015, berhasil
menyelesaikan penerjemahan Alkitab untuk bagian Injil Lukas. Dan pada tahun
yang sama diadakan launching Injil Lukas bahasa Banyumasan ini dengan
mengundang pendeta-pendeta yang melayani di gereja-gereja di sekitar kota
Purwokerto, dimana sebagian besar yang hadir adalah pendeta-pendeta GKJ. Dan
pada tahun 2018 sudah berhasil menerjemahkan bagian Alkitab lainnya yaitu kitab
Kisah Para Rasul yang pada tahun 2019 sudah mulai terbit dalam edisi percobaan.
Sebagaimana di dalam sejarah Paseban disebutkan bahwa penerjemahan Alkitab
bahasa Penginyongan ini justru dilakukan oleh orang-orang “awam” yang
sebelumnya mendapat pelatihan terlebih di Yayasan Kartidaya, hal ini
menunjukkan bahwa sebuah penerjemahan memang diperlukan syarat kemampuan
dari si penterjemah itu sendiri. Dan tentunya ada sebuah syarat lainnya yang tidak
bisa ditinggalkan dalam sebuah penerjemahan yaitu adalah tentang minat dan
empati yang ada dalam diri si penterjemah.288 Oleh karena itu jatidiri penterjemah
sebagai penutur bahasa asli dari sebuah bahasa sasaran penerjemahan juga menjadi
288 Anton M. Moeliono, Aspek Etnoliguistik dalam Terjemahan, dalam Majalah Ilmu Sastra Indonesia, Penerbit Bharata bekerjasama dengan Ikatan Sarjana Sastra Indonesia, 1973, hal 6. 163
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sebuah sisi yang sangat mempengaruhi minat dan empati yang muncul dari dalam
diri si penterjemah.
Dan keberadaan jemaat-jemaat “awam” ini juga menunjukkan bahwa
penerjemahan ini justru lebih banyak dilakukan bukan karena peran serta gereja
sebagai sebuah lembaga keagaaman. Penerjemahan ini dapat dikatakan sebagai
penerjemahan yang “independen” atau mandiri. Namun kemamdirian ini
membawa sebuah konsekwensi yaitu untuk masuk ke dalam tataran kebijakan
gerejawi, khususnya di gereja GKJ yang menerapkan prinsip Presbiterial, maka
harus diperlukan sebuah “perjuangan” khusus. Dan hal inilah yang saat ini sedang
dihadapi di dalam prosese penterjemahan Alkitab bahasa Penginyongan ini.
Dengan adanya Alkitab bahasa Banyumasan ini, yang walaupun masih dalam edisi
yang terbatas, sebenarnya membawa sebuah angin baru khususnya di dalam kehidupan
bergereja di wilayah Banyumasan. Sebagai sebuah daerah yang mempunyai sebuah
bahasa yang cirikhas dan juga digunakan sebagai media komunikasi sehari-hari
tentunya hal ini dapat membawa sesuatu yang positif. Seperti halnya dengan salah satu
gereja GKI (Gereja Kristen Indonesia) “Martadireja” Purwokerto yang sudah
menggunakan bahasa Penginyongan di dalam ibadah gereja dalam momen-momen
khusus.289 Hal ini ditunjukkan ketika ibadah penahbisan Pendeta atas diri Pdt. Dimas
Yuwono pada tahun 2018, liturgi yang digunakan dari awal hingga akhir menggunakan
bahasa Penginyongan. Bahkan menurut Pdt. Dimas Yuwono ibadah dengan
menggunakan bahasa Penginyongan sudah dilakukan sebelum dirinya melayani di
gereja tersebut. Memang ada pertanyaan dari Sinode GKI Jateng kepada pihak Majelis
289 Hasil wawancara dengan Pdt. Dimas Yuwono, via telepon, pada tanggal 2 Juni 2020 (Wawancara dilakukan setelah beredar video ibadah Pentakosta pada tanggl 31 Mei 2020 yang diadakan oleh GKI “Martadireja” Purwokerto dengan menggunakan bahasa Penginyongan) 164
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gereja GKI “Martadireja” Purwokerto kenapa menggunakan bahasa Penginyongan karena gereja GKI adalah identik dengan ke“Indonesia”annya. Dan pihak gereja GKI
“Martadireja” Purwokerto mempunyai alasan mengapa hal itu dilakukan karena sebagian besar jemaat gereja tersebut adalah orang asli Banyumasan, walaupun sebagian besar jemaatnya adalah etnis Tionghoa namun mereka sebagian besar adalah orang-orang asli kelahiran Banyumasan.
Namun hal sebaliknya justru terjadi sebaliknya di gereja GKJ, khusunya yang ada di wilayah Banyumasan, yang sepertinya “api masih jauh dari panggang” karena keberadaan Alkitab ini ternyata belum sepenuhnya diketahui secara luas sehingga dengan demikian juga belum digunakan sebagai bahasa pengantar ibadah gerejawi. Hal ini ditunjukkan melalui hasil penelitian yang akan disajikan selanjutnya. Sehingga dari hal ini juga menunjukkan bahwa Alkitab bahasa Banyumasan ini belum sepenuhnya bisa masuk dalam kehidupan gereja GKJ yang berada di wilayah Banyumasan. Apa yang terjadi demikian menyebabkan Sinode GKJ belum pernah membahasnya dalam
Sidang Sinode karena hal tersebut tidak menjadi materi sidang yang diusulkan oleh
Klasis yang terkait, dimana Klasis mematerikan hal tersebut jika ada gereja lokal yang mematerikannya di Sidang Klasis yang terkait.
Akan tetapi hal tersebut tentunya bukan menjadi alasan satu-satunya mengapa keberadaan Alkitab bahasa Banyumasan belum sepenuhnya masuk dalam lingkup gereja GKJ di daerah Banyumasan. Melalui hasil penelitian yang dilakukan yang secara khusus di gereja GKJ yang berada di wilayah Banyumasan akan bisa dilihat apa dan bagaimana yang sebenarnya terjadi dengan keberadaan Alkitab bahasa Banyumasan di lingkup gereja GKJ. Penelitian tersebut diadakan di 3 Klasis yang berada di wilayah
Banyumasan, yaitu Klasis Banyumas Utara (Batara), Klasis Banyumas Selatan (Basel)
165
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dan Klasis Kebumen. Yang dimaksud Klasis adalah kumpulan gereja-gereja lokal yang
berdekatan, minimal terdiri dari 5 gereja lokal.
F. Hegemoni Bahasa Jawa Baku terhadap proses penerjemahan Alkitab bahasa
Penginyongan.
Sejak berdirinya Sinode GKJ sejak tahun 1931 sebagai “perkumpulan” gereja-gereja Jawa
di Jawa Tengah asuhan zending Gereformed Belanda, bahasa yang digunakan adalah
bahasa Jawa. Hal ini dikarenakan tentunya karena sesama orang Jawa berkomunikasi juga
dengan bahasa Jawa.290 Selain alasan tersebut juga dikarenakan bahasa Jawa (Baku)
dianggap dapat mempersatukan dan mempersekutukan masyarakat Jawa. Dari hal inilah
maka segala bentuk kegiatan gerejawi dari ibadah hari minggu di gereja hingga pelayanan-
pelayanan kepada umat di luar gereja seperti Pemahaman Alkitab, Persekutuan Doa dll
menggunakan bahasa Jawa. Dan bahasa Jawa yang dipakai adalah bahasa Jawa Krama
(Madya) yang hampir mirip seperti bahasa pedhalangan.
Terkait pemakaian bahasa Jawa Krama di lingkup gereja GKJ sebenarnya sudah ada sejak
permulaan adanya komunitas Kristen Jawa yang lalu menjadi embrionalnya berdirinya
gereja GKJ. Ketika Zending mulai diijinkan menajlankan perkabaran Injilnya di tanah
Jawa, zending Belanda memutuskan untuk menggunakan bahasa Jawa sebagai sarana
misinya. Namun pamakaian bahasa Jawa ini bukan hanya serta merta untuk mendekatkan
diri dengan kaum pribumi Jawa, akan tetapi para pekerja zending juga ikut memanfaatkan
unggah-ungguh yang terdapat dalam bahasa Jawa sehingga dengan hal tersebut mereka
290 Hadi Purnomo & M. Suprihadi Sastrosupono, GEREJA-GEREJA KRISTEN JAWA (GKJ) : Benih Yang Tumbuh dan Berkembang di Tanah Jawa, Taman Pustaka Kristen, Yogyakarta, 1986, hal 140-141. 166
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tetap dapat menunjukkan rasa superiotas mereka sebagai bangsa unggulan.291 Karena
dengan penerapan unggah-ungguh bahasa Jawa tersebut maka mereka cukup berbicara
Ngoko kepada kaum pribumi, sedangkan bagi kaum pribumi, sebagaimana cara bicara
mereka dengan orang Belanda lainnya, maka mereka akan berbicara dengan para pekerja
misi itu dengan menggunkan bahasa Krama.
Sehingga dengan penggunaan bahasa Jawa Baku di gereja GKJ, maka gereja GKJ yang
berada di daerah “Ngapak” pun harus menggunakan bahasa Jawa Krama. Padahal sebelum
terbentuknya Sinode GKJ, sesuai dengan catatan sejarah GKJ Banyumas, mereka
menggunakan bahasa “ngapak” atau Ngoko untuk digunakan sebagai bahasa pengantar
ibadah yang pada waktu dilayani Pendeta utusan Zending Belanda Bernhard Jonathan
Esser.292 Hal tersebut dikarenakan pada waktu itu yang turut serta dalam ibadah juga hadir
jemaat keturunan Tionghoa dan Belanda.
Terkait dengan dengan Pdt B.J. Esser, sebagaimana dikutip oleh Prof. Sugeng Priyadi,
pada tahun 1927-1929 dirinya melakukan penelitian tentang bahasa Banyumasan dimana
menurutnya bahasa Banyumasan adalah tergolong bahasa yang lebih tua dibandingkan
dengan bahasa Jawa Baku karena kosakata yang ada pada bahasa Banyumasan ternyata
lebih dekat dengan teks-teks bahasa Jawa Kuna, salah satunya adalah teks Pararaton (Jawa
Pertengahan).293 Dan sepertinya penelitian tentang bahasa Banyumasan yang dilakukan
oleh Pdt. Esser ini dikarenakan dinamika yang dialami oleh pendahulunya yaitu Pdt.
291 S.H. Soekotjo, Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa (Jilid 1) : Di bawah Bayang-bayang Zending 1858-1948, Taman Pustaka Kristen, Yogyakarta, 2009, 373-374. 292 Disampaikan oleh cPdt. Gati Saputra dalam makalah “Sejarah GKJ Banyumas” di hadapan Sidang Klasis Istimewa Klasis Banyumas Utara dalam rangka ujian Peremtoar (ujian calon pendeta) GKJ Banyumas pada tanggal 30 Oktober 2011, di GKJ Banyumas. Catatan : sejarah GKJ Banyumas bermula dari 9 orang buruh pabrik batik di Banyumas milik Ny. Philips van Oostrom yang harus rela berjalan dari Banyumas menuju Semarang hanya untuk menerima baptisan pada tanggal 31 Oktober 1858. Hal ini dikarenakan di wilayah Residen Banyumas pada waktu itu belum diperbolehkan adanya misi kristen oleh pemerintah Hindia-Belanda, sehingga mereka harus menuju wilayah Residen Semarang yang sudah diperbolehkan adanya misi Kristen disana. Merekalah embrional dari gereja GKJ. (Band. Wolterbeek, Babad Zending di Jawa Tengah) 293 Sugeng Priyadi, Menuju Keemasan Banyumas, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2015, hal 272. 167
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ruyssenaers yang kesulitan melakukan misi di daerah Banyumas dan sekitarnya
dikarenakan permasalahan bahasa. Hal ini dikarenakan para Guru Injil pribumi (asli
Banyumasan) yaitu kakak adik, Yosua Dangin dan Yohanes Dangin, hanya dibekali
pendidikan bahasa Melayu ketika menjalani pendidikan misi di Depok, sehingga ketika
mereka melakukan misi, menurut laporan Pdt. Ruyssenaers, “kurang sesuai dengan orang
Jawa, bahkan sering menyebabkan bahwa pengetahuannya tidak memadai untuk
pakabaran Injil dengan bahasa Jawanya sendiri”.294 Yang dimaksud “bahasa Jawanya
sendiri” pada waktu itu adalah bahasa Jawa dalam dialek Banyumasan. Oleh karena itu
wajar jika dalam kesempatan pakabaran Injil yang dilakukan oleh Pdt. Esser di wilayah
Banyumasan akhirnya dirinya menggunakan bahasa Banyumasan.
Dan ternyata pemakaian bahasa Jawa (Krama) bukan hanya pada kegiatan gerejawi saja,
bahkan pada rapat-rapat gerejawi (Sidang Gereja), dari tingkat gereja lokal hingga sinodal,
juga harus menggunakan bahasa Jawa (Krama).295 Dengan tersebut hal tersebut maka
semua catatan Akta Sidang Gerejawi pun juga harus menggunakan bahasa Jawa Krama.
Sehingga dengan demikian maka bahasa Jawa Baku di gereja GKJ (secara sinodal) diakui
secara resmi (de facto maupun de jure) sebagai bahasa komunikasi, ibadah dan rapat
gerejawi di seluruh gereja GKJ. Karena pentingnga bahasa Jawa bagi gereja GKJ, maka
melalui Sidang Sinode X tahun 1967 artilkel 51 dan Sidang Sinode XI tahun 1969 artikel
158 memutuskan untuk mengadakan revisi Alkitab Bahasa Jawa yang disesuaikan dengan
perkembangan dan pertumbuhan bahasa Jawa, melalui Lembaga Alkitab Indonesia
(LAI).296
294 J.D. Wolterbeek, Babab Zending di Tanah Jawa, Taman Pustaka Kristen, Yogyakarta, 1995, hal 190. 295 Hadi Purnomo hal 142 296 S.H. Soekotjo, Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa (Jilid 2) : Merajut Usaha Kemandirian 1950-1985, Taman Pustaka Kristen, Yogyakarta, 2009, hal 367-372. 168
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Pada tahun 1962 Sinode GKJ juga memutuskan untuk mulai menggunakan bahasa
Indonesia (berdampingan dengan bahasa Jawa), hal ini ditandai dengan dimulainya
pencatatan akta Sidang Sinode yang tadinya menggunakan bahasa Jawa diganti dengan
menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini juga lalu diikuti di gereja-gereja GKJ dengan
dilayaninya ibadah gereja yang menggunakan bahasa Indonesia yang dilayani pada sore
hari (ibadah pagi hari tetap menggunakan bahasa Jawa). Alasan dari penggunaan bahasa
Indonesia sebagai bahasa pengantar, selain bahasa Jawa, dikarenakan demi komunikasi
yang lebih luas dan meniadakan “communication gap” antara generasi muda dengan
generasi tua.297 Berdasarkan fenomena tersebut maka pada Sidang Sinode IX tahun 1964
memutuskan untuk menyetujui digunakannya bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar
dalam gereja GKJ, hal ini dimulai dengan menyalin Tata Gereja GKJ ke dalam bahasa
Indonesia, dimana salinan itu dinyatakan pula sebagai Tata Gereja GKJ yang resmi.298
Adapun alasan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi gerejawi
berdampingan dengan bahasa Jawa adalah :
- Pertama, dengan kaitannya dengan surat menyurat antara GKJ dengan instansi-
instansi pemerintah, GKJ harus bersedia melepaskan bahasa Jawanya dan
menggunakan bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia.
- Kedua, bahasa Indonesia harus mulai berkembang sebagai media di segala sudut
denyut nadi kebudayaan.
- Ketiga, berkaitan dengan adanya gerakan oikumenis yang terjadi di gereja-gereja
Indonesia, GKJ harus membuka pintu bagi saudara-saudaranya seiman yang berbeda
etnis untuk bergereja bersama, apalagi jika nanti diharapkan terbentuknya Gereja
297 Hadi Purnomo hal 142 298 S.H. Soekotjo, Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa (Jilid 2) : Merajut Usaha Kmeandirian 1950-1985, Taman Pustaka Kristen, Yogyakarta, 2009, hal 290-291. 169
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kristen Indonesia yang Esa maka bahasa Indonesia merupakan satu-satunya bahasa
pengantar yang dapat diterima oleh semua etnis.
- Keempat, adanya kenyataan yang tak terbantahkan berkenaan dengan perkembangan
pola penggunaan bahasa pergaulan generasi muda gereja yang cenderung
meninggalkan bahasa Jawa digantikan dengan bahasa Indonesia.
Namun ternyata kebijakan penggunaan bahasa Indonesia ini lalu mendapat “protes” dari
jemaat GKJ Wirobrajan, Yogyakarta, yang mengirimkan surat keberatan, tertanggal 13
Oktober 1967, terhadap pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi gerejawi di
GKJ. Dan didalam surat “protes” tersebut, dengan dasar pentingnya bahasa Jawa bagi GKJ
yang menggunakan embel-embel kata “Djawi” (ejaan lama), mereka mengusulkan untuk
tetap menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa resmi gerejawi, serta mengusulkan untuk
menetapkan bahasa Indonesia hanya sebagai bahasa nomor dua di lingkup gereja GKJ.299
Namun surat mereka ditolak, karena berdasarkan Akta Sidang Sinode XI/1969 Artikel 119
tentang “Terjemahan Alkitab bahasa Indonesia”, Sinode GKJ menerima terjemahan baru
Alkitab bahasa Indonesia yang rencananya akan diterbitkan tahun 1970 oleh LAI. Melihat
kasus tersebut ternyata sempat terjadi “ketegangan” antara Sinode GKJ, yang memutuskan
untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi gerejawi, dengan GKJ
Wirobrajan, dimana ketegangan tersebut didasari akan pentingnya bahasa Jawa sebagai
identitas kejawaan daripada bahasa Indonesia.
Melihat kasus tersebut terlihat bahwa bahasa Jawa Baku seperti sulit untuk dilepaskan di
dalam lingkup GKJ. Bahkan dengan dalil melestarikan bahasa Jawa, Pokok-pokok Ajaran
Gereja GKJ (PPA GKJ) yang tadinya hanya dicetak dalam bahasa Indonesia juga akhirnya
diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa pada tahun melalui keputusan Sidang Sinode Antara
299 Pradjarta Dirdjosanjoto, Sumber-sumber tentang sejarah Gereja Kristen Jawa 1896-1980, Pusat Arsip Sinode GKJ, Salatiga, 208, hal 312. 170
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
GKJ tahun 2000 Artikel 54 memutukan Deputat Keeasan untuk membentuk Tim Revisi
PPA GKJ dengan salah satu tugasnya adalah menterjemahkan PPA GKJ dari bahasa
Indonesia kedalam bahasa Krama (Madya). Penggunaan bahasa Jawa di dalam PPAG ini
menunjukkan bagaimana melalui bahasa Jawa dianggap sebagai salah satu wujud identitas
Jawa dari gereja GKJ sebagaimana termaktub Tata Gereja GKJ Bab I Pasal 1 point 1
tentang identitas GKJ:300
“Gereja Kristen Jawa (GKJ) adalah Gereja yang berada di suatu
tempat tertentu yang bertumbuh dan berkembang dengan tradisi
teologis kristiani yang berjumpa dengan nilai-nilai budaya Jawa”
Dengan definisi identitas GKJ yang demikian maka menunjukkan GKJ tidak bisa
dilepaskan dari budaya Jawa. Dan salah satu wujud dari budaya Jawa adalah bahasa Jawa,
dan bahasa Jawa yang digunakan adalah bahasa Jawa baku. Sehingga dengan pandangan
ini maka melegitimasi bahasa Jawa Baku sebagai bahasa resmi dan standard dipakai
diseluruh gereja GKJ, termasuk di wilayah Banyumasan.
Sehingga dari peristiwa-peristiwa gerejawi yang pernah dilalui menegaskan bahwa bahasa
Jawa Baku tetap menjadi bahasa “primadona” bagi gereja GKJ secara sinodal. Dan
sebagaimana sudah disebutkan sejak awal berdirinya Sinode GKJ yang sudah langsung
“menyingkirkan” bahasa ngapak-ngapak atau Penginyongan, maka hingga detik inipun
nasib bahasa Penginyongan belum mendapatkan pengakuan secara gerejawi. Selain belum
mendapatkan pengakuan secara resmi, di dalam Alkitab bahasa Penginyongan juga terlihat
adanya kata-kata bahasa Jawa Baku.
300 Tata Gereja dan Tata Laksana Gereja Kristen Jawa, Sinode Gereja-gereja Kristen Jawa, 2018, hal 9 171
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Salah satu kata yang menonjol adanya pengaruh bahasa Jawa Baku adalah kata “Lan”.
Kata “Lan” di alkitab bahasa Penginyongan untuk menunjukkan akta dalam bahasa
Indonesia “Dan”. Dimana kata “Lan” sendiri menurut kamus bahasa Banyumasan-
Indonesia artinya adalah “oarang yang masih bujang atau belum menikah”, sedangkan kata
“Dan” dalam bahasa Penginyongan diartikan dengan “Karo”. Kata “Lan” sendiri adalah pengaruh bahasa Jawa Baku “Kaliyan” yang lalu disederhanakan menadi “Lan”. Sehingga dari kata ini terlihat bahwa kata “Karo’ untuk menyebut “Dan” diganti dengan “Lan” yang sebenarnya adalah kata dari bahasa Jawa Baku.
Demikian juga dengan setiap kata yang ditunjukkan untuk Tuhan Yesus dan Allah juga selalu meggunakan bahasa Jawa Baku, khususnya Krama. Sebagai contoh adalah kata-kata
Allah untuk menunjukkan identitasnya kepada manusia dengan menggunakan kata
“Ingsun” yang terdapat di Lukas pasal 7 ayat 27: “Deleng Ingsun ngutus utusane Ingsun ndisiti Kowe, .....”. Demikian juga dengan doa ditunjukkan kepada Allah juga masih menggunakan bahasa Jawa Baku (Krama), salah satunya adalah Doa Bapa Kami versi
Lukas pasal 11 ayat 2-4:
“Dhuh Rama sing ana neng sewerga, muga-muga asmane Penjenengan
dimulyakna lan rawuha Kearajaane Penjenengan nang ndonya.
Paringana maring inyong-padha pangan secukupe unggal dinane.
Lan ngapurani dosa-dosane inyong-padha, merga inyong-padha uga ngapurani
unggal wong sing gawe luput maring inyong-padha, jagani inyong-padha ben
aja gawe dosa.
Kata dalam bahasa Krama disini dapat dilihat pada kata “asmane” yang dalam bahasa
Penginyongan disebut dengan “jenenge”; kata “rawuha” dalam bahasa Penginyongan
“tekaa”; dan kata “Paringana” dalam bahasa Penginyongan “wenehi”. Sedangkan contoh
172
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
untuk Tuhan Yesus adalah ketika kata “berbicara” yang dalam Penginyongan artinya
“ngomong”, diterjemahkan dengan kata “Ngendika” yang berasal dari bahasa Jawa
Krama. Demikian juga ketika Tuhan Yesus “mati” diterjemahkan dengan bahasa Krama
“Seda” (Lukas 23:46), sedangkan anak muda di kota Nain tetap diterjemahkan dengan
“mati” (Lukas 7:11).
Dari beberapa contoh kata-kata yang masih menggunakan bahasa Krama memang semua
ditujukan untuk menujukkan rasa hormat manusia kepada Allah dan Tuhan Yesus,
sedangkan untuk konteks sesama manusia tetap menggunakan bahasa Penginyongan yang
tidak mengenal tingkatan bahasa. Padahal dalam konteks bahasa Jawa, bahasa Krama
bukan hanya ditunjukkan kepada Allah atau Tuhan saja, akan tetapi juga digunakan untuk
percakapan antar individu dengan melihat dari berbagai macam aspek. Dari hal itulah yang
sepertinya menjadi titik keberatan dimana Alkitab bahasa Penginyongan belum bisa
diterima secara resmi di lingkungan gereja GKJ, khususnya yang berada di daerah
Banyumasan. Daerah Banyumasan yang sudah lama terhegemoni oleh bahasa Jawa Baku
pada akhirnya juga mempengaruhi kehidupan masyarakatnya di segala aspek, termasuk di
dalam lingkungan gerejawi. Oleh sebab itu untuk melihat seberapa jauh hegemoni bahasa
yang terjadi di lingkungan gereja GKJ di Banyumasan maka harus diperlukan data-data
yang obyektif yang didapatkan melalui sebuah penelitian.
G. Data Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan metode quesioner yang dibagikan di tempat yang berbeda,
yaitu di 3 Klasis GKJ yang berada di wilayah Banyumasan, yaitu :, Klasis Banyumas
Selatan (Basel), Klasis Banyumas Utara (Batara) dan Klasis Kebumen. Pembagian
173
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
quosioner ini dilakukan ketika sedang diadakan Sidang Klasis di tiga Klasis tersebut. Di
Klasis Basel pada tanggal 5 Februari 2019 di GKJ Cilacap Utara, kab. Cilacap; di Klasis
Batara pada tanggal 3 April 2019 bertempat di GKJ Klampok, Kab. Banjarnegara; dan di
Klasis Kebumen pada tanggal 29 Oktober 2019 di GKJ Tengahan, Kab. Kebumen.
Penelitian ini dilakukan saat berlangsung Sidang Klasis dikarenakan sidang gerejawi aras
klasikal itu dihadiri oleh para pejabat gerejawi (Penatua, Diaken, dan Pendeta) yang
mewakili dari sebuah gereja lokal.
Para pejabat gerejawi inilah yang mempunyai wewenang mengambil berbagai macam
keputusan atau kebijakan gerejawi di gereja lokal masing-masing. Dalam hal Sidang
Klasis tersebut, perwakilan Majelis Gereja dari gereja-gereja lokal inilah yang diberi
mandat oleh gerejanya masing-masing untuk mengambil kepeutusan atau kebijakan di aras
klasikal yang dilakukan melalui Sidang Klasis yang diadakan 1-2 tahun sekali. Hal ini
dikarenakan gereja GKJ menggunakan sistem pemerintahan gereja Presbiterial-Sinodal,
sehingga setiap keputusan atau jebijakan gerejawi harus diputuskan oleh pejabat gerejawi
melalui persidangan gerejawi. Karena alasan itulah penelitian tersebut dilakukan ketika
sedang diadakan sidang klasis di 3 tempat yang berbeda, supaya bisa langsung bertemu
dengan para pemangku jabatan gerejawi dari banyak gereja GKJ yang berada di wilayah
Banyumasan yang berbahasa Penginyongan.
1. Klasis Banyumas Utara (Batara)301
Klasis Batara terdiri dari 11 gereja GKJ yang tersebar di 3 Kabupaten yaitu
Banyumas, Purbalingga dan Banjarnegara. Jumlah jemaat 5688 orang. (Agenda
Sinode GKJ tahun 2020)
301 Penelitian dilakukan di Sidang Klasis Banyumas pada tanggal 3 April 2019 bertempat di GKJ Klampok Kab. Banjarnegara 174
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
a. Terdapat 28 responden, dengan data :
- Tempat kelahiran : 13 orang kelahiran asli Banyumasan dan 15 orang
pendatang
- Tahun kelahiran : 5 orang kelahiran tahun 1950an, 6 orang kelahiran tahun
1960an, 9 orang kelahiran tahun 1970an, 5 orang kelahiran tahun 1980an dan
3 orang kelahiran 1990an.
- Pekerjaan : 6 PNS, 8 Swasta, 3 Guru, 1 TNI, 10 Pendeta
- Jabatan gerejawi : 8 Penatua, 10 Diaken, 10 Pendeta b. Terdapat 13 orang sudah mengetahui adanya Alkitab Banyumasan dan 15 belum
mengetahui. c. 5 orang yang mengatakan bahwa gerejanya sudah pernah menggunakan bahasa
Penginyongan dalam ibadah (dalam momen khusus, hari Pentakosta) sedangkan
23 orang mengatakan gerejanya belum pernah. d. 2 orang tidak menginginkankan adanya ibadah dengan bahasa Penginyongan
dan 26 menginginkan. e. Alasan menginginkan dan menggunakan bahasa Penginyongan dalam ibadah:
- Bangga dengan bahasa Penginyongan.
- Untuk melestarikan bahasa Penginyongan.
- Karena dipakai sebagai bahasa sehari-hari.
- Lebih mudah dipahami.
- Lucu jadi lebih menarik.
- Lebih “cablaka”. f. Alasan tidak menginginkan dan menggunakan bahasa penginyongan dalam:
175
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
- Tidak familiar dengan bahasa Penginyongan di dalam gereja.
- Tidak diajarkan ketika disekolah.
- Golongan lansia merasa tidak cocok dengan bahasa penginyongan.
- Gereja belum mengizinkan.
- Belum diputuskan sinode.
- Tidak semua jemaat atau pelayan ibadah mengerti bahasa Penginyongan.
- Pengkhotbah kesulitan memakai bahasa Penginyongan.
- Sudah terbiasa dengan bahasa Krama.
- Tidak terbiasa menggunakan bahasa Penginyongan di acara resmi gerejawi.
- Masih takut salah mengucapkan bahasa Pengiyongan karena dianggap tidak
sopan atau saru.
- Karena kebanyakan jemaat berasal dari daerah “wetanan”, demikian juga
dengan Pendetanya.
- Karena Alkitab dan Kidung Pujian bahasa Penginyongan belum tersedia di
gereja.
- Masih berkiblat kepada bahasa “wetanan”.
2. Klasis Banyumas Selatan (Basel)302
Klasis Basel terdiri dari 9 gereja GKJ yang tersebar di 2 Kabupaten, yaitu :
Banyumas dan Cilacap. Jumlah Jemaat 3306 orang. (Agenda Sinode GKJ 2020)
a. Terdapat 27 responden, dengan data :
- Tempat kelahiran : 5 orang kelahiran asli Banyumasan dan 22 orang
pendatang
302 Penelitian dilakukan di Sidang Klasis Banyumas Selatan pada tanggal 5 Februari 2019 bertempat di GKJ Cilacap Utara, Kab. Cilacap. 176
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
- Tahun kelahiran : 4 orang kelahiran tahun 1950an, 6 orang kelahiran tahun
1960an, 9 orang kelahiran tahun 1970an, 5 orang kelahiran tahun 1980an dan
3 orang kelahiran 1990an.
- Pekerjaan : 1 PNS, 7 Swasta, 1 Guru, 1 Buruh, 1 Petani, 3 Pensiunan, 12
Pendeta
- Jabatan gerejawi : 11 Penatua, 4 Diaken, 12 Pendeta b. Terdapat 12 orang sudah mengetahui adanya Alkitab Banyumasan dan 15 belum
mengetahui. c. 5 orang yang mengatakan bahwa gerejanya sudah pernah menggunakan bahasa
Penginyongan dalam ibadah (hanya dalam momen khusus, ibadah Pentakosta),
sedangkan 22 orang mengatakan gerejanya belum pernah. d. 4 orang tidak menginginkankan adanya ibadah dengan bahasa Penginyongan
dan 23 menginginkan. e. Alasan menginginkan dan menggunakan bahasa Penginyongan dalam ibadah:
- Golongan anak muda lebih “mudeng” bahasa Penginyongan.
- Melestarikan bahasa Penginyongan.
- Dapat lebih menghayati Firman Tuhan.
- Dapat digunakan untuk mempelajari “bahasa ibu” orang-orang Banyumasan.
- Dalam rangka “kontekstualisasi”.
- Lebih dapat dimengerti, bahasane sederhana dan tidak “njlimet”.
- Bangga dengan bahasa penginyongan f. Alasan tidak menginginkan dan menggunakan bahasa penginyongan dalam
ibadah:
- Karena bahasa Penginyongan tidak punya “unggah-ungguh”.
- Aneh.
177
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
- Lebih suka dengan bahasa Jawa.
- Belum ada liturgi khusus untuk ibadah bahasa Penginyongan.
- Sebagian besar jemaat adalah pendatang dari daerah “wetanan”.
- Lucu.
- Masih berpedoman pada bahasa Jawa Baku.
- Karena belum ada Alkitab bahasa Penginyongan.
- Bahasa Penginyongan belum diterima dengan “rasa” seperti bahasa Jawa.
- Lebih halus bahasa Jawa.
- Karena bahasa Penginyongan belum “dibakukan”.
- Tidak familier
- Banyak kata-kata yang “tidak semestinya” diucapkan (kasar)
- Ditertawakan
- Tidak sopan.
- Belum diajarkan di sekolah
3. Klasis Kebumen303
Klasis Kebumen terdiri dari 15 gereja GKJ yang berada di Kabupaten Kebumen.
Jumlah jemaat 2861 orang. (Agenda Sinode GKJ 2020)
a. Terdapat 32 responden, dengan data :
- Tempat kelahiran : 19 orang kelahiran asli Banyumasan dan 13 orang
pendatang
303 Penelitian dilakukan di Sidang Klasis Kebumen pada tanggal 29 November 2019 bertempat di GKJ Tengahan, Kab. Kebumen. 178
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
- Tahun kelahiran : 1 orang kelahiran tahun 1940an, 5 orang kelahiran tahun
1950an, 11 orang kelahiran tahun 1960an, 9 orang kelahiran tahun 1970an,
2 orang kelahiran tahun 1980an dan 4 orang kelahiran 1990an.
- Pekerjaan : 1 Seniman, 9 Swasta, 2 Guru, 4 Pensiunan, 3 Ibu Rumah
Tangga, 2 Petani, 1 Guru, 2 PNS, 1 Pedagang, 7 Pendeta
- Jabatan gerejawi : 11 Penatua, 4 Diaken, 12 Pendeta b. Terdapat 2 orang sudah mengetahui adanya Alkitab Banyumasan dan 30
belum mengetahui. c. 1 orang yang mengatakan bahwa gerejanya sudah pernah menggunakan
bahasa Penginyongan dalam ibadah (hanya ketika khotbah saja, dan belum
setiap minggu dilakukan), sedangkan 31 orang mengatakan gerejanya belum
pernah. d. 5 orang tidak menginginkankan adanya ibadah dengan bahasa Penginyongan
dan 27 menginginkan. e. Alasan menginginkan dan menggunakan bahasa Penginyongan dalam ibadah:
- Bahasa asli.
- Generasi muda sudah kesulitan menggunakan bahasa Jawa Baku (Krama).
- Bahasa sehari-hari.
- Sebagai cara “nguri-uri” budaya Banyumasan.
- Sebagai wujud kearifan lokal. f. Alasan tidak menginginkan dan menggunakan bahasa penginyongan dalam
ibadah:
- Beraada di daerah Kebumen bagaian timur yang berada di perbatasan
Purworejo yang sudah berbahasa gaya “wetanan”.
- Sudah terbiasa dengan bahasa Jawa Baku.
179
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
- Bahasa Penginyongan belum dibakukan.
- Karena belum ada aturan resmi yang mengatur penggunaan bahasa
Penginyongan di gereja.
- Belum ada sosialisasi penggunaan bahasa Penginyongan di gereja.
- Bahasa Jawa dianggap lebih “ngajeni”
- Pendetanya bukan asli Banyumasan.
- Belum ada kesepakatan bersama secara resmi.
- Belum tahu jikalau sudah ada Alkitab bahasa Penginyongan.
- Karena jemaat lebih banyak pendatang dari luar Banyumasan (daerah
wetanan).
- Liturgi yang disediakan oleh Sinode GKJ masih menggunakan bahasa
Jawa.
- Aturan gereja menggunakan bahasa Jawa dan Indonesia.
- Belum ada panduan ibadah bahasa Penginyongan.
Dari hasil penelitian diatas yang didapatkan oleh 87 responden dimaan mereka semua adalah adalah yang mempunyai jabatan gerejawi sebagai Majelis Gereja, maka dapat dipetakan sebagai berikut:
- Tempat kelahiran, 37 (40%) adalah asli kelahiran Banyumasan dan 50 (60%) adalah
pendatang.
- Kelahiran tahun 1940 s/d 50 terdapat 15 responden (17%); 1960 s/d 70an terdapat 48
(55%) responden; dan tahun 1980 s/d 90an terdapat 22 responden (28%).
- Jabatan gerejawi, Penatua 30 responden (33,5%); Diaken 28 responden (31%); dan
Pendeta 34 responden (35,5%).
180
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
- 27 responden (31%) sudah mengetahui adanya Alkitab bahasa Penginyongan,
sedangkan 60 (69%) responden belum mengetahui adanya Alkitab bahasa
Penginyongan.
- Yang merasa gerejanya sudah pernah menggunakan bahasa Penginyongan, 10
responden (11,5%) merasa sudah pernah; 77 responden (88,5%) merasa sudah pernah.
- Yang menginginkan penggunaan bahasa Penginyongan dalam ibadah, 11 responden
(12,5%) tidak menginginkan; dan 76 responden (87,5%) menginginkan.
Dari pemetaan hasil penelitian diatas maka dapat dibaca, bahwa pejabat gerejawi atau
Majelis Gereja GKJ di Banyumasan (yang menjadi responden penelitian) lebih
banyak diisi oleh para pendatang (60%) dimana di dalam kemajelisan itu sendiri di
dominasi oleh mereka yang lahir sebelum tahun 1980 (72%), serta terlihat bahwa
komposisi jabatan gerejawi yang berimbang antara Penatua, Diaken dan Pendeta.
Dari penelitian ini juga ditemukan fakta ternyata para pejabat gerejawi ini sebagian
besar belum mengetahui adanya Alkitab bahasa Penginyongan (69%). Demikian juga
ternyata ditemukan fakta bahwa walaupun para pejabat gerejawi ini sebagian besar
belum menggunakan bahasa Penginyongan di gerejanya masing-masing (88,5),
namun ternyata keinginan para pejabat gerejawi untuk menggunakan bahasa
Penginyongan juga besar (87,5%).
Terkait dengan lebih banyaknya pendatang yang menjadi pejabat gerejawi atau Majelis
Gereja GKJ di Banyumasan, ternyata memang diketemukan fakta bahwa jemaat gereja
GKJ di Banyumasan memang lebih banyak diisi oleh para warga pendatang. Bahkan ketika data penelitian ini dilihat lebih teliti ternyata dari 34 orang Pendeta, hanya ada 3 orang pendeta saja yang adalah asli orang Banyumasan. Dengan hal ini menunjukkan bahwa keberadaan jemaat gereja GKJ di Banyumasan ternyata lebih didominasi oleh pendatang.
181
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dan sebagain besar responden yang adalah warga pendatang ternyata sebagian besar lahir sebelum tahun 1980 dan mereka yang lahir setelahnya sebagian besar adalah kelahiran asli
Banyumasan. Sehingga faktor keberadaan para pendatang ini ternyata juga sangat mempengaruhi penggunaan bahasa Jawa Baku di gereja GKJ di Banyumasan.
Keberadaan Alkitab bahasa Penginyongan yang baru muncul tahun 2015 ternyata juga banyak belum diketahui oleh kalangan pejabat gerejawi atau Majelis Gereja GKJ di
Banyumasan. Dengan ketidaktahuan ini maka hal ini juga sangat mempengaruhi ketika masih banyak pejabat gerejawi di gerejanya masing-masing yang belum menggunakan
Alkitab bahasa Penginyongan di dalam ibadah di gerejanya masing-masing. Sehingga faktor selanjutnya yang mempengaruhi penggunaan Alkitab bahasa Penginyongan ternyata juga dipengaruhi oleh faktor “publikasi” dari keberadaan Alkitab bahasa penginyongan tersebut.
Sementara itu ketika muncul fakta banyaknya “pendatang” dan kurangnya “publikasi” yang menjadi faktor terhambatnya penggunaan Alkitab bahasa Penginyongan di gereja
GKJ di Banyumasan, ternyata keinginan untuk menggunakan Alkitab bahasa
Penginyomngan di dalam ibadah gereja sangatlah antusias. Namun walaupun lebih banyak yang antusias terhadapa penggunaan bahasa Penginyongan, ternyata dari mereka yang tidak menginginkan penggunaan bahasa Penginyongan di gereja justru yang lebih banyak memberikan alasannya. Sebagian besar alasan tersebut adalah terkait dengan “rasa” dan
“pengakuan”.
Rasa yang dimaksud adalah mereka merasa bahwa bahasa Penginyongan, jika dibandingkan dengan bahasa Jawa Baku, adalah bahasa yang kasar. Sehingga karena dianggap kasar maka bahasa ini akan menjadi “kurang sopan” bahkan “saru” jika digunakan dalam suasana ibadah gerejawi yang formal. Bahkan mereka merasa bahwa
182
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
nantinya ibadah akan menjadi “lucu”. Dan ternyata dari mereka yang tidak menginginkan penggunaan bahasa Penginyongan di dalam ibadah gereja, setelah dicermati melalui data penelitian yanga ada, ternyata semuanya adalah dari golongan pendatang yang dimana mereka semua juga adalah yang lahir sebelum tahun 1980. Sehingga dari hal ini terlihat bahawa mereka yang tidak menginginkan penggunaan bahasa penginyongan, dengan segala alasannya, adalah golongan pendatang yang sudah tua.
Oleh karena itu dari data penelitian di atas maka bisa dilihat bahwa pejabat gerejawi yang asli orang Banyumasan dan juga masih muda (yang lahir setelah tahun 1980), semuanya menginginkan penggunaan bahasa penginyongan di dalam ibadah gerejawi. Sedangkan untuk pejabat gerejawi yang adalah orang pendatang dan golongan tua, ada yang menginginkan dan yang tidak menginginkan penggunaan bahasa Penginyongan, dimana berdasarkan data yang terkumpul ternyata yang tidak menginginkan presentasenya sebenarnya lebih kecil dari yang menginginkan. Sehingga mereka yang tidak menginginkan sebenarnya bukanlah golongan lebih besar dari mereka yang menginginkan, namun walaupun mereka lebih kecil ternyata mereka justru bisa mendominasi. Dan dominasi mereka ini ternyata juga telah “diterima” dan “disetujui” oleh mereka yang sebenarnya secara jumlah lebih besar dari mereka. Dari hal inilah yang pada akhirnya justru memperlihatkan bahwa di gereja GKJ terdapat sebuah hegemoni bahasa Jawa Baku terhadap bahasa Penginyongan.
Sehingga dengan adanya dengan adanya hegemoni tersebut di dalam tubuh pejabat gerejawi atau Majelis Gereja GKJ di Banyumasan, maka masalah “pengakuan” dari pihak gereja menjadi lemah. Hal ini dikarenakan gereja GKJ yang menerapakn sistem gerejawi
Presbiterial menempatkan Majelis Gereja sebagai pengambil keputusan baik di tingkat lokal, klasikal maupun sinodal. Dengan demikian maka perihal “pengakuan” ini menjadi
183
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ranah terbesarnya, bahkan bisa dikatakan sebagai ranah “kuasa”nya Majelis Gereja. Dan
sepanjang keadaan Majelis Gereja GKJ di Banyumasan masih terikat dengan hegemoni ini
maka penggunaan Alkitab bahasa Penginyongan akan selalu berada pada posisi yang
lemah, baik itu berada dilingkup Gereja Lokal, Klasis maupun Sinode.
Sehingga walaupun kasus ini hampir sama dengan kasus yang dikemukakan oleh Gramsci
tentang hegemoni bahasa Latin yang dilakukan oleh Gereja Roma terhadap bahasa Italia,
akan tetapi sebagaimana Gramsci membangun gagasannya dimulai dari konsep-konsep
yang dia lihat di Rusia, namun pada akhirnya ketika Gramsci akan menerapkannya di Italia
dirinya lalu berusaha menganalis terlebih situasi dan kondisi Italia yang ternyata berbeda
dari Rusia. Dari analisanya itulah maka muncul konsep Hegemoni yang menjelaskan
bagaimana terjadinya konsep relasi kuasa ala Italia pada zaman itu. Sehingga dari
pengalaman Gramsci tersebut, tentunya situasi dan kondisi relasi kuasa bahasa yang ada
di Indonesia atau Jawa pada khususnya juga berbeda dengan yang ada di Italia.
Jika melihat konsep berbahasa yang dikemukan oleh Siegel, yang didasarkan
pengalamannya berada di Indonesia dan juga khususnya di Jawa, dimana bahasa itu
terjalin antara orang-orang yang tidak saling mencerminkan dan dengan demikian tidak
saling menyebabkan rasa rikuh.304 Dari apa yang dikemukakan Siegel ini adalah
bagaimana pentingnya sebuah “bahasa bersama” atau lingua franca. Bahasa bersama inilah
yang lalu berusaha diciptakan oleh GKJ sejak berdirinya Sinode GKJ pada tahun 1931,
dimana yang dipilih adalah bahasa Jawa Baku (Krama) sebagai bahasa resmi dalam hal
komunikasi, ibadah maupun rapat gerejawi. Dan salah satu konsekwensi dari keputusan
304 Sadur hal 342. 184
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tersebut adalah “tidak diakui”nya bahasa ngapak-ngapak atau Penginyongan sebagai
bahasa gerejawi.
Dengan keputusan dari Sinode GKJ yang demikian maka jika dilihat dari apa yang
dikatakan oleh Ben Anderson, bahwa bahasa bersamalah yang menumbuhkan
nasionalisme ketimbang nasionalisme yang menjadi terbentuknya suatu bahasa
bersama,305 dapat dikatakan Sinode GKJ telah membuat keputusan yang keliru di masa
lalu yang mempengaruhi keadaan di masa kini bahkan juga untuk di masa yang akan
datang atau masa depan. Hal ini dikarenakan, sebagaimana dikatakan oleh Sjafroeddin
Prawiranegara, seharusnya “suatu bahasa tidak boleh menjadi mesin”, dimana bahasa itu
hanya dijadikan sebuah instrumen, bahkan komoditas.306 Dan bahasa Jawa Baku sekarang
memainkan peran tersebut khusunya di gereja GKJ di wilayah Banyumasan.
Dalam hal relasi kuasa Ben Anderson melihat bahwa kuasa dapat terjadi melalui kata-kata
atau bahasa. Dan Ben Anderson sendiri melihat bahwa relasi kuasa bahasa yang terjadi di
Jawa memang sangat dipengaruhi oleh adanya konstruksi Bahasa Jawa Baku yang sudah
berlangsung lama yang akhirnya memunculkan apa yang dinamakan “Kramanisasi”.
Konsep Kramanisasi inilah yang mewujud dalam “kuasa kata”. Demikian juga dengan apa
yang dikemukakan oleh Shiraishi ketika melihat bahwa Kramanisasi juga telah merasuk
ke dalam bahasa Indonsia pada khususnya pada era ORBA, dimana penguasa rezim lalu
menggunakan Karamanisasi menjadi sebuah bahasa yang memerlukan “bapak”. Bahasa
yang memerlukan “bapak” itulah yang akhirnya menciptakan “bahasa kosong”. Dari hal
inilah akhirnya bisa terlihat bahwa Hegemoni Bahasa Jawa Baku terhadap Bahasa
Penginyongan sebenarnya telah menjelma menjadi sebuah “kuasa kata” dan “bahasa
305 Kuasa kata hal 420. 306 Rudolf Mrazek, Engineers of Happy Land : Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2006, hal 51. 185
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kosong’ sebagai hasil dari Kramanisasi, sebagaimana disebutkan oleh Ben Anderson dan
Shiraishi.
H. Hegemoni Bahasa melalui Kramanisasi
Kontruksi bahasa Jawa Baku sebenarnya menghasilkan menghadirkan dua bahasa yang
berbeda yaitu bahasa Krama dan Ngoko. Sebagaimana Siegel menyebutkan bahwa Krama
adalah “High Javanese” sedangkan Ngoko adalah “Low Javanese”.307 Dari sebutkan
tersebut maka terlihat bahwa Krama menjadi sebuah bahasa yang lebih tinggi, sedangkan
Ngoko adalah bahasa rendahan. Dari sinilah sebenarnya kuasa bahasa Krama
dimunculkan, sehingga muncullah apa yang disebut sebagai “Kramanisasi”.
Kramanisasi sebagai produk konstruksi bahasa Jawa Baku sebenarnya digunakan oleh
penguasa Jawa dan kolonialisme melalui “Javanologi’ abad 19-20 untuk melegitimasi
kekuasaannya. Kramanisasi adalah dimana bahasa penguasa adalah sebuah bahasa yang
eksklusif yang hanya digunakan atau diperuntukkan bagi kepentingan si penguasa. Dalam
sejarah kekuasaan Jawa, Sultan Agung menganggap dirinyalah satu-satunya pemimpin di
tanah Jawa sehingga semua rakyat dan bawahannya harus memakai bahasa Krama kepada
dirinya, bahkan tidak terkecuali juga keluarganya sendiri dimana di dalamnya juga
termasuk orang tuanya sendiri dan saudara-saudaranya yang lebih tua dari dirinya.308
Sehingga pada dasarnya bahasa Jawa (Baku) yang mengenal unggah-ungguhing basa
sebenarnya adalah sebuah alat politik.309 Bahasa yang digunakan sebagai alat politik inilah
307 James Siegel, Solo the New Order (Language and Hierarcy in An Indonesia City), Princenton University Press, Princenton : New Jersey, 1986, hal 15. 308 G. Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa (Penerapannya oleh Raja-raja Mataram), Kanisius, Yogyakarta, 2002, hal 54-55 309 Ibid hal 57 186
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang akhirnya menjadi sebuah bentuk “kuasa kata” yang digunakan oleh seorang penguasa
untuk melegitimasi kekuasaannya.310
Bangsa Belanda di Hindia Belanda juga menempatkan bahasa Belanda sebagai bahasa
kaum elite.311 Yang dimaksud kaum elite tentunya adalah bangsa Eropa dimana pada masa
kolonial Hindia Belanda mereka menempati golongan sosial yang paling tinggi diatas
golongan timur asing dan pribumi. Dengan pola sosial yang seperti demikian tentunya
mereka akan menempatkan diri lebih tinggi dengan kaum pribumi. Salah satunya adalah
melalui bahasa Belanda yang hanya boleh diucapkan oleh mereka saja. Walaupun
beberapa kalangan pribumi atas diperbolehkan memakai bahasa Belanda ketika dengan
mereka, namun kepada kebanyakan orang pribumi tidak boleh demikian. Orang Jawa
kebanyakan ketika harus berbicara kepada orang Belanda (eropa) maka mereka harus
menggunakan bahasa Krama. Hal ini dikarenakan bahasa Krama di dalam pergaulan orang
Jawa diucapkan oleh orang yang derajat lebih rendah kepada orang yang derajatnya lebih
tinggi. Dengan kata lain melalui hal ini maka telah terjadi sebuah hegemoni bahasa yang
dilakukan orang-orang Belanda terhadap orang-orang Jawa.
Dan untuk melawan hegemoni bahasa yang seperti itu maka pada masa akhir masa kolonial
Belandadi Hindia-Belanda muncullah bahasa perlawanan yaitu bahasa “Melayu
Revolusioner” yang menjadi cikal bakal lahirnya bahasa Indonesia.312 Bahasa “Melayu
Revolusioner” dalam hal ini menjadi awal di dalam menertibkan dan menyatukan kosakata
birokrasi kolonial, kosakata sosial-demokrat Barat, kosakata nasionalis-revolusioner, dan
kosakata tradisi Jawa. Bahasa ini pada awalnya, secara umum, digunakan untuk melawan
310 Benedict Anderson, Kuasa Kata : Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia, Mata Bangsa, Yogyakarta, 2000, hal 323 311 ibid hal 283 312 Ibid hal 270 187
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
hegemoni bahasa Belanda dan, secara khusus, digunakan juga untuk melawan hegemoni
bahasa Jawa (Baku).
Sebenarnya peristiwa dimana bahasa “Melayu Revolusioner” yang nanti pada akhirnya
menjadi bahasa Indonesia, menjadi sesuatu hal yang menarik jika dibandingkan dengan
negara Filipina yang masih “berdebat” tentang keberadaan bahasa tagalog yang diakui
sebagai bahasa nasional, dimana dari hal tersebut justru menimbulkan sebuah sentimen
nasional bagi golongan atau kalangan yang tidak mengakui bahasa Tagalog sebagai
“bahasa bersama”.313 Namun kedudukan bahasa Indonesia tidaklah demikian, hal ini
dikarenakan adanya sebuah “Kongres Pemuda” yang lalu mengikrarkan bahasa Indonesia
sebagai bahasa persatuan sebelum negara Indonesia ini terbentuk. Dan semakin
menariknya adalah bahasa persatuan ini diikrarkan oleh para pemuda yang notabenenya
hanyalah seorang “anak”, dan bukan sebagai seorang “bapak”.
Akan tetapi pada perjalanannya bahasa Indonesia juga mengalami “Kramanisasi” ketika
bahasa ini digunakan juga oleh penguasa untuk melegitimasi kekuasaannya terhadap
rakyatnya sendiri. Penggunaan bahasa Indonesia yang pada awalnya digunakan sebagai
contra hegemoni pada akhirnya pada jaman ORBA justru lalu menjadi sebuah hegemoni
yang baru. Sehingga dengan adanya “Kramanisasi” maka memunculkan dengan apa yang
disebut oleh Anderson sebagai “kuasa kata”, dan oleh Shiraishi disebut sebagai “bahasa
kosong”.
1. Kuasa Kata
Seperti sudah disebutkan di atas bahwa hegemoni bahasa digunakan oleh penguasa
untuk mempertahankan kekuasaannya. Dalam konsep Gramsci, penguasa adalah
313 Benedict Anderson, Hantu Komparasi : Nasionalisme, Asia Tenggara dan Dunia, Qalam, Yogyakarta, 2002, hal 350-353 188
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
negara sebagai masyarakat politik yang menguasai masyarakat sipil.314 Sehingga
hegemoni bahasa tidak bisa dilepaskan dari dari sebuah pengertian yang merujuk
kepada sebuah bahasa politik. Dengan adanya sebuah bahasa politik menunjukkan
bahwa bahasa ini memang dekat dengan sebuah kekuasaan.
Berbicara tentang bahasa politik di era Indonesia modern (akhir era kolonial-awal era
pascakolonial), sebagaimana dikatakan oleh Ben Anderson, tidak terelakkan
diturunkan dari dari tiga bahasa yang berbeda dan dari dua tradisi budaya linguistik
yang berbeda pula.315 Tiga bahasa tersebut adalah bahasa Belanda, Jawa dan “Melayu
revolusioner”, sedangkan dua tradisi linguistik yang berbeda yaitu Barat-Belanda dan
Jawa. Sehingga dari hal ini, khususnya pada era akhir kolonial, menyebabkan
terjadinya bilingualisme pada kelas sosial tertentu pada masyarakat Jawa, khususnya
pada kelas priyayi dan terpelajar.316
Pada masa kolonial, para Priyayi Jawa (Pamongpraja) dalam kedudukannya berada
pada kelas tertinggi dalam tatanan masyarakat Jawa, namun ketika mereka berhadapan
dengan orang Belanda (walaupun hanya dari tataran rendah saja) maka posisi Priyayi
(Pamongpraja) akan berada di bawah orang Belanda tersebut.317 Dari hal tersebutlah
maka para Priyayi harus mengerti bahasa Belanda, karena orang-orang Belanda akan
berbicara pada mereka dengan bahasa Belanda (jikalau tidak dengan bahasa Belanda
maka mereka akan berbicara dengan bahasa Jawa Ngoko atau dengan bahasa Melayu
saja), dan para Priyayi tersebut harus berbicara dengan mereka menggunakan bahasa
Jawa Krama. Hal inilah yang terjadi ketika seorang Residen Solo (orang Belanda)
yang berbicara kepada Raja Keraton Solo dengan bahasa Belanda atau Melayu bahkan
314 Antonio Gramsci, Prison Notebooks (Penj: Teguh Wahyu Utomo), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013, hal 283-287. 315 Kuasa kata hal 265 316 Ibid hal 296 317 Ibid hal 278-290 189
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
hanya dengan bahasa Jawa Ngoko saja, sedangkan sang Raja harus berbicara kepada
Residen dengan bahasa Krama.318 Bahkan Raja Jawa tersebut menyebut Residen
Belanda dengan sebutan “eyang”.319 Seorang Residen saja menempatkan Raja Jawa
tersebut di bawahnya, apalagi seorang Gubernur Jenderal dan Ratu Belanda akan
memperlakukan Raja Jawa tersebut.
Demikian juga dengan para kelas terpelajar yang sebagian besar terdiri dari kaum
muda anak-anak dari para Priyayi Jawa pun harus demikian, karena mereka menerima
pendidikan ala Barat maka mereka harus mengerti bahasa Belanda. Namun semakin
mereka menjadi “terpelajar”, maka mau tidak mau akhirnya bahasa Belanda lamban
laun akan mengalahkan bahasa asli mereka yaitu bahasa Jawa.320 Dan mereka pun
akan merasa lebih “enjoy” karena bagi mereka dengan bisa berbahasa Belanda maka
akan menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang “melek huruf”. Dan orang
yang melek huruf adalah orang-orang yang terpandang dibandingkan dengan yang
buta huruf.321 Hal ini disebabkan karena pada masa setelah adanya “politik etis” saja,
yang memprogramkan bidang pendidikan sebagai salah satu bentuk balas budi kepada
daerah jajahan di Hindia Belanda, tingkat melek huruf hanya masih mencapai 10%
saja, dengan kata lain tingkat buta huruf masih 90%. Oleh karena itu jika ada
seseorang yang terpelajar maka secara otomatis dirinya akan dianggap sebagai orang
yang terpandang. Demikian juga dengan mereka yang bukan berasal dari golongan
Priyayi namun melek huruf, maka derajat merekapun menjadi ikut terangkat.
318 John Pemberton, “Jawa” : On the Subject of “Java”, Mata Bangsa, Yogyakarta, 2003, hal 106-107. 319 Ibid hal 80 320Benedict Anderson, Kuasa Kata : Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia, Mata Bangsa, Yogyakarta, 2000, hal 286. Band. sebutan “Yong Yapa” dimana ini merupakan transformasi lintas-bahasa, sebagian alih bahasa dan sebagian alih tulisan. Lihat. John Pemberton, “Jawa” : On the Subject of “Java”, Mata Bangsa, Yogyakarta, 2003, hal 162 321 Benedict Anderson, Kuasa Kata : Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia, Mata Bangsa, Yogyakarta, 2000,hal 28. 190
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Diantara kelas priyayi dan terpelajar terdapatlah nama Dr. Soetomo yang menjadi
salah satu pendiri organisasi “Boedi Outomo”. Organisasi ini adalah organisasi
modern pertama di Hindia-Belanda yang menggagas konsep kebangsaan, walaupun
pada waktu itu masih terbatas pada lingkup Jawa namun pada nantinya organisasi ini
menjadi awal munculnya gagasan nasionalisme Indonesia. Dari hal inilah yang lalu
menjadi terbuka kemungkinan untuk untuk berpendapat bahwa “suku Jawa” adalah
yang menjadi perintis “Indonesia”.322
Sebagai seorang priyayi dan juga terpelajar tentunya dirinya mempunyai banyak hak
privilige dibandingkan dengan orang-orang Jawa “biasa”. Salah satu hak privilige
tersebut adalah dalam hal pengucapan bahasa, dimana dirinya diperkenankan untuk
berbicara kepada orang lain yang “kelas”nya ada dibawahnya cukup dengan bahasa
Ngoko. Akan tetapi dirinya tidak melakukan hal tersebut, dan memilih berbicara
dengan bahasa Krama kepada siapa saja.323 Hal ini dilakukan sebagai sebuah tanda
bahwa dirinya lebih menekankan prinsip “hormat” kepada semua orang. Karena
menurutnya dengan rasa hormat ini maka dirinya sedang mengangkat derajat orang
Jawa yang selama ini direndahkan oleh bangsa Belanda. Apa yang dilakukan oleh
Dr. Soetomo ini tentunya adalah sesuatu hal yang “melawan arus” budaya Jawa pada
waktu itu dan tentunya juga menjadi perlawanan terhadap kolonialisme Belanda di
Nusantara.
Namun apa yang dilakukan oleh Dr. Soetomo ini berbeda dengan apa yang dilakukan
oleh sebuah kelompok yang menamakan diri “Djawa Dipa” yang mempunyai sebuah
ideologi bahwa bahasa Krama adalah salah satu wujud penindasan kepada kaum
pribumi, dimana menurut Tjokrosoedarmo bahwa bahasa Ngoko adalah “bahasa
322 Simon Phillpot, Meruntuhkan Indonesia (Politik Postkolonial dan Otoritarianisme), LKiS, Yogyakarta, 2003, hal 64. 323 Kuasa Kata hal 456. 191
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
asli”nya bahasa Jawa.324 Oleh karena itu kelompok ini lebih menekankan penggunaan
bahasa Ngoko ketika mereka berbicara kepada siapapun, termasuk ketika berbicara
dengan orang-orang Belanda. Demikian juga dengan kelompok Samin yang juga
menggunakan bahasa Ngoko sebagai wujud protes mereka atas kebijakan pemerintah
Hindia-Belanda yang merugikan mereka.325
Melihat dalam konteks pulau Jawa yang demikian, pada masa kolonial menjadi
“pusat”nya Hindia-Belanda, khususnya masalah bahasa Jawa yang terjadi pro dan
kontra. Maka hal tersebut juga menjadi salah satu inspirasi bagi kaum muda kelas
terpelajar untuk mengembangkan sebuah bahasa baru yang dapat digunakan sebagai
bahasa tandingan terhadap hegemoni bahasa Belanda.326 Sehingga dengan hal ini
diperlukan sebuah bahasa baru yang dapat digunakan sebagai bahasa perlawanan
untuk mengikat rasa kebangsaan (ke“Indonesia”an). Oleh karena itulah dipilihlah
bahasa Indonesia sebagai sebuah bahasa komunikasi yang dapat mengekspresikan
nasionalisme Indonesia dalam batasan satu kosakata tunggal (pada dasarnya bukan
untuk melakukan penyeragaman antardaerah yang ada di Nusantara, akan tetapi
bertujuan supaya tercipta rasa salingketerkaitan spiritual atau semangat nasionalisme).
Dari ekspresi nasionalisme inilah yang lalu semakin menguatkan konsep bangsa
Indonesia yang pada nantinya menjadi sebuah negara Indonesia.
Ben Anderson mendefisinikan bangsa adalah “sesuatu yang terbayang karena para
anggota bangsa terkecil sekalipun tidak bakal tahu dan takkan kenal sebagian besar
anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka itu, bahkan mungkin tidak
pula pernah mendengar tentang mereka”.327 Dan kemunculan komunitas terbayang
324 Kuasa Kata hal 458 325 Ibid hal 454-455 326 Ibid hal 266-269 327 Benedict Anderson, Imagined Communities (Komunitas-komunitas Terbayang), INSIST & Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008, hal 8. 192
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sebagai hasil dari kesadaran nasionalisme ini sangat dipengaruhi oleh keberadaan
bahasa. Ben Anderson sendiri menyebutkan paling tidak ada 4 faktor yang menjadi
asal muasal”Kesadaran Nasional”, yaitu:328 adanya perubahan karakter dari bahasa
Latin, gerakan Reformasi Gereja yang dipelopori oleh Luther yang salah satu hasilnya
adalah munculnya Alkitab bahasa Jerman sebagai sebuah perlawanan terhadap
monopoli bahasa Latin oleh gereja Roma, keuniversalan bahasa Latin tidak diiringi
dengan adanya kesatuan politis di Eropa Barat pada abad pertengahan, lahirnya
bahasa-bahasa ibu yang mempengaruhi pengikisan komunitas terbayang sakral. Dan
sebagaimana disebutkan bahwa salah hasil dari Sumpah Pemuda 1928 adalah adanya
pengakuan sebuah bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia sebagai perekat
“komunitas terbayang” ini. Sehingga dari hal tersebut semakin menegaskan bahwa
peranan bahasa di dalam sebuah komunitas mempunyai peranan yang sangat penting.
Bahasa Indonesia sebenarnya lahir dari sebuah bahasa pasar (lingua franca) yaitu
bahasa Melayu yang sudah mengalami berbagai macam fase perubahan, yang pada
awalnya bahasa ini lalu dikenal dengan bahasa “Melayu revolusioner”, yang dimana
perkembangannya harus dilihat dengan adanya bertumbuhnya cangkokan daging
bahasa Jawa di atas tulang rangka bahasa Melayu revolusioner.329 Sebagai sebuah
lingua franca, maka sebagaimana dikatakan Siegel, maka bahasa tersebut lalu
mempunyai dua prinsip yaitu “tidak saling mencerminkan” dan tidak membuat
rikuh”.330
Melalui dua prinsip yang dikemukan oleh Siegel itulah sebenarnya bahasa Indonesia
dibangun sebagai pemersatu proses kebangsaan yang digunakan untuk melawan
kolonialisme Belanda di Nusantara. Sehingga dari hal ini maka bisa dikatakan bahwa
328 Imagined Communities hal 57-61. 329 Kuasa Kata hal 270. 330 James Siegel, Berbahasa, dalam Sadur hal 342. 193
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bahasa Indonesia muncul karena pada awalnya dimulai atas dasar sebagai sebuah
bahasa perlawanan. Dan ketika bahasa tersebut dipakai sebagai sebuah bahasa
perlawanan, maka bahasa tersebut juga yang pada hekekatnya dapat dikatakan sebagai
sebuah bahasa politik.331
Karena terdapat cangkokan bahasa Jawa di dalamnya, sehingga dapat dikatakan
bahwa bahasa Melayu Revolusioner juga sebenarnya banyak dipengaruhi oleh
kosakata bahasa Jawa. Padahal bahasa Jawa yang berkembang pada waktu itu juga
sudah mengalami campuran dengan bahasa Arab yang bercampur dengan tradisi Jawa,
sehingga dari bercampurnya dua tradisi maka muncullah apa yang disebut sebagai
“Islam Jawa”.332 Sehingga dengan hal tersebut maka pengaruh bahasa Arab dan Jawa
juga mempengaruhi kosakata yang terdapat dalam bahasa Melayu Revolusioner yang
nantinya ketika menjadi bahasa Indonesia pengaruh inipun masih sangat terasa.
Sebagaimana pendapat sejarawan Swiss Herbert Luethy, yang dikutip oleh Anderson,
menggambarkan bahwa “bahasa Indonesia sebagai suatu bahasa “sintetis” yang
meminjam secara melimpah dan tanpa pandang bulu semua terminologi teknis dan
abstraksi ideologis dari dunia modern.....”.333 Dan ketika pengaruh bahasa Arab dan
Jawa ini mempengaruhi pembentukan bahasa Indonesia tentunya menjadi hal yang
wajar, sebagaimana C. Geertz melihat bahwa 90% orang Jawa adalah pemeluk agama
Islam.334
Banyaknya pemeluk agama Islam di pulau Jawa disebabkan oleh banyak hal, namun
oleh Ricklefs ada dua proses “Islamisasi” di pulau Jawa, yaitu : pertama, orang asing
yang sudah beragama Islam dan menetap di suatu tempat di Jawa dan menjadi orang
331 Kuasa Kata hal 297. 332 Ibid hal 273-278. Sebagai contoh adalah “Kalimasada” yang lalu dihubungkan dengan “Kalimat Syahadat”. 333 Ibid hal 263. 334 Clifford Geertz, Agama Jawa : Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa, Komunitas Bambu, Yogyakarta, 2013, hal xxxiii. 194
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Jawa; serta yang kedua, masyarakat lokal Jawa yang akhirnya memilih memeluk
agama Islam.335 Bukti dari kedua hal tersebut adalah dengan adanya bukti penemuan
beberapa nisan dari makam bangsawan muslim yang berangka tahun 1368-1369 di
dekat istana raja Majapahit di Jawa timur; serta dari catatan apoteker Portugis, Tome
Pires, yang mengunjungi pulau Jawa pada tahun 1513 yang menyebutkan bahwa
kerajaan di pedalaman Jawa masih bercorak Hindhu-Budhha, akan tetapi pada tahun
1527 kerajaan tersebut runtuh ketika diserang oleh satu persekutuan pembesar-
pembesar yang sudah memeluk agama Islam. Dimana selanjutnya keruntuhan tersebut
maka pada awal abad 17 muncullah dinasti Mataram Islam yang menggantikan dinasti
Mataram Hindhu-Buddha.
Sehingga dari prosese Islamisasi tersebut akhirnya terjadi pertemuan antara tradisi
Islam (Arab) dengan Jawa yang disebut sebagai “Islam Jawa”. Dengan sebutan
tersebut maka pada prosesnya selanjutnya, sebagaimana dipengaruhi dengan
muculnya dinasti kerajaan Mataram Islam, maka menjadi orang Jawa berarti menjadi
muslim (Islam).336 Identitas inilah yang akhirnya juga membedakan dengan golongan
Eropa yang datang ke pulau Jawa yang beragama Kristen. Sehingga sebutan “Islam
Jawa” dapat dikatakan sebagai sebuah kesadaran identitas orang Jawa yang adalah
pemeluk agama Islam.
Sehingga “Islamisasi Jawa” menjadi faktor terbesar dari tumbangnya dinasti Mataram
Hindhu-Buddha yang digantikan oleh dinasti Mataram Islam. Dimana melalui dinasti
yang baru ini proyek konstruksi bahasa Jawa (Ngoko-Krama) mulai dirancang pada
era Sultan Agung.337 Konstruksi tersebut dilakukan dengan memerintahkan para
335 M.C. Ricklefs, Mengislamkan Jawa (Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai sekarang), Serambi, Jakarta, 2013, hal 29-33. 336 Ibid hal 36. 337 G. Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa (Penerapannya oleh Raja-raja Mataram), Kanisius, Yogyakarta, 2002, hal 45& 55. 195
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pujangga untuk membuat “Babad Tanah Jawi” yang digunakan oleh Sultan Agung
sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan dirinya terhadap tanah Jawa.338 Dan
melalui konstruksi bahasa Jawa inilah yang lalu melahirkan tingkatan bahasa yaitu
bahasa Krama dan Ngoko, dimana bahasa Krama adalah bahasa “eksklusif” yang
hanya harus diucapkan ketika berbicara dengan sanga Raja yaitu Sultan Agung.
Bahasa Krama lalu menempati posisi yang lebih tinggi dari bahasa Ngoko, dimana
bahasa Krama akhirnya pada prosese selanjutnya dianggap sebagai bahasa Priyayi.339
Sehingga dari hal tersebut maka terciptalah sebuah hierarki sosial yang baru pada era
dinasti Mataram Islam, yaitu lahirnya sebuah hierarki bahasa yang menggantikan
kehierarkian berdasarkan sistem kasta yang ada pada era Mataram Hindhu-Buddha.
Gaya bahasa Jawa yang telah dikonstruksi inilah yang lalu disebut sebagai bahasa
Jawa Baku yang dimana prosesnya sangat dipengaruhi oleh “Kramanisasi”.
Kramanisasi ini sebenarnya juga banyak dipengaruhi oleh kekuasaan VOC yang
akhirnya menaklukan raja-raja Jawa. Dan sebagai simbol penaklukan ini maka para
raja jawa ketika berbicara dengan pihak VOC harus menggunakan bahasa Krama,
sedangkan pihak VOC cukup menggunkan bahasa Ngoko saja. Bahkan ketika VOC
runtuh pada akhir tahun 1799 pun model seperti ini terus berlanjut bahkan dengan
adanya proyek “Javanologi” yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda
ditahun 1800an akhirnya membuat “Kramanisasi” ini semakin menjurus menjadi
sebuah bahasa yang digunakan sebagai sebuah relasi kuasa. Sehingga sebebarnya
Kramanisasi adalah sebuah proses yang dibuat atas dasar kolonialisme. Dan dari
Kramanisasi inilah yang lalu menjadi salah satu faktor untuk membuat sebuah Jawa
338 Ibid hal 57. 339 Benedict Anderson, Kuasa Kata : Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia, Mata Bangsa, Yogyakarta, 2000, hal 281. 196
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang telah dikonstruksi. Konstruksi Jawa yang demikian oleh Pemberton disebut
sebagainya sebagai “Jawa”, dimana roh “Jawa” ini semakin terasa pada era ORBA.340
Sebagaimana tadi telah disebutkan bahwa bahasa Krama akhirnya menjadi semacama
bahasa bagi kaum Priyayi, maka akhirnya bahasa Krama bagi para Pamongpraja pada
jaman kolonial adalah sebuah bahasa resmi, aspiratif (agak mirip topeng), sedangkan
bahasa Ngoko lebih privat, sinis, bergairah (agak mirip hati).341 Sehingga dengan hal
ini maka semakin menciptakan hierarki social melalui bahasa di dalam tatanan
masyarakat Jawa dimana para Pamongpraja ini memang diisi oleh kalang Priyayi atau
dari kalangan terpelajar yang melek huruf. Golongan Priyayi yang dijadikan sebagai
Pamongpraja inilah yang lalu menjadi perpanjangan tangan atau penghubung antara
pemerintah kolonial Hindia-Belanda dengan rakyat ketika menerapkan sistem tanam
paksa.342
Kemunculan Kramanisasi bahasa Jawa ini sebenarnya juga diikuti dengan adanya
perlawanan yang dilakukan oleh banyak kalangan baik secara individu maupun
komunal. Mas Marcodikromo melakukan perlawanan tersebut dengan menggunakan
bahasa Melayu ketika menulis artikel-artikelnya di surat kabar, padahal dirinya adalah
seorang Jawa tulen.343 Dari hal ini ternyata bahasa Melayu juga dapat digunakan
sebagai perlawanan terhadap penggunaan bahasa Jawa Krama. Sebaliknya
Poerbotjaraka menggunakan bahasa Belanda untuk menyerang “Feodalisme semu”
Priyayi Jawa yang menggunakan bahasa Jawa Krama sebagai topeng kekuasaan
340 Ibid hal 316 & 396. 341 Ibid hal 281. 342 Ibid hal 278-290 343 Benedict Anderson, Kuasa Kata : Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia, Mata Bangsa, Yogyakarta, 2000, hal 411 Band. Dengan: - Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalsime Rakyat di Jawa 1912-1926 (penj: Hilmar Farid), Grafiti, Jakarta, 1997, hal 419-419. - Rudolf Mrazek, Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni, Obor, Jakarta, 2006, hal 46-47. 197
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mereka terhadap orang-orang dari kelas bawah.344 Sedangkan yang bergerak secara
Komunal adalah perlawanan gerakan Jawa Dipa yang tidak mau menggunakan bahasa
Jawa Krama dalam setiap pembicaraannya dan cukup berbicara dengan bahasa Jawa
Ngoko saja, hal ini disebabkan karena mereka menilai bahwa bahasa Jawa Ngoko
adalah bahasa asli dari bahasa Jawa.345 Demikian juga dengan kelompok Samin di
daera Blora yang tidak mau menggunakan bahasa Jawa Krama kepada para
Pamongpraja sebagi wujud perlawanan mereka terhadap kebijakan pemerintah
kolonial Hindia Belanda yang merugikan mereka.346
Dan ternyata Kramanisasi bahasa ini tidak hanya terjadi pada bahasa Jawa saja akan
tetapi juga akhirnya menyasar pada bahasa Indonesia pada era awal-awal setelah
kemerdekaan. Padahal bahasa Indonesia sebenarnya lahir dari sebuah bahasa
perlawanan yang disebut sebagai bahasa “Melayu Revolusioner”, bahkan ketika sudah
disebut sebagai bahasa Indonesia bahasa ini disebut sebagai sebuah “ngoko baru”.347
Ben Anderson menyebut Kramanisasi bahasa Indonesia ini sebagai “Jawanisasi
Indonesia”, yang salah satu caranya dilakukan melalui Kramanisasi bahasa publik
Indonesia.348 Kramanisasi ini ditunjukkan dengan digunakannya istilah-istilah Jawa
yang dipakai untuk mengidentifikasi istilah-istilah masa kini dengan menggunakan
bahasa Jawa yang dipakai pada masa lalu Jawa yang heroik, diantaranya yaitu kata
Pancasila, Bhayangkari, Sapta Marga.
Dan apa yang terjadi dalam model kekuasaan di Indonesia ini memang harus diakui
sangat kental dengan aroma Jawa. Hal ini dikarenakan di dalam dua periode
344 Benedict Anderson, Kuasa Kata : Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia, Mata Bangsa, Yogyakarta, 2000, hal 450-454. 345 Ibid hal 456-462. 346 Ibid hal 454-455. 347 Ibid hal 463. 348 Ibid hal 308-312. 198
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pemerintahan setelah era kemerdekaan yang sering disebut sebagai Orde Lama pada
era kepemimpinan presiden Soekarno dan Orde Baru pada era kepemimpian Soeharto,
dimana kedua orang presiden tersebut adalah orang Jawa. Sehingga wajar jika aroma
Jawa begitu kental mempengaruhi model kepemimpinan mereka. Seperti apa yang
dikatakan Ben Anderson ketika menyebutkan bahwa kesejarahan Jawa adalah sebuah
siklus dan bukan linier, maka kedua pemimpin inipun lalu mempunyai pandangan
yang sama tentang hal tersebut yang akhirnya mempengaruhi gaya kepemimpinan
mereka.349
Melalui pandangan kesejarahan yang adalah sebuah siklus dan bukan linier, maka
perjalanan sejarah dapat diibaratkan seperti sebuah roda yang berputar dimana suatu
sejarah pasti akan terulang kembali di masa yang akan datang. Dalam siklus
historiografi Jawa jika sesuatu dimulai dari zaman keemasan yang telah lampau
makan nanti pada masa selanjutnya akan terjadi sebuah yang ‘amburadul” yang
disebut sebagai zaman edan. Karena roda terus berputar maka zaman edan pada suatu
masa akan kembali lagi ke zaman keemasan melalaui datangnya sang Ratu Adil yang
baru. Dan kedua pemimpin tersebut ingin mengulangi masa keemasan Jawa yang
pernah terjadi pada masa lalu. Dalam hal ini Soekarno sangat terobsesi dengan zaman
keemasan Majapahit, sedangkan Soeharto sangat terobsesi dengan kegagahan Sultan
Agung pada era dinasti Mataram Islam.350
Sehingga dengan obsebsi tersebut maka pada era Demokrasi terpimpin, Soekarno lalu
menggunakan banyak kata-kata Jawa kuno seperti Tri Ubaya Sakti, Pancatunggal,
Pancawardhana, Mandala, Satya Lencana, Pramuka dan seterusnya.351 Sedangkan
Soeharto lalu membuat semacam “babad” seperti yang dilakukan oleh Sultan Agung,
349 Ibid hal 317-318. 350 Sindhunata, Bayang-bayang Ratu Adil, Gramedia, Pustaka Utama, Jakarta, 1999, hal 132. 351 Kuasa Kata hal 312. 199
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yaitu membuat sebuah sejarah dimana dengan subyektifitas Orde Baru-nya Soeharto
lalu mengedepankan kehebatan dirinya yang dinarasikan melalui peristiwa “Serangan
Umum 1 Maret”.352 Dari narasi inilah narasi Soeharto sebagai seorang “ratu adil”
yang baru mulai dibangun dengan menyebutkan dirinya sebagai penggagas peristiwa
tersebut. Demikian juga dengan penunjukkan Soeharto sebagai penerima Surat
Perintah Sebelas Maret atau “Supersemar” yang ditandatangani oleh Soekarno juga
dinarasikan sebagai sebuah “transfer kekuasaan” dan bukanlah sebuah kudeta. Dan
melalui peristiwa Supersemar inilah yang lalu menjadi sebuah jalan bagi Soeharto
untuk resmi menjadi Presiden pada tahun 1968. Sehingga dari narasi ini maka
sebenarnya Soeharto secara “de facto” telah menerima kekuasaan itu setelah peristiwa
11 Maret 1966, dan secara “de jure” resmi menjadi Presiden baru pada tahun 1968.353
Dengan narasi inilah yang menunjukkan bahwa roh “Kramanisasi” telah merasuk ke
dalam bahasa Indonesia. Sehingga bahasa Jawa Baku dengan Kramanisasi-nya
akhirnya menjadi sebuah bahasa politik yang penuh kuasa. Dan pada akhirnya
Kramanisasi ini akhirnya juga menyasar kepada bahasa Indonesia, dimana
kramanisasi ini lalu digunakan sebagai alat untuk meraih dan mempertahankan sebuah
kekuasaan. Dari sinilah maka bahasa Jawa Baku dengan Kramanisasinya dapat
dikatakan sebagai suatu bahasa yang didalamnya mengadung kata-kata yang penuh
kuasa.354
2. Bahasa kosong
Sebagaimana telah dikatakan bahwa bahasa “Melayu revolusioner”, yang lalu
nantinya disebut sebagai bahasa Indonesia, telah dipilih sebagai bahasa nasional yang
digunakan sebagai bahasa perlawanan terhadap bahasa Belanda yang disepakati
352 Sindhunata hal 133. 353 Kuasa Kata hal 240. 354 Kuasa Kata hal 56. 200
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bersama melalui peristiwa Sumpah Pemuda 1928.355 Keberadaan bahasa Melayu
sebagai lingua franca di Nusantara memang menjadi alasan yang begitu besar untuk
dijadikan sebagai bahasa Indonesia, akan tetapi sebenarnya peran pemerintah Hindia-
Belanda terhadap hal ini juga besar, bahkan menjadi “promotor” yang paling awal dan
gigih untuk menjadikan bahasa Melayu menjadi lingua franca di Hindia-Belanda
(Nusantara).356 Pemerintah Hindia-belanda memilih bahasa Melayu sebagai lingua
franca dengan tujuan supaya bisa digunakan sebagai bahasa penghubung di kantor
pemerintahan di seluruh Hindia-Belanda, sebagaimana ketika menggunakan bahasa
Jawa untuk memudahkan penguasaannya di wilayah Jawa.357
Selain itu dengan pendirian Balai Pustaka, yang resmi didirikan tahun 1917, juga
menjadi salah satu faktor penting bagi bahasa Melayu untuk tetap menjadi lingua
franca di Hindia-Belanda walaupun minat baca pada waktu itu masihlah sangat kecil
yaitu hanya 0,6%.358 Walaupun minat baca yang masih kecil dikarenakan memang
angka melek huruf pada waktu itu masih dibawah 10%, akan tetapi hal ini menjadi
sesuatu yang efektif karena apa yang diterbitkan oleh Balai Pustaka dapat menjadi
“santapan” bagi para kaum terpelajar serta kalangan peranakan Cina yang lebih fasih
menggunakan bahasa Melayu ketimbang dengan bahasa-bahasa daerah yang ada di
Hindia-Belanda. Dan keberadaan orang-orang peranakan Cina inilah yang akhirnya
mempopulerkan bahasa Melayu melalui interaksi perdagangan mereka yang biasanya
dilakukan di pusat kota baik di kota kecil maupun besar.359
Sehingga dengan digunakannya bahasa Melayu di kantor-kantor pemerintahan,
kalangan terpelajar dan dari kalangan peranakan Cina maka bahasa ini tetap bisa
355 Salah satu isi Sumpah Pemuda 1928, “Berbahasa Satu, Bahasa Indonesia”. 356 Kuasa Kata hal 415. 357 Kuasa Kata hal 416-417. 358 Kuasa Kata hal 418. 359 Kuasa Kata hal 419 201
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dipertahankan sebagai lingua franca di wilayah Hindia-Belanda. Sebagaimana
Anderson mengatakan bahwa bahasa bersamalah yang menumbuhkan rasa
nasionalisme,360 maka dari ketiga kalangan itulah sebenarnya nasionalisme Indonesia
mulai dibentuk. C.Geertz juga menyebutnya bahwa kelompok elite, pemuda yang
terpelajar dan massa kota adalah menjadi faktor penting dalam pengintegrasian
masyarakat menuju pada pembentukan perasaan identitas nasional yang baru.361 Yang
pertama, kelompok elite adalah mereka yang menjadi pegawai pemerintahan atau
Pamongpraja; yang kedua, pemuda sebagai kelas yang “terpelajar” karena sejak
adanya politik etis setiap anak mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan; yang
ketiga, “massa kota” adalah mereka yang menjalankan aktivitas mereka di kota,
dimana para pedagang memainkan peran ini yang sebagian besar berasal dari etnis
Cina/Tionghoa (peranakan).
Oleh karena melalui hal itulah maka keberadaan bahasa Melayu akhirnya bisa
bertahan selama berabad-abad sebagai bahasa perdagangan (lingua franca), sehingga
bahasa Melayu lebih mudah dijadikan sebagai bahasa persatuan.362 Sehingga melalui
Sumpah Pemuda, sebenarnya bahasa Melayu-lah yang sudah menjadi bahasa bersama
di wilayah Nusantara inilah yang justru lalu bisa menumbuhkan rasa nasionalisme
Indonesia. Melalui bahasa Indonesia sebagai sebuah bahasa persatuan inilah maka
sekat-sekat antar daerah/pulau bisa dijembatani. Sehingga dapat dikatakan bahwa
bahasa Indonesia lahir sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme.
360 Kuasa Kata hal 420 361 Clifford Geertz, Agama Jawa : Abangan, Santri, Priyayi dalam kebudayaan Jawa, Komunitas Bambu, Depok, 2013, Hal 530-537. 362 Kuasa Kata hal 419-420. 202
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Namun sebenarnya permasalahan tentang “bahasa” ini telah menjadi perhatian Kartini
ketika menuliskan surat kepada sahabat penanya yang seorang Belanda.363 Surat ini
diawali dengan sebuah pertanyaan “dengan bahasa apa kami berbicara di rumah?”.
Kartini mengatakan bahwa mereka berbicara bahasa Jawa di rumah, namun mereka
berbicara dengan bahasa Melayu kepada orang asing dari timur (baik itu orang
Melayu, pribumi non Jawa, Arab atau Cina), dan mereka berbicara dengan bahasa
Belanda dengan orang Eropa. Melalui surat Kartini ini kita bisa melihat terjadinya
“bilingualisme” dimana bahasa Melayu menjadi bahasa perantara ketika
berkomunikasi dengan orang-orang non-Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa memang
bahasa Melayu telah menjadi bahasa pemersatu di wilayah Hindia-Belanda.
Akan tetapi pada bagian suratnya yang lain, Kartini menceritakan tentang pengalaman
buruk seorang pelajar Jawa yang baru saja lulus yang berani berbicara dalam bahasa
Belanda kepada seorang Residen.364 Selepas kejadian itu, keesokan harinya orang
tersebut lalu dimutasi ke daerah pegunungan. Mutasi ini terjadi dikarenakan Residen
tersebut merasa tersinggung karena ada kaum “inlander” Jawa yang berbicara dengan
dirinya yang seorang Belanda dengan tidak menggunakan bahasa Jawa Krama. Pada
bagian ini Kartini juga menceritakan bahwa kakak-kakaknya ketika berbicara kepada
atasan mereka yang adalah orang Belanda harus menggunakan bahasa Jawa Krama,
sedangkan atasan mereka cukup menjawab dalam bahasa Belanda atau Melayu.
Dalam hal ini sebenarnya Kartini sedang menunjukkan bahwa bahasa Jawa Krama
memang digunakan sebagai sebuah simbol superioritas bangsa Belanda terhadap
orang Jawa.
363 Saya Sasaki Shiraishi, Pahlawan-pahlawan Belia (Keluarga Indonesia dalam Politik), Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2001, hal 132. 364 Denys Lombard, Silang budaya (1) : Batas-batas Pembaratan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hal 94-95 203
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dari apa yang disampaikan oelh Kartini menunjukkan bahwa bahasa Belanda hadir
untuk memerankan fungsi “Krama”, yang sedang mengungkapkan bahwa bahasa
Belanda sebagai bahasa yang mempunyai status paling tinggi.365 Sehingga dari hal
tersebut semakin memperjelas bahwa Kramanisasi dalam bahasa Jawa memang
ditujukan untuk kepentingan kekuasaan atau politis. Dimana hal tersebut sebenarnya
sudah sejak sejak era dinasti Mataram Islam pada era kepemimpinan Sultan Agung
yang menggunakan Kramanisasi sebagai sebuah legimitasi kekuasaan atas dinasti
Mataram Hindhu-Buddha. Dan ketika VOC mulai menaklukan raja-raja Jawa maka
roh Kramanisasi inipun lalu dipakai sebagai legitimasi penaklukan mereka terhadap
tanah Jawa. Demikian juga dari pihak para raja-raja Jawa yang sudah ditaklukan oleh
Belanda serta kehilangan kekuasaannya, juga menggunakan bahasa Jawa Krama ini
sebagai sebuah legitimasi kekuasaan mereka terhadap rakyat mereka sendiri.366
Kramanisasi bahasa Jawa yang menunjukkan suatu eksklusifitas golongan Priyayi
Jawa ini juga mendapat tentangan dari Ki Hajar Dewantara melalui sekolah Taman
Siswa-nya.367 Konsep familiisme yang digunakan dalam metode pendidikan di Taman
Siswa juga menjadikan sebutan “bapak” dan “ibu” untuk menggantikan istilah
“Tuan”, “Nyonyah”, “Nonah” atau istilah sejenis dalam bahasa Belanda “Meneer”,
“Mevrouw” dan “Juffrow” dan juga sebutan Jawa “Mas Behi”, “Den Behi” dan
“Ndoro”, dimana sebutan-sebutan dalam bahasa Belanda dan Jawa tersebut
sebenarnya menyiratkan superioritas dan inferioritas kelas. Dengan emnanggalkan
gelar kebangsawanannya, Ki Hajar Dewantara yang bernama asli Raden Mas
Soewardi Soeryaningrat, maka Ki Hajar Dewantara menginginkan di Taman Siswa
365 Kuasa Kata hal 282. 366 G. Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa (Penerapannya oleh Raja-raja Mataram), Kanisius, Yogyakarta, 2002, hal 74-75. 367 Saya Sasaki Shiraishi, Pahlawan-pahlawan Belia (Keluarga Indonesia dalam Politik), Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2001, hal 136-139. 204
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
terdapat kesetaraan di lingkungan sekolahannya. Sehingga dengan demikian maka
melalui Taman Siswa sebenarnya Ki Hajar Dewantara juga sedang sedang melakukan
perlawanan terhadap kolonialisme Belanda di Nusantara karena pemerintah Hindia-
Belanda menempatkan status sosial mereka lebih tinggi dari kalangan pribumi.
Demikian juga di kalangan orang Jawa sendiri yang juga terdapat pembedaan lapisan
sosial, hal ini terlihat dari pemberian nama yang berbeda antara kalangan elite
(Keraton) dengan rakyat biasa sperti yang dirasakan oleh Ki Hajar Dewantara dengan
nama aslinya yang memakai gelar “Raden Mas” karena berasal dari trah Pakualam.
Karena meninggalkan gelar bangsawannya maka, Ki Hajar Dewantara lalu dipanggil
dengan sebutan “bapak”.
Dengan sebutan “bapak” ini maka superiotas dan inferioritas dari bangsa Belanda dan
kalangan elite Jawa mulai dihapus dimulai dari lingkungan Taman Siswa. Namun
lambat laun setelah Indonesia merdeka sebutan “bapak” ini juga mulai digunakan di
dalam kantor-kantor instansi pemerintahan untuk menyebut seorang pemimpin/kepala
kantor, sehingga menunjukkan kesan adanya sebuah tataran birokrasi. 368 Demikian
juga di dunia kemiliteran bahwa seorang komandan juga disebut dengan “bapak”
untuk membedakan mana yang “anak buah” dan mana yang “bapak buah”.
Oleh karena itu terkhusus dalam era Orde Baru yang identik dengan militer, maka
sebutan “bapak” ini semakin dekat dengan sebuah relasi kuasa. Gelar yang disematkan
pada diri pemimpin ORBA dengan sebutan sebagai “Bapak Pembangunan
Nasional”,369 serta diikuti dengan penerimaan tanda Bintang Lima di dunia
368 Ibid hal 139-143. 369 Gelar ini berdasarkan, TAP MPR RI Nomor V/MPR /1983, yang salah satu poinnya berbunyi: “Bahwa rakyat Indonesia setelah menyaksikan, merasakan, dan menikmati hasil-hasil pembangunan, secara tulus ikhlas telah menyampaikan keinginannnya untuk memberi penghargaan kepada Jenderal (Purn) Soeharto Presiden Republik Indonesia, sebagai Bapak Pembangunan Nasional” 205
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kemiliteran sebagai sebuah tanda pemimpin tertinggi kemiliteran,370 menunjukkan
bagaimana rasa superioritas yang ada dalam diri Soeharto. Sehingga dari hal terebut
maka Shiraishi mengatakan bahwa pada masa ORBA, Soeharto adalah “bapak dari
segala bapak”.371
Melihat prinsip pertalian darah dalam keluarga Jawa yang dipaparkan oleh Hildred
Geertz, “senioritas” adalah salah satu hal dimana seseorang di dalam keluarga akan
memainkan peran yang sangat penting.372 Dan rasa senioritas di dalam keluarga juga
dipengaruhi oleh jenis kelamin, dimana seorang laki-laki dianggap yang lebih senior
daripada seorang perempuan, sehingga dengan demikian maka di dalam keluarga
tentunya seorang bapaklah yang menjadi paling senior di dalam keluarga. Oleh karena
itu semua hormat di dalam keluarga akan tertuju hanya kepada seorang bapak saja,
dan salah satunya wujud rasa hormat itu adalah melalui penggunaan bahasa Krama
ketika berbicara dengan bapak.373 Dengan pemahaman tentang sosok bapak inilah
yang tentunya mempengaruhi pandangan Soeharto, yang adalah orang Jawa, sebagai
seorang “bapak” yang harus selalu dihormati.
Kemunculan Soeharto sebagai seorang “bapak” sebenarnya mulai muncul ketika
meletus peristiwa 30 September 1965 dimana enam Jenderal dan satu Perwira Pertama
dibunuh di Lubang Buaya. Dalam peristiwa ini Soeharto lalu muncul bak seorang
pahlawan karena berhasil membongkar peristiwa tersebut dan menuduh PKI sebagai
dalang dari semua peristiwa tersebut. Karena dianggap sebagai orang paling penting
dalam pembongkaran peristiwa tersebut maka Soeharto “diberi” mandat oleh Presiden
370 Gelar ini diberikan pada peringatan hari ABRI ke 52 tanggal 5 Oktober 1997. 371 Saya Sasaki Shiraishi, Pahlawan-pahlawan Belia (Keluarga Indonesia dalam Politik), Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2001, hal 261. 372 Hildred Geertz, Keluarga Jawa, Grafitipress, Jakarta, 1983, hal 20. 373 Ibid hal 24-26. 206
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Soekarno untuk memulihkan situasi dan kondisi yang sedang terjadi melalui Surat
Perintah Sebelas Maret tahun 1966 yang sering disebut sebagai Supersemar.
Akan tetapi ternyata peristiwa 11 Maret 1966 inilah yang lalu menjadi sebuah peritiwa
paling krusial dimana Soeharto mulai secara nyata menggerogoti kekuasaan Presiden
Soekarno. Dan melalui Supersemar inilah sebenarnya sedang berlangsung “kudeta
diam-diam” yang dilakukan oleh Soeharto.374Kata Supersemar sendiri bukanlah
hanya sebuah singkatan saja, akan tetapi kata ini mempunyai makna tersendiri.
Menurut Niels Mulder, Supersemar adalah sebuah kebenaran sejati.375 Kata “super”
merujuk pada manifestasi ketuhanan yang sempurna dari Ismaya, kakak Dewa Shiwa;
sedangkan kata Semar menunjuk pada tokoh wayang yang mendukung kemenangan.
Bagi Sindhunata tokoh Semar ini dihubungkan dengan cerita “Semar mbangun
kahyangan” yang digambarkan sedang membangun dunia baru.376 Pembangunan
dunia baru inilah yang lalu disebut sebagai Orde Baru, yang akhirnya melalui sebutan
“Orde Baru” inilah yang akhirnya memunculkan sebutan baru untuk era sebelumnya
di bawah kepemimpinan Soekarno dengan sebutan “Orde Lama”. Namun sebutan
“Orde Lama” ini ditolak oleh Soekarno karena menurutnya sebutan ini mempunyai
tendensi bahwa dirinya telah menyimpang dari tujuan revolusi, sehingga Soekarno
mengatakan orde-nya adalah “Orde Asli”.377 Sehingga dari perebutan istilah ini maka
trlihat bagaimana seorang penguasa memakai “bahasa” untuk mempertegas
kekuasaannya. Hal ini seperti apa yang dikatakan Gramsci bahwa sebuah “jargon”
politik juga sangat dibutuhkan oleh seorang penguasa.378
374 Saya Sasaki Shiraishi, Pahlawan-pahlawan Belia (Keluarga Indonesia dalam Politik), Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2001, hal 190 375 Niels Murder, Mistisisme Jawa (Ideologi di Indonesia), LKiS, Yogyakarta, 2001, hal 105-106. 376 Sindhunata, Bayang-bayang Ratu Adil, Gramedia, Pustaka Utama, Jakarta, 1999, hal hal 209. 377 Pidato Presiden Sukarno 14 desember 1966. 378 Prison Notebooks hal 207 207
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Orde Baru sendiri, oleh Cahin dan Gribb, sebenarnya adalah sebutan yang
dikonstruksi oleh para koalisi Soeharto dari kalangan Angkatan Darat, mahasiswa,
intelektual dan muslim yang menentang Soekarno dan PKI.379 Sehingga dengan
sebutan Orde Baru sebenarnya sedang dibangun sebuah pandangan bahwa era
sebelumnya, yaitu Orde Lama, adalah sebuah era atau jaman yang sudah berlalu yang
harus dibenahi oleh era atau jaman yang baru yaitu Orde Baru. Dan jaman yang baru
ini adalah jaman dimana akan disongsongnya sebuah era keemasan dengan disertai
datangnya “Ratu Adil”.
Sehingga dari kata Supersemar ini sebenarnya juga sedang menunjukkan bagaimana
bahasa di dalam surat itu adalah bahasa yang “super” karena dengan surat tersebut
Soeharto akhirnya bebas melakukan banyak hal dimana semuanya dilakukan dalam
rangka untuk melakukan “kudeta diam-diam” tersebut. Bahasa dari surat ini
menjadikan kepemimpinan serta kharisma dari diri Soekarno sebagai seorang
proklamator harus “runtuh” di hadapan rakyatnya sendiri. Dari bahasa yang terdapat
di dalam Supersemar itulah Orde Baru dibentuk oleh sebuah bahasa yang dikonstruksi
oleh seorang “bapak”.
Sebutan “bapak” yang pada awalnya digunakan oleh Ki Hadjar Dewantara melalui
sekolah Taman Siswanya sebenarnya digunakan untuk menunjukkan kesetaraan
antara guru dan murid, namun ternyata di jaman ORBA sebutan “bapak” ini lalu
menjadi sebuah sebutan yang mempunyai makna sebuah relasi kuasa. Sebagai contoh
adalah semboyan “Tut Wuri Handayani” yang oleh Ki Hajar Dewantara dipapaki
sebagai model pendidikan di Taman Siswa yang dimaknai sebagai membimbing dari
belakang sebagai sebuah usaha membiarkan para anak didik untuk bebas dan
379 lihat buku Audrey Kahin & Robert Cribb, Kamus Sejarah Indonesia 208
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mempunyai inisiatif di dalam kelas, namun oleh Soeharto istilah ini lalu dimaknai
sebagai seperti halnya membimbing bayi dari belakang dengan cara memegang kedua
tangannya dan membimbingnya untuk berjalan.380 Sehingga dengan pergeseran
makna inilah maka terlihat sekali lagi bagaimana seorang “bapak” menggunakan
bahasa sebagai alat untuk mengontrol “anak-anak”nya. Dimana pada nantinya relasi
kuasa yang dibangun oleh rezim ORBA dikatakan lebih kejam dari masa
kolonialisme, sebagaimana pernyataan Brian May yang dikutip oleh Shiraishi, bahwa
“Indonesia dilahirkan setelah sebuah penculikan; dilahirkan kembali dalam kudeta
dan dibaptis dengan darah pembantaian”.381 Penculikan adalah peristiwa
Rengasdengklok, kudeta adalah peristiwa 1 Oktober ketika para Jenderal diculik dari
rumah mereka masing-masing lalu dibunuh di Lubang Buaya, sedangkan pembantaian
adalah pembunuhan massal yang dilakukan setelah peristiwa kudeta 1 Oktober.
Terkhusus untuk peristiwa pembunuhan para Jenderal Angkatan Darat itupun lalu
memunculkan dua istilah yang berbeda, versi Soeharto disebut sebagagi “G30S/PKI”
singkatan dari Gerakan 30 September/PKI yang juga bisa disebut dengan “Gestapu”,
yang merujuk PKI sebagai dalang utama peristiwa ini; sedangkan versi Soekarno
menyebutkan sebagai “Gestok” atau Gerakan Satu Oktober karena peristiwa ini terjadi
pada pagi dini hari tanggal 1 Oktober, tanpa embel-embel “PKI”. Tentunya
penyebutan kedua istilah ini juga digunakan untuk saling mengklaim kebenaran dari
peristiwa yang terjadi pada para Jenderal Angkatan Darat tersebut. Dan untuk
memenangkan “perang” istilah tersebut maka ketika ORBA sudah bisa menancapkan
kekuasaannya maka tanggal 1 Oktober, yang disebut dengan “GESTOK” oleh
Soekarno untuk menyanggah sebutan “G30S/PKI dari Soeharto, ditetapkan sebagai
380 Saya Sasaki Shiraishi, Pahlawan-pahlawan Belia (Keluarga Indonesia dalam Politik), Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2001, hal 142 381 Ibid hal 49-50 209
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
“Hari Kesaktian Pancasila”. Penetapan hari tersebut adalah untuk membuktikan
bahwa Pancasila gagal untuk dihancurkan, dan yang menggagalkan adalah sosok
seorang “bapak” yaitu Soeharto. Sehingga seolah-olah “Kesaktian Pancasila” itu
karena ada “bapak” yang menjadi penyelamat Pancasila, dan dialah yang selalu
merasa menjadi pemimpin yang berjiwa “Pancasila”. Dengan menjadi seorang
pemimpin Pancasila maka kedudukannya menjadi sejajar dengan “bapak ideal”.382
Kembali pada peristiwa pembunuhan para Jenderal Angkatan Darat, sejak
kemunculannya pada pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, setelah peristiwa 30
september 1965 terjadi, sebutan “bapak” mulai disematkan di dalam diri Soeharto.
Hal ini dikarenakan melalui peristiwa pengambilalihan wewenang yang dilakukan
oleh Soeharto di tubuh Angkatan Darat (AD) inilah yang menjadi jalan bagi Soeharto
untuk memimpin AD karena terjadi kekosongan pimpinan di tubuh AD. Sebenarnya
setelah era kemerdekaan, Soekarno juga tidak hanya disebut dengan sebutan “bung”
saja akan tetapi juga sudah mulai disebut “bapak”. Namun sebutan “bapak” bagi
Soeharto dan Soekarno tentunya merupakan dua model yang bertentangan. Model
Soeharto adalah model Bapak-tahu-segala (Fathers-knows-best) yang reaksioner,
sedangkan Soekarno dalam peristiwa Rengasdengklok adalah model yang
revolusioner.383 Perbedaan itu juga terlihat berbeda karena Soekarno dikenal dengan
suara baritonnya ketika berpidato, sedangkan Soeharto dikenal dengan seseorang yang
mempunyai senyum yang tenang sehingga disebut sebagai “smiling general” atau
Jenderal yang penuh senyum.384
382 Neil Murder, Mistisisme Jawa (ideologi di Indonesia), LKiS, Yogyakarta, 2001, hal 109. 383 Saya Sasaki Shiraishi, Pahlawan-pahlawan Belia (Keluarga Indonesia dalam Politik), Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2001, hal 131. 384 Ibid hal 140 210
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Namun dibalik senyumnya inilah yang lalu muncul sebuah era atau jaman yang
disebut sebagai Orde Baru yang dilahirkan dari seorang “bapak” melalui sebuah
“baptisan darah”. Sehingga sama seperti roh Dewantara tentang “bapak”, maka hal ini
juga menunjukkan bahwa “bahasa memerlukan bapak”.385 Namun dalam hal ini bukan
berarti “roh” yang dimiliki oleh Ki Hajar Dewantara dan Soeharto mempunyai
kesamaan, justru sebaliknya terdapat perbedaan yang sangat mencolok. Hal ini
dikarenakan bahasa “bapak” yang digunakan oleh Ki Hajar Dewantara adalah suatu
simbol kebebasan para anak didik dan juga sebagai simbol perlawanan terhadap
kolonialisme bangsa Belanda dan rasa superioritas kaum elite Jawa, sedangkan
Soeharto menggunakan bahasa tersebut sebagai salah satu cara untuk berkuasa dimana
keindahan bahasa dari “bapak” inilah yang lalu melahirkan Supersemar. Dimana
melalui Supersemar “bahasa Indonesia yang digunakan dalam penulisan surat
tersebut, telah menjadi bahasa untuk menegakkan kekosongan yang mengerikan,
yang pada intinya tanpa makna. Kebenaran yang tersembunyi di balik bahasa kosong
itulah yang melarang anak untuk menentang bapak, dan sebaliknya memperbolehkan
bapak bilang, begitulah!”.386
Sebagaimana seorang bapak mengajari banyak hal kepada anak-anaknya, maka
“bapak” Orde Baru juga menempatkan diri yang demikian. Semua anak-anak sudah
sejak SD sudah diajari di dalam ruang kelas tentang “ini Budi” melalui pelajaran
Bahasa Indonesia. “Budi” disini diperkenalkan sebagai maksud “akal” atau “pikiran”
atau “pemikiran yang benar”.387 Dari “Budi” inilah diperkenalkan bangunan keluarga
yang ideal. Sehingga dengan konsep ini maka proses belajar menjadi rekonfirmasi
385 Ibid hal 148 386 Ibid hal 194 387 Ibid hal 209 211
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dari apa yang diketahui dan dimiliki seseorang bahkan jika konstruksi tersebut
berbeda dari keluarga yang dimiliki oleh para siswa tersebut.388 Sehingga dari apa
yang diajarkan seolah-olah menajdi sebuah bahasa kosong belaka.
“Bahasa kosong” adalah bahasa yang sebenarnya dipenuhi dengan adanya roh
kolonialisme. Hal ini dikarenakan bahasa tersebut adalah bahasa reka karya, bahasa
yang sudah mengalami tawar menawar, bahasa pesanan dan penyaringan yang
disepakati bahkan direstui sebagai bahasa penguasa dan pencitraannya.389 Dengan
demikian maka dapat dikatakan bahwa “Kramanisasi” yang terjadi pada bahasa
Indonesia adalah sebuah bahasa kosong, dimana roh “Kramanisasi” bermula dari
adanya konstruksi bahasa Jawa yang dilakukan oleh para elite Jawa dan Belanda
sebagai sebuah relasi kuasa.
388 Ibid hal 213 389 Budi Susanto, S.J. (Editor), Politik dan Postkolonialitas di Indonesia, Lembaga Studi Realino & Kanisius, Yogyakarta, 2007, hal 139. 212
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB IV
COUNTER HEGEMONI TERHADAP BAHASA JAWA BAKU
MELALUI PENERJEMAHAN ALKITAB BAHASA PENGINYONGAN
A. Counter Hegemoni terhadap “kuasa kata” & “bahasa kosong”
Dari sudut pandang konsep “kuasa kata” yang dikembangkan oleh Ben Anderson dan
“bahasa kosong” yang dikembangkan oleh Shiraishi, menunjukkan bahwa “Kramanisasi”
adalah sebuah konstruksi bahasa yang di dalamnya terdapat sebuah relasi kuasa. Relasi
kuasa yang terjadi di dalam bahasa inilah yang oleh Gramsci sebagai “hegemoni bahasa”.
Hegemoni bahasa adalah salah satu wujud dari hegemoni budaya. Hegemoni budaya
adalah sebuah hegemoni yang menyertai terjadinya hegemoni ekonomi dan politik di
masyarakat. Hegemoni budaya, khususnya hegemoni bahasa, bertujuan untuk memperkuat
kekuasaan penguasa dari sisi konsensus.
Dengan kemunculan bahasa Jawa Baku melalui sebuah proses Kramanisasi yang lalu
melahirkan tingkatan bahasa Krama dan Ngoko, maka penggunaan bahasa Jawa Baku
bukan lagi hanya sekedar sebagai alat komunikasi saja akan tetapi juga digunakan sebagai
sebuah bahasa politik bagi kepentingan penguasa. Salah satu kepentingan dari penguasa
tersebut adalah untuk menunjukkan sisi penaklukan terhadap suatu wilayah dimana
pengunaan bahasa yang diresmikan atau dibakukan oleh penguasa menjadi salah satu
model penaklukan yang dilakukan tanpa dengan adanya kekerasan fisik.
Model kekuasaan seperti inilah yang disebut oleh Gramsci sebagai Hegemoni, yang terjadi
karena adanya kepemimpinan intelektual dan moral. Sehingga dari hegemoni ini maka
kehidupan orang-orang Banyumas juga telah mengalami sebuah konstruksi intelektual dan 213
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
moral yang dilakukan oleh pihak penguasa melalu relasi bahasa. Oleh karena itu untuk
menghadapi sebuah hegemoni, Gramsci lalu menawarkan sebuah teori yang disebut
dengan “Counter Hegemoni” atau hegemoni tandingan.390
1. Konsep Counter Hegemoni Gramsci
Untuk melakukan sebuah “counter hegemoni”, Gramsci menyodorkan beberapa
gagasan yang dimunculkan berdasarkan pengalamannya ketika dirinya melihat sebuah
peristiwa perebutan kekuasaan di Rusia. Peristiwa tersebut terjadi ketika dominasi
kekaisaran Tsar akhirnya tumbang oleh Revolusi Boheslvik. Dan apa yang ia saksikan
di Rusia tersebut akan ia terapkan dalam konteks Italia dimana kekuasaan Fasis
sedang merajalela.
Namun ternyata keadaan di Rusia dan di Italia adalah dua buah konteks yang sangat
berbeda sehingga dengan situasi dan kondisi yang demikian tentunya dirinya harus
membuat sebuah rancangan perebutan kekuasaan yang sesuai dengan konteks Italia.
Oleh karena itu dengan melihat berbagai macam bentuk revolusi atau perebutan serta
penggulingan sebuah kekuasaan yang terjadi di Eropa Barat, khususnya Inggris dan
Perancis, maka Gramsci lalu dengan teori hegemoninya juga lalu merancang sebuah
konsep yang ia sebut sebagai “counter hegemoni’ atau hegemoni tandingan.391
Dan ketika konsep hegemoni dibangun dengan kepemimpinan intelektual dan moral
maka ketika akan melakukan sebuah counter hegemoni juga harus melalui hal yang
sama yaitu melalui pembangunan kepemimpinan intelektual dan moral. Sehingga
390 Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci (Pent: Kamdani & Imam Baehaqi), INSIST & Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hal 28. 391 Antonio Gramsci, Prison Notebooks (Penj: Teguh Wahyu Utomo), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013, hal 284- 285. Gramsci mengatakan bahwa “Sebuah kelompok sosial dapat, dan memang harus, menjalankan ‘kepemimpinan’ (yaitu hegemonik) sebelum memenangkan kekusaan pemerintah (memang ini salah satu kondisi prinsip untuk kemenangan kekuasaan semacam itu)”. 214
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
untuk melakukan counter hegemoni maka harus diciptakan aktor-aktor intelektual
yang nantinya bukan hanya sekedar berpikir saja namun dapat menggabungkan antara
teori dan praktek. Dengan demikian maka kaum intelektual ini mempunyai tugas
untuk bisa mempunyai pemikiran yang tidak hanya mengikuti arus status quo saja
akan tetapi bisa berpikir “melawan arus” sebagai awal mula dari sebuah perlawanan
terhadap sebuah hegemoni. Dengan pemikiran yang demikian kiranya nanti dapat
menghasilkan sebuah kesadaran bersama dimana melalui kesadaran bersama itulah
maka akan muncul sebuah gerakan untuk merebut hegemoni. Oleh karena itu untuk
melakukan “counter hegemoni”, Gramsci membutuhkan adanya kaum intelektual
yang dia sebut sebagai kaum “intelektual organik”, yang nantinya dari kaum
intelektual organik dapat muncul gagasan-gagasan “good sense” untuk menghasilkan
sebuah “perang posisi”.
a. Intelektual Organik
Pada dasarnya setiap individu adalah kaum intelektual, akan tetapi belum tentu
setiap individu dapat melakukan peran dan fungsi intelektualnya.392 Sehingga
letak permasalahan dari kaum intelektual bukan karena kadar intelektualnya akan
tetapi yang menjadi permasalahan adalah tidak semua kaum intelektual bisa
memainkan peran dan fungsi intelektualnya di dalam kehidupan sosial. Dengan
berhentinya peran dan fungsi dari kaum intelektual inilah maka sesuatu hal yang
sudah ada tidak akan pernah berubah. Dengan kata lain kaum intelektual ini tidak
bisa kritis terhadap banyak hal yang ada di sekitarnya.
Kaum intelektual yang tidak kritis dan cenderung bertahan pada “status quo”
inilah yang oleh Gramsci disebut sebagai kaum “intelektual tradisional”.
392 ibid hal 12-13. 215
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Sedangkan kaum intelektual yang kritis adalah mereka yang disebut sebagai
kaum intelektual organik. Dari sinilah Gramsci lalu membedakan kaum
intelektual berdasarkan kemampuan melakukan fungsi intelektualnya dengan
sebutan kaum intelektual tradisional dan organik.
Kaum intelektual tradisional adalah mereka yang mempunyai posisi
dalam celah masyarakat yang mempunyai aura kelas tertentu, tetapi
berasal dari hubungan kelas masa silam dan sekarang, serta melingkupi
berbagai macam kelas historis. Sedangkan kaum intelektual organic
adalah unsure pemikir dan pengorganisasian dari sebuah kelas
fundamental tertentu393.
Dari pembedaan antara kaum intelektual tradisonal dan organik ini menunjukkan
bahwa setiap kelas bisa mempunyai dua kaum intelektual tersebut sekaligus.
Namun Gramsci seringkali menyebutkan bahwa kalangan rohaniawan adalah
salah satu kaum intelektual tradisional yang paling banyak.394 Hal ini dikarenakan
kalangan rohaniawan mewarisi kekuasaan masa silam (gereja Roma dan
kekaisaran Romawi) yang lalu cenderung menempatkan mereka sebagai kelas
penguasa. Sebagai contoh adalah ketika di Rumah Sakit dimana kemunculan
dokter juga disertai dengan kemunculan rohaniawan, hal ini dikarenakan banyak
tokoh agama jaman dahulu yang dianggap sebagai “penyembuh hebat”, sehingga
keberadaan dokter sebagai tim medis harus disertai dengan kemunculan para
rohaniawan mewakili kalangan agama/gereja. Bahkan keberadaan gereja (Roma)
sendiri ternyata juga menjadi pihak yang memonopoli budaya di semenanjung
393 Ibid hal 3. 394 Ibid hal 10 216
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Italia, dan pihak manapun yang menentang monopoli ini maka akan dikenai
sanksi hukuman.395 Dan salah satu monopoli budaya yang dilakukan oleh gereja
adalah dengan monopolinya terhadap penggunaan bahasa Latin.
Dengan demikian maka bisa dikatakan bahwa kaum intelektual tradisional adalah
mereka yang terus berusaha mempertahankan “status quo”. Sedangkan kaum
intelektual organik adalah mereka yang menggunakan “unsur pemikir” dalam diri
mereka untuk selalu kritis terhadap sesuatu hal. Bahkan tidak hanya kritis saja
namun juga terdapat unsur “pengorganisasian”. Sehingga dengan adanya sebuah
“pengorganisasian” tersebut maka kekritisan yang keluar dari gagasan para kaum
intelektul organik dapat diterima oleh suatu kelas tertentu sebagai sebuah
kesadaran bersama.396
Sehingga fungsi dari kaum intelektual organik adalah untuk membantu
menemukan ide dan pikiran yang seharusnya dipikirkan oleh golongan kelas
tertentu, serta membantu mentransfernya kepada golongan tersebut dengan tujuan
supaya muncul kekritisan dan kesadaran di dalam golongan kelas tersebut. Maka
dari itu intelektual organik bukanlah hanya sebuah transfer pemikiran saja akan
tetapi mengajak golongan kelas tertentu untuk ikut berpikir kritis.397 Maka supaya
muncul kesadaran berpikir maka pemikiran dari kelas intelektual organik ini
harus dikomunikasikan kepada golongan kelas tersebut. Komunikasi dua arah
inilah yang lalu diharapkan munculnya kesadaran bersama yang nantinya dapat
menjadi sebuah konsesus aktif dan bukan ketundukan pasif.398 Dari kesadaran
395 ibid hal 24 396 ibid hal 461 & 479 397 ibid hal 470 398 Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci (pent. Kamdani & Imam Baehaqi), INSIST & Pustaka Pelajar, Jakarta, 2004, hal 92. 217
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bersama inilah maka akan tercipta sebuah konsepsi yang global dan parsial.399
Sehingga dari hal tersebut maka akan terjadi kesatuan antara teori dan praktek.400
Dan menurut Gramsci, dalam konteks Italia, salah satu kaum intelektual organik
adalah kaum Moderat (para pemimpin Partai Moderat).401 Hal ini dikarenakan
karena dalam sejarah “Risorgimento” atau penyatuan italia, merekalah yang
mempunyai peran penting. Para kaum Moderat ini bukan hanya sebagai pemikir
saja akan tetapi mereka juga adalah para organisator politik yang handal.
Sehingga dari konteks Italia yang demikian maka partai politik menjadi sarana
yang penting bagi kelas pekerja untuk melakukan “counter hegemoni”.
Dari kaum intelektual organik yang seperti inilah yang diharapkan dapat
memunculkan sebuah hegemoni tandingan dan bukan hanya sekedar revolusi atau
reformasi,402 seperti yang terjadi pada revolusi Perancis dan Revolusi Rusia. Hal
ini dikarenakan melalui revolusi Perancis ternyata justru melahirkan sebuah
konsep Bonapartisme;403 sedangkan melalui Revolusi Rusia melahirkan adanya
sebuah kekuasaan baru yang diktator, yang oleh Marx disebut sebagai “proletar
diktatorian”,404 yaitu kediktatoran kaum proletar yang menggantikan kekuasaan
dari kaum Borjouis dimana oleh gramsci hal ini disebut sebagai
“likuidasionis”405. Model seperti ini menggambarkan bagaimana revolusi
dilakukan hanya oleh golongan pekerja dan hasilnya juga hanya dirasakan oleh
golongan pekerja.
399 Prison Notebooks hal 217-218 400 Ibid hal 469 401 Ibid hal 85 402 Ibid hal 62 403 Steve Jones, Antonio Gramsci, Routledge, 2006, hal 100 404 Roger Simon hal 43 405 Prison Notebooks hal 149 218
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Demikian juga yang akhirnya terjadi dengan penyatuan Italia atau Risorgimento
yang ternyata pada prakteknya kemudian justru malah dikendalikan oleh kaum
Piedmont. Karena keberadaan kaum Piedmont inilah lalu memunculkan sebuah
uraian dari Gramsci tentang “Question Southern” yang di latar belakangi karena
terjadinya kesenjangan antara daerah Italia bagian utara dan selatan .406.
Dari kesenjangan tersebut lalu memunculkan stigma bahwa daerah utara adalah
daerahnya kaum pemiliki modal, sedangkan daerah selatan adalah daerah kaum
pekerja atau buruh. Bukan hanya menciptakan perbedaan kelas saja akan tetapi
juga melahirkan sebuah stigma tentang perbedaan bahasa, dimana daerah utara
adalah pengguna bahasa Latin yang adiluhung sedangkan daerah selatan adalah
pengguna bahasa Italia yang “populer”. Gramsci sebagai orang “selatan” yang
juga merasakan akan adanya dominasi “utara” ini akhirnya menilai bahwa
Risorgimento pada akhirnya hanya menjadi sebuah “Passive revolution” atau
revolusi dari atas,407 dimana yang merasakan hasil dari revolusi ini adalah justru
dari kalangan kelas atas, dalam hal inilah adalah kelas pemilik modal atau
majikan.
Sehingga dengan demikian maka yang harus dilakukan oleh kaum intelektual
organik adalah melakukan sesuatu yang bukan hanya sekedar “revolusi passive”
seperti yang dilakukan oleh kaum intektual tradisional. Kaum inteletual organic
harus menjadi benar-benar melakukan fungsi intelektualnya, dalam hal ini kepada
kelas pekerja, yaitu dengan bisa mengkomunikasikan apa yang menjadi
gagasannya serta dapat menjembatani gagasan-gagasan yang dimiliki oleh kelas
406 Prison hal xxix 407 Roger Simon hal 25 219
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pekerja sehingga bisa menumbuhkan kesadaran bersama kelas pekerja. Dengan
kata lain kaum intelektual organic ini mempertemukan kesadaran yang ada di
dalam dirinya dengan kesadaran dari kelas pekerja menjadi sebuah kesadaran
bersama. Dari kesadaran bersama inilah maka akan muncul “counter hegemoni”
b. Good Sense
Hegemoni yang terjadi melalui kepemimpinan intelektual dan moral dapat
diartikan bahwa kekuasaan itu terjadi karena adanya “persetujuan”. Dan salah
satu persetujuan itu adalah bagaimana setiap apa yang dilakukan penguasa
diterima tanpa adanya penolakan bahkan tanpa ada yang berani untuk
mengkritisinya. Sehingga dengan hal itu maka apa yang dilakukan oleh penguasa
menjadi sesuatu yang harus diterima sebagai sesuatu yang wajar atau “lumrah”
bagi semuanya. Hal inilah yang disebut sebagai “common sense”. Melalui
common sense inilah penguasa akan selalu mempertahankan kekuasaannya.
Common sense tidak bisa berdiri sendiri, karena pada dasarnya common sense
adalah produk suatu sejarah.408 Sehingga dengan demikian maka sebuah common
sense akan dipengaruhi oleh hal-hal yang berada di sekitarnya, salah satunya
adalah agama. Dengan demikian agama dapat digunakan oleh penguasa untuk
mempertahankan kekuasaannya, atau bahkan sebaliknya agama justru ikut
“mendompleng” kekuasaan dari penguasa. Dan dalam konteks Italia, agama yang
terlibat dan mempengaruhi adanya sebuah common sense yang dikonstruksi oleh
penguasa adalah agama Kristen (Katholik) dengan gereja Roma sebagai
“Tahtasuci”nya. Hubungan antara agama (Kristen Katholik) dan kekuasaan inilah
yang disaksikan oleh Machiavelli, khususnya di belahan utara Italia (Florence),
408 Prison Notebooks hal 458-459 220
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dimana kekuatan gereja Roma menjadi sebuah kekuatan yang berdiri kokoh
karena faktor historisnya yang panjang sejak era kekaisaran Romawi. Dari hal
inilah maka untuk bisa merebut kekuasaan dari sang penguasa maka diperlukan
reformasi moral dan intelektual.409
Oleh karena itu ketika Croce mempelajari pikiran-pikiran dari Machiavelli, Croce
lalu mempunyai pendapat bahwa “kediktatoran” dan “hegemoni” adalah dua hal
yang berbeda.410 Dalam hal ini Croce memaknai hegemoni adalah konsep yang
digunakan oleh para intelektual besar melalui sebuah kerjasama khusus dimana
hal tersebut lalu diterima sebagai sebuah kesepakatan yang diterima secara
sukarela. Oleh karena itu Gramsci yang pandangannya banyak dipenguruhi oleh
Croce, berdasarkan keprihatinan yang ia temukan melalui “Southern Question”
dan adanya wewenang yang besar dari otoritas Gereja Roma dalam hegemoni
yang terjadi di Italia, maka dirinya lalu menawarkan sebuah konsep dimana
common sense harus dilawan sebagai sebuah langkah menuju pada counter
hegemoni.
Dengan mengidentifikasi bahwa semua orang adalah intelektual, maka setiap
orang pada dasarnya mempunyai pemikiran yang kritis terhadap sesuatu hal.
Sehingga dengan setiap pemikiran yang ada pada setiap individu maka pada
dasarnya setiap individu adalah seorang “filsuf”, dimana dengan demikian maka
setiap individu adalah manusia yang mempunyai konsepsi atau pandangan
tentang dunia.411 Dengan demikian maka setiap individu yang berada dalam suatu
kelompok tertentu pasti akan berpikir serta bertindak berdasarkan konsepsi yang
ada pada dirinya. Dan dari hal inilah maka setiap individu dapat mengenali
409 Ibid hal 181-185 410 Ibid hal 378-381 411 ibid hal 455-458 221
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dirinya sendiri terlebih dahulu. Dan dari konsepsi diri atau pandangan tentang
dunia ini lalu dapat memunculkan kritik terhadap sesuatu yang telah terjadi
sebagai sebuah sarana perbaikan. 412 Pemikiran yang kritis terhadap “common
sense” inilah yang disebut oleh Gramsci sebagai sebuah “good sense”.413 Dan
tentunya “good sense” ini muncul karena peran dari kaum intelektual organik
yang mempunyai kekritisan terhadap “common sense”, dimana kekritisan ini juga
akhirnya memotivasi orang lain untuk juga berpikir secara kritis.
Sehingga dengan demikian menunjukkan bahwa “good sense” adalah sesuatu
yang lahir dari sebuah kekritisan terhadapa common sense. “Common sense”
adalah tempat dimana ideologi penguasa itu dibangun dan dipertahankan, namun
melalui “common sense” inilah juga yang lalu dijadikan tempat perlawanan
munculnya sebuah ideologi yang baru yang digunakan untuk melawan kekuasaan
yang ada.414 Sehingga dapat dikatakan bahwa sebenarnya “Good sense” adalah
sebuah “inovasi yang progresif” dari sebuah common sense, dimana melalui
pemikiran ini maka setiap individu atau kelompok tidak hanya diam ketika
melihat atau merasakan sesuatu hal yang sudah dianggap atau diterima secara
umum.415 Dengan inovasi yang progresif ini diharapkan sebuah konsep yang
sudah diterima secara umum sebagai sebuah “common sense”, dapat dikritisi
melalui “good sense” untuk menciptakan sebuah kebudayaan atau ideologi yang
baru. Sehingga dengan “good sense” ini maka diharapkan dapat digunakan
sebagai salah satu strategi supaya dapat memunculkan sebuah hegemoni
tandingan atau “counter hegemoni”.
412 ibid hal 465 413 ibid hal 485 414 Roger Simon hal 91-93 415 S. Jones hal 54 222
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Karena pikiran kritis adalah wujud nyata dari peran dan fungsi kaum intelektual
organik maka dari itu kekritisan ini harus diakomodir melalui sebuah
“pengorganisasian” dengan tujuan supaya kekritisan ini bukan hanya menajdi
sebuah kekritisan pribadi akan tetapi menajdi sebuah kekritisan bersama.
Kekritisan bersama ini menunjukkan telah lahirnya sebuah kesadaran bersama.
Dan menurut Gramsci, sebagaimana kritiknya terhadap “ekonomisme” Marx,
maka perlawanan kaum pekerja bukan hanya berkutat pada permasalahan
ekonomi saja akan tetapi juga berhubungan dengan aktivitas politik. Oleh karena
bagi Gramsci, terutama melihat konteks Italia pada saat itu, sarana yang penting
untk melakukan perlawanan terhadap penguasa adalah dengan jalur politik
dengan menggunakan kendaraan partai politik.416
Tema tentang “partai politik” ini dapat dikembangkan melalui dua studi yaitu
studi tentang teori politik militan dan aksi serta didasarkan atas doktrin-doktrin
yang merupakan sistem artikulasi dari politik temporer “Penguasa”.417 Sehingga
dengan dua hal tersebut yang lalu dikondisikan sesuai situasi Italia pada saat itu
maka pemikiran Machiavelli juga menjadi rujukan Gramsci dalam hal menyusun
strategi politiknya. Sehingga dengan hal ini maka terjadi kombinasi antara
pemikiran Machiavelli dan Marx.418 Hal ini dikarenakan kegagalan pemikiran
Machiavelli justru ketika berhadapan dengan otoritas gereja Roma. Sehingga
melalui hal ini Gramsci lalu belajar banyak dari pengalaman Machiavelli ini yang
lalu dikombinasikan dengan pengalaman langsungnya melihat peristiwa di Rusia
yang banyak dipengaruhi pemikiran dari Marx.
416 Prison Notebooks hal 179 417 Ibid hal 169-170 418 Ibid hal 185-189 223
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Namun bukan berarti perlawanan secara politik ini harus langsung mengarah
kepada perkara politik, akan tetapi terlebih dahulu melalui bidang kebudayaan
terlebih dahulu. Salah satu hal yang dilakukan adalah dengan kritiknya terhadap
sekolah-sekolah yang pada waktu itu lebih banyak dikelola oleh gereja yang
ternyata justru menjadi sarana pembentukan intelektual tradisional bagi
kepentingan penguasa. Dan salah satu hal yang dikritik dalam bidang pendidikan
di sekolah tersebut adalah dominannya pengajaran bahasa Latin yang selama ini
menjadi bahasa yang dimonopoli oleh otoritas gereja Roma.
Demikian juga ketika menanggapi “question southern” juga dilakukan dengan
cara membuat “folkfore” melalui teater-teater rakyat yang menggunakan bahasa
Italia. Selain itu dengan bacaan-bacaan populer yang juga mengunakan bahasa
Italia juga digunakan sebagai kritik terhadap budaya Italia Utara yang dianggap
budaya yang adiluhung pada saat itu. Dengan hal tersebut maka “budaya populer’
digunakan sebagai sarana untuk melakukan perlawanan terhadap hegemoni yang
dilakukan oleh penguasa.
Sehingga dengan demikian maka “counter hegemoni” yang dilakukan pertama
kali adalah dengan melakukan perebutan hegemoni budaya.419 Karena melalui
budayalah pola pikir (intelektual) dan moral intelektual tradisional dibentuk. Oleh
karena itu dengan pembentukan intelektual tradisional ini maka akan terbentuk
pula “common sense”, dimana “common sense” memang sengaja dirancang oleh
penguasa supaya dapat terus terjadi status quo.420
419 Antonio Gramsci, Prison Notebooks (Penj: Teguh Wahyu Utomo), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013, hal 361. - Band. dengan; Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci (pent. Kamdani & Imam Baehaqi), INSIST & Pustaka Pelajar, Jakarta, 2004, hal 84. “Ideologi bukanlah fantasi perorangan, namun terjelma dalam cara hidup kolektif masyarakat”. 420 Antonio Gramsci, Prison Notebooks (Penj: Teguh Wahyu Utomo), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013, hal 186. (dimana Gereja Roma men”cap” Machiavelli sebagai reinkarnasi setan dan kejahatan) 224
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Sehingga dari apa yang dipaparkan diatas dapat dikatakan bahwa untuk
menghadapi adanya “common sense” maka diperlukan terbentuknya sebuah
“good sense”.421 Melalui “good sense” inilah maka sebuah strategi perlawanan
terhadap hegemoni mulai dirancang dengan tujuan untuk menumbuhkan
kesadaran bersama. Dengan kesadaran bersama yang muncul dari “good sense”
sebagai kritikan terhadap “common sense inilah counter hegemoni dilakukan.
c. Perang Posisi
Sekali lagi harus ditandaskan bahwa latar belakang counter hegemoni yang
dikembangkan Gramsci adalah dalam rangka perlawanan politik, khususnya
terhadap rezim fasis Mussolini. Dan dalam konteks Italia menurut Gramsci tidak
bisa dilakukan sebuah serangan yang “frontal” seperti yang terjadi pada Revolusi
Perancis dan Revolusi Rusia yang oleh Gramsci disebut sebagai gerakan perang
manuver.422 Sehingga karena dalam konteks Italia tidak mungkin melakukan
sebuah revolusi seperti di Perancis dan Rusia, maka Gramsci mengembangkan
sebuah konsep tentang Perang Posisi, dimana melalui aksi ini maka diperlukan
waktu yang lama dikarenakan dengan perang posisi akan memerlukan waktu
yang lama karena perlawanan yang dilakukan mengutamakan pada penanaman
makna dan nilai. Sehingga dengan hal ini menunjukkan bahwa strategi Perang
Posisi melakukan sebuah perlawanan yang berbeda dengan Perang Manuver.
Perang manuver bagi Gramsci bukan hanya dilihat dari latarbelakang atau
caranya merebut sebuah dominasi saja, akan tetapi hasil dari perang manuver itu
sendiri juga disorot oleh Gramsci. Di dalam Revolusi Perancis muncullah
“Bonapartism”, sedangkan pada Revolusi Rusia muncullah “diktator proletariat”,
421 ibid hal 459-467 422 Ibid hal 325. - Band. dengan; S. Jones hal 31. 225
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
serta di Italia akhirnya muncul rezim Mussolini yang dia sebut sebagai
“Caesarism”. Pada intinya ketiga hal tersebut hanyalah memunculkan sebuah
dominasi baru, sedangkan counter hegemoni Gramsci bukan hanya bertujuan
untuk menggantikan dominasi yang lama menjadi sebuah dominasi yang baru,
akan tetapi bertujuan untk memunculkan sebuah kesadaran bersama yang
digunakan untuk perlawanan ideologi demi terciptanya ideologi yang baru.
Sehingga dengan adanya perang posisi maka yang terjadi adalah perang ideologi,
bukanlah perang secara fisik apalagi perang militer. Dan perang ideologi ini
muncul dari adanya “southern question” dan kritik terhadap wewenang gereja
Katholik.423 “Southern Question” adalah sebuah kritik yang muncul karena
adanya asumsi bahwa daerah Utara sebagai wilayah kaum kapitalis (pemilik
modal/majikan) dinilai mempunyai kebudayaan yang “tinggi”, sedangkan
kebudayaan daerah Selatan sebagai wilayahnya kaum pekerja (buruh dan petani)
dinilai sebagai budaya yang “rendah”.424 Selanjutnya adalah keberadaan pusat
gereja yang ada di kota Roma yang masuk wilayah Utara juga menjadi sebuah
simbol bagaimana wewenang gereja Roma terhadap kehidupan masyarakat
politik (negara) maupun terhadap masyarakat sipil. Sehingga dari dua hal ini
maka dapat dikatakan bahwa hegemoni yang terjadi di Italia dilakukan oleh para
kaum pemilik modal yang “ditunggangi” oleh otoritas gereja, khususnya gereja
Roma.
Italia pada masa Gramsci juga terdapat sebuah kelompok yang disebut sebagai
“Piedmont”, dimana mereka adalah orang-orang yang berada di balik
Risorgimento atau penyatuan Italia.425 Kelompok Piedmont inilah yang
423 Antonio Gramsci, Prison Notebooks (Penj: Teguh Wahyu Utomo), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013, hal 45 424 Ibid hal 37 425 Ibid hal 145-147 226
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sebenarnya berkuasa di balik tembok negara kesatuan Italia. Sehingga dapat
dikatakan bahwa kelompok Piedmont adalah mereka yang sebenarnya
“mendominasi tapi tidak memimpin”. Maka dari hal itulah lalu Gramsci melihat
bahwa sebenarnya “Risorgimento” adalah sebuah produk revolusi yang
dihasilkan oleh kalangan “elite atas”, yang dimana nantinya mereka akan menjadi
golongan penguasa di balik tembok negara. Sehingga dari hal ini Gramsci menilai
bahwa Risorgimento sebanarnya hanyalah sebuah “revolusi pasif” yang
sepenuhnya dikendalikan dari atas.
Revolusi pasif adalah istilah yang berasal Vincenzo Cuoco, dimana sebuah
revolusi terjadi tanpa adanya keterlibatan massa atau rakyat.426 Terlebih lagi
ketika rezim Fasis Mussolini berkuasa di Italia, tentunya aroma “dari atas”
menjadi semakin kental dengan keterlibatan militer atau tentara di dalam rezim
diktator ini. Ditambah lagi dengan keterlibatan sejarah yang panjang dari Gereja
Roma yang juga mempunyai otoritas dan wewenang yang “khusus” semenjak
jaman kekaisaran Romawi khususnya setelah peristiwa di tahun 311.427
Sehingga jika dibandingakan dengan Revolusi Rusia yang dilakukan oleh orang-
orang Bolshevik ketika menggulingkan kekaisaran Tsar tentunya dua tempat ini
(Italia dan Rusia) adalah dua tempat yang sudah berbeda konteks situasi dan
kondisinya. Gramsci melihat bahwa apa yang terjadi di Rusia adalah sebuah
perebutan kekuasaan dengan menggunakan strategi “perang manuver”. Perang
manuver adalah suatu cara perebutan kekuasaan melalui serangan-serangan
frontal yang langsung ditujukan kepada pusat kekuasaan. Perebutan kekuasaan
426 Ibid hal 64 427 Tahun 311 adalah tahun edik Milano dimana agama Kristen diakuai sebagai agama resmi Kekaisaran Romawi oleh Kaisar Konstatntinus. 227
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang terjadi di Rusia tersebut dilakukan oleh golongan kelas proletar dimana nantinya kekuasaan yang berhasil direbut juga hanya akan dikuasai oleh kelas proletar itu sendiri. Sehingga dengan perebutan kekuasaan maka muncullah kelas penguasa yang baru yaitu kelas proletar. Kekuasaan kelas proletar inilah yang lalu disebut sebagai “diktator proletariat”.
Oleh karena itu jika melihat konteks yang ada di Italia, maka konsep “perang manuver” tidak bisa dilakukan karena jika hal ini dilakukan maka yang terjadi adalah sebuah revolusi bunuh diri. Dengan strategi yang demikian maka perlawanan terhadap penguasa hanya akan menjadi hal yang sia-sia karena perlawanan tersebut akan mudah dipatahkan oleh kekuatan penguasa yang sudah terlanjur dalam posisi yang begitu kuat. Maka dari itu diperlukan sebuah strategi lain yang harus dilakukan. Dengan adanya pembentukan kaum intelektual organik yang diikuti dengan sebuah gagasan “good sense”nya, maka perlawanan yang dilakukan sebenarnya adalah perlawanan yang dilakukan dari bawah dengan menyiapkan kondisi yang kuat terlebih dahulu di kalangan kelas pekerja dengan tumbuhnya sebuah kesadaran bersama.
Sebagaimana gagasan Gramsci bahwa kesadaran bersama kelas pekerja ini harus diwujudkan dalam sebuah partai politik. Sehingga dengan kehadiran partai politik yang berpihak pada kelas pekerja maka perlawanan yang akan dilakukan adalah melalui perjuangan politik. Dengan perjuangan politik ini menunjukkan bahwa perjuangan kelas pekerja ini bukan hanya untuk melawan kelas pemilik modal saja akan tetapi ditujukan kepada sebuah realitas yang lebih besar yaitu negara.
Dari hal inilah maka Gramsci mendefinisikan negara sebagai gabungan antara
228
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
“masyarakat politik” dan “masyarakat sipil”.428 Masyarakat sipil disebut sebagai
golongan “private”, sedangkan masyarakat politik disebut sebagai negara.429
Gramsci memberi contoh bebebrapa bentuk dari “Masyarakat sipil” yaitu gereja,
persekutuan dagang, sekolah.430 Sehingga dengan beberapa contoh ini sebenarnya
Gramsci sedang mengatakan bahwa masyarakat sipil adalah masyarakat “non-
politik” di dalam peran dan fungsinya di dalam negara. Sehingga dalam hal ini
harus dilihat bahwa pembedaan antara masyarakat sipil dan politik ini terletak
pada peran dan fungsinya sama seperti pembedaan kaum intelektual yang
dipaparkan oleh Gramsci. Sehingga dengan pembedaan antara masyarakat sipil
dan politik sebenarnya sedang menunjukkan bahwa masyarakat sipil adalah
tempat dimana hegemoni terjadi, sedangkan masyarakat politik sebagai perangkat
coersif atau represif.
Sehingga ketika terjadinya hegemoni yang dilakukan oleh masyarakat politik atau
“negara” terhadap masyarakat sipil maka dalam hal ini Gramsci menekankan
counter hegemoni harus tertuju kepada hal yang berhubungan dengan politik
yaitu negara. Namun hegemoni yang dilakukan negara kepada masyarakat sipil
ternyata juga melibatkan unsur-unsur yang ada di dalam masyarakat sipil. Dan
beberapa bentuk masyarakat sipil yang disebutkan Gramsci yaitu gereja, sekolah
dan persekutuan dagang ternyata juga ikut berperan di dalam hegemoni yang
dilakukan oleh negara.431 Gereja Roma dengan kesejarahan panjangnya sejak era
kekaisaran Romawi sudah memerankan peran yang penting sejak diakui sebagai
“agama negara” oleh Kaisar Romawi pada tahun 311.
428 Antonio Gramsci, Prison Notebooks (Penj: Teguh Wahyu Utomo), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013, hal 367 429 Ibid hal 17 430 Ibid hal 79 431 Antonio Gramsci, Prison Notebooks (Penj: Teguh Wahyu Utomo), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013, hal 79. 229
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Demikian juga dengan sekolah-sekolah modern yang banyak “dikelola” oleh
gereja Roma yang tentunya sistem pembelajaran atau kurikulum yang diajarkan
di sekolah tersebut juga banyak dipengaruhi oleh otoritas gereja Roma, yang
nantinya akan lebih banyak menghasilkan para kaum intelektual tradisional.432
Belum lagi keterlibatan pihak otoritas gereja terhadap keberadaan para tuan tanah
sehingga semakin mengukuhkan sikap feodalisme para tuan tanah (terutama yang
berada di pedesan) tersebut kepada para petani.433 Dan ketika memasuki era
revolusi industri yang merebak dari daratan Britania Raya yang lalu menyebar ke
daratan Eropa yang akahirnya juga masuk ke Italia, gereja pun juga mengalihkan
perhatiannya kepada bidang industri ini, salah satu contohnya adalah
“Amerikanisme dan Fordisme”.434
Dari fenomena yang demikianlah maka Gramsci melihat bahwa gereja juga telah
berperan sebagai “negara”.435 Dalam hal ini di satu sisi gereja menjadi wakil
keseluruhan dari masyarakat sipil untuk melawan negara, namun di sisi lain
keberadaan gereja semakin memonopoli masyarakat sipil. Namun yang terjadi
justru malah gereja semakin memonopoli kehidupan sosial masyarakat. Dari sisi
inilah terlihat bahwa gereja, yang bagi Gramsci adalah bagian masyarakat sipil,
justru malah menjadi pelaku hegemoni.
Dengan demikian maka perjuangan politik yang dilakukan bukan berarti hanya
melalui jalur politik saja akan tetapi harus dimulai dari bidang kebudayaan
terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan perjuangan tersebut bukan hanya melawan
negara saja, akan tetapi juga melawan otoritas gereja. Sehingga dapat dikatakan
432 Ibid hal 38-39. 433 Ibid hal 181-182. 434 Ibid hal 389-391 435 Ibid hal 342 230
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bahwa perlawanan kelas pekerja untuk merebut hegemoni politik harus dilakukan
dengan cara melakukan perebutan hegemoni budaya terlebih dahulu. Dan apa
yang dilakukan dengan cara seperti ini disebut oleh Gramsci sebagai “Perang
Posisi”.
Perang posisi menurut Gramsci adalah sebuah perjuangan politik antar dua kelas
dimana ketika sebuah perlawanan tidak bisa dilakukan perang manuver, dan
dengan perang posisi ini nantinya ketika sudah berada di suatu titik yang tepat
akan menjadi sebuah perang manuver yang dapat digunakan sebagai serangan
yang frontal terhadap negara.436 Dengan demikian serangan yang dilakukan oleh
kelas pekerja harus dilakukan dengan cara “perang posisi”. Strategi perang posisi
oleh kelas pekerja ini dilakukan dengan cara merebut hegemoni budaya yang
terdapat di masyarakat sipil terlebih dahulu. Cara ini berlangsung ketika kelas
pekerja membangun blok kekuatan sosial yang dilandasi dengan konsep yang
sama ke dalam sistem ideologinya.437 Sehingga dengan cara ini maka golongan
kelas pekerja tidak langsung secara frontal menyerang negara dari sisi politik,
akan tetapi terlebih dahulu membuat kekuatan sosial budaya yang kuat terlebih
dahulu.
Dengan perebutan hegemoni budaya ini maka masyarakat sipil, khususnya kelas
pekerja, dapat lebih terorganisir di dalam melakukan perlawanannya sebelum
nantinya perebutan kekuasaan itu, secara politik, dilakukan oleh Partai Komunis
Italia. Sehingga melalui perang posisi ini, yang dibangun terlebih dahulu adalah
“parit-parit pertahanan” dan “benteng-benteng”, namun dengan tidak
menggunakan kekuatan militer.438 Sehingga dapat dikatakan bahwa perebutan
436 ibid hal 283-287 437 Roger Simon hal 91 438 Prison Notebooks hal 325 & 339. 231
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
hegemoni ini terjadi melalui “pinggiran” terlebih dahulu baru kemudian setelah
menuju ke “pusat”. Dan yang berada di “pinggiran” adalah hegemoni budaya
sedangkan yang di pusat adalah hegemoni politik.
Berbicara tentang kebudayaan, Pozzolini meringkas pandangan Gramsci, bahwa
kebudayaan adalah proses penempaan pemikiran, penguasaan ide-ide yang
bersifat umum, kebiasaan mengkaitkan sebab dan akibat sehingga setiap orang
dengan latar belakang pekerjaan apapun harus berpikir dengan baik.439 Dari hal
inilah maka Gramsci berpikir bahwa perebutan kekuasaan yang dilakukan
pertama kali haruslah dengan cara melakukan perebutan hegemoni budaya. Dan
salah satu bentuk perebutan hegemoni budaya adalah perlawanan melalui media
bahasa, yaitu bahasa Italia.440
Perlawanan melalui bahasa ini dilakukan dengan cara pembuatan literatur-
literatur berbahasa Italia dan menciptakan berbagai macam bentuk “budaya
populer” yang menonjolkan penggunaan bahasa Italia, contohnya adalah
penampilan teater-teater yang menampilkan cerita-cerita rakyat (folkfore) dengan
ditampilkan menggunakan bahasa Italia. Sehingga dengan hal ini maka bahasa
juga dapat menjadi salah satu sarana paling penting untuk melakukan hegemoni
tandingan atau counter hegemoni.441 Sehingga dengan strategi Perang posisi
inilah maka akan menjadi sebuah strategi perlawanan untuk melawan keberadaan
revolusi pasif yang sudah terjadi. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa
perang posisi adalah sebagai sebuah strategi “anti-passive revolution”.442
439 A. Pozzolini hal 139 440 S. Jones hal 35-36. 441 Patria hal 127. 442 Roger Simon hal 26. 232
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Melihat adanya hegemoni bahasa Jawa Baku terhadap bahasa-bahasa yang ada di
daerah-daerah yang berbudaya Jawa, salah satunya adalah terhadap bahasa
Penginyongan, maka sebenarnya konsep Counter Hegemoni yang dikembangkan oleh
Gramsci ini bisa menjadi sebuah acuan untuk melakukan sebuah perlawanan. Apalagi
di dalam konsep Hegemoninya Gramsci juga melihat adanya bentuk hegemoni dari
sebuah bahasa terhadap keberadaan bahasa yang lainnya. Oleh karena itu maka
sebenaranya di dalam konsep Counter Hegemoni yang dikembangkan oleh Gramsci ini
juga termasuk di dalamnya adalah Counter Hegemoni bahasa.
Oleh karena itulah maka konsep Counter Hegemoni ini bisa dikembangkan untuk melakukan perlawanan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang merasa ter-hegemoni oleh keberadaan bahasa Jawa Baku. Salah pihak yang selama ini ter-hegemoni oleh bahasa Jawa Baku adalah orang-orang yang menggunakan bahasa Penginyongan sebagai bahasa komunikasi sehari-hari, yaitu orang-orang yang berada di wilayah
Banyumasan. Dan tentunya banyak hal yang dapat dilakukan untuk melakukan Counter
Hegemoni ini, salah satunya adalah kemunculan novel RDP versi bahasa
Banyumasan/Penginyongan yang diterjemahkan langsung oleh Ahmad Tohari sebagai penulis novel tersebut. Bhakan jauh sebelaum menterjemahkan novel karangannya sendiri tersebut, dirinya sudah membuat kamus bahasa Banyumas-Indonesia. Dan sebagaimana di dalam kata pembuka dalam novel RDP versi bahasa
Banyumasan/Penginyongan tersebut, Ahmad Tohari menyebutkan bahwa bahasa
Banyumasan yang selama ini disebut hanya sebagai salah satu dialek dari bahasa Jawa dengan sebutan terkenalnya “ngapak-ngapak”, sebenarnya adalah sebuah bahasa yang seharusnya kedudukannya sama dengan bahasa Jawa (Baku).
Dan apa yang dilakukan Ahmada Tohari melalui Novel RDP-nya ternyata menarik industri perfilman untuk mengadaptasi novel tersebut menjadi sebuah film dengan judul 233
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
“Sang Penari”. Dengan kemunculan film tersebut maka bahasa Penginyongan bisa
hadir bukan hanya sebagai bahasa lisan dan teks saja akan tetapi dapat masuk ke dalam
dunia audio-visual melalui media elektronik. Sebagai sebuah konten hiburan di dunia
audio-visual tentunya kan lebih mempermudah untuk menyampaikan pesan-pesan
ideologi dari bahasa Penginyongan. Terlebih saat ini ketika konten media mulai
berkembang melalui dunia internet sebenarnya ideologi dari bahasa Penginyongan itu
dapat semakin disebarluaskan.
Sebagai contoh adalah adanya konten Youtube yang saat ini juga banyak menampilkan
tentang konten-konten hiburan yang menggunkan bahasa Penginyongan. Sehingga
dengan adanya media-media tersebutlah sebenarnya sedang menunjukkan bahwa saat
ini telah terjadi sebuah usaha perlawanan dari bahasa penginyongan atas hegemoni
yangs selama ini dirasakan. Dan perlawanan yang seperti itulah yang oleh Gramsci
disebut sebagai sebuah Counter Hegemoni.
2. Counter Hegemoni terhadap “Kuasa Kata” & “Bahasa Kosong” Melalui Konten
Media Internet. (Studi Kasus konten “Bocah Ngapa(k) Ya!”)
Hegemoni yang yang dilakukan bahasa Jawa Baku terhadap bahasa Penginyongan telah
terjadi melalui sarana lisan, teks bahkan media elektronik. Namun saat ini ketika jaman
telah memasuki media internet ternyata justru muncul banyak konten-konten Youtube
yang berbahasa “ngapak-ngapak”, dan kemunculannya justru bisa diterima oleh banyak
kalangan. Dari sekian banyak konten-konten tersebut yang saat menjadi viral adalah
konten Youtube “Bocah Ngapa(k) Ya!”. Tentunya pada awalnya konten ini tidak
ditujukan untuk melakukan sebuah perlawanan terhadapa hegemoni bahasa Jawa Baku.
Akan tetapi jika ditelusuri lebih dalam justru konten ini bisa memperlihatkan
bagaimana peranannya dalam melawan “kuasa kata” dan “bahasa kosong” dari sebuah
Kramanisasi bahasa jawa Baku pada khususnya.
234
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
a. Counter Hegemoni terhadap Kuasa Kata
Fenomena “Bocah Ngapa(k) Ya”, sejak tahun 2018 menjadi salah satu konten yang
viral di dunia “Youtube”. Dalam konten Youtube tersebut terdapat 3 pemeran
utama yang masih anak-anak yaitu Azkal, Fadly dan Ilham. Sekumpulan anak-anak
kecil tersebut berasal dari sebuah pedesaan di Kab. Kebumen, Jawa Tengah, dan di
tempat itu juga konten Youtube itu dibuat. Kata “Ngapa(k)” sebenarnya sudah
menunjukkan siapa jatidiri mereka, yaitu anak-anak kecil yang berbahasa
“ngapak”. Saat ini memang banyak konten di Youtube yang menampilkan
tayangan dengan bahasa “ngapak”nya yang identik dengan bahasa lawakan.
Sebagaimana yang selama ini terlihat di dunia hiburan, bahasa “ngapak” selalu
menjadi bahan lawakan. Banyak pelawak kenamaan di Indonesia yang berasal dari
daerah “ngapak”, dimana kepopuleran mereka juga sangat dipengaruhi oleh
tampilan bahasa ‘ngapak” mereka, seperti Darto “helm”, Kasino dan Indro Warkop
DKI, hingga Parto Patrio. Sehingga dengan fenomena yang demikian maka lalu
muncul stigma bahwa bahasa “ngapak” atau Penginyongan adalah sebuah bahasa
yang muncul atau cocok hanya sebagai bahan lawakan saja.
Dengan adanya stigma hanya sebagai bahasa lawakan maka sepertinya tidak ada
kata-kata dalam bahasa Penginyongan yang cocok untuk digunakan sebagai sebuah
“bahasa publik”, sebagaimana bahasa Jawa yang menurut Anderson mempunyai
“modalitas” untuk hal tersebut. Modalitas bahasa Jawa yang demikianlah yang
digunakan oleh Soekarno pada masa Demokrasi Terpimpin dengan menggunakan
istilah Pancasila, Sapta Marga, Bhayangkara dll sebagai wujud identifikasi masa
kini dengan masa lalu yang heroik.443 Dan kata-kata tersebut sering digunakan
443 Kuasa kata hal 310-312. 235
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dalam upacara-upacara penting atau diterapkan pada obyek atau institusi yang
memiliki prestise politik tertinggi. Sehingga dengan penyematan kata-kata tersebut
maka obyek yang menjadi tempat disematkannya kata-kata tersebut menjadi
mempunyai sebuah kuasa tertentu.
Penyematan kata-kata yang mempunyai kuasa itulah yang seringkali terjadi di
dalam dunia “Jawa” yang dipahami oleh Pemberton, sebagai contoh adalah sebutan
“Eyang” untuk Gubernur Jenderal,444 dimana penyebutan kata “Eyang’ ini
menunjukkan sebagai sebuah pengakuan penghormatan yang paling tinggi.
Sehingga siapa saja Gubernur Jenderal yang ada di Jawa pada prinsipnya dia adalah
seorang “Eyang” yang harus selalu menerima penghormatan yang paling tinggi,
tidak terkecuali dengan raja-raja Jawa yang juga harus memberikan penghormatan
tersebut kepada seorang Gubernur Jenderal sebagai seorang “Ingsun”.445 Dengan
demikian maka penyematan sebuah kata ternyata dapat memberikan sebuah kuasa
yang besar.
Hal tersebut juga yang terlihat ketika penyematan kata “Tentara” dan “Jenganten”
kepada Rasus dan Srinthil yang membawa kuasa kepada keduanya sehingga lawan
bicaranya yang sebelumnya berbicara dengan bahasa Ngoko harus beralih
menggunakan bahasa yang lebih halus atau Krama. Dalam bivel RDP versi Bahasa
Indonesia, Sakum diingatkan oleh Nini Kertareja karena mamanggil Rasus dengan
kata “kamu”, karena Rasus sekarang sudah menjadi seorang tentara. 446 Dengan
statusnya sebagai tentara atau militer maka derajat Rasus dianggap lebih tinggi dari
orang sipil. Terlebih situasi dan kondisi pada era “pasca 65” militer adalah
444 Pemberton hal 80. 445 Ibid hal 106. 446 Novel RDP versi Bahasa Indonesia hal 257. 236
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
golongan yang berkuasa pada waktu itu. Oleh karena itu Sakum yang sebenarnya
usianya lebih tua dari Rasus, namun karena dirinya hanya orang sipil biasa maka
diapun akhirnya menggunakan kata “mpeyan” dari kata bahasa Jawa “sampeyan”
yang mempunyai kedudukan yang lebih sopan daripada “kamu”. Sedangkan dalam
versi Banyumasan,447 kata kamu disebut dengan “ko”, dimana dalam bahasa Jawa
artinya “kowe”. Dalam tataran bahasa Jawa Baku, kata “kowe” adalah kamu yang
paling rendah, karena di atasnya ada kata “sampeyan” dan “panjenengan”. Oleh
karena itu maka setelah diingatkan oleh Nini Kertareja, si Sakum lalu beralih
memanggil Rasus dengan kata “mpeyan”, dari kata bahasa Jawa “sampeyan”, yang
stratanya lebih tinggi dari kata “ko”. Sehingga dari hal ini dapat terlihat bagaimana
penyematan kata “tentara” pada diri Rasus membawa sebuah kuasa sehingga orang
lain harus memberi hormat kepadanya, walaupun mungkin Rasus akan lebih
nyawan dengan sebutan “ko” namun dirinya harus mau menerima hal tersebut
karena dirinya juga harus tetap menjaga kewibawaannya sebagai seorang tentara
bukan sebagai diri pribadi Rasus.
Demikian juga dengan adegan Srinthil dipanggil dengan sebutan “jenganten” oleh
Nini Kertareja,448 dimana melalui adegan ini sebenarnya sedang menunjukkan
bagaimana wujud penghormatan dari Nini Kertareja kepada Srinthil yang telah
menjadi ronggeng yang terkenal atau kondang. Dengan menjadi terkenal tentunya
juga mengangkat derajat Srinthil di hadapan Nini Kertareja. Apalagi dengan
keterkenalan Srinthil sebagai seorang ronggeng juga membawa kekayaan bagi
447 Novel RDP versi Bahasa Banyumasan hal 284. 448 Novel RDP versi Bahasa Banyumasan hal 195 & versi Bahasa Indonesia hal 179.
237
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Srinthil. Oleh karena kekayaan itulah yang juga mengangkat status Srinthil, khususnya di hadapan Nini Kertareja. Sehingga dengan hal tersebut, walaupun Nini
Kertareja adalah orang yang lebih tua dari Srinthil, bahkan bisa dikatakan Nini
Kertareja adalah “guru” dari Srinthil, akan tetapi karena apa yang telah dimiliki oleh Srinthil lalu membuat Nini Kertareja harus memberi hormat kepada Srinthil dengan memanggilnya “jenganten” atau “mpeyan” serta tidak memanggilnya dengan sebutan “ko” atau ber-“kamu” lagi.
Sehingga dari hal tersebut terlihat bagaimana tingkatan bahasa yang ada di novel
RDP, baik versi Indonesia maupuan Banyumasan atau Penginyongan. Padahal sebenarnya bahasa Indonesia dan Penginyongan itu sendiri tidak mengenal tingkatan bahasa, namun dalam novel RDP tingkatan bahasa itu tetap dipertahankan. Bahasa Indonesia yang pada awalnya adalah lahir dari bahasa
Melayu Revolusioner yang kemunculannya di Sumpah Pemuda sebenarnya menjadi bahasa perlawanan bagi sistem kolonialisme. Namun pada akhirnya bahasa ini juga terpengaruh dengan adanya tingkatan yanga ada di dalam bahasa
Jawa Baku. Apa yang terjadi terhadap bahasa Indonesia inilah yang disebut sebagai
“Kramanisasi” bahasa Indonesia.
Demikian juga dengan bahasa Penginyongan yang pada dasarnya adalah bahasa yang egaliter, pada akhirnya juga terpengaruh dengan adanya tingkatan bahasa
Jawa Baku ini. Dan apa yang terjadi dengan bahasa Penginyongan ini sudah berlangsung lama sebelum terjadinya “Kramanisasi” bahasa Indonesia. Sehingga jika dilihat dari percakapan yang ada terdapat di dalam novel RDP baik versi
Indonesia mauapun Banyumasan ternyata penyematan kata yang penuh kuasa dapat membuat seseorang dihargai, dan khususnya dalam konteks novel RDP
238
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ternyata bahasa Krama mempunyai kuasa yang lebih dibandingkan dengan bahasa
Indonesia maupun Penginyongan. Sehingga dengan demikian maka dalam konteks budaya Jawa terlihat bahwa bahasa Krama memang mempunyai konsep kuasa yang lebih kuat. Sehingga dari hal tersebut pada akhirnya juga bisa dilihat bahwa bahasa
Penginyongan sepertinya memang tidak bisa digunakan sebagai sebuah “bahasa publik” yang penuh dengan kuasa, dimana hal tersebut bisa dilakukan oleh bahasa
Krama. Sehingga dengan hal tersebut maka bahasa Penginyongan hingga saat ini tetap menjadi sebuah bahasa yang egaliter.
Salah satu contoh keegaliteran dari bahasa Penginyongan adalah melalui konten
Youtube “Bocah Ngapa(k), Ya!”, dimana dalam adegan di konten tersebut sebagian besar menceritakan tentang kejadian-kejadian yang sederhana, namun lucu, diantara Pak Rt dan ketiga anak yang menajdi pemeran utamanya. Adegan- adegan tersebut semuanya menggunakan dialog dalam bahasa Penginyongan daerah Kebumenan. Dimana dalam dialog yang menggunakan bahasa
Penginyongan tersebut, walaupun dilakukan antara anak-anak dan orang tua, terlihat tidak ada tataran bahasa seperti yang ada di dalam bahasa Jawa Baku jika terjadi percakakapan antara anak dan orang tua yang menggunakan bahasa Ngoko
(untuk orang tua kepada anak) dan Krama (untuk anak kepada orang tua).
Demikian juga dengan adegan antara Pak Polisi dengan anak-anak tersebut juga tidak menggunakan tataran bahasa Jawa Ngoko dan Krama. Bahkan terapat adegan dimana anak-anak itu bertemu dengan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, pun tidak menggunakan bahasa Ngoko dan Krama akan tetapi tetap menggunakan bahasa Penginyongan, baik anak-anak maupun juga Ganjar Pranowo. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan bahasa Penginyongan sebagai bahasa sehari-hari
239
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
orang-orang Banyumasan adalah bahasa yang egaliter, tidak mengenal kasta
bahasa.
Namun hal tersebut akan berubah jika harus berhadapan dengan situasi dan kondisi
yang “resmi”. Dalam konten tersebut juga ditampilkan adegan Pak RT dengan Ibu
guru Mawar yang bercakap-cakap menggunakan bahasa Jawa Krama. Dalam
adegan tersebut diceritakan bahwa Pak RT sedang menyatakan “cinta” kepada Ibu
guru Mawar, sebagai tanda “melamar”, dengan menggunakan bahasa Krama. Ibu
guru Mawar pun dalam menjawab pernyataan “cinta” dan lamaran Pak RT tersebut
juga dengan menggunakan bahasa Jawa Krama. Hal tersebut menunjukkan bahwa
ternyata bahasa Jawa Baku tetap digunakan, terutama dalam kasus adegan Pak RT
dan Ibu guru Mawar, adalah dalam saat-saat yang “resmi”. Sehingga dari hal ini
terlihat bahwa pengaruh bahasa Jawa Baku (Krama) juga telah mempengaruhi gaya
berbahasa orang-orang Banyumasan.
Apa yang terjadi pada adegan Pak RT dan ibu guru Mawar sebenarnya tidak jauh
berbeda dengan satu peristiwa yang dianggap sangat ideal untuk menampilkan
sosok “Jawa”, yaitu perkawinan kerajaan yang memberikan latar dominan yang di
dalamnya kultural “Jawa” disusun kembali pada abad ke-19 di Surakarta.449
Walaupun dalam adaegan tersebut Pak RT dan Ibu guru Mawar belum menikah,
namun pernyataan “cinta” sebagai wujud “lamaran” dari Pak RT kepada Ibu guru
Mawar adalah salah satu langkah yang harus dijalani untuk menuju pada proses
sebuah perkawinan. Hal tersebut disaksikan Pemberton ketika dirinya mengikuti
rombongan “pelamar” dari Solo menuju daerah yang disebut Gunung Gajah di
daerah Bayat (Klaten). Dalam proses “lamaran” tersebut digunakan dialog atau
449 Pemberton hal 99. 240
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
percakapan antara keluarga dari pihak laki-laki dengan pihak keluarga perempuan
menggunakan bahasa yang betul-betul halus.450
Sehingga adegan Pak RT dan Ibu guru Mawar ini dilihat dari kacamata “Jawa”
yang dikemukakan oleh Pemberton maka semakin menegaskan bahwa kehadiran
bahasa Jawa Baku di tengah-tengah budaya bahasa Penginyongan adalah sebagai
sebuah bahasa atau kata-kata yang bukan hanya sekedar digunakan sebagai cara
untuk berkomunikasi, akan tetapi menjadi sebuah bahasa atau kata-kata yang
penuh kuasa. Sehingga dengan demikian menjadikan Bahasa Jawa Baku lalu
mempunyai fungsi yang berbeda dengan Bahasa Penginyongan di dalam
kehidupan masyarakat Banyumasan. Bahasa Jawa Baku, sebagaimana jika dilihat
dari konsep berbahasa Siegel, sebagai bahasa yang penuh kuasa akhirnya
menghadirkan “rasa rikuh dan cermin”, sementara bahasa Penginyongan tidaklah
demikian.
b. Counter Hegemoni terhadap Bahasa Kosong
Kembali kepada anak-anak “bocah ngapa(k) ya”, dengan viralnya mereka di
konten Youtube akhirnya membawa mereka bisa menembus dunia layar kaca
“konvensional” yaitu dunia pertelevisian. Konten mereka pada akhirnya dilirik
untuk ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta. Dan masuknya mereka ke
dunia pertelevisian tentunya hanya akan diangkat sekedar sebagai tayangan
“entertainment” atau hiburan semata, yang tentunya akan membawa keuntungan
dari stasiun televisi yang menayangkan tayangan “bocah ngapa(k) ya” tersebut.
450 Pemberton hal 311. 241
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Namun ketika sudah memasuki dunia pertelevisian terdapat sesuatu hal yang berbeda dari tayangan tersebut ketika hanya masih beredar di konten Youtube, yaitu adegan di dalam kelas sekolah dimana ketika masih di konten Youtube adegan itu belum ada dan justru ketika sudah tayang di televisi adegan ini menjadi
“scene” terbanyak. Dari sekian banyak “scene” adegan di dalam kelas sekolahan ternyata jika diamati terdapat dua bahasa yang digunakan yaitu bahasa Indonesia dan “ngapak”. Bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa komunikasi yang dilakukan antara guru dengan para muridnya, sedangkan bahasa “ngapak” digunkan sebagai bahasa komunikasi di antara para murid.
Sehingga dari tayangan “bocah ngapa(k) ya”, terutama di adegan di dalam kelas, terlihat bagaimana fungsi dari dua bahasa tersebut. Sebagai sebuah negara
“Bhinneka Tunggal Ika” yang terdiri dari berbagai macam perbedaan dimana salah satunya adalah perbedaan bahasa, maka sudah menjadi hal yang lazim jika muncul adanya “dwibahasa”. Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi nasional menjadi sebuah bahasa yang menjembatani di tengah-tengah banyaknya bahasa daerah.
Sehingga dalam konteks di setiap daerah di negara ini sudah menjadi sebuah kelaziman jika penggunaan bahasa nasional dan daerah ini digunakan berdampingan, sesuai dengan fungsinya masing-masing.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi nasional tentunya juga akan banyak digunakan sebagai sarana komunikasi di dalam situasi dan suasana yang resmi, salah satu contohnya adalah komunikasi antara guru dan murid di kelas sekolahan.
Sedangkan bahasa daerah, dalam konteks sekolah, akan dipakai sebagai sarana komunikasi di antara para murid baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Hal itulah yang terlihat dalam tayangan “bocah ngapa(k) ya” dimana bahasa Indonesia
242
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
adalah bahasa resmi di dalam kelas, dan bahasa ngapak adalah bahasa yang “tidak
resmi”.
Mengenai adanya fungsi yang berbeda dari bahasa yang digunakan di dalam kelas,
Shiraishi melihat bahwa di Indonesia terdapat dua jenis suara yang sama-sama
hidup di dalam kelas, yaitu suara resmi dan yang gaduh.451 Suara resmi terdiri dari
suara guru dan murid, dimana murid akan memerankan peran pengulangan, meniru
ucapan guru, maupun menjawab pertanyaan yang diajukan guru (yang tentunya
menggunakan bahasa Indonesia). Dan bagi anak-anak yang ada di daerah yang
fasih berbahasa daerah akan menggunakan bahasa tersebut sebagai bahasa
tersembunyi di dalam kelas. Akan tetapi bagi anak-anak khususnya di Jakarta yang
selalu berbahasa Indonesia maka bahasa Indonesia akhirnya mempunyai dua peran
yaitu sebagai bahasa resmi dan sebagai bahasa “yang tak terdengar”.
Sehingga jika melihat pada situasi di daerah maka bahasa Indonesia adalah sebuah
bahasa resmi di kelas, sedangkan dengan demikian bahasa daerah akhirnya
digunakan sebagai bahasa tidak resmi di kelas. Bahasa tidak resmi inilah yang
seringkali muncul sebagai sebuah “kegaduhan” di dalam kelas, sebagaimana yang
terlihat dalam tayangan “bocah ngapa(k) ya”. Dalam tayangan tersebut terlihat
bagaimana seorang guru di kelas tidak pernah ditampilkan dengan menggunakan
bahasa “ngapak” ketika berkomunikasi dengan murid-muridnya, namun jikalau
ditengah-tengah adegan komunikasi dengan murid-murinya ini diselingi adanya
komunikasi di antara para murid maka bahasa yang digunkan oleh murid-murid itu
adalah bahasa “ngapak”. Dan keluarnya bahasa “ngapak” di tayangan tersebutlah
451 Saya Sasaki Shiraishi, Pahlawan-pahlawan Belia (Keluarga Indonesia dalam Politik), Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2001, hal 217-227. 243
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang akhirnya selalu menjadi sebuah adegan yang menghadirkan suasana gelak tawa yang ramai di dalam kelas. Dan suasana yang demikianlah yang justru menjadi inti atau pusat dari tayangan tersebut.
Suasana yang penuh gelak tawa adalah sebuah suasana yang “gaduh”, dimana suasana yang gaduh tersebut muncul karena adanya suasana yang “tidak resmi”.
Kehadiran suasana yang tidak resmi melalui bahasa yang tidak resmi inilah yang akhirnya menghadirkan suara yang “gaduh” di dalam kelas. Dan kegaduhan inilah yang menjadi nilai lebih (atau bahakan bisa dikatakan sebagai “nilai jual”) di tayangan “bocah ngapa(k) ya” yang dapat diterima oleh banyak pemirsa atau penontonya baik di konten Youtube maupun di televisi. Sehingga dengan apa yang terjadi pada suasana kelas “bocah ngapa(k) ya” justru berbeda dengan apa yang terjadi dengan suasana yang digambarkan oleh Shiraishi, dimana suara kolektif para murid yang dianggap sebagai suatu kegaduhan tidak didiamkan melainkan sekedar ‘tidak dianggap”. Ternyata suara murid-murid “bocah ngapa(k) ya” justru
“dianggap”, dan jendela-jendela di kelas tersebut tidak perlu ditutup, justru sebaliknya jendela-jendela tersebut malah dibuka dengan selebar-lebarnya.
Dari apa yang ditampilkan di “bocah ngapa(k) ya” ternyata bahasa ngapak-ngapak atau Penginyongan sebagai “bahasa tidak resmi” yang menghadirkan suara gaduh ternyata menjadi sebuah kegaduhan yang dianggap. Dengan demikian maka bahasa
Penginyongan dapat direpresentasikan sebagai sebuah bahasa yang penuh makna dimana bahasa itu muncul bukan karena hasil dari reka karya, tawar menawar, pesanan atau penyaringan serta pencitraan dari seorang “bapak”, sehingga anak- anakpun akhirnya diperbolehkan untuk “bilang, begitulah!”.
244
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ternyata dari sebuah konten Youtube “Bocah Ngapa(K) Ya!” bisa ditelusuri bagaimana sebuah perlawana dari bahasa Penginyongan terhadap hegemoni bahasa Jawa Baku melalui Kramanisasinya. Namun tentunya karena hegemoni ini sudah terlalu lama terjadi pada bahasa Penginyongan tentunya banyak aspek kehidupan yang terhegemoni oleh penggunaan bahasa Jawa Baku ini. Namun dari sekian banyak aspek yang terkena imbas dari hegemoni bahasa Jawa baku tersebut, paling tidak melalui media internet yang salah satu contohnya melalui konten Youtube “Bocah Ngapa(k) Ya!”, counter hegemoni sudah mulai dapat dilakukan. Mereka yang terlibat di dalamnya sebenarnya adalah para aktor intelektual organik yang telah membuat sebuah “good sense” untuk melawan “common sense” yang selama ini terbentuk melalui Kramanisasi bahasa Jawa
Baku. Dan apa yang mereka lakukan itu ternyata adalah sebuah perang posisi. Sehingga dengan demikian maka sebenarnya counter hegemoni bahasa Penginyongan terhadap bahasa Jawa Baku bisa dilakukan melalui sisi ini. Namun tentunya sebuah perang posisi, sebagaimana konsep Gramsci, tidak hanya dilakukan hanya melalui satu sisi akan tetapi harus melalui berbagai sisi atau aspek yang terkena imbas dari sebuah hegemoni
Melihat konsep atau gagasan dari Gramsci tentang Counter Hegemoni tentunya dapat
menjadi sebuah strategi untuk melakukan sebuah perlawanan. Karena keberadaan
bahasa Jawa Baku sudah begitu lama menghegemoni wilayah Banyumasan, maka
seluruh elemen yang ada di daerah Banyumas juga merasakan hegemoni ini, salah
satunya adalah gereja. Oleh karena itu dengan alasan adanya sebuah “kebutuhan” maka
mulailah dilakukan proses penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan, dimana
penerjemahan ini ternyata tidak dilakukan oleh pihak gereja sebagai sebuah otoritas
resmi lembaga keagamaan, akan tetapi justru dilakukan oleh orang-orang yang di dalam
245
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kehidupan gerejawi disebut hanya sebagai “jemaat awam”.452 Sehingga sebenarnya
proses penerjemhan Alkitab bahasa Penginyongan ini sebenarnya bisa digunakan
sebagai sarana counter hegemoni terhadap hegemoni bahasa Jawa Baku di gereja GKJ,
khususnya yang beraada di wilayah Banyumasan.
B. Penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan sebagai sarana Counter Hegemoni
terhadap “Kuasa Kata” & “Bahasa Kosong” dalam bahasa Jawa Baku.
Keberadaan sebuah teks atau literature dari sebuah bahasa tertentu berarti menunjukkan
eksistensi dari bahasa tersebut.453 Sehingga dari hal tersebut menunjukkan arti pentingnya
keberadaan bahasa teks sebagai sebuah bahasa tulisan. Oleh karena itu keberadaan teks
atau literatur dari sebuah menjadi sebuah hal yang penting disamping bahasa sebagai
sebuah bahasa lisan. Dan bahasa sebagai sebuah teks dapat digunakan untuk melakukan
perlawanan jika terjadi sebuah hegemoni bahasa. Konteks daerah Italia Selatan dimana
daerah tersebut menjadi salah satu acuan Gramsci di dalam membuat konsep Counter
Hegemoni juga memasukkan bagaimana perlawanan bahasa Italia terhadap hegemoni
bahasa Latin. Dan salah satu usahanya adalah dengan menekankan tentang keberadaan
literatur-literatur dalam bahasa Italia.
Demikian juga keberadaan bahasa Penginyongan sebagai sebuah bahasa lisan juga
memerlukan kehadirannnya dalam bahasa teks. Ketika para budayawan Banyumasan
sedang terus melakukan usahanya untuk menghadirkan literatur-literatur dalam bahasa
Penginyongan, ternyata sejak tahun 2005 telah muncul sebuah usaha penerjemahan
Alkitab dalam bahasa Penginyongan. Kemunculan usaha penerjemahan Alkitab tersebut
dilatarbelakangi karena belum adanya Alkitab dalam bahasa Penginyongan, dimana
452 Istilah “awam” adalah sebutan untuk jemaat biasa, untuk membedakan dengan kalangan rohaniawan atau pejabat gerejawi. 453 Walter Ong, Kelisanan dan Keaksaraan (pent: Rika Iffati), Gading Yogyakarta, 2013, hal 1-3. 246
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
selama ini jemaat gereja di wilayah Banyumasan menggunakan Alkitab dalam bahasa
Indonesia, dan khususnya untuk gereja GKJ juga menggunakan Alkitab bahasa Jawa
(Baku).
Dengan adanya proses penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan tentunya membawa angin segar bagi jemaat gereja di wilayah Banyumasan, teremasuk gereja GKJ. Namun ternyata proses penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan ini tidak seluruhnya berjalan sesuai harapan, salah satunya adalah adanya “ketidakpedulian” dari gereja GKJ. Hal ini dikarenakan karena di gereja GKJ, selain menggunakan Alkitab bahasa Indonesia juga menggunakan Alkitab bahasa Jawa (Baku), dimana Alkitab bahasa Jawa tersebut sudah digunakan sejak berdirinya Sinode gereja GKJ di tahun 1931. Sehingga secara tradisi gereja GKJ sudah terbiasa dengan penggunaan Alkitab bahasa Jawa tersebut yang mempengaruhi penggunaan bahasa Jawa Baku di dalam lingkup kehidupan gerejawi, terutama di dalam ibadah.
Penggunaan Alkitab bahasa Jawa dan juga bahasa Jawa Baku sebagai salah satu bahasa pengantar ibadah gerejawi di gereja GKJ tentunya juga dikarenakan Alkitab yang tersedia selama ini adalah Alkitab bahasa Jawa, yang dimana Alkitab ini adalah hasil terjemahan yang dilakukan oleh Lembaga Alkitab Jawa bentukan pemerintahan Hindia-Belanda di jaman kolonial, sebagai salah satu proyek Javanologi. Sehingga dengan tersedianya literatur bahasa Jawa dalam wujud Alkitab bahasa Jawa ini maka gereja GKJ pun akhirnya menggunakan bahasa Jawa Baku sebagai bahasa pengantar ibadah. Selain itu penggunaan bahasa Jawa Baku juga menjadi sebuah bahasa resmi di wilayah Banyumasan sejak jaman kerajaan Mataram (Islam). Sehingga dari hal-hal tersebut sudah memperlihatkan bahwa telah terjadi hegemoni bahasa Jawa Baku di gereja GKJ yang berada di wilayah
Banyumasan.
247
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Oleh karena itu maka dengan adanya prosese penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan ini telah megusik keberadaan Alkitab bahasa Jawa dan penggunaan bahasa Jawa Baku sebagai salah satu bahasa pengantar ibadah gerejawi. Sehingga dengan hal tersebut maka muncul rasa ketidakpedulian terhadap proses penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan ini. Rasa ketidakpedulian ini tentunya juga disebabkan karena adanya hegemoni bahasa
Jawa Baku terhadap bahasa Penginyongan yang sudah berlangsung berabad-abad.
Dengan adanya fenomena yang demikian maka proses penerjemahan Alkitab bahasa
Penginyongan dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk perlawanan yang dilakukan untuk melawan hegemoni bahasa Jawa Baku, khususnya di lingkup gereja GKJ. Perlawanan terhadap hegemoni inilah yang disebut sebagai sebuah counter hegemoni. Dan sebagaimana konsep counter hegemoni yang dikembangkan oleh Gramsci maka paling tidak diperlukan 3 hal yaitu: pembentukan intelektual organik, good sense dan perang posisi. Oleh karena itu menjadi menarik jika proses penerjemahan Alkitab bahasa
Penginyongan ini akan dilihat dari tiga hal tersebut yang menjadi bagian dari sarana terbentuknya counter hegemoni.
1. Terbentuknya kaum Intelektual Organik dalam penerjemahan Alkitab bahasa
penginyongan.
Penuangan bahasa lisan dalam bahasa teks bukan oleh sebuah bahasa yang mengalami
hegemoni sebenarnya sedang menunjukkan adanya sebuah counter hegemoni.
Demikian juga yang terjadi pada bahasa Penginyongan terhadap bahasa Jawa Baku.
Sehingga jika saat ini Alkitab bahasa Penginyongan sedang mengalami proses
penerjemahan sebenarnya hal ini juga dapat dilihat seperti keberadaan literatur-
literatur tersebut yang bukan hanya menunjukkan eksistensi keberadaan bahasa
Banyumas akan tetapi juga dapat digunakan sebagai alat counter hegemoni terhadap
hegemoni bahasa Jawa Baku, terutama dalam lingkup gereJa GKJ.
248
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dengan adanya proses penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan sebenarnya sedang menunjukkan bahwa telah muncul kaum intelektual organik yang tentunya berasal dari dalam tubuh gereja. Mereka disebut sebagai kaum intelektual organik karena mereka dapat memainkan peran dan fungsi mereka sebagai “unsure pemikir dan pengorganisasian dari sebuah kelas fundamental tertentu”. Sebagai “unsure pemikir” sebenarnya status mereka di dalam gereja bukanlah seorang “rohaniawan” atau Pendeta akan tetapi hanya sekedar jemaat “awam” saja. Seharusnya pemikiran yang seperti ini sudah semestinya lahir dari kalangan Pendeta sebagai seseorang yang mempunyai bekal pendidikan teologi yang lebih mumpuni dibandingkan dengan jemaat “awam”.
Demikian juga ketika mereka melakukan “pengorganisasian” untuk melakukan penerjemahan Alkitab bahasa Banyumasan ini pada awalnya juga tidak melekat pada organisasi yang melekat pada organisasi gerejawi. Mereka membentuk PASEBAN sebagai wadah mereka untuk melakukan penerjemahan tersebut yang cenderung bersifat “kebudayaan”. Dan pada akhirnya dari organisasi PASEBAN ini akhirnya mereka dapat bertemu dengan sebuah lembaga yang mempunyai konsentrasi dalam bidang penerjemahan Alkitab yaitu Kartidaya. Dan melalui lembaga Kartidaya inilah
Injil Lukas dalam bahasa Banyumasan ini sudah bisa diterbitkan pada tahun 2015.
Hal tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya aktor-aktor intelektual organik ini muncul jemaat gereja yang pada awalnya hanya dilatarbelakangi sebuah keinginan dan kebutuhan akan adanya Alkitab bahasa Penginyongan. Tentunya pemikiran tersebut muncul karena belum adanya Alkitab bahasa Penginyongan. Namun ketiadaan Alkitab bahasa Penginyongan tersebut tentunya karena ada hal-hal yang membuatnya menjadi demikian. Sebagaimana sudah dijelaskna dalam bab III tulisan ini bahwa keberadaan bahasa Penginyongan berada dibawah bayang-bayang bahasa
249
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Jawa Baku, sehingga dengan demikian telah terjadi hegemoni bahasa yang dilakukan oleh bahasa Jawa Baku terhadap bahasa Penginyongan.
Faktor heemoni bahasa inilah yang lalu menyebabkan Alkitab bahasa Penginyongan hingga saat ini masih di dalam proses penerjemhan. Sehingga dari hegemoni bahasa tersebut maka memepengaruhi berbagai lini kehidupan masyarakat Banyumas, tidak terkecuali di dalam kehidupan gereja khususnya gereja GKJ yang menggunakan bahasa Jawa Baku sebagai salah satu bahasa pengantar ibadah. Dengan demikian maka dapat dikatakan juga bahwa para penerjemah Alkitab bahasa Banyumasan sebenarnya para sedang memikirkan tentang sebuah kebudayaan yaitu budaya bahasa
Penginyongan yang selama ini “tergilas” di tengah-tengah kehidupan gerejawi, khususnya gereja GKJ yang berada di wilayah Banyumasan.
Dengan terbentuknya kalangan “pemikir” dan pelaku “organisasi” yang terlibat dalam proses penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan ini, maka menurut teori Gramsci bahwa kalangan tersebut dapat dikatakan sebagai bagian dari kaum intelektual organik. Pemikiran yang lalu keluar menjadi sebuah gagasan untuk menterjemahkan
Alkitab ke dalam bahasa Penginyongan menunjukkan bahwa telah muncul kesadaran di dalam diri pada masing-masing individu terlebih dahulu, dan dengan bersatunya mereka dalam wadah PASEBAN akhirnya menunjukkan bahwa mereka telah memiliki sebuah kesadaran bersama. Sehingga dengan dilakukannya penerjemahan
Alkitab bahasa Penginyongan ini tentunya diharapkan akan muncul sebuah kesadaran bersama yang lebih luas lagi, khususnya di dalam lingkup kehidupan gerejawi di wilayah Banyumas.
Berbicara tentang kehidupan gereja, dalam hal ini gereja Protestan yang terdiri dari berbagai macam denominasi, tentunya setiap gereja mempunyai situasi dan kondisi yang berbeda. Terkhusus untuk gereja-gereja di wilayah Banyumas, gereja GKJ
250
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
adalah salah satu “gereja suku” yang menggunakan bahasa daerah yaitu bahasa Jawa
Baku sebagai bahasa pengantar ibadahnya, sehingga Alkitab yang digunakan adalah
Alkitab bahasa Jawa. Bahkan di kegiatan-kegiatan persekutuan non-ibadah gereja,
seperti Pemahaman Alkitab, Persekutuan Doa Kelompok, Bidston (ucapan syukur
keluarga) dll juga menggunakan tuntunan yang menggunakan bahasa Jawa Baku.
Jika dirunut ke belakang sebenarnya GKJ mempunyai sejarah yang begitu dekat
dengan budaya Banyumasan. Hal ini dikarenakan Sinode gereja GKJ lahir di wilayah
yang berbahasa Penginyongan, yaitu di kota Kebumen pada tahun 1931.454 Bahkan
embrio kemunculan gereja ini sudah dimulai pada tahun 1858 ketika terdapat 9 orang
pribumi yang tinggal di Banyumas rela berjalan menuju Semarang hanya untuk
menerima tanda baptisan. 455 Dari komunitas kecil inilah yang lalu menjadi keberadan
cikal bakal komunitas Kristen pribumi sebelum adanya sebuah komunitas yang lebih
besar di Karangjasa yang diasuh oleh Kyai Sadrach sejak tahun 1870.
Oleh karena itu untuk menuju pada sebuah kesadaran bersama inilah maka peran para
kaum intelektual organik sangatlah diperlukan. Hal ini dikarenakan secara khusus di
lingkup gereja GKJ sendiri bahasa Jawa Baku telah menjadi sebuah “bahasa resmi”
sebagai bahasa pengantar ibadah gerejawi yang tentunya juga menggunakan Alkitab
bahasa Jawa. Alkitab bahasa Jawa sendiri mulai muncul pada tahun 1831 dengan
menggunakan bahasa Ngoko dialek Semarangan.456 Namun pada perjalanannya
Alkitab bahasa Jawa lalu menggunakan bahasa Jawa Baku dimana terdapat tingkatan
bahasa Krama dan Ngoko.457 Walaupun keberadaan tingkatan bahasa Krama dan
454 Hadi Purnomo & M. Suprihadi Sastrosupono, Gereja-gereja Kristen Jawa: Benih yang tumbuh dan berkembang di tanah Jawa, Taman Pustaka Kristen, Yogyakarta, 1986, hal 34. 455 J.D. Wolterbeek, Babad Zending di Pulau Jawa, Taman Pustaka Kristen, Yogyakarta, 1995, hal 35. 456 J.L. Swellenggrebel, Mengikuti Jejak Leijdecker Jilid 1 (1820-1900), Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2006, Hal 47 & 51. 457 Ibid 51-52. 251
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ngoko ini secara umum sebenarnya juga mendapatkan banyak pertentangan, namun
karena bahasa ini digunakan oleh “penguasa” sebagai salah alat untuk
mempertahankan kekuasaannya maka bahasa Jawa Baku akhirnya harus tetap menjadi
sebuah bahasa yang resmi digunakan. Dari hal inilah yang akhirnya juga
mempengaruhi keberadaan Alkitab bahasa Jawa yang pada awalnya diterjemahankan
ke dalam bahasa ngoko harus diterjemahkan kembali dengan memasukkan bahasa
Krama. Sehingga dengan adanya Alkitab bahasa Jawa (Baku) inilah yang lalu menjadi
salah satu penyebab terjadinya hegemoni bahasa Jawa Baku terhadap bahasa
Penginyongan di dalam lingkup gereja GKJ di wilayah Banyumas.
Adanya hegemoni bahasa inilah yang lalu menjadi salah satu faktor terjadinya
“peperangan budaya”, pada khususnya budaya bahasa Jawa baku dengan bahasa
Penginyongan. Sehingga dengan adanya peperangan budaya ini maka dalam kacamata
Gramsci akan ada pihak yang menjadi obyek dan subyek hegemoni. Pihak yang
selama ini menjadi subyek atau “aktor” terjadinya hegemoni tersebut akan terus
berusaha untuk mempertahankan status quo ini. Mereka inilah para aktor intelektual
tradisional yang ada di dalam tubuh gereja GKJ yang berada di wilayah Banyumasan.
Dan seperti penelitian yang telah dipaparkan di bab III, justru yang menjadi aktor
intelektual tradisonal adalah para “rohaniawan” yaitu Pendeta.
Sebagai gereja yang menganut prinsip Presbiterial, maka kedudukan Pendeta
menempati salah satu posisi dari tiga jabatan gerejawi yang terdapat di GKJ, selain
Penatua dan Diaken, yang disebut sebagai Majelis Gereja.458 Di Majelis Gereja inilah
segala arah kebijakan gerejawi diputuskan, dan peran Pendeta sebagai seseorang yang
berpendidikan teologi tentunya mempunyai pemikiran yang lebih dalam dan tajam
458 Tata gereja GKJ 252
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tentang hal-hal yang berbau teologis. Oleh karena itu keberadaan Pendeta juga sangat
menentukan arah kebijakan gerejawi. Namun ternyata tidak semua Pendeta dapat
menjadi seorang aktor intelektual organik di dalam gereja, khususnya dalam hal ini
ketika menyikapi proses penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan, akan tetapi
justru merekalah yang menjadi aktor intelektual tradisional yang lebih memilih untuk
mempertahankan status quo bahasa Jawa Baku didalam gereja.
Sedangkan obyek atau pihak yang merasa terhegemoni sebagaimana telah dijelaskan
Gramsci mereka dengan sikap “setuju” menerima keadaan tersebut. Namun ternyata
ada beberapa jemaat, walau masih dalam skala kecil, ternyata terlibat di dalam
organisasi PASEBAN yang saat ini sedang melakukan penerjemahan Alkitab bahasa
Penginyongan. Keberadaan mereka inilah yang disebut sebagai kaum intelektual
organik. Bahkan pada saat ini ketua PASEBAN telah dijabat oleh salah satu Pendeta
GKJ yang berada di wilayah Banyumas. Melalui merekalah perebutan hegemoni
budaya sedang dilakukan. Perebutan hegemoni budaya inilah yang lalu oleh Gramsci
disebut sebagai counter hegemoni atau hegemoni tandingan. Dan pelaku dari counter
hegemoni tersebut adalah mereka yang disebut sebagai kaum intelektual organik.
2. Penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan melahirkan Good Sense
Kaum intelektual organik sebagai sebuah golongan pemikir tentunya mempunyai pola
pikir yang berbeda dengan pemikiran yang secara umum sudah diterima secara luas.
Pemikiran yang secara umum telah diterima secara luas ini oleh Gramsci dikatakan
sebagai “common sense”. Dan peran dari intelektual organik adalah melahirkan
pemikiran yang berbeda dengan common sense ini. Namun pemikiran yang berbeda
ini bukan hanya sekedar berbeda saja, akan tetapi mengandung unsur perebutan
budaya yang telah dibentuk oleh common sense. Pemikiran yang seperti inilah yang
disebut oleh Gramsci sebagai “good sense”. Dengan demikian good sense dapat
253
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dikatakan sebagai sebuah pemikitan yang muncul sebagai sebuah kritik terhadap
keberadaan sebuah common sense.459
Ketika bahasa Jawa Baku telah secara luas diterima sebagai sebuah common sense
dalam kebudayaan Jawa, maka dari hal ini menyebabkan bahasa-bahasa lainnya hanya
dinilai sebagai sebuah bagian dari dialek bahasa Jawa. Dan salah satunya yang
mengalami hal tersebut adalah bahasa di wilayah Banyumasan yang sering disebut
sebagai dialek Banyumasan atau “ngapak-ngapak”, yang saat ini disebut sebagai
bahasa Penginyongan. Penyebutan sebagai sebuah dialek tentunya menjadikan bahasa
yang digunakan sebagai komunikasi sehari-hari di wilayah Banyumasan ini
keberadaannya di tengah-tengah budaya Jawa akhirnya menjadi sebuah bahasa yang
levelnya berada di bawah bahasa Jawa baku. Dengan kata lain maka bahasa
Penginyongan ini lalu hanya menjadi bahasa kelas dua di kebudayaan Jawa.
Bahasa Jawa Baku yang di dalamnya terdapat “Kromo” dan “Ngoko”, oleh Siegel
dikatakan bahwa Kromo adalah “High Javanese” sedangkan Ngoko adalah “Low
Javanese”.460 Padahal yang disebut Krama biasanya adalah kata-kata baru yang
muncul dari bahasa Ngoko, sedangkan bahasa Ngoko sendiri adalah “bahasa asli” dari
bahasa Jawa.461 Sehingga dengan demikian maka bahasa Penginyongan yang
memiliki kedekatan dengan bahasa Ngoko berarti juga dapat dikatakan sebagai bahasa
rendahan. Hal inilah yang lalu ditentang oleh Ahmad Tohari dengan mengatakan
bahwa bahasa Banyumasan yang dia sebut sebagai bahasa Penginyongan adalah
sebuah bahasa dan bukan sekedar dialek dari bahasa Jawa, bahkan dengan
459 Prison Notebooks hal 485. 460 James Siegel, Solo in New Order hal 17. 461 Budiono Herusatoto, Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa dan Watak, LKiS, Yogyakarta, 2008, hal 161. - band. dengan: Benedict Anderson, Kuasa Kata: Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia, Mata Bangsa, Yogyakarta, 2000, hal 458. 254
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kedudukannya sebagai sebuah bahasa maka bahasa Penginyongan mempunyai posisi
yang sama sebagai sebagai sebuah bahasa.462
Sehingga dengan demikian maka sebenarnya bahasa Penginyongan bukanlah sebuah
bahasa “rendahan” dan juga bukan bahasa kelas dua. Dengan adanya anggapan yang
seperti ini maka menurut Baryadi Praptomo, di dalam budaya Jawa telah terjadi
sebuah “diskriminasi lingual”.463 Bahkan jika melihat dari kacamata Mrazek, maka
hal tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah “pengucilan linguistik”.464
“Diskriminasi” dan “Pengucilan” bahasa ini adalah sebagai salah satu wujud dari
relasi kuasa yang oleh Gramsci disebut sebagai hegemoni bahasa. Sehingga
sebenarnya common sense tentang bahasa Jawa Baku ini dapat dikatakan sebagai
sebuah pengertia yang di baliknya penuh dengan aroma kekuasaan. Dan common
sense yang seperti ini sudah terlanjur memasuki semua lini kehidupan dari orang-
orang Jawa, tidak terkecuali di dalam kehidupan gerejawi khususnya gereja GKJ di
wilayah Banyumas.
Dari hal tersebut juga akhirnya memunculkan sebuah penilain bahwa Bahasa Jawa
Baku terutama Krama dikatakan sebagai bahasa yang “alus”, sedangkan bahasa
bahasa Penginyongan diidentikkan dengan bahasa yang “kasar”. Menurut Neil
Murder “alus” ialah, “yang memperlihatkan penguasaan tingkatan-tingkatan bicara
dalam bahasa Jawa, menyadari diri dan orang lain, harus bertindak dengan halus
dan bersikap sahaja. Semua itu adalah tanda orang yang beradab, cerminan disiplin
dan ketenangan batin. Kehadiran diri mereka yang sempurna menghias dunia,
462 A. Tohari, Jejak Tradisi Jawa Kuna Dalam Kebudayaan Jawa Banyumasan; dalam Kongres Kebudayaan Jawa II, Pengarusutamaan Kebudayaan Jawa untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat, Surabaya, 2018, hal 142- 143. 463 I. Praptomo Baryadi; Bahasa, Kekuasaan dan Kekerasan; Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2012, hal 28. 464 R. Mrazek hal 47. 255
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
membuat dunia menajdi tempat yang lebih indah dan lebih baik. Orang semacam itu
adalah orang baik”; sedangkan yang “kasar ialah, “ketiadaan tindak tanduk yang
baik, kegaduhan ala monyet, gelegak emosi, tidak berpendidikan, lagak gaya bak
badut, ancaman “komunis”, kritik terus terang, ketidaksepakatan yang
membangkang, konflik terbuka, miskin diplomasi. Kasar sama dengan tak terkendali,
dengan alam belantara, tak tahu peradaban”.465 Demikian common sense antara
bahasa Jawa Baku dan bahasa Penginyongan yang dibentuk di tengah-tengah
masyarakat Jawa.
Dari sekian banyak common sense yang sudah terbentuk di masyarakat itulah yang
justru lalu memunculkan sebuah good sense, dimana akhirnya dari good sense tersebut
lalu memunculkan pemikiran untuk melakukan penerjemahan Alkitab ke dalam
bahasa Penginyongan yang dilakukan oleh para aktor intelektual organik. Sehingga
dalam kasus ini maka dapat dikatakan bahwa kemunculan Alkitab bahasa Banyumas
adalah sebuah good sense, sedangkan Alkitab bahasa Jawa (Baku) adalah salah satu
prosuk common sense.
Dengan demikian kemunculan Alkitab bahasa Penginyongan jika dihubungkan
dengan sejarah lahirnya gerakan Reformasi gereja di Jerman tentunya bisa dikatakan
mempunyai kemiripan. Salah satu hasil dari gerakan Reformasi gereja di Jerman yang
dipimpin oleh Martin Luther adalah dengan munculnya Alkitab terjemahan dalam
bahasa Jerman. Kemunculan Alkitab bahasa Jerman pada waktu itu tentunya
digunakan sebagai sebuah tanda perlawanan terhadap dominasi gereja Roma dengan
monopoli bahasa Latin-nya.466 Dan Gramsci, dari sudut pandang sejarah Italia, sering
membandingkan gerakan Reformasi gereja tersebut sebagai bagian dari hegemoni
465 Neil Murder, Mistisisme Jawa (ideologi di Indonesia), LKiS, Yogyakarta, 2001, hal 178-179. 466 Benedict Anderson, Imagined Communities: Komunitas-komunitas Terbayang, INSIST & Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008, hal 58-61. 256
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
gereja Roma.467 Pada bagian lain, khususnya terkait dengan common sense dan good
sense, Gramsci mengatakan bahwa:
Gereja Katolik selalu menjadi pihak yang paling kuat untuk mencegah adanya
pembentukam “resmi” dua agama, yang satu untuk para “intelektual”, dan
yang satu lagi untuk “jiwa yang sederhana”.468
Maksud dari pernyataan Gramsci adalah bahwa gereja Roma adalah pihak yang tidak
menginginkan ada kelompok yang common sense dan good sense. Dalam hal ini
adanya perseteruan antara golongan rohaniawan (intelektual) dan jemaat awam (jiwa
yang sederhana), dimana golongan rohaniawan adalah pihak yang mempunyai otoritas
di dalam gereja Roma itu sendiri dan golongan jemaat awam adalah penggambaran
dari orang-orang yang menganut paham reformasi seperti para pengikut gerakan
Reformasi gereja (Lutheran dan Calvinis). Dan sebagai salah satu wujud perlawanan
dari gerakan Reformasi gereja adalah penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa ibu
sebagai wujud perlawanan terhadap monopoli Alkitab dalam bahasa Latin.
Dengan demikian, maka bisa dikatakan dengan adanya penerjemahan Alkitab bahasa
Penginyongan ini menyebabkan eksistensi bahasa Jawa Baku dapat terancam seperti
keberadaan bahasa Latin yang terancam eksistensinya dengan kemunculan Alkitab
dalam bahasa Jerman yang dihasilkan oleh gerakan Reformasi gereja. Oleh karena itu
maka penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan ini juga bisa dikatakan sebagai
sebuah perlawanan terhadap hegemoni bahasa Jawa Baku, dimana usaha perlawanan
yang demikian oleh Gramsci disebut sebagai counter hegemoni. Namun counter
hegemoni yang terbentuk melalui penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan ini
bukanlah counter hegemoni dalam ranah politik akan tetapi counter hegemoni dalam
467 Prison Notebooks hal 62. 468 ibid hal 462. 257
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ranah budaya yang terjadi di lingkungan gereja, khususnya gereja GKJ di wilayah
Banyumasan
3. Penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongn sebagai strategi Perang Posisi
Sebagaimana telah dijelaskan oleh Gramsci bahwa tujuan counter hegemoni adalah
untuk melawan hegemoni negara dari sisi politik, akan tetapi bukan berarti sisi politik
ini menajdi satu-satunya jalan sebuah counter hegemoni. Hal ini dikarenakan menurut
Gramsci bahwa kekuasaan politik dari pihak penguasa atau negera pasti akan terus
dipertahankan melalui cara-cara yang bukan hanya dengan cara politik saja. Hal
tersebut menurut analisa Gramsci, melihat pemerintahan diktator Fasis Mussolini di
Italia, terjadi melalui sebuah hegemoni yang terbentuk karena adanya kepemimpinan
intelektual dan moral.
Dari kepemimpinan intelektual dan moral inilah maka negara sebagai bagian
masyarakat politik dapat mengontrol kehidupan dari masyarakat sipil. Bahkan
terdapat beberapa bagian dari masyarakata sipil yang akhirnya berperan dan berfungsi
“negara” di dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat sipil itu sendiri. Oleh
karena itu gagasan counter hegemoni yang dikonsepkan Gramsci juga menekankan
akan arti pentingnya perebutan hegemoni budaya sebagai sebuah strategi untuk
melakukan perlawanan kepada penguasa, yang disebut sebagai “perang posisi”.
Dari sinilah perang posisi dimulai yaitu melalui perebutan budaya yang salah satunya
dilakukan dengan mengkritik pola pendidikan yang ada di sekolah-sekolah modern
yang dikelola oleh gereja yang ternyata banyak menyuplai bagi kepentingan kaum
kapitalis, dimana negara itu sendiri adalah kaum kapitalis itu sendiri.469 Sekolah-
sekolah tersebut justru menghasilkan para aktor intelektual tradisional yang
469 Prison Notebooks hal 51-56. 258
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
cenderung mempertahankan common sense yang telah dikonstruksi oleh para
penguasa.
Selain hal tersebut, perebutan hegemoni budaya juga dilakukan dengan
dikembangkanya “budaya populer” melalui penulisan-penulisan “novel populer”
yang menjadi inspirasi berkembangnya opera yang didalamnya lalu juga muncul lagu
atau musik populer yang kesemuanya lalu menjadi semacam “folklor”nya daerah
Selatan.470 Dengan demikian maka Gramsci sebenarnya sedang menyusun sebuah
strategi yaitu perebutan hegemoni politik dapat dilakukan dengan cara melakukan
perebutan hegemoni kebudayaan terlebih dahulu. Dan salah satu perebutan hegemoni
budaya ini dilakukan dengan cara mengkritisi wewenang otoritas gereja Roma yang
begitu besar di setiap lini kehidupan masyarakat politik maupun sipil di Italia.
Sehingga dari hal tersebut sebenarnya sedang menunjukkan bahwa counter hegemoni
yang dilakukan oleh Gramsci pada saat itu juga menyasar pada kedudukan gereja
Roma. Berkaitan dengan hal tersebut maka Gramsci mengkritik tentang keberadaan
kaum intelektual (tradisional) gereja yang cenderung mempertahankan “common
sense” yang dilakukan dengan cara “memagari” kaum intelektual gereja supaya tidak
berpikir dan bertindak kritis terhadap kebijakan yang dibuat oleh gereja.471 Sehingga
dengan demikian maka kaum intelektual gereja dimanfaatkan oleh pihak otoritas
gereja sebagai wujud perlawanan melawan pemikiran dan tindakan kritis yang
dilakukan oleh kalangan awam yang ada di dalam kehidupan gerejawi.
Hal tersebut menunjukkan bahwa pihak otoritas gereja untuk selalu berusaha untuk
terus dapat mempertahankan wewenang serta otoritasnyanya didalam kehidupan
masyarakat politik maupun sipil di Italia. Oleh karena itu untuk menghadapi apa yang
470 Ibid hal 36 471 Ibid hal 466 259
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dilakukan oleh pihak otoritas gereja ini tentunya haru dilakukan dengan cara melakukan perebutan ideologi. Perebutan ideologi melawan gereja inilah yang menjadi salah satu contoh dari perang posisi yang bertujuan untuk melakukan sebuah counter hegemoni terhadap dominasi dan wewenang gereja. Oleh karena itu ternyata perebutan hegemoni budaya dapat dilakukan dengan cara merebut sebuah “ideologi” yang selama ini berkembang di dalam kehidupan gereja.
Sehingga penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan yang dilakukan oleh kalangan awam ini juga dapat dikatakan sebagai sebuah “counter hegemoni”. Budaya Jawa melalui bahasa Jawa Baku sebenarnya telah menghegemoni kehidupan gereja GKJ, khususnya gereja GKJ di wilayah Banyumasan yang berbahasa Penginyongan.
Dengan belum adanya keterlibatan gereja GKJ secara langsung/resmi dalam proses penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan maka dapat dikatakan gereja GKJ, baik itu dalam lingkup gereja local, klasikal, maupun sinodal, belum menunjukkan dukungannya secara penuh terhadap proses penerjemahan Alkitab bahasa
Penginyongan ini.
Dengan tidak terlibatnya pihak gereja GKJ secara resmi maka bisa dikatakan, sesuai dengan apa yang dikatakan Gramsci, maka pihak gereja GKJ sendiri belum memiliki kesadaran yang sama dengan para pelaku atau aktor-aktor yang terlibat dalam proses penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan ini. Sehingga dengan tidak adanya keterlibatan dalam proses tersebut maka dapat dikatakan telah terjadi perbedaan diantara kalangan intelektual gereja dengan kalangan jemaat awam (khususnya bagi mereka yang terlibat dalam proses penerjemhan Alkitab bahasa Penginyongan). Oleh karena itu maka dalam hal ini bisa dikatakan bahwa para pelaku penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan ini sedang melakukan sebuah perebutan ideologi yang selama
260
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ini berkembang di dalam kehidupan gereja GKJ di wilayah Banyumasan, yaitu antara
bahasa Jawa baku dan bahasa Penginyongan.
Perebutan ideologi inilah yang oleh Gramsci disebut sebagai salah satu peran dari
Perang Posisi. Sehingga dengan demikian maka menunjukkan bahwa penerjemahan
Alkitab bahasa Penginyongan adalah sebuah counter hegemoni yang dilakukan untuk
melawan hegemoni bahasa Jawa Baku, khususnya di kehidupan gereja GKJ yang
berada di wilayah Banyumasan. Perang Posisi ini sebenarnya sudah mulai dilakukan
dengan berdirinya sebuah lembaga atau organisasi yang dinamakan PASEBAN, yang
dimana lembaga ini ini didirikan sebagai wadah yang “memayungi” proses
penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan ini. Dengan terbentuknya lembaga ini
menunjukkan bahwa pihak gereja, khususnya GKJ, belum mempunyai kesadaran
akan pentingnya keberadaan Alkitab bahasa Penginyongan bagi jemaat gereja GKJ di
wilayah Banyumasan yang berbahasa Penginyongan. Karena jika gereja GKJ
memperhatikan hal tersebut maka tentunya penerjemhan ini akan dilakukan oleh
sebuah lembaga resmi penerjemahan Alkitab yang selama ini menjadi perpanjangan
tangan PGI dalam rangka menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa daerah yang ada
di Indonesia yaitu Lembaga Alkitab Indonesia.
LAI sendiri sudah melakukan penerjemahan Alkitab ke dalam berbagai macam bahasa
daerah yang ada di Indonesia, dimana salah satunya adalah Alkitab bahasa Jawa. Dan
adanya Alkitab bahasa Jawa yang digunakan sekarang oleh gereja GKJ adalah hasil
dari rekomendasi sinode GKJ kepada LAI pada tahun 1958 untuk memperbaiki
(revisi) terjemahan Alkitab bahasa Jawa yang sudah ada pada saat itu yang dulunya
telah diterjemahkan oleh Zending Belanda melalui Lembaga Alkitab Jawa.472
472 Arsip Sinode Gereja GKJ: - Artikel 54 sidang sinode X 1967 - Artikel 158 sidang sinode XI 1969 261
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Melalui rekomendasi yang diberikan oleh Sinode gereja GKJ kepada LAI maka saat
ini telah dapat menghasilkan sebuah Alkitab bahasa Jawa yang dipakai untuk
kepentingan gerejawi bagi gereja-gereja yang berbahasa Jawa, salah satunya adalah
gereja GKJ. Ketika Alkitab bahasa Jawa yang dihasilkan melalui rekomendasi Sinode
GKJ kepada LAI sebagai lembaga resmi yang membidangi penerjemahan Alkitab di
Indonesia, menunjukkan bagaimana kepedulian gereja GKJ secara Sinodal terhadap
bahasa Jawa. Namun hal tersebut tidak terjadi dengan proses penerjemahan Alkitab
bahasa Penginyongan yang membuat penerjemahan ini dilakukan sepertinya dengan
cara “partikeliran” atau independen. Dengan adanya hal ini, maka kelompok
“partikelir” atau independen tersebut dapat dikatakan adalah kelompok yang kurang
mendapatkan perhatian dari otoritas gereja GKJ. Sehingga dengan demikian maka apa
yang dilakukan oleh kelompok partikelir yang menterjemahkan Alkitab bahasa
Penginyongan sebenarnya sedang menunjukkan bahwa kelompok ini sedang
melakukan perang posisi terhadap wewenang gereja GKJ pada khususnya.
Ketidakpedulian gereja GKJ terhadap proses penerjemhan Alkitab ini juga
menunjukkan bahwa golongan jemaat yang berbahasa Penginyongan hanya dinilai
sebagai kalangan “pinggiran” saja. Kalangan seperti inilah yang oleh Gramsci disebut
sebagai kelas Subaltern. Walaupun kalangan Subaltern berada di “pinggiran” namun
mereka ternyata juga menjadi subyek dari aktivitas kelompok penguasa.473 Sehingga
dengan demikian kalangan subaltern bukan hanya menajdi obyek hegemoni akan
tetapi mereka juga sebenarnya menjadi subyek hegemoni tersebut.
Sama halnya dengan jemaat gereja GKJ di daerah Banyumas yang sebenarnya juga
menjadi obyek dan subyek hegemoni bahasa Jawa Baku. Bagi mereka yang sudah
473 Prison Notebooks hal 77. 262
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mempunyai “kesadaran” akan perlunya bahasa Penginyongan sebagai bahasa
pengatar ibadah gerejawi pun pada akhirnya banyak yang tidak berdaya dengan
adanya hegemoni bahasa Jawa Baku, apalagi bagi mereka yang belum mempunyai
kesadaran akan hal tersebut maka bagi mereka hegemoni bahasa Jawa Baku bagi
mereka adalah sesuatu hal yang wajar. Bahkan bagi mereka yang sudah sadar akan
perlunya bahasa Penginyongan dan menduduki jabatan Majelis Gereja pun pada
akhirnya juga berperan di dalam memainkan kebijakan yang menyebabkan Alkitab
bahasa Penginyongan belum bisa diterima secara penuh di gereja GKJ. Dengan
demikian maka posisi sebagai kalangan subaltern akan berubah jika mereka
mendapatkan kemenangan “permanen”.474
Kembali kepada proses penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan ini memang baru
berhasil menterjemahkan Injil Lukas pada tahun tahun 2015, dan pada saat ini masih
menyelesaikan Injil Yohanes dan Kisah Para Rasul. Dan Alkitab tersebut diterbitkan
atas bantuan sebuah lembaga penerjemahan Alkitab yaitu Kartidaya. Kartidaya sendiri
singkatan dari Karya Bakti Budaya yang sebenarnya adalah sebuah organisasi yang
berafiliasi dengan Wycliffe Global Alliance yang memang mempunyai konsentrasi
dalam penerjemahan Alkitab ke dalam berbagai bahasa daerah yang ada di berbagai
negara. Dan lembaga Kartidaya inilah yang menyediakan pelatihan bagi para
penerjemah untuk melakukan penerjemahan Alkitab dengan metode yang selama ini
telah digunakan secara umum di dalam penerjemahan Alkitab oleh berbagai lembaga
penerjemahan Alkitab di seluruh dunia.
Dengan berhasil diterbitkannya Injil Lukas dalam bahasa Penginyongan tentunya
menunjukkan bahwa tahapan-tahapan proses penerjemahan Alkitab itu dapat dilalui
474 Ibid hal 77. 263
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dengan biak. Bahkan ketika diterbitkannya Injil Lukas bahasa Penginyongan tersebut,
yang diterbitkan oleh Kartidaya pada tahun 2014, juga dapat diterima dengan baik
oleh Kementerian Agama Kabupaten Banyumas. Bentuk penerimaan tersebut adalah
dengan adanya “Prakata” dari Kementerian Agama Kabupaten Banyumas yang
diwakili oleh tulisan dari Penyelenggara Kristen Kementerian Agama Kabupaten
Banyumas. Dalam Prakata tersebut, terutama di bagian akhir, disebutkan bahwa
“Bahasa Banyumas yang lugas dan apa adanya mampu menjembatani antara iman
Kristen – masyarakat dan budaya”.475
Oleh karena itu melalui Prakata yang diberikan Kementerian Agama Kabupaten
Banyumas sebenarnya menunjukkan bahwa bahasa Penginyongan adalah sebuah
bahasa yang penting bagi kehidupan iman jemaat gereja di daerah Banyumas,
khususnya juga kepada jemaat gereja GKJ yang berada di daerah Banyumas itu
sendiri. Sehingga dari Prakata yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama Kabupaten
Banyumas tersebut juga menunjukkan akan adanya apresiasi yang baik dan positif
dari lembaga pemerintahan tersebut terhadap adanya Alkitab bahasa Penginyongan.
Dengan demikian sebenarnya sudah ada sinyal “lampu hijau” dari salah satu lembaga
pemerintahan terhadap keberadaan Alkitab bahasa Penginyongan ini.
Dengan secara “resmi” diterbitkannya Alkitab (Injil Lukas) bahasa Penginyongan
berarti tahapan-tahapan penerjemahan sudah dilakukan. Dan salah satu hal yang
paling penting dari prosese penerjemahan Alkitab adalah ketika terjemahan itu di
ujicoba terlebih dahulu di kalangan umum. Dengan ujicoba tersebut maka proses
penerjemahan ini bukan hanya melibatkan para penerjemahn saja akan tetapi dari
kalangan umum yang “mengoreksi” dengan membaca hasil terjemahan yang disajikan
475 Prakata untuk penerbitan Alkitab Bahasa Banyumasan dari Kemenag Kantor Kab. Banyumas. 264
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
oleh para penerjemahan. Jika dalam ujicoba tersebut terjadi kesalahan maka bisa menjadi sebuah koreksi. Sehingga dengan demikian maka proses penerjemahan ini sebenarnya juga menempatkan masyarakat umum untuk berperan di dalamnya.
Selain itu menurut penelitian yang penulis lakukan bahwa keberadaan Alkitab bahasa
Penginyongan ini sebenarnya diharapkan keberadaannya di dalam kehidupan gerejawi. Akan tetapi ternyata banyak diantara jemaat awam (walaupun diantara mereka ada yang berstatus sebagai Penatua dan Diaken) yang masih banyak belum mengetahui akan adanya Alkitab bahasa Penginyongan ini. Namun ternyata sudah banyak Pendeta yang mengetahui keberadaan Alkitab ini dan bagi mereka, para
Pendeta, sendiri tidak menginginkan Alkitab bahasa Penginyongan dipakai di dalam ibadah gerejawi. Hal ini dikarenakan menurut mereka bahasa Penginyongan adalah bahasa yang “kasar” dan terkesan lucu jika digunakan di dalam ibadah gereja. Namun setelah melihat latarbelakang para Pendeta yang melayani di gereja GKJ di daerah
Banyumas yang menolak bahasa Penginyongan tersebut ternyata adalah karena mereka berasal dari daerah “wetanan”.
Dari hal tersebut maka terlihat bahwa bagi mereka yang orang “wetanan” bahasa
Penginyongan sebagai bahasa “kulonan” tetap menjadi bahasa nomor dua bagi mereka walaupun mereka sendiri saat ini sudah melayani di gereja GKJ di wilayah Banyumas.
Keengganan para Pendeta inilah yang tentunya menjadi salah satu hambatan terbesar bagi pengunaan Alkitab bahasa Penginyongan di gereja. Hal ini dikarenakan memang salah satu tugas utama seorang Pendeta di gereja GKJ adalah melakukan pengajaran, dimana salah satunya adalah melalui khotbah yang dilakukan ketika ibadah gerejawi.
Dengan demikian pemakaian Alkitab bahasa Banyumas di gereja GKJ di saerah
Banyumas tentunya sangat tergantung dengan para Pendeta yang mempunyai tugas sebagai pengkhotbah di ibadah gereja. Jika para Pendeta tidak berkenan maka ibadah
265
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
gereja pun tetap akan menggunakan bahasa yang dipakai oleh para Pendeta tersebut,
yaitu bahasa Jawa Baku.
Selain dari faktor para Pendeta juga dipengaruhi oleh kebijakan lokal gereja GKJ yang
berada di wilayah Banyumas itu sendiri. Hal ini dikarenakan gereja GKJ menganut
sistem Presbiterial, dimana kebijakan lokal gereja mempunyai peran yang penting
terhadap keputusan secara Klasikal maupun Sinodal. Jika peran pejabat gereja, yaitu
Majelis Gereja yang terdiri dari Pendeta, Penatua dan Diaken, dapat mengambil
sebuah kebijakan untuk memakai bahasa Penginyongan di dalam ibadah gereja
tentunya Alkitab bahasa Penginyongan secara otomatis akan digunakan. Dan jika
salah satu gereja lokal mengusulkan penggunaan Alkitab bahasa Penginyongan ini
dalam Sidang Klasis maka persidangan inipun dapat mengambil keputusan bersama
secara Klasikal. Dan keputusan secara Klasikal inipun dapat diusulkan di dalam
Sidang Sinode yang nantinya jika disetujui tentunya juga akan menjadi sebuah
keputusan bersama secara Sinodal. Sehingga dengan alur yang demikian maka
penggunaan Alkitab bahasa Penginyongan bisa secara resmi diterima keberadaan di
lingkup Sinode Gereja GKJ sebagaimana penerimaan terhadap Alkitab Bahasa Jawa
sebagai Alkitab bahasa daerah, selain Alkitab bahasa Indonesia sebagai Alkitab
bahasa nasional di Indonesia.
Oleh karena itu jika saat ini masih terjadi penolakan keberadaan Alkitab bahasa
Penginyongan di lingkup gereja GKJ tentunya menjadi sebuah tantangan tersendiri.
Dengan konsep Counter Hegemoni yang ditawarkan oleh Gramsci dapat menjadi sebuah strategi supaya hegemoni bahasa Jawa Baku yang saat ini masih terjadi di lingkup gereja
GKJ dapat segera teratasi. Sebagaimana Gramsci ketika mengkritik bahasa Latin sebagai sebuah “bahasa mati” yang menjadi mitos yang terus diupayakan untuk selalu dihidupkan
266
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kembali.476 Hal ini berbeda dengan bahasa Italia sebagai “bahasa hidup” dimana anak-
anak pun sejak dini sudah mengenal dan mengetahuinya tanpa harus memperoleh pelajaran
bahasa yang mendetail.477
Terkait keberadaan bahasa Latin sebagai sebuah “bahasa mati’ sebenarnya sudah lama
menjadi perhatian banyak kalangan, salah satunya adalah dari kalangan gerakan Reformasi
Gereja dimana penerbitan Alkitab bahasa Jerman terjemahan Martin Luther menjadi
sesuatu hal yang menghidupkan bahasa Ibu sebagai bahasa yang menajdi “bahasa hidup”.
Hal itu diperkuat dengan catatan dari Bloch. Yang dikutip oleh Ben Anderson, bahwa
“Bahasa Latin bukan satu-satunya pengajaran, melainkan satu-satunya bahasa yang
diajarkan”.478
Hal itulah yang terjadi pada konteks bahasa Jawa Baku yang menjadi “bahasa yang
diajarkan” sebagaimana yang terjadi dalam keluarga Jawa ketika sejak kecil anak-anak
sudah diajarkan tentang bahasa halus yang penuh sopan santun dengan cara diajari kata
“nyuwun”.479 Dari sikap yang penuh dengan sopan santun inilah anak-anak dari keluarga
jawa dibentuk untuk selalu memberi rasa “hormat” dan “menjaga harmoni sosial”.480 Dan
jika hal tersebut tidak bisa dilakukan maka dirinya bisa mendapatkan “isin” dan dapat
dikatakan “durung njawani”.481 Sehingga dengan hal tersebut sebenarnya penekanan
dalam hal berbahasa dengan menggunakan Bahasa Jawa Baku menjadi mengutamakan
adanya rasa “sungkan”, “pekewuh’ bahkan “wedi”.
476 Prison Notebooks hal 52. 477 Ibid hal 53. 478 Ben Anderson, Imagined Communities hal 25. 479 Hildred Geertz hal 105-106. 480 Ibid hal 157. 481 Ibid hal 115. 267
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Apa yang terjadi melalui Bahasa Jawa Baku tentunya berbeda dengan apa yang dilakukan
oleh Mas Marco yang justru tidak mau menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa
tulisannya, dimana dirinya justru memilih untuk menggunakan bahasa Melayu, dimana
pada waktu menjadi sebuah lingua franca.482 Hal ini dilakukan karena dengan bahasa
tersebut dirinya menjadi seperti “rasaloos” (tidak punya perasaan) atau “maloeloos” (tidak
punya malu). Dengan bahasa yang tidak mempunyai perasaan dan rasa malu inilah yang
digunakan oleh Mas Marco untuk menentang kolonialisme, karena dengan bahasa Jawa
(Krama) dirinya tidak akan pernah menemui kedua hal tersebut.
Apa yang dilakukan oleh Mas Marco senada dengan Siegel dimana di dalam berbahasa
seharusnya tidak membawa cermin rasa rikuh.483 Bahasa Jawa Baku dengan
Kramanisasinya justru membawa dua pola tersebut. Dalam berbahasa menggunakan
bahasa Jawa Baku seseorang harus melihat banyak aspek terhadap lawan bicaranya
sehingga pada akhirnya menentukan bagaimana cara berbicara kepada lawan bicaranya.
Dengan adanya dua pola tersebut maka Kramanisasi bahasa ahirnya memunculkan apa
yang disebut sebagai “kuasa kata” dan “bahasa kosong”. Melalui dua konsep inilah yang
akhirnya menjadikan presentasi bahasa Jawa Baku menjadi bahasa yang hanya
meninggalkan jejak-jejak kaki di tanah berlumpur tanpa bisa melihat bentuk asli atau nyata
dari kaki-kaki yang menjejakkan kakinya tersebut di tanah yang berlumpur itu.484 Dari hal-
hal itulah yang saat ini harus dijalani oleh para stakeholder, baik yang “terlibat” maupun
yang “dilibatkan” bahkan yang “melibatkan” diri dalam proses penerjemahan Alkitab
bahasa Penginyongan, dimana strategi counter hegemoni dapat menjadi salah satu bagian
untuk mewujudnyatakan proses penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan ini menjadi
482 R. Mrazek hal 46-48. 483 J. Siegel, Sadur hal 342. 484 R. Mrazek hal 4-5, 27-28 & 49-50. 268
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sebuah Alkitab yang utuh dan dapat diterima juga secara utuh di gereja GKJ, di wilayah
Banyumasan, tanpa harus saling membawa cermin dan rasa rikuh.
269
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB V
PENUTUP
Bahasa bukan hanya sekedar sarana untuk berkomunikasi. Banyak hal yang dapat dilakukan dengan bahasa, salah satunya adalah berkuasa melalui bahasa. Dengan bahasa seseorang bisa menguasai hidup orang lain, bahkan dapat menguasai sebuah negara dan juga dunia. Singkat kata bahasa adalah kekuatan. Kekuatan bahasa ternyata dilihat oleh Gramsci sebagai salah satu cara untuk meraih serta mempertahankan kekuasaan. Pengalaman Gramsci di Rusia ketika melihat relasi kekuasaan terjadi karena adanya relasi ekonomi antara kaum majikan dan buruh ternyata di Italia terdapat sebuah relasi kekuasaan yang lebih dahsyat yaitu adanya relasi kuasa bahasa. Bahasa Latin telah menguasai bahasa Ibu orang-orang di semenanjung Italia. Melalui bahasa Latin inilah kepemimpinan intelektual dan moral dibangun untuk membentuk
Hegemoni.
Dengan adanya Hegemoni, termasuk di dalamnya hegemoni bahasa, Gramsci lalu merancang sebuah strategi yang disebut sebagai Counter Hegemoni. Karena salah satu cara untuk meraih hegemoni adalah melalui relasi kuasa bahasa, maka counter hegemoni bahasa pun juga dilakukan dengan menggunakan bahasa. Sama seperti Hegemoni yang dibentuk melalui kepemimpinan intelektual dan moral, maka strategi counter hegemoni pun demikian. Ada tiga hal yang paling tidak harus disiapkan untuk melakukan counter hegemoni yaitu pembentukan kaum intelektual organik, good sense dan perang posisi. Namun harus diakui bahwa apa yang telah dirancang oleh Gramsci ini belum pernah “diujicoba” bahkan “dipraktekkan” langsung oleh Gramsci karena dia harus mati dalam status sebagai seorang tahanan dari rezim Fasis
Italia.
270
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Namun ketika kasus hegemoni bahasa terus terjadi di manapun di belahan dunia ini, maka konsep yang ditawarkan Gramsci ini menjadi layak untuk “diujicoba” dan ‘dipraktekkan”. Kita bisa melihat bagaimana bahasa Inggris yang dijadikan bahasa Internasional sebenarnya juga sedang menghegemoni bahasa-bahasa di dunia. Dan di belahan bumi Nusantara tepatnya di
Jawa juga berlangsung hal yang demikian. Sejak berpindahnya kekuasaan dinasti Mataram
Hindhu-Budhha ke dinasti Mataram Islam (era Sultan Agung) sebuah konstruksi bahasa Jawa mulai diterapkan sebagai salah satu cara melegitimasi kekuasaan yang baru terhadap kekuasaan yang lama. Lahirlah bahasa Krama dan Ngoko.
Akan tetapi pada akhirnya dinasti sang penguasa pun akhirnya terkena “boomerang” ketika ditaklukan oleh VOC yang juga akhirnya semakin membenamkan mereka dengan kontruksi bahasa Jawa Baku yang dibuat oleh pendahulu mereka. Mereka harus berbahasa Krama kepada orang asing yang telah menaklukkan mereka. Dan untuk menjaga kewibawaan mereka, maka rakyat haruslah ber-Krama kepada mereka sebagai tanda hormat mereka kepada Raja dan keluarganya.
Hal ini terus berlangsung hingga terbentuknya negara ini yang tidak menganut sistem kerajaan namun republik. Namun karena dianggap berjasa kepada negara, kerajaan-kerajaan penghasil konstruksi bahasa Jawa Baku itu tetap dipertahankan sebagai bagian dari negara Indonesia.
Disinilah peran bahasa mempunyai pengaruh yang kuat akan keberadaan mereka, karena dengan bahasa Jawa Baku kerajaan-kerajaan ini tetap bisa menunjukkan eksistensi “kuasa” mereka. Seluruh wilayah bekas “kekuasaan” mereka hingga sekarang menggunakan bahasa
Jawa Baku sebagai sebuah bahasa yang adiluhung. Sehingga dengan demikian maka bahasa lain yang ada di wilayah tersebut hanyalah sebagai sebuah bahasa yang tatarannya ada di bawah bahasa Jawa Baku.
271
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Bahkan sekelas bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia pun akhirnya terkena efek dari
Kramanisasi tersebut. Jika bahasa Indonesia saja bisa diperlakukan seperti itu, apalagi bahasa yang selama ini sudah terlanjur digilas oleh bahasa Jawa Baku, salah satunya adalah bahasa
“ngapak-ngapak” atau Banyumasan, yang sekarang disebut dengan istilah bahasa
Penginyongan. Bahasa Penginyongan sebagai bahasa yang masih dekat dengan bahasa Jawa kuno akhirnya hanya disebut sebagai sebuah dialek saja, yang identik digunakan sebagai bahan lawakan.
Namun saat ini geliat bahasa Penginyongan mulai bangkit dari tidurnya yang panjang. Bahasa
Penginyongan mulai diakui eksistensinya di luar wilayah Banyumasan. Novel RDP karya
Ahmad Tohari yang sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing, saat ini sudah diterjemahkan secara langsung oleh penulisnya ke dalam bahasa ibunya yaitu bahasa penginyongan. Bahkan Film “Sang Penari” yang diangkat dari novel RDP Ahmad Tohari juga ditampilkan dengan banyak adegan yang menampilkan bahasa Penginyongan. Selain itu
Alquran bahasa Penginyongan pun sudah diterbitkan secara resmi olehh KEMENAG RI.
Demikian juga dengan sudah adanya pendidikan Muatan lokal Bahasa Penginyomgan untuk
SD dan SMP sejak tahun pelajaran 2019/2020 berdasarkan SK Dinas Pendidikan Provinsi Jawa
Tengah. Dan menjadi sesuatu hal yang sangat penting juga, ketika Bupati Banyumas mengeluarkan SK Bupati pada tahun 2014 tentang penggunaan bahasa Penginyongan setiap hari kamis di instansi pemerintahan di Kabupaten Banyumas.
Bukan hanya samapai disitu saja, saat ini melalui dunia internet juga mulai merebak konten- konten Youtube yang menggunakan bahasa Penginyongan. Bahkan salah satu konten Youtube yaitu “Bocah Ngapa(k) Ya!”, menjadi salah satu konten yang viral. Bahkan sampai menarik perhatian salah satu stasiun televisi untuk menayangkannya. Hal tersebut menunjukkan bahwa
272
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
keberadaan bahasa Penginyongan semakin diakui diluar wilayah Masbarlingcakeb (Banyumas,
Banjarnegara, Purbalingga, Cilacap, Kebumen).
Namun ada sebuah fenomena lain yang justru berbanding terbalik, yaitu tentang keberadaan
Alkitab bahasa Penginyongan yang saat ini masih dalam tahap proses penterjemahan. Injil
Lukas yang sudah selesai diterjemahkan pada tahun 2015 ternyata nasibnya tidak seperti pihak- pihak lainnya yang saat ini sedang bergeliat menunjukkan eksistensi dari keberadaan bahasa
Penginyongan. Hingga saat ini Alkitab tersebut belum diakui secara “resmi” oleh lembaga gereja sehingga juga belum dipergunakan di gereja, dan salah satu gereja yang mempunyai sikap demikian adalah gereja GKJ.
Sebagai salah satu “gereja suku’ yang membawa nama Jawa tentunya identik dengan budaya
Jawa, dimana salah satu bentuk dari budaya Jawa adalah bahasa Jawa. Memang tidaklah salah jika gereja GKJ memilih bahasa Jawa sebagai bahasa resmi gerejawi karena toh GKJ hidup ditengah-tengah budaya Jawa, akan tetapi bahasa bukanlah mesin. Dan dengan belum diakuinya Alkitab bahasa Penginyongan secara resmi oleh gereja GKJ berarti menunjukkan bahwa keberadaan bahasa Jawa Baku dapat diibaratkan sebagai sebuah mesin.
Hal ini tidaklah jauh berbeda ketika bahasa Latin menghegemoni bahasa-bahasa Ibu di wilayah eks kekaisaran Romawi. Saat itu bahasa Latin dimonopoli oleh pihak gereja sehingga tidak diperbolehkannya adanya terjemahan Alkitab di luar bahasa Latin. Baru pada masa Reformasi gereja hegemoni itu mulai diruntuhkan. Sehingga sejak era Reformasi Gereja dengan didukung revolusi kapitalisme cetak, penerjemahan Alkitab ke dalam berbagai bahasa mulai menyebar luas. Demikian juga dengan penerjemahan Alkitab terhadap bahasa-bahasa di Nusantara juga dilakukan. Dimulai dari penerjemahan Alkitab ke dalam lingua franca bahasa Melayu hingga penerjemahan Alkitab bahasa daerah, dimana bahasa Jawa adalah Alkitab pertama dalam bahasa daerah di Nuasantara yang berhasil diterjemahkan. Dan melalui Alkitab terjemahan
273
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bahasa Jawa inilah maka lambat laun lalu tebentuk komunitas-komunitas Kristen Jawa
(Pribumi) yang menjadi embrional gereja GKJ.
Namun jika dilihat dari proses terbentuknya bahasa Jawa Baku melalui sebuah konstruksi bahasa yang dibangun oleh penguasa maka pada dasarnya bahasa Jawa baku mempunyai akar relasi kuasa yang kuat. Dengan akar kekuasaan yang kuat inilah yang menyababkan ketika seseorang berbicara dengan bahasa Jawa Baku maka akan saling mencerminkan dan menimbulkan rasa rikuh. Dari sinilah yang akhirnya menyebabkan keberadaan Alkitab
Penginyongan di geraja GKJ, yang berada di wilayah Banyumasan, terhegemoni oleh bahasa
Jawa Baku.
Dengan adanya hegemoni bahasa seperti ini, maka konsep yang ditawarkan Gramsci yaitu tentang strategi Counter Hegemoni sepertinya bisa menjadi sebuah jalan keluar. Namun tentunya sebagaimana Gramsci merancang konsep tersebut berdasarkan situasi dan kondisi yang ada di Italia pada saat itu, tentu konsep tersebut juga harus dianalisa terlebih dahulu dengan melihat konteks yang menyekitari dari proses penerjemahan Alkitab bahasa
Penginyongan itu sendiri. Sebagai sebuah bahasa yang terhegemoni bahasa Jawa Baku maka tidak mungkin untuk melupakan dan meninggalkan konteks Jawa serta Indonesia.
Relasi kuasa bahasa Jawa Baku inilah yang lalu memunculkan konsep “kuasa kata” dari Ben
Anderson dan konsep “Bahasa Kosong” dari Shiraishi. “Kuasa Kata” dan “Bahasa Kosong” inilah yang menjadi wujud hegemoni bahasa Jawa Baku terhadap bahasa penginyongan yang terjadi di gereja GKJ yang berada di wilayah Banyumasan. Sehingga dengan hegemoni ala
Kramanisasi ini tentunya bisa disusun strategi counter hegemoni yang sesuai. Dan yang terpenting lagi adalah melihat bagaimana konteks dari gereja GKJ itu sendiri, yang dalam sistem pemerintah gerejawi menganut prinsip kepemimpinan Presbiterial-Sinodal. Dengan prinsip Presbiterial, maka setiap gereja lokal mempunyai otoritas untuk mengambil keputusan
274
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
atau kebijkan sendiri sesuai dengan kearifan lokal masing-masing. Sedangkan melalui prinsip
Sinodal, maka gereja GKJ baik secara klasikal maupun sinodal bisa mengambil keputusan secara bersama-sama.
Dari hal-hal itulah yang saat ini harus dijalani oleh para stakeholder, baik yang “terlibat” maupun yang “dilibatkan” bahkan yang “melibatkan” diri dalam proses penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan, dimana strategi counter hegemoni dapat menjadi salah satu bagian untuk mewujudnyatakan proses penerjemahan Alkitab bahasa Penginyongan ini menjadi sebuah
Alkitab yang utuh dan dapat diterima juga secara utuh oleh gereja GKJ, khususnya yang berada di wilayah Banyumasan, tanpa harus saling membawa cermin dan menimbulkan rasa rikuh.
Akhir kata, dengan berakhirnya tulisan ini maka tidak menutup kemungkinan akan muncul penelitian-penelitian lain yang berhubungan dengan permasalahan yang penulis tuangkan saat ini. Bisa jadi tulisan yang akan muncul adalah tulisan yang mendukung dari tulisan ini atau bahkan malah yang “mengcounter” tulisan ini. Namun tentunya semuanya masih dalam koridor kerangka akademis, sebagaimana tulisan ini juga ditulis dalam koridor kerangka akademis.
Dan pada akhirnya, walaupun tulisan ini menyinggung tentang kehidupan gereja, akan tetapi tulisan yang saat ini dituangkan adalah, sekali lagi, sebuah tulisan akademis dan bukanlah tulisan “gerejawi”. Sehingga melalui tulisan ini kiranya juga dapat memancing tulisan-tulisan lain yang juga ditulis secara akademis.
275
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR PUSTAKA
- Anderson, Benedict. 2000. Kuasa Kata (Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia),
Yogyakarta: Mata Bangsa.
------. 2001. Imagined Communities (Komunitas-komunitas Terbayang),
Yogyakarta: Pustaka Pelajar & Insist Press.
------. 2002. Hantu Komparasi : Nasionalisme, Asia Tenggara dan
Dunia, Yogyakarta: Qalam.
- Arifin, Syamsul (penyunting). 2006. Tata Bahasa Jawa Mutakhir, Yogyakarta:
Kanisius.
- Baryadi, I. Praptomo. 2012. Bahasa, kekuasaan, dan kekerasan, Yogyakarta:
Universitas Sanata Dharma.
- Berkhof, H. & Enklaar. I.H., 2009. Sejarah Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
- Bocock, Robert. 2011. Pengantar Komprehensif Untuk Memahami Hegemoni (penj :
Ikrammullah Mahyuddin), Yogyakarta: Jalasutra.
- Bourdieu, Pierre. 1991. Language and Symbolic Power, Cambridge: Harvard
University Press.
------, 2010. Arena Produksi Kultural : Sebuah Kajian Sosiologi Budaya,
(penj : Yudi Santosa), Yogyakarta: Kreasi Wacana.
- Chambert-Loir, Henri. 2009. Sadur (Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malayasia),
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
- Coote, Robert B. & Mary P. Coote. 2001. Kuasa, Politik & Proses Pembuatan Alkitab,
Jakarta: BPK Gunung Mulia.
276
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
- Darmoatmodjo, J. 1953. Djemaat Kristen Gondokusuman Jogjakarta Empat Puluh
Tahun, dalam Buku Peringatan 40 Tahun Djemaat Kristen Gondokusuman Jogjakarta,
Jogjakarta: Panitia Peringatan Geredja Kristen Djawa Gondokusuman Jogjakarta.
- Dirdjosanjoto, Pradjarta. 2008. Sumber-sumber tentang Sejarah Gereja Kristen Jawa
1896-1980, Salatiga: Pusat Arsip Sinode GKJ.
- Fairclough, Norman. 2003. Language and Power (relasi bahasa, kekuasaan dan
ideology), Malang: Boyan Publishing.
- Fashri, Fauzi. 2014. Bourdieu: Menyingkap Kuasa Simbol, Yogyakarta: Jalasutra.
- Geertz, Clifford. 2013. Agama Jawa : Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan
Jawa, Depok: Komunitas Bambu.
- Geertz, Hildred. 1983. Keluarga Jawa, Jakarta: Grafitipers.
- Gramsci, Antonio. 2013. Prison Notebooks (Penj: Teguh Wahyu Utomo), Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
- Guillot, C. 1985. Kiai Sadrach: Riwayat Kristenisasi di Jawa (penj: Asvi Warman
Adam), Jakarta: PT Grafiti Press.
- Harker, Richard (editor). 2009. (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik (Pengantar
Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu), penj : Pipit Maizier,
Yogyakarta: Jalasutra.
- Herusatoto, Budiono. 2008. Banyumas (Sejarah, Budaya, Bahasa dan Watak),
Yogyakarta: LKiS.
- Jenkins, Richard. 2004. Membaca Pikiran Pierre Bourdieu, Yogyakarta: Kreasi
Wacana.
- Jones, Steve. 2006. Antonio Gramsci, London & New York: Routledge & Taylor and
Francis Group.
277
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
- Katoppo, P.G. 1987. Penuntun Terjemahan Dinamis, Jakarta: Lembaga Alkitab
Indonesia.
- Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa, Jakarta: PN Balai Pustaka.
- Kooiman, W.J. 2001. Martin Luther: Doktor dalam Kitab Suci, Reformator Gereja,
Jakarta: BPK Gunung Mulia.
- Kozok, Uli. 2010. Utusan Damai di tengah Kemelut Perang: Peran Zending dalam
Perang Toba, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
- Laclau, Ernesto & Chantal Mouffe. 2008. Hegemoni dan Strategi Sosialis: Pos
Marxisme dan Gerakan Sosial Baru (penj: Eko Prasetyo Darmawan), Yogyakarta:
Resist Book.
- Lombard, Denys. 2008. Silang budaya (1): Batas-batas Pembaratan, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
------. 2008. Nusa Jawa (3): Silang Budaya (Warisan Kerajaan-kerajaan
Konsentris), Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
- Magnis S, Frans. 2005. Pemikiran Karl Marx (Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan
Revisionisme), Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
- Mazrek, Rudolf. 2006. Engineers of Happy Land : Perkembangan Tekonologi dan
Nasionalisme di sebuah Koloni, Jakarta: Buku Obor.
- Moeliono, Anton M. 1973. Aspek Etnoliguistik dalam Terjemahan, dalam Majalah Ilmu
Sastra Indonesia, Penerbit Bharata bekerjasama dengan Ikatan Sarjana Sastra
Indonesia.
- Murder, Neil. 2001. Mistisisme Jawa (ideologi di Indonesia), Yogyakarta: LKiS.
- Pemberton, John. 2003. On the subyek of “Java”, Yogyakarta: Mata Bangsa.
- Phillpot, Simon. 2003. Meruntuhkan Indonesia (Politik Postkolonial dan
Otoritarianisme), Yogyakarta: LKiS.
278
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
- Pozzolini, A. 2006. Pijar-pijar Pemikiran Gramsci, Yogyakarta: Resist Book.
- Priyadi, Sugeng. 2002. Banyumas : antara Jawa & Sunda, Semarang: Mimbar.
------. 2015. Menuju Keemasan Banyumas, Jakarta: Pustaka Pelajar.
- Purnomo, Hadi & Sastrosupono. M. Suprihadi. 1986. Gereja-gereja Kristen Jawa
(GKJ): Benih yang tumbuh dan berkembang di tanah Jawa, Yogyakarta: Taman
Pustaka Kristen.
- Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern: 1200-2008, Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta.
------, 2013. Mengislamkan Jawa, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
- Ritzer, George & Douglas J. Goldman. 2011. Teori Marxis dan Berbagai Ragam Teori
Neo-Marxian (penj: Nurhadi), Yogyakarta: Kreasi Wacana.
- Sairin, Weinata (penyunting). 1994. Persebaran Firman di Sepanjang Jaman, Jakarta:
BPK Gunung Mulia.
- Shiraishi, Saya Sasaki. 2001. Pahlawan-pahlawan Belia (Keluarga Indonesia dalam
Politik), Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
- Shiraishi, Takashi. 1997. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926
(pent. Hilmar Farid), Jakarta: Grafiti.
- Siegel, James. 1986. Solo in the New Order (Language And Hierarchy in an Indonesia
City), New Jersey: Princenton University Press.
- Simon. Roger. 2004. Gagasan-gagasan Politik Gramsci (penj: Kamdani & Imam
Baehaqi), Yogyakarta: INSIST & Pustaka Pelajar.
- Simorangkir, Mangisi S.E. 2011. Ajaran Dua Kerajaan Luther dan Relevansinya di
Indonesia, Bandung: Penerbit satu-satu.
279
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
- Sinaga, Martin Lukito. 2004. Identitas Poskolonial “Gereja Suku” dalam Masyarakat
Sipil: Studi tentang Jaulung Wismar Saragih dan Komunitas Kristen Simalungun,
Yogyakarta: LKiS.
- Sindhunata. 1999. Bayang-bayang Ratu Adil, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
- Soekotjo, S.H. 2009. Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa (Jilid 1) : Di bawah Bayang-
bayang Zending 1858-1948, Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen.
------. 2009. Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa (Jilid 2) : Merajut Usaha
Kemandirian 1950-1985, Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen.
- Soesilo, Daud H. 1995. Mengenal Alkitab Anda, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.
- Susanto, Budi (editor). 2003. Politik & Postkolonialitas di Indonesia, Yogyakarta:
Lembaga Studi Realino & Kanisius.
- Swellengrebel, J.L. 2006. Mengikuti Jejak Leidejker Jilid 1 (1820-1900): Satu
Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa
Nusantara, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.
------. 2006. Mengikuti Jejak Leidejker Jilid 2 (1900-1970): Satu
Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa
Nusantara, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.
- Taylor, Jean Gealman. 2009. Kehidupan Sosial di Batavia, Jakarta: Komunitas Bambu
- Tohari, Ahmad. 2014. Kamus Dialek Bahasa Banyumas-Bahasa Indonesia,
Purwokerto: Yayasan Carablaka.
------. 2014. Ronggeng Dhukuh Paruk (Basa Banyumasan), Purwokerto:
Yayasan Carablaka.
------. 2003. Ronggeng Dukuh Paruk, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
280
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
------. 2018. Jejak Tradisi Jawa Kuna Dalam Kebudayaan Jawa
Banyumasan, dalam Kongres Kebudayaan Jawa II, Surabaya: Pengarusutamaan
Kebudayaan Jawa untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat.
- Van den End, Th. 2012. Ragi Carita 1: Sejarah Gereja di Indonesia tahun 1500-
1860an, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
------& Weitens. J. 2012. Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia
tahun 1860an- sekarang, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
- Wolterbeek, J.D. 1990. Babad Zending di Tanah Jawa, Yogyakarta: Taman Pustaka
Kristen.
281